Kritikan pada Zakat Profesi, Zakat Penghasilan yang Dikeluarkan Per Bulan

Bagaimana tinjauan dalam syariat Islam mengenai zakat profesi, zakat penghasilan yang dikeluarkan setiap bulannya? Apakah zakat profesi disyariatkan?   Daftar Isi tutup 1. Apa itu zakat penghasilan atau zakat profesi? 2. Alasan pendukung zakat profesi 3. Berbagai pendapat dalam ketentuan zakat profesi 4. Alasan penolak zakat profesi 5. Kelemahan zakat profesi 6. Cara perhitungan zakat tabungan dari penghasilan yang tersimpan 6.1. Referensi: Apa itu zakat penghasilan atau zakat profesi? Berikut adalah keterangan yang kami peroleh dari website baznas. Zakat penghasilan atau yang dikenal juga sebagai zakat profesi; zakat pendapatan adalah bagian dari zakat mal yang wajib dikeluarkan atas harta yang berasal dari pendapatan/penghasilan rutin dari pekerjaan yang tidak melanggar syariah. Nishab zakat penghasilan sebesar 85 gram emas per tahun. Kadar zakat penghasilan senilai 2,5%. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penghasilan yang dimaksud ialah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lainnya yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai, karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Zakat penghasilan dikeluarkan dari harta yang dimiliki pada saat pendapatan/penghasilan diterima oleh seseorang yang sudah dikatakan wajib zakat. Lalu siapa orang yang wajib menunaikan zakat penghasilan? Seseorang dikatakan sudah wajib menunaikan zakat penghasilan apabila ia penghasilannya telah mencapai nishab zakat pendapatan sebesar 85 gram emas per tahun. Hal ini juga dikuatkan dalam SK BAZNAS Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Nisab Zakat Pendapatan dan Jasa, bahwa; Nishab zakat pendapatan / penghasilan pada tahun 2022 adalah senilai 85 gram emas atau setara dengan Rp79.292.978,- (Tujuh puluh sembilan juta dua ratus sembilan puluh dua ribu sembilan ratus tujuh puluh delapan rupiah) per tahun atau Rp6.607.748,- (Enam juta enam ratus tujuh ribu tujuh ratus empat puluh delapan rupiah) per bulan. Dalam praktiknya, zakat penghasilan dapat ditunaikan setiap bulan dengan nilai nishab perbulannya adalah setara dengan nilai seperduabelas dari 85 gram emas (seperti nilai yang tertera di atas) dengan kadar 2,5%. Jadi apabila penghasilan setiap bulan telah melebihi nilai nishab bulanan, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari penghasilannya tersebut Ada banyak jenis profesi dengan pembayaran rutin maupun tidak, dengan penghasilan sama dan tidak dalam setiap bulannya. Jika penghasilan dalam 1 bulan tidak mencapai nishab, maka hasil pendapatan selama 1 tahun dikumpulkan atau dihitung, kemudian zakat ditunaikan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab.   Cara Menghitung Zakat Penghasilan Menurut Baznas 2,5% x Jumlah penghasilan dalam 1 bulan Contoh: Jika harga emas pada hari ini sebesar Rp938.099/gram, maka nishab zakat penghasilan dalam satu tahun adalah Rp79.292.978,-. Penghasilan Bapak Fulan sebesar Rp10.000.000/ bulan, atau Rp120.000.000,- dalam satu tahun. Artinya penghasilan Bapak Fulan sudah wajib zakat. Maka zakat Bapak Fulan adalah Rp250.000,-/ bulan.   Alasan pendukung zakat profesi Pertama: asal keadilan dan realitas Pada masa lalu, orang yang kaya itu identik dengan peternak, petani, pedagang, pemilik emas, dan semacam itu. Sedangkan, orang yang bekerja pada orang lain dan menerima upah umumnya hanyalah pembantu dengan gaji yang seadanya. Namun, pada zaman ini, orang kaya itu tidak lagi identik dengan petani, peternak, pedagang, dan pemilik emas. Profesi jenis tertentu akan memberikan nilai nominal pemasukan yang puluhan bahkan ratusan kali dari hasil yang diterima seorang petani kecil. Sulit untuk mengatakan bahwa orang-orang dengan pemasukan uang sebesar itu bebas dari membayar zakat, sementara petani dan peternak di desa-desa miskin yang tertinggal justru wajib bayar zakat. Kedua: Tidak harus dimiliki selama satu haul Para pendukung zakat profesi sebenarnya agak tersandung dengan ketentuan baku yang mensyaratkan haul. Untuk menjawab masalah haul ini di mana harta harus telah lengkap masa kepemilikan setahun, para pendukung mendhaifkan hadits yang membicarakan tentang haul. Inilah di antara caranya, seperti yang dilakukan Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Jalan lainnya adalah dengan mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian yang memang tidak mensyaratkan kepemilikan setahun. Ada juga yang mengandaikan, meski secara nyata pegawai belum memiliki gaji untuk jangka waktu setahun, tetapi perusahaan tempat bekerja pasti sudah merencanakan atua menyiapkan gajinya untuk setahun. Ketiga: Orang kaya wajib berzakat Kalau seseorang dianggap kaya dibandingkan dengan orang lain, dia hidup berkecukupan lebih dari orang-orang yang pada umumnya, otomatis dia wajib membayar zakat.   Berbagai pendapat dalam ketentuan zakat profesi Di kalangan ulama yang mendukung zakat profesi berkembang dua pendapat yang berbeda dalam hal sumber zakat, yaitu: (1) apakah begitu terima gaji dan honor langsung  dipotong untuk zakat ataukah (2) dikurangi terlebih dahulu dengan pengeluaran-pengeluaran tertentu, baru kemudian dikeluarkan zakatnya. Syaikh Dr. Yusuf Qaradawi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah berpendapat bahwa bila pendapatan seseorang itu sangat besar dan kebutuhan dasarnya sudah sangat tercukupi, wajar bila dia mengeluarkan zakat 2,5% langsung dari pemasukan kotornya. Sebaliknya, bila pemasukan seseorang tidak terlalu besar, sementara kewajiban untuk memenuhi nafkah keluarganya lumayan besar, tidak apa-apa bila dia menunaikan dulu segala kewajiban nafkahnya sesuai dengan standar kebutuhan dasar, setelah itu sisa pemasukannya dizakatkan sebesar 2,5% kepada amil zakat. Para pendukung ini berselisih pendapat mengenai ukuran nisab zakat profesi. Sebagian berpendapat bahwa zakat profesi tidak mengenal nisab. Jadi berapa pun harta yang diterima, semua terkena kewajiban untuk berzakat. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua penghasilan itu wajib dizakatkan. Hanya yang memenuhi nisab saja yang wajib dizakatkan. Sebagian pendukung zakat profesi mengaitkan nisab zakat profesi dengan nisab zakat pertanian, tetapi tidak sedikit yang menggunakan nisab zakat emas. Menurut pendukung zakat profesi yang memakai nisab emas, maka dilihat dari gaji setahun (bukan gaji setiap bulan). Pendukung zakat profesi juga berselisih pendapat dalam kadar yang dikeluarkan (berapa persen). Sebagian berpendapat dengan kadar 2,5% mengacu kepada nisab emas dan perak serta zakat urudhut tijaroh. Sebagian berpendapat dengan kadar 5% karena dianggap pekerja itu seperti sawah yang bersusah payah butuh disirami. Sebagian berpendapat dengan kadar 10% karena dianggap bahwa kebanyakan karyawan itu sering mendapatkan gaji buta sehingga pendukung ini lebih cenderung menetapkannya tinggi. Ada juga yang berpendapat kadarnya adalah 20% karena dianggap gaji, hadiah, bonus, hingga gaji ke-13 adalah harta rikaz. Pendukung zakat profesi juga berselisih pendapat mengenai kapan waktu pengeluaran zakat. Sebagian berpendapat bahwa zakat profesi itu dikeluarkan setiap kali gajian karena disamakan dengan zakat pertanian yang dikeluarkan setiap kali panen. Sebagian ulama pendukung berpendapat zakat profesi dikeluarkan setiap tahun sekali, bahkan ada yang menyatakan dikeluarkannya pada bulan Ramadhan agar mudah mengingat waktu pembayarannya. Zakat profesi juga mengalami konflik dengan zakat simpanan (tabungan). Ada dua pendekatan dari ulama pendukung dalam hal ini, yaitu: (a) masing-masing zakat tidak saling mengalahkan atau tidak saling meniadakan, jadi terkena dua jenis zakat, (b) salah satu dari kedua jenis zakat itu harus dikalahkan. Ada juga yang berpendapat bahwa uang masuk harus dikurangi dengan kebutuhan dasar yang pokok. Kalau masih ada lebihnya, dari kelebihan itu dikeluarkan 2,5% zakatnya. Kalau tidak ada kelebihannya, tidak ada kewajiban zakatnya.   Alasan penolak zakat profesi Alasan pokoknya adalah karena zakat profesi tidak memperhatikan haul. Padahal ini adalah syarat penting dalam penunaian zakat. Dalam hadits disebutkan, وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ “Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.” (HR. Abu Daud, no. 1573; Tirmidzi, no. 631, dan Ibnu Majah, no. 1792. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Berarti, jika belum memenuhi haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Yang dimaksud haul adalah harta bertahan dari nisab selama setahun kepemilikan.  Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, اتّفق الفقهاء على أنّ الحول شرط لوجوب الزّكاة في نصاب السّائمة من بهيمة الأنعام ، وفي الأثمان ، وهي الذّهب ، والفضّة “Para ulama sepakat bahwa haul merupakan syarat wajibnya zakat ketika harta telah mencapai nisab, yaitu pada zakat hewan ternak, zakat mata uang, zakat emas dan perak.” Kenapa sampai harus menunggu haul? Karena harta-harta tadi masih mengalami pertumbuhan, seperti pada hewan ternak masih akan punya keturunan dan barang dagangan masih akan berkembang keuntungannya. Perkembanganharta di sini diambil standar haul atau satu tahun. Adapun zakat tanaman ditarik tanpa memperhatikan haul tetapi setiap kali panen. Karena dalam ayat disebutkan, وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ “Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dizakatkan kepada fakir miskin)” (QS. Al An’am: 141). Zakat ditarik ketika panen karena perkembangan harta telah sempurna saat panen tersebut. Jika telah ditarik zakat pada hasil panen, maka tidak ditarik lagi zakat untuk kedua kalinya karena hasil tersebut tidak mengalami perkembangan lagi. Lihat penjelasan di Mawsu’ah Al Fiqhiyyah dalam index kata ‘haul’. Baca juga: Pengeluaran Zakat Penghasilan Setiap Bulan Dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia: Siapa saja yang memiliki gaji bulanan, tetapi gaji itu sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhannya dan di akhir bulan gajinya pun telah habis, maka ia tidak ada kewajiban zakat. Karena zakat haruslah melewati haul (masa satu tahun sempurna dan hartanya masih mencapai nisab). Berdasarkan hal tersebut, maka engkau –wahai penanya- tidaklah wajib mengeluarkan zakat kecuali jika memang ada hartamu yang engkau simpan dan harta tersebut telah mencapai nisab (batasan minimal dikenai zakat) serta harta tadi bertahan selama haul (masa satu tahun). Adapun ada yang mengatakan bahwa zakat penghasilan itu sebagaimana zakat tanaman (artinya dikeluarkan setiap kali gajian), sehingga tidak ada ketentuan haul (menunggu satu tahun), maka ini adalah pendapat yang tidak tepat. Baca juga: Perhitungan Zakat Penghasilan   Kelemahan zakat profesi Zakat profesi itu zakat hasil rekayasa orang-orang zaman sekarang, maka hasilnya dapat terlihat berbagai perbedaan dalam ketentuan. Oleh karena itu kalau mau dibandingkan antara zakat profesi dan zakat tabungan atau simpanan, maka harus ada yang dikalahkan. Semestinya, zakat yang statusnya hasil rekayasa harus kalah dari zakat yang statusnya orisinal. Sehingga lebih baik, kaum muslimin memperhatikan zakat tabungan atau simpanan daripada zakat profesi.  Zakat profesi tidak memperhatikan haul padahal hadits yang membicarakan syarat haul adalah hadits yang sahih menurut para ulama.   Cara perhitungan zakat tabungan dari penghasilan yang tersimpan Gaji yang diperoleh setiap bulan dipakai sesuai kebutuhan. Gaji yang tersisa dan tersimpan itulah yang dihitung zakatnya. Simpanan yang terkena zakat adalah yang telah mencapai nisab emas atau perak, manakah yang tercapai lebih dahulu. Nisab perak lebih rendah dalam hal ini dan dijadikan patokan terkena zakat ataukah tidak. Nisab perak adalah 595 gram perak murni, sama nilainya dengan 6 juta rupiah jika harta perak Rp.10.000,- per gram. Simpanan yang berada di bawah nisab dalam setahun, maka tidak terkena zakat simpanan. Menentukan dalam setahun kapankah membayar zakat dari simpanan, tidak mesti di bulan Ramadhan. Misalnya: ketika mencapai nisab pertama terjadi pada awal Syakban. Awal Syakban ini dijadikan sebagai hitungan awal tahun. Sedangkan zakat dibayarkan pada Syakban tahun berikutnya ketika sudah mencapai haul. Meskipun ketika itu ada penghasilan atau gaji yang baru masuk beberapa bulan saja atau beberapa hari, belum dimiliki selama haul (setahun hijriyah). Total simpanan dalam tabungan dihitung termasuk uang tunai dan uang yang tersimpan di rumah. Besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari total simpanan. Zakat ini disalurkan pada delapan golongan sebagaimana yang disebutkan dalam surah At-Taubah ayat 60. Semoga Allah memberikan berkah pada setiap harta kita. Semoga Allah beri taufik dan hidayah. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Baca juga: Cara Menghitung Zakat Penghasilan yang Tepat, 6 Juta Rupiah Sudah Kena   Referensi: Sarwat, A., & Lc, M. A. (2019). Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Zakat. Gramedia pustaka utama. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Islamqa yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Tulisan di Rumaysho.Com   –   Selesai ditulis saat perjalanan Jogja – Jakarta, 19 Syakban 1445 H, 29 Februari 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsharta yang dizakati konsultasi zakat nishob zakat panduan zakat zakat penghasilan zakat profesi

Kritikan pada Zakat Profesi, Zakat Penghasilan yang Dikeluarkan Per Bulan

Bagaimana tinjauan dalam syariat Islam mengenai zakat profesi, zakat penghasilan yang dikeluarkan setiap bulannya? Apakah zakat profesi disyariatkan?   Daftar Isi tutup 1. Apa itu zakat penghasilan atau zakat profesi? 2. Alasan pendukung zakat profesi 3. Berbagai pendapat dalam ketentuan zakat profesi 4. Alasan penolak zakat profesi 5. Kelemahan zakat profesi 6. Cara perhitungan zakat tabungan dari penghasilan yang tersimpan 6.1. Referensi: Apa itu zakat penghasilan atau zakat profesi? Berikut adalah keterangan yang kami peroleh dari website baznas. Zakat penghasilan atau yang dikenal juga sebagai zakat profesi; zakat pendapatan adalah bagian dari zakat mal yang wajib dikeluarkan atas harta yang berasal dari pendapatan/penghasilan rutin dari pekerjaan yang tidak melanggar syariah. Nishab zakat penghasilan sebesar 85 gram emas per tahun. Kadar zakat penghasilan senilai 2,5%. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penghasilan yang dimaksud ialah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lainnya yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai, karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Zakat penghasilan dikeluarkan dari harta yang dimiliki pada saat pendapatan/penghasilan diterima oleh seseorang yang sudah dikatakan wajib zakat. Lalu siapa orang yang wajib menunaikan zakat penghasilan? Seseorang dikatakan sudah wajib menunaikan zakat penghasilan apabila ia penghasilannya telah mencapai nishab zakat pendapatan sebesar 85 gram emas per tahun. Hal ini juga dikuatkan dalam SK BAZNAS Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Nisab Zakat Pendapatan dan Jasa, bahwa; Nishab zakat pendapatan / penghasilan pada tahun 2022 adalah senilai 85 gram emas atau setara dengan Rp79.292.978,- (Tujuh puluh sembilan juta dua ratus sembilan puluh dua ribu sembilan ratus tujuh puluh delapan rupiah) per tahun atau Rp6.607.748,- (Enam juta enam ratus tujuh ribu tujuh ratus empat puluh delapan rupiah) per bulan. Dalam praktiknya, zakat penghasilan dapat ditunaikan setiap bulan dengan nilai nishab perbulannya adalah setara dengan nilai seperduabelas dari 85 gram emas (seperti nilai yang tertera di atas) dengan kadar 2,5%. Jadi apabila penghasilan setiap bulan telah melebihi nilai nishab bulanan, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari penghasilannya tersebut Ada banyak jenis profesi dengan pembayaran rutin maupun tidak, dengan penghasilan sama dan tidak dalam setiap bulannya. Jika penghasilan dalam 1 bulan tidak mencapai nishab, maka hasil pendapatan selama 1 tahun dikumpulkan atau dihitung, kemudian zakat ditunaikan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab.   Cara Menghitung Zakat Penghasilan Menurut Baznas 2,5% x Jumlah penghasilan dalam 1 bulan Contoh: Jika harga emas pada hari ini sebesar Rp938.099/gram, maka nishab zakat penghasilan dalam satu tahun adalah Rp79.292.978,-. Penghasilan Bapak Fulan sebesar Rp10.000.000/ bulan, atau Rp120.000.000,- dalam satu tahun. Artinya penghasilan Bapak Fulan sudah wajib zakat. Maka zakat Bapak Fulan adalah Rp250.000,-/ bulan.   Alasan pendukung zakat profesi Pertama: asal keadilan dan realitas Pada masa lalu, orang yang kaya itu identik dengan peternak, petani, pedagang, pemilik emas, dan semacam itu. Sedangkan, orang yang bekerja pada orang lain dan menerima upah umumnya hanyalah pembantu dengan gaji yang seadanya. Namun, pada zaman ini, orang kaya itu tidak lagi identik dengan petani, peternak, pedagang, dan pemilik emas. Profesi jenis tertentu akan memberikan nilai nominal pemasukan yang puluhan bahkan ratusan kali dari hasil yang diterima seorang petani kecil. Sulit untuk mengatakan bahwa orang-orang dengan pemasukan uang sebesar itu bebas dari membayar zakat, sementara petani dan peternak di desa-desa miskin yang tertinggal justru wajib bayar zakat. Kedua: Tidak harus dimiliki selama satu haul Para pendukung zakat profesi sebenarnya agak tersandung dengan ketentuan baku yang mensyaratkan haul. Untuk menjawab masalah haul ini di mana harta harus telah lengkap masa kepemilikan setahun, para pendukung mendhaifkan hadits yang membicarakan tentang haul. Inilah di antara caranya, seperti yang dilakukan Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Jalan lainnya adalah dengan mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian yang memang tidak mensyaratkan kepemilikan setahun. Ada juga yang mengandaikan, meski secara nyata pegawai belum memiliki gaji untuk jangka waktu setahun, tetapi perusahaan tempat bekerja pasti sudah merencanakan atua menyiapkan gajinya untuk setahun. Ketiga: Orang kaya wajib berzakat Kalau seseorang dianggap kaya dibandingkan dengan orang lain, dia hidup berkecukupan lebih dari orang-orang yang pada umumnya, otomatis dia wajib membayar zakat.   Berbagai pendapat dalam ketentuan zakat profesi Di kalangan ulama yang mendukung zakat profesi berkembang dua pendapat yang berbeda dalam hal sumber zakat, yaitu: (1) apakah begitu terima gaji dan honor langsung  dipotong untuk zakat ataukah (2) dikurangi terlebih dahulu dengan pengeluaran-pengeluaran tertentu, baru kemudian dikeluarkan zakatnya. Syaikh Dr. Yusuf Qaradawi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah berpendapat bahwa bila pendapatan seseorang itu sangat besar dan kebutuhan dasarnya sudah sangat tercukupi, wajar bila dia mengeluarkan zakat 2,5% langsung dari pemasukan kotornya. Sebaliknya, bila pemasukan seseorang tidak terlalu besar, sementara kewajiban untuk memenuhi nafkah keluarganya lumayan besar, tidak apa-apa bila dia menunaikan dulu segala kewajiban nafkahnya sesuai dengan standar kebutuhan dasar, setelah itu sisa pemasukannya dizakatkan sebesar 2,5% kepada amil zakat. Para pendukung ini berselisih pendapat mengenai ukuran nisab zakat profesi. Sebagian berpendapat bahwa zakat profesi tidak mengenal nisab. Jadi berapa pun harta yang diterima, semua terkena kewajiban untuk berzakat. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua penghasilan itu wajib dizakatkan. Hanya yang memenuhi nisab saja yang wajib dizakatkan. Sebagian pendukung zakat profesi mengaitkan nisab zakat profesi dengan nisab zakat pertanian, tetapi tidak sedikit yang menggunakan nisab zakat emas. Menurut pendukung zakat profesi yang memakai nisab emas, maka dilihat dari gaji setahun (bukan gaji setiap bulan). Pendukung zakat profesi juga berselisih pendapat dalam kadar yang dikeluarkan (berapa persen). Sebagian berpendapat dengan kadar 2,5% mengacu kepada nisab emas dan perak serta zakat urudhut tijaroh. Sebagian berpendapat dengan kadar 5% karena dianggap pekerja itu seperti sawah yang bersusah payah butuh disirami. Sebagian berpendapat dengan kadar 10% karena dianggap bahwa kebanyakan karyawan itu sering mendapatkan gaji buta sehingga pendukung ini lebih cenderung menetapkannya tinggi. Ada juga yang berpendapat kadarnya adalah 20% karena dianggap gaji, hadiah, bonus, hingga gaji ke-13 adalah harta rikaz. Pendukung zakat profesi juga berselisih pendapat mengenai kapan waktu pengeluaran zakat. Sebagian berpendapat bahwa zakat profesi itu dikeluarkan setiap kali gajian karena disamakan dengan zakat pertanian yang dikeluarkan setiap kali panen. Sebagian ulama pendukung berpendapat zakat profesi dikeluarkan setiap tahun sekali, bahkan ada yang menyatakan dikeluarkannya pada bulan Ramadhan agar mudah mengingat waktu pembayarannya. Zakat profesi juga mengalami konflik dengan zakat simpanan (tabungan). Ada dua pendekatan dari ulama pendukung dalam hal ini, yaitu: (a) masing-masing zakat tidak saling mengalahkan atau tidak saling meniadakan, jadi terkena dua jenis zakat, (b) salah satu dari kedua jenis zakat itu harus dikalahkan. Ada juga yang berpendapat bahwa uang masuk harus dikurangi dengan kebutuhan dasar yang pokok. Kalau masih ada lebihnya, dari kelebihan itu dikeluarkan 2,5% zakatnya. Kalau tidak ada kelebihannya, tidak ada kewajiban zakatnya.   Alasan penolak zakat profesi Alasan pokoknya adalah karena zakat profesi tidak memperhatikan haul. Padahal ini adalah syarat penting dalam penunaian zakat. Dalam hadits disebutkan, وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ “Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.” (HR. Abu Daud, no. 1573; Tirmidzi, no. 631, dan Ibnu Majah, no. 1792. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Berarti, jika belum memenuhi haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Yang dimaksud haul adalah harta bertahan dari nisab selama setahun kepemilikan.  Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, اتّفق الفقهاء على أنّ الحول شرط لوجوب الزّكاة في نصاب السّائمة من بهيمة الأنعام ، وفي الأثمان ، وهي الذّهب ، والفضّة “Para ulama sepakat bahwa haul merupakan syarat wajibnya zakat ketika harta telah mencapai nisab, yaitu pada zakat hewan ternak, zakat mata uang, zakat emas dan perak.” Kenapa sampai harus menunggu haul? Karena harta-harta tadi masih mengalami pertumbuhan, seperti pada hewan ternak masih akan punya keturunan dan barang dagangan masih akan berkembang keuntungannya. Perkembanganharta di sini diambil standar haul atau satu tahun. Adapun zakat tanaman ditarik tanpa memperhatikan haul tetapi setiap kali panen. Karena dalam ayat disebutkan, وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ “Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dizakatkan kepada fakir miskin)” (QS. Al An’am: 141). Zakat ditarik ketika panen karena perkembangan harta telah sempurna saat panen tersebut. Jika telah ditarik zakat pada hasil panen, maka tidak ditarik lagi zakat untuk kedua kalinya karena hasil tersebut tidak mengalami perkembangan lagi. Lihat penjelasan di Mawsu’ah Al Fiqhiyyah dalam index kata ‘haul’. Baca juga: Pengeluaran Zakat Penghasilan Setiap Bulan Dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia: Siapa saja yang memiliki gaji bulanan, tetapi gaji itu sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhannya dan di akhir bulan gajinya pun telah habis, maka ia tidak ada kewajiban zakat. Karena zakat haruslah melewati haul (masa satu tahun sempurna dan hartanya masih mencapai nisab). Berdasarkan hal tersebut, maka engkau –wahai penanya- tidaklah wajib mengeluarkan zakat kecuali jika memang ada hartamu yang engkau simpan dan harta tersebut telah mencapai nisab (batasan minimal dikenai zakat) serta harta tadi bertahan selama haul (masa satu tahun). Adapun ada yang mengatakan bahwa zakat penghasilan itu sebagaimana zakat tanaman (artinya dikeluarkan setiap kali gajian), sehingga tidak ada ketentuan haul (menunggu satu tahun), maka ini adalah pendapat yang tidak tepat. Baca juga: Perhitungan Zakat Penghasilan   Kelemahan zakat profesi Zakat profesi itu zakat hasil rekayasa orang-orang zaman sekarang, maka hasilnya dapat terlihat berbagai perbedaan dalam ketentuan. Oleh karena itu kalau mau dibandingkan antara zakat profesi dan zakat tabungan atau simpanan, maka harus ada yang dikalahkan. Semestinya, zakat yang statusnya hasil rekayasa harus kalah dari zakat yang statusnya orisinal. Sehingga lebih baik, kaum muslimin memperhatikan zakat tabungan atau simpanan daripada zakat profesi.  Zakat profesi tidak memperhatikan haul padahal hadits yang membicarakan syarat haul adalah hadits yang sahih menurut para ulama.   Cara perhitungan zakat tabungan dari penghasilan yang tersimpan Gaji yang diperoleh setiap bulan dipakai sesuai kebutuhan. Gaji yang tersisa dan tersimpan itulah yang dihitung zakatnya. Simpanan yang terkena zakat adalah yang telah mencapai nisab emas atau perak, manakah yang tercapai lebih dahulu. Nisab perak lebih rendah dalam hal ini dan dijadikan patokan terkena zakat ataukah tidak. Nisab perak adalah 595 gram perak murni, sama nilainya dengan 6 juta rupiah jika harta perak Rp.10.000,- per gram. Simpanan yang berada di bawah nisab dalam setahun, maka tidak terkena zakat simpanan. Menentukan dalam setahun kapankah membayar zakat dari simpanan, tidak mesti di bulan Ramadhan. Misalnya: ketika mencapai nisab pertama terjadi pada awal Syakban. Awal Syakban ini dijadikan sebagai hitungan awal tahun. Sedangkan zakat dibayarkan pada Syakban tahun berikutnya ketika sudah mencapai haul. Meskipun ketika itu ada penghasilan atau gaji yang baru masuk beberapa bulan saja atau beberapa hari, belum dimiliki selama haul (setahun hijriyah). Total simpanan dalam tabungan dihitung termasuk uang tunai dan uang yang tersimpan di rumah. Besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari total simpanan. Zakat ini disalurkan pada delapan golongan sebagaimana yang disebutkan dalam surah At-Taubah ayat 60. Semoga Allah memberikan berkah pada setiap harta kita. Semoga Allah beri taufik dan hidayah. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Baca juga: Cara Menghitung Zakat Penghasilan yang Tepat, 6 Juta Rupiah Sudah Kena   Referensi: Sarwat, A., & Lc, M. A. (2019). Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Zakat. Gramedia pustaka utama. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Islamqa yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Tulisan di Rumaysho.Com   –   Selesai ditulis saat perjalanan Jogja – Jakarta, 19 Syakban 1445 H, 29 Februari 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsharta yang dizakati konsultasi zakat nishob zakat panduan zakat zakat penghasilan zakat profesi
Bagaimana tinjauan dalam syariat Islam mengenai zakat profesi, zakat penghasilan yang dikeluarkan setiap bulannya? Apakah zakat profesi disyariatkan?   Daftar Isi tutup 1. Apa itu zakat penghasilan atau zakat profesi? 2. Alasan pendukung zakat profesi 3. Berbagai pendapat dalam ketentuan zakat profesi 4. Alasan penolak zakat profesi 5. Kelemahan zakat profesi 6. Cara perhitungan zakat tabungan dari penghasilan yang tersimpan 6.1. Referensi: Apa itu zakat penghasilan atau zakat profesi? Berikut adalah keterangan yang kami peroleh dari website baznas. Zakat penghasilan atau yang dikenal juga sebagai zakat profesi; zakat pendapatan adalah bagian dari zakat mal yang wajib dikeluarkan atas harta yang berasal dari pendapatan/penghasilan rutin dari pekerjaan yang tidak melanggar syariah. Nishab zakat penghasilan sebesar 85 gram emas per tahun. Kadar zakat penghasilan senilai 2,5%. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penghasilan yang dimaksud ialah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lainnya yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai, karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Zakat penghasilan dikeluarkan dari harta yang dimiliki pada saat pendapatan/penghasilan diterima oleh seseorang yang sudah dikatakan wajib zakat. Lalu siapa orang yang wajib menunaikan zakat penghasilan? Seseorang dikatakan sudah wajib menunaikan zakat penghasilan apabila ia penghasilannya telah mencapai nishab zakat pendapatan sebesar 85 gram emas per tahun. Hal ini juga dikuatkan dalam SK BAZNAS Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Nisab Zakat Pendapatan dan Jasa, bahwa; Nishab zakat pendapatan / penghasilan pada tahun 2022 adalah senilai 85 gram emas atau setara dengan Rp79.292.978,- (Tujuh puluh sembilan juta dua ratus sembilan puluh dua ribu sembilan ratus tujuh puluh delapan rupiah) per tahun atau Rp6.607.748,- (Enam juta enam ratus tujuh ribu tujuh ratus empat puluh delapan rupiah) per bulan. Dalam praktiknya, zakat penghasilan dapat ditunaikan setiap bulan dengan nilai nishab perbulannya adalah setara dengan nilai seperduabelas dari 85 gram emas (seperti nilai yang tertera di atas) dengan kadar 2,5%. Jadi apabila penghasilan setiap bulan telah melebihi nilai nishab bulanan, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari penghasilannya tersebut Ada banyak jenis profesi dengan pembayaran rutin maupun tidak, dengan penghasilan sama dan tidak dalam setiap bulannya. Jika penghasilan dalam 1 bulan tidak mencapai nishab, maka hasil pendapatan selama 1 tahun dikumpulkan atau dihitung, kemudian zakat ditunaikan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab.   Cara Menghitung Zakat Penghasilan Menurut Baznas 2,5% x Jumlah penghasilan dalam 1 bulan Contoh: Jika harga emas pada hari ini sebesar Rp938.099/gram, maka nishab zakat penghasilan dalam satu tahun adalah Rp79.292.978,-. Penghasilan Bapak Fulan sebesar Rp10.000.000/ bulan, atau Rp120.000.000,- dalam satu tahun. Artinya penghasilan Bapak Fulan sudah wajib zakat. Maka zakat Bapak Fulan adalah Rp250.000,-/ bulan.   Alasan pendukung zakat profesi Pertama: asal keadilan dan realitas Pada masa lalu, orang yang kaya itu identik dengan peternak, petani, pedagang, pemilik emas, dan semacam itu. Sedangkan, orang yang bekerja pada orang lain dan menerima upah umumnya hanyalah pembantu dengan gaji yang seadanya. Namun, pada zaman ini, orang kaya itu tidak lagi identik dengan petani, peternak, pedagang, dan pemilik emas. Profesi jenis tertentu akan memberikan nilai nominal pemasukan yang puluhan bahkan ratusan kali dari hasil yang diterima seorang petani kecil. Sulit untuk mengatakan bahwa orang-orang dengan pemasukan uang sebesar itu bebas dari membayar zakat, sementara petani dan peternak di desa-desa miskin yang tertinggal justru wajib bayar zakat. Kedua: Tidak harus dimiliki selama satu haul Para pendukung zakat profesi sebenarnya agak tersandung dengan ketentuan baku yang mensyaratkan haul. Untuk menjawab masalah haul ini di mana harta harus telah lengkap masa kepemilikan setahun, para pendukung mendhaifkan hadits yang membicarakan tentang haul. Inilah di antara caranya, seperti yang dilakukan Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Jalan lainnya adalah dengan mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian yang memang tidak mensyaratkan kepemilikan setahun. Ada juga yang mengandaikan, meski secara nyata pegawai belum memiliki gaji untuk jangka waktu setahun, tetapi perusahaan tempat bekerja pasti sudah merencanakan atua menyiapkan gajinya untuk setahun. Ketiga: Orang kaya wajib berzakat Kalau seseorang dianggap kaya dibandingkan dengan orang lain, dia hidup berkecukupan lebih dari orang-orang yang pada umumnya, otomatis dia wajib membayar zakat.   Berbagai pendapat dalam ketentuan zakat profesi Di kalangan ulama yang mendukung zakat profesi berkembang dua pendapat yang berbeda dalam hal sumber zakat, yaitu: (1) apakah begitu terima gaji dan honor langsung  dipotong untuk zakat ataukah (2) dikurangi terlebih dahulu dengan pengeluaran-pengeluaran tertentu, baru kemudian dikeluarkan zakatnya. Syaikh Dr. Yusuf Qaradawi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah berpendapat bahwa bila pendapatan seseorang itu sangat besar dan kebutuhan dasarnya sudah sangat tercukupi, wajar bila dia mengeluarkan zakat 2,5% langsung dari pemasukan kotornya. Sebaliknya, bila pemasukan seseorang tidak terlalu besar, sementara kewajiban untuk memenuhi nafkah keluarganya lumayan besar, tidak apa-apa bila dia menunaikan dulu segala kewajiban nafkahnya sesuai dengan standar kebutuhan dasar, setelah itu sisa pemasukannya dizakatkan sebesar 2,5% kepada amil zakat. Para pendukung ini berselisih pendapat mengenai ukuran nisab zakat profesi. Sebagian berpendapat bahwa zakat profesi tidak mengenal nisab. Jadi berapa pun harta yang diterima, semua terkena kewajiban untuk berzakat. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua penghasilan itu wajib dizakatkan. Hanya yang memenuhi nisab saja yang wajib dizakatkan. Sebagian pendukung zakat profesi mengaitkan nisab zakat profesi dengan nisab zakat pertanian, tetapi tidak sedikit yang menggunakan nisab zakat emas. Menurut pendukung zakat profesi yang memakai nisab emas, maka dilihat dari gaji setahun (bukan gaji setiap bulan). Pendukung zakat profesi juga berselisih pendapat dalam kadar yang dikeluarkan (berapa persen). Sebagian berpendapat dengan kadar 2,5% mengacu kepada nisab emas dan perak serta zakat urudhut tijaroh. Sebagian berpendapat dengan kadar 5% karena dianggap pekerja itu seperti sawah yang bersusah payah butuh disirami. Sebagian berpendapat dengan kadar 10% karena dianggap bahwa kebanyakan karyawan itu sering mendapatkan gaji buta sehingga pendukung ini lebih cenderung menetapkannya tinggi. Ada juga yang berpendapat kadarnya adalah 20% karena dianggap gaji, hadiah, bonus, hingga gaji ke-13 adalah harta rikaz. Pendukung zakat profesi juga berselisih pendapat mengenai kapan waktu pengeluaran zakat. Sebagian berpendapat bahwa zakat profesi itu dikeluarkan setiap kali gajian karena disamakan dengan zakat pertanian yang dikeluarkan setiap kali panen. Sebagian ulama pendukung berpendapat zakat profesi dikeluarkan setiap tahun sekali, bahkan ada yang menyatakan dikeluarkannya pada bulan Ramadhan agar mudah mengingat waktu pembayarannya. Zakat profesi juga mengalami konflik dengan zakat simpanan (tabungan). Ada dua pendekatan dari ulama pendukung dalam hal ini, yaitu: (a) masing-masing zakat tidak saling mengalahkan atau tidak saling meniadakan, jadi terkena dua jenis zakat, (b) salah satu dari kedua jenis zakat itu harus dikalahkan. Ada juga yang berpendapat bahwa uang masuk harus dikurangi dengan kebutuhan dasar yang pokok. Kalau masih ada lebihnya, dari kelebihan itu dikeluarkan 2,5% zakatnya. Kalau tidak ada kelebihannya, tidak ada kewajiban zakatnya.   Alasan penolak zakat profesi Alasan pokoknya adalah karena zakat profesi tidak memperhatikan haul. Padahal ini adalah syarat penting dalam penunaian zakat. Dalam hadits disebutkan, وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ “Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.” (HR. Abu Daud, no. 1573; Tirmidzi, no. 631, dan Ibnu Majah, no. 1792. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Berarti, jika belum memenuhi haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Yang dimaksud haul adalah harta bertahan dari nisab selama setahun kepemilikan.  Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, اتّفق الفقهاء على أنّ الحول شرط لوجوب الزّكاة في نصاب السّائمة من بهيمة الأنعام ، وفي الأثمان ، وهي الذّهب ، والفضّة “Para ulama sepakat bahwa haul merupakan syarat wajibnya zakat ketika harta telah mencapai nisab, yaitu pada zakat hewan ternak, zakat mata uang, zakat emas dan perak.” Kenapa sampai harus menunggu haul? Karena harta-harta tadi masih mengalami pertumbuhan, seperti pada hewan ternak masih akan punya keturunan dan barang dagangan masih akan berkembang keuntungannya. Perkembanganharta di sini diambil standar haul atau satu tahun. Adapun zakat tanaman ditarik tanpa memperhatikan haul tetapi setiap kali panen. Karena dalam ayat disebutkan, وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ “Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dizakatkan kepada fakir miskin)” (QS. Al An’am: 141). Zakat ditarik ketika panen karena perkembangan harta telah sempurna saat panen tersebut. Jika telah ditarik zakat pada hasil panen, maka tidak ditarik lagi zakat untuk kedua kalinya karena hasil tersebut tidak mengalami perkembangan lagi. Lihat penjelasan di Mawsu’ah Al Fiqhiyyah dalam index kata ‘haul’. Baca juga: Pengeluaran Zakat Penghasilan Setiap Bulan Dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia: Siapa saja yang memiliki gaji bulanan, tetapi gaji itu sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhannya dan di akhir bulan gajinya pun telah habis, maka ia tidak ada kewajiban zakat. Karena zakat haruslah melewati haul (masa satu tahun sempurna dan hartanya masih mencapai nisab). Berdasarkan hal tersebut, maka engkau –wahai penanya- tidaklah wajib mengeluarkan zakat kecuali jika memang ada hartamu yang engkau simpan dan harta tersebut telah mencapai nisab (batasan minimal dikenai zakat) serta harta tadi bertahan selama haul (masa satu tahun). Adapun ada yang mengatakan bahwa zakat penghasilan itu sebagaimana zakat tanaman (artinya dikeluarkan setiap kali gajian), sehingga tidak ada ketentuan haul (menunggu satu tahun), maka ini adalah pendapat yang tidak tepat. Baca juga: Perhitungan Zakat Penghasilan   Kelemahan zakat profesi Zakat profesi itu zakat hasil rekayasa orang-orang zaman sekarang, maka hasilnya dapat terlihat berbagai perbedaan dalam ketentuan. Oleh karena itu kalau mau dibandingkan antara zakat profesi dan zakat tabungan atau simpanan, maka harus ada yang dikalahkan. Semestinya, zakat yang statusnya hasil rekayasa harus kalah dari zakat yang statusnya orisinal. Sehingga lebih baik, kaum muslimin memperhatikan zakat tabungan atau simpanan daripada zakat profesi.  Zakat profesi tidak memperhatikan haul padahal hadits yang membicarakan syarat haul adalah hadits yang sahih menurut para ulama.   Cara perhitungan zakat tabungan dari penghasilan yang tersimpan Gaji yang diperoleh setiap bulan dipakai sesuai kebutuhan. Gaji yang tersisa dan tersimpan itulah yang dihitung zakatnya. Simpanan yang terkena zakat adalah yang telah mencapai nisab emas atau perak, manakah yang tercapai lebih dahulu. Nisab perak lebih rendah dalam hal ini dan dijadikan patokan terkena zakat ataukah tidak. Nisab perak adalah 595 gram perak murni, sama nilainya dengan 6 juta rupiah jika harta perak Rp.10.000,- per gram. Simpanan yang berada di bawah nisab dalam setahun, maka tidak terkena zakat simpanan. Menentukan dalam setahun kapankah membayar zakat dari simpanan, tidak mesti di bulan Ramadhan. Misalnya: ketika mencapai nisab pertama terjadi pada awal Syakban. Awal Syakban ini dijadikan sebagai hitungan awal tahun. Sedangkan zakat dibayarkan pada Syakban tahun berikutnya ketika sudah mencapai haul. Meskipun ketika itu ada penghasilan atau gaji yang baru masuk beberapa bulan saja atau beberapa hari, belum dimiliki selama haul (setahun hijriyah). Total simpanan dalam tabungan dihitung termasuk uang tunai dan uang yang tersimpan di rumah. Besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari total simpanan. Zakat ini disalurkan pada delapan golongan sebagaimana yang disebutkan dalam surah At-Taubah ayat 60. Semoga Allah memberikan berkah pada setiap harta kita. Semoga Allah beri taufik dan hidayah. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Baca juga: Cara Menghitung Zakat Penghasilan yang Tepat, 6 Juta Rupiah Sudah Kena   Referensi: Sarwat, A., & Lc, M. A. (2019). Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Zakat. Gramedia pustaka utama. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Islamqa yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Tulisan di Rumaysho.Com   –   Selesai ditulis saat perjalanan Jogja – Jakarta, 19 Syakban 1445 H, 29 Februari 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsharta yang dizakati konsultasi zakat nishob zakat panduan zakat zakat penghasilan zakat profesi


Bagaimana tinjauan dalam syariat Islam mengenai zakat profesi, zakat penghasilan yang dikeluarkan setiap bulannya? Apakah zakat profesi disyariatkan?   Daftar Isi tutup 1. Apa itu zakat penghasilan atau zakat profesi? 2. Alasan pendukung zakat profesi 3. Berbagai pendapat dalam ketentuan zakat profesi 4. Alasan penolak zakat profesi 5. Kelemahan zakat profesi 6. Cara perhitungan zakat tabungan dari penghasilan yang tersimpan 6.1. Referensi: Apa itu zakat penghasilan atau zakat profesi? Berikut adalah keterangan yang kami peroleh dari website baznas. Zakat penghasilan atau yang dikenal juga sebagai zakat profesi; zakat pendapatan adalah bagian dari zakat mal yang wajib dikeluarkan atas harta yang berasal dari pendapatan/penghasilan rutin dari pekerjaan yang tidak melanggar syariah. Nishab zakat penghasilan sebesar 85 gram emas per tahun. Kadar zakat penghasilan senilai 2,5%. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penghasilan yang dimaksud ialah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lainnya yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai, karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Zakat penghasilan dikeluarkan dari harta yang dimiliki pada saat pendapatan/penghasilan diterima oleh seseorang yang sudah dikatakan wajib zakat. Lalu siapa orang yang wajib menunaikan zakat penghasilan? Seseorang dikatakan sudah wajib menunaikan zakat penghasilan apabila ia penghasilannya telah mencapai nishab zakat pendapatan sebesar 85 gram emas per tahun. Hal ini juga dikuatkan dalam SK BAZNAS Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Nisab Zakat Pendapatan dan Jasa, bahwa; Nishab zakat pendapatan / penghasilan pada tahun 2022 adalah senilai 85 gram emas atau setara dengan Rp79.292.978,- (Tujuh puluh sembilan juta dua ratus sembilan puluh dua ribu sembilan ratus tujuh puluh delapan rupiah) per tahun atau Rp6.607.748,- (Enam juta enam ratus tujuh ribu tujuh ratus empat puluh delapan rupiah) per bulan. Dalam praktiknya, zakat penghasilan dapat ditunaikan setiap bulan dengan nilai nishab perbulannya adalah setara dengan nilai seperduabelas dari 85 gram emas (seperti nilai yang tertera di atas) dengan kadar 2,5%. Jadi apabila penghasilan setiap bulan telah melebihi nilai nishab bulanan, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari penghasilannya tersebut Ada banyak jenis profesi dengan pembayaran rutin maupun tidak, dengan penghasilan sama dan tidak dalam setiap bulannya. Jika penghasilan dalam 1 bulan tidak mencapai nishab, maka hasil pendapatan selama 1 tahun dikumpulkan atau dihitung, kemudian zakat ditunaikan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab.   Cara Menghitung Zakat Penghasilan Menurut Baznas 2,5% x Jumlah penghasilan dalam 1 bulan Contoh: Jika harga emas pada hari ini sebesar Rp938.099/gram, maka nishab zakat penghasilan dalam satu tahun adalah Rp79.292.978,-. Penghasilan Bapak Fulan sebesar Rp10.000.000/ bulan, atau Rp120.000.000,- dalam satu tahun. Artinya penghasilan Bapak Fulan sudah wajib zakat. Maka zakat Bapak Fulan adalah Rp250.000,-/ bulan.   Alasan pendukung zakat profesi Pertama: asal keadilan dan realitas Pada masa lalu, orang yang kaya itu identik dengan peternak, petani, pedagang, pemilik emas, dan semacam itu. Sedangkan, orang yang bekerja pada orang lain dan menerima upah umumnya hanyalah pembantu dengan gaji yang seadanya. Namun, pada zaman ini, orang kaya itu tidak lagi identik dengan petani, peternak, pedagang, dan pemilik emas. Profesi jenis tertentu akan memberikan nilai nominal pemasukan yang puluhan bahkan ratusan kali dari hasil yang diterima seorang petani kecil. Sulit untuk mengatakan bahwa orang-orang dengan pemasukan uang sebesar itu bebas dari membayar zakat, sementara petani dan peternak di desa-desa miskin yang tertinggal justru wajib bayar zakat. Kedua: Tidak harus dimiliki selama satu haul Para pendukung zakat profesi sebenarnya agak tersandung dengan ketentuan baku yang mensyaratkan haul. Untuk menjawab masalah haul ini di mana harta harus telah lengkap masa kepemilikan setahun, para pendukung mendhaifkan hadits yang membicarakan tentang haul. Inilah di antara caranya, seperti yang dilakukan Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Jalan lainnya adalah dengan mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian yang memang tidak mensyaratkan kepemilikan setahun. Ada juga yang mengandaikan, meski secara nyata pegawai belum memiliki gaji untuk jangka waktu setahun, tetapi perusahaan tempat bekerja pasti sudah merencanakan atua menyiapkan gajinya untuk setahun. Ketiga: Orang kaya wajib berzakat Kalau seseorang dianggap kaya dibandingkan dengan orang lain, dia hidup berkecukupan lebih dari orang-orang yang pada umumnya, otomatis dia wajib membayar zakat.   Berbagai pendapat dalam ketentuan zakat profesi Di kalangan ulama yang mendukung zakat profesi berkembang dua pendapat yang berbeda dalam hal sumber zakat, yaitu: (1) apakah begitu terima gaji dan honor langsung  dipotong untuk zakat ataukah (2) dikurangi terlebih dahulu dengan pengeluaran-pengeluaran tertentu, baru kemudian dikeluarkan zakatnya. Syaikh Dr. Yusuf Qaradawi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah berpendapat bahwa bila pendapatan seseorang itu sangat besar dan kebutuhan dasarnya sudah sangat tercukupi, wajar bila dia mengeluarkan zakat 2,5% langsung dari pemasukan kotornya. Sebaliknya, bila pemasukan seseorang tidak terlalu besar, sementara kewajiban untuk memenuhi nafkah keluarganya lumayan besar, tidak apa-apa bila dia menunaikan dulu segala kewajiban nafkahnya sesuai dengan standar kebutuhan dasar, setelah itu sisa pemasukannya dizakatkan sebesar 2,5% kepada amil zakat. Para pendukung ini berselisih pendapat mengenai ukuran nisab zakat profesi. Sebagian berpendapat bahwa zakat profesi tidak mengenal nisab. Jadi berapa pun harta yang diterima, semua terkena kewajiban untuk berzakat. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua penghasilan itu wajib dizakatkan. Hanya yang memenuhi nisab saja yang wajib dizakatkan. Sebagian pendukung zakat profesi mengaitkan nisab zakat profesi dengan nisab zakat pertanian, tetapi tidak sedikit yang menggunakan nisab zakat emas. Menurut pendukung zakat profesi yang memakai nisab emas, maka dilihat dari gaji setahun (bukan gaji setiap bulan). Pendukung zakat profesi juga berselisih pendapat dalam kadar yang dikeluarkan (berapa persen). Sebagian berpendapat dengan kadar 2,5% mengacu kepada nisab emas dan perak serta zakat urudhut tijaroh. Sebagian berpendapat dengan kadar 5% karena dianggap pekerja itu seperti sawah yang bersusah payah butuh disirami. Sebagian berpendapat dengan kadar 10% karena dianggap bahwa kebanyakan karyawan itu sering mendapatkan gaji buta sehingga pendukung ini lebih cenderung menetapkannya tinggi. Ada juga yang berpendapat kadarnya adalah 20% karena dianggap gaji, hadiah, bonus, hingga gaji ke-13 adalah harta rikaz. Pendukung zakat profesi juga berselisih pendapat mengenai kapan waktu pengeluaran zakat. Sebagian berpendapat bahwa zakat profesi itu dikeluarkan setiap kali gajian karena disamakan dengan zakat pertanian yang dikeluarkan setiap kali panen. Sebagian ulama pendukung berpendapat zakat profesi dikeluarkan setiap tahun sekali, bahkan ada yang menyatakan dikeluarkannya pada bulan Ramadhan agar mudah mengingat waktu pembayarannya. Zakat profesi juga mengalami konflik dengan zakat simpanan (tabungan). Ada dua pendekatan dari ulama pendukung dalam hal ini, yaitu: (a) masing-masing zakat tidak saling mengalahkan atau tidak saling meniadakan, jadi terkena dua jenis zakat, (b) salah satu dari kedua jenis zakat itu harus dikalahkan. Ada juga yang berpendapat bahwa uang masuk harus dikurangi dengan kebutuhan dasar yang pokok. Kalau masih ada lebihnya, dari kelebihan itu dikeluarkan 2,5% zakatnya. Kalau tidak ada kelebihannya, tidak ada kewajiban zakatnya.   Alasan penolak zakat profesi Alasan pokoknya adalah karena zakat profesi tidak memperhatikan haul. Padahal ini adalah syarat penting dalam penunaian zakat. Dalam hadits disebutkan, وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ “Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.” (HR. Abu Daud, no. 1573; Tirmidzi, no. 631, dan Ibnu Majah, no. 1792. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Berarti, jika belum memenuhi haul, maka tidak ada kewajiban zakat. Yang dimaksud haul adalah harta bertahan dari nisab selama setahun kepemilikan.  Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, اتّفق الفقهاء على أنّ الحول شرط لوجوب الزّكاة في نصاب السّائمة من بهيمة الأنعام ، وفي الأثمان ، وهي الذّهب ، والفضّة “Para ulama sepakat bahwa haul merupakan syarat wajibnya zakat ketika harta telah mencapai nisab, yaitu pada zakat hewan ternak, zakat mata uang, zakat emas dan perak.” Kenapa sampai harus menunggu haul? Karena harta-harta tadi masih mengalami pertumbuhan, seperti pada hewan ternak masih akan punya keturunan dan barang dagangan masih akan berkembang keuntungannya. Perkembanganharta di sini diambil standar haul atau satu tahun. Adapun zakat tanaman ditarik tanpa memperhatikan haul tetapi setiap kali panen. Karena dalam ayat disebutkan, وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ “Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dizakatkan kepada fakir miskin)” (QS. Al An’am: 141). Zakat ditarik ketika panen karena perkembangan harta telah sempurna saat panen tersebut. Jika telah ditarik zakat pada hasil panen, maka tidak ditarik lagi zakat untuk kedua kalinya karena hasil tersebut tidak mengalami perkembangan lagi. Lihat penjelasan di Mawsu’ah Al Fiqhiyyah dalam index kata ‘haul’. Baca juga: Pengeluaran Zakat Penghasilan Setiap Bulan Dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia: Siapa saja yang memiliki gaji bulanan, tetapi gaji itu sudah dihabiskan untuk memenuhi kebutuhannya dan di akhir bulan gajinya pun telah habis, maka ia tidak ada kewajiban zakat. Karena zakat haruslah melewati haul (masa satu tahun sempurna dan hartanya masih mencapai nisab). Berdasarkan hal tersebut, maka engkau –wahai penanya- tidaklah wajib mengeluarkan zakat kecuali jika memang ada hartamu yang engkau simpan dan harta tersebut telah mencapai nisab (batasan minimal dikenai zakat) serta harta tadi bertahan selama haul (masa satu tahun). Adapun ada yang mengatakan bahwa zakat penghasilan itu sebagaimana zakat tanaman (artinya dikeluarkan setiap kali gajian), sehingga tidak ada ketentuan haul (menunggu satu tahun), maka ini adalah pendapat yang tidak tepat. Baca juga: Perhitungan Zakat Penghasilan   Kelemahan zakat profesi Zakat profesi itu zakat hasil rekayasa orang-orang zaman sekarang, maka hasilnya dapat terlihat berbagai perbedaan dalam ketentuan. Oleh karena itu kalau mau dibandingkan antara zakat profesi dan zakat tabungan atau simpanan, maka harus ada yang dikalahkan. Semestinya, zakat yang statusnya hasil rekayasa harus kalah dari zakat yang statusnya orisinal. Sehingga lebih baik, kaum muslimin memperhatikan zakat tabungan atau simpanan daripada zakat profesi.  Zakat profesi tidak memperhatikan haul padahal hadits yang membicarakan syarat haul adalah hadits yang sahih menurut para ulama.   Cara perhitungan zakat tabungan dari penghasilan yang tersimpan Gaji yang diperoleh setiap bulan dipakai sesuai kebutuhan. Gaji yang tersisa dan tersimpan itulah yang dihitung zakatnya. Simpanan yang terkena zakat adalah yang telah mencapai nisab emas atau perak, manakah yang tercapai lebih dahulu. Nisab perak lebih rendah dalam hal ini dan dijadikan patokan terkena zakat ataukah tidak. Nisab perak adalah 595 gram perak murni, sama nilainya dengan 6 juta rupiah jika harta perak Rp.10.000,- per gram. Simpanan yang berada di bawah nisab dalam setahun, maka tidak terkena zakat simpanan. Menentukan dalam setahun kapankah membayar zakat dari simpanan, tidak mesti di bulan Ramadhan. Misalnya: ketika mencapai nisab pertama terjadi pada awal Syakban. Awal Syakban ini dijadikan sebagai hitungan awal tahun. Sedangkan zakat dibayarkan pada Syakban tahun berikutnya ketika sudah mencapai haul. Meskipun ketika itu ada penghasilan atau gaji yang baru masuk beberapa bulan saja atau beberapa hari, belum dimiliki selama haul (setahun hijriyah). Total simpanan dalam tabungan dihitung termasuk uang tunai dan uang yang tersimpan di rumah. Besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari total simpanan. Zakat ini disalurkan pada delapan golongan sebagaimana yang disebutkan dalam surah At-Taubah ayat 60. Semoga Allah memberikan berkah pada setiap harta kita. Semoga Allah beri taufik dan hidayah. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Baca juga: Cara Menghitung Zakat Penghasilan yang Tepat, 6 Juta Rupiah Sudah Kena   Referensi: Sarwat, A., & Lc, M. A. (2019). Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Zakat. Gramedia pustaka utama. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Islamqa yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Tulisan di Rumaysho.Com   –   Selesai ditulis saat perjalanan Jogja – Jakarta, 19 Syakban 1445 H, 29 Februari 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsharta yang dizakati konsultasi zakat nishob zakat panduan zakat zakat penghasilan zakat profesi

Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Imamah dan Kerudung ketika Wudu

Daftar Isi Toggle PendahuluanDefinisi mengusap imamahHukum mengusap imamahDalil-dalil bolehnya mengusap imamahDari Al-Qur’anDari As-SunnahDari Atsar (riwayat para sahabat)Syarat-syarat mengusap imamahApakah mencuci wajah dalam wudu cukup, sementara imamah menutupi sebagian darinya?Tata cara mengusap imamahApakah boleh mengusap kerudung? Si Fulanah melakukan safar bersama suaminya menggunakan bus umum. Di tengah perjalanan, tibalah waktu salat Subuh dan petugas bus tidak berhenti, sehingga mengharuskan Fulanah untuk berwudu di toilet bus. Dalam keadaan seperti ini, membuka kerudung untuk berwudu tentu merupakan sesuatu yang sangat merepotkan. Apakah diperbolehkan bagi Fulanah untuk hanya mengusap kerudung sebagai ganti dari mengusap kepala di dalam wudu, atau dia harus membukanya untuk mengusap seluruh kepala? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini kami sampaikan pembahasan tentang ketentuan dan tata cara mengusap imamah dan kerudung ketika wudu. Pendahuluan Sebelum kita memulai pembahasan utama masalah ini, penting bagi kita untuk mengetahui beberapa hal berikut agar kita dapat memahami masalah ini dengan baik, yaitu: Pertama: Pembahasan ini khusus tentang wudu. Sedangkan untuk mandi wajib (ghusl), harus melepas imamah atau kerudung. Kedua: Jika ada luka di kepala dan diletakkan perban di atasnya, maka ini adalah masalah mengusap jabirah dan bukan pembahasan yang kita bahas di sini. Ketiga: Menurut mazhab Syafi’i, mengusap imamah adalah mustahab (sunah), dan hal ini tidak cukup untuk dikatakan mengusap kepala, yang ini merupakan rukun wudu. Harus tetap ada bagian dari kepala yang diusap. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, وأما إذا اقتصر على مسح ‌العمامة ولم يمسح شيئا من رأسه فلا يجزيه بلا خلاف عندنا “Dan jika seseorang hanya mengusap imamahnya tanpa mengusap sedikit pun dari kepalanya, maka itu tidak cukup baginya. Hal ini tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan kami.” [1] Namun, yang benar adalah pendapat yang memperbolehkan mengusap imamah, dengan hanya mengusapnya saja tanpa mengusap kepala; dan ini merupakan pendapat Hanabilah. (sebagaimana akan dijelaskan di bawah) Wallahu a’lam. Definisi mengusap imamah “Mengusap imamah”, yang biasa diistilahkan ( المسح على العمامة – mengusap di atas imamah) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan imamah ( العمامة ). Tentang ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [2] Sedangkan tentang imamah ( العمامة ), disebutkan dalam kitab Mu’jam Musthalahat wal Alfadz Fiqhiyyah, العمامة هي اللباس الذي يلف على الرأس تكويرًا “Imamah (secara bahasa) adalah pakaian yang dibalutkan di kepala dengan cara melingkar.” [3] Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa. Jadi, mengusap imamah “المسح على العمامة” dalam istilah fikih adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air) pada pakaian yang dibalutkan di kepala dengan cara melingkar ketika berwudu. Wallahu a’lam Hukum mengusap imamah Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum mengusap imamah: Hanafiyah: Mereka berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengusap imamah karena tidak ada kesulitan dalam melepasnya. Malikiyah: Menyatakan bahwa mengusap imamah diperbolehkan jika dikhawatirkan adanya bahaya atau kerusakan dengan melepasnya dan tidak mampu untuk membukanya. Syafi’iyah dan Hanabilah: Menyatakan bahwa mengusap imamah diperbolehkan. Namun, menurut Syafi’iyah, tidak cukup hanya mengusap atas imamah saja, tetapi harus juga mengusap bagian depan kepala bersamaan dengan imamah. Pendapat yang sahih adalah diperbolehkan mengusap imamah dengan hanya mencukupkan dengannya, tanpa mengusap kepala. Ini merupakan pendapat yang terkenal dari mazhab Hambali [4], mazhab Dzahiri, dan juga pendapat mayoritas sahabat dan tabiin. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Al-Qayyim, Asy-Syaukani, Asy-Syanqiti, dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. [5] Dalil-dalil bolehnya mengusap imamah Dari Al-Qur’an Firman Allah Ta’ala dalam ayat wudu, وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ “Dan usaplah kepala kalian.” [6] Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjelas firman Allah dan penafsirnya. Dan beliau telah mengusap imamah-nya sebagaimana Allah Azza Wajalla telah memerintahkan mencuci kaki. Dan sunah Nabi telah datang dengan adanya keringanan mengusap khuf. Dari As-Sunnah Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم توضَّأ، فمسحَ بناصِيَتِه، وعلى العمامةِ، وعلى الخفَّينِ “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu, lalu mengusap bagian depan kepalanya, imamah, dan kedua khuf.” [7] Dari Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata, رأيتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يمسَحُ على عِمامَتِه وخُفَّيه “Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap imamahnya dan kedua khufnya.” [8] Dari Atsar (riwayat para sahabat) Dari Abdur Rahman bin ‘Usailah As-Sunabihy rahimahullah berkata, رأيتُ أبا بكر الصِّدِّيقَ يمسَحُ على الخِمارِ- يعني: في الوضوءِ “Saya melihat Abu Bakar As-Siddiq mengusap atas khimarnya. Maksudnya: dalam wudu.” [9] Dari Suwaid bin Ghafalah rahimahullah berkata, سألتُ عُمرَ بن الخطَّاب عن المسحِ على العِمامةِ؟ قال: إنْ شئتَ فامسَحْ عليها، وإنْ شئتَ فلا “Saya bertanya kepada Umar bin Al-Khattab tentang mengusap imamah? Beliau berkata, ‘Kamu boleh mengusapnya, boleh juga tidak mengusapnya.’” [10] [11] Baca juga: Mengusap Gips dan Perban ketika Bersuci Syarat-syarat mengusap imamah Mengusap imamah memiliki syarat-syarat [12], yaitu: Pertama: Dalam hadats kecil (wudu). Kedua: Suci, yaitu imamah harus bersih dari najis. Ketiga: Imamah harus menutupi seluruh kepala, kecuali bagian yang biasa terbuka seperti telinga, sebagian depan kepala, serta sisi-sisi kepala atau bagian belakangnya yang ini semua dimaafkan. Keempat: Hanya laki-laki yang diperbolehkan untuk mengusap pada imamah (sedangkan untuk perempuan, maka boleh mengusap kerudung, sebagimana akan dijelaskan di bawah). Apakah mencuci wajah dalam wudu cukup, sementara imamah menutupi sebagian darinya? Imamah yang menutupi sebagian wajah, maka perlu dihilangkan dan diangkat, sehingga bisa membasuh seluruh wajah dengan benar ketika wudu. Mencuci wajah tidak cukup jika meninggalkan bagian yang tertutup oleh imamah. Allah Ta’ala berfirman, فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ “Maka basuhlah wajah-wajah kalian.” [13] Batas wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang biasa atau dari lengkung dahi sampai ke bagian yang lebih rendah dari pipi dan dagu secara vertikal, dan dari telinga ke telinga secara horizontal. Lihat: Al-Kafiy oleh Ibn Qudamah dan penjelasannya oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Oleh karena itu, harus dihilangkan imamah dan diangkat dari wajah agar dapat mencakup seluruh wajah saat berwudu. Membasuh wajah tidak cukup jika meninggalkan bagian yang tertutup oleh imamah. [14] Wallahu a’lam. Tata cara mengusap imamah Usapan ( المسح ) adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air), sebagaimana telah kita bahas sebelumnya. Jika seseorang ingin mengusap imamah-nya sebagai pengganti mengusap kepala dalam wudu (lihat “Hukum Mengusap Imamah” di atas), maka ia harus mengusap sebagian besar dari imamah tersebut. Jika hanya mengusap sebagian kecil, maka wudu tidak sah. Namun, jika mengusap seluruhnya, tidak ada masalah. Disunahkan mengusap ubun-ubun yang terlihat (tidak tertutup imamah), sebagaimana telah disinggung pada “Hukum mengusap imamah” di atas. [15] Wallahu a’lam Apakah boleh mengusap kerudung? Khimar ( خمار ) / kerudung, yaitu pakaian yang digunakan untuk menutupi kepala. Para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehan mengusap kerudung. Sebagian mengatakan bahwa tidak boleh mengusap kerudung, sementara yang lain berpendapat bahwa boleh mengusap kerudung yang dikenakan sampai di bawah tenggorokan. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Hanbali, dan ini adalah pendapat (mu’tamad) mazhab. Pendapat yang benar adalah jika terdapat kesulitan, baik karena cuaca dingin atau kesulitan dalam melepas kerudung, maka ada kelonggaran dalam hal ini alias tidak masalah (yaitu, boleh mengusapnya). Namun, jika tidak ada kesulitan, lebih baik untuk tidak melakukan pengusapan, karena tidak ada nas yang sahih yang mendukung hal tersebut. [16] Demikian penjelasan ringkas (insyaAllah menyeluruh) tentang mengusap imamah dan kerudung. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengusap Kaos Kaki dan Sepatu ketika Wudu *** @ 11 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 1: 407, Imam Nawawi, Al-Muniriyyah, Maktabah Syamilah. [2] Mu’jamut Ta’rifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah. [3] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 69. [4] Lihat Al-Mughniy, 1: 219. [5] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 100 dan https://dorar.net/feqhia/279 [6] QS. Al-Ma’idah: 6. [7] HR. Muslim no. 274. [8] HR. Muslim no. 205. [9] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf, 1: 22. Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla, 2: 60, “Sanadnya sangat sahih.” [10] ibid [11] Lihat https://dorar.net/feqhia/279 [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 100-101 dan https://dorar.net/feqhia/281 [13] QS. Al-Ma’idah: 6. [14] Lihat https://islamqa.info/ar/answers/146562 [15] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 101. [16] Lihat https://dorar.net/feqhia/283 Tags: mengusap imamahmengusap kerudungwudu

Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Imamah dan Kerudung ketika Wudu

Daftar Isi Toggle PendahuluanDefinisi mengusap imamahHukum mengusap imamahDalil-dalil bolehnya mengusap imamahDari Al-Qur’anDari As-SunnahDari Atsar (riwayat para sahabat)Syarat-syarat mengusap imamahApakah mencuci wajah dalam wudu cukup, sementara imamah menutupi sebagian darinya?Tata cara mengusap imamahApakah boleh mengusap kerudung? Si Fulanah melakukan safar bersama suaminya menggunakan bus umum. Di tengah perjalanan, tibalah waktu salat Subuh dan petugas bus tidak berhenti, sehingga mengharuskan Fulanah untuk berwudu di toilet bus. Dalam keadaan seperti ini, membuka kerudung untuk berwudu tentu merupakan sesuatu yang sangat merepotkan. Apakah diperbolehkan bagi Fulanah untuk hanya mengusap kerudung sebagai ganti dari mengusap kepala di dalam wudu, atau dia harus membukanya untuk mengusap seluruh kepala? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini kami sampaikan pembahasan tentang ketentuan dan tata cara mengusap imamah dan kerudung ketika wudu. Pendahuluan Sebelum kita memulai pembahasan utama masalah ini, penting bagi kita untuk mengetahui beberapa hal berikut agar kita dapat memahami masalah ini dengan baik, yaitu: Pertama: Pembahasan ini khusus tentang wudu. Sedangkan untuk mandi wajib (ghusl), harus melepas imamah atau kerudung. Kedua: Jika ada luka di kepala dan diletakkan perban di atasnya, maka ini adalah masalah mengusap jabirah dan bukan pembahasan yang kita bahas di sini. Ketiga: Menurut mazhab Syafi’i, mengusap imamah adalah mustahab (sunah), dan hal ini tidak cukup untuk dikatakan mengusap kepala, yang ini merupakan rukun wudu. Harus tetap ada bagian dari kepala yang diusap. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, وأما إذا اقتصر على مسح ‌العمامة ولم يمسح شيئا من رأسه فلا يجزيه بلا خلاف عندنا “Dan jika seseorang hanya mengusap imamahnya tanpa mengusap sedikit pun dari kepalanya, maka itu tidak cukup baginya. Hal ini tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan kami.” [1] Namun, yang benar adalah pendapat yang memperbolehkan mengusap imamah, dengan hanya mengusapnya saja tanpa mengusap kepala; dan ini merupakan pendapat Hanabilah. (sebagaimana akan dijelaskan di bawah) Wallahu a’lam. Definisi mengusap imamah “Mengusap imamah”, yang biasa diistilahkan ( المسح على العمامة – mengusap di atas imamah) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan imamah ( العمامة ). Tentang ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [2] Sedangkan tentang imamah ( العمامة ), disebutkan dalam kitab Mu’jam Musthalahat wal Alfadz Fiqhiyyah, العمامة هي اللباس الذي يلف على الرأس تكويرًا “Imamah (secara bahasa) adalah pakaian yang dibalutkan di kepala dengan cara melingkar.” [3] Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa. Jadi, mengusap imamah “المسح على العمامة” dalam istilah fikih adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air) pada pakaian yang dibalutkan di kepala dengan cara melingkar ketika berwudu. Wallahu a’lam Hukum mengusap imamah Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum mengusap imamah: Hanafiyah: Mereka berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengusap imamah karena tidak ada kesulitan dalam melepasnya. Malikiyah: Menyatakan bahwa mengusap imamah diperbolehkan jika dikhawatirkan adanya bahaya atau kerusakan dengan melepasnya dan tidak mampu untuk membukanya. Syafi’iyah dan Hanabilah: Menyatakan bahwa mengusap imamah diperbolehkan. Namun, menurut Syafi’iyah, tidak cukup hanya mengusap atas imamah saja, tetapi harus juga mengusap bagian depan kepala bersamaan dengan imamah. Pendapat yang sahih adalah diperbolehkan mengusap imamah dengan hanya mencukupkan dengannya, tanpa mengusap kepala. Ini merupakan pendapat yang terkenal dari mazhab Hambali [4], mazhab Dzahiri, dan juga pendapat mayoritas sahabat dan tabiin. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Al-Qayyim, Asy-Syaukani, Asy-Syanqiti, dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. [5] Dalil-dalil bolehnya mengusap imamah Dari Al-Qur’an Firman Allah Ta’ala dalam ayat wudu, وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ “Dan usaplah kepala kalian.” [6] Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjelas firman Allah dan penafsirnya. Dan beliau telah mengusap imamah-nya sebagaimana Allah Azza Wajalla telah memerintahkan mencuci kaki. Dan sunah Nabi telah datang dengan adanya keringanan mengusap khuf. Dari As-Sunnah Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم توضَّأ، فمسحَ بناصِيَتِه، وعلى العمامةِ، وعلى الخفَّينِ “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu, lalu mengusap bagian depan kepalanya, imamah, dan kedua khuf.” [7] Dari Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata, رأيتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يمسَحُ على عِمامَتِه وخُفَّيه “Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap imamahnya dan kedua khufnya.” [8] Dari Atsar (riwayat para sahabat) Dari Abdur Rahman bin ‘Usailah As-Sunabihy rahimahullah berkata, رأيتُ أبا بكر الصِّدِّيقَ يمسَحُ على الخِمارِ- يعني: في الوضوءِ “Saya melihat Abu Bakar As-Siddiq mengusap atas khimarnya. Maksudnya: dalam wudu.” [9] Dari Suwaid bin Ghafalah rahimahullah berkata, سألتُ عُمرَ بن الخطَّاب عن المسحِ على العِمامةِ؟ قال: إنْ شئتَ فامسَحْ عليها، وإنْ شئتَ فلا “Saya bertanya kepada Umar bin Al-Khattab tentang mengusap imamah? Beliau berkata, ‘Kamu boleh mengusapnya, boleh juga tidak mengusapnya.’” [10] [11] Baca juga: Mengusap Gips dan Perban ketika Bersuci Syarat-syarat mengusap imamah Mengusap imamah memiliki syarat-syarat [12], yaitu: Pertama: Dalam hadats kecil (wudu). Kedua: Suci, yaitu imamah harus bersih dari najis. Ketiga: Imamah harus menutupi seluruh kepala, kecuali bagian yang biasa terbuka seperti telinga, sebagian depan kepala, serta sisi-sisi kepala atau bagian belakangnya yang ini semua dimaafkan. Keempat: Hanya laki-laki yang diperbolehkan untuk mengusap pada imamah (sedangkan untuk perempuan, maka boleh mengusap kerudung, sebagimana akan dijelaskan di bawah). Apakah mencuci wajah dalam wudu cukup, sementara imamah menutupi sebagian darinya? Imamah yang menutupi sebagian wajah, maka perlu dihilangkan dan diangkat, sehingga bisa membasuh seluruh wajah dengan benar ketika wudu. Mencuci wajah tidak cukup jika meninggalkan bagian yang tertutup oleh imamah. Allah Ta’ala berfirman, فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ “Maka basuhlah wajah-wajah kalian.” [13] Batas wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang biasa atau dari lengkung dahi sampai ke bagian yang lebih rendah dari pipi dan dagu secara vertikal, dan dari telinga ke telinga secara horizontal. Lihat: Al-Kafiy oleh Ibn Qudamah dan penjelasannya oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Oleh karena itu, harus dihilangkan imamah dan diangkat dari wajah agar dapat mencakup seluruh wajah saat berwudu. Membasuh wajah tidak cukup jika meninggalkan bagian yang tertutup oleh imamah. [14] Wallahu a’lam. Tata cara mengusap imamah Usapan ( المسح ) adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air), sebagaimana telah kita bahas sebelumnya. Jika seseorang ingin mengusap imamah-nya sebagai pengganti mengusap kepala dalam wudu (lihat “Hukum Mengusap Imamah” di atas), maka ia harus mengusap sebagian besar dari imamah tersebut. Jika hanya mengusap sebagian kecil, maka wudu tidak sah. Namun, jika mengusap seluruhnya, tidak ada masalah. Disunahkan mengusap ubun-ubun yang terlihat (tidak tertutup imamah), sebagaimana telah disinggung pada “Hukum mengusap imamah” di atas. [15] Wallahu a’lam Apakah boleh mengusap kerudung? Khimar ( خمار ) / kerudung, yaitu pakaian yang digunakan untuk menutupi kepala. Para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehan mengusap kerudung. Sebagian mengatakan bahwa tidak boleh mengusap kerudung, sementara yang lain berpendapat bahwa boleh mengusap kerudung yang dikenakan sampai di bawah tenggorokan. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Hanbali, dan ini adalah pendapat (mu’tamad) mazhab. Pendapat yang benar adalah jika terdapat kesulitan, baik karena cuaca dingin atau kesulitan dalam melepas kerudung, maka ada kelonggaran dalam hal ini alias tidak masalah (yaitu, boleh mengusapnya). Namun, jika tidak ada kesulitan, lebih baik untuk tidak melakukan pengusapan, karena tidak ada nas yang sahih yang mendukung hal tersebut. [16] Demikian penjelasan ringkas (insyaAllah menyeluruh) tentang mengusap imamah dan kerudung. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengusap Kaos Kaki dan Sepatu ketika Wudu *** @ 11 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 1: 407, Imam Nawawi, Al-Muniriyyah, Maktabah Syamilah. [2] Mu’jamut Ta’rifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah. [3] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 69. [4] Lihat Al-Mughniy, 1: 219. [5] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 100 dan https://dorar.net/feqhia/279 [6] QS. Al-Ma’idah: 6. [7] HR. Muslim no. 274. [8] HR. Muslim no. 205. [9] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf, 1: 22. Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla, 2: 60, “Sanadnya sangat sahih.” [10] ibid [11] Lihat https://dorar.net/feqhia/279 [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 100-101 dan https://dorar.net/feqhia/281 [13] QS. Al-Ma’idah: 6. [14] Lihat https://islamqa.info/ar/answers/146562 [15] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 101. [16] Lihat https://dorar.net/feqhia/283 Tags: mengusap imamahmengusap kerudungwudu
Daftar Isi Toggle PendahuluanDefinisi mengusap imamahHukum mengusap imamahDalil-dalil bolehnya mengusap imamahDari Al-Qur’anDari As-SunnahDari Atsar (riwayat para sahabat)Syarat-syarat mengusap imamahApakah mencuci wajah dalam wudu cukup, sementara imamah menutupi sebagian darinya?Tata cara mengusap imamahApakah boleh mengusap kerudung? Si Fulanah melakukan safar bersama suaminya menggunakan bus umum. Di tengah perjalanan, tibalah waktu salat Subuh dan petugas bus tidak berhenti, sehingga mengharuskan Fulanah untuk berwudu di toilet bus. Dalam keadaan seperti ini, membuka kerudung untuk berwudu tentu merupakan sesuatu yang sangat merepotkan. Apakah diperbolehkan bagi Fulanah untuk hanya mengusap kerudung sebagai ganti dari mengusap kepala di dalam wudu, atau dia harus membukanya untuk mengusap seluruh kepala? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini kami sampaikan pembahasan tentang ketentuan dan tata cara mengusap imamah dan kerudung ketika wudu. Pendahuluan Sebelum kita memulai pembahasan utama masalah ini, penting bagi kita untuk mengetahui beberapa hal berikut agar kita dapat memahami masalah ini dengan baik, yaitu: Pertama: Pembahasan ini khusus tentang wudu. Sedangkan untuk mandi wajib (ghusl), harus melepas imamah atau kerudung. Kedua: Jika ada luka di kepala dan diletakkan perban di atasnya, maka ini adalah masalah mengusap jabirah dan bukan pembahasan yang kita bahas di sini. Ketiga: Menurut mazhab Syafi’i, mengusap imamah adalah mustahab (sunah), dan hal ini tidak cukup untuk dikatakan mengusap kepala, yang ini merupakan rukun wudu. Harus tetap ada bagian dari kepala yang diusap. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, وأما إذا اقتصر على مسح ‌العمامة ولم يمسح شيئا من رأسه فلا يجزيه بلا خلاف عندنا “Dan jika seseorang hanya mengusap imamahnya tanpa mengusap sedikit pun dari kepalanya, maka itu tidak cukup baginya. Hal ini tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan kami.” [1] Namun, yang benar adalah pendapat yang memperbolehkan mengusap imamah, dengan hanya mengusapnya saja tanpa mengusap kepala; dan ini merupakan pendapat Hanabilah. (sebagaimana akan dijelaskan di bawah) Wallahu a’lam. Definisi mengusap imamah “Mengusap imamah”, yang biasa diistilahkan ( المسح على العمامة – mengusap di atas imamah) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan imamah ( العمامة ). Tentang ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [2] Sedangkan tentang imamah ( العمامة ), disebutkan dalam kitab Mu’jam Musthalahat wal Alfadz Fiqhiyyah, العمامة هي اللباس الذي يلف على الرأس تكويرًا “Imamah (secara bahasa) adalah pakaian yang dibalutkan di kepala dengan cara melingkar.” [3] Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa. Jadi, mengusap imamah “المسح على العمامة” dalam istilah fikih adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air) pada pakaian yang dibalutkan di kepala dengan cara melingkar ketika berwudu. Wallahu a’lam Hukum mengusap imamah Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum mengusap imamah: Hanafiyah: Mereka berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengusap imamah karena tidak ada kesulitan dalam melepasnya. Malikiyah: Menyatakan bahwa mengusap imamah diperbolehkan jika dikhawatirkan adanya bahaya atau kerusakan dengan melepasnya dan tidak mampu untuk membukanya. Syafi’iyah dan Hanabilah: Menyatakan bahwa mengusap imamah diperbolehkan. Namun, menurut Syafi’iyah, tidak cukup hanya mengusap atas imamah saja, tetapi harus juga mengusap bagian depan kepala bersamaan dengan imamah. Pendapat yang sahih adalah diperbolehkan mengusap imamah dengan hanya mencukupkan dengannya, tanpa mengusap kepala. Ini merupakan pendapat yang terkenal dari mazhab Hambali [4], mazhab Dzahiri, dan juga pendapat mayoritas sahabat dan tabiin. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Al-Qayyim, Asy-Syaukani, Asy-Syanqiti, dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. [5] Dalil-dalil bolehnya mengusap imamah Dari Al-Qur’an Firman Allah Ta’ala dalam ayat wudu, وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ “Dan usaplah kepala kalian.” [6] Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjelas firman Allah dan penafsirnya. Dan beliau telah mengusap imamah-nya sebagaimana Allah Azza Wajalla telah memerintahkan mencuci kaki. Dan sunah Nabi telah datang dengan adanya keringanan mengusap khuf. Dari As-Sunnah Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم توضَّأ، فمسحَ بناصِيَتِه، وعلى العمامةِ، وعلى الخفَّينِ “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu, lalu mengusap bagian depan kepalanya, imamah, dan kedua khuf.” [7] Dari Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata, رأيتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يمسَحُ على عِمامَتِه وخُفَّيه “Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap imamahnya dan kedua khufnya.” [8] Dari Atsar (riwayat para sahabat) Dari Abdur Rahman bin ‘Usailah As-Sunabihy rahimahullah berkata, رأيتُ أبا بكر الصِّدِّيقَ يمسَحُ على الخِمارِ- يعني: في الوضوءِ “Saya melihat Abu Bakar As-Siddiq mengusap atas khimarnya. Maksudnya: dalam wudu.” [9] Dari Suwaid bin Ghafalah rahimahullah berkata, سألتُ عُمرَ بن الخطَّاب عن المسحِ على العِمامةِ؟ قال: إنْ شئتَ فامسَحْ عليها، وإنْ شئتَ فلا “Saya bertanya kepada Umar bin Al-Khattab tentang mengusap imamah? Beliau berkata, ‘Kamu boleh mengusapnya, boleh juga tidak mengusapnya.’” [10] [11] Baca juga: Mengusap Gips dan Perban ketika Bersuci Syarat-syarat mengusap imamah Mengusap imamah memiliki syarat-syarat [12], yaitu: Pertama: Dalam hadats kecil (wudu). Kedua: Suci, yaitu imamah harus bersih dari najis. Ketiga: Imamah harus menutupi seluruh kepala, kecuali bagian yang biasa terbuka seperti telinga, sebagian depan kepala, serta sisi-sisi kepala atau bagian belakangnya yang ini semua dimaafkan. Keempat: Hanya laki-laki yang diperbolehkan untuk mengusap pada imamah (sedangkan untuk perempuan, maka boleh mengusap kerudung, sebagimana akan dijelaskan di bawah). Apakah mencuci wajah dalam wudu cukup, sementara imamah menutupi sebagian darinya? Imamah yang menutupi sebagian wajah, maka perlu dihilangkan dan diangkat, sehingga bisa membasuh seluruh wajah dengan benar ketika wudu. Mencuci wajah tidak cukup jika meninggalkan bagian yang tertutup oleh imamah. Allah Ta’ala berfirman, فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ “Maka basuhlah wajah-wajah kalian.” [13] Batas wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang biasa atau dari lengkung dahi sampai ke bagian yang lebih rendah dari pipi dan dagu secara vertikal, dan dari telinga ke telinga secara horizontal. Lihat: Al-Kafiy oleh Ibn Qudamah dan penjelasannya oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Oleh karena itu, harus dihilangkan imamah dan diangkat dari wajah agar dapat mencakup seluruh wajah saat berwudu. Membasuh wajah tidak cukup jika meninggalkan bagian yang tertutup oleh imamah. [14] Wallahu a’lam. Tata cara mengusap imamah Usapan ( المسح ) adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air), sebagaimana telah kita bahas sebelumnya. Jika seseorang ingin mengusap imamah-nya sebagai pengganti mengusap kepala dalam wudu (lihat “Hukum Mengusap Imamah” di atas), maka ia harus mengusap sebagian besar dari imamah tersebut. Jika hanya mengusap sebagian kecil, maka wudu tidak sah. Namun, jika mengusap seluruhnya, tidak ada masalah. Disunahkan mengusap ubun-ubun yang terlihat (tidak tertutup imamah), sebagaimana telah disinggung pada “Hukum mengusap imamah” di atas. [15] Wallahu a’lam Apakah boleh mengusap kerudung? Khimar ( خمار ) / kerudung, yaitu pakaian yang digunakan untuk menutupi kepala. Para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehan mengusap kerudung. Sebagian mengatakan bahwa tidak boleh mengusap kerudung, sementara yang lain berpendapat bahwa boleh mengusap kerudung yang dikenakan sampai di bawah tenggorokan. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Hanbali, dan ini adalah pendapat (mu’tamad) mazhab. Pendapat yang benar adalah jika terdapat kesulitan, baik karena cuaca dingin atau kesulitan dalam melepas kerudung, maka ada kelonggaran dalam hal ini alias tidak masalah (yaitu, boleh mengusapnya). Namun, jika tidak ada kesulitan, lebih baik untuk tidak melakukan pengusapan, karena tidak ada nas yang sahih yang mendukung hal tersebut. [16] Demikian penjelasan ringkas (insyaAllah menyeluruh) tentang mengusap imamah dan kerudung. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengusap Kaos Kaki dan Sepatu ketika Wudu *** @ 11 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 1: 407, Imam Nawawi, Al-Muniriyyah, Maktabah Syamilah. [2] Mu’jamut Ta’rifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah. [3] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 69. [4] Lihat Al-Mughniy, 1: 219. [5] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 100 dan https://dorar.net/feqhia/279 [6] QS. Al-Ma’idah: 6. [7] HR. Muslim no. 274. [8] HR. Muslim no. 205. [9] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf, 1: 22. Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla, 2: 60, “Sanadnya sangat sahih.” [10] ibid [11] Lihat https://dorar.net/feqhia/279 [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 100-101 dan https://dorar.net/feqhia/281 [13] QS. Al-Ma’idah: 6. [14] Lihat https://islamqa.info/ar/answers/146562 [15] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 101. [16] Lihat https://dorar.net/feqhia/283 Tags: mengusap imamahmengusap kerudungwudu


Daftar Isi Toggle PendahuluanDefinisi mengusap imamahHukum mengusap imamahDalil-dalil bolehnya mengusap imamahDari Al-Qur’anDari As-SunnahDari Atsar (riwayat para sahabat)Syarat-syarat mengusap imamahApakah mencuci wajah dalam wudu cukup, sementara imamah menutupi sebagian darinya?Tata cara mengusap imamahApakah boleh mengusap kerudung? Si Fulanah melakukan safar bersama suaminya menggunakan bus umum. Di tengah perjalanan, tibalah waktu salat Subuh dan petugas bus tidak berhenti, sehingga mengharuskan Fulanah untuk berwudu di toilet bus. Dalam keadaan seperti ini, membuka kerudung untuk berwudu tentu merupakan sesuatu yang sangat merepotkan. Apakah diperbolehkan bagi Fulanah untuk hanya mengusap kerudung sebagai ganti dari mengusap kepala di dalam wudu, atau dia harus membukanya untuk mengusap seluruh kepala? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini kami sampaikan pembahasan tentang ketentuan dan tata cara mengusap imamah dan kerudung ketika wudu. Pendahuluan Sebelum kita memulai pembahasan utama masalah ini, penting bagi kita untuk mengetahui beberapa hal berikut agar kita dapat memahami masalah ini dengan baik, yaitu: Pertama: Pembahasan ini khusus tentang wudu. Sedangkan untuk mandi wajib (ghusl), harus melepas imamah atau kerudung. Kedua: Jika ada luka di kepala dan diletakkan perban di atasnya, maka ini adalah masalah mengusap jabirah dan bukan pembahasan yang kita bahas di sini. Ketiga: Menurut mazhab Syafi’i, mengusap imamah adalah mustahab (sunah), dan hal ini tidak cukup untuk dikatakan mengusap kepala, yang ini merupakan rukun wudu. Harus tetap ada bagian dari kepala yang diusap. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, وأما إذا اقتصر على مسح ‌العمامة ولم يمسح شيئا من رأسه فلا يجزيه بلا خلاف عندنا “Dan jika seseorang hanya mengusap imamahnya tanpa mengusap sedikit pun dari kepalanya, maka itu tidak cukup baginya. Hal ini tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan kami.” [1] Namun, yang benar adalah pendapat yang memperbolehkan mengusap imamah, dengan hanya mengusapnya saja tanpa mengusap kepala; dan ini merupakan pendapat Hanabilah. (sebagaimana akan dijelaskan di bawah) Wallahu a’lam. Definisi mengusap imamah “Mengusap imamah”, yang biasa diistilahkan ( المسح على العمامة – mengusap di atas imamah) tersusun dari dua kata utama, yaitu mengusap ( المَسْح ) dan imamah ( العمامة ). Tentang ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [2] Sedangkan tentang imamah ( العمامة ), disebutkan dalam kitab Mu’jam Musthalahat wal Alfadz Fiqhiyyah, العمامة هي اللباس الذي يلف على الرأس تكويرًا “Imamah (secara bahasa) adalah pakaian yang dibalutkan di kepala dengan cara melingkar.” [3] Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa. Jadi, mengusap imamah “المسح على العمامة” dalam istilah fikih adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air) pada pakaian yang dibalutkan di kepala dengan cara melingkar ketika berwudu. Wallahu a’lam Hukum mengusap imamah Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum mengusap imamah: Hanafiyah: Mereka berpendapat bahwa tidak diperbolehkan mengusap imamah karena tidak ada kesulitan dalam melepasnya. Malikiyah: Menyatakan bahwa mengusap imamah diperbolehkan jika dikhawatirkan adanya bahaya atau kerusakan dengan melepasnya dan tidak mampu untuk membukanya. Syafi’iyah dan Hanabilah: Menyatakan bahwa mengusap imamah diperbolehkan. Namun, menurut Syafi’iyah, tidak cukup hanya mengusap atas imamah saja, tetapi harus juga mengusap bagian depan kepala bersamaan dengan imamah. Pendapat yang sahih adalah diperbolehkan mengusap imamah dengan hanya mencukupkan dengannya, tanpa mengusap kepala. Ini merupakan pendapat yang terkenal dari mazhab Hambali [4], mazhab Dzahiri, dan juga pendapat mayoritas sahabat dan tabiin. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Al-Qayyim, Asy-Syaukani, Asy-Syanqiti, dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. [5] Dalil-dalil bolehnya mengusap imamah Dari Al-Qur’an Firman Allah Ta’ala dalam ayat wudu, وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ “Dan usaplah kepala kalian.” [6] Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjelas firman Allah dan penafsirnya. Dan beliau telah mengusap imamah-nya sebagaimana Allah Azza Wajalla telah memerintahkan mencuci kaki. Dan sunah Nabi telah datang dengan adanya keringanan mengusap khuf. Dari As-Sunnah Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم توضَّأ، فمسحَ بناصِيَتِه، وعلى العمامةِ، وعلى الخفَّينِ “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu, lalu mengusap bagian depan kepalanya, imamah, dan kedua khuf.” [7] Dari Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata, رأيتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يمسَحُ على عِمامَتِه وخُفَّيه “Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap imamahnya dan kedua khufnya.” [8] Dari Atsar (riwayat para sahabat) Dari Abdur Rahman bin ‘Usailah As-Sunabihy rahimahullah berkata, رأيتُ أبا بكر الصِّدِّيقَ يمسَحُ على الخِمارِ- يعني: في الوضوءِ “Saya melihat Abu Bakar As-Siddiq mengusap atas khimarnya. Maksudnya: dalam wudu.” [9] Dari Suwaid bin Ghafalah rahimahullah berkata, سألتُ عُمرَ بن الخطَّاب عن المسحِ على العِمامةِ؟ قال: إنْ شئتَ فامسَحْ عليها، وإنْ شئتَ فلا “Saya bertanya kepada Umar bin Al-Khattab tentang mengusap imamah? Beliau berkata, ‘Kamu boleh mengusapnya, boleh juga tidak mengusapnya.’” [10] [11] Baca juga: Mengusap Gips dan Perban ketika Bersuci Syarat-syarat mengusap imamah Mengusap imamah memiliki syarat-syarat [12], yaitu: Pertama: Dalam hadats kecil (wudu). Kedua: Suci, yaitu imamah harus bersih dari najis. Ketiga: Imamah harus menutupi seluruh kepala, kecuali bagian yang biasa terbuka seperti telinga, sebagian depan kepala, serta sisi-sisi kepala atau bagian belakangnya yang ini semua dimaafkan. Keempat: Hanya laki-laki yang diperbolehkan untuk mengusap pada imamah (sedangkan untuk perempuan, maka boleh mengusap kerudung, sebagimana akan dijelaskan di bawah). Apakah mencuci wajah dalam wudu cukup, sementara imamah menutupi sebagian darinya? Imamah yang menutupi sebagian wajah, maka perlu dihilangkan dan diangkat, sehingga bisa membasuh seluruh wajah dengan benar ketika wudu. Mencuci wajah tidak cukup jika meninggalkan bagian yang tertutup oleh imamah. Allah Ta’ala berfirman, فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ “Maka basuhlah wajah-wajah kalian.” [13] Batas wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang biasa atau dari lengkung dahi sampai ke bagian yang lebih rendah dari pipi dan dagu secara vertikal, dan dari telinga ke telinga secara horizontal. Lihat: Al-Kafiy oleh Ibn Qudamah dan penjelasannya oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Oleh karena itu, harus dihilangkan imamah dan diangkat dari wajah agar dapat mencakup seluruh wajah saat berwudu. Membasuh wajah tidak cukup jika meninggalkan bagian yang tertutup oleh imamah. [14] Wallahu a’lam. Tata cara mengusap imamah Usapan ( المسح ) adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air), sebagaimana telah kita bahas sebelumnya. Jika seseorang ingin mengusap imamah-nya sebagai pengganti mengusap kepala dalam wudu (lihat “Hukum Mengusap Imamah” di atas), maka ia harus mengusap sebagian besar dari imamah tersebut. Jika hanya mengusap sebagian kecil, maka wudu tidak sah. Namun, jika mengusap seluruhnya, tidak ada masalah. Disunahkan mengusap ubun-ubun yang terlihat (tidak tertutup imamah), sebagaimana telah disinggung pada “Hukum mengusap imamah” di atas. [15] Wallahu a’lam Apakah boleh mengusap kerudung? Khimar ( خمار ) / kerudung, yaitu pakaian yang digunakan untuk menutupi kepala. Para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehan mengusap kerudung. Sebagian mengatakan bahwa tidak boleh mengusap kerudung, sementara yang lain berpendapat bahwa boleh mengusap kerudung yang dikenakan sampai di bawah tenggorokan. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Hanbali, dan ini adalah pendapat (mu’tamad) mazhab. Pendapat yang benar adalah jika terdapat kesulitan, baik karena cuaca dingin atau kesulitan dalam melepas kerudung, maka ada kelonggaran dalam hal ini alias tidak masalah (yaitu, boleh mengusapnya). Namun, jika tidak ada kesulitan, lebih baik untuk tidak melakukan pengusapan, karena tidak ada nas yang sahih yang mendukung hal tersebut. [16] Demikian penjelasan ringkas (insyaAllah menyeluruh) tentang mengusap imamah dan kerudung. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Mengusap Kaos Kaki dan Sepatu ketika Wudu *** @ 11 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 1: 407, Imam Nawawi, Al-Muniriyyah, Maktabah Syamilah. [2] Mu’jamut Ta’rifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah. [3] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 69. [4] Lihat Al-Mughniy, 1: 219. [5] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 100 dan https://dorar.net/feqhia/279 [6] QS. Al-Ma’idah: 6. [7] HR. Muslim no. 274. [8] HR. Muslim no. 205. [9] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf, 1: 22. Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla, 2: 60, “Sanadnya sangat sahih.” [10] ibid [11] Lihat https://dorar.net/feqhia/279 [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 100-101 dan https://dorar.net/feqhia/281 [13] QS. Al-Ma’idah: 6. [14] Lihat https://islamqa.info/ar/answers/146562 [15] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 101. [16] Lihat https://dorar.net/feqhia/283 Tags: mengusap imamahmengusap kerudungwudu

