Khutbah Idulfitri | Dunia ini Negeri Ujian dan Kesulitan

Ingatlah dunia ini negeri ujian dan kesulitan, tak lepas dari masalah hidup. Solusinya perhatikan pada naskah khutbah berikut ini.     Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan 4. Aturan Khutbah Idulfitri 5. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: 6. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: 7. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021:     Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ، (9x) الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ أَمَّابَعْدُ؛ فَيَآ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تَقْوَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ، أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ، فَهُوَ يَوْمُ تَسْبِيْحٍ وَتَحْمِيْدٍ وَتَهْلِيْلٍ وَتَعْظِيْمٍ ، فَسَبِّحُوْا رَبَّكُمْ فِيْهِ وَعَظِّمُوْهُ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di hari Idulfitri ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Negeri ini penuh dengan musibah dan ujian belakangan ini. Ada daerah di negeri yang terkena banjir parah menjelang Ramadhan berakhir. Namun, ada daerah yang hujannya turun, tetapi jarang-jarang sehingga hasil panen tak seperti yang diharapkan dan diimpikan. Ada juga yang mendapat ujian pada keluarganya sendiri. Suami ada yang sulit menghadapi istri yang sulit diatur. Ada juga istri yang menghadapi suami yang tidak mau memberikan nafkah lahir dan batin. Ada juga orang tua yang menghadapi anak yang durhaka dan suka membantah. Ada juga menantu yang terus bermasalah dengan mertua. Ada juga yang mengalami kesulitan ekonomi, terlilit utang yang sangat sulit untuk dilunasi sampai tak ada lagi aset untuk menutupi utangnya. Ada juga yang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh bertahun-tahun. Itulah hidup di dunia, tak lepas dari ujian dan kesulitan. Kalau ingin hidup penuh keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan, itu hanyalah didapati di surga. Coba jamaah shalat Id sekalian merenungkan ayat berikut ini di mana sebelumnya diawali sumpah oleh Allah dengan menyebut kota Makkah, Nabi Adam, dan keturunannya. Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ laqad khalaqnal-insāna fī kabad “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Manusia itu menderita kesulitan di dunia, di alam barzakh (alam kubur), dan pada hari kiamat saat setiap amal akan disaksikan.” Lantas Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Untuk selamat dari berbagai kesulitan di dunia dan alam akhirat, solusinya adalah BERUSAHA BERAMAL SALEH. Jika amal saleh ini tidak dilakukan, maka kesulitan tetap akan dirasakan terus menerus.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 971) Maka benarlah manusia terus berada dalam kesulitan. Kenyamanan dan kebahagiaan hanyalah didapati ketika berada di surga. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, فَإِنَّ الإِنْسَانَ مَخْلُوْقٌ فِي شِدَّةٍ بِكَوْنِهِ فِي الرَّحِمِ، ثُمَّ فِي القَمَاط وَالرَّبَاطِ، ثُمَّ هُوَ عَلَى خَطْرٍ عَظِيْمٍ عِنْدَ بُلُوْغِهِ حَالَ التَّكْلِيْفِ وَمُكَابَدَةِ المَعِيْشَةِ وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِِ المَوْتِ وَمَا بَعْدَهُ فِي البَرْزَخِ وَمَوْقِفِ القِيَامَةِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِ العَذَابِ فِي النَّارِ، وَلاَ رَاحَةَ لَهُ إِلَّا فِي الجَنَّةِ “Manusia diciptakan dalam keadaan susah payah ketika di dalam rahim ibunya dan ketika berada pada keadaan di tali bedungnya (di buaian ibunya). Ia juga mendapatkan masalah hidup tatkala mencapai usia baligh (dewasa) dan ketika dikenakan beban syariat. Kemudian ia berada pada kesusahan dalam menjalani kehidupan, juga dalam menghadapi perintah dan larangan. Kemudian berada pada susahnya kematian dan kejadian setelahnya di alam kuburnya dan situasi hari kiamat. Kemudian ia berada pada susahnya siksaan api neraka. KITA TIDAK ADA WAKTU UNTUK REHAT MELAINKAN KETIKA SUDAH MASUK SURGA.” (At-Tibyan fii Aqsam Al-Qur’an, hlm. 34-35) Jalan selamat dari berbagai kesulitan ini disebutkan dalam ayat selanjutnya dari surah Al-Balad. فَلَا ٱقْتَحَمَ ٱلْعَقَبَةَ fa laqtaḥamal-‘aqabah “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad: 11) وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ wa mā adrāka mal-‘aqabah “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12) فَكُّ رَقَبَةٍ fakku raqabah  “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad: 13) أَوْ إِطْعَٰمٌ فِى يَوْمٍ ذِى مَسْغَبَةٍ au iṭ’āmun fī yaumin żī masgabah “atau memberi makan pada hari kelaparan.” (QS. Al-Balad: 14), di mana orang sangat butuh untuk makan. يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ yatīman żā maqrabah “(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.” (QS. Al-Balad: 15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ au miskīnan żā matrabah “atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. Al-Balad: 16) Lihatlah ayat-ayat di atas menerangkan bahwa selamat dari kesulitan (kesukaran) dengan: (1) membebaskan budak, (2) memberikan makan di saat orang-orang butuh dengan memberi makan kepada anak yatim yang masih ada hubungan kerabat dan orang miskin yang memang sangat memerlukan. Kemudian ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya. ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ ṡumma kāna minallażīna āmanụ wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-mar-ḥamah “Dan dia (juga) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17) أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ ulā`ika aṣ-ḥābul-maimanah “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (QS. Al-Balad: 17) Kesimpulannya, untuk selamat dari jalan kesulitan adalah dengan: beriman, beramal saleh, bersabar dalam ketaatan, bersabar dalam menjauhi maksiat, bersabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan, saling menasihati dalam berkasih sayang, yaitu dengan memberi pada orang yang butuh, mengajarkan ilmu pada yang belum tahu, dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan berbagai macam cara, membantu urusan dunia dan akhirat, mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah yang disebut dengan GOLONGAN KANAN yang meraih kebahagiaan, di mana ia menjalankan perintah terkait dengan hak Allah dan hak sesama, serta menjauhi larangan. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 972) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Yang jadi masalah adalah kita terus tertimpa masalah hidup, tetapi kita sendiri tidak mau koreksi diri. Iman kita begitu lemah dan tak mau meningkatkan keimanan. Amal saleh kita masih kurang di saat maksiat terus rutin. Lihat saja shalat sebagian jamaah kita hanya semangat di bulan Ramadhan, bakda Ramadhan sudah tak ada lagi shalat. Sabar kita begitu kurang, apalagi dalam menghadapi musibah atau saat disakiti orang lain. Kita juga kurang berkasih sayang dengan orang lain, menjadi orang pelit (enggan mengeluarkan harta dalam memenuhi kewajiban), tetapi kita terus mengejar harta yang membuat kita lalai pada ibadah. Kita jadi orang yang terlena pada dunia dan terus berbangga-bangga dengannya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At Takatsur: 1-2). Hal ini pun kita malas koreksi. Jika kita memiliki masalah hidup, adukanlah kepada Allah dengan terlebih dahulu mengoreksi diri. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al-Fawaid berkata, “Orang arif atau cerdas adalah yang mengeluhkan kekurangan dirinya sendiri kepada Allah (ketika menghadapi masalah hidup). Ia mengadukan keadaan dirinya yang jelek kepada Allah, ia bukan mengeluhkan keadaan orang lain yang telah menyakitinya. Ia hanya menilai bahwa perlakuan jelek orang lain padanya adalah lantaran kesalahan dirinya sendiri. Hal ini sama dengan kandungan firman Allah, ‎وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ  “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79) Juga firman Allah, ‎أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Sampai Ramadhan berakhir, sebagian kita masih tak sadar ibadah. Tak sedikit yang kami lihat semangat shalat Idulfitri hari ini, tetapi keseharian saat Ramadhan makan bebas di jalan dan tak peduli pada puasa, juga tak menghormati orang yang berpuasa. Itulah mengapa masalah hidup kita tak pernah usai karena kesalahan diri kita sendiri. Solusi utama adalah mengoreksi diri atas dosa dan kesalahan, kemudian memperbaikinya dengan BERTAUBAT NASHUHA serta jadi lebih baik bakda Ramadhan dan seterusnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Hari Idulfitri itu seharusnya untuk orang yang bertambah taat, bukan orang yang malas-malasan ibadah lantas merayakannya. Dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 484, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ‎لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد ‎لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب “Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian baru tanpa cacat, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin bertambah ibadah dan taat.  Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.” Seharusnya kebaikan itu berlanjut lagi dengan kebaikan bakda Ramadhan. ‎مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:583). Dari sini, bakda Ramadhan, lanjutkan lagi ibadah yang wajib dengan terus dijaga rutin. Ibadah shalat tarawih bisa dilanjutkan dengan ibadah shalat malam, yaitu shalat tahajud dan shalat witir. Witir pun paling ringan bisa satu rakaat bakda Isyak. Sedangkan ibadah puasa Ramadhan bisa dilanjutkan dengan puasa enam hari Syawal agar mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan dan kita diperpanjang umur oleh Allah untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَللهُ أَكْبَرُ (7x) اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.   Taqobbalallahu minna wa minkum, shalihal a’maal, kullu ‘aamin wa antum bi khairin. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.   Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan Download   – Aturan Khutbah Idulfitri 1. Khutbah Idulfitri adalah sunnah setelah shalat Id. 2. Khutbah Idulfitri ada dua kali khutbah. Rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat. 3. Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk. 4. Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir. 5. Rukun khutbatain (dua khutbah) ada 5, yaitu [1] memuji Allah pada kedua khutbah, [2] bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua khutbah, [3] berwasiat takwa pada kedua khutbah, [4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya, dan [5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir. 6. Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Namun, mendengarkan khutbah Idulfitri bukanlah syarat sahnya shalat Id. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:555-556. Lihat pula Kifayah Al-Akhyar, hlm. 200. – Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: “Jaga Hati, Jangan Lalai Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: “Realisasi Syukur Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021: “Berbuka Ketika Berjumpa dengan Allah”     Referensi: Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Fawaid Al-Fawaid yang ditahqiq oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari, hlm 378, Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al Maktab Al Islami.   – @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul 29 Ramadhan 1445 H, Selasa sore Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagscara istiqamah khutbah hari raya khutbah idul fitri

Khutbah Idulfitri | Dunia ini Negeri Ujian dan Kesulitan

Ingatlah dunia ini negeri ujian dan kesulitan, tak lepas dari masalah hidup. Solusinya perhatikan pada naskah khutbah berikut ini.     Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan 4. Aturan Khutbah Idulfitri 5. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: 6. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: 7. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021:     Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ، (9x) الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ أَمَّابَعْدُ؛ فَيَآ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تَقْوَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ، أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ، فَهُوَ يَوْمُ تَسْبِيْحٍ وَتَحْمِيْدٍ وَتَهْلِيْلٍ وَتَعْظِيْمٍ ، فَسَبِّحُوْا رَبَّكُمْ فِيْهِ وَعَظِّمُوْهُ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di hari Idulfitri ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Negeri ini penuh dengan musibah dan ujian belakangan ini. Ada daerah di negeri yang terkena banjir parah menjelang Ramadhan berakhir. Namun, ada daerah yang hujannya turun, tetapi jarang-jarang sehingga hasil panen tak seperti yang diharapkan dan diimpikan. Ada juga yang mendapat ujian pada keluarganya sendiri. Suami ada yang sulit menghadapi istri yang sulit diatur. Ada juga istri yang menghadapi suami yang tidak mau memberikan nafkah lahir dan batin. Ada juga orang tua yang menghadapi anak yang durhaka dan suka membantah. Ada juga menantu yang terus bermasalah dengan mertua. Ada juga yang mengalami kesulitan ekonomi, terlilit utang yang sangat sulit untuk dilunasi sampai tak ada lagi aset untuk menutupi utangnya. Ada juga yang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh bertahun-tahun. Itulah hidup di dunia, tak lepas dari ujian dan kesulitan. Kalau ingin hidup penuh keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan, itu hanyalah didapati di surga. Coba jamaah shalat Id sekalian merenungkan ayat berikut ini di mana sebelumnya diawali sumpah oleh Allah dengan menyebut kota Makkah, Nabi Adam, dan keturunannya. Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ laqad khalaqnal-insāna fī kabad “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Manusia itu menderita kesulitan di dunia, di alam barzakh (alam kubur), dan pada hari kiamat saat setiap amal akan disaksikan.” Lantas Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Untuk selamat dari berbagai kesulitan di dunia dan alam akhirat, solusinya adalah BERUSAHA BERAMAL SALEH. Jika amal saleh ini tidak dilakukan, maka kesulitan tetap akan dirasakan terus menerus.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 971) Maka benarlah manusia terus berada dalam kesulitan. Kenyamanan dan kebahagiaan hanyalah didapati ketika berada di surga. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, فَإِنَّ الإِنْسَانَ مَخْلُوْقٌ فِي شِدَّةٍ بِكَوْنِهِ فِي الرَّحِمِ، ثُمَّ فِي القَمَاط وَالرَّبَاطِ، ثُمَّ هُوَ عَلَى خَطْرٍ عَظِيْمٍ عِنْدَ بُلُوْغِهِ حَالَ التَّكْلِيْفِ وَمُكَابَدَةِ المَعِيْشَةِ وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِِ المَوْتِ وَمَا بَعْدَهُ فِي البَرْزَخِ وَمَوْقِفِ القِيَامَةِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِ العَذَابِ فِي النَّارِ، وَلاَ رَاحَةَ لَهُ إِلَّا فِي الجَنَّةِ “Manusia diciptakan dalam keadaan susah payah ketika di dalam rahim ibunya dan ketika berada pada keadaan di tali bedungnya (di buaian ibunya). Ia juga mendapatkan masalah hidup tatkala mencapai usia baligh (dewasa) dan ketika dikenakan beban syariat. Kemudian ia berada pada kesusahan dalam menjalani kehidupan, juga dalam menghadapi perintah dan larangan. Kemudian berada pada susahnya kematian dan kejadian setelahnya di alam kuburnya dan situasi hari kiamat. Kemudian ia berada pada susahnya siksaan api neraka. KITA TIDAK ADA WAKTU UNTUK REHAT MELAINKAN KETIKA SUDAH MASUK SURGA.” (At-Tibyan fii Aqsam Al-Qur’an, hlm. 34-35) Jalan selamat dari berbagai kesulitan ini disebutkan dalam ayat selanjutnya dari surah Al-Balad. فَلَا ٱقْتَحَمَ ٱلْعَقَبَةَ fa laqtaḥamal-‘aqabah “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad: 11) وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ wa mā adrāka mal-‘aqabah “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12) فَكُّ رَقَبَةٍ fakku raqabah  “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad: 13) أَوْ إِطْعَٰمٌ فِى يَوْمٍ ذِى مَسْغَبَةٍ au iṭ’āmun fī yaumin żī masgabah “atau memberi makan pada hari kelaparan.” (QS. Al-Balad: 14), di mana orang sangat butuh untuk makan. يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ yatīman żā maqrabah “(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.” (QS. Al-Balad: 15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ au miskīnan żā matrabah “atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. Al-Balad: 16) Lihatlah ayat-ayat di atas menerangkan bahwa selamat dari kesulitan (kesukaran) dengan: (1) membebaskan budak, (2) memberikan makan di saat orang-orang butuh dengan memberi makan kepada anak yatim yang masih ada hubungan kerabat dan orang miskin yang memang sangat memerlukan. Kemudian ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya. ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ ṡumma kāna minallażīna āmanụ wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-mar-ḥamah “Dan dia (juga) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17) أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ ulā`ika aṣ-ḥābul-maimanah “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (QS. Al-Balad: 17) Kesimpulannya, untuk selamat dari jalan kesulitan adalah dengan: beriman, beramal saleh, bersabar dalam ketaatan, bersabar dalam menjauhi maksiat, bersabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan, saling menasihati dalam berkasih sayang, yaitu dengan memberi pada orang yang butuh, mengajarkan ilmu pada yang belum tahu, dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan berbagai macam cara, membantu urusan dunia dan akhirat, mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah yang disebut dengan GOLONGAN KANAN yang meraih kebahagiaan, di mana ia menjalankan perintah terkait dengan hak Allah dan hak sesama, serta menjauhi larangan. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 972) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Yang jadi masalah adalah kita terus tertimpa masalah hidup, tetapi kita sendiri tidak mau koreksi diri. Iman kita begitu lemah dan tak mau meningkatkan keimanan. Amal saleh kita masih kurang di saat maksiat terus rutin. Lihat saja shalat sebagian jamaah kita hanya semangat di bulan Ramadhan, bakda Ramadhan sudah tak ada lagi shalat. Sabar kita begitu kurang, apalagi dalam menghadapi musibah atau saat disakiti orang lain. Kita juga kurang berkasih sayang dengan orang lain, menjadi orang pelit (enggan mengeluarkan harta dalam memenuhi kewajiban), tetapi kita terus mengejar harta yang membuat kita lalai pada ibadah. Kita jadi orang yang terlena pada dunia dan terus berbangga-bangga dengannya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At Takatsur: 1-2). Hal ini pun kita malas koreksi. Jika kita memiliki masalah hidup, adukanlah kepada Allah dengan terlebih dahulu mengoreksi diri. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al-Fawaid berkata, “Orang arif atau cerdas adalah yang mengeluhkan kekurangan dirinya sendiri kepada Allah (ketika menghadapi masalah hidup). Ia mengadukan keadaan dirinya yang jelek kepada Allah, ia bukan mengeluhkan keadaan orang lain yang telah menyakitinya. Ia hanya menilai bahwa perlakuan jelek orang lain padanya adalah lantaran kesalahan dirinya sendiri. Hal ini sama dengan kandungan firman Allah, ‎وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ  “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79) Juga firman Allah, ‎أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Sampai Ramadhan berakhir, sebagian kita masih tak sadar ibadah. Tak sedikit yang kami lihat semangat shalat Idulfitri hari ini, tetapi keseharian saat Ramadhan makan bebas di jalan dan tak peduli pada puasa, juga tak menghormati orang yang berpuasa. Itulah mengapa masalah hidup kita tak pernah usai karena kesalahan diri kita sendiri. Solusi utama adalah mengoreksi diri atas dosa dan kesalahan, kemudian memperbaikinya dengan BERTAUBAT NASHUHA serta jadi lebih baik bakda Ramadhan dan seterusnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Hari Idulfitri itu seharusnya untuk orang yang bertambah taat, bukan orang yang malas-malasan ibadah lantas merayakannya. Dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 484, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ‎لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد ‎لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب “Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian baru tanpa cacat, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin bertambah ibadah dan taat.  Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.” Seharusnya kebaikan itu berlanjut lagi dengan kebaikan bakda Ramadhan. ‎مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:583). Dari sini, bakda Ramadhan, lanjutkan lagi ibadah yang wajib dengan terus dijaga rutin. Ibadah shalat tarawih bisa dilanjutkan dengan ibadah shalat malam, yaitu shalat tahajud dan shalat witir. Witir pun paling ringan bisa satu rakaat bakda Isyak. Sedangkan ibadah puasa Ramadhan bisa dilanjutkan dengan puasa enam hari Syawal agar mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan dan kita diperpanjang umur oleh Allah untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَللهُ أَكْبَرُ (7x) اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.   Taqobbalallahu minna wa minkum, shalihal a’maal, kullu ‘aamin wa antum bi khairin. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.   Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan Download   – Aturan Khutbah Idulfitri 1. Khutbah Idulfitri adalah sunnah setelah shalat Id. 2. Khutbah Idulfitri ada dua kali khutbah. Rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat. 3. Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk. 4. Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir. 5. Rukun khutbatain (dua khutbah) ada 5, yaitu [1] memuji Allah pada kedua khutbah, [2] bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua khutbah, [3] berwasiat takwa pada kedua khutbah, [4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya, dan [5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir. 6. Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Namun, mendengarkan khutbah Idulfitri bukanlah syarat sahnya shalat Id. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:555-556. Lihat pula Kifayah Al-Akhyar, hlm. 200. – Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: “Jaga Hati, Jangan Lalai Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: “Realisasi Syukur Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021: “Berbuka Ketika Berjumpa dengan Allah”     Referensi: Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Fawaid Al-Fawaid yang ditahqiq oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari, hlm 378, Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al Maktab Al Islami.   – @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul 29 Ramadhan 1445 H, Selasa sore Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagscara istiqamah khutbah hari raya khutbah idul fitri
Ingatlah dunia ini negeri ujian dan kesulitan, tak lepas dari masalah hidup. Solusinya perhatikan pada naskah khutbah berikut ini.     Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan 4. Aturan Khutbah Idulfitri 5. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: 6. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: 7. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021:     Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ، (9x) الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ أَمَّابَعْدُ؛ فَيَآ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تَقْوَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ، أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ، فَهُوَ يَوْمُ تَسْبِيْحٍ وَتَحْمِيْدٍ وَتَهْلِيْلٍ وَتَعْظِيْمٍ ، فَسَبِّحُوْا رَبَّكُمْ فِيْهِ وَعَظِّمُوْهُ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di hari Idulfitri ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Negeri ini penuh dengan musibah dan ujian belakangan ini. Ada daerah di negeri yang terkena banjir parah menjelang Ramadhan berakhir. Namun, ada daerah yang hujannya turun, tetapi jarang-jarang sehingga hasil panen tak seperti yang diharapkan dan diimpikan. Ada juga yang mendapat ujian pada keluarganya sendiri. Suami ada yang sulit menghadapi istri yang sulit diatur. Ada juga istri yang menghadapi suami yang tidak mau memberikan nafkah lahir dan batin. Ada juga orang tua yang menghadapi anak yang durhaka dan suka membantah. Ada juga menantu yang terus bermasalah dengan mertua. Ada juga yang mengalami kesulitan ekonomi, terlilit utang yang sangat sulit untuk dilunasi sampai tak ada lagi aset untuk menutupi utangnya. Ada juga yang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh bertahun-tahun. Itulah hidup di dunia, tak lepas dari ujian dan kesulitan. Kalau ingin hidup penuh keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan, itu hanyalah didapati di surga. Coba jamaah shalat Id sekalian merenungkan ayat berikut ini di mana sebelumnya diawali sumpah oleh Allah dengan menyebut kota Makkah, Nabi Adam, dan keturunannya. Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ laqad khalaqnal-insāna fī kabad “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Manusia itu menderita kesulitan di dunia, di alam barzakh (alam kubur), dan pada hari kiamat saat setiap amal akan disaksikan.” Lantas Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Untuk selamat dari berbagai kesulitan di dunia dan alam akhirat, solusinya adalah BERUSAHA BERAMAL SALEH. Jika amal saleh ini tidak dilakukan, maka kesulitan tetap akan dirasakan terus menerus.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 971) Maka benarlah manusia terus berada dalam kesulitan. Kenyamanan dan kebahagiaan hanyalah didapati ketika berada di surga. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, فَإِنَّ الإِنْسَانَ مَخْلُوْقٌ فِي شِدَّةٍ بِكَوْنِهِ فِي الرَّحِمِ، ثُمَّ فِي القَمَاط وَالرَّبَاطِ، ثُمَّ هُوَ عَلَى خَطْرٍ عَظِيْمٍ عِنْدَ بُلُوْغِهِ حَالَ التَّكْلِيْفِ وَمُكَابَدَةِ المَعِيْشَةِ وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِِ المَوْتِ وَمَا بَعْدَهُ فِي البَرْزَخِ وَمَوْقِفِ القِيَامَةِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِ العَذَابِ فِي النَّارِ، وَلاَ رَاحَةَ لَهُ إِلَّا فِي الجَنَّةِ “Manusia diciptakan dalam keadaan susah payah ketika di dalam rahim ibunya dan ketika berada pada keadaan di tali bedungnya (di buaian ibunya). Ia juga mendapatkan masalah hidup tatkala mencapai usia baligh (dewasa) dan ketika dikenakan beban syariat. Kemudian ia berada pada kesusahan dalam menjalani kehidupan, juga dalam menghadapi perintah dan larangan. Kemudian berada pada susahnya kematian dan kejadian setelahnya di alam kuburnya dan situasi hari kiamat. Kemudian ia berada pada susahnya siksaan api neraka. KITA TIDAK ADA WAKTU UNTUK REHAT MELAINKAN KETIKA SUDAH MASUK SURGA.” (At-Tibyan fii Aqsam Al-Qur’an, hlm. 34-35) Jalan selamat dari berbagai kesulitan ini disebutkan dalam ayat selanjutnya dari surah Al-Balad. فَلَا ٱقْتَحَمَ ٱلْعَقَبَةَ fa laqtaḥamal-‘aqabah “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad: 11) وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ wa mā adrāka mal-‘aqabah “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12) فَكُّ رَقَبَةٍ fakku raqabah  “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad: 13) أَوْ إِطْعَٰمٌ فِى يَوْمٍ ذِى مَسْغَبَةٍ au iṭ’āmun fī yaumin żī masgabah “atau memberi makan pada hari kelaparan.” (QS. Al-Balad: 14), di mana orang sangat butuh untuk makan. يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ yatīman żā maqrabah “(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.” (QS. Al-Balad: 15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ au miskīnan żā matrabah “atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. Al-Balad: 16) Lihatlah ayat-ayat di atas menerangkan bahwa selamat dari kesulitan (kesukaran) dengan: (1) membebaskan budak, (2) memberikan makan di saat orang-orang butuh dengan memberi makan kepada anak yatim yang masih ada hubungan kerabat dan orang miskin yang memang sangat memerlukan. Kemudian ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya. ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ ṡumma kāna minallażīna āmanụ wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-mar-ḥamah “Dan dia (juga) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17) أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ ulā`ika aṣ-ḥābul-maimanah “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (QS. Al-Balad: 17) Kesimpulannya, untuk selamat dari jalan kesulitan adalah dengan: beriman, beramal saleh, bersabar dalam ketaatan, bersabar dalam menjauhi maksiat, bersabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan, saling menasihati dalam berkasih sayang, yaitu dengan memberi pada orang yang butuh, mengajarkan ilmu pada yang belum tahu, dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan berbagai macam cara, membantu urusan dunia dan akhirat, mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah yang disebut dengan GOLONGAN KANAN yang meraih kebahagiaan, di mana ia menjalankan perintah terkait dengan hak Allah dan hak sesama, serta menjauhi larangan. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 972) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Yang jadi masalah adalah kita terus tertimpa masalah hidup, tetapi kita sendiri tidak mau koreksi diri. Iman kita begitu lemah dan tak mau meningkatkan keimanan. Amal saleh kita masih kurang di saat maksiat terus rutin. Lihat saja shalat sebagian jamaah kita hanya semangat di bulan Ramadhan, bakda Ramadhan sudah tak ada lagi shalat. Sabar kita begitu kurang, apalagi dalam menghadapi musibah atau saat disakiti orang lain. Kita juga kurang berkasih sayang dengan orang lain, menjadi orang pelit (enggan mengeluarkan harta dalam memenuhi kewajiban), tetapi kita terus mengejar harta yang membuat kita lalai pada ibadah. Kita jadi orang yang terlena pada dunia dan terus berbangga-bangga dengannya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At Takatsur: 1-2). Hal ini pun kita malas koreksi. Jika kita memiliki masalah hidup, adukanlah kepada Allah dengan terlebih dahulu mengoreksi diri. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al-Fawaid berkata, “Orang arif atau cerdas adalah yang mengeluhkan kekurangan dirinya sendiri kepada Allah (ketika menghadapi masalah hidup). Ia mengadukan keadaan dirinya yang jelek kepada Allah, ia bukan mengeluhkan keadaan orang lain yang telah menyakitinya. Ia hanya menilai bahwa perlakuan jelek orang lain padanya adalah lantaran kesalahan dirinya sendiri. Hal ini sama dengan kandungan firman Allah, ‎وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ  “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79) Juga firman Allah, ‎أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Sampai Ramadhan berakhir, sebagian kita masih tak sadar ibadah. Tak sedikit yang kami lihat semangat shalat Idulfitri hari ini, tetapi keseharian saat Ramadhan makan bebas di jalan dan tak peduli pada puasa, juga tak menghormati orang yang berpuasa. Itulah mengapa masalah hidup kita tak pernah usai karena kesalahan diri kita sendiri. Solusi utama adalah mengoreksi diri atas dosa dan kesalahan, kemudian memperbaikinya dengan BERTAUBAT NASHUHA serta jadi lebih baik bakda Ramadhan dan seterusnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Hari Idulfitri itu seharusnya untuk orang yang bertambah taat, bukan orang yang malas-malasan ibadah lantas merayakannya. Dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 484, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ‎لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد ‎لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب “Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian baru tanpa cacat, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin bertambah ibadah dan taat.  Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.” Seharusnya kebaikan itu berlanjut lagi dengan kebaikan bakda Ramadhan. ‎مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:583). Dari sini, bakda Ramadhan, lanjutkan lagi ibadah yang wajib dengan terus dijaga rutin. Ibadah shalat tarawih bisa dilanjutkan dengan ibadah shalat malam, yaitu shalat tahajud dan shalat witir. Witir pun paling ringan bisa satu rakaat bakda Isyak. Sedangkan ibadah puasa Ramadhan bisa dilanjutkan dengan puasa enam hari Syawal agar mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan dan kita diperpanjang umur oleh Allah untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَللهُ أَكْبَرُ (7x) اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.   Taqobbalallahu minna wa minkum, shalihal a’maal, kullu ‘aamin wa antum bi khairin. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.   Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan Download   – Aturan Khutbah Idulfitri 1. Khutbah Idulfitri adalah sunnah setelah shalat Id. 2. Khutbah Idulfitri ada dua kali khutbah. Rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat. 3. Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk. 4. Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir. 5. Rukun khutbatain (dua khutbah) ada 5, yaitu [1] memuji Allah pada kedua khutbah, [2] bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua khutbah, [3] berwasiat takwa pada kedua khutbah, [4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya, dan [5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir. 6. Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Namun, mendengarkan khutbah Idulfitri bukanlah syarat sahnya shalat Id. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:555-556. Lihat pula Kifayah Al-Akhyar, hlm. 200. – Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: “Jaga Hati, Jangan Lalai Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: “Realisasi Syukur Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021: “Berbuka Ketika Berjumpa dengan Allah”     Referensi: Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Fawaid Al-Fawaid yang ditahqiq oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari, hlm 378, Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al Maktab Al Islami.   – @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul 29 Ramadhan 1445 H, Selasa sore Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagscara istiqamah khutbah hari raya khutbah idul fitri


Ingatlah dunia ini negeri ujian dan kesulitan, tak lepas dari masalah hidup. Solusinya perhatikan pada naskah khutbah berikut ini.     Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan 4. Aturan Khutbah Idulfitri 5. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: 6. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: 7. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021:     Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ، (9x) الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ أَمَّابَعْدُ؛ فَيَآ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تَقْوَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ، أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ، فَهُوَ يَوْمُ تَسْبِيْحٍ وَتَحْمِيْدٍ وَتَهْلِيْلٍ وَتَعْظِيْمٍ ، فَسَبِّحُوْا رَبَّكُمْ فِيْهِ وَعَظِّمُوْهُ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di hari Idulfitri ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Negeri ini penuh dengan musibah dan ujian belakangan ini. Ada daerah di negeri yang terkena banjir parah menjelang Ramadhan berakhir. Namun, ada daerah yang hujannya turun, tetapi jarang-jarang sehingga hasil panen tak seperti yang diharapkan dan diimpikan. Ada juga yang mendapat ujian pada keluarganya sendiri. Suami ada yang sulit menghadapi istri yang sulit diatur. Ada juga istri yang menghadapi suami yang tidak mau memberikan nafkah lahir dan batin. Ada juga orang tua yang menghadapi anak yang durhaka dan suka membantah. Ada juga menantu yang terus bermasalah dengan mertua. Ada juga yang mengalami kesulitan ekonomi, terlilit utang yang sangat sulit untuk dilunasi sampai tak ada lagi aset untuk menutupi utangnya. Ada juga yang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh bertahun-tahun. Itulah hidup di dunia, tak lepas dari ujian dan kesulitan. Kalau ingin hidup penuh keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan, itu hanyalah didapati di surga. Coba jamaah shalat Id sekalian merenungkan ayat berikut ini di mana sebelumnya diawali sumpah oleh Allah dengan menyebut kota Makkah, Nabi Adam, dan keturunannya. Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ laqad khalaqnal-insāna fī kabad “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Manusia itu menderita kesulitan di dunia, di alam barzakh (alam kubur), dan pada hari kiamat saat setiap amal akan disaksikan.” Lantas Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Untuk selamat dari berbagai kesulitan di dunia dan alam akhirat, solusinya adalah BERUSAHA BERAMAL SALEH. Jika amal saleh ini tidak dilakukan, maka kesulitan tetap akan dirasakan terus menerus.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 971) Maka benarlah manusia terus berada dalam kesulitan. Kenyamanan dan kebahagiaan hanyalah didapati ketika berada di surga. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, فَإِنَّ الإِنْسَانَ مَخْلُوْقٌ فِي شِدَّةٍ بِكَوْنِهِ فِي الرَّحِمِ، ثُمَّ فِي القَمَاط وَالرَّبَاطِ، ثُمَّ هُوَ عَلَى خَطْرٍ عَظِيْمٍ عِنْدَ بُلُوْغِهِ حَالَ التَّكْلِيْفِ وَمُكَابَدَةِ المَعِيْشَةِ وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِِ المَوْتِ وَمَا بَعْدَهُ فِي البَرْزَخِ وَمَوْقِفِ القِيَامَةِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِ العَذَابِ فِي النَّارِ، وَلاَ رَاحَةَ لَهُ إِلَّا فِي الجَنَّةِ “Manusia diciptakan dalam keadaan susah payah ketika di dalam rahim ibunya dan ketika berada pada keadaan di tali bedungnya (di buaian ibunya). Ia juga mendapatkan masalah hidup tatkala mencapai usia baligh (dewasa) dan ketika dikenakan beban syariat. Kemudian ia berada pada kesusahan dalam menjalani kehidupan, juga dalam menghadapi perintah dan larangan. Kemudian berada pada susahnya kematian dan kejadian setelahnya di alam kuburnya dan situasi hari kiamat. Kemudian ia berada pada susahnya siksaan api neraka. KITA TIDAK ADA WAKTU UNTUK REHAT MELAINKAN KETIKA SUDAH MASUK SURGA.” (At-Tibyan fii Aqsam Al-Qur’an, hlm. 34-35) Jalan selamat dari berbagai kesulitan ini disebutkan dalam ayat selanjutnya dari surah Al-Balad. فَلَا ٱقْتَحَمَ ٱلْعَقَبَةَ fa laqtaḥamal-‘aqabah “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad: 11) وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ wa mā adrāka mal-‘aqabah “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12) فَكُّ رَقَبَةٍ fakku raqabah  “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad: 13) أَوْ إِطْعَٰمٌ فِى يَوْمٍ ذِى مَسْغَبَةٍ au iṭ’āmun fī yaumin żī masgabah “atau memberi makan pada hari kelaparan.” (QS. Al-Balad: 14), di mana orang sangat butuh untuk makan. يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ yatīman żā maqrabah “(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.” (QS. Al-Balad: 15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ au miskīnan żā matrabah “atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. Al-Balad: 16) Lihatlah ayat-ayat di atas menerangkan bahwa selamat dari kesulitan (kesukaran) dengan: (1) membebaskan budak, (2) memberikan makan di saat orang-orang butuh dengan memberi makan kepada anak yatim yang masih ada hubungan kerabat dan orang miskin yang memang sangat memerlukan. Kemudian ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya. ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ ṡumma kāna minallażīna āmanụ wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-mar-ḥamah “Dan dia (juga) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17) أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ ulā`ika aṣ-ḥābul-maimanah “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (QS. Al-Balad: 17) Kesimpulannya, untuk selamat dari jalan kesulitan adalah dengan: beriman, beramal saleh, bersabar dalam ketaatan, bersabar dalam menjauhi maksiat, bersabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan, saling menasihati dalam berkasih sayang, yaitu dengan memberi pada orang yang butuh, mengajarkan ilmu pada yang belum tahu, dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan berbagai macam cara, membantu urusan dunia dan akhirat, mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah yang disebut dengan GOLONGAN KANAN yang meraih kebahagiaan, di mana ia menjalankan perintah terkait dengan hak Allah dan hak sesama, serta menjauhi larangan. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 972) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Yang jadi masalah adalah kita terus tertimpa masalah hidup, tetapi kita sendiri tidak mau koreksi diri. Iman kita begitu lemah dan tak mau meningkatkan keimanan. Amal saleh kita masih kurang di saat maksiat terus rutin. Lihat saja shalat sebagian jamaah kita hanya semangat di bulan Ramadhan, bakda Ramadhan sudah tak ada lagi shalat. Sabar kita begitu kurang, apalagi dalam menghadapi musibah atau saat disakiti orang lain. Kita juga kurang berkasih sayang dengan orang lain, menjadi orang pelit (enggan mengeluarkan harta dalam memenuhi kewajiban), tetapi kita terus mengejar harta yang membuat kita lalai pada ibadah. Kita jadi orang yang terlena pada dunia dan terus berbangga-bangga dengannya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At Takatsur: 1-2). Hal ini pun kita malas koreksi. Jika kita memiliki masalah hidup, adukanlah kepada Allah dengan terlebih dahulu mengoreksi diri. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al-Fawaid berkata, “Orang arif atau cerdas adalah yang mengeluhkan kekurangan dirinya sendiri kepada Allah (ketika menghadapi masalah hidup). Ia mengadukan keadaan dirinya yang jelek kepada Allah, ia bukan mengeluhkan keadaan orang lain yang telah menyakitinya. Ia hanya menilai bahwa perlakuan jelek orang lain padanya adalah lantaran kesalahan dirinya sendiri. Hal ini sama dengan kandungan firman Allah, ‎وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ  “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79) Juga firman Allah, ‎أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Sampai Ramadhan berakhir, sebagian kita masih tak sadar ibadah. Tak sedikit yang kami lihat semangat shalat Idulfitri hari ini, tetapi keseharian saat Ramadhan makan bebas di jalan dan tak peduli pada puasa, juga tak menghormati orang yang berpuasa. Itulah mengapa masalah hidup kita tak pernah usai karena kesalahan diri kita sendiri. Solusi utama adalah mengoreksi diri atas dosa dan kesalahan, kemudian memperbaikinya dengan BERTAUBAT NASHUHA serta jadi lebih baik bakda Ramadhan dan seterusnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Hari Idulfitri itu seharusnya untuk orang yang bertambah taat, bukan orang yang malas-malasan ibadah lantas merayakannya. Dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 484, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ‎لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد ‎لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب “Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian baru tanpa cacat, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin bertambah ibadah dan taat.  Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.” Seharusnya kebaikan itu berlanjut lagi dengan kebaikan bakda Ramadhan. ‎مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:583). Dari sini, bakda Ramadhan, lanjutkan lagi ibadah yang wajib dengan terus dijaga rutin. Ibadah shalat tarawih bisa dilanjutkan dengan ibadah shalat malam, yaitu shalat tahajud dan shalat witir. Witir pun paling ringan bisa satu rakaat bakda Isyak. Sedangkan ibadah puasa Ramadhan bisa dilanjutkan dengan puasa enam hari Syawal agar mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan dan kita diperpanjang umur oleh Allah untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَللهُ أَكْبَرُ (7x) اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.   Taqobbalallahu minna wa minkum, shalihal a’maal, kullu ‘aamin wa antum bi khairin. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.   Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan Download   – Aturan Khutbah Idulfitri 1. Khutbah Idulfitri adalah sunnah setelah shalat Id. 2. Khutbah Idulfitri ada dua kali khutbah. Rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat. 3. Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk. 4. Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir. 5. Rukun khutbatain (dua khutbah) ada 5, yaitu [1] memuji Allah pada kedua khutbah, [2] bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua khutbah, [3] berwasiat takwa pada kedua khutbah, [4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya, dan [5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir. 6. Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Namun, mendengarkan khutbah Idulfitri bukanlah syarat sahnya shalat Id. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:555-556. Lihat pula Kifayah Al-Akhyar, hlm. 200. – Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: “Jaga Hati, Jangan Lalai Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: “Realisasi Syukur Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021: “Berbuka Ketika Berjumpa dengan Allah”     Referensi: Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Fawaid Al-Fawaid yang ditahqiq oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari, hlm 378, Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al Maktab Al Islami.   – @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul 29 Ramadhan 1445 H, Selasa sore Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagscara istiqamah khutbah hari raya khutbah idul fitri

Begini Cara Abu Hurairah Menjaga Puasanya – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar

Dahulu para imam dari kalangan ulama sedikit berbicara di bulan Ramadan. Ada sebuah riwayat sahih dari Abu Bakar bin Abi Syaibah bahwa Abu Hurairah Raḏiyallāhu ʿAnhu dan para sahabat beliau, sedangkan sahabat-sahabat beliau hanyalah para fukaha dan ulama semisal beliau, —Semoga Allah Meridai dan Merahmatinya— beliau dan para sahabat beliau ketika memasuki bulan Ramadan akan berdiam diri di masjid dan mengatakan, “Kami sedang menjaga puasa kami.” Sungguh, Anda tentu terheran-heran dari perkara apa Abu Hurairah Raḏiyallāhu ʿAnhu menjaga puasanya. Dia itu ahli ilmu, dan hanya ingin menjaga lisannya dari membicarakan manusia, membahas mereka dan aib-aib mereka, apalagi membahas perkara yang lebih parah dari itu! Maksudnya bahwa seorang penutut ilmu haruslah menjaga puasanya. Jangan banyak membicarakan sesuatu yang tidak dia ketahui, dan jangan banyak pembicaraan berisi gibah, adu domba, perkataan dusta atau mengatakan dan berbuat kebodohan. Seorang muslim wajib menjadikan ini kebiasaannya di sepanjang tahun dan khususnya di bulan Ramadan. ==== كَانَ الْأَئِمَّةُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يُقِلُّوْنَ الْكَلَامَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَدْ ثَبَتَ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَإِنَّمَا كَانَ أَصْحَابُهُ فُقَهَاءَ عُلَمَاءَ مِثْلَهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَرَحِمَهُ كَانَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ إِذَا دَخَلَ عَلَيهِمْ شَهْرُ رَمَضَانَ لَزِمُوا الْمَسْجِدَ وَقَالُوا نَحْفَظُ صِيَامَنَا وَإِنَّكَ لَتَعْجَبُ مِمَّا يَحْفَظُ مِنْهُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ صِيَامَهُ فَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَإِنَّمَا أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ لِسَانَهُ مِنَ الْقِيْلِ فِي النَّاسِ وَمِنِ الْخَوْضِ فِيهِمْ وَفِي أَعْرَاضِهِمْ نَاهِيكَ عَنِ الْخَوْضِ فِي أُمُورٍ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَحْفَظُ صِيَامَهُ فَلَا يُكْثِرُ الْخَوْضَ فِيمَا لَا يَعْلَمُ وَلَا يُكْثِرُ الْخَوْضَ فِي غِيْبَةٍ وَلَا نَمِيمَةٍ وَلَا قَوْلِ زُورٍ وَلَا جَهْلٍ وَلَا عَمَلٍ بِذَلِكَ وَالْوَاجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَجْعَلَ هَذَا دَأْبًا لَهُ فِي سَنَتِهِ كُلِّهَا وَفِي رَمَضَانَ بِخُصُوصِهِ

Begini Cara Abu Hurairah Menjaga Puasanya – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ar

Dahulu para imam dari kalangan ulama sedikit berbicara di bulan Ramadan. Ada sebuah riwayat sahih dari Abu Bakar bin Abi Syaibah bahwa Abu Hurairah Raḏiyallāhu ʿAnhu dan para sahabat beliau, sedangkan sahabat-sahabat beliau hanyalah para fukaha dan ulama semisal beliau, —Semoga Allah Meridai dan Merahmatinya— beliau dan para sahabat beliau ketika memasuki bulan Ramadan akan berdiam diri di masjid dan mengatakan, “Kami sedang menjaga puasa kami.” Sungguh, Anda tentu terheran-heran dari perkara apa Abu Hurairah Raḏiyallāhu ʿAnhu menjaga puasanya. Dia itu ahli ilmu, dan hanya ingin menjaga lisannya dari membicarakan manusia, membahas mereka dan aib-aib mereka, apalagi membahas perkara yang lebih parah dari itu! Maksudnya bahwa seorang penutut ilmu haruslah menjaga puasanya. Jangan banyak membicarakan sesuatu yang tidak dia ketahui, dan jangan banyak pembicaraan berisi gibah, adu domba, perkataan dusta atau mengatakan dan berbuat kebodohan. Seorang muslim wajib menjadikan ini kebiasaannya di sepanjang tahun dan khususnya di bulan Ramadan. ==== كَانَ الْأَئِمَّةُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يُقِلُّوْنَ الْكَلَامَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَدْ ثَبَتَ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَإِنَّمَا كَانَ أَصْحَابُهُ فُقَهَاءَ عُلَمَاءَ مِثْلَهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَرَحِمَهُ كَانَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ إِذَا دَخَلَ عَلَيهِمْ شَهْرُ رَمَضَانَ لَزِمُوا الْمَسْجِدَ وَقَالُوا نَحْفَظُ صِيَامَنَا وَإِنَّكَ لَتَعْجَبُ مِمَّا يَحْفَظُ مِنْهُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ صِيَامَهُ فَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَإِنَّمَا أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ لِسَانَهُ مِنَ الْقِيْلِ فِي النَّاسِ وَمِنِ الْخَوْضِ فِيهِمْ وَفِي أَعْرَاضِهِمْ نَاهِيكَ عَنِ الْخَوْضِ فِي أُمُورٍ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَحْفَظُ صِيَامَهُ فَلَا يُكْثِرُ الْخَوْضَ فِيمَا لَا يَعْلَمُ وَلَا يُكْثِرُ الْخَوْضَ فِي غِيْبَةٍ وَلَا نَمِيمَةٍ وَلَا قَوْلِ زُورٍ وَلَا جَهْلٍ وَلَا عَمَلٍ بِذَلِكَ وَالْوَاجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَجْعَلَ هَذَا دَأْبًا لَهُ فِي سَنَتِهِ كُلِّهَا وَفِي رَمَضَانَ بِخُصُوصِهِ
Dahulu para imam dari kalangan ulama sedikit berbicara di bulan Ramadan. Ada sebuah riwayat sahih dari Abu Bakar bin Abi Syaibah bahwa Abu Hurairah Raḏiyallāhu ʿAnhu dan para sahabat beliau, sedangkan sahabat-sahabat beliau hanyalah para fukaha dan ulama semisal beliau, —Semoga Allah Meridai dan Merahmatinya— beliau dan para sahabat beliau ketika memasuki bulan Ramadan akan berdiam diri di masjid dan mengatakan, “Kami sedang menjaga puasa kami.” Sungguh, Anda tentu terheran-heran dari perkara apa Abu Hurairah Raḏiyallāhu ʿAnhu menjaga puasanya. Dia itu ahli ilmu, dan hanya ingin menjaga lisannya dari membicarakan manusia, membahas mereka dan aib-aib mereka, apalagi membahas perkara yang lebih parah dari itu! Maksudnya bahwa seorang penutut ilmu haruslah menjaga puasanya. Jangan banyak membicarakan sesuatu yang tidak dia ketahui, dan jangan banyak pembicaraan berisi gibah, adu domba, perkataan dusta atau mengatakan dan berbuat kebodohan. Seorang muslim wajib menjadikan ini kebiasaannya di sepanjang tahun dan khususnya di bulan Ramadan. ==== كَانَ الْأَئِمَّةُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يُقِلُّوْنَ الْكَلَامَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَدْ ثَبَتَ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَإِنَّمَا كَانَ أَصْحَابُهُ فُقَهَاءَ عُلَمَاءَ مِثْلَهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَرَحِمَهُ كَانَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ إِذَا دَخَلَ عَلَيهِمْ شَهْرُ رَمَضَانَ لَزِمُوا الْمَسْجِدَ وَقَالُوا نَحْفَظُ صِيَامَنَا وَإِنَّكَ لَتَعْجَبُ مِمَّا يَحْفَظُ مِنْهُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ صِيَامَهُ فَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَإِنَّمَا أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ لِسَانَهُ مِنَ الْقِيْلِ فِي النَّاسِ وَمِنِ الْخَوْضِ فِيهِمْ وَفِي أَعْرَاضِهِمْ نَاهِيكَ عَنِ الْخَوْضِ فِي أُمُورٍ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَحْفَظُ صِيَامَهُ فَلَا يُكْثِرُ الْخَوْضَ فِيمَا لَا يَعْلَمُ وَلَا يُكْثِرُ الْخَوْضَ فِي غِيْبَةٍ وَلَا نَمِيمَةٍ وَلَا قَوْلِ زُورٍ وَلَا جَهْلٍ وَلَا عَمَلٍ بِذَلِكَ وَالْوَاجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَجْعَلَ هَذَا دَأْبًا لَهُ فِي سَنَتِهِ كُلِّهَا وَفِي رَمَضَانَ بِخُصُوصِهِ


Dahulu para imam dari kalangan ulama sedikit berbicara di bulan Ramadan. Ada sebuah riwayat sahih dari Abu Bakar bin Abi Syaibah bahwa Abu Hurairah Raḏiyallāhu ʿAnhu dan para sahabat beliau, sedangkan sahabat-sahabat beliau hanyalah para fukaha dan ulama semisal beliau, —Semoga Allah Meridai dan Merahmatinya— beliau dan para sahabat beliau ketika memasuki bulan Ramadan akan berdiam diri di masjid dan mengatakan, “Kami sedang menjaga puasa kami.” Sungguh, Anda tentu terheran-heran dari perkara apa Abu Hurairah Raḏiyallāhu ʿAnhu menjaga puasanya. Dia itu ahli ilmu, dan hanya ingin menjaga lisannya dari membicarakan manusia, membahas mereka dan aib-aib mereka, apalagi membahas perkara yang lebih parah dari itu! Maksudnya bahwa seorang penutut ilmu haruslah menjaga puasanya. Jangan banyak membicarakan sesuatu yang tidak dia ketahui, dan jangan banyak pembicaraan berisi gibah, adu domba, perkataan dusta atau mengatakan dan berbuat kebodohan. Seorang muslim wajib menjadikan ini kebiasaannya di sepanjang tahun dan khususnya di bulan Ramadan. ==== كَانَ الْأَئِمَّةُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يُقِلُّوْنَ الْكَلَامَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَدْ ثَبَتَ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَإِنَّمَا كَانَ أَصْحَابُهُ فُقَهَاءَ عُلَمَاءَ مِثْلَهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَرَحِمَهُ كَانَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ إِذَا دَخَلَ عَلَيهِمْ شَهْرُ رَمَضَانَ لَزِمُوا الْمَسْجِدَ وَقَالُوا نَحْفَظُ صِيَامَنَا وَإِنَّكَ لَتَعْجَبُ مِمَّا يَحْفَظُ مِنْهُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ صِيَامَهُ فَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَإِنَّمَا أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ لِسَانَهُ مِنَ الْقِيْلِ فِي النَّاسِ وَمِنِ الْخَوْضِ فِيهِمْ وَفِي أَعْرَاضِهِمْ نَاهِيكَ عَنِ الْخَوْضِ فِي أُمُورٍ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا أَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَحْفَظُ صِيَامَهُ فَلَا يُكْثِرُ الْخَوْضَ فِيمَا لَا يَعْلَمُ وَلَا يُكْثِرُ الْخَوْضَ فِي غِيْبَةٍ وَلَا نَمِيمَةٍ وَلَا قَوْلِ زُورٍ وَلَا جَهْلٍ وَلَا عَمَلٍ بِذَلِكَ وَالْوَاجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَجْعَلَ هَذَا دَأْبًا لَهُ فِي سَنَتِهِ كُلِّهَا وَفِي رَمَضَانَ بِخُصُوصِهِ

Hukum-Hukum Seputar Salat Id

أحكام صلاة العيد Hukum-Hukum Seputar Salat Id صلاة العيد صلاة العيدين – عيد الفطر وعيد الأضحى – مشروعة بالكتاب والسنة وإجماع المسلمين، وقد كان المشركون يتخذون أعيادا زمانية ومكانية، فأبطلها الإسلام، وعوض عنها عيد الفطر وعيد الأضحى؛ شكرا لله تعالى على أداء هاتين العبادتين العظيمتين: صوم رمضان، وحج بيت الله الحرام. Salat Dua Hari Raya Salat dua hari raya—yakni Idul Fitri dan Idul Adha—disyariatkan berdasarkan al-Quran, Sunah, dan ijmak umat Islam. Dahulu orang-orang musyrik juga memiliki hari raya pada waktu dan tempat tertentu, lalu Islam menghapuskannya dan menggantinya dengan Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai wujud syukur kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas karunia-Nya berupa dua ibadah agung, yaitu menunaikan puasa Ramadan dan haji ke Baitullah al-Haram. وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم؛ أنه لما قدم المدينة، وكان لأهلها يومان يلعبون فيهما؛ قال صلى الله عليه وسلم: قد أبدلكم الله بهما خيرا منهما، يوم النحر، ويوم الفطر فلا تجوز الزيادة على هذين العيدين بإحداث أعياد أخرى كأعياد الموالد وغيرها؛ لأن ذلك زيادة على ما شرعه الله، وابتداع في الدين، ومخالفة لسنة سيد المرسلين، وتشبه بالكافرين، سواء سميت أعيادا أو ذكريات أو أياما أو أسابيع أو أعواما، كل ذلك ليس من سنة الإسلام، بل هو من فعل الجاهلية، وتقليد للأمم الكفرية من الدول الغربية وغيرها، وقد قال صلى الله عليه وسلم: من تشبه بقوم فهو منهم وقال صلى الله عليه وسلم: إن أحسن الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة نسأل الله أن يرينا الحق حقا ويرزقنا اتباعه، وأن يرينا الباطل باطلا ويرزقنا اجتنابه. Ada sebuah riwayat sahih dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa ketika beliau tiba di kota Madinah, penduduknya mempunyai dua hari di mana mereka bersenang-senang pada dua hari tersebut, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Allah telah Memberikan ganti kepada kalian untuk dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Raya Kurban dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud)  Jadi, tidak boleh menambah dua hari raya tersebut dengan membuat hari raya lain, seperti maulid dan lain-lain, karena itu termasuk menambah apa yang telah Allah Syariatkan, bidah dalam agama, dan menyelisihi Sunah penghulu para rasul Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, serta bentuk Tasyabbuh (mengikuti) orang-orang kafir, baik dinamai hari raya, peringatan, atau hari, pekan, dan tahun ini dan itu. Semua bukan bagian dari Sunah dalam Islam, melainkan termasuk perbuatan jahiliah dan meniru-niru bangsa-bangsa kafir di negara-negara Barat dan negara-negara lain. Padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang meniru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga bersabda, “Sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bidah adalah kesesatan.” (HR. An-Nasa’i)   Kami memohon kepada Allah Menunjukkan kepada kita bahwa yang benar adalah benar dan Memberi kita kemampuan untuk mengikutinya, dan Menunjukkan bahwa yang batil adalah batil dan Memberi kita kemampuan untuk meninggalkannya. وسمي العيد عيدا؛ لأنه يعود ويتكرر كل عام؛ ولأنه يعود بالفرح والسرور، ويعود الله فيه بالإحسان على عباده على إثر أدائهم لطاعته بالصيام والحج.والدليل على مشروعية صلاة العيد: قوله تعالى: (فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ) وقوله تعالى: (قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى) وكان النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء من بعده يداومون عليها. Hari raya disebut ʿīd (bahasa Indonesia: id) karena kembali dan berulang setiap tahun; dan karena hari raya itu mengembalikan kegembiraan dan kesenangan, dan Allah kembali Memberikan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya yang telah melaksanakan ketaatan mereka kepada-Nya dengan berpuasa dan haji. Dalil disyariatkannya salat id adalah firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā,  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Maka laksanakanlah salat (Idul Adha) karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kausar: 2)  Juga firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para khalifah setelah beliau senantiasa merutinkan hal tersebut. من يسن له الخروج لصلاة العيد وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بها حتى النساء، فيُسن للمرأة حضورها غير متطيبة ولا لابسة لثياب زينة أو شهرة؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: وليخرجن تفلات، ويعتزلن الرجال، ويعتزل الحُيَّض المصلى قالت أم عطية رضي الله عنها: (كنا نؤمر أن نخرج يوم العيد، حتى تخرج البكر من خدرها، وحتى تخرج الحيض، فيكن خلف الناس، فيكبرن بتكبيرهم، ويدعون بدعائهم؛ يرجون بركة ذلك اليوم وطهرته). Orang yang Disunahkan Keluar untuk Salat Id Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan hal itu, bahkan kepada para wanita. Jadi para wanita dianjurkan datang juga tanpa mengenakan wewangian atau memakai pakaian perhiasan atau yang mencolok, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Hendaknya para wanita keluar tanpa wewangian dan memisahkan diri dari laki-laki. Para wanita yang sedang haid hendaknya menghindari tempat salat.”  Ummu ʿAṯhiyyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya, sampai-sampai para gadis keluar dari rumahnya, dan wanita-wanita haid pun keluar. Mereka berada di belakang orang-orang, lalu  bertakbir dengan takbir mereka dan berdoa dengan doa mereka, demi mengharap keberkahan dan kesucian hari tersebut.” (Muttafaqun ‘Alaihi) والخروج لصلاة العيد وأداء صلاة العيد على هذا النمط المشهود من الجميع فيه إظهار لشعار الإسلام، فهي من أعلام الدين الظاهرة، وأول صلاة صلاها النبي صلى الله عليه وسلم للعيد يوم الفطر من السنة الثانية من الهجرة، ولم يزل صلى الله عليه وسلم يواظب عليها حتى فارق الدنيا صلوات الله وسلامه عليه، واستمر عليها المسلمون خلفا عن سلف، فلو تركها أهل بلد مع استكمال شروطها فيهم، قاتلهم الإمام؛ لأنها من أعلام الدين الظاهرة؛ كالأذان. Keluar untuk salat id dan menunaikan salat secara beramai-ramai dan disaksikan semua orang begini adalah bentuk menampakkan syiar Islam, karena ini merupakan salah satu ciri khas agama Islam yang jelas. Salat id pertama yang dikerjakan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah salat Idul Fitri pada tahun kedua Hijriah. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berhenti mengerjakannya secara rutin sampai beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam meninggal dunia. Kemudian, kaum muslimin masih melanjutkannya secara turun temurun.  Apabila penduduk suatu negeri tidak melaksakannya padahal syarat-syaratnya terpenuhi, maka pihak penguasa memerangi mereka, karena ini merupakan salah satu ciri khas agama Islam yang jelas, seperti azan. مكان إقامة صلاة العيد: وينبغي أن تؤدى صلاة العيد في صحراء قريبة من البلد؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي العيدين في المصلى الذي على باب المدينة؛ فعن أبي سعيد: كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج في الفطر والأضحى إلى المصلى متفق عليه، ولم ينقل أنه صلاها في المسجد لغير عذر؛ ولأن الخروج إلى الصحراء أوقع لهيبة المسلمين والإسلام، وأظهر لشعائر الدين، ولا مشقة في ذلك؛ لعدم تكرره؛ بخلاف الجمعة؛ إلا في مكة المشرفة؛ فإنها تصلى في المسجد الحرام. Tempat Pelaksanaan Salat Id Salat id dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan suatu daerah, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu mengerjakan salat dua hari raya di Muṣallā (yakni tanah lapang yang dijadikan tempat salat, pent) di depan gerbang kota Madinah. Diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar ke Muṣallā ketika Idul Fitri dan Idul Adha. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Alasannya, karena tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat di masjid tanpa adanya suatu uzur, dan karena keluar ke tanah lapang lebih menampakkan kewibawaan umat Islam dan agama Islam, serta menunjukkan syiar agama ini. Hal tersebut tidaklah memberatkan, karena tidak sering dilakukan, berbeda dengan salat Jumat. Kecuali jika di kota Makkah yang suci, maka salat id-nya dilaksanakan di Masjidil Haram. وقت صلاة العيد ويبدأ وقت صلاة العيد إذا ارتفعت الشمس بعد طلوعها قدر رمح؛ لأنه الوقت الذي كان النبي صلى الله عليه وسلم يصليها فيه، ويمتد وقتها إلى زوال الشمس. فإن لم يعلم بالعيد إلا بعد الزوال، صلوا من الغد قضاء؛ لما روى أبو عمير بن أنس عن عمومة له من الأنصار؛ قالوا: (غُم علينا هلال شوال، فأصبحنا صياما، فجاء ركب في آخر النهار، فشهدوا أنهم رأوا الهلال بالأمس، فأمر النبي صلى الله عليه وسلم الناس أن يفطروا من يومهم، وأن يخرجوا غدا لعيدهم) رواه أحمد أبو داود والدارقطني وحسنه، وصححه جماعة من الحفاظ،  Waktu Pelaksanaan Salat Id Waktu salat id dimulai saat matahari sudah meninggi setinggi tombak—karena itulah waktu di mana Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melaksanakannya—dan waktunya tetap berlanjut sampai matahari tergelincir. Jika salat id tidak diketahui kecuali setelah matahari tergelincir, maka hendaknya orang-orang mengqadanya esok hari.  Hal ini berdasarkan riwayat Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang merupakan orang Ansar yang berkata, “Kami terhalang dari melihat hilal bulan Syawal, maka keesokan harinya kami berpuasa. Lalu ada kafilah yang datang di tengah hari, yang mana mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin, maka Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang untuk tidak puasa pada hari itu dan keluar untuk salat id keesokan harinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan ad-Daraqutni dan beliau menilainya hasan, dan juga dinilai hasan oleh sejumlah H̱āfiẓ)  Jika memang boleh dikerjakan setelah matahari tergelincir, tentu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak akan menundanya hingga keesokan harinya. Di samping itu, salat id disyariatkan agar dikerjakan secara dalam jemaah yang besar, sehingga harus ada waktu agar manusia bisa bersia-siap. فلو كانت تؤدى بعد الزوال؛ لما أخرها النبي صلى الله عليه وسلم إلى الغد؛ ولأن صلاة العيد شُرع لها الاجتماع العام؛ فلا بد أن يسبقها وقت يتمكن الناس من التهيؤ لها.ويُسن تقديم صلاة الأضحى وتأخير صلاة الفطر؛ لما روى الشافعي مرسلا (أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب إلى عمرو بن حزم: أن عَجِّل الأضحى، وأَخِّر الفطر، وذَكِّر الناس) وليتسع وقت التضحية بتقديم الصلاة في الأضحى، وليتسع الوقت لإخراج زكاة الفطر قبل صلاة الفطر. Disunahkan untuk lebih memajukan salat Adha dan mengakhirkan salat Idul Fitri, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Syafii secara Mursal bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menulis surat kepada Amr bin Hazm agar menyegerakan salat Idul Adha, mengakhirkan Idul Fitri, dan memberi peringatan kepada manusia. Hal itu agar ada waktu yang cukup untuk penyembelihan dengan disegerakannya sala Idul Adha, dan agar ada waktu yang cukup untuk membayar zakat fitrah sebelum salat Idul Fitri dilaksanakan. بعض مما يسن و يستحب فعله لصلاة العيد: ويسن أن يأكل قبل الخروج لصلاة الفطر تمرات، وأن لا يطعم يوم النحر حتى يصلي؛ لقول بريدة: (كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يخرج يوم الفطر حتى يفطر، ولا يطعم يوم النحر حتى يصلي) رواه أحمد وغيره. قال الشيخ تقي الدين: لما قدم الله الصلاة على النحر في قوله: (فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ) وقدم التزكي على الصلاة في قوله: (قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى) كانت السنة أن الصدقة قبل الصلاة في عيد الفطر، وأن الذبح بعد الصلاة في عيد النحر. Beberapa Hal yang Disunahkan dan Dianjurkan untuk Dilakukan Saat Salat Id Disunahkan agar memakan beberapa kurma terlebih dahulu sebelum keluar untuk salat Idul Fitri, dan agar tidak makan pada Hari Raya Kurban sampai salat terlebih dulu. Hal ini berdasarkan hadis Buraidah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak keluar saat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan beliau tidak makan dahulu saat Idul Kurban sampai beliau salat terlebih dulu. (HR. Ahmad dan lain-lain) Syekh Taqiyuddin berkata bahwa alasannya adalah karena Allah telah Mendahulukan salat daripada kurban dalam firman-Nya,  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Maka laksanakanlah salat (Idul Adha) karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kausar: 2)  Demikian pula didahulukan zakat daripada salat dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Jadi, sunahnya adalah zakat dahulu sebelum salat Idul Fitri, dan penyembelihan dilakukan setelah salat Idul Adha. ويسن التبكير في الخروج لصلاة العيد؛ ليتمكن من الدنو من الإمام، وتحصل له فضيلة انتظار الصلاة، فيكثر ثوابه. ويسن أن يتجمل المسلم لصلاة العيد بلبس أحسن الثياب، لحديث جابر: كانت للنبي صلى الله عليه وسلم حلة يلبسها في العيدين ويوم الجمعة رواه ابن خزيمة في صحيحه، وعن ابن عمر أنه كان يلبس في العيدين أحسن ثيابه رواه البيهقي بإسناد جيد. Disunahkan untuk bersegera keluar untuk salat id agar bisa dekat dengan imam, dan memperoleh keutamaan menanti salat, sehingga pahalanya lebih banyak. Disunahkan bagi seorang muslim untuk berhias diri untuk salat id dengan mengenakan pakaiannya yang paling bagus, berdasarkan hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mempunyai setelan pakaian yang beliau pakai saat hari raya dan hari Jumat. (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya)  Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau mengenakan pakaian terbaiknya untuk dua hari raya. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang baik). ما يشترط لصلاة العيد: ويشترط لصلاة العيد الاستيطان؛ بأن يكون الذين يقيمونها مستوطنين في مساكن مبنية بما جرت العادة بالبناء به، كما في صلاة الجمعة؛ فلا تقام صلاة العيد إلا حيث يسوغ إقامة صلاة الجمعة؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم وافق العيد في حجته، ولم يصلها، وكذلك خلفاؤه من بعده. Prasyarat dalam Pelaksanaan Salat Id Istīṯhān menjadi prasyarat pelaksanaan salat id, yaitu bahwa orang-orang yang menyelenggarakannya haruslah orang yang statusnya penduduk tetap yang mendiami bangunan-bangunan di tempat-tempat yang secara adat kebiasaan dibangun di atasnya. Hal ini sebagaimana salat Jumat. Salat id tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan cara sebagaimana dibolehkannya penyelenggaraan salat Jumat. Karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika berhaji dan bertepatan dengan hari raya, beliau tidak menyelenggarakannya, begitu pula para khalifah setelah beliau. عدد ركعات صلاة العيد: وصلاة العيد ركعتان قبل الخطبة، لقول ابن عمر: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبو بكر وعمر وعثمان يصلون العيدين قبل الخطبة) متفق عليه، وقد استفاضت السنة بذلك وعليه عامة أهل العلم، قال الترمذي: والعمل عليه عند أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم، أن صلاة العيدين قبل الخطبة . وحكمة تأخير الخطبة عن صلاة العيد وتقديمها على صلاة الجمعة أن خطبة الجمعة شرط للصلاة، والشرط مقدم على المشروط، بخلاف خطبة العيد؛ فإنها سنة. Jumlah Rakaat Salat Id Salat id dilaksanakan dalam dua rakaat sebelum khotbah, berdasarkan perkataan Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman mengerjakan salat dua hari raya sebelum khotbah. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Banyak sekali hadis tentang hal tersebut dan inilah pendapat mayoritas ulama. At-Tirmidzi berkata bahwa hal tersebut diamalkan para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan selain mereka, yakni bahwa salat dua hari raya dikerjakan sebelum khotbah. Hikmah diakhirkannya khotbah setelah salat id, tetapi didahulukan dalam salat Jumat, adalah bahwa khotbah Jumat merupakan syarat dalam salat tersebut, karena syarat harus ada terlebih dahulu, berbeda dengan khutbah salat id, yang mana khotbahnya adalah sunah. وصلاة العيدين ركعتان بإجماع المسلمين، وفي الصحيحين وغيرهما عن ابن عباس؛ (أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج يوم الفطر، فصلى ركعتين لم يصل قبلهما ولا بعدهما) وقال عمر: (صلاة الفطر والأضحى ركعتان، تمام غير قصر، على لسان نبيكم صلى الله عليه وسلم، وقد خاب من افترى) رواه أحمد وغيره. Salat dua hari raya adalah salat dua rakaat dengan kesepakatan umat Islam. Dalam Shahihain dan kitab lain diriwayatkan dari Ibn Abbas —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar saat Idul Fitri, lalu salat dua rakaat tanpa diiringi salat lain sebelum atau sesudahnya. Umar —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Salat Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua rakaat, berupa salat yang sempurna dan bukan qasar, berdasarkan lisan Nabi kalian Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka celakalah bagi orang yang mengada-ada.” (HR. Ahmad dan yang lainnya) الأذان والإقامة في صلاة العيد: ولا يشرع لصلاة العيد أذان ولا إقامة؛ لما روى مسلم عن جابر: (صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم العيد غير مرة ولا مرتين، فبدأ بالصلاة قبل الخطبة، بغير أذان ولا إقامة). Azan dan Ikamah dalam Salat Id Dalam salat id tidak disyariatkan azan dan ikamah, berdasarkan riwayat Muslim dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— “Aku salat id bersama Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bukan hanya sekali atau dua kali, di mana beliau memulai dengan salat sebelum khotbah, tanpa ada azan dan ikamah.” صفة صلاة العيد والتكبير فيها: ويكبر في الركعة الأولى بعد تكبيرة الإحرام والاستفتاح وقبل التعوذ والقراءة ست تكبيرات؛ فتكبيرة الإحرام ركن، لا بد منها، لا تنعقد الصلاة بدونها، وغيرها من التكبيرات سنة، ثم يستفتح بعدها؛ لأن الاستفتاح في أول الصلاة، ثم يأتي بالتكبيرات الزوائد الست، ثم يتعوذ عقب التكبيرة السادسة؛ لأن التعوذ للقراءة، فيكون عندها، ثم يقرأ. ويكبر في الركعة الثانية قبل القراءة خمس تكبيرات غير تكبيرة الانتقال؛ لما روى أحمد عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده (أن النبي صلى الله عليه وسلم كبر في عيد ثنتي عشرة تكبيرة، سبعًا في الأولى، وخمسا في الآخرة) وإسناده حسن. Tata Cara Salat Id dan Takbirnya Salat id dilakukan dengan bertakbir enam kali takbir di rakaat pertama setelah Takbiratul Ihram dan sebelum doa iftitah, taawuz, dan membaca (al-Quran).  Takbiratul Ihram termasuk rukun, sehingga harus dikerjakan dan salat tidak sah tanpanya. Takbir-takbir yang lainnya adalah sunah. Setelah itu, membaca iftitah, karena doa iftitah letaknya di awal salat.  Kemudian, melakukan enam takbir tambahan. Lalu membaca taawuz setelah enam takbir tersebut, karena taawuz adalah untuk bacaan al-Quran, sehingga dibaca sebelum itu.  Kemudian membaca (al-Fatihah, dan seterusnya, pent). Kemudian dalam rakaat kedua sebelum membaca (al-Quran) bertakbir dulu lima kali, selain takbir Intiqāl (Takbir untuk berpindah ke rakaat berikutnya, pent)  Dalilnya adalah riwayat Ahmad dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertakbir dalam salat id dengan 12 kali takbir, tujuh di rakaat pertama dan lima di rakaat kedua. Sanad riwayat ini hasan. وروي غير ذلك في عدد التكبيرات: قال الإمام أحمد رحمه الله: اختلف أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في التكبير، وكله جائز . ويرفع يديه مع كل تكبيرة؛ (لأنه صلى الله عليه وسلم كان يرفع يديه مع التكبير). ويُسن أن يقول بين كل تكبيرتين: الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا، وصلى الله على محمد النبي وآله وسلم تسليما كثيرا؛ لقول عقبة بن عامر: (سألت ابن مسعود عما يقوله بعد تكبيرات العيد؛ قال: يحمد الله، ويثني عليه، ويصلي على النبي) ورواه البيهقي بإسناده عن ابن مسعود قولا وفعلا.وقال حذيفة: صدق أبو عبدالرحمن . Ada riwayat lain yang menyebutkan jumlah takbir selain itu. Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan bahwa para Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berbeda pendapat tentang takbir (salat id), yang semuanya boleh diamalkan. Setiap takbir dilakukan dengan mengangkat tangan, karena beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengangkat tangan beliau setiap kali bertakbir.  Di antara dua takbir disunahkan untuk membaca, “Allāhu akbar kabīrāw walẖamdulillāhi katsīrāw wa subẖānallāhi bukrataw wa aṣhīlā wa ṣhallallāhu ʿalā muẖammadin nabiyyi wa ālihi was sallama tasliman katsīrā (artinya: Allah Maha Besar dengan kebesaran yang sempurna, dan segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allah baik di waktu pagi maupun petang. Semoga Allah Melimpahkan selawat dan salam yang banyak untuk Muhammad Sang Nabi beserta keluarga beliau).”  Hal ini berdasarkan perkataan Uqbah bin Amir yang berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang apa yang dia baca setelah takbir dalam salat id, maka dia menjawab bahwa dia membaca tahmid, memuji Allah, dan berselawat kepada Nabi.” Riwayat ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya dari Ibnu Mas’ud dengan perkataan dan perbuatan. Hudzaifah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Abu Abdurrahman benar.” وإن أتى بذكر غير هذا؛ فلا بأس؛ لأنه ليس فيه ذكر معين. قال ابن القيم: كان يسكت بين كل تكبيرتين سكتة يسيرة، ولم يحفظ عنه ذكر معين بين التكبيرات اهـ.وإن شك في عدد التكبيرات، بنى على اليقين، وهو الأقل. وإن نسي التكبير الزائد حتى شرع في القراءة؛ سقط؛ لأنه سنة فات محلها. وكذا إن أدرك المأموم الإمام بعدما شرع في القراءة؛ لم يأت بالتكبيرات الزوائد، أو أدركه راكعا؛ فإنه يكبر تكبيرة الإحرام، ثم يركع، ولا يشتغل بقضاء التكبير. Jika seseorang membaca zikir selain itu, maka tidak mengapa, karena memang tidak ada zikir khususnya. Ibnul Qayyim berkata bahwa beliau diam sejenak di antara dua takbir dan tidak ada riwayat yang dihafal dari beliau tentang bacaan zikir tertentu  di antara dua takbir tersebut. Selesai kutipan. Jika seseorang ragu berapa jumlah takbirnya, maka dia ambil yang dia yakini, yaitu jumlah terkecil. Jika dia lupa takbir tambahan hingga sudah mulai membaca (al-Fatihah), maka syariat takbir itu gugur, karena itu sunah dan sudah terlewat tempatnya. Demikan juga jika makmum mendapati imam sudah mulai membaca (al-Quran), maka tidak perlu melakukan takbir tambahan lagi atau mengganti rakaatnya, karena dia sudah melakukan Takbiratul Ihram, lalu rukuk, dan tidak perlu juga mengganti takbirnya. وصلاة العيد ركعتان، يجهر الإمام فيهما بالقراءة، لقول ابن عمر: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يجهر بالقراءة في العيدين والاستسقاء) رواه الدارقطني، وقد أجمع العلماء على ذلك، ونقله الخلف عن السلف، واستمر عمل المسلمين عليه. ويقرأ في الركعة الأولى بعد الفاتحة بـ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) ويقرأ في الركعة الثانية بالغاشية؛ لقول سمرة: (إن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في العيدين بـ) (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) و (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) رواه أحمد. أو يقرأ في الركعة الأولى بـ (ق)، وفي الثانية بـ (اقتربت)، لما في صحيح مسلم والسنن وغيرها؛ أنه صلى الله عليه وسلم كان يقرأ بـ (ق) و (اقتربت). Salat id dikerjakan dua rakaat, di mana imam membaca secara jahar, berdasarkan perkataan Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjaharkan bacaan dalam salat id dan Istisqāʾ. (HR. Ad-Daruquthni)  Para ulama bersepakat mengenai hal ini, yang telah dinukil oleh para ulama, baik dari kalangan klasik maupun kontemporer, dan diamalkan terus-menerus oleh umat Islam. Hendaknya pada rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca Sabbiẖisma rabbikal aʿlā (Surah al-A’lā), dan di rakaat kedua surah al-Ghasyiyah. Hal ini berdasarkan perkataan Samurah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu saat salat id membaca “Sabbiẖisma rabbikal aʿlā” dan “Hal atāka ẖadītsul ghāsyiyah.” (HR. Ahmad) Bisa juga membaca Qāf (surah Qaf) pada rakaat pertama lalu Iqtarabat (surah al-Qamar), berdasarkan riwayat dalam Shahih Muslim, kitab Sunan, dan lain-lain bahwasanya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam membaca Qāf dan Iqtarabat. قال شيخ الإسلام ابن تيمية: مهما قرأ به؛ جاز، كما تجوز القراءة في نحوها من الصلوات، لكن إن قرأ: (ق) و (اقتربت) أو نحو ذلك مما جاء في الأثر؛ كان حسنا، وكانت قراءته في المجامع الكبار بالسور المشتملة على التوحيد والأمر والنهي والمبدأ والمعاد وقصص الأنبياء مع أممهم، وما عامل الله به من كذبهم وكفر بهم وما حل بهم من الهلاك والشقاء، ومن آمن بهم وصدَّقهم، وما لهم من النجاة والعافية انتهى. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa apa pun yang seseorang baca, boleh saja, sebagaimana boleh membaca apa pun dalam salat lain. Hanya saja, jika dia  membaca Qāf dan Iqtarabat atau surah lain yang disebutkan dalam riwayat, maka itu yang baik. Surah yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam baca di perkumpulan besar seperti itu adalah surah-surah yang memuat tauhid, perintah, larangan, awal penciptaan, akhirat, dan kisah-kisah para nabi dengan umat mereka serta apa yang Allah Lakukan kepada mereka karena mereka mendustakan dan mengkufuri para Nabi dan kebinasaan dan kesengsaraan yang menimpa mereka, dan juga apa Yang Allah Lakukan kepada orang-orang yang beriman dan membenarkan para nabi serta keselamatan dan kesejahteraan yang mereka dapatkan. Selesai kutipan. صفة خطبة العيد: فإذا سلم من الصلاة؛ خطب خطبتين، يجلس بينهما؛ لما روى عبيد الله بن عبيد الله بن عتبة؛ قال: (السنة أن يخطب الإمام في العيدين خطبتين، يفصل بينهما بجلوس) رواه الشافعي، ولابن ماجه عن جابر: (خطب قائما، ثم قعد قعدة، ثم قام) وفي الصحيح وغيره: (بدأ بالصلاة، ثم قام متوكئا على بلال، فأمر بتقوى الله، وحث على طاعته…الحديث)، ولمسلم ثم ينصرف، فيقوم مقابل الناس، والناس جلوس على صفوفهم ويحثهم في خطبة عيد الفطر على إخراج صدقة الفطر، ويبين لهم أحكامها؛ من حيث مقدارها، ووقت إخراجها، ونوع المخرج فيها.ويرغبهم في خطبة عيد الأضحى في ذبح الأضحية، ويبين لهم أحكامها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم ذكر في خطبة الأضحى كثيرا من أحكامها. Tata Cara Khotbah Hari Raya Ketika imam sudah salam dari salatnya, lalu dia menyampaikan khotbah dalam dua khotbah dengan diselingi duduk di antara keduanya. Hal ini berdasarkan riwayat Ubaidillah bin Ubaidillah bin Utbah yang mengatakan bahwa yang sunah bagi imam dalam salat dua hari raya adalah menyampaikan dua khotbah yang dipisah dengan duduk. (HR. Asy-Syafii) Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu menyampaikan khotbah sambil berdiri, kemudian duduk sejenak lalu berdiri lagi. Disebutkan pula dalam kitab Shahih dan yang lainnya bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memulai salat, lalu berdiri bersandar kepada Bilal, kemudian beliau berwasiat ketakwaan kepada Allah, mendorong untuk menaati-Nya, … hingga akhir hadis.  Dalam riwayat muslim disebutkan bahwa seusai salat, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri menghadap orang-orang, sementara mereka duduk di saf-saf mereka dan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam  mengajak mereka dalam khotbah Idul Fitri untuk membayar zakat fitrah, dan menjelaskan kepada mereka hukum-hukumnya; dari sisi takarannya, waktu membayarkannya, dan dari jenis apa yang dibayarkan. Adapun dalam khotbah Idul Adha, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memotivasi mereka untuk berkurban dan menjelaskan kepada mereka hukum-hukumnya, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam khotbah Idul Adha memang sering membahas hukum-hukumnya. وهكذا ينبغي للخطباء أن يركزوا في خطبهم على المناسبات؛ فيبينوا للناس ما يحتاجون إلى بيانه في كل وقت بحسبه بعد الوصية بتقوى الله والوعظ والتذكير، لا سيما في هذه المجامع العظيمة والمناسبات الكريمة؛ فإنه ينبغي أن تُضمن الخطبة ما يفيد المستمع ويذكر الغافل ويعلم الجاهل. وينبغي حضور النساء لصلاة العيد، كما سبق بيانه، وينبغي أن توجه إليهن موعظة خاصة ضمن خطبة العيد؛ لأنه عليه الصلاة والسلام لما رأى أنه لم يُسمع النساء؛ أتاهن، فوعظهن، وحثهن على الصدقة، وهكذا ينبغي أن يكون للنساء نصيب من موضوع خطبة العيد؛ لحاجتهن إلى ذلك، واقتداء بالنبي صلى الله عليه وسلم. Demikianlah, para khatib hendaknya memfokuskan pembahasan dalam khotbahnya sesuai momennya dan menjelaskan kepada manusia penjelasan yang mereka perlukan setiap saat sesuai kadarnya setelah berwasiat tentang ketakwaan, nasihat, dan peringatan, apalagi dalam pertemuan besar dan momen mulia seperti ini. Khotbahnya hendaklah memuat sesuatu yang bermanfaat bagi para pendengar, menggugah yang lalai, dan mengajari yang tidak tahu.  Para wanita hendaknya ikut menghadiri salat id, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hendaknya ada nasihat khusus untuk mereka dalam khotbah hari raya,  karena beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika merasa tidak terdengar oleh para wanita, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendatangi mereka, menasihati mereka, dan mendorong mereka untuk bersedekah.  Demikianlah, seyogianya ada pembahasan khusus bagi wanita dalam khotbah hari raya, karena mereka membutuhkannya dan untuk meneladan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. التنفل قبل صلاة العيد وبعدها: ومن أحكام صلاة العيد أنه يكره التنفل قبلها وبعدها في موضعها، حتى يفارق المصلي؛ لقول ابن عباس رضي الله عنهما: (خرج النبي صلى الله عليه وسلم يوم عيد؛ فصلى ركعتين لم يصل قبلهما ولا بعدهما) متفق عليه؛ ولئلا يتوهم أن لها راتبة قبلها أو بعدها. قال الإمام أحمد: أهل المدينة لا يتطوعون قبلها ولا بعدها . Salat Sunah Sebelum dan Sesudah Salat Id Di antara hukum-hukum yang berkaitan dengan salat id adalah dimakruhkannya salat sunah sebelum dan sesudahnya di Muṣhallā sampai seseorang beranjak dari tempat tersebut. Hal ini berdasarkan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar pada hari raya lalu salat dua rakaat tanpa salat sebelumnya atau setelahnya. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Hal ini agar tidak disalahpahami bahwa salat id ada sunah Rawatib sebelum atau sesudahnya. Imam Ahmad berkata bahwa penduduk Madinah tidak salat sunah sebelum dan sesudah salat id. وقال الزهري: لم أسمع أحدا من علمائنا يذكر أن أحدا من سلف هذه الأمة كان يصلي قبل تلك الصلاة ولا بعدها، وكان ابن مسعود وحذيفة ينهيان الناس عن الصلاة قبلها .فإذا رجع إلى منزله؛ فلا بأس أن يصلي فيه؛ لما روى أحمد وغيره، (أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا دخل إلى منزله؛ صلى ركعتين) ويسن لمن فاتته صلاة العيد أو فاته بعضها قضاؤها على صفتها، بأن يصليها ركعتين؛ بتكبيراتها الزوائد؛ لأن القضاء يحكي الأداء؛ ولعموم قوله صلى الله عليه وسلم (فما أدركتم؛ فصلوا، وما فاتكم، فأتموا) فإذا فاتته ركعة مع الإمام؛ أضاف إليها أخرى، وإن جاء والإمام يخطب؛ جلس لاستماع الخطبة، فإذا انتهت؛ صلاها قضاء، ولا بأس بقضائها منفردا أو مع جماعة. Az-Zuhri berkata, “Saya tidak pernah mendengar satu pun ulama kami menyebutkan bahwa ada dari kalangan Salaf umat ini yang salat sebelum atau sesudah salat id.” Ibnu Mas’ud dan Hudzaifah melarang orang-orang salat sebelum salat id.  Adapun jika sudah kembali ke rumah, maka tidak mengapa salat di rumah. Hal ini berdasarkan riwayat yang diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika masuk ke rumahnya, beliau salat dua rakaat. Disunahkan bagi orang yang terlewat salat id atau ketinggalan sebagiannya untuk mengqadanya dengan cara yang sama, yakni dengan melakukan salat dua rakaat disertai takbir-takbir tambahannya. Alasannya adalah karena tata cara qada itu haruslah sebagaimana tata cara pelaksanaannya pada waktunya, di samping ada sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Apa yang kalian dapati maka kerjakanlah salat itu, dan apa yang kalian lewatkan maka sempurnakan.”  Jadi, jika seseorang melewatkan satu rakaat bersama imam; maka hendaknya dia tambahkan satu rakaat lagi. Jika dia datang saat imam sudah menyampaikan khotbah; hendaknya dia duduk untuk mendengarkan khotbah, lalu setelah selesai, hendaknya mengqada salat idnya. Tidak masalah mengqadanya secara munfarid atau berjamaah.  صفة التكبير في العيد ووقته: ويسن في العيدين التكبير المطلق، وهو الذي لا يتقيد بوقت، يرفع به صوته، إلا الأنثى؛ فلا تجهر به، فيكبر في ليلتي العيدين، وفي كل عشر ذي الحجة؛ لقوله تعالى: (وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ) ويجهر به في البيوت والأسواق والمساجد وفي كل موضع يجوز فيه ذكر الله تعالى، ويجهر به في الخروج إلى المصلى؛ لما أخرجه الدارقطني وغيره عن ابن عمر؛ أنه كان إذا غدا يوم الفطر ويوم الأضحى؛ يجهر بالتكبير، حتى يأتي المصلى، ثم يكبر حتى يأتي الإمام وفي الصحيح: كنا نؤمر بإخراج الحيض، فيكبرن بتكبيرهم ولمسلم: يكبرن مع الناس فهو مستحب لما فيه من إظهار شعائر الإسلام . Tata Cara Takbir Hari Raya dan Waktunya Dalam dua hari raya ini, disunahkan: Takbir Mutlak Takbir Mutlak adalah takbir yang tidak terikat dengan waktu dengan cara meninggikan suara, kecuali bagi wanita. Wanita tidak boleh membacanya secara jahar. Takbir dikumandangkan di malam-malam hari raya dan di sepanjang sepuluh Zulhijah. Hal ini berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)  Takbir digemakan di rumah-rumah, di pasar-pasar, di masjid-masjid, dan di setiap tempat yang diperbolehkan untuk berzikir kepada Allah. Demikian juga saat keluar ke tempat salat id. Hal ini berdasarkan riwayat ad-Daraqutni dan yang lainnya dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwasanya beliau jika keluar rumah di pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha  menggemakan takbir hingga sampai di tempat salat, kemudian terus bertakbir sampai imam datang. Dalam kitab Shahih disebutkan, “Kami diperintahkan untuk menyuruh keluar wanita haid, lalu mereka bertakbir dengan takbirnya para lelaki.” Dalam riwayat Muslim dinyatakan, “Mereka bertakbir bersama orang-orang.” Hal itu dianjurkan karena menampakkan syiar Islam. والتكبير في عيد الفطر آكد؛ لقوله تعالى: (وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ) فهو في هذا العيد آكد؛ لأن الله أمر به.  Takbir pada hari raya Idul Fitri lebih ditekankan lagi, berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185) Jadi, takbir ini lebih ditekankan lagi di hari raya ini, karena Allah Memerintahkan demikian.  ويزيد عيد الأضحى بمشروعية التكبير المقيد فيه، وهو التكبير الذي شرع عقب كل صلاة فريضة في جماعة، فيلتفت الإمام إلى المأمومين، ثم يكبر ويكبرون؛ لما رواه الدارقطني وابن أبي شيبة وغيرهما من حديث جابر: أنه كان صلى الله عليه وسلم إذا صلى الصبح من غداة عرفة، يقول: الله أكبر …الحديث. ويبتدأ التكبير المقيد بأدبار الصلوات في حق غير المحرم من صلاة الفجر يوم عرفة إلى عصر آخر أيام التشريق، وأما المحرم؛ فيبتدئ التكبير المقيد في حقه من صلاة الظهر يوم النحر إلى عصر آخر أيام التشريق؛ لأنه قبل ذلك مشغول بالتلبية. Takbir Muqayyad Di hari raya Idul Adha ditambah syariat Takbir Muqayyad, yaitu takbir yang disyariatkan setiap selesai salat wajib secara berjamaah. Imam menghadap kepada makmum, lalu dia bertakbir dan mereka juga bertakbir. Hal ini berdasarkan riwayat ad-Daruqutni dan Ibnu Abi Syaibah dan selain mereka dari hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwasanya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika selesai salat Subuh di pagi hari Arafah mengucapkan, “Allāhuakbar …” dan seterusnya. Takbir Muqayyad dimulai seusai salat bagi orang yang tidak sedang ihram sejak salat subuh di hari Arafah hingga salat Asar terakhir di hari-hari Tasyrik. Adapun orang yang ihram, maka dia memulai Takbir Muqayyad sejak salat Zuhur di Hari Raya Kurban sampai  salat Asar terakhir di hari-hari Tasyrik. Hal itu karena sebelum itu mereka disibukkan dengan talbiah.  روى الدارقطني عن جابر: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يكبر في صلاة الفجر يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق حين يسلم من المكتوبات) وفي لفظ: (كان إذا صلى الصبح من غداة عرفة؛ أقبل على أصحابه فيقول: مكانكم، ويقول: الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد).وقال الله تعالى: (وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ) وهي أيام التشريق. وقال الإمام النووي: هو الراجح وعليه العمل في الأمصار Al-Daraqutni meriwayatkan dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu bertakbir ketika salat Subuh di hari Arafah hingga waktu Asar di hari terakhir Tasyrik seusai salam dari salat wajib. Dalam redaksi lain, “Dahulu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam setelah salat Subuh di pagi hari Arafah menghadap kepada para Sahabat beliau lalu mengucapkan, “Tetap di tempat kalian masing-masing,” lalu beliau mengucapkan, “Allāhuakbar, Allāhuakbar, Allāhuakbar, Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar, Allāhuakbar wa lillāhil ẖamdu (artinya:  Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang benar selain Allah, dan Allah Yang Maha Besar. Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi-Nya.)” Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya.” (QS. Al-Baqarah: 203) Maksudnya hari-hari Tasyrik. Imam an-Nawawi berkata, “Inilah pendapat yang lebih tepat dan inilah yang diamalkan di berbagai negeri.” وقال شيخ الإسلام ابن تيمية: أصح الأقوال في التكبير الذي عليه الجمهور من السلف والفقهاء من الصحابة والأئمة: أن يكبر من فجر يوم عرفة إلى آخر أيام التشريق عقب كل صلاة؛ لما في السنن: (يوم عرفة ويوم النحر وأيام منى عيدنا أهل الإسلام، وهي أيام أكل وشرب وذكر لله)، وكون المحرم يبتدئ التكبير المقيد من صلاة الظهر يوم النحر؛ لأن التلبية تُقطع برمي جمرة العقبة، ووقت رمي جمرة العقبة المسنون ضحى يوم النحر، فكان المحرم فيه كالمُحِل، فلو رمى جمرة العقبة قبل الفجر، فلا يبتدئ التكبير إلا بعد – صلاة الظهر أيضا؛ عملا على الغالب .انتهى. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa pendapat yang paling tepat mengenai takbir ini adalah pendapat mayoritas Salaf dan fukaha dari kalangan Sahabat dan para imam ulama, yaitu bertakbir sejak fajar di hari Arafah hingga akhir hari Tasyrik setiap selesai salat, berdasarkan Sunah yang menyatakan, “Hari Arafah, Hari Kurban, dan hari-hari di Mina adalah hari raya kita, umat Islam, yang merupakan hari-hari makan, minum, dan berzikir kepada Allah.” Adapun bagi orang yang ihram, mereka memulai Takbir Muqayyad saat salat zuhur pada Hari Kurban, karena talbiah baru selesai saat lempar jamarat Aqabah, sementara jamarat Aqabah disunahkan dikerjakan di waktu duha pada Hari Raya Kurban. Jadi, orang yang ihram di sana seperti yang tidak ihram. Jika dia melempar  jamarat Aqabah sebelum Subuh, maka dia tetap tidak memulai takbir kecuali setelah salat Zuhur juga, karena dihukumi mana yang lebih dominan. Selesai kutipan. وصفة التكبير أن يقول: الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد. ولا بأس بتهنئة الناس بعضهم بعضا؛ بأن يقول لغيره: تقبل الله منا ومنك. قال شيخ الإسلام ابن تيمية: قد روي عن طائفة من الصحابة أنهم كانوا يفعلونه، ورخص فيه الأئمة كأحمد وغيره اهـ. والمقصود من التهنئة التودد وإظهار السرور. وقال الإمام أحمد: لا أبتدئ به، فإن ابتدأني أحد؛ أجبته . وذلك لأن جواب التحية واجب، وأما الابتداء بالتهنئة؛ فليس سنة مأمورا بها، ولا هو أيضا مما نهي عنه، ولا بأس بالمصافحة في التهنئة. Cara bertakbirnya adalah dengan mengucapkan, “Allāhuakbar, Allāhuakbar, Allāhuakbar, Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar, Allāhuakbar wa lillāhil ẖamdu (artinya:  Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang benar selain Allah, dan Allah Yang Maha Besar. Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi-Nya.)” Tidak mengapa saling memberi ucapan selamat, di mana seseorang mengucapkan kepada orang lain, “Taqabbalallāhu minnā wa minka (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan Anda).”  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa ada riwayat dari sebagian Sahabat bahwa mereka dahulu melakukan demikian. Para imam, seperti Ahmad dan lain-lain juga membolehkannya.  Tujuan ucapan ini adalah berkasih sayang dan menampakkan kebahagiaan.  Imam Ahmad berkata, “Aku tidak akan memulai duluan, tapi jika seseorang mengucapkan dulu kepadaku, aku akan membalasnya.”  Hal itu karena membalas ucapan selamat hukumnya wajib, adapun memulai duluan memberi ucapan selamat bukanlah sunah dan tidak diperintahkan, tapi juga tidak terlarang. Tidak mengapa juga berjabat tangan saat mengucapkan selamat. وقفات مع العيد أولاً: الاستعداد لصلاة العيد بالاغتسال وجميل الثياب: فقد أخرج مالك في موطئه عن نافع: (أن ابن عمر رضي الله عنهما كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى) [وهذا إسناد صحيح]. قال ابن القيم: (ثبت عن ابن عمر مع شدة اتباعه للسنة أنه كان يغتسل يوم العيد قبل خروجه) [زاد المعاد 1/442]. وثبت عنه أيضاً لبس أحسن الثياب للعيدين.قال ابن حجر: (روى ابن أبي الدنيا والبهيقي بإسناد صحيح إلى ابن عمر أنه كان يلبس أحسن ثيابه في العيدين) [فتح الباري 2/51]. وبهذين الأثرين وغيرهما أخذ كثير من أهل العلم استحباب الاغتسال والتجمل للعيدين. Catatan-catatan dalam Berhari Raya Pertama, bersiap-siap untuk salat id dengan mandi dan berpakaian yang bagus. Malik meriwayatkan dalam kitab Muwaṯhṯhaʾ-nya dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mandi di hari raya sebelum berangkat ke tempat salat. Sanad riwayat ini sahih. Ibnul Qayyim berkata bahwa ada riwayat dari Ibnu Umar—dengan kesungguhan beliau dalam mengikuti Sunah—bahwa beliau mandi pada hari raya sebelum keluar. (Zād al-Maʿād 1/442). Ada riwayat sahih juga dari beliau bahwa beliau mengenakan pakaian terbaik dalam dua hari raya. Ibnu Hajar berkata bahwa Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang sahih sampai kepada Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau biasanya mengenakan pakaian terbaiknya pada dua hari raya. (Fathul Bari 2/51). Dengan dua riwayat ini dan yang lainnya banyak ulama menyimpulkan dianjurkannya mandi dan berhias di hari raya. ثانياً: يُسَنُّ قبل الخروج إلى صلاة عيد الفطرأن يأكل تمرات وتراً: ثلاثاً، أو خمساً، أو أكثر من ذلك، يقطعها على وتر؛ لحديث أنس قال: كان النبي لا يغدو يوم الفطر حتى يأكل تمرات، ويأكلهن وتراً [أخرجه البخاري]. Kedua, sebelum keluar untuk salat Idul Fitri disunahkan untuk makan kurma dalam jumlah ganjil, baik tiga, lima, atau lebih dari itu. Makannya diakhiri dengan jumlah ganjil, berdasarkan hadis Anas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berangkat pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan beberapa biji kurma. Beliau makan dalam jumlah ganjil. (HR. Al-Bukhari) ثالثاً: يسن التكبير والجهر به – ويُسر به النساء – يوم العيد من حين يخرج من بيته حتى يأتي المصلي: لحديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما: أن رسول الله كان يكبر يوم الفطر من حيث يخرج من بيته حتى يأتي المصلى [حديث صحيح بشواهده]. وعن نافع: أن ابن عمر كان إذا غدا يوم الفطر ويوم الأضحى يجهر بالتكبير حتى يأتي المصلى، ثم يكبر حتى يأتي الإمام، فيكبر بتكبيره [أخرجه الدارقطني وغيره بإسناد صحيح]. تنبيه: التكبير الجماعي بصوت واحد بدعة لم تثبت عن النبي ولا عن أصحابه، والصواب أن يكبر كل واحد بصوت منفرد. Ketiga, disunahkan untuk bertakbir dan dijaharkan—tapi dipelankan bagi wanita—pada hari raya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasanya  bertakbir pada hari raya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Hadis ini sahih dengan berbagai riwayat-riwayat penguatnya. Diriwayatkan dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— biasanya bertakbir di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan beliau menjaharkan takbirnya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Kemudian beliau masih bertakbir sampai imam datang, lalu beliau bertakbir dengan takbirnya. (HR. Ad-Daruqutni dan selainnya dengan sanad sahih). Catatan: Takbir berjamaah dengan satu suara adalah bidah, yang tidak ada landasan riwayat yang sahih dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam atau para Sahabat beliau. Yang benar adalah setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. رابعاً: يسن أن يخرج إلى الصلاة ماشياً: لحديث علي قال: من السنة أن يخرج إلى العيد ماشياً أخرجه الترمذي وقال: هذا حديث حسن، والعمل على هذا الحديث عند أكثر أهل العلم، يستحبون أن يخرج الرجل إلى العيد ماشياً، وألا يركب إلا من عذر [صحيح سنن الترمذي]. Keempat, disunahkan ketika keluar untuk salat jalan kaki, berdasarkan hadis Ali —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa termasuk sunah adalah seseorang keluar berjalan kaki untuk salat id. (HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata, “Hadis hasan dan hadis ini diamalkan oleh mayoritas ulama.”) Seseorang dianjurkan keluar untuk berhari raya dengan jalan kaki, bukan naik kendaraan, kecuali jika ada uzur. (Shahih Sunan at-Tirmidzi) خامساً: يسن إذا ذهب إلى الصلاة من طريق أن يرجع من طريق آخر: لحديث جابر قال: كان النبي إذا كان يوم عيد خالف الطريق [أخرجه البخاري]. Kelima, disunahkan untuk berangkat salat melalui suatu jalan lalu pulang melalui jalan yang lain, berdasarkan hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di hari raya membedakan jalan (berangkat dan pulang) beliau. (HR. Al-Bukhari) سادساً: تشرع صلاة العيد بعد طلوع الشمس وارتفعاها بلا أذان ولا إقامة: وهي ركعتان يكبر في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمس تكبيرات. ويسن أن يقرأ الإمام فيهما جهراً سورة (الأعلى) و (الغاشية) أو سورة (ق) و (القمر). وتكون الخطبة بعد الصلاة، ويتأكد خروج النساء إليها، ومن الأدلة على ذلك: 1 – عن عائشة رضي الله عنها: أن رسول الله كان يكبر في الفطر والأضحى في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمساً [صحيح سنن أبي داود]. 2 – وعن النعمان بن بشير أن رسول الله كان يقرأ في العيدين بـ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) [الأعلى:1] و(هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) [الغاشية:1] [صحيح سنن ابن ماجة]. Keenam, salat id dilaksanakan setelah matahari terbit dan telah naik, tanpa azan atau ikamah. Caranya dengan mengerjakan salat dua rakaat, di mana rakaat pertama bertakbir tujuh kali takbir, dan di rakaat kedua lima kali takbir. Disunahkan bagi imam untuk membacakan secara jahar surah al-Aʿlā dan al-Ghasyiyah, atau surah Qaf dan al-Qamar. Khotbah dilakukan setelah salat. Para wanita sangat dianjurkan untuk ikut keluar. Di antara dalil yang mendukung pernyataan di atas adalah: Diriwayatkan dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa bertakbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakaat kedua (Shahih Sunan Abu Daud) Diriwayatkan dari  an-Nuʿman bin Basyir —Semoga Allah Meridainya—  bahwa Rasulullah biasanya membacakan pada salat dua hari raya “Sabbiẖisma rabbikal aʿlā, …” dan “Hal atāka ẖadītsul ghāsyiyah ….” (Shahih Sunan Ibnu Majah) 3 – وعن عبيدالله بن عبدالله أن عمر بن الخطاب سأل أبا واقد الليثي: ما كان يقرأ به رسول الله في الأضحى والفطر؟ فقال: كان يقرأ فيهما بـ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) [ق:1]، (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانشَقَّ الْقَمَرُ) [القمر:1] [رواه مسلم]. 4 – وعن أم عطية رضي الله عنها قالت: أُمرنا أن نَخرج، فنُخرج الحُيَّض والعواتق وذوات الخدور – أي المرأة التي لم تتزوج – فأما الحُيَّض فيشهدن جماعة المسلمين ودعوتهم، ويعتزلن مصلاهم [أخرجه البخاري ومسلم]. Diriwayatkan dari Ubaidullah bin Abdullah bahwa Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— bertanya kepada Abu Waqid al-Laitsi, “Apa yang biasanya dibacakan oleh Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pada saat Idul Adha dan Idul Fitri?” Beliau menjawab, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasanya membaca dalam dua salat tersebut, “Qāf wal qurʾānil majīd, …” dan “Iqtarabatis sāʿatu wansyaqqal qamar ….” (HR. Muslim) Diriwayatkan dari Ummu ʿAṯhiyyah —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan, “Kami diperintahkan untuk keluar, dan menyuruh keluar para wanita haid, remaja, dan para gadis—yakni wanita yang belum menikah. Adapun wanita haid, mereka menghadiri jemaah kaum muslimin dan seruan mereka, tapi tidak ikut ke tempat salat mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)  5 – وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: شهدت صلاة الفطر مع نبي الله وأبي بكر وعمر عثمان، فكلهم يصليها قبل الخطبة [أخرجه مسلم]. 6 – وعن ابن عباس رضي الله عنهما: أن رسول الله صلّى العيد بلا أذان ولا إقامة [صحيح سنن أبي داود]. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Aku menghadiri salat Idul Fitri bersama Nabi Allah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,  Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka semua mengerjakan salat sebelum khotbah.” (HR. Muslim) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengerjakan salat id tanpa azan dan ikamah. (Shahih Sunan Abi Dawud) سابعاً: إذا وافق يوم العيد يوم الجمعة، فمن صلّى العيد لم تجب عليه صلاة الجمعة: لحديث ابن عباس رضي الله عنهما عن رسول الله قال: اجتمع عيدان في يومكم هذا، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون إنشاء الله [صحيح سنن أبي داود]. Ketujuh, jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, orang yang sudah salat id tidak wajib salat Jumat, berdasarkan hadis Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Dua hari raya (hari raya id dan hari jumat) terkumpul di hari kalian ini, maka barang siapa mau tidak perlu salat Jumat. Namun kami tetap berjamaah, insya Allah.” (Shahih Sunan Abi Dawud) ثامناً: من فاتته صلاة العيد مع المسلمين يشرع له قضاؤها على صفتها: وإذا لم يعلم الناس بيوم العيد إلا بعد الزوال صلوها جميعاً من الغد؛ لحديث أبي عمير ابن أنس رحمه الله عن عمومة له من أصحاب النبي: (أن ركباً جاءوا إلى النبي يشهدون أنهم رأوا الهلال بالأمس، فأمرهم النبي أن يفطروا، وإذا أصبحوا يغدوا إلى مصلاهم) [أخرجه أصحاب السنن وصححه البهيقي والنووي وابن حجر وغيرهم]. Kedelapan, barang siapa yang terlewat salat id secara berjamaah bersama kaum muslimin, maka dia dianjurkan untuk mengqadanya dengan cara yang sama. Jika masyarakat tidak mengetahui bahwa saat itu adalah hari raya kecuali setelah matahari tergelincir, maka hendaknya mereka semua melakukannya esok hari. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang merupakan Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa ada kafilah yang datang kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan memberi kesaksian bahwa mereka telah melihat hilal kemarin, maka Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang untuk tidak puasa, dan untuk keluar ke tempat salat mereka keesokan harinya. (HR. Aṣẖāb as-Sunan, dan dinilai sahih oleh al-Baihaqi, an-Nawawi, Ibnu Hajar, dan selain mereka) تاسعاً: ولا بأس بالمعايدة وأن يقول الناس: (تقبل الله منا ومنكم): قال ابن التركماني: (في هذا الباب حديث جيد… وهو حديث محمد من زياد قال: كنت مع أبي أمامة الباهلي وغيره من أصحاب النبي، فكانوا إذا رجعوا يقول بعضهم لبعض: تقبل الله منا ومنك). قال أحمد بن حنبل: إسناده جيد. [الجوهر النقي 3/320]. Kesembilan, tidak mengapa beramah tamah dan mengucapkan kepada orang-orang “Taqabbalallāhu minnā wa minkum (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan kalian).” Ibnul Turkmani berkata bahwa dalam masalah ini ada sebuah hadis yang bagus, … yaitu hadis Muhammad dari Ziyad yang berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah al-Bahili dan Sahabat Nabi lain, mereka ketika mereka kembali (dari salat id) saling mengucapkan, ‘Taqabbalallāhu minnā wa minka (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan Anda).’” Ahmad bin Hanbal berkata bahwa sanad hadis ini baik. (Al-Jauhar an-Naqi 3/320) عاشراً: يوم العيد يوم فرح وسعة: فعن أنس قال: قدم رسول الله المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله: إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر [صحيح سنن أبي داود]. Kesepuluh, hari raya adalah hari kegembiraan dan keberlimpahan. Diriwayatkan dari Anas —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ketika Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tiba di kota Madinah, penduduknya mempunyai dua hari di mana mereka bersenang-senang pada dua hari tersebut, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Di masa jahiliah kami bersenang-senang di dua hari tersebut.” Lantas beliau bersabda, “Allah telah Memberikan ganti kepada kalian untuk dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud) حادي عشر: احذر أخي المسلم الوقوع في المخالفات الشرعية والتي يقع فيها بعض الناس من أخذ الزينة المحرمة كالإسبال، وحلق اللحية، والاحتفال المحرم من سماع الغناء، والنظر المحرم، وتبرج النساء واختلاطهن بالرجال. واحذر أيها الأب الغيور من الذهاب بأسرتك إلى الملاهي المختلطة، والشواطئ والمنتزهات التي تظهر فيها المنكرات. Kesebelas, waspadalah, wahai saudara muslimku, agar tidak terjerumus ke dalam pelanggaran syariat, yang biasanya dilakukan oleh sebagian orang, seperti memakai perhiasan yang terlarang, seperti Isbāl (menjulurkan pakaian melebihi mata kaki, pent), mencukur jenggot, membuat acara terlarang yang diiringi mendengarkan nyanyian, memandang yang haram, dan wanita yang memamerkan kecantikan mereka dan bercampur baur dengan laki-laki. Waspadalah, wahai ayah yang punya rasa cemburu, dengan perginya keluarga ke tempat-tempat yang bercampur baur antara lelaki dan wanita seperti tempat hiburan, pantai, dan tempat-tempat rekreasi yang tampak kemungkarannya. Syaikh Shalih al-Fauzan Sumber: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/13554 PDF sumber artikel. 🔍 Puasa 1 Rajab, Waktu Bayar Fidyah, Tebo Anak Genderuwo Menikah, Cukuran Bayi, Bunyi Sangkakala, Wallpaper Kalimat Tauhid Visited 37 times, 1 visit(s) today Post Views: 636 QRIS donasi Yufid

