Teks Khotbah Jumat: Menghiasi Diri dengan Kedermawanan

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Menghiasi Diri dengan Kedermawanan

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ  Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan senantiasa menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ataupun dengan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Allah Ta’ala berfirman memberikan teguran kepada hamba-Nya yang berani berbuat kemaksiatan, padahal Allah telah begitu banyak melimpahkan karunia-Nya kepada hamba tersebut, يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” (QS. Al-Infitar: 6) Jemaah yang dimulikan Allah Ta’ala, di antara nama Allah Ta’ala yang Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri adalah “Al-Karim” yang artinya adalah “Maha Pemurah lagi Maha Mulia.” Para ulama menyebutkan bahwa di antara maknanya adalah Allah Ta’ala amatlah banyak kebaikan-Nya, Pemurah lagi Pemberi, dan pemberian-Nya tidaklah pernah habis dan tidak dapat kita hitung. Karena nama dan sifat tersebut, Allah Ta’ala amatlah sayang dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang juga pemurah, dermawan, dan suka memberi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, إنَّ اللهَ كريمٌ يُحبُّ الكُرَماءَ، جوادٌ يُحبُّ الجَوَدَةَ، يُحبُّ معاليَ الأخلاقِ، و يكرَهُ سَفْسافَها “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Pemurah, Dia mencintai orang-orang yang penuh dengan kemurahan dan kedermawanan. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Dia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, dan Dia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, disahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1800) Jika membaca kisah-kisah para nabi atau sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan kita dapati bahwa di antara yang diceritakan adalah bagaimana kedermawanan mereka di dalam memberi dan mengeluarkan hartanya. Lihatlah bagaimana Allah mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tatkala menjamu para malaikat yang datang dengan bentuk menyerupai orang-orang asing yang tidak dikenali. Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ * إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ * فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ * فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘Salam untukmu.’ Ibrahim menjawab, ‘Salam juga bagi kalian, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.’ Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, ‘Silahkan anda makan.’” (QS. Az-Zariyat: 24-27) Lihatlah bagaimana kedermawanan beliau ‘alaihis salam. Beliau hidangkan daging anak sapi yang gemuk untuk tamu-tamu yang bahkan tidak ia kenali. Kedermawanan juga merupakan sifat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan, كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ ، فيأتيه جبريلُ فيعرضُ عليه القرآنَ ، فإذا لقِيَه جبريلُ كان رسولُ اللهِ أجودَ بالخيرِ من الرِّيحِ الْمُرسَلَةِ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadan sampai apabila Jibril telah selesai (menyampaikan wahyu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya, maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308) Saudaraku sekalian, mari kita hiasi diri kita dengan akhlak dermawan, ringan dalam dalam memberi dan membantu orang-orang yang membutuhkan, serta tidak bersedekah hanya di kala lapang saja, namun juga ketika sedang dirundung kesempitan. Begitu besar keutamaan memberi dan menyedekahkan harta, sampai-sampai Allah Ta’ala banyak menyebutkannya di dalam Al-Quran. Di antaranya, الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Orang-orang dermawan yang mengeluarkan harta mereka demi mengharap rida Allah pada malam dan siang hari, baik dengan merahasiakan dan menampakkannya, maka bagi mereka pahala dari Allah Ta’ala. Tidak ada rasa takut pada mereka berkaitan dengan apa yang akan mereka hadapi di akhirat. Dan mereka pun tidak bersedih hati atas kesenangan-kesenangan dunia yang luput dari mereka. Sungguh, sebuah keutamaan yang besar bagi mereka yang dermawan dan mudah dalam bersedekah serta memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah Ta’ala juga menyebutkan bahwa harta yang kita keluarkan sejatinya tidaklah berkurang dan pasti akan diganti oleh-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) Jemaah yang semoga senantiasa Allah bimbing untuk berlaku dermawan, Berikut ini adalah beberapa alasan dan keutamaan yang dapat mendorong kita untuk lebih dermawan dalam kehidupan ini. Yang pertama wahai jemaah sekalian, mereka yang baik dan penyayang kepada siapa pun yang menghuni bumi ini, maka akan mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, الرَّاحِمونَ يرحَمُهم الرَّحمنُ تبارَك وتعالى؛ ارحَموا مَن في الأرضِ يرحَمْكم مَن في السَّماءِ. “Orang yang memberi kasih sayang, maka dia akan mendapatkan kasih sayang dari Ar-Rahman (Allah) Tabaraka Wata’ala. Sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan mendapatkan kasih sayang dari Yang berada di atas langit (Allah).” (HR. Abu Dawud no. 4941, Tirmidzi no. 1924, dan Ahmad no. 6494) Kedua, Allah akan melipatgandakan pahala kedermawanan kita. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تصدَّقَ بعدْلِ تمرَةٍ مِنْ كسبٍ طيِّبٍ ، ولَا يقبَلُ اللهُ إلَّا الطيِّبَ ، فإِنَّ اللهَ يتقبَّلُها بيمينِهِ ، ثُمَّ يُرَبيها لصاحبِها ، كما يُرَبِّى أحدُكم فَلُوَّهُ حتى تكونَ مثلَ الجبَلِ “Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengasuhnya dan merawatnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh dan merawat anak kudanya hingga membesar seperti gunung.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014) Yang ketiga wahai jemaah sekalian, kedermawanan akan menjauhkan kita dari api neraka. Di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاح، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ثُمَّ أعْرَضَ وأَشَاحَ ثَلَاثًا، حتَّى ظَنَنَّا أنَّه يَنْظُرُ إلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: اتَّقُوا النَّارَ ولو بشِقِّ تَمْرَةٍ، فمَن لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. “Jagalah diri kalian dari api neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir, kemudian beliau bersabda lagi, “Jagalah diri kalian dari neraka!” Kemudian beliau berpaling dan menyingkir (tiga kali) hingga kami beranggapan bahwa beliau melihat neraka itu sendiri, selanjutnya beliau bersabda, “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Bukhari no. 6540 dan Muslim no. 1016) Keempat, sedekah akan menjadi naungan di hari kiamat bagi orang yang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga urusannya diputuskan di antara manusia.” (HR. Ahmad no. 17333, dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) Yazid ibnu Habib perawi hadis ini kemudian mengatakan, “Dahulu kala, Abu Mursid (perawi hadis ini dari sahabat Uqbah bin Amir) tidaklah melewati satu hari pun, kecuali ia akan bersedekah dengan sesuatu yang dimilikinya, meskipun itu hanyalah sepotong roti atau bawang merah.” أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Dengan Niat, Pahala Anda Bisa Seperti Orang Kaya Yang Dermawan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Syariat kita adalah syariat yang mulia dan penuh dengan hikmah. Setelah sebelumnya memerintahkan kita untuk berlaku dermawan, Islam juga melarang kita dari perilaku pelit dan kikir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ “Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan.” (HR. Muslim no. 2578) Kaum mukminin yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, Dermawan merupakan salah satu akhlak mulia yang menjadi ciri khas para nabi dan orang-orang saleh, akhlak yang membuahkan banyak sekali keutamaan bagi pelakunya, baik itu di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat nanti. Seorang hamba hendaknya menghiasi dirinya dengan kedermawanan, ringan memberi, bahkan tatkala dirinya juga dalam kondisi membutuhkan. Hendaknya dirinya juga menghindarkan diri dari sifat pelit dan kikir, karena itulah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, اللَهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Bukhari no. 2893) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Antara Kedekatan Kita Dengan Al Qur’an Dan Sifat Dermawan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Khutbah Jumat: Menjaga Hati dari Zina dan Dampak Negatif Media Sosial

Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini.Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!” Khutbah Pertamaالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْنفَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِفَقَالَ اللهُ تَعَالَى:يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًااللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَAmma ba’du …Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman,وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134)“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)Apa itu takwa?Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi),وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ“Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433)Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama.Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina.Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ“Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925)Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar.Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat.Allah Ta’ala berfirman,قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30)Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ“Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338)Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian.Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak.Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya.كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14)Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan).Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442)Hadirin yang dimuliakan Allah,Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga.Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini.Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak.Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah.Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159)Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa.Hadirin sekalian,Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan.اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.”Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُKhutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَااللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَيَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَااللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ،اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ.فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ–Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital

Khutbah Jumat: Menjaga Hati dari Zina dan Dampak Negatif Media Sosial

Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini.Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!” Khutbah Pertamaالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْنفَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِفَقَالَ اللهُ تَعَالَى:يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًااللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَAmma ba’du …Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman,وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134)“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)Apa itu takwa?Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi),وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ“Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433)Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama.Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina.Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ“Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925)Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar.Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat.Allah Ta’ala berfirman,قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30)Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ“Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338)Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian.Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak.Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya.كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14)Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan).Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442)Hadirin yang dimuliakan Allah,Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga.Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini.Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak.Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah.Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159)Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa.Hadirin sekalian,Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan.اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.”Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُKhutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَااللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَيَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَااللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ،اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ.فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ–Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital
Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini.Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!” Khutbah Pertamaالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْنفَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِفَقَالَ اللهُ تَعَالَى:يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًااللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَAmma ba’du …Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman,وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134)“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)Apa itu takwa?Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi),وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ“Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433)Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama.Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina.Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ“Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925)Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar.Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat.Allah Ta’ala berfirman,قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30)Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ“Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338)Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian.Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak.Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya.كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14)Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan).Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442)Hadirin yang dimuliakan Allah,Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga.Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini.Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak.Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah.Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159)Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa.Hadirin sekalian,Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan.اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.”Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُKhutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَااللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَيَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَااللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ،اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ.فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ–Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital


Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini.Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!” Khutbah Pertamaالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْنفَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِفَقَالَ اللهُ تَعَالَى:يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًااللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَAmma ba’du …Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman,وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134)“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)Apa itu takwa?Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi),وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ“Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433)Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama.Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina.Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ“Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925)Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar.Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah,Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat.Allah Ta’ala berfirman,قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30)Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ“Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338)Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian.Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak.Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya.كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14)Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan).Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442)Hadirin yang dimuliakan Allah,Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga.Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini.Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak.Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah.Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159)Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa.Hadirin sekalian,Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan.اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.”Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُKhutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِاللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَاللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَااللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَيَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَاللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَااللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ،اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّااللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ.فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ–Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulMuhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital

Khutbah Jumat: Menjaga Hati dari Zina dan Dampak Negatif Media Sosial

Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital

Khutbah Jumat: Menjaga Hati dari Zina dan Dampak Negatif Media Sosial

Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital
Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital


Dalam era digital yang penuh kemudahan, ancaman terhadap moral dan ketenangan keluarga kian nyata. Media sosial yang seharusnya membawa manfaat, kini justru sering kali menjadi sarana tersebarnya konten tak senonoh yang menggerus nilai akhlak dan agama. Dalam khutbah Jumat kali ini, kita akan membahas bahaya zina yang semakin mengancam, serta solusi Islami untuk menjaga diri dan keluarga dari pengaruh zina ini. Pelajari Khutbah “Bahaya Zina: Waspadai Konten Tak Senonoh!”   Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَ Amma ba’du … Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Untuk meraih surga haruslah dengan takwa karena surga diperuntukkan pada orang yang bertakwa.Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (134) “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Apa itu takwa? Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah. Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi), وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” Inilah hadits shahih yang disebut dengan hadits qudsi diriwayatkan oleh Imam Bukhari.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433) Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Dalam era yang serba digital ini, teknologi berkembang sangat pesat, menawarkan berbagai kemudahan dalam komunikasi dan akses informasi. Namun, di balik kemajuan ini, terdapat ancaman besar yang mengintai moral, terutama dalam lingkungan keluarga. Media sosial yang awalnya sebagai sarana kebaikan kini menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai konten yang merusak nilai-nilai akhlak dan agama. Saat ini, betapa mudahnya konten tak senonoh tersebar di media sosial. Konten yang dahulu dianggap tabu kini begitu mudah diakses, bahkan oleh anak-anak kita, dan seakan sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Tontonan ini tidak hanya merusak hati dan pikiran, tetapi juga membawa godaan besar yang bisa menjerumuskan kita kepada dosa, salah satunya adalah zina. Zina tidak hanya terbatas pada perbuatan fisik atau kemaluan, tetapi mencakup dosa dari pandangan, pendengaran, ucapan, dan langkah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ “Telah ditetapkan bagi setiap keturunan Adam bagian tertentu dari zina yang pasti akan dihadapinya, dan ia tidak dapat menghindarinya. Zina kedua mata adalah melalui pandangan. Zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan hal yang tidak baik. Zina lisan adalah melalui ucapan. Zina tangan adalah dengan menyentuh. Zina kaki adalah dengan melangkah ke arah dosa. Adapun zina hati adalah berupa hasrat dan angan-angan. Kemudian, bagian kemaluanlah yang akan membenarkan atau menolaknya.” (HR. Muslim, no. 6925) Hadits ini menekankan bahwa mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati dapat terlibat dalam zina secara tidak langsung melalui tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tetapi berpotensi memicu dosa yang lebih besar. Baca juga: Bahaya Nonton Film Porno – bagian 01 Hadirin Jama’ah Jumat yang Dirahmati Allah, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kehormatan diri dengan menghindari perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman, قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An-Nur: 30) Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita pun tidak boleh melihat aurat wanita lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama laki-laki lain, begitu pula seorang wanita tidak boleh berbaring dalam satu kain bersama wanita lain.” (HR. Muslim, no. 338) Tontonan tak senonoh ini justru merusak hati kita. Ketika seseorang terus melihat hal yang diharamkan, akan tumbuh ketidakpuasan dalam diri. Bahkan, dampaknya bisa merusak hubungan suami istri, menimbulkan cemburu, ketidakpercayaan, dan kecurigaan. Hal-hal inilah yang banyak memicu keretakan rumah tangga, dan tidak sedikit yang akhirnya berujung pada perceraian. Tontonan yang tidak senonoh ini, jama’ah sekalian, menciptakan bayangan dan fantasi yang jauh dari kenyataan. Ketika seseorang terjebak dalam dunia ilusi tersebut, ia mulai melihat pasangannya dengan kekecewaan, sebab apa yang dibayangkan tidak sama dengan realita. Ini adalah jebakan yang halus namun sangat merusak. Itulah namanya dosa dapat menutup hati pelakunya. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14) Ayat ini menegaskan bahwa dosa dan keburukan yang terus-menerus dilakukan dapat menutupi hati seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa saat seorang hamba melakukan dosa, muncul titik hitam di hatinya. Jika ia berhenti, beristighfar, dan bertaubat, titik itu hilang dan hati kembali bersih. Namun, jika dosa itu diulang, titik hitam tersebut bertambah, hingga akhirnya menutupi seluruh hati. Keadaan inilah yang disebut “raan” – hati yang tertutup oleh dosa, sebagaimana Allah firmankan: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al-Muthoffifin: 14). (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244; Ibnu Hibban, 7:27; Ahmad, 2:297. Tirmidzi menyebut hadits ini sebagai hasan shahih, dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan). Mujahid rahimahullah menggambarkan bahwa hati manusia itu ibarat telapak tangan yang pada awalnya terbuka lebar. Ketika seseorang berbuat dosa, hati tersebut mulai tertutup perlahan, seperti telapak tangan yang mulai tergenggam. Setiap kali dosa dilakukan, satu demi satu jari mulai menutup hingga akhirnya seluruh telapak tangan tertutupi oleh jari-jari. Demikian pula hati, jika terus-menerus berbuat dosa, ia akan tertutup sepenuhnya. (Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7:442) Hadirin yang dimuliakan Allah, Kita semua tahu bahwa Islam memandang hubungan suami istri sebagai anugerah dan amanah yang harus dijaga. Allah berfirman dalam Al-Quran, melarang kita untuk mendekati zina karena perbuatan itu adalah keburukan yang besar. Zina tidak hanya melanggar hukum Allah tetapi juga membawa dampak buruk bagi jiwa, keluarga, dan masyarakat. Zina menghancurkan kesucian hati, menyebabkan ketidaktenangan jiwa, dan merusak keharmonisan dalam keluarga. Untuk itu, Islam memberikan solusi agar kita terhindar dari godaan semacam ini. Pertama, kita harus memperkuat hubungan kita dengan Allah. Dengan menjaga shalat lima waktu dan memperbanyak dzikir, hati kita akan terjaga dari godaan yang merusak. Kedua, penting bagi kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan tidak memandang hal-hal yang diharamkan. Menjaga pandangan adalah perintah Allah dan menjaga hati adalah bagian dari ibadah. Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى. “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan yang tidak disengaja. Maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159) Baca juga: Kiat Menghilangkan Kecanduan Nonton Film Porno – bagian 01 Solusi selanjutnya adalah menjauhi pemicu atau lingkungan yang bisa membawa pada dosa. Batasi diri dari konten yang merusak, baik di media sosial maupun media lainnya. Isi waktu kita dengan hal-hal positif, bersama teman dan lingkungan yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa seorang muslim adalah cerminan dari teman-teman di sekitarnya. Dengan teman yang baik, insyaAllah kita akan terjaga dari godaan dunia yang membawa dosa. Hadirin sekalian, Di akhir khutbah ini, marilah kita bertekad untuk menjaga diri dan keluarga dari bahaya pornografi dan zina. Jadikan keluarga kita sebagai benteng, tempat yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Perbanyaklah rasa syukur terhadap pasangan, pandanglah pasangan kita sebagai karunia dari Allah. Hanya dengan menjaga diri dari dosa dan mematuhi aturan Allah, kita bisa meraih ketenangan hidup yang hakiki. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua, melindungi hati dan keluarga kita dari segala bentuk keburukan. اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, sucikanlah hati-hati kami, dan lindungilah kemaluan kami.” Doa semacam ini pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendoakan seorang pemuda yang ingin berzina. Semoga Allah memberikan ampunan, kesucian hati, dan perlindungan bagi kita semua. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوبَنَا وَطَهِّرْ قُلُوبَنَا وَحَصِّنْ فُرُوجَنَا اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Disusun pada siang hari, Jumat, 6 Jumadal Ula 1446 H, 8 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya zina berzina dakwah keluarga dosa zina jaga keluarga media sosial Menjaga pandangan Pengaruh media sosial pezina pornografi Solusi Islami menjaga keluarga Tantangan moral era digital

