Ternyata, Ini Alasan Hidup Kita Kurang Berkah – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Saudaraku, bersungguh-sungguhlah untuk membaca al-Quran, di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Kita tidak hanya memerlukan al-Quran, tapi–demi Allah–kita sangat bergantung kepadanya. Kita perlu sekali untuk mendidik generasi muda kita di atas ajaran al-Quran. Kita sebagai orang tua, juga harus membiasakan diri membacanya, wahai saudaraku. Karena Tuhan kita berfirman: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Dalam 4 ayat, al-Quran disifati sebagai Kitab yang penuh berkah. Pada ayat tadi (QS.Shad ayat 29). Juga ayat di surah al-Anbiya: “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah…” (QS. al-Anbiya: 50). Lalu dua ayat dalam surat al-An’am: “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kita perhatikan pada sifat “penuh berkah” yang disebutkan dalam ayat-ayat ini? Perhatikan ayat: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Perhatikanlah tadabur ini, wahai saudaraku. “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah, yang Kami turunkan…” (QS. al-Anbiya: 50). “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kalian perhatikan dari ayat ini? Silakan! Apakah ini jawaban dari pertanyaan tadi? Bukan, maksud saya, apa yang kalian simpulkan dari susunan ayat tersebut? Perhatikan lagi: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Ya, keberkahannya bersifat mutlak, bagus! Allah tidak berfirman bahwa al-Quran ini hanya membawa berkah kepadamu, keluargamu, rumahmu, atau hanya kepada hatimu. Tidak disebutkan bahwa keberkahannya hanya untuk agamamu, duniamu, atau akhiratmu. Tidak! Penyebutan secara mutlak ini menunjukkan apa? Menunjukkan bahwa keberkahannya tidak terbatas, tidak terhitung, dan tidak bisa dikurung dalam batasan! Demi Allah, kita tidak perlu memperdebatkan apakah al-Quran itu penuh berkah atau tidak, wahai saudaraku. Allah memberkahi seorang hamba melalui al-Quran—di hatinya, di imannya, dalam agamanya, di segala urusannya, di seluruh kehidupannya. Bahkan, Allah memberkahi waktunya dan amal perbuatannya. Allah juga memberkahinya dalam keturunannya, anak-anaknya. Maka, bersemangatlah membaca al-Quran, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hendaknya setiap kita memiliki wirid harian dari al-Quran, wahai saudaraku, membacanya setiap hari. Lisannya senantiasa melafalkannya, dan telinganya senantiasa mendengarnya, hingga al-Quran itu meresap ke dalam hatinya, agar dapat memberi pengaruh padanya. Namun, bacalah dengan penuh perenungan (tadabur). Semoga Allah memberkahi kalian! ==== وَاجْتَهِدُوا يَا إِخْوَانِي فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ نَحْنُ يَا إِخْوَانُ لَسْنَا مُحْتَاجِينَ لِلْقُرْآنِ بَلْ وَاللَّهِ مُضْطَرِّيْنَ إِلَيْهِ مُضْطَرُّوْنَ إِلَيْهِ أَنْ نُرَبِّيَ عَلَيْهِ يَا إِخْوَانُ شَبَابَنَا وَأَنْ نَقْرَأَهُ نَحْنُ الْآبَاءُ نَقْرَأَهُ يَا إِخْوَانُ لِأَنَّ رَبَّنَا قَالَ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ فِي أَرْبَعِ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ وُصِفَ بِأَنَّهُ مُبَارَكٌ هَذِهِ الْآيَةُ آيَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ وَآيَتَانِ فِي الْأَنْعَامِ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا الَّذِي يُلَاحَظُ يَا إِخْوَانِي فِي وَصْفِهِ بِالْبَرَكَةِ فِي هَذَهِ الآيَاتِ؟ تَأَمَّلُوا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ تَرَى هَذَا التَّدَبُّرَ يَا إِخْوَانُ وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا تُلَاحِظُونَ؟ تَفَضَّلْ يَعْنِي هَذَا إِجَابَةٌ عَنِ السُّؤَالِ يَعْنِي؟ لَا أَنَا قَصْدِيْ مَاذَا تَلْحَظُ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ؟ تَأَمَّلْ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ أَيْ نَعَمْ بَرَكَةٌ مُطْلَقَةٌ جَمِيلٌ لَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى مُبَارَكًا عَلَيْكَ عَلَى بَيْتِكَ عَلَى أَهْلِكَ عَلَى قَلْبِكَ فِي دِينِكَ فِي دُنْيَاكَ فِي آخِرَتِكَ لَا وَهَذَا الْإِطْلَاقُ يَدُلُّ عَلَى أَيْش؟ عَلَى أَنَّ الْبَرَكَةَ لَا حَدَّ لَهَا وَلَا عَدَّ وَلاَ حَصْرَ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَسْتُمْ بِحَاجَةٍ إِلَى أَنْ نُنَاقِشَهُ يَا إِخْوَانِي إِنَّهُ مُبَارَكٌ يُبَارِكُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي فِي قَلْبِهِ فِي إِيْمَانِهِ فِي دِينِهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَشُؤُونِهِ حَتَّى يُبَارِكَ اللَّهُ لَهُ فِي أَوْقَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَيُبَارَكُ لَهُ فِي عَقِبِهِ وَفِي ذُرِّيَّتِهِ فَاحْرِصُوا عَلَى قِرَاءَتِهِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَلْيَكُنْ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا يَا إِخْوَانِي وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقْرَأُهُ كُلَّ يَوْمٍ يَتَحَرَّكُ بِهِ لِسَانُهُ يَسْمَعُهُ بِأُذُنِهِ وَيَصِلُ إِلَى قَلْبِهِ فَيَكُونُ لَهُ الْأَثَرُ لَكِنْ اقْرَؤُوْهُ بِتَدَبُّرٍ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ

Ternyata, Ini Alasan Hidup Kita Kurang Berkah – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Saudaraku, bersungguh-sungguhlah untuk membaca al-Quran, di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Kita tidak hanya memerlukan al-Quran, tapi–demi Allah–kita sangat bergantung kepadanya. Kita perlu sekali untuk mendidik generasi muda kita di atas ajaran al-Quran. Kita sebagai orang tua, juga harus membiasakan diri membacanya, wahai saudaraku. Karena Tuhan kita berfirman: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Dalam 4 ayat, al-Quran disifati sebagai Kitab yang penuh berkah. Pada ayat tadi (QS.Shad ayat 29). Juga ayat di surah al-Anbiya: “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah…” (QS. al-Anbiya: 50). Lalu dua ayat dalam surat al-An’am: “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kita perhatikan pada sifat “penuh berkah” yang disebutkan dalam ayat-ayat ini? Perhatikan ayat: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Perhatikanlah tadabur ini, wahai saudaraku. “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah, yang Kami turunkan…” (QS. al-Anbiya: 50). “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kalian perhatikan dari ayat ini? Silakan! Apakah ini jawaban dari pertanyaan tadi? Bukan, maksud saya, apa yang kalian simpulkan dari susunan ayat tersebut? Perhatikan lagi: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Ya, keberkahannya bersifat mutlak, bagus! Allah tidak berfirman bahwa al-Quran ini hanya membawa berkah kepadamu, keluargamu, rumahmu, atau hanya kepada hatimu. Tidak disebutkan bahwa keberkahannya hanya untuk agamamu, duniamu, atau akhiratmu. Tidak! Penyebutan secara mutlak ini menunjukkan apa? Menunjukkan bahwa keberkahannya tidak terbatas, tidak terhitung, dan tidak bisa dikurung dalam batasan! Demi Allah, kita tidak perlu memperdebatkan apakah al-Quran itu penuh berkah atau tidak, wahai saudaraku. Allah memberkahi seorang hamba melalui al-Quran—di hatinya, di imannya, dalam agamanya, di segala urusannya, di seluruh kehidupannya. Bahkan, Allah memberkahi waktunya dan amal perbuatannya. Allah juga memberkahinya dalam keturunannya, anak-anaknya. Maka, bersemangatlah membaca al-Quran, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hendaknya setiap kita memiliki wirid harian dari al-Quran, wahai saudaraku, membacanya setiap hari. Lisannya senantiasa melafalkannya, dan telinganya senantiasa mendengarnya, hingga al-Quran itu meresap ke dalam hatinya, agar dapat memberi pengaruh padanya. Namun, bacalah dengan penuh perenungan (tadabur). Semoga Allah memberkahi kalian! ==== وَاجْتَهِدُوا يَا إِخْوَانِي فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ نَحْنُ يَا إِخْوَانُ لَسْنَا مُحْتَاجِينَ لِلْقُرْآنِ بَلْ وَاللَّهِ مُضْطَرِّيْنَ إِلَيْهِ مُضْطَرُّوْنَ إِلَيْهِ أَنْ نُرَبِّيَ عَلَيْهِ يَا إِخْوَانُ شَبَابَنَا وَأَنْ نَقْرَأَهُ نَحْنُ الْآبَاءُ نَقْرَأَهُ يَا إِخْوَانُ لِأَنَّ رَبَّنَا قَالَ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ فِي أَرْبَعِ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ وُصِفَ بِأَنَّهُ مُبَارَكٌ هَذِهِ الْآيَةُ آيَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ وَآيَتَانِ فِي الْأَنْعَامِ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا الَّذِي يُلَاحَظُ يَا إِخْوَانِي فِي وَصْفِهِ بِالْبَرَكَةِ فِي هَذَهِ الآيَاتِ؟ تَأَمَّلُوا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ تَرَى هَذَا التَّدَبُّرَ يَا إِخْوَانُ وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا تُلَاحِظُونَ؟ تَفَضَّلْ يَعْنِي هَذَا إِجَابَةٌ عَنِ السُّؤَالِ يَعْنِي؟ لَا أَنَا قَصْدِيْ مَاذَا تَلْحَظُ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ؟ تَأَمَّلْ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ أَيْ نَعَمْ بَرَكَةٌ مُطْلَقَةٌ جَمِيلٌ لَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى مُبَارَكًا عَلَيْكَ عَلَى بَيْتِكَ عَلَى أَهْلِكَ عَلَى قَلْبِكَ فِي دِينِكَ فِي دُنْيَاكَ فِي آخِرَتِكَ لَا وَهَذَا الْإِطْلَاقُ يَدُلُّ عَلَى أَيْش؟ عَلَى أَنَّ الْبَرَكَةَ لَا حَدَّ لَهَا وَلَا عَدَّ وَلاَ حَصْرَ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَسْتُمْ بِحَاجَةٍ إِلَى أَنْ نُنَاقِشَهُ يَا إِخْوَانِي إِنَّهُ مُبَارَكٌ يُبَارِكُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي فِي قَلْبِهِ فِي إِيْمَانِهِ فِي دِينِهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَشُؤُونِهِ حَتَّى يُبَارِكَ اللَّهُ لَهُ فِي أَوْقَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَيُبَارَكُ لَهُ فِي عَقِبِهِ وَفِي ذُرِّيَّتِهِ فَاحْرِصُوا عَلَى قِرَاءَتِهِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَلْيَكُنْ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا يَا إِخْوَانِي وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقْرَأُهُ كُلَّ يَوْمٍ يَتَحَرَّكُ بِهِ لِسَانُهُ يَسْمَعُهُ بِأُذُنِهِ وَيَصِلُ إِلَى قَلْبِهِ فَيَكُونُ لَهُ الْأَثَرُ لَكِنْ اقْرَؤُوْهُ بِتَدَبُّرٍ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ
Saudaraku, bersungguh-sungguhlah untuk membaca al-Quran, di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Kita tidak hanya memerlukan al-Quran, tapi–demi Allah–kita sangat bergantung kepadanya. Kita perlu sekali untuk mendidik generasi muda kita di atas ajaran al-Quran. Kita sebagai orang tua, juga harus membiasakan diri membacanya, wahai saudaraku. Karena Tuhan kita berfirman: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Dalam 4 ayat, al-Quran disifati sebagai Kitab yang penuh berkah. Pada ayat tadi (QS.Shad ayat 29). Juga ayat di surah al-Anbiya: “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah…” (QS. al-Anbiya: 50). Lalu dua ayat dalam surat al-An’am: “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kita perhatikan pada sifat “penuh berkah” yang disebutkan dalam ayat-ayat ini? Perhatikan ayat: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Perhatikanlah tadabur ini, wahai saudaraku. “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah, yang Kami turunkan…” (QS. al-Anbiya: 50). “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kalian perhatikan dari ayat ini? Silakan! Apakah ini jawaban dari pertanyaan tadi? Bukan, maksud saya, apa yang kalian simpulkan dari susunan ayat tersebut? Perhatikan lagi: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Ya, keberkahannya bersifat mutlak, bagus! Allah tidak berfirman bahwa al-Quran ini hanya membawa berkah kepadamu, keluargamu, rumahmu, atau hanya kepada hatimu. Tidak disebutkan bahwa keberkahannya hanya untuk agamamu, duniamu, atau akhiratmu. Tidak! Penyebutan secara mutlak ini menunjukkan apa? Menunjukkan bahwa keberkahannya tidak terbatas, tidak terhitung, dan tidak bisa dikurung dalam batasan! Demi Allah, kita tidak perlu memperdebatkan apakah al-Quran itu penuh berkah atau tidak, wahai saudaraku. Allah memberkahi seorang hamba melalui al-Quran—di hatinya, di imannya, dalam agamanya, di segala urusannya, di seluruh kehidupannya. Bahkan, Allah memberkahi waktunya dan amal perbuatannya. Allah juga memberkahinya dalam keturunannya, anak-anaknya. Maka, bersemangatlah membaca al-Quran, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hendaknya setiap kita memiliki wirid harian dari al-Quran, wahai saudaraku, membacanya setiap hari. Lisannya senantiasa melafalkannya, dan telinganya senantiasa mendengarnya, hingga al-Quran itu meresap ke dalam hatinya, agar dapat memberi pengaruh padanya. Namun, bacalah dengan penuh perenungan (tadabur). Semoga Allah memberkahi kalian! ==== وَاجْتَهِدُوا يَا إِخْوَانِي فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ نَحْنُ يَا إِخْوَانُ لَسْنَا مُحْتَاجِينَ لِلْقُرْآنِ بَلْ وَاللَّهِ مُضْطَرِّيْنَ إِلَيْهِ مُضْطَرُّوْنَ إِلَيْهِ أَنْ نُرَبِّيَ عَلَيْهِ يَا إِخْوَانُ شَبَابَنَا وَأَنْ نَقْرَأَهُ نَحْنُ الْآبَاءُ نَقْرَأَهُ يَا إِخْوَانُ لِأَنَّ رَبَّنَا قَالَ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ فِي أَرْبَعِ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ وُصِفَ بِأَنَّهُ مُبَارَكٌ هَذِهِ الْآيَةُ آيَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ وَآيَتَانِ فِي الْأَنْعَامِ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا الَّذِي يُلَاحَظُ يَا إِخْوَانِي فِي وَصْفِهِ بِالْبَرَكَةِ فِي هَذَهِ الآيَاتِ؟ تَأَمَّلُوا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ تَرَى هَذَا التَّدَبُّرَ يَا إِخْوَانُ وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا تُلَاحِظُونَ؟ تَفَضَّلْ يَعْنِي هَذَا إِجَابَةٌ عَنِ السُّؤَالِ يَعْنِي؟ لَا أَنَا قَصْدِيْ مَاذَا تَلْحَظُ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ؟ تَأَمَّلْ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ أَيْ نَعَمْ بَرَكَةٌ مُطْلَقَةٌ جَمِيلٌ لَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى مُبَارَكًا عَلَيْكَ عَلَى بَيْتِكَ عَلَى أَهْلِكَ عَلَى قَلْبِكَ فِي دِينِكَ فِي دُنْيَاكَ فِي آخِرَتِكَ لَا وَهَذَا الْإِطْلَاقُ يَدُلُّ عَلَى أَيْش؟ عَلَى أَنَّ الْبَرَكَةَ لَا حَدَّ لَهَا وَلَا عَدَّ وَلاَ حَصْرَ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَسْتُمْ بِحَاجَةٍ إِلَى أَنْ نُنَاقِشَهُ يَا إِخْوَانِي إِنَّهُ مُبَارَكٌ يُبَارِكُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي فِي قَلْبِهِ فِي إِيْمَانِهِ فِي دِينِهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَشُؤُونِهِ حَتَّى يُبَارِكَ اللَّهُ لَهُ فِي أَوْقَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَيُبَارَكُ لَهُ فِي عَقِبِهِ وَفِي ذُرِّيَّتِهِ فَاحْرِصُوا عَلَى قِرَاءَتِهِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَلْيَكُنْ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا يَا إِخْوَانِي وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقْرَأُهُ كُلَّ يَوْمٍ يَتَحَرَّكُ بِهِ لِسَانُهُ يَسْمَعُهُ بِأُذُنِهِ وَيَصِلُ إِلَى قَلْبِهِ فَيَكُونُ لَهُ الْأَثَرُ لَكِنْ اقْرَؤُوْهُ بِتَدَبُّرٍ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ


Saudaraku, bersungguh-sungguhlah untuk membaca al-Quran, di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Kita tidak hanya memerlukan al-Quran, tapi–demi Allah–kita sangat bergantung kepadanya. Kita perlu sekali untuk mendidik generasi muda kita di atas ajaran al-Quran. Kita sebagai orang tua, juga harus membiasakan diri membacanya, wahai saudaraku. Karena Tuhan kita berfirman: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Dalam 4 ayat, al-Quran disifati sebagai Kitab yang penuh berkah. Pada ayat tadi (QS.Shad ayat 29). Juga ayat di surah al-Anbiya: “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah…” (QS. al-Anbiya: 50). Lalu dua ayat dalam surat al-An’am: “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kita perhatikan pada sifat “penuh berkah” yang disebutkan dalam ayat-ayat ini? Perhatikan ayat: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Perhatikanlah tadabur ini, wahai saudaraku. “Dan ini (al-Quran) adalah peringatan yang penuh berkah, yang Kami turunkan…” (QS. al-Anbiya: 50). “Dan ini adalah Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah…” (QS. al-An’am: 92 dan 155). Apa yang dapat kalian perhatikan dari ayat ini? Silakan! Apakah ini jawaban dari pertanyaan tadi? Bukan, maksud saya, apa yang kalian simpulkan dari susunan ayat tersebut? Perhatikan lagi: “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad), penuh dengan berkah…” (QS. Shad: 29). Ya, keberkahannya bersifat mutlak, bagus! Allah tidak berfirman bahwa al-Quran ini hanya membawa berkah kepadamu, keluargamu, rumahmu, atau hanya kepada hatimu. Tidak disebutkan bahwa keberkahannya hanya untuk agamamu, duniamu, atau akhiratmu. Tidak! Penyebutan secara mutlak ini menunjukkan apa? Menunjukkan bahwa keberkahannya tidak terbatas, tidak terhitung, dan tidak bisa dikurung dalam batasan! Demi Allah, kita tidak perlu memperdebatkan apakah al-Quran itu penuh berkah atau tidak, wahai saudaraku. Allah memberkahi seorang hamba melalui al-Quran—di hatinya, di imannya, dalam agamanya, di segala urusannya, di seluruh kehidupannya. Bahkan, Allah memberkahi waktunya dan amal perbuatannya. Allah juga memberkahinya dalam keturunannya, anak-anaknya. Maka, bersemangatlah membaca al-Quran, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Hendaknya setiap kita memiliki wirid harian dari al-Quran, wahai saudaraku, membacanya setiap hari. Lisannya senantiasa melafalkannya, dan telinganya senantiasa mendengarnya, hingga al-Quran itu meresap ke dalam hatinya, agar dapat memberi pengaruh padanya. Namun, bacalah dengan penuh perenungan (tadabur). Semoga Allah memberkahi kalian! ==== وَاجْتَهِدُوا يَا إِخْوَانِي فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ نَحْنُ يَا إِخْوَانُ لَسْنَا مُحْتَاجِينَ لِلْقُرْآنِ بَلْ وَاللَّهِ مُضْطَرِّيْنَ إِلَيْهِ مُضْطَرُّوْنَ إِلَيْهِ أَنْ نُرَبِّيَ عَلَيْهِ يَا إِخْوَانُ شَبَابَنَا وَأَنْ نَقْرَأَهُ نَحْنُ الْآبَاءُ نَقْرَأَهُ يَا إِخْوَانُ لِأَنَّ رَبَّنَا قَالَ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ فِي أَرْبَعِ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ وُصِفَ بِأَنَّهُ مُبَارَكٌ هَذِهِ الْآيَةُ آيَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ وَآيَتَانِ فِي الْأَنْعَامِ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا الَّذِي يُلَاحَظُ يَا إِخْوَانِي فِي وَصْفِهِ بِالْبَرَكَةِ فِي هَذَهِ الآيَاتِ؟ تَأَمَّلُوا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ تَرَى هَذَا التَّدَبُّرَ يَا إِخْوَانُ وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مَاذَا تُلَاحِظُونَ؟ تَفَضَّلْ يَعْنِي هَذَا إِجَابَةٌ عَنِ السُّؤَالِ يَعْنِي؟ لَا أَنَا قَصْدِيْ مَاذَا تَلْحَظُ فِي سِيَاقِ الْآيَةِ؟ تَأَمَّلْ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ أَيْ نَعَمْ بَرَكَةٌ مُطْلَقَةٌ جَمِيلٌ لَمْ يَقُلِ اللَّهُ تَعَالَى مُبَارَكًا عَلَيْكَ عَلَى بَيْتِكَ عَلَى أَهْلِكَ عَلَى قَلْبِكَ فِي دِينِكَ فِي دُنْيَاكَ فِي آخِرَتِكَ لَا وَهَذَا الْإِطْلَاقُ يَدُلُّ عَلَى أَيْش؟ عَلَى أَنَّ الْبَرَكَةَ لَا حَدَّ لَهَا وَلَا عَدَّ وَلاَ حَصْرَ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَسْتُمْ بِحَاجَةٍ إِلَى أَنْ نُنَاقِشَهُ يَا إِخْوَانِي إِنَّهُ مُبَارَكٌ يُبَارِكُ اللَّهُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي فِي قَلْبِهِ فِي إِيْمَانِهِ فِي دِينِهِ فِي كُلِّ أَحْوَالِهِ وَشُؤُونِهِ حَتَّى يُبَارِكَ اللَّهُ لَهُ فِي أَوْقَاتِهِ وَفِي أَعْمَالِهِ وَيُبَارَكُ لَهُ فِي عَقِبِهِ وَفِي ذُرِّيَّتِهِ فَاحْرِصُوا عَلَى قِرَاءَتِهِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِ رَمَضَانَ وَلْيَكُنْ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَّا يَا إِخْوَانِي وِرْدٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقْرَأُهُ كُلَّ يَوْمٍ يَتَحَرَّكُ بِهِ لِسَانُهُ يَسْمَعُهُ بِأُذُنِهِ وَيَصِلُ إِلَى قَلْبِهِ فَيَكُونُ لَهُ الْأَثَرُ لَكِنْ اقْرَؤُوْهُ بِتَدَبُّرٍ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ

Jin Saja Takjub Mendengarnya Lalu Dapat Hidayah, Mengapa Manusia Tidak? – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Pertanyaan: Apa sebab terbesar yang mengantarkan seseorang kepada hidayah, wahai saudara-saudaraku? Jawabannya: Kitabullah (al-Quran). Pertanyaan kedua: Apa sebab terbesar untuk bisa teguh di atas hidayah? Jawabannya juga: Kitabullah (al-Quran). Apa dalilnya? Katakanlah (Muhammad), “Malaikat Jibril menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu dengan kebenaran…” Siapa yang bisa melanjutkan ayatnya? “…untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, serta menjadi petunjuk dan kabar gembira untuk orang yang beriman.” (QS. an-Nahl: 102). Keteguhan dan hidayah, semuanya ada di dalam al-Quran, wahai saudara-saudaraku. Maka bersungguh-sungguhlah dalam membaca al-Quran dengan penuh perenungan (tadabur), agar ia menjadi sebab hidayah bagi kalian, dan menjadi sebab keteguhan kalian di atas hidayah. Pada zaman yang penuh dengan gejolak, badai pemikiran, dan berbagai godaan, hadirlah firman Allah Yang Maha Agung sebagai sebab terbesar hidayah bagi seluruh manusia. Bahkan bagi orang-orang kafir, wahai saudara-saudara! Kalian sendiri bisa melihat dalam berbagai video singkat: Ada seorang kafir yang mendengar bacaan al-Quran, padahal ia tidak memahami artinya, tapi justru itu menjadi sebab keislamannya. Saya ceritakan sebuah kisah yang dikisahkan oleh seorang guru kami—semoga Allah merahmatinya—tentang peristiwa di sebuah negeri. Beliau bercerita: Dulu ada seorang tokoh besar dari kalangan Nasrani, yang menjadi penghubung antara negerinya dan Vatikan. Ia sering bolak-balik antara kedua tempat itu. Namanya disebutkan—mungkin Ibrahim, Ishaq, atau nama lainnya. Ia menjadi perantara antara dua pihak ini. Suatu hari, ketika Allah menghendaki kebaikan untuknya; ia turun dari pesawat, lalu naik taksi. Lalu ia mendengar seorang qari (pembaca al-Quran) membaca ayat: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Quran).’ Lalu mereka berkata: ‘Kami mendengarkan bacaan al-Quran yang menakjubkan…’” (QS. al-Jinn: 1). Lanjutkan ayatnya! “…yang memberi petunjuk kepada kebenaran.” Yaitu al-Quran. Jin saja merasa takjub dengan al-Quran ketika pertama kali mereka mendengarnya. Mereka pun berkata: “Al-Quran memberi petunjuk kepada kebenaran, sehingga kami beriman kepadanya.” (QS. al-Jinn: 2). Maka orang Nasrani tadi pun terkejut dan bertanya dalam hatinya: “Jin saja takjub dengan firman Allah dan mendapatkan hidayah darinya lalu mengapa kami, manusia, tidak merasa takjub dan tidak mendapatkan hidayah darinya?” Ayat ini menjadi sebab dia masuk Islam. Maka carilah hidayah di tempat yang paling agung—yaitu dalam al-Quran. Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. “Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian pelajaran (al-Quran) dari Tuhan kalian sebagai penyembuh bagi penyakit yang terdapat dalam dada, petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yunus: 57). Lanjutkan ayat ini! Semoga Allah membalas kebaikan bagi orang yang ikut berpartisipasi. “Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu hendaklah mereka bergembiraItu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58). Bagi siapa saja yang mencari kebahagiaan, yang mendambakan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman, maka semua itu ada dalam al-Quran. “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira…” Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia. Al-Quran ini adalah petunjuk bagi seluruh manusia. Mungkin ada yang bertanya-tanya: Pada awal surah al-Baqarah disebutkan: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Alif Laam Miim. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Bagaimana mungkin di sini disebutkan: al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa, tapi di ayat lain: petunjuk bagi seluruh manusia? Jawabannya adalah: Ada dua jenis hidayah. Adapun al-Quran sebagai petunjuk dan panduan, maka itu berlaku untuk seluruh manusia. Hidayah panduan dan petunjuk bagi seluruh manusia. Sedangkan hidayah dalam bentuk ilham, taufik, dan bimbingan menuju kebaikan, maka itu hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa. ==== سُؤَالٌ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلْهِدَايَةِ يَا إِخْوَانِي؟ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُؤَالٌ ثَانٍ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلثَّبَاتِ عَلَى الْهِدَايَةِ؟ كِتَابُ اللَّهِ القُرْآنُ وَالدَّلِيلُ؟ قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ مَنْ يُكَمِّلُ؟ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ الثَّبَاتُ وَالْهُدَى كُلُّهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانُ فَاحْرِصُوا يَا إِخْوَانُ عَلَى قِرَاءَةِ كِتَابِ اللَّهِ بِتَدَبُّرٍ حَتَّى يَكُونَ سَبَبًا لِهِدَايَتِكُمْ وَسَبَبًا لِثُبُوتِكُمْ عَلَى الْهِدَايَةِ فِي وَقْتٍ كَثُرَتْ فِيهِ الزَّعَازِعُ وَالزَّوَابِعُ وَالمُؤَثِّرَاتُ يَأْتِي كَلَامُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِيَكُونَ أَعْظَمَ سَبَبٍ لِهِدَايَةِ الْبَشَرِ جَمِيعًا حَتَّى الْكُفَّارِ يَا إِخْوَانُ وَتَرَوْنَ أَنْتُمْ يَا إِخْوَانِي فِي مَقَاطِعَ كَافِرٌ يَسْمَعُ كَلَامًا يُتْلَى وَهُوَ لَا يَعْقِلُهُ لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِسْلَامِهِ وَأَنَا أَذْكُرُ لَكُمْ يَا إِخْوَانِي قِصَّةً ذَكَرَهَا أَحَدُ أَسَاتِذَتِنَا يَرْحَمُهُ اللَّهُ فِي إِحْدَى الْبِلَادِ يَقُولُ كَانَ رَجُلٌ كَبِيرٌ مِنْ كِبَارِ النَّصَارَى وَكَانَ حَلْقَةُ الْوَصْلِ بَيْنَ بَلَدِهِ وَبَيْنَ الْفَاتِيْكَانِ يَتَرَدَّدُ بَيْنَهُمَا وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ إِبْرَاهِيمُ أَوْ إِسْحَاقُ أَوْ كَذَا يَذْهَبُ بَيْنَهُمَا يَوْمٌ مِنَ الْأَيَّامِ لَمَّا أَرَادَ اللَّهُ لَهُ الْخَيْرَ نَزَلَ مِنَ الطَّائِرَةِ وَرَكِبَ سَيَّارَةَ تَكْسِي فَسَمِعَ قَارِئًا يَقْرَأُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا أَكْمِلُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ الْقُرْآنُ عَجِبَتِ الْجِنُّ مِنَ الْقُرْآنِ لَمَّا سَمِعُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَقَالُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ فَعَجِبَ الرَّجُلُ وَسَأَلَ نَفْسَهُ الْجِنُِّ يَعْجَبُونَ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ وَيَهْتَدُونَ بِهِ وَنَحْنُ الْبَشَرُ لَا نَعْجَبُ وَلَا نَهْتَدِي؟ فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ فِي الْإِسْلَامِ فَاطْلُبُوا الْهِدَايَةَ فِي أَعْظَمِ مَظَانِّهَا وَهُوَ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ أَكْمِلُوا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا الَّذِينَ يُشَارِكُونَنِي قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ إِلَى كُلِّ مَنْ يَنْشُدُ الْفَرَحَ وَيَطْلُبُ الرَّاحَةَ وَالسَّكِينَةَ وَالطُّمَأْنِينَةَ هِيَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُدًى لِلنَّاسِ هَذَا الْقُرْآنُ هُدًى لِكُلِّ النَّاسِ وَلَكِنْ قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ فِي أَوَّلِ السُّورَةِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ طَيِّبٌ كَيْفَ هُنَا هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ وَهُنَا هُدًى لِلنَّاسِ لِكُلِّ النَّاسِ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فِي نَوْعَيْ الْهِدَايَةِ فَفِي الدَّلَالَةِ وَالْإِرْشَادِ هِدَايَةٌ لِمَنْ؟ لِكُلِّ النَّاسِ هِدَايَةُ الْإِرْشَادِ وَالدَّلَالَةِ لِكُلِّ النَّاسِ وَأَمَّا هِدَايَةُ الْإِلْهَامِ وَالتَّوْفِيقِ وَالتَّسْدِيدِ فَإِنَّمَا تَكُونُ لِمَنْ؟ لِلْمُتَّقِيْنَ

Jin Saja Takjub Mendengarnya Lalu Dapat Hidayah, Mengapa Manusia Tidak? – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Pertanyaan: Apa sebab terbesar yang mengantarkan seseorang kepada hidayah, wahai saudara-saudaraku? Jawabannya: Kitabullah (al-Quran). Pertanyaan kedua: Apa sebab terbesar untuk bisa teguh di atas hidayah? Jawabannya juga: Kitabullah (al-Quran). Apa dalilnya? Katakanlah (Muhammad), “Malaikat Jibril menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu dengan kebenaran…” Siapa yang bisa melanjutkan ayatnya? “…untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, serta menjadi petunjuk dan kabar gembira untuk orang yang beriman.” (QS. an-Nahl: 102). Keteguhan dan hidayah, semuanya ada di dalam al-Quran, wahai saudara-saudaraku. Maka bersungguh-sungguhlah dalam membaca al-Quran dengan penuh perenungan (tadabur), agar ia menjadi sebab hidayah bagi kalian, dan menjadi sebab keteguhan kalian di atas hidayah. Pada zaman yang penuh dengan gejolak, badai pemikiran, dan berbagai godaan, hadirlah firman Allah Yang Maha Agung sebagai sebab terbesar hidayah bagi seluruh manusia. Bahkan bagi orang-orang kafir, wahai saudara-saudara! Kalian sendiri bisa melihat dalam berbagai video singkat: Ada seorang kafir yang mendengar bacaan al-Quran, padahal ia tidak memahami artinya, tapi justru itu menjadi sebab keislamannya. Saya ceritakan sebuah kisah yang dikisahkan oleh seorang guru kami—semoga Allah merahmatinya—tentang peristiwa di sebuah negeri. Beliau bercerita: Dulu ada seorang tokoh besar dari kalangan Nasrani, yang menjadi penghubung antara negerinya dan Vatikan. Ia sering bolak-balik antara kedua tempat itu. Namanya disebutkan—mungkin Ibrahim, Ishaq, atau nama lainnya. Ia menjadi perantara antara dua pihak ini. Suatu hari, ketika Allah menghendaki kebaikan untuknya; ia turun dari pesawat, lalu naik taksi. Lalu ia mendengar seorang qari (pembaca al-Quran) membaca ayat: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Quran).’ Lalu mereka berkata: ‘Kami mendengarkan bacaan al-Quran yang menakjubkan…’” (QS. al-Jinn: 1). Lanjutkan ayatnya! “…yang memberi petunjuk kepada kebenaran.” Yaitu al-Quran. Jin saja merasa takjub dengan al-Quran ketika pertama kali mereka mendengarnya. Mereka pun berkata: “Al-Quran memberi petunjuk kepada kebenaran, sehingga kami beriman kepadanya.” (QS. al-Jinn: 2). Maka orang Nasrani tadi pun terkejut dan bertanya dalam hatinya: “Jin saja takjub dengan firman Allah dan mendapatkan hidayah darinya lalu mengapa kami, manusia, tidak merasa takjub dan tidak mendapatkan hidayah darinya?” Ayat ini menjadi sebab dia masuk Islam. Maka carilah hidayah di tempat yang paling agung—yaitu dalam al-Quran. Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. “Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian pelajaran (al-Quran) dari Tuhan kalian sebagai penyembuh bagi penyakit yang terdapat dalam dada, petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yunus: 57). Lanjutkan ayat ini! Semoga Allah membalas kebaikan bagi orang yang ikut berpartisipasi. “Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu hendaklah mereka bergembiraItu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58). Bagi siapa saja yang mencari kebahagiaan, yang mendambakan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman, maka semua itu ada dalam al-Quran. “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira…” Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia. Al-Quran ini adalah petunjuk bagi seluruh manusia. Mungkin ada yang bertanya-tanya: Pada awal surah al-Baqarah disebutkan: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Alif Laam Miim. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Bagaimana mungkin di sini disebutkan: al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa, tapi di ayat lain: petunjuk bagi seluruh manusia? Jawabannya adalah: Ada dua jenis hidayah. Adapun al-Quran sebagai petunjuk dan panduan, maka itu berlaku untuk seluruh manusia. Hidayah panduan dan petunjuk bagi seluruh manusia. Sedangkan hidayah dalam bentuk ilham, taufik, dan bimbingan menuju kebaikan, maka itu hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa. ==== سُؤَالٌ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلْهِدَايَةِ يَا إِخْوَانِي؟ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُؤَالٌ ثَانٍ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلثَّبَاتِ عَلَى الْهِدَايَةِ؟ كِتَابُ اللَّهِ القُرْآنُ وَالدَّلِيلُ؟ قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ مَنْ يُكَمِّلُ؟ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ الثَّبَاتُ وَالْهُدَى كُلُّهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانُ فَاحْرِصُوا يَا إِخْوَانُ عَلَى قِرَاءَةِ كِتَابِ اللَّهِ بِتَدَبُّرٍ حَتَّى يَكُونَ سَبَبًا لِهِدَايَتِكُمْ وَسَبَبًا لِثُبُوتِكُمْ عَلَى الْهِدَايَةِ فِي وَقْتٍ كَثُرَتْ فِيهِ الزَّعَازِعُ وَالزَّوَابِعُ وَالمُؤَثِّرَاتُ يَأْتِي كَلَامُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِيَكُونَ أَعْظَمَ سَبَبٍ لِهِدَايَةِ الْبَشَرِ جَمِيعًا حَتَّى الْكُفَّارِ يَا إِخْوَانُ وَتَرَوْنَ أَنْتُمْ يَا إِخْوَانِي فِي مَقَاطِعَ كَافِرٌ يَسْمَعُ كَلَامًا يُتْلَى وَهُوَ لَا يَعْقِلُهُ لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِسْلَامِهِ وَأَنَا أَذْكُرُ لَكُمْ يَا إِخْوَانِي قِصَّةً ذَكَرَهَا أَحَدُ أَسَاتِذَتِنَا يَرْحَمُهُ اللَّهُ فِي إِحْدَى الْبِلَادِ يَقُولُ كَانَ رَجُلٌ كَبِيرٌ مِنْ كِبَارِ النَّصَارَى وَكَانَ حَلْقَةُ الْوَصْلِ بَيْنَ بَلَدِهِ وَبَيْنَ الْفَاتِيْكَانِ يَتَرَدَّدُ بَيْنَهُمَا وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ إِبْرَاهِيمُ أَوْ إِسْحَاقُ أَوْ كَذَا يَذْهَبُ بَيْنَهُمَا يَوْمٌ مِنَ الْأَيَّامِ لَمَّا أَرَادَ اللَّهُ لَهُ الْخَيْرَ نَزَلَ مِنَ الطَّائِرَةِ وَرَكِبَ سَيَّارَةَ تَكْسِي فَسَمِعَ قَارِئًا يَقْرَأُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا أَكْمِلُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ الْقُرْآنُ عَجِبَتِ الْجِنُّ مِنَ الْقُرْآنِ لَمَّا سَمِعُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَقَالُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ فَعَجِبَ الرَّجُلُ وَسَأَلَ نَفْسَهُ الْجِنُِّ يَعْجَبُونَ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ وَيَهْتَدُونَ بِهِ وَنَحْنُ الْبَشَرُ لَا نَعْجَبُ وَلَا نَهْتَدِي؟ فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ فِي الْإِسْلَامِ فَاطْلُبُوا الْهِدَايَةَ فِي أَعْظَمِ مَظَانِّهَا وَهُوَ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ أَكْمِلُوا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا الَّذِينَ يُشَارِكُونَنِي قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ إِلَى كُلِّ مَنْ يَنْشُدُ الْفَرَحَ وَيَطْلُبُ الرَّاحَةَ وَالسَّكِينَةَ وَالطُّمَأْنِينَةَ هِيَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُدًى لِلنَّاسِ هَذَا الْقُرْآنُ هُدًى لِكُلِّ النَّاسِ وَلَكِنْ قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ فِي أَوَّلِ السُّورَةِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ طَيِّبٌ كَيْفَ هُنَا هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ وَهُنَا هُدًى لِلنَّاسِ لِكُلِّ النَّاسِ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فِي نَوْعَيْ الْهِدَايَةِ فَفِي الدَّلَالَةِ وَالْإِرْشَادِ هِدَايَةٌ لِمَنْ؟ لِكُلِّ النَّاسِ هِدَايَةُ الْإِرْشَادِ وَالدَّلَالَةِ لِكُلِّ النَّاسِ وَأَمَّا هِدَايَةُ الْإِلْهَامِ وَالتَّوْفِيقِ وَالتَّسْدِيدِ فَإِنَّمَا تَكُونُ لِمَنْ؟ لِلْمُتَّقِيْنَ
Pertanyaan: Apa sebab terbesar yang mengantarkan seseorang kepada hidayah, wahai saudara-saudaraku? Jawabannya: Kitabullah (al-Quran). Pertanyaan kedua: Apa sebab terbesar untuk bisa teguh di atas hidayah? Jawabannya juga: Kitabullah (al-Quran). Apa dalilnya? Katakanlah (Muhammad), “Malaikat Jibril menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu dengan kebenaran…” Siapa yang bisa melanjutkan ayatnya? “…untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, serta menjadi petunjuk dan kabar gembira untuk orang yang beriman.” (QS. an-Nahl: 102). Keteguhan dan hidayah, semuanya ada di dalam al-Quran, wahai saudara-saudaraku. Maka bersungguh-sungguhlah dalam membaca al-Quran dengan penuh perenungan (tadabur), agar ia menjadi sebab hidayah bagi kalian, dan menjadi sebab keteguhan kalian di atas hidayah. Pada zaman yang penuh dengan gejolak, badai pemikiran, dan berbagai godaan, hadirlah firman Allah Yang Maha Agung sebagai sebab terbesar hidayah bagi seluruh manusia. Bahkan bagi orang-orang kafir, wahai saudara-saudara! Kalian sendiri bisa melihat dalam berbagai video singkat: Ada seorang kafir yang mendengar bacaan al-Quran, padahal ia tidak memahami artinya, tapi justru itu menjadi sebab keislamannya. Saya ceritakan sebuah kisah yang dikisahkan oleh seorang guru kami—semoga Allah merahmatinya—tentang peristiwa di sebuah negeri. Beliau bercerita: Dulu ada seorang tokoh besar dari kalangan Nasrani, yang menjadi penghubung antara negerinya dan Vatikan. Ia sering bolak-balik antara kedua tempat itu. Namanya disebutkan—mungkin Ibrahim, Ishaq, atau nama lainnya. Ia menjadi perantara antara dua pihak ini. Suatu hari, ketika Allah menghendaki kebaikan untuknya; ia turun dari pesawat, lalu naik taksi. Lalu ia mendengar seorang qari (pembaca al-Quran) membaca ayat: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Quran).’ Lalu mereka berkata: ‘Kami mendengarkan bacaan al-Quran yang menakjubkan…’” (QS. al-Jinn: 1). Lanjutkan ayatnya! “…yang memberi petunjuk kepada kebenaran.” Yaitu al-Quran. Jin saja merasa takjub dengan al-Quran ketika pertama kali mereka mendengarnya. Mereka pun berkata: “Al-Quran memberi petunjuk kepada kebenaran, sehingga kami beriman kepadanya.” (QS. al-Jinn: 2). Maka orang Nasrani tadi pun terkejut dan bertanya dalam hatinya: “Jin saja takjub dengan firman Allah dan mendapatkan hidayah darinya lalu mengapa kami, manusia, tidak merasa takjub dan tidak mendapatkan hidayah darinya?” Ayat ini menjadi sebab dia masuk Islam. Maka carilah hidayah di tempat yang paling agung—yaitu dalam al-Quran. Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. “Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian pelajaran (al-Quran) dari Tuhan kalian sebagai penyembuh bagi penyakit yang terdapat dalam dada, petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yunus: 57). Lanjutkan ayat ini! Semoga Allah membalas kebaikan bagi orang yang ikut berpartisipasi. “Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu hendaklah mereka bergembiraItu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58). Bagi siapa saja yang mencari kebahagiaan, yang mendambakan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman, maka semua itu ada dalam al-Quran. “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira…” Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia. Al-Quran ini adalah petunjuk bagi seluruh manusia. Mungkin ada yang bertanya-tanya: Pada awal surah al-Baqarah disebutkan: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Alif Laam Miim. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Bagaimana mungkin di sini disebutkan: al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa, tapi di ayat lain: petunjuk bagi seluruh manusia? Jawabannya adalah: Ada dua jenis hidayah. Adapun al-Quran sebagai petunjuk dan panduan, maka itu berlaku untuk seluruh manusia. Hidayah panduan dan petunjuk bagi seluruh manusia. Sedangkan hidayah dalam bentuk ilham, taufik, dan bimbingan menuju kebaikan, maka itu hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa. ==== سُؤَالٌ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلْهِدَايَةِ يَا إِخْوَانِي؟ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُؤَالٌ ثَانٍ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلثَّبَاتِ عَلَى الْهِدَايَةِ؟ كِتَابُ اللَّهِ القُرْآنُ وَالدَّلِيلُ؟ قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ مَنْ يُكَمِّلُ؟ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ الثَّبَاتُ وَالْهُدَى كُلُّهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانُ فَاحْرِصُوا يَا إِخْوَانُ عَلَى قِرَاءَةِ كِتَابِ اللَّهِ بِتَدَبُّرٍ حَتَّى يَكُونَ سَبَبًا لِهِدَايَتِكُمْ وَسَبَبًا لِثُبُوتِكُمْ عَلَى الْهِدَايَةِ فِي وَقْتٍ كَثُرَتْ فِيهِ الزَّعَازِعُ وَالزَّوَابِعُ وَالمُؤَثِّرَاتُ يَأْتِي كَلَامُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِيَكُونَ أَعْظَمَ سَبَبٍ لِهِدَايَةِ الْبَشَرِ جَمِيعًا حَتَّى الْكُفَّارِ يَا إِخْوَانُ وَتَرَوْنَ أَنْتُمْ يَا إِخْوَانِي فِي مَقَاطِعَ كَافِرٌ يَسْمَعُ كَلَامًا يُتْلَى وَهُوَ لَا يَعْقِلُهُ لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِسْلَامِهِ وَأَنَا أَذْكُرُ لَكُمْ يَا إِخْوَانِي قِصَّةً ذَكَرَهَا أَحَدُ أَسَاتِذَتِنَا يَرْحَمُهُ اللَّهُ فِي إِحْدَى الْبِلَادِ يَقُولُ كَانَ رَجُلٌ كَبِيرٌ مِنْ كِبَارِ النَّصَارَى وَكَانَ حَلْقَةُ الْوَصْلِ بَيْنَ بَلَدِهِ وَبَيْنَ الْفَاتِيْكَانِ يَتَرَدَّدُ بَيْنَهُمَا وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ إِبْرَاهِيمُ أَوْ إِسْحَاقُ أَوْ كَذَا يَذْهَبُ بَيْنَهُمَا يَوْمٌ مِنَ الْأَيَّامِ لَمَّا أَرَادَ اللَّهُ لَهُ الْخَيْرَ نَزَلَ مِنَ الطَّائِرَةِ وَرَكِبَ سَيَّارَةَ تَكْسِي فَسَمِعَ قَارِئًا يَقْرَأُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا أَكْمِلُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ الْقُرْآنُ عَجِبَتِ الْجِنُّ مِنَ الْقُرْآنِ لَمَّا سَمِعُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَقَالُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ فَعَجِبَ الرَّجُلُ وَسَأَلَ نَفْسَهُ الْجِنُِّ يَعْجَبُونَ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ وَيَهْتَدُونَ بِهِ وَنَحْنُ الْبَشَرُ لَا نَعْجَبُ وَلَا نَهْتَدِي؟ فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ فِي الْإِسْلَامِ فَاطْلُبُوا الْهِدَايَةَ فِي أَعْظَمِ مَظَانِّهَا وَهُوَ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ أَكْمِلُوا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا الَّذِينَ يُشَارِكُونَنِي قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ إِلَى كُلِّ مَنْ يَنْشُدُ الْفَرَحَ وَيَطْلُبُ الرَّاحَةَ وَالسَّكِينَةَ وَالطُّمَأْنِينَةَ هِيَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُدًى لِلنَّاسِ هَذَا الْقُرْآنُ هُدًى لِكُلِّ النَّاسِ وَلَكِنْ قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ فِي أَوَّلِ السُّورَةِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ طَيِّبٌ كَيْفَ هُنَا هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ وَهُنَا هُدًى لِلنَّاسِ لِكُلِّ النَّاسِ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فِي نَوْعَيْ الْهِدَايَةِ فَفِي الدَّلَالَةِ وَالْإِرْشَادِ هِدَايَةٌ لِمَنْ؟ لِكُلِّ النَّاسِ هِدَايَةُ الْإِرْشَادِ وَالدَّلَالَةِ لِكُلِّ النَّاسِ وَأَمَّا هِدَايَةُ الْإِلْهَامِ وَالتَّوْفِيقِ وَالتَّسْدِيدِ فَإِنَّمَا تَكُونُ لِمَنْ؟ لِلْمُتَّقِيْنَ