Hukum-Hukum Seputar Salat Id

أحكام صلاة العيد Hukum-Hukum Seputar Salat Id صلاة العيد صلاة العيدين – عيد الفطر وعيد الأضحى – مشروعة بالكتاب والسنة وإجماع المسلمين، وقد كان المشركون يتخذون أعيادا زمانية ومكانية، فأبطلها الإسلام، وعوض عنها عيد الفطر وعيد الأضحى؛ شكرا لله تعالى على أداء هاتين العبادتين العظيمتين: صوم رمضان، وحج بيت الله الحرام. Salat Dua Hari Raya Salat dua hari raya—yakni Idul Fitri dan Idul Adha—disyariatkan berdasarkan al-Quran, Sunah, dan ijmak umat Islam. Dahulu orang-orang musyrik juga memiliki hari raya pada waktu dan tempat tertentu, lalu Islam menghapuskannya dan menggantinya dengan Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai wujud syukur kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas karunia-Nya berupa dua ibadah agung, yaitu menunaikan puasa Ramadan dan haji ke Baitullah al-Haram. وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم؛ أنه لما قدم المدينة، وكان لأهلها يومان يلعبون فيهما؛ قال صلى الله عليه وسلم: قد أبدلكم الله بهما خيرا منهما، يوم النحر، ويوم الفطر فلا تجوز الزيادة على هذين العيدين بإحداث أعياد أخرى كأعياد الموالد وغيرها؛ لأن ذلك زيادة على ما شرعه الله، وابتداع في الدين، ومخالفة لسنة سيد المرسلين، وتشبه بالكافرين، سواء سميت أعيادا أو ذكريات أو أياما أو أسابيع أو أعواما، كل ذلك ليس من سنة الإسلام، بل هو من فعل الجاهلية، وتقليد للأمم الكفرية من الدول الغربية وغيرها، وقد قال صلى الله عليه وسلم: من تشبه بقوم فهو منهم وقال صلى الله عليه وسلم: إن أحسن الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة نسأل الله أن يرينا الحق حقا ويرزقنا اتباعه، وأن يرينا الباطل باطلا ويرزقنا اجتنابه. Ada sebuah riwayat sahih dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa ketika beliau tiba di kota Madinah, penduduknya mempunyai dua hari di mana mereka bersenang-senang pada dua hari tersebut, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Allah telah Memberikan ganti kepada kalian untuk dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Raya Kurban dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud)  Jadi, tidak boleh menambah dua hari raya tersebut dengan membuat hari raya lain, seperti maulid dan lain-lain, karena itu termasuk menambah apa yang telah Allah Syariatkan, bidah dalam agama, dan menyelisihi Sunah penghulu para rasul Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, serta bentuk Tasyabbuh (mengikuti) orang-orang kafir, baik dinamai hari raya, peringatan, atau hari, pekan, dan tahun ini dan itu. Semua bukan bagian dari Sunah dalam Islam, melainkan termasuk perbuatan jahiliah dan meniru-niru bangsa-bangsa kafir di negara-negara Barat dan negara-negara lain. Padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang meniru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga bersabda, “Sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bidah adalah kesesatan.” (HR. An-Nasa’i)   Kami memohon kepada Allah Menunjukkan kepada kita bahwa yang benar adalah benar dan Memberi kita kemampuan untuk mengikutinya, dan Menunjukkan bahwa yang batil adalah batil dan Memberi kita kemampuan untuk meninggalkannya. وسمي العيد عيدا؛ لأنه يعود ويتكرر كل عام؛ ولأنه يعود بالفرح والسرور، ويعود الله فيه بالإحسان على عباده على إثر أدائهم لطاعته بالصيام والحج.والدليل على مشروعية صلاة العيد: قوله تعالى: (فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ) وقوله تعالى: (قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى) وكان النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء من بعده يداومون عليها. Hari raya disebut ʿīd (bahasa Indonesia: id) karena kembali dan berulang setiap tahun; dan karena hari raya itu mengembalikan kegembiraan dan kesenangan, dan Allah kembali Memberikan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya yang telah melaksanakan ketaatan mereka kepada-Nya dengan berpuasa dan haji. Dalil disyariatkannya salat id adalah firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā,  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Maka laksanakanlah salat (Idul Adha) karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kausar: 2)  Juga firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para khalifah setelah beliau senantiasa merutinkan hal tersebut. من يسن له الخروج لصلاة العيد وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بها حتى النساء، فيُسن للمرأة حضورها غير متطيبة ولا لابسة لثياب زينة أو شهرة؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: وليخرجن تفلات، ويعتزلن الرجال، ويعتزل الحُيَّض المصلى قالت أم عطية رضي الله عنها: (كنا نؤمر أن نخرج يوم العيد، حتى تخرج البكر من خدرها، وحتى تخرج الحيض، فيكن خلف الناس، فيكبرن بتكبيرهم، ويدعون بدعائهم؛ يرجون بركة ذلك اليوم وطهرته). Orang yang Disunahkan Keluar untuk Salat Id Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan hal itu, bahkan kepada para wanita. Jadi para wanita dianjurkan datang juga tanpa mengenakan wewangian atau memakai pakaian perhiasan atau yang mencolok, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Hendaknya para wanita keluar tanpa wewangian dan memisahkan diri dari laki-laki. Para wanita yang sedang haid hendaknya menghindari tempat salat.”  Ummu ʿAṯhiyyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya, sampai-sampai para gadis keluar dari rumahnya, dan wanita-wanita haid pun keluar. Mereka berada di belakang orang-orang, lalu  bertakbir dengan takbir mereka dan berdoa dengan doa mereka, demi mengharap keberkahan dan kesucian hari tersebut.” (Muttafaqun ‘Alaihi) والخروج لصلاة العيد وأداء صلاة العيد على هذا النمط المشهود من الجميع فيه إظهار لشعار الإسلام، فهي من أعلام الدين الظاهرة، وأول صلاة صلاها النبي صلى الله عليه وسلم للعيد يوم الفطر من السنة الثانية من الهجرة، ولم يزل صلى الله عليه وسلم يواظب عليها حتى فارق الدنيا صلوات الله وسلامه عليه، واستمر عليها المسلمون خلفا عن سلف، فلو تركها أهل بلد مع استكمال شروطها فيهم، قاتلهم الإمام؛ لأنها من أعلام الدين الظاهرة؛ كالأذان. Keluar untuk salat id dan menunaikan salat secara beramai-ramai dan disaksikan semua orang begini adalah bentuk menampakkan syiar Islam, karena ini merupakan salah satu ciri khas agama Islam yang jelas. Salat id pertama yang dikerjakan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah salat Idul Fitri pada tahun kedua Hijriah. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berhenti mengerjakannya secara rutin sampai beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam meninggal dunia. Kemudian, kaum muslimin masih melanjutkannya secara turun temurun.  Apabila penduduk suatu negeri tidak melaksakannya padahal syarat-syaratnya terpenuhi, maka pihak penguasa memerangi mereka, karena ini merupakan salah satu ciri khas agama Islam yang jelas, seperti azan. مكان إقامة صلاة العيد: وينبغي أن تؤدى صلاة العيد في صحراء قريبة من البلد؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي العيدين في المصلى الذي على باب المدينة؛ فعن أبي سعيد: كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج في الفطر والأضحى إلى المصلى متفق عليه، ولم ينقل أنه صلاها في المسجد لغير عذر؛ ولأن الخروج إلى الصحراء أوقع لهيبة المسلمين والإسلام، وأظهر لشعائر الدين، ولا مشقة في ذلك؛ لعدم تكرره؛ بخلاف الجمعة؛ إلا في مكة المشرفة؛ فإنها تصلى في المسجد الحرام. Tempat Pelaksanaan Salat Id Salat id dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan suatu daerah, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu mengerjakan salat dua hari raya di Muṣallā (yakni tanah lapang yang dijadikan tempat salat, pent) di depan gerbang kota Madinah. Diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar ke Muṣallā ketika Idul Fitri dan Idul Adha. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Alasannya, karena tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat di masjid tanpa adanya suatu uzur, dan karena keluar ke tanah lapang lebih menampakkan kewibawaan umat Islam dan agama Islam, serta menunjukkan syiar agama ini. Hal tersebut tidaklah memberatkan, karena tidak sering dilakukan, berbeda dengan salat Jumat. Kecuali jika di kota Makkah yang suci, maka salat id-nya dilaksanakan di Masjidil Haram. وقت صلاة العيد ويبدأ وقت صلاة العيد إذا ارتفعت الشمس بعد طلوعها قدر رمح؛ لأنه الوقت الذي كان النبي صلى الله عليه وسلم يصليها فيه، ويمتد وقتها إلى زوال الشمس. فإن لم يعلم بالعيد إلا بعد الزوال، صلوا من الغد قضاء؛ لما روى أبو عمير بن أنس عن عمومة له من الأنصار؛ قالوا: (غُم علينا هلال شوال، فأصبحنا صياما، فجاء ركب في آخر النهار، فشهدوا أنهم رأوا الهلال بالأمس، فأمر النبي صلى الله عليه وسلم الناس أن يفطروا من يومهم، وأن يخرجوا غدا لعيدهم) رواه أحمد أبو داود والدارقطني وحسنه، وصححه جماعة من الحفاظ،  Waktu Pelaksanaan Salat Id Waktu salat id dimulai saat matahari sudah meninggi setinggi tombak—karena itulah waktu di mana Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melaksanakannya—dan waktunya tetap berlanjut sampai matahari tergelincir. Jika salat id tidak diketahui kecuali setelah matahari tergelincir, maka hendaknya orang-orang mengqadanya esok hari.  Hal ini berdasarkan riwayat Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang merupakan orang Ansar yang berkata, “Kami terhalang dari melihat hilal bulan Syawal, maka keesokan harinya kami berpuasa. Lalu ada kafilah yang datang di tengah hari, yang mana mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin, maka Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang untuk tidak puasa pada hari itu dan keluar untuk salat id keesokan harinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan ad-Daraqutni dan beliau menilainya hasan, dan juga dinilai hasan oleh sejumlah H̱āfiẓ)  Jika memang boleh dikerjakan setelah matahari tergelincir, tentu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak akan menundanya hingga keesokan harinya. Di samping itu, salat id disyariatkan agar dikerjakan secara dalam jemaah yang besar, sehingga harus ada waktu agar manusia bisa bersia-siap. فلو كانت تؤدى بعد الزوال؛ لما أخرها النبي صلى الله عليه وسلم إلى الغد؛ ولأن صلاة العيد شُرع لها الاجتماع العام؛ فلا بد أن يسبقها وقت يتمكن الناس من التهيؤ لها.ويُسن تقديم صلاة الأضحى وتأخير صلاة الفطر؛ لما روى الشافعي مرسلا (أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب إلى عمرو بن حزم: أن عَجِّل الأضحى، وأَخِّر الفطر، وذَكِّر الناس) وليتسع وقت التضحية بتقديم الصلاة في الأضحى، وليتسع الوقت لإخراج زكاة الفطر قبل صلاة الفطر. Disunahkan untuk lebih memajukan salat Adha dan mengakhirkan salat Idul Fitri, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Syafii secara Mursal bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menulis surat kepada Amr bin Hazm agar menyegerakan salat Idul Adha, mengakhirkan Idul Fitri, dan memberi peringatan kepada manusia. Hal itu agar ada waktu yang cukup untuk penyembelihan dengan disegerakannya sala Idul Adha, dan agar ada waktu yang cukup untuk membayar zakat fitrah sebelum salat Idul Fitri dilaksanakan. بعض مما يسن و يستحب فعله لصلاة العيد: ويسن أن يأكل قبل الخروج لصلاة الفطر تمرات، وأن لا يطعم يوم النحر حتى يصلي؛ لقول بريدة: (كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يخرج يوم الفطر حتى يفطر، ولا يطعم يوم النحر حتى يصلي) رواه أحمد وغيره. قال الشيخ تقي الدين: لما قدم الله الصلاة على النحر في قوله: (فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ) وقدم التزكي على الصلاة في قوله: (قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى) كانت السنة أن الصدقة قبل الصلاة في عيد الفطر، وأن الذبح بعد الصلاة في عيد النحر. Beberapa Hal yang Disunahkan dan Dianjurkan untuk Dilakukan Saat Salat Id Disunahkan agar memakan beberapa kurma terlebih dahulu sebelum keluar untuk salat Idul Fitri, dan agar tidak makan pada Hari Raya Kurban sampai salat terlebih dulu. Hal ini berdasarkan hadis Buraidah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak keluar saat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan beliau tidak makan dahulu saat Idul Kurban sampai beliau salat terlebih dulu. (HR. Ahmad dan lain-lain) Syekh Taqiyuddin berkata bahwa alasannya adalah karena Allah telah Mendahulukan salat daripada kurban dalam firman-Nya,  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Maka laksanakanlah salat (Idul Adha) karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kausar: 2)  Demikian pula didahulukan zakat daripada salat dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Jadi, sunahnya adalah zakat dahulu sebelum salat Idul Fitri, dan penyembelihan dilakukan setelah salat Idul Adha. ويسن التبكير في الخروج لصلاة العيد؛ ليتمكن من الدنو من الإمام، وتحصل له فضيلة انتظار الصلاة، فيكثر ثوابه. ويسن أن يتجمل المسلم لصلاة العيد بلبس أحسن الثياب، لحديث جابر: كانت للنبي صلى الله عليه وسلم حلة يلبسها في العيدين ويوم الجمعة رواه ابن خزيمة في صحيحه، وعن ابن عمر أنه كان يلبس في العيدين أحسن ثيابه رواه البيهقي بإسناد جيد. Disunahkan untuk bersegera keluar untuk salat id agar bisa dekat dengan imam, dan memperoleh keutamaan menanti salat, sehingga pahalanya lebih banyak. Disunahkan bagi seorang muslim untuk berhias diri untuk salat id dengan mengenakan pakaiannya yang paling bagus, berdasarkan hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mempunyai setelan pakaian yang beliau pakai saat hari raya dan hari Jumat. (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya)  Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau mengenakan pakaian terbaiknya untuk dua hari raya. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang baik). ما يشترط لصلاة العيد: ويشترط لصلاة العيد الاستيطان؛ بأن يكون الذين يقيمونها مستوطنين في مساكن مبنية بما جرت العادة بالبناء به، كما في صلاة الجمعة؛ فلا تقام صلاة العيد إلا حيث يسوغ إقامة صلاة الجمعة؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم وافق العيد في حجته، ولم يصلها، وكذلك خلفاؤه من بعده. Prasyarat dalam Pelaksanaan Salat Id Istīṯhān menjadi prasyarat pelaksanaan salat id, yaitu bahwa orang-orang yang menyelenggarakannya haruslah orang yang statusnya penduduk tetap yang mendiami bangunan-bangunan di tempat-tempat yang secara adat kebiasaan dibangun di atasnya. Hal ini sebagaimana salat Jumat. Salat id tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan cara sebagaimana dibolehkannya penyelenggaraan salat Jumat. Karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika berhaji dan bertepatan dengan hari raya, beliau tidak menyelenggarakannya, begitu pula para khalifah setelah beliau. عدد ركعات صلاة العيد: وصلاة العيد ركعتان قبل الخطبة، لقول ابن عمر: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبو بكر وعمر وعثمان يصلون العيدين قبل الخطبة) متفق عليه، وقد استفاضت السنة بذلك وعليه عامة أهل العلم، قال الترمذي: والعمل عليه عند أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم، أن صلاة العيدين قبل الخطبة . وحكمة تأخير الخطبة عن صلاة العيد وتقديمها على صلاة الجمعة أن خطبة الجمعة شرط للصلاة، والشرط مقدم على المشروط، بخلاف خطبة العيد؛ فإنها سنة. Jumlah Rakaat Salat Id Salat id dilaksanakan dalam dua rakaat sebelum khotbah, berdasarkan perkataan Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman mengerjakan salat dua hari raya sebelum khotbah. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Banyak sekali hadis tentang hal tersebut dan inilah pendapat mayoritas ulama. At-Tirmidzi berkata bahwa hal tersebut diamalkan para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan selain mereka, yakni bahwa salat dua hari raya dikerjakan sebelum khotbah. Hikmah diakhirkannya khotbah setelah salat id, tetapi didahulukan dalam salat Jumat, adalah bahwa khotbah Jumat merupakan syarat dalam salat tersebut, karena syarat harus ada terlebih dahulu, berbeda dengan khutbah salat id, yang mana khotbahnya adalah sunah. وصلاة العيدين ركعتان بإجماع المسلمين، وفي الصحيحين وغيرهما عن ابن عباس؛ (أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج يوم الفطر، فصلى ركعتين لم يصل قبلهما ولا بعدهما) وقال عمر: (صلاة الفطر والأضحى ركعتان، تمام غير قصر، على لسان نبيكم صلى الله عليه وسلم، وقد خاب من افترى) رواه أحمد وغيره. Salat dua hari raya adalah salat dua rakaat dengan kesepakatan umat Islam. Dalam Shahihain dan kitab lain diriwayatkan dari Ibn Abbas —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar saat Idul Fitri, lalu salat dua rakaat tanpa diiringi salat lain sebelum atau sesudahnya. Umar —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Salat Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua rakaat, berupa salat yang sempurna dan bukan qasar, berdasarkan lisan Nabi kalian Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka celakalah bagi orang yang mengada-ada.” (HR. Ahmad dan yang lainnya) الأذان والإقامة في صلاة العيد: ولا يشرع لصلاة العيد أذان ولا إقامة؛ لما روى مسلم عن جابر: (صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم العيد غير مرة ولا مرتين، فبدأ بالصلاة قبل الخطبة، بغير أذان ولا إقامة). Azan dan Ikamah dalam Salat Id Dalam salat id tidak disyariatkan azan dan ikamah, berdasarkan riwayat Muslim dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— “Aku salat id bersama Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bukan hanya sekali atau dua kali, di mana beliau memulai dengan salat sebelum khotbah, tanpa ada azan dan ikamah.” صفة صلاة العيد والتكبير فيها: ويكبر في الركعة الأولى بعد تكبيرة الإحرام والاستفتاح وقبل التعوذ والقراءة ست تكبيرات؛ فتكبيرة الإحرام ركن، لا بد منها، لا تنعقد الصلاة بدونها، وغيرها من التكبيرات سنة، ثم يستفتح بعدها؛ لأن الاستفتاح في أول الصلاة، ثم يأتي بالتكبيرات الزوائد الست، ثم يتعوذ عقب التكبيرة السادسة؛ لأن التعوذ للقراءة، فيكون عندها، ثم يقرأ. ويكبر في الركعة الثانية قبل القراءة خمس تكبيرات غير تكبيرة الانتقال؛ لما روى أحمد عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده (أن النبي صلى الله عليه وسلم كبر في عيد ثنتي عشرة تكبيرة، سبعًا في الأولى، وخمسا في الآخرة) وإسناده حسن. Tata Cara Salat Id dan Takbirnya Salat id dilakukan dengan bertakbir enam kali takbir di rakaat pertama setelah Takbiratul Ihram dan sebelum doa iftitah, taawuz, dan membaca (al-Quran).  Takbiratul Ihram termasuk rukun, sehingga harus dikerjakan dan salat tidak sah tanpanya. Takbir-takbir yang lainnya adalah sunah. Setelah itu, membaca iftitah, karena doa iftitah letaknya di awal salat.  Kemudian, melakukan enam takbir tambahan. Lalu membaca taawuz setelah enam takbir tersebut, karena taawuz adalah untuk bacaan al-Quran, sehingga dibaca sebelum itu.  Kemudian membaca (al-Fatihah, dan seterusnya, pent). Kemudian dalam rakaat kedua sebelum membaca (al-Quran) bertakbir dulu lima kali, selain takbir Intiqāl (Takbir untuk berpindah ke rakaat berikutnya, pent)  Dalilnya adalah riwayat Ahmad dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertakbir dalam salat id dengan 12 kali takbir, tujuh di rakaat pertama dan lima di rakaat kedua. Sanad riwayat ini hasan. وروي غير ذلك في عدد التكبيرات: قال الإمام أحمد رحمه الله: اختلف أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في التكبير، وكله جائز . ويرفع يديه مع كل تكبيرة؛ (لأنه صلى الله عليه وسلم كان يرفع يديه مع التكبير). ويُسن أن يقول بين كل تكبيرتين: الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا، وصلى الله على محمد النبي وآله وسلم تسليما كثيرا؛ لقول عقبة بن عامر: (سألت ابن مسعود عما يقوله بعد تكبيرات العيد؛ قال: يحمد الله، ويثني عليه، ويصلي على النبي) ورواه البيهقي بإسناده عن ابن مسعود قولا وفعلا.وقال حذيفة: صدق أبو عبدالرحمن . Ada riwayat lain yang menyebutkan jumlah takbir selain itu. Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan bahwa para Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berbeda pendapat tentang takbir (salat id), yang semuanya boleh diamalkan. Setiap takbir dilakukan dengan mengangkat tangan, karena beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengangkat tangan beliau setiap kali bertakbir.  Di antara dua takbir disunahkan untuk membaca, “Allāhu akbar kabīrāw walẖamdulillāhi katsīrāw wa subẖānallāhi bukrataw wa aṣhīlā wa ṣhallallāhu ʿalā muẖammadin nabiyyi wa ālihi was sallama tasliman katsīrā (artinya: Allah Maha Besar dengan kebesaran yang sempurna, dan segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allah baik di waktu pagi maupun petang. Semoga Allah Melimpahkan selawat dan salam yang banyak untuk Muhammad Sang Nabi beserta keluarga beliau).”  Hal ini berdasarkan perkataan Uqbah bin Amir yang berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang apa yang dia baca setelah takbir dalam salat id, maka dia menjawab bahwa dia membaca tahmid, memuji Allah, dan berselawat kepada Nabi.” Riwayat ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya dari Ibnu Mas’ud dengan perkataan dan perbuatan. Hudzaifah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Abu Abdurrahman benar.” وإن أتى بذكر غير هذا؛ فلا بأس؛ لأنه ليس فيه ذكر معين. قال ابن القيم: كان يسكت بين كل تكبيرتين سكتة يسيرة، ولم يحفظ عنه ذكر معين بين التكبيرات اهـ.وإن شك في عدد التكبيرات، بنى على اليقين، وهو الأقل. وإن نسي التكبير الزائد حتى شرع في القراءة؛ سقط؛ لأنه سنة فات محلها. وكذا إن أدرك المأموم الإمام بعدما شرع في القراءة؛ لم يأت بالتكبيرات الزوائد، أو أدركه راكعا؛ فإنه يكبر تكبيرة الإحرام، ثم يركع، ولا يشتغل بقضاء التكبير. Jika seseorang membaca zikir selain itu, maka tidak mengapa, karena memang tidak ada zikir khususnya. Ibnul Qayyim berkata bahwa beliau diam sejenak di antara dua takbir dan tidak ada riwayat yang dihafal dari beliau tentang bacaan zikir tertentu  di antara dua takbir tersebut. Selesai kutipan. Jika seseorang ragu berapa jumlah takbirnya, maka dia ambil yang dia yakini, yaitu jumlah terkecil. Jika dia lupa takbir tambahan hingga sudah mulai membaca (al-Fatihah), maka syariat takbir itu gugur, karena itu sunah dan sudah terlewat tempatnya. Demikan juga jika makmum mendapati imam sudah mulai membaca (al-Quran), maka tidak perlu melakukan takbir tambahan lagi atau mengganti rakaatnya, karena dia sudah melakukan Takbiratul Ihram, lalu rukuk, dan tidak perlu juga mengganti takbirnya. وصلاة العيد ركعتان، يجهر الإمام فيهما بالقراءة، لقول ابن عمر: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يجهر بالقراءة في العيدين والاستسقاء) رواه الدارقطني، وقد أجمع العلماء على ذلك، ونقله الخلف عن السلف، واستمر عمل المسلمين عليه. ويقرأ في الركعة الأولى بعد الفاتحة بـ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) ويقرأ في الركعة الثانية بالغاشية؛ لقول سمرة: (إن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في العيدين بـ) (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) و (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) رواه أحمد. أو يقرأ في الركعة الأولى بـ (ق)، وفي الثانية بـ (اقتربت)، لما في صحيح مسلم والسنن وغيرها؛ أنه صلى الله عليه وسلم كان يقرأ بـ (ق) و (اقتربت). Salat id dikerjakan dua rakaat, di mana imam membaca secara jahar, berdasarkan perkataan Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjaharkan bacaan dalam salat id dan Istisqāʾ. (HR. Ad-Daruquthni)  Para ulama bersepakat mengenai hal ini, yang telah dinukil oleh para ulama, baik dari kalangan klasik maupun kontemporer, dan diamalkan terus-menerus oleh umat Islam. Hendaknya pada rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca Sabbiẖisma rabbikal aʿlā (Surah al-A’lā), dan di rakaat kedua surah al-Ghasyiyah. Hal ini berdasarkan perkataan Samurah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu saat salat id membaca “Sabbiẖisma rabbikal aʿlā” dan “Hal atāka ẖadītsul ghāsyiyah.” (HR. Ahmad) Bisa juga membaca Qāf (surah Qaf) pada rakaat pertama lalu Iqtarabat (surah al-Qamar), berdasarkan riwayat dalam Shahih Muslim, kitab Sunan, dan lain-lain bahwasanya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam membaca Qāf dan Iqtarabat. قال شيخ الإسلام ابن تيمية: مهما قرأ به؛ جاز، كما تجوز القراءة في نحوها من الصلوات، لكن إن قرأ: (ق) و (اقتربت) أو نحو ذلك مما جاء في الأثر؛ كان حسنا، وكانت قراءته في المجامع الكبار بالسور المشتملة على التوحيد والأمر والنهي والمبدأ والمعاد وقصص الأنبياء مع أممهم، وما عامل الله به من كذبهم وكفر بهم وما حل بهم من الهلاك والشقاء، ومن آمن بهم وصدَّقهم، وما لهم من النجاة والعافية انتهى. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa apa pun yang seseorang baca, boleh saja, sebagaimana boleh membaca apa pun dalam salat lain. Hanya saja, jika dia  membaca Qāf dan Iqtarabat atau surah lain yang disebutkan dalam riwayat, maka itu yang baik. Surah yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam baca di perkumpulan besar seperti itu adalah surah-surah yang memuat tauhid, perintah, larangan, awal penciptaan, akhirat, dan kisah-kisah para nabi dengan umat mereka serta apa yang Allah Lakukan kepada mereka karena mereka mendustakan dan mengkufuri para Nabi dan kebinasaan dan kesengsaraan yang menimpa mereka, dan juga apa Yang Allah Lakukan kepada orang-orang yang beriman dan membenarkan para nabi serta keselamatan dan kesejahteraan yang mereka dapatkan. Selesai kutipan. صفة خطبة العيد: فإذا سلم من الصلاة؛ خطب خطبتين، يجلس بينهما؛ لما روى عبيد الله بن عبيد الله بن عتبة؛ قال: (السنة أن يخطب الإمام في العيدين خطبتين، يفصل بينهما بجلوس) رواه الشافعي، ولابن ماجه عن جابر: (خطب قائما، ثم قعد قعدة، ثم قام) وفي الصحيح وغيره: (بدأ بالصلاة، ثم قام متوكئا على بلال، فأمر بتقوى الله، وحث على طاعته…الحديث)، ولمسلم ثم ينصرف، فيقوم مقابل الناس، والناس جلوس على صفوفهم ويحثهم في خطبة عيد الفطر على إخراج صدقة الفطر، ويبين لهم أحكامها؛ من حيث مقدارها، ووقت إخراجها، ونوع المخرج فيها.ويرغبهم في خطبة عيد الأضحى في ذبح الأضحية، ويبين لهم أحكامها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم ذكر في خطبة الأضحى كثيرا من أحكامها. Tata Cara Khotbah Hari Raya Ketika imam sudah salam dari salatnya, lalu dia menyampaikan khotbah dalam dua khotbah dengan diselingi duduk di antara keduanya. Hal ini berdasarkan riwayat Ubaidillah bin Ubaidillah bin Utbah yang mengatakan bahwa yang sunah bagi imam dalam salat dua hari raya adalah menyampaikan dua khotbah yang dipisah dengan duduk. (HR. Asy-Syafii) Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu menyampaikan khotbah sambil berdiri, kemudian duduk sejenak lalu berdiri lagi. Disebutkan pula dalam kitab Shahih dan yang lainnya bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memulai salat, lalu berdiri bersandar kepada Bilal, kemudian beliau berwasiat ketakwaan kepada Allah, mendorong untuk menaati-Nya, … hingga akhir hadis.  Dalam riwayat muslim disebutkan bahwa seusai salat, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri menghadap orang-orang, sementara mereka duduk di saf-saf mereka dan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam  mengajak mereka dalam khotbah Idul Fitri untuk membayar zakat fitrah, dan menjelaskan kepada mereka hukum-hukumnya; dari sisi takarannya, waktu membayarkannya, dan dari jenis apa yang dibayarkan. Adapun dalam khotbah Idul Adha, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memotivasi mereka untuk berkurban dan menjelaskan kepada mereka hukum-hukumnya, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam khotbah Idul Adha memang sering membahas hukum-hukumnya. وهكذا ينبغي للخطباء أن يركزوا في خطبهم على المناسبات؛ فيبينوا للناس ما يحتاجون إلى بيانه في كل وقت بحسبه بعد الوصية بتقوى الله والوعظ والتذكير، لا سيما في هذه المجامع العظيمة والمناسبات الكريمة؛ فإنه ينبغي أن تُضمن الخطبة ما يفيد المستمع ويذكر الغافل ويعلم الجاهل. وينبغي حضور النساء لصلاة العيد، كما سبق بيانه، وينبغي أن توجه إليهن موعظة خاصة ضمن خطبة العيد؛ لأنه عليه الصلاة والسلام لما رأى أنه لم يُسمع النساء؛ أتاهن، فوعظهن، وحثهن على الصدقة، وهكذا ينبغي أن يكون للنساء نصيب من موضوع خطبة العيد؛ لحاجتهن إلى ذلك، واقتداء بالنبي صلى الله عليه وسلم. Demikianlah, para khatib hendaknya memfokuskan pembahasan dalam khotbahnya sesuai momennya dan menjelaskan kepada manusia penjelasan yang mereka perlukan setiap saat sesuai kadarnya setelah berwasiat tentang ketakwaan, nasihat, dan peringatan, apalagi dalam pertemuan besar dan momen mulia seperti ini. Khotbahnya hendaklah memuat sesuatu yang bermanfaat bagi para pendengar, menggugah yang lalai, dan mengajari yang tidak tahu.  Para wanita hendaknya ikut menghadiri salat id, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hendaknya ada nasihat khusus untuk mereka dalam khotbah hari raya,  karena beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika merasa tidak terdengar oleh para wanita, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendatangi mereka, menasihati mereka, dan mendorong mereka untuk bersedekah.  Demikianlah, seyogianya ada pembahasan khusus bagi wanita dalam khotbah hari raya, karena mereka membutuhkannya dan untuk meneladan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. التنفل قبل صلاة العيد وبعدها: ومن أحكام صلاة العيد أنه يكره التنفل قبلها وبعدها في موضعها، حتى يفارق المصلي؛ لقول ابن عباس رضي الله عنهما: (خرج النبي صلى الله عليه وسلم يوم عيد؛ فصلى ركعتين لم يصل قبلهما ولا بعدهما) متفق عليه؛ ولئلا يتوهم أن لها راتبة قبلها أو بعدها. قال الإمام أحمد: أهل المدينة لا يتطوعون قبلها ولا بعدها . Salat Sunah Sebelum dan Sesudah Salat Id Di antara hukum-hukum yang berkaitan dengan salat id adalah dimakruhkannya salat sunah sebelum dan sesudahnya di Muṣhallā sampai seseorang beranjak dari tempat tersebut. Hal ini berdasarkan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar pada hari raya lalu salat dua rakaat tanpa salat sebelumnya atau setelahnya. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Hal ini agar tidak disalahpahami bahwa salat id ada sunah Rawatib sebelum atau sesudahnya. Imam Ahmad berkata bahwa penduduk Madinah tidak salat sunah sebelum dan sesudah salat id. وقال الزهري: لم أسمع أحدا من علمائنا يذكر أن أحدا من سلف هذه الأمة كان يصلي قبل تلك الصلاة ولا بعدها، وكان ابن مسعود وحذيفة ينهيان الناس عن الصلاة قبلها .فإذا رجع إلى منزله؛ فلا بأس أن يصلي فيه؛ لما روى أحمد وغيره، (أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا دخل إلى منزله؛ صلى ركعتين) ويسن لمن فاتته صلاة العيد أو فاته بعضها قضاؤها على صفتها، بأن يصليها ركعتين؛ بتكبيراتها الزوائد؛ لأن القضاء يحكي الأداء؛ ولعموم قوله صلى الله عليه وسلم (فما أدركتم؛ فصلوا، وما فاتكم، فأتموا) فإذا فاتته ركعة مع الإمام؛ أضاف إليها أخرى، وإن جاء والإمام يخطب؛ جلس لاستماع الخطبة، فإذا انتهت؛ صلاها قضاء، ولا بأس بقضائها منفردا أو مع جماعة. Az-Zuhri berkata, “Saya tidak pernah mendengar satu pun ulama kami menyebutkan bahwa ada dari kalangan Salaf umat ini yang salat sebelum atau sesudah salat id.” Ibnu Mas’ud dan Hudzaifah melarang orang-orang salat sebelum salat id.  Adapun jika sudah kembali ke rumah, maka tidak mengapa salat di rumah. Hal ini berdasarkan riwayat yang diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika masuk ke rumahnya, beliau salat dua rakaat. Disunahkan bagi orang yang terlewat salat id atau ketinggalan sebagiannya untuk mengqadanya dengan cara yang sama, yakni dengan melakukan salat dua rakaat disertai takbir-takbir tambahannya. Alasannya adalah karena tata cara qada itu haruslah sebagaimana tata cara pelaksanaannya pada waktunya, di samping ada sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Apa yang kalian dapati maka kerjakanlah salat itu, dan apa yang kalian lewatkan maka sempurnakan.”  Jadi, jika seseorang melewatkan satu rakaat bersama imam; maka hendaknya dia tambahkan satu rakaat lagi. Jika dia datang saat imam sudah menyampaikan khotbah; hendaknya dia duduk untuk mendengarkan khotbah, lalu setelah selesai, hendaknya mengqada salat idnya. Tidak masalah mengqadanya secara munfarid atau berjamaah.  صفة التكبير في العيد ووقته: ويسن في العيدين التكبير المطلق، وهو الذي لا يتقيد بوقت، يرفع به صوته، إلا الأنثى؛ فلا تجهر به، فيكبر في ليلتي العيدين، وفي كل عشر ذي الحجة؛ لقوله تعالى: (وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ) ويجهر به في البيوت والأسواق والمساجد وفي كل موضع يجوز فيه ذكر الله تعالى، ويجهر به في الخروج إلى المصلى؛ لما أخرجه الدارقطني وغيره عن ابن عمر؛ أنه كان إذا غدا يوم الفطر ويوم الأضحى؛ يجهر بالتكبير، حتى يأتي المصلى، ثم يكبر حتى يأتي الإمام وفي الصحيح: كنا نؤمر بإخراج الحيض، فيكبرن بتكبيرهم ولمسلم: يكبرن مع الناس فهو مستحب لما فيه من إظهار شعائر الإسلام . Tata Cara Takbir Hari Raya dan Waktunya Dalam dua hari raya ini, disunahkan: Takbir Mutlak Takbir Mutlak adalah takbir yang tidak terikat dengan waktu dengan cara meninggikan suara, kecuali bagi wanita. Wanita tidak boleh membacanya secara jahar. Takbir dikumandangkan di malam-malam hari raya dan di sepanjang sepuluh Zulhijah. Hal ini berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)  Takbir digemakan di rumah-rumah, di pasar-pasar, di masjid-masjid, dan di setiap tempat yang diperbolehkan untuk berzikir kepada Allah. Demikian juga saat keluar ke tempat salat id. Hal ini berdasarkan riwayat ad-Daraqutni dan yang lainnya dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwasanya beliau jika keluar rumah di pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha  menggemakan takbir hingga sampai di tempat salat, kemudian terus bertakbir sampai imam datang. Dalam kitab Shahih disebutkan, “Kami diperintahkan untuk menyuruh keluar wanita haid, lalu mereka bertakbir dengan takbirnya para lelaki.” Dalam riwayat Muslim dinyatakan, “Mereka bertakbir bersama orang-orang.” Hal itu dianjurkan karena menampakkan syiar Islam. والتكبير في عيد الفطر آكد؛ لقوله تعالى: (وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ) فهو في هذا العيد آكد؛ لأن الله أمر به.  Takbir pada hari raya Idul Fitri lebih ditekankan lagi, berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185) Jadi, takbir ini lebih ditekankan lagi di hari raya ini, karena Allah Memerintahkan demikian.  ويزيد عيد الأضحى بمشروعية التكبير المقيد فيه، وهو التكبير الذي شرع عقب كل صلاة فريضة في جماعة، فيلتفت الإمام إلى المأمومين، ثم يكبر ويكبرون؛ لما رواه الدارقطني وابن أبي شيبة وغيرهما من حديث جابر: أنه كان صلى الله عليه وسلم إذا صلى الصبح من غداة عرفة، يقول: الله أكبر …الحديث. ويبتدأ التكبير المقيد بأدبار الصلوات في حق غير المحرم من صلاة الفجر يوم عرفة إلى عصر آخر أيام التشريق، وأما المحرم؛ فيبتدئ التكبير المقيد في حقه من صلاة الظهر يوم النحر إلى عصر آخر أيام التشريق؛ لأنه قبل ذلك مشغول بالتلبية. Takbir Muqayyad Di hari raya Idul Adha ditambah syariat Takbir Muqayyad, yaitu takbir yang disyariatkan setiap selesai salat wajib secara berjamaah. Imam menghadap kepada makmum, lalu dia bertakbir dan mereka juga bertakbir. Hal ini berdasarkan riwayat ad-Daruqutni dan Ibnu Abi Syaibah dan selain mereka dari hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwasanya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika selesai salat Subuh di pagi hari Arafah mengucapkan, “Allāhuakbar …” dan seterusnya. Takbir Muqayyad dimulai seusai salat bagi orang yang tidak sedang ihram sejak salat subuh di hari Arafah hingga salat Asar terakhir di hari-hari Tasyrik. Adapun orang yang ihram, maka dia memulai Takbir Muqayyad sejak salat Zuhur di Hari Raya Kurban sampai  salat Asar terakhir di hari-hari Tasyrik. Hal itu karena sebelum itu mereka disibukkan dengan talbiah.  روى الدارقطني عن جابر: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يكبر في صلاة الفجر يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق حين يسلم من المكتوبات) وفي لفظ: (كان إذا صلى الصبح من غداة عرفة؛ أقبل على أصحابه فيقول: مكانكم، ويقول: الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد).وقال الله تعالى: (وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ) وهي أيام التشريق. وقال الإمام النووي: هو الراجح وعليه العمل في الأمصار Al-Daraqutni meriwayatkan dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu bertakbir ketika salat Subuh di hari Arafah hingga waktu Asar di hari terakhir Tasyrik seusai salam dari salat wajib. Dalam redaksi lain, “Dahulu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam setelah salat Subuh di pagi hari Arafah menghadap kepada para Sahabat beliau lalu mengucapkan, “Tetap di tempat kalian masing-masing,” lalu beliau mengucapkan, “Allāhuakbar, Allāhuakbar, Allāhuakbar, Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar, Allāhuakbar wa lillāhil ẖamdu (artinya:  Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang benar selain Allah, dan Allah Yang Maha Besar. Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi-Nya.)” Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya.” (QS. Al-Baqarah: 203) Maksudnya hari-hari Tasyrik. Imam an-Nawawi berkata, “Inilah pendapat yang lebih tepat dan inilah yang diamalkan di berbagai negeri.” وقال شيخ الإسلام ابن تيمية: أصح الأقوال في التكبير الذي عليه الجمهور من السلف والفقهاء من الصحابة والأئمة: أن يكبر من فجر يوم عرفة إلى آخر أيام التشريق عقب كل صلاة؛ لما في السنن: (يوم عرفة ويوم النحر وأيام منى عيدنا أهل الإسلام، وهي أيام أكل وشرب وذكر لله)، وكون المحرم يبتدئ التكبير المقيد من صلاة الظهر يوم النحر؛ لأن التلبية تُقطع برمي جمرة العقبة، ووقت رمي جمرة العقبة المسنون ضحى يوم النحر، فكان المحرم فيه كالمُحِل، فلو رمى جمرة العقبة قبل الفجر، فلا يبتدئ التكبير إلا بعد – صلاة الظهر أيضا؛ عملا على الغالب .انتهى. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa pendapat yang paling tepat mengenai takbir ini adalah pendapat mayoritas Salaf dan fukaha dari kalangan Sahabat dan para imam ulama, yaitu bertakbir sejak fajar di hari Arafah hingga akhir hari Tasyrik setiap selesai salat, berdasarkan Sunah yang menyatakan, “Hari Arafah, Hari Kurban, dan hari-hari di Mina adalah hari raya kita, umat Islam, yang merupakan hari-hari makan, minum, dan berzikir kepada Allah.” Adapun bagi orang yang ihram, mereka memulai Takbir Muqayyad saat salat zuhur pada Hari Kurban, karena talbiah baru selesai saat lempar jamarat Aqabah, sementara jamarat Aqabah disunahkan dikerjakan di waktu duha pada Hari Raya Kurban. Jadi, orang yang ihram di sana seperti yang tidak ihram. Jika dia melempar  jamarat Aqabah sebelum Subuh, maka dia tetap tidak memulai takbir kecuali setelah salat Zuhur juga, karena dihukumi mana yang lebih dominan. Selesai kutipan. وصفة التكبير أن يقول: الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد. ولا بأس بتهنئة الناس بعضهم بعضا؛ بأن يقول لغيره: تقبل الله منا ومنك. قال شيخ الإسلام ابن تيمية: قد روي عن طائفة من الصحابة أنهم كانوا يفعلونه، ورخص فيه الأئمة كأحمد وغيره اهـ. والمقصود من التهنئة التودد وإظهار السرور. وقال الإمام أحمد: لا أبتدئ به، فإن ابتدأني أحد؛ أجبته . وذلك لأن جواب التحية واجب، وأما الابتداء بالتهنئة؛ فليس سنة مأمورا بها، ولا هو أيضا مما نهي عنه، ولا بأس بالمصافحة في التهنئة. Cara bertakbirnya adalah dengan mengucapkan, “Allāhuakbar, Allāhuakbar, Allāhuakbar, Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar, Allāhuakbar wa lillāhil ẖamdu (artinya:  Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang benar selain Allah, dan Allah Yang Maha Besar. Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi-Nya.)” Tidak mengapa saling memberi ucapan selamat, di mana seseorang mengucapkan kepada orang lain, “Taqabbalallāhu minnā wa minka (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan Anda).”  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa ada riwayat dari sebagian Sahabat bahwa mereka dahulu melakukan demikian. Para imam, seperti Ahmad dan lain-lain juga membolehkannya.  Tujuan ucapan ini adalah berkasih sayang dan menampakkan kebahagiaan.  Imam Ahmad berkata, “Aku tidak akan memulai duluan, tapi jika seseorang mengucapkan dulu kepadaku, aku akan membalasnya.”  Hal itu karena membalas ucapan selamat hukumnya wajib, adapun memulai duluan memberi ucapan selamat bukanlah sunah dan tidak diperintahkan, tapi juga tidak terlarang. Tidak mengapa juga berjabat tangan saat mengucapkan selamat. وقفات مع العيد أولاً: الاستعداد لصلاة العيد بالاغتسال وجميل الثياب: فقد أخرج مالك في موطئه عن نافع: (أن ابن عمر رضي الله عنهما كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى) [وهذا إسناد صحيح]. قال ابن القيم: (ثبت عن ابن عمر مع شدة اتباعه للسنة أنه كان يغتسل يوم العيد قبل خروجه) [زاد المعاد 1/442]. وثبت عنه أيضاً لبس أحسن الثياب للعيدين.قال ابن حجر: (روى ابن أبي الدنيا والبهيقي بإسناد صحيح إلى ابن عمر أنه كان يلبس أحسن ثيابه في العيدين) [فتح الباري 2/51]. وبهذين الأثرين وغيرهما أخذ كثير من أهل العلم استحباب الاغتسال والتجمل للعيدين. Catatan-catatan dalam Berhari Raya Pertama, bersiap-siap untuk salat id dengan mandi dan berpakaian yang bagus. Malik meriwayatkan dalam kitab Muwaṯhṯhaʾ-nya dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mandi di hari raya sebelum berangkat ke tempat salat. Sanad riwayat ini sahih. Ibnul Qayyim berkata bahwa ada riwayat dari Ibnu Umar—dengan kesungguhan beliau dalam mengikuti Sunah—bahwa beliau mandi pada hari raya sebelum keluar. (Zād al-Maʿād 1/442). Ada riwayat sahih juga dari beliau bahwa beliau mengenakan pakaian terbaik dalam dua hari raya. Ibnu Hajar berkata bahwa Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang sahih sampai kepada Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau biasanya mengenakan pakaian terbaiknya pada dua hari raya. (Fathul Bari 2/51). Dengan dua riwayat ini dan yang lainnya banyak ulama menyimpulkan dianjurkannya mandi dan berhias di hari raya. ثانياً: يُسَنُّ قبل الخروج إلى صلاة عيد الفطرأن يأكل تمرات وتراً: ثلاثاً، أو خمساً، أو أكثر من ذلك، يقطعها على وتر؛ لحديث أنس قال: كان النبي لا يغدو يوم الفطر حتى يأكل تمرات، ويأكلهن وتراً [أخرجه البخاري]. Kedua, sebelum keluar untuk salat Idul Fitri disunahkan untuk makan kurma dalam jumlah ganjil, baik tiga, lima, atau lebih dari itu. Makannya diakhiri dengan jumlah ganjil, berdasarkan hadis Anas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berangkat pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan beberapa biji kurma. Beliau makan dalam jumlah ganjil. (HR. Al-Bukhari) ثالثاً: يسن التكبير والجهر به – ويُسر به النساء – يوم العيد من حين يخرج من بيته حتى يأتي المصلي: لحديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما: أن رسول الله كان يكبر يوم الفطر من حيث يخرج من بيته حتى يأتي المصلى [حديث صحيح بشواهده]. وعن نافع: أن ابن عمر كان إذا غدا يوم الفطر ويوم الأضحى يجهر بالتكبير حتى يأتي المصلى، ثم يكبر حتى يأتي الإمام، فيكبر بتكبيره [أخرجه الدارقطني وغيره بإسناد صحيح]. تنبيه: التكبير الجماعي بصوت واحد بدعة لم تثبت عن النبي ولا عن أصحابه، والصواب أن يكبر كل واحد بصوت منفرد. Ketiga, disunahkan untuk bertakbir dan dijaharkan—tapi dipelankan bagi wanita—pada hari raya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasanya  bertakbir pada hari raya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Hadis ini sahih dengan berbagai riwayat-riwayat penguatnya. Diriwayatkan dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— biasanya bertakbir di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan beliau menjaharkan takbirnya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Kemudian beliau masih bertakbir sampai imam datang, lalu beliau bertakbir dengan takbirnya. (HR. Ad-Daruqutni dan selainnya dengan sanad sahih). Catatan: Takbir berjamaah dengan satu suara adalah bidah, yang tidak ada landasan riwayat yang sahih dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam atau para Sahabat beliau. Yang benar adalah setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. رابعاً: يسن أن يخرج إلى الصلاة ماشياً: لحديث علي قال: من السنة أن يخرج إلى العيد ماشياً أخرجه الترمذي وقال: هذا حديث حسن، والعمل على هذا الحديث عند أكثر أهل العلم، يستحبون أن يخرج الرجل إلى العيد ماشياً، وألا يركب إلا من عذر [صحيح سنن الترمذي]. Keempat, disunahkan ketika keluar untuk salat jalan kaki, berdasarkan hadis Ali —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa termasuk sunah adalah seseorang keluar berjalan kaki untuk salat id. (HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata, “Hadis hasan dan hadis ini diamalkan oleh mayoritas ulama.”) Seseorang dianjurkan keluar untuk berhari raya dengan jalan kaki, bukan naik kendaraan, kecuali jika ada uzur. (Shahih Sunan at-Tirmidzi) خامساً: يسن إذا ذهب إلى الصلاة من طريق أن يرجع من طريق آخر: لحديث جابر قال: كان النبي إذا كان يوم عيد خالف الطريق [أخرجه البخاري]. Kelima, disunahkan untuk berangkat salat melalui suatu jalan lalu pulang melalui jalan yang lain, berdasarkan hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di hari raya membedakan jalan (berangkat dan pulang) beliau. (HR. Al-Bukhari) سادساً: تشرع صلاة العيد بعد طلوع الشمس وارتفعاها بلا أذان ولا إقامة: وهي ركعتان يكبر في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمس تكبيرات. ويسن أن يقرأ الإمام فيهما جهراً سورة (الأعلى) و (الغاشية) أو سورة (ق) و (القمر). وتكون الخطبة بعد الصلاة، ويتأكد خروج النساء إليها، ومن الأدلة على ذلك: 1 – عن عائشة رضي الله عنها: أن رسول الله كان يكبر في الفطر والأضحى في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمساً [صحيح سنن أبي داود]. 2 – وعن النعمان بن بشير أن رسول الله كان يقرأ في العيدين بـ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) [الأعلى:1] و(هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) [الغاشية:1] [صحيح سنن ابن ماجة]. Keenam, salat id dilaksanakan setelah matahari terbit dan telah naik, tanpa azan atau ikamah. Caranya dengan mengerjakan salat dua rakaat, di mana rakaat pertama bertakbir tujuh kali takbir, dan di rakaat kedua lima kali takbir. Disunahkan bagi imam untuk membacakan secara jahar surah al-Aʿlā dan al-Ghasyiyah, atau surah Qaf dan al-Qamar. Khotbah dilakukan setelah salat. Para wanita sangat dianjurkan untuk ikut keluar. Di antara dalil yang mendukung pernyataan di atas adalah: Diriwayatkan dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa bertakbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakaat kedua (Shahih Sunan Abu Daud) Diriwayatkan dari  an-Nuʿman bin Basyir —Semoga Allah Meridainya—  bahwa Rasulullah biasanya membacakan pada salat dua hari raya “Sabbiẖisma rabbikal aʿlā, …” dan “Hal atāka ẖadītsul ghāsyiyah ….” (Shahih Sunan Ibnu Majah) 3 – وعن عبيدالله بن عبدالله أن عمر بن الخطاب سأل أبا واقد الليثي: ما كان يقرأ به رسول الله في الأضحى والفطر؟ فقال: كان يقرأ فيهما بـ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) [ق:1]، (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانشَقَّ الْقَمَرُ) [القمر:1] [رواه مسلم]. 4 – وعن أم عطية رضي الله عنها قالت: أُمرنا أن نَخرج، فنُخرج الحُيَّض والعواتق وذوات الخدور – أي المرأة التي لم تتزوج – فأما الحُيَّض فيشهدن جماعة المسلمين ودعوتهم، ويعتزلن مصلاهم [أخرجه البخاري ومسلم]. Diriwayatkan dari Ubaidullah bin Abdullah bahwa Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— bertanya kepada Abu Waqid al-Laitsi, “Apa yang biasanya dibacakan oleh Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pada saat Idul Adha dan Idul Fitri?” Beliau menjawab, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasanya membaca dalam dua salat tersebut, “Qāf wal qurʾānil majīd, …” dan “Iqtarabatis sāʿatu wansyaqqal qamar ….” (HR. Muslim) Diriwayatkan dari Ummu ʿAṯhiyyah —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan, “Kami diperintahkan untuk keluar, dan menyuruh keluar para wanita haid, remaja, dan para gadis—yakni wanita yang belum menikah. Adapun wanita haid, mereka menghadiri jemaah kaum muslimin dan seruan mereka, tapi tidak ikut ke tempat salat mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)  5 – وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: شهدت صلاة الفطر مع نبي الله وأبي بكر وعمر عثمان، فكلهم يصليها قبل الخطبة [أخرجه مسلم]. 6 – وعن ابن عباس رضي الله عنهما: أن رسول الله صلّى العيد بلا أذان ولا إقامة [صحيح سنن أبي داود]. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Aku menghadiri salat Idul Fitri bersama Nabi Allah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,  Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka semua mengerjakan salat sebelum khotbah.” (HR. Muslim) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengerjakan salat id tanpa azan dan ikamah. (Shahih Sunan Abi Dawud) سابعاً: إذا وافق يوم العيد يوم الجمعة، فمن صلّى العيد لم تجب عليه صلاة الجمعة: لحديث ابن عباس رضي الله عنهما عن رسول الله قال: اجتمع عيدان في يومكم هذا، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون إنشاء الله [صحيح سنن أبي داود]. Ketujuh, jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, orang yang sudah salat id tidak wajib salat Jumat, berdasarkan hadis Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Dua hari raya (hari raya id dan hari jumat) terkumpul di hari kalian ini, maka barang siapa mau tidak perlu salat Jumat. Namun kami tetap berjamaah, insya Allah.” (Shahih Sunan Abi Dawud) ثامناً: من فاتته صلاة العيد مع المسلمين يشرع له قضاؤها على صفتها: وإذا لم يعلم الناس بيوم العيد إلا بعد الزوال صلوها جميعاً من الغد؛ لحديث أبي عمير ابن أنس رحمه الله عن عمومة له من أصحاب النبي: (أن ركباً جاءوا إلى النبي يشهدون أنهم رأوا الهلال بالأمس، فأمرهم النبي أن يفطروا، وإذا أصبحوا يغدوا إلى مصلاهم) [أخرجه أصحاب السنن وصححه البهيقي والنووي وابن حجر وغيرهم]. Kedelapan, barang siapa yang terlewat salat id secara berjamaah bersama kaum muslimin, maka dia dianjurkan untuk mengqadanya dengan cara yang sama. Jika masyarakat tidak mengetahui bahwa saat itu adalah hari raya kecuali setelah matahari tergelincir, maka hendaknya mereka semua melakukannya esok hari. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang merupakan Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa ada kafilah yang datang kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan memberi kesaksian bahwa mereka telah melihat hilal kemarin, maka Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang untuk tidak puasa, dan untuk keluar ke tempat salat mereka keesokan harinya. (HR. Aṣẖāb as-Sunan, dan dinilai sahih oleh al-Baihaqi, an-Nawawi, Ibnu Hajar, dan selain mereka) تاسعاً: ولا بأس بالمعايدة وأن يقول الناس: (تقبل الله منا ومنكم): قال ابن التركماني: (في هذا الباب حديث جيد… وهو حديث محمد من زياد قال: كنت مع أبي أمامة الباهلي وغيره من أصحاب النبي، فكانوا إذا رجعوا يقول بعضهم لبعض: تقبل الله منا ومنك). قال أحمد بن حنبل: إسناده جيد. [الجوهر النقي 3/320]. Kesembilan, tidak mengapa beramah tamah dan mengucapkan kepada orang-orang “Taqabbalallāhu minnā wa minkum (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan kalian).” Ibnul Turkmani berkata bahwa dalam masalah ini ada sebuah hadis yang bagus, … yaitu hadis Muhammad dari Ziyad yang berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah al-Bahili dan Sahabat Nabi lain, mereka ketika mereka kembali (dari salat id) saling mengucapkan, ‘Taqabbalallāhu minnā wa minka (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan Anda).’” Ahmad bin Hanbal berkata bahwa sanad hadis ini baik. (Al-Jauhar an-Naqi 3/320) عاشراً: يوم العيد يوم فرح وسعة: فعن أنس قال: قدم رسول الله المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله: إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر [صحيح سنن أبي داود]. Kesepuluh, hari raya adalah hari kegembiraan dan keberlimpahan. Diriwayatkan dari Anas —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ketika Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tiba di kota Madinah, penduduknya mempunyai dua hari di mana mereka bersenang-senang pada dua hari tersebut, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Di masa jahiliah kami bersenang-senang di dua hari tersebut.” Lantas beliau bersabda, “Allah telah Memberikan ganti kepada kalian untuk dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud) حادي عشر: احذر أخي المسلم الوقوع في المخالفات الشرعية والتي يقع فيها بعض الناس من أخذ الزينة المحرمة كالإسبال، وحلق اللحية، والاحتفال المحرم من سماع الغناء، والنظر المحرم، وتبرج النساء واختلاطهن بالرجال. واحذر أيها الأب الغيور من الذهاب بأسرتك إلى الملاهي المختلطة، والشواطئ والمنتزهات التي تظهر فيها المنكرات. Kesebelas, waspadalah, wahai saudara muslimku, agar tidak terjerumus ke dalam pelanggaran syariat, yang biasanya dilakukan oleh sebagian orang, seperti memakai perhiasan yang terlarang, seperti Isbāl (menjulurkan pakaian melebihi mata kaki, pent), mencukur jenggot, membuat acara terlarang yang diiringi mendengarkan nyanyian, memandang yang haram, dan wanita yang memamerkan kecantikan mereka dan bercampur baur dengan laki-laki. Waspadalah, wahai ayah yang punya rasa cemburu, dengan perginya keluarga ke tempat-tempat yang bercampur baur antara lelaki dan wanita seperti tempat hiburan, pantai, dan tempat-tempat rekreasi yang tampak kemungkarannya. Syaikh Shalih al-Fauzan Sumber: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/13554 PDF sumber artikel. 🔍 Puasa 1 Rajab, Waktu Bayar Fidyah, Tebo Anak Genderuwo Menikah, Cukuran Bayi, Bunyi Sangkakala, Wallpaper Kalimat Tauhid Visited 37 times, 1 visit(s) today Post Views: 636 QRIS donasi Yufid
أحكام صلاة العيد Hukum-Hukum Seputar Salat Id صلاة العيد صلاة العيدين – عيد الفطر وعيد الأضحى – مشروعة بالكتاب والسنة وإجماع المسلمين، وقد كان المشركون يتخذون أعيادا زمانية ومكانية، فأبطلها الإسلام، وعوض عنها عيد الفطر وعيد الأضحى؛ شكرا لله تعالى على أداء هاتين العبادتين العظيمتين: صوم رمضان، وحج بيت الله الحرام. Salat Dua Hari Raya Salat dua hari raya—yakni Idul Fitri dan Idul Adha—disyariatkan berdasarkan al-Quran, Sunah, dan ijmak umat Islam. Dahulu orang-orang musyrik juga memiliki hari raya pada waktu dan tempat tertentu, lalu Islam menghapuskannya dan menggantinya dengan Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai wujud syukur kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas karunia-Nya berupa dua ibadah agung, yaitu menunaikan puasa Ramadan dan haji ke Baitullah al-Haram. وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم؛ أنه لما قدم المدينة، وكان لأهلها يومان يلعبون فيهما؛ قال صلى الله عليه وسلم: قد أبدلكم الله بهما خيرا منهما، يوم النحر، ويوم الفطر فلا تجوز الزيادة على هذين العيدين بإحداث أعياد أخرى كأعياد الموالد وغيرها؛ لأن ذلك زيادة على ما شرعه الله، وابتداع في الدين، ومخالفة لسنة سيد المرسلين، وتشبه بالكافرين، سواء سميت أعيادا أو ذكريات أو أياما أو أسابيع أو أعواما، كل ذلك ليس من سنة الإسلام، بل هو من فعل الجاهلية، وتقليد للأمم الكفرية من الدول الغربية وغيرها، وقد قال صلى الله عليه وسلم: من تشبه بقوم فهو منهم وقال صلى الله عليه وسلم: إن أحسن الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة نسأل الله أن يرينا الحق حقا ويرزقنا اتباعه، وأن يرينا الباطل باطلا ويرزقنا اجتنابه. Ada sebuah riwayat sahih dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa ketika beliau tiba di kota Madinah, penduduknya mempunyai dua hari di mana mereka bersenang-senang pada dua hari tersebut, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Allah telah Memberikan ganti kepada kalian untuk dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Raya Kurban dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud)  Jadi, tidak boleh menambah dua hari raya tersebut dengan membuat hari raya lain, seperti maulid dan lain-lain, karena itu termasuk menambah apa yang telah Allah Syariatkan, bidah dalam agama, dan menyelisihi Sunah penghulu para rasul Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, serta bentuk Tasyabbuh (mengikuti) orang-orang kafir, baik dinamai hari raya, peringatan, atau hari, pekan, dan tahun ini dan itu. Semua bukan bagian dari Sunah dalam Islam, melainkan termasuk perbuatan jahiliah dan meniru-niru bangsa-bangsa kafir di negara-negara Barat dan negara-negara lain. Padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang meniru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga bersabda, “Sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bidah adalah kesesatan.” (HR. An-Nasa’i)   Kami memohon kepada Allah Menunjukkan kepada kita bahwa yang benar adalah benar dan Memberi kita kemampuan untuk mengikutinya, dan Menunjukkan bahwa yang batil adalah batil dan Memberi kita kemampuan untuk meninggalkannya. وسمي العيد عيدا؛ لأنه يعود ويتكرر كل عام؛ ولأنه يعود بالفرح والسرور، ويعود الله فيه بالإحسان على عباده على إثر أدائهم لطاعته بالصيام والحج.والدليل على مشروعية صلاة العيد: قوله تعالى: (فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ) وقوله تعالى: (قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى) وكان النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء من بعده يداومون عليها. Hari raya disebut ʿīd (bahasa Indonesia: id) karena kembali dan berulang setiap tahun; dan karena hari raya itu mengembalikan kegembiraan dan kesenangan, dan Allah kembali Memberikan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya yang telah melaksanakan ketaatan mereka kepada-Nya dengan berpuasa dan haji. Dalil disyariatkannya salat id adalah firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā,  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Maka laksanakanlah salat (Idul Adha) karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kausar: 2)  Juga firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para khalifah setelah beliau senantiasa merutinkan hal tersebut. من يسن له الخروج لصلاة العيد وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بها حتى النساء، فيُسن للمرأة حضورها غير متطيبة ولا لابسة لثياب زينة أو شهرة؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: وليخرجن تفلات، ويعتزلن الرجال، ويعتزل الحُيَّض المصلى قالت أم عطية رضي الله عنها: (كنا نؤمر أن نخرج يوم العيد، حتى تخرج البكر من خدرها، وحتى تخرج الحيض، فيكن خلف الناس، فيكبرن بتكبيرهم، ويدعون بدعائهم؛ يرجون بركة ذلك اليوم وطهرته). Orang yang Disunahkan Keluar untuk Salat Id Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan hal itu, bahkan kepada para wanita. Jadi para wanita dianjurkan datang juga tanpa mengenakan wewangian atau memakai pakaian perhiasan atau yang mencolok, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Hendaknya para wanita keluar tanpa wewangian dan memisahkan diri dari laki-laki. Para wanita yang sedang haid hendaknya menghindari tempat salat.”  Ummu ʿAṯhiyyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya, sampai-sampai para gadis keluar dari rumahnya, dan wanita-wanita haid pun keluar. Mereka berada di belakang orang-orang, lalu  bertakbir dengan takbir mereka dan berdoa dengan doa mereka, demi mengharap keberkahan dan kesucian hari tersebut.” (Muttafaqun ‘Alaihi) والخروج لصلاة العيد وأداء صلاة العيد على هذا النمط المشهود من الجميع فيه إظهار لشعار الإسلام، فهي من أعلام الدين الظاهرة، وأول صلاة صلاها النبي صلى الله عليه وسلم للعيد يوم الفطر من السنة الثانية من الهجرة، ولم يزل صلى الله عليه وسلم يواظب عليها حتى فارق الدنيا صلوات الله وسلامه عليه، واستمر عليها المسلمون خلفا عن سلف، فلو تركها أهل بلد مع استكمال شروطها فيهم، قاتلهم الإمام؛ لأنها من أعلام الدين الظاهرة؛ كالأذان. Keluar untuk salat id dan menunaikan salat secara beramai-ramai dan disaksikan semua orang begini adalah bentuk menampakkan syiar Islam, karena ini merupakan salah satu ciri khas agama Islam yang jelas. Salat id pertama yang dikerjakan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah salat Idul Fitri pada tahun kedua Hijriah. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berhenti mengerjakannya secara rutin sampai beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam meninggal dunia. Kemudian, kaum muslimin masih melanjutkannya secara turun temurun.  Apabila penduduk suatu negeri tidak melaksakannya padahal syarat-syaratnya terpenuhi, maka pihak penguasa memerangi mereka, karena ini merupakan salah satu ciri khas agama Islam yang jelas, seperti azan. مكان إقامة صلاة العيد: وينبغي أن تؤدى صلاة العيد في صحراء قريبة من البلد؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي العيدين في المصلى الذي على باب المدينة؛ فعن أبي سعيد: كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج في الفطر والأضحى إلى المصلى متفق عليه، ولم ينقل أنه صلاها في المسجد لغير عذر؛ ولأن الخروج إلى الصحراء أوقع لهيبة المسلمين والإسلام، وأظهر لشعائر الدين، ولا مشقة في ذلك؛ لعدم تكرره؛ بخلاف الجمعة؛ إلا في مكة المشرفة؛ فإنها تصلى في المسجد الحرام. Tempat Pelaksanaan Salat Id Salat id dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan suatu daerah, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu mengerjakan salat dua hari raya di Muṣallā (yakni tanah lapang yang dijadikan tempat salat, pent) di depan gerbang kota Madinah. Diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar ke Muṣallā ketika Idul Fitri dan Idul Adha. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Alasannya, karena tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat di masjid tanpa adanya suatu uzur, dan karena keluar ke tanah lapang lebih menampakkan kewibawaan umat Islam dan agama Islam, serta menunjukkan syiar agama ini. Hal tersebut tidaklah memberatkan, karena tidak sering dilakukan, berbeda dengan salat Jumat. Kecuali jika di kota Makkah yang suci, maka salat id-nya dilaksanakan di Masjidil Haram. وقت صلاة العيد ويبدأ وقت صلاة العيد إذا ارتفعت الشمس بعد طلوعها قدر رمح؛ لأنه الوقت الذي كان النبي صلى الله عليه وسلم يصليها فيه، ويمتد وقتها إلى زوال الشمس. فإن لم يعلم بالعيد إلا بعد الزوال، صلوا من الغد قضاء؛ لما روى أبو عمير بن أنس عن عمومة له من الأنصار؛ قالوا: (غُم علينا هلال شوال، فأصبحنا صياما، فجاء ركب في آخر النهار، فشهدوا أنهم رأوا الهلال بالأمس، فأمر النبي صلى الله عليه وسلم الناس أن يفطروا من يومهم، وأن يخرجوا غدا لعيدهم) رواه أحمد أبو داود والدارقطني وحسنه، وصححه جماعة من الحفاظ،  Waktu Pelaksanaan Salat Id Waktu salat id dimulai saat matahari sudah meninggi setinggi tombak—karena itulah waktu di mana Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melaksanakannya—dan waktunya tetap berlanjut sampai matahari tergelincir. Jika salat id tidak diketahui kecuali setelah matahari tergelincir, maka hendaknya orang-orang mengqadanya esok hari.  Hal ini berdasarkan riwayat Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang merupakan orang Ansar yang berkata, “Kami terhalang dari melihat hilal bulan Syawal, maka keesokan harinya kami berpuasa. Lalu ada kafilah yang datang di tengah hari, yang mana mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin, maka Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang untuk tidak puasa pada hari itu dan keluar untuk salat id keesokan harinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan ad-Daraqutni dan beliau menilainya hasan, dan juga dinilai hasan oleh sejumlah H̱āfiẓ)  Jika memang boleh dikerjakan setelah matahari tergelincir, tentu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak akan menundanya hingga keesokan harinya. Di samping itu, salat id disyariatkan agar dikerjakan secara dalam jemaah yang besar, sehingga harus ada waktu agar manusia bisa bersia-siap. فلو كانت تؤدى بعد الزوال؛ لما أخرها النبي صلى الله عليه وسلم إلى الغد؛ ولأن صلاة العيد شُرع لها الاجتماع العام؛ فلا بد أن يسبقها وقت يتمكن الناس من التهيؤ لها.ويُسن تقديم صلاة الأضحى وتأخير صلاة الفطر؛ لما روى الشافعي مرسلا (أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب إلى عمرو بن حزم: أن عَجِّل الأضحى، وأَخِّر الفطر، وذَكِّر الناس) وليتسع وقت التضحية بتقديم الصلاة في الأضحى، وليتسع الوقت لإخراج زكاة الفطر قبل صلاة الفطر. Disunahkan untuk lebih memajukan salat Adha dan mengakhirkan salat Idul Fitri, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Syafii secara Mursal bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menulis surat kepada Amr bin Hazm agar menyegerakan salat Idul Adha, mengakhirkan Idul Fitri, dan memberi peringatan kepada manusia. Hal itu agar ada waktu yang cukup untuk penyembelihan dengan disegerakannya sala Idul Adha, dan agar ada waktu yang cukup untuk membayar zakat fitrah sebelum salat Idul Fitri dilaksanakan. بعض مما يسن و يستحب فعله لصلاة العيد: ويسن أن يأكل قبل الخروج لصلاة الفطر تمرات، وأن لا يطعم يوم النحر حتى يصلي؛ لقول بريدة: (كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يخرج يوم الفطر حتى يفطر، ولا يطعم يوم النحر حتى يصلي) رواه أحمد وغيره. قال الشيخ تقي الدين: لما قدم الله الصلاة على النحر في قوله: (فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ) وقدم التزكي على الصلاة في قوله: (قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى) كانت السنة أن الصدقة قبل الصلاة في عيد الفطر، وأن الذبح بعد الصلاة في عيد النحر. Beberapa Hal yang Disunahkan dan Dianjurkan untuk Dilakukan Saat Salat Id Disunahkan agar memakan beberapa kurma terlebih dahulu sebelum keluar untuk salat Idul Fitri, dan agar tidak makan pada Hari Raya Kurban sampai salat terlebih dulu. Hal ini berdasarkan hadis Buraidah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak keluar saat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan beliau tidak makan dahulu saat Idul Kurban sampai beliau salat terlebih dulu. (HR. Ahmad dan lain-lain) Syekh Taqiyuddin berkata bahwa alasannya adalah karena Allah telah Mendahulukan salat daripada kurban dalam firman-Nya,  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Maka laksanakanlah salat (Idul Adha) karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kausar: 2)  Demikian pula didahulukan zakat daripada salat dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Jadi, sunahnya adalah zakat dahulu sebelum salat Idul Fitri, dan penyembelihan dilakukan setelah salat Idul Adha. ويسن التبكير في الخروج لصلاة العيد؛ ليتمكن من الدنو من الإمام، وتحصل له فضيلة انتظار الصلاة، فيكثر ثوابه. ويسن أن يتجمل المسلم لصلاة العيد بلبس أحسن الثياب، لحديث جابر: كانت للنبي صلى الله عليه وسلم حلة يلبسها في العيدين ويوم الجمعة رواه ابن خزيمة في صحيحه، وعن ابن عمر أنه كان يلبس في العيدين أحسن ثيابه رواه البيهقي بإسناد جيد. Disunahkan untuk bersegera keluar untuk salat id agar bisa dekat dengan imam, dan memperoleh keutamaan menanti salat, sehingga pahalanya lebih banyak. Disunahkan bagi seorang muslim untuk berhias diri untuk salat id dengan mengenakan pakaiannya yang paling bagus, berdasarkan hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mempunyai setelan pakaian yang beliau pakai saat hari raya dan hari Jumat. (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya)  Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau mengenakan pakaian terbaiknya untuk dua hari raya. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang baik). ما يشترط لصلاة العيد: ويشترط لصلاة العيد الاستيطان؛ بأن يكون الذين يقيمونها مستوطنين في مساكن مبنية بما جرت العادة بالبناء به، كما في صلاة الجمعة؛ فلا تقام صلاة العيد إلا حيث يسوغ إقامة صلاة الجمعة؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم وافق العيد في حجته، ولم يصلها، وكذلك خلفاؤه من بعده. Prasyarat dalam Pelaksanaan Salat Id Istīṯhān menjadi prasyarat pelaksanaan salat id, yaitu bahwa orang-orang yang menyelenggarakannya haruslah orang yang statusnya penduduk tetap yang mendiami bangunan-bangunan di tempat-tempat yang secara adat kebiasaan dibangun di atasnya. Hal ini sebagaimana salat Jumat. Salat id tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan cara sebagaimana dibolehkannya penyelenggaraan salat Jumat. Karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika berhaji dan bertepatan dengan hari raya, beliau tidak menyelenggarakannya, begitu pula para khalifah setelah beliau. عدد ركعات صلاة العيد: وصلاة العيد ركعتان قبل الخطبة، لقول ابن عمر: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبو بكر وعمر وعثمان يصلون العيدين قبل الخطبة) متفق عليه، وقد استفاضت السنة بذلك وعليه عامة أهل العلم، قال الترمذي: والعمل عليه عند أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم، أن صلاة العيدين قبل الخطبة . وحكمة تأخير الخطبة عن صلاة العيد وتقديمها على صلاة الجمعة أن خطبة الجمعة شرط للصلاة، والشرط مقدم على المشروط، بخلاف خطبة العيد؛ فإنها سنة. Jumlah Rakaat Salat Id Salat id dilaksanakan dalam dua rakaat sebelum khotbah, berdasarkan perkataan Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman mengerjakan salat dua hari raya sebelum khotbah. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Banyak sekali hadis tentang hal tersebut dan inilah pendapat mayoritas ulama. At-Tirmidzi berkata bahwa hal tersebut diamalkan para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan selain mereka, yakni bahwa salat dua hari raya dikerjakan sebelum khotbah. Hikmah diakhirkannya khotbah setelah salat id, tetapi didahulukan dalam salat Jumat, adalah bahwa khotbah Jumat merupakan syarat dalam salat tersebut, karena syarat harus ada terlebih dahulu, berbeda dengan khutbah salat id, yang mana khotbahnya adalah sunah. وصلاة العيدين ركعتان بإجماع المسلمين، وفي الصحيحين وغيرهما عن ابن عباس؛ (أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج يوم الفطر، فصلى ركعتين لم يصل قبلهما ولا بعدهما) وقال عمر: (صلاة الفطر والأضحى ركعتان، تمام غير قصر، على لسان نبيكم صلى الله عليه وسلم، وقد خاب من افترى) رواه أحمد وغيره. Salat dua hari raya adalah salat dua rakaat dengan kesepakatan umat Islam. Dalam Shahihain dan kitab lain diriwayatkan dari Ibn Abbas —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar saat Idul Fitri, lalu salat dua rakaat tanpa diiringi salat lain sebelum atau sesudahnya. Umar —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Salat Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua rakaat, berupa salat yang sempurna dan bukan qasar, berdasarkan lisan Nabi kalian Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka celakalah bagi orang yang mengada-ada.” (HR. Ahmad dan yang lainnya) الأذان والإقامة في صلاة العيد: ولا يشرع لصلاة العيد أذان ولا إقامة؛ لما روى مسلم عن جابر: (صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم العيد غير مرة ولا مرتين، فبدأ بالصلاة قبل الخطبة، بغير أذان ولا إقامة). Azan dan Ikamah dalam Salat Id Dalam salat id tidak disyariatkan azan dan ikamah, berdasarkan riwayat Muslim dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— “Aku salat id bersama Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bukan hanya sekali atau dua kali, di mana beliau memulai dengan salat sebelum khotbah, tanpa ada azan dan ikamah.” صفة صلاة العيد والتكبير فيها: ويكبر في الركعة الأولى بعد تكبيرة الإحرام والاستفتاح وقبل التعوذ والقراءة ست تكبيرات؛ فتكبيرة الإحرام ركن، لا بد منها، لا تنعقد الصلاة بدونها، وغيرها من التكبيرات سنة، ثم يستفتح بعدها؛ لأن الاستفتاح في أول الصلاة، ثم يأتي بالتكبيرات الزوائد الست، ثم يتعوذ عقب التكبيرة السادسة؛ لأن التعوذ للقراءة، فيكون عندها، ثم يقرأ. ويكبر في الركعة الثانية قبل القراءة خمس تكبيرات غير تكبيرة الانتقال؛ لما روى أحمد عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده (أن النبي صلى الله عليه وسلم كبر في عيد ثنتي عشرة تكبيرة، سبعًا في الأولى، وخمسا في الآخرة) وإسناده حسن. Tata Cara Salat Id dan Takbirnya Salat id dilakukan dengan bertakbir enam kali takbir di rakaat pertama setelah Takbiratul Ihram dan sebelum doa iftitah, taawuz, dan membaca (al-Quran).  Takbiratul Ihram termasuk rukun, sehingga harus dikerjakan dan salat tidak sah tanpanya. Takbir-takbir yang lainnya adalah sunah. Setelah itu, membaca iftitah, karena doa iftitah letaknya di awal salat.  Kemudian, melakukan enam takbir tambahan. Lalu membaca taawuz setelah enam takbir tersebut, karena taawuz adalah untuk bacaan al-Quran, sehingga dibaca sebelum itu.  Kemudian membaca (al-Fatihah, dan seterusnya, pent). Kemudian dalam rakaat kedua sebelum membaca (al-Quran) bertakbir dulu lima kali, selain takbir Intiqāl (Takbir untuk berpindah ke rakaat berikutnya, pent)  Dalilnya adalah riwayat Ahmad dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertakbir dalam salat id dengan 12 kali takbir, tujuh di rakaat pertama dan lima di rakaat kedua. Sanad riwayat ini hasan. وروي غير ذلك في عدد التكبيرات: قال الإمام أحمد رحمه الله: اختلف أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في التكبير، وكله جائز . ويرفع يديه مع كل تكبيرة؛ (لأنه صلى الله عليه وسلم كان يرفع يديه مع التكبير). ويُسن أن يقول بين كل تكبيرتين: الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا، وصلى الله على محمد النبي وآله وسلم تسليما كثيرا؛ لقول عقبة بن عامر: (سألت ابن مسعود عما يقوله بعد تكبيرات العيد؛ قال: يحمد الله، ويثني عليه، ويصلي على النبي) ورواه البيهقي بإسناده عن ابن مسعود قولا وفعلا.وقال حذيفة: صدق أبو عبدالرحمن . Ada riwayat lain yang menyebutkan jumlah takbir selain itu. Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan bahwa para Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berbeda pendapat tentang takbir (salat id), yang semuanya boleh diamalkan. Setiap takbir dilakukan dengan mengangkat tangan, karena beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengangkat tangan beliau setiap kali bertakbir.  Di antara dua takbir disunahkan untuk membaca, “Allāhu akbar kabīrāw walẖamdulillāhi katsīrāw wa subẖānallāhi bukrataw wa aṣhīlā wa ṣhallallāhu ʿalā muẖammadin nabiyyi wa ālihi was sallama tasliman katsīrā (artinya: Allah Maha Besar dengan kebesaran yang sempurna, dan segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allah baik di waktu pagi maupun petang. Semoga Allah Melimpahkan selawat dan salam yang banyak untuk Muhammad Sang Nabi beserta keluarga beliau).”  Hal ini berdasarkan perkataan Uqbah bin Amir yang berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang apa yang dia baca setelah takbir dalam salat id, maka dia menjawab bahwa dia membaca tahmid, memuji Allah, dan berselawat kepada Nabi.” Riwayat ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya dari Ibnu Mas’ud dengan perkataan dan perbuatan. Hudzaifah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Abu Abdurrahman benar.” وإن أتى بذكر غير هذا؛ فلا بأس؛ لأنه ليس فيه ذكر معين. قال ابن القيم: كان يسكت بين كل تكبيرتين سكتة يسيرة، ولم يحفظ عنه ذكر معين بين التكبيرات اهـ.وإن شك في عدد التكبيرات، بنى على اليقين، وهو الأقل. وإن نسي التكبير الزائد حتى شرع في القراءة؛ سقط؛ لأنه سنة فات محلها. وكذا إن أدرك المأموم الإمام بعدما شرع في القراءة؛ لم يأت بالتكبيرات الزوائد، أو أدركه راكعا؛ فإنه يكبر تكبيرة الإحرام، ثم يركع، ولا يشتغل بقضاء التكبير. Jika seseorang membaca zikir selain itu, maka tidak mengapa, karena memang tidak ada zikir khususnya. Ibnul Qayyim berkata bahwa beliau diam sejenak di antara dua takbir dan tidak ada riwayat yang dihafal dari beliau tentang bacaan zikir tertentu  di antara dua takbir tersebut. Selesai kutipan. Jika seseorang ragu berapa jumlah takbirnya, maka dia ambil yang dia yakini, yaitu jumlah terkecil. Jika dia lupa takbir tambahan hingga sudah mulai membaca (al-Fatihah), maka syariat takbir itu gugur, karena itu sunah dan sudah terlewat tempatnya. Demikan juga jika makmum mendapati imam sudah mulai membaca (al-Quran), maka tidak perlu melakukan takbir tambahan lagi atau mengganti rakaatnya, karena dia sudah melakukan Takbiratul Ihram, lalu rukuk, dan tidak perlu juga mengganti takbirnya. وصلاة العيد ركعتان، يجهر الإمام فيهما بالقراءة، لقول ابن عمر: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يجهر بالقراءة في العيدين والاستسقاء) رواه الدارقطني، وقد أجمع العلماء على ذلك، ونقله الخلف عن السلف، واستمر عمل المسلمين عليه. ويقرأ في الركعة الأولى بعد الفاتحة بـ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) ويقرأ في الركعة الثانية بالغاشية؛ لقول سمرة: (إن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في العيدين بـ) (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) و (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) رواه أحمد. أو يقرأ في الركعة الأولى بـ (ق)، وفي الثانية بـ (اقتربت)، لما في صحيح مسلم والسنن وغيرها؛ أنه صلى الله عليه وسلم كان يقرأ بـ (ق) و (اقتربت). Salat id dikerjakan dua rakaat, di mana imam membaca secara jahar, berdasarkan perkataan Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjaharkan bacaan dalam salat id dan Istisqāʾ. (HR. Ad-Daruquthni)  Para ulama bersepakat mengenai hal ini, yang telah dinukil oleh para ulama, baik dari kalangan klasik maupun kontemporer, dan diamalkan terus-menerus oleh umat Islam. Hendaknya pada rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca Sabbiẖisma rabbikal aʿlā (Surah al-A’lā), dan di rakaat kedua surah al-Ghasyiyah. Hal ini berdasarkan perkataan Samurah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu saat salat id membaca “Sabbiẖisma rabbikal aʿlā” dan “Hal atāka ẖadītsul ghāsyiyah.” (HR. Ahmad) Bisa juga membaca Qāf (surah Qaf) pada rakaat pertama lalu Iqtarabat (surah al-Qamar), berdasarkan riwayat dalam Shahih Muslim, kitab Sunan, dan lain-lain bahwasanya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam membaca Qāf dan Iqtarabat. قال شيخ الإسلام ابن تيمية: مهما قرأ به؛ جاز، كما تجوز القراءة في نحوها من الصلوات، لكن إن قرأ: (ق) و (اقتربت) أو نحو ذلك مما جاء في الأثر؛ كان حسنا، وكانت قراءته في المجامع الكبار بالسور المشتملة على التوحيد والأمر والنهي والمبدأ والمعاد وقصص الأنبياء مع أممهم، وما عامل الله به من كذبهم وكفر بهم وما حل بهم من الهلاك والشقاء، ومن آمن بهم وصدَّقهم، وما لهم من النجاة والعافية انتهى. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa apa pun yang seseorang baca, boleh saja, sebagaimana boleh membaca apa pun dalam salat lain. Hanya saja, jika dia  membaca Qāf dan Iqtarabat atau surah lain yang disebutkan dalam riwayat, maka itu yang baik. Surah yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam baca di perkumpulan besar seperti itu adalah surah-surah yang memuat tauhid, perintah, larangan, awal penciptaan, akhirat, dan kisah-kisah para nabi dengan umat mereka serta apa yang Allah Lakukan kepada mereka karena mereka mendustakan dan mengkufuri para Nabi dan kebinasaan dan kesengsaraan yang menimpa mereka, dan juga apa Yang Allah Lakukan kepada orang-orang yang beriman dan membenarkan para nabi serta keselamatan dan kesejahteraan yang mereka dapatkan. Selesai kutipan. صفة خطبة العيد: فإذا سلم من الصلاة؛ خطب خطبتين، يجلس بينهما؛ لما روى عبيد الله بن عبيد الله بن عتبة؛ قال: (السنة أن يخطب الإمام في العيدين خطبتين، يفصل بينهما بجلوس) رواه الشافعي، ولابن ماجه عن جابر: (خطب قائما، ثم قعد قعدة، ثم قام) وفي الصحيح وغيره: (بدأ بالصلاة، ثم قام متوكئا على بلال، فأمر بتقوى الله، وحث على طاعته…الحديث)، ولمسلم ثم ينصرف، فيقوم مقابل الناس، والناس جلوس على صفوفهم ويحثهم في خطبة عيد الفطر على إخراج صدقة الفطر، ويبين لهم أحكامها؛ من حيث مقدارها، ووقت إخراجها، ونوع المخرج فيها.ويرغبهم في خطبة عيد الأضحى في ذبح الأضحية، ويبين لهم أحكامها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم ذكر في خطبة الأضحى كثيرا من أحكامها. Tata Cara Khotbah Hari Raya Ketika imam sudah salam dari salatnya, lalu dia menyampaikan khotbah dalam dua khotbah dengan diselingi duduk di antara keduanya. Hal ini berdasarkan riwayat Ubaidillah bin Ubaidillah bin Utbah yang mengatakan bahwa yang sunah bagi imam dalam salat dua hari raya adalah menyampaikan dua khotbah yang dipisah dengan duduk. (HR. Asy-Syafii) Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu menyampaikan khotbah sambil berdiri, kemudian duduk sejenak lalu berdiri lagi. Disebutkan pula dalam kitab Shahih dan yang lainnya bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memulai salat, lalu berdiri bersandar kepada Bilal, kemudian beliau berwasiat ketakwaan kepada Allah, mendorong untuk menaati-Nya, … hingga akhir hadis.  Dalam riwayat muslim disebutkan bahwa seusai salat, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri menghadap orang-orang, sementara mereka duduk di saf-saf mereka dan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam  mengajak mereka dalam khotbah Idul Fitri untuk membayar zakat fitrah, dan menjelaskan kepada mereka hukum-hukumnya; dari sisi takarannya, waktu membayarkannya, dan dari jenis apa yang dibayarkan. Adapun dalam khotbah Idul Adha, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memotivasi mereka untuk berkurban dan menjelaskan kepada mereka hukum-hukumnya, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam khotbah Idul Adha memang sering membahas hukum-hukumnya. وهكذا ينبغي للخطباء أن يركزوا في خطبهم على المناسبات؛ فيبينوا للناس ما يحتاجون إلى بيانه في كل وقت بحسبه بعد الوصية بتقوى الله والوعظ والتذكير، لا سيما في هذه المجامع العظيمة والمناسبات الكريمة؛ فإنه ينبغي أن تُضمن الخطبة ما يفيد المستمع ويذكر الغافل ويعلم الجاهل. وينبغي حضور النساء لصلاة العيد، كما سبق بيانه، وينبغي أن توجه إليهن موعظة خاصة ضمن خطبة العيد؛ لأنه عليه الصلاة والسلام لما رأى أنه لم يُسمع النساء؛ أتاهن، فوعظهن، وحثهن على الصدقة، وهكذا ينبغي أن يكون للنساء نصيب من موضوع خطبة العيد؛ لحاجتهن إلى ذلك، واقتداء بالنبي صلى الله عليه وسلم. Demikianlah, para khatib hendaknya memfokuskan pembahasan dalam khotbahnya sesuai momennya dan menjelaskan kepada manusia penjelasan yang mereka perlukan setiap saat sesuai kadarnya setelah berwasiat tentang ketakwaan, nasihat, dan peringatan, apalagi dalam pertemuan besar dan momen mulia seperti ini. Khotbahnya hendaklah memuat sesuatu yang bermanfaat bagi para pendengar, menggugah yang lalai, dan mengajari yang tidak tahu.  Para wanita hendaknya ikut menghadiri salat id, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hendaknya ada nasihat khusus untuk mereka dalam khotbah hari raya,  karena beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika merasa tidak terdengar oleh para wanita, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendatangi mereka, menasihati mereka, dan mendorong mereka untuk bersedekah.  Demikianlah, seyogianya ada pembahasan khusus bagi wanita dalam khotbah hari raya, karena mereka membutuhkannya dan untuk meneladan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. التنفل قبل صلاة العيد وبعدها: ومن أحكام صلاة العيد أنه يكره التنفل قبلها وبعدها في موضعها، حتى يفارق المصلي؛ لقول ابن عباس رضي الله عنهما: (خرج النبي صلى الله عليه وسلم يوم عيد؛ فصلى ركعتين لم يصل قبلهما ولا بعدهما) متفق عليه؛ ولئلا يتوهم أن لها راتبة قبلها أو بعدها. قال الإمام أحمد: أهل المدينة لا يتطوعون قبلها ولا بعدها . Salat Sunah Sebelum dan Sesudah Salat Id Di antara hukum-hukum yang berkaitan dengan salat id adalah dimakruhkannya salat sunah sebelum dan sesudahnya di Muṣhallā sampai seseorang beranjak dari tempat tersebut. Hal ini berdasarkan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar pada hari raya lalu salat dua rakaat tanpa salat sebelumnya atau setelahnya. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Hal ini agar tidak disalahpahami bahwa salat id ada sunah Rawatib sebelum atau sesudahnya. Imam Ahmad berkata bahwa penduduk Madinah tidak salat sunah sebelum dan sesudah salat id. وقال الزهري: لم أسمع أحدا من علمائنا يذكر أن أحدا من سلف هذه الأمة كان يصلي قبل تلك الصلاة ولا بعدها، وكان ابن مسعود وحذيفة ينهيان الناس عن الصلاة قبلها .فإذا رجع إلى منزله؛ فلا بأس أن يصلي فيه؛ لما روى أحمد وغيره، (أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا دخل إلى منزله؛ صلى ركعتين) ويسن لمن فاتته صلاة العيد أو فاته بعضها قضاؤها على صفتها، بأن يصليها ركعتين؛ بتكبيراتها الزوائد؛ لأن القضاء يحكي الأداء؛ ولعموم قوله صلى الله عليه وسلم (فما أدركتم؛ فصلوا، وما فاتكم، فأتموا) فإذا فاتته ركعة مع الإمام؛ أضاف إليها أخرى، وإن جاء والإمام يخطب؛ جلس لاستماع الخطبة، فإذا انتهت؛ صلاها قضاء، ولا بأس بقضائها منفردا أو مع جماعة. Az-Zuhri berkata, “Saya tidak pernah mendengar satu pun ulama kami menyebutkan bahwa ada dari kalangan Salaf umat ini yang salat sebelum atau sesudah salat id.” Ibnu Mas’ud dan Hudzaifah melarang orang-orang salat sebelum salat id.  Adapun jika sudah kembali ke rumah, maka tidak mengapa salat di rumah. Hal ini berdasarkan riwayat yang diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika masuk ke rumahnya, beliau salat dua rakaat. Disunahkan bagi orang yang terlewat salat id atau ketinggalan sebagiannya untuk mengqadanya dengan cara yang sama, yakni dengan melakukan salat dua rakaat disertai takbir-takbir tambahannya. Alasannya adalah karena tata cara qada itu haruslah sebagaimana tata cara pelaksanaannya pada waktunya, di samping ada sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Apa yang kalian dapati maka kerjakanlah salat itu, dan apa yang kalian lewatkan maka sempurnakan.”  Jadi, jika seseorang melewatkan satu rakaat bersama imam; maka hendaknya dia tambahkan satu rakaat lagi. Jika dia datang saat imam sudah menyampaikan khotbah; hendaknya dia duduk untuk mendengarkan khotbah, lalu setelah selesai, hendaknya mengqada salat idnya. Tidak masalah mengqadanya secara munfarid atau berjamaah.  صفة التكبير في العيد ووقته: ويسن في العيدين التكبير المطلق، وهو الذي لا يتقيد بوقت، يرفع به صوته، إلا الأنثى؛ فلا تجهر به، فيكبر في ليلتي العيدين، وفي كل عشر ذي الحجة؛ لقوله تعالى: (وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ) ويجهر به في البيوت والأسواق والمساجد وفي كل موضع يجوز فيه ذكر الله تعالى، ويجهر به في الخروج إلى المصلى؛ لما أخرجه الدارقطني وغيره عن ابن عمر؛ أنه كان إذا غدا يوم الفطر ويوم الأضحى؛ يجهر بالتكبير، حتى يأتي المصلى، ثم يكبر حتى يأتي الإمام وفي الصحيح: كنا نؤمر بإخراج الحيض، فيكبرن بتكبيرهم ولمسلم: يكبرن مع الناس فهو مستحب لما فيه من إظهار شعائر الإسلام . Tata Cara Takbir Hari Raya dan Waktunya Dalam dua hari raya ini, disunahkan: Takbir Mutlak Takbir Mutlak adalah takbir yang tidak terikat dengan waktu dengan cara meninggikan suara, kecuali bagi wanita. Wanita tidak boleh membacanya secara jahar. Takbir dikumandangkan di malam-malam hari raya dan di sepanjang sepuluh Zulhijah. Hal ini berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)  Takbir digemakan di rumah-rumah, di pasar-pasar, di masjid-masjid, dan di setiap tempat yang diperbolehkan untuk berzikir kepada Allah. Demikian juga saat keluar ke tempat salat id. Hal ini berdasarkan riwayat ad-Daraqutni dan yang lainnya dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwasanya beliau jika keluar rumah di pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha  menggemakan takbir hingga sampai di tempat salat, kemudian terus bertakbir sampai imam datang. Dalam kitab Shahih disebutkan, “Kami diperintahkan untuk menyuruh keluar wanita haid, lalu mereka bertakbir dengan takbirnya para lelaki.” Dalam riwayat Muslim dinyatakan, “Mereka bertakbir bersama orang-orang.” Hal itu dianjurkan karena menampakkan syiar Islam. والتكبير في عيد الفطر آكد؛ لقوله تعالى: (وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ) فهو في هذا العيد آكد؛ لأن الله أمر به.  Takbir pada hari raya Idul Fitri lebih ditekankan lagi, berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185) Jadi, takbir ini lebih ditekankan lagi di hari raya ini, karena Allah Memerintahkan demikian.  ويزيد عيد الأضحى بمشروعية التكبير المقيد فيه، وهو التكبير الذي شرع عقب كل صلاة فريضة في جماعة، فيلتفت الإمام إلى المأمومين، ثم يكبر ويكبرون؛ لما رواه الدارقطني وابن أبي شيبة وغيرهما من حديث جابر: أنه كان صلى الله عليه وسلم إذا صلى الصبح من غداة عرفة، يقول: الله أكبر …الحديث. ويبتدأ التكبير المقيد بأدبار الصلوات في حق غير المحرم من صلاة الفجر يوم عرفة إلى عصر آخر أيام التشريق، وأما المحرم؛ فيبتدئ التكبير المقيد في حقه من صلاة الظهر يوم النحر إلى عصر آخر أيام التشريق؛ لأنه قبل ذلك مشغول بالتلبية. Takbir Muqayyad Di hari raya Idul Adha ditambah syariat Takbir Muqayyad, yaitu takbir yang disyariatkan setiap selesai salat wajib secara berjamaah. Imam menghadap kepada makmum, lalu dia bertakbir dan mereka juga bertakbir. Hal ini berdasarkan riwayat ad-Daruqutni dan Ibnu Abi Syaibah dan selain mereka dari hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwasanya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika selesai salat Subuh di pagi hari Arafah mengucapkan, “Allāhuakbar …” dan seterusnya. Takbir Muqayyad dimulai seusai salat bagi orang yang tidak sedang ihram sejak salat subuh di hari Arafah hingga salat Asar terakhir di hari-hari Tasyrik. Adapun orang yang ihram, maka dia memulai Takbir Muqayyad sejak salat Zuhur di Hari Raya Kurban sampai  salat Asar terakhir di hari-hari Tasyrik. Hal itu karena sebelum itu mereka disibukkan dengan talbiah.  روى الدارقطني عن جابر: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يكبر في صلاة الفجر يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق حين يسلم من المكتوبات) وفي لفظ: (كان إذا صلى الصبح من غداة عرفة؛ أقبل على أصحابه فيقول: مكانكم، ويقول: الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد).وقال الله تعالى: (وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ) وهي أيام التشريق. وقال الإمام النووي: هو الراجح وعليه العمل في الأمصار Al-Daraqutni meriwayatkan dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu bertakbir ketika salat Subuh di hari Arafah hingga waktu Asar di hari terakhir Tasyrik seusai salam dari salat wajib. Dalam redaksi lain, “Dahulu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam setelah salat Subuh di pagi hari Arafah menghadap kepada para Sahabat beliau lalu mengucapkan, “Tetap di tempat kalian masing-masing,” lalu beliau mengucapkan, “Allāhuakbar, Allāhuakbar, Allāhuakbar, Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar, Allāhuakbar wa lillāhil ẖamdu (artinya:  Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang benar selain Allah, dan Allah Yang Maha Besar. Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi-Nya.)” Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya.” (QS. Al-Baqarah: 203) Maksudnya hari-hari Tasyrik. Imam an-Nawawi berkata, “Inilah pendapat yang lebih tepat dan inilah yang diamalkan di berbagai negeri.” وقال شيخ الإسلام ابن تيمية: أصح الأقوال في التكبير الذي عليه الجمهور من السلف والفقهاء من الصحابة والأئمة: أن يكبر من فجر يوم عرفة إلى آخر أيام التشريق عقب كل صلاة؛ لما في السنن: (يوم عرفة ويوم النحر وأيام منى عيدنا أهل الإسلام، وهي أيام أكل وشرب وذكر لله)، وكون المحرم يبتدئ التكبير المقيد من صلاة الظهر يوم النحر؛ لأن التلبية تُقطع برمي جمرة العقبة، ووقت رمي جمرة العقبة المسنون ضحى يوم النحر، فكان المحرم فيه كالمُحِل، فلو رمى جمرة العقبة قبل الفجر، فلا يبتدئ التكبير إلا بعد – صلاة الظهر أيضا؛ عملا على الغالب .انتهى. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa pendapat yang paling tepat mengenai takbir ini adalah pendapat mayoritas Salaf dan fukaha dari kalangan Sahabat dan para imam ulama, yaitu bertakbir sejak fajar di hari Arafah hingga akhir hari Tasyrik setiap selesai salat, berdasarkan Sunah yang menyatakan, “Hari Arafah, Hari Kurban, dan hari-hari di Mina adalah hari raya kita, umat Islam, yang merupakan hari-hari makan, minum, dan berzikir kepada Allah.” Adapun bagi orang yang ihram, mereka memulai Takbir Muqayyad saat salat zuhur pada Hari Kurban, karena talbiah baru selesai saat lempar jamarat Aqabah, sementara jamarat Aqabah disunahkan dikerjakan di waktu duha pada Hari Raya Kurban. Jadi, orang yang ihram di sana seperti yang tidak ihram. Jika dia melempar  jamarat Aqabah sebelum Subuh, maka dia tetap tidak memulai takbir kecuali setelah salat Zuhur juga, karena dihukumi mana yang lebih dominan. Selesai kutipan. وصفة التكبير أن يقول: الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد. ولا بأس بتهنئة الناس بعضهم بعضا؛ بأن يقول لغيره: تقبل الله منا ومنك. قال شيخ الإسلام ابن تيمية: قد روي عن طائفة من الصحابة أنهم كانوا يفعلونه، ورخص فيه الأئمة كأحمد وغيره اهـ. والمقصود من التهنئة التودد وإظهار السرور. وقال الإمام أحمد: لا أبتدئ به، فإن ابتدأني أحد؛ أجبته . وذلك لأن جواب التحية واجب، وأما الابتداء بالتهنئة؛ فليس سنة مأمورا بها، ولا هو أيضا مما نهي عنه، ولا بأس بالمصافحة في التهنئة. Cara bertakbirnya adalah dengan mengucapkan, “Allāhuakbar, Allāhuakbar, Allāhuakbar, Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar, Allāhuakbar wa lillāhil ẖamdu (artinya:  Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang benar selain Allah, dan Allah Yang Maha Besar. Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi-Nya.)” Tidak mengapa saling memberi ucapan selamat, di mana seseorang mengucapkan kepada orang lain, “Taqabbalallāhu minnā wa minka (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan Anda).”  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa ada riwayat dari sebagian Sahabat bahwa mereka dahulu melakukan demikian. Para imam, seperti Ahmad dan lain-lain juga membolehkannya.  Tujuan ucapan ini adalah berkasih sayang dan menampakkan kebahagiaan.  Imam Ahmad berkata, “Aku tidak akan memulai duluan, tapi jika seseorang mengucapkan dulu kepadaku, aku akan membalasnya.”  Hal itu karena membalas ucapan selamat hukumnya wajib, adapun memulai duluan memberi ucapan selamat bukanlah sunah dan tidak diperintahkan, tapi juga tidak terlarang. Tidak mengapa juga berjabat tangan saat mengucapkan selamat. وقفات مع العيد أولاً: الاستعداد لصلاة العيد بالاغتسال وجميل الثياب: فقد أخرج مالك في موطئه عن نافع: (أن ابن عمر رضي الله عنهما كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى) [وهذا إسناد صحيح]. قال ابن القيم: (ثبت عن ابن عمر مع شدة اتباعه للسنة أنه كان يغتسل يوم العيد قبل خروجه) [زاد المعاد 1/442]. وثبت عنه أيضاً لبس أحسن الثياب للعيدين.قال ابن حجر: (روى ابن أبي الدنيا والبهيقي بإسناد صحيح إلى ابن عمر أنه كان يلبس أحسن ثيابه في العيدين) [فتح الباري 2/51]. وبهذين الأثرين وغيرهما أخذ كثير من أهل العلم استحباب الاغتسال والتجمل للعيدين. Catatan-catatan dalam Berhari Raya Pertama, bersiap-siap untuk salat id dengan mandi dan berpakaian yang bagus. Malik meriwayatkan dalam kitab Muwaṯhṯhaʾ-nya dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mandi di hari raya sebelum berangkat ke tempat salat. Sanad riwayat ini sahih. Ibnul Qayyim berkata bahwa ada riwayat dari Ibnu Umar—dengan kesungguhan beliau dalam mengikuti Sunah—bahwa beliau mandi pada hari raya sebelum keluar. (Zād al-Maʿād 1/442). Ada riwayat sahih juga dari beliau bahwa beliau mengenakan pakaian terbaik dalam dua hari raya. Ibnu Hajar berkata bahwa Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang sahih sampai kepada Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau biasanya mengenakan pakaian terbaiknya pada dua hari raya. (Fathul Bari 2/51). Dengan dua riwayat ini dan yang lainnya banyak ulama menyimpulkan dianjurkannya mandi dan berhias di hari raya. ثانياً: يُسَنُّ قبل الخروج إلى صلاة عيد الفطرأن يأكل تمرات وتراً: ثلاثاً، أو خمساً، أو أكثر من ذلك، يقطعها على وتر؛ لحديث أنس قال: كان النبي لا يغدو يوم الفطر حتى يأكل تمرات، ويأكلهن وتراً [أخرجه البخاري]. Kedua, sebelum keluar untuk salat Idul Fitri disunahkan untuk makan kurma dalam jumlah ganjil, baik tiga, lima, atau lebih dari itu. Makannya diakhiri dengan jumlah ganjil, berdasarkan hadis Anas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berangkat pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan beberapa biji kurma. Beliau makan dalam jumlah ganjil. (HR. Al-Bukhari) ثالثاً: يسن التكبير والجهر به – ويُسر به النساء – يوم العيد من حين يخرج من بيته حتى يأتي المصلي: لحديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما: أن رسول الله كان يكبر يوم الفطر من حيث يخرج من بيته حتى يأتي المصلى [حديث صحيح بشواهده]. وعن نافع: أن ابن عمر كان إذا غدا يوم الفطر ويوم الأضحى يجهر بالتكبير حتى يأتي المصلى، ثم يكبر حتى يأتي الإمام، فيكبر بتكبيره [أخرجه الدارقطني وغيره بإسناد صحيح]. تنبيه: التكبير الجماعي بصوت واحد بدعة لم تثبت عن النبي ولا عن أصحابه، والصواب أن يكبر كل واحد بصوت منفرد. Ketiga, disunahkan untuk bertakbir dan dijaharkan—tapi dipelankan bagi wanita—pada hari raya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasanya  bertakbir pada hari raya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Hadis ini sahih dengan berbagai riwayat-riwayat penguatnya. Diriwayatkan dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— biasanya bertakbir di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan beliau menjaharkan takbirnya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Kemudian beliau masih bertakbir sampai imam datang, lalu beliau bertakbir dengan takbirnya. (HR. Ad-Daruqutni dan selainnya dengan sanad sahih). Catatan: Takbir berjamaah dengan satu suara adalah bidah, yang tidak ada landasan riwayat yang sahih dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam atau para Sahabat beliau. Yang benar adalah setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. رابعاً: يسن أن يخرج إلى الصلاة ماشياً: لحديث علي قال: من السنة أن يخرج إلى العيد ماشياً أخرجه الترمذي وقال: هذا حديث حسن، والعمل على هذا الحديث عند أكثر أهل العلم، يستحبون أن يخرج الرجل إلى العيد ماشياً، وألا يركب إلا من عذر [صحيح سنن الترمذي]. Keempat, disunahkan ketika keluar untuk salat jalan kaki, berdasarkan hadis Ali —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa termasuk sunah adalah seseorang keluar berjalan kaki untuk salat id. (HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata, “Hadis hasan dan hadis ini diamalkan oleh mayoritas ulama.”) Seseorang dianjurkan keluar untuk berhari raya dengan jalan kaki, bukan naik kendaraan, kecuali jika ada uzur. (Shahih Sunan at-Tirmidzi) خامساً: يسن إذا ذهب إلى الصلاة من طريق أن يرجع من طريق آخر: لحديث جابر قال: كان النبي إذا كان يوم عيد خالف الطريق [أخرجه البخاري]. Kelima, disunahkan untuk berangkat salat melalui suatu jalan lalu pulang melalui jalan yang lain, berdasarkan hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di hari raya membedakan jalan (berangkat dan pulang) beliau. (HR. Al-Bukhari) سادساً: تشرع صلاة العيد بعد طلوع الشمس وارتفعاها بلا أذان ولا إقامة: وهي ركعتان يكبر في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمس تكبيرات. ويسن أن يقرأ الإمام فيهما جهراً سورة (الأعلى) و (الغاشية) أو سورة (ق) و (القمر). وتكون الخطبة بعد الصلاة، ويتأكد خروج النساء إليها، ومن الأدلة على ذلك: 1 – عن عائشة رضي الله عنها: أن رسول الله كان يكبر في الفطر والأضحى في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمساً [صحيح سنن أبي داود]. 2 – وعن النعمان بن بشير أن رسول الله كان يقرأ في العيدين بـ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) [الأعلى:1] و(هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) [الغاشية:1] [صحيح سنن ابن ماجة]. Keenam, salat id dilaksanakan setelah matahari terbit dan telah naik, tanpa azan atau ikamah. Caranya dengan mengerjakan salat dua rakaat, di mana rakaat pertama bertakbir tujuh kali takbir, dan di rakaat kedua lima kali takbir. Disunahkan bagi imam untuk membacakan secara jahar surah al-Aʿlā dan al-Ghasyiyah, atau surah Qaf dan al-Qamar. Khotbah dilakukan setelah salat. Para wanita sangat dianjurkan untuk ikut keluar. Di antara dalil yang mendukung pernyataan di atas adalah: Diriwayatkan dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa bertakbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakaat kedua (Shahih Sunan Abu Daud) Diriwayatkan dari  an-Nuʿman bin Basyir —Semoga Allah Meridainya—  bahwa Rasulullah biasanya membacakan pada salat dua hari raya “Sabbiẖisma rabbikal aʿlā, …” dan “Hal atāka ẖadītsul ghāsyiyah ….” (Shahih Sunan Ibnu Majah) 3 – وعن عبيدالله بن عبدالله أن عمر بن الخطاب سأل أبا واقد الليثي: ما كان يقرأ به رسول الله في الأضحى والفطر؟ فقال: كان يقرأ فيهما بـ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) [ق:1]، (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانشَقَّ الْقَمَرُ) [القمر:1] [رواه مسلم]. 4 – وعن أم عطية رضي الله عنها قالت: أُمرنا أن نَخرج، فنُخرج الحُيَّض والعواتق وذوات الخدور – أي المرأة التي لم تتزوج – فأما الحُيَّض فيشهدن جماعة المسلمين ودعوتهم، ويعتزلن مصلاهم [أخرجه البخاري ومسلم]. Diriwayatkan dari Ubaidullah bin Abdullah bahwa Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— bertanya kepada Abu Waqid al-Laitsi, “Apa yang biasanya dibacakan oleh Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pada saat Idul Adha dan Idul Fitri?” Beliau menjawab, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasanya membaca dalam dua salat tersebut, “Qāf wal qurʾānil majīd, …” dan “Iqtarabatis sāʿatu wansyaqqal qamar ….” (HR. Muslim) Diriwayatkan dari Ummu ʿAṯhiyyah —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan, “Kami diperintahkan untuk keluar, dan menyuruh keluar para wanita haid, remaja, dan para gadis—yakni wanita yang belum menikah. Adapun wanita haid, mereka menghadiri jemaah kaum muslimin dan seruan mereka, tapi tidak ikut ke tempat salat mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)  5 – وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: شهدت صلاة الفطر مع نبي الله وأبي بكر وعمر عثمان، فكلهم يصليها قبل الخطبة [أخرجه مسلم]. 6 – وعن ابن عباس رضي الله عنهما: أن رسول الله صلّى العيد بلا أذان ولا إقامة [صحيح سنن أبي داود]. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Aku menghadiri salat Idul Fitri bersama Nabi Allah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,  Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka semua mengerjakan salat sebelum khotbah.” (HR. Muslim) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengerjakan salat id tanpa azan dan ikamah. (Shahih Sunan Abi Dawud) سابعاً: إذا وافق يوم العيد يوم الجمعة، فمن صلّى العيد لم تجب عليه صلاة الجمعة: لحديث ابن عباس رضي الله عنهما عن رسول الله قال: اجتمع عيدان في يومكم هذا، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون إنشاء الله [صحيح سنن أبي داود]. Ketujuh, jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, orang yang sudah salat id tidak wajib salat Jumat, berdasarkan hadis Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Dua hari raya (hari raya id dan hari jumat) terkumpul di hari kalian ini, maka barang siapa mau tidak perlu salat Jumat. Namun kami tetap berjamaah, insya Allah.” (Shahih Sunan Abi Dawud) ثامناً: من فاتته صلاة العيد مع المسلمين يشرع له قضاؤها على صفتها: وإذا لم يعلم الناس بيوم العيد إلا بعد الزوال صلوها جميعاً من الغد؛ لحديث أبي عمير ابن أنس رحمه الله عن عمومة له من أصحاب النبي: (أن ركباً جاءوا إلى النبي يشهدون أنهم رأوا الهلال بالأمس، فأمرهم النبي أن يفطروا، وإذا أصبحوا يغدوا إلى مصلاهم) [أخرجه أصحاب السنن وصححه البهيقي والنووي وابن حجر وغيرهم]. Kedelapan, barang siapa yang terlewat salat id secara berjamaah bersama kaum muslimin, maka dia dianjurkan untuk mengqadanya dengan cara yang sama. Jika masyarakat tidak mengetahui bahwa saat itu adalah hari raya kecuali setelah matahari tergelincir, maka hendaknya mereka semua melakukannya esok hari. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang merupakan Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa ada kafilah yang datang kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan memberi kesaksian bahwa mereka telah melihat hilal kemarin, maka Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang untuk tidak puasa, dan untuk keluar ke tempat salat mereka keesokan harinya. (HR. Aṣẖāb as-Sunan, dan dinilai sahih oleh al-Baihaqi, an-Nawawi, Ibnu Hajar, dan selain mereka) تاسعاً: ولا بأس بالمعايدة وأن يقول الناس: (تقبل الله منا ومنكم): قال ابن التركماني: (في هذا الباب حديث جيد… وهو حديث محمد من زياد قال: كنت مع أبي أمامة الباهلي وغيره من أصحاب النبي، فكانوا إذا رجعوا يقول بعضهم لبعض: تقبل الله منا ومنك). قال أحمد بن حنبل: إسناده جيد. [الجوهر النقي 3/320]. Kesembilan, tidak mengapa beramah tamah dan mengucapkan kepada orang-orang “Taqabbalallāhu minnā wa minkum (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan kalian).” Ibnul Turkmani berkata bahwa dalam masalah ini ada sebuah hadis yang bagus, … yaitu hadis Muhammad dari Ziyad yang berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah al-Bahili dan Sahabat Nabi lain, mereka ketika mereka kembali (dari salat id) saling mengucapkan, ‘Taqabbalallāhu minnā wa minka (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan Anda).’” Ahmad bin Hanbal berkata bahwa sanad hadis ini baik. (Al-Jauhar an-Naqi 3/320) عاشراً: يوم العيد يوم فرح وسعة: فعن أنس قال: قدم رسول الله المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله: إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر [صحيح سنن أبي داود]. Kesepuluh, hari raya adalah hari kegembiraan dan keberlimpahan. Diriwayatkan dari Anas —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ketika Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tiba di kota Madinah, penduduknya mempunyai dua hari di mana mereka bersenang-senang pada dua hari tersebut, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Di masa jahiliah kami bersenang-senang di dua hari tersebut.” Lantas beliau bersabda, “Allah telah Memberikan ganti kepada kalian untuk dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud) حادي عشر: احذر أخي المسلم الوقوع في المخالفات الشرعية والتي يقع فيها بعض الناس من أخذ الزينة المحرمة كالإسبال، وحلق اللحية، والاحتفال المحرم من سماع الغناء، والنظر المحرم، وتبرج النساء واختلاطهن بالرجال. واحذر أيها الأب الغيور من الذهاب بأسرتك إلى الملاهي المختلطة، والشواطئ والمنتزهات التي تظهر فيها المنكرات. Kesebelas, waspadalah, wahai saudara muslimku, agar tidak terjerumus ke dalam pelanggaran syariat, yang biasanya dilakukan oleh sebagian orang, seperti memakai perhiasan yang terlarang, seperti Isbāl (menjulurkan pakaian melebihi mata kaki, pent), mencukur jenggot, membuat acara terlarang yang diiringi mendengarkan nyanyian, memandang yang haram, dan wanita yang memamerkan kecantikan mereka dan bercampur baur dengan laki-laki. Waspadalah, wahai ayah yang punya rasa cemburu, dengan perginya keluarga ke tempat-tempat yang bercampur baur antara lelaki dan wanita seperti tempat hiburan, pantai, dan tempat-tempat rekreasi yang tampak kemungkarannya. Syaikh Shalih al-Fauzan Sumber: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/13554 PDF sumber artikel. 🔍 Puasa 1 Rajab, Waktu Bayar Fidyah, Tebo Anak Genderuwo Menikah, Cukuran Bayi, Bunyi Sangkakala, Wallpaper Kalimat Tauhid Visited 37 times, 1 visit(s) today Post Views: 636 QRIS donasi Yufid


أحكام صلاة العيد Hukum-Hukum Seputar Salat Id صلاة العيد صلاة العيدين – عيد الفطر وعيد الأضحى – مشروعة بالكتاب والسنة وإجماع المسلمين، وقد كان المشركون يتخذون أعيادا زمانية ومكانية، فأبطلها الإسلام، وعوض عنها عيد الفطر وعيد الأضحى؛ شكرا لله تعالى على أداء هاتين العبادتين العظيمتين: صوم رمضان، وحج بيت الله الحرام. Salat Dua Hari Raya Salat dua hari raya—yakni Idul Fitri dan Idul Adha—disyariatkan berdasarkan al-Quran, Sunah, dan ijmak umat Islam. Dahulu orang-orang musyrik juga memiliki hari raya pada waktu dan tempat tertentu, lalu Islam menghapuskannya dan menggantinya dengan Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai wujud syukur kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas karunia-Nya berupa dua ibadah agung, yaitu menunaikan puasa Ramadan dan haji ke Baitullah al-Haram. وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم؛ أنه لما قدم المدينة، وكان لأهلها يومان يلعبون فيهما؛ قال صلى الله عليه وسلم: قد أبدلكم الله بهما خيرا منهما، يوم النحر، ويوم الفطر فلا تجوز الزيادة على هذين العيدين بإحداث أعياد أخرى كأعياد الموالد وغيرها؛ لأن ذلك زيادة على ما شرعه الله، وابتداع في الدين، ومخالفة لسنة سيد المرسلين، وتشبه بالكافرين، سواء سميت أعيادا أو ذكريات أو أياما أو أسابيع أو أعواما، كل ذلك ليس من سنة الإسلام، بل هو من فعل الجاهلية، وتقليد للأمم الكفرية من الدول الغربية وغيرها، وقد قال صلى الله عليه وسلم: من تشبه بقوم فهو منهم وقال صلى الله عليه وسلم: إن أحسن الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة نسأل الله أن يرينا الحق حقا ويرزقنا اتباعه، وأن يرينا الباطل باطلا ويرزقنا اجتنابه. Ada sebuah riwayat sahih dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa ketika beliau tiba di kota Madinah, penduduknya mempunyai dua hari di mana mereka bersenang-senang pada dua hari tersebut, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Allah telah Memberikan ganti kepada kalian untuk dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Raya Kurban dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud)  Jadi, tidak boleh menambah dua hari raya tersebut dengan membuat hari raya lain, seperti maulid dan lain-lain, karena itu termasuk menambah apa yang telah Allah Syariatkan, bidah dalam agama, dan menyelisihi Sunah penghulu para rasul Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, serta bentuk Tasyabbuh (mengikuti) orang-orang kafir, baik dinamai hari raya, peringatan, atau hari, pekan, dan tahun ini dan itu. Semua bukan bagian dari Sunah dalam Islam, melainkan termasuk perbuatan jahiliah dan meniru-niru bangsa-bangsa kafir di negara-negara Barat dan negara-negara lain. Padahal Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang meniru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)  Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga bersabda, “Sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bidah adalah kesesatan.” (HR. An-Nasa’i)   Kami memohon kepada Allah Menunjukkan kepada kita bahwa yang benar adalah benar dan Memberi kita kemampuan untuk mengikutinya, dan Menunjukkan bahwa yang batil adalah batil dan Memberi kita kemampuan untuk meninggalkannya. وسمي العيد عيدا؛ لأنه يعود ويتكرر كل عام؛ ولأنه يعود بالفرح والسرور، ويعود الله فيه بالإحسان على عباده على إثر أدائهم لطاعته بالصيام والحج.والدليل على مشروعية صلاة العيد: قوله تعالى: (فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ) وقوله تعالى: (قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى) وكان النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء من بعده يداومون عليها. Hari raya disebut ʿīd (bahasa Indonesia: id) karena kembali dan berulang setiap tahun; dan karena hari raya itu mengembalikan kegembiraan dan kesenangan, dan Allah kembali Memberikan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya yang telah melaksanakan ketaatan mereka kepada-Nya dengan berpuasa dan haji. Dalil disyariatkannya salat id adalah firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā,  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Maka laksanakanlah salat (Idul Adha) karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kausar: 2)  Juga firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para khalifah setelah beliau senantiasa merutinkan hal tersebut. من يسن له الخروج لصلاة العيد وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بها حتى النساء، فيُسن للمرأة حضورها غير متطيبة ولا لابسة لثياب زينة أو شهرة؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: وليخرجن تفلات، ويعتزلن الرجال، ويعتزل الحُيَّض المصلى قالت أم عطية رضي الله عنها: (كنا نؤمر أن نخرج يوم العيد، حتى تخرج البكر من خدرها، وحتى تخرج الحيض، فيكن خلف الناس، فيكبرن بتكبيرهم، ويدعون بدعائهم؛ يرجون بركة ذلك اليوم وطهرته). Orang yang Disunahkan Keluar untuk Salat Id Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan hal itu, bahkan kepada para wanita. Jadi para wanita dianjurkan datang juga tanpa mengenakan wewangian atau memakai pakaian perhiasan atau yang mencolok, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Hendaknya para wanita keluar tanpa wewangian dan memisahkan diri dari laki-laki. Para wanita yang sedang haid hendaknya menghindari tempat salat.”  Ummu ʿAṯhiyyah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya, sampai-sampai para gadis keluar dari rumahnya, dan wanita-wanita haid pun keluar. Mereka berada di belakang orang-orang, lalu  bertakbir dengan takbir mereka dan berdoa dengan doa mereka, demi mengharap keberkahan dan kesucian hari tersebut.” (Muttafaqun ‘Alaihi) والخروج لصلاة العيد وأداء صلاة العيد على هذا النمط المشهود من الجميع فيه إظهار لشعار الإسلام، فهي من أعلام الدين الظاهرة، وأول صلاة صلاها النبي صلى الله عليه وسلم للعيد يوم الفطر من السنة الثانية من الهجرة، ولم يزل صلى الله عليه وسلم يواظب عليها حتى فارق الدنيا صلوات الله وسلامه عليه، واستمر عليها المسلمون خلفا عن سلف، فلو تركها أهل بلد مع استكمال شروطها فيهم، قاتلهم الإمام؛ لأنها من أعلام الدين الظاهرة؛ كالأذان. Keluar untuk salat id dan menunaikan salat secara beramai-ramai dan disaksikan semua orang begini adalah bentuk menampakkan syiar Islam, karena ini merupakan salah satu ciri khas agama Islam yang jelas. Salat id pertama yang dikerjakan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah salat Idul Fitri pada tahun kedua Hijriah. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berhenti mengerjakannya secara rutin sampai beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam meninggal dunia. Kemudian, kaum muslimin masih melanjutkannya secara turun temurun.  Apabila penduduk suatu negeri tidak melaksakannya padahal syarat-syaratnya terpenuhi, maka pihak penguasa memerangi mereka, karena ini merupakan salah satu ciri khas agama Islam yang jelas, seperti azan. مكان إقامة صلاة العيد: وينبغي أن تؤدى صلاة العيد في صحراء قريبة من البلد؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي العيدين في المصلى الذي على باب المدينة؛ فعن أبي سعيد: كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج في الفطر والأضحى إلى المصلى متفق عليه، ولم ينقل أنه صلاها في المسجد لغير عذر؛ ولأن الخروج إلى الصحراء أوقع لهيبة المسلمين والإسلام، وأظهر لشعائر الدين، ولا مشقة في ذلك؛ لعدم تكرره؛ بخلاف الجمعة؛ إلا في مكة المشرفة؛ فإنها تصلى في المسجد الحرام. Tempat Pelaksanaan Salat Id Salat id dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan suatu daerah, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu mengerjakan salat dua hari raya di Muṣallā (yakni tanah lapang yang dijadikan tempat salat, pent) di depan gerbang kota Madinah. Diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa dahulu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar ke Muṣallā ketika Idul Fitri dan Idul Adha. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Alasannya, karena tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat di masjid tanpa adanya suatu uzur, dan karena keluar ke tanah lapang lebih menampakkan kewibawaan umat Islam dan agama Islam, serta menunjukkan syiar agama ini. Hal tersebut tidaklah memberatkan, karena tidak sering dilakukan, berbeda dengan salat Jumat. Kecuali jika di kota Makkah yang suci, maka salat id-nya dilaksanakan di Masjidil Haram. وقت صلاة العيد ويبدأ وقت صلاة العيد إذا ارتفعت الشمس بعد طلوعها قدر رمح؛ لأنه الوقت الذي كان النبي صلى الله عليه وسلم يصليها فيه، ويمتد وقتها إلى زوال الشمس. فإن لم يعلم بالعيد إلا بعد الزوال، صلوا من الغد قضاء؛ لما روى أبو عمير بن أنس عن عمومة له من الأنصار؛ قالوا: (غُم علينا هلال شوال، فأصبحنا صياما، فجاء ركب في آخر النهار، فشهدوا أنهم رأوا الهلال بالأمس، فأمر النبي صلى الله عليه وسلم الناس أن يفطروا من يومهم، وأن يخرجوا غدا لعيدهم) رواه أحمد أبو داود والدارقطني وحسنه، وصححه جماعة من الحفاظ،  Waktu Pelaksanaan Salat Id Waktu salat id dimulai saat matahari sudah meninggi setinggi tombak—karena itulah waktu di mana Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu melaksanakannya—dan waktunya tetap berlanjut sampai matahari tergelincir. Jika salat id tidak diketahui kecuali setelah matahari tergelincir, maka hendaknya orang-orang mengqadanya esok hari.  Hal ini berdasarkan riwayat Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang merupakan orang Ansar yang berkata, “Kami terhalang dari melihat hilal bulan Syawal, maka keesokan harinya kami berpuasa. Lalu ada kafilah yang datang di tengah hari, yang mana mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin, maka Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang untuk tidak puasa pada hari itu dan keluar untuk salat id keesokan harinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan ad-Daraqutni dan beliau menilainya hasan, dan juga dinilai hasan oleh sejumlah H̱āfiẓ)  Jika memang boleh dikerjakan setelah matahari tergelincir, tentu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak akan menundanya hingga keesokan harinya. Di samping itu, salat id disyariatkan agar dikerjakan secara dalam jemaah yang besar, sehingga harus ada waktu agar manusia bisa bersia-siap. فلو كانت تؤدى بعد الزوال؛ لما أخرها النبي صلى الله عليه وسلم إلى الغد؛ ولأن صلاة العيد شُرع لها الاجتماع العام؛ فلا بد أن يسبقها وقت يتمكن الناس من التهيؤ لها.ويُسن تقديم صلاة الأضحى وتأخير صلاة الفطر؛ لما روى الشافعي مرسلا (أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب إلى عمرو بن حزم: أن عَجِّل الأضحى، وأَخِّر الفطر، وذَكِّر الناس) وليتسع وقت التضحية بتقديم الصلاة في الأضحى، وليتسع الوقت لإخراج زكاة الفطر قبل صلاة الفطر. Disunahkan untuk lebih memajukan salat Adha dan mengakhirkan salat Idul Fitri, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Syafii secara Mursal bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menulis surat kepada Amr bin Hazm agar menyegerakan salat Idul Adha, mengakhirkan Idul Fitri, dan memberi peringatan kepada manusia. Hal itu agar ada waktu yang cukup untuk penyembelihan dengan disegerakannya sala Idul Adha, dan agar ada waktu yang cukup untuk membayar zakat fitrah sebelum salat Idul Fitri dilaksanakan. بعض مما يسن و يستحب فعله لصلاة العيد: ويسن أن يأكل قبل الخروج لصلاة الفطر تمرات، وأن لا يطعم يوم النحر حتى يصلي؛ لقول بريدة: (كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يخرج يوم الفطر حتى يفطر، ولا يطعم يوم النحر حتى يصلي) رواه أحمد وغيره. قال الشيخ تقي الدين: لما قدم الله الصلاة على النحر في قوله: (فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ) وقدم التزكي على الصلاة في قوله: (قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى) كانت السنة أن الصدقة قبل الصلاة في عيد الفطر، وأن الذبح بعد الصلاة في عيد النحر. Beberapa Hal yang Disunahkan dan Dianjurkan untuk Dilakukan Saat Salat Id Disunahkan agar memakan beberapa kurma terlebih dahulu sebelum keluar untuk salat Idul Fitri, dan agar tidak makan pada Hari Raya Kurban sampai salat terlebih dulu. Hal ini berdasarkan hadis Buraidah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak keluar saat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan beliau tidak makan dahulu saat Idul Kurban sampai beliau salat terlebih dulu. (HR. Ahmad dan lain-lain) Syekh Taqiyuddin berkata bahwa alasannya adalah karena Allah telah Mendahulukan salat daripada kurban dalam firman-Nya,  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Maka laksanakanlah salat (Idul Adha) karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kausar: 2)  Demikian pula didahulukan zakat daripada salat dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Jadi, sunahnya adalah zakat dahulu sebelum salat Idul Fitri, dan penyembelihan dilakukan setelah salat Idul Adha. ويسن التبكير في الخروج لصلاة العيد؛ ليتمكن من الدنو من الإمام، وتحصل له فضيلة انتظار الصلاة، فيكثر ثوابه. ويسن أن يتجمل المسلم لصلاة العيد بلبس أحسن الثياب، لحديث جابر: كانت للنبي صلى الله عليه وسلم حلة يلبسها في العيدين ويوم الجمعة رواه ابن خزيمة في صحيحه، وعن ابن عمر أنه كان يلبس في العيدين أحسن ثيابه رواه البيهقي بإسناد جيد. Disunahkan untuk bersegera keluar untuk salat id agar bisa dekat dengan imam, dan memperoleh keutamaan menanti salat, sehingga pahalanya lebih banyak. Disunahkan bagi seorang muslim untuk berhias diri untuk salat id dengan mengenakan pakaiannya yang paling bagus, berdasarkan hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mempunyai setelan pakaian yang beliau pakai saat hari raya dan hari Jumat. (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya)  Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau mengenakan pakaian terbaiknya untuk dua hari raya. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang baik). ما يشترط لصلاة العيد: ويشترط لصلاة العيد الاستيطان؛ بأن يكون الذين يقيمونها مستوطنين في مساكن مبنية بما جرت العادة بالبناء به، كما في صلاة الجمعة؛ فلا تقام صلاة العيد إلا حيث يسوغ إقامة صلاة الجمعة؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم وافق العيد في حجته، ولم يصلها، وكذلك خلفاؤه من بعده. Prasyarat dalam Pelaksanaan Salat Id Istīṯhān menjadi prasyarat pelaksanaan salat id, yaitu bahwa orang-orang yang menyelenggarakannya haruslah orang yang statusnya penduduk tetap yang mendiami bangunan-bangunan di tempat-tempat yang secara adat kebiasaan dibangun di atasnya. Hal ini sebagaimana salat Jumat. Salat id tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan cara sebagaimana dibolehkannya penyelenggaraan salat Jumat. Karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika berhaji dan bertepatan dengan hari raya, beliau tidak menyelenggarakannya, begitu pula para khalifah setelah beliau. عدد ركعات صلاة العيد: وصلاة العيد ركعتان قبل الخطبة، لقول ابن عمر: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبو بكر وعمر وعثمان يصلون العيدين قبل الخطبة) متفق عليه، وقد استفاضت السنة بذلك وعليه عامة أهل العلم، قال الترمذي: والعمل عليه عند أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم، أن صلاة العيدين قبل الخطبة . وحكمة تأخير الخطبة عن صلاة العيد وتقديمها على صلاة الجمعة أن خطبة الجمعة شرط للصلاة، والشرط مقدم على المشروط، بخلاف خطبة العيد؛ فإنها سنة. Jumlah Rakaat Salat Id Salat id dilaksanakan dalam dua rakaat sebelum khotbah, berdasarkan perkataan Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman mengerjakan salat dua hari raya sebelum khotbah. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Banyak sekali hadis tentang hal tersebut dan inilah pendapat mayoritas ulama. At-Tirmidzi berkata bahwa hal tersebut diamalkan para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan selain mereka, yakni bahwa salat dua hari raya dikerjakan sebelum khotbah. Hikmah diakhirkannya khotbah setelah salat id, tetapi didahulukan dalam salat Jumat, adalah bahwa khotbah Jumat merupakan syarat dalam salat tersebut, karena syarat harus ada terlebih dahulu, berbeda dengan khutbah salat id, yang mana khotbahnya adalah sunah. وصلاة العيدين ركعتان بإجماع المسلمين، وفي الصحيحين وغيرهما عن ابن عباس؛ (أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج يوم الفطر، فصلى ركعتين لم يصل قبلهما ولا بعدهما) وقال عمر: (صلاة الفطر والأضحى ركعتان، تمام غير قصر، على لسان نبيكم صلى الله عليه وسلم، وقد خاب من افترى) رواه أحمد وغيره. Salat dua hari raya adalah salat dua rakaat dengan kesepakatan umat Islam. Dalam Shahihain dan kitab lain diriwayatkan dari Ibn Abbas —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar saat Idul Fitri, lalu salat dua rakaat tanpa diiringi salat lain sebelum atau sesudahnya. Umar —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Salat Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua rakaat, berupa salat yang sempurna dan bukan qasar, berdasarkan lisan Nabi kalian Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka celakalah bagi orang yang mengada-ada.” (HR. Ahmad dan yang lainnya) الأذان والإقامة في صلاة العيد: ولا يشرع لصلاة العيد أذان ولا إقامة؛ لما روى مسلم عن جابر: (صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم العيد غير مرة ولا مرتين، فبدأ بالصلاة قبل الخطبة، بغير أذان ولا إقامة). Azan dan Ikamah dalam Salat Id Dalam salat id tidak disyariatkan azan dan ikamah, berdasarkan riwayat Muslim dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— “Aku salat id bersama Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bukan hanya sekali atau dua kali, di mana beliau memulai dengan salat sebelum khotbah, tanpa ada azan dan ikamah.” صفة صلاة العيد والتكبير فيها: ويكبر في الركعة الأولى بعد تكبيرة الإحرام والاستفتاح وقبل التعوذ والقراءة ست تكبيرات؛ فتكبيرة الإحرام ركن، لا بد منها، لا تنعقد الصلاة بدونها، وغيرها من التكبيرات سنة، ثم يستفتح بعدها؛ لأن الاستفتاح في أول الصلاة، ثم يأتي بالتكبيرات الزوائد الست، ثم يتعوذ عقب التكبيرة السادسة؛ لأن التعوذ للقراءة، فيكون عندها، ثم يقرأ. ويكبر في الركعة الثانية قبل القراءة خمس تكبيرات غير تكبيرة الانتقال؛ لما روى أحمد عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده (أن النبي صلى الله عليه وسلم كبر في عيد ثنتي عشرة تكبيرة، سبعًا في الأولى، وخمسا في الآخرة) وإسناده حسن. Tata Cara Salat Id dan Takbirnya Salat id dilakukan dengan bertakbir enam kali takbir di rakaat pertama setelah Takbiratul Ihram dan sebelum doa iftitah, taawuz, dan membaca (al-Quran).  Takbiratul Ihram termasuk rukun, sehingga harus dikerjakan dan salat tidak sah tanpanya. Takbir-takbir yang lainnya adalah sunah. Setelah itu, membaca iftitah, karena doa iftitah letaknya di awal salat.  Kemudian, melakukan enam takbir tambahan. Lalu membaca taawuz setelah enam takbir tersebut, karena taawuz adalah untuk bacaan al-Quran, sehingga dibaca sebelum itu.  Kemudian membaca (al-Fatihah, dan seterusnya, pent). Kemudian dalam rakaat kedua sebelum membaca (al-Quran) bertakbir dulu lima kali, selain takbir Intiqāl (Takbir untuk berpindah ke rakaat berikutnya, pent)  Dalilnya adalah riwayat Ahmad dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertakbir dalam salat id dengan 12 kali takbir, tujuh di rakaat pertama dan lima di rakaat kedua. Sanad riwayat ini hasan. وروي غير ذلك في عدد التكبيرات: قال الإمام أحمد رحمه الله: اختلف أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في التكبير، وكله جائز . ويرفع يديه مع كل تكبيرة؛ (لأنه صلى الله عليه وسلم كان يرفع يديه مع التكبير). ويُسن أن يقول بين كل تكبيرتين: الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا، وصلى الله على محمد النبي وآله وسلم تسليما كثيرا؛ لقول عقبة بن عامر: (سألت ابن مسعود عما يقوله بعد تكبيرات العيد؛ قال: يحمد الله، ويثني عليه، ويصلي على النبي) ورواه البيهقي بإسناده عن ابن مسعود قولا وفعلا.وقال حذيفة: صدق أبو عبدالرحمن . Ada riwayat lain yang menyebutkan jumlah takbir selain itu. Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan bahwa para Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berbeda pendapat tentang takbir (salat id), yang semuanya boleh diamalkan. Setiap takbir dilakukan dengan mengangkat tangan, karena beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengangkat tangan beliau setiap kali bertakbir.  Di antara dua takbir disunahkan untuk membaca, “Allāhu akbar kabīrāw walẖamdulillāhi katsīrāw wa subẖānallāhi bukrataw wa aṣhīlā wa ṣhallallāhu ʿalā muẖammadin nabiyyi wa ālihi was sallama tasliman katsīrā (artinya: Allah Maha Besar dengan kebesaran yang sempurna, dan segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allah baik di waktu pagi maupun petang. Semoga Allah Melimpahkan selawat dan salam yang banyak untuk Muhammad Sang Nabi beserta keluarga beliau).”  Hal ini berdasarkan perkataan Uqbah bin Amir yang berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang apa yang dia baca setelah takbir dalam salat id, maka dia menjawab bahwa dia membaca tahmid, memuji Allah, dan berselawat kepada Nabi.” Riwayat ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya dari Ibnu Mas’ud dengan perkataan dan perbuatan. Hudzaifah —Semoga Allah Meridainya— berkata, “Abu Abdurrahman benar.” وإن أتى بذكر غير هذا؛ فلا بأس؛ لأنه ليس فيه ذكر معين. قال ابن القيم: كان يسكت بين كل تكبيرتين سكتة يسيرة، ولم يحفظ عنه ذكر معين بين التكبيرات اهـ.وإن شك في عدد التكبيرات، بنى على اليقين، وهو الأقل. وإن نسي التكبير الزائد حتى شرع في القراءة؛ سقط؛ لأنه سنة فات محلها. وكذا إن أدرك المأموم الإمام بعدما شرع في القراءة؛ لم يأت بالتكبيرات الزوائد، أو أدركه راكعا؛ فإنه يكبر تكبيرة الإحرام، ثم يركع، ولا يشتغل بقضاء التكبير. Jika seseorang membaca zikir selain itu, maka tidak mengapa, karena memang tidak ada zikir khususnya. Ibnul Qayyim berkata bahwa beliau diam sejenak di antara dua takbir dan tidak ada riwayat yang dihafal dari beliau tentang bacaan zikir tertentu  di antara dua takbir tersebut. Selesai kutipan. Jika seseorang ragu berapa jumlah takbirnya, maka dia ambil yang dia yakini, yaitu jumlah terkecil. Jika dia lupa takbir tambahan hingga sudah mulai membaca (al-Fatihah), maka syariat takbir itu gugur, karena itu sunah dan sudah terlewat tempatnya. Demikan juga jika makmum mendapati imam sudah mulai membaca (al-Quran), maka tidak perlu melakukan takbir tambahan lagi atau mengganti rakaatnya, karena dia sudah melakukan Takbiratul Ihram, lalu rukuk, dan tidak perlu juga mengganti takbirnya. وصلاة العيد ركعتان، يجهر الإمام فيهما بالقراءة، لقول ابن عمر: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يجهر بالقراءة في العيدين والاستسقاء) رواه الدارقطني، وقد أجمع العلماء على ذلك، ونقله الخلف عن السلف، واستمر عمل المسلمين عليه. ويقرأ في الركعة الأولى بعد الفاتحة بـ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) ويقرأ في الركعة الثانية بالغاشية؛ لقول سمرة: (إن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في العيدين بـ) (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) و (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) رواه أحمد. أو يقرأ في الركعة الأولى بـ (ق)، وفي الثانية بـ (اقتربت)، لما في صحيح مسلم والسنن وغيرها؛ أنه صلى الله عليه وسلم كان يقرأ بـ (ق) و (اقتربت). Salat id dikerjakan dua rakaat, di mana imam membaca secara jahar, berdasarkan perkataan Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjaharkan bacaan dalam salat id dan Istisqāʾ. (HR. Ad-Daruquthni)  Para ulama bersepakat mengenai hal ini, yang telah dinukil oleh para ulama, baik dari kalangan klasik maupun kontemporer, dan diamalkan terus-menerus oleh umat Islam. Hendaknya pada rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca Sabbiẖisma rabbikal aʿlā (Surah al-A’lā), dan di rakaat kedua surah al-Ghasyiyah. Hal ini berdasarkan perkataan Samurah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu saat salat id membaca “Sabbiẖisma rabbikal aʿlā” dan “Hal atāka ẖadītsul ghāsyiyah.” (HR. Ahmad) Bisa juga membaca Qāf (surah Qaf) pada rakaat pertama lalu Iqtarabat (surah al-Qamar), berdasarkan riwayat dalam Shahih Muslim, kitab Sunan, dan lain-lain bahwasanya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam membaca Qāf dan Iqtarabat. قال شيخ الإسلام ابن تيمية: مهما قرأ به؛ جاز، كما تجوز القراءة في نحوها من الصلوات، لكن إن قرأ: (ق) و (اقتربت) أو نحو ذلك مما جاء في الأثر؛ كان حسنا، وكانت قراءته في المجامع الكبار بالسور المشتملة على التوحيد والأمر والنهي والمبدأ والمعاد وقصص الأنبياء مع أممهم، وما عامل الله به من كذبهم وكفر بهم وما حل بهم من الهلاك والشقاء، ومن آمن بهم وصدَّقهم، وما لهم من النجاة والعافية انتهى. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa apa pun yang seseorang baca, boleh saja, sebagaimana boleh membaca apa pun dalam salat lain. Hanya saja, jika dia  membaca Qāf dan Iqtarabat atau surah lain yang disebutkan dalam riwayat, maka itu yang baik. Surah yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam baca di perkumpulan besar seperti itu adalah surah-surah yang memuat tauhid, perintah, larangan, awal penciptaan, akhirat, dan kisah-kisah para nabi dengan umat mereka serta apa yang Allah Lakukan kepada mereka karena mereka mendustakan dan mengkufuri para Nabi dan kebinasaan dan kesengsaraan yang menimpa mereka, dan juga apa Yang Allah Lakukan kepada orang-orang yang beriman dan membenarkan para nabi serta keselamatan dan kesejahteraan yang mereka dapatkan. Selesai kutipan. صفة خطبة العيد: فإذا سلم من الصلاة؛ خطب خطبتين، يجلس بينهما؛ لما روى عبيد الله بن عبيد الله بن عتبة؛ قال: (السنة أن يخطب الإمام في العيدين خطبتين، يفصل بينهما بجلوس) رواه الشافعي، ولابن ماجه عن جابر: (خطب قائما، ثم قعد قعدة، ثم قام) وفي الصحيح وغيره: (بدأ بالصلاة، ثم قام متوكئا على بلال، فأمر بتقوى الله، وحث على طاعته…الحديث)، ولمسلم ثم ينصرف، فيقوم مقابل الناس، والناس جلوس على صفوفهم ويحثهم في خطبة عيد الفطر على إخراج صدقة الفطر، ويبين لهم أحكامها؛ من حيث مقدارها، ووقت إخراجها، ونوع المخرج فيها.ويرغبهم في خطبة عيد الأضحى في ذبح الأضحية، ويبين لهم أحكامها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم ذكر في خطبة الأضحى كثيرا من أحكامها. Tata Cara Khotbah Hari Raya Ketika imam sudah salam dari salatnya, lalu dia menyampaikan khotbah dalam dua khotbah dengan diselingi duduk di antara keduanya. Hal ini berdasarkan riwayat Ubaidillah bin Ubaidillah bin Utbah yang mengatakan bahwa yang sunah bagi imam dalam salat dua hari raya adalah menyampaikan dua khotbah yang dipisah dengan duduk. (HR. Asy-Syafii) Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu menyampaikan khotbah sambil berdiri, kemudian duduk sejenak lalu berdiri lagi. Disebutkan pula dalam kitab Shahih dan yang lainnya bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memulai salat, lalu berdiri bersandar kepada Bilal, kemudian beliau berwasiat ketakwaan kepada Allah, mendorong untuk menaati-Nya, … hingga akhir hadis.  Dalam riwayat muslim disebutkan bahwa seusai salat, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri menghadap orang-orang, sementara mereka duduk di saf-saf mereka dan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam  mengajak mereka dalam khotbah Idul Fitri untuk membayar zakat fitrah, dan menjelaskan kepada mereka hukum-hukumnya; dari sisi takarannya, waktu membayarkannya, dan dari jenis apa yang dibayarkan. Adapun dalam khotbah Idul Adha, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memotivasi mereka untuk berkurban dan menjelaskan kepada mereka hukum-hukumnya, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam khotbah Idul Adha memang sering membahas hukum-hukumnya. وهكذا ينبغي للخطباء أن يركزوا في خطبهم على المناسبات؛ فيبينوا للناس ما يحتاجون إلى بيانه في كل وقت بحسبه بعد الوصية بتقوى الله والوعظ والتذكير، لا سيما في هذه المجامع العظيمة والمناسبات الكريمة؛ فإنه ينبغي أن تُضمن الخطبة ما يفيد المستمع ويذكر الغافل ويعلم الجاهل. وينبغي حضور النساء لصلاة العيد، كما سبق بيانه، وينبغي أن توجه إليهن موعظة خاصة ضمن خطبة العيد؛ لأنه عليه الصلاة والسلام لما رأى أنه لم يُسمع النساء؛ أتاهن، فوعظهن، وحثهن على الصدقة، وهكذا ينبغي أن يكون للنساء نصيب من موضوع خطبة العيد؛ لحاجتهن إلى ذلك، واقتداء بالنبي صلى الله عليه وسلم. Demikianlah, para khatib hendaknya memfokuskan pembahasan dalam khotbahnya sesuai momennya dan menjelaskan kepada manusia penjelasan yang mereka perlukan setiap saat sesuai kadarnya setelah berwasiat tentang ketakwaan, nasihat, dan peringatan, apalagi dalam pertemuan besar dan momen mulia seperti ini. Khotbahnya hendaklah memuat sesuatu yang bermanfaat bagi para pendengar, menggugah yang lalai, dan mengajari yang tidak tahu.  Para wanita hendaknya ikut menghadiri salat id, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hendaknya ada nasihat khusus untuk mereka dalam khotbah hari raya,  karena beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika merasa tidak terdengar oleh para wanita, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendatangi mereka, menasihati mereka, dan mendorong mereka untuk bersedekah.  Demikianlah, seyogianya ada pembahasan khusus bagi wanita dalam khotbah hari raya, karena mereka membutuhkannya dan untuk meneladan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. التنفل قبل صلاة العيد وبعدها: ومن أحكام صلاة العيد أنه يكره التنفل قبلها وبعدها في موضعها، حتى يفارق المصلي؛ لقول ابن عباس رضي الله عنهما: (خرج النبي صلى الله عليه وسلم يوم عيد؛ فصلى ركعتين لم يصل قبلهما ولا بعدهما) متفق عليه؛ ولئلا يتوهم أن لها راتبة قبلها أو بعدها. قال الإمام أحمد: أهل المدينة لا يتطوعون قبلها ولا بعدها . Salat Sunah Sebelum dan Sesudah Salat Id Di antara hukum-hukum yang berkaitan dengan salat id adalah dimakruhkannya salat sunah sebelum dan sesudahnya di Muṣhallā sampai seseorang beranjak dari tempat tersebut. Hal ini berdasarkan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam keluar pada hari raya lalu salat dua rakaat tanpa salat sebelumnya atau setelahnya. (Muttafaqun ‘Alaihi)  Hal ini agar tidak disalahpahami bahwa salat id ada sunah Rawatib sebelum atau sesudahnya. Imam Ahmad berkata bahwa penduduk Madinah tidak salat sunah sebelum dan sesudah salat id. وقال الزهري: لم أسمع أحدا من علمائنا يذكر أن أحدا من سلف هذه الأمة كان يصلي قبل تلك الصلاة ولا بعدها، وكان ابن مسعود وحذيفة ينهيان الناس عن الصلاة قبلها .فإذا رجع إلى منزله؛ فلا بأس أن يصلي فيه؛ لما روى أحمد وغيره، (أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا دخل إلى منزله؛ صلى ركعتين) ويسن لمن فاتته صلاة العيد أو فاته بعضها قضاؤها على صفتها، بأن يصليها ركعتين؛ بتكبيراتها الزوائد؛ لأن القضاء يحكي الأداء؛ ولعموم قوله صلى الله عليه وسلم (فما أدركتم؛ فصلوا، وما فاتكم، فأتموا) فإذا فاتته ركعة مع الإمام؛ أضاف إليها أخرى، وإن جاء والإمام يخطب؛ جلس لاستماع الخطبة، فإذا انتهت؛ صلاها قضاء، ولا بأس بقضائها منفردا أو مع جماعة. Az-Zuhri berkata, “Saya tidak pernah mendengar satu pun ulama kami menyebutkan bahwa ada dari kalangan Salaf umat ini yang salat sebelum atau sesudah salat id.” Ibnu Mas’ud dan Hudzaifah melarang orang-orang salat sebelum salat id.  Adapun jika sudah kembali ke rumah, maka tidak mengapa salat di rumah. Hal ini berdasarkan riwayat yang diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika masuk ke rumahnya, beliau salat dua rakaat. Disunahkan bagi orang yang terlewat salat id atau ketinggalan sebagiannya untuk mengqadanya dengan cara yang sama, yakni dengan melakukan salat dua rakaat disertai takbir-takbir tambahannya. Alasannya adalah karena tata cara qada itu haruslah sebagaimana tata cara pelaksanaannya pada waktunya, di samping ada sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Apa yang kalian dapati maka kerjakanlah salat itu, dan apa yang kalian lewatkan maka sempurnakan.”  Jadi, jika seseorang melewatkan satu rakaat bersama imam; maka hendaknya dia tambahkan satu rakaat lagi. Jika dia datang saat imam sudah menyampaikan khotbah; hendaknya dia duduk untuk mendengarkan khotbah, lalu setelah selesai, hendaknya mengqada salat idnya. Tidak masalah mengqadanya secara munfarid atau berjamaah.  صفة التكبير في العيد ووقته: ويسن في العيدين التكبير المطلق، وهو الذي لا يتقيد بوقت، يرفع به صوته، إلا الأنثى؛ فلا تجهر به، فيكبر في ليلتي العيدين، وفي كل عشر ذي الحجة؛ لقوله تعالى: (وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ) ويجهر به في البيوت والأسواق والمساجد وفي كل موضع يجوز فيه ذكر الله تعالى، ويجهر به في الخروج إلى المصلى؛ لما أخرجه الدارقطني وغيره عن ابن عمر؛ أنه كان إذا غدا يوم الفطر ويوم الأضحى؛ يجهر بالتكبير، حتى يأتي المصلى، ثم يكبر حتى يأتي الإمام وفي الصحيح: كنا نؤمر بإخراج الحيض، فيكبرن بتكبيرهم ولمسلم: يكبرن مع الناس فهو مستحب لما فيه من إظهار شعائر الإسلام . Tata Cara Takbir Hari Raya dan Waktunya Dalam dua hari raya ini, disunahkan: Takbir Mutlak Takbir Mutlak adalah takbir yang tidak terikat dengan waktu dengan cara meninggikan suara, kecuali bagi wanita. Wanita tidak boleh membacanya secara jahar. Takbir dikumandangkan di malam-malam hari raya dan di sepanjang sepuluh Zulhijah. Hal ini berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)  Takbir digemakan di rumah-rumah, di pasar-pasar, di masjid-masjid, dan di setiap tempat yang diperbolehkan untuk berzikir kepada Allah. Demikian juga saat keluar ke tempat salat id. Hal ini berdasarkan riwayat ad-Daraqutni dan yang lainnya dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwasanya beliau jika keluar rumah di pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha  menggemakan takbir hingga sampai di tempat salat, kemudian terus bertakbir sampai imam datang. Dalam kitab Shahih disebutkan, “Kami diperintahkan untuk menyuruh keluar wanita haid, lalu mereka bertakbir dengan takbirnya para lelaki.” Dalam riwayat Muslim dinyatakan, “Mereka bertakbir bersama orang-orang.” Hal itu dianjurkan karena menampakkan syiar Islam. والتكبير في عيد الفطر آكد؛ لقوله تعالى: (وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ) فهو في هذا العيد آكد؛ لأن الله أمر به.  Takbir pada hari raya Idul Fitri lebih ditekankan lagi, berdasarkan firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185) Jadi, takbir ini lebih ditekankan lagi di hari raya ini, karena Allah Memerintahkan demikian.  ويزيد عيد الأضحى بمشروعية التكبير المقيد فيه، وهو التكبير الذي شرع عقب كل صلاة فريضة في جماعة، فيلتفت الإمام إلى المأمومين، ثم يكبر ويكبرون؛ لما رواه الدارقطني وابن أبي شيبة وغيرهما من حديث جابر: أنه كان صلى الله عليه وسلم إذا صلى الصبح من غداة عرفة، يقول: الله أكبر …الحديث. ويبتدأ التكبير المقيد بأدبار الصلوات في حق غير المحرم من صلاة الفجر يوم عرفة إلى عصر آخر أيام التشريق، وأما المحرم؛ فيبتدئ التكبير المقيد في حقه من صلاة الظهر يوم النحر إلى عصر آخر أيام التشريق؛ لأنه قبل ذلك مشغول بالتلبية. Takbir Muqayyad Di hari raya Idul Adha ditambah syariat Takbir Muqayyad, yaitu takbir yang disyariatkan setiap selesai salat wajib secara berjamaah. Imam menghadap kepada makmum, lalu dia bertakbir dan mereka juga bertakbir. Hal ini berdasarkan riwayat ad-Daruqutni dan Ibnu Abi Syaibah dan selain mereka dari hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwasanya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika selesai salat Subuh di pagi hari Arafah mengucapkan, “Allāhuakbar …” dan seterusnya. Takbir Muqayyad dimulai seusai salat bagi orang yang tidak sedang ihram sejak salat subuh di hari Arafah hingga salat Asar terakhir di hari-hari Tasyrik. Adapun orang yang ihram, maka dia memulai Takbir Muqayyad sejak salat Zuhur di Hari Raya Kurban sampai  salat Asar terakhir di hari-hari Tasyrik. Hal itu karena sebelum itu mereka disibukkan dengan talbiah.  روى الدارقطني عن جابر: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يكبر في صلاة الفجر يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق حين يسلم من المكتوبات) وفي لفظ: (كان إذا صلى الصبح من غداة عرفة؛ أقبل على أصحابه فيقول: مكانكم، ويقول: الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد).وقال الله تعالى: (وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ) وهي أيام التشريق. وقال الإمام النووي: هو الراجح وعليه العمل في الأمصار Al-Daraqutni meriwayatkan dari Jabir —Semoga Allah Meridainya— bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu bertakbir ketika salat Subuh di hari Arafah hingga waktu Asar di hari terakhir Tasyrik seusai salam dari salat wajib. Dalam redaksi lain, “Dahulu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam setelah salat Subuh di pagi hari Arafah menghadap kepada para Sahabat beliau lalu mengucapkan, “Tetap di tempat kalian masing-masing,” lalu beliau mengucapkan, “Allāhuakbar, Allāhuakbar, Allāhuakbar, Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar, Allāhuakbar wa lillāhil ẖamdu (artinya:  Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang benar selain Allah, dan Allah Yang Maha Besar. Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi-Nya.)” Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya.” (QS. Al-Baqarah: 203) Maksudnya hari-hari Tasyrik. Imam an-Nawawi berkata, “Inilah pendapat yang lebih tepat dan inilah yang diamalkan di berbagai negeri.” وقال شيخ الإسلام ابن تيمية: أصح الأقوال في التكبير الذي عليه الجمهور من السلف والفقهاء من الصحابة والأئمة: أن يكبر من فجر يوم عرفة إلى آخر أيام التشريق عقب كل صلاة؛ لما في السنن: (يوم عرفة ويوم النحر وأيام منى عيدنا أهل الإسلام، وهي أيام أكل وشرب وذكر لله)، وكون المحرم يبتدئ التكبير المقيد من صلاة الظهر يوم النحر؛ لأن التلبية تُقطع برمي جمرة العقبة، ووقت رمي جمرة العقبة المسنون ضحى يوم النحر، فكان المحرم فيه كالمُحِل، فلو رمى جمرة العقبة قبل الفجر، فلا يبتدئ التكبير إلا بعد – صلاة الظهر أيضا؛ عملا على الغالب .انتهى. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa pendapat yang paling tepat mengenai takbir ini adalah pendapat mayoritas Salaf dan fukaha dari kalangan Sahabat dan para imam ulama, yaitu bertakbir sejak fajar di hari Arafah hingga akhir hari Tasyrik setiap selesai salat, berdasarkan Sunah yang menyatakan, “Hari Arafah, Hari Kurban, dan hari-hari di Mina adalah hari raya kita, umat Islam, yang merupakan hari-hari makan, minum, dan berzikir kepada Allah.” Adapun bagi orang yang ihram, mereka memulai Takbir Muqayyad saat salat zuhur pada Hari Kurban, karena talbiah baru selesai saat lempar jamarat Aqabah, sementara jamarat Aqabah disunahkan dikerjakan di waktu duha pada Hari Raya Kurban. Jadi, orang yang ihram di sana seperti yang tidak ihram. Jika dia melempar  jamarat Aqabah sebelum Subuh, maka dia tetap tidak memulai takbir kecuali setelah salat Zuhur juga, karena dihukumi mana yang lebih dominan. Selesai kutipan. وصفة التكبير أن يقول: الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد. ولا بأس بتهنئة الناس بعضهم بعضا؛ بأن يقول لغيره: تقبل الله منا ومنك. قال شيخ الإسلام ابن تيمية: قد روي عن طائفة من الصحابة أنهم كانوا يفعلونه، ورخص فيه الأئمة كأحمد وغيره اهـ. والمقصود من التهنئة التودد وإظهار السرور. وقال الإمام أحمد: لا أبتدئ به، فإن ابتدأني أحد؛ أجبته . وذلك لأن جواب التحية واجب، وأما الابتداء بالتهنئة؛ فليس سنة مأمورا بها، ولا هو أيضا مما نهي عنه، ولا بأس بالمصافحة في التهنئة. Cara bertakbirnya adalah dengan mengucapkan, “Allāhuakbar, Allāhuakbar, Allāhuakbar, Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar, Allāhuakbar wa lillāhil ẖamdu (artinya:  Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang benar selain Allah, dan Allah Yang Maha Besar. Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi-Nya.)” Tidak mengapa saling memberi ucapan selamat, di mana seseorang mengucapkan kepada orang lain, “Taqabbalallāhu minnā wa minka (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan Anda).”  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa ada riwayat dari sebagian Sahabat bahwa mereka dahulu melakukan demikian. Para imam, seperti Ahmad dan lain-lain juga membolehkannya.  Tujuan ucapan ini adalah berkasih sayang dan menampakkan kebahagiaan.  Imam Ahmad berkata, “Aku tidak akan memulai duluan, tapi jika seseorang mengucapkan dulu kepadaku, aku akan membalasnya.”  Hal itu karena membalas ucapan selamat hukumnya wajib, adapun memulai duluan memberi ucapan selamat bukanlah sunah dan tidak diperintahkan, tapi juga tidak terlarang. Tidak mengapa juga berjabat tangan saat mengucapkan selamat. وقفات مع العيد أولاً: الاستعداد لصلاة العيد بالاغتسال وجميل الثياب: فقد أخرج مالك في موطئه عن نافع: (أن ابن عمر رضي الله عنهما كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى) [وهذا إسناد صحيح]. قال ابن القيم: (ثبت عن ابن عمر مع شدة اتباعه للسنة أنه كان يغتسل يوم العيد قبل خروجه) [زاد المعاد 1/442]. وثبت عنه أيضاً لبس أحسن الثياب للعيدين.قال ابن حجر: (روى ابن أبي الدنيا والبهيقي بإسناد صحيح إلى ابن عمر أنه كان يلبس أحسن ثيابه في العيدين) [فتح الباري 2/51]. وبهذين الأثرين وغيرهما أخذ كثير من أهل العلم استحباب الاغتسال والتجمل للعيدين. Catatan-catatan dalam Berhari Raya Pertama, bersiap-siap untuk salat id dengan mandi dan berpakaian yang bagus. Malik meriwayatkan dalam kitab Muwaṯhṯhaʾ-nya dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— mandi di hari raya sebelum berangkat ke tempat salat. Sanad riwayat ini sahih. Ibnul Qayyim berkata bahwa ada riwayat dari Ibnu Umar—dengan kesungguhan beliau dalam mengikuti Sunah—bahwa beliau mandi pada hari raya sebelum keluar. (Zād al-Maʿād 1/442). Ada riwayat sahih juga dari beliau bahwa beliau mengenakan pakaian terbaik dalam dua hari raya. Ibnu Hajar berkata bahwa Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang sahih sampai kepada Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa beliau biasanya mengenakan pakaian terbaiknya pada dua hari raya. (Fathul Bari 2/51). Dengan dua riwayat ini dan yang lainnya banyak ulama menyimpulkan dianjurkannya mandi dan berhias di hari raya. ثانياً: يُسَنُّ قبل الخروج إلى صلاة عيد الفطرأن يأكل تمرات وتراً: ثلاثاً، أو خمساً، أو أكثر من ذلك، يقطعها على وتر؛ لحديث أنس قال: كان النبي لا يغدو يوم الفطر حتى يأكل تمرات، ويأكلهن وتراً [أخرجه البخاري]. Kedua, sebelum keluar untuk salat Idul Fitri disunahkan untuk makan kurma dalam jumlah ganjil, baik tiga, lima, atau lebih dari itu. Makannya diakhiri dengan jumlah ganjil, berdasarkan hadis Anas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak berangkat pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan beberapa biji kurma. Beliau makan dalam jumlah ganjil. (HR. Al-Bukhari) ثالثاً: يسن التكبير والجهر به – ويُسر به النساء – يوم العيد من حين يخرج من بيته حتى يأتي المصلي: لحديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما: أن رسول الله كان يكبر يوم الفطر من حيث يخرج من بيته حتى يأتي المصلى [حديث صحيح بشواهده]. وعن نافع: أن ابن عمر كان إذا غدا يوم الفطر ويوم الأضحى يجهر بالتكبير حتى يأتي المصلى، ثم يكبر حتى يأتي الإمام، فيكبر بتكبيره [أخرجه الدارقطني وغيره بإسناد صحيح]. تنبيه: التكبير الجماعي بصوت واحد بدعة لم تثبت عن النبي ولا عن أصحابه، والصواب أن يكبر كل واحد بصوت منفرد. Ketiga, disunahkan untuk bertakbir dan dijaharkan—tapi dipelankan bagi wanita—pada hari raya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasanya  bertakbir pada hari raya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Hadis ini sahih dengan berbagai riwayat-riwayat penguatnya. Diriwayatkan dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— biasanya bertakbir di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan beliau menjaharkan takbirnya sejak keluar rumah sampai tiba di tempat salat. Kemudian beliau masih bertakbir sampai imam datang, lalu beliau bertakbir dengan takbirnya. (HR. Ad-Daruqutni dan selainnya dengan sanad sahih). Catatan: Takbir berjamaah dengan satu suara adalah bidah, yang tidak ada landasan riwayat yang sahih dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam atau para Sahabat beliau. Yang benar adalah setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. رابعاً: يسن أن يخرج إلى الصلاة ماشياً: لحديث علي قال: من السنة أن يخرج إلى العيد ماشياً أخرجه الترمذي وقال: هذا حديث حسن، والعمل على هذا الحديث عند أكثر أهل العلم، يستحبون أن يخرج الرجل إلى العيد ماشياً، وألا يركب إلا من عذر [صحيح سنن الترمذي]. Keempat, disunahkan ketika keluar untuk salat jalan kaki, berdasarkan hadis Ali —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa termasuk sunah adalah seseorang keluar berjalan kaki untuk salat id. (HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata, “Hadis hasan dan hadis ini diamalkan oleh mayoritas ulama.”) Seseorang dianjurkan keluar untuk berhari raya dengan jalan kaki, bukan naik kendaraan, kecuali jika ada uzur. (Shahih Sunan at-Tirmidzi) خامساً: يسن إذا ذهب إلى الصلاة من طريق أن يرجع من طريق آخر: لحديث جابر قال: كان النبي إذا كان يوم عيد خالف الطريق [أخرجه البخاري]. Kelima, disunahkan untuk berangkat salat melalui suatu jalan lalu pulang melalui jalan yang lain, berdasarkan hadis Jabir —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di hari raya membedakan jalan (berangkat dan pulang) beliau. (HR. Al-Bukhari) سادساً: تشرع صلاة العيد بعد طلوع الشمس وارتفعاها بلا أذان ولا إقامة: وهي ركعتان يكبر في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمس تكبيرات. ويسن أن يقرأ الإمام فيهما جهراً سورة (الأعلى) و (الغاشية) أو سورة (ق) و (القمر). وتكون الخطبة بعد الصلاة، ويتأكد خروج النساء إليها، ومن الأدلة على ذلك: 1 – عن عائشة رضي الله عنها: أن رسول الله كان يكبر في الفطر والأضحى في الأولى سبع تكبيرات، وفي الثانية خمساً [صحيح سنن أبي داود]. 2 – وعن النعمان بن بشير أن رسول الله كان يقرأ في العيدين بـ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى) [الأعلى:1] و(هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) [الغاشية:1] [صحيح سنن ابن ماجة]. Keenam, salat id dilaksanakan setelah matahari terbit dan telah naik, tanpa azan atau ikamah. Caranya dengan mengerjakan salat dua rakaat, di mana rakaat pertama bertakbir tujuh kali takbir, dan di rakaat kedua lima kali takbir. Disunahkan bagi imam untuk membacakan secara jahar surah al-Aʿlā dan al-Ghasyiyah, atau surah Qaf dan al-Qamar. Khotbah dilakukan setelah salat. Para wanita sangat dianjurkan untuk ikut keluar. Di antara dalil yang mendukung pernyataan di atas adalah: Diriwayatkan dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa bertakbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakaat kedua (Shahih Sunan Abu Daud) Diriwayatkan dari  an-Nuʿman bin Basyir —Semoga Allah Meridainya—  bahwa Rasulullah biasanya membacakan pada salat dua hari raya “Sabbiẖisma rabbikal aʿlā, …” dan “Hal atāka ẖadītsul ghāsyiyah ….” (Shahih Sunan Ibnu Majah) 3 – وعن عبيدالله بن عبدالله أن عمر بن الخطاب سأل أبا واقد الليثي: ما كان يقرأ به رسول الله في الأضحى والفطر؟ فقال: كان يقرأ فيهما بـ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) [ق:1]، (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانشَقَّ الْقَمَرُ) [القمر:1] [رواه مسلم]. 4 – وعن أم عطية رضي الله عنها قالت: أُمرنا أن نَخرج، فنُخرج الحُيَّض والعواتق وذوات الخدور – أي المرأة التي لم تتزوج – فأما الحُيَّض فيشهدن جماعة المسلمين ودعوتهم، ويعتزلن مصلاهم [أخرجه البخاري ومسلم]. Diriwayatkan dari Ubaidullah bin Abdullah bahwa Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— bertanya kepada Abu Waqid al-Laitsi, “Apa yang biasanya dibacakan oleh Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pada saat Idul Adha dan Idul Fitri?” Beliau menjawab, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasanya membaca dalam dua salat tersebut, “Qāf wal qurʾānil majīd, …” dan “Iqtarabatis sāʿatu wansyaqqal qamar ….” (HR. Muslim) Diriwayatkan dari Ummu ʿAṯhiyyah —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan, “Kami diperintahkan untuk keluar, dan menyuruh keluar para wanita haid, remaja, dan para gadis—yakni wanita yang belum menikah. Adapun wanita haid, mereka menghadiri jemaah kaum muslimin dan seruan mereka, tapi tidak ikut ke tempat salat mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)  5 – وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: شهدت صلاة الفطر مع نبي الله وأبي بكر وعمر عثمان، فكلهم يصليها قبل الخطبة [أخرجه مسلم]. 6 – وعن ابن عباس رضي الله عنهما: أن رسول الله صلّى العيد بلا أذان ولا إقامة [صحيح سنن أبي داود]. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Aku menghadiri salat Idul Fitri bersama Nabi Allah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,  Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka semua mengerjakan salat sebelum khotbah.” (HR. Muslim) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengerjakan salat id tanpa azan dan ikamah. (Shahih Sunan Abi Dawud) سابعاً: إذا وافق يوم العيد يوم الجمعة، فمن صلّى العيد لم تجب عليه صلاة الجمعة: لحديث ابن عباس رضي الله عنهما عن رسول الله قال: اجتمع عيدان في يومكم هذا، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون إنشاء الله [صحيح سنن أبي داود]. Ketujuh, jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, orang yang sudah salat id tidak wajib salat Jumat, berdasarkan hadis Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang bersabda, “Dua hari raya (hari raya id dan hari jumat) terkumpul di hari kalian ini, maka barang siapa mau tidak perlu salat Jumat. Namun kami tetap berjamaah, insya Allah.” (Shahih Sunan Abi Dawud) ثامناً: من فاتته صلاة العيد مع المسلمين يشرع له قضاؤها على صفتها: وإذا لم يعلم الناس بيوم العيد إلا بعد الزوال صلوها جميعاً من الغد؛ لحديث أبي عمير ابن أنس رحمه الله عن عمومة له من أصحاب النبي: (أن ركباً جاءوا إلى النبي يشهدون أنهم رأوا الهلال بالأمس، فأمرهم النبي أن يفطروا، وإذا أصبحوا يغدوا إلى مصلاهم) [أخرجه أصحاب السنن وصححه البهيقي والنووي وابن حجر وغيرهم]. Kedelapan, barang siapa yang terlewat salat id secara berjamaah bersama kaum muslimin, maka dia dianjurkan untuk mengqadanya dengan cara yang sama. Jika masyarakat tidak mengetahui bahwa saat itu adalah hari raya kecuali setelah matahari tergelincir, maka hendaknya mereka semua melakukannya esok hari. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Umair bin Anas dari paman-pamannya yang merupakan Sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa ada kafilah yang datang kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan memberi kesaksian bahwa mereka telah melihat hilal kemarin, maka Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang untuk tidak puasa, dan untuk keluar ke tempat salat mereka keesokan harinya. (HR. Aṣẖāb as-Sunan, dan dinilai sahih oleh al-Baihaqi, an-Nawawi, Ibnu Hajar, dan selain mereka) تاسعاً: ولا بأس بالمعايدة وأن يقول الناس: (تقبل الله منا ومنكم): قال ابن التركماني: (في هذا الباب حديث جيد… وهو حديث محمد من زياد قال: كنت مع أبي أمامة الباهلي وغيره من أصحاب النبي، فكانوا إذا رجعوا يقول بعضهم لبعض: تقبل الله منا ومنك). قال أحمد بن حنبل: إسناده جيد. [الجوهر النقي 3/320]. Kesembilan, tidak mengapa beramah tamah dan mengucapkan kepada orang-orang “Taqabbalallāhu minnā wa minkum (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan kalian).” Ibnul Turkmani berkata bahwa dalam masalah ini ada sebuah hadis yang bagus, … yaitu hadis Muhammad dari Ziyad yang berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah al-Bahili dan Sahabat Nabi lain, mereka ketika mereka kembali (dari salat id) saling mengucapkan, ‘Taqabbalallāhu minnā wa minka (artinya: Semoga Allah Menerima (ibadah) dari kami dan Anda).’” Ahmad bin Hanbal berkata bahwa sanad hadis ini baik. (Al-Jauhar an-Naqi 3/320) عاشراً: يوم العيد يوم فرح وسعة: فعن أنس قال: قدم رسول الله المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله: إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر [صحيح سنن أبي داود]. Kesepuluh, hari raya adalah hari kegembiraan dan keberlimpahan. Diriwayatkan dari Anas —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa ketika Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tiba di kota Madinah, penduduknya mempunyai dua hari di mana mereka bersenang-senang pada dua hari tersebut, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Di masa jahiliah kami bersenang-senang di dua hari tersebut.” Lantas beliau bersabda, “Allah telah Memberikan ganti kepada kalian untuk dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud) حادي عشر: احذر أخي المسلم الوقوع في المخالفات الشرعية والتي يقع فيها بعض الناس من أخذ الزينة المحرمة كالإسبال، وحلق اللحية، والاحتفال المحرم من سماع الغناء، والنظر المحرم، وتبرج النساء واختلاطهن بالرجال. واحذر أيها الأب الغيور من الذهاب بأسرتك إلى الملاهي المختلطة، والشواطئ والمنتزهات التي تظهر فيها المنكرات. Kesebelas, waspadalah, wahai saudara muslimku, agar tidak terjerumus ke dalam pelanggaran syariat, yang biasanya dilakukan oleh sebagian orang, seperti memakai perhiasan yang terlarang, seperti Isbāl (menjulurkan pakaian melebihi mata kaki, pent), mencukur jenggot, membuat acara terlarang yang diiringi mendengarkan nyanyian, memandang yang haram, dan wanita yang memamerkan kecantikan mereka dan bercampur baur dengan laki-laki. Waspadalah, wahai ayah yang punya rasa cemburu, dengan perginya keluarga ke tempat-tempat yang bercampur baur antara lelaki dan wanita seperti tempat hiburan, pantai, dan tempat-tempat rekreasi yang tampak kemungkarannya. Syaikh Shalih al-Fauzan Sumber: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/13554 PDF sumber artikel. 🔍 Puasa 1 Rajab, Waktu Bayar Fidyah, Tebo Anak Genderuwo Menikah, Cukuran Bayi, Bunyi Sangkakala, Wallpaper Kalimat Tauhid Visited 37 times, 1 visit(s) today Post Views: 636 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Beginilah Agar Puasa Anda Bermanfaat Dunia Akhirat – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Inilah sebabnya seorang hamba seyogianya benar-benar perhatian untuk melawan nafsunya, demi mendapatkan keberkahan dan pahala puasa, serta kebaikannya yang agung dan berbagai balasan atas puasa tersebut. Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum. Ya, begitulah puasa, tapi hakikat puasa lebih agung daripada itu, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi kita Ṣalawātullāhi wa Salāmuhu ʿAlaihi, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan munkar, dan tidak meninggalkan kebodohan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari) Jadi, tujuan puasa adalah mendidik jiwa kepada akhlak yang mulia dan adab yang paripurna, memelihara hak, menguatkan jiwa di atas perilaku yang baik dan pekerti yang luhur, dan menghilangkan kekerasan jiwa. Jadi, puasa itu mendidik, tanpa perlu diragukan. Itulah sebabnya Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Jadi, ibadah ini disyariatkan karena akan mendatangkan dampak yang mulia dan buah yang berkah, termasuk dampak tersebut adalah menjaga diri seorang hamba —dengan izin Allah Subẖānahu wa Taʿālā— dan melindunginya dari setan. Sebabnya karena setan itu mengalir dalam diri anak Adam melalui aliran darah di pembuluh darah. Jika dia berpuasa, maka puasanya akan mempersempit laju setan Inilah yang diisyaratkan dalam hadis. Jadi, seorang hamba dapat memetik manfaat di bulan Ramadan dengan memperhatikan ketaatan ini, yang disyariatkan bagi seorang muslim di bulan yang diberkahi ini, yaitu berpuasa dengan penuh perhatian. ==== وَلِهَذَا يَنْبَغِي عَلَى الْعَبْدِ فِعْلًا أَنْ يَعْتَنِيَ بِمُجَاهِدَةِ نَفْسِهِ عَلَى تَحْصِيلِ بَرَكَةِ الصِّيَامِ وَأَجْرِهِ وَخَيْرَاتِهِ الْعَظِيمَةِ وَمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مِنْ أُجُورٍ وَلَيْسَ هُوَ مُجَرَّدُ الْإِمْسَاكِ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ نَعَمْ هَذَا هُوَ الصِّيَامُ لَكِنَّ الصِّيَامَ شَأْنُهُ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِكَ كَمَا قَالَ نَبِيُّنَا صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَمَقْصُودُ الصِّيَامِ تَهْذِيبُ النَّفْسِ عَلَى الْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالْآدَابِ الْكَامِلَةِ وَالرِّعَايَةِ لِلْحُقوقِ وَتَوْكِيدِ النَّفْسِ عَلَى السُّلُوكِ الطَّيِّبِ وَالْخُلُقِ الْفَاضِلِ وَالْبُعْدِ بِالنَّفْسِ عَنْ رُعُونَتِهَا فَالصِّيَامُ يُهَذِّبُ وَلَا شَكَّ وَلِهَذَا قَالَ اللهُ سُبْحَانَهُ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ۙ فَهَذِهِ الْعِبَادَةُ شُرِعَتْ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا مِنْ آثَارٍ عَظِيمَةٍ وَثِمَارٍ مُبَارَكَةٍ وَمِنْ ضِمْنِ هَذِهِ الْآثَارِ تَحْصِينُ الْعَبْدِ بِإِذْنِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَوِقَايَتُهُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَلِهَذَا الشَّيْطَانُ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ مِنَ الْعُرُوقِ وَإِذَا صَامَ فِي صِيَامِهِ تَضْيِيقُ عَلَى الشَّيْطَانِ فِي جَرْيِهِ هَذَا الَّذِي أُشِيرَ إِلَيْهِ فِي الْحَدِيثِ وَلِهَذَا نَفَعَ الْعَبْدُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِالْعِنَايَةِ بِهَذِهِ الطَّاعَةِ الَّتِي شُرِعَتْ لِلْمُسْلِمِ فِي هَذَا الشَّهْرِ الْمُبَارَكِ وَالَّتِي هِيَ الصِّيَامُ عِنَايَةً بِهِ

