Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 183 – MENUNAIKAN HAK ANAK

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 183 – MENUNAIKAN HAK ANAK Posted on October 10, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 183MENUNAIKAN HAK ANAK Banyak orang tua yang tidak sadar bahwa ia telah menelantarkan anaknya. Hal itu akibat mereka kurang memahami hak anak yang harus ditunaikannya, atau sudah memahaminya namun enggan untuk menunaikannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan, “وَإِنَّ ‌لِوَلَدِكَ ‌عَلَيْكَ ‌حَقًّا” “Sungguh anak memiliki hak yang harus ditunaikan olehmu”. HR. Muslim (no. 1159) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Banyak hak anak yang wajib ditunaikan orang tuanya. Antara lain: Pertama: Nafkah Nafkah tersebut berupa kebutuhan sandang dan pangan. Hak itu wajib ditunaikan hingga anak memiliki kemampuan untuk bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah ta’ala berfirman, “وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ ‌رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا” Artinya: “Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian anak-anaknya dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani melebihi kesanggupannya”. QS. Al-Baqarah (2): 233. Haram hukumnya mengabaikan hak di atas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ” “Seseorang sudah cukup dianggap berdosa, bila ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya”. HR. Abu Dawud (no. 1692) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan al-Arna’uth. Kedua: Pendidikan Orang tua wajib mendidik anaknya agar berakidah benar, mengajarinya shalat dan ibadah lainnya, serta membiasakan adab dan akhlak mulia. Allah ta’ala berfirman, “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. QS. At-Tahrim (66): 6. Teknis menjaga diri dan keluarga dari api neraka adalah dengan mendidik dan mengajari mereka. Begitu keterangan yang disampaikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Konsisten menunaikan hak-hak anak, bukan sekedar untuk menjalankan perintah agama saja, namun juga akan membuat anak merasa dihargai keberadaannya. Serta membuat mereka tumbuh menjadi sosok yang menghargai hak-hak orang lain. Saking pentingnya menghargai hak anak, bahkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sampai meminta izin kepada anak kecil saat ingin memberikan haknya pada orang lain. Dalam Shahih Bukhari (no. 2351) dan Muslim (no. 2030) dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minum. Saat itu di sebelah kanan beliau ada anak kecil dan di sebelah kiri beliau banyak orang tua. Maka beliau meminta izin kepada si anak kecil agar berkenan mendahulukan orang-orang tua tersebut untuk minum setelah beliau. Namun ternyata si anak kecil tidak memperkenankan haknya diambil. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menuruti keinginan si anak dan mendahulukannya untuk minum sesudah beliau. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 1 R. Tsani 1445 / 16 Oktober 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 184 – MEMBERIKAN KEPERCAYAAN PADA ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 183 – MENUNAIKAN HAK ANAK

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 183 – MENUNAIKAN HAK ANAK Posted on October 10, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 183MENUNAIKAN HAK ANAK Banyak orang tua yang tidak sadar bahwa ia telah menelantarkan anaknya. Hal itu akibat mereka kurang memahami hak anak yang harus ditunaikannya, atau sudah memahaminya namun enggan untuk menunaikannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan, “وَإِنَّ ‌لِوَلَدِكَ ‌عَلَيْكَ ‌حَقًّا” “Sungguh anak memiliki hak yang harus ditunaikan olehmu”. HR. Muslim (no. 1159) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Banyak hak anak yang wajib ditunaikan orang tuanya. Antara lain: Pertama: Nafkah Nafkah tersebut berupa kebutuhan sandang dan pangan. Hak itu wajib ditunaikan hingga anak memiliki kemampuan untuk bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah ta’ala berfirman, “وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ ‌رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا” Artinya: “Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian anak-anaknya dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani melebihi kesanggupannya”. QS. Al-Baqarah (2): 233. Haram hukumnya mengabaikan hak di atas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ” “Seseorang sudah cukup dianggap berdosa, bila ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya”. HR. Abu Dawud (no. 1692) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan al-Arna’uth. Kedua: Pendidikan Orang tua wajib mendidik anaknya agar berakidah benar, mengajarinya shalat dan ibadah lainnya, serta membiasakan adab dan akhlak mulia. Allah ta’ala berfirman, “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. QS. At-Tahrim (66): 6. Teknis menjaga diri dan keluarga dari api neraka adalah dengan mendidik dan mengajari mereka. Begitu keterangan yang disampaikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Konsisten menunaikan hak-hak anak, bukan sekedar untuk menjalankan perintah agama saja, namun juga akan membuat anak merasa dihargai keberadaannya. Serta membuat mereka tumbuh menjadi sosok yang menghargai hak-hak orang lain. Saking pentingnya menghargai hak anak, bahkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sampai meminta izin kepada anak kecil saat ingin memberikan haknya pada orang lain. Dalam Shahih Bukhari (no. 2351) dan Muslim (no. 2030) dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minum. Saat itu di sebelah kanan beliau ada anak kecil dan di sebelah kiri beliau banyak orang tua. Maka beliau meminta izin kepada si anak kecil agar berkenan mendahulukan orang-orang tua tersebut untuk minum setelah beliau. Namun ternyata si anak kecil tidak memperkenankan haknya diambil. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menuruti keinginan si anak dan mendahulukannya untuk minum sesudah beliau. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 1 R. Tsani 1445 / 16 Oktober 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 184 – MEMBERIKAN KEPERCAYAAN PADA ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 183 – MENUNAIKAN HAK ANAK Posted on October 10, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 183MENUNAIKAN HAK ANAK Banyak orang tua yang tidak sadar bahwa ia telah menelantarkan anaknya. Hal itu akibat mereka kurang memahami hak anak yang harus ditunaikannya, atau sudah memahaminya namun enggan untuk menunaikannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan, “وَإِنَّ ‌لِوَلَدِكَ ‌عَلَيْكَ ‌حَقًّا” “Sungguh anak memiliki hak yang harus ditunaikan olehmu”. HR. Muslim (no. 1159) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Banyak hak anak yang wajib ditunaikan orang tuanya. Antara lain: Pertama: Nafkah Nafkah tersebut berupa kebutuhan sandang dan pangan. Hak itu wajib ditunaikan hingga anak memiliki kemampuan untuk bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah ta’ala berfirman, “وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ ‌رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا” Artinya: “Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian anak-anaknya dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani melebihi kesanggupannya”. QS. Al-Baqarah (2): 233. Haram hukumnya mengabaikan hak di atas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ” “Seseorang sudah cukup dianggap berdosa, bila ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya”. HR. Abu Dawud (no. 1692) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan al-Arna’uth. Kedua: Pendidikan Orang tua wajib mendidik anaknya agar berakidah benar, mengajarinya shalat dan ibadah lainnya, serta membiasakan adab dan akhlak mulia. Allah ta’ala berfirman, “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. QS. At-Tahrim (66): 6. Teknis menjaga diri dan keluarga dari api neraka adalah dengan mendidik dan mengajari mereka. Begitu keterangan yang disampaikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Konsisten menunaikan hak-hak anak, bukan sekedar untuk menjalankan perintah agama saja, namun juga akan membuat anak merasa dihargai keberadaannya. Serta membuat mereka tumbuh menjadi sosok yang menghargai hak-hak orang lain. Saking pentingnya menghargai hak anak, bahkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sampai meminta izin kepada anak kecil saat ingin memberikan haknya pada orang lain. Dalam Shahih Bukhari (no. 2351) dan Muslim (no. 2030) dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minum. Saat itu di sebelah kanan beliau ada anak kecil dan di sebelah kiri beliau banyak orang tua. Maka beliau meminta izin kepada si anak kecil agar berkenan mendahulukan orang-orang tua tersebut untuk minum setelah beliau. Namun ternyata si anak kecil tidak memperkenankan haknya diambil. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menuruti keinginan si anak dan mendahulukannya untuk minum sesudah beliau. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 1 R. Tsani 1445 / 16 Oktober 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 184 – MEMBERIKAN KEPERCAYAAN PADA ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 183 – MENUNAIKAN HAK ANAK Posted on October 10, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 183MENUNAIKAN HAK ANAK Banyak orang tua yang tidak sadar bahwa ia telah menelantarkan anaknya. Hal itu akibat mereka kurang memahami hak anak yang harus ditunaikannya, atau sudah memahaminya namun enggan untuk menunaikannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan, “وَإِنَّ ‌لِوَلَدِكَ ‌عَلَيْكَ ‌حَقًّا” “Sungguh anak memiliki hak yang harus ditunaikan olehmu”. HR. Muslim (no. 1159) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Banyak hak anak yang wajib ditunaikan orang tuanya. Antara lain: Pertama: Nafkah Nafkah tersebut berupa kebutuhan sandang dan pangan. Hak itu wajib ditunaikan hingga anak memiliki kemampuan untuk bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah ta’ala berfirman, “وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ ‌رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا” Artinya: “Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian anak-anaknya dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani melebihi kesanggupannya”. QS. Al-Baqarah (2): 233. Haram hukumnya mengabaikan hak di atas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ” “Seseorang sudah cukup dianggap berdosa, bila ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya”. HR. Abu Dawud (no. 1692) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan al-Arna’uth. Kedua: Pendidikan Orang tua wajib mendidik anaknya agar berakidah benar, mengajarinya shalat dan ibadah lainnya, serta membiasakan adab dan akhlak mulia. Allah ta’ala berfirman, “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. QS. At-Tahrim (66): 6. Teknis menjaga diri dan keluarga dari api neraka adalah dengan mendidik dan mengajari mereka. Begitu keterangan yang disampaikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Konsisten menunaikan hak-hak anak, bukan sekedar untuk menjalankan perintah agama saja, namun juga akan membuat anak merasa dihargai keberadaannya. Serta membuat mereka tumbuh menjadi sosok yang menghargai hak-hak orang lain. Saking pentingnya menghargai hak anak, bahkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sampai meminta izin kepada anak kecil saat ingin memberikan haknya pada orang lain. Dalam Shahih Bukhari (no. 2351) dan Muslim (no. 2030) dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minum. Saat itu di sebelah kanan beliau ada anak kecil dan di sebelah kiri beliau banyak orang tua. Maka beliau meminta izin kepada si anak kecil agar berkenan mendahulukan orang-orang tua tersebut untuk minum setelah beliau. Namun ternyata si anak kecil tidak memperkenankan haknya diambil. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menuruti keinginan si anak dan mendahulukannya untuk minum sesudah beliau. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 1 R. Tsani 1445 / 16 Oktober 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 184 – MEMBERIKAN KEPERCAYAAN PADA ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Istidraj: Jebakan Berupa Limpahan Rezeki Karena Bermaksiat

Istidraj adalah jebakan berupa limpahan rezeki yang diberikan Allah kepada seseorang yang terus-menerus bermaksiat kepada-Nya. Nama lainnya adalah DILULU. Hal ini bisa terjadi, misalnya, pada orang yang menjalani praktik syirik, seperti ritual pesugihan, dan mendapati kekayaan dengan cepat. Namun, kekayaan tersebut bukanlah tanda kemuliaan; sebaliknya, itu adalah bentuk istidraj, yang menunjukkan bahwa Allah memberi nikmat sebagai ujian.   Daftar Isi tutup 1. Hadits tentang Bahaya Istidraj 2. Tertipu dengan Istidraj 3. Kisah Pemilik Kebun yang Diberi Nikmat yang Sebenarnya Istidraj 3.1. Referensi:   Hadits tentang Bahaya Istidraj Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, 4:145. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain). Allah Ta’ala berfirman, ِفَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 141) disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka. Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.” Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Ketika mereka melupakan peringatan Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagi pintu dunia dan kelezatannya, mereka pun lalai. Sampai mereka bergembira dengan apa yang diberikan pada mereka, akhirnya Allah menyiksa mereka dengan tiba-tiba. Mereka pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya. Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 260). Contoh istidraj bisa kita lihat pada orang yang hidup dalam kemewahan dan kesenangan, tetapi jauh dari nilai-nilai agama. Misalnya, seseorang yang sukses secara finansial tetapi terlibat dalam praktik korupsi atau dosa lainnya. Kekayaan dan keberuntungan yang mereka peroleh bukanlah tanda keberkahan, melainkan bisa jadi merupakan istidraj yang mengarah pada kerugian yang lebih besar di akhirat. Seiring waktu, mereka mungkin akan menghadapi konsekuensi dari perilaku tersebut, yang bisa berujung pada kesedihan dan penyesalan.   Tertipu dengan Istidraj Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِ» وَرُبَّمَا اتَّكَلَ بَعْضُ الْمُغْتَرِّينَ عَلَى مَا يَرَى مِنْ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَأَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ مَا بِهِ، وَيَظُنُّ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ مَحَبَّةِ اللَّهِ لَهُ، وَأَنَّهُ يُعْطِيهِ فِي الْآخِرَةِ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، فَهَذَا مِنَ الْغُرُورِ. “Terkadang, sebagian orang terpedaya dikarenakan bersandar penuh pada apa yang dilihatnya dari nikmat-nikmat yang tercurah untuknya di dunia. Ia merasa bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi tersebut. Ia menyangka semua anugerah itu diterimanya karena cinta Allah kepadanya, bahkan Dia akan memberikan yang lebih baik untuknya di akhirat nanti. Inilah contoh orang yang tertipu.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 54) Allah Ta’ala berfirman, ِوَلَوْلَا أَنْ يَكُونَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمَنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفًا مِنْ فَضَّةٍ وَمَعَارِجَ عَلَيْهَا يَظْهَرُونَ – وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْوَابًا وَسُرُرًا عَلَيْهَا يَتَّكِئُونَ – وَزُخْرُفًا وَإِنْ كُلُّ ذَلِكَ لَمَّا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ} “Dan sekiranya bukan karena menghindarkan manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), pastilah sudah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada (Allah) Yang Maha Pengasih, loteng-loteng rumah mereka dari perak, demikian pula tangga-tangga yang mereka naiki, dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka, dan (begitu pula) dipan-dipan tempat mereka bersandar, dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan dari emas. Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat di sisi Rabbmu disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 33-35) Allah telah membantah orang yang memiliki persangkaan di atas melalui firman-Nya: ِفَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِي – وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِي – كَلَّا “Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian …” (QS. Al-Fajr: 15-17) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengenai ayat di atas, ِلَيْسَ كُلُّ مَنْ نَعَّمْتُهُ وَوَسَّعْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ أَكُونُ قَدْ أَكْرَمْتُهُ، وَلَيْسَ كُلُّ مَنِ ابْتَلَيْتُهُ وَضَيَّقْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ أَكُونُ قَدْ أَهَنْتُهُ، بَلْ أَبْتَلِي هَذَا بِالنِّعَمِ، وَأُكْرِمُ هَذَا بِالِابْتِلَاءِ. “Maksudnya, tidak setiap orang yang Aku beri nikmat dan kelapangan rezeki berarti Aku memuliakannya, begitu juga tidaklah semua orang yang Aku beri cobaan dan Aku sempitkan rezekinya berarti Aku menghinakannya. Bahkan, Aku menguji orang ini dengan nikmat dan Aku memuliakan orang itu dengan cobaan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ‎ “إِنَّ اللَّهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيمَانَ إِلَّا مَنْ يُحِبُّ” “Sesungguhnya Allah memberikan kenikmatan dunia kepada orang yang dicintai-Nya dan orang yang tidak dicintai-Nya, tetapi Allah tidak memberikan iman selain kepada orang yang dicintai-Nya.” (HR. Ahmad, 1:387; Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, 8:10; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 4:166; Al-Haakim, 1:34) Sebagian Salaf berkata, ِ‎رُبَّ مُسْتَدْرَجٍ بِنِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَغْرُورٍ بِسَتْرِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَفْتُونٍ بِثَنَاءِ النَّاسِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ “Betapa banyak orang yang terpedaya dengan nikmat Allah tanpa disadarinya, betapa banyak orang yang tertipu dengan tabir Allah tanpa disadarinya, dan betapa banyak orang yang terfitnah dengan pujian manusia kepada dirinya tanpa disadarinya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55)   Kisah Pemilik Kebun yang Diberi Nikmat yang Sebenarnya Istidraj Disebutkan dalam surah Al-Qalam kisah pemilik kebun berikut ini, ِإِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19) فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (20) فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ (21) أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ (22) فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ (23) أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ (24) وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ (25) فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ (26) بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (27) قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ (28) قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (29) فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ (30) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ (31) عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ (32) كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (33) Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya) Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu) Mereka mengucapkan: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.” Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita. Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (QS. Al Qalam: 17-33). Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Kisah tersebut menggambarkan akhir nasib orang-orang yang mendustakan kebaikan. Mereka diberikan harta, anak, umur panjang, dan berbagai nikmat yang diinginkan. Semua itu bukan karena mereka memiliki kedudukan yang mulia, melainkan sebagai bentuk istidraj yang mereka sendiri tidak menyadari.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 928) Moga segala nikmat yang Allah beri pada kita bukanlah istidraj. Marilah kita berusaha menjauhi maksiat dengan jujur. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. Penerbit Darus Salam. Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman). Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Baca Juga: Hikmah Ada yang Kaya dan Miskin –   Direvisi pada Malam Kamis, 7 Rabiuts Tsani 1446 H, 9 Oktober 2024 @ Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsistidraj maksiat musibah pesugihan

Istidraj: Jebakan Berupa Limpahan Rezeki Karena Bermaksiat

Istidraj adalah jebakan berupa limpahan rezeki yang diberikan Allah kepada seseorang yang terus-menerus bermaksiat kepada-Nya. Nama lainnya adalah DILULU. Hal ini bisa terjadi, misalnya, pada orang yang menjalani praktik syirik, seperti ritual pesugihan, dan mendapati kekayaan dengan cepat. Namun, kekayaan tersebut bukanlah tanda kemuliaan; sebaliknya, itu adalah bentuk istidraj, yang menunjukkan bahwa Allah memberi nikmat sebagai ujian.   Daftar Isi tutup 1. Hadits tentang Bahaya Istidraj 2. Tertipu dengan Istidraj 3. Kisah Pemilik Kebun yang Diberi Nikmat yang Sebenarnya Istidraj 3.1. Referensi:   Hadits tentang Bahaya Istidraj Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, 4:145. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain). Allah Ta’ala berfirman, ِفَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 141) disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka. Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.” Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Ketika mereka melupakan peringatan Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagi pintu dunia dan kelezatannya, mereka pun lalai. Sampai mereka bergembira dengan apa yang diberikan pada mereka, akhirnya Allah menyiksa mereka dengan tiba-tiba. Mereka pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya. Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 260). Contoh istidraj bisa kita lihat pada orang yang hidup dalam kemewahan dan kesenangan, tetapi jauh dari nilai-nilai agama. Misalnya, seseorang yang sukses secara finansial tetapi terlibat dalam praktik korupsi atau dosa lainnya. Kekayaan dan keberuntungan yang mereka peroleh bukanlah tanda keberkahan, melainkan bisa jadi merupakan istidraj yang mengarah pada kerugian yang lebih besar di akhirat. Seiring waktu, mereka mungkin akan menghadapi konsekuensi dari perilaku tersebut, yang bisa berujung pada kesedihan dan penyesalan.   Tertipu dengan Istidraj Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِ» وَرُبَّمَا اتَّكَلَ بَعْضُ الْمُغْتَرِّينَ عَلَى مَا يَرَى مِنْ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَأَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ مَا بِهِ، وَيَظُنُّ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ مَحَبَّةِ اللَّهِ لَهُ، وَأَنَّهُ يُعْطِيهِ فِي الْآخِرَةِ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، فَهَذَا مِنَ الْغُرُورِ. “Terkadang, sebagian orang terpedaya dikarenakan bersandar penuh pada apa yang dilihatnya dari nikmat-nikmat yang tercurah untuknya di dunia. Ia merasa bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi tersebut. Ia menyangka semua anugerah itu diterimanya karena cinta Allah kepadanya, bahkan Dia akan memberikan yang lebih baik untuknya di akhirat nanti. Inilah contoh orang yang tertipu.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 54) Allah Ta’ala berfirman, ِوَلَوْلَا أَنْ يَكُونَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمَنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفًا مِنْ فَضَّةٍ وَمَعَارِجَ عَلَيْهَا يَظْهَرُونَ – وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْوَابًا وَسُرُرًا عَلَيْهَا يَتَّكِئُونَ – وَزُخْرُفًا وَإِنْ كُلُّ ذَلِكَ لَمَّا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ} “Dan sekiranya bukan karena menghindarkan manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), pastilah sudah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada (Allah) Yang Maha Pengasih, loteng-loteng rumah mereka dari perak, demikian pula tangga-tangga yang mereka naiki, dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka, dan (begitu pula) dipan-dipan tempat mereka bersandar, dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan dari emas. Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat di sisi Rabbmu disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 33-35) Allah telah membantah orang yang memiliki persangkaan di atas melalui firman-Nya: ِفَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِي – وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِي – كَلَّا “Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian …” (QS. Al-Fajr: 15-17) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengenai ayat di atas, ِلَيْسَ كُلُّ مَنْ نَعَّمْتُهُ وَوَسَّعْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ أَكُونُ قَدْ أَكْرَمْتُهُ، وَلَيْسَ كُلُّ مَنِ ابْتَلَيْتُهُ وَضَيَّقْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ أَكُونُ قَدْ أَهَنْتُهُ، بَلْ أَبْتَلِي هَذَا بِالنِّعَمِ، وَأُكْرِمُ هَذَا بِالِابْتِلَاءِ. “Maksudnya, tidak setiap orang yang Aku beri nikmat dan kelapangan rezeki berarti Aku memuliakannya, begitu juga tidaklah semua orang yang Aku beri cobaan dan Aku sempitkan rezekinya berarti Aku menghinakannya. Bahkan, Aku menguji orang ini dengan nikmat dan Aku memuliakan orang itu dengan cobaan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ‎ “إِنَّ اللَّهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيمَانَ إِلَّا مَنْ يُحِبُّ” “Sesungguhnya Allah memberikan kenikmatan dunia kepada orang yang dicintai-Nya dan orang yang tidak dicintai-Nya, tetapi Allah tidak memberikan iman selain kepada orang yang dicintai-Nya.” (HR. Ahmad, 1:387; Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, 8:10; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 4:166; Al-Haakim, 1:34) Sebagian Salaf berkata, ِ‎رُبَّ مُسْتَدْرَجٍ بِنِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَغْرُورٍ بِسَتْرِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَفْتُونٍ بِثَنَاءِ النَّاسِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ “Betapa banyak orang yang terpedaya dengan nikmat Allah tanpa disadarinya, betapa banyak orang yang tertipu dengan tabir Allah tanpa disadarinya, dan betapa banyak orang yang terfitnah dengan pujian manusia kepada dirinya tanpa disadarinya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55)   Kisah Pemilik Kebun yang Diberi Nikmat yang Sebenarnya Istidraj Disebutkan dalam surah Al-Qalam kisah pemilik kebun berikut ini, ِإِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19) فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (20) فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ (21) أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ (22) فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ (23) أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ (24) وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ (25) فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ (26) بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (27) قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ (28) قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (29) فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ (30) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ (31) عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ (32) كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (33) Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya) Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu) Mereka mengucapkan: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.” Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita. Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (QS. Al Qalam: 17-33). Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Kisah tersebut menggambarkan akhir nasib orang-orang yang mendustakan kebaikan. Mereka diberikan harta, anak, umur panjang, dan berbagai nikmat yang diinginkan. Semua itu bukan karena mereka memiliki kedudukan yang mulia, melainkan sebagai bentuk istidraj yang mereka sendiri tidak menyadari.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 928) Moga segala nikmat yang Allah beri pada kita bukanlah istidraj. Marilah kita berusaha menjauhi maksiat dengan jujur. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. Penerbit Darus Salam. Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman). Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Baca Juga: Hikmah Ada yang Kaya dan Miskin –   Direvisi pada Malam Kamis, 7 Rabiuts Tsani 1446 H, 9 Oktober 2024 @ Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsistidraj maksiat musibah pesugihan
Istidraj adalah jebakan berupa limpahan rezeki yang diberikan Allah kepada seseorang yang terus-menerus bermaksiat kepada-Nya. Nama lainnya adalah DILULU. Hal ini bisa terjadi, misalnya, pada orang yang menjalani praktik syirik, seperti ritual pesugihan, dan mendapati kekayaan dengan cepat. Namun, kekayaan tersebut bukanlah tanda kemuliaan; sebaliknya, itu adalah bentuk istidraj, yang menunjukkan bahwa Allah memberi nikmat sebagai ujian.   Daftar Isi tutup 1. Hadits tentang Bahaya Istidraj 2. Tertipu dengan Istidraj 3. Kisah Pemilik Kebun yang Diberi Nikmat yang Sebenarnya Istidraj 3.1. Referensi:   Hadits tentang Bahaya Istidraj Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, 4:145. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain). Allah Ta’ala berfirman, ِفَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 141) disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka. Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.” Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Ketika mereka melupakan peringatan Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagi pintu dunia dan kelezatannya, mereka pun lalai. Sampai mereka bergembira dengan apa yang diberikan pada mereka, akhirnya Allah menyiksa mereka dengan tiba-tiba. Mereka pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya. Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 260). Contoh istidraj bisa kita lihat pada orang yang hidup dalam kemewahan dan kesenangan, tetapi jauh dari nilai-nilai agama. Misalnya, seseorang yang sukses secara finansial tetapi terlibat dalam praktik korupsi atau dosa lainnya. Kekayaan dan keberuntungan yang mereka peroleh bukanlah tanda keberkahan, melainkan bisa jadi merupakan istidraj yang mengarah pada kerugian yang lebih besar di akhirat. Seiring waktu, mereka mungkin akan menghadapi konsekuensi dari perilaku tersebut, yang bisa berujung pada kesedihan dan penyesalan.   Tertipu dengan Istidraj Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِ» وَرُبَّمَا اتَّكَلَ بَعْضُ الْمُغْتَرِّينَ عَلَى مَا يَرَى مِنْ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَأَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ مَا بِهِ، وَيَظُنُّ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ مَحَبَّةِ اللَّهِ لَهُ، وَأَنَّهُ يُعْطِيهِ فِي الْآخِرَةِ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، فَهَذَا مِنَ الْغُرُورِ. “Terkadang, sebagian orang terpedaya dikarenakan bersandar penuh pada apa yang dilihatnya dari nikmat-nikmat yang tercurah untuknya di dunia. Ia merasa bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi tersebut. Ia menyangka semua anugerah itu diterimanya karena cinta Allah kepadanya, bahkan Dia akan memberikan yang lebih baik untuknya di akhirat nanti. Inilah contoh orang yang tertipu.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 54) Allah Ta’ala berfirman, ِوَلَوْلَا أَنْ يَكُونَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمَنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفًا مِنْ فَضَّةٍ وَمَعَارِجَ عَلَيْهَا يَظْهَرُونَ – وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْوَابًا وَسُرُرًا عَلَيْهَا يَتَّكِئُونَ – وَزُخْرُفًا وَإِنْ كُلُّ ذَلِكَ لَمَّا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ} “Dan sekiranya bukan karena menghindarkan manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), pastilah sudah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada (Allah) Yang Maha Pengasih, loteng-loteng rumah mereka dari perak, demikian pula tangga-tangga yang mereka naiki, dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka, dan (begitu pula) dipan-dipan tempat mereka bersandar, dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan dari emas. Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat di sisi Rabbmu disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 33-35) Allah telah membantah orang yang memiliki persangkaan di atas melalui firman-Nya: ِفَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِي – وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِي – كَلَّا “Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian …” (QS. Al-Fajr: 15-17) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengenai ayat di atas, ِلَيْسَ كُلُّ مَنْ نَعَّمْتُهُ وَوَسَّعْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ أَكُونُ قَدْ أَكْرَمْتُهُ، وَلَيْسَ كُلُّ مَنِ ابْتَلَيْتُهُ وَضَيَّقْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ أَكُونُ قَدْ أَهَنْتُهُ، بَلْ أَبْتَلِي هَذَا بِالنِّعَمِ، وَأُكْرِمُ هَذَا بِالِابْتِلَاءِ. “Maksudnya, tidak setiap orang yang Aku beri nikmat dan kelapangan rezeki berarti Aku memuliakannya, begitu juga tidaklah semua orang yang Aku beri cobaan dan Aku sempitkan rezekinya berarti Aku menghinakannya. Bahkan, Aku menguji orang ini dengan nikmat dan Aku memuliakan orang itu dengan cobaan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ‎ “إِنَّ اللَّهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيمَانَ إِلَّا مَنْ يُحِبُّ” “Sesungguhnya Allah memberikan kenikmatan dunia kepada orang yang dicintai-Nya dan orang yang tidak dicintai-Nya, tetapi Allah tidak memberikan iman selain kepada orang yang dicintai-Nya.” (HR. Ahmad, 1:387; Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, 8:10; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 4:166; Al-Haakim, 1:34) Sebagian Salaf berkata, ِ‎رُبَّ مُسْتَدْرَجٍ بِنِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَغْرُورٍ بِسَتْرِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَفْتُونٍ بِثَنَاءِ النَّاسِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ “Betapa banyak orang yang terpedaya dengan nikmat Allah tanpa disadarinya, betapa banyak orang yang tertipu dengan tabir Allah tanpa disadarinya, dan betapa banyak orang yang terfitnah dengan pujian manusia kepada dirinya tanpa disadarinya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55)   Kisah Pemilik Kebun yang Diberi Nikmat yang Sebenarnya Istidraj Disebutkan dalam surah Al-Qalam kisah pemilik kebun berikut ini, ِإِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19) فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (20) فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ (21) أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ (22) فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ (23) أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ (24) وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ (25) فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ (26) بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (27) قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ (28) قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (29) فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ (30) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ (31) عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ (32) كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (33) Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya) Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu) Mereka mengucapkan: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.” Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita. Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (QS. Al Qalam: 17-33). Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Kisah tersebut menggambarkan akhir nasib orang-orang yang mendustakan kebaikan. Mereka diberikan harta, anak, umur panjang, dan berbagai nikmat yang diinginkan. Semua itu bukan karena mereka memiliki kedudukan yang mulia, melainkan sebagai bentuk istidraj yang mereka sendiri tidak menyadari.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 928) Moga segala nikmat yang Allah beri pada kita bukanlah istidraj. Marilah kita berusaha menjauhi maksiat dengan jujur. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. Penerbit Darus Salam. Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman). Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Baca Juga: Hikmah Ada yang Kaya dan Miskin –   Direvisi pada Malam Kamis, 7 Rabiuts Tsani 1446 H, 9 Oktober 2024 @ Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsistidraj maksiat musibah pesugihan


Istidraj adalah jebakan berupa limpahan rezeki yang diberikan Allah kepada seseorang yang terus-menerus bermaksiat kepada-Nya. Nama lainnya adalah DILULU. Hal ini bisa terjadi, misalnya, pada orang yang menjalani praktik syirik, seperti ritual pesugihan, dan mendapati kekayaan dengan cepat. Namun, kekayaan tersebut bukanlah tanda kemuliaan; sebaliknya, itu adalah bentuk istidraj, yang menunjukkan bahwa Allah memberi nikmat sebagai ujian.   Daftar Isi tutup 1. Hadits tentang Bahaya Istidraj 2. Tertipu dengan Istidraj 3. Kisah Pemilik Kebun yang Diberi Nikmat yang Sebenarnya Istidraj 3.1. Referensi:   Hadits tentang Bahaya Istidraj Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, 4:145. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain). Allah Ta’ala berfirman, ِفَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44) Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 141) disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka. Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.” Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Ketika mereka melupakan peringatan Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagi pintu dunia dan kelezatannya, mereka pun lalai. Sampai mereka bergembira dengan apa yang diberikan pada mereka, akhirnya Allah menyiksa mereka dengan tiba-tiba. Mereka pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya. Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 260). Contoh istidraj bisa kita lihat pada orang yang hidup dalam kemewahan dan kesenangan, tetapi jauh dari nilai-nilai agama. Misalnya, seseorang yang sukses secara finansial tetapi terlibat dalam praktik korupsi atau dosa lainnya. Kekayaan dan keberuntungan yang mereka peroleh bukanlah tanda keberkahan, melainkan bisa jadi merupakan istidraj yang mengarah pada kerugian yang lebih besar di akhirat. Seiring waktu, mereka mungkin akan menghadapi konsekuensi dari perilaku tersebut, yang bisa berujung pada kesedihan dan penyesalan.   Tertipu dengan Istidraj Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِ» وَرُبَّمَا اتَّكَلَ بَعْضُ الْمُغْتَرِّينَ عَلَى مَا يَرَى مِنْ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَأَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ مَا بِهِ، وَيَظُنُّ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ مَحَبَّةِ اللَّهِ لَهُ، وَأَنَّهُ يُعْطِيهِ فِي الْآخِرَةِ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، فَهَذَا مِنَ الْغُرُورِ. “Terkadang, sebagian orang terpedaya dikarenakan bersandar penuh pada apa yang dilihatnya dari nikmat-nikmat yang tercurah untuknya di dunia. Ia merasa bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi tersebut. Ia menyangka semua anugerah itu diterimanya karena cinta Allah kepadanya, bahkan Dia akan memberikan yang lebih baik untuknya di akhirat nanti. Inilah contoh orang yang tertipu.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 54) Allah Ta’ala berfirman, ِوَلَوْلَا أَنْ يَكُونَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمَنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفًا مِنْ فَضَّةٍ وَمَعَارِجَ عَلَيْهَا يَظْهَرُونَ – وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْوَابًا وَسُرُرًا عَلَيْهَا يَتَّكِئُونَ – وَزُخْرُفًا وَإِنْ كُلُّ ذَلِكَ لَمَّا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ} “Dan sekiranya bukan karena menghindarkan manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), pastilah sudah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada (Allah) Yang Maha Pengasih, loteng-loteng rumah mereka dari perak, demikian pula tangga-tangga yang mereka naiki, dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka, dan (begitu pula) dipan-dipan tempat mereka bersandar, dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan dari emas. Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat di sisi Rabbmu disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 33-35) Allah telah membantah orang yang memiliki persangkaan di atas melalui firman-Nya: ِفَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِي – وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِي – كَلَّا “Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian …” (QS. Al-Fajr: 15-17) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengenai ayat di atas, ِلَيْسَ كُلُّ مَنْ نَعَّمْتُهُ وَوَسَّعْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ أَكُونُ قَدْ أَكْرَمْتُهُ، وَلَيْسَ كُلُّ مَنِ ابْتَلَيْتُهُ وَضَيَّقْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ أَكُونُ قَدْ أَهَنْتُهُ، بَلْ أَبْتَلِي هَذَا بِالنِّعَمِ، وَأُكْرِمُ هَذَا بِالِابْتِلَاءِ. “Maksudnya, tidak setiap orang yang Aku beri nikmat dan kelapangan rezeki berarti Aku memuliakannya, begitu juga tidaklah semua orang yang Aku beri cobaan dan Aku sempitkan rezekinya berarti Aku menghinakannya. Bahkan, Aku menguji orang ini dengan nikmat dan Aku memuliakan orang itu dengan cobaan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ‎ “إِنَّ اللَّهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيمَانَ إِلَّا مَنْ يُحِبُّ” “Sesungguhnya Allah memberikan kenikmatan dunia kepada orang yang dicintai-Nya dan orang yang tidak dicintai-Nya, tetapi Allah tidak memberikan iman selain kepada orang yang dicintai-Nya.” (HR. Ahmad, 1:387; Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, 8:10; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 4:166; Al-Haakim, 1:34) Sebagian Salaf berkata, ِ‎رُبَّ مُسْتَدْرَجٍ بِنِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَغْرُورٍ بِسَتْرِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَفْتُونٍ بِثَنَاءِ النَّاسِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ “Betapa banyak orang yang terpedaya dengan nikmat Allah tanpa disadarinya, betapa banyak orang yang tertipu dengan tabir Allah tanpa disadarinya, dan betapa banyak orang yang terfitnah dengan pujian manusia kepada dirinya tanpa disadarinya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55)   Kisah Pemilik Kebun yang Diberi Nikmat yang Sebenarnya Istidraj Disebutkan dalam surah Al-Qalam kisah pemilik kebun berikut ini, ِإِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19) فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (20) فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ (21) أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ (22) فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ (23) أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ (24) وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ (25) فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ (26) بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (27) قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ (28) قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (29) فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ (30) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ (31) عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ (32) كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (33) Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya) Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu) Mereka mengucapkan: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.” Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita. Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (QS. Al Qalam: 17-33). Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Kisah tersebut menggambarkan akhir nasib orang-orang yang mendustakan kebaikan. Mereka diberikan harta, anak, umur panjang, dan berbagai nikmat yang diinginkan. Semua itu bukan karena mereka memiliki kedudukan yang mulia, melainkan sebagai bentuk istidraj yang mereka sendiri tidak menyadari.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 928) Moga segala nikmat yang Allah beri pada kita bukanlah istidraj. Marilah kita berusaha menjauhi maksiat dengan jujur. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. Penerbit Darus Salam. Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman). Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Baca Juga: Hikmah Ada yang Kaya dan Miskin –   Direvisi pada Malam Kamis, 7 Rabiuts Tsani 1446 H, 9 Oktober 2024 @ Pondok Pesantren Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsistidraj maksiat musibah pesugihan

Bolehkah Orang Kafir Menjual Masakan Babi?

Pertanyaan: Beberapa waktu lalu di kota kami diadakan festival makanan non-halal. Di sana dijual masakan daging babi dan makanan haram lainnya. Walaupun akhirnya acara ini gagal berlangsung, namun sebenarnya bagaimana kita sebagai seorang Muslim yang hidup di negara yang tidak berhukum Islam dalam menyikapi acara seperti ini? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-sholaatu wassalaamu ‘ala Rasuulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, ammaa ba’du, Kita tahu bahwa daging babi hukumnya haram. Allah ta’ala berfirman: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-Ma’idah: 3). Allah ta’ala juga berfirman: إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.” (QS. An-Nahl: 115). Dan pendapat jumhur ulama, orang-orang kafir pun terkena beban syariat, termasuk terkena beban untuk meninggalkan makanan yang haram. Hanya saja amalan mereka tidak berpahala sampai mereka beriman.  Ini pendapat mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Imam Ahmad, jumhur Hanafiyah, Abu Hatim ar-Razi, dan para ulama yang lain. Di antara dalilnya, Allah ta’ala berfirman: مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ . وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ”Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar? Mereka (orang-orang kafir) menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin”. (QS. Al-Mudatstsir: 42-44). Dalam ayat ini, disebutkan bahwa orang kafir diazab karena mereka tidak shalat. Menunjukkan bahwasanya mereka juga terkena kewajiban shalat. An-Nawawi rahimahullah mengatakan: والمذهب الصحيح الذي عليه المحققون والأكثرون : أن الكفار مخاطبون بفروع الشرع ، فيحرم عليهم الحرير ، كما يحرم على المسلمين “Pendapat mazhab (Syafi’i) dan pendapat yang shahih yang dikuatkan oleh para ulama peneliti dan mayoritas ulama adalah bahwa orang kafir terkena beban berupa rincian-rincian syariat, sehingga haram bagi mereka memakai sutra sebagaimana diharamkan bagi kaum Muslimin.” (Syarah Shahih Muslim, 14/39). Dengan demikian, orang kafir pun tidak boleh makan babi dan tidak boleh berjualan babi. Demikian juga, mereka tidak boleh menjual babi walaupun yang membeli adalah orang kafir juga. Sehingga seorang Muslim tidak pantas dan tidak layak mengatakan, “Tidak apa-apa mereka (orang kafir) jualan babi selama yang membeli juga orang kafir”. Tidak boleh membiarkan maksiat tanpa pengingkaran sama sekali. Karena ini akan mengundang bencana dari Allah ta’ala. Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ النَّاسَ إذا رأوا الظَّالمَ فلم يأخذوا علَى يدَيهِ أوشَكَ أن يعمَّهُم اللَّهُ بعقابٍ منهُ “Sesungguhnya jika manusia melihat kezaliman lalu mereka tidak mengingkari kezaliman tersebut, hampir-hampir Allah akan timpakan azab yang menyeluruh kepada mereka semua karenanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2168, dishahikan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Jika ada yang berkata, “Bukankah ada ayat: bagimu agamamu, bagiku agamaku?”. Allah ta’ala berfirman: لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Ayat ini turun ketika orang-orang musyrikin mengatakan: يا محمد [ هلم فاتبع ] ديننا ونتبع دينك ونشركك في أمرنا كله ، تعبد آلهتنا سنة ونعبد إلهك سنة ، فإن كان الذي جئت به خيرا كنا قد شركناك فيه وأخذنا حظنا منه ، وإن كان الذي بأيدينا خيرا كنت قد شركتنا في أمرنا وأخذت بحظك منه “Wahai Muhammad ayo ikuti ajaran agama kami. Dan kami akan mengikuti ajaran agamamu. Dan kami akan gabungkan urusan agama kita. Engkau menyembah tuhan-tuhan kami selama 1 tahun. Dan Kami akan menyembah Allah semata selama 1 tahun. Ajaran agamamu yang baik-baik, kami akan lakukan dan ambil bagian di sana. Dan ajaran agama kami yang baik-baik, engkau juga akan lakukan dan ambil bagian di sana.” (Tafsir Al-Baghawi). Sehingga makna ayat ini adalah melarang mencampur-adukkan agama seperti yang diinginkan oleh orang Musyrikin. As Sa’di dalam Taisir Karimirrahman juga menjelaskan, ayat ini menunjukkan kita diperintahkan untuk membedakan diri dari kaum Musyrikin, dan memisahkan antara syirik dan tauhid. Serta berlepas diri dan membenci kesyirikan. Maka ayat ini bukan membolehkan orang musyrikin untuk menyembah berhala yang mereka anggap sebagai kebaikan. Sebagaimana ayat ini bukan dalil untuk membolehkan orang kafir melakukan keharaman yang mereka yakini halal. Demikian juga, membiarkan adanya acara seperti ini akan membuka pintu fitnah (godaan) bagi kaum Muslimin yang lemah imannya, sehingga mereka akan tergiur untuk mencoba makanan haram yang dijajakan di sana. Membiarkan acara seperti ini sama saja membantu setan untuk menggoda saudara kita. Padahal dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: لا تَكُونُوا عَوْنَ الشَّيْطَانِ علَى أخِيكُمْ “Janganlah kalian menjadi penolong setan untuk menggoda saudara kalian” (HR. Bukhari no.6781). Jika ada yang berkata, “Ini bukan negara Islam Bro!”.  Maka kita jawab, negara kita negara Islam atau bukan itu tidak mengubah hukum syar’i. Tetap saja makan babi dan jualan babi itu haram. Hanya saja, ketika negara kita berlandaskan pada hukum syar’i, tentu memiliki kekuatan untuk memaksa orang kafir untuk tidak berjualan babi. Sedangkan jika tidak demikian, tidak ada kekuatan untuk memaksa mereka. Yang bisa dilakukan adalah memberi nasihat dan melakukan pengingkaran sesuai dengan kemampuan. Dengan cara yang hikmah, elegan, bukan anarkis dan melebihi batas. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: مَن رَأَى مِنكُم مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بيَدِهِ، فإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسانِهِ، فإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وذلكَ أضْعَفُ الإيمانِ “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no.49). Wajib mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, minimalnya mengingkari dengan hati. Karena mengingkari dengan hati hukumnya fardhu ‘ain untuk semua orang.  Jangan sampai Anda datar-datar saja ketika melihat maksiat, atau menganggapnya biasa. Kita khawatir azab Allah ditimpakan kepada kita secara luas, ketika maksiat dianggap biasa saja.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’iin. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Zakat Diberikan Kepada Saudara Kandung, Cairan Yang Keluar Sebelum Sperma, Mengapa Orang Bisa Kesurupan, Ibu Tiri Dalam Islam, Orang Bodoh Dalam Islam Visited 544 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,042 QRIS donasi Yufid

Bolehkah Orang Kafir Menjual Masakan Babi?