Pertanyaan: Apa sebab terbesar yang mengantarkan seseorang kepada hidayah, wahai saudara-saudaraku? Jawabannya: Kitabullah (al-Quran). Pertanyaan kedua: Apa sebab terbesar untuk bisa teguh di atas hidayah? Jawabannya juga: Kitabullah (al-Quran). Apa dalilnya? Katakanlah (Muhammad), “Malaikat Jibril menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu dengan kebenaran…” Siapa yang bisa melanjutkan ayatnya? “…untuk meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, serta menjadi petunjuk dan kabar gembira untuk orang yang beriman.” (QS. an-Nahl: 102). Keteguhan dan hidayah, semuanya ada di dalam al-Quran, wahai saudara-saudaraku. Maka bersungguh-sungguhlah dalam membaca al-Quran dengan penuh perenungan (tadabur), agar ia menjadi sebab hidayah bagi kalian, dan menjadi sebab keteguhan kalian di atas hidayah. Pada zaman yang penuh dengan gejolak, badai pemikiran, dan berbagai godaan, hadirlah firman Allah Yang Maha Agung sebagai sebab terbesar hidayah bagi seluruh manusia. Bahkan bagi orang-orang kafir, wahai saudara-saudara! Kalian sendiri bisa melihat dalam berbagai video singkat: Ada seorang kafir yang mendengar bacaan al-Quran, padahal ia tidak memahami artinya, tapi justru itu menjadi sebab keislamannya. Saya ceritakan sebuah kisah yang dikisahkan oleh seorang guru kami—semoga Allah merahmatinya—tentang peristiwa di sebuah negeri. Beliau bercerita: Dulu ada seorang tokoh besar dari kalangan Nasrani, yang menjadi penghubung antara negerinya dan Vatikan. Ia sering bolak-balik antara kedua tempat itu. Namanya disebutkan—mungkin Ibrahim, Ishaq, atau nama lainnya. Ia menjadi perantara antara dua pihak ini. Suatu hari, ketika Allah menghendaki kebaikan untuknya; ia turun dari pesawat, lalu naik taksi. Lalu ia mendengar seorang qari (pembaca al-Quran) membaca ayat: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Quran).’ Lalu mereka berkata: ‘Kami mendengarkan bacaan al-Quran yang menakjubkan…’” (QS. al-Jinn: 1). Lanjutkan ayatnya! “…yang memberi petunjuk kepada kebenaran.” Yaitu al-Quran. Jin saja merasa takjub dengan al-Quran ketika pertama kali mereka mendengarnya. Mereka pun berkata: “Al-Quran memberi petunjuk kepada kebenaran, sehingga kami beriman kepadanya.” (QS. al-Jinn: 2). Maka orang Nasrani tadi pun terkejut dan bertanya dalam hatinya: “Jin saja takjub dengan firman Allah dan mendapatkan hidayah darinya lalu mengapa kami, manusia, tidak merasa takjub dan tidak mendapatkan hidayah darinya?” Ayat ini menjadi sebab dia masuk Islam. Maka carilah hidayah di tempat yang paling agung—yaitu dalam al-Quran. Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. “Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian pelajaran (al-Quran) dari Tuhan kalian sebagai penyembuh bagi penyakit yang terdapat dalam dada, petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yunus: 57). Lanjutkan ayat ini! Semoga Allah membalas kebaikan bagi orang yang ikut berpartisipasi. “Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu hendaklah mereka bergembiraItu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58). Bagi siapa saja yang mencari kebahagiaan, yang mendambakan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman, maka semua itu ada dalam al-Quran. “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira…” Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia. Al-Quran ini adalah petunjuk bagi seluruh manusia. Mungkin ada yang bertanya-tanya: Pada awal surah al-Baqarah disebutkan: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. “Alif Laam Miim. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Bagaimana mungkin di sini disebutkan: al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa, tapi di ayat lain: petunjuk bagi seluruh manusia? Jawabannya adalah: Ada dua jenis hidayah. Adapun al-Quran sebagai petunjuk dan panduan, maka itu berlaku untuk seluruh manusia. Hidayah panduan dan petunjuk bagi seluruh manusia. Sedangkan hidayah dalam bentuk ilham, taufik, dan bimbingan menuju kebaikan, maka itu hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa. ==== سُؤَالٌ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلْهِدَايَةِ يَا إِخْوَانِي؟ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ سُؤَالٌ ثَانٍ مَا أَعْظَمُ سَبَبٍ لِلثَّبَاتِ عَلَى الْهِدَايَةِ؟ كِتَابُ اللَّهِ القُرْآنُ وَالدَّلِيلُ؟ قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ مَنْ يُكَمِّلُ؟ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ الثَّبَاتُ وَالْهُدَى كُلُّهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ يَا إِخْوَانُ فَاحْرِصُوا يَا إِخْوَانُ عَلَى قِرَاءَةِ كِتَابِ اللَّهِ بِتَدَبُّرٍ حَتَّى يَكُونَ سَبَبًا لِهِدَايَتِكُمْ وَسَبَبًا لِثُبُوتِكُمْ عَلَى الْهِدَايَةِ فِي وَقْتٍ كَثُرَتْ فِيهِ الزَّعَازِعُ وَالزَّوَابِعُ وَالمُؤَثِّرَاتُ يَأْتِي كَلَامُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لِيَكُونَ أَعْظَمَ سَبَبٍ لِهِدَايَةِ الْبَشَرِ جَمِيعًا حَتَّى الْكُفَّارِ يَا إِخْوَانُ وَتَرَوْنَ أَنْتُمْ يَا إِخْوَانِي فِي مَقَاطِعَ كَافِرٌ يَسْمَعُ كَلَامًا يُتْلَى وَهُوَ لَا يَعْقِلُهُ لَا يَعْرِفُ اللُّغَةَ وَمَعَ ذَلِكَ يَكُونُ سَبَبًا فِي إِسْلَامِهِ وَأَنَا أَذْكُرُ لَكُمْ يَا إِخْوَانِي قِصَّةً ذَكَرَهَا أَحَدُ أَسَاتِذَتِنَا يَرْحَمُهُ اللَّهُ فِي إِحْدَى الْبِلَادِ يَقُولُ كَانَ رَجُلٌ كَبِيرٌ مِنْ كِبَارِ النَّصَارَى وَكَانَ حَلْقَةُ الْوَصْلِ بَيْنَ بَلَدِهِ وَبَيْنَ الْفَاتِيْكَانِ يَتَرَدَّدُ بَيْنَهُمَا وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ إِبْرَاهِيمُ أَوْ إِسْحَاقُ أَوْ كَذَا يَذْهَبُ بَيْنَهُمَا يَوْمٌ مِنَ الْأَيَّامِ لَمَّا أَرَادَ اللَّهُ لَهُ الْخَيْرَ نَزَلَ مِنَ الطَّائِرَةِ وَرَكِبَ سَيَّارَةَ تَكْسِي فَسَمِعَ قَارِئًا يَقْرَأُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا أَكْمِلُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ الْقُرْآنُ عَجِبَتِ الْجِنُّ مِنَ الْقُرْآنِ لَمَّا سَمِعُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَقَالُوا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ فَعَجِبَ الرَّجُلُ وَسَأَلَ نَفْسَهُ الْجِنُِّ يَعْجَبُونَ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ وَيَهْتَدُونَ بِهِ وَنَحْنُ الْبَشَرُ لَا نَعْجَبُ وَلَا نَهْتَدِي؟ فَكَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ سَبَبًا فِي دُخُولِهِ فِي الْإِسْلَامِ فَاطْلُبُوا الْهِدَايَةَ فِي أَعْظَمِ مَظَانِّهَا وَهُوَ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ أَكْمِلُوا جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا الَّذِينَ يُشَارِكُونَنِي قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ إِلَى كُلِّ مَنْ يَنْشُدُ الْفَرَحَ وَيَطْلُبُ الرَّاحَةَ وَالسَّكِينَةَ وَالطُّمَأْنِينَةَ هِيَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُدًى لِلنَّاسِ هَذَا الْقُرْآنُ هُدًى لِكُلِّ النَّاسِ وَلَكِنْ قَدْ يَقُولُ قَائِلٌ فِي أَوَّلِ السُّورَةِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ طَيِّبٌ كَيْفَ هُنَا هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ وَهُنَا هُدًى لِلنَّاسِ لِكُلِّ النَّاسِ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فِي نَوْعَيْ الْهِدَايَةِ فَفِي الدَّلَالَةِ وَالْإِرْشَادِ هِدَايَةٌ لِمَنْ؟ لِكُلِّ النَّاسِ هِدَايَةُ الْإِرْشَادِ وَالدَّلَالَةِ لِكُلِّ النَّاسِ وَأَمَّا هِدَايَةُ الْإِلْهَامِ وَالتَّوْفِيقِ وَالتَّسْدِيدِ فَإِنَّمَا تَكُونُ لِمَنْ؟ لِلْمُتَّقِيْنَ

Fatwa Ulama: Dianjurkan Menceritakan Nikmat, namun Bagaimana jika Terkena Penyakit ‘Ain?

Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Pertanyaan: Di antara karunia Allah kepada saya, Dia telah memuliakan saya dengan banyak hal istimewa dalam hidup saya, berupa keberhasilan dalam pekerjaan, agama, dan kehidupan saya secara umum. Seringkali saya ingin menceritakan tentang hal-hal baik dan kemudahan dari Allah ini kepada teman-teman saya. Namun, saya takut akan hasad, khususnya karena banyak dari mereka yang saat ini keadaannya sedang kurang baik. Karenanya, saya khawatir salah satu dari mereka akan hasad kepada saya. Maaf karena mengatakan hal ini, namun demikianlah hakikat yang terbukti ada dalam syariat kita yang lurus. Apakah pandangan ini teranggap sebagai bentuk lemahnya iman? Bagaimana jika saya lupa membaca zikir pada suatu pagi atau sore?   Jawaban: Alhamdulillah. Pertama: Perlu diketahui bahwa tahadduts bini’matillah (menceritakan nikmat Allah kepada orang lain) adalah termasuk hak anda atas nikmat tersebut, juga salah satu bentuk mengakui kebaikan dari Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Dari Abu Nadhrah, ia berkata, “Sejumlah ulama kaum muslimin berpendapat bahwa salah satu bentuk mensyukuri nikmat adalah dengan menceritakannya.” [1] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menceritakan nikmat Allah (mutahaddits bin ni’mah) dan membanggakannya (al-fakhru bin ni’am), yaitu: orang yang menceritakan nikmat adalah orang yang menceritakan sifat-sifat Pemberinya, kemurahan, serta kebaikan-Nya yang sempurna, memuji-Nya dengan menampakkan dan menceritakan nikmat tersebut dalam keadaan bersyukur kepada-Nya, menyebarkan semua yang Allah berikan kepadanya dengan tujuan menampakkan sifat-sifat Allah, memuji-Nya, dan mendorong jiwa untuk meminta hanya kepada-Nya dan bukan kepada selain-Nya, serta untuk mencintai dan berharap kepada-Nya. Sehingga ia menjadi orang yang berharap kepada Allah dengan menampakkan berbagai nikmat-Nya, menyebarkannya, dan menceritakannya. Adapun membanggakan nikmat (yang tercela, pen) adalah ketika seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain karena mendapat nikmat tersebut, menunjukkan kepada mereka bahwa dia lebih mulia dan agung dari mereka, lalu ia menundukkan kepala mereka, memperbudak hati mereka, dan menarik hati mereka untuk mengagungkan dan melayani dirinya. An-Nu’man bin Basyir berkata, “Sesungguhnya setan memiliki banyak perangkap (mashali) dan jeratan, di antara perangkap dan jeratannya adalah angkuh karena mendapat beragam nikmat dari Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah, dan membanggakan pemberian Allah tanpa mengagungkan Zat Allah.” [2] Ibnu Al-Atsir berkata, “Al-mashali itu serupa dengan asy-syarak (perangkap), bentuk mufradnya (tunggalnya) adalah mushlat, yaitu perhiasan dan syahwat dunia yang menggairahkan manusia.” [3] Kedua: Memuji nikmat yang khusus diberikan Allah kepada salah seorang hamba-Nya, jika dengan menceritakannya dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadat seperti hasad, kebencian, atau yang semisalnya, maka bisa dialihkan dengan memuji Allah dan menyebutkan nikmat-Nya secara umum saja. As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini (perintah untuk menceritakan nikmat) mencakup nikmat-nikmat agama maupun dunia. Makna (فَحَدِّثْ) adalah pujilah Allah dengan sebab nikmat tersebut, dan khususkan dengan menyebutkannya jika ada maslahat. Jika tidak, maka ceritakanlah nikmat-nikmat Allah secara umum, karena menceritakan nikmat Allah dapat memotivasi untuk mensyukurinya, dan membuat hati mencintai Zat yang memberikan nikmat tersebut, karena hati diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik.” [4] Al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadis, .. والتحدث بنعمة الله شكر ، وتركها كفر “… dan menceritakan nikmat Allah adalah syukur, dan meninggalkannya adalah kufur.” [5] dengan berkata, “Hadis ini berlaku selama tidak menimbulkan bahaya seperti hasad. Jika tidak, maka menyembunyikannya lebih utama.” [6] Tetapi, hal di atas berlaku jika ada indikasi dan tanda-tanda kuat tentang kekhawatiran tersebut. Jika tidak, maka pada dasarnya kita berprasangka baik kepada sesama muslim, menyerahkan segala urusan kepada Allah, dan bertawakal kepada-Nya dalam meraih banyak kebaikan dan menghindari berbagai mudarat. Nasihat untuk anda agar membentengi diri dengan berzikir kepada Allah, dan membaca wirid-wirid yang disyariatkan saat pagi dan petang, serta membentengi diri dengan ruqyah syar’iyyah, terutama Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas). Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib dari ayahnya, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di jalan kota Makkah, lalu aku mendapat kesempatan berdua dengan beliau. Aku mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbil falaq…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbin naas…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Manusia tidak pernah berlindung dengan sesuatu yang lebih utama dari keduanya.'” [7] Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Menjauhi kejahatan orang yang hasad dan ‘ain (mata jahat) adalah dengan: Pertama, bertawakal kepada Allah ‘Azza Wajalla dan tidak menghiraukan hal-hal tersebut, tidak mempedulikannya, dan berpaling darinya. Kedua, mengamalkan wirid-wirid yang bermanfaat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya adalah pelindung terbaik bagi manusia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat kursi bahwa barangsiapa membacanya di malam hari, maka akan tetap ada penjagaan dari Allah baginya dan setan tidak akan mendekatinya hingga pagi hari.” [8] Ketiga: Jika pada suatu hari anda lupa membaca rangkaian zikir pagi atau petang, maka anda dapat mengerjakannya kapan pun anda mengingatnya. Jika waktunya telah berlalu sampai memasuki awal siang atau malam, maka tidak mengapa insyaAllah, semoga anda tetap mendapatkan berkahnya karena rutin mengamalkan zikir pagi dan petang di sebagian besar waktu anda. Tetapi, kami mengingatkan anda bahwa ruqyah syar’iyyah tidak terbatas pada zikir pagi dan petang saja, melainkan bisa dilakukan kapan pun. Kami juga memberitahu anda, bahwa anda dapat mengganti zikir yang terlewat dengan berbagai zikir dan tasbih serta membaca Al-Qur’an, yang mana seluruhnya tidak terikat waktu pagi maupun sore. Kami menyarankan anda untuk mempelajari buku Al-Wabilus Shayyib minal Kalim At-Thayyib, karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim, dan Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syekh Abdul Razzaq Al-Abbad. Wallahu a’lam. -Fatwa Selesai- [9] Baca juga: Nikmat Dekat dengan Ahli Ilmu *** Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Tafsir Ath-Thabari, 24: 489. [2] Ar-Ruh, hal. 312. [3] An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, 3: 95. [4] Tafsir As-Sa’di, hal. 928. [5] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad no. 18449, bagian lafaz yang dinukil dinilai daif oleh Syu’aib Al-Arnauth. [6] Faidh Al-Qadir, 3: 369. [7] HR. An-Nasa’i no. 5429, dinilai sahih oleh Al-Albani. [8] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 13: 274-275. [9] Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (IslamQA) asuhan Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, pertanyaan no. 137984, https://islamqa.info/amp/ar/answers/137984 (dengan sedikit penyesuaian dalam alih bahasa oleh penerjemah).

Fatwa Ulama: Dianjurkan Menceritakan Nikmat, namun Bagaimana jika Terkena Penyakit ‘Ain?

Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Pertanyaan: Di antara karunia Allah kepada saya, Dia telah memuliakan saya dengan banyak hal istimewa dalam hidup saya, berupa keberhasilan dalam pekerjaan, agama, dan kehidupan saya secara umum. Seringkali saya ingin menceritakan tentang hal-hal baik dan kemudahan dari Allah ini kepada teman-teman saya. Namun, saya takut akan hasad, khususnya karena banyak dari mereka yang saat ini keadaannya sedang kurang baik. Karenanya, saya khawatir salah satu dari mereka akan hasad kepada saya. Maaf karena mengatakan hal ini, namun demikianlah hakikat yang terbukti ada dalam syariat kita yang lurus. Apakah pandangan ini teranggap sebagai bentuk lemahnya iman? Bagaimana jika saya lupa membaca zikir pada suatu pagi atau sore?   Jawaban: Alhamdulillah. Pertama: Perlu diketahui bahwa tahadduts bini’matillah (menceritakan nikmat Allah kepada orang lain) adalah termasuk hak anda atas nikmat tersebut, juga salah satu bentuk mengakui kebaikan dari Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Dari Abu Nadhrah, ia berkata, “Sejumlah ulama kaum muslimin berpendapat bahwa salah satu bentuk mensyukuri nikmat adalah dengan menceritakannya.” [1] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menceritakan nikmat Allah (mutahaddits bin ni’mah) dan membanggakannya (al-fakhru bin ni’am), yaitu: orang yang menceritakan nikmat adalah orang yang menceritakan sifat-sifat Pemberinya, kemurahan, serta kebaikan-Nya yang sempurna, memuji-Nya dengan menampakkan dan menceritakan nikmat tersebut dalam keadaan bersyukur kepada-Nya, menyebarkan semua yang Allah berikan kepadanya dengan tujuan menampakkan sifat-sifat Allah, memuji-Nya, dan mendorong jiwa untuk meminta hanya kepada-Nya dan bukan kepada selain-Nya, serta untuk mencintai dan berharap kepada-Nya. Sehingga ia menjadi orang yang berharap kepada Allah dengan menampakkan berbagai nikmat-Nya, menyebarkannya, dan menceritakannya. Adapun membanggakan nikmat (yang tercela, pen) adalah ketika seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain karena mendapat nikmat tersebut, menunjukkan kepada mereka bahwa dia lebih mulia dan agung dari mereka, lalu ia menundukkan kepala mereka, memperbudak hati mereka, dan menarik hati mereka untuk mengagungkan dan melayani dirinya. An-Nu’man bin Basyir berkata, “Sesungguhnya setan memiliki banyak perangkap (mashali) dan jeratan, di antara perangkap dan jeratannya adalah angkuh karena mendapat beragam nikmat dari Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah, dan membanggakan pemberian Allah tanpa mengagungkan Zat Allah.” [2] Ibnu Al-Atsir berkata, “Al-mashali itu serupa dengan asy-syarak (perangkap), bentuk mufradnya (tunggalnya) adalah mushlat, yaitu perhiasan dan syahwat dunia yang menggairahkan manusia.” [3] Kedua: Memuji nikmat yang khusus diberikan Allah kepada salah seorang hamba-Nya, jika dengan menceritakannya dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadat seperti hasad, kebencian, atau yang semisalnya, maka bisa dialihkan dengan memuji Allah dan menyebutkan nikmat-Nya secara umum saja. As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini (perintah untuk menceritakan nikmat) mencakup nikmat-nikmat agama maupun dunia. Makna (فَحَدِّثْ) adalah pujilah Allah dengan sebab nikmat tersebut, dan khususkan dengan menyebutkannya jika ada maslahat. Jika tidak, maka ceritakanlah nikmat-nikmat Allah secara umum, karena menceritakan nikmat Allah dapat memotivasi untuk mensyukurinya, dan membuat hati mencintai Zat yang memberikan nikmat tersebut, karena hati diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik.” [4] Al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadis, .. والتحدث بنعمة الله شكر ، وتركها كفر “… dan menceritakan nikmat Allah adalah syukur, dan meninggalkannya adalah kufur.” [5] dengan berkata, “Hadis ini berlaku selama tidak menimbulkan bahaya seperti hasad. Jika tidak, maka menyembunyikannya lebih utama.” [6] Tetapi, hal di atas berlaku jika ada indikasi dan tanda-tanda kuat tentang kekhawatiran tersebut. Jika tidak, maka pada dasarnya kita berprasangka baik kepada sesama muslim, menyerahkan segala urusan kepada Allah, dan bertawakal kepada-Nya dalam meraih banyak kebaikan dan menghindari berbagai mudarat. Nasihat untuk anda agar membentengi diri dengan berzikir kepada Allah, dan membaca wirid-wirid yang disyariatkan saat pagi dan petang, serta membentengi diri dengan ruqyah syar’iyyah, terutama Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas). Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib dari ayahnya, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di jalan kota Makkah, lalu aku mendapat kesempatan berdua dengan beliau. Aku mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbil falaq…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbin naas…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Manusia tidak pernah berlindung dengan sesuatu yang lebih utama dari keduanya.'” [7] Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Menjauhi kejahatan orang yang hasad dan ‘ain (mata jahat) adalah dengan: Pertama, bertawakal kepada Allah ‘Azza Wajalla dan tidak menghiraukan hal-hal tersebut, tidak mempedulikannya, dan berpaling darinya. Kedua, mengamalkan wirid-wirid yang bermanfaat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya adalah pelindung terbaik bagi manusia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat kursi bahwa barangsiapa membacanya di malam hari, maka akan tetap ada penjagaan dari Allah baginya dan setan tidak akan mendekatinya hingga pagi hari.” [8] Ketiga: Jika pada suatu hari anda lupa membaca rangkaian zikir pagi atau petang, maka anda dapat mengerjakannya kapan pun anda mengingatnya. Jika waktunya telah berlalu sampai memasuki awal siang atau malam, maka tidak mengapa insyaAllah, semoga anda tetap mendapatkan berkahnya karena rutin mengamalkan zikir pagi dan petang di sebagian besar waktu anda. Tetapi, kami mengingatkan anda bahwa ruqyah syar’iyyah tidak terbatas pada zikir pagi dan petang saja, melainkan bisa dilakukan kapan pun. Kami juga memberitahu anda, bahwa anda dapat mengganti zikir yang terlewat dengan berbagai zikir dan tasbih serta membaca Al-Qur’an, yang mana seluruhnya tidak terikat waktu pagi maupun sore. Kami menyarankan anda untuk mempelajari buku Al-Wabilus Shayyib minal Kalim At-Thayyib, karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim, dan Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syekh Abdul Razzaq Al-Abbad. Wallahu a’lam. -Fatwa Selesai- [9] Baca juga: Nikmat Dekat dengan Ahli Ilmu *** Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Tafsir Ath-Thabari, 24: 489. [2] Ar-Ruh, hal. 312. [3] An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, 3: 95. [4] Tafsir As-Sa’di, hal. 928. [5] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad no. 18449, bagian lafaz yang dinukil dinilai daif oleh Syu’aib Al-Arnauth. [6] Faidh Al-Qadir, 3: 369. [7] HR. An-Nasa’i no. 5429, dinilai sahih oleh Al-Albani. [8] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 13: 274-275. [9] Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (IslamQA) asuhan Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, pertanyaan no. 137984, https://islamqa.info/amp/ar/answers/137984 (dengan sedikit penyesuaian dalam alih bahasa oleh penerjemah).
Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Pertanyaan: Di antara karunia Allah kepada saya, Dia telah memuliakan saya dengan banyak hal istimewa dalam hidup saya, berupa keberhasilan dalam pekerjaan, agama, dan kehidupan saya secara umum. Seringkali saya ingin menceritakan tentang hal-hal baik dan kemudahan dari Allah ini kepada teman-teman saya. Namun, saya takut akan hasad, khususnya karena banyak dari mereka yang saat ini keadaannya sedang kurang baik. Karenanya, saya khawatir salah satu dari mereka akan hasad kepada saya. Maaf karena mengatakan hal ini, namun demikianlah hakikat yang terbukti ada dalam syariat kita yang lurus. Apakah pandangan ini teranggap sebagai bentuk lemahnya iman? Bagaimana jika saya lupa membaca zikir pada suatu pagi atau sore?   Jawaban: Alhamdulillah. Pertama: Perlu diketahui bahwa tahadduts bini’matillah (menceritakan nikmat Allah kepada orang lain) adalah termasuk hak anda atas nikmat tersebut, juga salah satu bentuk mengakui kebaikan dari Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Dari Abu Nadhrah, ia berkata, “Sejumlah ulama kaum muslimin berpendapat bahwa salah satu bentuk mensyukuri nikmat adalah dengan menceritakannya.” [1] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menceritakan nikmat Allah (mutahaddits bin ni’mah) dan membanggakannya (al-fakhru bin ni’am), yaitu: orang yang menceritakan nikmat adalah orang yang menceritakan sifat-sifat Pemberinya, kemurahan, serta kebaikan-Nya yang sempurna, memuji-Nya dengan menampakkan dan menceritakan nikmat tersebut dalam keadaan bersyukur kepada-Nya, menyebarkan semua yang Allah berikan kepadanya dengan tujuan menampakkan sifat-sifat Allah, memuji-Nya, dan mendorong jiwa untuk meminta hanya kepada-Nya dan bukan kepada selain-Nya, serta untuk mencintai dan berharap kepada-Nya. Sehingga ia menjadi orang yang berharap kepada Allah dengan menampakkan berbagai nikmat-Nya, menyebarkannya, dan menceritakannya. Adapun membanggakan nikmat (yang tercela, pen) adalah ketika seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain karena mendapat nikmat tersebut, menunjukkan kepada mereka bahwa dia lebih mulia dan agung dari mereka, lalu ia menundukkan kepala mereka, memperbudak hati mereka, dan menarik hati mereka untuk mengagungkan dan melayani dirinya. An-Nu’man bin Basyir berkata, “Sesungguhnya setan memiliki banyak perangkap (mashali) dan jeratan, di antara perangkap dan jeratannya adalah angkuh karena mendapat beragam nikmat dari Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah, dan membanggakan pemberian Allah tanpa mengagungkan Zat Allah.” [2] Ibnu Al-Atsir berkata, “Al-mashali itu serupa dengan asy-syarak (perangkap), bentuk mufradnya (tunggalnya) adalah mushlat, yaitu perhiasan dan syahwat dunia yang menggairahkan manusia.” [3] Kedua: Memuji nikmat yang khusus diberikan Allah kepada salah seorang hamba-Nya, jika dengan menceritakannya dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadat seperti hasad, kebencian, atau yang semisalnya, maka bisa dialihkan dengan memuji Allah dan menyebutkan nikmat-Nya secara umum saja. As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini (perintah untuk menceritakan nikmat) mencakup nikmat-nikmat agama maupun dunia. Makna (فَحَدِّثْ) adalah pujilah Allah dengan sebab nikmat tersebut, dan khususkan dengan menyebutkannya jika ada maslahat. Jika tidak, maka ceritakanlah nikmat-nikmat Allah secara umum, karena menceritakan nikmat Allah dapat memotivasi untuk mensyukurinya, dan membuat hati mencintai Zat yang memberikan nikmat tersebut, karena hati diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik.” [4] Al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadis, .. والتحدث بنعمة الله شكر ، وتركها كفر “… dan menceritakan nikmat Allah adalah syukur, dan meninggalkannya adalah kufur.” [5] dengan berkata, “Hadis ini berlaku selama tidak menimbulkan bahaya seperti hasad. Jika tidak, maka menyembunyikannya lebih utama.” [6] Tetapi, hal di atas berlaku jika ada indikasi dan tanda-tanda kuat tentang kekhawatiran tersebut. Jika tidak, maka pada dasarnya kita berprasangka baik kepada sesama muslim, menyerahkan segala urusan kepada Allah, dan bertawakal kepada-Nya dalam meraih banyak kebaikan dan menghindari berbagai mudarat. Nasihat untuk anda agar membentengi diri dengan berzikir kepada Allah, dan membaca wirid-wirid yang disyariatkan saat pagi dan petang, serta membentengi diri dengan ruqyah syar’iyyah, terutama Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas). Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib dari ayahnya, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di jalan kota Makkah, lalu aku mendapat kesempatan berdua dengan beliau. Aku mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbil falaq…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbin naas…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Manusia tidak pernah berlindung dengan sesuatu yang lebih utama dari keduanya.'” [7] Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Menjauhi kejahatan orang yang hasad dan ‘ain (mata jahat) adalah dengan: Pertama, bertawakal kepada Allah ‘Azza Wajalla dan tidak menghiraukan hal-hal tersebut, tidak mempedulikannya, dan berpaling darinya. Kedua, mengamalkan wirid-wirid yang bermanfaat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya adalah pelindung terbaik bagi manusia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat kursi bahwa barangsiapa membacanya di malam hari, maka akan tetap ada penjagaan dari Allah baginya dan setan tidak akan mendekatinya hingga pagi hari.” [8] Ketiga: Jika pada suatu hari anda lupa membaca rangkaian zikir pagi atau petang, maka anda dapat mengerjakannya kapan pun anda mengingatnya. Jika waktunya telah berlalu sampai memasuki awal siang atau malam, maka tidak mengapa insyaAllah, semoga anda tetap mendapatkan berkahnya karena rutin mengamalkan zikir pagi dan petang di sebagian besar waktu anda. Tetapi, kami mengingatkan anda bahwa ruqyah syar’iyyah tidak terbatas pada zikir pagi dan petang saja, melainkan bisa dilakukan kapan pun. Kami juga memberitahu anda, bahwa anda dapat mengganti zikir yang terlewat dengan berbagai zikir dan tasbih serta membaca Al-Qur’an, yang mana seluruhnya tidak terikat waktu pagi maupun sore. Kami menyarankan anda untuk mempelajari buku Al-Wabilus Shayyib minal Kalim At-Thayyib, karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim, dan Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syekh Abdul Razzaq Al-Abbad. Wallahu a’lam. -Fatwa Selesai- [9] Baca juga: Nikmat Dekat dengan Ahli Ilmu *** Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Tafsir Ath-Thabari, 24: 489. [2] Ar-Ruh, hal. 312. [3] An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, 3: 95. [4] Tafsir As-Sa’di, hal. 928. [5] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad no. 18449, bagian lafaz yang dinukil dinilai daif oleh Syu’aib Al-Arnauth. [6] Faidh Al-Qadir, 3: 369. [7] HR. An-Nasa’i no. 5429, dinilai sahih oleh Al-Albani. [8] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 13: 274-275. [9] Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (IslamQA) asuhan Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, pertanyaan no. 137984, https://islamqa.info/amp/ar/answers/137984 (dengan sedikit penyesuaian dalam alih bahasa oleh penerjemah).


Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid   Pertanyaan: Di antara karunia Allah kepada saya, Dia telah memuliakan saya dengan banyak hal istimewa dalam hidup saya, berupa keberhasilan dalam pekerjaan, agama, dan kehidupan saya secara umum. Seringkali saya ingin menceritakan tentang hal-hal baik dan kemudahan dari Allah ini kepada teman-teman saya. Namun, saya takut akan hasad, khususnya karena banyak dari mereka yang saat ini keadaannya sedang kurang baik. Karenanya, saya khawatir salah satu dari mereka akan hasad kepada saya. Maaf karena mengatakan hal ini, namun demikianlah hakikat yang terbukti ada dalam syariat kita yang lurus. Apakah pandangan ini teranggap sebagai bentuk lemahnya iman? Bagaimana jika saya lupa membaca zikir pada suatu pagi atau sore?   Jawaban: Alhamdulillah. Pertama: Perlu diketahui bahwa tahadduts bini’matillah (menceritakan nikmat Allah kepada orang lain) adalah termasuk hak anda atas nikmat tersebut, juga salah satu bentuk mengakui kebaikan dari Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya, وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11) Dari Abu Nadhrah, ia berkata, “Sejumlah ulama kaum muslimin berpendapat bahwa salah satu bentuk mensyukuri nikmat adalah dengan menceritakannya.” [1] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menceritakan nikmat Allah (mutahaddits bin ni’mah) dan membanggakannya (al-fakhru bin ni’am), yaitu: orang yang menceritakan nikmat adalah orang yang menceritakan sifat-sifat Pemberinya, kemurahan, serta kebaikan-Nya yang sempurna, memuji-Nya dengan menampakkan dan menceritakan nikmat tersebut dalam keadaan bersyukur kepada-Nya, menyebarkan semua yang Allah berikan kepadanya dengan tujuan menampakkan sifat-sifat Allah, memuji-Nya, dan mendorong jiwa untuk meminta hanya kepada-Nya dan bukan kepada selain-Nya, serta untuk mencintai dan berharap kepada-Nya. Sehingga ia menjadi orang yang berharap kepada Allah dengan menampakkan berbagai nikmat-Nya, menyebarkannya, dan menceritakannya. Adapun membanggakan nikmat (yang tercela, pen) adalah ketika seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain karena mendapat nikmat tersebut, menunjukkan kepada mereka bahwa dia lebih mulia dan agung dari mereka, lalu ia menundukkan kepala mereka, memperbudak hati mereka, dan menarik hati mereka untuk mengagungkan dan melayani dirinya. An-Nu’man bin Basyir berkata, “Sesungguhnya setan memiliki banyak perangkap (mashali) dan jeratan, di antara perangkap dan jeratannya adalah angkuh karena mendapat beragam nikmat dari Allah, sombong kepada hamba-hamba Allah, dan membanggakan pemberian Allah tanpa mengagungkan Zat Allah.” [2] Ibnu Al-Atsir berkata, “Al-mashali itu serupa dengan asy-syarak (perangkap), bentuk mufradnya (tunggalnya) adalah mushlat, yaitu perhiasan dan syahwat dunia yang menggairahkan manusia.” [3] Kedua: Memuji nikmat yang khusus diberikan Allah kepada salah seorang hamba-Nya, jika dengan menceritakannya dikhawatirkan akan menimbulkan mafsadat seperti hasad, kebencian, atau yang semisalnya, maka bisa dialihkan dengan memuji Allah dan menyebutkan nikmat-Nya secara umum saja. As-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini (perintah untuk menceritakan nikmat) mencakup nikmat-nikmat agama maupun dunia. Makna (فَحَدِّثْ) adalah pujilah Allah dengan sebab nikmat tersebut, dan khususkan dengan menyebutkannya jika ada maslahat. Jika tidak, maka ceritakanlah nikmat-nikmat Allah secara umum, karena menceritakan nikmat Allah dapat memotivasi untuk mensyukurinya, dan membuat hati mencintai Zat yang memberikan nikmat tersebut, karena hati diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik.” [4] Al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadis, .. والتحدث بنعمة الله شكر ، وتركها كفر “… dan menceritakan nikmat Allah adalah syukur, dan meninggalkannya adalah kufur.” [5] dengan berkata, “Hadis ini berlaku selama tidak menimbulkan bahaya seperti hasad. Jika tidak, maka menyembunyikannya lebih utama.” [6] Tetapi, hal di atas berlaku jika ada indikasi dan tanda-tanda kuat tentang kekhawatiran tersebut. Jika tidak, maka pada dasarnya kita berprasangka baik kepada sesama muslim, menyerahkan segala urusan kepada Allah, dan bertawakal kepada-Nya dalam meraih banyak kebaikan dan menghindari berbagai mudarat. Nasihat untuk anda agar membentengi diri dengan berzikir kepada Allah, dan membaca wirid-wirid yang disyariatkan saat pagi dan petang, serta membentengi diri dengan ruqyah syar’iyyah, terutama Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas). Dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib dari ayahnya, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di jalan kota Makkah, lalu aku mendapat kesempatan berdua dengan beliau. Aku mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku ucapkan?’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbil falaq…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Ucapkanlah A’udzu bi rabbin naas…’ hingga selesai. Kemudian beliau berkata, ‘Manusia tidak pernah berlindung dengan sesuatu yang lebih utama dari keduanya.'” [7] Syekh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Menjauhi kejahatan orang yang hasad dan ‘ain (mata jahat) adalah dengan: Pertama, bertawakal kepada Allah ‘Azza Wajalla dan tidak menghiraukan hal-hal tersebut, tidak mempedulikannya, dan berpaling darinya. Kedua, mengamalkan wirid-wirid yang bermanfaat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, karena keduanya adalah pelindung terbaik bagi manusia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat kursi bahwa barangsiapa membacanya di malam hari, maka akan tetap ada penjagaan dari Allah baginya dan setan tidak akan mendekatinya hingga pagi hari.” [8] Ketiga: Jika pada suatu hari anda lupa membaca rangkaian zikir pagi atau petang, maka anda dapat mengerjakannya kapan pun anda mengingatnya. Jika waktunya telah berlalu sampai memasuki awal siang atau malam, maka tidak mengapa insyaAllah, semoga anda tetap mendapatkan berkahnya karena rutin mengamalkan zikir pagi dan petang di sebagian besar waktu anda. Tetapi, kami mengingatkan anda bahwa ruqyah syar’iyyah tidak terbatas pada zikir pagi dan petang saja, melainkan bisa dilakukan kapan pun. Kami juga memberitahu anda, bahwa anda dapat mengganti zikir yang terlewat dengan berbagai zikir dan tasbih serta membaca Al-Qur’an, yang mana seluruhnya tidak terikat waktu pagi maupun sore. Kami menyarankan anda untuk mempelajari buku Al-Wabilus Shayyib minal Kalim At-Thayyib, karya Al-Imam Ibnu Al-Qayyim, dan Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syekh Abdul Razzaq Al-Abbad. Wallahu a’lam. -Fatwa Selesai- [9] Baca juga: Nikmat Dekat dengan Ahli Ilmu *** Penerjemah: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Referensi: [1] Tafsir Ath-Thabari, 24: 489. [2] Ar-Ruh, hal. 312. [3] An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, 3: 95. [4] Tafsir As-Sa’di, hal. 928. [5] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad no. 18449, bagian lafaz yang dinukil dinilai daif oleh Syu’aib Al-Arnauth. [6] Faidh Al-Qadir, 3: 369. [7] HR. An-Nasa’i no. 5429, dinilai sahih oleh Al-Albani. [8] Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 13: 274-275. [9] Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab (IslamQA) asuhan Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, pertanyaan no. 137984, https://islamqa.info/amp/ar/answers/137984 (dengan sedikit penyesuaian dalam alih bahasa oleh penerjemah).

Hadis: Hierarki dan Dimensi Keimanan

Daftar Isi Toggle Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan)Dimensi perbuatan (zahir)Dimensi hati (batin) Di antara hal yang diyakini oleh ahli sunah waljamaah -yang berpegang dan berpedoman utama dalam beragama pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan yang dilalui para salaf saleh terdahulu- adalah bahwa keimanan seorang hamba itu dinamis dan tidak statis, selalu mengalami fluktuasi naik-turun, bertambah-berkurang, bahkan keimanan memiliki hierarki amalan-amalan, dan hal ini sudah menjadi suatu keharusan untuk dipahami dengan betul dalam pembahasan iman karena inilah yang dibawakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menjadi landasan pemahaman ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman memiliki beberapa cabang (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Muslim no. 35) Mari kita bedah hadis ini. Jumlah cabang bagian dan tingkatan iman berdasarkan hadis adalah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian bukanlah suatu permasalahan yang harus didalami lebih daripada substansi hadisnya. Karena substansi hadis di atas adalah bahwa iman tidaklah berada pada satu tingkatan dan aspek saja, bahkan antara seorang yang beriman dengan orang beriman lainnya ada perbedaan kualitas dan tingkat keimanan. Untuk itu, fokus yang akan dibahas di sini adalah terkait hierarki dalam keimanan yang mencakup aspek multi dimensi. Mengambil contoh yang disuratkan dalam nash hadis, bahwa dari yang tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang tingkatan itu, ada tiga tingkatan keimanan yang disebutkan, yaitu: Pertama: Tingkat tertinggi adalah Ucapan “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah); Kedua: Tingkat terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan; dan Ketiga: Rasa malu sebagai salah satu cabang yang tentunya berada di bawah ucapan “La ilaha illallah” dan di atas menyingkirkan gangguan dari jalan. Tiap-tiap dari tingkatan yang disebutkan itu meliputi suatu dimensi keimanan, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu perkataannya, yang kemudian diriwayatkan menjadi sebuah hadis, memiliki lafaz yang pendek, ringan, tetapi maknanya mendalam, singkat, padat, berisi, dan sudah cukup mewakili. Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan) Diwakili oleh cabang tingkat teratas dalam hierarki keimanan, yaitu ucapan “Lailahaillallah”. Perkataan (al-qaul) jika disebutkan, maka ia pada dasarnya mencakup dua hal: keyakinan batin yang terpatri dalam hati dan pengucapan oleh lisan secara verbal. Kedua dimensi inilah yang tercakup dalam pemaknaan ucapan “Lailahaillallah”. Titel kalimat tauhid ini sebagai cabang tertinggi dalam hierarki keimanan menyiratkan bahwa hal-hal lain dalam agama ini dari ibadah dan lainnya pun termasuk ke dalam kategori “iman” dengan posisi di bawah “Lailahaillallah”. Kalimat ini tentunya dipenuhi dengan keberkahan dan banyak sekali keutamaan yang bisa menjadi sebuah pembahasan panjang jika diulik lebih dalam, tetapi mari kita sebutkan beberapa di antaranya, seperti: Pertama: Bahwa para rasul ‘alaihimussalam membuka dakwah mereka dengan kalimat ini. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25) Senada dengan ini, Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya pernah menyampaikan bahwa kalimat tauhid inilah, kalimat paling utama yang pernah ia shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul sebelumnya ucapkan. Sebagaimana hadis dari Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, أفضَلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّونَ من قَبْلي: لا إلهَ إلّا اللهُ “Hal paling agung yang pernah aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’.” (Hasan, diriwayatkan oleh Malik no. 726, Abdurrazzaq no. 8125, dan Baihaqi no. 8464) Ketiga: Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أفضلُ الذِّكرِ لا إلهَ إلّا اللهُ وأفضَلُ الدُّعاءِ الحمدُ للهِ “Zikir yang paling utama adalah ‘Lailahaillallah’ dan doa yang paling utama adalah ‘alhamdulillah’.” (HR. Ibnu Hibban no. 846 dalam “Shahih”-nya, Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800, dan Hakim no. 1834) Keempat: Hadis yang disebutkan di awal pun sudah cukup menunjukkan betapa kalimat tauhid ini punya keutamaan yang besar, ditunjukkan oleh Nabi dengan disebutkannya dan ditempatkannya di cabang tertinggi dalam hierarki keimanan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perhatian terhadap tauhid, terkhusus pemahaman, pemaknaan, dan pengamalannya sudah sepatutnya diposisikan dalam prioritas tinggi dibandingkan amalan dan perkara agama yang selainnya. Baca juga: Membangun Kokohnya Iman dan Amal Dimensi perbuatan (zahir) Kalau ada cabang tingkat teratas dan paling utama, berarti ada pula yang paling bawah dan ringannya. Dalam hal ini adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan” yang mewakili dimensi perbuatan atau amalan zahir yang termasuk ke dalam cakupan keimanan. Disebutkannya poin ini menunjukan bahwa iman itu bukan hanya keyakinan saja, atau bukan hanya ucapan di lisan saja, tetapi juga ada amalan-amalan zahir yang dilakukan oleh anggota tubuh yang termasuk dalam iman. “Menyingkirkan gangguan dari jalan” juga memiliki hikmah berupa anjuran dan urgensi berbuat kebaikan kepada sesama hamba Allah dengan bagaimanapun bentuk kebaikannya, semudah dan sebisa yang dapat dilakukan. Seperti menyingkirkan gangguan yang terkesan remeh dan ringan, terlebih bukan suatu amalan yang bersifat ritual keagamaan, tetapi justru sesuatu yang remeh dan ringan itu mendapat posisi dalam cabang keimanan dan berarti memiliki nilai kemuliaan tersendiri di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja dengan catatan kebaikan yang tetap tidak menyelisihi syariat. Mengapa yang disebutkan dalam hadis adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan”? Beberapa poin yang mungkin bisa menjawab di antaranya, Pertama: Mewakili dimensi amalan bil jawarih (dengan anggota tubuh) atau zahir, Kedua: Karena ini adalah amalan remeh dan ringan di mata manusia, tetapi bernilai di sisi Allah, Ketiga: Karena tidak semua orang bisa melakukan ini. Setidaknya ada tiga tipe orang yang berkaitan dengan gangguan di jalan, yaitu: 1) Orang yang menaruh atau membuat gangguan di jalan, 2) Orang yang membiarkan saja gangguan yang ada di jalan, dan 3) Orang yang menyingkirkan gangguan yang ada di jalan, dan tipe inilah yang mendapat predikat kemuliaan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadis lain yang senada dengan pembahasan ini, بيْنَما رَجُلٌ يَمْشِي بطَرِيقٍ، وجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ على الطَّرِيقِ، فأخَذَهُ، فَشَكَرَ اللَّهُ له، فَغَفَرَ له. “Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lalu mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya.” (HR. Bukhari no. 2472 dalam “Shahih”-nya dan Muslim no. 1914) Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa kemudian Allah memasukkan orang tersebut ke dalam surga. Jika hanya sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan saja sudah termasuk ke dalam cakupan cabang keimanan dan bahkan bisa menjadi sebab diampuninya dosa sampai pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga, bagaimana dengan amalan-amalan lain yang bersifat ritual dan telah jelas anjuran ataupun perintahnya serta tata cara dan keutamaannya? Tentu saja lebih utama. Ini berarti bahwa perbuatan dan amalan zahir juga termasuk ke dalam iman. Dimensi hati (batin) Hal lain yang termasuk ke dalam keimanan dan berada dalam cabang tingkatan keimanan adalah rasa malu yang mewakili dimensi hati (batin) dan posisinya antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Disebutkannya rasa malu (al-haya’) sebagai salah satu cabang keimanan menunjukkan bahwa rasa malu adalah bagian penting dari keimanan, khususnya dalam ranah batin. Ketika tertanam kuat dalam hati, maka ia akan berfungsi sebagai penghalang dari perbuatan tercela dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Jika sifat ini hilang, seseorang tidak lagi memiliki batasan moral dan menjadi rentan terhadap segala bentuk keburukan. Inilah hal yang perlu digarisbawahi dalam perkara malu serta korelasinya dengan iman, bahwa hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran moral, selaras dengan nasihat kenabian terdahulu dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ ممّا أدْرَكَ النّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ الأُولى: إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فاصْنَعْ ما شِئْتَ “Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang masih dijumpai manusia adalah ‘Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.’” Pembahasan tentang cabang, tingkatan, atau hierarki keimanan adalah hal yang sangat krusial untuk diketahui setiap muslim. Bahwa iman memiliki tingkatan, sehingga tidak sama antara satu hal yang memiliki nilai keimanan dengan hal lainnya. Bahwa iman adalah keyakinan multidimensi, mencakup dimensi hati, lisan, dan anggota tubuh. Bahwa iman seseorang bisa mengalami pasang-surut, bertambah-berkurang, sehingga harus selalu dijaga dan tidak ditinggalkan begitu saja. Seorang sahabat bernama Umair bin Habib Al-Khathmi radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Iman itu dapat bertambah (menguat) dan berkurang (melemah).” Ia kemudian melanjutkan dengan menjawab pertanyaan dari seseorang tentang bagaimana iman bertambah dan berkurang, “Saat kami terus-menerus mengingat Allah, memuji, dan mensucikan-Nya, betapa iman kami tumbuh. Namun, ketika kami terjerumus dalam kelengahan dan kelalaian, iman kami pun surut.” Keimanan sebagai realitas spiritual setiap muslim, kestabilannya sangat dipengaruhi oleh usahanya menjaga hati, pikiran, dan amal tetap terpaut kepada Allah.[1] Sekian, wallahu a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad. Baca juga: Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disadur dari: Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadits Al-Iman, hal. 51-58.