Beginilah Agar Puasa Anda Bermanfaat Dunia Akhirat – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Inilah sebabnya seorang hamba seyogianya benar-benar perhatian untuk melawan nafsunya, demi mendapatkan keberkahan dan pahala puasa, serta kebaikannya yang agung dan berbagai balasan atas puasa tersebut. Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum. Ya, begitulah puasa, tapi hakikat puasa lebih agung daripada itu, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi kita Ṣalawātullāhi wa Salāmuhu ʿAlaihi, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan munkar, dan tidak meninggalkan kebodohan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari) Jadi, tujuan puasa adalah mendidik jiwa kepada akhlak yang mulia dan adab yang paripurna, memelihara hak, menguatkan jiwa di atas perilaku yang baik dan pekerti yang luhur, dan menghilangkan kekerasan jiwa. Jadi, puasa itu mendidik, tanpa perlu diragukan. Itulah sebabnya Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Jadi, ibadah ini disyariatkan karena akan mendatangkan dampak yang mulia dan buah yang berkah, termasuk dampak tersebut adalah menjaga diri seorang hamba —dengan izin Allah Subẖānahu wa Taʿālā— dan melindunginya dari setan. Sebabnya karena setan itu mengalir dalam diri anak Adam melalui aliran darah di pembuluh darah. Jika dia berpuasa, maka puasanya akan mempersempit laju setan Inilah yang diisyaratkan dalam hadis. Jadi, seorang hamba dapat memetik manfaat di bulan Ramadan dengan memperhatikan ketaatan ini, yang disyariatkan bagi seorang muslim di bulan yang diberkahi ini, yaitu berpuasa dengan penuh perhatian. ==== وَلِهَذَا يَنْبَغِي عَلَى الْعَبْدِ فِعْلًا أَنْ يَعْتَنِيَ بِمُجَاهِدَةِ نَفْسِهِ عَلَى تَحْصِيلِ بَرَكَةِ الصِّيَامِ وَأَجْرِهِ وَخَيْرَاتِهِ الْعَظِيمَةِ وَمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مِنْ أُجُورٍ وَلَيْسَ هُوَ مُجَرَّدُ الْإِمْسَاكِ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ نَعَمْ هَذَا هُوَ الصِّيَامُ لَكِنَّ الصِّيَامَ شَأْنُهُ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِكَ كَمَا قَالَ نَبِيُّنَا صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَمَقْصُودُ الصِّيَامِ تَهْذِيبُ النَّفْسِ عَلَى الْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالْآدَابِ الْكَامِلَةِ وَالرِّعَايَةِ لِلْحُقوقِ وَتَوْكِيدِ النَّفْسِ عَلَى السُّلُوكِ الطَّيِّبِ وَالْخُلُقِ الْفَاضِلِ وَالْبُعْدِ بِالنَّفْسِ عَنْ رُعُونَتِهَا فَالصِّيَامُ يُهَذِّبُ وَلَا شَكَّ وَلِهَذَا قَالَ اللهُ سُبْحَانَهُ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ۙ فَهَذِهِ الْعِبَادَةُ شُرِعَتْ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا مِنْ آثَارٍ عَظِيمَةٍ وَثِمَارٍ مُبَارَكَةٍ وَمِنْ ضِمْنِ هَذِهِ الْآثَارِ تَحْصِينُ الْعَبْدِ بِإِذْنِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَوِقَايَتُهُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَلِهَذَا الشَّيْطَانُ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ مِنَ الْعُرُوقِ وَإِذَا صَامَ فِي صِيَامِهِ تَضْيِيقُ عَلَى الشَّيْطَانِ فِي جَرْيِهِ هَذَا الَّذِي أُشِيرَ إِلَيْهِ فِي الْحَدِيثِ وَلِهَذَا نَفَعَ الْعَبْدُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِالْعِنَايَةِ بِهَذِهِ الطَّاعَةِ الَّتِي شُرِعَتْ لِلْمُسْلِمِ فِي هَذَا الشَّهْرِ الْمُبَارَكِ وَالَّتِي هِيَ الصِّيَامُ عِنَايَةً بِهِ
Inilah sebabnya seorang hamba seyogianya benar-benar perhatian untuk melawan nafsunya, demi mendapatkan keberkahan dan pahala puasa, serta kebaikannya yang agung dan berbagai balasan atas puasa tersebut. Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum. Ya, begitulah puasa, tapi hakikat puasa lebih agung daripada itu, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi kita Ṣalawātullāhi wa Salāmuhu ʿAlaihi, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan munkar, dan tidak meninggalkan kebodohan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari) Jadi, tujuan puasa adalah mendidik jiwa kepada akhlak yang mulia dan adab yang paripurna, memelihara hak, menguatkan jiwa di atas perilaku yang baik dan pekerti yang luhur, dan menghilangkan kekerasan jiwa. Jadi, puasa itu mendidik, tanpa perlu diragukan. Itulah sebabnya Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Jadi, ibadah ini disyariatkan karena akan mendatangkan dampak yang mulia dan buah yang berkah, termasuk dampak tersebut adalah menjaga diri seorang hamba —dengan izin Allah Subẖānahu wa Taʿālā— dan melindunginya dari setan. Sebabnya karena setan itu mengalir dalam diri anak Adam melalui aliran darah di pembuluh darah. Jika dia berpuasa, maka puasanya akan mempersempit laju setan Inilah yang diisyaratkan dalam hadis. Jadi, seorang hamba dapat memetik manfaat di bulan Ramadan dengan memperhatikan ketaatan ini, yang disyariatkan bagi seorang muslim di bulan yang diberkahi ini, yaitu berpuasa dengan penuh perhatian. ==== وَلِهَذَا يَنْبَغِي عَلَى الْعَبْدِ فِعْلًا أَنْ يَعْتَنِيَ بِمُجَاهِدَةِ نَفْسِهِ عَلَى تَحْصِيلِ بَرَكَةِ الصِّيَامِ وَأَجْرِهِ وَخَيْرَاتِهِ الْعَظِيمَةِ وَمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مِنْ أُجُورٍ وَلَيْسَ هُوَ مُجَرَّدُ الْإِمْسَاكِ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ نَعَمْ هَذَا هُوَ الصِّيَامُ لَكِنَّ الصِّيَامَ شَأْنُهُ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِكَ كَمَا قَالَ نَبِيُّنَا صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَمَقْصُودُ الصِّيَامِ تَهْذِيبُ النَّفْسِ عَلَى الْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالْآدَابِ الْكَامِلَةِ وَالرِّعَايَةِ لِلْحُقوقِ وَتَوْكِيدِ النَّفْسِ عَلَى السُّلُوكِ الطَّيِّبِ وَالْخُلُقِ الْفَاضِلِ وَالْبُعْدِ بِالنَّفْسِ عَنْ رُعُونَتِهَا فَالصِّيَامُ يُهَذِّبُ وَلَا شَكَّ وَلِهَذَا قَالَ اللهُ سُبْحَانَهُ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ۙ فَهَذِهِ الْعِبَادَةُ شُرِعَتْ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا مِنْ آثَارٍ عَظِيمَةٍ وَثِمَارٍ مُبَارَكَةٍ وَمِنْ ضِمْنِ هَذِهِ الْآثَارِ تَحْصِينُ الْعَبْدِ بِإِذْنِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَوِقَايَتُهُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَلِهَذَا الشَّيْطَانُ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ مِنَ الْعُرُوقِ وَإِذَا صَامَ فِي صِيَامِهِ تَضْيِيقُ عَلَى الشَّيْطَانِ فِي جَرْيِهِ هَذَا الَّذِي أُشِيرَ إِلَيْهِ فِي الْحَدِيثِ وَلِهَذَا نَفَعَ الْعَبْدُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِالْعِنَايَةِ بِهَذِهِ الطَّاعَةِ الَّتِي شُرِعَتْ لِلْمُسْلِمِ فِي هَذَا الشَّهْرِ الْمُبَارَكِ وَالَّتِي هِيَ الصِّيَامُ عِنَايَةً بِهِ


Inilah sebabnya seorang hamba seyogianya benar-benar perhatian untuk melawan nafsunya, demi mendapatkan keberkahan dan pahala puasa, serta kebaikannya yang agung dan berbagai balasan atas puasa tersebut. Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum. Ya, begitulah puasa, tapi hakikat puasa lebih agung daripada itu, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi kita Ṣalawātullāhi wa Salāmuhu ʿAlaihi, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan munkar, dan tidak meninggalkan kebodohan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari) Jadi, tujuan puasa adalah mendidik jiwa kepada akhlak yang mulia dan adab yang paripurna, memelihara hak, menguatkan jiwa di atas perilaku yang baik dan pekerti yang luhur, dan menghilangkan kekerasan jiwa. Jadi, puasa itu mendidik, tanpa perlu diragukan. Itulah sebabnya Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Jadi, ibadah ini disyariatkan karena akan mendatangkan dampak yang mulia dan buah yang berkah, termasuk dampak tersebut adalah menjaga diri seorang hamba —dengan izin Allah Subẖānahu wa Taʿālā— dan melindunginya dari setan. Sebabnya karena setan itu mengalir dalam diri anak Adam melalui aliran darah di pembuluh darah. Jika dia berpuasa, maka puasanya akan mempersempit laju setan Inilah yang diisyaratkan dalam hadis. Jadi, seorang hamba dapat memetik manfaat di bulan Ramadan dengan memperhatikan ketaatan ini, yang disyariatkan bagi seorang muslim di bulan yang diberkahi ini, yaitu berpuasa dengan penuh perhatian. ==== وَلِهَذَا يَنْبَغِي عَلَى الْعَبْدِ فِعْلًا أَنْ يَعْتَنِيَ بِمُجَاهِدَةِ نَفْسِهِ عَلَى تَحْصِيلِ بَرَكَةِ الصِّيَامِ وَأَجْرِهِ وَخَيْرَاتِهِ الْعَظِيمَةِ وَمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مِنْ أُجُورٍ وَلَيْسَ هُوَ مُجَرَّدُ الْإِمْسَاكِ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ نَعَمْ هَذَا هُوَ الصِّيَامُ لَكِنَّ الصِّيَامَ شَأْنُهُ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِكَ كَمَا قَالَ نَبِيُّنَا صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَمَقْصُودُ الصِّيَامِ تَهْذِيبُ النَّفْسِ عَلَى الْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالْآدَابِ الْكَامِلَةِ وَالرِّعَايَةِ لِلْحُقوقِ وَتَوْكِيدِ النَّفْسِ عَلَى السُّلُوكِ الطَّيِّبِ وَالْخُلُقِ الْفَاضِلِ وَالْبُعْدِ بِالنَّفْسِ عَنْ رُعُونَتِهَا فَالصِّيَامُ يُهَذِّبُ وَلَا شَكَّ وَلِهَذَا قَالَ اللهُ سُبْحَانَهُ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ۙ فَهَذِهِ الْعِبَادَةُ شُرِعَتْ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا مِنْ آثَارٍ عَظِيمَةٍ وَثِمَارٍ مُبَارَكَةٍ وَمِنْ ضِمْنِ هَذِهِ الْآثَارِ تَحْصِينُ الْعَبْدِ بِإِذْنِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَوِقَايَتُهُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَلِهَذَا الشَّيْطَانُ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ مِنَ الْعُرُوقِ وَإِذَا صَامَ فِي صِيَامِهِ تَضْيِيقُ عَلَى الشَّيْطَانِ فِي جَرْيِهِ هَذَا الَّذِي أُشِيرَ إِلَيْهِ فِي الْحَدِيثِ وَلِهَذَا نَفَعَ الْعَبْدُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِالْعِنَايَةِ بِهَذِهِ الطَّاعَةِ الَّتِي شُرِعَتْ لِلْمُسْلِمِ فِي هَذَا الشَّهْرِ الْمُبَارَكِ وَالَّتِي هِيَ الصِّيَامُ عِنَايَةً بِهِ

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 5): Mengenal Macam-Macam Fi’il

Daftar Isi Toggle Fi’il MadhiPertama: Fi’il Madhi (kata kerja menunjukkan lampau)Ciri-ciri fi’il madhiPertama: Adanya ta’ ta’nits sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan dan sukun yang melekat pada fi’il madhi)Kedua: Fi’il madhi bisa bersambung dengan ta’ fa’il (pelaku) mutaharrikah (damah, fathah, dan kasrah)Keadaan mabni fi’il madhiPertama, Mabni dengan tanda fathah.Kedua, fi’il madhi mabni dengan tanda damah apabila bersambung dengan wawu jama’ah.Ketiga, fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan  dhamir rafa’ yang berharakat dammah, fathah, atau kasrah.Bersambung dengan ta’ fa’il.Bersambung dengan naa (dhomir nahnu) fa’il (pelaku orang pertama jama’).Bersambung dengan nun inast, (pelakunya orang ketiga jama’ perempuan).Khilaf kata-kata berikut masuk fi’il madhi atau tidak Fi’il Madhi Ibnu Hisyam mengatakan, . وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاض، وَيُعْرَفُ بِتَاءِ التَّأنِيْثِ “Adapun fi’il ada tiga macam. Yaitu: (Pertama) fi’il madhi (kata kerja menunjukkan lampau). Fi’il madhi bisa dikenal dengan adanya ciri-ciri bisa bersambung atau melekat dengan ta’ ta’nist sakinah (huruf ta’ yang menunjukkan pelakunya perempuan dan disukun.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya ketika Ibnu Hisyam telah menyelesaikan pembahasan tentang isim mu’rab dan isim mabni, Ibnu Hisyam membahas tentang fi’il. Bahwasanya fi’il itu ada tiga macam. Yaitu: Pertama: Fi’il Madhi (kata kerja menunjukkan lampau)  Kata مَاضٍ pada kalimat yang disampaikan Ibnu Hisyam pada matan di atas berkedudukan sebagai badal (pengganti) dari kata ثَلَاثَةُ. Kata tersebut marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah (tersirat/dilesapkan) dengan tanda huruf ي (ya’) yang dihapus karena bertemunya dua sukun dan beratnya pengucapan harakat pada huruf yang dihapus tersebut menurut lisannya orang Arab. Begitulah i’rab lafadz tersebut ketika dalam keadaan rafa’ dan jer. Akan tetapi, ketika keadaan kata tersebut nashab, maka harakat fathahnya dimunculkan. Sehingga dibaca seperti berikut: رَأَيْتُ قَاضِيًا “Aku melihat seorang hakim.” Huruf yang bergaris bawah tersebut diberi tanda fathah, karena harakat fathah dianggap lebih ringan pengucapannya. Fi’il madhi adalah kata yang menunjukkan kepada kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu atau perbuatan yang dihukumi pasti akan terjadi. Contohnya adalah: سَافَرَ الضَّيْفُ “Tamu itu telah bersafar.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah kata yang menunjukkan kepada peristiwa atau kegiatan bersafar dan menunjukkan peristiwa tersebut telah selesai kejadiannya sebelum seseorang membicarakannya. أَتَى أَمْرُ اللهُ “Akan datang ketetapan Allah.” Fi’il tersebut menggunakan fi’il madhi. Meskipun ketetapan Allah belum datang, akan tetapi keputusan Allah pasti akan datang. Ciri-ciri fi’il madhi Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menyebutkan bahwasanya fi’il madhi tersebut mempunyai tanda yang membedakan fi’il madhi dari fi’il mudharri’ dan fi’il amr. Yaitu : Pertama: Adanya ta’ ta’nits sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan dan sukun yang melekat pada fi’il madhi) Apabila ada fi’il yang bisa bersambung dengan ta’ ta’nits sakinah, maka itu pasti fi’il madhi. Contohnya kata: جَلَسَ Ketika bisa dimasuki ta’ ta’nits sakinah. Contohnya: جَلَسَتْ هِنْدٌ “Hindun telah duduk.” Maka, kata tersebut pasti fi’il madhi karena bisa bersambung dengan ta’ ta’nits sakinah. Adapun maksud Ibnu Hisyam “السَّكِيْنَةُ” asalnya sukun.  Tidak masalah apabila ta’ ta’nist sakinah tersebut berharakat karena alasan tertentu. Misal, ketika bertemu dua huruf yang sukun, maka tidak boleh dua huruf bertemu yang sama-sama sukun. Contohnya di dalam Al-Qur’an adalah: قَالَتِ آمْرَأَتُ العَزِيْزِ “Istri Al-Aziz mengatakan.” (QS. Yusuf : 51) Pada huruf yang bergaris bawah tersebut, asalnya adalah sukun. Akan tetapi, pada potongan ayat tersebut huruf ta ta’nits bertemu dengan kata setelahnya yang diawali huruf hamzah washal yang sukun, sehingga huruf ta’ ta’nits tersebut diganti menjadi harakat kasrah. Maka, harakat kasrah pada huruf tersebut bukan harakat asli, namun asalnya adalah sukun. Maka, tidak masuk pada pembahasan ini huruf ta’ ta’nits yang pada asalnya adalah huruf ta’ ta’nits yang berharakat. Apabila huruf ta’ ta’nits tersebut adalah harakat i’rab (bisa damah, fathah, atau kasrah), maka kata tersebut khusus masuk kategori harakat mu’rob yang menunjukkan pada isim mu’rob.  Contohnya: قَائِمَة فَاطِمَة Kedua huruf yang bergaris bawah tersebut bisa berharakat damah, fathah, dan kasrah. Namun, apabila harakatnya tersebut bukan harakat i’rob (tidak bisa berubah), maka harakat tersebut adalah harakat mabni yang menunjukkan pada isim mabni. Contohnya adalah: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّا َبِاللهِ Maka, harakat pada huruf terakhir kata yang bergaris bawah tersebut akan selalu berakhiran fathah karena termasuk pada kategori isim mabni dengan tanda fathah. Kata tersebut mabni dikarenakan berkedudukan isim laa nafiyah lil jinsi (akan disampaikan pembahasannya pada babnya). Ta’ ta’nits mutaharrikah (bukan sukun) bisa ada pada fi’il. Contohnya adalah: هِنْدٌ تَقُوْمُ “Hindun berdiri.” Huruf yang bergaris bawah tersebut bukanlah ta’ ta’nist sakinah. Namun, huruf tersebut adalah ta’ ta’nist mutaharrikah. Huruf tersebut tidak masuk kategori ta‘ ta’nist sakinah dan juga bukan harakat i’rob, karena tidak terletak pada akhir kata. Ta’ ta’nits mutaharrikah (bukan sukun) bisa juga ada pada huruf. Contohnya adalah رُبَّتَ “Banyak/sedikit” dan ثُمَّتَ “Kemudian”. Contohnya di dalam kalimat adalah: رُبَّتَ كَلِمَةٍ فَتَحَتْ بَابَ شَرٍّ ثُمَّتَ جَلَبَتْ لِصَاحِبِهَا بَلَاءً “Betapa banyak kalimat yang membuka pintu kejelekan yang mendatangkan musibah kepada pelakunya.” Huruf ta’ ta’nist mutaharrikah tersebut melekat pada huruf. Kedua: Fi’il madhi bisa bersambung dengan ta’ fa’il (pelaku) mutaharrikah (damah, fathah, dan kasrah) Berikut rinciannya: Pertama: Berharakat damah untuk menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang pertama (yang berbicara)). Contohnya: بِهِ  أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا فَرَحْتَ “Aku memberikan buku yang kamu sukai.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Kedua: Berharakat fathah untuk menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang pertama (yang berbicara)). Contohnya: بِهِ  أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا فَرَحْتَ “Aku memberikan buku yang kamu sukai.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Ketiga: Harakat fathah menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang kedua (yang diajak berbicara)). Contohnya: أَنْتِ قُمْتِ بِالوَاجِبِ “Kamu melaksanakan kewajibanmu.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Keadaan mabni fi’il madhi Ibnu Hisyam mengatakan, .وَبِنَاؤُهُ عَلَى الْفَتْحِ كَضَرَب، إِلّاَ مَعَ وَاوِ الْجَمَاعَةِ فَيُضَمُّ كَضَرَبُوْا، وَالضَّمِيْرُ الْمَرْفُوْعِ الْمُتَحَرِّكَ فَيُسَكَّنُ، كَضَرَبْتُ Fi’il madhi bisa mabni dengan tanda fathah, contohnya:  ضَرَبَ “Dia (laki-laki) telah memukul.” Kecuali yang bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan orang ketiga banyak), contohnya:  ضَرَبُوْا, “Mereka (laki-laki) telah memukul.” dan bisa sukun apabila bersambung dengan dhomir rafa’, contohnya:  ضَرَبْتُ. “Aku telah memukul.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya keadaan fi’il madhi ada tiga macam, yaitu: Pertama, Mabni dengan tanda fathah. Tanda tersebut adalah tanda utama fi’il madhi. Baik fathahnya tampak ataupun tidak tampak. Contohnya adalah: تَكَلَّمَ الْخَطِيْبُ “Khatib itu telah berbicara.” Maka, fathah pada huruf mim tampak. دَعَا المُسْلِمُ رَبَّهُ “Orang muslim itu berdoa kepada Rabbnya.” Fathah pada huruf alif yang bergaris bawah tersebut tidak tampak (tidak ada) dikarenakan adanya udzur, yaitu huruf alif pada posisinya tersebut tidak bisa menerima harakat. Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya fi’il madhi mabni dengan tanda fathah apabila tidak bersambung dengan apa pun, kecuali: Pertama: bersambung dengan ta’ ta’nist sakinah. Contohnya adalah: نَصَحَتْ فَاطِمَةُ أُخْتَهَا “Fatimah memberikan nasihat kepada saudarinya.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan ta’ ta’nist sakinah. Kedua: bersambung dengan alif tasniyyah. Contohnya adalah: الشَّاهِدَانِ قَالَا الحَقَّ “Dua saksi itu mengatakan kebenaran.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda fathah pada huruf ل  (lam) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan alif tasniyyah. Kedua, fi’il madhi mabni dengan tanda damah apabila bersambung dengan wawu jama’ah. Contohnya adalah: المُجَاهِدُوْنَ حَضَرُوْا “Laki-laki yang bersungguh-sungguh itu telah hadir.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda damah pada huruf ر (ra’) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan alif tasniyyah. Ketiga, fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan  dhamir rafa’ yang berharakat dammah, fathah, atau kasrah. Seperti: Bersambung dengan ta’ fa’il. Contohnya: كَتَبْتُ الحَدِيْثَ “Aku telah menulis sebuah hadis.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf ب (ba’) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan ta’ fa’il. Bersambung dengan naa (dhomir nahnu) fa’il (pelaku orang pertama jama’). Contohnya: اِسْتَمَعْنَا المُحَاضَرَةَ “Kami telah mendengarkan muhadharah.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf ن (nun) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan naa fa’il. Bersambung dengan nun inast, (pelakunya orang ketiga jama’ perempuan). Contohnya: البَنَاتُ جَلَسْنَ فِي المَنْزِلِ “Anak-anak perempuan duduk di rumah.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf س (sin) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan nun inast. Ibnu Hisyam mengatakan, الضَّمِيْرُ المَرْفُوْعِ المُتَرِّحِكِ “Fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan dhamir rafa’ yang berharakat.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan perkataan Ibnu Hisyam di atas bahwasanya jika bersambung dengan dhamir nashab tidak masuk pada pembahasan ini. Contohnya: Bersambung dengan dhamir ك. Contohnya adalah: أَكْرَمَكَ “Aku memuliakanmu.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah dhamir nashab (objek). Bersambung dengan dhamir نَا. Contohnya adalah: مُحَمَّدُ أَكْرَمَنَا “Muhammad memuliakan kami.” Maka, dhamir نَا tersebut adalah dhamir nashab berkedudukan sebagai maf’ul bih. Apabila fi’il madhi bersambung dengan wawu jama’ah (pelaku yang menunjukkan lebih dari dua orang untuk orang ketiga laki-laki), maka fi’il madhi tersebut bukan mabni dengan tanda sukun, akan tetapi mabni dengan tanda damah. Begitu juga dengan fi’il madhi yang bersambung dengan alif istnain (pelaku yang menunjukkan jumlahnya dua orang), maka fi’il tersebut mabni dengan tanda fathah. Khilaf kata-kata berikut masuk fi’il madhi atau tidak Ibnu Hisyam mengatakan, وَمِنْهُ نِعْمَ وَبِئْسَ وعَسَى ولَيْسَ فِي الأَصَحِّ “Di antara kata yang masuk fi’il madhi adalah  نِعْمَ (sebaik-baik), بِئْسَ (sejelek–jelek), عَسَى (semoga), لَيْسَ (bukan) menurut pendapat yang lebih kuat.”  === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan dalam pernyataan Ibnu Hisyam di atas terdapat penjelasan bahwasanya keempat fi’il madhi di atas diperselisihkan statusnya sebagai fi’il madhi. Dalil yang menunjukkan kata tersebut dikatakan masuk kategori fi’il madhi adalah kata tersebut bisa dimasuki ta’ ta’nist sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan orang ketiga satu orang). Contohnya adalah: نِعْمَتِ الْمَرْأَةُ فَاطِمَةُ “Sebaik-baik perempuan adalah Fatimah.” Kata نِعْمَ tersebut adalah fi’il madhi jamid (yang tidak ada turunan kata sebagaimana fi’il pada umumnya) mabni dengan tanda fathah yang tidak mempunyai kedudukan di dalam i’rab. Adapun huruf yang bergaris bawah tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah yang menunjukkan bersambung dengan fi’il madhi. Sedangkan kata الْمَرْأَةُ berkedudukan sebagai fa’il نِعْمَ dan jumlah fi’il dan fai’l tersebut berkedudukan sebagai khabar muqaddam (didahulukan). Adapun kata فَاطِمَة berkedudukan sebagai mubtada’ muakhar (mubtada’ yang diakhirkan). بِئْسَتِ الْمَرْأَةُ هِنْدٌ “Sejelek-jelek perempuan adalah Hindun.” Huruf yang bergaris bawah tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah yang menunjukkan bersambung dengan fi’il madhi. Adapun kata الْمَرْأَةُ berkedudukan sebagai fa’il بِئْسَ dan jumlah fi’il dan fa’il tersebut berkedudukan sebagai khabar muqaddam (didahulukan). Adapun kata هِنْدٌ berkedudukan sebagai mubtada’ muakhar (mubtada’ yang diakhirkan). عَسَتْ هِنْدٌ أَنْ تَقُوْمَ “Semoga Hindun berdiri.” Kata عَسَى tersebut adalah fi’il madhi naqish (butuh isim dan khabar) mabni dengan tanda fathah. Adapun huruf تْ tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah (yang menunjukkan pelakunya perempuan). Sedangkan kata هِنْدٌ adalah isim عَسَى marfu’ dengan tanda damah. Kemudian huruf أَنْ tersebut adalah huruf mashdariyyah manshub.  Sedangkan kata تَقُوْمَ adalah fi’il mudhari’ manshub dengan huruf أَنْ dan fa’il-nya berupa dhamir mustathir. Mashdar muawwal huruf أَنْ dan  fa’il sebagai khobar عَسَى. لَيْسَتْ الْمُؤْمِنَةُ مُتَبَرِّجَةً “Tidaklah  pantas bagi perempuan yang beriman bersolek (untuk orang lain).” Maka, kata لَيْسَ tersebut adalah fi’il madhi naqish mabni dengan tanda fathah. Adapun huruf تْ (ta’) tersebut adalah ta’nist sakinah (yang menunjukkan pelakunya perempuan). Sedangkan kata الْمُؤْمِنَة adalah isim لَيْسَ marfu’ dengan tanda damah. Sedangkan kata مُتَبَرِّجَة berkedudukan sebagai khabar laisa manshub dengan tanda fathah. Kembali ke bagian 4: Isim Mabni Lanjut ke bagian 6: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 5): Mengenal Macam-Macam Fi’il

Daftar Isi Toggle Fi’il MadhiPertama: Fi’il Madhi (kata kerja menunjukkan lampau)Ciri-ciri fi’il madhiPertama: Adanya ta’ ta’nits sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan dan sukun yang melekat pada fi’il madhi)Kedua: Fi’il madhi bisa bersambung dengan ta’ fa’il (pelaku) mutaharrikah (damah, fathah, dan kasrah)Keadaan mabni fi’il madhiPertama, Mabni dengan tanda fathah.Kedua, fi’il madhi mabni dengan tanda damah apabila bersambung dengan wawu jama’ah.Ketiga, fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan  dhamir rafa’ yang berharakat dammah, fathah, atau kasrah.Bersambung dengan ta’ fa’il.Bersambung dengan naa (dhomir nahnu) fa’il (pelaku orang pertama jama’).Bersambung dengan nun inast, (pelakunya orang ketiga jama’ perempuan).Khilaf kata-kata berikut masuk fi’il madhi atau tidak Fi’il Madhi Ibnu Hisyam mengatakan, . وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاض، وَيُعْرَفُ بِتَاءِ التَّأنِيْثِ “Adapun fi’il ada tiga macam. Yaitu: (Pertama) fi’il madhi (kata kerja menunjukkan lampau). Fi’il madhi bisa dikenal dengan adanya ciri-ciri bisa bersambung atau melekat dengan ta’ ta’nist sakinah (huruf ta’ yang menunjukkan pelakunya perempuan dan disukun.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya ketika Ibnu Hisyam telah menyelesaikan pembahasan tentang isim mu’rab dan isim mabni, Ibnu Hisyam membahas tentang fi’il. Bahwasanya fi’il itu ada tiga macam. Yaitu: Pertama: Fi’il Madhi (kata kerja menunjukkan lampau)  Kata مَاضٍ pada kalimat yang disampaikan Ibnu Hisyam pada matan di atas berkedudukan sebagai badal (pengganti) dari kata ثَلَاثَةُ. Kata tersebut marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah (tersirat/dilesapkan) dengan tanda huruf ي (ya’) yang dihapus karena bertemunya dua sukun dan beratnya pengucapan harakat pada huruf yang dihapus tersebut menurut lisannya orang Arab. Begitulah i’rab lafadz tersebut ketika dalam keadaan rafa’ dan jer. Akan tetapi, ketika keadaan kata tersebut nashab, maka harakat fathahnya dimunculkan. Sehingga dibaca seperti berikut: رَأَيْتُ قَاضِيًا “Aku melihat seorang hakim.” Huruf yang bergaris bawah tersebut diberi tanda fathah, karena harakat fathah dianggap lebih ringan pengucapannya. Fi’il madhi adalah kata yang menunjukkan kepada kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu atau perbuatan yang dihukumi pasti akan terjadi. Contohnya adalah: سَافَرَ الضَّيْفُ “Tamu itu telah bersafar.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah kata yang menunjukkan kepada peristiwa atau kegiatan bersafar dan menunjukkan peristiwa tersebut telah selesai kejadiannya sebelum seseorang membicarakannya. أَتَى أَمْرُ اللهُ “Akan datang ketetapan Allah.” Fi’il tersebut menggunakan fi’il madhi. Meskipun ketetapan Allah belum datang, akan tetapi keputusan Allah pasti akan datang. Ciri-ciri fi’il madhi Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menyebutkan bahwasanya fi’il madhi tersebut mempunyai tanda yang membedakan fi’il madhi dari fi’il mudharri’ dan fi’il amr. Yaitu : Pertama: Adanya ta’ ta’nits sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan dan sukun yang melekat pada fi’il madhi) Apabila ada fi’il yang bisa bersambung dengan ta’ ta’nits sakinah, maka itu pasti fi’il madhi. Contohnya kata: جَلَسَ Ketika bisa dimasuki ta’ ta’nits sakinah. Contohnya: جَلَسَتْ هِنْدٌ “Hindun telah duduk.” Maka, kata tersebut pasti fi’il madhi karena bisa bersambung dengan ta’ ta’nits sakinah. Adapun maksud Ibnu Hisyam “السَّكِيْنَةُ” asalnya sukun.  Tidak masalah apabila ta’ ta’nist sakinah tersebut berharakat karena alasan tertentu. Misal, ketika bertemu dua huruf yang sukun, maka tidak boleh dua huruf bertemu yang sama-sama sukun. Contohnya di dalam Al-Qur’an adalah: قَالَتِ آمْرَأَتُ العَزِيْزِ “Istri Al-Aziz mengatakan.” (QS. Yusuf : 51) Pada huruf yang bergaris bawah tersebut, asalnya adalah sukun. Akan tetapi, pada potongan ayat tersebut huruf ta ta’nits bertemu dengan kata setelahnya yang diawali huruf hamzah washal yang sukun, sehingga huruf ta’ ta’nits tersebut diganti menjadi harakat kasrah. Maka, harakat kasrah pada huruf tersebut bukan harakat asli, namun asalnya adalah sukun. Maka, tidak masuk pada pembahasan ini huruf ta’ ta’nits yang pada asalnya adalah huruf ta’ ta’nits yang berharakat. Apabila huruf ta’ ta’nits tersebut adalah harakat i’rab (bisa damah, fathah, atau kasrah), maka kata tersebut khusus masuk kategori harakat mu’rob yang menunjukkan pada isim mu’rob.  Contohnya: قَائِمَة فَاطِمَة Kedua huruf yang bergaris bawah tersebut bisa berharakat damah, fathah, dan kasrah. Namun, apabila harakatnya tersebut bukan harakat i’rob (tidak bisa berubah), maka harakat tersebut adalah harakat mabni yang menunjukkan pada isim mabni. Contohnya adalah: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّا َبِاللهِ Maka, harakat pada huruf terakhir kata yang bergaris bawah tersebut akan selalu berakhiran fathah karena termasuk pada kategori isim mabni dengan tanda fathah. Kata tersebut mabni dikarenakan berkedudukan isim laa nafiyah lil jinsi (akan disampaikan pembahasannya pada babnya). Ta’ ta’nits mutaharrikah (bukan sukun) bisa ada pada fi’il. Contohnya adalah: هِنْدٌ تَقُوْمُ “Hindun berdiri.” Huruf yang bergaris bawah tersebut bukanlah ta’ ta’nist sakinah. Namun, huruf tersebut adalah ta’ ta’nist mutaharrikah. Huruf tersebut tidak masuk kategori ta‘ ta’nist sakinah dan juga bukan harakat i’rob, karena tidak terletak pada akhir kata. Ta’ ta’nits mutaharrikah (bukan sukun) bisa juga ada pada huruf. Contohnya adalah رُبَّتَ “Banyak/sedikit” dan ثُمَّتَ “Kemudian”. Contohnya di dalam kalimat adalah: رُبَّتَ كَلِمَةٍ فَتَحَتْ بَابَ شَرٍّ ثُمَّتَ جَلَبَتْ لِصَاحِبِهَا بَلَاءً “Betapa banyak kalimat yang membuka pintu kejelekan yang mendatangkan musibah kepada pelakunya.” Huruf ta’ ta’nist mutaharrikah tersebut melekat pada huruf. Kedua: Fi’il madhi bisa bersambung dengan ta’ fa’il (pelaku) mutaharrikah (damah, fathah, dan kasrah) Berikut rinciannya: Pertama: Berharakat damah untuk menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang pertama (yang berbicara)). Contohnya: بِهِ  أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا فَرَحْتَ “Aku memberikan buku yang kamu sukai.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Kedua: Berharakat fathah untuk menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang pertama (yang berbicara)). Contohnya: بِهِ  أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا فَرَحْتَ “Aku memberikan buku yang kamu sukai.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Ketiga: Harakat fathah menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang kedua (yang diajak berbicara)). Contohnya: أَنْتِ قُمْتِ بِالوَاجِبِ “Kamu melaksanakan kewajibanmu.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Keadaan mabni fi’il madhi Ibnu Hisyam mengatakan, .وَبِنَاؤُهُ عَلَى الْفَتْحِ كَضَرَب، إِلّاَ مَعَ وَاوِ الْجَمَاعَةِ فَيُضَمُّ كَضَرَبُوْا، وَالضَّمِيْرُ الْمَرْفُوْعِ الْمُتَحَرِّكَ فَيُسَكَّنُ، كَضَرَبْتُ Fi’il madhi bisa mabni dengan tanda fathah, contohnya:  ضَرَبَ “Dia (laki-laki) telah memukul.” Kecuali yang bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan orang ketiga banyak), contohnya:  ضَرَبُوْا, “Mereka (laki-laki) telah memukul.” dan bisa sukun apabila bersambung dengan dhomir rafa’, contohnya:  ضَرَبْتُ. “Aku telah memukul.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya keadaan fi’il madhi ada tiga macam, yaitu: Pertama, Mabni dengan tanda fathah. Tanda tersebut adalah tanda utama fi’il madhi. Baik fathahnya tampak ataupun tidak tampak. Contohnya adalah: تَكَلَّمَ الْخَطِيْبُ “Khatib itu telah berbicara.” Maka, fathah pada huruf mim tampak. دَعَا المُسْلِمُ رَبَّهُ “Orang muslim itu berdoa kepada Rabbnya.” Fathah pada huruf alif yang bergaris bawah tersebut tidak tampak (tidak ada) dikarenakan adanya udzur, yaitu huruf alif pada posisinya tersebut tidak bisa menerima harakat. Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya fi’il madhi mabni dengan tanda fathah apabila tidak bersambung dengan apa pun, kecuali: Pertama: bersambung dengan ta’ ta’nist sakinah. Contohnya adalah: نَصَحَتْ فَاطِمَةُ أُخْتَهَا “Fatimah memberikan nasihat kepada saudarinya.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan ta’ ta’nist sakinah. Kedua: bersambung dengan alif tasniyyah. Contohnya adalah: الشَّاهِدَانِ قَالَا الحَقَّ “Dua saksi itu mengatakan kebenaran.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda fathah pada huruf ل  (lam) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan alif tasniyyah. Kedua, fi’il madhi mabni dengan tanda damah apabila bersambung dengan wawu jama’ah. Contohnya adalah: المُجَاهِدُوْنَ حَضَرُوْا “Laki-laki yang bersungguh-sungguh itu telah hadir.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda damah pada huruf ر (ra’) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan alif tasniyyah. Ketiga, fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan  dhamir rafa’ yang berharakat dammah, fathah, atau kasrah. Seperti: Bersambung dengan ta’ fa’il. Contohnya: كَتَبْتُ الحَدِيْثَ “Aku telah menulis sebuah hadis.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf ب (ba’) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan ta’ fa’il. Bersambung dengan naa (dhomir nahnu) fa’il (pelaku orang pertama jama’). Contohnya: اِسْتَمَعْنَا المُحَاضَرَةَ “Kami telah mendengarkan muhadharah.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf ن (nun) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan naa fa’il. Bersambung dengan nun inast, (pelakunya orang ketiga jama’ perempuan). Contohnya: البَنَاتُ جَلَسْنَ فِي المَنْزِلِ “Anak-anak perempuan duduk di rumah.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf س (sin) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan nun inast. Ibnu Hisyam mengatakan, الضَّمِيْرُ المَرْفُوْعِ المُتَرِّحِكِ “Fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan dhamir rafa’ yang berharakat.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan perkataan Ibnu Hisyam di atas bahwasanya jika bersambung dengan dhamir nashab tidak masuk pada pembahasan ini. Contohnya: Bersambung dengan dhamir ك. Contohnya adalah: أَكْرَمَكَ “Aku memuliakanmu.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah dhamir nashab (objek). Bersambung dengan dhamir نَا. Contohnya adalah: مُحَمَّدُ أَكْرَمَنَا “Muhammad memuliakan kami.” Maka, dhamir نَا tersebut adalah dhamir nashab berkedudukan sebagai maf’ul bih. Apabila fi’il madhi bersambung dengan wawu jama’ah (pelaku yang menunjukkan lebih dari dua orang untuk orang ketiga laki-laki), maka fi’il madhi tersebut bukan mabni dengan tanda sukun, akan tetapi mabni dengan tanda damah. Begitu juga dengan fi’il madhi yang bersambung dengan alif istnain (pelaku yang menunjukkan jumlahnya dua orang), maka fi’il tersebut mabni dengan tanda fathah. Khilaf kata-kata berikut masuk fi’il madhi atau tidak Ibnu Hisyam mengatakan, وَمِنْهُ نِعْمَ وَبِئْسَ وعَسَى ولَيْسَ فِي الأَصَحِّ “Di antara kata yang masuk fi’il madhi adalah  نِعْمَ (sebaik-baik), بِئْسَ (sejelek–jelek), عَسَى (semoga), لَيْسَ (bukan) menurut pendapat yang lebih kuat.”  === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan dalam pernyataan Ibnu Hisyam di atas terdapat penjelasan bahwasanya keempat fi’il madhi di atas diperselisihkan statusnya sebagai fi’il madhi. Dalil yang menunjukkan kata tersebut dikatakan masuk kategori fi’il madhi adalah kata tersebut bisa dimasuki ta’ ta’nist sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan orang ketiga satu orang). Contohnya adalah: نِعْمَتِ الْمَرْأَةُ فَاطِمَةُ “Sebaik-baik perempuan adalah Fatimah.” Kata نِعْمَ tersebut adalah fi’il madhi jamid (yang tidak ada turunan kata sebagaimana fi’il pada umumnya) mabni dengan tanda fathah yang tidak mempunyai kedudukan di dalam i’rab. Adapun huruf yang bergaris bawah tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah yang menunjukkan bersambung dengan fi’il madhi. Sedangkan kata الْمَرْأَةُ berkedudukan sebagai fa’il نِعْمَ dan jumlah fi’il dan fai’l tersebut berkedudukan sebagai khabar muqaddam (didahulukan). Adapun kata فَاطِمَة berkedudukan sebagai mubtada’ muakhar (mubtada’ yang diakhirkan). بِئْسَتِ الْمَرْأَةُ هِنْدٌ “Sejelek-jelek perempuan adalah Hindun.” Huruf yang bergaris bawah tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah yang menunjukkan bersambung dengan fi’il madhi. Adapun kata الْمَرْأَةُ berkedudukan sebagai fa’il بِئْسَ dan jumlah fi’il dan fa’il tersebut berkedudukan sebagai khabar muqaddam (didahulukan). Adapun kata هِنْدٌ berkedudukan sebagai mubtada’ muakhar (mubtada’ yang diakhirkan). عَسَتْ هِنْدٌ أَنْ تَقُوْمَ “Semoga Hindun berdiri.” Kata عَسَى tersebut adalah fi’il madhi naqish (butuh isim dan khabar) mabni dengan tanda fathah. Adapun huruf تْ tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah (yang menunjukkan pelakunya perempuan). Sedangkan kata هِنْدٌ adalah isim عَسَى marfu’ dengan tanda damah. Kemudian huruf أَنْ tersebut adalah huruf mashdariyyah manshub.  Sedangkan kata تَقُوْمَ adalah fi’il mudhari’ manshub dengan huruf أَنْ dan fa’il-nya berupa dhamir mustathir. Mashdar muawwal huruf أَنْ dan  fa’il sebagai khobar عَسَى. لَيْسَتْ الْمُؤْمِنَةُ مُتَبَرِّجَةً “Tidaklah  pantas bagi perempuan yang beriman bersolek (untuk orang lain).” Maka, kata لَيْسَ tersebut adalah fi’il madhi naqish mabni dengan tanda fathah. Adapun huruf تْ (ta’) tersebut adalah ta’nist sakinah (yang menunjukkan pelakunya perempuan). Sedangkan kata الْمُؤْمِنَة adalah isim لَيْسَ marfu’ dengan tanda damah. Sedangkan kata مُتَبَرِّجَة berkedudukan sebagai khabar laisa manshub dengan tanda fathah. Kembali ke bagian 4: Isim Mabni Lanjut ke bagian 6: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Daftar Isi Toggle Fi’il MadhiPertama: Fi’il Madhi (kata kerja menunjukkan lampau)Ciri-ciri fi’il madhiPertama: Adanya ta’ ta’nits sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan dan sukun yang melekat pada fi’il madhi)Kedua: Fi’il madhi bisa bersambung dengan ta’ fa’il (pelaku) mutaharrikah (damah, fathah, dan kasrah)Keadaan mabni fi’il madhiPertama, Mabni dengan tanda fathah.Kedua, fi’il madhi mabni dengan tanda damah apabila bersambung dengan wawu jama’ah.Ketiga, fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan  dhamir rafa’ yang berharakat dammah, fathah, atau kasrah.Bersambung dengan ta’ fa’il.Bersambung dengan naa (dhomir nahnu) fa’il (pelaku orang pertama jama’).Bersambung dengan nun inast, (pelakunya orang ketiga jama’ perempuan).Khilaf kata-kata berikut masuk fi’il madhi atau tidak Fi’il Madhi Ibnu Hisyam mengatakan, . وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاض، وَيُعْرَفُ بِتَاءِ التَّأنِيْثِ “Adapun fi’il ada tiga macam. Yaitu: (Pertama) fi’il madhi (kata kerja menunjukkan lampau). Fi’il madhi bisa dikenal dengan adanya ciri-ciri bisa bersambung atau melekat dengan ta’ ta’nist sakinah (huruf ta’ yang menunjukkan pelakunya perempuan dan disukun.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya ketika Ibnu Hisyam telah menyelesaikan pembahasan tentang isim mu’rab dan isim mabni, Ibnu Hisyam membahas tentang fi’il. Bahwasanya fi’il itu ada tiga macam. Yaitu: Pertama: Fi’il Madhi (kata kerja menunjukkan lampau)  Kata مَاضٍ pada kalimat yang disampaikan Ibnu Hisyam pada matan di atas berkedudukan sebagai badal (pengganti) dari kata ثَلَاثَةُ. Kata tersebut marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah (tersirat/dilesapkan) dengan tanda huruf ي (ya’) yang dihapus karena bertemunya dua sukun dan beratnya pengucapan harakat pada huruf yang dihapus tersebut menurut lisannya orang Arab. Begitulah i’rab lafadz tersebut ketika dalam keadaan rafa’ dan jer. Akan tetapi, ketika keadaan kata tersebut nashab, maka harakat fathahnya dimunculkan. Sehingga dibaca seperti berikut: رَأَيْتُ قَاضِيًا “Aku melihat seorang hakim.” Huruf yang bergaris bawah tersebut diberi tanda fathah, karena harakat fathah dianggap lebih ringan pengucapannya. Fi’il madhi adalah kata yang menunjukkan kepada kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu atau perbuatan yang dihukumi pasti akan terjadi. Contohnya adalah: سَافَرَ الضَّيْفُ “Tamu itu telah bersafar.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah kata yang menunjukkan kepada peristiwa atau kegiatan bersafar dan menunjukkan peristiwa tersebut telah selesai kejadiannya sebelum seseorang membicarakannya. أَتَى أَمْرُ اللهُ “Akan datang ketetapan Allah.” Fi’il tersebut menggunakan fi’il madhi. Meskipun ketetapan Allah belum datang, akan tetapi keputusan Allah pasti akan datang. Ciri-ciri fi’il madhi Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menyebutkan bahwasanya fi’il madhi tersebut mempunyai tanda yang membedakan fi’il madhi dari fi’il mudharri’ dan fi’il amr. Yaitu : Pertama: Adanya ta’ ta’nits sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan dan sukun yang melekat pada fi’il madhi) Apabila ada fi’il yang bisa bersambung dengan ta’ ta’nits sakinah, maka itu pasti fi’il madhi. Contohnya kata: جَلَسَ Ketika bisa dimasuki ta’ ta’nits sakinah. Contohnya: جَلَسَتْ هِنْدٌ “Hindun telah duduk.” Maka, kata tersebut pasti fi’il madhi karena bisa bersambung dengan ta’ ta’nits sakinah. Adapun maksud Ibnu Hisyam “السَّكِيْنَةُ” asalnya sukun.  Tidak masalah apabila ta’ ta’nist sakinah tersebut berharakat karena alasan tertentu. Misal, ketika bertemu dua huruf yang sukun, maka tidak boleh dua huruf bertemu yang sama-sama sukun. Contohnya di dalam Al-Qur’an adalah: قَالَتِ آمْرَأَتُ العَزِيْزِ “Istri Al-Aziz mengatakan.” (QS. Yusuf : 51) Pada huruf yang bergaris bawah tersebut, asalnya adalah sukun. Akan tetapi, pada potongan ayat tersebut huruf ta ta’nits bertemu dengan kata setelahnya yang diawali huruf hamzah washal yang sukun, sehingga huruf ta’ ta’nits tersebut diganti menjadi harakat kasrah. Maka, harakat kasrah pada huruf tersebut bukan harakat asli, namun asalnya adalah sukun. Maka, tidak masuk pada pembahasan ini huruf ta’ ta’nits yang pada asalnya adalah huruf ta’ ta’nits yang berharakat. Apabila huruf ta’ ta’nits tersebut adalah harakat i’rab (bisa damah, fathah, atau kasrah), maka kata tersebut khusus masuk kategori harakat mu’rob yang menunjukkan pada isim mu’rob.  Contohnya: قَائِمَة فَاطِمَة Kedua huruf yang bergaris bawah tersebut bisa berharakat damah, fathah, dan kasrah. Namun, apabila harakatnya tersebut bukan harakat i’rob (tidak bisa berubah), maka harakat tersebut adalah harakat mabni yang menunjukkan pada isim mabni. Contohnya adalah: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّا َبِاللهِ Maka, harakat pada huruf terakhir kata yang bergaris bawah tersebut akan selalu berakhiran fathah karena termasuk pada kategori isim mabni dengan tanda fathah. Kata tersebut mabni dikarenakan berkedudukan isim laa nafiyah lil jinsi (akan disampaikan pembahasannya pada babnya). Ta’ ta’nits mutaharrikah (bukan sukun) bisa ada pada fi’il. Contohnya adalah: هِنْدٌ تَقُوْمُ “Hindun berdiri.” Huruf yang bergaris bawah tersebut bukanlah ta’ ta’nist sakinah. Namun, huruf tersebut adalah ta’ ta’nist mutaharrikah. Huruf tersebut tidak masuk kategori ta‘ ta’nist sakinah dan juga bukan harakat i’rob, karena tidak terletak pada akhir kata. Ta’ ta’nits mutaharrikah (bukan sukun) bisa juga ada pada huruf. Contohnya adalah رُبَّتَ “Banyak/sedikit” dan ثُمَّتَ “Kemudian”. Contohnya di dalam kalimat adalah: رُبَّتَ كَلِمَةٍ فَتَحَتْ بَابَ شَرٍّ ثُمَّتَ جَلَبَتْ لِصَاحِبِهَا بَلَاءً “Betapa banyak kalimat yang membuka pintu kejelekan yang mendatangkan musibah kepada pelakunya.” Huruf ta’ ta’nist mutaharrikah tersebut melekat pada huruf. Kedua: Fi’il madhi bisa bersambung dengan ta’ fa’il (pelaku) mutaharrikah (damah, fathah, dan kasrah) Berikut rinciannya: Pertama: Berharakat damah untuk menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang pertama (yang berbicara)). Contohnya: بِهِ  أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا فَرَحْتَ “Aku memberikan buku yang kamu sukai.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Kedua: Berharakat fathah untuk menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang pertama (yang berbicara)). Contohnya: بِهِ  أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا فَرَحْتَ “Aku memberikan buku yang kamu sukai.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Ketiga: Harakat fathah menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang kedua (yang diajak berbicara)). Contohnya: أَنْتِ قُمْتِ بِالوَاجِبِ “Kamu melaksanakan kewajibanmu.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Keadaan mabni fi’il madhi Ibnu Hisyam mengatakan, .وَبِنَاؤُهُ عَلَى الْفَتْحِ كَضَرَب، إِلّاَ مَعَ وَاوِ الْجَمَاعَةِ فَيُضَمُّ كَضَرَبُوْا، وَالضَّمِيْرُ الْمَرْفُوْعِ الْمُتَحَرِّكَ فَيُسَكَّنُ، كَضَرَبْتُ Fi’il madhi bisa mabni dengan tanda fathah, contohnya:  ضَرَبَ “Dia (laki-laki) telah memukul.” Kecuali yang bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan orang ketiga banyak), contohnya:  ضَرَبُوْا, “Mereka (laki-laki) telah memukul.” dan bisa sukun apabila bersambung dengan dhomir rafa’, contohnya:  ضَرَبْتُ. “Aku telah memukul.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya keadaan fi’il madhi ada tiga macam, yaitu: Pertama, Mabni dengan tanda fathah. Tanda tersebut adalah tanda utama fi’il madhi. Baik fathahnya tampak ataupun tidak tampak. Contohnya adalah: تَكَلَّمَ الْخَطِيْبُ “Khatib itu telah berbicara.” Maka, fathah pada huruf mim tampak. دَعَا المُسْلِمُ رَبَّهُ “Orang muslim itu berdoa kepada Rabbnya.” Fathah pada huruf alif yang bergaris bawah tersebut tidak tampak (tidak ada) dikarenakan adanya udzur, yaitu huruf alif pada posisinya tersebut tidak bisa menerima harakat. Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya fi’il madhi mabni dengan tanda fathah apabila tidak bersambung dengan apa pun, kecuali: Pertama: bersambung dengan ta’ ta’nist sakinah. Contohnya adalah: نَصَحَتْ فَاطِمَةُ أُخْتَهَا “Fatimah memberikan nasihat kepada saudarinya.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan ta’ ta’nist sakinah. Kedua: bersambung dengan alif tasniyyah. Contohnya adalah: الشَّاهِدَانِ قَالَا الحَقَّ “Dua saksi itu mengatakan kebenaran.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda fathah pada huruf ل  (lam) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan alif tasniyyah. Kedua, fi’il madhi mabni dengan tanda damah apabila bersambung dengan wawu jama’ah. Contohnya adalah: المُجَاهِدُوْنَ حَضَرُوْا “Laki-laki yang bersungguh-sungguh itu telah hadir.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda damah pada huruf ر (ra’) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan alif tasniyyah. Ketiga, fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan  dhamir rafa’ yang berharakat dammah, fathah, atau kasrah. Seperti: Bersambung dengan ta’ fa’il. Contohnya: كَتَبْتُ الحَدِيْثَ “Aku telah menulis sebuah hadis.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf ب (ba’) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan ta’ fa’il. Bersambung dengan naa (dhomir nahnu) fa’il (pelaku orang pertama jama’). Contohnya: اِسْتَمَعْنَا المُحَاضَرَةَ “Kami telah mendengarkan muhadharah.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf ن (nun) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan naa fa’il. Bersambung dengan nun inast, (pelakunya orang ketiga jama’ perempuan). Contohnya: البَنَاتُ جَلَسْنَ فِي المَنْزِلِ “Anak-anak perempuan duduk di rumah.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf س (sin) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan nun inast. Ibnu Hisyam mengatakan, الضَّمِيْرُ المَرْفُوْعِ المُتَرِّحِكِ “Fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan dhamir rafa’ yang berharakat.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan perkataan Ibnu Hisyam di atas bahwasanya jika bersambung dengan dhamir nashab tidak masuk pada pembahasan ini. Contohnya: Bersambung dengan dhamir ك. Contohnya adalah: أَكْرَمَكَ “Aku memuliakanmu.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah dhamir nashab (objek). Bersambung dengan dhamir نَا. Contohnya adalah: مُحَمَّدُ أَكْرَمَنَا “Muhammad memuliakan kami.” Maka, dhamir نَا tersebut adalah dhamir nashab berkedudukan sebagai maf’ul bih. Apabila fi’il madhi bersambung dengan wawu jama’ah (pelaku yang menunjukkan lebih dari dua orang untuk orang ketiga laki-laki), maka fi’il madhi tersebut bukan mabni dengan tanda sukun, akan tetapi mabni dengan tanda damah. Begitu juga dengan fi’il madhi yang bersambung dengan alif istnain (pelaku yang menunjukkan jumlahnya dua orang), maka fi’il tersebut mabni dengan tanda fathah. Khilaf kata-kata berikut masuk fi’il madhi atau tidak Ibnu Hisyam mengatakan, وَمِنْهُ نِعْمَ وَبِئْسَ وعَسَى ولَيْسَ فِي الأَصَحِّ “Di antara kata yang masuk fi’il madhi adalah  نِعْمَ (sebaik-baik), بِئْسَ (sejelek–jelek), عَسَى (semoga), لَيْسَ (bukan) menurut pendapat yang lebih kuat.”  === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan dalam pernyataan Ibnu Hisyam di atas terdapat penjelasan bahwasanya keempat fi’il madhi di atas diperselisihkan statusnya sebagai fi’il madhi. Dalil yang menunjukkan kata tersebut dikatakan masuk kategori fi’il madhi adalah kata tersebut bisa dimasuki ta’ ta’nist sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan orang ketiga satu orang). Contohnya adalah: نِعْمَتِ الْمَرْأَةُ فَاطِمَةُ “Sebaik-baik perempuan adalah Fatimah.” Kata نِعْمَ tersebut adalah fi’il madhi jamid (yang tidak ada turunan kata sebagaimana fi’il pada umumnya) mabni dengan tanda fathah yang tidak mempunyai kedudukan di dalam i’rab. Adapun huruf yang bergaris bawah tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah yang menunjukkan bersambung dengan fi’il madhi. Sedangkan kata الْمَرْأَةُ berkedudukan sebagai fa’il نِعْمَ dan jumlah fi’il dan fai’l tersebut berkedudukan sebagai khabar muqaddam (didahulukan). Adapun kata فَاطِمَة berkedudukan sebagai mubtada’ muakhar (mubtada’ yang diakhirkan). بِئْسَتِ الْمَرْأَةُ هِنْدٌ “Sejelek-jelek perempuan adalah Hindun.” Huruf yang bergaris bawah tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah yang menunjukkan bersambung dengan fi’il madhi. Adapun kata الْمَرْأَةُ berkedudukan sebagai fa’il بِئْسَ dan jumlah fi’il dan fa’il tersebut berkedudukan sebagai khabar muqaddam (didahulukan). Adapun kata هِنْدٌ berkedudukan sebagai mubtada’ muakhar (mubtada’ yang diakhirkan). عَسَتْ هِنْدٌ أَنْ تَقُوْمَ “Semoga Hindun berdiri.” Kata عَسَى tersebut adalah fi’il madhi naqish (butuh isim dan khabar) mabni dengan tanda fathah. Adapun huruf تْ tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah (yang menunjukkan pelakunya perempuan). Sedangkan kata هِنْدٌ adalah isim عَسَى marfu’ dengan tanda damah. Kemudian huruf أَنْ tersebut adalah huruf mashdariyyah manshub.  Sedangkan kata تَقُوْمَ adalah fi’il mudhari’ manshub dengan huruf أَنْ dan fa’il-nya berupa dhamir mustathir. Mashdar muawwal huruf أَنْ dan  fa’il sebagai khobar عَسَى. لَيْسَتْ الْمُؤْمِنَةُ مُتَبَرِّجَةً “Tidaklah  pantas bagi perempuan yang beriman bersolek (untuk orang lain).” Maka, kata لَيْسَ tersebut adalah fi’il madhi naqish mabni dengan tanda fathah. Adapun huruf تْ (ta’) tersebut adalah ta’nist sakinah (yang menunjukkan pelakunya perempuan). Sedangkan kata الْمُؤْمِنَة adalah isim لَيْسَ marfu’ dengan tanda damah. Sedangkan kata مُتَبَرِّجَة berkedudukan sebagai khabar laisa manshub dengan tanda fathah. Kembali ke bagian 4: Isim Mabni Lanjut ke bagian 6: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Daftar Isi Toggle Fi’il MadhiPertama: Fi’il Madhi (kata kerja menunjukkan lampau)Ciri-ciri fi’il madhiPertama: Adanya ta’ ta’nits sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan dan sukun yang melekat pada fi’il madhi)Kedua: Fi’il madhi bisa bersambung dengan ta’ fa’il (pelaku) mutaharrikah (damah, fathah, dan kasrah)Keadaan mabni fi’il madhiPertama, Mabni dengan tanda fathah.Kedua, fi’il madhi mabni dengan tanda damah apabila bersambung dengan wawu jama’ah.Ketiga, fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan  dhamir rafa’ yang berharakat dammah, fathah, atau kasrah.Bersambung dengan ta’ fa’il.Bersambung dengan naa (dhomir nahnu) fa’il (pelaku orang pertama jama’).Bersambung dengan nun inast, (pelakunya orang ketiga jama’ perempuan).Khilaf kata-kata berikut masuk fi’il madhi atau tidak Fi’il Madhi Ibnu Hisyam mengatakan, . وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاض، وَيُعْرَفُ بِتَاءِ التَّأنِيْثِ “Adapun fi’il ada tiga macam. Yaitu: (Pertama) fi’il madhi (kata kerja menunjukkan lampau). Fi’il madhi bisa dikenal dengan adanya ciri-ciri bisa bersambung atau melekat dengan ta’ ta’nist sakinah (huruf ta’ yang menunjukkan pelakunya perempuan dan disukun.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya ketika Ibnu Hisyam telah menyelesaikan pembahasan tentang isim mu’rab dan isim mabni, Ibnu Hisyam membahas tentang fi’il. Bahwasanya fi’il itu ada tiga macam. Yaitu: Pertama: Fi’il Madhi (kata kerja menunjukkan lampau)  Kata مَاضٍ pada kalimat yang disampaikan Ibnu Hisyam pada matan di atas berkedudukan sebagai badal (pengganti) dari kata ثَلَاثَةُ. Kata tersebut marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah (tersirat/dilesapkan) dengan tanda huruf ي (ya’) yang dihapus karena bertemunya dua sukun dan beratnya pengucapan harakat pada huruf yang dihapus tersebut menurut lisannya orang Arab. Begitulah i’rab lafadz tersebut ketika dalam keadaan rafa’ dan jer. Akan tetapi, ketika keadaan kata tersebut nashab, maka harakat fathahnya dimunculkan. Sehingga dibaca seperti berikut: رَأَيْتُ قَاضِيًا “Aku melihat seorang hakim.” Huruf yang bergaris bawah tersebut diberi tanda fathah, karena harakat fathah dianggap lebih ringan pengucapannya. Fi’il madhi adalah kata yang menunjukkan kepada kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu atau perbuatan yang dihukumi pasti akan terjadi. Contohnya adalah: سَافَرَ الضَّيْفُ “Tamu itu telah bersafar.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah kata yang menunjukkan kepada peristiwa atau kegiatan bersafar dan menunjukkan peristiwa tersebut telah selesai kejadiannya sebelum seseorang membicarakannya. أَتَى أَمْرُ اللهُ “Akan datang ketetapan Allah.” Fi’il tersebut menggunakan fi’il madhi. Meskipun ketetapan Allah belum datang, akan tetapi keputusan Allah pasti akan datang. Ciri-ciri fi’il madhi Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menyebutkan bahwasanya fi’il madhi tersebut mempunyai tanda yang membedakan fi’il madhi dari fi’il mudharri’ dan fi’il amr. Yaitu : Pertama: Adanya ta’ ta’nits sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan dan sukun yang melekat pada fi’il madhi) Apabila ada fi’il yang bisa bersambung dengan ta’ ta’nits sakinah, maka itu pasti fi’il madhi. Contohnya kata: جَلَسَ Ketika bisa dimasuki ta’ ta’nits sakinah. Contohnya: جَلَسَتْ هِنْدٌ “Hindun telah duduk.” Maka, kata tersebut pasti fi’il madhi karena bisa bersambung dengan ta’ ta’nits sakinah. Adapun maksud Ibnu Hisyam “السَّكِيْنَةُ” asalnya sukun.  Tidak masalah apabila ta’ ta’nist sakinah tersebut berharakat karena alasan tertentu. Misal, ketika bertemu dua huruf yang sukun, maka tidak boleh dua huruf bertemu yang sama-sama sukun. Contohnya di dalam Al-Qur’an adalah: قَالَتِ آمْرَأَتُ العَزِيْزِ “Istri Al-Aziz mengatakan.” (QS. Yusuf : 51) Pada huruf yang bergaris bawah tersebut, asalnya adalah sukun. Akan tetapi, pada potongan ayat tersebut huruf ta ta’nits bertemu dengan kata setelahnya yang diawali huruf hamzah washal yang sukun, sehingga huruf ta’ ta’nits tersebut diganti menjadi harakat kasrah. Maka, harakat kasrah pada huruf tersebut bukan harakat asli, namun asalnya adalah sukun. Maka, tidak masuk pada pembahasan ini huruf ta’ ta’nits yang pada asalnya adalah huruf ta’ ta’nits yang berharakat. Apabila huruf ta’ ta’nits tersebut adalah harakat i’rab (bisa damah, fathah, atau kasrah), maka kata tersebut khusus masuk kategori harakat mu’rob yang menunjukkan pada isim mu’rob.  Contohnya: قَائِمَة فَاطِمَة Kedua huruf yang bergaris bawah tersebut bisa berharakat damah, fathah, dan kasrah. Namun, apabila harakatnya tersebut bukan harakat i’rob (tidak bisa berubah), maka harakat tersebut adalah harakat mabni yang menunjukkan pada isim mabni. Contohnya adalah: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّا َبِاللهِ Maka, harakat pada huruf terakhir kata yang bergaris bawah tersebut akan selalu berakhiran fathah karena termasuk pada kategori isim mabni dengan tanda fathah. Kata tersebut mabni dikarenakan berkedudukan isim laa nafiyah lil jinsi (akan disampaikan pembahasannya pada babnya). Ta’ ta’nits mutaharrikah (bukan sukun) bisa ada pada fi’il. Contohnya adalah: هِنْدٌ تَقُوْمُ “Hindun berdiri.” Huruf yang bergaris bawah tersebut bukanlah ta’ ta’nist sakinah. Namun, huruf tersebut adalah ta’ ta’nist mutaharrikah. Huruf tersebut tidak masuk kategori ta‘ ta’nist sakinah dan juga bukan harakat i’rob, karena tidak terletak pada akhir kata. Ta’ ta’nits mutaharrikah (bukan sukun) bisa juga ada pada huruf. Contohnya adalah رُبَّتَ “Banyak/sedikit” dan ثُمَّتَ “Kemudian”. Contohnya di dalam kalimat adalah: رُبَّتَ كَلِمَةٍ فَتَحَتْ بَابَ شَرٍّ ثُمَّتَ جَلَبَتْ لِصَاحِبِهَا بَلَاءً “Betapa banyak kalimat yang membuka pintu kejelekan yang mendatangkan musibah kepada pelakunya.” Huruf ta’ ta’nist mutaharrikah tersebut melekat pada huruf. Kedua: Fi’il madhi bisa bersambung dengan ta’ fa’il (pelaku) mutaharrikah (damah, fathah, dan kasrah) Berikut rinciannya: Pertama: Berharakat damah untuk menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang pertama (yang berbicara)). Contohnya: بِهِ  أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا فَرَحْتَ “Aku memberikan buku yang kamu sukai.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Kedua: Berharakat fathah untuk menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang pertama (yang berbicara)). Contohnya: بِهِ  أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا فَرَحْتَ “Aku memberikan buku yang kamu sukai.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Ketiga: Harakat fathah menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang kedua (yang diajak berbicara)). Contohnya: أَنْتِ قُمْتِ بِالوَاجِبِ “Kamu melaksanakan kewajibanmu.” Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il. Keadaan mabni fi’il madhi Ibnu Hisyam mengatakan, .وَبِنَاؤُهُ عَلَى الْفَتْحِ كَضَرَب، إِلّاَ مَعَ وَاوِ الْجَمَاعَةِ فَيُضَمُّ كَضَرَبُوْا، وَالضَّمِيْرُ الْمَرْفُوْعِ الْمُتَحَرِّكَ فَيُسَكَّنُ، كَضَرَبْتُ Fi’il madhi bisa mabni dengan tanda fathah, contohnya:  ضَرَبَ “Dia (laki-laki) telah memukul.” Kecuali yang bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan orang ketiga banyak), contohnya:  ضَرَبُوْا, “Mereka (laki-laki) telah memukul.” dan bisa sukun apabila bersambung dengan dhomir rafa’, contohnya:  ضَرَبْتُ. “Aku telah memukul.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya keadaan fi’il madhi ada tiga macam, yaitu: Pertama, Mabni dengan tanda fathah. Tanda tersebut adalah tanda utama fi’il madhi. Baik fathahnya tampak ataupun tidak tampak. Contohnya adalah: تَكَلَّمَ الْخَطِيْبُ “Khatib itu telah berbicara.” Maka, fathah pada huruf mim tampak. دَعَا المُسْلِمُ رَبَّهُ “Orang muslim itu berdoa kepada Rabbnya.” Fathah pada huruf alif yang bergaris bawah tersebut tidak tampak (tidak ada) dikarenakan adanya udzur, yaitu huruf alif pada posisinya tersebut tidak bisa menerima harakat. Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya fi’il madhi mabni dengan tanda fathah apabila tidak bersambung dengan apa pun, kecuali: Pertama: bersambung dengan ta’ ta’nist sakinah. Contohnya adalah: نَصَحَتْ فَاطِمَةُ أُخْتَهَا “Fatimah memberikan nasihat kepada saudarinya.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan ta’ ta’nist sakinah. Kedua: bersambung dengan alif tasniyyah. Contohnya adalah: الشَّاهِدَانِ قَالَا الحَقَّ “Dua saksi itu mengatakan kebenaran.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda fathah pada huruf ل  (lam) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan alif tasniyyah. Kedua, fi’il madhi mabni dengan tanda damah apabila bersambung dengan wawu jama’ah. Contohnya adalah: المُجَاهِدُوْنَ حَضَرُوْا “Laki-laki yang bersungguh-sungguh itu telah hadir.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda damah pada huruf ر (ra’) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan alif tasniyyah. Ketiga, fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan  dhamir rafa’ yang berharakat dammah, fathah, atau kasrah. Seperti: Bersambung dengan ta’ fa’il. Contohnya: كَتَبْتُ الحَدِيْثَ “Aku telah menulis sebuah hadis.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf ب (ba’) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan ta’ fa’il. Bersambung dengan naa (dhomir nahnu) fa’il (pelaku orang pertama jama’). Contohnya: اِسْتَمَعْنَا المُحَاضَرَةَ “Kami telah mendengarkan muhadharah.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf ن (nun) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan naa fa’il. Bersambung dengan nun inast, (pelakunya orang ketiga jama’ perempuan). Contohnya: البَنَاتُ جَلَسْنَ فِي المَنْزِلِ “Anak-anak perempuan duduk di rumah.” Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf س (sin) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan nun inast. Ibnu Hisyam mengatakan, الضَّمِيْرُ المَرْفُوْعِ المُتَرِّحِكِ “Fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan dhamir rafa’ yang berharakat.” === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan perkataan Ibnu Hisyam di atas bahwasanya jika bersambung dengan dhamir nashab tidak masuk pada pembahasan ini. Contohnya: Bersambung dengan dhamir ك. Contohnya adalah: أَكْرَمَكَ “Aku memuliakanmu.” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah dhamir nashab (objek). Bersambung dengan dhamir نَا. Contohnya adalah: مُحَمَّدُ أَكْرَمَنَا “Muhammad memuliakan kami.” Maka, dhamir نَا tersebut adalah dhamir nashab berkedudukan sebagai maf’ul bih. Apabila fi’il madhi bersambung dengan wawu jama’ah (pelaku yang menunjukkan lebih dari dua orang untuk orang ketiga laki-laki), maka fi’il madhi tersebut bukan mabni dengan tanda sukun, akan tetapi mabni dengan tanda damah. Begitu juga dengan fi’il madhi yang bersambung dengan alif istnain (pelaku yang menunjukkan jumlahnya dua orang), maka fi’il tersebut mabni dengan tanda fathah. Khilaf kata-kata berikut masuk fi’il madhi atau tidak Ibnu Hisyam mengatakan, وَمِنْهُ نِعْمَ وَبِئْسَ وعَسَى ولَيْسَ فِي الأَصَحِّ “Di antara kata yang masuk fi’il madhi adalah  نِعْمَ (sebaik-baik), بِئْسَ (sejelek–jelek), عَسَى (semoga), لَيْسَ (bukan) menurut pendapat yang lebih kuat.”  === Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan dalam pernyataan Ibnu Hisyam di atas terdapat penjelasan bahwasanya keempat fi’il madhi di atas diperselisihkan statusnya sebagai fi’il madhi. Dalil yang menunjukkan kata tersebut dikatakan masuk kategori fi’il madhi adalah kata tersebut bisa dimasuki ta’ ta’nist sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan orang ketiga satu orang). Contohnya adalah: نِعْمَتِ الْمَرْأَةُ فَاطِمَةُ “Sebaik-baik perempuan adalah Fatimah.” Kata نِعْمَ tersebut adalah fi’il madhi jamid (yang tidak ada turunan kata sebagaimana fi’il pada umumnya) mabni dengan tanda fathah yang tidak mempunyai kedudukan di dalam i’rab. Adapun huruf yang bergaris bawah tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah yang menunjukkan bersambung dengan fi’il madhi. Sedangkan kata الْمَرْأَةُ berkedudukan sebagai fa’il نِعْمَ dan jumlah fi’il dan fai’l tersebut berkedudukan sebagai khabar muqaddam (didahulukan). Adapun kata فَاطِمَة berkedudukan sebagai mubtada’ muakhar (mubtada’ yang diakhirkan). بِئْسَتِ الْمَرْأَةُ هِنْدٌ “Sejelek-jelek perempuan adalah Hindun.” Huruf yang bergaris bawah tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah yang menunjukkan bersambung dengan fi’il madhi. Adapun kata الْمَرْأَةُ berkedudukan sebagai fa’il بِئْسَ dan jumlah fi’il dan fa’il tersebut berkedudukan sebagai khabar muqaddam (didahulukan). Adapun kata هِنْدٌ berkedudukan sebagai mubtada’ muakhar (mubtada’ yang diakhirkan). عَسَتْ هِنْدٌ أَنْ تَقُوْمَ “Semoga Hindun berdiri.” Kata عَسَى tersebut adalah fi’il madhi naqish (butuh isim dan khabar) mabni dengan tanda fathah. Adapun huruf تْ tersebut adalah ta’ ta’nist sakinah (yang menunjukkan pelakunya perempuan). Sedangkan kata هِنْدٌ adalah isim عَسَى marfu’ dengan tanda damah. Kemudian huruf أَنْ tersebut adalah huruf mashdariyyah manshub.  Sedangkan kata تَقُوْمَ adalah fi’il mudhari’ manshub dengan huruf أَنْ dan fa’il-nya berupa dhamir mustathir. Mashdar muawwal huruf أَنْ dan  fa’il sebagai khobar عَسَى. لَيْسَتْ الْمُؤْمِنَةُ مُتَبَرِّجَةً “Tidaklah  pantas bagi perempuan yang beriman bersolek (untuk orang lain).” Maka, kata لَيْسَ tersebut adalah fi’il madhi naqish mabni dengan tanda fathah. Adapun huruf تْ (ta’) tersebut adalah ta’nist sakinah (yang menunjukkan pelakunya perempuan). Sedangkan kata الْمُؤْمِنَة adalah isim لَيْسَ marfu’ dengan tanda damah. Sedangkan kata مُتَبَرِّجَة berkedudukan sebagai khabar laisa manshub dengan tanda fathah. Kembali ke bagian 4: Isim Mabni Lanjut ke bagian 6: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Kisah Hikmah: Mendapat Hidayah dengan Doa Lailatul Qadar – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Aku ceritakan satu kisah, yang aku kisahkan karena ada pelajaran padanya. Bukan karena apa pun, melainkan karena ada pelajaran padanya. Pada suatu tahun yang telah lalu, pada malam 27 Ramadan, aku keluar bersama ayah dan kakek Raẖimahullāh ke Masjid Nabawi untuk Salat Tarawih. Ternyata ada mobil yang berada jauh dari rumah, dan terdengar suara musik menggema, di malam 27 Ramadan! Satu malam yang paling diharapkan terjadinya Lailatul Qadar. Aku mendatanginya, dan ternyata ada sejumlah pemuda. Aku katakan, “Wahai para pemuda, jika kalian tidak bisa salat berjamaah bersama orang-orang dan berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla di malam yang diberkahi ini, maka minimal matikan suara keras ini! Hentikan suara ini!” Lalu mereka mematikannya. Kemudian, aku sampaikan hadis ini kepada mereka. Aku sampaikan hadis ini kepada mereka, yakni hadis Aisyah Raḏiyallāhu ʿAnhā. Lalu aku berkata kepada orang yang terdekat denganku, “Sudah hafal doanya?” Dia berkata, “Sudah.” Aku berkata, “Coba ulangi!” Dia ingin mengulanginya tapi tidak bisa. Aku ulangi lagi dua kali lalu berkata, “Coba ulangi!” Dia bisa mengulangnya lalu aku berkata, “Ulang-ulang ini dan ucapkan terus dengan lisanmu.” Setelah itu, aku sudah melupakan peristiwa itu. Setelah itu, sekitar lima atau enam tahun kemudian, aku pergi ke suatu lembaga agama Islam di sebuah kota, dan bertemu dengan orang-orang yang bekerja di sana. Ketika agendaku selesai, ada yang datang lalu duduk di sampingku, seorang pemuda yang matang, auranya baik, dia berkata kepadaku, “Ingatkah Anda dengan para pemuda yang demikian dan demikian kisah mereka?” Dia mengingatkanku, lalu aku teringat. Dia berkata, “Aku salah satu dari mereka.” Allah ʿAzza wa Jalla Memberiku hidayah pada malam itu. Dia berkata, “Sejak malam itu aku rutinkan lisanku untuk mengucapkan doa itu. Aku berdoa kepada Allah dan mengulang-ulangnya sampai dilapangkan dadaku, hingga dalam hatiku tidak ada lagi kecintaan kepada hal-hal yang batil dan haram.” Dia berkata, “Allah Hilangkan itu dari diriku.” Oleh sebab itu, aku katakan bahwa sebenarnya dan seyogianya kita saling tolong-menolong dalam hal ini, apalagi sekarang ada berbagai media komunikasi. Jika Anda mengetahui ada salah satu kerabat Anda yang punya kebiasaan maksiat dan dosa, kirim pesan ke dia dan katakan, “Aku berikan engkau nasihat karena Allah, perbanyaklah doa ini: ALLAAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII Yang Suka maaf, maka Maafkan aku.” Perbanyaklah doa agung ini di 10 hari terakhir Ramadan, insya Allah Anda akan melihat kebaikan. ==== أَنَا أَذْكُرُ قِصَّةً أَرْوِيهَا لِمَا فِيهَا مِنْ فَائِدَةٍ لَا لِشَيْءٍ إِلَّا لِمَا فِيهَا مِنْ فَائِدَةٍ سَنَةً مِنَ السَّنَوَاتِ الْمَاضِيَةِ فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ كُنْتُ خَارِجًا مَعَ الْوَالِدِ وَالْجَدِّ رَحِمَهُ اللهُإِلَى الْحَرَمِ لِصَلَاةِ التَّرَاوِيحِ وَإِذَا سَيَّارَةٌ بَعِيدَةٌ عَنِ الْبَيْتِ وَإِذَا الْمُوسِيقَى عَالِيَةٌ فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ اللَّيْلَةُ الَّتِي تُتَحَرَّى أَكْثَرَ أَنْ تَكُونَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَذَهَبْتُ وَإِذَا فِيهَا مَجْمُوعَةٌ مِنَ الشَّبَابِ قُلْتُ: يَا شَبَابُ إِذَا مَا اسْتَطَعْتُمْ تُصَلُّونَ مَعَ النَّاسِ وَتَدْعُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ لْمُبَارَكَةِ أَقَلُّ شَيْءٍ أَطْفِئُوا هَذَا الصَّوْتَ الْعَالِيَ أَوْقِفُوا هَذَا الصَّوْتَ فَأَغْلَقُوهُ ثُمَّ قُلْتُ لَهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ قُلْتُ لَهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ حَدِيثَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ثُمَّ قُلْتُ لِلْقَرِيبِ مِنِّي حَفِظْتَ الدُّعَاءَ؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْتُ: أَعِدْهُ فَأَرَادَ أَنْ يُعِيدَهُ مَا عَرَفَ فَعَدْتُ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ قُلْتُ: أَعِدْهُ فَأَعَادَهُ قُلْتُ: هَذَا كَرِّرُوهُ اجْعَلُوهُ عَلَى أَلْسِنَتِكَ ثُمَّ بَعْدَهَا أَنَا نَسِيتُ الْقِصَّةَ بَعْدَهَا بِتَقْرِيبًا خَمْسِ أَوْ سِتِّ سَنَوَاتٍ ذَهَبْتُ إِلَى جِهَةٍ دِينِيَّةٍ فِي إِحْدَى الْمُدُنِ وَالْتَقَيْتُ بِالْعَامِلِينَ فِيهَا وَلَمَّا انْتَهَيْتُ جَاءَ وَجَلَسَ بِجَنْبِي شَابٌّ مُنْتَحِيّ سِيمَاهُ الْخَيْرُ قَالَ لِي: تَذْكُرُ الشَّبَابَ الَّذِينَ قِصَّتُهُمْ كَذَا وَكَذَا فَذَكَّرَنِي ذَكَرْتُ قَالَ: أَنَا وَاحِدٌ مِنْهُمْ وَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَدَانِي مِنْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ يَقُولُ: مِنْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ جَعَلْتُ هَذِهِ الدَّعْوَةَ عَلَى لِسَانِي أَدْعُو اللهَ وَأُكَرِّرُهَا حَتَّى انْشَرَحَ صَدْرِي وَمَا كَانَ فِي قَلْبِي مِنْ مَحَبَّةٍ لِأَشْيَاءَ بَاطِلَةٍ مُحَرَّمَةٍ يَقُولُ: أَذْهَبَهَا اللهُ عَنِّي وَلِهَذَا أَقُوْلُ يَنْبَغِي حَقِيقَةً يَنْبَغِي حَتَّى أَيْضًا أَنْ نَتَعَاوَنَ عَلَى هَذَا الْأَمْرِ خَاصَّةً الْآنَ وَسَائِلُ الْاِتِّصَالِ إِذَا تَعْرِفُ الْأَحَدَ مِنْ أَقْرِبَاءِكَ عِنْدَهُ مَعَاصٍ وَعِنْدَهُ ذُنُوبٌ أَرِسْلْ لَهُ قُلْ لَهُ: أَنْصَحُكَ نَصِيحَةً لِوَجْهِ اللهِ أَكْثِرْ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي أَكْثِرْ فِي الْعَشْرِ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ وَإِنْ شَاءَ اللهُ سَتَرَى خَيْرًا

Kisah Hikmah: Mendapat Hidayah dengan Doa Lailatul Qadar – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Aku ceritakan satu kisah, yang aku kisahkan karena ada pelajaran padanya. Bukan karena apa pun, melainkan karena ada pelajaran padanya. Pada suatu tahun yang telah lalu, pada malam 27 Ramadan, aku keluar bersama ayah dan kakek Raẖimahullāh ke Masjid Nabawi untuk Salat Tarawih. Ternyata ada mobil yang berada jauh dari rumah, dan terdengar suara musik menggema, di malam 27 Ramadan! Satu malam yang paling diharapkan terjadinya Lailatul Qadar. Aku mendatanginya, dan ternyata ada sejumlah pemuda. Aku katakan, “Wahai para pemuda, jika kalian tidak bisa salat berjamaah bersama orang-orang dan berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla di malam yang diberkahi ini, maka minimal matikan suara keras ini! Hentikan suara ini!” Lalu mereka mematikannya. Kemudian, aku sampaikan hadis ini kepada mereka. Aku sampaikan hadis ini kepada mereka, yakni hadis Aisyah Raḏiyallāhu ʿAnhā. Lalu aku berkata kepada orang yang terdekat denganku, “Sudah hafal doanya?” Dia berkata, “Sudah.” Aku berkata, “Coba ulangi!” Dia ingin mengulanginya tapi tidak bisa. Aku ulangi lagi dua kali lalu berkata, “Coba ulangi!” Dia bisa mengulangnya lalu aku berkata, “Ulang-ulang ini dan ucapkan terus dengan lisanmu.” Setelah itu, aku sudah melupakan peristiwa itu. Setelah itu, sekitar lima atau enam tahun kemudian, aku pergi ke suatu lembaga agama Islam di sebuah kota, dan bertemu dengan orang-orang yang bekerja di sana. Ketika agendaku selesai, ada yang datang lalu duduk di sampingku, seorang pemuda yang matang, auranya baik, dia berkata kepadaku, “Ingatkah Anda dengan para pemuda yang demikian dan demikian kisah mereka?” Dia mengingatkanku, lalu aku teringat. Dia berkata, “Aku salah satu dari mereka.” Allah ʿAzza wa Jalla Memberiku hidayah pada malam itu. Dia berkata, “Sejak malam itu aku rutinkan lisanku untuk mengucapkan doa itu. Aku berdoa kepada Allah dan mengulang-ulangnya sampai dilapangkan dadaku, hingga dalam hatiku tidak ada lagi kecintaan kepada hal-hal yang batil dan haram.” Dia berkata, “Allah Hilangkan itu dari diriku.” Oleh sebab itu, aku katakan bahwa sebenarnya dan seyogianya kita saling tolong-menolong dalam hal ini, apalagi sekarang ada berbagai media komunikasi. Jika Anda mengetahui ada salah satu kerabat Anda yang punya kebiasaan maksiat dan dosa, kirim pesan ke dia dan katakan, “Aku berikan engkau nasihat karena Allah, perbanyaklah doa ini: ALLAAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII Yang Suka maaf, maka Maafkan aku.” Perbanyaklah doa agung ini di 10 hari terakhir Ramadan, insya Allah Anda akan melihat kebaikan. ==== أَنَا أَذْكُرُ قِصَّةً أَرْوِيهَا لِمَا فِيهَا مِنْ فَائِدَةٍ لَا لِشَيْءٍ إِلَّا لِمَا فِيهَا مِنْ فَائِدَةٍ سَنَةً مِنَ السَّنَوَاتِ الْمَاضِيَةِ فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ كُنْتُ خَارِجًا مَعَ الْوَالِدِ وَالْجَدِّ رَحِمَهُ اللهُإِلَى الْحَرَمِ لِصَلَاةِ التَّرَاوِيحِ وَإِذَا سَيَّارَةٌ بَعِيدَةٌ عَنِ الْبَيْتِ وَإِذَا الْمُوسِيقَى عَالِيَةٌ فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ اللَّيْلَةُ الَّتِي تُتَحَرَّى أَكْثَرَ أَنْ تَكُونَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَذَهَبْتُ وَإِذَا فِيهَا مَجْمُوعَةٌ مِنَ الشَّبَابِ قُلْتُ: يَا شَبَابُ إِذَا مَا اسْتَطَعْتُمْ تُصَلُّونَ مَعَ النَّاسِ وَتَدْعُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ لْمُبَارَكَةِ أَقَلُّ شَيْءٍ أَطْفِئُوا هَذَا الصَّوْتَ الْعَالِيَ أَوْقِفُوا هَذَا الصَّوْتَ فَأَغْلَقُوهُ ثُمَّ قُلْتُ لَهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ قُلْتُ لَهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ حَدِيثَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ثُمَّ قُلْتُ لِلْقَرِيبِ مِنِّي حَفِظْتَ الدُّعَاءَ؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْتُ: أَعِدْهُ فَأَرَادَ أَنْ يُعِيدَهُ مَا عَرَفَ فَعَدْتُ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ قُلْتُ: أَعِدْهُ فَأَعَادَهُ قُلْتُ: هَذَا كَرِّرُوهُ اجْعَلُوهُ عَلَى أَلْسِنَتِكَ ثُمَّ بَعْدَهَا أَنَا نَسِيتُ الْقِصَّةَ بَعْدَهَا بِتَقْرِيبًا خَمْسِ أَوْ سِتِّ سَنَوَاتٍ ذَهَبْتُ إِلَى جِهَةٍ دِينِيَّةٍ فِي إِحْدَى الْمُدُنِ وَالْتَقَيْتُ بِالْعَامِلِينَ فِيهَا وَلَمَّا انْتَهَيْتُ جَاءَ وَجَلَسَ بِجَنْبِي شَابٌّ مُنْتَحِيّ سِيمَاهُ الْخَيْرُ قَالَ لِي: تَذْكُرُ الشَّبَابَ الَّذِينَ قِصَّتُهُمْ كَذَا وَكَذَا فَذَكَّرَنِي ذَكَرْتُ قَالَ: أَنَا وَاحِدٌ مِنْهُمْ وَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَدَانِي مِنْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ يَقُولُ: مِنْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ جَعَلْتُ هَذِهِ الدَّعْوَةَ عَلَى لِسَانِي أَدْعُو اللهَ وَأُكَرِّرُهَا حَتَّى انْشَرَحَ صَدْرِي وَمَا كَانَ فِي قَلْبِي مِنْ مَحَبَّةٍ لِأَشْيَاءَ بَاطِلَةٍ مُحَرَّمَةٍ يَقُولُ: أَذْهَبَهَا اللهُ عَنِّي وَلِهَذَا أَقُوْلُ يَنْبَغِي حَقِيقَةً يَنْبَغِي حَتَّى أَيْضًا أَنْ نَتَعَاوَنَ عَلَى هَذَا الْأَمْرِ خَاصَّةً الْآنَ وَسَائِلُ الْاِتِّصَالِ إِذَا تَعْرِفُ الْأَحَدَ مِنْ أَقْرِبَاءِكَ عِنْدَهُ مَعَاصٍ وَعِنْدَهُ ذُنُوبٌ أَرِسْلْ لَهُ قُلْ لَهُ: أَنْصَحُكَ نَصِيحَةً لِوَجْهِ اللهِ أَكْثِرْ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي أَكْثِرْ فِي الْعَشْرِ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ وَإِنْ شَاءَ اللهُ سَتَرَى خَيْرًا
Aku ceritakan satu kisah, yang aku kisahkan karena ada pelajaran padanya. Bukan karena apa pun, melainkan karena ada pelajaran padanya. Pada suatu tahun yang telah lalu, pada malam 27 Ramadan, aku keluar bersama ayah dan kakek Raẖimahullāh ke Masjid Nabawi untuk Salat Tarawih. Ternyata ada mobil yang berada jauh dari rumah, dan terdengar suara musik menggema, di malam 27 Ramadan! Satu malam yang paling diharapkan terjadinya Lailatul Qadar. Aku mendatanginya, dan ternyata ada sejumlah pemuda. Aku katakan, “Wahai para pemuda, jika kalian tidak bisa salat berjamaah bersama orang-orang dan berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla di malam yang diberkahi ini, maka minimal matikan suara keras ini! Hentikan suara ini!” Lalu mereka mematikannya. Kemudian, aku sampaikan hadis ini kepada mereka. Aku sampaikan hadis ini kepada mereka, yakni hadis Aisyah Raḏiyallāhu ʿAnhā. Lalu aku berkata kepada orang yang terdekat denganku, “Sudah hafal doanya?” Dia berkata, “Sudah.” Aku berkata, “Coba ulangi!” Dia ingin mengulanginya tapi tidak bisa. Aku ulangi lagi dua kali lalu berkata, “Coba ulangi!” Dia bisa mengulangnya lalu aku berkata, “Ulang-ulang ini dan ucapkan terus dengan lisanmu.” Setelah itu, aku sudah melupakan peristiwa itu. Setelah itu, sekitar lima atau enam tahun kemudian, aku pergi ke suatu lembaga agama Islam di sebuah kota, dan bertemu dengan orang-orang yang bekerja di sana. Ketika agendaku selesai, ada yang datang lalu duduk di sampingku, seorang pemuda yang matang, auranya baik, dia berkata kepadaku, “Ingatkah Anda dengan para pemuda yang demikian dan demikian kisah mereka?” Dia mengingatkanku, lalu aku teringat. Dia berkata, “Aku salah satu dari mereka.” Allah ʿAzza wa Jalla Memberiku hidayah pada malam itu. Dia berkata, “Sejak malam itu aku rutinkan lisanku untuk mengucapkan doa itu. Aku berdoa kepada Allah dan mengulang-ulangnya sampai dilapangkan dadaku, hingga dalam hatiku tidak ada lagi kecintaan kepada hal-hal yang batil dan haram.” Dia berkata, “Allah Hilangkan itu dari diriku.” Oleh sebab itu, aku katakan bahwa sebenarnya dan seyogianya kita saling tolong-menolong dalam hal ini, apalagi sekarang ada berbagai media komunikasi. Jika Anda mengetahui ada salah satu kerabat Anda yang punya kebiasaan maksiat dan dosa, kirim pesan ke dia dan katakan, “Aku berikan engkau nasihat karena Allah, perbanyaklah doa ini: ALLAAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII Yang Suka maaf, maka Maafkan aku.” Perbanyaklah doa agung ini di 10 hari terakhir Ramadan, insya Allah Anda akan melihat kebaikan. ==== أَنَا أَذْكُرُ قِصَّةً أَرْوِيهَا لِمَا فِيهَا مِنْ فَائِدَةٍ لَا لِشَيْءٍ إِلَّا لِمَا فِيهَا مِنْ فَائِدَةٍ سَنَةً مِنَ السَّنَوَاتِ الْمَاضِيَةِ فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ كُنْتُ خَارِجًا مَعَ الْوَالِدِ وَالْجَدِّ رَحِمَهُ اللهُإِلَى الْحَرَمِ لِصَلَاةِ التَّرَاوِيحِ وَإِذَا سَيَّارَةٌ بَعِيدَةٌ عَنِ الْبَيْتِ وَإِذَا الْمُوسِيقَى عَالِيَةٌ فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ اللَّيْلَةُ الَّتِي تُتَحَرَّى أَكْثَرَ أَنْ تَكُونَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَذَهَبْتُ وَإِذَا فِيهَا مَجْمُوعَةٌ مِنَ الشَّبَابِ قُلْتُ: يَا شَبَابُ إِذَا مَا اسْتَطَعْتُمْ تُصَلُّونَ مَعَ النَّاسِ وَتَدْعُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ لْمُبَارَكَةِ أَقَلُّ شَيْءٍ أَطْفِئُوا هَذَا الصَّوْتَ الْعَالِيَ أَوْقِفُوا هَذَا الصَّوْتَ فَأَغْلَقُوهُ ثُمَّ قُلْتُ لَهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ قُلْتُ لَهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ حَدِيثَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ثُمَّ قُلْتُ لِلْقَرِيبِ مِنِّي حَفِظْتَ الدُّعَاءَ؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْتُ: أَعِدْهُ فَأَرَادَ أَنْ يُعِيدَهُ مَا عَرَفَ فَعَدْتُ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ قُلْتُ: أَعِدْهُ فَأَعَادَهُ قُلْتُ: هَذَا كَرِّرُوهُ اجْعَلُوهُ عَلَى أَلْسِنَتِكَ ثُمَّ بَعْدَهَا أَنَا نَسِيتُ الْقِصَّةَ بَعْدَهَا بِتَقْرِيبًا خَمْسِ أَوْ سِتِّ سَنَوَاتٍ ذَهَبْتُ إِلَى جِهَةٍ دِينِيَّةٍ فِي إِحْدَى الْمُدُنِ وَالْتَقَيْتُ بِالْعَامِلِينَ فِيهَا وَلَمَّا انْتَهَيْتُ جَاءَ وَجَلَسَ بِجَنْبِي شَابٌّ مُنْتَحِيّ سِيمَاهُ الْخَيْرُ قَالَ لِي: تَذْكُرُ الشَّبَابَ الَّذِينَ قِصَّتُهُمْ كَذَا وَكَذَا فَذَكَّرَنِي ذَكَرْتُ قَالَ: أَنَا وَاحِدٌ مِنْهُمْ وَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَدَانِي مِنْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ يَقُولُ: مِنْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ جَعَلْتُ هَذِهِ الدَّعْوَةَ عَلَى لِسَانِي أَدْعُو اللهَ وَأُكَرِّرُهَا حَتَّى انْشَرَحَ صَدْرِي وَمَا كَانَ فِي قَلْبِي مِنْ مَحَبَّةٍ لِأَشْيَاءَ بَاطِلَةٍ مُحَرَّمَةٍ يَقُولُ: أَذْهَبَهَا اللهُ عَنِّي وَلِهَذَا أَقُوْلُ يَنْبَغِي حَقِيقَةً يَنْبَغِي حَتَّى أَيْضًا أَنْ نَتَعَاوَنَ عَلَى هَذَا الْأَمْرِ خَاصَّةً الْآنَ وَسَائِلُ الْاِتِّصَالِ إِذَا تَعْرِفُ الْأَحَدَ مِنْ أَقْرِبَاءِكَ عِنْدَهُ مَعَاصٍ وَعِنْدَهُ ذُنُوبٌ أَرِسْلْ لَهُ قُلْ لَهُ: أَنْصَحُكَ نَصِيحَةً لِوَجْهِ اللهِ أَكْثِرْ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي أَكْثِرْ فِي الْعَشْرِ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ وَإِنْ شَاءَ اللهُ سَتَرَى خَيْرًا