Azan Salat Jumat: Satu Kali atau Dua Kali?

Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.

Azan Salat Jumat: Satu Kali atau Dua Kali?

Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.
Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.


Daftar Isi Toggle Definisi azanTentang azan JumatKesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbarAzan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebutPendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat JumatMayoritas ulamaPendapat lainnyaCara melaksanakan azan dua kaliTempat azan pertama yang tidak di masjidDurasi antara dua azan cukup untuk persiapan salatBijak dalam menyikapi perbedaanKesimpulan Al-Qur’an mendorong kaum mukminin untuk mengagungkan syiar-syiar Allah, termasuk azan yang merupakan seruan untuk salat dan keberuntungan. Azan memiliki kedudukan istimewa dalam syariat Islam dan dibahas secara mendalam oleh para ulama. Perbedaan pendapat tentang jumlah azan dalam salat Jumat, terutama mengenai azan pertama yang ditambahkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, memunculkan berbagai pandangan di kalangan para ulama. Perbedaan ini terjadi hingga di berbagai masjid, baik dalam satu kota maupun negara. Berikut adalah penjelasan tentang azan untuk salat Jumat, secara khusus tentang apakah azan tersebut dua kali atau satu kali, dengan menyertakan pendapat dan dalil dari para ulama, dan tata cara azan tersebut. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin. Definisi azan Kalimat ” أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ ” berarti “muazin mengumumkan waktu salat”, yaitu memberitahukan tentang waktu salat. Azan ( أذان ) berasal dari kata yang bermakna pemberitahuan. [1] Dalam firman Allah Ta’ala, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجّ “Dan kumandangkanlah azan (panggilan) kepada manusia untuk (mengerjakan) haji.” (QS. Al-Hajj: 27), maksudnya adalah “beritahukanlah kepada mereka”. Secara istilah, azan didefinisikan sebagai, الإعلام بوقت الصلاة المفروضة بألفاظ معلومة مأثورة على صفة مخصوصة “Pemberitahuan tentang waktu salat wajib dengan lafaz-lafaz yang telah diketahui, sesuai dengan asar dari Nabi, dengan tata cara yang telah ditentukan.” [2] Tentang azan Jumat Sebelum masuk ke pembahasan inti, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu hukum-hukum terkait dengan azan untuk salat Jumat secara umum. Kesepakatan ulama tentang azan setelah imam naik ke mimbar Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai disyariatkannya azan setelah imam naik ke mimbar, karena pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, azan dikumandangkan setelah imam naik ke mimbar.” [3] Azan pertama di Zaura’ sebelum azan tersebut Diriwayatkan oleh Bukhari dari Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, إن الأذان يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام يوم الجمعة على المنبر في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا أَمَرَ عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فإذا به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك “Azan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam duduk di mimbar pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika tiba masa Utsman radhiyallahu ‘anhu dan jumlah jemaah semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk mengumandangkan azan ketiga di Zaura’ (sebuah tempat di pasar). Dan sejak saat itu, hal tersebut terus dilakukan.” (HR. Bukhari no. 874) “Azan ketiga” yang dimaksud oleh Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu adalah azan pertama dan kedua, serta ikamah. Karena disebutkan dalam hadis bahwa ikamah dianggap sebagai azan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua azan ada salat.” (HR. Bukhari no. 598 dan Muslim no. 838) [4] Pendapat para ulama tentang hukum azan kedua untuk salat Jumat Sebagaimana telah diketahui di atas, bahwasanya Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu menambahkan azan kedua (yang dikumandangkan sebelum azan pertama). Sehingga para ulama pun berbeda pendapat mengenai hukum azan kedua untuk salat Jumat tersebut. Mayoritas ulama Mayoritas ulama berpendapat bahwa azan kedua adalah sunah. Komisi Tetap untuk Fatwa, serta ulama seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah, mendukung pendapat ini. Mereka berdalil dengan: Pertama: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, … فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ “Ikutilah sunahku dan sunah para khalifah yang terbimbing, pegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, dan lainnya) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing, dan Utsman bin Affan termasuk di antara mereka, sehingga disyariatkan untuk mengikuti azan beliau. Kedua: Selain itu, ijma‘ para sahabat juga menjadi dasar bahwa ketika Utsman memerintahkan azan kedua, tidak ada satu pun sahabat yang menentangnya. Pendapat lainnya Pendapat lainnya, yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam satu riwayat dan juga diriwayatkan dari Imam Malik, sebagian ulama Hanafi, serta didukung oleh ulama seperti Ash-Shan’ani dan Al-Albani rahimahumullah, mengatakan bahwa penambahan azan kedua yang dilakukan oleh Utsman tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan: Pertama: Perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa, “Azan pertama pada hari Jumat adalah yang dilakukan ketika imam keluar (menuju mimbar), dan yang sebelum itu adalah sesuatu yang baru.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, 1: 470) Ini menunjukkan bahwa azan kedua yang ditambahkan oleh Utsman dianggap sebagai sesuatu yang baru (bid’ah). Kedua: Sejumlah ulama salaf, seperti Al-Hasan dan Atha’, menentang azan kedua tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhuma lebih utama untuk diikuti. Ketiga: Selain itu, mereka berargumen bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu, salah satu dari khalifah yang terbimbing, hanya mengumandangkan satu kali azan di Kufah, dan Ibn Zubair juga hanya mengumandangkan satu kali azan di hari Jumat setelah imam naik ke mimbar. Dari argumen-argumen ini, mereka menyimpulkan bahwa azan kedua tidak disyariatkan. Mereka juga menambahkan bahwa alasan Utsman menambahkan azan kedua adalah karena banyaknya orang dan jauhnya tempat tinggal dari masjid. Namun, di masa sekarang, alasan tersebut sudah tidak relevan, sehingga tidak diperlukan lagi azan kedua. [5] Baca juga: Apakah Berdiri Menjawab Azan atau Salat Tahiyatul Masjid ketika Azan Salat Jumat? Cara melaksanakan azan dua kali Bagi yang menganggap sunahnya azan dua kali (dan ini merupakan pendapat yang kuat) atau menganggap tidak disunahkan, namun mendapatkan situasi dan kondisi tertentu sehingga membutuhkan azan kedua, maka hendaknya memperhatikan tata cara yang dicontohkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, di antaranya: Tempat azan pertama yang tidak di masjid Azan yang diperkenalkan oleh Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak dilakukan di masjid, melainkan di Zaura, suatu tempat yang berada di pasar. Namun, sebagian ulama menyebutkan bahwa Zaura merupakan batu besar di pintu masjid Nabawi. Pendapat ini telah dikritik oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. [6] Durasi antara dua azan cukup untuk persiapan salat Durasi antara dua azan hendaknya cukup lama, misalnya satu jam atau mendekatinya, agar orang-orang dapat hadir dan meninggalkan pekerjaan mereka. Adapun yang terjadi di beberapa masjid, di mana setelah azan pertama langsung diadakan azan kedua, atau terdapat jeda yang sangat singkat, seperti lima menit atau sedikit lebih, itu bertentangan dengan yang dianjurkan. Sebab, tujuan dari azan pertama pada hari Jumat adalah untuk memberi tahu dan mempersiapkan orang-orang bahwa hari itu adalah hari Jumat, dan mereka harus bersiap untuk salat. Jika azan pertama dipanggil dan langsung diikuti oleh azan kedua, maka tujuan dan manfaat dari azan tidak akan tercapai. [7] Bijak dalam menyikapi perbedaan Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (di mana beliau menilai sunahnya azan dua kali untuk salat Jumat) mengatakan, “Apa yang dilakukan masyarakat di sini (yaitu, jarak azan pertama dan kedua adalah 30 – 45 menit), menurut saya, lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan mereka yang hanya mengumandangkan azan pertama ketika waktu Zuhur tiba (yaitu, jarak antara azan pertama dan kedua hanya beberapa menit). Namun, ini tidak berarti kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita, dan ini adalah poin penting yang saya sampaikan kepada para penuntut ilmu. Jika para ulama berbeda pendapat mengenai suatu sunah, dan sebagian mengatakan itu sunah, sementara yang lain mengatakan tidak, bukan berarti mereka yang berpendapat bahwa itu bukan sunah harus menganggap pihak lain sebagai pelaku bid’ah. Tidak sama sekali. Karena, jika kita mencela orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah-masalah seperti ini, maka semua ulama dalam perbedaan pendapat akan menjadi pelaku bid’ah. Karena orang yang mengatakan kepada saya bahwa saya pelaku bid’ah, saya juga bisa mengatakan hal yang sama kepadanya. Maka, para ulama dalam perbedaan pendapat ini akan menjadi ahli bid’ah, dan tidak ada yang berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, jika para ulama rahimahumullah berbeda dalam masalah-masalah yang tidak terkait dengan akidah dan tidak ada unsur bid’ah yang jelas, melainkan hanya perbedaan dalam memahami teks-teks syariat, maka kita katakan bahwa permasalahannya luas, dan tidak ada yang boleh saling mencela sebagai pelaku bid’ah.” [8] Kesimpulan Azan Jumat pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hanya dilakukan satu kali, yaitu setelah imam naik ke mimbar. Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan pertama karena jumlah umat Muslim yang semakin banyak, dengan tujuan memberikan waktu bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Mayoritas ulama mendukung praktik ini sebagai sunah, dengan dalil mengikuti sunah para khalifah yang terbimbing. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa azan kedua tidak diperlukan, karena tidak dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pelaksanaannya, azan pertama dilakukan lebih awal di tempat umum, dan azan kedua dilakukan di masjid saat imam naik ke mimbar untuk memulai khotbah. Wallahu a’lam. Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Doa Setelah Azan *** Rumdin PPIA Sragen, 15 Rabiul akhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi Utama: Al-Mishbahul Munir fii Gharib As-Syarhil Kabir, Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumiy, Darul Faiha-Damaskus, cet. ke-1, 2016 M. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Al-Mishbah Al-Munir, 1: 10. [2] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 165. [3] Al-Mughni, 3: 162. [4] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200. [5] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 200-203. [6] Lihat Shahih Muslim, 4: 1783; Fathul Bari, 2: 394. [7] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 203. [8] Liqa’ Syahri, 9: 69.

Hukum Menggabungkan Mandi Jumat dan Mandi Junub

Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.  Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:  Hukum Mandi JunubMengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat,وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28).Adapun dalil dari hadits ,إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348)Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ“Walaupun tidak keluar mani.”Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub. Hukum Mandi JumatSedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits,مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani).Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284).Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.”Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161)Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285) Kaidah Menggabungkan Dua MandiKetika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu:Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus.Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan.Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah.Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92. Baca juga:Kaidah Menggabungkan NiatCara Mandi JumatSeputar Mandi JumatCara Mandi Junub Referensi:An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub.Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat.–Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub

Hukum Menggabungkan Mandi Jumat dan Mandi Junub

Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.  Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:  Hukum Mandi JunubMengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat,وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28).Adapun dalil dari hadits ,إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348)Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ“Walaupun tidak keluar mani.”Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub. Hukum Mandi JumatSedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits,مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani).Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284).Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.”Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161)Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285) Kaidah Menggabungkan Dua MandiKetika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu:Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus.Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan.Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah.Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92. Baca juga:Kaidah Menggabungkan NiatCara Mandi JumatSeputar Mandi JumatCara Mandi Junub Referensi:An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub.Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat.–Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub
Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.  Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:  Hukum Mandi JunubMengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat,وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28).Adapun dalil dari hadits ,إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348)Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ“Walaupun tidak keluar mani.”Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub. Hukum Mandi JumatSedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits,مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani).Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284).Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.”Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161)Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285) Kaidah Menggabungkan Dua MandiKetika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu:Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus.Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan.Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah.Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92. Baca juga:Kaidah Menggabungkan NiatCara Mandi JumatSeputar Mandi JumatCara Mandi Junub Referensi:An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub.Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat.–Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub


Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.  Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:  Hukum Mandi JunubMengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat,وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28).Adapun dalil dari hadits ,إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348)Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ“Walaupun tidak keluar mani.”Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub. Hukum Mandi JumatSedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits,مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani).Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284).Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.”Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161)Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285) Kaidah Menggabungkan Dua MandiKetika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu:Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus.Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan.Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah.Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92. Baca juga:Kaidah Menggabungkan NiatCara Mandi JumatSeputar Mandi JumatCara Mandi Junub Referensi:An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub.Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat.–Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub

Hukum Menggabungkan Mandi Jumat dan Mandi Junub

Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub

Hukum Menggabungkan Mandi Jumat dan Mandi Junub

Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub
Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub


Dalam praktik mandi dalam Islam, terdapat ketentuan tertentu jika seseorang perlu melakukan dua jenis mandi secara bersamaan. Hal ini mencakup mandi wajib, seperti mandi junub dan mandi setelah haid, serta mandi sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya. Berikut adalah panduan rinci yang memaparkan bagaimana tata cara mandi ganda ini diterapkan, berdasarkan pandangan Mazhab Syafi’i.   Daftar Isi tutup 1. Hukum Mandi Junub 2. Hukum Mandi Jumat 3. Kaidah Menggabungkan Dua Mandi 3.1. Referensi:   Hukum Mandi Junub Mengenai perintah mandi ketika junub disebutkan ayat, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6). Maksud ayat ini kata Asy Syaukani, “(Bagi yang dapati air) ketika junub, hendaklah mandi dengan air.” (Fathul Qadir, 2:28). Adapun dalil dari hadits , إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348) Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Walaupun tidak keluar mani.” Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya mandi ketika junub.   Hukum Mandi Jumat Sedangkan perintah sunnah untuk mandi Jumat disebutkan dalam hadits, مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091, hadits ini dinilai sahih menurut Syaikh Al-Albani). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami -Syafi’i-, mandi Jumat itu sunnah. Mandi Jumat tidaklah wajib yang dihukumi bermaksiat jika ditinggalkan. Hukum mandi Jumat adalah sunnah yang konsekuensinya sama dengan ibadah sunnah yang lain. Inilah pula yang jadi pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in serta ulama setelah itu.” (Al-Majmu’, 4: 284). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mandi jumat itu disunnahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Mandi ini berlaku bagi orang baligh yang menghadiri shalat Jumat dari laki-laki atau perempuan, juga setiap orang yang wajib menghadiri shalat tersebut atau pun tidak. Selain itu tidak disunnahkan.” Imam Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa Imam Syafi’i dan para ulama dalam madzhab Syafi’i menyakatakan, mandi Jumat teranggap jika sudah masuk waktu fajar pada hari Jumat hingga shalat Jumat dilaksanakan. Mandi jumat yang paling afdhol adalah ketika ingin berangkan menuju shalat Jumat. Jika seseorang mandi Jumat sebelum fajar Shubuh pada hari tersebut, tidaklah teranggap.” (Lihat Al-Majmu, 1: 161) Sedangkan mengenai hukum menggabungkan mandi Jumat dan mandi junub telah disebutkan oleh Imam Nawawi, di mana beliau menukil perkataan Ibnu Mundzir bahwa kebanyakan ulama berpendapat, boleh sekali mandi untuk mandi junub dan mandi jumat sekaligus. Inilah yang jadi pendapat Ibnu ‘Umar, Mujahid, Makhul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Asy Syafi’i dan Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata, “Aku berharap seperti itu sah.” (Al-Majmu’, 4: 285)   Kaidah Menggabungkan Dua Mandi Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang memerlukan dua jenis mandi sekaligus, terdapat tiga kategori penting yang harus diperhatikan, yaitu: Jika Keduanya Mandi Wajib Jika kedua jenis mandi tersebut sama-sama diwajibkan, misalnya mandi junub dan mandi setelah haid, maka cukup dengan berniat mengangkat salah satu dari kedua hadats tersebut. Dengan niat ini, status keduanya dianggap terangkat sekaligus. Jika Keduanya Mandi Sunnah Apabila kedua jenis mandi merupakan sunnah, seperti mandi Jumat dan mandi hari raya, cukup dengan berniat untuk satu di antaranya, maka kedua mandi tersebut dianggap terlaksana. Namun, pahala mandi hanya diberikan untuk mandi yang secara khusus diniatkan. Jika Salah Satu Mandi Wajib dan yang Lain Mandi Sunnah Dalam situasi di mana satu jenis mandi adalah wajib dan yang lainnya sunnah, jika seseorang berniat untuk menggabungkan keduanya dalam satu kali mandi, maka kedua tujuan mandi tersebut dianggap tercukupi. Namun, bila niatnya hanya untuk salah satu jenis mandi, maka hal itu tidak mencakupi mandi lainnya. Dalam hal ini, yang lebih utama adalah melaksanakan mandi wajib dan mandi sunnah secara terpisah. Lihat Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii, hlm. 92.   Baca juga: Kaidah Menggabungkan Niat Cara Mandi Jumat Seputar Mandi Jumat Cara Mandi Junub   Referensi: An-Nawawi, Y. b. S. (1427 H). Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy (Cet. ke-2). Dar ‘Alam Al-Kutub. Najib, L. (1445 H). Bidayah Al-Faqih Asy-Syafii Syarh Al-Mukhtashar Al-Lathiif wa Nazhamihi (Cet. ke-2). Dar Almerqat. – Tulisan di tahun 2014 yang direvisi pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan hari raya cara mandi cara mandi jumat hukum mandi jumat mandi haidh mandi hari raya mandi jumat mandi jumat untuk wanita mandi junub

Biografi Abdurrahman bin Auf: Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Biografi Abdurrahman bin Auf: Sahabat Mulia dan Dermawan (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.