Pertanyaan: Beberapa waktu lalu di kota kami diadakan festival makanan non-halal. Di sana dijual masakan daging babi dan makanan haram lainnya. Walaupun akhirnya acara ini gagal berlangsung, namun sebenarnya bagaimana kita sebagai seorang Muslim yang hidup di negara yang tidak berhukum Islam dalam menyikapi acara seperti ini? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-sholaatu wassalaamu ‘ala Rasuulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, ammaa ba’du, Kita tahu bahwa daging babi hukumnya haram. Allah ta’ala berfirman: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-Ma’idah: 3). Allah ta’ala juga berfirman: إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.” (QS. An-Nahl: 115). Dan pendapat jumhur ulama, orang-orang kafir pun terkena beban syariat, termasuk terkena beban untuk meninggalkan makanan yang haram. Hanya saja amalan mereka tidak berpahala sampai mereka beriman.  Ini pendapat mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Imam Ahmad, jumhur Hanafiyah, Abu Hatim ar-Razi, dan para ulama yang lain. Di antara dalilnya, Allah ta’ala berfirman: مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ . وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ”Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar? Mereka (orang-orang kafir) menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin”. (QS. Al-Mudatstsir: 42-44). Dalam ayat ini, disebutkan bahwa orang kafir diazab karena mereka tidak shalat. Menunjukkan bahwasanya mereka juga terkena kewajiban shalat. An-Nawawi rahimahullah mengatakan: والمذهب الصحيح الذي عليه المحققون والأكثرون : أن الكفار مخاطبون بفروع الشرع ، فيحرم عليهم الحرير ، كما يحرم على المسلمين “Pendapat mazhab (Syafi’i) dan pendapat yang shahih yang dikuatkan oleh para ulama peneliti dan mayoritas ulama adalah bahwa orang kafir terkena beban berupa rincian-rincian syariat, sehingga haram bagi mereka memakai sutra sebagaimana diharamkan bagi kaum Muslimin.” (Syarah Shahih Muslim, 14/39). Dengan demikian, orang kafir pun tidak boleh makan babi dan tidak boleh berjualan babi. Demikian juga, mereka tidak boleh menjual babi walaupun yang membeli adalah orang kafir juga. Sehingga seorang Muslim tidak pantas dan tidak layak mengatakan, “Tidak apa-apa mereka (orang kafir) jualan babi selama yang membeli juga orang kafir”. Tidak boleh membiarkan maksiat tanpa pengingkaran sama sekali. Karena ini akan mengundang bencana dari Allah ta’ala. Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ النَّاسَ إذا رأوا الظَّالمَ فلم يأخذوا علَى يدَيهِ أوشَكَ أن يعمَّهُم اللَّهُ بعقابٍ منهُ “Sesungguhnya jika manusia melihat kezaliman lalu mereka tidak mengingkari kezaliman tersebut, hampir-hampir Allah akan timpakan azab yang menyeluruh kepada mereka semua karenanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2168, dishahikan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Jika ada yang berkata, “Bukankah ada ayat: bagimu agamamu, bagiku agamaku?”. Allah ta’ala berfirman: لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Ayat ini turun ketika orang-orang musyrikin mengatakan: يا محمد [ هلم فاتبع ] ديننا ونتبع دينك ونشركك في أمرنا كله ، تعبد آلهتنا سنة ونعبد إلهك سنة ، فإن كان الذي جئت به خيرا كنا قد شركناك فيه وأخذنا حظنا منه ، وإن كان الذي بأيدينا خيرا كنت قد شركتنا في أمرنا وأخذت بحظك منه “Wahai Muhammad ayo ikuti ajaran agama kami. Dan kami akan mengikuti ajaran agamamu. Dan kami akan gabungkan urusan agama kita. Engkau menyembah tuhan-tuhan kami selama 1 tahun. Dan Kami akan menyembah Allah semata selama 1 tahun. Ajaran agamamu yang baik-baik, kami akan lakukan dan ambil bagian di sana. Dan ajaran agama kami yang baik-baik, engkau juga akan lakukan dan ambil bagian di sana.” (Tafsir Al-Baghawi). Sehingga makna ayat ini adalah melarang mencampur-adukkan agama seperti yang diinginkan oleh orang Musyrikin. As Sa’di dalam Taisir Karimirrahman juga menjelaskan, ayat ini menunjukkan kita diperintahkan untuk membedakan diri dari kaum Musyrikin, dan memisahkan antara syirik dan tauhid. Serta berlepas diri dan membenci kesyirikan. Maka ayat ini bukan membolehkan orang musyrikin untuk menyembah berhala yang mereka anggap sebagai kebaikan. Sebagaimana ayat ini bukan dalil untuk membolehkan orang kafir melakukan keharaman yang mereka yakini halal. Demikian juga, membiarkan adanya acara seperti ini akan membuka pintu fitnah (godaan) bagi kaum Muslimin yang lemah imannya, sehingga mereka akan tergiur untuk mencoba makanan haram yang dijajakan di sana. Membiarkan acara seperti ini sama saja membantu setan untuk menggoda saudara kita. Padahal dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: لا تَكُونُوا عَوْنَ الشَّيْطَانِ علَى أخِيكُمْ “Janganlah kalian menjadi penolong setan untuk menggoda saudara kalian” (HR. Bukhari no.6781). Jika ada yang berkata, “Ini bukan negara Islam Bro!”.  Maka kita jawab, negara kita negara Islam atau bukan itu tidak mengubah hukum syar’i. Tetap saja makan babi dan jualan babi itu haram. Hanya saja, ketika negara kita berlandaskan pada hukum syar’i, tentu memiliki kekuatan untuk memaksa orang kafir untuk tidak berjualan babi. Sedangkan jika tidak demikian, tidak ada kekuatan untuk memaksa mereka. Yang bisa dilakukan adalah memberi nasihat dan melakukan pengingkaran sesuai dengan kemampuan. Dengan cara yang hikmah, elegan, bukan anarkis dan melebihi batas. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: مَن رَأَى مِنكُم مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بيَدِهِ، فإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسانِهِ، فإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وذلكَ أضْعَفُ الإيمانِ “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no.49). Wajib mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, minimalnya mengingkari dengan hati. Karena mengingkari dengan hati hukumnya fardhu ‘ain untuk semua orang.  Jangan sampai Anda datar-datar saja ketika melihat maksiat, atau menganggapnya biasa. Kita khawatir azab Allah ditimpakan kepada kita secara luas, ketika maksiat dianggap biasa saja.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’iin. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Zakat Diberikan Kepada Saudara Kandung, Cairan Yang Keluar Sebelum Sperma, Mengapa Orang Bisa Kesurupan, Ibu Tiri Dalam Islam, Orang Bodoh Dalam Islam Visited 544 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,042 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Beberapa waktu lalu di kota kami diadakan festival makanan non-halal. Di sana dijual masakan daging babi dan makanan haram lainnya. Walaupun akhirnya acara ini gagal berlangsung, namun sebenarnya bagaimana kita sebagai seorang Muslim yang hidup di negara yang tidak berhukum Islam dalam menyikapi acara seperti ini? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-sholaatu wassalaamu ‘ala Rasuulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, ammaa ba’du, Kita tahu bahwa daging babi hukumnya haram. Allah ta’ala berfirman: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-Ma’idah: 3). Allah ta’ala juga berfirman: إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.” (QS. An-Nahl: 115). Dan pendapat jumhur ulama, orang-orang kafir pun terkena beban syariat, termasuk terkena beban untuk meninggalkan makanan yang haram. Hanya saja amalan mereka tidak berpahala sampai mereka beriman.  Ini pendapat mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Imam Ahmad, jumhur Hanafiyah, Abu Hatim ar-Razi, dan para ulama yang lain. Di antara dalilnya, Allah ta’ala berfirman: مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ . وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ”Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar? Mereka (orang-orang kafir) menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin”. (QS. Al-Mudatstsir: 42-44). Dalam ayat ini, disebutkan bahwa orang kafir diazab karena mereka tidak shalat. Menunjukkan bahwasanya mereka juga terkena kewajiban shalat. An-Nawawi rahimahullah mengatakan: والمذهب الصحيح الذي عليه المحققون والأكثرون : أن الكفار مخاطبون بفروع الشرع ، فيحرم عليهم الحرير ، كما يحرم على المسلمين “Pendapat mazhab (Syafi’i) dan pendapat yang shahih yang dikuatkan oleh para ulama peneliti dan mayoritas ulama adalah bahwa orang kafir terkena beban berupa rincian-rincian syariat, sehingga haram bagi mereka memakai sutra sebagaimana diharamkan bagi kaum Muslimin.” (Syarah Shahih Muslim, 14/39). Dengan demikian, orang kafir pun tidak boleh makan babi dan tidak boleh berjualan babi. Demikian juga, mereka tidak boleh menjual babi walaupun yang membeli adalah orang kafir juga. Sehingga seorang Muslim tidak pantas dan tidak layak mengatakan, “Tidak apa-apa mereka (orang kafir) jualan babi selama yang membeli juga orang kafir”. Tidak boleh membiarkan maksiat tanpa pengingkaran sama sekali. Karena ini akan mengundang bencana dari Allah ta’ala. Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ النَّاسَ إذا رأوا الظَّالمَ فلم يأخذوا علَى يدَيهِ أوشَكَ أن يعمَّهُم اللَّهُ بعقابٍ منهُ “Sesungguhnya jika manusia melihat kezaliman lalu mereka tidak mengingkari kezaliman tersebut, hampir-hampir Allah akan timpakan azab yang menyeluruh kepada mereka semua karenanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2168, dishahikan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Jika ada yang berkata, “Bukankah ada ayat: bagimu agamamu, bagiku agamaku?”. Allah ta’ala berfirman: لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Ayat ini turun ketika orang-orang musyrikin mengatakan: يا محمد [ هلم فاتبع ] ديننا ونتبع دينك ونشركك في أمرنا كله ، تعبد آلهتنا سنة ونعبد إلهك سنة ، فإن كان الذي جئت به خيرا كنا قد شركناك فيه وأخذنا حظنا منه ، وإن كان الذي بأيدينا خيرا كنت قد شركتنا في أمرنا وأخذت بحظك منه “Wahai Muhammad ayo ikuti ajaran agama kami. Dan kami akan mengikuti ajaran agamamu. Dan kami akan gabungkan urusan agama kita. Engkau menyembah tuhan-tuhan kami selama 1 tahun. Dan Kami akan menyembah Allah semata selama 1 tahun. Ajaran agamamu yang baik-baik, kami akan lakukan dan ambil bagian di sana. Dan ajaran agama kami yang baik-baik, engkau juga akan lakukan dan ambil bagian di sana.” (Tafsir Al-Baghawi). Sehingga makna ayat ini adalah melarang mencampur-adukkan agama seperti yang diinginkan oleh orang Musyrikin. As Sa’di dalam Taisir Karimirrahman juga menjelaskan, ayat ini menunjukkan kita diperintahkan untuk membedakan diri dari kaum Musyrikin, dan memisahkan antara syirik dan tauhid. Serta berlepas diri dan membenci kesyirikan. Maka ayat ini bukan membolehkan orang musyrikin untuk menyembah berhala yang mereka anggap sebagai kebaikan. Sebagaimana ayat ini bukan dalil untuk membolehkan orang kafir melakukan keharaman yang mereka yakini halal. Demikian juga, membiarkan adanya acara seperti ini akan membuka pintu fitnah (godaan) bagi kaum Muslimin yang lemah imannya, sehingga mereka akan tergiur untuk mencoba makanan haram yang dijajakan di sana. Membiarkan acara seperti ini sama saja membantu setan untuk menggoda saudara kita. Padahal dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: لا تَكُونُوا عَوْنَ الشَّيْطَانِ علَى أخِيكُمْ “Janganlah kalian menjadi penolong setan untuk menggoda saudara kalian” (HR. Bukhari no.6781). Jika ada yang berkata, “Ini bukan negara Islam Bro!”.  Maka kita jawab, negara kita negara Islam atau bukan itu tidak mengubah hukum syar’i. Tetap saja makan babi dan jualan babi itu haram. Hanya saja, ketika negara kita berlandaskan pada hukum syar’i, tentu memiliki kekuatan untuk memaksa orang kafir untuk tidak berjualan babi. Sedangkan jika tidak demikian, tidak ada kekuatan untuk memaksa mereka. Yang bisa dilakukan adalah memberi nasihat dan melakukan pengingkaran sesuai dengan kemampuan. Dengan cara yang hikmah, elegan, bukan anarkis dan melebihi batas. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: مَن رَأَى مِنكُم مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بيَدِهِ، فإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسانِهِ، فإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وذلكَ أضْعَفُ الإيمانِ “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no.49). Wajib mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, minimalnya mengingkari dengan hati. Karena mengingkari dengan hati hukumnya fardhu ‘ain untuk semua orang.  Jangan sampai Anda datar-datar saja ketika melihat maksiat, atau menganggapnya biasa. Kita khawatir azab Allah ditimpakan kepada kita secara luas, ketika maksiat dianggap biasa saja.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’iin. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Zakat Diberikan Kepada Saudara Kandung, Cairan Yang Keluar Sebelum Sperma, Mengapa Orang Bisa Kesurupan, Ibu Tiri Dalam Islam, Orang Bodoh Dalam Islam Visited 544 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,042 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Beberapa waktu lalu di kota kami diadakan festival makanan non-halal. Di sana dijual masakan daging babi dan makanan haram lainnya. Walaupun akhirnya acara ini gagal berlangsung, namun sebenarnya bagaimana kita sebagai seorang Muslim yang hidup di negara yang tidak berhukum Islam dalam menyikapi acara seperti ini? Jawaban: Alhamdulillaah, ash-sholaatu wassalaamu ‘ala Rasuulillaah, wa ‘ala aalihi wa man waalaah, ammaa ba’du, Kita tahu bahwa daging babi hukumnya haram. Allah ta’ala berfirman: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-Ma’idah: 3). Allah ta’ala juga berfirman: إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.” (QS. An-Nahl: 115). Dan pendapat jumhur ulama, orang-orang kafir pun terkena beban syariat, termasuk terkena beban untuk meninggalkan makanan yang haram. Hanya saja amalan mereka tidak berpahala sampai mereka beriman.  Ini pendapat mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Imam Ahmad, jumhur Hanafiyah, Abu Hatim ar-Razi, dan para ulama yang lain. Di antara dalilnya, Allah ta’ala berfirman: مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ . وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ”Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar? Mereka (orang-orang kafir) menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin”. (QS. Al-Mudatstsir: 42-44). Dalam ayat ini, disebutkan bahwa orang kafir diazab karena mereka tidak shalat. Menunjukkan bahwasanya mereka juga terkena kewajiban shalat. An-Nawawi rahimahullah mengatakan: والمذهب الصحيح الذي عليه المحققون والأكثرون : أن الكفار مخاطبون بفروع الشرع ، فيحرم عليهم الحرير ، كما يحرم على المسلمين “Pendapat mazhab (Syafi’i) dan pendapat yang shahih yang dikuatkan oleh para ulama peneliti dan mayoritas ulama adalah bahwa orang kafir terkena beban berupa rincian-rincian syariat, sehingga haram bagi mereka memakai sutra sebagaimana diharamkan bagi kaum Muslimin.” (Syarah Shahih Muslim, 14/39). Dengan demikian, orang kafir pun tidak boleh makan babi dan tidak boleh berjualan babi. Demikian juga, mereka tidak boleh menjual babi walaupun yang membeli adalah orang kafir juga. Sehingga seorang Muslim tidak pantas dan tidak layak mengatakan, “Tidak apa-apa mereka (orang kafir) jualan babi selama yang membeli juga orang kafir”. Tidak boleh membiarkan maksiat tanpa pengingkaran sama sekali. Karena ini akan mengundang bencana dari Allah ta’ala. Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: إنَّ النَّاسَ إذا رأوا الظَّالمَ فلم يأخذوا علَى يدَيهِ أوشَكَ أن يعمَّهُم اللَّهُ بعقابٍ منهُ “Sesungguhnya jika manusia melihat kezaliman lalu mereka tidak mengingkari kezaliman tersebut, hampir-hampir Allah akan timpakan azab yang menyeluruh kepada mereka semua karenanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2168, dishahikan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Jika ada yang berkata, “Bukankah ada ayat: bagimu agamamu, bagiku agamaku?”. Allah ta’ala berfirman: لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Ayat ini turun ketika orang-orang musyrikin mengatakan: يا محمد [ هلم فاتبع ] ديننا ونتبع دينك ونشركك في أمرنا كله ، تعبد آلهتنا سنة ونعبد إلهك سنة ، فإن كان الذي جئت به خيرا كنا قد شركناك فيه وأخذنا حظنا منه ، وإن كان الذي بأيدينا خيرا كنت قد شركتنا في أمرنا وأخذت بحظك منه “Wahai Muhammad ayo ikuti ajaran agama kami. Dan kami akan mengikuti ajaran agamamu. Dan kami akan gabungkan urusan agama kita. Engkau menyembah tuhan-tuhan kami selama 1 tahun. Dan Kami akan menyembah Allah semata selama 1 tahun. Ajaran agamamu yang baik-baik, kami akan lakukan dan ambil bagian di sana. Dan ajaran agama kami yang baik-baik, engkau juga akan lakukan dan ambil bagian di sana.” (Tafsir Al-Baghawi). Sehingga makna ayat ini adalah melarang mencampur-adukkan agama seperti yang diinginkan oleh orang Musyrikin. As Sa’di dalam Taisir Karimirrahman juga menjelaskan, ayat ini menunjukkan kita diperintahkan untuk membedakan diri dari kaum Musyrikin, dan memisahkan antara syirik dan tauhid. Serta berlepas diri dan membenci kesyirikan. Maka ayat ini bukan membolehkan orang musyrikin untuk menyembah berhala yang mereka anggap sebagai kebaikan. Sebagaimana ayat ini bukan dalil untuk membolehkan orang kafir melakukan keharaman yang mereka yakini halal. Demikian juga, membiarkan adanya acara seperti ini akan membuka pintu fitnah (godaan) bagi kaum Muslimin yang lemah imannya, sehingga mereka akan tergiur untuk mencoba makanan haram yang dijajakan di sana. Membiarkan acara seperti ini sama saja membantu setan untuk menggoda saudara kita. Padahal dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: لا تَكُونُوا عَوْنَ الشَّيْطَانِ علَى أخِيكُمْ “Janganlah kalian menjadi penolong setan untuk menggoda saudara kalian” (HR. Bukhari no.6781). Jika ada yang berkata, “Ini bukan negara Islam Bro!”.  Maka kita jawab, negara kita negara Islam atau bukan itu tidak mengubah hukum syar’i. Tetap saja makan babi dan jualan babi itu haram. Hanya saja, ketika negara kita berlandaskan pada hukum syar’i, tentu memiliki kekuatan untuk memaksa orang kafir untuk tidak berjualan babi. Sedangkan jika tidak demikian, tidak ada kekuatan untuk memaksa mereka. Yang bisa dilakukan adalah memberi nasihat dan melakukan pengingkaran sesuai dengan kemampuan. Dengan cara yang hikmah, elegan, bukan anarkis dan melebihi batas. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: مَن رَأَى مِنكُم مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بيَدِهِ، فإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسانِهِ، فإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وذلكَ أضْعَفُ الإيمانِ “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no.49). Wajib mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, minimalnya mengingkari dengan hati. Karena mengingkari dengan hati hukumnya fardhu ‘ain untuk semua orang.  Jangan sampai Anda datar-datar saja ketika melihat maksiat, atau menganggapnya biasa. Kita khawatir azab Allah ditimpakan kepada kita secara luas, ketika maksiat dianggap biasa saja.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’iin. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Zakat Diberikan Kepada Saudara Kandung, Cairan Yang Keluar Sebelum Sperma, Mengapa Orang Bisa Kesurupan, Ibu Tiri Dalam Islam, Orang Bodoh Dalam Islam Visited 544 times, 1 visit(s) today Post Views: 1,042 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Khutbah Jumat: Keutamaan Memberi Nafkah dan Tuntunannya

Memberi nafkah kepada keluarga adalah kewajiban seorang Muslim yang memiliki keutamaan besar di sisi Allah. Khutbah ini akan membahas pentingnya memberi nafkah dan tuntunan Islam terkait hal tersebut. Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Keutamaan Nafkah Keluarga” 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua 3.1. Silakan unduh naskah “Khutbah Jumat: Keutamaan Memberi Nafkah dan Tuntunannya”   Video Khutbah Jumat “Keutamaan Nafkah Keluarga”    Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَءَامِنُوا۟ بِرَسُولِهِۦ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِۦ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِۦ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28). Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Di antara bentuk takwa adalah menjalankan shalat lima waktu dan shalat Jumat. Karena orang yang bertakwa menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah, المُتَّقُوْنَ الَّذِيْنَ يَحْذَرُوْنَ مِنَ اللهِ عُقُوْبَتَهُ فِي تَرْكِ مَا يَعْرِفُوْنَ مِنَ الهُدَى ، وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ فِي التَّصْدِيْقِ بِمَا جَاءَ بِه “Orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga diri dari siksa Allah karena meninggalkan petunjuk yang mereka sudah mengetahuinya dan ia mengharap rahmat Allah karena meyakini apa yang datang dari Allah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:400). Di khutbah Jumat kali ini, khatib akan mengangkat perihal “nafkah“. Nafkah itu sama dengan “infaq“, yang berarti pengeluaran dalam suatu hal, dan “nafqun” berarti habis. Istilah ini umumnya digunakan dalam kebaikan, dan pada pengeluaran sesuatu dalam hal lain, atau penghabisannya, misalnya: “menghabiskan hidupnya untuk ini”, “dagangannya laku”, atau “bekalnya habis”. Dalam istilah syar’i, nafkah merujuk pada uang atau harta yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain disebut nafkah karena habis dan hilang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mengenai keutamaan memberikan nafkah, dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang digunakan untuk membebaskan seorang budak, dan satu dinar yang diberikan kepada orang miskin, tetap yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu belanjakan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.” (HR. Muslim, no. 995) Baca juga: Urutan Pengeluaran Harta dari Nafkah, Zakat, Hingga Sedekah Berapa besaran nafkah yang harus dikeluarkan oleh suami? Nafkah yang diberikan oleh suami kepada istri ditentukan berdasarkan kemampuan suami, karena ada yang dilapangkan rezekinya dan ada yang disempitkan. Patokan nafkah bukanlah keadaan istri, melainkan kemampuan suami. Nafkah itu tergantung pada suami yang memberi nafkah, bukan pada istri yang menerima. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7) Secara umum, nafkah meliputi pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dalil tentang sandang dan pangan adalah firman Allah, وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 233) Dalil tentang papan adalah firman Allah Ta’ala, أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6) Rincian nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri meliputi: 1) makanan, 2) lauk, 3) pakaian, 4) alat kebersihan, 5) peralatan makan, 6) tempat tinggal, 7) perabotan, 8) penyejuk atau pendingin ruangan, dan 9) pembantu jika diperlukan. Catatan: Nafkah di atas adalah standar wajib. Misal, seorang istri berhak mendapatkan nafkah berupa alat-alat kebersihan yang diperlukan untuk menjaga kebersihan diri dan menghilangkan kotoran, seperti sisir, minyak rambut, sabun, dan lain-lain, sesuai dengan kemampuan suami serta kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Adapun standar baik adalah dengan suami memberikan hal tambahan di luar dari standar wajib, yaitu misal memenuhi kebutuhan perawatan diri istri. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai hadits ini shahih). Dalam upaya mencari nafkah, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan: Pertama: Pastikan rezeki yang diperoleh berasal dari harta yang halal, meskipun jumlahnya sedikit. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ “Sedikit dari harta yang halal memiliki keberkahan di dalamnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646) Baca juga: Dampak Harta Haram Kedua: Syukuri nikmat yang sedikit. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ “Siapa yang tidak bersyukur atas yang sedikit, maka dia tidak akan mampu bersyukur atas yang banyak.” (HR. Ahmad, 4:278. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 667) Ketiga: Jangan sampai kesibukan bekerja menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman, وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al-yaqin (kematian).” (QS. Al-Hijr: 99). Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa makna “al-yaqin” dalam ayat tersebut adalah kematian, karena kematian adalah sesuatu yang pasti. Kami berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam mencari rezeki yang halal dan diberi kemudahan untuk tetap rutin beribadah. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan unduh naskah “Khutbah Jumat: Keutamaan Memberi Nafkah dan Tuntunannya” [googlepdf url=”https://pub-197ab8ad3d8f43579262a2fb5d4d89f9.r2.dev/2024/10/Khutbah-Jumat-Keutamaan-Memberi-Nafkah-dan-Tuntunannya.pdf” download=”Download” width=”100%” height=”600″]   – Disusun pada siang hari, Jumat Wage, 2 Rabiuts Tsani 1446 H, 4 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsharta kerja keras mencari nafkah nafkah nafkah suami pada istri pekerjaan yang paling baik

Khutbah Jumat: Keutamaan Memberi Nafkah dan Tuntunannya

Memberi nafkah kepada keluarga adalah kewajiban seorang Muslim yang memiliki keutamaan besar di sisi Allah. Khutbah ini akan membahas pentingnya memberi nafkah dan tuntunan Islam terkait hal tersebut. Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Keutamaan Nafkah Keluarga” 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua 3.1. Silakan unduh naskah “Khutbah Jumat: Keutamaan Memberi Nafkah dan Tuntunannya”   Video Khutbah Jumat “Keutamaan Nafkah Keluarga”    Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَءَامِنُوا۟ بِرَسُولِهِۦ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِۦ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِۦ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28). Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Di antara bentuk takwa adalah menjalankan shalat lima waktu dan shalat Jumat. Karena orang yang bertakwa menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah, المُتَّقُوْنَ الَّذِيْنَ يَحْذَرُوْنَ مِنَ اللهِ عُقُوْبَتَهُ فِي تَرْكِ مَا يَعْرِفُوْنَ مِنَ الهُدَى ، وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ فِي التَّصْدِيْقِ بِمَا جَاءَ بِه “Orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga diri dari siksa Allah karena meninggalkan petunjuk yang mereka sudah mengetahuinya dan ia mengharap rahmat Allah karena meyakini apa yang datang dari Allah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:400). Di khutbah Jumat kali ini, khatib akan mengangkat perihal “nafkah“. Nafkah itu sama dengan “infaq“, yang berarti pengeluaran dalam suatu hal, dan “nafqun” berarti habis. Istilah ini umumnya digunakan dalam kebaikan, dan pada pengeluaran sesuatu dalam hal lain, atau penghabisannya, misalnya: “menghabiskan hidupnya untuk ini”, “dagangannya laku”, atau “bekalnya habis”. Dalam istilah syar’i, nafkah merujuk pada uang atau harta yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain disebut nafkah karena habis dan hilang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mengenai keutamaan memberikan nafkah, dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang digunakan untuk membebaskan seorang budak, dan satu dinar yang diberikan kepada orang miskin, tetap yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu belanjakan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.” (HR. Muslim, no. 995) Baca juga: Urutan Pengeluaran Harta dari Nafkah, Zakat, Hingga Sedekah Berapa besaran nafkah yang harus dikeluarkan oleh suami? Nafkah yang diberikan oleh suami kepada istri ditentukan berdasarkan kemampuan suami, karena ada yang dilapangkan rezekinya dan ada yang disempitkan. Patokan nafkah bukanlah keadaan istri, melainkan kemampuan suami. Nafkah itu tergantung pada suami yang memberi nafkah, bukan pada istri yang menerima. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7) Secara umum, nafkah meliputi pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dalil tentang sandang dan pangan adalah firman Allah, وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 233) Dalil tentang papan adalah firman Allah Ta’ala, أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6) Rincian nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri meliputi: 1) makanan, 2) lauk, 3) pakaian, 4) alat kebersihan, 5) peralatan makan, 6) tempat tinggal, 7) perabotan, 8) penyejuk atau pendingin ruangan, dan 9) pembantu jika diperlukan. Catatan: Nafkah di atas adalah standar wajib. Misal, seorang istri berhak mendapatkan nafkah berupa alat-alat kebersihan yang diperlukan untuk menjaga kebersihan diri dan menghilangkan kotoran, seperti sisir, minyak rambut, sabun, dan lain-lain, sesuai dengan kemampuan suami serta kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Adapun standar baik adalah dengan suami memberikan hal tambahan di luar dari standar wajib, yaitu misal memenuhi kebutuhan perawatan diri istri. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai hadits ini shahih). Dalam upaya mencari nafkah, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan: Pertama: Pastikan rezeki yang diperoleh berasal dari harta yang halal, meskipun jumlahnya sedikit. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ “Sedikit dari harta yang halal memiliki keberkahan di dalamnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646) Baca juga: Dampak Harta Haram Kedua: Syukuri nikmat yang sedikit. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ “Siapa yang tidak bersyukur atas yang sedikit, maka dia tidak akan mampu bersyukur atas yang banyak.” (HR. Ahmad, 4:278. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 667) Ketiga: Jangan sampai kesibukan bekerja menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman, وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al-yaqin (kematian).” (QS. Al-Hijr: 99). Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa makna “al-yaqin” dalam ayat tersebut adalah kematian, karena kematian adalah sesuatu yang pasti. Kami berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam mencari rezeki yang halal dan diberi kemudahan untuk tetap rutin beribadah. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan unduh naskah “Khutbah Jumat: Keutamaan Memberi Nafkah dan Tuntunannya” [googlepdf url=”https://pub-197ab8ad3d8f43579262a2fb5d4d89f9.r2.dev/2024/10/Khutbah-Jumat-Keutamaan-Memberi-Nafkah-dan-Tuntunannya.pdf” download=”Download” width=”100%” height=”600″]   – Disusun pada siang hari, Jumat Wage, 2 Rabiuts Tsani 1446 H, 4 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsharta kerja keras mencari nafkah nafkah nafkah suami pada istri pekerjaan yang paling baik
Memberi nafkah kepada keluarga adalah kewajiban seorang Muslim yang memiliki keutamaan besar di sisi Allah. Khutbah ini akan membahas pentingnya memberi nafkah dan tuntunan Islam terkait hal tersebut. Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Keutamaan Nafkah Keluarga” 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua 3.1. Silakan unduh naskah “Khutbah Jumat: Keutamaan Memberi Nafkah dan Tuntunannya”   Video Khutbah Jumat “Keutamaan Nafkah Keluarga”    Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَءَامِنُوا۟ بِرَسُولِهِۦ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِۦ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِۦ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28). Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Di antara bentuk takwa adalah menjalankan shalat lima waktu dan shalat Jumat. Karena orang yang bertakwa menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah, المُتَّقُوْنَ الَّذِيْنَ يَحْذَرُوْنَ مِنَ اللهِ عُقُوْبَتَهُ فِي تَرْكِ مَا يَعْرِفُوْنَ مِنَ الهُدَى ، وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ فِي التَّصْدِيْقِ بِمَا جَاءَ بِه “Orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga diri dari siksa Allah karena meninggalkan petunjuk yang mereka sudah mengetahuinya dan ia mengharap rahmat Allah karena meyakini apa yang datang dari Allah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:400). Di khutbah Jumat kali ini, khatib akan mengangkat perihal “nafkah“. Nafkah itu sama dengan “infaq“, yang berarti pengeluaran dalam suatu hal, dan “nafqun” berarti habis. Istilah ini umumnya digunakan dalam kebaikan, dan pada pengeluaran sesuatu dalam hal lain, atau penghabisannya, misalnya: “menghabiskan hidupnya untuk ini”, “dagangannya laku”, atau “bekalnya habis”. Dalam istilah syar’i, nafkah merujuk pada uang atau harta yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain disebut nafkah karena habis dan hilang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mengenai keutamaan memberikan nafkah, dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang digunakan untuk membebaskan seorang budak, dan satu dinar yang diberikan kepada orang miskin, tetap yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu belanjakan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.” (HR. Muslim, no. 995) Baca juga: Urutan Pengeluaran Harta dari Nafkah, Zakat, Hingga Sedekah Berapa besaran nafkah yang harus dikeluarkan oleh suami? Nafkah yang diberikan oleh suami kepada istri ditentukan berdasarkan kemampuan suami, karena ada yang dilapangkan rezekinya dan ada yang disempitkan. Patokan nafkah bukanlah keadaan istri, melainkan kemampuan suami. Nafkah itu tergantung pada suami yang memberi nafkah, bukan pada istri yang menerima. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7) Secara umum, nafkah meliputi pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dalil tentang sandang dan pangan adalah firman Allah, وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 233) Dalil tentang papan adalah firman Allah Ta’ala, أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6) Rincian nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri meliputi: 1) makanan, 2) lauk, 3) pakaian, 4) alat kebersihan, 5) peralatan makan, 6) tempat tinggal, 7) perabotan, 8) penyejuk atau pendingin ruangan, dan 9) pembantu jika diperlukan. Catatan: Nafkah di atas adalah standar wajib. Misal, seorang istri berhak mendapatkan nafkah berupa alat-alat kebersihan yang diperlukan untuk menjaga kebersihan diri dan menghilangkan kotoran, seperti sisir, minyak rambut, sabun, dan lain-lain, sesuai dengan kemampuan suami serta kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Adapun standar baik adalah dengan suami memberikan hal tambahan di luar dari standar wajib, yaitu misal memenuhi kebutuhan perawatan diri istri. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai hadits ini shahih). Dalam upaya mencari nafkah, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan: Pertama: Pastikan rezeki yang diperoleh berasal dari harta yang halal, meskipun jumlahnya sedikit. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ “Sedikit dari harta yang halal memiliki keberkahan di dalamnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646) Baca juga: Dampak Harta Haram Kedua: Syukuri nikmat yang sedikit. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ “Siapa yang tidak bersyukur atas yang sedikit, maka dia tidak akan mampu bersyukur atas yang banyak.” (HR. Ahmad, 4:278. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 667) Ketiga: Jangan sampai kesibukan bekerja menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman, وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al-yaqin (kematian).” (QS. Al-Hijr: 99). Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa makna “al-yaqin” dalam ayat tersebut adalah kematian, karena kematian adalah sesuatu yang pasti. Kami berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam mencari rezeki yang halal dan diberi kemudahan untuk tetap rutin beribadah. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan unduh naskah “Khutbah Jumat: Keutamaan Memberi Nafkah dan Tuntunannya” [googlepdf url=”https://pub-197ab8ad3d8f43579262a2fb5d4d89f9.r2.dev/2024/10/Khutbah-Jumat-Keutamaan-Memberi-Nafkah-dan-Tuntunannya.pdf” download=”Download” width=”100%” height=”600″]   – Disusun pada siang hari, Jumat Wage, 2 Rabiuts Tsani 1446 H, 4 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsharta kerja keras mencari nafkah nafkah nafkah suami pada istri pekerjaan yang paling baik


Memberi nafkah kepada keluarga adalah kewajiban seorang Muslim yang memiliki keutamaan besar di sisi Allah. Khutbah ini akan membahas pentingnya memberi nafkah dan tuntunan Islam terkait hal tersebut. Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Keutamaan Nafkah Keluarga” 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua 3.1. Silakan unduh naskah “Khutbah Jumat: Keutamaan Memberi Nafkah dan Tuntunannya”   Video Khutbah Jumat “Keutamaan Nafkah Keluarga”   <span style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" data-mce-type="bookmark" class="mce_SELRES_start"></span> Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَءَامِنُوا۟ بِرَسُولِهِۦ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِۦ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِۦ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28). Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Di antara bentuk takwa adalah menjalankan shalat lima waktu dan shalat Jumat. Karena orang yang bertakwa menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah, المُتَّقُوْنَ الَّذِيْنَ يَحْذَرُوْنَ مِنَ اللهِ عُقُوْبَتَهُ فِي تَرْكِ مَا يَعْرِفُوْنَ مِنَ الهُدَى ، وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ فِي التَّصْدِيْقِ بِمَا جَاءَ بِه “Orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga diri dari siksa Allah karena meninggalkan petunjuk yang mereka sudah mengetahuinya dan ia mengharap rahmat Allah karena meyakini apa yang datang dari Allah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:400). Di khutbah Jumat kali ini, khatib akan mengangkat perihal “nafkah“. Nafkah itu sama dengan “infaq“, yang berarti pengeluaran dalam suatu hal, dan “nafqun” berarti habis. Istilah ini umumnya digunakan dalam kebaikan, dan pada pengeluaran sesuatu dalam hal lain, atau penghabisannya, misalnya: “menghabiskan hidupnya untuk ini”, “dagangannya laku”, atau “bekalnya habis”. Dalam istilah syar’i, nafkah merujuk pada uang atau harta yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain disebut nafkah karena habis dan hilang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mengenai keutamaan memberikan nafkah, dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang digunakan untuk membebaskan seorang budak, dan satu dinar yang diberikan kepada orang miskin, tetap yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu belanjakan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.” (HR. Muslim, no. 995) Baca juga: Urutan Pengeluaran Harta dari Nafkah, Zakat, Hingga Sedekah Berapa besaran nafkah yang harus dikeluarkan oleh suami? Nafkah yang diberikan oleh suami kepada istri ditentukan berdasarkan kemampuan suami, karena ada yang dilapangkan rezekinya dan ada yang disempitkan. Patokan nafkah bukanlah keadaan istri, melainkan kemampuan suami. Nafkah itu tergantung pada suami yang memberi nafkah, bukan pada istri yang menerima. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7) Secara umum, nafkah meliputi pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dalil tentang sandang dan pangan adalah firman Allah, وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 233) Dalil tentang papan adalah firman Allah Ta’ala, أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6) Rincian nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri meliputi: 1) makanan, 2) lauk, 3) pakaian, 4) alat kebersihan, 5) peralatan makan, 6) tempat tinggal, 7) perabotan, 8) penyejuk atau pendingin ruangan, dan 9) pembantu jika diperlukan. Catatan: Nafkah di atas adalah standar wajib. Misal, seorang istri berhak mendapatkan nafkah berupa alat-alat kebersihan yang diperlukan untuk menjaga kebersihan diri dan menghilangkan kotoran, seperti sisir, minyak rambut, sabun, dan lain-lain, sesuai dengan kemampuan suami serta kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Adapun standar baik adalah dengan suami memberikan hal tambahan di luar dari standar wajib, yaitu misal memenuhi kebutuhan perawatan diri istri. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir menilai hadits ini shahih). Dalam upaya mencari nafkah, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan: Pertama: Pastikan rezeki yang diperoleh berasal dari harta yang halal, meskipun jumlahnya sedikit. Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata, وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ “Sedikit dari harta yang halal memiliki keberkahan di dalamnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646) Baca juga: Dampak Harta Haram Kedua: Syukuri nikmat yang sedikit. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ “Siapa yang tidak bersyukur atas yang sedikit, maka dia tidak akan mampu bersyukur atas yang banyak.” (HR. Ahmad, 4:278. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 667) Ketiga: Jangan sampai kesibukan bekerja menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman, وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al-yaqin (kematian).” (QS. Al-Hijr: 99). Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa makna “al-yaqin” dalam ayat tersebut adalah kematian, karena kematian adalah sesuatu yang pasti. Kami berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam mencari rezeki yang halal dan diberi kemudahan untuk tetap rutin beribadah. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan unduh naskah “Khutbah Jumat: Keutamaan Memberi Nafkah dan Tuntunannya” [googlepdf url=”https://pub-197ab8ad3d8f43579262a2fb5d4d89f9.r2.dev/2024/10/Khutbah-Jumat-Keutamaan-Memberi-Nafkah-dan-Tuntunannya.pdf” download=”Download” width=”100%” height=”600″]   – Disusun pada siang hari, Jumat Wage, 2 Rabiuts Tsani 1446 H, 4 Oktober 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsharta kerja keras mencari nafkah nafkah nafkah suami pada istri pekerjaan yang paling baik