Aku ceritakan satu kisah, yang aku kisahkan karena ada pelajaran padanya. Bukan karena apa pun, melainkan karena ada pelajaran padanya. Pada suatu tahun yang telah lalu, pada malam 27 Ramadan, aku keluar bersama ayah dan kakek Raẖimahullāh ke Masjid Nabawi untuk Salat Tarawih. Ternyata ada mobil yang berada jauh dari rumah, dan terdengar suara musik menggema, di malam 27 Ramadan! Satu malam yang paling diharapkan terjadinya Lailatul Qadar. Aku mendatanginya, dan ternyata ada sejumlah pemuda. Aku katakan, “Wahai para pemuda, jika kalian tidak bisa salat berjamaah bersama orang-orang dan berdoa kepada Allah ʿAzza wa Jalla di malam yang diberkahi ini, maka minimal matikan suara keras ini! Hentikan suara ini!” Lalu mereka mematikannya. Kemudian, aku sampaikan hadis ini kepada mereka. Aku sampaikan hadis ini kepada mereka, yakni hadis Aisyah Raḏiyallāhu ʿAnhā. Lalu aku berkata kepada orang yang terdekat denganku, “Sudah hafal doanya?” Dia berkata, “Sudah.” Aku berkata, “Coba ulangi!” Dia ingin mengulanginya tapi tidak bisa. Aku ulangi lagi dua kali lalu berkata, “Coba ulangi!” Dia bisa mengulangnya lalu aku berkata, “Ulang-ulang ini dan ucapkan terus dengan lisanmu.” Setelah itu, aku sudah melupakan peristiwa itu. Setelah itu, sekitar lima atau enam tahun kemudian, aku pergi ke suatu lembaga agama Islam di sebuah kota, dan bertemu dengan orang-orang yang bekerja di sana. Ketika agendaku selesai, ada yang datang lalu duduk di sampingku, seorang pemuda yang matang, auranya baik, dia berkata kepadaku, “Ingatkah Anda dengan para pemuda yang demikian dan demikian kisah mereka?” Dia mengingatkanku, lalu aku teringat. Dia berkata, “Aku salah satu dari mereka.” Allah ʿAzza wa Jalla Memberiku hidayah pada malam itu. Dia berkata, “Sejak malam itu aku rutinkan lisanku untuk mengucapkan doa itu. Aku berdoa kepada Allah dan mengulang-ulangnya sampai dilapangkan dadaku, hingga dalam hatiku tidak ada lagi kecintaan kepada hal-hal yang batil dan haram.” Dia berkata, “Allah Hilangkan itu dari diriku.” Oleh sebab itu, aku katakan bahwa sebenarnya dan seyogianya kita saling tolong-menolong dalam hal ini, apalagi sekarang ada berbagai media komunikasi. Jika Anda mengetahui ada salah satu kerabat Anda yang punya kebiasaan maksiat dan dosa, kirim pesan ke dia dan katakan, “Aku berikan engkau nasihat karena Allah, perbanyaklah doa ini: ALLAAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII Yang Suka maaf, maka Maafkan aku.” Perbanyaklah doa agung ini di 10 hari terakhir Ramadan, insya Allah Anda akan melihat kebaikan. ==== أَنَا أَذْكُرُ قِصَّةً أَرْوِيهَا لِمَا فِيهَا مِنْ فَائِدَةٍ لَا لِشَيْءٍ إِلَّا لِمَا فِيهَا مِنْ فَائِدَةٍ سَنَةً مِنَ السَّنَوَاتِ الْمَاضِيَةِ فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ كُنْتُ خَارِجًا مَعَ الْوَالِدِ وَالْجَدِّ رَحِمَهُ اللهُإِلَى الْحَرَمِ لِصَلَاةِ التَّرَاوِيحِ وَإِذَا سَيَّارَةٌ بَعِيدَةٌ عَنِ الْبَيْتِ وَإِذَا الْمُوسِيقَى عَالِيَةٌ فِي لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ اللَّيْلَةُ الَّتِي تُتَحَرَّى أَكْثَرَ أَنْ تَكُونَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَذَهَبْتُ وَإِذَا فِيهَا مَجْمُوعَةٌ مِنَ الشَّبَابِ قُلْتُ: يَا شَبَابُ إِذَا مَا اسْتَطَعْتُمْ تُصَلُّونَ مَعَ النَّاسِ وَتَدْعُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ لْمُبَارَكَةِ أَقَلُّ شَيْءٍ أَطْفِئُوا هَذَا الصَّوْتَ الْعَالِيَ أَوْقِفُوا هَذَا الصَّوْتَ فَأَغْلَقُوهُ ثُمَّ قُلْتُ لَهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ قُلْتُ لَهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ حَدِيثَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ثُمَّ قُلْتُ لِلْقَرِيبِ مِنِّي حَفِظْتَ الدُّعَاءَ؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْتُ: أَعِدْهُ فَأَرَادَ أَنْ يُعِيدَهُ مَا عَرَفَ فَعَدْتُ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ قُلْتُ: أَعِدْهُ فَأَعَادَهُ قُلْتُ: هَذَا كَرِّرُوهُ اجْعَلُوهُ عَلَى أَلْسِنَتِكَ ثُمَّ بَعْدَهَا أَنَا نَسِيتُ الْقِصَّةَ بَعْدَهَا بِتَقْرِيبًا خَمْسِ أَوْ سِتِّ سَنَوَاتٍ ذَهَبْتُ إِلَى جِهَةٍ دِينِيَّةٍ فِي إِحْدَى الْمُدُنِ وَالْتَقَيْتُ بِالْعَامِلِينَ فِيهَا وَلَمَّا انْتَهَيْتُ جَاءَ وَجَلَسَ بِجَنْبِي شَابٌّ مُنْتَحِيّ سِيمَاهُ الْخَيْرُ قَالَ لِي: تَذْكُرُ الشَّبَابَ الَّذِينَ قِصَّتُهُمْ كَذَا وَكَذَا فَذَكَّرَنِي ذَكَرْتُ قَالَ: أَنَا وَاحِدٌ مِنْهُمْ وَاللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَدَانِي مِنْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ يَقُولُ: مِنْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ جَعَلْتُ هَذِهِ الدَّعْوَةَ عَلَى لِسَانِي أَدْعُو اللهَ وَأُكَرِّرُهَا حَتَّى انْشَرَحَ صَدْرِي وَمَا كَانَ فِي قَلْبِي مِنْ مَحَبَّةٍ لِأَشْيَاءَ بَاطِلَةٍ مُحَرَّمَةٍ يَقُولُ: أَذْهَبَهَا اللهُ عَنِّي وَلِهَذَا أَقُوْلُ يَنْبَغِي حَقِيقَةً يَنْبَغِي حَتَّى أَيْضًا أَنْ نَتَعَاوَنَ عَلَى هَذَا الْأَمْرِ خَاصَّةً الْآنَ وَسَائِلُ الْاِتِّصَالِ إِذَا تَعْرِفُ الْأَحَدَ مِنْ أَقْرِبَاءِكَ عِنْدَهُ مَعَاصٍ وَعِنْدَهُ ذُنُوبٌ أَرِسْلْ لَهُ قُلْ لَهُ: أَنْصَحُكَ نَصِيحَةً لِوَجْهِ اللهِ أَكْثِرْ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي أَكْثِرْ فِي الْعَشْرِ مِنْ هَذَا الدُّعَاءِ الْعَظِيمِ وَإِنْ شَاءَ اللهُ سَتَرَى خَيْرًا

Mengganti Salat Jumat dengan Salat Zuhur bagi Orang Sakit – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan #nasehatulama

Pertanyaan: Penanya berkata bahwa dia punya masalah kesehatan dan penyakit yang mengharuskannya untuk menjamak Salat Zuhur dan Salat Asar, dan menjamak Salat Magrib dan Salat Isya. Dia bertanya tentang Salat Jumat, dalam keadaannya yang seperti itu, apakah dia tetap wajib mengikuti Salat Jumat atau dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur, lalu menjamaknya dengan Salat Asar? Jawaban: Jika mengikuti Salat Jumat memberatkannya akibat masalah kesehatannya, maka dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur di rumahnya empat rakaat. Karena dengan masalah itu, dia punya uzur. Namun jika dia masih mampu untuk mengikuti Salat Jumat meskipun hanya ikut salatnya saja (tanpa menghadiri khutbah). Meski hanya ikut salatnya saja, atau bahkan hadir saat rakaat kedua. Ini lebih afdal. Sebagai contoh, dia menunggu di mobil dan lain sebagainya, lalu saat iqamah dikumandangkan, dia datang untuk salat atau bahkan hadir saat salat di rakaat kedua, maka itu lebih baik daripada menggantinya dengan Salat Zuhur. Kendati demikian, jika itu tetap memberatkannya maka dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur di rumahnya. Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak pernah menjadikan kesulitan bagimu dalam agama.” (QS. al-Hajj: 22) Allah Ta’ala juga berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS. al-Baqarah: 185). === سَائِلٌ يَقُولُ إِنَّهُ هُوَ عِنْدَهُ مُشْكِلَةٌ صِحِيَّةٌ وَمَرَضٌ تُجْبِرُهُ عَلَى أَنْ يُصَلِّيَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمْعًا وَكَذَلِكَ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ يَسْأَلُ عَنِ الْجُمُعَةِ وَحَالَتُهُ هَذِهِ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَحْضُرَ الْجُمُعَةَ أَمْ أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُم أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا وَيَجْمَعَهَا مَعَ الْعَصْرِ إِذَا كَانَ يَشُقُّ عَلَيْهِ حُضُورُ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ بِسَبَبِ ظَرْفِهِ الصِّحِّيِّ فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي بَيْتِهِ ظُهْرًا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَكُونُ بِهَذَا مَعْذُورًا لَكِنْ إِنْ تَيَسَّرَ أَنْ يَحْضُرَ الْجُمُعَةَ وَلَوْ أَنْ يَحْضُرَ الصَّلَاةَ يَحْضُرُ الصَّلَاةَ مَثَلًا وَلَوْ حَتَّى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ فَهَذَا أَفْضَلُ يَكُونَ مَثَلًا فِي السَّيَّارَةِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ يَأْتِي وَيُصَلِّي مَعَ النَّاسِ أَوْ حَتَّى لَا يَأْتِي إِلَّا الرَّكْعَةَ الثَّانِيَةَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا فِي بَيْتِهِ لَكِنْ مَعَ ذَلِكَ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِهَذَا فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا فِي بَيْتِهِ َاللهُ تَعَالَى يَقُولُ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ وَقَالَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Mengganti Salat Jumat dengan Salat Zuhur bagi Orang Sakit – Syaikh Sa’ad Al-Khatslan #nasehatulama

Pertanyaan: Penanya berkata bahwa dia punya masalah kesehatan dan penyakit yang mengharuskannya untuk menjamak Salat Zuhur dan Salat Asar, dan menjamak Salat Magrib dan Salat Isya. Dia bertanya tentang Salat Jumat, dalam keadaannya yang seperti itu, apakah dia tetap wajib mengikuti Salat Jumat atau dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur, lalu menjamaknya dengan Salat Asar? Jawaban: Jika mengikuti Salat Jumat memberatkannya akibat masalah kesehatannya, maka dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur di rumahnya empat rakaat. Karena dengan masalah itu, dia punya uzur. Namun jika dia masih mampu untuk mengikuti Salat Jumat meskipun hanya ikut salatnya saja (tanpa menghadiri khutbah). Meski hanya ikut salatnya saja, atau bahkan hadir saat rakaat kedua. Ini lebih afdal. Sebagai contoh, dia menunggu di mobil dan lain sebagainya, lalu saat iqamah dikumandangkan, dia datang untuk salat atau bahkan hadir saat salat di rakaat kedua, maka itu lebih baik daripada menggantinya dengan Salat Zuhur. Kendati demikian, jika itu tetap memberatkannya maka dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur di rumahnya. Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak pernah menjadikan kesulitan bagimu dalam agama.” (QS. al-Hajj: 22) Allah Ta’ala juga berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS. al-Baqarah: 185). === سَائِلٌ يَقُولُ إِنَّهُ هُوَ عِنْدَهُ مُشْكِلَةٌ صِحِيَّةٌ وَمَرَضٌ تُجْبِرُهُ عَلَى أَنْ يُصَلِّيَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمْعًا وَكَذَلِكَ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ يَسْأَلُ عَنِ الْجُمُعَةِ وَحَالَتُهُ هَذِهِ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَحْضُرَ الْجُمُعَةَ أَمْ أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُم أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا وَيَجْمَعَهَا مَعَ الْعَصْرِ إِذَا كَانَ يَشُقُّ عَلَيْهِ حُضُورُ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ بِسَبَبِ ظَرْفِهِ الصِّحِّيِّ فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي بَيْتِهِ ظُهْرًا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَكُونُ بِهَذَا مَعْذُورًا لَكِنْ إِنْ تَيَسَّرَ أَنْ يَحْضُرَ الْجُمُعَةَ وَلَوْ أَنْ يَحْضُرَ الصَّلَاةَ يَحْضُرُ الصَّلَاةَ مَثَلًا وَلَوْ حَتَّى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ فَهَذَا أَفْضَلُ يَكُونَ مَثَلًا فِي السَّيَّارَةِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ يَأْتِي وَيُصَلِّي مَعَ النَّاسِ أَوْ حَتَّى لَا يَأْتِي إِلَّا الرَّكْعَةَ الثَّانِيَةَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا فِي بَيْتِهِ لَكِنْ مَعَ ذَلِكَ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِهَذَا فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا فِي بَيْتِهِ َاللهُ تَعَالَى يَقُولُ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ وَقَالَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Pertanyaan: Penanya berkata bahwa dia punya masalah kesehatan dan penyakit yang mengharuskannya untuk menjamak Salat Zuhur dan Salat Asar, dan menjamak Salat Magrib dan Salat Isya. Dia bertanya tentang Salat Jumat, dalam keadaannya yang seperti itu, apakah dia tetap wajib mengikuti Salat Jumat atau dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur, lalu menjamaknya dengan Salat Asar? Jawaban: Jika mengikuti Salat Jumat memberatkannya akibat masalah kesehatannya, maka dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur di rumahnya empat rakaat. Karena dengan masalah itu, dia punya uzur. Namun jika dia masih mampu untuk mengikuti Salat Jumat meskipun hanya ikut salatnya saja (tanpa menghadiri khutbah). Meski hanya ikut salatnya saja, atau bahkan hadir saat rakaat kedua. Ini lebih afdal. Sebagai contoh, dia menunggu di mobil dan lain sebagainya, lalu saat iqamah dikumandangkan, dia datang untuk salat atau bahkan hadir saat salat di rakaat kedua, maka itu lebih baik daripada menggantinya dengan Salat Zuhur. Kendati demikian, jika itu tetap memberatkannya maka dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur di rumahnya. Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak pernah menjadikan kesulitan bagimu dalam agama.” (QS. al-Hajj: 22) Allah Ta’ala juga berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS. al-Baqarah: 185). === سَائِلٌ يَقُولُ إِنَّهُ هُوَ عِنْدَهُ مُشْكِلَةٌ صِحِيَّةٌ وَمَرَضٌ تُجْبِرُهُ عَلَى أَنْ يُصَلِّيَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمْعًا وَكَذَلِكَ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ يَسْأَلُ عَنِ الْجُمُعَةِ وَحَالَتُهُ هَذِهِ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَحْضُرَ الْجُمُعَةَ أَمْ أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُم أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا وَيَجْمَعَهَا مَعَ الْعَصْرِ إِذَا كَانَ يَشُقُّ عَلَيْهِ حُضُورُ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ بِسَبَبِ ظَرْفِهِ الصِّحِّيِّ فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي بَيْتِهِ ظُهْرًا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَكُونُ بِهَذَا مَعْذُورًا لَكِنْ إِنْ تَيَسَّرَ أَنْ يَحْضُرَ الْجُمُعَةَ وَلَوْ أَنْ يَحْضُرَ الصَّلَاةَ يَحْضُرُ الصَّلَاةَ مَثَلًا وَلَوْ حَتَّى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ فَهَذَا أَفْضَلُ يَكُونَ مَثَلًا فِي السَّيَّارَةِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ يَأْتِي وَيُصَلِّي مَعَ النَّاسِ أَوْ حَتَّى لَا يَأْتِي إِلَّا الرَّكْعَةَ الثَّانِيَةَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا فِي بَيْتِهِ لَكِنْ مَعَ ذَلِكَ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِهَذَا فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا فِي بَيْتِهِ َاللهُ تَعَالَى يَقُولُ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ وَقَالَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ


Pertanyaan: Penanya berkata bahwa dia punya masalah kesehatan dan penyakit yang mengharuskannya untuk menjamak Salat Zuhur dan Salat Asar, dan menjamak Salat Magrib dan Salat Isya. Dia bertanya tentang Salat Jumat, dalam keadaannya yang seperti itu, apakah dia tetap wajib mengikuti Salat Jumat atau dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur, lalu menjamaknya dengan Salat Asar? Jawaban: Jika mengikuti Salat Jumat memberatkannya akibat masalah kesehatannya, maka dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur di rumahnya empat rakaat. Karena dengan masalah itu, dia punya uzur. Namun jika dia masih mampu untuk mengikuti Salat Jumat meskipun hanya ikut salatnya saja (tanpa menghadiri khutbah). Meski hanya ikut salatnya saja, atau bahkan hadir saat rakaat kedua. Ini lebih afdal. Sebagai contoh, dia menunggu di mobil dan lain sebagainya, lalu saat iqamah dikumandangkan, dia datang untuk salat atau bahkan hadir saat salat di rakaat kedua, maka itu lebih baik daripada menggantinya dengan Salat Zuhur. Kendati demikian, jika itu tetap memberatkannya maka dia boleh menggantinya dengan Salat Zuhur di rumahnya. Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak pernah menjadikan kesulitan bagimu dalam agama.” (QS. al-Hajj: 22) Allah Ta’ala juga berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS. al-Baqarah: 185). === سَائِلٌ يَقُولُ إِنَّهُ هُوَ عِنْدَهُ مُشْكِلَةٌ صِحِيَّةٌ وَمَرَضٌ تُجْبِرُهُ عَلَى أَنْ يُصَلِّيَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمْعًا وَكَذَلِكَ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ يَسْأَلُ عَنِ الْجُمُعَةِ وَحَالَتُهُ هَذِهِ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَحْضُرَ الْجُمُعَةَ أَمْ أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُم أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا وَيَجْمَعَهَا مَعَ الْعَصْرِ إِذَا كَانَ يَشُقُّ عَلَيْهِ حُضُورُ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ بِسَبَبِ ظَرْفِهِ الصِّحِّيِّ فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي بَيْتِهِ ظُهْرًا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَكُونُ بِهَذَا مَعْذُورًا لَكِنْ إِنْ تَيَسَّرَ أَنْ يَحْضُرَ الْجُمُعَةَ وَلَوْ أَنْ يَحْضُرَ الصَّلَاةَ يَحْضُرُ الصَّلَاةَ مَثَلًا وَلَوْ حَتَّى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ فَهَذَا أَفْضَلُ يَكُونَ مَثَلًا فِي السَّيَّارَةِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ يَأْتِي وَيُصَلِّي مَعَ النَّاسِ أَوْ حَتَّى لَا يَأْتِي إِلَّا الرَّكْعَةَ الثَّانِيَةَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا فِي بَيْتِهِ لَكِنْ مَعَ ذَلِكَ إِذَا كَانَ يَلْحَقُهُ الْحَرَجُ بِهَذَا فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا ظُهْرًا فِي بَيْتِهِ َاللهُ تَعَالَى يَقُولُ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ وَقَالَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Berjuang Menundukkan Hawa Nafsu

Salah satu hal yang sangat berat dalam kehidupan seorang muslim adalah berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsu, serta mendorong jiwanya senantiasa taat kepada Allah Ta’ala. Seorang muslim harus senantiasa memaksa jiwanya untuk teguh di atas kebenaran. Dia pun senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala agar mampu istikamah dalam menundukkan hawa nafsunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika haji Wada’, أَلا أُخْبِرُكُمْ بِالْمُؤْمِنِ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ “Tahukah kalian, siapakah orang yang beriman itu? Orang yang beriman adalah orang yang memberi rasa aman bagi jiwa dan harta orang lain. Seorang muslim adalah orang yang ucapan dan tindakannya tidak menyakiti (mengganggu) orang lain. Orang yang berjihad (berjuang) adalah orang yang bersungguh-sungguh mendorong jiwanya menaati Allah. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.” (HR. Ahmad no. 23958 dan Ibnu Majah no. 3934, dinilai sahih oleh Al-Albani) Terdapat dua jenis manusia ketika berinteraksi bersama hawa nafsu: Pertama, ia berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsu, dia menundukkannya agar segera melakukan kebaikan dan ketaatan. Kedua, ia membiarkan (mengumbar) hawa nafsunya, sehingga membiarkan dirinya terjerumus dalam kemaksiatan dan dosa. Allah Ta’ala telah menyebutkan dua jenis manusia ini dalam firman-Nya, قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10) “Menyucikan jiwa” adalah dengan berupaya sungguh-sungguh membersihkan dan memurnikan jiwa tersebut dari kekufuran, kemaksiatan, dan dosa. Dia senantiasa memperbaiki dirinya dengan melakukan ketaatan dan aktivitas kebaikan. Sebaliknya, “mengotori jiwa” adalah dengan tidak melakukan aktivitas kebaikan dan melakukan kemaksiatan. Dia pun menuruti bisikan dan dorongan jiwa untuk melakukan sesuatu yang mengundang kemurkaan dan siksa Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah membentuk dua potensi jiwa pada diri manusia, yaitu nafsun ammaratun bis-suu (jiwa yang selalu memerintahkan untuk melakukan keburukan) dan nafsun muthmainnah (jiwa yang damai dan tenang). Keduanya saling berkebalikan dan bertolak belakang. Hal yang paling berat bagi seseorang yang memiliki nafsun ammaratun bis-suu adalah melakukan ibadah, ketaatan, dan berbagai aktivitas yang diridai oleh Allah Ta’ala. Sedangkan sebaliknya, perkara terberat bagi seseorang yang memiliki nafsun muthmainnah adalah melakukan maksiat dan dosa. Baca juga: Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil Kedua jenis jiwa (nafsu) ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala ketika menceritakan perihal istri al-Aziz, pembesar Mesir, وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Yusuf: 53) Makna ayat di atas adalah hawa nafsu itu senantiasa memerintahkan pemiliknya untuk mengerjakan segala keburukan. Inilah karakter dan tabiat dasar dari hawa nafsu, kecuali orang-orang yang diberi taufik dan pertolongan Allah Ta’ala sehingga ia mampu berlari menyelamatkan diri dari dorongan nafsu tersebut. Itulah mengapa lanjutan ayat tersebut adalah, “kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku.” Artinya, seseorang bisa selamat dari keburukan nafsunya itu semata-mata berkat rahmat dan karunia dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya, وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah memberikan edukasi kepada para sahabat dalam khutbah hajat yang disampaikan beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing mereka agar mengucapkan doa, الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا “Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, memohon pengampunan-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari keburukan jiwa kami dan dari kejelekan perbuatan kami.” (HR. Abu Dawud no. 2118, Tirmidzi no. 1105, An-Nasa’i no. 1404, dan Ibnu Majah no. 1892, dinilai sahih oleh Al-Albani) Pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan terlebih dahulu keburukan jiwa, sebelum menyebutkan kejelekan perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa kejelekan perbuatan (tindakan) itu berasal dari keburukan jiwa. Apabila jiwanya buruk, ia akan mengajak pemiliknya untuk melakukan perkataan dan perbuatan yang jelek. Ia tidak akan selamat, kecuali apabila Allah Ta’ala menyelamatkan dirinya dari belenggu hawa nafsu tersebut. Apabila setiap muslim menyadari karakter nafsun ammaratun bis-suu yang selalu mengajak untuk melakukan kemaksiatan dan menjauhkan dari ketaatan, maka tentu ia akan berusaha konsisten untuk bersungguh-sungguh mengobati dan menyembuhkannya. Sampai nafsu tersebut berada dalam kendali kita, bukan nafsu itu yang justru mengendalikan kita. Apabila nafsu telah mengendalikan dirinya, seseorang akan menuruti syahwat tanpa mempedulikan apakah Allah Ta’ala rida ataukah murka. Intinya, setiap muslim harus senantiasa berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsunya seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ “Orang yang berjihad (berjuang) adalah orang yang bersungguh-sungguh mendorong jiwanya menaati Allah.” (HR. Ahmad no. 23958 dan Ibnu Majah no. 3934, dinilai sahih oleh Al-Albani) Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) Malik bin Dinar rahimahullah menuturkan, رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا قَالَ لِنَفْسِهِ النَّفِيسَةِ: أَلَسْتِ صَاحِبَةَ كَذَا؟ أَلَسْتِ صَاحِبَةَ كَذَا؟ ثُمَّ ذَمَّهَا ثُمَّ خَطَمَهَا، ثُمَّ أَلْزَمَهَا كِتَابَ اللَّهِ؛ فَكَانَ لَهَا قَائِدًا “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berkata pada hawa nafsunya, “Bukankah engkau telah melakukan dosa ini dan dosa itu? Kemudian dia mencela dan mengekangnya. Lalu, dia pun memaksanya untuk tunduk pada aturan (kitab) Allah, sehingga dia pun mengendalikan nafsunya.” (Diriwayatkan oleh al-Kharaithi dalam I’lam al-Qulub no. 38) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di hadapan masyarakat Kufah. Beliau radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, يا أَيُّهَا النَّاسُ! إن أخوف ما أخاف عليكم طول الأمل واتباع الهوى، فأما طول الأمل فينسي الآخرة، وأما اتباع الهوى فيصد عن الحق ألا وإن الدنيا قد تولت مدبرة والآخرة قد أقبلت مقبلة ولكل واحدة منهما بنون فكونوا من أبناء الآخرة ولا تكونوا من أبناء الدنيا فان اليوم عمل ولا حساب والآخرة حساب ولا عمل “Sungguh, perkara yang paling saya takutkan dari kalian adalah panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Panjang angan-angan adalah melupakan dari akhirat, sedangkan mengikuti hawa nafsu adalah berpaling dari kebenaran. Ketahuilah, sungguh dunia telah beralih ke belakang dan akhirat telah beralih di depan. Dan setiap mereka memiliki anak. Jadilah anak-anak yang berorientasi pada akhirat, dan janganlah menjadi anak-anak yang berorientasi pada dunia. Sesungguhnya, hari ini adalah waktu beramal tanpa adanya hisab. Sedangkan hari kiamat besok adalah waktu dihisab tanpa bisa beramal lagi.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 10614) Oleh karena itu, hendaknya setiap kita berjuang melawan dan mengevaluasi jiwa kita sebelum dihisab oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat. Kita mengevaluasi segala aktivitas dan tindakan yang telah dilakukan, sebelum kita berdiri di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat. Karena orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan diri dan melakukan aktivitas kebaikan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Adapun orang yang bodoh adalah ia yang mengikuti hawa nafsu dan berangan-angan bahwa Allah Ta’ala kelak akan mengampuni dirinya. Baca juga: Kiat-Kiat Mengendalikan Hawa Nafsu *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 48; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: hawa nafsu

Berjuang Menundukkan Hawa Nafsu

Salah satu hal yang sangat berat dalam kehidupan seorang muslim adalah berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsu, serta mendorong jiwanya senantiasa taat kepada Allah Ta’ala. Seorang muslim harus senantiasa memaksa jiwanya untuk teguh di atas kebenaran. Dia pun senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala agar mampu istikamah dalam menundukkan hawa nafsunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika haji Wada’, أَلا أُخْبِرُكُمْ بِالْمُؤْمِنِ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ “Tahukah kalian, siapakah orang yang beriman itu? Orang yang beriman adalah orang yang memberi rasa aman bagi jiwa dan harta orang lain. Seorang muslim adalah orang yang ucapan dan tindakannya tidak menyakiti (mengganggu) orang lain. Orang yang berjihad (berjuang) adalah orang yang bersungguh-sungguh mendorong jiwanya menaati Allah. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.” (HR. Ahmad no. 23958 dan Ibnu Majah no. 3934, dinilai sahih oleh Al-Albani) Terdapat dua jenis manusia ketika berinteraksi bersama hawa nafsu: Pertama, ia berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsu, dia menundukkannya agar segera melakukan kebaikan dan ketaatan. Kedua, ia membiarkan (mengumbar) hawa nafsunya, sehingga membiarkan dirinya terjerumus dalam kemaksiatan dan dosa. Allah Ta’ala telah menyebutkan dua jenis manusia ini dalam firman-Nya, قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10) “Menyucikan jiwa” adalah dengan berupaya sungguh-sungguh membersihkan dan memurnikan jiwa tersebut dari kekufuran, kemaksiatan, dan dosa. Dia senantiasa memperbaiki dirinya dengan melakukan ketaatan dan aktivitas kebaikan. Sebaliknya, “mengotori jiwa” adalah dengan tidak melakukan aktivitas kebaikan dan melakukan kemaksiatan. Dia pun menuruti bisikan dan dorongan jiwa untuk melakukan sesuatu yang mengundang kemurkaan dan siksa Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah membentuk dua potensi jiwa pada diri manusia, yaitu nafsun ammaratun bis-suu (jiwa yang selalu memerintahkan untuk melakukan keburukan) dan nafsun muthmainnah (jiwa yang damai dan tenang). Keduanya saling berkebalikan dan bertolak belakang. Hal yang paling berat bagi seseorang yang memiliki nafsun ammaratun bis-suu adalah melakukan ibadah, ketaatan, dan berbagai aktivitas yang diridai oleh Allah Ta’ala. Sedangkan sebaliknya, perkara terberat bagi seseorang yang memiliki nafsun muthmainnah adalah melakukan maksiat dan dosa. Baca juga: Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil Kedua jenis jiwa (nafsu) ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala ketika menceritakan perihal istri al-Aziz, pembesar Mesir, وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Yusuf: 53) Makna ayat di atas adalah hawa nafsu itu senantiasa memerintahkan pemiliknya untuk mengerjakan segala keburukan. Inilah karakter dan tabiat dasar dari hawa nafsu, kecuali orang-orang yang diberi taufik dan pertolongan Allah Ta’ala sehingga ia mampu berlari menyelamatkan diri dari dorongan nafsu tersebut. Itulah mengapa lanjutan ayat tersebut adalah, “kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku.” Artinya, seseorang bisa selamat dari keburukan nafsunya itu semata-mata berkat rahmat dan karunia dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya, وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah memberikan edukasi kepada para sahabat dalam khutbah hajat yang disampaikan beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing mereka agar mengucapkan doa, الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا “Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, memohon pengampunan-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari keburukan jiwa kami dan dari kejelekan perbuatan kami.” (HR. Abu Dawud no. 2118, Tirmidzi no. 1105, An-Nasa’i no. 1404, dan Ibnu Majah no. 1892, dinilai sahih oleh Al-Albani) Pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan terlebih dahulu keburukan jiwa, sebelum menyebutkan kejelekan perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa kejelekan perbuatan (tindakan) itu berasal dari keburukan jiwa. Apabila jiwanya buruk, ia akan mengajak pemiliknya untuk melakukan perkataan dan perbuatan yang jelek. Ia tidak akan selamat, kecuali apabila Allah Ta’ala menyelamatkan dirinya dari belenggu hawa nafsu tersebut. Apabila setiap muslim menyadari karakter nafsun ammaratun bis-suu yang selalu mengajak untuk melakukan kemaksiatan dan menjauhkan dari ketaatan, maka tentu ia akan berusaha konsisten untuk bersungguh-sungguh mengobati dan menyembuhkannya. Sampai nafsu tersebut berada dalam kendali kita, bukan nafsu itu yang justru mengendalikan kita. Apabila nafsu telah mengendalikan dirinya, seseorang akan menuruti syahwat tanpa mempedulikan apakah Allah Ta’ala rida ataukah murka. Intinya, setiap muslim harus senantiasa berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsunya seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ “Orang yang berjihad (berjuang) adalah orang yang bersungguh-sungguh mendorong jiwanya menaati Allah.” (HR. Ahmad no. 23958 dan Ibnu Majah no. 3934, dinilai sahih oleh Al-Albani) Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) Malik bin Dinar rahimahullah menuturkan, رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا قَالَ لِنَفْسِهِ النَّفِيسَةِ: أَلَسْتِ صَاحِبَةَ كَذَا؟ أَلَسْتِ صَاحِبَةَ كَذَا؟ ثُمَّ ذَمَّهَا ثُمَّ خَطَمَهَا، ثُمَّ أَلْزَمَهَا كِتَابَ اللَّهِ؛ فَكَانَ لَهَا قَائِدًا “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berkata pada hawa nafsunya, “Bukankah engkau telah melakukan dosa ini dan dosa itu? Kemudian dia mencela dan mengekangnya. Lalu, dia pun memaksanya untuk tunduk pada aturan (kitab) Allah, sehingga dia pun mengendalikan nafsunya.” (Diriwayatkan oleh al-Kharaithi dalam I’lam al-Qulub no. 38) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di hadapan masyarakat Kufah. Beliau radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, يا أَيُّهَا النَّاسُ! إن أخوف ما أخاف عليكم طول الأمل واتباع الهوى، فأما طول الأمل فينسي الآخرة، وأما اتباع الهوى فيصد عن الحق ألا وإن الدنيا قد تولت مدبرة والآخرة قد أقبلت مقبلة ولكل واحدة منهما بنون فكونوا من أبناء الآخرة ولا تكونوا من أبناء الدنيا فان اليوم عمل ولا حساب والآخرة حساب ولا عمل “Sungguh, perkara yang paling saya takutkan dari kalian adalah panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Panjang angan-angan adalah melupakan dari akhirat, sedangkan mengikuti hawa nafsu adalah berpaling dari kebenaran. Ketahuilah, sungguh dunia telah beralih ke belakang dan akhirat telah beralih di depan. Dan setiap mereka memiliki anak. Jadilah anak-anak yang berorientasi pada akhirat, dan janganlah menjadi anak-anak yang berorientasi pada dunia. Sesungguhnya, hari ini adalah waktu beramal tanpa adanya hisab. Sedangkan hari kiamat besok adalah waktu dihisab tanpa bisa beramal lagi.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 10614) Oleh karena itu, hendaknya setiap kita berjuang melawan dan mengevaluasi jiwa kita sebelum dihisab oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat. Kita mengevaluasi segala aktivitas dan tindakan yang telah dilakukan, sebelum kita berdiri di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat. Karena orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan diri dan melakukan aktivitas kebaikan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Adapun orang yang bodoh adalah ia yang mengikuti hawa nafsu dan berangan-angan bahwa Allah Ta’ala kelak akan mengampuni dirinya. Baca juga: Kiat-Kiat Mengendalikan Hawa Nafsu *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 48; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: hawa nafsu
Salah satu hal yang sangat berat dalam kehidupan seorang muslim adalah berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsu, serta mendorong jiwanya senantiasa taat kepada Allah Ta’ala. Seorang muslim harus senantiasa memaksa jiwanya untuk teguh di atas kebenaran. Dia pun senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala agar mampu istikamah dalam menundukkan hawa nafsunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika haji Wada’, أَلا أُخْبِرُكُمْ بِالْمُؤْمِنِ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ “Tahukah kalian, siapakah orang yang beriman itu? Orang yang beriman adalah orang yang memberi rasa aman bagi jiwa dan harta orang lain. Seorang muslim adalah orang yang ucapan dan tindakannya tidak menyakiti (mengganggu) orang lain. Orang yang berjihad (berjuang) adalah orang yang bersungguh-sungguh mendorong jiwanya menaati Allah. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.” (HR. Ahmad no. 23958 dan Ibnu Majah no. 3934, dinilai sahih oleh Al-Albani) Terdapat dua jenis manusia ketika berinteraksi bersama hawa nafsu: Pertama, ia berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsu, dia menundukkannya agar segera melakukan kebaikan dan ketaatan. Kedua, ia membiarkan (mengumbar) hawa nafsunya, sehingga membiarkan dirinya terjerumus dalam kemaksiatan dan dosa. Allah Ta’ala telah menyebutkan dua jenis manusia ini dalam firman-Nya, قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10) “Menyucikan jiwa” adalah dengan berupaya sungguh-sungguh membersihkan dan memurnikan jiwa tersebut dari kekufuran, kemaksiatan, dan dosa. Dia senantiasa memperbaiki dirinya dengan melakukan ketaatan dan aktivitas kebaikan. Sebaliknya, “mengotori jiwa” adalah dengan tidak melakukan aktivitas kebaikan dan melakukan kemaksiatan. Dia pun menuruti bisikan dan dorongan jiwa untuk melakukan sesuatu yang mengundang kemurkaan dan siksa Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah membentuk dua potensi jiwa pada diri manusia, yaitu nafsun ammaratun bis-suu (jiwa yang selalu memerintahkan untuk melakukan keburukan) dan nafsun muthmainnah (jiwa yang damai dan tenang). Keduanya saling berkebalikan dan bertolak belakang. Hal yang paling berat bagi seseorang yang memiliki nafsun ammaratun bis-suu adalah melakukan ibadah, ketaatan, dan berbagai aktivitas yang diridai oleh Allah Ta’ala. Sedangkan sebaliknya, perkara terberat bagi seseorang yang memiliki nafsun muthmainnah adalah melakukan maksiat dan dosa. Baca juga: Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil Kedua jenis jiwa (nafsu) ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala ketika menceritakan perihal istri al-Aziz, pembesar Mesir, وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Yusuf: 53) Makna ayat di atas adalah hawa nafsu itu senantiasa memerintahkan pemiliknya untuk mengerjakan segala keburukan. Inilah karakter dan tabiat dasar dari hawa nafsu, kecuali orang-orang yang diberi taufik dan pertolongan Allah Ta’ala sehingga ia mampu berlari menyelamatkan diri dari dorongan nafsu tersebut. Itulah mengapa lanjutan ayat tersebut adalah, “kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku.” Artinya, seseorang bisa selamat dari keburukan nafsunya itu semata-mata berkat rahmat dan karunia dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya, وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah memberikan edukasi kepada para sahabat dalam khutbah hajat yang disampaikan beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing mereka agar mengucapkan doa, الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا “Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, memohon pengampunan-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari keburukan jiwa kami dan dari kejelekan perbuatan kami.” (HR. Abu Dawud no. 2118, Tirmidzi no. 1105, An-Nasa’i no. 1404, dan Ibnu Majah no. 1892, dinilai sahih oleh Al-Albani) Pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan terlebih dahulu keburukan jiwa, sebelum menyebutkan kejelekan perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa kejelekan perbuatan (tindakan) itu berasal dari keburukan jiwa. Apabila jiwanya buruk, ia akan mengajak pemiliknya untuk melakukan perkataan dan perbuatan yang jelek. Ia tidak akan selamat, kecuali apabila Allah Ta’ala menyelamatkan dirinya dari belenggu hawa nafsu tersebut. Apabila setiap muslim menyadari karakter nafsun ammaratun bis-suu yang selalu mengajak untuk melakukan kemaksiatan dan menjauhkan dari ketaatan, maka tentu ia akan berusaha konsisten untuk bersungguh-sungguh mengobati dan menyembuhkannya. Sampai nafsu tersebut berada dalam kendali kita, bukan nafsu itu yang justru mengendalikan kita. Apabila nafsu telah mengendalikan dirinya, seseorang akan menuruti syahwat tanpa mempedulikan apakah Allah Ta’ala rida ataukah murka. Intinya, setiap muslim harus senantiasa berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsunya seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ “Orang yang berjihad (berjuang) adalah orang yang bersungguh-sungguh mendorong jiwanya menaati Allah.” (HR. Ahmad no. 23958 dan Ibnu Majah no. 3934, dinilai sahih oleh Al-Albani) Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) Malik bin Dinar rahimahullah menuturkan, رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا قَالَ لِنَفْسِهِ النَّفِيسَةِ: أَلَسْتِ صَاحِبَةَ كَذَا؟ أَلَسْتِ صَاحِبَةَ كَذَا؟ ثُمَّ ذَمَّهَا ثُمَّ خَطَمَهَا، ثُمَّ أَلْزَمَهَا كِتَابَ اللَّهِ؛ فَكَانَ لَهَا قَائِدًا “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berkata pada hawa nafsunya, “Bukankah engkau telah melakukan dosa ini dan dosa itu? Kemudian dia mencela dan mengekangnya. Lalu, dia pun memaksanya untuk tunduk pada aturan (kitab) Allah, sehingga dia pun mengendalikan nafsunya.” (Diriwayatkan oleh al-Kharaithi dalam I’lam al-Qulub no. 38) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di hadapan masyarakat Kufah. Beliau radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, يا أَيُّهَا النَّاسُ! إن أخوف ما أخاف عليكم طول الأمل واتباع الهوى، فأما طول الأمل فينسي الآخرة، وأما اتباع الهوى فيصد عن الحق ألا وإن الدنيا قد تولت مدبرة والآخرة قد أقبلت مقبلة ولكل واحدة منهما بنون فكونوا من أبناء الآخرة ولا تكونوا من أبناء الدنيا فان اليوم عمل ولا حساب والآخرة حساب ولا عمل “Sungguh, perkara yang paling saya takutkan dari kalian adalah panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Panjang angan-angan adalah melupakan dari akhirat, sedangkan mengikuti hawa nafsu adalah berpaling dari kebenaran. Ketahuilah, sungguh dunia telah beralih ke belakang dan akhirat telah beralih di depan. Dan setiap mereka memiliki anak. Jadilah anak-anak yang berorientasi pada akhirat, dan janganlah menjadi anak-anak yang berorientasi pada dunia. Sesungguhnya, hari ini adalah waktu beramal tanpa adanya hisab. Sedangkan hari kiamat besok adalah waktu dihisab tanpa bisa beramal lagi.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 10614) Oleh karena itu, hendaknya setiap kita berjuang melawan dan mengevaluasi jiwa kita sebelum dihisab oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat. Kita mengevaluasi segala aktivitas dan tindakan yang telah dilakukan, sebelum kita berdiri di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat. Karena orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan diri dan melakukan aktivitas kebaikan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Adapun orang yang bodoh adalah ia yang mengikuti hawa nafsu dan berangan-angan bahwa Allah Ta’ala kelak akan mengampuni dirinya. Baca juga: Kiat-Kiat Mengendalikan Hawa Nafsu *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 48; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: hawa nafsu


Salah satu hal yang sangat berat dalam kehidupan seorang muslim adalah berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsu, serta mendorong jiwanya senantiasa taat kepada Allah Ta’ala. Seorang muslim harus senantiasa memaksa jiwanya untuk teguh di atas kebenaran. Dia pun senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala agar mampu istikamah dalam menundukkan hawa nafsunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika haji Wada’, أَلا أُخْبِرُكُمْ بِالْمُؤْمِنِ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ “Tahukah kalian, siapakah orang yang beriman itu? Orang yang beriman adalah orang yang memberi rasa aman bagi jiwa dan harta orang lain. Seorang muslim adalah orang yang ucapan dan tindakannya tidak menyakiti (mengganggu) orang lain. Orang yang berjihad (berjuang) adalah orang yang bersungguh-sungguh mendorong jiwanya menaati Allah. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.” (HR. Ahmad no. 23958 dan Ibnu Majah no. 3934, dinilai sahih oleh Al-Albani) Terdapat dua jenis manusia ketika berinteraksi bersama hawa nafsu: Pertama, ia berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsu, dia menundukkannya agar segera melakukan kebaikan dan ketaatan. Kedua, ia membiarkan (mengumbar) hawa nafsunya, sehingga membiarkan dirinya terjerumus dalam kemaksiatan dan dosa. Allah Ta’ala telah menyebutkan dua jenis manusia ini dalam firman-Nya, قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10) “Menyucikan jiwa” adalah dengan berupaya sungguh-sungguh membersihkan dan memurnikan jiwa tersebut dari kekufuran, kemaksiatan, dan dosa. Dia senantiasa memperbaiki dirinya dengan melakukan ketaatan dan aktivitas kebaikan. Sebaliknya, “mengotori jiwa” adalah dengan tidak melakukan aktivitas kebaikan dan melakukan kemaksiatan. Dia pun menuruti bisikan dan dorongan jiwa untuk melakukan sesuatu yang mengundang kemurkaan dan siksa Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah membentuk dua potensi jiwa pada diri manusia, yaitu nafsun ammaratun bis-suu (jiwa yang selalu memerintahkan untuk melakukan keburukan) dan nafsun muthmainnah (jiwa yang damai dan tenang). Keduanya saling berkebalikan dan bertolak belakang. Hal yang paling berat bagi seseorang yang memiliki nafsun ammaratun bis-suu adalah melakukan ibadah, ketaatan, dan berbagai aktivitas yang diridai oleh Allah Ta’ala. Sedangkan sebaliknya, perkara terberat bagi seseorang yang memiliki nafsun muthmainnah adalah melakukan maksiat dan dosa. Baca juga: Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil Kedua jenis jiwa (nafsu) ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala ketika menceritakan perihal istri al-Aziz, pembesar Mesir, وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Yusuf: 53) Makna ayat di atas adalah hawa nafsu itu senantiasa memerintahkan pemiliknya untuk mengerjakan segala keburukan. Inilah karakter dan tabiat dasar dari hawa nafsu, kecuali orang-orang yang diberi taufik dan pertolongan Allah Ta’ala sehingga ia mampu berlari menyelamatkan diri dari dorongan nafsu tersebut. Itulah mengapa lanjutan ayat tersebut adalah, “kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku.” Artinya, seseorang bisa selamat dari keburukan nafsunya itu semata-mata berkat rahmat dan karunia dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya, وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nur: 21) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah memberikan edukasi kepada para sahabat dalam khutbah hajat yang disampaikan beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing mereka agar mengucapkan doa, الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا “Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, memohon pengampunan-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari keburukan jiwa kami dan dari kejelekan perbuatan kami.” (HR. Abu Dawud no. 2118, Tirmidzi no. 1105, An-Nasa’i no. 1404, dan Ibnu Majah no. 1892, dinilai sahih oleh Al-Albani) Pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan terlebih dahulu keburukan jiwa, sebelum menyebutkan kejelekan perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa kejelekan perbuatan (tindakan) itu berasal dari keburukan jiwa. Apabila jiwanya buruk, ia akan mengajak pemiliknya untuk melakukan perkataan dan perbuatan yang jelek. Ia tidak akan selamat, kecuali apabila Allah Ta’ala menyelamatkan dirinya dari belenggu hawa nafsu tersebut. Apabila setiap muslim menyadari karakter nafsun ammaratun bis-suu yang selalu mengajak untuk melakukan kemaksiatan dan menjauhkan dari ketaatan, maka tentu ia akan berusaha konsisten untuk bersungguh-sungguh mengobati dan menyembuhkannya. Sampai nafsu tersebut berada dalam kendali kita, bukan nafsu itu yang justru mengendalikan kita. Apabila nafsu telah mengendalikan dirinya, seseorang akan menuruti syahwat tanpa mempedulikan apakah Allah Ta’ala rida ataukah murka. Intinya, setiap muslim harus senantiasa berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsunya seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ “Orang yang berjihad (berjuang) adalah orang yang bersungguh-sungguh mendorong jiwanya menaati Allah.” (HR. Ahmad no. 23958 dan Ibnu Majah no. 3934, dinilai sahih oleh Al-Albani) Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69) Malik bin Dinar rahimahullah menuturkan, رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا قَالَ لِنَفْسِهِ النَّفِيسَةِ: أَلَسْتِ صَاحِبَةَ كَذَا؟ أَلَسْتِ صَاحِبَةَ كَذَا؟ ثُمَّ ذَمَّهَا ثُمَّ خَطَمَهَا، ثُمَّ أَلْزَمَهَا كِتَابَ اللَّهِ؛ فَكَانَ لَهَا قَائِدًا “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berkata pada hawa nafsunya, “Bukankah engkau telah melakukan dosa ini dan dosa itu? Kemudian dia mencela dan mengekangnya. Lalu, dia pun memaksanya untuk tunduk pada aturan (kitab) Allah, sehingga dia pun mengendalikan nafsunya.” (Diriwayatkan oleh al-Kharaithi dalam I’lam al-Qulub no. 38) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di hadapan masyarakat Kufah. Beliau radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, يا أَيُّهَا النَّاسُ! إن أخوف ما أخاف عليكم طول الأمل واتباع الهوى، فأما طول الأمل فينسي الآخرة، وأما اتباع الهوى فيصد عن الحق ألا وإن الدنيا قد تولت مدبرة والآخرة قد أقبلت مقبلة ولكل واحدة منهما بنون فكونوا من أبناء الآخرة ولا تكونوا من أبناء الدنيا فان اليوم عمل ولا حساب والآخرة حساب ولا عمل “Sungguh, perkara yang paling saya takutkan dari kalian adalah panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Panjang angan-angan adalah melupakan dari akhirat, sedangkan mengikuti hawa nafsu adalah berpaling dari kebenaran. Ketahuilah, sungguh dunia telah beralih ke belakang dan akhirat telah beralih di depan. Dan setiap mereka memiliki anak. Jadilah anak-anak yang berorientasi pada akhirat, dan janganlah menjadi anak-anak yang berorientasi pada dunia. Sesungguhnya, hari ini adalah waktu beramal tanpa adanya hisab. Sedangkan hari kiamat besok adalah waktu dihisab tanpa bisa beramal lagi.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 10614) Oleh karena itu, hendaknya setiap kita berjuang melawan dan mengevaluasi jiwa kita sebelum dihisab oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat. Kita mengevaluasi segala aktivitas dan tindakan yang telah dilakukan, sebelum kita berdiri di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat. Karena orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan diri dan melakukan aktivitas kebaikan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Adapun orang yang bodoh adalah ia yang mengikuti hawa nafsu dan berangan-angan bahwa Allah Ta’ala kelak akan mengampuni dirinya. Baca juga: Kiat-Kiat Mengendalikan Hawa Nafsu *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 48; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: hawa nafsu

Biografi Nafi’ bin Abi Nu’aim, Imam Qiraah di Madinah

Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Kota yang paling memperhatikan Al-Qur’an, baik dalam hal tilawah (pembacaan), hafalan, pembelajaran, maupun pengajaran adalah Madinah. Madinah juga merupakan kota Rasulullah ﷺ, tempat hijrah beliau, tempat tinggal para Muhajirin dan Ansar. Dari kota inilah, terlahir para imam qari dan ulama yang terkemuka. Di sekitar sudut-sudut Masjid Nabawi dan di lorong-lorongnya tersebar halaqah Al-Qur’an, tempat duduk para syekh untuk mengajarkan orang banyak dan memberikan mereka ijazah dalam bacaan Al-Qur’an, dengan sanad yang terhubung langsung kepada Rasulullah ﷺ. Dan ketika kata “qari” untuk kota Rasulullah disebutkan, yang pertama kali terlintas di benak kita, setelah Rasulullah ﷺ dan sahabat-sahabatnya yang mulia, adalah Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahulllah, salah satu dari tujuh qari. [1] Berikut ini biografi singkat tentang beliau, yang merupakan bagian dari silsilah biografi al-qurra al-’asyarah (para pemilik qiraah yang sepuluh). Nama lengkap Nama beliau adalah Nafi’ bin Abdur Rahman bin Abi Nu’aim Al-Laitsi (maulahum), Al-Muqri Al-Madaniy. نَافِعُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي نُعَيْمٍ الليثي مولاهم المقرئ المدني Al-Madaniy, bukan berarti beliau penduduk asli kota Madinah. Beliau berasal dari Asbahan, kemudian tinggal dan terkenal di Madinah Al-Munawwarah. Kunyah beliau adalah Abu Ruwaim ( أبو رويم ). Ada yang menyebutkan bahwa kunyahnya adalah Abu Abdullah, dan ada yang menyebutkan lainnya. [2] Sifat-sifat secara umum Nafi’ bin Abi Nu’aim adalah salah satu dari Qurra’ Sab’ah. Dia juga merupakan ahli fikih dan seorang yang banyak beribadah. Al-Asma’i rahimahullah berkata, كنت أجالس نافع بن أبي نعيم وكان من القراء الفقهاء العباد “Saya sering duduk bersama Nafi’ bin Abi Nu’aim. Dan dia termasuk di antara qari yang juga ahli fikih dan ahli ibadah.” [3] Syekh Abdul Fattah Al-Qadhi rahimahullah mengatakan, “Imam Nafi’ rahimahullah adalah seorang yang zuhud, dermawan, telah salat di Masjid Rasulullah ﷺ selama enam puluh tahun. Dia berkulit hitam, sangat hitam, asalnya dari Asbahan, berakhlak baik, berwajah tampan, dan memiliki selera humor.” [4] Diriwayatkan bahwasanya ketika dia berbicara, aroma misk tercium dari mulutnya. Seseorang bertanya kepadanya, “Apakah kamu menggunakan minyak wangi setiap kali kamu duduk membacakan Al Qur’an kepada orang-orang?” Dia menjawab, إِنِّي لَا أَقْرَبُ الطَّيبَ وَلَا أَمَسُّهُ، وَلِكُن رَّأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ فِي فِيَّ، فَمِن ذَلِكَ الوَقْتِ يُشَمُّ مِن فَمِي هَذِهِ الرَّائِحَةُ “Saya tidak pernah menggunakan minyak wangi atau menyentuhnya. Suatu saat aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan beliau membaca Al-Qur’an persis di depan lisanku. Sejak saat itu aroma ini tercium dari mulut saya.” [5] Keadaannya bersama Al-Qur’an Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah adalah imam dalam hal qiraah di Madinah. Kepemimpinan dalam mengajarkan qiraah berakhir padanya. Dan orang-orang sepakat atas qiraahnya dan memilihnya setelah generasi tabiin. Dia telah mencurahkan kemampuannya untuk membacakan dan mengajar Al-Qur’an selama lebih dari tujuh puluh tahun. Dia juga merupakan seorang yang berilmu tentang berbagai cara qiraah, dan mengikuti jejak para imam terdahulu di negerinya. Sa’id bin Mansur rahimahullah mengatakan bahwasanya dia mendengar Malik bin Anas berkata, قِرَاءَةُ أَهْلِ المَدِينَةِ سُنَّةٌ – أَي : مُخْتَارَةٌ ‘Qiraah orang-orang Madinah adalah sunah’ – yaitu, pilihan. Ketika ditanya, “Qiraah Nafi’?” Dia menjawab, “Ya.” Ketika Al-Laith bin Sa’d rahimahullah datang ke Madinah pada tahun seratus sepuluh Hijriyah, dia menemukan Nafi’ sebagai imam bagi orang-orang dalam qiraah, tidak terbantahkan. Ibnu Mujahid rahimahullah berkata, كان الإمام الذي قام بالقراءة بعد التابعين بمدينة رسول الله ﷺ نافع، وكان عالماً بوجوه القراءات، متبعا لآثار الأئمة الماضين ببلده “Nafi’ merupakan imam yang menjadi panutan atas qiraah setelah generasi tabiin di kota Rasulullah ﷺ. Dia adalah seorang yang berilmu tentang berbagai cara qiraah, mengikuti jejak para imam terdahulu di negerinya.” [6] Baca juga: Mengenal Ali bin Abi Thalib dan Menjadi Pertengahan dalam Memuliakan Beliau Gurunya dalam qiraah Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah mengambil bacaan (qiraah) pada sejumlah tabiin di Madinah. Dikisahkan bahwa ia membaca kepada tujuh puluh tabiin. Dia mengambil bacaan Al-Qur’an dari Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’, Syaibah bin Nisah, Yazid bin Ruman, Muslim bin Jundub, Nafi’ Maula (bekas budaknya) Ibnu Umar, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Abu Al-Zinad, Abdurrahman bin Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, Muhammad bin Shihab Az-Zuhri, Salih bin Khuwat, dan lain-lain rahimahumullah. Ibn Al-Jazari rahimahullah berkata, قد تواتر عندنا أنه قرأ على الخمسة الأول “Telah menjadi mutawatir bagi kami bahwa dia (Nafi’) membaca pada lima orang pertama.” Ubaid bin Maymun At-Taban rahimahullah berkata bahwa Harun bin Al-Musayyib berkata kepadanya, قراءة من تقرى؟ قلت: قراءة نافع قال: فعلى من قرأ نافع؟ قال: على الأعرج، وقال الأعرج: قرأت على أبي هريرة رضي الله عنه، وقال أبو هريرة قرأت على أبي بن كعب، وقال أبي: عَرَضَ على رسول الله القرآن وقال : أمرني جبريل أن أعرض عليك القرآن. “Qiraah siapa yang kamu baca?” Saya menjawab, “Qiraah Nafi’.” Dia bertanya, “Pada siapa Nafi’ membaca?” Saya menjawab, “Pada Al-A’raj.” Dan Al-A’raj berkata, “Saya membaca pada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” Dan Abu Hurairah berkata, “Saya membaca pada Ubay bin Ka’b.” Dan Ubay radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya membaca Al-Qur’an kepada Rasulullah ﷺ .” Dan beliau bersabda, “Jibril memerintahkan saya untuk membacakan kepada Anda.” Ibn Mujahid berkata, وكان عبد الرحمن (الأعرج) قد قرأ على أبي هريرة وابن عباس رضي الله تعالى عنهما. “Abdurrahman (Al-A’raj) telah membaca pada Abu Hurairah dan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma.” [7] Muridnya dalam qiraah Nafi’ bin Abi Nu’aim telah mengajarkan Al-Qur’an kepada orang-orang dalam waktu yang panjang. Di antara mereka yang membaca kepadanya dari generasi pendahulu adalah Malik bin Anas, Ismail bin Ja’far, Isa bin Wardan Al-Hadha’, Sulaiman bin Muslim bin Jamaz rahimahumullah. Mereka merupakan orang-orang yang sebaya dengan Nafi’. Selain itu, dia juga mengajarkan kepada Ishaq Al-Musayyibi, Al-Waqidi, Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d, Qalun, Warsh, Ismail bin Abi Uways (yang merupakan orang terakhir yang membaca kepadanya sebelum dia meninggal), Al-Asma’i, Abu Amr bin Al-Ala’, dan banyak lainnya rahimahumullah. [8] Kedudukannya dalam ilmu hadis Kedudukan Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah dalam ilmu periwayatan tidak seperti kedudukannya dalam mengajarkan dan membaca Al-Qur’an, dari sisi ketepatan dan hafalan. Oleh karena itu, orang-orang berbeda pendapat tentangnya. Ada yang menilainya tsiqah (kuat) dan ada yang menilainya lemah. Namun demikian, ia tetap dinilai maqbul (diterima) dalam periwayatan, meskipun adanya perbedaan pendapat tersebut. Para penulis kitab-kitab hadis tidak meriwayatkan darinya, sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi. An-Nasa’i rahimahullah berkata, ليس به بأس “Tidak ada masalah dengannya.” Sementara Abu Hatim rahimahullah berkata, صدوق صالح الحديث. “Dia jujur, hadisnya baik.” [9] Wafat Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah dilahirkan sekitar tahun tujuh puluh Hijriyah, dan meninggal pada tahun seratus sembilan puluh enam Hijriyah di Madinah Al-Munawwarah, menurut pendapat yang benar. Ketika mendekati ajalnya, anak-anaknya berkata kepadanya, “Berikan wasiat kepada kami.” Dia rahimahullah berkata, فَاتَّقُوا اللهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ “Bertakwalah kepada Allah, perbaikilah hubungan antara kalian, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Al-Anfal: 1) [10] Semoga Allah mengampuni dan merahmati beliau. Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Ashim bin Abi An-Najud *** 23 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M. Tariikhul Qurra Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 374. [2] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25 dan Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 107. [3] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 17. [4] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25. [5] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 108-109. [6] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 17-18. [7] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 18-19. [8] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 107-108 . [9] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 20-21. [10] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 111 dan Taarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25. Tags: Nafi’ bin Abi Nu’aim

Biografi Nafi’ bin Abi Nu’aim, Imam Qiraah di Madinah

Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Kota yang paling memperhatikan Al-Qur’an, baik dalam hal tilawah (pembacaan), hafalan, pembelajaran, maupun pengajaran adalah Madinah. Madinah juga merupakan kota Rasulullah ﷺ, tempat hijrah beliau, tempat tinggal para Muhajirin dan Ansar. Dari kota inilah, terlahir para imam qari dan ulama yang terkemuka. Di sekitar sudut-sudut Masjid Nabawi dan di lorong-lorongnya tersebar halaqah Al-Qur’an, tempat duduk para syekh untuk mengajarkan orang banyak dan memberikan mereka ijazah dalam bacaan Al-Qur’an, dengan sanad yang terhubung langsung kepada Rasulullah ﷺ. Dan ketika kata “qari” untuk kota Rasulullah disebutkan, yang pertama kali terlintas di benak kita, setelah Rasulullah ﷺ dan sahabat-sahabatnya yang mulia, adalah Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahulllah, salah satu dari tujuh qari. [1] Berikut ini biografi singkat tentang beliau, yang merupakan bagian dari silsilah biografi al-qurra al-’asyarah (para pemilik qiraah yang sepuluh). Nama lengkap Nama beliau adalah Nafi’ bin Abdur Rahman bin Abi Nu’aim Al-Laitsi (maulahum), Al-Muqri Al-Madaniy. نَافِعُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي نُعَيْمٍ الليثي مولاهم المقرئ المدني Al-Madaniy, bukan berarti beliau penduduk asli kota Madinah. Beliau berasal dari Asbahan, kemudian tinggal dan terkenal di Madinah Al-Munawwarah. Kunyah beliau adalah Abu Ruwaim ( أبو رويم ). Ada yang menyebutkan bahwa kunyahnya adalah Abu Abdullah, dan ada yang menyebutkan lainnya. [2] Sifat-sifat secara umum Nafi’ bin Abi Nu’aim adalah salah satu dari Qurra’ Sab’ah. Dia juga merupakan ahli fikih dan seorang yang banyak beribadah. Al-Asma’i rahimahullah berkata, كنت أجالس نافع بن أبي نعيم وكان من القراء الفقهاء العباد “Saya sering duduk bersama Nafi’ bin Abi Nu’aim. Dan dia termasuk di antara qari yang juga ahli fikih dan ahli ibadah.” [3] Syekh Abdul Fattah Al-Qadhi rahimahullah mengatakan, “Imam Nafi’ rahimahullah adalah seorang yang zuhud, dermawan, telah salat di Masjid Rasulullah ﷺ selama enam puluh tahun. Dia berkulit hitam, sangat hitam, asalnya dari Asbahan, berakhlak baik, berwajah tampan, dan memiliki selera humor.” [4] Diriwayatkan bahwasanya ketika dia berbicara, aroma misk tercium dari mulutnya. Seseorang bertanya kepadanya, “Apakah kamu menggunakan minyak wangi setiap kali kamu duduk membacakan Al Qur’an kepada orang-orang?” Dia menjawab, إِنِّي لَا أَقْرَبُ الطَّيبَ وَلَا أَمَسُّهُ، وَلِكُن رَّأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ فِي فِيَّ، فَمِن ذَلِكَ الوَقْتِ يُشَمُّ مِن فَمِي هَذِهِ الرَّائِحَةُ “Saya tidak pernah menggunakan minyak wangi atau menyentuhnya. Suatu saat aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan beliau membaca Al-Qur’an persis di depan lisanku. Sejak saat itu aroma ini tercium dari mulut saya.” [5] Keadaannya bersama Al-Qur’an Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah adalah imam dalam hal qiraah di Madinah. Kepemimpinan dalam mengajarkan qiraah berakhir padanya. Dan orang-orang sepakat atas qiraahnya dan memilihnya setelah generasi tabiin. Dia telah mencurahkan kemampuannya untuk membacakan dan mengajar Al-Qur’an selama lebih dari tujuh puluh tahun. Dia juga merupakan seorang yang berilmu tentang berbagai cara qiraah, dan mengikuti jejak para imam terdahulu di negerinya. Sa’id bin Mansur rahimahullah mengatakan bahwasanya dia mendengar Malik bin Anas berkata, قِرَاءَةُ أَهْلِ المَدِينَةِ سُنَّةٌ – أَي : مُخْتَارَةٌ ‘Qiraah orang-orang Madinah adalah sunah’ – yaitu, pilihan. Ketika ditanya, “Qiraah Nafi’?” Dia menjawab, “Ya.” Ketika Al-Laith bin Sa’d rahimahullah datang ke Madinah pada tahun seratus sepuluh Hijriyah, dia menemukan Nafi’ sebagai imam bagi orang-orang dalam qiraah, tidak terbantahkan. Ibnu Mujahid rahimahullah berkata, كان الإمام الذي قام بالقراءة بعد التابعين بمدينة رسول الله ﷺ نافع، وكان عالماً بوجوه القراءات، متبعا لآثار الأئمة الماضين ببلده “Nafi’ merupakan imam yang menjadi panutan atas qiraah setelah generasi tabiin di kota Rasulullah ﷺ. Dia adalah seorang yang berilmu tentang berbagai cara qiraah, mengikuti jejak para imam terdahulu di negerinya.” [6] Baca juga: Mengenal Ali bin Abi Thalib dan Menjadi Pertengahan dalam Memuliakan Beliau Gurunya dalam qiraah Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah mengambil bacaan (qiraah) pada sejumlah tabiin di Madinah. Dikisahkan bahwa ia membaca kepada tujuh puluh tabiin. Dia mengambil bacaan Al-Qur’an dari Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’, Syaibah bin Nisah, Yazid bin Ruman, Muslim bin Jundub, Nafi’ Maula (bekas budaknya) Ibnu Umar, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Abu Al-Zinad, Abdurrahman bin Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, Muhammad bin Shihab Az-Zuhri, Salih bin Khuwat, dan lain-lain rahimahumullah. Ibn Al-Jazari rahimahullah berkata, قد تواتر عندنا أنه قرأ على الخمسة الأول “Telah menjadi mutawatir bagi kami bahwa dia (Nafi’) membaca pada lima orang pertama.” Ubaid bin Maymun At-Taban rahimahullah berkata bahwa Harun bin Al-Musayyib berkata kepadanya, قراءة من تقرى؟ قلت: قراءة نافع قال: فعلى من قرأ نافع؟ قال: على الأعرج، وقال الأعرج: قرأت على أبي هريرة رضي الله عنه، وقال أبو هريرة قرأت على أبي بن كعب، وقال أبي: عَرَضَ على رسول الله القرآن وقال : أمرني جبريل أن أعرض عليك القرآن. “Qiraah siapa yang kamu baca?” Saya menjawab, “Qiraah Nafi’.” Dia bertanya, “Pada siapa Nafi’ membaca?” Saya menjawab, “Pada Al-A’raj.” Dan Al-A’raj berkata, “Saya membaca pada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” Dan Abu Hurairah berkata, “Saya membaca pada Ubay bin Ka’b.” Dan Ubay radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya membaca Al-Qur’an kepada Rasulullah ﷺ .” Dan beliau bersabda, “Jibril memerintahkan saya untuk membacakan kepada Anda.” Ibn Mujahid berkata, وكان عبد الرحمن (الأعرج) قد قرأ على أبي هريرة وابن عباس رضي الله تعالى عنهما. “Abdurrahman (Al-A’raj) telah membaca pada Abu Hurairah dan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma.” [7] Muridnya dalam qiraah Nafi’ bin Abi Nu’aim telah mengajarkan Al-Qur’an kepada orang-orang dalam waktu yang panjang. Di antara mereka yang membaca kepadanya dari generasi pendahulu adalah Malik bin Anas, Ismail bin Ja’far, Isa bin Wardan Al-Hadha’, Sulaiman bin Muslim bin Jamaz rahimahumullah. Mereka merupakan orang-orang yang sebaya dengan Nafi’. Selain itu, dia juga mengajarkan kepada Ishaq Al-Musayyibi, Al-Waqidi, Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d, Qalun, Warsh, Ismail bin Abi Uways (yang merupakan orang terakhir yang membaca kepadanya sebelum dia meninggal), Al-Asma’i, Abu Amr bin Al-Ala’, dan banyak lainnya rahimahumullah. [8] Kedudukannya dalam ilmu hadis Kedudukan Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah dalam ilmu periwayatan tidak seperti kedudukannya dalam mengajarkan dan membaca Al-Qur’an, dari sisi ketepatan dan hafalan. Oleh karena itu, orang-orang berbeda pendapat tentangnya. Ada yang menilainya tsiqah (kuat) dan ada yang menilainya lemah. Namun demikian, ia tetap dinilai maqbul (diterima) dalam periwayatan, meskipun adanya perbedaan pendapat tersebut. Para penulis kitab-kitab hadis tidak meriwayatkan darinya, sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi. An-Nasa’i rahimahullah berkata, ليس به بأس “Tidak ada masalah dengannya.” Sementara Abu Hatim rahimahullah berkata, صدوق صالح الحديث. “Dia jujur, hadisnya baik.” [9] Wafat Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah dilahirkan sekitar tahun tujuh puluh Hijriyah, dan meninggal pada tahun seratus sembilan puluh enam Hijriyah di Madinah Al-Munawwarah, menurut pendapat yang benar. Ketika mendekati ajalnya, anak-anaknya berkata kepadanya, “Berikan wasiat kepada kami.” Dia rahimahullah berkata, فَاتَّقُوا اللهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ “Bertakwalah kepada Allah, perbaikilah hubungan antara kalian, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Al-Anfal: 1) [10] Semoga Allah mengampuni dan merahmati beliau. Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Ashim bin Abi An-Najud *** 23 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M. Tariikhul Qurra Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 374. [2] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25 dan Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 107. [3] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 17. [4] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25. [5] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 108-109. [6] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 17-18. [7] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 18-19. [8] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 107-108 . [9] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 20-21. [10] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 111 dan Taarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25. Tags: Nafi’ bin Abi Nu’aim
Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Kota yang paling memperhatikan Al-Qur’an, baik dalam hal tilawah (pembacaan), hafalan, pembelajaran, maupun pengajaran adalah Madinah. Madinah juga merupakan kota Rasulullah ﷺ, tempat hijrah beliau, tempat tinggal para Muhajirin dan Ansar. Dari kota inilah, terlahir para imam qari dan ulama yang terkemuka. Di sekitar sudut-sudut Masjid Nabawi dan di lorong-lorongnya tersebar halaqah Al-Qur’an, tempat duduk para syekh untuk mengajarkan orang banyak dan memberikan mereka ijazah dalam bacaan Al-Qur’an, dengan sanad yang terhubung langsung kepada Rasulullah ﷺ. Dan ketika kata “qari” untuk kota Rasulullah disebutkan, yang pertama kali terlintas di benak kita, setelah Rasulullah ﷺ dan sahabat-sahabatnya yang mulia, adalah Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahulllah, salah satu dari tujuh qari. [1] Berikut ini biografi singkat tentang beliau, yang merupakan bagian dari silsilah biografi al-qurra al-’asyarah (para pemilik qiraah yang sepuluh). Nama lengkap Nama beliau adalah Nafi’ bin Abdur Rahman bin Abi Nu’aim Al-Laitsi (maulahum), Al-Muqri Al-Madaniy. نَافِعُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي نُعَيْمٍ الليثي مولاهم المقرئ المدني Al-Madaniy, bukan berarti beliau penduduk asli kota Madinah. Beliau berasal dari Asbahan, kemudian tinggal dan terkenal di Madinah Al-Munawwarah. Kunyah beliau adalah Abu Ruwaim ( أبو رويم ). Ada yang menyebutkan bahwa kunyahnya adalah Abu Abdullah, dan ada yang menyebutkan lainnya. [2] Sifat-sifat secara umum Nafi’ bin Abi Nu’aim adalah salah satu dari Qurra’ Sab’ah. Dia juga merupakan ahli fikih dan seorang yang banyak beribadah. Al-Asma’i rahimahullah berkata, كنت أجالس نافع بن أبي نعيم وكان من القراء الفقهاء العباد “Saya sering duduk bersama Nafi’ bin Abi Nu’aim. Dan dia termasuk di antara qari yang juga ahli fikih dan ahli ibadah.” [3] Syekh Abdul Fattah Al-Qadhi rahimahullah mengatakan, “Imam Nafi’ rahimahullah adalah seorang yang zuhud, dermawan, telah salat di Masjid Rasulullah ﷺ selama enam puluh tahun. Dia berkulit hitam, sangat hitam, asalnya dari Asbahan, berakhlak baik, berwajah tampan, dan memiliki selera humor.” [4] Diriwayatkan bahwasanya ketika dia berbicara, aroma misk tercium dari mulutnya. Seseorang bertanya kepadanya, “Apakah kamu menggunakan minyak wangi setiap kali kamu duduk membacakan Al Qur’an kepada orang-orang?” Dia menjawab, إِنِّي لَا أَقْرَبُ الطَّيبَ وَلَا أَمَسُّهُ، وَلِكُن رَّأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ فِي فِيَّ، فَمِن ذَلِكَ الوَقْتِ يُشَمُّ مِن فَمِي هَذِهِ الرَّائِحَةُ “Saya tidak pernah menggunakan minyak wangi atau menyentuhnya. Suatu saat aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan beliau membaca Al-Qur’an persis di depan lisanku. Sejak saat itu aroma ini tercium dari mulut saya.” [5] Keadaannya bersama Al-Qur’an Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah adalah imam dalam hal qiraah di Madinah. Kepemimpinan dalam mengajarkan qiraah berakhir padanya. Dan orang-orang sepakat atas qiraahnya dan memilihnya setelah generasi tabiin. Dia telah mencurahkan kemampuannya untuk membacakan dan mengajar Al-Qur’an selama lebih dari tujuh puluh tahun. Dia juga merupakan seorang yang berilmu tentang berbagai cara qiraah, dan mengikuti jejak para imam terdahulu di negerinya. Sa’id bin Mansur rahimahullah mengatakan bahwasanya dia mendengar Malik bin Anas berkata, قِرَاءَةُ أَهْلِ المَدِينَةِ سُنَّةٌ – أَي : مُخْتَارَةٌ ‘Qiraah orang-orang Madinah adalah sunah’ – yaitu, pilihan. Ketika ditanya, “Qiraah Nafi’?” Dia menjawab, “Ya.” Ketika Al-Laith bin Sa’d rahimahullah datang ke Madinah pada tahun seratus sepuluh Hijriyah, dia menemukan Nafi’ sebagai imam bagi orang-orang dalam qiraah, tidak terbantahkan. Ibnu Mujahid rahimahullah berkata, كان الإمام الذي قام بالقراءة بعد التابعين بمدينة رسول الله ﷺ نافع، وكان عالماً بوجوه القراءات، متبعا لآثار الأئمة الماضين ببلده “Nafi’ merupakan imam yang menjadi panutan atas qiraah setelah generasi tabiin di kota Rasulullah ﷺ. Dia adalah seorang yang berilmu tentang berbagai cara qiraah, mengikuti jejak para imam terdahulu di negerinya.” [6] Baca juga: Mengenal Ali bin Abi Thalib dan Menjadi Pertengahan dalam Memuliakan Beliau Gurunya dalam qiraah Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah mengambil bacaan (qiraah) pada sejumlah tabiin di Madinah. Dikisahkan bahwa ia membaca kepada tujuh puluh tabiin. Dia mengambil bacaan Al-Qur’an dari Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’, Syaibah bin Nisah, Yazid bin Ruman, Muslim bin Jundub, Nafi’ Maula (bekas budaknya) Ibnu Umar, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Abu Al-Zinad, Abdurrahman bin Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, Muhammad bin Shihab Az-Zuhri, Salih bin Khuwat, dan lain-lain rahimahumullah. Ibn Al-Jazari rahimahullah berkata, قد تواتر عندنا أنه قرأ على الخمسة الأول “Telah menjadi mutawatir bagi kami bahwa dia (Nafi’) membaca pada lima orang pertama.” Ubaid bin Maymun At-Taban rahimahullah berkata bahwa Harun bin Al-Musayyib berkata kepadanya, قراءة من تقرى؟ قلت: قراءة نافع قال: فعلى من قرأ نافع؟ قال: على الأعرج، وقال الأعرج: قرأت على أبي هريرة رضي الله عنه، وقال أبو هريرة قرأت على أبي بن كعب، وقال أبي: عَرَضَ على رسول الله القرآن وقال : أمرني جبريل أن أعرض عليك القرآن. “Qiraah siapa yang kamu baca?” Saya menjawab, “Qiraah Nafi’.” Dia bertanya, “Pada siapa Nafi’ membaca?” Saya menjawab, “Pada Al-A’raj.” Dan Al-A’raj berkata, “Saya membaca pada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” Dan Abu Hurairah berkata, “Saya membaca pada Ubay bin Ka’b.” Dan Ubay radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya membaca Al-Qur’an kepada Rasulullah ﷺ .” Dan beliau bersabda, “Jibril memerintahkan saya untuk membacakan kepada Anda.” Ibn Mujahid berkata, وكان عبد الرحمن (الأعرج) قد قرأ على أبي هريرة وابن عباس رضي الله تعالى عنهما. “Abdurrahman (Al-A’raj) telah membaca pada Abu Hurairah dan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma.” [7] Muridnya dalam qiraah Nafi’ bin Abi Nu’aim telah mengajarkan Al-Qur’an kepada orang-orang dalam waktu yang panjang. Di antara mereka yang membaca kepadanya dari generasi pendahulu adalah Malik bin Anas, Ismail bin Ja’far, Isa bin Wardan Al-Hadha’, Sulaiman bin Muslim bin Jamaz rahimahumullah. Mereka merupakan orang-orang yang sebaya dengan Nafi’. Selain itu, dia juga mengajarkan kepada Ishaq Al-Musayyibi, Al-Waqidi, Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d, Qalun, Warsh, Ismail bin Abi Uways (yang merupakan orang terakhir yang membaca kepadanya sebelum dia meninggal), Al-Asma’i, Abu Amr bin Al-Ala’, dan banyak lainnya rahimahumullah. [8] Kedudukannya dalam ilmu hadis Kedudukan Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah dalam ilmu periwayatan tidak seperti kedudukannya dalam mengajarkan dan membaca Al-Qur’an, dari sisi ketepatan dan hafalan. Oleh karena itu, orang-orang berbeda pendapat tentangnya. Ada yang menilainya tsiqah (kuat) dan ada yang menilainya lemah. Namun demikian, ia tetap dinilai maqbul (diterima) dalam periwayatan, meskipun adanya perbedaan pendapat tersebut. Para penulis kitab-kitab hadis tidak meriwayatkan darinya, sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi. An-Nasa’i rahimahullah berkata, ليس به بأس “Tidak ada masalah dengannya.” Sementara Abu Hatim rahimahullah berkata, صدوق صالح الحديث. “Dia jujur, hadisnya baik.” [9] Wafat Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah dilahirkan sekitar tahun tujuh puluh Hijriyah, dan meninggal pada tahun seratus sembilan puluh enam Hijriyah di Madinah Al-Munawwarah, menurut pendapat yang benar. Ketika mendekati ajalnya, anak-anaknya berkata kepadanya, “Berikan wasiat kepada kami.” Dia rahimahullah berkata, فَاتَّقُوا اللهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ “Bertakwalah kepada Allah, perbaikilah hubungan antara kalian, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Al-Anfal: 1) [10] Semoga Allah mengampuni dan merahmati beliau. Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Ashim bin Abi An-Najud *** 23 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M. Tariikhul Qurra Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 374. [2] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25 dan Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 107. [3] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 17. [4] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25. [5] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 108-109. [6] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 17-18. [7] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 18-19. [8] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 107-108 . [9] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 20-21. [10] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 111 dan Taarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25. Tags: Nafi’ bin Abi Nu’aim


Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Kota yang paling memperhatikan Al-Qur’an, baik dalam hal tilawah (pembacaan), hafalan, pembelajaran, maupun pengajaran adalah Madinah. Madinah juga merupakan kota Rasulullah ﷺ, tempat hijrah beliau, tempat tinggal para Muhajirin dan Ansar. Dari kota inilah, terlahir para imam qari dan ulama yang terkemuka. Di sekitar sudut-sudut Masjid Nabawi dan di lorong-lorongnya tersebar halaqah Al-Qur’an, tempat duduk para syekh untuk mengajarkan orang banyak dan memberikan mereka ijazah dalam bacaan Al-Qur’an, dengan sanad yang terhubung langsung kepada Rasulullah ﷺ. Dan ketika kata “qari” untuk kota Rasulullah disebutkan, yang pertama kali terlintas di benak kita, setelah Rasulullah ﷺ dan sahabat-sahabatnya yang mulia, adalah Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahulllah, salah satu dari tujuh qari. [1] Berikut ini biografi singkat tentang beliau, yang merupakan bagian dari silsilah biografi al-qurra al-’asyarah (para pemilik qiraah yang sepuluh). Nama lengkap Nama beliau adalah Nafi’ bin Abdur Rahman bin Abi Nu’aim Al-Laitsi (maulahum), Al-Muqri Al-Madaniy. نَافِعُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي نُعَيْمٍ الليثي مولاهم المقرئ المدني Al-Madaniy, bukan berarti beliau penduduk asli kota Madinah. Beliau berasal dari Asbahan, kemudian tinggal dan terkenal di Madinah Al-Munawwarah. Kunyah beliau adalah Abu Ruwaim ( أبو رويم ). Ada yang menyebutkan bahwa kunyahnya adalah Abu Abdullah, dan ada yang menyebutkan lainnya. [2] Sifat-sifat secara umum Nafi’ bin Abi Nu’aim adalah salah satu dari Qurra’ Sab’ah. Dia juga merupakan ahli fikih dan seorang yang banyak beribadah. Al-Asma’i rahimahullah berkata, كنت أجالس نافع بن أبي نعيم وكان من القراء الفقهاء العباد “Saya sering duduk bersama Nafi’ bin Abi Nu’aim. Dan dia termasuk di antara qari yang juga ahli fikih dan ahli ibadah.” [3] Syekh Abdul Fattah Al-Qadhi rahimahullah mengatakan, “Imam Nafi’ rahimahullah adalah seorang yang zuhud, dermawan, telah salat di Masjid Rasulullah ﷺ selama enam puluh tahun. Dia berkulit hitam, sangat hitam, asalnya dari Asbahan, berakhlak baik, berwajah tampan, dan memiliki selera humor.” [4] Diriwayatkan bahwasanya ketika dia berbicara, aroma misk tercium dari mulutnya. Seseorang bertanya kepadanya, “Apakah kamu menggunakan minyak wangi setiap kali kamu duduk membacakan Al Qur’an kepada orang-orang?” Dia menjawab, إِنِّي لَا أَقْرَبُ الطَّيبَ وَلَا أَمَسُّهُ، وَلِكُن رَّأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ فِي فِيَّ، فَمِن ذَلِكَ الوَقْتِ يُشَمُّ مِن فَمِي هَذِهِ الرَّائِحَةُ “Saya tidak pernah menggunakan minyak wangi atau menyentuhnya. Suatu saat aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan beliau membaca Al-Qur’an persis di depan lisanku. Sejak saat itu aroma ini tercium dari mulut saya.” [5] Keadaannya bersama Al-Qur’an Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah adalah imam dalam hal qiraah di Madinah. Kepemimpinan dalam mengajarkan qiraah berakhir padanya. Dan orang-orang sepakat atas qiraahnya dan memilihnya setelah generasi tabiin. Dia telah mencurahkan kemampuannya untuk membacakan dan mengajar Al-Qur’an selama lebih dari tujuh puluh tahun. Dia juga merupakan seorang yang berilmu tentang berbagai cara qiraah, dan mengikuti jejak para imam terdahulu di negerinya. Sa’id bin Mansur rahimahullah mengatakan bahwasanya dia mendengar Malik bin Anas berkata, قِرَاءَةُ أَهْلِ المَدِينَةِ سُنَّةٌ – أَي : مُخْتَارَةٌ ‘Qiraah orang-orang Madinah adalah sunah’ – yaitu, pilihan. Ketika ditanya, “Qiraah Nafi’?” Dia menjawab, “Ya.” Ketika Al-Laith bin Sa’d rahimahullah datang ke Madinah pada tahun seratus sepuluh Hijriyah, dia menemukan Nafi’ sebagai imam bagi orang-orang dalam qiraah, tidak terbantahkan. Ibnu Mujahid rahimahullah berkata, كان الإمام الذي قام بالقراءة بعد التابعين بمدينة رسول الله ﷺ نافع، وكان عالماً بوجوه القراءات، متبعا لآثار الأئمة الماضين ببلده “Nafi’ merupakan imam yang menjadi panutan atas qiraah setelah generasi tabiin di kota Rasulullah ﷺ. Dia adalah seorang yang berilmu tentang berbagai cara qiraah, mengikuti jejak para imam terdahulu di negerinya.” [6] Baca juga: Mengenal Ali bin Abi Thalib dan Menjadi Pertengahan dalam Memuliakan Beliau Gurunya dalam qiraah Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah mengambil bacaan (qiraah) pada sejumlah tabiin di Madinah. Dikisahkan bahwa ia membaca kepada tujuh puluh tabiin. Dia mengambil bacaan Al-Qur’an dari Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’, Syaibah bin Nisah, Yazid bin Ruman, Muslim bin Jundub, Nafi’ Maula (bekas budaknya) Ibnu Umar, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Abu Al-Zinad, Abdurrahman bin Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, Muhammad bin Shihab Az-Zuhri, Salih bin Khuwat, dan lain-lain rahimahumullah. Ibn Al-Jazari rahimahullah berkata, قد تواتر عندنا أنه قرأ على الخمسة الأول “Telah menjadi mutawatir bagi kami bahwa dia (Nafi’) membaca pada lima orang pertama.” Ubaid bin Maymun At-Taban rahimahullah berkata bahwa Harun bin Al-Musayyib berkata kepadanya, قراءة من تقرى؟ قلت: قراءة نافع قال: فعلى من قرأ نافع؟ قال: على الأعرج، وقال الأعرج: قرأت على أبي هريرة رضي الله عنه، وقال أبو هريرة قرأت على أبي بن كعب، وقال أبي: عَرَضَ على رسول الله القرآن وقال : أمرني جبريل أن أعرض عليك القرآن. “Qiraah siapa yang kamu baca?” Saya menjawab, “Qiraah Nafi’.” Dia bertanya, “Pada siapa Nafi’ membaca?” Saya menjawab, “Pada Al-A’raj.” Dan Al-A’raj berkata, “Saya membaca pada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” Dan Abu Hurairah berkata, “Saya membaca pada Ubay bin Ka’b.” Dan Ubay radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya membaca Al-Qur’an kepada Rasulullah ﷺ .” Dan beliau bersabda, “Jibril memerintahkan saya untuk membacakan kepada Anda.” Ibn Mujahid berkata, وكان عبد الرحمن (الأعرج) قد قرأ على أبي هريرة وابن عباس رضي الله تعالى عنهما. “Abdurrahman (Al-A’raj) telah membaca pada Abu Hurairah dan Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma.” [7] Muridnya dalam qiraah Nafi’ bin Abi Nu’aim telah mengajarkan Al-Qur’an kepada orang-orang dalam waktu yang panjang. Di antara mereka yang membaca kepadanya dari generasi pendahulu adalah Malik bin Anas, Ismail bin Ja’far, Isa bin Wardan Al-Hadha’, Sulaiman bin Muslim bin Jamaz rahimahumullah. Mereka merupakan orang-orang yang sebaya dengan Nafi’. Selain itu, dia juga mengajarkan kepada Ishaq Al-Musayyibi, Al-Waqidi, Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d, Qalun, Warsh, Ismail bin Abi Uways (yang merupakan orang terakhir yang membaca kepadanya sebelum dia meninggal), Al-Asma’i, Abu Amr bin Al-Ala’, dan banyak lainnya rahimahumullah. [8] Kedudukannya dalam ilmu hadis Kedudukan Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah dalam ilmu periwayatan tidak seperti kedudukannya dalam mengajarkan dan membaca Al-Qur’an, dari sisi ketepatan dan hafalan. Oleh karena itu, orang-orang berbeda pendapat tentangnya. Ada yang menilainya tsiqah (kuat) dan ada yang menilainya lemah. Namun demikian, ia tetap dinilai maqbul (diterima) dalam periwayatan, meskipun adanya perbedaan pendapat tersebut. Para penulis kitab-kitab hadis tidak meriwayatkan darinya, sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi. An-Nasa’i rahimahullah berkata, ليس به بأس “Tidak ada masalah dengannya.” Sementara Abu Hatim rahimahullah berkata, صدوق صالح الحديث. “Dia jujur, hadisnya baik.” [9] Wafat Nafi’ bin Abi Nu’aim rahimahullah dilahirkan sekitar tahun tujuh puluh Hijriyah, dan meninggal pada tahun seratus sembilan puluh enam Hijriyah di Madinah Al-Munawwarah, menurut pendapat yang benar. Ketika mendekati ajalnya, anak-anaknya berkata kepadanya, “Berikan wasiat kepada kami.” Dia rahimahullah berkata, فَاتَّقُوا اللهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ “Bertakwalah kepada Allah, perbaikilah hubungan antara kalian, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Al-Anfal: 1) [10] Semoga Allah mengampuni dan merahmati beliau. Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Ashim bin Abi An-Najud *** 23 Sya’ban 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M. Tariikhul Qurra Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 374. [2] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25 dan Ma’rifatul Qurra Al-Kibar, hal. 107. [3] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 17. [4] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25. [5] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 108-109. [6] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 17-18. [7] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 18-19. [8] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 107-108 . [9] Tarjamatul Qurra’ ‘Asyr, hal. 20-21. [10] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 111 dan Taarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 25. Tags: Nafi’ bin Abi Nu’aim

Fikih Iktikaf dan Rahasia-rahasia di Dalamnya

فضل الاعتكاف وأحكامه Fadilah Iktikaf dan Hukum-hukumnya تعريف الاعتكاف الاعتكاف هو لزوم المسجد بنية مخصوصة، لطاعة الله تعالى:  وهو مشروع مستحب باتفاق أهل العلم، قال الإمام أحمد فيما رواه عنه أبو داود: (لا أعلم عن أحد من العلماء إلا أنه مسنون.) وقال الزهري رحمه الله: (عجباً للمسلمين ! تركوا الاعتكاف، مع أن النبي صلى الله عليه وسلم، ما تركه منذ قدم المدينة حتى قبضه الله عز وجل) Pengertian Iktikaf Iktikaf (Iʿtikāf) adalah berdiam di masjid dengan niat khusus, yakni dalam rangka  melakukan ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Iktikaf disyariatkan dan hukumnya sunah menurut kesepakatan para ulama. Imam Ahmad berkata—sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud darinya—”Saya tidak mengetahui seorang ulama pun kecuali (mengatakan) bahwa hukumnya sunah.”  Az-Zuhri—Semoga Allah Merahmatinya—berkata, “Sungguh mengherankan keadaan kaum muslimin! Mereka meninggalkan iktikaf, padahal Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkannya sejak dia tiba di Madinah sampai Allah ʿAzza wa Jalla Mewafatkan beliau.” فائدة الاعتكاف وثمرته إن في العبادات من الأسرار والحكم الشيء الكثير، ذلك أن المدار في الأعمال على القلب، كما قال الرسول ﷺ: ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب. رواه البخاري (52) ومسلم (1599). وأكثر ما يفسد القلب الملهيات، والشواغل التي تصرفه عن الإقبال على الله عز وجل من شهوات المطاعم، والمشارب، والمناكح، وفضول الكلام، وفضول النوم، وفضول الصحبة، وغير ذلك من الصوارف التي تفرق أمر القلب، وتفسد جمعيته على طاعة الله، فشرع الله تعالى قربات تحمي القلب من غائلة تلك الصوارف، كالصيام مثلاً، الصيام الذي يمنع الإنسان من الطعام والشراب، والجماع في النهار، فينعكس ذلك الامتناع عن فضول هذه الملذات على القلب، فيقوى في سيره إلى الله، وينعتق من أغلال الشهوات التي تصرف المرء عن الآخرة إلى الدنيا. Faedah dan Manfaat Iktikaf Dalam berbagai ibadah terkandung banyak sekali rahasia dan hikmah. Hal itu karena poros ibadah adalah hati, sebagaimana yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya, tetapi jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa ia adalah hati!” (HR. Bukhari (52) dan Muslim (1599)).  Kebanyakan hal yang paling merusak hati adalah kesenangan dan berbagai kesibukan yang memalingkan seseorang dari perhatiannya kepada Allah ʿAzza wa Jalla, seperti keinginan untuk makan, minum, dan sanggama, ngobrol, tidur-tiduran, bergaul, dan hal-hal lain yang memalingkan dan memecah belah konsentrasi hati dan merusak fokusnya dalam ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka dari itulah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mensyariatkan ibadah yang bisa menjaga hati dari dampak buruk yang timbul dari hal-hal yang menyibukkan tersebut, seperti puasa misalnya. Puasa menghalangi seseorang dari makan, minum, dan sanggama di siang hari.  Pantangan tersebut akan mengikis ketamakannya terhadap kenikmatan-kenikmatan ini dari dalam hati, menguatkan langkahnya dalam perjalanannya menuju Allah, dan membebaskannya dari belenggu-belenggu syahwat yang memalingkan seseorang dari akhirat kepada dunia.  وكما أن الصيام درع للقلب يقيه مغبة الصوارف الشهوانية، من فضول الطعام والشراب والنكاح، كذلك الاعتكاف، ينطوي على سر عظيم، وهو حماية العبد من آثار فضول الصحبة، فإن الصحبة قد تزيد على حد الاعتدال، فيصير شأنها شأن التخمة بالمطعومات لدى الإنسان، كما قال الشاعر: عدوك من صديقك مستفاد ***** فلا تستكثرن من الصّحاب فإن الـــداء أكثر ما تـــراه ***** يكون من الطعام أو الشراب Sebagaimana puasa menjadi perisai bagi hati yang melindunginya dari akibat buruk berbagai syahwat yang memalingkan, seperti banyak makanan, minuman, dan sanggama.  Begitupun iktikaf, di dalamnya tersimpan rahasia besar, yaitu melindungi hamba dari pengaruh buruk yang timbul dari seringnya bergaul, karena interaksi terkadang melampaui batas kewajaran, sehingga pergaulan itu menjadi candu yang menjadi penyakit yang menjangkiti seseorang, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair, “Musuhmu berasal dari teman yang kau bergaul dengannya, maka jangan perbanyak pertemanan. Adapun kebanyakan penyakit yang engkau lihat, berasal dari makan dan minuman.” وفي الاعتكاف أيضاً حماية القلب من جرائر فضول الكلام، لأن المرء غالباً يعتكف وحده، فيُقبل على الله تعالى بالقيام وقراءة القرآن والذكر والدعاء ونحو ذلك. وفيه كذلك حماية من كثرة النوم، فإن العبد إنما اعتكف في المسجد ليتفرغ للتقرب إلى الله، بأنواع من العبادات، ولم يلزم المسجد لينام. ولا ريب أن نجاح العبد في التخلص من فضول الصحبة، والكلام والنوم يسهم في دفع القلب نحو الإقبال على الله تعالى وحمايته من ضد ذلك. Pada iktikaf ada perlindungan bagi hati dari dampak buruk yang timbul dari berlebihan bicara, karena seseorang umumnya akan iktikaf sendirian dan memfokuskan perhatiannya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dengan membaca al-Quran, zikir, doa, dan lain sebagainya.  Di dalamnya juga ada perlindungan dari dampak buruk kebanyakan tidur, karena seorang hamba tidaklah beriktikaf di masjid kecuali hanya ingin fokus mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai jenis ibadah, bukan berdiam diri di masjid untuk tidur. Tidak dapat dipungkiri bahwa keselamatan seorang hamba adalah dengan menghindari pertemanan, perkataan, dan tidur yang berlebihan. Inilah yang berperan dalam menjaga hati agar tetap fokus kepada Allah dan melindunginya dari hal-hal yang bertentangan dengan itu. الجمع بين الصوم والاعتكاف لا ريب أن اجتماع أسباب تربية القلب بالإعراض عن الصوارف عن الطاعة، أدْعى للإقبال على الله تعالى والتوجه إليه بانقطاع وإخبات، ولذلك استحب السلف الجمع بين الصيام والاعتكاف، حتى قال الإمام ابن القيم رحمه الله: (ولم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه اعتكف مفطراً قط، بل قالت عائشة: (لا اعتكاف إلا بصوم) أخرجه أبو داود (2473) ولم يذكر الله سبحانه وتعالى الاعتكاف إلا مع الصوم، ولا فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا مع الصوم. فالقول الراجح في الدليل الذي عليه جمهور السلف: (أن الصوم شرط في الاعتكاف، وهو الذي كان يرجحه شيخ الإسلام أبو العباس ابن تيمية) زاد المعاد 2/87،88 Menggabungkan antara Puasa dan Iktikaf Tidak diragukan bahwa menggabungkan berbagai sebab yang bisa melatih hati agar berpaling dari hal-hal yang bisa memalingkannya dari ketaatan, tentu lebih kuat efeknya bagi hati dalam memfokuskannya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan bertawajuh kepada-Nya dengan menyendiri dalam kekhusyukan. Oleh karena itulah para Salaf menganjurkan untuk menggabungkan antara puasa dan iktikaf, sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim—Semoga Allah Merahmatinya—berkata bahwa tidak ada riwayat dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau iktikaf dalam keadaan tidak puasa, melainkan Aisyah —Semoga Allah Meridainya— mengatakan, “Beliau tidak iktikaf kecuali saat puasa.” (HR. Abu Dawud (2473)  Allah Subẖānahu wa Taʿālā juga tidak menyebutkan masalah iktikaf kecuali dengan puasa, pun Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak melakukannya kecuali dengan puasa. Jadi, pendapat yang tepat dengan dalil tersebut, yang menjadi pendapat mayoritas ulama Salaf adalah bahwa puasa adalah syarat iktikaf. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyah.” (Zād al-Maʿād (2/87-88). واشتراط الصوم في الاعتكاف نقل عن ابن عمر وابن عباس، وبه قال مالك والأوزاعي وأبو حنيفة، واختلف النقل في ذلك عن أحمد والشافعي. وأما قول الإمام ابن القيم رحمه الله: (ولم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه اعتكف مفطراً قط) ففيه بعض النظر، فقد نقل أن النبي ﷺ، اعتكف في شوال) رواه البخاري (1928) ومسلم (1173). ولم يثبت أنه كان صائماً في هذه الأيام التي اعتكافها، ولا أنه كان مفطراً. فالأصح أن الصوم مستحب للمعتكف، وليس شرطاً لصحته. Pendapat yang mempersyaratkan iktikaf harus dengan puasa diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, yang juga menjadi pendapat Malik, al-Auza’i dan Abu Hanifah. Sedangkan riwayat dari Ahmad dan Syafii ada perbedaan. Adapun perkataan Imam Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— bahwa tidak ada riwayat dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengatakan bahwa beliau iktikaf dalam keadaan tidak berpuasa, maka ini perlu dikritisi, karena ada riwayat bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf di bulan Syawal, yang diriwayatkan oleh Bukhari (1928) dan Muslim (1173).  Tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa beliau ketika itu puasa atau tidak pada hari-hari iktikaf tersebut. Jadi, pendapat yang lebih tepat bahwa iktikaf dianjurkan dengan puasa, tapi tidak menjadi syarat sahnya. هدي النبي صلى الله عليه وسلم في الاعتكاف اعتكف عليه الصلاة والسلام في العشر الأول من رمضان ثم العشر الأواسط، يلتمس ليلة القدر، ثم تبيّن له أنها في العشر الأواخر فداوم على اعتكافها. فعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم، يجاور في العشر التي وسط الشهر، فإذا كان من حين تمضي عشرون ليلة، ويستقبل إحدى وعشرين، يرجع إلى مسكنه، ورجع من كان يجاور معه، ثم إنه أقام في شهر، جاور فيه تلك الليلة التي كان يرجع فيها، فخطب الناس، فأمرهم بما شاء الله، ثم قال: (إني كنت أجاور هذه العشر، ثم بدالي أن أجاور هذه العشر الأواخر، فمن كان اعتكف معي فليبت في معتكفه، وقد رأيت هذه الليلة فأنسيتها، فالتمسوها في العشر الأواخر، في كل وتر، وقد رأيتني أسجد في ماء وطين). Bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam Beriktikaf Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf di sepuluh hari pertama bulan Ramadan, kemudian di sepuluh hari di pertengahan Ramadan untuk mencari Lailatul Qadar. Kemudian, beliau mengerti bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh hari yang terakhir pada bulan Ramadan, sehingga beliau rutin melakukannya.  Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah beriktikaf di sepuluh hari pertengahan bulan Ramadan. Ketika sudah berlalu malam kedua puluh dan menjelang hari kedua puluh satu, beliau kembali ke rumah beliau, sementara orang-orang yang beriktikaf bersama beliau juga ikut pulang. Kemudian, beliau berada di suatu bulan (Ramadan) yang mana beliau beriktikaf di malam yang dulunya beliau pulang lalu menyampaikan khotbah kepada orang-orang dan memerintahkan mereka dengan apa yang dikehendaki oleh Allah, lalu beliau bersabda, “Dahulu aku beriktikaf pada sepuluh hari ini, kemudian sekarang aku mengetahui bahwa aku seharusnya beriktikaf pada sepuluh hari yang terakhir, maka barang siapa yang ingin beriktikaf bersamaku, maka hendaklah dia tetap bermalam di tempat iktikafnya. Sesungguhnya malam tersebut telah diperlihatkan kepadaku, tetapi aku terlupa. Oleh karena itu, carilah ia (Lailatul Qadar) di sepuluh malam terakhir pada malam-malam ganjil. Sungguh, aku bermimpi melihat diriku sedang sujud di atas lumpur dan air (saat Lailatul Qadar terjadi).”  قال أبو سعيد: مطرنا ليلة إحدى وعشرين، فوكف المسجد في مصلى رسول الله ﷺ، فنظرت إليه، وقد انصرف من صلاة الصبح، ووجهه مبتل ماء وطيناً فتحقق ما أخبر به صلى الله عليه وسلم وهذا من علامات نبوته. ثم حافظ ﷺ على الاعتكاف في العشر الأواخر، كما في الصحيحين من حديث عائشة رضي الله عنها أن النبي ﷺ كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله عز وجل ثم اعتكف أزواجه من بعده. رواه البخاري (1921) ومسلم (1171). Abu Sa’id mengatakan, “Pada malam kedua puluh satu, hujan turun kepada kami. Air masuk ke masjid sampai di tempat salat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Ketika itulah aku melihat beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang baru selesai dari salat Subuh di wajah beliau basah oleh air dan lumpur. Jadi, apa yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kabarkan menjadi nyata. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam merutinkan iktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan, sebagaimana tersebut dalam Shahihain dari hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mewafatkan beliau. Kemudian, istri-istri beliau tetap melakukan iktikaf setelah kepergian beliau. (HR. Bukhari (1921) dan Muslim (1171). وفي العام الذي قبض فيه ﷺ اعتكف عشرين يوماً البخاري (1939). أي العشر الأواسط والعشر الأواخر جميعاً، وذلك لعدة أسباب: أولها: أن جبريل عارضه القرآن في تلك السنة مرتين البخاري (4712). فناسب أن يعتكف عشرين يوماً، حتى يتمكن من معارضة القرآن كله مرتين. Pada tahun di mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat, beliau beriktikaf dua puluh hari, yakni pada sepuluh hari pertengahan dan sepuluh hari terakhir Ramadan. (HR. Bukhari (1939)) Hal tersebut karena beberapa alasan: Pertama, bahwa Jibril menyimak bacaan al-Quran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dua kali pada tahun tersebut. (HR. Bukhari (4712)). Hal itu memang tepat jika beliau kemudian iktikaf dua puluh hari, yakni agar bisa setoran al-Quran seluruhnya sebanyak dua kali. ثانيها: أنه صلى الله عليه وسلم أراد مضاعفة العمل الصالح، والاستزادة من الطاعات، لإحساسه صلى الله عليه وسلم بدنو أجله كما فهم من قول الله تعالى: (إذا جاء نصر الله والفتح، ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجاً، فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان تواباً) سورة النصر. فإن الله عز وجل أمر نبيه عليه الصلاة والسلام بالإكثار من التسبيح والاستغفار في آخر عمره، وهكذا فعل صلى الله عليه وسلم، فقد كان يكثر في ركوعه وسجوده من قول: (سبحانك اللهم وبحمدك، اللهم اغفر لي) يتأول القرآن. رواه البخاري (487) ومسلم (484) Kedua, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin memperbanyak amal saleh dan menambah ketaatan, karena sudah ada firasat tentang dekatnya ajal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (QS. An-Nashr) Allah ʿAzza wa Jalla Memerintahkan Nabi-Nya Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam untuk memperbanyak tasbih dan istigfar di akhir hayat beliau. Demikianlah perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, beliau sering membaca dalam rukuk dan sujud beliau, “Subẖānakallāhumma wabiẖamdika Allāhummaghfirlī (artinya: Maha Suci Engkau, ya Allah, dengan memuji-Mu, ya Allah, Ampunilah aku)” dalam rangka mengamalkan al-Quran. (HR. Bukhari (487) dan Muslim (484)). ثالثها: أنهﷺ فعل ذلك شكراً لله تعالى على ما أنعم به عليه من الأعمال الصالحة من الجهاد والتعليم والصيام والقيام وما آتاه من الفضل من إنزال القرآن عليه ورفع ذكره وغير ذلك مما امتن الله تعالى به عليه.  Ketiga, bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melakukan itu sebagai wujud syukur beliau kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas berbagai amal saleh yang Allah Anugerahkan kepada beliau berupa jihad, taklim, puasa, dan salat, serta keutamaan yang Dia Karuniakan kepada beliau dengan diturunkannya al-Quran kepada beliau, diangkatnya nama beliau, dan nikmat lain yang Allah Limpahkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. وكانﷺ يدخل معتكفه قبل غروب الشمس فإذا أراد مثلاً أن يعتكف العشر الأواسط دخل المعتكف قبل غروب الشمس من ليلة الحادي عشر، وإذا أراد أن يعتكف العشر الأواخر دخل المعتكف قبل غروب الشمس من ليلة الحادي والعشرين. أما ما ثبت في الصحيح من أنه ﷺ صلى الفجر ثم دخل معتكفه رواه البخاري (1928)، ومسلم (1173) والترمذي (791). فإنما المقصود أنه دخل المكان الخاص في المسجد بعد صلاة الفجر، فقد كان يعتكف في مكان مخصص لذلك، كما ورد في صحيح مسلم أنه صلى الله عليه وسلم اعتكف في قبة تركية. رواه مسلم (1167) Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memasuki tempat iktikaf beliau sebelum matahari terbenam. Jadi, misalnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin iktikaf di sepuluh hari pertengahan, maka beliau masuk tempat iktikaf beliau sebelum matahari terbenam pada malam kesebelas. Jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin iktikaf di sepuluh hari terakhir, maka beliau masuk tempat iktikaf sebelum matahari terbenam pada malam kedua puluh satu. Adapun riwayat dalam kitab Shahih bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Subuh lalu masuk ke tempat iktikafnya, yang diriwayatkan oleh Bukhari (1928), Muslim (1173), dan Tirmidzi (791), maka itu maksudnya bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memasuki suatu tempat khusus beliau di dalam masjid setelah salat subuh. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu iktikaf di tempat khusus, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf di sebuah tenda Turki. (HR. Muslim (1167)) وكان ﷺ يخرج رأسه وهو معتكف في المسجد إلى عائشة رضي الله عنها وهي في حجرتها، فتغسله وترجله، وهي حائض، كما جاء في الصحيحين. البخاري (1924)، (1926) ومسلم (297). وفي مسند أحمد أنه كان يتكئ على باب غرفتها، ثم يُخْرج رأسه، فترجّله. أحمد (6/272) وفي ذلك دليل على أن إخراج المعتكف بعض جسده من المعتكف لا بأس به، كأن يخرج رجله أو رأسه. كما أن الحائض لو أدخلت يدها أو رجلا [رجلها] مثلاً في المسجد فلا بأس، لأن هذا لا يُعدّ دخولاً في المسجد. ومن فوائد هذا الحديث أيضا أن المعتكف لا حرج عليه أن يتنظف، ويتطيب، ويغسل رأسه، ويسرحه، فكل هذا لا يخلّ بالاعتكاف. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika sedang iktikaf di masjid mengeluarkan kepala beliau kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya— sementara dia berada di kamarnya, sembari mencuci dan merapikan rambut beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat dia sedang haid. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Shahihain (Bukhari (1924) dan (1926) dan Muslim (297)). Dalam Musnad Ahmad, disebutkan bahwa dia —Semoga Allah Meridainya— bersandar di pintu kamarnya, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengeluarkan kepala beliau, lalu dia merapikan rambut beliau. (HR. Ahmad (6/272))  Ini menjadi dalil bahwa tidak mengapa orang yang beriktikaf mengeluarkan sebagian anggota tubuhnya dari tempat iktikafnya, seperti mengeluarkan kaki atau kepalanya. Demikian pula ketika seorang wanita yang sedang haid, misalnya, memasukkan tangan atau kakinya ke dalam masjid, karena ini tidak dianggap masuk ke dalam masjid. Termasuk faedah hadis ini juga bahwa orang yang iktikaf boleh saja membersihkan diri, memakai wewangian, dan mencuci kepala atau menyisirnya. Semua itu tidak merusak iktikafnya  ومما وقع له ﷺ في اعتكافه ما راوه الشيخان عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر، ثم دخل معتكفه، وإنه أمر بخبائها فضرب، وأمر غيرها من أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، بخبائه فضرب، فلما صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الفجر نظر فإذا الأخبية، فقال: (آلبرَّ تُردْن ؟) فأمر بخبائه فقوض، وترك الاعتكاف في شهر رمضان، حتى اعتكف في العشر الأول من شوال البخاري (1928) ومسلم (1173). Di antara peristiwa yang terjadi ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf adalah kisah yang diriwayatkan oleh Syaikhān dari Aisyah yang mengatakan bahwa dahulu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika ingin iktikaf, beliau salat subuh lalu masuk ke tempat iktikaf beliau. Beliau lalu menyuruh diambilkan tenda Aisyah lalu memasangnya. Lalu menyuruh istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang lain agar diambilkan tenda lalu memasangnya. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selesai salat subuh, ternyata beliau melihat ada banyak tenda telah dipasang, lalu berkata, “Apakah yang mereka mau adalah kebaikan?” Beliau lalu menyuruh diambilkan tenda beliau sendiri dan menutup yang lain. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lantas meninggalkan iktikaf di bulan Ramadan itu, hingga beliau beriktikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawal. (HR. Bukhari (1928) dan Muslim (1173)). ومعنى قوله: (آلبرّ تردْن؟) أي: هل الدافع لهذا العمل هو إرادة البر، أو الغيرة والحرص على القرب من رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ والأظهر والله أعلم أن اعتكافه ﷺ في شوال من تلك السنة بدأ بعد العيد، أي في الثاني من شوال. ويحتمل أن يكون بدأ من يوم العيد، فإن صح ذلك فهو دليل على أن الاعتكاف لا يشترط معه الصوم، لأن يوم العيد لا يصام. Maksud perkataan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “Apakah yang mereka mau adalah kebaikan?” yakni apakah motif mereka melakukan ini adalah ingin kebaikan ataukah kecemburuan dan harapan ingin merebut hati Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam? Kemudian, tampaknya—Allah Yang lebih Mengetahui—bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu iktikaf di bulan Syawal di tahun itu, yang dimulai setelah Idul Fitri, yaitu pada tanggal dua Syawal. Mungkin juga dimulai sejak hari Idul Fitri. Jika benar demikian, maka ini adalah dalil bahwa iktikaf tidak dipersyaratkan dikerjakan dengan puasa, karena pada hari raya tidak boleh puasa. ومما وقع له صلى الله عليه وسلم في اعتكافه ما رواه الشيخان أيضا أن صفية زوج النبي صلى الله عليه وسلم جاءت تزوره في اعتكافه في المسجد، في العشر الأواخر من رمضان، فتحدثت عنده ساعة، ثم قامت تنقلب، فقام النبي صلى الله عليه وسلم معها يقلبها، حتى إذا بلغت باب المسجد عند باب أم سلمة، مر رجلان من الأنصار، فسلّما على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال لهما النبي صلى الله عليه وسلم: على رسلكما، إنما هي صفية بنت حيي، فقالا: سبحان الله يا رسول الله ! وكبُرَ عليهما، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: إن الشيطان يبلغ من الإنسان مبلغ الدم وفي لفظ: (يجري من الإنسان مجرى الدم)، (وإني خشيت أن يقذف في قلوبكما شيئاً) وفي لفظ: (شراً). Di antara apa yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam alami selama iktikaf adalah kisah yang juga diriwayatkan oleh Syaikhān bahwa Shafiyah, salah seorang istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, datang mengunjungi beliau saat beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.  Dia —Semoga Allah Meridainya— ngobrol dengan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beberapa saat lalu berdiri dan berbalik pulang. Lantas Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri bersamanya dan mengiringinya berbalik. Ketika dia sampai di depan pintu masjid, di dekat pintu kamar Ummu Salamah, ada dua orang laki-laki Anshar lewat dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada mereka berdua, “Pelan-pelan saja kalian. Dia ini Shafiyah binti Huyay.”  Mereka menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah!” Rupanya mereka merasa keberatan dengan perkataan beliau, maka beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya setan memasuki manusia melalui aliran darah—dalam riwayat lain: mengalir dalam diri manusia di aliran darah— dan aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu—dalam riwayat lain: keburukan—ke dalam hati kalian.”  فمن شدة حرصه ﷺ على صدق إيمان هذين الأنصاريَّيْن، وخشية أن يلقى الشيطان في قلوبهما شيئاً، فيشكَّا في الرسول ﷺ، فيكون ذلك كفراً، أو يشتغلا بدفع هذه الوسوسة، بيّن صلى الله عليه وسلم الأمر، وقطع الشك، ودفع الوسواس، فأخبرهما أنها صفية رضي الله عنها وهي زوجته. Karena kesungguhan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjaga kebenaran iman dua orang Anshar ini dan kekhawatiran beliau jika setan membisikkan sesuatu ke dalam hati mereka sehingga mereka meragukan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam—yang bisa membuat mereka menjadi kafir—atau sekadar berusaha keras menampik kecurigaan tersebut, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjelaskan duduk perkaranya untuk menghilangkan keraguan dan menghilangkan kecurigaan, sehingga beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memberitahu mereka bahwa wanita itu adalah Shafiyah —Semoga Allah Meridainya— istri beliau sendiri. وهديه صلى الله عليه وسلم في الاعتكاف كان أكمل هدي، وأيسره، فكان إذا أراد أن يعتكف وُضع له سريره وفراشه في مسجده صلى الله عليه وسلم، وبالتحديد وراء أسطوانة التوبة كما جاء في الحديث عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم (أنه كان إذا اعتكف طرح له فراشه، أو يوضع له سريره وراء أسطوانة التوبة) رواه ابن ماجه 1/564. Bimbingan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat iktikaf adalah bimbingan yang paling sempurna dan mudah. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin beriktikaf, maka alas atau pembaringan beliau diletakkan di masjid Nabawi, tepatnya di belakang tiang Taubah (salah satu nama tiang di masjid Nabawi, pent.), sebagaimana tersebut dalam hadis dari Nāfi’ dari Ibnu Umar tentang Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang apabila ingin iktikaf, maka dibentangkan alas untuk beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam atau diletakkan pembaringan beliau di belakang tiang Taubah. (HR. Ibnu Majah 1/564). وكان النبي صلى الله عليه وسلم يضرب له خباء مثل هيئة الخيمة، فيمكث فيه غير أوقات الصلاة حتى تتم الخلوة له بصورة واقعية، وكان ذلك في المسجد، ومن المتوقع أن يضرب ذلك الخباء على فراشه أو سريره، وذلك كما في حديث عائشة رضي الله عنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في العشر الأواخر من رمضان، فكنت أضرب له خباء، فيصلي الصبح، ثم يدخله.. الحديث) رواه البخاري 4/810 فتح الباري. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendirikan Khibāʾ (semacam kemah, pent.) berbentuk seperti tenda. Beliau tetap di situ selain di waktu salat agar betul-betul terealisasikan suasana khalwat. Ketika itu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di masjid, tentu tenda itu diletakkan di atas alas atau pembaringan beliau. Itu sebagaimana tersebut dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang bersabda, “Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, dan aku yang memasang tenda. Lalu beliau salat subuh lalu memasukinya … (sampai akhir hadis)” (HR. Bukhari 4/810 dalam Fathul Bari). وكان دائم المكث في المسجد لا يخرج منه إلا لحاجة الإنسان، من بول أو غائط، وذلك لحديث عائشة رضي الله عنها حين قالت: (.. وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفاً) رواه البخاري 4/ 808 فتح الباري. وكان صلى الله عليه وسلم يؤتي إليه بطعامه وشرابه إلى معتكفه كما أراد ذلك سالم بقوله: (أما طعامه وشرابه فكان يؤتى به إليه في معتكفه) ص 75. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selalu tinggal di masjid dan tidak keluar kecuali untuk hajat manusiawi beliau, seperti buang air kecil dan besar. Hal ini berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak masuk rumah ketika iktikaf kecuali untuk suatu hajat beliau. (HR. Bukhari 4/808 dalam Fathul Bari). Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan ke tempat iktikaf beliau, sebagaimana yang dikatakan oleh Salim, “Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan kepada beliau ke tempat iktikafnya.” (Hal. 75). وكان صلى الله عليه وسلم يحافظ على نظافته، إذْ كان يخرج رأسه إلى حجرة عائشة رضي الله عنها لكي ترجّل له شعر رأسه، ففي الحديث عن عروة عنها رضي الله عنها (أنها كانت ترجّل النبي صلى الله عليه وسلم وهي حائض، وهو معتكف في المسجد، وهي في حجرتها، يناولها رأسه) رواه البخاري 4/807 فتح الباري قال ابن حجر: (وفي الحديث جواز التنظيف والتطيب والغسل والحلق والتزين إلحاقاً بالترجل، والجمهور على أنه لا يكره فيه إلا ما يكره في المسجد) 4/807 فتح الباري Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tetap menjaga kebersihan diri beliau. Beliau mengeluarkan kepala beliau ke kamar Aisyah —Semoga Allah Meridainya— agar dia merapikan (menyisir) rambut beliau. Dalam sebuah hadis dari Urwah —Semoga Allah Meridainya— dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia (Aisyah) pernah merapikan rambut Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika dia sedang haid sementara beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang iktikaf di masjid. Dia berada di kamarnya dan beliau menjulurkan kepala beliau kepadanya. (HR. Bukhari 4/ 807 dalam Fathul Bari). Ibnu Hajar berkata bahwa dalam hadis ini ada dalil bolehnya membersihkan diri, memakai wewangian, membasuh, mencukur, atau berhias, karena hukumnya disamakan seperti merapikan rambut. Mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada yang dimakruhkan saat iktikaf kecuali perkara yang dimakruhkan dilakukan di dalam masjid. (Fath al-Bari 4/807) وكان ﷺ لا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة، وذلك من أجل التركيز والانقطاع الكلي لمناجاة الله عز وجل، ففي الحديث عن عائشة أنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يمرّ بالمريض وهو معتكف، فيمرّ كما هو ولا يُعرِّج يسأل عنه) وأيضا عن عروة أنها قالت: (السنّة على المعتكف أن لا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة، ولا يمس امرأة، ولا يباشرها، ولا يخرج لحاجة إلا لما لا بد منه، ولا اعتكاف إلا بصوم، ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع) رواه أبو داود/ 2/333. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menjenguk orang sakit maupun menghadiri kematian. Hal itu agar beliau fokus dan khalwat total dalam munajat kepada Allah ʿAzza wa Jalla. Dalam sebuah hadis dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia berkata, “Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika melewati orang sakit saat beriktikaf, maka beliau lewat begitu saja tanpa berhenti walaupun sekadar bertanya keadaannya.” (HR. Abu Dawud) Diriwayatkan juga dari Urwah bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa sunahnya orang yang iktikaf adalah tidak menjenguk orang sakit, menghadiri kematian, berhubungan dengan istri maupun bermesraan dengannya, dan keluar memenuhi keperluannya kecuali yang tidak bisa tidak. Tidak ada iktikaf kecuali dengan puasa, dan tidak iktikaf kecuali di masjid jamik. (HR. Abu Dawud (2/333). وكان أزواجه ﷺيزرْنه في معتكفه، وحدث أنه خرج ليوصل إحداهن إلى منزلها، وكان ذلك لحاجة إذ كان الوقت ليلاً، وذلك كما جاء في الحديث عن علي بن الحسين: (أن صفية رضي الله عنها أتت النبي صلى الله عليه وسلم وهو معتكف، فلما رجعت مشى معها، فأبصره رجل من الأنصار، فلما أبصر دعاه، فقال: تعال، هي صفية) وربما قال سفيان: (هذه صفية، فإن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم) قلت لسفيان: (أتته ليلاً ؟ قال: وهل هو إلا ليلاً) رواه البخاري 4/819. فرأى صلى الله عليه وسلم أن خروجه معها رضي الله عنها أمر لا بد منه في ذلك الليل، فخرج معها من معتكفه، ليوصلها إلى بيتها. Istri-istri beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengunjungi beliau di tempat iktikaf beliau. Beliau pernah keluar untuk mengantarkan salah satu dari mereka pulang ke rumah. Itu memang diperlukan karena waktu itu sudah malam, hal itu sebagaimana diriwayatkan dalam hadis dari Ali bin al-Husain, “Shafiyah —Semoga Allah Meridainya— menemui Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika beliau sedang iktikaf. Ketika dia pulang, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berjalan membersamainya. Lalu ada seorang laki-laki Anshar melihat beliau. Ketika dia melihat beliau, beliau memanggilnya dan berkata, ‘Kesinilah! Ini Shafiyah!’ Sepertinya Sufyan mungkin juga meriwayatkan bahwa beliau bersabda, ‘Ini adalah Shafiyah. Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia di aliran darah.’ Lalu aku bertanya kepada Sufyan, ‘Shafiyah menemui beliau malam hari?’ Dia menjawab, ‘Itu terjadi di malam hari.’ (HR. Bukhari 4/819). Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memandang bahwa keluar menemaninya —Semoga Allah Meridainya— adalah suatu keharusan pada malam itu, sehingga beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallama keluar dari tempat iktikafnya untuk mengantarkannya pulang ke rumah. وخلاصة القول: أن هديه صلى الله عليه وسلم في اعتكاف كان يتسم بالاجتهاد، فقد كان جل وقته مكث في المسجد، وإقبال على طاعة الله عز وجل، وترقب لليلة القدر. Ringkasnya, bahwa bimbingan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat iktikaf bercirikan kesungguhan, di mana sebagian besar waktu beliau dihabiskan untuk berdiam di masjid, fokus untuk Allah ʿAzza wa Jalla, dan menanti-nanti Lailatul Qadar. مقاصد الاعتكاف تحري ليلة القدر. الخلوة بالله عز وجل، والانقطاع عن الناس ما أمكن حتى يتم أنسه بالله عز وجل وذكره. إصلاح القلب، ولم شعثه بإقبال على الله تبارك وتعالى بكليته. الانقطاع التام إلى العبادة الصرفة من صلاة ودعاء وذكر وقراءة قرآن. حفظ الصيام من كل ما يؤثر عليه من حظوظ النفس والشهوات. التقلل من المباح من الأمور الدنيوية، والزهد في كثير منها مع القدرة على التعامل معها. Tujuan Iktikaf Memburu Lailatul Qadar. Berkhalwat kepada Allah ʿAzza wa Jalla dan sebisa mungkin memutus interaksi dari manusia agar mendapatkan ketenangan kepada Allah dan berzikir kepada-Nya. Membenahi hati dan tidak merusak fokusnya kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā secara totalitas. Menghentikan total aktivitas untuk ibadah murni, seperti salat, doa, zikir, dan membaca al-Quran. Menjaga puasa dari segala keinginan dan syahwat yang bisa berpengaruh buruk terhadap puasa. Mengurangi urusan-urusan duniawi yang mubah dan zuhud terhadap sebagian besar hal-hal tersebut tapi tetap mampu menjaga interaksi dengan semua itu. أقسام الاعتكاف واجب: ولا يكون إلا بنذر، فمن نذر أن يعتكف وجب عليه الاعتكاف، فقد قال صلى الله عليه وسلم: (من نذر أن يطيع الله فليطعه، ومن نذر أن يعصيه فلا يعصه) وفي الحديث أن ابن عمر رضي الله عنهما: أن عمر سأل النبي ﷺ قال: كنت نذرت في الجاهلية أن اعتكف ليلة في المسجد الحرام، قال: (أوف بنذرك) البخاري 4/809. Macam-macam Iktikaf Iktikaf Wajib, yang tidak ada kecuali karena nazar. Barang siapa yang bernazar untuk iktikaf, maka dia wajib iktikaf. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang bernazar untuk menaati Allah, maka taatilah Dia. Sementara barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada Allah, maka jangan bermaksiat kepada-Nya.” Dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dengan mengatakan, “Di masa jahiliah aku pernah bernazar untuk iktikaf semalam di Masjidil Haram,” lantas beliau menimpali, “Penuhi nazarmu!” (HR. Bukhari 4/809). مندوب: وهو ما كان من دأب النبي ﷺ في اعتكافه في العشر الأواخر من رمضان، ومحافظة على هذا الأمر وهو سنة مؤكدة من حياته صلى الله عليه وسلم كما ورد ذلك في الأحاديث التي أشير غليها عند الحديث عن مشروعية الاعتكاف. Iktikaf Sunah, inilah yang menjadi kebiasaan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, yang beliau jaga kebiasaan ini. Iktikaf ini adalah sunah yang sangat dianjurkan di masa hidup beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sebagaimana hal itu tersebut dalam hadis-hadis yang disebutkan saat membahas disyariatkannya iktikaf. حكم الاعتكاف سنة مؤكدة داوم عليها الرسول ﷺ، وقضى بعض ما فاته منها، ويقول في ذلك (عزام): ” والمسنون ما تطوع به المسلم تقرباً إلى الله، وطلباً لثوابه اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقد ثبت أنه فعله وداوم عليه) ص 114 Hukum Iktikaf Hukumnya sunah muakadah, yang rutin dikerjakan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, bahkan mengqadanya ketika beliau melewatkannya. Azzam mengatakan tentang iktikaf ini, “Inilah sunah yang dikerjakan seorang muslim secara sukarela untuk mendekatkan diri kepada Allah, mencari pahala-Nya, dan meneladan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, karena sahih bahwa beliau telah melakukannya dan merutinkannya.” (Hal. 114) شروط الاعتكاف يشترط للاعتكاف شروط هي: الإسلام: إذ لا يصح من كافر، وكذلك المرتد عن دينه. التمييز: إذ لا يصح من صبي غير مميز. الطهارة من الحدث الأكبر (من جنابة، وحيض، ونفاس) وإن طرأت مثل هذه الأمور على المعتكف أثناء اعتكافه وجب عليه الخروج من المسجد، لأنه لا يجوز له المكث على حالته هذه في المسجد. أن يكون في مسجد: قال الله تعالى (ولا تُباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد والأفضل أن يكون الاعتكاف في مسجد تقام فيه الجمعة، حتى لا يضطر إلى الخروج من مسجده لأجل صلاة الجمعة. Syarat Iktikaf Iktikaf dipersyaratkan beberapa syarat, yaitu: Islam, sehingga tidak sah iktikafnya orang kafir, begitu pula orang yang murtad dari agama Islam. Tamyiz, sehingga tidak sah iktikafnya anak yang belum tamyiz. Suci dari hadas besar (junub, haid, dan darah nifas). Adapun jika hal tersebut terjadi pada seseorang yang sedang iktikaf di tempat iktikafnya, maka ia harus keluar meninggalkan masjid, karena dia tidak boleh tetap berada di dalam masjid dengan keadaannya yang seperti itu. Berada di dalam masjid, Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Lebih utama lagi jika iktikaf dilakukan di masjid yang digunakan untuk salat Jumat, agar tidak keluar dari masjid tersebut untuk menunaikan salat Jumat. وقد ذهب بعض أهل العلم إلى أنه لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة: المسجد الحرام، والمسجد الأقصى، ومسجد النبي ﷺ. والصواب أن الاعتكاف جائز في كل مسجد تصلى فيه الفروض الخمسة، قال الله تعالى: (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) سورة البقرة 187، فدل عموم قوله تعالى: (في المساجد) على أنه جائز في كل مسجد. ويستحب أن يكون في مسجد جامع، حتى لا يحتاج المعتكف إلى الخروج للجمعة. وأما حديث لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة أخرجه الطحاوي في مشكل الآثار 4/20 فهو على القول بصحته مؤول بمعنى أنّ أكمل ما يكون الاعتكاف في هذه المساجد كما قال أهل العلم. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan Masjid Nabawi. Yang tepat bahwa iktikaf boleh dikerjakan di setiap masjid yang tegakkan di dalamnya salat wajib lima waktu. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Keumuman makna “dalam masjid” menunjukkan bahwa hal itu diperbolehkan di masjid mana pun. Dianjurkan dikerjakan di masjid jamik, agar tidak perlu keluar dari masjid itu untuk salat Jumat. Adapun hadis, “Tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, …” yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsār (20/40), andaikata hadis itu sahih, maka dimaknai bahwa iktikaf yang paling sempurna adalah di masjid-masjid tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. وقد يكون المراد بقوله صلى الله عليه وسلم: (لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة ): أي لا اعتكاف يُنذر ويسافر إليه. والاعتكاف يصح في كل مسجد، وقد أجمع الأئمة – خاصة الأئمة الأربعة – على صحة الاعتكاف في كل مسجد جامع. ولم يقل بعدم صحة الاعتكاف إلا في المساجد الثلاثة أحد من الأئمة المعروفين المتبوعين، لا الأربعة ولا العشرة ولا غيرهم Mungkin juga yang dimaksud dengan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, …” adalah iktikaf nazar yang harus ditempuh dengan safar. Iktikaf sah dikerjakan di semua masjid. Para imam ulama—khususnya imam empat mazhab—telah sepakat mengenai sahnya iktikaf di setiap masjid jamik. Tidak ada seorang pun imam ulama yang dikenal dan diikuti—baik imam yang empat, sepuluh, atau selain mereka—yang mengatakan tidak sahnya iktikaf jika tidak di tiga masjid tersebut.  ، وإنما نقل هذا عن حذيفة – رضي الله عنه – وواحد أو اثنين من السلف. وإذا نذر المرء أن يعتكف في المسجد الحرام وجب عليه الوفاء بنذره، فيعتكف في المسجد الحرام. ولكن لو نذر مثلا أن يعتكف في مسجد النبي صلى الله عليه وسلم فإنه يجوز له أن يعتكف في مسجد النبي أو في المسجد الحرام ؛ لأن المسجد الحرام أفضل. ولو نذر أن يعتكف في المسجد الأقصى، جاز له أن يعتكف في المسجد الأقصى أو المسجد الحرام أو المسجد النبوي، لأنهما أفضل من المسجد الأقصى. Pendapat ini diriwayatkan dari Hudzaifah —Semoga Allah Meridainya— dan satu atau dua ulama Salaf. Jika seseorang bernazar untuk iktikaf di Masjidil Haram, maka ia harus menunaikan nazarnya dan beriktikaf di Masjidil Haram. Namun, misalnya, jika dia bernazar untuk iktikaf di Masjid Nabawi, maka dia boleh beriktikaf di Masjid Nabawi atau di Masjidil Haram, karena Masjidil Haram lebih utama. Jika dia bernazar untuk beriktikaf di Masjidil Aqsa, maka boleh baginya iktikaf di Masjidil Aqsa, Masjidil Haram, atau Masjid Nabawi, karena keduanya lebih utama dari Masjidil Aqsa. أركان الاعتكاف النية: لحديث عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه. البخاري 1/15. Rukun Iktikaf Niat. Hal ini berdasarkan hadis Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya segala amalan hanya tergantung dengan niatnya; dan sesungguhnya tiap-tiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan rasul-Nya. Adapun orang yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya atau seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah kepada apa yang dia tuju itu.’” (HR. Bukhari 15/1) المكث في المسجد: كما في قوله تعالى: (وعهدنا إلى إبراهيم وإسماعيل أن طهرا بيتي للطائفين والعاكفين والركع والسجود) سورة البقرة /125 وفي هذا تأكيد على أن مكان الاعتكاف هو المسجد، ودلّ على ذلك أيضاً فعل الرسول صلى الله عليه وسلم ومن بعده أزواجه وصحابته رضوان الله عليهم، ففي الحديث عن يونس بن زيد أن نافعاً حدثه عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله ﷺ كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان، قال نافع: وقد أراني عبد الله رضي الله عنه المكان الذي يعتكف فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم من المسجد أخرجه مسلم 8/308. Berdiam di dalam masjid, sebagaimana firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan telah Kami Perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud!’” (QS. Al-Baqarah: 125) Ini juga menegaskan bahwa tempat iktikaf adalah di masjid. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan perbuatan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para istri-istri serta Sahabat-Sahabat beliau —Semoga Allah Meridai mereka— setelah beliau wafat. Dalam hadis dari Yunus bin Zaid bahwa Nāfiʿ mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu beriktikaf selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Nāfiʿ berkata, “Abdullah —Semoga Allah Meridainya— menunjukkan kepadaku di sebelah mana tempat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf.” (HR. Muslim 8/308) مكان الاعتكاف وزمانه وبداية وقته مكان الاعتكاف المسجد كما دلت عليه الآية في قوله تعالى: ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد. البقرة /187. ولأن الرسول ﷺ وأزواجه وصحابته رضوان الله عليهم اعتكفوا في المساجد، ولم يرد عن أحد منهم أنه اعتكف في غير المسجد. Tempat, Waktu dan Permulaan Iktikaf Tempat iktikaf adalah masjid, seperti yang ditunjukkan dalam ayat dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Hal ini karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, beserta istri-istri dan para Sahabat beliau —Semoga Allah Meridai mereka— beriktikaf di masjid dan tidak ada satu pun riwayat dari mereka bahwa mereka beriktikaf di tempat lain selain masjid. وأما بالنسبة لزمانه فإذا كان في رمضان فآكد وقته العشر الأواخر منه، ويجوز في أي وقت في رمضان وغيره، فهو لا يختص بزمن معيّن، بل مستحب في جميع الأوقات، ويجب إذا ألزم نفسه بنذر، كما جاء في حديث ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر سأل النبي صلى الله عليه وسلم قال: كنت نذرت في الجاهلية ان اعتكف ليلة في المسجد الحرام. قال: (أوف بنذرك) البخاري 4/809  Adapun waktunya, jika dikerjakan di bulan Ramadan, maka sangat dianjurkan di sepuluh hari terakhirnya. Boleh juga dikerjakan kapan saja pada bulan Ramadan atau di luar Ramadan. Jadi, tidak ada waktu tertentu, tetapi dianjurkan kapan pun. Ini menjadi wajib jika seseorang menazarkannya, sebagaimana tersebut dalam hadis Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dengan mengakatan, “Di masa jahiliah aku pernah bernazar untuk iktikaf semalam di Masjidil Haram,” lantas beliau menimpali, “Penuhi nazarmu!” (HR. Bukhari 4/809). وأما بالنسبة لبداية وقته فقبل غروب الشمس لمن أراد أن يعتكف يوماً وليلة أو اكثر وقال بعض العلماء يدخل معتكفه فجرا. Adapun permulaan waktunya, maka dimulai sebelum matahari terbenam bagi orang yang ingin iktikaf sehari semalam atau lebih. Sebagian ulama mengatakan bahwa hendaknya dia memulai iktikaf saat fajar. آداب الاعتكاف للاعتكاف آداب يستحب للمعتكف أن يأخذ بها حتى يكون اعتكافه مقبولاً وكلما حافظ عليها المعتكف كان له الأجر الجزيل من رب العالمين وكلما أخل بهذه الآداب نقص أجره. ومن آداب الاعتكاف ما ذكره ابن قدامة في المعنى: Adab Iktikaf Iktikaf mempunyai adab-adab yang seyogianya dijaga oleh orang yang beriktikaf agar iktikafnya diterima. Semakin seseorang menjaga adab-adab ini, maka semakin besar pahalanya dari Tuhan semesta alam. Semakin seseorang melanggar adab-adab ini, maka semakin berkurang pula pahalanya. Di antara adab-adab iktikaf adalah sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qudamah secara umum: يستحب للمعتكف التشاغل بالصلاة وتلاوة القرآن وبذكر الله تعالى ونحو ذلك من الطاعات المحضة ويجتنب مالا يعينه من الأقوال والفعال ولا يُكثر الكلام لأن من كثر كلامه كثر سقطه وفي الحديث (من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه) ويجتنب الجدال والمراء والسباب والفحش فإن ذلك مكروه في غير الاعتكاف ففيه أولى ولا يبطل الاعتكاف بشي من ذلك  “Orang yang iktikaf hendaknya menyibukkan diri dengan salat, membaca al-Quran, berzikir kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan ketaatan lain yang sifatnya ketaatan murni serta menjauhi perkara yang tidak bermanfaat, baik perkataan atau perbuatan. Janganlah dia banyak bicara, karena orang yang banyak bicara akan banyak kelirunya. Disebutkan dalam sebuah hadis, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah ketika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi) Demikian pula ia menghindari perdebatan, adu argumen, mencela, dan berkata kotor, karena hal itu tidak boleh dilakukan di luar iktikaf, apalagi saat iktikaf. Hanya saja, semua itu tidak membatalkan iktikaf. ولا بأس بالكلام لحاجة ومحادثة غيره روى الشيخان أن صفية زوج النبي صلى الله عليه وسلم جاءت تزوره في اعتكافه في المسجد، في العشر الأواخر من رمضان، فتحدثت عنده ساعة، ثم قامت تنقلب، فقام النبي صلى الله عليه وسلم معها يقلبها، حتى إذا بلغت باب المسجد عند باب أم سلمة، مر رجلان من الأنصار، فسلما على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال لهما النبي صلى الله عليه وسلم: (على رسلكما، إنما هي صفية بنت حيي)، فقالا: سبحان الله يا رسول الله ! وكبُرَ عليهما، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن الشيطان يبلغ من الإنسان مبلغ الدم) وفي لفظ: (يجري من الإنسان مجرى الدم)، (وإني خشيت أن يقذف في قلوبكما شيئاً) وفي لفظ: (شراً). Tidak mengapa berbicara atau ngobrol dengan orang lain untuk suatu keperluan. Syaikhān meriwayatkan bahwa Shafiyah, Istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, pernah datang mengunjungi beliau saat beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Dia —Semoga Allah Meridainya— ngobrol bersama beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beberapa saat lalu berdiri dan berbalik pulang. Lantas Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri bersamanya dan mengiringinya berbalik. Ketika dia sampai di depan pintu masjid, di dekat di depan pintu kamar Ummu Salamah, ada dua orang laki-laki Anshar lewat dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada mereka berdua, “Pelan-pelan saja kalian. Dia ini Shafiyah binti Huyay.” Mereka menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah!” Rupanya mereka merasa keberatan dengan perkataan beliau, maka beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya setan memasuki manusia melalui aliran darah—dalam riwayat lain: mengalir dalam diri manusia di aliran darah—, dan aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu—dalam riwayat lain: keburukan—ke dalam hati kalian.” قال الحافظ وفي الحديث فوائد: جواز اشتغال المعتكف بالأمور المباحة من تشييع زائره والقيام معه والحديث مع غيره وإباحة خلوة المعتكف وزيارة المرأة للمعتكف.وروى عبد الرزاق عن علي قال: من اعتكف فلا يرفث في الحديث ولا يساب ويشهد الجمعة والجنازة وليوص أهله إذا كانت له حاجة، وهو قائم ولا يجلس عندهم. Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa ada beberapa faedah dari hadis tersebut, di antaranya tentang kebolehan bagi orang yang iktikaf untuk melakukan hal-hal yang sifatnya mubah, seperti menemani dan mengantar orang yang mengunjunginya atau ngobrol dengan orang lain. Orang yang iktikaf boleh berduaan dengan istrinya atau dikunjungi olehnya. Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ali yang mengatakan bahwa orang yang melakukan iktikaf tidak boleh berkata cabul dalam ucapannya atau mencela. Dia tetap mendatangi salat Jumat dan kematian serta berwasiat untuk keluarganya jika memang diperlukan, tetapi sambil berdiri tanpa duduk bermajelis bersama mereka. وأما إقراء القرآن وتدريس العلم ودرسه ومناظرة الفقهاء ومجالستهم وكتابة الحديث فقد اُختلف فيه. فعند الإمام أحمد أنه لا يستحب ذلك، لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف فلم ينقل عنه الاشتغال بغير العبادات المختصة به. قال المروزي: قلت لأبي عبد الله إن رجلاً يُقرئ في المسجد وهو يريد أن يعتكف ولعله أن يختم في كل يوم فقال: إذا فعل هذا كان لنفسه وإذا قعد في المسجد كان له ولغيره يقرئ أحب إلي. وذهب الشافعي كما في المغني: إلى استحباب لأنه أفضل العبادات ونفعه يتعدى. والقول ما ذهب إليه الإمام أحمد وهو الأفضل والله أعلم. Adapun mengajarkan al-Quran, mengisi majelis taklim dan pelajaran, diskusi dan bermajelis dengan para fukaha, dan menulis hadis, maka ada perbedaan pendapat mengenai hukum masalah ini. Menurut Imam Ahmad, hal ini tidak dianjurkan, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu beriktikaf tapi tidak ada riwayat bahwa beliau melakukan hal lain selain ibadah yang khusus dikerjakan saat iktikaf. Al-Maruzi berkata, “Aku berkata kepada Abu Abdullah bahwa ada seorang yang mengajarkan al-Quran di masjid padahal dia ingin iktikaf dan mungkin berniat mengkhatamkannya setiap hari. Dia berkomentar, ‘Jika dia melakukan sendiri, maka itu kebaikan untuk dirinya sendiri. Adapun jika dia duduk di dalam masjid, maka itu kebaikan untuk dia dan orang lain. Mengajarkan al-Quran lebih aku sukai.'”  Imam Syafii, sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni, mengatakan hal itu dianjurkan, karena itu adalah sebaik-baik ibadah dan manfaatnya dirasakan oleh orang lain juga. Adapun pendapat yang dikatakan Imam Ahmad adalah bahwa itu yang afdal. Allah Yang lebih Mengetahui. ملحوظة (1): بعض الناس يعدون الاعتكاف فرصة خلوة ببعض أصحابهم وأحبابهم، وتجاذب أطراف الحديث معهم، وليس هذا بجيد. حقا أنه لا حرج في أن يعتكف جماعة معا في مسجد، فقد اعتكف أزواج النبي ﷺ معه، حتى لقد كانت إحداهن معتكفة معه، وهي مستحاضة ترى الدم وهي في المسجد رواه البخاري (303، 304)،  Catatan Pertama: Sebagian orang menganggap iktikaf sebagai kesempatan untuk kumpul bersama teman-teman dan orang-orang yang dicintainya serta mengobrol dan bercengkerama dengan mereka. Ini tidak baik. Yang benar bahwa iktikaf bersama-sama di masjid tidaklah masalah, karena istri-istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga beriktikaf bersama beliau, bahkan ada salah seorang dari mereka yang iktikaf berdua bersama beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam padahal dia melihat darahnya karena mengalami istihadah sementara dia berada di dalam masjid. (HR Bukhari (303-304))  فلا حرج أن يعتكف الشخص مع صاحبه أو قريبه، ولكن الحرج في أن يكون الاعتكاف فرصة للسمر والسهر، والقيل و القال، وما شابه ذلك. ولذلك قال الإمام ابن القيم بعدما أشار إلى ما يفعله بعض الجهال من اتخاذ المعتكف موضع عِشْرة، ومجلبة للزائرين، وأخذهم بأطراف الحديث بينهم، قال: (فهذا لون، والاعتكاف النبوي لون) زاد المعاد. Tidak masalah jika seseorang beriktikaf dengan teman atau kerabatnya, masalahnya adalah jika iktikafnya dijadikan kesempatan untuk ngobrol hingga malam, bergadang, bergosip, dan sejenisnya. Oleh karena itu, setelah menyinggung sebagian perbuatan orang-orang jahil yang menjadikan iktikaf sebagai ajang kumpul-kumpul, kesempatan bertemu dengan orang yang mengunjunginya, dan mengajak mereka ngobrol, lalu Imam Ibnul Qayyim berkomentar, “Ini acara sendiri yang beda dengan iktikafnya Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” (Zādul Ma’ād) ملحوظة (2): بعض الناس يترك عمله، ووظيفته وواجبه المكلف به، كي يعتكف، وهذا تصرف غير سليم؛ إذ ليس من العدل أن يترك المرء واجبا ليؤدي سنة ؛ فيجب على من ترك عمله المكلّف به واعتكف، أن يقطع الاعتكاف، ويعود إلى عمله لكي يكون كسبه حلالا، وأمّا إذا استطاع أن يجعل الاعتكاف في إجازة من عمله أو رخصة من صاحب العمل فهذا خير عظيم. Catatan Kedua: Sebagian orang meninggalkan pekerjaan, tugas, dan kewajiban yang dibebankan kepadanya agar bisa iktikaf. Perbuatan ini tidak tepat, karena tidak benar jika dia meninggalkan suatu kewajiban demi menunaikan yang sunah. Barang siapa yang meninggalkan pekerjaan yang dibebankan kepadanya agar bisa iktikaf, maka dia wajib berhenti dari iktikaf dan kembali kepada pekerjaannya agar penghasilannya menjadi halal. Jika ia mampu menjadwalkan iktikafnya di masa libur kerjanya atau diberi izin dari atasannya, maka ini adalah kebaikan yang besar. محظورات الاعتكاف أ- الخروج من المسجد يبطل الاعتكاف إذا خرج المعتكف من المسجد لغير حاجة، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يكن يخرج من المسجد إلا لحاجة الإنسان، وهي حاجته إلى الطعام، إن لم يكن بالإمكان أن يؤتى إليه بالطعام، كما كان يؤتى بطعام رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المسجد إذ يقول (سالم): ” فأما طعامه وشرابه فكان يؤتى به إليه في معتكفه). وكذلك خروجه للتطهر من الحدث الأصغر، والوضوء لحديث عائشة رضي الله عنها أنها قالت: (وإن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليدخل عليَّ رأسه وهو في المسجد فأرجّله، وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفاً) فتح الباري 4/808. Larangan-larangan Iktikaf Keluar dari masjid. Keluar dari masjid membatalkan iktikaf, jika dia keluar tanpa ada kebutuhan, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak meninggalkan masjid kecuali untuk suatu hajat manusiawi beliau. Misalnya, kebutuhan terhadap makanan, jika memang makanannya tidak bisa diantar kepadanya, sebagaimana dahulu makanan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan ke masjid, seperti yang Salim kisahkan, “Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan kepada beliau ke tempat iktikaf beliau.” Demikian pula keluarnya untuk bersuci dari hadas kecil dan wudu, berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang pernah mengatakan, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu menjulurkan kepalanya kepadaku ketika beliau di masjid lalu aku merapikan rambutnya. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak masuk rumah ketika iktikaf kecuali untuk suatu hajat beliau.” (Fathul Bari (4/808)). ب- مباشرة النساء: ومنها الجماع، فهذا الأمر يبطل الاعتكاف، لورود النهي عنه صريحاً في قوله تعالى: (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) سورة البقرة /187. ج- الحيض والنفاس: فإذا حاضت المرأة المعتكفة أو نفست وجب عليها الخروج من المسجد، وذلك للمحافظة على طهارة المسجد وكذلك الجنب حتى يغتسل. Bermesraan dengan istri, demikian juga sanggama. Hal ini membatalkan iktikaf, karena ada larangannya secara tegas yang tersebut dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kalian beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Haid dan nifas. Jika seorang wanita yang beriktikaf datang bulan atau nifas, maka dia harus keluar meninggalkan masjid, demi menjaga kesucian masjid. Begitu pula orang yang junub, sampai dia mandi wajib. د- قضاء العدة: وذلك إذا توفي زوج المعتكفة وهي في المسجد وجب عليها الخروج لقضاء العدة في منزلها. هـ- الردّة عن الإسلام: حيث إن من شروط الاعتكاف الإسلام، فيبطل اعتكاف المرتد. Menjalani masa idah. Jika suami dari wanita yang iktikaf meninggal dunia sementara dia masih di masjid, maka dia harus keluar untuk melakukan masa idahnya di rumahnya. Murtad dari Islam, Islam adalah salah satu syarat iktikaf, sehingga orang murtad batal iktikafnya. الجوانب التربوية للاعتكاف (1) تطبيق مفهوم العبادة بصورتها الكلية يؤصل الاعتكاف في نفس المعتكف مفهوم العبودية الحقة لله عز وجل، ويدربه على هذا الأمر العظيم الذي من أجله خلق الإنسان، إذ يقول الحق تبارك وتعالى: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون الذاريات/56. حيث إن المعتكف قد وهب نفسه كلها ووقته كله متعبداً لله عز وجل. ويكون شغله الشاغل هو مرضاة الله عز وجل، فهو يشغل بدنه وحواسه ووقته – من أجل هذا الأمر – بالصلاة من فرض ونفل وبالدعاء، وبالذكر، وبقراءة القرآن الكريم، وغير ذلك من أنواع الطاعات. Aspek-aspek Tarbiah dalam Iktikaf Menerapkan Makna Ibadah dalam Wujudnya yang Sempurna Iktikaf menanamkan makna hakiki dari sebuah ibadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla dalam diri orang yang beriktikaf. Iktikaf ini melatih dirinya memaknai makna agung ini, yang menjadi tujuan manusia diciptakan. Allah Yang Maha Benar Berfirman (yang artinya), “Aku tidaklah Menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56). Hal ini karena orang yang beriktikaf telah mengabdikan seluruh diri dan semua waktunya untuk beribadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla. Kesibukan utamanya adalah mencari keridaan Allah ʿAzza wa Jalla. Dia menggunakan tubuh, inderanya, dan waktunya untuk tujuan itu dengan mengerjakan salat wajib dan sunah, doa, zikir, membaca al-Quran, dan berbagai macam ketaatan lainnya. وبهذه الدُّرْبة في مثل أيام العشر الخيرة من شهر رمضان المبارك يتربى المعتكف على تحقيق مفهوم العبودية لله عز وجل في حياته العامة والخاصة، ويضع موضع التنفيذ قول الحق تبارك وتعالى: قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين. لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين الأنعام /163، قال القرطبي (محياي) أي: ما أعمله في حياتي، (ومماتي) أي: ما أوصي به بعد وفاتي، (لله رب العالمين) أي: أفرده بالتقرب بها إليه) 7/69. Dengan latihan seperti ini di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan yang penuh berkah, orang yang beriktikaf dididik untuk merealisasikan makna ibadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla ini dalam kehidupannya secara pribadi dan bermasyarakat, serta mengaplikasikan firman Yang Maha Benar (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.'” (QS. Al-An’am: 162-163) Al-Qurtubi berkata bahwa “hidupku” artinya “segala yang aku kerjakan selama hidupku,” “matiku” artinya “segala yang aku wasiatkan setelah kematianku,” “untuk Allah, Tuhan seluruh alam,” artinya “aku mengesakan-Nya dalam ibadahku kepada-Nya.” (7/69) (2) تحري ليلة القدر وهو المقصد الرئيسي من اعتكافهﷺ إذ بدأ اعتكافه أول مرة الشهر كله وكذلك اعتكف العشر الأواسط تحرياً لهذه الليلة المباركة، فلما علم أنها تكون في العشرة الأخيرة من شهر رمضان اقتصر اعتكافه على هذه العشر المباركة. (2) Memburu Lailatul Qadar Ini adalah tujuan utama iktikaf Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, di mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memulai iktikafnya untuk pertama kali selama sebulan penuh. Beliau juga pernah iktikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadan untuk mencari malam yang diberkahi ini. Ketika beliau mengetahui bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, maka beliau mencukupkan diri beriktikaf di sepuluh hari yang diberkahi tersebut. (3) تعوّد المكث في المسجد فالمعتكف قد الزم نفسه البقاء في المسجد مدة معينة. وقد لا تقبل النفس الإنسانية مثل هذا القيد في بداية أمر الاعتكاف، ولكن عدم القبول هذا سرعان ما يتبدد عادة بما تلقاه النفس المسلمة من راحة وطمأنينة في بقائها في بيت الله. (3) Membiasakan Diri Tinggal di Masjid Orang yang iktikaf mengharuskan dirinya untuk menetap di masjid dalam jangka waktu tertentu. Jiwa manusia mungkin menolak pembatasan seperti ini di awal-awal iktikafnya. Namun, penolakan ini biasanya akan segera hilang seiring dengan kenyamanan dan ketenteraman yang didapatkan oleh jiwa seorang muslim dengan berdiam diri di dalam rumah Allah. ومعرفة المعتكف بأهمية بقائه في المسجد أثناء اعتكافه تتجلى في الأمور التالية: 1- أن الرجل الذي يمكث في المسجد قد احب المسجد من قلبه، وعرف قدر بيوت الله عز وجل، وهذا الحب له قيمة عند الله عز وجل ؛ إذ يجعله من الفئات التي يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله. Kesadaran seseorang tentang urgensi berdiam diri di masjid ketika iktikaf akan semakin kuat dalam beberapa hal berikut: Orang yang berdiam di masjid berarti telah mencintai masjid dari dalam hatinya dan mengetahui betapa mulianya rumah Allah ʿAzza wa Jalla. Cinta ini amat bernilai di hadapan Allah ʿAzza wa Jalla, karena itu akan menjadikannya termasuk orang-orang yang akan diberi naungan oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. 2- أن الذي يمكث في المسجد ينتظر الصلاة له أجر صلاة، وأن الملائكة تستغفر له، ففي الحديث الذي أورده أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إن الملائكة تصلي على أحدكم ما دام في مصلاه ما لم يحدث: اللهم اغفر له، اللهم ارحمه، لا يزال أحدكم في مصلاه ما دامت الصلاة تحبسه، لا يمنعه أن ينقلب إلى أهله إلا الصلاة) البخاري 2/360 فتح الباري. Orang yang berdiam di masjid menunggu salat akan mendapatkan pahala mengerjakan salat dan para malaikat akan memohonkan ampun baginya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Para malaikat akan senantiasa mendoakan seseorang di antara kalian selama dia masih di tempat salatnya selagi ia belum berhadas, ‘Ya Allah, Ampunilah dia. Ya Allah, Rahmatilah dia.’ Salah seseorang di antara kalian akan senantiasa dihitung dalam keadaan salat selama dia menanti pelaksanaan salat, yang mana tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya kecuali salat itu.” (HR. Bukhari 2/360 dalam Fathul Bari) 3- البعد عن الترف المادي والزهد فيه: في الاعتكاف يتخفف المعتكف من الكثير من هذه الأمور، ويصبح كأنه إنسان غريب في هذه الدنيا، وطوبى للغرباء، فهو من أجل مرضاة الله عز وجل ارتضى أن يقبع في ناحية من المسجد ليس لديه في الغالب إلا وسادة يضع عليها رأسه وغطاء يتغطى به، قد ترك فراشه الوثير وعادته الخاصة من أجل ذلك الرضا. Zuhud dan Jauhnya Seseorang dari Kemewahan Dunia Pada saat iktikaf, dia mengurangi banyak sekali perkara-perkara tersebut, dan seolah-olah menjadi seperti orang asing di dunia ini. Beruntunglah orang-orang yang asing ini, yang demi keridaan Allah Jalla wa ʿAlā dia merelakan dirinya tinggal di salah satu sudut masjid yang umumnya tanpa bantal untuk meletakkan kepalanya atau selimut untuk menyelimuti dirinya. Dia telah meninggalkan tempat tidurnya yang empuk dan kebiasaan pribadinya demi keridaan Allah. أما طعامه فهو مختلف في وضعه، إن لم يكن في نوعه، إن كان طعامه يأتيه من منزله، فهو عادة لا يأتيه بالكثرة ولا يتناوله بالوضع الذي كان يتناوله في منزله على طاولة وكرسي مع أهله وولده، بل يأكل كما يأكل الغريب، ويأكل كما يأكل العبد الفقير إلى ربه، وإن خرج إلى السوق من أجل الطعام فهو يعمل جاهداً على التعامل مع ما هو متوفر ولا يشترط نوعاً معيناً، لأنه مطلوب منه العودة إلى معتكفه، وعدم الإطالة في مثل هذه الأمور Adapun makanannya, tentu sudah beda penyajiannya, dan bahkan jenisnya. Sekalipun makanannya datang dari rumahnya, tapi umumnya yang datang tidak banyak. Pun tidak dia nikmati dengan cara penyajian yang biasanya dia dapatkan ketika dirumahnya, yaitu di atas meja makan dan kursi bersama keluarga dan anaknya. Sebaliknya, dia makan seperti orang asing makan. Dia menyantap makanan layaknya seorang budak miskin yang tergantung dengan majikannya. Andaikata dia pergi ke pasar untuk membeli makanan, maka dia harus berusaha dulu, selain harus menerima apapun yang tersedia tanpa bisa menuntut makanan tertentu, karena dia dituntut untuk segera kembali ke tempat iktikafnya dan tidak berlama-lama dengan perkara-perkara seperti ini. وبهذا يعرف أن الحياة يمكن إدارتها بالقليل الذي يرضى عنه الله، وكذلك يمكن إدارتها بالكثير الذي لا يُرضي الله عز وجل، والفرق بينهما كبير. Dengan demikian, dia akan menyadari bahwa hidup ini bisa berjalan dengan sesuatu yang serba minimal yang bisa membuat Allah Rida kepada-Nya maupun dengan sesuatu yang serba banyak yang bisa membuat Allah Jalla wa ʿAlā tidak Rida kepada-Nya. Sementara perbedaan antara keduanya amatlah besar. (4) الإقلاع عن كثير من العادات الضارة في ظل غياب مفهوم التربية الإسلامية في كثير من المجتمعات الإسلامية، وفي كثير من بيوت المجتمعات الإسلامية. نشأت وتفشّت لدى أفراد هذه المجتمعات كثير من العادات التي تتعارض مع تعاليم الدين الحنيف، وعمّت هذه العادات المنكرة حتى أصبحت نوعاً من المعروف الذي لا يرى فيه ضرر على الدين والنفس، ومن تلك العادات: التدخين، وسماع الموسيقى، ومشاهدة ما يبث في القنوات الفضائية من مشاهد وأحاديث تضادّ عقيدة المسلم وتُنافي حياءه وعفّته، وغير ذلك من عادات لها ضررها على الدين والنفس. (4) Berhenti Melakukan Banyak Kebiasaan Buruk Dengan kosongnya makna-makna tarbiah Islam di sebagian besar masyarakat Islam dan rumah-rumah masyarakat kaum muslimin, maka banyak sekali kebiasan-kebiasan yang muncul dan tersebar di tengah mereka, padahal bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang lurus ini. Kebiasaan mungkar ini meluas secara menyeluruh hingga menjadi sesuatu yang dianggap baik, yang tampak tidak membahayakan agama maupun jiwa. Di antara kebiasaan-kebiasaan itu adalah merokok, mendengarkan musik, dan menonton tontonan dan obrolan dari siaran-siaran saluran satelit yang bertentangan dengan akidah seorang muslim dan mengikis rasa malu dan kesuciannya, selain kebiasaan-kebiasaan lain yang membahayakan agama dan jiwa. وتأتي فترة الاعتكاف لتكشف للفرد المسلم زيف تلك العادات، وزيف ذلك الاعتقاد الذي سكن في نفوس كثير من المسلمين بعدم القدرة على التخلص من مثل تلك العادات، لأنها قد استحكمت في النفوس. ويتعرف الإنسان المسلم في فترة الاعتكاف، وقد خلا إلى خالقه، على مفهوم العبادة بصورتها الشاملة، وأنه يجب أن يكون متعبداً لله عز وجل على مدار الساعة في حياته العامة والخاصة. Momen iktikaf bagi seorang individu muslim akan menyingkap kekeliruan kebiasaan-kebiasaan ini dan batilnya keyakinan yang telah mengakar dalam banyak jiwa kaum muslimin tanpa mampu melepaskan diri darinya, karena sudah terlanjur mengakar kuat dalam jiwa. Seorang individu muslim dalam masa iktikafnya dan pengasingannya demi Sang Pencipta akan memahami makna ibadah dalam wujudnya yang paripurna serta menyadari bahwa ia harus menjadi penyembah Allah ʿAzza wa Jalla sepanjang waktu dalam kehidupannya secara pribadi dan bermasyarakat. فهو عندما يتخذ مرضاة الله عز وجل ومحبّته ميزانا يزن به كل عمل يقوم به، يجد أن تلك العادات التي أشرنا إليها آنفاً وكثير غيرها لا تتفق مع هذه المحبة لله عز وجل بل تعمل في اتجاه معاكس لها، ويجد بذلك أن مثل تلك العادات تخرجه عن دائرة العبودية الصادقة لله، وإذا كان الأمر كذلك فيجب عليه أن يتخلص منها في أسرع وقت ممكن. Ketika seseorang menjadikan keridaan Allah dan kecintaannya kepada-Nya sebagai timbangan yang digunakannya untuk menimbang setiap perbuatan yang dilakukannya, niscaya dia akan mendapati bahwa kebiasaan-kebiasaan yang kami sebutkan tadi serta banyak kebiasaan yang lain tidaklah selaras dengan cintanya kepada Allah ʿAzza wa Jalla, bahkan bertentangan. Dia akan menyadari bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti itu akan mengeluarkannya dari lingkaran peribadatan yang hakiki kepada Allah. Jika demikian kenyataannya, maka dia harus berlepas diri darinya sesegera mungkin. وفي فترة الاعتكاف لا يحق للمسلم أن يخرج إلا لحاجة إيجابية ترتبط بتسهيل أمر الاعتكاف في المسجد، وما عدا ذلك يجب أن يمتنع عنه وإن كان مباحاً، فهو – على سبيل المثال – لا يحق له أن يتجول في الأسواق – ولو لفترة بسيطة – ليشتري منها ما لا ارتباط له بأمر الاعتكاف، فلو خرج لشراء سواك لم يكن في هذا حرج على اعتكافه، لأنه من متطلبات الصلاة في اعتكافه، ولكن لو خرج لشراء هدية لزوجته، أو لأحد أبنائه، فذلك مبطل لاعتكافه، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم كما ورد سابقاً كان لا يخرج إلا لحاجة الإنسان، فكيف إذا خرج المعتكف لأمر محرم كشرب الدخان مثلاً أو لمشاهدة برنامج فضائي قد اعتاد مشاهدته، لا شك أن ذلك مبطل لاعتكافه لا محالة. Selama masa iktikafnya, seorang muslim tidak dibenarkan keluar kecuali untuk kepentingan-kepentingan positif yang berkaitan dengan hal-hal yang mempermudahnya menjalankan iktikaf di masjid. Selain untuk hal-hal itu, dia harus menahan diri darinya, meskipun pada asalnya diperbolehkan. Misalnya, dia tidak dibenarkan berkeliling di pasar walaupun sebentar saja untuk membeli sesuatu yang tidak berkaitan dengan urusan iktikafnya. Jika dia keluar untuk membeli siwak, maka itu tidak berpengaruh dengan iktikafnya, karena itu merupakan salah satu kebutuhan untuk salat ketika dia iktikaf. Namun, jika dia keluar untuk membeli hadiah untuk istrinya atau salah seorang anaknya, maka itu membatalkan iktikafnya, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebagaimana disebutkan sebelumnya tidaklah keluar kecuali untuk suatu hajat manusiawi beliau. Lantas bagaimana pula jika seseorang yang iktikaf keluar untuk sesuatu yang haram, seperti merokok, misalnya, atau menonton acara-acara dari saluran satelit yang sudah biasa ia tonton? Tidak diragukan bahwa itu tentu membatalkan iktikafnya. وكذلك لو خرج يشرب خمرا أو يتعاطى تدخينا بطل اعتكافه. وعموما فإنّ أي خروج لغير عذر يبطل الاعتكاف ومن باب أولى الخروج للمعصية، ولا يجوز له حتى لو خرج لقضاء حاجته أن يُشْعل في الطريق سيجارة يدخنها. فالاعتكاف فرصة سنوية يستطيع فيها المعتكف أن يتخلص من هذه البلايا عن طريق التوبة والالتجاء إلى الله عز وجل أولاً، وعن طريق فطام النفس عن تلك المعاصي في فترة الاعتكاف، وعدم تحقيق رغبة النفس منها، وتعويدها على ذلك. Demikian pula jika dia keluar untuk minum khamar atau merokok, maka iktikafnya batal. Secara umum, keluar tanpa alasan yang dibenarkan akan membatalkan iktikafnya, apalagi keluar untuk maksiat. Meskipun dia keluar untuk buang air lalu menyalakan rokoknya di jalan sambil merokok, itupun juga tidak boleh. Iktikaf adalah kesempatan setahun sekali baginya untuk melepaskan diri dari cobaan tersebut dengan cara bertobat dan meminta tolong kepada Allah Jalla wa ʿAlā terlebih dahulu, lalu dengan menyapih dirinya dari dosa-dosa tersebut selama masa iktikaf, tidak memperturutkan kemauan nafsunya, serta membiasakan dirinya terhadap semua keadaan tersebut. هذه الطاعات المستمرة لله عز وجل تحتاج إلى صبر مستمر من قِبَل المعتكف، وفي هذا تربية للإرادة، وكبْح لجماح النفس التي عادةً ما ترغب في التفلّت من هذه الطاعة إلى أمور أخرى تهواها. وهناك الصبر على ما نقص مما ألِفته النفس من أنواع الطعام المختلفة التي كان يطعمها في منزله، فتلك الأنواع لا تتوفر في المسجد، فيصبر على هذا القليل من أجل مرضاة عز وجل. Ketaatan yang terus-menerus kepada Allah ʿAzza wa Jalla ini memerlukan kesabaran yang berkesinambungan dari orang yang beriktikaf. Inilah pendidikan bagi keinginannya dan pengendalian bagi kehendak nafsunya yang biasanya ingin berpaling dari ketaatan semacam ini untuk beralih kepada hal-hal lain yang diinginkannya. Dalam iktikaf juga ada kesabaran terhadap kurangnya sesuatu yang biasanya disukai oleh nafsunya, seperti berbagai jenis makanan yang biasa ia santap di rumahnya. Bermacam-macam makanan itu tidak tersedia semua di masjid, sehingga dia harus bersabar dengan sesuatu yang sedikit ini demi keridaan Allah ʿAzza wa Jalla. وهناك الصبر على نوع الفراش الذي ينام عليه، فلن يوضع له سرير في المسجد، أو فراش وثير كالذي ينام عليه في منزله، فهو ينام على فراش متواضع جداً إن لم يكن فرش المسجد. وهناك الصبر على ما يجد في المسجد من مزاحمة الآخرين له، ومن عدم توفر الهدوء الذي كان يألفه في منزله إذا أراد النوم. وهناك الصبر عن شهوة الزوجة إذ يحرم عليه مباشرتها عند دخوله إلى منزله للحاجة حتى التقبيل والعناق، وهي حلاله، Dalam iktikaf juga ada kesabaran dari jenis tempat tidur yang biasa ia pakai tidur. Tentu di masjid tidak akan ditaruh dipan atau kasur empuk seperti yang biasa ia pakai tidur di rumahnya. Ia tidur di atas alas yang sangat sederhana, atau mungkin hanya karpet masjid. Ada juga kesabaran terhadap keramaian orang-orang di sekitarnya di masjid dan sulitnya mendapatkan kesunyian yang biasa didapatkan di rumah ketika ingin tidur. Dalam iktikaf ada kesabaran dari syahwat kepada istri, karena ia dilarang sanggama ketika ia pulang ke rumah untuk suatu hajat, walaupun hanya mencium dan memeluknya. Meskipun pada asalnya itu halal.  وفي هذا الأمر تتجلى قيمة الصبر وقيمة القوة في الإرادة وضبط النفس، ومن خلال هذه المواقف وغيرها نجد أنه يمكن تربية الإنسان على القدرة على تأجيل كثير من الأمور والرغبات العاجلة من أجل أمور أهم منها، فهو يؤجل كل هذه الحاجات النفسية والمادية العاجلة من أجل الفوز برضى الله تبارك وتعالى. Dari semua ini tampaklah nilai sebuah kesabaran serta kemampuan mengatur kemauan dan pengendalian diri. Dengan semua keadaan ini dan yang semisalnya, kita mendapati bahwa seseorang bisa mendidik dirinya agar mampu menunda banyak hal dan berbagai keinginan sementara demi sesuatu yang lebih penting daripada semua itu. Dia menunda semua kebutuhan pribadinya dan materi duniawi demi memperoleh rida Allah Tabāraka wa Taʿālā. (5) الاطمئنان النفسي (6) قراءة القرآن وختمه (7) التوبة النصوح (8) قيام الليل والتعود عليه (5) Ketenangan jiwa. (6) Membaca dan mengkhatamkan al-Quran (7) Tobat dengan sebenar-benarnya. (8) Melakukan dan membiasakan diri salat malam. (9) عمارة الوقت (10) تزكية النفس (11) صلاح القلب وجمعه على الله عز وجل. نسأل الله أن يُعيننا على ذكره وشكره وحسن عبادته، والله تعالى أعلم وصلى الله على نبينا محمد. (9) Memanfaatkan waktu. (10) Menyucikan jiwa. (11) Membenahi hati dan memfokuskannya untuk Allah ʿAzza wa Jalla. Kami memohon kepada Allah agar Membantu kita berzikir, bersyukur, dan beribadah kepada-Nya dengan baik. Allah Yang lebih Mengetahui. Semoga Allah Melimpahkan selawat untuk Nabi kita Muhammad. المراجع الاعتكاف نظرة تربوية د.عبد اللطيف بن محمد بالطو. الإتحاف في بيان مسائل الاعتكاف لأبي عمر حاي الحاي. Referensi: Al-Iʿtikāf Naẓrah Tarbawiyyah, karya Dr. Abdul Latif bin Muhammad Balto. Al-Itẖāf fī Bayān Masāʾil al-Iʿtikāf, karya Abu Umar H̱āi al-H̱āi. Sumber: https://islamqa.info/ar/articles/82/فضل-الاعتكاف-واحكامه PDF sumber artikel. 🔍 Hukum Memelihara Burung, Hukum Islam Merayakan Tahun Baru, Kijing Kuburan, Tahun Baru Menurut Pandangan Islam, Apakah Wine Haram, Ciri Laki Laki Sholeh Visited 50 times, 1 visit(s) today Post Views: 381 QRIS donasi Yufid