50+ Masalah yang Sering Ditanyakan oleh Wanita Terkait Ramadhan

Ini adalah berbagai masalah wanita di bulan Ramadhan yang sering ditanyakan. Masalah yang dikumpulkan moga mencapai 50 lebih masalah. Semoga bisa memberikan jawaban memuaskan dengan pertolongan Allah.   Daftar Isi tutup 1. 1. Apabila wanita mendapati haidh menjelang berbuka puasa, apakah puasanya batal? 1.1. Buka puasa dalam keadaan ragu keluar haidh 2. 2. Bagaimana jika wanita mendapati flek saat puasa? Apakah puasanya batal? 3. 3. Berapa lama waktu minimal disebut haidh? 4. 4. Bagaimana hukum mengonsumsi obat penunda haidh agar lancar puasa? 5. 5. Kapan mandi setelah malamnya suci dari haidh atau malamnya junub, apakah sebelum ataukah sesudah masuk Shubuh? 6. 6. Bagaimana jika masuk Ashar sudah suci dari haidh, apakah mesti mengqadha’ shalat Zhuhur? 7. 7. Apa hukum puasa bagi wanita hamil dan menyusui? Apakah penggantinya mesti qadha’ ataukah hanya fidyah saja? 8. 8. Bagaimana cara bayar fidyah? 8.1. Bentuk fidyah 8.2. Waktu pembayaran fidyah 9. 9. Bagaimana cara qadha’ puasa bagi wanita? 9.1. Beberapa catatan tentang qadha puasa 10. 10. Bagaimana jika qadha’ puasa Ramadhan belum lunas sampai Ramadhan berikutnya? 11. 11. Bagaimana jika memiliki qadha’ puasa Ramadhan, tetapi lupa berapa jumlahnya? 12. 12. Bagaimana konsekuensi hubungan intim di siang hari bulan Ramadhan? 13. 13. Siapakah yang membayar kafarat besar ketika hubungan intim siang hari Ramadhan, suami saja ataukah suami dan istri? 14. 14. Bagaimana jika batal dulu dengan makan ataukah minum, lalu berhubungan intim dengan istri di siang hari Ramadhan? 15. 15. Bagaimana hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan? 15.1. Rincian hukum terkait mubasyarah dengan istri 16. 16. Apa hukum istri menolak ajakan suami berhubungan intim di siang hari Ramadhan? Apakah berdosa jika istri menolak? 17. 17. Mimpi basah, memandang, berpikiran dan selain mubasyarah, keluar madzi apakah membatalkan puasa? 18. 18. Apa hukum suami melakukan onani dengan tangan istri, apakah puasanya batal? 19. 19. Apa hukum wanita mencicipi makanan di siang hari Ramadhan? 20. 20. Manakah yang lebih afdal, wanita shalat tarawih di masjid ataukah di rumah? 21. 21. Apa hukum wanita ghibah (membicarakan jelek orang lain) di siang hari Ramadhan? Apakah puasanya batal? 22. 22. Apa hukum wanita berenang di siang hari Ramadhan? 23. 23. Apakah wanita boleh melakukan iktikaf? Bagaimana caranya? 24. 24. Apakah wanita boleh mengunjungi suami yang sedang beriktikaf di masjid? 25. 25. Apakah boleh wanita beriktikaf tanpa izin suaminya? 26. 26. Apa solusi wanita yang mendapati haidh agar bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan? 27. 27. Apa hukum wanita haidh membaca Al-Qur’an lewat handphone? 28. 28. Apakah wanita haidh bisa mendapatkan lailatul qadar? 29. 29. Istri apakah harus membayar zakat fitrah sendiri ataukah dibayarkan suami? 30. 30. Jika istri memiliki harta sendiri, apakah harus bayar zakat maal sendiri? 31. 31. Apakah tas branded milik istri terkena kewajiban zakat? 32. 32. Apakah dana haji yang telah disetorkan ke Kementrian Agama tetap dimasukkan dalam hitungan zakat? 33. 33. Jika istri memiliki penghasilan, apakah membayar zakatnya setiap bulan sebagaimana zakat profesi ataukah cukup setiap tahun saat haul dari simpanan? 34. 34. Apa hukum mudik wanita sendirian tanpa ditemani mahram? 35. 35. Apa hukum menghadiri shalat Idulfitri bagi wanita haidh? 1. Apabila wanita mendapati haidh menjelang berbuka puasa, apakah puasanya batal? Di antara syarat sah puasa adalah suci dari haidh dan nifas pada keseluruhan siang (dari terbit Fajar Shubuh hingga tenggelam matahari). Maka jika beberapa menit menjelang berbuka diketahui dengan yakin darah haidh atau nifas keluar, maka puasanya batal. Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.” Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا » “Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.” Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqadha puasa di hari lainnya. Dalilnya adalah, عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim, no. 335)   Buka puasa dalam keadaan ragu keluar haidh Bagaimana jika ada wanita yang masuk waktu Maghrib (buka puasa) dalam keadaan ragu apakah haidh yang ia temui saat Maghrib keluarnya sebelum buka puasa ataukah sesudahnya? Misal kebiasaan haidhnya hari tersebut, jam 4 sore ketika dicek tidak keluar darah haidh. Saat berbuka puasa (jam 6) baru ketahuan darah haidh ada. Kalau ternyata keluar sebelumnya, tentu saja puasanya jadi batal dan harus diganti di hari yang lain. Sedangkan kalau darah haidh keluar ketika waktu berbuka tiba, puasanya berarti tidak diqadha’. Jawabannya untuk masalah ini adalah pegang yang yakin dan tinggalkan yang ragu-ragu. Dalam kaidah fikih disebutkan, ِّاليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّك. “Yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.” Baca juga: Ragu Tidak Bisa Mengalahkan yang Yakin Ada pertanyaan yang diajukan pada Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah, “Aku pernah tertidur pada suatu hari di bulan Ramadhan sebelum Ashar. Dan aku barulah bangun ketika azan Isya. Saat Isya itu aku dapati dalam keadaan haidh. Apakah puasaku sah?” Jawaban yang diberikan oleh Syaikh ‘Abdurrahman, “Alhamdulillah, puasamu tetap sah. Karena kita tidak bisa pastikan haidh itu datang sebelum Maghrib. Keadaan sebelum matahari tenggelam apakah keluar darah haidh ataukah tidak adalah keadaan yang meragukan. Hukum asalnya, waktu sebelum tenggelam matahari tadi masih dalam keadaan suci. Hal ini sama halnya seperti seseorang yang shalat Shubuh kemudian tidur. Lalu ia dapati bekas junub saat bangun yaitu mendapati mani. Yang yakin, mani tersebut keluar setelah shalat Shubuh. Dalam kondisi ini, tidak wajib baginya mengulangi shalat Shubuh. Wallahu a’lam.” Fatwa Syaikh Al-Barrak tanggal, 24/9/1434 diambil dari status telegram beliau hafizahullah. Baca juga: Sebelum Berbuka Masih Suci, Waktu Isyak Dicek Mengalami Haidh, Puasanya Apakah Sah? Ada penjelasan sebagai berikut, “Setiap yang meragukan dianggap seperti tidak ada. Setiap sebab yang kita ragukan kapan munculnya, maka tidak ada hukum pada yang akibatnya. Sebab tersebut seperti sesuatu yang dipastikan tidak ada, maka tidak dikenakan hukum ketika itu. Begitu pula setiap syarat yang diragukan keberadaannya, maka dianggap seperti tidak ada sehingga tidak diterapkan hukum untuknya. Begitu pula setiap mani’ (penghalang) yang diragukan keberadaannya, dianggap seperti tidak ada. Hukum baru ada apabila sebab itu ada. Perlu diketahui, kaedah ini disepakati secara umum.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 4:94, Asy-Syamilah) Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa keadaan yang yakin yang dipegang adalah masih dalam keadaan suci. Sedangkan keadaan ragu-ragu adalah dalam keadaan tidak suci. Sehingga ketika berbuka baru didapati darah haidh dan tidak diketahui keluarnya baru saja ataukah sebelum berbuka puasa, maka keadaan yang dipegang adalah keadaan suci. Baca juga: Buka Puasa dalam Keadaan Ragu Keluar Darah Haidh Ringkasnya: Mendapati haidh sebelum berbuka puasa dalam keadaan YAKIN, puasa batal, maka harus diqadha’. Mendapati haidh sebelum berbuka puasa dalam keadaan RAGU-RAGU dan YAKIN-nya didapati setelah berbuka puasa, maka puasa sah, tidak perlu ada qadha’.   2. Bagaimana jika wanita mendapati flek saat puasa? Apakah puasanya batal? Bagi wanita yang berhalangan untuk puasa karena haidh tersebut, ia punya kewajiban untuk mengqadha’ puasa di hari lain. Ada kaidah dari Syaikh As-Sa’di dalam kitabnya Manhaj As-Salikin sebagai berikut: a. Flek yang keluar di masa kebiasaan haidh sebelum darah haidh keluar, ditambah jika terasa nyeri, maka terhitung sebagai DARAH HAIDH. b. Flek yang keluar di luar masa kebiasaan haidh, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH. c. Flek yang keluar setelah darah haidh dan masih bersambung, maka dianggap DARAH HAIDH. d. Flek yang keluar setelah suci (setelah darah haidh berhenti total), tetapi setelah beberapa hari keluar flek lagi, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH. Kesimpulan kaidah: Jika flek keluar bersambung sebelum atau sesudah haidh dihukumi sebagai darah haidh. Jika flek keluar tidak bersambung dengan haidh, maka dihukumi bukan darah haidh. Kalau dianggap HAIDH, maka tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa. Kalau dianggap bukan darah HAIDH, maka tetap diperintahkan shalat dan puasa. Baca juga: Hukum Wanita Mendapati Flek Saat Puasa   3. Berapa lama waktu minimal disebut haidh? Tanda haidh berhenti adalah dengan munculnya di antara dua tanda berikut: (a) qashshatul baydha’ (cairan putih), (b) jufuf (kering). Menurut pendapat Syaikh As-Sa’di dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, lamanya darah haidh: (a) minimalnya tidaklah dibatasi, (b) maksimalya juga tidak dibatasi. Jika keluar darah haidh walau kurang dari sehari dan itu adalah ciri darah haidh, maka dihukumi sebagai darah haidh. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam Manhajus Salikin, ِّوَالْأَصْلُ فِي اَلدَّمِ اَلَّذِي يُصِيبُ اَلْمَرْأَةَ: أَنَّهُ حَيْضٌ، بِلَا حَدٍ لِسِنِّه، وَلَا قَدَرِهِ، وَلاَ تَكَرُّرِهِ ِّإِلَّا إِنْ أَطْبَقَ اَلدَّمُ عَلَى اَلْمَرْأَةِ، أَوْ صَارَ لَا يَنْقَطِعُ عَنْهَا إِلَّا يَسِيرًا فَإِنَّهَا تَصِيرُ مُسْتَحَاضَة Hukum asal pada darah yang didapati wanita adalah haidh, tanpa dibatasi usia, kadar lama, maupun pengulangannya. Kecuali bila darah tersebut keluar begitu banyak pada wanita atau darah tersebut tidak berhenti kecuali sedikit (sebentar), maka dihukumi sebagai darah istihadhah. Baca juga: Dalil tentang Fikih Haidh dari Bulughul Maram Dibahas Tuntas Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Menurut pendapat yang paling kuat, tidak ada batasan minimal atau maksimal lamanya masa haid. Karena Allah Ta’ala berfirman, ِّوَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222). Dalam ayat ini perintah untuk menjauhi wanita di masa haidnya tidak diberikan batasan waktu tertentu. Pokoknya wanita itu baru bisa disetubuhi jika telah suci (darah berhenti, lalu mandi, pen.). Sebab hukum dalam ayat adalah ada tidaknya darah haid. Jika didapati haid, maka tidak boleh menyetubuhi istri. Namun jika telah suci, maka hilanglah hukum larangan tadi. Menetapkan masa lamanya haid dengan waktu tertentu tidaklah berdasarkan dalil. Padahal hal tersebut sangat perlu sekali dijelaskan (di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.). Jika ada batasan umur wanita mendapati haid dan jangka waktu lamanya haid, maka tentu akan dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya, jika wanita melihat darah yang sudah dikenal sebagai darah haid, maka dihukumi sebagai haid tanpa dikaitkan dengan lama waktunya. Kecuali kalau darah yang keluar pada wanita tersebut mengalir terus tidak terputus atau dalam sebulan hanya berhenti singkat selama sehari atau dua hari, maka darah tersebut dihukumi darah istihadhah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 11: 271. Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 65570) Baca juga: Bisakah Lama Haidh Kurang dari Sehari   4. Bagaimana hukum mengonsumsi obat penunda haidh agar lancar puasa? Dalam Al-Mughni (1:450), Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, ‘Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).’” Syaikh Abu Malik–penulis kitab Shahih Fiqh As-Sunnah–menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qadha’ baginya. Wallahu a’lam.” (Shahih Fiqh As-Sunnah, 2:128) Baca juga: Hukum Menggunakan Obat Penghalang Haidh Saat Puasa   5. Kapan mandi setelah malamnya suci dari haidh atau malamnya junub, apakah sebelum ataukah sesudah masuk Shubuh? Disunnahkan dalam puasa Ramadhan, orang yang berhadats besar melakukan mandi besar (mandi wajib) sebelum masuk Shubuh. Walaupun jika mandi setelah masuk Shubuh, masih dibolehkan. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Muslim, no. 1109) Dalil lainnya bolehnya masuk Shubuh dalam keadaan junub adalah ayat, أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang berhubungan dengan istrinya sebelum Shubuh dan ketika masuk Shubuh, ia masih dalam keadaan junub, maka ia masih boleh melakukan puasa. Karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkan mubasyaroh (mencumbu istri) hingga terbit fajar, lalu perintahkan untuk berpuasa, maka ini menunjukkan bahwa boleh saja seseorang yang hendak berpuasa masuk shubuh dalam keadaan junub.” (Al-Majmu’, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 6:303) Baca juga: Masuk Shubuh dalam Keadaan Junub Sahkah Puasanya?   6. Bagaimana jika masuk Ashar sudah suci dari haidh, apakah mesti mengqadha’ shalat Zhuhur? Jika wanita suci pada waktu Ashar, ia cukup mengerjakan shalat Ashar tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Begitu pula jika wanita suci pada waktu Isyak, ia cukup mengerjakan shalat isyak tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Alasannya adalah hadits berikut. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Barang siapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608) Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan, seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat Ashar saja, tidak lagi shalat Zhuhur. Faedah dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin kaitannya dengan wanita haidh: Jika wanita haidh telah suci, lalu masih bisa mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia punya kewajiban untuk melaksanakan shalat. Sebagian ulama berpandangan pula kalau wanita datang haidh padahal sudah masuk waktu shalat dan ia bisa dapati satu rakaat, maka jika suci, ia tetap mengqadha shalat. Baca juga: Suci Haidh pada Waktu Ashar, Apakah Tetap Qadha Shalat Zhuhur?   7. Apa hukum puasa bagi wanita hamil dan menyusui? Apakah penggantinya mesti qadha’ ataukah hanya fidyah saja? Hukum terkait wanita hamil dan menyusui rinciannya sebagai berikut: a. Wanita hamil dan menyusui jika tidak berat menjalankan puasa, ia tidak khawatir bahaya pada dirinya atau pada bayi atau janinnya, maka wanita hamil dan menyusui hendaklah tetap berpuasa. b. Wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada dirinya, kewajibannya adalah qadha’, tanpa fidyah sebagaimana orang sakit. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui yang khawatir pada dirinya dan anaknya sekaligus. c. Wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada anaknya saja, misalnya takut keguguran atau kekurangan ASI sehingga bisa bermasalah pada anak, maka kewajibannya adalah qadha’ dan fidyah. d. Wanita hamil dan menyusui yang tidak mampu berpuasa terus menerus, kewajibannya adalah fidyah. Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh salat (salat empat rakaat menjadi dua rakaat), juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, 5: 29; Ibnu Majah, no. 1667; Tirmidzi, no. 715; dan An-Nasa’i, no. 2277. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya). Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah adalah hadits berikut. عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata mengenai ayat, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. Itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah tua renta yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui, jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud, no. 2318 dan Al-Baihaqi, 4: 230). Baca juga: Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin tentang Apakah Wanita Cukup Fidyah Saja Tanpa Qadha’?   8. Bagaimana cara bayar fidyah? Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا “(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 4505).   Bentuk fidyah a. Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa). Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih. b. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk. Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumthi’, 2:22. Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari. Lihat penjelasan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, no. 1447, 10:198. Al-Mawardi rahimahullah mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” (Al-Inshaf, 5:383).   Waktu pembayaran fidyah a. Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah berada di usia senja. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih. b. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah bolehkah mempercepat pembayaran fidyah ataukah tidak untuk yang sudah tua renta atau yang menderita sakit menahun yang sulit diharapkan sembuhnya. Tentang hal ini Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa sepakat ulama madzhab Syafii menyatakan tidak bolehnya mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk Ramadhan. c. Adapun mempercepat pembayaran fidyah setelah terbit fajar Shubuh setiap harinya dibolehkan. d. Mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk fajar Shubuh di bulan Ramadhan juga masih diperbolehkan. Pendapat ini dipilih oleh Ad-Darimi kata Imam Nawawi. e. Berarti tidak masalah memajukan fidyah untuk satu hari saja, tidak untuk dua hari atau lebih. Inilah pendapat madzhab Syafii. Imam Al-Khatib Asy-Syirbini mengatakan, “Tidak dibolehkan untuk wanita hamil dan menyusui memajukan fidyah dua hari atau lebih dari waktu berpuasa. Sebagaimana tidak boleh memajukan zakat untuk dua tahun. Namun, kalau memajukan fidyah untuk hari itu dibayar pada hari tersebut atau pada malamnya, seperti itu dibolehkan.” (Mughni Al-Muhtaj, 2:176) f. Waktu akhir penunaian fidyah tidak dibatasi. Fidyah tidak mesti ditunaikan pada bulan Ramadhan, bisa pula ditunaikan bakda Ramadhan. Ayat yang menyariatkan fidyah (QS. Al-Baqarah: 184) tidaklah menetapkan waktu tertentu sebagai batasan. Fidyah ditunaikan sesuai kelapangan, walau ditunda beberapa tahun. Penjelasan lengkap tentang fidyah ada di buku penulis: FIKIH BULAN SYAWAL, silakan pesan di Rumaysho Store.   9. Bagaimana cara qadha’ puasa bagi wanita? Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Beberapa catatan tentang qadha puasa Pertama: Qadha’ Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala, أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61) Kedua: Qadha’ puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan. Ketiga: Tidak wajib membayar qadha’ puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum, فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih). Keempat: Qadha’ puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum Shubuh) sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan. Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari. Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ “Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan Ibnu Majah no. 1700. Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu’—sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—ataukah mauquf—hanya sampai pada sahabat–. Yang menyatakan hadits ini marfu’ adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauquf adalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20). Adapun puasa sunnah (seperti puasa Syawal) boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini. عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim, no. 1154). Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bolehnya berniat di siang hari sebelum zawal untuk puasa sunnah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa ada uzur. Namun, yang lebih baik adalah menyempurnakannya.” Imam Nawawi juga berkata, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunnah boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 32-33). Kelima: Ketika ada yang melakukan qadha’ puasa lalu berhubungan intim di siang harinya, maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha’ disertai dengan taubat. Kafarat berat (yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang miskin, pen.) hanya berlaku untuk puasa Ramadhan saja. Penjelasan lengkap tentang qadha’ puasa ada di buku penulis: FIKIH BULAN SYAWAL, silakan pesan di Rumaysho Store.   10. Bagaimana jika qadha’ puasa Ramadhan belum lunas sampai Ramadhan berikutnya? Jika ia mengetahui bahwa diharamkan kalau mengakhirkan qadha’ puasa hingga Ramadhan berikut, lalu tidak tahu akan wajibnya fidyah, ia tidak dianggap mendapatkan uzur. Ia wajib menunaikan qadha’ dan fidyah sekaligus. Fidyah akan berlipat ganda sesuai hitungan tahun yang tertunda qadha’-nya. Jika tidak mampu karena bersafar atau sakit terus menerus (uzur puasa terus menerus ada) hingga datang bulan Ramadhan berikutnya atau ia menunda puasa karena tidak tahu kalau mengakhirkan itu diharamkan, padahal ia sudah sering bergaul dengan ulama, kewajibannya adalah qadha’ saja. Penjelasan ini diambil dari bahasan kitab Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja’ karya As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syathiri.   11. Bagaimana jika memiliki qadha’ puasa Ramadhan, tetapi lupa berapa jumlahnya? Apabila seorang wanita lupa jumlah pasti hari puasa Ramadhan yang harus diqadha, maka ia wajib mengqadha puasa dengan jumlah yang diyakini paling sedikit dari hari yang terlewat. Prinsip yang digunakan adalah “keyakinan lebih didahulukan daripada keraguan.” Kaidah fikih yang relevan dalam kasus ini adalah: “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan” (الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ). Langkah-langkah yang dapat dilakukan: Menghitung semampunya: Ingat kembali kondisi saat itu—berapa lama haidh atau nifas yang dialami, atau kondisi yang membuat tidak berpuasa. Mengambil jumlah minimal: Jika tetap ragu antara dua angka (misalnya, 7 hari atau 8 hari), ambillah jumlah minimal (dalam kasus ini, 7 hari). Menambah ihtiyath (kehati-hatian): Apabila memungkinkan, lebih baik menambahkan satu hari sebagai bentuk kehati-hatian, meskipun tidak wajib. Para ulama membahagikan kaedah penentuan bilangan hari untuk puasa qadha’ kepada dua iaitu tahdididan taqribi. Tahdidi bererti menentukan dengan tepat bilangan hari yang ditinggalkan, manakala taqribiialah menggunakan anggaran berapa hari yang ditinggalkan kerana seseorang itu lupa berapa hari puasa yang telah dia tinggalkan. Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menyatakan: إذا كَثرَت الْفوائتُ عليهِ يتشاغلُ بالقضَاء فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ قَدْرَ مَا عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعِيدُ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ Maksudnya: “Apabila tanggungan ibadahnya yang sangat banyak, dia wajib terus-menerus melakukan qada’. Jika dia tidak tahu berapa jumlah hari yang menjadi kewajipan puasanya, maka dia wajib mengulang-ulang qada’ puasa sampai dia yakin telah menggugurkan seluruh tanggungannya.” (Lihat al-Mughni, 1/439) Ibn Qudamah menukilkan kata-kata Imam Ahmad dalam satu riwayat yang salih, berkenaan seseroang yang meninggalkan solat dan lupa berapa banyak yang ditinggalkannya: يُعِيدُ حَتَّى لَا يَشُكَّ أَنَّهُ قَدْ جَاءَ بِمَا قَدْ ضَيَّعَ وَيَقْتَصِرُ عَلَى قَضَاءِ الْفَرَائِضِ Maksudnya: “Dia hendaklah ulang-ulang sampai dia tidak meragui lagi bahawa dia telah melakukan apa yang telah dia lalaikan. Dia hanya melakukan yang wajib sahaja.” Guru kami, Syeikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Shinqiti menjelaskan kaedah penentuan secara taqribi ini ialah dengan bertanya kepada seseorang itu seperti ini: “Adakah telah tinggalkan 50 hari?” “Terlalu sedikit” “90 hari?” “Terlalu banyak” Maka jumlah taqribi nya ialah 75 hari. Berkenaan dengan fidyah, hendaklah seseorang itu berusaha mengqadha’kan puasanya setiap hari yang mungkin terlebih dahulu. Ini lebih bersifat ihtiyati (berhati-hati) dalam urusan agama berbanding terus membenarkan membayar fidyah sehingga mengabaikan tuntutan qadha’. Syekh Abdul Hamid Asy-Syirwani (wafat 1301 H) dalam anotasinya menjelaskan:   وَلَوْ عَلِمَ أَنَّهُ صَامَ بَعْضَ اللَّيَالِيْ وَبَعْضَ الْأَيَّامِ وَلَمْ يَعْلَمْ مِقْدَارَ الْأَيَّامِ الَّتِيْ صَامَهَا فَظَاهِرٌ أَنَّهُ يَأْخُذُ بِالْيَقِينِ فَمَا تَيَقَّنَهُ مِنْ صَوْمِ الْأَيَّامِ أَجْزَأَهُ وَقَضَى مَا زَادَ عَلَيْهِ Artinya: “Apabila terdapat seseorang yang mengetahui bahwa dirinya berpuasa sebagian jatuh pada malam hari (karena tinggal di daerah yang tidak diketahui batas siang dan malamnya), dan sebagian jatuh pada siang hari. Sedangkan dia tidak mengetahui jumlah puasa yang dikerjakan pada siang harinya, maka menurut pendapat yang jelas orang itu wajib mengambil hitungan yang diyakininya, maka hitungan puasa siang hari yang diyakininya itu cukup baginya (untuk dijadikan jumlah puasa siang harinya) dan wajib mengqadha’ sisa puasa yang dilakukan pada malam harinya.” (Abdul Hamid Asy-Syirwani, Hawasyi Asy-Syarwani wa Ibn Qasim Al-‘Ubadi [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra], vol. 3, h. 396) Sementara itu, Imam Ibn Hajar Al-Haitami (wafat 976 H) lebih menganjurkan agar orang yang lupa jumlah beban puasanya untuk memperbanyak puasa sunah dengan niatan mengqadha tanggungan puasa Ramadhan. Imam Ibn Hajar Al-Haitami melalui fatwanya menganalogikan persoalan keraguan qadha puasa ini sebagaimana dalam konteks wudhu: وَيُؤْخَذُ مِنْ مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ هَذِهِ أَنَّهُ لَوْ شَكَّ أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءً مَثَلًا فَنَوَاهُ إنْ كَانَ، وَإِلَّا فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ أَيْضًا وَحَصَلَ لَهُ الْقَضَاءُ بِتَقْدِيرِ وُجُودِهِ بَلْ، وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ عَلَيْهِ وَإِلَّا حَصَلَ لَهُ التَّطَوُّعُ كَمَا يَحْصُل لَهُ فِي مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ… وَبِهَذَا يُعْلَمُ أَنَّ الْأَفْضَلَ لِمُرِيدِ التَّطَوُّعِ بِالصَّوْمِ أَنْ يَنْوِيَ الْوَاجِبَ إنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالتَّطَوُّع، لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ إنْ كَانَ  Artinya: “Dari masalah wudhu ini (kasus orang yang yakin sudah hadats dan ragu sudah bersuci atau belum, lalu ia wudhu dengan niat menghilangkan hadats bila memang hadats, dan bila tidak maka niat memperbarui wudhu, maka sah wudhunya) dapat dipahami bahwa jika seseorang ragu memiliki kewajiban untuk mengqadha puasa misalnya, lantas ia berniat mengqadhanya bila memang punya kewajiban qadha puasa, dan jika tidak dengan niat puasa sunah maka niatnya juga sah, dan qadha puasanya bisa hasil dengan mengira-ngirakan kewajiban qadhanya.” (Ahmad bin Muhammad bin Ali Ibn Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra [Beirut: Al-Maktabah Al-Islamiyyah], vol. 2, h. 90) Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwasanya dalam tinjauan fiqih mazhab Syafi’i, tatkala seseorang memiliki keharusan qadha puasa Ramadhan yang terlewat namun tidak diketahui berapa jumlah pastinya, maka diharuskan untuk mengqadhanya hingga yakin sudah dilakukan semua. Sumber: https://www.arina.id/syariah/ar-UG6FS/cara-qadha-puasa-ramadhan-yang-tak-tahu-jumlah-pastinya?utm_source=chatgpt.com Kesimpulan: Jika lupa jumlah pasti, cukup qadha sesuai jumlah minimal yang diyakini. Jika masih mampu, menambah satu hari sebagai kehati-hatian akan lebih baik, tetapi tidak wajib. Jangan menunda-nunda pelaksanaan qadha puasa agar tidak menumpuk kewajiban.   12. Bagaimana konsekuensi hubungan intim di siang hari bulan Ramadhan? Perhatikan dalil tentang hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seks di siang hari bulan Ramadhan saat puasa disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, ia menyatakan, بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ» “Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak.” Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari, no. 1936 dan Muslim, no. 1111). Menurut mayoritas ulama, jimak bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qadha’, ditambah dengan menunaikan kafarat. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jimak oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun, yang jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafarat. Hukuman bagi yang berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan: a. Puasa batal b. Qadha’ puasa c. Berdosa d. Bayar kafarat besar e. Hukuman ta’zir (peringatan dari penguasa), jika ia belum bertaubat f. Wajib imsak (menahan diri dari pembatal puasa) untuk siang hari yang tersisa Kafarat besar yang mesti ditunaikan adalah: a. Memerdekakan seorang budak mukmin. b. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut. c. Jika tidak mampu, memberi makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin diberi satu mud (6 ons). Jika orang yang melakukan jimak di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafarat di atas, kafarat tersebut tidaklah gugur, tetap tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7:224. Catatan: Hubungan intim (jimak) walau tidak keluar mani tetaplah membatalkan puasa. (Fath Al-Mu’in, hlm. 296) Penjelasan lengkap tentang jimak siang hari Ramadhan ada di buku penulis: PANDUAN RAMADHAN KONTEMPORER, silakan pesan di Rumaysho Store.   13. Siapakah yang membayar kafarat besar ketika hubungan intim siang hari Ramadhan, suami saja ataukah suami dan istri? Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafarat, yang menanggung kafarat hanyalah suami. Dalam Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris (1:390), Syaikh Sami bin Muhammad Baasyakil menyebutkan, “Adapun wanita yang disetubuhi siang hari Ramadhan, maka wanita ini tidak wajib menunaikan kafarat. Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkan kepada suami untuk bayar kafarat, tidak pada istrinya walaupun mereka berdua berserikat dalam hubungan intim. Kalau memang istri harus ikut bayar kafarat besar, maka tentu akan dijelaskan dalam dalil, tidak ditunda penjelasan tersebut karena dibutuhkan. Karena kerugian harta terkait jimak itu seperti mahar, maka istri yang disetubuhi tidak terkena dalam hal ini.” Alasan lainnya, Al-Qadhi Husain berkata, “Puasa wanita yang disetubuhi di siang hari Ramadhan itu telah batal sebelum jimak itu terjadi. Karena kemaluan pria yang masuk pada kemaluan wanita (disebut jauf, rongga) itu sudah membatalkan puasa sama seperti tongkat yang masuk dalam jauf (rongga). Jika sebagian penis pria (tanpa keseluruhan) sudah masuk dalam vagina perempuan, maka puasa si wanita sudah batal. Padahal yang disebut jimak adalah jika keseluruhan penis pria sudah masuk pada vagina perempuan (ibaratnya: timba sudah masuk dalam sumur). Seandainya, ada jari yang dimasukkan dalam vagina perempuan, puasanya batal. Namun, jika awalnya hubungan seks dilakukan secara paksa (mukrohah), kemudian setelah itu si wanita melakukannya secara sukarela atau awalnya wanita ini dalam keadaan lupa, lalu ia ingat di tengah-tengah hubungan intim, maka saat ini puasa si wanita batal karena hubungan intim.” (Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris, 1:391) Penjelasan lengkap tentang jimak siang hari Ramadhan ada di buku penulis: PANDUAN RAMADHAN KONTEMPORER, silakan pesan di Rumaysho Store.   14. Bagaimana jika batal dulu dengan makan ataukah minum, lalu berhubungan intim dengan istri di siang hari Ramadhan? Abu Syuja’ rahimahullah berkata, وَمَنْ وَطِئَ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ عَامِدًا فِي الفَرْجِ فَعَلَيْهِ القَضَاءُ وَالكَفَّارَةُ وَهِيَ : عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ “Barangsiapa yang melakukan hubungan seks di siang hari Ramadhan secara sengaja di kemaluan, maka ia punya kewajiban menunaikan qadha’ dan kafarat. Bentuk kafaratnya adalah memerdekakan 1 orang budak beriman. Jika tidak didapati, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 orang miskin yaitu setiap satu orang miskin mendapatkan 1 mud.” Penulis kitab Fath Al-Qarib berkata, “Orang yang terkena hukuman di sini adalah mukalaf (baligh dan berakal) yang berniat berpuasa sejak malam hari. Ia terkena dosa karena melakukan hubungan seks di saat puasa.” Muhammad Al-Hishni dalam Kifayah Al-Akhyar berkata, “Siapa yang merusak puasa Ramadhannya dengan jimak (hubungan seks), maka dicatat baginya dosa.” Sedangkan bagi orang yang melakukan hubungan seks tersebut dalam keadaan lupa, puasanya tidaklah batal. Inilah pendapat yang dianut dalam madzhab Syafi’i. Adapun orang yang melakukan hubungan intim tersebut di siang hari Ramadhan, maka ia punya kewajiban menunaikan kafarat. Berbeda halnya dengan seseorang yang makan dan minum di siang hari Ramadhan, tidak ada kafarat dalam hal itu. Bagi orang yang ada keringanan tidak puasa, seperti seorang musafir, maka ia tidak mendapatkan dosa ketika ia niatkan untuk mengambil keringanan (rukhsah) dengan melakukan hubungan intim di siang hari. Demikian keterangan dalam Kifayah Al-Akhyar. Penulis pernah menanyakan pada Syaikh Dr. Amin bin Utsman di Markaz Tarim Al-Fiqhy Hadromaut Yaman–semoga Allah menjaga beliau dan memudahkan urusan beliau–, “Assalamu’alaikum. Wahai Syaikhuna Al-Habib, ahsanallahu ilaikum. Apakah ada kafarat jimak bagi orang yang sengaja membatalkan puasa dengan minum terlebih dahulu di siang hari Ramadhan lalu setelah itu ia mendatangi istrinya untuk melakukan jimak (hubungan intim)?” Jawab Syaikh Dr. Amin adalah sebagai berikut. وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته لا عليه كفارة لأنه وان وجب عليه الإمساك بعد أكله او شربه ليس لصحة صومه وإنما حرمة لنهار رمضان فالنص قصر الكفارة على الفطر بالجماع “Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh. Ia tidak terkena kafarat jimak. Walaupun imsak (menahan diri dari pembatal) itu wajib baginya setelah ia sengaja makan atau minum. Hal ini tidaklah menunjukkan puasanya sah, tetapi itulah larangan di siang hari Ramadhan. Adapun dalil menunjukkan bahwa kafarat jimak hanya berlaku karena hubungan intim di siang hari Ramadhan.” (Pesan WA pada 26-27 Februari 2024)   15. Bagaimana hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan? Dalil-dalil yang menunjukkan hukum mencium istri di siang hari Ramadhan adalah sebagai berikut. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ . وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: – فِي رَمَضَانَ – Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya padahal beliau sedang puasa. Beliau mencumbu istrinya padahal sedang puasa. Akan tetapi beliau mampu menahan syahwatnya.” Muttafaqun ‘alaih. Lafazhnya dari Muslim. Ditambahkan dalam riwayat lain, “Yaitu di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106) Baca juga: Mencium Istri Saat Puasa bgai yang Mampu Menahan Syahwat (Hadits Bulughul Maram) Dari ‘Umar Bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, هَشَشْتُ فَقَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ ، فَقُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ : صَنَعْت الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا ، قَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ .فَقَالَ : أَرَأَيْت لَوْ تَمَضْمَضْت مِنْ إنَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ؟ قُلْت : لَا بَأْسَ بِهِ ، قَالَ : فَمَهْ ؟ “(Suatu saat) aku rindu dan kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?” (HR. Abu Daud). Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan mencium dengan berkumur-kumur dari sisi sama-sama merupakan mukadimah syahwat. Berkumur-kumur tidak membatalkan puasa selama air tidak masuk. Jika masuk, maka batal. Baca juga: Mencium Istri Hingga Keluar Mani Rincian hukum terkait mubasyarah dengan istri Dimakruhkan mencium istri saat puasa. Jika khawatir sampai keluar mani, dihukumi haram. Mubasyarah atau mencumbu istri, bisa dengan perbuatan seperti mencium atau dengan melakukan mukadimah jimak/ hubungan intim. Jika mubasyarah dilakukan sampai keluar mani, puasa batal. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’, hlm. 172) Jika mencumbu sampai keluar mani, maka membatalkan puasa jika bersentuhan langsung (mubasyarah). Jika tidak bersentuhan langsung karena adanya pembatas, maka tidaklah membatalkan puasa. (Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris, 1:391) Jika memeluk istri atau menciumnya tanpa terjadi persentuhan badan secara langsung, di mana antara badan ada pembatas, lantas keluar mani, maka puasanya tidaklah batal karena tidak terjadi mubasyarah.   16. Apa hukum istri menolak ajakan suami berhubungan intim di siang hari Ramadhan? Apakah berdosa jika istri menolak? Hubungan intim di siang hari Ramadhan adalah perbuatan dosa. Sehingga menaati suami dalam hal dosa tidaklah diperkenankan. Bahkan syariat Islam melarang menaati seseorang dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ “Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari, no. 7257) Baca juga: Menaati pada yang Makruf Maka, sudah tepat jika istri menolak ajakan suami untuk berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan. Penolakan tersebut tidaklah dihukumi dosa.   17. Mimpi basah, memandang, berpikiran dan selain mubasyarah, keluar madzi apakah membatalkan puasa? Mimpi basah, memandang, dan berpikiran hingga keluar mani tidaklah membatalkan puasa. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297) Jika menyentuh mahram atau menyentuh rambut istri, lantas keluar mani, maka tidaklah membatalkan puasa karena wudhu sendiri tidaklah batal karena perbuatan ini. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297) Madzi yang keluar tidaklah membatalkan puasa. Demikian pendapat dalam madzhab Syafii yang bertentangan dengan pendapat dari madzhab Malikiyyah. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297)   18. Apa hukum suami melakukan onani dengan tangan istri, apakah puasanya batal? Dalam Fath Al-Mu’in (hlm. 297), Imam Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Malibari berkata, “Istimna’ (mengeluarkan mani dengan onani) baik dengan tangannya sendiri atau dengan tangan pasangannya (istrinya) atau karena bersentuhan yang membatalkan wudhu di mana menyentuhnya tanpa ada penghalang lalu keluar mani, maka termasuk pembatal puasa.”   19. Apa hukum wanita mencicipi makanan di siang hari Ramadhan? Dalam Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris (1:386), “Yang termasuk hal yang dimakruhkan saat puasa adalah dzauquth tho’aam (mencicipi atau merasakan makanan) karena dikhawatirkan bisa masuk ke jauf (rongga) dalam tubuh. Namun, sesuatu yang makruh dibolehkan ketika ada hajat (kebutuhan). Membantu mengunyah makanan seperti roti untuk anak kecil yang tidak bisa mencerna roti tersebut dengan baik atau untuk mentahnik (mengunyah agar lembut dan menaruh di langit-langit) dibolehkan hal yang makruh ini ketika butuh (ada hajat).” Baca juga: Mencicipi Makanan Ketika Berpuasa   20. Manakah yang lebih afdal, wanita shalat tarawih di masjid ataukah di rumah? Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ “Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya) Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutup aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang. Istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى “Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.) (HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan) Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا “Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”(HR. Muslim, no. 442) Baca juga: Shalat Wanita di Masjid ataukah di Rumah yang Lebih Afdal?   21. Apa hukum wanita ghibah (membicarakan jelek orang lain) di siang hari Ramadhan? Apakah puasanya batal? Apa itu ghibah telah dibicarakan dalam hadits berikut ini. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ » Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim, no. 2589). Ghibah kata Imam Nawawi adalah menyebutkan kejelekan orang lain di saat ia tidak ada saat pembicaraan. (Syarh Shahih Muslim, 16: 129). Kata seorang ulama tafsir, Masruq, “Ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek pada seseorang. Itu disebut mengghibah atau menggunjingnya. Jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar ada padanya, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian pula dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167). Dosa ghibah sudah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12) Dalam Kunuz Riyadhis Sholihin (18: 164) disebutkan, “Para ulama sepakat akan haramnya ghibah dan ghibah termasuk dosa besar.” Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fath Al-Qadir, 5:87) Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26:169). Baca juga:  Ghibah itu Dosa Besar? Ghibah itu Apa?   Perlu dipahami pula bahwa maksiat yang dilakukan di bulan Ramadhan itu lebih besar dosanya dibanding bila dilakukan di luar bulan Ramadhan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903). Perlu diingat bahwa ghibah itu dihukumi dosa baik saat berpuasa di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sehingga maksiat ghibah yang dilakukan tidak sampai membatalkan puasa karena tidak termasuk pembatal, tetapi masuk dalam pengurang kesempurnaan pahala puasa. Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Baari (6:129) mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya, “Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum, dan jimak (berhubungan intim).” Mulla ‘Ali Al-Qari rahimahullah dalam Mirqah Al-Mafaatih Syarh Misykah Al-Mashabih (6:308) berkata, “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.” Baca juga: Jangan Biarkan Puasa Sia-Sia   22. Apa hukum wanita berenang di siang hari Ramadhan? Rincian hukum renang sebagai berikut: Jika orang yang berenang punya sangkaan kuat bahwa air tidak akan sampai ke al-jauf (rongga) dari lubang mulut, hidung, atau telinga, maka tidaklah masalah berenang pada siang hari bulan Ramadhan karena tidak adanya larangan mengenai hal tersebut. Itulah yang dimaksud dengan fatwa makruhnya berenang saat berpuasa oleh ulama Syafiiyah karena khawatir masuknya air. Namun, jika air masuk ke dalam jauf (rongga) karena cara yang salah ketika berenang, puasanya batal, ia harus menahan diri pada sisa hari, dan puasanya harus diqadha’ bakda Ramadhan. Jika ada sangkaan kuat, air bisa masuk ke kerongkongan karena sebab berenang, maka jangan sampai ia membuat puasanya batal, karena jika melakukannya dan air masuk, puasanya batal, ia punya kewajiban qadha’ dan bertaubat. (Diambil dari Fatwa Lajnah Al-Ifta: https://www.aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2666#.Yh8Noy-l3f, diakses pada 2 Maret 2022, 13.30 WIB) Ringkasnya, yang tidak bisa berenang, maka jangan coba-coba berenang saat puasa.    23. Apakah wanita boleh melakukan iktikaf? Bagaimana caranya? Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا ، فَضَرَبَتْ خِبَاءً ، فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى الأَخْبِيَةَ فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « آلْبِرُّ تُرَوْنَ بِهِنَّ » . فَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada ‘Aisyah untuk mendirikan tenda, ‘Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beriktikaf dalam tenda, ia meminta untuk didirikan tenda, lalu didirikanlah tenda yang lain. Ketika di Shubuh hari lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat banyak tenda, lantas beliau bertanya, “Apa ini?” Beliau lantas diberitahu dan beliau bersabda, “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?” Beliau meninggalkan iktikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan beriktikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.” (HR. Bukhari, no. 2033). Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitab beliau Bulughul Maram, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan iktikaf. عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beriktikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari, no. 2026 dan Muslim, no. 1172) Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Jika wanita ingin melaksanakan iktikaf di masjid, maka hendaklah menutupi diri (dari pandangan laki-laki). Disyaratkan bagi wanita untuk berdiam di masjid selama tempat tersebut tidaklah mengganggu (menyempitkan) orang-orang yang shalat.” (Fath Al-Bari, 4:277) Baca juga: Apakah Wanita Boleh Iktikaf di Masjid? Cara lakukan iktikaf adalah di masjid yang diadakan shalat berjamaah (lebih bagus lagi diadakan shalat Jumat) dan waktu minimalnya tidaklah dibatasi. Seandainya iktikaf dilakukan di malam hari dan siangnya beraktivitas lain, masih dibolehkan. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Sedang kamu beriktikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beriktikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al-Muhalla, 5: 180. Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan iktikaf pada iktikaf yang sunnah atau iktikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al-Inshaf, 6:17) Baca juga: Iktikaf di Malam Hari, Siangnya Kerja   24. Apakah wanita boleh mengunjungi suami yang sedang beriktikaf di masjid? Jawabannya boleh berdasarkan hadits berikut ini. ‘Ali bin Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Shafiyyah binti Huyay—istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengabarkan padanya, أَنَّهَا جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ ، فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ ، فَقَامَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَعَهَا يَقْلِبُهَا ، حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلاَنِ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ لَهُمَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِىَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَىٍّ » . فَقَالاَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ . وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ ، وَإِنِّى خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِى قُلُوبِكُمَا شَيْئًا ‘ “Shafiyyah pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengunjungi beliau dan saat itu beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang-bincang dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa saat, kemudian ia berdiri dan hendak pulang. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan mengantarnya keluar. Ketika sampai pintu masjid, di pintu Ummu Salamah, ada dua orang Anshar lewat, maka keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan kepada keduanya, “Tak perlu kalian berdua tergesa-gesa, ini Shafiyyah binti Huyay.” Keduanya lantas mengucapkan, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” Mereka terheran dengan apa yang jadi jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah. Aku khawatir terdapat dalam diri kalian suuzhan (prasangka jelek).”  (HR. Bukhari, no. 2038 dan Muslim, no. 2175). Baca juga: Amalan Iktikaf   25. Apakah boleh wanita beriktikaf tanpa izin suaminya? Seharusnya wanita iktikaf dengan izin suami, bahkan bersama suami melakukan iktikaf sehingga aman baginya. Allah Ta’ala berfirman, وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al-Ahzab: 33). Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281) Baca juga: Kewajiban Istri   26. Apa solusi wanita yang mendapati haidh agar bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan? Yang jelas, wanita haidh dan nifas tidaklah boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an ketika ia haidh atau nifas. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini. عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni, no. 449. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’, no. 122). Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, ثُمَّ مَسُّ الْمُصْحَفِ يُشْتَرَطُ لَهُ الطَّهَارَةُ الْكُبْرَى وَالصُّغْرَى عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ وَكَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَهُوَ ثَابِتٌ عَنْ سَلْمَانَ وَسَعْدٍ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ “Menyentuh mushaf Al-Qur’an dipersyaratkan suci dari hadats besar dan hadats kecil. Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama) sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Qur’an, hadits, dan pendapat ini diketahui dari para sahabat seperti Salman, Sa’ad, dan sahabat lainnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 26: 200) Baca juga: Tidak Boleh Menyentuh Al-Qur’an Kecuali Orang yang Suci Namun, wanita haidh dan nifas masih boleh membaca mushaf Al-Qur’an tanpa menyentuhnya. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan dalam Majmu’ Fatawanya, “Wanita haidh dan nifas untuk diperbolehkan membaca Al-Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh dan nifas tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al-Qur’an (karena ada larangan mengenai hal ini). Kalau memang mau menyentuh Al-Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (misalnya: sarung tangan).” Baca juga: Hukum Membaca Al-Qur’an bagi Wanita Haidh Dua solusi bagi wanita haidh dan nifas yang ingin membaca Al-Qur’an adalah: a- Membaca mushaf saat haidh namun tidak menyentuh secara langsung b- Membaca Al-Qur’an terjemahan Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al-Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir, di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.” Jika yang disentuh adalah Al-Qur’an terjemahan dalam bahasa non-Arab, tidak disebut mushaf yang disyaratkan dalam hadits mesti menyentuhnya dalam keadaan suci. Namun kitab atau buku seperti itu disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu, tidak mengapa menyentuh Al-Qur’an terjemahan seperti itu karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al-Qur’an (tulisan Arab dari Al-Qur’an) lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, sudah sepatutnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats. Baca juga: Bagaimana Wanita Haidh Membaca Al-Qur’an?   27. Apa hukum wanita haidh membaca Al-Qur’an lewat handphone? Syaikh Prof. Dr. Khalid Al Musyaiqih–semoga Allah senantiasa menjaga dan memberkahi umur beliau–menjelaskan, “Handphone yang memiliki aplikasi Al-Qur’an atau berupa softfile, tidak dihukumi seperti hukum mushaf Al-Qur’an (di mana harus dalam keadaan bersuci ketika ingin menyentuhnya). Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan bersuci. Begitu pula handphone ini bisa dibawa masuk ke dalam kamar mandi karena aplikasi Al-Qur’an di dalamnya tidaklah seperti mushaf. Ia hanya berupa aplikasi yang ketika dibuka barulah tampak huruf-hurufnya, ditambah dengan suara jika di-play. Aplikasi Al-Qur’an tersebut akan tampak, tetapi jika beralih ke aplikasi lainnya, ia akan tertutup. Yang jelas aplikasi tersebut tidak terus ON (ada atau nyala). Bahkan dalam handphone tersebut bukan hanya ada aplikasi Al-Qur’an saja, ada aplikasi lainnya pula. Ringkasnya, handphone tersebut dihukumi seperti mushaf ketika aplikasinya dibuka dan ayat-ayat Al-Qur’an terlihat. Namun lebih hati-hatinya, aplikasi Al-Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir handphone-nya saja. Wallahu a’lam.” (Fiqh An-Nawazil fi Al-‘Ibadah, Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Penerbit Maktabah Ar Rusyd, Cetakan pertama, Tahun 1433 H, hlm. 76). Baca juga: Menyentuh Handphone yang Terdapat Aplikasi Al-Qur’an Saat Tidak Suci   28. Apakah wanita haidh bisa mendapatkan lailatul qadar? Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir, dan orang yang tidur (tetapi hatinya tidak lalai dalam dzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 341) Baca juga: Tanpa Melakukan Iktikaf Masih Bisa Mendapatkan Lailatul Qadar   29. Istri apakah harus membayar zakat fitrah sendiri ataukah dibayarkan suami?   30. Jika istri memiliki harta sendiri, apakah harus bayar zakat maal sendiri?   31. Apakah tas branded milik istri terkena kewajiban zakat?   32. Apakah dana haji yang telah disetorkan ke Kementrian Agama tetap dimasukkan dalam hitungan zakat?   33. Jika istri memiliki penghasilan, apakah membayar zakatnya setiap bulan sebagaimana zakat profesi ataukah cukup setiap tahun saat haul dari simpanan? Baca juga: Kritikan pada Zakat Profesi   34. Apa hukum mudik wanita sendirian tanpa ditemani mahram?   35. Apa hukum menghadiri shalat Idulfitri bagi wanita haidh?     – JIka ada pertanyaan lainnya yang belum tertulis di atas, silakan tuliskan dalam kolom komentar. Semoga bisa sampai 50+ masalah yang akan dijawab.     –   Mulai disusun dari Senin, 16 Syakban 1445 H, 26 Februari 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsfikih wanita wanita di bulan Ramadhan wanita ramadhan

50+ Masalah yang Sering Ditanyakan oleh Wanita Terkait Ramadhan

Ini adalah berbagai masalah wanita di bulan Ramadhan yang sering ditanyakan. Masalah yang dikumpulkan moga mencapai 50 lebih masalah. Semoga bisa memberikan jawaban memuaskan dengan pertolongan Allah.   Daftar Isi tutup 1. 1. Apabila wanita mendapati haidh menjelang berbuka puasa, apakah puasanya batal? 1.1. Buka puasa dalam keadaan ragu keluar haidh 2. 2. Bagaimana jika wanita mendapati flek saat puasa? Apakah puasanya batal? 3. 3. Berapa lama waktu minimal disebut haidh? 4. 4. Bagaimana hukum mengonsumsi obat penunda haidh agar lancar puasa? 5. 5. Kapan mandi setelah malamnya suci dari haidh atau malamnya junub, apakah sebelum ataukah sesudah masuk Shubuh? 6. 6. Bagaimana jika masuk Ashar sudah suci dari haidh, apakah mesti mengqadha’ shalat Zhuhur? 7. 7. Apa hukum puasa bagi wanita hamil dan menyusui? Apakah penggantinya mesti qadha’ ataukah hanya fidyah saja? 8. 8. Bagaimana cara bayar fidyah? 8.1. Bentuk fidyah 8.2. Waktu pembayaran fidyah 9. 9. Bagaimana cara qadha’ puasa bagi wanita? 9.1. Beberapa catatan tentang qadha puasa 10. 10. Bagaimana jika qadha’ puasa Ramadhan belum lunas sampai Ramadhan berikutnya? 11. 11. Bagaimana jika memiliki qadha’ puasa Ramadhan, tetapi lupa berapa jumlahnya? 12. 12. Bagaimana konsekuensi hubungan intim di siang hari bulan Ramadhan? 13. 13. Siapakah yang membayar kafarat besar ketika hubungan intim siang hari Ramadhan, suami saja ataukah suami dan istri? 14. 14. Bagaimana jika batal dulu dengan makan ataukah minum, lalu berhubungan intim dengan istri di siang hari Ramadhan? 15. 15. Bagaimana hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan? 15.1. Rincian hukum terkait mubasyarah dengan istri 16. 16. Apa hukum istri menolak ajakan suami berhubungan intim di siang hari Ramadhan? Apakah berdosa jika istri menolak? 17. 17. Mimpi basah, memandang, berpikiran dan selain mubasyarah, keluar madzi apakah membatalkan puasa? 18. 18. Apa hukum suami melakukan onani dengan tangan istri, apakah puasanya batal? 19. 19. Apa hukum wanita mencicipi makanan di siang hari Ramadhan? 20. 20. Manakah yang lebih afdal, wanita shalat tarawih di masjid ataukah di rumah? 21. 21. Apa hukum wanita ghibah (membicarakan jelek orang lain) di siang hari Ramadhan? Apakah puasanya batal? 22. 22. Apa hukum wanita berenang di siang hari Ramadhan? 23. 23. Apakah wanita boleh melakukan iktikaf? Bagaimana caranya? 24. 24. Apakah wanita boleh mengunjungi suami yang sedang beriktikaf di masjid? 25. 25. Apakah boleh wanita beriktikaf tanpa izin suaminya? 26. 26. Apa solusi wanita yang mendapati haidh agar bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan? 27. 27. Apa hukum wanita haidh membaca Al-Qur’an lewat handphone? 28. 28. Apakah wanita haidh bisa mendapatkan lailatul qadar? 29. 29. Istri apakah harus membayar zakat fitrah sendiri ataukah dibayarkan suami? 30. 30. Jika istri memiliki harta sendiri, apakah harus bayar zakat maal sendiri? 31. 31. Apakah tas branded milik istri terkena kewajiban zakat? 32. 32. Apakah dana haji yang telah disetorkan ke Kementrian Agama tetap dimasukkan dalam hitungan zakat? 33. 33. Jika istri memiliki penghasilan, apakah membayar zakatnya setiap bulan sebagaimana zakat profesi ataukah cukup setiap tahun saat haul dari simpanan? 34. 34. Apa hukum mudik wanita sendirian tanpa ditemani mahram? 35. 35. Apa hukum menghadiri shalat Idulfitri bagi wanita haidh? 1. Apabila wanita mendapati haidh menjelang berbuka puasa, apakah puasanya batal? Di antara syarat sah puasa adalah suci dari haidh dan nifas pada keseluruhan siang (dari terbit Fajar Shubuh hingga tenggelam matahari). Maka jika beberapa menit menjelang berbuka diketahui dengan yakin darah haidh atau nifas keluar, maka puasanya batal. Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.” Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا » “Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.” Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqadha puasa di hari lainnya. Dalilnya adalah, عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim, no. 335)   Buka puasa dalam keadaan ragu keluar haidh Bagaimana jika ada wanita yang masuk waktu Maghrib (buka puasa) dalam keadaan ragu apakah haidh yang ia temui saat Maghrib keluarnya sebelum buka puasa ataukah sesudahnya? Misal kebiasaan haidhnya hari tersebut, jam 4 sore ketika dicek tidak keluar darah haidh. Saat berbuka puasa (jam 6) baru ketahuan darah haidh ada. Kalau ternyata keluar sebelumnya, tentu saja puasanya jadi batal dan harus diganti di hari yang lain. Sedangkan kalau darah haidh keluar ketika waktu berbuka tiba, puasanya berarti tidak diqadha’. Jawabannya untuk masalah ini adalah pegang yang yakin dan tinggalkan yang ragu-ragu. Dalam kaidah fikih disebutkan, ِّاليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّك. “Yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.” Baca juga: Ragu Tidak Bisa Mengalahkan yang Yakin Ada pertanyaan yang diajukan pada Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah, “Aku pernah tertidur pada suatu hari di bulan Ramadhan sebelum Ashar. Dan aku barulah bangun ketika azan Isya. Saat Isya itu aku dapati dalam keadaan haidh. Apakah puasaku sah?” Jawaban yang diberikan oleh Syaikh ‘Abdurrahman, “Alhamdulillah, puasamu tetap sah. Karena kita tidak bisa pastikan haidh itu datang sebelum Maghrib. Keadaan sebelum matahari tenggelam apakah keluar darah haidh ataukah tidak adalah keadaan yang meragukan. Hukum asalnya, waktu sebelum tenggelam matahari tadi masih dalam keadaan suci. Hal ini sama halnya seperti seseorang yang shalat Shubuh kemudian tidur. Lalu ia dapati bekas junub saat bangun yaitu mendapati mani. Yang yakin, mani tersebut keluar setelah shalat Shubuh. Dalam kondisi ini, tidak wajib baginya mengulangi shalat Shubuh. Wallahu a’lam.” Fatwa Syaikh Al-Barrak tanggal, 24/9/1434 diambil dari status telegram beliau hafizahullah. Baca juga: Sebelum Berbuka Masih Suci, Waktu Isyak Dicek Mengalami Haidh, Puasanya Apakah Sah? Ada penjelasan sebagai berikut, “Setiap yang meragukan dianggap seperti tidak ada. Setiap sebab yang kita ragukan kapan munculnya, maka tidak ada hukum pada yang akibatnya. Sebab tersebut seperti sesuatu yang dipastikan tidak ada, maka tidak dikenakan hukum ketika itu. Begitu pula setiap syarat yang diragukan keberadaannya, maka dianggap seperti tidak ada sehingga tidak diterapkan hukum untuknya. Begitu pula setiap mani’ (penghalang) yang diragukan keberadaannya, dianggap seperti tidak ada. Hukum baru ada apabila sebab itu ada. Perlu diketahui, kaedah ini disepakati secara umum.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 4:94, Asy-Syamilah) Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa keadaan yang yakin yang dipegang adalah masih dalam keadaan suci. Sedangkan keadaan ragu-ragu adalah dalam keadaan tidak suci. Sehingga ketika berbuka baru didapati darah haidh dan tidak diketahui keluarnya baru saja ataukah sebelum berbuka puasa, maka keadaan yang dipegang adalah keadaan suci. Baca juga: Buka Puasa dalam Keadaan Ragu Keluar Darah Haidh Ringkasnya: Mendapati haidh sebelum berbuka puasa dalam keadaan YAKIN, puasa batal, maka harus diqadha’. Mendapati haidh sebelum berbuka puasa dalam keadaan RAGU-RAGU dan YAKIN-nya didapati setelah berbuka puasa, maka puasa sah, tidak perlu ada qadha’.   2. Bagaimana jika wanita mendapati flek saat puasa? Apakah puasanya batal? Bagi wanita yang berhalangan untuk puasa karena haidh tersebut, ia punya kewajiban untuk mengqadha’ puasa di hari lain. Ada kaidah dari Syaikh As-Sa’di dalam kitabnya Manhaj As-Salikin sebagai berikut: a. Flek yang keluar di masa kebiasaan haidh sebelum darah haidh keluar, ditambah jika terasa nyeri, maka terhitung sebagai DARAH HAIDH. b. Flek yang keluar di luar masa kebiasaan haidh, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH. c. Flek yang keluar setelah darah haidh dan masih bersambung, maka dianggap DARAH HAIDH. d. Flek yang keluar setelah suci (setelah darah haidh berhenti total), tetapi setelah beberapa hari keluar flek lagi, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH. Kesimpulan kaidah: Jika flek keluar bersambung sebelum atau sesudah haidh dihukumi sebagai darah haidh. Jika flek keluar tidak bersambung dengan haidh, maka dihukumi bukan darah haidh. Kalau dianggap HAIDH, maka tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa. Kalau dianggap bukan darah HAIDH, maka tetap diperintahkan shalat dan puasa. Baca juga: Hukum Wanita Mendapati Flek Saat Puasa   3. Berapa lama waktu minimal disebut haidh? Tanda haidh berhenti adalah dengan munculnya di antara dua tanda berikut: (a) qashshatul baydha’ (cairan putih), (b) jufuf (kering). Menurut pendapat Syaikh As-Sa’di dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, lamanya darah haidh: (a) minimalnya tidaklah dibatasi, (b) maksimalya juga tidak dibatasi. Jika keluar darah haidh walau kurang dari sehari dan itu adalah ciri darah haidh, maka dihukumi sebagai darah haidh. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam Manhajus Salikin, ِّوَالْأَصْلُ فِي اَلدَّمِ اَلَّذِي يُصِيبُ اَلْمَرْأَةَ: أَنَّهُ حَيْضٌ، بِلَا حَدٍ لِسِنِّه، وَلَا قَدَرِهِ، وَلاَ تَكَرُّرِهِ ِّإِلَّا إِنْ أَطْبَقَ اَلدَّمُ عَلَى اَلْمَرْأَةِ، أَوْ صَارَ لَا يَنْقَطِعُ عَنْهَا إِلَّا يَسِيرًا فَإِنَّهَا تَصِيرُ مُسْتَحَاضَة Hukum asal pada darah yang didapati wanita adalah haidh, tanpa dibatasi usia, kadar lama, maupun pengulangannya. Kecuali bila darah tersebut keluar begitu banyak pada wanita atau darah tersebut tidak berhenti kecuali sedikit (sebentar), maka dihukumi sebagai darah istihadhah. Baca juga: Dalil tentang Fikih Haidh dari Bulughul Maram Dibahas Tuntas Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Menurut pendapat yang paling kuat, tidak ada batasan minimal atau maksimal lamanya masa haid. Karena Allah Ta’ala berfirman, ِّوَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222). Dalam ayat ini perintah untuk menjauhi wanita di masa haidnya tidak diberikan batasan waktu tertentu. Pokoknya wanita itu baru bisa disetubuhi jika telah suci (darah berhenti, lalu mandi, pen.). Sebab hukum dalam ayat adalah ada tidaknya darah haid. Jika didapati haid, maka tidak boleh menyetubuhi istri. Namun jika telah suci, maka hilanglah hukum larangan tadi. Menetapkan masa lamanya haid dengan waktu tertentu tidaklah berdasarkan dalil. Padahal hal tersebut sangat perlu sekali dijelaskan (di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.). Jika ada batasan umur wanita mendapati haid dan jangka waktu lamanya haid, maka tentu akan dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya, jika wanita melihat darah yang sudah dikenal sebagai darah haid, maka dihukumi sebagai haid tanpa dikaitkan dengan lama waktunya. Kecuali kalau darah yang keluar pada wanita tersebut mengalir terus tidak terputus atau dalam sebulan hanya berhenti singkat selama sehari atau dua hari, maka darah tersebut dihukumi darah istihadhah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 11: 271. Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 65570) Baca juga: Bisakah Lama Haidh Kurang dari Sehari   4. Bagaimana hukum mengonsumsi obat penunda haidh agar lancar puasa? Dalam Al-Mughni (1:450), Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, ‘Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).’” Syaikh Abu Malik–penulis kitab Shahih Fiqh As-Sunnah–menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qadha’ baginya. Wallahu a’lam.” (Shahih Fiqh As-Sunnah, 2:128) Baca juga: Hukum Menggunakan Obat Penghalang Haidh Saat Puasa   5. Kapan mandi setelah malamnya suci dari haidh atau malamnya junub, apakah sebelum ataukah sesudah masuk Shubuh? Disunnahkan dalam puasa Ramadhan, orang yang berhadats besar melakukan mandi besar (mandi wajib) sebelum masuk Shubuh. Walaupun jika mandi setelah masuk Shubuh, masih dibolehkan. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Muslim, no. 1109) Dalil lainnya bolehnya masuk Shubuh dalam keadaan junub adalah ayat, أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang berhubungan dengan istrinya sebelum Shubuh dan ketika masuk Shubuh, ia masih dalam keadaan junub, maka ia masih boleh melakukan puasa. Karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkan mubasyaroh (mencumbu istri) hingga terbit fajar, lalu perintahkan untuk berpuasa, maka ini menunjukkan bahwa boleh saja seseorang yang hendak berpuasa masuk shubuh dalam keadaan junub.” (Al-Majmu’, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 6:303) Baca juga: Masuk Shubuh dalam Keadaan Junub Sahkah Puasanya?   6. Bagaimana jika masuk Ashar sudah suci dari haidh, apakah mesti mengqadha’ shalat Zhuhur? Jika wanita suci pada waktu Ashar, ia cukup mengerjakan shalat Ashar tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Begitu pula jika wanita suci pada waktu Isyak, ia cukup mengerjakan shalat isyak tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Alasannya adalah hadits berikut. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Barang siapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608) Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan, seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat Ashar saja, tidak lagi shalat Zhuhur. Faedah dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin kaitannya dengan wanita haidh: Jika wanita haidh telah suci, lalu masih bisa mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia punya kewajiban untuk melaksanakan shalat. Sebagian ulama berpandangan pula kalau wanita datang haidh padahal sudah masuk waktu shalat dan ia bisa dapati satu rakaat, maka jika suci, ia tetap mengqadha shalat. Baca juga: Suci Haidh pada Waktu Ashar, Apakah Tetap Qadha Shalat Zhuhur?   7. Apa hukum puasa bagi wanita hamil dan menyusui? Apakah penggantinya mesti qadha’ ataukah hanya fidyah saja? Hukum terkait wanita hamil dan menyusui rinciannya sebagai berikut: a. Wanita hamil dan menyusui jika tidak berat menjalankan puasa, ia tidak khawatir bahaya pada dirinya atau pada bayi atau janinnya, maka wanita hamil dan menyusui hendaklah tetap berpuasa. b. Wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada dirinya, kewajibannya adalah qadha’, tanpa fidyah sebagaimana orang sakit. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui yang khawatir pada dirinya dan anaknya sekaligus. c. Wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada anaknya saja, misalnya takut keguguran atau kekurangan ASI sehingga bisa bermasalah pada anak, maka kewajibannya adalah qadha’ dan fidyah. d. Wanita hamil dan menyusui yang tidak mampu berpuasa terus menerus, kewajibannya adalah fidyah. Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh salat (salat empat rakaat menjadi dua rakaat), juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, 5: 29; Ibnu Majah, no. 1667; Tirmidzi, no. 715; dan An-Nasa’i, no. 2277. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya). Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah adalah hadits berikut. عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata mengenai ayat, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. Itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah tua renta yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui, jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud, no. 2318 dan Al-Baihaqi, 4: 230). Baca juga: Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin tentang Apakah Wanita Cukup Fidyah Saja Tanpa Qadha’?   8. Bagaimana cara bayar fidyah? Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا “(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 4505).   Bentuk fidyah a. Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa). Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih. b. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk. Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumthi’, 2:22. Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari. Lihat penjelasan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, no. 1447, 10:198. Al-Mawardi rahimahullah mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” (Al-Inshaf, 5:383).   Waktu pembayaran fidyah a. Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah berada di usia senja. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih. b. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah bolehkah mempercepat pembayaran fidyah ataukah tidak untuk yang sudah tua renta atau yang menderita sakit menahun yang sulit diharapkan sembuhnya. Tentang hal ini Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa sepakat ulama madzhab Syafii menyatakan tidak bolehnya mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk Ramadhan. c. Adapun mempercepat pembayaran fidyah setelah terbit fajar Shubuh setiap harinya dibolehkan. d. Mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk fajar Shubuh di bulan Ramadhan juga masih diperbolehkan. Pendapat ini dipilih oleh Ad-Darimi kata Imam Nawawi. e. Berarti tidak masalah memajukan fidyah untuk satu hari saja, tidak untuk dua hari atau lebih. Inilah pendapat madzhab Syafii. Imam Al-Khatib Asy-Syirbini mengatakan, “Tidak dibolehkan untuk wanita hamil dan menyusui memajukan fidyah dua hari atau lebih dari waktu berpuasa. Sebagaimana tidak boleh memajukan zakat untuk dua tahun. Namun, kalau memajukan fidyah untuk hari itu dibayar pada hari tersebut atau pada malamnya, seperti itu dibolehkan.” (Mughni Al-Muhtaj, 2:176) f. Waktu akhir penunaian fidyah tidak dibatasi. Fidyah tidak mesti ditunaikan pada bulan Ramadhan, bisa pula ditunaikan bakda Ramadhan. Ayat yang menyariatkan fidyah (QS. Al-Baqarah: 184) tidaklah menetapkan waktu tertentu sebagai batasan. Fidyah ditunaikan sesuai kelapangan, walau ditunda beberapa tahun. Penjelasan lengkap tentang fidyah ada di buku penulis: FIKIH BULAN SYAWAL, silakan pesan di Rumaysho Store.   9. Bagaimana cara qadha’ puasa bagi wanita? Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Beberapa catatan tentang qadha puasa Pertama: Qadha’ Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala, أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61) Kedua: Qadha’ puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan. Ketiga: Tidak wajib membayar qadha’ puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum, فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih). Keempat: Qadha’ puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum Shubuh) sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan. Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari. Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ “Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan Ibnu Majah no. 1700. Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu’—sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—ataukah mauquf—hanya sampai pada sahabat–. Yang menyatakan hadits ini marfu’ adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauquf adalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20). Adapun puasa sunnah (seperti puasa Syawal) boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini. عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim, no. 1154). Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bolehnya berniat di siang hari sebelum zawal untuk puasa sunnah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa ada uzur. Namun, yang lebih baik adalah menyempurnakannya.” Imam Nawawi juga berkata, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunnah boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 32-33). Kelima: Ketika ada yang melakukan qadha’ puasa lalu berhubungan intim di siang harinya, maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha’ disertai dengan taubat. Kafarat berat (yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang miskin, pen.) hanya berlaku untuk puasa Ramadhan saja. Penjelasan lengkap tentang qadha’ puasa ada di buku penulis: FIKIH BULAN SYAWAL, silakan pesan di Rumaysho Store.   10. Bagaimana jika qadha’ puasa Ramadhan belum lunas sampai Ramadhan berikutnya? Jika ia mengetahui bahwa diharamkan kalau mengakhirkan qadha’ puasa hingga Ramadhan berikut, lalu tidak tahu akan wajibnya fidyah, ia tidak dianggap mendapatkan uzur. Ia wajib menunaikan qadha’ dan fidyah sekaligus. Fidyah akan berlipat ganda sesuai hitungan tahun yang tertunda qadha’-nya. Jika tidak mampu karena bersafar atau sakit terus menerus (uzur puasa terus menerus ada) hingga datang bulan Ramadhan berikutnya atau ia menunda puasa karena tidak tahu kalau mengakhirkan itu diharamkan, padahal ia sudah sering bergaul dengan ulama, kewajibannya adalah qadha’ saja. Penjelasan ini diambil dari bahasan kitab Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja’ karya As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syathiri.   11. Bagaimana jika memiliki qadha’ puasa Ramadhan, tetapi lupa berapa jumlahnya? Apabila seorang wanita lupa jumlah pasti hari puasa Ramadhan yang harus diqadha, maka ia wajib mengqadha puasa dengan jumlah yang diyakini paling sedikit dari hari yang terlewat. Prinsip yang digunakan adalah “keyakinan lebih didahulukan daripada keraguan.” Kaidah fikih yang relevan dalam kasus ini adalah: “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan” (الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ). Langkah-langkah yang dapat dilakukan: Menghitung semampunya: Ingat kembali kondisi saat itu—berapa lama haidh atau nifas yang dialami, atau kondisi yang membuat tidak berpuasa. Mengambil jumlah minimal: Jika tetap ragu antara dua angka (misalnya, 7 hari atau 8 hari), ambillah jumlah minimal (dalam kasus ini, 7 hari). Menambah ihtiyath (kehati-hatian): Apabila memungkinkan, lebih baik menambahkan satu hari sebagai bentuk kehati-hatian, meskipun tidak wajib. Para ulama membahagikan kaedah penentuan bilangan hari untuk puasa qadha’ kepada dua iaitu tahdididan taqribi. Tahdidi bererti menentukan dengan tepat bilangan hari yang ditinggalkan, manakala taqribiialah menggunakan anggaran berapa hari yang ditinggalkan kerana seseorang itu lupa berapa hari puasa yang telah dia tinggalkan. Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menyatakan: إذا كَثرَت الْفوائتُ عليهِ يتشاغلُ بالقضَاء فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ قَدْرَ مَا عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعِيدُ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ Maksudnya: “Apabila tanggungan ibadahnya yang sangat banyak, dia wajib terus-menerus melakukan qada’. Jika dia tidak tahu berapa jumlah hari yang menjadi kewajipan puasanya, maka dia wajib mengulang-ulang qada’ puasa sampai dia yakin telah menggugurkan seluruh tanggungannya.” (Lihat al-Mughni, 1/439) Ibn Qudamah menukilkan kata-kata Imam Ahmad dalam satu riwayat yang salih, berkenaan seseroang yang meninggalkan solat dan lupa berapa banyak yang ditinggalkannya: يُعِيدُ حَتَّى لَا يَشُكَّ أَنَّهُ قَدْ جَاءَ بِمَا قَدْ ضَيَّعَ وَيَقْتَصِرُ عَلَى قَضَاءِ الْفَرَائِضِ Maksudnya: “Dia hendaklah ulang-ulang sampai dia tidak meragui lagi bahawa dia telah melakukan apa yang telah dia lalaikan. Dia hanya melakukan yang wajib sahaja.” Guru kami, Syeikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Shinqiti menjelaskan kaedah penentuan secara taqribi ini ialah dengan bertanya kepada seseorang itu seperti ini: “Adakah telah tinggalkan 50 hari?” “Terlalu sedikit” “90 hari?” “Terlalu banyak” Maka jumlah taqribi nya ialah 75 hari. Berkenaan dengan fidyah, hendaklah seseorang itu berusaha mengqadha’kan puasanya setiap hari yang mungkin terlebih dahulu. Ini lebih bersifat ihtiyati (berhati-hati) dalam urusan agama berbanding terus membenarkan membayar fidyah sehingga mengabaikan tuntutan qadha’. Syekh Abdul Hamid Asy-Syirwani (wafat 1301 H) dalam anotasinya menjelaskan:   وَلَوْ عَلِمَ أَنَّهُ صَامَ بَعْضَ اللَّيَالِيْ وَبَعْضَ الْأَيَّامِ وَلَمْ يَعْلَمْ مِقْدَارَ الْأَيَّامِ الَّتِيْ صَامَهَا فَظَاهِرٌ أَنَّهُ يَأْخُذُ بِالْيَقِينِ فَمَا تَيَقَّنَهُ مِنْ صَوْمِ الْأَيَّامِ أَجْزَأَهُ وَقَضَى مَا زَادَ عَلَيْهِ Artinya: “Apabila terdapat seseorang yang mengetahui bahwa dirinya berpuasa sebagian jatuh pada malam hari (karena tinggal di daerah yang tidak diketahui batas siang dan malamnya), dan sebagian jatuh pada siang hari. Sedangkan dia tidak mengetahui jumlah puasa yang dikerjakan pada siang harinya, maka menurut pendapat yang jelas orang itu wajib mengambil hitungan yang diyakininya, maka hitungan puasa siang hari yang diyakininya itu cukup baginya (untuk dijadikan jumlah puasa siang harinya) dan wajib mengqadha’ sisa puasa yang dilakukan pada malam harinya.” (Abdul Hamid Asy-Syirwani, Hawasyi Asy-Syarwani wa Ibn Qasim Al-‘Ubadi [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra], vol. 3, h. 396) Sementara itu, Imam Ibn Hajar Al-Haitami (wafat 976 H) lebih menganjurkan agar orang yang lupa jumlah beban puasanya untuk memperbanyak puasa sunah dengan niatan mengqadha tanggungan puasa Ramadhan. Imam Ibn Hajar Al-Haitami melalui fatwanya menganalogikan persoalan keraguan qadha puasa ini sebagaimana dalam konteks wudhu: وَيُؤْخَذُ مِنْ مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ هَذِهِ أَنَّهُ لَوْ شَكَّ أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءً مَثَلًا فَنَوَاهُ إنْ كَانَ، وَإِلَّا فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ أَيْضًا وَحَصَلَ لَهُ الْقَضَاءُ بِتَقْدِيرِ وُجُودِهِ بَلْ، وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ عَلَيْهِ وَإِلَّا حَصَلَ لَهُ التَّطَوُّعُ كَمَا يَحْصُل لَهُ فِي مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ… وَبِهَذَا يُعْلَمُ أَنَّ الْأَفْضَلَ لِمُرِيدِ التَّطَوُّعِ بِالصَّوْمِ أَنْ يَنْوِيَ الْوَاجِبَ إنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالتَّطَوُّع، لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ إنْ كَانَ  Artinya: “Dari masalah wudhu ini (kasus orang yang yakin sudah hadats dan ragu sudah bersuci atau belum, lalu ia wudhu dengan niat menghilangkan hadats bila memang hadats, dan bila tidak maka niat memperbarui wudhu, maka sah wudhunya) dapat dipahami bahwa jika seseorang ragu memiliki kewajiban untuk mengqadha puasa misalnya, lantas ia berniat mengqadhanya bila memang punya kewajiban qadha puasa, dan jika tidak dengan niat puasa sunah maka niatnya juga sah, dan qadha puasanya bisa hasil dengan mengira-ngirakan kewajiban qadhanya.” (Ahmad bin Muhammad bin Ali Ibn Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra [Beirut: Al-Maktabah Al-Islamiyyah], vol. 2, h. 90) Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwasanya dalam tinjauan fiqih mazhab Syafi’i, tatkala seseorang memiliki keharusan qadha puasa Ramadhan yang terlewat namun tidak diketahui berapa jumlah pastinya, maka diharuskan untuk mengqadhanya hingga yakin sudah dilakukan semua. Sumber: https://www.arina.id/syariah/ar-UG6FS/cara-qadha-puasa-ramadhan-yang-tak-tahu-jumlah-pastinya?utm_source=chatgpt.com Kesimpulan: Jika lupa jumlah pasti, cukup qadha sesuai jumlah minimal yang diyakini. Jika masih mampu, menambah satu hari sebagai kehati-hatian akan lebih baik, tetapi tidak wajib. Jangan menunda-nunda pelaksanaan qadha puasa agar tidak menumpuk kewajiban.   12. Bagaimana konsekuensi hubungan intim di siang hari bulan Ramadhan? Perhatikan dalil tentang hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seks di siang hari bulan Ramadhan saat puasa disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, ia menyatakan, بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ» “Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak.” Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari, no. 1936 dan Muslim, no. 1111). Menurut mayoritas ulama, jimak bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qadha’, ditambah dengan menunaikan kafarat. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jimak oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun, yang jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafarat. Hukuman bagi yang berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan: a. Puasa batal b. Qadha’ puasa c. Berdosa d. Bayar kafarat besar e. Hukuman ta’zir (peringatan dari penguasa), jika ia belum bertaubat f. Wajib imsak (menahan diri dari pembatal puasa) untuk siang hari yang tersisa Kafarat besar yang mesti ditunaikan adalah: a. Memerdekakan seorang budak mukmin. b. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut. c. Jika tidak mampu, memberi makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin diberi satu mud (6 ons). Jika orang yang melakukan jimak di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafarat di atas, kafarat tersebut tidaklah gugur, tetap tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7:224. Catatan: Hubungan intim (jimak) walau tidak keluar mani tetaplah membatalkan puasa. (Fath Al-Mu’in, hlm. 296) Penjelasan lengkap tentang jimak siang hari Ramadhan ada di buku penulis: PANDUAN RAMADHAN KONTEMPORER, silakan pesan di Rumaysho Store.   13. Siapakah yang membayar kafarat besar ketika hubungan intim siang hari Ramadhan, suami saja ataukah suami dan istri? Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafarat, yang menanggung kafarat hanyalah suami. Dalam Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris (1:390), Syaikh Sami bin Muhammad Baasyakil menyebutkan, “Adapun wanita yang disetubuhi siang hari Ramadhan, maka wanita ini tidak wajib menunaikan kafarat. Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkan kepada suami untuk bayar kafarat, tidak pada istrinya walaupun mereka berdua berserikat dalam hubungan intim. Kalau memang istri harus ikut bayar kafarat besar, maka tentu akan dijelaskan dalam dalil, tidak ditunda penjelasan tersebut karena dibutuhkan. Karena kerugian harta terkait jimak itu seperti mahar, maka istri yang disetubuhi tidak terkena dalam hal ini.” Alasan lainnya, Al-Qadhi Husain berkata, “Puasa wanita yang disetubuhi di siang hari Ramadhan itu telah batal sebelum jimak itu terjadi. Karena kemaluan pria yang masuk pada kemaluan wanita (disebut jauf, rongga) itu sudah membatalkan puasa sama seperti tongkat yang masuk dalam jauf (rongga). Jika sebagian penis pria (tanpa keseluruhan) sudah masuk dalam vagina perempuan, maka puasa si wanita sudah batal. Padahal yang disebut jimak adalah jika keseluruhan penis pria sudah masuk pada vagina perempuan (ibaratnya: timba sudah masuk dalam sumur). Seandainya, ada jari yang dimasukkan dalam vagina perempuan, puasanya batal. Namun, jika awalnya hubungan seks dilakukan secara paksa (mukrohah), kemudian setelah itu si wanita melakukannya secara sukarela atau awalnya wanita ini dalam keadaan lupa, lalu ia ingat di tengah-tengah hubungan intim, maka saat ini puasa si wanita batal karena hubungan intim.” (Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris, 1:391) Penjelasan lengkap tentang jimak siang hari Ramadhan ada di buku penulis: PANDUAN RAMADHAN KONTEMPORER, silakan pesan di Rumaysho Store.   14. Bagaimana jika batal dulu dengan makan ataukah minum, lalu berhubungan intim dengan istri di siang hari Ramadhan? Abu Syuja’ rahimahullah berkata, وَمَنْ وَطِئَ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ عَامِدًا فِي الفَرْجِ فَعَلَيْهِ القَضَاءُ وَالكَفَّارَةُ وَهِيَ : عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ “Barangsiapa yang melakukan hubungan seks di siang hari Ramadhan secara sengaja di kemaluan, maka ia punya kewajiban menunaikan qadha’ dan kafarat. Bentuk kafaratnya adalah memerdekakan 1 orang budak beriman. Jika tidak didapati, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 orang miskin yaitu setiap satu orang miskin mendapatkan 1 mud.” Penulis kitab Fath Al-Qarib berkata, “Orang yang terkena hukuman di sini adalah mukalaf (baligh dan berakal) yang berniat berpuasa sejak malam hari. Ia terkena dosa karena melakukan hubungan seks di saat puasa.” Muhammad Al-Hishni dalam Kifayah Al-Akhyar berkata, “Siapa yang merusak puasa Ramadhannya dengan jimak (hubungan seks), maka dicatat baginya dosa.” Sedangkan bagi orang yang melakukan hubungan seks tersebut dalam keadaan lupa, puasanya tidaklah batal. Inilah pendapat yang dianut dalam madzhab Syafi’i. Adapun orang yang melakukan hubungan intim tersebut di siang hari Ramadhan, maka ia punya kewajiban menunaikan kafarat. Berbeda halnya dengan seseorang yang makan dan minum di siang hari Ramadhan, tidak ada kafarat dalam hal itu. Bagi orang yang ada keringanan tidak puasa, seperti seorang musafir, maka ia tidak mendapatkan dosa ketika ia niatkan untuk mengambil keringanan (rukhsah) dengan melakukan hubungan intim di siang hari. Demikian keterangan dalam Kifayah Al-Akhyar. Penulis pernah menanyakan pada Syaikh Dr. Amin bin Utsman di Markaz Tarim Al-Fiqhy Hadromaut Yaman–semoga Allah menjaga beliau dan memudahkan urusan beliau–, “Assalamu’alaikum. Wahai Syaikhuna Al-Habib, ahsanallahu ilaikum. Apakah ada kafarat jimak bagi orang yang sengaja membatalkan puasa dengan minum terlebih dahulu di siang hari Ramadhan lalu setelah itu ia mendatangi istrinya untuk melakukan jimak (hubungan intim)?” Jawab Syaikh Dr. Amin adalah sebagai berikut. وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته لا عليه كفارة لأنه وان وجب عليه الإمساك بعد أكله او شربه ليس لصحة صومه وإنما حرمة لنهار رمضان فالنص قصر الكفارة على الفطر بالجماع “Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh. Ia tidak terkena kafarat jimak. Walaupun imsak (menahan diri dari pembatal) itu wajib baginya setelah ia sengaja makan atau minum. Hal ini tidaklah menunjukkan puasanya sah, tetapi itulah larangan di siang hari Ramadhan. Adapun dalil menunjukkan bahwa kafarat jimak hanya berlaku karena hubungan intim di siang hari Ramadhan.” (Pesan WA pada 26-27 Februari 2024)   15. Bagaimana hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan? Dalil-dalil yang menunjukkan hukum mencium istri di siang hari Ramadhan adalah sebagai berikut. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ . وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: – فِي رَمَضَانَ – Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya padahal beliau sedang puasa. Beliau mencumbu istrinya padahal sedang puasa. Akan tetapi beliau mampu menahan syahwatnya.” Muttafaqun ‘alaih. Lafazhnya dari Muslim. Ditambahkan dalam riwayat lain, “Yaitu di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106) Baca juga: Mencium Istri Saat Puasa bgai yang Mampu Menahan Syahwat (Hadits Bulughul Maram) Dari ‘Umar Bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, هَشَشْتُ فَقَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ ، فَقُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ : صَنَعْت الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا ، قَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ .فَقَالَ : أَرَأَيْت لَوْ تَمَضْمَضْت مِنْ إنَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ؟ قُلْت : لَا بَأْسَ بِهِ ، قَالَ : فَمَهْ ؟ “(Suatu saat) aku rindu dan kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?” (HR. Abu Daud). Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan mencium dengan berkumur-kumur dari sisi sama-sama merupakan mukadimah syahwat. Berkumur-kumur tidak membatalkan puasa selama air tidak masuk. Jika masuk, maka batal. Baca juga: Mencium Istri Hingga Keluar Mani Rincian hukum terkait mubasyarah dengan istri Dimakruhkan mencium istri saat puasa. Jika khawatir sampai keluar mani, dihukumi haram. Mubasyarah atau mencumbu istri, bisa dengan perbuatan seperti mencium atau dengan melakukan mukadimah jimak/ hubungan intim. Jika mubasyarah dilakukan sampai keluar mani, puasa batal. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’, hlm. 172) Jika mencumbu sampai keluar mani, maka membatalkan puasa jika bersentuhan langsung (mubasyarah). Jika tidak bersentuhan langsung karena adanya pembatas, maka tidaklah membatalkan puasa. (Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris, 1:391) Jika memeluk istri atau menciumnya tanpa terjadi persentuhan badan secara langsung, di mana antara badan ada pembatas, lantas keluar mani, maka puasanya tidaklah batal karena tidak terjadi mubasyarah.   16. Apa hukum istri menolak ajakan suami berhubungan intim di siang hari Ramadhan? Apakah berdosa jika istri menolak? Hubungan intim di siang hari Ramadhan adalah perbuatan dosa. Sehingga menaati suami dalam hal dosa tidaklah diperkenankan. Bahkan syariat Islam melarang menaati seseorang dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ “Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari, no. 7257) Baca juga: Menaati pada yang Makruf Maka, sudah tepat jika istri menolak ajakan suami untuk berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan. Penolakan tersebut tidaklah dihukumi dosa.   17. Mimpi basah, memandang, berpikiran dan selain mubasyarah, keluar madzi apakah membatalkan puasa? Mimpi basah, memandang, dan berpikiran hingga keluar mani tidaklah membatalkan puasa. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297) Jika menyentuh mahram atau menyentuh rambut istri, lantas keluar mani, maka tidaklah membatalkan puasa karena wudhu sendiri tidaklah batal karena perbuatan ini. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297) Madzi yang keluar tidaklah membatalkan puasa. Demikian pendapat dalam madzhab Syafii yang bertentangan dengan pendapat dari madzhab Malikiyyah. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297)   18. Apa hukum suami melakukan onani dengan tangan istri, apakah puasanya batal? Dalam Fath Al-Mu’in (hlm. 297), Imam Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Malibari berkata, “Istimna’ (mengeluarkan mani dengan onani) baik dengan tangannya sendiri atau dengan tangan pasangannya (istrinya) atau karena bersentuhan yang membatalkan wudhu di mana menyentuhnya tanpa ada penghalang lalu keluar mani, maka termasuk pembatal puasa.”   19. Apa hukum wanita mencicipi makanan di siang hari Ramadhan? Dalam Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris (1:386), “Yang termasuk hal yang dimakruhkan saat puasa adalah dzauquth tho’aam (mencicipi atau merasakan makanan) karena dikhawatirkan bisa masuk ke jauf (rongga) dalam tubuh. Namun, sesuatu yang makruh dibolehkan ketika ada hajat (kebutuhan). Membantu mengunyah makanan seperti roti untuk anak kecil yang tidak bisa mencerna roti tersebut dengan baik atau untuk mentahnik (mengunyah agar lembut dan menaruh di langit-langit) dibolehkan hal yang makruh ini ketika butuh (ada hajat).” Baca juga: Mencicipi Makanan Ketika Berpuasa   20. Manakah yang lebih afdal, wanita shalat tarawih di masjid ataukah di rumah? Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ “Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya) Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutup aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang. Istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى “Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.) (HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan) Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا “Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”(HR. Muslim, no. 442) Baca juga: Shalat Wanita di Masjid ataukah di Rumah yang Lebih Afdal?   21. Apa hukum wanita ghibah (membicarakan jelek orang lain) di siang hari Ramadhan? Apakah puasanya batal? Apa itu ghibah telah dibicarakan dalam hadits berikut ini. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ » Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim, no. 2589). Ghibah kata Imam Nawawi adalah menyebutkan kejelekan orang lain di saat ia tidak ada saat pembicaraan. (Syarh Shahih Muslim, 16: 129). Kata seorang ulama tafsir, Masruq, “Ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek pada seseorang. Itu disebut mengghibah atau menggunjingnya. Jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar ada padanya, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian pula dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167). Dosa ghibah sudah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12) Dalam Kunuz Riyadhis Sholihin (18: 164) disebutkan, “Para ulama sepakat akan haramnya ghibah dan ghibah termasuk dosa besar.” Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fath Al-Qadir, 5:87) Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26:169). Baca juga:  Ghibah itu Dosa Besar? Ghibah itu Apa?   Perlu dipahami pula bahwa maksiat yang dilakukan di bulan Ramadhan itu lebih besar dosanya dibanding bila dilakukan di luar bulan Ramadhan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903). Perlu diingat bahwa ghibah itu dihukumi dosa baik saat berpuasa di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sehingga maksiat ghibah yang dilakukan tidak sampai membatalkan puasa karena tidak termasuk pembatal, tetapi masuk dalam pengurang kesempurnaan pahala puasa. Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Baari (6:129) mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya, “Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum, dan jimak (berhubungan intim).” Mulla ‘Ali Al-Qari rahimahullah dalam Mirqah Al-Mafaatih Syarh Misykah Al-Mashabih (6:308) berkata, “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.” Baca juga: Jangan Biarkan Puasa Sia-Sia   22. Apa hukum wanita berenang di siang hari Ramadhan? Rincian hukum renang sebagai berikut: Jika orang yang berenang punya sangkaan kuat bahwa air tidak akan sampai ke al-jauf (rongga) dari lubang mulut, hidung, atau telinga, maka tidaklah masalah berenang pada siang hari bulan Ramadhan karena tidak adanya larangan mengenai hal tersebut. Itulah yang dimaksud dengan fatwa makruhnya berenang saat berpuasa oleh ulama Syafiiyah karena khawatir masuknya air. Namun, jika air masuk ke dalam jauf (rongga) karena cara yang salah ketika berenang, puasanya batal, ia harus menahan diri pada sisa hari, dan puasanya harus diqadha’ bakda Ramadhan. Jika ada sangkaan kuat, air bisa masuk ke kerongkongan karena sebab berenang, maka jangan sampai ia membuat puasanya batal, karena jika melakukannya dan air masuk, puasanya batal, ia punya kewajiban qadha’ dan bertaubat. (Diambil dari Fatwa Lajnah Al-Ifta: https://www.aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2666#.Yh8Noy-l3f, diakses pada 2 Maret 2022, 13.30 WIB) Ringkasnya, yang tidak bisa berenang, maka jangan coba-coba berenang saat puasa.    23. Apakah wanita boleh melakukan iktikaf? Bagaimana caranya? Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا ، فَضَرَبَتْ خِبَاءً ، فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى الأَخْبِيَةَ فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « آلْبِرُّ تُرَوْنَ بِهِنَّ » . فَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada ‘Aisyah untuk mendirikan tenda, ‘Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beriktikaf dalam tenda, ia meminta untuk didirikan tenda, lalu didirikanlah tenda yang lain. Ketika di Shubuh hari lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat banyak tenda, lantas beliau bertanya, “Apa ini?” Beliau lantas diberitahu dan beliau bersabda, “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?” Beliau meninggalkan iktikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan beriktikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.” (HR. Bukhari, no. 2033). Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitab beliau Bulughul Maram, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan iktikaf. عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beriktikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari, no. 2026 dan Muslim, no. 1172) Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Jika wanita ingin melaksanakan iktikaf di masjid, maka hendaklah menutupi diri (dari pandangan laki-laki). Disyaratkan bagi wanita untuk berdiam di masjid selama tempat tersebut tidaklah mengganggu (menyempitkan) orang-orang yang shalat.” (Fath Al-Bari, 4:277) Baca juga: Apakah Wanita Boleh Iktikaf di Masjid? Cara lakukan iktikaf adalah di masjid yang diadakan shalat berjamaah (lebih bagus lagi diadakan shalat Jumat) dan waktu minimalnya tidaklah dibatasi. Seandainya iktikaf dilakukan di malam hari dan siangnya beraktivitas lain, masih dibolehkan. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Sedang kamu beriktikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beriktikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al-Muhalla, 5: 180. Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan iktikaf pada iktikaf yang sunnah atau iktikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al-Inshaf, 6:17) Baca juga: Iktikaf di Malam Hari, Siangnya Kerja   24. Apakah wanita boleh mengunjungi suami yang sedang beriktikaf di masjid? Jawabannya boleh berdasarkan hadits berikut ini. ‘Ali bin Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Shafiyyah binti Huyay—istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengabarkan padanya, أَنَّهَا جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ ، فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ ، فَقَامَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَعَهَا يَقْلِبُهَا ، حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلاَنِ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ لَهُمَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِىَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَىٍّ » . فَقَالاَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ . وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ ، وَإِنِّى خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِى قُلُوبِكُمَا شَيْئًا ‘ “Shafiyyah pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengunjungi beliau dan saat itu beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang-bincang dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa saat, kemudian ia berdiri dan hendak pulang. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan mengantarnya keluar. Ketika sampai pintu masjid, di pintu Ummu Salamah, ada dua orang Anshar lewat, maka keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan kepada keduanya, “Tak perlu kalian berdua tergesa-gesa, ini Shafiyyah binti Huyay.” Keduanya lantas mengucapkan, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” Mereka terheran dengan apa yang jadi jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah. Aku khawatir terdapat dalam diri kalian suuzhan (prasangka jelek).”  (HR. Bukhari, no. 2038 dan Muslim, no. 2175). Baca juga: Amalan Iktikaf   25. Apakah boleh wanita beriktikaf tanpa izin suaminya? Seharusnya wanita iktikaf dengan izin suami, bahkan bersama suami melakukan iktikaf sehingga aman baginya. Allah Ta’ala berfirman, وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al-Ahzab: 33). Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281) Baca juga: Kewajiban Istri   26. Apa solusi wanita yang mendapati haidh agar bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan? Yang jelas, wanita haidh dan nifas tidaklah boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an ketika ia haidh atau nifas. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini. عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni, no. 449. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’, no. 122). Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, ثُمَّ مَسُّ الْمُصْحَفِ يُشْتَرَطُ لَهُ الطَّهَارَةُ الْكُبْرَى وَالصُّغْرَى عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ وَكَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَهُوَ ثَابِتٌ عَنْ سَلْمَانَ وَسَعْدٍ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ “Menyentuh mushaf Al-Qur’an dipersyaratkan suci dari hadats besar dan hadats kecil. Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama) sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Qur’an, hadits, dan pendapat ini diketahui dari para sahabat seperti Salman, Sa’ad, dan sahabat lainnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 26: 200) Baca juga: Tidak Boleh Menyentuh Al-Qur’an Kecuali Orang yang Suci Namun, wanita haidh dan nifas masih boleh membaca mushaf Al-Qur’an tanpa menyentuhnya. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan dalam Majmu’ Fatawanya, “Wanita haidh dan nifas untuk diperbolehkan membaca Al-Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh dan nifas tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al-Qur’an (karena ada larangan mengenai hal ini). Kalau memang mau menyentuh Al-Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (misalnya: sarung tangan).” Baca juga: Hukum Membaca Al-Qur’an bagi Wanita Haidh Dua solusi bagi wanita haidh dan nifas yang ingin membaca Al-Qur’an adalah: a- Membaca mushaf saat haidh namun tidak menyentuh secara langsung b- Membaca Al-Qur’an terjemahan Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al-Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir, di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.” Jika yang disentuh adalah Al-Qur’an terjemahan dalam bahasa non-Arab, tidak disebut mushaf yang disyaratkan dalam hadits mesti menyentuhnya dalam keadaan suci. Namun kitab atau buku seperti itu disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu, tidak mengapa menyentuh Al-Qur’an terjemahan seperti itu karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al-Qur’an (tulisan Arab dari Al-Qur’an) lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, sudah sepatutnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats. Baca juga: Bagaimana Wanita Haidh Membaca Al-Qur’an?   27. Apa hukum wanita haidh membaca Al-Qur’an lewat handphone? Syaikh Prof. Dr. Khalid Al Musyaiqih–semoga Allah senantiasa menjaga dan memberkahi umur beliau–menjelaskan, “Handphone yang memiliki aplikasi Al-Qur’an atau berupa softfile, tidak dihukumi seperti hukum mushaf Al-Qur’an (di mana harus dalam keadaan bersuci ketika ingin menyentuhnya). Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan bersuci. Begitu pula handphone ini bisa dibawa masuk ke dalam kamar mandi karena aplikasi Al-Qur’an di dalamnya tidaklah seperti mushaf. Ia hanya berupa aplikasi yang ketika dibuka barulah tampak huruf-hurufnya, ditambah dengan suara jika di-play. Aplikasi Al-Qur’an tersebut akan tampak, tetapi jika beralih ke aplikasi lainnya, ia akan tertutup. Yang jelas aplikasi tersebut tidak terus ON (ada atau nyala). Bahkan dalam handphone tersebut bukan hanya ada aplikasi Al-Qur’an saja, ada aplikasi lainnya pula. Ringkasnya, handphone tersebut dihukumi seperti mushaf ketika aplikasinya dibuka dan ayat-ayat Al-Qur’an terlihat. Namun lebih hati-hatinya, aplikasi Al-Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir handphone-nya saja. Wallahu a’lam.” (Fiqh An-Nawazil fi Al-‘Ibadah, Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Penerbit Maktabah Ar Rusyd, Cetakan pertama, Tahun 1433 H, hlm. 76). Baca juga: Menyentuh Handphone yang Terdapat Aplikasi Al-Qur’an Saat Tidak Suci   28. Apakah wanita haidh bisa mendapatkan lailatul qadar? Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir, dan orang yang tidur (tetapi hatinya tidak lalai dalam dzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 341) Baca juga: Tanpa Melakukan Iktikaf Masih Bisa Mendapatkan Lailatul Qadar   29. Istri apakah harus membayar zakat fitrah sendiri ataukah dibayarkan suami?   30. Jika istri memiliki harta sendiri, apakah harus bayar zakat maal sendiri?   31. Apakah tas branded milik istri terkena kewajiban zakat?   32. Apakah dana haji yang telah disetorkan ke Kementrian Agama tetap dimasukkan dalam hitungan zakat?   33. Jika istri memiliki penghasilan, apakah membayar zakatnya setiap bulan sebagaimana zakat profesi ataukah cukup setiap tahun saat haul dari simpanan? Baca juga: Kritikan pada Zakat Profesi   34. Apa hukum mudik wanita sendirian tanpa ditemani mahram?   35. Apa hukum menghadiri shalat Idulfitri bagi wanita haidh?     – JIka ada pertanyaan lainnya yang belum tertulis di atas, silakan tuliskan dalam kolom komentar. Semoga bisa sampai 50+ masalah yang akan dijawab.     –   Mulai disusun dari Senin, 16 Syakban 1445 H, 26 Februari 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsfikih wanita wanita di bulan Ramadhan wanita ramadhan
Ini adalah berbagai masalah wanita di bulan Ramadhan yang sering ditanyakan. Masalah yang dikumpulkan moga mencapai 50 lebih masalah. Semoga bisa memberikan jawaban memuaskan dengan pertolongan Allah.   Daftar Isi tutup 1. 1. Apabila wanita mendapati haidh menjelang berbuka puasa, apakah puasanya batal? 1.1. Buka puasa dalam keadaan ragu keluar haidh 2. 2. Bagaimana jika wanita mendapati flek saat puasa? Apakah puasanya batal? 3. 3. Berapa lama waktu minimal disebut haidh? 4. 4. Bagaimana hukum mengonsumsi obat penunda haidh agar lancar puasa? 5. 5. Kapan mandi setelah malamnya suci dari haidh atau malamnya junub, apakah sebelum ataukah sesudah masuk Shubuh? 6. 6. Bagaimana jika masuk Ashar sudah suci dari haidh, apakah mesti mengqadha’ shalat Zhuhur? 7. 7. Apa hukum puasa bagi wanita hamil dan menyusui? Apakah penggantinya mesti qadha’ ataukah hanya fidyah saja? 8. 8. Bagaimana cara bayar fidyah? 8.1. Bentuk fidyah 8.2. Waktu pembayaran fidyah 9. 9. Bagaimana cara qadha’ puasa bagi wanita? 9.1. Beberapa catatan tentang qadha puasa 10. 10. Bagaimana jika qadha’ puasa Ramadhan belum lunas sampai Ramadhan berikutnya? 11. 11. Bagaimana jika memiliki qadha’ puasa Ramadhan, tetapi lupa berapa jumlahnya? 12. 12. Bagaimana konsekuensi hubungan intim di siang hari bulan Ramadhan? 13. 13. Siapakah yang membayar kafarat besar ketika hubungan intim siang hari Ramadhan, suami saja ataukah suami dan istri? 14. 14. Bagaimana jika batal dulu dengan makan ataukah minum, lalu berhubungan intim dengan istri di siang hari Ramadhan? 15. 15. Bagaimana hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan? 15.1. Rincian hukum terkait mubasyarah dengan istri 16. 16. Apa hukum istri menolak ajakan suami berhubungan intim di siang hari Ramadhan? Apakah berdosa jika istri menolak? 17. 17. Mimpi basah, memandang, berpikiran dan selain mubasyarah, keluar madzi apakah membatalkan puasa? 18. 18. Apa hukum suami melakukan onani dengan tangan istri, apakah puasanya batal? 19. 19. Apa hukum wanita mencicipi makanan di siang hari Ramadhan? 20. 20. Manakah yang lebih afdal, wanita shalat tarawih di masjid ataukah di rumah? 21. 21. Apa hukum wanita ghibah (membicarakan jelek orang lain) di siang hari Ramadhan? Apakah puasanya batal? 22. 22. Apa hukum wanita berenang di siang hari Ramadhan? 23. 23. Apakah wanita boleh melakukan iktikaf? Bagaimana caranya? 24. 24. Apakah wanita boleh mengunjungi suami yang sedang beriktikaf di masjid? 25. 25. Apakah boleh wanita beriktikaf tanpa izin suaminya? 26. 26. Apa solusi wanita yang mendapati haidh agar bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan? 27. 27. Apa hukum wanita haidh membaca Al-Qur’an lewat handphone? 28. 28. Apakah wanita haidh bisa mendapatkan lailatul qadar? 29. 29. Istri apakah harus membayar zakat fitrah sendiri ataukah dibayarkan suami? 30. 30. Jika istri memiliki harta sendiri, apakah harus bayar zakat maal sendiri? 31. 31. Apakah tas branded milik istri terkena kewajiban zakat? 32. 32. Apakah dana haji yang telah disetorkan ke Kementrian Agama tetap dimasukkan dalam hitungan zakat? 33. 33. Jika istri memiliki penghasilan, apakah membayar zakatnya setiap bulan sebagaimana zakat profesi ataukah cukup setiap tahun saat haul dari simpanan? 34. 34. Apa hukum mudik wanita sendirian tanpa ditemani mahram? 35. 35. Apa hukum menghadiri shalat Idulfitri bagi wanita haidh? 1. Apabila wanita mendapati haidh menjelang berbuka puasa, apakah puasanya batal? Di antara syarat sah puasa adalah suci dari haidh dan nifas pada keseluruhan siang (dari terbit Fajar Shubuh hingga tenggelam matahari). Maka jika beberapa menit menjelang berbuka diketahui dengan yakin darah haidh atau nifas keluar, maka puasanya batal. Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.” Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا » “Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.” Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqadha puasa di hari lainnya. Dalilnya adalah, عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim, no. 335)   Buka puasa dalam keadaan ragu keluar haidh Bagaimana jika ada wanita yang masuk waktu Maghrib (buka puasa) dalam keadaan ragu apakah haidh yang ia temui saat Maghrib keluarnya sebelum buka puasa ataukah sesudahnya? Misal kebiasaan haidhnya hari tersebut, jam 4 sore ketika dicek tidak keluar darah haidh. Saat berbuka puasa (jam 6) baru ketahuan darah haidh ada. Kalau ternyata keluar sebelumnya, tentu saja puasanya jadi batal dan harus diganti di hari yang lain. Sedangkan kalau darah haidh keluar ketika waktu berbuka tiba, puasanya berarti tidak diqadha’. Jawabannya untuk masalah ini adalah pegang yang yakin dan tinggalkan yang ragu-ragu. Dalam kaidah fikih disebutkan, ِّاليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّك. “Yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.” Baca juga: Ragu Tidak Bisa Mengalahkan yang Yakin Ada pertanyaan yang diajukan pada Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah, “Aku pernah tertidur pada suatu hari di bulan Ramadhan sebelum Ashar. Dan aku barulah bangun ketika azan Isya. Saat Isya itu aku dapati dalam keadaan haidh. Apakah puasaku sah?” Jawaban yang diberikan oleh Syaikh ‘Abdurrahman, “Alhamdulillah, puasamu tetap sah. Karena kita tidak bisa pastikan haidh itu datang sebelum Maghrib. Keadaan sebelum matahari tenggelam apakah keluar darah haidh ataukah tidak adalah keadaan yang meragukan. Hukum asalnya, waktu sebelum tenggelam matahari tadi masih dalam keadaan suci. Hal ini sama halnya seperti seseorang yang shalat Shubuh kemudian tidur. Lalu ia dapati bekas junub saat bangun yaitu mendapati mani. Yang yakin, mani tersebut keluar setelah shalat Shubuh. Dalam kondisi ini, tidak wajib baginya mengulangi shalat Shubuh. Wallahu a’lam.” Fatwa Syaikh Al-Barrak tanggal, 24/9/1434 diambil dari status telegram beliau hafizahullah. Baca juga: Sebelum Berbuka Masih Suci, Waktu Isyak Dicek Mengalami Haidh, Puasanya Apakah Sah? Ada penjelasan sebagai berikut, “Setiap yang meragukan dianggap seperti tidak ada. Setiap sebab yang kita ragukan kapan munculnya, maka tidak ada hukum pada yang akibatnya. Sebab tersebut seperti sesuatu yang dipastikan tidak ada, maka tidak dikenakan hukum ketika itu. Begitu pula setiap syarat yang diragukan keberadaannya, maka dianggap seperti tidak ada sehingga tidak diterapkan hukum untuknya. Begitu pula setiap mani’ (penghalang) yang diragukan keberadaannya, dianggap seperti tidak ada. Hukum baru ada apabila sebab itu ada. Perlu diketahui, kaedah ini disepakati secara umum.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 4:94, Asy-Syamilah) Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa keadaan yang yakin yang dipegang adalah masih dalam keadaan suci. Sedangkan keadaan ragu-ragu adalah dalam keadaan tidak suci. Sehingga ketika berbuka baru didapati darah haidh dan tidak diketahui keluarnya baru saja ataukah sebelum berbuka puasa, maka keadaan yang dipegang adalah keadaan suci. Baca juga: Buka Puasa dalam Keadaan Ragu Keluar Darah Haidh Ringkasnya: Mendapati haidh sebelum berbuka puasa dalam keadaan YAKIN, puasa batal, maka harus diqadha’. Mendapati haidh sebelum berbuka puasa dalam keadaan RAGU-RAGU dan YAKIN-nya didapati setelah berbuka puasa, maka puasa sah, tidak perlu ada qadha’.   2. Bagaimana jika wanita mendapati flek saat puasa? Apakah puasanya batal? Bagi wanita yang berhalangan untuk puasa karena haidh tersebut, ia punya kewajiban untuk mengqadha’ puasa di hari lain. Ada kaidah dari Syaikh As-Sa’di dalam kitabnya Manhaj As-Salikin sebagai berikut: a. Flek yang keluar di masa kebiasaan haidh sebelum darah haidh keluar, ditambah jika terasa nyeri, maka terhitung sebagai DARAH HAIDH. b. Flek yang keluar di luar masa kebiasaan haidh, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH. c. Flek yang keluar setelah darah haidh dan masih bersambung, maka dianggap DARAH HAIDH. d. Flek yang keluar setelah suci (setelah darah haidh berhenti total), tetapi setelah beberapa hari keluar flek lagi, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH. Kesimpulan kaidah: Jika flek keluar bersambung sebelum atau sesudah haidh dihukumi sebagai darah haidh. Jika flek keluar tidak bersambung dengan haidh, maka dihukumi bukan darah haidh. Kalau dianggap HAIDH, maka tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa. Kalau dianggap bukan darah HAIDH, maka tetap diperintahkan shalat dan puasa. Baca juga: Hukum Wanita Mendapati Flek Saat Puasa   3. Berapa lama waktu minimal disebut haidh? Tanda haidh berhenti adalah dengan munculnya di antara dua tanda berikut: (a) qashshatul baydha’ (cairan putih), (b) jufuf (kering). Menurut pendapat Syaikh As-Sa’di dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, lamanya darah haidh: (a) minimalnya tidaklah dibatasi, (b) maksimalya juga tidak dibatasi. Jika keluar darah haidh walau kurang dari sehari dan itu adalah ciri darah haidh, maka dihukumi sebagai darah haidh. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam Manhajus Salikin, ِّوَالْأَصْلُ فِي اَلدَّمِ اَلَّذِي يُصِيبُ اَلْمَرْأَةَ: أَنَّهُ حَيْضٌ، بِلَا حَدٍ لِسِنِّه، وَلَا قَدَرِهِ، وَلاَ تَكَرُّرِهِ ِّإِلَّا إِنْ أَطْبَقَ اَلدَّمُ عَلَى اَلْمَرْأَةِ، أَوْ صَارَ لَا يَنْقَطِعُ عَنْهَا إِلَّا يَسِيرًا فَإِنَّهَا تَصِيرُ مُسْتَحَاضَة Hukum asal pada darah yang didapati wanita adalah haidh, tanpa dibatasi usia, kadar lama, maupun pengulangannya. Kecuali bila darah tersebut keluar begitu banyak pada wanita atau darah tersebut tidak berhenti kecuali sedikit (sebentar), maka dihukumi sebagai darah istihadhah. Baca juga: Dalil tentang Fikih Haidh dari Bulughul Maram Dibahas Tuntas Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Menurut pendapat yang paling kuat, tidak ada batasan minimal atau maksimal lamanya masa haid. Karena Allah Ta’ala berfirman, ِّوَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222). Dalam ayat ini perintah untuk menjauhi wanita di masa haidnya tidak diberikan batasan waktu tertentu. Pokoknya wanita itu baru bisa disetubuhi jika telah suci (darah berhenti, lalu mandi, pen.). Sebab hukum dalam ayat adalah ada tidaknya darah haid. Jika didapati haid, maka tidak boleh menyetubuhi istri. Namun jika telah suci, maka hilanglah hukum larangan tadi. Menetapkan masa lamanya haid dengan waktu tertentu tidaklah berdasarkan dalil. Padahal hal tersebut sangat perlu sekali dijelaskan (di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.). Jika ada batasan umur wanita mendapati haid dan jangka waktu lamanya haid, maka tentu akan dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya, jika wanita melihat darah yang sudah dikenal sebagai darah haid, maka dihukumi sebagai haid tanpa dikaitkan dengan lama waktunya. Kecuali kalau darah yang keluar pada wanita tersebut mengalir terus tidak terputus atau dalam sebulan hanya berhenti singkat selama sehari atau dua hari, maka darah tersebut dihukumi darah istihadhah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 11: 271. Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 65570) Baca juga: Bisakah Lama Haidh Kurang dari Sehari   4. Bagaimana hukum mengonsumsi obat penunda haidh agar lancar puasa? Dalam Al-Mughni (1:450), Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, ‘Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).’” Syaikh Abu Malik–penulis kitab Shahih Fiqh As-Sunnah–menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qadha’ baginya. Wallahu a’lam.” (Shahih Fiqh As-Sunnah, 2:128) Baca juga: Hukum Menggunakan Obat Penghalang Haidh Saat Puasa   5. Kapan mandi setelah malamnya suci dari haidh atau malamnya junub, apakah sebelum ataukah sesudah masuk Shubuh? Disunnahkan dalam puasa Ramadhan, orang yang berhadats besar melakukan mandi besar (mandi wajib) sebelum masuk Shubuh. Walaupun jika mandi setelah masuk Shubuh, masih dibolehkan. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Muslim, no. 1109) Dalil lainnya bolehnya masuk Shubuh dalam keadaan junub adalah ayat, أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang berhubungan dengan istrinya sebelum Shubuh dan ketika masuk Shubuh, ia masih dalam keadaan junub, maka ia masih boleh melakukan puasa. Karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkan mubasyaroh (mencumbu istri) hingga terbit fajar, lalu perintahkan untuk berpuasa, maka ini menunjukkan bahwa boleh saja seseorang yang hendak berpuasa masuk shubuh dalam keadaan junub.” (Al-Majmu’, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 6:303) Baca juga: Masuk Shubuh dalam Keadaan Junub Sahkah Puasanya?   6. Bagaimana jika masuk Ashar sudah suci dari haidh, apakah mesti mengqadha’ shalat Zhuhur? Jika wanita suci pada waktu Ashar, ia cukup mengerjakan shalat Ashar tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Begitu pula jika wanita suci pada waktu Isyak, ia cukup mengerjakan shalat isyak tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Alasannya adalah hadits berikut. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Barang siapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608) Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan, seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat Ashar saja, tidak lagi shalat Zhuhur. Faedah dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin kaitannya dengan wanita haidh: Jika wanita haidh telah suci, lalu masih bisa mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia punya kewajiban untuk melaksanakan shalat. Sebagian ulama berpandangan pula kalau wanita datang haidh padahal sudah masuk waktu shalat dan ia bisa dapati satu rakaat, maka jika suci, ia tetap mengqadha shalat. Baca juga: Suci Haidh pada Waktu Ashar, Apakah Tetap Qadha Shalat Zhuhur?   7. Apa hukum puasa bagi wanita hamil dan menyusui? Apakah penggantinya mesti qadha’ ataukah hanya fidyah saja? Hukum terkait wanita hamil dan menyusui rinciannya sebagai berikut: a. Wanita hamil dan menyusui jika tidak berat menjalankan puasa, ia tidak khawatir bahaya pada dirinya atau pada bayi atau janinnya, maka wanita hamil dan menyusui hendaklah tetap berpuasa. b. Wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada dirinya, kewajibannya adalah qadha’, tanpa fidyah sebagaimana orang sakit. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui yang khawatir pada dirinya dan anaknya sekaligus. c. Wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada anaknya saja, misalnya takut keguguran atau kekurangan ASI sehingga bisa bermasalah pada anak, maka kewajibannya adalah qadha’ dan fidyah. d. Wanita hamil dan menyusui yang tidak mampu berpuasa terus menerus, kewajibannya adalah fidyah. Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh salat (salat empat rakaat menjadi dua rakaat), juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, 5: 29; Ibnu Majah, no. 1667; Tirmidzi, no. 715; dan An-Nasa’i, no. 2277. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya). Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah adalah hadits berikut. عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata mengenai ayat, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. Itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah tua renta yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui, jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud, no. 2318 dan Al-Baihaqi, 4: 230). Baca juga: Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin tentang Apakah Wanita Cukup Fidyah Saja Tanpa Qadha’?   8. Bagaimana cara bayar fidyah? Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا “(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 4505).   Bentuk fidyah a. Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa). Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih. b. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk. Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumthi’, 2:22. Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari. Lihat penjelasan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, no. 1447, 10:198. Al-Mawardi rahimahullah mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” (Al-Inshaf, 5:383).   Waktu pembayaran fidyah a. Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah berada di usia senja. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih. b. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah bolehkah mempercepat pembayaran fidyah ataukah tidak untuk yang sudah tua renta atau yang menderita sakit menahun yang sulit diharapkan sembuhnya. Tentang hal ini Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa sepakat ulama madzhab Syafii menyatakan tidak bolehnya mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk Ramadhan. c. Adapun mempercepat pembayaran fidyah setelah terbit fajar Shubuh setiap harinya dibolehkan. d. Mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk fajar Shubuh di bulan Ramadhan juga masih diperbolehkan. Pendapat ini dipilih oleh Ad-Darimi kata Imam Nawawi. e. Berarti tidak masalah memajukan fidyah untuk satu hari saja, tidak untuk dua hari atau lebih. Inilah pendapat madzhab Syafii. Imam Al-Khatib Asy-Syirbini mengatakan, “Tidak dibolehkan untuk wanita hamil dan menyusui memajukan fidyah dua hari atau lebih dari waktu berpuasa. Sebagaimana tidak boleh memajukan zakat untuk dua tahun. Namun, kalau memajukan fidyah untuk hari itu dibayar pada hari tersebut atau pada malamnya, seperti itu dibolehkan.” (Mughni Al-Muhtaj, 2:176) f. Waktu akhir penunaian fidyah tidak dibatasi. Fidyah tidak mesti ditunaikan pada bulan Ramadhan, bisa pula ditunaikan bakda Ramadhan. Ayat yang menyariatkan fidyah (QS. Al-Baqarah: 184) tidaklah menetapkan waktu tertentu sebagai batasan. Fidyah ditunaikan sesuai kelapangan, walau ditunda beberapa tahun. Penjelasan lengkap tentang fidyah ada di buku penulis: FIKIH BULAN SYAWAL, silakan pesan di Rumaysho Store.   9. Bagaimana cara qadha’ puasa bagi wanita? Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Beberapa catatan tentang qadha puasa Pertama: Qadha’ Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala, أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61) Kedua: Qadha’ puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan. Ketiga: Tidak wajib membayar qadha’ puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum, فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih). Keempat: Qadha’ puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum Shubuh) sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan. Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari. Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ “Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan Ibnu Majah no. 1700. Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu’—sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—ataukah mauquf—hanya sampai pada sahabat–. Yang menyatakan hadits ini marfu’ adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauquf adalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20). Adapun puasa sunnah (seperti puasa Syawal) boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini. عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim, no. 1154). Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bolehnya berniat di siang hari sebelum zawal untuk puasa sunnah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa ada uzur. Namun, yang lebih baik adalah menyempurnakannya.” Imam Nawawi juga berkata, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunnah boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 32-33). Kelima: Ketika ada yang melakukan qadha’ puasa lalu berhubungan intim di siang harinya, maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha’ disertai dengan taubat. Kafarat berat (yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang miskin, pen.) hanya berlaku untuk puasa Ramadhan saja. Penjelasan lengkap tentang qadha’ puasa ada di buku penulis: FIKIH BULAN SYAWAL, silakan pesan di Rumaysho Store.   10. Bagaimana jika qadha’ puasa Ramadhan belum lunas sampai Ramadhan berikutnya? Jika ia mengetahui bahwa diharamkan kalau mengakhirkan qadha’ puasa hingga Ramadhan berikut, lalu tidak tahu akan wajibnya fidyah, ia tidak dianggap mendapatkan uzur. Ia wajib menunaikan qadha’ dan fidyah sekaligus. Fidyah akan berlipat ganda sesuai hitungan tahun yang tertunda qadha’-nya. Jika tidak mampu karena bersafar atau sakit terus menerus (uzur puasa terus menerus ada) hingga datang bulan Ramadhan berikutnya atau ia menunda puasa karena tidak tahu kalau mengakhirkan itu diharamkan, padahal ia sudah sering bergaul dengan ulama, kewajibannya adalah qadha’ saja. Penjelasan ini diambil dari bahasan kitab Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja’ karya As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syathiri.   11. Bagaimana jika memiliki qadha’ puasa Ramadhan, tetapi lupa berapa jumlahnya? Apabila seorang wanita lupa jumlah pasti hari puasa Ramadhan yang harus diqadha, maka ia wajib mengqadha puasa dengan jumlah yang diyakini paling sedikit dari hari yang terlewat. Prinsip yang digunakan adalah “keyakinan lebih didahulukan daripada keraguan.” Kaidah fikih yang relevan dalam kasus ini adalah: “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan” (الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ). Langkah-langkah yang dapat dilakukan: Menghitung semampunya: Ingat kembali kondisi saat itu—berapa lama haidh atau nifas yang dialami, atau kondisi yang membuat tidak berpuasa. Mengambil jumlah minimal: Jika tetap ragu antara dua angka (misalnya, 7 hari atau 8 hari), ambillah jumlah minimal (dalam kasus ini, 7 hari). Menambah ihtiyath (kehati-hatian): Apabila memungkinkan, lebih baik menambahkan satu hari sebagai bentuk kehati-hatian, meskipun tidak wajib. Para ulama membahagikan kaedah penentuan bilangan hari untuk puasa qadha’ kepada dua iaitu tahdididan taqribi. Tahdidi bererti menentukan dengan tepat bilangan hari yang ditinggalkan, manakala taqribiialah menggunakan anggaran berapa hari yang ditinggalkan kerana seseorang itu lupa berapa hari puasa yang telah dia tinggalkan. Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menyatakan: إذا كَثرَت الْفوائتُ عليهِ يتشاغلُ بالقضَاء فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ قَدْرَ مَا عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعِيدُ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ Maksudnya: “Apabila tanggungan ibadahnya yang sangat banyak, dia wajib terus-menerus melakukan qada’. Jika dia tidak tahu berapa jumlah hari yang menjadi kewajipan puasanya, maka dia wajib mengulang-ulang qada’ puasa sampai dia yakin telah menggugurkan seluruh tanggungannya.” (Lihat al-Mughni, 1/439) Ibn Qudamah menukilkan kata-kata Imam Ahmad dalam satu riwayat yang salih, berkenaan seseroang yang meninggalkan solat dan lupa berapa banyak yang ditinggalkannya: يُعِيدُ حَتَّى لَا يَشُكَّ أَنَّهُ قَدْ جَاءَ بِمَا قَدْ ضَيَّعَ وَيَقْتَصِرُ عَلَى قَضَاءِ الْفَرَائِضِ Maksudnya: “Dia hendaklah ulang-ulang sampai dia tidak meragui lagi bahawa dia telah melakukan apa yang telah dia lalaikan. Dia hanya melakukan yang wajib sahaja.” Guru kami, Syeikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Shinqiti menjelaskan kaedah penentuan secara taqribi ini ialah dengan bertanya kepada seseorang itu seperti ini: “Adakah telah tinggalkan 50 hari?” “Terlalu sedikit” “90 hari?” “Terlalu banyak” Maka jumlah taqribi nya ialah 75 hari. Berkenaan dengan fidyah, hendaklah seseorang itu berusaha mengqadha’kan puasanya setiap hari yang mungkin terlebih dahulu. Ini lebih bersifat ihtiyati (berhati-hati) dalam urusan agama berbanding terus membenarkan membayar fidyah sehingga mengabaikan tuntutan qadha’. Syekh Abdul Hamid Asy-Syirwani (wafat 1301 H) dalam anotasinya menjelaskan:   وَلَوْ عَلِمَ أَنَّهُ صَامَ بَعْضَ اللَّيَالِيْ وَبَعْضَ الْأَيَّامِ وَلَمْ يَعْلَمْ مِقْدَارَ الْأَيَّامِ الَّتِيْ صَامَهَا فَظَاهِرٌ أَنَّهُ يَأْخُذُ بِالْيَقِينِ فَمَا تَيَقَّنَهُ مِنْ صَوْمِ الْأَيَّامِ أَجْزَأَهُ وَقَضَى مَا زَادَ عَلَيْهِ Artinya: “Apabila terdapat seseorang yang mengetahui bahwa dirinya berpuasa sebagian jatuh pada malam hari (karena tinggal di daerah yang tidak diketahui batas siang dan malamnya), dan sebagian jatuh pada siang hari. Sedangkan dia tidak mengetahui jumlah puasa yang dikerjakan pada siang harinya, maka menurut pendapat yang jelas orang itu wajib mengambil hitungan yang diyakininya, maka hitungan puasa siang hari yang diyakininya itu cukup baginya (untuk dijadikan jumlah puasa siang harinya) dan wajib mengqadha’ sisa puasa yang dilakukan pada malam harinya.” (Abdul Hamid Asy-Syirwani, Hawasyi Asy-Syarwani wa Ibn Qasim Al-‘Ubadi [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra], vol. 3, h. 396) Sementara itu, Imam Ibn Hajar Al-Haitami (wafat 976 H) lebih menganjurkan agar orang yang lupa jumlah beban puasanya untuk memperbanyak puasa sunah dengan niatan mengqadha tanggungan puasa Ramadhan. Imam Ibn Hajar Al-Haitami melalui fatwanya menganalogikan persoalan keraguan qadha puasa ini sebagaimana dalam konteks wudhu: وَيُؤْخَذُ مِنْ مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ هَذِهِ أَنَّهُ لَوْ شَكَّ أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءً مَثَلًا فَنَوَاهُ إنْ كَانَ، وَإِلَّا فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ أَيْضًا وَحَصَلَ لَهُ الْقَضَاءُ بِتَقْدِيرِ وُجُودِهِ بَلْ، وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ عَلَيْهِ وَإِلَّا حَصَلَ لَهُ التَّطَوُّعُ كَمَا يَحْصُل لَهُ فِي مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ… وَبِهَذَا يُعْلَمُ أَنَّ الْأَفْضَلَ لِمُرِيدِ التَّطَوُّعِ بِالصَّوْمِ أَنْ يَنْوِيَ الْوَاجِبَ إنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالتَّطَوُّع، لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ إنْ كَانَ  Artinya: “Dari masalah wudhu ini (kasus orang yang yakin sudah hadats dan ragu sudah bersuci atau belum, lalu ia wudhu dengan niat menghilangkan hadats bila memang hadats, dan bila tidak maka niat memperbarui wudhu, maka sah wudhunya) dapat dipahami bahwa jika seseorang ragu memiliki kewajiban untuk mengqadha puasa misalnya, lantas ia berniat mengqadhanya bila memang punya kewajiban qadha puasa, dan jika tidak dengan niat puasa sunah maka niatnya juga sah, dan qadha puasanya bisa hasil dengan mengira-ngirakan kewajiban qadhanya.” (Ahmad bin Muhammad bin Ali Ibn Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra [Beirut: Al-Maktabah Al-Islamiyyah], vol. 2, h. 90) Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwasanya dalam tinjauan fiqih mazhab Syafi’i, tatkala seseorang memiliki keharusan qadha puasa Ramadhan yang terlewat namun tidak diketahui berapa jumlah pastinya, maka diharuskan untuk mengqadhanya hingga yakin sudah dilakukan semua. Sumber: https://www.arina.id/syariah/ar-UG6FS/cara-qadha-puasa-ramadhan-yang-tak-tahu-jumlah-pastinya?utm_source=chatgpt.com Kesimpulan: Jika lupa jumlah pasti, cukup qadha sesuai jumlah minimal yang diyakini. Jika masih mampu, menambah satu hari sebagai kehati-hatian akan lebih baik, tetapi tidak wajib. Jangan menunda-nunda pelaksanaan qadha puasa agar tidak menumpuk kewajiban.   12. Bagaimana konsekuensi hubungan intim di siang hari bulan Ramadhan? Perhatikan dalil tentang hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seks di siang hari bulan Ramadhan saat puasa disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, ia menyatakan, بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ» “Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak.” Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari, no. 1936 dan Muslim, no. 1111). Menurut mayoritas ulama, jimak bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qadha’, ditambah dengan menunaikan kafarat. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jimak oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun, yang jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafarat. Hukuman bagi yang berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan: a. Puasa batal b. Qadha’ puasa c. Berdosa d. Bayar kafarat besar e. Hukuman ta’zir (peringatan dari penguasa), jika ia belum bertaubat f. Wajib imsak (menahan diri dari pembatal puasa) untuk siang hari yang tersisa Kafarat besar yang mesti ditunaikan adalah: a. Memerdekakan seorang budak mukmin. b. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut. c. Jika tidak mampu, memberi makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin diberi satu mud (6 ons). Jika orang yang melakukan jimak di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafarat di atas, kafarat tersebut tidaklah gugur, tetap tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7:224. Catatan: Hubungan intim (jimak) walau tidak keluar mani tetaplah membatalkan puasa. (Fath Al-Mu’in, hlm. 296) Penjelasan lengkap tentang jimak siang hari Ramadhan ada di buku penulis: PANDUAN RAMADHAN KONTEMPORER, silakan pesan di Rumaysho Store.   13. Siapakah yang membayar kafarat besar ketika hubungan intim siang hari Ramadhan, suami saja ataukah suami dan istri? Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafarat, yang menanggung kafarat hanyalah suami. Dalam Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris (1:390), Syaikh Sami bin Muhammad Baasyakil menyebutkan, “Adapun wanita yang disetubuhi siang hari Ramadhan, maka wanita ini tidak wajib menunaikan kafarat. Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkan kepada suami untuk bayar kafarat, tidak pada istrinya walaupun mereka berdua berserikat dalam hubungan intim. Kalau memang istri harus ikut bayar kafarat besar, maka tentu akan dijelaskan dalam dalil, tidak ditunda penjelasan tersebut karena dibutuhkan. Karena kerugian harta terkait jimak itu seperti mahar, maka istri yang disetubuhi tidak terkena dalam hal ini.” Alasan lainnya, Al-Qadhi Husain berkata, “Puasa wanita yang disetubuhi di siang hari Ramadhan itu telah batal sebelum jimak itu terjadi. Karena kemaluan pria yang masuk pada kemaluan wanita (disebut jauf, rongga) itu sudah membatalkan puasa sama seperti tongkat yang masuk dalam jauf (rongga). Jika sebagian penis pria (tanpa keseluruhan) sudah masuk dalam vagina perempuan, maka puasa si wanita sudah batal. Padahal yang disebut jimak adalah jika keseluruhan penis pria sudah masuk pada vagina perempuan (ibaratnya: timba sudah masuk dalam sumur). Seandainya, ada jari yang dimasukkan dalam vagina perempuan, puasanya batal. Namun, jika awalnya hubungan seks dilakukan secara paksa (mukrohah), kemudian setelah itu si wanita melakukannya secara sukarela atau awalnya wanita ini dalam keadaan lupa, lalu ia ingat di tengah-tengah hubungan intim, maka saat ini puasa si wanita batal karena hubungan intim.” (Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris, 1:391) Penjelasan lengkap tentang jimak siang hari Ramadhan ada di buku penulis: PANDUAN RAMADHAN KONTEMPORER, silakan pesan di Rumaysho Store.   14. Bagaimana jika batal dulu dengan makan ataukah minum, lalu berhubungan intim dengan istri di siang hari Ramadhan? Abu Syuja’ rahimahullah berkata, وَمَنْ وَطِئَ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ عَامِدًا فِي الفَرْجِ فَعَلَيْهِ القَضَاءُ وَالكَفَّارَةُ وَهِيَ : عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ “Barangsiapa yang melakukan hubungan seks di siang hari Ramadhan secara sengaja di kemaluan, maka ia punya kewajiban menunaikan qadha’ dan kafarat. Bentuk kafaratnya adalah memerdekakan 1 orang budak beriman. Jika tidak didapati, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 orang miskin yaitu setiap satu orang miskin mendapatkan 1 mud.” Penulis kitab Fath Al-Qarib berkata, “Orang yang terkena hukuman di sini adalah mukalaf (baligh dan berakal) yang berniat berpuasa sejak malam hari. Ia terkena dosa karena melakukan hubungan seks di saat puasa.” Muhammad Al-Hishni dalam Kifayah Al-Akhyar berkata, “Siapa yang merusak puasa Ramadhannya dengan jimak (hubungan seks), maka dicatat baginya dosa.” Sedangkan bagi orang yang melakukan hubungan seks tersebut dalam keadaan lupa, puasanya tidaklah batal. Inilah pendapat yang dianut dalam madzhab Syafi’i. Adapun orang yang melakukan hubungan intim tersebut di siang hari Ramadhan, maka ia punya kewajiban menunaikan kafarat. Berbeda halnya dengan seseorang yang makan dan minum di siang hari Ramadhan, tidak ada kafarat dalam hal itu. Bagi orang yang ada keringanan tidak puasa, seperti seorang musafir, maka ia tidak mendapatkan dosa ketika ia niatkan untuk mengambil keringanan (rukhsah) dengan melakukan hubungan intim di siang hari. Demikian keterangan dalam Kifayah Al-Akhyar. Penulis pernah menanyakan pada Syaikh Dr. Amin bin Utsman di Markaz Tarim Al-Fiqhy Hadromaut Yaman–semoga Allah menjaga beliau dan memudahkan urusan beliau–, “Assalamu’alaikum. Wahai Syaikhuna Al-Habib, ahsanallahu ilaikum. Apakah ada kafarat jimak bagi orang yang sengaja membatalkan puasa dengan minum terlebih dahulu di siang hari Ramadhan lalu setelah itu ia mendatangi istrinya untuk melakukan jimak (hubungan intim)?” Jawab Syaikh Dr. Amin adalah sebagai berikut. وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته لا عليه كفارة لأنه وان وجب عليه الإمساك بعد أكله او شربه ليس لصحة صومه وإنما حرمة لنهار رمضان فالنص قصر الكفارة على الفطر بالجماع “Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh. Ia tidak terkena kafarat jimak. Walaupun imsak (menahan diri dari pembatal) itu wajib baginya setelah ia sengaja makan atau minum. Hal ini tidaklah menunjukkan puasanya sah, tetapi itulah larangan di siang hari Ramadhan. Adapun dalil menunjukkan bahwa kafarat jimak hanya berlaku karena hubungan intim di siang hari Ramadhan.” (Pesan WA pada 26-27 Februari 2024)   15. Bagaimana hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan? Dalil-dalil yang menunjukkan hukum mencium istri di siang hari Ramadhan adalah sebagai berikut. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ . وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: – فِي رَمَضَانَ – Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya padahal beliau sedang puasa. Beliau mencumbu istrinya padahal sedang puasa. Akan tetapi beliau mampu menahan syahwatnya.” Muttafaqun ‘alaih. Lafazhnya dari Muslim. Ditambahkan dalam riwayat lain, “Yaitu di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106) Baca juga: Mencium Istri Saat Puasa bgai yang Mampu Menahan Syahwat (Hadits Bulughul Maram) Dari ‘Umar Bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, هَشَشْتُ فَقَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ ، فَقُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ : صَنَعْت الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا ، قَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ .فَقَالَ : أَرَأَيْت لَوْ تَمَضْمَضْت مِنْ إنَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ؟ قُلْت : لَا بَأْسَ بِهِ ، قَالَ : فَمَهْ ؟ “(Suatu saat) aku rindu dan kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?” (HR. Abu Daud). Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan mencium dengan berkumur-kumur dari sisi sama-sama merupakan mukadimah syahwat. Berkumur-kumur tidak membatalkan puasa selama air tidak masuk. Jika masuk, maka batal. Baca juga: Mencium Istri Hingga Keluar Mani Rincian hukum terkait mubasyarah dengan istri Dimakruhkan mencium istri saat puasa. Jika khawatir sampai keluar mani, dihukumi haram. Mubasyarah atau mencumbu istri, bisa dengan perbuatan seperti mencium atau dengan melakukan mukadimah jimak/ hubungan intim. Jika mubasyarah dilakukan sampai keluar mani, puasa batal. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’, hlm. 172) Jika mencumbu sampai keluar mani, maka membatalkan puasa jika bersentuhan langsung (mubasyarah). Jika tidak bersentuhan langsung karena adanya pembatas, maka tidaklah membatalkan puasa. (Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris, 1:391) Jika memeluk istri atau menciumnya tanpa terjadi persentuhan badan secara langsung, di mana antara badan ada pembatas, lantas keluar mani, maka puasanya tidaklah batal karena tidak terjadi mubasyarah.   16. Apa hukum istri menolak ajakan suami berhubungan intim di siang hari Ramadhan? Apakah berdosa jika istri menolak? Hubungan intim di siang hari Ramadhan adalah perbuatan dosa. Sehingga menaati suami dalam hal dosa tidaklah diperkenankan. Bahkan syariat Islam melarang menaati seseorang dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ “Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari, no. 7257) Baca juga: Menaati pada yang Makruf Maka, sudah tepat jika istri menolak ajakan suami untuk berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan. Penolakan tersebut tidaklah dihukumi dosa.   17. Mimpi basah, memandang, berpikiran dan selain mubasyarah, keluar madzi apakah membatalkan puasa? Mimpi basah, memandang, dan berpikiran hingga keluar mani tidaklah membatalkan puasa. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297) Jika menyentuh mahram atau menyentuh rambut istri, lantas keluar mani, maka tidaklah membatalkan puasa karena wudhu sendiri tidaklah batal karena perbuatan ini. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297) Madzi yang keluar tidaklah membatalkan puasa. Demikian pendapat dalam madzhab Syafii yang bertentangan dengan pendapat dari madzhab Malikiyyah. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297)   18. Apa hukum suami melakukan onani dengan tangan istri, apakah puasanya batal? Dalam Fath Al-Mu’in (hlm. 297), Imam Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Malibari berkata, “Istimna’ (mengeluarkan mani dengan onani) baik dengan tangannya sendiri atau dengan tangan pasangannya (istrinya) atau karena bersentuhan yang membatalkan wudhu di mana menyentuhnya tanpa ada penghalang lalu keluar mani, maka termasuk pembatal puasa.”   19. Apa hukum wanita mencicipi makanan di siang hari Ramadhan? Dalam Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris (1:386), “Yang termasuk hal yang dimakruhkan saat puasa adalah dzauquth tho’aam (mencicipi atau merasakan makanan) karena dikhawatirkan bisa masuk ke jauf (rongga) dalam tubuh. Namun, sesuatu yang makruh dibolehkan ketika ada hajat (kebutuhan). Membantu mengunyah makanan seperti roti untuk anak kecil yang tidak bisa mencerna roti tersebut dengan baik atau untuk mentahnik (mengunyah agar lembut dan menaruh di langit-langit) dibolehkan hal yang makruh ini ketika butuh (ada hajat).” Baca juga: Mencicipi Makanan Ketika Berpuasa   20. Manakah yang lebih afdal, wanita shalat tarawih di masjid ataukah di rumah? Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ “Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya) Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutup aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang. Istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى “Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.) (HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan) Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا “Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”(HR. Muslim, no. 442) Baca juga: Shalat Wanita di Masjid ataukah di Rumah yang Lebih Afdal?   21. Apa hukum wanita ghibah (membicarakan jelek orang lain) di siang hari Ramadhan? Apakah puasanya batal? Apa itu ghibah telah dibicarakan dalam hadits berikut ini. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ » Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim, no. 2589). Ghibah kata Imam Nawawi adalah menyebutkan kejelekan orang lain di saat ia tidak ada saat pembicaraan. (Syarh Shahih Muslim, 16: 129). Kata seorang ulama tafsir, Masruq, “Ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek pada seseorang. Itu disebut mengghibah atau menggunjingnya. Jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar ada padanya, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian pula dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167). Dosa ghibah sudah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12) Dalam Kunuz Riyadhis Sholihin (18: 164) disebutkan, “Para ulama sepakat akan haramnya ghibah dan ghibah termasuk dosa besar.” Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fath Al-Qadir, 5:87) Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26:169). Baca juga:  Ghibah itu Dosa Besar? Ghibah itu Apa?   Perlu dipahami pula bahwa maksiat yang dilakukan di bulan Ramadhan itu lebih besar dosanya dibanding bila dilakukan di luar bulan Ramadhan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903). Perlu diingat bahwa ghibah itu dihukumi dosa baik saat berpuasa di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sehingga maksiat ghibah yang dilakukan tidak sampai membatalkan puasa karena tidak termasuk pembatal, tetapi masuk dalam pengurang kesempurnaan pahala puasa. Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Baari (6:129) mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya, “Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum, dan jimak (berhubungan intim).” Mulla ‘Ali Al-Qari rahimahullah dalam Mirqah Al-Mafaatih Syarh Misykah Al-Mashabih (6:308) berkata, “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.” Baca juga: Jangan Biarkan Puasa Sia-Sia   22. Apa hukum wanita berenang di siang hari Ramadhan? Rincian hukum renang sebagai berikut: Jika orang yang berenang punya sangkaan kuat bahwa air tidak akan sampai ke al-jauf (rongga) dari lubang mulut, hidung, atau telinga, maka tidaklah masalah berenang pada siang hari bulan Ramadhan karena tidak adanya larangan mengenai hal tersebut. Itulah yang dimaksud dengan fatwa makruhnya berenang saat berpuasa oleh ulama Syafiiyah karena khawatir masuknya air. Namun, jika air masuk ke dalam jauf (rongga) karena cara yang salah ketika berenang, puasanya batal, ia harus menahan diri pada sisa hari, dan puasanya harus diqadha’ bakda Ramadhan. Jika ada sangkaan kuat, air bisa masuk ke kerongkongan karena sebab berenang, maka jangan sampai ia membuat puasanya batal, karena jika melakukannya dan air masuk, puasanya batal, ia punya kewajiban qadha’ dan bertaubat. (Diambil dari Fatwa Lajnah Al-Ifta: https://www.aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2666#.Yh8Noy-l3f, diakses pada 2 Maret 2022, 13.30 WIB) Ringkasnya, yang tidak bisa berenang, maka jangan coba-coba berenang saat puasa.    23. Apakah wanita boleh melakukan iktikaf? Bagaimana caranya? Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا ، فَضَرَبَتْ خِبَاءً ، فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى الأَخْبِيَةَ فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « آلْبِرُّ تُرَوْنَ بِهِنَّ » . فَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada ‘Aisyah untuk mendirikan tenda, ‘Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beriktikaf dalam tenda, ia meminta untuk didirikan tenda, lalu didirikanlah tenda yang lain. Ketika di Shubuh hari lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat banyak tenda, lantas beliau bertanya, “Apa ini?” Beliau lantas diberitahu dan beliau bersabda, “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?” Beliau meninggalkan iktikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan beriktikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.” (HR. Bukhari, no. 2033). Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitab beliau Bulughul Maram, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan iktikaf. عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beriktikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari, no. 2026 dan Muslim, no. 1172) Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Jika wanita ingin melaksanakan iktikaf di masjid, maka hendaklah menutupi diri (dari pandangan laki-laki). Disyaratkan bagi wanita untuk berdiam di masjid selama tempat tersebut tidaklah mengganggu (menyempitkan) orang-orang yang shalat.” (Fath Al-Bari, 4:277) Baca juga: Apakah Wanita Boleh Iktikaf di Masjid? Cara lakukan iktikaf adalah di masjid yang diadakan shalat berjamaah (lebih bagus lagi diadakan shalat Jumat) dan waktu minimalnya tidaklah dibatasi. Seandainya iktikaf dilakukan di malam hari dan siangnya beraktivitas lain, masih dibolehkan. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Sedang kamu beriktikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beriktikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al-Muhalla, 5: 180. Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan iktikaf pada iktikaf yang sunnah atau iktikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al-Inshaf, 6:17) Baca juga: Iktikaf di Malam Hari, Siangnya Kerja   24. Apakah wanita boleh mengunjungi suami yang sedang beriktikaf di masjid? Jawabannya boleh berdasarkan hadits berikut ini. ‘Ali bin Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Shafiyyah binti Huyay—istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengabarkan padanya, أَنَّهَا جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ ، فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ ، فَقَامَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَعَهَا يَقْلِبُهَا ، حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلاَنِ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ لَهُمَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِىَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَىٍّ » . فَقَالاَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ . وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ ، وَإِنِّى خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِى قُلُوبِكُمَا شَيْئًا ‘ “Shafiyyah pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengunjungi beliau dan saat itu beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang-bincang dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa saat, kemudian ia berdiri dan hendak pulang. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan mengantarnya keluar. Ketika sampai pintu masjid, di pintu Ummu Salamah, ada dua orang Anshar lewat, maka keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan kepada keduanya, “Tak perlu kalian berdua tergesa-gesa, ini Shafiyyah binti Huyay.” Keduanya lantas mengucapkan, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” Mereka terheran dengan apa yang jadi jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah. Aku khawatir terdapat dalam diri kalian suuzhan (prasangka jelek).”  (HR. Bukhari, no. 2038 dan Muslim, no. 2175). Baca juga: Amalan Iktikaf   25. Apakah boleh wanita beriktikaf tanpa izin suaminya? Seharusnya wanita iktikaf dengan izin suami, bahkan bersama suami melakukan iktikaf sehingga aman baginya. Allah Ta’ala berfirman, وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al-Ahzab: 33). Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281) Baca juga: Kewajiban Istri   26. Apa solusi wanita yang mendapati haidh agar bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan? Yang jelas, wanita haidh dan nifas tidaklah boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an ketika ia haidh atau nifas. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini. عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni, no. 449. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’, no. 122). Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, ثُمَّ مَسُّ الْمُصْحَفِ يُشْتَرَطُ لَهُ الطَّهَارَةُ الْكُبْرَى وَالصُّغْرَى عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ وَكَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَهُوَ ثَابِتٌ عَنْ سَلْمَانَ وَسَعْدٍ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ “Menyentuh mushaf Al-Qur’an dipersyaratkan suci dari hadats besar dan hadats kecil. Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama) sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Qur’an, hadits, dan pendapat ini diketahui dari para sahabat seperti Salman, Sa’ad, dan sahabat lainnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 26: 200) Baca juga: Tidak Boleh Menyentuh Al-Qur’an Kecuali Orang yang Suci Namun, wanita haidh dan nifas masih boleh membaca mushaf Al-Qur’an tanpa menyentuhnya. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan dalam Majmu’ Fatawanya, “Wanita haidh dan nifas untuk diperbolehkan membaca Al-Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh dan nifas tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al-Qur’an (karena ada larangan mengenai hal ini). Kalau memang mau menyentuh Al-Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (misalnya: sarung tangan).” Baca juga: Hukum Membaca Al-Qur’an bagi Wanita Haidh Dua solusi bagi wanita haidh dan nifas yang ingin membaca Al-Qur’an adalah: a- Membaca mushaf saat haidh namun tidak menyentuh secara langsung b- Membaca Al-Qur’an terjemahan Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al-Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir, di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.” Jika yang disentuh adalah Al-Qur’an terjemahan dalam bahasa non-Arab, tidak disebut mushaf yang disyaratkan dalam hadits mesti menyentuhnya dalam keadaan suci. Namun kitab atau buku seperti itu disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu, tidak mengapa menyentuh Al-Qur’an terjemahan seperti itu karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al-Qur’an (tulisan Arab dari Al-Qur’an) lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, sudah sepatutnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats. Baca juga: Bagaimana Wanita Haidh Membaca Al-Qur’an?   27. Apa hukum wanita haidh membaca Al-Qur’an lewat handphone? Syaikh Prof. Dr. Khalid Al Musyaiqih–semoga Allah senantiasa menjaga dan memberkahi umur beliau–menjelaskan, “Handphone yang memiliki aplikasi Al-Qur’an atau berupa softfile, tidak dihukumi seperti hukum mushaf Al-Qur’an (di mana harus dalam keadaan bersuci ketika ingin menyentuhnya). Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan bersuci. Begitu pula handphone ini bisa dibawa masuk ke dalam kamar mandi karena aplikasi Al-Qur’an di dalamnya tidaklah seperti mushaf. Ia hanya berupa aplikasi yang ketika dibuka barulah tampak huruf-hurufnya, ditambah dengan suara jika di-play. Aplikasi Al-Qur’an tersebut akan tampak, tetapi jika beralih ke aplikasi lainnya, ia akan tertutup. Yang jelas aplikasi tersebut tidak terus ON (ada atau nyala). Bahkan dalam handphone tersebut bukan hanya ada aplikasi Al-Qur’an saja, ada aplikasi lainnya pula. Ringkasnya, handphone tersebut dihukumi seperti mushaf ketika aplikasinya dibuka dan ayat-ayat Al-Qur’an terlihat. Namun lebih hati-hatinya, aplikasi Al-Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir handphone-nya saja. Wallahu a’lam.” (Fiqh An-Nawazil fi Al-‘Ibadah, Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Penerbit Maktabah Ar Rusyd, Cetakan pertama, Tahun 1433 H, hlm. 76). Baca juga: Menyentuh Handphone yang Terdapat Aplikasi Al-Qur’an Saat Tidak Suci   28. Apakah wanita haidh bisa mendapatkan lailatul qadar? Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir, dan orang yang tidur (tetapi hatinya tidak lalai dalam dzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 341) Baca juga: Tanpa Melakukan Iktikaf Masih Bisa Mendapatkan Lailatul Qadar   29. Istri apakah harus membayar zakat fitrah sendiri ataukah dibayarkan suami?   30. Jika istri memiliki harta sendiri, apakah harus bayar zakat maal sendiri?   31. Apakah tas branded milik istri terkena kewajiban zakat?   32. Apakah dana haji yang telah disetorkan ke Kementrian Agama tetap dimasukkan dalam hitungan zakat?   33. Jika istri memiliki penghasilan, apakah membayar zakatnya setiap bulan sebagaimana zakat profesi ataukah cukup setiap tahun saat haul dari simpanan? Baca juga: Kritikan pada Zakat Profesi   34. Apa hukum mudik wanita sendirian tanpa ditemani mahram?   35. Apa hukum menghadiri shalat Idulfitri bagi wanita haidh?     – JIka ada pertanyaan lainnya yang belum tertulis di atas, silakan tuliskan dalam kolom komentar. Semoga bisa sampai 50+ masalah yang akan dijawab.     –   Mulai disusun dari Senin, 16 Syakban 1445 H, 26 Februari 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsfikih wanita wanita di bulan Ramadhan wanita ramadhan