Ancaman Keras untuk Pelaku Riba – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Maka jika kalian tidak mengerjakan (perintah ini)…” dan tidak meninggalkan riba yang masih menjadi utang orang-orang ….maka umumkanlah pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya…” (QS. al-Baqarah: 279) Yakni ketahuilah bahwa Allah akan menghakimi dan memerangi kalian! Demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerangi kalian! Mengapa kata “حَرْبٌ” (perang) disebutkan dalam bentuk nakirah (indefinitif)? Mengapa, saudara-saudara? Untuk memberi makna apa? Untuk memberi makna pengagungan. Insya Allah akan kita bahas dalam kaidah-kaidah. Akan ada waktunya kita belajar beberapa kaidah. Bentuk nakirah (indefinitif) terkadang memberi makna bahwa itu agung atau banyak. Meskipun terkadang memberi makna bahwa itu sedikit dalam beberapa kasus. Syaikhul Islam berkata, “Allah tidak pernah memberi ancaman atas suatu dosa selain syirik yang lebih keras daripada ancaman atas dosa riba.” Demikian juga ancaman atas dosa membunuh orang lain—sebagaimana yang akan dijelaskan, insya Allah— membunuh orang lain yang beriman secara sengaja. ==== فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَمْ تَتْرُكُوا الرِّبَا الَّذِي فِي ذِمَمِ النَّاسِ فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَيْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَحَاكِمٌ مُحَارِبٌ لَكُمْ وَكَذَا رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُكِّرَتِ الْحَرْبُ هُنَا لِمَاذَا؟ يَا إِخْوَانُ؟ لِإِفَادَةِ أَيْش؟ لِإِفَادَةِ التَّعْظِيْمِ سَيَمُرُّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فِي قَوَاعِدَ يَأْتِينَا فِي وَقْتٍ نَأْخُذُ بَعْضَ الْقَوَاعِدِ أَنَّ التَّنْكِيرَ قَدْ يُسْتَفَادُوا مِنْهُ التَّعْظِيْمُ أَوْ التَّكْثِيْرُ وَقَدْ يُسْتَفَادُ مِنْهُ التَّقْلِيْلُ فِي بَعْضِ الْأَحْيَانِ يَقُولُ شَيْخُ الْإِسْلَامِ مَا تَوَعَّدَ اللَّهُ عَلَى ذَنْبٍ غَيْرَ الشِّرْكِ بِأَشَدَّ مِمَّا تَوَعَّدَ عَلَى مَاذَا؟ عَلَى الرِّبَا وَكَذَلِكَ قَتْلُ النَّفْسِ كَمَا سَيَأْتِي إِنْ شَاءَ اللهُ قَتْلُ النَّفْسِ الْمُؤْمِنَةِ مُتَعَمِّدًا

Ancaman Keras untuk Pelaku Riba – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Maka jika kalian tidak mengerjakan (perintah ini)…” dan tidak meninggalkan riba yang masih menjadi utang orang-orang ….maka umumkanlah pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya…” (QS. al-Baqarah: 279) Yakni ketahuilah bahwa Allah akan menghakimi dan memerangi kalian! Demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerangi kalian! Mengapa kata “حَرْبٌ” (perang) disebutkan dalam bentuk nakirah (indefinitif)? Mengapa, saudara-saudara? Untuk memberi makna apa? Untuk memberi makna pengagungan. Insya Allah akan kita bahas dalam kaidah-kaidah. Akan ada waktunya kita belajar beberapa kaidah. Bentuk nakirah (indefinitif) terkadang memberi makna bahwa itu agung atau banyak. Meskipun terkadang memberi makna bahwa itu sedikit dalam beberapa kasus. Syaikhul Islam berkata, “Allah tidak pernah memberi ancaman atas suatu dosa selain syirik yang lebih keras daripada ancaman atas dosa riba.” Demikian juga ancaman atas dosa membunuh orang lain—sebagaimana yang akan dijelaskan, insya Allah— membunuh orang lain yang beriman secara sengaja. ==== فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَمْ تَتْرُكُوا الرِّبَا الَّذِي فِي ذِمَمِ النَّاسِ فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَيْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَحَاكِمٌ مُحَارِبٌ لَكُمْ وَكَذَا رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُكِّرَتِ الْحَرْبُ هُنَا لِمَاذَا؟ يَا إِخْوَانُ؟ لِإِفَادَةِ أَيْش؟ لِإِفَادَةِ التَّعْظِيْمِ سَيَمُرُّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فِي قَوَاعِدَ يَأْتِينَا فِي وَقْتٍ نَأْخُذُ بَعْضَ الْقَوَاعِدِ أَنَّ التَّنْكِيرَ قَدْ يُسْتَفَادُوا مِنْهُ التَّعْظِيْمُ أَوْ التَّكْثِيْرُ وَقَدْ يُسْتَفَادُ مِنْهُ التَّقْلِيْلُ فِي بَعْضِ الْأَحْيَانِ يَقُولُ شَيْخُ الْإِسْلَامِ مَا تَوَعَّدَ اللَّهُ عَلَى ذَنْبٍ غَيْرَ الشِّرْكِ بِأَشَدَّ مِمَّا تَوَعَّدَ عَلَى مَاذَا؟ عَلَى الرِّبَا وَكَذَلِكَ قَتْلُ النَّفْسِ كَمَا سَيَأْتِي إِنْ شَاءَ اللهُ قَتْلُ النَّفْسِ الْمُؤْمِنَةِ مُتَعَمِّدًا
“Maka jika kalian tidak mengerjakan (perintah ini)…” dan tidak meninggalkan riba yang masih menjadi utang orang-orang ….maka umumkanlah pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya…” (QS. al-Baqarah: 279) Yakni ketahuilah bahwa Allah akan menghakimi dan memerangi kalian! Demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerangi kalian! Mengapa kata “حَرْبٌ” (perang) disebutkan dalam bentuk nakirah (indefinitif)? Mengapa, saudara-saudara? Untuk memberi makna apa? Untuk memberi makna pengagungan. Insya Allah akan kita bahas dalam kaidah-kaidah. Akan ada waktunya kita belajar beberapa kaidah. Bentuk nakirah (indefinitif) terkadang memberi makna bahwa itu agung atau banyak. Meskipun terkadang memberi makna bahwa itu sedikit dalam beberapa kasus. Syaikhul Islam berkata, “Allah tidak pernah memberi ancaman atas suatu dosa selain syirik yang lebih keras daripada ancaman atas dosa riba.” Demikian juga ancaman atas dosa membunuh orang lain—sebagaimana yang akan dijelaskan, insya Allah— membunuh orang lain yang beriman secara sengaja. ==== فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَمْ تَتْرُكُوا الرِّبَا الَّذِي فِي ذِمَمِ النَّاسِ فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَيْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَحَاكِمٌ مُحَارِبٌ لَكُمْ وَكَذَا رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُكِّرَتِ الْحَرْبُ هُنَا لِمَاذَا؟ يَا إِخْوَانُ؟ لِإِفَادَةِ أَيْش؟ لِإِفَادَةِ التَّعْظِيْمِ سَيَمُرُّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فِي قَوَاعِدَ يَأْتِينَا فِي وَقْتٍ نَأْخُذُ بَعْضَ الْقَوَاعِدِ أَنَّ التَّنْكِيرَ قَدْ يُسْتَفَادُوا مِنْهُ التَّعْظِيْمُ أَوْ التَّكْثِيْرُ وَقَدْ يُسْتَفَادُ مِنْهُ التَّقْلِيْلُ فِي بَعْضِ الْأَحْيَانِ يَقُولُ شَيْخُ الْإِسْلَامِ مَا تَوَعَّدَ اللَّهُ عَلَى ذَنْبٍ غَيْرَ الشِّرْكِ بِأَشَدَّ مِمَّا تَوَعَّدَ عَلَى مَاذَا؟ عَلَى الرِّبَا وَكَذَلِكَ قَتْلُ النَّفْسِ كَمَا سَيَأْتِي إِنْ شَاءَ اللهُ قَتْلُ النَّفْسِ الْمُؤْمِنَةِ مُتَعَمِّدًا


“Maka jika kalian tidak mengerjakan (perintah ini)…” dan tidak meninggalkan riba yang masih menjadi utang orang-orang ….maka umumkanlah pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya…” (QS. al-Baqarah: 279) Yakni ketahuilah bahwa Allah akan menghakimi dan memerangi kalian! Demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerangi kalian! Mengapa kata “حَرْبٌ” (perang) disebutkan dalam bentuk nakirah (indefinitif)? Mengapa, saudara-saudara? Untuk memberi makna apa? Untuk memberi makna pengagungan. Insya Allah akan kita bahas dalam kaidah-kaidah. Akan ada waktunya kita belajar beberapa kaidah. Bentuk nakirah (indefinitif) terkadang memberi makna bahwa itu agung atau banyak. Meskipun terkadang memberi makna bahwa itu sedikit dalam beberapa kasus. Syaikhul Islam berkata, “Allah tidak pernah memberi ancaman atas suatu dosa selain syirik yang lebih keras daripada ancaman atas dosa riba.” Demikian juga ancaman atas dosa membunuh orang lain—sebagaimana yang akan dijelaskan, insya Allah— membunuh orang lain yang beriman secara sengaja. ==== فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَمْ تَتْرُكُوا الرِّبَا الَّذِي فِي ذِمَمِ النَّاسِ فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَيْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَحَاكِمٌ مُحَارِبٌ لَكُمْ وَكَذَا رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُكِّرَتِ الْحَرْبُ هُنَا لِمَاذَا؟ يَا إِخْوَانُ؟ لِإِفَادَةِ أَيْش؟ لِإِفَادَةِ التَّعْظِيْمِ سَيَمُرُّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فِي قَوَاعِدَ يَأْتِينَا فِي وَقْتٍ نَأْخُذُ بَعْضَ الْقَوَاعِدِ أَنَّ التَّنْكِيرَ قَدْ يُسْتَفَادُوا مِنْهُ التَّعْظِيْمُ أَوْ التَّكْثِيْرُ وَقَدْ يُسْتَفَادُ مِنْهُ التَّقْلِيْلُ فِي بَعْضِ الْأَحْيَانِ يَقُولُ شَيْخُ الْإِسْلَامِ مَا تَوَعَّدَ اللَّهُ عَلَى ذَنْبٍ غَيْرَ الشِّرْكِ بِأَشَدَّ مِمَّا تَوَعَّدَ عَلَى مَاذَا؟ عَلَى الرِّبَا وَكَذَلِكَ قَتْلُ النَّفْسِ كَمَا سَيَأْتِي إِنْ شَاءَ اللهُ قَتْلُ النَّفْسِ الْمُؤْمِنَةِ مُتَعَمِّدًا

Bermaksiat dengan Harta: Pengertian, Jenis, dan Bahayanya

Harta, anugerah yang bisa menjadi ujian, terkadang memikat hati hingga melalaikan jiwa dari ketaatan. Namun, di balik kilauan dunia, tersimpan bahaya besar ketika harta dijadikan jalan menuju kemaksiatan.   Daftar Isi tutup 1. Pengertian Maksiat dalam Bahasa dan Syariat 2. Menjauhi Maksiat 3. Jenis-jenis dan Tingkatan Maksiat 4. Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Pengertian Maksiat dalam Bahasa dan Syariat Secara bahasa, maksiat berarti sesuatu yang berlawanan dengan ketaatan. Misalnya, jika dikatakan “عصى العبد ربّه”(seorang hamba durhaka kepada Tuhannya), artinya dia tidak menaati perintah-Nya. Selain itu, maksiat dalam bahasa juga digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang bertentangan dengan ketakwaan dan keistiqamahan (jalan yang lurus). Dalam istilah syariat, maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah dan keluar dari jalan yang benar secara sengaja. Pelaku maksiat disebut sebagai orang yang berbuat dosa, yaitu mereka yang tenggelam dalam perbuatan maksiat dan digolongkan sebagai orang fasik, karena mencampuradukkan amal saleh dengan perbuatan buruk.   Menjauhi Maksiat Untuk menjauhi maksiat, syariat memberikan beberapa petunjuk yang meliputi beberapa aspek, antara lain: 1. Taat kepada Allah: Allah memerintahkan setiap Muslim yang baligh dan berakal untuk taat kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33) Ini juga termasuk menjauhi perbuatan syirik, sebagaimana yang diperintahkan kepada Yahudi dan Nasrani untuk meninggalkan penyembahan kepada selain Allah. 2. Taat kepada Rasulullah: Allah memerintahkan agar mengikuti perintah Rasulullah dan mempercayai ajaran beliau, seperti dalam firman-Nya: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah berpaling dari-Nya, sementara kamu mendengarkan.” (QS. Al-Anfal: 20) 3. Taat kepada pemimpin: Para ulama sepakat bahwa ketaatan kepada pemerintah adalah kewajiban, sesuai firman Allah: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan kepada ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59) 4. Taat kepada ulama: Beberapa mufasir, seperti Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “ulil amri” dalam ayat tersebut adalah ulama. Islam mewajibkan ketaatan kepada ulama bahkan di atas ketaatan kepada orang tua. 5. Taat kepada orang tua: Berbakti kepada orang tua dan memperlakukan mereka dengan baik adalah perintah Allah yang terkait langsung dengan tauhid, sebagaimana firman-Nya: ِ”وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا” Artinya: “Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. Al-Isra: 23) 6. Taat kepada suami: Allah memerintahkan istri untuk taat kepada suaminya, dengan memberikan kepemimpinan kepada suami atas istri, seperti dalam firman-Nya: ِ”الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ” Artinya: “Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)   Jenis-jenis dan Tingkatan Maksiat Para ahli fikih membagi maksiat menjadi tiga tingkatan, sebagai berikut: 1. Maksiat yang mewajibkan hukuman hadd : Islam menetapkan hukuman hadd, seperti untuk pencurian, pembunuhan, atau zina. Ada tujuh jenis kejahatan yang masuk dalam kategori ini, dan Islam menetapkan hukuman yang jelas. 2. Maksiat yang hanya mewajibkan kafarat (denda): Misalnya, orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadan atau saat berihram, di mana Islam mewajibkan kafarat tanpa hadd. 3. Maksiat yang tidak mewajibkan hadd atau kafarat: Jenis ini mencakup banyak perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman hadd atau kafarat, tetapi pelakunya bisa dikenakan hukuman ta’zir, seperti memakan bangkai atau mencuri tanpa memenuhi syarat hadd. Dengan memahami tingkatan maksiat ini, umat Islam diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam menjaga ketaatan mereka kepada Allah.   Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda 1. Cinta yang Berbeda Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّ حُبَّ العِلْمِ وَطَلَبَهُ أَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَحُبَّ الدُّنْيَا وَالْمَالِ وَطَلَبَهُ أَصْلُ كُلِّ سَيِّئَةٍ “Cinta ilmu dan upaya mencarinya merupakan pokok dari setiap ketaatan. Sementara cinta dunia dan harta, serta usaha mencarinya, menjadi akar dari segala kejahatan.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414) 2. Ilmu untuk Taat, Harta untuk Maksiat Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّهُ مَا أَطَاعَ اللهَ أَحَدٌ قَطُّ إِلَّا بِالْعِلْمِ وَعَامَّةَ مَنْ يَعْصِيهِ إِنَّمَا يَعْصِيهِ بِالْمَالِ “Tidak ada seorang pun yang bisa menaati Allah kecuali dengan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya, mayoritas orang yang bermaksiat kepada Allah melakukannya karena harta.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414) 3. Dakwah dengan Ilmu, Bukan Harta Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِإِنَّ العَالِمَ يَدْعُو النَّاسَ إِلَى اللهِ بِعِلْمِهِ وَحَالِهِ وَجَامِعَ المَالِ يَدْعُوْهُمْ إِلَى الدُّنْيَا بِحَالِهِ وَمَالِهِ “Seorang alim mengajak manusia menuju Allah dengan ilmu dan perilakunya yang mencerminkan ketaatan, sementara orang yang mengumpulkan harta mengajak manusia kepada dunia dengan hartanya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:415) 4. Kekayaan yang Membinasakan Harta seringkali menjerumuskan pemiliknya dalam kebinasaan, karena kecintaan manusia pada harta sangat besar. Ketika seseorang melihat orang lain memiliki harta yang dicintainya, ia bisa terjebak dalam rasa iri dan bahkan membinasakanx orang lain demi harta tersebut. Sebaliknya, orang yang kaya ilmu justru membawa kehidupan sejati, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Orang-orang yang melihat seorang alim akan mencintai, melayani, dan memuliakannya. 5. Kenikmatan yang Berbeda Kenikmatan yang diperoleh dari harta seringkali hanyalah kenikmatan yang bersifat semu (لَذَّةٌ وَهْمِيَّةٌ) atau kenikmatan yang bersifat hewani (لَذَّةٌ بَهِيمِيَّةٌ). Ketika seseorang merasakan kenikmatan dalam mengumpulkan dan memperoleh harta, hakikatnya itu adalah kenikmatan yang hanya semu. Sedangkan ketika seseorang merasakan kenikmatan dalam memanfaatkan harta untuk memuaskan syahwatnya, itu adalah kenikmatan yang setara dengan kenikmatan hewan. Sebaliknya, kenikmatan ilmu adalah kenikmatan akal dan ruh, serupa dengan kebahagiaan para malaikat. Bahasan “Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda” sangat berkaitan dengan tema “Bermaksiat dengan Harta”. 1. Cinta yang Berlawanan: Cinta kepada ilmu mengarahkan seseorang pada ketaatan, sedangkan cinta kepada harta sering menjadi akar dari segala bentuk kemaksiatan. Ini menegaskan bahwa harta, jika dicintai secara berlebihan, bisa menjerumuskan pada dosa. 2. Harta sebagai Sumber Kemaksiatan: Mayoritas orang yang bermaksiat melakukannya karena dorongan harta, sementara ketaatan kepada Allah hanya bisa dicapai dengan ilmu. Ini menegaskan bahwa harta seringkali menjadi alat untuk bermaksiat. 3. Dakwah dengan Ilmu, Bukan Harta: Orang yang memiliki ilmu menyeru manusia kepada Allah, sedangkan orang yang terobsesi dengan harta menarik manusia kepada dunia. Ini menunjukkan bagaimana harta bisa mengalihkan seseorang dari tujuan akhirat dan mengantarkan pada kemaksiatan. 4. Kekayaan yang Membinasakan: Harta bisa memicu perasaan iri dan membawa pemiliknya pada kebinasaan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cinta berlebihan terhadap harta mengarah pada perilaku tercela dan tindakan maksiat. 5. Kenikmatan yang Semu: Kenikmatan harta sering kali bersifat sementara dan tidak abadi, berbeda dengan kenikmatan ilmu yang menyentuh akal dan ruh. Ini menunjukkan bahwa harta, jika digunakan untuk maksiat, tidak memberikan kepuasan hakiki. Dengan penjelasan ini, dapat terlihat bahwa harta bisa menjadi faktor besar dalam menjerumuskan seseorang dalam kemaksiatan, sesuai dengan tema tulisan Anda.   Kesimpulan Bermaksiat dengan harta adalah menggunakan harta untuk melanggar perintah Allah dan melakukan perbuatan dosa. Bahayanya, harta dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kebinasaan, membuatnya terjebak dalam cinta dunia dan kemaksiatan. Untuk menghindarinya, seseorang harus memperbanyak ilmu, mengutamakan ketaatan kepada Allah, serta menggunakan harta untuk kebaikan dan amal saleh. Cinta ilmu dan takwa menjadi solusi utama agar harta tidak menjadi alat kemaksiatan.   Referensi: • Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. (1433 H). Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah (Cet. 1). Takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. (Vol. 1, pp. 412-430). • Mawdoo3. (n.d.). تعريف المعصية لغة وشرعًا. https://mawdoo3.com/تعريف_المعصية_لغة_وشرعًا – Diselesaikan pada 1 Rabiuts Tsani 1446 H, 4 Oktober 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Masjid RS JIH Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu harta dampak harta haram definisi harta dosa dosa besar maksiat pelebur dosa

Bermaksiat dengan Harta: Pengertian, Jenis, dan Bahayanya

Harta, anugerah yang bisa menjadi ujian, terkadang memikat hati hingga melalaikan jiwa dari ketaatan. Namun, di balik kilauan dunia, tersimpan bahaya besar ketika harta dijadikan jalan menuju kemaksiatan.   Daftar Isi tutup 1. Pengertian Maksiat dalam Bahasa dan Syariat 2. Menjauhi Maksiat 3. Jenis-jenis dan Tingkatan Maksiat 4. Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Pengertian Maksiat dalam Bahasa dan Syariat Secara bahasa, maksiat berarti sesuatu yang berlawanan dengan ketaatan. Misalnya, jika dikatakan “عصى العبد ربّه”(seorang hamba durhaka kepada Tuhannya), artinya dia tidak menaati perintah-Nya. Selain itu, maksiat dalam bahasa juga digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang bertentangan dengan ketakwaan dan keistiqamahan (jalan yang lurus). Dalam istilah syariat, maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah dan keluar dari jalan yang benar secara sengaja. Pelaku maksiat disebut sebagai orang yang berbuat dosa, yaitu mereka yang tenggelam dalam perbuatan maksiat dan digolongkan sebagai orang fasik, karena mencampuradukkan amal saleh dengan perbuatan buruk.   Menjauhi Maksiat Untuk menjauhi maksiat, syariat memberikan beberapa petunjuk yang meliputi beberapa aspek, antara lain: 1. Taat kepada Allah: Allah memerintahkan setiap Muslim yang baligh dan berakal untuk taat kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33) Ini juga termasuk menjauhi perbuatan syirik, sebagaimana yang diperintahkan kepada Yahudi dan Nasrani untuk meninggalkan penyembahan kepada selain Allah. 2. Taat kepada Rasulullah: Allah memerintahkan agar mengikuti perintah Rasulullah dan mempercayai ajaran beliau, seperti dalam firman-Nya: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah berpaling dari-Nya, sementara kamu mendengarkan.” (QS. Al-Anfal: 20) 3. Taat kepada pemimpin: Para ulama sepakat bahwa ketaatan kepada pemerintah adalah kewajiban, sesuai firman Allah: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan kepada ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59) 4. Taat kepada ulama: Beberapa mufasir, seperti Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “ulil amri” dalam ayat tersebut adalah ulama. Islam mewajibkan ketaatan kepada ulama bahkan di atas ketaatan kepada orang tua. 5. Taat kepada orang tua: Berbakti kepada orang tua dan memperlakukan mereka dengan baik adalah perintah Allah yang terkait langsung dengan tauhid, sebagaimana firman-Nya: ِ”وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا” Artinya: “Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. Al-Isra: 23) 6. Taat kepada suami: Allah memerintahkan istri untuk taat kepada suaminya, dengan memberikan kepemimpinan kepada suami atas istri, seperti dalam firman-Nya: ِ”الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ” Artinya: “Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)   Jenis-jenis dan Tingkatan Maksiat Para ahli fikih membagi maksiat menjadi tiga tingkatan, sebagai berikut: 1. Maksiat yang mewajibkan hukuman hadd : Islam menetapkan hukuman hadd, seperti untuk pencurian, pembunuhan, atau zina. Ada tujuh jenis kejahatan yang masuk dalam kategori ini, dan Islam menetapkan hukuman yang jelas. 2. Maksiat yang hanya mewajibkan kafarat (denda): Misalnya, orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadan atau saat berihram, di mana Islam mewajibkan kafarat tanpa hadd. 3. Maksiat yang tidak mewajibkan hadd atau kafarat: Jenis ini mencakup banyak perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman hadd atau kafarat, tetapi pelakunya bisa dikenakan hukuman ta’zir, seperti memakan bangkai atau mencuri tanpa memenuhi syarat hadd. Dengan memahami tingkatan maksiat ini, umat Islam diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam menjaga ketaatan mereka kepada Allah.   Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda 1. Cinta yang Berbeda Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّ حُبَّ العِلْمِ وَطَلَبَهُ أَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَحُبَّ الدُّنْيَا وَالْمَالِ وَطَلَبَهُ أَصْلُ كُلِّ سَيِّئَةٍ “Cinta ilmu dan upaya mencarinya merupakan pokok dari setiap ketaatan. Sementara cinta dunia dan harta, serta usaha mencarinya, menjadi akar dari segala kejahatan.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414) 2. Ilmu untuk Taat, Harta untuk Maksiat Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّهُ مَا أَطَاعَ اللهَ أَحَدٌ قَطُّ إِلَّا بِالْعِلْمِ وَعَامَّةَ مَنْ يَعْصِيهِ إِنَّمَا يَعْصِيهِ بِالْمَالِ “Tidak ada seorang pun yang bisa menaati Allah kecuali dengan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya, mayoritas orang yang bermaksiat kepada Allah melakukannya karena harta.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414) 3. Dakwah dengan Ilmu, Bukan Harta Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِإِنَّ العَالِمَ يَدْعُو النَّاسَ إِلَى اللهِ بِعِلْمِهِ وَحَالِهِ وَجَامِعَ المَالِ يَدْعُوْهُمْ إِلَى الدُّنْيَا بِحَالِهِ وَمَالِهِ “Seorang alim mengajak manusia menuju Allah dengan ilmu dan perilakunya yang mencerminkan ketaatan, sementara orang yang mengumpulkan harta mengajak manusia kepada dunia dengan hartanya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:415) 4. Kekayaan yang Membinasakan Harta seringkali menjerumuskan pemiliknya dalam kebinasaan, karena kecintaan manusia pada harta sangat besar. Ketika seseorang melihat orang lain memiliki harta yang dicintainya, ia bisa terjebak dalam rasa iri dan bahkan membinasakanx orang lain demi harta tersebut. Sebaliknya, orang yang kaya ilmu justru membawa kehidupan sejati, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Orang-orang yang melihat seorang alim akan mencintai, melayani, dan memuliakannya. 5. Kenikmatan yang Berbeda Kenikmatan yang diperoleh dari harta seringkali hanyalah kenikmatan yang bersifat semu (لَذَّةٌ وَهْمِيَّةٌ) atau kenikmatan yang bersifat hewani (لَذَّةٌ بَهِيمِيَّةٌ). Ketika seseorang merasakan kenikmatan dalam mengumpulkan dan memperoleh harta, hakikatnya itu adalah kenikmatan yang hanya semu. Sedangkan ketika seseorang merasakan kenikmatan dalam memanfaatkan harta untuk memuaskan syahwatnya, itu adalah kenikmatan yang setara dengan kenikmatan hewan. Sebaliknya, kenikmatan ilmu adalah kenikmatan akal dan ruh, serupa dengan kebahagiaan para malaikat. Bahasan “Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda” sangat berkaitan dengan tema “Bermaksiat dengan Harta”. 1. Cinta yang Berlawanan: Cinta kepada ilmu mengarahkan seseorang pada ketaatan, sedangkan cinta kepada harta sering menjadi akar dari segala bentuk kemaksiatan. Ini menegaskan bahwa harta, jika dicintai secara berlebihan, bisa menjerumuskan pada dosa. 2. Harta sebagai Sumber Kemaksiatan: Mayoritas orang yang bermaksiat melakukannya karena dorongan harta, sementara ketaatan kepada Allah hanya bisa dicapai dengan ilmu. Ini menegaskan bahwa harta seringkali menjadi alat untuk bermaksiat. 3. Dakwah dengan Ilmu, Bukan Harta: Orang yang memiliki ilmu menyeru manusia kepada Allah, sedangkan orang yang terobsesi dengan harta menarik manusia kepada dunia. Ini menunjukkan bagaimana harta bisa mengalihkan seseorang dari tujuan akhirat dan mengantarkan pada kemaksiatan. 4. Kekayaan yang Membinasakan: Harta bisa memicu perasaan iri dan membawa pemiliknya pada kebinasaan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cinta berlebihan terhadap harta mengarah pada perilaku tercela dan tindakan maksiat. 5. Kenikmatan yang Semu: Kenikmatan harta sering kali bersifat sementara dan tidak abadi, berbeda dengan kenikmatan ilmu yang menyentuh akal dan ruh. Ini menunjukkan bahwa harta, jika digunakan untuk maksiat, tidak memberikan kepuasan hakiki. Dengan penjelasan ini, dapat terlihat bahwa harta bisa menjadi faktor besar dalam menjerumuskan seseorang dalam kemaksiatan, sesuai dengan tema tulisan Anda.   Kesimpulan Bermaksiat dengan harta adalah menggunakan harta untuk melanggar perintah Allah dan melakukan perbuatan dosa. Bahayanya, harta dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kebinasaan, membuatnya terjebak dalam cinta dunia dan kemaksiatan. Untuk menghindarinya, seseorang harus memperbanyak ilmu, mengutamakan ketaatan kepada Allah, serta menggunakan harta untuk kebaikan dan amal saleh. Cinta ilmu dan takwa menjadi solusi utama agar harta tidak menjadi alat kemaksiatan.   Referensi: • Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. (1433 H). Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah (Cet. 1). Takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. (Vol. 1, pp. 412-430). • Mawdoo3. (n.d.). تعريف المعصية لغة وشرعًا. https://mawdoo3.com/تعريف_المعصية_لغة_وشرعًا – Diselesaikan pada 1 Rabiuts Tsani 1446 H, 4 Oktober 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Masjid RS JIH Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu harta dampak harta haram definisi harta dosa dosa besar maksiat pelebur dosa
Harta, anugerah yang bisa menjadi ujian, terkadang memikat hati hingga melalaikan jiwa dari ketaatan. Namun, di balik kilauan dunia, tersimpan bahaya besar ketika harta dijadikan jalan menuju kemaksiatan.   Daftar Isi tutup 1. Pengertian Maksiat dalam Bahasa dan Syariat 2. Menjauhi Maksiat 3. Jenis-jenis dan Tingkatan Maksiat 4. Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Pengertian Maksiat dalam Bahasa dan Syariat Secara bahasa, maksiat berarti sesuatu yang berlawanan dengan ketaatan. Misalnya, jika dikatakan “عصى العبد ربّه”(seorang hamba durhaka kepada Tuhannya), artinya dia tidak menaati perintah-Nya. Selain itu, maksiat dalam bahasa juga digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang bertentangan dengan ketakwaan dan keistiqamahan (jalan yang lurus). Dalam istilah syariat, maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah dan keluar dari jalan yang benar secara sengaja. Pelaku maksiat disebut sebagai orang yang berbuat dosa, yaitu mereka yang tenggelam dalam perbuatan maksiat dan digolongkan sebagai orang fasik, karena mencampuradukkan amal saleh dengan perbuatan buruk.   Menjauhi Maksiat Untuk menjauhi maksiat, syariat memberikan beberapa petunjuk yang meliputi beberapa aspek, antara lain: 1. Taat kepada Allah: Allah memerintahkan setiap Muslim yang baligh dan berakal untuk taat kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33) Ini juga termasuk menjauhi perbuatan syirik, sebagaimana yang diperintahkan kepada Yahudi dan Nasrani untuk meninggalkan penyembahan kepada selain Allah. 2. Taat kepada Rasulullah: Allah memerintahkan agar mengikuti perintah Rasulullah dan mempercayai ajaran beliau, seperti dalam firman-Nya: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah berpaling dari-Nya, sementara kamu mendengarkan.” (QS. Al-Anfal: 20) 3. Taat kepada pemimpin: Para ulama sepakat bahwa ketaatan kepada pemerintah adalah kewajiban, sesuai firman Allah: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan kepada ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59) 4. Taat kepada ulama: Beberapa mufasir, seperti Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “ulil amri” dalam ayat tersebut adalah ulama. Islam mewajibkan ketaatan kepada ulama bahkan di atas ketaatan kepada orang tua. 5. Taat kepada orang tua: Berbakti kepada orang tua dan memperlakukan mereka dengan baik adalah perintah Allah yang terkait langsung dengan tauhid, sebagaimana firman-Nya: ِ”وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا” Artinya: “Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. Al-Isra: 23) 6. Taat kepada suami: Allah memerintahkan istri untuk taat kepada suaminya, dengan memberikan kepemimpinan kepada suami atas istri, seperti dalam firman-Nya: ِ”الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ” Artinya: “Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)   Jenis-jenis dan Tingkatan Maksiat Para ahli fikih membagi maksiat menjadi tiga tingkatan, sebagai berikut: 1. Maksiat yang mewajibkan hukuman hadd : Islam menetapkan hukuman hadd, seperti untuk pencurian, pembunuhan, atau zina. Ada tujuh jenis kejahatan yang masuk dalam kategori ini, dan Islam menetapkan hukuman yang jelas. 2. Maksiat yang hanya mewajibkan kafarat (denda): Misalnya, orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadan atau saat berihram, di mana Islam mewajibkan kafarat tanpa hadd. 3. Maksiat yang tidak mewajibkan hadd atau kafarat: Jenis ini mencakup banyak perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman hadd atau kafarat, tetapi pelakunya bisa dikenakan hukuman ta’zir, seperti memakan bangkai atau mencuri tanpa memenuhi syarat hadd. Dengan memahami tingkatan maksiat ini, umat Islam diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam menjaga ketaatan mereka kepada Allah.   Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda 1. Cinta yang Berbeda Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّ حُبَّ العِلْمِ وَطَلَبَهُ أَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَحُبَّ الدُّنْيَا وَالْمَالِ وَطَلَبَهُ أَصْلُ كُلِّ سَيِّئَةٍ “Cinta ilmu dan upaya mencarinya merupakan pokok dari setiap ketaatan. Sementara cinta dunia dan harta, serta usaha mencarinya, menjadi akar dari segala kejahatan.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414) 2. Ilmu untuk Taat, Harta untuk Maksiat Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّهُ مَا أَطَاعَ اللهَ أَحَدٌ قَطُّ إِلَّا بِالْعِلْمِ وَعَامَّةَ مَنْ يَعْصِيهِ إِنَّمَا يَعْصِيهِ بِالْمَالِ “Tidak ada seorang pun yang bisa menaati Allah kecuali dengan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya, mayoritas orang yang bermaksiat kepada Allah melakukannya karena harta.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414) 3. Dakwah dengan Ilmu, Bukan Harta Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِإِنَّ العَالِمَ يَدْعُو النَّاسَ إِلَى اللهِ بِعِلْمِهِ وَحَالِهِ وَجَامِعَ المَالِ يَدْعُوْهُمْ إِلَى الدُّنْيَا بِحَالِهِ وَمَالِهِ “Seorang alim mengajak manusia menuju Allah dengan ilmu dan perilakunya yang mencerminkan ketaatan, sementara orang yang mengumpulkan harta mengajak manusia kepada dunia dengan hartanya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:415) 4. Kekayaan yang Membinasakan Harta seringkali menjerumuskan pemiliknya dalam kebinasaan, karena kecintaan manusia pada harta sangat besar. Ketika seseorang melihat orang lain memiliki harta yang dicintainya, ia bisa terjebak dalam rasa iri dan bahkan membinasakanx orang lain demi harta tersebut. Sebaliknya, orang yang kaya ilmu justru membawa kehidupan sejati, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Orang-orang yang melihat seorang alim akan mencintai, melayani, dan memuliakannya. 5. Kenikmatan yang Berbeda Kenikmatan yang diperoleh dari harta seringkali hanyalah kenikmatan yang bersifat semu (لَذَّةٌ وَهْمِيَّةٌ) atau kenikmatan yang bersifat hewani (لَذَّةٌ بَهِيمِيَّةٌ). Ketika seseorang merasakan kenikmatan dalam mengumpulkan dan memperoleh harta, hakikatnya itu adalah kenikmatan yang hanya semu. Sedangkan ketika seseorang merasakan kenikmatan dalam memanfaatkan harta untuk memuaskan syahwatnya, itu adalah kenikmatan yang setara dengan kenikmatan hewan. Sebaliknya, kenikmatan ilmu adalah kenikmatan akal dan ruh, serupa dengan kebahagiaan para malaikat. Bahasan “Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda” sangat berkaitan dengan tema “Bermaksiat dengan Harta”. 1. Cinta yang Berlawanan: Cinta kepada ilmu mengarahkan seseorang pada ketaatan, sedangkan cinta kepada harta sering menjadi akar dari segala bentuk kemaksiatan. Ini menegaskan bahwa harta, jika dicintai secara berlebihan, bisa menjerumuskan pada dosa. 2. Harta sebagai Sumber Kemaksiatan: Mayoritas orang yang bermaksiat melakukannya karena dorongan harta, sementara ketaatan kepada Allah hanya bisa dicapai dengan ilmu. Ini menegaskan bahwa harta seringkali menjadi alat untuk bermaksiat. 3. Dakwah dengan Ilmu, Bukan Harta: Orang yang memiliki ilmu menyeru manusia kepada Allah, sedangkan orang yang terobsesi dengan harta menarik manusia kepada dunia. Ini menunjukkan bagaimana harta bisa mengalihkan seseorang dari tujuan akhirat dan mengantarkan pada kemaksiatan. 4. Kekayaan yang Membinasakan: Harta bisa memicu perasaan iri dan membawa pemiliknya pada kebinasaan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cinta berlebihan terhadap harta mengarah pada perilaku tercela dan tindakan maksiat. 5. Kenikmatan yang Semu: Kenikmatan harta sering kali bersifat sementara dan tidak abadi, berbeda dengan kenikmatan ilmu yang menyentuh akal dan ruh. Ini menunjukkan bahwa harta, jika digunakan untuk maksiat, tidak memberikan kepuasan hakiki. Dengan penjelasan ini, dapat terlihat bahwa harta bisa menjadi faktor besar dalam menjerumuskan seseorang dalam kemaksiatan, sesuai dengan tema tulisan Anda.   Kesimpulan Bermaksiat dengan harta adalah menggunakan harta untuk melanggar perintah Allah dan melakukan perbuatan dosa. Bahayanya, harta dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kebinasaan, membuatnya terjebak dalam cinta dunia dan kemaksiatan. Untuk menghindarinya, seseorang harus memperbanyak ilmu, mengutamakan ketaatan kepada Allah, serta menggunakan harta untuk kebaikan dan amal saleh. Cinta ilmu dan takwa menjadi solusi utama agar harta tidak menjadi alat kemaksiatan.   Referensi: • Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. (1433 H). Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah (Cet. 1). Takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. (Vol. 1, pp. 412-430). • Mawdoo3. (n.d.). تعريف المعصية لغة وشرعًا. https://mawdoo3.com/تعريف_المعصية_لغة_وشرعًا – Diselesaikan pada 1 Rabiuts Tsani 1446 H, 4 Oktober 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Masjid RS JIH Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu harta dampak harta haram definisi harta dosa dosa besar maksiat pelebur dosa