Fikih Iktikaf dan Rahasia-rahasia di Dalamnya

فضل الاعتكاف وأحكامه Fadilah Iktikaf dan Hukum-hukumnya تعريف الاعتكاف الاعتكاف هو لزوم المسجد بنية مخصوصة، لطاعة الله تعالى:  وهو مشروع مستحب باتفاق أهل العلم، قال الإمام أحمد فيما رواه عنه أبو داود: (لا أعلم عن أحد من العلماء إلا أنه مسنون.) وقال الزهري رحمه الله: (عجباً للمسلمين ! تركوا الاعتكاف، مع أن النبي صلى الله عليه وسلم، ما تركه منذ قدم المدينة حتى قبضه الله عز وجل) Pengertian Iktikaf Iktikaf (Iʿtikāf) adalah berdiam di masjid dengan niat khusus, yakni dalam rangka  melakukan ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Iktikaf disyariatkan dan hukumnya sunah menurut kesepakatan para ulama. Imam Ahmad berkata—sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud darinya—”Saya tidak mengetahui seorang ulama pun kecuali (mengatakan) bahwa hukumnya sunah.”  Az-Zuhri—Semoga Allah Merahmatinya—berkata, “Sungguh mengherankan keadaan kaum muslimin! Mereka meninggalkan iktikaf, padahal Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkannya sejak dia tiba di Madinah sampai Allah ʿAzza wa Jalla Mewafatkan beliau.” فائدة الاعتكاف وثمرته إن في العبادات من الأسرار والحكم الشيء الكثير، ذلك أن المدار في الأعمال على القلب، كما قال الرسول ﷺ: ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب. رواه البخاري (52) ومسلم (1599). وأكثر ما يفسد القلب الملهيات، والشواغل التي تصرفه عن الإقبال على الله عز وجل من شهوات المطاعم، والمشارب، والمناكح، وفضول الكلام، وفضول النوم، وفضول الصحبة، وغير ذلك من الصوارف التي تفرق أمر القلب، وتفسد جمعيته على طاعة الله، فشرع الله تعالى قربات تحمي القلب من غائلة تلك الصوارف، كالصيام مثلاً، الصيام الذي يمنع الإنسان من الطعام والشراب، والجماع في النهار، فينعكس ذلك الامتناع عن فضول هذه الملذات على القلب، فيقوى في سيره إلى الله، وينعتق من أغلال الشهوات التي تصرف المرء عن الآخرة إلى الدنيا. Faedah dan Manfaat Iktikaf Dalam berbagai ibadah terkandung banyak sekali rahasia dan hikmah. Hal itu karena poros ibadah adalah hati, sebagaimana yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya, tetapi jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa ia adalah hati!” (HR. Bukhari (52) dan Muslim (1599)).  Kebanyakan hal yang paling merusak hati adalah kesenangan dan berbagai kesibukan yang memalingkan seseorang dari perhatiannya kepada Allah ʿAzza wa Jalla, seperti keinginan untuk makan, minum, dan sanggama, ngobrol, tidur-tiduran, bergaul, dan hal-hal lain yang memalingkan dan memecah belah konsentrasi hati dan merusak fokusnya dalam ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka dari itulah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mensyariatkan ibadah yang bisa menjaga hati dari dampak buruk yang timbul dari hal-hal yang menyibukkan tersebut, seperti puasa misalnya. Puasa menghalangi seseorang dari makan, minum, dan sanggama di siang hari.  Pantangan tersebut akan mengikis ketamakannya terhadap kenikmatan-kenikmatan ini dari dalam hati, menguatkan langkahnya dalam perjalanannya menuju Allah, dan membebaskannya dari belenggu-belenggu syahwat yang memalingkan seseorang dari akhirat kepada dunia.  وكما أن الصيام درع للقلب يقيه مغبة الصوارف الشهوانية، من فضول الطعام والشراب والنكاح، كذلك الاعتكاف، ينطوي على سر عظيم، وهو حماية العبد من آثار فضول الصحبة، فإن الصحبة قد تزيد على حد الاعتدال، فيصير شأنها شأن التخمة بالمطعومات لدى الإنسان، كما قال الشاعر: عدوك من صديقك مستفاد ***** فلا تستكثرن من الصّحاب فإن الـــداء أكثر ما تـــراه ***** يكون من الطعام أو الشراب Sebagaimana puasa menjadi perisai bagi hati yang melindunginya dari akibat buruk berbagai syahwat yang memalingkan, seperti banyak makanan, minuman, dan sanggama.  Begitupun iktikaf, di dalamnya tersimpan rahasia besar, yaitu melindungi hamba dari pengaruh buruk yang timbul dari seringnya bergaul, karena interaksi terkadang melampaui batas kewajaran, sehingga pergaulan itu menjadi candu yang menjadi penyakit yang menjangkiti seseorang, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair, “Musuhmu berasal dari teman yang kau bergaul dengannya, maka jangan perbanyak pertemanan. Adapun kebanyakan penyakit yang engkau lihat, berasal dari makan dan minuman.” وفي الاعتكاف أيضاً حماية القلب من جرائر فضول الكلام، لأن المرء غالباً يعتكف وحده، فيُقبل على الله تعالى بالقيام وقراءة القرآن والذكر والدعاء ونحو ذلك. وفيه كذلك حماية من كثرة النوم، فإن العبد إنما اعتكف في المسجد ليتفرغ للتقرب إلى الله، بأنواع من العبادات، ولم يلزم المسجد لينام. ولا ريب أن نجاح العبد في التخلص من فضول الصحبة، والكلام والنوم يسهم في دفع القلب نحو الإقبال على الله تعالى وحمايته من ضد ذلك. Pada iktikaf ada perlindungan bagi hati dari dampak buruk yang timbul dari berlebihan bicara, karena seseorang umumnya akan iktikaf sendirian dan memfokuskan perhatiannya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dengan membaca al-Quran, zikir, doa, dan lain sebagainya.  Di dalamnya juga ada perlindungan dari dampak buruk kebanyakan tidur, karena seorang hamba tidaklah beriktikaf di masjid kecuali hanya ingin fokus mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai jenis ibadah, bukan berdiam diri di masjid untuk tidur. Tidak dapat dipungkiri bahwa keselamatan seorang hamba adalah dengan menghindari pertemanan, perkataan, dan tidur yang berlebihan. Inilah yang berperan dalam menjaga hati agar tetap fokus kepada Allah dan melindunginya dari hal-hal yang bertentangan dengan itu. الجمع بين الصوم والاعتكاف لا ريب أن اجتماع أسباب تربية القلب بالإعراض عن الصوارف عن الطاعة، أدْعى للإقبال على الله تعالى والتوجه إليه بانقطاع وإخبات، ولذلك استحب السلف الجمع بين الصيام والاعتكاف، حتى قال الإمام ابن القيم رحمه الله: (ولم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه اعتكف مفطراً قط، بل قالت عائشة: (لا اعتكاف إلا بصوم) أخرجه أبو داود (2473) ولم يذكر الله سبحانه وتعالى الاعتكاف إلا مع الصوم، ولا فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا مع الصوم. فالقول الراجح في الدليل الذي عليه جمهور السلف: (أن الصوم شرط في الاعتكاف، وهو الذي كان يرجحه شيخ الإسلام أبو العباس ابن تيمية) زاد المعاد 2/87،88 Menggabungkan antara Puasa dan Iktikaf Tidak diragukan bahwa menggabungkan berbagai sebab yang bisa melatih hati agar berpaling dari hal-hal yang bisa memalingkannya dari ketaatan, tentu lebih kuat efeknya bagi hati dalam memfokuskannya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan bertawajuh kepada-Nya dengan menyendiri dalam kekhusyukan. Oleh karena itulah para Salaf menganjurkan untuk menggabungkan antara puasa dan iktikaf, sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim—Semoga Allah Merahmatinya—berkata bahwa tidak ada riwayat dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau iktikaf dalam keadaan tidak puasa, melainkan Aisyah —Semoga Allah Meridainya— mengatakan, “Beliau tidak iktikaf kecuali saat puasa.” (HR. Abu Dawud (2473)  Allah Subẖānahu wa Taʿālā juga tidak menyebutkan masalah iktikaf kecuali dengan puasa, pun Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak melakukannya kecuali dengan puasa. Jadi, pendapat yang tepat dengan dalil tersebut, yang menjadi pendapat mayoritas ulama Salaf adalah bahwa puasa adalah syarat iktikaf. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyah.” (Zād al-Maʿād (2/87-88). واشتراط الصوم في الاعتكاف نقل عن ابن عمر وابن عباس، وبه قال مالك والأوزاعي وأبو حنيفة، واختلف النقل في ذلك عن أحمد والشافعي. وأما قول الإمام ابن القيم رحمه الله: (ولم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه اعتكف مفطراً قط) ففيه بعض النظر، فقد نقل أن النبي ﷺ، اعتكف في شوال) رواه البخاري (1928) ومسلم (1173). ولم يثبت أنه كان صائماً في هذه الأيام التي اعتكافها، ولا أنه كان مفطراً. فالأصح أن الصوم مستحب للمعتكف، وليس شرطاً لصحته. Pendapat yang mempersyaratkan iktikaf harus dengan puasa diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, yang juga menjadi pendapat Malik, al-Auza’i dan Abu Hanifah. Sedangkan riwayat dari Ahmad dan Syafii ada perbedaan. Adapun perkataan Imam Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— bahwa tidak ada riwayat dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengatakan bahwa beliau iktikaf dalam keadaan tidak berpuasa, maka ini perlu dikritisi, karena ada riwayat bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf di bulan Syawal, yang diriwayatkan oleh Bukhari (1928) dan Muslim (1173).  Tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa beliau ketika itu puasa atau tidak pada hari-hari iktikaf tersebut. Jadi, pendapat yang lebih tepat bahwa iktikaf dianjurkan dengan puasa, tapi tidak menjadi syarat sahnya. هدي النبي صلى الله عليه وسلم في الاعتكاف اعتكف عليه الصلاة والسلام في العشر الأول من رمضان ثم العشر الأواسط، يلتمس ليلة القدر، ثم تبيّن له أنها في العشر الأواخر فداوم على اعتكافها. فعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم، يجاور في العشر التي وسط الشهر، فإذا كان من حين تمضي عشرون ليلة، ويستقبل إحدى وعشرين، يرجع إلى مسكنه، ورجع من كان يجاور معه، ثم إنه أقام في شهر، جاور فيه تلك الليلة التي كان يرجع فيها، فخطب الناس، فأمرهم بما شاء الله، ثم قال: (إني كنت أجاور هذه العشر، ثم بدالي أن أجاور هذه العشر الأواخر، فمن كان اعتكف معي فليبت في معتكفه، وقد رأيت هذه الليلة فأنسيتها، فالتمسوها في العشر الأواخر، في كل وتر، وقد رأيتني أسجد في ماء وطين). Bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam Beriktikaf Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf di sepuluh hari pertama bulan Ramadan, kemudian di sepuluh hari di pertengahan Ramadan untuk mencari Lailatul Qadar. Kemudian, beliau mengerti bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh hari yang terakhir pada bulan Ramadan, sehingga beliau rutin melakukannya.  Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah beriktikaf di sepuluh hari pertengahan bulan Ramadan. Ketika sudah berlalu malam kedua puluh dan menjelang hari kedua puluh satu, beliau kembali ke rumah beliau, sementara orang-orang yang beriktikaf bersama beliau juga ikut pulang. Kemudian, beliau berada di suatu bulan (Ramadan) yang mana beliau beriktikaf di malam yang dulunya beliau pulang lalu menyampaikan khotbah kepada orang-orang dan memerintahkan mereka dengan apa yang dikehendaki oleh Allah, lalu beliau bersabda, “Dahulu aku beriktikaf pada sepuluh hari ini, kemudian sekarang aku mengetahui bahwa aku seharusnya beriktikaf pada sepuluh hari yang terakhir, maka barang siapa yang ingin beriktikaf bersamaku, maka hendaklah dia tetap bermalam di tempat iktikafnya. Sesungguhnya malam tersebut telah diperlihatkan kepadaku, tetapi aku terlupa. Oleh karena itu, carilah ia (Lailatul Qadar) di sepuluh malam terakhir pada malam-malam ganjil. Sungguh, aku bermimpi melihat diriku sedang sujud di atas lumpur dan air (saat Lailatul Qadar terjadi).”  قال أبو سعيد: مطرنا ليلة إحدى وعشرين، فوكف المسجد في مصلى رسول الله ﷺ، فنظرت إليه، وقد انصرف من صلاة الصبح، ووجهه مبتل ماء وطيناً فتحقق ما أخبر به صلى الله عليه وسلم وهذا من علامات نبوته. ثم حافظ ﷺ على الاعتكاف في العشر الأواخر، كما في الصحيحين من حديث عائشة رضي الله عنها أن النبي ﷺ كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله عز وجل ثم اعتكف أزواجه من بعده. رواه البخاري (1921) ومسلم (1171). Abu Sa’id mengatakan, “Pada malam kedua puluh satu, hujan turun kepada kami. Air masuk ke masjid sampai di tempat salat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Ketika itulah aku melihat beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang baru selesai dari salat Subuh di wajah beliau basah oleh air dan lumpur. Jadi, apa yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kabarkan menjadi nyata. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam merutinkan iktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan, sebagaimana tersebut dalam Shahihain dari hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mewafatkan beliau. Kemudian, istri-istri beliau tetap melakukan iktikaf setelah kepergian beliau. (HR. Bukhari (1921) dan Muslim (1171). وفي العام الذي قبض فيه ﷺ اعتكف عشرين يوماً البخاري (1939). أي العشر الأواسط والعشر الأواخر جميعاً، وذلك لعدة أسباب: أولها: أن جبريل عارضه القرآن في تلك السنة مرتين البخاري (4712). فناسب أن يعتكف عشرين يوماً، حتى يتمكن من معارضة القرآن كله مرتين. Pada tahun di mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat, beliau beriktikaf dua puluh hari, yakni pada sepuluh hari pertengahan dan sepuluh hari terakhir Ramadan. (HR. Bukhari (1939)) Hal tersebut karena beberapa alasan: Pertama, bahwa Jibril menyimak bacaan al-Quran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dua kali pada tahun tersebut. (HR. Bukhari (4712)). Hal itu memang tepat jika beliau kemudian iktikaf dua puluh hari, yakni agar bisa setoran al-Quran seluruhnya sebanyak dua kali. ثانيها: أنه صلى الله عليه وسلم أراد مضاعفة العمل الصالح، والاستزادة من الطاعات، لإحساسه صلى الله عليه وسلم بدنو أجله كما فهم من قول الله تعالى: (إذا جاء نصر الله والفتح، ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجاً، فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان تواباً) سورة النصر. فإن الله عز وجل أمر نبيه عليه الصلاة والسلام بالإكثار من التسبيح والاستغفار في آخر عمره، وهكذا فعل صلى الله عليه وسلم، فقد كان يكثر في ركوعه وسجوده من قول: (سبحانك اللهم وبحمدك، اللهم اغفر لي) يتأول القرآن. رواه البخاري (487) ومسلم (484) Kedua, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin memperbanyak amal saleh dan menambah ketaatan, karena sudah ada firasat tentang dekatnya ajal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (QS. An-Nashr) Allah ʿAzza wa Jalla Memerintahkan Nabi-Nya Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam untuk memperbanyak tasbih dan istigfar di akhir hayat beliau. Demikianlah perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, beliau sering membaca dalam rukuk dan sujud beliau, “Subẖānakallāhumma wabiẖamdika Allāhummaghfirlī (artinya: Maha Suci Engkau, ya Allah, dengan memuji-Mu, ya Allah, Ampunilah aku)” dalam rangka mengamalkan al-Quran. (HR. Bukhari (487) dan Muslim (484)). ثالثها: أنهﷺ فعل ذلك شكراً لله تعالى على ما أنعم به عليه من الأعمال الصالحة من الجهاد والتعليم والصيام والقيام وما آتاه من الفضل من إنزال القرآن عليه ورفع ذكره وغير ذلك مما امتن الله تعالى به عليه.  Ketiga, bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melakukan itu sebagai wujud syukur beliau kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas berbagai amal saleh yang Allah Anugerahkan kepada beliau berupa jihad, taklim, puasa, dan salat, serta keutamaan yang Dia Karuniakan kepada beliau dengan diturunkannya al-Quran kepada beliau, diangkatnya nama beliau, dan nikmat lain yang Allah Limpahkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. وكانﷺ يدخل معتكفه قبل غروب الشمس فإذا أراد مثلاً أن يعتكف العشر الأواسط دخل المعتكف قبل غروب الشمس من ليلة الحادي عشر، وإذا أراد أن يعتكف العشر الأواخر دخل المعتكف قبل غروب الشمس من ليلة الحادي والعشرين. أما ما ثبت في الصحيح من أنه ﷺ صلى الفجر ثم دخل معتكفه رواه البخاري (1928)، ومسلم (1173) والترمذي (791). فإنما المقصود أنه دخل المكان الخاص في المسجد بعد صلاة الفجر، فقد كان يعتكف في مكان مخصص لذلك، كما ورد في صحيح مسلم أنه صلى الله عليه وسلم اعتكف في قبة تركية. رواه مسلم (1167) Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memasuki tempat iktikaf beliau sebelum matahari terbenam. Jadi, misalnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin iktikaf di sepuluh hari pertengahan, maka beliau masuk tempat iktikaf beliau sebelum matahari terbenam pada malam kesebelas. Jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin iktikaf di sepuluh hari terakhir, maka beliau masuk tempat iktikaf sebelum matahari terbenam pada malam kedua puluh satu. Adapun riwayat dalam kitab Shahih bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Subuh lalu masuk ke tempat iktikafnya, yang diriwayatkan oleh Bukhari (1928), Muslim (1173), dan Tirmidzi (791), maka itu maksudnya bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memasuki suatu tempat khusus beliau di dalam masjid setelah salat subuh. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu iktikaf di tempat khusus, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf di sebuah tenda Turki. (HR. Muslim (1167)) وكان ﷺ يخرج رأسه وهو معتكف في المسجد إلى عائشة رضي الله عنها وهي في حجرتها، فتغسله وترجله، وهي حائض، كما جاء في الصحيحين. البخاري (1924)، (1926) ومسلم (297). وفي مسند أحمد أنه كان يتكئ على باب غرفتها، ثم يُخْرج رأسه، فترجّله. أحمد (6/272) وفي ذلك دليل على أن إخراج المعتكف بعض جسده من المعتكف لا بأس به، كأن يخرج رجله أو رأسه. كما أن الحائض لو أدخلت يدها أو رجلا [رجلها] مثلاً في المسجد فلا بأس، لأن هذا لا يُعدّ دخولاً في المسجد. ومن فوائد هذا الحديث أيضا أن المعتكف لا حرج عليه أن يتنظف، ويتطيب، ويغسل رأسه، ويسرحه، فكل هذا لا يخلّ بالاعتكاف. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika sedang iktikaf di masjid mengeluarkan kepala beliau kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya— sementara dia berada di kamarnya, sembari mencuci dan merapikan rambut beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat dia sedang haid. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Shahihain (Bukhari (1924) dan (1926) dan Muslim (297)). Dalam Musnad Ahmad, disebutkan bahwa dia —Semoga Allah Meridainya— bersandar di pintu kamarnya, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengeluarkan kepala beliau, lalu dia merapikan rambut beliau. (HR. Ahmad (6/272))  Ini menjadi dalil bahwa tidak mengapa orang yang beriktikaf mengeluarkan sebagian anggota tubuhnya dari tempat iktikafnya, seperti mengeluarkan kaki atau kepalanya. Demikian pula ketika seorang wanita yang sedang haid, misalnya, memasukkan tangan atau kakinya ke dalam masjid, karena ini tidak dianggap masuk ke dalam masjid. Termasuk faedah hadis ini juga bahwa orang yang iktikaf boleh saja membersihkan diri, memakai wewangian, dan mencuci kepala atau menyisirnya. Semua itu tidak merusak iktikafnya  ومما وقع له ﷺ في اعتكافه ما راوه الشيخان عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر، ثم دخل معتكفه، وإنه أمر بخبائها فضرب، وأمر غيرها من أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، بخبائه فضرب، فلما صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الفجر نظر فإذا الأخبية، فقال: (آلبرَّ تُردْن ؟) فأمر بخبائه فقوض، وترك الاعتكاف في شهر رمضان، حتى اعتكف في العشر الأول من شوال البخاري (1928) ومسلم (1173). Di antara peristiwa yang terjadi ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf adalah kisah yang diriwayatkan oleh Syaikhān dari Aisyah yang mengatakan bahwa dahulu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika ingin iktikaf, beliau salat subuh lalu masuk ke tempat iktikaf beliau. Beliau lalu menyuruh diambilkan tenda Aisyah lalu memasangnya. Lalu menyuruh istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang lain agar diambilkan tenda lalu memasangnya. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selesai salat subuh, ternyata beliau melihat ada banyak tenda telah dipasang, lalu berkata, “Apakah yang mereka mau adalah kebaikan?” Beliau lalu menyuruh diambilkan tenda beliau sendiri dan menutup yang lain. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lantas meninggalkan iktikaf di bulan Ramadan itu, hingga beliau beriktikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawal. (HR. Bukhari (1928) dan Muslim (1173)). ومعنى قوله: (آلبرّ تردْن؟) أي: هل الدافع لهذا العمل هو إرادة البر، أو الغيرة والحرص على القرب من رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ والأظهر والله أعلم أن اعتكافه ﷺ في شوال من تلك السنة بدأ بعد العيد، أي في الثاني من شوال. ويحتمل أن يكون بدأ من يوم العيد، فإن صح ذلك فهو دليل على أن الاعتكاف لا يشترط معه الصوم، لأن يوم العيد لا يصام. Maksud perkataan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “Apakah yang mereka mau adalah kebaikan?” yakni apakah motif mereka melakukan ini adalah ingin kebaikan ataukah kecemburuan dan harapan ingin merebut hati Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam? Kemudian, tampaknya—Allah Yang lebih Mengetahui—bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu iktikaf di bulan Syawal di tahun itu, yang dimulai setelah Idul Fitri, yaitu pada tanggal dua Syawal. Mungkin juga dimulai sejak hari Idul Fitri. Jika benar demikian, maka ini adalah dalil bahwa iktikaf tidak dipersyaratkan dikerjakan dengan puasa, karena pada hari raya tidak boleh puasa. ومما وقع له صلى الله عليه وسلم في اعتكافه ما رواه الشيخان أيضا أن صفية زوج النبي صلى الله عليه وسلم جاءت تزوره في اعتكافه في المسجد، في العشر الأواخر من رمضان، فتحدثت عنده ساعة، ثم قامت تنقلب، فقام النبي صلى الله عليه وسلم معها يقلبها، حتى إذا بلغت باب المسجد عند باب أم سلمة، مر رجلان من الأنصار، فسلّما على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال لهما النبي صلى الله عليه وسلم: على رسلكما، إنما هي صفية بنت حيي، فقالا: سبحان الله يا رسول الله ! وكبُرَ عليهما، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: إن الشيطان يبلغ من الإنسان مبلغ الدم وفي لفظ: (يجري من الإنسان مجرى الدم)، (وإني خشيت أن يقذف في قلوبكما شيئاً) وفي لفظ: (شراً). Di antara apa yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam alami selama iktikaf adalah kisah yang juga diriwayatkan oleh Syaikhān bahwa Shafiyah, salah seorang istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, datang mengunjungi beliau saat beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.  Dia —Semoga Allah Meridainya— ngobrol dengan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beberapa saat lalu berdiri dan berbalik pulang. Lantas Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri bersamanya dan mengiringinya berbalik. Ketika dia sampai di depan pintu masjid, di dekat pintu kamar Ummu Salamah, ada dua orang laki-laki Anshar lewat dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada mereka berdua, “Pelan-pelan saja kalian. Dia ini Shafiyah binti Huyay.”  Mereka menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah!” Rupanya mereka merasa keberatan dengan perkataan beliau, maka beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya setan memasuki manusia melalui aliran darah—dalam riwayat lain: mengalir dalam diri manusia di aliran darah— dan aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu—dalam riwayat lain: keburukan—ke dalam hati kalian.”  فمن شدة حرصه ﷺ على صدق إيمان هذين الأنصاريَّيْن، وخشية أن يلقى الشيطان في قلوبهما شيئاً، فيشكَّا في الرسول ﷺ، فيكون ذلك كفراً، أو يشتغلا بدفع هذه الوسوسة، بيّن صلى الله عليه وسلم الأمر، وقطع الشك، ودفع الوسواس، فأخبرهما أنها صفية رضي الله عنها وهي زوجته. Karena kesungguhan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjaga kebenaran iman dua orang Anshar ini dan kekhawatiran beliau jika setan membisikkan sesuatu ke dalam hati mereka sehingga mereka meragukan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam—yang bisa membuat mereka menjadi kafir—atau sekadar berusaha keras menampik kecurigaan tersebut, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjelaskan duduk perkaranya untuk menghilangkan keraguan dan menghilangkan kecurigaan, sehingga beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memberitahu mereka bahwa wanita itu adalah Shafiyah —Semoga Allah Meridainya— istri beliau sendiri. وهديه صلى الله عليه وسلم في الاعتكاف كان أكمل هدي، وأيسره، فكان إذا أراد أن يعتكف وُضع له سريره وفراشه في مسجده صلى الله عليه وسلم، وبالتحديد وراء أسطوانة التوبة كما جاء في الحديث عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم (أنه كان إذا اعتكف طرح له فراشه، أو يوضع له سريره وراء أسطوانة التوبة) رواه ابن ماجه 1/564. Bimbingan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat iktikaf adalah bimbingan yang paling sempurna dan mudah. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin beriktikaf, maka alas atau pembaringan beliau diletakkan di masjid Nabawi, tepatnya di belakang tiang Taubah (salah satu nama tiang di masjid Nabawi, pent.), sebagaimana tersebut dalam hadis dari Nāfi’ dari Ibnu Umar tentang Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang apabila ingin iktikaf, maka dibentangkan alas untuk beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam atau diletakkan pembaringan beliau di belakang tiang Taubah. (HR. Ibnu Majah 1/564). وكان النبي صلى الله عليه وسلم يضرب له خباء مثل هيئة الخيمة، فيمكث فيه غير أوقات الصلاة حتى تتم الخلوة له بصورة واقعية، وكان ذلك في المسجد، ومن المتوقع أن يضرب ذلك الخباء على فراشه أو سريره، وذلك كما في حديث عائشة رضي الله عنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في العشر الأواخر من رمضان، فكنت أضرب له خباء، فيصلي الصبح، ثم يدخله.. الحديث) رواه البخاري 4/810 فتح الباري. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendirikan Khibāʾ (semacam kemah, pent.) berbentuk seperti tenda. Beliau tetap di situ selain di waktu salat agar betul-betul terealisasikan suasana khalwat. Ketika itu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di masjid, tentu tenda itu diletakkan di atas alas atau pembaringan beliau. Itu sebagaimana tersebut dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang bersabda, “Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, dan aku yang memasang tenda. Lalu beliau salat subuh lalu memasukinya … (sampai akhir hadis)” (HR. Bukhari 4/810 dalam Fathul Bari). وكان دائم المكث في المسجد لا يخرج منه إلا لحاجة الإنسان، من بول أو غائط، وذلك لحديث عائشة رضي الله عنها حين قالت: (.. وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفاً) رواه البخاري 4/ 808 فتح الباري. وكان صلى الله عليه وسلم يؤتي إليه بطعامه وشرابه إلى معتكفه كما أراد ذلك سالم بقوله: (أما طعامه وشرابه فكان يؤتى به إليه في معتكفه) ص 75. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selalu tinggal di masjid dan tidak keluar kecuali untuk hajat manusiawi beliau, seperti buang air kecil dan besar. Hal ini berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak masuk rumah ketika iktikaf kecuali untuk suatu hajat beliau. (HR. Bukhari 4/808 dalam Fathul Bari). Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan ke tempat iktikaf beliau, sebagaimana yang dikatakan oleh Salim, “Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan kepada beliau ke tempat iktikafnya.” (Hal. 75). وكان صلى الله عليه وسلم يحافظ على نظافته، إذْ كان يخرج رأسه إلى حجرة عائشة رضي الله عنها لكي ترجّل له شعر رأسه، ففي الحديث عن عروة عنها رضي الله عنها (أنها كانت ترجّل النبي صلى الله عليه وسلم وهي حائض، وهو معتكف في المسجد، وهي في حجرتها، يناولها رأسه) رواه البخاري 4/807 فتح الباري قال ابن حجر: (وفي الحديث جواز التنظيف والتطيب والغسل والحلق والتزين إلحاقاً بالترجل، والجمهور على أنه لا يكره فيه إلا ما يكره في المسجد) 4/807 فتح الباري Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tetap menjaga kebersihan diri beliau. Beliau mengeluarkan kepala beliau ke kamar Aisyah —Semoga Allah Meridainya— agar dia merapikan (menyisir) rambut beliau. Dalam sebuah hadis dari Urwah —Semoga Allah Meridainya— dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia (Aisyah) pernah merapikan rambut Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika dia sedang haid sementara beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang iktikaf di masjid. Dia berada di kamarnya dan beliau menjulurkan kepala beliau kepadanya. (HR. Bukhari 4/ 807 dalam Fathul Bari). Ibnu Hajar berkata bahwa dalam hadis ini ada dalil bolehnya membersihkan diri, memakai wewangian, membasuh, mencukur, atau berhias, karena hukumnya disamakan seperti merapikan rambut. Mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada yang dimakruhkan saat iktikaf kecuali perkara yang dimakruhkan dilakukan di dalam masjid. (Fath al-Bari 4/807) وكان ﷺ لا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة، وذلك من أجل التركيز والانقطاع الكلي لمناجاة الله عز وجل، ففي الحديث عن عائشة أنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يمرّ بالمريض وهو معتكف، فيمرّ كما هو ولا يُعرِّج يسأل عنه) وأيضا عن عروة أنها قالت: (السنّة على المعتكف أن لا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة، ولا يمس امرأة، ولا يباشرها، ولا يخرج لحاجة إلا لما لا بد منه، ولا اعتكاف إلا بصوم، ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع) رواه أبو داود/ 2/333. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menjenguk orang sakit maupun menghadiri kematian. Hal itu agar beliau fokus dan khalwat total dalam munajat kepada Allah ʿAzza wa Jalla. Dalam sebuah hadis dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia berkata, “Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika melewati orang sakit saat beriktikaf, maka beliau lewat begitu saja tanpa berhenti walaupun sekadar bertanya keadaannya.” (HR. Abu Dawud) Diriwayatkan juga dari Urwah bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa sunahnya orang yang iktikaf adalah tidak menjenguk orang sakit, menghadiri kematian, berhubungan dengan istri maupun bermesraan dengannya, dan keluar memenuhi keperluannya kecuali yang tidak bisa tidak. Tidak ada iktikaf kecuali dengan puasa, dan tidak iktikaf kecuali di masjid jamik. (HR. Abu Dawud (2/333). وكان أزواجه ﷺيزرْنه في معتكفه، وحدث أنه خرج ليوصل إحداهن إلى منزلها، وكان ذلك لحاجة إذ كان الوقت ليلاً، وذلك كما جاء في الحديث عن علي بن الحسين: (أن صفية رضي الله عنها أتت النبي صلى الله عليه وسلم وهو معتكف، فلما رجعت مشى معها، فأبصره رجل من الأنصار، فلما أبصر دعاه، فقال: تعال، هي صفية) وربما قال سفيان: (هذه صفية، فإن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم) قلت لسفيان: (أتته ليلاً ؟ قال: وهل هو إلا ليلاً) رواه البخاري 4/819. فرأى صلى الله عليه وسلم أن خروجه معها رضي الله عنها أمر لا بد منه في ذلك الليل، فخرج معها من معتكفه، ليوصلها إلى بيتها. Istri-istri beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengunjungi beliau di tempat iktikaf beliau. Beliau pernah keluar untuk mengantarkan salah satu dari mereka pulang ke rumah. Itu memang diperlukan karena waktu itu sudah malam, hal itu sebagaimana diriwayatkan dalam hadis dari Ali bin al-Husain, “Shafiyah —Semoga Allah Meridainya— menemui Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika beliau sedang iktikaf. Ketika dia pulang, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berjalan membersamainya. Lalu ada seorang laki-laki Anshar melihat beliau. Ketika dia melihat beliau, beliau memanggilnya dan berkata, ‘Kesinilah! Ini Shafiyah!’ Sepertinya Sufyan mungkin juga meriwayatkan bahwa beliau bersabda, ‘Ini adalah Shafiyah. Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia di aliran darah.’ Lalu aku bertanya kepada Sufyan, ‘Shafiyah menemui beliau malam hari?’ Dia menjawab, ‘Itu terjadi di malam hari.’ (HR. Bukhari 4/819). Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memandang bahwa keluar menemaninya —Semoga Allah Meridainya— adalah suatu keharusan pada malam itu, sehingga beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallama keluar dari tempat iktikafnya untuk mengantarkannya pulang ke rumah. وخلاصة القول: أن هديه صلى الله عليه وسلم في اعتكاف كان يتسم بالاجتهاد، فقد كان جل وقته مكث في المسجد، وإقبال على طاعة الله عز وجل، وترقب لليلة القدر. Ringkasnya, bahwa bimbingan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat iktikaf bercirikan kesungguhan, di mana sebagian besar waktu beliau dihabiskan untuk berdiam di masjid, fokus untuk Allah ʿAzza wa Jalla, dan menanti-nanti Lailatul Qadar. مقاصد الاعتكاف تحري ليلة القدر. الخلوة بالله عز وجل، والانقطاع عن الناس ما أمكن حتى يتم أنسه بالله عز وجل وذكره. إصلاح القلب، ولم شعثه بإقبال على الله تبارك وتعالى بكليته. الانقطاع التام إلى العبادة الصرفة من صلاة ودعاء وذكر وقراءة قرآن. حفظ الصيام من كل ما يؤثر عليه من حظوظ النفس والشهوات. التقلل من المباح من الأمور الدنيوية، والزهد في كثير منها مع القدرة على التعامل معها. Tujuan Iktikaf Memburu Lailatul Qadar. Berkhalwat kepada Allah ʿAzza wa Jalla dan sebisa mungkin memutus interaksi dari manusia agar mendapatkan ketenangan kepada Allah dan berzikir kepada-Nya. Membenahi hati dan tidak merusak fokusnya kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā secara totalitas. Menghentikan total aktivitas untuk ibadah murni, seperti salat, doa, zikir, dan membaca al-Quran. Menjaga puasa dari segala keinginan dan syahwat yang bisa berpengaruh buruk terhadap puasa. Mengurangi urusan-urusan duniawi yang mubah dan zuhud terhadap sebagian besar hal-hal tersebut tapi tetap mampu menjaga interaksi dengan semua itu. أقسام الاعتكاف واجب: ولا يكون إلا بنذر، فمن نذر أن يعتكف وجب عليه الاعتكاف، فقد قال صلى الله عليه وسلم: (من نذر أن يطيع الله فليطعه، ومن نذر أن يعصيه فلا يعصه) وفي الحديث أن ابن عمر رضي الله عنهما: أن عمر سأل النبي ﷺ قال: كنت نذرت في الجاهلية أن اعتكف ليلة في المسجد الحرام، قال: (أوف بنذرك) البخاري 4/809. Macam-macam Iktikaf Iktikaf Wajib, yang tidak ada kecuali karena nazar. Barang siapa yang bernazar untuk iktikaf, maka dia wajib iktikaf. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang bernazar untuk menaati Allah, maka taatilah Dia. Sementara barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada Allah, maka jangan bermaksiat kepada-Nya.” Dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dengan mengatakan, “Di masa jahiliah aku pernah bernazar untuk iktikaf semalam di Masjidil Haram,” lantas beliau menimpali, “Penuhi nazarmu!” (HR. Bukhari 4/809). مندوب: وهو ما كان من دأب النبي ﷺ في اعتكافه في العشر الأواخر من رمضان، ومحافظة على هذا الأمر وهو سنة مؤكدة من حياته صلى الله عليه وسلم كما ورد ذلك في الأحاديث التي أشير غليها عند الحديث عن مشروعية الاعتكاف. Iktikaf Sunah, inilah yang menjadi kebiasaan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, yang beliau jaga kebiasaan ini. Iktikaf ini adalah sunah yang sangat dianjurkan di masa hidup beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sebagaimana hal itu tersebut dalam hadis-hadis yang disebutkan saat membahas disyariatkannya iktikaf. حكم الاعتكاف سنة مؤكدة داوم عليها الرسول ﷺ، وقضى بعض ما فاته منها، ويقول في ذلك (عزام): ” والمسنون ما تطوع به المسلم تقرباً إلى الله، وطلباً لثوابه اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقد ثبت أنه فعله وداوم عليه) ص 114 Hukum Iktikaf Hukumnya sunah muakadah, yang rutin dikerjakan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, bahkan mengqadanya ketika beliau melewatkannya. Azzam mengatakan tentang iktikaf ini, “Inilah sunah yang dikerjakan seorang muslim secara sukarela untuk mendekatkan diri kepada Allah, mencari pahala-Nya, dan meneladan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, karena sahih bahwa beliau telah melakukannya dan merutinkannya.” (Hal. 114) شروط الاعتكاف يشترط للاعتكاف شروط هي: الإسلام: إذ لا يصح من كافر، وكذلك المرتد عن دينه. التمييز: إذ لا يصح من صبي غير مميز. الطهارة من الحدث الأكبر (من جنابة، وحيض، ونفاس) وإن طرأت مثل هذه الأمور على المعتكف أثناء اعتكافه وجب عليه الخروج من المسجد، لأنه لا يجوز له المكث على حالته هذه في المسجد. أن يكون في مسجد: قال الله تعالى (ولا تُباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد والأفضل أن يكون الاعتكاف في مسجد تقام فيه الجمعة، حتى لا يضطر إلى الخروج من مسجده لأجل صلاة الجمعة. Syarat Iktikaf Iktikaf dipersyaratkan beberapa syarat, yaitu: Islam, sehingga tidak sah iktikafnya orang kafir, begitu pula orang yang murtad dari agama Islam. Tamyiz, sehingga tidak sah iktikafnya anak yang belum tamyiz. Suci dari hadas besar (junub, haid, dan darah nifas). Adapun jika hal tersebut terjadi pada seseorang yang sedang iktikaf di tempat iktikafnya, maka ia harus keluar meninggalkan masjid, karena dia tidak boleh tetap berada di dalam masjid dengan keadaannya yang seperti itu. Berada di dalam masjid, Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Lebih utama lagi jika iktikaf dilakukan di masjid yang digunakan untuk salat Jumat, agar tidak keluar dari masjid tersebut untuk menunaikan salat Jumat. وقد ذهب بعض أهل العلم إلى أنه لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة: المسجد الحرام، والمسجد الأقصى، ومسجد النبي ﷺ. والصواب أن الاعتكاف جائز في كل مسجد تصلى فيه الفروض الخمسة، قال الله تعالى: (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) سورة البقرة 187، فدل عموم قوله تعالى: (في المساجد) على أنه جائز في كل مسجد. ويستحب أن يكون في مسجد جامع، حتى لا يحتاج المعتكف إلى الخروج للجمعة. وأما حديث لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة أخرجه الطحاوي في مشكل الآثار 4/20 فهو على القول بصحته مؤول بمعنى أنّ أكمل ما يكون الاعتكاف في هذه المساجد كما قال أهل العلم. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan Masjid Nabawi. Yang tepat bahwa iktikaf boleh dikerjakan di setiap masjid yang tegakkan di dalamnya salat wajib lima waktu. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Keumuman makna “dalam masjid” menunjukkan bahwa hal itu diperbolehkan di masjid mana pun. Dianjurkan dikerjakan di masjid jamik, agar tidak perlu keluar dari masjid itu untuk salat Jumat. Adapun hadis, “Tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, …” yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsār (20/40), andaikata hadis itu sahih, maka dimaknai bahwa iktikaf yang paling sempurna adalah di masjid-masjid tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. وقد يكون المراد بقوله صلى الله عليه وسلم: (لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة ): أي لا اعتكاف يُنذر ويسافر إليه. والاعتكاف يصح في كل مسجد، وقد أجمع الأئمة – خاصة الأئمة الأربعة – على صحة الاعتكاف في كل مسجد جامع. ولم يقل بعدم صحة الاعتكاف إلا في المساجد الثلاثة أحد من الأئمة المعروفين المتبوعين، لا الأربعة ولا العشرة ولا غيرهم Mungkin juga yang dimaksud dengan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, …” adalah iktikaf nazar yang harus ditempuh dengan safar. Iktikaf sah dikerjakan di semua masjid. Para imam ulama—khususnya imam empat mazhab—telah sepakat mengenai sahnya iktikaf di setiap masjid jamik. Tidak ada seorang pun imam ulama yang dikenal dan diikuti—baik imam yang empat, sepuluh, atau selain mereka—yang mengatakan tidak sahnya iktikaf jika tidak di tiga masjid tersebut.  ، وإنما نقل هذا عن حذيفة – رضي الله عنه – وواحد أو اثنين من السلف. وإذا نذر المرء أن يعتكف في المسجد الحرام وجب عليه الوفاء بنذره، فيعتكف في المسجد الحرام. ولكن لو نذر مثلا أن يعتكف في مسجد النبي صلى الله عليه وسلم فإنه يجوز له أن يعتكف في مسجد النبي أو في المسجد الحرام ؛ لأن المسجد الحرام أفضل. ولو نذر أن يعتكف في المسجد الأقصى، جاز له أن يعتكف في المسجد الأقصى أو المسجد الحرام أو المسجد النبوي، لأنهما أفضل من المسجد الأقصى. Pendapat ini diriwayatkan dari Hudzaifah —Semoga Allah Meridainya— dan satu atau dua ulama Salaf. Jika seseorang bernazar untuk iktikaf di Masjidil Haram, maka ia harus menunaikan nazarnya dan beriktikaf di Masjidil Haram. Namun, misalnya, jika dia bernazar untuk iktikaf di Masjid Nabawi, maka dia boleh beriktikaf di Masjid Nabawi atau di Masjidil Haram, karena Masjidil Haram lebih utama. Jika dia bernazar untuk beriktikaf di Masjidil Aqsa, maka boleh baginya iktikaf di Masjidil Aqsa, Masjidil Haram, atau Masjid Nabawi, karena keduanya lebih utama dari Masjidil Aqsa. أركان الاعتكاف النية: لحديث عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه. البخاري 1/15. Rukun Iktikaf Niat. Hal ini berdasarkan hadis Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya segala amalan hanya tergantung dengan niatnya; dan sesungguhnya tiap-tiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan rasul-Nya. Adapun orang yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya atau seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah kepada apa yang dia tuju itu.’” (HR. Bukhari 15/1) المكث في المسجد: كما في قوله تعالى: (وعهدنا إلى إبراهيم وإسماعيل أن طهرا بيتي للطائفين والعاكفين والركع والسجود) سورة البقرة /125 وفي هذا تأكيد على أن مكان الاعتكاف هو المسجد، ودلّ على ذلك أيضاً فعل الرسول صلى الله عليه وسلم ومن بعده أزواجه وصحابته رضوان الله عليهم، ففي الحديث عن يونس بن زيد أن نافعاً حدثه عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله ﷺ كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان، قال نافع: وقد أراني عبد الله رضي الله عنه المكان الذي يعتكف فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم من المسجد أخرجه مسلم 8/308. Berdiam di dalam masjid, sebagaimana firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan telah Kami Perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud!’” (QS. Al-Baqarah: 125) Ini juga menegaskan bahwa tempat iktikaf adalah di masjid. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan perbuatan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para istri-istri serta Sahabat-Sahabat beliau —Semoga Allah Meridai mereka— setelah beliau wafat. Dalam hadis dari Yunus bin Zaid bahwa Nāfiʿ mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu beriktikaf selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Nāfiʿ berkata, “Abdullah —Semoga Allah Meridainya— menunjukkan kepadaku di sebelah mana tempat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf.” (HR. Muslim 8/308) مكان الاعتكاف وزمانه وبداية وقته مكان الاعتكاف المسجد كما دلت عليه الآية في قوله تعالى: ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد. البقرة /187. ولأن الرسول ﷺ وأزواجه وصحابته رضوان الله عليهم اعتكفوا في المساجد، ولم يرد عن أحد منهم أنه اعتكف في غير المسجد. Tempat, Waktu dan Permulaan Iktikaf Tempat iktikaf adalah masjid, seperti yang ditunjukkan dalam ayat dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Hal ini karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, beserta istri-istri dan para Sahabat beliau —Semoga Allah Meridai mereka— beriktikaf di masjid dan tidak ada satu pun riwayat dari mereka bahwa mereka beriktikaf di tempat lain selain masjid. وأما بالنسبة لزمانه فإذا كان في رمضان فآكد وقته العشر الأواخر منه، ويجوز في أي وقت في رمضان وغيره، فهو لا يختص بزمن معيّن، بل مستحب في جميع الأوقات، ويجب إذا ألزم نفسه بنذر، كما جاء في حديث ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر سأل النبي صلى الله عليه وسلم قال: كنت نذرت في الجاهلية ان اعتكف ليلة في المسجد الحرام. قال: (أوف بنذرك) البخاري 4/809  Adapun waktunya, jika dikerjakan di bulan Ramadan, maka sangat dianjurkan di sepuluh hari terakhirnya. Boleh juga dikerjakan kapan saja pada bulan Ramadan atau di luar Ramadan. Jadi, tidak ada waktu tertentu, tetapi dianjurkan kapan pun. Ini menjadi wajib jika seseorang menazarkannya, sebagaimana tersebut dalam hadis Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dengan mengakatan, “Di masa jahiliah aku pernah bernazar untuk iktikaf semalam di Masjidil Haram,” lantas beliau menimpali, “Penuhi nazarmu!” (HR. Bukhari 4/809). وأما بالنسبة لبداية وقته فقبل غروب الشمس لمن أراد أن يعتكف يوماً وليلة أو اكثر وقال بعض العلماء يدخل معتكفه فجرا. Adapun permulaan waktunya, maka dimulai sebelum matahari terbenam bagi orang yang ingin iktikaf sehari semalam atau lebih. Sebagian ulama mengatakan bahwa hendaknya dia memulai iktikaf saat fajar. آداب الاعتكاف للاعتكاف آداب يستحب للمعتكف أن يأخذ بها حتى يكون اعتكافه مقبولاً وكلما حافظ عليها المعتكف كان له الأجر الجزيل من رب العالمين وكلما أخل بهذه الآداب نقص أجره. ومن آداب الاعتكاف ما ذكره ابن قدامة في المعنى: Adab Iktikaf Iktikaf mempunyai adab-adab yang seyogianya dijaga oleh orang yang beriktikaf agar iktikafnya diterima. Semakin seseorang menjaga adab-adab ini, maka semakin besar pahalanya dari Tuhan semesta alam. Semakin seseorang melanggar adab-adab ini, maka semakin berkurang pula pahalanya. Di antara adab-adab iktikaf adalah sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qudamah secara umum: يستحب للمعتكف التشاغل بالصلاة وتلاوة القرآن وبذكر الله تعالى ونحو ذلك من الطاعات المحضة ويجتنب مالا يعينه من الأقوال والفعال ولا يُكثر الكلام لأن من كثر كلامه كثر سقطه وفي الحديث (من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه) ويجتنب الجدال والمراء والسباب والفحش فإن ذلك مكروه في غير الاعتكاف ففيه أولى ولا يبطل الاعتكاف بشي من ذلك  “Orang yang iktikaf hendaknya menyibukkan diri dengan salat, membaca al-Quran, berzikir kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan ketaatan lain yang sifatnya ketaatan murni serta menjauhi perkara yang tidak bermanfaat, baik perkataan atau perbuatan. Janganlah dia banyak bicara, karena orang yang banyak bicara akan banyak kelirunya. Disebutkan dalam sebuah hadis, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah ketika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi) Demikian pula ia menghindari perdebatan, adu argumen, mencela, dan berkata kotor, karena hal itu tidak boleh dilakukan di luar iktikaf, apalagi saat iktikaf. Hanya saja, semua itu tidak membatalkan iktikaf. ولا بأس بالكلام لحاجة ومحادثة غيره روى الشيخان أن صفية زوج النبي صلى الله عليه وسلم جاءت تزوره في اعتكافه في المسجد، في العشر الأواخر من رمضان، فتحدثت عنده ساعة، ثم قامت تنقلب، فقام النبي صلى الله عليه وسلم معها يقلبها، حتى إذا بلغت باب المسجد عند باب أم سلمة، مر رجلان من الأنصار، فسلما على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال لهما النبي صلى الله عليه وسلم: (على رسلكما، إنما هي صفية بنت حيي)، فقالا: سبحان الله يا رسول الله ! وكبُرَ عليهما، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن الشيطان يبلغ من الإنسان مبلغ الدم) وفي لفظ: (يجري من الإنسان مجرى الدم)، (وإني خشيت أن يقذف في قلوبكما شيئاً) وفي لفظ: (شراً). Tidak mengapa berbicara atau ngobrol dengan orang lain untuk suatu keperluan. Syaikhān meriwayatkan bahwa Shafiyah, Istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, pernah datang mengunjungi beliau saat beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Dia —Semoga Allah Meridainya— ngobrol bersama beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beberapa saat lalu berdiri dan berbalik pulang. Lantas Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri bersamanya dan mengiringinya berbalik. Ketika dia sampai di depan pintu masjid, di dekat di depan pintu kamar Ummu Salamah, ada dua orang laki-laki Anshar lewat dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada mereka berdua, “Pelan-pelan saja kalian. Dia ini Shafiyah binti Huyay.” Mereka menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah!” Rupanya mereka merasa keberatan dengan perkataan beliau, maka beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya setan memasuki manusia melalui aliran darah—dalam riwayat lain: mengalir dalam diri manusia di aliran darah—, dan aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu—dalam riwayat lain: keburukan—ke dalam hati kalian.” قال الحافظ وفي الحديث فوائد: جواز اشتغال المعتكف بالأمور المباحة من تشييع زائره والقيام معه والحديث مع غيره وإباحة خلوة المعتكف وزيارة المرأة للمعتكف.وروى عبد الرزاق عن علي قال: من اعتكف فلا يرفث في الحديث ولا يساب ويشهد الجمعة والجنازة وليوص أهله إذا كانت له حاجة، وهو قائم ولا يجلس عندهم. Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa ada beberapa faedah dari hadis tersebut, di antaranya tentang kebolehan bagi orang yang iktikaf untuk melakukan hal-hal yang sifatnya mubah, seperti menemani dan mengantar orang yang mengunjunginya atau ngobrol dengan orang lain. Orang yang iktikaf boleh berduaan dengan istrinya atau dikunjungi olehnya. Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ali yang mengatakan bahwa orang yang melakukan iktikaf tidak boleh berkata cabul dalam ucapannya atau mencela. Dia tetap mendatangi salat Jumat dan kematian serta berwasiat untuk keluarganya jika memang diperlukan, tetapi sambil berdiri tanpa duduk bermajelis bersama mereka. وأما إقراء القرآن وتدريس العلم ودرسه ومناظرة الفقهاء ومجالستهم وكتابة الحديث فقد اُختلف فيه. فعند الإمام أحمد أنه لا يستحب ذلك، لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف فلم ينقل عنه الاشتغال بغير العبادات المختصة به. قال المروزي: قلت لأبي عبد الله إن رجلاً يُقرئ في المسجد وهو يريد أن يعتكف ولعله أن يختم في كل يوم فقال: إذا فعل هذا كان لنفسه وإذا قعد في المسجد كان له ولغيره يقرئ أحب إلي. وذهب الشافعي كما في المغني: إلى استحباب لأنه أفضل العبادات ونفعه يتعدى. والقول ما ذهب إليه الإمام أحمد وهو الأفضل والله أعلم. Adapun mengajarkan al-Quran, mengisi majelis taklim dan pelajaran, diskusi dan bermajelis dengan para fukaha, dan menulis hadis, maka ada perbedaan pendapat mengenai hukum masalah ini. Menurut Imam Ahmad, hal ini tidak dianjurkan, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu beriktikaf tapi tidak ada riwayat bahwa beliau melakukan hal lain selain ibadah yang khusus dikerjakan saat iktikaf. Al-Maruzi berkata, “Aku berkata kepada Abu Abdullah bahwa ada seorang yang mengajarkan al-Quran di masjid padahal dia ingin iktikaf dan mungkin berniat mengkhatamkannya setiap hari. Dia berkomentar, ‘Jika dia melakukan sendiri, maka itu kebaikan untuk dirinya sendiri. Adapun jika dia duduk di dalam masjid, maka itu kebaikan untuk dia dan orang lain. Mengajarkan al-Quran lebih aku sukai.'”  Imam Syafii, sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni, mengatakan hal itu dianjurkan, karena itu adalah sebaik-baik ibadah dan manfaatnya dirasakan oleh orang lain juga. Adapun pendapat yang dikatakan Imam Ahmad adalah bahwa itu yang afdal. Allah Yang lebih Mengetahui. ملحوظة (1): بعض الناس يعدون الاعتكاف فرصة خلوة ببعض أصحابهم وأحبابهم، وتجاذب أطراف الحديث معهم، وليس هذا بجيد. حقا أنه لا حرج في أن يعتكف جماعة معا في مسجد، فقد اعتكف أزواج النبي ﷺ معه، حتى لقد كانت إحداهن معتكفة معه، وهي مستحاضة ترى الدم وهي في المسجد رواه البخاري (303، 304)،  Catatan Pertama: Sebagian orang menganggap iktikaf sebagai kesempatan untuk kumpul bersama teman-teman dan orang-orang yang dicintainya serta mengobrol dan bercengkerama dengan mereka. Ini tidak baik. Yang benar bahwa iktikaf bersama-sama di masjid tidaklah masalah, karena istri-istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga beriktikaf bersama beliau, bahkan ada salah seorang dari mereka yang iktikaf berdua bersama beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam padahal dia melihat darahnya karena mengalami istihadah sementara dia berada di dalam masjid. (HR Bukhari (303-304))  فلا حرج أن يعتكف الشخص مع صاحبه أو قريبه، ولكن الحرج في أن يكون الاعتكاف فرصة للسمر والسهر، والقيل و القال، وما شابه ذلك. ولذلك قال الإمام ابن القيم بعدما أشار إلى ما يفعله بعض الجهال من اتخاذ المعتكف موضع عِشْرة، ومجلبة للزائرين، وأخذهم بأطراف الحديث بينهم، قال: (فهذا لون، والاعتكاف النبوي لون) زاد المعاد. Tidak masalah jika seseorang beriktikaf dengan teman atau kerabatnya, masalahnya adalah jika iktikafnya dijadikan kesempatan untuk ngobrol hingga malam, bergadang, bergosip, dan sejenisnya. Oleh karena itu, setelah menyinggung sebagian perbuatan orang-orang jahil yang menjadikan iktikaf sebagai ajang kumpul-kumpul, kesempatan bertemu dengan orang yang mengunjunginya, dan mengajak mereka ngobrol, lalu Imam Ibnul Qayyim berkomentar, “Ini acara sendiri yang beda dengan iktikafnya Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” (Zādul Ma’ād) ملحوظة (2): بعض الناس يترك عمله، ووظيفته وواجبه المكلف به، كي يعتكف، وهذا تصرف غير سليم؛ إذ ليس من العدل أن يترك المرء واجبا ليؤدي سنة ؛ فيجب على من ترك عمله المكلّف به واعتكف، أن يقطع الاعتكاف، ويعود إلى عمله لكي يكون كسبه حلالا، وأمّا إذا استطاع أن يجعل الاعتكاف في إجازة من عمله أو رخصة من صاحب العمل فهذا خير عظيم. Catatan Kedua: Sebagian orang meninggalkan pekerjaan, tugas, dan kewajiban yang dibebankan kepadanya agar bisa iktikaf. Perbuatan ini tidak tepat, karena tidak benar jika dia meninggalkan suatu kewajiban demi menunaikan yang sunah. Barang siapa yang meninggalkan pekerjaan yang dibebankan kepadanya agar bisa iktikaf, maka dia wajib berhenti dari iktikaf dan kembali kepada pekerjaannya agar penghasilannya menjadi halal. Jika ia mampu menjadwalkan iktikafnya di masa libur kerjanya atau diberi izin dari atasannya, maka ini adalah kebaikan yang besar. محظورات الاعتكاف أ- الخروج من المسجد يبطل الاعتكاف إذا خرج المعتكف من المسجد لغير حاجة، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يكن يخرج من المسجد إلا لحاجة الإنسان، وهي حاجته إلى الطعام، إن لم يكن بالإمكان أن يؤتى إليه بالطعام، كما كان يؤتى بطعام رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المسجد إذ يقول (سالم): ” فأما طعامه وشرابه فكان يؤتى به إليه في معتكفه). وكذلك خروجه للتطهر من الحدث الأصغر، والوضوء لحديث عائشة رضي الله عنها أنها قالت: (وإن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليدخل عليَّ رأسه وهو في المسجد فأرجّله، وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفاً) فتح الباري 4/808. Larangan-larangan Iktikaf Keluar dari masjid. Keluar dari masjid membatalkan iktikaf, jika dia keluar tanpa ada kebutuhan, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak meninggalkan masjid kecuali untuk suatu hajat manusiawi beliau. Misalnya, kebutuhan terhadap makanan, jika memang makanannya tidak bisa diantar kepadanya, sebagaimana dahulu makanan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan ke masjid, seperti yang Salim kisahkan, “Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan kepada beliau ke tempat iktikaf beliau.” Demikian pula keluarnya untuk bersuci dari hadas kecil dan wudu, berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang pernah mengatakan, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu menjulurkan kepalanya kepadaku ketika beliau di masjid lalu aku merapikan rambutnya. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak masuk rumah ketika iktikaf kecuali untuk suatu hajat beliau.” (Fathul Bari (4/808)). ب- مباشرة النساء: ومنها الجماع، فهذا الأمر يبطل الاعتكاف، لورود النهي عنه صريحاً في قوله تعالى: (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) سورة البقرة /187. ج- الحيض والنفاس: فإذا حاضت المرأة المعتكفة أو نفست وجب عليها الخروج من المسجد، وذلك للمحافظة على طهارة المسجد وكذلك الجنب حتى يغتسل. Bermesraan dengan istri, demikian juga sanggama. Hal ini membatalkan iktikaf, karena ada larangannya secara tegas yang tersebut dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kalian beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Haid dan nifas. Jika seorang wanita yang beriktikaf datang bulan atau nifas, maka dia harus keluar meninggalkan masjid, demi menjaga kesucian masjid. Begitu pula orang yang junub, sampai dia mandi wajib. د- قضاء العدة: وذلك إذا توفي زوج المعتكفة وهي في المسجد وجب عليها الخروج لقضاء العدة في منزلها. هـ- الردّة عن الإسلام: حيث إن من شروط الاعتكاف الإسلام، فيبطل اعتكاف المرتد. Menjalani masa idah. Jika suami dari wanita yang iktikaf meninggal dunia sementara dia masih di masjid, maka dia harus keluar untuk melakukan masa idahnya di rumahnya. Murtad dari Islam, Islam adalah salah satu syarat iktikaf, sehingga orang murtad batal iktikafnya. الجوانب التربوية للاعتكاف (1) تطبيق مفهوم العبادة بصورتها الكلية يؤصل الاعتكاف في نفس المعتكف مفهوم العبودية الحقة لله عز وجل، ويدربه على هذا الأمر العظيم الذي من أجله خلق الإنسان، إذ يقول الحق تبارك وتعالى: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون الذاريات/56. حيث إن المعتكف قد وهب نفسه كلها ووقته كله متعبداً لله عز وجل. ويكون شغله الشاغل هو مرضاة الله عز وجل، فهو يشغل بدنه وحواسه ووقته – من أجل هذا الأمر – بالصلاة من فرض ونفل وبالدعاء، وبالذكر، وبقراءة القرآن الكريم، وغير ذلك من أنواع الطاعات. Aspek-aspek Tarbiah dalam Iktikaf Menerapkan Makna Ibadah dalam Wujudnya yang Sempurna Iktikaf menanamkan makna hakiki dari sebuah ibadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla dalam diri orang yang beriktikaf. Iktikaf ini melatih dirinya memaknai makna agung ini, yang menjadi tujuan manusia diciptakan. Allah Yang Maha Benar Berfirman (yang artinya), “Aku tidaklah Menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56). Hal ini karena orang yang beriktikaf telah mengabdikan seluruh diri dan semua waktunya untuk beribadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla. Kesibukan utamanya adalah mencari keridaan Allah ʿAzza wa Jalla. Dia menggunakan tubuh, inderanya, dan waktunya untuk tujuan itu dengan mengerjakan salat wajib dan sunah, doa, zikir, membaca al-Quran, dan berbagai macam ketaatan lainnya. وبهذه الدُّرْبة في مثل أيام العشر الخيرة من شهر رمضان المبارك يتربى المعتكف على تحقيق مفهوم العبودية لله عز وجل في حياته العامة والخاصة، ويضع موضع التنفيذ قول الحق تبارك وتعالى: قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين. لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين الأنعام /163، قال القرطبي (محياي) أي: ما أعمله في حياتي، (ومماتي) أي: ما أوصي به بعد وفاتي، (لله رب العالمين) أي: أفرده بالتقرب بها إليه) 7/69. Dengan latihan seperti ini di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan yang penuh berkah, orang yang beriktikaf dididik untuk merealisasikan makna ibadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla ini dalam kehidupannya secara pribadi dan bermasyarakat, serta mengaplikasikan firman Yang Maha Benar (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.'” (QS. Al-An’am: 162-163) Al-Qurtubi berkata bahwa “hidupku” artinya “segala yang aku kerjakan selama hidupku,” “matiku” artinya “segala yang aku wasiatkan setelah kematianku,” “untuk Allah, Tuhan seluruh alam,” artinya “aku mengesakan-Nya dalam ibadahku kepada-Nya.” (7/69) (2) تحري ليلة القدر وهو المقصد الرئيسي من اعتكافهﷺ إذ بدأ اعتكافه أول مرة الشهر كله وكذلك اعتكف العشر الأواسط تحرياً لهذه الليلة المباركة، فلما علم أنها تكون في العشرة الأخيرة من شهر رمضان اقتصر اعتكافه على هذه العشر المباركة. (2) Memburu Lailatul Qadar Ini adalah tujuan utama iktikaf Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, di mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memulai iktikafnya untuk pertama kali selama sebulan penuh. Beliau juga pernah iktikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadan untuk mencari malam yang diberkahi ini. Ketika beliau mengetahui bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, maka beliau mencukupkan diri beriktikaf di sepuluh hari yang diberkahi tersebut. (3) تعوّد المكث في المسجد فالمعتكف قد الزم نفسه البقاء في المسجد مدة معينة. وقد لا تقبل النفس الإنسانية مثل هذا القيد في بداية أمر الاعتكاف، ولكن عدم القبول هذا سرعان ما يتبدد عادة بما تلقاه النفس المسلمة من راحة وطمأنينة في بقائها في بيت الله. (3) Membiasakan Diri Tinggal di Masjid Orang yang iktikaf mengharuskan dirinya untuk menetap di masjid dalam jangka waktu tertentu. Jiwa manusia mungkin menolak pembatasan seperti ini di awal-awal iktikafnya. Namun, penolakan ini biasanya akan segera hilang seiring dengan kenyamanan dan ketenteraman yang didapatkan oleh jiwa seorang muslim dengan berdiam diri di dalam rumah Allah. ومعرفة المعتكف بأهمية بقائه في المسجد أثناء اعتكافه تتجلى في الأمور التالية: 1- أن الرجل الذي يمكث في المسجد قد احب المسجد من قلبه، وعرف قدر بيوت الله عز وجل، وهذا الحب له قيمة عند الله عز وجل ؛ إذ يجعله من الفئات التي يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله. Kesadaran seseorang tentang urgensi berdiam diri di masjid ketika iktikaf akan semakin kuat dalam beberapa hal berikut: Orang yang berdiam di masjid berarti telah mencintai masjid dari dalam hatinya dan mengetahui betapa mulianya rumah Allah ʿAzza wa Jalla. Cinta ini amat bernilai di hadapan Allah ʿAzza wa Jalla, karena itu akan menjadikannya termasuk orang-orang yang akan diberi naungan oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. 2- أن الذي يمكث في المسجد ينتظر الصلاة له أجر صلاة، وأن الملائكة تستغفر له، ففي الحديث الذي أورده أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إن الملائكة تصلي على أحدكم ما دام في مصلاه ما لم يحدث: اللهم اغفر له، اللهم ارحمه، لا يزال أحدكم في مصلاه ما دامت الصلاة تحبسه، لا يمنعه أن ينقلب إلى أهله إلا الصلاة) البخاري 2/360 فتح الباري. Orang yang berdiam di masjid menunggu salat akan mendapatkan pahala mengerjakan salat dan para malaikat akan memohonkan ampun baginya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Para malaikat akan senantiasa mendoakan seseorang di antara kalian selama dia masih di tempat salatnya selagi ia belum berhadas, ‘Ya Allah, Ampunilah dia. Ya Allah, Rahmatilah dia.’ Salah seseorang di antara kalian akan senantiasa dihitung dalam keadaan salat selama dia menanti pelaksanaan salat, yang mana tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya kecuali salat itu.” (HR. Bukhari 2/360 dalam Fathul Bari) 3- البعد عن الترف المادي والزهد فيه: في الاعتكاف يتخفف المعتكف من الكثير من هذه الأمور، ويصبح كأنه إنسان غريب في هذه الدنيا، وطوبى للغرباء، فهو من أجل مرضاة الله عز وجل ارتضى أن يقبع في ناحية من المسجد ليس لديه في الغالب إلا وسادة يضع عليها رأسه وغطاء يتغطى به، قد ترك فراشه الوثير وعادته الخاصة من أجل ذلك الرضا. Zuhud dan Jauhnya Seseorang dari Kemewahan Dunia Pada saat iktikaf, dia mengurangi banyak sekali perkara-perkara tersebut, dan seolah-olah menjadi seperti orang asing di dunia ini. Beruntunglah orang-orang yang asing ini, yang demi keridaan Allah Jalla wa ʿAlā dia merelakan dirinya tinggal di salah satu sudut masjid yang umumnya tanpa bantal untuk meletakkan kepalanya atau selimut untuk menyelimuti dirinya. Dia telah meninggalkan tempat tidurnya yang empuk dan kebiasaan pribadinya demi keridaan Allah. أما طعامه فهو مختلف في وضعه، إن لم يكن في نوعه، إن كان طعامه يأتيه من منزله، فهو عادة لا يأتيه بالكثرة ولا يتناوله بالوضع الذي كان يتناوله في منزله على طاولة وكرسي مع أهله وولده، بل يأكل كما يأكل الغريب، ويأكل كما يأكل العبد الفقير إلى ربه، وإن خرج إلى السوق من أجل الطعام فهو يعمل جاهداً على التعامل مع ما هو متوفر ولا يشترط نوعاً معيناً، لأنه مطلوب منه العودة إلى معتكفه، وعدم الإطالة في مثل هذه الأمور Adapun makanannya, tentu sudah beda penyajiannya, dan bahkan jenisnya. Sekalipun makanannya datang dari rumahnya, tapi umumnya yang datang tidak banyak. Pun tidak dia nikmati dengan cara penyajian yang biasanya dia dapatkan ketika dirumahnya, yaitu di atas meja makan dan kursi bersama keluarga dan anaknya. Sebaliknya, dia makan seperti orang asing makan. Dia menyantap makanan layaknya seorang budak miskin yang tergantung dengan majikannya. Andaikata dia pergi ke pasar untuk membeli makanan, maka dia harus berusaha dulu, selain harus menerima apapun yang tersedia tanpa bisa menuntut makanan tertentu, karena dia dituntut untuk segera kembali ke tempat iktikafnya dan tidak berlama-lama dengan perkara-perkara seperti ini. وبهذا يعرف أن الحياة يمكن إدارتها بالقليل الذي يرضى عنه الله، وكذلك يمكن إدارتها بالكثير الذي لا يُرضي الله عز وجل، والفرق بينهما كبير. Dengan demikian, dia akan menyadari bahwa hidup ini bisa berjalan dengan sesuatu yang serba minimal yang bisa membuat Allah Rida kepada-Nya maupun dengan sesuatu yang serba banyak yang bisa membuat Allah Jalla wa ʿAlā tidak Rida kepada-Nya. Sementara perbedaan antara keduanya amatlah besar. (4) الإقلاع عن كثير من العادات الضارة في ظل غياب مفهوم التربية الإسلامية في كثير من المجتمعات الإسلامية، وفي كثير من بيوت المجتمعات الإسلامية. نشأت وتفشّت لدى أفراد هذه المجتمعات كثير من العادات التي تتعارض مع تعاليم الدين الحنيف، وعمّت هذه العادات المنكرة حتى أصبحت نوعاً من المعروف الذي لا يرى فيه ضرر على الدين والنفس، ومن تلك العادات: التدخين، وسماع الموسيقى، ومشاهدة ما يبث في القنوات الفضائية من مشاهد وأحاديث تضادّ عقيدة المسلم وتُنافي حياءه وعفّته، وغير ذلك من عادات لها ضررها على الدين والنفس. (4) Berhenti Melakukan Banyak Kebiasaan Buruk Dengan kosongnya makna-makna tarbiah Islam di sebagian besar masyarakat Islam dan rumah-rumah masyarakat kaum muslimin, maka banyak sekali kebiasan-kebiasan yang muncul dan tersebar di tengah mereka, padahal bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang lurus ini. Kebiasaan mungkar ini meluas secara menyeluruh hingga menjadi sesuatu yang dianggap baik, yang tampak tidak membahayakan agama maupun jiwa. Di antara kebiasaan-kebiasaan itu adalah merokok, mendengarkan musik, dan menonton tontonan dan obrolan dari siaran-siaran saluran satelit yang bertentangan dengan akidah seorang muslim dan mengikis rasa malu dan kesuciannya, selain kebiasaan-kebiasaan lain yang membahayakan agama dan jiwa. وتأتي فترة الاعتكاف لتكشف للفرد المسلم زيف تلك العادات، وزيف ذلك الاعتقاد الذي سكن في نفوس كثير من المسلمين بعدم القدرة على التخلص من مثل تلك العادات، لأنها قد استحكمت في النفوس. ويتعرف الإنسان المسلم في فترة الاعتكاف، وقد خلا إلى خالقه، على مفهوم العبادة بصورتها الشاملة، وأنه يجب أن يكون متعبداً لله عز وجل على مدار الساعة في حياته العامة والخاصة. Momen iktikaf bagi seorang individu muslim akan menyingkap kekeliruan kebiasaan-kebiasaan ini dan batilnya keyakinan yang telah mengakar dalam banyak jiwa kaum muslimin tanpa mampu melepaskan diri darinya, karena sudah terlanjur mengakar kuat dalam jiwa. Seorang individu muslim dalam masa iktikafnya dan pengasingannya demi Sang Pencipta akan memahami makna ibadah dalam wujudnya yang paripurna serta menyadari bahwa ia harus menjadi penyembah Allah ʿAzza wa Jalla sepanjang waktu dalam kehidupannya secara pribadi dan bermasyarakat. فهو عندما يتخذ مرضاة الله عز وجل ومحبّته ميزانا يزن به كل عمل يقوم به، يجد أن تلك العادات التي أشرنا إليها آنفاً وكثير غيرها لا تتفق مع هذه المحبة لله عز وجل بل تعمل في اتجاه معاكس لها، ويجد بذلك أن مثل تلك العادات تخرجه عن دائرة العبودية الصادقة لله، وإذا كان الأمر كذلك فيجب عليه أن يتخلص منها في أسرع وقت ممكن. Ketika seseorang menjadikan keridaan Allah dan kecintaannya kepada-Nya sebagai timbangan yang digunakannya untuk menimbang setiap perbuatan yang dilakukannya, niscaya dia akan mendapati bahwa kebiasaan-kebiasaan yang kami sebutkan tadi serta banyak kebiasaan yang lain tidaklah selaras dengan cintanya kepada Allah ʿAzza wa Jalla, bahkan bertentangan. Dia akan menyadari bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti itu akan mengeluarkannya dari lingkaran peribadatan yang hakiki kepada Allah. Jika demikian kenyataannya, maka dia harus berlepas diri darinya sesegera mungkin. وفي فترة الاعتكاف لا يحق للمسلم أن يخرج إلا لحاجة إيجابية ترتبط بتسهيل أمر الاعتكاف في المسجد، وما عدا ذلك يجب أن يمتنع عنه وإن كان مباحاً، فهو – على سبيل المثال – لا يحق له أن يتجول في الأسواق – ولو لفترة بسيطة – ليشتري منها ما لا ارتباط له بأمر الاعتكاف، فلو خرج لشراء سواك لم يكن في هذا حرج على اعتكافه، لأنه من متطلبات الصلاة في اعتكافه، ولكن لو خرج لشراء هدية لزوجته، أو لأحد أبنائه، فذلك مبطل لاعتكافه، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم كما ورد سابقاً كان لا يخرج إلا لحاجة الإنسان، فكيف إذا خرج المعتكف لأمر محرم كشرب الدخان مثلاً أو لمشاهدة برنامج فضائي قد اعتاد مشاهدته، لا شك أن ذلك مبطل لاعتكافه لا محالة. Selama masa iktikafnya, seorang muslim tidak dibenarkan keluar kecuali untuk kepentingan-kepentingan positif yang berkaitan dengan hal-hal yang mempermudahnya menjalankan iktikaf di masjid. Selain untuk hal-hal itu, dia harus menahan diri darinya, meskipun pada asalnya diperbolehkan. Misalnya, dia tidak dibenarkan berkeliling di pasar walaupun sebentar saja untuk membeli sesuatu yang tidak berkaitan dengan urusan iktikafnya. Jika dia keluar untuk membeli siwak, maka itu tidak berpengaruh dengan iktikafnya, karena itu merupakan salah satu kebutuhan untuk salat ketika dia iktikaf. Namun, jika dia keluar untuk membeli hadiah untuk istrinya atau salah seorang anaknya, maka itu membatalkan iktikafnya, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebagaimana disebutkan sebelumnya tidaklah keluar kecuali untuk suatu hajat manusiawi beliau. Lantas bagaimana pula jika seseorang yang iktikaf keluar untuk sesuatu yang haram, seperti merokok, misalnya, atau menonton acara-acara dari saluran satelit yang sudah biasa ia tonton? Tidak diragukan bahwa itu tentu membatalkan iktikafnya. وكذلك لو خرج يشرب خمرا أو يتعاطى تدخينا بطل اعتكافه. وعموما فإنّ أي خروج لغير عذر يبطل الاعتكاف ومن باب أولى الخروج للمعصية، ولا يجوز له حتى لو خرج لقضاء حاجته أن يُشْعل في الطريق سيجارة يدخنها. فالاعتكاف فرصة سنوية يستطيع فيها المعتكف أن يتخلص من هذه البلايا عن طريق التوبة والالتجاء إلى الله عز وجل أولاً، وعن طريق فطام النفس عن تلك المعاصي في فترة الاعتكاف، وعدم تحقيق رغبة النفس منها، وتعويدها على ذلك. Demikian pula jika dia keluar untuk minum khamar atau merokok, maka iktikafnya batal. Secara umum, keluar tanpa alasan yang dibenarkan akan membatalkan iktikafnya, apalagi keluar untuk maksiat. Meskipun dia keluar untuk buang air lalu menyalakan rokoknya di jalan sambil merokok, itupun juga tidak boleh. Iktikaf adalah kesempatan setahun sekali baginya untuk melepaskan diri dari cobaan tersebut dengan cara bertobat dan meminta tolong kepada Allah Jalla wa ʿAlā terlebih dahulu, lalu dengan menyapih dirinya dari dosa-dosa tersebut selama masa iktikaf, tidak memperturutkan kemauan nafsunya, serta membiasakan dirinya terhadap semua keadaan tersebut. هذه الطاعات المستمرة لله عز وجل تحتاج إلى صبر مستمر من قِبَل المعتكف، وفي هذا تربية للإرادة، وكبْح لجماح النفس التي عادةً ما ترغب في التفلّت من هذه الطاعة إلى أمور أخرى تهواها. وهناك الصبر على ما نقص مما ألِفته النفس من أنواع الطعام المختلفة التي كان يطعمها في منزله، فتلك الأنواع لا تتوفر في المسجد، فيصبر على هذا القليل من أجل مرضاة عز وجل. Ketaatan yang terus-menerus kepada Allah ʿAzza wa Jalla ini memerlukan kesabaran yang berkesinambungan dari orang yang beriktikaf. Inilah pendidikan bagi keinginannya dan pengendalian bagi kehendak nafsunya yang biasanya ingin berpaling dari ketaatan semacam ini untuk beralih kepada hal-hal lain yang diinginkannya. Dalam iktikaf juga ada kesabaran terhadap kurangnya sesuatu yang biasanya disukai oleh nafsunya, seperti berbagai jenis makanan yang biasa ia santap di rumahnya. Bermacam-macam makanan itu tidak tersedia semua di masjid, sehingga dia harus bersabar dengan sesuatu yang sedikit ini demi keridaan Allah ʿAzza wa Jalla. وهناك الصبر على نوع الفراش الذي ينام عليه، فلن يوضع له سرير في المسجد، أو فراش وثير كالذي ينام عليه في منزله، فهو ينام على فراش متواضع جداً إن لم يكن فرش المسجد. وهناك الصبر على ما يجد في المسجد من مزاحمة الآخرين له، ومن عدم توفر الهدوء الذي كان يألفه في منزله إذا أراد النوم. وهناك الصبر عن شهوة الزوجة إذ يحرم عليه مباشرتها عند دخوله إلى منزله للحاجة حتى التقبيل والعناق، وهي حلاله، Dalam iktikaf juga ada kesabaran dari jenis tempat tidur yang biasa ia pakai tidur. Tentu di masjid tidak akan ditaruh dipan atau kasur empuk seperti yang biasa ia pakai tidur di rumahnya. Ia tidur di atas alas yang sangat sederhana, atau mungkin hanya karpet masjid. Ada juga kesabaran terhadap keramaian orang-orang di sekitarnya di masjid dan sulitnya mendapatkan kesunyian yang biasa didapatkan di rumah ketika ingin tidur. Dalam iktikaf ada kesabaran dari syahwat kepada istri, karena ia dilarang sanggama ketika ia pulang ke rumah untuk suatu hajat, walaupun hanya mencium dan memeluknya. Meskipun pada asalnya itu halal.  وفي هذا الأمر تتجلى قيمة الصبر وقيمة القوة في الإرادة وضبط النفس، ومن خلال هذه المواقف وغيرها نجد أنه يمكن تربية الإنسان على القدرة على تأجيل كثير من الأمور والرغبات العاجلة من أجل أمور أهم منها، فهو يؤجل كل هذه الحاجات النفسية والمادية العاجلة من أجل الفوز برضى الله تبارك وتعالى. Dari semua ini tampaklah nilai sebuah kesabaran serta kemampuan mengatur kemauan dan pengendalian diri. Dengan semua keadaan ini dan yang semisalnya, kita mendapati bahwa seseorang bisa mendidik dirinya agar mampu menunda banyak hal dan berbagai keinginan sementara demi sesuatu yang lebih penting daripada semua itu. Dia menunda semua kebutuhan pribadinya dan materi duniawi demi memperoleh rida Allah Tabāraka wa Taʿālā. (5) الاطمئنان النفسي (6) قراءة القرآن وختمه (7) التوبة النصوح (8) قيام الليل والتعود عليه (5) Ketenangan jiwa. (6) Membaca dan mengkhatamkan al-Quran (7) Tobat dengan sebenar-benarnya. (8) Melakukan dan membiasakan diri salat malam. (9) عمارة الوقت (10) تزكية النفس (11) صلاح القلب وجمعه على الله عز وجل. نسأل الله أن يُعيننا على ذكره وشكره وحسن عبادته، والله تعالى أعلم وصلى الله على نبينا محمد. (9) Memanfaatkan waktu. (10) Menyucikan jiwa. (11) Membenahi hati dan memfokuskannya untuk Allah ʿAzza wa Jalla. Kami memohon kepada Allah agar Membantu kita berzikir, bersyukur, dan beribadah kepada-Nya dengan baik. Allah Yang lebih Mengetahui. Semoga Allah Melimpahkan selawat untuk Nabi kita Muhammad. المراجع الاعتكاف نظرة تربوية د.عبد اللطيف بن محمد بالطو. الإتحاف في بيان مسائل الاعتكاف لأبي عمر حاي الحاي. Referensi: Al-Iʿtikāf Naẓrah Tarbawiyyah, karya Dr. Abdul Latif bin Muhammad Balto. Al-Itẖāf fī Bayān Masāʾil al-Iʿtikāf, karya Abu Umar H̱āi al-H̱āi. Sumber: https://islamqa.info/ar/articles/82/فضل-الاعتكاف-واحكامه PDF sumber artikel. 🔍 Hukum Memelihara Burung, Hukum Islam Merayakan Tahun Baru, Kijing Kuburan, Tahun Baru Menurut Pandangan Islam, Apakah Wine Haram, Ciri Laki Laki Sholeh Visited 50 times, 1 visit(s) today Post Views: 381 QRIS donasi Yufid
فضل الاعتكاف وأحكامه Fadilah Iktikaf dan Hukum-hukumnya تعريف الاعتكاف الاعتكاف هو لزوم المسجد بنية مخصوصة، لطاعة الله تعالى:  وهو مشروع مستحب باتفاق أهل العلم، قال الإمام أحمد فيما رواه عنه أبو داود: (لا أعلم عن أحد من العلماء إلا أنه مسنون.) وقال الزهري رحمه الله: (عجباً للمسلمين ! تركوا الاعتكاف، مع أن النبي صلى الله عليه وسلم، ما تركه منذ قدم المدينة حتى قبضه الله عز وجل) Pengertian Iktikaf Iktikaf (Iʿtikāf) adalah berdiam di masjid dengan niat khusus, yakni dalam rangka  melakukan ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Iktikaf disyariatkan dan hukumnya sunah menurut kesepakatan para ulama. Imam Ahmad berkata—sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud darinya—”Saya tidak mengetahui seorang ulama pun kecuali (mengatakan) bahwa hukumnya sunah.”  Az-Zuhri—Semoga Allah Merahmatinya—berkata, “Sungguh mengherankan keadaan kaum muslimin! Mereka meninggalkan iktikaf, padahal Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkannya sejak dia tiba di Madinah sampai Allah ʿAzza wa Jalla Mewafatkan beliau.” فائدة الاعتكاف وثمرته إن في العبادات من الأسرار والحكم الشيء الكثير، ذلك أن المدار في الأعمال على القلب، كما قال الرسول ﷺ: ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب. رواه البخاري (52) ومسلم (1599). وأكثر ما يفسد القلب الملهيات، والشواغل التي تصرفه عن الإقبال على الله عز وجل من شهوات المطاعم، والمشارب، والمناكح، وفضول الكلام، وفضول النوم، وفضول الصحبة، وغير ذلك من الصوارف التي تفرق أمر القلب، وتفسد جمعيته على طاعة الله، فشرع الله تعالى قربات تحمي القلب من غائلة تلك الصوارف، كالصيام مثلاً، الصيام الذي يمنع الإنسان من الطعام والشراب، والجماع في النهار، فينعكس ذلك الامتناع عن فضول هذه الملذات على القلب، فيقوى في سيره إلى الله، وينعتق من أغلال الشهوات التي تصرف المرء عن الآخرة إلى الدنيا. Faedah dan Manfaat Iktikaf Dalam berbagai ibadah terkandung banyak sekali rahasia dan hikmah. Hal itu karena poros ibadah adalah hati, sebagaimana yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya, tetapi jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa ia adalah hati!” (HR. Bukhari (52) dan Muslim (1599)).  Kebanyakan hal yang paling merusak hati adalah kesenangan dan berbagai kesibukan yang memalingkan seseorang dari perhatiannya kepada Allah ʿAzza wa Jalla, seperti keinginan untuk makan, minum, dan sanggama, ngobrol, tidur-tiduran, bergaul, dan hal-hal lain yang memalingkan dan memecah belah konsentrasi hati dan merusak fokusnya dalam ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka dari itulah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mensyariatkan ibadah yang bisa menjaga hati dari dampak buruk yang timbul dari hal-hal yang menyibukkan tersebut, seperti puasa misalnya. Puasa menghalangi seseorang dari makan, minum, dan sanggama di siang hari.  Pantangan tersebut akan mengikis ketamakannya terhadap kenikmatan-kenikmatan ini dari dalam hati, menguatkan langkahnya dalam perjalanannya menuju Allah, dan membebaskannya dari belenggu-belenggu syahwat yang memalingkan seseorang dari akhirat kepada dunia.  وكما أن الصيام درع للقلب يقيه مغبة الصوارف الشهوانية، من فضول الطعام والشراب والنكاح، كذلك الاعتكاف، ينطوي على سر عظيم، وهو حماية العبد من آثار فضول الصحبة، فإن الصحبة قد تزيد على حد الاعتدال، فيصير شأنها شأن التخمة بالمطعومات لدى الإنسان، كما قال الشاعر: عدوك من صديقك مستفاد ***** فلا تستكثرن من الصّحاب فإن الـــداء أكثر ما تـــراه ***** يكون من الطعام أو الشراب Sebagaimana puasa menjadi perisai bagi hati yang melindunginya dari akibat buruk berbagai syahwat yang memalingkan, seperti banyak makanan, minuman, dan sanggama.  Begitupun iktikaf, di dalamnya tersimpan rahasia besar, yaitu melindungi hamba dari pengaruh buruk yang timbul dari seringnya bergaul, karena interaksi terkadang melampaui batas kewajaran, sehingga pergaulan itu menjadi candu yang menjadi penyakit yang menjangkiti seseorang, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair, “Musuhmu berasal dari teman yang kau bergaul dengannya, maka jangan perbanyak pertemanan. Adapun kebanyakan penyakit yang engkau lihat, berasal dari makan dan minuman.” وفي الاعتكاف أيضاً حماية القلب من جرائر فضول الكلام، لأن المرء غالباً يعتكف وحده، فيُقبل على الله تعالى بالقيام وقراءة القرآن والذكر والدعاء ونحو ذلك. وفيه كذلك حماية من كثرة النوم، فإن العبد إنما اعتكف في المسجد ليتفرغ للتقرب إلى الله، بأنواع من العبادات، ولم يلزم المسجد لينام. ولا ريب أن نجاح العبد في التخلص من فضول الصحبة، والكلام والنوم يسهم في دفع القلب نحو الإقبال على الله تعالى وحمايته من ضد ذلك. Pada iktikaf ada perlindungan bagi hati dari dampak buruk yang timbul dari berlebihan bicara, karena seseorang umumnya akan iktikaf sendirian dan memfokuskan perhatiannya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dengan membaca al-Quran, zikir, doa, dan lain sebagainya.  Di dalamnya juga ada perlindungan dari dampak buruk kebanyakan tidur, karena seorang hamba tidaklah beriktikaf di masjid kecuali hanya ingin fokus mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai jenis ibadah, bukan berdiam diri di masjid untuk tidur. Tidak dapat dipungkiri bahwa keselamatan seorang hamba adalah dengan menghindari pertemanan, perkataan, dan tidur yang berlebihan. Inilah yang berperan dalam menjaga hati agar tetap fokus kepada Allah dan melindunginya dari hal-hal yang bertentangan dengan itu. الجمع بين الصوم والاعتكاف لا ريب أن اجتماع أسباب تربية القلب بالإعراض عن الصوارف عن الطاعة، أدْعى للإقبال على الله تعالى والتوجه إليه بانقطاع وإخبات، ولذلك استحب السلف الجمع بين الصيام والاعتكاف، حتى قال الإمام ابن القيم رحمه الله: (ولم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه اعتكف مفطراً قط، بل قالت عائشة: (لا اعتكاف إلا بصوم) أخرجه أبو داود (2473) ولم يذكر الله سبحانه وتعالى الاعتكاف إلا مع الصوم، ولا فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا مع الصوم. فالقول الراجح في الدليل الذي عليه جمهور السلف: (أن الصوم شرط في الاعتكاف، وهو الذي كان يرجحه شيخ الإسلام أبو العباس ابن تيمية) زاد المعاد 2/87،88 Menggabungkan antara Puasa dan Iktikaf Tidak diragukan bahwa menggabungkan berbagai sebab yang bisa melatih hati agar berpaling dari hal-hal yang bisa memalingkannya dari ketaatan, tentu lebih kuat efeknya bagi hati dalam memfokuskannya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan bertawajuh kepada-Nya dengan menyendiri dalam kekhusyukan. Oleh karena itulah para Salaf menganjurkan untuk menggabungkan antara puasa dan iktikaf, sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim—Semoga Allah Merahmatinya—berkata bahwa tidak ada riwayat dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau iktikaf dalam keadaan tidak puasa, melainkan Aisyah —Semoga Allah Meridainya— mengatakan, “Beliau tidak iktikaf kecuali saat puasa.” (HR. Abu Dawud (2473)  Allah Subẖānahu wa Taʿālā juga tidak menyebutkan masalah iktikaf kecuali dengan puasa, pun Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak melakukannya kecuali dengan puasa. Jadi, pendapat yang tepat dengan dalil tersebut, yang menjadi pendapat mayoritas ulama Salaf adalah bahwa puasa adalah syarat iktikaf. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyah.” (Zād al-Maʿād (2/87-88). واشتراط الصوم في الاعتكاف نقل عن ابن عمر وابن عباس، وبه قال مالك والأوزاعي وأبو حنيفة، واختلف النقل في ذلك عن أحمد والشافعي. وأما قول الإمام ابن القيم رحمه الله: (ولم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه اعتكف مفطراً قط) ففيه بعض النظر، فقد نقل أن النبي ﷺ، اعتكف في شوال) رواه البخاري (1928) ومسلم (1173). ولم يثبت أنه كان صائماً في هذه الأيام التي اعتكافها، ولا أنه كان مفطراً. فالأصح أن الصوم مستحب للمعتكف، وليس شرطاً لصحته. Pendapat yang mempersyaratkan iktikaf harus dengan puasa diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, yang juga menjadi pendapat Malik, al-Auza’i dan Abu Hanifah. Sedangkan riwayat dari Ahmad dan Syafii ada perbedaan. Adapun perkataan Imam Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— bahwa tidak ada riwayat dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengatakan bahwa beliau iktikaf dalam keadaan tidak berpuasa, maka ini perlu dikritisi, karena ada riwayat bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf di bulan Syawal, yang diriwayatkan oleh Bukhari (1928) dan Muslim (1173).  Tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa beliau ketika itu puasa atau tidak pada hari-hari iktikaf tersebut. Jadi, pendapat yang lebih tepat bahwa iktikaf dianjurkan dengan puasa, tapi tidak menjadi syarat sahnya. هدي النبي صلى الله عليه وسلم في الاعتكاف اعتكف عليه الصلاة والسلام في العشر الأول من رمضان ثم العشر الأواسط، يلتمس ليلة القدر، ثم تبيّن له أنها في العشر الأواخر فداوم على اعتكافها. فعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم، يجاور في العشر التي وسط الشهر، فإذا كان من حين تمضي عشرون ليلة، ويستقبل إحدى وعشرين، يرجع إلى مسكنه، ورجع من كان يجاور معه، ثم إنه أقام في شهر، جاور فيه تلك الليلة التي كان يرجع فيها، فخطب الناس، فأمرهم بما شاء الله، ثم قال: (إني كنت أجاور هذه العشر، ثم بدالي أن أجاور هذه العشر الأواخر، فمن كان اعتكف معي فليبت في معتكفه، وقد رأيت هذه الليلة فأنسيتها، فالتمسوها في العشر الأواخر، في كل وتر، وقد رأيتني أسجد في ماء وطين). Bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam Beriktikaf Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf di sepuluh hari pertama bulan Ramadan, kemudian di sepuluh hari di pertengahan Ramadan untuk mencari Lailatul Qadar. Kemudian, beliau mengerti bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh hari yang terakhir pada bulan Ramadan, sehingga beliau rutin melakukannya.  Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah beriktikaf di sepuluh hari pertengahan bulan Ramadan. Ketika sudah berlalu malam kedua puluh dan menjelang hari kedua puluh satu, beliau kembali ke rumah beliau, sementara orang-orang yang beriktikaf bersama beliau juga ikut pulang. Kemudian, beliau berada di suatu bulan (Ramadan) yang mana beliau beriktikaf di malam yang dulunya beliau pulang lalu menyampaikan khotbah kepada orang-orang dan memerintahkan mereka dengan apa yang dikehendaki oleh Allah, lalu beliau bersabda, “Dahulu aku beriktikaf pada sepuluh hari ini, kemudian sekarang aku mengetahui bahwa aku seharusnya beriktikaf pada sepuluh hari yang terakhir, maka barang siapa yang ingin beriktikaf bersamaku, maka hendaklah dia tetap bermalam di tempat iktikafnya. Sesungguhnya malam tersebut telah diperlihatkan kepadaku, tetapi aku terlupa. Oleh karena itu, carilah ia (Lailatul Qadar) di sepuluh malam terakhir pada malam-malam ganjil. Sungguh, aku bermimpi melihat diriku sedang sujud di atas lumpur dan air (saat Lailatul Qadar terjadi).”  قال أبو سعيد: مطرنا ليلة إحدى وعشرين، فوكف المسجد في مصلى رسول الله ﷺ، فنظرت إليه، وقد انصرف من صلاة الصبح، ووجهه مبتل ماء وطيناً فتحقق ما أخبر به صلى الله عليه وسلم وهذا من علامات نبوته. ثم حافظ ﷺ على الاعتكاف في العشر الأواخر، كما في الصحيحين من حديث عائشة رضي الله عنها أن النبي ﷺ كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله عز وجل ثم اعتكف أزواجه من بعده. رواه البخاري (1921) ومسلم (1171). Abu Sa’id mengatakan, “Pada malam kedua puluh satu, hujan turun kepada kami. Air masuk ke masjid sampai di tempat salat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Ketika itulah aku melihat beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang baru selesai dari salat Subuh di wajah beliau basah oleh air dan lumpur. Jadi, apa yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kabarkan menjadi nyata. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam merutinkan iktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan, sebagaimana tersebut dalam Shahihain dari hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mewafatkan beliau. Kemudian, istri-istri beliau tetap melakukan iktikaf setelah kepergian beliau. (HR. Bukhari (1921) dan Muslim (1171). وفي العام الذي قبض فيه ﷺ اعتكف عشرين يوماً البخاري (1939). أي العشر الأواسط والعشر الأواخر جميعاً، وذلك لعدة أسباب: أولها: أن جبريل عارضه القرآن في تلك السنة مرتين البخاري (4712). فناسب أن يعتكف عشرين يوماً، حتى يتمكن من معارضة القرآن كله مرتين. Pada tahun di mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat, beliau beriktikaf dua puluh hari, yakni pada sepuluh hari pertengahan dan sepuluh hari terakhir Ramadan. (HR. Bukhari (1939)) Hal tersebut karena beberapa alasan: Pertama, bahwa Jibril menyimak bacaan al-Quran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dua kali pada tahun tersebut. (HR. Bukhari (4712)). Hal itu memang tepat jika beliau kemudian iktikaf dua puluh hari, yakni agar bisa setoran al-Quran seluruhnya sebanyak dua kali. ثانيها: أنه صلى الله عليه وسلم أراد مضاعفة العمل الصالح، والاستزادة من الطاعات، لإحساسه صلى الله عليه وسلم بدنو أجله كما فهم من قول الله تعالى: (إذا جاء نصر الله والفتح، ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجاً، فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان تواباً) سورة النصر. فإن الله عز وجل أمر نبيه عليه الصلاة والسلام بالإكثار من التسبيح والاستغفار في آخر عمره، وهكذا فعل صلى الله عليه وسلم، فقد كان يكثر في ركوعه وسجوده من قول: (سبحانك اللهم وبحمدك، اللهم اغفر لي) يتأول القرآن. رواه البخاري (487) ومسلم (484) Kedua, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin memperbanyak amal saleh dan menambah ketaatan, karena sudah ada firasat tentang dekatnya ajal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (QS. An-Nashr) Allah ʿAzza wa Jalla Memerintahkan Nabi-Nya Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam untuk memperbanyak tasbih dan istigfar di akhir hayat beliau. Demikianlah perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, beliau sering membaca dalam rukuk dan sujud beliau, “Subẖānakallāhumma wabiẖamdika Allāhummaghfirlī (artinya: Maha Suci Engkau, ya Allah, dengan memuji-Mu, ya Allah, Ampunilah aku)” dalam rangka mengamalkan al-Quran. (HR. Bukhari (487) dan Muslim (484)). ثالثها: أنهﷺ فعل ذلك شكراً لله تعالى على ما أنعم به عليه من الأعمال الصالحة من الجهاد والتعليم والصيام والقيام وما آتاه من الفضل من إنزال القرآن عليه ورفع ذكره وغير ذلك مما امتن الله تعالى به عليه.  Ketiga, bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melakukan itu sebagai wujud syukur beliau kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas berbagai amal saleh yang Allah Anugerahkan kepada beliau berupa jihad, taklim, puasa, dan salat, serta keutamaan yang Dia Karuniakan kepada beliau dengan diturunkannya al-Quran kepada beliau, diangkatnya nama beliau, dan nikmat lain yang Allah Limpahkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. وكانﷺ يدخل معتكفه قبل غروب الشمس فإذا أراد مثلاً أن يعتكف العشر الأواسط دخل المعتكف قبل غروب الشمس من ليلة الحادي عشر، وإذا أراد أن يعتكف العشر الأواخر دخل المعتكف قبل غروب الشمس من ليلة الحادي والعشرين. أما ما ثبت في الصحيح من أنه ﷺ صلى الفجر ثم دخل معتكفه رواه البخاري (1928)، ومسلم (1173) والترمذي (791). فإنما المقصود أنه دخل المكان الخاص في المسجد بعد صلاة الفجر، فقد كان يعتكف في مكان مخصص لذلك، كما ورد في صحيح مسلم أنه صلى الله عليه وسلم اعتكف في قبة تركية. رواه مسلم (1167) Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memasuki tempat iktikaf beliau sebelum matahari terbenam. Jadi, misalnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin iktikaf di sepuluh hari pertengahan, maka beliau masuk tempat iktikaf beliau sebelum matahari terbenam pada malam kesebelas. Jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin iktikaf di sepuluh hari terakhir, maka beliau masuk tempat iktikaf sebelum matahari terbenam pada malam kedua puluh satu. Adapun riwayat dalam kitab Shahih bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Subuh lalu masuk ke tempat iktikafnya, yang diriwayatkan oleh Bukhari (1928), Muslim (1173), dan Tirmidzi (791), maka itu maksudnya bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memasuki suatu tempat khusus beliau di dalam masjid setelah salat subuh. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu iktikaf di tempat khusus, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf di sebuah tenda Turki. (HR. Muslim (1167)) وكان ﷺ يخرج رأسه وهو معتكف في المسجد إلى عائشة رضي الله عنها وهي في حجرتها، فتغسله وترجله، وهي حائض، كما جاء في الصحيحين. البخاري (1924)، (1926) ومسلم (297). وفي مسند أحمد أنه كان يتكئ على باب غرفتها، ثم يُخْرج رأسه، فترجّله. أحمد (6/272) وفي ذلك دليل على أن إخراج المعتكف بعض جسده من المعتكف لا بأس به، كأن يخرج رجله أو رأسه. كما أن الحائض لو أدخلت يدها أو رجلا [رجلها] مثلاً في المسجد فلا بأس، لأن هذا لا يُعدّ دخولاً في المسجد. ومن فوائد هذا الحديث أيضا أن المعتكف لا حرج عليه أن يتنظف، ويتطيب، ويغسل رأسه، ويسرحه، فكل هذا لا يخلّ بالاعتكاف. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika sedang iktikaf di masjid mengeluarkan kepala beliau kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya— sementara dia berada di kamarnya, sembari mencuci dan merapikan rambut beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat dia sedang haid. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Shahihain (Bukhari (1924) dan (1926) dan Muslim (297)). Dalam Musnad Ahmad, disebutkan bahwa dia —Semoga Allah Meridainya— bersandar di pintu kamarnya, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengeluarkan kepala beliau, lalu dia merapikan rambut beliau. (HR. Ahmad (6/272))  Ini menjadi dalil bahwa tidak mengapa orang yang beriktikaf mengeluarkan sebagian anggota tubuhnya dari tempat iktikafnya, seperti mengeluarkan kaki atau kepalanya. Demikian pula ketika seorang wanita yang sedang haid, misalnya, memasukkan tangan atau kakinya ke dalam masjid, karena ini tidak dianggap masuk ke dalam masjid. Termasuk faedah hadis ini juga bahwa orang yang iktikaf boleh saja membersihkan diri, memakai wewangian, dan mencuci kepala atau menyisirnya. Semua itu tidak merusak iktikafnya  ومما وقع له ﷺ في اعتكافه ما راوه الشيخان عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر، ثم دخل معتكفه، وإنه أمر بخبائها فضرب، وأمر غيرها من أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، بخبائه فضرب، فلما صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الفجر نظر فإذا الأخبية، فقال: (آلبرَّ تُردْن ؟) فأمر بخبائه فقوض، وترك الاعتكاف في شهر رمضان، حتى اعتكف في العشر الأول من شوال البخاري (1928) ومسلم (1173). Di antara peristiwa yang terjadi ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf adalah kisah yang diriwayatkan oleh Syaikhān dari Aisyah yang mengatakan bahwa dahulu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika ingin iktikaf, beliau salat subuh lalu masuk ke tempat iktikaf beliau. Beliau lalu menyuruh diambilkan tenda Aisyah lalu memasangnya. Lalu menyuruh istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang lain agar diambilkan tenda lalu memasangnya. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selesai salat subuh, ternyata beliau melihat ada banyak tenda telah dipasang, lalu berkata, “Apakah yang mereka mau adalah kebaikan?” Beliau lalu menyuruh diambilkan tenda beliau sendiri dan menutup yang lain. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lantas meninggalkan iktikaf di bulan Ramadan itu, hingga beliau beriktikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawal. (HR. Bukhari (1928) dan Muslim (1173)). ومعنى قوله: (آلبرّ تردْن؟) أي: هل الدافع لهذا العمل هو إرادة البر، أو الغيرة والحرص على القرب من رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ والأظهر والله أعلم أن اعتكافه ﷺ في شوال من تلك السنة بدأ بعد العيد، أي في الثاني من شوال. ويحتمل أن يكون بدأ من يوم العيد، فإن صح ذلك فهو دليل على أن الاعتكاف لا يشترط معه الصوم، لأن يوم العيد لا يصام. Maksud perkataan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “Apakah yang mereka mau adalah kebaikan?” yakni apakah motif mereka melakukan ini adalah ingin kebaikan ataukah kecemburuan dan harapan ingin merebut hati Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam? Kemudian, tampaknya—Allah Yang lebih Mengetahui—bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu iktikaf di bulan Syawal di tahun itu, yang dimulai setelah Idul Fitri, yaitu pada tanggal dua Syawal. Mungkin juga dimulai sejak hari Idul Fitri. Jika benar demikian, maka ini adalah dalil bahwa iktikaf tidak dipersyaratkan dikerjakan dengan puasa, karena pada hari raya tidak boleh puasa. ومما وقع له صلى الله عليه وسلم في اعتكافه ما رواه الشيخان أيضا أن صفية زوج النبي صلى الله عليه وسلم جاءت تزوره في اعتكافه في المسجد، في العشر الأواخر من رمضان، فتحدثت عنده ساعة، ثم قامت تنقلب، فقام النبي صلى الله عليه وسلم معها يقلبها، حتى إذا بلغت باب المسجد عند باب أم سلمة، مر رجلان من الأنصار، فسلّما على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال لهما النبي صلى الله عليه وسلم: على رسلكما، إنما هي صفية بنت حيي، فقالا: سبحان الله يا رسول الله ! وكبُرَ عليهما، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: إن الشيطان يبلغ من الإنسان مبلغ الدم وفي لفظ: (يجري من الإنسان مجرى الدم)، (وإني خشيت أن يقذف في قلوبكما شيئاً) وفي لفظ: (شراً). Di antara apa yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam alami selama iktikaf adalah kisah yang juga diriwayatkan oleh Syaikhān bahwa Shafiyah, salah seorang istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, datang mengunjungi beliau saat beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.  Dia —Semoga Allah Meridainya— ngobrol dengan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beberapa saat lalu berdiri dan berbalik pulang. Lantas Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri bersamanya dan mengiringinya berbalik. Ketika dia sampai di depan pintu masjid, di dekat pintu kamar Ummu Salamah, ada dua orang laki-laki Anshar lewat dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada mereka berdua, “Pelan-pelan saja kalian. Dia ini Shafiyah binti Huyay.”  Mereka menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah!” Rupanya mereka merasa keberatan dengan perkataan beliau, maka beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya setan memasuki manusia melalui aliran darah—dalam riwayat lain: mengalir dalam diri manusia di aliran darah— dan aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu—dalam riwayat lain: keburukan—ke dalam hati kalian.”  فمن شدة حرصه ﷺ على صدق إيمان هذين الأنصاريَّيْن، وخشية أن يلقى الشيطان في قلوبهما شيئاً، فيشكَّا في الرسول ﷺ، فيكون ذلك كفراً، أو يشتغلا بدفع هذه الوسوسة، بيّن صلى الله عليه وسلم الأمر، وقطع الشك، ودفع الوسواس، فأخبرهما أنها صفية رضي الله عنها وهي زوجته. Karena kesungguhan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjaga kebenaran iman dua orang Anshar ini dan kekhawatiran beliau jika setan membisikkan sesuatu ke dalam hati mereka sehingga mereka meragukan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam—yang bisa membuat mereka menjadi kafir—atau sekadar berusaha keras menampik kecurigaan tersebut, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjelaskan duduk perkaranya untuk menghilangkan keraguan dan menghilangkan kecurigaan, sehingga beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memberitahu mereka bahwa wanita itu adalah Shafiyah —Semoga Allah Meridainya— istri beliau sendiri. وهديه صلى الله عليه وسلم في الاعتكاف كان أكمل هدي، وأيسره، فكان إذا أراد أن يعتكف وُضع له سريره وفراشه في مسجده صلى الله عليه وسلم، وبالتحديد وراء أسطوانة التوبة كما جاء في الحديث عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم (أنه كان إذا اعتكف طرح له فراشه، أو يوضع له سريره وراء أسطوانة التوبة) رواه ابن ماجه 1/564. Bimbingan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat iktikaf adalah bimbingan yang paling sempurna dan mudah. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin beriktikaf, maka alas atau pembaringan beliau diletakkan di masjid Nabawi, tepatnya di belakang tiang Taubah (salah satu nama tiang di masjid Nabawi, pent.), sebagaimana tersebut dalam hadis dari Nāfi’ dari Ibnu Umar tentang Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang apabila ingin iktikaf, maka dibentangkan alas untuk beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam atau diletakkan pembaringan beliau di belakang tiang Taubah. (HR. Ibnu Majah 1/564). وكان النبي صلى الله عليه وسلم يضرب له خباء مثل هيئة الخيمة، فيمكث فيه غير أوقات الصلاة حتى تتم الخلوة له بصورة واقعية، وكان ذلك في المسجد، ومن المتوقع أن يضرب ذلك الخباء على فراشه أو سريره، وذلك كما في حديث عائشة رضي الله عنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في العشر الأواخر من رمضان، فكنت أضرب له خباء، فيصلي الصبح، ثم يدخله.. الحديث) رواه البخاري 4/810 فتح الباري. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendirikan Khibāʾ (semacam kemah, pent.) berbentuk seperti tenda. Beliau tetap di situ selain di waktu salat agar betul-betul terealisasikan suasana khalwat. Ketika itu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di masjid, tentu tenda itu diletakkan di atas alas atau pembaringan beliau. Itu sebagaimana tersebut dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang bersabda, “Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, dan aku yang memasang tenda. Lalu beliau salat subuh lalu memasukinya … (sampai akhir hadis)” (HR. Bukhari 4/810 dalam Fathul Bari). وكان دائم المكث في المسجد لا يخرج منه إلا لحاجة الإنسان، من بول أو غائط، وذلك لحديث عائشة رضي الله عنها حين قالت: (.. وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفاً) رواه البخاري 4/ 808 فتح الباري. وكان صلى الله عليه وسلم يؤتي إليه بطعامه وشرابه إلى معتكفه كما أراد ذلك سالم بقوله: (أما طعامه وشرابه فكان يؤتى به إليه في معتكفه) ص 75. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selalu tinggal di masjid dan tidak keluar kecuali untuk hajat manusiawi beliau, seperti buang air kecil dan besar. Hal ini berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak masuk rumah ketika iktikaf kecuali untuk suatu hajat beliau. (HR. Bukhari 4/808 dalam Fathul Bari). Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan ke tempat iktikaf beliau, sebagaimana yang dikatakan oleh Salim, “Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan kepada beliau ke tempat iktikafnya.” (Hal. 75). وكان صلى الله عليه وسلم يحافظ على نظافته، إذْ كان يخرج رأسه إلى حجرة عائشة رضي الله عنها لكي ترجّل له شعر رأسه، ففي الحديث عن عروة عنها رضي الله عنها (أنها كانت ترجّل النبي صلى الله عليه وسلم وهي حائض، وهو معتكف في المسجد، وهي في حجرتها، يناولها رأسه) رواه البخاري 4/807 فتح الباري قال ابن حجر: (وفي الحديث جواز التنظيف والتطيب والغسل والحلق والتزين إلحاقاً بالترجل، والجمهور على أنه لا يكره فيه إلا ما يكره في المسجد) 4/807 فتح الباري Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tetap menjaga kebersihan diri beliau. Beliau mengeluarkan kepala beliau ke kamar Aisyah —Semoga Allah Meridainya— agar dia merapikan (menyisir) rambut beliau. Dalam sebuah hadis dari Urwah —Semoga Allah Meridainya— dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia (Aisyah) pernah merapikan rambut Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika dia sedang haid sementara beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang iktikaf di masjid. Dia berada di kamarnya dan beliau menjulurkan kepala beliau kepadanya. (HR. Bukhari 4/ 807 dalam Fathul Bari). Ibnu Hajar berkata bahwa dalam hadis ini ada dalil bolehnya membersihkan diri, memakai wewangian, membasuh, mencukur, atau berhias, karena hukumnya disamakan seperti merapikan rambut. Mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada yang dimakruhkan saat iktikaf kecuali perkara yang dimakruhkan dilakukan di dalam masjid. (Fath al-Bari 4/807) وكان ﷺ لا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة، وذلك من أجل التركيز والانقطاع الكلي لمناجاة الله عز وجل، ففي الحديث عن عائشة أنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يمرّ بالمريض وهو معتكف، فيمرّ كما هو ولا يُعرِّج يسأل عنه) وأيضا عن عروة أنها قالت: (السنّة على المعتكف أن لا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة، ولا يمس امرأة، ولا يباشرها، ولا يخرج لحاجة إلا لما لا بد منه، ولا اعتكاف إلا بصوم، ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع) رواه أبو داود/ 2/333. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menjenguk orang sakit maupun menghadiri kematian. Hal itu agar beliau fokus dan khalwat total dalam munajat kepada Allah ʿAzza wa Jalla. Dalam sebuah hadis dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia berkata, “Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika melewati orang sakit saat beriktikaf, maka beliau lewat begitu saja tanpa berhenti walaupun sekadar bertanya keadaannya.” (HR. Abu Dawud) Diriwayatkan juga dari Urwah bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa sunahnya orang yang iktikaf adalah tidak menjenguk orang sakit, menghadiri kematian, berhubungan dengan istri maupun bermesraan dengannya, dan keluar memenuhi keperluannya kecuali yang tidak bisa tidak. Tidak ada iktikaf kecuali dengan puasa, dan tidak iktikaf kecuali di masjid jamik. (HR. Abu Dawud (2/333). وكان أزواجه ﷺيزرْنه في معتكفه، وحدث أنه خرج ليوصل إحداهن إلى منزلها، وكان ذلك لحاجة إذ كان الوقت ليلاً، وذلك كما جاء في الحديث عن علي بن الحسين: (أن صفية رضي الله عنها أتت النبي صلى الله عليه وسلم وهو معتكف، فلما رجعت مشى معها، فأبصره رجل من الأنصار، فلما أبصر دعاه، فقال: تعال، هي صفية) وربما قال سفيان: (هذه صفية، فإن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم) قلت لسفيان: (أتته ليلاً ؟ قال: وهل هو إلا ليلاً) رواه البخاري 4/819. فرأى صلى الله عليه وسلم أن خروجه معها رضي الله عنها أمر لا بد منه في ذلك الليل، فخرج معها من معتكفه، ليوصلها إلى بيتها. Istri-istri beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengunjungi beliau di tempat iktikaf beliau. Beliau pernah keluar untuk mengantarkan salah satu dari mereka pulang ke rumah. Itu memang diperlukan karena waktu itu sudah malam, hal itu sebagaimana diriwayatkan dalam hadis dari Ali bin al-Husain, “Shafiyah —Semoga Allah Meridainya— menemui Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika beliau sedang iktikaf. Ketika dia pulang, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berjalan membersamainya. Lalu ada seorang laki-laki Anshar melihat beliau. Ketika dia melihat beliau, beliau memanggilnya dan berkata, ‘Kesinilah! Ini Shafiyah!’ Sepertinya Sufyan mungkin juga meriwayatkan bahwa beliau bersabda, ‘Ini adalah Shafiyah. Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia di aliran darah.’ Lalu aku bertanya kepada Sufyan, ‘Shafiyah menemui beliau malam hari?’ Dia menjawab, ‘Itu terjadi di malam hari.’ (HR. Bukhari 4/819). Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memandang bahwa keluar menemaninya —Semoga Allah Meridainya— adalah suatu keharusan pada malam itu, sehingga beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallama keluar dari tempat iktikafnya untuk mengantarkannya pulang ke rumah. وخلاصة القول: أن هديه صلى الله عليه وسلم في اعتكاف كان يتسم بالاجتهاد، فقد كان جل وقته مكث في المسجد، وإقبال على طاعة الله عز وجل، وترقب لليلة القدر. Ringkasnya, bahwa bimbingan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat iktikaf bercirikan kesungguhan, di mana sebagian besar waktu beliau dihabiskan untuk berdiam di masjid, fokus untuk Allah ʿAzza wa Jalla, dan menanti-nanti Lailatul Qadar. مقاصد الاعتكاف تحري ليلة القدر. الخلوة بالله عز وجل، والانقطاع عن الناس ما أمكن حتى يتم أنسه بالله عز وجل وذكره. إصلاح القلب، ولم شعثه بإقبال على الله تبارك وتعالى بكليته. الانقطاع التام إلى العبادة الصرفة من صلاة ودعاء وذكر وقراءة قرآن. حفظ الصيام من كل ما يؤثر عليه من حظوظ النفس والشهوات. التقلل من المباح من الأمور الدنيوية، والزهد في كثير منها مع القدرة على التعامل معها. Tujuan Iktikaf Memburu Lailatul Qadar. Berkhalwat kepada Allah ʿAzza wa Jalla dan sebisa mungkin memutus interaksi dari manusia agar mendapatkan ketenangan kepada Allah dan berzikir kepada-Nya. Membenahi hati dan tidak merusak fokusnya kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā secara totalitas. Menghentikan total aktivitas untuk ibadah murni, seperti salat, doa, zikir, dan membaca al-Quran. Menjaga puasa dari segala keinginan dan syahwat yang bisa berpengaruh buruk terhadap puasa. Mengurangi urusan-urusan duniawi yang mubah dan zuhud terhadap sebagian besar hal-hal tersebut tapi tetap mampu menjaga interaksi dengan semua itu. أقسام الاعتكاف واجب: ولا يكون إلا بنذر، فمن نذر أن يعتكف وجب عليه الاعتكاف، فقد قال صلى الله عليه وسلم: (من نذر أن يطيع الله فليطعه، ومن نذر أن يعصيه فلا يعصه) وفي الحديث أن ابن عمر رضي الله عنهما: أن عمر سأل النبي ﷺ قال: كنت نذرت في الجاهلية أن اعتكف ليلة في المسجد الحرام، قال: (أوف بنذرك) البخاري 4/809. Macam-macam Iktikaf Iktikaf Wajib, yang tidak ada kecuali karena nazar. Barang siapa yang bernazar untuk iktikaf, maka dia wajib iktikaf. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang bernazar untuk menaati Allah, maka taatilah Dia. Sementara barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada Allah, maka jangan bermaksiat kepada-Nya.” Dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dengan mengatakan, “Di masa jahiliah aku pernah bernazar untuk iktikaf semalam di Masjidil Haram,” lantas beliau menimpali, “Penuhi nazarmu!” (HR. Bukhari 4/809). مندوب: وهو ما كان من دأب النبي ﷺ في اعتكافه في العشر الأواخر من رمضان، ومحافظة على هذا الأمر وهو سنة مؤكدة من حياته صلى الله عليه وسلم كما ورد ذلك في الأحاديث التي أشير غليها عند الحديث عن مشروعية الاعتكاف. Iktikaf Sunah, inilah yang menjadi kebiasaan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, yang beliau jaga kebiasaan ini. Iktikaf ini adalah sunah yang sangat dianjurkan di masa hidup beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sebagaimana hal itu tersebut dalam hadis-hadis yang disebutkan saat membahas disyariatkannya iktikaf. حكم الاعتكاف سنة مؤكدة داوم عليها الرسول ﷺ، وقضى بعض ما فاته منها، ويقول في ذلك (عزام): ” والمسنون ما تطوع به المسلم تقرباً إلى الله، وطلباً لثوابه اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقد ثبت أنه فعله وداوم عليه) ص 114 Hukum Iktikaf Hukumnya sunah muakadah, yang rutin dikerjakan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, bahkan mengqadanya ketika beliau melewatkannya. Azzam mengatakan tentang iktikaf ini, “Inilah sunah yang dikerjakan seorang muslim secara sukarela untuk mendekatkan diri kepada Allah, mencari pahala-Nya, dan meneladan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, karena sahih bahwa beliau telah melakukannya dan merutinkannya.” (Hal. 114) شروط الاعتكاف يشترط للاعتكاف شروط هي: الإسلام: إذ لا يصح من كافر، وكذلك المرتد عن دينه. التمييز: إذ لا يصح من صبي غير مميز. الطهارة من الحدث الأكبر (من جنابة، وحيض، ونفاس) وإن طرأت مثل هذه الأمور على المعتكف أثناء اعتكافه وجب عليه الخروج من المسجد، لأنه لا يجوز له المكث على حالته هذه في المسجد. أن يكون في مسجد: قال الله تعالى (ولا تُباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد والأفضل أن يكون الاعتكاف في مسجد تقام فيه الجمعة، حتى لا يضطر إلى الخروج من مسجده لأجل صلاة الجمعة. Syarat Iktikaf Iktikaf dipersyaratkan beberapa syarat, yaitu: Islam, sehingga tidak sah iktikafnya orang kafir, begitu pula orang yang murtad dari agama Islam. Tamyiz, sehingga tidak sah iktikafnya anak yang belum tamyiz. Suci dari hadas besar (junub, haid, dan darah nifas). Adapun jika hal tersebut terjadi pada seseorang yang sedang iktikaf di tempat iktikafnya, maka ia harus keluar meninggalkan masjid, karena dia tidak boleh tetap berada di dalam masjid dengan keadaannya yang seperti itu. Berada di dalam masjid, Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Lebih utama lagi jika iktikaf dilakukan di masjid yang digunakan untuk salat Jumat, agar tidak keluar dari masjid tersebut untuk menunaikan salat Jumat. وقد ذهب بعض أهل العلم إلى أنه لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة: المسجد الحرام، والمسجد الأقصى، ومسجد النبي ﷺ. والصواب أن الاعتكاف جائز في كل مسجد تصلى فيه الفروض الخمسة، قال الله تعالى: (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) سورة البقرة 187، فدل عموم قوله تعالى: (في المساجد) على أنه جائز في كل مسجد. ويستحب أن يكون في مسجد جامع، حتى لا يحتاج المعتكف إلى الخروج للجمعة. وأما حديث لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة أخرجه الطحاوي في مشكل الآثار 4/20 فهو على القول بصحته مؤول بمعنى أنّ أكمل ما يكون الاعتكاف في هذه المساجد كما قال أهل العلم. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan Masjid Nabawi. Yang tepat bahwa iktikaf boleh dikerjakan di setiap masjid yang tegakkan di dalamnya salat wajib lima waktu. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Keumuman makna “dalam masjid” menunjukkan bahwa hal itu diperbolehkan di masjid mana pun. Dianjurkan dikerjakan di masjid jamik, agar tidak perlu keluar dari masjid itu untuk salat Jumat. Adapun hadis, “Tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, …” yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsār (20/40), andaikata hadis itu sahih, maka dimaknai bahwa iktikaf yang paling sempurna adalah di masjid-masjid tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. وقد يكون المراد بقوله صلى الله عليه وسلم: (لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة ): أي لا اعتكاف يُنذر ويسافر إليه. والاعتكاف يصح في كل مسجد، وقد أجمع الأئمة – خاصة الأئمة الأربعة – على صحة الاعتكاف في كل مسجد جامع. ولم يقل بعدم صحة الاعتكاف إلا في المساجد الثلاثة أحد من الأئمة المعروفين المتبوعين، لا الأربعة ولا العشرة ولا غيرهم Mungkin juga yang dimaksud dengan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, …” adalah iktikaf nazar yang harus ditempuh dengan safar. Iktikaf sah dikerjakan di semua masjid. Para imam ulama—khususnya imam empat mazhab—telah sepakat mengenai sahnya iktikaf di setiap masjid jamik. Tidak ada seorang pun imam ulama yang dikenal dan diikuti—baik imam yang empat, sepuluh, atau selain mereka—yang mengatakan tidak sahnya iktikaf jika tidak di tiga masjid tersebut.  ، وإنما نقل هذا عن حذيفة – رضي الله عنه – وواحد أو اثنين من السلف. وإذا نذر المرء أن يعتكف في المسجد الحرام وجب عليه الوفاء بنذره، فيعتكف في المسجد الحرام. ولكن لو نذر مثلا أن يعتكف في مسجد النبي صلى الله عليه وسلم فإنه يجوز له أن يعتكف في مسجد النبي أو في المسجد الحرام ؛ لأن المسجد الحرام أفضل. ولو نذر أن يعتكف في المسجد الأقصى، جاز له أن يعتكف في المسجد الأقصى أو المسجد الحرام أو المسجد النبوي، لأنهما أفضل من المسجد الأقصى. Pendapat ini diriwayatkan dari Hudzaifah —Semoga Allah Meridainya— dan satu atau dua ulama Salaf. Jika seseorang bernazar untuk iktikaf di Masjidil Haram, maka ia harus menunaikan nazarnya dan beriktikaf di Masjidil Haram. Namun, misalnya, jika dia bernazar untuk iktikaf di Masjid Nabawi, maka dia boleh beriktikaf di Masjid Nabawi atau di Masjidil Haram, karena Masjidil Haram lebih utama. Jika dia bernazar untuk beriktikaf di Masjidil Aqsa, maka boleh baginya iktikaf di Masjidil Aqsa, Masjidil Haram, atau Masjid Nabawi, karena keduanya lebih utama dari Masjidil Aqsa. أركان الاعتكاف النية: لحديث عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه. البخاري 1/15. Rukun Iktikaf Niat. Hal ini berdasarkan hadis Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya segala amalan hanya tergantung dengan niatnya; dan sesungguhnya tiap-tiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan rasul-Nya. Adapun orang yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya atau seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah kepada apa yang dia tuju itu.’” (HR. Bukhari 15/1) المكث في المسجد: كما في قوله تعالى: (وعهدنا إلى إبراهيم وإسماعيل أن طهرا بيتي للطائفين والعاكفين والركع والسجود) سورة البقرة /125 وفي هذا تأكيد على أن مكان الاعتكاف هو المسجد، ودلّ على ذلك أيضاً فعل الرسول صلى الله عليه وسلم ومن بعده أزواجه وصحابته رضوان الله عليهم، ففي الحديث عن يونس بن زيد أن نافعاً حدثه عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله ﷺ كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان، قال نافع: وقد أراني عبد الله رضي الله عنه المكان الذي يعتكف فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم من المسجد أخرجه مسلم 8/308. Berdiam di dalam masjid, sebagaimana firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan telah Kami Perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud!’” (QS. Al-Baqarah: 125) Ini juga menegaskan bahwa tempat iktikaf adalah di masjid. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan perbuatan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para istri-istri serta Sahabat-Sahabat beliau —Semoga Allah Meridai mereka— setelah beliau wafat. Dalam hadis dari Yunus bin Zaid bahwa Nāfiʿ mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu beriktikaf selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Nāfiʿ berkata, “Abdullah —Semoga Allah Meridainya— menunjukkan kepadaku di sebelah mana tempat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf.” (HR. Muslim 8/308) مكان الاعتكاف وزمانه وبداية وقته مكان الاعتكاف المسجد كما دلت عليه الآية في قوله تعالى: ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد. البقرة /187. ولأن الرسول ﷺ وأزواجه وصحابته رضوان الله عليهم اعتكفوا في المساجد، ولم يرد عن أحد منهم أنه اعتكف في غير المسجد. Tempat, Waktu dan Permulaan Iktikaf Tempat iktikaf adalah masjid, seperti yang ditunjukkan dalam ayat dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Hal ini karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, beserta istri-istri dan para Sahabat beliau —Semoga Allah Meridai mereka— beriktikaf di masjid dan tidak ada satu pun riwayat dari mereka bahwa mereka beriktikaf di tempat lain selain masjid. وأما بالنسبة لزمانه فإذا كان في رمضان فآكد وقته العشر الأواخر منه، ويجوز في أي وقت في رمضان وغيره، فهو لا يختص بزمن معيّن، بل مستحب في جميع الأوقات، ويجب إذا ألزم نفسه بنذر، كما جاء في حديث ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر سأل النبي صلى الله عليه وسلم قال: كنت نذرت في الجاهلية ان اعتكف ليلة في المسجد الحرام. قال: (أوف بنذرك) البخاري 4/809  Adapun waktunya, jika dikerjakan di bulan Ramadan, maka sangat dianjurkan di sepuluh hari terakhirnya. Boleh juga dikerjakan kapan saja pada bulan Ramadan atau di luar Ramadan. Jadi, tidak ada waktu tertentu, tetapi dianjurkan kapan pun. Ini menjadi wajib jika seseorang menazarkannya, sebagaimana tersebut dalam hadis Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dengan mengakatan, “Di masa jahiliah aku pernah bernazar untuk iktikaf semalam di Masjidil Haram,” lantas beliau menimpali, “Penuhi nazarmu!” (HR. Bukhari 4/809). وأما بالنسبة لبداية وقته فقبل غروب الشمس لمن أراد أن يعتكف يوماً وليلة أو اكثر وقال بعض العلماء يدخل معتكفه فجرا. Adapun permulaan waktunya, maka dimulai sebelum matahari terbenam bagi orang yang ingin iktikaf sehari semalam atau lebih. Sebagian ulama mengatakan bahwa hendaknya dia memulai iktikaf saat fajar. آداب الاعتكاف للاعتكاف آداب يستحب للمعتكف أن يأخذ بها حتى يكون اعتكافه مقبولاً وكلما حافظ عليها المعتكف كان له الأجر الجزيل من رب العالمين وكلما أخل بهذه الآداب نقص أجره. ومن آداب الاعتكاف ما ذكره ابن قدامة في المعنى: Adab Iktikaf Iktikaf mempunyai adab-adab yang seyogianya dijaga oleh orang yang beriktikaf agar iktikafnya diterima. Semakin seseorang menjaga adab-adab ini, maka semakin besar pahalanya dari Tuhan semesta alam. Semakin seseorang melanggar adab-adab ini, maka semakin berkurang pula pahalanya. Di antara adab-adab iktikaf adalah sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qudamah secara umum: يستحب للمعتكف التشاغل بالصلاة وتلاوة القرآن وبذكر الله تعالى ونحو ذلك من الطاعات المحضة ويجتنب مالا يعينه من الأقوال والفعال ولا يُكثر الكلام لأن من كثر كلامه كثر سقطه وفي الحديث (من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه) ويجتنب الجدال والمراء والسباب والفحش فإن ذلك مكروه في غير الاعتكاف ففيه أولى ولا يبطل الاعتكاف بشي من ذلك  “Orang yang iktikaf hendaknya menyibukkan diri dengan salat, membaca al-Quran, berzikir kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan ketaatan lain yang sifatnya ketaatan murni serta menjauhi perkara yang tidak bermanfaat, baik perkataan atau perbuatan. Janganlah dia banyak bicara, karena orang yang banyak bicara akan banyak kelirunya. Disebutkan dalam sebuah hadis, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah ketika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi) Demikian pula ia menghindari perdebatan, adu argumen, mencela, dan berkata kotor, karena hal itu tidak boleh dilakukan di luar iktikaf, apalagi saat iktikaf. Hanya saja, semua itu tidak membatalkan iktikaf. ولا بأس بالكلام لحاجة ومحادثة غيره روى الشيخان أن صفية زوج النبي صلى الله عليه وسلم جاءت تزوره في اعتكافه في المسجد، في العشر الأواخر من رمضان، فتحدثت عنده ساعة، ثم قامت تنقلب، فقام النبي صلى الله عليه وسلم معها يقلبها، حتى إذا بلغت باب المسجد عند باب أم سلمة، مر رجلان من الأنصار، فسلما على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال لهما النبي صلى الله عليه وسلم: (على رسلكما، إنما هي صفية بنت حيي)، فقالا: سبحان الله يا رسول الله ! وكبُرَ عليهما، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن الشيطان يبلغ من الإنسان مبلغ الدم) وفي لفظ: (يجري من الإنسان مجرى الدم)، (وإني خشيت أن يقذف في قلوبكما شيئاً) وفي لفظ: (شراً). Tidak mengapa berbicara atau ngobrol dengan orang lain untuk suatu keperluan. Syaikhān meriwayatkan bahwa Shafiyah, Istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, pernah datang mengunjungi beliau saat beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Dia —Semoga Allah Meridainya— ngobrol bersama beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beberapa saat lalu berdiri dan berbalik pulang. Lantas Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri bersamanya dan mengiringinya berbalik. Ketika dia sampai di depan pintu masjid, di dekat di depan pintu kamar Ummu Salamah, ada dua orang laki-laki Anshar lewat dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada mereka berdua, “Pelan-pelan saja kalian. Dia ini Shafiyah binti Huyay.” Mereka menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah!” Rupanya mereka merasa keberatan dengan perkataan beliau, maka beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya setan memasuki manusia melalui aliran darah—dalam riwayat lain: mengalir dalam diri manusia di aliran darah—, dan aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu—dalam riwayat lain: keburukan—ke dalam hati kalian.” قال الحافظ وفي الحديث فوائد: جواز اشتغال المعتكف بالأمور المباحة من تشييع زائره والقيام معه والحديث مع غيره وإباحة خلوة المعتكف وزيارة المرأة للمعتكف.وروى عبد الرزاق عن علي قال: من اعتكف فلا يرفث في الحديث ولا يساب ويشهد الجمعة والجنازة وليوص أهله إذا كانت له حاجة، وهو قائم ولا يجلس عندهم. Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa ada beberapa faedah dari hadis tersebut, di antaranya tentang kebolehan bagi orang yang iktikaf untuk melakukan hal-hal yang sifatnya mubah, seperti menemani dan mengantar orang yang mengunjunginya atau ngobrol dengan orang lain. Orang yang iktikaf boleh berduaan dengan istrinya atau dikunjungi olehnya. Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ali yang mengatakan bahwa orang yang melakukan iktikaf tidak boleh berkata cabul dalam ucapannya atau mencela. Dia tetap mendatangi salat Jumat dan kematian serta berwasiat untuk keluarganya jika memang diperlukan, tetapi sambil berdiri tanpa duduk bermajelis bersama mereka. وأما إقراء القرآن وتدريس العلم ودرسه ومناظرة الفقهاء ومجالستهم وكتابة الحديث فقد اُختلف فيه. فعند الإمام أحمد أنه لا يستحب ذلك، لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف فلم ينقل عنه الاشتغال بغير العبادات المختصة به. قال المروزي: قلت لأبي عبد الله إن رجلاً يُقرئ في المسجد وهو يريد أن يعتكف ولعله أن يختم في كل يوم فقال: إذا فعل هذا كان لنفسه وإذا قعد في المسجد كان له ولغيره يقرئ أحب إلي. وذهب الشافعي كما في المغني: إلى استحباب لأنه أفضل العبادات ونفعه يتعدى. والقول ما ذهب إليه الإمام أحمد وهو الأفضل والله أعلم. Adapun mengajarkan al-Quran, mengisi majelis taklim dan pelajaran, diskusi dan bermajelis dengan para fukaha, dan menulis hadis, maka ada perbedaan pendapat mengenai hukum masalah ini. Menurut Imam Ahmad, hal ini tidak dianjurkan, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu beriktikaf tapi tidak ada riwayat bahwa beliau melakukan hal lain selain ibadah yang khusus dikerjakan saat iktikaf. Al-Maruzi berkata, “Aku berkata kepada Abu Abdullah bahwa ada seorang yang mengajarkan al-Quran di masjid padahal dia ingin iktikaf dan mungkin berniat mengkhatamkannya setiap hari. Dia berkomentar, ‘Jika dia melakukan sendiri, maka itu kebaikan untuk dirinya sendiri. Adapun jika dia duduk di dalam masjid, maka itu kebaikan untuk dia dan orang lain. Mengajarkan al-Quran lebih aku sukai.'”  Imam Syafii, sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni, mengatakan hal itu dianjurkan, karena itu adalah sebaik-baik ibadah dan manfaatnya dirasakan oleh orang lain juga. Adapun pendapat yang dikatakan Imam Ahmad adalah bahwa itu yang afdal. Allah Yang lebih Mengetahui. ملحوظة (1): بعض الناس يعدون الاعتكاف فرصة خلوة ببعض أصحابهم وأحبابهم، وتجاذب أطراف الحديث معهم، وليس هذا بجيد. حقا أنه لا حرج في أن يعتكف جماعة معا في مسجد، فقد اعتكف أزواج النبي ﷺ معه، حتى لقد كانت إحداهن معتكفة معه، وهي مستحاضة ترى الدم وهي في المسجد رواه البخاري (303، 304)،  Catatan Pertama: Sebagian orang menganggap iktikaf sebagai kesempatan untuk kumpul bersama teman-teman dan orang-orang yang dicintainya serta mengobrol dan bercengkerama dengan mereka. Ini tidak baik. Yang benar bahwa iktikaf bersama-sama di masjid tidaklah masalah, karena istri-istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga beriktikaf bersama beliau, bahkan ada salah seorang dari mereka yang iktikaf berdua bersama beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam padahal dia melihat darahnya karena mengalami istihadah sementara dia berada di dalam masjid. (HR Bukhari (303-304))  فلا حرج أن يعتكف الشخص مع صاحبه أو قريبه، ولكن الحرج في أن يكون الاعتكاف فرصة للسمر والسهر، والقيل و القال، وما شابه ذلك. ولذلك قال الإمام ابن القيم بعدما أشار إلى ما يفعله بعض الجهال من اتخاذ المعتكف موضع عِشْرة، ومجلبة للزائرين، وأخذهم بأطراف الحديث بينهم، قال: (فهذا لون، والاعتكاف النبوي لون) زاد المعاد. Tidak masalah jika seseorang beriktikaf dengan teman atau kerabatnya, masalahnya adalah jika iktikafnya dijadikan kesempatan untuk ngobrol hingga malam, bergadang, bergosip, dan sejenisnya. Oleh karena itu, setelah menyinggung sebagian perbuatan orang-orang jahil yang menjadikan iktikaf sebagai ajang kumpul-kumpul, kesempatan bertemu dengan orang yang mengunjunginya, dan mengajak mereka ngobrol, lalu Imam Ibnul Qayyim berkomentar, “Ini acara sendiri yang beda dengan iktikafnya Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” (Zādul Ma’ād) ملحوظة (2): بعض الناس يترك عمله، ووظيفته وواجبه المكلف به، كي يعتكف، وهذا تصرف غير سليم؛ إذ ليس من العدل أن يترك المرء واجبا ليؤدي سنة ؛ فيجب على من ترك عمله المكلّف به واعتكف، أن يقطع الاعتكاف، ويعود إلى عمله لكي يكون كسبه حلالا، وأمّا إذا استطاع أن يجعل الاعتكاف في إجازة من عمله أو رخصة من صاحب العمل فهذا خير عظيم. Catatan Kedua: Sebagian orang meninggalkan pekerjaan, tugas, dan kewajiban yang dibebankan kepadanya agar bisa iktikaf. Perbuatan ini tidak tepat, karena tidak benar jika dia meninggalkan suatu kewajiban demi menunaikan yang sunah. Barang siapa yang meninggalkan pekerjaan yang dibebankan kepadanya agar bisa iktikaf, maka dia wajib berhenti dari iktikaf dan kembali kepada pekerjaannya agar penghasilannya menjadi halal. Jika ia mampu menjadwalkan iktikafnya di masa libur kerjanya atau diberi izin dari atasannya, maka ini adalah kebaikan yang besar. محظورات الاعتكاف أ- الخروج من المسجد يبطل الاعتكاف إذا خرج المعتكف من المسجد لغير حاجة، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يكن يخرج من المسجد إلا لحاجة الإنسان، وهي حاجته إلى الطعام، إن لم يكن بالإمكان أن يؤتى إليه بالطعام، كما كان يؤتى بطعام رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المسجد إذ يقول (سالم): ” فأما طعامه وشرابه فكان يؤتى به إليه في معتكفه). وكذلك خروجه للتطهر من الحدث الأصغر، والوضوء لحديث عائشة رضي الله عنها أنها قالت: (وإن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليدخل عليَّ رأسه وهو في المسجد فأرجّله، وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفاً) فتح الباري 4/808. Larangan-larangan Iktikaf Keluar dari masjid. Keluar dari masjid membatalkan iktikaf, jika dia keluar tanpa ada kebutuhan, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak meninggalkan masjid kecuali untuk suatu hajat manusiawi beliau. Misalnya, kebutuhan terhadap makanan, jika memang makanannya tidak bisa diantar kepadanya, sebagaimana dahulu makanan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan ke masjid, seperti yang Salim kisahkan, “Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan kepada beliau ke tempat iktikaf beliau.” Demikian pula keluarnya untuk bersuci dari hadas kecil dan wudu, berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang pernah mengatakan, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu menjulurkan kepalanya kepadaku ketika beliau di masjid lalu aku merapikan rambutnya. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak masuk rumah ketika iktikaf kecuali untuk suatu hajat beliau.” (Fathul Bari (4/808)). ب- مباشرة النساء: ومنها الجماع، فهذا الأمر يبطل الاعتكاف، لورود النهي عنه صريحاً في قوله تعالى: (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) سورة البقرة /187. ج- الحيض والنفاس: فإذا حاضت المرأة المعتكفة أو نفست وجب عليها الخروج من المسجد، وذلك للمحافظة على طهارة المسجد وكذلك الجنب حتى يغتسل. Bermesraan dengan istri, demikian juga sanggama. Hal ini membatalkan iktikaf, karena ada larangannya secara tegas yang tersebut dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kalian beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Haid dan nifas. Jika seorang wanita yang beriktikaf datang bulan atau nifas, maka dia harus keluar meninggalkan masjid, demi menjaga kesucian masjid. Begitu pula orang yang junub, sampai dia mandi wajib. د- قضاء العدة: وذلك إذا توفي زوج المعتكفة وهي في المسجد وجب عليها الخروج لقضاء العدة في منزلها. هـ- الردّة عن الإسلام: حيث إن من شروط الاعتكاف الإسلام، فيبطل اعتكاف المرتد. Menjalani masa idah. Jika suami dari wanita yang iktikaf meninggal dunia sementara dia masih di masjid, maka dia harus keluar untuk melakukan masa idahnya di rumahnya. Murtad dari Islam, Islam adalah salah satu syarat iktikaf, sehingga orang murtad batal iktikafnya. الجوانب التربوية للاعتكاف (1) تطبيق مفهوم العبادة بصورتها الكلية يؤصل الاعتكاف في نفس المعتكف مفهوم العبودية الحقة لله عز وجل، ويدربه على هذا الأمر العظيم الذي من أجله خلق الإنسان، إذ يقول الحق تبارك وتعالى: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون الذاريات/56. حيث إن المعتكف قد وهب نفسه كلها ووقته كله متعبداً لله عز وجل. ويكون شغله الشاغل هو مرضاة الله عز وجل، فهو يشغل بدنه وحواسه ووقته – من أجل هذا الأمر – بالصلاة من فرض ونفل وبالدعاء، وبالذكر، وبقراءة القرآن الكريم، وغير ذلك من أنواع الطاعات. Aspek-aspek Tarbiah dalam Iktikaf Menerapkan Makna Ibadah dalam Wujudnya yang Sempurna Iktikaf menanamkan makna hakiki dari sebuah ibadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla dalam diri orang yang beriktikaf. Iktikaf ini melatih dirinya memaknai makna agung ini, yang menjadi tujuan manusia diciptakan. Allah Yang Maha Benar Berfirman (yang artinya), “Aku tidaklah Menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56). Hal ini karena orang yang beriktikaf telah mengabdikan seluruh diri dan semua waktunya untuk beribadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla. Kesibukan utamanya adalah mencari keridaan Allah ʿAzza wa Jalla. Dia menggunakan tubuh, inderanya, dan waktunya untuk tujuan itu dengan mengerjakan salat wajib dan sunah, doa, zikir, membaca al-Quran, dan berbagai macam ketaatan lainnya. وبهذه الدُّرْبة في مثل أيام العشر الخيرة من شهر رمضان المبارك يتربى المعتكف على تحقيق مفهوم العبودية لله عز وجل في حياته العامة والخاصة، ويضع موضع التنفيذ قول الحق تبارك وتعالى: قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين. لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين الأنعام /163، قال القرطبي (محياي) أي: ما أعمله في حياتي، (ومماتي) أي: ما أوصي به بعد وفاتي، (لله رب العالمين) أي: أفرده بالتقرب بها إليه) 7/69. Dengan latihan seperti ini di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan yang penuh berkah, orang yang beriktikaf dididik untuk merealisasikan makna ibadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla ini dalam kehidupannya secara pribadi dan bermasyarakat, serta mengaplikasikan firman Yang Maha Benar (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.'” (QS. Al-An’am: 162-163) Al-Qurtubi berkata bahwa “hidupku” artinya “segala yang aku kerjakan selama hidupku,” “matiku” artinya “segala yang aku wasiatkan setelah kematianku,” “untuk Allah, Tuhan seluruh alam,” artinya “aku mengesakan-Nya dalam ibadahku kepada-Nya.” (7/69) (2) تحري ليلة القدر وهو المقصد الرئيسي من اعتكافهﷺ إذ بدأ اعتكافه أول مرة الشهر كله وكذلك اعتكف العشر الأواسط تحرياً لهذه الليلة المباركة، فلما علم أنها تكون في العشرة الأخيرة من شهر رمضان اقتصر اعتكافه على هذه العشر المباركة. (2) Memburu Lailatul Qadar Ini adalah tujuan utama iktikaf Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, di mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memulai iktikafnya untuk pertama kali selama sebulan penuh. Beliau juga pernah iktikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadan untuk mencari malam yang diberkahi ini. Ketika beliau mengetahui bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, maka beliau mencukupkan diri beriktikaf di sepuluh hari yang diberkahi tersebut. (3) تعوّد المكث في المسجد فالمعتكف قد الزم نفسه البقاء في المسجد مدة معينة. وقد لا تقبل النفس الإنسانية مثل هذا القيد في بداية أمر الاعتكاف، ولكن عدم القبول هذا سرعان ما يتبدد عادة بما تلقاه النفس المسلمة من راحة وطمأنينة في بقائها في بيت الله. (3) Membiasakan Diri Tinggal di Masjid Orang yang iktikaf mengharuskan dirinya untuk menetap di masjid dalam jangka waktu tertentu. Jiwa manusia mungkin menolak pembatasan seperti ini di awal-awal iktikafnya. Namun, penolakan ini biasanya akan segera hilang seiring dengan kenyamanan dan ketenteraman yang didapatkan oleh jiwa seorang muslim dengan berdiam diri di dalam rumah Allah. ومعرفة المعتكف بأهمية بقائه في المسجد أثناء اعتكافه تتجلى في الأمور التالية: 1- أن الرجل الذي يمكث في المسجد قد احب المسجد من قلبه، وعرف قدر بيوت الله عز وجل، وهذا الحب له قيمة عند الله عز وجل ؛ إذ يجعله من الفئات التي يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله. Kesadaran seseorang tentang urgensi berdiam diri di masjid ketika iktikaf akan semakin kuat dalam beberapa hal berikut: Orang yang berdiam di masjid berarti telah mencintai masjid dari dalam hatinya dan mengetahui betapa mulianya rumah Allah ʿAzza wa Jalla. Cinta ini amat bernilai di hadapan Allah ʿAzza wa Jalla, karena itu akan menjadikannya termasuk orang-orang yang akan diberi naungan oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. 2- أن الذي يمكث في المسجد ينتظر الصلاة له أجر صلاة، وأن الملائكة تستغفر له، ففي الحديث الذي أورده أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إن الملائكة تصلي على أحدكم ما دام في مصلاه ما لم يحدث: اللهم اغفر له، اللهم ارحمه، لا يزال أحدكم في مصلاه ما دامت الصلاة تحبسه، لا يمنعه أن ينقلب إلى أهله إلا الصلاة) البخاري 2/360 فتح الباري. Orang yang berdiam di masjid menunggu salat akan mendapatkan pahala mengerjakan salat dan para malaikat akan memohonkan ampun baginya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Para malaikat akan senantiasa mendoakan seseorang di antara kalian selama dia masih di tempat salatnya selagi ia belum berhadas, ‘Ya Allah, Ampunilah dia. Ya Allah, Rahmatilah dia.’ Salah seseorang di antara kalian akan senantiasa dihitung dalam keadaan salat selama dia menanti pelaksanaan salat, yang mana tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya kecuali salat itu.” (HR. Bukhari 2/360 dalam Fathul Bari) 3- البعد عن الترف المادي والزهد فيه: في الاعتكاف يتخفف المعتكف من الكثير من هذه الأمور، ويصبح كأنه إنسان غريب في هذه الدنيا، وطوبى للغرباء، فهو من أجل مرضاة الله عز وجل ارتضى أن يقبع في ناحية من المسجد ليس لديه في الغالب إلا وسادة يضع عليها رأسه وغطاء يتغطى به، قد ترك فراشه الوثير وعادته الخاصة من أجل ذلك الرضا. Zuhud dan Jauhnya Seseorang dari Kemewahan Dunia Pada saat iktikaf, dia mengurangi banyak sekali perkara-perkara tersebut, dan seolah-olah menjadi seperti orang asing di dunia ini. Beruntunglah orang-orang yang asing ini, yang demi keridaan Allah Jalla wa ʿAlā dia merelakan dirinya tinggal di salah satu sudut masjid yang umumnya tanpa bantal untuk meletakkan kepalanya atau selimut untuk menyelimuti dirinya. Dia telah meninggalkan tempat tidurnya yang empuk dan kebiasaan pribadinya demi keridaan Allah. أما طعامه فهو مختلف في وضعه، إن لم يكن في نوعه، إن كان طعامه يأتيه من منزله، فهو عادة لا يأتيه بالكثرة ولا يتناوله بالوضع الذي كان يتناوله في منزله على طاولة وكرسي مع أهله وولده، بل يأكل كما يأكل الغريب، ويأكل كما يأكل العبد الفقير إلى ربه، وإن خرج إلى السوق من أجل الطعام فهو يعمل جاهداً على التعامل مع ما هو متوفر ولا يشترط نوعاً معيناً، لأنه مطلوب منه العودة إلى معتكفه، وعدم الإطالة في مثل هذه الأمور Adapun makanannya, tentu sudah beda penyajiannya, dan bahkan jenisnya. Sekalipun makanannya datang dari rumahnya, tapi umumnya yang datang tidak banyak. Pun tidak dia nikmati dengan cara penyajian yang biasanya dia dapatkan ketika dirumahnya, yaitu di atas meja makan dan kursi bersama keluarga dan anaknya. Sebaliknya, dia makan seperti orang asing makan. Dia menyantap makanan layaknya seorang budak miskin yang tergantung dengan majikannya. Andaikata dia pergi ke pasar untuk membeli makanan, maka dia harus berusaha dulu, selain harus menerima apapun yang tersedia tanpa bisa menuntut makanan tertentu, karena dia dituntut untuk segera kembali ke tempat iktikafnya dan tidak berlama-lama dengan perkara-perkara seperti ini. وبهذا يعرف أن الحياة يمكن إدارتها بالقليل الذي يرضى عنه الله، وكذلك يمكن إدارتها بالكثير الذي لا يُرضي الله عز وجل، والفرق بينهما كبير. Dengan demikian, dia akan menyadari bahwa hidup ini bisa berjalan dengan sesuatu yang serba minimal yang bisa membuat Allah Rida kepada-Nya maupun dengan sesuatu yang serba banyak yang bisa membuat Allah Jalla wa ʿAlā tidak Rida kepada-Nya. Sementara perbedaan antara keduanya amatlah besar. (4) الإقلاع عن كثير من العادات الضارة في ظل غياب مفهوم التربية الإسلامية في كثير من المجتمعات الإسلامية، وفي كثير من بيوت المجتمعات الإسلامية. نشأت وتفشّت لدى أفراد هذه المجتمعات كثير من العادات التي تتعارض مع تعاليم الدين الحنيف، وعمّت هذه العادات المنكرة حتى أصبحت نوعاً من المعروف الذي لا يرى فيه ضرر على الدين والنفس، ومن تلك العادات: التدخين، وسماع الموسيقى، ومشاهدة ما يبث في القنوات الفضائية من مشاهد وأحاديث تضادّ عقيدة المسلم وتُنافي حياءه وعفّته، وغير ذلك من عادات لها ضررها على الدين والنفس. (4) Berhenti Melakukan Banyak Kebiasaan Buruk Dengan kosongnya makna-makna tarbiah Islam di sebagian besar masyarakat Islam dan rumah-rumah masyarakat kaum muslimin, maka banyak sekali kebiasan-kebiasan yang muncul dan tersebar di tengah mereka, padahal bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang lurus ini. Kebiasaan mungkar ini meluas secara menyeluruh hingga menjadi sesuatu yang dianggap baik, yang tampak tidak membahayakan agama maupun jiwa. Di antara kebiasaan-kebiasaan itu adalah merokok, mendengarkan musik, dan menonton tontonan dan obrolan dari siaran-siaran saluran satelit yang bertentangan dengan akidah seorang muslim dan mengikis rasa malu dan kesuciannya, selain kebiasaan-kebiasaan lain yang membahayakan agama dan jiwa. وتأتي فترة الاعتكاف لتكشف للفرد المسلم زيف تلك العادات، وزيف ذلك الاعتقاد الذي سكن في نفوس كثير من المسلمين بعدم القدرة على التخلص من مثل تلك العادات، لأنها قد استحكمت في النفوس. ويتعرف الإنسان المسلم في فترة الاعتكاف، وقد خلا إلى خالقه، على مفهوم العبادة بصورتها الشاملة، وأنه يجب أن يكون متعبداً لله عز وجل على مدار الساعة في حياته العامة والخاصة. Momen iktikaf bagi seorang individu muslim akan menyingkap kekeliruan kebiasaan-kebiasaan ini dan batilnya keyakinan yang telah mengakar dalam banyak jiwa kaum muslimin tanpa mampu melepaskan diri darinya, karena sudah terlanjur mengakar kuat dalam jiwa. Seorang individu muslim dalam masa iktikafnya dan pengasingannya demi Sang Pencipta akan memahami makna ibadah dalam wujudnya yang paripurna serta menyadari bahwa ia harus menjadi penyembah Allah ʿAzza wa Jalla sepanjang waktu dalam kehidupannya secara pribadi dan bermasyarakat. فهو عندما يتخذ مرضاة الله عز وجل ومحبّته ميزانا يزن به كل عمل يقوم به، يجد أن تلك العادات التي أشرنا إليها آنفاً وكثير غيرها لا تتفق مع هذه المحبة لله عز وجل بل تعمل في اتجاه معاكس لها، ويجد بذلك أن مثل تلك العادات تخرجه عن دائرة العبودية الصادقة لله، وإذا كان الأمر كذلك فيجب عليه أن يتخلص منها في أسرع وقت ممكن. Ketika seseorang menjadikan keridaan Allah dan kecintaannya kepada-Nya sebagai timbangan yang digunakannya untuk menimbang setiap perbuatan yang dilakukannya, niscaya dia akan mendapati bahwa kebiasaan-kebiasaan yang kami sebutkan tadi serta banyak kebiasaan yang lain tidaklah selaras dengan cintanya kepada Allah ʿAzza wa Jalla, bahkan bertentangan. Dia akan menyadari bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti itu akan mengeluarkannya dari lingkaran peribadatan yang hakiki kepada Allah. Jika demikian kenyataannya, maka dia harus berlepas diri darinya sesegera mungkin. وفي فترة الاعتكاف لا يحق للمسلم أن يخرج إلا لحاجة إيجابية ترتبط بتسهيل أمر الاعتكاف في المسجد، وما عدا ذلك يجب أن يمتنع عنه وإن كان مباحاً، فهو – على سبيل المثال – لا يحق له أن يتجول في الأسواق – ولو لفترة بسيطة – ليشتري منها ما لا ارتباط له بأمر الاعتكاف، فلو خرج لشراء سواك لم يكن في هذا حرج على اعتكافه، لأنه من متطلبات الصلاة في اعتكافه، ولكن لو خرج لشراء هدية لزوجته، أو لأحد أبنائه، فذلك مبطل لاعتكافه، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم كما ورد سابقاً كان لا يخرج إلا لحاجة الإنسان، فكيف إذا خرج المعتكف لأمر محرم كشرب الدخان مثلاً أو لمشاهدة برنامج فضائي قد اعتاد مشاهدته، لا شك أن ذلك مبطل لاعتكافه لا محالة. Selama masa iktikafnya, seorang muslim tidak dibenarkan keluar kecuali untuk kepentingan-kepentingan positif yang berkaitan dengan hal-hal yang mempermudahnya menjalankan iktikaf di masjid. Selain untuk hal-hal itu, dia harus menahan diri darinya, meskipun pada asalnya diperbolehkan. Misalnya, dia tidak dibenarkan berkeliling di pasar walaupun sebentar saja untuk membeli sesuatu yang tidak berkaitan dengan urusan iktikafnya. Jika dia keluar untuk membeli siwak, maka itu tidak berpengaruh dengan iktikafnya, karena itu merupakan salah satu kebutuhan untuk salat ketika dia iktikaf. Namun, jika dia keluar untuk membeli hadiah untuk istrinya atau salah seorang anaknya, maka itu membatalkan iktikafnya, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebagaimana disebutkan sebelumnya tidaklah keluar kecuali untuk suatu hajat manusiawi beliau. Lantas bagaimana pula jika seseorang yang iktikaf keluar untuk sesuatu yang haram, seperti merokok, misalnya, atau menonton acara-acara dari saluran satelit yang sudah biasa ia tonton? Tidak diragukan bahwa itu tentu membatalkan iktikafnya. وكذلك لو خرج يشرب خمرا أو يتعاطى تدخينا بطل اعتكافه. وعموما فإنّ أي خروج لغير عذر يبطل الاعتكاف ومن باب أولى الخروج للمعصية، ولا يجوز له حتى لو خرج لقضاء حاجته أن يُشْعل في الطريق سيجارة يدخنها. فالاعتكاف فرصة سنوية يستطيع فيها المعتكف أن يتخلص من هذه البلايا عن طريق التوبة والالتجاء إلى الله عز وجل أولاً، وعن طريق فطام النفس عن تلك المعاصي في فترة الاعتكاف، وعدم تحقيق رغبة النفس منها، وتعويدها على ذلك. Demikian pula jika dia keluar untuk minum khamar atau merokok, maka iktikafnya batal. Secara umum, keluar tanpa alasan yang dibenarkan akan membatalkan iktikafnya, apalagi keluar untuk maksiat. Meskipun dia keluar untuk buang air lalu menyalakan rokoknya di jalan sambil merokok, itupun juga tidak boleh. Iktikaf adalah kesempatan setahun sekali baginya untuk melepaskan diri dari cobaan tersebut dengan cara bertobat dan meminta tolong kepada Allah Jalla wa ʿAlā terlebih dahulu, lalu dengan menyapih dirinya dari dosa-dosa tersebut selama masa iktikaf, tidak memperturutkan kemauan nafsunya, serta membiasakan dirinya terhadap semua keadaan tersebut. هذه الطاعات المستمرة لله عز وجل تحتاج إلى صبر مستمر من قِبَل المعتكف، وفي هذا تربية للإرادة، وكبْح لجماح النفس التي عادةً ما ترغب في التفلّت من هذه الطاعة إلى أمور أخرى تهواها. وهناك الصبر على ما نقص مما ألِفته النفس من أنواع الطعام المختلفة التي كان يطعمها في منزله، فتلك الأنواع لا تتوفر في المسجد، فيصبر على هذا القليل من أجل مرضاة عز وجل. Ketaatan yang terus-menerus kepada Allah ʿAzza wa Jalla ini memerlukan kesabaran yang berkesinambungan dari orang yang beriktikaf. Inilah pendidikan bagi keinginannya dan pengendalian bagi kehendak nafsunya yang biasanya ingin berpaling dari ketaatan semacam ini untuk beralih kepada hal-hal lain yang diinginkannya. Dalam iktikaf juga ada kesabaran terhadap kurangnya sesuatu yang biasanya disukai oleh nafsunya, seperti berbagai jenis makanan yang biasa ia santap di rumahnya. Bermacam-macam makanan itu tidak tersedia semua di masjid, sehingga dia harus bersabar dengan sesuatu yang sedikit ini demi keridaan Allah ʿAzza wa Jalla. وهناك الصبر على نوع الفراش الذي ينام عليه، فلن يوضع له سرير في المسجد، أو فراش وثير كالذي ينام عليه في منزله، فهو ينام على فراش متواضع جداً إن لم يكن فرش المسجد. وهناك الصبر على ما يجد في المسجد من مزاحمة الآخرين له، ومن عدم توفر الهدوء الذي كان يألفه في منزله إذا أراد النوم. وهناك الصبر عن شهوة الزوجة إذ يحرم عليه مباشرتها عند دخوله إلى منزله للحاجة حتى التقبيل والعناق، وهي حلاله، Dalam iktikaf juga ada kesabaran dari jenis tempat tidur yang biasa ia pakai tidur. Tentu di masjid tidak akan ditaruh dipan atau kasur empuk seperti yang biasa ia pakai tidur di rumahnya. Ia tidur di atas alas yang sangat sederhana, atau mungkin hanya karpet masjid. Ada juga kesabaran terhadap keramaian orang-orang di sekitarnya di masjid dan sulitnya mendapatkan kesunyian yang biasa didapatkan di rumah ketika ingin tidur. Dalam iktikaf ada kesabaran dari syahwat kepada istri, karena ia dilarang sanggama ketika ia pulang ke rumah untuk suatu hajat, walaupun hanya mencium dan memeluknya. Meskipun pada asalnya itu halal.  وفي هذا الأمر تتجلى قيمة الصبر وقيمة القوة في الإرادة وضبط النفس، ومن خلال هذه المواقف وغيرها نجد أنه يمكن تربية الإنسان على القدرة على تأجيل كثير من الأمور والرغبات العاجلة من أجل أمور أهم منها، فهو يؤجل كل هذه الحاجات النفسية والمادية العاجلة من أجل الفوز برضى الله تبارك وتعالى. Dari semua ini tampaklah nilai sebuah kesabaran serta kemampuan mengatur kemauan dan pengendalian diri. Dengan semua keadaan ini dan yang semisalnya, kita mendapati bahwa seseorang bisa mendidik dirinya agar mampu menunda banyak hal dan berbagai keinginan sementara demi sesuatu yang lebih penting daripada semua itu. Dia menunda semua kebutuhan pribadinya dan materi duniawi demi memperoleh rida Allah Tabāraka wa Taʿālā. (5) الاطمئنان النفسي (6) قراءة القرآن وختمه (7) التوبة النصوح (8) قيام الليل والتعود عليه (5) Ketenangan jiwa. (6) Membaca dan mengkhatamkan al-Quran (7) Tobat dengan sebenar-benarnya. (8) Melakukan dan membiasakan diri salat malam. (9) عمارة الوقت (10) تزكية النفس (11) صلاح القلب وجمعه على الله عز وجل. نسأل الله أن يُعيننا على ذكره وشكره وحسن عبادته، والله تعالى أعلم وصلى الله على نبينا محمد. (9) Memanfaatkan waktu. (10) Menyucikan jiwa. (11) Membenahi hati dan memfokuskannya untuk Allah ʿAzza wa Jalla. Kami memohon kepada Allah agar Membantu kita berzikir, bersyukur, dan beribadah kepada-Nya dengan baik. Allah Yang lebih Mengetahui. Semoga Allah Melimpahkan selawat untuk Nabi kita Muhammad. المراجع الاعتكاف نظرة تربوية د.عبد اللطيف بن محمد بالطو. الإتحاف في بيان مسائل الاعتكاف لأبي عمر حاي الحاي. Referensi: Al-Iʿtikāf Naẓrah Tarbawiyyah, karya Dr. Abdul Latif bin Muhammad Balto. Al-Itẖāf fī Bayān Masāʾil al-Iʿtikāf, karya Abu Umar H̱āi al-H̱āi. Sumber: https://islamqa.info/ar/articles/82/فضل-الاعتكاف-واحكامه PDF sumber artikel. 🔍 Hukum Memelihara Burung, Hukum Islam Merayakan Tahun Baru, Kijing Kuburan, Tahun Baru Menurut Pandangan Islam, Apakah Wine Haram, Ciri Laki Laki Sholeh Visited 50 times, 1 visit(s) today Post Views: 381 QRIS donasi Yufid