Hadis: Hierarki dan Dimensi Keimanan

Daftar Isi Toggle Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan)Dimensi perbuatan (zahir)Dimensi hati (batin) Di antara hal yang diyakini oleh ahli sunah waljamaah -yang berpegang dan berpedoman utama dalam beragama pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan yang dilalui para salaf saleh terdahulu- adalah bahwa keimanan seorang hamba itu dinamis dan tidak statis, selalu mengalami fluktuasi naik-turun, bertambah-berkurang, bahkan keimanan memiliki hierarki amalan-amalan, dan hal ini sudah menjadi suatu keharusan untuk dipahami dengan betul dalam pembahasan iman karena inilah yang dibawakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menjadi landasan pemahaman ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman memiliki beberapa cabang (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Muslim no. 35) Mari kita bedah hadis ini. Jumlah cabang bagian dan tingkatan iman berdasarkan hadis adalah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian bukanlah suatu permasalahan yang harus didalami lebih daripada substansi hadisnya. Karena substansi hadis di atas adalah bahwa iman tidaklah berada pada satu tingkatan dan aspek saja, bahkan antara seorang yang beriman dengan orang beriman lainnya ada perbedaan kualitas dan tingkat keimanan. Untuk itu, fokus yang akan dibahas di sini adalah terkait hierarki dalam keimanan yang mencakup aspek multi dimensi. Mengambil contoh yang disuratkan dalam nash hadis, bahwa dari yang tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang tingkatan itu, ada tiga tingkatan keimanan yang disebutkan, yaitu: Pertama: Tingkat tertinggi adalah Ucapan “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah); Kedua: Tingkat terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan; dan Ketiga: Rasa malu sebagai salah satu cabang yang tentunya berada di bawah ucapan “La ilaha illallah” dan di atas menyingkirkan gangguan dari jalan. Tiap-tiap dari tingkatan yang disebutkan itu meliputi suatu dimensi keimanan, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu perkataannya, yang kemudian diriwayatkan menjadi sebuah hadis, memiliki lafaz yang pendek, ringan, tetapi maknanya mendalam, singkat, padat, berisi, dan sudah cukup mewakili. Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan) Diwakili oleh cabang tingkat teratas dalam hierarki keimanan, yaitu ucapan “Lailahaillallah”. Perkataan (al-qaul) jika disebutkan, maka ia pada dasarnya mencakup dua hal: keyakinan batin yang terpatri dalam hati dan pengucapan oleh lisan secara verbal. Kedua dimensi inilah yang tercakup dalam pemaknaan ucapan “Lailahaillallah”. Titel kalimat tauhid ini sebagai cabang tertinggi dalam hierarki keimanan menyiratkan bahwa hal-hal lain dalam agama ini dari ibadah dan lainnya pun termasuk ke dalam kategori “iman” dengan posisi di bawah “Lailahaillallah”. Kalimat ini tentunya dipenuhi dengan keberkahan dan banyak sekali keutamaan yang bisa menjadi sebuah pembahasan panjang jika diulik lebih dalam, tetapi mari kita sebutkan beberapa di antaranya, seperti: Pertama: Bahwa para rasul ‘alaihimussalam membuka dakwah mereka dengan kalimat ini. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25) Senada dengan ini, Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya pernah menyampaikan bahwa kalimat tauhid inilah, kalimat paling utama yang pernah ia shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul sebelumnya ucapkan. Sebagaimana hadis dari Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, أفضَلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّونَ من قَبْلي: لا إلهَ إلّا اللهُ “Hal paling agung yang pernah aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’.” (Hasan, diriwayatkan oleh Malik no. 726, Abdurrazzaq no. 8125, dan Baihaqi no. 8464) Ketiga: Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أفضلُ الذِّكرِ لا إلهَ إلّا اللهُ وأفضَلُ الدُّعاءِ الحمدُ للهِ “Zikir yang paling utama adalah ‘Lailahaillallah’ dan doa yang paling utama adalah ‘alhamdulillah’.” (HR. Ibnu Hibban no. 846 dalam “Shahih”-nya, Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800, dan Hakim no. 1834) Keempat: Hadis yang disebutkan di awal pun sudah cukup menunjukkan betapa kalimat tauhid ini punya keutamaan yang besar, ditunjukkan oleh Nabi dengan disebutkannya dan ditempatkannya di cabang tertinggi dalam hierarki keimanan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perhatian terhadap tauhid, terkhusus pemahaman, pemaknaan, dan pengamalannya sudah sepatutnya diposisikan dalam prioritas tinggi dibandingkan amalan dan perkara agama yang selainnya. Baca juga: Membangun Kokohnya Iman dan Amal Dimensi perbuatan (zahir) Kalau ada cabang tingkat teratas dan paling utama, berarti ada pula yang paling bawah dan ringannya. Dalam hal ini adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan” yang mewakili dimensi perbuatan atau amalan zahir yang termasuk ke dalam cakupan keimanan. Disebutkannya poin ini menunjukan bahwa iman itu bukan hanya keyakinan saja, atau bukan hanya ucapan di lisan saja, tetapi juga ada amalan-amalan zahir yang dilakukan oleh anggota tubuh yang termasuk dalam iman. “Menyingkirkan gangguan dari jalan” juga memiliki hikmah berupa anjuran dan urgensi berbuat kebaikan kepada sesama hamba Allah dengan bagaimanapun bentuk kebaikannya, semudah dan sebisa yang dapat dilakukan. Seperti menyingkirkan gangguan yang terkesan remeh dan ringan, terlebih bukan suatu amalan yang bersifat ritual keagamaan, tetapi justru sesuatu yang remeh dan ringan itu mendapat posisi dalam cabang keimanan dan berarti memiliki nilai kemuliaan tersendiri di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja dengan catatan kebaikan yang tetap tidak menyelisihi syariat. Mengapa yang disebutkan dalam hadis adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan”? Beberapa poin yang mungkin bisa menjawab di antaranya, Pertama: Mewakili dimensi amalan bil jawarih (dengan anggota tubuh) atau zahir, Kedua: Karena ini adalah amalan remeh dan ringan di mata manusia, tetapi bernilai di sisi Allah, Ketiga: Karena tidak semua orang bisa melakukan ini. Setidaknya ada tiga tipe orang yang berkaitan dengan gangguan di jalan, yaitu: 1) Orang yang menaruh atau membuat gangguan di jalan, 2) Orang yang membiarkan saja gangguan yang ada di jalan, dan 3) Orang yang menyingkirkan gangguan yang ada di jalan, dan tipe inilah yang mendapat predikat kemuliaan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadis lain yang senada dengan pembahasan ini, بيْنَما رَجُلٌ يَمْشِي بطَرِيقٍ، وجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ على الطَّرِيقِ، فأخَذَهُ، فَشَكَرَ اللَّهُ له، فَغَفَرَ له. “Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lalu mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya.” (HR. Bukhari no. 2472 dalam “Shahih”-nya dan Muslim no. 1914) Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa kemudian Allah memasukkan orang tersebut ke dalam surga. Jika hanya sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan saja sudah termasuk ke dalam cakupan cabang keimanan dan bahkan bisa menjadi sebab diampuninya dosa sampai pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga, bagaimana dengan amalan-amalan lain yang bersifat ritual dan telah jelas anjuran ataupun perintahnya serta tata cara dan keutamaannya? Tentu saja lebih utama. Ini berarti bahwa perbuatan dan amalan zahir juga termasuk ke dalam iman. Dimensi hati (batin) Hal lain yang termasuk ke dalam keimanan dan berada dalam cabang tingkatan keimanan adalah rasa malu yang mewakili dimensi hati (batin) dan posisinya antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Disebutkannya rasa malu (al-haya’) sebagai salah satu cabang keimanan menunjukkan bahwa rasa malu adalah bagian penting dari keimanan, khususnya dalam ranah batin. Ketika tertanam kuat dalam hati, maka ia akan berfungsi sebagai penghalang dari perbuatan tercela dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Jika sifat ini hilang, seseorang tidak lagi memiliki batasan moral dan menjadi rentan terhadap segala bentuk keburukan. Inilah hal yang perlu digarisbawahi dalam perkara malu serta korelasinya dengan iman, bahwa hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran moral, selaras dengan nasihat kenabian terdahulu dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ ممّا أدْرَكَ النّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ الأُولى: إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فاصْنَعْ ما شِئْتَ “Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang masih dijumpai manusia adalah ‘Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.’” Pembahasan tentang cabang, tingkatan, atau hierarki keimanan adalah hal yang sangat krusial untuk diketahui setiap muslim. Bahwa iman memiliki tingkatan, sehingga tidak sama antara satu hal yang memiliki nilai keimanan dengan hal lainnya. Bahwa iman adalah keyakinan multidimensi, mencakup dimensi hati, lisan, dan anggota tubuh. Bahwa iman seseorang bisa mengalami pasang-surut, bertambah-berkurang, sehingga harus selalu dijaga dan tidak ditinggalkan begitu saja. Seorang sahabat bernama Umair bin Habib Al-Khathmi radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Iman itu dapat bertambah (menguat) dan berkurang (melemah).” Ia kemudian melanjutkan dengan menjawab pertanyaan dari seseorang tentang bagaimana iman bertambah dan berkurang, “Saat kami terus-menerus mengingat Allah, memuji, dan mensucikan-Nya, betapa iman kami tumbuh. Namun, ketika kami terjerumus dalam kelengahan dan kelalaian, iman kami pun surut.” Keimanan sebagai realitas spiritual setiap muslim, kestabilannya sangat dipengaruhi oleh usahanya menjaga hati, pikiran, dan amal tetap terpaut kepada Allah.[1] Sekian, wallahu a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad. Baca juga: Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disadur dari: Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadits Al-Iman, hal. 51-58.
Daftar Isi Toggle Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan)Dimensi perbuatan (zahir)Dimensi hati (batin) Di antara hal yang diyakini oleh ahli sunah waljamaah -yang berpegang dan berpedoman utama dalam beragama pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan yang dilalui para salaf saleh terdahulu- adalah bahwa keimanan seorang hamba itu dinamis dan tidak statis, selalu mengalami fluktuasi naik-turun, bertambah-berkurang, bahkan keimanan memiliki hierarki amalan-amalan, dan hal ini sudah menjadi suatu keharusan untuk dipahami dengan betul dalam pembahasan iman karena inilah yang dibawakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menjadi landasan pemahaman ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman memiliki beberapa cabang (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Muslim no. 35) Mari kita bedah hadis ini. Jumlah cabang bagian dan tingkatan iman berdasarkan hadis adalah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian bukanlah suatu permasalahan yang harus didalami lebih daripada substansi hadisnya. Karena substansi hadis di atas adalah bahwa iman tidaklah berada pada satu tingkatan dan aspek saja, bahkan antara seorang yang beriman dengan orang beriman lainnya ada perbedaan kualitas dan tingkat keimanan. Untuk itu, fokus yang akan dibahas di sini adalah terkait hierarki dalam keimanan yang mencakup aspek multi dimensi. Mengambil contoh yang disuratkan dalam nash hadis, bahwa dari yang tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang tingkatan itu, ada tiga tingkatan keimanan yang disebutkan, yaitu: Pertama: Tingkat tertinggi adalah Ucapan “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah); Kedua: Tingkat terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan; dan Ketiga: Rasa malu sebagai salah satu cabang yang tentunya berada di bawah ucapan “La ilaha illallah” dan di atas menyingkirkan gangguan dari jalan. Tiap-tiap dari tingkatan yang disebutkan itu meliputi suatu dimensi keimanan, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu perkataannya, yang kemudian diriwayatkan menjadi sebuah hadis, memiliki lafaz yang pendek, ringan, tetapi maknanya mendalam, singkat, padat, berisi, dan sudah cukup mewakili. Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan) Diwakili oleh cabang tingkat teratas dalam hierarki keimanan, yaitu ucapan “Lailahaillallah”. Perkataan (al-qaul) jika disebutkan, maka ia pada dasarnya mencakup dua hal: keyakinan batin yang terpatri dalam hati dan pengucapan oleh lisan secara verbal. Kedua dimensi inilah yang tercakup dalam pemaknaan ucapan “Lailahaillallah”. Titel kalimat tauhid ini sebagai cabang tertinggi dalam hierarki keimanan menyiratkan bahwa hal-hal lain dalam agama ini dari ibadah dan lainnya pun termasuk ke dalam kategori “iman” dengan posisi di bawah “Lailahaillallah”. Kalimat ini tentunya dipenuhi dengan keberkahan dan banyak sekali keutamaan yang bisa menjadi sebuah pembahasan panjang jika diulik lebih dalam, tetapi mari kita sebutkan beberapa di antaranya, seperti: Pertama: Bahwa para rasul ‘alaihimussalam membuka dakwah mereka dengan kalimat ini. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25) Senada dengan ini, Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya pernah menyampaikan bahwa kalimat tauhid inilah, kalimat paling utama yang pernah ia shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul sebelumnya ucapkan. Sebagaimana hadis dari Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, أفضَلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّونَ من قَبْلي: لا إلهَ إلّا اللهُ “Hal paling agung yang pernah aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’.” (Hasan, diriwayatkan oleh Malik no. 726, Abdurrazzaq no. 8125, dan Baihaqi no. 8464) Ketiga: Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أفضلُ الذِّكرِ لا إلهَ إلّا اللهُ وأفضَلُ الدُّعاءِ الحمدُ للهِ “Zikir yang paling utama adalah ‘Lailahaillallah’ dan doa yang paling utama adalah ‘alhamdulillah’.” (HR. Ibnu Hibban no. 846 dalam “Shahih”-nya, Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800, dan Hakim no. 1834) Keempat: Hadis yang disebutkan di awal pun sudah cukup menunjukkan betapa kalimat tauhid ini punya keutamaan yang besar, ditunjukkan oleh Nabi dengan disebutkannya dan ditempatkannya di cabang tertinggi dalam hierarki keimanan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perhatian terhadap tauhid, terkhusus pemahaman, pemaknaan, dan pengamalannya sudah sepatutnya diposisikan dalam prioritas tinggi dibandingkan amalan dan perkara agama yang selainnya. Baca juga: Membangun Kokohnya Iman dan Amal Dimensi perbuatan (zahir) Kalau ada cabang tingkat teratas dan paling utama, berarti ada pula yang paling bawah dan ringannya. Dalam hal ini adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan” yang mewakili dimensi perbuatan atau amalan zahir yang termasuk ke dalam cakupan keimanan. Disebutkannya poin ini menunjukan bahwa iman itu bukan hanya keyakinan saja, atau bukan hanya ucapan di lisan saja, tetapi juga ada amalan-amalan zahir yang dilakukan oleh anggota tubuh yang termasuk dalam iman. “Menyingkirkan gangguan dari jalan” juga memiliki hikmah berupa anjuran dan urgensi berbuat kebaikan kepada sesama hamba Allah dengan bagaimanapun bentuk kebaikannya, semudah dan sebisa yang dapat dilakukan. Seperti menyingkirkan gangguan yang terkesan remeh dan ringan, terlebih bukan suatu amalan yang bersifat ritual keagamaan, tetapi justru sesuatu yang remeh dan ringan itu mendapat posisi dalam cabang keimanan dan berarti memiliki nilai kemuliaan tersendiri di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja dengan catatan kebaikan yang tetap tidak menyelisihi syariat. Mengapa yang disebutkan dalam hadis adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan”? Beberapa poin yang mungkin bisa menjawab di antaranya, Pertama: Mewakili dimensi amalan bil jawarih (dengan anggota tubuh) atau zahir, Kedua: Karena ini adalah amalan remeh dan ringan di mata manusia, tetapi bernilai di sisi Allah, Ketiga: Karena tidak semua orang bisa melakukan ini. Setidaknya ada tiga tipe orang yang berkaitan dengan gangguan di jalan, yaitu: 1) Orang yang menaruh atau membuat gangguan di jalan, 2) Orang yang membiarkan saja gangguan yang ada di jalan, dan 3) Orang yang menyingkirkan gangguan yang ada di jalan, dan tipe inilah yang mendapat predikat kemuliaan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadis lain yang senada dengan pembahasan ini, بيْنَما رَجُلٌ يَمْشِي بطَرِيقٍ، وجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ على الطَّرِيقِ، فأخَذَهُ، فَشَكَرَ اللَّهُ له، فَغَفَرَ له. “Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lalu mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya.” (HR. Bukhari no. 2472 dalam “Shahih”-nya dan Muslim no. 1914) Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa kemudian Allah memasukkan orang tersebut ke dalam surga. Jika hanya sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan saja sudah termasuk ke dalam cakupan cabang keimanan dan bahkan bisa menjadi sebab diampuninya dosa sampai pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga, bagaimana dengan amalan-amalan lain yang bersifat ritual dan telah jelas anjuran ataupun perintahnya serta tata cara dan keutamaannya? Tentu saja lebih utama. Ini berarti bahwa perbuatan dan amalan zahir juga termasuk ke dalam iman. Dimensi hati (batin) Hal lain yang termasuk ke dalam keimanan dan berada dalam cabang tingkatan keimanan adalah rasa malu yang mewakili dimensi hati (batin) dan posisinya antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Disebutkannya rasa malu (al-haya’) sebagai salah satu cabang keimanan menunjukkan bahwa rasa malu adalah bagian penting dari keimanan, khususnya dalam ranah batin. Ketika tertanam kuat dalam hati, maka ia akan berfungsi sebagai penghalang dari perbuatan tercela dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Jika sifat ini hilang, seseorang tidak lagi memiliki batasan moral dan menjadi rentan terhadap segala bentuk keburukan. Inilah hal yang perlu digarisbawahi dalam perkara malu serta korelasinya dengan iman, bahwa hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran moral, selaras dengan nasihat kenabian terdahulu dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ ممّا أدْرَكَ النّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ الأُولى: إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فاصْنَعْ ما شِئْتَ “Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang masih dijumpai manusia adalah ‘Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.’” Pembahasan tentang cabang, tingkatan, atau hierarki keimanan adalah hal yang sangat krusial untuk diketahui setiap muslim. Bahwa iman memiliki tingkatan, sehingga tidak sama antara satu hal yang memiliki nilai keimanan dengan hal lainnya. Bahwa iman adalah keyakinan multidimensi, mencakup dimensi hati, lisan, dan anggota tubuh. Bahwa iman seseorang bisa mengalami pasang-surut, bertambah-berkurang, sehingga harus selalu dijaga dan tidak ditinggalkan begitu saja. Seorang sahabat bernama Umair bin Habib Al-Khathmi radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Iman itu dapat bertambah (menguat) dan berkurang (melemah).” Ia kemudian melanjutkan dengan menjawab pertanyaan dari seseorang tentang bagaimana iman bertambah dan berkurang, “Saat kami terus-menerus mengingat Allah, memuji, dan mensucikan-Nya, betapa iman kami tumbuh. Namun, ketika kami terjerumus dalam kelengahan dan kelalaian, iman kami pun surut.” Keimanan sebagai realitas spiritual setiap muslim, kestabilannya sangat dipengaruhi oleh usahanya menjaga hati, pikiran, dan amal tetap terpaut kepada Allah.[1] Sekian, wallahu a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad. Baca juga: Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disadur dari: Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadits Al-Iman, hal. 51-58.


Daftar Isi Toggle Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan)Dimensi perbuatan (zahir)Dimensi hati (batin) Di antara hal yang diyakini oleh ahli sunah waljamaah -yang berpegang dan berpedoman utama dalam beragama pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan yang dilalui para salaf saleh terdahulu- adalah bahwa keimanan seorang hamba itu dinamis dan tidak statis, selalu mengalami fluktuasi naik-turun, bertambah-berkurang, bahkan keimanan memiliki hierarki amalan-amalan, dan hal ini sudah menjadi suatu keharusan untuk dipahami dengan betul dalam pembahasan iman karena inilah yang dibawakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menjadi landasan pemahaman ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda, الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ “Iman memiliki beberapa cabang (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan bahaya dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Muslim no. 35) Mari kita bedah hadis ini. Jumlah cabang bagian dan tingkatan iman berdasarkan hadis adalah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian bukanlah suatu permasalahan yang harus didalami lebih daripada substansi hadisnya. Karena substansi hadis di atas adalah bahwa iman tidaklah berada pada satu tingkatan dan aspek saja, bahkan antara seorang yang beriman dengan orang beriman lainnya ada perbedaan kualitas dan tingkat keimanan. Untuk itu, fokus yang akan dibahas di sini adalah terkait hierarki dalam keimanan yang mencakup aspek multi dimensi. Mengambil contoh yang disuratkan dalam nash hadis, bahwa dari yang tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang tingkatan itu, ada tiga tingkatan keimanan yang disebutkan, yaitu: Pertama: Tingkat tertinggi adalah Ucapan “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah); Kedua: Tingkat terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan; dan Ketiga: Rasa malu sebagai salah satu cabang yang tentunya berada di bawah ucapan “La ilaha illallah” dan di atas menyingkirkan gangguan dari jalan. Tiap-tiap dari tingkatan yang disebutkan itu meliputi suatu dimensi keimanan, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu perkataannya, yang kemudian diriwayatkan menjadi sebuah hadis, memiliki lafaz yang pendek, ringan, tetapi maknanya mendalam, singkat, padat, berisi, dan sudah cukup mewakili. Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan) Diwakili oleh cabang tingkat teratas dalam hierarki keimanan, yaitu ucapan “Lailahaillallah”. Perkataan (al-qaul) jika disebutkan, maka ia pada dasarnya mencakup dua hal: keyakinan batin yang terpatri dalam hati dan pengucapan oleh lisan secara verbal. Kedua dimensi inilah yang tercakup dalam pemaknaan ucapan “Lailahaillallah”. Titel kalimat tauhid ini sebagai cabang tertinggi dalam hierarki keimanan menyiratkan bahwa hal-hal lain dalam agama ini dari ibadah dan lainnya pun termasuk ke dalam kategori “iman” dengan posisi di bawah “Lailahaillallah”. Kalimat ini tentunya dipenuhi dengan keberkahan dan banyak sekali keutamaan yang bisa menjadi sebuah pembahasan panjang jika diulik lebih dalam, tetapi mari kita sebutkan beberapa di antaranya, seperti: Pertama: Bahwa para rasul ‘alaihimussalam membuka dakwah mereka dengan kalimat ini. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25) Senada dengan ini, Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya pernah menyampaikan bahwa kalimat tauhid inilah, kalimat paling utama yang pernah ia shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul sebelumnya ucapkan. Sebagaimana hadis dari Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, أفضَلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّونَ من قَبْلي: لا إلهَ إلّا اللهُ “Hal paling agung yang pernah aku dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’.” (Hasan, diriwayatkan oleh Malik no. 726, Abdurrazzaq no. 8125, dan Baihaqi no. 8464) Ketiga: Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أفضلُ الذِّكرِ لا إلهَ إلّا اللهُ وأفضَلُ الدُّعاءِ الحمدُ للهِ “Zikir yang paling utama adalah ‘Lailahaillallah’ dan doa yang paling utama adalah ‘alhamdulillah’.” (HR. Ibnu Hibban no. 846 dalam “Shahih”-nya, Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800, dan Hakim no. 1834) Keempat: Hadis yang disebutkan di awal pun sudah cukup menunjukkan betapa kalimat tauhid ini punya keutamaan yang besar, ditunjukkan oleh Nabi dengan disebutkannya dan ditempatkannya di cabang tertinggi dalam hierarki keimanan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perhatian terhadap tauhid, terkhusus pemahaman, pemaknaan, dan pengamalannya sudah sepatutnya diposisikan dalam prioritas tinggi dibandingkan amalan dan perkara agama yang selainnya. Baca juga: Membangun Kokohnya Iman dan Amal Dimensi perbuatan (zahir) Kalau ada cabang tingkat teratas dan paling utama, berarti ada pula yang paling bawah dan ringannya. Dalam hal ini adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan” yang mewakili dimensi perbuatan atau amalan zahir yang termasuk ke dalam cakupan keimanan. Disebutkannya poin ini menunjukan bahwa iman itu bukan hanya keyakinan saja, atau bukan hanya ucapan di lisan saja, tetapi juga ada amalan-amalan zahir yang dilakukan oleh anggota tubuh yang termasuk dalam iman. “Menyingkirkan gangguan dari jalan” juga memiliki hikmah berupa anjuran dan urgensi berbuat kebaikan kepada sesama hamba Allah dengan bagaimanapun bentuk kebaikannya, semudah dan sebisa yang dapat dilakukan. Seperti menyingkirkan gangguan yang terkesan remeh dan ringan, terlebih bukan suatu amalan yang bersifat ritual keagamaan, tetapi justru sesuatu yang remeh dan ringan itu mendapat posisi dalam cabang keimanan dan berarti memiliki nilai kemuliaan tersendiri di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja dengan catatan kebaikan yang tetap tidak menyelisihi syariat. Mengapa yang disebutkan dalam hadis adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan”? Beberapa poin yang mungkin bisa menjawab di antaranya, Pertama: Mewakili dimensi amalan bil jawarih (dengan anggota tubuh) atau zahir, Kedua: Karena ini adalah amalan remeh dan ringan di mata manusia, tetapi bernilai di sisi Allah, Ketiga: Karena tidak semua orang bisa melakukan ini. Setidaknya ada tiga tipe orang yang berkaitan dengan gangguan di jalan, yaitu: 1) Orang yang menaruh atau membuat gangguan di jalan, 2) Orang yang membiarkan saja gangguan yang ada di jalan, dan 3) Orang yang menyingkirkan gangguan yang ada di jalan, dan tipe inilah yang mendapat predikat kemuliaan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan hadis lain yang senada dengan pembahasan ini, بيْنَما رَجُلٌ يَمْشِي بطَرِيقٍ، وجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ على الطَّرِيقِ، فأخَذَهُ، فَشَكَرَ اللَّهُ له، فَغَفَرَ له. “Suatu ketika seorang lelaki sedang berjalan dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lalu mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya.” (HR. Bukhari no. 2472 dalam “Shahih”-nya dan Muslim no. 1914) Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa kemudian Allah memasukkan orang tersebut ke dalam surga. Jika hanya sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan saja sudah termasuk ke dalam cakupan cabang keimanan dan bahkan bisa menjadi sebab diampuninya dosa sampai pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga, bagaimana dengan amalan-amalan lain yang bersifat ritual dan telah jelas anjuran ataupun perintahnya serta tata cara dan keutamaannya? Tentu saja lebih utama. Ini berarti bahwa perbuatan dan amalan zahir juga termasuk ke dalam iman. Dimensi hati (batin) Hal lain yang termasuk ke dalam keimanan dan berada dalam cabang tingkatan keimanan adalah rasa malu yang mewakili dimensi hati (batin) dan posisinya antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan. Disebutkannya rasa malu (al-haya’) sebagai salah satu cabang keimanan menunjukkan bahwa rasa malu adalah bagian penting dari keimanan, khususnya dalam ranah batin. Ketika tertanam kuat dalam hati, maka ia akan berfungsi sebagai penghalang dari perbuatan tercela dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Jika sifat ini hilang, seseorang tidak lagi memiliki batasan moral dan menjadi rentan terhadap segala bentuk keburukan. Inilah hal yang perlu digarisbawahi dalam perkara malu serta korelasinya dengan iman, bahwa hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran moral, selaras dengan nasihat kenabian terdahulu dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ ممّا أدْرَكَ النّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ الأُولى: إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فاصْنَعْ ما شِئْتَ “Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang masih dijumpai manusia adalah ‘Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.’” Pembahasan tentang cabang, tingkatan, atau hierarki keimanan adalah hal yang sangat krusial untuk diketahui setiap muslim. Bahwa iman memiliki tingkatan, sehingga tidak sama antara satu hal yang memiliki nilai keimanan dengan hal lainnya. Bahwa iman adalah keyakinan multidimensi, mencakup dimensi hati, lisan, dan anggota tubuh. Bahwa iman seseorang bisa mengalami pasang-surut, bertambah-berkurang, sehingga harus selalu dijaga dan tidak ditinggalkan begitu saja. Seorang sahabat bernama Umair bin Habib Al-Khathmi radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Iman itu dapat bertambah (menguat) dan berkurang (melemah).” Ia kemudian melanjutkan dengan menjawab pertanyaan dari seseorang tentang bagaimana iman bertambah dan berkurang, “Saat kami terus-menerus mengingat Allah, memuji, dan mensucikan-Nya, betapa iman kami tumbuh. Namun, ketika kami terjerumus dalam kelengahan dan kelalaian, iman kami pun surut.” Keimanan sebagai realitas spiritual setiap muslim, kestabilannya sangat dipengaruhi oleh usahanya menjaga hati, pikiran, dan amal tetap terpaut kepada Allah.[1] Sekian, wallahu a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad. Baca juga: Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Disadur dari: Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadits Al-Iman, hal. 51-58.

Jangan Ngaku Beriman Sebelum Hawa Nafsumu Mengikuti Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Penulis rahimahullah berkata: Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Imam an-Nawawi berkata, “Hadis ini sahih. Kami meriwayatkannya dalam kitab al-Hujjah dengan sanad yang sahih.” Imam an-Nawawi menilai hadis ini sebagai hadis sahih dalam kitab al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah, karya Abu Fath Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i rahimahullah. Kitab tersebut disusun berdasarkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, Ibnu Rajab–rahimahullah–dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam berkata: “Menilai hadis ini sahih, tidak tepat ditinjau dari berbagai aspek.” Lalu beliau menyebutkan beberapa alasan. Syaikh Ibnu Baz mengatakan: “Hadis ini lemah, tetapi maknanya tidak diragukan lagi kebenarannya.” “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Ahmad Salamah, tahukah engkau apa makna asal dari kata hawa? Maknanya adalah kecondongan kepada sesuatu yang menyelisihi kebenaran. Itulah makna asal dari kata hawa. Namun, terkadang kata hawa juga digunakan untuk merujuk pada kecenderungan dan cinta. Pernahkah Anda mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya atau bersabda sesuatu tentang hawa nafsu? Pertanyaan ini pernah diajukan seorang Tabi’in kepada Shafwan bin Assal radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu. Ia menjawab: “Hawa nafsu berarti cinta… hawa nafsu berarti cinta.” Jadi, tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga kecondongan hati, cinta, dan hawa nafsunya tunduk kepada risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, pasti ia juga mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, Ia akan ridha terhadap apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun akan murka terhadap apa yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Ketika seseorang terjerumus dalam kemaksiatan, itu menunjukkan adanya kekurangan dalam apa? Kekurangan dalam kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa orang yang bermaksiat berarti tidak mencintai Allah. Tidaklah demikian. Dikisahkan, dulu ada seseorang yang dicambuk karena meminum khamr. Salah seorang Sahabat pun berkata: “Semoga Allah melaknatnya! Betapa sering ia dicambuk karena minum khamr!” Nabi lalu bersabda: “Janganlah kamu melaknatnya!” Perhatikan, wahai saudara-saudaraku, perasaan seseorang harus dikendalikan dengan aturan syariat. Kemudian Nabi melanjutkan: “Sesungguhnya aku tahu bahwa ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Padahal, orang itu minum khamr. Namun, tidak diragukan bahwa terjatuh dalam kemaksiatan adalah tanda kurangnya kecintaan seseorang kepada Allah. Karena, seandainya ia mencintai Allah dengan cinta yang sempurna …niscaya ia akan mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Ia mencintai seseorang hanya karena Allah. Cinta kepada Allah adalah fondasi utama. Lalu dari cinta itu bercabanglah kecintaan kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga kecintaan terhadap segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kesimpulannya, seseorang tidak bisa mencapai keimanan yang sempurna, wahai saudaraku, sampai kecenderungan dan hawa nafsunya sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ قَالَ النَّوَوِيُّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ النَّوَوِيُّ صَحَّحَ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ الْحُجَّةُ فِي بَيَانِ الْمَحَجَّةِ لِأَبِي فَتْحٍ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيِّ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْكِتَابُ عَلَى أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ لَكِنْ ابْنُ رَجَبٍ فِي جَامِعِ الْعُلُوْمِ وَالْحِكَمِ كَانَ يَقُولُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَعْنِي تَصْحِيحُهُ بَعِيدٌ مِنْ وُجُوهٍ وَذَكَرَ عِدَّةَ أَوْجُهٍ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يَقُولُ هَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لَكِنْ مَعْنَاهُ لَا شَكَّ صَحِيحٌ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ الْأَصْلُ فِي الْهَوَى يَا أَحْمَدُ سَلَامَةَ يُطْلَقُ عَلَى مَاذَا؟ الْمَيْلُ إِلَى خِلَافِ الْحَقِّ هَذَا الْأَصْلُ فِيهِ وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى الْمَيْلِ وَالْمَحَبَّةِ هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ أَوْ يَقُولُ فِي الْهَوَى شَيْئًا يَقُولُهُ أَحَدُ التَّابِعِيْنَ لِصَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ يَعْنِي الْهَوَى الْمَحَبَّةُ الْهَوَى الْمَحَبَّةُ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَمَحَبَّتُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَحَبَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَحَبَّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَكَرِهَ مَا كَرِهَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَرَضِيَ بِمَا رَضِيَ بِهِ اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَخِطَ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ فَإِنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَاذَا؟ فِي مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُقَالُ كَوْنُ الإِنْسَانِ عَاصٍ فَهُوَ لَا يُحِبُّ اللَّهَ لَا وَقَدْ جِيءَ بِرَجُلٍ يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ فَقَالَ أَحَدُ الصَّحَابَةِ لَعَنَهُ اللَّهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ قَالَ لَا تَلْعَنْهُ شُوفُوا يَا إِخْوَانَ الْعَوَاطِفُ تُضْبَطُ بِحُدُودِ الشَّرْعِ فَإِنِّي عَلِمْتُهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مَعَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ لَكِنْ لَا شَكَّ أَنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَحَبَّتِه إِذْ لَو أَحَبَّ اللَّهَ مَحَبَّةً كَامِلَة أَحَبَّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَأَبْغَضَ مَا يُبْغِضُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ هَذَا يَعْنِي إِلَّا لِلهِ مَحَبَّةُ اللَّهِ أَصْلٌ لَكِنَّهَا تَفَرَّعَتْ وَامْتَدَّتْ إِلَى مَحَبَّةِ مَنْ يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَحَبَّةِ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ الْمَقْصُودُ أَنَّهُ لَا يُؤْمِنُ الْإِنْسَانُ الْإِيمَانُ الْوَاجِبُ يَا إِخْوَانُ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Jangan Ngaku Beriman Sebelum Hawa Nafsumu Mengikuti Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Penulis rahimahullah berkata: Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Imam an-Nawawi berkata, “Hadis ini sahih. Kami meriwayatkannya dalam kitab al-Hujjah dengan sanad yang sahih.” Imam an-Nawawi menilai hadis ini sebagai hadis sahih dalam kitab al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah, karya Abu Fath Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i rahimahullah. Kitab tersebut disusun berdasarkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, Ibnu Rajab–rahimahullah–dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam berkata: “Menilai hadis ini sahih, tidak tepat ditinjau dari berbagai aspek.” Lalu beliau menyebutkan beberapa alasan. Syaikh Ibnu Baz mengatakan: “Hadis ini lemah, tetapi maknanya tidak diragukan lagi kebenarannya.” “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Ahmad Salamah, tahukah engkau apa makna asal dari kata hawa? Maknanya adalah kecondongan kepada sesuatu yang menyelisihi kebenaran. Itulah makna asal dari kata hawa. Namun, terkadang kata hawa juga digunakan untuk merujuk pada kecenderungan dan cinta. Pernahkah Anda mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya atau bersabda sesuatu tentang hawa nafsu? Pertanyaan ini pernah diajukan seorang Tabi’in kepada Shafwan bin Assal radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu. Ia menjawab: “Hawa nafsu berarti cinta… hawa nafsu berarti cinta.” Jadi, tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga kecondongan hati, cinta, dan hawa nafsunya tunduk kepada risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, pasti ia juga mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, Ia akan ridha terhadap apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun akan murka terhadap apa yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Ketika seseorang terjerumus dalam kemaksiatan, itu menunjukkan adanya kekurangan dalam apa? Kekurangan dalam kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa orang yang bermaksiat berarti tidak mencintai Allah. Tidaklah demikian. Dikisahkan, dulu ada seseorang yang dicambuk karena meminum khamr. Salah seorang Sahabat pun berkata: “Semoga Allah melaknatnya! Betapa sering ia dicambuk karena minum khamr!” Nabi lalu bersabda: “Janganlah kamu melaknatnya!” Perhatikan, wahai saudara-saudaraku, perasaan seseorang harus dikendalikan dengan aturan syariat. Kemudian Nabi melanjutkan: “Sesungguhnya aku tahu bahwa ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Padahal, orang itu minum khamr. Namun, tidak diragukan bahwa terjatuh dalam kemaksiatan adalah tanda kurangnya kecintaan seseorang kepada Allah. Karena, seandainya ia mencintai Allah dengan cinta yang sempurna …niscaya ia akan mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Ia mencintai seseorang hanya karena Allah. Cinta kepada Allah adalah fondasi utama. Lalu dari cinta itu bercabanglah kecintaan kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga kecintaan terhadap segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kesimpulannya, seseorang tidak bisa mencapai keimanan yang sempurna, wahai saudaraku, sampai kecenderungan dan hawa nafsunya sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ قَالَ النَّوَوِيُّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ النَّوَوِيُّ صَحَّحَ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ الْحُجَّةُ فِي بَيَانِ الْمَحَجَّةِ لِأَبِي فَتْحٍ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيِّ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْكِتَابُ عَلَى أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ لَكِنْ ابْنُ رَجَبٍ فِي جَامِعِ الْعُلُوْمِ وَالْحِكَمِ كَانَ يَقُولُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَعْنِي تَصْحِيحُهُ بَعِيدٌ مِنْ وُجُوهٍ وَذَكَرَ عِدَّةَ أَوْجُهٍ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يَقُولُ هَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لَكِنْ مَعْنَاهُ لَا شَكَّ صَحِيحٌ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ الْأَصْلُ فِي الْهَوَى يَا أَحْمَدُ سَلَامَةَ يُطْلَقُ عَلَى مَاذَا؟ الْمَيْلُ إِلَى خِلَافِ الْحَقِّ هَذَا الْأَصْلُ فِيهِ وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى الْمَيْلِ وَالْمَحَبَّةِ هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ أَوْ يَقُولُ فِي الْهَوَى شَيْئًا يَقُولُهُ أَحَدُ التَّابِعِيْنَ لِصَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ يَعْنِي الْهَوَى الْمَحَبَّةُ الْهَوَى الْمَحَبَّةُ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَمَحَبَّتُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَحَبَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَحَبَّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَكَرِهَ مَا كَرِهَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَرَضِيَ بِمَا رَضِيَ بِهِ اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَخِطَ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ فَإِنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَاذَا؟ فِي مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُقَالُ كَوْنُ الإِنْسَانِ عَاصٍ فَهُوَ لَا يُحِبُّ اللَّهَ لَا وَقَدْ جِيءَ بِرَجُلٍ يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ فَقَالَ أَحَدُ الصَّحَابَةِ لَعَنَهُ اللَّهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ قَالَ لَا تَلْعَنْهُ شُوفُوا يَا إِخْوَانَ الْعَوَاطِفُ تُضْبَطُ بِحُدُودِ الشَّرْعِ فَإِنِّي عَلِمْتُهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مَعَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ لَكِنْ لَا شَكَّ أَنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَحَبَّتِه إِذْ لَو أَحَبَّ اللَّهَ مَحَبَّةً كَامِلَة أَحَبَّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَأَبْغَضَ مَا يُبْغِضُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ هَذَا يَعْنِي إِلَّا لِلهِ مَحَبَّةُ اللَّهِ أَصْلٌ لَكِنَّهَا تَفَرَّعَتْ وَامْتَدَّتْ إِلَى مَحَبَّةِ مَنْ يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَحَبَّةِ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ الْمَقْصُودُ أَنَّهُ لَا يُؤْمِنُ الْإِنْسَانُ الْإِيمَانُ الْوَاجِبُ يَا إِخْوَانُ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Penulis rahimahullah berkata: Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Imam an-Nawawi berkata, “Hadis ini sahih. Kami meriwayatkannya dalam kitab al-Hujjah dengan sanad yang sahih.” Imam an-Nawawi menilai hadis ini sebagai hadis sahih dalam kitab al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah, karya Abu Fath Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i rahimahullah. Kitab tersebut disusun berdasarkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, Ibnu Rajab–rahimahullah–dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam berkata: “Menilai hadis ini sahih, tidak tepat ditinjau dari berbagai aspek.” Lalu beliau menyebutkan beberapa alasan. Syaikh Ibnu Baz mengatakan: “Hadis ini lemah, tetapi maknanya tidak diragukan lagi kebenarannya.” “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Ahmad Salamah, tahukah engkau apa makna asal dari kata hawa? Maknanya adalah kecondongan kepada sesuatu yang menyelisihi kebenaran. Itulah makna asal dari kata hawa. Namun, terkadang kata hawa juga digunakan untuk merujuk pada kecenderungan dan cinta. Pernahkah Anda mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya atau bersabda sesuatu tentang hawa nafsu? Pertanyaan ini pernah diajukan seorang Tabi’in kepada Shafwan bin Assal radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu. Ia menjawab: “Hawa nafsu berarti cinta… hawa nafsu berarti cinta.” Jadi, tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga kecondongan hati, cinta, dan hawa nafsunya tunduk kepada risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, pasti ia juga mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, Ia akan ridha terhadap apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun akan murka terhadap apa yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Ketika seseorang terjerumus dalam kemaksiatan, itu menunjukkan adanya kekurangan dalam apa? Kekurangan dalam kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa orang yang bermaksiat berarti tidak mencintai Allah. Tidaklah demikian. Dikisahkan, dulu ada seseorang yang dicambuk karena meminum khamr. Salah seorang Sahabat pun berkata: “Semoga Allah melaknatnya! Betapa sering ia dicambuk karena minum khamr!” Nabi lalu bersabda: “Janganlah kamu melaknatnya!” Perhatikan, wahai saudara-saudaraku, perasaan seseorang harus dikendalikan dengan aturan syariat. Kemudian Nabi melanjutkan: “Sesungguhnya aku tahu bahwa ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Padahal, orang itu minum khamr. Namun, tidak diragukan bahwa terjatuh dalam kemaksiatan adalah tanda kurangnya kecintaan seseorang kepada Allah. Karena, seandainya ia mencintai Allah dengan cinta yang sempurna …niscaya ia akan mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Ia mencintai seseorang hanya karena Allah. Cinta kepada Allah adalah fondasi utama. Lalu dari cinta itu bercabanglah kecintaan kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga kecintaan terhadap segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kesimpulannya, seseorang tidak bisa mencapai keimanan yang sempurna, wahai saudaraku, sampai kecenderungan dan hawa nafsunya sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ قَالَ النَّوَوِيُّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ النَّوَوِيُّ صَحَّحَ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ الْحُجَّةُ فِي بَيَانِ الْمَحَجَّةِ لِأَبِي فَتْحٍ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيِّ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْكِتَابُ عَلَى أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ لَكِنْ ابْنُ رَجَبٍ فِي جَامِعِ الْعُلُوْمِ وَالْحِكَمِ كَانَ يَقُولُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَعْنِي تَصْحِيحُهُ بَعِيدٌ مِنْ وُجُوهٍ وَذَكَرَ عِدَّةَ أَوْجُهٍ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يَقُولُ هَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لَكِنْ مَعْنَاهُ لَا شَكَّ صَحِيحٌ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ الْأَصْلُ فِي الْهَوَى يَا أَحْمَدُ سَلَامَةَ يُطْلَقُ عَلَى مَاذَا؟ الْمَيْلُ إِلَى خِلَافِ الْحَقِّ هَذَا الْأَصْلُ فِيهِ وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى الْمَيْلِ وَالْمَحَبَّةِ هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ أَوْ يَقُولُ فِي الْهَوَى شَيْئًا يَقُولُهُ أَحَدُ التَّابِعِيْنَ لِصَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ يَعْنِي الْهَوَى الْمَحَبَّةُ الْهَوَى الْمَحَبَّةُ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَمَحَبَّتُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَحَبَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَحَبَّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَكَرِهَ مَا كَرِهَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَرَضِيَ بِمَا رَضِيَ بِهِ اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَخِطَ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ فَإِنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَاذَا؟ فِي مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُقَالُ كَوْنُ الإِنْسَانِ عَاصٍ فَهُوَ لَا يُحِبُّ اللَّهَ لَا وَقَدْ جِيءَ بِرَجُلٍ يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ فَقَالَ أَحَدُ الصَّحَابَةِ لَعَنَهُ اللَّهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ قَالَ لَا تَلْعَنْهُ شُوفُوا يَا إِخْوَانَ الْعَوَاطِفُ تُضْبَطُ بِحُدُودِ الشَّرْعِ فَإِنِّي عَلِمْتُهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مَعَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ لَكِنْ لَا شَكَّ أَنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَحَبَّتِه إِذْ لَو أَحَبَّ اللَّهَ مَحَبَّةً كَامِلَة أَحَبَّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَأَبْغَضَ مَا يُبْغِضُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ هَذَا يَعْنِي إِلَّا لِلهِ مَحَبَّةُ اللَّهِ أَصْلٌ لَكِنَّهَا تَفَرَّعَتْ وَامْتَدَّتْ إِلَى مَحَبَّةِ مَنْ يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَحَبَّةِ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ الْمَقْصُودُ أَنَّهُ لَا يُؤْمِنُ الْإِنْسَانُ الْإِيمَانُ الْوَاجِبُ يَا إِخْوَانُ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Penulis rahimahullah berkata: Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Imam an-Nawawi berkata, “Hadis ini sahih. Kami meriwayatkannya dalam kitab al-Hujjah dengan sanad yang sahih.” Imam an-Nawawi menilai hadis ini sebagai hadis sahih dalam kitab al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah, karya Abu Fath Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i rahimahullah. Kitab tersebut disusun berdasarkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun, Ibnu Rajab–rahimahullah–dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam berkata: “Menilai hadis ini sahih, tidak tepat ditinjau dari berbagai aspek.” Lalu beliau menyebutkan beberapa alasan. Syaikh Ibnu Baz mengatakan: “Hadis ini lemah, tetapi maknanya tidak diragukan lagi kebenarannya.” “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Ahmad Salamah, tahukah engkau apa makna asal dari kata hawa? Maknanya adalah kecondongan kepada sesuatu yang menyelisihi kebenaran. Itulah makna asal dari kata hawa. Namun, terkadang kata hawa juga digunakan untuk merujuk pada kecenderungan dan cinta. Pernahkah Anda mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya atau bersabda sesuatu tentang hawa nafsu? Pertanyaan ini pernah diajukan seorang Tabi’in kepada Shafwan bin Assal radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu. Ia menjawab: “Hawa nafsu berarti cinta… hawa nafsu berarti cinta.” Jadi, tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga kecondongan hati, cinta, dan hawa nafsunya tunduk kepada risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, pasti ia juga mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, Ia akan ridha terhadap apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun akan murka terhadap apa yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Ketika seseorang terjerumus dalam kemaksiatan, itu menunjukkan adanya kekurangan dalam apa? Kekurangan dalam kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa orang yang bermaksiat berarti tidak mencintai Allah. Tidaklah demikian. Dikisahkan, dulu ada seseorang yang dicambuk karena meminum khamr. Salah seorang Sahabat pun berkata: “Semoga Allah melaknatnya! Betapa sering ia dicambuk karena minum khamr!” Nabi lalu bersabda: “Janganlah kamu melaknatnya!” Perhatikan, wahai saudara-saudaraku, perasaan seseorang harus dikendalikan dengan aturan syariat. Kemudian Nabi melanjutkan: “Sesungguhnya aku tahu bahwa ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Padahal, orang itu minum khamr. Namun, tidak diragukan bahwa terjatuh dalam kemaksiatan adalah tanda kurangnya kecintaan seseorang kepada Allah. Karena, seandainya ia mencintai Allah dengan cinta yang sempurna …niscaya ia akan mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Ada tiga perkara yang jika seseorang memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Ia mencintai seseorang hanya karena Allah. Cinta kepada Allah adalah fondasi utama. Lalu dari cinta itu bercabanglah kecintaan kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga kecintaan terhadap segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Kesimpulannya, seseorang tidak bisa mencapai keimanan yang sempurna, wahai saudaraku, sampai kecenderungan dan hawa nafsunya sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ==== قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ قَالَ النَّوَوِيُّ حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ النَّوَوِيُّ صَحَّحَ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ الْحُجَّةُ فِي بَيَانِ الْمَحَجَّةِ لِأَبِي فَتْحٍ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيِّ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَالْكِتَابُ عَلَى أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ لَكِنْ ابْنُ رَجَبٍ فِي جَامِعِ الْعُلُوْمِ وَالْحِكَمِ كَانَ يَقُولُ رَحِمَهُ اللَّهُ يَعْنِي تَصْحِيحُهُ بَعِيدٌ مِنْ وُجُوهٍ وَذَكَرَ عِدَّةَ أَوْجُهٍ الشَّيْخُ ابْنُ بَازٍ يَقُولُ هَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ لَكِنْ مَعْنَاهُ لَا شَكَّ صَحِيحٌ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ الْأَصْلُ فِي الْهَوَى يَا أَحْمَدُ سَلَامَةَ يُطْلَقُ عَلَى مَاذَا؟ الْمَيْلُ إِلَى خِلَافِ الْحَقِّ هَذَا الْأَصْلُ فِيهِ وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى الْمَيْلِ وَالْمَحَبَّةِ هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ أَوْ يَقُولُ فِي الْهَوَى شَيْئًا يَقُولُهُ أَحَدُ التَّابِعِيْنَ لِصَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ يَعْنِي الْهَوَى الْمَحَبَّةُ الْهَوَى الْمَحَبَّةُ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَمَحَبَّتُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَحَبَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَحَبَّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَكَرِهَ مَا كَرِهَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَرَضِيَ بِمَا رَضِيَ بِهِ اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَخِطَ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ فَإِنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَاذَا؟ فِي مَحَبَّتِهِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُقَالُ كَوْنُ الإِنْسَانِ عَاصٍ فَهُوَ لَا يُحِبُّ اللَّهَ لَا وَقَدْ جِيءَ بِرَجُلٍ يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ فَقَالَ أَحَدُ الصَّحَابَةِ لَعَنَهُ اللَّهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُجْلَدُ فِي الْخَمْرِ قَالَ لَا تَلْعَنْهُ شُوفُوا يَا إِخْوَانَ الْعَوَاطِفُ تُضْبَطُ بِحُدُودِ الشَّرْعِ فَإِنِّي عَلِمْتُهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مَعَ أَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ لَكِنْ لَا شَكَّ أَنَّ وُقُوعَ الْإِنْسَانِ فِي الْمَعَاصِي نَقْصٌ فِي مَحَبَّتِه إِذْ لَو أَحَبَّ اللَّهَ مَحَبَّةً كَامِلَة أَحَبَّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَأَبْغَضَ مَا يُبْغِضُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ هَذَا يَعْنِي إِلَّا لِلهِ مَحَبَّةُ اللَّهِ أَصْلٌ لَكِنَّهَا تَفَرَّعَتْ وَامْتَدَّتْ إِلَى مَحَبَّةِ مَنْ يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَحَبَّةِ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَرَسُولُهُ الْمَقْصُودُ أَنَّهُ لَا يُؤْمِنُ الْإِنْسَانُ الْإِيمَانُ الْوَاجِبُ يَا إِخْوَانُ حَتَّى يَكُونَ مَيْلُهُ وَهَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جَاءَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Hukum Zakat Uang Kertas: Penggabungan dengan Emas dan Perak untuk Melengkapi Nisab