Harta, anugerah yang bisa menjadi ujian, terkadang memikat hati hingga melalaikan jiwa dari ketaatan. Namun, di balik kilauan dunia, tersimpan bahaya besar ketika harta dijadikan jalan menuju kemaksiatan.   Daftar Isi tutup 1. Pengertian Maksiat dalam Bahasa dan Syariat 2. Menjauhi Maksiat 3. Jenis-jenis dan Tingkatan Maksiat 4. Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Pengertian Maksiat dalam Bahasa dan Syariat Secara bahasa, maksiat berarti sesuatu yang berlawanan dengan ketaatan. Misalnya, jika dikatakan “عصى العبد ربّه”(seorang hamba durhaka kepada Tuhannya), artinya dia tidak menaati perintah-Nya. Selain itu, maksiat dalam bahasa juga digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang bertentangan dengan ketakwaan dan keistiqamahan (jalan yang lurus). Dalam istilah syariat, maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah dan keluar dari jalan yang benar secara sengaja. Pelaku maksiat disebut sebagai orang yang berbuat dosa, yaitu mereka yang tenggelam dalam perbuatan maksiat dan digolongkan sebagai orang fasik, karena mencampuradukkan amal saleh dengan perbuatan buruk.   Menjauhi Maksiat Untuk menjauhi maksiat, syariat memberikan beberapa petunjuk yang meliputi beberapa aspek, antara lain: 1. Taat kepada Allah: Allah memerintahkan setiap Muslim yang baligh dan berakal untuk taat kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33) Ini juga termasuk menjauhi perbuatan syirik, sebagaimana yang diperintahkan kepada Yahudi dan Nasrani untuk meninggalkan penyembahan kepada selain Allah. 2. Taat kepada Rasulullah: Allah memerintahkan agar mengikuti perintah Rasulullah dan mempercayai ajaran beliau, seperti dalam firman-Nya: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah berpaling dari-Nya, sementara kamu mendengarkan.” (QS. Al-Anfal: 20) 3. Taat kepada pemimpin: Para ulama sepakat bahwa ketaatan kepada pemerintah adalah kewajiban, sesuai firman Allah: ِ”يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ” Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan kepada ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59) 4. Taat kepada ulama: Beberapa mufasir, seperti Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “ulil amri” dalam ayat tersebut adalah ulama. Islam mewajibkan ketaatan kepada ulama bahkan di atas ketaatan kepada orang tua. 5. Taat kepada orang tua: Berbakti kepada orang tua dan memperlakukan mereka dengan baik adalah perintah Allah yang terkait langsung dengan tauhid, sebagaimana firman-Nya: ِ”وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا” Artinya: “Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. Al-Isra: 23) 6. Taat kepada suami: Allah memerintahkan istri untuk taat kepada suaminya, dengan memberikan kepemimpinan kepada suami atas istri, seperti dalam firman-Nya: ِ”الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ” Artinya: “Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)   Jenis-jenis dan Tingkatan Maksiat Para ahli fikih membagi maksiat menjadi tiga tingkatan, sebagai berikut: 1. Maksiat yang mewajibkan hukuman hadd : Islam menetapkan hukuman hadd, seperti untuk pencurian, pembunuhan, atau zina. Ada tujuh jenis kejahatan yang masuk dalam kategori ini, dan Islam menetapkan hukuman yang jelas. 2. Maksiat yang hanya mewajibkan kafarat (denda): Misalnya, orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadan atau saat berihram, di mana Islam mewajibkan kafarat tanpa hadd. 3. Maksiat yang tidak mewajibkan hadd atau kafarat: Jenis ini mencakup banyak perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman hadd atau kafarat, tetapi pelakunya bisa dikenakan hukuman ta’zir, seperti memakan bangkai atau mencuri tanpa memenuhi syarat hadd. Dengan memahami tingkatan maksiat ini, umat Islam diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam menjaga ketaatan mereka kepada Allah.   Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda 1. Cinta yang Berbeda Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّ حُبَّ العِلْمِ وَطَلَبَهُ أَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَحُبَّ الدُّنْيَا وَالْمَالِ وَطَلَبَهُ أَصْلُ كُلِّ سَيِّئَةٍ “Cinta ilmu dan upaya mencarinya merupakan pokok dari setiap ketaatan. Sementara cinta dunia dan harta, serta usaha mencarinya, menjadi akar dari segala kejahatan.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414) 2. Ilmu untuk Taat, Harta untuk Maksiat Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّهُ مَا أَطَاعَ اللهَ أَحَدٌ قَطُّ إِلَّا بِالْعِلْمِ وَعَامَّةَ مَنْ يَعْصِيهِ إِنَّمَا يَعْصِيهِ بِالْمَالِ “Tidak ada seorang pun yang bisa menaati Allah kecuali dengan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya, mayoritas orang yang bermaksiat kepada Allah melakukannya karena harta.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414) 3. Dakwah dengan Ilmu, Bukan Harta Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِإِنَّ العَالِمَ يَدْعُو النَّاسَ إِلَى اللهِ بِعِلْمِهِ وَحَالِهِ وَجَامِعَ المَالِ يَدْعُوْهُمْ إِلَى الدُّنْيَا بِحَالِهِ وَمَالِهِ “Seorang alim mengajak manusia menuju Allah dengan ilmu dan perilakunya yang mencerminkan ketaatan, sementara orang yang mengumpulkan harta mengajak manusia kepada dunia dengan hartanya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:415) 4. Kekayaan yang Membinasakan Harta seringkali menjerumuskan pemiliknya dalam kebinasaan, karena kecintaan manusia pada harta sangat besar. Ketika seseorang melihat orang lain memiliki harta yang dicintainya, ia bisa terjebak dalam rasa iri dan bahkan membinasakanx orang lain demi harta tersebut. Sebaliknya, orang yang kaya ilmu justru membawa kehidupan sejati, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Orang-orang yang melihat seorang alim akan mencintai, melayani, dan memuliakannya. 5. Kenikmatan yang Berbeda Kenikmatan yang diperoleh dari harta seringkali hanyalah kenikmatan yang bersifat semu (لَذَّةٌ وَهْمِيَّةٌ) atau kenikmatan yang bersifat hewani (لَذَّةٌ بَهِيمِيَّةٌ). Ketika seseorang merasakan kenikmatan dalam mengumpulkan dan memperoleh harta, hakikatnya itu adalah kenikmatan yang hanya semu. Sedangkan ketika seseorang merasakan kenikmatan dalam memanfaatkan harta untuk memuaskan syahwatnya, itu adalah kenikmatan yang setara dengan kenikmatan hewan. Sebaliknya, kenikmatan ilmu adalah kenikmatan akal dan ruh, serupa dengan kebahagiaan para malaikat. Bahasan “Harta dan Ilmu: Dua Jalan Berbeda” sangat berkaitan dengan tema “Bermaksiat dengan Harta”. 1. Cinta yang Berlawanan: Cinta kepada ilmu mengarahkan seseorang pada ketaatan, sedangkan cinta kepada harta sering menjadi akar dari segala bentuk kemaksiatan. Ini menegaskan bahwa harta, jika dicintai secara berlebihan, bisa menjerumuskan pada dosa. 2. Harta sebagai Sumber Kemaksiatan: Mayoritas orang yang bermaksiat melakukannya karena dorongan harta, sementara ketaatan kepada Allah hanya bisa dicapai dengan ilmu. Ini menegaskan bahwa harta seringkali menjadi alat untuk bermaksiat. 3. Dakwah dengan Ilmu, Bukan Harta: Orang yang memiliki ilmu menyeru manusia kepada Allah, sedangkan orang yang terobsesi dengan harta menarik manusia kepada dunia. Ini menunjukkan bagaimana harta bisa mengalihkan seseorang dari tujuan akhirat dan mengantarkan pada kemaksiatan. 4. Kekayaan yang Membinasakan: Harta bisa memicu perasaan iri dan membawa pemiliknya pada kebinasaan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cinta berlebihan terhadap harta mengarah pada perilaku tercela dan tindakan maksiat. 5. Kenikmatan yang Semu: Kenikmatan harta sering kali bersifat sementara dan tidak abadi, berbeda dengan kenikmatan ilmu yang menyentuh akal dan ruh. Ini menunjukkan bahwa harta, jika digunakan untuk maksiat, tidak memberikan kepuasan hakiki. Dengan penjelasan ini, dapat terlihat bahwa harta bisa menjadi faktor besar dalam menjerumuskan seseorang dalam kemaksiatan, sesuai dengan tema tulisan Anda.   Kesimpulan Bermaksiat dengan harta adalah menggunakan harta untuk melanggar perintah Allah dan melakukan perbuatan dosa. Bahayanya, harta dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kebinasaan, membuatnya terjebak dalam cinta dunia dan kemaksiatan. Untuk menghindarinya, seseorang harus memperbanyak ilmu, mengutamakan ketaatan kepada Allah, serta menggunakan harta untuk kebaikan dan amal saleh. Cinta ilmu dan takwa menjadi solusi utama agar harta tidak menjadi alat kemaksiatan.   Referensi: • Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. (1433 H). Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah (Cet. 1). Takhrij oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. (Vol. 1, pp. 412-430). • Mawdoo3. (n.d.). تعريف المعصية لغة وشرعًا. https://mawdoo3.com/تعريف_المعصية_لغة_وشرعًا – Diselesaikan pada 1 Rabiuts Tsani 1446 H, 4 Oktober 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Masjid RS JIH Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsapa itu harta dampak harta haram definisi harta dosa dosa besar maksiat pelebur dosa

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK Posted on October 3, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 182MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK Salah satu faktor terpenting yang menunjang kesuksesan pendidikan anak—namun justru sering diabaikan—adalah doa. Yakni mendoakan kebaikan untuk anak. Sebagian orang mengira bahwa doa itu tidak diperlukan. Yang penting—kata mereka—adalah berusaha secara maksimal. Bahkan mereka mengklaim bahwa doa merupakan simbol kemalasan. Sebab mereka pikir, doa itu berarti duduk berpangku tangan tanpa usaha. Asumsi ini jelas keliru. Sebab usaha dan doa bisa berjalan beriringan. Di antara anak hebat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ternyata salah satu rahasia di balik kehebatannya, adalah upaya maksimal Ibunda Anas dalam menjalani proses pendidikan putranya. Beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan mahal bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas radhiyallahu ‘anhu bercerita, قَالَتْ أُمِّي: يَا رَسُولَ اللهِ خُوَيْدِمُكَ ادْعُ اللهَ لَهُ، قَالَ: فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ أَنْ قَالَ: «اللهُمَّ ‌أَكْثِرْ ‌مَالَهُ وَوَلَدَهُ، ‌وَبَارِكْ لَهُ فِيهِ»” Ibuku berkata, “Wahai Rasulullah, mohon doakan pembantu kecilmu ini (Anas)!”. Maka beliaupun mendoakan Anas dengan seluruh kebaikan. Di akhir doa, beliau bersabda, “Ya Allah perbanyaklah harta dan anak Anas, serta berkahilah hal itu untuknya”. HR. Muslim (no. 660). Sang Ibunda benar-benar berusaha mempersiapkan masa depan cemerlang untuk putranya. Berkat doa di atas, Anas dikaruniai oleh Allah banyak sekali anak dan cucu yang salih dan salihah. Jumlah mereka sekitar seratusan orang. Allahu akbar! Maka jangan pernah putus untuk mendoakan kebaikan buat putra-putri kita. Terutama menggunakan doa-doa terbaik yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits. Sesulit apapun kondisi lingkungan kita hari ini dan seberat apapun rintangan yang menghalangi jalan kita, yakinlah bahwa dengan kehendak dan kuasa Allah, semua akan terasa ringan dan mudah. Waspadailah kelicikan setan yang memanfaatkan momen emosi kita untuk memancing agar kita mendoakan keburukan bagi anak. Tahan lisan kita sekuat tenaga dari ucapan-ucapan yang hanya akan menimbulkan penyesalan mendalam di kemudian hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mewanti-wanti, «لا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلا تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ؛ لا تُوَافِقُوا مِنَ الله سَاعَةً يُسْأَلُ فيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ» “Janganlah berdoa keburukan untuk diri kalian sendiri. Janganlah berdoa keburukan untuk anak-anak kalian. Janganlah berdoa keburukan untuk harta kalian. Bisa jadi doa kalian itu bertepatan dengan waktu mustajab, sehingga dikabulkan Allah ta’ala”. HR. Muslim (no. 3009) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu. Adakalanya seorang ayah atau ibu marah terhadap anaknya, hingga mendoakan keburukan. Ini sangat berbahaya, karena barangkali doanya dikabulkan. Akibatnya anak tersebut semakin bertambah rusak. Dalam kondisi seperti ini, orang tua harus berdoa lagi untuk kebaikan sang anak; guna menghapus doa pertama yang berisi permohonan keburukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada yang bisa menolak takdir, kecuali doa”. HR. Tirmidziy (no. 2139) dan dinilai hasan oleh beliau juga al-Albaniy. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 3 R. Awal 1445 / 18 September 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUKSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK Posted on October 3, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 182MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK Salah satu faktor terpenting yang menunjang kesuksesan pendidikan anak—namun justru sering diabaikan—adalah doa. Yakni mendoakan kebaikan untuk anak. Sebagian orang mengira bahwa doa itu tidak diperlukan. Yang penting—kata mereka—adalah berusaha secara maksimal. Bahkan mereka mengklaim bahwa doa merupakan simbol kemalasan. Sebab mereka pikir, doa itu berarti duduk berpangku tangan tanpa usaha. Asumsi ini jelas keliru. Sebab usaha dan doa bisa berjalan beriringan. Di antara anak hebat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ternyata salah satu rahasia di balik kehebatannya, adalah upaya maksimal Ibunda Anas dalam menjalani proses pendidikan putranya. Beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan mahal bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas radhiyallahu ‘anhu bercerita, قَالَتْ أُمِّي: يَا رَسُولَ اللهِ خُوَيْدِمُكَ ادْعُ اللهَ لَهُ، قَالَ: فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ أَنْ قَالَ: «اللهُمَّ ‌أَكْثِرْ ‌مَالَهُ وَوَلَدَهُ، ‌وَبَارِكْ لَهُ فِيهِ»” Ibuku berkata, “Wahai Rasulullah, mohon doakan pembantu kecilmu ini (Anas)!”. Maka beliaupun mendoakan Anas dengan seluruh kebaikan. Di akhir doa, beliau bersabda, “Ya Allah perbanyaklah harta dan anak Anas, serta berkahilah hal itu untuknya”. HR. Muslim (no. 660). Sang Ibunda benar-benar berusaha mempersiapkan masa depan cemerlang untuk putranya. Berkat doa di atas, Anas dikaruniai oleh Allah banyak sekali anak dan cucu yang salih dan salihah. Jumlah mereka sekitar seratusan orang. Allahu akbar! Maka jangan pernah putus untuk mendoakan kebaikan buat putra-putri kita. Terutama menggunakan doa-doa terbaik yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits. Sesulit apapun kondisi lingkungan kita hari ini dan seberat apapun rintangan yang menghalangi jalan kita, yakinlah bahwa dengan kehendak dan kuasa Allah, semua akan terasa ringan dan mudah. Waspadailah kelicikan setan yang memanfaatkan momen emosi kita untuk memancing agar kita mendoakan keburukan bagi anak. Tahan lisan kita sekuat tenaga dari ucapan-ucapan yang hanya akan menimbulkan penyesalan mendalam di kemudian hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mewanti-wanti, «لا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلا تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ؛ لا تُوَافِقُوا مِنَ الله سَاعَةً يُسْأَلُ فيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ» “Janganlah berdoa keburukan untuk diri kalian sendiri. Janganlah berdoa keburukan untuk anak-anak kalian. Janganlah berdoa keburukan untuk harta kalian. Bisa jadi doa kalian itu bertepatan dengan waktu mustajab, sehingga dikabulkan Allah ta’ala”. HR. Muslim (no. 3009) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu. Adakalanya seorang ayah atau ibu marah terhadap anaknya, hingga mendoakan keburukan. Ini sangat berbahaya, karena barangkali doanya dikabulkan. Akibatnya anak tersebut semakin bertambah rusak. Dalam kondisi seperti ini, orang tua harus berdoa lagi untuk kebaikan sang anak; guna menghapus doa pertama yang berisi permohonan keburukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada yang bisa menolak takdir, kecuali doa”. HR. Tirmidziy (no. 2139) dan dinilai hasan oleh beliau juga al-Albaniy. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 3 R. Awal 1445 / 18 September 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUKSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK Posted on October 3, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 182MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK Salah satu faktor terpenting yang menunjang kesuksesan pendidikan anak—namun justru sering diabaikan—adalah doa. Yakni mendoakan kebaikan untuk anak. Sebagian orang mengira bahwa doa itu tidak diperlukan. Yang penting—kata mereka—adalah berusaha secara maksimal. Bahkan mereka mengklaim bahwa doa merupakan simbol kemalasan. Sebab mereka pikir, doa itu berarti duduk berpangku tangan tanpa usaha. Asumsi ini jelas keliru. Sebab usaha dan doa bisa berjalan beriringan. Di antara anak hebat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ternyata salah satu rahasia di balik kehebatannya, adalah upaya maksimal Ibunda Anas dalam menjalani proses pendidikan putranya. Beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan mahal bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas radhiyallahu ‘anhu bercerita, قَالَتْ أُمِّي: يَا رَسُولَ اللهِ خُوَيْدِمُكَ ادْعُ اللهَ لَهُ، قَالَ: فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ أَنْ قَالَ: «اللهُمَّ ‌أَكْثِرْ ‌مَالَهُ وَوَلَدَهُ، ‌وَبَارِكْ لَهُ فِيهِ»” Ibuku berkata, “Wahai Rasulullah, mohon doakan pembantu kecilmu ini (Anas)!”. Maka beliaupun mendoakan Anas dengan seluruh kebaikan. Di akhir doa, beliau bersabda, “Ya Allah perbanyaklah harta dan anak Anas, serta berkahilah hal itu untuknya”. HR. Muslim (no. 660). Sang Ibunda benar-benar berusaha mempersiapkan masa depan cemerlang untuk putranya. Berkat doa di atas, Anas dikaruniai oleh Allah banyak sekali anak dan cucu yang salih dan salihah. Jumlah mereka sekitar seratusan orang. Allahu akbar! Maka jangan pernah putus untuk mendoakan kebaikan buat putra-putri kita. Terutama menggunakan doa-doa terbaik yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits. Sesulit apapun kondisi lingkungan kita hari ini dan seberat apapun rintangan yang menghalangi jalan kita, yakinlah bahwa dengan kehendak dan kuasa Allah, semua akan terasa ringan dan mudah. Waspadailah kelicikan setan yang memanfaatkan momen emosi kita untuk memancing agar kita mendoakan keburukan bagi anak. Tahan lisan kita sekuat tenaga dari ucapan-ucapan yang hanya akan menimbulkan penyesalan mendalam di kemudian hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mewanti-wanti, «لا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلا تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ؛ لا تُوَافِقُوا مِنَ الله سَاعَةً يُسْأَلُ فيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ» “Janganlah berdoa keburukan untuk diri kalian sendiri. Janganlah berdoa keburukan untuk anak-anak kalian. Janganlah berdoa keburukan untuk harta kalian. Bisa jadi doa kalian itu bertepatan dengan waktu mustajab, sehingga dikabulkan Allah ta’ala”. HR. Muslim (no. 3009) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu. Adakalanya seorang ayah atau ibu marah terhadap anaknya, hingga mendoakan keburukan. Ini sangat berbahaya, karena barangkali doanya dikabulkan. Akibatnya anak tersebut semakin bertambah rusak. Dalam kondisi seperti ini, orang tua harus berdoa lagi untuk kebaikan sang anak; guna menghapus doa pertama yang berisi permohonan keburukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada yang bisa menolak takdir, kecuali doa”. HR. Tirmidziy (no. 2139) dan dinilai hasan oleh beliau juga al-Albaniy. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 3 R. Awal 1445 / 18 September 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUKSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK Posted on October 3, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 182MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK Salah satu faktor terpenting yang menunjang kesuksesan pendidikan anak—namun justru sering diabaikan—adalah doa. Yakni mendoakan kebaikan untuk anak. Sebagian orang mengira bahwa doa itu tidak diperlukan. Yang penting—kata mereka—adalah berusaha secara maksimal. Bahkan mereka mengklaim bahwa doa merupakan simbol kemalasan. Sebab mereka pikir, doa itu berarti duduk berpangku tangan tanpa usaha. Asumsi ini jelas keliru. Sebab usaha dan doa bisa berjalan beriringan. Di antara anak hebat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ternyata salah satu rahasia di balik kehebatannya, adalah upaya maksimal Ibunda Anas dalam menjalani proses pendidikan putranya. Beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan mahal bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anas radhiyallahu ‘anhu bercerita, قَالَتْ أُمِّي: يَا رَسُولَ اللهِ خُوَيْدِمُكَ ادْعُ اللهَ لَهُ، قَالَ: فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ أَنْ قَالَ: «اللهُمَّ ‌أَكْثِرْ ‌مَالَهُ وَوَلَدَهُ، ‌وَبَارِكْ لَهُ فِيهِ»” Ibuku berkata, “Wahai Rasulullah, mohon doakan pembantu kecilmu ini (Anas)!”. Maka beliaupun mendoakan Anas dengan seluruh kebaikan. Di akhir doa, beliau bersabda, “Ya Allah perbanyaklah harta dan anak Anas, serta berkahilah hal itu untuknya”. HR. Muslim (no. 660). Sang Ibunda benar-benar berusaha mempersiapkan masa depan cemerlang untuk putranya. Berkat doa di atas, Anas dikaruniai oleh Allah banyak sekali anak dan cucu yang salih dan salihah. Jumlah mereka sekitar seratusan orang. Allahu akbar! Maka jangan pernah putus untuk mendoakan kebaikan buat putra-putri kita. Terutama menggunakan doa-doa terbaik yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits. Sesulit apapun kondisi lingkungan kita hari ini dan seberat apapun rintangan yang menghalangi jalan kita, yakinlah bahwa dengan kehendak dan kuasa Allah, semua akan terasa ringan dan mudah. Waspadailah kelicikan setan yang memanfaatkan momen emosi kita untuk memancing agar kita mendoakan keburukan bagi anak. Tahan lisan kita sekuat tenaga dari ucapan-ucapan yang hanya akan menimbulkan penyesalan mendalam di kemudian hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mewanti-wanti, «لا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلا تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ؛ لا تُوَافِقُوا مِنَ الله سَاعَةً يُسْأَلُ فيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ» “Janganlah berdoa keburukan untuk diri kalian sendiri. Janganlah berdoa keburukan untuk anak-anak kalian. Janganlah berdoa keburukan untuk harta kalian. Bisa jadi doa kalian itu bertepatan dengan waktu mustajab, sehingga dikabulkan Allah ta’ala”. HR. Muslim (no. 3009) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu. Adakalanya seorang ayah atau ibu marah terhadap anaknya, hingga mendoakan keburukan. Ini sangat berbahaya, karena barangkali doanya dikabulkan. Akibatnya anak tersebut semakin bertambah rusak. Dalam kondisi seperti ini, orang tua harus berdoa lagi untuk kebaikan sang anak; guna menghapus doa pertama yang berisi permohonan keburukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada yang bisa menolak takdir, kecuali doa”. HR. Tirmidziy (no. 2139) dan dinilai hasan oleh beliau juga al-Albaniy. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 3 R. Awal 1445 / 18 September 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUKSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1 Posted on October 3, 2024October 3, 2024by Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202DOA KELUAR RUMAH Bag-1 Salah satu momen yang selalu dialami oleh setiap manusia adalah: keluar rumah untuk melakukan berbagai urusan, duniawi maupun ukhrawi. Karena itulah aktivitas ini mendapatkan perhatian dalam agama kita. Islam mengajarkan berbagai adab yang semestinya diperhatikan. Salah satunya adalah membaca doa keluar rumah. Agar kita mendapatkan penjagaan dari Allah, bantuan dan petunjuk dari-Nya. Redaksi doa ini ada beberapa macam. Salah satunya adalah: بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ “Bismillâhi tawakkaltu ‘alallôhi, lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، قَالَ: يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ، وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ، فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ» “Jika seseorang keluar dari rumahnya lalu ia membaca doa “Bismillâhi tawakkaltu ‘alallôhi lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh (Dengan memohon pertolongan Allah aku keluar. Aku bertawakkal kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanya dari Allah)”; niscaya akan dikatakan untuknya, “Engkau telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan perlindungan”. Lalu para setan bakal menyingkir dan saling berkomentar kepada sesamanya, “Apa yang bisa kau perbuat kepada orang yang telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan perlindungan?”. HR. Abu Dawud (no. 5095) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Renungan Kandungan Manusia itu tidak mungkin bisa lepas dari pertolongan Allah, dia selalu membutuhkan bantuan-Nya. Sebab dia makhluk yang lemah, sedangkan Allah Maha Kuat. Karena itu di dalam doa ini, kita diajari untuk senantiasa kembali kepada Allah, bergantung dan berserah diri kepada-Nya. Juga selalu memohon pertolongan, bantuan dan taufik dari-Nya. Doa ini dibuka dengan basmalah. Nama Allah disebut sebagai bentuk permohonan hamba kepada-Nya; agar Dia menolongnya, menjaganya dan memberikan padanya petunjuk. Selanjutnya kita mengikrarkan ketawakalan hanya kepada Allah. Tawakal adalah amalan hati. Maknanya adalah: ketergantungan hati kepada Allah, menyerahkan dan mempercayakan segala urusan kepada Allah semata. Jika hamba merealisasikan tawakal; niscaya keikhlasannya akan memuncak, hubungannya dengan Allah semakin dekat, sehingga dia akan senantiasa dilindungi oleh Allah dan keperluannya selalu dipenuhi oleh-Nya. Di penghujung doa ini, kita mengucapkan hauqalah; yakni kalimat lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh. Dzikir ini adalah simbol kepasrahan hamba kepada Allah dan pernyataan bahwa kekuatan sejati itu hanya di tangan-Nya. Di dalam kalimat ini juga terkandung pengakuan akan kelemahan diri hamba di hadapan Rabbul ‘alamin. Ia tidak mampu untuk mendatangkan manfaat apapun atau mencegah marabahaya sekecil apapun, melainkan jika dibantu oleh Allah ta’ala. Siapapun yang membaca doa di atas dengan serius, niscaya ia akan meraih berbagai macam keuntungan. Dia akan mendapatkan petunjuk dari Allah untuk menemukan jalan kebenaran dan menitinya, sehingga tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Lalu seluruh urusan duniawi dan ukhrawinya akan dipenuhi Allah. Juga ia akan dilindungi oleh Allah dari kejahatan para musuhnya, baik dari kalangan jin maupun manusia. Saat itulah para setan merasa pesimis untuk menemukan celah guna mencelakainya, sehingga mereka memilih untuk pergi menjauh. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 27 Muharram 1445 / 14 Agustus 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 183 – MENUNAIKAN HAK ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1 Posted on October 3, 2024October 3, 2024by Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202DOA KELUAR RUMAH Bag-1 Salah satu momen yang selalu dialami oleh setiap manusia adalah: keluar rumah untuk melakukan berbagai urusan, duniawi maupun ukhrawi. Karena itulah aktivitas ini mendapatkan perhatian dalam agama kita. Islam mengajarkan berbagai adab yang semestinya diperhatikan. Salah satunya adalah membaca doa keluar rumah. Agar kita mendapatkan penjagaan dari Allah, bantuan dan petunjuk dari-Nya. Redaksi doa ini ada beberapa macam. Salah satunya adalah: بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ “Bismillâhi tawakkaltu ‘alallôhi, lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، قَالَ: يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ، وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ، فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ» “Jika seseorang keluar dari rumahnya lalu ia membaca doa “Bismillâhi tawakkaltu ‘alallôhi lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh (Dengan memohon pertolongan Allah aku keluar. Aku bertawakkal kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanya dari Allah)”; niscaya akan dikatakan untuknya, “Engkau telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan perlindungan”. Lalu para setan bakal menyingkir dan saling berkomentar kepada sesamanya, “Apa yang bisa kau perbuat kepada orang yang telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan perlindungan?”. HR. Abu Dawud (no. 5095) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Renungan Kandungan Manusia itu tidak mungkin bisa lepas dari pertolongan Allah, dia selalu membutuhkan bantuan-Nya. Sebab dia makhluk yang lemah, sedangkan Allah Maha Kuat. Karena itu di dalam doa ini, kita diajari untuk senantiasa kembali kepada Allah, bergantung dan berserah diri kepada-Nya. Juga selalu memohon pertolongan, bantuan dan taufik dari-Nya. Doa ini dibuka dengan basmalah. Nama Allah disebut sebagai bentuk permohonan hamba kepada-Nya; agar Dia menolongnya, menjaganya dan memberikan padanya petunjuk. Selanjutnya kita mengikrarkan ketawakalan hanya kepada Allah. Tawakal adalah amalan hati. Maknanya adalah: ketergantungan hati kepada Allah, menyerahkan dan mempercayakan segala urusan kepada Allah semata. Jika hamba merealisasikan tawakal; niscaya keikhlasannya akan memuncak, hubungannya dengan Allah semakin dekat, sehingga dia akan senantiasa dilindungi oleh Allah dan keperluannya selalu dipenuhi oleh-Nya. Di penghujung doa ini, kita mengucapkan hauqalah; yakni kalimat lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh. Dzikir ini adalah simbol kepasrahan hamba kepada Allah dan pernyataan bahwa kekuatan sejati itu hanya di tangan-Nya. Di dalam kalimat ini juga terkandung pengakuan akan kelemahan diri hamba di hadapan Rabbul ‘alamin. Ia tidak mampu untuk mendatangkan manfaat apapun atau mencegah marabahaya sekecil apapun, melainkan jika dibantu oleh Allah ta’ala. Siapapun yang membaca doa di atas dengan serius, niscaya ia akan meraih berbagai macam keuntungan. Dia akan mendapatkan petunjuk dari Allah untuk menemukan jalan kebenaran dan menitinya, sehingga tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Lalu seluruh urusan duniawi dan ukhrawinya akan dipenuhi Allah. Juga ia akan dilindungi oleh Allah dari kejahatan para musuhnya, baik dari kalangan jin maupun manusia. Saat itulah para setan merasa pesimis untuk menemukan celah guna mencelakainya, sehingga mereka memilih untuk pergi menjauh. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 27 Muharram 1445 / 14 Agustus 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 183 – MENUNAIKAN HAK ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1 Posted on October 3, 2024October 3, 2024by Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202DOA KELUAR RUMAH Bag-1 Salah satu momen yang selalu dialami oleh setiap manusia adalah: keluar rumah untuk melakukan berbagai urusan, duniawi maupun ukhrawi. Karena itulah aktivitas ini mendapatkan perhatian dalam agama kita. Islam mengajarkan berbagai adab yang semestinya diperhatikan. Salah satunya adalah membaca doa keluar rumah. Agar kita mendapatkan penjagaan dari Allah, bantuan dan petunjuk dari-Nya. Redaksi doa ini ada beberapa macam. Salah satunya adalah: بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ “Bismillâhi tawakkaltu ‘alallôhi, lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، قَالَ: يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ، وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ، فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ» “Jika seseorang keluar dari rumahnya lalu ia membaca doa “Bismillâhi tawakkaltu ‘alallôhi lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh (Dengan memohon pertolongan Allah aku keluar. Aku bertawakkal kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanya dari Allah)”; niscaya akan dikatakan untuknya, “Engkau telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan perlindungan”. Lalu para setan bakal menyingkir dan saling berkomentar kepada sesamanya, “Apa yang bisa kau perbuat kepada orang yang telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan perlindungan?”. HR. Abu Dawud (no. 5095) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Renungan Kandungan Manusia itu tidak mungkin bisa lepas dari pertolongan Allah, dia selalu membutuhkan bantuan-Nya. Sebab dia makhluk yang lemah, sedangkan Allah Maha Kuat. Karena itu di dalam doa ini, kita diajari untuk senantiasa kembali kepada Allah, bergantung dan berserah diri kepada-Nya. Juga selalu memohon pertolongan, bantuan dan taufik dari-Nya. Doa ini dibuka dengan basmalah. Nama Allah disebut sebagai bentuk permohonan hamba kepada-Nya; agar Dia menolongnya, menjaganya dan memberikan padanya petunjuk. Selanjutnya kita mengikrarkan ketawakalan hanya kepada Allah. Tawakal adalah amalan hati. Maknanya adalah: ketergantungan hati kepada Allah, menyerahkan dan mempercayakan segala urusan kepada Allah semata. Jika hamba merealisasikan tawakal; niscaya keikhlasannya akan memuncak, hubungannya dengan Allah semakin dekat, sehingga dia akan senantiasa dilindungi oleh Allah dan keperluannya selalu dipenuhi oleh-Nya. Di penghujung doa ini, kita mengucapkan hauqalah; yakni kalimat lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh. Dzikir ini adalah simbol kepasrahan hamba kepada Allah dan pernyataan bahwa kekuatan sejati itu hanya di tangan-Nya. Di dalam kalimat ini juga terkandung pengakuan akan kelemahan diri hamba di hadapan Rabbul ‘alamin. Ia tidak mampu untuk mendatangkan manfaat apapun atau mencegah marabahaya sekecil apapun, melainkan jika dibantu oleh Allah ta’ala. Siapapun yang membaca doa di atas dengan serius, niscaya ia akan meraih berbagai macam keuntungan. Dia akan mendapatkan petunjuk dari Allah untuk menemukan jalan kebenaran dan menitinya, sehingga tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Lalu seluruh urusan duniawi dan ukhrawinya akan dipenuhi Allah. Juga ia akan dilindungi oleh Allah dari kejahatan para musuhnya, baik dari kalangan jin maupun manusia. Saat itulah para setan merasa pesimis untuk menemukan celah guna mencelakainya, sehingga mereka memilih untuk pergi menjauh. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 27 Muharram 1445 / 14 Agustus 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 183 – MENUNAIKAN HAK ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202 – DOA KELUAR RUMAH Bag-1 Posted on October 3, 2024October 3, 2024by Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 202DOA KELUAR RUMAH Bag-1 Salah satu momen yang selalu dialami oleh setiap manusia adalah: keluar rumah untuk melakukan berbagai urusan, duniawi maupun ukhrawi. Karena itulah aktivitas ini mendapatkan perhatian dalam agama kita. Islam mengajarkan berbagai adab yang semestinya diperhatikan. Salah satunya adalah membaca doa keluar rumah. Agar kita mendapatkan penjagaan dari Allah, bantuan dan petunjuk dari-Nya. Redaksi doa ini ada beberapa macam. Salah satunya adalah: بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ “Bismillâhi tawakkaltu ‘alallôhi, lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، قَالَ: يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ، وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ، فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ» “Jika seseorang keluar dari rumahnya lalu ia membaca doa “Bismillâhi tawakkaltu ‘alallôhi lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh (Dengan memohon pertolongan Allah aku keluar. Aku bertawakkal kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanya dari Allah)”; niscaya akan dikatakan untuknya, “Engkau telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan perlindungan”. Lalu para setan bakal menyingkir dan saling berkomentar kepada sesamanya, “Apa yang bisa kau perbuat kepada orang yang telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan perlindungan?”. HR. Abu Dawud (no. 5095) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dinilai sahih oleh al-Albaniy. Renungan Kandungan Manusia itu tidak mungkin bisa lepas dari pertolongan Allah, dia selalu membutuhkan bantuan-Nya. Sebab dia makhluk yang lemah, sedangkan Allah Maha Kuat. Karena itu di dalam doa ini, kita diajari untuk senantiasa kembali kepada Allah, bergantung dan berserah diri kepada-Nya. Juga selalu memohon pertolongan, bantuan dan taufik dari-Nya. Doa ini dibuka dengan basmalah. Nama Allah disebut sebagai bentuk permohonan hamba kepada-Nya; agar Dia menolongnya, menjaganya dan memberikan padanya petunjuk. Selanjutnya kita mengikrarkan ketawakalan hanya kepada Allah. Tawakal adalah amalan hati. Maknanya adalah: ketergantungan hati kepada Allah, menyerahkan dan mempercayakan segala urusan kepada Allah semata. Jika hamba merealisasikan tawakal; niscaya keikhlasannya akan memuncak, hubungannya dengan Allah semakin dekat, sehingga dia akan senantiasa dilindungi oleh Allah dan keperluannya selalu dipenuhi oleh-Nya. Di penghujung doa ini, kita mengucapkan hauqalah; yakni kalimat lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh. Dzikir ini adalah simbol kepasrahan hamba kepada Allah dan pernyataan bahwa kekuatan sejati itu hanya di tangan-Nya. Di dalam kalimat ini juga terkandung pengakuan akan kelemahan diri hamba di hadapan Rabbul ‘alamin. Ia tidak mampu untuk mendatangkan manfaat apapun atau mencegah marabahaya sekecil apapun, melainkan jika dibantu oleh Allah ta’ala. Siapapun yang membaca doa di atas dengan serius, niscaya ia akan meraih berbagai macam keuntungan. Dia akan mendapatkan petunjuk dari Allah untuk menemukan jalan kebenaran dan menitinya, sehingga tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Lalu seluruh urusan duniawi dan ukhrawinya akan dipenuhi Allah. Juga ia akan dilindungi oleh Allah dari kejahatan para musuhnya, baik dari kalangan jin maupun manusia. Saat itulah para setan merasa pesimis untuk menemukan celah guna mencelakainya, sehingga mereka memilih untuk pergi menjauh. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 27 Muharram 1445 / 14 Agustus 2023 No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAKSerial Fiqih Pendidikan Anak No: 183 – MENUNAIKAN HAK ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUK

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUK Posted on October 2, 2024by Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201ATURAN SAAT MIMPI BURUK Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas aturan saat mimpi baik. Berikut ini adalah aturan yang digariskan Islam ketika kita mengalami mimpi buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «وَإِذَا رَأَى غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يَكْرَهُ، فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَلْيَسْتَعِذْ مِنْ شَرِّهَا، وَلاَ يَذْكُرْهَا لِأَحَدٍ، فَإِنَّهَا لاَ تَضُرُّهُ» “Jika ia bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya, sungguh itu dari setan. Maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut dan jangan menceritakannya kepada siapapun. Sungguh itu tidak akan mencelakakannya”. HR. Bukhari (no. 6985) dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu. Beliau juga bersabda, «وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ، وَلْيَتْفِلْ ثَلاَثًا، وَلاَ يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا، فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ» “Apabila ia bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut dan dari keburukan setan, lalu meludahlah tiga kali. Dan jangan menceritakannya kepada siapapun. Sungguh itu tidak akan mencelakakannya. HR. Bukhari (no. 7044) dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Dari hadits di atas dan nas-nas lainnya, bisa disimpulkan bahwa aturan saat bermimpi buruk adalah sebagai berikut: Pertama: Meyakini bahwa itu dari setan Mimpi buruk itu biasanya berupa hal-hal mengerikan dan menakutkan, contohnya melihat kepala dipenggal lalu menggelinding dan yang semisal itu. Melalui mimpi-mimpi tersebut, setan bertujuan mengganggu manusia, membuatnya sedih dan gelisah. Sehingga aktivitasnya terganggu. Maka seharusnya saat mengalami mimpi buruk, seorang insan mengabaikannya dan tidak menjadikannya beban pikiran. Kedua: Berta’awudz Yakni memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi itu dan dari kejahatan setan. Sebab siapapun yang kembali kepada Allah dan berlindung kepada-Nya, niscaya ia akan senantiasa mendapat petunjuk ke jalan yang lurus. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya, “وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ” Artinya: “Barang siapa bersandar kepada Allah, maka ia telah dikaruniai petunjuk kepada jalan yang lurus”. QS. Ali Imran (3): 101. Ketiga: Meludah tiga kali Maksudnya meludah tiga kali ke arah kiri. Menurut sebagian ulama, hal itu karena setan mendatangi manusia dari sebelah kiri. Sebab yang disasar setan adalah hati manusia, sedangkan posisi hati ada di dekat sisi kiri. Maka setan berusaha mendatanginya dari arah yang terdekat. Keempat: Mengubah posisi tidur Yakni mengubah posisi tidur berbeda dari posisi awal. Jika sebelumnya menghadap ke kiri, maka ia ganti menghadap ke kanan. Sebagian ulama menjelaskan bahwa hikmah mengubah posisi itu adalah sebagai bentuk optimisme, bahwa kondisinya akan berubah dari kesedihan menjadi kebahagiaan. Kelima: Tidak menceritakannya kepada siapapun Sebab mimpi buruk adalah bagian dari strategi setan mempermainkan manusia. Seharusnya ia jangan terjebak dengan permainan itu. Ibn Sirin rahimahullah berpetuah, “Bertakwalah kepada Allah saat engkau terjaga dan jangan pedulikan apa yang engkau lihat dalam mimpimu saat tidur”. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 14 Dzulhijjah 1444 / 3 Juli 2023 Diringkas oleh Abdullah Zaen dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/92-94). No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 181 – MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINISerial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUK

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUK Posted on October 2, 2024by Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201ATURAN SAAT MIMPI BURUK Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas aturan saat mimpi baik. Berikut ini adalah aturan yang digariskan Islam ketika kita mengalami mimpi buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «وَإِذَا رَأَى غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يَكْرَهُ، فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَلْيَسْتَعِذْ مِنْ شَرِّهَا، وَلاَ يَذْكُرْهَا لِأَحَدٍ، فَإِنَّهَا لاَ تَضُرُّهُ» “Jika ia bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya, sungguh itu dari setan. Maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut dan jangan menceritakannya kepada siapapun. Sungguh itu tidak akan mencelakakannya”. HR. Bukhari (no. 6985) dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu. Beliau juga bersabda, «وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ، وَلْيَتْفِلْ ثَلاَثًا، وَلاَ يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا، فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ» “Apabila ia bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut dan dari keburukan setan, lalu meludahlah tiga kali. Dan jangan menceritakannya kepada siapapun. Sungguh itu tidak akan mencelakakannya. HR. Bukhari (no. 7044) dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Dari hadits di atas dan nas-nas lainnya, bisa disimpulkan bahwa aturan saat bermimpi buruk adalah sebagai berikut: Pertama: Meyakini bahwa itu dari setan Mimpi buruk itu biasanya berupa hal-hal mengerikan dan menakutkan, contohnya melihat kepala dipenggal lalu menggelinding dan yang semisal itu. Melalui mimpi-mimpi tersebut, setan bertujuan mengganggu manusia, membuatnya sedih dan gelisah. Sehingga aktivitasnya terganggu. Maka seharusnya saat mengalami mimpi buruk, seorang insan mengabaikannya dan tidak menjadikannya beban pikiran. Kedua: Berta’awudz Yakni memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi itu dan dari kejahatan setan. Sebab siapapun yang kembali kepada Allah dan berlindung kepada-Nya, niscaya ia akan senantiasa mendapat petunjuk ke jalan yang lurus. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya, “وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ” Artinya: “Barang siapa bersandar kepada Allah, maka ia telah dikaruniai petunjuk kepada jalan yang lurus”. QS. Ali Imran (3): 101. Ketiga: Meludah tiga kali Maksudnya meludah tiga kali ke arah kiri. Menurut sebagian ulama, hal itu karena setan mendatangi manusia dari sebelah kiri. Sebab yang disasar setan adalah hati manusia, sedangkan posisi hati ada di dekat sisi kiri. Maka setan berusaha mendatanginya dari arah yang terdekat. Keempat: Mengubah posisi tidur Yakni mengubah posisi tidur berbeda dari posisi awal. Jika sebelumnya menghadap ke kiri, maka ia ganti menghadap ke kanan. Sebagian ulama menjelaskan bahwa hikmah mengubah posisi itu adalah sebagai bentuk optimisme, bahwa kondisinya akan berubah dari kesedihan menjadi kebahagiaan. Kelima: Tidak menceritakannya kepada siapapun Sebab mimpi buruk adalah bagian dari strategi setan mempermainkan manusia. Seharusnya ia jangan terjebak dengan permainan itu. Ibn Sirin rahimahullah berpetuah, “Bertakwalah kepada Allah saat engkau terjaga dan jangan pedulikan apa yang engkau lihat dalam mimpimu saat tidur”. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 14 Dzulhijjah 1444 / 3 Juli 2023 Diringkas oleh Abdullah Zaen dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/92-94). No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 181 – MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINISerial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUK Posted on October 2, 2024by Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201ATURAN SAAT MIMPI BURUK Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas aturan saat mimpi baik. Berikut ini adalah aturan yang digariskan Islam ketika kita mengalami mimpi buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «وَإِذَا رَأَى غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يَكْرَهُ، فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَلْيَسْتَعِذْ مِنْ شَرِّهَا، وَلاَ يَذْكُرْهَا لِأَحَدٍ، فَإِنَّهَا لاَ تَضُرُّهُ» “Jika ia bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya, sungguh itu dari setan. Maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut dan jangan menceritakannya kepada siapapun. Sungguh itu tidak akan mencelakakannya”. HR. Bukhari (no. 6985) dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu. Beliau juga bersabda, «وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ، وَلْيَتْفِلْ ثَلاَثًا، وَلاَ يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا، فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ» “Apabila ia bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut dan dari keburukan setan, lalu meludahlah tiga kali. Dan jangan menceritakannya kepada siapapun. Sungguh itu tidak akan mencelakakannya. HR. Bukhari (no. 7044) dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Dari hadits di atas dan nas-nas lainnya, bisa disimpulkan bahwa aturan saat bermimpi buruk adalah sebagai berikut: Pertama: Meyakini bahwa itu dari setan Mimpi buruk itu biasanya berupa hal-hal mengerikan dan menakutkan, contohnya melihat kepala dipenggal lalu menggelinding dan yang semisal itu. Melalui mimpi-mimpi tersebut, setan bertujuan mengganggu manusia, membuatnya sedih dan gelisah. Sehingga aktivitasnya terganggu. Maka seharusnya saat mengalami mimpi buruk, seorang insan mengabaikannya dan tidak menjadikannya beban pikiran. Kedua: Berta’awudz Yakni memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi itu dan dari kejahatan setan. Sebab siapapun yang kembali kepada Allah dan berlindung kepada-Nya, niscaya ia akan senantiasa mendapat petunjuk ke jalan yang lurus. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya, “وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ” Artinya: “Barang siapa bersandar kepada Allah, maka ia telah dikaruniai petunjuk kepada jalan yang lurus”. QS. Ali Imran (3): 101. Ketiga: Meludah tiga kali Maksudnya meludah tiga kali ke arah kiri. Menurut sebagian ulama, hal itu karena setan mendatangi manusia dari sebelah kiri. Sebab yang disasar setan adalah hati manusia, sedangkan posisi hati ada di dekat sisi kiri. Maka setan berusaha mendatanginya dari arah yang terdekat. Keempat: Mengubah posisi tidur Yakni mengubah posisi tidur berbeda dari posisi awal. Jika sebelumnya menghadap ke kiri, maka ia ganti menghadap ke kanan. Sebagian ulama menjelaskan bahwa hikmah mengubah posisi itu adalah sebagai bentuk optimisme, bahwa kondisinya akan berubah dari kesedihan menjadi kebahagiaan. Kelima: Tidak menceritakannya kepada siapapun Sebab mimpi buruk adalah bagian dari strategi setan mempermainkan manusia. Seharusnya ia jangan terjebak dengan permainan itu. Ibn Sirin rahimahullah berpetuah, “Bertakwalah kepada Allah saat engkau terjaga dan jangan pedulikan apa yang engkau lihat dalam mimpimu saat tidur”. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 14 Dzulhijjah 1444 / 3 Juli 2023 Diringkas oleh Abdullah Zaen dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/92-94). No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 181 – MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINISerial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUK Posted on October 2, 2024by Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201ATURAN SAAT MIMPI BURUK Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas aturan saat mimpi baik. Berikut ini adalah aturan yang digariskan Islam ketika kita mengalami mimpi buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «وَإِذَا رَأَى غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يَكْرَهُ، فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَلْيَسْتَعِذْ مِنْ شَرِّهَا، وَلاَ يَذْكُرْهَا لِأَحَدٍ، فَإِنَّهَا لاَ تَضُرُّهُ» “Jika ia bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya, sungguh itu dari setan. Maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut dan jangan menceritakannya kepada siapapun. Sungguh itu tidak akan mencelakakannya”. HR. Bukhari (no. 6985) dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu. Beliau juga bersabda, «وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ، وَلْيَتْفِلْ ثَلاَثًا، وَلاَ يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا، فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ» “Apabila ia bermimpi melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut dan dari keburukan setan, lalu meludahlah tiga kali. Dan jangan menceritakannya kepada siapapun. Sungguh itu tidak akan mencelakakannya. HR. Bukhari (no. 7044) dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Dari hadits di atas dan nas-nas lainnya, bisa disimpulkan bahwa aturan saat bermimpi buruk adalah sebagai berikut: Pertama: Meyakini bahwa itu dari setan Mimpi buruk itu biasanya berupa hal-hal mengerikan dan menakutkan, contohnya melihat kepala dipenggal lalu menggelinding dan yang semisal itu. Melalui mimpi-mimpi tersebut, setan bertujuan mengganggu manusia, membuatnya sedih dan gelisah. Sehingga aktivitasnya terganggu. Maka seharusnya saat mengalami mimpi buruk, seorang insan mengabaikannya dan tidak menjadikannya beban pikiran. Kedua: Berta’awudz Yakni memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpi itu dan dari kejahatan setan. Sebab siapapun yang kembali kepada Allah dan berlindung kepada-Nya, niscaya ia akan senantiasa mendapat petunjuk ke jalan yang lurus. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya, “وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ” Artinya: “Barang siapa bersandar kepada Allah, maka ia telah dikaruniai petunjuk kepada jalan yang lurus”. QS. Ali Imran (3): 101. Ketiga: Meludah tiga kali Maksudnya meludah tiga kali ke arah kiri. Menurut sebagian ulama, hal itu karena setan mendatangi manusia dari sebelah kiri. Sebab yang disasar setan adalah hati manusia, sedangkan posisi hati ada di dekat sisi kiri. Maka setan berusaha mendatanginya dari arah yang terdekat. Keempat: Mengubah posisi tidur Yakni mengubah posisi tidur berbeda dari posisi awal. Jika sebelumnya menghadap ke kiri, maka ia ganti menghadap ke kanan. Sebagian ulama menjelaskan bahwa hikmah mengubah posisi itu adalah sebagai bentuk optimisme, bahwa kondisinya akan berubah dari kesedihan menjadi kebahagiaan. Kelima: Tidak menceritakannya kepada siapapun Sebab mimpi buruk adalah bagian dari strategi setan mempermainkan manusia. Seharusnya ia jangan terjebak dengan permainan itu. Ibn Sirin rahimahullah berpetuah, “Bertakwalah kepada Allah saat engkau terjaga dan jangan pedulikan apa yang engkau lihat dalam mimpimu saat tidur”. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 14 Dzulhijjah 1444 / 3 Juli 2023 Diringkas oleh Abdullah Zaen dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/92-94). No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 181 – MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINISerial Fiqih Pendidikan Anak No: 182 – MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK ANAK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Siksaan Bagi Pendosa

Banyak orang yang bersandar pada rahmat Allah, namun lalai akan siksaan-Nya yang pedih bagi para pendosa. Tulisan ini mengingatkan kita tentang bahaya mengabaikan perintah Allah dan akibatnya di akhirat nanti.   Daftar Isi tutup 1. [Hukuman bagi Dai yang Tidak Mengamalkan Ilmunya] 2. [Hukuman bagi Tukang Ghibah] 3. [Hati Manusia Bisa Berbolak-Balik, Hanya Allah yang Beri Petunjuk] 4. [Malaikat Malik Tak Pernah Tertawa] 5. [Saat Penduduk Neraka Merasakan Siksa, Penduduk Surga Merasakan Nikmat] 6. [Hukuman bagi Pecandu Khamr] 7. [Kubur Disempitlkan] 8. [Jenazah Orang Saleh dan Tidak Saleh di Kubur] 9. [Panasnya Hari Kiamat] 10. [Malaikat Israfil Sudah Bersiap-Siap] 11. [Hukuman bagi Orang Sombong] 12. [Hukuman bagi Perupa Makhluk Bernyawa] 13. [Penduduk Surga ketika di Dalam Kubur] 14. [Kezaliman Akan Diselesaikan pada Hari Kiamat] 15. [Merampas Tanah Orang Lain] 16. [Panasnya Neraka Jahannam] 17. [Gara-Gara Qurban dengan Lalat Bisa Masuk Neraka] Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 41-43) sebagai berikut: Banyak orang yang bodoh bersandar pada rahmat, ampunan, dan kemurahan Allah sehingga mengabaikan perintah dan larangan. Mereka lalai terhadap siksa Allah yang amat pedih, bahkan siksa-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa tidak bisa ditolak. Orang yang bersandar pada ampunan Allah, tetapi terus-menerus berbuat dosa, layaknya seorang pembangkang. Ma’ruf berkata: “Harapanmu terhadap rahmat Dzat yang tidak kamu patuhi merupakan kebodohan dan kehinaan.” Sebagian ulama mengatakan: “Siapa saja di antara kalian yang terpotong tangannya di dunia karena mencuri tiga dirham janganlah pernah merasa aman. Sebab, dengan saja hukumannya di akhirat nanti benar-benar akan lebih daripada perbuatan tersebut.” Seseorang melayani al-Hasan: “Kami melihatmu sering menangis.” Ia menjawab: “Aku takut Allah melemparkanku ke dalam Neraka, sedangkan Dia tidak peduli.” Ia juga berkata: “Sungguh, terdapat suatu kaum yang dilalaikan oleh angan-angan akan ampunan Allah sehingga mereka meninggal dunia tanpa bertaubat. Salah seorang berkata: ‘Hal ini disebabkan aku banyak bersangka terhadap Rabbku.’ Ini merupakan pernyataan dusta! Sekiranya orang itu benar-benar bersangka kepada-Nya, tentu ia akan memperbaiki amalnya.” Seorang laki-laki bertanya kepada al-Hasan: “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami perbuat saat berkumpul dengan suatu kaum yang menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hampir terbang?” Ia menjawab: “Demi Allah, sesungguhnya berteman dengan suatu kaum yang menakut-nakutimu hingga akhirnya kamu menemukan rasa aman itu lebih baik daripada kamu berteman dengan sekelompok orang yang membuatmu merasa aman, namun pada akhirnya kamu dikejar-kejar oleh perkara-perkara yang menakutkan.”   [Hukuman bagi Dai yang Tidak Mengamalkan Ilmunya] Disebutkan dalam ash-Shahīhain, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِيُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى، فَيَطُوفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ، مَا أَصَابَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ. “Seorang pria didatangkan pada hari Kiamat, lalu dilemparkan ke dalam Neraka. Isi perutnya terburai, dan ia berputar-putar di Neraka seperti keledai yang berkeliling pada batu penggiling gandum. Lalu ia dikerumuni oleh penghuni Neraka, mereka berkata: ‘Wahai Fulan, apa yang menimpamu? Bukankah kamu dahulu menyuruh kami berbuat baik dan mencegah kami dari berbuat keji?’ Ia menjawab: ‘Sesungguhnya aku dahulu menyuruh kalian berbuat baik, namun aku tidak melakukannya. Aku juga mencegah kalian dari berbuat keji, namun aku melakukannya.’” Imam Ahmad menyebutkan hadits Abu Rafi’, ia berkata: “Rasulullah pernah melewati kuburan al-Baqi’ lalu berkata: ‘Cis, cis.’ Aku mengira ucapan tersebut ditujukan kepadaku. Beliau berkata: ‘Bukan kamu yang aku maksud, tetapi penghuni kubur itu. Aku mengutusnya untuk mengambil zakat dari keluarga Fulan, tetapi ia mengambil sebuah pakaian (darinya). Sekarang, ia dikenakan pakaian yang serupa dari api Neraka.’” Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِمَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ مِقْرَاضًا مِنْ نَارٍ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: خُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ، أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟ “Pada malam Isra’ Mi’raj, aku melewati suatu kaum yang bibir mereka digunting dengan gunting dari api Neraka. Aku bertanya: ‘Siapakah mereka?’ Mereka (Jibril dan para Malaikat) menjawab: ‘Para khathib (tukang khutbah) dari umatmu di dunia. Mereka menyuruh manusia untuk melakukan kebaikan, namun mereka melupakan diri sendiri. Tidakkah mereka berpikir?’”   [Hukuman bagi Tukang Ghibah] Masih dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِلَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).   [Hati Manusia Bisa Berbolak-Balik, Hanya Allah yang Beri Petunjuk] Disebutkan pula dalam kitab yang sama, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Nabi sering mengucapkan: ِيَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ. فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ إِصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ شَاءَ. “Wahai Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu.” Kami menyahut: “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa, apakah engkau masih mengkhawatirkan kami?” Beliau menjawab: “Benar. Sungguh hati itu berada di antara dua jari dari jari-jari Allah; Dia membolak-balikkan sesuai dengan kehendak-Nya.”   [Malaikat Malik Tak Pernah Tertawa] Disebutkan juga dalam kitab tersebut, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jibril: ِمَا لِي لَمْ أَرَ مِيكَائِيلَ ضَاحِكًا قَطُّ. قَالَ: مَا ضَحِكَ مُنْذُ خُلِقَتِ النَّارُ. “Mengapa aku belum pernah melihat Malaikat Mikail tertawa?” Jibril menjawab: “Ia tidak pernah tertawa sejak Neraka diciptakan.”   [Saat Penduduk Neraka Merasakan Siksa, Penduduk Surga Merasakan Nikmat] Di dalam Shahih Muslim, juga dari Anas, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِيُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً، ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا وَاللهِ يَا رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ، وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ. “Didatangkan orang yang paling menikmati hidup di dunia dari kalangan penghuni Neraka, lalu dicelupkan ke dalam Neraka sekali celupan, kemudian ditanya: ‘Wahai anak Adam, pernahkah engkau melihat kebaikan? Pernahkah engkau merasakan kenikmatan?’ Maka ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah, wahai Tuhanku.’ Dan didatangkan pula orang yang paling menderita di dunia dari kalangan penghuni Surga, lalu dicelupkan ke dalam Surga sekali celupan, kemudian ditanya: ‘Wahai anak Adam, pernahkah engkau merasakan penderitaan? Pernahkah engkau mengalami kesulitan?’ Maka ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah, wahai Tuhanku, aku tidak pernah merasakan penderitaan, dan aku tidak pernah melihat kesulitan.’” “Dihadirkan salah seorang calon penghuni Neraka yang sewaktu di dunia adalah orang yang paling banyak mendapat kesenangan. Lantas, ia dicelupkan ke dalam Neraka, sekali celupan, lalu ditanya: ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat suatu kebaikan? Apakah kamu pernah merasakan suatu kesenangan?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah, tidak pernah, wahai Rabbku.’ Selanjutnya, dihadirkan salah seorang calon penghuni Surga yang sewaktu di dunia adalah orang yang paling sengsara. Lantas, ia dicelupkan ke dalam Surga, sekali celupan, lalu ditanya: ‘Wahai Anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesengsaraan? Apakah kamu pernah mengalami penderitaan?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah, tidak pernah, wahai Rabbku’. Aku tidak pernah mengalami kesengsaraan dan aku tidak pernah melihat penderitaan.”   [Hukuman bagi Pecandu Khamr] Dalam Shahih Muslim, dari Jabir, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda: ِ(كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَهِدَ إِلَى مَنْ شَرِبَ الْمُسْكِرَاتِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ. قِيلَ: وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ؟ قَالَ: عُرَاقُ أَهْلِ النَّارِ، أَوْ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ.) “Setiap yang memabukkan itu haram. Sesungguhnya Allah berjanji terhadap siapa saja yang meminum minuman yang memabukkan bahwa ia akan diberi minum dari thinatu khabal.” Ada yang bertanya: “Apa maksud dari thinatu khabal?” Beliau kemudian menjawab: “Keringat atau cairan perasan tubuh penghuni Neraka.” Baca juga: Khamr itu Biang Kerusakan   [Kubur Disempitlkan] Di dalam Al-Musnad, dari hadits Hudzaifah, ia menuturkan, “Kami pernah mengiringi sebuah jenazah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setibanya di kuburan, beliau duduk di tepinya dan berkali-kali melihat ke dalamnya. Beliau pun bersabda,  يُضْغَطُ المُؤْمِنُ فِيْهِ ضَغْطَةً تَزُولُ مِنْهَا حَمَائِلُهُ، وَيُمْلَأُ عَلَى الْكَافِرِ نَارًا “Di dalam kubur, orang Mukmin dihimpit dengan suatu himpitan yang menghancurkan urat-urat kedua testisnya, sedangkan kuburan orang kafir dipenuhi dengan api.” Arti dari al-hama-il (الحَمَائِلُ) adalah urat-urat kedua testis. Di dalam al-Musnad, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami pernah pergi bersama Rasulullah ke tempat Sa’ad bin Mu’adz ketika ia meninggal. Setelah Rasulullah menshalatkannya dan jenazahnya diletakkan di dalam kubur, serta kuburan tersebut telah diratakan, beliau bertasbih. Kami bertasbih dalam waktu yang lama. Sesudah itu, beliau bertakbir. Kami kembali bertakbir dalam waktu yang lama. Ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau bertasbih kemudian bertakbir?’ Beliau menjawab: ِ(لَقَدْ تَضَايَقَ القَبْرُ عَلَى هَذَا العَبْدِ الصَّالِحِ ضَمَّةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا.) “Kuburan tersebut telah menghimpit hamba yang salih ini, hingga akhirnya Allah melapangkannya.”   [Jenazah Orang Saleh dan Tidak Saleh di Kubur] Di dalam Shahihul Bukhari, dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: ِ(إِذَا وُضِعَتِ الْجَنَازَةُ وَاحْتَمَلَهَا الرِّجَالُ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ، فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَالَتْ: قَدِّمُونِي قَدِّمُونِي، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ صَالِحَةٍ قَالَتْ: يَا وَيْلَهَا أَيْنَ تَذْهَبُونَ بِهَا، يَسْمَعُ صَوْتَهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الإِنسَانَ، وَلَوْ سَمِعَهُ الإِنسَانُ لَصَعِقَ.) “Ketika jenazah telah diletakkan dan diusung oleh orang-orang di atas pundak-pundak mereka, jika dahulu ia orang yang shalih, ia berkata: ‘Segerakan aku, segerakan aku.’ Namun jika dahulu ia bukan orang yang saleh, ia berkata: ‘Duhai, celakalah aku, ke mana kalian membawaku?’ Suaranya terdengar oleh semua makhluk, kecuali manusia. Seandainya manusia mendengarnya, tentulah ia akan pingsan.”   [Panasnya Hari Kiamat] Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Umamah radhiyallahu ’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: ِ(تَدْنُو الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَدْرِ مِيلٍ، وَيَزْدَادُ فِي حَرِّهَا كَذَا وَكَذَا، فَتَغْلِي مِنْهَا الرُّءُوسُ كَمَا تَغْلِي الْقُدُورُ، يَعْرَقُونَ فِيهَا عَلَى قَدْرِ خَطَايَاهُمْ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى سَاقَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى وَسَطِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْجِمُهُ الْعَرَقُ.) “Pada hari Kiamat, matahari mendekat hingga jaraknya menjadi satu mil. Panasnya akan ditambah sekian dan sekian. Kepala-kepala mendidih seperti panci yang mendidih. Orang-orang mengeluarkan keringat sesuai dengan dosa-dosa mereka; ada yang sampai mata kakinya, ada yang sampai kedua betisnya, ada pula yang sampai separuh tubuhnya (pinggang), dan ada yang sampai ke mulutnya.”   [Malaikat Israfil Sudah Bersiap-Siap] Di dalam al-Musnad, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, dari Nabi, bahwa beliau bersabda: ِ(كَيْفَ أَنْعَمُ وَصَاحِبُ الْقَرْنِ قَدِ الْتَقَمَ الْقَرْنَ، وَحَتَّى جَبْهَتُهُ مَعَ يُؤْمَرُ فَيَنْفُخُ؟ فَقَالَ أَصْحَابُهُ: كَيْفَ نَقُولُ؟ قَالَ: (حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا). “Bagaimana mungkin aku hidup senang, sedang pemilik sangkakala telah siap meniup sangkakala di mulutnya? Dahinya menunduk, ia mendengarkan secara saksama kapan ia diperintahkan untuk meniupnya.” Para Sahabat bertanya: “Apa yang harus kita ucapkan?” Beliau menjawab: “Katakanlah: ‘Hasbunallah wa ni’mal wakil, ‘alallahi tawakkalna’ (Cukuplah Allah bagi kami dan Dia adalah sebaik-baik penolong. Kami bertawakal kepada-Nya).”   [Hukuman bagi Orang Sombong] Di dalam al-Musnad dari Ibnu Umar, ia meriwayatkannya secara marfu’ (periwayatan hadis yang sampai kepada Nabi): ِ((مَنْ تعظم فِي نَفْسِهِ، أَوْ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ، لَقِيَ اللَّهَ تَعَالَى وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانٌ)) “Siapa yang membanggakan diri dan congkak dalam gaya jalannya, niscaya ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya.”   [Hukuman bagi Perupa Makhluk Bernyawa] Di dalam ash-Shahihain, dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: ِ((إِنَّ الْمُصَوِّرِينَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ)) “Sesungguhnya para penggambar akan diadzab pada hari Kiamat. Akan dikatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang kalian buat.’” Baca juga:  Hukum Mengambil Foto dengan Kamera Apa Hukum Fotografi dalam Islam?   [Penduduk Surga ketika di Dalam Kubur] Di dalam ash-Shahihain, dari Ibnu Umar, dari Nabi, bahwa beliau bersabda: ِ((إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ، إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَيُقَالُ: هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)) “Sesungguhnya jika salah seorang kalian meninggal dunia, maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya kelak, pada waktu pagi dan petang. Jika ia termasuk penghuni Surga, maka ia akan melihat tempat duduknya di Surga. Jika ia termasuk penghuni Neraka, maka ia akan melihat tempat duduknya di Neraka. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Inilah tempat dudukmu hingga kelak Allah membangkitkanmu pada hari Kiamat.’”   [Kezaliman Akan Diselesaikan pada Hari Kiamat] Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Barang siapa yang pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau mengambil sesuatu darinya, hendaknya segera meminta maaf dan kehalalannya (di dunia ini) sebelum tiba hari di mana dinar dan dirham tak lagi bermanfaat. Jika tidak, maka pada hari kiamat, amal salehnya akan diambil sebanding dengan kezaliman yang telah diperbuat. Jika ia tidak lagi memiliki kebaikan, maka keburukan orang yang pernah ia zalimi akan dipindahkan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, ِأَتَدْرُونَ ما المُفْلِسُ؟ قالوا: المُفْلِسُ فِينا مَن لا دِرْهَمَ له ولا مَتاعَ، فقالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتي يَأْتي يَومَ القِيامَةِ بصَلاةٍ، وصِيامٍ، وزَكاةٍ، ويَأْتي قدْ شَتَمَ هذا، وقَذَفَ هذا، وأَكَلَ مالَ هذا، وسَفَكَ دَمَ هذا، وضَرَبَ هذا، فيُعْطَى هذا مِن حَسَناتِهِ، وهذا مِن حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى ما عليه أُخِذَ مِن خَطاياهُمْ فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ. “Tahukah kalian siapa yang disebut sebagai orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki uang atau harta benda.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang benar-benar bangkrut dari kalangan umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, di saat yang sama, mereka juga membawa dosa karena pernah mencela, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul sesama. Maka kelak, kebaikan-kebaikan yang dimilikinya akan diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika seluruh amal kebaikannya telah habis, sedangkan dosa kezalimannya belum terbayar, dosa-dosa orang yang terzalimi akan dipindahkan kepadanya. Akhirnya, dia pun akan dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581) Baca juga: Dosa Kezaliman, Ingatlah dan Mintalah Maaf   [Merampas Tanah Orang Lain] Dalam Kitab Ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ«مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ» . “Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara tidak sah, maka ia akan ditenggelamkan pada hari kiamat hingga kedalaman tujuh lapis bumi.”  Baca juga: Merampas Harta Orang Lain Hukum Merampas Barang Milik Orang Lain (Ghashab)   [Panasnya Neraka Jahannam] Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  ِ«نَارُكُمْ هَذِهِ الَّتِي يُوقِدُ بَنُو آدَمَ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ، قَالُوا:وَاللَّهِ إِنْ كَانَتْ لَكَافِيَةٌ، قَالَ: فَإِنَّهَا قَدْ فُضِّلَتْ عَلَيْهَا بِتِسْعَةٍ وَسِتِّينَ جُزْءًا كُلُّهُنَّ مِثْلُ حَرِّهَا» . “Api kalian yang dinyalakan oleh manusia ini adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari api neraka Jahannam.” Para sahabat berkata, “Demi Allah, itu saja sudah cukup.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya api neraka Jahannam melebihi panasnya dengan enam puluh sembilan bagian, semuanya memiliki panas seperti api yang ada di dunia ini.”   [Gara-Gara Qurban dengan Lalat Bisa Masuk Neraka] Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Abu Mu’awiyah; kami diberitahu al-A’masy; dari Salman bin Maisarah, dari Thariq bin Syihab, ia me-marfu’-kannya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ: «دَخَلَ رَجُلٌ الْجَنَّةَ فِي ذُبَابٍ، وَدَخَلَ رَجُلٌ النَّارَ فِي ذُبَابٍ، قَالُوا: وَكَيْفَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ مَرَّ رَجُلَانِ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ صَنَمٌ لَا يَجُوزُهُ أَحَدٌ حَتَّى يُقَرِّبَ لَهُ شَيْئًا، فَقَالُوا لِأَحَدِهِمَا: قَرِّبْ، فَقَالَ لَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ، قَالُوا قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَابًا، فَخَلَّوْا سَبِيلَهُ، فَدَخَلَ النَّارَ، وَقَالُوا لِلْآخَرِ: قَرِّبْ، فَقَالَ: مَا كُنْتُ لِأُقَرِّبَ لِأَحَدٍ شَيْئًا مِنْ دُونِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَضَرَبُوا عُنُقَهُ، فَدَخَلَ الْجَنَّةَ، وَهَذِهِ الْكَلِمَةُ الْوَاحِدَةُ يَتَكَلَّمُ بِهَا الْعَبْدُ يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ. “Seseorang masuk Surga disebabkan seekor lalat dan seorang lainnya masuk Neraka disebabkan seekor lalat.” “Bagaimana itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?” tanya para Sahabat. Beliau kemudian menjelaskan, “Ada dua orang yang melewati suatu kaum yang memiliki patung; sementara tidak ada seorang pun yang boleh melewatinya melainkan harus mempersembahkan sesuatu. Kaum tadi berkata kepada salah seorang dari keduanya, ‘Berqurbanlah dengan sesuatu.’ Ia menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatu pun.’ ‘Berqurbanlah walaupun hanya dengan seekor lalat.’ Orang itu lalu berqurban dengan seekor lalat dan mereka pun membiarkannya meneruskan perjalanan. Karena itulah ia masuk Neraka. Selanjutnya, kaum itu berkata kepada orang kedua: ‘Berqurbanlah dengan sesuatu.’ ‘Aku tidak mau berqurban dengan sesuatu untuk siapa pun juga selain Allah,’ jawabnya. Mereka lantas memenggal lehernya, dan ia pun masuk Surga.” Nabi melanjutkan sabdanya, “Inilah satu kalimat yang diucapkan oleh seorang hamba sehingga menyebabkannya jatuh ke dalam Neraka (yang kedalamannya) lebih jauh dibandingkan jarak antara timur dan barat.” Baca juga: Masuk Neraka Karena Lalat   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa Meminta Perlindungan dari Siksa Neraka, dari Kejelekan Kaya dan Miskin 70.000 Orang yang Masuk Surga Tanpa Siksa – Diselesaikan pada 28 Rabiul Awal 1446 H, 2 Oktober 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir doa ampunan dosa besar dosa syirik faedah dari Ibnul Qayyim istighfar nasihat ibnul qayyim taubat