فضل الاعتكاف وأحكامه Fadilah Iktikaf dan Hukum-hukumnya تعريف الاعتكاف الاعتكاف هو لزوم المسجد بنية مخصوصة، لطاعة الله تعالى:  وهو مشروع مستحب باتفاق أهل العلم، قال الإمام أحمد فيما رواه عنه أبو داود: (لا أعلم عن أحد من العلماء إلا أنه مسنون.) وقال الزهري رحمه الله: (عجباً للمسلمين ! تركوا الاعتكاف، مع أن النبي صلى الله عليه وسلم، ما تركه منذ قدم المدينة حتى قبضه الله عز وجل) Pengertian Iktikaf Iktikaf (Iʿtikāf) adalah berdiam di masjid dengan niat khusus, yakni dalam rangka  melakukan ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Iktikaf disyariatkan dan hukumnya sunah menurut kesepakatan para ulama. Imam Ahmad berkata—sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud darinya—”Saya tidak mengetahui seorang ulama pun kecuali (mengatakan) bahwa hukumnya sunah.”  Az-Zuhri—Semoga Allah Merahmatinya—berkata, “Sungguh mengherankan keadaan kaum muslimin! Mereka meninggalkan iktikaf, padahal Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkannya sejak dia tiba di Madinah sampai Allah ʿAzza wa Jalla Mewafatkan beliau.” فائدة الاعتكاف وثمرته إن في العبادات من الأسرار والحكم الشيء الكثير، ذلك أن المدار في الأعمال على القلب، كما قال الرسول ﷺ: ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب. رواه البخاري (52) ومسلم (1599). وأكثر ما يفسد القلب الملهيات، والشواغل التي تصرفه عن الإقبال على الله عز وجل من شهوات المطاعم، والمشارب، والمناكح، وفضول الكلام، وفضول النوم، وفضول الصحبة، وغير ذلك من الصوارف التي تفرق أمر القلب، وتفسد جمعيته على طاعة الله، فشرع الله تعالى قربات تحمي القلب من غائلة تلك الصوارف، كالصيام مثلاً، الصيام الذي يمنع الإنسان من الطعام والشراب، والجماع في النهار، فينعكس ذلك الامتناع عن فضول هذه الملذات على القلب، فيقوى في سيره إلى الله، وينعتق من أغلال الشهوات التي تصرف المرء عن الآخرة إلى الدنيا. Faedah dan Manfaat Iktikaf Dalam berbagai ibadah terkandung banyak sekali rahasia dan hikmah. Hal itu karena poros ibadah adalah hati, sebagaimana yang Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sabdakan, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya, tetapi jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa ia adalah hati!” (HR. Bukhari (52) dan Muslim (1599)).  Kebanyakan hal yang paling merusak hati adalah kesenangan dan berbagai kesibukan yang memalingkan seseorang dari perhatiannya kepada Allah ʿAzza wa Jalla, seperti keinginan untuk makan, minum, dan sanggama, ngobrol, tidur-tiduran, bergaul, dan hal-hal lain yang memalingkan dan memecah belah konsentrasi hati dan merusak fokusnya dalam ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka dari itulah Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mensyariatkan ibadah yang bisa menjaga hati dari dampak buruk yang timbul dari hal-hal yang menyibukkan tersebut, seperti puasa misalnya. Puasa menghalangi seseorang dari makan, minum, dan sanggama di siang hari.  Pantangan tersebut akan mengikis ketamakannya terhadap kenikmatan-kenikmatan ini dari dalam hati, menguatkan langkahnya dalam perjalanannya menuju Allah, dan membebaskannya dari belenggu-belenggu syahwat yang memalingkan seseorang dari akhirat kepada dunia.  وكما أن الصيام درع للقلب يقيه مغبة الصوارف الشهوانية، من فضول الطعام والشراب والنكاح، كذلك الاعتكاف، ينطوي على سر عظيم، وهو حماية العبد من آثار فضول الصحبة، فإن الصحبة قد تزيد على حد الاعتدال، فيصير شأنها شأن التخمة بالمطعومات لدى الإنسان، كما قال الشاعر: عدوك من صديقك مستفاد ***** فلا تستكثرن من الصّحاب فإن الـــداء أكثر ما تـــراه ***** يكون من الطعام أو الشراب Sebagaimana puasa menjadi perisai bagi hati yang melindunginya dari akibat buruk berbagai syahwat yang memalingkan, seperti banyak makanan, minuman, dan sanggama.  Begitupun iktikaf, di dalamnya tersimpan rahasia besar, yaitu melindungi hamba dari pengaruh buruk yang timbul dari seringnya bergaul, karena interaksi terkadang melampaui batas kewajaran, sehingga pergaulan itu menjadi candu yang menjadi penyakit yang menjangkiti seseorang, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair, “Musuhmu berasal dari teman yang kau bergaul dengannya, maka jangan perbanyak pertemanan. Adapun kebanyakan penyakit yang engkau lihat, berasal dari makan dan minuman.” وفي الاعتكاف أيضاً حماية القلب من جرائر فضول الكلام، لأن المرء غالباً يعتكف وحده، فيُقبل على الله تعالى بالقيام وقراءة القرآن والذكر والدعاء ونحو ذلك. وفيه كذلك حماية من كثرة النوم، فإن العبد إنما اعتكف في المسجد ليتفرغ للتقرب إلى الله، بأنواع من العبادات، ولم يلزم المسجد لينام. ولا ريب أن نجاح العبد في التخلص من فضول الصحبة، والكلام والنوم يسهم في دفع القلب نحو الإقبال على الله تعالى وحمايته من ضد ذلك. Pada iktikaf ada perlindungan bagi hati dari dampak buruk yang timbul dari berlebihan bicara, karena seseorang umumnya akan iktikaf sendirian dan memfokuskan perhatiannya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dengan membaca al-Quran, zikir, doa, dan lain sebagainya.  Di dalamnya juga ada perlindungan dari dampak buruk kebanyakan tidur, karena seorang hamba tidaklah beriktikaf di masjid kecuali hanya ingin fokus mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai jenis ibadah, bukan berdiam diri di masjid untuk tidur. Tidak dapat dipungkiri bahwa keselamatan seorang hamba adalah dengan menghindari pertemanan, perkataan, dan tidur yang berlebihan. Inilah yang berperan dalam menjaga hati agar tetap fokus kepada Allah dan melindunginya dari hal-hal yang bertentangan dengan itu. الجمع بين الصوم والاعتكاف لا ريب أن اجتماع أسباب تربية القلب بالإعراض عن الصوارف عن الطاعة، أدْعى للإقبال على الله تعالى والتوجه إليه بانقطاع وإخبات، ولذلك استحب السلف الجمع بين الصيام والاعتكاف، حتى قال الإمام ابن القيم رحمه الله: (ولم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه اعتكف مفطراً قط، بل قالت عائشة: (لا اعتكاف إلا بصوم) أخرجه أبو داود (2473) ولم يذكر الله سبحانه وتعالى الاعتكاف إلا مع الصوم، ولا فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا مع الصوم. فالقول الراجح في الدليل الذي عليه جمهور السلف: (أن الصوم شرط في الاعتكاف، وهو الذي كان يرجحه شيخ الإسلام أبو العباس ابن تيمية) زاد المعاد 2/87،88 Menggabungkan antara Puasa dan Iktikaf Tidak diragukan bahwa menggabungkan berbagai sebab yang bisa melatih hati agar berpaling dari hal-hal yang bisa memalingkannya dari ketaatan, tentu lebih kuat efeknya bagi hati dalam memfokuskannya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan bertawajuh kepada-Nya dengan menyendiri dalam kekhusyukan. Oleh karena itulah para Salaf menganjurkan untuk menggabungkan antara puasa dan iktikaf, sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim—Semoga Allah Merahmatinya—berkata bahwa tidak ada riwayat dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau iktikaf dalam keadaan tidak puasa, melainkan Aisyah —Semoga Allah Meridainya— mengatakan, “Beliau tidak iktikaf kecuali saat puasa.” (HR. Abu Dawud (2473)  Allah Subẖānahu wa Taʿālā juga tidak menyebutkan masalah iktikaf kecuali dengan puasa, pun Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak melakukannya kecuali dengan puasa. Jadi, pendapat yang tepat dengan dalil tersebut, yang menjadi pendapat mayoritas ulama Salaf adalah bahwa puasa adalah syarat iktikaf. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyah.” (Zād al-Maʿād (2/87-88). واشتراط الصوم في الاعتكاف نقل عن ابن عمر وابن عباس، وبه قال مالك والأوزاعي وأبو حنيفة، واختلف النقل في ذلك عن أحمد والشافعي. وأما قول الإمام ابن القيم رحمه الله: (ولم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه اعتكف مفطراً قط) ففيه بعض النظر، فقد نقل أن النبي ﷺ، اعتكف في شوال) رواه البخاري (1928) ومسلم (1173). ولم يثبت أنه كان صائماً في هذه الأيام التي اعتكافها، ولا أنه كان مفطراً. فالأصح أن الصوم مستحب للمعتكف، وليس شرطاً لصحته. Pendapat yang mempersyaratkan iktikaf harus dengan puasa diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, yang juga menjadi pendapat Malik, al-Auza’i dan Abu Hanifah. Sedangkan riwayat dari Ahmad dan Syafii ada perbedaan. Adapun perkataan Imam Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— bahwa tidak ada riwayat dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mengatakan bahwa beliau iktikaf dalam keadaan tidak berpuasa, maka ini perlu dikritisi, karena ada riwayat bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf di bulan Syawal, yang diriwayatkan oleh Bukhari (1928) dan Muslim (1173).  Tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa beliau ketika itu puasa atau tidak pada hari-hari iktikaf tersebut. Jadi, pendapat yang lebih tepat bahwa iktikaf dianjurkan dengan puasa, tapi tidak menjadi syarat sahnya. هدي النبي صلى الله عليه وسلم في الاعتكاف اعتكف عليه الصلاة والسلام في العشر الأول من رمضان ثم العشر الأواسط، يلتمس ليلة القدر، ثم تبيّن له أنها في العشر الأواخر فداوم على اعتكافها. فعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم، يجاور في العشر التي وسط الشهر، فإذا كان من حين تمضي عشرون ليلة، ويستقبل إحدى وعشرين، يرجع إلى مسكنه، ورجع من كان يجاور معه، ثم إنه أقام في شهر، جاور فيه تلك الليلة التي كان يرجع فيها، فخطب الناس، فأمرهم بما شاء الله، ثم قال: (إني كنت أجاور هذه العشر، ثم بدالي أن أجاور هذه العشر الأواخر، فمن كان اعتكف معي فليبت في معتكفه، وقد رأيت هذه الليلة فأنسيتها، فالتمسوها في العشر الأواخر، في كل وتر، وقد رأيتني أسجد في ماء وطين). Bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam Beriktikaf Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf di sepuluh hari pertama bulan Ramadan, kemudian di sepuluh hari di pertengahan Ramadan untuk mencari Lailatul Qadar. Kemudian, beliau mengerti bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh hari yang terakhir pada bulan Ramadan, sehingga beliau rutin melakukannya.  Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah beriktikaf di sepuluh hari pertengahan bulan Ramadan. Ketika sudah berlalu malam kedua puluh dan menjelang hari kedua puluh satu, beliau kembali ke rumah beliau, sementara orang-orang yang beriktikaf bersama beliau juga ikut pulang. Kemudian, beliau berada di suatu bulan (Ramadan) yang mana beliau beriktikaf di malam yang dulunya beliau pulang lalu menyampaikan khotbah kepada orang-orang dan memerintahkan mereka dengan apa yang dikehendaki oleh Allah, lalu beliau bersabda, “Dahulu aku beriktikaf pada sepuluh hari ini, kemudian sekarang aku mengetahui bahwa aku seharusnya beriktikaf pada sepuluh hari yang terakhir, maka barang siapa yang ingin beriktikaf bersamaku, maka hendaklah dia tetap bermalam di tempat iktikafnya. Sesungguhnya malam tersebut telah diperlihatkan kepadaku, tetapi aku terlupa. Oleh karena itu, carilah ia (Lailatul Qadar) di sepuluh malam terakhir pada malam-malam ganjil. Sungguh, aku bermimpi melihat diriku sedang sujud di atas lumpur dan air (saat Lailatul Qadar terjadi).”  قال أبو سعيد: مطرنا ليلة إحدى وعشرين، فوكف المسجد في مصلى رسول الله ﷺ، فنظرت إليه، وقد انصرف من صلاة الصبح، ووجهه مبتل ماء وطيناً فتحقق ما أخبر به صلى الله عليه وسلم وهذا من علامات نبوته. ثم حافظ ﷺ على الاعتكاف في العشر الأواخر، كما في الصحيحين من حديث عائشة رضي الله عنها أن النبي ﷺ كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله عز وجل ثم اعتكف أزواجه من بعده. رواه البخاري (1921) ومسلم (1171). Abu Sa’id mengatakan, “Pada malam kedua puluh satu, hujan turun kepada kami. Air masuk ke masjid sampai di tempat salat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Ketika itulah aku melihat beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang baru selesai dari salat Subuh di wajah beliau basah oleh air dan lumpur. Jadi, apa yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kabarkan menjadi nyata. Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam merutinkan iktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan, sebagaimana tersebut dalam Shahihain dari hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam biasa melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai Allah Subẖānahu wa Taʿālā Mewafatkan beliau. Kemudian, istri-istri beliau tetap melakukan iktikaf setelah kepergian beliau. (HR. Bukhari (1921) dan Muslim (1171). وفي العام الذي قبض فيه ﷺ اعتكف عشرين يوماً البخاري (1939). أي العشر الأواسط والعشر الأواخر جميعاً، وذلك لعدة أسباب: أولها: أن جبريل عارضه القرآن في تلك السنة مرتين البخاري (4712). فناسب أن يعتكف عشرين يوماً، حتى يتمكن من معارضة القرآن كله مرتين. Pada tahun di mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat, beliau beriktikaf dua puluh hari, yakni pada sepuluh hari pertengahan dan sepuluh hari terakhir Ramadan. (HR. Bukhari (1939)) Hal tersebut karena beberapa alasan: Pertama, bahwa Jibril menyimak bacaan al-Quran beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dua kali pada tahun tersebut. (HR. Bukhari (4712)). Hal itu memang tepat jika beliau kemudian iktikaf dua puluh hari, yakni agar bisa setoran al-Quran seluruhnya sebanyak dua kali. ثانيها: أنه صلى الله عليه وسلم أراد مضاعفة العمل الصالح، والاستزادة من الطاعات، لإحساسه صلى الله عليه وسلم بدنو أجله كما فهم من قول الله تعالى: (إذا جاء نصر الله والفتح، ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجاً، فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان تواباً) سورة النصر. فإن الله عز وجل أمر نبيه عليه الصلاة والسلام بالإكثار من التسبيح والاستغفار في آخر عمره، وهكذا فعل صلى الله عليه وسلم، فقد كان يكثر في ركوعه وسجوده من قول: (سبحانك اللهم وبحمدك، اللهم اغفر لي) يتأول القرآن. رواه البخاري (487) ومسلم (484) Kedua, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin memperbanyak amal saleh dan menambah ketaatan, karena sudah ada firasat tentang dekatnya ajal beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (QS. An-Nashr) Allah ʿAzza wa Jalla Memerintahkan Nabi-Nya Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam untuk memperbanyak tasbih dan istigfar di akhir hayat beliau. Demikianlah perbuatan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, beliau sering membaca dalam rukuk dan sujud beliau, “Subẖānakallāhumma wabiẖamdika Allāhummaghfirlī (artinya: Maha Suci Engkau, ya Allah, dengan memuji-Mu, ya Allah, Ampunilah aku)” dalam rangka mengamalkan al-Quran. (HR. Bukhari (487) dan Muslim (484)). ثالثها: أنهﷺ فعل ذلك شكراً لله تعالى على ما أنعم به عليه من الأعمال الصالحة من الجهاد والتعليم والصيام والقيام وما آتاه من الفضل من إنزال القرآن عليه ورفع ذكره وغير ذلك مما امتن الله تعالى به عليه.  Ketiga, bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melakukan itu sebagai wujud syukur beliau kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā atas berbagai amal saleh yang Allah Anugerahkan kepada beliau berupa jihad, taklim, puasa, dan salat, serta keutamaan yang Dia Karuniakan kepada beliau dengan diturunkannya al-Quran kepada beliau, diangkatnya nama beliau, dan nikmat lain yang Allah Limpahkan kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. وكانﷺ يدخل معتكفه قبل غروب الشمس فإذا أراد مثلاً أن يعتكف العشر الأواسط دخل المعتكف قبل غروب الشمس من ليلة الحادي عشر، وإذا أراد أن يعتكف العشر الأواخر دخل المعتكف قبل غروب الشمس من ليلة الحادي والعشرين. أما ما ثبت في الصحيح من أنه ﷺ صلى الفجر ثم دخل معتكفه رواه البخاري (1928)، ومسلم (1173) والترمذي (791). فإنما المقصود أنه دخل المكان الخاص في المسجد بعد صلاة الفجر، فقد كان يعتكف في مكان مخصص لذلك، كما ورد في صحيح مسلم أنه صلى الله عليه وسلم اعتكف في قبة تركية. رواه مسلم (1167) Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memasuki tempat iktikaf beliau sebelum matahari terbenam. Jadi, misalnya beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin iktikaf di sepuluh hari pertengahan, maka beliau masuk tempat iktikaf beliau sebelum matahari terbenam pada malam kesebelas. Jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin iktikaf di sepuluh hari terakhir, maka beliau masuk tempat iktikaf sebelum matahari terbenam pada malam kedua puluh satu. Adapun riwayat dalam kitab Shahih bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam salat Subuh lalu masuk ke tempat iktikafnya, yang diriwayatkan oleh Bukhari (1928), Muslim (1173), dan Tirmidzi (791), maka itu maksudnya bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memasuki suatu tempat khusus beliau di dalam masjid setelah salat subuh. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu iktikaf di tempat khusus, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf di sebuah tenda Turki. (HR. Muslim (1167)) وكان ﷺ يخرج رأسه وهو معتكف في المسجد إلى عائشة رضي الله عنها وهي في حجرتها، فتغسله وترجله، وهي حائض، كما جاء في الصحيحين. البخاري (1924)، (1926) ومسلم (297). وفي مسند أحمد أنه كان يتكئ على باب غرفتها، ثم يُخْرج رأسه، فترجّله. أحمد (6/272) وفي ذلك دليل على أن إخراج المعتكف بعض جسده من المعتكف لا بأس به، كأن يخرج رجله أو رأسه. كما أن الحائض لو أدخلت يدها أو رجلا [رجلها] مثلاً في المسجد فلا بأس، لأن هذا لا يُعدّ دخولاً في المسجد. ومن فوائد هذا الحديث أيضا أن المعتكف لا حرج عليه أن يتنظف، ويتطيب، ويغسل رأسه، ويسرحه، فكل هذا لا يخلّ بالاعتكاف. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika sedang iktikaf di masjid mengeluarkan kepala beliau kepada Aisyah —Semoga Allah Meridainya— sementara dia berada di kamarnya, sembari mencuci dan merapikan rambut beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat dia sedang haid. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Shahihain (Bukhari (1924) dan (1926) dan Muslim (297)). Dalam Musnad Ahmad, disebutkan bahwa dia —Semoga Allah Meridainya— bersandar di pintu kamarnya, lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengeluarkan kepala beliau, lalu dia merapikan rambut beliau. (HR. Ahmad (6/272))  Ini menjadi dalil bahwa tidak mengapa orang yang beriktikaf mengeluarkan sebagian anggota tubuhnya dari tempat iktikafnya, seperti mengeluarkan kaki atau kepalanya. Demikian pula ketika seorang wanita yang sedang haid, misalnya, memasukkan tangan atau kakinya ke dalam masjid, karena ini tidak dianggap masuk ke dalam masjid. Termasuk faedah hadis ini juga bahwa orang yang iktikaf boleh saja membersihkan diri, memakai wewangian, dan mencuci kepala atau menyisirnya. Semua itu tidak merusak iktikafnya  ومما وقع له ﷺ في اعتكافه ما راوه الشيخان عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر، ثم دخل معتكفه، وإنه أمر بخبائها فضرب، وأمر غيرها من أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، بخبائه فضرب، فلما صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الفجر نظر فإذا الأخبية، فقال: (آلبرَّ تُردْن ؟) فأمر بخبائه فقوض، وترك الاعتكاف في شهر رمضان، حتى اعتكف في العشر الأول من شوال البخاري (1928) ومسلم (1173). Di antara peristiwa yang terjadi ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam iktikaf adalah kisah yang diriwayatkan oleh Syaikhān dari Aisyah yang mengatakan bahwa dahulu Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika ingin iktikaf, beliau salat subuh lalu masuk ke tempat iktikaf beliau. Beliau lalu menyuruh diambilkan tenda Aisyah lalu memasangnya. Lalu menyuruh istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang lain agar diambilkan tenda lalu memasangnya. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selesai salat subuh, ternyata beliau melihat ada banyak tenda telah dipasang, lalu berkata, “Apakah yang mereka mau adalah kebaikan?” Beliau lalu menyuruh diambilkan tenda beliau sendiri dan menutup yang lain. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lantas meninggalkan iktikaf di bulan Ramadan itu, hingga beliau beriktikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawal. (HR. Bukhari (1928) dan Muslim (1173)). ومعنى قوله: (آلبرّ تردْن؟) أي: هل الدافع لهذا العمل هو إرادة البر، أو الغيرة والحرص على القرب من رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ والأظهر والله أعلم أن اعتكافه ﷺ في شوال من تلك السنة بدأ بعد العيد، أي في الثاني من شوال. ويحتمل أن يكون بدأ من يوم العيد، فإن صح ذلك فهو دليل على أن الاعتكاف لا يشترط معه الصوم، لأن يوم العيد لا يصام. Maksud perkataan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “Apakah yang mereka mau adalah kebaikan?” yakni apakah motif mereka melakukan ini adalah ingin kebaikan ataukah kecemburuan dan harapan ingin merebut hati Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam? Kemudian, tampaknya—Allah Yang lebih Mengetahui—bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu iktikaf di bulan Syawal di tahun itu, yang dimulai setelah Idul Fitri, yaitu pada tanggal dua Syawal. Mungkin juga dimulai sejak hari Idul Fitri. Jika benar demikian, maka ini adalah dalil bahwa iktikaf tidak dipersyaratkan dikerjakan dengan puasa, karena pada hari raya tidak boleh puasa. ومما وقع له صلى الله عليه وسلم في اعتكافه ما رواه الشيخان أيضا أن صفية زوج النبي صلى الله عليه وسلم جاءت تزوره في اعتكافه في المسجد، في العشر الأواخر من رمضان، فتحدثت عنده ساعة، ثم قامت تنقلب، فقام النبي صلى الله عليه وسلم معها يقلبها، حتى إذا بلغت باب المسجد عند باب أم سلمة، مر رجلان من الأنصار، فسلّما على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال لهما النبي صلى الله عليه وسلم: على رسلكما، إنما هي صفية بنت حيي، فقالا: سبحان الله يا رسول الله ! وكبُرَ عليهما، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: إن الشيطان يبلغ من الإنسان مبلغ الدم وفي لفظ: (يجري من الإنسان مجرى الدم)، (وإني خشيت أن يقذف في قلوبكما شيئاً) وفي لفظ: (شراً). Di antara apa yang beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam alami selama iktikaf adalah kisah yang juga diriwayatkan oleh Syaikhān bahwa Shafiyah, salah seorang istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, datang mengunjungi beliau saat beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.  Dia —Semoga Allah Meridainya— ngobrol dengan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beberapa saat lalu berdiri dan berbalik pulang. Lantas Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri bersamanya dan mengiringinya berbalik. Ketika dia sampai di depan pintu masjid, di dekat pintu kamar Ummu Salamah, ada dua orang laki-laki Anshar lewat dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada mereka berdua, “Pelan-pelan saja kalian. Dia ini Shafiyah binti Huyay.”  Mereka menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah!” Rupanya mereka merasa keberatan dengan perkataan beliau, maka beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya setan memasuki manusia melalui aliran darah—dalam riwayat lain: mengalir dalam diri manusia di aliran darah— dan aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu—dalam riwayat lain: keburukan—ke dalam hati kalian.”  فمن شدة حرصه ﷺ على صدق إيمان هذين الأنصاريَّيْن، وخشية أن يلقى الشيطان في قلوبهما شيئاً، فيشكَّا في الرسول ﷺ، فيكون ذلك كفراً، أو يشتغلا بدفع هذه الوسوسة، بيّن صلى الله عليه وسلم الأمر، وقطع الشك، ودفع الوسواس، فأخبرهما أنها صفية رضي الله عنها وهي زوجته. Karena kesungguhan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjaga kebenaran iman dua orang Anshar ini dan kekhawatiran beliau jika setan membisikkan sesuatu ke dalam hati mereka sehingga mereka meragukan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam—yang bisa membuat mereka menjadi kafir—atau sekadar berusaha keras menampik kecurigaan tersebut, maka beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menjelaskan duduk perkaranya untuk menghilangkan keraguan dan menghilangkan kecurigaan, sehingga beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memberitahu mereka bahwa wanita itu adalah Shafiyah —Semoga Allah Meridainya— istri beliau sendiri. وهديه صلى الله عليه وسلم في الاعتكاف كان أكمل هدي، وأيسره، فكان إذا أراد أن يعتكف وُضع له سريره وفراشه في مسجده صلى الله عليه وسلم، وبالتحديد وراء أسطوانة التوبة كما جاء في الحديث عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم (أنه كان إذا اعتكف طرح له فراشه، أو يوضع له سريره وراء أسطوانة التوبة) رواه ابن ماجه 1/564. Bimbingan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat iktikaf adalah bimbingan yang paling sempurna dan mudah. Ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin beriktikaf, maka alas atau pembaringan beliau diletakkan di masjid Nabawi, tepatnya di belakang tiang Taubah (salah satu nama tiang di masjid Nabawi, pent.), sebagaimana tersebut dalam hadis dari Nāfi’ dari Ibnu Umar tentang Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang apabila ingin iktikaf, maka dibentangkan alas untuk beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam atau diletakkan pembaringan beliau di belakang tiang Taubah. (HR. Ibnu Majah 1/564). وكان النبي صلى الله عليه وسلم يضرب له خباء مثل هيئة الخيمة، فيمكث فيه غير أوقات الصلاة حتى تتم الخلوة له بصورة واقعية، وكان ذلك في المسجد، ومن المتوقع أن يضرب ذلك الخباء على فراشه أو سريره، وذلك كما في حديث عائشة رضي الله عنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في العشر الأواخر من رمضان، فكنت أضرب له خباء، فيصلي الصبح، ثم يدخله.. الحديث) رواه البخاري 4/810 فتح الباري. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mendirikan Khibāʾ (semacam kemah, pent.) berbentuk seperti tenda. Beliau tetap di situ selain di waktu salat agar betul-betul terealisasikan suasana khalwat. Ketika itu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam di masjid, tentu tenda itu diletakkan di atas alas atau pembaringan beliau. Itu sebagaimana tersebut dalam hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang bersabda, “Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, dan aku yang memasang tenda. Lalu beliau salat subuh lalu memasukinya … (sampai akhir hadis)” (HR. Bukhari 4/810 dalam Fathul Bari). وكان دائم المكث في المسجد لا يخرج منه إلا لحاجة الإنسان، من بول أو غائط، وذلك لحديث عائشة رضي الله عنها حين قالت: (.. وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفاً) رواه البخاري 4/ 808 فتح الباري. وكان صلى الله عليه وسلم يؤتي إليه بطعامه وشرابه إلى معتكفه كما أراد ذلك سالم بقوله: (أما طعامه وشرابه فكان يؤتى به إليه في معتكفه) ص 75. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam selalu tinggal di masjid dan tidak keluar kecuali untuk hajat manusiawi beliau, seperti buang air kecil dan besar. Hal ini berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak masuk rumah ketika iktikaf kecuali untuk suatu hajat beliau. (HR. Bukhari 4/808 dalam Fathul Bari). Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan ke tempat iktikaf beliau, sebagaimana yang dikatakan oleh Salim, “Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan kepada beliau ke tempat iktikafnya.” (Hal. 75). وكان صلى الله عليه وسلم يحافظ على نظافته، إذْ كان يخرج رأسه إلى حجرة عائشة رضي الله عنها لكي ترجّل له شعر رأسه، ففي الحديث عن عروة عنها رضي الله عنها (أنها كانت ترجّل النبي صلى الله عليه وسلم وهي حائض، وهو معتكف في المسجد، وهي في حجرتها، يناولها رأسه) رواه البخاري 4/807 فتح الباري قال ابن حجر: (وفي الحديث جواز التنظيف والتطيب والغسل والحلق والتزين إلحاقاً بالترجل، والجمهور على أنه لا يكره فيه إلا ما يكره في المسجد) 4/807 فتح الباري Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tetap menjaga kebersihan diri beliau. Beliau mengeluarkan kepala beliau ke kamar Aisyah —Semoga Allah Meridainya— agar dia merapikan (menyisir) rambut beliau. Dalam sebuah hadis dari Urwah —Semoga Allah Meridainya— dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia (Aisyah) pernah merapikan rambut Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika dia sedang haid sementara beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedang iktikaf di masjid. Dia berada di kamarnya dan beliau menjulurkan kepala beliau kepadanya. (HR. Bukhari 4/ 807 dalam Fathul Bari). Ibnu Hajar berkata bahwa dalam hadis ini ada dalil bolehnya membersihkan diri, memakai wewangian, membasuh, mencukur, atau berhias, karena hukumnya disamakan seperti merapikan rambut. Mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada yang dimakruhkan saat iktikaf kecuali perkara yang dimakruhkan dilakukan di dalam masjid. (Fath al-Bari 4/807) وكان ﷺ لا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة، وذلك من أجل التركيز والانقطاع الكلي لمناجاة الله عز وجل، ففي الحديث عن عائشة أنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يمرّ بالمريض وهو معتكف، فيمرّ كما هو ولا يُعرِّج يسأل عنه) وأيضا عن عروة أنها قالت: (السنّة على المعتكف أن لا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة، ولا يمس امرأة، ولا يباشرها، ولا يخرج لحاجة إلا لما لا بد منه، ولا اعتكاف إلا بصوم، ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع) رواه أبو داود/ 2/333. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menjenguk orang sakit maupun menghadiri kematian. Hal itu agar beliau fokus dan khalwat total dalam munajat kepada Allah ʿAzza wa Jalla. Dalam sebuah hadis dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya— bahwa dia berkata, “Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika melewati orang sakit saat beriktikaf, maka beliau lewat begitu saja tanpa berhenti walaupun sekadar bertanya keadaannya.” (HR. Abu Dawud) Diriwayatkan juga dari Urwah bahwa Aisyah —Semoga Allah Meridainya— berkata bahwa sunahnya orang yang iktikaf adalah tidak menjenguk orang sakit, menghadiri kematian, berhubungan dengan istri maupun bermesraan dengannya, dan keluar memenuhi keperluannya kecuali yang tidak bisa tidak. Tidak ada iktikaf kecuali dengan puasa, dan tidak iktikaf kecuali di masjid jamik. (HR. Abu Dawud (2/333). وكان أزواجه ﷺيزرْنه في معتكفه، وحدث أنه خرج ليوصل إحداهن إلى منزلها، وكان ذلك لحاجة إذ كان الوقت ليلاً، وذلك كما جاء في الحديث عن علي بن الحسين: (أن صفية رضي الله عنها أتت النبي صلى الله عليه وسلم وهو معتكف، فلما رجعت مشى معها، فأبصره رجل من الأنصار، فلما أبصر دعاه، فقال: تعال، هي صفية) وربما قال سفيان: (هذه صفية، فإن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم) قلت لسفيان: (أتته ليلاً ؟ قال: وهل هو إلا ليلاً) رواه البخاري 4/819. فرأى صلى الله عليه وسلم أن خروجه معها رضي الله عنها أمر لا بد منه في ذلك الليل، فخرج معها من معتكفه، ليوصلها إلى بيتها. Istri-istri beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengunjungi beliau di tempat iktikaf beliau. Beliau pernah keluar untuk mengantarkan salah satu dari mereka pulang ke rumah. Itu memang diperlukan karena waktu itu sudah malam, hal itu sebagaimana diriwayatkan dalam hadis dari Ali bin al-Husain, “Shafiyah —Semoga Allah Meridainya— menemui Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika beliau sedang iktikaf. Ketika dia pulang, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berjalan membersamainya. Lalu ada seorang laki-laki Anshar melihat beliau. Ketika dia melihat beliau, beliau memanggilnya dan berkata, ‘Kesinilah! Ini Shafiyah!’ Sepertinya Sufyan mungkin juga meriwayatkan bahwa beliau bersabda, ‘Ini adalah Shafiyah. Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia di aliran darah.’ Lalu aku bertanya kepada Sufyan, ‘Shafiyah menemui beliau malam hari?’ Dia menjawab, ‘Itu terjadi di malam hari.’ (HR. Bukhari 4/819). Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memandang bahwa keluar menemaninya —Semoga Allah Meridainya— adalah suatu keharusan pada malam itu, sehingga beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallama keluar dari tempat iktikafnya untuk mengantarkannya pulang ke rumah. وخلاصة القول: أن هديه صلى الله عليه وسلم في اعتكاف كان يتسم بالاجتهاد، فقد كان جل وقته مكث في المسجد، وإقبال على طاعة الله عز وجل، وترقب لليلة القدر. Ringkasnya, bahwa bimbingan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat iktikaf bercirikan kesungguhan, di mana sebagian besar waktu beliau dihabiskan untuk berdiam di masjid, fokus untuk Allah ʿAzza wa Jalla, dan menanti-nanti Lailatul Qadar. مقاصد الاعتكاف تحري ليلة القدر. الخلوة بالله عز وجل، والانقطاع عن الناس ما أمكن حتى يتم أنسه بالله عز وجل وذكره. إصلاح القلب، ولم شعثه بإقبال على الله تبارك وتعالى بكليته. الانقطاع التام إلى العبادة الصرفة من صلاة ودعاء وذكر وقراءة قرآن. حفظ الصيام من كل ما يؤثر عليه من حظوظ النفس والشهوات. التقلل من المباح من الأمور الدنيوية، والزهد في كثير منها مع القدرة على التعامل معها. Tujuan Iktikaf Memburu Lailatul Qadar. Berkhalwat kepada Allah ʿAzza wa Jalla dan sebisa mungkin memutus interaksi dari manusia agar mendapatkan ketenangan kepada Allah dan berzikir kepada-Nya. Membenahi hati dan tidak merusak fokusnya kepada Allah Tabāraka wa Taʿālā secara totalitas. Menghentikan total aktivitas untuk ibadah murni, seperti salat, doa, zikir, dan membaca al-Quran. Menjaga puasa dari segala keinginan dan syahwat yang bisa berpengaruh buruk terhadap puasa. Mengurangi urusan-urusan duniawi yang mubah dan zuhud terhadap sebagian besar hal-hal tersebut tapi tetap mampu menjaga interaksi dengan semua itu. أقسام الاعتكاف واجب: ولا يكون إلا بنذر، فمن نذر أن يعتكف وجب عليه الاعتكاف، فقد قال صلى الله عليه وسلم: (من نذر أن يطيع الله فليطعه، ومن نذر أن يعصيه فلا يعصه) وفي الحديث أن ابن عمر رضي الله عنهما: أن عمر سأل النبي ﷺ قال: كنت نذرت في الجاهلية أن اعتكف ليلة في المسجد الحرام، قال: (أوف بنذرك) البخاري 4/809. Macam-macam Iktikaf Iktikaf Wajib, yang tidak ada kecuali karena nazar. Barang siapa yang bernazar untuk iktikaf, maka dia wajib iktikaf. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang bernazar untuk menaati Allah, maka taatilah Dia. Sementara barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada Allah, maka jangan bermaksiat kepada-Nya.” Dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dengan mengatakan, “Di masa jahiliah aku pernah bernazar untuk iktikaf semalam di Masjidil Haram,” lantas beliau menimpali, “Penuhi nazarmu!” (HR. Bukhari 4/809). مندوب: وهو ما كان من دأب النبي ﷺ في اعتكافه في العشر الأواخر من رمضان، ومحافظة على هذا الأمر وهو سنة مؤكدة من حياته صلى الله عليه وسلم كما ورد ذلك في الأحاديث التي أشير غليها عند الحديث عن مشروعية الاعتكاف. Iktikaf Sunah, inilah yang menjadi kebiasaan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ketika iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, yang beliau jaga kebiasaan ini. Iktikaf ini adalah sunah yang sangat dianjurkan di masa hidup beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, sebagaimana hal itu tersebut dalam hadis-hadis yang disebutkan saat membahas disyariatkannya iktikaf. حكم الاعتكاف سنة مؤكدة داوم عليها الرسول ﷺ، وقضى بعض ما فاته منها، ويقول في ذلك (عزام): ” والمسنون ما تطوع به المسلم تقرباً إلى الله، وطلباً لثوابه اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقد ثبت أنه فعله وداوم عليه) ص 114 Hukum Iktikaf Hukumnya sunah muakadah, yang rutin dikerjakan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, bahkan mengqadanya ketika beliau melewatkannya. Azzam mengatakan tentang iktikaf ini, “Inilah sunah yang dikerjakan seorang muslim secara sukarela untuk mendekatkan diri kepada Allah, mencari pahala-Nya, dan meneladan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, karena sahih bahwa beliau telah melakukannya dan merutinkannya.” (Hal. 114) شروط الاعتكاف يشترط للاعتكاف شروط هي: الإسلام: إذ لا يصح من كافر، وكذلك المرتد عن دينه. التمييز: إذ لا يصح من صبي غير مميز. الطهارة من الحدث الأكبر (من جنابة، وحيض، ونفاس) وإن طرأت مثل هذه الأمور على المعتكف أثناء اعتكافه وجب عليه الخروج من المسجد، لأنه لا يجوز له المكث على حالته هذه في المسجد. أن يكون في مسجد: قال الله تعالى (ولا تُباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد والأفضل أن يكون الاعتكاف في مسجد تقام فيه الجمعة، حتى لا يضطر إلى الخروج من مسجده لأجل صلاة الجمعة. Syarat Iktikaf Iktikaf dipersyaratkan beberapa syarat, yaitu: Islam, sehingga tidak sah iktikafnya orang kafir, begitu pula orang yang murtad dari agama Islam. Tamyiz, sehingga tidak sah iktikafnya anak yang belum tamyiz. Suci dari hadas besar (junub, haid, dan darah nifas). Adapun jika hal tersebut terjadi pada seseorang yang sedang iktikaf di tempat iktikafnya, maka ia harus keluar meninggalkan masjid, karena dia tidak boleh tetap berada di dalam masjid dengan keadaannya yang seperti itu. Berada di dalam masjid, Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Lebih utama lagi jika iktikaf dilakukan di masjid yang digunakan untuk salat Jumat, agar tidak keluar dari masjid tersebut untuk menunaikan salat Jumat. وقد ذهب بعض أهل العلم إلى أنه لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة: المسجد الحرام، والمسجد الأقصى، ومسجد النبي ﷺ. والصواب أن الاعتكاف جائز في كل مسجد تصلى فيه الفروض الخمسة، قال الله تعالى: (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) سورة البقرة 187، فدل عموم قوله تعالى: (في المساجد) على أنه جائز في كل مسجد. ويستحب أن يكون في مسجد جامع، حتى لا يحتاج المعتكف إلى الخروج للجمعة. وأما حديث لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة أخرجه الطحاوي في مشكل الآثار 4/20 فهو على القول بصحته مؤول بمعنى أنّ أكمل ما يكون الاعتكاف في هذه المساجد كما قال أهل العلم. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan Masjid Nabawi. Yang tepat bahwa iktikaf boleh dikerjakan di setiap masjid yang tegakkan di dalamnya salat wajib lima waktu. Allah Subẖānahu wa Taʿālā Berfirman (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Keumuman makna “dalam masjid” menunjukkan bahwa hal itu diperbolehkan di masjid mana pun. Dianjurkan dikerjakan di masjid jamik, agar tidak perlu keluar dari masjid itu untuk salat Jumat. Adapun hadis, “Tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, …” yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsār (20/40), andaikata hadis itu sahih, maka dimaknai bahwa iktikaf yang paling sempurna adalah di masjid-masjid tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. وقد يكون المراد بقوله صلى الله عليه وسلم: (لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة ): أي لا اعتكاف يُنذر ويسافر إليه. والاعتكاف يصح في كل مسجد، وقد أجمع الأئمة – خاصة الأئمة الأربعة – على صحة الاعتكاف في كل مسجد جامع. ولم يقل بعدم صحة الاعتكاف إلا في المساجد الثلاثة أحد من الأئمة المعروفين المتبوعين، لا الأربعة ولا العشرة ولا غيرهم Mungkin juga yang dimaksud dengan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid, …” adalah iktikaf nazar yang harus ditempuh dengan safar. Iktikaf sah dikerjakan di semua masjid. Para imam ulama—khususnya imam empat mazhab—telah sepakat mengenai sahnya iktikaf di setiap masjid jamik. Tidak ada seorang pun imam ulama yang dikenal dan diikuti—baik imam yang empat, sepuluh, atau selain mereka—yang mengatakan tidak sahnya iktikaf jika tidak di tiga masjid tersebut.  ، وإنما نقل هذا عن حذيفة – رضي الله عنه – وواحد أو اثنين من السلف. وإذا نذر المرء أن يعتكف في المسجد الحرام وجب عليه الوفاء بنذره، فيعتكف في المسجد الحرام. ولكن لو نذر مثلا أن يعتكف في مسجد النبي صلى الله عليه وسلم فإنه يجوز له أن يعتكف في مسجد النبي أو في المسجد الحرام ؛ لأن المسجد الحرام أفضل. ولو نذر أن يعتكف في المسجد الأقصى، جاز له أن يعتكف في المسجد الأقصى أو المسجد الحرام أو المسجد النبوي، لأنهما أفضل من المسجد الأقصى. Pendapat ini diriwayatkan dari Hudzaifah —Semoga Allah Meridainya— dan satu atau dua ulama Salaf. Jika seseorang bernazar untuk iktikaf di Masjidil Haram, maka ia harus menunaikan nazarnya dan beriktikaf di Masjidil Haram. Namun, misalnya, jika dia bernazar untuk iktikaf di Masjid Nabawi, maka dia boleh beriktikaf di Masjid Nabawi atau di Masjidil Haram, karena Masjidil Haram lebih utama. Jika dia bernazar untuk beriktikaf di Masjidil Aqsa, maka boleh baginya iktikaf di Masjidil Aqsa, Masjidil Haram, atau Masjid Nabawi, karena keduanya lebih utama dari Masjidil Aqsa. أركان الاعتكاف النية: لحديث عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه. البخاري 1/15. Rukun Iktikaf Niat. Hal ini berdasarkan hadis Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya segala amalan hanya tergantung dengan niatnya; dan sesungguhnya tiap-tiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan rasul-Nya. Adapun orang yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya atau seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah kepada apa yang dia tuju itu.’” (HR. Bukhari 15/1) المكث في المسجد: كما في قوله تعالى: (وعهدنا إلى إبراهيم وإسماعيل أن طهرا بيتي للطائفين والعاكفين والركع والسجود) سورة البقرة /125 وفي هذا تأكيد على أن مكان الاعتكاف هو المسجد، ودلّ على ذلك أيضاً فعل الرسول صلى الله عليه وسلم ومن بعده أزواجه وصحابته رضوان الله عليهم، ففي الحديث عن يونس بن زيد أن نافعاً حدثه عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله ﷺ كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان، قال نافع: وقد أراني عبد الله رضي الله عنه المكان الذي يعتكف فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم من المسجد أخرجه مسلم 8/308. Berdiam di dalam masjid, sebagaimana firman Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Dan telah Kami Perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud!’” (QS. Al-Baqarah: 125) Ini juga menegaskan bahwa tempat iktikaf adalah di masjid. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan perbuatan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para istri-istri serta Sahabat-Sahabat beliau —Semoga Allah Meridai mereka— setelah beliau wafat. Dalam hadis dari Yunus bin Zaid bahwa Nāfiʿ mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu beriktikaf selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Nāfiʿ berkata, “Abdullah —Semoga Allah Meridainya— menunjukkan kepadaku di sebelah mana tempat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beriktikaf.” (HR. Muslim 8/308) مكان الاعتكاف وزمانه وبداية وقته مكان الاعتكاف المسجد كما دلت عليه الآية في قوله تعالى: ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد. البقرة /187. ولأن الرسول ﷺ وأزواجه وصحابته رضوان الله عليهم اعتكفوا في المساجد، ولم يرد عن أحد منهم أنه اعتكف في غير المسجد. Tempat, Waktu dan Permulaan Iktikaf Tempat iktikaf adalah masjid, seperti yang ditunjukkan dalam ayat dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Hal ini karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, beserta istri-istri dan para Sahabat beliau —Semoga Allah Meridai mereka— beriktikaf di masjid dan tidak ada satu pun riwayat dari mereka bahwa mereka beriktikaf di tempat lain selain masjid. وأما بالنسبة لزمانه فإذا كان في رمضان فآكد وقته العشر الأواخر منه، ويجوز في أي وقت في رمضان وغيره، فهو لا يختص بزمن معيّن، بل مستحب في جميع الأوقات، ويجب إذا ألزم نفسه بنذر، كما جاء في حديث ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر سأل النبي صلى الله عليه وسلم قال: كنت نذرت في الجاهلية ان اعتكف ليلة في المسجد الحرام. قال: (أوف بنذرك) البخاري 4/809  Adapun waktunya, jika dikerjakan di bulan Ramadan, maka sangat dianjurkan di sepuluh hari terakhirnya. Boleh juga dikerjakan kapan saja pada bulan Ramadan atau di luar Ramadan. Jadi, tidak ada waktu tertentu, tetapi dianjurkan kapan pun. Ini menjadi wajib jika seseorang menazarkannya, sebagaimana tersebut dalam hadis Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dengan mengakatan, “Di masa jahiliah aku pernah bernazar untuk iktikaf semalam di Masjidil Haram,” lantas beliau menimpali, “Penuhi nazarmu!” (HR. Bukhari 4/809). وأما بالنسبة لبداية وقته فقبل غروب الشمس لمن أراد أن يعتكف يوماً وليلة أو اكثر وقال بعض العلماء يدخل معتكفه فجرا. Adapun permulaan waktunya, maka dimulai sebelum matahari terbenam bagi orang yang ingin iktikaf sehari semalam atau lebih. Sebagian ulama mengatakan bahwa hendaknya dia memulai iktikaf saat fajar. آداب الاعتكاف للاعتكاف آداب يستحب للمعتكف أن يأخذ بها حتى يكون اعتكافه مقبولاً وكلما حافظ عليها المعتكف كان له الأجر الجزيل من رب العالمين وكلما أخل بهذه الآداب نقص أجره. ومن آداب الاعتكاف ما ذكره ابن قدامة في المعنى: Adab Iktikaf Iktikaf mempunyai adab-adab yang seyogianya dijaga oleh orang yang beriktikaf agar iktikafnya diterima. Semakin seseorang menjaga adab-adab ini, maka semakin besar pahalanya dari Tuhan semesta alam. Semakin seseorang melanggar adab-adab ini, maka semakin berkurang pula pahalanya. Di antara adab-adab iktikaf adalah sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qudamah secara umum: يستحب للمعتكف التشاغل بالصلاة وتلاوة القرآن وبذكر الله تعالى ونحو ذلك من الطاعات المحضة ويجتنب مالا يعينه من الأقوال والفعال ولا يُكثر الكلام لأن من كثر كلامه كثر سقطه وفي الحديث (من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه) ويجتنب الجدال والمراء والسباب والفحش فإن ذلك مكروه في غير الاعتكاف ففيه أولى ولا يبطل الاعتكاف بشي من ذلك  “Orang yang iktikaf hendaknya menyibukkan diri dengan salat, membaca al-Quran, berzikir kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan ketaatan lain yang sifatnya ketaatan murni serta menjauhi perkara yang tidak bermanfaat, baik perkataan atau perbuatan. Janganlah dia banyak bicara, karena orang yang banyak bicara akan banyak kelirunya. Disebutkan dalam sebuah hadis, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah ketika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi) Demikian pula ia menghindari perdebatan, adu argumen, mencela, dan berkata kotor, karena hal itu tidak boleh dilakukan di luar iktikaf, apalagi saat iktikaf. Hanya saja, semua itu tidak membatalkan iktikaf. ولا بأس بالكلام لحاجة ومحادثة غيره روى الشيخان أن صفية زوج النبي صلى الله عليه وسلم جاءت تزوره في اعتكافه في المسجد، في العشر الأواخر من رمضان، فتحدثت عنده ساعة، ثم قامت تنقلب، فقام النبي صلى الله عليه وسلم معها يقلبها، حتى إذا بلغت باب المسجد عند باب أم سلمة، مر رجلان من الأنصار، فسلما على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال لهما النبي صلى الله عليه وسلم: (على رسلكما، إنما هي صفية بنت حيي)، فقالا: سبحان الله يا رسول الله ! وكبُرَ عليهما، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن الشيطان يبلغ من الإنسان مبلغ الدم) وفي لفظ: (يجري من الإنسان مجرى الدم)، (وإني خشيت أن يقذف في قلوبكما شيئاً) وفي لفظ: (شراً). Tidak mengapa berbicara atau ngobrol dengan orang lain untuk suatu keperluan. Syaikhān meriwayatkan bahwa Shafiyah, Istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, pernah datang mengunjungi beliau saat beliau sedang iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Dia —Semoga Allah Meridainya— ngobrol bersama beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beberapa saat lalu berdiri dan berbalik pulang. Lantas Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri bersamanya dan mengiringinya berbalik. Ketika dia sampai di depan pintu masjid, di dekat di depan pintu kamar Ummu Salamah, ada dua orang laki-laki Anshar lewat dan mengucapkan salam kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, lalu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada mereka berdua, “Pelan-pelan saja kalian. Dia ini Shafiyah binti Huyay.” Mereka menjawab, “Subhanallah, wahai Rasulullah!” Rupanya mereka merasa keberatan dengan perkataan beliau, maka beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya setan memasuki manusia melalui aliran darah—dalam riwayat lain: mengalir dalam diri manusia di aliran darah—, dan aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu—dalam riwayat lain: keburukan—ke dalam hati kalian.” قال الحافظ وفي الحديث فوائد: جواز اشتغال المعتكف بالأمور المباحة من تشييع زائره والقيام معه والحديث مع غيره وإباحة خلوة المعتكف وزيارة المرأة للمعتكف.وروى عبد الرزاق عن علي قال: من اعتكف فلا يرفث في الحديث ولا يساب ويشهد الجمعة والجنازة وليوص أهله إذا كانت له حاجة، وهو قائم ولا يجلس عندهم. Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa ada beberapa faedah dari hadis tersebut, di antaranya tentang kebolehan bagi orang yang iktikaf untuk melakukan hal-hal yang sifatnya mubah, seperti menemani dan mengantar orang yang mengunjunginya atau ngobrol dengan orang lain. Orang yang iktikaf boleh berduaan dengan istrinya atau dikunjungi olehnya. Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ali yang mengatakan bahwa orang yang melakukan iktikaf tidak boleh berkata cabul dalam ucapannya atau mencela. Dia tetap mendatangi salat Jumat dan kematian serta berwasiat untuk keluarganya jika memang diperlukan, tetapi sambil berdiri tanpa duduk bermajelis bersama mereka. وأما إقراء القرآن وتدريس العلم ودرسه ومناظرة الفقهاء ومجالستهم وكتابة الحديث فقد اُختلف فيه. فعند الإمام أحمد أنه لا يستحب ذلك، لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف فلم ينقل عنه الاشتغال بغير العبادات المختصة به. قال المروزي: قلت لأبي عبد الله إن رجلاً يُقرئ في المسجد وهو يريد أن يعتكف ولعله أن يختم في كل يوم فقال: إذا فعل هذا كان لنفسه وإذا قعد في المسجد كان له ولغيره يقرئ أحب إلي. وذهب الشافعي كما في المغني: إلى استحباب لأنه أفضل العبادات ونفعه يتعدى. والقول ما ذهب إليه الإمام أحمد وهو الأفضل والله أعلم. Adapun mengajarkan al-Quran, mengisi majelis taklim dan pelajaran, diskusi dan bermajelis dengan para fukaha, dan menulis hadis, maka ada perbedaan pendapat mengenai hukum masalah ini. Menurut Imam Ahmad, hal ini tidak dianjurkan, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu beriktikaf tapi tidak ada riwayat bahwa beliau melakukan hal lain selain ibadah yang khusus dikerjakan saat iktikaf. Al-Maruzi berkata, “Aku berkata kepada Abu Abdullah bahwa ada seorang yang mengajarkan al-Quran di masjid padahal dia ingin iktikaf dan mungkin berniat mengkhatamkannya setiap hari. Dia berkomentar, ‘Jika dia melakukan sendiri, maka itu kebaikan untuk dirinya sendiri. Adapun jika dia duduk di dalam masjid, maka itu kebaikan untuk dia dan orang lain. Mengajarkan al-Quran lebih aku sukai.'”  Imam Syafii, sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni, mengatakan hal itu dianjurkan, karena itu adalah sebaik-baik ibadah dan manfaatnya dirasakan oleh orang lain juga. Adapun pendapat yang dikatakan Imam Ahmad adalah bahwa itu yang afdal. Allah Yang lebih Mengetahui. ملحوظة (1): بعض الناس يعدون الاعتكاف فرصة خلوة ببعض أصحابهم وأحبابهم، وتجاذب أطراف الحديث معهم، وليس هذا بجيد. حقا أنه لا حرج في أن يعتكف جماعة معا في مسجد، فقد اعتكف أزواج النبي ﷺ معه، حتى لقد كانت إحداهن معتكفة معه، وهي مستحاضة ترى الدم وهي في المسجد رواه البخاري (303، 304)،  Catatan Pertama: Sebagian orang menganggap iktikaf sebagai kesempatan untuk kumpul bersama teman-teman dan orang-orang yang dicintainya serta mengobrol dan bercengkerama dengan mereka. Ini tidak baik. Yang benar bahwa iktikaf bersama-sama di masjid tidaklah masalah, karena istri-istri Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga beriktikaf bersama beliau, bahkan ada salah seorang dari mereka yang iktikaf berdua bersama beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam padahal dia melihat darahnya karena mengalami istihadah sementara dia berada di dalam masjid. (HR Bukhari (303-304))  فلا حرج أن يعتكف الشخص مع صاحبه أو قريبه، ولكن الحرج في أن يكون الاعتكاف فرصة للسمر والسهر، والقيل و القال، وما شابه ذلك. ولذلك قال الإمام ابن القيم بعدما أشار إلى ما يفعله بعض الجهال من اتخاذ المعتكف موضع عِشْرة، ومجلبة للزائرين، وأخذهم بأطراف الحديث بينهم، قال: (فهذا لون، والاعتكاف النبوي لون) زاد المعاد. Tidak masalah jika seseorang beriktikaf dengan teman atau kerabatnya, masalahnya adalah jika iktikafnya dijadikan kesempatan untuk ngobrol hingga malam, bergadang, bergosip, dan sejenisnya. Oleh karena itu, setelah menyinggung sebagian perbuatan orang-orang jahil yang menjadikan iktikaf sebagai ajang kumpul-kumpul, kesempatan bertemu dengan orang yang mengunjunginya, dan mengajak mereka ngobrol, lalu Imam Ibnul Qayyim berkomentar, “Ini acara sendiri yang beda dengan iktikafnya Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.” (Zādul Ma’ād) ملحوظة (2): بعض الناس يترك عمله، ووظيفته وواجبه المكلف به، كي يعتكف، وهذا تصرف غير سليم؛ إذ ليس من العدل أن يترك المرء واجبا ليؤدي سنة ؛ فيجب على من ترك عمله المكلّف به واعتكف، أن يقطع الاعتكاف، ويعود إلى عمله لكي يكون كسبه حلالا، وأمّا إذا استطاع أن يجعل الاعتكاف في إجازة من عمله أو رخصة من صاحب العمل فهذا خير عظيم. Catatan Kedua: Sebagian orang meninggalkan pekerjaan, tugas, dan kewajiban yang dibebankan kepadanya agar bisa iktikaf. Perbuatan ini tidak tepat, karena tidak benar jika dia meninggalkan suatu kewajiban demi menunaikan yang sunah. Barang siapa yang meninggalkan pekerjaan yang dibebankan kepadanya agar bisa iktikaf, maka dia wajib berhenti dari iktikaf dan kembali kepada pekerjaannya agar penghasilannya menjadi halal. Jika ia mampu menjadwalkan iktikafnya di masa libur kerjanya atau diberi izin dari atasannya, maka ini adalah kebaikan yang besar. محظورات الاعتكاف أ- الخروج من المسجد يبطل الاعتكاف إذا خرج المعتكف من المسجد لغير حاجة، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يكن يخرج من المسجد إلا لحاجة الإنسان، وهي حاجته إلى الطعام، إن لم يكن بالإمكان أن يؤتى إليه بالطعام، كما كان يؤتى بطعام رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المسجد إذ يقول (سالم): ” فأما طعامه وشرابه فكان يؤتى به إليه في معتكفه). وكذلك خروجه للتطهر من الحدث الأصغر، والوضوء لحديث عائشة رضي الله عنها أنها قالت: (وإن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليدخل عليَّ رأسه وهو في المسجد فأرجّله، وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفاً) فتح الباري 4/808. Larangan-larangan Iktikaf Keluar dari masjid. Keluar dari masjid membatalkan iktikaf, jika dia keluar tanpa ada kebutuhan, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak meninggalkan masjid kecuali untuk suatu hajat manusiawi beliau. Misalnya, kebutuhan terhadap makanan, jika memang makanannya tidak bisa diantar kepadanya, sebagaimana dahulu makanan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan ke masjid, seperti yang Salim kisahkan, “Makanan dan minuman beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam diantarkan kepada beliau ke tempat iktikaf beliau.” Demikian pula keluarnya untuk bersuci dari hadas kecil dan wudu, berdasarkan hadis Aisyah —Semoga Allah Meridainya— yang pernah mengatakan, “Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu menjulurkan kepalanya kepadaku ketika beliau di masjid lalu aku merapikan rambutnya. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak masuk rumah ketika iktikaf kecuali untuk suatu hajat beliau.” (Fathul Bari (4/808)). ب- مباشرة النساء: ومنها الجماع، فهذا الأمر يبطل الاعتكاف، لورود النهي عنه صريحاً في قوله تعالى: (ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد) سورة البقرة /187. ج- الحيض والنفاس: فإذا حاضت المرأة المعتكفة أو نفست وجب عليها الخروج من المسجد، وذلك للمحافظة على طهارة المسجد وكذلك الجنب حتى يغتسل. Bermesraan dengan istri, demikian juga sanggama. Hal ini membatalkan iktikaf, karena ada larangannya secara tegas yang tersebut dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Tetapi jangan kalian campuri mereka, ketika kalian beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187) Haid dan nifas. Jika seorang wanita yang beriktikaf datang bulan atau nifas, maka dia harus keluar meninggalkan masjid, demi menjaga kesucian masjid. Begitu pula orang yang junub, sampai dia mandi wajib. د- قضاء العدة: وذلك إذا توفي زوج المعتكفة وهي في المسجد وجب عليها الخروج لقضاء العدة في منزلها. هـ- الردّة عن الإسلام: حيث إن من شروط الاعتكاف الإسلام، فيبطل اعتكاف المرتد. Menjalani masa idah. Jika suami dari wanita yang iktikaf meninggal dunia sementara dia masih di masjid, maka dia harus keluar untuk melakukan masa idahnya di rumahnya. Murtad dari Islam, Islam adalah salah satu syarat iktikaf, sehingga orang murtad batal iktikafnya. الجوانب التربوية للاعتكاف (1) تطبيق مفهوم العبادة بصورتها الكلية يؤصل الاعتكاف في نفس المعتكف مفهوم العبودية الحقة لله عز وجل، ويدربه على هذا الأمر العظيم الذي من أجله خلق الإنسان، إذ يقول الحق تبارك وتعالى: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون الذاريات/56. حيث إن المعتكف قد وهب نفسه كلها ووقته كله متعبداً لله عز وجل. ويكون شغله الشاغل هو مرضاة الله عز وجل، فهو يشغل بدنه وحواسه ووقته – من أجل هذا الأمر – بالصلاة من فرض ونفل وبالدعاء، وبالذكر، وبقراءة القرآن الكريم، وغير ذلك من أنواع الطاعات. Aspek-aspek Tarbiah dalam Iktikaf Menerapkan Makna Ibadah dalam Wujudnya yang Sempurna Iktikaf menanamkan makna hakiki dari sebuah ibadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla dalam diri orang yang beriktikaf. Iktikaf ini melatih dirinya memaknai makna agung ini, yang menjadi tujuan manusia diciptakan. Allah Yang Maha Benar Berfirman (yang artinya), “Aku tidaklah Menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56). Hal ini karena orang yang beriktikaf telah mengabdikan seluruh diri dan semua waktunya untuk beribadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla. Kesibukan utamanya adalah mencari keridaan Allah ʿAzza wa Jalla. Dia menggunakan tubuh, inderanya, dan waktunya untuk tujuan itu dengan mengerjakan salat wajib dan sunah, doa, zikir, membaca al-Quran, dan berbagai macam ketaatan lainnya. وبهذه الدُّرْبة في مثل أيام العشر الخيرة من شهر رمضان المبارك يتربى المعتكف على تحقيق مفهوم العبودية لله عز وجل في حياته العامة والخاصة، ويضع موضع التنفيذ قول الحق تبارك وتعالى: قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين. لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين الأنعام /163، قال القرطبي (محياي) أي: ما أعمله في حياتي، (ومماتي) أي: ما أوصي به بعد وفاتي، (لله رب العالمين) أي: أفرده بالتقرب بها إليه) 7/69. Dengan latihan seperti ini di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan yang penuh berkah, orang yang beriktikaf dididik untuk merealisasikan makna ibadah kepada Allah ʿAzza wa Jalla ini dalam kehidupannya secara pribadi dan bermasyarakat, serta mengaplikasikan firman Yang Maha Benar (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.'” (QS. Al-An’am: 162-163) Al-Qurtubi berkata bahwa “hidupku” artinya “segala yang aku kerjakan selama hidupku,” “matiku” artinya “segala yang aku wasiatkan setelah kematianku,” “untuk Allah, Tuhan seluruh alam,” artinya “aku mengesakan-Nya dalam ibadahku kepada-Nya.” (7/69) (2) تحري ليلة القدر وهو المقصد الرئيسي من اعتكافهﷺ إذ بدأ اعتكافه أول مرة الشهر كله وكذلك اعتكف العشر الأواسط تحرياً لهذه الليلة المباركة، فلما علم أنها تكون في العشرة الأخيرة من شهر رمضان اقتصر اعتكافه على هذه العشر المباركة. (2) Memburu Lailatul Qadar Ini adalah tujuan utama iktikaf Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, di mana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memulai iktikafnya untuk pertama kali selama sebulan penuh. Beliau juga pernah iktikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadan untuk mencari malam yang diberkahi ini. Ketika beliau mengetahui bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, maka beliau mencukupkan diri beriktikaf di sepuluh hari yang diberkahi tersebut. (3) تعوّد المكث في المسجد فالمعتكف قد الزم نفسه البقاء في المسجد مدة معينة. وقد لا تقبل النفس الإنسانية مثل هذا القيد في بداية أمر الاعتكاف، ولكن عدم القبول هذا سرعان ما يتبدد عادة بما تلقاه النفس المسلمة من راحة وطمأنينة في بقائها في بيت الله. (3) Membiasakan Diri Tinggal di Masjid Orang yang iktikaf mengharuskan dirinya untuk menetap di masjid dalam jangka waktu tertentu. Jiwa manusia mungkin menolak pembatasan seperti ini di awal-awal iktikafnya. Namun, penolakan ini biasanya akan segera hilang seiring dengan kenyamanan dan ketenteraman yang didapatkan oleh jiwa seorang muslim dengan berdiam diri di dalam rumah Allah. ومعرفة المعتكف بأهمية بقائه في المسجد أثناء اعتكافه تتجلى في الأمور التالية: 1- أن الرجل الذي يمكث في المسجد قد احب المسجد من قلبه، وعرف قدر بيوت الله عز وجل، وهذا الحب له قيمة عند الله عز وجل ؛ إذ يجعله من الفئات التي يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله. Kesadaran seseorang tentang urgensi berdiam diri di masjid ketika iktikaf akan semakin kuat dalam beberapa hal berikut: Orang yang berdiam di masjid berarti telah mencintai masjid dari dalam hatinya dan mengetahui betapa mulianya rumah Allah ʿAzza wa Jalla. Cinta ini amat bernilai di hadapan Allah ʿAzza wa Jalla, karena itu akan menjadikannya termasuk orang-orang yang akan diberi naungan oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. 2- أن الذي يمكث في المسجد ينتظر الصلاة له أجر صلاة، وأن الملائكة تستغفر له، ففي الحديث الذي أورده أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إن الملائكة تصلي على أحدكم ما دام في مصلاه ما لم يحدث: اللهم اغفر له، اللهم ارحمه، لا يزال أحدكم في مصلاه ما دامت الصلاة تحبسه، لا يمنعه أن ينقلب إلى أهله إلا الصلاة) البخاري 2/360 فتح الباري. Orang yang berdiam di masjid menunggu salat akan mendapatkan pahala mengerjakan salat dan para malaikat akan memohonkan ampun baginya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Para malaikat akan senantiasa mendoakan seseorang di antara kalian selama dia masih di tempat salatnya selagi ia belum berhadas, ‘Ya Allah, Ampunilah dia. Ya Allah, Rahmatilah dia.’ Salah seseorang di antara kalian akan senantiasa dihitung dalam keadaan salat selama dia menanti pelaksanaan salat, yang mana tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya kecuali salat itu.” (HR. Bukhari 2/360 dalam Fathul Bari) 3- البعد عن الترف المادي والزهد فيه: في الاعتكاف يتخفف المعتكف من الكثير من هذه الأمور، ويصبح كأنه إنسان غريب في هذه الدنيا، وطوبى للغرباء، فهو من أجل مرضاة الله عز وجل ارتضى أن يقبع في ناحية من المسجد ليس لديه في الغالب إلا وسادة يضع عليها رأسه وغطاء يتغطى به، قد ترك فراشه الوثير وعادته الخاصة من أجل ذلك الرضا. Zuhud dan Jauhnya Seseorang dari Kemewahan Dunia Pada saat iktikaf, dia mengurangi banyak sekali perkara-perkara tersebut, dan seolah-olah menjadi seperti orang asing di dunia ini. Beruntunglah orang-orang yang asing ini, yang demi keridaan Allah Jalla wa ʿAlā dia merelakan dirinya tinggal di salah satu sudut masjid yang umumnya tanpa bantal untuk meletakkan kepalanya atau selimut untuk menyelimuti dirinya. Dia telah meninggalkan tempat tidurnya yang empuk dan kebiasaan pribadinya demi keridaan Allah. أما طعامه فهو مختلف في وضعه، إن لم يكن في نوعه، إن كان طعامه يأتيه من منزله، فهو عادة لا يأتيه بالكثرة ولا يتناوله بالوضع الذي كان يتناوله في منزله على طاولة وكرسي مع أهله وولده، بل يأكل كما يأكل الغريب، ويأكل كما يأكل العبد الفقير إلى ربه، وإن خرج إلى السوق من أجل الطعام فهو يعمل جاهداً على التعامل مع ما هو متوفر ولا يشترط نوعاً معيناً، لأنه مطلوب منه العودة إلى معتكفه، وعدم الإطالة في مثل هذه الأمور Adapun makanannya, tentu sudah beda penyajiannya, dan bahkan jenisnya. Sekalipun makanannya datang dari rumahnya, tapi umumnya yang datang tidak banyak. Pun tidak dia nikmati dengan cara penyajian yang biasanya dia dapatkan ketika dirumahnya, yaitu di atas meja makan dan kursi bersama keluarga dan anaknya. Sebaliknya, dia makan seperti orang asing makan. Dia menyantap makanan layaknya seorang budak miskin yang tergantung dengan majikannya. Andaikata dia pergi ke pasar untuk membeli makanan, maka dia harus berusaha dulu, selain harus menerima apapun yang tersedia tanpa bisa menuntut makanan tertentu, karena dia dituntut untuk segera kembali ke tempat iktikafnya dan tidak berlama-lama dengan perkara-perkara seperti ini. وبهذا يعرف أن الحياة يمكن إدارتها بالقليل الذي يرضى عنه الله، وكذلك يمكن إدارتها بالكثير الذي لا يُرضي الله عز وجل، والفرق بينهما كبير. Dengan demikian, dia akan menyadari bahwa hidup ini bisa berjalan dengan sesuatu yang serba minimal yang bisa membuat Allah Rida kepada-Nya maupun dengan sesuatu yang serba banyak yang bisa membuat Allah Jalla wa ʿAlā tidak Rida kepada-Nya. Sementara perbedaan antara keduanya amatlah besar. (4) الإقلاع عن كثير من العادات الضارة في ظل غياب مفهوم التربية الإسلامية في كثير من المجتمعات الإسلامية، وفي كثير من بيوت المجتمعات الإسلامية. نشأت وتفشّت لدى أفراد هذه المجتمعات كثير من العادات التي تتعارض مع تعاليم الدين الحنيف، وعمّت هذه العادات المنكرة حتى أصبحت نوعاً من المعروف الذي لا يرى فيه ضرر على الدين والنفس، ومن تلك العادات: التدخين، وسماع الموسيقى، ومشاهدة ما يبث في القنوات الفضائية من مشاهد وأحاديث تضادّ عقيدة المسلم وتُنافي حياءه وعفّته، وغير ذلك من عادات لها ضررها على الدين والنفس. (4) Berhenti Melakukan Banyak Kebiasaan Buruk Dengan kosongnya makna-makna tarbiah Islam di sebagian besar masyarakat Islam dan rumah-rumah masyarakat kaum muslimin, maka banyak sekali kebiasan-kebiasan yang muncul dan tersebar di tengah mereka, padahal bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang lurus ini. Kebiasaan mungkar ini meluas secara menyeluruh hingga menjadi sesuatu yang dianggap baik, yang tampak tidak membahayakan agama maupun jiwa. Di antara kebiasaan-kebiasaan itu adalah merokok, mendengarkan musik, dan menonton tontonan dan obrolan dari siaran-siaran saluran satelit yang bertentangan dengan akidah seorang muslim dan mengikis rasa malu dan kesuciannya, selain kebiasaan-kebiasaan lain yang membahayakan agama dan jiwa. وتأتي فترة الاعتكاف لتكشف للفرد المسلم زيف تلك العادات، وزيف ذلك الاعتقاد الذي سكن في نفوس كثير من المسلمين بعدم القدرة على التخلص من مثل تلك العادات، لأنها قد استحكمت في النفوس. ويتعرف الإنسان المسلم في فترة الاعتكاف، وقد خلا إلى خالقه، على مفهوم العبادة بصورتها الشاملة، وأنه يجب أن يكون متعبداً لله عز وجل على مدار الساعة في حياته العامة والخاصة. Momen iktikaf bagi seorang individu muslim akan menyingkap kekeliruan kebiasaan-kebiasaan ini dan batilnya keyakinan yang telah mengakar dalam banyak jiwa kaum muslimin tanpa mampu melepaskan diri darinya, karena sudah terlanjur mengakar kuat dalam jiwa. Seorang individu muslim dalam masa iktikafnya dan pengasingannya demi Sang Pencipta akan memahami makna ibadah dalam wujudnya yang paripurna serta menyadari bahwa ia harus menjadi penyembah Allah ʿAzza wa Jalla sepanjang waktu dalam kehidupannya secara pribadi dan bermasyarakat. فهو عندما يتخذ مرضاة الله عز وجل ومحبّته ميزانا يزن به كل عمل يقوم به، يجد أن تلك العادات التي أشرنا إليها آنفاً وكثير غيرها لا تتفق مع هذه المحبة لله عز وجل بل تعمل في اتجاه معاكس لها، ويجد بذلك أن مثل تلك العادات تخرجه عن دائرة العبودية الصادقة لله، وإذا كان الأمر كذلك فيجب عليه أن يتخلص منها في أسرع وقت ممكن. Ketika seseorang menjadikan keridaan Allah dan kecintaannya kepada-Nya sebagai timbangan yang digunakannya untuk menimbang setiap perbuatan yang dilakukannya, niscaya dia akan mendapati bahwa kebiasaan-kebiasaan yang kami sebutkan tadi serta banyak kebiasaan yang lain tidaklah selaras dengan cintanya kepada Allah ʿAzza wa Jalla, bahkan bertentangan. Dia akan menyadari bahwa kebiasaan-kebiasaan seperti itu akan mengeluarkannya dari lingkaran peribadatan yang hakiki kepada Allah. Jika demikian kenyataannya, maka dia harus berlepas diri darinya sesegera mungkin. وفي فترة الاعتكاف لا يحق للمسلم أن يخرج إلا لحاجة إيجابية ترتبط بتسهيل أمر الاعتكاف في المسجد، وما عدا ذلك يجب أن يمتنع عنه وإن كان مباحاً، فهو – على سبيل المثال – لا يحق له أن يتجول في الأسواق – ولو لفترة بسيطة – ليشتري منها ما لا ارتباط له بأمر الاعتكاف، فلو خرج لشراء سواك لم يكن في هذا حرج على اعتكافه، لأنه من متطلبات الصلاة في اعتكافه، ولكن لو خرج لشراء هدية لزوجته، أو لأحد أبنائه، فذلك مبطل لاعتكافه، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم كما ورد سابقاً كان لا يخرج إلا لحاجة الإنسان، فكيف إذا خرج المعتكف لأمر محرم كشرب الدخان مثلاً أو لمشاهدة برنامج فضائي قد اعتاد مشاهدته، لا شك أن ذلك مبطل لاعتكافه لا محالة. Selama masa iktikafnya, seorang muslim tidak dibenarkan keluar kecuali untuk kepentingan-kepentingan positif yang berkaitan dengan hal-hal yang mempermudahnya menjalankan iktikaf di masjid. Selain untuk hal-hal itu, dia harus menahan diri darinya, meskipun pada asalnya diperbolehkan. Misalnya, dia tidak dibenarkan berkeliling di pasar walaupun sebentar saja untuk membeli sesuatu yang tidak berkaitan dengan urusan iktikafnya. Jika dia keluar untuk membeli siwak, maka itu tidak berpengaruh dengan iktikafnya, karena itu merupakan salah satu kebutuhan untuk salat ketika dia iktikaf. Namun, jika dia keluar untuk membeli hadiah untuk istrinya atau salah seorang anaknya, maka itu membatalkan iktikafnya, karena Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebagaimana disebutkan sebelumnya tidaklah keluar kecuali untuk suatu hajat manusiawi beliau. Lantas bagaimana pula jika seseorang yang iktikaf keluar untuk sesuatu yang haram, seperti merokok, misalnya, atau menonton acara-acara dari saluran satelit yang sudah biasa ia tonton? Tidak diragukan bahwa itu tentu membatalkan iktikafnya. وكذلك لو خرج يشرب خمرا أو يتعاطى تدخينا بطل اعتكافه. وعموما فإنّ أي خروج لغير عذر يبطل الاعتكاف ومن باب أولى الخروج للمعصية، ولا يجوز له حتى لو خرج لقضاء حاجته أن يُشْعل في الطريق سيجارة يدخنها. فالاعتكاف فرصة سنوية يستطيع فيها المعتكف أن يتخلص من هذه البلايا عن طريق التوبة والالتجاء إلى الله عز وجل أولاً، وعن طريق فطام النفس عن تلك المعاصي في فترة الاعتكاف، وعدم تحقيق رغبة النفس منها، وتعويدها على ذلك. Demikian pula jika dia keluar untuk minum khamar atau merokok, maka iktikafnya batal. Secara umum, keluar tanpa alasan yang dibenarkan akan membatalkan iktikafnya, apalagi keluar untuk maksiat. Meskipun dia keluar untuk buang air lalu menyalakan rokoknya di jalan sambil merokok, itupun juga tidak boleh. Iktikaf adalah kesempatan setahun sekali baginya untuk melepaskan diri dari cobaan tersebut dengan cara bertobat dan meminta tolong kepada Allah Jalla wa ʿAlā terlebih dahulu, lalu dengan menyapih dirinya dari dosa-dosa tersebut selama masa iktikaf, tidak memperturutkan kemauan nafsunya, serta membiasakan dirinya terhadap semua keadaan tersebut. هذه الطاعات المستمرة لله عز وجل تحتاج إلى صبر مستمر من قِبَل المعتكف، وفي هذا تربية للإرادة، وكبْح لجماح النفس التي عادةً ما ترغب في التفلّت من هذه الطاعة إلى أمور أخرى تهواها. وهناك الصبر على ما نقص مما ألِفته النفس من أنواع الطعام المختلفة التي كان يطعمها في منزله، فتلك الأنواع لا تتوفر في المسجد، فيصبر على هذا القليل من أجل مرضاة عز وجل. Ketaatan yang terus-menerus kepada Allah ʿAzza wa Jalla ini memerlukan kesabaran yang berkesinambungan dari orang yang beriktikaf. Inilah pendidikan bagi keinginannya dan pengendalian bagi kehendak nafsunya yang biasanya ingin berpaling dari ketaatan semacam ini untuk beralih kepada hal-hal lain yang diinginkannya. Dalam iktikaf juga ada kesabaran terhadap kurangnya sesuatu yang biasanya disukai oleh nafsunya, seperti berbagai jenis makanan yang biasa ia santap di rumahnya. Bermacam-macam makanan itu tidak tersedia semua di masjid, sehingga dia harus bersabar dengan sesuatu yang sedikit ini demi keridaan Allah ʿAzza wa Jalla. وهناك الصبر على نوع الفراش الذي ينام عليه، فلن يوضع له سرير في المسجد، أو فراش وثير كالذي ينام عليه في منزله، فهو ينام على فراش متواضع جداً إن لم يكن فرش المسجد. وهناك الصبر على ما يجد في المسجد من مزاحمة الآخرين له، ومن عدم توفر الهدوء الذي كان يألفه في منزله إذا أراد النوم. وهناك الصبر عن شهوة الزوجة إذ يحرم عليه مباشرتها عند دخوله إلى منزله للحاجة حتى التقبيل والعناق، وهي حلاله، Dalam iktikaf juga ada kesabaran dari jenis tempat tidur yang biasa ia pakai tidur. Tentu di masjid tidak akan ditaruh dipan atau kasur empuk seperti yang biasa ia pakai tidur di rumahnya. Ia tidur di atas alas yang sangat sederhana, atau mungkin hanya karpet masjid. Ada juga kesabaran terhadap keramaian orang-orang di sekitarnya di masjid dan sulitnya mendapatkan kesunyian yang biasa didapatkan di rumah ketika ingin tidur. Dalam iktikaf ada kesabaran dari syahwat kepada istri, karena ia dilarang sanggama ketika ia pulang ke rumah untuk suatu hajat, walaupun hanya mencium dan memeluknya. Meskipun pada asalnya itu halal.  وفي هذا الأمر تتجلى قيمة الصبر وقيمة القوة في الإرادة وضبط النفس، ومن خلال هذه المواقف وغيرها نجد أنه يمكن تربية الإنسان على القدرة على تأجيل كثير من الأمور والرغبات العاجلة من أجل أمور أهم منها، فهو يؤجل كل هذه الحاجات النفسية والمادية العاجلة من أجل الفوز برضى الله تبارك وتعالى. Dari semua ini tampaklah nilai sebuah kesabaran serta kemampuan mengatur kemauan dan pengendalian diri. Dengan semua keadaan ini dan yang semisalnya, kita mendapati bahwa seseorang bisa mendidik dirinya agar mampu menunda banyak hal dan berbagai keinginan sementara demi sesuatu yang lebih penting daripada semua itu. Dia menunda semua kebutuhan pribadinya dan materi duniawi demi memperoleh rida Allah Tabāraka wa Taʿālā. (5) الاطمئنان النفسي (6) قراءة القرآن وختمه (7) التوبة النصوح (8) قيام الليل والتعود عليه (5) Ketenangan jiwa. (6) Membaca dan mengkhatamkan al-Quran (7) Tobat dengan sebenar-benarnya. (8) Melakukan dan membiasakan diri salat malam. (9) عمارة الوقت (10) تزكية النفس (11) صلاح القلب وجمعه على الله عز وجل. نسأل الله أن يُعيننا على ذكره وشكره وحسن عبادته، والله تعالى أعلم وصلى الله على نبينا محمد. (9) Memanfaatkan waktu. (10) Menyucikan jiwa. (11) Membenahi hati dan memfokuskannya untuk Allah ʿAzza wa Jalla. Kami memohon kepada Allah agar Membantu kita berzikir, bersyukur, dan beribadah kepada-Nya dengan baik. Allah Yang lebih Mengetahui. Semoga Allah Melimpahkan selawat untuk Nabi kita Muhammad. المراجع الاعتكاف نظرة تربوية د.عبد اللطيف بن محمد بالطو. الإتحاف في بيان مسائل الاعتكاف لأبي عمر حاي الحاي. Referensi: Al-Iʿtikāf Naẓrah Tarbawiyyah, karya Dr. Abdul Latif bin Muhammad Balto. Al-Itẖāf fī Bayān Masāʾil al-Iʿtikāf, karya Abu Umar H̱āi al-H̱āi. Sumber: https://islamqa.info/ar/articles/82/فضل-الاعتكاف-واحكامه PDF sumber artikel. 🔍 Hukum Memelihara Burung, Hukum Islam Merayakan Tahun Baru, Kijing Kuburan, Tahun Baru Menurut Pandangan Islam, Apakah Wine Haram, Ciri Laki Laki Sholeh Visited 50 times, 1 visit(s) today Post Views: 381 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Bolehkah Muazin Sekaligus Menjadi Imam?