Banyak yang bertanya, apakah uang kertas termasuk dalam kategori harta yang wajib dizakati? Para ulama terdahulu tidak membahasnya karena belum dikenal pada zaman mereka. Namun, bagaimana hukumnya jika uang kertas digabungkan dengan emas dan perak untuk melengkapi nisab?   Daftar Isi tutup 1. Uang Kertas dalam Kajian Fikih 2. Penggabungan Emas dan Perak dalam Nisab Zakat 3. Zakat Uang Kertas: Keputusan Majelis Ulama 4. Perhitungan Haul dan Nisab dalam Zakat Uang 5. Cara Mengeluarkan Zakat Emas dan Uang 6. Kesimpulan Uang Kertas dalam Kajian Fikih Uang kertas tidak dikenal pada masa para ulama terdahulu, sehingga mereka tidak membahas hukumnya secara langsung. Dalam “Penelitian dari Hai’ah Kibar Al-Ulama” (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi (1/61), disebutkan: “Uang kertas tidak dikenal oleh para ulama Islam terdahulu karena belum digunakan pada zaman mereka, sehingga kita tidak menemukan seorang pun dari mereka yang membahas hukumnya.” (Selesai). Namun, pada zaman mereka telah ada emas, perak, dan barang dagangan yang dijadikan alat transaksi. Oleh karena itu, para ulama membahas hukum-hukum terkait harta-harta tersebut, termasuk mengenai penggabungan emas dan perak untuk melengkapi nisab zakat.   Penggabungan Emas dan Perak dalam Nisab Zakat Dalam “Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah” (23/268-269) disebutkan bahwa mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, satu riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat Ats-Tsauri dan Al-Auza’i berpendapat bahwa emas dan perak dapat digabungkan satu sama lain untuk melengkapi nisab. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki 15 mitsqal emas dan 150 dirham perak, maka ia tetap wajib mengeluarkan zakat dari kedua harta tersebut. Begitu pula, jika seseorang memiliki emas yang mencapai nisab sementara peraknya kurang dari nisab, maka keduanya tetap wajib dizakati. Para ulama berargumen bahwa manfaat emas dan perak itu sama, yaitu sebagai alat transaksi dan perhiasan. Namun, mazhab Syafi’i, satu riwayat lain dari Imam Ahmad, serta pendapat Abu Ubaid, Ibnu Abi Laila, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa zakat tidak wajib atas salah satu jenis harta tersebut sampai ia mencapai nisabnya sendiri-sendiri. Mereka berdalil dengan hadits: وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ عِشْرِينَ مِثْقَالاً مِنَ الذَّهَبِ شَىْءٌ وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ مِائَتَىْ دِرْهَمٍ شَىْءٌ “Tidak ada zakat jika emas kurang dari 20 mitsqol dan tidak ada zakat jika kurang dari 200 dirham.” (HR. Ad-Daruquthni, 2:93. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 815). Di sini emas dan perak dibedakan dan tidak disatukan nisabnya. Adapun stok barang dagangan (عروض التجارة), maka nilainya digabungkan dengan emas atau perak untuk melengkapi nisab keduanya. Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Selesai).   Zakat Uang Kertas: Keputusan Majelis Ulama Pendapat yang menyatakan bahwa uang kertas dapat digabungkan dengan emas dan perak untuk melengkapi nisab merupakan keputusan yang telah disepakati oleh Majma’ Al-Fiqhi yang berafiliasi dengan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami (Liga Muslim Dunia), serta oleh Hai’ah Kibar Al-Ulama di Kerajaan Arab Saudi. Pendapat ini juga merupakan fatwa dari Lajnah Da’imah Lil Ifta’ (Komite Tetap untuk Fatwa) di Arab Saudi. Dalam “Keputusan Majma’ Al-Fiqhi” disebutkan: “Zakat atas uang kertas wajib dikeluarkan jika nilainya mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika nilainya melengkapi nisab dengan harta lainnya seperti emas, perak, atau barang dagangan yang diperjualbelikan.” (Keputusan 6, hlm. 101). Sementara dalam “Keputusan Hai’ah Kibar Al-Ulama” di Arab Saudi (1/88) dinyatakan: “Karena sifat tsamaniyyah (fungsi sebagai alat tukar) pada uang kertas sangat jelas, maka Dewan Ulama Senior dengan suara mayoritas menetapkan bahwa uang kertas dianggap sebagai mata uang yang berdiri sendiri, sebagaimana status mata uang pada emas, perak, dan lainnya. Oleh karena itu, zakatnya wajib dikeluarkan jika nilainya mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika nilainya melengkapi nisab dengan harta lainnya yang bernilai.” Dalam “Fatawa Lajnah Da’imah – Jilid Kedua” (8/324) dijelaskan bahwa jika seseorang memiliki emas yang belum mencapai nisab, ia dapat menggabungkannya dengan uang kertas atau barang dagangan untuk melengkapi nisab dan wajib mengeluarkan zakatnya. Baca juga: Kenapa Zakat Mata Uang Menggunakan Nisab Perak?   Perhitungan Haul dan Nisab dalam Zakat Uang Penggabungan harta untuk melengkapi nisab tidak berarti penggabungan haul. Setiap jenis harta memiliki perhitungan haulnya sendiri, sehingga zakat tidak wajib dikeluarkan sebelum haulnya tercapai, kecuali jika pemiliknya ingin mempercepat pembayaran zakat. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki emas yang mencapai nisab pada bulan Muharram, kemudian ia memperoleh uang sebesar seribu riyal (yang nilainya kurang dari nisab) pada bulan Jumadil Awal, maka zakat wajib dikeluarkan atas uang tersebut karena nilainya mencapai nisab setelah digabungkan dengan emas. Namun, haul zakatnya tetap dihitung dari bulan Jumadil Awal, kecuali jika pemiliknya ingin mengeluarkan zakatnya lebih awal pada bulan Muharram. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Contoh lain: seseorang memiliki harta yang mencapai nisab pada bulan Muharram, lalu ia memperoleh warisan pada bulan Jumadil Akhir berupa uang seratus dirham yang nilainya kurang dari nisab. Zakat tetap wajib atas seratus dirham tersebut meskipun jumlahnya kurang dari nisab, karena ia telah memiliki harta lain yang mencapai nisab. Akan tetapi, haul seratus dirham itu dihitung dari bulan Jumadil Akhir, bukan dari Muharram, karena ia digabungkan dalam nisab, tetapi tidak dalam haul.” (Selesai dari Syarh Al-Mumti’ (6/22)). Cara Mengeluarkan Zakat Emas dan Uang Jika emas digabungkan dengan uang, maka diperbolehkan untuk mengeluarkan zakat dalam bentuk emas, atau dengan menilai emas dan membayarkan zakat dalam bentuk uang. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Jika kita mengatakan bahwa nisab emas dapat digabungkan dengan perak, dan nilai barang dagangan dapat digabungkan dengan emas atau perak, maka apakah zakat harus dikeluarkan dari setiap jenis harta sesuai dengan jenisnya, atau boleh dari salah satunya saja?” “Menurut mazhab Hanbali, zakat harus dikeluarkan dari setiap jenis harta sesuai dengan jenisnya. Jadi, zakat emas dikeluarkan dalam bentuk emas, dan zakat perak dalam bentuk perak. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa tidak mengapa jika zakat dikeluarkan dari salah satu jenis saja, yaitu dengan nilai yang setara.”(Selesai dari Syarh Al-Mumti’ (6/103)). Kesimpulan Jelas bahwa tidak ada kontradiksi dalam masalah ini. Penggabungan harta hanya berlaku untuk melengkapi nisab, tetapi tidak berlaku dalam perhitungan haul, kecuali jika pemiliknya memilih untuk menyamakannya. Dengan demikian, zakat wajib dikeluarkan jika uang kertas yang dimiliki mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika digabungkan dengan harta lainnya hingga nisabnya sempurna. Wallahu A’lam.   Referensi: Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 537539 Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 220039   –   Senin dinihari, 17 Ramadhan 1446 H, 17 Maret 2025 @ Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara bayar zakat fatwa zakat uang harta yang dizakati harta zakat hukum zakat uang keutamaan bayar zakat nisab zakat emas nisab zakat perak nishab zakat panduan zakat penggabungan nisab zakat perhitungan zakat uang Zakat zakat emas dan perak zakat perdagangan zakat uang dalam Islam zakat uang kertas

Hukum Zakat Uang Kertas: Penggabungan dengan Emas dan Perak untuk Melengkapi Nisab

Banyak yang bertanya, apakah uang kertas termasuk dalam kategori harta yang wajib dizakati? Para ulama terdahulu tidak membahasnya karena belum dikenal pada zaman mereka. Namun, bagaimana hukumnya jika uang kertas digabungkan dengan emas dan perak untuk melengkapi nisab?   Daftar Isi tutup 1. Uang Kertas dalam Kajian Fikih 2. Penggabungan Emas dan Perak dalam Nisab Zakat 3. Zakat Uang Kertas: Keputusan Majelis Ulama 4. Perhitungan Haul dan Nisab dalam Zakat Uang 5. Cara Mengeluarkan Zakat Emas dan Uang 6. Kesimpulan Uang Kertas dalam Kajian Fikih Uang kertas tidak dikenal pada masa para ulama terdahulu, sehingga mereka tidak membahas hukumnya secara langsung. Dalam “Penelitian dari Hai’ah Kibar Al-Ulama” (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi (1/61), disebutkan: “Uang kertas tidak dikenal oleh para ulama Islam terdahulu karena belum digunakan pada zaman mereka, sehingga kita tidak menemukan seorang pun dari mereka yang membahas hukumnya.” (Selesai). Namun, pada zaman mereka telah ada emas, perak, dan barang dagangan yang dijadikan alat transaksi. Oleh karena itu, para ulama membahas hukum-hukum terkait harta-harta tersebut, termasuk mengenai penggabungan emas dan perak untuk melengkapi nisab zakat.   Penggabungan Emas dan Perak dalam Nisab Zakat Dalam “Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah” (23/268-269) disebutkan bahwa mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, satu riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat Ats-Tsauri dan Al-Auza’i berpendapat bahwa emas dan perak dapat digabungkan satu sama lain untuk melengkapi nisab. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki 15 mitsqal emas dan 150 dirham perak, maka ia tetap wajib mengeluarkan zakat dari kedua harta tersebut. Begitu pula, jika seseorang memiliki emas yang mencapai nisab sementara peraknya kurang dari nisab, maka keduanya tetap wajib dizakati. Para ulama berargumen bahwa manfaat emas dan perak itu sama, yaitu sebagai alat transaksi dan perhiasan. Namun, mazhab Syafi’i, satu riwayat lain dari Imam Ahmad, serta pendapat Abu Ubaid, Ibnu Abi Laila, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa zakat tidak wajib atas salah satu jenis harta tersebut sampai ia mencapai nisabnya sendiri-sendiri. Mereka berdalil dengan hadits: وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ عِشْرِينَ مِثْقَالاً مِنَ الذَّهَبِ شَىْءٌ وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ مِائَتَىْ دِرْهَمٍ شَىْءٌ “Tidak ada zakat jika emas kurang dari 20 mitsqol dan tidak ada zakat jika kurang dari 200 dirham.” (HR. Ad-Daruquthni, 2:93. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 815). Di sini emas dan perak dibedakan dan tidak disatukan nisabnya. Adapun stok barang dagangan (عروض التجارة), maka nilainya digabungkan dengan emas atau perak untuk melengkapi nisab keduanya. Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Selesai).   Zakat Uang Kertas: Keputusan Majelis Ulama Pendapat yang menyatakan bahwa uang kertas dapat digabungkan dengan emas dan perak untuk melengkapi nisab merupakan keputusan yang telah disepakati oleh Majma’ Al-Fiqhi yang berafiliasi dengan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami (Liga Muslim Dunia), serta oleh Hai’ah Kibar Al-Ulama di Kerajaan Arab Saudi. Pendapat ini juga merupakan fatwa dari Lajnah Da’imah Lil Ifta’ (Komite Tetap untuk Fatwa) di Arab Saudi. Dalam “Keputusan Majma’ Al-Fiqhi” disebutkan: “Zakat atas uang kertas wajib dikeluarkan jika nilainya mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika nilainya melengkapi nisab dengan harta lainnya seperti emas, perak, atau barang dagangan yang diperjualbelikan.” (Keputusan 6, hlm. 101). Sementara dalam “Keputusan Hai’ah Kibar Al-Ulama” di Arab Saudi (1/88) dinyatakan: “Karena sifat tsamaniyyah (fungsi sebagai alat tukar) pada uang kertas sangat jelas, maka Dewan Ulama Senior dengan suara mayoritas menetapkan bahwa uang kertas dianggap sebagai mata uang yang berdiri sendiri, sebagaimana status mata uang pada emas, perak, dan lainnya. Oleh karena itu, zakatnya wajib dikeluarkan jika nilainya mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika nilainya melengkapi nisab dengan harta lainnya yang bernilai.” Dalam “Fatawa Lajnah Da’imah – Jilid Kedua” (8/324) dijelaskan bahwa jika seseorang memiliki emas yang belum mencapai nisab, ia dapat menggabungkannya dengan uang kertas atau barang dagangan untuk melengkapi nisab dan wajib mengeluarkan zakatnya. Baca juga: Kenapa Zakat Mata Uang Menggunakan Nisab Perak?   Perhitungan Haul dan Nisab dalam Zakat Uang Penggabungan harta untuk melengkapi nisab tidak berarti penggabungan haul. Setiap jenis harta memiliki perhitungan haulnya sendiri, sehingga zakat tidak wajib dikeluarkan sebelum haulnya tercapai, kecuali jika pemiliknya ingin mempercepat pembayaran zakat. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki emas yang mencapai nisab pada bulan Muharram, kemudian ia memperoleh uang sebesar seribu riyal (yang nilainya kurang dari nisab) pada bulan Jumadil Awal, maka zakat wajib dikeluarkan atas uang tersebut karena nilainya mencapai nisab setelah digabungkan dengan emas. Namun, haul zakatnya tetap dihitung dari bulan Jumadil Awal, kecuali jika pemiliknya ingin mengeluarkan zakatnya lebih awal pada bulan Muharram. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Contoh lain: seseorang memiliki harta yang mencapai nisab pada bulan Muharram, lalu ia memperoleh warisan pada bulan Jumadil Akhir berupa uang seratus dirham yang nilainya kurang dari nisab. Zakat tetap wajib atas seratus dirham tersebut meskipun jumlahnya kurang dari nisab, karena ia telah memiliki harta lain yang mencapai nisab. Akan tetapi, haul seratus dirham itu dihitung dari bulan Jumadil Akhir, bukan dari Muharram, karena ia digabungkan dalam nisab, tetapi tidak dalam haul.” (Selesai dari Syarh Al-Mumti’ (6/22)). Cara Mengeluarkan Zakat Emas dan Uang Jika emas digabungkan dengan uang, maka diperbolehkan untuk mengeluarkan zakat dalam bentuk emas, atau dengan menilai emas dan membayarkan zakat dalam bentuk uang. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Jika kita mengatakan bahwa nisab emas dapat digabungkan dengan perak, dan nilai barang dagangan dapat digabungkan dengan emas atau perak, maka apakah zakat harus dikeluarkan dari setiap jenis harta sesuai dengan jenisnya, atau boleh dari salah satunya saja?” “Menurut mazhab Hanbali, zakat harus dikeluarkan dari setiap jenis harta sesuai dengan jenisnya. Jadi, zakat emas dikeluarkan dalam bentuk emas, dan zakat perak dalam bentuk perak. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa tidak mengapa jika zakat dikeluarkan dari salah satu jenis saja, yaitu dengan nilai yang setara.”(Selesai dari Syarh Al-Mumti’ (6/103)). Kesimpulan Jelas bahwa tidak ada kontradiksi dalam masalah ini. Penggabungan harta hanya berlaku untuk melengkapi nisab, tetapi tidak berlaku dalam perhitungan haul, kecuali jika pemiliknya memilih untuk menyamakannya. Dengan demikian, zakat wajib dikeluarkan jika uang kertas yang dimiliki mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika digabungkan dengan harta lainnya hingga nisabnya sempurna. Wallahu A’lam.   Referensi: Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 537539 Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 220039   –   Senin dinihari, 17 Ramadhan 1446 H, 17 Maret 2025 @ Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara bayar zakat fatwa zakat uang harta yang dizakati harta zakat hukum zakat uang keutamaan bayar zakat nisab zakat emas nisab zakat perak nishab zakat panduan zakat penggabungan nisab zakat perhitungan zakat uang Zakat zakat emas dan perak zakat perdagangan zakat uang dalam Islam zakat uang kertas
Banyak yang bertanya, apakah uang kertas termasuk dalam kategori harta yang wajib dizakati? Para ulama terdahulu tidak membahasnya karena belum dikenal pada zaman mereka. Namun, bagaimana hukumnya jika uang kertas digabungkan dengan emas dan perak untuk melengkapi nisab?   Daftar Isi tutup 1. Uang Kertas dalam Kajian Fikih 2. Penggabungan Emas dan Perak dalam Nisab Zakat 3. Zakat Uang Kertas: Keputusan Majelis Ulama 4. Perhitungan Haul dan Nisab dalam Zakat Uang 5. Cara Mengeluarkan Zakat Emas dan Uang 6. Kesimpulan Uang Kertas dalam Kajian Fikih Uang kertas tidak dikenal pada masa para ulama terdahulu, sehingga mereka tidak membahas hukumnya secara langsung. Dalam “Penelitian dari Hai’ah Kibar Al-Ulama” (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi (1/61), disebutkan: “Uang kertas tidak dikenal oleh para ulama Islam terdahulu karena belum digunakan pada zaman mereka, sehingga kita tidak menemukan seorang pun dari mereka yang membahas hukumnya.” (Selesai). Namun, pada zaman mereka telah ada emas, perak, dan barang dagangan yang dijadikan alat transaksi. Oleh karena itu, para ulama membahas hukum-hukum terkait harta-harta tersebut, termasuk mengenai penggabungan emas dan perak untuk melengkapi nisab zakat.   Penggabungan Emas dan Perak dalam Nisab Zakat Dalam “Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah” (23/268-269) disebutkan bahwa mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, satu riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat Ats-Tsauri dan Al-Auza’i berpendapat bahwa emas dan perak dapat digabungkan satu sama lain untuk melengkapi nisab. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki 15 mitsqal emas dan 150 dirham perak, maka ia tetap wajib mengeluarkan zakat dari kedua harta tersebut. Begitu pula, jika seseorang memiliki emas yang mencapai nisab sementara peraknya kurang dari nisab, maka keduanya tetap wajib dizakati. Para ulama berargumen bahwa manfaat emas dan perak itu sama, yaitu sebagai alat transaksi dan perhiasan. Namun, mazhab Syafi’i, satu riwayat lain dari Imam Ahmad, serta pendapat Abu Ubaid, Ibnu Abi Laila, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa zakat tidak wajib atas salah satu jenis harta tersebut sampai ia mencapai nisabnya sendiri-sendiri. Mereka berdalil dengan hadits: وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ عِشْرِينَ مِثْقَالاً مِنَ الذَّهَبِ شَىْءٌ وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ مِائَتَىْ دِرْهَمٍ شَىْءٌ “Tidak ada zakat jika emas kurang dari 20 mitsqol dan tidak ada zakat jika kurang dari 200 dirham.” (HR. Ad-Daruquthni, 2:93. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 815). Di sini emas dan perak dibedakan dan tidak disatukan nisabnya. Adapun stok barang dagangan (عروض التجارة), maka nilainya digabungkan dengan emas atau perak untuk melengkapi nisab keduanya. Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Selesai).   Zakat Uang Kertas: Keputusan Majelis Ulama Pendapat yang menyatakan bahwa uang kertas dapat digabungkan dengan emas dan perak untuk melengkapi nisab merupakan keputusan yang telah disepakati oleh Majma’ Al-Fiqhi yang berafiliasi dengan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami (Liga Muslim Dunia), serta oleh Hai’ah Kibar Al-Ulama di Kerajaan Arab Saudi. Pendapat ini juga merupakan fatwa dari Lajnah Da’imah Lil Ifta’ (Komite Tetap untuk Fatwa) di Arab Saudi. Dalam “Keputusan Majma’ Al-Fiqhi” disebutkan: “Zakat atas uang kertas wajib dikeluarkan jika nilainya mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika nilainya melengkapi nisab dengan harta lainnya seperti emas, perak, atau barang dagangan yang diperjualbelikan.” (Keputusan 6, hlm. 101). Sementara dalam “Keputusan Hai’ah Kibar Al-Ulama” di Arab Saudi (1/88) dinyatakan: “Karena sifat tsamaniyyah (fungsi sebagai alat tukar) pada uang kertas sangat jelas, maka Dewan Ulama Senior dengan suara mayoritas menetapkan bahwa uang kertas dianggap sebagai mata uang yang berdiri sendiri, sebagaimana status mata uang pada emas, perak, dan lainnya. Oleh karena itu, zakatnya wajib dikeluarkan jika nilainya mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika nilainya melengkapi nisab dengan harta lainnya yang bernilai.” Dalam “Fatawa Lajnah Da’imah – Jilid Kedua” (8/324) dijelaskan bahwa jika seseorang memiliki emas yang belum mencapai nisab, ia dapat menggabungkannya dengan uang kertas atau barang dagangan untuk melengkapi nisab dan wajib mengeluarkan zakatnya. Baca juga: Kenapa Zakat Mata Uang Menggunakan Nisab Perak?   Perhitungan Haul dan Nisab dalam Zakat Uang Penggabungan harta untuk melengkapi nisab tidak berarti penggabungan haul. Setiap jenis harta memiliki perhitungan haulnya sendiri, sehingga zakat tidak wajib dikeluarkan sebelum haulnya tercapai, kecuali jika pemiliknya ingin mempercepat pembayaran zakat. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki emas yang mencapai nisab pada bulan Muharram, kemudian ia memperoleh uang sebesar seribu riyal (yang nilainya kurang dari nisab) pada bulan Jumadil Awal, maka zakat wajib dikeluarkan atas uang tersebut karena nilainya mencapai nisab setelah digabungkan dengan emas. Namun, haul zakatnya tetap dihitung dari bulan Jumadil Awal, kecuali jika pemiliknya ingin mengeluarkan zakatnya lebih awal pada bulan Muharram. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Contoh lain: seseorang memiliki harta yang mencapai nisab pada bulan Muharram, lalu ia memperoleh warisan pada bulan Jumadil Akhir berupa uang seratus dirham yang nilainya kurang dari nisab. Zakat tetap wajib atas seratus dirham tersebut meskipun jumlahnya kurang dari nisab, karena ia telah memiliki harta lain yang mencapai nisab. Akan tetapi, haul seratus dirham itu dihitung dari bulan Jumadil Akhir, bukan dari Muharram, karena ia digabungkan dalam nisab, tetapi tidak dalam haul.” (Selesai dari Syarh Al-Mumti’ (6/22)). Cara Mengeluarkan Zakat Emas dan Uang Jika emas digabungkan dengan uang, maka diperbolehkan untuk mengeluarkan zakat dalam bentuk emas, atau dengan menilai emas dan membayarkan zakat dalam bentuk uang. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Jika kita mengatakan bahwa nisab emas dapat digabungkan dengan perak, dan nilai barang dagangan dapat digabungkan dengan emas atau perak, maka apakah zakat harus dikeluarkan dari setiap jenis harta sesuai dengan jenisnya, atau boleh dari salah satunya saja?” “Menurut mazhab Hanbali, zakat harus dikeluarkan dari setiap jenis harta sesuai dengan jenisnya. Jadi, zakat emas dikeluarkan dalam bentuk emas, dan zakat perak dalam bentuk perak. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa tidak mengapa jika zakat dikeluarkan dari salah satu jenis saja, yaitu dengan nilai yang setara.”(Selesai dari Syarh Al-Mumti’ (6/103)). Kesimpulan Jelas bahwa tidak ada kontradiksi dalam masalah ini. Penggabungan harta hanya berlaku untuk melengkapi nisab, tetapi tidak berlaku dalam perhitungan haul, kecuali jika pemiliknya memilih untuk menyamakannya. Dengan demikian, zakat wajib dikeluarkan jika uang kertas yang dimiliki mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika digabungkan dengan harta lainnya hingga nisabnya sempurna. Wallahu A’lam.   Referensi: Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 537539 Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 220039   –   Senin dinihari, 17 Ramadhan 1446 H, 17 Maret 2025 @ Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara bayar zakat fatwa zakat uang harta yang dizakati harta zakat hukum zakat uang keutamaan bayar zakat nisab zakat emas nisab zakat perak nishab zakat panduan zakat penggabungan nisab zakat perhitungan zakat uang Zakat zakat emas dan perak zakat perdagangan zakat uang dalam Islam zakat uang kertas


Banyak yang bertanya, apakah uang kertas termasuk dalam kategori harta yang wajib dizakati? Para ulama terdahulu tidak membahasnya karena belum dikenal pada zaman mereka. Namun, bagaimana hukumnya jika uang kertas digabungkan dengan emas dan perak untuk melengkapi nisab?   Daftar Isi tutup 1. Uang Kertas dalam Kajian Fikih 2. Penggabungan Emas dan Perak dalam Nisab Zakat 3. Zakat Uang Kertas: Keputusan Majelis Ulama 4. Perhitungan Haul dan Nisab dalam Zakat Uang 5. Cara Mengeluarkan Zakat Emas dan Uang 6. Kesimpulan Uang Kertas dalam Kajian Fikih Uang kertas tidak dikenal pada masa para ulama terdahulu, sehingga mereka tidak membahas hukumnya secara langsung. Dalam “Penelitian dari Hai’ah Kibar Al-Ulama” (Dewan Ulama Senior) di Kerajaan Arab Saudi (1/61), disebutkan: “Uang kertas tidak dikenal oleh para ulama Islam terdahulu karena belum digunakan pada zaman mereka, sehingga kita tidak menemukan seorang pun dari mereka yang membahas hukumnya.” (Selesai). Namun, pada zaman mereka telah ada emas, perak, dan barang dagangan yang dijadikan alat transaksi. Oleh karena itu, para ulama membahas hukum-hukum terkait harta-harta tersebut, termasuk mengenai penggabungan emas dan perak untuk melengkapi nisab zakat.   Penggabungan Emas dan Perak dalam Nisab Zakat Dalam “Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah” (23/268-269) disebutkan bahwa mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, satu riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat Ats-Tsauri dan Al-Auza’i berpendapat bahwa emas dan perak dapat digabungkan satu sama lain untuk melengkapi nisab. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki 15 mitsqal emas dan 150 dirham perak, maka ia tetap wajib mengeluarkan zakat dari kedua harta tersebut. Begitu pula, jika seseorang memiliki emas yang mencapai nisab sementara peraknya kurang dari nisab, maka keduanya tetap wajib dizakati. Para ulama berargumen bahwa manfaat emas dan perak itu sama, yaitu sebagai alat transaksi dan perhiasan. Namun, mazhab Syafi’i, satu riwayat lain dari Imam Ahmad, serta pendapat Abu Ubaid, Ibnu Abi Laila, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa zakat tidak wajib atas salah satu jenis harta tersebut sampai ia mencapai nisabnya sendiri-sendiri. Mereka berdalil dengan hadits: وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ عِشْرِينَ مِثْقَالاً مِنَ الذَّهَبِ شَىْءٌ وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ مِائَتَىْ دِرْهَمٍ شَىْءٌ “Tidak ada zakat jika emas kurang dari 20 mitsqol dan tidak ada zakat jika kurang dari 200 dirham.” (HR. Ad-Daruquthni, 2:93. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 815). Di sini emas dan perak dibedakan dan tidak disatukan nisabnya. Adapun stok barang dagangan (عروض التجارة), maka nilainya digabungkan dengan emas atau perak untuk melengkapi nisab keduanya. Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Selesai).   Zakat Uang Kertas: Keputusan Majelis Ulama Pendapat yang menyatakan bahwa uang kertas dapat digabungkan dengan emas dan perak untuk melengkapi nisab merupakan keputusan yang telah disepakati oleh Majma’ Al-Fiqhi yang berafiliasi dengan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami (Liga Muslim Dunia), serta oleh Hai’ah Kibar Al-Ulama di Kerajaan Arab Saudi. Pendapat ini juga merupakan fatwa dari Lajnah Da’imah Lil Ifta’ (Komite Tetap untuk Fatwa) di Arab Saudi. Dalam “Keputusan Majma’ Al-Fiqhi” disebutkan: “Zakat atas uang kertas wajib dikeluarkan jika nilainya mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika nilainya melengkapi nisab dengan harta lainnya seperti emas, perak, atau barang dagangan yang diperjualbelikan.” (Keputusan 6, hlm. 101). Sementara dalam “Keputusan Hai’ah Kibar Al-Ulama” di Arab Saudi (1/88) dinyatakan: “Karena sifat tsamaniyyah (fungsi sebagai alat tukar) pada uang kertas sangat jelas, maka Dewan Ulama Senior dengan suara mayoritas menetapkan bahwa uang kertas dianggap sebagai mata uang yang berdiri sendiri, sebagaimana status mata uang pada emas, perak, dan lainnya. Oleh karena itu, zakatnya wajib dikeluarkan jika nilainya mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika nilainya melengkapi nisab dengan harta lainnya yang bernilai.” Dalam “Fatawa Lajnah Da’imah – Jilid Kedua” (8/324) dijelaskan bahwa jika seseorang memiliki emas yang belum mencapai nisab, ia dapat menggabungkannya dengan uang kertas atau barang dagangan untuk melengkapi nisab dan wajib mengeluarkan zakatnya. Baca juga: Kenapa Zakat Mata Uang Menggunakan Nisab Perak?   Perhitungan Haul dan Nisab dalam Zakat Uang Penggabungan harta untuk melengkapi nisab tidak berarti penggabungan haul. Setiap jenis harta memiliki perhitungan haulnya sendiri, sehingga zakat tidak wajib dikeluarkan sebelum haulnya tercapai, kecuali jika pemiliknya ingin mempercepat pembayaran zakat. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki emas yang mencapai nisab pada bulan Muharram, kemudian ia memperoleh uang sebesar seribu riyal (yang nilainya kurang dari nisab) pada bulan Jumadil Awal, maka zakat wajib dikeluarkan atas uang tersebut karena nilainya mencapai nisab setelah digabungkan dengan emas. Namun, haul zakatnya tetap dihitung dari bulan Jumadil Awal, kecuali jika pemiliknya ingin mengeluarkan zakatnya lebih awal pada bulan Muharram. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Contoh lain: seseorang memiliki harta yang mencapai nisab pada bulan Muharram, lalu ia memperoleh warisan pada bulan Jumadil Akhir berupa uang seratus dirham yang nilainya kurang dari nisab. Zakat tetap wajib atas seratus dirham tersebut meskipun jumlahnya kurang dari nisab, karena ia telah memiliki harta lain yang mencapai nisab. Akan tetapi, haul seratus dirham itu dihitung dari bulan Jumadil Akhir, bukan dari Muharram, karena ia digabungkan dalam nisab, tetapi tidak dalam haul.” (Selesai dari Syarh Al-Mumti’ (6/22)). Cara Mengeluarkan Zakat Emas dan Uang Jika emas digabungkan dengan uang, maka diperbolehkan untuk mengeluarkan zakat dalam bentuk emas, atau dengan menilai emas dan membayarkan zakat dalam bentuk uang. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Jika kita mengatakan bahwa nisab emas dapat digabungkan dengan perak, dan nilai barang dagangan dapat digabungkan dengan emas atau perak, maka apakah zakat harus dikeluarkan dari setiap jenis harta sesuai dengan jenisnya, atau boleh dari salah satunya saja?” “Menurut mazhab Hanbali, zakat harus dikeluarkan dari setiap jenis harta sesuai dengan jenisnya. Jadi, zakat emas dikeluarkan dalam bentuk emas, dan zakat perak dalam bentuk perak. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa tidak mengapa jika zakat dikeluarkan dari salah satu jenis saja, yaitu dengan nilai yang setara.”(Selesai dari Syarh Al-Mumti’ (6/103)). Kesimpulan Jelas bahwa tidak ada kontradiksi dalam masalah ini. Penggabungan harta hanya berlaku untuk melengkapi nisab, tetapi tidak berlaku dalam perhitungan haul, kecuali jika pemiliknya memilih untuk menyamakannya. Dengan demikian, zakat wajib dikeluarkan jika uang kertas yang dimiliki mencapai nisab terkecil dari emas atau perak, atau jika digabungkan dengan harta lainnya hingga nisabnya sempurna. Wallahu A’lam.   Referensi: Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 537539 Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 220039   –   Senin dinihari, 17 Ramadhan 1446 H, 17 Maret 2025 @ Darush Sholihin Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara bayar zakat fatwa zakat uang harta yang dizakati harta zakat hukum zakat uang keutamaan bayar zakat nisab zakat emas nisab zakat perak nishab zakat panduan zakat penggabungan nisab zakat perhitungan zakat uang Zakat zakat emas dan perak zakat perdagangan zakat uang dalam Islam zakat uang kertas

Berat Beramal di Bulan Ramadan? Lihat Kondisi Hatimu!

Bulan Ramadan merupakan waktu yang penuh berkah dan rahmat, di mana umat Islam diberi kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Namun, bagi sebagian orang, menjalankan ibadah di bulan ini bisa terasa berat. Ada yang merasa sulit untuk menjalani puasa, salat tarawih, atau bahkan memperbanyak membaca Al-Qur’an. Mengapa demikian? Mungkin jawabannya terletak pada kondisi hatinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada kondisi hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Dari hadis di atas, dapat kita ketahui bahwa yang menjadi standar kemuliaan seseorang di sisi Allah Ta’ala adalah bagaimana kondisi hatinya, baik atau tidak. Ramadan merupakan salah satu momen yang paling pas bagi kita untuk mengevaluasi kondisi hati. Kita tidak bisa melihat secara langsung atau secara fisik bagaimana kondisi hati, apakah kotor ataukah bersih, apakah sehat ataukah sakit, tidak bisa kita lihat dengan mata kepala. Namun, kita bisa menilainya, bagaimana cara kita menilainya, terkhusus di bulan Ramadan? Yaitu, dengan melihat bagaimana kondisi kita ketika mengetahui banyak pilihan beramal di bulan Ramadan. Orang-orang yang hatinya bersih akan mudah dan ringan melakukan berbagai amal ketaatan tersebut. Sedangkan bagi orang-orang yang merasa berat untuk beramal saleh di bulan Ramadan, padahal Allah sudah bentangkan seluas-luasnya pilihan untuk beramal di bulan Ramadan, maka itu adalah salah satu tanda kondisi hati yang kotor. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء، فإذا هو نزع واستغفر وتاب سقل قلبه وإن عاد زيد فيها حتى تعلو قلبه، وهو الران الذي ذكر الله { كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون } “Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristigfar dan bertobat, niscaya noda itu akan dihapus. Tetapi, jika dia kembali berbuat dosa, niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah penutup yang difirmankan Allah, ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka.’ (QS. Al-Muthaffifin: 14)” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Hadis ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal Tatkala seseorang sudah asyik bermaksiat terus menerus, maka akan tertutup dan terkunci hatinya. Apabila hati telah terkunci, maka akan berat untuk melakukan berbagai amal ketaatan. Ada dua contoh yang paling mudah untuk kita mengevaluasi kondisi hati kita di bulan Ramadan. Pertama, bagaimana kita merespon salat malam di bulan Ramadan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal, يَا بِلَالُ ! أَرِحْنـــَا بِالصَّلَاة “Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan salat” (HR. Ahmad no. 23088 dan Abu Dawud no. 4985. Lihat Shahih Al Jami’ no. 7892) Salat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang mengistirahatkan. Hal ini sebagaimana anak sekolah. Ketika ia sedang melaksanakan mata pelajaran, maka yang ia tunggu adalah waktu istirahat. Saat ia sudah masuk waktu istirahat, ia ingin berlama-lama di waktu istirahat tersebut dan tidak ingin segera kembali ke mata pelajaran berikutnya. Demikianlah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau merasa senang dan merasa penyejuk hati beliau itu ada di dalam salat. Hal ini tentu berbeda dengan orang-orang yang kondisi hatinya kotor dan tidak sehat, sehingga teramat berat bagi mereka untuk mengerjakan salat. Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id, semalaman aku dalam keadaan sehat, lalu aku ingin melakukan salat malam dan aku telah menyiapkan kebutuhan untuk bersuci, tapi mengapa aku tidak dapat bangun?” Al-Hasan menjawab, “Dosa-dosamu mengikatmu.” (Lihat Ihya’u ‘Ulumid Din, 1: 313) Kedua, bagaimana semangat kita dalam membaca Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ “Bulan Ramadan yang di dalamnya (mulai) diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata yang menunjuk kepada kebenaran, yang membedakan antara yang hak dan yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 185) Ayat ini menegaskan bahwa bulan Ramadan bukan hanya sekadar bulan puasa, tetapi juga bulan yang penuh dengan petunjuk dan hikmah, yang salah satunya adalah penurunan Al-Qur’an sebagai wahyu untuk umat manusia. Oleh karena itu, bulan Ramadan menjadi saat yang sangat tepat bagi umat Islam untuk lebih mendalami, membaca, dan mengamalkan Al-Qur’an. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengatakan, لَوْ طَهُرَتْ قُلُوبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ “Andai hatimu benar-benar bersih, niscaya engkau tidak akan pernah bosan untuk membaca firman-firman Allah.” (Lihat Az-Zuhd karya Imam Ahmad no. 686 dan Ighasat Al-Lahfan min Mashayid Asy-Syayathin, 1: 64) Seandainya hati kita adalah hati yang bersih, maka dia tidak akan pernah merasa kenyang dari membaca firman Allah Ta’ala dan tidak akan pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah bacaan Al-Qur’an. Maka, jika kita mendapati kondisi kita tidak bersemangat dalam melaksanakan salat atau membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan ini, maka perlu kita curigai keadaan dan kondisi hati kita yang sedang tertawan oleh kotoran-kotoran dosa. Supaya hati tersebut kembali bersih dan sehat, adalah dengan memperbanyak istigfar, memohon ampunan kepada Allah Ta’ala, dan bertobat kepada-Nya. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi kita semua untuk melaksanakan dalam berbagai ketaatan terkhusus di bulan yang suci, bulan Ramadan. Baca juga: Tidak Berlebihan dalam Beramal Itu Lebih Utama *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Kultum Ustadz Muhammad Rezki Hr melalui link: https://www.youtube.com/live/833nV71GeB0?si=pyQ_jIhI-TP9ByZC

Berat Beramal di Bulan Ramadan? Lihat Kondisi Hatimu!