Siksaan Bagi Pendosa

Banyak orang yang bersandar pada rahmat Allah, namun lalai akan siksaan-Nya yang pedih bagi para pendosa. Tulisan ini mengingatkan kita tentang bahaya mengabaikan perintah Allah dan akibatnya di akhirat nanti.   Daftar Isi tutup 1. [Hukuman bagi Dai yang Tidak Mengamalkan Ilmunya] 2. [Hukuman bagi Tukang Ghibah] 3. [Hati Manusia Bisa Berbolak-Balik, Hanya Allah yang Beri Petunjuk] 4. [Malaikat Malik Tak Pernah Tertawa] 5. [Saat Penduduk Neraka Merasakan Siksa, Penduduk Surga Merasakan Nikmat] 6. [Hukuman bagi Pecandu Khamr] 7. [Kubur Disempitlkan] 8. [Jenazah Orang Saleh dan Tidak Saleh di Kubur] 9. [Panasnya Hari Kiamat] 10. [Malaikat Israfil Sudah Bersiap-Siap] 11. [Hukuman bagi Orang Sombong] 12. [Hukuman bagi Perupa Makhluk Bernyawa] 13. [Penduduk Surga ketika di Dalam Kubur] 14. [Kezaliman Akan Diselesaikan pada Hari Kiamat] 15. [Merampas Tanah Orang Lain] 16. [Panasnya Neraka Jahannam] 17. [Gara-Gara Qurban dengan Lalat Bisa Masuk Neraka] Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 41-43) sebagai berikut: Banyak orang yang bodoh bersandar pada rahmat, ampunan, dan kemurahan Allah sehingga mengabaikan perintah dan larangan. Mereka lalai terhadap siksa Allah yang amat pedih, bahkan siksa-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa tidak bisa ditolak. Orang yang bersandar pada ampunan Allah, tetapi terus-menerus berbuat dosa, layaknya seorang pembangkang. Ma’ruf berkata: “Harapanmu terhadap rahmat Dzat yang tidak kamu patuhi merupakan kebodohan dan kehinaan.” Sebagian ulama mengatakan: “Siapa saja di antara kalian yang terpotong tangannya di dunia karena mencuri tiga dirham janganlah pernah merasa aman. Sebab, dengan saja hukumannya di akhirat nanti benar-benar akan lebih daripada perbuatan tersebut.” Seseorang melayani al-Hasan: “Kami melihatmu sering menangis.” Ia menjawab: “Aku takut Allah melemparkanku ke dalam Neraka, sedangkan Dia tidak peduli.” Ia juga berkata: “Sungguh, terdapat suatu kaum yang dilalaikan oleh angan-angan akan ampunan Allah sehingga mereka meninggal dunia tanpa bertaubat. Salah seorang berkata: ‘Hal ini disebabkan aku banyak bersangka terhadap Rabbku.’ Ini merupakan pernyataan dusta! Sekiranya orang itu benar-benar bersangka kepada-Nya, tentu ia akan memperbaiki amalnya.” Seorang laki-laki bertanya kepada al-Hasan: “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami perbuat saat berkumpul dengan suatu kaum yang menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hampir terbang?” Ia menjawab: “Demi Allah, sesungguhnya berteman dengan suatu kaum yang menakut-nakutimu hingga akhirnya kamu menemukan rasa aman itu lebih baik daripada kamu berteman dengan sekelompok orang yang membuatmu merasa aman, namun pada akhirnya kamu dikejar-kejar oleh perkara-perkara yang menakutkan.”   [Hukuman bagi Dai yang Tidak Mengamalkan Ilmunya] Disebutkan dalam ash-Shahīhain, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِيُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى، فَيَطُوفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ، مَا أَصَابَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ. “Seorang pria didatangkan pada hari Kiamat, lalu dilemparkan ke dalam Neraka. Isi perutnya terburai, dan ia berputar-putar di Neraka seperti keledai yang berkeliling pada batu penggiling gandum. Lalu ia dikerumuni oleh penghuni Neraka, mereka berkata: ‘Wahai Fulan, apa yang menimpamu? Bukankah kamu dahulu menyuruh kami berbuat baik dan mencegah kami dari berbuat keji?’ Ia menjawab: ‘Sesungguhnya aku dahulu menyuruh kalian berbuat baik, namun aku tidak melakukannya. Aku juga mencegah kalian dari berbuat keji, namun aku melakukannya.’” Imam Ahmad menyebutkan hadits Abu Rafi’, ia berkata: “Rasulullah pernah melewati kuburan al-Baqi’ lalu berkata: ‘Cis, cis.’ Aku mengira ucapan tersebut ditujukan kepadaku. Beliau berkata: ‘Bukan kamu yang aku maksud, tetapi penghuni kubur itu. Aku mengutusnya untuk mengambil zakat dari keluarga Fulan, tetapi ia mengambil sebuah pakaian (darinya). Sekarang, ia dikenakan pakaian yang serupa dari api Neraka.’” Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِمَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ مِقْرَاضًا مِنْ نَارٍ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: خُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ، أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟ “Pada malam Isra’ Mi’raj, aku melewati suatu kaum yang bibir mereka digunting dengan gunting dari api Neraka. Aku bertanya: ‘Siapakah mereka?’ Mereka (Jibril dan para Malaikat) menjawab: ‘Para khathib (tukang khutbah) dari umatmu di dunia. Mereka menyuruh manusia untuk melakukan kebaikan, namun mereka melupakan diri sendiri. Tidakkah mereka berpikir?’”   [Hukuman bagi Tukang Ghibah] Masih dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِلَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).   [Hati Manusia Bisa Berbolak-Balik, Hanya Allah yang Beri Petunjuk] Disebutkan pula dalam kitab yang sama, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Nabi sering mengucapkan: ِيَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ. فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ إِصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ شَاءَ. “Wahai Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu.” Kami menyahut: “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa, apakah engkau masih mengkhawatirkan kami?” Beliau menjawab: “Benar. Sungguh hati itu berada di antara dua jari dari jari-jari Allah; Dia membolak-balikkan sesuai dengan kehendak-Nya.”   [Malaikat Malik Tak Pernah Tertawa] Disebutkan juga dalam kitab tersebut, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jibril: ِمَا لِي لَمْ أَرَ مِيكَائِيلَ ضَاحِكًا قَطُّ. قَالَ: مَا ضَحِكَ مُنْذُ خُلِقَتِ النَّارُ. “Mengapa aku belum pernah melihat Malaikat Mikail tertawa?” Jibril menjawab: “Ia tidak pernah tertawa sejak Neraka diciptakan.”   [Saat Penduduk Neraka Merasakan Siksa, Penduduk Surga Merasakan Nikmat] Di dalam Shahih Muslim, juga dari Anas, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِيُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً، ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا وَاللهِ يَا رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ، وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ. “Didatangkan orang yang paling menikmati hidup di dunia dari kalangan penghuni Neraka, lalu dicelupkan ke dalam Neraka sekali celupan, kemudian ditanya: ‘Wahai anak Adam, pernahkah engkau melihat kebaikan? Pernahkah engkau merasakan kenikmatan?’ Maka ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah, wahai Tuhanku.’ Dan didatangkan pula orang yang paling menderita di dunia dari kalangan penghuni Surga, lalu dicelupkan ke dalam Surga sekali celupan, kemudian ditanya: ‘Wahai anak Adam, pernahkah engkau merasakan penderitaan? Pernahkah engkau mengalami kesulitan?’ Maka ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah, wahai Tuhanku, aku tidak pernah merasakan penderitaan, dan aku tidak pernah melihat kesulitan.’” “Dihadirkan salah seorang calon penghuni Neraka yang sewaktu di dunia adalah orang yang paling banyak mendapat kesenangan. Lantas, ia dicelupkan ke dalam Neraka, sekali celupan, lalu ditanya: ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat suatu kebaikan? Apakah kamu pernah merasakan suatu kesenangan?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah, tidak pernah, wahai Rabbku.’ Selanjutnya, dihadirkan salah seorang calon penghuni Surga yang sewaktu di dunia adalah orang yang paling sengsara. Lantas, ia dicelupkan ke dalam Surga, sekali celupan, lalu ditanya: ‘Wahai Anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesengsaraan? Apakah kamu pernah mengalami penderitaan?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah, tidak pernah, wahai Rabbku’. Aku tidak pernah mengalami kesengsaraan dan aku tidak pernah melihat penderitaan.”   [Hukuman bagi Pecandu Khamr] Dalam Shahih Muslim, dari Jabir, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda: ِ(كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَهِدَ إِلَى مَنْ شَرِبَ الْمُسْكِرَاتِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ. قِيلَ: وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ؟ قَالَ: عُرَاقُ أَهْلِ النَّارِ، أَوْ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ.) “Setiap yang memabukkan itu haram. Sesungguhnya Allah berjanji terhadap siapa saja yang meminum minuman yang memabukkan bahwa ia akan diberi minum dari thinatu khabal.” Ada yang bertanya: “Apa maksud dari thinatu khabal?” Beliau kemudian menjawab: “Keringat atau cairan perasan tubuh penghuni Neraka.” Baca juga: Khamr itu Biang Kerusakan   [Kubur Disempitlkan] Di dalam Al-Musnad, dari hadits Hudzaifah, ia menuturkan, “Kami pernah mengiringi sebuah jenazah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setibanya di kuburan, beliau duduk di tepinya dan berkali-kali melihat ke dalamnya. Beliau pun bersabda,  يُضْغَطُ المُؤْمِنُ فِيْهِ ضَغْطَةً تَزُولُ مِنْهَا حَمَائِلُهُ، وَيُمْلَأُ عَلَى الْكَافِرِ نَارًا “Di dalam kubur, orang Mukmin dihimpit dengan suatu himpitan yang menghancurkan urat-urat kedua testisnya, sedangkan kuburan orang kafir dipenuhi dengan api.” Arti dari al-hama-il (الحَمَائِلُ) adalah urat-urat kedua testis. Di dalam al-Musnad, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami pernah pergi bersama Rasulullah ke tempat Sa’ad bin Mu’adz ketika ia meninggal. Setelah Rasulullah menshalatkannya dan jenazahnya diletakkan di dalam kubur, serta kuburan tersebut telah diratakan, beliau bertasbih. Kami bertasbih dalam waktu yang lama. Sesudah itu, beliau bertakbir. Kami kembali bertakbir dalam waktu yang lama. Ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau bertasbih kemudian bertakbir?’ Beliau menjawab: ِ(لَقَدْ تَضَايَقَ القَبْرُ عَلَى هَذَا العَبْدِ الصَّالِحِ ضَمَّةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا.) “Kuburan tersebut telah menghimpit hamba yang salih ini, hingga akhirnya Allah melapangkannya.”   [Jenazah Orang Saleh dan Tidak Saleh di Kubur] Di dalam Shahihul Bukhari, dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: ِ(إِذَا وُضِعَتِ الْجَنَازَةُ وَاحْتَمَلَهَا الرِّجَالُ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ، فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَالَتْ: قَدِّمُونِي قَدِّمُونِي، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ صَالِحَةٍ قَالَتْ: يَا وَيْلَهَا أَيْنَ تَذْهَبُونَ بِهَا، يَسْمَعُ صَوْتَهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الإِنسَانَ، وَلَوْ سَمِعَهُ الإِنسَانُ لَصَعِقَ.) “Ketika jenazah telah diletakkan dan diusung oleh orang-orang di atas pundak-pundak mereka, jika dahulu ia orang yang shalih, ia berkata: ‘Segerakan aku, segerakan aku.’ Namun jika dahulu ia bukan orang yang saleh, ia berkata: ‘Duhai, celakalah aku, ke mana kalian membawaku?’ Suaranya terdengar oleh semua makhluk, kecuali manusia. Seandainya manusia mendengarnya, tentulah ia akan pingsan.”   [Panasnya Hari Kiamat] Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Umamah radhiyallahu ’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: ِ(تَدْنُو الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَدْرِ مِيلٍ، وَيَزْدَادُ فِي حَرِّهَا كَذَا وَكَذَا، فَتَغْلِي مِنْهَا الرُّءُوسُ كَمَا تَغْلِي الْقُدُورُ، يَعْرَقُونَ فِيهَا عَلَى قَدْرِ خَطَايَاهُمْ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى سَاقَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى وَسَطِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْجِمُهُ الْعَرَقُ.) “Pada hari Kiamat, matahari mendekat hingga jaraknya menjadi satu mil. Panasnya akan ditambah sekian dan sekian. Kepala-kepala mendidih seperti panci yang mendidih. Orang-orang mengeluarkan keringat sesuai dengan dosa-dosa mereka; ada yang sampai mata kakinya, ada yang sampai kedua betisnya, ada pula yang sampai separuh tubuhnya (pinggang), dan ada yang sampai ke mulutnya.”   [Malaikat Israfil Sudah Bersiap-Siap] Di dalam al-Musnad, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, dari Nabi, bahwa beliau bersabda: ِ(كَيْفَ أَنْعَمُ وَصَاحِبُ الْقَرْنِ قَدِ الْتَقَمَ الْقَرْنَ، وَحَتَّى جَبْهَتُهُ مَعَ يُؤْمَرُ فَيَنْفُخُ؟ فَقَالَ أَصْحَابُهُ: كَيْفَ نَقُولُ؟ قَالَ: (حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا). “Bagaimana mungkin aku hidup senang, sedang pemilik sangkakala telah siap meniup sangkakala di mulutnya? Dahinya menunduk, ia mendengarkan secara saksama kapan ia diperintahkan untuk meniupnya.” Para Sahabat bertanya: “Apa yang harus kita ucapkan?” Beliau menjawab: “Katakanlah: ‘Hasbunallah wa ni’mal wakil, ‘alallahi tawakkalna’ (Cukuplah Allah bagi kami dan Dia adalah sebaik-baik penolong. Kami bertawakal kepada-Nya).”   [Hukuman bagi Orang Sombong] Di dalam al-Musnad dari Ibnu Umar, ia meriwayatkannya secara marfu’ (periwayatan hadis yang sampai kepada Nabi): ِ((مَنْ تعظم فِي نَفْسِهِ، أَوْ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ، لَقِيَ اللَّهَ تَعَالَى وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانٌ)) “Siapa yang membanggakan diri dan congkak dalam gaya jalannya, niscaya ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya.”   [Hukuman bagi Perupa Makhluk Bernyawa] Di dalam ash-Shahihain, dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: ِ((إِنَّ الْمُصَوِّرِينَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ)) “Sesungguhnya para penggambar akan diadzab pada hari Kiamat. Akan dikatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang kalian buat.’” Baca juga:  Hukum Mengambil Foto dengan Kamera Apa Hukum Fotografi dalam Islam?   [Penduduk Surga ketika di Dalam Kubur] Di dalam ash-Shahihain, dari Ibnu Umar, dari Nabi, bahwa beliau bersabda: ِ((إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ، إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَيُقَالُ: هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)) “Sesungguhnya jika salah seorang kalian meninggal dunia, maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya kelak, pada waktu pagi dan petang. Jika ia termasuk penghuni Surga, maka ia akan melihat tempat duduknya di Surga. Jika ia termasuk penghuni Neraka, maka ia akan melihat tempat duduknya di Neraka. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Inilah tempat dudukmu hingga kelak Allah membangkitkanmu pada hari Kiamat.’”   [Kezaliman Akan Diselesaikan pada Hari Kiamat] Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Barang siapa yang pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau mengambil sesuatu darinya, hendaknya segera meminta maaf dan kehalalannya (di dunia ini) sebelum tiba hari di mana dinar dan dirham tak lagi bermanfaat. Jika tidak, maka pada hari kiamat, amal salehnya akan diambil sebanding dengan kezaliman yang telah diperbuat. Jika ia tidak lagi memiliki kebaikan, maka keburukan orang yang pernah ia zalimi akan dipindahkan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, ِأَتَدْرُونَ ما المُفْلِسُ؟ قالوا: المُفْلِسُ فِينا مَن لا دِرْهَمَ له ولا مَتاعَ، فقالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتي يَأْتي يَومَ القِيامَةِ بصَلاةٍ، وصِيامٍ، وزَكاةٍ، ويَأْتي قدْ شَتَمَ هذا، وقَذَفَ هذا، وأَكَلَ مالَ هذا، وسَفَكَ دَمَ هذا، وضَرَبَ هذا، فيُعْطَى هذا مِن حَسَناتِهِ، وهذا مِن حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى ما عليه أُخِذَ مِن خَطاياهُمْ فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ. “Tahukah kalian siapa yang disebut sebagai orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki uang atau harta benda.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang benar-benar bangkrut dari kalangan umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, di saat yang sama, mereka juga membawa dosa karena pernah mencela, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul sesama. Maka kelak, kebaikan-kebaikan yang dimilikinya akan diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika seluruh amal kebaikannya telah habis, sedangkan dosa kezalimannya belum terbayar, dosa-dosa orang yang terzalimi akan dipindahkan kepadanya. Akhirnya, dia pun akan dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581) Baca juga: Dosa Kezaliman, Ingatlah dan Mintalah Maaf   [Merampas Tanah Orang Lain] Dalam Kitab Ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ«مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ» . “Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara tidak sah, maka ia akan ditenggelamkan pada hari kiamat hingga kedalaman tujuh lapis bumi.”  Baca juga: Merampas Harta Orang Lain Hukum Merampas Barang Milik Orang Lain (Ghashab)   [Panasnya Neraka Jahannam] Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  ِ«نَارُكُمْ هَذِهِ الَّتِي يُوقِدُ بَنُو آدَمَ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ، قَالُوا:وَاللَّهِ إِنْ كَانَتْ لَكَافِيَةٌ، قَالَ: فَإِنَّهَا قَدْ فُضِّلَتْ عَلَيْهَا بِتِسْعَةٍ وَسِتِّينَ جُزْءًا كُلُّهُنَّ مِثْلُ حَرِّهَا» . “Api kalian yang dinyalakan oleh manusia ini adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari api neraka Jahannam.” Para sahabat berkata, “Demi Allah, itu saja sudah cukup.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya api neraka Jahannam melebihi panasnya dengan enam puluh sembilan bagian, semuanya memiliki panas seperti api yang ada di dunia ini.”   [Gara-Gara Qurban dengan Lalat Bisa Masuk Neraka] Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Abu Mu’awiyah; kami diberitahu al-A’masy; dari Salman bin Maisarah, dari Thariq bin Syihab, ia me-marfu’-kannya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ: «دَخَلَ رَجُلٌ الْجَنَّةَ فِي ذُبَابٍ، وَدَخَلَ رَجُلٌ النَّارَ فِي ذُبَابٍ، قَالُوا: وَكَيْفَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ مَرَّ رَجُلَانِ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ صَنَمٌ لَا يَجُوزُهُ أَحَدٌ حَتَّى يُقَرِّبَ لَهُ شَيْئًا، فَقَالُوا لِأَحَدِهِمَا: قَرِّبْ، فَقَالَ لَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ، قَالُوا قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَابًا، فَخَلَّوْا سَبِيلَهُ، فَدَخَلَ النَّارَ، وَقَالُوا لِلْآخَرِ: قَرِّبْ، فَقَالَ: مَا كُنْتُ لِأُقَرِّبَ لِأَحَدٍ شَيْئًا مِنْ دُونِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَضَرَبُوا عُنُقَهُ، فَدَخَلَ الْجَنَّةَ، وَهَذِهِ الْكَلِمَةُ الْوَاحِدَةُ يَتَكَلَّمُ بِهَا الْعَبْدُ يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ. “Seseorang masuk Surga disebabkan seekor lalat dan seorang lainnya masuk Neraka disebabkan seekor lalat.” “Bagaimana itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?” tanya para Sahabat. Beliau kemudian menjelaskan, “Ada dua orang yang melewati suatu kaum yang memiliki patung; sementara tidak ada seorang pun yang boleh melewatinya melainkan harus mempersembahkan sesuatu. Kaum tadi berkata kepada salah seorang dari keduanya, ‘Berqurbanlah dengan sesuatu.’ Ia menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatu pun.’ ‘Berqurbanlah walaupun hanya dengan seekor lalat.’ Orang itu lalu berqurban dengan seekor lalat dan mereka pun membiarkannya meneruskan perjalanan. Karena itulah ia masuk Neraka. Selanjutnya, kaum itu berkata kepada orang kedua: ‘Berqurbanlah dengan sesuatu.’ ‘Aku tidak mau berqurban dengan sesuatu untuk siapa pun juga selain Allah,’ jawabnya. Mereka lantas memenggal lehernya, dan ia pun masuk Surga.” Nabi melanjutkan sabdanya, “Inilah satu kalimat yang diucapkan oleh seorang hamba sehingga menyebabkannya jatuh ke dalam Neraka (yang kedalamannya) lebih jauh dibandingkan jarak antara timur dan barat.” Baca juga: Masuk Neraka Karena Lalat   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa Meminta Perlindungan dari Siksa Neraka, dari Kejelekan Kaya dan Miskin 70.000 Orang yang Masuk Surga Tanpa Siksa – Diselesaikan pada 28 Rabiul Awal 1446 H, 2 Oktober 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir doa ampunan dosa besar dosa syirik faedah dari Ibnul Qayyim istighfar nasihat ibnul qayyim taubat
Banyak orang yang bersandar pada rahmat Allah, namun lalai akan siksaan-Nya yang pedih bagi para pendosa. Tulisan ini mengingatkan kita tentang bahaya mengabaikan perintah Allah dan akibatnya di akhirat nanti.   Daftar Isi tutup 1. [Hukuman bagi Dai yang Tidak Mengamalkan Ilmunya] 2. [Hukuman bagi Tukang Ghibah] 3. [Hati Manusia Bisa Berbolak-Balik, Hanya Allah yang Beri Petunjuk] 4. [Malaikat Malik Tak Pernah Tertawa] 5. [Saat Penduduk Neraka Merasakan Siksa, Penduduk Surga Merasakan Nikmat] 6. [Hukuman bagi Pecandu Khamr] 7. [Kubur Disempitlkan] 8. [Jenazah Orang Saleh dan Tidak Saleh di Kubur] 9. [Panasnya Hari Kiamat] 10. [Malaikat Israfil Sudah Bersiap-Siap] 11. [Hukuman bagi Orang Sombong] 12. [Hukuman bagi Perupa Makhluk Bernyawa] 13. [Penduduk Surga ketika di Dalam Kubur] 14. [Kezaliman Akan Diselesaikan pada Hari Kiamat] 15. [Merampas Tanah Orang Lain] 16. [Panasnya Neraka Jahannam] 17. [Gara-Gara Qurban dengan Lalat Bisa Masuk Neraka] Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 41-43) sebagai berikut: Banyak orang yang bodoh bersandar pada rahmat, ampunan, dan kemurahan Allah sehingga mengabaikan perintah dan larangan. Mereka lalai terhadap siksa Allah yang amat pedih, bahkan siksa-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa tidak bisa ditolak. Orang yang bersandar pada ampunan Allah, tetapi terus-menerus berbuat dosa, layaknya seorang pembangkang. Ma’ruf berkata: “Harapanmu terhadap rahmat Dzat yang tidak kamu patuhi merupakan kebodohan dan kehinaan.” Sebagian ulama mengatakan: “Siapa saja di antara kalian yang terpotong tangannya di dunia karena mencuri tiga dirham janganlah pernah merasa aman. Sebab, dengan saja hukumannya di akhirat nanti benar-benar akan lebih daripada perbuatan tersebut.” Seseorang melayani al-Hasan: “Kami melihatmu sering menangis.” Ia menjawab: “Aku takut Allah melemparkanku ke dalam Neraka, sedangkan Dia tidak peduli.” Ia juga berkata: “Sungguh, terdapat suatu kaum yang dilalaikan oleh angan-angan akan ampunan Allah sehingga mereka meninggal dunia tanpa bertaubat. Salah seorang berkata: ‘Hal ini disebabkan aku banyak bersangka terhadap Rabbku.’ Ini merupakan pernyataan dusta! Sekiranya orang itu benar-benar bersangka kepada-Nya, tentu ia akan memperbaiki amalnya.” Seorang laki-laki bertanya kepada al-Hasan: “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami perbuat saat berkumpul dengan suatu kaum yang menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hampir terbang?” Ia menjawab: “Demi Allah, sesungguhnya berteman dengan suatu kaum yang menakut-nakutimu hingga akhirnya kamu menemukan rasa aman itu lebih baik daripada kamu berteman dengan sekelompok orang yang membuatmu merasa aman, namun pada akhirnya kamu dikejar-kejar oleh perkara-perkara yang menakutkan.”   [Hukuman bagi Dai yang Tidak Mengamalkan Ilmunya] Disebutkan dalam ash-Shahīhain, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِيُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى، فَيَطُوفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ، مَا أَصَابَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ. “Seorang pria didatangkan pada hari Kiamat, lalu dilemparkan ke dalam Neraka. Isi perutnya terburai, dan ia berputar-putar di Neraka seperti keledai yang berkeliling pada batu penggiling gandum. Lalu ia dikerumuni oleh penghuni Neraka, mereka berkata: ‘Wahai Fulan, apa yang menimpamu? Bukankah kamu dahulu menyuruh kami berbuat baik dan mencegah kami dari berbuat keji?’ Ia menjawab: ‘Sesungguhnya aku dahulu menyuruh kalian berbuat baik, namun aku tidak melakukannya. Aku juga mencegah kalian dari berbuat keji, namun aku melakukannya.’” Imam Ahmad menyebutkan hadits Abu Rafi’, ia berkata: “Rasulullah pernah melewati kuburan al-Baqi’ lalu berkata: ‘Cis, cis.’ Aku mengira ucapan tersebut ditujukan kepadaku. Beliau berkata: ‘Bukan kamu yang aku maksud, tetapi penghuni kubur itu. Aku mengutusnya untuk mengambil zakat dari keluarga Fulan, tetapi ia mengambil sebuah pakaian (darinya). Sekarang, ia dikenakan pakaian yang serupa dari api Neraka.’” Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِمَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ مِقْرَاضًا مِنْ نَارٍ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: خُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ، أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟ “Pada malam Isra’ Mi’raj, aku melewati suatu kaum yang bibir mereka digunting dengan gunting dari api Neraka. Aku bertanya: ‘Siapakah mereka?’ Mereka (Jibril dan para Malaikat) menjawab: ‘Para khathib (tukang khutbah) dari umatmu di dunia. Mereka menyuruh manusia untuk melakukan kebaikan, namun mereka melupakan diri sendiri. Tidakkah mereka berpikir?’”   [Hukuman bagi Tukang Ghibah] Masih dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِلَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).   [Hati Manusia Bisa Berbolak-Balik, Hanya Allah yang Beri Petunjuk] Disebutkan pula dalam kitab yang sama, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Nabi sering mengucapkan: ِيَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ. فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ إِصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ شَاءَ. “Wahai Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu.” Kami menyahut: “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa, apakah engkau masih mengkhawatirkan kami?” Beliau menjawab: “Benar. Sungguh hati itu berada di antara dua jari dari jari-jari Allah; Dia membolak-balikkan sesuai dengan kehendak-Nya.”   [Malaikat Malik Tak Pernah Tertawa] Disebutkan juga dalam kitab tersebut, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jibril: ِمَا لِي لَمْ أَرَ مِيكَائِيلَ ضَاحِكًا قَطُّ. قَالَ: مَا ضَحِكَ مُنْذُ خُلِقَتِ النَّارُ. “Mengapa aku belum pernah melihat Malaikat Mikail tertawa?” Jibril menjawab: “Ia tidak pernah tertawa sejak Neraka diciptakan.”   [Saat Penduduk Neraka Merasakan Siksa, Penduduk Surga Merasakan Nikmat] Di dalam Shahih Muslim, juga dari Anas, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِيُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً، ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا وَاللهِ يَا رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ، وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ. “Didatangkan orang yang paling menikmati hidup di dunia dari kalangan penghuni Neraka, lalu dicelupkan ke dalam Neraka sekali celupan, kemudian ditanya: ‘Wahai anak Adam, pernahkah engkau melihat kebaikan? Pernahkah engkau merasakan kenikmatan?’ Maka ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah, wahai Tuhanku.’ Dan didatangkan pula orang yang paling menderita di dunia dari kalangan penghuni Surga, lalu dicelupkan ke dalam Surga sekali celupan, kemudian ditanya: ‘Wahai anak Adam, pernahkah engkau merasakan penderitaan? Pernahkah engkau mengalami kesulitan?’ Maka ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah, wahai Tuhanku, aku tidak pernah merasakan penderitaan, dan aku tidak pernah melihat kesulitan.’” “Dihadirkan salah seorang calon penghuni Neraka yang sewaktu di dunia adalah orang yang paling banyak mendapat kesenangan. Lantas, ia dicelupkan ke dalam Neraka, sekali celupan, lalu ditanya: ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat suatu kebaikan? Apakah kamu pernah merasakan suatu kesenangan?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah, tidak pernah, wahai Rabbku.’ Selanjutnya, dihadirkan salah seorang calon penghuni Surga yang sewaktu di dunia adalah orang yang paling sengsara. Lantas, ia dicelupkan ke dalam Surga, sekali celupan, lalu ditanya: ‘Wahai Anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesengsaraan? Apakah kamu pernah mengalami penderitaan?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah, tidak pernah, wahai Rabbku’. Aku tidak pernah mengalami kesengsaraan dan aku tidak pernah melihat penderitaan.”   [Hukuman bagi Pecandu Khamr] Dalam Shahih Muslim, dari Jabir, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda: ِ(كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَهِدَ إِلَى مَنْ شَرِبَ الْمُسْكِرَاتِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ. قِيلَ: وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ؟ قَالَ: عُرَاقُ أَهْلِ النَّارِ، أَوْ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ.) “Setiap yang memabukkan itu haram. Sesungguhnya Allah berjanji terhadap siapa saja yang meminum minuman yang memabukkan bahwa ia akan diberi minum dari thinatu khabal.” Ada yang bertanya: “Apa maksud dari thinatu khabal?” Beliau kemudian menjawab: “Keringat atau cairan perasan tubuh penghuni Neraka.” Baca juga: Khamr itu Biang Kerusakan   [Kubur Disempitlkan] Di dalam Al-Musnad, dari hadits Hudzaifah, ia menuturkan, “Kami pernah mengiringi sebuah jenazah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setibanya di kuburan, beliau duduk di tepinya dan berkali-kali melihat ke dalamnya. Beliau pun bersabda,  يُضْغَطُ المُؤْمِنُ فِيْهِ ضَغْطَةً تَزُولُ مِنْهَا حَمَائِلُهُ، وَيُمْلَأُ عَلَى الْكَافِرِ نَارًا “Di dalam kubur, orang Mukmin dihimpit dengan suatu himpitan yang menghancurkan urat-urat kedua testisnya, sedangkan kuburan orang kafir dipenuhi dengan api.” Arti dari al-hama-il (الحَمَائِلُ) adalah urat-urat kedua testis. Di dalam al-Musnad, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami pernah pergi bersama Rasulullah ke tempat Sa’ad bin Mu’adz ketika ia meninggal. Setelah Rasulullah menshalatkannya dan jenazahnya diletakkan di dalam kubur, serta kuburan tersebut telah diratakan, beliau bertasbih. Kami bertasbih dalam waktu yang lama. Sesudah itu, beliau bertakbir. Kami kembali bertakbir dalam waktu yang lama. Ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau bertasbih kemudian bertakbir?’ Beliau menjawab: ِ(لَقَدْ تَضَايَقَ القَبْرُ عَلَى هَذَا العَبْدِ الصَّالِحِ ضَمَّةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا.) “Kuburan tersebut telah menghimpit hamba yang salih ini, hingga akhirnya Allah melapangkannya.”   [Jenazah Orang Saleh dan Tidak Saleh di Kubur] Di dalam Shahihul Bukhari, dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: ِ(إِذَا وُضِعَتِ الْجَنَازَةُ وَاحْتَمَلَهَا الرِّجَالُ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ، فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَالَتْ: قَدِّمُونِي قَدِّمُونِي، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ صَالِحَةٍ قَالَتْ: يَا وَيْلَهَا أَيْنَ تَذْهَبُونَ بِهَا، يَسْمَعُ صَوْتَهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الإِنسَانَ، وَلَوْ سَمِعَهُ الإِنسَانُ لَصَعِقَ.) “Ketika jenazah telah diletakkan dan diusung oleh orang-orang di atas pundak-pundak mereka, jika dahulu ia orang yang shalih, ia berkata: ‘Segerakan aku, segerakan aku.’ Namun jika dahulu ia bukan orang yang saleh, ia berkata: ‘Duhai, celakalah aku, ke mana kalian membawaku?’ Suaranya terdengar oleh semua makhluk, kecuali manusia. Seandainya manusia mendengarnya, tentulah ia akan pingsan.”   [Panasnya Hari Kiamat] Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Umamah radhiyallahu ’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: ِ(تَدْنُو الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَدْرِ مِيلٍ، وَيَزْدَادُ فِي حَرِّهَا كَذَا وَكَذَا، فَتَغْلِي مِنْهَا الرُّءُوسُ كَمَا تَغْلِي الْقُدُورُ، يَعْرَقُونَ فِيهَا عَلَى قَدْرِ خَطَايَاهُمْ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى سَاقَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى وَسَطِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْجِمُهُ الْعَرَقُ.) “Pada hari Kiamat, matahari mendekat hingga jaraknya menjadi satu mil. Panasnya akan ditambah sekian dan sekian. Kepala-kepala mendidih seperti panci yang mendidih. Orang-orang mengeluarkan keringat sesuai dengan dosa-dosa mereka; ada yang sampai mata kakinya, ada yang sampai kedua betisnya, ada pula yang sampai separuh tubuhnya (pinggang), dan ada yang sampai ke mulutnya.”   [Malaikat Israfil Sudah Bersiap-Siap] Di dalam al-Musnad, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, dari Nabi, bahwa beliau bersabda: ِ(كَيْفَ أَنْعَمُ وَصَاحِبُ الْقَرْنِ قَدِ الْتَقَمَ الْقَرْنَ، وَحَتَّى جَبْهَتُهُ مَعَ يُؤْمَرُ فَيَنْفُخُ؟ فَقَالَ أَصْحَابُهُ: كَيْفَ نَقُولُ؟ قَالَ: (حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا). “Bagaimana mungkin aku hidup senang, sedang pemilik sangkakala telah siap meniup sangkakala di mulutnya? Dahinya menunduk, ia mendengarkan secara saksama kapan ia diperintahkan untuk meniupnya.” Para Sahabat bertanya: “Apa yang harus kita ucapkan?” Beliau menjawab: “Katakanlah: ‘Hasbunallah wa ni’mal wakil, ‘alallahi tawakkalna’ (Cukuplah Allah bagi kami dan Dia adalah sebaik-baik penolong. Kami bertawakal kepada-Nya).”   [Hukuman bagi Orang Sombong] Di dalam al-Musnad dari Ibnu Umar, ia meriwayatkannya secara marfu’ (periwayatan hadis yang sampai kepada Nabi): ِ((مَنْ تعظم فِي نَفْسِهِ، أَوْ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ، لَقِيَ اللَّهَ تَعَالَى وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانٌ)) “Siapa yang membanggakan diri dan congkak dalam gaya jalannya, niscaya ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya.”   [Hukuman bagi Perupa Makhluk Bernyawa] Di dalam ash-Shahihain, dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: ِ((إِنَّ الْمُصَوِّرِينَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ)) “Sesungguhnya para penggambar akan diadzab pada hari Kiamat. Akan dikatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang kalian buat.’” Baca juga:  Hukum Mengambil Foto dengan Kamera Apa Hukum Fotografi dalam Islam?   [Penduduk Surga ketika di Dalam Kubur] Di dalam ash-Shahihain, dari Ibnu Umar, dari Nabi, bahwa beliau bersabda: ِ((إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ، إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَيُقَالُ: هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)) “Sesungguhnya jika salah seorang kalian meninggal dunia, maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya kelak, pada waktu pagi dan petang. Jika ia termasuk penghuni Surga, maka ia akan melihat tempat duduknya di Surga. Jika ia termasuk penghuni Neraka, maka ia akan melihat tempat duduknya di Neraka. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Inilah tempat dudukmu hingga kelak Allah membangkitkanmu pada hari Kiamat.’”   [Kezaliman Akan Diselesaikan pada Hari Kiamat] Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Barang siapa yang pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau mengambil sesuatu darinya, hendaknya segera meminta maaf dan kehalalannya (di dunia ini) sebelum tiba hari di mana dinar dan dirham tak lagi bermanfaat. Jika tidak, maka pada hari kiamat, amal salehnya akan diambil sebanding dengan kezaliman yang telah diperbuat. Jika ia tidak lagi memiliki kebaikan, maka keburukan orang yang pernah ia zalimi akan dipindahkan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, ِأَتَدْرُونَ ما المُفْلِسُ؟ قالوا: المُفْلِسُ فِينا مَن لا دِرْهَمَ له ولا مَتاعَ، فقالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتي يَأْتي يَومَ القِيامَةِ بصَلاةٍ، وصِيامٍ، وزَكاةٍ، ويَأْتي قدْ شَتَمَ هذا، وقَذَفَ هذا، وأَكَلَ مالَ هذا، وسَفَكَ دَمَ هذا، وضَرَبَ هذا، فيُعْطَى هذا مِن حَسَناتِهِ، وهذا مِن حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى ما عليه أُخِذَ مِن خَطاياهُمْ فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ. “Tahukah kalian siapa yang disebut sebagai orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki uang atau harta benda.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang benar-benar bangkrut dari kalangan umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, di saat yang sama, mereka juga membawa dosa karena pernah mencela, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul sesama. Maka kelak, kebaikan-kebaikan yang dimilikinya akan diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika seluruh amal kebaikannya telah habis, sedangkan dosa kezalimannya belum terbayar, dosa-dosa orang yang terzalimi akan dipindahkan kepadanya. Akhirnya, dia pun akan dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581) Baca juga: Dosa Kezaliman, Ingatlah dan Mintalah Maaf   [Merampas Tanah Orang Lain] Dalam Kitab Ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ«مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ» . “Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara tidak sah, maka ia akan ditenggelamkan pada hari kiamat hingga kedalaman tujuh lapis bumi.”  Baca juga: Merampas Harta Orang Lain Hukum Merampas Barang Milik Orang Lain (Ghashab)   [Panasnya Neraka Jahannam] Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  ِ«نَارُكُمْ هَذِهِ الَّتِي يُوقِدُ بَنُو آدَمَ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ، قَالُوا:وَاللَّهِ إِنْ كَانَتْ لَكَافِيَةٌ، قَالَ: فَإِنَّهَا قَدْ فُضِّلَتْ عَلَيْهَا بِتِسْعَةٍ وَسِتِّينَ جُزْءًا كُلُّهُنَّ مِثْلُ حَرِّهَا» . “Api kalian yang dinyalakan oleh manusia ini adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari api neraka Jahannam.” Para sahabat berkata, “Demi Allah, itu saja sudah cukup.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya api neraka Jahannam melebihi panasnya dengan enam puluh sembilan bagian, semuanya memiliki panas seperti api yang ada di dunia ini.”   [Gara-Gara Qurban dengan Lalat Bisa Masuk Neraka] Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Abu Mu’awiyah; kami diberitahu al-A’masy; dari Salman bin Maisarah, dari Thariq bin Syihab, ia me-marfu’-kannya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ: «دَخَلَ رَجُلٌ الْجَنَّةَ فِي ذُبَابٍ، وَدَخَلَ رَجُلٌ النَّارَ فِي ذُبَابٍ، قَالُوا: وَكَيْفَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ مَرَّ رَجُلَانِ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ صَنَمٌ لَا يَجُوزُهُ أَحَدٌ حَتَّى يُقَرِّبَ لَهُ شَيْئًا، فَقَالُوا لِأَحَدِهِمَا: قَرِّبْ، فَقَالَ لَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ، قَالُوا قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَابًا، فَخَلَّوْا سَبِيلَهُ، فَدَخَلَ النَّارَ، وَقَالُوا لِلْآخَرِ: قَرِّبْ، فَقَالَ: مَا كُنْتُ لِأُقَرِّبَ لِأَحَدٍ شَيْئًا مِنْ دُونِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَضَرَبُوا عُنُقَهُ، فَدَخَلَ الْجَنَّةَ، وَهَذِهِ الْكَلِمَةُ الْوَاحِدَةُ يَتَكَلَّمُ بِهَا الْعَبْدُ يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ. “Seseorang masuk Surga disebabkan seekor lalat dan seorang lainnya masuk Neraka disebabkan seekor lalat.” “Bagaimana itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?” tanya para Sahabat. Beliau kemudian menjelaskan, “Ada dua orang yang melewati suatu kaum yang memiliki patung; sementara tidak ada seorang pun yang boleh melewatinya melainkan harus mempersembahkan sesuatu. Kaum tadi berkata kepada salah seorang dari keduanya, ‘Berqurbanlah dengan sesuatu.’ Ia menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatu pun.’ ‘Berqurbanlah walaupun hanya dengan seekor lalat.’ Orang itu lalu berqurban dengan seekor lalat dan mereka pun membiarkannya meneruskan perjalanan. Karena itulah ia masuk Neraka. Selanjutnya, kaum itu berkata kepada orang kedua: ‘Berqurbanlah dengan sesuatu.’ ‘Aku tidak mau berqurban dengan sesuatu untuk siapa pun juga selain Allah,’ jawabnya. Mereka lantas memenggal lehernya, dan ia pun masuk Surga.” Nabi melanjutkan sabdanya, “Inilah satu kalimat yang diucapkan oleh seorang hamba sehingga menyebabkannya jatuh ke dalam Neraka (yang kedalamannya) lebih jauh dibandingkan jarak antara timur dan barat.” Baca juga: Masuk Neraka Karena Lalat   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa Meminta Perlindungan dari Siksa Neraka, dari Kejelekan Kaya dan Miskin 70.000 Orang yang Masuk Surga Tanpa Siksa – Diselesaikan pada 28 Rabiul Awal 1446 H, 2 Oktober 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir doa ampunan dosa besar dosa syirik faedah dari Ibnul Qayyim istighfar nasihat ibnul qayyim taubat


Banyak orang yang bersandar pada rahmat Allah, namun lalai akan siksaan-Nya yang pedih bagi para pendosa. Tulisan ini mengingatkan kita tentang bahaya mengabaikan perintah Allah dan akibatnya di akhirat nanti.   Daftar Isi tutup 1. [Hukuman bagi Dai yang Tidak Mengamalkan Ilmunya] 2. [Hukuman bagi Tukang Ghibah] 3. [Hati Manusia Bisa Berbolak-Balik, Hanya Allah yang Beri Petunjuk] 4. [Malaikat Malik Tak Pernah Tertawa] 5. [Saat Penduduk Neraka Merasakan Siksa, Penduduk Surga Merasakan Nikmat] 6. [Hukuman bagi Pecandu Khamr] 7. [Kubur Disempitlkan] 8. [Jenazah Orang Saleh dan Tidak Saleh di Kubur] 9. [Panasnya Hari Kiamat] 10. [Malaikat Israfil Sudah Bersiap-Siap] 11. [Hukuman bagi Orang Sombong] 12. [Hukuman bagi Perupa Makhluk Bernyawa] 13. [Penduduk Surga ketika di Dalam Kubur] 14. [Kezaliman Akan Diselesaikan pada Hari Kiamat] 15. [Merampas Tanah Orang Lain] 16. [Panasnya Neraka Jahannam] 17. [Gara-Gara Qurban dengan Lalat Bisa Masuk Neraka] Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (hlm. 41-43) sebagai berikut: Banyak orang yang bodoh bersandar pada rahmat, ampunan, dan kemurahan Allah sehingga mengabaikan perintah dan larangan. Mereka lalai terhadap siksa Allah yang amat pedih, bahkan siksa-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa tidak bisa ditolak. Orang yang bersandar pada ampunan Allah, tetapi terus-menerus berbuat dosa, layaknya seorang pembangkang. Ma’ruf berkata: “Harapanmu terhadap rahmat Dzat yang tidak kamu patuhi merupakan kebodohan dan kehinaan.” Sebagian ulama mengatakan: “Siapa saja di antara kalian yang terpotong tangannya di dunia karena mencuri tiga dirham janganlah pernah merasa aman. Sebab, dengan saja hukumannya di akhirat nanti benar-benar akan lebih daripada perbuatan tersebut.” Seseorang melayani al-Hasan: “Kami melihatmu sering menangis.” Ia menjawab: “Aku takut Allah melemparkanku ke dalam Neraka, sedangkan Dia tidak peduli.” Ia juga berkata: “Sungguh, terdapat suatu kaum yang dilalaikan oleh angan-angan akan ampunan Allah sehingga mereka meninggal dunia tanpa bertaubat. Salah seorang berkata: ‘Hal ini disebabkan aku banyak bersangka terhadap Rabbku.’ Ini merupakan pernyataan dusta! Sekiranya orang itu benar-benar bersangka kepada-Nya, tentu ia akan memperbaiki amalnya.” Seorang laki-laki bertanya kepada al-Hasan: “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami perbuat saat berkumpul dengan suatu kaum yang menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hampir terbang?” Ia menjawab: “Demi Allah, sesungguhnya berteman dengan suatu kaum yang menakut-nakutimu hingga akhirnya kamu menemukan rasa aman itu lebih baik daripada kamu berteman dengan sekelompok orang yang membuatmu merasa aman, namun pada akhirnya kamu dikejar-kejar oleh perkara-perkara yang menakutkan.”   [Hukuman bagi Dai yang Tidak Mengamalkan Ilmunya] Disebutkan dalam ash-Shahīhain, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِيُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى، فَيَطُوفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ، مَا أَصَابَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ. “Seorang pria didatangkan pada hari Kiamat, lalu dilemparkan ke dalam Neraka. Isi perutnya terburai, dan ia berputar-putar di Neraka seperti keledai yang berkeliling pada batu penggiling gandum. Lalu ia dikerumuni oleh penghuni Neraka, mereka berkata: ‘Wahai Fulan, apa yang menimpamu? Bukankah kamu dahulu menyuruh kami berbuat baik dan mencegah kami dari berbuat keji?’ Ia menjawab: ‘Sesungguhnya aku dahulu menyuruh kalian berbuat baik, namun aku tidak melakukannya. Aku juga mencegah kalian dari berbuat keji, namun aku melakukannya.’” Imam Ahmad menyebutkan hadits Abu Rafi’, ia berkata: “Rasulullah pernah melewati kuburan al-Baqi’ lalu berkata: ‘Cis, cis.’ Aku mengira ucapan tersebut ditujukan kepadaku. Beliau berkata: ‘Bukan kamu yang aku maksud, tetapi penghuni kubur itu. Aku mengutusnya untuk mengambil zakat dari keluarga Fulan, tetapi ia mengambil sebuah pakaian (darinya). Sekarang, ia dikenakan pakaian yang serupa dari api Neraka.’” Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِمَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ مِقْرَاضًا مِنْ نَارٍ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: خُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ، أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟ “Pada malam Isra’ Mi’raj, aku melewati suatu kaum yang bibir mereka digunting dengan gunting dari api Neraka. Aku bertanya: ‘Siapakah mereka?’ Mereka (Jibril dan para Malaikat) menjawab: ‘Para khathib (tukang khutbah) dari umatmu di dunia. Mereka menyuruh manusia untuk melakukan kebaikan, namun mereka melupakan diri sendiri. Tidakkah mereka berpikir?’”   [Hukuman bagi Tukang Ghibah] Masih dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِلَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).   [Hati Manusia Bisa Berbolak-Balik, Hanya Allah yang Beri Petunjuk] Disebutkan pula dalam kitab yang sama, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Nabi sering mengucapkan: ِيَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ. فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ إِصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ شَاءَ. “Wahai Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu.” Kami menyahut: “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa, apakah engkau masih mengkhawatirkan kami?” Beliau menjawab: “Benar. Sungguh hati itu berada di antara dua jari dari jari-jari Allah; Dia membolak-balikkan sesuai dengan kehendak-Nya.”   [Malaikat Malik Tak Pernah Tertawa] Disebutkan juga dalam kitab tersebut, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jibril: ِمَا لِي لَمْ أَرَ مِيكَائِيلَ ضَاحِكًا قَطُّ. قَالَ: مَا ضَحِكَ مُنْذُ خُلِقَتِ النَّارُ. “Mengapa aku belum pernah melihat Malaikat Mikail tertawa?” Jibril menjawab: “Ia tidak pernah tertawa sejak Neraka diciptakan.”   [Saat Penduduk Neraka Merasakan Siksa, Penduduk Surga Merasakan Nikmat] Di dalam Shahih Muslim, juga dari Anas, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ِيُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً، ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا وَاللهِ يَا رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ، وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ. “Didatangkan orang yang paling menikmati hidup di dunia dari kalangan penghuni Neraka, lalu dicelupkan ke dalam Neraka sekali celupan, kemudian ditanya: ‘Wahai anak Adam, pernahkah engkau melihat kebaikan? Pernahkah engkau merasakan kenikmatan?’ Maka ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah, wahai Tuhanku.’ Dan didatangkan pula orang yang paling menderita di dunia dari kalangan penghuni Surga, lalu dicelupkan ke dalam Surga sekali celupan, kemudian ditanya: ‘Wahai anak Adam, pernahkah engkau merasakan penderitaan? Pernahkah engkau mengalami kesulitan?’ Maka ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah, wahai Tuhanku, aku tidak pernah merasakan penderitaan, dan aku tidak pernah melihat kesulitan.’” “Dihadirkan salah seorang calon penghuni Neraka yang sewaktu di dunia adalah orang yang paling banyak mendapat kesenangan. Lantas, ia dicelupkan ke dalam Neraka, sekali celupan, lalu ditanya: ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat suatu kebaikan? Apakah kamu pernah merasakan suatu kesenangan?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah, tidak pernah, wahai Rabbku.’ Selanjutnya, dihadirkan salah seorang calon penghuni Surga yang sewaktu di dunia adalah orang yang paling sengsara. Lantas, ia dicelupkan ke dalam Surga, sekali celupan, lalu ditanya: ‘Wahai Anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesengsaraan? Apakah kamu pernah mengalami penderitaan?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah, tidak pernah, wahai Rabbku’. Aku tidak pernah mengalami kesengsaraan dan aku tidak pernah melihat penderitaan.”   [Hukuman bagi Pecandu Khamr] Dalam Shahih Muslim, dari Jabir, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda: ِ(كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَهِدَ إِلَى مَنْ شَرِبَ الْمُسْكِرَاتِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ. قِيلَ: وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ؟ قَالَ: عُرَاقُ أَهْلِ النَّارِ، أَوْ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ.) “Setiap yang memabukkan itu haram. Sesungguhnya Allah berjanji terhadap siapa saja yang meminum minuman yang memabukkan bahwa ia akan diberi minum dari thinatu khabal.” Ada yang bertanya: “Apa maksud dari thinatu khabal?” Beliau kemudian menjawab: “Keringat atau cairan perasan tubuh penghuni Neraka.” Baca juga: Khamr itu Biang Kerusakan   [Kubur Disempitlkan] Di dalam Al-Musnad, dari hadits Hudzaifah, ia menuturkan, “Kami pernah mengiringi sebuah jenazah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setibanya di kuburan, beliau duduk di tepinya dan berkali-kali melihat ke dalamnya. Beliau pun bersabda,  يُضْغَطُ المُؤْمِنُ فِيْهِ ضَغْطَةً تَزُولُ مِنْهَا حَمَائِلُهُ، وَيُمْلَأُ عَلَى الْكَافِرِ نَارًا “Di dalam kubur, orang Mukmin dihimpit dengan suatu himpitan yang menghancurkan urat-urat kedua testisnya, sedangkan kuburan orang kafir dipenuhi dengan api.” Arti dari al-hama-il (الحَمَائِلُ) adalah urat-urat kedua testis. Di dalam al-Musnad, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami pernah pergi bersama Rasulullah ke tempat Sa’ad bin Mu’adz ketika ia meninggal. Setelah Rasulullah menshalatkannya dan jenazahnya diletakkan di dalam kubur, serta kuburan tersebut telah diratakan, beliau bertasbih. Kami bertasbih dalam waktu yang lama. Sesudah itu, beliau bertakbir. Kami kembali bertakbir dalam waktu yang lama. Ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau bertasbih kemudian bertakbir?’ Beliau menjawab: ِ(لَقَدْ تَضَايَقَ القَبْرُ عَلَى هَذَا العَبْدِ الصَّالِحِ ضَمَّةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا.) “Kuburan tersebut telah menghimpit hamba yang salih ini, hingga akhirnya Allah melapangkannya.”   [Jenazah Orang Saleh dan Tidak Saleh di Kubur] Di dalam Shahihul Bukhari, dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: ِ(إِذَا وُضِعَتِ الْجَنَازَةُ وَاحْتَمَلَهَا الرِّجَالُ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ، فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَالَتْ: قَدِّمُونِي قَدِّمُونِي، وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ صَالِحَةٍ قَالَتْ: يَا وَيْلَهَا أَيْنَ تَذْهَبُونَ بِهَا، يَسْمَعُ صَوْتَهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الإِنسَانَ، وَلَوْ سَمِعَهُ الإِنسَانُ لَصَعِقَ.) “Ketika jenazah telah diletakkan dan diusung oleh orang-orang di atas pundak-pundak mereka, jika dahulu ia orang yang shalih, ia berkata: ‘Segerakan aku, segerakan aku.’ Namun jika dahulu ia bukan orang yang saleh, ia berkata: ‘Duhai, celakalah aku, ke mana kalian membawaku?’ Suaranya terdengar oleh semua makhluk, kecuali manusia. Seandainya manusia mendengarnya, tentulah ia akan pingsan.”   [Panasnya Hari Kiamat] Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Umamah radhiyallahu ’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: ِ(تَدْنُو الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَدْرِ مِيلٍ، وَيَزْدَادُ فِي حَرِّهَا كَذَا وَكَذَا، فَتَغْلِي مِنْهَا الرُّءُوسُ كَمَا تَغْلِي الْقُدُورُ، يَعْرَقُونَ فِيهَا عَلَى قَدْرِ خَطَايَاهُمْ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى سَاقَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَبْلُغُ إِلَى وَسَطِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْجِمُهُ الْعَرَقُ.) “Pada hari Kiamat, matahari mendekat hingga jaraknya menjadi satu mil. Panasnya akan ditambah sekian dan sekian. Kepala-kepala mendidih seperti panci yang mendidih. Orang-orang mengeluarkan keringat sesuai dengan dosa-dosa mereka; ada yang sampai mata kakinya, ada yang sampai kedua betisnya, ada pula yang sampai separuh tubuhnya (pinggang), dan ada yang sampai ke mulutnya.”   [Malaikat Israfil Sudah Bersiap-Siap] Di dalam al-Musnad, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, dari Nabi, bahwa beliau bersabda: ِ(كَيْفَ أَنْعَمُ وَصَاحِبُ الْقَرْنِ قَدِ الْتَقَمَ الْقَرْنَ، وَحَتَّى جَبْهَتُهُ مَعَ يُؤْمَرُ فَيَنْفُخُ؟ فَقَالَ أَصْحَابُهُ: كَيْفَ نَقُولُ؟ قَالَ: (حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا). “Bagaimana mungkin aku hidup senang, sedang pemilik sangkakala telah siap meniup sangkakala di mulutnya? Dahinya menunduk, ia mendengarkan secara saksama kapan ia diperintahkan untuk meniupnya.” Para Sahabat bertanya: “Apa yang harus kita ucapkan?” Beliau menjawab: “Katakanlah: ‘Hasbunallah wa ni’mal wakil, ‘alallahi tawakkalna’ (Cukuplah Allah bagi kami dan Dia adalah sebaik-baik penolong. Kami bertawakal kepada-Nya).”   [Hukuman bagi Orang Sombong] Di dalam al-Musnad dari Ibnu Umar, ia meriwayatkannya secara marfu’ (periwayatan hadis yang sampai kepada Nabi): ِ((مَنْ تعظم فِي نَفْسِهِ، أَوْ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ، لَقِيَ اللَّهَ تَعَالَى وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانٌ)) “Siapa yang membanggakan diri dan congkak dalam gaya jalannya, niscaya ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya.”   [Hukuman bagi Perupa Makhluk Bernyawa] Di dalam ash-Shahihain, dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: ِ((إِنَّ الْمُصَوِّرِينَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ)) “Sesungguhnya para penggambar akan diadzab pada hari Kiamat. Akan dikatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang kalian buat.’” Baca juga:  Hukum Mengambil Foto dengan Kamera Apa Hukum Fotografi dalam Islam?   [Penduduk Surga ketika di Dalam Kubur] Di dalam ash-Shahihain, dari Ibnu Umar, dari Nabi, bahwa beliau bersabda: ِ((إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ، إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَيُقَالُ: هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)) “Sesungguhnya jika salah seorang kalian meninggal dunia, maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya kelak, pada waktu pagi dan petang. Jika ia termasuk penghuni Surga, maka ia akan melihat tempat duduknya di Surga. Jika ia termasuk penghuni Neraka, maka ia akan melihat tempat duduknya di Neraka. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Inilah tempat dudukmu hingga kelak Allah membangkitkanmu pada hari Kiamat.’”   [Kezaliman Akan Diselesaikan pada Hari Kiamat] Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ “Barang siapa yang pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau mengambil sesuatu darinya, hendaknya segera meminta maaf dan kehalalannya (di dunia ini) sebelum tiba hari di mana dinar dan dirham tak lagi bermanfaat. Jika tidak, maka pada hari kiamat, amal salehnya akan diambil sebanding dengan kezaliman yang telah diperbuat. Jika ia tidak lagi memiliki kebaikan, maka keburukan orang yang pernah ia zalimi akan dipindahkan kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 2449) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, ِأَتَدْرُونَ ما المُفْلِسُ؟ قالوا: المُفْلِسُ فِينا مَن لا دِرْهَمَ له ولا مَتاعَ، فقالَ: إنَّ المُفْلِسَ مِن أُمَّتي يَأْتي يَومَ القِيامَةِ بصَلاةٍ، وصِيامٍ، وزَكاةٍ، ويَأْتي قدْ شَتَمَ هذا، وقَذَفَ هذا، وأَكَلَ مالَ هذا، وسَفَكَ دَمَ هذا، وضَرَبَ هذا، فيُعْطَى هذا مِن حَسَناتِهِ، وهذا مِن حَسَناتِهِ، فإنْ فَنِيَتْ حَسَناتُهُ قَبْلَ أنْ يُقْضَى ما عليه أُخِذَ مِن خَطاياهُمْ فَطُرِحَتْ عليه، ثُمَّ طُرِحَ في النَّارِ. “Tahukah kalian siapa yang disebut sebagai orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki uang atau harta benda.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang benar-benar bangkrut dari kalangan umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, di saat yang sama, mereka juga membawa dosa karena pernah mencela, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul sesama. Maka kelak, kebaikan-kebaikan yang dimilikinya akan diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika seluruh amal kebaikannya telah habis, sedangkan dosa kezalimannya belum terbayar, dosa-dosa orang yang terzalimi akan dipindahkan kepadanya. Akhirnya, dia pun akan dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581) Baca juga: Dosa Kezaliman, Ingatlah dan Mintalah Maaf   [Merampas Tanah Orang Lain] Dalam Kitab Ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ«مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ» . “Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara tidak sah, maka ia akan ditenggelamkan pada hari kiamat hingga kedalaman tujuh lapis bumi.”  Baca juga: Merampas Harta Orang Lain Hukum Merampas Barang Milik Orang Lain (Ghashab)   [Panasnya Neraka Jahannam] Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  ِ«نَارُكُمْ هَذِهِ الَّتِي يُوقِدُ بَنُو آدَمَ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ، قَالُوا:وَاللَّهِ إِنْ كَانَتْ لَكَافِيَةٌ، قَالَ: فَإِنَّهَا قَدْ فُضِّلَتْ عَلَيْهَا بِتِسْعَةٍ وَسِتِّينَ جُزْءًا كُلُّهُنَّ مِثْلُ حَرِّهَا» . “Api kalian yang dinyalakan oleh manusia ini adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari api neraka Jahannam.” Para sahabat berkata, “Demi Allah, itu saja sudah cukup.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya api neraka Jahannam melebihi panasnya dengan enam puluh sembilan bagian, semuanya memiliki panas seperti api yang ada di dunia ini.”   [Gara-Gara Qurban dengan Lalat Bisa Masuk Neraka] Imam Ahmad berkata, “Kami diberitahu Abu Mu’awiyah; kami diberitahu al-A’masy; dari Salman bin Maisarah, dari Thariq bin Syihab, ia me-marfu’-kannya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ: «دَخَلَ رَجُلٌ الْجَنَّةَ فِي ذُبَابٍ، وَدَخَلَ رَجُلٌ النَّارَ فِي ذُبَابٍ، قَالُوا: وَكَيْفَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ مَرَّ رَجُلَانِ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ صَنَمٌ لَا يَجُوزُهُ أَحَدٌ حَتَّى يُقَرِّبَ لَهُ شَيْئًا، فَقَالُوا لِأَحَدِهِمَا: قَرِّبْ، فَقَالَ لَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ، قَالُوا قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَابًا، فَخَلَّوْا سَبِيلَهُ، فَدَخَلَ النَّارَ، وَقَالُوا لِلْآخَرِ: قَرِّبْ، فَقَالَ: مَا كُنْتُ لِأُقَرِّبَ لِأَحَدٍ شَيْئًا مِنْ دُونِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَضَرَبُوا عُنُقَهُ، فَدَخَلَ الْجَنَّةَ، وَهَذِهِ الْكَلِمَةُ الْوَاحِدَةُ يَتَكَلَّمُ بِهَا الْعَبْدُ يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ. “Seseorang masuk Surga disebabkan seekor lalat dan seorang lainnya masuk Neraka disebabkan seekor lalat.” “Bagaimana itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?” tanya para Sahabat. Beliau kemudian menjelaskan, “Ada dua orang yang melewati suatu kaum yang memiliki patung; sementara tidak ada seorang pun yang boleh melewatinya melainkan harus mempersembahkan sesuatu. Kaum tadi berkata kepada salah seorang dari keduanya, ‘Berqurbanlah dengan sesuatu.’ Ia menjawab, ‘Aku tidak memiliki sesuatu pun.’ ‘Berqurbanlah walaupun hanya dengan seekor lalat.’ Orang itu lalu berqurban dengan seekor lalat dan mereka pun membiarkannya meneruskan perjalanan. Karena itulah ia masuk Neraka. Selanjutnya, kaum itu berkata kepada orang kedua: ‘Berqurbanlah dengan sesuatu.’ ‘Aku tidak mau berqurban dengan sesuatu untuk siapa pun juga selain Allah,’ jawabnya. Mereka lantas memenggal lehernya, dan ia pun masuk Surga.” Nabi melanjutkan sabdanya, “Inilah satu kalimat yang diucapkan oleh seorang hamba sehingga menyebabkannya jatuh ke dalam Neraka (yang kedalamannya) lebih jauh dibandingkan jarak antara timur dan barat.” Baca juga: Masuk Neraka Karena Lalat   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa Meminta Perlindungan dari Siksa Neraka, dari Kejelekan Kaya dan Miskin 70.000 Orang yang Masuk Surga Tanpa Siksa – Diselesaikan pada 28 Rabiul Awal 1446 H, 2 Oktober 2024 @ Perjalanan Gunungkidul – Sekar Kedhaton Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi berdoa beriman kepada takdir doa ampunan dosa besar dosa syirik faedah dari Ibnul Qayyim istighfar nasihat ibnul qayyim taubat