Pertanyaan: Bolehkah yang azan di suatu masjid adalah sang imam tetap masjid tersebut? Atau bolehkah seorang muazin kemudian sekaligus menjadi imam shalat karena tidak ada orang lain yang layak?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dibolehkan seorang muazin kemudian juga sekaligus menjadi imam shalat berjama’ah. Atau sebaliknya, seorang imam tetap, boleh mengumandangkan azan selain ia juga mengimami shalat. Ulama sepakat akan kebolehan hal ini. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan : أجمع المسلمون على جواز كون المؤذن إماماً واستحبابه، قال صاحب الحاوي: في كل واحد من الأذان والإمامة فضل “Ulama kaum Muslimin sepakat tentang bolehnya seorang imam menjadi muazin, bahkan ini dianjurkan. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: masing-masing pada perbuatan azan dan menjadi imam memiliki keutamaan tersendiri” (Al-Majmu’, 3/80). Al-Hathab rahimahullah juga mengatakan: وَمَنْ اسْتَأْجَرَ رَجُلًا عَلَى أَنْ يُؤَذِّنَ لَهُمْ وَيُقِيمَ وَيُصَلِّي بِهِمْ جَازَ وَكَانَ الْأَجْرُ إنَّمَا وَقَعَ عَلَى الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَالْقِيَامِ بِالْمَسْجِدِ لَا عَلَى الصَّلَاةِ “Siapa saja yang menyewa seseorang untuk mengumandangkan azan, sekaligus untuk iqamah, dan juga mengimami shalat, hal ini dibolehkan. Sehingga seolah upah yang didapatkan itu atas azan, iqamah, dan memimpin shalat di masjid, bukan karena shalatnya” (Mawahib Al-Jalil Syarah Mukhtashar Al-Khalil, 1/455). Terutama jika tidak ada orang lain yang lebih pandai dalam membaca Al-Qur’an selain sang muazin, maka dialah yang lebih berhak menjadi imam shalat berjama’ah. Dari Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ . فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً ، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه “Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al-Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika kepahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim no. 673). Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam salah satu fatwanya menjelaskan: يجوز أن يتولى الأذان والإمامة واحد ، فإذا كان المؤذن أقرأ من غيره صلى بمن حضره إماماً ، وكذا إذا غاب الإمام الراتب وأنابه ، كما يجوز أن يتعين بوظيفة الإمام الراتب “Dibolehkan jika azan tugas menjadi imam dilakukan oleh orang yang sama. Jika memang sang muazin adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya daripada orang-orang yang hadir. Demikian juga ketika imam tetap sedang tidak hadir atau ia meminta digantikan oleh sang muazin. Demikian juga, dibolehkan jika sang muazin memang ditugaskan sekaligus menjadi imam tetap” (Fatawa Al-Islamiyah, 1/252). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Kitab Kuning Adalah, Manfaat Membaca Al Quran Di Rumah, Belajar Menahan Emosi, Ciri2 Rumah Kena Guna Guna, Cara Ibadah Orang Yahudi Visited 330 times, 1 visit(s) today Post Views: 561 QRIS donasi Yufid

Bolehkah Muazin Sekaligus Menjadi Imam?

Pertanyaan: Bolehkah yang azan di suatu masjid adalah sang imam tetap masjid tersebut? Atau bolehkah seorang muazin kemudian sekaligus menjadi imam shalat karena tidak ada orang lain yang layak?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dibolehkan seorang muazin kemudian juga sekaligus menjadi imam shalat berjama’ah. Atau sebaliknya, seorang imam tetap, boleh mengumandangkan azan selain ia juga mengimami shalat. Ulama sepakat akan kebolehan hal ini. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan : أجمع المسلمون على جواز كون المؤذن إماماً واستحبابه، قال صاحب الحاوي: في كل واحد من الأذان والإمامة فضل “Ulama kaum Muslimin sepakat tentang bolehnya seorang imam menjadi muazin, bahkan ini dianjurkan. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: masing-masing pada perbuatan azan dan menjadi imam memiliki keutamaan tersendiri” (Al-Majmu’, 3/80). Al-Hathab rahimahullah juga mengatakan: وَمَنْ اسْتَأْجَرَ رَجُلًا عَلَى أَنْ يُؤَذِّنَ لَهُمْ وَيُقِيمَ وَيُصَلِّي بِهِمْ جَازَ وَكَانَ الْأَجْرُ إنَّمَا وَقَعَ عَلَى الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَالْقِيَامِ بِالْمَسْجِدِ لَا عَلَى الصَّلَاةِ “Siapa saja yang menyewa seseorang untuk mengumandangkan azan, sekaligus untuk iqamah, dan juga mengimami shalat, hal ini dibolehkan. Sehingga seolah upah yang didapatkan itu atas azan, iqamah, dan memimpin shalat di masjid, bukan karena shalatnya” (Mawahib Al-Jalil Syarah Mukhtashar Al-Khalil, 1/455). Terutama jika tidak ada orang lain yang lebih pandai dalam membaca Al-Qur’an selain sang muazin, maka dialah yang lebih berhak menjadi imam shalat berjama’ah. Dari Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ . فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً ، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه “Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al-Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika kepahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim no. 673). Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam salah satu fatwanya menjelaskan: يجوز أن يتولى الأذان والإمامة واحد ، فإذا كان المؤذن أقرأ من غيره صلى بمن حضره إماماً ، وكذا إذا غاب الإمام الراتب وأنابه ، كما يجوز أن يتعين بوظيفة الإمام الراتب “Dibolehkan jika azan tugas menjadi imam dilakukan oleh orang yang sama. Jika memang sang muazin adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya daripada orang-orang yang hadir. Demikian juga ketika imam tetap sedang tidak hadir atau ia meminta digantikan oleh sang muazin. Demikian juga, dibolehkan jika sang muazin memang ditugaskan sekaligus menjadi imam tetap” (Fatawa Al-Islamiyah, 1/252). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Kitab Kuning Adalah, Manfaat Membaca Al Quran Di Rumah, Belajar Menahan Emosi, Ciri2 Rumah Kena Guna Guna, Cara Ibadah Orang Yahudi Visited 330 times, 1 visit(s) today Post Views: 561 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Bolehkah yang azan di suatu masjid adalah sang imam tetap masjid tersebut? Atau bolehkah seorang muazin kemudian sekaligus menjadi imam shalat karena tidak ada orang lain yang layak?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dibolehkan seorang muazin kemudian juga sekaligus menjadi imam shalat berjama’ah. Atau sebaliknya, seorang imam tetap, boleh mengumandangkan azan selain ia juga mengimami shalat. Ulama sepakat akan kebolehan hal ini. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan : أجمع المسلمون على جواز كون المؤذن إماماً واستحبابه، قال صاحب الحاوي: في كل واحد من الأذان والإمامة فضل “Ulama kaum Muslimin sepakat tentang bolehnya seorang imam menjadi muazin, bahkan ini dianjurkan. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: masing-masing pada perbuatan azan dan menjadi imam memiliki keutamaan tersendiri” (Al-Majmu’, 3/80). Al-Hathab rahimahullah juga mengatakan: وَمَنْ اسْتَأْجَرَ رَجُلًا عَلَى أَنْ يُؤَذِّنَ لَهُمْ وَيُقِيمَ وَيُصَلِّي بِهِمْ جَازَ وَكَانَ الْأَجْرُ إنَّمَا وَقَعَ عَلَى الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَالْقِيَامِ بِالْمَسْجِدِ لَا عَلَى الصَّلَاةِ “Siapa saja yang menyewa seseorang untuk mengumandangkan azan, sekaligus untuk iqamah, dan juga mengimami shalat, hal ini dibolehkan. Sehingga seolah upah yang didapatkan itu atas azan, iqamah, dan memimpin shalat di masjid, bukan karena shalatnya” (Mawahib Al-Jalil Syarah Mukhtashar Al-Khalil, 1/455). Terutama jika tidak ada orang lain yang lebih pandai dalam membaca Al-Qur’an selain sang muazin, maka dialah yang lebih berhak menjadi imam shalat berjama’ah. Dari Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ . فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً ، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه “Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al-Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika kepahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim no. 673). Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam salah satu fatwanya menjelaskan: يجوز أن يتولى الأذان والإمامة واحد ، فإذا كان المؤذن أقرأ من غيره صلى بمن حضره إماماً ، وكذا إذا غاب الإمام الراتب وأنابه ، كما يجوز أن يتعين بوظيفة الإمام الراتب “Dibolehkan jika azan tugas menjadi imam dilakukan oleh orang yang sama. Jika memang sang muazin adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya daripada orang-orang yang hadir. Demikian juga ketika imam tetap sedang tidak hadir atau ia meminta digantikan oleh sang muazin. Demikian juga, dibolehkan jika sang muazin memang ditugaskan sekaligus menjadi imam tetap” (Fatawa Al-Islamiyah, 1/252). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Kitab Kuning Adalah, Manfaat Membaca Al Quran Di Rumah, Belajar Menahan Emosi, Ciri2 Rumah Kena Guna Guna, Cara Ibadah Orang Yahudi Visited 330 times, 1 visit(s) today Post Views: 561 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Bolehkah yang azan di suatu masjid adalah sang imam tetap masjid tersebut? Atau bolehkah seorang muazin kemudian sekaligus menjadi imam shalat karena tidak ada orang lain yang layak?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Dibolehkan seorang muazin kemudian juga sekaligus menjadi imam shalat berjama’ah. Atau sebaliknya, seorang imam tetap, boleh mengumandangkan azan selain ia juga mengimami shalat. Ulama sepakat akan kebolehan hal ini. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan : أجمع المسلمون على جواز كون المؤذن إماماً واستحبابه، قال صاحب الحاوي: في كل واحد من الأذان والإمامة فضل “Ulama kaum Muslimin sepakat tentang bolehnya seorang imam menjadi muazin, bahkan ini dianjurkan. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: masing-masing pada perbuatan azan dan menjadi imam memiliki keutamaan tersendiri” (Al-Majmu’, 3/80). Al-Hathab rahimahullah juga mengatakan: وَمَنْ اسْتَأْجَرَ رَجُلًا عَلَى أَنْ يُؤَذِّنَ لَهُمْ وَيُقِيمَ وَيُصَلِّي بِهِمْ جَازَ وَكَانَ الْأَجْرُ إنَّمَا وَقَعَ عَلَى الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَالْقِيَامِ بِالْمَسْجِدِ لَا عَلَى الصَّلَاةِ “Siapa saja yang menyewa seseorang untuk mengumandangkan azan, sekaligus untuk iqamah, dan juga mengimami shalat, hal ini dibolehkan. Sehingga seolah upah yang didapatkan itu atas azan, iqamah, dan memimpin shalat di masjid, bukan karena shalatnya” (Mawahib Al-Jalil Syarah Mukhtashar Al-Khalil, 1/455). Terutama jika tidak ada orang lain yang lebih pandai dalam membaca Al-Qur’an selain sang muazin, maka dialah yang lebih berhak menjadi imam shalat berjama’ah. Dari Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ . فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً ، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه “Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al-Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika kepahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim no. 673). Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam salah satu fatwanya menjelaskan: يجوز أن يتولى الأذان والإمامة واحد ، فإذا كان المؤذن أقرأ من غيره صلى بمن حضره إماماً ، وكذا إذا غاب الإمام الراتب وأنابه ، كما يجوز أن يتعين بوظيفة الإمام الراتب “Dibolehkan jika azan tugas menjadi imam dilakukan oleh orang yang sama. Jika memang sang muazin adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya daripada orang-orang yang hadir. Demikian juga ketika imam tetap sedang tidak hadir atau ia meminta digantikan oleh sang muazin. Demikian juga, dibolehkan jika sang muazin memang ditugaskan sekaligus menjadi imam tetap” (Fatawa Al-Islamiyah, 1/252). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Kitab Kuning Adalah, Manfaat Membaca Al Quran Di Rumah, Belajar Menahan Emosi, Ciri2 Rumah Kena Guna Guna, Cara Ibadah Orang Yahudi Visited 330 times, 1 visit(s) today Post Views: 561 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)

Berikut adalah hasil kajian kami dalam jurnal yang sudah terbit di scopus Q4 pada “Journal of Research Administration” mengenai hukum Islam tentang isi saldo di dompet digital (Gopay, OVO, DANA, dkk). Silakan dikaji lebih dalam. Tulisan ini sekaligus meralat tulisan kami sebelumnya “Riba dalam e-wallet, dompet digital (Go Pay, OVO, dkk)”. Kaji Jurnal Scopus Q4: ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS   Daftar Isi tutup 1. Hukum Islam tentang Isi Ulang Saldo di Dompet Digital 2. ABSTRAK 3. 1. Pendahuluan 4. 2. Metode Penelitian 5. 3. Hasil dan Diskusi 5.1. Qardh 5.2. Wadiah 5.3. Ijarah 5.4. Sharf 5.5. Tinjauan terhadap dana yang disetorkan dari sudut pandang hukum formal 5.6. Tabel 1 : Dompet digital dari berbagai tinjauan 6. 4. Kesimpulan dan Saran 6.1. Referensi 7. Silakan Unduh Jurnal Scopus “ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS“ Hukum Islam tentang Isi Ulang Saldo di Dompet Digital   Muhammad Abduh Tuasikal Universitas Ibn Khaldun Bogor muhammad_abduhtuasikal@uika-bogor.ac.id   ABSTRAK Pendahuluan/Tujuan Utama: Penelitian ini bertujuan untuk menggali hukum Islam seputar isi ulang saldo pada dompet digital yang umum digunakan saat ini dengan membandingkannya dengan peraturan hukum formal Bank Sentral Indonesia yang menjelaskan secara detail tentang keberadaan dana simpanan. dan perusahaan dompet digital. Latar Belakang Permasalahan: Meskipun penggunaan dompet digital tersebar luas, penelitian mengenai hukum Islam terkait dompet digital masih perlu lebih luas. Umat Islam perlu mengetahui hukum Islam tentang hal ini agar dapat menggunakan dan menyimpan dana di dompet digital tanpa ragu-ragu. Kebaruan: Penelitian ini mengulas empat akad dalam hukum Islam yang belum pernah dibahas sebelumnya, yaitu wadīʻa (penitipan uang), qarḍ (pinjaman), ʼijāra (pembayaran jasa), atau ṣarf (penukaran uang). Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kajian pustaka dengan menelusuri berbagai kitab fikih klasik dan terkini. Temuan/Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa pengisian dana di dompet digital lebih dekat dengan akad sharf dibandingkan tiga akad lainnya, sesuai peraturan Bank Sentral Indonesia. Kesimpulan: Ketika pengguna menambahkan uang ke dompet digital mereka, uang tersebut diubah menjadi data elektronik, yang dikenal sebagai e-money. Penelitian yang diharapkan kedepannya adalah pembahasan hukum fiqh terkait transaksi yang dilakukan melalui dompet digital, serta dapat mengkaji hukum fiqh berdasarkan fatwa para ulama di Dewan Syariah Nasional yang fatwanya lebih mutakhir. Kata Kunci: dompet digital, e-wallet, review akad, hukum Islam, hukum fikih, transaksi keuangan, isi ulang saldo   1. Pendahuluan Dompet digital, juga dikenal sebagai dompet elektronik atau pembayaran digital, adalah aplikasi atau platform elektronik yang berfungsi sebagai pengganti dompet tradisional secara modern. Dompet ini memungkinkan pengguna untuk menyimpan, mengelola, dan melakukan berbagai transaksi keuangan dengan mudah menggunakan ponsel cerdas mereka. Sejak merebaknya pandemi Covid-19 akibat adanya tuntutan untuk menjaga jarak sosial dan mencegah penyebaran virus, penggunaan dompet digital mulai meningkat (Aji et al., 2020; Daragmeh et al., 2021; Ojo et al., 2020; Daragmeh et al., 2021; Ojo et al., 2022). Dompet digital adalah aplikasi elektronik yang digunakan untuk bertransaksi tanpa melibatkan uang fisik dan tanpa menggunakan kartu, hanya dengan perangkat untuk melakukan pembayaran dan mengisi saldo (Daragmeh et al., 2021; Sasongko et al., 2022; Yang et al., 2021). Di Thailand, dompet digital yang terkenal adalah Worldcoin. Perempuan dan generasi muda yang lebih sering menggunakan dompet digital (Kraiwanit et al., 2023). Zaid Kilani dkk. (2023) membahas penggunaan dompet digital di Yordania. Bank Sentral Yordania mengakui beberapa dompet elektronik, termasuk Aya Wallet, MEPS, EMP, dan eFAWATEERcom. Menurut Bhatia-Kalluri dan Caraway (2023), Paytm, layanan dompet elektronik populer di India, menawarkan berbagai metode pembayaran, termasuk solusi pembayaran unik berbasis kode QR. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, dompet digital merupakan layanan sistem pembayaran yang diawasi langsung dan tidak langsung oleh Bank Indonesia di mana di antara larangan bagi penyelenggaranya adalah memiliki dan/atau mengelola nilai uang yang digunakan di luar lingkup penyedia jasa sistem pembayaran (Indonesia, 2016). Dompet digital ini dapat menampung dana dan melakukan pembayaran dengan praktis, nyaman, dengan waktu transaksi efisien, serta pembayaran lebih cepat dan mudah. Jenis dompet digital yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah e-money Ovo, Gopay, Linkaja, dan Mandiri. Pemanfaatan dompet digital pun beragam, ada yang digunakan untuk belanja online, membayar jasa transportasi, membayar jasa pesan-antar makanan, dan berbagai kebutuhan sehari-hari (Widayat et al., 2020). Ovo dan Shopeepay merupakan dompet digital yang sering digunakan untuk keperluan belanja online (Budiarani et al., 2021). Penggunaan dompet digital merupakan hal yang lumrah dalam transaksi online. Platform ini menawarkan diskon dan hadiah untuk mendorong loyalitas pengguna (Yudha Kurniawan dkk., 2022; Bagla dan Sancheti, 2018). Kajian kritis terkait dompet digital berkisar membahas empat hal, yaitu: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan dompet digital seperti yang diteliti oleh Aji dkk. (2020); Ariffin dkk. (2021); Daragmeh dkk. (2021); Yang dkk. (2021), (2) faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas pengguna dan dompet digital, termasuk nilai yang dirasakan, keamanan yang dirasakan, kepercayaan, promosi penjualan seperti yang telah diteliti oleh Kurnia et al. (2023); Yeoh (2022), (3) dampak pengaruh penggunaan dompet digital terhadap perilaku konsumtif sebagaimana diteliti oleh Almukhlisah dkk. (2023), (4) mengukur kepuasan pelanggan terhadap kualitas layanan dompet digital meliputi Model Kano, seperti dijelaskan oleh Budiarani et al. (2021). Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan pemahaman pandangan hukum Islam mengenai akad pada dompet digital di Indonesia. Umat Islam memperhatikan masalah hukum Islam untuk menghindari melakukan aktivitas terlarang. Namun ketidakjelasan permasalahan hukum ini berdampak pada penggunaan diskon dan cashback yang ditawarkan konsumen saat berbelanja melalui dompet digital. Untuk mengatasi kesenjangan ini, penelitian ini menganalisis berbagai akad, yaitu wadi’ah (penitipan uang), qarḍ (pinjaman), ijarah (pembayaran layanan), atau ṣarf (penukaran uang), terkait dengan uang yang disimpan dalam dompet digital. Penelitian tersebut mempunyai implikasi signifikan terhadap kemajuan ekonomi dan budaya konsumeris masyarakat. Ini akan menyimpulkan perspektif hukum Islam tentang penggunaan atau penolakan dompet digital, tanpa keraguan.   2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuan untuk memahami hukum Islam mengenai dompet digital. Empat jenis akad–wadi’ah (penitipan uang), qardh (pinjaman), ijarah (pembayaran jasa), dan sharf (penukaran uang)–akan dikaji secara rinci menggunakan buku-buku fikih klasik dan kontemporer. Referensi tersebut akan membantu menjelaskan ketentuan masing-masing akad, yang kemudian akan dibandingkan dengan peraturan formal dari Bank Sentral Indonesia mengenai dompet digital. Penjelasan hukum fikih dan aturan formal dapat menentukan akad yang sesuai dari keempat akad tersebut di atas. Selain itu, penelitian ini akan membantu untuk memahami hukum Islam mengenai penggunaan diskon dan cashback yang diperoleh saat melakukan pembayaran dengan uang elektronik di dompet digital.   3. Hasil dan Diskusi Dompet digital, juga dikenal sebagai dompet elektronik, adalah metode pembayaran digital yang memungkinkan pengguna menyimpan dan bertransaksi uang secara elektronik menggunakan aplikasi ponsel pintar. Keuntungan utama menggunakan e-wallet adalah memungkinkan masyarakat melakukan pembelian dengan mudah dan cepat tanpa membawa uang tunai atau kartu kredit. Artinya, pengguna tidak perlu khawatir kehilangan uang atau kartu kreditnya, dan beberapa aplikasi dompet elektronik juga menawarkan fitur keamanan tambahan seperti verifikasi sidik jari atau PIN untuk melindungi akun pengguna. Selain itu, banyak aplikasi dompet digital menawarkan promosi dan diskon kepada penggunanya, yang dapat membantu mereka menghemat uang atau menerima manfaat seperti cashback atau reward points. Beralih ke sistem non-tunai juga memungkinkan pengguna untuk melacak dan mengelola pengeluaran mereka dengan lebih baik, karena aplikasi e-wallet seringkali menyediakan fitur untuk melihat riwayat transaksi dan mengkategorikan pengeluaran. Hal ini dapat membantu pengguna mengelola keuangan mereka dengan lebih baik dan membuat perencanaan dengan lebih efektif (Daragmeh et al., 2021; Widayat et al., 2020). Selama pandemi COVID-19, dompet elektronik telah menjadi alternatif pembayaran yang lebih aman tanpa berinteraksi secara fisik dengan uang tunai atau orang lain. Hal ini membantu mencegah penyebaran virus melalui kontak fisik dengan uang kertas atau koin (Yunoh et al., 2023). Penting untuk dicatat bahwa manfaat dari penggunaan non-tunai dapat bervariasi tergantung pada negara, platform dompet elektronik yang digunakan, dan preferensi individu (Chelvarayan et al., 2022). Menurut Ariffin dkk. (2021), salah satu keuntungan menggunakan e-wallet adalah insentif yang ditawarkan, seperti diskon dan cashback. Diskon dapat memberikan keuntungan finansial kepada pengguna dengan menawarkan harga yang lebih rendah atau pengurangan biaya, sementara cashback memberikan insentif kepada pengguna untuk terus menggunakan dompet elektronik dan memberikan keuntungan finansial tambahan. Menurut Yang dkk. (2021), di Indonesia, tiga e-wallet terbukti stabil dan populer: Go-Pay, OVO, dan DANA. OVO telah menjalin kemitraan dengan Grab, layanan ride-hailing terbesar di Asia Tenggara, dan Tokopedia, pemain terkemuka di pasar e-commerce Indonesia. Kemitraan ini telah membantu OVO untuk terus berkembang. Sementara DANA yang diperkenalkan pada tahun 2018 berhasil meningkatkan popularitasnya dan menggantikan Linkaja di peringkat ketiga pada kuartal kedua tahun 2019. Go-Pay, OVO, dan DANA berhasil mengintegrasikan layanan pembayaran dari bank-bank milik negara sehingga berkontribusi terhadap stabilitasnya. di pasar e-wallet Indonesia. Berikut empat akad yang dapat dijadikan akad isi ulang dompet digital: qardh, wadi’ah, ijarah madhfu’ah muqaddaman, dan sharf.   Qardh Qard secara etimologi berarti memotong, memakan, menggigit. Al-qardh sendiri berarti pinjaman (Munawwir, 1997, p. 1108). Qardh disebut seperti itu karena muqridh (da’in, kreditur) yang memberikan pinjaman harta memotong potongan harta untuk diserahkan kepada muqtaridh (madin, debitur) (Al-Anshari, 2000, p. 2/140; Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Qardh secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Dalam Takmilah Al-Majmu’, Muhammad Najib Al-Muthi’i berkata tentang akad qardh adalah, وهو أن يقول ملكتك هذا على أن ترد على بدله فإن قال ملكتك ولم يذكر البدل كان هبة، “Seseorang mengatakan, saya menyerahkan kepadamu dan nantinya akan ada pengganti. Jika yang disebutkan, saya menyerahkan kepadamu dan tidak menyebutkan adanya pengganti, maka hukumnya menjadi hibah.” (Al-Muthi’i, 2006, pp. 12/206-207) Dalam Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib dan Fath Al-Wahhab bi Syarh Minhaj Ath-Thullab, Zakaria bin Muhammad Al-Anshari rahimahullah (1420 – 1520 Masehi) berkata, الْإِقْرَاضِ وهو تَمْلِيكُ الشَّيْءِ على أَنْ يُرَدَّ بَدَلُهُ “Iqradh (qardh) adalah memiliki sesuatu dan nantinya akan diberikan penggantinya.” (Al-Anshari, 2000, p. 2/140; 2016, p. 307). Pengertian yang serupa juga disebutkan oleh Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Malibari (1531 – 1618 Masehi) rahimahullah dalam Fath Al-Mu’in (Al-Malibari, 2022, p. 384). Dalam I’anatu Ath-Tholibin, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatho Ad-Dimyathi rahimahullah (1849 – 1893 Masehi) berkata, والمراد أنه في حكم القرض في وجوب رد المثل “Yang dimaksud dengan hukum qardh, wajib dikembalikan dengan nilai yang semisal.” (Ad-Dimyathi, 1997, p. 3/61) Dalam Al-Asybah wa An-Nazhair, Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman As-Suyuthi rahimahullah (1445 – 1505 Masehi) berkata, من صيغ القرض: ملكتكه على أن ترد بدله “Di antara ucapan akad qardh adalah aku memilikinya dan penggantinya yang dikembalikan.” (As-Suyuthi, p. 1/101) Dalam As-Siraj Al-Wahaj, Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawi rahimahullah berkata, الاقراض بمعنى الاعطاء والتمليك للشيء على أن يرد بدل “Al-iqradh bermakna memberi dan memiliki sesuatu dan penggantinya yang dikembalikan.” (Al-Ghamrawi, p. 1/210) Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji disebutkan mengenai pengertian al-qardh adalah, تمليك شيء مالي للغير على أن يردّ بدله من غير زيادة “Suatu harta yang diserahkan kepada yang lain dengan menuntut adanya pengganti, tetapi tidak boleh ada tambahan.” (Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, دَفْعُ مَالٍ إِرْفَاقًا لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيُرَدُّ بَدَلُهُ “Menyerahkan harta pada orang yang mengambil manfaatnya dalam rangka berbuat baik (menolong) dan penggantinya yang dikembalikan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 2012, p. 33/111) Nama lain dari qardh adalah salaf, sebagaimana disebut oleh penduduk Hijaz (Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Hukum qardh adalah boleh (jaiz). Seseorang boleh meminta qardh (pinjaman) ketika ia membutuhkannya. Bahkan yang dimintai qardh (pinjaman) disunnahkan (dianjurkan) untuk membantunya. Dalil qardh dari Al-Qur’an Al-Karim adalah firman Allah Ta’ala, مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 245) مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥ وَلَهُۥٓ أَجْرٌ كَرِيمٌ “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11) إِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 18) إِن تُقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. At-Taghabun: 17) وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا “Dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (QS. Al-Muzammil: 20) Dalil qardh dari hadits adalah dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً “Muslim mana saja yang meminjamkan muslim lainnya utang sebanyak dua kali, maka itu sama dengan sedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah, no. 2430. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif). Hadits di atas dikuatkan dengan hadits, عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ “، قَالَ: ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ “، قُلْتُ: سَمِعْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ تَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ “، ثُمَّ سَمِعْتُكَ تَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ “، قَالَ لَهُ: ” بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ ‌يَحِلَّ ‌الدَّيْنُ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ») Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Barang siapa memberi penangguhan pada orang yang kesusahan, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Buraidah berkata, ‘Kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah dua kali senilai piutangnya setiap harinya.’ Aku berkata: aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi penangguhan pada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia mendapat pahala sedekah setiap harinya sebelum utang jatuh tempo. Jika telah jatuh tempo, lantas masih memberikan tenggang waktu, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’” (HR. Ahmad, 5:360. Sanad hadits ini sahih sesuai syarat Muslim, perawi-perawinya tsiqqah (terpercaya), termasuk perawi Syaikhain selain Sulaiman bin Buraidah, ia adalah perawi Muslim). Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah (1002 – 1083 Masehi) menyatakan, وَيَجِبُ عَلَى المسْتَقْرِض رَدُّ المثْلِ فِيْمَا لَهُ مِثْل، لِاَنَّ مُقْتَضَى القَرْض رَدُّ المِثْل “Wajib bagi yang meminjam mengembalikan utang seperti awal jika memiliki yang sepadan karena berutang itu wajib mengembalikan yang semisal.” (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/189). Muhammad Najib Al-Muthi’i rahimahullah dalam penyempunaan kitab Al-Majmu’ menjelaskan bahwa jika ada yang meminjam sesuatu seperti biji-bijian, minyak, dirham, atau dinar, ia wajib mengembalikan dengan yang semisal karena itu lebih mendekati. Hal ini berbeda jika meminjam sesuatu yang tidak ada yang sepadan dengannya seperti baju, hewan, maka ada beda pendapat dalam hal ini. Ada pendapat yang memerintahkan mengembalikan dengan yang senilai (Al-Muthi’i, 2006, p. 12/215). Ibnu Taimiyah rahimahullah (1262 – 1327 Masehi) dalam Majmu’ah Al-Fatawa menyatakan, القَرْضُ مُوْجِبُهُ رَدُّ المِثْلِ “Berutang itu diwajibkan mengembalikan yang semisal.” (Al-Harrani, 2011, pp. 29/52, 30/84) Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyebutkan, الْقَرْضِ فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ فِيهِ إلَّا رَدُّ الْمِثْلِ بِلَا زِيَادَةٍ “Utang piutang haruslah dikembalikan semisal tanpa ada tambahan.” (Al-Harrani, 2011, p. 29/535) Yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, أَنَّهُ فِي الْقَرْضِ يَجِبُ فِيهِ رَدُّ الْمِثْلِ وَإِذَا اقْتَرَضَ حَيَوَانًا رَدَّ مِثْلَهُ “Utang piutang mesti dikembalikan dengan yang semisal. Jika yang dipinjam adalah hewan, maka dikembalikan yang semisal pula.” (Al-Harrani, 2011, p. 20/563) Sebagaimana diterangkan dalam kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, hukum yang berkenaan dengan qardh adalah: (1) qardh menjadi sempurna jika sudah terjadi pemindahan kepemilikan harta, lantas pihak debitur (muqtaridh, yang diberi pinjaman) boleh memanfaatkannya semaunya; (2) pihak kreditur (muqridh, yang memberi pinjaman) boleh meminta kepada debitur (muqtaridh) untuk membayar pinjaman pada waktu kapan pun setelah adanya qabdh (penyerahan) harta pada debitur, baik ditetapkan waktu tertentu ataukah tidak, (3) debitur (muqtaridh) hendaklah mengembalikan pinjaman dengan yang semisal; (4) jika pihak kreditur (muqridh) tidak mensyaratkan tambahan dalam pinjaman, maka seperti itu boleh; (5) jika pihak kreditur (muqridh) mensyaratkan adanya tambahan dalam pengembalian pinjaman atau mensyaratkan dikembalikan dengan lebih bagus, akad tersebut tidaklah sah karena setiap pinjaman yang ada manfaat di dalamnya termasuk riba. Utang piutang sejatinya termasuk membantu dan menolong, bukan mencari untung (Az-Zuhaili, 2015, pp. 3/169-174). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad qardh, uang yang disetorkan dimiliki oleh perusahaan dompet digital melalui skema peminjaman. Uang ini diwujudkan dalam saldo uang elektronik. Perusahaan tersebut dapat menggunakan uang pengguna dan berkomitmen untuk mengembalikannya kapan pun pengguna membutuhkannya. Jika akadnya adalah qardh, pengguna dompet digital tidaklah boleh mendapatkan manfaat diskon karena termasuk keuntungan yang diperoleh pihak kreditur (muqridh).   Wadiah Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Lebih jelasnya, pengertian wadiah secara etimologi adalah meninggalkan sesuatu pada orang lain dan memintanya untuk menjaganya. Adapun pengertian wadiah secara istilah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad wadiah, uang disetorkan melalui top up merupakan titipan dari pengguna kepada perusahaan dompet digital yang bisa diambil kapan pun. Uang ini tidak boleh digunakan oleh pihak perusahaan. Uang ini tidak wajib dikembalikan jika terjadi kejadian yang bukan merupakan kesalahan dari perusahaan dompet digital.   Ijarah Ijarah secara etimologi adalah istilah untuk sesuatu yang disewakan pada orang yang melakukan sesuatu sebagai bagian dari pekerjaan. Ajr adalah istilah untuk balasan di akhirat. Ujrah adalah istilah untuk balasan di dunia (Al-Khin et al., 2009, p. 121). Ijarah secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Dalam Nihayah Az-Zain, Imam bin ‘Umar Nawawi Al-Jawi rahimahullah (1813 – 1897 Masehi) berkata, الإجارة هي عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم “Akad kemanfaatan yang dituju dan sudah tertentu sebagai timbal balik dari adanya bayaran tertentu.” (Nawawi, 2002, p. 252). Hal yang sama juga disampaikah oleh Al-Ghazzi (2023, p. 393) dan Asy-Syathiri (2020, p. 178) Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, ijarah adalah, بَيْعُ عَمَلٍ تَكُونُ الْعَيْنُ فِيهِ تَبَعًا “Jual beli atas suatu pekerjaan, sedangkan barang hanya ikutan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 2012, p. 3/326) Ijarah ini dibolehkan karena kebutuhan untuk memanfaatkan tempat, peralatan, dan lain sebagainya. Ijarah itu sah dalam jual beli manfaat pada barang tertentu, misal ijarah (menyewa) rumah untuk tempat tinggal, ijarah (membayar upah) menyusui dari seorang wanita, ijarah seseorang untuk haji atau untuk jual beli, dan ijarah hewan untuk ditunggangi (Asy-Syirazi, 2021, p. 444). Tentang ijarah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Bila mereka menyusui anak-anak mereka dari kalian dengan upah, maka bayarlah upah mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6) Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, sahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan. Ijarah harus dengan syarat waktu tertentu, tidak bisa ijarah itu tanpa batasan waktu. Asalnya upah ijarah itu segera ditunaikan, kecuali ada syarat penundaan. Orang yang menyewa sesuatu berarti memegang amanah. Maka ia tidak diperintahkan ganti rugi kecuali karena kecerobohannya (Hamid, 2011, p. 261). Sesuatu yang disewakan haruslah sesuatu yang punya nilai atau ada upah yang dikeluarkan seperti menyewa rumah (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/219). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad ijarah (atau ijarah madfu’ah muqaddaman, uang atau upah yang disetorkan terlebih dahulu), maka uang yang disetorkan menjadi saldo top up, selanjutnya digunakan untuk membeli jasa tertentu yang dihadirkan oleh perusahaan yang sama dengan perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi dengannya.   Sharf Sharf merupakan bagian dari akad buyu’ (jual beli), termasuk jual beli ribawiyah di mana ada syarat dan aturan tersendiri yang mesti dipenuhi. Sharf secara etimologi memiliki beberapa makna, yaitu (1) tambahan, (2) menolak, (3) memindahkan (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/126). Sharf secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Menurut Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, sharf adalah, بيع النقد بالنقد من جنسه أوغير جنسه “Pertukaran uang dengan uang atau uang dengan lainnya yang beda jenis.” (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/126). Menurut Syaikh Dr. ‘Abdurrahman bin Humud Al-Mathiri dalam kitab Fiqh Al-Mua’amalat Al-Maliyyah Al-Muyassar, sharf adalah, بيع نقد بنقد سواء اتحاد الجنس أو اختلف “Menukar uang dengan uang, baik sama atau berbeda jenis.” (Al-Mathiri, 2018, p. 161). Kalimat yang sama juga disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih dalam Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat(Al-Musyaiqih, 2012, p. 77). Hukum akad sharf adalah boleh sebagaimana hukum jual beli secara umum (Al-Khin et al., 2009, p. 3/83). Dalil syari yang membicarakan tentang sharf adalah sebagai berikut. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, burr (gandum) dijual dengan gandum, sya’ir (gandum kualitas rendah) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1584) Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, burr (gandum) dijual dengan gandum, sya’ir (gandum kualitas rendah) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim, no. 1587) Aturan tukar menukar barang ribawi: Menukar emas dan emas, juga perak dan perak, harus: (1) mutamatsilan (sama jumlah) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat). Menukar emas dan perak, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan (haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah). Menukar sesama makanan yang sejenis, harus: (1) mutamatsilan (sama jumlah) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat). Menukar makanan dengan yang beda jenis, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan(haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah). (Al-Bajuri, 2020, pp. 2/609-610; Al-Ghazzi, 2023, p. 333; Hamid, 2011, p. 218) Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad sharf, saldo top up dari pengguna dimiliki oleh perusahaan dompet digital lalu ditukar dengan saldo uang digital yang diterbitkan oleh perusahaan dompet digital dengan izin dari otoritas terkait.   Tinjauan terhadap dana yang disetorkan dari sudut pandang hukum formal Hakikat dana yang disetor telah disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik, Pasal 1 angka 3 bahwa  uang elektornik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut: (a) diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit; (b) nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan (c) nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. Sedangkan di angka 4 disebutkan bahwa nilai uang elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor telah disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 49 angka 1 bahwa dana float hanya dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban Penerbit kepada Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa, dan dilarang digunakan untuk kepentingan lain. Risiko saldo hilang dibahas dalam website bi.go.id bahwa risiko uang elektronik hilang dan dapat digunakan oleh pihak lain, karena prinsipnya uang elektronik sama seperti uang tunai yang apabila hilang tidak dapat diklaim kepada penerbit. Izin usaha perusahaan dompet digital dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia no. 20/6/PBI/2018 Pasal 5 dan 6 bahwa permohonan izin sebagai penyelenggara diajukan berdasarkan pengelompokkan penyelenggara jasa sistem pembayaran. Tujuan top up saldo pada dompet digital lebih mengarah kepada definisi alat pembayaran dibandingkan kepada penyimpanan dana maupun pembelian jasa di depan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 4 bahwa nilai uang elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Juga terdapat batas maksimal saldo yang tersimpan dalam dompet digital sebagaimana diterangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 45 bahwa batas nilai uang elektronik yang dapat disimpan untuk Uang Elektronik unregistered paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah); dan untuk Uang Elektronik registered paling banyakRp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Adapun batas nilai transaksi Uang Elektronik dalam 1 (satu) bulan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Kenyataan dari pengguna bahwa dipastikan sebagian besar pengguna melakukan top up saldo secukupnya saja untuk membantu mempermudah transaksi sehari-hari. Saldo yang tersimpan bukan ditujukan untuk ditarik kembali (meskipun bisa dan penarikan ini bukan akad utama), sehingga definisi qardh dan wadiah kurang sesuai. Kaidah fikih menyebutkan, العِبْرَةُ فِي العُقُوْدِ بِالمَقَاصِدِ وَالمَعَانِي، لاَ بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي “Yang dianggap di dalam akad adalah maksud-maksud dan maknanya, bukan dilihat dari lafaz atau bentuk perkataan.” Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 61 disebutkan bahwa penerbit dilarang menerbitkan Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik yang lebih besar atau lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan kepada Penerbit. Nilai uang yang disetorkan ke dalam Uang Elektronik harus dapat digunakan atau ditransaksikan seluruhnya sampai bersaldo nihil. Dari keempat akad di atas, ada beberapa poin penting yang perlu ditinjau, yaitu: (1) hakikat dana disetor dan saldo digital, (2) yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor, (3) risiko saldo hilang, (4) izin usaha perusahaan dompet digital, (5) tujuan top up saldo. Kelima poin di atas dapat diringkas dalam tabel 1 berikut.   Tabel 1 : Dompet digital dari berbagai tinjauan Tinjauan Qardh Wadiah Ijarah Madfuah Muqaddaman Sharf Hakikat dana yang disetor dan saldo Utang di mana perusahaan dompet digital wajib mengembalikan dana yang disetorkan apa pun keadaannya Dana titipan di mana perusahaan dompet digital wajib mengembalikan dana ketika diminta kecuali dalam kejadian yang menyebabkan kerugian yang bukan merupakan kesalahan perusahaan dompet digital Nilai jasa untuk mengganti jasa perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi dengan wajib menghadirkan jasa yang dijanjikan ketika diminta Instrumen pembayaran elektronik di mana perusahaan dompet digital menukarkan dana yang disetor dengan saldo digital yang diterbitkan perusahaan dompet digital dengan izin BI Yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor Boleh digunakan untuk hal apa pun Tidak boleh digunakan, hanya boleh disimpan Boleh digunakan untuk hal apa pun Saldo elektronik tidak boleh digunakan Risiko saldo hilang Ditanggung oleh perusahaan dompet digital apa pun keadaannya Ditanggung oleh pengguna kecuali jika perusahaan dompet digital melakukan kesengajaan atau kelalaian Tanggung jawab perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi Saldo elektronik ditanggung oleh pengguna kecuali jika terjadi kesengajaan atau kelalaian dari perusahaan dompet digital Izin usaha perusahaan Lembaga keuangan yang memiliki izin menghimpun dana dari masyarakat Lembaga keuangan Perusahaan jasa Penerbit uang elektronik Tujuan top up saldo Menyimpan dana Menyimpan dana Mendapatkan jasa Membantu proses pembayaran   Sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI), penambahan dana ke dompet digital dinilai lebih dekat dengan akad sharf dibandingkan tiga akad lainnya. Akad sharf mengacu pada konversi uang yang ditransfer ke perusahaan dompet digital menjadi uang elektronik atau saldo elektronik. Pengisian saldo di dompet digital biasanya dilakukan untuk memudahkan proses pembayaran, bukan untuk menyimpan dana, karena kecil kemungkinan dana di dompet digital disimpan dalam jumlah besar melebihi 10 juta rupiah. Pengguna bertanggung jawab atas saldo elektronik mereka, bukan perusahaan dompet digital. Apalagi sesuai PBI, perusahaan dompet digital tidak diperbolehkan menggunakan saldo tersebut.   4. Kesimpulan dan Saran Sesuai Peraturan Bank Indonesia, layanan pengisian dompet digital dan transaksi yang paling dekat adalah melalui akad sharf. Ketika pengguna menambahkan uang ke dompet digital mereka, uang tersebut diubah menjadi data elektronik yang dikenal sebagai uang elektronik. Uang tersebut sama dengan uang rupiah. Hal ini sama seperti penukaran rupiah ke dollar, ringgit, dan riyal. Artinya uang diubah menjadi data digital. Diskon, bonus, pengiriman gratis, atau uang kembali apa pun yang ditawarkan adalah hibah promosi yang bertujuan membangun ekosistem dan menarik lebih banyak pengguna. Diskon tersebut hanya berlaku bagi pengguna dompet digital dan diberikan berdasarkan transaksi jual beli, bukan berdasarkan saldo di dompet. Berbeda dengan akad qardh, seperti transaksi yang terjadi saat menyetorkan uang ke rekening bank, di mana bunga diperoleh secara otomatis tanpa ada tindakan apa pun dari pihak pengguna. Salah satu bidang penelitian yang dapat dikaji lagi adalah hukum fikih terkait transaksi yang dilakukan melalui dompet digital. Transaksi yang umum dilakukan melalui dompet digital antara lain pemesanan makanan, transportasi, pembayaran tagihan, dan pembelian pulsa. Bidang penelitian lain terkait dompet digital adalah mengkaji fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang menggunakan kesimpulan hukum lebih mutakhir. Selain itu, hal lain yang dapat dipelajari adalah apakah aset yang disimpan dalam dompet digital dapat dianggap sebagai aset digital yang berharga, yang dapat menimbulkan perselisihan kepemilikan di masa depan. Kajian-kajian ini dapat bermanfaat bagi umat Islam karena mereka perlu mengetahui apa yang halal (boleh) dan apa yang haram (dilarang) dalam menggunakan dompet digital. Seorang muslim yang bijaksana adalah yang menjauhi hukum yang tidak jelas dan bertakwa kepada Allah dengan menjauhi yang haram.   Referensi Ad-Dimyathi, S. A. B. M. S. (1997). I’anatu Ath-Tholibin ‘ala Halli Alfazhi Fathi Al-Mu’in I’anatu Ath-Tholibin ‘ala Halli Alfazhi Fathi Al-Mu’in. Mawqi’ Ya’sub. Aji, H. M., Berakon, I., & Md Husin, M. (2020). COVID-19 and e-wallet usage intention: A multigroup analysis between Indonesia and Malaysia. Cogent Business & Management, 7(1), 1804181. https://doi.org/10.1080/23311975.2020.1804181 Al-Anshari, Z. b. M. (2000). Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Dar Al-Minhaj. Al-Ghamrawi, M. A.-Z. As-Siraj Al-Wahaj. Dar Al-Ma’rifah. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath Al-Qarib Al-Mujib bi Syarh Alfazh At-Taqrib. Dar Adh-Dhiya. Al-Harrani, A. b. T. (2011). Majmu’ah Al-Fatawa. Dar Ibnu Hazm. Al-Khin, M., Al-Bugha, M., & Asy-Syirbaji, A. (2009). Al-Fiqh Al-Manhaji. Dar Al-Qalam. Al-Malibari, Z. A. b. M. A.-G. (2022). Fath Al-Mu’in. Dar Al-Fayha. Al-Mathiri, A. b. H. (2018). Fiqh Al-Mua’amalat Al-Maliyyah Al-Muyassar. Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. (2012). Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait. Al-Musyaiqih, K. b. A. b. M. (2012). Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat. Maktabah Ar-Rusyd. Al-Muthi’i, M. N. (2006). Takmilah Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syirazi. Dar Alam Al-Kutub. Almukhlisah, G. S., Wiralaga, H. K., & Iranto, D. (2023). The effect of use of e-commerce and the existence of e-wallet facilities on consumptive behavior in the milenial generation in Jakarta. CASHFLOW: CURRENT ADVANCED RESEARCH ON SHARIA FINANCE AND ECONOMIC WORLDWIDE, 2(2), 285-292. https://doi.org/10.55047/cashflow.v2i2.505 An-Nawawi, A. Z. Y. b. S. (2005). Minhaj Ath-Thalibin. Dar An-Nasyr Al-Islamiyyah. Ariffin, S. K., Abd Rahman, M. F. R., Muhammad, A. M., & Zhang, Q. (2021). Understanding the consumer’s intention to use the e-wallet services. Spanish Journal of Marketing-ESIC, 25(3), 446-461. https://doi.org/10.1108/SJME-07-2021-0138 As-Suyuthi, J. A. Al-Asybah wa An-Nazhair. Dar Al-Kutub Al-‘Imiyyah. Asy-Syathiri, A. b. U. (2020). Al-Yaqut An-Nafis fi Madzhab Ibni Idris. Dar Al-Minhaj. Asy-Syirazi, A. I. (1996). Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafii. Dar Al-Qalam. Asy-Syirazi, A. I. I. b. A. (2021). At-Tanbih fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Dar Alim Quraisy. Az-Zuhaili, M. (2015). Al-Mutamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Dar Al-Qalam. Bhatia-Kalluri, A., & Caraway, B. R. (2023). Transformation of the Digital Payment Ecosystem in India: A Case Study of Paytm. Social Inclusion, 11(3), 320-331. Budiarani, V. H., Maulidan, R., Setianto, D. P., & Widayanti, I. (2021). The kano model: How the pandemic influences customer satisfaction with digital wallet services in Indonesia. Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB), 36(1), 61-82. Chelvarayan, A., Yeo, S. F., Yi, H. H., & Hashim, H. (2022). E-wallet: a study on cashless transactions among university students. F1000Research, 11. https://doi.org/10.12688/f1000research.73545.1 Daragmeh, A., Sági, J., & Zéman, Z. (2021). Continuous intention to use e-wallet in the context of the covid-19 pandemic: Integrating the health belief model (hbm) and technology continuous theory (tct). Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 7(2), 132. https://doi.org/10.3390/joitmc7020132 Hamid, H. A.-K. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja. Dar Al-Manar. Indonesia, B. (2016). Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Jakarta: Bank Indonesia. Kraiwanit, T., Limna, P., Wattanasin, P., Asanprakit, S., & Thetlek, R. (2023). Adoption of worldcoin digital wallet in Thailand. Research in Globalization, 7, 100179. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.resglo.2023.100179 Kurnia, P. R., Pangaribuan, J. H., & Sitio, R. P. (2023). Digital wallet users in Indonesia: Factors affecting consumer satisfaction and consumer loyalty. Business Innovation and Engineering Conference, Munawwir, A. W. (1997). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (14 ed.). Pustaka Progressif. Nawawi, M. b. U. b. A. b. N. A.-J. A. A. M. t. (2002). Nihayah Az-Zain fi Irsyad Al Mubtadiin. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Ojo, A. O., Fawehinmi, O., Ojo, O. T., Arasanmi, C., & Tan, C. N.-L. (2022). Consumer usage intention of electronic wallets during the COVID-19 pandemic in Malaysia. Cogent Business & Management, 9(1), 2056964. https://doi.org/10.1080/23311975.2022.2056964 Sasongko, D. T., Handayani, P. W., & Satria, R. (2022). Analysis of factors affecting continuance use intention of the electronic money application in Indonesia. Procedia Computer Science, 197, 42-50. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.procs.2021.12.116 Widayat, W., Masudin, I., & Satiti, N. R. (2020). E-Money payment: Customers’ adopting factors and the implication for open innovation. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 6(3), 57.https://doi.org/10.3390/joitmc6030057 Yang, M., Mamun, A. A., Mohiuddin, M., Nawi, N. C., & Zainol, N. R. (2021). Cashless transactions: A study on intention and adoption of e-wallets. Sustainability, 13(2), 831. https://doi.org/10.3390/su13020831 Yeoh, G. L. (2022). Factors affecting users’ behavioural intention towards touch ‘N Go E-Wallet in Malaysia. International Journal of Applied Business and International Management (IJABIM), 7(3), 108-120. https://doi.org/10.32535/ijabim.v7i3.2069 Yunoh, M. N. M., Hashim, N. S. M., Musa, Z. C., Muhamad, M., & Bahari, N. (2023). Understanding the factors influencing the adoption of e-wallets by Malaysian youth. Telecommunication Computing Electronics and Control, 21(6), 1298-1307. https://doi.org/10.12928/telkomnika.v21i6.24082 Zaid Kilani, A. A.-H., Kakeesh, D. F., Al-Weshah, G. A., & Al-Debei, M. M. (2023). Consumer post-adoption of e-wallet: An extended UTAUT2 perspective with trust. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 9(3), 100113. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.joitmc.2023.100113 https://www.bi.go.id/id/publikasi/peraturan/Pages/pbi_184016.aspx https://www.bi.go.id/id/edukasi/Pages/Apa-itu-Uang-Elektronik.aspx   Silakan Unduh Jurnal Scopus “ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS“   Download   –   Salatiga, 19 Ramadhan 1445 H, 30 Maret 2024 Al-Faqir ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital dompet elektronik e-wallet hukum fikih hukum Islam ijarah isi ulang saldo review akad sharf transaksi keuangan utang piutang wadiah

Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)

Berikut adalah hasil kajian kami dalam jurnal yang sudah terbit di scopus Q4 pada “Journal of Research Administration” mengenai hukum Islam tentang isi saldo di dompet digital (Gopay, OVO, DANA, dkk). Silakan dikaji lebih dalam. Tulisan ini sekaligus meralat tulisan kami sebelumnya “Riba dalam e-wallet, dompet digital (Go Pay, OVO, dkk)”. Kaji Jurnal Scopus Q4: ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS   Daftar Isi tutup 1. Hukum Islam tentang Isi Ulang Saldo di Dompet Digital 2. ABSTRAK 3. 1. Pendahuluan 4. 2. Metode Penelitian 5. 3. Hasil dan Diskusi 5.1. Qardh 5.2. Wadiah 5.3. Ijarah 5.4. Sharf 5.5. Tinjauan terhadap dana yang disetorkan dari sudut pandang hukum formal 5.6. Tabel 1 : Dompet digital dari berbagai tinjauan 6. 4. Kesimpulan dan Saran 6.1. Referensi 7. Silakan Unduh Jurnal Scopus “ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS“ Hukum Islam tentang Isi Ulang Saldo di Dompet Digital   Muhammad Abduh Tuasikal Universitas Ibn Khaldun Bogor muhammad_abduhtuasikal@uika-bogor.ac.id   ABSTRAK Pendahuluan/Tujuan Utama: Penelitian ini bertujuan untuk menggali hukum Islam seputar isi ulang saldo pada dompet digital yang umum digunakan saat ini dengan membandingkannya dengan peraturan hukum formal Bank Sentral Indonesia yang menjelaskan secara detail tentang keberadaan dana simpanan. dan perusahaan dompet digital. Latar Belakang Permasalahan: Meskipun penggunaan dompet digital tersebar luas, penelitian mengenai hukum Islam terkait dompet digital masih perlu lebih luas. Umat Islam perlu mengetahui hukum Islam tentang hal ini agar dapat menggunakan dan menyimpan dana di dompet digital tanpa ragu-ragu. Kebaruan: Penelitian ini mengulas empat akad dalam hukum Islam yang belum pernah dibahas sebelumnya, yaitu wadīʻa (penitipan uang), qarḍ (pinjaman), ʼijāra (pembayaran jasa), atau ṣarf (penukaran uang). Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kajian pustaka dengan menelusuri berbagai kitab fikih klasik dan terkini. Temuan/Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa pengisian dana di dompet digital lebih dekat dengan akad sharf dibandingkan tiga akad lainnya, sesuai peraturan Bank Sentral Indonesia. Kesimpulan: Ketika pengguna menambahkan uang ke dompet digital mereka, uang tersebut diubah menjadi data elektronik, yang dikenal sebagai e-money. Penelitian yang diharapkan kedepannya adalah pembahasan hukum fiqh terkait transaksi yang dilakukan melalui dompet digital, serta dapat mengkaji hukum fiqh berdasarkan fatwa para ulama di Dewan Syariah Nasional yang fatwanya lebih mutakhir. Kata Kunci: dompet digital, e-wallet, review akad, hukum Islam, hukum fikih, transaksi keuangan, isi ulang saldo   1. Pendahuluan Dompet digital, juga dikenal sebagai dompet elektronik atau pembayaran digital, adalah aplikasi atau platform elektronik yang berfungsi sebagai pengganti dompet tradisional secara modern. Dompet ini memungkinkan pengguna untuk menyimpan, mengelola, dan melakukan berbagai transaksi keuangan dengan mudah menggunakan ponsel cerdas mereka. Sejak merebaknya pandemi Covid-19 akibat adanya tuntutan untuk menjaga jarak sosial dan mencegah penyebaran virus, penggunaan dompet digital mulai meningkat (Aji et al., 2020; Daragmeh et al., 2021; Ojo et al., 2020; Daragmeh et al., 2021; Ojo et al., 2022). Dompet digital adalah aplikasi elektronik yang digunakan untuk bertransaksi tanpa melibatkan uang fisik dan tanpa menggunakan kartu, hanya dengan perangkat untuk melakukan pembayaran dan mengisi saldo (Daragmeh et al., 2021; Sasongko et al., 2022; Yang et al., 2021). Di Thailand, dompet digital yang terkenal adalah Worldcoin. Perempuan dan generasi muda yang lebih sering menggunakan dompet digital (Kraiwanit et al., 2023). Zaid Kilani dkk. (2023) membahas penggunaan dompet digital di Yordania. Bank Sentral Yordania mengakui beberapa dompet elektronik, termasuk Aya Wallet, MEPS, EMP, dan eFAWATEERcom. Menurut Bhatia-Kalluri dan Caraway (2023), Paytm, layanan dompet elektronik populer di India, menawarkan berbagai metode pembayaran, termasuk solusi pembayaran unik berbasis kode QR. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, dompet digital merupakan layanan sistem pembayaran yang diawasi langsung dan tidak langsung oleh Bank Indonesia di mana di antara larangan bagi penyelenggaranya adalah memiliki dan/atau mengelola nilai uang yang digunakan di luar lingkup penyedia jasa sistem pembayaran (Indonesia, 2016). Dompet digital ini dapat menampung dana dan melakukan pembayaran dengan praktis, nyaman, dengan waktu transaksi efisien, serta pembayaran lebih cepat dan mudah. Jenis dompet digital yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah e-money Ovo, Gopay, Linkaja, dan Mandiri. Pemanfaatan dompet digital pun beragam, ada yang digunakan untuk belanja online, membayar jasa transportasi, membayar jasa pesan-antar makanan, dan berbagai kebutuhan sehari-hari (Widayat et al., 2020). Ovo dan Shopeepay merupakan dompet digital yang sering digunakan untuk keperluan belanja online (Budiarani et al., 2021). Penggunaan dompet digital merupakan hal yang lumrah dalam transaksi online. Platform ini menawarkan diskon dan hadiah untuk mendorong loyalitas pengguna (Yudha Kurniawan dkk., 2022; Bagla dan Sancheti, 2018). Kajian kritis terkait dompet digital berkisar membahas empat hal, yaitu: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan dompet digital seperti yang diteliti oleh Aji dkk. (2020); Ariffin dkk. (2021); Daragmeh dkk. (2021); Yang dkk. (2021), (2) faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas pengguna dan dompet digital, termasuk nilai yang dirasakan, keamanan yang dirasakan, kepercayaan, promosi penjualan seperti yang telah diteliti oleh Kurnia et al. (2023); Yeoh (2022), (3) dampak pengaruh penggunaan dompet digital terhadap perilaku konsumtif sebagaimana diteliti oleh Almukhlisah dkk. (2023), (4) mengukur kepuasan pelanggan terhadap kualitas layanan dompet digital meliputi Model Kano, seperti dijelaskan oleh Budiarani et al. (2021). Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan pemahaman pandangan hukum Islam mengenai akad pada dompet digital di Indonesia. Umat Islam memperhatikan masalah hukum Islam untuk menghindari melakukan aktivitas terlarang. Namun ketidakjelasan permasalahan hukum ini berdampak pada penggunaan diskon dan cashback yang ditawarkan konsumen saat berbelanja melalui dompet digital. Untuk mengatasi kesenjangan ini, penelitian ini menganalisis berbagai akad, yaitu wadi’ah (penitipan uang), qarḍ (pinjaman), ijarah (pembayaran layanan), atau ṣarf (penukaran uang), terkait dengan uang yang disimpan dalam dompet digital. Penelitian tersebut mempunyai implikasi signifikan terhadap kemajuan ekonomi dan budaya konsumeris masyarakat. Ini akan menyimpulkan perspektif hukum Islam tentang penggunaan atau penolakan dompet digital, tanpa keraguan.   2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuan untuk memahami hukum Islam mengenai dompet digital. Empat jenis akad–wadi’ah (penitipan uang), qardh (pinjaman), ijarah (pembayaran jasa), dan sharf (penukaran uang)–akan dikaji secara rinci menggunakan buku-buku fikih klasik dan kontemporer. Referensi tersebut akan membantu menjelaskan ketentuan masing-masing akad, yang kemudian akan dibandingkan dengan peraturan formal dari Bank Sentral Indonesia mengenai dompet digital. Penjelasan hukum fikih dan aturan formal dapat menentukan akad yang sesuai dari keempat akad tersebut di atas. Selain itu, penelitian ini akan membantu untuk memahami hukum Islam mengenai penggunaan diskon dan cashback yang diperoleh saat melakukan pembayaran dengan uang elektronik di dompet digital.   3. Hasil dan Diskusi Dompet digital, juga dikenal sebagai dompet elektronik, adalah metode pembayaran digital yang memungkinkan pengguna menyimpan dan bertransaksi uang secara elektronik menggunakan aplikasi ponsel pintar. Keuntungan utama menggunakan e-wallet adalah memungkinkan masyarakat melakukan pembelian dengan mudah dan cepat tanpa membawa uang tunai atau kartu kredit. Artinya, pengguna tidak perlu khawatir kehilangan uang atau kartu kreditnya, dan beberapa aplikasi dompet elektronik juga menawarkan fitur keamanan tambahan seperti verifikasi sidik jari atau PIN untuk melindungi akun pengguna. Selain itu, banyak aplikasi dompet digital menawarkan promosi dan diskon kepada penggunanya, yang dapat membantu mereka menghemat uang atau menerima manfaat seperti cashback atau reward points. Beralih ke sistem non-tunai juga memungkinkan pengguna untuk melacak dan mengelola pengeluaran mereka dengan lebih baik, karena aplikasi e-wallet seringkali menyediakan fitur untuk melihat riwayat transaksi dan mengkategorikan pengeluaran. Hal ini dapat membantu pengguna mengelola keuangan mereka dengan lebih baik dan membuat perencanaan dengan lebih efektif (Daragmeh et al., 2021; Widayat et al., 2020). Selama pandemi COVID-19, dompet elektronik telah menjadi alternatif pembayaran yang lebih aman tanpa berinteraksi secara fisik dengan uang tunai atau orang lain. Hal ini membantu mencegah penyebaran virus melalui kontak fisik dengan uang kertas atau koin (Yunoh et al., 2023). Penting untuk dicatat bahwa manfaat dari penggunaan non-tunai dapat bervariasi tergantung pada negara, platform dompet elektronik yang digunakan, dan preferensi individu (Chelvarayan et al., 2022). Menurut Ariffin dkk. (2021), salah satu keuntungan menggunakan e-wallet adalah insentif yang ditawarkan, seperti diskon dan cashback. Diskon dapat memberikan keuntungan finansial kepada pengguna dengan menawarkan harga yang lebih rendah atau pengurangan biaya, sementara cashback memberikan insentif kepada pengguna untuk terus menggunakan dompet elektronik dan memberikan keuntungan finansial tambahan. Menurut Yang dkk. (2021), di Indonesia, tiga e-wallet terbukti stabil dan populer: Go-Pay, OVO, dan DANA. OVO telah menjalin kemitraan dengan Grab, layanan ride-hailing terbesar di Asia Tenggara, dan Tokopedia, pemain terkemuka di pasar e-commerce Indonesia. Kemitraan ini telah membantu OVO untuk terus berkembang. Sementara DANA yang diperkenalkan pada tahun 2018 berhasil meningkatkan popularitasnya dan menggantikan Linkaja di peringkat ketiga pada kuartal kedua tahun 2019. Go-Pay, OVO, dan DANA berhasil mengintegrasikan layanan pembayaran dari bank-bank milik negara sehingga berkontribusi terhadap stabilitasnya. di pasar e-wallet Indonesia. Berikut empat akad yang dapat dijadikan akad isi ulang dompet digital: qardh, wadi’ah, ijarah madhfu’ah muqaddaman, dan sharf.   Qardh Qard secara etimologi berarti memotong, memakan, menggigit. Al-qardh sendiri berarti pinjaman (Munawwir, 1997, p. 1108). Qardh disebut seperti itu karena muqridh (da’in, kreditur) yang memberikan pinjaman harta memotong potongan harta untuk diserahkan kepada muqtaridh (madin, debitur) (Al-Anshari, 2000, p. 2/140; Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Qardh secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Dalam Takmilah Al-Majmu’, Muhammad Najib Al-Muthi’i berkata tentang akad qardh adalah, وهو أن يقول ملكتك هذا على أن ترد على بدله فإن قال ملكتك ولم يذكر البدل كان هبة، “Seseorang mengatakan, saya menyerahkan kepadamu dan nantinya akan ada pengganti. Jika yang disebutkan, saya menyerahkan kepadamu dan tidak menyebutkan adanya pengganti, maka hukumnya menjadi hibah.” (Al-Muthi’i, 2006, pp. 12/206-207) Dalam Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib dan Fath Al-Wahhab bi Syarh Minhaj Ath-Thullab, Zakaria bin Muhammad Al-Anshari rahimahullah (1420 – 1520 Masehi) berkata, الْإِقْرَاضِ وهو تَمْلِيكُ الشَّيْءِ على أَنْ يُرَدَّ بَدَلُهُ “Iqradh (qardh) adalah memiliki sesuatu dan nantinya akan diberikan penggantinya.” (Al-Anshari, 2000, p. 2/140; 2016, p. 307). Pengertian yang serupa juga disebutkan oleh Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Malibari (1531 – 1618 Masehi) rahimahullah dalam Fath Al-Mu’in (Al-Malibari, 2022, p. 384). Dalam I’anatu Ath-Tholibin, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatho Ad-Dimyathi rahimahullah (1849 – 1893 Masehi) berkata, والمراد أنه في حكم القرض في وجوب رد المثل “Yang dimaksud dengan hukum qardh, wajib dikembalikan dengan nilai yang semisal.” (Ad-Dimyathi, 1997, p. 3/61) Dalam Al-Asybah wa An-Nazhair, Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman As-Suyuthi rahimahullah (1445 – 1505 Masehi) berkata, من صيغ القرض: ملكتكه على أن ترد بدله “Di antara ucapan akad qardh adalah aku memilikinya dan penggantinya yang dikembalikan.” (As-Suyuthi, p. 1/101) Dalam As-Siraj Al-Wahaj, Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawi rahimahullah berkata, الاقراض بمعنى الاعطاء والتمليك للشيء على أن يرد بدل “Al-iqradh bermakna memberi dan memiliki sesuatu dan penggantinya yang dikembalikan.” (Al-Ghamrawi, p. 1/210) Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji disebutkan mengenai pengertian al-qardh adalah, تمليك شيء مالي للغير على أن يردّ بدله من غير زيادة “Suatu harta yang diserahkan kepada yang lain dengan menuntut adanya pengganti, tetapi tidak boleh ada tambahan.” (Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, دَفْعُ مَالٍ إِرْفَاقًا لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيُرَدُّ بَدَلُهُ “Menyerahkan harta pada orang yang mengambil manfaatnya dalam rangka berbuat baik (menolong) dan penggantinya yang dikembalikan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 2012, p. 33/111) Nama lain dari qardh adalah salaf, sebagaimana disebut oleh penduduk Hijaz (Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Hukum qardh adalah boleh (jaiz). Seseorang boleh meminta qardh (pinjaman) ketika ia membutuhkannya. Bahkan yang dimintai qardh (pinjaman) disunnahkan (dianjurkan) untuk membantunya. Dalil qardh dari Al-Qur’an Al-Karim adalah firman Allah Ta’ala, مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 245) مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥ وَلَهُۥٓ أَجْرٌ كَرِيمٌ “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11) إِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 18) إِن تُقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. At-Taghabun: 17) وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا “Dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (QS. Al-Muzammil: 20) Dalil qardh dari hadits adalah dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً “Muslim mana saja yang meminjamkan muslim lainnya utang sebanyak dua kali, maka itu sama dengan sedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah, no. 2430. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif). Hadits di atas dikuatkan dengan hadits, عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ “، قَالَ: ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ “، قُلْتُ: سَمِعْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ تَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ “، ثُمَّ سَمِعْتُكَ تَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ “، قَالَ لَهُ: ” بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ ‌يَحِلَّ ‌الدَّيْنُ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ») Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Barang siapa memberi penangguhan pada orang yang kesusahan, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Buraidah berkata, ‘Kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah dua kali senilai piutangnya setiap harinya.’ Aku berkata: aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi penangguhan pada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia mendapat pahala sedekah setiap harinya sebelum utang jatuh tempo. Jika telah jatuh tempo, lantas masih memberikan tenggang waktu, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’” (HR. Ahmad, 5:360. Sanad hadits ini sahih sesuai syarat Muslim, perawi-perawinya tsiqqah (terpercaya), termasuk perawi Syaikhain selain Sulaiman bin Buraidah, ia adalah perawi Muslim). Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah (1002 – 1083 Masehi) menyatakan, وَيَجِبُ عَلَى المسْتَقْرِض رَدُّ المثْلِ فِيْمَا لَهُ مِثْل، لِاَنَّ مُقْتَضَى القَرْض رَدُّ المِثْل “Wajib bagi yang meminjam mengembalikan utang seperti awal jika memiliki yang sepadan karena berutang itu wajib mengembalikan yang semisal.” (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/189). Muhammad Najib Al-Muthi’i rahimahullah dalam penyempunaan kitab Al-Majmu’ menjelaskan bahwa jika ada yang meminjam sesuatu seperti biji-bijian, minyak, dirham, atau dinar, ia wajib mengembalikan dengan yang semisal karena itu lebih mendekati. Hal ini berbeda jika meminjam sesuatu yang tidak ada yang sepadan dengannya seperti baju, hewan, maka ada beda pendapat dalam hal ini. Ada pendapat yang memerintahkan mengembalikan dengan yang senilai (Al-Muthi’i, 2006, p. 12/215). Ibnu Taimiyah rahimahullah (1262 – 1327 Masehi) dalam Majmu’ah Al-Fatawa menyatakan, القَرْضُ مُوْجِبُهُ رَدُّ المِثْلِ “Berutang itu diwajibkan mengembalikan yang semisal.” (Al-Harrani, 2011, pp. 29/52, 30/84) Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyebutkan, الْقَرْضِ فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ فِيهِ إلَّا رَدُّ الْمِثْلِ بِلَا زِيَادَةٍ “Utang piutang haruslah dikembalikan semisal tanpa ada tambahan.” (Al-Harrani, 2011, p. 29/535) Yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, أَنَّهُ فِي الْقَرْضِ يَجِبُ فِيهِ رَدُّ الْمِثْلِ وَإِذَا اقْتَرَضَ حَيَوَانًا رَدَّ مِثْلَهُ “Utang piutang mesti dikembalikan dengan yang semisal. Jika yang dipinjam adalah hewan, maka dikembalikan yang semisal pula.” (Al-Harrani, 2011, p. 20/563) Sebagaimana diterangkan dalam kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, hukum yang berkenaan dengan qardh adalah: (1) qardh menjadi sempurna jika sudah terjadi pemindahan kepemilikan harta, lantas pihak debitur (muqtaridh, yang diberi pinjaman) boleh memanfaatkannya semaunya; (2) pihak kreditur (muqridh, yang memberi pinjaman) boleh meminta kepada debitur (muqtaridh) untuk membayar pinjaman pada waktu kapan pun setelah adanya qabdh (penyerahan) harta pada debitur, baik ditetapkan waktu tertentu ataukah tidak, (3) debitur (muqtaridh) hendaklah mengembalikan pinjaman dengan yang semisal; (4) jika pihak kreditur (muqridh) tidak mensyaratkan tambahan dalam pinjaman, maka seperti itu boleh; (5) jika pihak kreditur (muqridh) mensyaratkan adanya tambahan dalam pengembalian pinjaman atau mensyaratkan dikembalikan dengan lebih bagus, akad tersebut tidaklah sah karena setiap pinjaman yang ada manfaat di dalamnya termasuk riba. Utang piutang sejatinya termasuk membantu dan menolong, bukan mencari untung (Az-Zuhaili, 2015, pp. 3/169-174). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad qardh, uang yang disetorkan dimiliki oleh perusahaan dompet digital melalui skema peminjaman. Uang ini diwujudkan dalam saldo uang elektronik. Perusahaan tersebut dapat menggunakan uang pengguna dan berkomitmen untuk mengembalikannya kapan pun pengguna membutuhkannya. Jika akadnya adalah qardh, pengguna dompet digital tidaklah boleh mendapatkan manfaat diskon karena termasuk keuntungan yang diperoleh pihak kreditur (muqridh).   Wadiah Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Lebih jelasnya, pengertian wadiah secara etimologi adalah meninggalkan sesuatu pada orang lain dan memintanya untuk menjaganya. Adapun pengertian wadiah secara istilah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad wadiah, uang disetorkan melalui top up merupakan titipan dari pengguna kepada perusahaan dompet digital yang bisa diambil kapan pun. Uang ini tidak boleh digunakan oleh pihak perusahaan. Uang ini tidak wajib dikembalikan jika terjadi kejadian yang bukan merupakan kesalahan dari perusahaan dompet digital.   Ijarah Ijarah secara etimologi adalah istilah untuk sesuatu yang disewakan pada orang yang melakukan sesuatu sebagai bagian dari pekerjaan. Ajr adalah istilah untuk balasan di akhirat. Ujrah adalah istilah untuk balasan di dunia (Al-Khin et al., 2009, p. 121). Ijarah secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Dalam Nihayah Az-Zain, Imam bin ‘Umar Nawawi Al-Jawi rahimahullah (1813 – 1897 Masehi) berkata, الإجارة هي عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم “Akad kemanfaatan yang dituju dan sudah tertentu sebagai timbal balik dari adanya bayaran tertentu.” (Nawawi, 2002, p. 252). Hal yang sama juga disampaikah oleh Al-Ghazzi (2023, p. 393) dan Asy-Syathiri (2020, p. 178) Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, ijarah adalah, بَيْعُ عَمَلٍ تَكُونُ الْعَيْنُ فِيهِ تَبَعًا “Jual beli atas suatu pekerjaan, sedangkan barang hanya ikutan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 2012, p. 3/326) Ijarah ini dibolehkan karena kebutuhan untuk memanfaatkan tempat, peralatan, dan lain sebagainya. Ijarah itu sah dalam jual beli manfaat pada barang tertentu, misal ijarah (menyewa) rumah untuk tempat tinggal, ijarah (membayar upah) menyusui dari seorang wanita, ijarah seseorang untuk haji atau untuk jual beli, dan ijarah hewan untuk ditunggangi (Asy-Syirazi, 2021, p. 444). Tentang ijarah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Bila mereka menyusui anak-anak mereka dari kalian dengan upah, maka bayarlah upah mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6) Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, sahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan. Ijarah harus dengan syarat waktu tertentu, tidak bisa ijarah itu tanpa batasan waktu. Asalnya upah ijarah itu segera ditunaikan, kecuali ada syarat penundaan. Orang yang menyewa sesuatu berarti memegang amanah. Maka ia tidak diperintahkan ganti rugi kecuali karena kecerobohannya (Hamid, 2011, p. 261). Sesuatu yang disewakan haruslah sesuatu yang punya nilai atau ada upah yang dikeluarkan seperti menyewa rumah (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/219). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad ijarah (atau ijarah madfu’ah muqaddaman, uang atau upah yang disetorkan terlebih dahulu), maka uang yang disetorkan menjadi saldo top up, selanjutnya digunakan untuk membeli jasa tertentu yang dihadirkan oleh perusahaan yang sama dengan perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi dengannya.   Sharf Sharf merupakan bagian dari akad buyu’ (jual beli), termasuk jual beli ribawiyah di mana ada syarat dan aturan tersendiri yang mesti dipenuhi. Sharf secara etimologi memiliki beberapa makna, yaitu (1) tambahan, (2) menolak, (3) memindahkan (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/126). Sharf secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Menurut Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, sharf adalah, بيع النقد بالنقد من جنسه أوغير جنسه “Pertukaran uang dengan uang atau uang dengan lainnya yang beda jenis.” (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/126). Menurut Syaikh Dr. ‘Abdurrahman bin Humud Al-Mathiri dalam kitab Fiqh Al-Mua’amalat Al-Maliyyah Al-Muyassar, sharf adalah, بيع نقد بنقد سواء اتحاد الجنس أو اختلف “Menukar uang dengan uang, baik sama atau berbeda jenis.” (Al-Mathiri, 2018, p. 161). Kalimat yang sama juga disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih dalam Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat(Al-Musyaiqih, 2012, p. 77). Hukum akad sharf adalah boleh sebagaimana hukum jual beli secara umum (Al-Khin et al., 2009, p. 3/83). Dalil syari yang membicarakan tentang sharf adalah sebagai berikut. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, burr (gandum) dijual dengan gandum, sya’ir (gandum kualitas rendah) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1584) Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, burr (gandum) dijual dengan gandum, sya’ir (gandum kualitas rendah) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim, no. 1587) Aturan tukar menukar barang ribawi: Menukar emas dan emas, juga perak dan perak, harus: (1) mutamatsilan (sama jumlah) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat). Menukar emas dan perak, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan (haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah). Menukar sesama makanan yang sejenis, harus: (1) mutamatsilan (sama jumlah) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat). Menukar makanan dengan yang beda jenis, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan(haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah). (Al-Bajuri, 2020, pp. 2/609-610; Al-Ghazzi, 2023, p. 333; Hamid, 2011, p. 218) Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad sharf, saldo top up dari pengguna dimiliki oleh perusahaan dompet digital lalu ditukar dengan saldo uang digital yang diterbitkan oleh perusahaan dompet digital dengan izin dari otoritas terkait.   Tinjauan terhadap dana yang disetorkan dari sudut pandang hukum formal Hakikat dana yang disetor telah disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik, Pasal 1 angka 3 bahwa  uang elektornik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut: (a) diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit; (b) nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan (c) nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. Sedangkan di angka 4 disebutkan bahwa nilai uang elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor telah disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 49 angka 1 bahwa dana float hanya dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban Penerbit kepada Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa, dan dilarang digunakan untuk kepentingan lain. Risiko saldo hilang dibahas dalam website bi.go.id bahwa risiko uang elektronik hilang dan dapat digunakan oleh pihak lain, karena prinsipnya uang elektronik sama seperti uang tunai yang apabila hilang tidak dapat diklaim kepada penerbit. Izin usaha perusahaan dompet digital dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia no. 20/6/PBI/2018 Pasal 5 dan 6 bahwa permohonan izin sebagai penyelenggara diajukan berdasarkan pengelompokkan penyelenggara jasa sistem pembayaran. Tujuan top up saldo pada dompet digital lebih mengarah kepada definisi alat pembayaran dibandingkan kepada penyimpanan dana maupun pembelian jasa di depan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 4 bahwa nilai uang elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Juga terdapat batas maksimal saldo yang tersimpan dalam dompet digital sebagaimana diterangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 45 bahwa batas nilai uang elektronik yang dapat disimpan untuk Uang Elektronik unregistered paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah); dan untuk Uang Elektronik registered paling banyakRp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Adapun batas nilai transaksi Uang Elektronik dalam 1 (satu) bulan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Kenyataan dari pengguna bahwa dipastikan sebagian besar pengguna melakukan top up saldo secukupnya saja untuk membantu mempermudah transaksi sehari-hari. Saldo yang tersimpan bukan ditujukan untuk ditarik kembali (meskipun bisa dan penarikan ini bukan akad utama), sehingga definisi qardh dan wadiah kurang sesuai. Kaidah fikih menyebutkan, العِبْرَةُ فِي العُقُوْدِ بِالمَقَاصِدِ وَالمَعَانِي، لاَ بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي “Yang dianggap di dalam akad adalah maksud-maksud dan maknanya, bukan dilihat dari lafaz atau bentuk perkataan.” Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 61 disebutkan bahwa penerbit dilarang menerbitkan Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik yang lebih besar atau lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan kepada Penerbit. Nilai uang yang disetorkan ke dalam Uang Elektronik harus dapat digunakan atau ditransaksikan seluruhnya sampai bersaldo nihil. Dari keempat akad di atas, ada beberapa poin penting yang perlu ditinjau, yaitu: (1) hakikat dana disetor dan saldo digital, (2) yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor, (3) risiko saldo hilang, (4) izin usaha perusahaan dompet digital, (5) tujuan top up saldo. Kelima poin di atas dapat diringkas dalam tabel 1 berikut.   Tabel 1 : Dompet digital dari berbagai tinjauan Tinjauan Qardh Wadiah Ijarah Madfuah Muqaddaman Sharf Hakikat dana yang disetor dan saldo Utang di mana perusahaan dompet digital wajib mengembalikan dana yang disetorkan apa pun keadaannya Dana titipan di mana perusahaan dompet digital wajib mengembalikan dana ketika diminta kecuali dalam kejadian yang menyebabkan kerugian yang bukan merupakan kesalahan perusahaan dompet digital Nilai jasa untuk mengganti jasa perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi dengan wajib menghadirkan jasa yang dijanjikan ketika diminta Instrumen pembayaran elektronik di mana perusahaan dompet digital menukarkan dana yang disetor dengan saldo digital yang diterbitkan perusahaan dompet digital dengan izin BI Yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor Boleh digunakan untuk hal apa pun Tidak boleh digunakan, hanya boleh disimpan Boleh digunakan untuk hal apa pun Saldo elektronik tidak boleh digunakan Risiko saldo hilang Ditanggung oleh perusahaan dompet digital apa pun keadaannya Ditanggung oleh pengguna kecuali jika perusahaan dompet digital melakukan kesengajaan atau kelalaian Tanggung jawab perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi Saldo elektronik ditanggung oleh pengguna kecuali jika terjadi kesengajaan atau kelalaian dari perusahaan dompet digital Izin usaha perusahaan Lembaga keuangan yang memiliki izin menghimpun dana dari masyarakat Lembaga keuangan Perusahaan jasa Penerbit uang elektronik Tujuan top up saldo Menyimpan dana Menyimpan dana Mendapatkan jasa Membantu proses pembayaran   Sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI), penambahan dana ke dompet digital dinilai lebih dekat dengan akad sharf dibandingkan tiga akad lainnya. Akad sharf mengacu pada konversi uang yang ditransfer ke perusahaan dompet digital menjadi uang elektronik atau saldo elektronik. Pengisian saldo di dompet digital biasanya dilakukan untuk memudahkan proses pembayaran, bukan untuk menyimpan dana, karena kecil kemungkinan dana di dompet digital disimpan dalam jumlah besar melebihi 10 juta rupiah. Pengguna bertanggung jawab atas saldo elektronik mereka, bukan perusahaan dompet digital. Apalagi sesuai PBI, perusahaan dompet digital tidak diperbolehkan menggunakan saldo tersebut.   4. Kesimpulan dan Saran Sesuai Peraturan Bank Indonesia, layanan pengisian dompet digital dan transaksi yang paling dekat adalah melalui akad sharf. Ketika pengguna menambahkan uang ke dompet digital mereka, uang tersebut diubah menjadi data elektronik yang dikenal sebagai uang elektronik. Uang tersebut sama dengan uang rupiah. Hal ini sama seperti penukaran rupiah ke dollar, ringgit, dan riyal. Artinya uang diubah menjadi data digital. Diskon, bonus, pengiriman gratis, atau uang kembali apa pun yang ditawarkan adalah hibah promosi yang bertujuan membangun ekosistem dan menarik lebih banyak pengguna. Diskon tersebut hanya berlaku bagi pengguna dompet digital dan diberikan berdasarkan transaksi jual beli, bukan berdasarkan saldo di dompet. Berbeda dengan akad qardh, seperti transaksi yang terjadi saat menyetorkan uang ke rekening bank, di mana bunga diperoleh secara otomatis tanpa ada tindakan apa pun dari pihak pengguna. Salah satu bidang penelitian yang dapat dikaji lagi adalah hukum fikih terkait transaksi yang dilakukan melalui dompet digital. Transaksi yang umum dilakukan melalui dompet digital antara lain pemesanan makanan, transportasi, pembayaran tagihan, dan pembelian pulsa. Bidang penelitian lain terkait dompet digital adalah mengkaji fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang menggunakan kesimpulan hukum lebih mutakhir. Selain itu, hal lain yang dapat dipelajari adalah apakah aset yang disimpan dalam dompet digital dapat dianggap sebagai aset digital yang berharga, yang dapat menimbulkan perselisihan kepemilikan di masa depan. Kajian-kajian ini dapat bermanfaat bagi umat Islam karena mereka perlu mengetahui apa yang halal (boleh) dan apa yang haram (dilarang) dalam menggunakan dompet digital. Seorang muslim yang bijaksana adalah yang menjauhi hukum yang tidak jelas dan bertakwa kepada Allah dengan menjauhi yang haram.   Referensi Ad-Dimyathi, S. A. B. M. S. (1997). I’anatu Ath-Tholibin ‘ala Halli Alfazhi Fathi Al-Mu’in I’anatu Ath-Tholibin ‘ala Halli Alfazhi Fathi Al-Mu’in. Mawqi’ Ya’sub. Aji, H. M., Berakon, I., & Md Husin, M. (2020). COVID-19 and e-wallet usage intention: A multigroup analysis between Indonesia and Malaysia. Cogent Business & Management, 7(1), 1804181. https://doi.org/10.1080/23311975.2020.1804181 Al-Anshari, Z. b. M. (2000). Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Dar Al-Minhaj. Al-Ghamrawi, M. A.-Z. As-Siraj Al-Wahaj. Dar Al-Ma’rifah. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath Al-Qarib Al-Mujib bi Syarh Alfazh At-Taqrib. Dar Adh-Dhiya. Al-Harrani, A. b. T. (2011). Majmu’ah Al-Fatawa. Dar Ibnu Hazm. Al-Khin, M., Al-Bugha, M., & Asy-Syirbaji, A. (2009). Al-Fiqh Al-Manhaji. Dar Al-Qalam. Al-Malibari, Z. A. b. M. A.-G. (2022). Fath Al-Mu’in. Dar Al-Fayha. Al-Mathiri, A. b. H. (2018). Fiqh Al-Mua’amalat Al-Maliyyah Al-Muyassar. Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. (2012). Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait. Al-Musyaiqih, K. b. A. b. M. (2012). Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat. Maktabah Ar-Rusyd. Al-Muthi’i, M. N. (2006). Takmilah Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syirazi. Dar Alam Al-Kutub. Almukhlisah, G. S., Wiralaga, H. K., & Iranto, D. (2023). The effect of use of e-commerce and the existence of e-wallet facilities on consumptive behavior in the milenial generation in Jakarta. CASHFLOW: CURRENT ADVANCED RESEARCH ON SHARIA FINANCE AND ECONOMIC WORLDWIDE, 2(2), 285-292. https://doi.org/10.55047/cashflow.v2i2.505 An-Nawawi, A. Z. Y. b. S. (2005). Minhaj Ath-Thalibin. Dar An-Nasyr Al-Islamiyyah. Ariffin, S. K., Abd Rahman, M. F. R., Muhammad, A. M., & Zhang, Q. (2021). Understanding the consumer’s intention to use the e-wallet services. Spanish Journal of Marketing-ESIC, 25(3), 446-461. https://doi.org/10.1108/SJME-07-2021-0138 As-Suyuthi, J. A. Al-Asybah wa An-Nazhair. Dar Al-Kutub Al-‘Imiyyah. Asy-Syathiri, A. b. U. (2020). Al-Yaqut An-Nafis fi Madzhab Ibni Idris. Dar Al-Minhaj. Asy-Syirazi, A. I. (1996). Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafii. Dar Al-Qalam. Asy-Syirazi, A. I. I. b. A. (2021). At-Tanbih fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Dar Alim Quraisy. Az-Zuhaili, M. (2015). Al-Mutamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Dar Al-Qalam. Bhatia-Kalluri, A., & Caraway, B. R. (2023). Transformation of the Digital Payment Ecosystem in India: A Case Study of Paytm. Social Inclusion, 11(3), 320-331. Budiarani, V. H., Maulidan, R., Setianto, D. P., & Widayanti, I. (2021). The kano model: How the pandemic influences customer satisfaction with digital wallet services in Indonesia. Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB), 36(1), 61-82. Chelvarayan, A., Yeo, S. F., Yi, H. H., & Hashim, H. (2022). E-wallet: a study on cashless transactions among university students. F1000Research, 11. https://doi.org/10.12688/f1000research.73545.1 Daragmeh, A., Sági, J., & Zéman, Z. (2021). Continuous intention to use e-wallet in the context of the covid-19 pandemic: Integrating the health belief model (hbm) and technology continuous theory (tct). Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 7(2), 132. https://doi.org/10.3390/joitmc7020132 Hamid, H. A.-K. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja. Dar Al-Manar. Indonesia, B. (2016). Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Jakarta: Bank Indonesia. Kraiwanit, T., Limna, P., Wattanasin, P., Asanprakit, S., & Thetlek, R. (2023). Adoption of worldcoin digital wallet in Thailand. Research in Globalization, 7, 100179. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.resglo.2023.100179 Kurnia, P. R., Pangaribuan, J. H., & Sitio, R. P. (2023). Digital wallet users in Indonesia: Factors affecting consumer satisfaction and consumer loyalty. Business Innovation and Engineering Conference, Munawwir, A. W. (1997). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (14 ed.). Pustaka Progressif. Nawawi, M. b. U. b. A. b. N. A.-J. A. A. M. t. (2002). Nihayah Az-Zain fi Irsyad Al Mubtadiin. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Ojo, A. O., Fawehinmi, O., Ojo, O. T., Arasanmi, C., & Tan, C. N.-L. (2022). Consumer usage intention of electronic wallets during the COVID-19 pandemic in Malaysia. Cogent Business & Management, 9(1), 2056964. https://doi.org/10.1080/23311975.2022.2056964 Sasongko, D. T., Handayani, P. W., & Satria, R. (2022). Analysis of factors affecting continuance use intention of the electronic money application in Indonesia. Procedia Computer Science, 197, 42-50. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.procs.2021.12.116 Widayat, W., Masudin, I., & Satiti, N. R. (2020). E-Money payment: Customers’ adopting factors and the implication for open innovation. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 6(3), 57.https://doi.org/10.3390/joitmc6030057 Yang, M., Mamun, A. A., Mohiuddin, M., Nawi, N. C., & Zainol, N. R. (2021). Cashless transactions: A study on intention and adoption of e-wallets. Sustainability, 13(2), 831. https://doi.org/10.3390/su13020831 Yeoh, G. L. (2022). Factors affecting users’ behavioural intention towards touch ‘N Go E-Wallet in Malaysia. International Journal of Applied Business and International Management (IJABIM), 7(3), 108-120. https://doi.org/10.32535/ijabim.v7i3.2069 Yunoh, M. N. M., Hashim, N. S. M., Musa, Z. C., Muhamad, M., & Bahari, N. (2023). Understanding the factors influencing the adoption of e-wallets by Malaysian youth. Telecommunication Computing Electronics and Control, 21(6), 1298-1307. https://doi.org/10.12928/telkomnika.v21i6.24082 Zaid Kilani, A. A.-H., Kakeesh, D. F., Al-Weshah, G. A., & Al-Debei, M. M. (2023). Consumer post-adoption of e-wallet: An extended UTAUT2 perspective with trust. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 9(3), 100113. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.joitmc.2023.100113 https://www.bi.go.id/id/publikasi/peraturan/Pages/pbi_184016.aspx https://www.bi.go.id/id/edukasi/Pages/Apa-itu-Uang-Elektronik.aspx   Silakan Unduh Jurnal Scopus “ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS“   Download   –   Salatiga, 19 Ramadhan 1445 H, 30 Maret 2024 Al-Faqir ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital dompet elektronik e-wallet hukum fikih hukum Islam ijarah isi ulang saldo review akad sharf transaksi keuangan utang piutang wadiah
Berikut adalah hasil kajian kami dalam jurnal yang sudah terbit di scopus Q4 pada “Journal of Research Administration” mengenai hukum Islam tentang isi saldo di dompet digital (Gopay, OVO, DANA, dkk). Silakan dikaji lebih dalam. Tulisan ini sekaligus meralat tulisan kami sebelumnya “Riba dalam e-wallet, dompet digital (Go Pay, OVO, dkk)”. Kaji Jurnal Scopus Q4: ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS   Daftar Isi tutup 1. Hukum Islam tentang Isi Ulang Saldo di Dompet Digital 2. ABSTRAK 3. 1. Pendahuluan 4. 2. Metode Penelitian 5. 3. Hasil dan Diskusi 5.1. Qardh 5.2. Wadiah 5.3. Ijarah 5.4. Sharf 5.5. Tinjauan terhadap dana yang disetorkan dari sudut pandang hukum formal 5.6. Tabel 1 : Dompet digital dari berbagai tinjauan 6. 4. Kesimpulan dan Saran 6.1. Referensi 7. Silakan Unduh Jurnal Scopus “ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS“ Hukum Islam tentang Isi Ulang Saldo di Dompet Digital   Muhammad Abduh Tuasikal Universitas Ibn Khaldun Bogor muhammad_abduhtuasikal@uika-bogor.ac.id   ABSTRAK Pendahuluan/Tujuan Utama: Penelitian ini bertujuan untuk menggali hukum Islam seputar isi ulang saldo pada dompet digital yang umum digunakan saat ini dengan membandingkannya dengan peraturan hukum formal Bank Sentral Indonesia yang menjelaskan secara detail tentang keberadaan dana simpanan. dan perusahaan dompet digital. Latar Belakang Permasalahan: Meskipun penggunaan dompet digital tersebar luas, penelitian mengenai hukum Islam terkait dompet digital masih perlu lebih luas. Umat Islam perlu mengetahui hukum Islam tentang hal ini agar dapat menggunakan dan menyimpan dana di dompet digital tanpa ragu-ragu. Kebaruan: Penelitian ini mengulas empat akad dalam hukum Islam yang belum pernah dibahas sebelumnya, yaitu wadīʻa (penitipan uang), qarḍ (pinjaman), ʼijāra (pembayaran jasa), atau ṣarf (penukaran uang). Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kajian pustaka dengan menelusuri berbagai kitab fikih klasik dan terkini. Temuan/Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa pengisian dana di dompet digital lebih dekat dengan akad sharf dibandingkan tiga akad lainnya, sesuai peraturan Bank Sentral Indonesia. Kesimpulan: Ketika pengguna menambahkan uang ke dompet digital mereka, uang tersebut diubah menjadi data elektronik, yang dikenal sebagai e-money. Penelitian yang diharapkan kedepannya adalah pembahasan hukum fiqh terkait transaksi yang dilakukan melalui dompet digital, serta dapat mengkaji hukum fiqh berdasarkan fatwa para ulama di Dewan Syariah Nasional yang fatwanya lebih mutakhir. Kata Kunci: dompet digital, e-wallet, review akad, hukum Islam, hukum fikih, transaksi keuangan, isi ulang saldo   1. Pendahuluan Dompet digital, juga dikenal sebagai dompet elektronik atau pembayaran digital, adalah aplikasi atau platform elektronik yang berfungsi sebagai pengganti dompet tradisional secara modern. Dompet ini memungkinkan pengguna untuk menyimpan, mengelola, dan melakukan berbagai transaksi keuangan dengan mudah menggunakan ponsel cerdas mereka. Sejak merebaknya pandemi Covid-19 akibat adanya tuntutan untuk menjaga jarak sosial dan mencegah penyebaran virus, penggunaan dompet digital mulai meningkat (Aji et al., 2020; Daragmeh et al., 2021; Ojo et al., 2020; Daragmeh et al., 2021; Ojo et al., 2022). Dompet digital adalah aplikasi elektronik yang digunakan untuk bertransaksi tanpa melibatkan uang fisik dan tanpa menggunakan kartu, hanya dengan perangkat untuk melakukan pembayaran dan mengisi saldo (Daragmeh et al., 2021; Sasongko et al., 2022; Yang et al., 2021). Di Thailand, dompet digital yang terkenal adalah Worldcoin. Perempuan dan generasi muda yang lebih sering menggunakan dompet digital (Kraiwanit et al., 2023). Zaid Kilani dkk. (2023) membahas penggunaan dompet digital di Yordania. Bank Sentral Yordania mengakui beberapa dompet elektronik, termasuk Aya Wallet, MEPS, EMP, dan eFAWATEERcom. Menurut Bhatia-Kalluri dan Caraway (2023), Paytm, layanan dompet elektronik populer di India, menawarkan berbagai metode pembayaran, termasuk solusi pembayaran unik berbasis kode QR. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, dompet digital merupakan layanan sistem pembayaran yang diawasi langsung dan tidak langsung oleh Bank Indonesia di mana di antara larangan bagi penyelenggaranya adalah memiliki dan/atau mengelola nilai uang yang digunakan di luar lingkup penyedia jasa sistem pembayaran (Indonesia, 2016). Dompet digital ini dapat menampung dana dan melakukan pembayaran dengan praktis, nyaman, dengan waktu transaksi efisien, serta pembayaran lebih cepat dan mudah. Jenis dompet digital yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah e-money Ovo, Gopay, Linkaja, dan Mandiri. Pemanfaatan dompet digital pun beragam, ada yang digunakan untuk belanja online, membayar jasa transportasi, membayar jasa pesan-antar makanan, dan berbagai kebutuhan sehari-hari (Widayat et al., 2020). Ovo dan Shopeepay merupakan dompet digital yang sering digunakan untuk keperluan belanja online (Budiarani et al., 2021). Penggunaan dompet digital merupakan hal yang lumrah dalam transaksi online. Platform ini menawarkan diskon dan hadiah untuk mendorong loyalitas pengguna (Yudha Kurniawan dkk., 2022; Bagla dan Sancheti, 2018). Kajian kritis terkait dompet digital berkisar membahas empat hal, yaitu: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan dompet digital seperti yang diteliti oleh Aji dkk. (2020); Ariffin dkk. (2021); Daragmeh dkk. (2021); Yang dkk. (2021), (2) faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas pengguna dan dompet digital, termasuk nilai yang dirasakan, keamanan yang dirasakan, kepercayaan, promosi penjualan seperti yang telah diteliti oleh Kurnia et al. (2023); Yeoh (2022), (3) dampak pengaruh penggunaan dompet digital terhadap perilaku konsumtif sebagaimana diteliti oleh Almukhlisah dkk. (2023), (4) mengukur kepuasan pelanggan terhadap kualitas layanan dompet digital meliputi Model Kano, seperti dijelaskan oleh Budiarani et al. (2021). Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan pemahaman pandangan hukum Islam mengenai akad pada dompet digital di Indonesia. Umat Islam memperhatikan masalah hukum Islam untuk menghindari melakukan aktivitas terlarang. Namun ketidakjelasan permasalahan hukum ini berdampak pada penggunaan diskon dan cashback yang ditawarkan konsumen saat berbelanja melalui dompet digital. Untuk mengatasi kesenjangan ini, penelitian ini menganalisis berbagai akad, yaitu wadi’ah (penitipan uang), qarḍ (pinjaman), ijarah (pembayaran layanan), atau ṣarf (penukaran uang), terkait dengan uang yang disimpan dalam dompet digital. Penelitian tersebut mempunyai implikasi signifikan terhadap kemajuan ekonomi dan budaya konsumeris masyarakat. Ini akan menyimpulkan perspektif hukum Islam tentang penggunaan atau penolakan dompet digital, tanpa keraguan.   2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuan untuk memahami hukum Islam mengenai dompet digital. Empat jenis akad–wadi’ah (penitipan uang), qardh (pinjaman), ijarah (pembayaran jasa), dan sharf (penukaran uang)–akan dikaji secara rinci menggunakan buku-buku fikih klasik dan kontemporer. Referensi tersebut akan membantu menjelaskan ketentuan masing-masing akad, yang kemudian akan dibandingkan dengan peraturan formal dari Bank Sentral Indonesia mengenai dompet digital. Penjelasan hukum fikih dan aturan formal dapat menentukan akad yang sesuai dari keempat akad tersebut di atas. Selain itu, penelitian ini akan membantu untuk memahami hukum Islam mengenai penggunaan diskon dan cashback yang diperoleh saat melakukan pembayaran dengan uang elektronik di dompet digital.   3. Hasil dan Diskusi Dompet digital, juga dikenal sebagai dompet elektronik, adalah metode pembayaran digital yang memungkinkan pengguna menyimpan dan bertransaksi uang secara elektronik menggunakan aplikasi ponsel pintar. Keuntungan utama menggunakan e-wallet adalah memungkinkan masyarakat melakukan pembelian dengan mudah dan cepat tanpa membawa uang tunai atau kartu kredit. Artinya, pengguna tidak perlu khawatir kehilangan uang atau kartu kreditnya, dan beberapa aplikasi dompet elektronik juga menawarkan fitur keamanan tambahan seperti verifikasi sidik jari atau PIN untuk melindungi akun pengguna. Selain itu, banyak aplikasi dompet digital menawarkan promosi dan diskon kepada penggunanya, yang dapat membantu mereka menghemat uang atau menerima manfaat seperti cashback atau reward points. Beralih ke sistem non-tunai juga memungkinkan pengguna untuk melacak dan mengelola pengeluaran mereka dengan lebih baik, karena aplikasi e-wallet seringkali menyediakan fitur untuk melihat riwayat transaksi dan mengkategorikan pengeluaran. Hal ini dapat membantu pengguna mengelola keuangan mereka dengan lebih baik dan membuat perencanaan dengan lebih efektif (Daragmeh et al., 2021; Widayat et al., 2020). Selama pandemi COVID-19, dompet elektronik telah menjadi alternatif pembayaran yang lebih aman tanpa berinteraksi secara fisik dengan uang tunai atau orang lain. Hal ini membantu mencegah penyebaran virus melalui kontak fisik dengan uang kertas atau koin (Yunoh et al., 2023). Penting untuk dicatat bahwa manfaat dari penggunaan non-tunai dapat bervariasi tergantung pada negara, platform dompet elektronik yang digunakan, dan preferensi individu (Chelvarayan et al., 2022). Menurut Ariffin dkk. (2021), salah satu keuntungan menggunakan e-wallet adalah insentif yang ditawarkan, seperti diskon dan cashback. Diskon dapat memberikan keuntungan finansial kepada pengguna dengan menawarkan harga yang lebih rendah atau pengurangan biaya, sementara cashback memberikan insentif kepada pengguna untuk terus menggunakan dompet elektronik dan memberikan keuntungan finansial tambahan. Menurut Yang dkk. (2021), di Indonesia, tiga e-wallet terbukti stabil dan populer: Go-Pay, OVO, dan DANA. OVO telah menjalin kemitraan dengan Grab, layanan ride-hailing terbesar di Asia Tenggara, dan Tokopedia, pemain terkemuka di pasar e-commerce Indonesia. Kemitraan ini telah membantu OVO untuk terus berkembang. Sementara DANA yang diperkenalkan pada tahun 2018 berhasil meningkatkan popularitasnya dan menggantikan Linkaja di peringkat ketiga pada kuartal kedua tahun 2019. Go-Pay, OVO, dan DANA berhasil mengintegrasikan layanan pembayaran dari bank-bank milik negara sehingga berkontribusi terhadap stabilitasnya. di pasar e-wallet Indonesia. Berikut empat akad yang dapat dijadikan akad isi ulang dompet digital: qardh, wadi’ah, ijarah madhfu’ah muqaddaman, dan sharf.   Qardh Qard secara etimologi berarti memotong, memakan, menggigit. Al-qardh sendiri berarti pinjaman (Munawwir, 1997, p. 1108). Qardh disebut seperti itu karena muqridh (da’in, kreditur) yang memberikan pinjaman harta memotong potongan harta untuk diserahkan kepada muqtaridh (madin, debitur) (Al-Anshari, 2000, p. 2/140; Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Qardh secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Dalam Takmilah Al-Majmu’, Muhammad Najib Al-Muthi’i berkata tentang akad qardh adalah, وهو أن يقول ملكتك هذا على أن ترد على بدله فإن قال ملكتك ولم يذكر البدل كان هبة، “Seseorang mengatakan, saya menyerahkan kepadamu dan nantinya akan ada pengganti. Jika yang disebutkan, saya menyerahkan kepadamu dan tidak menyebutkan adanya pengganti, maka hukumnya menjadi hibah.” (Al-Muthi’i, 2006, pp. 12/206-207) Dalam Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib dan Fath Al-Wahhab bi Syarh Minhaj Ath-Thullab, Zakaria bin Muhammad Al-Anshari rahimahullah (1420 – 1520 Masehi) berkata, الْإِقْرَاضِ وهو تَمْلِيكُ الشَّيْءِ على أَنْ يُرَدَّ بَدَلُهُ “Iqradh (qardh) adalah memiliki sesuatu dan nantinya akan diberikan penggantinya.” (Al-Anshari, 2000, p. 2/140; 2016, p. 307). Pengertian yang serupa juga disebutkan oleh Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Malibari (1531 – 1618 Masehi) rahimahullah dalam Fath Al-Mu’in (Al-Malibari, 2022, p. 384). Dalam I’anatu Ath-Tholibin, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatho Ad-Dimyathi rahimahullah (1849 – 1893 Masehi) berkata, والمراد أنه في حكم القرض في وجوب رد المثل “Yang dimaksud dengan hukum qardh, wajib dikembalikan dengan nilai yang semisal.” (Ad-Dimyathi, 1997, p. 3/61) Dalam Al-Asybah wa An-Nazhair, Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman As-Suyuthi rahimahullah (1445 – 1505 Masehi) berkata, من صيغ القرض: ملكتكه على أن ترد بدله “Di antara ucapan akad qardh adalah aku memilikinya dan penggantinya yang dikembalikan.” (As-Suyuthi, p. 1/101) Dalam As-Siraj Al-Wahaj, Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawi rahimahullah berkata, الاقراض بمعنى الاعطاء والتمليك للشيء على أن يرد بدل “Al-iqradh bermakna memberi dan memiliki sesuatu dan penggantinya yang dikembalikan.” (Al-Ghamrawi, p. 1/210) Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji disebutkan mengenai pengertian al-qardh adalah, تمليك شيء مالي للغير على أن يردّ بدله من غير زيادة “Suatu harta yang diserahkan kepada yang lain dengan menuntut adanya pengganti, tetapi tidak boleh ada tambahan.” (Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, دَفْعُ مَالٍ إِرْفَاقًا لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيُرَدُّ بَدَلُهُ “Menyerahkan harta pada orang yang mengambil manfaatnya dalam rangka berbuat baik (menolong) dan penggantinya yang dikembalikan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 2012, p. 33/111) Nama lain dari qardh adalah salaf, sebagaimana disebut oleh penduduk Hijaz (Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Hukum qardh adalah boleh (jaiz). Seseorang boleh meminta qardh (pinjaman) ketika ia membutuhkannya. Bahkan yang dimintai qardh (pinjaman) disunnahkan (dianjurkan) untuk membantunya. Dalil qardh dari Al-Qur’an Al-Karim adalah firman Allah Ta’ala, مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 245) مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥ وَلَهُۥٓ أَجْرٌ كَرِيمٌ “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11) إِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 18) إِن تُقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. At-Taghabun: 17) وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا “Dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (QS. Al-Muzammil: 20) Dalil qardh dari hadits adalah dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً “Muslim mana saja yang meminjamkan muslim lainnya utang sebanyak dua kali, maka itu sama dengan sedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah, no. 2430. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif). Hadits di atas dikuatkan dengan hadits, عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ “، قَالَ: ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ “، قُلْتُ: سَمِعْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ تَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ “، ثُمَّ سَمِعْتُكَ تَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ “، قَالَ لَهُ: ” بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ ‌يَحِلَّ ‌الدَّيْنُ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ») Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Barang siapa memberi penangguhan pada orang yang kesusahan, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Buraidah berkata, ‘Kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah dua kali senilai piutangnya setiap harinya.’ Aku berkata: aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi penangguhan pada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia mendapat pahala sedekah setiap harinya sebelum utang jatuh tempo. Jika telah jatuh tempo, lantas masih memberikan tenggang waktu, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’” (HR. Ahmad, 5:360. Sanad hadits ini sahih sesuai syarat Muslim, perawi-perawinya tsiqqah (terpercaya), termasuk perawi Syaikhain selain Sulaiman bin Buraidah, ia adalah perawi Muslim). Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah (1002 – 1083 Masehi) menyatakan, وَيَجِبُ عَلَى المسْتَقْرِض رَدُّ المثْلِ فِيْمَا لَهُ مِثْل، لِاَنَّ مُقْتَضَى القَرْض رَدُّ المِثْل “Wajib bagi yang meminjam mengembalikan utang seperti awal jika memiliki yang sepadan karena berutang itu wajib mengembalikan yang semisal.” (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/189). Muhammad Najib Al-Muthi’i rahimahullah dalam penyempunaan kitab Al-Majmu’ menjelaskan bahwa jika ada yang meminjam sesuatu seperti biji-bijian, minyak, dirham, atau dinar, ia wajib mengembalikan dengan yang semisal karena itu lebih mendekati. Hal ini berbeda jika meminjam sesuatu yang tidak ada yang sepadan dengannya seperti baju, hewan, maka ada beda pendapat dalam hal ini. Ada pendapat yang memerintahkan mengembalikan dengan yang senilai (Al-Muthi’i, 2006, p. 12/215). Ibnu Taimiyah rahimahullah (1262 – 1327 Masehi) dalam Majmu’ah Al-Fatawa menyatakan, القَرْضُ مُوْجِبُهُ رَدُّ المِثْلِ “Berutang itu diwajibkan mengembalikan yang semisal.” (Al-Harrani, 2011, pp. 29/52, 30/84) Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyebutkan, الْقَرْضِ فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ فِيهِ إلَّا رَدُّ الْمِثْلِ بِلَا زِيَادَةٍ “Utang piutang haruslah dikembalikan semisal tanpa ada tambahan.” (Al-Harrani, 2011, p. 29/535) Yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, أَنَّهُ فِي الْقَرْضِ يَجِبُ فِيهِ رَدُّ الْمِثْلِ وَإِذَا اقْتَرَضَ حَيَوَانًا رَدَّ مِثْلَهُ “Utang piutang mesti dikembalikan dengan yang semisal. Jika yang dipinjam adalah hewan, maka dikembalikan yang semisal pula.” (Al-Harrani, 2011, p. 20/563) Sebagaimana diterangkan dalam kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, hukum yang berkenaan dengan qardh adalah: (1) qardh menjadi sempurna jika sudah terjadi pemindahan kepemilikan harta, lantas pihak debitur (muqtaridh, yang diberi pinjaman) boleh memanfaatkannya semaunya; (2) pihak kreditur (muqridh, yang memberi pinjaman) boleh meminta kepada debitur (muqtaridh) untuk membayar pinjaman pada waktu kapan pun setelah adanya qabdh (penyerahan) harta pada debitur, baik ditetapkan waktu tertentu ataukah tidak, (3) debitur (muqtaridh) hendaklah mengembalikan pinjaman dengan yang semisal; (4) jika pihak kreditur (muqridh) tidak mensyaratkan tambahan dalam pinjaman, maka seperti itu boleh; (5) jika pihak kreditur (muqridh) mensyaratkan adanya tambahan dalam pengembalian pinjaman atau mensyaratkan dikembalikan dengan lebih bagus, akad tersebut tidaklah sah karena setiap pinjaman yang ada manfaat di dalamnya termasuk riba. Utang piutang sejatinya termasuk membantu dan menolong, bukan mencari untung (Az-Zuhaili, 2015, pp. 3/169-174). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad qardh, uang yang disetorkan dimiliki oleh perusahaan dompet digital melalui skema peminjaman. Uang ini diwujudkan dalam saldo uang elektronik. Perusahaan tersebut dapat menggunakan uang pengguna dan berkomitmen untuk mengembalikannya kapan pun pengguna membutuhkannya. Jika akadnya adalah qardh, pengguna dompet digital tidaklah boleh mendapatkan manfaat diskon karena termasuk keuntungan yang diperoleh pihak kreditur (muqridh).   Wadiah Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Lebih jelasnya, pengertian wadiah secara etimologi adalah meninggalkan sesuatu pada orang lain dan memintanya untuk menjaganya. Adapun pengertian wadiah secara istilah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad wadiah, uang disetorkan melalui top up merupakan titipan dari pengguna kepada perusahaan dompet digital yang bisa diambil kapan pun. Uang ini tidak boleh digunakan oleh pihak perusahaan. Uang ini tidak wajib dikembalikan jika terjadi kejadian yang bukan merupakan kesalahan dari perusahaan dompet digital.   Ijarah Ijarah secara etimologi adalah istilah untuk sesuatu yang disewakan pada orang yang melakukan sesuatu sebagai bagian dari pekerjaan. Ajr adalah istilah untuk balasan di akhirat. Ujrah adalah istilah untuk balasan di dunia (Al-Khin et al., 2009, p. 121). Ijarah secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Dalam Nihayah Az-Zain, Imam bin ‘Umar Nawawi Al-Jawi rahimahullah (1813 – 1897 Masehi) berkata, الإجارة هي عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم “Akad kemanfaatan yang dituju dan sudah tertentu sebagai timbal balik dari adanya bayaran tertentu.” (Nawawi, 2002, p. 252). Hal yang sama juga disampaikah oleh Al-Ghazzi (2023, p. 393) dan Asy-Syathiri (2020, p. 178) Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, ijarah adalah, بَيْعُ عَمَلٍ تَكُونُ الْعَيْنُ فِيهِ تَبَعًا “Jual beli atas suatu pekerjaan, sedangkan barang hanya ikutan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 2012, p. 3/326) Ijarah ini dibolehkan karena kebutuhan untuk memanfaatkan tempat, peralatan, dan lain sebagainya. Ijarah itu sah dalam jual beli manfaat pada barang tertentu, misal ijarah (menyewa) rumah untuk tempat tinggal, ijarah (membayar upah) menyusui dari seorang wanita, ijarah seseorang untuk haji atau untuk jual beli, dan ijarah hewan untuk ditunggangi (Asy-Syirazi, 2021, p. 444). Tentang ijarah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Bila mereka menyusui anak-anak mereka dari kalian dengan upah, maka bayarlah upah mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6) Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, sahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan. Ijarah harus dengan syarat waktu tertentu, tidak bisa ijarah itu tanpa batasan waktu. Asalnya upah ijarah itu segera ditunaikan, kecuali ada syarat penundaan. Orang yang menyewa sesuatu berarti memegang amanah. Maka ia tidak diperintahkan ganti rugi kecuali karena kecerobohannya (Hamid, 2011, p. 261). Sesuatu yang disewakan haruslah sesuatu yang punya nilai atau ada upah yang dikeluarkan seperti menyewa rumah (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/219). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad ijarah (atau ijarah madfu’ah muqaddaman, uang atau upah yang disetorkan terlebih dahulu), maka uang yang disetorkan menjadi saldo top up, selanjutnya digunakan untuk membeli jasa tertentu yang dihadirkan oleh perusahaan yang sama dengan perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi dengannya.   Sharf Sharf merupakan bagian dari akad buyu’ (jual beli), termasuk jual beli ribawiyah di mana ada syarat dan aturan tersendiri yang mesti dipenuhi. Sharf secara etimologi memiliki beberapa makna, yaitu (1) tambahan, (2) menolak, (3) memindahkan (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/126). Sharf secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Menurut Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, sharf adalah, بيع النقد بالنقد من جنسه أوغير جنسه “Pertukaran uang dengan uang atau uang dengan lainnya yang beda jenis.” (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/126). Menurut Syaikh Dr. ‘Abdurrahman bin Humud Al-Mathiri dalam kitab Fiqh Al-Mua’amalat Al-Maliyyah Al-Muyassar, sharf adalah, بيع نقد بنقد سواء اتحاد الجنس أو اختلف “Menukar uang dengan uang, baik sama atau berbeda jenis.” (Al-Mathiri, 2018, p. 161). Kalimat yang sama juga disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih dalam Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat(Al-Musyaiqih, 2012, p. 77). Hukum akad sharf adalah boleh sebagaimana hukum jual beli secara umum (Al-Khin et al., 2009, p. 3/83). Dalil syari yang membicarakan tentang sharf adalah sebagai berikut. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, burr (gandum) dijual dengan gandum, sya’ir (gandum kualitas rendah) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1584) Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, burr (gandum) dijual dengan gandum, sya’ir (gandum kualitas rendah) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim, no. 1587) Aturan tukar menukar barang ribawi: Menukar emas dan emas, juga perak dan perak, harus: (1) mutamatsilan (sama jumlah) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat). Menukar emas dan perak, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan (haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah). Menukar sesama makanan yang sejenis, harus: (1) mutamatsilan (sama jumlah) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat). Menukar makanan dengan yang beda jenis, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan(haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah). (Al-Bajuri, 2020, pp. 2/609-610; Al-Ghazzi, 2023, p. 333; Hamid, 2011, p. 218) Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad sharf, saldo top up dari pengguna dimiliki oleh perusahaan dompet digital lalu ditukar dengan saldo uang digital yang diterbitkan oleh perusahaan dompet digital dengan izin dari otoritas terkait.   Tinjauan terhadap dana yang disetorkan dari sudut pandang hukum formal Hakikat dana yang disetor telah disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik, Pasal 1 angka 3 bahwa  uang elektornik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut: (a) diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit; (b) nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan (c) nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. Sedangkan di angka 4 disebutkan bahwa nilai uang elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor telah disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 49 angka 1 bahwa dana float hanya dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban Penerbit kepada Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa, dan dilarang digunakan untuk kepentingan lain. Risiko saldo hilang dibahas dalam website bi.go.id bahwa risiko uang elektronik hilang dan dapat digunakan oleh pihak lain, karena prinsipnya uang elektronik sama seperti uang tunai yang apabila hilang tidak dapat diklaim kepada penerbit. Izin usaha perusahaan dompet digital dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia no. 20/6/PBI/2018 Pasal 5 dan 6 bahwa permohonan izin sebagai penyelenggara diajukan berdasarkan pengelompokkan penyelenggara jasa sistem pembayaran. Tujuan top up saldo pada dompet digital lebih mengarah kepada definisi alat pembayaran dibandingkan kepada penyimpanan dana maupun pembelian jasa di depan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 4 bahwa nilai uang elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Juga terdapat batas maksimal saldo yang tersimpan dalam dompet digital sebagaimana diterangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 45 bahwa batas nilai uang elektronik yang dapat disimpan untuk Uang Elektronik unregistered paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah); dan untuk Uang Elektronik registered paling banyakRp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Adapun batas nilai transaksi Uang Elektronik dalam 1 (satu) bulan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Kenyataan dari pengguna bahwa dipastikan sebagian besar pengguna melakukan top up saldo secukupnya saja untuk membantu mempermudah transaksi sehari-hari. Saldo yang tersimpan bukan ditujukan untuk ditarik kembali (meskipun bisa dan penarikan ini bukan akad utama), sehingga definisi qardh dan wadiah kurang sesuai. Kaidah fikih menyebutkan, العِبْرَةُ فِي العُقُوْدِ بِالمَقَاصِدِ وَالمَعَانِي، لاَ بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي “Yang dianggap di dalam akad adalah maksud-maksud dan maknanya, bukan dilihat dari lafaz atau bentuk perkataan.” Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 61 disebutkan bahwa penerbit dilarang menerbitkan Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik yang lebih besar atau lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan kepada Penerbit. Nilai uang yang disetorkan ke dalam Uang Elektronik harus dapat digunakan atau ditransaksikan seluruhnya sampai bersaldo nihil. Dari keempat akad di atas, ada beberapa poin penting yang perlu ditinjau, yaitu: (1) hakikat dana disetor dan saldo digital, (2) yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor, (3) risiko saldo hilang, (4) izin usaha perusahaan dompet digital, (5) tujuan top up saldo. Kelima poin di atas dapat diringkas dalam tabel 1 berikut.   Tabel 1 : Dompet digital dari berbagai tinjauan Tinjauan Qardh Wadiah Ijarah Madfuah Muqaddaman Sharf Hakikat dana yang disetor dan saldo Utang di mana perusahaan dompet digital wajib mengembalikan dana yang disetorkan apa pun keadaannya Dana titipan di mana perusahaan dompet digital wajib mengembalikan dana ketika diminta kecuali dalam kejadian yang menyebabkan kerugian yang bukan merupakan kesalahan perusahaan dompet digital Nilai jasa untuk mengganti jasa perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi dengan wajib menghadirkan jasa yang dijanjikan ketika diminta Instrumen pembayaran elektronik di mana perusahaan dompet digital menukarkan dana yang disetor dengan saldo digital yang diterbitkan perusahaan dompet digital dengan izin BI Yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor Boleh digunakan untuk hal apa pun Tidak boleh digunakan, hanya boleh disimpan Boleh digunakan untuk hal apa pun Saldo elektronik tidak boleh digunakan Risiko saldo hilang Ditanggung oleh perusahaan dompet digital apa pun keadaannya Ditanggung oleh pengguna kecuali jika perusahaan dompet digital melakukan kesengajaan atau kelalaian Tanggung jawab perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi Saldo elektronik ditanggung oleh pengguna kecuali jika terjadi kesengajaan atau kelalaian dari perusahaan dompet digital Izin usaha perusahaan Lembaga keuangan yang memiliki izin menghimpun dana dari masyarakat Lembaga keuangan Perusahaan jasa Penerbit uang elektronik Tujuan top up saldo Menyimpan dana Menyimpan dana Mendapatkan jasa Membantu proses pembayaran   Sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI), penambahan dana ke dompet digital dinilai lebih dekat dengan akad sharf dibandingkan tiga akad lainnya. Akad sharf mengacu pada konversi uang yang ditransfer ke perusahaan dompet digital menjadi uang elektronik atau saldo elektronik. Pengisian saldo di dompet digital biasanya dilakukan untuk memudahkan proses pembayaran, bukan untuk menyimpan dana, karena kecil kemungkinan dana di dompet digital disimpan dalam jumlah besar melebihi 10 juta rupiah. Pengguna bertanggung jawab atas saldo elektronik mereka, bukan perusahaan dompet digital. Apalagi sesuai PBI, perusahaan dompet digital tidak diperbolehkan menggunakan saldo tersebut.   4. Kesimpulan dan Saran Sesuai Peraturan Bank Indonesia, layanan pengisian dompet digital dan transaksi yang paling dekat adalah melalui akad sharf. Ketika pengguna menambahkan uang ke dompet digital mereka, uang tersebut diubah menjadi data elektronik yang dikenal sebagai uang elektronik. Uang tersebut sama dengan uang rupiah. Hal ini sama seperti penukaran rupiah ke dollar, ringgit, dan riyal. Artinya uang diubah menjadi data digital. Diskon, bonus, pengiriman gratis, atau uang kembali apa pun yang ditawarkan adalah hibah promosi yang bertujuan membangun ekosistem dan menarik lebih banyak pengguna. Diskon tersebut hanya berlaku bagi pengguna dompet digital dan diberikan berdasarkan transaksi jual beli, bukan berdasarkan saldo di dompet. Berbeda dengan akad qardh, seperti transaksi yang terjadi saat menyetorkan uang ke rekening bank, di mana bunga diperoleh secara otomatis tanpa ada tindakan apa pun dari pihak pengguna. Salah satu bidang penelitian yang dapat dikaji lagi adalah hukum fikih terkait transaksi yang dilakukan melalui dompet digital. Transaksi yang umum dilakukan melalui dompet digital antara lain pemesanan makanan, transportasi, pembayaran tagihan, dan pembelian pulsa. Bidang penelitian lain terkait dompet digital adalah mengkaji fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang menggunakan kesimpulan hukum lebih mutakhir. Selain itu, hal lain yang dapat dipelajari adalah apakah aset yang disimpan dalam dompet digital dapat dianggap sebagai aset digital yang berharga, yang dapat menimbulkan perselisihan kepemilikan di masa depan. Kajian-kajian ini dapat bermanfaat bagi umat Islam karena mereka perlu mengetahui apa yang halal (boleh) dan apa yang haram (dilarang) dalam menggunakan dompet digital. Seorang muslim yang bijaksana adalah yang menjauhi hukum yang tidak jelas dan bertakwa kepada Allah dengan menjauhi yang haram.   Referensi Ad-Dimyathi, S. A. B. M. S. (1997). I’anatu Ath-Tholibin ‘ala Halli Alfazhi Fathi Al-Mu’in I’anatu Ath-Tholibin ‘ala Halli Alfazhi Fathi Al-Mu’in. Mawqi’ Ya’sub. Aji, H. M., Berakon, I., & Md Husin, M. (2020). COVID-19 and e-wallet usage intention: A multigroup analysis between Indonesia and Malaysia. Cogent Business & Management, 7(1), 1804181. https://doi.org/10.1080/23311975.2020.1804181 Al-Anshari, Z. b. M. (2000). Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Dar Al-Minhaj. Al-Ghamrawi, M. A.-Z. As-Siraj Al-Wahaj. Dar Al-Ma’rifah. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath Al-Qarib Al-Mujib bi Syarh Alfazh At-Taqrib. Dar Adh-Dhiya. Al-Harrani, A. b. T. (2011). Majmu’ah Al-Fatawa. Dar Ibnu Hazm. Al-Khin, M., Al-Bugha, M., & Asy-Syirbaji, A. (2009). Al-Fiqh Al-Manhaji. Dar Al-Qalam. Al-Malibari, Z. A. b. M. A.-G. (2022). Fath Al-Mu’in. Dar Al-Fayha. Al-Mathiri, A. b. H. (2018). Fiqh Al-Mua’amalat Al-Maliyyah Al-Muyassar. Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. (2012). Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait. Al-Musyaiqih, K. b. A. b. M. (2012). Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat. Maktabah Ar-Rusyd. Al-Muthi’i, M. N. (2006). Takmilah Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syirazi. Dar Alam Al-Kutub. Almukhlisah, G. S., Wiralaga, H. K., & Iranto, D. (2023). The effect of use of e-commerce and the existence of e-wallet facilities on consumptive behavior in the milenial generation in Jakarta. CASHFLOW: CURRENT ADVANCED RESEARCH ON SHARIA FINANCE AND ECONOMIC WORLDWIDE, 2(2), 285-292. https://doi.org/10.55047/cashflow.v2i2.505 An-Nawawi, A. Z. Y. b. S. (2005). Minhaj Ath-Thalibin. Dar An-Nasyr Al-Islamiyyah. Ariffin, S. K., Abd Rahman, M. F. R., Muhammad, A. M., & Zhang, Q. (2021). Understanding the consumer’s intention to use the e-wallet services. Spanish Journal of Marketing-ESIC, 25(3), 446-461. https://doi.org/10.1108/SJME-07-2021-0138 As-Suyuthi, J. A. Al-Asybah wa An-Nazhair. Dar Al-Kutub Al-‘Imiyyah. Asy-Syathiri, A. b. U. (2020). Al-Yaqut An-Nafis fi Madzhab Ibni Idris. Dar Al-Minhaj. Asy-Syirazi, A. I. (1996). Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafii. Dar Al-Qalam. Asy-Syirazi, A. I. I. b. A. (2021). At-Tanbih fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Dar Alim Quraisy. Az-Zuhaili, M. (2015). Al-Mutamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Dar Al-Qalam. Bhatia-Kalluri, A., & Caraway, B. R. (2023). Transformation of the Digital Payment Ecosystem in India: A Case Study of Paytm. Social Inclusion, 11(3), 320-331. Budiarani, V. H., Maulidan, R., Setianto, D. P., & Widayanti, I. (2021). The kano model: How the pandemic influences customer satisfaction with digital wallet services in Indonesia. Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB), 36(1), 61-82. Chelvarayan, A., Yeo, S. F., Yi, H. H., & Hashim, H. (2022). E-wallet: a study on cashless transactions among university students. F1000Research, 11. https://doi.org/10.12688/f1000research.73545.1 Daragmeh, A., Sági, J., & Zéman, Z. (2021). Continuous intention to use e-wallet in the context of the covid-19 pandemic: Integrating the health belief model (hbm) and technology continuous theory (tct). Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 7(2), 132. https://doi.org/10.3390/joitmc7020132 Hamid, H. A.-K. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja. Dar Al-Manar. Indonesia, B. (2016). Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Jakarta: Bank Indonesia. Kraiwanit, T., Limna, P., Wattanasin, P., Asanprakit, S., & Thetlek, R. (2023). Adoption of worldcoin digital wallet in Thailand. Research in Globalization, 7, 100179. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.resglo.2023.100179 Kurnia, P. R., Pangaribuan, J. H., & Sitio, R. P. (2023). Digital wallet users in Indonesia: Factors affecting consumer satisfaction and consumer loyalty. Business Innovation and Engineering Conference, Munawwir, A. W. (1997). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (14 ed.). Pustaka Progressif. Nawawi, M. b. U. b. A. b. N. A.-J. A. A. M. t. (2002). Nihayah Az-Zain fi Irsyad Al Mubtadiin. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Ojo, A. O., Fawehinmi, O., Ojo, O. T., Arasanmi, C., & Tan, C. N.-L. (2022). Consumer usage intention of electronic wallets during the COVID-19 pandemic in Malaysia. Cogent Business & Management, 9(1), 2056964. https://doi.org/10.1080/23311975.2022.2056964 Sasongko, D. T., Handayani, P. W., & Satria, R. (2022). Analysis of factors affecting continuance use intention of the electronic money application in Indonesia. Procedia Computer Science, 197, 42-50. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.procs.2021.12.116 Widayat, W., Masudin, I., & Satiti, N. R. (2020). E-Money payment: Customers’ adopting factors and the implication for open innovation. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 6(3), 57.https://doi.org/10.3390/joitmc6030057 Yang, M., Mamun, A. A., Mohiuddin, M., Nawi, N. C., & Zainol, N. R. (2021). Cashless transactions: A study on intention and adoption of e-wallets. Sustainability, 13(2), 831. https://doi.org/10.3390/su13020831 Yeoh, G. L. (2022). Factors affecting users’ behavioural intention towards touch ‘N Go E-Wallet in Malaysia. International Journal of Applied Business and International Management (IJABIM), 7(3), 108-120. https://doi.org/10.32535/ijabim.v7i3.2069 Yunoh, M. N. M., Hashim, N. S. M., Musa, Z. C., Muhamad, M., & Bahari, N. (2023). Understanding the factors influencing the adoption of e-wallets by Malaysian youth. Telecommunication Computing Electronics and Control, 21(6), 1298-1307. https://doi.org/10.12928/telkomnika.v21i6.24082 Zaid Kilani, A. A.-H., Kakeesh, D. F., Al-Weshah, G. A., & Al-Debei, M. M. (2023). Consumer post-adoption of e-wallet: An extended UTAUT2 perspective with trust. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 9(3), 100113. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.joitmc.2023.100113 https://www.bi.go.id/id/publikasi/peraturan/Pages/pbi_184016.aspx https://www.bi.go.id/id/edukasi/Pages/Apa-itu-Uang-Elektronik.aspx   Silakan Unduh Jurnal Scopus “ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS“   Download   –   Salatiga, 19 Ramadhan 1445 H, 30 Maret 2024 Al-Faqir ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital dompet elektronik e-wallet hukum fikih hukum Islam ijarah isi ulang saldo review akad sharf transaksi keuangan utang piutang wadiah