Ini adalah berbagai masalah wanita di bulan Ramadhan yang sering ditanyakan. Masalah yang dikumpulkan moga mencapai 50 lebih masalah. Semoga bisa memberikan jawaban memuaskan dengan pertolongan Allah.   Daftar Isi tutup 1. 1. Apabila wanita mendapati haidh menjelang berbuka puasa, apakah puasanya batal? 1.1. Buka puasa dalam keadaan ragu keluar haidh 2. 2. Bagaimana jika wanita mendapati flek saat puasa? Apakah puasanya batal? 3. 3. Berapa lama waktu minimal disebut haidh? 4. 4. Bagaimana hukum mengonsumsi obat penunda haidh agar lancar puasa? 5. 5. Kapan mandi setelah malamnya suci dari haidh atau malamnya junub, apakah sebelum ataukah sesudah masuk Shubuh? 6. 6. Bagaimana jika masuk Ashar sudah suci dari haidh, apakah mesti mengqadha’ shalat Zhuhur? 7. 7. Apa hukum puasa bagi wanita hamil dan menyusui? Apakah penggantinya mesti qadha’ ataukah hanya fidyah saja? 8. 8. Bagaimana cara bayar fidyah? 8.1. Bentuk fidyah 8.2. Waktu pembayaran fidyah 9. 9. Bagaimana cara qadha’ puasa bagi wanita? 9.1. Beberapa catatan tentang qadha puasa 10. 10. Bagaimana jika qadha’ puasa Ramadhan belum lunas sampai Ramadhan berikutnya? 11. 11. Bagaimana jika memiliki qadha’ puasa Ramadhan, tetapi lupa berapa jumlahnya? 12. 12. Bagaimana konsekuensi hubungan intim di siang hari bulan Ramadhan? 13. 13. Siapakah yang membayar kafarat besar ketika hubungan intim siang hari Ramadhan, suami saja ataukah suami dan istri? 14. 14. Bagaimana jika batal dulu dengan makan ataukah minum, lalu berhubungan intim dengan istri di siang hari Ramadhan? 15. 15. Bagaimana hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan? 15.1. Rincian hukum terkait mubasyarah dengan istri 16. 16. Apa hukum istri menolak ajakan suami berhubungan intim di siang hari Ramadhan? Apakah berdosa jika istri menolak? 17. 17. Mimpi basah, memandang, berpikiran dan selain mubasyarah, keluar madzi apakah membatalkan puasa? 18. 18. Apa hukum suami melakukan onani dengan tangan istri, apakah puasanya batal? 19. 19. Apa hukum wanita mencicipi makanan di siang hari Ramadhan? 20. 20. Manakah yang lebih afdal, wanita shalat tarawih di masjid ataukah di rumah? 21. 21. Apa hukum wanita ghibah (membicarakan jelek orang lain) di siang hari Ramadhan? Apakah puasanya batal? 22. 22. Apa hukum wanita berenang di siang hari Ramadhan? 23. 23. Apakah wanita boleh melakukan iktikaf? Bagaimana caranya? 24. 24. Apakah wanita boleh mengunjungi suami yang sedang beriktikaf di masjid? 25. 25. Apakah boleh wanita beriktikaf tanpa izin suaminya? 26. 26. Apa solusi wanita yang mendapati haidh agar bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan? 27. 27. Apa hukum wanita haidh membaca Al-Qur’an lewat handphone? 28. 28. Apakah wanita haidh bisa mendapatkan lailatul qadar? 29. 29. Istri apakah harus membayar zakat fitrah sendiri ataukah dibayarkan suami? 30. 30. Jika istri memiliki harta sendiri, apakah harus bayar zakat maal sendiri? 31. 31. Apakah tas branded milik istri terkena kewajiban zakat? 32. 32. Apakah dana haji yang telah disetorkan ke Kementrian Agama tetap dimasukkan dalam hitungan zakat? 33. 33. Jika istri memiliki penghasilan, apakah membayar zakatnya setiap bulan sebagaimana zakat profesi ataukah cukup setiap tahun saat haul dari simpanan? 34. 34. Apa hukum mudik wanita sendirian tanpa ditemani mahram? 35. 35. Apa hukum menghadiri shalat Idulfitri bagi wanita haidh? 1. Apabila wanita mendapati haidh menjelang berbuka puasa, apakah puasanya batal? Di antara syarat sah puasa adalah suci dari haidh dan nifas pada keseluruhan siang (dari terbit Fajar Shubuh hingga tenggelam matahari). Maka jika beberapa menit menjelang berbuka diketahui dengan yakin darah haidh atau nifas keluar, maka puasanya batal. Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.” Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا » “Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.” Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqadha puasa di hari lainnya. Dalilnya adalah, عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim, no. 335)   Buka puasa dalam keadaan ragu keluar haidh Bagaimana jika ada wanita yang masuk waktu Maghrib (buka puasa) dalam keadaan ragu apakah haidh yang ia temui saat Maghrib keluarnya sebelum buka puasa ataukah sesudahnya? Misal kebiasaan haidhnya hari tersebut, jam 4 sore ketika dicek tidak keluar darah haidh. Saat berbuka puasa (jam 6) baru ketahuan darah haidh ada. Kalau ternyata keluar sebelumnya, tentu saja puasanya jadi batal dan harus diganti di hari yang lain. Sedangkan kalau darah haidh keluar ketika waktu berbuka tiba, puasanya berarti tidak diqadha’. Jawabannya untuk masalah ini adalah pegang yang yakin dan tinggalkan yang ragu-ragu. Dalam kaidah fikih disebutkan, ِّاليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّك. “Yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.” Baca juga: Ragu Tidak Bisa Mengalahkan yang Yakin Ada pertanyaan yang diajukan pada Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah, “Aku pernah tertidur pada suatu hari di bulan Ramadhan sebelum Ashar. Dan aku barulah bangun ketika azan Isya. Saat Isya itu aku dapati dalam keadaan haidh. Apakah puasaku sah?” Jawaban yang diberikan oleh Syaikh ‘Abdurrahman, “Alhamdulillah, puasamu tetap sah. Karena kita tidak bisa pastikan haidh itu datang sebelum Maghrib. Keadaan sebelum matahari tenggelam apakah keluar darah haidh ataukah tidak adalah keadaan yang meragukan. Hukum asalnya, waktu sebelum tenggelam matahari tadi masih dalam keadaan suci. Hal ini sama halnya seperti seseorang yang shalat Shubuh kemudian tidur. Lalu ia dapati bekas junub saat bangun yaitu mendapati mani. Yang yakin, mani tersebut keluar setelah shalat Shubuh. Dalam kondisi ini, tidak wajib baginya mengulangi shalat Shubuh. Wallahu a’lam.” Fatwa Syaikh Al-Barrak tanggal, 24/9/1434 diambil dari status telegram beliau hafizahullah. Baca juga: Sebelum Berbuka Masih Suci, Waktu Isyak Dicek Mengalami Haidh, Puasanya Apakah Sah? Ada penjelasan sebagai berikut, “Setiap yang meragukan dianggap seperti tidak ada. Setiap sebab yang kita ragukan kapan munculnya, maka tidak ada hukum pada yang akibatnya. Sebab tersebut seperti sesuatu yang dipastikan tidak ada, maka tidak dikenakan hukum ketika itu. Begitu pula setiap syarat yang diragukan keberadaannya, maka dianggap seperti tidak ada sehingga tidak diterapkan hukum untuknya. Begitu pula setiap mani’ (penghalang) yang diragukan keberadaannya, dianggap seperti tidak ada. Hukum baru ada apabila sebab itu ada. Perlu diketahui, kaedah ini disepakati secara umum.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 4:94, Asy-Syamilah) Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa keadaan yang yakin yang dipegang adalah masih dalam keadaan suci. Sedangkan keadaan ragu-ragu adalah dalam keadaan tidak suci. Sehingga ketika berbuka baru didapati darah haidh dan tidak diketahui keluarnya baru saja ataukah sebelum berbuka puasa, maka keadaan yang dipegang adalah keadaan suci. Baca juga: Buka Puasa dalam Keadaan Ragu Keluar Darah Haidh Ringkasnya: Mendapati haidh sebelum berbuka puasa dalam keadaan YAKIN, puasa batal, maka harus diqadha’. Mendapati haidh sebelum berbuka puasa dalam keadaan RAGU-RAGU dan YAKIN-nya didapati setelah berbuka puasa, maka puasa sah, tidak perlu ada qadha’.   2. Bagaimana jika wanita mendapati flek saat puasa? Apakah puasanya batal? Bagi wanita yang berhalangan untuk puasa karena haidh tersebut, ia punya kewajiban untuk mengqadha’ puasa di hari lain. Ada kaidah dari Syaikh As-Sa’di dalam kitabnya Manhaj As-Salikin sebagai berikut: a. Flek yang keluar di masa kebiasaan haidh sebelum darah haidh keluar, ditambah jika terasa nyeri, maka terhitung sebagai DARAH HAIDH. b. Flek yang keluar di luar masa kebiasaan haidh, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH. c. Flek yang keluar setelah darah haidh dan masih bersambung, maka dianggap DARAH HAIDH. d. Flek yang keluar setelah suci (setelah darah haidh berhenti total), tetapi setelah beberapa hari keluar flek lagi, maka dianggap BUKAN DARAH HAIDH. Kesimpulan kaidah: Jika flek keluar bersambung sebelum atau sesudah haidh dihukumi sebagai darah haidh. Jika flek keluar tidak bersambung dengan haidh, maka dihukumi bukan darah haidh. Kalau dianggap HAIDH, maka tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa. Kalau dianggap bukan darah HAIDH, maka tetap diperintahkan shalat dan puasa. Baca juga: Hukum Wanita Mendapati Flek Saat Puasa   3. Berapa lama waktu minimal disebut haidh? Tanda haidh berhenti adalah dengan munculnya di antara dua tanda berikut: (a) qashshatul baydha’ (cairan putih), (b) jufuf (kering). Menurut pendapat Syaikh As-Sa’di dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, lamanya darah haidh: (a) minimalnya tidaklah dibatasi, (b) maksimalya juga tidak dibatasi. Jika keluar darah haidh walau kurang dari sehari dan itu adalah ciri darah haidh, maka dihukumi sebagai darah haidh. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam Manhajus Salikin, ِّوَالْأَصْلُ فِي اَلدَّمِ اَلَّذِي يُصِيبُ اَلْمَرْأَةَ: أَنَّهُ حَيْضٌ، بِلَا حَدٍ لِسِنِّه، وَلَا قَدَرِهِ، وَلاَ تَكَرُّرِهِ ِّإِلَّا إِنْ أَطْبَقَ اَلدَّمُ عَلَى اَلْمَرْأَةِ، أَوْ صَارَ لَا يَنْقَطِعُ عَنْهَا إِلَّا يَسِيرًا فَإِنَّهَا تَصِيرُ مُسْتَحَاضَة Hukum asal pada darah yang didapati wanita adalah haidh, tanpa dibatasi usia, kadar lama, maupun pengulangannya. Kecuali bila darah tersebut keluar begitu banyak pada wanita atau darah tersebut tidak berhenti kecuali sedikit (sebentar), maka dihukumi sebagai darah istihadhah. Baca juga: Dalil tentang Fikih Haidh dari Bulughul Maram Dibahas Tuntas Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Menurut pendapat yang paling kuat, tidak ada batasan minimal atau maksimal lamanya masa haid. Karena Allah Ta’ala berfirman, ِّوَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222). Dalam ayat ini perintah untuk menjauhi wanita di masa haidnya tidak diberikan batasan waktu tertentu. Pokoknya wanita itu baru bisa disetubuhi jika telah suci (darah berhenti, lalu mandi, pen.). Sebab hukum dalam ayat adalah ada tidaknya darah haid. Jika didapati haid, maka tidak boleh menyetubuhi istri. Namun jika telah suci, maka hilanglah hukum larangan tadi. Menetapkan masa lamanya haid dengan waktu tertentu tidaklah berdasarkan dalil. Padahal hal tersebut sangat perlu sekali dijelaskan (di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.). Jika ada batasan umur wanita mendapati haid dan jangka waktu lamanya haid, maka tentu akan dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya, jika wanita melihat darah yang sudah dikenal sebagai darah haid, maka dihukumi sebagai haid tanpa dikaitkan dengan lama waktunya. Kecuali kalau darah yang keluar pada wanita tersebut mengalir terus tidak terputus atau dalam sebulan hanya berhenti singkat selama sehari atau dua hari, maka darah tersebut dihukumi darah istihadhah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 11: 271. Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 65570) Baca juga: Bisakah Lama Haidh Kurang dari Sehari   4. Bagaimana hukum mengonsumsi obat penunda haidh agar lancar puasa? Dalam Al-Mughni (1:450), Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, ‘Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).’” Syaikh Abu Malik–penulis kitab Shahih Fiqh As-Sunnah–menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qadha’ baginya. Wallahu a’lam.” (Shahih Fiqh As-Sunnah, 2:128) Baca juga: Hukum Menggunakan Obat Penghalang Haidh Saat Puasa   5. Kapan mandi setelah malamnya suci dari haidh atau malamnya junub, apakah sebelum ataukah sesudah masuk Shubuh? Disunnahkan dalam puasa Ramadhan, orang yang berhadats besar melakukan mandi besar (mandi wajib) sebelum masuk Shubuh. Walaupun jika mandi setelah masuk Shubuh, masih dibolehkan. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Muslim, no. 1109) Dalil lainnya bolehnya masuk Shubuh dalam keadaan junub adalah ayat, أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang berhubungan dengan istrinya sebelum Shubuh dan ketika masuk Shubuh, ia masih dalam keadaan junub, maka ia masih boleh melakukan puasa. Karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkan mubasyaroh (mencumbu istri) hingga terbit fajar, lalu perintahkan untuk berpuasa, maka ini menunjukkan bahwa boleh saja seseorang yang hendak berpuasa masuk shubuh dalam keadaan junub.” (Al-Majmu’, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 6:303) Baca juga: Masuk Shubuh dalam Keadaan Junub Sahkah Puasanya?   6. Bagaimana jika masuk Ashar sudah suci dari haidh, apakah mesti mengqadha’ shalat Zhuhur? Jika wanita suci pada waktu Ashar, ia cukup mengerjakan shalat Ashar tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Begitu pula jika wanita suci pada waktu Isyak, ia cukup mengerjakan shalat isyak tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Alasannya adalah hadits berikut. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Barang siapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608) Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan, seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat Ashar saja, tidak lagi shalat Zhuhur. Faedah dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin kaitannya dengan wanita haidh: Jika wanita haidh telah suci, lalu masih bisa mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia punya kewajiban untuk melaksanakan shalat. Sebagian ulama berpandangan pula kalau wanita datang haidh padahal sudah masuk waktu shalat dan ia bisa dapati satu rakaat, maka jika suci, ia tetap mengqadha shalat. Baca juga: Suci Haidh pada Waktu Ashar, Apakah Tetap Qadha Shalat Zhuhur?   7. Apa hukum puasa bagi wanita hamil dan menyusui? Apakah penggantinya mesti qadha’ ataukah hanya fidyah saja? Hukum terkait wanita hamil dan menyusui rinciannya sebagai berikut: a. Wanita hamil dan menyusui jika tidak berat menjalankan puasa, ia tidak khawatir bahaya pada dirinya atau pada bayi atau janinnya, maka wanita hamil dan menyusui hendaklah tetap berpuasa. b. Wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada dirinya, kewajibannya adalah qadha’, tanpa fidyah sebagaimana orang sakit. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui yang khawatir pada dirinya dan anaknya sekaligus. c. Wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada anaknya saja, misalnya takut keguguran atau kekurangan ASI sehingga bisa bermasalah pada anak, maka kewajibannya adalah qadha’ dan fidyah. d. Wanita hamil dan menyusui yang tidak mampu berpuasa terus menerus, kewajibannya adalah fidyah. Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh salat (salat empat rakaat menjadi dua rakaat), juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, 5: 29; Ibnu Majah, no. 1667; Tirmidzi, no. 715; dan An-Nasa’i, no. 2277. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya). Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah adalah hadits berikut. عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata mengenai ayat, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. Itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah tua renta yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui, jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud, no. 2318 dan Al-Baihaqi, 4: 230). Baca juga: Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin tentang Apakah Wanita Cukup Fidyah Saja Tanpa Qadha’?   8. Bagaimana cara bayar fidyah? Pensyariatan fidyah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا “(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 4505).   Bentuk fidyah a. Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa). Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih. b. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk. Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumthi’, 2:22. Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari. Lihat penjelasan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, no. 1447, 10:198. Al-Mawardi rahimahullah mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” (Al-Inshaf, 5:383).   Waktu pembayaran fidyah a. Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah berada di usia senja. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, 4:21-22 dengan sanad yang sahih. b. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah bolehkah mempercepat pembayaran fidyah ataukah tidak untuk yang sudah tua renta atau yang menderita sakit menahun yang sulit diharapkan sembuhnya. Tentang hal ini Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa sepakat ulama madzhab Syafii menyatakan tidak bolehnya mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk Ramadhan. c. Adapun mempercepat pembayaran fidyah setelah terbit fajar Shubuh setiap harinya dibolehkan. d. Mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk fajar Shubuh di bulan Ramadhan juga masih diperbolehkan. Pendapat ini dipilih oleh Ad-Darimi kata Imam Nawawi. e. Berarti tidak masalah memajukan fidyah untuk satu hari saja, tidak untuk dua hari atau lebih. Inilah pendapat madzhab Syafii. Imam Al-Khatib Asy-Syirbini mengatakan, “Tidak dibolehkan untuk wanita hamil dan menyusui memajukan fidyah dua hari atau lebih dari waktu berpuasa. Sebagaimana tidak boleh memajukan zakat untuk dua tahun. Namun, kalau memajukan fidyah untuk hari itu dibayar pada hari tersebut atau pada malamnya, seperti itu dibolehkan.” (Mughni Al-Muhtaj, 2:176) f. Waktu akhir penunaian fidyah tidak dibatasi. Fidyah tidak mesti ditunaikan pada bulan Ramadhan, bisa pula ditunaikan bakda Ramadhan. Ayat yang menyariatkan fidyah (QS. Al-Baqarah: 184) tidaklah menetapkan waktu tertentu sebagai batasan. Fidyah ditunaikan sesuai kelapangan, walau ditunda beberapa tahun. Penjelasan lengkap tentang fidyah ada di buku penulis: FIKIH BULAN SYAWAL, silakan pesan di Rumaysho Store.   9. Bagaimana cara qadha’ puasa bagi wanita? Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Beberapa catatan tentang qadha puasa Pertama: Qadha’ Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala, أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61) Kedua: Qadha’ puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan. Ketiga: Tidak wajib membayar qadha’ puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum, فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih). Keempat: Qadha’ puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum Shubuh) sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan. Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari. Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ “Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan Ibnu Majah no. 1700. Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu’—sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—ataukah mauquf—hanya sampai pada sahabat–. Yang menyatakan hadits ini marfu’ adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauquf adalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20). Adapun puasa sunnah (seperti puasa Syawal) boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini. عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim, no. 1154). Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bolehnya berniat di siang hari sebelum zawal untuk puasa sunnah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa ada uzur. Namun, yang lebih baik adalah menyempurnakannya.” Imam Nawawi juga berkata, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunnah boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 32-33). Kelima: Ketika ada yang melakukan qadha’ puasa lalu berhubungan intim di siang harinya, maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha’ disertai dengan taubat. Kafarat berat (yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang miskin, pen.) hanya berlaku untuk puasa Ramadhan saja. Penjelasan lengkap tentang qadha’ puasa ada di buku penulis: FIKIH BULAN SYAWAL, silakan pesan di Rumaysho Store.   10. Bagaimana jika qadha’ puasa Ramadhan belum lunas sampai Ramadhan berikutnya? Jika ia mengetahui bahwa diharamkan kalau mengakhirkan qadha’ puasa hingga Ramadhan berikut, lalu tidak tahu akan wajibnya fidyah, ia tidak dianggap mendapatkan uzur. Ia wajib menunaikan qadha’ dan fidyah sekaligus. Fidyah akan berlipat ganda sesuai hitungan tahun yang tertunda qadha’-nya. Jika tidak mampu karena bersafar atau sakit terus menerus (uzur puasa terus menerus ada) hingga datang bulan Ramadhan berikutnya atau ia menunda puasa karena tidak tahu kalau mengakhirkan itu diharamkan, padahal ia sudah sering bergaul dengan ulama, kewajibannya adalah qadha’ saja. Penjelasan ini diambil dari bahasan kitab Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja’ karya As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syathiri.   11. Bagaimana jika memiliki qadha’ puasa Ramadhan, tetapi lupa berapa jumlahnya? Apabila seorang wanita lupa jumlah pasti hari puasa Ramadhan yang harus diqadha, maka ia wajib mengqadha puasa dengan jumlah yang diyakini paling sedikit dari hari yang terlewat. Prinsip yang digunakan adalah “keyakinan lebih didahulukan daripada keraguan.” Kaidah fikih yang relevan dalam kasus ini adalah: “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan” (الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ). Langkah-langkah yang dapat dilakukan: Menghitung semampunya: Ingat kembali kondisi saat itu—berapa lama haidh atau nifas yang dialami, atau kondisi yang membuat tidak berpuasa. Mengambil jumlah minimal: Jika tetap ragu antara dua angka (misalnya, 7 hari atau 8 hari), ambillah jumlah minimal (dalam kasus ini, 7 hari). Menambah ihtiyath (kehati-hatian): Apabila memungkinkan, lebih baik menambahkan satu hari sebagai bentuk kehati-hatian, meskipun tidak wajib. Para ulama membahagikan kaedah penentuan bilangan hari untuk puasa qadha’ kepada dua iaitu tahdididan taqribi. Tahdidi bererti menentukan dengan tepat bilangan hari yang ditinggalkan, manakala taqribiialah menggunakan anggaran berapa hari yang ditinggalkan kerana seseorang itu lupa berapa hari puasa yang telah dia tinggalkan. Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menyatakan: إذا كَثرَت الْفوائتُ عليهِ يتشاغلُ بالقضَاء فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ قَدْرَ مَا عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعِيدُ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ Maksudnya: “Apabila tanggungan ibadahnya yang sangat banyak, dia wajib terus-menerus melakukan qada’. Jika dia tidak tahu berapa jumlah hari yang menjadi kewajipan puasanya, maka dia wajib mengulang-ulang qada’ puasa sampai dia yakin telah menggugurkan seluruh tanggungannya.” (Lihat al-Mughni, 1/439) Ibn Qudamah menukilkan kata-kata Imam Ahmad dalam satu riwayat yang salih, berkenaan seseroang yang meninggalkan solat dan lupa berapa banyak yang ditinggalkannya: يُعِيدُ حَتَّى لَا يَشُكَّ أَنَّهُ قَدْ جَاءَ بِمَا قَدْ ضَيَّعَ وَيَقْتَصِرُ عَلَى قَضَاءِ الْفَرَائِضِ Maksudnya: “Dia hendaklah ulang-ulang sampai dia tidak meragui lagi bahawa dia telah melakukan apa yang telah dia lalaikan. Dia hanya melakukan yang wajib sahaja.” Guru kami, Syeikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Shinqiti menjelaskan kaedah penentuan secara taqribi ini ialah dengan bertanya kepada seseorang itu seperti ini: “Adakah telah tinggalkan 50 hari?” “Terlalu sedikit” “90 hari?” “Terlalu banyak” Maka jumlah taqribi nya ialah 75 hari. Berkenaan dengan fidyah, hendaklah seseorang itu berusaha mengqadha’kan puasanya setiap hari yang mungkin terlebih dahulu. Ini lebih bersifat ihtiyati (berhati-hati) dalam urusan agama berbanding terus membenarkan membayar fidyah sehingga mengabaikan tuntutan qadha’. Syekh Abdul Hamid Asy-Syirwani (wafat 1301 H) dalam anotasinya menjelaskan:   وَلَوْ عَلِمَ أَنَّهُ صَامَ بَعْضَ اللَّيَالِيْ وَبَعْضَ الْأَيَّامِ وَلَمْ يَعْلَمْ مِقْدَارَ الْأَيَّامِ الَّتِيْ صَامَهَا فَظَاهِرٌ أَنَّهُ يَأْخُذُ بِالْيَقِينِ فَمَا تَيَقَّنَهُ مِنْ صَوْمِ الْأَيَّامِ أَجْزَأَهُ وَقَضَى مَا زَادَ عَلَيْهِ Artinya: “Apabila terdapat seseorang yang mengetahui bahwa dirinya berpuasa sebagian jatuh pada malam hari (karena tinggal di daerah yang tidak diketahui batas siang dan malamnya), dan sebagian jatuh pada siang hari. Sedangkan dia tidak mengetahui jumlah puasa yang dikerjakan pada siang harinya, maka menurut pendapat yang jelas orang itu wajib mengambil hitungan yang diyakininya, maka hitungan puasa siang hari yang diyakininya itu cukup baginya (untuk dijadikan jumlah puasa siang harinya) dan wajib mengqadha’ sisa puasa yang dilakukan pada malam harinya.” (Abdul Hamid Asy-Syirwani, Hawasyi Asy-Syarwani wa Ibn Qasim Al-‘Ubadi [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra], vol. 3, h. 396) Sementara itu, Imam Ibn Hajar Al-Haitami (wafat 976 H) lebih menganjurkan agar orang yang lupa jumlah beban puasanya untuk memperbanyak puasa sunah dengan niatan mengqadha tanggungan puasa Ramadhan. Imam Ibn Hajar Al-Haitami melalui fatwanya menganalogikan persoalan keraguan qadha puasa ini sebagaimana dalam konteks wudhu: وَيُؤْخَذُ مِنْ مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ هَذِهِ أَنَّهُ لَوْ شَكَّ أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءً مَثَلًا فَنَوَاهُ إنْ كَانَ، وَإِلَّا فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ أَيْضًا وَحَصَلَ لَهُ الْقَضَاءُ بِتَقْدِيرِ وُجُودِهِ بَلْ، وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ عَلَيْهِ وَإِلَّا حَصَلَ لَهُ التَّطَوُّعُ كَمَا يَحْصُل لَهُ فِي مَسْأَلَةِ الْوُضُوءِ… وَبِهَذَا يُعْلَمُ أَنَّ الْأَفْضَلَ لِمُرِيدِ التَّطَوُّعِ بِالصَّوْمِ أَنْ يَنْوِيَ الْوَاجِبَ إنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالتَّطَوُّع، لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ إنْ كَانَ  Artinya: “Dari masalah wudhu ini (kasus orang yang yakin sudah hadats dan ragu sudah bersuci atau belum, lalu ia wudhu dengan niat menghilangkan hadats bila memang hadats, dan bila tidak maka niat memperbarui wudhu, maka sah wudhunya) dapat dipahami bahwa jika seseorang ragu memiliki kewajiban untuk mengqadha puasa misalnya, lantas ia berniat mengqadhanya bila memang punya kewajiban qadha puasa, dan jika tidak dengan niat puasa sunah maka niatnya juga sah, dan qadha puasanya bisa hasil dengan mengira-ngirakan kewajiban qadhanya.” (Ahmad bin Muhammad bin Ali Ibn Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra [Beirut: Al-Maktabah Al-Islamiyyah], vol. 2, h. 90) Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwasanya dalam tinjauan fiqih mazhab Syafi’i, tatkala seseorang memiliki keharusan qadha puasa Ramadhan yang terlewat namun tidak diketahui berapa jumlah pastinya, maka diharuskan untuk mengqadhanya hingga yakin sudah dilakukan semua. Sumber: https://www.arina.id/syariah/ar-UG6FS/cara-qadha-puasa-ramadhan-yang-tak-tahu-jumlah-pastinya?utm_source=chatgpt.com Kesimpulan: Jika lupa jumlah pasti, cukup qadha sesuai jumlah minimal yang diyakini. Jika masih mampu, menambah satu hari sebagai kehati-hatian akan lebih baik, tetapi tidak wajib. Jangan menunda-nunda pelaksanaan qadha puasa agar tidak menumpuk kewajiban.   12. Bagaimana konsekuensi hubungan intim di siang hari bulan Ramadhan? Perhatikan dalil tentang hukuman bagi orang yang melakukan hubungan seks di siang hari bulan Ramadhan saat puasa disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, ia menyatakan, بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ» “Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak.” Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari, no. 1936 dan Muslim, no. 1111). Menurut mayoritas ulama, jimak bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qadha’, ditambah dengan menunaikan kafarat. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jimak oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun, yang jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafarat. Hukuman bagi yang berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan: a. Puasa batal b. Qadha’ puasa c. Berdosa d. Bayar kafarat besar e. Hukuman ta’zir (peringatan dari penguasa), jika ia belum bertaubat f. Wajib imsak (menahan diri dari pembatal puasa) untuk siang hari yang tersisa Kafarat besar yang mesti ditunaikan adalah: a. Memerdekakan seorang budak mukmin. b. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut. c. Jika tidak mampu, memberi makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin diberi satu mud (6 ons). Jika orang yang melakukan jimak di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafarat di atas, kafarat tersebut tidaklah gugur, tetap tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7:224. Catatan: Hubungan intim (jimak) walau tidak keluar mani tetaplah membatalkan puasa. (Fath Al-Mu’in, hlm. 296) Penjelasan lengkap tentang jimak siang hari Ramadhan ada di buku penulis: PANDUAN RAMADHAN KONTEMPORER, silakan pesan di Rumaysho Store.   13. Siapakah yang membayar kafarat besar ketika hubungan intim siang hari Ramadhan, suami saja ataukah suami dan istri? Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafarat, yang menanggung kafarat hanyalah suami. Dalam Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris (1:390), Syaikh Sami bin Muhammad Baasyakil menyebutkan, “Adapun wanita yang disetubuhi siang hari Ramadhan, maka wanita ini tidak wajib menunaikan kafarat. Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkan kepada suami untuk bayar kafarat, tidak pada istrinya walaupun mereka berdua berserikat dalam hubungan intim. Kalau memang istri harus ikut bayar kafarat besar, maka tentu akan dijelaskan dalam dalil, tidak ditunda penjelasan tersebut karena dibutuhkan. Karena kerugian harta terkait jimak itu seperti mahar, maka istri yang disetubuhi tidak terkena dalam hal ini.” Alasan lainnya, Al-Qadhi Husain berkata, “Puasa wanita yang disetubuhi di siang hari Ramadhan itu telah batal sebelum jimak itu terjadi. Karena kemaluan pria yang masuk pada kemaluan wanita (disebut jauf, rongga) itu sudah membatalkan puasa sama seperti tongkat yang masuk dalam jauf (rongga). Jika sebagian penis pria (tanpa keseluruhan) sudah masuk dalam vagina perempuan, maka puasa si wanita sudah batal. Padahal yang disebut jimak adalah jika keseluruhan penis pria sudah masuk pada vagina perempuan (ibaratnya: timba sudah masuk dalam sumur). Seandainya, ada jari yang dimasukkan dalam vagina perempuan, puasanya batal. Namun, jika awalnya hubungan seks dilakukan secara paksa (mukrohah), kemudian setelah itu si wanita melakukannya secara sukarela atau awalnya wanita ini dalam keadaan lupa, lalu ia ingat di tengah-tengah hubungan intim, maka saat ini puasa si wanita batal karena hubungan intim.” (Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris, 1:391) Penjelasan lengkap tentang jimak siang hari Ramadhan ada di buku penulis: PANDUAN RAMADHAN KONTEMPORER, silakan pesan di Rumaysho Store.   14. Bagaimana jika batal dulu dengan makan ataukah minum, lalu berhubungan intim dengan istri di siang hari Ramadhan? Abu Syuja’ rahimahullah berkata, وَمَنْ وَطِئَ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ عَامِدًا فِي الفَرْجِ فَعَلَيْهِ القَضَاءُ وَالكَفَّارَةُ وَهِيَ : عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ “Barangsiapa yang melakukan hubungan seks di siang hari Ramadhan secara sengaja di kemaluan, maka ia punya kewajiban menunaikan qadha’ dan kafarat. Bentuk kafaratnya adalah memerdekakan 1 orang budak beriman. Jika tidak didapati, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka memberi makan kepada 60 orang miskin yaitu setiap satu orang miskin mendapatkan 1 mud.” Penulis kitab Fath Al-Qarib berkata, “Orang yang terkena hukuman di sini adalah mukalaf (baligh dan berakal) yang berniat berpuasa sejak malam hari. Ia terkena dosa karena melakukan hubungan seks di saat puasa.” Muhammad Al-Hishni dalam Kifayah Al-Akhyar berkata, “Siapa yang merusak puasa Ramadhannya dengan jimak (hubungan seks), maka dicatat baginya dosa.” Sedangkan bagi orang yang melakukan hubungan seks tersebut dalam keadaan lupa, puasanya tidaklah batal. Inilah pendapat yang dianut dalam madzhab Syafi’i. Adapun orang yang melakukan hubungan intim tersebut di siang hari Ramadhan, maka ia punya kewajiban menunaikan kafarat. Berbeda halnya dengan seseorang yang makan dan minum di siang hari Ramadhan, tidak ada kafarat dalam hal itu. Bagi orang yang ada keringanan tidak puasa, seperti seorang musafir, maka ia tidak mendapatkan dosa ketika ia niatkan untuk mengambil keringanan (rukhsah) dengan melakukan hubungan intim di siang hari. Demikian keterangan dalam Kifayah Al-Akhyar. Penulis pernah menanyakan pada Syaikh Dr. Amin bin Utsman di Markaz Tarim Al-Fiqhy Hadromaut Yaman–semoga Allah menjaga beliau dan memudahkan urusan beliau–, “Assalamu’alaikum. Wahai Syaikhuna Al-Habib, ahsanallahu ilaikum. Apakah ada kafarat jimak bagi orang yang sengaja membatalkan puasa dengan minum terlebih dahulu di siang hari Ramadhan lalu setelah itu ia mendatangi istrinya untuk melakukan jimak (hubungan intim)?” Jawab Syaikh Dr. Amin adalah sebagai berikut. وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته لا عليه كفارة لأنه وان وجب عليه الإمساك بعد أكله او شربه ليس لصحة صومه وإنما حرمة لنهار رمضان فالنص قصر الكفارة على الفطر بالجماع “Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh. Ia tidak terkena kafarat jimak. Walaupun imsak (menahan diri dari pembatal) itu wajib baginya setelah ia sengaja makan atau minum. Hal ini tidaklah menunjukkan puasanya sah, tetapi itulah larangan di siang hari Ramadhan. Adapun dalil menunjukkan bahwa kafarat jimak hanya berlaku karena hubungan intim di siang hari Ramadhan.” (Pesan WA pada 26-27 Februari 2024)   15. Bagaimana hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan? Dalil-dalil yang menunjukkan hukum mencium istri di siang hari Ramadhan adalah sebagai berikut. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ . وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: – فِي رَمَضَانَ – Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya padahal beliau sedang puasa. Beliau mencumbu istrinya padahal sedang puasa. Akan tetapi beliau mampu menahan syahwatnya.” Muttafaqun ‘alaih. Lafazhnya dari Muslim. Ditambahkan dalam riwayat lain, “Yaitu di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106) Baca juga: Mencium Istri Saat Puasa bgai yang Mampu Menahan Syahwat (Hadits Bulughul Maram) Dari ‘Umar Bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, هَشَشْتُ فَقَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ ، فَقُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ : صَنَعْت الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا ، قَبَّلْت وَأَنَا صَائِمٌ .فَقَالَ : أَرَأَيْت لَوْ تَمَضْمَضْت مِنْ إنَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ؟ قُلْت : لَا بَأْسَ بِهِ ، قَالَ : فَمَهْ ؟ “(Suatu saat) aku rindu dan kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?” (HR. Abu Daud). Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan mencium dengan berkumur-kumur dari sisi sama-sama merupakan mukadimah syahwat. Berkumur-kumur tidak membatalkan puasa selama air tidak masuk. Jika masuk, maka batal. Baca juga: Mencium Istri Hingga Keluar Mani Rincian hukum terkait mubasyarah dengan istri Dimakruhkan mencium istri saat puasa. Jika khawatir sampai keluar mani, dihukumi haram. Mubasyarah atau mencumbu istri, bisa dengan perbuatan seperti mencium atau dengan melakukan mukadimah jimak/ hubungan intim. Jika mubasyarah dilakukan sampai keluar mani, puasa batal. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’, hlm. 172) Jika mencumbu sampai keluar mani, maka membatalkan puasa jika bersentuhan langsung (mubasyarah). Jika tidak bersentuhan langsung karena adanya pembatas, maka tidaklah membatalkan puasa. (Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris, 1:391) Jika memeluk istri atau menciumnya tanpa terjadi persentuhan badan secara langsung, di mana antara badan ada pembatas, lantas keluar mani, maka puasanya tidaklah batal karena tidak terjadi mubasyarah.   16. Apa hukum istri menolak ajakan suami berhubungan intim di siang hari Ramadhan? Apakah berdosa jika istri menolak? Hubungan intim di siang hari Ramadhan adalah perbuatan dosa. Sehingga menaati suami dalam hal dosa tidaklah diperkenankan. Bahkan syariat Islam melarang menaati seseorang dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ “Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari, no. 7257) Baca juga: Menaati pada yang Makruf Maka, sudah tepat jika istri menolak ajakan suami untuk berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan. Penolakan tersebut tidaklah dihukumi dosa.   17. Mimpi basah, memandang, berpikiran dan selain mubasyarah, keluar madzi apakah membatalkan puasa? Mimpi basah, memandang, dan berpikiran hingga keluar mani tidaklah membatalkan puasa. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297) Jika menyentuh mahram atau menyentuh rambut istri, lantas keluar mani, maka tidaklah membatalkan puasa karena wudhu sendiri tidaklah batal karena perbuatan ini. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297) Madzi yang keluar tidaklah membatalkan puasa. Demikian pendapat dalam madzhab Syafii yang bertentangan dengan pendapat dari madzhab Malikiyyah. (Fath Al-Mu’in, hlm. 297)   18. Apa hukum suami melakukan onani dengan tangan istri, apakah puasanya batal? Dalam Fath Al-Mu’in (hlm. 297), Imam Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Malibari berkata, “Istimna’ (mengeluarkan mani dengan onani) baik dengan tangannya sendiri atau dengan tangan pasangannya (istrinya) atau karena bersentuhan yang membatalkan wudhu di mana menyentuhnya tanpa ada penghalang lalu keluar mani, maka termasuk pembatal puasa.”   19. Apa hukum wanita mencicipi makanan di siang hari Ramadhan? Dalam Ikmaal At-Tadriis bi Ta’liq Al-Yaaqut An-Nafiis fi Madzhab Ibn Idris (1:386), “Yang termasuk hal yang dimakruhkan saat puasa adalah dzauquth tho’aam (mencicipi atau merasakan makanan) karena dikhawatirkan bisa masuk ke jauf (rongga) dalam tubuh. Namun, sesuatu yang makruh dibolehkan ketika ada hajat (kebutuhan). Membantu mengunyah makanan seperti roti untuk anak kecil yang tidak bisa mencerna roti tersebut dengan baik atau untuk mentahnik (mengunyah agar lembut dan menaruh di langit-langit) dibolehkan hal yang makruh ini ketika butuh (ada hajat).” Baca juga: Mencicipi Makanan Ketika Berpuasa   20. Manakah yang lebih afdal, wanita shalat tarawih di masjid ataukah di rumah? Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ “Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya) Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutup aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang. Istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى “Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.) (HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan) Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا “Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”(HR. Muslim, no. 442) Baca juga: Shalat Wanita di Masjid ataukah di Rumah yang Lebih Afdal?   21. Apa hukum wanita ghibah (membicarakan jelek orang lain) di siang hari Ramadhan? Apakah puasanya batal? Apa itu ghibah telah dibicarakan dalam hadits berikut ini. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ » Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim, no. 2589). Ghibah kata Imam Nawawi adalah menyebutkan kejelekan orang lain di saat ia tidak ada saat pembicaraan. (Syarh Shahih Muslim, 16: 129). Kata seorang ulama tafsir, Masruq, “Ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek pada seseorang. Itu disebut mengghibah atau menggunjingnya. Jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar ada padanya, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian pula dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167). Dosa ghibah sudah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12) Dalam Kunuz Riyadhis Sholihin (18: 164) disebutkan, “Para ulama sepakat akan haramnya ghibah dan ghibah termasuk dosa besar.” Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fath Al-Qadir, 5:87) Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26:169). Baca juga:  Ghibah itu Dosa Besar? Ghibah itu Apa?   Perlu dipahami pula bahwa maksiat yang dilakukan di bulan Ramadhan itu lebih besar dosanya dibanding bila dilakukan di luar bulan Ramadhan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903). Perlu diingat bahwa ghibah itu dihukumi dosa baik saat berpuasa di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sehingga maksiat ghibah yang dilakukan tidak sampai membatalkan puasa karena tidak termasuk pembatal, tetapi masuk dalam pengurang kesempurnaan pahala puasa. Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Baari (6:129) mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya, “Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum, dan jimak (berhubungan intim).” Mulla ‘Ali Al-Qari rahimahullah dalam Mirqah Al-Mafaatih Syarh Misykah Al-Mashabih (6:308) berkata, “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.” Baca juga: Jangan Biarkan Puasa Sia-Sia   22. Apa hukum wanita berenang di siang hari Ramadhan? Rincian hukum renang sebagai berikut: Jika orang yang berenang punya sangkaan kuat bahwa air tidak akan sampai ke al-jauf (rongga) dari lubang mulut, hidung, atau telinga, maka tidaklah masalah berenang pada siang hari bulan Ramadhan karena tidak adanya larangan mengenai hal tersebut. Itulah yang dimaksud dengan fatwa makruhnya berenang saat berpuasa oleh ulama Syafiiyah karena khawatir masuknya air. Namun, jika air masuk ke dalam jauf (rongga) karena cara yang salah ketika berenang, puasanya batal, ia harus menahan diri pada sisa hari, dan puasanya harus diqadha’ bakda Ramadhan. Jika ada sangkaan kuat, air bisa masuk ke kerongkongan karena sebab berenang, maka jangan sampai ia membuat puasanya batal, karena jika melakukannya dan air masuk, puasanya batal, ia punya kewajiban qadha’ dan bertaubat. (Diambil dari Fatwa Lajnah Al-Ifta: https://www.aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2666#.Yh8Noy-l3f, diakses pada 2 Maret 2022, 13.30 WIB) Ringkasnya, yang tidak bisa berenang, maka jangan coba-coba berenang saat puasa.    23. Apakah wanita boleh melakukan iktikaf? Bagaimana caranya? Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا ، فَضَرَبَتْ خِبَاءً ، فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى الأَخْبِيَةَ فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « آلْبِرُّ تُرَوْنَ بِهِنَّ » . فَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada ‘Aisyah untuk mendirikan tenda, ‘Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beriktikaf dalam tenda, ia meminta untuk didirikan tenda, lalu didirikanlah tenda yang lain. Ketika di Shubuh hari lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat banyak tenda, lantas beliau bertanya, “Apa ini?” Beliau lantas diberitahu dan beliau bersabda, “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?” Beliau meninggalkan iktikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan beriktikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.” (HR. Bukhari, no. 2033). Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitab beliau Bulughul Maram, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan iktikaf. عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beriktikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari, no. 2026 dan Muslim, no. 1172) Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Jika wanita ingin melaksanakan iktikaf di masjid, maka hendaklah menutupi diri (dari pandangan laki-laki). Disyaratkan bagi wanita untuk berdiam di masjid selama tempat tersebut tidaklah mengganggu (menyempitkan) orang-orang yang shalat.” (Fath Al-Bari, 4:277) Baca juga: Apakah Wanita Boleh Iktikaf di Masjid? Cara lakukan iktikaf adalah di masjid yang diadakan shalat berjamaah (lebih bagus lagi diadakan shalat Jumat) dan waktu minimalnya tidaklah dibatasi. Seandainya iktikaf dilakukan di malam hari dan siangnya beraktivitas lain, masih dibolehkan. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Sedang kamu beriktikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beriktikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al-Muhalla, 5: 180. Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan iktikaf pada iktikaf yang sunnah atau iktikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al-Inshaf, 6:17) Baca juga: Iktikaf di Malam Hari, Siangnya Kerja   24. Apakah wanita boleh mengunjungi suami yang sedang beriktikaf di masjid? Jawabannya boleh berdasarkan hadits berikut ini. ‘Ali bin Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Shafiyyah binti Huyay—istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengabarkan padanya, أَنَّهَا جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ ، فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ ، فَقَامَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَعَهَا يَقْلِبُهَا ، حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلاَنِ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ لَهُمَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِىَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَىٍّ » . فَقَالاَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ . وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ ، وَإِنِّى خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِى قُلُوبِكُمَا شَيْئًا ‘ “Shafiyyah pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengunjungi beliau dan saat itu beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang-bincang dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa saat, kemudian ia berdiri dan hendak pulang. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan mengantarnya keluar. Ketika sampai pintu masjid, di pintu Ummu Salamah, ada dua orang Anshar lewat, maka keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan kepada keduanya, “Tak perlu kalian berdua tergesa-gesa, ini Shafiyyah binti Huyay.” Keduanya lantas mengucapkan, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” Mereka terheran dengan apa yang jadi jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah. Aku khawatir terdapat dalam diri kalian suuzhan (prasangka jelek).”  (HR. Bukhari, no. 2038 dan Muslim, no. 2175). Baca juga: Amalan Iktikaf   25. Apakah boleh wanita beriktikaf tanpa izin suaminya? Seharusnya wanita iktikaf dengan izin suami, bahkan bersama suami melakukan iktikaf sehingga aman baginya. Allah Ta’ala berfirman, وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al-Ahzab: 33). Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281) Baca juga: Kewajiban Istri   26. Apa solusi wanita yang mendapati haidh agar bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan? Yang jelas, wanita haidh dan nifas tidaklah boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an ketika ia haidh atau nifas. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini. عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni, no. 449. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’, no. 122). Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, ثُمَّ مَسُّ الْمُصْحَفِ يُشْتَرَطُ لَهُ الطَّهَارَةُ الْكُبْرَى وَالصُّغْرَى عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ وَكَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَهُوَ ثَابِتٌ عَنْ سَلْمَانَ وَسَعْدٍ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ “Menyentuh mushaf Al-Qur’an dipersyaratkan suci dari hadats besar dan hadats kecil. Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama) sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Qur’an, hadits, dan pendapat ini diketahui dari para sahabat seperti Salman, Sa’ad, dan sahabat lainnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 26: 200) Baca juga: Tidak Boleh Menyentuh Al-Qur’an Kecuali Orang yang Suci Namun, wanita haidh dan nifas masih boleh membaca mushaf Al-Qur’an tanpa menyentuhnya. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan dalam Majmu’ Fatawanya, “Wanita haidh dan nifas untuk diperbolehkan membaca Al-Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh dan nifas tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al-Qur’an (karena ada larangan mengenai hal ini). Kalau memang mau menyentuh Al-Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (misalnya: sarung tangan).” Baca juga: Hukum Membaca Al-Qur’an bagi Wanita Haidh Dua solusi bagi wanita haidh dan nifas yang ingin membaca Al-Qur’an adalah: a- Membaca mushaf saat haidh namun tidak menyentuh secara langsung b- Membaca Al-Qur’an terjemahan Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al-Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir, di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.” Jika yang disentuh adalah Al-Qur’an terjemahan dalam bahasa non-Arab, tidak disebut mushaf yang disyaratkan dalam hadits mesti menyentuhnya dalam keadaan suci. Namun kitab atau buku seperti itu disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu, tidak mengapa menyentuh Al-Qur’an terjemahan seperti itu karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al-Qur’an (tulisan Arab dari Al-Qur’an) lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, sudah sepatutnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats. Baca juga: Bagaimana Wanita Haidh Membaca Al-Qur’an?   27. Apa hukum wanita haidh membaca Al-Qur’an lewat handphone? Syaikh Prof. Dr. Khalid Al Musyaiqih–semoga Allah senantiasa menjaga dan memberkahi umur beliau–menjelaskan, “Handphone yang memiliki aplikasi Al-Qur’an atau berupa softfile, tidak dihukumi seperti hukum mushaf Al-Qur’an (di mana harus dalam keadaan bersuci ketika ingin menyentuhnya). Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan bersuci. Begitu pula handphone ini bisa dibawa masuk ke dalam kamar mandi karena aplikasi Al-Qur’an di dalamnya tidaklah seperti mushaf. Ia hanya berupa aplikasi yang ketika dibuka barulah tampak huruf-hurufnya, ditambah dengan suara jika di-play. Aplikasi Al-Qur’an tersebut akan tampak, tetapi jika beralih ke aplikasi lainnya, ia akan tertutup. Yang jelas aplikasi tersebut tidak terus ON (ada atau nyala). Bahkan dalam handphone tersebut bukan hanya ada aplikasi Al-Qur’an saja, ada aplikasi lainnya pula. Ringkasnya, handphone tersebut dihukumi seperti mushaf ketika aplikasinya dibuka dan ayat-ayat Al-Qur’an terlihat. Namun lebih hati-hatinya, aplikasi Al-Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir handphone-nya saja. Wallahu a’lam.” (Fiqh An-Nawazil fi Al-‘Ibadah, Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Penerbit Maktabah Ar Rusyd, Cetakan pertama, Tahun 1433 H, hlm. 76). Baca juga: Menyentuh Handphone yang Terdapat Aplikasi Al-Qur’an Saat Tidak Suci   28. Apakah wanita haidh bisa mendapatkan lailatul qadar? Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir, dan orang yang tidur (tetapi hatinya tidak lalai dalam dzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 341) Baca juga: Tanpa Melakukan Iktikaf Masih Bisa Mendapatkan Lailatul Qadar   29. Istri apakah harus membayar zakat fitrah sendiri ataukah dibayarkan suami?   30. Jika istri memiliki harta sendiri, apakah harus bayar zakat maal sendiri?   31. Apakah tas branded milik istri terkena kewajiban zakat?   32. Apakah dana haji yang telah disetorkan ke Kementrian Agama tetap dimasukkan dalam hitungan zakat?   33. Jika istri memiliki penghasilan, apakah membayar zakatnya setiap bulan sebagaimana zakat profesi ataukah cukup setiap tahun saat haul dari simpanan? Baca juga: Kritikan pada Zakat Profesi   34. Apa hukum mudik wanita sendirian tanpa ditemani mahram?   35. Apa hukum menghadiri shalat Idulfitri bagi wanita haidh?     – JIka ada pertanyaan lainnya yang belum tertulis di atas, silakan tuliskan dalam kolom komentar. Semoga bisa sampai 50+ masalah yang akan dijawab.     –   Mulai disusun dari Senin, 16 Syakban 1445 H, 26 Februari 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsfikih wanita wanita di bulan Ramadhan wanita ramadhan

Ashim bin Abi An-Najud: Imam Qiraah di Kufah dan Pemilik Suara Indah

Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Berikut ini merupakan silsilah biografi Al-Qurra Al-’Asyarah (para pemilik qiraah yang sepuluh). Yang pertama adalah biografi Imam Ashim. Qiraah beliau merupakan qiraah yang saat ini paling banyak tersebar. Wallahu a’lam. Nama lengkap Nama beliau adalah Ashim bin Bahdalah Abi An-Najud Al-Asadiy (maulahum) Al-Kufiy. عَاصِمُ بْنُ بَهْدَلَهُ أَبِي النَّجُودِ الأسَدِيّ مولاهم الكُوفِيُّ Kunyah beliau adalah ( أَبُو بَكْرٍ ) Abu Bakr. [1] Tentang nama “Bahdalah”, ini merupakan nama bapak beliau, bukan ibu beliau. Ini merupakan pendapat yang benar, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Dzahabiy rahimahullah. [2] Sifat-sifat secara umum Ashim bin Abi An-Najud adalah salah satu dari Qurra’ Sab’ah. Beliau merupakan seorang ulama hadis, ahli dalam bidang bahasa, nahwu, dan fikih. [3] Ahmad bin Abdullah Al-’Ijli rahimahullah berkata, عاصم بن بهدلة صاحب سنة وقراءة ، كان رأسا في القرآن “Ashim bin Bahdalah adalah seseorang yang sangat memahami hadis dan bacaan Al-Qur’an. Beliau merupakan penghulu dalam bidang Al-Qur’an.” [4] Beliau adalah seorang yang banyak beribadah, banyak berbuat kebaikan, dan rajin salat. Selain memiliki perhatian yang besar terhadap Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang banyak, beliau juga banyak melakukan amal ketaatan dan banyak beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh kecintaan. Beliau menemukan ketenangan dan kedamaian dalam ber-munajat dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Beliau sering menghabiskan waktu di masjid, yang merupakan tempat yang paling Dia cintai, memberikan contoh yang baik kepada murid-muridnya dengan menyatukan antara ucapan dan tindakan. Ini merupakan bentuk pendidikan yang jujur dan bimbingan yang baik kepada mereka. Abu Bakr Syu’bah bin ‘Ayyash rahimahullah, salah satu murid beliau, berkata, وكان عاصم إذا صلى ينتصب كأنه عود، وكان يكون يوم الجمعة في المسجد إلى العصر، وكان عابداً خيراً يصلي أبداً “Ketika Ashim salat, dia tegak seperti pohon kayu. Dia biasanya berada di masjid sampai waktu Asar di hari Jumat. Dia adalah seorang yang sangat rajin dalam beribadah, banyak melakukan kebajikan, dan senantiasa salat.” [5] Beliau memiliki akhlak yang baik, bermartabat, banyak beribadah, dan beradab. Salah satu bukti dari hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Abu Bakr Syu’bah bin ‘Ayyash rahimahullah, كان عاصم نحوياً فصيحاً إذا تكلم، مشهور الكلام، وكان هو والأعمش وأبو حصين الأسدي لا يبصرون، جاء رجل يوماً يقود عاصماً فوقع وقعة شديدة فما نهره ولا قال له شيئاً “Ashim adalah ahli nahwu dan orang yang fasih ketika berbicara, terkenal dalam perkataannya. Dia, Al-A’masy, dan Abu Hasyim Al-Asadi rahimahumullah merupakan orang-orang yang tidak melihat (buta). Pada suatu hari, ada seorang pria yang membawa Ashim, kemudian terjadi insiden yang parah. Tetapi, Ashim tidak memarahinya atau mengatakan sesuatu yang buruk padanya.” [6] Dan Salamah bin Ashim rahimahullah berkata, كان عاصم بن أبي النجود ذا نسك وأدب وفصاحة وصوت حسن “Ashim bin Abi An-Najud adalah seseorang yang banyak beribadah, beradab, fasih dalam berbicara, dan memiliki suara yang bagus.” [7] Keadaannya bersama Al-Qur’an Ashim bin Abi An-Najud adalah seorang imam yang menjadi puncak para guru dalam pembacaan Al-Qur’an di Kufah, setelah Abu Abdurrahman As-Sulami rahimahullah. Beliau duduk di kursinya setelah dia wafat. Orang-orang datang pada beliau dari berbagai tempat untuk membaca Al-Qur’an. Dia menggabungkan antara kefasihan, tajwid, kekuatan hafalan, dan ketelitian. Beliau memiliki suara yang sangat indah dalam membaca Al-Qur’an, sebagaimana ucapan Salamah bin Ashim rahimahullah di atas. Selain itu, Abu Bakar bin Ayyasy rahimahullah (yaitu, Imam Syu’bah) berkata, لَا أَحْصِي مَا سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ السُّبَيْعِيَّ يَقُولُ : (مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَقْرَأَ لِلْقُرْآنِ مِنْ عَاصِمِ بْنِ أبي النجود). “Saya tidak bisa menghitung berapa kali saya mendengar Abu Ishaq As-Subai’i berkata, ‘Saya tidak pernah melihat seseorang membaca Al-Quran lebih baik dari Ashim bin Abi An-Najud.’” Dia rahimahullah juga berkata, كان عاصم من أفصح الناس، مقدما في زمانه، مشهوراً بالفصاحة، معروفا بالإتقان “Ashim adalah salah satu orang yang paling fasih di zamannya, terkenal dengan kefasihan, dan dikenal dengan kekuatan hafalan.” Selain itu, dia rahimahullah juga berkata, قَالَ لِي عَاصِمٌ : مَرِضتُّ سَنَتَيْنِ، فَلَمَّا قُمْتُ قَرَأْتُ القُرْآنَ فَمَا أَخْطَأْتُ حَرْفًا “Ashim berkata kepadaku, ‘Saya sakit selama dua tahun (tidak bisa membaca/ muraja’ah Al-Qur’an). Ketika saya sembuh, saya membaca Al-Qur’an dan tidak melakukan satu kesalahan pun dalam membaca.’” Yahya bin Adam rahimahullah berkata, “Hasan bin Shalih mengatakan kepada kami, مَا رَأَيْتُ أَحَدًا قَط أَفْصَحَ مِنْ عَاصِمٍ ‘Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih fasih dalam membaca Al-Qur’an daripada Ashim.’” [8] Ashim bin Abi An-Najud sangat peduli dengan mengajarkan Al-Qur’an. Beliau tidak membedakan antara orang-orang yang ingin mempelajarinya. Beliau akan mengajari siapa pun yang ingin belajar, memperhatikan kondisinya, dan membantu mereka walaupun sampai mengorbankan urusan pribadi beliau. [9] Baca juga: Sekilas tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Gurunya dalam qiraah Ashim bertemu dengan beberapa sahabat Rasulullah ﷺ dan belajar dari mereka, sehingga beliau termasuk di antara tabi’in yang muda. Beliau membaca Al-Qur’an kepada Abu Abdurrahman Abdullah bin Habib bin Rabi’ah As-Sulami Adh-Dharir, Abu Maryam Zirr bin Hubaish bin Hubashah Al-Asadi, dan Abu Amr Sa’d bin Ilyas Ash-Shaibani rahimahumullah. Ketiga orang tersebut membaca kepada Abdullah bin Mas’ud. Zirr dan As-Sulami juga membaca kepada Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. As-Sulami rahimahullah juga membaca kepada Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan Abdullah bin Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay, dan Zaid membaca kepada Rasulullah ﷺ. Abu Bakr bin Ayyash rahimahullah berkata, قال لي عاصم: ما أقرأني أحد حرفًا إلا أبو عبد الرحمن السلمي، وكان أبو عبد الرحمن قد قرأ على علي رضي الله تعالى عنه، وكنتُ أرجع من عند أبي عبد الرحمن فأعرض على زر بن حبيش، وكان زر قد قرأ على عبد الله بن مسعود رضي اللَّهُ عَنْهُ. فقلت لعاصم : لقد استوثقت لنفسك، أخذت القراءة من وجهين، قال: أجل. Ashim berkata kepadaku, “Tidak seorang pun membacakan satu huruf pun kepadaku kecuali Abu Abdurrahman As-Sulami. Abu Abdurrahman pernah membaca Al-Qur’an kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu, saya kembali dari Abu Abdurrahman, dan kemudian saya membaca Al-Qur’an di hadapan Zirr bin Hubaisy. Zirr pernah membaca Al-Qur’an kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.” Kemudian saya berkata kepada Ashim, “Anda telah menguatkan bacaan Al-Qur’an yang ada pada diri Anda. Anda belajar dari dua sisi.” Dia menjawab, “Tentu.” Hafs bin Sulaiman rahimahullah berkata, bahwa Ashim pernah berkata padaku, ما كان من القراءة التي أقرأتك بها فهي القراءة التي قرأتُ بها على أبي عبد الرحمن السلمي عن علي رضى اللهُ عَنْهُ ، وما كان من القراءة التي أقرأتها أبا بكر بن عياش فهي القراءة التي كنتُ أعرضها على زر بن حبيش عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. “Semua bacaan Al-Qur’an yang saya bacakan kepada Anda, adalah apa yang saya bacakan kepada Abu Abdurrahman As-Sulami, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dan semua bacaan Al-Qur’an yang saya bacakan kepada Abu Bakr bin Ayyash, adalah apa yang saya bacakan di hadapan Zirr bin Hubaisy, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.” [10] Muridnya dalam qiraah Ashim meriwayatkan bacaan Al-Qur’an kepada: Hafs bin Sulaiman, Abu Bakr Shu’bah bin Ayyash (yang keduanya merupakan perawi yang paling terkenal dari beliau), Aban bin Taghlib, Hammad bin Salamah, Sulaiman bin Mihran Al-A’masy, Abu Al-Mundhir Salamah bin Sulaiman, Sahl bin Shu’aib, dan Sya’ban bin Mu’awiyah, serta banyak lagi rahimahumullah. Di antara yang paling terkenal adalah Abu Bakr bin Ayyash, Hafs bin Sulaiman, dan Al-A’masy. Beberapa perawi yang meriwayatkan huruf-huruf dari Al-Qur’an, dari Ashim adalah: Abu Amr bin Al-‘Ala’, Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, Hamzah Az-Zayyat, Sufyan Ath-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, dan lainnya rahimahumullah. [11] Kedudukannya dalam ilmu hadis Kedudukan Ashim bin Abi An-Najud dalam ilmu riwayah dan hadis, tidak sebesar kedudukan beliau dalam membacakan Al-Qur’an dan membacanya. Meskipun demikian, hadis beliau dikeluarkan dalam Kutub Sittah (kitab-kitab hadis yang enam) dan dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, walaupun hanya sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata tentangnya, كان خيرا ثقة، والأعمش أحفظ منه، وكان شعبة يختار الأعمش عليه في تثبيت الحديث “Dia adalah seorang yang memiki banyak kebaikan, dan tsiqah (kuat dalam periwayatan). Namun, Al-A’masy lebih kuat hafalannya (dari sisi hadis) darinya. Dan Syu’bah memilih Al-A’masy daripadanya dalam mempertimbangkan hadis.” [12] Wafat Beliau meninggal pada tahun 129 H, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Al-Jazari. Ada perbedaan pendapat tentang tempat kematiannya, namun kebanyakan berpendapat bahwa dia meninggal di Kufah. [13] Abu Bakr bin ‘Ayyash rahimahullah berkata, دخلت على عاصم وهو في الموت فأغمي عليه، فأفاق، فقرأ : ( ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلَتْهُمُ الْحَقِّ أَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَسِينَ ) [الأنعام : ٦٢]. يُحَقِّقُهَا كَأَنَّهُ فِي الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّ تَجْوِيدَ الْقُرْآنِ صَارَ فِيهِ سَجِيَّةً “Aku masuk menemui Ashim ketika dia dalam keadaan sekarat, lalu dia pingsan. Setelah sadar, dia membaca ayat (yang artinya), ‘Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Pencipta mereka yang sebenarnya. Ingatlah, keputusan hakim itu hanya bagi-Nya dan Dia adalah yang paling cepat dalam memutuskan.’ [14] Dia membacanya dengan tahqiq (bertajwid, dan dengan tempo lambat), seolah-olah dia sedang dalam salat; karena membaca Al-Qur’an dengan tajwid telah menjadi bagian yang melekat pada dirinya.” [15] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Abu Sa’id Al-Khudri *** 8 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M Tarjamatul Qurra ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M   Catatan kaki: [1] Tarikhul Qurra Al-’Asyarolah, hal. 57, Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 88. [2] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 89. [3] Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, hal. 58. [4] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 91. [5] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 367-368. [6] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 91; Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 368. [7] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 92. [8] Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, hal. 57-58. [9] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 367. [10] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 84-85. [11] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 86. [12] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 86-87. [13] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 88. [14] QS. Al-An’am: 62 [15] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 93. Tags: imam Ashim

Ashim bin Abi An-Najud: Imam Qiraah di Kufah dan Pemilik Suara Indah

Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Berikut ini merupakan silsilah biografi Al-Qurra Al-’Asyarah (para pemilik qiraah yang sepuluh). Yang pertama adalah biografi Imam Ashim. Qiraah beliau merupakan qiraah yang saat ini paling banyak tersebar. Wallahu a’lam. Nama lengkap Nama beliau adalah Ashim bin Bahdalah Abi An-Najud Al-Asadiy (maulahum) Al-Kufiy. عَاصِمُ بْنُ بَهْدَلَهُ أَبِي النَّجُودِ الأسَدِيّ مولاهم الكُوفِيُّ Kunyah beliau adalah ( أَبُو بَكْرٍ ) Abu Bakr. [1] Tentang nama “Bahdalah”, ini merupakan nama bapak beliau, bukan ibu beliau. Ini merupakan pendapat yang benar, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Dzahabiy rahimahullah. [2] Sifat-sifat secara umum Ashim bin Abi An-Najud adalah salah satu dari Qurra’ Sab’ah. Beliau merupakan seorang ulama hadis, ahli dalam bidang bahasa, nahwu, dan fikih. [3] Ahmad bin Abdullah Al-’Ijli rahimahullah berkata, عاصم بن بهدلة صاحب سنة وقراءة ، كان رأسا في القرآن “Ashim bin Bahdalah adalah seseorang yang sangat memahami hadis dan bacaan Al-Qur’an. Beliau merupakan penghulu dalam bidang Al-Qur’an.” [4] Beliau adalah seorang yang banyak beribadah, banyak berbuat kebaikan, dan rajin salat. Selain memiliki perhatian yang besar terhadap Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang banyak, beliau juga banyak melakukan amal ketaatan dan banyak beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh kecintaan. Beliau menemukan ketenangan dan kedamaian dalam ber-munajat dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Beliau sering menghabiskan waktu di masjid, yang merupakan tempat yang paling Dia cintai, memberikan contoh yang baik kepada murid-muridnya dengan menyatukan antara ucapan dan tindakan. Ini merupakan bentuk pendidikan yang jujur dan bimbingan yang baik kepada mereka. Abu Bakr Syu’bah bin ‘Ayyash rahimahullah, salah satu murid beliau, berkata, وكان عاصم إذا صلى ينتصب كأنه عود، وكان يكون يوم الجمعة في المسجد إلى العصر، وكان عابداً خيراً يصلي أبداً “Ketika Ashim salat, dia tegak seperti pohon kayu. Dia biasanya berada di masjid sampai waktu Asar di hari Jumat. Dia adalah seorang yang sangat rajin dalam beribadah, banyak melakukan kebajikan, dan senantiasa salat.” [5] Beliau memiliki akhlak yang baik, bermartabat, banyak beribadah, dan beradab. Salah satu bukti dari hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Abu Bakr Syu’bah bin ‘Ayyash rahimahullah, كان عاصم نحوياً فصيحاً إذا تكلم، مشهور الكلام، وكان هو والأعمش وأبو حصين الأسدي لا يبصرون، جاء رجل يوماً يقود عاصماً فوقع وقعة شديدة فما نهره ولا قال له شيئاً “Ashim adalah ahli nahwu dan orang yang fasih ketika berbicara, terkenal dalam perkataannya. Dia, Al-A’masy, dan Abu Hasyim Al-Asadi rahimahumullah merupakan orang-orang yang tidak melihat (buta). Pada suatu hari, ada seorang pria yang membawa Ashim, kemudian terjadi insiden yang parah. Tetapi, Ashim tidak memarahinya atau mengatakan sesuatu yang buruk padanya.” [6] Dan Salamah bin Ashim rahimahullah berkata, كان عاصم بن أبي النجود ذا نسك وأدب وفصاحة وصوت حسن “Ashim bin Abi An-Najud adalah seseorang yang banyak beribadah, beradab, fasih dalam berbicara, dan memiliki suara yang bagus.” [7] Keadaannya bersama Al-Qur’an Ashim bin Abi An-Najud adalah seorang imam yang menjadi puncak para guru dalam pembacaan Al-Qur’an di Kufah, setelah Abu Abdurrahman As-Sulami rahimahullah. Beliau duduk di kursinya setelah dia wafat. Orang-orang datang pada beliau dari berbagai tempat untuk membaca Al-Qur’an. Dia menggabungkan antara kefasihan, tajwid, kekuatan hafalan, dan ketelitian. Beliau memiliki suara yang sangat indah dalam membaca Al-Qur’an, sebagaimana ucapan Salamah bin Ashim rahimahullah di atas. Selain itu, Abu Bakar bin Ayyasy rahimahullah (yaitu, Imam Syu’bah) berkata, لَا أَحْصِي مَا سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ السُّبَيْعِيَّ يَقُولُ : (مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَقْرَأَ لِلْقُرْآنِ مِنْ عَاصِمِ بْنِ أبي النجود). “Saya tidak bisa menghitung berapa kali saya mendengar Abu Ishaq As-Subai’i berkata, ‘Saya tidak pernah melihat seseorang membaca Al-Quran lebih baik dari Ashim bin Abi An-Najud.’” Dia rahimahullah juga berkata, كان عاصم من أفصح الناس، مقدما في زمانه، مشهوراً بالفصاحة، معروفا بالإتقان “Ashim adalah salah satu orang yang paling fasih di zamannya, terkenal dengan kefasihan, dan dikenal dengan kekuatan hafalan.” Selain itu, dia rahimahullah juga berkata, قَالَ لِي عَاصِمٌ : مَرِضتُّ سَنَتَيْنِ، فَلَمَّا قُمْتُ قَرَأْتُ القُرْآنَ فَمَا أَخْطَأْتُ حَرْفًا “Ashim berkata kepadaku, ‘Saya sakit selama dua tahun (tidak bisa membaca/ muraja’ah Al-Qur’an). Ketika saya sembuh, saya membaca Al-Qur’an dan tidak melakukan satu kesalahan pun dalam membaca.’” Yahya bin Adam rahimahullah berkata, “Hasan bin Shalih mengatakan kepada kami, مَا رَأَيْتُ أَحَدًا قَط أَفْصَحَ مِنْ عَاصِمٍ ‘Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih fasih dalam membaca Al-Qur’an daripada Ashim.’” [8] Ashim bin Abi An-Najud sangat peduli dengan mengajarkan Al-Qur’an. Beliau tidak membedakan antara orang-orang yang ingin mempelajarinya. Beliau akan mengajari siapa pun yang ingin belajar, memperhatikan kondisinya, dan membantu mereka walaupun sampai mengorbankan urusan pribadi beliau. [9] Baca juga: Sekilas tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Gurunya dalam qiraah Ashim bertemu dengan beberapa sahabat Rasulullah ﷺ dan belajar dari mereka, sehingga beliau termasuk di antara tabi’in yang muda. Beliau membaca Al-Qur’an kepada Abu Abdurrahman Abdullah bin Habib bin Rabi’ah As-Sulami Adh-Dharir, Abu Maryam Zirr bin Hubaish bin Hubashah Al-Asadi, dan Abu Amr Sa’d bin Ilyas Ash-Shaibani rahimahumullah. Ketiga orang tersebut membaca kepada Abdullah bin Mas’ud. Zirr dan As-Sulami juga membaca kepada Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. As-Sulami rahimahullah juga membaca kepada Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan Abdullah bin Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay, dan Zaid membaca kepada Rasulullah ﷺ. Abu Bakr bin Ayyash rahimahullah berkata, قال لي عاصم: ما أقرأني أحد حرفًا إلا أبو عبد الرحمن السلمي، وكان أبو عبد الرحمن قد قرأ على علي رضي الله تعالى عنه، وكنتُ أرجع من عند أبي عبد الرحمن فأعرض على زر بن حبيش، وكان زر قد قرأ على عبد الله بن مسعود رضي اللَّهُ عَنْهُ. فقلت لعاصم : لقد استوثقت لنفسك، أخذت القراءة من وجهين، قال: أجل. Ashim berkata kepadaku, “Tidak seorang pun membacakan satu huruf pun kepadaku kecuali Abu Abdurrahman As-Sulami. Abu Abdurrahman pernah membaca Al-Qur’an kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu, saya kembali dari Abu Abdurrahman, dan kemudian saya membaca Al-Qur’an di hadapan Zirr bin Hubaisy. Zirr pernah membaca Al-Qur’an kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.” Kemudian saya berkata kepada Ashim, “Anda telah menguatkan bacaan Al-Qur’an yang ada pada diri Anda. Anda belajar dari dua sisi.” Dia menjawab, “Tentu.” Hafs bin Sulaiman rahimahullah berkata, bahwa Ashim pernah berkata padaku, ما كان من القراءة التي أقرأتك بها فهي القراءة التي قرأتُ بها على أبي عبد الرحمن السلمي عن علي رضى اللهُ عَنْهُ ، وما كان من القراءة التي أقرأتها أبا بكر بن عياش فهي القراءة التي كنتُ أعرضها على زر بن حبيش عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. “Semua bacaan Al-Qur’an yang saya bacakan kepada Anda, adalah apa yang saya bacakan kepada Abu Abdurrahman As-Sulami, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dan semua bacaan Al-Qur’an yang saya bacakan kepada Abu Bakr bin Ayyash, adalah apa yang saya bacakan di hadapan Zirr bin Hubaisy, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.” [10] Muridnya dalam qiraah Ashim meriwayatkan bacaan Al-Qur’an kepada: Hafs bin Sulaiman, Abu Bakr Shu’bah bin Ayyash (yang keduanya merupakan perawi yang paling terkenal dari beliau), Aban bin Taghlib, Hammad bin Salamah, Sulaiman bin Mihran Al-A’masy, Abu Al-Mundhir Salamah bin Sulaiman, Sahl bin Shu’aib, dan Sya’ban bin Mu’awiyah, serta banyak lagi rahimahumullah. Di antara yang paling terkenal adalah Abu Bakr bin Ayyash, Hafs bin Sulaiman, dan Al-A’masy. Beberapa perawi yang meriwayatkan huruf-huruf dari Al-Qur’an, dari Ashim adalah: Abu Amr bin Al-‘Ala’, Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, Hamzah Az-Zayyat, Sufyan Ath-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, dan lainnya rahimahumullah. [11] Kedudukannya dalam ilmu hadis Kedudukan Ashim bin Abi An-Najud dalam ilmu riwayah dan hadis, tidak sebesar kedudukan beliau dalam membacakan Al-Qur’an dan membacanya. Meskipun demikian, hadis beliau dikeluarkan dalam Kutub Sittah (kitab-kitab hadis yang enam) dan dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, walaupun hanya sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata tentangnya, كان خيرا ثقة، والأعمش أحفظ منه، وكان شعبة يختار الأعمش عليه في تثبيت الحديث “Dia adalah seorang yang memiki banyak kebaikan, dan tsiqah (kuat dalam periwayatan). Namun, Al-A’masy lebih kuat hafalannya (dari sisi hadis) darinya. Dan Syu’bah memilih Al-A’masy daripadanya dalam mempertimbangkan hadis.” [12] Wafat Beliau meninggal pada tahun 129 H, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Al-Jazari. Ada perbedaan pendapat tentang tempat kematiannya, namun kebanyakan berpendapat bahwa dia meninggal di Kufah. [13] Abu Bakr bin ‘Ayyash rahimahullah berkata, دخلت على عاصم وهو في الموت فأغمي عليه، فأفاق، فقرأ : ( ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلَتْهُمُ الْحَقِّ أَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَسِينَ ) [الأنعام : ٦٢]. يُحَقِّقُهَا كَأَنَّهُ فِي الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّ تَجْوِيدَ الْقُرْآنِ صَارَ فِيهِ سَجِيَّةً “Aku masuk menemui Ashim ketika dia dalam keadaan sekarat, lalu dia pingsan. Setelah sadar, dia membaca ayat (yang artinya), ‘Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Pencipta mereka yang sebenarnya. Ingatlah, keputusan hakim itu hanya bagi-Nya dan Dia adalah yang paling cepat dalam memutuskan.’ [14] Dia membacanya dengan tahqiq (bertajwid, dan dengan tempo lambat), seolah-olah dia sedang dalam salat; karena membaca Al-Qur’an dengan tajwid telah menjadi bagian yang melekat pada dirinya.” [15] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Abu Sa’id Al-Khudri *** 8 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M Tarjamatul Qurra ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M   Catatan kaki: [1] Tarikhul Qurra Al-’Asyarolah, hal. 57, Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 88. [2] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 89. [3] Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, hal. 58. [4] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 91. [5] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 367-368. [6] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 91; Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 368. [7] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 92. [8] Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, hal. 57-58. [9] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 367. [10] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 84-85. [11] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 86. [12] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 86-87. [13] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 88. [14] QS. Al-An’am: 62 [15] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 93. Tags: imam Ashim
Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Berikut ini merupakan silsilah biografi Al-Qurra Al-’Asyarah (para pemilik qiraah yang sepuluh). Yang pertama adalah biografi Imam Ashim. Qiraah beliau merupakan qiraah yang saat ini paling banyak tersebar. Wallahu a’lam. Nama lengkap Nama beliau adalah Ashim bin Bahdalah Abi An-Najud Al-Asadiy (maulahum) Al-Kufiy. عَاصِمُ بْنُ بَهْدَلَهُ أَبِي النَّجُودِ الأسَدِيّ مولاهم الكُوفِيُّ Kunyah beliau adalah ( أَبُو بَكْرٍ ) Abu Bakr. [1] Tentang nama “Bahdalah”, ini merupakan nama bapak beliau, bukan ibu beliau. Ini merupakan pendapat yang benar, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Dzahabiy rahimahullah. [2] Sifat-sifat secara umum Ashim bin Abi An-Najud adalah salah satu dari Qurra’ Sab’ah. Beliau merupakan seorang ulama hadis, ahli dalam bidang bahasa, nahwu, dan fikih. [3] Ahmad bin Abdullah Al-’Ijli rahimahullah berkata, عاصم بن بهدلة صاحب سنة وقراءة ، كان رأسا في القرآن “Ashim bin Bahdalah adalah seseorang yang sangat memahami hadis dan bacaan Al-Qur’an. Beliau merupakan penghulu dalam bidang Al-Qur’an.” [4] Beliau adalah seorang yang banyak beribadah, banyak berbuat kebaikan, dan rajin salat. Selain memiliki perhatian yang besar terhadap Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang banyak, beliau juga banyak melakukan amal ketaatan dan banyak beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh kecintaan. Beliau menemukan ketenangan dan kedamaian dalam ber-munajat dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Beliau sering menghabiskan waktu di masjid, yang merupakan tempat yang paling Dia cintai, memberikan contoh yang baik kepada murid-muridnya dengan menyatukan antara ucapan dan tindakan. Ini merupakan bentuk pendidikan yang jujur dan bimbingan yang baik kepada mereka. Abu Bakr Syu’bah bin ‘Ayyash rahimahullah, salah satu murid beliau, berkata, وكان عاصم إذا صلى ينتصب كأنه عود، وكان يكون يوم الجمعة في المسجد إلى العصر، وكان عابداً خيراً يصلي أبداً “Ketika Ashim salat, dia tegak seperti pohon kayu. Dia biasanya berada di masjid sampai waktu Asar di hari Jumat. Dia adalah seorang yang sangat rajin dalam beribadah, banyak melakukan kebajikan, dan senantiasa salat.” [5] Beliau memiliki akhlak yang baik, bermartabat, banyak beribadah, dan beradab. Salah satu bukti dari hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Abu Bakr Syu’bah bin ‘Ayyash rahimahullah, كان عاصم نحوياً فصيحاً إذا تكلم، مشهور الكلام، وكان هو والأعمش وأبو حصين الأسدي لا يبصرون، جاء رجل يوماً يقود عاصماً فوقع وقعة شديدة فما نهره ولا قال له شيئاً “Ashim adalah ahli nahwu dan orang yang fasih ketika berbicara, terkenal dalam perkataannya. Dia, Al-A’masy, dan Abu Hasyim Al-Asadi rahimahumullah merupakan orang-orang yang tidak melihat (buta). Pada suatu hari, ada seorang pria yang membawa Ashim, kemudian terjadi insiden yang parah. Tetapi, Ashim tidak memarahinya atau mengatakan sesuatu yang buruk padanya.” [6] Dan Salamah bin Ashim rahimahullah berkata, كان عاصم بن أبي النجود ذا نسك وأدب وفصاحة وصوت حسن “Ashim bin Abi An-Najud adalah seseorang yang banyak beribadah, beradab, fasih dalam berbicara, dan memiliki suara yang bagus.” [7] Keadaannya bersama Al-Qur’an Ashim bin Abi An-Najud adalah seorang imam yang menjadi puncak para guru dalam pembacaan Al-Qur’an di Kufah, setelah Abu Abdurrahman As-Sulami rahimahullah. Beliau duduk di kursinya setelah dia wafat. Orang-orang datang pada beliau dari berbagai tempat untuk membaca Al-Qur’an. Dia menggabungkan antara kefasihan, tajwid, kekuatan hafalan, dan ketelitian. Beliau memiliki suara yang sangat indah dalam membaca Al-Qur’an, sebagaimana ucapan Salamah bin Ashim rahimahullah di atas. Selain itu, Abu Bakar bin Ayyasy rahimahullah (yaitu, Imam Syu’bah) berkata, لَا أَحْصِي مَا سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ السُّبَيْعِيَّ يَقُولُ : (مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَقْرَأَ لِلْقُرْآنِ مِنْ عَاصِمِ بْنِ أبي النجود). “Saya tidak bisa menghitung berapa kali saya mendengar Abu Ishaq As-Subai’i berkata, ‘Saya tidak pernah melihat seseorang membaca Al-Quran lebih baik dari Ashim bin Abi An-Najud.’” Dia rahimahullah juga berkata, كان عاصم من أفصح الناس، مقدما في زمانه، مشهوراً بالفصاحة، معروفا بالإتقان “Ashim adalah salah satu orang yang paling fasih di zamannya, terkenal dengan kefasihan, dan dikenal dengan kekuatan hafalan.” Selain itu, dia rahimahullah juga berkata, قَالَ لِي عَاصِمٌ : مَرِضتُّ سَنَتَيْنِ، فَلَمَّا قُمْتُ قَرَأْتُ القُرْآنَ فَمَا أَخْطَأْتُ حَرْفًا “Ashim berkata kepadaku, ‘Saya sakit selama dua tahun (tidak bisa membaca/ muraja’ah Al-Qur’an). Ketika saya sembuh, saya membaca Al-Qur’an dan tidak melakukan satu kesalahan pun dalam membaca.’” Yahya bin Adam rahimahullah berkata, “Hasan bin Shalih mengatakan kepada kami, مَا رَأَيْتُ أَحَدًا قَط أَفْصَحَ مِنْ عَاصِمٍ ‘Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih fasih dalam membaca Al-Qur’an daripada Ashim.’” [8] Ashim bin Abi An-Najud sangat peduli dengan mengajarkan Al-Qur’an. Beliau tidak membedakan antara orang-orang yang ingin mempelajarinya. Beliau akan mengajari siapa pun yang ingin belajar, memperhatikan kondisinya, dan membantu mereka walaupun sampai mengorbankan urusan pribadi beliau. [9] Baca juga: Sekilas tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Gurunya dalam qiraah Ashim bertemu dengan beberapa sahabat Rasulullah ﷺ dan belajar dari mereka, sehingga beliau termasuk di antara tabi’in yang muda. Beliau membaca Al-Qur’an kepada Abu Abdurrahman Abdullah bin Habib bin Rabi’ah As-Sulami Adh-Dharir, Abu Maryam Zirr bin Hubaish bin Hubashah Al-Asadi, dan Abu Amr Sa’d bin Ilyas Ash-Shaibani rahimahumullah. Ketiga orang tersebut membaca kepada Abdullah bin Mas’ud. Zirr dan As-Sulami juga membaca kepada Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. As-Sulami rahimahullah juga membaca kepada Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan Abdullah bin Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay, dan Zaid membaca kepada Rasulullah ﷺ. Abu Bakr bin Ayyash rahimahullah berkata, قال لي عاصم: ما أقرأني أحد حرفًا إلا أبو عبد الرحمن السلمي، وكان أبو عبد الرحمن قد قرأ على علي رضي الله تعالى عنه، وكنتُ أرجع من عند أبي عبد الرحمن فأعرض على زر بن حبيش، وكان زر قد قرأ على عبد الله بن مسعود رضي اللَّهُ عَنْهُ. فقلت لعاصم : لقد استوثقت لنفسك، أخذت القراءة من وجهين، قال: أجل. Ashim berkata kepadaku, “Tidak seorang pun membacakan satu huruf pun kepadaku kecuali Abu Abdurrahman As-Sulami. Abu Abdurrahman pernah membaca Al-Qur’an kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu, saya kembali dari Abu Abdurrahman, dan kemudian saya membaca Al-Qur’an di hadapan Zirr bin Hubaisy. Zirr pernah membaca Al-Qur’an kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.” Kemudian saya berkata kepada Ashim, “Anda telah menguatkan bacaan Al-Qur’an yang ada pada diri Anda. Anda belajar dari dua sisi.” Dia menjawab, “Tentu.” Hafs bin Sulaiman rahimahullah berkata, bahwa Ashim pernah berkata padaku, ما كان من القراءة التي أقرأتك بها فهي القراءة التي قرأتُ بها على أبي عبد الرحمن السلمي عن علي رضى اللهُ عَنْهُ ، وما كان من القراءة التي أقرأتها أبا بكر بن عياش فهي القراءة التي كنتُ أعرضها على زر بن حبيش عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. “Semua bacaan Al-Qur’an yang saya bacakan kepada Anda, adalah apa yang saya bacakan kepada Abu Abdurrahman As-Sulami, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dan semua bacaan Al-Qur’an yang saya bacakan kepada Abu Bakr bin Ayyash, adalah apa yang saya bacakan di hadapan Zirr bin Hubaisy, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.” [10] Muridnya dalam qiraah Ashim meriwayatkan bacaan Al-Qur’an kepada: Hafs bin Sulaiman, Abu Bakr Shu’bah bin Ayyash (yang keduanya merupakan perawi yang paling terkenal dari beliau), Aban bin Taghlib, Hammad bin Salamah, Sulaiman bin Mihran Al-A’masy, Abu Al-Mundhir Salamah bin Sulaiman, Sahl bin Shu’aib, dan Sya’ban bin Mu’awiyah, serta banyak lagi rahimahumullah. Di antara yang paling terkenal adalah Abu Bakr bin Ayyash, Hafs bin Sulaiman, dan Al-A’masy. Beberapa perawi yang meriwayatkan huruf-huruf dari Al-Qur’an, dari Ashim adalah: Abu Amr bin Al-‘Ala’, Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, Hamzah Az-Zayyat, Sufyan Ath-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, dan lainnya rahimahumullah. [11] Kedudukannya dalam ilmu hadis Kedudukan Ashim bin Abi An-Najud dalam ilmu riwayah dan hadis, tidak sebesar kedudukan beliau dalam membacakan Al-Qur’an dan membacanya. Meskipun demikian, hadis beliau dikeluarkan dalam Kutub Sittah (kitab-kitab hadis yang enam) dan dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, walaupun hanya sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata tentangnya, كان خيرا ثقة، والأعمش أحفظ منه، وكان شعبة يختار الأعمش عليه في تثبيت الحديث “Dia adalah seorang yang memiki banyak kebaikan, dan tsiqah (kuat dalam periwayatan). Namun, Al-A’masy lebih kuat hafalannya (dari sisi hadis) darinya. Dan Syu’bah memilih Al-A’masy daripadanya dalam mempertimbangkan hadis.” [12] Wafat Beliau meninggal pada tahun 129 H, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Al-Jazari. Ada perbedaan pendapat tentang tempat kematiannya, namun kebanyakan berpendapat bahwa dia meninggal di Kufah. [13] Abu Bakr bin ‘Ayyash rahimahullah berkata, دخلت على عاصم وهو في الموت فأغمي عليه، فأفاق، فقرأ : ( ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلَتْهُمُ الْحَقِّ أَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَسِينَ ) [الأنعام : ٦٢]. يُحَقِّقُهَا كَأَنَّهُ فِي الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّ تَجْوِيدَ الْقُرْآنِ صَارَ فِيهِ سَجِيَّةً “Aku masuk menemui Ashim ketika dia dalam keadaan sekarat, lalu dia pingsan. Setelah sadar, dia membaca ayat (yang artinya), ‘Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Pencipta mereka yang sebenarnya. Ingatlah, keputusan hakim itu hanya bagi-Nya dan Dia adalah yang paling cepat dalam memutuskan.’ [14] Dia membacanya dengan tahqiq (bertajwid, dan dengan tempo lambat), seolah-olah dia sedang dalam salat; karena membaca Al-Qur’an dengan tajwid telah menjadi bagian yang melekat pada dirinya.” [15] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Abu Sa’id Al-Khudri *** 8 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M Tarjamatul Qurra ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M   Catatan kaki: [1] Tarikhul Qurra Al-’Asyarolah, hal. 57, Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 88. [2] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 89. [3] Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, hal. 58. [4] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 91. [5] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 367-368. [6] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 91; Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 368. [7] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 92. [8] Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, hal. 57-58. [9] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 367. [10] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 84-85. [11] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 86. [12] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 86-87. [13] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 88. [14] QS. Al-An’am: 62 [15] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 93. Tags: imam Ashim


Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Berikut ini merupakan silsilah biografi Al-Qurra Al-’Asyarah (para pemilik qiraah yang sepuluh). Yang pertama adalah biografi Imam Ashim. Qiraah beliau merupakan qiraah yang saat ini paling banyak tersebar. Wallahu a’lam. Nama lengkap Nama beliau adalah Ashim bin Bahdalah Abi An-Najud Al-Asadiy (maulahum) Al-Kufiy. عَاصِمُ بْنُ بَهْدَلَهُ أَبِي النَّجُودِ الأسَدِيّ مولاهم الكُوفِيُّ Kunyah beliau adalah ( أَبُو بَكْرٍ ) Abu Bakr. [1] Tentang nama “Bahdalah”, ini merupakan nama bapak beliau, bukan ibu beliau. Ini merupakan pendapat yang benar, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Dzahabiy rahimahullah. [2] Sifat-sifat secara umum Ashim bin Abi An-Najud adalah salah satu dari Qurra’ Sab’ah. Beliau merupakan seorang ulama hadis, ahli dalam bidang bahasa, nahwu, dan fikih. [3] Ahmad bin Abdullah Al-’Ijli rahimahullah berkata, عاصم بن بهدلة صاحب سنة وقراءة ، كان رأسا في القرآن “Ashim bin Bahdalah adalah seseorang yang sangat memahami hadis dan bacaan Al-Qur’an. Beliau merupakan penghulu dalam bidang Al-Qur’an.” [4] Beliau adalah seorang yang banyak beribadah, banyak berbuat kebaikan, dan rajin salat. Selain memiliki perhatian yang besar terhadap Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang banyak, beliau juga banyak melakukan amal ketaatan dan banyak beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh kecintaan. Beliau menemukan ketenangan dan kedamaian dalam ber-munajat dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Beliau sering menghabiskan waktu di masjid, yang merupakan tempat yang paling Dia cintai, memberikan contoh yang baik kepada murid-muridnya dengan menyatukan antara ucapan dan tindakan. Ini merupakan bentuk pendidikan yang jujur dan bimbingan yang baik kepada mereka. Abu Bakr Syu’bah bin ‘Ayyash rahimahullah, salah satu murid beliau, berkata, وكان عاصم إذا صلى ينتصب كأنه عود، وكان يكون يوم الجمعة في المسجد إلى العصر، وكان عابداً خيراً يصلي أبداً “Ketika Ashim salat, dia tegak seperti pohon kayu. Dia biasanya berada di masjid sampai waktu Asar di hari Jumat. Dia adalah seorang yang sangat rajin dalam beribadah, banyak melakukan kebajikan, dan senantiasa salat.” [5] Beliau memiliki akhlak yang baik, bermartabat, banyak beribadah, dan beradab. Salah satu bukti dari hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Abu Bakr Syu’bah bin ‘Ayyash rahimahullah, كان عاصم نحوياً فصيحاً إذا تكلم، مشهور الكلام، وكان هو والأعمش وأبو حصين الأسدي لا يبصرون، جاء رجل يوماً يقود عاصماً فوقع وقعة شديدة فما نهره ولا قال له شيئاً “Ashim adalah ahli nahwu dan orang yang fasih ketika berbicara, terkenal dalam perkataannya. Dia, Al-A’masy, dan Abu Hasyim Al-Asadi rahimahumullah merupakan orang-orang yang tidak melihat (buta). Pada suatu hari, ada seorang pria yang membawa Ashim, kemudian terjadi insiden yang parah. Tetapi, Ashim tidak memarahinya atau mengatakan sesuatu yang buruk padanya.” [6] Dan Salamah bin Ashim rahimahullah berkata, كان عاصم بن أبي النجود ذا نسك وأدب وفصاحة وصوت حسن “Ashim bin Abi An-Najud adalah seseorang yang banyak beribadah, beradab, fasih dalam berbicara, dan memiliki suara yang bagus.” [7] Keadaannya bersama Al-Qur’an Ashim bin Abi An-Najud adalah seorang imam yang menjadi puncak para guru dalam pembacaan Al-Qur’an di Kufah, setelah Abu Abdurrahman As-Sulami rahimahullah. Beliau duduk di kursinya setelah dia wafat. Orang-orang datang pada beliau dari berbagai tempat untuk membaca Al-Qur’an. Dia menggabungkan antara kefasihan, tajwid, kekuatan hafalan, dan ketelitian. Beliau memiliki suara yang sangat indah dalam membaca Al-Qur’an, sebagaimana ucapan Salamah bin Ashim rahimahullah di atas. Selain itu, Abu Bakar bin Ayyasy rahimahullah (yaitu, Imam Syu’bah) berkata, لَا أَحْصِي مَا سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ السُّبَيْعِيَّ يَقُولُ : (مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَقْرَأَ لِلْقُرْآنِ مِنْ عَاصِمِ بْنِ أبي النجود). “Saya tidak bisa menghitung berapa kali saya mendengar Abu Ishaq As-Subai’i berkata, ‘Saya tidak pernah melihat seseorang membaca Al-Quran lebih baik dari Ashim bin Abi An-Najud.’” Dia rahimahullah juga berkata, كان عاصم من أفصح الناس، مقدما في زمانه، مشهوراً بالفصاحة، معروفا بالإتقان “Ashim adalah salah satu orang yang paling fasih di zamannya, terkenal dengan kefasihan, dan dikenal dengan kekuatan hafalan.” Selain itu, dia rahimahullah juga berkata, قَالَ لِي عَاصِمٌ : مَرِضتُّ سَنَتَيْنِ، فَلَمَّا قُمْتُ قَرَأْتُ القُرْآنَ فَمَا أَخْطَأْتُ حَرْفًا “Ashim berkata kepadaku, ‘Saya sakit selama dua tahun (tidak bisa membaca/ muraja’ah Al-Qur’an). Ketika saya sembuh, saya membaca Al-Qur’an dan tidak melakukan satu kesalahan pun dalam membaca.’” Yahya bin Adam rahimahullah berkata, “Hasan bin Shalih mengatakan kepada kami, مَا رَأَيْتُ أَحَدًا قَط أَفْصَحَ مِنْ عَاصِمٍ ‘Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih fasih dalam membaca Al-Qur’an daripada Ashim.’” [8] Ashim bin Abi An-Najud sangat peduli dengan mengajarkan Al-Qur’an. Beliau tidak membedakan antara orang-orang yang ingin mempelajarinya. Beliau akan mengajari siapa pun yang ingin belajar, memperhatikan kondisinya, dan membantu mereka walaupun sampai mengorbankan urusan pribadi beliau. [9] Baca juga: Sekilas tentang Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu Gurunya dalam qiraah Ashim bertemu dengan beberapa sahabat Rasulullah ﷺ dan belajar dari mereka, sehingga beliau termasuk di antara tabi’in yang muda. Beliau membaca Al-Qur’an kepada Abu Abdurrahman Abdullah bin Habib bin Rabi’ah As-Sulami Adh-Dharir, Abu Maryam Zirr bin Hubaish bin Hubashah Al-Asadi, dan Abu Amr Sa’d bin Ilyas Ash-Shaibani rahimahumullah. Ketiga orang tersebut membaca kepada Abdullah bin Mas’ud. Zirr dan As-Sulami juga membaca kepada Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. As-Sulami rahimahullah juga membaca kepada Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan Abdullah bin Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay, dan Zaid membaca kepada Rasulullah ﷺ. Abu Bakr bin Ayyash rahimahullah berkata, قال لي عاصم: ما أقرأني أحد حرفًا إلا أبو عبد الرحمن السلمي، وكان أبو عبد الرحمن قد قرأ على علي رضي الله تعالى عنه، وكنتُ أرجع من عند أبي عبد الرحمن فأعرض على زر بن حبيش، وكان زر قد قرأ على عبد الله بن مسعود رضي اللَّهُ عَنْهُ. فقلت لعاصم : لقد استوثقت لنفسك، أخذت القراءة من وجهين، قال: أجل. Ashim berkata kepadaku, “Tidak seorang pun membacakan satu huruf pun kepadaku kecuali Abu Abdurrahman As-Sulami. Abu Abdurrahman pernah membaca Al-Qur’an kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu, saya kembali dari Abu Abdurrahman, dan kemudian saya membaca Al-Qur’an di hadapan Zirr bin Hubaisy. Zirr pernah membaca Al-Qur’an kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.” Kemudian saya berkata kepada Ashim, “Anda telah menguatkan bacaan Al-Qur’an yang ada pada diri Anda. Anda belajar dari dua sisi.” Dia menjawab, “Tentu.” Hafs bin Sulaiman rahimahullah berkata, bahwa Ashim pernah berkata padaku, ما كان من القراءة التي أقرأتك بها فهي القراءة التي قرأتُ بها على أبي عبد الرحمن السلمي عن علي رضى اللهُ عَنْهُ ، وما كان من القراءة التي أقرأتها أبا بكر بن عياش فهي القراءة التي كنتُ أعرضها على زر بن حبيش عن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. “Semua bacaan Al-Qur’an yang saya bacakan kepada Anda, adalah apa yang saya bacakan kepada Abu Abdurrahman As-Sulami, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dan semua bacaan Al-Qur’an yang saya bacakan kepada Abu Bakr bin Ayyash, adalah apa yang saya bacakan di hadapan Zirr bin Hubaisy, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.” [10] Muridnya dalam qiraah Ashim meriwayatkan bacaan Al-Qur’an kepada: Hafs bin Sulaiman, Abu Bakr Shu’bah bin Ayyash (yang keduanya merupakan perawi yang paling terkenal dari beliau), Aban bin Taghlib, Hammad bin Salamah, Sulaiman bin Mihran Al-A’masy, Abu Al-Mundhir Salamah bin Sulaiman, Sahl bin Shu’aib, dan Sya’ban bin Mu’awiyah, serta banyak lagi rahimahumullah. Di antara yang paling terkenal adalah Abu Bakr bin Ayyash, Hafs bin Sulaiman, dan Al-A’masy. Beberapa perawi yang meriwayatkan huruf-huruf dari Al-Qur’an, dari Ashim adalah: Abu Amr bin Al-‘Ala’, Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, Hamzah Az-Zayyat, Sufyan Ath-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, dan lainnya rahimahumullah. [11] Kedudukannya dalam ilmu hadis Kedudukan Ashim bin Abi An-Najud dalam ilmu riwayah dan hadis, tidak sebesar kedudukan beliau dalam membacakan Al-Qur’an dan membacanya. Meskipun demikian, hadis beliau dikeluarkan dalam Kutub Sittah (kitab-kitab hadis yang enam) dan dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, walaupun hanya sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata tentangnya, كان خيرا ثقة، والأعمش أحفظ منه، وكان شعبة يختار الأعمش عليه في تثبيت الحديث “Dia adalah seorang yang memiki banyak kebaikan, dan tsiqah (kuat dalam periwayatan). Namun, Al-A’masy lebih kuat hafalannya (dari sisi hadis) darinya. Dan Syu’bah memilih Al-A’masy daripadanya dalam mempertimbangkan hadis.” [12] Wafat Beliau meninggal pada tahun 129 H, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Al-Jazari. Ada perbedaan pendapat tentang tempat kematiannya, namun kebanyakan berpendapat bahwa dia meninggal di Kufah. [13] Abu Bakr bin ‘Ayyash rahimahullah berkata, دخلت على عاصم وهو في الموت فأغمي عليه، فأفاق، فقرأ : ( ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلَتْهُمُ الْحَقِّ أَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَسِينَ ) [الأنعام : ٦٢]. يُحَقِّقُهَا كَأَنَّهُ فِي الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّ تَجْوِيدَ الْقُرْآنِ صَارَ فِيهِ سَجِيَّةً “Aku masuk menemui Ashim ketika dia dalam keadaan sekarat, lalu dia pingsan. Setelah sadar, dia membaca ayat (yang artinya), ‘Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Pencipta mereka yang sebenarnya. Ingatlah, keputusan hakim itu hanya bagi-Nya dan Dia adalah yang paling cepat dalam memutuskan.’ [14] Dia membacanya dengan tahqiq (bertajwid, dan dengan tempo lambat), seolah-olah dia sedang dalam salat; karena membaca Al-Qur’an dengan tajwid telah menjadi bagian yang melekat pada dirinya.” [15] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Abu Sa’id Al-Khudri *** 8 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M Tarjamatul Qurra ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M   Catatan kaki: [1] Tarikhul Qurra Al-’Asyarolah, hal. 57, Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 88. [2] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 89. [3] Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, hal. 58. [4] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 91. [5] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 367-368. [6] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 91; Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 368. [7] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 92. [8] Tarikhul Qurra Al-’Asyarah, hal. 57-58. [9] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 367. [10] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 84-85. [11] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 86. [12] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 86-87. [13] Tarjamatul Qurra ‘Asyr, hal. 88. [14] QS. Al-An’am: 62 [15] Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 93. Tags: imam Ashim

Enam Adab Penting Ketika Ngobrol – Syaikh Shalih Sindi #NasehatUlama

“Belajarlah mendengar dengan baik sebagaimana engkau belajar berbicara dengan baik.” Di antara bentuk mendengar dengan baik adalah: (1) membiarkan si pembicara hingga menyelesaikan ucapannya, (2) menghadapkan wajah kepadanya, (3) memandangnya, dan (4) memperhatikan apa yang diucapkannya. Saat berbicara, (5) janganlah Anda menggeneralisir dalam menilai masyarakat suatu negara, desa, atau suku dengan suatu celaan, karena Anda tidak tahu mungkin Anda menyinggung sebagian teman ngobrol dengan celaan Andatanpa Anda sadari. (6) Jika ada orang lain ditanya, jangan sampai Anda yang menjawabnya, seolah-olah itu adalah ganimah (harta rampasan perang) yang Anda perebutkan. Itu adalah kebodohan dan adab yang buruk. Ibnu Abdil Barr Raẖimahullāh berkata, “Enam perkara jika diremehkan oleh orang-orang, maka jangan salahkan siapa pun kecuali mereka sendiri: (1) Pergi ke jamuan padahal tidak diundang,(2) mencari kemuliaan dari orang yang tercela,(3) masuk dalam pembicaraan dua orang padahal mereka tidak mengajaknya,(4) menghina penguasa,(5) duduk di suatu majelis padahal dia bukan bagian darinya,(6) dan terus berbicara kepada orang yang tidak mendengar dan memperhatikannya.” ==== تَعَلَّمْ حُسْنَ الْاِسْتِمَاعِ كَمَا تَتَعَلَّمُ حُسْنَ الْكَلَامِ وَمِنْ حُسْنِ الْاِسْتِمَاعِ إِمْهَالُ الْمُتَكَلِّمِ حَتَّى يَقْضِيَ حَدِيثَهُ وَالْإِقْبَالُ بِالْوَجْهِ عَلَيْهِ وَالنَّظَرُ إِلَيْهِ وَالْوَعْيُ لِمَا يَقُولُ إِيَّاكَ فِي حَدِيثِكَ أَنْ تَعُمَّ قَوْمًا مِنْ أَهْلِ بَلَدٍ أَوْ قَرْيَةٍ أَوْ قَبِيلَةٍ بِذَمٍّ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي لَعَلَّكَ تَتَنَاوَلُ بَعْضَ جُلَسَائِكَ بِشَتْمٍ وَأَنْتَ لَا تَشْعُرُ إِذَا سُئِلَ غَيْرُكَ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ أَنْتَ الْمُجِيبُ كَأَنَّهَا غَنِيمَةٌ تَطْلُبُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنَ السَّفَهِ وَسُوءِ الْأَدَبِ قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ رَحِمَهُ اللهُ سِتَّةٌ إِذَا أُهِينُوا فَلَا يَلُومُوا إِلَّا أَنْفُسَهُمْ (1) الذَّاهِبُ إِلَى مَائِدَةٍ لَمْ يُدْعَ إِلَيْهَا (2) وَطَالِبُ الْفَضْلِ مِنَ اللِّئَامِ (3) وَالدَّاخِلُ بَيْنَ اثْنَينِ فِي حَدِيثِهِمَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُدْخِلَاهُ فِيهِ (4) وَالْمُسْتَخِفُّ بِالسُّلْطَانِ (5) وَالْجَالِسُ مَجْلِسًا لَيْسَ لَهُ مِنْ أَهْلِهِ (6) وَالْمُقْبِلُ بِحَدِيثِهِ عَلَى مَنْ لَا يَسْمَعُ مِنْهُ وَلَا يُصْغِي إِلَيْهِ

Enam Adab Penting Ketika Ngobrol – Syaikh Shalih Sindi #NasehatUlama

“Belajarlah mendengar dengan baik sebagaimana engkau belajar berbicara dengan baik.” Di antara bentuk mendengar dengan baik adalah: (1) membiarkan si pembicara hingga menyelesaikan ucapannya, (2) menghadapkan wajah kepadanya, (3) memandangnya, dan (4) memperhatikan apa yang diucapkannya. Saat berbicara, (5) janganlah Anda menggeneralisir dalam menilai masyarakat suatu negara, desa, atau suku dengan suatu celaan, karena Anda tidak tahu mungkin Anda menyinggung sebagian teman ngobrol dengan celaan Andatanpa Anda sadari. (6) Jika ada orang lain ditanya, jangan sampai Anda yang menjawabnya, seolah-olah itu adalah ganimah (harta rampasan perang) yang Anda perebutkan. Itu adalah kebodohan dan adab yang buruk. Ibnu Abdil Barr Raẖimahullāh berkata, “Enam perkara jika diremehkan oleh orang-orang, maka jangan salahkan siapa pun kecuali mereka sendiri: (1) Pergi ke jamuan padahal tidak diundang,(2) mencari kemuliaan dari orang yang tercela,(3) masuk dalam pembicaraan dua orang padahal mereka tidak mengajaknya,(4) menghina penguasa,(5) duduk di suatu majelis padahal dia bukan bagian darinya,(6) dan terus berbicara kepada orang yang tidak mendengar dan memperhatikannya.” ==== تَعَلَّمْ حُسْنَ الْاِسْتِمَاعِ كَمَا تَتَعَلَّمُ حُسْنَ الْكَلَامِ وَمِنْ حُسْنِ الْاِسْتِمَاعِ إِمْهَالُ الْمُتَكَلِّمِ حَتَّى يَقْضِيَ حَدِيثَهُ وَالْإِقْبَالُ بِالْوَجْهِ عَلَيْهِ وَالنَّظَرُ إِلَيْهِ وَالْوَعْيُ لِمَا يَقُولُ إِيَّاكَ فِي حَدِيثِكَ أَنْ تَعُمَّ قَوْمًا مِنْ أَهْلِ بَلَدٍ أَوْ قَرْيَةٍ أَوْ قَبِيلَةٍ بِذَمٍّ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي لَعَلَّكَ تَتَنَاوَلُ بَعْضَ جُلَسَائِكَ بِشَتْمٍ وَأَنْتَ لَا تَشْعُرُ إِذَا سُئِلَ غَيْرُكَ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ أَنْتَ الْمُجِيبُ كَأَنَّهَا غَنِيمَةٌ تَطْلُبُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنَ السَّفَهِ وَسُوءِ الْأَدَبِ قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ رَحِمَهُ اللهُ سِتَّةٌ إِذَا أُهِينُوا فَلَا يَلُومُوا إِلَّا أَنْفُسَهُمْ (1) الذَّاهِبُ إِلَى مَائِدَةٍ لَمْ يُدْعَ إِلَيْهَا (2) وَطَالِبُ الْفَضْلِ مِنَ اللِّئَامِ (3) وَالدَّاخِلُ بَيْنَ اثْنَينِ فِي حَدِيثِهِمَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُدْخِلَاهُ فِيهِ (4) وَالْمُسْتَخِفُّ بِالسُّلْطَانِ (5) وَالْجَالِسُ مَجْلِسًا لَيْسَ لَهُ مِنْ أَهْلِهِ (6) وَالْمُقْبِلُ بِحَدِيثِهِ عَلَى مَنْ لَا يَسْمَعُ مِنْهُ وَلَا يُصْغِي إِلَيْهِ
“Belajarlah mendengar dengan baik sebagaimana engkau belajar berbicara dengan baik.” Di antara bentuk mendengar dengan baik adalah: (1) membiarkan si pembicara hingga menyelesaikan ucapannya, (2) menghadapkan wajah kepadanya, (3) memandangnya, dan (4) memperhatikan apa yang diucapkannya. Saat berbicara, (5) janganlah Anda menggeneralisir dalam menilai masyarakat suatu negara, desa, atau suku dengan suatu celaan, karena Anda tidak tahu mungkin Anda menyinggung sebagian teman ngobrol dengan celaan Andatanpa Anda sadari. (6) Jika ada orang lain ditanya, jangan sampai Anda yang menjawabnya, seolah-olah itu adalah ganimah (harta rampasan perang) yang Anda perebutkan. Itu adalah kebodohan dan adab yang buruk. Ibnu Abdil Barr Raẖimahullāh berkata, “Enam perkara jika diremehkan oleh orang-orang, maka jangan salahkan siapa pun kecuali mereka sendiri: (1) Pergi ke jamuan padahal tidak diundang,(2) mencari kemuliaan dari orang yang tercela,(3) masuk dalam pembicaraan dua orang padahal mereka tidak mengajaknya,(4) menghina penguasa,(5) duduk di suatu majelis padahal dia bukan bagian darinya,(6) dan terus berbicara kepada orang yang tidak mendengar dan memperhatikannya.” ==== تَعَلَّمْ حُسْنَ الْاِسْتِمَاعِ كَمَا تَتَعَلَّمُ حُسْنَ الْكَلَامِ وَمِنْ حُسْنِ الْاِسْتِمَاعِ إِمْهَالُ الْمُتَكَلِّمِ حَتَّى يَقْضِيَ حَدِيثَهُ وَالْإِقْبَالُ بِالْوَجْهِ عَلَيْهِ وَالنَّظَرُ إِلَيْهِ وَالْوَعْيُ لِمَا يَقُولُ إِيَّاكَ فِي حَدِيثِكَ أَنْ تَعُمَّ قَوْمًا مِنْ أَهْلِ بَلَدٍ أَوْ قَرْيَةٍ أَوْ قَبِيلَةٍ بِذَمٍّ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي لَعَلَّكَ تَتَنَاوَلُ بَعْضَ جُلَسَائِكَ بِشَتْمٍ وَأَنْتَ لَا تَشْعُرُ إِذَا سُئِلَ غَيْرُكَ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ أَنْتَ الْمُجِيبُ كَأَنَّهَا غَنِيمَةٌ تَطْلُبُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنَ السَّفَهِ وَسُوءِ الْأَدَبِ قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ رَحِمَهُ اللهُ سِتَّةٌ إِذَا أُهِينُوا فَلَا يَلُومُوا إِلَّا أَنْفُسَهُمْ (1) الذَّاهِبُ إِلَى مَائِدَةٍ لَمْ يُدْعَ إِلَيْهَا (2) وَطَالِبُ الْفَضْلِ مِنَ اللِّئَامِ (3) وَالدَّاخِلُ بَيْنَ اثْنَينِ فِي حَدِيثِهِمَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُدْخِلَاهُ فِيهِ (4) وَالْمُسْتَخِفُّ بِالسُّلْطَانِ (5) وَالْجَالِسُ مَجْلِسًا لَيْسَ لَهُ مِنْ أَهْلِهِ (6) وَالْمُقْبِلُ بِحَدِيثِهِ عَلَى مَنْ لَا يَسْمَعُ مِنْهُ وَلَا يُصْغِي إِلَيْهِ


“Belajarlah mendengar dengan baik sebagaimana engkau belajar berbicara dengan baik.” Di antara bentuk mendengar dengan baik adalah: (1) membiarkan si pembicara hingga menyelesaikan ucapannya, (2) menghadapkan wajah kepadanya, (3) memandangnya, dan (4) memperhatikan apa yang diucapkannya. Saat berbicara, (5) janganlah Anda menggeneralisir dalam menilai masyarakat suatu negara, desa, atau suku dengan suatu celaan, karena Anda tidak tahu mungkin Anda menyinggung sebagian teman ngobrol dengan celaan Andatanpa Anda sadari. (6) Jika ada orang lain ditanya, jangan sampai Anda yang menjawabnya, seolah-olah itu adalah ganimah (harta rampasan perang) yang Anda perebutkan. Itu adalah kebodohan dan adab yang buruk. Ibnu Abdil Barr Raẖimahullāh berkata, “Enam perkara jika diremehkan oleh orang-orang, maka jangan salahkan siapa pun kecuali mereka sendiri: (1) Pergi ke jamuan padahal tidak diundang,(2) mencari kemuliaan dari orang yang tercela,(3) masuk dalam pembicaraan dua orang padahal mereka tidak mengajaknya,(4) menghina penguasa,(5) duduk di suatu majelis padahal dia bukan bagian darinya,(6) dan terus berbicara kepada orang yang tidak mendengar dan memperhatikannya.” ==== تَعَلَّمْ حُسْنَ الْاِسْتِمَاعِ كَمَا تَتَعَلَّمُ حُسْنَ الْكَلَامِ وَمِنْ حُسْنِ الْاِسْتِمَاعِ إِمْهَالُ الْمُتَكَلِّمِ حَتَّى يَقْضِيَ حَدِيثَهُ وَالْإِقْبَالُ بِالْوَجْهِ عَلَيْهِ وَالنَّظَرُ إِلَيْهِ وَالْوَعْيُ لِمَا يَقُولُ إِيَّاكَ فِي حَدِيثِكَ أَنْ تَعُمَّ قَوْمًا مِنْ أَهْلِ بَلَدٍ أَوْ قَرْيَةٍ أَوْ قَبِيلَةٍ بِذَمٍّ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي لَعَلَّكَ تَتَنَاوَلُ بَعْضَ جُلَسَائِكَ بِشَتْمٍ وَأَنْتَ لَا تَشْعُرُ إِذَا سُئِلَ غَيْرُكَ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ أَنْتَ الْمُجِيبُ كَأَنَّهَا غَنِيمَةٌ تَطْلُبُهَا فَإِنَّ هَذَا مِنَ السَّفَهِ وَسُوءِ الْأَدَبِ قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ رَحِمَهُ اللهُ سِتَّةٌ إِذَا أُهِينُوا فَلَا يَلُومُوا إِلَّا أَنْفُسَهُمْ (1) الذَّاهِبُ إِلَى مَائِدَةٍ لَمْ يُدْعَ إِلَيْهَا (2) وَطَالِبُ الْفَضْلِ مِنَ اللِّئَامِ (3) وَالدَّاخِلُ بَيْنَ اثْنَينِ فِي حَدِيثِهِمَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يُدْخِلَاهُ فِيهِ (4) وَالْمُسْتَخِفُّ بِالسُّلْطَانِ (5) وَالْجَالِسُ مَجْلِسًا لَيْسَ لَهُ مِنْ أَهْلِهِ (6) وَالْمُقْبِلُ بِحَدِيثِهِ عَلَى مَنْ لَا يَسْمَعُ مِنْهُ وَلَا يُصْغِي إِلَيْهِ

Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah (Bagian 02)

Apa saja keutamaan ilmu dan orang yang berilmu? Berikut keterangan dari Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah, lebih dari 100 poin bahasan yang penuh pelajaran di dalamnya.   Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah (Bagian 01)   Daftar Isi tutup 1. Keseratus tujuh (#139): Orang yang Tidak Punya Ilmu Sama Sekali akan Jadi Hina 2. Keseratus delapan (#140): Ilmu Tidak Akan Pernah Mau Diganti dengan Barang Lain 3. Keseratus sembilan (#141): Allah akan Membalas Kebaikan dengan Menganugerahkan Ilmu 4. Keseratus sepuluh (#142): Allah Menjadikan Ilmu bagi Hati Laksana Hujan bagi Bumi 5. Keseratus sebelas (#143): Ilmu Bisa Diraih dengan Terus Membujuk Hingga Merendahkan Diri 5.1. Ilmu memiliki enam tingkatan 5.2. Banyak mendengar dibanding banyak bicara 6. Keseratus dua belas (#144): Yang Berilmu dengan Yang Tidak Berilmu Tentu Berbeda 7. Keseratus tiga belas (#145): Burung Hudhud Selamat Karena Ilmu 8. Keseratus empat belas (#146): Kemuliaan Dunia dan Akhirat Diraih Karena Ilmu 9. Keseratus lima belas (#147): Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Ilmu dan Amal 10. Keseratus enam belas (#148): Ilmu adalah Suatu Keberkahan, Nabi Isa Diberkahi di mana pun Karena Mengajarkan Kebaikan 11. Keseratus tujuh belas (#149): Pahala dari Ilmu yang Diajarkan Sampai kepada Pengajar Ilmu 12. Keseratus delapan belas (#150): Para Ulama akan Masuk Surga Tanpa Hisab pada Hari Kiamat 13. Keseratus sembilan belas (#151): Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibanding Ibadah Sunnah 14. Keseratus dua puluh (#01 – 10): Orang Berilmu Bersaksi pada Kalimat Laa Ilaha Illallah 15. Keseratus dua puluh satu (#15): Allah memberikan kesaksian kepada ahli ilmu 16. Keseratus dua puluh dua (#16): Orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an 17. Keseratus dua puluh tiga (#23): Ibrahim unggul dengan ilmu dan argumen yang kuat 18. Keseratus dua puluh empat (#24): Mengenal Allah adalah Tujuan Penciptaan 19. Keseratus dua puluh lima (#25): Bangga dan Senang dengan Ilmu 20. Keseratus dua puluh enam (#30): Nabi Adam ‘alaihis salam Diberikan Kelebihan dalam Hal Ilmu oleh Allah 21. Keseratus dua puluh tujuh (#57): Jangan Sampai Kehilangan Ilmu dan Hikmah 22. Keseratus dua puluh delapan (#58): Dua Sifat yang Tidak Akan Tergabung pada Diri Orang Munafik adalah Perangai yang Bagus dan Paham Agama 23. Keseratus dua puluh sembilan (#59): Selamat dari Kecurangan, Menghidupkan Sunnah Nabi, Menjadi Pelopor dalam Kebaikan 24. Keseratus tiga puluh (#60): Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada orang berilmu. 25. Keseratus tiga puluh satu (#61): Menuntut Ilmu Mendapatkan Pengampunan Dosa 26. Keseratus tiga puluh dua (#62): Menuntut Ilmu itu untuk Menghilangkan Kebodohan dari yang Lain 27. Keseratus tiga puluh tiga (#64): Orang Berilmu adalah Perantara Sampainya Wahyu pada Umat 28. Keseratus tiga puluh empat (#66): Ilmu itu Akar Pohon, Tashdiq itu Rantingnya, Sedangkan Amal itu Buahnya 28.1. Shiddiq menurut Ibnul Qayyim 28.2. Pengertian shiddiq dari perkataan para ulama lainnya 29. Keseratus tiga puluh lima (#69): Zat, Sifat-Sifat, Serta Nama-Nama Allah Diketahui dengan Ilmu 29.1. Kaidah mengenai nama dan sifat Allah 30. Keseratus tiga puluh enam (#80): Segala Sesuatu Selain Allah Sangat Butuh pada Ilmu 30.1. Tentang Ilmu dan Petunjuk 30.2. 10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal 30.3. Maksiat itu dilakukan dalam keadaan tidak berilmu 31. Keseratus tiga puluh tujuh (#106, 102): Ibadah Harus Dituntun oleh Ilmu Agar Benar 32. Keseratus tiga puluh delapan (#115): Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat bagi penuntut ilmu 33. Keseratus tiga puluh sembilan (#121): Ulama adalah Manusia Sejati 34. Keseratus empat puluh (#124, 50): Menuntut Ilmu itu Jihad 35. Keseratus empat puluh satu (#124): Menuntut Ilmu itu Lebih Disukai daripada Shalat Malam 36. Referensi:   Keseratus tujuh (#139): Orang yang Tidak Punya Ilmu Sama Sekali akan Jadi Hina Jiwa-jiwa bodoh yang tidak berilmu dikenakan pakaian kehinaan dan cemoohan. Jiwa-jiwa yang seperti ini lebih cepat dihina. Hal itu sudah lazim diketahui kalangan terpelajar maupun awam.  Salah seorang khalifah Bani Abbas bermain catur, lalu pamannya meminta izin masuk. Dia mengizinkan pamannya masuk lalu ia menutup papan catur. Setelah pamannya duduk, ia bertanya, “Paman! Apakah engkau membaca Al-Qur’an?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau menulis sunnah meskipun sedikit?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari fikih dan perbedaan pendapat ulama?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari bahasa dan sejarah manusia?” “Tidak”, jawabnya. Si khalifah akhirnya berkata, “Bukalah papan caturnya.” Dia akhirnya meneruskan permainan catur. Rasa segan dan hormat pada pamannya hilang sudah. Teman bermain catur khalifah itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Masa’ engkau membuka papan catur sementara di sini ada seorang yang engkau segani?” Khalifah berkata, “Diamlah, tidak ada seorang pun di sini bersama kita.” Ini karena manusia memiliki: (1) ilmu, (2) akal, (3) pemahaman yang membedakannya dengan hewan. Saat seseorang tidak memiliki semua itu, maka ia sama seperti hewan.   Keseratus delapan (#140): Ilmu Tidak Akan Pernah Mau Diganti dengan Barang Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان كل صاحب بضاعة سوى العلم إذا علم ان غير بضاعته خير منها زهد في بضاعته ورغب في الاخرى وود انها له عوض بضاعته الا صاحب بضاعة العلم فإنه ليس يحب ان له يحظه منها حظ اصلا “Siapa pun yang memiliki barang selain ilmu, manakala mengetahui ada barang lain yang lebih baik, ia merasa tidak memerlukan lagi barang miliknya itu dan lebih menginginkan barang yang baru. Ia juga berharap barang miliknya ditukar dengan barang tadi. Kecuali pemilik ilmu, ia tidak ingin miliknya ditukar dengan apa pun.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:503) Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata, “Suatu saat aku berada di dekat Ahmad bin Abu Imran. Lalu seorang pecinta dunia melintas, aku menatapnya hingga melalaikan pelajaran yang sedang kupelajari. Ahmad lantas berkata, “Sepertinya kamu memikirkan dunia yang diberikan kepada orang itu.” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad menyeru, “Maukah kutunjukkan sesuatu? Bagaimana jika Allah memindahkan harta miliknya kepadamu, lalu Allah memindahkan ilmumu kepadanya, sehingga kamu hidup kaya, tetapi bodoh, sedangkan ia hidup berilmu, tetapi fakir?” “Aku tidak ingin Allah mengganti ilmu yang kumiliki dengan harta yang ia miliki. Sebab ilmu adalah kekayaan tanpa harta, kemuliaan tanpa kabilah, kekuasaan tanpa prajurit,” tegasnya.   Keseratus sembilan (#141): Allah akan Membalas Kebaikan dengan Menganugerahkan Ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: ان الله سبحانه اخبر انه يجزى المحسنين اجرهم باحسن ما كانواي يعملون واخبر سبحانه انه يجزى على الاحسان بالعلم وهذا يدل على انه من احسن الجزاء Allah mengabarkan bahwa Allah memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, yakni mereka yang beramal saleh dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.  Allah juga mengabarkan bahwasanya Allah akan membalas kebaikan dengan menganugerahkan ilmu. Ini menunjukkan ilmu itu balasan terbaik. Kedudukan pertama disebutkan dalam firman Allah: وَٱلَّذِى جَآءَ بِٱلصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِۦٓ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ لَهُم مَّا يَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلْمُحْسِنِينَ لِيُكَفِّرَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ ٱلَّذِى كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 33-35). Balasan ini mencakup balasan dunia dan akhirat. Kedudukan kedua disebutkan dalam firman Allah: وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥٓ ءَاتَيْنَٰهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ “Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 22). Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Siapa yang beribadah dengan baik di masa mudanya, maka Allah akan memberikan ia HIKMAH saat masa tuanya. Itulah yang dimaksud firman Allah dalam surah Yusuf ayat 22.” Oleh karena itu sebagian ulama berkata, “HIKMAH berkata: Siapa yang mencariku, tetapi tidak menemukanku, hendaklah ia mengamalkan hal terbaik yang ia ketahui dan meninggalkan hal terburuk yang ia ketahui. Jika ia melakukan hal itu, aku bersamanya meski ia tidak mengenaliku.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504) Baca juga: Arti Diberi HIKMAH dalam Al-Qur’an (Tujuh Pengertian dari Syaikh Musthafa Al-‘Adawi)   Keseratus sepuluh (#142): Allah Menjadikan Ilmu bagi Hati Laksana Hujan  bagi Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان الله سبحانه جعل العلم للقلوب كالمطر للارض فكما انه لا حياة للارض الا بالمطر فكذلك لا حياة للقلب الا بالعلم “Allah menjadikan ilmu bagi hati laksana hujan bagi bumi. Bumi tidak bisa hidup tanpa hujan. Begitu pula hati tidak bisa hidup tanpa ilmu.” Disebutkan dalam kitab Al-Muwatha’, قال لقمان لابنه يا بني جالس العلماء وزاحمهم بركبتيك فان الله تعالى يحيى القلوب الميتة بنور الحكمة كما يحيى الارض بوابل المطر Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku! Bergaullah dengan ulama dan dekatkanlah lututmu pada mereka demi meraih rida Allah, supaya hati yang mati itu hidup dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi dengan hujan lebat.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ولهذا فإن الأرض إنما تحتاج الى المطر في بعض الاوقات فإذا تتابع عليها احتاجت الى انقطاعه واما العلم فيحتاج اليه بعدد الانفاس ولاتزيده كثرته الا صلاحا ونفعا “Bumi itu hanya memelurkan hujan pada waktu tertentu saja. Manakala hujan turun terus menerus, bumi menginginkan hujan berhenti. Berbeda dengan ilmu, ilmu selalu diperlukan hati sebanyak bilangan nafas. Banyaknya ilmu semakin membuat hati menjadi baik dan meraih manfaat.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504-505)   Keseratus sebelas (#143): Ilmu Bisa Diraih dengan Terus Membujuk Hingga Merendahkan Diri Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان كثيرا من الاخلاق التي لا تحمد في الشخص بل يذم عليها تحمد في طلب العلم كالملق وترك الاستحياء والذل والتردد الى ابواب العلماء ونحوها  “Sebagian besar akhlak yang tidak terpuji dalam diri seseorang–bahkan ia dicela–justru dipuji dalam menuntut ilmu. Sifat yang dipuji dalam menuntut ilmu adalah: membujuk agar dapat ilmu, meninggalkan rasa malu, merendahkan diri (tawadhu’), dan berulang kali mendatangi pintu ulama, dan semacamnya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:505) Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, ليس الملق من اخلاق المؤمنين الا في طلب العلم “Sifat al-malaq (suka merayu-rayu, membujuk-bujuk) asalnya bukanlah   akhlak orang beriman, kecuali pada orang yang menuntut ilmu.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ذللت طالبا فعززت مطلوبا “Aku merendahkan diri ketika mencari ilmu, hingga akhirnya aku menjadi mulia karena seringnya dicari.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, وجدت عامة علم رسول الله صلى الله عليه و سلم عند هذا الحي من الانصار إن كنت لاقيل عند باب احدهم ولو شئت اذن لي ولكن ابتغى بذلك طيب نفسه  “Aku mendapati sebagian besar ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di perkampungan Anshar ini. Aku pernah tidur siang di dekat pintu salah seorang penduduk Anshar. Andaikan mau, aku tentu dipersilakan masuk. Namun, aku melakukan hal itu demi mencari keridaan orang yang aku cari ilmunya.” Di antara perkataan sebagian ulama ialah: لاينال العلم مستحي ولا متكبر هذا يمنعه حياؤه من التعلم وهذا يمنعه كبره  Sifat malu dan sifat sombong tidak akan mendapatkan ilmu. Sifat malu itu menghalangi seseorang untuk belajar. Begitu pula sifat sombong itu menghalangi dari meraih ilmu.” Akhlak-akhlak seperti ini dipuji dalam menuntut ilmu karena semua itu merupakan jalan untuk meraih ilmu. Dengan demikian, akhlak-akhlak tersebut termasuk bagian dari kesempurnaan seseorang dan bisa mengantarkan menuju kesempurnaan ilmu. Ada ulama yang menyebutkan, إذا جلست الى عالم فسل تفقها لاتعنتا “Jika kamu menemui seorang alim, bertanyalah untuk memperdalam ilmu, bukan bertanya untuk menyusahkan diri.”   Ilmu memiliki enam tingkatan bagus dalam bertanya, berusaha diam dan mendengarkan, berusaha memahami, menghafalkan, mengajarkan, buahnya adalah mengamalkan dan memperhatikan batasan-batasannya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:507)   Banyak mendengar dibanding banyak bicara Sebagian ulama salaf berkata, “Jika engkau duduk bersama seorang alim, hendaklah engkau banyak mendengar dibanding semangat bicara.” Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37) Allah menyebut ayat-ayat-Nya (tanda kebesaran-Nya) melalui apa yang dibaca, didengar, dan dilihat, semua itu hanya bermanfaat pada orang yang punya hati, karena siapa saja yang tidak memiliki hati yang memahami penjelasan dan peringatan dari Allah, maka apa pun tanda kebesaran yang melintas di hadapannya tidak akan membawa guna, meski seluruhnya. Berlalunya tanda-tana kebesaran Allah di hadapannya–seperti terbitnya matahari, bulan, dan bintang–yang laksana berlalunya tanda-tanda kebesaran tersebut di hadapan orang yang tidak memiliki penglihatan. Saat objek-objek yang tampak itu melihat, dia dapat melihatnya. Bahkan orang yang memiliki hati saja tidak dapat memetik manfaat apa pun dengan hatinya tanpa adanya dua hal: (1) menghadirkan hati, (2) menyaksikan apa yang disampaikan. Ketika hati tidak hadir sebab berkelana dengan angan-angan, syahwat, dan khayalan, ia tidak dapat memetik manfaat meski memiliki hati. Ia juga tidak dapat memetik manfaat walaupun sudah menghadirkan dan membuat hati tadi menyaksikan apa yang disampaikan, kecuali jika ia mendengar nasihat dan petunjuk yang disampaikan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, hati terbagi menjadi tiga jenis. hati yang selamat, sehat, dan bisa menerima. menghadirkan dan menyatukan hati, serta mencegahnya agar tidak berlarian dan berserakan. menggunakan pendengaran dan fokus untuk ingat. Ketiga hal ini disebutkan dalam ayat di atas. Ibnu ‘Athiyah berkata, “Hati yang dimaksud di sini mengungkapkan fungsi akal, sebab akal tempatnya di hati. Artinya, bagi orang yang hati sadar maka dia dapat memetik manfaat dengannya.”   Dari tingkatan ilmu yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebelumnya, berarti ilmu tidak didapat karena enam kondisi: tidak mau bertanya, tidak bisa mendengar dengan baik dan tidak menggunakan pendengaran, salah paham, tidak menghafal, tidak menyebarkan ilmu karena siapa saja yang menyimpan ilmu, tidak mau mengajarkannya kepada orang lain, Allah membuatnya lupa dan menghilangkan ilmunya. Ini adalah realita. tidak mengamalkan ilmu sebab mengamalkan ilmu mengharuskan untuk mengingat, merenungkan, menjaganya, dan memikirkannya. Ketika seorang tidak mengamalkan ilmu, ia akan melupakannya.   Seorang ulama salaf berkata, “Kami memperkuat hafalan ilmu dengan mengamalkannya.” Ulama yang lain berkata, “Ilmu menyeru pada amalan. Jika amalan menerima seruan, ilmu bertahan. Jika tidak, ilmu pergi.” Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah (1:516) berkata, “Mengamalkan ilmu adalah sebab terbesar ilmu itu terjaga dan kokoh. Enggan mengamalkan ilmu adalah sebab ilmu itu dilupakan.” Baca juga: Empat Langkah Tadabur Al-Qur’an   Keseratus dua belas (#144): Yang Berilmu dengan Yang Tidak Berilmu Tentu Berbeda Allah subhanaahu wa ta’ala membedakan sepuluh hal: Yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Yang jelek dan thayyib (baik) itu berbeda. Yang buta dengan melihat itu berbeda. Cahaya dengan kegelapan itu berbeda. Yang teduh dengan yang terkena panas itu berbeda. Penduduk surga dan neraka itu berbeda. Yang bisu dan tidak mampu berbuat dengan yang memerintahkan keadilan dan berada di atas jalan yang lurus itu berbeda. Mukmin dan kafir itu berbeda. Orang yang beriman dan beramal saleh dengan yang berbuat kerusakan di muka bumi itu berbeda. Orang yang bertakwa (muttaqin) dengan orang yang buruk (fajir) itu berbeda. Sepuluh ayat dalam Al-Qur’an menafikan persamaan dalam hal ini. Hal ini menunjukkan betapa agungnya orang berilmu dari orang yang tidak berilmu laksana kedudukan cahaya di atas kegelapan, laksana kedudukan tempat yang teduh dari tempat yang panas, laksana kedudukan sesuatu yang baik terhadap sesuatu yang buruk. Kedudukan tersebut saling berbanding terbalik. Hal ini sudah cukup menunjukkan kedudukan ilmu serta kedudukan orang berilmu. Lebih dari itu, jika Anda renungkan golongan-golongan di atas secara keseluruhan, Anda akan mengetahui penafian persamaan di antara semua itu merujuk pada ilmu dan penyebabnya. Di sinilah letak keutamaan dan perbedaan.   Keseratus tiga belas (#145): Burung Hudhud Selamat Karena Ilmu Saat Sulaiman mengancam akan menyiksa burung Hudhud dengan siksaan yang berat atau akan menyembelihnya, burung Hudhud itu selamat karena ilmu. Ia memberitahukan suatu ilmu kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam melalui kata-kata lisannya. Dalam ayat disebutkan, فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍۭ بِنَبَإٍ يَقِينٍ “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (QS. An-Naml: 22) Ilmu tadi membuat burung Hudhud berani menyampaikan kata-kata tersebut. Sebab Andai bukan karena kekuasaan ilmu, burung Hudhud tidak akan mampu menyampaikan kata-kata seperti ini di hadapan Sulaiman, karena Hudhud lemah, sementara Sulaiman kuat. Disebutkan dalam sebuah kisah masyhur bahwa seorang ahli ilmu ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, “AKU TIDAK TAHU.” Satu muridnya berkata, “Aku mengetahui masalah itu.” Si guru marah dan hendak memukulnya. Murid lantas berkata, “Wahai guru! Engkau tidak lebih tahu daripada Sulaiman bin Daud meski setinggi apa pun ilmumu, dan aku tidak lebih bodoh daripada burung Hudhud, di mana burung ini berkata kepada Sulaiman, أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya.” Namun, Sulaiman tidak mencela atau pun memperlakukannya dengan kasar. Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:517. Pelajaran yang bisa diambil dari kisah Sulaiman di atas:  Murid bisa saja lebih memiliki ilmu dibandingkan seorang guru. Hendaklah menghargai ilmu orang lain. Kalau tidak memiliki ilmu, jawablah: AKU TIDAK TAHU, daripada “sok tahu”. Setinggi apa pun ilmu seseorang, tetap masih ada yang lebih berilmu. Tak perlu memarahi murid yang memang lebih memiliki ilmu.   Keseratus empat belas (#146): Kemuliaan Dunia dan Akhirat Diraih Karena Ilmu Perhatikan keistimewaan yang didapatkan oleh Nabi Adam atas para malaikat, mereka mengakui bahwasanya Allah mengajarkan nama benda-benda kepadanya, lantas musibah yang menimpanya digantikan oleh surga yang jauh lebih baik karena ilmu kalimat yang dia terima dari Allah. Perhatikan pula kekuasaan, kemuliaan, serta kebesaran yang diraih Yusuf karena ilmu tafsir mimpi yang dia kuasai. Selain itu, Yusuf juga mengetahui alasan yang bisa diterima dan diakui untuk menahan saudaranya (Benyamin) di antara saudara-saudaranya yang lain, hingga akhirnya Nabi ini mencapai kemuliaan, kesudahan baik, dan kondisi sempurna karena ilmu yang dimilikinya. Demikian seperti isyarat Allah Ta’ala dalam ayat, كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ ۖ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِى دِينِ ٱلْمَلِكِ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِى عِلْمٍ عَلِيمٌ “Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76) Disebutkan dalam penafsiran ayat ini, Kami mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan ilmu, seperti Kami mengangkat derajat Yusuf atas saudara-saudaranya. Allah berfirman terkait Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83) Ayat ini menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu hujjah, sementara itu ayat sebelumnya menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu politik (ilmu siyasah). Seperti itu pula kemuliaan yang didapatkan Khidir karena Kamillurrahman, Musa, berguru dan bertanya dengan lembut dan sopan kepadanya. Ya, sampai-sampai Nabi Musa berkata, قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا “Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66) Seperti itu juga ilmu bahasa burung yang dimiliki Nabi Sulaiman, hingga dia sampai ke Kerajaan Saba, mengalahkan ratu mereka, membawa singgasana kerajaannya, dan ratu itu pun tunduk pada kekuasaannya. Maka itu Sulaiman berkata, وَوَرِثَ سُلَيْمَٰنُ دَاوُۥدَ ۖ وَقَالَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ ٱلطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَىْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْمُبِينُ “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.” (QS. An-Naml: 16) Demikian pula halnya ilmu membuat baju besi untuk melindungi serangan pedang dan senjata musuh milik Nabi Daud ‘alaihis salam. Allah menyebut nikmat ilmu yang Allah karuniakan kepada hamba-hambaNya, lalu berfirman, وَعَلَّمْنَٰهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّنۢ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنتُمْ شَٰكِرُونَ “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al-Anbiya’: 80) Demikian halnya ilmu kitab, hikmah, Taurat, dan Injil yang dimiliki Nabi Isa ‘alaihis salam yang karenanya Allah mengangkat derajatnya, melebihkan, dan memuliakannya. Juga ilmu yang diperoleh oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang disebut oleh Allah sebagai nikmat yang Allah karuniakan kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam ayat, وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)   Keseratus lima belas (#147): Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Ilmu dan Amal Allah memuji khalilullah–kekasih Allah–Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, melalui firman-Nya, إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121) Demikian empat pujian Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Nabi Ibrahim disebut: ummatan qaanitan lillah haniifan syaakiran li an’umihi 1. Ummatan, yaitu teladan yang menjadi panutan (al-qudwah alladzi yu’tamma bihi). Ibnu Mas’ud berkata, “Ummat yaitu yang mengajarkan kebaikan (al-mu’allim lil khair).” Wazan Ummat ini adalah fu’latan, dari kata al-i’timaam, sama seperti qudwatan, yaitu orang yang dijadikan contoh. Pertama, imam adalah segala sesuatu yang diikuti, baik dilakukan dengan niat dan perasaan atau pun tidak. Dalam ayat disebut dengan imamum mubiin, artinya jalan yang jelas. Sedangkan kata jalan tidak disebut dengan ummat. Kedua, lafazh ummatan mengandung makna lebih. Karena ia ibarat seseorang yang menyatukan sifat-sifat sempurna berupa ilmu dan amal, yang hanya dia yang miliki kesempurnaan tersebut. Ia menyatukan sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, hingga seakan berbeda dengan yang lainnya. Lafaz ummat mengesankan pada makna menyatukan, yaitu ada sifat-sifat sempurna menyatukan antara ilmu dan amal. Dalam makna lain, ummat itu berarti kesatuan dari berbagai bangsa karena mereka ialah orang-orang yang bersatu di atas satu agama atau suatu masa. 2. Qaanitan lillah, yaitu orang yang taat kepada Allah. Kata Ibnu Mas’ud, artinya adalah al-qaanit al-muthii’, makhluk yang taat. Qunut sendiri bermakna selalu taat (dawaam ath-thoo’ah). 3. Haniifan, yaitu orang yang menghadap kepada Allah. Konsekuensinya, ia condong dengan meninggalkan apa pun selain Allah. Condong sendiri adalah konsekuensi makna hanif, terlepas kata hanif ini bermakna condong secara bahasa. 4. Syaakiran li an’umihi, yaitu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, syukur nikmat bertumpu pada tiga sendi (rukun): mengakui nikmat (dengan hati), menyandarkannya kepada Allah yang telah memberinya (dengan lisan), menggunakan nikmat dalam keridaan Allah dan melakukan amalan yang Allah sukai (dengan anggota badan). Tanpa tiga rukun ini, seorang hamba tidaklah disebut bersyukur. Baca juga: Pengertian Syukur, Hakikat Syukur, dan Rukun Syukur   Allah memuji Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan empat sifat yang seluruhnya kembali kepada ILMU, mengamalkan, mengajarkan, dan menyebarkan ilmu. Oleh karena itu, seluruh kesempurnaan merujuk kepada ilmu, mengamalkan ilmu, dan menyerukan manusia kepadanya. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:520-521.   Keseratus enam belas (#148): Ilmu adalah Suatu Keberkahan, Nabi Isa Diberkahi di mana pun Karena Mengajarkan Kebaikan Allah Ta’ala berfirman, قَالَ إِنِّى عَبْدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِىَ ٱلْكِتَٰبَ وَجَعَلَنِى نَبِيًّا وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَٰنِى بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱلزَّكَوٰةِ مَا دُمْتُ حَيًّا “Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam: 30-31) Sufyan bin ‘Uyainah berkata mengenai ayat “dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada“, ia berkata, “Maksudnya, diberkahi dengan dijadikan pengajar dalam kebaikan (mu’alliman lil khairi).” Hal ini menunjukkan bahwa mengajarkan kebaikan (mengajarkan ilmu) adalah berkah yang diberikan oleh Allah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ُفَإِنَّ البَرَكَةَ حُصُوْلُ الخَيْرِ وَنَمَاؤُهُ وَدَوَامُه “Hakikat berkah adalah: (1) memperoleh kebaikan, (2) berkembangnya kebaikan, (3) langgengnya kebaikan.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521) Pada hakikatnya, berkah hanya ada pada ilmu yang diwarisi dari para nabi serta mengajarkannya pada orang lain. Karena itulah Allah menyebutkan kitab-Nya MUBAROK, yaitu yang diberkahi. Di antarnya disebutkan dalam ayat, وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَٰهُ ۚ أَفَأَنتُمْ لَهُۥ مُنكِرُونَ “Dan Al Quran ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?” (QS. Al-Anbiya’: 50) كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad: 29) Allah menyebut rasul-Nya–Isa ‘alaihis salam–sebagai rasul yang diberkahi, seperti diungkap dalam ayat, وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.  Berkah kitab dan rasul menjadi sebab diraihnya ilmu, petunjuk, dan dakwah di jalan Allah. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521.   Keseratus tujuh belas (#149): Pahala dari Ilmu yang Diajarkan Sampai kepada Pengajar Ilmu Disebutkan dalam kitab Ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ “Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah yang pahalanya terus mengalir, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakan orang tua.” (HR. Muslim, no. 1631) Hadits ini merupakan dalil terbesar yang menunjukkan kemuliaan, keutamaan, serta besarnya manfaat ilmu karena pahalanya sampai kepada si pengajar ilmu meskipun sudah meninggal, selama ilmu itu masih diambil manfaatnya, hingga seakan ia masih hidup dan amalnya tidak terputus, selain ia masih terus mendapatkan sanjungan. Maka, pahalanya terus mengalir ketika ia berpisah dari manusia, pahala ini menjadi kehidupan keduanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebut sampainya pahala tiga hal ini kepada orang yang telah meninggal dunia karena ia menjadi sebab pahala-pahala tersebut. Tatkala seseorang melakukan sebab terkait perintah dan larangan, ia mendapatkan hasilnya meskipun bukan usaha dan amalannya sendiri. Karena ia menjadi sebab adanya anak saleh, sedekah yang pahalanya terus mengalir, dan ilmu yang bermanfaat, pahalanya terus menerus mengalir untuknya dengan tersebarnya ilmu itu. Dengan demikian, seseorang mendapat pahala dari amalan yang dilakukan sendiri atau turunannya. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:522. Baca juga: Terputusnya Amalan Selain Tiga Perkara   Keseratus delapan belas (#150): Para Ulama akan Masuk Surga Tanpa Hisab pada Hari Kiamat Disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dari ‘Abdullah bin Daud, ia berkata, “Pada hari kiamat, Allah akan menjauhkan para ulama dari perhitungan amal, lalu Allah berfirman, “Masuklah ke surga meski apa pun (kebaikan dan keburukan) pada diri kalian. Sungguh, Aku menempatkan ilmu-Ku pada kalian karena kebaikan yang Aku inginkan.” Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Yang lain menambahkan dalam riwayat ini: ‘Allah menahan ulama-ulama pada hari kiamat dalam satu golongan tersendiri sampai urusan di antara manusia selesai diputuskan, di mana penghuni surga masuk ke dalam surga, penghuni neraka masuk ke dalam neraka. Allah memanggi para ulama dan berkata: ‘Hai para ulama! Sungguh, tidaklah Aku menempatkan hikmah-Ku dalam diri kalian, lalu Aku bermaksud menyiksa kalian. Aku tahu bahwa kalian berbuat kemaksiatan seperti yang dilakukan selain kalian, lalu aku menutupi kesalahan kalian dan aku mengampuni kesalahan kalian. Aku diibadahi semata karena fatwa dan pengajaran yang kalian sampaikan pada hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga tanpa hisab.’ Setelah itu Allah berfirman, “Tidak ada yang mampu memberikan apa yang dicegah oleh Allah dan tidak ada yang menghalangi apa yang diberikan oleh Allah.” Hal ini disebabkan karena amalan kebaikan orang yang mengajarkan ilmu itu akan mengalahkan amalan kejelakannya karena ada kebaikan yang dahulu diajarkan masih diamalkan orang lain sepeninggal orang berilmu. Ingat, siapa saja yang memiliki kebaikan dan kadarnya besar, di samping dia berpengaruh secara nyata dalam Islam, orang seperti ini mendapat ampunan tidak seperti ampunan yang diberikan kepada orang lain. Sebab kemaksiatan adalah kotor, tetapi ketika air sudah menjadi dua kolam, ia tidak mengandung kotoran lagi. Berbeda dengan air yang hanya sedikit, air ini kotor ketika ada kotoran jatuh ke dalamnya. Itulah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada sahabat yang mengikuti perang Badar, “Lakukan sesuka kalian, Aku telah mengampuni kalian.” Allah itu lebih memaafkan orang-orang berilmu yang memiliki banyak kebaikan, yang lebih mementingkan cinta serta rida Allah, itu bila dibandingkan dengan orang selain orang berilmu. Manakala orang alim berbuat salah, ia segera kembali, membenahi kekeliruan, dan mengobati luka karena ia laksana dokter yang mahir dan mengetahui penyakit, apa saja sebab-sebabnya, dan apa saja obatnya, karena penyakit tersebut lebih cepat hilang di tangannya daripada melalui tangan orang bodoh. Keburukan dosa orang berilmu dan orang tidak berilmu tentu berbeda, karena kebodohan itu lebih parah karena ia tidak memiliki kebaikan yang bisa melawan keburukan. Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:523-529. Baca juga: Mereka yang Keluar dari Neraka   Keseratus sembilan belas (#151): Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibanding Ibadah Sunnah Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang alim sibuk belajar serta mengajarkan ilmunya akan senantiasa berada dalam pahala ibadah karena belajar. Ingatlah, mengajarkan ilmu itu sendiri adalah ibadah.  (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang faqih (yang memahami agama) senantiasa shalat.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana bentuk shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia menyebut Allah di hati dan lisannya.” Atsar ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr. Mu’adz pernah berkata, “Pelajarilah ilmu. Sungguh, mempelajari ilmu karena Allah adalah wujud rasa takut, mencarinya adalah bagian ibadah, dan mudzakarah (bertukar pikiran) tergolong tasbih.” Riwayat ini mawquf, yaitu perkataan sahabat. Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan hadits marfu’ dari Mu’adz, “Sungguh, kamu pergi pagi-pagi lalu mempelajari satu bab ilmu, itu lebih baik bagimu daripada shalat seratus rakaat.” Ibnu Wahab berkata, “Suatu ketika aku berada di dekat Malik bin Anas, lantas waktu shalat Zhuhur atau Ashar tiba saat aku sedang membaca dan membahas ilmu di hadapannya. Aku lantas mengumpulkan buku-bukuku, merapihkannya, lalu aku bangkit untuk shalat, lalu Malik berkata kepadaku, ‘Mau ke mana?’ Aku menjawab, ‘Aku hendak shalat.’ Malik berkata, ‘Ini aneh! Apa yang hendak kamu lakukan (untuk shalat pada awal waktu) tidaklah lebih baik daripada apa yang tadi kamu kerjakan (belajar ilmu), jika niatnya benar.” Ar-Rabi’ berkata, “Aku mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata, ‘Menuntut ilmu itu lebih baik daripada ibadah nafilah (ibadah sunnah).'” Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tak ada suatu amalan yang lebih baik daripada menuntut ilmu jika niatnya benar.” Seseorang bertanya kepada Al-Mu’afa bin Imran, “Mana yang lebih engkau sukai, apakah aku mengerjakan shalat malam sepanjang malam ataukah aku duduk di malam hari untuk menulis hadits?” Ia menjawab, “Engkau menulis sebuah hadits itu lebih kusukai daripada engkau shalat malam dari awal hingga akhir malam.” Dia juga berkata, “Menulis satu hadits itu lebih aku sukai daripada qiyamul lail.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Mudzakarah ilmu (bertukar pikiran dalam hal ilmu) pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya.” Abu Hurairah rahimahullah berkata, “Aku duduk sesaat lantas aku paham pada ilmu dalam agama ini lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya hingga datang Shubuh.” Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Menuntut ilmu, menulis, serta memeriksa ilmu adalah salah satu amalan terbaik karena termasuk amalan hati dan raga. Kedudukan menuntut ilmu bagi raga laksana kedudukan amalan hati, seperti ikhlas, tawakal, cinta, inabah (kembali kepada Allah), takut, rida, dan amalan batin lainnya.” Beliau rahimahullah melanjutkan, “Jika ada yang mengatakan, ilmu tidak lain sebagai sarana sekaligus maksud dari amal, sedangkan amal adalah tujuan. Tujuan itu lebih mulia daripada alat atau sarana. Lantas bagaimana alat bisa dianggap lebih utama daripada tujuan. Maka jawabannya adalah, masing-masing dari ilmu dan amal terbagi menjadi dua, yaitu ada yang menjadi alat dan ada yang menjadi tujuan. Tidak semua ilmu menjadi alat untuk mencapai suatu yang lain. Karena ilmu dalam mengenal Allah, nama, dan sifat-Nya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak. Ilmu inilah yang secara esensi atau hakiki diperintahkan supaya kita ketahui.” Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Siapa saja yang melaksanakan dua hal, yaitu berilmu dan beramal, tentu lebih sempurna. Jia pun salah satunya lebih baik, toh kebaikan ilmu lebih baik daripada kebaikan ibadah. Oleh karena itu, manakala seorang hamba memiliki amalan lebih yang melebihi amalan wajibnya, maka kesempatan untuk melaksanakan amalan ini lebih baik dialihkan untuk mempelajari ilmu yang merupakan warisan para nabi daripada dialihkan untuk ibadah yang tanpa ilmu.” Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529-533. Ingatlah, Allah menciptakan kita agar kita benar-benar mengenal Allah. Itulah tujuan penciptaan manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat, اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya, “Kemudian Allah mengabarkan bahwa Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada padanya dan yang ada di antara masing-masing tingkatannya. Allah menurunkan perintah yang berupa syariat dan hukum-hukum duniawi yang diwahyukan kepada para rasulNya sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia. Begitu juga dengan undang-undang alam dan takdir yang mengatur seluruh mahkluk. Semua itu bertujuan agar manusia mengetahui keluasan KuasaNya atas segala sesuatu. Semuanya berada dalam jangkauan ilmuNya. Jika manusia mengetahui nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang suci, mereka akan menyembah, mencintai, dan menunaikan hakNya. Dan inilah tujuan yang dimaksudkan dari penciptaan dan diturunkannya perintah (syariat dan hukum); yaitu mengenal dan menyembah Allah. Hamba-hamba Allah yang saleh yang mendapatkan taufik menunaikannya, sedangkan orang-orang zhalim berpaling darinya.” Ayat di atas dilengkapi dengan ayat, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Inilah dalil yang menunjukkan bahwa diciptakannya manusia itu untuk: (1) beribadah kepada Allah semata, (2) mengenal Allah Sang Pencipta.   Perlu diketahui bahwa irodah (kehendak) Allah itu ada dua macam. Pertama adalah irodah diniyyah (irodah syariyyah), yaitu setiap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah berupa amalan saleh. Namun, orang-orang kafir dan fajir (ahli maksiat) melanggar perintah ini. Seperti ini disebut dengan irodah diniyyah, tetapi amalannya dicintai dan diridai. Irodah seperti ini bisa terealisir dan bisa pula tidak terealisasi. Kedua adalah irodah kauniyyah, yaitu segala sesuatu yang Allah takdirkan dan kehendaki, tetapi Allah tidaklah memerintahkannya. Contohnya adalah perkara-perkara mubah dan bentuk maksiat. Perkara-perkara semacam ini tidak Allah perintahkan dan tidak pula diridai. Allah tidaklah memerintahkan makhluk-Nya berbuat kejelekan, Dia tidak meridai kekafiran, walaupun Allah menghendaki, menakdirkan, dan menciptakannya. Dalam hal ini, setiap yang Dia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terwujud. Jika kita melihat surat Adz Dzariyat ayat 56, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Tujuan penciptaan di sini termasuk irodah diniyyah. Jadi, tujuan penciptaan di sini tidaklah semua makhluk mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam tataran realita ada orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Tujuan penciptaan di sini yaitu beribadah kepada Allah adalah perkara yang dicintai dan diridhoi, namun tidak semua makhluk merealisasikannya. (Lihat pembahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa, 8:189) Baca juga: Untuk Apa Kita Diciptakan di Dunia Ini? Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Tujuan yang terpuji yang jika setiap insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah hakekat dari perkataan seorang hamba “Laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah)”. Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan mentauhidkan Allah semata.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, 2:120)   Keseratus dua puluh (#01 – 10): Orang Berilmu Bersaksi pada Kalimat Laa Ilaha Illallah Allah Ta’ala berfirman, شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18) Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang berilmu melalui beberapa sisi: Di antara seluruh manusia, orang berilmu yang diminta untuk bersaksi. Kesaksian orang berilmu disandingkan dengan kesaksian Allah Rabb semesta alam. Kesaksian orang berilmu disandingkan dengan kesaksian para malaikat. Secara tersirat, kesaksian orang berilmu ini mengandung rekomendasi dan pernyataan bahwa mereka itu orang yang ‘UDUL. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ “Ilmu agama ini dibawa oleh orang-orang ‘UDUL (terpercaya) dari setiap generasi.” Catatan: ‘Adel menurut fuqaha adalah seseorang yang kebaikannya lebih mendominasi daripada kejelekannya. Antonim dari ‘adel adalah fasik. Fasik berarti orang yang keluar dari ketaatan. Maksud fasik, asalnya adalah keluarnya sesuatu dari sesuatu dalam bentuk kerusakan. (Lihat bahasan Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 30: 5-6) Baca juga: Apa itu Adel dan Fasik? 5. Allah menyebut orang-orang berilmu . Ini menunjukkan bahwa hanya mereka yang memiliki ilmu, mereka ahlinya. Sifat ini bukan pinjaman, tetapi sifat asli. 6. Allah memberikan kesaksian atas mereka, sedangkan Allah adalah saksi yang paling utama. Kemudian para malaikat sebagai makhluk terbaik juga bersaksi, begitu pula para ulama (orang-orang berilmu). Kesaksian ini sudah menjadi dalil keutamaan dan kemuliaan orang berilmu. 7. Allah meminta mereka bersaksi atas kesaksian paling mulia, agung, dan terbesar, yaitu kesaksian pada kalimat LAA ILAHA ILLALLAH. Allah Yang Mahaagung tentu hanya menjadikan orang-orang besar dan para pemimpin manusia untuk menangani hal-hal besar pula. 8. Allah menjadikan kesaksian mereka sebagai bukti yang kuat pada orang-orang yang mengingkari untuk menunjukkan keesaan Allah. 9. Kesaksian orang berilmu terkait erat dengan kesaksian Allah. Seakan-akan Allah memberikan kesaksian tauhid untuk diri-Nya melalui lisan mereka, membuat mereka mengutarakan kesaksian itu. 10. Dengan kesaksian ini, Allah menjadikan mereka menunaikan hak Allah yang wajib untuk hamba. Jika orang berilmu menunaikan kesaksian LAA ILAHA ILLALLAH, artinya menjalankan konsekuensi LAA ILAHA ILLALLAH dengan benar, maka makhluk lainnya hendaklah menjalankan pula dengan benar (mengikuti ulul ilmi, orang berilmu). Itulah puncak kebahagiaan di dunia dan akhirat. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:217-219.   Keseratus dua puluh satu (#15): Allah memberikan kesaksian kepada ahli ilmu Allah memberikan kesaksian kepada ahlul ilmi yang secara tersirat menjadikan mereka sebagai saksi atas kebenaran apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, أَفَغَيْرَ ٱللَّهِ أَبْتَغِى حَكَمًا وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ إِلَيْكُمُ ٱلْكِتَٰبَ مُفَصَّلًا ۚ وَٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُۥ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِٱلْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (QS. Al-An’am: 114)   Keseratus dua puluh dua (#16): Orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an Allah Ta’ala menghibur nabi-Nya dengan keimanan orang-orang berilmu, dan memerintahkan beliau agar tidak peduli terhadap orang bodoh. Allah Ta’ala berfirman, وَقُرْءَانًا فَرَقْنَٰهُ لِتَقْرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَٰهُ تَنزِيلًا قُلْ ءَامِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوْ لَا تُؤْمِنُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ مِن قَبْلِهِۦٓ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا وَيَقُولُونَ سُبْحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا “Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, Dan mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi“.” (QS. Al-Isra’: 106-108) Ini merupakan kemuliaan terbesar bagi orang berilmu. Artinya ialah orang-orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an. Tak peduli apakah selain mereka beriman padanya ataukah tidak.   Keseratus dua puluh tiga (#23): Ibrahim unggul dengan ilmu dan argumen yang kuat Allah mengutarakan perdebatan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya, hingga Ibrahim mengalahkan mereka dengan hujjah (argumen ilahiah). Allah jelas-jelas mengabarkan kelebihan Ibrahim dan tingginya derajat sang kekasih Allah ini (khalilullah) karena mengetahui hujjah tersebut. Allah berfirman setelah menyebut perdebatan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya dalam surah Al-An’am, وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83) Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami mengangkat derajat siapa yang Kami kehendaki dengan ilmu tentang hujjah.”   Keseratus dua puluh empat (#24): Mengenal Allah adalah Tujuan Penciptaan Allah mengabarkan bahwa Dia menciptakan makhluk, menjadikan Baitul Haram, bulan suci, hadyu, dan qalaid* agar hamba-hamba-Nya tahu bahwa Allah Maha Mengetahui dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman, ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ وَمِنَ ٱلْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ ٱلْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ ٱللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَىْءٍ عِلْمًۢا “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12) Ini bermakna bahwa mengenali Rabb dan sifat-sifat-Nya, serta beribadah kepada-Nya semata, merupakan tujuan dari penciptaan Allah dan pengaturan segala urusan oleh-Nya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:224) * Qalaid yaitu binatang-binatang hadyu (qurban) yang sudah dikalungi dengan tali, yang menunjukkan bahwa binatang itu dipersiapkan secara khusus untuk dikurbankan dan dihadiahkan kepada Kabah.   Keseratus dua puluh lima (#25): Bangga dan Senang dengan Ilmu Allah memerintahkan orang-orang berilmu agar senang pada apa yang Allah beri kepada mereka. Lalu, Allah mengabarkan bahwa Allah mengetahui apa yang dikumpulkan manusia. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.” (QS. Yunus: 58) Karunia Allah ditafsirkan dengan iman, sedangkan rahmat Allah ditafsirkan dengan Al-Qur’an. Iman dan Al-Qur’an itulah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Keduanya adalah al-huda wa diinul haqq (petunjuk dan agama yang benar). Keduanya adalah ilmu terbaik dan amal terbaik. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:224)   Keseratus dua puluh enam (#30): Nabi Adam ‘alaihis salam Diberikan Kelebihan dalam Hal Ilmu oleh Allah Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Rabb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al-Baqarah: 30) Kesimpulan dari ayat ini: Allah melebihkan Nabi Adam ‘alaihis salam dari malaikat walaupun malaikat rajin berdzikir dengan bertasbih, malaikat itu lebih taat. Allah jawab “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Allah Mahatahhu sisi batin dan hakikat sesuatu, sedangkan manusia tidak tahu, memiliki keterbatasan ilmu. Allah melebihkan dan menjadi Nabi Adam sangat spesial di mana Adam dikaruniai ilmu dengan diajarkan nama-nama segala benda. Malaikat tidak dikaruniai ilmu. Malaikat merasa lebih mulia daripada Adam. Padahal malaikat ketika diajarkan ilmu, mereka lemah. Allah memberitahu ilmu lahiriyyah yang tampak dan batiniyyah yang tidak terlihat. Malaikat lemah dalam menangkap hal ini. Nabi Adam memiliki sifat terbaik yaitu dianugerahkan ilmu. Ilmu adalah hal terbaik yang dimiliki manusia, inilah kelebihan manusia, dan wujud ilmu itu lebih indah dari hal lainnya (harta, dan lain-lain).   Keseratus dua puluh tujuh (#57): Jangan Sampai Kehilangan Ilmu dan Hikmah Dalam hadits disebutkan, الحِكْمَةُ ضَالَةُ المُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا “Kata-kata hikmah adalah barang hilang orang mukmin, di mana pun ia mendapatkannya, ia yang paling berhak atasnya.” Namun hadits ini dhaif atau lemah. Baca juga: Arti Hikmah dalam Al-Qur’an Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hikmah adalah ilmu. Apabila seorang mukmin kehilangan ilmu, ia laksana kehilangan salah satu barang berharga miliknya. Saat ia dapati barang berharga, hatinya merasa tenang dan jiwanya pun demikian, sebab mendapatkannya kembali. Demikian pula halnya apabila orang mukmin mendapatkan barang hilang milik hati dan rohaninya yang selalu dicari-cari dan diselidiki keberadaannya.  Ini termasuk perumpaan terbaik, karena hati seorang mukmin selalu mencari ilmu di mana pun ilmu itu berada, melebihi semangat mencari barang yang hilang miliknya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:280) Hikmah itu adalah ilmu. Carilah, jangan sampai lepas!   Keseratus dua puluh delapan (#58): Dua Sifat yang Tidak Akan Tergabung pada Diri Orang Munafik adalah Perangai yang Bagus dan Paham Agama Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِخَصْلَتَانِ لاَ يَجْتَمِعَانِ فِي مُنَافِقٍ : حُسْنُ سَمْتٍ وَفِقْهٌ فِي الدِّيْن “Ada dua sifat yang tidak mungkin ada bersamaan dalam diri orang munafik: (1) perangai yang bagus (tenang atau baik dalam diam), (2) paham agama.” (HR. Tirmidzi, no. 2685. Syaikh Ali Hasan Al-Halaby mengatakan bahwa hadits ini hasan). Sehingga jika ada dalam diri seseorang dua hal ini yaitu perangai yang bagus (tenang) dan paham agama, maka dialah seorang mukmin. Orang munafik tidak memiliki salah satu dari dua sifat tadi atau tidak memiliki dua-duanya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:280-281)   Keseratus dua puluh sembilan (#59): Selamat dari Kecurangan, Menghidupkan Sunnah Nabi, Menjadi Pelopor dalam Kebaikan Dalam hadits disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku! Jika kamu bisa memasuki pagi dan sore hari tanpa ada ghisyy (kecurangan) dalam hatimu, maka lakukanlah.” Kemudia beliau bersabda, “Wahai anakku! Itu bagian dari sunnahku. Siapa yang menghidupkan sunnahku, berarti dia mencintaiku. Siapa yang mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga.” (HR. Tirmidzi, no. 2678, dalam sanadnya ada perawi yang dhaif) Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya siapa yang menghidupkan salah satu dari sunnahku yang telah mati sepeninggalku, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengamalkan hal ini tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Siapa yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridai oleh Allah dan Rasul-Nya, ia mendapat dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa ia dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Ad-Darimi dan Tirmidzi, no. 2977. Sanad hadits ini dhaif jiddan) Hadits di atas semakna dengan hadits berikut. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا “Barang siapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017) Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala pelakunya.” (HR. Muslim, no. 1677) Baca juga: Pelopor Kebaikan (Khutbah Jumat)   Keseratus tiga puluh (#60): Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada orang berilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar memperlakukan para penuntut ilmu dengan baik. Ini tidak lain karena keutamaan dan kemuliaan dari ilmu yang mereka cari. Dari Abu Harun, ia berkata bahwa mereka mendatangi Abu Said, lantas Abu Said berkata, “Marhaban, selamat datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat dengan beliau berkata,  إِنَّ النَّاسَ لَكُمْ تَبَعٌ وَإِنَّ رِجَالاً يَأْتُوْنَكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الأَرْضِ يَتَفَقَّهُوْنَ فِي الدِّيْنِ فَإِذَا أَتَوْكُمْ فَاسْتَوْصُوْا بِهِمْ خَيْرًا “Sesungguhnya manusia itu mengikuti kalian. Sesungguhnya orang-orang akan mendatangi kalian dari berbagai penjuru dunia, mereka akan belajar agama. Jika mereka mendatangi kalian, berbuat baiklah kepada mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2650; Ibnu Majah, no. 247, 249; ‘Abdur Razaq, 11:252; Al-Baghawi, no. 134. Abu Harun adalah perawi matruk. Ada riwayat ringkat mengenai hadits ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 280)   Keseratus tiga puluh satu (#61): Menuntut Ilmu Mendapatkan Pengampunan Dosa Dalam hadits dari ‘Abdullah bin Sakhbarah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, مَنْ طَلَبَ العِلْمَ كَانَ كَفَّرَاةً لِمَا مَضَى “Siapa yang menuntut ilmu, amalan tersebut akan menghapus dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi, no. 2648; Ad-Darimi dalam Sunannya, 1:139; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 6615. Tirmidzi mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif). Baca juga: Keutamaan Ilmu dari Ibnul Qayyim no. 47 Disebutkan bahwa orang berilmu dimintakan ampunan oleh para malaikat di langit dan para makhluk di bumi. وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ “Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air.” (HR. Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dari Abdul Karim dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas bahwa ada malaikat yang ditugaskan untuk menjaga seorang penuntut ilmu hingga memulangkannya ke tempat semula dalam keadaan diampuni kesalahan-kesalahannya. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah seorang hamba mengenakan sandal, sepatu, dan juga pakaian untuk pergi menuntut ilmu melainkan dosa-dosanya diampuni sejak saat melangkahkan kaki di dekat pintu rumahnya.” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Siapa saja yang mengenakan sandal untuk mempelajari kebaikan, niscaya diampuni baginya dosa-dosanya sebelum dia melangkahkan kaki.” Meskipun riwayat-riwayat di atas tidak bisa dijadikan argumen, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Menuntut ilmu tetap menjadi salah satu kebaikan yang utama. Ingatlah bahwa setiap kebaikan akan menghapuskan kejelekan. Sehingga menuntut ilmu demi mencari wajah Allah sepantasnyalah bisa menghapus dosa-dosa masa lalu. Berbagai dalil menunjukkan bahwa mengikutkan kejelekan dengan kebaikan pasti akan menghapuskan kejelekan. Padahal diketahui bahwa menuntut ilmu adalah sebaik-baik kebaikan dan ketaatan yang paling utama. Sehingga pendalilan hal ini bukan hanya dari hadits Abu Daud di atas.” Baca juga: Amalan Kebaikan Sebagai Pelebur Dosa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, ada seseorang keluar dari rumahnya dengan membawa dosa sebesar Gunung Tihamah. Apabila mendengar ilmu, ia merasa takut, kembali, lalu bertaubat. Lantas dia pulang ke rumah dalam keadaan tidak memikul dosa apa pun. Maka, janganlah kalian jauhi majelis-majelis ulama.” Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:284-286. Baca juga: 10 Pelebur Dosa   Keseratus tiga puluh dua (#62): Menuntut Ilmu itu untuk Menghilangkan Kebodohan dari yang Lain Dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan tanpa diduga ada dua majelis di dalam masjid. Majelis pertama adalah majelis yang benar-benar mendalami agama. Sedangkan majelis kedua adalah majelis yang berdoa dan memohon kepada Allah. Beliau kemudian berkata, ِكِلاَ المَجْلِسَيْنِ إِلَى خَيْرٍ أَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَدْعُوْا اللهَ وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُوْنَ وَيُفَقِّهُوْنَ الجَاهِلَ هَؤُلاَء ُأَفْضَلُ بِالتَّعْلِيْمِ أُرْسِلْت “Kedua majelis ini sama-sama mengajak kepada kebaikan. Adapun mereka (majelis pertama), mereka berdoa kepada Allah. Sementara mereka (majelis kedua), mereka belajar dan mengajarkan orang jahil (bodoh) yang tidak memahami agama. Mereka itu lebih utama. Aku diutus untuk mengajar.” Setelah itu beliau duduk bersama mereka. (HR. Ibnu Majah, no. 22. Hadits ini dhaif). Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:287. Dalam hadits di atas walaupun haditsnya dhaif, bisa dipetik pelajaran bahwa majelis yang isinya mempelajari ilmu lebih utama daripada majelis amal. Karena di antara tujuan belajar adalah mengajarkan ilmu kepada yang lain. Baca juga: Empat Kaidah dalam Berdakwah   Keseratus tiga puluh tiga (#64): Orang Berilmu adalah Perantara Sampainya Wahyu pada Umat Kedudukan manusia yang paling utama di sisi Allah adalah kedudukan kerasulan dan kenabian (risalah dan nubuwah). Allah memilih rasul-rasul (utusan-utusan) di antara kalangan para malaikat dan juga manusia. Mereka dijadikan oleh Allah sebagai perantara antara diri-Nya dan para hamba-Nya dalam menyampaikan risalah-Nya, memperkenalkan nama Allah, segala perbuatan Allah, sifat Allah, hukum Allah, juga segala hal yang mendatangkan rida Allah dan murka-Nya, serta pahala dan siksa-Nya. Allah mengistimewakan para utusan dengan wahyu, mengkhususkan dengan keutamaan, meridai mereka untuk menyampaikan risalah Allah kepada para hamba, menjadikan mereka sebagai makhluk paling bersih jiwanya di antara seluruh alam, paling mulia akhlaknya, paling sempurna ilmu dan amalnya, paling baik bentuk penciptannya, paling dicintai dan diterima di hati manusia. Di samping itu Allah membebaskan mereka dari sifat buruk, aib, dan akhlak tercela, serta menjadikan tingkatan manusia paling mulia setelah mereka adalah tingkatan para pengganti mereka di tengah-tengah umat, karena mereka ini menggantikan para nabi dan rasul dengan meniti manhaj dan jalan mereka. Wujudnya seperti menasihati umat, menuntun orang tersesat, mengajari orang yang buta ilmu agama, membela orang yang dizalimi, membimbing orang yang berbuat zalim, memerintahkan kebaikan seusai melakukannya, mencegah kemungkaran setelah meninggalkannya, menyeru manusia menuju kepada Allah secara hikmah bagi mereka yang memenuhi seruan, dengan tutur kata yang baik bagi mereka yang berpaling dan lalai, serta berdialog dengan cara terbaik bagi mereka yang membangkang dan menentang. Itulah kondisi para pengikut rasul dan yang mendapatkan warisan ilmu dari para nabi. Allah Ta’ala berfirman, ِقُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf: 108) Yang mendapatkan warisan ilmu dari para rasul bukanlah orang kebanyakan. Mereka adalah orang-orang yang berilmu yang mempelajari serta mengamalkan ilmu yang disampaikan rasul, menuntun dan membimbing orang lain, bersabar dan berjihad untuk kepentingan ilahi. Dengan kata lain, mereka adalah para shiddiqun. Dalam ayat disebutkan, ِمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا ِذَٰلِكَ ٱلْفَضْلُ مِنَ ٱللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ عَلِيمًا “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS. An-Nisaa’: 69-70) Allah menyebut tingkatan orang-orang yang paling berbahagia dalam ayat di atas, merekalah penghuni surga: (1) para nabi, (2) shiddiq (orang yang jujur), (3) syuhada’ (orang yang mati syahid), (4) shalihin (orang saleh, wali Allah). Setelah para nabi, shiddiq lebih tinggi dibanding syuhada’ dan orang saleh. Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:288-290.   Keseratus tiga puluh empat (#66): Ilmu itu Akar Pohon, Tashdiq itu Rantingnya, Sedangkan Amal itu Buahnya Ilmu adalah pemberi putusan terhadap apa pun selainnya, dan tak ada sesuatu pun yang memberi putusan terhadap ilmu. Segala sesuatu yang diperselisihkan ada tidaknya, benar tidaknya, manfaat dan bahayanya, mudarat dan tidaknya, sempurna dan kurangnya, terpuji dan tercelanya, tingkatan baiknya, kualitas baik dan buruknya, dekat dan jauhnya, apakah ia bisa mencapai sasaran atau tidak, apakah ia bisa mewujudkan tujuan atau tidak, serta sisi pengetahuan lainnya, maka ILMULAH YANG MEMBERI PUTUSAN PADA SEMUA ITU. Apabila ilmu sudah memutuskan sesuatu, saat itulah tidak ada lagi persengketaan, putusannya haruslah diikuti. Ilmulah yang memutuskan urusan kerjaan, kebijakan, harta benda, dan pena. Berdasarkan surah An-Nisaa’ ayat 69-70, tingkat kesempurnaan ada empat: nubuwwah (kenabian), shiddiqiyyah (mencintai kebenaran), syahadah (mati syahid), wilayah (kewalian). Empat hal di atas juga disebutkan dalam surah Al-Hadid berikut ini. ِإِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ ِوَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصِّدِّيقُونَ ۖ وَٱلشُّهَدَآءُ عِندَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَكَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَآ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَحِيمِ “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka.” (QS. Al-Hadid: 18-19)   Shiddiq menurut Ibnul Qayyim Shiddiqiyyah adalah beriman secara sempurna terhadap apa yang disampaikan oleh Rasul (wahyu) dengan mengetahui, membenarkan, dan mengamalkannya. Sifat shiddiqiyyah ini kembali kepada ilmu. Siapa saja yang mengilmui wahyu dari rasul, membenarkan dengan sempurna, maka sempurnalah sifat shiddiq pada dirinya. Sehingga shiddiq itu diibaratkan seperti pohon, di mana akarnya adalah ilmu, cabangnya adalah tashdiq (membenarkan), dan buahnya adalah amal. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:294-295) Pengertian shiddiq dari perkataan para ulama lainnya Shiddiq menurut Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya (5:272), “Shiddiq mengikuti wazan fa’iil, artinya al-mubaaligh fish shidqi (tashdiq), benar-benar jujur. Shiddiq adalah orang yang selaras antara lisan dan perbuatannya. Ada yang menyatakan bahwa shiddiq adalah follower (pengikut) yang utama dari para nabi yang mengikuti kejujuran seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Shiddiq menurut Imam Ibnul Qayyim dalam Madaarij As-Salikin (2:258), “Shiddiq adalah tingkatan jujur yang paling tinggi. Shiddiq ini termasuk tingkatan orang jujur. Shiddiq adalah orang yang patuh pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia benar-benar ikhlas pada mursil (pada Allah yang mengutus Rasul).” Shiddiq menurut Al-Khazin rahimahullah dalam kitab Tafsir Al-Khazin (1:397), “Shiddiq adalah al-katsirush shidq, benar-benar jujur. Shiddiqun adalah pengikut rasul yang mengikuti jalan hidupnya sampai mereka bertemu dengan rasul tersebut. Ada juga yang menyatakan bahwa shiddiq adalah membenarkan semua ajaran agama, tanpa ada keraguan sama sekali dalam keyakinannya” Shiddiq menurut Syaikh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya (hlm. 841), “Shiddiq adalah tingkatan iman, amal saleh, ilmu yan bermanfaat, dan sikap yakin yang benar yang paling sempurna.” Berbagai istilah shiddiq dirangkum dari penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 216829. Dapat disimpulkan dari berbagai penjelasan ulama di atas, SHIDDIQ adalah orang yang benar-benar jujur dalam menjalani agama di mana sifatnya adalah: (1) ikhlas karena Allah, (2) berilmu yang bermanfaat, (3) membenarkan semua ajaran Islam, (4) patuh pada ajaran agama, (5) beriman dengan sempurna, (6) beramal saleh, (7) rasa yakin yang kuat, serta (8) selaras antara ucapan dan perbuatan.   Keseratus tiga puluh lima (#69): Zat, Sifat-Sifat, Serta Nama-Nama Allah Diketahui dengan Ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Zat, sifat, dan nama Allah hanyalah bisa diketahui oleh hamba hanya dengan ilmu.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:295)   Kaidah mengenai nama dan sifat Allah Pertama: Nama Allah itu a’lam wa awshaf, yaitu nama-nama Allah itu merujuk pada Zat Allah, kemudian setiap nama itu mengandung makna khusus. Nama “al-hayyu, al-‘aliim, al-qadiir, as-samii’, al-bashiir, ar-rahmaan, ar-rahiim, al-‘aziz, al-hakiim” adalah nama-nama Allah. Nama-nama ini merujuk pada Allah yang satu. Namun, al-hayyu memiliki makna khusus yaitu Mahahidup, Al-‘Aliim bermakna Maha Mengetahui, Al-Qadiir bermakna Mahakuasa, As-Samii’ bermakna Maha Mendengar, Al-Bashiir bermakna Maha Melihat, Ar-Rahmaan bermakna Maha Pengasih, Ar-Rahiim bermakna Maha Penyayang, Al-‘Aziz bermakna Mahaperkasa, Al-Hakiim bermakna Yang Maha Bijaksana. Kedua: Nama Allah itu kadang bergandengan dengan nama lainnya. Penyebutana seperti ini menunjukkan makna kesempurnaan Allah, pujian dan pengagungan yang sempurna kepada Allah. Hal ini berbeda jika nama tersebut berdiri sendiri. Contohnya adalah Allah itu Al-‘Aziz Al-Hakim, artinya Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Keperkasaan Allah tidak berkonsekuensi melakukan kezaliman dan kejelekan. Keperkasaan Allah ini diiringi kebijaksanaan. Allah itu As-Samii’ Al-‘Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), di tempat lain disebutkan As-Samii’ Al-Bashiir (Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Ketika kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan, ayat menyebutkan sebagai berikut. ِوَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 200) ِوَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Fushilat: 36) Ketika kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan manusia, ayat menyebutkan sebagai berikut. ِإِنَّ ٱلَّذِينَ يُجَٰدِلُونَ فِىٓ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَٰنٍ أَتَىٰهُمْ ۙ إِن فِى صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَّا هُم بِبَٰلِغِيهِ ۚ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ “Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mukmin: 56) Apa kandungan dari ayat-ayat di atas dengan menyebut As-Samii’ Al-‘Aliim dan As-Samii’ Al-Bashir? Setan itu tidak terlihat, walaupun kita mengetahui wujudnya. Sehingga ayat yang membicarakan perlindungan dari setan ditutup dengan As-Samii’ Al-‘Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Manusia itu terlihat. Sehingga ayat yang membicarakan perlindungan dari setan ditutup dengan As-Samii’ Al-Bashiir (Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Godaan setan itu menyerang hati. Hal ini terkait dengan ilmu. Dalil yang menunjukkan bahwa setan itu tak terlihat adalah ayat berikut. ِإِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ  “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27) Ayat yang lain menyebutkan At-Tawwabur Rahiim (Maha Penerima Taubat dan Rahiim) seperti dalam ayat berikut. ِيَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12). Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang artinya Allah itu menerima taubat dan memberikan taufik untuk melakukan sebab untuk diterimanya taubat dan mendapatkan kasih sayang Allah. Yang pertama, Allah itu memberi taufik untuk bertaubat dengan menempuh sebab-sebab taubat. Yang kedua, Allah menerima taubat dari orang-orang yang bertaubat. Itu semua adalah bentuk kasih sayang Allah. Ayat yang lain menyebutkan Al-Ghafurur Rahiim (Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) sebagaimana dalam ayat berikut ini. ِقُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53). Nama Allah yang digandengkan ini menunjukkan besarnya karunia Allah. Bentuk karunia Allah adalah rahmat Allah itu mendahului murka-Nya. Ketiga: Allah memiliki nama-nama yang terbaik. Allah Ta’ala berfirman, ِوَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180). Nama dan sifat Allah tidaklah sama dengan makhluk, walau ada nama dan sifat yang punya kesamaan.   Keseratus tiga puluh enam (#80): Segala Sesuatu Selain Allah Sangat Butuh pada Ilmu   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّ كُلَّ مَا سِوَى اللهِ مُفْتَقِرٌ إِلَى العِلْمِ لاَ قَوَامَ لَهُ بِدِيْنِه “Segala sesuatu selain Allah butuh pada ilmu. Segala sesuatu tidak memiliki pijakan jika tidak ada ilmu.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:309) Ilmu itu dua macam: Ilmu yang mesti ada sebelum perbuatan. Kalau dipelajari berpengaruh langsung pada orang yang mempelajarinya. Ini disebut ‘ilmu fi’liy (aktif). Ilmu yang sudah ada sebelumnya, objek yang dipelajari tidak terpengaruh apa-apa karena sudah ada sebelumnya. Contoh ilmunya adalah ilmu mengenai keberadaan Nabi, raja-raja, dan hal-hal lain yang sudah ada sebelumnya. Ilmu ini tidaklah berpengaruh pada objek yang dipelajari. Semakin jelas tentang ini diterangkan pada keutamaan ilmu ke-81.   Tentang Ilmu dan Petunjuk Ada yang berpendapat bahwa: Konsekuensi dari ilmu dan makrifah adalah mendapatkan petunjuk. Ketika seseorang tidak mendapatkan petunjuk, itu menunjukkan bahwa ia tidak berilmu. Memiliki ilmu tidak berkonsekuensi mendapatkan petunjuk. Kesesatan seringkali dilakukan secara sengaja dan atas dasar sepengetahuan pelakunya, tanpa ia meragukannya (bahwa apa yang dilakukannya itu sesat). Bahkan ia lebih memilih kesesatan dan kekafiran meski ia mengetahui keburukan dan kerusakannya.   10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal Ilmu adalah sebab kemaslahatan, kenikmatan, dan kebahagiaan seorang hamba. Namun, adanya seseorang tidaklah mendapatkan petunjuk dengan ilmu.  Lemahnya makrifah, lemahnya ilmu pada sesuatu. Ilmu tidak masuk di tempat yang layak karena bisa jadi hati itu keras. Ibaratnya hujan itu tidak begitu manfaat turun di tanah yang keras. Ketika hati menjadi keras, kasar, dan jumud, ilmu sama sekali tidak berfungsi di dalamnya. Demikian halnya tatkala, hati sakit, hina, tidak ada kekuatan dan tekad, ilmu juga tidak berpengaruh padanya. Adanya penghalang: hasad dan sombong. Inilah penyakit yang ada pada Iblis sehingga ia tidak mau tunduk pada perintah. Ini adalah penyakit orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan, kecuali siapa yang dijaga oleh Allah. Ini adalah yang jadi sebab Yahudi tidak mengakui kebenaran nubuwwah (kenabian) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini juga jadi sebab Abdullah bin Ubay dan Abu Jahal serta kalangan musyrikin tidak beriman. Adanya penghalang syubhat dengan adanya kepemimpinan dan kekuasaan. Inilah yang jadi sebab Heraklius dan raja-raja kafir sulit masuk Islam. Ada penghalang: mengikuti syahwat dan harta. Inilah sebab mayoritas Ahli Kitab sampai tidak beriman. Kaum Kafir Quraisy juga menghalangi yang lainnya masuk Islam dengan menyatakan bahwa kalau kalian masuk Islam nafsu syahwat kalian tidak bisa dipenuhi yaitu dalam zina dan minum khamar. Cinta keluarga, kerabat, dan suku. Cinta tempat tinggal dan cinta tanah air. Takut dianggap mencela leluhur. Inilah yang terjadi pada paman Nabi, Abu Thalib. Ada musuh yang mengikuti kebenaran, dan kita tidak suka pada musuh tersebut. Inilah yang terjadi pada kaum Anshar dan Yahudi. Adanya pembiasaan, rutinitas, dan faktor kampung halaman.   Maksiat itu dilakukan dalam keadaan tidak berilmu Allah Ta’ala berfirman, ِإِنَّمَا ٱلتَّوْبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 17) Ayat di atas menunjukkan bahwa konsekuensi dari memiliki ilmu dan makrifah (pengetahuan) adalah mendapatkan petunjuk, sedang ketika seseorang tidak mendapat petunjuk, itu menunjukkan kebodohan dan keadaan tidak berilmu. Selama manusia berakal, ia tidak mungkin memilih binasa daripada selamat, ditimpa siksa besar dan kekal abadi daripada mendapat nikmat nan abadi. Kenyataan membuktikan hal itu. Itulah kenapa Allah menyebut orang-orang yang durhaka kepada-Nya sebagai orang bodoh. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Siapa pun di antara makhluk Allah yang berbuat dosa berarti ia bodoh, baik ia benar-benar bodoh atau pun berilmu. Jika dia orang yang berilmu, lantas siapa lagi yang lebih bodoh daripada dirinya? Jika dia tidak berilmu, sama juga seperti itu.” Dalam ayat disebutkan, “… yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”  ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata, “Dosa orang mukmin tidak lain adalah buah kebodohannya.” Qatadah menyatakan, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepakat bahwa segala sesuatu yang ditunjukkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka ia adalah kebodohan.” As-Suddi menyatakan, “Siapa pun yang durhaka kepada Allah, ia berarti bodoh.” Dosa terjadi mana kala hati lalai dari ilmu, ketika ilmu lenyap dari hati. Saat itulah dosa terjadi karena kebodohan, kelalaian, kealpaan, dan anti ilmu. Dosa itu diliputi dua kebodohan, yaitu: (1) kebodohan hakikat sebab yang dapat memalingkan dari dosa, (2) kebodohan akan akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa. Tidaklah Allah dihurkai melainkan karena kebodohan. Tidaklah Allah ditaati melainkan karena ilmu.   Keseratus tiga puluh tujuh (#106, 102): Ibadah Harus Dituntun oleh Ilmu Agar Benar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri berkata, ِمَا عُبِدَ اللهُ بِمِثْلِ الفِقْه “Tidak ada cara ibadah kepada Allah yang semisal dengan pemahaman mendalam dalam agama.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:385). Hal yang sama juga dikatakan oleh Mak-hul. Ada dua maksud dari perkataan di atas: Maksud perkataan ini dan perkataan serupa lainnya adalah tidak ada cara ibadah kepada Allah yang seperti cara beribadah melalui pemahaman mendalam dalam agama. Maka pemahaman itu sendiri termasuk ibadah, seperti dikatakan Mu’adz bin Jabal, “Hendaklah kalian menuntut ilmu, karena menuntutnya karena Allah termasuk ibadah.” Atau mungkin yang dimaksud adalah tidaklah Allah diibadahi dengan suatu ibadah yang lebih baik dibandingkan ibadah yang disertai pemahaman agama. Pasalnya, orang yang memiliki pemahaman agama yang baik akan mengetahui apa saja tingkatan ibadah, apa saja yang dapat merusak ibadah, apa saja kewajiban, apa saja sunnah dan pelengkapnya, dan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaannya. Kedua makna di atas itu sahih.  Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:385.   Keseratus tiga puluh delapan (#115): Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat bagi penuntut ilmu   Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia! Hendaklah kalian menekuni ilmu (mempelajari dan mengamalkan ilmu), karena Allah memiliki pakaian yang Allah sukai. Maka, siapa yang menuntut suatu bab ilmu, maka Allah mengenakan pakaian-Nya kepadanya. Apabila dia melakukan suatu dosa, Allah memberinya kesempatan bertaubat, agar Allah tidak melepas pakaian tersebut sampai dia meninggal dengan tetap mengenakannya.” Jadi, Allah memberinya kesempatan bertaubat maksudnya adalah meminta hamba menghilangkan celaan Allah darinya dengan taubat, memohon ampun, dan beristighfar. Ketika si hamba kembali kepada Allah, celaan dihilangkan darinya. Dengan demikian, Rabb telah menghilangkan celaan darinya. Termasuk di antaranya perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud pada waktu terjadi gempa bumi di Kufah, “Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberi kalian kesempatan untuk bertaubat, maka mintalah ampunan kepada Allah.” Dalam ayat disebutkan, ِفَٱلْيَوْمَ لَا يُخْرَجُونَ مِنْهَا وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ “maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (QS. Al-Jatsiyah: 35) Yaitu, Kami tidak meminta mereka mengilangkan celaan terhadap mereka. Sebab menghilangkan celaan hanya dapat dilakukan dengan melakukan TAUBAT DI DUNIA. Ingat, taubat tidaklah berguna lagi di akhirat. Hal ini berbeda dengan permohonan seorang hamba kepada Allah agar dikasihani. Allah Ta’ala berfirman, ِفَإِن يَصْبِرُوا۟ فَٱلنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ ۖ وَإِن يَسْتَعْتِبُوا۟ فَمَا هُم مِّنَ ٱلْمُعْتَبِينَ “Jika mereka bersabar (menderita azab) maka nerakalah tempat diam mereka dan jika mereka mengemukakan alasan-alasan, maka tidaklah mereka termasuk orang-orang yang pantas dikasihani. (QS. Fushshilat: 24) Makna ayat ini adalah mereka meminta Kami hilangkan celaan terhadap mereka, dan mereka memohon ampunan. “Maka mereka itu tidaklah termasuk orang yang pantas dikasihani“, yaitu celaan tidak patut dihilangkan dari mereka. Permohonan ampunan seperti ini bermanfaat di dunia, tidak di akhirat. Intinya, taubat atau memohon ampunan hanya bermanfat di dunia, tidak di akhirat. Baca juga: Taubatnya Pembunuh 100 Nyawa   Keseratus tiga puluh sembilan (#121): Ulama adalah Manusia Sejati Ibnul Mubarak ditanya, ِمَنِ النَّاس “Siapakah manusia sejati itu?” Dia menjawab, ُالعُلَمَاء “Ulama (ahli ilmu).” Lalu dia ditanya, “Siapakah para raja yang sebenarnya itu?” Dia menjawab, “Orang-orang zuhud.” Dia ditanya, “Siapa orang-orang jelata itu?” Dia menjawab, “Orang yang mencari makan dengan menukarkan agamanya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:395)   Keseratus empat puluh (#124, 50): Menuntut Ilmu itu Jihad Abu Ad-Darda’ berkata, ِمَنْ رَأَى أَنَّ الغُدُوَّ إِلَى العِلْمِ لَيْسَ بِجِهَادٍ فَقَدْ نَقَصِ فِي رَأْيِهِ وَعَقْلِه ْ“Siapa saja yang tidak menganggap pagi-pagi pergi menuntut ilmu sebagai jihad, berarti fungsi akal dan rasio pendapatnya telah berkurang.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:396 dan 1:269-270)   Keseratus empat puluh satu (#124): Menuntut Ilmu itu Lebih Disukai daripada Shalat Malam Abu Ad-Darda’ berkata, ٍلِأَنْ أَتَعَلَّمَ مَسْأَلَةً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ قِيَامِ لَيْلَة “Sungguh, mempelajari suatu masalah lebih aku sukai daripada melakukan qiyamul lail (shalat malam).” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:396)   Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.   Referensi: Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Penerbit Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. Mulai dari 1:217.   —   Mulai diringkas, 21 Muharram 1443 H, 27 Agustus 2021 Alhamdulillah diselesaikan pada 18 Syakban 1445 H, 28 Februari 2024 @ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscahaya ilmu ilmu ilmu agama ilmu dan amal ilmuwan jihad ilmu keutamaan ilmu miftah daar as saadah orang berilmu

Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah (Bagian 02)

Apa saja keutamaan ilmu dan orang yang berilmu? Berikut keterangan dari Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah, lebih dari 100 poin bahasan yang penuh pelajaran di dalamnya.   Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah (Bagian 01)   Daftar Isi tutup 1. Keseratus tujuh (#139): Orang yang Tidak Punya Ilmu Sama Sekali akan Jadi Hina 2. Keseratus delapan (#140): Ilmu Tidak Akan Pernah Mau Diganti dengan Barang Lain 3. Keseratus sembilan (#141): Allah akan Membalas Kebaikan dengan Menganugerahkan Ilmu 4. Keseratus sepuluh (#142): Allah Menjadikan Ilmu bagi Hati Laksana Hujan bagi Bumi 5. Keseratus sebelas (#143): Ilmu Bisa Diraih dengan Terus Membujuk Hingga Merendahkan Diri 5.1. Ilmu memiliki enam tingkatan 5.2. Banyak mendengar dibanding banyak bicara 6. Keseratus dua belas (#144): Yang Berilmu dengan Yang Tidak Berilmu Tentu Berbeda 7. Keseratus tiga belas (#145): Burung Hudhud Selamat Karena Ilmu 8. Keseratus empat belas (#146): Kemuliaan Dunia dan Akhirat Diraih Karena Ilmu 9. Keseratus lima belas (#147): Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Ilmu dan Amal 10. Keseratus enam belas (#148): Ilmu adalah Suatu Keberkahan, Nabi Isa Diberkahi di mana pun Karena Mengajarkan Kebaikan 11. Keseratus tujuh belas (#149): Pahala dari Ilmu yang Diajarkan Sampai kepada Pengajar Ilmu 12. Keseratus delapan belas (#150): Para Ulama akan Masuk Surga Tanpa Hisab pada Hari Kiamat 13. Keseratus sembilan belas (#151): Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibanding Ibadah Sunnah 14. Keseratus dua puluh (#01 – 10): Orang Berilmu Bersaksi pada Kalimat Laa Ilaha Illallah 15. Keseratus dua puluh satu (#15): Allah memberikan kesaksian kepada ahli ilmu 16. Keseratus dua puluh dua (#16): Orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an 17. Keseratus dua puluh tiga (#23): Ibrahim unggul dengan ilmu dan argumen yang kuat 18. Keseratus dua puluh empat (#24): Mengenal Allah adalah Tujuan Penciptaan 19. Keseratus dua puluh lima (#25): Bangga dan Senang dengan Ilmu 20. Keseratus dua puluh enam (#30): Nabi Adam ‘alaihis salam Diberikan Kelebihan dalam Hal Ilmu oleh Allah 21. Keseratus dua puluh tujuh (#57): Jangan Sampai Kehilangan Ilmu dan Hikmah 22. Keseratus dua puluh delapan (#58): Dua Sifat yang Tidak Akan Tergabung pada Diri Orang Munafik adalah Perangai yang Bagus dan Paham Agama 23. Keseratus dua puluh sembilan (#59): Selamat dari Kecurangan, Menghidupkan Sunnah Nabi, Menjadi Pelopor dalam Kebaikan 24. Keseratus tiga puluh (#60): Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada orang berilmu. 25. Keseratus tiga puluh satu (#61): Menuntut Ilmu Mendapatkan Pengampunan Dosa 26. Keseratus tiga puluh dua (#62): Menuntut Ilmu itu untuk Menghilangkan Kebodohan dari yang Lain 27. Keseratus tiga puluh tiga (#64): Orang Berilmu adalah Perantara Sampainya Wahyu pada Umat 28. Keseratus tiga puluh empat (#66): Ilmu itu Akar Pohon, Tashdiq itu Rantingnya, Sedangkan Amal itu Buahnya 28.1. Shiddiq menurut Ibnul Qayyim 28.2. Pengertian shiddiq dari perkataan para ulama lainnya 29. Keseratus tiga puluh lima (#69): Zat, Sifat-Sifat, Serta Nama-Nama Allah Diketahui dengan Ilmu 29.1. Kaidah mengenai nama dan sifat Allah 30. Keseratus tiga puluh enam (#80): Segala Sesuatu Selain Allah Sangat Butuh pada Ilmu 30.1. Tentang Ilmu dan Petunjuk 30.2. 10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal 30.3. Maksiat itu dilakukan dalam keadaan tidak berilmu 31. Keseratus tiga puluh tujuh (#106, 102): Ibadah Harus Dituntun oleh Ilmu Agar Benar 32. Keseratus tiga puluh delapan (#115): Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat bagi penuntut ilmu 33. Keseratus tiga puluh sembilan (#121): Ulama adalah Manusia Sejati 34. Keseratus empat puluh (#124, 50): Menuntut Ilmu itu Jihad 35. Keseratus empat puluh satu (#124): Menuntut Ilmu itu Lebih Disukai daripada Shalat Malam 36. Referensi:   Keseratus tujuh (#139): Orang yang Tidak Punya Ilmu Sama Sekali akan Jadi Hina Jiwa-jiwa bodoh yang tidak berilmu dikenakan pakaian kehinaan dan cemoohan. Jiwa-jiwa yang seperti ini lebih cepat dihina. Hal itu sudah lazim diketahui kalangan terpelajar maupun awam.  Salah seorang khalifah Bani Abbas bermain catur, lalu pamannya meminta izin masuk. Dia mengizinkan pamannya masuk lalu ia menutup papan catur. Setelah pamannya duduk, ia bertanya, “Paman! Apakah engkau membaca Al-Qur’an?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau menulis sunnah meskipun sedikit?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari fikih dan perbedaan pendapat ulama?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari bahasa dan sejarah manusia?” “Tidak”, jawabnya. Si khalifah akhirnya berkata, “Bukalah papan caturnya.” Dia akhirnya meneruskan permainan catur. Rasa segan dan hormat pada pamannya hilang sudah. Teman bermain catur khalifah itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Masa’ engkau membuka papan catur sementara di sini ada seorang yang engkau segani?” Khalifah berkata, “Diamlah, tidak ada seorang pun di sini bersama kita.” Ini karena manusia memiliki: (1) ilmu, (2) akal, (3) pemahaman yang membedakannya dengan hewan. Saat seseorang tidak memiliki semua itu, maka ia sama seperti hewan.   Keseratus delapan (#140): Ilmu Tidak Akan Pernah Mau Diganti dengan Barang Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان كل صاحب بضاعة سوى العلم إذا علم ان غير بضاعته خير منها زهد في بضاعته ورغب في الاخرى وود انها له عوض بضاعته الا صاحب بضاعة العلم فإنه ليس يحب ان له يحظه منها حظ اصلا “Siapa pun yang memiliki barang selain ilmu, manakala mengetahui ada barang lain yang lebih baik, ia merasa tidak memerlukan lagi barang miliknya itu dan lebih menginginkan barang yang baru. Ia juga berharap barang miliknya ditukar dengan barang tadi. Kecuali pemilik ilmu, ia tidak ingin miliknya ditukar dengan apa pun.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:503) Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata, “Suatu saat aku berada di dekat Ahmad bin Abu Imran. Lalu seorang pecinta dunia melintas, aku menatapnya hingga melalaikan pelajaran yang sedang kupelajari. Ahmad lantas berkata, “Sepertinya kamu memikirkan dunia yang diberikan kepada orang itu.” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad menyeru, “Maukah kutunjukkan sesuatu? Bagaimana jika Allah memindahkan harta miliknya kepadamu, lalu Allah memindahkan ilmumu kepadanya, sehingga kamu hidup kaya, tetapi bodoh, sedangkan ia hidup berilmu, tetapi fakir?” “Aku tidak ingin Allah mengganti ilmu yang kumiliki dengan harta yang ia miliki. Sebab ilmu adalah kekayaan tanpa harta, kemuliaan tanpa kabilah, kekuasaan tanpa prajurit,” tegasnya.   Keseratus sembilan (#141): Allah akan Membalas Kebaikan dengan Menganugerahkan Ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: ان الله سبحانه اخبر انه يجزى المحسنين اجرهم باحسن ما كانواي يعملون واخبر سبحانه انه يجزى على الاحسان بالعلم وهذا يدل على انه من احسن الجزاء Allah mengabarkan bahwa Allah memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, yakni mereka yang beramal saleh dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.  Allah juga mengabarkan bahwasanya Allah akan membalas kebaikan dengan menganugerahkan ilmu. Ini menunjukkan ilmu itu balasan terbaik. Kedudukan pertama disebutkan dalam firman Allah: وَٱلَّذِى جَآءَ بِٱلصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِۦٓ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ لَهُم مَّا يَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلْمُحْسِنِينَ لِيُكَفِّرَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ ٱلَّذِى كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 33-35). Balasan ini mencakup balasan dunia dan akhirat. Kedudukan kedua disebutkan dalam firman Allah: وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥٓ ءَاتَيْنَٰهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ “Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 22). Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Siapa yang beribadah dengan baik di masa mudanya, maka Allah akan memberikan ia HIKMAH saat masa tuanya. Itulah yang dimaksud firman Allah dalam surah Yusuf ayat 22.” Oleh karena itu sebagian ulama berkata, “HIKMAH berkata: Siapa yang mencariku, tetapi tidak menemukanku, hendaklah ia mengamalkan hal terbaik yang ia ketahui dan meninggalkan hal terburuk yang ia ketahui. Jika ia melakukan hal itu, aku bersamanya meski ia tidak mengenaliku.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504) Baca juga: Arti Diberi HIKMAH dalam Al-Qur’an (Tujuh Pengertian dari Syaikh Musthafa Al-‘Adawi)   Keseratus sepuluh (#142): Allah Menjadikan Ilmu bagi Hati Laksana Hujan  bagi Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان الله سبحانه جعل العلم للقلوب كالمطر للارض فكما انه لا حياة للارض الا بالمطر فكذلك لا حياة للقلب الا بالعلم “Allah menjadikan ilmu bagi hati laksana hujan bagi bumi. Bumi tidak bisa hidup tanpa hujan. Begitu pula hati tidak bisa hidup tanpa ilmu.” Disebutkan dalam kitab Al-Muwatha’, قال لقمان لابنه يا بني جالس العلماء وزاحمهم بركبتيك فان الله تعالى يحيى القلوب الميتة بنور الحكمة كما يحيى الارض بوابل المطر Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku! Bergaullah dengan ulama dan dekatkanlah lututmu pada mereka demi meraih rida Allah, supaya hati yang mati itu hidup dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi dengan hujan lebat.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ولهذا فإن الأرض إنما تحتاج الى المطر في بعض الاوقات فإذا تتابع عليها احتاجت الى انقطاعه واما العلم فيحتاج اليه بعدد الانفاس ولاتزيده كثرته الا صلاحا ونفعا “Bumi itu hanya memelurkan hujan pada waktu tertentu saja. Manakala hujan turun terus menerus, bumi menginginkan hujan berhenti. Berbeda dengan ilmu, ilmu selalu diperlukan hati sebanyak bilangan nafas. Banyaknya ilmu semakin membuat hati menjadi baik dan meraih manfaat.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504-505)   Keseratus sebelas (#143): Ilmu Bisa Diraih dengan Terus Membujuk Hingga Merendahkan Diri Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان كثيرا من الاخلاق التي لا تحمد في الشخص بل يذم عليها تحمد في طلب العلم كالملق وترك الاستحياء والذل والتردد الى ابواب العلماء ونحوها  “Sebagian besar akhlak yang tidak terpuji dalam diri seseorang–bahkan ia dicela–justru dipuji dalam menuntut ilmu. Sifat yang dipuji dalam menuntut ilmu adalah: membujuk agar dapat ilmu, meninggalkan rasa malu, merendahkan diri (tawadhu’), dan berulang kali mendatangi pintu ulama, dan semacamnya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:505) Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, ليس الملق من اخلاق المؤمنين الا في طلب العلم “Sifat al-malaq (suka merayu-rayu, membujuk-bujuk) asalnya bukanlah   akhlak orang beriman, kecuali pada orang yang menuntut ilmu.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ذللت طالبا فعززت مطلوبا “Aku merendahkan diri ketika mencari ilmu, hingga akhirnya aku menjadi mulia karena seringnya dicari.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, وجدت عامة علم رسول الله صلى الله عليه و سلم عند هذا الحي من الانصار إن كنت لاقيل عند باب احدهم ولو شئت اذن لي ولكن ابتغى بذلك طيب نفسه  “Aku mendapati sebagian besar ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di perkampungan Anshar ini. Aku pernah tidur siang di dekat pintu salah seorang penduduk Anshar. Andaikan mau, aku tentu dipersilakan masuk. Namun, aku melakukan hal itu demi mencari keridaan orang yang aku cari ilmunya.” Di antara perkataan sebagian ulama ialah: لاينال العلم مستحي ولا متكبر هذا يمنعه حياؤه من التعلم وهذا يمنعه كبره  Sifat malu dan sifat sombong tidak akan mendapatkan ilmu. Sifat malu itu menghalangi seseorang untuk belajar. Begitu pula sifat sombong itu menghalangi dari meraih ilmu.” Akhlak-akhlak seperti ini dipuji dalam menuntut ilmu karena semua itu merupakan jalan untuk meraih ilmu. Dengan demikian, akhlak-akhlak tersebut termasuk bagian dari kesempurnaan seseorang dan bisa mengantarkan menuju kesempurnaan ilmu. Ada ulama yang menyebutkan, إذا جلست الى عالم فسل تفقها لاتعنتا “Jika kamu menemui seorang alim, bertanyalah untuk memperdalam ilmu, bukan bertanya untuk menyusahkan diri.”   Ilmu memiliki enam tingkatan bagus dalam bertanya, berusaha diam dan mendengarkan, berusaha memahami, menghafalkan, mengajarkan, buahnya adalah mengamalkan dan memperhatikan batasan-batasannya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:507)   Banyak mendengar dibanding banyak bicara Sebagian ulama salaf berkata, “Jika engkau duduk bersama seorang alim, hendaklah engkau banyak mendengar dibanding semangat bicara.” Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37) Allah menyebut ayat-ayat-Nya (tanda kebesaran-Nya) melalui apa yang dibaca, didengar, dan dilihat, semua itu hanya bermanfaat pada orang yang punya hati, karena siapa saja yang tidak memiliki hati yang memahami penjelasan dan peringatan dari Allah, maka apa pun tanda kebesaran yang melintas di hadapannya tidak akan membawa guna, meski seluruhnya. Berlalunya tanda-tana kebesaran Allah di hadapannya–seperti terbitnya matahari, bulan, dan bintang–yang laksana berlalunya tanda-tanda kebesaran tersebut di hadapan orang yang tidak memiliki penglihatan. Saat objek-objek yang tampak itu melihat, dia dapat melihatnya. Bahkan orang yang memiliki hati saja tidak dapat memetik manfaat apa pun dengan hatinya tanpa adanya dua hal: (1) menghadirkan hati, (2) menyaksikan apa yang disampaikan. Ketika hati tidak hadir sebab berkelana dengan angan-angan, syahwat, dan khayalan, ia tidak dapat memetik manfaat meski memiliki hati. Ia juga tidak dapat memetik manfaat walaupun sudah menghadirkan dan membuat hati tadi menyaksikan apa yang disampaikan, kecuali jika ia mendengar nasihat dan petunjuk yang disampaikan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, hati terbagi menjadi tiga jenis. hati yang selamat, sehat, dan bisa menerima. menghadirkan dan menyatukan hati, serta mencegahnya agar tidak berlarian dan berserakan. menggunakan pendengaran dan fokus untuk ingat. Ketiga hal ini disebutkan dalam ayat di atas. Ibnu ‘Athiyah berkata, “Hati yang dimaksud di sini mengungkapkan fungsi akal, sebab akal tempatnya di hati. Artinya, bagi orang yang hati sadar maka dia dapat memetik manfaat dengannya.”   Dari tingkatan ilmu yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebelumnya, berarti ilmu tidak didapat karena enam kondisi: tidak mau bertanya, tidak bisa mendengar dengan baik dan tidak menggunakan pendengaran, salah paham, tidak menghafal, tidak menyebarkan ilmu karena siapa saja yang menyimpan ilmu, tidak mau mengajarkannya kepada orang lain, Allah membuatnya lupa dan menghilangkan ilmunya. Ini adalah realita. tidak mengamalkan ilmu sebab mengamalkan ilmu mengharuskan untuk mengingat, merenungkan, menjaganya, dan memikirkannya. Ketika seorang tidak mengamalkan ilmu, ia akan melupakannya.   Seorang ulama salaf berkata, “Kami memperkuat hafalan ilmu dengan mengamalkannya.” Ulama yang lain berkata, “Ilmu menyeru pada amalan. Jika amalan menerima seruan, ilmu bertahan. Jika tidak, ilmu pergi.” Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah (1:516) berkata, “Mengamalkan ilmu adalah sebab terbesar ilmu itu terjaga dan kokoh. Enggan mengamalkan ilmu adalah sebab ilmu itu dilupakan.” Baca juga: Empat Langkah Tadabur Al-Qur’an   Keseratus dua belas (#144): Yang Berilmu dengan Yang Tidak Berilmu Tentu Berbeda Allah subhanaahu wa ta’ala membedakan sepuluh hal: Yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Yang jelek dan thayyib (baik) itu berbeda. Yang buta dengan melihat itu berbeda. Cahaya dengan kegelapan itu berbeda. Yang teduh dengan yang terkena panas itu berbeda. Penduduk surga dan neraka itu berbeda. Yang bisu dan tidak mampu berbuat dengan yang memerintahkan keadilan dan berada di atas jalan yang lurus itu berbeda. Mukmin dan kafir itu berbeda. Orang yang beriman dan beramal saleh dengan yang berbuat kerusakan di muka bumi itu berbeda. Orang yang bertakwa (muttaqin) dengan orang yang buruk (fajir) itu berbeda. Sepuluh ayat dalam Al-Qur’an menafikan persamaan dalam hal ini. Hal ini menunjukkan betapa agungnya orang berilmu dari orang yang tidak berilmu laksana kedudukan cahaya di atas kegelapan, laksana kedudukan tempat yang teduh dari tempat yang panas, laksana kedudukan sesuatu yang baik terhadap sesuatu yang buruk. Kedudukan tersebut saling berbanding terbalik. Hal ini sudah cukup menunjukkan kedudukan ilmu serta kedudukan orang berilmu. Lebih dari itu, jika Anda renungkan golongan-golongan di atas secara keseluruhan, Anda akan mengetahui penafian persamaan di antara semua itu merujuk pada ilmu dan penyebabnya. Di sinilah letak keutamaan dan perbedaan.   Keseratus tiga belas (#145): Burung Hudhud Selamat Karena Ilmu Saat Sulaiman mengancam akan menyiksa burung Hudhud dengan siksaan yang berat atau akan menyembelihnya, burung Hudhud itu selamat karena ilmu. Ia memberitahukan suatu ilmu kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam melalui kata-kata lisannya. Dalam ayat disebutkan, فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍۭ بِنَبَإٍ يَقِينٍ “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (QS. An-Naml: 22) Ilmu tadi membuat burung Hudhud berani menyampaikan kata-kata tersebut. Sebab Andai bukan karena kekuasaan ilmu, burung Hudhud tidak akan mampu menyampaikan kata-kata seperti ini di hadapan Sulaiman, karena Hudhud lemah, sementara Sulaiman kuat. Disebutkan dalam sebuah kisah masyhur bahwa seorang ahli ilmu ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, “AKU TIDAK TAHU.” Satu muridnya berkata, “Aku mengetahui masalah itu.” Si guru marah dan hendak memukulnya. Murid lantas berkata, “Wahai guru! Engkau tidak lebih tahu daripada Sulaiman bin Daud meski setinggi apa pun ilmumu, dan aku tidak lebih bodoh daripada burung Hudhud, di mana burung ini berkata kepada Sulaiman, أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya.” Namun, Sulaiman tidak mencela atau pun memperlakukannya dengan kasar. Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:517. Pelajaran yang bisa diambil dari kisah Sulaiman di atas:  Murid bisa saja lebih memiliki ilmu dibandingkan seorang guru. Hendaklah menghargai ilmu orang lain. Kalau tidak memiliki ilmu, jawablah: AKU TIDAK TAHU, daripada “sok tahu”. Setinggi apa pun ilmu seseorang, tetap masih ada yang lebih berilmu. Tak perlu memarahi murid yang memang lebih memiliki ilmu.   Keseratus empat belas (#146): Kemuliaan Dunia dan Akhirat Diraih Karena Ilmu Perhatikan keistimewaan yang didapatkan oleh Nabi Adam atas para malaikat, mereka mengakui bahwasanya Allah mengajarkan nama benda-benda kepadanya, lantas musibah yang menimpanya digantikan oleh surga yang jauh lebih baik karena ilmu kalimat yang dia terima dari Allah. Perhatikan pula kekuasaan, kemuliaan, serta kebesaran yang diraih Yusuf karena ilmu tafsir mimpi yang dia kuasai. Selain itu, Yusuf juga mengetahui alasan yang bisa diterima dan diakui untuk menahan saudaranya (Benyamin) di antara saudara-saudaranya yang lain, hingga akhirnya Nabi ini mencapai kemuliaan, kesudahan baik, dan kondisi sempurna karena ilmu yang dimilikinya. Demikian seperti isyarat Allah Ta’ala dalam ayat, كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ ۖ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِى دِينِ ٱلْمَلِكِ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِى عِلْمٍ عَلِيمٌ “Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76) Disebutkan dalam penafsiran ayat ini, Kami mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan ilmu, seperti Kami mengangkat derajat Yusuf atas saudara-saudaranya. Allah berfirman terkait Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83) Ayat ini menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu hujjah, sementara itu ayat sebelumnya menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu politik (ilmu siyasah). Seperti itu pula kemuliaan yang didapatkan Khidir karena Kamillurrahman, Musa, berguru dan bertanya dengan lembut dan sopan kepadanya. Ya, sampai-sampai Nabi Musa berkata, قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا “Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66) Seperti itu juga ilmu bahasa burung yang dimiliki Nabi Sulaiman, hingga dia sampai ke Kerajaan Saba, mengalahkan ratu mereka, membawa singgasana kerajaannya, dan ratu itu pun tunduk pada kekuasaannya. Maka itu Sulaiman berkata, وَوَرِثَ سُلَيْمَٰنُ دَاوُۥدَ ۖ وَقَالَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ ٱلطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَىْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْمُبِينُ “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.” (QS. An-Naml: 16) Demikian pula halnya ilmu membuat baju besi untuk melindungi serangan pedang dan senjata musuh milik Nabi Daud ‘alaihis salam. Allah menyebut nikmat ilmu yang Allah karuniakan kepada hamba-hambaNya, lalu berfirman, وَعَلَّمْنَٰهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّنۢ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنتُمْ شَٰكِرُونَ “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al-Anbiya’: 80) Demikian halnya ilmu kitab, hikmah, Taurat, dan Injil yang dimiliki Nabi Isa ‘alaihis salam yang karenanya Allah mengangkat derajatnya, melebihkan, dan memuliakannya. Juga ilmu yang diperoleh oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang disebut oleh Allah sebagai nikmat yang Allah karuniakan kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam ayat, وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)   Keseratus lima belas (#147): Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Ilmu dan Amal Allah memuji khalilullah–kekasih Allah–Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, melalui firman-Nya, إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121) Demikian empat pujian Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Nabi Ibrahim disebut: ummatan qaanitan lillah haniifan syaakiran li an’umihi 1. Ummatan, yaitu teladan yang menjadi panutan (al-qudwah alladzi yu’tamma bihi). Ibnu Mas’ud berkata, “Ummat yaitu yang mengajarkan kebaikan (al-mu’allim lil khair).” Wazan Ummat ini adalah fu’latan, dari kata al-i’timaam, sama seperti qudwatan, yaitu orang yang dijadikan contoh. Pertama, imam adalah segala sesuatu yang diikuti, baik dilakukan dengan niat dan perasaan atau pun tidak. Dalam ayat disebut dengan imamum mubiin, artinya jalan yang jelas. Sedangkan kata jalan tidak disebut dengan ummat. Kedua, lafazh ummatan mengandung makna lebih. Karena ia ibarat seseorang yang menyatukan sifat-sifat sempurna berupa ilmu dan amal, yang hanya dia yang miliki kesempurnaan tersebut. Ia menyatukan sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, hingga seakan berbeda dengan yang lainnya. Lafaz ummat mengesankan pada makna menyatukan, yaitu ada sifat-sifat sempurna menyatukan antara ilmu dan amal. Dalam makna lain, ummat itu berarti kesatuan dari berbagai bangsa karena mereka ialah orang-orang yang bersatu di atas satu agama atau suatu masa. 2. Qaanitan lillah, yaitu orang yang taat kepada Allah. Kata Ibnu Mas’ud, artinya adalah al-qaanit al-muthii’, makhluk yang taat. Qunut sendiri bermakna selalu taat (dawaam ath-thoo’ah). 3. Haniifan, yaitu orang yang menghadap kepada Allah. Konsekuensinya, ia condong dengan meninggalkan apa pun selain Allah. Condong sendiri adalah konsekuensi makna hanif, terlepas kata hanif ini bermakna condong secara bahasa. 4. Syaakiran li an’umihi, yaitu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, syukur nikmat bertumpu pada tiga sendi (rukun): mengakui nikmat (dengan hati), menyandarkannya kepada Allah yang telah memberinya (dengan lisan), menggunakan nikmat dalam keridaan Allah dan melakukan amalan yang Allah sukai (dengan anggota badan). Tanpa tiga rukun ini, seorang hamba tidaklah disebut bersyukur. Baca juga: Pengertian Syukur, Hakikat Syukur, dan Rukun Syukur   Allah memuji Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan empat sifat yang seluruhnya kembali kepada ILMU, mengamalkan, mengajarkan, dan menyebarkan ilmu. Oleh karena itu, seluruh kesempurnaan merujuk kepada ilmu, mengamalkan ilmu, dan menyerukan manusia kepadanya. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:520-521.   Keseratus enam belas (#148): Ilmu adalah Suatu Keberkahan, Nabi Isa Diberkahi di mana pun Karena Mengajarkan Kebaikan Allah Ta’ala berfirman, قَالَ إِنِّى عَبْدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِىَ ٱلْكِتَٰبَ وَجَعَلَنِى نَبِيًّا وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَٰنِى بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱلزَّكَوٰةِ مَا دُمْتُ حَيًّا “Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam: 30-31) Sufyan bin ‘Uyainah berkata mengenai ayat “dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada“, ia berkata, “Maksudnya, diberkahi dengan dijadikan pengajar dalam kebaikan (mu’alliman lil khairi).” Hal ini menunjukkan bahwa mengajarkan kebaikan (mengajarkan ilmu) adalah berkah yang diberikan oleh Allah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ُفَإِنَّ البَرَكَةَ حُصُوْلُ الخَيْرِ وَنَمَاؤُهُ وَدَوَامُه “Hakikat berkah adalah: (1) memperoleh kebaikan, (2) berkembangnya kebaikan, (3) langgengnya kebaikan.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521) Pada hakikatnya, berkah hanya ada pada ilmu yang diwarisi dari para nabi serta mengajarkannya pada orang lain. Karena itulah Allah menyebutkan kitab-Nya MUBAROK, yaitu yang diberkahi. Di antarnya disebutkan dalam ayat, وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَٰهُ ۚ أَفَأَنتُمْ لَهُۥ مُنكِرُونَ “Dan Al Quran ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?” (QS. Al-Anbiya’: 50) كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad: 29) Allah menyebut rasul-Nya–Isa ‘alaihis salam–sebagai rasul yang diberkahi, seperti diungkap dalam ayat, وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.  Berkah kitab dan rasul menjadi sebab diraihnya ilmu, petunjuk, dan dakwah di jalan Allah. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521.   Keseratus tujuh belas (#149): Pahala dari Ilmu yang Diajarkan Sampai kepada Pengajar Ilmu Disebutkan dalam kitab Ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ “Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah yang pahalanya terus mengalir, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakan orang tua.” (HR. Muslim, no. 1631) Hadits ini merupakan dalil terbesar yang menunjukkan kemuliaan, keutamaan, serta besarnya manfaat ilmu karena pahalanya sampai kepada si pengajar ilmu meskipun sudah meninggal, selama ilmu itu masih diambil manfaatnya, hingga seakan ia masih hidup dan amalnya tidak terputus, selain ia masih terus mendapatkan sanjungan. Maka, pahalanya terus mengalir ketika ia berpisah dari manusia, pahala ini menjadi kehidupan keduanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebut sampainya pahala tiga hal ini kepada orang yang telah meninggal dunia karena ia menjadi sebab pahala-pahala tersebut. Tatkala seseorang melakukan sebab terkait perintah dan larangan, ia mendapatkan hasilnya meskipun bukan usaha dan amalannya sendiri. Karena ia menjadi sebab adanya anak saleh, sedekah yang pahalanya terus mengalir, dan ilmu yang bermanfaat, pahalanya terus menerus mengalir untuknya dengan tersebarnya ilmu itu. Dengan demikian, seseorang mendapat pahala dari amalan yang dilakukan sendiri atau turunannya. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:522. Baca juga: Terputusnya Amalan Selain Tiga Perkara   Keseratus delapan belas (#150): Para Ulama akan Masuk Surga Tanpa Hisab pada Hari Kiamat Disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dari ‘Abdullah bin Daud, ia berkata, “Pada hari kiamat, Allah akan menjauhkan para ulama dari perhitungan amal, lalu Allah berfirman, “Masuklah ke surga meski apa pun (kebaikan dan keburukan) pada diri kalian. Sungguh, Aku menempatkan ilmu-Ku pada kalian karena kebaikan yang Aku inginkan.” Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Yang lain menambahkan dalam riwayat ini: ‘Allah menahan ulama-ulama pada hari kiamat dalam satu golongan tersendiri sampai urusan di antara manusia selesai diputuskan, di mana penghuni surga masuk ke dalam surga, penghuni neraka masuk ke dalam neraka. Allah memanggi para ulama dan berkata: ‘Hai para ulama! Sungguh, tidaklah Aku menempatkan hikmah-Ku dalam diri kalian, lalu Aku bermaksud menyiksa kalian. Aku tahu bahwa kalian berbuat kemaksiatan seperti yang dilakukan selain kalian, lalu aku menutupi kesalahan kalian dan aku mengampuni kesalahan kalian. Aku diibadahi semata karena fatwa dan pengajaran yang kalian sampaikan pada hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga tanpa hisab.’ Setelah itu Allah berfirman, “Tidak ada yang mampu memberikan apa yang dicegah oleh Allah dan tidak ada yang menghalangi apa yang diberikan oleh Allah.” Hal ini disebabkan karena amalan kebaikan orang yang mengajarkan ilmu itu akan mengalahkan amalan kejelakannya karena ada kebaikan yang dahulu diajarkan masih diamalkan orang lain sepeninggal orang berilmu. Ingat, siapa saja yang memiliki kebaikan dan kadarnya besar, di samping dia berpengaruh secara nyata dalam Islam, orang seperti ini mendapat ampunan tidak seperti ampunan yang diberikan kepada orang lain. Sebab kemaksiatan adalah kotor, tetapi ketika air sudah menjadi dua kolam, ia tidak mengandung kotoran lagi. Berbeda dengan air yang hanya sedikit, air ini kotor ketika ada kotoran jatuh ke dalamnya. Itulah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada sahabat yang mengikuti perang Badar, “Lakukan sesuka kalian, Aku telah mengampuni kalian.” Allah itu lebih memaafkan orang-orang berilmu yang memiliki banyak kebaikan, yang lebih mementingkan cinta serta rida Allah, itu bila dibandingkan dengan orang selain orang berilmu. Manakala orang alim berbuat salah, ia segera kembali, membenahi kekeliruan, dan mengobati luka karena ia laksana dokter yang mahir dan mengetahui penyakit, apa saja sebab-sebabnya, dan apa saja obatnya, karena penyakit tersebut lebih cepat hilang di tangannya daripada melalui tangan orang bodoh. Keburukan dosa orang berilmu dan orang tidak berilmu tentu berbeda, karena kebodohan itu lebih parah karena ia tidak memiliki kebaikan yang bisa melawan keburukan. Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:523-529. Baca juga: Mereka yang Keluar dari Neraka   Keseratus sembilan belas (#151): Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibanding Ibadah Sunnah Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang alim sibuk belajar serta mengajarkan ilmunya akan senantiasa berada dalam pahala ibadah karena belajar. Ingatlah, mengajarkan ilmu itu sendiri adalah ibadah.  (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang faqih (yang memahami agama) senantiasa shalat.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana bentuk shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia menyebut Allah di hati dan lisannya.” Atsar ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr. Mu’adz pernah berkata, “Pelajarilah ilmu. Sungguh, mempelajari ilmu karena Allah adalah wujud rasa takut, mencarinya adalah bagian ibadah, dan mudzakarah (bertukar pikiran) tergolong tasbih.” Riwayat ini mawquf, yaitu perkataan sahabat. Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan hadits marfu’ dari Mu’adz, “Sungguh, kamu pergi pagi-pagi lalu mempelajari satu bab ilmu, itu lebih baik bagimu daripada shalat seratus rakaat.” Ibnu Wahab berkata, “Suatu ketika aku berada di dekat Malik bin Anas, lantas waktu shalat Zhuhur atau Ashar tiba saat aku sedang membaca dan membahas ilmu di hadapannya. Aku lantas mengumpulkan buku-bukuku, merapihkannya, lalu aku bangkit untuk shalat, lalu Malik berkata kepadaku, ‘Mau ke mana?’ Aku menjawab, ‘Aku hendak shalat.’ Malik berkata, ‘Ini aneh! Apa yang hendak kamu lakukan (untuk shalat pada awal waktu) tidaklah lebih baik daripada apa yang tadi kamu kerjakan (belajar ilmu), jika niatnya benar.” Ar-Rabi’ berkata, “Aku mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata, ‘Menuntut ilmu itu lebih baik daripada ibadah nafilah (ibadah sunnah).'” Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tak ada suatu amalan yang lebih baik daripada menuntut ilmu jika niatnya benar.” Seseorang bertanya kepada Al-Mu’afa bin Imran, “Mana yang lebih engkau sukai, apakah aku mengerjakan shalat malam sepanjang malam ataukah aku duduk di malam hari untuk menulis hadits?” Ia menjawab, “Engkau menulis sebuah hadits itu lebih kusukai daripada engkau shalat malam dari awal hingga akhir malam.” Dia juga berkata, “Menulis satu hadits itu lebih aku sukai daripada qiyamul lail.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Mudzakarah ilmu (bertukar pikiran dalam hal ilmu) pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya.” Abu Hurairah rahimahullah berkata, “Aku duduk sesaat lantas aku paham pada ilmu dalam agama ini lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya hingga datang Shubuh.” Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Menuntut ilmu, menulis, serta memeriksa ilmu adalah salah satu amalan terbaik karena termasuk amalan hati dan raga. Kedudukan menuntut ilmu bagi raga laksana kedudukan amalan hati, seperti ikhlas, tawakal, cinta, inabah (kembali kepada Allah), takut, rida, dan amalan batin lainnya.” Beliau rahimahullah melanjutkan, “Jika ada yang mengatakan, ilmu tidak lain sebagai sarana sekaligus maksud dari amal, sedangkan amal adalah tujuan. Tujuan itu lebih mulia daripada alat atau sarana. Lantas bagaimana alat bisa dianggap lebih utama daripada tujuan. Maka jawabannya adalah, masing-masing dari ilmu dan amal terbagi menjadi dua, yaitu ada yang menjadi alat dan ada yang menjadi tujuan. Tidak semua ilmu menjadi alat untuk mencapai suatu yang lain. Karena ilmu dalam mengenal Allah, nama, dan sifat-Nya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak. Ilmu inilah yang secara esensi atau hakiki diperintahkan supaya kita ketahui.” Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Siapa saja yang melaksanakan dua hal, yaitu berilmu dan beramal, tentu lebih sempurna. Jia pun salah satunya lebih baik, toh kebaikan ilmu lebih baik daripada kebaikan ibadah. Oleh karena itu, manakala seorang hamba memiliki amalan lebih yang melebihi amalan wajibnya, maka kesempatan untuk melaksanakan amalan ini lebih baik dialihkan untuk mempelajari ilmu yang merupakan warisan para nabi daripada dialihkan untuk ibadah yang tanpa ilmu.” Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529-533. Ingatlah, Allah menciptakan kita agar kita benar-benar mengenal Allah. Itulah tujuan penciptaan manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat, اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya, “Kemudian Allah mengabarkan bahwa Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada padanya dan yang ada di antara masing-masing tingkatannya. Allah menurunkan perintah yang berupa syariat dan hukum-hukum duniawi yang diwahyukan kepada para rasulNya sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia. Begitu juga dengan undang-undang alam dan takdir yang mengatur seluruh mahkluk. Semua itu bertujuan agar manusia mengetahui keluasan KuasaNya atas segala sesuatu. Semuanya berada dalam jangkauan ilmuNya. Jika manusia mengetahui nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang suci, mereka akan menyembah, mencintai, dan menunaikan hakNya. Dan inilah tujuan yang dimaksudkan dari penciptaan dan diturunkannya perintah (syariat dan hukum); yaitu mengenal dan menyembah Allah. Hamba-hamba Allah yang saleh yang mendapatkan taufik menunaikannya, sedangkan orang-orang zhalim berpaling darinya.” Ayat di atas dilengkapi dengan ayat, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Inilah dalil yang menunjukkan bahwa diciptakannya manusia itu untuk: (1) beribadah kepada Allah semata, (2) mengenal Allah Sang Pencipta.   Perlu diketahui bahwa irodah (kehendak) Allah itu ada dua macam. Pertama adalah irodah diniyyah (irodah syariyyah), yaitu setiap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah berupa amalan saleh. Namun, orang-orang kafir dan fajir (ahli maksiat) melanggar perintah ini. Seperti ini disebut dengan irodah diniyyah, tetapi amalannya dicintai dan diridai. Irodah seperti ini bisa terealisir dan bisa pula tidak terealisasi. Kedua adalah irodah kauniyyah, yaitu segala sesuatu yang Allah takdirkan dan kehendaki, tetapi Allah tidaklah memerintahkannya. Contohnya adalah perkara-perkara mubah dan bentuk maksiat. Perkara-perkara semacam ini tidak Allah perintahkan dan tidak pula diridai. Allah tidaklah memerintahkan makhluk-Nya berbuat kejelekan, Dia tidak meridai kekafiran, walaupun Allah menghendaki, menakdirkan, dan menciptakannya. Dalam hal ini, setiap yang Dia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terwujud. Jika kita melihat surat Adz Dzariyat ayat 56, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Tujuan penciptaan di sini termasuk irodah diniyyah. Jadi, tujuan penciptaan di sini tidaklah semua makhluk mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam tataran realita ada orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Tujuan penciptaan di sini yaitu beribadah kepada Allah adalah perkara yang dicintai dan diridhoi, namun tidak semua makhluk merealisasikannya. (Lihat pembahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa, 8:189) Baca juga: Untuk Apa Kita Diciptakan di Dunia Ini? Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Tujuan yang terpuji yang jika setiap insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah hakekat dari perkataan seorang hamba “Laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah)”. Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan mentauhidkan Allah semata.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, 2:120)   Keseratus dua puluh (#01 – 10): Orang Berilmu Bersaksi pada Kalimat Laa Ilaha Illallah Allah Ta’ala berfirman, شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18) Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang berilmu melalui beberapa sisi: Di antara seluruh manusia, orang berilmu yang diminta untuk bersaksi. Kesaksian orang berilmu disandingkan dengan kesaksian Allah Rabb semesta alam. Kesaksian orang berilmu disandingkan dengan kesaksian para malaikat. Secara tersirat, kesaksian orang berilmu ini mengandung rekomendasi dan pernyataan bahwa mereka itu orang yang ‘UDUL. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ “Ilmu agama ini dibawa oleh orang-orang ‘UDUL (terpercaya) dari setiap generasi.” Catatan: ‘Adel menurut fuqaha adalah seseorang yang kebaikannya lebih mendominasi daripada kejelekannya. Antonim dari ‘adel adalah fasik. Fasik berarti orang yang keluar dari ketaatan. Maksud fasik, asalnya adalah keluarnya sesuatu dari sesuatu dalam bentuk kerusakan. (Lihat bahasan Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 30: 5-6) Baca juga: Apa itu Adel dan Fasik? 5. Allah menyebut orang-orang berilmu . Ini menunjukkan bahwa hanya mereka yang memiliki ilmu, mereka ahlinya. Sifat ini bukan pinjaman, tetapi sifat asli. 6. Allah memberikan kesaksian atas mereka, sedangkan Allah adalah saksi yang paling utama. Kemudian para malaikat sebagai makhluk terbaik juga bersaksi, begitu pula para ulama (orang-orang berilmu). Kesaksian ini sudah menjadi dalil keutamaan dan kemuliaan orang berilmu. 7. Allah meminta mereka bersaksi atas kesaksian paling mulia, agung, dan terbesar, yaitu kesaksian pada kalimat LAA ILAHA ILLALLAH. Allah Yang Mahaagung tentu hanya menjadikan orang-orang besar dan para pemimpin manusia untuk menangani hal-hal besar pula. 8. Allah menjadikan kesaksian mereka sebagai bukti yang kuat pada orang-orang yang mengingkari untuk menunjukkan keesaan Allah. 9. Kesaksian orang berilmu terkait erat dengan kesaksian Allah. Seakan-akan Allah memberikan kesaksian tauhid untuk diri-Nya melalui lisan mereka, membuat mereka mengutarakan kesaksian itu. 10. Dengan kesaksian ini, Allah menjadikan mereka menunaikan hak Allah yang wajib untuk hamba. Jika orang berilmu menunaikan kesaksian LAA ILAHA ILLALLAH, artinya menjalankan konsekuensi LAA ILAHA ILLALLAH dengan benar, maka makhluk lainnya hendaklah menjalankan pula dengan benar (mengikuti ulul ilmi, orang berilmu). Itulah puncak kebahagiaan di dunia dan akhirat. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:217-219.   Keseratus dua puluh satu (#15): Allah memberikan kesaksian kepada ahli ilmu Allah memberikan kesaksian kepada ahlul ilmi yang secara tersirat menjadikan mereka sebagai saksi atas kebenaran apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, أَفَغَيْرَ ٱللَّهِ أَبْتَغِى حَكَمًا وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ إِلَيْكُمُ ٱلْكِتَٰبَ مُفَصَّلًا ۚ وَٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُۥ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِٱلْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (QS. Al-An’am: 114)   Keseratus dua puluh dua (#16): Orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an Allah Ta’ala menghibur nabi-Nya dengan keimanan orang-orang berilmu, dan memerintahkan beliau agar tidak peduli terhadap orang bodoh. Allah Ta’ala berfirman, وَقُرْءَانًا فَرَقْنَٰهُ لِتَقْرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَٰهُ تَنزِيلًا قُلْ ءَامِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوْ لَا تُؤْمِنُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ مِن قَبْلِهِۦٓ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا وَيَقُولُونَ سُبْحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا “Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, Dan mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi“.” (QS. Al-Isra’: 106-108) Ini merupakan kemuliaan terbesar bagi orang berilmu. Artinya ialah orang-orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an. Tak peduli apakah selain mereka beriman padanya ataukah tidak.   Keseratus dua puluh tiga (#23): Ibrahim unggul dengan ilmu dan argumen yang kuat Allah mengutarakan perdebatan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya, hingga Ibrahim mengalahkan mereka dengan hujjah (argumen ilahiah). Allah jelas-jelas mengabarkan kelebihan Ibrahim dan tingginya derajat sang kekasih Allah ini (khalilullah) karena mengetahui hujjah tersebut. Allah berfirman setelah menyebut perdebatan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya dalam surah Al-An’am, وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83) Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami mengangkat derajat siapa yang Kami kehendaki dengan ilmu tentang hujjah.”   Keseratus dua puluh empat (#24): Mengenal Allah adalah Tujuan Penciptaan Allah mengabarkan bahwa Dia menciptakan makhluk, menjadikan Baitul Haram, bulan suci, hadyu, dan qalaid* agar hamba-hamba-Nya tahu bahwa Allah Maha Mengetahui dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman, ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ وَمِنَ ٱلْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ ٱلْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ ٱللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَىْءٍ عِلْمًۢا “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12) Ini bermakna bahwa mengenali Rabb dan sifat-sifat-Nya, serta beribadah kepada-Nya semata, merupakan tujuan dari penciptaan Allah dan pengaturan segala urusan oleh-Nya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:224) * Qalaid yaitu binatang-binatang hadyu (qurban) yang sudah dikalungi dengan tali, yang menunjukkan bahwa binatang itu dipersiapkan secara khusus untuk dikurbankan dan dihadiahkan kepada Kabah.   Keseratus dua puluh lima (#25): Bangga dan Senang dengan Ilmu Allah memerintahkan orang-orang berilmu agar senang pada apa yang Allah beri kepada mereka. Lalu, Allah mengabarkan bahwa Allah mengetahui apa yang dikumpulkan manusia. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.” (QS. Yunus: 58) Karunia Allah ditafsirkan dengan iman, sedangkan rahmat Allah ditafsirkan dengan Al-Qur’an. Iman dan Al-Qur’an itulah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Keduanya adalah al-huda wa diinul haqq (petunjuk dan agama yang benar). Keduanya adalah ilmu terbaik dan amal terbaik. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:224)   Keseratus dua puluh enam (#30): Nabi Adam ‘alaihis salam Diberikan Kelebihan dalam Hal Ilmu oleh Allah Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Rabb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al-Baqarah: 30) Kesimpulan dari ayat ini: Allah melebihkan Nabi Adam ‘alaihis salam dari malaikat walaupun malaikat rajin berdzikir dengan bertasbih, malaikat itu lebih taat. Allah jawab “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Allah Mahatahhu sisi batin dan hakikat sesuatu, sedangkan manusia tidak tahu, memiliki keterbatasan ilmu. Allah melebihkan dan menjadi Nabi Adam sangat spesial di mana Adam dikaruniai ilmu dengan diajarkan nama-nama segala benda. Malaikat tidak dikaruniai ilmu. Malaikat merasa lebih mulia daripada Adam. Padahal malaikat ketika diajarkan ilmu, mereka lemah. Allah memberitahu ilmu lahiriyyah yang tampak dan batiniyyah yang tidak terlihat. Malaikat lemah dalam menangkap hal ini. Nabi Adam memiliki sifat terbaik yaitu dianugerahkan ilmu. Ilmu adalah hal terbaik yang dimiliki manusia, inilah kelebihan manusia, dan wujud ilmu itu lebih indah dari hal lainnya (harta, dan lain-lain).   Keseratus dua puluh tujuh (#57): Jangan Sampai Kehilangan Ilmu dan Hikmah Dalam hadits disebutkan, الحِكْمَةُ ضَالَةُ المُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا “Kata-kata hikmah adalah barang hilang orang mukmin, di mana pun ia mendapatkannya, ia yang paling berhak atasnya.” Namun hadits ini dhaif atau lemah. Baca juga: Arti Hikmah dalam Al-Qur’an Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hikmah adalah ilmu. Apabila seorang mukmin kehilangan ilmu, ia laksana kehilangan salah satu barang berharga miliknya. Saat ia dapati barang berharga, hatinya merasa tenang dan jiwanya pun demikian, sebab mendapatkannya kembali. Demikian pula halnya apabila orang mukmin mendapatkan barang hilang milik hati dan rohaninya yang selalu dicari-cari dan diselidiki keberadaannya.  Ini termasuk perumpaan terbaik, karena hati seorang mukmin selalu mencari ilmu di mana pun ilmu itu berada, melebihi semangat mencari barang yang hilang miliknya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:280) Hikmah itu adalah ilmu. Carilah, jangan sampai lepas!   Keseratus dua puluh delapan (#58): Dua Sifat yang Tidak Akan Tergabung pada Diri Orang Munafik adalah Perangai yang Bagus dan Paham Agama Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِخَصْلَتَانِ لاَ يَجْتَمِعَانِ فِي مُنَافِقٍ : حُسْنُ سَمْتٍ وَفِقْهٌ فِي الدِّيْن “Ada dua sifat yang tidak mungkin ada bersamaan dalam diri orang munafik: (1) perangai yang bagus (tenang atau baik dalam diam), (2) paham agama.” (HR. Tirmidzi, no. 2685. Syaikh Ali Hasan Al-Halaby mengatakan bahwa hadits ini hasan). Sehingga jika ada dalam diri seseorang dua hal ini yaitu perangai yang bagus (tenang) dan paham agama, maka dialah seorang mukmin. Orang munafik tidak memiliki salah satu dari dua sifat tadi atau tidak memiliki dua-duanya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:280-281)   Keseratus dua puluh sembilan (#59): Selamat dari Kecurangan, Menghidupkan Sunnah Nabi, Menjadi Pelopor dalam Kebaikan Dalam hadits disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku! Jika kamu bisa memasuki pagi dan sore hari tanpa ada ghisyy (kecurangan) dalam hatimu, maka lakukanlah.” Kemudia beliau bersabda, “Wahai anakku! Itu bagian dari sunnahku. Siapa yang menghidupkan sunnahku, berarti dia mencintaiku. Siapa yang mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga.” (HR. Tirmidzi, no. 2678, dalam sanadnya ada perawi yang dhaif) Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya siapa yang menghidupkan salah satu dari sunnahku yang telah mati sepeninggalku, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengamalkan hal ini tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Siapa yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridai oleh Allah dan Rasul-Nya, ia mendapat dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa ia dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Ad-Darimi dan Tirmidzi, no. 2977. Sanad hadits ini dhaif jiddan) Hadits di atas semakna dengan hadits berikut. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا “Barang siapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017) Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala pelakunya.” (HR. Muslim, no. 1677) Baca juga: Pelopor Kebaikan (Khutbah Jumat)   Keseratus tiga puluh (#60): Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada orang berilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar memperlakukan para penuntut ilmu dengan baik. Ini tidak lain karena keutamaan dan kemuliaan dari ilmu yang mereka cari. Dari Abu Harun, ia berkata bahwa mereka mendatangi Abu Said, lantas Abu Said berkata, “Marhaban, selamat datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat dengan beliau berkata,  إِنَّ النَّاسَ لَكُمْ تَبَعٌ وَإِنَّ رِجَالاً يَأْتُوْنَكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الأَرْضِ يَتَفَقَّهُوْنَ فِي الدِّيْنِ فَإِذَا أَتَوْكُمْ فَاسْتَوْصُوْا بِهِمْ خَيْرًا “Sesungguhnya manusia itu mengikuti kalian. Sesungguhnya orang-orang akan mendatangi kalian dari berbagai penjuru dunia, mereka akan belajar agama. Jika mereka mendatangi kalian, berbuat baiklah kepada mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2650; Ibnu Majah, no. 247, 249; ‘Abdur Razaq, 11:252; Al-Baghawi, no. 134. Abu Harun adalah perawi matruk. Ada riwayat ringkat mengenai hadits ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 280)   Keseratus tiga puluh satu (#61): Menuntut Ilmu Mendapatkan Pengampunan Dosa Dalam hadits dari ‘Abdullah bin Sakhbarah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, مَنْ طَلَبَ العِلْمَ كَانَ كَفَّرَاةً لِمَا مَضَى “Siapa yang menuntut ilmu, amalan tersebut akan menghapus dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi, no. 2648; Ad-Darimi dalam Sunannya, 1:139; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 6615. Tirmidzi mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif). Baca juga: Keutamaan Ilmu dari Ibnul Qayyim no. 47 Disebutkan bahwa orang berilmu dimintakan ampunan oleh para malaikat di langit dan para makhluk di bumi. وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ “Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air.” (HR. Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dari Abdul Karim dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas bahwa ada malaikat yang ditugaskan untuk menjaga seorang penuntut ilmu hingga memulangkannya ke tempat semula dalam keadaan diampuni kesalahan-kesalahannya. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah seorang hamba mengenakan sandal, sepatu, dan juga pakaian untuk pergi menuntut ilmu melainkan dosa-dosanya diampuni sejak saat melangkahkan kaki di dekat pintu rumahnya.” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Siapa saja yang mengenakan sandal untuk mempelajari kebaikan, niscaya diampuni baginya dosa-dosanya sebelum dia melangkahkan kaki.” Meskipun riwayat-riwayat di atas tidak bisa dijadikan argumen, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Menuntut ilmu tetap menjadi salah satu kebaikan yang utama. Ingatlah bahwa setiap kebaikan akan menghapuskan kejelekan. Sehingga menuntut ilmu demi mencari wajah Allah sepantasnyalah bisa menghapus dosa-dosa masa lalu. Berbagai dalil menunjukkan bahwa mengikutkan kejelekan dengan kebaikan pasti akan menghapuskan kejelekan. Padahal diketahui bahwa menuntut ilmu adalah sebaik-baik kebaikan dan ketaatan yang paling utama. Sehingga pendalilan hal ini bukan hanya dari hadits Abu Daud di atas.” Baca juga: Amalan Kebaikan Sebagai Pelebur Dosa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, ada seseorang keluar dari rumahnya dengan membawa dosa sebesar Gunung Tihamah. Apabila mendengar ilmu, ia merasa takut, kembali, lalu bertaubat. Lantas dia pulang ke rumah dalam keadaan tidak memikul dosa apa pun. Maka, janganlah kalian jauhi majelis-majelis ulama.” Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:284-286. Baca juga: 10 Pelebur Dosa   Keseratus tiga puluh dua (#62): Menuntut Ilmu itu untuk Menghilangkan Kebodohan dari yang Lain Dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan tanpa diduga ada dua majelis di dalam masjid. Majelis pertama adalah majelis yang benar-benar mendalami agama. Sedangkan majelis kedua adalah majelis yang berdoa dan memohon kepada Allah. Beliau kemudian berkata, ِكِلاَ المَجْلِسَيْنِ إِلَى خَيْرٍ أَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَدْعُوْا اللهَ وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُوْنَ وَيُفَقِّهُوْنَ الجَاهِلَ هَؤُلاَء ُأَفْضَلُ بِالتَّعْلِيْمِ أُرْسِلْت “Kedua majelis ini sama-sama mengajak kepada kebaikan. Adapun mereka (majelis pertama), mereka berdoa kepada Allah. Sementara mereka (majelis kedua), mereka belajar dan mengajarkan orang jahil (bodoh) yang tidak memahami agama. Mereka itu lebih utama. Aku diutus untuk mengajar.” Setelah itu beliau duduk bersama mereka. (HR. Ibnu Majah, no. 22. Hadits ini dhaif). Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:287. Dalam hadits di atas walaupun haditsnya dhaif, bisa dipetik pelajaran bahwa majelis yang isinya mempelajari ilmu lebih utama daripada majelis amal. Karena di antara tujuan belajar adalah mengajarkan ilmu kepada yang lain. Baca juga: Empat Kaidah dalam Berdakwah   Keseratus tiga puluh tiga (#64): Orang Berilmu adalah Perantara Sampainya Wahyu pada Umat Kedudukan manusia yang paling utama di sisi Allah adalah kedudukan kerasulan dan kenabian (risalah dan nubuwah). Allah memilih rasul-rasul (utusan-utusan) di antara kalangan para malaikat dan juga manusia. Mereka dijadikan oleh Allah sebagai perantara antara diri-Nya dan para hamba-Nya dalam menyampaikan risalah-Nya, memperkenalkan nama Allah, segala perbuatan Allah, sifat Allah, hukum Allah, juga segala hal yang mendatangkan rida Allah dan murka-Nya, serta pahala dan siksa-Nya. Allah mengistimewakan para utusan dengan wahyu, mengkhususkan dengan keutamaan, meridai mereka untuk menyampaikan risalah Allah kepada para hamba, menjadikan mereka sebagai makhluk paling bersih jiwanya di antara seluruh alam, paling mulia akhlaknya, paling sempurna ilmu dan amalnya, paling baik bentuk penciptannya, paling dicintai dan diterima di hati manusia. Di samping itu Allah membebaskan mereka dari sifat buruk, aib, dan akhlak tercela, serta menjadikan tingkatan manusia paling mulia setelah mereka adalah tingkatan para pengganti mereka di tengah-tengah umat, karena mereka ini menggantikan para nabi dan rasul dengan meniti manhaj dan jalan mereka. Wujudnya seperti menasihati umat, menuntun orang tersesat, mengajari orang yang buta ilmu agama, membela orang yang dizalimi, membimbing orang yang berbuat zalim, memerintahkan kebaikan seusai melakukannya, mencegah kemungkaran setelah meninggalkannya, menyeru manusia menuju kepada Allah secara hikmah bagi mereka yang memenuhi seruan, dengan tutur kata yang baik bagi mereka yang berpaling dan lalai, serta berdialog dengan cara terbaik bagi mereka yang membangkang dan menentang. Itulah kondisi para pengikut rasul dan yang mendapatkan warisan ilmu dari para nabi. Allah Ta’ala berfirman, ِقُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf: 108) Yang mendapatkan warisan ilmu dari para rasul bukanlah orang kebanyakan. Mereka adalah orang-orang yang berilmu yang mempelajari serta mengamalkan ilmu yang disampaikan rasul, menuntun dan membimbing orang lain, bersabar dan berjihad untuk kepentingan ilahi. Dengan kata lain, mereka adalah para shiddiqun. Dalam ayat disebutkan, ِمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا ِذَٰلِكَ ٱلْفَضْلُ مِنَ ٱللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ عَلِيمًا “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS. An-Nisaa’: 69-70) Allah menyebut tingkatan orang-orang yang paling berbahagia dalam ayat di atas, merekalah penghuni surga: (1) para nabi, (2) shiddiq (orang yang jujur), (3) syuhada’ (orang yang mati syahid), (4) shalihin (orang saleh, wali Allah). Setelah para nabi, shiddiq lebih tinggi dibanding syuhada’ dan orang saleh. Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:288-290.   Keseratus tiga puluh empat (#66): Ilmu itu Akar Pohon, Tashdiq itu Rantingnya, Sedangkan Amal itu Buahnya Ilmu adalah pemberi putusan terhadap apa pun selainnya, dan tak ada sesuatu pun yang memberi putusan terhadap ilmu. Segala sesuatu yang diperselisihkan ada tidaknya, benar tidaknya, manfaat dan bahayanya, mudarat dan tidaknya, sempurna dan kurangnya, terpuji dan tercelanya, tingkatan baiknya, kualitas baik dan buruknya, dekat dan jauhnya, apakah ia bisa mencapai sasaran atau tidak, apakah ia bisa mewujudkan tujuan atau tidak, serta sisi pengetahuan lainnya, maka ILMULAH YANG MEMBERI PUTUSAN PADA SEMUA ITU. Apabila ilmu sudah memutuskan sesuatu, saat itulah tidak ada lagi persengketaan, putusannya haruslah diikuti. Ilmulah yang memutuskan urusan kerjaan, kebijakan, harta benda, dan pena. Berdasarkan surah An-Nisaa’ ayat 69-70, tingkat kesempurnaan ada empat: nubuwwah (kenabian), shiddiqiyyah (mencintai kebenaran), syahadah (mati syahid), wilayah (kewalian). Empat hal di atas juga disebutkan dalam surah Al-Hadid berikut ini. ِإِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ ِوَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصِّدِّيقُونَ ۖ وَٱلشُّهَدَآءُ عِندَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَكَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَآ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَحِيمِ “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka.” (QS. Al-Hadid: 18-19)   Shiddiq menurut Ibnul Qayyim Shiddiqiyyah adalah beriman secara sempurna terhadap apa yang disampaikan oleh Rasul (wahyu) dengan mengetahui, membenarkan, dan mengamalkannya. Sifat shiddiqiyyah ini kembali kepada ilmu. Siapa saja yang mengilmui wahyu dari rasul, membenarkan dengan sempurna, maka sempurnalah sifat shiddiq pada dirinya. Sehingga shiddiq itu diibaratkan seperti pohon, di mana akarnya adalah ilmu, cabangnya adalah tashdiq (membenarkan), dan buahnya adalah amal. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:294-295) Pengertian shiddiq dari perkataan para ulama lainnya Shiddiq menurut Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya (5:272), “Shiddiq mengikuti wazan fa’iil, artinya al-mubaaligh fish shidqi (tashdiq), benar-benar jujur. Shiddiq adalah orang yang selaras antara lisan dan perbuatannya. Ada yang menyatakan bahwa shiddiq adalah follower (pengikut) yang utama dari para nabi yang mengikuti kejujuran seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Shiddiq menurut Imam Ibnul Qayyim dalam Madaarij As-Salikin (2:258), “Shiddiq adalah tingkatan jujur yang paling tinggi. Shiddiq ini termasuk tingkatan orang jujur. Shiddiq adalah orang yang patuh pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia benar-benar ikhlas pada mursil (pada Allah yang mengutus Rasul).” Shiddiq menurut Al-Khazin rahimahullah dalam kitab Tafsir Al-Khazin (1:397), “Shiddiq adalah al-katsirush shidq, benar-benar jujur. Shiddiqun adalah pengikut rasul yang mengikuti jalan hidupnya sampai mereka bertemu dengan rasul tersebut. Ada juga yang menyatakan bahwa shiddiq adalah membenarkan semua ajaran agama, tanpa ada keraguan sama sekali dalam keyakinannya” Shiddiq menurut Syaikh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya (hlm. 841), “Shiddiq adalah tingkatan iman, amal saleh, ilmu yan bermanfaat, dan sikap yakin yang benar yang paling sempurna.” Berbagai istilah shiddiq dirangkum dari penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 216829. Dapat disimpulkan dari berbagai penjelasan ulama di atas, SHIDDIQ adalah orang yang benar-benar jujur dalam menjalani agama di mana sifatnya adalah: (1) ikhlas karena Allah, (2) berilmu yang bermanfaat, (3) membenarkan semua ajaran Islam, (4) patuh pada ajaran agama, (5) beriman dengan sempurna, (6) beramal saleh, (7) rasa yakin yang kuat, serta (8) selaras antara ucapan dan perbuatan.   Keseratus tiga puluh lima (#69): Zat, Sifat-Sifat, Serta Nama-Nama Allah Diketahui dengan Ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Zat, sifat, dan nama Allah hanyalah bisa diketahui oleh hamba hanya dengan ilmu.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:295)   Kaidah mengenai nama dan sifat Allah Pertama: Nama Allah itu a’lam wa awshaf, yaitu nama-nama Allah itu merujuk pada Zat Allah, kemudian setiap nama itu mengandung makna khusus. Nama “al-hayyu, al-‘aliim, al-qadiir, as-samii’, al-bashiir, ar-rahmaan, ar-rahiim, al-‘aziz, al-hakiim” adalah nama-nama Allah. Nama-nama ini merujuk pada Allah yang satu. Namun, al-hayyu memiliki makna khusus yaitu Mahahidup, Al-‘Aliim bermakna Maha Mengetahui, Al-Qadiir bermakna Mahakuasa, As-Samii’ bermakna Maha Mendengar, Al-Bashiir bermakna Maha Melihat, Ar-Rahmaan bermakna Maha Pengasih, Ar-Rahiim bermakna Maha Penyayang, Al-‘Aziz bermakna Mahaperkasa, Al-Hakiim bermakna Yang Maha Bijaksana. Kedua: Nama Allah itu kadang bergandengan dengan nama lainnya. Penyebutana seperti ini menunjukkan makna kesempurnaan Allah, pujian dan pengagungan yang sempurna kepada Allah. Hal ini berbeda jika nama tersebut berdiri sendiri. Contohnya adalah Allah itu Al-‘Aziz Al-Hakim, artinya Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Keperkasaan Allah tidak berkonsekuensi melakukan kezaliman dan kejelekan. Keperkasaan Allah ini diiringi kebijaksanaan. Allah itu As-Samii’ Al-‘Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), di tempat lain disebutkan As-Samii’ Al-Bashiir (Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Ketika kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan, ayat menyebutkan sebagai berikut. ِوَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 200) ِوَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Fushilat: 36) Ketika kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan manusia, ayat menyebutkan sebagai berikut. ِإِنَّ ٱلَّذِينَ يُجَٰدِلُونَ فِىٓ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَٰنٍ أَتَىٰهُمْ ۙ إِن فِى صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَّا هُم بِبَٰلِغِيهِ ۚ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ “Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mukmin: 56) Apa kandungan dari ayat-ayat di atas dengan menyebut As-Samii’ Al-‘Aliim dan As-Samii’ Al-Bashir? Setan itu tidak terlihat, walaupun kita mengetahui wujudnya. Sehingga ayat yang membicarakan perlindungan dari setan ditutup dengan As-Samii’ Al-‘Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Manusia itu terlihat. Sehingga ayat yang membicarakan perlindungan dari setan ditutup dengan As-Samii’ Al-Bashiir (Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Godaan setan itu menyerang hati. Hal ini terkait dengan ilmu. Dalil yang menunjukkan bahwa setan itu tak terlihat adalah ayat berikut. ِإِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ  “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27) Ayat yang lain menyebutkan At-Tawwabur Rahiim (Maha Penerima Taubat dan Rahiim) seperti dalam ayat berikut. ِيَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12). Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang artinya Allah itu menerima taubat dan memberikan taufik untuk melakukan sebab untuk diterimanya taubat dan mendapatkan kasih sayang Allah. Yang pertama, Allah itu memberi taufik untuk bertaubat dengan menempuh sebab-sebab taubat. Yang kedua, Allah menerima taubat dari orang-orang yang bertaubat. Itu semua adalah bentuk kasih sayang Allah. Ayat yang lain menyebutkan Al-Ghafurur Rahiim (Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) sebagaimana dalam ayat berikut ini. ِقُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53). Nama Allah yang digandengkan ini menunjukkan besarnya karunia Allah. Bentuk karunia Allah adalah rahmat Allah itu mendahului murka-Nya. Ketiga: Allah memiliki nama-nama yang terbaik. Allah Ta’ala berfirman, ِوَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180). Nama dan sifat Allah tidaklah sama dengan makhluk, walau ada nama dan sifat yang punya kesamaan.   Keseratus tiga puluh enam (#80): Segala Sesuatu Selain Allah Sangat Butuh pada Ilmu   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّ كُلَّ مَا سِوَى اللهِ مُفْتَقِرٌ إِلَى العِلْمِ لاَ قَوَامَ لَهُ بِدِيْنِه “Segala sesuatu selain Allah butuh pada ilmu. Segala sesuatu tidak memiliki pijakan jika tidak ada ilmu.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:309) Ilmu itu dua macam: Ilmu yang mesti ada sebelum perbuatan. Kalau dipelajari berpengaruh langsung pada orang yang mempelajarinya. Ini disebut ‘ilmu fi’liy (aktif). Ilmu yang sudah ada sebelumnya, objek yang dipelajari tidak terpengaruh apa-apa karena sudah ada sebelumnya. Contoh ilmunya adalah ilmu mengenai keberadaan Nabi, raja-raja, dan hal-hal lain yang sudah ada sebelumnya. Ilmu ini tidaklah berpengaruh pada objek yang dipelajari. Semakin jelas tentang ini diterangkan pada keutamaan ilmu ke-81.   Tentang Ilmu dan Petunjuk Ada yang berpendapat bahwa: Konsekuensi dari ilmu dan makrifah adalah mendapatkan petunjuk. Ketika seseorang tidak mendapatkan petunjuk, itu menunjukkan bahwa ia tidak berilmu. Memiliki ilmu tidak berkonsekuensi mendapatkan petunjuk. Kesesatan seringkali dilakukan secara sengaja dan atas dasar sepengetahuan pelakunya, tanpa ia meragukannya (bahwa apa yang dilakukannya itu sesat). Bahkan ia lebih memilih kesesatan dan kekafiran meski ia mengetahui keburukan dan kerusakannya.   10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal Ilmu adalah sebab kemaslahatan, kenikmatan, dan kebahagiaan seorang hamba. Namun, adanya seseorang tidaklah mendapatkan petunjuk dengan ilmu.  Lemahnya makrifah, lemahnya ilmu pada sesuatu. Ilmu tidak masuk di tempat yang layak karena bisa jadi hati itu keras. Ibaratnya hujan itu tidak begitu manfaat turun di tanah yang keras. Ketika hati menjadi keras, kasar, dan jumud, ilmu sama sekali tidak berfungsi di dalamnya. Demikian halnya tatkala, hati sakit, hina, tidak ada kekuatan dan tekad, ilmu juga tidak berpengaruh padanya. Adanya penghalang: hasad dan sombong. Inilah penyakit yang ada pada Iblis sehingga ia tidak mau tunduk pada perintah. Ini adalah penyakit orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan, kecuali siapa yang dijaga oleh Allah. Ini adalah yang jadi sebab Yahudi tidak mengakui kebenaran nubuwwah (kenabian) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini juga jadi sebab Abdullah bin Ubay dan Abu Jahal serta kalangan musyrikin tidak beriman. Adanya penghalang syubhat dengan adanya kepemimpinan dan kekuasaan. Inilah yang jadi sebab Heraklius dan raja-raja kafir sulit masuk Islam. Ada penghalang: mengikuti syahwat dan harta. Inilah sebab mayoritas Ahli Kitab sampai tidak beriman. Kaum Kafir Quraisy juga menghalangi yang lainnya masuk Islam dengan menyatakan bahwa kalau kalian masuk Islam nafsu syahwat kalian tidak bisa dipenuhi yaitu dalam zina dan minum khamar. Cinta keluarga, kerabat, dan suku. Cinta tempat tinggal dan cinta tanah air. Takut dianggap mencela leluhur. Inilah yang terjadi pada paman Nabi, Abu Thalib. Ada musuh yang mengikuti kebenaran, dan kita tidak suka pada musuh tersebut. Inilah yang terjadi pada kaum Anshar dan Yahudi. Adanya pembiasaan, rutinitas, dan faktor kampung halaman.   Maksiat itu dilakukan dalam keadaan tidak berilmu Allah Ta’ala berfirman, ِإِنَّمَا ٱلتَّوْبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 17) Ayat di atas menunjukkan bahwa konsekuensi dari memiliki ilmu dan makrifah (pengetahuan) adalah mendapatkan petunjuk, sedang ketika seseorang tidak mendapat petunjuk, itu menunjukkan kebodohan dan keadaan tidak berilmu. Selama manusia berakal, ia tidak mungkin memilih binasa daripada selamat, ditimpa siksa besar dan kekal abadi daripada mendapat nikmat nan abadi. Kenyataan membuktikan hal itu. Itulah kenapa Allah menyebut orang-orang yang durhaka kepada-Nya sebagai orang bodoh. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Siapa pun di antara makhluk Allah yang berbuat dosa berarti ia bodoh, baik ia benar-benar bodoh atau pun berilmu. Jika dia orang yang berilmu, lantas siapa lagi yang lebih bodoh daripada dirinya? Jika dia tidak berilmu, sama juga seperti itu.” Dalam ayat disebutkan, “… yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”  ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata, “Dosa orang mukmin tidak lain adalah buah kebodohannya.” Qatadah menyatakan, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepakat bahwa segala sesuatu yang ditunjukkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka ia adalah kebodohan.” As-Suddi menyatakan, “Siapa pun yang durhaka kepada Allah, ia berarti bodoh.” Dosa terjadi mana kala hati lalai dari ilmu, ketika ilmu lenyap dari hati. Saat itulah dosa terjadi karena kebodohan, kelalaian, kealpaan, dan anti ilmu. Dosa itu diliputi dua kebodohan, yaitu: (1) kebodohan hakikat sebab yang dapat memalingkan dari dosa, (2) kebodohan akan akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa. Tidaklah Allah dihurkai melainkan karena kebodohan. Tidaklah Allah ditaati melainkan karena ilmu.   Keseratus tiga puluh tujuh (#106, 102): Ibadah Harus Dituntun oleh Ilmu Agar Benar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri berkata, ِمَا عُبِدَ اللهُ بِمِثْلِ الفِقْه “Tidak ada cara ibadah kepada Allah yang semisal dengan pemahaman mendalam dalam agama.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:385). Hal yang sama juga dikatakan oleh Mak-hul. Ada dua maksud dari perkataan di atas: Maksud perkataan ini dan perkataan serupa lainnya adalah tidak ada cara ibadah kepada Allah yang seperti cara beribadah melalui pemahaman mendalam dalam agama. Maka pemahaman itu sendiri termasuk ibadah, seperti dikatakan Mu’adz bin Jabal, “Hendaklah kalian menuntut ilmu, karena menuntutnya karena Allah termasuk ibadah.” Atau mungkin yang dimaksud adalah tidaklah Allah diibadahi dengan suatu ibadah yang lebih baik dibandingkan ibadah yang disertai pemahaman agama. Pasalnya, orang yang memiliki pemahaman agama yang baik akan mengetahui apa saja tingkatan ibadah, apa saja yang dapat merusak ibadah, apa saja kewajiban, apa saja sunnah dan pelengkapnya, dan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaannya. Kedua makna di atas itu sahih.  Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:385.   Keseratus tiga puluh delapan (#115): Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat bagi penuntut ilmu   Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia! Hendaklah kalian menekuni ilmu (mempelajari dan mengamalkan ilmu), karena Allah memiliki pakaian yang Allah sukai. Maka, siapa yang menuntut suatu bab ilmu, maka Allah mengenakan pakaian-Nya kepadanya. Apabila dia melakukan suatu dosa, Allah memberinya kesempatan bertaubat, agar Allah tidak melepas pakaian tersebut sampai dia meninggal dengan tetap mengenakannya.” Jadi, Allah memberinya kesempatan bertaubat maksudnya adalah meminta hamba menghilangkan celaan Allah darinya dengan taubat, memohon ampun, dan beristighfar. Ketika si hamba kembali kepada Allah, celaan dihilangkan darinya. Dengan demikian, Rabb telah menghilangkan celaan darinya. Termasuk di antaranya perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud pada waktu terjadi gempa bumi di Kufah, “Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberi kalian kesempatan untuk bertaubat, maka mintalah ampunan kepada Allah.” Dalam ayat disebutkan, ِفَٱلْيَوْمَ لَا يُخْرَجُونَ مِنْهَا وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ “maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (QS. Al-Jatsiyah: 35) Yaitu, Kami tidak meminta mereka mengilangkan celaan terhadap mereka. Sebab menghilangkan celaan hanya dapat dilakukan dengan melakukan TAUBAT DI DUNIA. Ingat, taubat tidaklah berguna lagi di akhirat. Hal ini berbeda dengan permohonan seorang hamba kepada Allah agar dikasihani. Allah Ta’ala berfirman, ِفَإِن يَصْبِرُوا۟ فَٱلنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ ۖ وَإِن يَسْتَعْتِبُوا۟ فَمَا هُم مِّنَ ٱلْمُعْتَبِينَ “Jika mereka bersabar (menderita azab) maka nerakalah tempat diam mereka dan jika mereka mengemukakan alasan-alasan, maka tidaklah mereka termasuk orang-orang yang pantas dikasihani. (QS. Fushshilat: 24) Makna ayat ini adalah mereka meminta Kami hilangkan celaan terhadap mereka, dan mereka memohon ampunan. “Maka mereka itu tidaklah termasuk orang yang pantas dikasihani“, yaitu celaan tidak patut dihilangkan dari mereka. Permohonan ampunan seperti ini bermanfaat di dunia, tidak di akhirat. Intinya, taubat atau memohon ampunan hanya bermanfat di dunia, tidak di akhirat. Baca juga: Taubatnya Pembunuh 100 Nyawa   Keseratus tiga puluh sembilan (#121): Ulama adalah Manusia Sejati Ibnul Mubarak ditanya, ِمَنِ النَّاس “Siapakah manusia sejati itu?” Dia menjawab, ُالعُلَمَاء “Ulama (ahli ilmu).” Lalu dia ditanya, “Siapakah para raja yang sebenarnya itu?” Dia menjawab, “Orang-orang zuhud.” Dia ditanya, “Siapa orang-orang jelata itu?” Dia menjawab, “Orang yang mencari makan dengan menukarkan agamanya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:395)   Keseratus empat puluh (#124, 50): Menuntut Ilmu itu Jihad Abu Ad-Darda’ berkata, ِمَنْ رَأَى أَنَّ الغُدُوَّ إِلَى العِلْمِ لَيْسَ بِجِهَادٍ فَقَدْ نَقَصِ فِي رَأْيِهِ وَعَقْلِه ْ“Siapa saja yang tidak menganggap pagi-pagi pergi menuntut ilmu sebagai jihad, berarti fungsi akal dan rasio pendapatnya telah berkurang.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:396 dan 1:269-270)   Keseratus empat puluh satu (#124): Menuntut Ilmu itu Lebih Disukai daripada Shalat Malam Abu Ad-Darda’ berkata, ٍلِأَنْ أَتَعَلَّمَ مَسْأَلَةً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ قِيَامِ لَيْلَة “Sungguh, mempelajari suatu masalah lebih aku sukai daripada melakukan qiyamul lail (shalat malam).” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:396)   Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.   Referensi: Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Penerbit Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. Mulai dari 1:217.   —   Mulai diringkas, 21 Muharram 1443 H, 27 Agustus 2021 Alhamdulillah diselesaikan pada 18 Syakban 1445 H, 28 Februari 2024 @ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscahaya ilmu ilmu ilmu agama ilmu dan amal ilmuwan jihad ilmu keutamaan ilmu miftah daar as saadah orang berilmu
Apa saja keutamaan ilmu dan orang yang berilmu? Berikut keterangan dari Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah, lebih dari 100 poin bahasan yang penuh pelajaran di dalamnya.   Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah (Bagian 01)   Daftar Isi tutup 1. Keseratus tujuh (#139): Orang yang Tidak Punya Ilmu Sama Sekali akan Jadi Hina 2. Keseratus delapan (#140): Ilmu Tidak Akan Pernah Mau Diganti dengan Barang Lain 3. Keseratus sembilan (#141): Allah akan Membalas Kebaikan dengan Menganugerahkan Ilmu 4. Keseratus sepuluh (#142): Allah Menjadikan Ilmu bagi Hati Laksana Hujan bagi Bumi 5. Keseratus sebelas (#143): Ilmu Bisa Diraih dengan Terus Membujuk Hingga Merendahkan Diri 5.1. Ilmu memiliki enam tingkatan 5.2. Banyak mendengar dibanding banyak bicara 6. Keseratus dua belas (#144): Yang Berilmu dengan Yang Tidak Berilmu Tentu Berbeda 7. Keseratus tiga belas (#145): Burung Hudhud Selamat Karena Ilmu 8. Keseratus empat belas (#146): Kemuliaan Dunia dan Akhirat Diraih Karena Ilmu 9. Keseratus lima belas (#147): Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Ilmu dan Amal 10. Keseratus enam belas (#148): Ilmu adalah Suatu Keberkahan, Nabi Isa Diberkahi di mana pun Karena Mengajarkan Kebaikan 11. Keseratus tujuh belas (#149): Pahala dari Ilmu yang Diajarkan Sampai kepada Pengajar Ilmu 12. Keseratus delapan belas (#150): Para Ulama akan Masuk Surga Tanpa Hisab pada Hari Kiamat 13. Keseratus sembilan belas (#151): Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibanding Ibadah Sunnah 14. Keseratus dua puluh (#01 – 10): Orang Berilmu Bersaksi pada Kalimat Laa Ilaha Illallah 15. Keseratus dua puluh satu (#15): Allah memberikan kesaksian kepada ahli ilmu 16. Keseratus dua puluh dua (#16): Orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an 17. Keseratus dua puluh tiga (#23): Ibrahim unggul dengan ilmu dan argumen yang kuat 18. Keseratus dua puluh empat (#24): Mengenal Allah adalah Tujuan Penciptaan 19. Keseratus dua puluh lima (#25): Bangga dan Senang dengan Ilmu 20. Keseratus dua puluh enam (#30): Nabi Adam ‘alaihis salam Diberikan Kelebihan dalam Hal Ilmu oleh Allah 21. Keseratus dua puluh tujuh (#57): Jangan Sampai Kehilangan Ilmu dan Hikmah 22. Keseratus dua puluh delapan (#58): Dua Sifat yang Tidak Akan Tergabung pada Diri Orang Munafik adalah Perangai yang Bagus dan Paham Agama 23. Keseratus dua puluh sembilan (#59): Selamat dari Kecurangan, Menghidupkan Sunnah Nabi, Menjadi Pelopor dalam Kebaikan 24. Keseratus tiga puluh (#60): Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada orang berilmu. 25. Keseratus tiga puluh satu (#61): Menuntut Ilmu Mendapatkan Pengampunan Dosa 26. Keseratus tiga puluh dua (#62): Menuntut Ilmu itu untuk Menghilangkan Kebodohan dari yang Lain 27. Keseratus tiga puluh tiga (#64): Orang Berilmu adalah Perantara Sampainya Wahyu pada Umat 28. Keseratus tiga puluh empat (#66): Ilmu itu Akar Pohon, Tashdiq itu Rantingnya, Sedangkan Amal itu Buahnya 28.1. Shiddiq menurut Ibnul Qayyim 28.2. Pengertian shiddiq dari perkataan para ulama lainnya 29. Keseratus tiga puluh lima (#69): Zat, Sifat-Sifat, Serta Nama-Nama Allah Diketahui dengan Ilmu 29.1. Kaidah mengenai nama dan sifat Allah 30. Keseratus tiga puluh enam (#80): Segala Sesuatu Selain Allah Sangat Butuh pada Ilmu 30.1. Tentang Ilmu dan Petunjuk 30.2. 10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal 30.3. Maksiat itu dilakukan dalam keadaan tidak berilmu 31. Keseratus tiga puluh tujuh (#106, 102): Ibadah Harus Dituntun oleh Ilmu Agar Benar 32. Keseratus tiga puluh delapan (#115): Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat bagi penuntut ilmu 33. Keseratus tiga puluh sembilan (#121): Ulama adalah Manusia Sejati 34. Keseratus empat puluh (#124, 50): Menuntut Ilmu itu Jihad 35. Keseratus empat puluh satu (#124): Menuntut Ilmu itu Lebih Disukai daripada Shalat Malam 36. Referensi:   Keseratus tujuh (#139): Orang yang Tidak Punya Ilmu Sama Sekali akan Jadi Hina Jiwa-jiwa bodoh yang tidak berilmu dikenakan pakaian kehinaan dan cemoohan. Jiwa-jiwa yang seperti ini lebih cepat dihina. Hal itu sudah lazim diketahui kalangan terpelajar maupun awam.  Salah seorang khalifah Bani Abbas bermain catur, lalu pamannya meminta izin masuk. Dia mengizinkan pamannya masuk lalu ia menutup papan catur. Setelah pamannya duduk, ia bertanya, “Paman! Apakah engkau membaca Al-Qur’an?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau menulis sunnah meskipun sedikit?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari fikih dan perbedaan pendapat ulama?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari bahasa dan sejarah manusia?” “Tidak”, jawabnya. Si khalifah akhirnya berkata, “Bukalah papan caturnya.” Dia akhirnya meneruskan permainan catur. Rasa segan dan hormat pada pamannya hilang sudah. Teman bermain catur khalifah itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Masa’ engkau membuka papan catur sementara di sini ada seorang yang engkau segani?” Khalifah berkata, “Diamlah, tidak ada seorang pun di sini bersama kita.” Ini karena manusia memiliki: (1) ilmu, (2) akal, (3) pemahaman yang membedakannya dengan hewan. Saat seseorang tidak memiliki semua itu, maka ia sama seperti hewan.   Keseratus delapan (#140): Ilmu Tidak Akan Pernah Mau Diganti dengan Barang Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان كل صاحب بضاعة سوى العلم إذا علم ان غير بضاعته خير منها زهد في بضاعته ورغب في الاخرى وود انها له عوض بضاعته الا صاحب بضاعة العلم فإنه ليس يحب ان له يحظه منها حظ اصلا “Siapa pun yang memiliki barang selain ilmu, manakala mengetahui ada barang lain yang lebih baik, ia merasa tidak memerlukan lagi barang miliknya itu dan lebih menginginkan barang yang baru. Ia juga berharap barang miliknya ditukar dengan barang tadi. Kecuali pemilik ilmu, ia tidak ingin miliknya ditukar dengan apa pun.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:503) Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata, “Suatu saat aku berada di dekat Ahmad bin Abu Imran. Lalu seorang pecinta dunia melintas, aku menatapnya hingga melalaikan pelajaran yang sedang kupelajari. Ahmad lantas berkata, “Sepertinya kamu memikirkan dunia yang diberikan kepada orang itu.” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad menyeru, “Maukah kutunjukkan sesuatu? Bagaimana jika Allah memindahkan harta miliknya kepadamu, lalu Allah memindahkan ilmumu kepadanya, sehingga kamu hidup kaya, tetapi bodoh, sedangkan ia hidup berilmu, tetapi fakir?” “Aku tidak ingin Allah mengganti ilmu yang kumiliki dengan harta yang ia miliki. Sebab ilmu adalah kekayaan tanpa harta, kemuliaan tanpa kabilah, kekuasaan tanpa prajurit,” tegasnya.   Keseratus sembilan (#141): Allah akan Membalas Kebaikan dengan Menganugerahkan Ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: ان الله سبحانه اخبر انه يجزى المحسنين اجرهم باحسن ما كانواي يعملون واخبر سبحانه انه يجزى على الاحسان بالعلم وهذا يدل على انه من احسن الجزاء Allah mengabarkan bahwa Allah memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, yakni mereka yang beramal saleh dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.  Allah juga mengabarkan bahwasanya Allah akan membalas kebaikan dengan menganugerahkan ilmu. Ini menunjukkan ilmu itu balasan terbaik. Kedudukan pertama disebutkan dalam firman Allah: وَٱلَّذِى جَآءَ بِٱلصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِۦٓ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ لَهُم مَّا يَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلْمُحْسِنِينَ لِيُكَفِّرَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ ٱلَّذِى كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 33-35). Balasan ini mencakup balasan dunia dan akhirat. Kedudukan kedua disebutkan dalam firman Allah: وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥٓ ءَاتَيْنَٰهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ “Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 22). Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Siapa yang beribadah dengan baik di masa mudanya, maka Allah akan memberikan ia HIKMAH saat masa tuanya. Itulah yang dimaksud firman Allah dalam surah Yusuf ayat 22.” Oleh karena itu sebagian ulama berkata, “HIKMAH berkata: Siapa yang mencariku, tetapi tidak menemukanku, hendaklah ia mengamalkan hal terbaik yang ia ketahui dan meninggalkan hal terburuk yang ia ketahui. Jika ia melakukan hal itu, aku bersamanya meski ia tidak mengenaliku.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504) Baca juga: Arti Diberi HIKMAH dalam Al-Qur’an (Tujuh Pengertian dari Syaikh Musthafa Al-‘Adawi)   Keseratus sepuluh (#142): Allah Menjadikan Ilmu bagi Hati Laksana Hujan  bagi Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان الله سبحانه جعل العلم للقلوب كالمطر للارض فكما انه لا حياة للارض الا بالمطر فكذلك لا حياة للقلب الا بالعلم “Allah menjadikan ilmu bagi hati laksana hujan bagi bumi. Bumi tidak bisa hidup tanpa hujan. Begitu pula hati tidak bisa hidup tanpa ilmu.” Disebutkan dalam kitab Al-Muwatha’, قال لقمان لابنه يا بني جالس العلماء وزاحمهم بركبتيك فان الله تعالى يحيى القلوب الميتة بنور الحكمة كما يحيى الارض بوابل المطر Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku! Bergaullah dengan ulama dan dekatkanlah lututmu pada mereka demi meraih rida Allah, supaya hati yang mati itu hidup dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi dengan hujan lebat.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ولهذا فإن الأرض إنما تحتاج الى المطر في بعض الاوقات فإذا تتابع عليها احتاجت الى انقطاعه واما العلم فيحتاج اليه بعدد الانفاس ولاتزيده كثرته الا صلاحا ونفعا “Bumi itu hanya memelurkan hujan pada waktu tertentu saja. Manakala hujan turun terus menerus, bumi menginginkan hujan berhenti. Berbeda dengan ilmu, ilmu selalu diperlukan hati sebanyak bilangan nafas. Banyaknya ilmu semakin membuat hati menjadi baik dan meraih manfaat.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504-505)   Keseratus sebelas (#143): Ilmu Bisa Diraih dengan Terus Membujuk Hingga Merendahkan Diri Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان كثيرا من الاخلاق التي لا تحمد في الشخص بل يذم عليها تحمد في طلب العلم كالملق وترك الاستحياء والذل والتردد الى ابواب العلماء ونحوها  “Sebagian besar akhlak yang tidak terpuji dalam diri seseorang–bahkan ia dicela–justru dipuji dalam menuntut ilmu. Sifat yang dipuji dalam menuntut ilmu adalah: membujuk agar dapat ilmu, meninggalkan rasa malu, merendahkan diri (tawadhu’), dan berulang kali mendatangi pintu ulama, dan semacamnya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:505) Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, ليس الملق من اخلاق المؤمنين الا في طلب العلم “Sifat al-malaq (suka merayu-rayu, membujuk-bujuk) asalnya bukanlah   akhlak orang beriman, kecuali pada orang yang menuntut ilmu.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ذللت طالبا فعززت مطلوبا “Aku merendahkan diri ketika mencari ilmu, hingga akhirnya aku menjadi mulia karena seringnya dicari.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, وجدت عامة علم رسول الله صلى الله عليه و سلم عند هذا الحي من الانصار إن كنت لاقيل عند باب احدهم ولو شئت اذن لي ولكن ابتغى بذلك طيب نفسه  “Aku mendapati sebagian besar ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di perkampungan Anshar ini. Aku pernah tidur siang di dekat pintu salah seorang penduduk Anshar. Andaikan mau, aku tentu dipersilakan masuk. Namun, aku melakukan hal itu demi mencari keridaan orang yang aku cari ilmunya.” Di antara perkataan sebagian ulama ialah: لاينال العلم مستحي ولا متكبر هذا يمنعه حياؤه من التعلم وهذا يمنعه كبره  Sifat malu dan sifat sombong tidak akan mendapatkan ilmu. Sifat malu itu menghalangi seseorang untuk belajar. Begitu pula sifat sombong itu menghalangi dari meraih ilmu.” Akhlak-akhlak seperti ini dipuji dalam menuntut ilmu karena semua itu merupakan jalan untuk meraih ilmu. Dengan demikian, akhlak-akhlak tersebut termasuk bagian dari kesempurnaan seseorang dan bisa mengantarkan menuju kesempurnaan ilmu. Ada ulama yang menyebutkan, إذا جلست الى عالم فسل تفقها لاتعنتا “Jika kamu menemui seorang alim, bertanyalah untuk memperdalam ilmu, bukan bertanya untuk menyusahkan diri.”   Ilmu memiliki enam tingkatan bagus dalam bertanya, berusaha diam dan mendengarkan, berusaha memahami, menghafalkan, mengajarkan, buahnya adalah mengamalkan dan memperhatikan batasan-batasannya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:507)   Banyak mendengar dibanding banyak bicara Sebagian ulama salaf berkata, “Jika engkau duduk bersama seorang alim, hendaklah engkau banyak mendengar dibanding semangat bicara.” Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37) Allah menyebut ayat-ayat-Nya (tanda kebesaran-Nya) melalui apa yang dibaca, didengar, dan dilihat, semua itu hanya bermanfaat pada orang yang punya hati, karena siapa saja yang tidak memiliki hati yang memahami penjelasan dan peringatan dari Allah, maka apa pun tanda kebesaran yang melintas di hadapannya tidak akan membawa guna, meski seluruhnya. Berlalunya tanda-tana kebesaran Allah di hadapannya–seperti terbitnya matahari, bulan, dan bintang–yang laksana berlalunya tanda-tanda kebesaran tersebut di hadapan orang yang tidak memiliki penglihatan. Saat objek-objek yang tampak itu melihat, dia dapat melihatnya. Bahkan orang yang memiliki hati saja tidak dapat memetik manfaat apa pun dengan hatinya tanpa adanya dua hal: (1) menghadirkan hati, (2) menyaksikan apa yang disampaikan. Ketika hati tidak hadir sebab berkelana dengan angan-angan, syahwat, dan khayalan, ia tidak dapat memetik manfaat meski memiliki hati. Ia juga tidak dapat memetik manfaat walaupun sudah menghadirkan dan membuat hati tadi menyaksikan apa yang disampaikan, kecuali jika ia mendengar nasihat dan petunjuk yang disampaikan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, hati terbagi menjadi tiga jenis. hati yang selamat, sehat, dan bisa menerima. menghadirkan dan menyatukan hati, serta mencegahnya agar tidak berlarian dan berserakan. menggunakan pendengaran dan fokus untuk ingat. Ketiga hal ini disebutkan dalam ayat di atas. Ibnu ‘Athiyah berkata, “Hati yang dimaksud di sini mengungkapkan fungsi akal, sebab akal tempatnya di hati. Artinya, bagi orang yang hati sadar maka dia dapat memetik manfaat dengannya.”   Dari tingkatan ilmu yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebelumnya, berarti ilmu tidak didapat karena enam kondisi: tidak mau bertanya, tidak bisa mendengar dengan baik dan tidak menggunakan pendengaran, salah paham, tidak menghafal, tidak menyebarkan ilmu karena siapa saja yang menyimpan ilmu, tidak mau mengajarkannya kepada orang lain, Allah membuatnya lupa dan menghilangkan ilmunya. Ini adalah realita. tidak mengamalkan ilmu sebab mengamalkan ilmu mengharuskan untuk mengingat, merenungkan, menjaganya, dan memikirkannya. Ketika seorang tidak mengamalkan ilmu, ia akan melupakannya.   Seorang ulama salaf berkata, “Kami memperkuat hafalan ilmu dengan mengamalkannya.” Ulama yang lain berkata, “Ilmu menyeru pada amalan. Jika amalan menerima seruan, ilmu bertahan. Jika tidak, ilmu pergi.” Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah (1:516) berkata, “Mengamalkan ilmu adalah sebab terbesar ilmu itu terjaga dan kokoh. Enggan mengamalkan ilmu adalah sebab ilmu itu dilupakan.” Baca juga: Empat Langkah Tadabur Al-Qur’an   Keseratus dua belas (#144): Yang Berilmu dengan Yang Tidak Berilmu Tentu Berbeda Allah subhanaahu wa ta’ala membedakan sepuluh hal: Yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Yang jelek dan thayyib (baik) itu berbeda. Yang buta dengan melihat itu berbeda. Cahaya dengan kegelapan itu berbeda. Yang teduh dengan yang terkena panas itu berbeda. Penduduk surga dan neraka itu berbeda. Yang bisu dan tidak mampu berbuat dengan yang memerintahkan keadilan dan berada di atas jalan yang lurus itu berbeda. Mukmin dan kafir itu berbeda. Orang yang beriman dan beramal saleh dengan yang berbuat kerusakan di muka bumi itu berbeda. Orang yang bertakwa (muttaqin) dengan orang yang buruk (fajir) itu berbeda. Sepuluh ayat dalam Al-Qur’an menafikan persamaan dalam hal ini. Hal ini menunjukkan betapa agungnya orang berilmu dari orang yang tidak berilmu laksana kedudukan cahaya di atas kegelapan, laksana kedudukan tempat yang teduh dari tempat yang panas, laksana kedudukan sesuatu yang baik terhadap sesuatu yang buruk. Kedudukan tersebut saling berbanding terbalik. Hal ini sudah cukup menunjukkan kedudukan ilmu serta kedudukan orang berilmu. Lebih dari itu, jika Anda renungkan golongan-golongan di atas secara keseluruhan, Anda akan mengetahui penafian persamaan di antara semua itu merujuk pada ilmu dan penyebabnya. Di sinilah letak keutamaan dan perbedaan.   Keseratus tiga belas (#145): Burung Hudhud Selamat Karena Ilmu Saat Sulaiman mengancam akan menyiksa burung Hudhud dengan siksaan yang berat atau akan menyembelihnya, burung Hudhud itu selamat karena ilmu. Ia memberitahukan suatu ilmu kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam melalui kata-kata lisannya. Dalam ayat disebutkan, فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍۭ بِنَبَإٍ يَقِينٍ “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (QS. An-Naml: 22) Ilmu tadi membuat burung Hudhud berani menyampaikan kata-kata tersebut. Sebab Andai bukan karena kekuasaan ilmu, burung Hudhud tidak akan mampu menyampaikan kata-kata seperti ini di hadapan Sulaiman, karena Hudhud lemah, sementara Sulaiman kuat. Disebutkan dalam sebuah kisah masyhur bahwa seorang ahli ilmu ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, “AKU TIDAK TAHU.” Satu muridnya berkata, “Aku mengetahui masalah itu.” Si guru marah dan hendak memukulnya. Murid lantas berkata, “Wahai guru! Engkau tidak lebih tahu daripada Sulaiman bin Daud meski setinggi apa pun ilmumu, dan aku tidak lebih bodoh daripada burung Hudhud, di mana burung ini berkata kepada Sulaiman, أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya.” Namun, Sulaiman tidak mencela atau pun memperlakukannya dengan kasar. Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:517. Pelajaran yang bisa diambil dari kisah Sulaiman di atas:  Murid bisa saja lebih memiliki ilmu dibandingkan seorang guru. Hendaklah menghargai ilmu orang lain. Kalau tidak memiliki ilmu, jawablah: AKU TIDAK TAHU, daripada “sok tahu”. Setinggi apa pun ilmu seseorang, tetap masih ada yang lebih berilmu. Tak perlu memarahi murid yang memang lebih memiliki ilmu.   Keseratus empat belas (#146): Kemuliaan Dunia dan Akhirat Diraih Karena Ilmu Perhatikan keistimewaan yang didapatkan oleh Nabi Adam atas para malaikat, mereka mengakui bahwasanya Allah mengajarkan nama benda-benda kepadanya, lantas musibah yang menimpanya digantikan oleh surga yang jauh lebih baik karena ilmu kalimat yang dia terima dari Allah. Perhatikan pula kekuasaan, kemuliaan, serta kebesaran yang diraih Yusuf karena ilmu tafsir mimpi yang dia kuasai. Selain itu, Yusuf juga mengetahui alasan yang bisa diterima dan diakui untuk menahan saudaranya (Benyamin) di antara saudara-saudaranya yang lain, hingga akhirnya Nabi ini mencapai kemuliaan, kesudahan baik, dan kondisi sempurna karena ilmu yang dimilikinya. Demikian seperti isyarat Allah Ta’ala dalam ayat, كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ ۖ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِى دِينِ ٱلْمَلِكِ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِى عِلْمٍ عَلِيمٌ “Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76) Disebutkan dalam penafsiran ayat ini, Kami mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan ilmu, seperti Kami mengangkat derajat Yusuf atas saudara-saudaranya. Allah berfirman terkait Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83) Ayat ini menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu hujjah, sementara itu ayat sebelumnya menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu politik (ilmu siyasah). Seperti itu pula kemuliaan yang didapatkan Khidir karena Kamillurrahman, Musa, berguru dan bertanya dengan lembut dan sopan kepadanya. Ya, sampai-sampai Nabi Musa berkata, قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا “Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66) Seperti itu juga ilmu bahasa burung yang dimiliki Nabi Sulaiman, hingga dia sampai ke Kerajaan Saba, mengalahkan ratu mereka, membawa singgasana kerajaannya, dan ratu itu pun tunduk pada kekuasaannya. Maka itu Sulaiman berkata, وَوَرِثَ سُلَيْمَٰنُ دَاوُۥدَ ۖ وَقَالَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ ٱلطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَىْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْمُبِينُ “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.” (QS. An-Naml: 16) Demikian pula halnya ilmu membuat baju besi untuk melindungi serangan pedang dan senjata musuh milik Nabi Daud ‘alaihis salam. Allah menyebut nikmat ilmu yang Allah karuniakan kepada hamba-hambaNya, lalu berfirman, وَعَلَّمْنَٰهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّنۢ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنتُمْ شَٰكِرُونَ “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al-Anbiya’: 80) Demikian halnya ilmu kitab, hikmah, Taurat, dan Injil yang dimiliki Nabi Isa ‘alaihis salam yang karenanya Allah mengangkat derajatnya, melebihkan, dan memuliakannya. Juga ilmu yang diperoleh oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang disebut oleh Allah sebagai nikmat yang Allah karuniakan kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam ayat, وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)   Keseratus lima belas (#147): Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Ilmu dan Amal Allah memuji khalilullah–kekasih Allah–Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, melalui firman-Nya, إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121) Demikian empat pujian Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Nabi Ibrahim disebut: ummatan qaanitan lillah haniifan syaakiran li an’umihi 1. Ummatan, yaitu teladan yang menjadi panutan (al-qudwah alladzi yu’tamma bihi). Ibnu Mas’ud berkata, “Ummat yaitu yang mengajarkan kebaikan (al-mu’allim lil khair).” Wazan Ummat ini adalah fu’latan, dari kata al-i’timaam, sama seperti qudwatan, yaitu orang yang dijadikan contoh. Pertama, imam adalah segala sesuatu yang diikuti, baik dilakukan dengan niat dan perasaan atau pun tidak. Dalam ayat disebut dengan imamum mubiin, artinya jalan yang jelas. Sedangkan kata jalan tidak disebut dengan ummat. Kedua, lafazh ummatan mengandung makna lebih. Karena ia ibarat seseorang yang menyatukan sifat-sifat sempurna berupa ilmu dan amal, yang hanya dia yang miliki kesempurnaan tersebut. Ia menyatukan sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, hingga seakan berbeda dengan yang lainnya. Lafaz ummat mengesankan pada makna menyatukan, yaitu ada sifat-sifat sempurna menyatukan antara ilmu dan amal. Dalam makna lain, ummat itu berarti kesatuan dari berbagai bangsa karena mereka ialah orang-orang yang bersatu di atas satu agama atau suatu masa. 2. Qaanitan lillah, yaitu orang yang taat kepada Allah. Kata Ibnu Mas’ud, artinya adalah al-qaanit al-muthii’, makhluk yang taat. Qunut sendiri bermakna selalu taat (dawaam ath-thoo’ah). 3. Haniifan, yaitu orang yang menghadap kepada Allah. Konsekuensinya, ia condong dengan meninggalkan apa pun selain Allah. Condong sendiri adalah konsekuensi makna hanif, terlepas kata hanif ini bermakna condong secara bahasa. 4. Syaakiran li an’umihi, yaitu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, syukur nikmat bertumpu pada tiga sendi (rukun): mengakui nikmat (dengan hati), menyandarkannya kepada Allah yang telah memberinya (dengan lisan), menggunakan nikmat dalam keridaan Allah dan melakukan amalan yang Allah sukai (dengan anggota badan). Tanpa tiga rukun ini, seorang hamba tidaklah disebut bersyukur. Baca juga: Pengertian Syukur, Hakikat Syukur, dan Rukun Syukur   Allah memuji Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan empat sifat yang seluruhnya kembali kepada ILMU, mengamalkan, mengajarkan, dan menyebarkan ilmu. Oleh karena itu, seluruh kesempurnaan merujuk kepada ilmu, mengamalkan ilmu, dan menyerukan manusia kepadanya. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:520-521.   Keseratus enam belas (#148): Ilmu adalah Suatu Keberkahan, Nabi Isa Diberkahi di mana pun Karena Mengajarkan Kebaikan Allah Ta’ala berfirman, قَالَ إِنِّى عَبْدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِىَ ٱلْكِتَٰبَ وَجَعَلَنِى نَبِيًّا وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَٰنِى بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱلزَّكَوٰةِ مَا دُمْتُ حَيًّا “Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam: 30-31) Sufyan bin ‘Uyainah berkata mengenai ayat “dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada“, ia berkata, “Maksudnya, diberkahi dengan dijadikan pengajar dalam kebaikan (mu’alliman lil khairi).” Hal ini menunjukkan bahwa mengajarkan kebaikan (mengajarkan ilmu) adalah berkah yang diberikan oleh Allah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ُفَإِنَّ البَرَكَةَ حُصُوْلُ الخَيْرِ وَنَمَاؤُهُ وَدَوَامُه “Hakikat berkah adalah: (1) memperoleh kebaikan, (2) berkembangnya kebaikan, (3) langgengnya kebaikan.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521) Pada hakikatnya, berkah hanya ada pada ilmu yang diwarisi dari para nabi serta mengajarkannya pada orang lain. Karena itulah Allah menyebutkan kitab-Nya MUBAROK, yaitu yang diberkahi. Di antarnya disebutkan dalam ayat, وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَٰهُ ۚ أَفَأَنتُمْ لَهُۥ مُنكِرُونَ “Dan Al Quran ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?” (QS. Al-Anbiya’: 50) كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad: 29) Allah menyebut rasul-Nya–Isa ‘alaihis salam–sebagai rasul yang diberkahi, seperti diungkap dalam ayat, وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.  Berkah kitab dan rasul menjadi sebab diraihnya ilmu, petunjuk, dan dakwah di jalan Allah. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521.   Keseratus tujuh belas (#149): Pahala dari Ilmu yang Diajarkan Sampai kepada Pengajar Ilmu Disebutkan dalam kitab Ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ “Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah yang pahalanya terus mengalir, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakan orang tua.” (HR. Muslim, no. 1631) Hadits ini merupakan dalil terbesar yang menunjukkan kemuliaan, keutamaan, serta besarnya manfaat ilmu karena pahalanya sampai kepada si pengajar ilmu meskipun sudah meninggal, selama ilmu itu masih diambil manfaatnya, hingga seakan ia masih hidup dan amalnya tidak terputus, selain ia masih terus mendapatkan sanjungan. Maka, pahalanya terus mengalir ketika ia berpisah dari manusia, pahala ini menjadi kehidupan keduanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebut sampainya pahala tiga hal ini kepada orang yang telah meninggal dunia karena ia menjadi sebab pahala-pahala tersebut. Tatkala seseorang melakukan sebab terkait perintah dan larangan, ia mendapatkan hasilnya meskipun bukan usaha dan amalannya sendiri. Karena ia menjadi sebab adanya anak saleh, sedekah yang pahalanya terus mengalir, dan ilmu yang bermanfaat, pahalanya terus menerus mengalir untuknya dengan tersebarnya ilmu itu. Dengan demikian, seseorang mendapat pahala dari amalan yang dilakukan sendiri atau turunannya. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:522. Baca juga: Terputusnya Amalan Selain Tiga Perkara   Keseratus delapan belas (#150): Para Ulama akan Masuk Surga Tanpa Hisab pada Hari Kiamat Disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dari ‘Abdullah bin Daud, ia berkata, “Pada hari kiamat, Allah akan menjauhkan para ulama dari perhitungan amal, lalu Allah berfirman, “Masuklah ke surga meski apa pun (kebaikan dan keburukan) pada diri kalian. Sungguh, Aku menempatkan ilmu-Ku pada kalian karena kebaikan yang Aku inginkan.” Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Yang lain menambahkan dalam riwayat ini: ‘Allah menahan ulama-ulama pada hari kiamat dalam satu golongan tersendiri sampai urusan di antara manusia selesai diputuskan, di mana penghuni surga masuk ke dalam surga, penghuni neraka masuk ke dalam neraka. Allah memanggi para ulama dan berkata: ‘Hai para ulama! Sungguh, tidaklah Aku menempatkan hikmah-Ku dalam diri kalian, lalu Aku bermaksud menyiksa kalian. Aku tahu bahwa kalian berbuat kemaksiatan seperti yang dilakukan selain kalian, lalu aku menutupi kesalahan kalian dan aku mengampuni kesalahan kalian. Aku diibadahi semata karena fatwa dan pengajaran yang kalian sampaikan pada hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga tanpa hisab.’ Setelah itu Allah berfirman, “Tidak ada yang mampu memberikan apa yang dicegah oleh Allah dan tidak ada yang menghalangi apa yang diberikan oleh Allah.” Hal ini disebabkan karena amalan kebaikan orang yang mengajarkan ilmu itu akan mengalahkan amalan kejelakannya karena ada kebaikan yang dahulu diajarkan masih diamalkan orang lain sepeninggal orang berilmu. Ingat, siapa saja yang memiliki kebaikan dan kadarnya besar, di samping dia berpengaruh secara nyata dalam Islam, orang seperti ini mendapat ampunan tidak seperti ampunan yang diberikan kepada orang lain. Sebab kemaksiatan adalah kotor, tetapi ketika air sudah menjadi dua kolam, ia tidak mengandung kotoran lagi. Berbeda dengan air yang hanya sedikit, air ini kotor ketika ada kotoran jatuh ke dalamnya. Itulah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada sahabat yang mengikuti perang Badar, “Lakukan sesuka kalian, Aku telah mengampuni kalian.” Allah itu lebih memaafkan orang-orang berilmu yang memiliki banyak kebaikan, yang lebih mementingkan cinta serta rida Allah, itu bila dibandingkan dengan orang selain orang berilmu. Manakala orang alim berbuat salah, ia segera kembali, membenahi kekeliruan, dan mengobati luka karena ia laksana dokter yang mahir dan mengetahui penyakit, apa saja sebab-sebabnya, dan apa saja obatnya, karena penyakit tersebut lebih cepat hilang di tangannya daripada melalui tangan orang bodoh. Keburukan dosa orang berilmu dan orang tidak berilmu tentu berbeda, karena kebodohan itu lebih parah karena ia tidak memiliki kebaikan yang bisa melawan keburukan. Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:523-529. Baca juga: Mereka yang Keluar dari Neraka   Keseratus sembilan belas (#151): Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibanding Ibadah Sunnah Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang alim sibuk belajar serta mengajarkan ilmunya akan senantiasa berada dalam pahala ibadah karena belajar. Ingatlah, mengajarkan ilmu itu sendiri adalah ibadah.  (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang faqih (yang memahami agama) senantiasa shalat.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana bentuk shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia menyebut Allah di hati dan lisannya.” Atsar ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr. Mu’adz pernah berkata, “Pelajarilah ilmu. Sungguh, mempelajari ilmu karena Allah adalah wujud rasa takut, mencarinya adalah bagian ibadah, dan mudzakarah (bertukar pikiran) tergolong tasbih.” Riwayat ini mawquf, yaitu perkataan sahabat. Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan hadits marfu’ dari Mu’adz, “Sungguh, kamu pergi pagi-pagi lalu mempelajari satu bab ilmu, itu lebih baik bagimu daripada shalat seratus rakaat.” Ibnu Wahab berkata, “Suatu ketika aku berada di dekat Malik bin Anas, lantas waktu shalat Zhuhur atau Ashar tiba saat aku sedang membaca dan membahas ilmu di hadapannya. Aku lantas mengumpulkan buku-bukuku, merapihkannya, lalu aku bangkit untuk shalat, lalu Malik berkata kepadaku, ‘Mau ke mana?’ Aku menjawab, ‘Aku hendak shalat.’ Malik berkata, ‘Ini aneh! Apa yang hendak kamu lakukan (untuk shalat pada awal waktu) tidaklah lebih baik daripada apa yang tadi kamu kerjakan (belajar ilmu), jika niatnya benar.” Ar-Rabi’ berkata, “Aku mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata, ‘Menuntut ilmu itu lebih baik daripada ibadah nafilah (ibadah sunnah).'” Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tak ada suatu amalan yang lebih baik daripada menuntut ilmu jika niatnya benar.” Seseorang bertanya kepada Al-Mu’afa bin Imran, “Mana yang lebih engkau sukai, apakah aku mengerjakan shalat malam sepanjang malam ataukah aku duduk di malam hari untuk menulis hadits?” Ia menjawab, “Engkau menulis sebuah hadits itu lebih kusukai daripada engkau shalat malam dari awal hingga akhir malam.” Dia juga berkata, “Menulis satu hadits itu lebih aku sukai daripada qiyamul lail.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Mudzakarah ilmu (bertukar pikiran dalam hal ilmu) pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya.” Abu Hurairah rahimahullah berkata, “Aku duduk sesaat lantas aku paham pada ilmu dalam agama ini lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya hingga datang Shubuh.” Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Menuntut ilmu, menulis, serta memeriksa ilmu adalah salah satu amalan terbaik karena termasuk amalan hati dan raga. Kedudukan menuntut ilmu bagi raga laksana kedudukan amalan hati, seperti ikhlas, tawakal, cinta, inabah (kembali kepada Allah), takut, rida, dan amalan batin lainnya.” Beliau rahimahullah melanjutkan, “Jika ada yang mengatakan, ilmu tidak lain sebagai sarana sekaligus maksud dari amal, sedangkan amal adalah tujuan. Tujuan itu lebih mulia daripada alat atau sarana. Lantas bagaimana alat bisa dianggap lebih utama daripada tujuan. Maka jawabannya adalah, masing-masing dari ilmu dan amal terbagi menjadi dua, yaitu ada yang menjadi alat dan ada yang menjadi tujuan. Tidak semua ilmu menjadi alat untuk mencapai suatu yang lain. Karena ilmu dalam mengenal Allah, nama, dan sifat-Nya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak. Ilmu inilah yang secara esensi atau hakiki diperintahkan supaya kita ketahui.” Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Siapa saja yang melaksanakan dua hal, yaitu berilmu dan beramal, tentu lebih sempurna. Jia pun salah satunya lebih baik, toh kebaikan ilmu lebih baik daripada kebaikan ibadah. Oleh karena itu, manakala seorang hamba memiliki amalan lebih yang melebihi amalan wajibnya, maka kesempatan untuk melaksanakan amalan ini lebih baik dialihkan untuk mempelajari ilmu yang merupakan warisan para nabi daripada dialihkan untuk ibadah yang tanpa ilmu.” Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529-533. Ingatlah, Allah menciptakan kita agar kita benar-benar mengenal Allah. Itulah tujuan penciptaan manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat, اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya, “Kemudian Allah mengabarkan bahwa Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada padanya dan yang ada di antara masing-masing tingkatannya. Allah menurunkan perintah yang berupa syariat dan hukum-hukum duniawi yang diwahyukan kepada para rasulNya sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia. Begitu juga dengan undang-undang alam dan takdir yang mengatur seluruh mahkluk. Semua itu bertujuan agar manusia mengetahui keluasan KuasaNya atas segala sesuatu. Semuanya berada dalam jangkauan ilmuNya. Jika manusia mengetahui nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang suci, mereka akan menyembah, mencintai, dan menunaikan hakNya. Dan inilah tujuan yang dimaksudkan dari penciptaan dan diturunkannya perintah (syariat dan hukum); yaitu mengenal dan menyembah Allah. Hamba-hamba Allah yang saleh yang mendapatkan taufik menunaikannya, sedangkan orang-orang zhalim berpaling darinya.” Ayat di atas dilengkapi dengan ayat, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Inilah dalil yang menunjukkan bahwa diciptakannya manusia itu untuk: (1) beribadah kepada Allah semata, (2) mengenal Allah Sang Pencipta.   Perlu diketahui bahwa irodah (kehendak) Allah itu ada dua macam. Pertama adalah irodah diniyyah (irodah syariyyah), yaitu setiap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah berupa amalan saleh. Namun, orang-orang kafir dan fajir (ahli maksiat) melanggar perintah ini. Seperti ini disebut dengan irodah diniyyah, tetapi amalannya dicintai dan diridai. Irodah seperti ini bisa terealisir dan bisa pula tidak terealisasi. Kedua adalah irodah kauniyyah, yaitu segala sesuatu yang Allah takdirkan dan kehendaki, tetapi Allah tidaklah memerintahkannya. Contohnya adalah perkara-perkara mubah dan bentuk maksiat. Perkara-perkara semacam ini tidak Allah perintahkan dan tidak pula diridai. Allah tidaklah memerintahkan makhluk-Nya berbuat kejelekan, Dia tidak meridai kekafiran, walaupun Allah menghendaki, menakdirkan, dan menciptakannya. Dalam hal ini, setiap yang Dia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terwujud. Jika kita melihat surat Adz Dzariyat ayat 56, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Tujuan penciptaan di sini termasuk irodah diniyyah. Jadi, tujuan penciptaan di sini tidaklah semua makhluk mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam tataran realita ada orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Tujuan penciptaan di sini yaitu beribadah kepada Allah adalah perkara yang dicintai dan diridhoi, namun tidak semua makhluk merealisasikannya. (Lihat pembahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa, 8:189) Baca juga: Untuk Apa Kita Diciptakan di Dunia Ini? Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Tujuan yang terpuji yang jika setiap insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah hakekat dari perkataan seorang hamba “Laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah)”. Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan mentauhidkan Allah semata.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, 2:120)   Keseratus dua puluh (#01 – 10): Orang Berilmu Bersaksi pada Kalimat Laa Ilaha Illallah Allah Ta’ala berfirman, شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18) Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang berilmu melalui beberapa sisi: Di antara seluruh manusia, orang berilmu yang diminta untuk bersaksi. Kesaksian orang berilmu disandingkan dengan kesaksian Allah Rabb semesta alam. Kesaksian orang berilmu disandingkan dengan kesaksian para malaikat. Secara tersirat, kesaksian orang berilmu ini mengandung rekomendasi dan pernyataan bahwa mereka itu orang yang ‘UDUL. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ “Ilmu agama ini dibawa oleh orang-orang ‘UDUL (terpercaya) dari setiap generasi.” Catatan: ‘Adel menurut fuqaha adalah seseorang yang kebaikannya lebih mendominasi daripada kejelekannya. Antonim dari ‘adel adalah fasik. Fasik berarti orang yang keluar dari ketaatan. Maksud fasik, asalnya adalah keluarnya sesuatu dari sesuatu dalam bentuk kerusakan. (Lihat bahasan Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 30: 5-6) Baca juga: Apa itu Adel dan Fasik? 5. Allah menyebut orang-orang berilmu . Ini menunjukkan bahwa hanya mereka yang memiliki ilmu, mereka ahlinya. Sifat ini bukan pinjaman, tetapi sifat asli. 6. Allah memberikan kesaksian atas mereka, sedangkan Allah adalah saksi yang paling utama. Kemudian para malaikat sebagai makhluk terbaik juga bersaksi, begitu pula para ulama (orang-orang berilmu). Kesaksian ini sudah menjadi dalil keutamaan dan kemuliaan orang berilmu. 7. Allah meminta mereka bersaksi atas kesaksian paling mulia, agung, dan terbesar, yaitu kesaksian pada kalimat LAA ILAHA ILLALLAH. Allah Yang Mahaagung tentu hanya menjadikan orang-orang besar dan para pemimpin manusia untuk menangani hal-hal besar pula. 8. Allah menjadikan kesaksian mereka sebagai bukti yang kuat pada orang-orang yang mengingkari untuk menunjukkan keesaan Allah. 9. Kesaksian orang berilmu terkait erat dengan kesaksian Allah. Seakan-akan Allah memberikan kesaksian tauhid untuk diri-Nya melalui lisan mereka, membuat mereka mengutarakan kesaksian itu. 10. Dengan kesaksian ini, Allah menjadikan mereka menunaikan hak Allah yang wajib untuk hamba. Jika orang berilmu menunaikan kesaksian LAA ILAHA ILLALLAH, artinya menjalankan konsekuensi LAA ILAHA ILLALLAH dengan benar, maka makhluk lainnya hendaklah menjalankan pula dengan benar (mengikuti ulul ilmi, orang berilmu). Itulah puncak kebahagiaan di dunia dan akhirat. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:217-219.   Keseratus dua puluh satu (#15): Allah memberikan kesaksian kepada ahli ilmu Allah memberikan kesaksian kepada ahlul ilmi yang secara tersirat menjadikan mereka sebagai saksi atas kebenaran apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, أَفَغَيْرَ ٱللَّهِ أَبْتَغِى حَكَمًا وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ إِلَيْكُمُ ٱلْكِتَٰبَ مُفَصَّلًا ۚ وَٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُۥ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِٱلْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (QS. Al-An’am: 114)   Keseratus dua puluh dua (#16): Orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an Allah Ta’ala menghibur nabi-Nya dengan keimanan orang-orang berilmu, dan memerintahkan beliau agar tidak peduli terhadap orang bodoh. Allah Ta’ala berfirman, وَقُرْءَانًا فَرَقْنَٰهُ لِتَقْرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَٰهُ تَنزِيلًا قُلْ ءَامِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوْ لَا تُؤْمِنُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ مِن قَبْلِهِۦٓ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا وَيَقُولُونَ سُبْحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا “Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, Dan mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi“.” (QS. Al-Isra’: 106-108) Ini merupakan kemuliaan terbesar bagi orang berilmu. Artinya ialah orang-orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an. Tak peduli apakah selain mereka beriman padanya ataukah tidak.   Keseratus dua puluh tiga (#23): Ibrahim unggul dengan ilmu dan argumen yang kuat Allah mengutarakan perdebatan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya, hingga Ibrahim mengalahkan mereka dengan hujjah (argumen ilahiah). Allah jelas-jelas mengabarkan kelebihan Ibrahim dan tingginya derajat sang kekasih Allah ini (khalilullah) karena mengetahui hujjah tersebut. Allah berfirman setelah menyebut perdebatan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya dalam surah Al-An’am, وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83) Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami mengangkat derajat siapa yang Kami kehendaki dengan ilmu tentang hujjah.”   Keseratus dua puluh empat (#24): Mengenal Allah adalah Tujuan Penciptaan Allah mengabarkan bahwa Dia menciptakan makhluk, menjadikan Baitul Haram, bulan suci, hadyu, dan qalaid* agar hamba-hamba-Nya tahu bahwa Allah Maha Mengetahui dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman, ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ وَمِنَ ٱلْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ ٱلْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ ٱللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَىْءٍ عِلْمًۢا “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12) Ini bermakna bahwa mengenali Rabb dan sifat-sifat-Nya, serta beribadah kepada-Nya semata, merupakan tujuan dari penciptaan Allah dan pengaturan segala urusan oleh-Nya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:224) * Qalaid yaitu binatang-binatang hadyu (qurban) yang sudah dikalungi dengan tali, yang menunjukkan bahwa binatang itu dipersiapkan secara khusus untuk dikurbankan dan dihadiahkan kepada Kabah.   Keseratus dua puluh lima (#25): Bangga dan Senang dengan Ilmu Allah memerintahkan orang-orang berilmu agar senang pada apa yang Allah beri kepada mereka. Lalu, Allah mengabarkan bahwa Allah mengetahui apa yang dikumpulkan manusia. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.” (QS. Yunus: 58) Karunia Allah ditafsirkan dengan iman, sedangkan rahmat Allah ditafsirkan dengan Al-Qur’an. Iman dan Al-Qur’an itulah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Keduanya adalah al-huda wa diinul haqq (petunjuk dan agama yang benar). Keduanya adalah ilmu terbaik dan amal terbaik. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:224)   Keseratus dua puluh enam (#30): Nabi Adam ‘alaihis salam Diberikan Kelebihan dalam Hal Ilmu oleh Allah Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Rabb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al-Baqarah: 30) Kesimpulan dari ayat ini: Allah melebihkan Nabi Adam ‘alaihis salam dari malaikat walaupun malaikat rajin berdzikir dengan bertasbih, malaikat itu lebih taat. Allah jawab “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Allah Mahatahhu sisi batin dan hakikat sesuatu, sedangkan manusia tidak tahu, memiliki keterbatasan ilmu. Allah melebihkan dan menjadi Nabi Adam sangat spesial di mana Adam dikaruniai ilmu dengan diajarkan nama-nama segala benda. Malaikat tidak dikaruniai ilmu. Malaikat merasa lebih mulia daripada Adam. Padahal malaikat ketika diajarkan ilmu, mereka lemah. Allah memberitahu ilmu lahiriyyah yang tampak dan batiniyyah yang tidak terlihat. Malaikat lemah dalam menangkap hal ini. Nabi Adam memiliki sifat terbaik yaitu dianugerahkan ilmu. Ilmu adalah hal terbaik yang dimiliki manusia, inilah kelebihan manusia, dan wujud ilmu itu lebih indah dari hal lainnya (harta, dan lain-lain).   Keseratus dua puluh tujuh (#57): Jangan Sampai Kehilangan Ilmu dan Hikmah Dalam hadits disebutkan, الحِكْمَةُ ضَالَةُ المُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا “Kata-kata hikmah adalah barang hilang orang mukmin, di mana pun ia mendapatkannya, ia yang paling berhak atasnya.” Namun hadits ini dhaif atau lemah. Baca juga: Arti Hikmah dalam Al-Qur’an Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hikmah adalah ilmu. Apabila seorang mukmin kehilangan ilmu, ia laksana kehilangan salah satu barang berharga miliknya. Saat ia dapati barang berharga, hatinya merasa tenang dan jiwanya pun demikian, sebab mendapatkannya kembali. Demikian pula halnya apabila orang mukmin mendapatkan barang hilang milik hati dan rohaninya yang selalu dicari-cari dan diselidiki keberadaannya.  Ini termasuk perumpaan terbaik, karena hati seorang mukmin selalu mencari ilmu di mana pun ilmu itu berada, melebihi semangat mencari barang yang hilang miliknya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:280) Hikmah itu adalah ilmu. Carilah, jangan sampai lepas!   Keseratus dua puluh delapan (#58): Dua Sifat yang Tidak Akan Tergabung pada Diri Orang Munafik adalah Perangai yang Bagus dan Paham Agama Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِخَصْلَتَانِ لاَ يَجْتَمِعَانِ فِي مُنَافِقٍ : حُسْنُ سَمْتٍ وَفِقْهٌ فِي الدِّيْن “Ada dua sifat yang tidak mungkin ada bersamaan dalam diri orang munafik: (1) perangai yang bagus (tenang atau baik dalam diam), (2) paham agama.” (HR. Tirmidzi, no. 2685. Syaikh Ali Hasan Al-Halaby mengatakan bahwa hadits ini hasan). Sehingga jika ada dalam diri seseorang dua hal ini yaitu perangai yang bagus (tenang) dan paham agama, maka dialah seorang mukmin. Orang munafik tidak memiliki salah satu dari dua sifat tadi atau tidak memiliki dua-duanya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:280-281)   Keseratus dua puluh sembilan (#59): Selamat dari Kecurangan, Menghidupkan Sunnah Nabi, Menjadi Pelopor dalam Kebaikan Dalam hadits disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku! Jika kamu bisa memasuki pagi dan sore hari tanpa ada ghisyy (kecurangan) dalam hatimu, maka lakukanlah.” Kemudia beliau bersabda, “Wahai anakku! Itu bagian dari sunnahku. Siapa yang menghidupkan sunnahku, berarti dia mencintaiku. Siapa yang mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga.” (HR. Tirmidzi, no. 2678, dalam sanadnya ada perawi yang dhaif) Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya siapa yang menghidupkan salah satu dari sunnahku yang telah mati sepeninggalku, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengamalkan hal ini tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Siapa yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridai oleh Allah dan Rasul-Nya, ia mendapat dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa ia dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Ad-Darimi dan Tirmidzi, no. 2977. Sanad hadits ini dhaif jiddan) Hadits di atas semakna dengan hadits berikut. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا “Barang siapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017) Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala pelakunya.” (HR. Muslim, no. 1677) Baca juga: Pelopor Kebaikan (Khutbah Jumat)   Keseratus tiga puluh (#60): Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada orang berilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar memperlakukan para penuntut ilmu dengan baik. Ini tidak lain karena keutamaan dan kemuliaan dari ilmu yang mereka cari. Dari Abu Harun, ia berkata bahwa mereka mendatangi Abu Said, lantas Abu Said berkata, “Marhaban, selamat datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat dengan beliau berkata,  إِنَّ النَّاسَ لَكُمْ تَبَعٌ وَإِنَّ رِجَالاً يَأْتُوْنَكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الأَرْضِ يَتَفَقَّهُوْنَ فِي الدِّيْنِ فَإِذَا أَتَوْكُمْ فَاسْتَوْصُوْا بِهِمْ خَيْرًا “Sesungguhnya manusia itu mengikuti kalian. Sesungguhnya orang-orang akan mendatangi kalian dari berbagai penjuru dunia, mereka akan belajar agama. Jika mereka mendatangi kalian, berbuat baiklah kepada mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2650; Ibnu Majah, no. 247, 249; ‘Abdur Razaq, 11:252; Al-Baghawi, no. 134. Abu Harun adalah perawi matruk. Ada riwayat ringkat mengenai hadits ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 280)   Keseratus tiga puluh satu (#61): Menuntut Ilmu Mendapatkan Pengampunan Dosa Dalam hadits dari ‘Abdullah bin Sakhbarah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, مَنْ طَلَبَ العِلْمَ كَانَ كَفَّرَاةً لِمَا مَضَى “Siapa yang menuntut ilmu, amalan tersebut akan menghapus dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi, no. 2648; Ad-Darimi dalam Sunannya, 1:139; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 6615. Tirmidzi mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif). Baca juga: Keutamaan Ilmu dari Ibnul Qayyim no. 47 Disebutkan bahwa orang berilmu dimintakan ampunan oleh para malaikat di langit dan para makhluk di bumi. وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ “Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air.” (HR. Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dari Abdul Karim dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas bahwa ada malaikat yang ditugaskan untuk menjaga seorang penuntut ilmu hingga memulangkannya ke tempat semula dalam keadaan diampuni kesalahan-kesalahannya. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah seorang hamba mengenakan sandal, sepatu, dan juga pakaian untuk pergi menuntut ilmu melainkan dosa-dosanya diampuni sejak saat melangkahkan kaki di dekat pintu rumahnya.” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Siapa saja yang mengenakan sandal untuk mempelajari kebaikan, niscaya diampuni baginya dosa-dosanya sebelum dia melangkahkan kaki.” Meskipun riwayat-riwayat di atas tidak bisa dijadikan argumen, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Menuntut ilmu tetap menjadi salah satu kebaikan yang utama. Ingatlah bahwa setiap kebaikan akan menghapuskan kejelekan. Sehingga menuntut ilmu demi mencari wajah Allah sepantasnyalah bisa menghapus dosa-dosa masa lalu. Berbagai dalil menunjukkan bahwa mengikutkan kejelekan dengan kebaikan pasti akan menghapuskan kejelekan. Padahal diketahui bahwa menuntut ilmu adalah sebaik-baik kebaikan dan ketaatan yang paling utama. Sehingga pendalilan hal ini bukan hanya dari hadits Abu Daud di atas.” Baca juga: Amalan Kebaikan Sebagai Pelebur Dosa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, ada seseorang keluar dari rumahnya dengan membawa dosa sebesar Gunung Tihamah. Apabila mendengar ilmu, ia merasa takut, kembali, lalu bertaubat. Lantas dia pulang ke rumah dalam keadaan tidak memikul dosa apa pun. Maka, janganlah kalian jauhi majelis-majelis ulama.” Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:284-286. Baca juga: 10 Pelebur Dosa   Keseratus tiga puluh dua (#62): Menuntut Ilmu itu untuk Menghilangkan Kebodohan dari yang Lain Dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan tanpa diduga ada dua majelis di dalam masjid. Majelis pertama adalah majelis yang benar-benar mendalami agama. Sedangkan majelis kedua adalah majelis yang berdoa dan memohon kepada Allah. Beliau kemudian berkata, ِكِلاَ المَجْلِسَيْنِ إِلَى خَيْرٍ أَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَدْعُوْا اللهَ وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُوْنَ وَيُفَقِّهُوْنَ الجَاهِلَ هَؤُلاَء ُأَفْضَلُ بِالتَّعْلِيْمِ أُرْسِلْت “Kedua majelis ini sama-sama mengajak kepada kebaikan. Adapun mereka (majelis pertama), mereka berdoa kepada Allah. Sementara mereka (majelis kedua), mereka belajar dan mengajarkan orang jahil (bodoh) yang tidak memahami agama. Mereka itu lebih utama. Aku diutus untuk mengajar.” Setelah itu beliau duduk bersama mereka. (HR. Ibnu Majah, no. 22. Hadits ini dhaif). Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:287. Dalam hadits di atas walaupun haditsnya dhaif, bisa dipetik pelajaran bahwa majelis yang isinya mempelajari ilmu lebih utama daripada majelis amal. Karena di antara tujuan belajar adalah mengajarkan ilmu kepada yang lain. Baca juga: Empat Kaidah dalam Berdakwah   Keseratus tiga puluh tiga (#64): Orang Berilmu adalah Perantara Sampainya Wahyu pada Umat Kedudukan manusia yang paling utama di sisi Allah adalah kedudukan kerasulan dan kenabian (risalah dan nubuwah). Allah memilih rasul-rasul (utusan-utusan) di antara kalangan para malaikat dan juga manusia. Mereka dijadikan oleh Allah sebagai perantara antara diri-Nya dan para hamba-Nya dalam menyampaikan risalah-Nya, memperkenalkan nama Allah, segala perbuatan Allah, sifat Allah, hukum Allah, juga segala hal yang mendatangkan rida Allah dan murka-Nya, serta pahala dan siksa-Nya. Allah mengistimewakan para utusan dengan wahyu, mengkhususkan dengan keutamaan, meridai mereka untuk menyampaikan risalah Allah kepada para hamba, menjadikan mereka sebagai makhluk paling bersih jiwanya di antara seluruh alam, paling mulia akhlaknya, paling sempurna ilmu dan amalnya, paling baik bentuk penciptannya, paling dicintai dan diterima di hati manusia. Di samping itu Allah membebaskan mereka dari sifat buruk, aib, dan akhlak tercela, serta menjadikan tingkatan manusia paling mulia setelah mereka adalah tingkatan para pengganti mereka di tengah-tengah umat, karena mereka ini menggantikan para nabi dan rasul dengan meniti manhaj dan jalan mereka. Wujudnya seperti menasihati umat, menuntun orang tersesat, mengajari orang yang buta ilmu agama, membela orang yang dizalimi, membimbing orang yang berbuat zalim, memerintahkan kebaikan seusai melakukannya, mencegah kemungkaran setelah meninggalkannya, menyeru manusia menuju kepada Allah secara hikmah bagi mereka yang memenuhi seruan, dengan tutur kata yang baik bagi mereka yang berpaling dan lalai, serta berdialog dengan cara terbaik bagi mereka yang membangkang dan menentang. Itulah kondisi para pengikut rasul dan yang mendapatkan warisan ilmu dari para nabi. Allah Ta’ala berfirman, ِقُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf: 108) Yang mendapatkan warisan ilmu dari para rasul bukanlah orang kebanyakan. Mereka adalah orang-orang yang berilmu yang mempelajari serta mengamalkan ilmu yang disampaikan rasul, menuntun dan membimbing orang lain, bersabar dan berjihad untuk kepentingan ilahi. Dengan kata lain, mereka adalah para shiddiqun. Dalam ayat disebutkan, ِمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا ِذَٰلِكَ ٱلْفَضْلُ مِنَ ٱللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ عَلِيمًا “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS. An-Nisaa’: 69-70) Allah menyebut tingkatan orang-orang yang paling berbahagia dalam ayat di atas, merekalah penghuni surga: (1) para nabi, (2) shiddiq (orang yang jujur), (3) syuhada’ (orang yang mati syahid), (4) shalihin (orang saleh, wali Allah). Setelah para nabi, shiddiq lebih tinggi dibanding syuhada’ dan orang saleh. Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:288-290.   Keseratus tiga puluh empat (#66): Ilmu itu Akar Pohon, Tashdiq itu Rantingnya, Sedangkan Amal itu Buahnya Ilmu adalah pemberi putusan terhadap apa pun selainnya, dan tak ada sesuatu pun yang memberi putusan terhadap ilmu. Segala sesuatu yang diperselisihkan ada tidaknya, benar tidaknya, manfaat dan bahayanya, mudarat dan tidaknya, sempurna dan kurangnya, terpuji dan tercelanya, tingkatan baiknya, kualitas baik dan buruknya, dekat dan jauhnya, apakah ia bisa mencapai sasaran atau tidak, apakah ia bisa mewujudkan tujuan atau tidak, serta sisi pengetahuan lainnya, maka ILMULAH YANG MEMBERI PUTUSAN PADA SEMUA ITU. Apabila ilmu sudah memutuskan sesuatu, saat itulah tidak ada lagi persengketaan, putusannya haruslah diikuti. Ilmulah yang memutuskan urusan kerjaan, kebijakan, harta benda, dan pena. Berdasarkan surah An-Nisaa’ ayat 69-70, tingkat kesempurnaan ada empat: nubuwwah (kenabian), shiddiqiyyah (mencintai kebenaran), syahadah (mati syahid), wilayah (kewalian). Empat hal di atas juga disebutkan dalam surah Al-Hadid berikut ini. ِإِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ ِوَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصِّدِّيقُونَ ۖ وَٱلشُّهَدَآءُ عِندَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَكَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَآ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَحِيمِ “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka.” (QS. Al-Hadid: 18-19)   Shiddiq menurut Ibnul Qayyim Shiddiqiyyah adalah beriman secara sempurna terhadap apa yang disampaikan oleh Rasul (wahyu) dengan mengetahui, membenarkan, dan mengamalkannya. Sifat shiddiqiyyah ini kembali kepada ilmu. Siapa saja yang mengilmui wahyu dari rasul, membenarkan dengan sempurna, maka sempurnalah sifat shiddiq pada dirinya. Sehingga shiddiq itu diibaratkan seperti pohon, di mana akarnya adalah ilmu, cabangnya adalah tashdiq (membenarkan), dan buahnya adalah amal. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:294-295) Pengertian shiddiq dari perkataan para ulama lainnya Shiddiq menurut Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya (5:272), “Shiddiq mengikuti wazan fa’iil, artinya al-mubaaligh fish shidqi (tashdiq), benar-benar jujur. Shiddiq adalah orang yang selaras antara lisan dan perbuatannya. Ada yang menyatakan bahwa shiddiq adalah follower (pengikut) yang utama dari para nabi yang mengikuti kejujuran seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Shiddiq menurut Imam Ibnul Qayyim dalam Madaarij As-Salikin (2:258), “Shiddiq adalah tingkatan jujur yang paling tinggi. Shiddiq ini termasuk tingkatan orang jujur. Shiddiq adalah orang yang patuh pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia benar-benar ikhlas pada mursil (pada Allah yang mengutus Rasul).” Shiddiq menurut Al-Khazin rahimahullah dalam kitab Tafsir Al-Khazin (1:397), “Shiddiq adalah al-katsirush shidq, benar-benar jujur. Shiddiqun adalah pengikut rasul yang mengikuti jalan hidupnya sampai mereka bertemu dengan rasul tersebut. Ada juga yang menyatakan bahwa shiddiq adalah membenarkan semua ajaran agama, tanpa ada keraguan sama sekali dalam keyakinannya” Shiddiq menurut Syaikh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya (hlm. 841), “Shiddiq adalah tingkatan iman, amal saleh, ilmu yan bermanfaat, dan sikap yakin yang benar yang paling sempurna.” Berbagai istilah shiddiq dirangkum dari penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 216829. Dapat disimpulkan dari berbagai penjelasan ulama di atas, SHIDDIQ adalah orang yang benar-benar jujur dalam menjalani agama di mana sifatnya adalah: (1) ikhlas karena Allah, (2) berilmu yang bermanfaat, (3) membenarkan semua ajaran Islam, (4) patuh pada ajaran agama, (5) beriman dengan sempurna, (6) beramal saleh, (7) rasa yakin yang kuat, serta (8) selaras antara ucapan dan perbuatan.   Keseratus tiga puluh lima (#69): Zat, Sifat-Sifat, Serta Nama-Nama Allah Diketahui dengan Ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Zat, sifat, dan nama Allah hanyalah bisa diketahui oleh hamba hanya dengan ilmu.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:295)   Kaidah mengenai nama dan sifat Allah Pertama: Nama Allah itu a’lam wa awshaf, yaitu nama-nama Allah itu merujuk pada Zat Allah, kemudian setiap nama itu mengandung makna khusus. Nama “al-hayyu, al-‘aliim, al-qadiir, as-samii’, al-bashiir, ar-rahmaan, ar-rahiim, al-‘aziz, al-hakiim” adalah nama-nama Allah. Nama-nama ini merujuk pada Allah yang satu. Namun, al-hayyu memiliki makna khusus yaitu Mahahidup, Al-‘Aliim bermakna Maha Mengetahui, Al-Qadiir bermakna Mahakuasa, As-Samii’ bermakna Maha Mendengar, Al-Bashiir bermakna Maha Melihat, Ar-Rahmaan bermakna Maha Pengasih, Ar-Rahiim bermakna Maha Penyayang, Al-‘Aziz bermakna Mahaperkasa, Al-Hakiim bermakna Yang Maha Bijaksana. Kedua: Nama Allah itu kadang bergandengan dengan nama lainnya. Penyebutana seperti ini menunjukkan makna kesempurnaan Allah, pujian dan pengagungan yang sempurna kepada Allah. Hal ini berbeda jika nama tersebut berdiri sendiri. Contohnya adalah Allah itu Al-‘Aziz Al-Hakim, artinya Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Keperkasaan Allah tidak berkonsekuensi melakukan kezaliman dan kejelekan. Keperkasaan Allah ini diiringi kebijaksanaan. Allah itu As-Samii’ Al-‘Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), di tempat lain disebutkan As-Samii’ Al-Bashiir (Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Ketika kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan, ayat menyebutkan sebagai berikut. ِوَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 200) ِوَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Fushilat: 36) Ketika kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan manusia, ayat menyebutkan sebagai berikut. ِإِنَّ ٱلَّذِينَ يُجَٰدِلُونَ فِىٓ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَٰنٍ أَتَىٰهُمْ ۙ إِن فِى صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَّا هُم بِبَٰلِغِيهِ ۚ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ “Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mukmin: 56) Apa kandungan dari ayat-ayat di atas dengan menyebut As-Samii’ Al-‘Aliim dan As-Samii’ Al-Bashir? Setan itu tidak terlihat, walaupun kita mengetahui wujudnya. Sehingga ayat yang membicarakan perlindungan dari setan ditutup dengan As-Samii’ Al-‘Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Manusia itu terlihat. Sehingga ayat yang membicarakan perlindungan dari setan ditutup dengan As-Samii’ Al-Bashiir (Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Godaan setan itu menyerang hati. Hal ini terkait dengan ilmu. Dalil yang menunjukkan bahwa setan itu tak terlihat adalah ayat berikut. ِإِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ  “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27) Ayat yang lain menyebutkan At-Tawwabur Rahiim (Maha Penerima Taubat dan Rahiim) seperti dalam ayat berikut. ِيَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12). Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang artinya Allah itu menerima taubat dan memberikan taufik untuk melakukan sebab untuk diterimanya taubat dan mendapatkan kasih sayang Allah. Yang pertama, Allah itu memberi taufik untuk bertaubat dengan menempuh sebab-sebab taubat. Yang kedua, Allah menerima taubat dari orang-orang yang bertaubat. Itu semua adalah bentuk kasih sayang Allah. Ayat yang lain menyebutkan Al-Ghafurur Rahiim (Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) sebagaimana dalam ayat berikut ini. ِقُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53). Nama Allah yang digandengkan ini menunjukkan besarnya karunia Allah. Bentuk karunia Allah adalah rahmat Allah itu mendahului murka-Nya. Ketiga: Allah memiliki nama-nama yang terbaik. Allah Ta’ala berfirman, ِوَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180). Nama dan sifat Allah tidaklah sama dengan makhluk, walau ada nama dan sifat yang punya kesamaan.   Keseratus tiga puluh enam (#80): Segala Sesuatu Selain Allah Sangat Butuh pada Ilmu   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّ كُلَّ مَا سِوَى اللهِ مُفْتَقِرٌ إِلَى العِلْمِ لاَ قَوَامَ لَهُ بِدِيْنِه “Segala sesuatu selain Allah butuh pada ilmu. Segala sesuatu tidak memiliki pijakan jika tidak ada ilmu.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:309) Ilmu itu dua macam: Ilmu yang mesti ada sebelum perbuatan. Kalau dipelajari berpengaruh langsung pada orang yang mempelajarinya. Ini disebut ‘ilmu fi’liy (aktif). Ilmu yang sudah ada sebelumnya, objek yang dipelajari tidak terpengaruh apa-apa karena sudah ada sebelumnya. Contoh ilmunya adalah ilmu mengenai keberadaan Nabi, raja-raja, dan hal-hal lain yang sudah ada sebelumnya. Ilmu ini tidaklah berpengaruh pada objek yang dipelajari. Semakin jelas tentang ini diterangkan pada keutamaan ilmu ke-81.   Tentang Ilmu dan Petunjuk Ada yang berpendapat bahwa: Konsekuensi dari ilmu dan makrifah adalah mendapatkan petunjuk. Ketika seseorang tidak mendapatkan petunjuk, itu menunjukkan bahwa ia tidak berilmu. Memiliki ilmu tidak berkonsekuensi mendapatkan petunjuk. Kesesatan seringkali dilakukan secara sengaja dan atas dasar sepengetahuan pelakunya, tanpa ia meragukannya (bahwa apa yang dilakukannya itu sesat). Bahkan ia lebih memilih kesesatan dan kekafiran meski ia mengetahui keburukan dan kerusakannya.   10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal Ilmu adalah sebab kemaslahatan, kenikmatan, dan kebahagiaan seorang hamba. Namun, adanya seseorang tidaklah mendapatkan petunjuk dengan ilmu.  Lemahnya makrifah, lemahnya ilmu pada sesuatu. Ilmu tidak masuk di tempat yang layak karena bisa jadi hati itu keras. Ibaratnya hujan itu tidak begitu manfaat turun di tanah yang keras. Ketika hati menjadi keras, kasar, dan jumud, ilmu sama sekali tidak berfungsi di dalamnya. Demikian halnya tatkala, hati sakit, hina, tidak ada kekuatan dan tekad, ilmu juga tidak berpengaruh padanya. Adanya penghalang: hasad dan sombong. Inilah penyakit yang ada pada Iblis sehingga ia tidak mau tunduk pada perintah. Ini adalah penyakit orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan, kecuali siapa yang dijaga oleh Allah. Ini adalah yang jadi sebab Yahudi tidak mengakui kebenaran nubuwwah (kenabian) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini juga jadi sebab Abdullah bin Ubay dan Abu Jahal serta kalangan musyrikin tidak beriman. Adanya penghalang syubhat dengan adanya kepemimpinan dan kekuasaan. Inilah yang jadi sebab Heraklius dan raja-raja kafir sulit masuk Islam. Ada penghalang: mengikuti syahwat dan harta. Inilah sebab mayoritas Ahli Kitab sampai tidak beriman. Kaum Kafir Quraisy juga menghalangi yang lainnya masuk Islam dengan menyatakan bahwa kalau kalian masuk Islam nafsu syahwat kalian tidak bisa dipenuhi yaitu dalam zina dan minum khamar. Cinta keluarga, kerabat, dan suku. Cinta tempat tinggal dan cinta tanah air. Takut dianggap mencela leluhur. Inilah yang terjadi pada paman Nabi, Abu Thalib. Ada musuh yang mengikuti kebenaran, dan kita tidak suka pada musuh tersebut. Inilah yang terjadi pada kaum Anshar dan Yahudi. Adanya pembiasaan, rutinitas, dan faktor kampung halaman.   Maksiat itu dilakukan dalam keadaan tidak berilmu Allah Ta’ala berfirman, ِإِنَّمَا ٱلتَّوْبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 17) Ayat di atas menunjukkan bahwa konsekuensi dari memiliki ilmu dan makrifah (pengetahuan) adalah mendapatkan petunjuk, sedang ketika seseorang tidak mendapat petunjuk, itu menunjukkan kebodohan dan keadaan tidak berilmu. Selama manusia berakal, ia tidak mungkin memilih binasa daripada selamat, ditimpa siksa besar dan kekal abadi daripada mendapat nikmat nan abadi. Kenyataan membuktikan hal itu. Itulah kenapa Allah menyebut orang-orang yang durhaka kepada-Nya sebagai orang bodoh. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Siapa pun di antara makhluk Allah yang berbuat dosa berarti ia bodoh, baik ia benar-benar bodoh atau pun berilmu. Jika dia orang yang berilmu, lantas siapa lagi yang lebih bodoh daripada dirinya? Jika dia tidak berilmu, sama juga seperti itu.” Dalam ayat disebutkan, “… yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”  ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata, “Dosa orang mukmin tidak lain adalah buah kebodohannya.” Qatadah menyatakan, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepakat bahwa segala sesuatu yang ditunjukkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka ia adalah kebodohan.” As-Suddi menyatakan, “Siapa pun yang durhaka kepada Allah, ia berarti bodoh.” Dosa terjadi mana kala hati lalai dari ilmu, ketika ilmu lenyap dari hati. Saat itulah dosa terjadi karena kebodohan, kelalaian, kealpaan, dan anti ilmu. Dosa itu diliputi dua kebodohan, yaitu: (1) kebodohan hakikat sebab yang dapat memalingkan dari dosa, (2) kebodohan akan akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa. Tidaklah Allah dihurkai melainkan karena kebodohan. Tidaklah Allah ditaati melainkan karena ilmu.   Keseratus tiga puluh tujuh (#106, 102): Ibadah Harus Dituntun oleh Ilmu Agar Benar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri berkata, ِمَا عُبِدَ اللهُ بِمِثْلِ الفِقْه “Tidak ada cara ibadah kepada Allah yang semisal dengan pemahaman mendalam dalam agama.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:385). Hal yang sama juga dikatakan oleh Mak-hul. Ada dua maksud dari perkataan di atas: Maksud perkataan ini dan perkataan serupa lainnya adalah tidak ada cara ibadah kepada Allah yang seperti cara beribadah melalui pemahaman mendalam dalam agama. Maka pemahaman itu sendiri termasuk ibadah, seperti dikatakan Mu’adz bin Jabal, “Hendaklah kalian menuntut ilmu, karena menuntutnya karena Allah termasuk ibadah.” Atau mungkin yang dimaksud adalah tidaklah Allah diibadahi dengan suatu ibadah yang lebih baik dibandingkan ibadah yang disertai pemahaman agama. Pasalnya, orang yang memiliki pemahaman agama yang baik akan mengetahui apa saja tingkatan ibadah, apa saja yang dapat merusak ibadah, apa saja kewajiban, apa saja sunnah dan pelengkapnya, dan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaannya. Kedua makna di atas itu sahih.  Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:385.   Keseratus tiga puluh delapan (#115): Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat bagi penuntut ilmu   Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia! Hendaklah kalian menekuni ilmu (mempelajari dan mengamalkan ilmu), karena Allah memiliki pakaian yang Allah sukai. Maka, siapa yang menuntut suatu bab ilmu, maka Allah mengenakan pakaian-Nya kepadanya. Apabila dia melakukan suatu dosa, Allah memberinya kesempatan bertaubat, agar Allah tidak melepas pakaian tersebut sampai dia meninggal dengan tetap mengenakannya.” Jadi, Allah memberinya kesempatan bertaubat maksudnya adalah meminta hamba menghilangkan celaan Allah darinya dengan taubat, memohon ampun, dan beristighfar. Ketika si hamba kembali kepada Allah, celaan dihilangkan darinya. Dengan demikian, Rabb telah menghilangkan celaan darinya. Termasuk di antaranya perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud pada waktu terjadi gempa bumi di Kufah, “Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberi kalian kesempatan untuk bertaubat, maka mintalah ampunan kepada Allah.” Dalam ayat disebutkan, ِفَٱلْيَوْمَ لَا يُخْرَجُونَ مِنْهَا وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ “maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (QS. Al-Jatsiyah: 35) Yaitu, Kami tidak meminta mereka mengilangkan celaan terhadap mereka. Sebab menghilangkan celaan hanya dapat dilakukan dengan melakukan TAUBAT DI DUNIA. Ingat, taubat tidaklah berguna lagi di akhirat. Hal ini berbeda dengan permohonan seorang hamba kepada Allah agar dikasihani. Allah Ta’ala berfirman, ِفَإِن يَصْبِرُوا۟ فَٱلنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ ۖ وَإِن يَسْتَعْتِبُوا۟ فَمَا هُم مِّنَ ٱلْمُعْتَبِينَ “Jika mereka bersabar (menderita azab) maka nerakalah tempat diam mereka dan jika mereka mengemukakan alasan-alasan, maka tidaklah mereka termasuk orang-orang yang pantas dikasihani. (QS. Fushshilat: 24) Makna ayat ini adalah mereka meminta Kami hilangkan celaan terhadap mereka, dan mereka memohon ampunan. “Maka mereka itu tidaklah termasuk orang yang pantas dikasihani“, yaitu celaan tidak patut dihilangkan dari mereka. Permohonan ampunan seperti ini bermanfaat di dunia, tidak di akhirat. Intinya, taubat atau memohon ampunan hanya bermanfat di dunia, tidak di akhirat. Baca juga: Taubatnya Pembunuh 100 Nyawa   Keseratus tiga puluh sembilan (#121): Ulama adalah Manusia Sejati Ibnul Mubarak ditanya, ِمَنِ النَّاس “Siapakah manusia sejati itu?” Dia menjawab, ُالعُلَمَاء “Ulama (ahli ilmu).” Lalu dia ditanya, “Siapakah para raja yang sebenarnya itu?” Dia menjawab, “Orang-orang zuhud.” Dia ditanya, “Siapa orang-orang jelata itu?” Dia menjawab, “Orang yang mencari makan dengan menukarkan agamanya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:395)   Keseratus empat puluh (#124, 50): Menuntut Ilmu itu Jihad Abu Ad-Darda’ berkata, ِمَنْ رَأَى أَنَّ الغُدُوَّ إِلَى العِلْمِ لَيْسَ بِجِهَادٍ فَقَدْ نَقَصِ فِي رَأْيِهِ وَعَقْلِه ْ“Siapa saja yang tidak menganggap pagi-pagi pergi menuntut ilmu sebagai jihad, berarti fungsi akal dan rasio pendapatnya telah berkurang.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:396 dan 1:269-270)   Keseratus empat puluh satu (#124): Menuntut Ilmu itu Lebih Disukai daripada Shalat Malam Abu Ad-Darda’ berkata, ٍلِأَنْ أَتَعَلَّمَ مَسْأَلَةً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ قِيَامِ لَيْلَة “Sungguh, mempelajari suatu masalah lebih aku sukai daripada melakukan qiyamul lail (shalat malam).” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:396)   Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.   Referensi: Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Penerbit Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. Mulai dari 1:217.   —   Mulai diringkas, 21 Muharram 1443 H, 27 Agustus 2021 Alhamdulillah diselesaikan pada 18 Syakban 1445 H, 28 Februari 2024 @ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscahaya ilmu ilmu ilmu agama ilmu dan amal ilmuwan jihad ilmu keutamaan ilmu miftah daar as saadah orang berilmu