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 181 – MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINI

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 181 – MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINI Posted on October 2, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 181MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINI Anak itu akan tumbuh sesuai dengan apa yang ditanamkan oleh pendidiknya di masa kecil. Karena itulah sejak dini, anak harus dibiasakan berakhlak mulia. Pembiasaan ini harus dilakukan dengan cara yang mulia pula. Yakni dengan kelembutan, bukan kekasaran. Akhlak mulia yang dimaksud di sini adalah akhlak yang bersifat batiniyah maupun lahiriah. Akhlak batiniyah adalah sifat-sifat baik yang ditumbuhkan di dalam hati. Seperti ketergantungan kepada Allah, kesabaran, kedermawanan serta kebersihan hati dari rasa iri dan dengki terhadap orang lain. Sedangkan akhlak lahiriah adalah: sopan santun dalam berbicara, bersikap baik kepada orang tua dan orang lain, adab makan, adab bertamu dan yang semisal itu. Terkait dengan penanaman akhlak batiniyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan dalam sabdanya kepada keponakan beliau; Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, «يَا غُلاَمُ … إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ» “Nak… Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Bila engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah bila seluruh manusia bersatu padu untuk memberimu suatu manfaat, maka mereka tidak akan mampu memberikannya, kecuali bila telah ditakdirkan Allah. Sebaliknya bila mereka semua bersatu padu untuk mencelakaimu, maka mereka tidak akan mampu melakukannya, kecuali bila telah ditakdirkan Allah. Pena takdir telah diangkat dan kitab takdir telah selesai dituliskan”. HR. Tirmidziy (No. 2516) dan beliau mengatakan hadits ini hasan sahih. Adapun contoh penanaman akhlak lahiriyah, adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu, “Nak, bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu, dan ambillah makanan yang terdekat denganmu”. HR. Bukhari (No. 5376) dan Muslim (No. 2022). Proses penanaman berbagai akhlak mulia di atas, harus dijalankan dengan cara yang baik. Yakni dengan menyampaikan pesan-pesan mulia tersebut secara halus dan ungkapan yang mudah dimengerti. Bukan dengan kekasaran, teriakan, atau marah-marah. Yang justru akan mengakibatkan anak bersikap antipati. Di atas itu semua, orang tua harus menjadi suri teladan dalam mempraktekkan akhlak-akhlak mulia tadi. Sebab anak adalah peniru ulung. Maka pembiasaan baik yang ditanamkan kepada buah hati, mesti dibarengi dengan keteladanan dari kedua orang tua. Alangkah kontradiktifnya, orang tua yang menyuruh anaknya makan dan minum menggunakan tangan kanan, namun mereka berdua masih terbiasa menggunakan tangan kiri. Orang tua menyuruh anaknya bersikap dermawan, tapi mereka berdua mencontohkan sifat pelit dalam kesehariannya. Ketidaksinkronan antara ucapan dan perbuatan ini, tentu akan mengganggu proses penanaman akhlak mulia dalam diri anak. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Shafar 1445 / 4 September 2023 Terinspirasi dari buku Islamic Parenting, karya Jamal Abdurrahman (hal. 115-119). No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 200 – ATURAN SAAT MIMPI BAIKSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 181 – MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINI

Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 181 – MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINI Posted on October 2, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 181MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINI Anak itu akan tumbuh sesuai dengan apa yang ditanamkan oleh pendidiknya di masa kecil. Karena itulah sejak dini, anak harus dibiasakan berakhlak mulia. Pembiasaan ini harus dilakukan dengan cara yang mulia pula. Yakni dengan kelembutan, bukan kekasaran. Akhlak mulia yang dimaksud di sini adalah akhlak yang bersifat batiniyah maupun lahiriah. Akhlak batiniyah adalah sifat-sifat baik yang ditumbuhkan di dalam hati. Seperti ketergantungan kepada Allah, kesabaran, kedermawanan serta kebersihan hati dari rasa iri dan dengki terhadap orang lain. Sedangkan akhlak lahiriah adalah: sopan santun dalam berbicara, bersikap baik kepada orang tua dan orang lain, adab makan, adab bertamu dan yang semisal itu. Terkait dengan penanaman akhlak batiniyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan dalam sabdanya kepada keponakan beliau; Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, «يَا غُلاَمُ … إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ» “Nak… Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Bila engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah bila seluruh manusia bersatu padu untuk memberimu suatu manfaat, maka mereka tidak akan mampu memberikannya, kecuali bila telah ditakdirkan Allah. Sebaliknya bila mereka semua bersatu padu untuk mencelakaimu, maka mereka tidak akan mampu melakukannya, kecuali bila telah ditakdirkan Allah. Pena takdir telah diangkat dan kitab takdir telah selesai dituliskan”. HR. Tirmidziy (No. 2516) dan beliau mengatakan hadits ini hasan sahih. Adapun contoh penanaman akhlak lahiriyah, adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu, “Nak, bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu, dan ambillah makanan yang terdekat denganmu”. HR. Bukhari (No. 5376) dan Muslim (No. 2022). Proses penanaman berbagai akhlak mulia di atas, harus dijalankan dengan cara yang baik. Yakni dengan menyampaikan pesan-pesan mulia tersebut secara halus dan ungkapan yang mudah dimengerti. Bukan dengan kekasaran, teriakan, atau marah-marah. Yang justru akan mengakibatkan anak bersikap antipati. Di atas itu semua, orang tua harus menjadi suri teladan dalam mempraktekkan akhlak-akhlak mulia tadi. Sebab anak adalah peniru ulung. Maka pembiasaan baik yang ditanamkan kepada buah hati, mesti dibarengi dengan keteladanan dari kedua orang tua. Alangkah kontradiktifnya, orang tua yang menyuruh anaknya makan dan minum menggunakan tangan kanan, namun mereka berdua masih terbiasa menggunakan tangan kiri. Orang tua menyuruh anaknya bersikap dermawan, tapi mereka berdua mencontohkan sifat pelit dalam kesehariannya. Ketidaksinkronan antara ucapan dan perbuatan ini, tentu akan mengganggu proses penanaman akhlak mulia dalam diri anak. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Shafar 1445 / 4 September 2023 Terinspirasi dari buku Islamic Parenting, karya Jamal Abdurrahman (hal. 115-119). No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 200 – ATURAN SAAT MIMPI BAIKSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 181 – MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINI Posted on October 2, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 181MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINI Anak itu akan tumbuh sesuai dengan apa yang ditanamkan oleh pendidiknya di masa kecil. Karena itulah sejak dini, anak harus dibiasakan berakhlak mulia. Pembiasaan ini harus dilakukan dengan cara yang mulia pula. Yakni dengan kelembutan, bukan kekasaran. Akhlak mulia yang dimaksud di sini adalah akhlak yang bersifat batiniyah maupun lahiriah. Akhlak batiniyah adalah sifat-sifat baik yang ditumbuhkan di dalam hati. Seperti ketergantungan kepada Allah, kesabaran, kedermawanan serta kebersihan hati dari rasa iri dan dengki terhadap orang lain. Sedangkan akhlak lahiriah adalah: sopan santun dalam berbicara, bersikap baik kepada orang tua dan orang lain, adab makan, adab bertamu dan yang semisal itu. Terkait dengan penanaman akhlak batiniyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan dalam sabdanya kepada keponakan beliau; Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, «يَا غُلاَمُ … إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ» “Nak… Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Bila engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah bila seluruh manusia bersatu padu untuk memberimu suatu manfaat, maka mereka tidak akan mampu memberikannya, kecuali bila telah ditakdirkan Allah. Sebaliknya bila mereka semua bersatu padu untuk mencelakaimu, maka mereka tidak akan mampu melakukannya, kecuali bila telah ditakdirkan Allah. Pena takdir telah diangkat dan kitab takdir telah selesai dituliskan”. HR. Tirmidziy (No. 2516) dan beliau mengatakan hadits ini hasan sahih. Adapun contoh penanaman akhlak lahiriyah, adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu, “Nak, bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu, dan ambillah makanan yang terdekat denganmu”. HR. Bukhari (No. 5376) dan Muslim (No. 2022). Proses penanaman berbagai akhlak mulia di atas, harus dijalankan dengan cara yang baik. Yakni dengan menyampaikan pesan-pesan mulia tersebut secara halus dan ungkapan yang mudah dimengerti. Bukan dengan kekasaran, teriakan, atau marah-marah. Yang justru akan mengakibatkan anak bersikap antipati. Di atas itu semua, orang tua harus menjadi suri teladan dalam mempraktekkan akhlak-akhlak mulia tadi. Sebab anak adalah peniru ulung. Maka pembiasaan baik yang ditanamkan kepada buah hati, mesti dibarengi dengan keteladanan dari kedua orang tua. Alangkah kontradiktifnya, orang tua yang menyuruh anaknya makan dan minum menggunakan tangan kanan, namun mereka berdua masih terbiasa menggunakan tangan kiri. Orang tua menyuruh anaknya bersikap dermawan, tapi mereka berdua mencontohkan sifat pelit dalam kesehariannya. Ketidaksinkronan antara ucapan dan perbuatan ini, tentu akan mengganggu proses penanaman akhlak mulia dalam diri anak. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Shafar 1445 / 4 September 2023 Terinspirasi dari buku Islamic Parenting, karya Jamal Abdurrahman (hal. 115-119). No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 200 – ATURAN SAAT MIMPI BAIKSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 181 – MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINI Posted on October 2, 2024by Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 181MENANAMKAN AKHLAK MULIA SEJAK DINI Anak itu akan tumbuh sesuai dengan apa yang ditanamkan oleh pendidiknya di masa kecil. Karena itulah sejak dini, anak harus dibiasakan berakhlak mulia. Pembiasaan ini harus dilakukan dengan cara yang mulia pula. Yakni dengan kelembutan, bukan kekasaran. Akhlak mulia yang dimaksud di sini adalah akhlak yang bersifat batiniyah maupun lahiriah. Akhlak batiniyah adalah sifat-sifat baik yang ditumbuhkan di dalam hati. Seperti ketergantungan kepada Allah, kesabaran, kedermawanan serta kebersihan hati dari rasa iri dan dengki terhadap orang lain. Sedangkan akhlak lahiriah adalah: sopan santun dalam berbicara, bersikap baik kepada orang tua dan orang lain, adab makan, adab bertamu dan yang semisal itu. Terkait dengan penanaman akhlak batiniyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan dalam sabdanya kepada keponakan beliau; Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, «يَا غُلاَمُ … إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ» “Nak… Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Bila engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah bila seluruh manusia bersatu padu untuk memberimu suatu manfaat, maka mereka tidak akan mampu memberikannya, kecuali bila telah ditakdirkan Allah. Sebaliknya bila mereka semua bersatu padu untuk mencelakaimu, maka mereka tidak akan mampu melakukannya, kecuali bila telah ditakdirkan Allah. Pena takdir telah diangkat dan kitab takdir telah selesai dituliskan”. HR. Tirmidziy (No. 2516) dan beliau mengatakan hadits ini hasan sahih. Adapun contoh penanaman akhlak lahiriyah, adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu, “Nak, bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu, dan ambillah makanan yang terdekat denganmu”. HR. Bukhari (No. 5376) dan Muslim (No. 2022). Proses penanaman berbagai akhlak mulia di atas, harus dijalankan dengan cara yang baik. Yakni dengan menyampaikan pesan-pesan mulia tersebut secara halus dan ungkapan yang mudah dimengerti. Bukan dengan kekasaran, teriakan, atau marah-marah. Yang justru akan mengakibatkan anak bersikap antipati. Di atas itu semua, orang tua harus menjadi suri teladan dalam mempraktekkan akhlak-akhlak mulia tadi. Sebab anak adalah peniru ulung. Maka pembiasaan baik yang ditanamkan kepada buah hati, mesti dibarengi dengan keteladanan dari kedua orang tua. Alangkah kontradiktifnya, orang tua yang menyuruh anaknya makan dan minum menggunakan tangan kanan, namun mereka berdua masih terbiasa menggunakan tangan kiri. Orang tua menyuruh anaknya bersikap dermawan, tapi mereka berdua mencontohkan sifat pelit dalam kesehariannya. Ketidaksinkronan antara ucapan dan perbuatan ini, tentu akan mengganggu proses penanaman akhlak mulia dalam diri anak. Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Shafar 1445 / 4 September 2023 Terinspirasi dari buku Islamic Parenting, karya Jamal Abdurrahman (hal. 115-119). No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 200 – ATURAN SAAT MIMPI BAIKSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 201 – ATURAN SAAT MIMPI BURUK SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Apa Maksud “Kebaikan Dunia” dalam Doa Ini? – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Di antara kebaikan terbesar yang dikaruniakan kepada seseorang di dunia adalah apa yang disebutkan oleh al-Hasan al-Basri. Ketika beliau membaca ayat ini (yang artinya), “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (al-Baqarah: 201) Beliau berkata, “Kebaikan dunia adalah bila Allah ‘Azza wa Jalla memberikan ilmu dan ibadah bagi seorang hamba.” Jadi dengan kamu berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia…” seakan-akan kamu berdoa, “Ya Tuhanku, berikan kepadaku perkara-perkara dunia yang bermanfaat bagiku, dan Engkau Maha Mengetahui apa yang baik bagiku…Dan berikan juga kepadaku—ya Tuhanku—ibadah dan ilmu…Ibadah yang membuat Engkau rida…dan ilmu yang menjadikan ibadah itu di atas petunjuk dan keistiqamahan. Oleh sebab itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia…” Adapun yang tercela adalah dengan berucap, “Berikanlah kepadaku di dunia! Berikanlah kepadaku di dunia!” Dia meminta segala hal dengan detail dan terperinci, tapi tidak menyerahkan pilihan yang terbaik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== وَمِنْ أَعْظَمِ الْحَسَنَاتِ الَّتِي يُؤْتَاهَا الْمَرْءُ فِي الدُّنْيَا مَا ذَكَرَهُ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ فَإِنَّهُ لَمَّا قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ قَالَ حَسَنَةُ الدُّنْيَا أَنْ يُؤْتِيَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْعَبْدَ الْعِلْمَ وَالْعِبَادَةَ إِذًا فَبِدُعَائِكَ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً تَقُولُ يَا رَبِّ آتِنِي أُمُورَ الدُّنْيَا الَّتِي تَنْفَعُنِي وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِمَا يُصْلِحُنِي وَآتِنِي يَا رَبِّ عِبَادَةً وَعِلْمًا عِبَادَةً تَرْضَى بِهَا وَعِلْمًا يَجْعَلُ الْعِبَادَةَ عَلَى هُدًى وَاسْتِقَامَةٍ وَلِذَلِكَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً أَمَّا الْمَذْمُوْمُ فَإِنَّهُ يَقُولُ آتِنَا فِي الدُّنْيَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا يَسْأَلُ تَفَاصِيلَ الْأُمُورِ وَدَقَائِقَهَا وَلَا يَكِلُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اِخْتِيَارَ الْأَفْضَلِ

Apa Maksud “Kebaikan Dunia” dalam Doa Ini? – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar #NasehatUlama

Di antara kebaikan terbesar yang dikaruniakan kepada seseorang di dunia adalah apa yang disebutkan oleh al-Hasan al-Basri. Ketika beliau membaca ayat ini (yang artinya), “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (al-Baqarah: 201) Beliau berkata, “Kebaikan dunia adalah bila Allah ‘Azza wa Jalla memberikan ilmu dan ibadah bagi seorang hamba.” Jadi dengan kamu berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia…” seakan-akan kamu berdoa, “Ya Tuhanku, berikan kepadaku perkara-perkara dunia yang bermanfaat bagiku, dan Engkau Maha Mengetahui apa yang baik bagiku…Dan berikan juga kepadaku—ya Tuhanku—ibadah dan ilmu…Ibadah yang membuat Engkau rida…dan ilmu yang menjadikan ibadah itu di atas petunjuk dan keistiqamahan. Oleh sebab itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia…” Adapun yang tercela adalah dengan berucap, “Berikanlah kepadaku di dunia! Berikanlah kepadaku di dunia!” Dia meminta segala hal dengan detail dan terperinci, tapi tidak menyerahkan pilihan yang terbaik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== وَمِنْ أَعْظَمِ الْحَسَنَاتِ الَّتِي يُؤْتَاهَا الْمَرْءُ فِي الدُّنْيَا مَا ذَكَرَهُ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ فَإِنَّهُ لَمَّا قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ قَالَ حَسَنَةُ الدُّنْيَا أَنْ يُؤْتِيَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْعَبْدَ الْعِلْمَ وَالْعِبَادَةَ إِذًا فَبِدُعَائِكَ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً تَقُولُ يَا رَبِّ آتِنِي أُمُورَ الدُّنْيَا الَّتِي تَنْفَعُنِي وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِمَا يُصْلِحُنِي وَآتِنِي يَا رَبِّ عِبَادَةً وَعِلْمًا عِبَادَةً تَرْضَى بِهَا وَعِلْمًا يَجْعَلُ الْعِبَادَةَ عَلَى هُدًى وَاسْتِقَامَةٍ وَلِذَلِكَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً أَمَّا الْمَذْمُوْمُ فَإِنَّهُ يَقُولُ آتِنَا فِي الدُّنْيَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا يَسْأَلُ تَفَاصِيلَ الْأُمُورِ وَدَقَائِقَهَا وَلَا يَكِلُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اِخْتِيَارَ الْأَفْضَلِ
Di antara kebaikan terbesar yang dikaruniakan kepada seseorang di dunia adalah apa yang disebutkan oleh al-Hasan al-Basri. Ketika beliau membaca ayat ini (yang artinya), “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (al-Baqarah: 201) Beliau berkata, “Kebaikan dunia adalah bila Allah ‘Azza wa Jalla memberikan ilmu dan ibadah bagi seorang hamba.” Jadi dengan kamu berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia…” seakan-akan kamu berdoa, “Ya Tuhanku, berikan kepadaku perkara-perkara dunia yang bermanfaat bagiku, dan Engkau Maha Mengetahui apa yang baik bagiku…Dan berikan juga kepadaku—ya Tuhanku—ibadah dan ilmu…Ibadah yang membuat Engkau rida…dan ilmu yang menjadikan ibadah itu di atas petunjuk dan keistiqamahan. Oleh sebab itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia…” Adapun yang tercela adalah dengan berucap, “Berikanlah kepadaku di dunia! Berikanlah kepadaku di dunia!” Dia meminta segala hal dengan detail dan terperinci, tapi tidak menyerahkan pilihan yang terbaik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== وَمِنْ أَعْظَمِ الْحَسَنَاتِ الَّتِي يُؤْتَاهَا الْمَرْءُ فِي الدُّنْيَا مَا ذَكَرَهُ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ فَإِنَّهُ لَمَّا قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ قَالَ حَسَنَةُ الدُّنْيَا أَنْ يُؤْتِيَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْعَبْدَ الْعِلْمَ وَالْعِبَادَةَ إِذًا فَبِدُعَائِكَ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً تَقُولُ يَا رَبِّ آتِنِي أُمُورَ الدُّنْيَا الَّتِي تَنْفَعُنِي وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِمَا يُصْلِحُنِي وَآتِنِي يَا رَبِّ عِبَادَةً وَعِلْمًا عِبَادَةً تَرْضَى بِهَا وَعِلْمًا يَجْعَلُ الْعِبَادَةَ عَلَى هُدًى وَاسْتِقَامَةٍ وَلِذَلِكَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً أَمَّا الْمَذْمُوْمُ فَإِنَّهُ يَقُولُ آتِنَا فِي الدُّنْيَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا يَسْأَلُ تَفَاصِيلَ الْأُمُورِ وَدَقَائِقَهَا وَلَا يَكِلُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اِخْتِيَارَ الْأَفْضَلِ


Di antara kebaikan terbesar yang dikaruniakan kepada seseorang di dunia adalah apa yang disebutkan oleh al-Hasan al-Basri. Ketika beliau membaca ayat ini (yang artinya), “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (al-Baqarah: 201) Beliau berkata, “Kebaikan dunia adalah bila Allah ‘Azza wa Jalla memberikan ilmu dan ibadah bagi seorang hamba.” Jadi dengan kamu berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia…” seakan-akan kamu berdoa, “Ya Tuhanku, berikan kepadaku perkara-perkara dunia yang bermanfaat bagiku, dan Engkau Maha Mengetahui apa yang baik bagiku…Dan berikan juga kepadaku—ya Tuhanku—ibadah dan ilmu…Ibadah yang membuat Engkau rida…dan ilmu yang menjadikan ibadah itu di atas petunjuk dan keistiqamahan. Oleh sebab itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia…” Adapun yang tercela adalah dengan berucap, “Berikanlah kepadaku di dunia! Berikanlah kepadaku di dunia!” Dia meminta segala hal dengan detail dan terperinci, tapi tidak menyerahkan pilihan yang terbaik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. ==== وَمِنْ أَعْظَمِ الْحَسَنَاتِ الَّتِي يُؤْتَاهَا الْمَرْءُ فِي الدُّنْيَا مَا ذَكَرَهُ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ فَإِنَّهُ لَمَّا قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ قَالَ حَسَنَةُ الدُّنْيَا أَنْ يُؤْتِيَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْعَبْدَ الْعِلْمَ وَالْعِبَادَةَ إِذًا فَبِدُعَائِكَ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً تَقُولُ يَا رَبِّ آتِنِي أُمُورَ الدُّنْيَا الَّتِي تَنْفَعُنِي وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِمَا يُصْلِحُنِي وَآتِنِي يَا رَبِّ عِبَادَةً وَعِلْمًا عِبَادَةً تَرْضَى بِهَا وَعِلْمًا يَجْعَلُ الْعِبَادَةَ عَلَى هُدًى وَاسْتِقَامَةٍ وَلِذَلِكَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً أَمَّا الْمَذْمُوْمُ فَإِنَّهُ يَقُولُ آتِنَا فِي الدُّنْيَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا يَسْأَلُ تَفَاصِيلَ الْأُمُورِ وَدَقَائِقَهَا وَلَا يَكِلُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اِخْتِيَارَ الْأَفْضَلِ

Tetap Setia: Definisi, Dalil, dan Penerapannya dalam Islam

Tulisan ini mengupas makna kesetiaan dari perspektif Islam, lengkap dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang menegaskan pentingnya sifat setia dalam kehidupan. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan dalam menerapkan kesetiaan pada berbagai aspek kehidupan sesuai ajaran Islam. Secara umum, “setia” berarti konsisten dalam komitmen, kesetiaan, dan ketulusan hati terhadap seseorang, prinsip, atau tujuan tertentu. Dalam konteks hubungan, setia berarti tetap berpegang pada janji dan tanggung jawab yang telah disepakati, menjaga kepercayaan, dan tidak berkhianat meskipun menghadapi godaan atau tantangan. Setia juga mencakup sikap menghargai, menghormati, dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada pihak yang telah dijanjikan komitmen tersebut.   Daftar Isi tutup 1. Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia 2. Penerapan kesetiaan 3. Orang yang Tidak Setia (Khianat) 3.1. Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? 3.2. Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya?   Setia merupakan kualitas yang mencerminkan kejujuran, komitmen, dan tanggung jawab terhadap apa pun yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Dalam bahasa Arab, konsep “setia” lebih dekat dengan kata **”الوفاء” (al-wafā’)**, yang berarti kesetiaan, pemenuhan janji, dan komitmen. Kata ini mencerminkan sikap menjaga janji, bertanggung jawab, dan konsisten dalam menjalankan komitmen atau hubungan dengan orang lain. Selain itu, kata **”الإخلاص” (al-ikhlāṣ)** juga sering digunakan, terutama dalam konteks keikhlasan dan dedikasi yang tulus dalam hubungan, pekerjaan, atau ibadah. Kedua kata ini menggambarkan inti dari kesetiaan, yaitu komitmen, kejujuran, dan ketulusan dalam segala hal.   Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu .…” (QS. Al-Maidah: 1) Surah Al-Isra (17:34): وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا “Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 34) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia berkhianat.”   Penerapan kesetiaan Setia bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain: 1. Hubungan Pernikahan atau Percintaan: Setia dalam hubungan berarti menjaga komitmen kepada pasangan, tidak berkhianat, dan terus mendukung satu sama lain dalam suka maupun duka. Allah Ta’ala berfirman, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’: 21) Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam Aysar At-Tafaasir berkata, “Dan Allah berfirman pula {ﻭﺃﺧﺬﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ} “dan para suami telah diambil janjinya”, maksudnya adalah akad nikah dan itu adalah akad yang pasti dan berkata sang suami di akadnya dengan “aku menikahinya dalam keadaaan bersama dengan makruf atau bercerai dengan baik”. Dan bagimana ada bentuk perceraian yang baik jika sang istri disudutkan agar gugur hak maharnya atau sebagiannya. Inilah yang diingkari oleh Allah Ta’ala {ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ} “Bagimana bisa kalian mengambilnya?!”, sebuah kalimat tanya retorik yang berisi pengingkaran.” Pelajaran dari ayat: Wajibnya menjaga janji dan menepatinya. Dalam masalah perjanjian saat pernikahan, itu juga harus dipenuhi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Uqbah bin ‘Amir, أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ “Syarat yang paling patut untuk ditunaikan adalah perjanjian (persyaratan) nikah (yang menghalalkan kemaluan wanita).” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418) Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 2. Persahabatan: Dalam persahabatan, setia berarti tetap mendampingi dan mendukung teman, bahkan saat mereka menghadapi kesulitan atau berada dalam situasi sulit. عَلَيْكَ بِإِخْوَانِ الصِّدْقِ تَعِشْ فِي أَكْنَافِهِمْ، فَإِنَّهُمْ زِينَةٌ فِي الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ فِي الْبَلَاءِ. “Bergaullah dengan saudara-saudara yang jujur, niscaya kamu akan hidup dalam pelukan mereka, karena mereka adalah perhiasan di waktu senang dan pelindung/penolong di saat susah.” Perkataan ini dinukil oleh Imam Al-Bayhaqi dalam kitabnya “Syu’ab al-Iman” (Bab 12, Hadits no. 8437), dan juga disebutkan dalam kitab “Hilyatul Awliya’” karya Abu Nu’aim Al-Asfahani. 3. Keluarga: Setia kepada keluarga berarti selalu menghormati, mendukung, dan memberikan kasih sayang tanpa syarat, serta menjaga ikatan keluarga dalam segala keadaan. > Wujudnya: jalin silaturahim Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557) 4. Prinsip dan Nilai Hidup: Setia pada prinsip dan nilai berarti tetap teguh berpegang pada keyakinan dan pandangan hidup meskipun dihadapkan pada tekanan atau godaan yang berlawanan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ath-Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah. Baca juga: Mereka yang Memegang Bara Api 5. Pekerjaan atau Tugas: Setia dalam pekerjaan berarti menjalankan tanggung jawab dengan integritas, konsistensi, dan dedikasi, bahkan ketika menghadapi tantangan atau peluang yang lebih menarik di tempat lain. Hukum asal perjanjian adalah boleh dan sah. Jika perjanjian tersebut sudah dibuat, maka wajib dijalankan sebagaimana perintah dalam firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1). Dalam hadits abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 6. Agama dan Keyakinan: Setia kepada agama berarti menjalankan ajaran dan ibadah dengan konsisten, serta tetap berpegang pada keyakinan tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim, no. 783) Allah juga memerintahkan untuk istiqamah sebagaimana disebutkan dalam ayat, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Kedatangan para malaikat itu kepada mereka silih berganti seraya menyampaikan berita gembira kepada mereka saat menjelang kematian, “janganlah kamu merasa takut,” terhadap perkara yang akan kalian hadapi, “dan janganlah kamu merasa sedih,” atas apa-apa yang telah berlalu. Segala yang tidak dikehendaki yang telah berlalu dan yang akan datang disingkirkan dari mereka. “dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,” karena ia sudah pasti untuk kalian, dan janji Allah itu pasti ditepati.” Baca juga: Kiat Agar Tetap Istiqamah   Orang yang Tidak Setia (Khianat) Khianat itu lawan dari amanat. Dalam Mufradat Alfazh Al-Qur’an disebutkan bahwa khianat adalah, مخالفة الحق بنقض العهد في السر “Menyelisihi kebenaran dengan membatalkan perjanjian diam-diam.” Hakikat khianat menurut Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir adalah, عمل من اؤتمن على شيء بضد ما اؤتمن لأجله، بدون علم صاحب الأمانة Menjalankan berbeda dari yang diamanatkan, tanpa diketahui orang yang memberi amanat.   Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan dalam Qa’idah fii Ash-Shabr bahwa manusia dalam membalas dendam ada tiga macam: Pertama, zalim yaitu yang membalas lebih dari kewajaran. Kedua, muqtashid yaitu yang membalas sewajarnya (sama dengan tindakan zalim). Ketiga, muhsinun yaitu yang memaafkan dan tidak membalas sama sekali. Yang terbaik adalah membalas keburukan dengan KEBAIKAN. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35) Jika ada yang berbuat jelek kepadamu balaslah dengan kebaikan kepadanya. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jika ada yang berbuat salah kepadamu, maka balaslah dengan suatu ketaatan kepada Allah kepadanya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:529) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang ayat ini, “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika marah dan bersikap lemah lembut menghadapi orang yang bodoh, lalu bersikap memberikan maaf kepada orang yang berbuat jelek. Jika seperti itu dilakukan, Allah akan menyelamatkan mereka dari gangguan setan, musuhnya akan tunduk, dan akhirnya menjadi teman yang sangat setia.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:530) Ingatlah, yang bisa membalas kejelekan dengan kebaikan hanyalah orang-orang yang bersabar.   Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya? Caranya: Jaga jarak dengannya, tetapi jangan sampai putuskan hubungan. Fokus untuk menjadikan diri kita lebih baik. Jalin hubungan dengan banyak orang. Lakukan hal yang bermanfaat untuk dirimu dan orang lain. Jangan menyimpan dendam, besarkan hatimu untuk memaafkan. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati Kita Bagaimanakah Membalasnya? Kesetiaan, sebagai wujud komitmen dan ketulusan, adalah cahaya yang menerangi setiap hubungan, mengingatkan kita untuk menjaga janji dan kepercayaan dalam segala aspek kehidupan. Dengan berpegang pada ajaran Islam, kita diajak untuk menepati janji dan berbuat baik, sehingga setiap langkah kita menjadi ladang pahala yang mendekatkan diri kepada Allah.   –   Diselesaikan di @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 27 Rabiul Awal 1446 H, 1 Oktober 2024 Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamanat kesetiaan menjaga amanat pegawai amanat setia