Daftar Isi Toggle Abdurrahman di masa Nabi ﷺAbdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘UmarFatwa ketika terjadi wabah amwasFatwa ketika mengambil jizyah orang majusiKetika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Abdurrahman di masa Nabi ﷺ Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang memeluk Islam di awal dakwah Nabi ﷺ. Oleh karena itu, beliau turut berpartisipasi dalam hampir semua peperangan bersama Nabi ﷺ, seperti perang Badar, Uhud, Fathu Makkah, dan lainnya. Ketokohan beliau di kalangan para sahabat tidak perlu diragukan lagi. Berkat seringnya interaksi beliau dengan Nabi ﷺ dan partisipasinya dalam berbagai peperangan bersama Nabi ﷺ, beliau menjadi sahabat yang memiliki kedudukan yang tinggi. Salah seorang sahabat, Sa‘id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Kedudukan Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa‘ad, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa‘id bin Zaid adalah berada di depan Rasulullah ﷺ saat peperangan dan bermakmum di belakang beliau saat salat.” [1] Selain menjadi makmum di belakang Rasulullah ﷺ, Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengimami Rasulullah ﷺ saat perang Tabuk, sebagaimana dikisahkan oleh Al-Mughirah bin Syu‘bah radhiyallahu ‘anhu, فأقْبَلْتُ معهُ حتَّى نَجِدُ النَّاسَ قدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لهمْ فأدْرَكَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ إحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مع النَّاسِ الرَّكْعَةَ الآخِرَةَ، فَلَمَّا سَلَّمَ عبدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ قامَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُتِمُّ صَلاتَهُ فأفْزَعَ ذلكَ المُسْلِمِينَ فأكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ صَلاتَهُ أقْبَلَ عليهم، ثُمَّ قالَ: أحْسَنْتُمْ، أوْ قالَ: قدْ أصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أنْ صَلَّوُا الصَّلاةَ لِوَقْتِها. “Aku menemani Rasulullah sampai beliau mendatangi orang-orang yang sedang salat diimami oleh Abdurrahman bin Auf. Rasulullah ﷺ mendapati satu rakaat terakhir bersama jemaah lainnya. Ketika Abdurrahman mengucapkan salam, Rasulullah ﷺ berdiri untuk menyempurnakan salat beliau. Hal itu mengejutkan kaum muslimin. Mereka pun mengucapkan tasbih. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salat, beliau menghadap mereka lalu bersabda, ‘Kalian sudah melakukan hal yang benar’ atau bersabda, ‘Kalian benar. Kalian melakukan salat pada waktu yang telah ditentukan.’ ” (HR. Muslim no. 274) Abdurrahman bin ‘Auf juga merupakan seorang prajurit yang berani. Ketika perang Uhud berkecamuk, banyak tentara kaum muslimin yang berbalik mundur, sementara Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu tetap bertahan. Sebab itu, beliau kehilangan gigi depannya dan terluka di dua puluh titik, sebagian di antaranya terdapat di kakinya yang menyebabkannya pincang. [2] Abdurrahman sebagai mufti dan penasihat pada masa ‘Umar Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu sahabat yang dimintai fatwa jika terjadi suatu peristiwa atau masalah. Fatwa ketika terjadi wabah amwas Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta saran kepada Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi wabah amwas yang terjadi di wilayah Syam (sekarang mencakup negara Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina) pada tahun 18 H atau 639 M. Saat itu, Umar hendak pergi ke negeri Syam. Ketika Umar baru sampai di Sargh, sebuah desa di lembah Tabuk, beliau bertemu para pimpinan pasukan kaum muslimin, yaitu Abu Ubaidah dan beberapa sahabat lain seperti Khalid bin Walid, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Kala itu, Umar membuat kebijakan untuk membagi pasukan Syam ke beberapa wilayah dan setiap wilayah memiliki pemimpin. Ada yang ditempatkan di Yordania, Damaskus, Palestina, dan Qinnasrin. Para pemimpin pasukan tersebut mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa sebuah wabah telah menyebar di wilayah Syam. Lalu, Umar pun memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil kaum Muhajirin yang pertama masuk Islam. Ketika mereka datang, Umar meminta pendapat kepada mereka, apakah tetap memasuki Syam atau kembali ke Madinah. Maka, Abdurrahman bin Auf pun mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, إذَا سَمِعْتُمْ به بأَرْضٍ فلا تَقْدَمُوا عليه، وإذَا وقَعَ بأَرْضٍ وأَنْتُمْ بهَا، فلا تَخْرُجُوا فِرَارًا منه “Jika kalian mendengar di suatu daerah terjadi wabah, maka jangan datangi. Dan jika di suatu daerah terjadi wabah dalam keadaan kalian di dalamnya, maka janganlah keluar untuk menghindarinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5730) Lalu keesokan harinya, Umar pun kembali ke Madinah bersama para sahabat lainnya. Fatwa ketika mengambil jizyah orang majusi Ketika kaum muslimin melakukan ekspansi ke daerah Persia tahun 22 H, para sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengambil harta rampasan perang (jizyah) dari orang-orang majusi. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Amr bin Dinar, seorang tabiin, beliau berkata, “Aku pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan ‘Amr bin Aus. Pada tahun 70 H, salah seorang tabiin, Bajalah bin Abidah, menceritakan kepada mereka berdua bahwa ia merupakan juru tulis Jaz’u bin Muawiyah, seorang gubernur yang ditunjuk Umar untuk daerah Ahwaz, timur Irak. Datanglah sebuah surat dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu setahun sebelum beliau wafat yang berisi, ‘Pisahkan setiap yang memiliki hubungan mahram dari kalangan kaum majusi.’ Umar saat itu tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga Abdurrahman bin Auf menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengambil jizyah dari kaum majusi dari Hajar.” (HR. Al-Bukhari no. 3156) Dalam riwayat lain, Umar radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan berkata, “Perhatikan orang-orang majusi yang engkau hadapi. Ambillah jizyah dari mereka, karena Abdurrahman bin Auf memberitahuku bahwa Rasulullah ﷺ mengambil jizyah dari majusi Hajar.” (Shahih At-Tirmidzi no. 1586, disahihkan Al-Albani) Ketika Abdurrahman menolak menjadi khalifah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Siyar A‘lam An-Nubala bahwa salah satu amalan terbaik yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘Auf adalah keengganan beliau untuk menjadi khalifah menggantikan Umar radhiyallahu ‘anhu. Sikap beliau ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dalam bersikap dan bentuk kezuhudan. Kisah ini diriwayatkan seorang tabiin, ‘Amr bin Maimun, dalam hadis yang cukup panjang tentang syahidnya Umar dan kisah musyawarah enam sahabat yang ditunjuk Umar untuk menjadi kandidat khalifah yang akan menggantikan beliau. Setelah mengalami penusukan, Umar dibaringkan di kasur dengan dikelilingi keluarga dan para sahabatnya. Abdullah, putra Umar, merasa ajal ayahnya tidak akan lama lagi datang. Lantas, Abdullah menanyakan perihal kepemimpinan selanjutnya. Abdullah berkata, “Berilah wasiat, wahai Amirul Mu`minin, jadikanlah seorang pengganti.” Beliau menjawab: “Aku tidak mendapati seorang yang lebih layak dibandingkan orang-orang yang diridai Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat.” Kemudian beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa‘ad, dan