Bulan Ramadan merupakan waktu yang penuh berkah dan rahmat, di mana umat Islam diberi kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Namun, bagi sebagian orang, menjalankan ibadah di bulan ini bisa terasa berat. Ada yang merasa sulit untuk menjalani puasa, salat tarawih, atau bahkan memperbanyak membaca Al-Qur’an. Mengapa demikian? Mungkin jawabannya terletak pada kondisi hatinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada kondisi hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Dari hadis di atas, dapat kita ketahui bahwa yang menjadi standar kemuliaan seseorang di sisi Allah Ta’ala adalah bagaimana kondisi hatinya, baik atau tidak. Ramadan merupakan salah satu momen yang paling pas bagi kita untuk mengevaluasi kondisi hati. Kita tidak bisa melihat secara langsung atau secara fisik bagaimana kondisi hati, apakah kotor ataukah bersih, apakah sehat ataukah sakit, tidak bisa kita lihat dengan mata kepala. Namun, kita bisa menilainya, bagaimana cara kita menilainya, terkhusus di bulan Ramadan? Yaitu, dengan melihat bagaimana kondisi kita ketika mengetahui banyak pilihan beramal di bulan Ramadan. Orang-orang yang hatinya bersih akan mudah dan ringan melakukan berbagai amal ketaatan tersebut. Sedangkan bagi orang-orang yang merasa berat untuk beramal saleh di bulan Ramadan, padahal Allah sudah bentangkan seluas-luasnya pilihan untuk beramal di bulan Ramadan, maka itu adalah salah satu tanda kondisi hati yang kotor. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء، فإذا هو نزع واستغفر وتاب سقل قلبه وإن عاد زيد فيها حتى تعلو قلبه، وهو الران الذي ذكر الله { كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون } “Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristigfar dan bertobat, niscaya noda itu akan dihapus. Tetapi, jika dia kembali berbuat dosa, niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah penutup yang difirmankan Allah, ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka.’ (QS. Al-Muthaffifin: 14)” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Hadis ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal Tatkala seseorang sudah asyik bermaksiat terus menerus, maka akan tertutup dan terkunci hatinya. Apabila hati telah terkunci, maka akan berat untuk melakukan berbagai amal ketaatan. Ada dua contoh yang paling mudah untuk kita mengevaluasi kondisi hati kita di bulan Ramadan. Pertama, bagaimana kita merespon salat malam di bulan Ramadan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal, يَا بِلَالُ ! أَرِحْنـــَا بِالصَّلَاة “Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan salat” (HR. Ahmad no. 23088 dan Abu Dawud no. 4985. Lihat Shahih Al Jami’ no. 7892) Salat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang mengistirahatkan. Hal ini sebagaimana anak sekolah. Ketika ia sedang melaksanakan mata pelajaran, maka yang ia tunggu adalah waktu istirahat. Saat ia sudah masuk waktu istirahat, ia ingin berlama-lama di waktu istirahat tersebut dan tidak ingin segera kembali ke mata pelajaran berikutnya. Demikianlah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau merasa senang dan merasa penyejuk hati beliau itu ada di dalam salat. Hal ini tentu berbeda dengan orang-orang yang kondisi hatinya kotor dan tidak sehat, sehingga teramat berat bagi mereka untuk mengerjakan salat. Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id, semalaman aku dalam keadaan sehat, lalu aku ingin melakukan salat malam dan aku telah menyiapkan kebutuhan untuk bersuci, tapi mengapa aku tidak dapat bangun?” Al-Hasan menjawab, “Dosa-dosamu mengikatmu.” (Lihat Ihya’u ‘Ulumid Din, 1: 313) Kedua, bagaimana semangat kita dalam membaca Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ “Bulan Ramadan yang di dalamnya (mulai) diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata yang menunjuk kepada kebenaran, yang membedakan antara yang hak dan yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 185) Ayat ini menegaskan bahwa bulan Ramadan bukan hanya sekadar bulan puasa, tetapi juga bulan yang penuh dengan petunjuk dan hikmah, yang salah satunya adalah penurunan Al-Qur’an sebagai wahyu untuk umat manusia. Oleh karena itu, bulan Ramadan menjadi saat yang sangat tepat bagi umat Islam untuk lebih mendalami, membaca, dan mengamalkan Al-Qur’an. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengatakan, لَوْ طَهُرَتْ قُلُوبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ “Andai hatimu benar-benar bersih, niscaya engkau tidak akan pernah bosan untuk membaca firman-firman Allah.” (Lihat Az-Zuhd karya Imam Ahmad no. 686 dan Ighasat Al-Lahfan min Mashayid Asy-Syayathin, 1: 64) Seandainya hati kita adalah hati yang bersih, maka dia tidak akan pernah merasa kenyang dari membaca firman Allah Ta’ala dan tidak akan pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah bacaan Al-Qur’an. Maka, jika kita mendapati kondisi kita tidak bersemangat dalam melaksanakan salat atau membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan ini, maka perlu kita curigai keadaan dan kondisi hati kita yang sedang tertawan oleh kotoran-kotoran dosa. Supaya hati tersebut kembali bersih dan sehat, adalah dengan memperbanyak istigfar, memohon ampunan kepada Allah Ta’ala, dan bertobat kepada-Nya. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi kita semua untuk melaksanakan dalam berbagai ketaatan terkhusus di bulan yang suci, bulan Ramadan. Baca juga: Tidak Berlebihan dalam Beramal Itu Lebih Utama *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Kultum Ustadz Muhammad Rezki Hr melalui link: https://www.youtube.com/live/833nV71GeB0?si=pyQ_jIhI-TP9ByZC
Bulan Ramadan merupakan waktu yang penuh berkah dan rahmat, di mana umat Islam diberi kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Namun, bagi sebagian orang, menjalankan ibadah di bulan ini bisa terasa berat. Ada yang merasa sulit untuk menjalani puasa, salat tarawih, atau bahkan memperbanyak membaca Al-Qur’an. Mengapa demikian? Mungkin jawabannya terletak pada kondisi hatinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada kondisi hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Dari hadis di atas, dapat kita ketahui bahwa yang menjadi standar kemuliaan seseorang di sisi Allah Ta’ala adalah bagaimana kondisi hatinya, baik atau tidak. Ramadan merupakan salah satu momen yang paling pas bagi kita untuk mengevaluasi kondisi hati. Kita tidak bisa melihat secara langsung atau secara fisik bagaimana kondisi hati, apakah kotor ataukah bersih, apakah sehat ataukah sakit, tidak bisa kita lihat dengan mata kepala. Namun, kita bisa menilainya, bagaimana cara kita menilainya, terkhusus di bulan Ramadan? Yaitu, dengan melihat bagaimana kondisi kita ketika mengetahui banyak pilihan beramal di bulan Ramadan. Orang-orang yang hatinya bersih akan mudah dan ringan melakukan berbagai amal ketaatan tersebut. Sedangkan bagi orang-orang yang merasa berat untuk beramal saleh di bulan Ramadan, padahal Allah sudah bentangkan seluas-luasnya pilihan untuk beramal di bulan Ramadan, maka itu adalah salah satu tanda kondisi hati yang kotor. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء، فإذا هو نزع واستغفر وتاب سقل قلبه وإن عاد زيد فيها حتى تعلو قلبه، وهو الران الذي ذكر الله { كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون } “Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristigfar dan bertobat, niscaya noda itu akan dihapus. Tetapi, jika dia kembali berbuat dosa, niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah penutup yang difirmankan Allah, ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka.’ (QS. Al-Muthaffifin: 14)” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Hadis ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal Tatkala seseorang sudah asyik bermaksiat terus menerus, maka akan tertutup dan terkunci hatinya. Apabila hati telah terkunci, maka akan berat untuk melakukan berbagai amal ketaatan. Ada dua contoh yang paling mudah untuk kita mengevaluasi kondisi hati kita di bulan Ramadan. Pertama, bagaimana kita merespon salat malam di bulan Ramadan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal, يَا بِلَالُ ! أَرِحْنـــَا بِالصَّلَاة “Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan salat” (HR. Ahmad no. 23088 dan Abu Dawud no. 4985. Lihat Shahih Al Jami’ no. 7892) Salat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang mengistirahatkan. Hal ini sebagaimana anak sekolah. Ketika ia sedang melaksanakan mata pelajaran, maka yang ia tunggu adalah waktu istirahat. Saat ia sudah masuk waktu istirahat, ia ingin berlama-lama di waktu istirahat tersebut dan tidak ingin segera kembali ke mata pelajaran berikutnya. Demikianlah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau merasa senang dan merasa penyejuk hati beliau itu ada di dalam salat. Hal ini tentu berbeda dengan orang-orang yang kondisi hatinya kotor dan tidak sehat, sehingga teramat berat bagi mereka untuk mengerjakan salat. Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id, semalaman aku dalam keadaan sehat, lalu aku ingin melakukan salat malam dan aku telah menyiapkan kebutuhan untuk bersuci, tapi mengapa aku tidak dapat bangun?” Al-Hasan menjawab, “Dosa-dosamu mengikatmu.” (Lihat Ihya’u ‘Ulumid Din, 1: 313) Kedua, bagaimana semangat kita dalam membaca Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ “Bulan Ramadan yang di dalamnya (mulai) diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata yang menunjuk kepada kebenaran, yang membedakan antara yang hak dan yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 185) Ayat ini menegaskan bahwa bulan Ramadan bukan hanya sekadar bulan puasa, tetapi juga bulan yang penuh dengan petunjuk dan hikmah, yang salah satunya adalah penurunan Al-Qur’an sebagai wahyu untuk umat manusia. Oleh karena itu, bulan Ramadan menjadi saat yang sangat tepat bagi umat Islam untuk lebih mendalami, membaca, dan mengamalkan Al-Qur’an. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengatakan, لَوْ طَهُرَتْ قُلُوبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ “Andai hatimu benar-benar bersih, niscaya engkau tidak akan pernah bosan untuk membaca firman-firman Allah.” (Lihat Az-Zuhd karya Imam Ahmad no. 686 dan Ighasat Al-Lahfan min Mashayid Asy-Syayathin, 1: 64) Seandainya hati kita adalah hati yang bersih, maka dia tidak akan pernah merasa kenyang dari membaca firman Allah Ta’ala dan tidak akan pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah bacaan Al-Qur’an. Maka, jika kita mendapati kondisi kita tidak bersemangat dalam melaksanakan salat atau membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan ini, maka perlu kita curigai keadaan dan kondisi hati kita yang sedang tertawan oleh kotoran-kotoran dosa. Supaya hati tersebut kembali bersih dan sehat, adalah dengan memperbanyak istigfar, memohon ampunan kepada Allah Ta’ala, dan bertobat kepada-Nya. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi kita semua untuk melaksanakan dalam berbagai ketaatan terkhusus di bulan yang suci, bulan Ramadan. Baca juga: Tidak Berlebihan dalam Beramal Itu Lebih Utama *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Kultum Ustadz Muhammad Rezki Hr melalui link: https://www.youtube.com/live/833nV71GeB0?si=pyQ_jIhI-TP9ByZC


Bulan Ramadan merupakan waktu yang penuh berkah dan rahmat, di mana umat Islam diberi kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Namun, bagi sebagian orang, menjalankan ibadah di bulan ini bisa terasa berat. Ada yang merasa sulit untuk menjalani puasa, salat tarawih, atau bahkan memperbanyak membaca Al-Qur’an. Mengapa demikian? Mungkin jawabannya terletak pada kondisi hatinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada kondisi hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Dari hadis di atas, dapat kita ketahui bahwa yang menjadi standar kemuliaan seseorang di sisi Allah Ta’ala adalah bagaimana kondisi hatinya, baik atau tidak. Ramadan merupakan salah satu momen yang paling pas bagi kita untuk mengevaluasi kondisi hati. Kita tidak bisa melihat secara langsung atau secara fisik bagaimana kondisi hati, apakah kotor ataukah bersih, apakah sehat ataukah sakit, tidak bisa kita lihat dengan mata kepala. Namun, kita bisa menilainya, bagaimana cara kita menilainya, terkhusus di bulan Ramadan? Yaitu, dengan melihat bagaimana kondisi kita ketika mengetahui banyak pilihan beramal di bulan Ramadan. Orang-orang yang hatinya bersih akan mudah dan ringan melakukan berbagai amal ketaatan tersebut. Sedangkan bagi orang-orang yang merasa berat untuk beramal saleh di bulan Ramadan, padahal Allah sudah bentangkan seluas-luasnya pilihan untuk beramal di bulan Ramadan, maka itu adalah salah satu tanda kondisi hati yang kotor. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء، فإذا هو نزع واستغفر وتاب سقل قلبه وإن عاد زيد فيها حتى تعلو قلبه، وهو الران الذي ذكر الله { كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون } “Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristigfar dan bertobat, niscaya noda itu akan dihapus. Tetapi, jika dia kembali berbuat dosa, niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah penutup yang difirmankan Allah, ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka.’ (QS. Al-Muthaffifin: 14)” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Hadis ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi) Baca juga: Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal Tatkala seseorang sudah asyik bermaksiat terus menerus, maka akan tertutup dan terkunci hatinya. Apabila hati telah terkunci, maka akan berat untuk melakukan berbagai amal ketaatan. Ada dua contoh yang paling mudah untuk kita mengevaluasi kondisi hati kita di bulan Ramadan. Pertama, bagaimana kita merespon salat malam di bulan Ramadan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Bilal, يَا بِلَالُ ! أَرِحْنـــَا بِالصَّلَاة “Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan salat” (HR. Ahmad no. 23088 dan Abu Dawud no. 4985. Lihat Shahih Al Jami’ no. 7892) Salat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang mengistirahatkan. Hal ini sebagaimana anak sekolah. Ketika ia sedang melaksanakan mata pelajaran, maka yang ia tunggu adalah waktu istirahat. Saat ia sudah masuk waktu istirahat, ia ingin berlama-lama di waktu istirahat tersebut dan tidak ingin segera kembali ke mata pelajaran berikutnya. Demikianlah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau merasa senang dan merasa penyejuk hati beliau itu ada di dalam salat. Hal ini tentu berbeda dengan orang-orang yang kondisi hatinya kotor dan tidak sehat, sehingga teramat berat bagi mereka untuk mengerjakan salat. Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id, semalaman aku dalam keadaan sehat, lalu aku ingin melakukan salat malam dan aku telah menyiapkan kebutuhan untuk bersuci, tapi mengapa aku tidak dapat bangun?” Al-Hasan menjawab, “Dosa-dosamu mengikatmu.” (Lihat Ihya’u ‘Ulumid Din, 1: 313) Kedua, bagaimana semangat kita dalam membaca Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ “Bulan Ramadan yang di dalamnya (mulai) diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata yang menunjuk kepada kebenaran, yang membedakan antara yang hak dan yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 185) Ayat ini menegaskan bahwa bulan Ramadan bukan hanya sekadar bulan puasa, tetapi juga bulan yang penuh dengan petunjuk dan hikmah, yang salah satunya adalah penurunan Al-Qur’an sebagai wahyu untuk umat manusia. Oleh karena itu, bulan Ramadan menjadi saat yang sangat tepat bagi umat Islam untuk lebih mendalami, membaca, dan mengamalkan Al-Qur’an. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengatakan, لَوْ طَهُرَتْ قُلُوبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ “Andai hatimu benar-benar bersih, niscaya engkau tidak akan pernah bosan untuk membaca firman-firman Allah.” (Lihat Az-Zuhd karya Imam Ahmad no. 686 dan Ighasat Al-Lahfan min Mashayid Asy-Syayathin, 1: 64) Seandainya hati kita adalah hati yang bersih, maka dia tidak akan pernah merasa kenyang dari membaca firman Allah Ta’ala dan tidak akan pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah bacaan Al-Qur’an. Maka, jika kita mendapati kondisi kita tidak bersemangat dalam melaksanakan salat atau membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan ini, maka perlu kita curigai keadaan dan kondisi hati kita yang sedang tertawan oleh kotoran-kotoran dosa. Supaya hati tersebut kembali bersih dan sehat, adalah dengan memperbanyak istigfar, memohon ampunan kepada Allah Ta’ala, dan bertobat kepada-Nya. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi kita semua untuk melaksanakan dalam berbagai ketaatan terkhusus di bulan yang suci, bulan Ramadan. Baca juga: Tidak Berlebihan dalam Beramal Itu Lebih Utama *** Penulis: Arif Muhammad N Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari Kultum Ustadz Muhammad Rezki Hr melalui link: https://www.youtube.com/live/833nV71GeB0?si=pyQ_jIhI-TP9ByZC

Kebanyakan Orang Menyesal di Akhir Hidupnya karena Hal Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Saudara-saudara, orang yang lebih mementingkan dunia adalah orang yang cacat pada pikiran, pandangan, dan akalnya. Allah Ta’ala berfirman: “Sungguh mereka (orang-orang kafir) itu mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan di belakang mereka hari yang berat (akhirat).” (QS. al-Insan: 27). Allah menyebut dunia itu: cepat berlalu. Betapa cepat berlalu hari-hari dan tahun-tahunnya, saudara-saudara!Dunia begitu cepat berlalu. Allah juga berfirman–sebagaimana telah kita bahas: “Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia, Kami segerakan baginya apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki…” (QS. al-Isra: 18). Jika dunia yang diberikan sesuai dengan kehendak Allah, maka manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang telah Allah tetapkan baginya. Allah juga berfirman: “Sekali-kali janganlah. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan) akhirat.” (QS. al-Qiyamah: 20 – 21). Allah juga berfirman: “Bagaimana menurutmu jika Kami berikan kenikmatan hidup kepada mereka beberapa tahun? Kemudian, datang azab yang diancamkan kepada mereka? Niscaya kenikmatan yang mereka rasakan tidak berguna baginya.” (QS. asy-Syu’ara: 205 – 207). Orang yang diberi kenikmatan di dunia,dan dibukakan baginya harta-harta dunia ini, andai setelah itu ia didatangi berbagai hal yang biasa datang kepadanya di dunia,misalkan, datang kepadanya penyakit,ia akan berharap tidak punya harta dunia sedikit pun,demi kesehatannya bisa kembali, atau ia mati saja. Lalu ia akan meninggalkan dunia ini bagi penerusnya.Sedangkan ia harus menanggung hisab, balasan, dan azabnya.Laa quwwata illaa billaah! Allah Ta’ala berfirman: “Maka apakah orang yang Kami janjikan kepadanya janji yang baik (surga) lalu dia memperolehnya sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi kemudian pada hari Kiamat dia termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?” (QS. al-Qashash: 61). Allah juga berfirman: “Jangan sekali-kali kamu terpedaya oleh bolak-balik perjalanan orang-orang kafir di seluruh negeri. Semua itu hanyalah kesenangan sementara,lalu tempat kembali mereka ialah neraka Jahanam. Itulah seburuk-buruk tempat tinggal.” (QS. Ali Imran: 196 – 197). Intinya, seorang insan hendaklah memperhatikan dan merenungi keadaan dunia. Jangan sampai dunia menjadi tujuannya. Di dunia ada berbagai hal yang indah, tidak diragukan lagi. Apa hal paling indah di dunia, saudara-saudara? Apa yang kalian lakukan sekarang ini: menuntut ilmu dan beribadah, serta menginfakkan harta yang ada di tangan seorang insan, untuk disalurkan ke berbagai bidang kebaikan. Saudara-saudara, harta tidak tercela dari sisi zatnya.Namun yang tercela adalah apa yang dilakukan pemiliknya terhadap harta itu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bahwa sebaik-baik harta adalah yang dimiliki orang beriman, yang dipakai untuk memberi makan anak yatim, orang miskin, dan musafir yang kehabisan bekal. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang tidak benar, maka ia seperti orang yang makan tapi tidak pernah kenyang, dan harta akan menjadi saksi yang menuntutnya pada hari kiamat. Hal terbaik yang ada di dunia adalah ia menjadi tempat menanam; di sana ditanam amal-amal saleh. Kelak, setiap orang akan dibalas atas amalannya; orang-orang yang menanam akan memanen apa yang telah mereka tanam. Jika mereka berbuat baik, sesungguhnya mereka berbuat baik terhadap diri sendiri. Jika mereka berbuat buruk, maka betapa buruknya apa yang mereka perbuat. Maka, perhatikanlah dunia, dan renungkan apa yang terjadi padanya, juga para penghuninya yang terdahulu dan di zaman ini. Rabb kalian telah memerintahkan ini: “Demikianlah Allah menjelaskan bagi kalian ayat-ayat-Nya, agar kalian berpikir tentang dunia dan akhirat…” (QS. al-Baqarah: 219 – 220). Sehingga ketika kamu telah mengenal hakikat dunia, kamu akan memberikannya sesuatu sesuai dengan kadar yang layak baginya. Begitupula ketika seorang hamba telah mengenal akhirat, ia akan memberikan untuknya apa yang Allah mudahkan baginya, serta apa yang dapat membantunya, berupa keimanan dan amal saleh. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua menuju kebaikan, dan mengaruniakan kepada kita semua tobat kepada-Nya. Serta mengaruniakan kepada kita semua ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Semoga Allah memberkahi kalian, saudara-saudara! ==== وَمَنْ يُؤْثِرُ الدُّنْيَا يَا إِخْوَانِي قَاصِرٌ فِي فِكْرِهِ وَنَظَرِهِ وَفِي عَقْلِهِ قَالَ تَعَالَى إِنَّ هَٰؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا وَصَفَهَا بِأَنَّهَا عَاجِلَةٌ وَمَا أَسْرَعَ مَا تَمُرُّ يَا إِخْوَانِي أَيَّامُهَا أَعْوَامُهَا الْعَاجِلَةُ وَقَالَ مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ – كَمَا مَرَّ بِنَا – عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيْدُ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ إِرَادَتُهُ فَلَنْ يَأْتِيَهُ إِلَّا مَا قَسَمَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَهُ وَقَالَ كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَتَذَرُوْنَ الْآخِرَةَ وَقَالَ أَفَرَأَيْتَ إِن مَّتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ ثُمَّ جَاءَهُم مَّا كَانُوا يُوعَدُونَ مَا أَغْنَىٰ عَنْهُم مَّا كَانُوا يُمَتَّعُونَ هَذَا الَّذِي مُتِّعَ فِي الدُّنْيَا وَفُتِحَتْ لَهُ خَيْرَاتُهَا تَأْتِيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ مَا يَأْتِيهِ فِي الدُّنْيَا يَأْتِيْهِ مَرَضٌ ثُمَّ يَتَمَنَّى أَنْ لَوْ كَانَ لَا يَمْلِكُ مِنَ الدُّنْيَا شَيْئًا حَتَّى تَعُودَ عَلَيْهِ صِحَّتُهُ أَوْ يَمُوتَ وَيَتْرُكُ هَذِهِ الدُّنْيَا لِمَنْ وَرَاءَهُ وَيَقْدُمُ هُوَ عَلَى حِسَابِهَا وَجَزَائِهَا وَعَذَابِهَا وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ تَعَالَى أَفَمَن وَعَدْنَاهُ وَعْدًا حَسَنًا فَهُوَ لَاقِيهِ كَمَن مَّتَّعْنَاهُ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ هُوَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْمُحْضَرِينَ وَقَالَ لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ الْمَقْصُودُ هُوَ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَأَمَّلُ فِي الدُّنْيَا يَا إِخْوَانُ وَيُفَكِّرُ فِيهَا وَلَا تَكُنْ غَايَتَهُ الدُّنْيَا فِيهَا أَشْيَاءُ جَمِيلَةٌ لاَ شَكَّ وَأَجْمَلُ مَا فِيهَا مَا هُوَ يَا إِخْوَانُ؟ أَنْتُمْ بِصَدَدِهَا طَلَبُ الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةُ وَإِنْفَاقُ مَا يَكُونُ فِي يَدِ الْإِنْسَانِ مِنْ خَيْرَاتِهَا فِي طُرُقِ الْخَيْرِ مَا يُذَمُّ يَا إِخْوَانِي الْمَالُ بِذَاتِهِ وَإِنَّمَا يُذَمُّ بِمَا يَعْمَلُ بِهِ صَاحِبُهُ وَإِلَّا فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنِعْمَ هُوَ الصَّاحِبُ الْمُؤْمِنُ مَا أَطْعَمَ مِنْهُ الْيَتِيمَ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ كَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَيَكُونُ شَهِيدًا عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحْسَنُ مَا فِي الدُّنْيَا أَنَّهَا مَزْرَعَةٌ تَزْرَعُ فِيهَا الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ وَغَدًا تُوَفَّى النُّفُوسُ مَا كَسَبَتْ وَيَحْصُدُ الزَّارِعُونَ مَا زَرَعُوا إِنْ أَحْسَنُوا أَحْسَنُوا لِأَنْفُسِهِمْ وَإِنْ أَسَاءُوا فَبِئْسَ مَا صَنَعُوا فَتَأَمَّلُوا يَا إِخْوَانِي فِي الدُّنْيَا وَفَكِّرُوا فِي صَنِيعِهَا فِي أَهْلِهَا الْأَوَّلِيْنَ وَالْمَوْجُوْدِيْنَ فِي هَذَا الزَّمَانِ وَرَبُّكُمْ أَمَرَكُمْ بِذَلِكَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ حَتَّى إِذَا عَرَفْتَ الدُّنْيَا أُعْطِيتَهَا شَيْئًا لِمَا تَسْتَحِقُّ وَحَتَّى إِذَا عَرَفَ الْعَبْدُ الْآخِرَةَ يَا إِخْوَانُ أَعْطَاهَا مَا يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَا يُعِينُهُ عَلَيْهِ مِنَ الْإِيمَانِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَفَّقَ اللَّهُ جَمِيعًا لِلْخَيْرِ وَرَزَقَنَا وَإِيَّاكُمْ الْإِنَابَةَ إِلَيْهِ وَرَزَقَنَا جَمِيعًا الْعِلْمَ النَّافِعَ وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ يَا إِخْوَانُ

Kebanyakan Orang Menyesal di Akhir Hidupnya karena Hal Ini – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Saudara-saudara, orang yang lebih mementingkan dunia adalah orang yang cacat pada pikiran, pandangan, dan akalnya. Allah Ta’ala berfirman: “Sungguh mereka (orang-orang kafir) itu mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan di belakang mereka hari yang berat (akhirat).” (QS. al-Insan: 27). Allah menyebut dunia itu: cepat berlalu. Betapa cepat berlalu hari-hari dan tahun-tahunnya, saudara-saudara!Dunia begitu cepat berlalu. Allah juga berfirman–sebagaimana telah kita bahas: “Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia, Kami segerakan baginya apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki…” (QS. al-Isra: 18). Jika dunia yang diberikan sesuai dengan kehendak Allah, maka manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang telah Allah tetapkan baginya. Allah juga berfirman: “Sekali-kali janganlah. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan) akhirat.” (QS. al-Qiyamah: 20 – 21). Allah juga berfirman: “Bagaimana menurutmu jika Kami berikan kenikmatan hidup kepada mereka beberapa tahun? Kemudian, datang azab yang diancamkan kepada mereka? Niscaya kenikmatan yang mereka rasakan tidak berguna baginya.” (QS. asy-Syu’ara: 205 – 207). Orang yang diberi kenikmatan di dunia,dan dibukakan baginya harta-harta dunia ini, andai setelah itu ia didatangi berbagai hal yang biasa datang kepadanya di dunia,misalkan, datang kepadanya penyakit,ia akan berharap tidak punya harta dunia sedikit pun,demi kesehatannya bisa kembali, atau ia mati saja. Lalu ia akan meninggalkan dunia ini bagi penerusnya.Sedangkan ia harus menanggung hisab, balasan, dan azabnya.Laa quwwata illaa billaah! Allah Ta’ala berfirman: “Maka apakah orang yang Kami janjikan kepadanya janji yang baik (surga) lalu dia memperolehnya sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi kemudian pada hari Kiamat dia termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?” (QS. al-Qashash: 61). Allah juga berfirman: “Jangan sekali-kali kamu terpedaya oleh bolak-balik perjalanan orang-orang kafir di seluruh negeri. Semua itu hanyalah kesenangan sementara,lalu tempat kembali mereka ialah neraka Jahanam. Itulah seburuk-buruk tempat tinggal.” (QS. Ali Imran: 196 – 197). Intinya, seorang insan hendaklah memperhatikan dan merenungi keadaan dunia. Jangan sampai dunia menjadi tujuannya. Di dunia ada berbagai hal yang indah, tidak diragukan lagi. Apa hal paling indah di dunia, saudara-saudara? Apa yang kalian lakukan sekarang ini: menuntut ilmu dan beribadah, serta menginfakkan harta yang ada di tangan seorang insan, untuk disalurkan ke berbagai bidang kebaikan. Saudara-saudara, harta tidak tercela dari sisi zatnya.Namun yang tercela adalah apa yang dilakukan pemiliknya terhadap harta itu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bahwa sebaik-baik harta adalah yang dimiliki orang beriman, yang dipakai untuk memberi makan anak yatim, orang miskin, dan musafir yang kehabisan bekal. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang tidak benar, maka ia seperti orang yang makan tapi tidak pernah kenyang, dan harta akan menjadi saksi yang menuntutnya pada hari kiamat. Hal terbaik yang ada di dunia adalah ia menjadi tempat menanam; di sana ditanam amal-amal saleh. Kelak, setiap orang akan dibalas atas amalannya; orang-orang yang menanam akan memanen apa yang telah mereka tanam. Jika mereka berbuat baik, sesungguhnya mereka berbuat baik terhadap diri sendiri. Jika mereka berbuat buruk, maka betapa buruknya apa yang mereka perbuat. Maka, perhatikanlah dunia, dan renungkan apa yang terjadi padanya, juga para penghuninya yang terdahulu dan di zaman ini. Rabb kalian telah memerintahkan ini: “Demikianlah Allah menjelaskan bagi kalian ayat-ayat-Nya, agar kalian berpikir tentang dunia dan akhirat…” (QS. al-Baqarah: 219 – 220). Sehingga ketika kamu telah mengenal hakikat dunia, kamu akan memberikannya sesuatu sesuai dengan kadar yang layak baginya. Begitupula ketika seorang hamba telah mengenal akhirat, ia akan memberikan untuknya apa yang Allah mudahkan baginya, serta apa yang dapat membantunya, berupa keimanan dan amal saleh. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua menuju kebaikan, dan mengaruniakan kepada kita semua tobat kepada-Nya. Serta mengaruniakan kepada kita semua ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Semoga Allah memberkahi kalian, saudara-saudara! ==== وَمَنْ يُؤْثِرُ الدُّنْيَا يَا إِخْوَانِي قَاصِرٌ فِي فِكْرِهِ وَنَظَرِهِ وَفِي عَقْلِهِ قَالَ تَعَالَى إِنَّ هَٰؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا وَصَفَهَا بِأَنَّهَا عَاجِلَةٌ وَمَا أَسْرَعَ مَا تَمُرُّ يَا إِخْوَانِي أَيَّامُهَا أَعْوَامُهَا الْعَاجِلَةُ وَقَالَ مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ – كَمَا مَرَّ بِنَا – عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيْدُ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ إِرَادَتُهُ فَلَنْ يَأْتِيَهُ إِلَّا مَا قَسَمَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَهُ وَقَالَ كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَتَذَرُوْنَ الْآخِرَةَ وَقَالَ أَفَرَأَيْتَ إِن مَّتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ ثُمَّ جَاءَهُم مَّا كَانُوا يُوعَدُونَ مَا أَغْنَىٰ عَنْهُم مَّا كَانُوا يُمَتَّعُونَ هَذَا الَّذِي مُتِّعَ فِي الدُّنْيَا وَفُتِحَتْ لَهُ خَيْرَاتُهَا تَأْتِيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ مَا يَأْتِيهِ فِي الدُّنْيَا يَأْتِيْهِ مَرَضٌ ثُمَّ يَتَمَنَّى أَنْ لَوْ كَانَ لَا يَمْلِكُ مِنَ الدُّنْيَا شَيْئًا حَتَّى تَعُودَ عَلَيْهِ صِحَّتُهُ أَوْ يَمُوتَ وَيَتْرُكُ هَذِهِ الدُّنْيَا لِمَنْ وَرَاءَهُ وَيَقْدُمُ هُوَ عَلَى حِسَابِهَا وَجَزَائِهَا وَعَذَابِهَا وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ تَعَالَى أَفَمَن وَعَدْنَاهُ وَعْدًا حَسَنًا فَهُوَ لَاقِيهِ كَمَن مَّتَّعْنَاهُ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ هُوَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْمُحْضَرِينَ وَقَالَ لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ الْمَقْصُودُ هُوَ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَأَمَّلُ فِي الدُّنْيَا يَا إِخْوَانُ وَيُفَكِّرُ فِيهَا وَلَا تَكُنْ غَايَتَهُ الدُّنْيَا فِيهَا أَشْيَاءُ جَمِيلَةٌ لاَ شَكَّ وَأَجْمَلُ مَا فِيهَا مَا هُوَ يَا إِخْوَانُ؟ أَنْتُمْ بِصَدَدِهَا طَلَبُ الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةُ وَإِنْفَاقُ مَا يَكُونُ فِي يَدِ الْإِنْسَانِ مِنْ خَيْرَاتِهَا فِي طُرُقِ الْخَيْرِ مَا يُذَمُّ يَا إِخْوَانِي الْمَالُ بِذَاتِهِ وَإِنَّمَا يُذَمُّ بِمَا يَعْمَلُ بِهِ صَاحِبُهُ وَإِلَّا فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنِعْمَ هُوَ الصَّاحِبُ الْمُؤْمِنُ مَا أَطْعَمَ مِنْهُ الْيَتِيمَ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ كَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَيَكُونُ شَهِيدًا عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحْسَنُ مَا فِي الدُّنْيَا أَنَّهَا مَزْرَعَةٌ تَزْرَعُ فِيهَا الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ وَغَدًا تُوَفَّى النُّفُوسُ مَا كَسَبَتْ وَيَحْصُدُ الزَّارِعُونَ مَا زَرَعُوا إِنْ أَحْسَنُوا أَحْسَنُوا لِأَنْفُسِهِمْ وَإِنْ أَسَاءُوا فَبِئْسَ مَا صَنَعُوا فَتَأَمَّلُوا يَا إِخْوَانِي فِي الدُّنْيَا وَفَكِّرُوا فِي صَنِيعِهَا فِي أَهْلِهَا الْأَوَّلِيْنَ وَالْمَوْجُوْدِيْنَ فِي هَذَا الزَّمَانِ وَرَبُّكُمْ أَمَرَكُمْ بِذَلِكَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ حَتَّى إِذَا عَرَفْتَ الدُّنْيَا أُعْطِيتَهَا شَيْئًا لِمَا تَسْتَحِقُّ وَحَتَّى إِذَا عَرَفَ الْعَبْدُ الْآخِرَةَ يَا إِخْوَانُ أَعْطَاهَا مَا يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَا يُعِينُهُ عَلَيْهِ مِنَ الْإِيمَانِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَفَّقَ اللَّهُ جَمِيعًا لِلْخَيْرِ وَرَزَقَنَا وَإِيَّاكُمْ الْإِنَابَةَ إِلَيْهِ وَرَزَقَنَا جَمِيعًا الْعِلْمَ النَّافِعَ وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ يَا إِخْوَانُ
Saudara-saudara, orang yang lebih mementingkan dunia adalah orang yang cacat pada pikiran, pandangan, dan akalnya. Allah Ta’ala berfirman: “Sungguh mereka (orang-orang kafir) itu mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan di belakang mereka hari yang berat (akhirat).” (QS. al-Insan: 27). Allah menyebut dunia itu: cepat berlalu. Betapa cepat berlalu hari-hari dan tahun-tahunnya, saudara-saudara!Dunia begitu cepat berlalu. Allah juga berfirman–sebagaimana telah kita bahas: “Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia, Kami segerakan baginya apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki…” (QS. al-Isra: 18). Jika dunia yang diberikan sesuai dengan kehendak Allah, maka manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang telah Allah tetapkan baginya. Allah juga berfirman: “Sekali-kali janganlah. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan) akhirat.” (QS. al-Qiyamah: 20 – 21). Allah juga berfirman: “Bagaimana menurutmu jika Kami berikan kenikmatan hidup kepada mereka beberapa tahun? Kemudian, datang azab yang diancamkan kepada mereka? Niscaya kenikmatan yang mereka rasakan tidak berguna baginya.” (QS. asy-Syu’ara: 205 – 207). Orang yang diberi kenikmatan di dunia,dan dibukakan baginya harta-harta dunia ini, andai setelah itu ia didatangi berbagai hal yang biasa datang kepadanya di dunia,misalkan, datang kepadanya penyakit,ia akan berharap tidak punya harta dunia sedikit pun,demi kesehatannya bisa kembali, atau ia mati saja. Lalu ia akan meninggalkan dunia ini bagi penerusnya.Sedangkan ia harus menanggung hisab, balasan, dan azabnya.Laa quwwata illaa billaah! Allah Ta’ala berfirman: “Maka apakah orang yang Kami janjikan kepadanya janji yang baik (surga) lalu dia memperolehnya sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi kemudian pada hari Kiamat dia termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?” (QS. al-Qashash: 61). Allah juga berfirman: “Jangan sekali-kali kamu terpedaya oleh bolak-balik perjalanan orang-orang kafir di seluruh negeri. Semua itu hanyalah kesenangan sementara,lalu tempat kembali mereka ialah neraka Jahanam. Itulah seburuk-buruk tempat tinggal.” (QS. Ali Imran: 196 – 197). Intinya, seorang insan hendaklah memperhatikan dan merenungi keadaan dunia. Jangan sampai dunia menjadi tujuannya. Di dunia ada berbagai hal yang indah, tidak diragukan lagi. Apa hal paling indah di dunia, saudara-saudara? Apa yang kalian lakukan sekarang ini: menuntut ilmu dan beribadah, serta menginfakkan harta yang ada di tangan seorang insan, untuk disalurkan ke berbagai bidang kebaikan. Saudara-saudara, harta tidak tercela dari sisi zatnya.Namun yang tercela adalah apa yang dilakukan pemiliknya terhadap harta itu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bahwa sebaik-baik harta adalah yang dimiliki orang beriman, yang dipakai untuk memberi makan anak yatim, orang miskin, dan musafir yang kehabisan bekal. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang tidak benar, maka ia seperti orang yang makan tapi tidak pernah kenyang, dan harta akan menjadi saksi yang menuntutnya pada hari kiamat. Hal terbaik yang ada di dunia adalah ia menjadi tempat menanam; di sana ditanam amal-amal saleh. Kelak, setiap orang akan dibalas atas amalannya; orang-orang yang menanam akan memanen apa yang telah mereka tanam. Jika mereka berbuat baik, sesungguhnya mereka berbuat baik terhadap diri sendiri. Jika mereka berbuat buruk, maka betapa buruknya apa yang mereka perbuat. Maka, perhatikanlah dunia, dan renungkan apa yang terjadi padanya, juga para penghuninya yang terdahulu dan di zaman ini. Rabb kalian telah memerintahkan ini: “Demikianlah Allah menjelaskan bagi kalian ayat-ayat-Nya, agar kalian berpikir tentang dunia dan akhirat…” (QS. al-Baqarah: 219 – 220). Sehingga ketika kamu telah mengenal hakikat dunia, kamu akan memberikannya sesuatu sesuai dengan kadar yang layak baginya. Begitupula ketika seorang hamba telah mengenal akhirat, ia akan memberikan untuknya apa yang Allah mudahkan baginya, serta apa yang dapat membantunya, berupa keimanan dan amal saleh. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua menuju kebaikan, dan mengaruniakan kepada kita semua tobat kepada-Nya. Serta mengaruniakan kepada kita semua ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Semoga Allah memberkahi kalian, saudara-saudara! ==== وَمَنْ يُؤْثِرُ الدُّنْيَا يَا إِخْوَانِي قَاصِرٌ فِي فِكْرِهِ وَنَظَرِهِ وَفِي عَقْلِهِ قَالَ تَعَالَى إِنَّ هَٰؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا وَصَفَهَا بِأَنَّهَا عَاجِلَةٌ وَمَا أَسْرَعَ مَا تَمُرُّ يَا إِخْوَانِي أَيَّامُهَا أَعْوَامُهَا الْعَاجِلَةُ وَقَالَ مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ – كَمَا مَرَّ بِنَا – عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيْدُ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ إِرَادَتُهُ فَلَنْ يَأْتِيَهُ إِلَّا مَا قَسَمَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَهُ وَقَالَ كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَتَذَرُوْنَ الْآخِرَةَ وَقَالَ أَفَرَأَيْتَ إِن مَّتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ ثُمَّ جَاءَهُم مَّا كَانُوا يُوعَدُونَ مَا أَغْنَىٰ عَنْهُم مَّا كَانُوا يُمَتَّعُونَ هَذَا الَّذِي مُتِّعَ فِي الدُّنْيَا وَفُتِحَتْ لَهُ خَيْرَاتُهَا تَأْتِيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ مَا يَأْتِيهِ فِي الدُّنْيَا يَأْتِيْهِ مَرَضٌ ثُمَّ يَتَمَنَّى أَنْ لَوْ كَانَ لَا يَمْلِكُ مِنَ الدُّنْيَا شَيْئًا حَتَّى تَعُودَ عَلَيْهِ صِحَّتُهُ أَوْ يَمُوتَ وَيَتْرُكُ هَذِهِ الدُّنْيَا لِمَنْ وَرَاءَهُ وَيَقْدُمُ هُوَ عَلَى حِسَابِهَا وَجَزَائِهَا وَعَذَابِهَا وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ تَعَالَى أَفَمَن وَعَدْنَاهُ وَعْدًا حَسَنًا فَهُوَ لَاقِيهِ كَمَن مَّتَّعْنَاهُ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ هُوَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْمُحْضَرِينَ وَقَالَ لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ الْمَقْصُودُ هُوَ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَأَمَّلُ فِي الدُّنْيَا يَا إِخْوَانُ وَيُفَكِّرُ فِيهَا وَلَا تَكُنْ غَايَتَهُ الدُّنْيَا فِيهَا أَشْيَاءُ جَمِيلَةٌ لاَ شَكَّ وَأَجْمَلُ مَا فِيهَا مَا هُوَ يَا إِخْوَانُ؟ أَنْتُمْ بِصَدَدِهَا طَلَبُ الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةُ وَإِنْفَاقُ مَا يَكُونُ فِي يَدِ الْإِنْسَانِ مِنْ خَيْرَاتِهَا فِي طُرُقِ الْخَيْرِ مَا يُذَمُّ يَا إِخْوَانِي الْمَالُ بِذَاتِهِ وَإِنَّمَا يُذَمُّ بِمَا يَعْمَلُ بِهِ صَاحِبُهُ وَإِلَّا فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنِعْمَ هُوَ الصَّاحِبُ الْمُؤْمِنُ مَا أَطْعَمَ مِنْهُ الْيَتِيمَ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ كَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَيَكُونُ شَهِيدًا عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحْسَنُ مَا فِي الدُّنْيَا أَنَّهَا مَزْرَعَةٌ تَزْرَعُ فِيهَا الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ وَغَدًا تُوَفَّى النُّفُوسُ مَا كَسَبَتْ وَيَحْصُدُ الزَّارِعُونَ مَا زَرَعُوا إِنْ أَحْسَنُوا أَحْسَنُوا لِأَنْفُسِهِمْ وَإِنْ أَسَاءُوا فَبِئْسَ مَا صَنَعُوا فَتَأَمَّلُوا يَا إِخْوَانِي فِي الدُّنْيَا وَفَكِّرُوا فِي صَنِيعِهَا فِي أَهْلِهَا الْأَوَّلِيْنَ وَالْمَوْجُوْدِيْنَ فِي هَذَا الزَّمَانِ وَرَبُّكُمْ أَمَرَكُمْ بِذَلِكَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ حَتَّى إِذَا عَرَفْتَ الدُّنْيَا أُعْطِيتَهَا شَيْئًا لِمَا تَسْتَحِقُّ وَحَتَّى إِذَا عَرَفَ الْعَبْدُ الْآخِرَةَ يَا إِخْوَانُ أَعْطَاهَا مَا يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَا يُعِينُهُ عَلَيْهِ مِنَ الْإِيمَانِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَفَّقَ اللَّهُ جَمِيعًا لِلْخَيْرِ وَرَزَقَنَا وَإِيَّاكُمْ الْإِنَابَةَ إِلَيْهِ وَرَزَقَنَا جَمِيعًا الْعِلْمَ النَّافِعَ وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ يَا إِخْوَانُ


Saudara-saudara, orang yang lebih mementingkan dunia adalah orang yang cacat pada pikiran, pandangan, dan akalnya. Allah Ta’ala berfirman: “Sungguh mereka (orang-orang kafir) itu mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan di belakang mereka hari yang berat (akhirat).” (QS. al-Insan: 27). Allah menyebut dunia itu: cepat berlalu. Betapa cepat berlalu hari-hari dan tahun-tahunnya, saudara-saudara!Dunia begitu cepat berlalu. Allah juga berfirman–sebagaimana telah kita bahas: “Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia, Kami segerakan baginya apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki…” (QS. al-Isra: 18). Jika dunia yang diberikan sesuai dengan kehendak Allah, maka manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang telah Allah tetapkan baginya. Allah juga berfirman: “Sekali-kali janganlah. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan) akhirat.” (QS. al-Qiyamah: 20 – 21). Allah juga berfirman: “Bagaimana menurutmu jika Kami berikan kenikmatan hidup kepada mereka beberapa tahun? Kemudian, datang azab yang diancamkan kepada mereka? Niscaya kenikmatan yang mereka rasakan tidak berguna baginya.” (QS. asy-Syu’ara: 205 – 207). Orang yang diberi kenikmatan di dunia,dan dibukakan baginya harta-harta dunia ini, andai setelah itu ia didatangi berbagai hal yang biasa datang kepadanya di dunia,misalkan, datang kepadanya penyakit,ia akan berharap tidak punya harta dunia sedikit pun,demi kesehatannya bisa kembali, atau ia mati saja. Lalu ia akan meninggalkan dunia ini bagi penerusnya.Sedangkan ia harus menanggung hisab, balasan, dan azabnya.Laa quwwata illaa billaah! Allah Ta’ala berfirman: “Maka apakah orang yang Kami janjikan kepadanya janji yang baik (surga) lalu dia memperolehnya sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi kemudian pada hari Kiamat dia termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?” (QS. al-Qashash: 61). Allah juga berfirman: “Jangan sekali-kali kamu terpedaya oleh bolak-balik perjalanan orang-orang kafir di seluruh negeri. Semua itu hanyalah kesenangan sementara,lalu tempat kembali mereka ialah neraka Jahanam. Itulah seburuk-buruk tempat tinggal.” (QS. Ali Imran: 196 – 197). Intinya, seorang insan hendaklah memperhatikan dan merenungi keadaan dunia. Jangan sampai dunia menjadi tujuannya. Di dunia ada berbagai hal yang indah, tidak diragukan lagi. Apa hal paling indah di dunia, saudara-saudara? Apa yang kalian lakukan sekarang ini: menuntut ilmu dan beribadah, serta menginfakkan harta yang ada di tangan seorang insan, untuk disalurkan ke berbagai bidang kebaikan. Saudara-saudara, harta tidak tercela dari sisi zatnya.Namun yang tercela adalah apa yang dilakukan pemiliknya terhadap harta itu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bahwa sebaik-baik harta adalah yang dimiliki orang beriman, yang dipakai untuk memberi makan anak yatim, orang miskin, dan musafir yang kehabisan bekal. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang tidak benar, maka ia seperti orang yang makan tapi tidak pernah kenyang, dan harta akan menjadi saksi yang menuntutnya pada hari kiamat. Hal terbaik yang ada di dunia adalah ia menjadi tempat menanam; di sana ditanam amal-amal saleh. Kelak, setiap orang akan dibalas atas amalannya; orang-orang yang menanam akan memanen apa yang telah mereka tanam. Jika mereka berbuat baik, sesungguhnya mereka berbuat baik terhadap diri sendiri. Jika mereka berbuat buruk, maka betapa buruknya apa yang mereka perbuat. Maka, perhatikanlah dunia, dan renungkan apa yang terjadi padanya, juga para penghuninya yang terdahulu dan di zaman ini. Rabb kalian telah memerintahkan ini: “Demikianlah Allah menjelaskan bagi kalian ayat-ayat-Nya, agar kalian berpikir tentang dunia dan akhirat…” (QS. al-Baqarah: 219 – 220). Sehingga ketika kamu telah mengenal hakikat dunia, kamu akan memberikannya sesuatu sesuai dengan kadar yang layak baginya. Begitupula ketika seorang hamba telah mengenal akhirat, ia akan memberikan untuknya apa yang Allah mudahkan baginya, serta apa yang dapat membantunya, berupa keimanan dan amal saleh. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua menuju kebaikan, dan mengaruniakan kepada kita semua tobat kepada-Nya. Serta mengaruniakan kepada kita semua ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Semoga Allah memberkahi kalian, saudara-saudara! ==== وَمَنْ يُؤْثِرُ الدُّنْيَا يَا إِخْوَانِي قَاصِرٌ فِي فِكْرِهِ وَنَظَرِهِ وَفِي عَقْلِهِ قَالَ تَعَالَى إِنَّ هَٰؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا وَصَفَهَا بِأَنَّهَا عَاجِلَةٌ وَمَا أَسْرَعَ مَا تَمُرُّ يَا إِخْوَانِي أَيَّامُهَا أَعْوَامُهَا الْعَاجِلَةُ وَقَالَ مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ – كَمَا مَرَّ بِنَا – عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيْدُ إِذَا كَانَتْ هَذِهِ إِرَادَتُهُ فَلَنْ يَأْتِيَهُ إِلَّا مَا قَسَمَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَهُ وَقَالَ كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَتَذَرُوْنَ الْآخِرَةَ وَقَالَ أَفَرَأَيْتَ إِن مَّتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ ثُمَّ جَاءَهُم مَّا كَانُوا يُوعَدُونَ مَا أَغْنَىٰ عَنْهُم مَّا كَانُوا يُمَتَّعُونَ هَذَا الَّذِي مُتِّعَ فِي الدُّنْيَا وَفُتِحَتْ لَهُ خَيْرَاتُهَا تَأْتِيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ مَا يَأْتِيهِ فِي الدُّنْيَا يَأْتِيْهِ مَرَضٌ ثُمَّ يَتَمَنَّى أَنْ لَوْ كَانَ لَا يَمْلِكُ مِنَ الدُّنْيَا شَيْئًا حَتَّى تَعُودَ عَلَيْهِ صِحَّتُهُ أَوْ يَمُوتَ وَيَتْرُكُ هَذِهِ الدُّنْيَا لِمَنْ وَرَاءَهُ وَيَقْدُمُ هُوَ عَلَى حِسَابِهَا وَجَزَائِهَا وَعَذَابِهَا وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ تَعَالَى أَفَمَن وَعَدْنَاهُ وَعْدًا حَسَنًا فَهُوَ لَاقِيهِ كَمَن مَّتَّعْنَاهُ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ هُوَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْمُحْضَرِينَ وَقَالَ لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ الْمَقْصُودُ هُوَ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَتَأَمَّلُ فِي الدُّنْيَا يَا إِخْوَانُ وَيُفَكِّرُ فِيهَا وَلَا تَكُنْ غَايَتَهُ الدُّنْيَا فِيهَا أَشْيَاءُ جَمِيلَةٌ لاَ شَكَّ وَأَجْمَلُ مَا فِيهَا مَا هُوَ يَا إِخْوَانُ؟ أَنْتُمْ بِصَدَدِهَا طَلَبُ الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةُ وَإِنْفَاقُ مَا يَكُونُ فِي يَدِ الْإِنْسَانِ مِنْ خَيْرَاتِهَا فِي طُرُقِ الْخَيْرِ مَا يُذَمُّ يَا إِخْوَانِي الْمَالُ بِذَاتِهِ وَإِنَّمَا يُذَمُّ بِمَا يَعْمَلُ بِهِ صَاحِبُهُ وَإِلَّا فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنِعْمَ هُوَ الصَّاحِبُ الْمُؤْمِنُ مَا أَطْعَمَ مِنْهُ الْيَتِيمَ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ كَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَيَكُونُ شَهِيدًا عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحْسَنُ مَا فِي الدُّنْيَا أَنَّهَا مَزْرَعَةٌ تَزْرَعُ فِيهَا الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ وَغَدًا تُوَفَّى النُّفُوسُ مَا كَسَبَتْ وَيَحْصُدُ الزَّارِعُونَ مَا زَرَعُوا إِنْ أَحْسَنُوا أَحْسَنُوا لِأَنْفُسِهِمْ وَإِنْ أَسَاءُوا فَبِئْسَ مَا صَنَعُوا فَتَأَمَّلُوا يَا إِخْوَانِي فِي الدُّنْيَا وَفَكِّرُوا فِي صَنِيعِهَا فِي أَهْلِهَا الْأَوَّلِيْنَ وَالْمَوْجُوْدِيْنَ فِي هَذَا الزَّمَانِ وَرَبُّكُمْ أَمَرَكُمْ بِذَلِكَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ حَتَّى إِذَا عَرَفْتَ الدُّنْيَا أُعْطِيتَهَا شَيْئًا لِمَا تَسْتَحِقُّ وَحَتَّى إِذَا عَرَفَ الْعَبْدُ الْآخِرَةَ يَا إِخْوَانُ أَعْطَاهَا مَا يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَيْهِ وَمَا يُعِينُهُ عَلَيْهِ مِنَ الْإِيمَانِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَفَّقَ اللَّهُ جَمِيعًا لِلْخَيْرِ وَرَزَقَنَا وَإِيَّاكُمْ الْإِنَابَةَ إِلَيْهِ وَرَزَقَنَا جَمِيعًا الْعِلْمَ النَّافِعَ وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ يَا إِخْوَانُ