Berikut adalah hasil kajian kami dalam jurnal yang sudah terbit di scopus Q4 pada “Journal of Research Administration” mengenai hukum Islam tentang isi saldo di dompet digital (Gopay, OVO, DANA, dkk). Silakan dikaji lebih dalam. Tulisan ini sekaligus meralat tulisan kami sebelumnya “Riba dalam e-wallet, dompet digital (Go Pay, OVO, dkk)”. Kaji Jurnal Scopus Q4: ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS   Daftar Isi tutup 1. Hukum Islam tentang Isi Ulang Saldo di Dompet Digital 2. ABSTRAK 3. 1. Pendahuluan 4. 2. Metode Penelitian 5. 3. Hasil dan Diskusi 5.1. Qardh 5.2. Wadiah 5.3. Ijarah 5.4. Sharf 5.5. Tinjauan terhadap dana yang disetorkan dari sudut pandang hukum formal 5.6. Tabel 1 : Dompet digital dari berbagai tinjauan 6. 4. Kesimpulan dan Saran 6.1. Referensi 7. Silakan Unduh Jurnal Scopus “ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS“ Hukum Islam tentang Isi Ulang Saldo di Dompet Digital   Muhammad Abduh Tuasikal Universitas Ibn Khaldun Bogor muhammad_abduhtuasikal@uika-bogor.ac.id   ABSTRAK Pendahuluan/Tujuan Utama: Penelitian ini bertujuan untuk menggali hukum Islam seputar isi ulang saldo pada dompet digital yang umum digunakan saat ini dengan membandingkannya dengan peraturan hukum formal Bank Sentral Indonesia yang menjelaskan secara detail tentang keberadaan dana simpanan. dan perusahaan dompet digital. Latar Belakang Permasalahan: Meskipun penggunaan dompet digital tersebar luas, penelitian mengenai hukum Islam terkait dompet digital masih perlu lebih luas. Umat Islam perlu mengetahui hukum Islam tentang hal ini agar dapat menggunakan dan menyimpan dana di dompet digital tanpa ragu-ragu. Kebaruan: Penelitian ini mengulas empat akad dalam hukum Islam yang belum pernah dibahas sebelumnya, yaitu wadīʻa (penitipan uang), qarḍ (pinjaman), ʼijāra (pembayaran jasa), atau ṣarf (penukaran uang). Metode Penelitian: Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kajian pustaka dengan menelusuri berbagai kitab fikih klasik dan terkini. Temuan/Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa pengisian dana di dompet digital lebih dekat dengan akad sharf dibandingkan tiga akad lainnya, sesuai peraturan Bank Sentral Indonesia. Kesimpulan: Ketika pengguna menambahkan uang ke dompet digital mereka, uang tersebut diubah menjadi data elektronik, yang dikenal sebagai e-money. Penelitian yang diharapkan kedepannya adalah pembahasan hukum fiqh terkait transaksi yang dilakukan melalui dompet digital, serta dapat mengkaji hukum fiqh berdasarkan fatwa para ulama di Dewan Syariah Nasional yang fatwanya lebih mutakhir. Kata Kunci: dompet digital, e-wallet, review akad, hukum Islam, hukum fikih, transaksi keuangan, isi ulang saldo   1. Pendahuluan Dompet digital, juga dikenal sebagai dompet elektronik atau pembayaran digital, adalah aplikasi atau platform elektronik yang berfungsi sebagai pengganti dompet tradisional secara modern. Dompet ini memungkinkan pengguna untuk menyimpan, mengelola, dan melakukan berbagai transaksi keuangan dengan mudah menggunakan ponsel cerdas mereka. Sejak merebaknya pandemi Covid-19 akibat adanya tuntutan untuk menjaga jarak sosial dan mencegah penyebaran virus, penggunaan dompet digital mulai meningkat (Aji et al., 2020; Daragmeh et al., 2021; Ojo et al., 2020; Daragmeh et al., 2021; Ojo et al., 2022). Dompet digital adalah aplikasi elektronik yang digunakan untuk bertransaksi tanpa melibatkan uang fisik dan tanpa menggunakan kartu, hanya dengan perangkat untuk melakukan pembayaran dan mengisi saldo (Daragmeh et al., 2021; Sasongko et al., 2022; Yang et al., 2021). Di Thailand, dompet digital yang terkenal adalah Worldcoin. Perempuan dan generasi muda yang lebih sering menggunakan dompet digital (Kraiwanit et al., 2023). Zaid Kilani dkk. (2023) membahas penggunaan dompet digital di Yordania. Bank Sentral Yordania mengakui beberapa dompet elektronik, termasuk Aya Wallet, MEPS, EMP, dan eFAWATEERcom. Menurut Bhatia-Kalluri dan Caraway (2023), Paytm, layanan dompet elektronik populer di India, menawarkan berbagai metode pembayaran, termasuk solusi pembayaran unik berbasis kode QR. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, dompet digital merupakan layanan sistem pembayaran yang diawasi langsung dan tidak langsung oleh Bank Indonesia di mana di antara larangan bagi penyelenggaranya adalah memiliki dan/atau mengelola nilai uang yang digunakan di luar lingkup penyedia jasa sistem pembayaran (Indonesia, 2016). Dompet digital ini dapat menampung dana dan melakukan pembayaran dengan praktis, nyaman, dengan waktu transaksi efisien, serta pembayaran lebih cepat dan mudah. Jenis dompet digital yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah e-money Ovo, Gopay, Linkaja, dan Mandiri. Pemanfaatan dompet digital pun beragam, ada yang digunakan untuk belanja online, membayar jasa transportasi, membayar jasa pesan-antar makanan, dan berbagai kebutuhan sehari-hari (Widayat et al., 2020). Ovo dan Shopeepay merupakan dompet digital yang sering digunakan untuk keperluan belanja online (Budiarani et al., 2021). Penggunaan dompet digital merupakan hal yang lumrah dalam transaksi online. Platform ini menawarkan diskon dan hadiah untuk mendorong loyalitas pengguna (Yudha Kurniawan dkk., 2022; Bagla dan Sancheti, 2018). Kajian kritis terkait dompet digital berkisar membahas empat hal, yaitu: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan dompet digital seperti yang diteliti oleh Aji dkk. (2020); Ariffin dkk. (2021); Daragmeh dkk. (2021); Yang dkk. (2021), (2) faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas pengguna dan dompet digital, termasuk nilai yang dirasakan, keamanan yang dirasakan, kepercayaan, promosi penjualan seperti yang telah diteliti oleh Kurnia et al. (2023); Yeoh (2022), (3) dampak pengaruh penggunaan dompet digital terhadap perilaku konsumtif sebagaimana diteliti oleh Almukhlisah dkk. (2023), (4) mengukur kepuasan pelanggan terhadap kualitas layanan dompet digital meliputi Model Kano, seperti dijelaskan oleh Budiarani et al. (2021). Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan pemahaman pandangan hukum Islam mengenai akad pada dompet digital di Indonesia. Umat Islam memperhatikan masalah hukum Islam untuk menghindari melakukan aktivitas terlarang. Namun ketidakjelasan permasalahan hukum ini berdampak pada penggunaan diskon dan cashback yang ditawarkan konsumen saat berbelanja melalui dompet digital. Untuk mengatasi kesenjangan ini, penelitian ini menganalisis berbagai akad, yaitu wadi’ah (penitipan uang), qarḍ (pinjaman), ijarah (pembayaran layanan), atau ṣarf (penukaran uang), terkait dengan uang yang disimpan dalam dompet digital. Penelitian tersebut mempunyai implikasi signifikan terhadap kemajuan ekonomi dan budaya konsumeris masyarakat. Ini akan menyimpulkan perspektif hukum Islam tentang penggunaan atau penolakan dompet digital, tanpa keraguan.   2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuan untuk memahami hukum Islam mengenai dompet digital. Empat jenis akad–wadi’ah (penitipan uang), qardh (pinjaman), ijarah (pembayaran jasa), dan sharf (penukaran uang)–akan dikaji secara rinci menggunakan buku-buku fikih klasik dan kontemporer. Referensi tersebut akan membantu menjelaskan ketentuan masing-masing akad, yang kemudian akan dibandingkan dengan peraturan formal dari Bank Sentral Indonesia mengenai dompet digital. Penjelasan hukum fikih dan aturan formal dapat menentukan akad yang sesuai dari keempat akad tersebut di atas. Selain itu, penelitian ini akan membantu untuk memahami hukum Islam mengenai penggunaan diskon dan cashback yang diperoleh saat melakukan pembayaran dengan uang elektronik di dompet digital.   3. Hasil dan Diskusi Dompet digital, juga dikenal sebagai dompet elektronik, adalah metode pembayaran digital yang memungkinkan pengguna menyimpan dan bertransaksi uang secara elektronik menggunakan aplikasi ponsel pintar. Keuntungan utama menggunakan e-wallet adalah memungkinkan masyarakat melakukan pembelian dengan mudah dan cepat tanpa membawa uang tunai atau kartu kredit. Artinya, pengguna tidak perlu khawatir kehilangan uang atau kartu kreditnya, dan beberapa aplikasi dompet elektronik juga menawarkan fitur keamanan tambahan seperti verifikasi sidik jari atau PIN untuk melindungi akun pengguna. Selain itu, banyak aplikasi dompet digital menawarkan promosi dan diskon kepada penggunanya, yang dapat membantu mereka menghemat uang atau menerima manfaat seperti cashback atau reward points. Beralih ke sistem non-tunai juga memungkinkan pengguna untuk melacak dan mengelola pengeluaran mereka dengan lebih baik, karena aplikasi e-wallet seringkali menyediakan fitur untuk melihat riwayat transaksi dan mengkategorikan pengeluaran. Hal ini dapat membantu pengguna mengelola keuangan mereka dengan lebih baik dan membuat perencanaan dengan lebih efektif (Daragmeh et al., 2021; Widayat et al., 2020). Selama pandemi COVID-19, dompet elektronik telah menjadi alternatif pembayaran yang lebih aman tanpa berinteraksi secara fisik dengan uang tunai atau orang lain. Hal ini membantu mencegah penyebaran virus melalui kontak fisik dengan uang kertas atau koin (Yunoh et al., 2023). Penting untuk dicatat bahwa manfaat dari penggunaan non-tunai dapat bervariasi tergantung pada negara, platform dompet elektronik yang digunakan, dan preferensi individu (Chelvarayan et al., 2022). Menurut Ariffin dkk. (2021), salah satu keuntungan menggunakan e-wallet adalah insentif yang ditawarkan, seperti diskon dan cashback. Diskon dapat memberikan keuntungan finansial kepada pengguna dengan menawarkan harga yang lebih rendah atau pengurangan biaya, sementara cashback memberikan insentif kepada pengguna untuk terus menggunakan dompet elektronik dan memberikan keuntungan finansial tambahan. Menurut Yang dkk. (2021), di Indonesia, tiga e-wallet terbukti stabil dan populer: Go-Pay, OVO, dan DANA. OVO telah menjalin kemitraan dengan Grab, layanan ride-hailing terbesar di Asia Tenggara, dan Tokopedia, pemain terkemuka di pasar e-commerce Indonesia. Kemitraan ini telah membantu OVO untuk terus berkembang. Sementara DANA yang diperkenalkan pada tahun 2018 berhasil meningkatkan popularitasnya dan menggantikan Linkaja di peringkat ketiga pada kuartal kedua tahun 2019. Go-Pay, OVO, dan DANA berhasil mengintegrasikan layanan pembayaran dari bank-bank milik negara sehingga berkontribusi terhadap stabilitasnya. di pasar e-wallet Indonesia. Berikut empat akad yang dapat dijadikan akad isi ulang dompet digital: qardh, wadi’ah, ijarah madhfu’ah muqaddaman, dan sharf.   Qardh Qard secara etimologi berarti memotong, memakan, menggigit. Al-qardh sendiri berarti pinjaman (Munawwir, 1997, p. 1108). Qardh disebut seperti itu karena muqridh (da’in, kreditur) yang memberikan pinjaman harta memotong potongan harta untuk diserahkan kepada muqtaridh (madin, debitur) (Al-Anshari, 2000, p. 2/140; Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Qardh secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Dalam Takmilah Al-Majmu’, Muhammad Najib Al-Muthi’i berkata tentang akad qardh adalah, وهو أن يقول ملكتك هذا على أن ترد على بدله فإن قال ملكتك ولم يذكر البدل كان هبة، “Seseorang mengatakan, saya menyerahkan kepadamu dan nantinya akan ada pengganti. Jika yang disebutkan, saya menyerahkan kepadamu dan tidak menyebutkan adanya pengganti, maka hukumnya menjadi hibah.” (Al-Muthi’i, 2006, pp. 12/206-207) Dalam Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib dan Fath Al-Wahhab bi Syarh Minhaj Ath-Thullab, Zakaria bin Muhammad Al-Anshari rahimahullah (1420 – 1520 Masehi) berkata, الْإِقْرَاضِ وهو تَمْلِيكُ الشَّيْءِ على أَنْ يُرَدَّ بَدَلُهُ “Iqradh (qardh) adalah memiliki sesuatu dan nantinya akan diberikan penggantinya.” (Al-Anshari, 2000, p. 2/140; 2016, p. 307). Pengertian yang serupa juga disebutkan oleh Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Muhammad Al-Malibari (1531 – 1618 Masehi) rahimahullah dalam Fath Al-Mu’in (Al-Malibari, 2022, p. 384). Dalam I’anatu Ath-Tholibin, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatho Ad-Dimyathi rahimahullah (1849 – 1893 Masehi) berkata, والمراد أنه في حكم القرض في وجوب رد المثل “Yang dimaksud dengan hukum qardh, wajib dikembalikan dengan nilai yang semisal.” (Ad-Dimyathi, 1997, p. 3/61) Dalam Al-Asybah wa An-Nazhair, Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman As-Suyuthi rahimahullah (1445 – 1505 Masehi) berkata, من صيغ القرض: ملكتكه على أن ترد بدله “Di antara ucapan akad qardh adalah aku memilikinya dan penggantinya yang dikembalikan.” (As-Suyuthi, p. 1/101) Dalam As-Siraj Al-Wahaj, Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawi rahimahullah berkata, الاقراض بمعنى الاعطاء والتمليك للشيء على أن يرد بدل “Al-iqradh bermakna memberi dan memiliki sesuatu dan penggantinya yang dikembalikan.” (Al-Ghamrawi, p. 1/210) Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji disebutkan mengenai pengertian al-qardh adalah, تمليك شيء مالي للغير على أن يردّ بدله من غير زيادة “Suatu harta yang diserahkan kepada yang lain dengan menuntut adanya pengganti, tetapi tidak boleh ada tambahan.” (Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, دَفْعُ مَالٍ إِرْفَاقًا لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيُرَدُّ بَدَلُهُ “Menyerahkan harta pada orang yang mengambil manfaatnya dalam rangka berbuat baik (menolong) dan penggantinya yang dikembalikan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 2012, p. 33/111) Nama lain dari qardh adalah salaf, sebagaimana disebut oleh penduduk Hijaz (Al-Khin et al., 2009, p. 3/89) Hukum qardh adalah boleh (jaiz). Seseorang boleh meminta qardh (pinjaman) ketika ia membutuhkannya. Bahkan yang dimintai qardh (pinjaman) disunnahkan (dianjurkan) untuk membantunya. Dalil qardh dari Al-Qur’an Al-Karim adalah firman Allah Ta’ala, مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 245) مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥ وَلَهُۥٓ أَجْرٌ كَرِيمٌ “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11) إِنَّ ٱلْمُصَّدِّقِينَ وَٱلْمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقْرَضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 18) إِن تُقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَٰعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. At-Taghabun: 17) وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا “Dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (QS. Al-Muzammil: 20) Dalil qardh dari hadits adalah dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً “Muslim mana saja yang meminjamkan muslim lainnya utang sebanyak dua kali, maka itu sama dengan sedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah, no. 2430. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif). Hadits di atas dikuatkan dengan hadits, عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ “، قَالَ: ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ “، قُلْتُ: سَمِعْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ تَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ “، ثُمَّ سَمِعْتُكَ تَقُولُ: ” ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ “، قَالَ لَهُ: ” بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ ‌يَحِلَّ ‌الدَّيْنُ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ») Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Barang siapa memberi penangguhan pada orang yang kesusahan, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Buraidah berkata, ‘Kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah dua kali senilai piutangnya setiap harinya.’ Aku berkata: aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memberi penangguhan pada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia mendapat pahala sedekah setiap harinya sebelum utang jatuh tempo. Jika telah jatuh tempo, lantas masih memberikan tenggang waktu, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’” (HR. Ahmad, 5:360. Sanad hadits ini sahih sesuai syarat Muslim, perawi-perawinya tsiqqah (terpercaya), termasuk perawi Syaikhain selain Sulaiman bin Buraidah, ia adalah perawi Muslim). Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah (1002 – 1083 Masehi) menyatakan, وَيَجِبُ عَلَى المسْتَقْرِض رَدُّ المثْلِ فِيْمَا لَهُ مِثْل، لِاَنَّ مُقْتَضَى القَرْض رَدُّ المِثْل “Wajib bagi yang meminjam mengembalikan utang seperti awal jika memiliki yang sepadan karena berutang itu wajib mengembalikan yang semisal.” (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/189). Muhammad Najib Al-Muthi’i rahimahullah dalam penyempunaan kitab Al-Majmu’ menjelaskan bahwa jika ada yang meminjam sesuatu seperti biji-bijian, minyak, dirham, atau dinar, ia wajib mengembalikan dengan yang semisal karena itu lebih mendekati. Hal ini berbeda jika meminjam sesuatu yang tidak ada yang sepadan dengannya seperti baju, hewan, maka ada beda pendapat dalam hal ini. Ada pendapat yang memerintahkan mengembalikan dengan yang senilai (Al-Muthi’i, 2006, p. 12/215). Ibnu Taimiyah rahimahullah (1262 – 1327 Masehi) dalam Majmu’ah Al-Fatawa menyatakan, القَرْضُ مُوْجِبُهُ رَدُّ المِثْلِ “Berutang itu diwajibkan mengembalikan yang semisal.” (Al-Harrani, 2011, pp. 29/52, 30/84) Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyebutkan, الْقَرْضِ فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ فِيهِ إلَّا رَدُّ الْمِثْلِ بِلَا زِيَادَةٍ “Utang piutang haruslah dikembalikan semisal tanpa ada tambahan.” (Al-Harrani, 2011, p. 29/535) Yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, أَنَّهُ فِي الْقَرْضِ يَجِبُ فِيهِ رَدُّ الْمِثْلِ وَإِذَا اقْتَرَضَ حَيَوَانًا رَدَّ مِثْلَهُ “Utang piutang mesti dikembalikan dengan yang semisal. Jika yang dipinjam adalah hewan, maka dikembalikan yang semisal pula.” (Al-Harrani, 2011, p. 20/563) Sebagaimana diterangkan dalam kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, hukum yang berkenaan dengan qardh adalah: (1) qardh menjadi sempurna jika sudah terjadi pemindahan kepemilikan harta, lantas pihak debitur (muqtaridh, yang diberi pinjaman) boleh memanfaatkannya semaunya; (2) pihak kreditur (muqridh, yang memberi pinjaman) boleh meminta kepada debitur (muqtaridh) untuk membayar pinjaman pada waktu kapan pun setelah adanya qabdh (penyerahan) harta pada debitur, baik ditetapkan waktu tertentu ataukah tidak, (3) debitur (muqtaridh) hendaklah mengembalikan pinjaman dengan yang semisal; (4) jika pihak kreditur (muqridh) tidak mensyaratkan tambahan dalam pinjaman, maka seperti itu boleh; (5) jika pihak kreditur (muqridh) mensyaratkan adanya tambahan dalam pengembalian pinjaman atau mensyaratkan dikembalikan dengan lebih bagus, akad tersebut tidaklah sah karena setiap pinjaman yang ada manfaat di dalamnya termasuk riba. Utang piutang sejatinya termasuk membantu dan menolong, bukan mencari untung (Az-Zuhaili, 2015, pp. 3/169-174). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad qardh, uang yang disetorkan dimiliki oleh perusahaan dompet digital melalui skema peminjaman. Uang ini diwujudkan dalam saldo uang elektronik. Perusahaan tersebut dapat menggunakan uang pengguna dan berkomitmen untuk mengembalikannya kapan pun pengguna membutuhkannya. Jika akadnya adalah qardh, pengguna dompet digital tidaklah boleh mendapatkan manfaat diskon karena termasuk keuntungan yang diperoleh pihak kreditur (muqridh).   Wadiah Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Lebih jelasnya, pengertian wadiah secara etimologi adalah meninggalkan sesuatu pada orang lain dan memintanya untuk menjaganya. Adapun pengertian wadiah secara istilah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad wadiah, uang disetorkan melalui top up merupakan titipan dari pengguna kepada perusahaan dompet digital yang bisa diambil kapan pun. Uang ini tidak boleh digunakan oleh pihak perusahaan. Uang ini tidak wajib dikembalikan jika terjadi kejadian yang bukan merupakan kesalahan dari perusahaan dompet digital.   Ijarah Ijarah secara etimologi adalah istilah untuk sesuatu yang disewakan pada orang yang melakukan sesuatu sebagai bagian dari pekerjaan. Ajr adalah istilah untuk balasan di akhirat. Ujrah adalah istilah untuk balasan di dunia (Al-Khin et al., 2009, p. 121). Ijarah secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Dalam Nihayah Az-Zain, Imam bin ‘Umar Nawawi Al-Jawi rahimahullah (1813 – 1897 Masehi) berkata, الإجارة هي عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم “Akad kemanfaatan yang dituju dan sudah tertentu sebagai timbal balik dari adanya bayaran tertentu.” (Nawawi, 2002, p. 252). Hal yang sama juga disampaikah oleh Al-Ghazzi (2023, p. 393) dan Asy-Syathiri (2020, p. 178) Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, ijarah adalah, بَيْعُ عَمَلٍ تَكُونُ الْعَيْنُ فِيهِ تَبَعًا “Jual beli atas suatu pekerjaan, sedangkan barang hanya ikutan.” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 2012, p. 3/326) Ijarah ini dibolehkan karena kebutuhan untuk memanfaatkan tempat, peralatan, dan lain sebagainya. Ijarah itu sah dalam jual beli manfaat pada barang tertentu, misal ijarah (menyewa) rumah untuk tempat tinggal, ijarah (membayar upah) menyusui dari seorang wanita, ijarah seseorang untuk haji atau untuk jual beli, dan ijarah hewan untuk ditunggangi (Asy-Syirazi, 2021, p. 444). Tentang ijarah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Bila mereka menyusui anak-anak mereka dari kalian dengan upah, maka bayarlah upah mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6) Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, sahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan. Ijarah harus dengan syarat waktu tertentu, tidak bisa ijarah itu tanpa batasan waktu. Asalnya upah ijarah itu segera ditunaikan, kecuali ada syarat penundaan. Orang yang menyewa sesuatu berarti memegang amanah. Maka ia tidak diperintahkan ganti rugi kecuali karena kecerobohannya (Hamid, 2011, p. 261). Sesuatu yang disewakan haruslah sesuatu yang punya nilai atau ada upah yang dikeluarkan seperti menyewa rumah (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/219). Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad ijarah (atau ijarah madfu’ah muqaddaman, uang atau upah yang disetorkan terlebih dahulu), maka uang yang disetorkan menjadi saldo top up, selanjutnya digunakan untuk membeli jasa tertentu yang dihadirkan oleh perusahaan yang sama dengan perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi dengannya.   Sharf Sharf merupakan bagian dari akad buyu’ (jual beli), termasuk jual beli ribawiyah di mana ada syarat dan aturan tersendiri yang mesti dipenuhi. Sharf secara etimologi memiliki beberapa makna, yaitu (1) tambahan, (2) menolak, (3) memindahkan (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/126). Sharf secara istilah syari ada beberapa pengertian dari para ulama. Menurut Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii, sharf adalah, بيع النقد بالنقد من جنسه أوغير جنسه “Pertukaran uang dengan uang atau uang dengan lainnya yang beda jenis.” (Az-Zuhaili, 2015, p. 3/126). Menurut Syaikh Dr. ‘Abdurrahman bin Humud Al-Mathiri dalam kitab Fiqh Al-Mua’amalat Al-Maliyyah Al-Muyassar, sharf adalah, بيع نقد بنقد سواء اتحاد الجنس أو اختلف “Menukar uang dengan uang, baik sama atau berbeda jenis.” (Al-Mathiri, 2018, p. 161). Kalimat yang sama juga disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih dalam Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat(Al-Musyaiqih, 2012, p. 77). Hukum akad sharf adalah boleh sebagaimana hukum jual beli secara umum (Al-Khin et al., 2009, p. 3/83). Dalil syari yang membicarakan tentang sharf adalah sebagai berikut. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, burr (gandum) dijual dengan gandum, sya’ir (gandum kualitas rendah) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1584) Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, burr (gandum) dijual dengan gandum, sya’ir (gandum kualitas rendah) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, tetapi harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim, no. 1587) Aturan tukar menukar barang ribawi: Menukar emas dan emas, juga perak dan perak, harus: (1) mutamatsilan (sama jumlah) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat). Menukar emas dan perak, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan (haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah). Menukar sesama makanan yang sejenis, harus: (1) mutamatsilan (sama jumlah) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat). Menukar makanan dengan yang beda jenis, boleh mutafaadhilan (berlebih ukurannya), tetapi harus: naqdan(haalan, seketika itu juga; qabdh, serah terima saat itu sebelum berpisah). (Al-Bajuri, 2020, pp. 2/609-610; Al-Ghazzi, 2023, p. 333; Hamid, 2011, p. 218) Jika akad yang digunakan dalam dompet digital adalah akad sharf, saldo top up dari pengguna dimiliki oleh perusahaan dompet digital lalu ditukar dengan saldo uang digital yang diterbitkan oleh perusahaan dompet digital dengan izin dari otoritas terkait.   Tinjauan terhadap dana yang disetorkan dari sudut pandang hukum formal Hakikat dana yang disetor telah disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik, Pasal 1 angka 3 bahwa  uang elektornik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut: (a) diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit; (b) nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan (c) nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. Sedangkan di angka 4 disebutkan bahwa nilai uang elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor telah disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 49 angka 1 bahwa dana float hanya dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban Penerbit kepada Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa, dan dilarang digunakan untuk kepentingan lain. Risiko saldo hilang dibahas dalam website bi.go.id bahwa risiko uang elektronik hilang dan dapat digunakan oleh pihak lain, karena prinsipnya uang elektronik sama seperti uang tunai yang apabila hilang tidak dapat diklaim kepada penerbit. Izin usaha perusahaan dompet digital dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia no. 20/6/PBI/2018 Pasal 5 dan 6 bahwa permohonan izin sebagai penyelenggara diajukan berdasarkan pengelompokkan penyelenggara jasa sistem pembayaran. Tujuan top up saldo pada dompet digital lebih mengarah kepada definisi alat pembayaran dibandingkan kepada penyimpanan dana maupun pembelian jasa di depan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 4 bahwa nilai uang elektronik adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Juga terdapat batas maksimal saldo yang tersimpan dalam dompet digital sebagaimana diterangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 45 bahwa batas nilai uang elektronik yang dapat disimpan untuk Uang Elektronik unregistered paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah); dan untuk Uang Elektronik registered paling banyakRp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Adapun batas nilai transaksi Uang Elektronik dalam 1 (satu) bulan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Kenyataan dari pengguna bahwa dipastikan sebagian besar pengguna melakukan top up saldo secukupnya saja untuk membantu mempermudah transaksi sehari-hari. Saldo yang tersimpan bukan ditujukan untuk ditarik kembali (meskipun bisa dan penarikan ini bukan akad utama), sehingga definisi qardh dan wadiah kurang sesuai. Kaidah fikih menyebutkan, العِبْرَةُ فِي العُقُوْدِ بِالمَقَاصِدِ وَالمَعَانِي، لاَ بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي “Yang dianggap di dalam akad adalah maksud-maksud dan maknanya, bukan dilihat dari lafaz atau bentuk perkataan.” Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 Pasal 61 disebutkan bahwa penerbit dilarang menerbitkan Uang Elektronik dengan Nilai Uang Elektronik yang lebih besar atau lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan kepada Penerbit. Nilai uang yang disetorkan ke dalam Uang Elektronik harus dapat digunakan atau ditransaksikan seluruhnya sampai bersaldo nihil. Dari keempat akad di atas, ada beberapa poin penting yang perlu ditinjau, yaitu: (1) hakikat dana disetor dan saldo digital, (2) yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor, (3) risiko saldo hilang, (4) izin usaha perusahaan dompet digital, (5) tujuan top up saldo. Kelima poin di atas dapat diringkas dalam tabel 1 berikut.   Tabel 1 : Dompet digital dari berbagai tinjauan Tinjauan Qardh Wadiah Ijarah Madfuah Muqaddaman Sharf Hakikat dana yang disetor dan saldo Utang di mana perusahaan dompet digital wajib mengembalikan dana yang disetorkan apa pun keadaannya Dana titipan di mana perusahaan dompet digital wajib mengembalikan dana ketika diminta kecuali dalam kejadian yang menyebabkan kerugian yang bukan merupakan kesalahan perusahaan dompet digital Nilai jasa untuk mengganti jasa perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi dengan wajib menghadirkan jasa yang dijanjikan ketika diminta Instrumen pembayaran elektronik di mana perusahaan dompet digital menukarkan dana yang disetor dengan saldo digital yang diterbitkan perusahaan dompet digital dengan izin BI Yang bisa dilakukan oleh perusahaan dompet digital terhadap dana penyetor Boleh digunakan untuk hal apa pun Tidak boleh digunakan, hanya boleh disimpan Boleh digunakan untuk hal apa pun Saldo elektronik tidak boleh digunakan Risiko saldo hilang Ditanggung oleh perusahaan dompet digital apa pun keadaannya Ditanggung oleh pengguna kecuali jika perusahaan dompet digital melakukan kesengajaan atau kelalaian Tanggung jawab perusahaan dompet digital atau yang terafiliasi Saldo elektronik ditanggung oleh pengguna kecuali jika terjadi kesengajaan atau kelalaian dari perusahaan dompet digital Izin usaha perusahaan Lembaga keuangan yang memiliki izin menghimpun dana dari masyarakat Lembaga keuangan Perusahaan jasa Penerbit uang elektronik Tujuan top up saldo Menyimpan dana Menyimpan dana Mendapatkan jasa Membantu proses pembayaran   Sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI), penambahan dana ke dompet digital dinilai lebih dekat dengan akad sharf dibandingkan tiga akad lainnya. Akad sharf mengacu pada konversi uang yang ditransfer ke perusahaan dompet digital menjadi uang elektronik atau saldo elektronik. Pengisian saldo di dompet digital biasanya dilakukan untuk memudahkan proses pembayaran, bukan untuk menyimpan dana, karena kecil kemungkinan dana di dompet digital disimpan dalam jumlah besar melebihi 10 juta rupiah. Pengguna bertanggung jawab atas saldo elektronik mereka, bukan perusahaan dompet digital. Apalagi sesuai PBI, perusahaan dompet digital tidak diperbolehkan menggunakan saldo tersebut.   4. Kesimpulan dan Saran Sesuai Peraturan Bank Indonesia, layanan pengisian dompet digital dan transaksi yang paling dekat adalah melalui akad sharf. Ketika pengguna menambahkan uang ke dompet digital mereka, uang tersebut diubah menjadi data elektronik yang dikenal sebagai uang elektronik. Uang tersebut sama dengan uang rupiah. Hal ini sama seperti penukaran rupiah ke dollar, ringgit, dan riyal. Artinya uang diubah menjadi data digital. Diskon, bonus, pengiriman gratis, atau uang kembali apa pun yang ditawarkan adalah hibah promosi yang bertujuan membangun ekosistem dan menarik lebih banyak pengguna. Diskon tersebut hanya berlaku bagi pengguna dompet digital dan diberikan berdasarkan transaksi jual beli, bukan berdasarkan saldo di dompet. Berbeda dengan akad qardh, seperti transaksi yang terjadi saat menyetorkan uang ke rekening bank, di mana bunga diperoleh secara otomatis tanpa ada tindakan apa pun dari pihak pengguna. Salah satu bidang penelitian yang dapat dikaji lagi adalah hukum fikih terkait transaksi yang dilakukan melalui dompet digital. Transaksi yang umum dilakukan melalui dompet digital antara lain pemesanan makanan, transportasi, pembayaran tagihan, dan pembelian pulsa. Bidang penelitian lain terkait dompet digital adalah mengkaji fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang menggunakan kesimpulan hukum lebih mutakhir. Selain itu, hal lain yang dapat dipelajari adalah apakah aset yang disimpan dalam dompet digital dapat dianggap sebagai aset digital yang berharga, yang dapat menimbulkan perselisihan kepemilikan di masa depan. Kajian-kajian ini dapat bermanfaat bagi umat Islam karena mereka perlu mengetahui apa yang halal (boleh) dan apa yang haram (dilarang) dalam menggunakan dompet digital. Seorang muslim yang bijaksana adalah yang menjauhi hukum yang tidak jelas dan bertakwa kepada Allah dengan menjauhi yang haram.   Referensi Ad-Dimyathi, S. A. B. M. S. (1997). I’anatu Ath-Tholibin ‘ala Halli Alfazhi Fathi Al-Mu’in I’anatu Ath-Tholibin ‘ala Halli Alfazhi Fathi Al-Mu’in. Mawqi’ Ya’sub. Aji, H. M., Berakon, I., & Md Husin, M. (2020). COVID-19 and e-wallet usage intention: A multigroup analysis between Indonesia and Malaysia. Cogent Business & Management, 7(1), 1804181. https://doi.org/10.1080/23311975.2020.1804181 Al-Anshari, Z. b. M. (2000). Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh Ath-Thalib. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Al-Bajuri, I. b. M. b. A. (2020). Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Dar Al-Minhaj. Al-Ghamrawi, M. A.-Z. As-Siraj Al-Wahaj. Dar Al-Ma’rifah. Al-Ghazzi, M. b. Q. (2023). Fath Al-Qarib Al-Mujib bi Syarh Alfazh At-Taqrib. Dar Adh-Dhiya. Al-Harrani, A. b. T. (2011). Majmu’ah Al-Fatawa. Dar Ibnu Hazm. Al-Khin, M., Al-Bugha, M., & Asy-Syirbaji, A. (2009). Al-Fiqh Al-Manhaji. Dar Al-Qalam. Al-Malibari, Z. A. b. M. A.-G. (2022). Fath Al-Mu’in. Dar Al-Fayha. Al-Mathiri, A. b. H. (2018). Fiqh Al-Mua’amalat Al-Maliyyah Al-Muyassar. Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. (2012). Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait. Al-Musyaiqih, K. b. A. b. M. (2012). Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat. Maktabah Ar-Rusyd. Al-Muthi’i, M. N. (2006). Takmilah Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syirazi. Dar Alam Al-Kutub. Almukhlisah, G. S., Wiralaga, H. K., & Iranto, D. (2023). The effect of use of e-commerce and the existence of e-wallet facilities on consumptive behavior in the milenial generation in Jakarta. CASHFLOW: CURRENT ADVANCED RESEARCH ON SHARIA FINANCE AND ECONOMIC WORLDWIDE, 2(2), 285-292. https://doi.org/10.55047/cashflow.v2i2.505 An-Nawawi, A. Z. Y. b. S. (2005). Minhaj Ath-Thalibin. Dar An-Nasyr Al-Islamiyyah. Ariffin, S. K., Abd Rahman, M. F. R., Muhammad, A. M., & Zhang, Q. (2021). Understanding the consumer’s intention to use the e-wallet services. Spanish Journal of Marketing-ESIC, 25(3), 446-461. https://doi.org/10.1108/SJME-07-2021-0138 As-Suyuthi, J. A. Al-Asybah wa An-Nazhair. Dar Al-Kutub Al-‘Imiyyah. Asy-Syathiri, A. b. U. (2020). Al-Yaqut An-Nafis fi Madzhab Ibni Idris. Dar Al-Minhaj. Asy-Syirazi, A. I. (1996). Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafii. Dar Al-Qalam. Asy-Syirazi, A. I. I. b. A. (2021). At-Tanbih fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Dar Alim Quraisy. Az-Zuhaili, M. (2015). Al-Mutamad fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Dar Al-Qalam. Bhatia-Kalluri, A., & Caraway, B. R. (2023). Transformation of the Digital Payment Ecosystem in India: A Case Study of Paytm. Social Inclusion, 11(3), 320-331. Budiarani, V. H., Maulidan, R., Setianto, D. P., & Widayanti, I. (2021). The kano model: How the pandemic influences customer satisfaction with digital wallet services in Indonesia. Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB), 36(1), 61-82. Chelvarayan, A., Yeo, S. F., Yi, H. H., & Hashim, H. (2022). E-wallet: a study on cashless transactions among university students. F1000Research, 11. https://doi.org/10.12688/f1000research.73545.1 Daragmeh, A., Sági, J., & Zéman, Z. (2021). Continuous intention to use e-wallet in the context of the covid-19 pandemic: Integrating the health belief model (hbm) and technology continuous theory (tct). Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 7(2), 132. https://doi.org/10.3390/joitmc7020132 Hamid, H. A.-K. (2011). Al-Imta’ bi Syarh Matn Abi Syuja. Dar Al-Manar. Indonesia, B. (2016). Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Jakarta: Bank Indonesia. Kraiwanit, T., Limna, P., Wattanasin, P., Asanprakit, S., & Thetlek, R. (2023). Adoption of worldcoin digital wallet in Thailand. Research in Globalization, 7, 100179. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.resglo.2023.100179 Kurnia, P. R., Pangaribuan, J. H., & Sitio, R. P. (2023). Digital wallet users in Indonesia: Factors affecting consumer satisfaction and consumer loyalty. Business Innovation and Engineering Conference, Munawwir, A. W. (1997). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (14 ed.). Pustaka Progressif. Nawawi, M. b. U. b. A. b. N. A.-J. A. A. M. t. (2002). Nihayah Az-Zain fi Irsyad Al Mubtadiin. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Ojo, A. O., Fawehinmi, O., Ojo, O. T., Arasanmi, C., & Tan, C. N.-L. (2022). Consumer usage intention of electronic wallets during the COVID-19 pandemic in Malaysia. Cogent Business & Management, 9(1), 2056964. https://doi.org/10.1080/23311975.2022.2056964 Sasongko, D. T., Handayani, P. W., & Satria, R. (2022). Analysis of factors affecting continuance use intention of the electronic money application in Indonesia. Procedia Computer Science, 197, 42-50. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.procs.2021.12.116 Widayat, W., Masudin, I., & Satiti, N. R. (2020). E-Money payment: Customers’ adopting factors and the implication for open innovation. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 6(3), 57.https://doi.org/10.3390/joitmc6030057 Yang, M., Mamun, A. A., Mohiuddin, M., Nawi, N. C., & Zainol, N. R. (2021). Cashless transactions: A study on intention and adoption of e-wallets. Sustainability, 13(2), 831. https://doi.org/10.3390/su13020831 Yeoh, G. L. (2022). Factors affecting users’ behavioural intention towards touch ‘N Go E-Wallet in Malaysia. International Journal of Applied Business and International Management (IJABIM), 7(3), 108-120. https://doi.org/10.32535/ijabim.v7i3.2069 Yunoh, M. N. M., Hashim, N. S. M., Musa, Z. C., Muhamad, M., & Bahari, N. (2023). Understanding the factors influencing the adoption of e-wallets by Malaysian youth. Telecommunication Computing Electronics and Control, 21(6), 1298-1307. https://doi.org/10.12928/telkomnika.v21i6.24082 Zaid Kilani, A. A.-H., Kakeesh, D. F., Al-Weshah, G. A., & Al-Debei, M. M. (2023). Consumer post-adoption of e-wallet: An extended UTAUT2 perspective with trust. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 9(3), 100113. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.joitmc.2023.100113 https://www.bi.go.id/id/publikasi/peraturan/Pages/pbi_184016.aspx https://www.bi.go.id/id/edukasi/Pages/Apa-itu-Uang-Elektronik.aspx   Silakan Unduh Jurnal Scopus “ISLAMIC LAW ON BALANCE TOP-UPS IN DIGITAL WALLETS“   Download   –   Salatiga, 19 Ramadhan 1445 H, 30 Maret 2024 Al-Faqir ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital dompet elektronik e-wallet hukum fikih hukum Islam ijarah isi ulang saldo review akad sharf transaksi keuangan utang piutang wadiah

Sebab-Sebab Lapangnya Hati

Dalam tulisan kami sebelumnya berjudul, “Nikmat Lapangnya Hati”, kami membahas salah satu nikmat yang besar, yaitu nikmat kelapangan hati. Hati yang lapang merupakan nikmat Allah Ta’ala yang sangat besar bagi kehidupan seorang hamba. Dalam tulisan kali ini, kami sebutkan sejumlah sebab dan sarana yang bisa mendatangkan kelapangan hati tersebut. Sebab pertama, tauhid dan ikhlas dalam menjalankan agama. Tauhid dan ikhlas merupakan sebab yang paling penting dalam memperoleh kelapangan hati dan sebagai sebuah tujuan ketika Allah menciptakan makhluk. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Semakin besar nilai tauhid yang diwujudkan oleh seorang hamba dalam hidupnya, maka akan semakin sempurna pula kelapangan dan ketenangan hati yang akan dia dapatkan. Selain itu, dia pun semakin berbahagia di dunia dan akhirat. Sebab kedua, cahaya iman yang Allah tanamkan dalam hati seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman, أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya?)” (QS. Az-Zumar: 22) Makna ayat ini adalah bahwa dia berada di dalam cahaya (iman) sebagai kepanjangan dari Allah dan karunia dari-Nya. Hal ini karena cahaya iman tersebut akan menyebabkan kelapangan hati dan juga akan menghadirkan kebahagiaan di dalam hati. Jika cahaya iman itu hilang, maka hati akan sempit, sesak, sedih, dan gelisah. Kadar kelapangan hati yang didapat oleh seorang hamba itu sesuai dengan seberapa terang cahaya iman itu bersinar di dalam hatinya. (Lihat Zaadul Ma’ad, 2: 28) Sebab ketiga, ilmu agama yang bermanfaat. Setiap kali ilmu agama seseorang bertambah, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan sunah Nabi shalllallahu ’alaihi wasallam, maka akan semakin bertambah pula kelapangan hatinya. Kehidupannya pun akan semakin baik. Ilmu agama tersebut akan memuliakan dan meninggikan derajat seseorang. Ilmu juga akan membahagiakan pemiliknya. Kesuksesan yang diimpikan seorang hamba di dunia dan akhirat itu didapat melalui ilmu agama. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan, يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Sebab keempat, kembali kepada Allah, menerima dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya, serta senang (bahagia) ketika melakukan ibadah. Karena taat kepada Allah dan ibadah kepada-Nya, adalah istirahatnya hati dan dan kebahagiaan di dalam dada.  Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sesuatu apapun yang dapat melapangkan hati melebihi kesadaran untuk selalu taat kepada Allah, menerima perintah dan larangan Allah, dan bernikmat-nikmat dengan ibadah. Hingga ada yang sampai mengatakan, “Jika aku di surga merasakan keadaan seperti itu, itu artinya aku berada dalam hidup yang baik.” (Zaadul Ma’ad, 2: 29) Salat misalnya, betapa hati dibuat menjadi sejuk karena mendirikan salat, betapa pikiran menjadi tenang karenanya. Dan betapa hening hati orang beriman karenanya. Sampai-sampai Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabda, قم يا بلال أقم فأرحنا بالصلاة “Berdirilah, wahai Bilal. Lantunkanlah ikamah, istirahatkanlah kami dengan (mendirikan) salat.” (HR. Abu Dawud no. 4986. Dinilai sahih oleh Al-Albani) Sebab kelima, merutinkan zikir. Karena rutin berzikir mengingat Allah Ta’ala adalah sebab yang paling besar untuk meraih ketenteraman hati, kelapangan jiwa, dan hilangnya kesedihan dan kegelisahan. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Baca juga: Mendeteksi Kesucian Hati Sebab keenam, berbuat baik (ihsan) kepada sesama. Allah Ta’ala memerintahkan, وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ “Berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195) Berbuat ihsan kepada sesama makhluk dapat dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan konkrit maupun abstrak. Bisa dengan kedudukan, harta, musyawarah, atau dengan empati kepada sesama. Seseorang yang berbuat ihsan kepada sesama, maka akan Allah Ta’ala balas dengan kelapangan hati, dimudahkan urusan hidupnya, serta akan mendapatkan kesuksesan saat ini maupun di masa yang akan datang. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من نفَّسَ عن مسلمٍ كُربةً مِن كُربِ الدُّنيا نفَّسَ اللَّهُ عنهُ كربةً مِن كُرَبِ يومِ القيامةِ ، ومن يسَّرَ على مُعسرٍ في الدُّنيا يسَّرَ اللَّهُ عليهِ في الدُّنيا والآخرةِ ، ومن سَترَ على مُسلمٍ في الدُّنيا سترَ اللَّهُ علَيهِ في الدُّنيا والآخرةِ ، واللَّهُ في عونِ العَبدِ ، ما كانَ العَبدُ في عونِ أخيهِ “Siapa saja yang membantu suatu kesulitan dunia yang dialami oleh seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699) Sebab ketujuh, menjauh dari penyakit-penyakit hati. Hati, sebagaimana badan, berpotensi mengidap banyak penyakit. Bahkan penyakit hati tersebut dapat berdampak besar terhadap diri seseorang. Penyakit hati itu seperti hasad, dendam, benci, dan yang lainnya. Penyakit ini akan menyebabkan sesak dan sempitnya hati seseorang, serta dapat mengakibatkan hari-harinya buruk dan gelap. Sehingga sebaliknya, orang yang selamat dari penyakit hati, maka dia akan merasakan kelapangan, ketentraman, dan ketenangan hati. Sebab kedelapan, meninggalkan aktivitas-aktivitas yang tidak bermanfaat. Salah satu sebab kelapangan hati adalah menjaga lisan, telinga, dan mata dari berbicara, mendengar, dan melihat hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat. Jika seseorang menyibukkan diri dengan aktivitas yang tidak bermanfaat, maka hal itu akan membuatnya abai terhadap aktivitas yang penting dan bermanfaat, baik di kehidupan dunia ataupun akhiratnya. Menyibukkan diri dalam hal yang tidak bermanfaat akan membuat hidup terasa sempit, selalu mengeluh, dan susah. Oleh karena itu, seorang mukmin harus berjuang membersihkan hati dan menghiasnya dengan akhlak-akhlak yang baik, memberikan perhatian terhadap etika, selalu waspada menjaga hati dari penyakit-penyakitnya dan menjauh dari apa saja yang dapat membahayakan hati. Sebab kesembilan, mengikuti sunah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dengan baik. Mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wasallam adalah sebab yang paling potensial untuk memperoleh kelapangan hati, bahkan merupakan kunci pembuka seluruh sebab kelapangan hati lainnya. Hal ini karena dengan mengikuti sunah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, seseorang telah mengikuti manusia yang paling lapang hatinya dan paling baik akhlaknya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. As-Syarh: 1) Kelapangan dada yang Allah Ta’ala berikan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam berupa terkumpulnya seluruh sifat yang baik dan etika-etika (akhlak) yang luhur. Oleh karena itu, semakin banyak upaya seseorang mengikuti sunah-sunah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, maka akan semakin lapang hatinya, semakin tenang pikirannya, dan semakin tentram jiwanya. Ya Allah, lapangkanlah hati kami, mudahkan seluruh urusan hidup kami, dan tolonglah kami dalam meniti jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 61; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: lapang hati

Sebab-Sebab Lapangnya Hati

Dalam tulisan kami sebelumnya berjudul, “Nikmat Lapangnya Hati”, kami membahas salah satu nikmat yang besar, yaitu nikmat kelapangan hati. Hati yang lapang merupakan nikmat Allah Ta’ala yang sangat besar bagi kehidupan seorang hamba. Dalam tulisan kali ini, kami sebutkan sejumlah sebab dan sarana yang bisa mendatangkan kelapangan hati tersebut. Sebab pertama, tauhid dan ikhlas dalam menjalankan agama. Tauhid dan ikhlas merupakan sebab yang paling penting dalam memperoleh kelapangan hati dan sebagai sebuah tujuan ketika Allah menciptakan makhluk. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Semakin besar nilai tauhid yang diwujudkan oleh seorang hamba dalam hidupnya, maka akan semakin sempurna pula kelapangan dan ketenangan hati yang akan dia dapatkan. Selain itu, dia pun semakin berbahagia di dunia dan akhirat. Sebab kedua, cahaya iman yang Allah tanamkan dalam hati seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman, أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya?)” (QS. Az-Zumar: 22) Makna ayat ini adalah bahwa dia berada di dalam cahaya (iman) sebagai kepanjangan dari Allah dan karunia dari-Nya. Hal ini karena cahaya iman tersebut akan menyebabkan kelapangan hati dan juga akan menghadirkan kebahagiaan di dalam hati. Jika cahaya iman itu hilang, maka hati akan sempit, sesak, sedih, dan gelisah. Kadar kelapangan hati yang didapat oleh seorang hamba itu sesuai dengan seberapa terang cahaya iman itu bersinar di dalam hatinya. (Lihat Zaadul Ma’ad, 2: 28) Sebab ketiga, ilmu agama yang bermanfaat. Setiap kali ilmu agama seseorang bertambah, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan sunah Nabi shalllallahu ’alaihi wasallam, maka akan semakin bertambah pula kelapangan hatinya. Kehidupannya pun akan semakin baik. Ilmu agama tersebut akan memuliakan dan meninggikan derajat seseorang. Ilmu juga akan membahagiakan pemiliknya. Kesuksesan yang diimpikan seorang hamba di dunia dan akhirat itu didapat melalui ilmu agama. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan, يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Sebab keempat, kembali kepada Allah, menerima dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya, serta senang (bahagia) ketika melakukan ibadah. Karena taat kepada Allah dan ibadah kepada-Nya, adalah istirahatnya hati dan dan kebahagiaan di dalam dada.  Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sesuatu apapun yang dapat melapangkan hati melebihi kesadaran untuk selalu taat kepada Allah, menerima perintah dan larangan Allah, dan bernikmat-nikmat dengan ibadah. Hingga ada yang sampai mengatakan, “Jika aku di surga merasakan keadaan seperti itu, itu artinya aku berada dalam hidup yang baik.” (Zaadul Ma’ad, 2: 29) Salat misalnya, betapa hati dibuat menjadi sejuk karena mendirikan salat, betapa pikiran menjadi tenang karenanya. Dan betapa hening hati orang beriman karenanya. Sampai-sampai Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabda, قم يا بلال أقم فأرحنا بالصلاة “Berdirilah, wahai Bilal. Lantunkanlah ikamah, istirahatkanlah kami dengan (mendirikan) salat.” (HR. Abu Dawud no. 4986. Dinilai sahih oleh Al-Albani) Sebab kelima, merutinkan zikir. Karena rutin berzikir mengingat Allah Ta’ala adalah sebab yang paling besar untuk meraih ketenteraman hati, kelapangan jiwa, dan hilangnya kesedihan dan kegelisahan. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Baca juga: Mendeteksi Kesucian Hati Sebab keenam, berbuat baik (ihsan) kepada sesama. Allah Ta’ala memerintahkan, وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ “Berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195) Berbuat ihsan kepada sesama makhluk dapat dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan konkrit maupun abstrak. Bisa dengan kedudukan, harta, musyawarah, atau dengan empati kepada sesama. Seseorang yang berbuat ihsan kepada sesama, maka akan Allah Ta’ala balas dengan kelapangan hati, dimudahkan urusan hidupnya, serta akan mendapatkan kesuksesan saat ini maupun di masa yang akan datang. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من نفَّسَ عن مسلمٍ كُربةً مِن كُربِ الدُّنيا نفَّسَ اللَّهُ عنهُ كربةً مِن كُرَبِ يومِ القيامةِ ، ومن يسَّرَ على مُعسرٍ في الدُّنيا يسَّرَ اللَّهُ عليهِ في الدُّنيا والآخرةِ ، ومن سَترَ على مُسلمٍ في الدُّنيا سترَ اللَّهُ علَيهِ في الدُّنيا والآخرةِ ، واللَّهُ في عونِ العَبدِ ، ما كانَ العَبدُ في عونِ أخيهِ “Siapa saja yang membantu suatu kesulitan dunia yang dialami oleh seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699) Sebab ketujuh, menjauh dari penyakit-penyakit hati. Hati, sebagaimana badan, berpotensi mengidap banyak penyakit. Bahkan penyakit hati tersebut dapat berdampak besar terhadap diri seseorang. Penyakit hati itu seperti hasad, dendam, benci, dan yang lainnya. Penyakit ini akan menyebabkan sesak dan sempitnya hati seseorang, serta dapat mengakibatkan hari-harinya buruk dan gelap. Sehingga sebaliknya, orang yang selamat dari penyakit hati, maka dia akan merasakan kelapangan, ketentraman, dan ketenangan hati. Sebab kedelapan, meninggalkan aktivitas-aktivitas yang tidak bermanfaat. Salah satu sebab kelapangan hati adalah menjaga lisan, telinga, dan mata dari berbicara, mendengar, dan melihat hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat. Jika seseorang menyibukkan diri dengan aktivitas yang tidak bermanfaat, maka hal itu akan membuatnya abai terhadap aktivitas yang penting dan bermanfaat, baik di kehidupan dunia ataupun akhiratnya. Menyibukkan diri dalam hal yang tidak bermanfaat akan membuat hidup terasa sempit, selalu mengeluh, dan susah. Oleh karena itu, seorang mukmin harus berjuang membersihkan hati dan menghiasnya dengan akhlak-akhlak yang baik, memberikan perhatian terhadap etika, selalu waspada menjaga hati dari penyakit-penyakitnya dan menjauh dari apa saja yang dapat membahayakan hati. Sebab kesembilan, mengikuti sunah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dengan baik. Mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wasallam adalah sebab yang paling potensial untuk memperoleh kelapangan hati, bahkan merupakan kunci pembuka seluruh sebab kelapangan hati lainnya. Hal ini karena dengan mengikuti sunah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, seseorang telah mengikuti manusia yang paling lapang hatinya dan paling baik akhlaknya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. As-Syarh: 1) Kelapangan dada yang Allah Ta’ala berikan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam berupa terkumpulnya seluruh sifat yang baik dan etika-etika (akhlak) yang luhur. Oleh karena itu, semakin banyak upaya seseorang mengikuti sunah-sunah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, maka akan semakin lapang hatinya, semakin tenang pikirannya, dan semakin tentram jiwanya. Ya Allah, lapangkanlah hati kami, mudahkan seluruh urusan hidup kami, dan tolonglah kami dalam meniti jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 61; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: lapang hati
Dalam tulisan kami sebelumnya berjudul, “Nikmat Lapangnya Hati”, kami membahas salah satu nikmat yang besar, yaitu nikmat kelapangan hati. Hati yang lapang merupakan nikmat Allah Ta’ala yang sangat besar bagi kehidupan seorang hamba. Dalam tulisan kali ini, kami sebutkan sejumlah sebab dan sarana yang bisa mendatangkan kelapangan hati tersebut. Sebab pertama, tauhid dan ikhlas dalam menjalankan agama. Tauhid dan ikhlas merupakan sebab yang paling penting dalam memperoleh kelapangan hati dan sebagai sebuah tujuan ketika Allah menciptakan makhluk. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Semakin besar nilai tauhid yang diwujudkan oleh seorang hamba dalam hidupnya, maka akan semakin sempurna pula kelapangan dan ketenangan hati yang akan dia dapatkan. Selain itu, dia pun semakin berbahagia di dunia dan akhirat. Sebab kedua, cahaya iman yang Allah tanamkan dalam hati seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman, أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya?)” (QS. Az-Zumar: 22) Makna ayat ini adalah bahwa dia berada di dalam cahaya (iman) sebagai kepanjangan dari Allah dan karunia dari-Nya. Hal ini karena cahaya iman tersebut akan menyebabkan kelapangan hati dan juga akan menghadirkan kebahagiaan di dalam hati. Jika cahaya iman itu hilang, maka hati akan sempit, sesak, sedih, dan gelisah. Kadar kelapangan hati yang didapat oleh seorang hamba itu sesuai dengan seberapa terang cahaya iman itu bersinar di dalam hatinya. (Lihat Zaadul Ma’ad, 2: 28) Sebab ketiga, ilmu agama yang bermanfaat. Setiap kali ilmu agama seseorang bertambah, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan sunah Nabi shalllallahu ’alaihi wasallam, maka akan semakin bertambah pula kelapangan hatinya. Kehidupannya pun akan semakin baik. Ilmu agama tersebut akan memuliakan dan meninggikan derajat seseorang. Ilmu juga akan membahagiakan pemiliknya. Kesuksesan yang diimpikan seorang hamba di dunia dan akhirat itu didapat melalui ilmu agama. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan, يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Sebab keempat, kembali kepada Allah, menerima dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya, serta senang (bahagia) ketika melakukan ibadah. Karena taat kepada Allah dan ibadah kepada-Nya, adalah istirahatnya hati dan dan kebahagiaan di dalam dada.  Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sesuatu apapun yang dapat melapangkan hati melebihi kesadaran untuk selalu taat kepada Allah, menerima perintah dan larangan Allah, dan bernikmat-nikmat dengan ibadah. Hingga ada yang sampai mengatakan, “Jika aku di surga merasakan keadaan seperti itu, itu artinya aku berada dalam hidup yang baik.” (Zaadul Ma’ad, 2: 29) Salat misalnya, betapa hati dibuat menjadi sejuk karena mendirikan salat, betapa pikiran menjadi tenang karenanya. Dan betapa hening hati orang beriman karenanya. Sampai-sampai Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabda, قم يا بلال أقم فأرحنا بالصلاة “Berdirilah, wahai Bilal. Lantunkanlah ikamah, istirahatkanlah kami dengan (mendirikan) salat.” (HR. Abu Dawud no. 4986. Dinilai sahih oleh Al-Albani) Sebab kelima, merutinkan zikir. Karena rutin berzikir mengingat Allah Ta’ala adalah sebab yang paling besar untuk meraih ketenteraman hati, kelapangan jiwa, dan hilangnya kesedihan dan kegelisahan. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Baca juga: Mendeteksi Kesucian Hati Sebab keenam, berbuat baik (ihsan) kepada sesama. Allah Ta’ala memerintahkan, وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ “Berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195) Berbuat ihsan kepada sesama makhluk dapat dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan konkrit maupun abstrak. Bisa dengan kedudukan, harta, musyawarah, atau dengan empati kepada sesama. Seseorang yang berbuat ihsan kepada sesama, maka akan Allah Ta’ala balas dengan kelapangan hati, dimudahkan urusan hidupnya, serta akan mendapatkan kesuksesan saat ini maupun di masa yang akan datang. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من نفَّسَ عن مسلمٍ كُربةً مِن كُربِ الدُّنيا نفَّسَ اللَّهُ عنهُ كربةً مِن كُرَبِ يومِ القيامةِ ، ومن يسَّرَ على مُعسرٍ في الدُّنيا يسَّرَ اللَّهُ عليهِ في الدُّنيا والآخرةِ ، ومن سَترَ على مُسلمٍ في الدُّنيا سترَ اللَّهُ علَيهِ في الدُّنيا والآخرةِ ، واللَّهُ في عونِ العَبدِ ، ما كانَ العَبدُ في عونِ أخيهِ “Siapa saja yang membantu suatu kesulitan dunia yang dialami oleh seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699) Sebab ketujuh, menjauh dari penyakit-penyakit hati. Hati, sebagaimana badan, berpotensi mengidap banyak penyakit. Bahkan penyakit hati tersebut dapat berdampak besar terhadap diri seseorang. Penyakit hati itu seperti hasad, dendam, benci, dan yang lainnya. Penyakit ini akan menyebabkan sesak dan sempitnya hati seseorang, serta dapat mengakibatkan hari-harinya buruk dan gelap. Sehingga sebaliknya, orang yang selamat dari penyakit hati, maka dia akan merasakan kelapangan, ketentraman, dan ketenangan hati. Sebab kedelapan, meninggalkan aktivitas-aktivitas yang tidak bermanfaat. Salah satu sebab kelapangan hati adalah menjaga lisan, telinga, dan mata dari berbicara, mendengar, dan melihat hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat. Jika seseorang menyibukkan diri dengan aktivitas yang tidak bermanfaat, maka hal itu akan membuatnya abai terhadap aktivitas yang penting dan bermanfaat, baik di kehidupan dunia ataupun akhiratnya. Menyibukkan diri dalam hal yang tidak bermanfaat akan membuat hidup terasa sempit, selalu mengeluh, dan susah. Oleh karena itu, seorang mukmin harus berjuang membersihkan hati dan menghiasnya dengan akhlak-akhlak yang baik, memberikan perhatian terhadap etika, selalu waspada menjaga hati dari penyakit-penyakitnya dan menjauh dari apa saja yang dapat membahayakan hati. Sebab kesembilan, mengikuti sunah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dengan baik. Mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wasallam adalah sebab yang paling potensial untuk memperoleh kelapangan hati, bahkan merupakan kunci pembuka seluruh sebab kelapangan hati lainnya. Hal ini karena dengan mengikuti sunah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, seseorang telah mengikuti manusia yang paling lapang hatinya dan paling baik akhlaknya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. As-Syarh: 1) Kelapangan dada yang Allah Ta’ala berikan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam berupa terkumpulnya seluruh sifat yang baik dan etika-etika (akhlak) yang luhur. Oleh karena itu, semakin banyak upaya seseorang mengikuti sunah-sunah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, maka akan semakin lapang hatinya, semakin tenang pikirannya, dan semakin tentram jiwanya. Ya Allah, lapangkanlah hati kami, mudahkan seluruh urusan hidup kami, dan tolonglah kami dalam meniti jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 61; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: lapang hati


Dalam tulisan kami sebelumnya berjudul, “Nikmat Lapangnya Hati”, kami membahas salah satu nikmat yang besar, yaitu nikmat kelapangan hati. Hati yang lapang merupakan nikmat Allah Ta’ala yang sangat besar bagi kehidupan seorang hamba. Dalam tulisan kali ini, kami sebutkan sejumlah sebab dan sarana yang bisa mendatangkan kelapangan hati tersebut. Sebab pertama, tauhid dan ikhlas dalam menjalankan agama. Tauhid dan ikhlas merupakan sebab yang paling penting dalam memperoleh kelapangan hati dan sebagai sebuah tujuan ketika Allah menciptakan makhluk. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) Semakin besar nilai tauhid yang diwujudkan oleh seorang hamba dalam hidupnya, maka akan semakin sempurna pula kelapangan dan ketenangan hati yang akan dia dapatkan. Selain itu, dia pun semakin berbahagia di dunia dan akhirat. Sebab kedua, cahaya iman yang Allah tanamkan dalam hati seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman, أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya?)” (QS. Az-Zumar: 22) Makna ayat ini adalah bahwa dia berada di dalam cahaya (iman) sebagai kepanjangan dari Allah dan karunia dari-Nya. Hal ini karena cahaya iman tersebut akan menyebabkan kelapangan hati dan juga akan menghadirkan kebahagiaan di dalam hati. Jika cahaya iman itu hilang, maka hati akan sempit, sesak, sedih, dan gelisah. Kadar kelapangan hati yang didapat oleh seorang hamba itu sesuai dengan seberapa terang cahaya iman itu bersinar di dalam hatinya. (Lihat Zaadul Ma’ad, 2: 28) Sebab ketiga, ilmu agama yang bermanfaat. Setiap kali ilmu agama seseorang bertambah, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan sunah Nabi shalllallahu ’alaihi wasallam, maka akan semakin bertambah pula kelapangan hatinya. Kehidupannya pun akan semakin baik. Ilmu agama tersebut akan memuliakan dan meninggikan derajat seseorang. Ilmu juga akan membahagiakan pemiliknya. Kesuksesan yang diimpikan seorang hamba di dunia dan akhirat itu didapat melalui ilmu agama. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan, يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Sebab keempat, kembali kepada Allah, menerima dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya, serta senang (bahagia) ketika melakukan ibadah. Karena taat kepada Allah dan ibadah kepada-Nya, adalah istirahatnya hati dan dan kebahagiaan di dalam dada.  Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sesuatu apapun yang dapat melapangkan hati melebihi kesadaran untuk selalu taat kepada Allah, menerima perintah dan larangan Allah, dan bernikmat-nikmat dengan ibadah. Hingga ada yang sampai mengatakan, “Jika aku di surga merasakan keadaan seperti itu, itu artinya aku berada dalam hidup yang baik.” (Zaadul Ma’ad, 2: 29) Salat misalnya, betapa hati dibuat menjadi sejuk karena mendirikan salat, betapa pikiran menjadi tenang karenanya. Dan betapa hening hati orang beriman karenanya. Sampai-sampai Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabda, قم يا بلال أقم فأرحنا بالصلاة “Berdirilah, wahai Bilal. Lantunkanlah ikamah, istirahatkanlah kami dengan (mendirikan) salat.” (HR. Abu Dawud no. 4986. Dinilai sahih oleh Al-Albani) Sebab kelima, merutinkan zikir. Karena rutin berzikir mengingat Allah Ta’ala adalah sebab yang paling besar untuk meraih ketenteraman hati, kelapangan jiwa, dan hilangnya kesedihan dan kegelisahan. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Baca juga: Mendeteksi Kesucian Hati Sebab keenam, berbuat baik (ihsan) kepada sesama. Allah Ta’ala memerintahkan, وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ “Berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195) Berbuat ihsan kepada sesama makhluk dapat dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan konkrit maupun abstrak. Bisa dengan kedudukan, harta, musyawarah, atau dengan empati kepada sesama. Seseorang yang berbuat ihsan kepada sesama, maka akan Allah Ta’ala balas dengan kelapangan hati, dimudahkan urusan hidupnya, serta akan mendapatkan kesuksesan saat ini maupun di masa yang akan datang. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من نفَّسَ عن مسلمٍ كُربةً مِن كُربِ الدُّنيا نفَّسَ اللَّهُ عنهُ كربةً مِن كُرَبِ يومِ القيامةِ ، ومن يسَّرَ على مُعسرٍ في الدُّنيا يسَّرَ اللَّهُ عليهِ في الدُّنيا والآخرةِ ، ومن سَترَ على مُسلمٍ في الدُّنيا سترَ اللَّهُ علَيهِ في الدُّنيا والآخرةِ ، واللَّهُ في عونِ العَبدِ ، ما كانَ العَبدُ في عونِ أخيهِ “Siapa saja yang membantu suatu kesulitan dunia yang dialami oleh seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699) Sebab ketujuh, menjauh dari penyakit-penyakit hati. Hati, sebagaimana badan, berpotensi mengidap banyak penyakit. Bahkan penyakit hati tersebut dapat berdampak besar terhadap diri seseorang. Penyakit hati itu seperti hasad, dendam, benci, dan yang lainnya. Penyakit ini akan menyebabkan sesak dan sempitnya hati seseorang, serta dapat mengakibatkan hari-harinya buruk dan gelap. Sehingga sebaliknya, orang yang selamat dari penyakit hati, maka dia akan merasakan kelapangan, ketentraman, dan ketenangan hati. Sebab kedelapan, meninggalkan aktivitas-aktivitas yang tidak bermanfaat. Salah satu sebab kelapangan hati adalah menjaga lisan, telinga, dan mata dari berbicara, mendengar, dan melihat hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat. Jika seseorang menyibukkan diri dengan aktivitas yang tidak bermanfaat, maka hal itu akan membuatnya abai terhadap aktivitas yang penting dan bermanfaat, baik di kehidupan dunia ataupun akhiratnya. Menyibukkan diri dalam hal yang tidak bermanfaat akan membuat hidup terasa sempit, selalu mengeluh, dan susah. Oleh karena itu, seorang mukmin harus berjuang membersihkan hati dan menghiasnya dengan akhlak-akhlak yang baik, memberikan perhatian terhadap etika, selalu waspada menjaga hati dari penyakit-penyakitnya dan menjauh dari apa saja yang dapat membahayakan hati. Sebab kesembilan, mengikuti sunah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dengan baik. Mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wasallam adalah sebab yang paling potensial untuk memperoleh kelapangan hati, bahkan merupakan kunci pembuka seluruh sebab kelapangan hati lainnya. Hal ini karena dengan mengikuti sunah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, seseorang telah mengikuti manusia yang paling lapang hatinya dan paling baik akhlaknya. Allah Ta’ala berfirman, أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. As-Syarh: 1) Kelapangan dada yang Allah Ta’ala berikan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam berupa terkumpulnya seluruh sifat yang baik dan etika-etika (akhlak) yang luhur. Oleh karena itu, semakin banyak upaya seseorang mengikuti sunah-sunah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, maka akan semakin lapang hatinya, semakin tenang pikirannya, dan semakin tentram jiwanya. Ya Allah, lapangkanlah hati kami, mudahkan seluruh urusan hidup kami, dan tolonglah kami dalam meniti jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Baca juga: Obat bagi Hati yang Gelisah *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 61; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: lapang hati

Beberapa Pelajaran dari Turunnya Al-Qur’an

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Ada beberapa pelajaran berharga yang kita bisa petik dari turunnya Al-Qur’an :  1. Al-Qur’an diturunkan di bulan Ramadan Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah: 185). Ayat ini adalah dalil bahwa Al-Qur’an diturunkan di bulan Ramadan. Sebagaimana juga ayat lain: إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ “Sesungguhnya kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam lailatul qadr” (QS. Al-Qadr: 1). Juga firman Allah ta’ala: إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ “Sesungguhnya kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam yang penuh keberkahan” (QS. Ad-Dukhan: 3) Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah ta’ala memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an Al-Azhim” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/501) Bahkan selain Al-Qur’an, Ramadan juga adalah bulan diturunkannya kitab-kitab Allah sebelumnya. Imam Ibnu Katsir membawakan dalil akan hal ini, yaitu sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan. Taurat diturunkan pada malam ke 7 bulan Ramadan. Injil diturunkan pada malam ke-14 Ramadan. Sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam ke-25 bulan Ramadan” (dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1575) Imam Ath-Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al-Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu: أنزل القرآنُ كله جملةً واحدةً في ليلة القدر في رمضان، إلى السماء الدنيا، فكان الله إذا أراد أن يحدث في الأرض شَئًيا أنزله منه، حتى جمعه “Al-Qur’an diturunkan sekaligus di malam lailatul qadar pada bulan Ramadan, ke langit dunia. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu ke dunia, ia (Al-Qur’an) diturunkan dari langit dunia (bagian demi bagian) hingga akhirnya dikumpulkan” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2818) Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu juga berkata: أنزل الله القرآن إلى السماء الدنيا في ليلة القدر، فكان الله إذا أراد أن يُوحِيَ منه شيئًا أوحاه “Allah menurunkan Al-Qur’an ke langit dunia di malam lailatul qadar. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu, Ia mewahyukannya” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2816). Jelaslah bahwa yang dimaksud turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadan adalah turunnya Al-Qur’an ke langit dunia secara sekaligus. Namun, sebagian ulama juga mengatakan bahwa turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam juga terjadi di bulan Ramadan. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri mengatakan: وبعد النظر والتأمل في القرائن والدلائل يمكن لنا أن نحدد ذلك اليوم بأنه كان يوم الاثنين لإحدى وعشرين مضت من شهر رمضان ليلا، ويوافق 10 أغسطس سنة 610م “Setelah menelaah dan memperhatikan indikasi-indikasi serta bukti-bukti, kita bisa mengatakan memperkirakan bahwa turunnya wahyu pertama itu terjadi pada hari Senin tanggal 21 Ramadan di malam hari. Bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 M” (Ar-Rakhiqul Makhtum, hal. 59). 2. Al-Qur’an itu diturunkan bukan diciptakan Al-Qur’an adalah firman Allah, ia turun dari Allah, sehingga ia bukan makhluk. Para ulama Ahlussunnah mengatakan, إن القرآن كلام الله، منزل غير مخلوق، منه بدأ، و إليه يعود “Al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan dari Allah, bukan diciptakan, Al-Qur’an berasal hanya dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya”. Dalilnya, Allah ta’ala berfirman: تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Turunnya Al-Qur’an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam” (QS. As-Sajdah: 2) Allah ta’ala juga berfirman: ( وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) “Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya” (QS. Al-An’am: 114). Allah ta’ala juga berfirman: ( قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) النحل/ 102 “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar” (QS. An-Nahl: 102). Oleh karena itu jelaslah bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang turun dari Allah, bukan makhluk. Dan ini adalah akidah yang disepakati oleh para ulama salaf terdahulu. Ibnu Abi Hatim rahimahullah mengatakan, سألت أبي وأبا زرعة عن مذاهب أهل السنة في أصول الدين ، وما أدركا عليه العلماء في جميع الأمصار ، وما يعتقدان من ذلك ؟ فقالا : ” أدركنا العلماء في جميع الأمصار : حجازا ، وعراقا ، وشاما ، ويمنا ، فكان من مذهبهم : الإيمان قول وعمل يزيد وينقص ، والقرآن كلام الله غير مخلوق بجميع جهاته ” “Aku bertanya kepada Bapakku dan Abu Zur’ah tentang mazhab Ahlussunnah dalam dasar-dasar Agama Islam dan apa yang mereka berdua ketahui tentang keyakinan para Ulama dari berbagai negeri serta apa yang mereka berdua yakini. Mereka berdua berkata, ’Kami dapatkan para ulama dari berbagai negeri, baik Hijaz, Irak, Syam, Yaman, maka di antara mazhab mereka iman itu ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, serta Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk, ditinjau dari segala sisinya’” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah lil Laalika’i, 1/198). Sementara sekte Jahmiyah dan Mu’tazilah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah. Mereka tidak meyakini bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah firman Allah. Adapun Asya’irah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, namun yang merupakan kalamullah adalah kalam nafsi yang abstrak tanpa huruf dan suara. Sehingga yang dari Allah adalah konten dan ide dari Al-Qur’an, adapun teks dan hurufnya bukan firman Allah. 3. Turunnya Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah ada di langit  Turunnya Al-Qur’an dari Allah ta’ala adalah salah satu dalil bahwa Allah ta’ala Maha Tinggi di atas seluruh hambanya. Dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah ta’ala itu Maha Tinggi itu sangatlah banyak, baik dari Al-Qur’an, Al Hadis dan ijma salaf. Bahkan Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: إن الآيات والأخبار الدالة على علو الرب على خلقه ,واستوائه على عرشه تقارب الألوف “Ayat-ayat dan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, itu semua mencapai ribuan” (Mukhtashar Ash-Shawaiqul Mursalah, 1/386). 4. Turunnya Al-Qur’an adalah nikmat  Turunnya Al-Qur’an adalah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada para hamba. Allah ta’ala berfirman :  الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3). Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya menjelaskan makna “telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku” : أي : بإكمال الشرائع والأحكام وإظهار دين الإسلام كما وعدتكم “Maksudnya: dengan disempurnakannya syariat dan hukum Islam dan dimenangkannya Islam sebagaimana dijanjikan kepada kalian” (Tafsir Al-Qurthubi, 6/62).  Allah ta’ala berfirman: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ “Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim” (QS. An-Nahl: 89). Allah ta’ala berfirman: يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ “Mereka merasa telah memberimu (rasulullah) kenikmatan dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian, Akan tetapi, Allah lah yang sejatinya melimpahkan nikmat kepada kalian berupa hidayah keimanan, jika kalian adalah orang-orang yang benar” (QS. Al-Hujurat: 17). Maka turunnya Al-Qur’an adalah nikmat yang besar untuk hamba. Karena dengan turunnya Al-Qur’an kita mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, mengenal kebenaran dan kebatilan, mengetahui cara beribadah kepada Allah dan cara menjalani kehidupan ini dengan benar. 5. Hendaknya menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi  Allah ta’ala turunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Maka sudah semestinya kita kembalikan semua permasalahan perselisihan kepada petunjuk Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ “Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim)” (QS. An-Nahl: 89). Allah ta’ala juga berfirman: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59). Tidak layak seorang Mukmin atau Mukminah menjadikan hukum yang lain sebagai patokan kebenaran dan petunjuk, padahal Al-Qur’an adalah petunjuk yang paling benar dan paling baik. Allah ta’ala berfirman: وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS. Al-Ahzab: 36). Ini beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari turunnya Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Cashback, Macam Macam Hawa Nafsu, Doa Perlindungan Untuk Anak Perempuan, Nepotisme Dalam Islam, Ciri Penghuni Surga, Ciri Ciri Mimpi Dari Allah Visited 98 times, 1 visit(s) today Post Views: 732 QRIS donasi Yufid

Beberapa Pelajaran dari Turunnya Al-Qur’an

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Ada beberapa pelajaran berharga yang kita bisa petik dari turunnya Al-Qur’an :  1. Al-Qur’an diturunkan di bulan Ramadan Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah: 185). Ayat ini adalah dalil bahwa Al-Qur’an diturunkan di bulan Ramadan. Sebagaimana juga ayat lain: إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ “Sesungguhnya kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam lailatul qadr” (QS. Al-Qadr: 1). Juga firman Allah ta’ala: إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ “Sesungguhnya kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam yang penuh keberkahan” (QS. Ad-Dukhan: 3) Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah ta’ala memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an Al-Azhim” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/501) Bahkan selain Al-Qur’an, Ramadan juga adalah bulan diturunkannya kitab-kitab Allah sebelumnya. Imam Ibnu Katsir membawakan dalil akan hal ini, yaitu sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan. Taurat diturunkan pada malam ke 7 bulan Ramadan. Injil diturunkan pada malam ke-14 Ramadan. Sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam ke-25 bulan Ramadan” (dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1575) Imam Ath-Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al-Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu: أنزل القرآنُ كله جملةً واحدةً في ليلة القدر في رمضان، إلى السماء الدنيا، فكان الله إذا أراد أن يحدث في الأرض شَئًيا أنزله منه، حتى جمعه “Al-Qur’an diturunkan sekaligus di malam lailatul qadar pada bulan Ramadan, ke langit dunia. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu ke dunia, ia (Al-Qur’an) diturunkan dari langit dunia (bagian demi bagian) hingga akhirnya dikumpulkan” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2818) Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu juga berkata: أنزل الله القرآن إلى السماء الدنيا في ليلة القدر، فكان الله إذا أراد أن يُوحِيَ منه شيئًا أوحاه “Allah menurunkan Al-Qur’an ke langit dunia di malam lailatul qadar. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu, Ia mewahyukannya” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2816). Jelaslah bahwa yang dimaksud turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadan adalah turunnya Al-Qur’an ke langit dunia secara sekaligus. Namun, sebagian ulama juga mengatakan bahwa turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam juga terjadi di bulan Ramadan. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri mengatakan: وبعد النظر والتأمل في القرائن والدلائل يمكن لنا أن نحدد ذلك اليوم بأنه كان يوم الاثنين لإحدى وعشرين مضت من شهر رمضان ليلا، ويوافق 10 أغسطس سنة 610م “Setelah menelaah dan memperhatikan indikasi-indikasi serta bukti-bukti, kita bisa mengatakan memperkirakan bahwa turunnya wahyu pertama itu terjadi pada hari Senin tanggal 21 Ramadan di malam hari. Bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 M” (Ar-Rakhiqul Makhtum, hal. 59). 2. Al-Qur’an itu diturunkan bukan diciptakan Al-Qur’an adalah firman Allah, ia turun dari Allah, sehingga ia bukan makhluk. Para ulama Ahlussunnah mengatakan, إن القرآن كلام الله، منزل غير مخلوق، منه بدأ، و إليه يعود “Al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan dari Allah, bukan diciptakan, Al-Qur’an berasal hanya dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya”. Dalilnya, Allah ta’ala berfirman: تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Turunnya Al-Qur’an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam” (QS. As-Sajdah: 2) Allah ta’ala juga berfirman: ( وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) “Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya” (QS. Al-An’am: 114). Allah ta’ala juga berfirman: ( قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) النحل/ 102 “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar” (QS. An-Nahl: 102). Oleh karena itu jelaslah bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang turun dari Allah, bukan makhluk. Dan ini adalah akidah yang disepakati oleh para ulama salaf terdahulu. Ibnu Abi Hatim rahimahullah mengatakan, سألت أبي وأبا زرعة عن مذاهب أهل السنة في أصول الدين ، وما أدركا عليه العلماء في جميع الأمصار ، وما يعتقدان من ذلك ؟ فقالا : ” أدركنا العلماء في جميع الأمصار : حجازا ، وعراقا ، وشاما ، ويمنا ، فكان من مذهبهم : الإيمان قول وعمل يزيد وينقص ، والقرآن كلام الله غير مخلوق بجميع جهاته ” “Aku bertanya kepada Bapakku dan Abu Zur’ah tentang mazhab Ahlussunnah dalam dasar-dasar Agama Islam dan apa yang mereka berdua ketahui tentang keyakinan para Ulama dari berbagai negeri serta apa yang mereka berdua yakini. Mereka berdua berkata, ’Kami dapatkan para ulama dari berbagai negeri, baik Hijaz, Irak, Syam, Yaman, maka di antara mazhab mereka iman itu ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, serta Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk, ditinjau dari segala sisinya’” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah lil Laalika’i, 1/198). Sementara sekte Jahmiyah dan Mu’tazilah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah. Mereka tidak meyakini bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah firman Allah. Adapun Asya’irah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, namun yang merupakan kalamullah adalah kalam nafsi yang abstrak tanpa huruf dan suara. Sehingga yang dari Allah adalah konten dan ide dari Al-Qur’an, adapun teks dan hurufnya bukan firman Allah. 3. Turunnya Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah ada di langit  Turunnya Al-Qur’an dari Allah ta’ala adalah salah satu dalil bahwa Allah ta’ala Maha Tinggi di atas seluruh hambanya. Dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah ta’ala itu Maha Tinggi itu sangatlah banyak, baik dari Al-Qur’an, Al Hadis dan ijma salaf. Bahkan Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: إن الآيات والأخبار الدالة على علو الرب على خلقه ,واستوائه على عرشه تقارب الألوف “Ayat-ayat dan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, itu semua mencapai ribuan” (Mukhtashar Ash-Shawaiqul Mursalah, 1/386). 4. Turunnya Al-Qur’an adalah nikmat  Turunnya Al-Qur’an adalah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada para hamba. Allah ta’ala berfirman :  الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3). Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya menjelaskan makna “telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku” : أي : بإكمال الشرائع والأحكام وإظهار دين الإسلام كما وعدتكم “Maksudnya: dengan disempurnakannya syariat dan hukum Islam dan dimenangkannya Islam sebagaimana dijanjikan kepada kalian” (Tafsir Al-Qurthubi, 6/62).  Allah ta’ala berfirman: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ “Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim” (QS. An-Nahl: 89). Allah ta’ala berfirman: يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ “Mereka merasa telah memberimu (rasulullah) kenikmatan dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian, Akan tetapi, Allah lah yang sejatinya melimpahkan nikmat kepada kalian berupa hidayah keimanan, jika kalian adalah orang-orang yang benar” (QS. Al-Hujurat: 17). Maka turunnya Al-Qur’an adalah nikmat yang besar untuk hamba. Karena dengan turunnya Al-Qur’an kita mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, mengenal kebenaran dan kebatilan, mengetahui cara beribadah kepada Allah dan cara menjalani kehidupan ini dengan benar. 5. Hendaknya menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi  Allah ta’ala turunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Maka sudah semestinya kita kembalikan semua permasalahan perselisihan kepada petunjuk Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ “Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim)” (QS. An-Nahl: 89). Allah ta’ala juga berfirman: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59). Tidak layak seorang Mukmin atau Mukminah menjadikan hukum yang lain sebagai patokan kebenaran dan petunjuk, padahal Al-Qur’an adalah petunjuk yang paling benar dan paling baik. Allah ta’ala berfirman: وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS. Al-Ahzab: 36). Ini beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari turunnya Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Cashback, Macam Macam Hawa Nafsu, Doa Perlindungan Untuk Anak Perempuan, Nepotisme Dalam Islam, Ciri Penghuni Surga, Ciri Ciri Mimpi Dari Allah Visited 98 times, 1 visit(s) today Post Views: 732 QRIS donasi Yufid
Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Ada beberapa pelajaran berharga yang kita bisa petik dari turunnya Al-Qur’an :  1. Al-Qur’an diturunkan di bulan Ramadan Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah: 185). Ayat ini adalah dalil bahwa Al-Qur’an diturunkan di bulan Ramadan. Sebagaimana juga ayat lain: إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ “Sesungguhnya kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam lailatul qadr” (QS. Al-Qadr: 1). Juga firman Allah ta’ala: إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ “Sesungguhnya kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam yang penuh keberkahan” (QS. Ad-Dukhan: 3) Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah ta’ala memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an Al-Azhim” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/501) Bahkan selain Al-Qur’an, Ramadan juga adalah bulan diturunkannya kitab-kitab Allah sebelumnya. Imam Ibnu Katsir membawakan dalil akan hal ini, yaitu sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan. Taurat diturunkan pada malam ke 7 bulan Ramadan. Injil diturunkan pada malam ke-14 Ramadan. Sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam ke-25 bulan Ramadan” (dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1575) Imam Ath-Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al-Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu: أنزل القرآنُ كله جملةً واحدةً في ليلة القدر في رمضان، إلى السماء الدنيا، فكان الله إذا أراد أن يحدث في الأرض شَئًيا أنزله منه، حتى جمعه “Al-Qur’an diturunkan sekaligus di malam lailatul qadar pada bulan Ramadan, ke langit dunia. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu ke dunia, ia (Al-Qur’an) diturunkan dari langit dunia (bagian demi bagian) hingga akhirnya dikumpulkan” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2818) Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu juga berkata: أنزل الله القرآن إلى السماء الدنيا في ليلة القدر، فكان الله إذا أراد أن يُوحِيَ منه شيئًا أوحاه “Allah menurunkan Al-Qur’an ke langit dunia di malam lailatul qadar. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu, Ia mewahyukannya” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2816). Jelaslah bahwa yang dimaksud turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadan adalah turunnya Al-Qur’an ke langit dunia secara sekaligus. Namun, sebagian ulama juga mengatakan bahwa turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam juga terjadi di bulan Ramadan. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri mengatakan: وبعد النظر والتأمل في القرائن والدلائل يمكن لنا أن نحدد ذلك اليوم بأنه كان يوم الاثنين لإحدى وعشرين مضت من شهر رمضان ليلا، ويوافق 10 أغسطس سنة 610م “Setelah menelaah dan memperhatikan indikasi-indikasi serta bukti-bukti, kita bisa mengatakan memperkirakan bahwa turunnya wahyu pertama itu terjadi pada hari Senin tanggal 21 Ramadan di malam hari. Bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 M” (Ar-Rakhiqul Makhtum, hal. 59). 2. Al-Qur’an itu diturunkan bukan diciptakan Al-Qur’an adalah firman Allah, ia turun dari Allah, sehingga ia bukan makhluk. Para ulama Ahlussunnah mengatakan, إن القرآن كلام الله، منزل غير مخلوق، منه بدأ، و إليه يعود “Al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan dari Allah, bukan diciptakan, Al-Qur’an berasal hanya dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya”. Dalilnya, Allah ta’ala berfirman: تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Turunnya Al-Qur’an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam” (QS. As-Sajdah: 2) Allah ta’ala juga berfirman: ( وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) “Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya” (QS. Al-An’am: 114). Allah ta’ala juga berfirman: ( قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) النحل/ 102 “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar” (QS. An-Nahl: 102). Oleh karena itu jelaslah bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang turun dari Allah, bukan makhluk. Dan ini adalah akidah yang disepakati oleh para ulama salaf terdahulu. Ibnu Abi Hatim rahimahullah mengatakan, سألت أبي وأبا زرعة عن مذاهب أهل السنة في أصول الدين ، وما أدركا عليه العلماء في جميع الأمصار ، وما يعتقدان من ذلك ؟ فقالا : ” أدركنا العلماء في جميع الأمصار : حجازا ، وعراقا ، وشاما ، ويمنا ، فكان من مذهبهم : الإيمان قول وعمل يزيد وينقص ، والقرآن كلام الله غير مخلوق بجميع جهاته ” “Aku bertanya kepada Bapakku dan Abu Zur’ah tentang mazhab Ahlussunnah dalam dasar-dasar Agama Islam dan apa yang mereka berdua ketahui tentang keyakinan para Ulama dari berbagai negeri serta apa yang mereka berdua yakini. Mereka berdua berkata, ’Kami dapatkan para ulama dari berbagai negeri, baik Hijaz, Irak, Syam, Yaman, maka di antara mazhab mereka iman itu ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, serta Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk, ditinjau dari segala sisinya’” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah lil Laalika’i, 1/198). Sementara sekte Jahmiyah dan Mu’tazilah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah. Mereka tidak meyakini bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah firman Allah. Adapun Asya’irah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, namun yang merupakan kalamullah adalah kalam nafsi yang abstrak tanpa huruf dan suara. Sehingga yang dari Allah adalah konten dan ide dari Al-Qur’an, adapun teks dan hurufnya bukan firman Allah. 3. Turunnya Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah ada di langit  Turunnya Al-Qur’an dari Allah ta’ala adalah salah satu dalil bahwa Allah ta’ala Maha Tinggi di atas seluruh hambanya. Dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah ta’ala itu Maha Tinggi itu sangatlah banyak, baik dari Al-Qur’an, Al Hadis dan ijma salaf. Bahkan Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: إن الآيات والأخبار الدالة على علو الرب على خلقه ,واستوائه على عرشه تقارب الألوف “Ayat-ayat dan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, itu semua mencapai ribuan” (Mukhtashar Ash-Shawaiqul Mursalah, 1/386). 4. Turunnya Al-Qur’an adalah nikmat  Turunnya Al-Qur’an adalah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada para hamba. Allah ta’ala berfirman :  الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3). Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya menjelaskan makna “telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku” : أي : بإكمال الشرائع والأحكام وإظهار دين الإسلام كما وعدتكم “Maksudnya: dengan disempurnakannya syariat dan hukum Islam dan dimenangkannya Islam sebagaimana dijanjikan kepada kalian” (Tafsir Al-Qurthubi, 6/62).  Allah ta’ala berfirman: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ “Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim” (QS. An-Nahl: 89). Allah ta’ala berfirman: يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ “Mereka merasa telah memberimu (rasulullah) kenikmatan dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian, Akan tetapi, Allah lah yang sejatinya melimpahkan nikmat kepada kalian berupa hidayah keimanan, jika kalian adalah orang-orang yang benar” (QS. Al-Hujurat: 17). Maka turunnya Al-Qur’an adalah nikmat yang besar untuk hamba. Karena dengan turunnya Al-Qur’an kita mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, mengenal kebenaran dan kebatilan, mengetahui cara beribadah kepada Allah dan cara menjalani kehidupan ini dengan benar. 5. Hendaknya menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi  Allah ta’ala turunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Maka sudah semestinya kita kembalikan semua permasalahan perselisihan kepada petunjuk Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ “Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim)” (QS. An-Nahl: 89). Allah ta’ala juga berfirman: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59). Tidak layak seorang Mukmin atau Mukminah menjadikan hukum yang lain sebagai patokan kebenaran dan petunjuk, padahal Al-Qur’an adalah petunjuk yang paling benar dan paling baik. Allah ta’ala berfirman: وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS. Al-Ahzab: 36). Ini beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari turunnya Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Cashback, Macam Macam Hawa Nafsu, Doa Perlindungan Untuk Anak Perempuan, Nepotisme Dalam Islam, Ciri Penghuni Surga, Ciri Ciri Mimpi Dari Allah Visited 98 times, 1 visit(s) today Post Views: 732 QRIS donasi Yufid


Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Ada beberapa pelajaran berharga yang kita bisa petik dari turunnya Al-Qur’an :  1. Al-Qur’an diturunkan di bulan Ramadan Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah: 185). Ayat ini adalah dalil bahwa Al-Qur’an diturunkan di bulan Ramadan. Sebagaimana juga ayat lain: إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ “Sesungguhnya kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam lailatul qadr” (QS. Al-Qadr: 1). Juga firman Allah ta’ala: إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ “Sesungguhnya kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam yang penuh keberkahan” (QS. Ad-Dukhan: 3) Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah ta’ala memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an Al-Azhim” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/501) Bahkan selain Al-Qur’an, Ramadan juga adalah bulan diturunkannya kitab-kitab Allah sebelumnya. Imam Ibnu Katsir membawakan dalil akan hal ini, yaitu sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan. Taurat diturunkan pada malam ke 7 bulan Ramadan. Injil diturunkan pada malam ke-14 Ramadan. Sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam ke-25 bulan Ramadan” (dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1575) Imam Ath-Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al-Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al-Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu: أنزل القرآنُ كله جملةً واحدةً في ليلة القدر في رمضان، إلى السماء الدنيا، فكان الله إذا أراد أن يحدث في الأرض شَئًيا أنزله منه، حتى جمعه “Al-Qur’an diturunkan sekaligus di malam lailatul qadar pada bulan Ramadan, ke langit dunia. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu ke dunia, ia (Al-Qur’an) diturunkan dari langit dunia (bagian demi bagian) hingga akhirnya dikumpulkan” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2818) Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu juga berkata: أنزل الله القرآن إلى السماء الدنيا في ليلة القدر، فكان الله إذا أراد أن يُوحِيَ منه شيئًا أوحاه “Allah menurunkan Al-Qur’an ke langit dunia di malam lailatul qadar. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu, Ia mewahyukannya” (Tafsir Ath-Thabari, no. 2816). Jelaslah bahwa yang dimaksud turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadan adalah turunnya Al-Qur’an ke langit dunia secara sekaligus. Namun, sebagian ulama juga mengatakan bahwa turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam juga terjadi di bulan Ramadan. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri mengatakan: وبعد النظر والتأمل في القرائن والدلائل يمكن لنا أن نحدد ذلك اليوم بأنه كان يوم الاثنين لإحدى وعشرين مضت من شهر رمضان ليلا، ويوافق 10 أغسطس سنة 610م “Setelah menelaah dan memperhatikan indikasi-indikasi serta bukti-bukti, kita bisa mengatakan memperkirakan bahwa turunnya wahyu pertama itu terjadi pada hari Senin tanggal 21 Ramadan di malam hari. Bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 M” (Ar-Rakhiqul Makhtum, hal. 59). 2. Al-Qur’an itu diturunkan bukan diciptakan Al-Qur’an adalah firman Allah, ia turun dari Allah, sehingga ia bukan makhluk. Para ulama Ahlussunnah mengatakan, إن القرآن كلام الله، منزل غير مخلوق، منه بدأ، و إليه يعود “Al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan dari Allah, bukan diciptakan, Al-Qur’an berasal hanya dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya”. Dalilnya, Allah ta’ala berfirman: تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Turunnya Al-Qur’an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam” (QS. As-Sajdah: 2) Allah ta’ala juga berfirman: ( وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) “Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya” (QS. Al-An’am: 114). Allah ta’ala juga berfirman: ( قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) النحل/ 102 “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar” (QS. An-Nahl: 102). Oleh karena itu jelaslah bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang turun dari Allah, bukan makhluk. Dan ini adalah akidah yang disepakati oleh para ulama salaf terdahulu. Ibnu Abi Hatim rahimahullah mengatakan, سألت أبي وأبا زرعة عن مذاهب أهل السنة في أصول الدين ، وما أدركا عليه العلماء في جميع الأمصار ، وما يعتقدان من ذلك ؟ فقالا : ” أدركنا العلماء في جميع الأمصار : حجازا ، وعراقا ، وشاما ، ويمنا ، فكان من مذهبهم : الإيمان قول وعمل يزيد وينقص ، والقرآن كلام الله غير مخلوق بجميع جهاته ” “Aku bertanya kepada Bapakku dan Abu Zur’ah tentang mazhab Ahlussunnah dalam dasar-dasar Agama Islam dan apa yang mereka berdua ketahui tentang keyakinan para Ulama dari berbagai negeri serta apa yang mereka berdua yakini. Mereka berdua berkata, ’Kami dapatkan para ulama dari berbagai negeri, baik Hijaz, Irak, Syam, Yaman, maka di antara mazhab mereka iman itu ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, serta Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk, ditinjau dari segala sisinya’” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah lil Laalika’i, 1/198). Sementara sekte Jahmiyah dan Mu’tazilah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah. Mereka tidak meyakini bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah firman Allah. Adapun Asya’irah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, namun yang merupakan kalamullah adalah kalam nafsi yang abstrak tanpa huruf dan suara. Sehingga yang dari Allah adalah konten dan ide dari Al-Qur’an, adapun teks dan hurufnya bukan firman Allah. 3. Turunnya Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah ada di langit  Turunnya Al-Qur’an dari Allah ta’ala adalah salah satu dalil bahwa Allah ta’ala Maha Tinggi di atas seluruh hambanya. Dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah ta’ala itu Maha Tinggi itu sangatlah banyak, baik dari Al-Qur’an, Al Hadis dan ijma salaf. Bahkan Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: إن الآيات والأخبار الدالة على علو الرب على خلقه ,واستوائه على عرشه تقارب الألوف “Ayat-ayat dan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, itu semua mencapai ribuan” (Mukhtashar Ash-Shawaiqul Mursalah, 1/386). 4. Turunnya Al-Qur’an adalah nikmat  Turunnya Al-Qur’an adalah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada para hamba. Allah ta’ala berfirman :  الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3). Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya menjelaskan makna “telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku” : أي : بإكمال الشرائع والأحكام وإظهار دين الإسلام كما وعدتكم “Maksudnya: dengan disempurnakannya syariat dan hukum Islam dan dimenangkannya Islam sebagaimana dijanjikan kepada kalian” (Tafsir Al-Qurthubi, 6/62).  Allah ta’ala berfirman: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ “Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim” (QS. An-Nahl: 89). Allah ta’ala berfirman: يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لَّا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ “Mereka merasa telah memberimu (rasulullah) kenikmatan dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian, Akan tetapi, Allah lah yang sejatinya melimpahkan nikmat kepada kalian berupa hidayah keimanan, jika kalian adalah orang-orang yang benar” (QS. Al-Hujurat: 17). Maka turunnya Al-Qur’an adalah nikmat yang besar untuk hamba. Karena dengan turunnya Al-Qur’an kita mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, mengenal kebenaran dan kebatilan, mengetahui cara beribadah kepada Allah dan cara menjalani kehidupan ini dengan benar. 5. Hendaknya menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi  Allah ta’ala turunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Maka sudah semestinya kita kembalikan semua permasalahan perselisihan kepada petunjuk Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ “Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim)” (QS. An-Nahl: 89). Allah ta’ala juga berfirman: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59). Tidak layak seorang Mukmin atau Mukminah menjadikan hukum yang lain sebagai patokan kebenaran dan petunjuk, padahal Al-Qur’an adalah petunjuk yang paling benar dan paling baik. Allah ta’ala berfirman: وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS. Al-Ahzab: 36). Ini beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari turunnya Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Cashback, Macam Macam Hawa Nafsu, Doa Perlindungan Untuk Anak Perempuan, Nepotisme Dalam Islam, Ciri Penghuni Surga, Ciri Ciri Mimpi Dari Allah Visited 98 times, 1 visit(s) today Post Views: 732 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />
Prev     Next