Apa saja keutamaan ilmu dan orang yang berilmu? Berikut keterangan dari Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah, lebih dari 100 poin bahasan yang penuh pelajaran di dalamnya.   Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah (Bagian 01)   Daftar Isi tutup 1. Keseratus tujuh (#139): Orang yang Tidak Punya Ilmu Sama Sekali akan Jadi Hina 2. Keseratus delapan (#140): Ilmu Tidak Akan Pernah Mau Diganti dengan Barang Lain 3. Keseratus sembilan (#141): Allah akan Membalas Kebaikan dengan Menganugerahkan Ilmu 4. Keseratus sepuluh (#142): Allah Menjadikan Ilmu bagi Hati Laksana Hujan bagi Bumi 5. Keseratus sebelas (#143): Ilmu Bisa Diraih dengan Terus Membujuk Hingga Merendahkan Diri 5.1. Ilmu memiliki enam tingkatan 5.2. Banyak mendengar dibanding banyak bicara 6. Keseratus dua belas (#144): Yang Berilmu dengan Yang Tidak Berilmu Tentu Berbeda 7. Keseratus tiga belas (#145): Burung Hudhud Selamat Karena Ilmu 8. Keseratus empat belas (#146): Kemuliaan Dunia dan Akhirat Diraih Karena Ilmu 9. Keseratus lima belas (#147): Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Ilmu dan Amal 10. Keseratus enam belas (#148): Ilmu adalah Suatu Keberkahan, Nabi Isa Diberkahi di mana pun Karena Mengajarkan Kebaikan 11. Keseratus tujuh belas (#149): Pahala dari Ilmu yang Diajarkan Sampai kepada Pengajar Ilmu 12. Keseratus delapan belas (#150): Para Ulama akan Masuk Surga Tanpa Hisab pada Hari Kiamat 13. Keseratus sembilan belas (#151): Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibanding Ibadah Sunnah 14. Keseratus dua puluh (#01 – 10): Orang Berilmu Bersaksi pada Kalimat Laa Ilaha Illallah 15. Keseratus dua puluh satu (#15): Allah memberikan kesaksian kepada ahli ilmu 16. Keseratus dua puluh dua (#16): Orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an 17. Keseratus dua puluh tiga (#23): Ibrahim unggul dengan ilmu dan argumen yang kuat 18. Keseratus dua puluh empat (#24): Mengenal Allah adalah Tujuan Penciptaan 19. Keseratus dua puluh lima (#25): Bangga dan Senang dengan Ilmu 20. Keseratus dua puluh enam (#30): Nabi Adam ‘alaihis salam Diberikan Kelebihan dalam Hal Ilmu oleh Allah 21. Keseratus dua puluh tujuh (#57): Jangan Sampai Kehilangan Ilmu dan Hikmah 22. Keseratus dua puluh delapan (#58): Dua Sifat yang Tidak Akan Tergabung pada Diri Orang Munafik adalah Perangai yang Bagus dan Paham Agama 23. Keseratus dua puluh sembilan (#59): Selamat dari Kecurangan, Menghidupkan Sunnah Nabi, Menjadi Pelopor dalam Kebaikan 24. Keseratus tiga puluh (#60): Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada orang berilmu. 25. Keseratus tiga puluh satu (#61): Menuntut Ilmu Mendapatkan Pengampunan Dosa 26. Keseratus tiga puluh dua (#62): Menuntut Ilmu itu untuk Menghilangkan Kebodohan dari yang Lain 27. Keseratus tiga puluh tiga (#64): Orang Berilmu adalah Perantara Sampainya Wahyu pada Umat 28. Keseratus tiga puluh empat (#66): Ilmu itu Akar Pohon, Tashdiq itu Rantingnya, Sedangkan Amal itu Buahnya 28.1. Shiddiq menurut Ibnul Qayyim 28.2. Pengertian shiddiq dari perkataan para ulama lainnya 29. Keseratus tiga puluh lima (#69): Zat, Sifat-Sifat, Serta Nama-Nama Allah Diketahui dengan Ilmu 29.1. Kaidah mengenai nama dan sifat Allah 30. Keseratus tiga puluh enam (#80): Segala Sesuatu Selain Allah Sangat Butuh pada Ilmu 30.1. Tentang Ilmu dan Petunjuk 30.2. 10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal 30.3. Maksiat itu dilakukan dalam keadaan tidak berilmu 31. Keseratus tiga puluh tujuh (#106, 102): Ibadah Harus Dituntun oleh Ilmu Agar Benar 32. Keseratus tiga puluh delapan (#115): Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat bagi penuntut ilmu 33. Keseratus tiga puluh sembilan (#121): Ulama adalah Manusia Sejati 34. Keseratus empat puluh (#124, 50): Menuntut Ilmu itu Jihad 35. Keseratus empat puluh satu (#124): Menuntut Ilmu itu Lebih Disukai daripada Shalat Malam 36. Referensi:   Keseratus tujuh (#139): Orang yang Tidak Punya Ilmu Sama Sekali akan Jadi Hina Jiwa-jiwa bodoh yang tidak berilmu dikenakan pakaian kehinaan dan cemoohan. Jiwa-jiwa yang seperti ini lebih cepat dihina. Hal itu sudah lazim diketahui kalangan terpelajar maupun awam.  Salah seorang khalifah Bani Abbas bermain catur, lalu pamannya meminta izin masuk. Dia mengizinkan pamannya masuk lalu ia menutup papan catur. Setelah pamannya duduk, ia bertanya, “Paman! Apakah engkau membaca Al-Qur’an?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau menulis sunnah meskipun sedikit?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari fikih dan perbedaan pendapat ulama?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari bahasa dan sejarah manusia?” “Tidak”, jawabnya. Si khalifah akhirnya berkata, “Bukalah papan caturnya.” Dia akhirnya meneruskan permainan catur. Rasa segan dan hormat pada pamannya hilang sudah. Teman bermain catur khalifah itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Masa’ engkau membuka papan catur sementara di sini ada seorang yang engkau segani?” Khalifah berkata, “Diamlah, tidak ada seorang pun di sini bersama kita.” Ini karena manusia memiliki: (1) ilmu, (2) akal, (3) pemahaman yang membedakannya dengan hewan. Saat seseorang tidak memiliki semua itu, maka ia sama seperti hewan.   Keseratus delapan (#140): Ilmu Tidak Akan Pernah Mau Diganti dengan Barang Lain Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان كل صاحب بضاعة سوى العلم إذا علم ان غير بضاعته خير منها زهد في بضاعته ورغب في الاخرى وود انها له عوض بضاعته الا صاحب بضاعة العلم فإنه ليس يحب ان له يحظه منها حظ اصلا “Siapa pun yang memiliki barang selain ilmu, manakala mengetahui ada barang lain yang lebih baik, ia merasa tidak memerlukan lagi barang miliknya itu dan lebih menginginkan barang yang baru. Ia juga berharap barang miliknya ditukar dengan barang tadi. Kecuali pemilik ilmu, ia tidak ingin miliknya ditukar dengan apa pun.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:503) Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata, “Suatu saat aku berada di dekat Ahmad bin Abu Imran. Lalu seorang pecinta dunia melintas, aku menatapnya hingga melalaikan pelajaran yang sedang kupelajari. Ahmad lantas berkata, “Sepertinya kamu memikirkan dunia yang diberikan kepada orang itu.” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad menyeru, “Maukah kutunjukkan sesuatu? Bagaimana jika Allah memindahkan harta miliknya kepadamu, lalu Allah memindahkan ilmumu kepadanya, sehingga kamu hidup kaya, tetapi bodoh, sedangkan ia hidup berilmu, tetapi fakir?” “Aku tidak ingin Allah mengganti ilmu yang kumiliki dengan harta yang ia miliki. Sebab ilmu adalah kekayaan tanpa harta, kemuliaan tanpa kabilah, kekuasaan tanpa prajurit,” tegasnya.   Keseratus sembilan (#141): Allah akan Membalas Kebaikan dengan Menganugerahkan Ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: ان الله سبحانه اخبر انه يجزى المحسنين اجرهم باحسن ما كانواي يعملون واخبر سبحانه انه يجزى على الاحسان بالعلم وهذا يدل على انه من احسن الجزاء Allah mengabarkan bahwa Allah memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, yakni mereka yang beramal saleh dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.  Allah juga mengabarkan bahwasanya Allah akan membalas kebaikan dengan menganugerahkan ilmu. Ini menunjukkan ilmu itu balasan terbaik. Kedudukan pertama disebutkan dalam firman Allah: وَٱلَّذِى جَآءَ بِٱلصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِۦٓ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ لَهُم مَّا يَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلْمُحْسِنِينَ لِيُكَفِّرَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ ٱلَّذِى كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 33-35). Balasan ini mencakup balasan dunia dan akhirat. Kedudukan kedua disebutkan dalam firman Allah: وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥٓ ءَاتَيْنَٰهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ “Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 22). Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Siapa yang beribadah dengan baik di masa mudanya, maka Allah akan memberikan ia HIKMAH saat masa tuanya. Itulah yang dimaksud firman Allah dalam surah Yusuf ayat 22.” Oleh karena itu sebagian ulama berkata, “HIKMAH berkata: Siapa yang mencariku, tetapi tidak menemukanku, hendaklah ia mengamalkan hal terbaik yang ia ketahui dan meninggalkan hal terburuk yang ia ketahui. Jika ia melakukan hal itu, aku bersamanya meski ia tidak mengenaliku.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504) Baca juga: Arti Diberi HIKMAH dalam Al-Qur’an (Tujuh Pengertian dari Syaikh Musthafa Al-‘Adawi)   Keseratus sepuluh (#142): Allah Menjadikan Ilmu bagi Hati Laksana Hujan  bagi Bumi Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان الله سبحانه جعل العلم للقلوب كالمطر للارض فكما انه لا حياة للارض الا بالمطر فكذلك لا حياة للقلب الا بالعلم “Allah menjadikan ilmu bagi hati laksana hujan bagi bumi. Bumi tidak bisa hidup tanpa hujan. Begitu pula hati tidak bisa hidup tanpa ilmu.” Disebutkan dalam kitab Al-Muwatha’, قال لقمان لابنه يا بني جالس العلماء وزاحمهم بركبتيك فان الله تعالى يحيى القلوب الميتة بنور الحكمة كما يحيى الارض بوابل المطر Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku! Bergaullah dengan ulama dan dekatkanlah lututmu pada mereka demi meraih rida Allah, supaya hati yang mati itu hidup dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi dengan hujan lebat.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ولهذا فإن الأرض إنما تحتاج الى المطر في بعض الاوقات فإذا تتابع عليها احتاجت الى انقطاعه واما العلم فيحتاج اليه بعدد الانفاس ولاتزيده كثرته الا صلاحا ونفعا “Bumi itu hanya memelurkan hujan pada waktu tertentu saja. Manakala hujan turun terus menerus, bumi menginginkan hujan berhenti. Berbeda dengan ilmu, ilmu selalu diperlukan hati sebanyak bilangan nafas. Banyaknya ilmu semakin membuat hati menjadi baik dan meraih manfaat.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504-505)   Keseratus sebelas (#143): Ilmu Bisa Diraih dengan Terus Membujuk Hingga Merendahkan Diri Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ان كثيرا من الاخلاق التي لا تحمد في الشخص بل يذم عليها تحمد في طلب العلم كالملق وترك الاستحياء والذل والتردد الى ابواب العلماء ونحوها  “Sebagian besar akhlak yang tidak terpuji dalam diri seseorang–bahkan ia dicela–justru dipuji dalam menuntut ilmu. Sifat yang dipuji dalam menuntut ilmu adalah: membujuk agar dapat ilmu, meninggalkan rasa malu, merendahkan diri (tawadhu’), dan berulang kali mendatangi pintu ulama, dan semacamnya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:505) Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, ليس الملق من اخلاق المؤمنين الا في طلب العلم “Sifat al-malaq (suka merayu-rayu, membujuk-bujuk) asalnya bukanlah   akhlak orang beriman, kecuali pada orang yang menuntut ilmu.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ذللت طالبا فعززت مطلوبا “Aku merendahkan diri ketika mencari ilmu, hingga akhirnya aku menjadi mulia karena seringnya dicari.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata, وجدت عامة علم رسول الله صلى الله عليه و سلم عند هذا الحي من الانصار إن كنت لاقيل عند باب احدهم ولو شئت اذن لي ولكن ابتغى بذلك طيب نفسه  “Aku mendapati sebagian besar ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di perkampungan Anshar ini. Aku pernah tidur siang di dekat pintu salah seorang penduduk Anshar. Andaikan mau, aku tentu dipersilakan masuk. Namun, aku melakukan hal itu demi mencari keridaan orang yang aku cari ilmunya.” Di antara perkataan sebagian ulama ialah: لاينال العلم مستحي ولا متكبر هذا يمنعه حياؤه من التعلم وهذا يمنعه كبره  Sifat malu dan sifat sombong tidak akan mendapatkan ilmu. Sifat malu itu menghalangi seseorang untuk belajar. Begitu pula sifat sombong itu menghalangi dari meraih ilmu.” Akhlak-akhlak seperti ini dipuji dalam menuntut ilmu karena semua itu merupakan jalan untuk meraih ilmu. Dengan demikian, akhlak-akhlak tersebut termasuk bagian dari kesempurnaan seseorang dan bisa mengantarkan menuju kesempurnaan ilmu. Ada ulama yang menyebutkan, إذا جلست الى عالم فسل تفقها لاتعنتا “Jika kamu menemui seorang alim, bertanyalah untuk memperdalam ilmu, bukan bertanya untuk menyusahkan diri.”   Ilmu memiliki enam tingkatan bagus dalam bertanya, berusaha diam dan mendengarkan, berusaha memahami, menghafalkan, mengajarkan, buahnya adalah mengamalkan dan memperhatikan batasan-batasannya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:507)   Banyak mendengar dibanding banyak bicara Sebagian ulama salaf berkata, “Jika engkau duduk bersama seorang alim, hendaklah engkau banyak mendengar dibanding semangat bicara.” Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37) Allah menyebut ayat-ayat-Nya (tanda kebesaran-Nya) melalui apa yang dibaca, didengar, dan dilihat, semua itu hanya bermanfaat pada orang yang punya hati, karena siapa saja yang tidak memiliki hati yang memahami penjelasan dan peringatan dari Allah, maka apa pun tanda kebesaran yang melintas di hadapannya tidak akan membawa guna, meski seluruhnya. Berlalunya tanda-tana kebesaran Allah di hadapannya–seperti terbitnya matahari, bulan, dan bintang–yang laksana berlalunya tanda-tanda kebesaran tersebut di hadapan orang yang tidak memiliki penglihatan. Saat objek-objek yang tampak itu melihat, dia dapat melihatnya. Bahkan orang yang memiliki hati saja tidak dapat memetik manfaat apa pun dengan hatinya tanpa adanya dua hal: (1) menghadirkan hati, (2) menyaksikan apa yang disampaikan. Ketika hati tidak hadir sebab berkelana dengan angan-angan, syahwat, dan khayalan, ia tidak dapat memetik manfaat meski memiliki hati. Ia juga tidak dapat memetik manfaat walaupun sudah menghadirkan dan membuat hati tadi menyaksikan apa yang disampaikan, kecuali jika ia mendengar nasihat dan petunjuk yang disampaikan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, hati terbagi menjadi tiga jenis. hati yang selamat, sehat, dan bisa menerima. menghadirkan dan menyatukan hati, serta mencegahnya agar tidak berlarian dan berserakan. menggunakan pendengaran dan fokus untuk ingat. Ketiga hal ini disebutkan dalam ayat di atas. Ibnu ‘Athiyah berkata, “Hati yang dimaksud di sini mengungkapkan fungsi akal, sebab akal tempatnya di hati. Artinya, bagi orang yang hati sadar maka dia dapat memetik manfaat dengannya.”   Dari tingkatan ilmu yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebelumnya, berarti ilmu tidak didapat karena enam kondisi: tidak mau bertanya, tidak bisa mendengar dengan baik dan tidak menggunakan pendengaran, salah paham, tidak menghafal, tidak menyebarkan ilmu karena siapa saja yang menyimpan ilmu, tidak mau mengajarkannya kepada orang lain, Allah membuatnya lupa dan menghilangkan ilmunya. Ini adalah realita. tidak mengamalkan ilmu sebab mengamalkan ilmu mengharuskan untuk mengingat, merenungkan, menjaganya, dan memikirkannya. Ketika seorang tidak mengamalkan ilmu, ia akan melupakannya.   Seorang ulama salaf berkata, “Kami memperkuat hafalan ilmu dengan mengamalkannya.” Ulama yang lain berkata, “Ilmu menyeru pada amalan. Jika amalan menerima seruan, ilmu bertahan. Jika tidak, ilmu pergi.” Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah (1:516) berkata, “Mengamalkan ilmu adalah sebab terbesar ilmu itu terjaga dan kokoh. Enggan mengamalkan ilmu adalah sebab ilmu itu dilupakan.” Baca juga: Empat Langkah Tadabur Al-Qur’an   Keseratus dua belas (#144): Yang Berilmu dengan Yang Tidak Berilmu Tentu Berbeda Allah subhanaahu wa ta’ala membedakan sepuluh hal: Yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Yang jelek dan thayyib (baik) itu berbeda. Yang buta dengan melihat itu berbeda. Cahaya dengan kegelapan itu berbeda. Yang teduh dengan yang terkena panas itu berbeda. Penduduk surga dan neraka itu berbeda. Yang bisu dan tidak mampu berbuat dengan yang memerintahkan keadilan dan berada di atas jalan yang lurus itu berbeda. Mukmin dan kafir itu berbeda. Orang yang beriman dan beramal saleh dengan yang berbuat kerusakan di muka bumi itu berbeda. Orang yang bertakwa (muttaqin) dengan orang yang buruk (fajir) itu berbeda. Sepuluh ayat dalam Al-Qur’an menafikan persamaan dalam hal ini. Hal ini menunjukkan betapa agungnya orang berilmu dari orang yang tidak berilmu laksana kedudukan cahaya di atas kegelapan, laksana kedudukan tempat yang teduh dari tempat yang panas, laksana kedudukan sesuatu yang baik terhadap sesuatu yang buruk. Kedudukan tersebut saling berbanding terbalik. Hal ini sudah cukup menunjukkan kedudukan ilmu serta kedudukan orang berilmu. Lebih dari itu, jika Anda renungkan golongan-golongan di atas secara keseluruhan, Anda akan mengetahui penafian persamaan di antara semua itu merujuk pada ilmu dan penyebabnya. Di sinilah letak keutamaan dan perbedaan.   Keseratus tiga belas (#145): Burung Hudhud Selamat Karena Ilmu Saat Sulaiman mengancam akan menyiksa burung Hudhud dengan siksaan yang berat atau akan menyembelihnya, burung Hudhud itu selamat karena ilmu. Ia memberitahukan suatu ilmu kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam melalui kata-kata lisannya. Dalam ayat disebutkan, فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍۭ بِنَبَإٍ يَقِينٍ “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (QS. An-Naml: 22) Ilmu tadi membuat burung Hudhud berani menyampaikan kata-kata tersebut. Sebab Andai bukan karena kekuasaan ilmu, burung Hudhud tidak akan mampu menyampaikan kata-kata seperti ini di hadapan Sulaiman, karena Hudhud lemah, sementara Sulaiman kuat. Disebutkan dalam sebuah kisah masyhur bahwa seorang ahli ilmu ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, “AKU TIDAK TAHU.” Satu muridnya berkata, “Aku mengetahui masalah itu.” Si guru marah dan hendak memukulnya. Murid lantas berkata, “Wahai guru! Engkau tidak lebih tahu daripada Sulaiman bin Daud meski setinggi apa pun ilmumu, dan aku tidak lebih bodoh daripada burung Hudhud, di mana burung ini berkata kepada Sulaiman, أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya.” Namun, Sulaiman tidak mencela atau pun memperlakukannya dengan kasar. Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:517. Pelajaran yang bisa diambil dari kisah Sulaiman di atas:  Murid bisa saja lebih memiliki ilmu dibandingkan seorang guru. Hendaklah menghargai ilmu orang lain. Kalau tidak memiliki ilmu, jawablah: AKU TIDAK TAHU, daripada “sok tahu”. Setinggi apa pun ilmu seseorang, tetap masih ada yang lebih berilmu. Tak perlu memarahi murid yang memang lebih memiliki ilmu.   Keseratus empat belas (#146): Kemuliaan Dunia dan Akhirat Diraih Karena Ilmu Perhatikan keistimewaan yang didapatkan oleh Nabi Adam atas para malaikat, mereka mengakui bahwasanya Allah mengajarkan nama benda-benda kepadanya, lantas musibah yang menimpanya digantikan oleh surga yang jauh lebih baik karena ilmu kalimat yang dia terima dari Allah. Perhatikan pula kekuasaan, kemuliaan, serta kebesaran yang diraih Yusuf karena ilmu tafsir mimpi yang dia kuasai. Selain itu, Yusuf juga mengetahui alasan yang bisa diterima dan diakui untuk menahan saudaranya (Benyamin) di antara saudara-saudaranya yang lain, hingga akhirnya Nabi ini mencapai kemuliaan, kesudahan baik, dan kondisi sempurna karena ilmu yang dimilikinya. Demikian seperti isyarat Allah Ta’ala dalam ayat, كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ ۖ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِى دِينِ ٱلْمَلِكِ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِى عِلْمٍ عَلِيمٌ “Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76) Disebutkan dalam penafsiran ayat ini, Kami mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan ilmu, seperti Kami mengangkat derajat Yusuf atas saudara-saudaranya. Allah berfirman terkait Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83) Ayat ini menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu hujjah, sementara itu ayat sebelumnya menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu politik (ilmu siyasah). Seperti itu pula kemuliaan yang didapatkan Khidir karena Kamillurrahman, Musa, berguru dan bertanya dengan lembut dan sopan kepadanya. Ya, sampai-sampai Nabi Musa berkata, قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا “Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66) Seperti itu juga ilmu bahasa burung yang dimiliki Nabi Sulaiman, hingga dia sampai ke Kerajaan Saba, mengalahkan ratu mereka, membawa singgasana kerajaannya, dan ratu itu pun tunduk pada kekuasaannya. Maka itu Sulaiman berkata, وَوَرِثَ سُلَيْمَٰنُ دَاوُۥدَ ۖ وَقَالَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ ٱلطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَىْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْمُبِينُ “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.” (QS. An-Naml: 16) Demikian pula halnya ilmu membuat baju besi untuk melindungi serangan pedang dan senjata musuh milik Nabi Daud ‘alaihis salam. Allah menyebut nikmat ilmu yang Allah karuniakan kepada hamba-hambaNya, lalu berfirman, وَعَلَّمْنَٰهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّنۢ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنتُمْ شَٰكِرُونَ “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al-Anbiya’: 80) Demikian halnya ilmu kitab, hikmah, Taurat, dan Injil yang dimiliki Nabi Isa ‘alaihis salam yang karenanya Allah mengangkat derajatnya, melebihkan, dan memuliakannya. Juga ilmu yang diperoleh oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang disebut oleh Allah sebagai nikmat yang Allah karuniakan kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam ayat, وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)   Keseratus lima belas (#147): Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Ilmu dan Amal Allah memuji khalilullah–kekasih Allah–Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, melalui firman-Nya, إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121) Demikian empat pujian Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Nabi Ibrahim disebut: ummatan qaanitan lillah haniifan syaakiran li an’umihi 1. Ummatan, yaitu teladan yang menjadi panutan (al-qudwah alladzi yu’tamma bihi). Ibnu Mas’ud berkata, “Ummat yaitu yang mengajarkan kebaikan (al-mu’allim lil khair).” Wazan Ummat ini adalah fu’latan, dari kata al-i’timaam, sama seperti qudwatan, yaitu orang yang dijadikan contoh. Pertama, imam adalah segala sesuatu yang diikuti, baik dilakukan dengan niat dan perasaan atau pun tidak. Dalam ayat disebut dengan imamum mubiin, artinya jalan yang jelas. Sedangkan kata jalan tidak disebut dengan ummat. Kedua, lafazh ummatan mengandung makna lebih. Karena ia ibarat seseorang yang menyatukan sifat-sifat sempurna berupa ilmu dan amal, yang hanya dia yang miliki kesempurnaan tersebut. Ia menyatukan sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, hingga seakan berbeda dengan yang lainnya. Lafaz ummat mengesankan pada makna menyatukan, yaitu ada sifat-sifat sempurna menyatukan antara ilmu dan amal. Dalam makna lain, ummat itu berarti kesatuan dari berbagai bangsa karena mereka ialah orang-orang yang bersatu di atas satu agama atau suatu masa. 2. Qaanitan lillah, yaitu orang yang taat kepada Allah. Kata Ibnu Mas’ud, artinya adalah al-qaanit al-muthii’, makhluk yang taat. Qunut sendiri bermakna selalu taat (dawaam ath-thoo’ah). 3. Haniifan, yaitu orang yang menghadap kepada Allah. Konsekuensinya, ia condong dengan meninggalkan apa pun selain Allah. Condong sendiri adalah konsekuensi makna hanif, terlepas kata hanif ini bermakna condong secara bahasa. 4. Syaakiran li an’umihi, yaitu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, syukur nikmat bertumpu pada tiga sendi (rukun): mengakui nikmat (dengan hati), menyandarkannya kepada Allah yang telah memberinya (dengan lisan), menggunakan nikmat dalam keridaan Allah dan melakukan amalan yang Allah sukai (dengan anggota badan). Tanpa tiga rukun ini, seorang hamba tidaklah disebut bersyukur. Baca juga: Pengertian Syukur, Hakikat Syukur, dan Rukun Syukur   Allah memuji Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan empat sifat yang seluruhnya kembali kepada ILMU, mengamalkan, mengajarkan, dan menyebarkan ilmu. Oleh karena itu, seluruh kesempurnaan merujuk kepada ilmu, mengamalkan ilmu, dan menyerukan manusia kepadanya. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:520-521.   Keseratus enam belas (#148): Ilmu adalah Suatu Keberkahan, Nabi Isa Diberkahi di mana pun Karena Mengajarkan Kebaikan Allah Ta’ala berfirman, قَالَ إِنِّى عَبْدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِىَ ٱلْكِتَٰبَ وَجَعَلَنِى نَبِيًّا وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَٰنِى بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱلزَّكَوٰةِ مَا دُمْتُ حَيًّا “Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam: 30-31) Sufyan bin ‘Uyainah berkata mengenai ayat “dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada“, ia berkata, “Maksudnya, diberkahi dengan dijadikan pengajar dalam kebaikan (mu’alliman lil khairi).” Hal ini menunjukkan bahwa mengajarkan kebaikan (mengajarkan ilmu) adalah berkah yang diberikan oleh Allah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ُفَإِنَّ البَرَكَةَ حُصُوْلُ الخَيْرِ وَنَمَاؤُهُ وَدَوَامُه “Hakikat berkah adalah: (1) memperoleh kebaikan, (2) berkembangnya kebaikan, (3) langgengnya kebaikan.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521) Pada hakikatnya, berkah hanya ada pada ilmu yang diwarisi dari para nabi serta mengajarkannya pada orang lain. Karena itulah Allah menyebutkan kitab-Nya MUBAROK, yaitu yang diberkahi. Di antarnya disebutkan dalam ayat, وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَٰهُ ۚ أَفَأَنتُمْ لَهُۥ مُنكِرُونَ “Dan Al Quran ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?” (QS. Al-Anbiya’: 50) كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad: 29) Allah menyebut rasul-Nya–Isa ‘alaihis salam–sebagai rasul yang diberkahi, seperti diungkap dalam ayat, وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.  Berkah kitab dan rasul menjadi sebab diraihnya ilmu, petunjuk, dan dakwah di jalan Allah. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521.   Keseratus tujuh belas (#149): Pahala dari Ilmu yang Diajarkan Sampai kepada Pengajar Ilmu Disebutkan dalam kitab Ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ “Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah yang pahalanya terus mengalir, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakan orang tua.” (HR. Muslim, no. 1631) Hadits ini merupakan dalil terbesar yang menunjukkan kemuliaan, keutamaan, serta besarnya manfaat ilmu karena pahalanya sampai kepada si pengajar ilmu meskipun sudah meninggal, selama ilmu itu masih diambil manfaatnya, hingga seakan ia masih hidup dan amalnya tidak terputus, selain ia masih terus mendapatkan sanjungan. Maka, pahalanya terus mengalir ketika ia berpisah dari manusia, pahala ini menjadi kehidupan keduanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebut sampainya pahala tiga hal ini kepada orang yang telah meninggal dunia karena ia menjadi sebab pahala-pahala tersebut. Tatkala seseorang melakukan sebab terkait perintah dan larangan, ia mendapatkan hasilnya meskipun bukan usaha dan amalannya sendiri. Karena ia menjadi sebab adanya anak saleh, sedekah yang pahalanya terus mengalir, dan ilmu yang bermanfaat, pahalanya terus menerus mengalir untuknya dengan tersebarnya ilmu itu. Dengan demikian, seseorang mendapat pahala dari amalan yang dilakukan sendiri atau turunannya. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:522. Baca juga: Terputusnya Amalan Selain Tiga Perkara   Keseratus delapan belas (#150): Para Ulama akan Masuk Surga Tanpa Hisab pada Hari Kiamat Disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dari ‘Abdullah bin Daud, ia berkata, “Pada hari kiamat, Allah akan menjauhkan para ulama dari perhitungan amal, lalu Allah berfirman, “Masuklah ke surga meski apa pun (kebaikan dan keburukan) pada diri kalian. Sungguh, Aku menempatkan ilmu-Ku pada kalian karena kebaikan yang Aku inginkan.” Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Yang lain menambahkan dalam riwayat ini: ‘Allah menahan ulama-ulama pada hari kiamat dalam satu golongan tersendiri sampai urusan di antara manusia selesai diputuskan, di mana penghuni surga masuk ke dalam surga, penghuni neraka masuk ke dalam neraka. Allah memanggi para ulama dan berkata: ‘Hai para ulama! Sungguh, tidaklah Aku menempatkan hikmah-Ku dalam diri kalian, lalu Aku bermaksud menyiksa kalian. Aku tahu bahwa kalian berbuat kemaksiatan seperti yang dilakukan selain kalian, lalu aku menutupi kesalahan kalian dan aku mengampuni kesalahan kalian. Aku diibadahi semata karena fatwa dan pengajaran yang kalian sampaikan pada hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga tanpa hisab.’ Setelah itu Allah berfirman, “Tidak ada yang mampu memberikan apa yang dicegah oleh Allah dan tidak ada yang menghalangi apa yang diberikan oleh Allah.” Hal ini disebabkan karena amalan kebaikan orang yang mengajarkan ilmu itu akan mengalahkan amalan kejelakannya karena ada kebaikan yang dahulu diajarkan masih diamalkan orang lain sepeninggal orang berilmu. Ingat, siapa saja yang memiliki kebaikan dan kadarnya besar, di samping dia berpengaruh secara nyata dalam Islam, orang seperti ini mendapat ampunan tidak seperti ampunan yang diberikan kepada orang lain. Sebab kemaksiatan adalah kotor, tetapi ketika air sudah menjadi dua kolam, ia tidak mengandung kotoran lagi. Berbeda dengan air yang hanya sedikit, air ini kotor ketika ada kotoran jatuh ke dalamnya. Itulah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada sahabat yang mengikuti perang Badar, “Lakukan sesuka kalian, Aku telah mengampuni kalian.” Allah itu lebih memaafkan orang-orang berilmu yang memiliki banyak kebaikan, yang lebih mementingkan cinta serta rida Allah, itu bila dibandingkan dengan orang selain orang berilmu. Manakala orang alim berbuat salah, ia segera kembali, membenahi kekeliruan, dan mengobati luka karena ia laksana dokter yang mahir dan mengetahui penyakit, apa saja sebab-sebabnya, dan apa saja obatnya, karena penyakit tersebut lebih cepat hilang di tangannya daripada melalui tangan orang bodoh. Keburukan dosa orang berilmu dan orang tidak berilmu tentu berbeda, karena kebodohan itu lebih parah karena ia tidak memiliki kebaikan yang bisa melawan keburukan. Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:523-529. Baca juga: Mereka yang Keluar dari Neraka   Keseratus sembilan belas (#151): Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibanding Ibadah Sunnah Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang alim sibuk belajar serta mengajarkan ilmunya akan senantiasa berada dalam pahala ibadah karena belajar. Ingatlah, mengajarkan ilmu itu sendiri adalah ibadah.  (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang faqih (yang memahami agama) senantiasa shalat.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana bentuk shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia menyebut Allah di hati dan lisannya.” Atsar ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr. Mu’adz pernah berkata, “Pelajarilah ilmu. Sungguh, mempelajari ilmu karena Allah adalah wujud rasa takut, mencarinya adalah bagian ibadah, dan mudzakarah (bertukar pikiran) tergolong tasbih.” Riwayat ini mawquf, yaitu perkataan sahabat. Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan hadits marfu’ dari Mu’adz, “Sungguh, kamu pergi pagi-pagi lalu mempelajari satu bab ilmu, itu lebih baik bagimu daripada shalat seratus rakaat.” Ibnu Wahab berkata, “Suatu ketika aku berada di dekat Malik bin Anas, lantas waktu shalat Zhuhur atau Ashar tiba saat aku sedang membaca dan membahas ilmu di hadapannya. Aku lantas mengumpulkan buku-bukuku, merapihkannya, lalu aku bangkit untuk shalat, lalu Malik berkata kepadaku, ‘Mau ke mana?’ Aku menjawab, ‘Aku hendak shalat.’ Malik berkata, ‘Ini aneh! Apa yang hendak kamu lakukan (untuk shalat pada awal waktu) tidaklah lebih baik daripada apa yang tadi kamu kerjakan (belajar ilmu), jika niatnya benar.” Ar-Rabi’ berkata, “Aku mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata, ‘Menuntut ilmu itu lebih baik daripada ibadah nafilah (ibadah sunnah).'” Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tak ada suatu amalan yang lebih baik daripada menuntut ilmu jika niatnya benar.” Seseorang bertanya kepada Al-Mu’afa bin Imran, “Mana yang lebih engkau sukai, apakah aku mengerjakan shalat malam sepanjang malam ataukah aku duduk di malam hari untuk menulis hadits?” Ia menjawab, “Engkau menulis sebuah hadits itu lebih kusukai daripada engkau shalat malam dari awal hingga akhir malam.” Dia juga berkata, “Menulis satu hadits itu lebih aku sukai daripada qiyamul lail.” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Mudzakarah ilmu (bertukar pikiran dalam hal ilmu) pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya.” Abu Hurairah rahimahullah berkata, “Aku duduk sesaat lantas aku paham pada ilmu dalam agama ini lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya hingga datang Shubuh.” Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Menuntut ilmu, menulis, serta memeriksa ilmu adalah salah satu amalan terbaik karena termasuk amalan hati dan raga. Kedudukan menuntut ilmu bagi raga laksana kedudukan amalan hati, seperti ikhlas, tawakal, cinta, inabah (kembali kepada Allah), takut, rida, dan amalan batin lainnya.” Beliau rahimahullah melanjutkan, “Jika ada yang mengatakan, ilmu tidak lain sebagai sarana sekaligus maksud dari amal, sedangkan amal adalah tujuan. Tujuan itu lebih mulia daripada alat atau sarana. Lantas bagaimana alat bisa dianggap lebih utama daripada tujuan. Maka jawabannya adalah, masing-masing dari ilmu dan amal terbagi menjadi dua, yaitu ada yang menjadi alat dan ada yang menjadi tujuan. Tidak semua ilmu menjadi alat untuk mencapai suatu yang lain. Karena ilmu dalam mengenal Allah, nama, dan sifat-Nya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak. Ilmu inilah yang secara esensi atau hakiki diperintahkan supaya kita ketahui.” Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Siapa saja yang melaksanakan dua hal, yaitu berilmu dan beramal, tentu lebih sempurna. Jia pun salah satunya lebih baik, toh kebaikan ilmu lebih baik daripada kebaikan ibadah. Oleh karena itu, manakala seorang hamba memiliki amalan lebih yang melebihi amalan wajibnya, maka kesempatan untuk melaksanakan amalan ini lebih baik dialihkan untuk mempelajari ilmu yang merupakan warisan para nabi daripada dialihkan untuk ibadah yang tanpa ilmu.” Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529-533. Ingatlah, Allah menciptakan kita agar kita benar-benar mengenal Allah. Itulah tujuan penciptaan manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat, اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12) Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya, “Kemudian Allah mengabarkan bahwa Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada padanya dan yang ada di antara masing-masing tingkatannya. Allah menurunkan perintah yang berupa syariat dan hukum-hukum duniawi yang diwahyukan kepada para rasulNya sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia. Begitu juga dengan undang-undang alam dan takdir yang mengatur seluruh mahkluk. Semua itu bertujuan agar manusia mengetahui keluasan KuasaNya atas segala sesuatu. Semuanya berada dalam jangkauan ilmuNya. Jika manusia mengetahui nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang suci, mereka akan menyembah, mencintai, dan menunaikan hakNya. Dan inilah tujuan yang dimaksudkan dari penciptaan dan diturunkannya perintah (syariat dan hukum); yaitu mengenal dan menyembah Allah. Hamba-hamba Allah yang saleh yang mendapatkan taufik menunaikannya, sedangkan orang-orang zhalim berpaling darinya.” Ayat di atas dilengkapi dengan ayat, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Inilah dalil yang menunjukkan bahwa diciptakannya manusia itu untuk: (1) beribadah kepada Allah semata, (2) mengenal Allah Sang Pencipta.   Perlu diketahui bahwa irodah (kehendak) Allah itu ada dua macam. Pertama adalah irodah diniyyah (irodah syariyyah), yaitu setiap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah berupa amalan saleh. Namun, orang-orang kafir dan fajir (ahli maksiat) melanggar perintah ini. Seperti ini disebut dengan irodah diniyyah, tetapi amalannya dicintai dan diridai. Irodah seperti ini bisa terealisir dan bisa pula tidak terealisasi. Kedua adalah irodah kauniyyah, yaitu segala sesuatu yang Allah takdirkan dan kehendaki, tetapi Allah tidaklah memerintahkannya. Contohnya adalah perkara-perkara mubah dan bentuk maksiat. Perkara-perkara semacam ini tidak Allah perintahkan dan tidak pula diridai. Allah tidaklah memerintahkan makhluk-Nya berbuat kejelekan, Dia tidak meridai kekafiran, walaupun Allah menghendaki, menakdirkan, dan menciptakannya. Dalam hal ini, setiap yang Dia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terwujud. Jika kita melihat surat Adz Dzariyat ayat 56, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Tujuan penciptaan di sini termasuk irodah diniyyah. Jadi, tujuan penciptaan di sini tidaklah semua makhluk mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam tataran realita ada orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Tujuan penciptaan di sini yaitu beribadah kepada Allah adalah perkara yang dicintai dan diridhoi, namun tidak semua makhluk merealisasikannya. (Lihat pembahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa, 8:189) Baca juga: Untuk Apa Kita Diciptakan di Dunia Ini? Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Tujuan yang terpuji yang jika setiap insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah hakekat dari perkataan seorang hamba “Laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah)”. Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan mentauhidkan Allah semata.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, 2:120)   Keseratus dua puluh (#01 – 10): Orang Berilmu Bersaksi pada Kalimat Laa Ilaha Illallah Allah Ta’ala berfirman, شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18) Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan orang berilmu melalui beberapa sisi: Di antara seluruh manusia, orang berilmu yang diminta untuk bersaksi. Kesaksian orang berilmu disandingkan dengan kesaksian Allah Rabb semesta alam. Kesaksian orang berilmu disandingkan dengan kesaksian para malaikat. Secara tersirat, kesaksian orang berilmu ini mengandung rekomendasi dan pernyataan bahwa mereka itu orang yang ‘UDUL. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ “Ilmu agama ini dibawa oleh orang-orang ‘UDUL (terpercaya) dari setiap generasi.” Catatan: ‘Adel menurut fuqaha adalah seseorang yang kebaikannya lebih mendominasi daripada kejelekannya. Antonim dari ‘adel adalah fasik. Fasik berarti orang yang keluar dari ketaatan. Maksud fasik, asalnya adalah keluarnya sesuatu dari sesuatu dalam bentuk kerusakan. (Lihat bahasan Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 30: 5-6) Baca juga: Apa itu Adel dan Fasik? 5. Allah menyebut orang-orang berilmu . Ini menunjukkan bahwa hanya mereka yang memiliki ilmu, mereka ahlinya. Sifat ini bukan pinjaman, tetapi sifat asli. 6. Allah memberikan kesaksian atas mereka, sedangkan Allah adalah saksi yang paling utama. Kemudian para malaikat sebagai makhluk terbaik juga bersaksi, begitu pula para ulama (orang-orang berilmu). Kesaksian ini sudah menjadi dalil keutamaan dan kemuliaan orang berilmu. 7. Allah meminta mereka bersaksi atas kesaksian paling mulia, agung, dan terbesar, yaitu kesaksian pada kalimat LAA ILAHA ILLALLAH. Allah Yang Mahaagung tentu hanya menjadikan orang-orang besar dan para pemimpin manusia untuk menangani hal-hal besar pula. 8. Allah menjadikan kesaksian mereka sebagai bukti yang kuat pada orang-orang yang mengingkari untuk menunjukkan keesaan Allah. 9. Kesaksian orang berilmu terkait erat dengan kesaksian Allah. Seakan-akan Allah memberikan kesaksian tauhid untuk diri-Nya melalui lisan mereka, membuat mereka mengutarakan kesaksian itu. 10. Dengan kesaksian ini, Allah menjadikan mereka menunaikan hak Allah yang wajib untuk hamba. Jika orang berilmu menunaikan kesaksian LAA ILAHA ILLALLAH, artinya menjalankan konsekuensi LAA ILAHA ILLALLAH dengan benar, maka makhluk lainnya hendaklah menjalankan pula dengan benar (mengikuti ulul ilmi, orang berilmu). Itulah puncak kebahagiaan di dunia dan akhirat. Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:217-219.   Keseratus dua puluh satu (#15): Allah memberikan kesaksian kepada ahli ilmu Allah memberikan kesaksian kepada ahlul ilmi yang secara tersirat menjadikan mereka sebagai saksi atas kebenaran apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, أَفَغَيْرَ ٱللَّهِ أَبْتَغِى حَكَمًا وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ إِلَيْكُمُ ٱلْكِتَٰبَ مُفَصَّلًا ۚ وَٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُۥ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِٱلْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (QS. Al-An’am: 114)   Keseratus dua puluh dua (#16): Orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an Allah Ta’ala menghibur nabi-Nya dengan keimanan orang-orang berilmu, dan memerintahkan beliau agar tidak peduli terhadap orang bodoh. Allah Ta’ala berfirman, وَقُرْءَانًا فَرَقْنَٰهُ لِتَقْرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَٰهُ تَنزِيلًا قُلْ ءَامِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوْ لَا تُؤْمِنُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ مِن قَبْلِهِۦٓ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا وَيَقُولُونَ سُبْحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا “Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, Dan mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi“.” (QS. Al-Isra’: 106-108) Ini merupakan kemuliaan terbesar bagi orang berilmu. Artinya ialah orang-orang berilmu mengenali, beriman, dan membenarkan Al-Qur’an. Tak peduli apakah selain mereka beriman padanya ataukah tidak.   Keseratus dua puluh tiga (#23): Ibrahim unggul dengan ilmu dan argumen yang kuat Allah mengutarakan perdebatan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya, hingga Ibrahim mengalahkan mereka dengan hujjah (argumen ilahiah). Allah jelas-jelas mengabarkan kelebihan Ibrahim dan tingginya derajat sang kekasih Allah ini (khalilullah) karena mengetahui hujjah tersebut. Allah berfirman setelah menyebut perdebatan Ibrahim dengan ayah dan kaumnya dalam surah Al-An’am, وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83) Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami mengangkat derajat siapa yang Kami kehendaki dengan ilmu tentang hujjah.”   Keseratus dua puluh empat (#24): Mengenal Allah adalah Tujuan Penciptaan Allah mengabarkan bahwa Dia menciptakan makhluk, menjadikan Baitul Haram, bulan suci, hadyu, dan qalaid* agar hamba-hamba-Nya tahu bahwa Allah Maha Mengetahui dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman, ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ وَمِنَ ٱلْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ ٱلْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ ٱللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَىْءٍ عِلْمًۢا “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12) Ini bermakna bahwa mengenali Rabb dan sifat-sifat-Nya, serta beribadah kepada-Nya semata, merupakan tujuan dari penciptaan Allah dan pengaturan segala urusan oleh-Nya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:224) * Qalaid yaitu binatang-binatang hadyu (qurban) yang sudah dikalungi dengan tali, yang menunjukkan bahwa binatang itu dipersiapkan secara khusus untuk dikurbankan dan dihadiahkan kepada Kabah.   Keseratus dua puluh lima (#25): Bangga dan Senang dengan Ilmu Allah memerintahkan orang-orang berilmu agar senang pada apa yang Allah beri kepada mereka. Lalu, Allah mengabarkan bahwa Allah mengetahui apa yang dikumpulkan manusia. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.” (QS. Yunus: 58) Karunia Allah ditafsirkan dengan iman, sedangkan rahmat Allah ditafsirkan dengan Al-Qur’an. Iman dan Al-Qur’an itulah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Keduanya adalah al-huda wa diinul haqq (petunjuk dan agama yang benar). Keduanya adalah ilmu terbaik dan amal terbaik. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:224)   Keseratus dua puluh enam (#30): Nabi Adam ‘alaihis salam Diberikan Kelebihan dalam Hal Ilmu oleh Allah Allah Ta’ala berfirman, وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Rabb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al-Baqarah: 30) Kesimpulan dari ayat ini: Allah melebihkan Nabi Adam ‘alaihis salam dari malaikat walaupun malaikat rajin berdzikir dengan bertasbih, malaikat itu lebih taat. Allah jawab “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Allah Mahatahhu sisi batin dan hakikat sesuatu, sedangkan manusia tidak tahu, memiliki keterbatasan ilmu. Allah melebihkan dan menjadi Nabi Adam sangat spesial di mana Adam dikaruniai ilmu dengan diajarkan nama-nama segala benda. Malaikat tidak dikaruniai ilmu. Malaikat merasa lebih mulia daripada Adam. Padahal malaikat ketika diajarkan ilmu, mereka lemah. Allah memberitahu ilmu lahiriyyah yang tampak dan batiniyyah yang tidak terlihat. Malaikat lemah dalam menangkap hal ini. Nabi Adam memiliki sifat terbaik yaitu dianugerahkan ilmu. Ilmu adalah hal terbaik yang dimiliki manusia, inilah kelebihan manusia, dan wujud ilmu itu lebih indah dari hal lainnya (harta, dan lain-lain).   Keseratus dua puluh tujuh (#57): Jangan Sampai Kehilangan Ilmu dan Hikmah Dalam hadits disebutkan, الحِكْمَةُ ضَالَةُ المُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا “Kata-kata hikmah adalah barang hilang orang mukmin, di mana pun ia mendapatkannya, ia yang paling berhak atasnya.” Namun hadits ini dhaif atau lemah. Baca juga: Arti Hikmah dalam Al-Qur’an Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hikmah adalah ilmu. Apabila seorang mukmin kehilangan ilmu, ia laksana kehilangan salah satu barang berharga miliknya. Saat ia dapati barang berharga, hatinya merasa tenang dan jiwanya pun demikian, sebab mendapatkannya kembali. Demikian pula halnya apabila orang mukmin mendapatkan barang hilang milik hati dan rohaninya yang selalu dicari-cari dan diselidiki keberadaannya.  Ini termasuk perumpaan terbaik, karena hati seorang mukmin selalu mencari ilmu di mana pun ilmu itu berada, melebihi semangat mencari barang yang hilang miliknya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:280) Hikmah itu adalah ilmu. Carilah, jangan sampai lepas!   Keseratus dua puluh delapan (#58): Dua Sifat yang Tidak Akan Tergabung pada Diri Orang Munafik adalah Perangai yang Bagus dan Paham Agama Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِخَصْلَتَانِ لاَ يَجْتَمِعَانِ فِي مُنَافِقٍ : حُسْنُ سَمْتٍ وَفِقْهٌ فِي الدِّيْن “Ada dua sifat yang tidak mungkin ada bersamaan dalam diri orang munafik: (1) perangai yang bagus (tenang atau baik dalam diam), (2) paham agama.” (HR. Tirmidzi, no. 2685. Syaikh Ali Hasan Al-Halaby mengatakan bahwa hadits ini hasan). Sehingga jika ada dalam diri seseorang dua hal ini yaitu perangai yang bagus (tenang) dan paham agama, maka dialah seorang mukmin. Orang munafik tidak memiliki salah satu dari dua sifat tadi atau tidak memiliki dua-duanya. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:280-281)   Keseratus dua puluh sembilan (#59): Selamat dari Kecurangan, Menghidupkan Sunnah Nabi, Menjadi Pelopor dalam Kebaikan Dalam hadits disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku! Jika kamu bisa memasuki pagi dan sore hari tanpa ada ghisyy (kecurangan) dalam hatimu, maka lakukanlah.” Kemudia beliau bersabda, “Wahai anakku! Itu bagian dari sunnahku. Siapa yang menghidupkan sunnahku, berarti dia mencintaiku. Siapa yang mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga.” (HR. Tirmidzi, no. 2678, dalam sanadnya ada perawi yang dhaif) Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya siapa yang menghidupkan salah satu dari sunnahku yang telah mati sepeninggalku, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengamalkan hal ini tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Siapa yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridai oleh Allah dan Rasul-Nya, ia mendapat dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa ia dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Ad-Darimi dan Tirmidzi, no. 2977. Sanad hadits ini dhaif jiddan) Hadits di atas semakna dengan hadits berikut. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا “Barang siapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017) Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِمَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala pelakunya.” (HR. Muslim, no. 1677) Baca juga: Pelopor Kebaikan (Khutbah Jumat)   Keseratus tiga puluh (#60): Kita diperintahkan untuk berbuat baik pada orang berilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar memperlakukan para penuntut ilmu dengan baik. Ini tidak lain karena keutamaan dan kemuliaan dari ilmu yang mereka cari. Dari Abu Harun, ia berkata bahwa mereka mendatangi Abu Said, lantas Abu Said berkata, “Marhaban, selamat datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat dengan beliau berkata,  إِنَّ النَّاسَ لَكُمْ تَبَعٌ وَإِنَّ رِجَالاً يَأْتُوْنَكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الأَرْضِ يَتَفَقَّهُوْنَ فِي الدِّيْنِ فَإِذَا أَتَوْكُمْ فَاسْتَوْصُوْا بِهِمْ خَيْرًا “Sesungguhnya manusia itu mengikuti kalian. Sesungguhnya orang-orang akan mendatangi kalian dari berbagai penjuru dunia, mereka akan belajar agama. Jika mereka mendatangi kalian, berbuat baiklah kepada mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2650; Ibnu Majah, no. 247, 249; ‘Abdur Razaq, 11:252; Al-Baghawi, no. 134. Abu Harun adalah perawi matruk. Ada riwayat ringkat mengenai hadits ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 280)   Keseratus tiga puluh satu (#61): Menuntut Ilmu Mendapatkan Pengampunan Dosa Dalam hadits dari ‘Abdullah bin Sakhbarah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, مَنْ طَلَبَ العِلْمَ كَانَ كَفَّرَاةً لِمَا مَضَى “Siapa yang menuntut ilmu, amalan tersebut akan menghapus dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi, no. 2648; Ad-Darimi dalam Sunannya, 1:139; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, no. 6615. Tirmidzi mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif). Baca juga: Keutamaan Ilmu dari Ibnul Qayyim no. 47 Disebutkan bahwa orang berilmu dimintakan ampunan oleh para malaikat di langit dan para makhluk di bumi. وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ “Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air.” (HR. Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri dari Abdul Karim dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas bahwa ada malaikat yang ditugaskan untuk menjaga seorang penuntut ilmu hingga memulangkannya ke tempat semula dalam keadaan diampuni kesalahan-kesalahannya. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah seorang hamba mengenakan sandal, sepatu, dan juga pakaian untuk pergi menuntut ilmu melainkan dosa-dosanya diampuni sejak saat melangkahkan kaki di dekat pintu rumahnya.” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Siapa saja yang mengenakan sandal untuk mempelajari kebaikan, niscaya diampuni baginya dosa-dosanya sebelum dia melangkahkan kaki.” Meskipun riwayat-riwayat di atas tidak bisa dijadikan argumen, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Menuntut ilmu tetap menjadi salah satu kebaikan yang utama. Ingatlah bahwa setiap kebaikan akan menghapuskan kejelekan. Sehingga menuntut ilmu demi mencari wajah Allah sepantasnyalah bisa menghapus dosa-dosa masa lalu. Berbagai dalil menunjukkan bahwa mengikutkan kejelekan dengan kebaikan pasti akan menghapuskan kejelekan. Padahal diketahui bahwa menuntut ilmu adalah sebaik-baik kebaikan dan ketaatan yang paling utama. Sehingga pendalilan hal ini bukan hanya dari hadits Abu Daud di atas.” Baca juga: Amalan Kebaikan Sebagai Pelebur Dosa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, ada seseorang keluar dari rumahnya dengan membawa dosa sebesar Gunung Tihamah. Apabila mendengar ilmu, ia merasa takut, kembali, lalu bertaubat. Lantas dia pulang ke rumah dalam keadaan tidak memikul dosa apa pun. Maka, janganlah kalian jauhi majelis-majelis ulama.” Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:284-286. Baca juga: 10 Pelebur Dosa   Keseratus tiga puluh dua (#62): Menuntut Ilmu itu untuk Menghilangkan Kebodohan dari yang Lain Dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan tanpa diduga ada dua majelis di dalam masjid. Majelis pertama adalah majelis yang benar-benar mendalami agama. Sedangkan majelis kedua adalah majelis yang berdoa dan memohon kepada Allah. Beliau kemudian berkata, ِكِلاَ المَجْلِسَيْنِ إِلَى خَيْرٍ أَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَدْعُوْا اللهَ وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُوْنَ وَيُفَقِّهُوْنَ الجَاهِلَ هَؤُلاَء ُأَفْضَلُ بِالتَّعْلِيْمِ أُرْسِلْت “Kedua majelis ini sama-sama mengajak kepada kebaikan. Adapun mereka (majelis pertama), mereka berdoa kepada Allah. Sementara mereka (majelis kedua), mereka belajar dan mengajarkan orang jahil (bodoh) yang tidak memahami agama. Mereka itu lebih utama. Aku diutus untuk mengajar.” Setelah itu beliau duduk bersama mereka. (HR. Ibnu Majah, no. 22. Hadits ini dhaif). Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:287. Dalam hadits di atas walaupun haditsnya dhaif, bisa dipetik pelajaran bahwa majelis yang isinya mempelajari ilmu lebih utama daripada majelis amal. Karena di antara tujuan belajar adalah mengajarkan ilmu kepada yang lain. Baca juga: Empat Kaidah dalam Berdakwah   Keseratus tiga puluh tiga (#64): Orang Berilmu adalah Perantara Sampainya Wahyu pada Umat Kedudukan manusia yang paling utama di sisi Allah adalah kedudukan kerasulan dan kenabian (risalah dan nubuwah). Allah memilih rasul-rasul (utusan-utusan) di antara kalangan para malaikat dan juga manusia. Mereka dijadikan oleh Allah sebagai perantara antara diri-Nya dan para hamba-Nya dalam menyampaikan risalah-Nya, memperkenalkan nama Allah, segala perbuatan Allah, sifat Allah, hukum Allah, juga segala hal yang mendatangkan rida Allah dan murka-Nya, serta pahala dan siksa-Nya. Allah mengistimewakan para utusan dengan wahyu, mengkhususkan dengan keutamaan, meridai mereka untuk menyampaikan risalah Allah kepada para hamba, menjadikan mereka sebagai makhluk paling bersih jiwanya di antara seluruh alam, paling mulia akhlaknya, paling sempurna ilmu dan amalnya, paling baik bentuk penciptannya, paling dicintai dan diterima di hati manusia. Di samping itu Allah membebaskan mereka dari sifat buruk, aib, dan akhlak tercela, serta menjadikan tingkatan manusia paling mulia setelah mereka adalah tingkatan para pengganti mereka di tengah-tengah umat, karena mereka ini menggantikan para nabi dan rasul dengan meniti manhaj dan jalan mereka. Wujudnya seperti menasihati umat, menuntun orang tersesat, mengajari orang yang buta ilmu agama, membela orang yang dizalimi, membimbing orang yang berbuat zalim, memerintahkan kebaikan seusai melakukannya, mencegah kemungkaran setelah meninggalkannya, menyeru manusia menuju kepada Allah secara hikmah bagi mereka yang memenuhi seruan, dengan tutur kata yang baik bagi mereka yang berpaling dan lalai, serta berdialog dengan cara terbaik bagi mereka yang membangkang dan menentang. Itulah kondisi para pengikut rasul dan yang mendapatkan warisan ilmu dari para nabi. Allah Ta’ala berfirman, ِقُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ “Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf: 108) Yang mendapatkan warisan ilmu dari para rasul bukanlah orang kebanyakan. Mereka adalah orang-orang yang berilmu yang mempelajari serta mengamalkan ilmu yang disampaikan rasul, menuntun dan membimbing orang lain, bersabar dan berjihad untuk kepentingan ilahi. Dengan kata lain, mereka adalah para shiddiqun. Dalam ayat disebutkan, ِمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا ِذَٰلِكَ ٱلْفَضْلُ مِنَ ٱللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ عَلِيمًا “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS. An-Nisaa’: 69-70) Allah menyebut tingkatan orang-orang yang paling berbahagia dalam ayat di atas, merekalah penghuni surga: (1) para nabi, (2) shiddiq (orang yang jujur), (3) syuhada’ (orang yang mati syahid), (4) shalihin (orang saleh, wali Allah). Setelah para nabi, shiddiq lebih tinggi dibanding syuhada’ dan orang saleh. Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:288-290.   Keseratus tiga puluh empat (#66): Ilmu itu Akar Pohon, Tashdiq itu Rantingnya, Sedangkan Amal itu Buahnya Ilmu adalah pemberi putusan terhadap apa pun selainnya, dan tak ada sesuatu pun yang memberi putusan terhadap ilmu. Segala sesuatu yang diperselisihkan ada tidaknya, benar tidaknya, manfaat dan bahayanya, mudarat dan tidaknya, sempurna dan kurangnya, terpuji dan tercelanya, tingkatan baiknya, kualitas baik dan buruknya, dekat dan jauhnya, apakah ia bisa mencapai sasaran atau tidak, apakah ia bisa mewujudkan tujuan atau tidak, serta sisi pengetahuan lainnya, maka ILMULAH YANG MEMBERI PUTUSAN PADA SEMUA ITU. Apabila ilmu sudah memutuskan sesuatu, saat itulah tidak ada lagi persengketaan, putusannya haruslah diikuti. Ilmulah yang memutuskan urusan kerjaan, kebijakan, harta benda, dan pena. Berdasarkan surah An-Nisaa’ ayat 69-70, tingkat kesempurnaan ada empat: nubuwwah (kenabian), shiddiqiyyah (mencintai kebenaran), syahadah (mati syahid), wilayah (kewalian). Empat hal di atas juga disebutkan dalam surah Al-Hadid berikut ini. ِإِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ ِوَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصِّدِّيقُونَ ۖ وَٱلشُّهَدَآءُ عِندَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَكَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَآ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَحِيمِ “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka.” (QS. Al-Hadid: 18-19)   Shiddiq menurut Ibnul Qayyim Shiddiqiyyah adalah beriman secara sempurna terhadap apa yang disampaikan oleh Rasul (wahyu) dengan mengetahui, membenarkan, dan mengamalkannya. Sifat shiddiqiyyah ini kembali kepada ilmu. Siapa saja yang mengilmui wahyu dari rasul, membenarkan dengan sempurna, maka sempurnalah sifat shiddiq pada dirinya. Sehingga shiddiq itu diibaratkan seperti pohon, di mana akarnya adalah ilmu, cabangnya adalah tashdiq (membenarkan), dan buahnya adalah amal. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:294-295) Pengertian shiddiq dari perkataan para ulama lainnya Shiddiq menurut Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya (5:272), “Shiddiq mengikuti wazan fa’iil, artinya al-mubaaligh fish shidqi (tashdiq), benar-benar jujur. Shiddiq adalah orang yang selaras antara lisan dan perbuatannya. Ada yang menyatakan bahwa shiddiq adalah follower (pengikut) yang utama dari para nabi yang mengikuti kejujuran seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Shiddiq menurut Imam Ibnul Qayyim dalam Madaarij As-Salikin (2:258), “Shiddiq adalah tingkatan jujur yang paling tinggi. Shiddiq ini termasuk tingkatan orang jujur. Shiddiq adalah orang yang patuh pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia benar-benar ikhlas pada mursil (pada Allah yang mengutus Rasul).” Shiddiq menurut Al-Khazin rahimahullah dalam kitab Tafsir Al-Khazin (1:397), “Shiddiq adalah al-katsirush shidq, benar-benar jujur. Shiddiqun adalah pengikut rasul yang mengikuti jalan hidupnya sampai mereka bertemu dengan rasul tersebut. Ada juga yang menyatakan bahwa shiddiq adalah membenarkan semua ajaran agama, tanpa ada keraguan sama sekali dalam keyakinannya” Shiddiq menurut Syaikh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya (hlm. 841), “Shiddiq adalah tingkatan iman, amal saleh, ilmu yan bermanfaat, dan sikap yakin yang benar yang paling sempurna.” Berbagai istilah shiddiq dirangkum dari penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 216829. Dapat disimpulkan dari berbagai penjelasan ulama di atas, SHIDDIQ adalah orang yang benar-benar jujur dalam menjalani agama di mana sifatnya adalah: (1) ikhlas karena Allah, (2) berilmu yang bermanfaat, (3) membenarkan semua ajaran Islam, (4) patuh pada ajaran agama, (5) beriman dengan sempurna, (6) beramal saleh, (7) rasa yakin yang kuat, serta (8) selaras antara ucapan dan perbuatan.   Keseratus tiga puluh lima (#69): Zat, Sifat-Sifat, Serta Nama-Nama Allah Diketahui dengan Ilmu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Zat, sifat, dan nama Allah hanyalah bisa diketahui oleh hamba hanya dengan ilmu.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:295)   Kaidah mengenai nama dan sifat Allah Pertama: Nama Allah itu a’lam wa awshaf, yaitu nama-nama Allah itu merujuk pada Zat Allah, kemudian setiap nama itu mengandung makna khusus. Nama “al-hayyu, al-‘aliim, al-qadiir, as-samii’, al-bashiir, ar-rahmaan, ar-rahiim, al-‘aziz, al-hakiim” adalah nama-nama Allah. Nama-nama ini merujuk pada Allah yang satu. Namun, al-hayyu memiliki makna khusus yaitu Mahahidup, Al-‘Aliim bermakna Maha Mengetahui, Al-Qadiir bermakna Mahakuasa, As-Samii’ bermakna Maha Mendengar, Al-Bashiir bermakna Maha Melihat, Ar-Rahmaan bermakna Maha Pengasih, Ar-Rahiim bermakna Maha Penyayang, Al-‘Aziz bermakna Mahaperkasa, Al-Hakiim bermakna Yang Maha Bijaksana. Kedua: Nama Allah itu kadang bergandengan dengan nama lainnya. Penyebutana seperti ini menunjukkan makna kesempurnaan Allah, pujian dan pengagungan yang sempurna kepada Allah. Hal ini berbeda jika nama tersebut berdiri sendiri. Contohnya adalah Allah itu Al-‘Aziz Al-Hakim, artinya Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Keperkasaan Allah tidak berkonsekuensi melakukan kezaliman dan kejelekan. Keperkasaan Allah ini diiringi kebijaksanaan. Allah itu As-Samii’ Al-‘Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), di tempat lain disebutkan As-Samii’ Al-Bashiir (Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Ketika kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan, ayat menyebutkan sebagai berikut. ِوَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 200) ِوَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Fushilat: 36) Ketika kita diperintahkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan manusia, ayat menyebutkan sebagai berikut. ِإِنَّ ٱلَّذِينَ يُجَٰدِلُونَ فِىٓ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَٰنٍ أَتَىٰهُمْ ۙ إِن فِى صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَّا هُم بِبَٰلِغِيهِ ۚ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ “Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mukmin: 56) Apa kandungan dari ayat-ayat di atas dengan menyebut As-Samii’ Al-‘Aliim dan As-Samii’ Al-Bashir? Setan itu tidak terlihat, walaupun kita mengetahui wujudnya. Sehingga ayat yang membicarakan perlindungan dari setan ditutup dengan As-Samii’ Al-‘Aliim (Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Manusia itu terlihat. Sehingga ayat yang membicarakan perlindungan dari setan ditutup dengan As-Samii’ Al-Bashiir (Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Godaan setan itu menyerang hati. Hal ini terkait dengan ilmu. Dalil yang menunjukkan bahwa setan itu tak terlihat adalah ayat berikut. ِإِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ  “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27) Ayat yang lain menyebutkan At-Tawwabur Rahiim (Maha Penerima Taubat dan Rahiim) seperti dalam ayat berikut. ِيَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12). Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang artinya Allah itu menerima taubat dan memberikan taufik untuk melakukan sebab untuk diterimanya taubat dan mendapatkan kasih sayang Allah. Yang pertama, Allah itu memberi taufik untuk bertaubat dengan menempuh sebab-sebab taubat. Yang kedua, Allah menerima taubat dari orang-orang yang bertaubat. Itu semua adalah bentuk kasih sayang Allah. Ayat yang lain menyebutkan Al-Ghafurur Rahiim (Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) sebagaimana dalam ayat berikut ini. ِقُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53). Nama Allah yang digandengkan ini menunjukkan besarnya karunia Allah. Bentuk karunia Allah adalah rahmat Allah itu mendahului murka-Nya. Ketiga: Allah memiliki nama-nama yang terbaik. Allah Ta’ala berfirman, ِوَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180). Nama dan sifat Allah tidaklah sama dengan makhluk, walau ada nama dan sifat yang punya kesamaan.   Keseratus tiga puluh enam (#80): Segala Sesuatu Selain Allah Sangat Butuh pada Ilmu   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ِأَنَّ كُلَّ مَا سِوَى اللهِ مُفْتَقِرٌ إِلَى العِلْمِ لاَ قَوَامَ لَهُ بِدِيْنِه “Segala sesuatu selain Allah butuh pada ilmu. Segala sesuatu tidak memiliki pijakan jika tidak ada ilmu.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:309) Ilmu itu dua macam: Ilmu yang mesti ada sebelum perbuatan. Kalau dipelajari berpengaruh langsung pada orang yang mempelajarinya. Ini disebut ‘ilmu fi’liy (aktif). Ilmu yang sudah ada sebelumnya, objek yang dipelajari tidak terpengaruh apa-apa karena sudah ada sebelumnya. Contoh ilmunya adalah ilmu mengenai keberadaan Nabi, raja-raja, dan hal-hal lain yang sudah ada sebelumnya. Ilmu ini tidaklah berpengaruh pada objek yang dipelajari. Semakin jelas tentang ini diterangkan pada keutamaan ilmu ke-81.   Tentang Ilmu dan Petunjuk Ada yang berpendapat bahwa: Konsekuensi dari ilmu dan makrifah adalah mendapatkan petunjuk. Ketika seseorang tidak mendapatkan petunjuk, itu menunjukkan bahwa ia tidak berilmu. Memiliki ilmu tidak berkonsekuensi mendapatkan petunjuk. Kesesatan seringkali dilakukan secara sengaja dan atas dasar sepengetahuan pelakunya, tanpa ia meragukannya (bahwa apa yang dilakukannya itu sesat). Bahkan ia lebih memilih kesesatan dan kekafiran meski ia mengetahui keburukan dan kerusakannya.   10 Sebab Ilmu Tidak Menghasilkan Petunjuk dan Amal Ilmu adalah sebab kemaslahatan, kenikmatan, dan kebahagiaan seorang hamba. Namun, adanya seseorang tidaklah mendapatkan petunjuk dengan ilmu.  Lemahnya makrifah, lemahnya ilmu pada sesuatu. Ilmu tidak masuk di tempat yang layak karena bisa jadi hati itu keras. Ibaratnya hujan itu tidak begitu manfaat turun di tanah yang keras. Ketika hati menjadi keras, kasar, dan jumud, ilmu sama sekali tidak berfungsi di dalamnya. Demikian halnya tatkala, hati sakit, hina, tidak ada kekuatan dan tekad, ilmu juga tidak berpengaruh padanya. Adanya penghalang: hasad dan sombong. Inilah penyakit yang ada pada Iblis sehingga ia tidak mau tunduk pada perintah. Ini adalah penyakit orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan, kecuali siapa yang dijaga oleh Allah. Ini adalah yang jadi sebab Yahudi tidak mengakui kebenaran nubuwwah (kenabian) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini juga jadi sebab Abdullah bin Ubay dan Abu Jahal serta kalangan musyrikin tidak beriman. Adanya penghalang syubhat dengan adanya kepemimpinan dan kekuasaan. Inilah yang jadi sebab Heraklius dan raja-raja kafir sulit masuk Islam. Ada penghalang: mengikuti syahwat dan harta. Inilah sebab mayoritas Ahli Kitab sampai tidak beriman. Kaum Kafir Quraisy juga menghalangi yang lainnya masuk Islam dengan menyatakan bahwa kalau kalian masuk Islam nafsu syahwat kalian tidak bisa dipenuhi yaitu dalam zina dan minum khamar. Cinta keluarga, kerabat, dan suku. Cinta tempat tinggal dan cinta tanah air. Takut dianggap mencela leluhur. Inilah yang terjadi pada paman Nabi, Abu Thalib. Ada musuh yang mengikuti kebenaran, dan kita tidak suka pada musuh tersebut. Inilah yang terjadi pada kaum Anshar dan Yahudi. Adanya pembiasaan, rutinitas, dan faktor kampung halaman.   Maksiat itu dilakukan dalam keadaan tidak berilmu Allah Ta’ala berfirman, ِإِنَّمَا ٱلتَّوْبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 17) Ayat di atas menunjukkan bahwa konsekuensi dari memiliki ilmu dan makrifah (pengetahuan) adalah mendapatkan petunjuk, sedang ketika seseorang tidak mendapat petunjuk, itu menunjukkan kebodohan dan keadaan tidak berilmu. Selama manusia berakal, ia tidak mungkin memilih binasa daripada selamat, ditimpa siksa besar dan kekal abadi daripada mendapat nikmat nan abadi. Kenyataan membuktikan hal itu. Itulah kenapa Allah menyebut orang-orang yang durhaka kepada-Nya sebagai orang bodoh. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Siapa pun di antara makhluk Allah yang berbuat dosa berarti ia bodoh, baik ia benar-benar bodoh atau pun berilmu. Jika dia orang yang berilmu, lantas siapa lagi yang lebih bodoh daripada dirinya? Jika dia tidak berilmu, sama juga seperti itu.” Dalam ayat disebutkan, “… yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”  ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata, “Dosa orang mukmin tidak lain adalah buah kebodohannya.” Qatadah menyatakan, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepakat bahwa segala sesuatu yang ditunjukkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka ia adalah kebodohan.” As-Suddi menyatakan, “Siapa pun yang durhaka kepada Allah, ia berarti bodoh.” Dosa terjadi mana kala hati lalai dari ilmu, ketika ilmu lenyap dari hati. Saat itulah dosa terjadi karena kebodohan, kelalaian, kealpaan, dan anti ilmu. Dosa itu diliputi dua kebodohan, yaitu: (1) kebodohan hakikat sebab yang dapat memalingkan dari dosa, (2) kebodohan akan akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa. Tidaklah Allah dihurkai melainkan karena kebodohan. Tidaklah Allah ditaati melainkan karena ilmu.   Keseratus tiga puluh tujuh (#106, 102): Ibadah Harus Dituntun oleh Ilmu Agar Benar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri berkata, ِمَا عُبِدَ اللهُ بِمِثْلِ الفِقْه “Tidak ada cara ibadah kepada Allah yang semisal dengan pemahaman mendalam dalam agama.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:385). Hal yang sama juga dikatakan oleh Mak-hul. Ada dua maksud dari perkataan di atas: Maksud perkataan ini dan perkataan serupa lainnya adalah tidak ada cara ibadah kepada Allah yang seperti cara beribadah melalui pemahaman mendalam dalam agama. Maka pemahaman itu sendiri termasuk ibadah, seperti dikatakan Mu’adz bin Jabal, “Hendaklah kalian menuntut ilmu, karena menuntutnya karena Allah termasuk ibadah.” Atau mungkin yang dimaksud adalah tidaklah Allah diibadahi dengan suatu ibadah yang lebih baik dibandingkan ibadah yang disertai pemahaman agama. Pasalnya, orang yang memiliki pemahaman agama yang baik akan mengetahui apa saja tingkatan ibadah, apa saja yang dapat merusak ibadah, apa saja kewajiban, apa saja sunnah dan pelengkapnya, dan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaannya. Kedua makna di atas itu sahih.  Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:385.   Keseratus tiga puluh delapan (#115): Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat bagi penuntut ilmu   Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia! Hendaklah kalian menekuni ilmu (mempelajari dan mengamalkan ilmu), karena Allah memiliki pakaian yang Allah sukai. Maka, siapa yang menuntut suatu bab ilmu, maka Allah mengenakan pakaian-Nya kepadanya. Apabila dia melakukan suatu dosa, Allah memberinya kesempatan bertaubat, agar Allah tidak melepas pakaian tersebut sampai dia meninggal dengan tetap mengenakannya.” Jadi, Allah memberinya kesempatan bertaubat maksudnya adalah meminta hamba menghilangkan celaan Allah darinya dengan taubat, memohon ampun, dan beristighfar. Ketika si hamba kembali kepada Allah, celaan dihilangkan darinya. Dengan demikian, Rabb telah menghilangkan celaan darinya. Termasuk di antaranya perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud pada waktu terjadi gempa bumi di Kufah, “Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberi kalian kesempatan untuk bertaubat, maka mintalah ampunan kepada Allah.” Dalam ayat disebutkan, ِفَٱلْيَوْمَ لَا يُخْرَجُونَ مِنْهَا وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ “maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (QS. Al-Jatsiyah: 35) Yaitu, Kami tidak meminta mereka mengilangkan celaan terhadap mereka. Sebab menghilangkan celaan hanya dapat dilakukan dengan melakukan TAUBAT DI DUNIA. Ingat, taubat tidaklah berguna lagi di akhirat. Hal ini berbeda dengan permohonan seorang hamba kepada Allah agar dikasihani. Allah Ta’ala berfirman, ِفَإِن يَصْبِرُوا۟ فَٱلنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ ۖ وَإِن يَسْتَعْتِبُوا۟ فَمَا هُم مِّنَ ٱلْمُعْتَبِينَ “Jika mereka bersabar (menderita azab) maka nerakalah tempat diam mereka dan jika mereka mengemukakan alasan-alasan, maka tidaklah mereka termasuk orang-orang yang pantas dikasihani. (QS. Fushshilat: 24) Makna ayat ini adalah mereka meminta Kami hilangkan celaan terhadap mereka, dan mereka memohon ampunan. “Maka mereka itu tidaklah termasuk orang yang pantas dikasihani“, yaitu celaan tidak patut dihilangkan dari mereka. Permohonan ampunan seperti ini bermanfaat di dunia, tidak di akhirat. Intinya, taubat atau memohon ampunan hanya bermanfat di dunia, tidak di akhirat. Baca juga: Taubatnya Pembunuh 100 Nyawa   Keseratus tiga puluh sembilan (#121): Ulama adalah Manusia Sejati Ibnul Mubarak ditanya, ِمَنِ النَّاس “Siapakah manusia sejati itu?” Dia menjawab, ُالعُلَمَاء “Ulama (ahli ilmu).” Lalu dia ditanya, “Siapakah para raja yang sebenarnya itu?” Dia menjawab, “Orang-orang zuhud.” Dia ditanya, “Siapa orang-orang jelata itu?” Dia menjawab, “Orang yang mencari makan dengan menukarkan agamanya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:395)   Keseratus empat puluh (#124, 50): Menuntut Ilmu itu Jihad Abu Ad-Darda’ berkata, ِمَنْ رَأَى أَنَّ الغُدُوَّ إِلَى العِلْمِ لَيْسَ بِجِهَادٍ فَقَدْ نَقَصِ فِي رَأْيِهِ وَعَقْلِه ْ“Siapa saja yang tidak menganggap pagi-pagi pergi menuntut ilmu sebagai jihad, berarti fungsi akal dan rasio pendapatnya telah berkurang.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:396 dan 1:269-270)   Keseratus empat puluh satu (#124): Menuntut Ilmu itu Lebih Disukai daripada Shalat Malam Abu Ad-Darda’ berkata, ٍلِأَنْ أَتَعَلَّمَ مَسْأَلَةً أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ قِيَامِ لَيْلَة “Sungguh, mempelajari suatu masalah lebih aku sukai daripada melakukan qiyamul lail (shalat malam).” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1:396)   Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.   Referensi: Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Penerbit Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. Mulai dari 1:217.   —   Mulai diringkas, 21 Muharram 1443 H, 27 Agustus 2021 Alhamdulillah diselesaikan pada 18 Syakban 1445 H, 28 Februari 2024 @ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscahaya ilmu ilmu ilmu agama ilmu dan amal ilmuwan jihad ilmu keutamaan ilmu miftah daar as saadah orang berilmu