Doa Minta agar Berbagai Nikmat Tidak Hilang – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Dunia cepat sekali berubah-ubah. Tidak akan terus-menerus dalam satu keadaan. Terkadang ada orang kaya, lalu tidak lama setelah itu ia jatuh miskin. Terkadang juga sebaliknya. Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya konsisten mengucapkan doa yang agung ini. Doa ini senantiasa diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu senantiasa mengucapkan doa: ALLAAHUMMA INNII A-‘UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK WA FUJAA-ATI NIQMATIK WA JAMII-‘I SAKHOTIK(Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari lenyapnya kenikmatan-Mu yang ada padaku dari berubahnya kesehatan yang Engkau karuniakan kepadaku menjadi penyakit dari azab-Mu yang datang secara tiba-tiba dan dari seluruh kemurkaan-Mu). Perhatikanlah doa yang agung dan lengkap ini: “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari lenyapnya kenikmatan-Mu yang ada padaku.” Karena manusia diberi oleh Allah banyak kenikmatan, dan ia meminta kepada Allah agar kenikmatan ini terus ada dan tidak lenyap. “…dan berubahnya kesehatan yang Engkau karuniakan kepadaku menjadi penyakit.” Karena manusia diberi kesehatan oleh Allah, dan ini adalah salah satu kenikmatan yang paling besar, sehingga ia berdoa agar selalu sehat, dan tidak berubah menjadi sakit. “…dari azab-Mu yang datang secara tiba-tiba, serta dari seluruh kemurkaan-Mu.” Karena selayaknya manusia takut apabila Allah murka terhadapnya, atau mengazabnya dengan cara yang tidak ia sadari. Sehingga ia memohon perlindungan kepada Allah dari azab-Nya yang datang tiba-tiba dan seluruh kemurkaan-Nya. Perhatikanlah doa yang agung dan lengkap ini, yang selayaknya selalu dibaca oleh seorang muslim, dan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan doa ini setiap hari: ALLAAHUMMA INNII A-‘UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK WA FUJAA-ATI NIQMATIK WA JAMII-‘I SAKHOTIK ==== الدُّنْيَا سَرِيعَةُ التَّقَلُّبِ لَا تَدُوْمُ عَلَى حَالٍ فَقَدْ يُصْبِحُ الإِنْسَانُ غَنِيًّا ثُمَّ مَا أَنْ يَلْبَثَ إِلَّا وَيُصْبِحُ فَقِيرًا وَقَدْ يَكُونُ الْعَكْسَ وَلِهَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الَّذِي كَانَ يَدْعُو بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو وَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ فَانْظُرْ إِلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الْجَامِعِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يُنْعِمُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ بِنِعَمٍ عَظِيمَةٍ وَيَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ تَدُومَ هَذِهِ النِّعَمُ وَأَلَّا تَزُوْلَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يُنْعِمُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ بِالْعَافِيَةِ وَهِيَ مِنْ أَعْظَمِ وَأَجَلِّ النِّعَمِ فَيَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ تَدُومَ الْعَافِيَةُ وَأَنْ لَا تَتَحَوَّلَ إِلَى ضِدِّهَا وَمِنْ فُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَخْشَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَسْخَطُ عَلَيْهِ أَوْ يَنْقِمُ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُ فَيَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ تَعَالَى مِنْ فُجَاءَةِ نِقْمَتِهِ وَمِنْ جَمِيعِ سَخَطِهِ فَانْظُرْ إِلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الْجَامِعِ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَيْهِ وَأَنْ يَدْعُوَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ كُلَّ يَوْمٍ فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

Doa Minta agar Berbagai Nikmat Tidak Hilang – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Dunia cepat sekali berubah-ubah. Tidak akan terus-menerus dalam satu keadaan. Terkadang ada orang kaya, lalu tidak lama setelah itu ia jatuh miskin. Terkadang juga sebaliknya. Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya konsisten mengucapkan doa yang agung ini. Doa ini senantiasa diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu senantiasa mengucapkan doa: ALLAAHUMMA INNII A-‘UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK WA FUJAA-ATI NIQMATIK WA JAMII-‘I SAKHOTIK(Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari lenyapnya kenikmatan-Mu yang ada padaku dari berubahnya kesehatan yang Engkau karuniakan kepadaku menjadi penyakit dari azab-Mu yang datang secara tiba-tiba dan dari seluruh kemurkaan-Mu). Perhatikanlah doa yang agung dan lengkap ini: “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari lenyapnya kenikmatan-Mu yang ada padaku.” Karena manusia diberi oleh Allah banyak kenikmatan, dan ia meminta kepada Allah agar kenikmatan ini terus ada dan tidak lenyap. “…dan berubahnya kesehatan yang Engkau karuniakan kepadaku menjadi penyakit.” Karena manusia diberi kesehatan oleh Allah, dan ini adalah salah satu kenikmatan yang paling besar, sehingga ia berdoa agar selalu sehat, dan tidak berubah menjadi sakit. “…dari azab-Mu yang datang secara tiba-tiba, serta dari seluruh kemurkaan-Mu.” Karena selayaknya manusia takut apabila Allah murka terhadapnya, atau mengazabnya dengan cara yang tidak ia sadari. Sehingga ia memohon perlindungan kepada Allah dari azab-Nya yang datang tiba-tiba dan seluruh kemurkaan-Nya. Perhatikanlah doa yang agung dan lengkap ini, yang selayaknya selalu dibaca oleh seorang muslim, dan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan doa ini setiap hari: ALLAAHUMMA INNII A-‘UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK WA FUJAA-ATI NIQMATIK WA JAMII-‘I SAKHOTIK ==== الدُّنْيَا سَرِيعَةُ التَّقَلُّبِ لَا تَدُوْمُ عَلَى حَالٍ فَقَدْ يُصْبِحُ الإِنْسَانُ غَنِيًّا ثُمَّ مَا أَنْ يَلْبَثَ إِلَّا وَيُصْبِحُ فَقِيرًا وَقَدْ يَكُونُ الْعَكْسَ وَلِهَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الَّذِي كَانَ يَدْعُو بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو وَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ فَانْظُرْ إِلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الْجَامِعِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يُنْعِمُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ بِنِعَمٍ عَظِيمَةٍ وَيَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ تَدُومَ هَذِهِ النِّعَمُ وَأَلَّا تَزُوْلَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يُنْعِمُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ بِالْعَافِيَةِ وَهِيَ مِنْ أَعْظَمِ وَأَجَلِّ النِّعَمِ فَيَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ تَدُومَ الْعَافِيَةُ وَأَنْ لَا تَتَحَوَّلَ إِلَى ضِدِّهَا وَمِنْ فُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَخْشَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَسْخَطُ عَلَيْهِ أَوْ يَنْقِمُ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُ فَيَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ تَعَالَى مِنْ فُجَاءَةِ نِقْمَتِهِ وَمِنْ جَمِيعِ سَخَطِهِ فَانْظُرْ إِلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الْجَامِعِ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَيْهِ وَأَنْ يَدْعُوَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ كُلَّ يَوْمٍ فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ
Dunia cepat sekali berubah-ubah. Tidak akan terus-menerus dalam satu keadaan. Terkadang ada orang kaya, lalu tidak lama setelah itu ia jatuh miskin. Terkadang juga sebaliknya. Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya konsisten mengucapkan doa yang agung ini. Doa ini senantiasa diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu senantiasa mengucapkan doa: ALLAAHUMMA INNII A-‘UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK WA FUJAA-ATI NIQMATIK WA JAMII-‘I SAKHOTIK(Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari lenyapnya kenikmatan-Mu yang ada padaku dari berubahnya kesehatan yang Engkau karuniakan kepadaku menjadi penyakit dari azab-Mu yang datang secara tiba-tiba dan dari seluruh kemurkaan-Mu). Perhatikanlah doa yang agung dan lengkap ini: “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari lenyapnya kenikmatan-Mu yang ada padaku.” Karena manusia diberi oleh Allah banyak kenikmatan, dan ia meminta kepada Allah agar kenikmatan ini terus ada dan tidak lenyap. “…dan berubahnya kesehatan yang Engkau karuniakan kepadaku menjadi penyakit.” Karena manusia diberi kesehatan oleh Allah, dan ini adalah salah satu kenikmatan yang paling besar, sehingga ia berdoa agar selalu sehat, dan tidak berubah menjadi sakit. “…dari azab-Mu yang datang secara tiba-tiba, serta dari seluruh kemurkaan-Mu.” Karena selayaknya manusia takut apabila Allah murka terhadapnya, atau mengazabnya dengan cara yang tidak ia sadari. Sehingga ia memohon perlindungan kepada Allah dari azab-Nya yang datang tiba-tiba dan seluruh kemurkaan-Nya. Perhatikanlah doa yang agung dan lengkap ini, yang selayaknya selalu dibaca oleh seorang muslim, dan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan doa ini setiap hari: ALLAAHUMMA INNII A-‘UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK WA FUJAA-ATI NIQMATIK WA JAMII-‘I SAKHOTIK ==== الدُّنْيَا سَرِيعَةُ التَّقَلُّبِ لَا تَدُوْمُ عَلَى حَالٍ فَقَدْ يُصْبِحُ الإِنْسَانُ غَنِيًّا ثُمَّ مَا أَنْ يَلْبَثَ إِلَّا وَيُصْبِحُ فَقِيرًا وَقَدْ يَكُونُ الْعَكْسَ وَلِهَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الَّذِي كَانَ يَدْعُو بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو وَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ فَانْظُرْ إِلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الْجَامِعِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يُنْعِمُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ بِنِعَمٍ عَظِيمَةٍ وَيَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ تَدُومَ هَذِهِ النِّعَمُ وَأَلَّا تَزُوْلَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يُنْعِمُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ بِالْعَافِيَةِ وَهِيَ مِنْ أَعْظَمِ وَأَجَلِّ النِّعَمِ فَيَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ تَدُومَ الْعَافِيَةُ وَأَنْ لَا تَتَحَوَّلَ إِلَى ضِدِّهَا وَمِنْ فُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَخْشَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَسْخَطُ عَلَيْهِ أَوْ يَنْقِمُ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُ فَيَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ تَعَالَى مِنْ فُجَاءَةِ نِقْمَتِهِ وَمِنْ جَمِيعِ سَخَطِهِ فَانْظُرْ إِلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الْجَامِعِ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَيْهِ وَأَنْ يَدْعُوَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ كُلَّ يَوْمٍ فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ


Dunia cepat sekali berubah-ubah. Tidak akan terus-menerus dalam satu keadaan. Terkadang ada orang kaya, lalu tidak lama setelah itu ia jatuh miskin. Terkadang juga sebaliknya. Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya konsisten mengucapkan doa yang agung ini. Doa ini senantiasa diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu senantiasa mengucapkan doa: ALLAAHUMMA INNII A-‘UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK WA FUJAA-ATI NIQMATIK WA JAMII-‘I SAKHOTIK(Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari lenyapnya kenikmatan-Mu yang ada padaku dari berubahnya kesehatan yang Engkau karuniakan kepadaku menjadi penyakit dari azab-Mu yang datang secara tiba-tiba dan dari seluruh kemurkaan-Mu). Perhatikanlah doa yang agung dan lengkap ini: “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari lenyapnya kenikmatan-Mu yang ada padaku.” Karena manusia diberi oleh Allah banyak kenikmatan, dan ia meminta kepada Allah agar kenikmatan ini terus ada dan tidak lenyap. “…dan berubahnya kesehatan yang Engkau karuniakan kepadaku menjadi penyakit.” Karena manusia diberi kesehatan oleh Allah, dan ini adalah salah satu kenikmatan yang paling besar, sehingga ia berdoa agar selalu sehat, dan tidak berubah menjadi sakit. “…dari azab-Mu yang datang secara tiba-tiba, serta dari seluruh kemurkaan-Mu.” Karena selayaknya manusia takut apabila Allah murka terhadapnya, atau mengazabnya dengan cara yang tidak ia sadari. Sehingga ia memohon perlindungan kepada Allah dari azab-Nya yang datang tiba-tiba dan seluruh kemurkaan-Nya. Perhatikanlah doa yang agung dan lengkap ini, yang selayaknya selalu dibaca oleh seorang muslim, dan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan doa ini setiap hari: ALLAAHUMMA INNII A-‘UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK WA FUJAA-ATI NIQMATIK WA JAMII-‘I SAKHOTIK ==== الدُّنْيَا سَرِيعَةُ التَّقَلُّبِ لَا تَدُوْمُ عَلَى حَالٍ فَقَدْ يُصْبِحُ الإِنْسَانُ غَنِيًّا ثُمَّ مَا أَنْ يَلْبَثَ إِلَّا وَيُصْبِحُ فَقِيرًا وَقَدْ يَكُونُ الْعَكْسَ وَلِهَذَا فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الَّذِي كَانَ يَدْعُو بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو وَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ فَانْظُرْ إِلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الْجَامِعِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يُنْعِمُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ بِنِعَمٍ عَظِيمَةٍ وَيَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ تَدُومَ هَذِهِ النِّعَمُ وَأَلَّا تَزُوْلَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يُنْعِمُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ بِالْعَافِيَةِ وَهِيَ مِنْ أَعْظَمِ وَأَجَلِّ النِّعَمِ فَيَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ تَدُومَ الْعَافِيَةُ وَأَنْ لَا تَتَحَوَّلَ إِلَى ضِدِّهَا وَمِنْ فُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ يَخْشَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَسْخَطُ عَلَيْهِ أَوْ يَنْقِمُ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُ فَيَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ تَعَالَى مِنْ فُجَاءَةِ نِقْمَتِهِ وَمِنْ جَمِيعِ سَخَطِهِ فَانْظُرْ إِلَى هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ الْجَامِعِ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يَحْرِصَ الْمُسْلِمُ عَلَيْهِ وَأَنْ يَدْعُوَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ كُلَّ يَوْمٍ فَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

Panen Pahala dengan 9 Amal Saleh Ini di Bulan Ramadhan – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Ummu Muhammad dari Arab Saudi bertanya: “Wahai Syaikh, kami tengah menyambut musim yang agung, salah satu musim ketaatan, di mana pahala amal kebaikan dilipatgandakan, yaitu bulan Ramadhan.” Ia bertanya tentang amal-amal saleh yang dapat dilakukan di bulan Ramadhan. Segala bentuk ketaatan akan dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadhan. Saya akan menyebutkan beberapa contohnya: [PERTAMA]Menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, ucapan kotor, membicarakan orang lain, ghibah, dan namimah, termasuk amal saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Memperbanyak membaca al-Quran. Allah Ta’ala berfirman: “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan petunjuk itu, serta pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah: 185). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad). Membaca al-Quran tidak hanya dianjurkan pada siang hari. Namun, pada malam hari juga dianjurkan untuk banyak membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertadarus al-Quran dengan Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, dianjurkan mengadakan majelis-majelis ilmu untuk mempelajari dan membaca al-Quran pada malam-malam bulan Ramadhan, dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [KETIGA]Memperbanyak berzikir kepada Allah, siang dan malam. [KEEMPAT]Memperbanyak berdoa, mengadukan permasalahan dan keperluan kepada Rabb semesta alam. [KELIMA]Mendirikan Shalat Malam pada bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala…” maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari). [KEENAM]Bersedekah dan berdonasi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau semakin dermawan pada bulan Ramadhan, ketika malaikat Jibril menemuinya untuk bertadarus al-Quran bersamanya. [KETUJUH]Memperbaiki akhlak dan memperlakukan orang lain dengan baik. [KEDELAPAN]Mengunjungi orang yang Anda cintai karena Allah, dan bersilaturahmi. [KESEMBILAN]Berbakti kepada kedua orang tua. Semua ini adalah amal saleh, yang pahalanya akan dilipatgandakan di bulan Ramadhan. ==== أُمُّ مُحَمَّدٍ مِنَ السُّعُودِيَّةِ سَأَلَتْ شَيْخَنَا وَنَحْنُ مُقْبِلُونَ عَلَى مَوْسِمٍ عَظِيمٍ مِنْ مَوَاسِمِ الطَّاعَاتِ تَتَضَاعَفُ فِيهِ الْحَسَنَاتُ شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَلَتْ عَنِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فِي رَمَضَانَ كُلُّ طَاعَةٍ مِنَ الطَّاعَاتِ فَإِنَّهُ يُضَاعَفُ أَجْرُهَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَذْكُرُ لِذَلِكَ نَمَاذِجَ حِفْظُ الصِّيَامِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَالْحَدِيثِ فِي الْآخَرِيْنَ وَالْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ عَمَلٌ صَالِحٌ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَهَكَذَا مِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْقُرْآنُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالنَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ بَلْ حَتَّى فِي اللَّيْلِ يُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدَارِسُ جِبْرِيلَ كُلَّ لَيْلَةٍ مِنْ لَيَالِي رَمَضَانَ وَلِذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ حَلَقَاتٌ عِلْمِيَّةٌ لِمُدَارِسَةِ الْقُرْآنُ وَقِرَاءَتِهِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لَيْلًا وَنَهَارًا وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنَ الدُّعَاءِ وَعَرْضِ الْمَسَائِلِ وَالْحَوَائِجِ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ نَافِلَةِ رَمَضَانَ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمِنْ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الصَّدَقَةُ وَالْبَذْلُ فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فَيُدَارِسَهُ الْقُرْآنَ فَهَكَذَا أَيْضًا حُسْنُ الْخُلُقِ وَالتَّعَامُلِ مَعَ الْآخَرِيْنَ زِيَارَةُ مَنْ تُحِبُّهُمْ فِي اللَّهِ وَصِلَةُ الأَرْحَامِ وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ هَذِهِ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ فَيُضَاعَفُ فِيهَا أَجْرُ الْإِنْسَانِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

Panen Pahala dengan 9 Amal Saleh Ini di Bulan Ramadhan – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Ummu Muhammad dari Arab Saudi bertanya: “Wahai Syaikh, kami tengah menyambut musim yang agung, salah satu musim ketaatan, di mana pahala amal kebaikan dilipatgandakan, yaitu bulan Ramadhan.” Ia bertanya tentang amal-amal saleh yang dapat dilakukan di bulan Ramadhan. Segala bentuk ketaatan akan dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadhan. Saya akan menyebutkan beberapa contohnya: [PERTAMA]Menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, ucapan kotor, membicarakan orang lain, ghibah, dan namimah, termasuk amal saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Memperbanyak membaca al-Quran. Allah Ta’ala berfirman: “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan petunjuk itu, serta pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah: 185). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad). Membaca al-Quran tidak hanya dianjurkan pada siang hari. Namun, pada malam hari juga dianjurkan untuk banyak membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertadarus al-Quran dengan Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, dianjurkan mengadakan majelis-majelis ilmu untuk mempelajari dan membaca al-Quran pada malam-malam bulan Ramadhan, dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [KETIGA]Memperbanyak berzikir kepada Allah, siang dan malam. [KEEMPAT]Memperbanyak berdoa, mengadukan permasalahan dan keperluan kepada Rabb semesta alam. [KELIMA]Mendirikan Shalat Malam pada bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala…” maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari). [KEENAM]Bersedekah dan berdonasi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau semakin dermawan pada bulan Ramadhan, ketika malaikat Jibril menemuinya untuk bertadarus al-Quran bersamanya. [KETUJUH]Memperbaiki akhlak dan memperlakukan orang lain dengan baik. [KEDELAPAN]Mengunjungi orang yang Anda cintai karena Allah, dan bersilaturahmi. [KESEMBILAN]Berbakti kepada kedua orang tua. Semua ini adalah amal saleh, yang pahalanya akan dilipatgandakan di bulan Ramadhan. ==== أُمُّ مُحَمَّدٍ مِنَ السُّعُودِيَّةِ سَأَلَتْ شَيْخَنَا وَنَحْنُ مُقْبِلُونَ عَلَى مَوْسِمٍ عَظِيمٍ مِنْ مَوَاسِمِ الطَّاعَاتِ تَتَضَاعَفُ فِيهِ الْحَسَنَاتُ شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَلَتْ عَنِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فِي رَمَضَانَ كُلُّ طَاعَةٍ مِنَ الطَّاعَاتِ فَإِنَّهُ يُضَاعَفُ أَجْرُهَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَذْكُرُ لِذَلِكَ نَمَاذِجَ حِفْظُ الصِّيَامِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَالْحَدِيثِ فِي الْآخَرِيْنَ وَالْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ عَمَلٌ صَالِحٌ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَهَكَذَا مِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْقُرْآنُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالنَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ بَلْ حَتَّى فِي اللَّيْلِ يُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدَارِسُ جِبْرِيلَ كُلَّ لَيْلَةٍ مِنْ لَيَالِي رَمَضَانَ وَلِذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ حَلَقَاتٌ عِلْمِيَّةٌ لِمُدَارِسَةِ الْقُرْآنُ وَقِرَاءَتِهِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لَيْلًا وَنَهَارًا وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنَ الدُّعَاءِ وَعَرْضِ الْمَسَائِلِ وَالْحَوَائِجِ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ نَافِلَةِ رَمَضَانَ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمِنْ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الصَّدَقَةُ وَالْبَذْلُ فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فَيُدَارِسَهُ الْقُرْآنَ فَهَكَذَا أَيْضًا حُسْنُ الْخُلُقِ وَالتَّعَامُلِ مَعَ الْآخَرِيْنَ زِيَارَةُ مَنْ تُحِبُّهُمْ فِي اللَّهِ وَصِلَةُ الأَرْحَامِ وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ هَذِهِ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ فَيُضَاعَفُ فِيهَا أَجْرُ الْإِنْسَانِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
Ummu Muhammad dari Arab Saudi bertanya: “Wahai Syaikh, kami tengah menyambut musim yang agung, salah satu musim ketaatan, di mana pahala amal kebaikan dilipatgandakan, yaitu bulan Ramadhan.” Ia bertanya tentang amal-amal saleh yang dapat dilakukan di bulan Ramadhan. Segala bentuk ketaatan akan dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadhan. Saya akan menyebutkan beberapa contohnya: [PERTAMA]Menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, ucapan kotor, membicarakan orang lain, ghibah, dan namimah, termasuk amal saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Memperbanyak membaca al-Quran. Allah Ta’ala berfirman: “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan petunjuk itu, serta pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah: 185). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad). Membaca al-Quran tidak hanya dianjurkan pada siang hari. Namun, pada malam hari juga dianjurkan untuk banyak membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertadarus al-Quran dengan Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, dianjurkan mengadakan majelis-majelis ilmu untuk mempelajari dan membaca al-Quran pada malam-malam bulan Ramadhan, dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [KETIGA]Memperbanyak berzikir kepada Allah, siang dan malam. [KEEMPAT]Memperbanyak berdoa, mengadukan permasalahan dan keperluan kepada Rabb semesta alam. [KELIMA]Mendirikan Shalat Malam pada bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala…” maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari). [KEENAM]Bersedekah dan berdonasi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau semakin dermawan pada bulan Ramadhan, ketika malaikat Jibril menemuinya untuk bertadarus al-Quran bersamanya. [KETUJUH]Memperbaiki akhlak dan memperlakukan orang lain dengan baik. [KEDELAPAN]Mengunjungi orang yang Anda cintai karena Allah, dan bersilaturahmi. [KESEMBILAN]Berbakti kepada kedua orang tua. Semua ini adalah amal saleh, yang pahalanya akan dilipatgandakan di bulan Ramadhan. ==== أُمُّ مُحَمَّدٍ مِنَ السُّعُودِيَّةِ سَأَلَتْ شَيْخَنَا وَنَحْنُ مُقْبِلُونَ عَلَى مَوْسِمٍ عَظِيمٍ مِنْ مَوَاسِمِ الطَّاعَاتِ تَتَضَاعَفُ فِيهِ الْحَسَنَاتُ شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَلَتْ عَنِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فِي رَمَضَانَ كُلُّ طَاعَةٍ مِنَ الطَّاعَاتِ فَإِنَّهُ يُضَاعَفُ أَجْرُهَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَذْكُرُ لِذَلِكَ نَمَاذِجَ حِفْظُ الصِّيَامِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَالْحَدِيثِ فِي الْآخَرِيْنَ وَالْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ عَمَلٌ صَالِحٌ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَهَكَذَا مِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْقُرْآنُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالنَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ بَلْ حَتَّى فِي اللَّيْلِ يُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدَارِسُ جِبْرِيلَ كُلَّ لَيْلَةٍ مِنْ لَيَالِي رَمَضَانَ وَلِذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ حَلَقَاتٌ عِلْمِيَّةٌ لِمُدَارِسَةِ الْقُرْآنُ وَقِرَاءَتِهِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لَيْلًا وَنَهَارًا وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنَ الدُّعَاءِ وَعَرْضِ الْمَسَائِلِ وَالْحَوَائِجِ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ نَافِلَةِ رَمَضَانَ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمِنْ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الصَّدَقَةُ وَالْبَذْلُ فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فَيُدَارِسَهُ الْقُرْآنَ فَهَكَذَا أَيْضًا حُسْنُ الْخُلُقِ وَالتَّعَامُلِ مَعَ الْآخَرِيْنَ زِيَارَةُ مَنْ تُحِبُّهُمْ فِي اللَّهِ وَصِلَةُ الأَرْحَامِ وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ هَذِهِ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ فَيُضَاعَفُ فِيهَا أَجْرُ الْإِنْسَانِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ


Ummu Muhammad dari Arab Saudi bertanya: “Wahai Syaikh, kami tengah menyambut musim yang agung, salah satu musim ketaatan, di mana pahala amal kebaikan dilipatgandakan, yaitu bulan Ramadhan.” Ia bertanya tentang amal-amal saleh yang dapat dilakukan di bulan Ramadhan. Segala bentuk ketaatan akan dilipatgandakan pahalanya di bulan Ramadhan. Saya akan menyebutkan beberapa contohnya: [PERTAMA]Menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, ucapan kotor, membicarakan orang lain, ghibah, dan namimah, termasuk amal saleh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari). [KEDUA]Memperbanyak membaca al-Quran. Allah Ta’ala berfirman: “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan petunjuk itu, serta pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah: 185). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad). Membaca al-Quran tidak hanya dianjurkan pada siang hari. Namun, pada malam hari juga dianjurkan untuk banyak membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertadarus al-Quran dengan Jibril pada setiap malam di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, dianjurkan mengadakan majelis-majelis ilmu untuk mempelajari dan membaca al-Quran pada malam-malam bulan Ramadhan, dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [KETIGA]Memperbanyak berzikir kepada Allah, siang dan malam. [KEEMPAT]Memperbanyak berdoa, mengadukan permasalahan dan keperluan kepada Rabb semesta alam. [KELIMA]Mendirikan Shalat Malam pada bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mendirikan Shalat Malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala…” maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari). [KEENAM]Bersedekah dan berdonasi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau semakin dermawan pada bulan Ramadhan, ketika malaikat Jibril menemuinya untuk bertadarus al-Quran bersamanya. [KETUJUH]Memperbaiki akhlak dan memperlakukan orang lain dengan baik. [KEDELAPAN]Mengunjungi orang yang Anda cintai karena Allah, dan bersilaturahmi. [KESEMBILAN]Berbakti kepada kedua orang tua. Semua ini adalah amal saleh, yang pahalanya akan dilipatgandakan di bulan Ramadhan. ==== أُمُّ مُحَمَّدٍ مِنَ السُّعُودِيَّةِ سَأَلَتْ شَيْخَنَا وَنَحْنُ مُقْبِلُونَ عَلَى مَوْسِمٍ عَظِيمٍ مِنْ مَوَاسِمِ الطَّاعَاتِ تَتَضَاعَفُ فِيهِ الْحَسَنَاتُ شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَلَتْ عَنِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ فِي رَمَضَانَ كُلُّ طَاعَةٍ مِنَ الطَّاعَاتِ فَإِنَّهُ يُضَاعَفُ أَجْرُهَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سَأَذْكُرُ لِذَلِكَ نَمَاذِجَ حِفْظُ الصِّيَامِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَالْحَدِيثِ فِي الْآخَرِيْنَ وَالْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ عَمَلٌ صَالِحٌ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَهَكَذَا مِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْقُرْآنُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالنَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ بَلْ حَتَّى فِي اللَّيْلِ يُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدَارِسُ جِبْرِيلَ كُلَّ لَيْلَةٍ مِنْ لَيَالِي رَمَضَانَ وَلِذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ هُنَاكَ حَلَقَاتٌ عِلْمِيَّةٌ لِمُدَارِسَةِ الْقُرْآنُ وَقِرَاءَتِهِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا لَيْلًا وَنَهَارًا وَمِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الْإِكْثَارُ مِنَ الدُّعَاءِ وَعَرْضِ الْمَسَائِلِ وَالْحَوَائِجِ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ نَافِلَةِ رَمَضَانَ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمِنْ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ الصَّدَقَةُ وَالْبَذْلُ فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فَيُدَارِسَهُ الْقُرْآنَ فَهَكَذَا أَيْضًا حُسْنُ الْخُلُقِ وَالتَّعَامُلِ مَعَ الْآخَرِيْنَ زِيَارَةُ مَنْ تُحِبُّهُمْ فِي اللَّهِ وَصِلَةُ الأَرْحَامِ وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ هَذِهِ أَعْمَالٌ صَالِحَةٌ فَيُضَاعَفُ فِيهَا أَجْرُ الْإِنْسَانِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

Panduan Ringkas Salat Istikharah

Daftar Isi Toggle Mengenal salat IstikharahDalil mengenai salat istikharah dan tata cara pelaksanaannyaCatatan seputar tata cara salat IstikharahAdakah kaitan jawaban istikharah dengan mimpi? Manusia adalah makhluk yang lemah dan sangat butuh akan pertolongan Allah dalam setiap urusan-Nya. Mereka sama sekali tidak mengetahui perkara yang gaib, tidak mengetahui manakah yang baik dan buruk pada kejadian yang akan dilaluinya pada masa yang akan datang. Adakalanya diri kita menghadapi permasalahan yang memiliki urgensi (tingkat kepentingan) yang sama bagi kita sehingga kita harus memilih salah satunya. Adakalanya juga diri kita mengalami kebimbangan untuk mengambil keputusan, apakah akan melanjutkan langkah ataukah berhenti. Dalam hal ini, Islam mengajarkan kita sebuah solusi untuk membantu kita lebih yakin di dalam mengambil keputusan atas sebuah permasalahan yang sedang dihadapi. Solusi tersebut adalah salat istikharah. Mengenal salat Istikharah Salat istikharah adalah salat sunah yang dikerjakan ketika seseorang hendak memohon petunjuk kepada Allah untuk menentukan keputusan yang benar ketika dihadapkan kepada beberapa pilihan keputusan. Yaitu, dengan melaksanakan salat dua rakaat kemudian berdoa setelahnya. Sebelum datangnya Islam, masyarakat jahiliah melakukan istikharah (menentukan pilihan) dengan azlam (undian). Setelah Islam datang, Allah melarang cara semacam ini dan menggantinya dengan salat istikharah. Dalil mengenai salat istikharah dan tata cara pelaksanaannya Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى – قَالَ – وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari para sahabatnya untuk salat istikharah dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surah dari Al-Qur’an. Beliau bersabda, ‘Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah salat dua rakaat selain salat fardu, kemudian hendaklah ia berdoa, “ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA, WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA, WA AS’ALUKA MIN FADHLIKA, FA INNAKA TAQDIRU WA LA AQDIRU, WA TA’LAMU WA LA A’LAMU, WA ANTA ‘ALLAMUL GHUYUB. ALLAHUMMA FA’IN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRA (SEBUT NAMA URUSAN TERSEBUT) KHAIRAN LI FI ‘AJILI AMRI WA AJILIH (AW FI DINI WA MA’ASYI WA ‘AQIBATI AMRI) FAQDUR LI, WA YASSIRHU LII, TSUMMA BARIK LI FIHI. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNAHU SYARRUN LI FI DINI WA MA’ASYI WA ‘AQIBATI AMRI (FI ‘AJILI AMRI WA AJILIH) FASHRIFNI ‘ANHU, WAQDUR LILKHAIRA HAITSU KANA TSUMMA ARDH-DHINI BIH.” “Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu. Aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Mahatahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau jelek bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apa pun keadaannya dan jadikanlah aku rida dengannya. Kemudian dia menyebut keinginannya.” (HR. Bukhari no. 1162, Abu Dawud no. 1538 dan At-Tirmidzi no. 480) Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? Catatan seputar tata cara salat Istikharah Pertama: Istikharah dilakukan ketika seseorang bertekad untuk melakukan satu hal tertentu, bukan ketika hanya sebatas lintasan batin saja. Kemudian, setelahnya dia pasrahkan kepada Allah. Kedua: Bersuci sebelum melaksanakan salat layaknya salat lainnya, baik dengan berwudu atau tayamum. Ketiga: Istikharah dilakukan dengan pelaksanakan salat dua rakaat sunah. Dua rakaat ini bebas, tidak harus salat khusus. Bisa berupa salat rawatib, salat tahiyatul masjid, salat Duha, dan lain-lain. Yang terpenting jumlahnya dua rakaat. Keempat: Tidak ada bacaan surah khusus ketika pelaksanaannya. Artinya cukup membaca Al-Fatihah (ini wajib) dan surah atau ayat yang dihafal. Kelima: Berdoa dengan doa yang disebutkan di dalam hadis setelah salam dan dianjurkan dengan mengangkat tangan. Selesai berdoa dia langsung menyebutkan keinginannya dengan bahasa bebas. Misalnya: ingin bekerja di perusahaan A; atau menikah dengan B; atau berangkat ke kota C; dan lain-lain. Keenam: Melakukan atau memilih apa yang menjadi tekadnya. Jika menjumpai halangan, berarti itu isyarat bahwa Allah Ta’ala tidak menginginkan hal itu terjadi pada anda. Ketujuh: Syekh Binbaz di dalam salah satu kesempatan tanya jawabnya, pernah memberikan nasihat mengenai apa yang harus dilakukan seseorang setelah salat istikharahnya, “Kemudian setelah itu, ia berkonsultasi dengan orang-orang baik yang dikenalnya dari kerabat dan temannya dan meminta pendapat mereka. Jika hatinya merasa tenang untuk salah satu pilihan, maka ia melanjutkan apa yang menjadi pilihannya tersebut. Jika ia tetap ragu, maka ia melakukan salat istikharah kembali, kedua kalinya, ketiga kalinya, dan seterusnya hingga hatinya merasa nyaman dan tenang terhadap salah satu pilihan, apakah itu melanjutkan pilihannya tersebut ataukah tidak.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi). Kedelapan: Apapun hasil akhir setelah istikharah, itulah yang terbaik bagi kita. Meskipun bisa jadi tidak sesuai dengan harapan sebelumnya. Karena itu, kita harus berusaha rida dan lapang dada dengan pilihan Allah untuk kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan dalam doa di atas dengan kita mengatakan, [ ثُمَّ أَرْضِنِى] “kemudian jadikanlah aku rida dengannya” maksudnya adalah “aku rida dengan pilihan-Mu ya Allah, meskipun tidak sesuai keinginanku.” Adakah kaitan jawaban istikharah dengan mimpi? Banyak dari kalangan kaum muslimin beranggapan bahwa jawaban istikharah akan Allah sampaikan dalam mimpi. Ini adalah anggapan yang yang sama sekali tidak benar dan tidak berdalil. Karena tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. Syekh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah salah satu ulama besar Yordania yang lahir di Palestina mengatakan, “Mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fikih. Karena dalam mimpi, setan memiliki peluang besar untuk memainkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk mempermainkan manusia.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرُّؤْيا ثَلاثٌ: حَديثُ النَّفْسِ، وتَخْوِيفُ الشَّيْطانِ، وبُشْرَى مِنَ اللَّهِ “Mimpi ada 3 macam: bisikan hati, godaan setan, dan kabar gembira dari Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 7017 dan Muslim no. 2263) Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa digunakan untuk menetapkan hukum, namun hanya sebatas untuk diketahui saja. Dan tidak ada hubungan antara salat istikharah dengan mimpi. Karena itu, tidak disyaratkan, bahwa setiap istikharah pasti diikuti dengan mimpi. Hanya saja, jika ada seseorang yang istikharah kemudian dia tidur dan bermimpi yang baik, bisa jadi ini merupakan tanda baik baginya dan melapangkan jiwa. Tetapi, tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. (Al-Fatwa Al-Masyhuriyah: http://almenhaj.net/makal.php?linkid=124). Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Shalat Istikharah Ketika Ingin Memilih atau Telah Mantap pada Pilihan? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Panduan Ringkas Salat Istikharah

Daftar Isi Toggle Mengenal salat IstikharahDalil mengenai salat istikharah dan tata cara pelaksanaannyaCatatan seputar tata cara salat IstikharahAdakah kaitan jawaban istikharah dengan mimpi? Manusia adalah makhluk yang lemah dan sangat butuh akan pertolongan Allah dalam setiap urusan-Nya. Mereka sama sekali tidak mengetahui perkara yang gaib, tidak mengetahui manakah yang baik dan buruk pada kejadian yang akan dilaluinya pada masa yang akan datang. Adakalanya diri kita menghadapi permasalahan yang memiliki urgensi (tingkat kepentingan) yang sama bagi kita sehingga kita harus memilih salah satunya. Adakalanya juga diri kita mengalami kebimbangan untuk mengambil keputusan, apakah akan melanjutkan langkah ataukah berhenti. Dalam hal ini, Islam mengajarkan kita sebuah solusi untuk membantu kita lebih yakin di dalam mengambil keputusan atas sebuah permasalahan yang sedang dihadapi. Solusi tersebut adalah salat istikharah. Mengenal salat Istikharah Salat istikharah adalah salat sunah yang dikerjakan ketika seseorang hendak memohon petunjuk kepada Allah untuk menentukan keputusan yang benar ketika dihadapkan kepada beberapa pilihan keputusan. Yaitu, dengan melaksanakan salat dua rakaat kemudian berdoa setelahnya. Sebelum datangnya Islam, masyarakat jahiliah melakukan istikharah (menentukan pilihan) dengan azlam (undian). Setelah Islam datang, Allah melarang cara semacam ini dan menggantinya dengan salat istikharah. Dalil mengenai salat istikharah dan tata cara pelaksanaannya Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى – قَالَ – وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari para sahabatnya untuk salat istikharah dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surah dari Al-Qur’an. Beliau bersabda, ‘Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah salat dua rakaat selain salat fardu, kemudian hendaklah ia berdoa, “ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA, WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA, WA AS’ALUKA MIN FADHLIKA, FA INNAKA TAQDIRU WA LA AQDIRU, WA TA’LAMU WA LA A’LAMU, WA ANTA ‘ALLAMUL GHUYUB. ALLAHUMMA FA’IN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRA (SEBUT NAMA URUSAN TERSEBUT) KHAIRAN LI FI ‘AJILI AMRI WA AJILIH (AW FI DINI WA MA’ASYI WA ‘AQIBATI AMRI) FAQDUR LI, WA YASSIRHU LII, TSUMMA BARIK LI FIHI. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNAHU SYARRUN LI FI DINI WA MA’ASYI WA ‘AQIBATI AMRI (FI ‘AJILI AMRI WA AJILIH) FASHRIFNI ‘ANHU, WAQDUR LILKHAIRA HAITSU KANA TSUMMA ARDH-DHINI BIH.” “Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu. Aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Mahatahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau jelek bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apa pun keadaannya dan jadikanlah aku rida dengannya. Kemudian dia menyebut keinginannya.” (HR. Bukhari no. 1162, Abu Dawud no. 1538 dan At-Tirmidzi no. 480) Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? Catatan seputar tata cara salat Istikharah Pertama: Istikharah dilakukan ketika seseorang bertekad untuk melakukan satu hal tertentu, bukan ketika hanya sebatas lintasan batin saja. Kemudian, setelahnya dia pasrahkan kepada Allah. Kedua: Bersuci sebelum melaksanakan salat layaknya salat lainnya, baik dengan berwudu atau tayamum. Ketiga: Istikharah dilakukan dengan pelaksanakan salat dua rakaat sunah. Dua rakaat ini bebas, tidak harus salat khusus. Bisa berupa salat rawatib, salat tahiyatul masjid, salat Duha, dan lain-lain. Yang terpenting jumlahnya dua rakaat. Keempat: Tidak ada bacaan surah khusus ketika pelaksanaannya. Artinya cukup membaca Al-Fatihah (ini wajib) dan surah atau ayat yang dihafal. Kelima: Berdoa dengan doa yang disebutkan di dalam hadis setelah salam dan dianjurkan dengan mengangkat tangan. Selesai berdoa dia langsung menyebutkan keinginannya dengan bahasa bebas. Misalnya: ingin bekerja di perusahaan A; atau menikah dengan B; atau berangkat ke kota C; dan lain-lain. Keenam: Melakukan atau memilih apa yang menjadi tekadnya. Jika menjumpai halangan, berarti itu isyarat bahwa Allah Ta’ala tidak menginginkan hal itu terjadi pada anda. Ketujuh: Syekh Binbaz di dalam salah satu kesempatan tanya jawabnya, pernah memberikan nasihat mengenai apa yang harus dilakukan seseorang setelah salat istikharahnya, “Kemudian setelah itu, ia berkonsultasi dengan orang-orang baik yang dikenalnya dari kerabat dan temannya dan meminta pendapat mereka. Jika hatinya merasa tenang untuk salah satu pilihan, maka ia melanjutkan apa yang menjadi pilihannya tersebut. Jika ia tetap ragu, maka ia melakukan salat istikharah kembali, kedua kalinya, ketiga kalinya, dan seterusnya hingga hatinya merasa nyaman dan tenang terhadap salah satu pilihan, apakah itu melanjutkan pilihannya tersebut ataukah tidak.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi). Kedelapan: Apapun hasil akhir setelah istikharah, itulah yang terbaik bagi kita. Meskipun bisa jadi tidak sesuai dengan harapan sebelumnya. Karena itu, kita harus berusaha rida dan lapang dada dengan pilihan Allah untuk kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan dalam doa di atas dengan kita mengatakan, [ ثُمَّ أَرْضِنِى] “kemudian jadikanlah aku rida dengannya” maksudnya adalah “aku rida dengan pilihan-Mu ya Allah, meskipun tidak sesuai keinginanku.” Adakah kaitan jawaban istikharah dengan mimpi? Banyak dari kalangan kaum muslimin beranggapan bahwa jawaban istikharah akan Allah sampaikan dalam mimpi. Ini adalah anggapan yang yang sama sekali tidak benar dan tidak berdalil. Karena tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. Syekh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah salah satu ulama besar Yordania yang lahir di Palestina mengatakan, “Mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fikih. Karena dalam mimpi, setan memiliki peluang besar untuk memainkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk mempermainkan manusia.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرُّؤْيا ثَلاثٌ: حَديثُ النَّفْسِ، وتَخْوِيفُ الشَّيْطانِ، وبُشْرَى مِنَ اللَّهِ “Mimpi ada 3 macam: bisikan hati, godaan setan, dan kabar gembira dari Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 7017 dan Muslim no. 2263) Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa digunakan untuk menetapkan hukum, namun hanya sebatas untuk diketahui saja. Dan tidak ada hubungan antara salat istikharah dengan mimpi. Karena itu, tidak disyaratkan, bahwa setiap istikharah pasti diikuti dengan mimpi. Hanya saja, jika ada seseorang yang istikharah kemudian dia tidur dan bermimpi yang baik, bisa jadi ini merupakan tanda baik baginya dan melapangkan jiwa. Tetapi, tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. (Al-Fatwa Al-Masyhuriyah: http://almenhaj.net/makal.php?linkid=124). Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Shalat Istikharah Ketika Ingin Memilih atau Telah Mantap pada Pilihan? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Mengenal salat IstikharahDalil mengenai salat istikharah dan tata cara pelaksanaannyaCatatan seputar tata cara salat IstikharahAdakah kaitan jawaban istikharah dengan mimpi? Manusia adalah makhluk yang lemah dan sangat butuh akan pertolongan Allah dalam setiap urusan-Nya. Mereka sama sekali tidak mengetahui perkara yang gaib, tidak mengetahui manakah yang baik dan buruk pada kejadian yang akan dilaluinya pada masa yang akan datang. Adakalanya diri kita menghadapi permasalahan yang memiliki urgensi (tingkat kepentingan) yang sama bagi kita sehingga kita harus memilih salah satunya. Adakalanya juga diri kita mengalami kebimbangan untuk mengambil keputusan, apakah akan melanjutkan langkah ataukah berhenti. Dalam hal ini, Islam mengajarkan kita sebuah solusi untuk membantu kita lebih yakin di dalam mengambil keputusan atas sebuah permasalahan yang sedang dihadapi. Solusi tersebut adalah salat istikharah. Mengenal salat Istikharah Salat istikharah adalah salat sunah yang dikerjakan ketika seseorang hendak memohon petunjuk kepada Allah untuk menentukan keputusan yang benar ketika dihadapkan kepada beberapa pilihan keputusan. Yaitu, dengan melaksanakan salat dua rakaat kemudian berdoa setelahnya. Sebelum datangnya Islam, masyarakat jahiliah melakukan istikharah (menentukan pilihan) dengan azlam (undian). Setelah Islam datang, Allah melarang cara semacam ini dan menggantinya dengan salat istikharah. Dalil mengenai salat istikharah dan tata cara pelaksanaannya Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى – قَالَ – وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari para sahabatnya untuk salat istikharah dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surah dari Al-Qur’an. Beliau bersabda, ‘Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah salat dua rakaat selain salat fardu, kemudian hendaklah ia berdoa, “ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA, WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA, WA AS’ALUKA MIN FADHLIKA, FA INNAKA TAQDIRU WA LA AQDIRU, WA TA’LAMU WA LA A’LAMU, WA ANTA ‘ALLAMUL GHUYUB. ALLAHUMMA FA’IN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRA (SEBUT NAMA URUSAN TERSEBUT) KHAIRAN LI FI ‘AJILI AMRI WA AJILIH (AW FI DINI WA MA’ASYI WA ‘AQIBATI AMRI) FAQDUR LI, WA YASSIRHU LII, TSUMMA BARIK LI FIHI. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNAHU SYARRUN LI FI DINI WA MA’ASYI WA ‘AQIBATI AMRI (FI ‘AJILI AMRI WA AJILIH) FASHRIFNI ‘ANHU, WAQDUR LILKHAIRA HAITSU KANA TSUMMA ARDH-DHINI BIH.” “Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu. Aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Mahatahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau jelek bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apa pun keadaannya dan jadikanlah aku rida dengannya. Kemudian dia menyebut keinginannya.” (HR. Bukhari no. 1162, Abu Dawud no. 1538 dan At-Tirmidzi no. 480) Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? Catatan seputar tata cara salat Istikharah Pertama: Istikharah dilakukan ketika seseorang bertekad untuk melakukan satu hal tertentu, bukan ketika hanya sebatas lintasan batin saja. Kemudian, setelahnya dia pasrahkan kepada Allah. Kedua: Bersuci sebelum melaksanakan salat layaknya salat lainnya, baik dengan berwudu atau tayamum. Ketiga: Istikharah dilakukan dengan pelaksanakan salat dua rakaat sunah. Dua rakaat ini bebas, tidak harus salat khusus. Bisa berupa salat rawatib, salat tahiyatul masjid, salat Duha, dan lain-lain. Yang terpenting jumlahnya dua rakaat. Keempat: Tidak ada bacaan surah khusus ketika pelaksanaannya. Artinya cukup membaca Al-Fatihah (ini wajib) dan surah atau ayat yang dihafal. Kelima: Berdoa dengan doa yang disebutkan di dalam hadis setelah salam dan dianjurkan dengan mengangkat tangan. Selesai berdoa dia langsung menyebutkan keinginannya dengan bahasa bebas. Misalnya: ingin bekerja di perusahaan A; atau menikah dengan B; atau berangkat ke kota C; dan lain-lain. Keenam: Melakukan atau memilih apa yang menjadi tekadnya. Jika menjumpai halangan, berarti itu isyarat bahwa Allah Ta’ala tidak menginginkan hal itu terjadi pada anda. Ketujuh: Syekh Binbaz di dalam salah satu kesempatan tanya jawabnya, pernah memberikan nasihat mengenai apa yang harus dilakukan seseorang setelah salat istikharahnya, “Kemudian setelah itu, ia berkonsultasi dengan orang-orang baik yang dikenalnya dari kerabat dan temannya dan meminta pendapat mereka. Jika hatinya merasa tenang untuk salah satu pilihan, maka ia melanjutkan apa yang menjadi pilihannya tersebut. Jika ia tetap ragu, maka ia melakukan salat istikharah kembali, kedua kalinya, ketiga kalinya, dan seterusnya hingga hatinya merasa nyaman dan tenang terhadap salah satu pilihan, apakah itu melanjutkan pilihannya tersebut ataukah tidak.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi). Kedelapan: Apapun hasil akhir setelah istikharah, itulah yang terbaik bagi kita. Meskipun bisa jadi tidak sesuai dengan harapan sebelumnya. Karena itu, kita harus berusaha rida dan lapang dada dengan pilihan Allah untuk kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan dalam doa di atas dengan kita mengatakan, [ ثُمَّ أَرْضِنِى] “kemudian jadikanlah aku rida dengannya” maksudnya adalah “aku rida dengan pilihan-Mu ya Allah, meskipun tidak sesuai keinginanku.” Adakah kaitan jawaban istikharah dengan mimpi? Banyak dari kalangan kaum muslimin beranggapan bahwa jawaban istikharah akan Allah sampaikan dalam mimpi. Ini adalah anggapan yang yang sama sekali tidak benar dan tidak berdalil. Karena tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. Syekh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah salah satu ulama besar Yordania yang lahir di Palestina mengatakan, “Mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fikih. Karena dalam mimpi, setan memiliki peluang besar untuk memainkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk mempermainkan manusia.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرُّؤْيا ثَلاثٌ: حَديثُ النَّفْسِ، وتَخْوِيفُ الشَّيْطانِ، وبُشْرَى مِنَ اللَّهِ “Mimpi ada 3 macam: bisikan hati, godaan setan, dan kabar gembira dari Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 7017 dan Muslim no. 2263) Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa digunakan untuk menetapkan hukum, namun hanya sebatas untuk diketahui saja. Dan tidak ada hubungan antara salat istikharah dengan mimpi. Karena itu, tidak disyaratkan, bahwa setiap istikharah pasti diikuti dengan mimpi. Hanya saja, jika ada seseorang yang istikharah kemudian dia tidur dan bermimpi yang baik, bisa jadi ini merupakan tanda baik baginya dan melapangkan jiwa. Tetapi, tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. (Al-Fatwa Al-Masyhuriyah: http://almenhaj.net/makal.php?linkid=124). Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Shalat Istikharah Ketika Ingin Memilih atau Telah Mantap pada Pilihan? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Mengenal salat IstikharahDalil mengenai salat istikharah dan tata cara pelaksanaannyaCatatan seputar tata cara salat IstikharahAdakah kaitan jawaban istikharah dengan mimpi? Manusia adalah makhluk yang lemah dan sangat butuh akan pertolongan Allah dalam setiap urusan-Nya. Mereka sama sekali tidak mengetahui perkara yang gaib, tidak mengetahui manakah yang baik dan buruk pada kejadian yang akan dilaluinya pada masa yang akan datang. Adakalanya diri kita menghadapi permasalahan yang memiliki urgensi (tingkat kepentingan) yang sama bagi kita sehingga kita harus memilih salah satunya. Adakalanya juga diri kita mengalami kebimbangan untuk mengambil keputusan, apakah akan melanjutkan langkah ataukah berhenti. Dalam hal ini, Islam mengajarkan kita sebuah solusi untuk membantu kita lebih yakin di dalam mengambil keputusan atas sebuah permasalahan yang sedang dihadapi. Solusi tersebut adalah salat istikharah. Mengenal salat Istikharah Salat istikharah adalah salat sunah yang dikerjakan ketika seseorang hendak memohon petunjuk kepada Allah untuk menentukan keputusan yang benar ketika dihadapkan kepada beberapa pilihan keputusan. Yaitu, dengan melaksanakan salat dua rakaat kemudian berdoa setelahnya. Sebelum datangnya Islam, masyarakat jahiliah melakukan istikharah (menentukan pilihan) dengan azlam (undian). Setelah Islam datang, Allah melarang cara semacam ini dan menggantinya dengan salat istikharah. Dalil mengenai salat istikharah dan tata cara pelaksanaannya Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى – قَالَ – وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari para sahabatnya untuk salat istikharah dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surah dari Al-Qur’an. Beliau bersabda, ‘Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah salat dua rakaat selain salat fardu, kemudian hendaklah ia berdoa, “ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA, WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA, WA AS’ALUKA MIN FADHLIKA, FA INNAKA TAQDIRU WA LA AQDIRU, WA TA’LAMU WA LA A’LAMU, WA ANTA ‘ALLAMUL GHUYUB. ALLAHUMMA FA’IN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRA (SEBUT NAMA URUSAN TERSEBUT) KHAIRAN LI FI ‘AJILI AMRI WA AJILIH (AW FI DINI WA MA’ASYI WA ‘AQIBATI AMRI) FAQDUR LI, WA YASSIRHU LII, TSUMMA BARIK LI FIHI. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNAHU SYARRUN LI FI DINI WA MA’ASYI WA ‘AQIBATI AMRI (FI ‘AJILI AMRI WA AJILIH) FASHRIFNI ‘ANHU, WAQDUR LILKHAIRA HAITSU KANA TSUMMA ARDH-DHINI BIH.” “Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu. Aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Mahatahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau jelek bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apa pun keadaannya dan jadikanlah aku rida dengannya. Kemudian dia menyebut keinginannya.” (HR. Bukhari no. 1162, Abu Dawud no. 1538 dan At-Tirmidzi no. 480) Baca juga: Apakah Boleh Salat Istikharah Dalam Masalah Cerai? Catatan seputar tata cara salat Istikharah Pertama: Istikharah dilakukan ketika seseorang bertekad untuk melakukan satu hal tertentu, bukan ketika hanya sebatas lintasan batin saja. Kemudian, setelahnya dia pasrahkan kepada Allah. Kedua: Bersuci sebelum melaksanakan salat layaknya salat lainnya, baik dengan berwudu atau tayamum. Ketiga: Istikharah dilakukan dengan pelaksanakan salat dua rakaat sunah. Dua rakaat ini bebas, tidak harus salat khusus. Bisa berupa salat rawatib, salat tahiyatul masjid, salat Duha, dan lain-lain. Yang terpenting jumlahnya dua rakaat. Keempat: Tidak ada bacaan surah khusus ketika pelaksanaannya. Artinya cukup membaca Al-Fatihah (ini wajib) dan surah atau ayat yang dihafal. Kelima: Berdoa dengan doa yang disebutkan di dalam hadis setelah salam dan dianjurkan dengan mengangkat tangan. Selesai berdoa dia langsung menyebutkan keinginannya dengan bahasa bebas. Misalnya: ingin bekerja di perusahaan A; atau menikah dengan B; atau berangkat ke kota C; dan lain-lain. Keenam: Melakukan atau memilih apa yang menjadi tekadnya. Jika menjumpai halangan, berarti itu isyarat bahwa Allah Ta’ala tidak menginginkan hal itu terjadi pada anda. Ketujuh: Syekh Binbaz di dalam salah satu kesempatan tanya jawabnya, pernah memberikan nasihat mengenai apa yang harus dilakukan seseorang setelah salat istikharahnya, “Kemudian setelah itu, ia berkonsultasi dengan orang-orang baik yang dikenalnya dari kerabat dan temannya dan meminta pendapat mereka. Jika hatinya merasa tenang untuk salah satu pilihan, maka ia melanjutkan apa yang menjadi pilihannya tersebut. Jika ia tetap ragu, maka ia melakukan salat istikharah kembali, kedua kalinya, ketiga kalinya, dan seterusnya hingga hatinya merasa nyaman dan tenang terhadap salah satu pilihan, apakah itu melanjutkan pilihannya tersebut ataukah tidak.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi). Kedelapan: Apapun hasil akhir setelah istikharah, itulah yang terbaik bagi kita. Meskipun bisa jadi tidak sesuai dengan harapan sebelumnya. Karena itu, kita harus berusaha rida dan lapang dada dengan pilihan Allah untuk kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan dalam doa di atas dengan kita mengatakan, [ ثُمَّ أَرْضِنِى] “kemudian jadikanlah aku rida dengannya” maksudnya adalah “aku rida dengan pilihan-Mu ya Allah, meskipun tidak sesuai keinginanku.” Adakah kaitan jawaban istikharah dengan mimpi? Banyak dari kalangan kaum muslimin beranggapan bahwa jawaban istikharah akan Allah sampaikan dalam mimpi. Ini adalah anggapan yang yang sama sekali tidak benar dan tidak berdalil. Karena tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. Syekh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah salah satu ulama besar Yordania yang lahir di Palestina mengatakan, “Mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fikih. Karena dalam mimpi, setan memiliki peluang besar untuk memainkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk mempermainkan manusia.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرُّؤْيا ثَلاثٌ: حَديثُ النَّفْسِ، وتَخْوِيفُ الشَّيْطانِ، وبُشْرَى مِنَ اللَّهِ “Mimpi ada 3 macam: bisikan hati, godaan setan, dan kabar gembira dari Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 7017 dan Muslim no. 2263) Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa digunakan untuk menetapkan hukum, namun hanya sebatas untuk diketahui saja. Dan tidak ada hubungan antara salat istikharah dengan mimpi. Karena itu, tidak disyaratkan, bahwa setiap istikharah pasti diikuti dengan mimpi. Hanya saja, jika ada seseorang yang istikharah kemudian dia tidur dan bermimpi yang baik, bisa jadi ini merupakan tanda baik baginya dan melapangkan jiwa. Tetapi, tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. (Al-Fatwa Al-Masyhuriyah: http://almenhaj.net/makal.php?linkid=124). Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Shalat Istikharah Ketika Ingin Memilih atau Telah Mantap pada Pilihan? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Adakah Harta Gono Gini dalam Islam?