Tetap Setia: Definisi, Dalil, dan Penerapannya dalam Islam

Tulisan ini mengupas makna kesetiaan dari perspektif Islam, lengkap dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang menegaskan pentingnya sifat setia dalam kehidupan. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan dalam menerapkan kesetiaan pada berbagai aspek kehidupan sesuai ajaran Islam. Secara umum, “setia” berarti konsisten dalam komitmen, kesetiaan, dan ketulusan hati terhadap seseorang, prinsip, atau tujuan tertentu. Dalam konteks hubungan, setia berarti tetap berpegang pada janji dan tanggung jawab yang telah disepakati, menjaga kepercayaan, dan tidak berkhianat meskipun menghadapi godaan atau tantangan. Setia juga mencakup sikap menghargai, menghormati, dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada pihak yang telah dijanjikan komitmen tersebut.   Daftar Isi tutup 1. Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia 2. Penerapan kesetiaan 3. Orang yang Tidak Setia (Khianat) 3.1. Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? 3.2. Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya?   Setia merupakan kualitas yang mencerminkan kejujuran, komitmen, dan tanggung jawab terhadap apa pun yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Dalam bahasa Arab, konsep “setia” lebih dekat dengan kata **”الوفاء” (al-wafā’)**, yang berarti kesetiaan, pemenuhan janji, dan komitmen. Kata ini mencerminkan sikap menjaga janji, bertanggung jawab, dan konsisten dalam menjalankan komitmen atau hubungan dengan orang lain. Selain itu, kata **”الإخلاص” (al-ikhlāṣ)** juga sering digunakan, terutama dalam konteks keikhlasan dan dedikasi yang tulus dalam hubungan, pekerjaan, atau ibadah. Kedua kata ini menggambarkan inti dari kesetiaan, yaitu komitmen, kejujuran, dan ketulusan dalam segala hal.   Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu .…” (QS. Al-Maidah: 1) Surah Al-Isra (17:34): وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا “Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 34) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia berkhianat.”   Penerapan kesetiaan Setia bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain: 1. Hubungan Pernikahan atau Percintaan: Setia dalam hubungan berarti menjaga komitmen kepada pasangan, tidak berkhianat, dan terus mendukung satu sama lain dalam suka maupun duka. Allah Ta’ala berfirman, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’: 21) Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam Aysar At-Tafaasir berkata, “Dan Allah berfirman pula {ﻭﺃﺧﺬﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ} “dan para suami telah diambil janjinya”, maksudnya adalah akad nikah dan itu adalah akad yang pasti dan berkata sang suami di akadnya dengan “aku menikahinya dalam keadaaan bersama dengan makruf atau bercerai dengan baik”. Dan bagimana ada bentuk perceraian yang baik jika sang istri disudutkan agar gugur hak maharnya atau sebagiannya. Inilah yang diingkari oleh Allah Ta’ala {ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ} “Bagimana bisa kalian mengambilnya?!”, sebuah kalimat tanya retorik yang berisi pengingkaran.” Pelajaran dari ayat: Wajibnya menjaga janji dan menepatinya. Dalam masalah perjanjian saat pernikahan, itu juga harus dipenuhi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Uqbah bin ‘Amir, أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ “Syarat yang paling patut untuk ditunaikan adalah perjanjian (persyaratan) nikah (yang menghalalkan kemaluan wanita).” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418) Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 2. Persahabatan: Dalam persahabatan, setia berarti tetap mendampingi dan mendukung teman, bahkan saat mereka menghadapi kesulitan atau berada dalam situasi sulit. عَلَيْكَ بِإِخْوَانِ الصِّدْقِ تَعِشْ فِي أَكْنَافِهِمْ، فَإِنَّهُمْ زِينَةٌ فِي الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ فِي الْبَلَاءِ. “Bergaullah dengan saudara-saudara yang jujur, niscaya kamu akan hidup dalam pelukan mereka, karena mereka adalah perhiasan di waktu senang dan pelindung/penolong di saat susah.” Perkataan ini dinukil oleh Imam Al-Bayhaqi dalam kitabnya “Syu’ab al-Iman” (Bab 12, Hadits no. 8437), dan juga disebutkan dalam kitab “Hilyatul Awliya’” karya Abu Nu’aim Al-Asfahani. 3. Keluarga: Setia kepada keluarga berarti selalu menghormati, mendukung, dan memberikan kasih sayang tanpa syarat, serta menjaga ikatan keluarga dalam segala keadaan. > Wujudnya: jalin silaturahim Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557) 4. Prinsip dan Nilai Hidup: Setia pada prinsip dan nilai berarti tetap teguh berpegang pada keyakinan dan pandangan hidup meskipun dihadapkan pada tekanan atau godaan yang berlawanan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ath-Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah. Baca juga: Mereka yang Memegang Bara Api 5. Pekerjaan atau Tugas: Setia dalam pekerjaan berarti menjalankan tanggung jawab dengan integritas, konsistensi, dan dedikasi, bahkan ketika menghadapi tantangan atau peluang yang lebih menarik di tempat lain. Hukum asal perjanjian adalah boleh dan sah. Jika perjanjian tersebut sudah dibuat, maka wajib dijalankan sebagaimana perintah dalam firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1). Dalam hadits abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 6. Agama dan Keyakinan: Setia kepada agama berarti menjalankan ajaran dan ibadah dengan konsisten, serta tetap berpegang pada keyakinan tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim, no. 783) Allah juga memerintahkan untuk istiqamah sebagaimana disebutkan dalam ayat, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Kedatangan para malaikat itu kepada mereka silih berganti seraya menyampaikan berita gembira kepada mereka saat menjelang kematian, “janganlah kamu merasa takut,” terhadap perkara yang akan kalian hadapi, “dan janganlah kamu merasa sedih,” atas apa-apa yang telah berlalu. Segala yang tidak dikehendaki yang telah berlalu dan yang akan datang disingkirkan dari mereka. “dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,” karena ia sudah pasti untuk kalian, dan janji Allah itu pasti ditepati.” Baca juga: Kiat Agar Tetap Istiqamah   Orang yang Tidak Setia (Khianat) Khianat itu lawan dari amanat. Dalam Mufradat Alfazh Al-Qur’an disebutkan bahwa khianat adalah, مخالفة الحق بنقض العهد في السر “Menyelisihi kebenaran dengan membatalkan perjanjian diam-diam.” Hakikat khianat menurut Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir adalah, عمل من اؤتمن على شيء بضد ما اؤتمن لأجله، بدون علم صاحب الأمانة Menjalankan berbeda dari yang diamanatkan, tanpa diketahui orang yang memberi amanat.   Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan dalam Qa’idah fii Ash-Shabr bahwa manusia dalam membalas dendam ada tiga macam: Pertama, zalim yaitu yang membalas lebih dari kewajaran. Kedua, muqtashid yaitu yang membalas sewajarnya (sama dengan tindakan zalim). Ketiga, muhsinun yaitu yang memaafkan dan tidak membalas sama sekali. Yang terbaik adalah membalas keburukan dengan KEBAIKAN. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35) Jika ada yang berbuat jelek kepadamu balaslah dengan kebaikan kepadanya. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jika ada yang berbuat salah kepadamu, maka balaslah dengan suatu ketaatan kepada Allah kepadanya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:529) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang ayat ini, “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika marah dan bersikap lemah lembut menghadapi orang yang bodoh, lalu bersikap memberikan maaf kepada orang yang berbuat jelek. Jika seperti itu dilakukan, Allah akan menyelamatkan mereka dari gangguan setan, musuhnya akan tunduk, dan akhirnya menjadi teman yang sangat setia.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:530) Ingatlah, yang bisa membalas kejelekan dengan kebaikan hanyalah orang-orang yang bersabar.   Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya? Caranya: Jaga jarak dengannya, tetapi jangan sampai putuskan hubungan. Fokus untuk menjadikan diri kita lebih baik. Jalin hubungan dengan banyak orang. Lakukan hal yang bermanfaat untuk dirimu dan orang lain. Jangan menyimpan dendam, besarkan hatimu untuk memaafkan. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati Kita Bagaimanakah Membalasnya? Kesetiaan, sebagai wujud komitmen dan ketulusan, adalah cahaya yang menerangi setiap hubungan, mengingatkan kita untuk menjaga janji dan kepercayaan dalam segala aspek kehidupan. Dengan berpegang pada ajaran Islam, kita diajak untuk menepati janji dan berbuat baik, sehingga setiap langkah kita menjadi ladang pahala yang mendekatkan diri kepada Allah.   –   Diselesaikan di @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 27 Rabiul Awal 1446 H, 1 Oktober 2024 Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamanat kesetiaan menjaga amanat pegawai amanat setia
Tulisan ini mengupas makna kesetiaan dari perspektif Islam, lengkap dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang menegaskan pentingnya sifat setia dalam kehidupan. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan dalam menerapkan kesetiaan pada berbagai aspek kehidupan sesuai ajaran Islam. Secara umum, “setia” berarti konsisten dalam komitmen, kesetiaan, dan ketulusan hati terhadap seseorang, prinsip, atau tujuan tertentu. Dalam konteks hubungan, setia berarti tetap berpegang pada janji dan tanggung jawab yang telah disepakati, menjaga kepercayaan, dan tidak berkhianat meskipun menghadapi godaan atau tantangan. Setia juga mencakup sikap menghargai, menghormati, dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada pihak yang telah dijanjikan komitmen tersebut.   Daftar Isi tutup 1. Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia 2. Penerapan kesetiaan 3. Orang yang Tidak Setia (Khianat) 3.1. Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? 3.2. Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya?   Setia merupakan kualitas yang mencerminkan kejujuran, komitmen, dan tanggung jawab terhadap apa pun yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Dalam bahasa Arab, konsep “setia” lebih dekat dengan kata **”الوفاء” (al-wafā’)**, yang berarti kesetiaan, pemenuhan janji, dan komitmen. Kata ini mencerminkan sikap menjaga janji, bertanggung jawab, dan konsisten dalam menjalankan komitmen atau hubungan dengan orang lain. Selain itu, kata **”الإخلاص” (al-ikhlāṣ)** juga sering digunakan, terutama dalam konteks keikhlasan dan dedikasi yang tulus dalam hubungan, pekerjaan, atau ibadah. Kedua kata ini menggambarkan inti dari kesetiaan, yaitu komitmen, kejujuran, dan ketulusan dalam segala hal.   Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu .…” (QS. Al-Maidah: 1) Surah Al-Isra (17:34): وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا “Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 34) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia berkhianat.”   Penerapan kesetiaan Setia bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain: 1. Hubungan Pernikahan atau Percintaan: Setia dalam hubungan berarti menjaga komitmen kepada pasangan, tidak berkhianat, dan terus mendukung satu sama lain dalam suka maupun duka. Allah Ta’ala berfirman, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’: 21) Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam Aysar At-Tafaasir berkata, “Dan Allah berfirman pula {ﻭﺃﺧﺬﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ} “dan para suami telah diambil janjinya”, maksudnya adalah akad nikah dan itu adalah akad yang pasti dan berkata sang suami di akadnya dengan “aku menikahinya dalam keadaaan bersama dengan makruf atau bercerai dengan baik”. Dan bagimana ada bentuk perceraian yang baik jika sang istri disudutkan agar gugur hak maharnya atau sebagiannya. Inilah yang diingkari oleh Allah Ta’ala {ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ} “Bagimana bisa kalian mengambilnya?!”, sebuah kalimat tanya retorik yang berisi pengingkaran.” Pelajaran dari ayat: Wajibnya menjaga janji dan menepatinya. Dalam masalah perjanjian saat pernikahan, itu juga harus dipenuhi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Uqbah bin ‘Amir, أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ “Syarat yang paling patut untuk ditunaikan adalah perjanjian (persyaratan) nikah (yang menghalalkan kemaluan wanita).” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418) Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 2. Persahabatan: Dalam persahabatan, setia berarti tetap mendampingi dan mendukung teman, bahkan saat mereka menghadapi kesulitan atau berada dalam situasi sulit. عَلَيْكَ بِإِخْوَانِ الصِّدْقِ تَعِشْ فِي أَكْنَافِهِمْ، فَإِنَّهُمْ زِينَةٌ فِي الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ فِي الْبَلَاءِ. “Bergaullah dengan saudara-saudara yang jujur, niscaya kamu akan hidup dalam pelukan mereka, karena mereka adalah perhiasan di waktu senang dan pelindung/penolong di saat susah.” Perkataan ini dinukil oleh Imam Al-Bayhaqi dalam kitabnya “Syu’ab al-Iman” (Bab 12, Hadits no. 8437), dan juga disebutkan dalam kitab “Hilyatul Awliya’” karya Abu Nu’aim Al-Asfahani. 3. Keluarga: Setia kepada keluarga berarti selalu menghormati, mendukung, dan memberikan kasih sayang tanpa syarat, serta menjaga ikatan keluarga dalam segala keadaan. > Wujudnya: jalin silaturahim Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557) 4. Prinsip dan Nilai Hidup: Setia pada prinsip dan nilai berarti tetap teguh berpegang pada keyakinan dan pandangan hidup meskipun dihadapkan pada tekanan atau godaan yang berlawanan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ath-Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah. Baca juga: Mereka yang Memegang Bara Api 5. Pekerjaan atau Tugas: Setia dalam pekerjaan berarti menjalankan tanggung jawab dengan integritas, konsistensi, dan dedikasi, bahkan ketika menghadapi tantangan atau peluang yang lebih menarik di tempat lain. Hukum asal perjanjian adalah boleh dan sah. Jika perjanjian tersebut sudah dibuat, maka wajib dijalankan sebagaimana perintah dalam firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1). Dalam hadits abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 6. Agama dan Keyakinan: Setia kepada agama berarti menjalankan ajaran dan ibadah dengan konsisten, serta tetap berpegang pada keyakinan tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim, no. 783) Allah juga memerintahkan untuk istiqamah sebagaimana disebutkan dalam ayat, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Kedatangan para malaikat itu kepada mereka silih berganti seraya menyampaikan berita gembira kepada mereka saat menjelang kematian, “janganlah kamu merasa takut,” terhadap perkara yang akan kalian hadapi, “dan janganlah kamu merasa sedih,” atas apa-apa yang telah berlalu. Segala yang tidak dikehendaki yang telah berlalu dan yang akan datang disingkirkan dari mereka. “dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,” karena ia sudah pasti untuk kalian, dan janji Allah itu pasti ditepati.” Baca juga: Kiat Agar Tetap Istiqamah   Orang yang Tidak Setia (Khianat) Khianat itu lawan dari amanat. Dalam Mufradat Alfazh Al-Qur’an disebutkan bahwa khianat adalah, مخالفة الحق بنقض العهد في السر “Menyelisihi kebenaran dengan membatalkan perjanjian diam-diam.” Hakikat khianat menurut Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir adalah, عمل من اؤتمن على شيء بضد ما اؤتمن لأجله، بدون علم صاحب الأمانة Menjalankan berbeda dari yang diamanatkan, tanpa diketahui orang yang memberi amanat.   Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan dalam Qa’idah fii Ash-Shabr bahwa manusia dalam membalas dendam ada tiga macam: Pertama, zalim yaitu yang membalas lebih dari kewajaran. Kedua, muqtashid yaitu yang membalas sewajarnya (sama dengan tindakan zalim). Ketiga, muhsinun yaitu yang memaafkan dan tidak membalas sama sekali. Yang terbaik adalah membalas keburukan dengan KEBAIKAN. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35) Jika ada yang berbuat jelek kepadamu balaslah dengan kebaikan kepadanya. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jika ada yang berbuat salah kepadamu, maka balaslah dengan suatu ketaatan kepada Allah kepadanya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:529) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang ayat ini, “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika marah dan bersikap lemah lembut menghadapi orang yang bodoh, lalu bersikap memberikan maaf kepada orang yang berbuat jelek. Jika seperti itu dilakukan, Allah akan menyelamatkan mereka dari gangguan setan, musuhnya akan tunduk, dan akhirnya menjadi teman yang sangat setia.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:530) Ingatlah, yang bisa membalas kejelekan dengan kebaikan hanyalah orang-orang yang bersabar.   Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya? Caranya: Jaga jarak dengannya, tetapi jangan sampai putuskan hubungan. Fokus untuk menjadikan diri kita lebih baik. Jalin hubungan dengan banyak orang. Lakukan hal yang bermanfaat untuk dirimu dan orang lain. Jangan menyimpan dendam, besarkan hatimu untuk memaafkan. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati Kita Bagaimanakah Membalasnya? Kesetiaan, sebagai wujud komitmen dan ketulusan, adalah cahaya yang menerangi setiap hubungan, mengingatkan kita untuk menjaga janji dan kepercayaan dalam segala aspek kehidupan. Dengan berpegang pada ajaran Islam, kita diajak untuk menepati janji dan berbuat baik, sehingga setiap langkah kita menjadi ladang pahala yang mendekatkan diri kepada Allah.   –   Diselesaikan di @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 27 Rabiul Awal 1446 H, 1 Oktober 2024 Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamanat kesetiaan menjaga amanat pegawai amanat setia


Tulisan ini mengupas makna kesetiaan dari perspektif Islam, lengkap dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang menegaskan pentingnya sifat setia dalam kehidupan. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan dalam menerapkan kesetiaan pada berbagai aspek kehidupan sesuai ajaran Islam. Secara umum, “setia” berarti konsisten dalam komitmen, kesetiaan, dan ketulusan hati terhadap seseorang, prinsip, atau tujuan tertentu. Dalam konteks hubungan, setia berarti tetap berpegang pada janji dan tanggung jawab yang telah disepakati, menjaga kepercayaan, dan tidak berkhianat meskipun menghadapi godaan atau tantangan. Setia juga mencakup sikap menghargai, menghormati, dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada pihak yang telah dijanjikan komitmen tersebut.   Daftar Isi tutup 1. Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia 2. Penerapan kesetiaan 3. Orang yang Tidak Setia (Khianat) 3.1. Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? 3.2. Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya?   Setia merupakan kualitas yang mencerminkan kejujuran, komitmen, dan tanggung jawab terhadap apa pun yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Dalam bahasa Arab, konsep “setia” lebih dekat dengan kata **”الوفاء” (al-wafā’)**, yang berarti kesetiaan, pemenuhan janji, dan komitmen. Kata ini mencerminkan sikap menjaga janji, bertanggung jawab, dan konsisten dalam menjalankan komitmen atau hubungan dengan orang lain. Selain itu, kata **”الإخلاص” (al-ikhlāṣ)** juga sering digunakan, terutama dalam konteks keikhlasan dan dedikasi yang tulus dalam hubungan, pekerjaan, atau ibadah. Kedua kata ini menggambarkan inti dari kesetiaan, yaitu komitmen, kejujuran, dan ketulusan dalam segala hal.   Ayat dan hadits yang membicarakan tentang setia Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu .…” (QS. Al-Maidah: 1) Surah Al-Isra (17:34): وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا “Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 34) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercaya dia berkhianat.”   Penerapan kesetiaan Setia bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain: 1. Hubungan Pernikahan atau Percintaan: Setia dalam hubungan berarti menjaga komitmen kepada pasangan, tidak berkhianat, dan terus mendukung satu sama lain dalam suka maupun duka. Allah Ta’ala berfirman, وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’: 21) Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam Aysar At-Tafaasir berkata, “Dan Allah berfirman pula {ﻭﺃﺧﺬﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻴﺜﺎﻗﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ} “dan para suami telah diambil janjinya”, maksudnya adalah akad nikah dan itu adalah akad yang pasti dan berkata sang suami di akadnya dengan “aku menikahinya dalam keadaaan bersama dengan makruf atau bercerai dengan baik”. Dan bagimana ada bentuk perceraian yang baik jika sang istri disudutkan agar gugur hak maharnya atau sebagiannya. Inilah yang diingkari oleh Allah Ta’ala {ﻭﻛﻴﻒ ﺗﺄﺧﺬﻭﻧﻪ} “Bagimana bisa kalian mengambilnya?!”, sebuah kalimat tanya retorik yang berisi pengingkaran.” Pelajaran dari ayat: Wajibnya menjaga janji dan menepatinya. Dalam masalah perjanjian saat pernikahan, itu juga harus dipenuhi berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Uqbah bin ‘Amir, أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ “Syarat yang paling patut untuk ditunaikan adalah perjanjian (persyaratan) nikah (yang menghalalkan kemaluan wanita).” (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418) Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 2. Persahabatan: Dalam persahabatan, setia berarti tetap mendampingi dan mendukung teman, bahkan saat mereka menghadapi kesulitan atau berada dalam situasi sulit. عَلَيْكَ بِإِخْوَانِ الصِّدْقِ تَعِشْ فِي أَكْنَافِهِمْ، فَإِنَّهُمْ زِينَةٌ فِي الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ فِي الْبَلَاءِ. “Bergaullah dengan saudara-saudara yang jujur, niscaya kamu akan hidup dalam pelukan mereka, karena mereka adalah perhiasan di waktu senang dan pelindung/penolong di saat susah.” Perkataan ini dinukil oleh Imam Al-Bayhaqi dalam kitabnya “Syu’ab al-Iman” (Bab 12, Hadits no. 8437), dan juga disebutkan dalam kitab “Hilyatul Awliya’” karya Abu Nu’aim Al-Asfahani. 3. Keluarga: Setia kepada keluarga berarti selalu menghormati, mendukung, dan memberikan kasih sayang tanpa syarat, serta menjaga ikatan keluarga dalam segala keadaan. > Wujudnya: jalin silaturahim Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557) 4. Prinsip dan Nilai Hidup: Setia pada prinsip dan nilai berarti tetap teguh berpegang pada keyakinan dan pandangan hidup meskipun dihadapkan pada tekanan atau godaan yang berlawanan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ath-Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah. Baca juga: Mereka yang Memegang Bara Api 5. Pekerjaan atau Tugas: Setia dalam pekerjaan berarti menjalankan tanggung jawab dengan integritas, konsistensi, dan dedikasi, bahkan ketika menghadapi tantangan atau peluang yang lebih menarik di tempat lain. Hukum asal perjanjian adalah boleh dan sah. Jika perjanjian tersebut sudah dibuat, maka wajib dijalankan sebagaimana perintah dalam firman Allah, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1). Dalam hadits abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Baca juga: Perjanjian dalam Jual Beli 6. Agama dan Keyakinan: Setia kepada agama berarti menjalankan ajaran dan ibadah dengan konsisten, serta tetap berpegang pada keyakinan tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim, no. 783) Allah juga memerintahkan untuk istiqamah sebagaimana disebutkan dalam ayat, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Kedatangan para malaikat itu kepada mereka silih berganti seraya menyampaikan berita gembira kepada mereka saat menjelang kematian, “janganlah kamu merasa takut,” terhadap perkara yang akan kalian hadapi, “dan janganlah kamu merasa sedih,” atas apa-apa yang telah berlalu. Segala yang tidak dikehendaki yang telah berlalu dan yang akan datang disingkirkan dari mereka. “dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,” karena ia sudah pasti untuk kalian, dan janji Allah itu pasti ditepati.” Baca juga: Kiat Agar Tetap Istiqamah   Orang yang Tidak Setia (Khianat) Khianat itu lawan dari amanat. Dalam Mufradat Alfazh Al-Qur’an disebutkan bahwa khianat adalah, مخالفة الحق بنقض العهد في السر “Menyelisihi kebenaran dengan membatalkan perjanjian diam-diam.” Hakikat khianat menurut Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir adalah, عمل من اؤتمن على شيء بضد ما اؤتمن لأجله، بدون علم صاحب الأمانة Menjalankan berbeda dari yang diamanatkan, tanpa diketahui orang yang memberi amanat.   Bagaimana membalas orang yang berkhianat kepada kita? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyampaikan dalam Qa’idah fii Ash-Shabr bahwa manusia dalam membalas dendam ada tiga macam: Pertama, zalim yaitu yang membalas lebih dari kewajaran. Kedua, muqtashid yaitu yang membalas sewajarnya (sama dengan tindakan zalim). Ketiga, muhsinun yaitu yang memaafkan dan tidak membalas sama sekali. Yang terbaik adalah membalas keburukan dengan KEBAIKAN. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35) “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35) Jika ada yang berbuat jelek kepadamu balaslah dengan kebaikan kepadanya. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jika ada yang berbuat salah kepadamu, maka balaslah dengan suatu ketaatan kepada Allah kepadanya.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:529) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang ayat ini, “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika marah dan bersikap lemah lembut menghadapi orang yang bodoh, lalu bersikap memberikan maaf kepada orang yang berbuat jelek. Jika seperti itu dilakukan, Allah akan menyelamatkan mereka dari gangguan setan, musuhnya akan tunduk, dan akhirnya menjadi teman yang sangat setia.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:530) Ingatlah, yang bisa membalas kejelekan dengan kebaikan hanyalah orang-orang yang bersabar.   Jika ada yang mengkhianatimu di dunia, bagaimana membalasnya? Caranya: Jaga jarak dengannya, tetapi jangan sampai putuskan hubungan. Fokus untuk menjadikan diri kita lebih baik. Jalin hubungan dengan banyak orang. Lakukan hal yang bermanfaat untuk dirimu dan orang lain. Jangan menyimpan dendam, besarkan hatimu untuk memaafkan. Baca juga: Bila Ada yang Mengkhianati Kita Bagaimanakah Membalasnya? Kesetiaan, sebagai wujud komitmen dan ketulusan, adalah cahaya yang menerangi setiap hubungan, mengingatkan kita untuk menjaga janji dan kepercayaan dalam segala aspek kehidupan. Dengan berpegang pada ajaran Islam, kita diajak untuk menepati janji dan berbuat baik, sehingga setiap langkah kita menjadi ladang pahala yang mendekatkan diri kepada Allah.   –   Diselesaikan di @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, 27 Rabiul Awal 1446 H, 1 Oktober 2024 Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamanat kesetiaan menjaga amanat pegawai amanat setia

Nasihat untuk Anda yang Shalat Witir di Awal Malam – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

Pertanyaan: Alhamdulillah saya rutin melakukan Salat Tahajud (di akhir malam). Hanya saja saya mengerjakan Salat Witir langsung setelah Salat Sunah Ba’diyah Isya. Hal ini karena saya khawatir Allah mencabut nyawaku sebelum melaksanakannya, dan saya khawatir tidak dapat bangun tidur, sehingga tidak bisa melaksanakannya. Apa nasihat Anda untukku? Apakah yang saya lakukan ini sudah benar? Jawaban: Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du: Salat Malam adalah salah satu ibadah terbaik dan termasuk sifat para hamba Allah yang terbaik, serta di antara sifat orang-orang bertakwa. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam Kitab-Nya yang agung “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam…Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. adz-Dzariyat: 15-18). Dan Allah berfirman tentang para hamba-Nya, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. al-Furqan: 64). Anda di atas kebaikan; jadi kami nasihatkan agar Anda konsisten dan memohon agar Allah menerima amalmu. Anda harus beristiqamah (konsisten). Namun, lebih baik bagimu untuk melakukan Salat Witir di akhir malam. Selagi Anda melakukan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga Salat Witir di akhir malam, dan berbaik sangkalah kepada Allah. Berbaik sangkalah kepada Allah dan bergembiralah dengan kebaikan. Selagi Anda terbiasa melakukan kebaikan ini dengan mendirikan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga witirmu di akhir malam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahih, bahwa barang siapa yang takut tidak dapat bangun di akhir malam, hendaklah melaksanakan witir di awal malam dan barang siapa yang hendak bangun di akhir malam, hendaklah dia witir di akhir malam. Karena salat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa salat di akhir malam disaksikan (para malaikat) dan lebih utama daripada di awal malam. Dan Alhamdulillah Anda semangat untuk Salat Tahajud dan terbiasa melakukannya, maka akhirkan juga Salat Witir di akhir malam. Lalu jika Anda tidak bisa bangun tidur, salatlah di siang hari dengan jumlah rakaat yang setara, tapi dalam jumlah genap, bukan ganjil. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau tidak bisa bangun tidur atau sakit. Beliau mendirikan salat sunah di siang hari 12 rakaat. Dan beliau biasa mendirikan Salat Malam 11 rakaat. Lalu jika beliau tidak bisa bangun malam atau sakit, beliau menambah satu rakaat di siang hari menjadi 12 rakaat. Demikian yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Muslim. ==== إِنَّنِي وَلِلَّهِ الْحَمْدُ أَقُومُ اللَّيْلَ إِلَّا أَنَّنِي أُوْتِرُ بَعْدَ أَدَاءِ سُنَّةِ الْعِشَاءِ وَذَلِكَ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَقْبِضَ اللَّهُ رُوحِي قَبْلَ أَدَائِهَا وَخَوْفًا مِنْ أَنْ يَغْلِبَنِيَ النَّوْمُ فَلَا أَسْتَطِيعُ أَدَاءَهَا فَبِمَاذَا تَنْصَحُونَنِي وَهَلْ مَا أَنَا عَلَيْهِ صَحِيحٌ؟ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَقِيَامُ اللَّيْلِ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَمِنْ صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ الأَخْيَارِ وَمِنْ صِفَاتِ الْمُتَّقِيْنَ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فِي كِتَابِهِ الْعَظِيمِ إِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُوْنٍ آخِذِيْنَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِيْنَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَقَالَ تَعَالَى فِي صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ وَالَّذِينَ يَبِيتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا فَأَنْتِ عَلَى خَيْرٍ فَنُوصِيْكِ بِالثَّبَاتِ وَسُؤَالِ اللَّهِ الْقَبُولَ وَعَلَيْكِ بِالِاسْتِقَامَةِ وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ لَكِ أَنْ تَجْعَلَ الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ مَا دُمْتِ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ وَأَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ أَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ وَأَبْشِرِيْ بِالْخَيْرِ مَا دُمْتِ قَدْ اعْتَدْتِ هَذَا الْخَيْرَ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي وِتْرَكِ آخِرَ اللَّيْلِ لِقَوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مَنْ خَافَ أَلَّا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَأَنَّهَا أَفْضَلُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَنْتِ بِحَمْدِ اللهِ تَطْمَعِيْنَ أَنْ تَقُوْمِي وَقَدِ اعْتَدْتِ الْقِيَامَ فَأَخِّرِي الْوِتْرَ في آخِرِ اللَّيْلِ وَإِذَا غَلَبَكِ نَوْمٌ صَلَّيْتِ مِنَ النَّهَارِ مَا يُقَابِلُ ذَلِكَ شَفْعًا دُونَ وِتْر كَمَا كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَكَانَتْ عَادَتُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَالِبًا إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَإِذَا شَغَلَهُ نَوْمٌ أَوْ مَرَضٌ زَادَ وَاحِدةً صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً هَكَذَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ

Nasihat untuk Anda yang Shalat Witir di Awal Malam – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

Pertanyaan: Alhamdulillah saya rutin melakukan Salat Tahajud (di akhir malam). Hanya saja saya mengerjakan Salat Witir langsung setelah Salat Sunah Ba’diyah Isya. Hal ini karena saya khawatir Allah mencabut nyawaku sebelum melaksanakannya, dan saya khawatir tidak dapat bangun tidur, sehingga tidak bisa melaksanakannya. Apa nasihat Anda untukku? Apakah yang saya lakukan ini sudah benar? Jawaban: Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du: Salat Malam adalah salah satu ibadah terbaik dan termasuk sifat para hamba Allah yang terbaik, serta di antara sifat orang-orang bertakwa. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam Kitab-Nya yang agung “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam…Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. adz-Dzariyat: 15-18). Dan Allah berfirman tentang para hamba-Nya, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. al-Furqan: 64). Anda di atas kebaikan; jadi kami nasihatkan agar Anda konsisten dan memohon agar Allah menerima amalmu. Anda harus beristiqamah (konsisten). Namun, lebih baik bagimu untuk melakukan Salat Witir di akhir malam. Selagi Anda melakukan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga Salat Witir di akhir malam, dan berbaik sangkalah kepada Allah. Berbaik sangkalah kepada Allah dan bergembiralah dengan kebaikan. Selagi Anda terbiasa melakukan kebaikan ini dengan mendirikan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga witirmu di akhir malam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahih, bahwa barang siapa yang takut tidak dapat bangun di akhir malam, hendaklah melaksanakan witir di awal malam dan barang siapa yang hendak bangun di akhir malam, hendaklah dia witir di akhir malam. Karena salat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa salat di akhir malam disaksikan (para malaikat) dan lebih utama daripada di awal malam. Dan Alhamdulillah Anda semangat untuk Salat Tahajud dan terbiasa melakukannya, maka akhirkan juga Salat Witir di akhir malam. Lalu jika Anda tidak bisa bangun tidur, salatlah di siang hari dengan jumlah rakaat yang setara, tapi dalam jumlah genap, bukan ganjil. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau tidak bisa bangun tidur atau sakit. Beliau mendirikan salat sunah di siang hari 12 rakaat. Dan beliau biasa mendirikan Salat Malam 11 rakaat. Lalu jika beliau tidak bisa bangun malam atau sakit, beliau menambah satu rakaat di siang hari menjadi 12 rakaat. Demikian yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Muslim. ==== إِنَّنِي وَلِلَّهِ الْحَمْدُ أَقُومُ اللَّيْلَ إِلَّا أَنَّنِي أُوْتِرُ بَعْدَ أَدَاءِ سُنَّةِ الْعِشَاءِ وَذَلِكَ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَقْبِضَ اللَّهُ رُوحِي قَبْلَ أَدَائِهَا وَخَوْفًا مِنْ أَنْ يَغْلِبَنِيَ النَّوْمُ فَلَا أَسْتَطِيعُ أَدَاءَهَا فَبِمَاذَا تَنْصَحُونَنِي وَهَلْ مَا أَنَا عَلَيْهِ صَحِيحٌ؟ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَقِيَامُ اللَّيْلِ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَمِنْ صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ الأَخْيَارِ وَمِنْ صِفَاتِ الْمُتَّقِيْنَ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فِي كِتَابِهِ الْعَظِيمِ إِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُوْنٍ آخِذِيْنَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِيْنَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَقَالَ تَعَالَى فِي صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ وَالَّذِينَ يَبِيتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا فَأَنْتِ عَلَى خَيْرٍ فَنُوصِيْكِ بِالثَّبَاتِ وَسُؤَالِ اللَّهِ الْقَبُولَ وَعَلَيْكِ بِالِاسْتِقَامَةِ وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ لَكِ أَنْ تَجْعَلَ الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ مَا دُمْتِ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ وَأَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ أَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ وَأَبْشِرِيْ بِالْخَيْرِ مَا دُمْتِ قَدْ اعْتَدْتِ هَذَا الْخَيْرَ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي وِتْرَكِ آخِرَ اللَّيْلِ لِقَوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مَنْ خَافَ أَلَّا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَأَنَّهَا أَفْضَلُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَنْتِ بِحَمْدِ اللهِ تَطْمَعِيْنَ أَنْ تَقُوْمِي وَقَدِ اعْتَدْتِ الْقِيَامَ فَأَخِّرِي الْوِتْرَ في آخِرِ اللَّيْلِ وَإِذَا غَلَبَكِ نَوْمٌ صَلَّيْتِ مِنَ النَّهَارِ مَا يُقَابِلُ ذَلِكَ شَفْعًا دُونَ وِتْر كَمَا كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَكَانَتْ عَادَتُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَالِبًا إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَإِذَا شَغَلَهُ نَوْمٌ أَوْ مَرَضٌ زَادَ وَاحِدةً صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً هَكَذَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ
Pertanyaan: Alhamdulillah saya rutin melakukan Salat Tahajud (di akhir malam). Hanya saja saya mengerjakan Salat Witir langsung setelah Salat Sunah Ba’diyah Isya. Hal ini karena saya khawatir Allah mencabut nyawaku sebelum melaksanakannya, dan saya khawatir tidak dapat bangun tidur, sehingga tidak bisa melaksanakannya. Apa nasihat Anda untukku? Apakah yang saya lakukan ini sudah benar? Jawaban: Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du: Salat Malam adalah salah satu ibadah terbaik dan termasuk sifat para hamba Allah yang terbaik, serta di antara sifat orang-orang bertakwa. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam Kitab-Nya yang agung “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam…Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. adz-Dzariyat: 15-18). Dan Allah berfirman tentang para hamba-Nya, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. al-Furqan: 64). Anda di atas kebaikan; jadi kami nasihatkan agar Anda konsisten dan memohon agar Allah menerima amalmu. Anda harus beristiqamah (konsisten). Namun, lebih baik bagimu untuk melakukan Salat Witir di akhir malam. Selagi Anda melakukan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga Salat Witir di akhir malam, dan berbaik sangkalah kepada Allah. Berbaik sangkalah kepada Allah dan bergembiralah dengan kebaikan. Selagi Anda terbiasa melakukan kebaikan ini dengan mendirikan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga witirmu di akhir malam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahih, bahwa barang siapa yang takut tidak dapat bangun di akhir malam, hendaklah melaksanakan witir di awal malam dan barang siapa yang hendak bangun di akhir malam, hendaklah dia witir di akhir malam. Karena salat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa salat di akhir malam disaksikan (para malaikat) dan lebih utama daripada di awal malam. Dan Alhamdulillah Anda semangat untuk Salat Tahajud dan terbiasa melakukannya, maka akhirkan juga Salat Witir di akhir malam. Lalu jika Anda tidak bisa bangun tidur, salatlah di siang hari dengan jumlah rakaat yang setara, tapi dalam jumlah genap, bukan ganjil. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau tidak bisa bangun tidur atau sakit. Beliau mendirikan salat sunah di siang hari 12 rakaat. Dan beliau biasa mendirikan Salat Malam 11 rakaat. Lalu jika beliau tidak bisa bangun malam atau sakit, beliau menambah satu rakaat di siang hari menjadi 12 rakaat. Demikian yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Muslim. ==== إِنَّنِي وَلِلَّهِ الْحَمْدُ أَقُومُ اللَّيْلَ إِلَّا أَنَّنِي أُوْتِرُ بَعْدَ أَدَاءِ سُنَّةِ الْعِشَاءِ وَذَلِكَ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَقْبِضَ اللَّهُ رُوحِي قَبْلَ أَدَائِهَا وَخَوْفًا مِنْ أَنْ يَغْلِبَنِيَ النَّوْمُ فَلَا أَسْتَطِيعُ أَدَاءَهَا فَبِمَاذَا تَنْصَحُونَنِي وَهَلْ مَا أَنَا عَلَيْهِ صَحِيحٌ؟ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَقِيَامُ اللَّيْلِ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَمِنْ صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ الأَخْيَارِ وَمِنْ صِفَاتِ الْمُتَّقِيْنَ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فِي كِتَابِهِ الْعَظِيمِ إِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُوْنٍ آخِذِيْنَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِيْنَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَقَالَ تَعَالَى فِي صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ وَالَّذِينَ يَبِيتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا فَأَنْتِ عَلَى خَيْرٍ فَنُوصِيْكِ بِالثَّبَاتِ وَسُؤَالِ اللَّهِ الْقَبُولَ وَعَلَيْكِ بِالِاسْتِقَامَةِ وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ لَكِ أَنْ تَجْعَلَ الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ مَا دُمْتِ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ وَأَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ أَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ وَأَبْشِرِيْ بِالْخَيْرِ مَا دُمْتِ قَدْ اعْتَدْتِ هَذَا الْخَيْرَ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي وِتْرَكِ آخِرَ اللَّيْلِ لِقَوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مَنْ خَافَ أَلَّا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَأَنَّهَا أَفْضَلُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَنْتِ بِحَمْدِ اللهِ تَطْمَعِيْنَ أَنْ تَقُوْمِي وَقَدِ اعْتَدْتِ الْقِيَامَ فَأَخِّرِي الْوِتْرَ في آخِرِ اللَّيْلِ وَإِذَا غَلَبَكِ نَوْمٌ صَلَّيْتِ مِنَ النَّهَارِ مَا يُقَابِلُ ذَلِكَ شَفْعًا دُونَ وِتْر كَمَا كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَكَانَتْ عَادَتُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَالِبًا إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَإِذَا شَغَلَهُ نَوْمٌ أَوْ مَرَضٌ زَادَ وَاحِدةً صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً هَكَذَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ


Pertanyaan: Alhamdulillah saya rutin melakukan Salat Tahajud (di akhir malam). Hanya saja saya mengerjakan Salat Witir langsung setelah Salat Sunah Ba’diyah Isya. Hal ini karena saya khawatir Allah mencabut nyawaku sebelum melaksanakannya, dan saya khawatir tidak dapat bangun tidur, sehingga tidak bisa melaksanakannya. Apa nasihat Anda untukku? Apakah yang saya lakukan ini sudah benar? Jawaban: Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya bagi Allah, selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du: Salat Malam adalah salah satu ibadah terbaik dan termasuk sifat para hamba Allah yang terbaik, serta di antara sifat orang-orang bertakwa. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam Kitab-Nya yang agung “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam…Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. adz-Dzariyat: 15-18). Dan Allah berfirman tentang para hamba-Nya, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. al-Furqan: 64). Anda di atas kebaikan; jadi kami nasihatkan agar Anda konsisten dan memohon agar Allah menerima amalmu. Anda harus beristiqamah (konsisten). Namun, lebih baik bagimu untuk melakukan Salat Witir di akhir malam. Selagi Anda melakukan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga Salat Witir di akhir malam, dan berbaik sangkalah kepada Allah. Berbaik sangkalah kepada Allah dan bergembiralah dengan kebaikan. Selagi Anda terbiasa melakukan kebaikan ini dengan mendirikan Salat Tahajud di akhir malam, maka lakukan juga witirmu di akhir malam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahih, bahwa barang siapa yang takut tidak dapat bangun di akhir malam, hendaklah melaksanakan witir di awal malam dan barang siapa yang hendak bangun di akhir malam, hendaklah dia witir di akhir malam. Karena salat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa salat di akhir malam disaksikan (para malaikat) dan lebih utama daripada di awal malam. Dan Alhamdulillah Anda semangat untuk Salat Tahajud dan terbiasa melakukannya, maka akhirkan juga Salat Witir di akhir malam. Lalu jika Anda tidak bisa bangun tidur, salatlah di siang hari dengan jumlah rakaat yang setara, tapi dalam jumlah genap, bukan ganjil. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau tidak bisa bangun tidur atau sakit. Beliau mendirikan salat sunah di siang hari 12 rakaat. Dan beliau biasa mendirikan Salat Malam 11 rakaat. Lalu jika beliau tidak bisa bangun malam atau sakit, beliau menambah satu rakaat di siang hari menjadi 12 rakaat. Demikian yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Muslim. ==== إِنَّنِي وَلِلَّهِ الْحَمْدُ أَقُومُ اللَّيْلَ إِلَّا أَنَّنِي أُوْتِرُ بَعْدَ أَدَاءِ سُنَّةِ الْعِشَاءِ وَذَلِكَ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَقْبِضَ اللَّهُ رُوحِي قَبْلَ أَدَائِهَا وَخَوْفًا مِنْ أَنْ يَغْلِبَنِيَ النَّوْمُ فَلَا أَسْتَطِيعُ أَدَاءَهَا فَبِمَاذَا تَنْصَحُونَنِي وَهَلْ مَا أَنَا عَلَيْهِ صَحِيحٌ؟ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ أَمَّا بَعْدُ فَقِيَامُ اللَّيْلِ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَمِنْ صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ الأَخْيَارِ وَمِنْ صِفَاتِ الْمُتَّقِيْنَ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلَا فِي كِتَابِهِ الْعَظِيمِ إِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُوْنٍ آخِذِيْنَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِيْنَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ وَقَالَ تَعَالَى فِي صِفَاتِ عِبَادِ الرَّحْمَنِ وَالَّذِينَ يَبِيتُوْنَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا فَأَنْتِ عَلَى خَيْرٍ فَنُوصِيْكِ بِالثَّبَاتِ وَسُؤَالِ اللَّهِ الْقَبُولَ وَعَلَيْكِ بِالِاسْتِقَامَةِ وَلَكِنِ الْأَفْضَلُ لَكِ أَنْ تَجْعَلَ الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ مَا دُمْتِ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي الْوِتْرَ آخِرَ اللَّيْلِ وَأَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ أَحْسِنِي الظَّنَّ بِاللَّهِ وَأَبْشِرِيْ بِالْخَيْرِ مَا دُمْتِ قَدْ اعْتَدْتِ هَذَا الْخَيْرَ تَقُوْمِيْنَ آخِرَ اللَّيْلِ فَاجْعَلِي وِتْرَكِ آخِرَ اللَّيْلِ لِقَوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ مَنْ خَافَ أَلَّا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ بَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَأَنَّهَا أَفْضَلُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَنْتِ بِحَمْدِ اللهِ تَطْمَعِيْنَ أَنْ تَقُوْمِي وَقَدِ اعْتَدْتِ الْقِيَامَ فَأَخِّرِي الْوِتْرَ في آخِرِ اللَّيْلِ وَإِذَا غَلَبَكِ نَوْمٌ صَلَّيْتِ مِنَ النَّهَارِ مَا يُقَابِلُ ذَلِكَ شَفْعًا دُونَ وِتْر كَمَا كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَلَبَهُ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً وَكَانَتْ عَادَتُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَالِبًا إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَإِذَا شَغَلَهُ نَوْمٌ أَوْ مَرَضٌ زَادَ وَاحِدةً صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً هَكَذَا رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ
Prev     Next