Nikmat Lapangnya Hati

Lapangnya hati, terbebasnya hati kita dari kegalauan dan kegundahan adalah sebuah nikmat yang sangat besar dari Allah Ta’ala. Lapangnya hati dapat dirasakan dengan ketenangan, kedamaian, dan terjaganya hati dari berbagai kotoran. Hati pun akan merasa bahagia dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sebab hati yang lapang, yang dihindarkan dari galau, resah, dan gelisah, seseorang dapat meraih maslahat agama dan dunia. Dia menjadi mudah melakukan berbagai macam ibadah dan amal kebajikan. Berbeda dengan seseorang yang hatinya sempit, ia selalu gelisah dan sedih. Akibatnya, banyak urusan dunia dan akhiratnya menjadi terbengkalai. Dia tidak mampu dan tidak bersemangat beramal kebaikan, karena hidupnya hanya berpindah dari satu kesedihan menuju kesedihan berikutnya, atau dari satu kegelisahan menuju kegelisahan selanjutnya. Oleh karena itu, sempitnya hati adalah musibah yang paling besar dialami oleh seorang hamba. Lapangnya hati adalah kekuatan dalam hidup kita. Perhatikanlah doa Nabi Musa ‘alaihi as-salam di saat beliau diperintah oleh Allah Ta’ala untuk mendakwahi Fir’aun, قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي   ‎وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي   “Musa mengucapkan doa, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Allah juga menjelaskan dan menyebutkan suatu nikmat yang amat besar yang telah didapatkan Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. As-Syarh: 1) Lapangnya hati adalah sebab yang terbesar seseorang dapat mendapatkan hidayah. Dan sebaliknya, sempitnya hati adalah sebab tersesatnya seorang manusia. (Lihat Syifa’ Al-‘Alil, 1: 351; karya Ibnul Qayyim) Namun, perlu diperhatikan bahwa satu-satunya cara untuk dapat memperoleh nikmat kelapangan hati ini adalah dengan mengamalkan ajaran Islam. Kadar kelapangan hati yang diperoleh oleh seseorang itu selaras dan sebanding dengan kadar keistikamahannya di dalam menjalankan agama ini. Lapangnya hati seorang hamba itu akan bisa diperoleh dengan dua sebab berikut ini: Pertama, taufik dari Allah dan pertolongan-Nya untuk mendapatkan kelapangan hati. Kedua, nikmat hati yang lapang tidak akan mungkin didapat kecuali dengan menjadi hamba Allah yang taat dan istikamah mengamalkan ajaran Islam. Mengapa demikian? Karena hati kita berada di tangan Allah, Allah mampu membolak-balik hati kapan pun sesuai dengan yang Allah Ta’ala kehendaki. Segala hal yang Allah kehendaki, pasti akan terjadi. Sebaliknya, yang tidak Allah kehendaki, pasti tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berfirman, فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ “Siapa saja yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am: 125) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22) Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa kelapangan hati hanya akan didapatkan karena taufik Allah semata. Oleh karena itu, dalam upaya menggapai kelapangan hati, hendaknya dipastikan bahwa kelapangan hati tersebut diusahakan dengan mengamalkan syariat-Nya, berdoa, dan bersandar kepada Allah Ta’ala. Ada beberapa tanda bagi seseorang yang hatinya lapang. Tanda-tanda ini sangat tampak pada diri seorang mukmin, yaitu: Pertama, adanya kesadaran dan selalu ingat kehidupan yang lebih abadi, yaitu akhirat. Kedua, adanya kesadaran untuk menjauh dari kehidupan yang fana dan semu, yaitu dunia. Ketiga, senantiasa mempersiapkan diri untuk bertemu dengan kematian dan kehidupan sesudahnya. Apabila tiga tanda di atas ada pada diri seseorang, maka itu pertanda dia sedang mendapatkan kelapangan serta ketenangan hati. (Lihat Miftaah Daaris Sa’adah, 1: 421; karya Ibnul Qayyim) Adapun seseorang yang tertimpa kegelisahan, kesempitan, dan kesedihan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan doa yang hendaknya setiap kita bisa mengamalkannya. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا  أَصَابَ أَحَدًا قَطٌّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحاً قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَعَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ قَالَ:بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا “Jika seorang hamba yang tertimpa kegelisahan dan kesedihan berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, ketetapan-Mu berlaku pada diriku, takdir-Mu merupakan keadilan bagiku. Saya memohon kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan sendiri untuk diri-Mu, yang Engkau ajarkan kepada seorang hamba-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu; agar Engkau menjadikan Al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelenyap kesedihanku, dan penghilang kegelisahanku’; niscaya Allah Ta’ala akan menghilangkan kegelisahannya dan mengganti kesedihannya dengan kegembiraan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sebaiknya kami mempelajari doa tersebut?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Bahkan setiap muslim yang mendengarnya patut mempelajarinya.’” (HR. Ahmad no. 3712, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 199) Baca juga: Agar Rezeki Lapang dan Umur Panjang *** @Kantor Pogung, 12 Sya’ban 1445/ 22 Februari 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 61; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: lapang hatinikmat Allah

Nikmat Lapangnya Hati

Lapangnya hati, terbebasnya hati kita dari kegalauan dan kegundahan adalah sebuah nikmat yang sangat besar dari Allah Ta’ala. Lapangnya hati dapat dirasakan dengan ketenangan, kedamaian, dan terjaganya hati dari berbagai kotoran. Hati pun akan merasa bahagia dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sebab hati yang lapang, yang dihindarkan dari galau, resah, dan gelisah, seseorang dapat meraih maslahat agama dan dunia. Dia menjadi mudah melakukan berbagai macam ibadah dan amal kebajikan. Berbeda dengan seseorang yang hatinya sempit, ia selalu gelisah dan sedih. Akibatnya, banyak urusan dunia dan akhiratnya menjadi terbengkalai. Dia tidak mampu dan tidak bersemangat beramal kebaikan, karena hidupnya hanya berpindah dari satu kesedihan menuju kesedihan berikutnya, atau dari satu kegelisahan menuju kegelisahan selanjutnya. Oleh karena itu, sempitnya hati adalah musibah yang paling besar dialami oleh seorang hamba. Lapangnya hati adalah kekuatan dalam hidup kita. Perhatikanlah doa Nabi Musa ‘alaihi as-salam di saat beliau diperintah oleh Allah Ta’ala untuk mendakwahi Fir’aun, قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي   ‎وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي   “Musa mengucapkan doa, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Allah juga menjelaskan dan menyebutkan suatu nikmat yang amat besar yang telah didapatkan Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. As-Syarh: 1) Lapangnya hati adalah sebab yang terbesar seseorang dapat mendapatkan hidayah. Dan sebaliknya, sempitnya hati adalah sebab tersesatnya seorang manusia. (Lihat Syifa’ Al-‘Alil, 1: 351; karya Ibnul Qayyim) Namun, perlu diperhatikan bahwa satu-satunya cara untuk dapat memperoleh nikmat kelapangan hati ini adalah dengan mengamalkan ajaran Islam. Kadar kelapangan hati yang diperoleh oleh seseorang itu selaras dan sebanding dengan kadar keistikamahannya di dalam menjalankan agama ini. Lapangnya hati seorang hamba itu akan bisa diperoleh dengan dua sebab berikut ini: Pertama, taufik dari Allah dan pertolongan-Nya untuk mendapatkan kelapangan hati. Kedua, nikmat hati yang lapang tidak akan mungkin didapat kecuali dengan menjadi hamba Allah yang taat dan istikamah mengamalkan ajaran Islam. Mengapa demikian? Karena hati kita berada di tangan Allah, Allah mampu membolak-balik hati kapan pun sesuai dengan yang Allah Ta’ala kehendaki. Segala hal yang Allah kehendaki, pasti akan terjadi. Sebaliknya, yang tidak Allah kehendaki, pasti tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berfirman, فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ “Siapa saja yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am: 125) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22) Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa kelapangan hati hanya akan didapatkan karena taufik Allah semata. Oleh karena itu, dalam upaya menggapai kelapangan hati, hendaknya dipastikan bahwa kelapangan hati tersebut diusahakan dengan mengamalkan syariat-Nya, berdoa, dan bersandar kepada Allah Ta’ala. Ada beberapa tanda bagi seseorang yang hatinya lapang. Tanda-tanda ini sangat tampak pada diri seorang mukmin, yaitu: Pertama, adanya kesadaran dan selalu ingat kehidupan yang lebih abadi, yaitu akhirat. Kedua, adanya kesadaran untuk menjauh dari kehidupan yang fana dan semu, yaitu dunia. Ketiga, senantiasa mempersiapkan diri untuk bertemu dengan kematian dan kehidupan sesudahnya. Apabila tiga tanda di atas ada pada diri seseorang, maka itu pertanda dia sedang mendapatkan kelapangan serta ketenangan hati. (Lihat Miftaah Daaris Sa’adah, 1: 421; karya Ibnul Qayyim) Adapun seseorang yang tertimpa kegelisahan, kesempitan, dan kesedihan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan doa yang hendaknya setiap kita bisa mengamalkannya. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا  أَصَابَ أَحَدًا قَطٌّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحاً قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَعَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ قَالَ:بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا “Jika seorang hamba yang tertimpa kegelisahan dan kesedihan berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, ketetapan-Mu berlaku pada diriku, takdir-Mu merupakan keadilan bagiku. Saya memohon kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan sendiri untuk diri-Mu, yang Engkau ajarkan kepada seorang hamba-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu; agar Engkau menjadikan Al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelenyap kesedihanku, dan penghilang kegelisahanku’; niscaya Allah Ta’ala akan menghilangkan kegelisahannya dan mengganti kesedihannya dengan kegembiraan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sebaiknya kami mempelajari doa tersebut?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Bahkan setiap muslim yang mendengarnya patut mempelajarinya.’” (HR. Ahmad no. 3712, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 199) Baca juga: Agar Rezeki Lapang dan Umur Panjang *** @Kantor Pogung, 12 Sya’ban 1445/ 22 Februari 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 61; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: lapang hatinikmat Allah
Lapangnya hati, terbebasnya hati kita dari kegalauan dan kegundahan adalah sebuah nikmat yang sangat besar dari Allah Ta’ala. Lapangnya hati dapat dirasakan dengan ketenangan, kedamaian, dan terjaganya hati dari berbagai kotoran. Hati pun akan merasa bahagia dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sebab hati yang lapang, yang dihindarkan dari galau, resah, dan gelisah, seseorang dapat meraih maslahat agama dan dunia. Dia menjadi mudah melakukan berbagai macam ibadah dan amal kebajikan. Berbeda dengan seseorang yang hatinya sempit, ia selalu gelisah dan sedih. Akibatnya, banyak urusan dunia dan akhiratnya menjadi terbengkalai. Dia tidak mampu dan tidak bersemangat beramal kebaikan, karena hidupnya hanya berpindah dari satu kesedihan menuju kesedihan berikutnya, atau dari satu kegelisahan menuju kegelisahan selanjutnya. Oleh karena itu, sempitnya hati adalah musibah yang paling besar dialami oleh seorang hamba. Lapangnya hati adalah kekuatan dalam hidup kita. Perhatikanlah doa Nabi Musa ‘alaihi as-salam di saat beliau diperintah oleh Allah Ta’ala untuk mendakwahi Fir’aun, قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي   ‎وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي   “Musa mengucapkan doa, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Allah juga menjelaskan dan menyebutkan suatu nikmat yang amat besar yang telah didapatkan Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. As-Syarh: 1) Lapangnya hati adalah sebab yang terbesar seseorang dapat mendapatkan hidayah. Dan sebaliknya, sempitnya hati adalah sebab tersesatnya seorang manusia. (Lihat Syifa’ Al-‘Alil, 1: 351; karya Ibnul Qayyim) Namun, perlu diperhatikan bahwa satu-satunya cara untuk dapat memperoleh nikmat kelapangan hati ini adalah dengan mengamalkan ajaran Islam. Kadar kelapangan hati yang diperoleh oleh seseorang itu selaras dan sebanding dengan kadar keistikamahannya di dalam menjalankan agama ini. Lapangnya hati seorang hamba itu akan bisa diperoleh dengan dua sebab berikut ini: Pertama, taufik dari Allah dan pertolongan-Nya untuk mendapatkan kelapangan hati. Kedua, nikmat hati yang lapang tidak akan mungkin didapat kecuali dengan menjadi hamba Allah yang taat dan istikamah mengamalkan ajaran Islam. Mengapa demikian? Karena hati kita berada di tangan Allah, Allah mampu membolak-balik hati kapan pun sesuai dengan yang Allah Ta’ala kehendaki. Segala hal yang Allah kehendaki, pasti akan terjadi. Sebaliknya, yang tidak Allah kehendaki, pasti tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berfirman, فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ “Siapa saja yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am: 125) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22) Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa kelapangan hati hanya akan didapatkan karena taufik Allah semata. Oleh karena itu, dalam upaya menggapai kelapangan hati, hendaknya dipastikan bahwa kelapangan hati tersebut diusahakan dengan mengamalkan syariat-Nya, berdoa, dan bersandar kepada Allah Ta’ala. Ada beberapa tanda bagi seseorang yang hatinya lapang. Tanda-tanda ini sangat tampak pada diri seorang mukmin, yaitu: Pertama, adanya kesadaran dan selalu ingat kehidupan yang lebih abadi, yaitu akhirat. Kedua, adanya kesadaran untuk menjauh dari kehidupan yang fana dan semu, yaitu dunia. Ketiga, senantiasa mempersiapkan diri untuk bertemu dengan kematian dan kehidupan sesudahnya. Apabila tiga tanda di atas ada pada diri seseorang, maka itu pertanda dia sedang mendapatkan kelapangan serta ketenangan hati. (Lihat Miftaah Daaris Sa’adah, 1: 421; karya Ibnul Qayyim) Adapun seseorang yang tertimpa kegelisahan, kesempitan, dan kesedihan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan doa yang hendaknya setiap kita bisa mengamalkannya. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا  أَصَابَ أَحَدًا قَطٌّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحاً قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَعَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ قَالَ:بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا “Jika seorang hamba yang tertimpa kegelisahan dan kesedihan berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, ketetapan-Mu berlaku pada diriku, takdir-Mu merupakan keadilan bagiku. Saya memohon kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan sendiri untuk diri-Mu, yang Engkau ajarkan kepada seorang hamba-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu; agar Engkau menjadikan Al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelenyap kesedihanku, dan penghilang kegelisahanku’; niscaya Allah Ta’ala akan menghilangkan kegelisahannya dan mengganti kesedihannya dengan kegembiraan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sebaiknya kami mempelajari doa tersebut?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Bahkan setiap muslim yang mendengarnya patut mempelajarinya.’” (HR. Ahmad no. 3712, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 199) Baca juga: Agar Rezeki Lapang dan Umur Panjang *** @Kantor Pogung, 12 Sya’ban 1445/ 22 Februari 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 61; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: lapang hatinikmat Allah


Lapangnya hati, terbebasnya hati kita dari kegalauan dan kegundahan adalah sebuah nikmat yang sangat besar dari Allah Ta’ala. Lapangnya hati dapat dirasakan dengan ketenangan, kedamaian, dan terjaganya hati dari berbagai kotoran. Hati pun akan merasa bahagia dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sebab hati yang lapang, yang dihindarkan dari galau, resah, dan gelisah, seseorang dapat meraih maslahat agama dan dunia. Dia menjadi mudah melakukan berbagai macam ibadah dan amal kebajikan. Berbeda dengan seseorang yang hatinya sempit, ia selalu gelisah dan sedih. Akibatnya, banyak urusan dunia dan akhiratnya menjadi terbengkalai. Dia tidak mampu dan tidak bersemangat beramal kebaikan, karena hidupnya hanya berpindah dari satu kesedihan menuju kesedihan berikutnya, atau dari satu kegelisahan menuju kegelisahan selanjutnya. Oleh karena itu, sempitnya hati adalah musibah yang paling besar dialami oleh seorang hamba. Lapangnya hati adalah kekuatan dalam hidup kita. Perhatikanlah doa Nabi Musa ‘alaihi as-salam di saat beliau diperintah oleh Allah Ta’ala untuk mendakwahi Fir’aun, قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي   ‎وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي   “Musa mengucapkan doa, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku.” (QS. Thaha: 25-26) Allah juga menjelaskan dan menyebutkan suatu nikmat yang amat besar yang telah didapatkan Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. As-Syarh: 1) Lapangnya hati adalah sebab yang terbesar seseorang dapat mendapatkan hidayah. Dan sebaliknya, sempitnya hati adalah sebab tersesatnya seorang manusia. (Lihat Syifa’ Al-‘Alil, 1: 351; karya Ibnul Qayyim) Namun, perlu diperhatikan bahwa satu-satunya cara untuk dapat memperoleh nikmat kelapangan hati ini adalah dengan mengamalkan ajaran Islam. Kadar kelapangan hati yang diperoleh oleh seseorang itu selaras dan sebanding dengan kadar keistikamahannya di dalam menjalankan agama ini. Lapangnya hati seorang hamba itu akan bisa diperoleh dengan dua sebab berikut ini: Pertama, taufik dari Allah dan pertolongan-Nya untuk mendapatkan kelapangan hati. Kedua, nikmat hati yang lapang tidak akan mungkin didapat kecuali dengan menjadi hamba Allah yang taat dan istikamah mengamalkan ajaran Islam. Mengapa demikian? Karena hati kita berada di tangan Allah, Allah mampu membolak-balik hati kapan pun sesuai dengan yang Allah Ta’ala kehendaki. Segala hal yang Allah kehendaki, pasti akan terjadi. Sebaliknya, yang tidak Allah kehendaki, pasti tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berfirman, فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ “Siapa saja yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am: 125) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22) Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa kelapangan hati hanya akan didapatkan karena taufik Allah semata. Oleh karena itu, dalam upaya menggapai kelapangan hati, hendaknya dipastikan bahwa kelapangan hati tersebut diusahakan dengan mengamalkan syariat-Nya, berdoa, dan bersandar kepada Allah Ta’ala. Ada beberapa tanda bagi seseorang yang hatinya lapang. Tanda-tanda ini sangat tampak pada diri seorang mukmin, yaitu: Pertama, adanya kesadaran dan selalu ingat kehidupan yang lebih abadi, yaitu akhirat. Kedua, adanya kesadaran untuk menjauh dari kehidupan yang fana dan semu, yaitu dunia. Ketiga, senantiasa mempersiapkan diri untuk bertemu dengan kematian dan kehidupan sesudahnya. Apabila tiga tanda di atas ada pada diri seseorang, maka itu pertanda dia sedang mendapatkan kelapangan serta ketenangan hati. (Lihat Miftaah Daaris Sa’adah, 1: 421; karya Ibnul Qayyim) Adapun seseorang yang tertimpa kegelisahan, kesempitan, dan kesedihan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan doa yang hendaknya setiap kita bisa mengamalkannya. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا  أَصَابَ أَحَدًا قَطٌّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحاً قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَعَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ قَالَ:بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا “Jika seorang hamba yang tertimpa kegelisahan dan kesedihan berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, ketetapan-Mu berlaku pada diriku, takdir-Mu merupakan keadilan bagiku. Saya memohon kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan sendiri untuk diri-Mu, yang Engkau ajarkan kepada seorang hamba-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu; agar Engkau menjadikan Al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelenyap kesedihanku, dan penghilang kegelisahanku’; niscaya Allah Ta’ala akan menghilangkan kegelisahannya dan mengganti kesedihannya dengan kegembiraan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sebaiknya kami mempelajari doa tersebut?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Bahkan setiap muslim yang mendengarnya patut mempelajarinya.’” (HR. Ahmad no. 3712, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 199) Baca juga: Agar Rezeki Lapang dan Umur Panjang *** @Kantor Pogung, 12 Sya’ban 1445/ 22 Februari 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 61; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: lapang hatinikmat Allah

Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 3)

Sikap ketiga: Berprasangka baik kepada Allah (husnuzan billah) Termasuk salah satu amalan hati yang agung adalah seseorang hendaknya senantiasa husnuzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Yakinlah bahwa Allah tidak akan membuat kecewa seorang hamba yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya. Karena Allah tidak akan mengecewakan harapan orang-orang yang berharap kepada-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan amalan orang yang beramal. Allah Ta’ala berfirman, وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 115) Sebaliknya, di antara dosa yang paling besar adalah berprasangka buruk kepada Allah. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa prasangka buruk merupakan sifat orang musyrik dan orang munafik. Allah Ta’ala berfirman, وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَٰتِ ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ عَلَيۡهِمۡ دَآئِرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَلَعَنَهُمۡ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرا “Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.“ (QS. Al-Fath: 6) Dari Wasilah bin Asqa’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendaki-Nya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16016; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4316) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Dan jika ia bersangka buruk, maka (keburukan) itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4315) Maksudnya, hendaknya seorang hamba selalu berprasangka baik kepada Allah. Apabila dia beristigfar, dia husnuzan dengan adanya pemberian ampunan dari Allah. Apabila dia bertobat, dia husnuzan akan diterima tobatnya. Apabila berdoa, dia yakin doanya akan dikabulkan. Apabila dia bekerja mencari nafkah, dia husnuzan akan mendapat kecukupan dari Allah. Dan demikian seterusnya. Sedangkan apabila dia berprasangka yang menyelisihi hal itu, maka dia akan mendapat sesuai dengan apa yang dia persangkakan kepada Allah. Ibnu Abid Dunya meriwayatkan di dalam kitabnya, “Husnuzan billah”, dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud, bahwa beliau berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba yang beriman dianugerahkan sesuatau yang lebih baik daripada sikap berbaik sangka kepada Allah. Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba berprasangka baik kepada Allah, kecuali Allah akan membalas prasangkanya tersebut, karena segala kebaikan berada di tangan Allah.“ Di antara kondisi yang super sulit dan puncaknya kesulitan yang akan dihadapi oleh seorang hamba adalah ketika menjelang kematian. Karena pada saat itu, tidak ada lagi amal yang bisa dia lakukan. Meskipun demikian, kita ditekankan untuk selalu husnuzan kepada Allah Ta’ala ketika menjelang kematian tersebut. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiga hari sebelum wafatnya bersabda, لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia harus berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim No. 2877) Kondisi lain yang juga ditekankan bagi hamba untuk berprasangka baik adalah ketika seseorang bertobat dari dosa-dosanya. Husnuzan ini sangat tergantung dari pengetahuan dan pengenalan seorang hamba terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala. Jika seorang muslim mengetahui bahwa Allah adalah Al–Ghaffar (Yang Maha pengampun), maka dia akan berbaik sangka dengan segera beristigfar, memperbanyak istigfar, dan konsisten untuk terus meminta ampun kepada Allah terhadap dosa-dosa dan kesalahannya. Demikian pula, jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah adalah At–Tawwab (Yang Maha menerima tobat), maka dia pun akan memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah ketika bertobat kepada-Nya, setiap kali terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Dia tetap berbaik sangka kepada Allah, meskipun kesalahannya besar, karena dia tahu bahwa Allah Maha luas ampunan-Nya dan Dia akan menerima tobat bagi orang yang bertobat. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) Jika seorang hamba tertimpa musibah atau sakit, dia pun berprasangka baik kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Asy–Syaafi; tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim Khalilurrahman, وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Dia pun berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, اللَّهُـمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا “Ya Allah, Wahai Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembuhkanlah dia. (Hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” (HR. Bukhari No. 5743) Allah Ta’ala juga berfirman, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS Al-Baqarah: 186) Jika seseorang ditimpa musibah berkaitan dengan harta (masalah ekonomi), dia ditimpa kekurangan dan kefakiran, dia pun berbaik sangka kepada Allah. Dia berbaik sangka kepada Allah karena dia meyakini bahwa karunia Allah sangat luas dan pemberian-Nya banyak. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa berbaik sangka kepada Allah senantiasa melekat pada diri seorang mukmin dalam setiap kondisinya, dan juga dalam seluruh amal ibadahnya. Seseorang tidak bisa berbaik sangka kepada Allah, kecuali: 1) dia meyakini luasnya rahmat Allah; 2) meyakini bahwa Allah melihat dan mengetahui kondisi kita; 3) dan meyakini sempurnanya kekuasaan Allah. Kita harus meyakini tiga hal itu, baru kita bisa husnuzan kepada Allah. Oleh karena itu, pada saat seorang hamba menghadapi suatu masalah yang rumit dan berat, dia yakin bahwa kondisinya itu pasti Allah ketahui. Dia pun berbaik sangka kepada Allah, bahwa Allah akan memberinya solusi dan pertolongan atas kesulitannya tersebut. Dia tetap optimis dan tidak putus asa, seberat apapun masalah yang dihadapi. Sunnatullah berlaku bahwa pertolongan dan solusi itu datang saat seseorang di puncak kesulitan. Oleh karena itu, seorang hamba hendaknya memaksimalkan husnuzan-nya saat berada di puncak kesulitan. Saat di puncak kesulitan, di saat itulah dia berada dalam puncak husnuzan billah. Dia yakin bahwa saat ini, tidak ada yang bisa menolongnya kecuali Allah Ta’ala semata. Allah-lah yang mengatur hidupnya. Sehingga hatinya pun tidak berharap lagi kepada manusia. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡئا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!”, maka terjadilah ia.” (QS. Ya Sin: 82) Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan hal ini. Yaitu pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu bakar radhiyallahu ‘anhu bersembunyi di dalam gua, dan hampir saja tertangkap oleh kaum musyrikin. Di saat kegentingan tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berprasangka baik kepada Allah dengan mengatakan kepada Abu Bakar, لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40) Berprasangka baik kepada Allah ini tidaklah mudah. Hendaknya dia senantiasa bertakwa dan menjaga diri dari kemaksiatan, agar dia memiliki amalan hati tersebut. Apabila seseorang bermudah-mudah dalam mengerjakan maksiat, maka dosa dan kesalahan tersebut akan menjauhkan dirinya dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah yang paling baik prasangkanya kepada Allah dan paling baik amalnya. Adapun orang fajir adalah orang yang paling jelek prasangkanya kepada Allah dan paling jelek dalam beramal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al–Mushanaf no. 37925) Oleh karena itu, hendaknya setiap hamba menasihati dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amal yang merupakan buah dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Alllah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69) Kembali ke bagian 2: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 2) Lanjut ke bagian 4: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 4) *** @Rumah Kasongan, 2 Sya’ban 1445/ 12 Februari 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id Tags: kesulitan hidup

Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 3)

Sikap ketiga: Berprasangka baik kepada Allah (husnuzan billah) Termasuk salah satu amalan hati yang agung adalah seseorang hendaknya senantiasa husnuzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Yakinlah bahwa Allah tidak akan membuat kecewa seorang hamba yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya. Karena Allah tidak akan mengecewakan harapan orang-orang yang berharap kepada-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan amalan orang yang beramal. Allah Ta’ala berfirman, وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 115) Sebaliknya, di antara dosa yang paling besar adalah berprasangka buruk kepada Allah. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa prasangka buruk merupakan sifat orang musyrik dan orang munafik. Allah Ta’ala berfirman, وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَٰتِ ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ عَلَيۡهِمۡ دَآئِرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَلَعَنَهُمۡ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرا “Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.“ (QS. Al-Fath: 6) Dari Wasilah bin Asqa’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendaki-Nya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16016; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4316) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Dan jika ia bersangka buruk, maka (keburukan) itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4315) Maksudnya, hendaknya seorang hamba selalu berprasangka baik kepada Allah. Apabila dia beristigfar, dia husnuzan dengan adanya pemberian ampunan dari Allah. Apabila dia bertobat, dia husnuzan akan diterima tobatnya. Apabila berdoa, dia yakin doanya akan dikabulkan. Apabila dia bekerja mencari nafkah, dia husnuzan akan mendapat kecukupan dari Allah. Dan demikian seterusnya. Sedangkan apabila dia berprasangka yang menyelisihi hal itu, maka dia akan mendapat sesuai dengan apa yang dia persangkakan kepada Allah. Ibnu Abid Dunya meriwayatkan di dalam kitabnya, “Husnuzan billah”, dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud, bahwa beliau berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba yang beriman dianugerahkan sesuatau yang lebih baik daripada sikap berbaik sangka kepada Allah. Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba berprasangka baik kepada Allah, kecuali Allah akan membalas prasangkanya tersebut, karena segala kebaikan berada di tangan Allah.“ Di antara kondisi yang super sulit dan puncaknya kesulitan yang akan dihadapi oleh seorang hamba adalah ketika menjelang kematian. Karena pada saat itu, tidak ada lagi amal yang bisa dia lakukan. Meskipun demikian, kita ditekankan untuk selalu husnuzan kepada Allah Ta’ala ketika menjelang kematian tersebut. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiga hari sebelum wafatnya bersabda, لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia harus berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim No. 2877) Kondisi lain yang juga ditekankan bagi hamba untuk berprasangka baik adalah ketika seseorang bertobat dari dosa-dosanya. Husnuzan ini sangat tergantung dari pengetahuan dan pengenalan seorang hamba terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala. Jika seorang muslim mengetahui bahwa Allah adalah Al–Ghaffar (Yang Maha pengampun), maka dia akan berbaik sangka dengan segera beristigfar, memperbanyak istigfar, dan konsisten untuk terus meminta ampun kepada Allah terhadap dosa-dosa dan kesalahannya. Demikian pula, jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah adalah At–Tawwab (Yang Maha menerima tobat), maka dia pun akan memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah ketika bertobat kepada-Nya, setiap kali terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Dia tetap berbaik sangka kepada Allah, meskipun kesalahannya besar, karena dia tahu bahwa Allah Maha luas ampunan-Nya dan Dia akan menerima tobat bagi orang yang bertobat. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) Jika seorang hamba tertimpa musibah atau sakit, dia pun berprasangka baik kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Asy–Syaafi; tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim Khalilurrahman, وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Dia pun berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, اللَّهُـمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا “Ya Allah, Wahai Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembuhkanlah dia. (Hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” (HR. Bukhari No. 5743) Allah Ta’ala juga berfirman, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS Al-Baqarah: 186) Jika seseorang ditimpa musibah berkaitan dengan harta (masalah ekonomi), dia ditimpa kekurangan dan kefakiran, dia pun berbaik sangka kepada Allah. Dia berbaik sangka kepada Allah karena dia meyakini bahwa karunia Allah sangat luas dan pemberian-Nya banyak. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa berbaik sangka kepada Allah senantiasa melekat pada diri seorang mukmin dalam setiap kondisinya, dan juga dalam seluruh amal ibadahnya. Seseorang tidak bisa berbaik sangka kepada Allah, kecuali: 1) dia meyakini luasnya rahmat Allah; 2) meyakini bahwa Allah melihat dan mengetahui kondisi kita; 3) dan meyakini sempurnanya kekuasaan Allah. Kita harus meyakini tiga hal itu, baru kita bisa husnuzan kepada Allah. Oleh karena itu, pada saat seorang hamba menghadapi suatu masalah yang rumit dan berat, dia yakin bahwa kondisinya itu pasti Allah ketahui. Dia pun berbaik sangka kepada Allah, bahwa Allah akan memberinya solusi dan pertolongan atas kesulitannya tersebut. Dia tetap optimis dan tidak putus asa, seberat apapun masalah yang dihadapi. Sunnatullah berlaku bahwa pertolongan dan solusi itu datang saat seseorang di puncak kesulitan. Oleh karena itu, seorang hamba hendaknya memaksimalkan husnuzan-nya saat berada di puncak kesulitan. Saat di puncak kesulitan, di saat itulah dia berada dalam puncak husnuzan billah. Dia yakin bahwa saat ini, tidak ada yang bisa menolongnya kecuali Allah Ta’ala semata. Allah-lah yang mengatur hidupnya. Sehingga hatinya pun tidak berharap lagi kepada manusia. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡئا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!”, maka terjadilah ia.” (QS. Ya Sin: 82) Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan hal ini. Yaitu pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu bakar radhiyallahu ‘anhu bersembunyi di dalam gua, dan hampir saja tertangkap oleh kaum musyrikin. Di saat kegentingan tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berprasangka baik kepada Allah dengan mengatakan kepada Abu Bakar, لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40) Berprasangka baik kepada Allah ini tidaklah mudah. Hendaknya dia senantiasa bertakwa dan menjaga diri dari kemaksiatan, agar dia memiliki amalan hati tersebut. Apabila seseorang bermudah-mudah dalam mengerjakan maksiat, maka dosa dan kesalahan tersebut akan menjauhkan dirinya dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah yang paling baik prasangkanya kepada Allah dan paling baik amalnya. Adapun orang fajir adalah orang yang paling jelek prasangkanya kepada Allah dan paling jelek dalam beramal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al–Mushanaf no. 37925) Oleh karena itu, hendaknya setiap hamba menasihati dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amal yang merupakan buah dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Alllah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69) Kembali ke bagian 2: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 2) Lanjut ke bagian 4: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 4) *** @Rumah Kasongan, 2 Sya’ban 1445/ 12 Februari 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id Tags: kesulitan hidup
Sikap ketiga: Berprasangka baik kepada Allah (husnuzan billah) Termasuk salah satu amalan hati yang agung adalah seseorang hendaknya senantiasa husnuzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Yakinlah bahwa Allah tidak akan membuat kecewa seorang hamba yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya. Karena Allah tidak akan mengecewakan harapan orang-orang yang berharap kepada-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan amalan orang yang beramal. Allah Ta’ala berfirman, وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 115) Sebaliknya, di antara dosa yang paling besar adalah berprasangka buruk kepada Allah. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa prasangka buruk merupakan sifat orang musyrik dan orang munafik. Allah Ta’ala berfirman, وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَٰتِ ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ عَلَيۡهِمۡ دَآئِرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَلَعَنَهُمۡ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرا “Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.“ (QS. Al-Fath: 6) Dari Wasilah bin Asqa’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendaki-Nya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16016; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4316) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Dan jika ia bersangka buruk, maka (keburukan) itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4315) Maksudnya, hendaknya seorang hamba selalu berprasangka baik kepada Allah. Apabila dia beristigfar, dia husnuzan dengan adanya pemberian ampunan dari Allah. Apabila dia bertobat, dia husnuzan akan diterima tobatnya. Apabila berdoa, dia yakin doanya akan dikabulkan. Apabila dia bekerja mencari nafkah, dia husnuzan akan mendapat kecukupan dari Allah. Dan demikian seterusnya. Sedangkan apabila dia berprasangka yang menyelisihi hal itu, maka dia akan mendapat sesuai dengan apa yang dia persangkakan kepada Allah. Ibnu Abid Dunya meriwayatkan di dalam kitabnya, “Husnuzan billah”, dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud, bahwa beliau berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba yang beriman dianugerahkan sesuatau yang lebih baik daripada sikap berbaik sangka kepada Allah. Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba berprasangka baik kepada Allah, kecuali Allah akan membalas prasangkanya tersebut, karena segala kebaikan berada di tangan Allah.“ Di antara kondisi yang super sulit dan puncaknya kesulitan yang akan dihadapi oleh seorang hamba adalah ketika menjelang kematian. Karena pada saat itu, tidak ada lagi amal yang bisa dia lakukan. Meskipun demikian, kita ditekankan untuk selalu husnuzan kepada Allah Ta’ala ketika menjelang kematian tersebut. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiga hari sebelum wafatnya bersabda, لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia harus berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim No. 2877) Kondisi lain yang juga ditekankan bagi hamba untuk berprasangka baik adalah ketika seseorang bertobat dari dosa-dosanya. Husnuzan ini sangat tergantung dari pengetahuan dan pengenalan seorang hamba terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala. Jika seorang muslim mengetahui bahwa Allah adalah Al–Ghaffar (Yang Maha pengampun), maka dia akan berbaik sangka dengan segera beristigfar, memperbanyak istigfar, dan konsisten untuk terus meminta ampun kepada Allah terhadap dosa-dosa dan kesalahannya. Demikian pula, jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah adalah At–Tawwab (Yang Maha menerima tobat), maka dia pun akan memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah ketika bertobat kepada-Nya, setiap kali terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Dia tetap berbaik sangka kepada Allah, meskipun kesalahannya besar, karena dia tahu bahwa Allah Maha luas ampunan-Nya dan Dia akan menerima tobat bagi orang yang bertobat. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) Jika seorang hamba tertimpa musibah atau sakit, dia pun berprasangka baik kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Asy–Syaafi; tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim Khalilurrahman, وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Dia pun berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, اللَّهُـمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا “Ya Allah, Wahai Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembuhkanlah dia. (Hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” (HR. Bukhari No. 5743) Allah Ta’ala juga berfirman, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS Al-Baqarah: 186) Jika seseorang ditimpa musibah berkaitan dengan harta (masalah ekonomi), dia ditimpa kekurangan dan kefakiran, dia pun berbaik sangka kepada Allah. Dia berbaik sangka kepada Allah karena dia meyakini bahwa karunia Allah sangat luas dan pemberian-Nya banyak. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa berbaik sangka kepada Allah senantiasa melekat pada diri seorang mukmin dalam setiap kondisinya, dan juga dalam seluruh amal ibadahnya. Seseorang tidak bisa berbaik sangka kepada Allah, kecuali: 1) dia meyakini luasnya rahmat Allah; 2) meyakini bahwa Allah melihat dan mengetahui kondisi kita; 3) dan meyakini sempurnanya kekuasaan Allah. Kita harus meyakini tiga hal itu, baru kita bisa husnuzan kepada Allah. Oleh karena itu, pada saat seorang hamba menghadapi suatu masalah yang rumit dan berat, dia yakin bahwa kondisinya itu pasti Allah ketahui. Dia pun berbaik sangka kepada Allah, bahwa Allah akan memberinya solusi dan pertolongan atas kesulitannya tersebut. Dia tetap optimis dan tidak putus asa, seberat apapun masalah yang dihadapi. Sunnatullah berlaku bahwa pertolongan dan solusi itu datang saat seseorang di puncak kesulitan. Oleh karena itu, seorang hamba hendaknya memaksimalkan husnuzan-nya saat berada di puncak kesulitan. Saat di puncak kesulitan, di saat itulah dia berada dalam puncak husnuzan billah. Dia yakin bahwa saat ini, tidak ada yang bisa menolongnya kecuali Allah Ta’ala semata. Allah-lah yang mengatur hidupnya. Sehingga hatinya pun tidak berharap lagi kepada manusia. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡئا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!”, maka terjadilah ia.” (QS. Ya Sin: 82) Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan hal ini. Yaitu pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu bakar radhiyallahu ‘anhu bersembunyi di dalam gua, dan hampir saja tertangkap oleh kaum musyrikin. Di saat kegentingan tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berprasangka baik kepada Allah dengan mengatakan kepada Abu Bakar, لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40) Berprasangka baik kepada Allah ini tidaklah mudah. Hendaknya dia senantiasa bertakwa dan menjaga diri dari kemaksiatan, agar dia memiliki amalan hati tersebut. Apabila seseorang bermudah-mudah dalam mengerjakan maksiat, maka dosa dan kesalahan tersebut akan menjauhkan dirinya dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah yang paling baik prasangkanya kepada Allah dan paling baik amalnya. Adapun orang fajir adalah orang yang paling jelek prasangkanya kepada Allah dan paling jelek dalam beramal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al–Mushanaf no. 37925) Oleh karena itu, hendaknya setiap hamba menasihati dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amal yang merupakan buah dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Alllah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69) Kembali ke bagian 2: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 2) Lanjut ke bagian 4: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 4) *** @Rumah Kasongan, 2 Sya’ban 1445/ 12 Februari 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id Tags: kesulitan hidup


Sikap ketiga: Berprasangka baik kepada Allah (husnuzan billah) Termasuk salah satu amalan hati yang agung adalah seseorang hendaknya senantiasa husnuzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Yakinlah bahwa Allah tidak akan membuat kecewa seorang hamba yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya. Karena Allah tidak akan mengecewakan harapan orang-orang yang berharap kepada-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan amalan orang yang beramal. Allah Ta’ala berfirman, وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 115) Sebaliknya, di antara dosa yang paling besar adalah berprasangka buruk kepada Allah. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa prasangka buruk merupakan sifat orang musyrik dan orang munafik. Allah Ta’ala berfirman, وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَٰتِ ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ عَلَيۡهِمۡ دَآئِرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَلَعَنَهُمۡ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرا “Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.“ (QS. Al-Fath: 6) Dari Wasilah bin Asqa’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendaki-Nya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16016; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4316) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ “Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Dan jika ia bersangka buruk, maka (keburukan) itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4315) Maksudnya, hendaknya seorang hamba selalu berprasangka baik kepada Allah. Apabila dia beristigfar, dia husnuzan dengan adanya pemberian ampunan dari Allah. Apabila dia bertobat, dia husnuzan akan diterima tobatnya. Apabila berdoa, dia yakin doanya akan dikabulkan. Apabila dia bekerja mencari nafkah, dia husnuzan akan mendapat kecukupan dari Allah. Dan demikian seterusnya. Sedangkan apabila dia berprasangka yang menyelisihi hal itu, maka dia akan mendapat sesuai dengan apa yang dia persangkakan kepada Allah. Ibnu Abid Dunya meriwayatkan di dalam kitabnya, “Husnuzan billah”, dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud, bahwa beliau berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba yang beriman dianugerahkan sesuatau yang lebih baik daripada sikap berbaik sangka kepada Allah. Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba berprasangka baik kepada Allah, kecuali Allah akan membalas prasangkanya tersebut, karena segala kebaikan berada di tangan Allah.“ Di antara kondisi yang super sulit dan puncaknya kesulitan yang akan dihadapi oleh seorang hamba adalah ketika menjelang kematian. Karena pada saat itu, tidak ada lagi amal yang bisa dia lakukan. Meskipun demikian, kita ditekankan untuk selalu husnuzan kepada Allah Ta’ala ketika menjelang kematian tersebut. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiga hari sebelum wafatnya bersabda, لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ “Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia harus berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim No. 2877) Kondisi lain yang juga ditekankan bagi hamba untuk berprasangka baik adalah ketika seseorang bertobat dari dosa-dosanya. Husnuzan ini sangat tergantung dari pengetahuan dan pengenalan seorang hamba terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala. Jika seorang muslim mengetahui bahwa Allah adalah Al–Ghaffar (Yang Maha pengampun), maka dia akan berbaik sangka dengan segera beristigfar, memperbanyak istigfar, dan konsisten untuk terus meminta ampun kepada Allah terhadap dosa-dosa dan kesalahannya. Demikian pula, jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah adalah At–Tawwab (Yang Maha menerima tobat), maka dia pun akan memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah ketika bertobat kepada-Nya, setiap kali terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Dia tetap berbaik sangka kepada Allah, meskipun kesalahannya besar, karena dia tahu bahwa Allah Maha luas ampunan-Nya dan Dia akan menerima tobat bagi orang yang bertobat. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ “Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) Jika seorang hamba tertimpa musibah atau sakit, dia pun berprasangka baik kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Asy–Syaafi; tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim Khalilurrahman, وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80) Dia pun berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, اللَّهُـمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا “Ya Allah, Wahai Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembuhkanlah dia. (Hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” (HR. Bukhari No. 5743) Allah Ta’ala juga berfirman, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS Al-Baqarah: 186) Jika seseorang ditimpa musibah berkaitan dengan harta (masalah ekonomi), dia ditimpa kekurangan dan kefakiran, dia pun berbaik sangka kepada Allah. Dia berbaik sangka kepada Allah karena dia meyakini bahwa karunia Allah sangat luas dan pemberian-Nya banyak. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa berbaik sangka kepada Allah senantiasa melekat pada diri seorang mukmin dalam setiap kondisinya, dan juga dalam seluruh amal ibadahnya. Seseorang tidak bisa berbaik sangka kepada Allah, kecuali: 1) dia meyakini luasnya rahmat Allah; 2) meyakini bahwa Allah melihat dan mengetahui kondisi kita; 3) dan meyakini sempurnanya kekuasaan Allah. Kita harus meyakini tiga hal itu, baru kita bisa husnuzan kepada Allah. Oleh karena itu, pada saat seorang hamba menghadapi suatu masalah yang rumit dan berat, dia yakin bahwa kondisinya itu pasti Allah ketahui. Dia pun berbaik sangka kepada Allah, bahwa Allah akan memberinya solusi dan pertolongan atas kesulitannya tersebut. Dia tetap optimis dan tidak putus asa, seberat apapun masalah yang dihadapi. Sunnatullah berlaku bahwa pertolongan dan solusi itu datang saat seseorang di puncak kesulitan. Oleh karena itu, seorang hamba hendaknya memaksimalkan husnuzan-nya saat berada di puncak kesulitan. Saat di puncak kesulitan, di saat itulah dia berada dalam puncak husnuzan billah. Dia yakin bahwa saat ini, tidak ada yang bisa menolongnya kecuali Allah Ta’ala semata. Allah-lah yang mengatur hidupnya. Sehingga hatinya pun tidak berharap lagi kepada manusia. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡئا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!”, maka terjadilah ia.” (QS. Ya Sin: 82) Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan hal ini. Yaitu pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu bakar radhiyallahu ‘anhu bersembunyi di dalam gua, dan hampir saja tertangkap oleh kaum musyrikin. Di saat kegentingan tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berprasangka baik kepada Allah dengan mengatakan kepada Abu Bakar, لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40) Berprasangka baik kepada Allah ini tidaklah mudah. Hendaknya dia senantiasa bertakwa dan menjaga diri dari kemaksiatan, agar dia memiliki amalan hati tersebut. Apabila seseorang bermudah-mudah dalam mengerjakan maksiat, maka dosa dan kesalahan tersebut akan menjauhkan dirinya dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah yang paling baik prasangkanya kepada Allah dan paling baik amalnya. Adapun orang fajir adalah orang yang paling jelek prasangkanya kepada Allah dan paling jelek dalam beramal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al–Mushanaf no. 37925) Oleh karena itu, hendaknya setiap hamba menasihati dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amal yang merupakan buah dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Alllah Ta’ala berfirman, وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69) Kembali ke bagian 2: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 2) Lanjut ke bagian 4: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 4) *** @Rumah Kasongan, 2 Sya’ban 1445/ 12 Februari 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id Tags: kesulitan hidup

Penjelasan Hadis tentang Mengkhususkan Surat Al-Ikhlas

Pertanyaan: Dalam suatu hadis disebutkan bahwa ada sahabat Nabi yang dalam salatnya selalu membaca surat Al-Ikhlas di rakaat terakhir. Apakah ini dalil tentang bolehnya membuat perkara baru dalam agama selama itu baik seperti yang dilakukan sahabat Nabi tersebut? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-salatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Kisah tersebut ada dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا علَى سَرِيَّةٍ، وكانَ يَقْرَأُ لأصْحَابِهِ في صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بقُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ، فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذلكَ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: سَلُوهُ لأيِّ شيءٍ يَصْنَعُ ذلكَ؟، فَسَأَلُوهُ، فَقالَ: لأنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وأَنَا أُحِبُّ أنْ أقْرَأَ بهَا، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أخْبِرُوهُ أنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ “Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengutus seorang laki-laki untuk memimpin pasukan perang. Lelaki ini ketika mengimami salat selalu mengakhiri dengan bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Ketika mereka kembali dari perang, para pasukan tersebut mengabarkannya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau pun bersabda: “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukan demikian?” Maka mereka menanyakannya dan lelaki tersebut menjawab: “Karena surat Al-Ikhlas berisi tentang sifat Ar -ahman, sehingga saya suka untuk membacanya”. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kabarkan kepadanya bahwa Allah ta’ala juga mencintainya” (HR. Al-Bukhari no.7375). Dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau berkata: أنَّ رَجُلًا سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ قُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ يُرَدِّدُهَا، فَلَمَّا أصْبَحَ جَاءَ إلى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَذَكَرَ له ذلكَ، وكَأنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: والذي نَفْسِي بيَدِهِ، إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ “Ada seorang sahabat Nabi yang mendengar sahabat Nabi yang lain senantiasa mengulang-ulang bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Esok harinya, disampaikan perihal tersebut kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Dan ada orang yang seolah-olah menganggap remeh perbuatan sahabat tersebut. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat Al-Ikhlas itu setara dengan sepertiga Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari no.7374, Muslim no.812). Sebenarnya dalam hadis-hadis ini sama sekali tidak ada pendalilan tentang bolehnya membuat bid’ah hasanah. Di sisi lain, dalil-dalil tentang haramnya bid’ah dan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan, jumlahnya sangat banyak dan maknanya sangat jelas. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718) Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718). Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan, أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867) Dalam riwayat An-Nasa’i, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An-Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An-Nasa’i). Dalil-dalil di atas sangat jelas dan terang benderang melarang segala bentuk kebid’ahan. Namun memang demikian orang-orang yang terdapat penyakit dalam hatinya dan dikuasai hawa nafsunya, mereka mengedepankan argumen-argumen yang samar dan meninggalkan dalil-dalil yang banyak dan terang benderang. Sebagaimana firman Allah ta’ala: هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ “Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wil-nya.” (QS. Ali Imran: 7). Kemudian, apa yang dilakukan oleh seorang sahabat Nabi di atas, yaitu ia menyukai untuk membaca surat Al-Ikhlas karena menyukai isi yang terkandung di dalamnya, ini bukan bid’ah sama sekali. Karena sahabat tersebut tidak menetapkan suatu keyakinan atau tata cara ibadah tertentu. Ini sama seperti ketika seseorang hanya hafal surat Al-Ikhlas saja dari Al-Qur’an, sehingga ia mengulang-ulang bacaannya dalam salat, maka ia tidak dianggap melakukan bid’ah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya, “Apa hukumnya lebih mengutamakan surat tertentu? Semisal saya lebih menyukai surat Maryam dan sering membacanya. Karena saya merasakan kenyamanan dan menikmatinya ketika membacanya”. Beliau menjawab: لا حرج أن يفضل الإنسان سورة من القرآن على سورة أخرى لأي سبب من الأسباب ؛ وإلا فالكل كلام الله عز وجل ، فالقرآن من حيث المتكلم به وهو الله سبحانه وتعالى لا يتفاضل ، أما من حيث ما يشتمل عليه من المعاني الجليلة العظيمة فإنه يتفاضل . Tidak mengapa jika seseorang lebih mengutamakan surat tertentu dari Al-Qur’an atas dasar sebab tertentu. Meskipun sebenarnya semua ayat adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla. Al-Qur’an dilihat dari sisi siapa yang mengucapkannya maka Ia adalah Allah, sehingga semua ayatnya sama dan tidak ada bedanya. Namun dari segi maknanya, maka satu surat atau ayat yang lain berbeda-beda keutamaannya. ولهذا ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ( إن أعظم سورة في كتاب الله سورة الفاتحة وإن أعظم آية في كتاب الله آية الكرسي ). وكان أحد الصحابة قد بعثه النبي صلى الله عليه وسلم في سرية ، فكان يقرأ القرآن لأصحابه ، ويختتم بسورة الإخلاص ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم :( سلوه لأي شيء كان يصنع ذلك ) فقال : لأنها صفة الرحمن وأنا أحب أن أقرأها ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم ( أخبروه أن الله يحبه ) . “Terdapat hadis yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya surat yang paling agung dalam Al-Qur’an adalah surat Al-Fatihah, dan sesungguhnya ayat yang paling agung adalah ayat kursi” (HR. Muslim no.810). Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengutus seorang laki-laki untuk memimpin pasukan perang. Lelaki ini ketika mengimami salat ia selalu mengakhiri dengan bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Ketika mereka kembali dari perang, para pasukan tersebut mengabarkannya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau pun bersabda: “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukan demikian?” Maka mereka menanyakannya dan lelaki tersebut menjawab: “Karena surat Al-Ikhlas berisi tentang sifat Ar-Rahman, sehingga saya suka untuk membacanya”. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kabarkan kepadanya bahwa Allah ta’ala juga mencintainya” (HR. Al-Bukhari no.7375). وثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ( إن سورة الإخلاص تعادل ثلث القرآن ) ، فإذا كان هذا السائل يحب قراءة سورة مريم لما فيها من القصص العظيمة النافعة ، ولما فيها من ذكر الجزاء في اليوم الآخر ، والإنكار على من كذب بآيات الله وكفر بها ، وأعجب بما أعطاه الله من المال ، وما إلى ذلك من المعاني ، فإن هذا لا بأس به ، ولا حرج عليه Terdapat hadis yang shahih juga dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya surat Al-Ikhlas itu setara dengan sepertiga al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari no.7374, Muslim no.812). Sehingga, jika penanya di atas menyukai untuk membaca surat Maryam karena terdapat kisah agung yang bermanfaat, karena di dalamnya menyebutkan balasan kebaikan di hari akhir, juga isinya mengingkari orang yang mendustakan dan kufur terhadap ayat-ayat Allah, bangga dengan harta yang Allah berikan kepadanya, dan lain sebagainya. Maka ini tidak mengapa dan tidak berdosa”. (Fatawa Islamiyah, 4/50). Maka apa yang dilakukan oleh sahabat tersebut bukanlah merupakan kebid’ahan. Oleh karena itu Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidaklah mengingkarinya. Sehingga dalam hadis ini sama sekali tidak ada pendalilan tentang bid’ah hasanah. Dan tidak ada satu pun salafus shalih atau ulama pensyarah hadis Shahih Bukhari yang memahami bahwa hadis ini memberikan faedah tentang bolehnya membuat bid’ah hasanah. Ini pemahaman yang tidak ada asalnya dan terlalu dipaksakan. Adapun yang bisa menjadi suatu kebid’ahan ada jika diyakini adanya anjuran atau keutamaan khusus membaca surat Al-Ikhlas di rakaat kedua atau rakaat terakhir tanpa dalil. Karena ini berarti menetapkan suatu cara ibadah tanpa dalil. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menjelaskan: ومن البدع التخصيص بلا دليل ، بقراءة آية ، أو سورة في زمان أو مكان أو لحاجة من الحاجات ، وهكذا قصد التخصيص بلا دليل “Termasuk kebid’ahan, jika seseorang mengkhususkan suatu ayat atau surat tertentu tanpa dalil, dengan membacanya pada waktu atau tempat tertentu atau kebutuhan tertentu” (Bida’ul Qira’ah, 14). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mlm Paytren, Amalan Untuk Orang Tua Yang Sudah Meninggal, Doa Dijauhkan Dari Fitnah, Hadits Qada Dan Qadar, Kumpulan Hadits Tentang Kebersihan, Biar Suami Betah Dirumah Visited 704 times, 6 visit(s) today Post Views: 560 QRIS donasi Yufid

Penjelasan Hadis tentang Mengkhususkan Surat Al-Ikhlas

Pertanyaan: Dalam suatu hadis disebutkan bahwa ada sahabat Nabi yang dalam salatnya selalu membaca surat Al-Ikhlas di rakaat terakhir. Apakah ini dalil tentang bolehnya membuat perkara baru dalam agama selama itu baik seperti yang dilakukan sahabat Nabi tersebut? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-salatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Kisah tersebut ada dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا علَى سَرِيَّةٍ، وكانَ يَقْرَأُ لأصْحَابِهِ في صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بقُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ، فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذلكَ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: سَلُوهُ لأيِّ شيءٍ يَصْنَعُ ذلكَ؟، فَسَأَلُوهُ، فَقالَ: لأنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وأَنَا أُحِبُّ أنْ أقْرَأَ بهَا، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أخْبِرُوهُ أنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ “Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengutus seorang laki-laki untuk memimpin pasukan perang. Lelaki ini ketika mengimami salat selalu mengakhiri dengan bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Ketika mereka kembali dari perang, para pasukan tersebut mengabarkannya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau pun bersabda: “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukan demikian?” Maka mereka menanyakannya dan lelaki tersebut menjawab: “Karena surat Al-Ikhlas berisi tentang sifat Ar -ahman, sehingga saya suka untuk membacanya”. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kabarkan kepadanya bahwa Allah ta’ala juga mencintainya” (HR. Al-Bukhari no.7375). Dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau berkata: أنَّ رَجُلًا سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ قُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ يُرَدِّدُهَا، فَلَمَّا أصْبَحَ جَاءَ إلى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَذَكَرَ له ذلكَ، وكَأنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: والذي نَفْسِي بيَدِهِ، إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ “Ada seorang sahabat Nabi yang mendengar sahabat Nabi yang lain senantiasa mengulang-ulang bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Esok harinya, disampaikan perihal tersebut kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Dan ada orang yang seolah-olah menganggap remeh perbuatan sahabat tersebut. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat Al-Ikhlas itu setara dengan sepertiga Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari no.7374, Muslim no.812). Sebenarnya dalam hadis-hadis ini sama sekali tidak ada pendalilan tentang bolehnya membuat bid’ah hasanah. Di sisi lain, dalil-dalil tentang haramnya bid’ah dan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan, jumlahnya sangat banyak dan maknanya sangat jelas. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718) Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718). Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan, أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867) Dalam riwayat An-Nasa’i, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An-Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An-Nasa’i). Dalil-dalil di atas sangat jelas dan terang benderang melarang segala bentuk kebid’ahan. Namun memang demikian orang-orang yang terdapat penyakit dalam hatinya dan dikuasai hawa nafsunya, mereka mengedepankan argumen-argumen yang samar dan meninggalkan dalil-dalil yang banyak dan terang benderang. Sebagaimana firman Allah ta’ala: هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ “Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wil-nya.” (QS. Ali Imran: 7). Kemudian, apa yang dilakukan oleh seorang sahabat Nabi di atas, yaitu ia menyukai untuk membaca surat Al-Ikhlas karena menyukai isi yang terkandung di dalamnya, ini bukan bid’ah sama sekali. Karena sahabat tersebut tidak menetapkan suatu keyakinan atau tata cara ibadah tertentu. Ini sama seperti ketika seseorang hanya hafal surat Al-Ikhlas saja dari Al-Qur’an, sehingga ia mengulang-ulang bacaannya dalam salat, maka ia tidak dianggap melakukan bid’ah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya, “Apa hukumnya lebih mengutamakan surat tertentu? Semisal saya lebih menyukai surat Maryam dan sering membacanya. Karena saya merasakan kenyamanan dan menikmatinya ketika membacanya”. Beliau menjawab: لا حرج أن يفضل الإنسان سورة من القرآن على سورة أخرى لأي سبب من الأسباب ؛ وإلا فالكل كلام الله عز وجل ، فالقرآن من حيث المتكلم به وهو الله سبحانه وتعالى لا يتفاضل ، أما من حيث ما يشتمل عليه من المعاني الجليلة العظيمة فإنه يتفاضل . Tidak mengapa jika seseorang lebih mengutamakan surat tertentu dari Al-Qur’an atas dasar sebab tertentu. Meskipun sebenarnya semua ayat adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla. Al-Qur’an dilihat dari sisi siapa yang mengucapkannya maka Ia adalah Allah, sehingga semua ayatnya sama dan tidak ada bedanya. Namun dari segi maknanya, maka satu surat atau ayat yang lain berbeda-beda keutamaannya. ولهذا ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ( إن أعظم سورة في كتاب الله سورة الفاتحة وإن أعظم آية في كتاب الله آية الكرسي ). وكان أحد الصحابة قد بعثه النبي صلى الله عليه وسلم في سرية ، فكان يقرأ القرآن لأصحابه ، ويختتم بسورة الإخلاص ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم :( سلوه لأي شيء كان يصنع ذلك ) فقال : لأنها صفة الرحمن وأنا أحب أن أقرأها ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم ( أخبروه أن الله يحبه ) . “Terdapat hadis yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya surat yang paling agung dalam Al-Qur’an adalah surat Al-Fatihah, dan sesungguhnya ayat yang paling agung adalah ayat kursi” (HR. Muslim no.810). Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengutus seorang laki-laki untuk memimpin pasukan perang. Lelaki ini ketika mengimami salat ia selalu mengakhiri dengan bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Ketika mereka kembali dari perang, para pasukan tersebut mengabarkannya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau pun bersabda: “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukan demikian?” Maka mereka menanyakannya dan lelaki tersebut menjawab: “Karena surat Al-Ikhlas berisi tentang sifat Ar-Rahman, sehingga saya suka untuk membacanya”. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kabarkan kepadanya bahwa Allah ta’ala juga mencintainya” (HR. Al-Bukhari no.7375). وثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ( إن سورة الإخلاص تعادل ثلث القرآن ) ، فإذا كان هذا السائل يحب قراءة سورة مريم لما فيها من القصص العظيمة النافعة ، ولما فيها من ذكر الجزاء في اليوم الآخر ، والإنكار على من كذب بآيات الله وكفر بها ، وأعجب بما أعطاه الله من المال ، وما إلى ذلك من المعاني ، فإن هذا لا بأس به ، ولا حرج عليه Terdapat hadis yang shahih juga dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya surat Al-Ikhlas itu setara dengan sepertiga al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari no.7374, Muslim no.812). Sehingga, jika penanya di atas menyukai untuk membaca surat Maryam karena terdapat kisah agung yang bermanfaat, karena di dalamnya menyebutkan balasan kebaikan di hari akhir, juga isinya mengingkari orang yang mendustakan dan kufur terhadap ayat-ayat Allah, bangga dengan harta yang Allah berikan kepadanya, dan lain sebagainya. Maka ini tidak mengapa dan tidak berdosa”. (Fatawa Islamiyah, 4/50). Maka apa yang dilakukan oleh sahabat tersebut bukanlah merupakan kebid’ahan. Oleh karena itu Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidaklah mengingkarinya. Sehingga dalam hadis ini sama sekali tidak ada pendalilan tentang bid’ah hasanah. Dan tidak ada satu pun salafus shalih atau ulama pensyarah hadis Shahih Bukhari yang memahami bahwa hadis ini memberikan faedah tentang bolehnya membuat bid’ah hasanah. Ini pemahaman yang tidak ada asalnya dan terlalu dipaksakan. Adapun yang bisa menjadi suatu kebid’ahan ada jika diyakini adanya anjuran atau keutamaan khusus membaca surat Al-Ikhlas di rakaat kedua atau rakaat terakhir tanpa dalil. Karena ini berarti menetapkan suatu cara ibadah tanpa dalil. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menjelaskan: ومن البدع التخصيص بلا دليل ، بقراءة آية ، أو سورة في زمان أو مكان أو لحاجة من الحاجات ، وهكذا قصد التخصيص بلا دليل “Termasuk kebid’ahan, jika seseorang mengkhususkan suatu ayat atau surat tertentu tanpa dalil, dengan membacanya pada waktu atau tempat tertentu atau kebutuhan tertentu” (Bida’ul Qira’ah, 14). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mlm Paytren, Amalan Untuk Orang Tua Yang Sudah Meninggal, Doa Dijauhkan Dari Fitnah, Hadits Qada Dan Qadar, Kumpulan Hadits Tentang Kebersihan, Biar Suami Betah Dirumah Visited 704 times, 6 visit(s) today Post Views: 560 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Dalam suatu hadis disebutkan bahwa ada sahabat Nabi yang dalam salatnya selalu membaca surat Al-Ikhlas di rakaat terakhir. Apakah ini dalil tentang bolehnya membuat perkara baru dalam agama selama itu baik seperti yang dilakukan sahabat Nabi tersebut? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-salatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Kisah tersebut ada dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا علَى سَرِيَّةٍ، وكانَ يَقْرَأُ لأصْحَابِهِ في صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بقُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ، فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذلكَ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: سَلُوهُ لأيِّ شيءٍ يَصْنَعُ ذلكَ؟، فَسَأَلُوهُ، فَقالَ: لأنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وأَنَا أُحِبُّ أنْ أقْرَأَ بهَا، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أخْبِرُوهُ أنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ “Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengutus seorang laki-laki untuk memimpin pasukan perang. Lelaki ini ketika mengimami salat selalu mengakhiri dengan bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Ketika mereka kembali dari perang, para pasukan tersebut mengabarkannya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau pun bersabda: “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukan demikian?” Maka mereka menanyakannya dan lelaki tersebut menjawab: “Karena surat Al-Ikhlas berisi tentang sifat Ar -ahman, sehingga saya suka untuk membacanya”. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kabarkan kepadanya bahwa Allah ta’ala juga mencintainya” (HR. Al-Bukhari no.7375). Dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau berkata: أنَّ رَجُلًا سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ قُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ يُرَدِّدُهَا، فَلَمَّا أصْبَحَ جَاءَ إلى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَذَكَرَ له ذلكَ، وكَأنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: والذي نَفْسِي بيَدِهِ، إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ “Ada seorang sahabat Nabi yang mendengar sahabat Nabi yang lain senantiasa mengulang-ulang bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Esok harinya, disampaikan perihal tersebut kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Dan ada orang yang seolah-olah menganggap remeh perbuatan sahabat tersebut. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat Al-Ikhlas itu setara dengan sepertiga Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari no.7374, Muslim no.812). Sebenarnya dalam hadis-hadis ini sama sekali tidak ada pendalilan tentang bolehnya membuat bid’ah hasanah. Di sisi lain, dalil-dalil tentang haramnya bid’ah dan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan, jumlahnya sangat banyak dan maknanya sangat jelas. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718) Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718). Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan, أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867) Dalam riwayat An-Nasa’i, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An-Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An-Nasa’i). Dalil-dalil di atas sangat jelas dan terang benderang melarang segala bentuk kebid’ahan. Namun memang demikian orang-orang yang terdapat penyakit dalam hatinya dan dikuasai hawa nafsunya, mereka mengedepankan argumen-argumen yang samar dan meninggalkan dalil-dalil yang banyak dan terang benderang. Sebagaimana firman Allah ta’ala: هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ “Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wil-nya.” (QS. Ali Imran: 7). Kemudian, apa yang dilakukan oleh seorang sahabat Nabi di atas, yaitu ia menyukai untuk membaca surat Al-Ikhlas karena menyukai isi yang terkandung di dalamnya, ini bukan bid’ah sama sekali. Karena sahabat tersebut tidak menetapkan suatu keyakinan atau tata cara ibadah tertentu. Ini sama seperti ketika seseorang hanya hafal surat Al-Ikhlas saja dari Al-Qur’an, sehingga ia mengulang-ulang bacaannya dalam salat, maka ia tidak dianggap melakukan bid’ah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya, “Apa hukumnya lebih mengutamakan surat tertentu? Semisal saya lebih menyukai surat Maryam dan sering membacanya. Karena saya merasakan kenyamanan dan menikmatinya ketika membacanya”. Beliau menjawab: لا حرج أن يفضل الإنسان سورة من القرآن على سورة أخرى لأي سبب من الأسباب ؛ وإلا فالكل كلام الله عز وجل ، فالقرآن من حيث المتكلم به وهو الله سبحانه وتعالى لا يتفاضل ، أما من حيث ما يشتمل عليه من المعاني الجليلة العظيمة فإنه يتفاضل . Tidak mengapa jika seseorang lebih mengutamakan surat tertentu dari Al-Qur’an atas dasar sebab tertentu. Meskipun sebenarnya semua ayat adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla. Al-Qur’an dilihat dari sisi siapa yang mengucapkannya maka Ia adalah Allah, sehingga semua ayatnya sama dan tidak ada bedanya. Namun dari segi maknanya, maka satu surat atau ayat yang lain berbeda-beda keutamaannya. ولهذا ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ( إن أعظم سورة في كتاب الله سورة الفاتحة وإن أعظم آية في كتاب الله آية الكرسي ). وكان أحد الصحابة قد بعثه النبي صلى الله عليه وسلم في سرية ، فكان يقرأ القرآن لأصحابه ، ويختتم بسورة الإخلاص ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم :( سلوه لأي شيء كان يصنع ذلك ) فقال : لأنها صفة الرحمن وأنا أحب أن أقرأها ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم ( أخبروه أن الله يحبه ) . “Terdapat hadis yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya surat yang paling agung dalam Al-Qur’an adalah surat Al-Fatihah, dan sesungguhnya ayat yang paling agung adalah ayat kursi” (HR. Muslim no.810). Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengutus seorang laki-laki untuk memimpin pasukan perang. Lelaki ini ketika mengimami salat ia selalu mengakhiri dengan bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Ketika mereka kembali dari perang, para pasukan tersebut mengabarkannya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau pun bersabda: “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukan demikian?” Maka mereka menanyakannya dan lelaki tersebut menjawab: “Karena surat Al-Ikhlas berisi tentang sifat Ar-Rahman, sehingga saya suka untuk membacanya”. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kabarkan kepadanya bahwa Allah ta’ala juga mencintainya” (HR. Al-Bukhari no.7375). وثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ( إن سورة الإخلاص تعادل ثلث القرآن ) ، فإذا كان هذا السائل يحب قراءة سورة مريم لما فيها من القصص العظيمة النافعة ، ولما فيها من ذكر الجزاء في اليوم الآخر ، والإنكار على من كذب بآيات الله وكفر بها ، وأعجب بما أعطاه الله من المال ، وما إلى ذلك من المعاني ، فإن هذا لا بأس به ، ولا حرج عليه Terdapat hadis yang shahih juga dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya surat Al-Ikhlas itu setara dengan sepertiga al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari no.7374, Muslim no.812). Sehingga, jika penanya di atas menyukai untuk membaca surat Maryam karena terdapat kisah agung yang bermanfaat, karena di dalamnya menyebutkan balasan kebaikan di hari akhir, juga isinya mengingkari orang yang mendustakan dan kufur terhadap ayat-ayat Allah, bangga dengan harta yang Allah berikan kepadanya, dan lain sebagainya. Maka ini tidak mengapa dan tidak berdosa”. (Fatawa Islamiyah, 4/50). Maka apa yang dilakukan oleh sahabat tersebut bukanlah merupakan kebid’ahan. Oleh karena itu Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidaklah mengingkarinya. Sehingga dalam hadis ini sama sekali tidak ada pendalilan tentang bid’ah hasanah. Dan tidak ada satu pun salafus shalih atau ulama pensyarah hadis Shahih Bukhari yang memahami bahwa hadis ini memberikan faedah tentang bolehnya membuat bid’ah hasanah. Ini pemahaman yang tidak ada asalnya dan terlalu dipaksakan. Adapun yang bisa menjadi suatu kebid’ahan ada jika diyakini adanya anjuran atau keutamaan khusus membaca surat Al-Ikhlas di rakaat kedua atau rakaat terakhir tanpa dalil. Karena ini berarti menetapkan suatu cara ibadah tanpa dalil. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menjelaskan: ومن البدع التخصيص بلا دليل ، بقراءة آية ، أو سورة في زمان أو مكان أو لحاجة من الحاجات ، وهكذا قصد التخصيص بلا دليل “Termasuk kebid’ahan, jika seseorang mengkhususkan suatu ayat atau surat tertentu tanpa dalil, dengan membacanya pada waktu atau tempat tertentu atau kebutuhan tertentu” (Bida’ul Qira’ah, 14). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mlm Paytren, Amalan Untuk Orang Tua Yang Sudah Meninggal, Doa Dijauhkan Dari Fitnah, Hadits Qada Dan Qadar, Kumpulan Hadits Tentang Kebersihan, Biar Suami Betah Dirumah Visited 704 times, 6 visit(s) today Post Views: 560 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Dalam suatu hadis disebutkan bahwa ada sahabat Nabi yang dalam salatnya selalu membaca surat Al-Ikhlas di rakaat terakhir. Apakah ini dalil tentang bolehnya membuat perkara baru dalam agama selama itu baik seperti yang dilakukan sahabat Nabi tersebut? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-salatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Kisah tersebut ada dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا علَى سَرِيَّةٍ، وكانَ يَقْرَأُ لأصْحَابِهِ في صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بقُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ، فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذلكَ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: سَلُوهُ لأيِّ شيءٍ يَصْنَعُ ذلكَ؟، فَسَأَلُوهُ، فَقالَ: لأنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وأَنَا أُحِبُّ أنْ أقْرَأَ بهَا، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أخْبِرُوهُ أنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ “Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengutus seorang laki-laki untuk memimpin pasukan perang. Lelaki ini ketika mengimami salat selalu mengakhiri dengan bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Ketika mereka kembali dari perang, para pasukan tersebut mengabarkannya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau pun bersabda: “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukan demikian?” Maka mereka menanyakannya dan lelaki tersebut menjawab: “Karena surat Al-Ikhlas berisi tentang sifat Ar -ahman, sehingga saya suka untuk membacanya”. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kabarkan kepadanya bahwa Allah ta’ala juga mencintainya” (HR. Al-Bukhari no.7375). Dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau berkata: أنَّ رَجُلًا سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ قُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ يُرَدِّدُهَا، فَلَمَّا أصْبَحَ جَاءَ إلى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَذَكَرَ له ذلكَ، وكَأنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: والذي نَفْسِي بيَدِهِ، إنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ “Ada seorang sahabat Nabi yang mendengar sahabat Nabi yang lain senantiasa mengulang-ulang bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Esok harinya, disampaikan perihal tersebut kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Dan ada orang yang seolah-olah menganggap remeh perbuatan sahabat tersebut. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat Al-Ikhlas itu setara dengan sepertiga Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari no.7374, Muslim no.812). Sebenarnya dalam hadis-hadis ini sama sekali tidak ada pendalilan tentang bolehnya membuat bid’ah hasanah. Di sisi lain, dalil-dalil tentang haramnya bid’ah dan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan, jumlahnya sangat banyak dan maknanya sangat jelas. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718) Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barang siapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718). Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan, أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867) Dalam riwayat An-Nasa’i, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An-Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An-Nasa’i). Dalil-dalil di atas sangat jelas dan terang benderang melarang segala bentuk kebid’ahan. Namun memang demikian orang-orang yang terdapat penyakit dalam hatinya dan dikuasai hawa nafsunya, mereka mengedepankan argumen-argumen yang samar dan meninggalkan dalil-dalil yang banyak dan terang benderang. Sebagaimana firman Allah ta’ala: هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ “Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wil-nya.” (QS. Ali Imran: 7). Kemudian, apa yang dilakukan oleh seorang sahabat Nabi di atas, yaitu ia menyukai untuk membaca surat Al-Ikhlas karena menyukai isi yang terkandung di dalamnya, ini bukan bid’ah sama sekali. Karena sahabat tersebut tidak menetapkan suatu keyakinan atau tata cara ibadah tertentu. Ini sama seperti ketika seseorang hanya hafal surat Al-Ikhlas saja dari Al-Qur’an, sehingga ia mengulang-ulang bacaannya dalam salat, maka ia tidak dianggap melakukan bid’ah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya, “Apa hukumnya lebih mengutamakan surat tertentu? Semisal saya lebih menyukai surat Maryam dan sering membacanya. Karena saya merasakan kenyamanan dan menikmatinya ketika membacanya”. Beliau menjawab: لا حرج أن يفضل الإنسان سورة من القرآن على سورة أخرى لأي سبب من الأسباب ؛ وإلا فالكل كلام الله عز وجل ، فالقرآن من حيث المتكلم به وهو الله سبحانه وتعالى لا يتفاضل ، أما من حيث ما يشتمل عليه من المعاني الجليلة العظيمة فإنه يتفاضل . Tidak mengapa jika seseorang lebih mengutamakan surat tertentu dari Al-Qur’an atas dasar sebab tertentu. Meskipun sebenarnya semua ayat adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla. Al-Qur’an dilihat dari sisi siapa yang mengucapkannya maka Ia adalah Allah, sehingga semua ayatnya sama dan tidak ada bedanya. Namun dari segi maknanya, maka satu surat atau ayat yang lain berbeda-beda keutamaannya. ولهذا ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ( إن أعظم سورة في كتاب الله سورة الفاتحة وإن أعظم آية في كتاب الله آية الكرسي ). وكان أحد الصحابة قد بعثه النبي صلى الله عليه وسلم في سرية ، فكان يقرأ القرآن لأصحابه ، ويختتم بسورة الإخلاص ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم :( سلوه لأي شيء كان يصنع ذلك ) فقال : لأنها صفة الرحمن وأنا أحب أن أقرأها ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم ( أخبروه أن الله يحبه ) . “Terdapat hadis yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya surat yang paling agung dalam Al-Qur’an adalah surat Al-Fatihah, dan sesungguhnya ayat yang paling agung adalah ayat kursi” (HR. Muslim no.810). Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengutus seorang laki-laki untuk memimpin pasukan perang. Lelaki ini ketika mengimami salat ia selalu mengakhiri dengan bacaan qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Ketika mereka kembali dari perang, para pasukan tersebut mengabarkannya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau pun bersabda: “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukan demikian?” Maka mereka menanyakannya dan lelaki tersebut menjawab: “Karena surat Al-Ikhlas berisi tentang sifat Ar-Rahman, sehingga saya suka untuk membacanya”. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Kabarkan kepadanya bahwa Allah ta’ala juga mencintainya” (HR. Al-Bukhari no.7375). وثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ( إن سورة الإخلاص تعادل ثلث القرآن ) ، فإذا كان هذا السائل يحب قراءة سورة مريم لما فيها من القصص العظيمة النافعة ، ولما فيها من ذكر الجزاء في اليوم الآخر ، والإنكار على من كذب بآيات الله وكفر بها ، وأعجب بما أعطاه الله من المال ، وما إلى ذلك من المعاني ، فإن هذا لا بأس به ، ولا حرج عليه Terdapat hadis yang shahih juga dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya surat Al-Ikhlas itu setara dengan sepertiga al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari no.7374, Muslim no.812). Sehingga, jika penanya di atas menyukai untuk membaca surat Maryam karena terdapat kisah agung yang bermanfaat, karena di dalamnya menyebutkan balasan kebaikan di hari akhir, juga isinya mengingkari orang yang mendustakan dan kufur terhadap ayat-ayat Allah, bangga dengan harta yang Allah berikan kepadanya, dan lain sebagainya. Maka ini tidak mengapa dan tidak berdosa”. (Fatawa Islamiyah, 4/50). Maka apa yang dilakukan oleh sahabat tersebut bukanlah merupakan kebid’ahan. Oleh karena itu Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidaklah mengingkarinya. Sehingga dalam hadis ini sama sekali tidak ada pendalilan tentang bid’ah hasanah. Dan tidak ada satu pun salafus shalih atau ulama pensyarah hadis Shahih Bukhari yang memahami bahwa hadis ini memberikan faedah tentang bolehnya membuat bid’ah hasanah. Ini pemahaman yang tidak ada asalnya dan terlalu dipaksakan. Adapun yang bisa menjadi suatu kebid’ahan ada jika diyakini adanya anjuran atau keutamaan khusus membaca surat Al-Ikhlas di rakaat kedua atau rakaat terakhir tanpa dalil. Karena ini berarti menetapkan suatu cara ibadah tanpa dalil. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menjelaskan: ومن البدع التخصيص بلا دليل ، بقراءة آية ، أو سورة في زمان أو مكان أو لحاجة من الحاجات ، وهكذا قصد التخصيص بلا دليل “Termasuk kebid’ahan, jika seseorang mengkhususkan suatu ayat atau surat tertentu tanpa dalil, dengan membacanya pada waktu atau tempat tertentu atau kebutuhan tertentu” (Bida’ul Qira’ah, 14). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mlm Paytren, Amalan Untuk Orang Tua Yang Sudah Meninggal, Doa Dijauhkan Dari Fitnah, Hadits Qada Dan Qadar, Kumpulan Hadits Tentang Kebersihan, Biar Suami Betah Dirumah Visited 704 times, 6 visit(s) today Post Views: 560 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Akan Kumaksimalkan Ramadan Tahun Ini dengan Lebih Baik

Daftar Isi Toggle Keutamaan Ramadan yang tidak boleh dilewatkanYang pertama, terdapat satu malam yang penuh keberkahan dan kemuliaan di dalamnya.Kedua, pada bulan ini, pintu-pintu kebaikan terbuka lebar dan pintu-pintu kemaksiatan ditutup.Bagaimana seharusnya seorang muslim mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan Ramadan?Beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kitaPertama, selain pahala dilipatgandakan padanya, kemaksiatan di dalamnya pun dosanya lebih berat.Kedua, Ramadan adalah waktu di mana seorang muslim lebih dekat dengan Allah. Oleh karena itu, perbanyaklah beramal dan memanjatkan doa.Ketiga, pada malam harinya, jangan lewatkan untuk melaksanakan salat tarawih berjemaah sampai imam selesai. Bulan Ramadan yang penuh kemuliaan tidak lama lagi akan kita jumpai. Bulan di mana Al-Qur’an diturunkan, pahala amal kebaikan dilipatgandakan, dan kaum muslimin diperintahkan untuk lebih memperhatikan kualitas ibadahnya kepada Allah Ta’ala. Mengenai bulan yang penuh berkah ini, Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu melihat (hilal) bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185) Keutamaan Ramadan yang tidak boleh dilewatkan Allah Ta’ala menetapkan beberapa keutamaan bagi bulan Ramadan. Keutamaan-keutamaan yang tidak akan kita jumpai pada bulan-bulan lainnya. Seorang muslim yang cerdas dan berakal tentu tidak ingin keutamaan-keutamaan ini terlewat begitu saja tanpa ia manfaatkan. Dengan mengetahui dan mempelajari keutamaan-keutamaan ini, seorang muslim akan semakin rindu bertemu kembali dengannya. Yang pertama, terdapat satu malam yang penuh keberkahan dan kemuliaan di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْر  وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada lailatulqadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3) Kedua, pada bulan ini, pintu-pintu kebaikan terbuka lebar dan pintu-pintu kemaksiatan ditutup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ”Apabila Ramadan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079) Dengan melaksanakan puasa di siang hari bulan Ramadan dan salat tarawih di malam harinya, seorang mukmin yang jujur dan amanah pasti akan berusaha menghindarkan dirinya dari perbuatan dosa dan kemaksiatan. Inilah yang menjadi salah satu nilai lebih dan keutamaan yang besar bagi bulan Ramadan dari bulan-bulan lainnya. Keutamaan lainnya, di bulan Ramadan, dapat dipastikan seluruh kaum muslimin akan berpuasa, kecuali bagi mereka yang memiliki halangan. Sedangkan puasa merupakan salah satu ibadah yang memberikan keutamaan dan manfaat besar bagi pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua amal anak keturunan Adam akan dilipatgandakan kebaikannya sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Kemudian Allah Azza Wajalla berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.’” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151) Terkait orang yang berpuasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ  “Ada tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. At-Tirmidzi no. 3598, Ibnu Majah no. 1752 dan Ahmad no. 8030) Bagaimana seharusnya seorang muslim mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan Ramadan? Layaknya seseorang yang akan menyambut tamu istimewa di rumahnya, tentu ia akan mempersiapkan makanan dan sambutan terbaik untuknya. Seperti itulah seharusnya seorang muslim menyambut bulan Ramadan yang istimewa ini. Yang paling utama tentu saja adalah membekali diri dengan ilmu-ilmu terkait ibadah puasa, salat malam, dan ibadah-ibadah lainnya yang berkaitan dengan Ramadan. Karena Allah Ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berilmu terlebih dahulu sebelum beramal. Allah Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ “Maka, ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah, kecuali Allah. Dan memohonlah ampunan untukmu dan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Sebelum memerintahkan Nabi untuk melakukan ibadah istigfar, Allah Ta’ala terlebih dahulu memerintahkannya untuk berilmu dan mengetahui esensi dari ibadah yang akan dilakukan. Karena ilmu adalah pembimbing seorang hamba di dalam melakukan ketaatan dan berbagai jenis ibadah. Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari-nya juga memberikan satu judul bab tentang hal ini. Di mana beliau mengatakan, باب العلم قبل القول والعمل “Bab berilmu sebelum berucap dan berbuat.” Amalan yang dilandasi dengan ilmu akan membuahkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, membuat kita menjalankan ibadah puasa bukan karena sekedar ikut-ikutan atau menggugurkan kewajiban syariat, namun menjadikan kita semakin dekat kepada Allah Ta’ala. Baca juga: Kiat Sukses Mendapatkan Ampunan di Bulan Ramadan Beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kita Berikut ini adalah beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kita, sehingga diri kita semakin mengenal bulan Ramadan dan lebih siap ketika menyambutnya. Pertama, selain pahala dilipatgandakan padanya, kemaksiatan di dalamnya pun dosanya lebih berat. Ketika Allah menjadikan suatu waktu lebih agung dan lebih utama dari yang lainnya, maka kemaksiatan yang dilakukan di dalamnya pun dosanya menjadi lebih berat. Seorang muslim harus berhati-hati ketika ia sedang berada di bulan Ramadan. Jangan sampai dirinya terjatuh ke dalam kemaksiatan yang Allah haramkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahaya kemaksiatan yang dilakukan seseorang tatkala berpuasa, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkan keburukan atau kedustaan, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga.” (HR. Bukhari no.1903, Abu Dawud no. 2362, Tirmidzi no. 707 dan Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3246) Pada hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dan mengingatkan siapa pun yang mencukupkan puasanya hanya pada menahan lapar dan haus, namun tidak melepaskan diri dari kedustaan, melenceng dari kebenaran, dan mengerjakan keburukan, maka Allah tidak butuh dengan rasa lapar dan haus yang dirasakannya tersebut. Puasa yang telah dilakukannya tersebut menjadi sia-sia dan orang tersebut tidaklah mendapatkan pahala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رُبَّ صائمٍ ليس له من صيامِه إلَّا الجوعُ ورُبَّ قائمٍ ليس له من قيامِه إلَّاالسَّهرُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut, kecuali rasa lapar. Dan betapa banyak orang yang melaksanakan salat malam, namun dia tidak mendapatkan dari bangunnya tersebut, kecuali rasa capek karena begadang.” (HR. Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249, Ibnu Majah no. 1690, dan Ahmad no. 9683) Kedua, Ramadan adalah waktu di mana seorang muslim lebih dekat dengan Allah. Oleh karena itu, perbanyaklah beramal dan memanjatkan doa. Saat bulan Ramadan tiba, berusahalah untuk memaksimalkan waktu yang ada untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Isilah waktu yang ada untuk membaca Al-Qur’an, memperbanyak zikir, serta berdoa kepada Allah Ta’ala. Lihatlah bagaimana Nabi mencontohkan kepada kita untuk lebih dekat dengan Al-Qur’an di bulan Ramadan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadan ketika bertemu dengan malaikat Jibril. Dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadan untuk mudarasah (mempelajari) Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 3220 dan Muslim no. 2308) Terkait memperbanyak doa dan zikir di bulan Ramadan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  “Ada tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. At-Tirmidzi no. 3598, Ibnu Majah no. 1752, dan Ahmad no. 8030) Ketiga, pada malam harinya, jangan lewatkan untuk melaksanakan salat tarawih berjemaah sampai imam selesai. Ada keutamaan khusus bagi siapa saja yang melaksanakan salat tarawih bersama imam sampai selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً “Sesungguhnya siapa saja yang salat bersama imam sampai selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam (salat malam) satu malam penuh.” (HR. An-Nasai no. 1364, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327) Maksud sampai selesai di sini adalah secara lengkap hingga imam menyelesaikan salat witirnya, bukan hanya tarawihnya saja sebagaimana dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Sebagian dari mereka keluar masjid ketika imam belum menyelesaikan salat witirnya dengan alasan ingin menambah jumlah rakaat tarawihnya di rumah. Padahal, menambah jumlah rakaat di rumah tetap dimungkinkan untuk dilakukan, meskipun kita telah menyelesaikan salat witir terlebih dahulu bersama imam, dengan syarat ketika menambah rakaat salat tarawih kita, kita tidak perlu mengulang kembali salat witirnya. Wallahu A’lam bisshawab. Semoga tiga poin penting ini dapat menambah bekal ilmu kita untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadan tahun ini, selain tentunya kita diperintahkan juga untuk mempelajari kembali fikih-fikih yang berkaitan dengan puasa Ramadan. Semoga Allah memberikan kita semua kesempatan untuk menyambut kembali bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini. Baca juga: Tanda Diterimanya Amal di Bulan Ramadan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: menyambut ramadhan

Akan Kumaksimalkan Ramadan Tahun Ini dengan Lebih Baik

Daftar Isi Toggle Keutamaan Ramadan yang tidak boleh dilewatkanYang pertama, terdapat satu malam yang penuh keberkahan dan kemuliaan di dalamnya.Kedua, pada bulan ini, pintu-pintu kebaikan terbuka lebar dan pintu-pintu kemaksiatan ditutup.Bagaimana seharusnya seorang muslim mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan Ramadan?Beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kitaPertama, selain pahala dilipatgandakan padanya, kemaksiatan di dalamnya pun dosanya lebih berat.Kedua, Ramadan adalah waktu di mana seorang muslim lebih dekat dengan Allah. Oleh karena itu, perbanyaklah beramal dan memanjatkan doa.Ketiga, pada malam harinya, jangan lewatkan untuk melaksanakan salat tarawih berjemaah sampai imam selesai. Bulan Ramadan yang penuh kemuliaan tidak lama lagi akan kita jumpai. Bulan di mana Al-Qur’an diturunkan, pahala amal kebaikan dilipatgandakan, dan kaum muslimin diperintahkan untuk lebih memperhatikan kualitas ibadahnya kepada Allah Ta’ala. Mengenai bulan yang penuh berkah ini, Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu melihat (hilal) bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185) Keutamaan Ramadan yang tidak boleh dilewatkan Allah Ta’ala menetapkan beberapa keutamaan bagi bulan Ramadan. Keutamaan-keutamaan yang tidak akan kita jumpai pada bulan-bulan lainnya. Seorang muslim yang cerdas dan berakal tentu tidak ingin keutamaan-keutamaan ini terlewat begitu saja tanpa ia manfaatkan. Dengan mengetahui dan mempelajari keutamaan-keutamaan ini, seorang muslim akan semakin rindu bertemu kembali dengannya. Yang pertama, terdapat satu malam yang penuh keberkahan dan kemuliaan di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْر  وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada lailatulqadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3) Kedua, pada bulan ini, pintu-pintu kebaikan terbuka lebar dan pintu-pintu kemaksiatan ditutup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ”Apabila Ramadan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079) Dengan melaksanakan puasa di siang hari bulan Ramadan dan salat tarawih di malam harinya, seorang mukmin yang jujur dan amanah pasti akan berusaha menghindarkan dirinya dari perbuatan dosa dan kemaksiatan. Inilah yang menjadi salah satu nilai lebih dan keutamaan yang besar bagi bulan Ramadan dari bulan-bulan lainnya. Keutamaan lainnya, di bulan Ramadan, dapat dipastikan seluruh kaum muslimin akan berpuasa, kecuali bagi mereka yang memiliki halangan. Sedangkan puasa merupakan salah satu ibadah yang memberikan keutamaan dan manfaat besar bagi pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua amal anak keturunan Adam akan dilipatgandakan kebaikannya sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Kemudian Allah Azza Wajalla berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.’” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151) Terkait orang yang berpuasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ  “Ada tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. At-Tirmidzi no. 3598, Ibnu Majah no. 1752 dan Ahmad no. 8030) Bagaimana seharusnya seorang muslim mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan Ramadan? Layaknya seseorang yang akan menyambut tamu istimewa di rumahnya, tentu ia akan mempersiapkan makanan dan sambutan terbaik untuknya. Seperti itulah seharusnya seorang muslim menyambut bulan Ramadan yang istimewa ini. Yang paling utama tentu saja adalah membekali diri dengan ilmu-ilmu terkait ibadah puasa, salat malam, dan ibadah-ibadah lainnya yang berkaitan dengan Ramadan. Karena Allah Ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berilmu terlebih dahulu sebelum beramal. Allah Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ “Maka, ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah, kecuali Allah. Dan memohonlah ampunan untukmu dan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Sebelum memerintahkan Nabi untuk melakukan ibadah istigfar, Allah Ta’ala terlebih dahulu memerintahkannya untuk berilmu dan mengetahui esensi dari ibadah yang akan dilakukan. Karena ilmu adalah pembimbing seorang hamba di dalam melakukan ketaatan dan berbagai jenis ibadah. Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari-nya juga memberikan satu judul bab tentang hal ini. Di mana beliau mengatakan, باب العلم قبل القول والعمل “Bab berilmu sebelum berucap dan berbuat.” Amalan yang dilandasi dengan ilmu akan membuahkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, membuat kita menjalankan ibadah puasa bukan karena sekedar ikut-ikutan atau menggugurkan kewajiban syariat, namun menjadikan kita semakin dekat kepada Allah Ta’ala. Baca juga: Kiat Sukses Mendapatkan Ampunan di Bulan Ramadan Beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kita Berikut ini adalah beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kita, sehingga diri kita semakin mengenal bulan Ramadan dan lebih siap ketika menyambutnya. Pertama, selain pahala dilipatgandakan padanya, kemaksiatan di dalamnya pun dosanya lebih berat. Ketika Allah menjadikan suatu waktu lebih agung dan lebih utama dari yang lainnya, maka kemaksiatan yang dilakukan di dalamnya pun dosanya menjadi lebih berat. Seorang muslim harus berhati-hati ketika ia sedang berada di bulan Ramadan. Jangan sampai dirinya terjatuh ke dalam kemaksiatan yang Allah haramkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahaya kemaksiatan yang dilakukan seseorang tatkala berpuasa, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkan keburukan atau kedustaan, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga.” (HR. Bukhari no.1903, Abu Dawud no. 2362, Tirmidzi no. 707 dan Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3246) Pada hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dan mengingatkan siapa pun yang mencukupkan puasanya hanya pada menahan lapar dan haus, namun tidak melepaskan diri dari kedustaan, melenceng dari kebenaran, dan mengerjakan keburukan, maka Allah tidak butuh dengan rasa lapar dan haus yang dirasakannya tersebut. Puasa yang telah dilakukannya tersebut menjadi sia-sia dan orang tersebut tidaklah mendapatkan pahala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رُبَّ صائمٍ ليس له من صيامِه إلَّا الجوعُ ورُبَّ قائمٍ ليس له من قيامِه إلَّاالسَّهرُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut, kecuali rasa lapar. Dan betapa banyak orang yang melaksanakan salat malam, namun dia tidak mendapatkan dari bangunnya tersebut, kecuali rasa capek karena begadang.” (HR. Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249, Ibnu Majah no. 1690, dan Ahmad no. 9683) Kedua, Ramadan adalah waktu di mana seorang muslim lebih dekat dengan Allah. Oleh karena itu, perbanyaklah beramal dan memanjatkan doa. Saat bulan Ramadan tiba, berusahalah untuk memaksimalkan waktu yang ada untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Isilah waktu yang ada untuk membaca Al-Qur’an, memperbanyak zikir, serta berdoa kepada Allah Ta’ala. Lihatlah bagaimana Nabi mencontohkan kepada kita untuk lebih dekat dengan Al-Qur’an di bulan Ramadan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadan ketika bertemu dengan malaikat Jibril. Dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadan untuk mudarasah (mempelajari) Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 3220 dan Muslim no. 2308) Terkait memperbanyak doa dan zikir di bulan Ramadan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  “Ada tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. At-Tirmidzi no. 3598, Ibnu Majah no. 1752, dan Ahmad no. 8030) Ketiga, pada malam harinya, jangan lewatkan untuk melaksanakan salat tarawih berjemaah sampai imam selesai. Ada keutamaan khusus bagi siapa saja yang melaksanakan salat tarawih bersama imam sampai selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً “Sesungguhnya siapa saja yang salat bersama imam sampai selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam (salat malam) satu malam penuh.” (HR. An-Nasai no. 1364, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327) Maksud sampai selesai di sini adalah secara lengkap hingga imam menyelesaikan salat witirnya, bukan hanya tarawihnya saja sebagaimana dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Sebagian dari mereka keluar masjid ketika imam belum menyelesaikan salat witirnya dengan alasan ingin menambah jumlah rakaat tarawihnya di rumah. Padahal, menambah jumlah rakaat di rumah tetap dimungkinkan untuk dilakukan, meskipun kita telah menyelesaikan salat witir terlebih dahulu bersama imam, dengan syarat ketika menambah rakaat salat tarawih kita, kita tidak perlu mengulang kembali salat witirnya. Wallahu A’lam bisshawab. Semoga tiga poin penting ini dapat menambah bekal ilmu kita untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadan tahun ini, selain tentunya kita diperintahkan juga untuk mempelajari kembali fikih-fikih yang berkaitan dengan puasa Ramadan. Semoga Allah memberikan kita semua kesempatan untuk menyambut kembali bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini. Baca juga: Tanda Diterimanya Amal di Bulan Ramadan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: menyambut ramadhan
Daftar Isi Toggle Keutamaan Ramadan yang tidak boleh dilewatkanYang pertama, terdapat satu malam yang penuh keberkahan dan kemuliaan di dalamnya.Kedua, pada bulan ini, pintu-pintu kebaikan terbuka lebar dan pintu-pintu kemaksiatan ditutup.Bagaimana seharusnya seorang muslim mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan Ramadan?Beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kitaPertama, selain pahala dilipatgandakan padanya, kemaksiatan di dalamnya pun dosanya lebih berat.Kedua, Ramadan adalah waktu di mana seorang muslim lebih dekat dengan Allah. Oleh karena itu, perbanyaklah beramal dan memanjatkan doa.Ketiga, pada malam harinya, jangan lewatkan untuk melaksanakan salat tarawih berjemaah sampai imam selesai. Bulan Ramadan yang penuh kemuliaan tidak lama lagi akan kita jumpai. Bulan di mana Al-Qur’an diturunkan, pahala amal kebaikan dilipatgandakan, dan kaum muslimin diperintahkan untuk lebih memperhatikan kualitas ibadahnya kepada Allah Ta’ala. Mengenai bulan yang penuh berkah ini, Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu melihat (hilal) bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185) Keutamaan Ramadan yang tidak boleh dilewatkan Allah Ta’ala menetapkan beberapa keutamaan bagi bulan Ramadan. Keutamaan-keutamaan yang tidak akan kita jumpai pada bulan-bulan lainnya. Seorang muslim yang cerdas dan berakal tentu tidak ingin keutamaan-keutamaan ini terlewat begitu saja tanpa ia manfaatkan. Dengan mengetahui dan mempelajari keutamaan-keutamaan ini, seorang muslim akan semakin rindu bertemu kembali dengannya. Yang pertama, terdapat satu malam yang penuh keberkahan dan kemuliaan di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْر  وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada lailatulqadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3) Kedua, pada bulan ini, pintu-pintu kebaikan terbuka lebar dan pintu-pintu kemaksiatan ditutup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ”Apabila Ramadan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079) Dengan melaksanakan puasa di siang hari bulan Ramadan dan salat tarawih di malam harinya, seorang mukmin yang jujur dan amanah pasti akan berusaha menghindarkan dirinya dari perbuatan dosa dan kemaksiatan. Inilah yang menjadi salah satu nilai lebih dan keutamaan yang besar bagi bulan Ramadan dari bulan-bulan lainnya. Keutamaan lainnya, di bulan Ramadan, dapat dipastikan seluruh kaum muslimin akan berpuasa, kecuali bagi mereka yang memiliki halangan. Sedangkan puasa merupakan salah satu ibadah yang memberikan keutamaan dan manfaat besar bagi pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua amal anak keturunan Adam akan dilipatgandakan kebaikannya sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Kemudian Allah Azza Wajalla berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.’” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151) Terkait orang yang berpuasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ  “Ada tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. At-Tirmidzi no. 3598, Ibnu Majah no. 1752 dan Ahmad no. 8030) Bagaimana seharusnya seorang muslim mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan Ramadan? Layaknya seseorang yang akan menyambut tamu istimewa di rumahnya, tentu ia akan mempersiapkan makanan dan sambutan terbaik untuknya. Seperti itulah seharusnya seorang muslim menyambut bulan Ramadan yang istimewa ini. Yang paling utama tentu saja adalah membekali diri dengan ilmu-ilmu terkait ibadah puasa, salat malam, dan ibadah-ibadah lainnya yang berkaitan dengan Ramadan. Karena Allah Ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berilmu terlebih dahulu sebelum beramal. Allah Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ “Maka, ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah, kecuali Allah. Dan memohonlah ampunan untukmu dan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Sebelum memerintahkan Nabi untuk melakukan ibadah istigfar, Allah Ta’ala terlebih dahulu memerintahkannya untuk berilmu dan mengetahui esensi dari ibadah yang akan dilakukan. Karena ilmu adalah pembimbing seorang hamba di dalam melakukan ketaatan dan berbagai jenis ibadah. Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari-nya juga memberikan satu judul bab tentang hal ini. Di mana beliau mengatakan, باب العلم قبل القول والعمل “Bab berilmu sebelum berucap dan berbuat.” Amalan yang dilandasi dengan ilmu akan membuahkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, membuat kita menjalankan ibadah puasa bukan karena sekedar ikut-ikutan atau menggugurkan kewajiban syariat, namun menjadikan kita semakin dekat kepada Allah Ta’ala. Baca juga: Kiat Sukses Mendapatkan Ampunan di Bulan Ramadan Beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kita Berikut ini adalah beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kita, sehingga diri kita semakin mengenal bulan Ramadan dan lebih siap ketika menyambutnya. Pertama, selain pahala dilipatgandakan padanya, kemaksiatan di dalamnya pun dosanya lebih berat. Ketika Allah menjadikan suatu waktu lebih agung dan lebih utama dari yang lainnya, maka kemaksiatan yang dilakukan di dalamnya pun dosanya menjadi lebih berat. Seorang muslim harus berhati-hati ketika ia sedang berada di bulan Ramadan. Jangan sampai dirinya terjatuh ke dalam kemaksiatan yang Allah haramkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahaya kemaksiatan yang dilakukan seseorang tatkala berpuasa, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkan keburukan atau kedustaan, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga.” (HR. Bukhari no.1903, Abu Dawud no. 2362, Tirmidzi no. 707 dan Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3246) Pada hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dan mengingatkan siapa pun yang mencukupkan puasanya hanya pada menahan lapar dan haus, namun tidak melepaskan diri dari kedustaan, melenceng dari kebenaran, dan mengerjakan keburukan, maka Allah tidak butuh dengan rasa lapar dan haus yang dirasakannya tersebut. Puasa yang telah dilakukannya tersebut menjadi sia-sia dan orang tersebut tidaklah mendapatkan pahala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رُبَّ صائمٍ ليس له من صيامِه إلَّا الجوعُ ورُبَّ قائمٍ ليس له من قيامِه إلَّاالسَّهرُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut, kecuali rasa lapar. Dan betapa banyak orang yang melaksanakan salat malam, namun dia tidak mendapatkan dari bangunnya tersebut, kecuali rasa capek karena begadang.” (HR. Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249, Ibnu Majah no. 1690, dan Ahmad no. 9683) Kedua, Ramadan adalah waktu di mana seorang muslim lebih dekat dengan Allah. Oleh karena itu, perbanyaklah beramal dan memanjatkan doa. Saat bulan Ramadan tiba, berusahalah untuk memaksimalkan waktu yang ada untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Isilah waktu yang ada untuk membaca Al-Qur’an, memperbanyak zikir, serta berdoa kepada Allah Ta’ala. Lihatlah bagaimana Nabi mencontohkan kepada kita untuk lebih dekat dengan Al-Qur’an di bulan Ramadan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadan ketika bertemu dengan malaikat Jibril. Dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadan untuk mudarasah (mempelajari) Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 3220 dan Muslim no. 2308) Terkait memperbanyak doa dan zikir di bulan Ramadan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  “Ada tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. At-Tirmidzi no. 3598, Ibnu Majah no. 1752, dan Ahmad no. 8030) Ketiga, pada malam harinya, jangan lewatkan untuk melaksanakan salat tarawih berjemaah sampai imam selesai. Ada keutamaan khusus bagi siapa saja yang melaksanakan salat tarawih bersama imam sampai selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً “Sesungguhnya siapa saja yang salat bersama imam sampai selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam (salat malam) satu malam penuh.” (HR. An-Nasai no. 1364, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327) Maksud sampai selesai di sini adalah secara lengkap hingga imam menyelesaikan salat witirnya, bukan hanya tarawihnya saja sebagaimana dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Sebagian dari mereka keluar masjid ketika imam belum menyelesaikan salat witirnya dengan alasan ingin menambah jumlah rakaat tarawihnya di rumah. Padahal, menambah jumlah rakaat di rumah tetap dimungkinkan untuk dilakukan, meskipun kita telah menyelesaikan salat witir terlebih dahulu bersama imam, dengan syarat ketika menambah rakaat salat tarawih kita, kita tidak perlu mengulang kembali salat witirnya. Wallahu A’lam bisshawab. Semoga tiga poin penting ini dapat menambah bekal ilmu kita untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadan tahun ini, selain tentunya kita diperintahkan juga untuk mempelajari kembali fikih-fikih yang berkaitan dengan puasa Ramadan. Semoga Allah memberikan kita semua kesempatan untuk menyambut kembali bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini. Baca juga: Tanda Diterimanya Amal di Bulan Ramadan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: menyambut ramadhan