Daftar Isi Toggle Harta gono gini dalam perundang-undangan IndonesiaHarta gono gini dalam perspektif hukum IslamKonsep kepemilikan harta antara suami dan istri yang benar dalam IslamPenutup, jika terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari pasangan Di antara permasalahan yang sering muncul saat terjadinya perceraian di antara pasangan suami istri atau meninggalnya salah satu dari keduanya di negeri kita tercinta adalah masalah harta gono gini. Jika melihat ke kamus KBBI, gono-gini/gana-gini memiliki arti, “Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri.” Munculnya istilah harta gono gini (harta bersama) tidak lain dan tidak bukan seringkali dikarenakan faktor adanya penggabungan harta milik suami dan istri, baik itu dalam bentuk patungan tatkala membeli rumah, kredit motor, ataupun hal-hal lainnya. Dan hal ini muncul karena tidak adanya kejelasan porsi patungan antara keduanya sehingga kepemilikan harta tersebut menjadi tidak jelas. Lalu, bagaimana status hukum harta tersebut di dalam syariat kita? Terutama apabila salah satu dari keduanya telah meninggal dunia. Dan bagaimanakah langkah yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut? Harta gono gini dalam perundang-undangan Indonesia Harta gono-gini atau harta bersama diatur dalam pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 119 KHU Perdata, dan pasal 85 dan 86 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gono gini ini diakui secara hukum, termasuk dalam pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Begitu juga dalam pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 96 dan pasal 97 Kompilasi Hukum dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus, baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separuh dari harta harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut, sejalan dengan Yurisprodensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hukum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak (suami istri) mendapat setengah bagian dari harta bersama (gono-gini) mereka. Harta gono gini dalam perspektif hukum Islam Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini atau harta bersama tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fikih terdahulu para ulama. Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan budaya atau adat istiadat yang persoalan hukumnya belum disentuh atau belum terpikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulama-ulama fikih terdahulu karena masalah ini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern, dan mungkin dikarenakan juga orang Islam di zaman terdahulu tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri, harta istri adalah harta istri dan harta suami adalah harta suami, jelas porsi harta mereka berdua. Dari sini dapat kita ketahui bahwa hukum Islam tidak melihat adanya harta gono-gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan istri adalah harta miliknya. Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. pernah menyampaikan dalam sebuah kesempatan bahwa tidak ada istilah harta gono gini, istilah tersebut datangnya dari kita dan tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam. Dalam Islam, jika terjadi sebuah perpisahan, baik  karena perceraian atau meninggalnya salah satu pasangan, maka apa yang menjadi hak milik pasangannya harus dikembalikan terlebih dahulu. Baik itu berupa harta, saham, ataupun kepemilikan lainnya. Baru kemudian sisa dari harta tesebut menjadi warisan bagi ahli warisnya jika ia telah meninggal dunia. Baca juga: Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan? Konsep kepemilikan harta antara suami dan istri yang benar dalam Islam Dalam Islam, kepemilikan harta sangatlah diperhatikan, seorang laki-laki dan perempuan yang telah balig dan dapat mengelola harta, maka ia berhak untuk mengelola harta tersebut dan memilikinya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan para wali anak yatim untuk menyerahkan hartanya kepada anak-anak yatim tersebut tatkala mereka telah dewasa dan dapat mengelola harta, وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ “Dan ujilah anak yatim itu (yaitu memberikan sebagian harta mereka untuk mereka belanjakan sendiri) sampai mereka cukup umur untuk kawin (telah mencapai usia dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. An-Nisa’: 6) Ayat ini umum, mencakup setiap muslim yang sudah dewasa, maka harta yang menjadi hak milik mereka tidak dapat berpindah kepemilikan, kecuali atas izin dan keridaan pemilik harta tersebut. Islam sangatlah menjaga kepemilikan harta seorang muslim, dan ini telah tercantum di dalam banyak sekali ayat dan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لا يأْخذَنَّ أحدُكم متاعَ أخيهِ لاعبًا ولا جادًّا . وقال سليمانُ : لعبًا ولا جدًّا ومن أخذ عصا أخيهِ فلْيرُدَّها “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, tidak dengan main-main tidak pula sungguhan.” Sulaiman bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi berkata, “Tidak dengan main-main, tidak pula sungguhan, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikannya.” (HR. Abu Dawud no. 5003) Hadis ini berlaku umum, bahkan dalam sebuah hubungan pernikahan. Dengan adanya ikatan pernikahan tidak kemudian menjadikan harta suami otomatis menjadi milik istri. Begitu pula sebaliknya, harta istri otomatis menjadi milik suami, atau istilah lainnya harta mereka menjadi milik bersama. Namun, perlu kita pahami juga bahwa dalam hubungan suami dan istri, seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya, yang apabila harta tersebut kemudian diberikan kepada istri, maka sepenuhnya menjadi kepemilikan dan hak istrinya. Seorang suami tidak berhak untuk menarik kembali harta yang menjadi hak nafkah istri tersebut. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ‘dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka‘, “yaitu, berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan kepada para lelaki untuk ditunaikan terhadap istri mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 292) Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, كَفَى بالمَرْءِ إثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia manahan hak-hak orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996) Maka, wajib hukumnya seorang suami memberi nafkah kepada istrinya dan keluarganya, dan bila itu tidak dilaksanakan, maka ia berdosa. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang istri terkadang akan memiliki harta dari suaminya, dan ini menjadi haknya dan miliknya. Seorang suami tidak diperbolehkan untuk mengambil kembali harta tersebut, baik dengan dalih adanya harta gono-gini ataupun dalih lainnya. Jika pun ia butuh untuk menggunakan harta istrinya, maka itu harus sepengetahuan istrinya dan keridaannya. Penutup, jika terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari pasangan Setelah mengetahui bahwa hukum Islam tidak mengenal konsep harta gono-gini, maka tatkala kita mendapat sebuah permasalahan yang mengharuskan pemisahan harta antara milik suami dan milik istri, wajib hukumnya untuk kita pisahkan dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Apa yang memang menjadi hak suami dan harta suami, maka itu menjadi haknya dan miliknya, dan apa yang menjadi hak istri dan hartanya, maka itu tetap menjadi haknya dan hartanya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap pasangan yang sedang membangun rumah tangganya, kemudian melakukan sebuah transaksi dengan cara patungan seperti membeli rumah atau kendaraan ataupun melakukan utang, untuk memperjelas porsi kepemilikan harta masing-masing dari keduanya. Dan cara yang lebih baik lagi adalah dengan mencatatkannya dan mengikrarkannya di hadapan saksi, sehingga apabila di kemudian hari terjadi suatu kondisi yang mengharuskan pemisahan harta keduanya, tidak terjadi perselisihan di antara keduanya. Jikapun terjadi perselisihan, maka Islam memperbolehkan adanya musyawarah dan diskusi untuk mencapai kesepakatan antara keduanya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا “Shulh (berdamai) dengan sesama kaum muslimin itu boleh, kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu perkara yang halal.” (HR. Tirmidzi no. 1352) Wallahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Adakah Harta Gono Gini dalam Islam?

Daftar Isi Toggle Harta gono gini dalam perundang-undangan IndonesiaHarta gono gini dalam perspektif hukum IslamKonsep kepemilikan harta antara suami dan istri yang benar dalam IslamPenutup, jika terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari pasangan Di antara permasalahan yang sering muncul saat terjadinya perceraian di antara pasangan suami istri atau meninggalnya salah satu dari keduanya di negeri kita tercinta adalah masalah harta gono gini. Jika melihat ke kamus KBBI, gono-gini/gana-gini memiliki arti, “Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri.” Munculnya istilah harta gono gini (harta bersama) tidak lain dan tidak bukan seringkali dikarenakan faktor adanya penggabungan harta milik suami dan istri, baik itu dalam bentuk patungan tatkala membeli rumah, kredit motor, ataupun hal-hal lainnya. Dan hal ini muncul karena tidak adanya kejelasan porsi patungan antara keduanya sehingga kepemilikan harta tersebut menjadi tidak jelas. Lalu, bagaimana status hukum harta tersebut di dalam syariat kita? Terutama apabila salah satu dari keduanya telah meninggal dunia. Dan bagaimanakah langkah yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut? Harta gono gini dalam perundang-undangan Indonesia Harta gono-gini atau harta bersama diatur dalam pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 119 KHU Perdata, dan pasal 85 dan 86 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gono gini ini diakui secara hukum, termasuk dalam pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Begitu juga dalam pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 96 dan pasal 97 Kompilasi Hukum dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus, baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separuh dari harta harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut, sejalan dengan Yurisprodensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hukum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak (suami istri) mendapat setengah bagian dari harta bersama (gono-gini) mereka. Harta gono gini dalam perspektif hukum Islam Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini atau harta bersama tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fikih terdahulu para ulama. Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan budaya atau adat istiadat yang persoalan hukumnya belum disentuh atau belum terpikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulama-ulama fikih terdahulu karena masalah ini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern, dan mungkin dikarenakan juga orang Islam di zaman terdahulu tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri, harta istri adalah harta istri dan harta suami adalah harta suami, jelas porsi harta mereka berdua. Dari sini dapat kita ketahui bahwa hukum Islam tidak melihat adanya harta gono-gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan istri adalah harta miliknya. Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. pernah menyampaikan dalam sebuah kesempatan bahwa tidak ada istilah harta gono gini, istilah tersebut datangnya dari kita dan tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam. Dalam Islam, jika terjadi sebuah perpisahan, baik  karena perceraian atau meninggalnya salah satu pasangan, maka apa yang menjadi hak milik pasangannya harus dikembalikan terlebih dahulu. Baik itu berupa harta, saham, ataupun kepemilikan lainnya. Baru kemudian sisa dari harta tesebut menjadi warisan bagi ahli warisnya jika ia telah meninggal dunia. Baca juga: Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan? Konsep kepemilikan harta antara suami dan istri yang benar dalam Islam Dalam Islam, kepemilikan harta sangatlah diperhatikan, seorang laki-laki dan perempuan yang telah balig dan dapat mengelola harta, maka ia berhak untuk mengelola harta tersebut dan memilikinya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan para wali anak yatim untuk menyerahkan hartanya kepada anak-anak yatim tersebut tatkala mereka telah dewasa dan dapat mengelola harta, وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ “Dan ujilah anak yatim itu (yaitu memberikan sebagian harta mereka untuk mereka belanjakan sendiri) sampai mereka cukup umur untuk kawin (telah mencapai usia dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. An-Nisa’: 6) Ayat ini umum, mencakup setiap muslim yang sudah dewasa, maka harta yang menjadi hak milik mereka tidak dapat berpindah kepemilikan, kecuali atas izin dan keridaan pemilik harta tersebut. Islam sangatlah menjaga kepemilikan harta seorang muslim, dan ini telah tercantum di dalam banyak sekali ayat dan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لا يأْخذَنَّ أحدُكم متاعَ أخيهِ لاعبًا ولا جادًّا . وقال سليمانُ : لعبًا ولا جدًّا ومن أخذ عصا أخيهِ فلْيرُدَّها “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, tidak dengan main-main tidak pula sungguhan.” Sulaiman bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi berkata, “Tidak dengan main-main, tidak pula sungguhan, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikannya.” (HR. Abu Dawud no. 5003) Hadis ini berlaku umum, bahkan dalam sebuah hubungan pernikahan. Dengan adanya ikatan pernikahan tidak kemudian menjadikan harta suami otomatis menjadi milik istri. Begitu pula sebaliknya, harta istri otomatis menjadi milik suami, atau istilah lainnya harta mereka menjadi milik bersama. Namun, perlu kita pahami juga bahwa dalam hubungan suami dan istri, seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya, yang apabila harta tersebut kemudian diberikan kepada istri, maka sepenuhnya menjadi kepemilikan dan hak istrinya. Seorang suami tidak berhak untuk menarik kembali harta yang menjadi hak nafkah istri tersebut. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ‘dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka‘, “yaitu, berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan kepada para lelaki untuk ditunaikan terhadap istri mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 292) Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, كَفَى بالمَرْءِ إثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia manahan hak-hak orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996) Maka, wajib hukumnya seorang suami memberi nafkah kepada istrinya dan keluarganya, dan bila itu tidak dilaksanakan, maka ia berdosa. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang istri terkadang akan memiliki harta dari suaminya, dan ini menjadi haknya dan miliknya. Seorang suami tidak diperbolehkan untuk mengambil kembali harta tersebut, baik dengan dalih adanya harta gono-gini ataupun dalih lainnya. Jika pun ia butuh untuk menggunakan harta istrinya, maka itu harus sepengetahuan istrinya dan keridaannya. Penutup, jika terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari pasangan Setelah mengetahui bahwa hukum Islam tidak mengenal konsep harta gono-gini, maka tatkala kita mendapat sebuah permasalahan yang mengharuskan pemisahan harta antara milik suami dan milik istri, wajib hukumnya untuk kita pisahkan dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Apa yang memang menjadi hak suami dan harta suami, maka itu menjadi haknya dan miliknya, dan apa yang menjadi hak istri dan hartanya, maka itu tetap menjadi haknya dan hartanya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap pasangan yang sedang membangun rumah tangganya, kemudian melakukan sebuah transaksi dengan cara patungan seperti membeli rumah atau kendaraan ataupun melakukan utang, untuk memperjelas porsi kepemilikan harta masing-masing dari keduanya. Dan cara yang lebih baik lagi adalah dengan mencatatkannya dan mengikrarkannya di hadapan saksi, sehingga apabila di kemudian hari terjadi suatu kondisi yang mengharuskan pemisahan harta keduanya, tidak terjadi perselisihan di antara keduanya. Jikapun terjadi perselisihan, maka Islam memperbolehkan adanya musyawarah dan diskusi untuk mencapai kesepakatan antara keduanya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا “Shulh (berdamai) dengan sesama kaum muslimin itu boleh, kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu perkara yang halal.” (HR. Tirmidzi no. 1352) Wallahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Harta gono gini dalam perundang-undangan IndonesiaHarta gono gini dalam perspektif hukum IslamKonsep kepemilikan harta antara suami dan istri yang benar dalam IslamPenutup, jika terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari pasangan Di antara permasalahan yang sering muncul saat terjadinya perceraian di antara pasangan suami istri atau meninggalnya salah satu dari keduanya di negeri kita tercinta adalah masalah harta gono gini. Jika melihat ke kamus KBBI, gono-gini/gana-gini memiliki arti, “Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri.” Munculnya istilah harta gono gini (harta bersama) tidak lain dan tidak bukan seringkali dikarenakan faktor adanya penggabungan harta milik suami dan istri, baik itu dalam bentuk patungan tatkala membeli rumah, kredit motor, ataupun hal-hal lainnya. Dan hal ini muncul karena tidak adanya kejelasan porsi patungan antara keduanya sehingga kepemilikan harta tersebut menjadi tidak jelas. Lalu, bagaimana status hukum harta tersebut di dalam syariat kita? Terutama apabila salah satu dari keduanya telah meninggal dunia. Dan bagaimanakah langkah yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut? Harta gono gini dalam perundang-undangan Indonesia Harta gono-gini atau harta bersama diatur dalam pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 119 KHU Perdata, dan pasal 85 dan 86 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gono gini ini diakui secara hukum, termasuk dalam pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Begitu juga dalam pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 96 dan pasal 97 Kompilasi Hukum dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus, baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separuh dari harta harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut, sejalan dengan Yurisprodensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hukum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak (suami istri) mendapat setengah bagian dari harta bersama (gono-gini) mereka. Harta gono gini dalam perspektif hukum Islam Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini atau harta bersama tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fikih terdahulu para ulama. Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan budaya atau adat istiadat yang persoalan hukumnya belum disentuh atau belum terpikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulama-ulama fikih terdahulu karena masalah ini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern, dan mungkin dikarenakan juga orang Islam di zaman terdahulu tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri, harta istri adalah harta istri dan harta suami adalah harta suami, jelas porsi harta mereka berdua. Dari sini dapat kita ketahui bahwa hukum Islam tidak melihat adanya harta gono-gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan istri adalah harta miliknya. Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. pernah menyampaikan dalam sebuah kesempatan bahwa tidak ada istilah harta gono gini, istilah tersebut datangnya dari kita dan tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam. Dalam Islam, jika terjadi sebuah perpisahan, baik  karena perceraian atau meninggalnya salah satu pasangan, maka apa yang menjadi hak milik pasangannya harus dikembalikan terlebih dahulu. Baik itu berupa harta, saham, ataupun kepemilikan lainnya. Baru kemudian sisa dari harta tesebut menjadi warisan bagi ahli warisnya jika ia telah meninggal dunia. Baca juga: Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan? Konsep kepemilikan harta antara suami dan istri yang benar dalam Islam Dalam Islam, kepemilikan harta sangatlah diperhatikan, seorang laki-laki dan perempuan yang telah balig dan dapat mengelola harta, maka ia berhak untuk mengelola harta tersebut dan memilikinya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan para wali anak yatim untuk menyerahkan hartanya kepada anak-anak yatim tersebut tatkala mereka telah dewasa dan dapat mengelola harta, وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ “Dan ujilah anak yatim itu (yaitu memberikan sebagian harta mereka untuk mereka belanjakan sendiri) sampai mereka cukup umur untuk kawin (telah mencapai usia dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. An-Nisa’: 6) Ayat ini umum, mencakup setiap muslim yang sudah dewasa, maka harta yang menjadi hak milik mereka tidak dapat berpindah kepemilikan, kecuali atas izin dan keridaan pemilik harta tersebut. Islam sangatlah menjaga kepemilikan harta seorang muslim, dan ini telah tercantum di dalam banyak sekali ayat dan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لا يأْخذَنَّ أحدُكم متاعَ أخيهِ لاعبًا ولا جادًّا . وقال سليمانُ : لعبًا ولا جدًّا ومن أخذ عصا أخيهِ فلْيرُدَّها “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, tidak dengan main-main tidak pula sungguhan.” Sulaiman bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi berkata, “Tidak dengan main-main, tidak pula sungguhan, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikannya.” (HR. Abu Dawud no. 5003) Hadis ini berlaku umum, bahkan dalam sebuah hubungan pernikahan. Dengan adanya ikatan pernikahan tidak kemudian menjadikan harta suami otomatis menjadi milik istri. Begitu pula sebaliknya, harta istri otomatis menjadi milik suami, atau istilah lainnya harta mereka menjadi milik bersama. Namun, perlu kita pahami juga bahwa dalam hubungan suami dan istri, seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya, yang apabila harta tersebut kemudian diberikan kepada istri, maka sepenuhnya menjadi kepemilikan dan hak istrinya. Seorang suami tidak berhak untuk menarik kembali harta yang menjadi hak nafkah istri tersebut. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ‘dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka‘, “yaitu, berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan kepada para lelaki untuk ditunaikan terhadap istri mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 292) Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, كَفَى بالمَرْءِ إثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia manahan hak-hak orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996) Maka, wajib hukumnya seorang suami memberi nafkah kepada istrinya dan keluarganya, dan bila itu tidak dilaksanakan, maka ia berdosa. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang istri terkadang akan memiliki harta dari suaminya, dan ini menjadi haknya dan miliknya. Seorang suami tidak diperbolehkan untuk mengambil kembali harta tersebut, baik dengan dalih adanya harta gono-gini ataupun dalih lainnya. Jika pun ia butuh untuk menggunakan harta istrinya, maka itu harus sepengetahuan istrinya dan keridaannya. Penutup, jika terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari pasangan Setelah mengetahui bahwa hukum Islam tidak mengenal konsep harta gono-gini, maka tatkala kita mendapat sebuah permasalahan yang mengharuskan pemisahan harta antara milik suami dan milik istri, wajib hukumnya untuk kita pisahkan dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Apa yang memang menjadi hak suami dan harta suami, maka itu menjadi haknya dan miliknya, dan apa yang menjadi hak istri dan hartanya, maka itu tetap menjadi haknya dan hartanya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap pasangan yang sedang membangun rumah tangganya, kemudian melakukan sebuah transaksi dengan cara patungan seperti membeli rumah atau kendaraan ataupun melakukan utang, untuk memperjelas porsi kepemilikan harta masing-masing dari keduanya. Dan cara yang lebih baik lagi adalah dengan mencatatkannya dan mengikrarkannya di hadapan saksi, sehingga apabila di kemudian hari terjadi suatu kondisi yang mengharuskan pemisahan harta keduanya, tidak terjadi perselisihan di antara keduanya. Jikapun terjadi perselisihan, maka Islam memperbolehkan adanya musyawarah dan diskusi untuk mencapai kesepakatan antara keduanya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا “Shulh (berdamai) dengan sesama kaum muslimin itu boleh, kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu perkara yang halal.” (HR. Tirmidzi no. 1352) Wallahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Harta gono gini dalam perundang-undangan IndonesiaHarta gono gini dalam perspektif hukum IslamKonsep kepemilikan harta antara suami dan istri yang benar dalam IslamPenutup, jika terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari pasangan Di antara permasalahan yang sering muncul saat terjadinya perceraian di antara pasangan suami istri atau meninggalnya salah satu dari keduanya di negeri kita tercinta adalah masalah harta gono gini. Jika melihat ke kamus KBBI, gono-gini/gana-gini memiliki arti, “Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri.” Munculnya istilah harta gono gini (harta bersama) tidak lain dan tidak bukan seringkali dikarenakan faktor adanya penggabungan harta milik suami dan istri, baik itu dalam bentuk patungan tatkala membeli rumah, kredit motor, ataupun hal-hal lainnya. Dan hal ini muncul karena tidak adanya kejelasan porsi patungan antara keduanya sehingga kepemilikan harta tersebut menjadi tidak jelas. Lalu, bagaimana status hukum harta tersebut di dalam syariat kita? Terutama apabila salah satu dari keduanya telah meninggal dunia. Dan bagaimanakah langkah yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut? Harta gono gini dalam perundang-undangan Indonesia Harta gono-gini atau harta bersama diatur dalam pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 119 KHU Perdata, dan pasal 85 dan 86 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta gono gini ini diakui secara hukum, termasuk dalam pengurusan, penggunaan, dan pembagiannya. Begitu juga dalam pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 96 dan pasal 97 Kompilasi Hukum dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus, baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separuh dari harta harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut, sejalan dengan Yurisprodensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hukum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak (suami istri) mendapat setengah bagian dari harta bersama (gono-gini) mereka. Harta gono gini dalam perspektif hukum Islam Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini atau harta bersama tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fikih terdahulu para ulama. Masalah harta gono-gini atau harta bersama merupakan budaya atau adat istiadat yang persoalan hukumnya belum disentuh atau belum terpikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulama-ulama fikih terdahulu karena masalah ini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern, dan mungkin dikarenakan juga orang Islam di zaman terdahulu tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri, harta istri adalah harta istri dan harta suami adalah harta suami, jelas porsi harta mereka berdua. Dari sini dapat kita ketahui bahwa hukum Islam tidak melihat adanya harta gono-gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan istri adalah harta miliknya. Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. pernah menyampaikan dalam sebuah kesempatan bahwa tidak ada istilah harta gono gini, istilah tersebut datangnya dari kita dan tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam. Dalam Islam, jika terjadi sebuah perpisahan, baik  karena perceraian atau meninggalnya salah satu pasangan, maka apa yang menjadi hak milik pasangannya harus dikembalikan terlebih dahulu. Baik itu berupa harta, saham, ataupun kepemilikan lainnya. Baru kemudian sisa dari harta tesebut menjadi warisan bagi ahli warisnya jika ia telah meninggal dunia. Baca juga: Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan? Konsep kepemilikan harta antara suami dan istri yang benar dalam Islam Dalam Islam, kepemilikan harta sangatlah diperhatikan, seorang laki-laki dan perempuan yang telah balig dan dapat mengelola harta, maka ia berhak untuk mengelola harta tersebut dan memilikinya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan para wali anak yatim untuk menyerahkan hartanya kepada anak-anak yatim tersebut tatkala mereka telah dewasa dan dapat mengelola harta, وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ “Dan ujilah anak yatim itu (yaitu memberikan sebagian harta mereka untuk mereka belanjakan sendiri) sampai mereka cukup umur untuk kawin (telah mencapai usia dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. An-Nisa’: 6) Ayat ini umum, mencakup setiap muslim yang sudah dewasa, maka harta yang menjadi hak milik mereka tidak dapat berpindah kepemilikan, kecuali atas izin dan keridaan pemilik harta tersebut. Islam sangatlah menjaga kepemilikan harta seorang muslim, dan ini telah tercantum di dalam banyak sekali ayat dan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لا يأْخذَنَّ أحدُكم متاعَ أخيهِ لاعبًا ولا جادًّا . وقال سليمانُ : لعبًا ولا جدًّا ومن أخذ عصا أخيهِ فلْيرُدَّها “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, tidak dengan main-main tidak pula sungguhan.” Sulaiman bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi berkata, “Tidak dengan main-main, tidak pula sungguhan, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikannya.” (HR. Abu Dawud no. 5003) Hadis ini berlaku umum, bahkan dalam sebuah hubungan pernikahan. Dengan adanya ikatan pernikahan tidak kemudian menjadikan harta suami otomatis menjadi milik istri. Begitu pula sebaliknya, harta istri otomatis menjadi milik suami, atau istilah lainnya harta mereka menjadi milik bersama. Namun, perlu kita pahami juga bahwa dalam hubungan suami dan istri, seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya, yang apabila harta tersebut kemudian diberikan kepada istri, maka sepenuhnya menjadi kepemilikan dan hak istrinya. Seorang suami tidak berhak untuk menarik kembali harta yang menjadi hak nafkah istri tersebut. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ‘dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka‘, “yaitu, berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan kepada para lelaki untuk ditunaikan terhadap istri mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 292) Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda, كَفَى بالمَرْءِ إثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia manahan hak-hak orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996) Maka, wajib hukumnya seorang suami memberi nafkah kepada istrinya dan keluarganya, dan bila itu tidak dilaksanakan, maka ia berdosa. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang istri terkadang akan memiliki harta dari suaminya, dan ini menjadi haknya dan miliknya. Seorang suami tidak diperbolehkan untuk mengambil kembali harta tersebut, baik dengan dalih adanya harta gono-gini ataupun dalih lainnya. Jika pun ia butuh untuk menggunakan harta istrinya, maka itu harus sepengetahuan istrinya dan keridaannya. Penutup, jika terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari pasangan Setelah mengetahui bahwa hukum Islam tidak mengenal konsep harta gono-gini, maka tatkala kita mendapat sebuah permasalahan yang mengharuskan pemisahan harta antara milik suami dan milik istri, wajib hukumnya untuk kita pisahkan dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Apa yang memang menjadi hak suami dan harta suami, maka itu menjadi haknya dan miliknya, dan apa yang menjadi hak istri dan hartanya, maka itu tetap menjadi haknya dan hartanya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap pasangan yang sedang membangun rumah tangganya, kemudian melakukan sebuah transaksi dengan cara patungan seperti membeli rumah atau kendaraan ataupun melakukan utang, untuk memperjelas porsi kepemilikan harta masing-masing dari keduanya. Dan cara yang lebih baik lagi adalah dengan mencatatkannya dan mengikrarkannya di hadapan saksi, sehingga apabila di kemudian hari terjadi suatu kondisi yang mengharuskan pemisahan harta keduanya, tidak terjadi perselisihan di antara keduanya. Jikapun terjadi perselisihan, maka Islam memperbolehkan adanya musyawarah dan diskusi untuk mencapai kesepakatan antara keduanya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا “Shulh (berdamai) dengan sesama kaum muslimin itu boleh, kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu perkara yang halal.” (HR. Tirmidzi no. 1352) Wallahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Fatwa Ulama: Hukum Makanan Khusus pada Hari Raya Bid‘ah

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apakah diperbolehkan memakan makanan yang disajikan dalam perkumpulan-perkumpulan yang diadakan untuk memperingati hari raya bid‘ah? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘alamin, selawat dan salam atas utusan Allah rahmatan lil alamin wa ‘ala alihi washahbihi waikhwanihi ila yaumiddin. Amma ba’du. Ketahuilah bahwa Allah Ta‘ala telah membatalkan perayaan-perayaan masa jahiliah dan menggantinya untuk umat Islam dengan dua hari raya, di mana mereka berkumpul untuk berzikir dan melaksanakan salat, yaitu: Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Iduladha. Telah diriwayatkan dengan sahih bahwa ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Anshar memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main dan menganggapnya sebagai dua hari raya. Maka, Nabi ﷺ bersabda, إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الفِطْرِ “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan yang lebih baik darinya, yaitu hari Al-Fithri dan hari An-Nahr.” [1] Sebagaimana Allah Ta‘ala telah mensyariatkan bagi umat Islam untuk berkumpul dalam rangka beribadah dan mengingat Allah pada hari Jumat, hari Arafah, dan hari-hari tasyrik. Adapun selain itu, maka tidak diperbolehkan untuk merayakannya. Baik itu berupa hari raya keagamaan, seperti Hari Raya Natal dan Tahun Baru Masehi, Hari Ibu, Natal (Christmas) bagi kaum Nasrani, atau Hari Raya Yobel bagi kaum Yahudi. Demikian pula dengan perayaan-perayaan kaum Rafidhah, seperti Hari Raya Ghadir, Hari Raya Isra Mi‘raj, peringatan Asyura, malam awal bulan Sya‘ban, malam pertengahan Sya‘ban, malam bulan Rajab, malam pertengahan Rajab, perayaan Maulid Nabi yang dilakukan oleh mereka (Rafidhah) dan kaum sufi, perayaan pergantian abad hijriah, dan semisalnya. Dan hari-hari raya lainnya, seperti perayaan ulang tahun dan yang semisalnya dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (bid‘ah), di mana banyak kaum muslim mengikuti jalan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan yang serupa dengan mereka. Mereka meniru mereka dalam perayaan-perayaan mereka, akhlak mereka, cara hidup mereka, serta berbagai aspek kehidupan mereka. Nabi ﷺ bersabda, لَتَتْبَعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا: «يَا رَسُولَ اللهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟» قَالَ: «فَمَنْ» “Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk liang dhab, niscaya kalian mengikuti mereka”. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan nasranikah?” Nabi menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” [2] Maka, wajib bagi kita untuk meninggalkan semua hari raya yang tidak disyariatkan oleh Allah kepada kita, serta meninggalkan segala bentuk yang berkaitan dengannya dan hal-hal yang menjadi pelengkapnya, seperti berkumpul untuk mengadakan kajian atau ceramah, makan bersama, atau mengadakan pesta perayaan. Hal ini karena تَوَابِعَ الشَّيْءِ مِنْهُ / “Segala sesuatu yang menjadi pelengkap atau turunan dari sesuatu adalah bagian darinya (dan mengikuti hukumnya).” dan yang termasuk di dalamnya adalah التَّابِعُ تَابِعٌ/ “Yang mengikuti memiliki hukum yang sama dengan yang diikutinya.” Adapun alasan-alasan yang menjadi dasar larangan dan pengharamannya dapat dirangkum sebagai berikut: Pertama: Bahwa perayaan-perayaan tersebut termasuk perkara yang diada-adakan (muhdatsat al-umur), dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3] Nabi ﷺ bersabda, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، [وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ]، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، [وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ “Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan [setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah], setiap bid‘ah adalah kesesatan, [dan setiap kesesatan tempatnya di neraka].” [4] Nabi ﷺ juga bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka hal itu tertolak.” [5] Dan telah diriwayatkan dengan lafaz yang lebih umum dari sabda Nabi ﷺ, مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal tersebut tertolak.” [6] Kedua: Karena perayaan musim-musim dan hari raya bid‘ah merupakan tindakan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan hari-hari tertentu sebagai hari raya, padahal syariat tidak menetapkannya sebagai hari raya. Allah Ta‘ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 49) Ketiga: Karena hal itu juga mengandung unsur menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang sejenis dengan mereka dalam perayaan, tradisi, dan kebiasaan mereka. Hal ini termasuk salah satu bentuk loyalitas kepada mereka. Allah Ta‘ala berfirman, وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51) Dan Nabi ﷺ bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” [7] Oleh karena itu, berpartisipasi dalam perayaan hari-hari raya yang tidak disyariatkan, baik dengan berkumpul di meja jamuan maupun mengadakan perayaan di atas panggung, merupakan bentuk pengakuan terhadap bid‘ah dan keridaan terhadap apa yang telah dilarang oleh Allah. Menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya adalah bukti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Allah Ta‘ala berfirman, قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Al-Imran: 31) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini menjadi hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun ia tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad ﷺ. Sesungguhnya ia adalah pendusta dalam klaimnya tersebut, hingga ia mengikuti syariat Nabi Muhammad dan agama yang dibawanya dalam seluruh perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Sebagaimana telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda, ‘Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal tersebut tertolak.’ ” Aku katakan, “Termasuk dalam amal yang tertolak adalah partisipasi para pembuat roti, pembuat kue, juru masak, pedagang daging putih, kalkun, dan lainnya dalam rangka menghidupkan perayaan-perayaan yang diada-adakan ini. Hal tersebut termasuk dalam kerja sama yang berdosa dan melampaui batas-batas syariat. Allah telah melarang bentuk kerja sama semacam ini dengan firman-Nya, وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ ‘Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.’ (QS. Al-Maidah: 2)” Aku memohon kepada Allah agar memperbaiki keadaan kaum muslimin, menyucikan hati dan amal perbuatan mereka dari segala sesuatu yang bertentangan dengan kemurnian agama, serta memberikan mereka taufik untuk berpegang teguh kepada Kitab Tuhan mereka dan sunnah Nabi mereka, Muhammad ﷺ, dan untuk mengikuti jalan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Dialah Pelindung Yang Maha kuasa atas hal itu. Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. — Aljazair, pada 24 Rabiulakhir 1427 H Bertepatan dengan 21 Mei 2006 M Baca juga: Nikmat Keamanan, Kesehatan, dan Makanan yang Cukup *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-428#_ftn6   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab “Ash-Shalah“, bab “Salat Hari Raya” no. 1134, dan oleh An-Nasa’i dalam kitab “Salat Hari Raya” no. 1556, dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 2: 442, dan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 2021. [2] Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-I‘tisam bil Kitab was-Sunnah, bab “Sabda Nabi ﷺ, ‘Kalian pasti akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian’“, no. 7320, dan oleh Muslim dalam kitab Al-‘Ilm, no. 2669, dari hadis Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. [3] Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab As-Sunnah, bab “Kewajiban Berpegang Teguh pada Sunnah” no. 4607, oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-‘Ilm, bab “Apa yang Datang tentang Berpegang pada Sunnah dan Menjauhi Bid‘ah” no. 2676, dan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah, bab “Mengikuti Sunnah Khulafaur Rasyidin yang Mendapat Petunjuk“, no. 42, dari hadis Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 1: 181 dan Al-Wadi‘i dalam Ash-Shahih Al-Musnad, no. 938. Hadis ini juga dinilai sahih oleh Ibnu Al-Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir, 9: 582, Ibnu Hajar dalam Muwafaqatul Khabar Al-Khabar, 1: 136, Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘, no. 2549 dan Silsilah Ash-Shahihah, no. 2735, serta Syu‘aib Al-Arna’uth dalam takhrij-nya untuk Musnad Ahmad, 4: 126. [4] Hadis riwayat Muslim dalam kitab Al-Jumu‘ah, no. 867, dari hadis Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma. Adapun teks yang berada di antara tanda kurung adalah tambahan dari An-Nasa’i dalam kitab Salat Al-‘Idain, bab “Bagaimana Khutbah?” no. 1578. Lihat: Irwa’ul Ghalil, karya Al-Albani, 3: 73. [5] Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan dengan lafaz ini oleh Muslim dalam kitab Al-Aqdiyah, no. 1718, dan oleh Al-Bukhari dalam kitab As-Shulh, bab “Apabila Mereka Berdamai dengan Perdamaian Yang Zalim, maka Perdamaian Itu Tertolak“, no. 2697, dengan lafaz: “… yang tidak ada di dalamnya…,” dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. [6] Hadis riwayat Muslim dalam kitab Al-Aqdiyah, no. 1718 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. [7] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Libas, bab “Pakaian yang Membuat Terkenal“, no. 4031, dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 10:271, dan dinyatakan sahih oleh Al-Iraqi dalam Takhrij Ihya’ Ulumiddin, 1: 359 serta oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, no. 1269 dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 6149. Lihat juga Nashbur Rayah, karya Az-Zaila‘i 4: 347.

Fatwa Ulama: Hukum Makanan Khusus pada Hari Raya Bid‘ah

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apakah diperbolehkan memakan makanan yang disajikan dalam perkumpulan-perkumpulan yang diadakan untuk memperingati hari raya bid‘ah? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘alamin, selawat dan salam atas utusan Allah rahmatan lil alamin wa ‘ala alihi washahbihi waikhwanihi ila yaumiddin. Amma ba’du. Ketahuilah bahwa Allah Ta‘ala telah membatalkan perayaan-perayaan masa jahiliah dan menggantinya untuk umat Islam dengan dua hari raya, di mana mereka berkumpul untuk berzikir dan melaksanakan salat, yaitu: Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Iduladha. Telah diriwayatkan dengan sahih bahwa ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Anshar memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main dan menganggapnya sebagai dua hari raya. Maka, Nabi ﷺ bersabda, إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الفِطْرِ “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan yang lebih baik darinya, yaitu hari Al-Fithri dan hari An-Nahr.” [1] Sebagaimana Allah Ta‘ala telah mensyariatkan bagi umat Islam untuk berkumpul dalam rangka beribadah dan mengingat Allah pada hari Jumat, hari Arafah, dan hari-hari tasyrik. Adapun selain itu, maka tidak diperbolehkan untuk merayakannya. Baik itu berupa hari raya keagamaan, seperti Hari Raya Natal dan Tahun Baru Masehi, Hari Ibu, Natal (Christmas) bagi kaum Nasrani, atau Hari Raya Yobel bagi kaum Yahudi. Demikian pula dengan perayaan-perayaan kaum Rafidhah, seperti Hari Raya Ghadir, Hari Raya Isra Mi‘raj, peringatan Asyura, malam awal bulan Sya‘ban, malam pertengahan Sya‘ban, malam bulan Rajab, malam pertengahan Rajab, perayaan Maulid Nabi yang dilakukan oleh mereka (Rafidhah) dan kaum sufi, perayaan pergantian abad hijriah, dan semisalnya. Dan hari-hari raya lainnya, seperti perayaan ulang tahun dan yang semisalnya dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (bid‘ah), di mana banyak kaum muslim mengikuti jalan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan yang serupa dengan mereka. Mereka meniru mereka dalam perayaan-perayaan mereka, akhlak mereka, cara hidup mereka, serta berbagai aspek kehidupan mereka. Nabi ﷺ bersabda, لَتَتْبَعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا: «يَا رَسُولَ اللهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟» قَالَ: «فَمَنْ» “Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk liang dhab, niscaya kalian mengikuti mereka”. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan nasranikah?” Nabi menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” [2] Maka, wajib bagi kita untuk meninggalkan semua hari raya yang tidak disyariatkan oleh Allah kepada kita, serta meninggalkan segala bentuk yang berkaitan dengannya dan hal-hal yang menjadi pelengkapnya, seperti berkumpul untuk mengadakan kajian atau ceramah, makan bersama, atau mengadakan pesta perayaan. Hal ini karena تَوَابِعَ الشَّيْءِ مِنْهُ / “Segala sesuatu yang menjadi pelengkap atau turunan dari sesuatu adalah bagian darinya (dan mengikuti hukumnya).” dan yang termasuk di dalamnya adalah التَّابِعُ تَابِعٌ/ “Yang mengikuti memiliki hukum yang sama dengan yang diikutinya.” Adapun alasan-alasan yang menjadi dasar larangan dan pengharamannya dapat dirangkum sebagai berikut: Pertama: Bahwa perayaan-perayaan tersebut termasuk perkara yang diada-adakan (muhdatsat al-umur), dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3] Nabi ﷺ bersabda, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، [وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ]، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، [وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ “Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan [setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah], setiap bid‘ah adalah kesesatan, [dan setiap kesesatan tempatnya di neraka].” [4] Nabi ﷺ juga bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka hal itu tertolak.” [5] Dan telah diriwayatkan dengan lafaz yang lebih umum dari sabda Nabi ﷺ, مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal tersebut tertolak.” [6] Kedua: Karena perayaan musim-musim dan hari raya bid‘ah merupakan tindakan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan hari-hari tertentu sebagai hari raya, padahal syariat tidak menetapkannya sebagai hari raya. Allah Ta‘ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 49) Ketiga: Karena hal itu juga mengandung unsur menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang sejenis dengan mereka dalam perayaan, tradisi, dan kebiasaan mereka. Hal ini termasuk salah satu bentuk loyalitas kepada mereka. Allah Ta‘ala berfirman, وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51) Dan Nabi ﷺ bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” [7] Oleh karena itu, berpartisipasi dalam perayaan hari-hari raya yang tidak disyariatkan, baik dengan berkumpul di meja jamuan maupun mengadakan perayaan di atas panggung, merupakan bentuk pengakuan terhadap bid‘ah dan keridaan terhadap apa yang telah dilarang oleh Allah. Menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya adalah bukti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Allah Ta‘ala berfirman, قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Al-Imran: 31) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini menjadi hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun ia tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad ﷺ. Sesungguhnya ia adalah pendusta dalam klaimnya tersebut, hingga ia mengikuti syariat Nabi Muhammad dan agama yang dibawanya dalam seluruh perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Sebagaimana telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda, ‘Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal tersebut tertolak.’ ” Aku katakan, “Termasuk dalam amal yang tertolak adalah partisipasi para pembuat roti, pembuat kue, juru masak, pedagang daging putih, kalkun, dan lainnya dalam rangka menghidupkan perayaan-perayaan yang diada-adakan ini. Hal tersebut termasuk dalam kerja sama yang berdosa dan melampaui batas-batas syariat. Allah telah melarang bentuk kerja sama semacam ini dengan firman-Nya, وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ ‘Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.’ (QS. Al-Maidah: 2)” Aku memohon kepada Allah agar memperbaiki keadaan kaum muslimin, menyucikan hati dan amal perbuatan mereka dari segala sesuatu yang bertentangan dengan kemurnian agama, serta memberikan mereka taufik untuk berpegang teguh kepada Kitab Tuhan mereka dan sunnah Nabi mereka, Muhammad ﷺ, dan untuk mengikuti jalan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Dialah Pelindung Yang Maha kuasa atas hal itu. Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. — Aljazair, pada 24 Rabiulakhir 1427 H Bertepatan dengan 21 Mei 2006 M Baca juga: Nikmat Keamanan, Kesehatan, dan Makanan yang Cukup *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-428#_ftn6   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab “Ash-Shalah“, bab “Salat Hari Raya” no. 1134, dan oleh An-Nasa’i dalam kitab “Salat Hari Raya” no. 1556, dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 2: 442, dan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 2021. [2] Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-I‘tisam bil Kitab was-Sunnah, bab “Sabda Nabi ﷺ, ‘Kalian pasti akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian’“, no. 7320, dan oleh Muslim dalam kitab Al-‘Ilm, no. 2669, dari hadis Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. [3] Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab As-Sunnah, bab “Kewajiban Berpegang Teguh pada Sunnah” no. 4607, oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-‘Ilm, bab “Apa yang Datang tentang Berpegang pada Sunnah dan Menjauhi Bid‘ah” no. 2676, dan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah, bab “Mengikuti Sunnah Khulafaur Rasyidin yang Mendapat Petunjuk“, no. 42, dari hadis Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 1: 181 dan Al-Wadi‘i dalam Ash-Shahih Al-Musnad, no. 938. Hadis ini juga dinilai sahih oleh Ibnu Al-Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir, 9: 582, Ibnu Hajar dalam Muwafaqatul Khabar Al-Khabar, 1: 136, Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘, no. 2549 dan Silsilah Ash-Shahihah, no. 2735, serta Syu‘aib Al-Arna’uth dalam takhrij-nya untuk Musnad Ahmad, 4: 126. [4] Hadis riwayat Muslim dalam kitab Al-Jumu‘ah, no. 867, dari hadis Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma. Adapun teks yang berada di antara tanda kurung adalah tambahan dari An-Nasa’i dalam kitab Salat Al-‘Idain, bab “Bagaimana Khutbah?” no. 1578. Lihat: Irwa’ul Ghalil, karya Al-Albani, 3: 73. [5] Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan dengan lafaz ini oleh Muslim dalam kitab Al-Aqdiyah, no. 1718, dan oleh Al-Bukhari dalam kitab As-Shulh, bab “Apabila Mereka Berdamai dengan Perdamaian Yang Zalim, maka Perdamaian Itu Tertolak“, no. 2697, dengan lafaz: “… yang tidak ada di dalamnya…,” dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. [6] Hadis riwayat Muslim dalam kitab Al-Aqdiyah, no. 1718 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. [7] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Libas, bab “Pakaian yang Membuat Terkenal“, no. 4031, dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 10:271, dan dinyatakan sahih oleh Al-Iraqi dalam Takhrij Ihya’ Ulumiddin, 1: 359 serta oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, no. 1269 dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 6149. Lihat juga Nashbur Rayah, karya Az-Zaila‘i 4: 347.
Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apakah diperbolehkan memakan makanan yang disajikan dalam perkumpulan-perkumpulan yang diadakan untuk memperingati hari raya bid‘ah? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘alamin, selawat dan salam atas utusan Allah rahmatan lil alamin wa ‘ala alihi washahbihi waikhwanihi ila yaumiddin. Amma ba’du. Ketahuilah bahwa Allah Ta‘ala telah membatalkan perayaan-perayaan masa jahiliah dan menggantinya untuk umat Islam dengan dua hari raya, di mana mereka berkumpul untuk berzikir dan melaksanakan salat, yaitu: Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Iduladha. Telah diriwayatkan dengan sahih bahwa ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Anshar memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main dan menganggapnya sebagai dua hari raya. Maka, Nabi ﷺ bersabda, إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الفِطْرِ “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan yang lebih baik darinya, yaitu hari Al-Fithri dan hari An-Nahr.” [1] Sebagaimana Allah Ta‘ala telah mensyariatkan bagi umat Islam untuk berkumpul dalam rangka beribadah dan mengingat Allah pada hari Jumat, hari Arafah, dan hari-hari tasyrik. Adapun selain itu, maka tidak diperbolehkan untuk merayakannya. Baik itu berupa hari raya keagamaan, seperti Hari Raya Natal dan Tahun Baru Masehi, Hari Ibu, Natal (Christmas) bagi kaum Nasrani, atau Hari Raya Yobel bagi kaum Yahudi. Demikian pula dengan perayaan-perayaan kaum Rafidhah, seperti Hari Raya Ghadir, Hari Raya Isra Mi‘raj, peringatan Asyura, malam awal bulan Sya‘ban, malam pertengahan Sya‘ban, malam bulan Rajab, malam pertengahan Rajab, perayaan Maulid Nabi yang dilakukan oleh mereka (Rafidhah) dan kaum sufi, perayaan pergantian abad hijriah, dan semisalnya. Dan hari-hari raya lainnya, seperti perayaan ulang tahun dan yang semisalnya dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (bid‘ah), di mana banyak kaum muslim mengikuti jalan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan yang serupa dengan mereka. Mereka meniru mereka dalam perayaan-perayaan mereka, akhlak mereka, cara hidup mereka, serta berbagai aspek kehidupan mereka. Nabi ﷺ bersabda, لَتَتْبَعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا: «يَا رَسُولَ اللهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟» قَالَ: «فَمَنْ» “Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk liang dhab, niscaya kalian mengikuti mereka”. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan nasranikah?” Nabi menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” [2] Maka, wajib bagi kita untuk meninggalkan semua hari raya yang tidak disyariatkan oleh Allah kepada kita, serta meninggalkan segala bentuk yang berkaitan dengannya dan hal-hal yang menjadi pelengkapnya, seperti berkumpul untuk mengadakan kajian atau ceramah, makan bersama, atau mengadakan pesta perayaan. Hal ini karena تَوَابِعَ الشَّيْءِ مِنْهُ / “Segala sesuatu yang menjadi pelengkap atau turunan dari sesuatu adalah bagian darinya (dan mengikuti hukumnya).” dan yang termasuk di dalamnya adalah التَّابِعُ تَابِعٌ/ “Yang mengikuti memiliki hukum yang sama dengan yang diikutinya.” Adapun alasan-alasan yang menjadi dasar larangan dan pengharamannya dapat dirangkum sebagai berikut: Pertama: Bahwa perayaan-perayaan tersebut termasuk perkara yang diada-adakan (muhdatsat al-umur), dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3] Nabi ﷺ bersabda, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، [وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ]، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، [وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ “Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan [setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah], setiap bid‘ah adalah kesesatan, [dan setiap kesesatan tempatnya di neraka].” [4] Nabi ﷺ juga bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka hal itu tertolak.” [5] Dan telah diriwayatkan dengan lafaz yang lebih umum dari sabda Nabi ﷺ, مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal tersebut tertolak.” [6] Kedua: Karena perayaan musim-musim dan hari raya bid‘ah merupakan tindakan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan hari-hari tertentu sebagai hari raya, padahal syariat tidak menetapkannya sebagai hari raya. Allah Ta‘ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 49) Ketiga: Karena hal itu juga mengandung unsur menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang sejenis dengan mereka dalam perayaan, tradisi, dan kebiasaan mereka. Hal ini termasuk salah satu bentuk loyalitas kepada mereka. Allah Ta‘ala berfirman, وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51) Dan Nabi ﷺ bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” [7] Oleh karena itu, berpartisipasi dalam perayaan hari-hari raya yang tidak disyariatkan, baik dengan berkumpul di meja jamuan maupun mengadakan perayaan di atas panggung, merupakan bentuk pengakuan terhadap bid‘ah dan keridaan terhadap apa yang telah dilarang oleh Allah. Menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya adalah bukti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Allah Ta‘ala berfirman, قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Al-Imran: 31) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini menjadi hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun ia tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad ﷺ. Sesungguhnya ia adalah pendusta dalam klaimnya tersebut, hingga ia mengikuti syariat Nabi Muhammad dan agama yang dibawanya dalam seluruh perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Sebagaimana telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda, ‘Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal tersebut tertolak.’ ” Aku katakan, “Termasuk dalam amal yang tertolak adalah partisipasi para pembuat roti, pembuat kue, juru masak, pedagang daging putih, kalkun, dan lainnya dalam rangka menghidupkan perayaan-perayaan yang diada-adakan ini. Hal tersebut termasuk dalam kerja sama yang berdosa dan melampaui batas-batas syariat. Allah telah melarang bentuk kerja sama semacam ini dengan firman-Nya, وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ ‘Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.’ (QS. Al-Maidah: 2)” Aku memohon kepada Allah agar memperbaiki keadaan kaum muslimin, menyucikan hati dan amal perbuatan mereka dari segala sesuatu yang bertentangan dengan kemurnian agama, serta memberikan mereka taufik untuk berpegang teguh kepada Kitab Tuhan mereka dan sunnah Nabi mereka, Muhammad ﷺ, dan untuk mengikuti jalan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Dialah Pelindung Yang Maha kuasa atas hal itu. Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. — Aljazair, pada 24 Rabiulakhir 1427 H Bertepatan dengan 21 Mei 2006 M Baca juga: Nikmat Keamanan, Kesehatan, dan Makanan yang Cukup *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-428#_ftn6   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab “Ash-Shalah“, bab “Salat Hari Raya” no. 1134, dan oleh An-Nasa’i dalam kitab “Salat Hari Raya” no. 1556, dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 2: 442, dan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 2021. [2] Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-I‘tisam bil Kitab was-Sunnah, bab “Sabda Nabi ﷺ, ‘Kalian pasti akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian’“, no. 7320, dan oleh Muslim dalam kitab Al-‘Ilm, no. 2669, dari hadis Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. [3] Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab As-Sunnah, bab “Kewajiban Berpegang Teguh pada Sunnah” no. 4607, oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-‘Ilm, bab “Apa yang Datang tentang Berpegang pada Sunnah dan Menjauhi Bid‘ah” no. 2676, dan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah, bab “Mengikuti Sunnah Khulafaur Rasyidin yang Mendapat Petunjuk“, no. 42, dari hadis Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 1: 181 dan Al-Wadi‘i dalam Ash-Shahih Al-Musnad, no. 938. Hadis ini juga dinilai sahih oleh Ibnu Al-Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir, 9: 582, Ibnu Hajar dalam Muwafaqatul Khabar Al-Khabar, 1: 136, Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘, no. 2549 dan Silsilah Ash-Shahihah, no. 2735, serta Syu‘aib Al-Arna’uth dalam takhrij-nya untuk Musnad Ahmad, 4: 126. [4] Hadis riwayat Muslim dalam kitab Al-Jumu‘ah, no. 867, dari hadis Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma. Adapun teks yang berada di antara tanda kurung adalah tambahan dari An-Nasa’i dalam kitab Salat Al-‘Idain, bab “Bagaimana Khutbah?” no. 1578. Lihat: Irwa’ul Ghalil, karya Al-Albani, 3: 73. [5] Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan dengan lafaz ini oleh Muslim dalam kitab Al-Aqdiyah, no. 1718, dan oleh Al-Bukhari dalam kitab As-Shulh, bab “Apabila Mereka Berdamai dengan Perdamaian Yang Zalim, maka Perdamaian Itu Tertolak“, no. 2697, dengan lafaz: “… yang tidak ada di dalamnya…,” dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. [6] Hadis riwayat Muslim dalam kitab Al-Aqdiyah, no. 1718 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. [7] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Libas, bab “Pakaian yang Membuat Terkenal“, no. 4031, dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 10:271, dan dinyatakan sahih oleh Al-Iraqi dalam Takhrij Ihya’ Ulumiddin, 1: 359 serta oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, no. 1269 dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 6149. Lihat juga Nashbur Rayah, karya Az-Zaila‘i 4: 347.


Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus   Pertanyaan: Apakah diperbolehkan memakan makanan yang disajikan dalam perkumpulan-perkumpulan yang diadakan untuk memperingati hari raya bid‘ah? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Jawaban: Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘alamin, selawat dan salam atas utusan Allah rahmatan lil alamin wa ‘ala alihi washahbihi waikhwanihi ila yaumiddin. Amma ba’du. Ketahuilah bahwa Allah Ta‘ala telah membatalkan perayaan-perayaan masa jahiliah dan menggantinya untuk umat Islam dengan dua hari raya, di mana mereka berkumpul untuk berzikir dan melaksanakan salat, yaitu: Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Iduladha. Telah diriwayatkan dengan sahih bahwa ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Anshar memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main dan menganggapnya sebagai dua hari raya. Maka, Nabi ﷺ bersabda, إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الفِطْرِ “Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan yang lebih baik darinya, yaitu hari Al-Fithri dan hari An-Nahr.” [1] Sebagaimana Allah Ta‘ala telah mensyariatkan bagi umat Islam untuk berkumpul dalam rangka beribadah dan mengingat Allah pada hari Jumat, hari Arafah, dan hari-hari tasyrik. Adapun selain itu, maka tidak diperbolehkan untuk merayakannya. Baik itu berupa hari raya keagamaan, seperti Hari Raya Natal dan Tahun Baru Masehi, Hari Ibu, Natal (Christmas) bagi kaum Nasrani, atau Hari Raya Yobel bagi kaum Yahudi. Demikian pula dengan perayaan-perayaan kaum Rafidhah, seperti Hari Raya Ghadir, Hari Raya Isra Mi‘raj, peringatan Asyura, malam awal bulan Sya‘ban, malam pertengahan Sya‘ban, malam bulan Rajab, malam pertengahan Rajab, perayaan Maulid Nabi yang dilakukan oleh mereka (Rafidhah) dan kaum sufi, perayaan pergantian abad hijriah, dan semisalnya. Dan hari-hari raya lainnya, seperti perayaan ulang tahun dan yang semisalnya dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (bid‘ah), di mana banyak kaum muslim mengikuti jalan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan yang serupa dengan mereka. Mereka meniru mereka dalam perayaan-perayaan mereka, akhlak mereka, cara hidup mereka, serta berbagai aspek kehidupan mereka. Nabi ﷺ bersabda, لَتَتْبَعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا: «يَا رَسُولَ اللهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟» قَالَ: «فَمَنْ» “Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk liang dhab, niscaya kalian mengikuti mereka”. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan nasranikah?” Nabi menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” [2] Maka, wajib bagi kita untuk meninggalkan semua hari raya yang tidak disyariatkan oleh Allah kepada kita, serta meninggalkan segala bentuk yang berkaitan dengannya dan hal-hal yang menjadi pelengkapnya, seperti berkumpul untuk mengadakan kajian atau ceramah, makan bersama, atau mengadakan pesta perayaan. Hal ini karena تَوَابِعَ الشَّيْءِ مِنْهُ / “Segala sesuatu yang menjadi pelengkap atau turunan dari sesuatu adalah bagian darinya (dan mengikuti hukumnya).” dan yang termasuk di dalamnya adalah التَّابِعُ تَابِعٌ/ “Yang mengikuti memiliki hukum yang sama dengan yang diikutinya.” Adapun alasan-alasan yang menjadi dasar larangan dan pengharamannya dapat dirangkum sebagai berikut: Pertama: Bahwa perayaan-perayaan tersebut termasuk perkara yang diada-adakan (muhdatsat al-umur), dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3] Nabi ﷺ bersabda, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، [وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ]، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، [وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ “Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan [setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah], setiap bid‘ah adalah kesesatan, [dan setiap kesesatan tempatnya di neraka].” [4] Nabi ﷺ juga bersabda, مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka hal itu tertolak.” [5] Dan telah diriwayatkan dengan lafaz yang lebih umum dari sabda Nabi ﷺ, مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal tersebut tertolak.” [6] Kedua: Karena perayaan musim-musim dan hari raya bid‘ah merupakan tindakan mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan hari-hari tertentu sebagai hari raya, padahal syariat tidak menetapkannya sebagai hari raya. Allah Ta‘ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 49) Ketiga: Karena hal itu juga mengandung unsur menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang sejenis dengan mereka dalam perayaan, tradisi, dan kebiasaan mereka. Hal ini termasuk salah satu bentuk loyalitas kepada mereka. Allah Ta‘ala berfirman, وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51) Dan Nabi ﷺ bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” [7] Oleh karena itu, berpartisipasi dalam perayaan hari-hari raya yang tidak disyariatkan, baik dengan berkumpul di meja jamuan maupun mengadakan perayaan di atas panggung, merupakan bentuk pengakuan terhadap bid‘ah dan keridaan terhadap apa yang telah dilarang oleh Allah. Menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya adalah bukti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Allah Ta‘ala berfirman, قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Al-Imran: 31) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini menjadi hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah, namun ia tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad ﷺ. Sesungguhnya ia adalah pendusta dalam klaimnya tersebut, hingga ia mengikuti syariat Nabi Muhammad dan agama yang dibawanya dalam seluruh perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Sebagaimana telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda, ‘Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amal tersebut tertolak.’ ” Aku katakan, “Termasuk dalam amal yang tertolak adalah partisipasi para pembuat roti, pembuat kue, juru masak, pedagang daging putih, kalkun, dan lainnya dalam rangka menghidupkan perayaan-perayaan yang diada-adakan ini. Hal tersebut termasuk dalam kerja sama yang berdosa dan melampaui batas-batas syariat. Allah telah melarang bentuk kerja sama semacam ini dengan firman-Nya, وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ ‘Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.’ (QS. Al-Maidah: 2)” Aku memohon kepada Allah agar memperbaiki keadaan kaum muslimin, menyucikan hati dan amal perbuatan mereka dari segala sesuatu yang bertentangan dengan kemurnian agama, serta memberikan mereka taufik untuk berpegang teguh kepada Kitab Tuhan mereka dan sunnah Nabi mereka, Muhammad ﷺ, dan untuk mengikuti jalan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Dialah Pelindung Yang Maha kuasa atas hal itu. Wa al-‘ilmu ‘inda al-lāh. Akhīru al-kalām, wa al-ḥamdu li al-lāhi Rabbi al-‘ālamīna wa ṣallā al-lāhu ‘alā al-nabiyyi Muḥammadin wa ‘alā aṣhābihī wa ikhwānihī ilā yaumi al-dīn, wa sallama taslīman. — Aljazair, pada 24 Rabiulakhir 1427 H Bertepatan dengan 21 Mei 2006 M Baca juga: Nikmat Keamanan, Kesehatan, dan Makanan yang Cukup *** Penerjemah: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-428#_ftn6   Catatan kaki: [1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab “Ash-Shalah“, bab “Salat Hari Raya” no. 1134, dan oleh An-Nasa’i dalam kitab “Salat Hari Raya” no. 1556, dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinyatakan sahih oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 2: 442, dan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 2021. [2] Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-I‘tisam bil Kitab was-Sunnah, bab “Sabda Nabi ﷺ, ‘Kalian pasti akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian’“, no. 7320, dan oleh Muslim dalam kitab Al-‘Ilm, no. 2669, dari hadis Abu Sa‘id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. [3] Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab As-Sunnah, bab “Kewajiban Berpegang Teguh pada Sunnah” no. 4607, oleh At-Tirmidzi dalam kitab Al-‘Ilm, bab “Apa yang Datang tentang Berpegang pada Sunnah dan Menjauhi Bid‘ah” no. 2676, dan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah, bab “Mengikuti Sunnah Khulafaur Rasyidin yang Mendapat Petunjuk“, no. 42, dari hadis Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 1: 181 dan Al-Wadi‘i dalam Ash-Shahih Al-Musnad, no. 938. Hadis ini juga dinilai sahih oleh Ibnu Al-Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir, 9: 582, Ibnu Hajar dalam Muwafaqatul Khabar Al-Khabar, 1: 136, Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘, no. 2549 dan Silsilah Ash-Shahihah, no. 2735, serta Syu‘aib Al-Arna’uth dalam takhrij-nya untuk Musnad Ahmad, 4: 126. [4] Hadis riwayat Muslim dalam kitab Al-Jumu‘ah, no. 867, dari hadis Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma. Adapun teks yang berada di antara tanda kurung adalah tambahan dari An-Nasa’i dalam kitab Salat Al-‘Idain, bab “Bagaimana Khutbah?” no. 1578. Lihat: Irwa’ul Ghalil, karya Al-Albani, 3: 73. [5] Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan dengan lafaz ini oleh Muslim dalam kitab Al-Aqdiyah, no. 1718, dan oleh Al-Bukhari dalam kitab As-Shulh, bab “Apabila Mereka Berdamai dengan Perdamaian Yang Zalim, maka Perdamaian Itu Tertolak“, no. 2697, dengan lafaz: “… yang tidak ada di dalamnya…,” dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. [6] Hadis riwayat Muslim dalam kitab Al-Aqdiyah, no. 1718 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. [7] HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Libas, bab “Pakaian yang Membuat Terkenal“, no. 4031, dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 10:271, dan dinyatakan sahih oleh Al-Iraqi dalam Takhrij Ihya’ Ulumiddin, 1: 359 serta oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, no. 1269 dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 6149. Lihat juga Nashbur Rayah, karya Az-Zaila‘i 4: 347.

Hukum Penukaran Uang Baru Menjelang Lebaran: Apakah Ada Unsur Riba?

Menjelang Hari Raya Idulfitri, tradisi memberikan uang baru sebagai bentuk hadiah atau sedekah kepada sanak saudara dan anak-anak telah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong tingginya permintaan akan uang kertas baru, yang kemudian memunculkan praktik penukaran uang baru, baik melalui layanan resmi perbankan maupun jasa penukaran di pinggir jalan. Namun, penting bagi kita untuk memahami perspektif hukum Islam terkait praktik ini, terutama jika melibatkan tambahan biaya atau imbalan tertentu.   Daftar Isi tutup 1. Kaidah Memahami Riba 2. Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba 3. Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru 4. Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia 5. Imbauan untuk Masyarakat Kaidah Memahami Riba Dalam Islam, uang termasuk dalam kategori barang ribawi, yang pertukarannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menghindari riba. Ada kaidah umum dalam memahami apa itu riba. Terdapat hadits yang berbunyi; “Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.” (Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi). Walau hadits di atas dha’if (lemah), tetapi kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata sepakat para ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ المُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَشْرَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَهُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا “”Para ulama telah sepakat bahwa jika seseorang memberikan pinjaman dengan mensyaratkan tambahan sebesar 10% dari jumlah pinjaman sebagai hadiah atau keuntungan tambahan, lalu ia meminjamkan dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan itu termasuk riba.” (Al-Ijma’, hlm. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276). Baca juga: Kaedah Umum dalam Memahami Riba   Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba Dalam kajian ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah komoditi ribawi (ashnaf ribawiyah), dan barang ribawi itu ada 6 (enam) berdasarkan dua hadits berikut: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584). الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587). Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi riba (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama,—misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum—maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan. Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak. Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter. Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba fadhl. Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram. Baca juga: Riba dalam Emas dll, Riba Fadhl    Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru Dari keenam komoditi ribawi tersebut, ulama sepakat bahwa barang ribawi tadi dibagi 2 kelompok: Kelompok pertama: Emas dan perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita. Kelompok kedua: Gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras atau jagung. Penukaran uang baru yang melibatkan kelebihan atau tambahan biaya bisa masuk kategori riba karena adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran barang ribawi, yaitu mata uang. Berikut adalah alur penukaran uang baru yang berpotensi menjadi riba: 1. Proses Penukaran di Pinggir Jalan atau Jasa Tidak Resmi Seorang pelanggan ingin menukarkan uang lama dengan uang baru, misalnya Rp1.000.000 dalam pecahan Rp10.000-an. Penyedia jasa memberikan pecahan uang baru tersebut, tetapi meminta tambahan jumlah uang yang ditukar. Misalnya penyedia jasa meminta uang Rp1.010.000. Penyedia jasa mengambil keuntungan berupa selisih antara nominal uang yang ditukarkan dengan yang diberikan sebesar Rp10.000 tadi. 2. Unsur Riba dalam Transaksi Ini Pertukaran barang ribawi yang sejenis: Uang rupiah ditukar dengan uang rupiah, yang berarti harus memenuhi syarat nilai sama dan dilakukan secara tunai (tidak ada yang tertunda). Adanya tambahan atau kelebihan (riba fadhl): Penyedia jasa meminta nominal yang lebih besar dibandingkan uang yang diterima oleh pelanggan. Jasa atau biaya tambahan dianggap riba: Dalam Islam, setiap pertukaran mata uang sejenis dengan nilai yang berbeda dianggap sebagai riba, karena ada tambahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syariat.   Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia Fenomena penukaran uang baru menjelang Idulfitri bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahun, permintaan akan uang kertas baru meningkat signifikan seiring dengan tradisi memberikan “salam tempel” saat Lebaran. Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan permintaan uang tunai selama periode Ramadan dan Idulfitri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, BI bekerja sama dengan perbankan menyediakan layanan penukaran uang di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2025 saja, BI menyiapkan uang layak edar sebesar Rp180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode tersebut. Namun, tidak semua masyarakat memanfaatkan layanan resmi tersebut. Banyak yang memilih menukarkan uang melalui jasa penukaran di pinggir jalan karena alasan kepraktisan atau ketidakmampuan mengakses layanan perbankan resmi. Praktik ini umum ditemui di berbagai kota besar, di mana penyedia jasa penukaran uang menawarkan layanan dengan imbalan atau biaya tambahan tertentu.   Imbauan untuk Masyarakat Mengingat potensi terjadinya praktik riba dalam penukaran uang baru yang melibatkan biaya tambahan, masyarakat diimbau untuk memanfaatkan layanan penukaran uang resmi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan perbankan. Dengan memanfaatkan layanan resmi, masyarakat dapat menghindari praktik riba dan memastikan bahwa tradisi memberikan uang baru saat Idulfitri tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Selain itu, langkah ini juga mendukung upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peredaran uang di masyarakat. Sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan aturan syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal tradisi dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, kita dapat merayakan Idulfitri dengan penuh berkah dan sesuai dengan tuntunan agama tanpa harus menerjang syariat. Semoga pembahasan ini bermanfaat. – Jumat sore, 14 Ramadhan 1446 H, 14 Maret 2025, @ Gunungkidul Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya riba Fatwa Ulama tentang Tukar Uang Hukum Islam Tukar Uang Baru Hukum Penukaran Uang Baru Jasa Penukaran Uang Baru Penukaran Uang Menjelang Idulfitri Penukaran Uang Sesuai Syariat Riba dalam Penukaran Uang riba fadhel riba pada uang Tukar Uang Baru Bank Indonesia Tukar Uang Baru Halal atau Haram Tukar Uang Baru Lebaran

Hukum Penukaran Uang Baru Menjelang Lebaran: Apakah Ada Unsur Riba?

Menjelang Hari Raya Idulfitri, tradisi memberikan uang baru sebagai bentuk hadiah atau sedekah kepada sanak saudara dan anak-anak telah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong tingginya permintaan akan uang kertas baru, yang kemudian memunculkan praktik penukaran uang baru, baik melalui layanan resmi perbankan maupun jasa penukaran di pinggir jalan. Namun, penting bagi kita untuk memahami perspektif hukum Islam terkait praktik ini, terutama jika melibatkan tambahan biaya atau imbalan tertentu.   Daftar Isi tutup 1. Kaidah Memahami Riba 2. Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba 3. Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru 4. Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia 5. Imbauan untuk Masyarakat Kaidah Memahami Riba Dalam Islam, uang termasuk dalam kategori barang ribawi, yang pertukarannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menghindari riba. Ada kaidah umum dalam memahami apa itu riba. Terdapat hadits yang berbunyi; “Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.” (Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi). Walau hadits di atas dha’if (lemah), tetapi kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata sepakat para ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ المُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَشْرَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَهُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا “”Para ulama telah sepakat bahwa jika seseorang memberikan pinjaman dengan mensyaratkan tambahan sebesar 10% dari jumlah pinjaman sebagai hadiah atau keuntungan tambahan, lalu ia meminjamkan dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan itu termasuk riba.” (Al-Ijma’, hlm. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276). Baca juga: Kaedah Umum dalam Memahami Riba   Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba Dalam kajian ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah komoditi ribawi (ashnaf ribawiyah), dan barang ribawi itu ada 6 (enam) berdasarkan dua hadits berikut: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584). الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587). Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi riba (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama,—misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum—maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan. Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak. Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter. Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba fadhl. Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram. Baca juga: Riba dalam Emas dll, Riba Fadhl    Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru Dari keenam komoditi ribawi tersebut, ulama sepakat bahwa barang ribawi tadi dibagi 2 kelompok: Kelompok pertama: Emas dan perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita. Kelompok kedua: Gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras atau jagung. Penukaran uang baru yang melibatkan kelebihan atau tambahan biaya bisa masuk kategori riba karena adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran barang ribawi, yaitu mata uang. Berikut adalah alur penukaran uang baru yang berpotensi menjadi riba: 1. Proses Penukaran di Pinggir Jalan atau Jasa Tidak Resmi Seorang pelanggan ingin menukarkan uang lama dengan uang baru, misalnya Rp1.000.000 dalam pecahan Rp10.000-an. Penyedia jasa memberikan pecahan uang baru tersebut, tetapi meminta tambahan jumlah uang yang ditukar. Misalnya penyedia jasa meminta uang Rp1.010.000. Penyedia jasa mengambil keuntungan berupa selisih antara nominal uang yang ditukarkan dengan yang diberikan sebesar Rp10.000 tadi. 2. Unsur Riba dalam Transaksi Ini Pertukaran barang ribawi yang sejenis: Uang rupiah ditukar dengan uang rupiah, yang berarti harus memenuhi syarat nilai sama dan dilakukan secara tunai (tidak ada yang tertunda). Adanya tambahan atau kelebihan (riba fadhl): Penyedia jasa meminta nominal yang lebih besar dibandingkan uang yang diterima oleh pelanggan. Jasa atau biaya tambahan dianggap riba: Dalam Islam, setiap pertukaran mata uang sejenis dengan nilai yang berbeda dianggap sebagai riba, karena ada tambahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syariat.   Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia Fenomena penukaran uang baru menjelang Idulfitri bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahun, permintaan akan uang kertas baru meningkat signifikan seiring dengan tradisi memberikan “salam tempel” saat Lebaran. Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan permintaan uang tunai selama periode Ramadan dan Idulfitri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, BI bekerja sama dengan perbankan menyediakan layanan penukaran uang di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2025 saja, BI menyiapkan uang layak edar sebesar Rp180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode tersebut. Namun, tidak semua masyarakat memanfaatkan layanan resmi tersebut. Banyak yang memilih menukarkan uang melalui jasa penukaran di pinggir jalan karena alasan kepraktisan atau ketidakmampuan mengakses layanan perbankan resmi. Praktik ini umum ditemui di berbagai kota besar, di mana penyedia jasa penukaran uang menawarkan layanan dengan imbalan atau biaya tambahan tertentu.   Imbauan untuk Masyarakat Mengingat potensi terjadinya praktik riba dalam penukaran uang baru yang melibatkan biaya tambahan, masyarakat diimbau untuk memanfaatkan layanan penukaran uang resmi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan perbankan. Dengan memanfaatkan layanan resmi, masyarakat dapat menghindari praktik riba dan memastikan bahwa tradisi memberikan uang baru saat Idulfitri tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Selain itu, langkah ini juga mendukung upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peredaran uang di masyarakat. Sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan aturan syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal tradisi dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, kita dapat merayakan Idulfitri dengan penuh berkah dan sesuai dengan tuntunan agama tanpa harus menerjang syariat. Semoga pembahasan ini bermanfaat. – Jumat sore, 14 Ramadhan 1446 H, 14 Maret 2025, @ Gunungkidul Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya riba Fatwa Ulama tentang Tukar Uang Hukum Islam Tukar Uang Baru Hukum Penukaran Uang Baru Jasa Penukaran Uang Baru Penukaran Uang Menjelang Idulfitri Penukaran Uang Sesuai Syariat Riba dalam Penukaran Uang riba fadhel riba pada uang Tukar Uang Baru Bank Indonesia Tukar Uang Baru Halal atau Haram Tukar Uang Baru Lebaran
Menjelang Hari Raya Idulfitri, tradisi memberikan uang baru sebagai bentuk hadiah atau sedekah kepada sanak saudara dan anak-anak telah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong tingginya permintaan akan uang kertas baru, yang kemudian memunculkan praktik penukaran uang baru, baik melalui layanan resmi perbankan maupun jasa penukaran di pinggir jalan. Namun, penting bagi kita untuk memahami perspektif hukum Islam terkait praktik ini, terutama jika melibatkan tambahan biaya atau imbalan tertentu.   Daftar Isi tutup 1. Kaidah Memahami Riba 2. Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba 3. Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru 4. Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia 5. Imbauan untuk Masyarakat Kaidah Memahami Riba Dalam Islam, uang termasuk dalam kategori barang ribawi, yang pertukarannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menghindari riba. Ada kaidah umum dalam memahami apa itu riba. Terdapat hadits yang berbunyi; “Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.” (Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi). Walau hadits di atas dha’if (lemah), tetapi kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata sepakat para ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ المُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَشْرَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَهُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا “”Para ulama telah sepakat bahwa jika seseorang memberikan pinjaman dengan mensyaratkan tambahan sebesar 10% dari jumlah pinjaman sebagai hadiah atau keuntungan tambahan, lalu ia meminjamkan dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan itu termasuk riba.” (Al-Ijma’, hlm. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276). Baca juga: Kaedah Umum dalam Memahami Riba   Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba Dalam kajian ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah komoditi ribawi (ashnaf ribawiyah), dan barang ribawi itu ada 6 (enam) berdasarkan dua hadits berikut: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584). الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587). Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi riba (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama,—misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum—maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan. Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak. Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter. Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba fadhl. Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram. Baca juga: Riba dalam Emas dll, Riba Fadhl    Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru Dari keenam komoditi ribawi tersebut, ulama sepakat bahwa barang ribawi tadi dibagi 2 kelompok: Kelompok pertama: Emas dan perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita. Kelompok kedua: Gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras atau jagung. Penukaran uang baru yang melibatkan kelebihan atau tambahan biaya bisa masuk kategori riba karena adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran barang ribawi, yaitu mata uang. Berikut adalah alur penukaran uang baru yang berpotensi menjadi riba: 1. Proses Penukaran di Pinggir Jalan atau Jasa Tidak Resmi Seorang pelanggan ingin menukarkan uang lama dengan uang baru, misalnya Rp1.000.000 dalam pecahan Rp10.000-an. Penyedia jasa memberikan pecahan uang baru tersebut, tetapi meminta tambahan jumlah uang yang ditukar. Misalnya penyedia jasa meminta uang Rp1.010.000. Penyedia jasa mengambil keuntungan berupa selisih antara nominal uang yang ditukarkan dengan yang diberikan sebesar Rp10.000 tadi. 2. Unsur Riba dalam Transaksi Ini Pertukaran barang ribawi yang sejenis: Uang rupiah ditukar dengan uang rupiah, yang berarti harus memenuhi syarat nilai sama dan dilakukan secara tunai (tidak ada yang tertunda). Adanya tambahan atau kelebihan (riba fadhl): Penyedia jasa meminta nominal yang lebih besar dibandingkan uang yang diterima oleh pelanggan. Jasa atau biaya tambahan dianggap riba: Dalam Islam, setiap pertukaran mata uang sejenis dengan nilai yang berbeda dianggap sebagai riba, karena ada tambahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syariat.   Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia Fenomena penukaran uang baru menjelang Idulfitri bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahun, permintaan akan uang kertas baru meningkat signifikan seiring dengan tradisi memberikan “salam tempel” saat Lebaran. Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan permintaan uang tunai selama periode Ramadan dan Idulfitri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, BI bekerja sama dengan perbankan menyediakan layanan penukaran uang di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2025 saja, BI menyiapkan uang layak edar sebesar Rp180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode tersebut. Namun, tidak semua masyarakat memanfaatkan layanan resmi tersebut. Banyak yang memilih menukarkan uang melalui jasa penukaran di pinggir jalan karena alasan kepraktisan atau ketidakmampuan mengakses layanan perbankan resmi. Praktik ini umum ditemui di berbagai kota besar, di mana penyedia jasa penukaran uang menawarkan layanan dengan imbalan atau biaya tambahan tertentu.   Imbauan untuk Masyarakat Mengingat potensi terjadinya praktik riba dalam penukaran uang baru yang melibatkan biaya tambahan, masyarakat diimbau untuk memanfaatkan layanan penukaran uang resmi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan perbankan. Dengan memanfaatkan layanan resmi, masyarakat dapat menghindari praktik riba dan memastikan bahwa tradisi memberikan uang baru saat Idulfitri tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Selain itu, langkah ini juga mendukung upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peredaran uang di masyarakat. Sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan aturan syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal tradisi dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, kita dapat merayakan Idulfitri dengan penuh berkah dan sesuai dengan tuntunan agama tanpa harus menerjang syariat. Semoga pembahasan ini bermanfaat. – Jumat sore, 14 Ramadhan 1446 H, 14 Maret 2025, @ Gunungkidul Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya riba Fatwa Ulama tentang Tukar Uang Hukum Islam Tukar Uang Baru Hukum Penukaran Uang Baru Jasa Penukaran Uang Baru Penukaran Uang Menjelang Idulfitri Penukaran Uang Sesuai Syariat Riba dalam Penukaran Uang riba fadhel riba pada uang Tukar Uang Baru Bank Indonesia Tukar Uang Baru Halal atau Haram Tukar Uang Baru Lebaran


Menjelang Hari Raya Idulfitri, tradisi memberikan uang baru sebagai bentuk hadiah atau sedekah kepada sanak saudara dan anak-anak telah menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong tingginya permintaan akan uang kertas baru, yang kemudian memunculkan praktik penukaran uang baru, baik melalui layanan resmi perbankan maupun jasa penukaran di pinggir jalan. Namun, penting bagi kita untuk memahami perspektif hukum Islam terkait praktik ini, terutama jika melibatkan tambahan biaya atau imbalan tertentu.   Daftar Isi tutup 1. Kaidah Memahami Riba 2. Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba 3. Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru 4. Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia 5. Imbauan untuk Masyarakat Kaidah Memahami Riba Dalam Islam, uang termasuk dalam kategori barang ribawi, yang pertukarannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menghindari riba. Ada kaidah umum dalam memahami apa itu riba. Terdapat hadits yang berbunyi; “Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.” (Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah. Sanadnya terputus sebagaiaman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Begitu pula hadits ini punya penguat dari Fadholah bin ‘Ubaid dikeluarkan oleh Al-Baihaqi). Walau hadits di atas dha’if (lemah), tetapi kandungannya benar karena dikuatkan oleh kata sepakat para ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ المُسْلِفَ إِذَا شَرَطَ عَشْرَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَهُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا “”Para ulama telah sepakat bahwa jika seseorang memberikan pinjaman dengan mensyaratkan tambahan sebesar 10% dari jumlah pinjaman sebagai hadiah atau keuntungan tambahan, lalu ia meminjamkan dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan itu termasuk riba.” (Al-Ijma’, hlm. 99, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 6: 276). Baca juga: Kaedah Umum dalam Memahami Riba   Pahami Konsep Barter Barang-barang Riba Dalam kajian ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah komoditi ribawi (ashnaf ribawiyah), dan barang ribawi itu ada 6 (enam) berdasarkan dua hadits berikut: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584). الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587). Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi riba (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama,—misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum—maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan. Persyaratan pertama, transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya sejenak. Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter. Persyaratan kedua, barang yang menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24 karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba fadhl. Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram. Baca juga: Riba dalam Emas dll, Riba Fadhl    Kaitannya dengan Penukaran Uang Baru Dari keenam komoditi ribawi tersebut, ulama sepakat bahwa barang ribawi tadi dibagi 2 kelompok: Kelompok pertama: Emas dan perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita. Kelompok kedua: Gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras atau jagung. Penukaran uang baru yang melibatkan kelebihan atau tambahan biaya bisa masuk kategori riba karena adanya ketidakseimbangan dalam pertukaran barang ribawi, yaitu mata uang. Berikut adalah alur penukaran uang baru yang berpotensi menjadi riba: 1. Proses Penukaran di Pinggir Jalan atau Jasa Tidak Resmi Seorang pelanggan ingin menukarkan uang lama dengan uang baru, misalnya Rp1.000.000 dalam pecahan Rp10.000-an. Penyedia jasa memberikan pecahan uang baru tersebut, tetapi meminta tambahan jumlah uang yang ditukar. Misalnya penyedia jasa meminta uang Rp1.010.000. Penyedia jasa mengambil keuntungan berupa selisih antara nominal uang yang ditukarkan dengan yang diberikan sebesar Rp10.000 tadi. 2. Unsur Riba dalam Transaksi Ini Pertukaran barang ribawi yang sejenis: Uang rupiah ditukar dengan uang rupiah, yang berarti harus memenuhi syarat nilai sama dan dilakukan secara tunai (tidak ada yang tertunda). Adanya tambahan atau kelebihan (riba fadhl): Penyedia jasa meminta nominal yang lebih besar dibandingkan uang yang diterima oleh pelanggan. Jasa atau biaya tambahan dianggap riba: Dalam Islam, setiap pertukaran mata uang sejenis dengan nilai yang berbeda dianggap sebagai riba, karena ada tambahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syariat.   Tren Penukaran Uang Baru di Indonesia Fenomena penukaran uang baru menjelang Idulfitri bukanlah hal baru di Indonesia. Setiap tahun, permintaan akan uang kertas baru meningkat signifikan seiring dengan tradisi memberikan “salam tempel” saat Lebaran. Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan permintaan uang tunai selama periode Ramadan dan Idulfitri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, BI bekerja sama dengan perbankan menyediakan layanan penukaran uang di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2025 saja, BI menyiapkan uang layak edar sebesar Rp180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama periode tersebut. Namun, tidak semua masyarakat memanfaatkan layanan resmi tersebut. Banyak yang memilih menukarkan uang melalui jasa penukaran di pinggir jalan karena alasan kepraktisan atau ketidakmampuan mengakses layanan perbankan resmi. Praktik ini umum ditemui di berbagai kota besar, di mana penyedia jasa penukaran uang menawarkan layanan dengan imbalan atau biaya tambahan tertentu.   Imbauan untuk Masyarakat Mengingat potensi terjadinya praktik riba dalam penukaran uang baru yang melibatkan biaya tambahan, masyarakat diimbau untuk memanfaatkan layanan penukaran uang resmi yang disediakan oleh Bank Indonesia dan perbankan. Dengan memanfaatkan layanan resmi, masyarakat dapat menghindari praktik riba dan memastikan bahwa tradisi memberikan uang baru saat Idulfitri tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Selain itu, langkah ini juga mendukung upaya pemerintah dan otoritas moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan peredaran uang di masyarakat. Sebagai umat Muslim, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan aturan syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal tradisi dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, kita dapat merayakan Idulfitri dengan penuh berkah dan sesuai dengan tuntunan agama tanpa harus menerjang syariat. Semoga pembahasan ini bermanfaat. – Jumat sore, 14 Ramadhan 1446 H, 14 Maret 2025, @ Gunungkidul Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya riba Fatwa Ulama tentang Tukar Uang Hukum Islam Tukar Uang Baru Hukum Penukaran Uang Baru Jasa Penukaran Uang Baru Penukaran Uang Menjelang Idulfitri Penukaran Uang Sesuai Syariat Riba dalam Penukaran Uang riba fadhel riba pada uang Tukar Uang Baru Bank Indonesia Tukar Uang Baru Halal atau Haram Tukar Uang Baru Lebaran
Prev     Next