Daftar Isi Toggle Keutamaan Ramadan yang tidak boleh dilewatkanYang pertama, terdapat satu malam yang penuh keberkahan dan kemuliaan di dalamnya.Kedua, pada bulan ini, pintu-pintu kebaikan terbuka lebar dan pintu-pintu kemaksiatan ditutup.Bagaimana seharusnya seorang muslim mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan Ramadan?Beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kitaPertama, selain pahala dilipatgandakan padanya, kemaksiatan di dalamnya pun dosanya lebih berat.Kedua, Ramadan adalah waktu di mana seorang muslim lebih dekat dengan Allah. Oleh karena itu, perbanyaklah beramal dan memanjatkan doa.Ketiga, pada malam harinya, jangan lewatkan untuk melaksanakan salat tarawih berjemaah sampai imam selesai. Bulan Ramadan yang penuh kemuliaan tidak lama lagi akan kita jumpai. Bulan di mana Al-Qur’an diturunkan, pahala amal kebaikan dilipatgandakan, dan kaum muslimin diperintahkan untuk lebih memperhatikan kualitas ibadahnya kepada Allah Ta’ala. Mengenai bulan yang penuh berkah ini, Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu melihat (hilal) bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185) Keutamaan Ramadan yang tidak boleh dilewatkan Allah Ta’ala menetapkan beberapa keutamaan bagi bulan Ramadan. Keutamaan-keutamaan yang tidak akan kita jumpai pada bulan-bulan lainnya. Seorang muslim yang cerdas dan berakal tentu tidak ingin keutamaan-keutamaan ini terlewat begitu saja tanpa ia manfaatkan. Dengan mengetahui dan mempelajari keutamaan-keutamaan ini, seorang muslim akan semakin rindu bertemu kembali dengannya. Yang pertama, terdapat satu malam yang penuh keberkahan dan kemuliaan di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْر  وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada lailatulqadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3) Kedua, pada bulan ini, pintu-pintu kebaikan terbuka lebar dan pintu-pintu kemaksiatan ditutup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ”Apabila Ramadan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079) Dengan melaksanakan puasa di siang hari bulan Ramadan dan salat tarawih di malam harinya, seorang mukmin yang jujur dan amanah pasti akan berusaha menghindarkan dirinya dari perbuatan dosa dan kemaksiatan. Inilah yang menjadi salah satu nilai lebih dan keutamaan yang besar bagi bulan Ramadan dari bulan-bulan lainnya. Keutamaan lainnya, di bulan Ramadan, dapat dipastikan seluruh kaum muslimin akan berpuasa, kecuali bagi mereka yang memiliki halangan. Sedangkan puasa merupakan salah satu ibadah yang memberikan keutamaan dan manfaat besar bagi pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Semua amal anak keturunan Adam akan dilipatgandakan kebaikannya sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Kemudian Allah Azza Wajalla berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.’” (HR. Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151) Terkait orang yang berpuasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengatakan, ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ  “Ada tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. At-Tirmidzi no. 3598, Ibnu Majah no. 1752 dan Ahmad no. 8030) Bagaimana seharusnya seorang muslim mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan Ramadan? Layaknya seseorang yang akan menyambut tamu istimewa di rumahnya, tentu ia akan mempersiapkan makanan dan sambutan terbaik untuknya. Seperti itulah seharusnya seorang muslim menyambut bulan Ramadan yang istimewa ini. Yang paling utama tentu saja adalah membekali diri dengan ilmu-ilmu terkait ibadah puasa, salat malam, dan ibadah-ibadah lainnya yang berkaitan dengan Ramadan. Karena Allah Ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berilmu terlebih dahulu sebelum beramal. Allah Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ “Maka, ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah, kecuali Allah. Dan memohonlah ampunan untukmu dan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19) Sebelum memerintahkan Nabi untuk melakukan ibadah istigfar, Allah Ta’ala terlebih dahulu memerintahkannya untuk berilmu dan mengetahui esensi dari ibadah yang akan dilakukan. Karena ilmu adalah pembimbing seorang hamba di dalam melakukan ketaatan dan berbagai jenis ibadah. Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari-nya juga memberikan satu judul bab tentang hal ini. Di mana beliau mengatakan, باب العلم قبل القول والعمل “Bab berilmu sebelum berucap dan berbuat.” Amalan yang dilandasi dengan ilmu akan membuahkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, membuat kita menjalankan ibadah puasa bukan karena sekedar ikut-ikutan atau menggugurkan kewajiban syariat, namun menjadikan kita semakin dekat kepada Allah Ta’ala. Baca juga: Kiat Sukses Mendapatkan Ampunan di Bulan Ramadan Beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kita Berikut ini adalah beberapa poin penting seputar Ramadan yang harus kita tanamkan dalam hati dan jiwa kita, sehingga diri kita semakin mengenal bulan Ramadan dan lebih siap ketika menyambutnya. Pertama, selain pahala dilipatgandakan padanya, kemaksiatan di dalamnya pun dosanya lebih berat. Ketika Allah menjadikan suatu waktu lebih agung dan lebih utama dari yang lainnya, maka kemaksiatan yang dilakukan di dalamnya pun dosanya menjadi lebih berat. Seorang muslim harus berhati-hati ketika ia sedang berada di bulan Ramadan. Jangan sampai dirinya terjatuh ke dalam kemaksiatan yang Allah haramkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahaya kemaksiatan yang dilakukan seseorang tatkala berpuasa, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkan keburukan atau kedustaan, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga.” (HR. Bukhari no.1903, Abu Dawud no. 2362, Tirmidzi no. 707 dan Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3246) Pada hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dan mengingatkan siapa pun yang mencukupkan puasanya hanya pada menahan lapar dan haus, namun tidak melepaskan diri dari kedustaan, melenceng dari kebenaran, dan mengerjakan keburukan, maka Allah tidak butuh dengan rasa lapar dan haus yang dirasakannya tersebut. Puasa yang telah dilakukannya tersebut menjadi sia-sia dan orang tersebut tidaklah mendapatkan pahala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رُبَّ صائمٍ ليس له من صيامِه إلَّا الجوعُ ورُبَّ قائمٍ ليس له من قيامِه إلَّاالسَّهرُ “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut, kecuali rasa lapar. Dan betapa banyak orang yang melaksanakan salat malam, namun dia tidak mendapatkan dari bangunnya tersebut, kecuali rasa capek karena begadang.” (HR. Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249, Ibnu Majah no. 1690, dan Ahmad no. 9683) Kedua, Ramadan adalah waktu di mana seorang muslim lebih dekat dengan Allah. Oleh karena itu, perbanyaklah beramal dan memanjatkan doa. Saat bulan Ramadan tiba, berusahalah untuk memaksimalkan waktu yang ada untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Isilah waktu yang ada untuk membaca Al-Qur’an, memperbanyak zikir, serta berdoa kepada Allah Ta’ala. Lihatlah bagaimana Nabi mencontohkan kepada kita untuk lebih dekat dengan Al-Qur’an di bulan Ramadan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadan ketika bertemu dengan malaikat Jibril. Dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadan untuk mudarasah (mempelajari) Al-Qur’an.” (HR. Bukhari no. 3220 dan Muslim no. 2308) Terkait memperbanyak doa dan zikir di bulan Ramadan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  “Ada tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. At-Tirmidzi no. 3598, Ibnu Majah no. 1752, dan Ahmad no. 8030) Ketiga, pada malam harinya, jangan lewatkan untuk melaksanakan salat tarawih berjemaah sampai imam selesai. Ada keutamaan khusus bagi siapa saja yang melaksanakan salat tarawih bersama imam sampai selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً “Sesungguhnya siapa saja yang salat bersama imam sampai selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam (salat malam) satu malam penuh.” (HR. An-Nasai no. 1364, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327) Maksud sampai selesai di sini adalah secara lengkap hingga imam menyelesaikan salat witirnya, bukan hanya tarawihnya saja sebagaimana dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Sebagian dari mereka keluar masjid ketika imam belum menyelesaikan salat witirnya dengan alasan ingin menambah jumlah rakaat tarawihnya di rumah. Padahal, menambah jumlah rakaat di rumah tetap dimungkinkan untuk dilakukan, meskipun kita telah menyelesaikan salat witir terlebih dahulu bersama imam, dengan syarat ketika menambah rakaat salat tarawih kita, kita tidak perlu mengulang kembali salat witirnya. Wallahu A’lam bisshawab. Semoga tiga poin penting ini dapat menambah bekal ilmu kita untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadan tahun ini, selain tentunya kita diperintahkan juga untuk mempelajari kembali fikih-fikih yang berkaitan dengan puasa Ramadan. Semoga Allah memberikan kita semua kesempatan untuk menyambut kembali bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini. Baca juga: Tanda Diterimanya Amal di Bulan Ramadan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: menyambut ramadhan

Kandungan Hadis: Keutamaan Menunjukkan Kebaikan

Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan hadisPertama, bagaimana cara menunjukkan kebaikan?Kedua, siapa yang ditunjuki kebaikan?Ketiga, apa wujud dari kebaikan yang diajarkan? Teks hadis Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Penjelasan hadis Hadis ini jika ditinjau dari tiga sisi, maka mengandung pertanyaan: Bagaimana cara menunjukkan kepada kebaikan? Siapa yang ditunjuki kebaikan? Dan apa wujud dari kebaikan yang diajarkan tersebut? Pertama, bagaimana cara menunjukkan kebaikan? Menunjukkan kebaikan itu cakupannya luas dan tidak hanya dengan ceramah saja. Ia bisa menunjukkan kebaikan dengan lisan, tulisan, atau perbuatan. Dengan lisan, misalnya ia mengajarkan membaca Al-Qur’an, menghafal surah-surah pendek, atau mengajak kepada kebaikan dan ketaatan, serta mencegah dari kemungkaran. Umat Islam disebut oleh Allah Ta’ala sebagai umat yang terbaik karena adanya ibadah amar makruf nahi munkar (saling mengajak kepada kebaikan dan melarang dari perbuatan keburukan). Allah Ta’ala berfirman, كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah …” (QS. Ali Imron: 110) Ketika mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka yang perlu diperhatikan adalah nasihat tersebut disampaikan dengan ilmu, lemah lembut, adil, dan melihat kondisi orang yang akan diberikan nasihat. Kemudian, cara menunjukkan kebaikan dengan tulisan atau perbuatan, misalnya dengan menulis nasihat-nasihat yang kemudian dibagikan ke media sosial, mencetak poster ilmu agama dan ditempel ke masjid atau majalah dinding, senyum, salam, sapa, teladan yang baik, dan akhlak yang santun (jujur, tanggung jawab, adil, dan sebagainya). Kedua, siapa yang ditunjuki kebaikan? Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadis ini tidak membatasi siapa yang harus ditunjukkan kepada kebaikan. Maka, objek yang akan ditunjuki kebaikan adalah semua orang, sekalipun ia atheis atau manusia yang paling jahat (misal: Fir’aun). Allah Ta’ala berpesan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam, اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun! Sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka, berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44) Fir’aun saja yang mengakui diri sebagai Tuhan, Allah perintahkan untuk menasihatinya dengan lemah lembut. Apalagi kepada sesama muslim? Dari sekian banyak manusia yang hidup di muka bumi ini, maka ada prioritas siapa saja yang didahulukan untuk ditunjuki kepada kebaikan. Yang paling utama didahulukan adalah keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ ٱلْأَقْرَبِينَ “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara: 214) Begitu ayat ini turun, Abu Hurairah berkata bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengumpulkan keluarganya dari satu suku, satu buyut, satu kakek, hingga istri dan anak beliau yang ada di kota Makkah. Lalu, beliau bersabda, يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا “Wahai orang-orang Quraisy, atau ucapan yang serupa dengannya, belilah diri kalian dari Allah. Saya tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani Abd Manaf, saya tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muththalib, saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah, saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah. Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan dari hartaku, tetapi saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah (di hari kiamat kelak jika engkau tidak beriman).” (HR. Bukhari) Nabi  shallallahu ’alaihi wasallam sangat memprioritaskan dakwah dan mengajak kepada kebaikan dalam keluarga. Oleh karenanya, orang-orang yang pertama masuk Islam kebanyakan dari keluarga beliau. Dan dakwah kepada keluarga hukumnya adalah fardhu ‘ain (wajib). Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6) Kemudian, setelah keluarga, baru menunjukkan kebaikan tersebut kepada tetangga, teman, lalu orang yang dikenal maupun tidak dikenal. Ketiga, apa wujud dari kebaikan yang diajarkan? Kebaikan itu ada yang dalam urusan agama (ilmu syar’i) dan ada yang perihal dunia. Ketika kita menunjukkan suatu ilmu agama kepada orang lain, walaupun kita tidak melakukannya (karena lupa, sakit, atau tidak mampu), maka saat orang lain mengamalkannya, maka kita akan mendapatkan pahalanya. Sehingga, ilmu agama menjadi prioritas utama untuk kita berikan dan tunjukkan kepada orang lain. Ilmu agama yang diajarkan bisa dari yang paling sederhana seperti adab dan akhlak sehari-hari. Umar bin Abi Salamah berkata, Rasulullah  shallallahu ’alaihi wasallam bersabda kepadaku, يا غُلامُ، سمِّ اَلله، وكُلْ بِيَمِينِك، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ فما زَالَتْ تِلك طِعْمَتِي بَعْدُ “Wahai anak kecil! Ucapkanlah, ‘Bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat darimu!“ Maka, hal ini senantiasa menjadi kebiasaan makanku setelah itu. (HR. Bukhari dan Muslim) Selain itu, juga dapat berupa hal dasar, semisal tata cara beribadah, membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar (tahsin), prinsip-prinsip beragama (akidah), dan cara mengenal dan mengesakan Allah (tauhid). Kemudian, menunjukkan kebaikan dari sisi duniawi, semisal ilmu kedokteran modern atau tradisional, ilmu-ilmu teknik, resep masakan, dan sebagainya. Ada banyak sekali manfaat yang bisa diberikan kepada orang lain dengan ilmu-ilmu dunia yang kita miliki. Semoga bermanfaat Baca juga: Sebelas Penghapus Amalan Kebaikan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedah hadismenunjukkan kebaikan

Kandungan Hadis: Keutamaan Menunjukkan Kebaikan

Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan hadisPertama, bagaimana cara menunjukkan kebaikan?Kedua, siapa yang ditunjuki kebaikan?Ketiga, apa wujud dari kebaikan yang diajarkan? Teks hadis Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Penjelasan hadis Hadis ini jika ditinjau dari tiga sisi, maka mengandung pertanyaan: Bagaimana cara menunjukkan kepada kebaikan? Siapa yang ditunjuki kebaikan? Dan apa wujud dari kebaikan yang diajarkan tersebut? Pertama, bagaimana cara menunjukkan kebaikan? Menunjukkan kebaikan itu cakupannya luas dan tidak hanya dengan ceramah saja. Ia bisa menunjukkan kebaikan dengan lisan, tulisan, atau perbuatan. Dengan lisan, misalnya ia mengajarkan membaca Al-Qur’an, menghafal surah-surah pendek, atau mengajak kepada kebaikan dan ketaatan, serta mencegah dari kemungkaran. Umat Islam disebut oleh Allah Ta’ala sebagai umat yang terbaik karena adanya ibadah amar makruf nahi munkar (saling mengajak kepada kebaikan dan melarang dari perbuatan keburukan). Allah Ta’ala berfirman, كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah …” (QS. Ali Imron: 110) Ketika mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka yang perlu diperhatikan adalah nasihat tersebut disampaikan dengan ilmu, lemah lembut, adil, dan melihat kondisi orang yang akan diberikan nasihat. Kemudian, cara menunjukkan kebaikan dengan tulisan atau perbuatan, misalnya dengan menulis nasihat-nasihat yang kemudian dibagikan ke media sosial, mencetak poster ilmu agama dan ditempel ke masjid atau majalah dinding, senyum, salam, sapa, teladan yang baik, dan akhlak yang santun (jujur, tanggung jawab, adil, dan sebagainya). Kedua, siapa yang ditunjuki kebaikan? Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadis ini tidak membatasi siapa yang harus ditunjukkan kepada kebaikan. Maka, objek yang akan ditunjuki kebaikan adalah semua orang, sekalipun ia atheis atau manusia yang paling jahat (misal: Fir’aun). Allah Ta’ala berpesan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam, اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun! Sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka, berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44) Fir’aun saja yang mengakui diri sebagai Tuhan, Allah perintahkan untuk menasihatinya dengan lemah lembut. Apalagi kepada sesama muslim? Dari sekian banyak manusia yang hidup di muka bumi ini, maka ada prioritas siapa saja yang didahulukan untuk ditunjuki kepada kebaikan. Yang paling utama didahulukan adalah keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ ٱلْأَقْرَبِينَ “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara: 214) Begitu ayat ini turun, Abu Hurairah berkata bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengumpulkan keluarganya dari satu suku, satu buyut, satu kakek, hingga istri dan anak beliau yang ada di kota Makkah. Lalu, beliau bersabda, يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا “Wahai orang-orang Quraisy, atau ucapan yang serupa dengannya, belilah diri kalian dari Allah. Saya tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani Abd Manaf, saya tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muththalib, saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah, saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah. Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan dari hartaku, tetapi saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah (di hari kiamat kelak jika engkau tidak beriman).” (HR. Bukhari) Nabi  shallallahu ’alaihi wasallam sangat memprioritaskan dakwah dan mengajak kepada kebaikan dalam keluarga. Oleh karenanya, orang-orang yang pertama masuk Islam kebanyakan dari keluarga beliau. Dan dakwah kepada keluarga hukumnya adalah fardhu ‘ain (wajib). Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6) Kemudian, setelah keluarga, baru menunjukkan kebaikan tersebut kepada tetangga, teman, lalu orang yang dikenal maupun tidak dikenal. Ketiga, apa wujud dari kebaikan yang diajarkan? Kebaikan itu ada yang dalam urusan agama (ilmu syar’i) dan ada yang perihal dunia. Ketika kita menunjukkan suatu ilmu agama kepada orang lain, walaupun kita tidak melakukannya (karena lupa, sakit, atau tidak mampu), maka saat orang lain mengamalkannya, maka kita akan mendapatkan pahalanya. Sehingga, ilmu agama menjadi prioritas utama untuk kita berikan dan tunjukkan kepada orang lain. Ilmu agama yang diajarkan bisa dari yang paling sederhana seperti adab dan akhlak sehari-hari. Umar bin Abi Salamah berkata, Rasulullah  shallallahu ’alaihi wasallam bersabda kepadaku, يا غُلامُ، سمِّ اَلله، وكُلْ بِيَمِينِك، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ فما زَالَتْ تِلك طِعْمَتِي بَعْدُ “Wahai anak kecil! Ucapkanlah, ‘Bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat darimu!“ Maka, hal ini senantiasa menjadi kebiasaan makanku setelah itu. (HR. Bukhari dan Muslim) Selain itu, juga dapat berupa hal dasar, semisal tata cara beribadah, membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar (tahsin), prinsip-prinsip beragama (akidah), dan cara mengenal dan mengesakan Allah (tauhid). Kemudian, menunjukkan kebaikan dari sisi duniawi, semisal ilmu kedokteran modern atau tradisional, ilmu-ilmu teknik, resep masakan, dan sebagainya. Ada banyak sekali manfaat yang bisa diberikan kepada orang lain dengan ilmu-ilmu dunia yang kita miliki. Semoga bermanfaat Baca juga: Sebelas Penghapus Amalan Kebaikan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedah hadismenunjukkan kebaikan
Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan hadisPertama, bagaimana cara menunjukkan kebaikan?Kedua, siapa yang ditunjuki kebaikan?Ketiga, apa wujud dari kebaikan yang diajarkan? Teks hadis Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Penjelasan hadis Hadis ini jika ditinjau dari tiga sisi, maka mengandung pertanyaan: Bagaimana cara menunjukkan kepada kebaikan? Siapa yang ditunjuki kebaikan? Dan apa wujud dari kebaikan yang diajarkan tersebut? Pertama, bagaimana cara menunjukkan kebaikan? Menunjukkan kebaikan itu cakupannya luas dan tidak hanya dengan ceramah saja. Ia bisa menunjukkan kebaikan dengan lisan, tulisan, atau perbuatan. Dengan lisan, misalnya ia mengajarkan membaca Al-Qur’an, menghafal surah-surah pendek, atau mengajak kepada kebaikan dan ketaatan, serta mencegah dari kemungkaran. Umat Islam disebut oleh Allah Ta’ala sebagai umat yang terbaik karena adanya ibadah amar makruf nahi munkar (saling mengajak kepada kebaikan dan melarang dari perbuatan keburukan). Allah Ta’ala berfirman, كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah …” (QS. Ali Imron: 110) Ketika mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka yang perlu diperhatikan adalah nasihat tersebut disampaikan dengan ilmu, lemah lembut, adil, dan melihat kondisi orang yang akan diberikan nasihat. Kemudian, cara menunjukkan kebaikan dengan tulisan atau perbuatan, misalnya dengan menulis nasihat-nasihat yang kemudian dibagikan ke media sosial, mencetak poster ilmu agama dan ditempel ke masjid atau majalah dinding, senyum, salam, sapa, teladan yang baik, dan akhlak yang santun (jujur, tanggung jawab, adil, dan sebagainya). Kedua, siapa yang ditunjuki kebaikan? Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadis ini tidak membatasi siapa yang harus ditunjukkan kepada kebaikan. Maka, objek yang akan ditunjuki kebaikan adalah semua orang, sekalipun ia atheis atau manusia yang paling jahat (misal: Fir’aun). Allah Ta’ala berpesan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam, اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun! Sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka, berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44) Fir’aun saja yang mengakui diri sebagai Tuhan, Allah perintahkan untuk menasihatinya dengan lemah lembut. Apalagi kepada sesama muslim? Dari sekian banyak manusia yang hidup di muka bumi ini, maka ada prioritas siapa saja yang didahulukan untuk ditunjuki kepada kebaikan. Yang paling utama didahulukan adalah keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ ٱلْأَقْرَبِينَ “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara: 214) Begitu ayat ini turun, Abu Hurairah berkata bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengumpulkan keluarganya dari satu suku, satu buyut, satu kakek, hingga istri dan anak beliau yang ada di kota Makkah. Lalu, beliau bersabda, يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا “Wahai orang-orang Quraisy, atau ucapan yang serupa dengannya, belilah diri kalian dari Allah. Saya tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani Abd Manaf, saya tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muththalib, saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah, saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah. Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan dari hartaku, tetapi saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah (di hari kiamat kelak jika engkau tidak beriman).” (HR. Bukhari) Nabi  shallallahu ’alaihi wasallam sangat memprioritaskan dakwah dan mengajak kepada kebaikan dalam keluarga. Oleh karenanya, orang-orang yang pertama masuk Islam kebanyakan dari keluarga beliau. Dan dakwah kepada keluarga hukumnya adalah fardhu ‘ain (wajib). Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6) Kemudian, setelah keluarga, baru menunjukkan kebaikan tersebut kepada tetangga, teman, lalu orang yang dikenal maupun tidak dikenal. Ketiga, apa wujud dari kebaikan yang diajarkan? Kebaikan itu ada yang dalam urusan agama (ilmu syar’i) dan ada yang perihal dunia. Ketika kita menunjukkan suatu ilmu agama kepada orang lain, walaupun kita tidak melakukannya (karena lupa, sakit, atau tidak mampu), maka saat orang lain mengamalkannya, maka kita akan mendapatkan pahalanya. Sehingga, ilmu agama menjadi prioritas utama untuk kita berikan dan tunjukkan kepada orang lain. Ilmu agama yang diajarkan bisa dari yang paling sederhana seperti adab dan akhlak sehari-hari. Umar bin Abi Salamah berkata, Rasulullah  shallallahu ’alaihi wasallam bersabda kepadaku, يا غُلامُ، سمِّ اَلله، وكُلْ بِيَمِينِك، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ فما زَالَتْ تِلك طِعْمَتِي بَعْدُ “Wahai anak kecil! Ucapkanlah, ‘Bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat darimu!“ Maka, hal ini senantiasa menjadi kebiasaan makanku setelah itu. (HR. Bukhari dan Muslim) Selain itu, juga dapat berupa hal dasar, semisal tata cara beribadah, membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar (tahsin), prinsip-prinsip beragama (akidah), dan cara mengenal dan mengesakan Allah (tauhid). Kemudian, menunjukkan kebaikan dari sisi duniawi, semisal ilmu kedokteran modern atau tradisional, ilmu-ilmu teknik, resep masakan, dan sebagainya. Ada banyak sekali manfaat yang bisa diberikan kepada orang lain dengan ilmu-ilmu dunia yang kita miliki. Semoga bermanfaat Baca juga: Sebelas Penghapus Amalan Kebaikan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedah hadismenunjukkan kebaikan


Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan hadisPertama, bagaimana cara menunjukkan kebaikan?Kedua, siapa yang ditunjuki kebaikan?Ketiga, apa wujud dari kebaikan yang diajarkan? Teks hadis Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Penjelasan hadis Hadis ini jika ditinjau dari tiga sisi, maka mengandung pertanyaan: Bagaimana cara menunjukkan kepada kebaikan? Siapa yang ditunjuki kebaikan? Dan apa wujud dari kebaikan yang diajarkan tersebut? Pertama, bagaimana cara menunjukkan kebaikan? Menunjukkan kebaikan itu cakupannya luas dan tidak hanya dengan ceramah saja. Ia bisa menunjukkan kebaikan dengan lisan, tulisan, atau perbuatan. Dengan lisan, misalnya ia mengajarkan membaca Al-Qur’an, menghafal surah-surah pendek, atau mengajak kepada kebaikan dan ketaatan, serta mencegah dari kemungkaran. Umat Islam disebut oleh Allah Ta’ala sebagai umat yang terbaik karena adanya ibadah amar makruf nahi munkar (saling mengajak kepada kebaikan dan melarang dari perbuatan keburukan). Allah Ta’ala berfirman, كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah …” (QS. Ali Imron: 110) Ketika mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka yang perlu diperhatikan adalah nasihat tersebut disampaikan dengan ilmu, lemah lembut, adil, dan melihat kondisi orang yang akan diberikan nasihat. Kemudian, cara menunjukkan kebaikan dengan tulisan atau perbuatan, misalnya dengan menulis nasihat-nasihat yang kemudian dibagikan ke media sosial, mencetak poster ilmu agama dan ditempel ke masjid atau majalah dinding, senyum, salam, sapa, teladan yang baik, dan akhlak yang santun (jujur, tanggung jawab, adil, dan sebagainya). Kedua, siapa yang ditunjuki kebaikan? Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadis ini tidak membatasi siapa yang harus ditunjukkan kepada kebaikan. Maka, objek yang akan ditunjuki kebaikan adalah semua orang, sekalipun ia atheis atau manusia yang paling jahat (misal: Fir’aun). Allah Ta’ala berpesan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam, اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun! Sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka, berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44) Fir’aun saja yang mengakui diri sebagai Tuhan, Allah perintahkan untuk menasihatinya dengan lemah lembut. Apalagi kepada sesama muslim? Dari sekian banyak manusia yang hidup di muka bumi ini, maka ada prioritas siapa saja yang didahulukan untuk ditunjuki kepada kebaikan. Yang paling utama didahulukan adalah keluarga. Allah Ta’ala berfirman, وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ ٱلْأَقْرَبِينَ “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara: 214) Begitu ayat ini turun, Abu Hurairah berkata bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengumpulkan keluarganya dari satu suku, satu buyut, satu kakek, hingga istri dan anak beliau yang ada di kota Makkah. Lalu, beliau bersabda, يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا “Wahai orang-orang Quraisy, atau ucapan yang serupa dengannya, belilah diri kalian dari Allah. Saya tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani Abd Manaf, saya tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muththalib, saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah, saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah. Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan dari hartaku, tetapi saya tidak mampu menolong kamu sedikit pun dari Allah (di hari kiamat kelak jika engkau tidak beriman).” (HR. Bukhari) Nabi  shallallahu ’alaihi wasallam sangat memprioritaskan dakwah dan mengajak kepada kebaikan dalam keluarga. Oleh karenanya, orang-orang yang pertama masuk Islam kebanyakan dari keluarga beliau. Dan dakwah kepada keluarga hukumnya adalah fardhu ‘ain (wajib). Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6) Kemudian, setelah keluarga, baru menunjukkan kebaikan tersebut kepada tetangga, teman, lalu orang yang dikenal maupun tidak dikenal. Ketiga, apa wujud dari kebaikan yang diajarkan? Kebaikan itu ada yang dalam urusan agama (ilmu syar’i) dan ada yang perihal dunia. Ketika kita menunjukkan suatu ilmu agama kepada orang lain, walaupun kita tidak melakukannya (karena lupa, sakit, atau tidak mampu), maka saat orang lain mengamalkannya, maka kita akan mendapatkan pahalanya. Sehingga, ilmu agama menjadi prioritas utama untuk kita berikan dan tunjukkan kepada orang lain. Ilmu agama yang diajarkan bisa dari yang paling sederhana seperti adab dan akhlak sehari-hari. Umar bin Abi Salamah berkata, Rasulullah  shallallahu ’alaihi wasallam bersabda kepadaku, يا غُلامُ، سمِّ اَلله، وكُلْ بِيَمِينِك، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ فما زَالَتْ تِلك طِعْمَتِي بَعْدُ “Wahai anak kecil! Ucapkanlah, ‘Bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat darimu!“ Maka, hal ini senantiasa menjadi kebiasaan makanku setelah itu. (HR. Bukhari dan Muslim) Selain itu, juga dapat berupa hal dasar, semisal tata cara beribadah, membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar (tahsin), prinsip-prinsip beragama (akidah), dan cara mengenal dan mengesakan Allah (tauhid). Kemudian, menunjukkan kebaikan dari sisi duniawi, semisal ilmu kedokteran modern atau tradisional, ilmu-ilmu teknik, resep masakan, dan sebagainya. Ada banyak sekali manfaat yang bisa diberikan kepada orang lain dengan ilmu-ilmu dunia yang kita miliki. Semoga bermanfaat Baca juga: Sebelas Penghapus Amalan Kebaikan *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedah hadismenunjukkan kebaikan

Apakah Dupa Sama dengan Bakhur?

Pertanyaan: Benarkah bahwa orang Islam juga menggunakan dupa sebagaimana orang Hindu, Budha dan Kristen? Konon dalam Islam disebut bakhur. Jawaban:  Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jawaban untuk pertanyaan ini tergantung apa yang dipahami dari istilah “dupa”? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna dupa adalah: luban (kemenyan, setanggi, dan sebagainya) yang apabila dibakar asapnya berbau harum. Jika dengan makna ini, dupa adalah kayu yang dibakar untuk menghasilkan bau yang wangi, maka tentu kaum Muslimin menggunakannya. Itulah bakhur, yaitu kayu wangi yang dibakar untuk menghasilkan bau harum, semisal untuk mengharumkan ruangan atau pakaian.  Dalam Lisanul Arab disebutkan: والبَخُورُ، بالفتح: ما يتبخر به ويقال: يَخَّرَ علينا من بَخُور العُود أَي طَيَّبَ “Bakhur dengan huruf ba’ di-fathah, adalah segala yang dapat mengharumkan, jika orang Arab mengatakan: bakhara ‘alaina min bakhuril ‘ud maknanya adalah pasanglah wewangian untuk kami dari kayu yang wangi”. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: أيُّما امرأةٍ أصابتْ بخورًا فلا تشهدنَّ معنا العِشاءَ “Wanita mana saja yang terkena wangi bakhur, maka janganlah ia menghadiri shalat isya bersama kami di masjid.” (HR. Muslim no. 444). Karena wanita yang terkena bakhur akan menjadi wangi tubuh atau pakaiannya, sehingga menjadi godaan yang besar bagi para lelaki di masjid. Dari penjelasan di atas, kita ketahui bahwa bakhur dalam Islam adalah sekedar salah satu bentuk wewangian. Berupa kayu yang wangi seperti kayu gaharu dan kayu cendana, yang jika dibakar akan menimbulkan asap yang wangi, untuk mengharumkan ruangan atau pakaian. Tidak ada keyakinan khusus atau ibadah khusus terkait dengan bakhur. Ini tidak sebagaimana keyakinan agama lain. Penggunaan dupa dalam agama lain dikaitkan dengan suatu keyakinan atau ibadah. Contohnya dalam agama Hindu, “Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berbau harum dan menyala sebagai lambang (dewi) Agni dan berfungsi sebagai:  – Perantara yang menghubungkan pemuja dengan yang dipuja.  – Sebagai pembasmi segala mala dan pengusir roh jahat.  – Sebagai saksi dalam upacara” (Warta Hindu Dharma No. 407 Januari 2001, dikutip dari dari website phdi.or.id). Menurut agama Budha, “Dupa digunakan sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam ritual upacara umat Budha di Candi Borobudur maupun Candi Mendut khususnya dalam upacara Waisak. Dupa yang dipakai dalam sembahyang umat Buddha biasanya berjumlah 3 batang. Dupa sebanyak 3 batang ini melambangkan “pantangan”, “tekad”, “bijaksana”. Menurut ajaran agama Buddha, pantangan melahirkan tekad, tekad membentuk kebijaksanaan” (Dikutip dari web borobudurpedia.id). Menurut agama Kristen, “Penggunaan dupa dalam ibadah dimulai pada masa Eksodus, pada saat yang sama ketika Tuhan memerintahkan pembangunan tabernakel dan berbagai pengorbanan. Dalam Keluaran 30, Allah memerintahkan pembakaran dupa dan menetapkan peraturan serta prosedur penggunaannya” (Dikutip dari situs deihomines.com). Adapun dalam Islam, penggunaan dupa yang demikian, yaitu diyakini sebagai lambang dewa-dewi atau perantara dalam ibadah kepada Tuhan, atau pengorbanan untuk Tuhan, ini semua adalah bentuk kesyirikan dan kekufuran.  Allah ta’ala berfirman: اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ ۗوَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ەۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah mereka (berkata), “Kami tidak menyembah mereka (selain Allah) melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta lagi kufur” (QS. Az-Zumar: 3). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Menjawab Titipan Salam, Minta Maaf Sebelum Ramadhan, Makna Mimpi Menurut Islam, Kalimat Takbir Lebaran, Wajib Nikah, Cara Melayani Suami Saat Hamil Visited 518 times, 6 visit(s) today Post Views: 568 QRIS donasi Yufid

Apakah Dupa Sama dengan Bakhur?

Pertanyaan: Benarkah bahwa orang Islam juga menggunakan dupa sebagaimana orang Hindu, Budha dan Kristen? Konon dalam Islam disebut bakhur. Jawaban:  Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jawaban untuk pertanyaan ini tergantung apa yang dipahami dari istilah “dupa”? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna dupa adalah: luban (kemenyan, setanggi, dan sebagainya) yang apabila dibakar asapnya berbau harum. Jika dengan makna ini, dupa adalah kayu yang dibakar untuk menghasilkan bau yang wangi, maka tentu kaum Muslimin menggunakannya. Itulah bakhur, yaitu kayu wangi yang dibakar untuk menghasilkan bau harum, semisal untuk mengharumkan ruangan atau pakaian.  Dalam Lisanul Arab disebutkan: والبَخُورُ، بالفتح: ما يتبخر به ويقال: يَخَّرَ علينا من بَخُور العُود أَي طَيَّبَ “Bakhur dengan huruf ba’ di-fathah, adalah segala yang dapat mengharumkan, jika orang Arab mengatakan: bakhara ‘alaina min bakhuril ‘ud maknanya adalah pasanglah wewangian untuk kami dari kayu yang wangi”. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: أيُّما امرأةٍ أصابتْ بخورًا فلا تشهدنَّ معنا العِشاءَ “Wanita mana saja yang terkena wangi bakhur, maka janganlah ia menghadiri shalat isya bersama kami di masjid.” (HR. Muslim no. 444). Karena wanita yang terkena bakhur akan menjadi wangi tubuh atau pakaiannya, sehingga menjadi godaan yang besar bagi para lelaki di masjid. Dari penjelasan di atas, kita ketahui bahwa bakhur dalam Islam adalah sekedar salah satu bentuk wewangian. Berupa kayu yang wangi seperti kayu gaharu dan kayu cendana, yang jika dibakar akan menimbulkan asap yang wangi, untuk mengharumkan ruangan atau pakaian. Tidak ada keyakinan khusus atau ibadah khusus terkait dengan bakhur. Ini tidak sebagaimana keyakinan agama lain. Penggunaan dupa dalam agama lain dikaitkan dengan suatu keyakinan atau ibadah. Contohnya dalam agama Hindu, “Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berbau harum dan menyala sebagai lambang (dewi) Agni dan berfungsi sebagai:  – Perantara yang menghubungkan pemuja dengan yang dipuja.  – Sebagai pembasmi segala mala dan pengusir roh jahat.  – Sebagai saksi dalam upacara” (Warta Hindu Dharma No. 407 Januari 2001, dikutip dari dari website phdi.or.id). Menurut agama Budha, “Dupa digunakan sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam ritual upacara umat Budha di Candi Borobudur maupun Candi Mendut khususnya dalam upacara Waisak. Dupa yang dipakai dalam sembahyang umat Buddha biasanya berjumlah 3 batang. Dupa sebanyak 3 batang ini melambangkan “pantangan”, “tekad”, “bijaksana”. Menurut ajaran agama Buddha, pantangan melahirkan tekad, tekad membentuk kebijaksanaan” (Dikutip dari web borobudurpedia.id). Menurut agama Kristen, “Penggunaan dupa dalam ibadah dimulai pada masa Eksodus, pada saat yang sama ketika Tuhan memerintahkan pembangunan tabernakel dan berbagai pengorbanan. Dalam Keluaran 30, Allah memerintahkan pembakaran dupa dan menetapkan peraturan serta prosedur penggunaannya” (Dikutip dari situs deihomines.com). Adapun dalam Islam, penggunaan dupa yang demikian, yaitu diyakini sebagai lambang dewa-dewi atau perantara dalam ibadah kepada Tuhan, atau pengorbanan untuk Tuhan, ini semua adalah bentuk kesyirikan dan kekufuran.  Allah ta’ala berfirman: اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ ۗوَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ەۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah mereka (berkata), “Kami tidak menyembah mereka (selain Allah) melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta lagi kufur” (QS. Az-Zumar: 3). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Menjawab Titipan Salam, Minta Maaf Sebelum Ramadhan, Makna Mimpi Menurut Islam, Kalimat Takbir Lebaran, Wajib Nikah, Cara Melayani Suami Saat Hamil Visited 518 times, 6 visit(s) today Post Views: 568 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Benarkah bahwa orang Islam juga menggunakan dupa sebagaimana orang Hindu, Budha dan Kristen? Konon dalam Islam disebut bakhur. Jawaban:  Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jawaban untuk pertanyaan ini tergantung apa yang dipahami dari istilah “dupa”? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna dupa adalah: luban (kemenyan, setanggi, dan sebagainya) yang apabila dibakar asapnya berbau harum. Jika dengan makna ini, dupa adalah kayu yang dibakar untuk menghasilkan bau yang wangi, maka tentu kaum Muslimin menggunakannya. Itulah bakhur, yaitu kayu wangi yang dibakar untuk menghasilkan bau harum, semisal untuk mengharumkan ruangan atau pakaian.  Dalam Lisanul Arab disebutkan: والبَخُورُ، بالفتح: ما يتبخر به ويقال: يَخَّرَ علينا من بَخُور العُود أَي طَيَّبَ “Bakhur dengan huruf ba’ di-fathah, adalah segala yang dapat mengharumkan, jika orang Arab mengatakan: bakhara ‘alaina min bakhuril ‘ud maknanya adalah pasanglah wewangian untuk kami dari kayu yang wangi”. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: أيُّما امرأةٍ أصابتْ بخورًا فلا تشهدنَّ معنا العِشاءَ “Wanita mana saja yang terkena wangi bakhur, maka janganlah ia menghadiri shalat isya bersama kami di masjid.” (HR. Muslim no. 444). Karena wanita yang terkena bakhur akan menjadi wangi tubuh atau pakaiannya, sehingga menjadi godaan yang besar bagi para lelaki di masjid. Dari penjelasan di atas, kita ketahui bahwa bakhur dalam Islam adalah sekedar salah satu bentuk wewangian. Berupa kayu yang wangi seperti kayu gaharu dan kayu cendana, yang jika dibakar akan menimbulkan asap yang wangi, untuk mengharumkan ruangan atau pakaian. Tidak ada keyakinan khusus atau ibadah khusus terkait dengan bakhur. Ini tidak sebagaimana keyakinan agama lain. Penggunaan dupa dalam agama lain dikaitkan dengan suatu keyakinan atau ibadah. Contohnya dalam agama Hindu, “Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berbau harum dan menyala sebagai lambang (dewi) Agni dan berfungsi sebagai:  – Perantara yang menghubungkan pemuja dengan yang dipuja.  – Sebagai pembasmi segala mala dan pengusir roh jahat.  – Sebagai saksi dalam upacara” (Warta Hindu Dharma No. 407 Januari 2001, dikutip dari dari website phdi.or.id). Menurut agama Budha, “Dupa digunakan sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam ritual upacara umat Budha di Candi Borobudur maupun Candi Mendut khususnya dalam upacara Waisak. Dupa yang dipakai dalam sembahyang umat Buddha biasanya berjumlah 3 batang. Dupa sebanyak 3 batang ini melambangkan “pantangan”, “tekad”, “bijaksana”. Menurut ajaran agama Buddha, pantangan melahirkan tekad, tekad membentuk kebijaksanaan” (Dikutip dari web borobudurpedia.id). Menurut agama Kristen, “Penggunaan dupa dalam ibadah dimulai pada masa Eksodus, pada saat yang sama ketika Tuhan memerintahkan pembangunan tabernakel dan berbagai pengorbanan. Dalam Keluaran 30, Allah memerintahkan pembakaran dupa dan menetapkan peraturan serta prosedur penggunaannya” (Dikutip dari situs deihomines.com). Adapun dalam Islam, penggunaan dupa yang demikian, yaitu diyakini sebagai lambang dewa-dewi atau perantara dalam ibadah kepada Tuhan, atau pengorbanan untuk Tuhan, ini semua adalah bentuk kesyirikan dan kekufuran.  Allah ta’ala berfirman: اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ ۗوَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ەۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah mereka (berkata), “Kami tidak menyembah mereka (selain Allah) melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta lagi kufur” (QS. Az-Zumar: 3). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Menjawab Titipan Salam, Minta Maaf Sebelum Ramadhan, Makna Mimpi Menurut Islam, Kalimat Takbir Lebaran, Wajib Nikah, Cara Melayani Suami Saat Hamil Visited 518 times, 6 visit(s) today Post Views: 568 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Benarkah bahwa orang Islam juga menggunakan dupa sebagaimana orang Hindu, Budha dan Kristen? Konon dalam Islam disebut bakhur. Jawaban:  Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jawaban untuk pertanyaan ini tergantung apa yang dipahami dari istilah “dupa”? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna dupa adalah: luban (kemenyan, setanggi, dan sebagainya) yang apabila dibakar asapnya berbau harum. Jika dengan makna ini, dupa adalah kayu yang dibakar untuk menghasilkan bau yang wangi, maka tentu kaum Muslimin menggunakannya. Itulah bakhur, yaitu kayu wangi yang dibakar untuk menghasilkan bau harum, semisal untuk mengharumkan ruangan atau pakaian.  Dalam Lisanul Arab disebutkan: والبَخُورُ، بالفتح: ما يتبخر به ويقال: يَخَّرَ علينا من بَخُور العُود أَي طَيَّبَ “Bakhur dengan huruf ba’ di-fathah, adalah segala yang dapat mengharumkan, jika orang Arab mengatakan: bakhara ‘alaina min bakhuril ‘ud maknanya adalah pasanglah wewangian untuk kami dari kayu yang wangi”. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: أيُّما امرأةٍ أصابتْ بخورًا فلا تشهدنَّ معنا العِشاءَ “Wanita mana saja yang terkena wangi bakhur, maka janganlah ia menghadiri shalat isya bersama kami di masjid.” (HR. Muslim no. 444). Karena wanita yang terkena bakhur akan menjadi wangi tubuh atau pakaiannya, sehingga menjadi godaan yang besar bagi para lelaki di masjid. Dari penjelasan di atas, kita ketahui bahwa bakhur dalam Islam adalah sekedar salah satu bentuk wewangian. Berupa kayu yang wangi seperti kayu gaharu dan kayu cendana, yang jika dibakar akan menimbulkan asap yang wangi, untuk mengharumkan ruangan atau pakaian. Tidak ada keyakinan khusus atau ibadah khusus terkait dengan bakhur. Ini tidak sebagaimana keyakinan agama lain. Penggunaan dupa dalam agama lain dikaitkan dengan suatu keyakinan atau ibadah. Contohnya dalam agama Hindu, “Dupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berbau harum dan menyala sebagai lambang (dewi) Agni dan berfungsi sebagai:  – Perantara yang menghubungkan pemuja dengan yang dipuja.  – Sebagai pembasmi segala mala dan pengusir roh jahat.  – Sebagai saksi dalam upacara” (Warta Hindu Dharma No. 407 Januari 2001, dikutip dari dari website phdi.or.id). Menurut agama Budha, “Dupa digunakan sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam ritual upacara umat Budha di Candi Borobudur maupun Candi Mendut khususnya dalam upacara Waisak. Dupa yang dipakai dalam sembahyang umat Buddha biasanya berjumlah 3 batang. Dupa sebanyak 3 batang ini melambangkan “pantangan”, “tekad”, “bijaksana”. Menurut ajaran agama Buddha, pantangan melahirkan tekad, tekad membentuk kebijaksanaan” (Dikutip dari web borobudurpedia.id). Menurut agama Kristen, “Penggunaan dupa dalam ibadah dimulai pada masa Eksodus, pada saat yang sama ketika Tuhan memerintahkan pembangunan tabernakel dan berbagai pengorbanan. Dalam Keluaran 30, Allah memerintahkan pembakaran dupa dan menetapkan peraturan serta prosedur penggunaannya” (Dikutip dari situs deihomines.com). Adapun dalam Islam, penggunaan dupa yang demikian, yaitu diyakini sebagai lambang dewa-dewi atau perantara dalam ibadah kepada Tuhan, atau pengorbanan untuk Tuhan, ini semua adalah bentuk kesyirikan dan kekufuran.  Allah ta’ala berfirman: اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ ۗوَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ەۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ “Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah mereka (berkata), “Kami tidak menyembah mereka (selain Allah) melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta lagi kufur” (QS. Az-Zumar: 3). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Menjawab Titipan Salam, Minta Maaf Sebelum Ramadhan, Makna Mimpi Menurut Islam, Kalimat Takbir Lebaran, Wajib Nikah, Cara Melayani Suami Saat Hamil Visited 518 times, 6 visit(s) today Post Views: 568 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Jangan Tinggalkan Zikir Ini Mulai Sekarang – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Aku ingatkan agar menjaga zikir tersebut setiap pagi. Aṣhbaẖnā ʿalā fiṯratil Islām… (dan seterusnya). Yang sudah rutin, maka lanjutkan rutinitas itu. Adapun yang belum mempunyai ilmu tentang ini, maka hendaknya dia menjaganya mulai hari ini. ASHBAHNAA ‘ALAA FITHROTIL ISLAAM (Kami memasuki waktu pagi di atas fitrah Islam) WA ‘ALAA KALIMATIL IKHLAASH (dan di atas kalimat keikhlasan) WA ‘ALAA DIINI NABIY-YINAA MUHAMMADIN SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WA SALLAM (dan di atas agama Nabi kami, Muhammad Ṣhallallāhu ʿalaihi wa Sallam) WA ‘ALAA MILLATI ABIINAA IBROOHIIM (dan di atas agama nenek moyang kami, Ibrahim) HANIIFAN MUSLIMAN (yang hanif dan muslim) WAMAA KAANA MINAL MUSYRIKIIN dan tidak tergolong orang-orang yang musyrik.” (HR. An-Nasai) “Agama nenek moyang kami,” sama dengan yang tersebut di sebuah ayat di akhir surah al-Hajj, “Agama nenek moyang kalian, Ibrahim, dan Dia-lah (Allah) Yang Menamai kalian orang-orang muslim.” (QS. Al-Hajj: 78 Ulangi lagi, “Aṣbaẖnā ʿalā fiṯrotil Islām wa ‘alā kalimatil ikhlāṣ wa ‘alā dīni nabiyyinā muhammad Ṣhollallāhu ʿalaihi wa sallam wa ʿalā millati abīnā ibrāhīma ẖanīfan muslimān wa mā kāna minal musyrikīn.” (HR. An-Nasai) Lagi, ketiga kalinya (yang artinya) “Kami memasuki waktu pagi di atas fitrah Islam, di atas kalimat keikhlasan, di atas agama Nabi kami Muhammad Ṣhallallāhu ʿalaihi wa Sallam dan di atas agama nenek moyang kami, Ibrahim, yang hanif dan muslim, dan tidak tergolong orang-orang yang musyrik.” (HR. An-Nasai) Menjaga zikir ini termasuk memperbaharui tauhid, fitrah, dan keislaman setiap hari. Pembaharuan ini dituntut dari seorang muslim, dengan memperbaharui agama dan keimanannya setiap pagi dan sore hari dengan menjaga zikir tersebut. Taufik hanya di tangan Allah. “Maha Suci Engkau, wahai Allah, dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, aku meminta ampun kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu.” (HR. Tirmidzi) Ya Allah, Curahkanlah selawat dan salam untuk hamba dan rasul-Mu, Nabi kami, Muhammad, beserta keluarga dan para Sahabatnya. Semoga Allah Membalas Anda dengan kebaikan. ==== أُنَبِّهُ إِلَى الْعِنَايَةِ بِالذِّكْرِ الْمُتَقَدِّمِ كُلَّ الصَّبَاحِ اللَّهُمَّ… أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ فَالْمُوَاظِبُ يَسْتَمِرُّ عَلَى الْمُوَاظَبَةِ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ عِلْمٌ بِهَذَا فَلْيَعْتَنِ بِهِ اعْتِبَارًا مِنَ الْيَوْمِ أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ – أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ مِلَّةُ أَبِينَا مِثْلُ مَا فِي الْآيَةِ فِي آخِرِ الْحَجِّ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ ۔ ﴿الحَجُّ : ۷۸﴾) مَرَّةً ثَانِيَةً: أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ أَيْضًا مَرَّةً ثَالِثَةً أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ هَذَا الْعِنَايَةُ بِهِ يُعَدُّ التَّجْدِيدَ لِلتَّوْحِيدِ وَالْفِطْرَةِ وَالْإِسْلَامِ كُلَّ يَوْمٍ وَالتَّجْدِيدُ هَذَا مَطْلُوبٌ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يُجَدِّدَ دِينَهُ وَيُجَدِّدَ إِيمَانَهُ كُلَّ صَبَاحٍ وَكُلَّ مَسَاءٍ يَعْتَنِي بِذَلِكَ وَالتَّوْفِيقُ بِيَدِ اللهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ نَبِيَّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

Jangan Tinggalkan Zikir Ini Mulai Sekarang – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Aku ingatkan agar menjaga zikir tersebut setiap pagi. Aṣhbaẖnā ʿalā fiṯratil Islām… (dan seterusnya). Yang sudah rutin, maka lanjutkan rutinitas itu. Adapun yang belum mempunyai ilmu tentang ini, maka hendaknya dia menjaganya mulai hari ini. ASHBAHNAA ‘ALAA FITHROTIL ISLAAM (Kami memasuki waktu pagi di atas fitrah Islam) WA ‘ALAA KALIMATIL IKHLAASH (dan di atas kalimat keikhlasan) WA ‘ALAA DIINI NABIY-YINAA MUHAMMADIN SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WA SALLAM (dan di atas agama Nabi kami, Muhammad Ṣhallallāhu ʿalaihi wa Sallam) WA ‘ALAA MILLATI ABIINAA IBROOHIIM (dan di atas agama nenek moyang kami, Ibrahim) HANIIFAN MUSLIMAN (yang hanif dan muslim) WAMAA KAANA MINAL MUSYRIKIIN dan tidak tergolong orang-orang yang musyrik.” (HR. An-Nasai) “Agama nenek moyang kami,” sama dengan yang tersebut di sebuah ayat di akhir surah al-Hajj, “Agama nenek moyang kalian, Ibrahim, dan Dia-lah (Allah) Yang Menamai kalian orang-orang muslim.” (QS. Al-Hajj: 78 Ulangi lagi, “Aṣbaẖnā ʿalā fiṯrotil Islām wa ‘alā kalimatil ikhlāṣ wa ‘alā dīni nabiyyinā muhammad Ṣhollallāhu ʿalaihi wa sallam wa ʿalā millati abīnā ibrāhīma ẖanīfan muslimān wa mā kāna minal musyrikīn.” (HR. An-Nasai) Lagi, ketiga kalinya (yang artinya) “Kami memasuki waktu pagi di atas fitrah Islam, di atas kalimat keikhlasan, di atas agama Nabi kami Muhammad Ṣhallallāhu ʿalaihi wa Sallam dan di atas agama nenek moyang kami, Ibrahim, yang hanif dan muslim, dan tidak tergolong orang-orang yang musyrik.” (HR. An-Nasai) Menjaga zikir ini termasuk memperbaharui tauhid, fitrah, dan keislaman setiap hari. Pembaharuan ini dituntut dari seorang muslim, dengan memperbaharui agama dan keimanannya setiap pagi dan sore hari dengan menjaga zikir tersebut. Taufik hanya di tangan Allah. “Maha Suci Engkau, wahai Allah, dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, aku meminta ampun kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu.” (HR. Tirmidzi) Ya Allah, Curahkanlah selawat dan salam untuk hamba dan rasul-Mu, Nabi kami, Muhammad, beserta keluarga dan para Sahabatnya. Semoga Allah Membalas Anda dengan kebaikan. ==== أُنَبِّهُ إِلَى الْعِنَايَةِ بِالذِّكْرِ الْمُتَقَدِّمِ كُلَّ الصَّبَاحِ اللَّهُمَّ… أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ فَالْمُوَاظِبُ يَسْتَمِرُّ عَلَى الْمُوَاظَبَةِ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ عِلْمٌ بِهَذَا فَلْيَعْتَنِ بِهِ اعْتِبَارًا مِنَ الْيَوْمِ أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ – أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ مِلَّةُ أَبِينَا مِثْلُ مَا فِي الْآيَةِ فِي آخِرِ الْحَجِّ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ ۔ ﴿الحَجُّ : ۷۸﴾) مَرَّةً ثَانِيَةً: أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ أَيْضًا مَرَّةً ثَالِثَةً أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ هَذَا الْعِنَايَةُ بِهِ يُعَدُّ التَّجْدِيدَ لِلتَّوْحِيدِ وَالْفِطْرَةِ وَالْإِسْلَامِ كُلَّ يَوْمٍ وَالتَّجْدِيدُ هَذَا مَطْلُوبٌ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يُجَدِّدَ دِينَهُ وَيُجَدِّدَ إِيمَانَهُ كُلَّ صَبَاحٍ وَكُلَّ مَسَاءٍ يَعْتَنِي بِذَلِكَ وَالتَّوْفِيقُ بِيَدِ اللهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ نَبِيَّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا
Aku ingatkan agar menjaga zikir tersebut setiap pagi. Aṣhbaẖnā ʿalā fiṯratil Islām… (dan seterusnya). Yang sudah rutin, maka lanjutkan rutinitas itu. Adapun yang belum mempunyai ilmu tentang ini, maka hendaknya dia menjaganya mulai hari ini. ASHBAHNAA ‘ALAA FITHROTIL ISLAAM (Kami memasuki waktu pagi di atas fitrah Islam) WA ‘ALAA KALIMATIL IKHLAASH (dan di atas kalimat keikhlasan) WA ‘ALAA DIINI NABIY-YINAA MUHAMMADIN SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WA SALLAM (dan di atas agama Nabi kami, Muhammad Ṣhallallāhu ʿalaihi wa Sallam) WA ‘ALAA MILLATI ABIINAA IBROOHIIM (dan di atas agama nenek moyang kami, Ibrahim) HANIIFAN MUSLIMAN (yang hanif dan muslim) WAMAA KAANA MINAL MUSYRIKIIN dan tidak tergolong orang-orang yang musyrik.” (HR. An-Nasai) “Agama nenek moyang kami,” sama dengan yang tersebut di sebuah ayat di akhir surah al-Hajj, “Agama nenek moyang kalian, Ibrahim, dan Dia-lah (Allah) Yang Menamai kalian orang-orang muslim.” (QS. Al-Hajj: 78 Ulangi lagi, “Aṣbaẖnā ʿalā fiṯrotil Islām wa ‘alā kalimatil ikhlāṣ wa ‘alā dīni nabiyyinā muhammad Ṣhollallāhu ʿalaihi wa sallam wa ʿalā millati abīnā ibrāhīma ẖanīfan muslimān wa mā kāna minal musyrikīn.” (HR. An-Nasai) Lagi, ketiga kalinya (yang artinya) “Kami memasuki waktu pagi di atas fitrah Islam, di atas kalimat keikhlasan, di atas agama Nabi kami Muhammad Ṣhallallāhu ʿalaihi wa Sallam dan di atas agama nenek moyang kami, Ibrahim, yang hanif dan muslim, dan tidak tergolong orang-orang yang musyrik.” (HR. An-Nasai) Menjaga zikir ini termasuk memperbaharui tauhid, fitrah, dan keislaman setiap hari. Pembaharuan ini dituntut dari seorang muslim, dengan memperbaharui agama dan keimanannya setiap pagi dan sore hari dengan menjaga zikir tersebut. Taufik hanya di tangan Allah. “Maha Suci Engkau, wahai Allah, dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, aku meminta ampun kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu.” (HR. Tirmidzi) Ya Allah, Curahkanlah selawat dan salam untuk hamba dan rasul-Mu, Nabi kami, Muhammad, beserta keluarga dan para Sahabatnya. Semoga Allah Membalas Anda dengan kebaikan. ==== أُنَبِّهُ إِلَى الْعِنَايَةِ بِالذِّكْرِ الْمُتَقَدِّمِ كُلَّ الصَّبَاحِ اللَّهُمَّ… أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ فَالْمُوَاظِبُ يَسْتَمِرُّ عَلَى الْمُوَاظَبَةِ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ عِلْمٌ بِهَذَا فَلْيَعْتَنِ بِهِ اعْتِبَارًا مِنَ الْيَوْمِ أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ – أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ مِلَّةُ أَبِينَا مِثْلُ مَا فِي الْآيَةِ فِي آخِرِ الْحَجِّ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ ۔ ﴿الحَجُّ : ۷۸﴾) مَرَّةً ثَانِيَةً: أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ أَيْضًا مَرَّةً ثَالِثَةً أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ هَذَا الْعِنَايَةُ بِهِ يُعَدُّ التَّجْدِيدَ لِلتَّوْحِيدِ وَالْفِطْرَةِ وَالْإِسْلَامِ كُلَّ يَوْمٍ وَالتَّجْدِيدُ هَذَا مَطْلُوبٌ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يُجَدِّدَ دِينَهُ وَيُجَدِّدَ إِيمَانَهُ كُلَّ صَبَاحٍ وَكُلَّ مَسَاءٍ يَعْتَنِي بِذَلِكَ وَالتَّوْفِيقُ بِيَدِ اللهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ نَبِيَّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا


Aku ingatkan agar menjaga zikir tersebut setiap pagi. Aṣhbaẖnā ʿalā fiṯratil Islām… (dan seterusnya). Yang sudah rutin, maka lanjutkan rutinitas itu. Adapun yang belum mempunyai ilmu tentang ini, maka hendaknya dia menjaganya mulai hari ini. ASHBAHNAA ‘ALAA FITHROTIL ISLAAM (Kami memasuki waktu pagi di atas fitrah Islam) WA ‘ALAA KALIMATIL IKHLAASH (dan di atas kalimat keikhlasan) WA ‘ALAA DIINI NABIY-YINAA MUHAMMADIN SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WA SALLAM (dan di atas agama Nabi kami, Muhammad Ṣhallallāhu ʿalaihi wa Sallam) WA ‘ALAA MILLATI ABIINAA IBROOHIIM (dan di atas agama nenek moyang kami, Ibrahim) HANIIFAN MUSLIMAN (yang hanif dan muslim) WAMAA KAANA MINAL MUSYRIKIIN dan tidak tergolong orang-orang yang musyrik.” (HR. An-Nasai) “Agama nenek moyang kami,” sama dengan yang tersebut di sebuah ayat di akhir surah al-Hajj, “Agama nenek moyang kalian, Ibrahim, dan Dia-lah (Allah) Yang Menamai kalian orang-orang muslim.” (QS. Al-Hajj: 78 Ulangi lagi, “Aṣbaẖnā ʿalā fiṯrotil Islām wa ‘alā kalimatil ikhlāṣ wa ‘alā dīni nabiyyinā muhammad Ṣhollallāhu ʿalaihi wa sallam wa ʿalā millati abīnā ibrāhīma ẖanīfan muslimān wa mā kāna minal musyrikīn.” (HR. An-Nasai) Lagi, ketiga kalinya (yang artinya) “Kami memasuki waktu pagi di atas fitrah Islam, di atas kalimat keikhlasan, di atas agama Nabi kami Muhammad Ṣhallallāhu ʿalaihi wa Sallam dan di atas agama nenek moyang kami, Ibrahim, yang hanif dan muslim, dan tidak tergolong orang-orang yang musyrik.” (HR. An-Nasai) Menjaga zikir ini termasuk memperbaharui tauhid, fitrah, dan keislaman setiap hari. Pembaharuan ini dituntut dari seorang muslim, dengan memperbaharui agama dan keimanannya setiap pagi dan sore hari dengan menjaga zikir tersebut. Taufik hanya di tangan Allah. “Maha Suci Engkau, wahai Allah, dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, aku meminta ampun kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu.” (HR. Tirmidzi) Ya Allah, Curahkanlah selawat dan salam untuk hamba dan rasul-Mu, Nabi kami, Muhammad, beserta keluarga dan para Sahabatnya. Semoga Allah Membalas Anda dengan kebaikan. ==== أُنَبِّهُ إِلَى الْعِنَايَةِ بِالذِّكْرِ الْمُتَقَدِّمِ كُلَّ الصَّبَاحِ اللَّهُمَّ… أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ فَالْمُوَاظِبُ يَسْتَمِرُّ عَلَى الْمُوَاظَبَةِ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ عِلْمٌ بِهَذَا فَلْيَعْتَنِ بِهِ اعْتِبَارًا مِنَ الْيَوْمِ أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ – أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ مِلَّةُ أَبِينَا مِثْلُ مَا فِي الْآيَةِ فِي آخِرِ الْحَجِّ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ ۔ ﴿الحَجُّ : ۷۸﴾) مَرَّةً ثَانِيَةً: أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ أَيْضًا مَرَّةً ثَالِثَةً أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ هَذَا الْعِنَايَةُ بِهِ يُعَدُّ التَّجْدِيدَ لِلتَّوْحِيدِ وَالْفِطْرَةِ وَالْإِسْلَامِ كُلَّ يَوْمٍ وَالتَّجْدِيدُ هَذَا مَطْلُوبٌ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يُجَدِّدَ دِينَهُ وَيُجَدِّدَ إِيمَانَهُ كُلَّ صَبَاحٍ وَكُلَّ مَسَاءٍ يَعْتَنِي بِذَلِكَ وَالتَّوْفِيقُ بِيَدِ اللهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ نَبِيَّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

Mengusap Gips dan Perban ketika Bersuci

Daftar Isi Toggle Definisi mengusap jabirahHukum mengusap jabirahSyarat-syarat mengusap jabirahBeberapa perbedaan antara jabirah dan khuf dalam hal mengusapCara mengusap jabirahJika jabirah lebih besar dari yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan?Beberapa hukum terkait jabirah Ada kalanya seseorang mendapatkan musibah berupa luka di tangannya. Dalam rangka pengobatan, dokter mengharuskan pemakaian perban di tangan tersebut. Ketika dia hendak berwudu untuk salat, apakah dia harus melepas perbannya karena di antara syarat sah wudu adalah tidak adanya penghalang sampainya air ke kulit, atau dia boleh mengusapnya sebagaimana diperbolehkannya mengusap khuf? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang mengusap jabirah (gips, perban, atau semisalnya) ketika bersuci. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa pembahasan ini erat kaitannya dengan permasalahan mengusap khuf. Bahkan, beberapa ulama menggabungkan pembahasan mengusap khuf dan jabirah dalam satu bab saja. Oleh karena itu, silakan membaca artikel kami tentang mengusap khuf terlebih dahulu di sini, sehingga bisa memahami permasalahan ini dengan lebih mudah. Definisi mengusap jabirah “Mengusap jabirah”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الجبيرة – mengusap di atas jabirah) tersusun dari dua kata utama, yaitu al-mashu ( المَسْح ) dan al-jabirah ( الجبيرة ). Tentang al-mashu ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1] Sedangkan tentang al-jabirah ( الجبيرة ), disebutkan dalam kitab At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, ‌‌‌الجَبيرة هي التي تُربط على الجرح وهي العيدان التي تجبر بِها العظامُ جمعها الجبائر “Jabirah (secara bahasa) adalah tongkat-tongkat (kayu) yang diikatkan pada luka untuk memperbaiki tulang. Bentuk jamaknya adalah jabā’ir.” [2] Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa. Namun, mazhab Maliki menjelaskan jabirah dengan makna yang lebih luas, yaitu “apa saja yang digunakan untuk merawat luka, baik itu tongkat, plester, atau lainnya.” [3] Tidak ada perbedaan antara penggunaan jabirah pada patah tulang atau luka. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, (فصل) ولا فَرْقَ بينَ كَوْنِ الشَّدِّ على كَسْرٍ أو جُرْحٍ، قال أحمدُ: إذا تَوَضَّأَ، وخَافَ على جُرْحِهِ الماءَ، مَسَحَ على الخِرْقَةِ….. وكذلك إنْ وَضَعَ على جُرْحِهِ دَوَاءً، وخَافَ مِنْ نَزْعِه، مَسَحَ عليه. “(Pasal) Tidak ada perbedaan antara (jabirah) yang digunakan pada patah tulang atau luka. Imam Ahmad mengatakan, ‘Jika ia berwudu dan takut air akan merusak lukanya, ia boleh mengusap di atas kain…’ Demikian juga, jika ia memberikan obat pada lukanya dan takut merusaknya dengan melepaskannya, ia boleh mengusap di atasnya.’” [4] Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa jabirah dalam konteks mengusap adalah mencakup apa saja yang dibuat dari tongkat (kayu), gips, perban, atau lainnya, baik pada patah tulang maupun luka. Wallahu a’lam. Hukum mengusap jabirah Bolehnya mengusap jabirah dalam wudu, mandi, atau tayamum, merupakan perkara yang disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. [5] Di antara dalilnya adalah [6]: Pertama: Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, انكسرت إحدى زندي، فأمرني النبيُّ ﷺ أن أمسح على الجبائر “Salah satu tulang bawahku patah, maka saya bertanya kepada Nabi ﷺ, dan beliau memerintahkan saya untuk mengusap jabirah.” [7] Kedua: Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang pria terkena batu yang melukai kepalanya, kemudian ia mengalami mimpi basah. Lalu, ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya, apakah ia mendapat keringanan untuk bertayamum. Mereka berkata, “Kami tidak menemukan keringanan untukmu, sedangkan kamu mampu menggunakan air.” Maka, ia mandi dan meninggal. Maka, Nabi ﷺ bersabda, قتلوه قتلهم الله. ألا سألوا إذا لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصب “Mereka membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Karena sesungguhnya obat dari ketidaktahuan adalah bertanya. Cukup baginya untuk bertayamum dan mengikat (lukanya).” [8] Ketiga: Di antara dalil yang lain, dan ini merupakan yang paling kuat, yaitu kebutuhan mengharuskan untuk mengusap di atas jabirah. Karena melepasnya akan menyebabkan kesulitan dan menimbulkan bahaya. [9] Syarat-syarat mengusap jabirah Syarat diperbolehkannya mengusap jabirah adalah sebagai berikut [10]: Pertama: Khawatir terjadi bahaya dengan melepasnya. Kedua: Membasuh anggota tubuh yang sehat, tidak menyebabkan bahaya pada anggota yang cedera/sakit. Jika membasuhnya menyebabkan bahaya, maka pendapat yang benar adalah mengusap anggota tubuh yang sehat tersebut. (Lihat pembahasan tentang “cara mengusap jabirah” di bawah.) Ketiga: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna. Syarat ini merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat yang sahih adalah tidak diharuskan bersuci untuk jabirah. Dan ini adalah riwayat dalam mazhab Hanbali yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah karena alasan berikut: Pertama: Tidak ada dalil yang mensyaratkan bersuci dengan sempurna sebelum memakai jabirah. Kedua: Jabirah biasanya dipasang secara tiba-tiba, tidak seperti khuf yang dipakai ketika diperlukan. Wallahu a’lam. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Beberapa perbedaan antara jabirah dan khuf dalam hal mengusap Untuk mengetahui permasalahan jabirah dengan menyeluruh, maka kita perlu mengetahui perbedaan antara jabirah dengan khuf (dari sisi pengusapan). Di antaranya [11]: Pertama: Mengusap jabirah dilakukan dalam keadaan darurat, sedangkan mengusap atas khuf tidak demikian. Kedua: Mengusap jabirah dibatasi sampai penyebabnya hilang, berbeda dengan khuf yang dibatasi oleh hari. Ketiga: Untuk jabirah, tidak diwajibkan berada dalam keadaan bersuci dengan sempurna menurut pendapat yang rajih, berbeda dengan khuf yang membutuhkan bersuci dengan sempurna dengan air. Keempat: Jabirah dapat diusap dalam bersuci dari hadas besar dan kecil, berbeda dengan khuf yang harus dilepas dalam bersuci dari hadas besar. Kelima: Mengusap harus mencakup seluruh jabirah menurut pendapat yang sahih dari para ulama, berbeda dengan khuf yang cukup dengan mengusap sebagian besarnya saja. Cara mengusap jabirah Jika seseorang ingin mengusap jabirah ketika bersuci, maka ia melakukan hal berikut [12]: Pertama: Membasuh anggota badan yang sehat. Kedua: Mengusap jabirah. Ketiga: Apakah mengusap harus mencakup seluruh jabirah atau cukup sebagian besar seperti khuf? Ini merupakan perbedaan pendapat di antara ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah wajib mengusap seluruh jabirah. Ini merupakan pendapat Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Wallahu a’lam. Jika jabirah lebih besar dari yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan? Harus mengusap jabirah tersebut. Tetapi, jika bisa dilepas tanpa menyebabkan bahaya, maka bagian yang melebihi kebutuhan harus dilepas. Jika tidak bisa, menurut suatu pendapat, cukup mengusap bagian yang terdapat jabirah yang diperlukan, dan tayamum untuk bagian yang melebihinya. Pendapat ini adalah mazhab Hanbali. Pendapat yang rajih adalah mengusap seluruh jabirah (termasuk yang melebihi keperluan) tanpa tayamum. Hal ini karena ketika mencopot bagian yang berlebihan menyebabkan bahaya, maka seluruhnya dianggap sebagai jabirah. Ini adalah pilihan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. [13] Beberapa hukum terkait jabirah Pertama: Diizinkan mengusap atas perban, plester, atau apa pun yang diletakkan di atas luka yang mencegah air sampai ke luka sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kedua: Anggota badan yang diberi jabirah atau perban dan sejenisnya, yang secara syar’i diizinkan untuk ditutupi, hanya diusap saja. Jika mengusap membahayakan meskipun ditutupi, maka beralih ke tayamum sebagaimana jika terbuka. Ketiga: Apakah wajib menggabungkan antara mengusap dan tayamum? Beberapa ulama mengatakan, “Wajib menggabungkan keduanya sebagai sikap hati-hati.” Namun, yang benar adalah tidak wajib menggabungkan karena mewajibkan dua jenis bersuci untuk satu anggota badan bertentangan dengan kaedah-kaedah fikih. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap jabirah. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Bersuci Dengan Debu *** 3 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id === Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4 2018 M === Catatan kaki: [1] Mu’jamut Ta’riifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 69. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 15: 106. [4] Lihat Al-Mughniy, 1: 357. [5] Lihat https://dorar.net/feqhia/382 [6] Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 15: 107-108. [7] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 659. Syekh Al-Albani mengatakan, “Hadis sangat lemah.” Al-Baihaqi berkata dalam Al-Sunan Al-Kubra (1: 228), “Tidak ada satu pun hadis yang dapat dijadikan hujah dalam bab ini.” [8] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1: 239 – 240; Ad-Daraqutni, 1: 189 – 190, dan Al-Baihaqi, 1: 228 dari hadis Jabir. Keduanya melemahkan hadis ini. [9] Lihat Al-Mughniy, 1: 277-278. [10] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 96-97. [11] Lihat Al-Mughniy, 1: 356. [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 98. [13] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 98 [14] Lihat Al-Mughniy, 1: 357. Tags: gipsjabirahperban

Mengusap Gips dan Perban ketika Bersuci

Daftar Isi Toggle Definisi mengusap jabirahHukum mengusap jabirahSyarat-syarat mengusap jabirahBeberapa perbedaan antara jabirah dan khuf dalam hal mengusapCara mengusap jabirahJika jabirah lebih besar dari yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan?Beberapa hukum terkait jabirah Ada kalanya seseorang mendapatkan musibah berupa luka di tangannya. Dalam rangka pengobatan, dokter mengharuskan pemakaian perban di tangan tersebut. Ketika dia hendak berwudu untuk salat, apakah dia harus melepas perbannya karena di antara syarat sah wudu adalah tidak adanya penghalang sampainya air ke kulit, atau dia boleh mengusapnya sebagaimana diperbolehkannya mengusap khuf? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang mengusap jabirah (gips, perban, atau semisalnya) ketika bersuci. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa pembahasan ini erat kaitannya dengan permasalahan mengusap khuf. Bahkan, beberapa ulama menggabungkan pembahasan mengusap khuf dan jabirah dalam satu bab saja. Oleh karena itu, silakan membaca artikel kami tentang mengusap khuf terlebih dahulu di sini, sehingga bisa memahami permasalahan ini dengan lebih mudah. Definisi mengusap jabirah “Mengusap jabirah”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الجبيرة – mengusap di atas jabirah) tersusun dari dua kata utama, yaitu al-mashu ( المَسْح ) dan al-jabirah ( الجبيرة ). Tentang al-mashu ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1] Sedangkan tentang al-jabirah ( الجبيرة ), disebutkan dalam kitab At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, ‌‌‌الجَبيرة هي التي تُربط على الجرح وهي العيدان التي تجبر بِها العظامُ جمعها الجبائر “Jabirah (secara bahasa) adalah tongkat-tongkat (kayu) yang diikatkan pada luka untuk memperbaiki tulang. Bentuk jamaknya adalah jabā’ir.” [2] Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa. Namun, mazhab Maliki menjelaskan jabirah dengan makna yang lebih luas, yaitu “apa saja yang digunakan untuk merawat luka, baik itu tongkat, plester, atau lainnya.” [3] Tidak ada perbedaan antara penggunaan jabirah pada patah tulang atau luka. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, (فصل) ولا فَرْقَ بينَ كَوْنِ الشَّدِّ على كَسْرٍ أو جُرْحٍ، قال أحمدُ: إذا تَوَضَّأَ، وخَافَ على جُرْحِهِ الماءَ، مَسَحَ على الخِرْقَةِ….. وكذلك إنْ وَضَعَ على جُرْحِهِ دَوَاءً، وخَافَ مِنْ نَزْعِه، مَسَحَ عليه. “(Pasal) Tidak ada perbedaan antara (jabirah) yang digunakan pada patah tulang atau luka. Imam Ahmad mengatakan, ‘Jika ia berwudu dan takut air akan merusak lukanya, ia boleh mengusap di atas kain…’ Demikian juga, jika ia memberikan obat pada lukanya dan takut merusaknya dengan melepaskannya, ia boleh mengusap di atasnya.’” [4] Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa jabirah dalam konteks mengusap adalah mencakup apa saja yang dibuat dari tongkat (kayu), gips, perban, atau lainnya, baik pada patah tulang maupun luka. Wallahu a’lam. Hukum mengusap jabirah Bolehnya mengusap jabirah dalam wudu, mandi, atau tayamum, merupakan perkara yang disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. [5] Di antara dalilnya adalah [6]: Pertama: Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, انكسرت إحدى زندي، فأمرني النبيُّ ﷺ أن أمسح على الجبائر “Salah satu tulang bawahku patah, maka saya bertanya kepada Nabi ﷺ, dan beliau memerintahkan saya untuk mengusap jabirah.” [7] Kedua: Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang pria terkena batu yang melukai kepalanya, kemudian ia mengalami mimpi basah. Lalu, ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya, apakah ia mendapat keringanan untuk bertayamum. Mereka berkata, “Kami tidak menemukan keringanan untukmu, sedangkan kamu mampu menggunakan air.” Maka, ia mandi dan meninggal. Maka, Nabi ﷺ bersabda, قتلوه قتلهم الله. ألا سألوا إذا لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصب “Mereka membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Karena sesungguhnya obat dari ketidaktahuan adalah bertanya. Cukup baginya untuk bertayamum dan mengikat (lukanya).” [8] Ketiga: Di antara dalil yang lain, dan ini merupakan yang paling kuat, yaitu kebutuhan mengharuskan untuk mengusap di atas jabirah. Karena melepasnya akan menyebabkan kesulitan dan menimbulkan bahaya. [9] Syarat-syarat mengusap jabirah Syarat diperbolehkannya mengusap jabirah adalah sebagai berikut [10]: Pertama: Khawatir terjadi bahaya dengan melepasnya. Kedua: Membasuh anggota tubuh yang sehat, tidak menyebabkan bahaya pada anggota yang cedera/sakit. Jika membasuhnya menyebabkan bahaya, maka pendapat yang benar adalah mengusap anggota tubuh yang sehat tersebut. (Lihat pembahasan tentang “cara mengusap jabirah” di bawah.) Ketiga: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna. Syarat ini merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat yang sahih adalah tidak diharuskan bersuci untuk jabirah. Dan ini adalah riwayat dalam mazhab Hanbali yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah karena alasan berikut: Pertama: Tidak ada dalil yang mensyaratkan bersuci dengan sempurna sebelum memakai jabirah. Kedua: Jabirah biasanya dipasang secara tiba-tiba, tidak seperti khuf yang dipakai ketika diperlukan. Wallahu a’lam. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Beberapa perbedaan antara jabirah dan khuf dalam hal mengusap Untuk mengetahui permasalahan jabirah dengan menyeluruh, maka kita perlu mengetahui perbedaan antara jabirah dengan khuf (dari sisi pengusapan). Di antaranya [11]: Pertama: Mengusap jabirah dilakukan dalam keadaan darurat, sedangkan mengusap atas khuf tidak demikian. Kedua: Mengusap jabirah dibatasi sampai penyebabnya hilang, berbeda dengan khuf yang dibatasi oleh hari. Ketiga: Untuk jabirah, tidak diwajibkan berada dalam keadaan bersuci dengan sempurna menurut pendapat yang rajih, berbeda dengan khuf yang membutuhkan bersuci dengan sempurna dengan air. Keempat: Jabirah dapat diusap dalam bersuci dari hadas besar dan kecil, berbeda dengan khuf yang harus dilepas dalam bersuci dari hadas besar. Kelima: Mengusap harus mencakup seluruh jabirah menurut pendapat yang sahih dari para ulama, berbeda dengan khuf yang cukup dengan mengusap sebagian besarnya saja. Cara mengusap jabirah Jika seseorang ingin mengusap jabirah ketika bersuci, maka ia melakukan hal berikut [12]: Pertama: Membasuh anggota badan yang sehat. Kedua: Mengusap jabirah. Ketiga: Apakah mengusap harus mencakup seluruh jabirah atau cukup sebagian besar seperti khuf? Ini merupakan perbedaan pendapat di antara ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah wajib mengusap seluruh jabirah. Ini merupakan pendapat Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Wallahu a’lam. Jika jabirah lebih besar dari yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan? Harus mengusap jabirah tersebut. Tetapi, jika bisa dilepas tanpa menyebabkan bahaya, maka bagian yang melebihi kebutuhan harus dilepas. Jika tidak bisa, menurut suatu pendapat, cukup mengusap bagian yang terdapat jabirah yang diperlukan, dan tayamum untuk bagian yang melebihinya. Pendapat ini adalah mazhab Hanbali. Pendapat yang rajih adalah mengusap seluruh jabirah (termasuk yang melebihi keperluan) tanpa tayamum. Hal ini karena ketika mencopot bagian yang berlebihan menyebabkan bahaya, maka seluruhnya dianggap sebagai jabirah. Ini adalah pilihan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. [13] Beberapa hukum terkait jabirah Pertama: Diizinkan mengusap atas perban, plester, atau apa pun yang diletakkan di atas luka yang mencegah air sampai ke luka sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kedua: Anggota badan yang diberi jabirah atau perban dan sejenisnya, yang secara syar’i diizinkan untuk ditutupi, hanya diusap saja. Jika mengusap membahayakan meskipun ditutupi, maka beralih ke tayamum sebagaimana jika terbuka. Ketiga: Apakah wajib menggabungkan antara mengusap dan tayamum? Beberapa ulama mengatakan, “Wajib menggabungkan keduanya sebagai sikap hati-hati.” Namun, yang benar adalah tidak wajib menggabungkan karena mewajibkan dua jenis bersuci untuk satu anggota badan bertentangan dengan kaedah-kaedah fikih. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap jabirah. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Bersuci Dengan Debu *** 3 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id === Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4 2018 M === Catatan kaki: [1] Mu’jamut Ta’riifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 69. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 15: 106. [4] Lihat Al-Mughniy, 1: 357. [5] Lihat https://dorar.net/feqhia/382 [6] Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 15: 107-108. [7] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 659. Syekh Al-Albani mengatakan, “Hadis sangat lemah.” Al-Baihaqi berkata dalam Al-Sunan Al-Kubra (1: 228), “Tidak ada satu pun hadis yang dapat dijadikan hujah dalam bab ini.” [8] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1: 239 – 240; Ad-Daraqutni, 1: 189 – 190, dan Al-Baihaqi, 1: 228 dari hadis Jabir. Keduanya melemahkan hadis ini. [9] Lihat Al-Mughniy, 1: 277-278. [10] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 96-97. [11] Lihat Al-Mughniy, 1: 356. [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 98. [13] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 98 [14] Lihat Al-Mughniy, 1: 357. Tags: gipsjabirahperban
Daftar Isi Toggle Definisi mengusap jabirahHukum mengusap jabirahSyarat-syarat mengusap jabirahBeberapa perbedaan antara jabirah dan khuf dalam hal mengusapCara mengusap jabirahJika jabirah lebih besar dari yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan?Beberapa hukum terkait jabirah Ada kalanya seseorang mendapatkan musibah berupa luka di tangannya. Dalam rangka pengobatan, dokter mengharuskan pemakaian perban di tangan tersebut. Ketika dia hendak berwudu untuk salat, apakah dia harus melepas perbannya karena di antara syarat sah wudu adalah tidak adanya penghalang sampainya air ke kulit, atau dia boleh mengusapnya sebagaimana diperbolehkannya mengusap khuf? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang mengusap jabirah (gips, perban, atau semisalnya) ketika bersuci. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa pembahasan ini erat kaitannya dengan permasalahan mengusap khuf. Bahkan, beberapa ulama menggabungkan pembahasan mengusap khuf dan jabirah dalam satu bab saja. Oleh karena itu, silakan membaca artikel kami tentang mengusap khuf terlebih dahulu di sini, sehingga bisa memahami permasalahan ini dengan lebih mudah. Definisi mengusap jabirah “Mengusap jabirah”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الجبيرة – mengusap di atas jabirah) tersusun dari dua kata utama, yaitu al-mashu ( المَسْح ) dan al-jabirah ( الجبيرة ). Tentang al-mashu ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1] Sedangkan tentang al-jabirah ( الجبيرة ), disebutkan dalam kitab At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, ‌‌‌الجَبيرة هي التي تُربط على الجرح وهي العيدان التي تجبر بِها العظامُ جمعها الجبائر “Jabirah (secara bahasa) adalah tongkat-tongkat (kayu) yang diikatkan pada luka untuk memperbaiki tulang. Bentuk jamaknya adalah jabā’ir.” [2] Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa. Namun, mazhab Maliki menjelaskan jabirah dengan makna yang lebih luas, yaitu “apa saja yang digunakan untuk merawat luka, baik itu tongkat, plester, atau lainnya.” [3] Tidak ada perbedaan antara penggunaan jabirah pada patah tulang atau luka. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, (فصل) ولا فَرْقَ بينَ كَوْنِ الشَّدِّ على كَسْرٍ أو جُرْحٍ، قال أحمدُ: إذا تَوَضَّأَ، وخَافَ على جُرْحِهِ الماءَ، مَسَحَ على الخِرْقَةِ….. وكذلك إنْ وَضَعَ على جُرْحِهِ دَوَاءً، وخَافَ مِنْ نَزْعِه، مَسَحَ عليه. “(Pasal) Tidak ada perbedaan antara (jabirah) yang digunakan pada patah tulang atau luka. Imam Ahmad mengatakan, ‘Jika ia berwudu dan takut air akan merusak lukanya, ia boleh mengusap di atas kain…’ Demikian juga, jika ia memberikan obat pada lukanya dan takut merusaknya dengan melepaskannya, ia boleh mengusap di atasnya.’” [4] Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa jabirah dalam konteks mengusap adalah mencakup apa saja yang dibuat dari tongkat (kayu), gips, perban, atau lainnya, baik pada patah tulang maupun luka. Wallahu a’lam. Hukum mengusap jabirah Bolehnya mengusap jabirah dalam wudu, mandi, atau tayamum, merupakan perkara yang disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. [5] Di antara dalilnya adalah [6]: Pertama: Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, انكسرت إحدى زندي، فأمرني النبيُّ ﷺ أن أمسح على الجبائر “Salah satu tulang bawahku patah, maka saya bertanya kepada Nabi ﷺ, dan beliau memerintahkan saya untuk mengusap jabirah.” [7] Kedua: Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang pria terkena batu yang melukai kepalanya, kemudian ia mengalami mimpi basah. Lalu, ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya, apakah ia mendapat keringanan untuk bertayamum. Mereka berkata, “Kami tidak menemukan keringanan untukmu, sedangkan kamu mampu menggunakan air.” Maka, ia mandi dan meninggal. Maka, Nabi ﷺ bersabda, قتلوه قتلهم الله. ألا سألوا إذا لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصب “Mereka membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Karena sesungguhnya obat dari ketidaktahuan adalah bertanya. Cukup baginya untuk bertayamum dan mengikat (lukanya).” [8] Ketiga: Di antara dalil yang lain, dan ini merupakan yang paling kuat, yaitu kebutuhan mengharuskan untuk mengusap di atas jabirah. Karena melepasnya akan menyebabkan kesulitan dan menimbulkan bahaya. [9] Syarat-syarat mengusap jabirah Syarat diperbolehkannya mengusap jabirah adalah sebagai berikut [10]: Pertama: Khawatir terjadi bahaya dengan melepasnya. Kedua: Membasuh anggota tubuh yang sehat, tidak menyebabkan bahaya pada anggota yang cedera/sakit. Jika membasuhnya menyebabkan bahaya, maka pendapat yang benar adalah mengusap anggota tubuh yang sehat tersebut. (Lihat pembahasan tentang “cara mengusap jabirah” di bawah.) Ketiga: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna. Syarat ini merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat yang sahih adalah tidak diharuskan bersuci untuk jabirah. Dan ini adalah riwayat dalam mazhab Hanbali yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah karena alasan berikut: Pertama: Tidak ada dalil yang mensyaratkan bersuci dengan sempurna sebelum memakai jabirah. Kedua: Jabirah biasanya dipasang secara tiba-tiba, tidak seperti khuf yang dipakai ketika diperlukan. Wallahu a’lam. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Beberapa perbedaan antara jabirah dan khuf dalam hal mengusap Untuk mengetahui permasalahan jabirah dengan menyeluruh, maka kita perlu mengetahui perbedaan antara jabirah dengan khuf (dari sisi pengusapan). Di antaranya [11]: Pertama: Mengusap jabirah dilakukan dalam keadaan darurat, sedangkan mengusap atas khuf tidak demikian. Kedua: Mengusap jabirah dibatasi sampai penyebabnya hilang, berbeda dengan khuf yang dibatasi oleh hari. Ketiga: Untuk jabirah, tidak diwajibkan berada dalam keadaan bersuci dengan sempurna menurut pendapat yang rajih, berbeda dengan khuf yang membutuhkan bersuci dengan sempurna dengan air. Keempat: Jabirah dapat diusap dalam bersuci dari hadas besar dan kecil, berbeda dengan khuf yang harus dilepas dalam bersuci dari hadas besar. Kelima: Mengusap harus mencakup seluruh jabirah menurut pendapat yang sahih dari para ulama, berbeda dengan khuf yang cukup dengan mengusap sebagian besarnya saja. Cara mengusap jabirah Jika seseorang ingin mengusap jabirah ketika bersuci, maka ia melakukan hal berikut [12]: Pertama: Membasuh anggota badan yang sehat. Kedua: Mengusap jabirah. Ketiga: Apakah mengusap harus mencakup seluruh jabirah atau cukup sebagian besar seperti khuf? Ini merupakan perbedaan pendapat di antara ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah wajib mengusap seluruh jabirah. Ini merupakan pendapat Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Wallahu a’lam. Jika jabirah lebih besar dari yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan? Harus mengusap jabirah tersebut. Tetapi, jika bisa dilepas tanpa menyebabkan bahaya, maka bagian yang melebihi kebutuhan harus dilepas. Jika tidak bisa, menurut suatu pendapat, cukup mengusap bagian yang terdapat jabirah yang diperlukan, dan tayamum untuk bagian yang melebihinya. Pendapat ini adalah mazhab Hanbali. Pendapat yang rajih adalah mengusap seluruh jabirah (termasuk yang melebihi keperluan) tanpa tayamum. Hal ini karena ketika mencopot bagian yang berlebihan menyebabkan bahaya, maka seluruhnya dianggap sebagai jabirah. Ini adalah pilihan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. [13] Beberapa hukum terkait jabirah Pertama: Diizinkan mengusap atas perban, plester, atau apa pun yang diletakkan di atas luka yang mencegah air sampai ke luka sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kedua: Anggota badan yang diberi jabirah atau perban dan sejenisnya, yang secara syar’i diizinkan untuk ditutupi, hanya diusap saja. Jika mengusap membahayakan meskipun ditutupi, maka beralih ke tayamum sebagaimana jika terbuka. Ketiga: Apakah wajib menggabungkan antara mengusap dan tayamum? Beberapa ulama mengatakan, “Wajib menggabungkan keduanya sebagai sikap hati-hati.” Namun, yang benar adalah tidak wajib menggabungkan karena mewajibkan dua jenis bersuci untuk satu anggota badan bertentangan dengan kaedah-kaedah fikih. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap jabirah. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Bersuci Dengan Debu *** 3 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id === Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4 2018 M === Catatan kaki: [1] Mu’jamut Ta’riifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 69. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 15: 106. [4] Lihat Al-Mughniy, 1: 357. [5] Lihat https://dorar.net/feqhia/382 [6] Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 15: 107-108. [7] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 659. Syekh Al-Albani mengatakan, “Hadis sangat lemah.” Al-Baihaqi berkata dalam Al-Sunan Al-Kubra (1: 228), “Tidak ada satu pun hadis yang dapat dijadikan hujah dalam bab ini.” [8] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1: 239 – 240; Ad-Daraqutni, 1: 189 – 190, dan Al-Baihaqi, 1: 228 dari hadis Jabir. Keduanya melemahkan hadis ini. [9] Lihat Al-Mughniy, 1: 277-278. [10] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 96-97. [11] Lihat Al-Mughniy, 1: 356. [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 98. [13] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 98 [14] Lihat Al-Mughniy, 1: 357. Tags: gipsjabirahperban


Daftar Isi Toggle Definisi mengusap jabirahHukum mengusap jabirahSyarat-syarat mengusap jabirahBeberapa perbedaan antara jabirah dan khuf dalam hal mengusapCara mengusap jabirahJika jabirah lebih besar dari yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan?Beberapa hukum terkait jabirah Ada kalanya seseorang mendapatkan musibah berupa luka di tangannya. Dalam rangka pengobatan, dokter mengharuskan pemakaian perban di tangan tersebut. Ketika dia hendak berwudu untuk salat, apakah dia harus melepas perbannya karena di antara syarat sah wudu adalah tidak adanya penghalang sampainya air ke kulit, atau dia boleh mengusapnya sebagaimana diperbolehkannya mengusap khuf? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang mengusap jabirah (gips, perban, atau semisalnya) ketika bersuci. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa pembahasan ini erat kaitannya dengan permasalahan mengusap khuf. Bahkan, beberapa ulama menggabungkan pembahasan mengusap khuf dan jabirah dalam satu bab saja. Oleh karena itu, silakan membaca artikel kami tentang mengusap khuf terlebih dahulu di sini, sehingga bisa memahami permasalahan ini dengan lebih mudah. Definisi mengusap jabirah “Mengusap jabirah”, yang biasa diistilahkan ( المسح على الجبيرة – mengusap di atas jabirah) tersusun dari dua kata utama, yaitu al-mashu ( المَسْح ) dan al-jabirah ( الجبيرة ). Tentang al-mashu ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan, المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ “Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air).” [1] Sedangkan tentang al-jabirah ( الجبيرة ), disebutkan dalam kitab At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, ‌‌‌الجَبيرة هي التي تُربط على الجرح وهي العيدان التي تجبر بِها العظامُ جمعها الجبائر “Jabirah (secara bahasa) adalah tongkat-tongkat (kayu) yang diikatkan pada luka untuk memperbaiki tulang. Bentuk jamaknya adalah jabā’ir.” [2] Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa. Namun, mazhab Maliki menjelaskan jabirah dengan makna yang lebih luas, yaitu “apa saja yang digunakan untuk merawat luka, baik itu tongkat, plester, atau lainnya.” [3] Tidak ada perbedaan antara penggunaan jabirah pada patah tulang atau luka. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, (فصل) ولا فَرْقَ بينَ كَوْنِ الشَّدِّ على كَسْرٍ أو جُرْحٍ، قال أحمدُ: إذا تَوَضَّأَ، وخَافَ على جُرْحِهِ الماءَ، مَسَحَ على الخِرْقَةِ….. وكذلك إنْ وَضَعَ على جُرْحِهِ دَوَاءً، وخَافَ مِنْ نَزْعِه، مَسَحَ عليه. “(Pasal) Tidak ada perbedaan antara (jabirah) yang digunakan pada patah tulang atau luka. Imam Ahmad mengatakan, ‘Jika ia berwudu dan takut air akan merusak lukanya, ia boleh mengusap di atas kain…’ Demikian juga, jika ia memberikan obat pada lukanya dan takut merusaknya dengan melepaskannya, ia boleh mengusap di atasnya.’” [4] Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa jabirah dalam konteks mengusap adalah mencakup apa saja yang dibuat dari tongkat (kayu), gips, perban, atau lainnya, baik pada patah tulang maupun luka. Wallahu a’lam. Hukum mengusap jabirah Bolehnya mengusap jabirah dalam wudu, mandi, atau tayamum, merupakan perkara yang disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. [5] Di antara dalilnya adalah [6]: Pertama: Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, انكسرت إحدى زندي، فأمرني النبيُّ ﷺ أن أمسح على الجبائر “Salah satu tulang bawahku patah, maka saya bertanya kepada Nabi ﷺ, dan beliau memerintahkan saya untuk mengusap jabirah.” [7] Kedua: Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang pria terkena batu yang melukai kepalanya, kemudian ia mengalami mimpi basah. Lalu, ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya, apakah ia mendapat keringanan untuk bertayamum. Mereka berkata, “Kami tidak menemukan keringanan untukmu, sedangkan kamu mampu menggunakan air.” Maka, ia mandi dan meninggal. Maka, Nabi ﷺ bersabda, قتلوه قتلهم الله. ألا سألوا إذا لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصب “Mereka membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Karena sesungguhnya obat dari ketidaktahuan adalah bertanya. Cukup baginya untuk bertayamum dan mengikat (lukanya).” [8] Ketiga: Di antara dalil yang lain, dan ini merupakan yang paling kuat, yaitu kebutuhan mengharuskan untuk mengusap di atas jabirah. Karena melepasnya akan menyebabkan kesulitan dan menimbulkan bahaya. [9] Syarat-syarat mengusap jabirah Syarat diperbolehkannya mengusap jabirah adalah sebagai berikut [10]: Pertama: Khawatir terjadi bahaya dengan melepasnya. Kedua: Membasuh anggota tubuh yang sehat, tidak menyebabkan bahaya pada anggota yang cedera/sakit. Jika membasuhnya menyebabkan bahaya, maka pendapat yang benar adalah mengusap anggota tubuh yang sehat tersebut. (Lihat pembahasan tentang “cara mengusap jabirah” di bawah.) Ketiga: Memakainya setelah bersuci dengan sempurna. Syarat ini merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat yang sahih adalah tidak diharuskan bersuci untuk jabirah. Dan ini adalah riwayat dalam mazhab Hanbali yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah karena alasan berikut: Pertama: Tidak ada dalil yang mensyaratkan bersuci dengan sempurna sebelum memakai jabirah. Kedua: Jabirah biasanya dipasang secara tiba-tiba, tidak seperti khuf yang dipakai ketika diperlukan. Wallahu a’lam. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Beberapa perbedaan antara jabirah dan khuf dalam hal mengusap Untuk mengetahui permasalahan jabirah dengan menyeluruh, maka kita perlu mengetahui perbedaan antara jabirah dengan khuf (dari sisi pengusapan). Di antaranya [11]: Pertama: Mengusap jabirah dilakukan dalam keadaan darurat, sedangkan mengusap atas khuf tidak demikian. Kedua: Mengusap jabirah dibatasi sampai penyebabnya hilang, berbeda dengan khuf yang dibatasi oleh hari. Ketiga: Untuk jabirah, tidak diwajibkan berada dalam keadaan bersuci dengan sempurna menurut pendapat yang rajih, berbeda dengan khuf yang membutuhkan bersuci dengan sempurna dengan air. Keempat: Jabirah dapat diusap dalam bersuci dari hadas besar dan kecil, berbeda dengan khuf yang harus dilepas dalam bersuci dari hadas besar. Kelima: Mengusap harus mencakup seluruh jabirah menurut pendapat yang sahih dari para ulama, berbeda dengan khuf yang cukup dengan mengusap sebagian besarnya saja. Cara mengusap jabirah Jika seseorang ingin mengusap jabirah ketika bersuci, maka ia melakukan hal berikut [12]: Pertama: Membasuh anggota badan yang sehat. Kedua: Mengusap jabirah. Ketiga: Apakah mengusap harus mencakup seluruh jabirah atau cukup sebagian besar seperti khuf? Ini merupakan perbedaan pendapat di antara ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah wajib mengusap seluruh jabirah. Ini merupakan pendapat Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Wallahu a’lam. Jika jabirah lebih besar dari yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan? Harus mengusap jabirah tersebut. Tetapi, jika bisa dilepas tanpa menyebabkan bahaya, maka bagian yang melebihi kebutuhan harus dilepas. Jika tidak bisa, menurut suatu pendapat, cukup mengusap bagian yang terdapat jabirah yang diperlukan, dan tayamum untuk bagian yang melebihinya. Pendapat ini adalah mazhab Hanbali. Pendapat yang rajih adalah mengusap seluruh jabirah (termasuk yang melebihi keperluan) tanpa tayamum. Hal ini karena ketika mencopot bagian yang berlebihan menyebabkan bahaya, maka seluruhnya dianggap sebagai jabirah. Ini adalah pilihan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. [13] Beberapa hukum terkait jabirah Pertama: Diizinkan mengusap atas perban, plester, atau apa pun yang diletakkan di atas luka yang mencegah air sampai ke luka sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kedua: Anggota badan yang diberi jabirah atau perban dan sejenisnya, yang secara syar’i diizinkan untuk ditutupi, hanya diusap saja. Jika mengusap membahayakan meskipun ditutupi, maka beralih ke tayamum sebagaimana jika terbuka. Ketiga: Apakah wajib menggabungkan antara mengusap dan tayamum? Beberapa ulama mengatakan, “Wajib menggabungkan keduanya sebagai sikap hati-hati.” Namun, yang benar adalah tidak wajib menggabungkan karena mewajibkan dua jenis bersuci untuk satu anggota badan bertentangan dengan kaedah-kaedah fikih. [14] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang mengusap jabirah. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Bersuci Dengan Debu *** 3 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id === Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4 2018 M === Catatan kaki: [1] Mu’jamut Ta’riifat, hal. 178, Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Darul Fadhilah. [2] At-Ta’rifat Al-Fiqhiyyah, hal. 69. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 15: 106. [4] Lihat Al-Mughniy, 1: 357. [5] Lihat https://dorar.net/feqhia/382 [6] Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 15: 107-108. [7] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 659. Syekh Al-Albani mengatakan, “Hadis sangat lemah.” Al-Baihaqi berkata dalam Al-Sunan Al-Kubra (1: 228), “Tidak ada satu pun hadis yang dapat dijadikan hujah dalam bab ini.” [8] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1: 239 – 240; Ad-Daraqutni, 1: 189 – 190, dan Al-Baihaqi, 1: 228 dari hadis Jabir. Keduanya melemahkan hadis ini. [9] Lihat Al-Mughniy, 1: 277-278. [10] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 96-97. [11] Lihat Al-Mughniy, 1: 356. [12] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 98. [13] Lihat Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, 1: 98 [14] Lihat Al-Mughniy, 1: 357. Tags: gipsjabirahperban
Prev     Next