Abdurrahman. Kemudian beliau berkata, “Biarkan Abdullah bin Umar hadir, namun ia tidak ada hak menjadi khalifah,” sebagai ucapan penghibur baginya. “Jika kekhalifahan jatuh kepada Sa‘ad, maka terimalah. Jika tidak, maka mintalah bantuan kepadanya. Sebab, aku pernah mengasingkannya (dari Kufah) bukan karena ia tak mampu atau berkhianat.” Ketika Umar wafat, kami pun berjalan membawa jenazahnya. Lalu, Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah) dan berkata, “Umar meminta izin (untuk dikuburkan di dekat Rasulullah dan Abu Bakar).” ‘Aisyah berkata, “Bawa beliau masuk.” Beliau pun dibawa masuk dan diletakkan di sana bersama dua sahabatnya. Setelah dikuburkan, orang-orang (yang direkomendasikan Umar) membuat pertemuan. Abdurrahman berkata, “Serahkan hak tiga orang dari kalian kepada tiga orang lainnya.” Az-Zubair berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Ali.” Thalhah berkata, “Aku serahkan hakku kepada ‘Utsman.” Dan Sa‘ad berkata, “Aku serahkan hakku kepada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman berkata (kepada ‘Utsman dan ‘Ali), “Siapa di antara kalian yang rela untuk menyerahkan hak kandidatnya kepada yang menurut kalian lebih baik? Allah dan Islam yang akan menjadi saksinya.” Keduanya tetap diam. Abdurrahman berkata, “Akankah kalian berdua menyerahkan urusan ini padaku dan aku jadikan Allah sebagai saksi bahwa aku hanya akan memilih yang terbaik di antara kalian berdua?” Mereka berdua berkata, “Ya.” Lalu Abdurrahman menggandeng salah satu dari mereka (yaitu ‘Ali) dan berkata, “Engkau punya hubungan kekerabatan dengan Rasulullah ﷺ dan salah seorang muslim awal, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku memohon kepadamu demi Allah, jika aku memilihmu sebagai pemimpin, engkau akan berlaku adil. Dan jika aku memilih ‘Utsman sebagai pemimpin, engkau akan mendengarkan dan taat kepadanya.” Kemudian dia mengajak yang lain (yaitu ‘Utsman) ke sisinya dan mengatakan hal yang sama. Setelah ‘Abdurrahman memastikan kesepakatan ini, dia berkata, “Wahai ‘Utsman! Angkat tanganmu.” Maka, dia (yaitu ‘Abdurrahman) memberikan sumpah kepada ‘Utsman, dan kemudian ‘Ali memberikan sumpah setia kepadanya, dan seluruh penduduk (Madinah) memberikan sumpah setia kepadanya.” (HR. Bukhari no. 3700) Pada riwayat di atas, Abdurrahman alih-alih mengajukan dirinya menjadi khalifah, ia justru menjadi penengah di antara keenam kandidat khalifah. Dan ketika kandidat berkurang menjadi tiga, ia menjadi penengah antara ‘Utsman dan ‘Ali dalam memilih khalifah yang baru. Bahkan, disebutkan dalam suatu riwayat dengan sanad milik Ibnu Sa‘ad rahimahullah dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra dari Ummu Bakr bin Al-Miswar dari ayahnya, ia berkata, “Ketika Abdurrahman bin Auf ditunjuk sebagai anggota musyawarah, orang yang paling aku senangi untuk memimpin adalah beliau. Jika beliau menolak, maka Sa‘ad bin Abi Waqqas adalah pilihan selanjutnya.” Lalu, Amr bin Al-Ash mendatangiku dan berkata, “Apa pendapat pamanmu? Apakah dia percaya bahwa orang lain akan diangkat ke posisi ini sementara dia tahu bahwa dia lebih baik dari mereka?” Saya menjawab, “Dia bisa melakukan apa yang dia mau.” Aku pun mendatangi Abdurrahman dan menyebutkan hal itu kepadanya. Dia bertanya, “Siapa yang memberitahumu itu?” Saya menjawab, “Saya tidak bisa memberitahumu.” Dia berkata, “Jika kamu tidak memberitahuku, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Akhirnya, aku pun mengatakan, “Amr bin Al-Ash.” Abdurrahman lalu berkata, “Demi Allah, sebilah belati diletakkan di tenggorokanku dan digeser ke sisi yang lain lebih aku suka daripada hal itu.” [3] Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad [Bersambung] Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fadha`il Ash-Shahabah, karya Imam Ahmad, hal. 327, Al-Maktabah Asy-Syamilah. [2] Siyar A‘lam An-Nubala, 1: 75, cet. Ar-Risalah. [3] Ath-Thabaqat Al-Kubra, hal. 99, Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Hadis: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketigaKandungan keempatKandungan kelimaKandungan keenam Teks Hadis Dari ‘Alqamah, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأةً، وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا حَتى مَاتَ، فَقَال ابْنُ مَسْعُود: لَهَا مِثْلُ صَدَاقِ نسائِهَا، لَا وَكْسَ، وَلَا شَطَطَ، وَعَلَيهَا الْعِدَّةُ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، فَقَامَ مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ الأَشْجَعِيُّ. فَقَال: قَضى رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – في بَرْوَعَ بنتِ وَاشِقٍ -امْرَأَةٍ مِنَّا- مِثْلَ مَا قَضَيتَ، فَفَرحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ. “Dia ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, namun belum menetapkan mahar tertentu untuknya dan belum melakukan hubungan badan dengannya sampai laki-laki tersebut meninggal dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar yang setara dengan wanita-wanita sebayanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.” Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan hal yang sama untuk Barwa’ binti Wasyiq -seorang wanita dari kami- sebagaimana keputusanmu.” Maka Ibnu Mas’ud pun merasa senang dengan hal itu. (HR. Ahmad, 30: 411; Abu Dawud no. 2115; At-Tirmidzi no. 1145; An-Nasa’i, 6: 121; Ibnu Majah no. 1891, hadis sahih) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menunjukkan bahwa wanita berhak mendapatkan mahar secara penuh ketika suaminya meninggal dunia, meskipun suaminya belum menetapkan jenis mahar tertentu dan belum melakukan hubungan badan dengannya. Wallahu a’lam, mungkin hal ini sebagai pelipur lara baginya atas apa yang telah terjadi, yaitu akad nikah tanpa adanya hubungan badan karena kematian suaminya. Ini merupakan musibah bagi sang istri, karena tentunya dia memiliki harapan dari pernikahan tersebut. Hal ini berbeda dengan perceraian, di mana tidak ada hal semacam itu. Dan hukum pertama ini, yaitu haknya untuk mendapatkan mahar, adalah salah satu dari tiga hukum yang terkandung dalam hadis tersebut. Hukum kedua: Wanita tersebut harus menjalani masa iddah kematian, yaitu selama empat bulan dan sepuluh hari. Ini merupakan ijmak ulama, berdasarkan berbagai dalil yang sifatnya umum, seperti firman Allah Ta’ala, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Dan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menunggu diri mereka selama empat bulan dan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234) Ayat ini berlaku umum untuk wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi suami, berbeda halnya dengan wanita yang diceraikan sebelum hubungan badan, yang tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka, maka tidak ada masa iddah bagi mereka yang harus kalian perhitungkan. Berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 49) Hukum ketiga: Wanita tersebut berhak mendapatkan warisan dari suaminya yang telah mengikat akad nikah dengannya sebelum meninggal dunia karena status wanita tersebut adalah istri. Sebab adanya hak waris dari istri adalah semata-mata karena adanya akad nikah, bukan karena adanya hubungan intim. Allah Ta’ala berfirman, وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ “Dan bagi mereka (istri-istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika kalian tidak mempunyai anak.” (QS. An-Nisa: 12) Hukum ketiga ini juga merupakan kesepakatan (ijmak) di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada hukum pertama, seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah, pada kandungan hadis yang ketiga. Kandungan kedua Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa dalam menentukan mahar, hendaknya memperhatikan mahar dari kerabat wanita yang setara dalam setiap sifat (keadaan atau karakter) yang mempengaruhi perbedaan mahar, seperti harta (kekayaan), kecantikan, akal (kecerdasan), adab, usia, serta statusnya apakah gadis atau janda. Kandungan ketiga Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita telah disebutkan (ditetapkan) maharnya dalam akad, kemudian suaminya meninggal dunia, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Namun, terdapat perbedaan pendapat apabila suaminya meninggal dunia dan belum ditentukan maharnya, dengan dua pendapat sebagai berikut: Pendapat pertama: Wanita tersebut berhak mendapatkan mahar secara penuh, yaitu dengan menetapkan mahar mitsil (mahar standar yang setara dengan mahar wanita-wanita lain dari keluarganya). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i [1], yang berdalil dengan hadis ini yang diperkuat oleh putusan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat kedua: Wanita tersebut hanya berhak mendapatkan warisan, namun tidak berhak atas mahar ataupun hak mut’ah (pemberian). Ini adalah pendapat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan lainnya radhiyallahu ‘anhum serta merupakan pendapat mazhab Maliki, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’i [2]. Hal ini berdasarkan qiyas dengan perceraian, yaitu sebagaimana istri yang dicerai sebelum terjadinya hubungan badan dan sebelum ditentukan mahar, maka tidak ada hak mendapatkan mahar baginya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita-wanita sebelum kamu menyentuh mereka (menggauli mereka) atau sebelum kamu menetapkan mahar bagi mereka. Berilah mereka mut’ah (pemberian), bagi yang mampu sesuai kemampuannya dan bagi yang tidak mampu sesuai dengan kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Kewajiban ini adalah hak bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Allah Ta’ala mewajibkan mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan badan (jima’). Yang dimaksud dengan mut’ah adalah suami memberikan kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya, berupa pakaian atau yang lainnya, sebagai bentuk pemberian yang dapat dinikmati (dimanfaatkan). Ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan mahar untuknya. Hak mut’ah hanya dikhususkan bagi wanita yang dicerai, berdasarkan dalil tegas (nash) Al-Qur’an, sehingga tidak ada hak mut’ah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Mereka juga berkata bahwa mahar adalah sebagai ganti atas hubungan suami istri (jima’), dan hal tersebut tidak terjadi, sehingga wanita tidak berhak atas mahar tersebut, diqiyaskan dengan ganti (pembayaran) atas barang yang dijual. Mereka menjawab tentang hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut dengan mengatakan bahwa hadis tersebut lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab perbedaan pendapat ini adalah terkait dengan status keabsahan hadis tersebut. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ijtihad Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dalam masalah ini telah sesuai dengan dalil. Hadis tersebut adalah dalil yang tegas (nash) dalam suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan argumentasi yang dikemukakan dalam pendapat kedua tidak mampu mengalahkan dalil ini. Adapun pernyataan mereka bahwa hak mut’ah (pemberian) hanya disebutkan bagi wanita yang diceraikan, hal itu tidak bisa menjadi dalil atas masalah ini (hak mendapatkan mahar). Hal ini karena Al-Qur’an dan sunnah hanya meniadakan mahar bagi wanita yang diceraikan sebelum jimak dan sebelum mahar ditentukan, bukan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Hukum yang berlaku karena kematian itu berbeda dengan hukum perceraian. Hal ini karena akad nikah tidak dibatalkan oleh kematian, melainkan berakhir karena berakhirnya kehidupan suami, sehingga seluruh hukumnya menjadi berlaku, termasuk mahar. Sementara itu, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan sebelum sempurna, sehingga tidak menetapkan apa pun. Adapun riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum yang berpendapat dengan pendapat kedua, mungkin hadis tersebut tidak sampai kepada mereka. Seperti halnya Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan salah satu ahli fikih di kalangan sahabat, tidak mengetahui hadis (ketetapan) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga beliau pun berijtihad. Kemudian Ma’qil bin Sinan memberitahukan tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata sesuai dengan hasil ijtihad Ibnu Mas’ud. Adapun dalil qiyas (analogi) yang digunakan dalam pendapat kedua, qiyas tersebut tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash (dalil tegas) yang telah terbukti kebenarannya. Baca juga: Berapakah Kadar Minimal dan Maksimal Mahar? Kandungan keempat Dalam hadis tersebut terdapat dalil sahnya akad nikah meskipun tanpa menetapkan jenis mahar tertentu, berdasarkan perkataan, وَلَمْ يَفْرِضْ لَها صَدَاقًا yang maksudnya, “Belum menyebut atau menentukan jenis mahar tertentu (yang akan diserahkan kepada istri).” Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236) Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengklaim adanya ijmak bolehnya akad nikah tanpa menetapkan jenis mahar tertentu. Para ulama juga berijmak bahwa istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar) jika suami telah menyetubuhi istrinya. [2] Jika suami menceraikan istri tersebut sebelum disetubuhi, maka suami wajib menyerahkan mut’ah (pemberian), berupa sejumlah harta menurut yang patut (ma’ruf), disesuaikan dengan kondisi kemampuan suami (kaya atau miskin) sesuai dengan dalil ayat di atas. Ini di antara bentuk berbuat baik (ihsan) dalam rangka menghibur hati istri. Kandungan kelima Hadis ini menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ditemukan adanya dalil tegas (nash) tentang masalah tersebut, meskipun nash tersebut mungkin saja ada (namun belum diketahui oleh orang yang berijtihad). Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berijtihad dalam masalah ini, meskipun Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i mendengar keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, sedangkan Ibnu Mas’ud tidak mendengar atau mengetahui sebelumnya. Kandungan keenam Kegembiraan atas benarnya hasil ijtihad ketika hasil ijtihad tersebut jelas-jelas sesuai dengan kebenaran. Hal ini karena hasil ijtihad tersebut menyebabkan nampaknya kebenaran dan juga pelaksanaan (pengamalan) kebenaran tersebut. [3] Baca juga: Hukum Hak Mut’ah untuk Wanita yang Dicerai *** @Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Ta’lilul Mukhtar, 3: 102; Al-Mughni, 10: 197; Raudhatut Thalibin, 7: 281-282. [2] Al-Fataawa, 32: 62. [3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 384-390). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Doa untuk Memperoleh Keluarga Saleh

Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Doa untuk Memperoleh Keluarga Saleh

Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Keutamaan memiliki keluarga yang taatImam bagi orang-orang yang bertakwaDoa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Keluarga adalah pilar utama dalam kehidupan seorang mukmin. Kita tentu menginginkan keluarga yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala serta istikamah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak upaya yang dilakukan untuk memperoleh cita-cita mulia itu, mulai dari mengikuti kajian-kajian Islam, menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan Islam, serta menciptakan lingkungan Islami di keluarga kecil dan sekeliling kita. Namun, di antara ikhtiar yang paling utama untuk mewujudkan impian keluarga saleh adalah doa. Di antara doa yang diajarkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’ “ (QS. Al-Furqan: 74) Kita memohon kepada Allah agar istri dan keturunan kita menjadi penyejuk hati, yang dalam bahasa Arab disebut “qurrata a’yun“. Penyejuk hati di sini merujuk pada ketenangan dan kedamaian yang didapatkan dari melihat keluarga yang taat kepada Allah Ta’ala dan istikamah menjalankan perintah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim, no. 1467) Saudaraku, ketahuilah bahwa di antara kebahagiaan seorang mukmin terletak pada istri yang salehah, yang mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, serta mendidik anak-anaknya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Istri salehah akan menjadi penyejuk hati suaminya, karena ia adalah pendamping yang setia dalam mengarungi kehidupan yang penuh ujian. Begitu pula dengan anak-anak yang saleh, mereka akan menjadi sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Anak-anak yang berbakti kepada orang tua, taat kepada Allah, dan menjaga akhlak yang mulia, adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua. Pada suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan bahwa anak yang saleh adalah aset berharga yang akan terus memberikan pahala bagi orang tuanya, meskipun mereka telah tiada. Beliau bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim no. 1631) Keutamaan memiliki keluarga yang taat Doa yang diajarkan dalam ayat di atas juga mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki keluarga yang taat kepada Allah. Tentu, seorang mukmin tidak hanya mementingkan kesalehan pribadi, tetapi juga kesalehan keluarganya. Keluarga yang taat adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Karena, dari keluarga yang taat, lahir individu-individu yang taat pula. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Ayat ini adalah peringatan bagi setiap kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan mengajarkan agama kepada keluarga, membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat. Maka, berdoalah untuk kemudahan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kesalehan keluarga tidak hanya memberikan ketenangan dan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi sebab keselamatan di akhirat. Seorang mukmin yang berhasil mendidik keluarganya menjadi keluarga yang taat akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah. Mereka akan dikumpulkan bersama dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman serta keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan keturunan mereka dengan mereka (dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) Baca juga: Doa dan Keteguhan Pemuda Ashabulkahfi Imam bagi orang-orang yang bertakwa Bagian akhir dari doa ini adalah permohonan agar Allah menjadikan kita imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini menunjukkan keinginan seorang mukmin untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Seorang imam tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga atas orang-orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu, menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa tidak hanya sebuah kedudukan yang mulia, akan tetapi juga mengandung tanggung jawab yang besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya) Menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa berarti menjadi orang yang paling baik dalam akhlak dan ketaatan kepada Allah, sehingga layak dijadikan teladan oleh orang lain, khususnya orang yang paling dekat dengan kita, yaitu istri dan anak-anak. Ini adalah tugas yang berat, tetapi juga merupakan kehormatan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa haruslah memiliki ilmu yang cukup, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Ia harus mampu memimpin keluarganya, masyarakatnya, dan orang-orang di sekitarnya menuju jalan yang diridai oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةًۭ يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَـٰتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24) Ayat ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keyakinan yang kuat adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam bagi orang-orang yang bertakwa. Selain itu, seorang imam juga harus mampu menjaga keadilan dan kebenaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang adil di sisi Allah pada hari kiamat akan berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum, keluarga, dan apa yang mereka pimpin.” (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah salah satu sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, dan ini juga berlaku bagi siapa saja yang ingin menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Doa dan usaha untuk memperoleh keluarga yang saleh Amalan doa yang diajarkan dalam ayat di atas, mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan doa. Seorang mukmin selalu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allahlah segala urusan bisa menjadi baik. Namun, doa saja tidak cukup. Doa harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dimohonkan dalam doa tersebut. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa perubahan ke arah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin yang menginginkan keluarga yang saleh harus berusaha menjadi contoh yang baik bagi keluarganya, mendidik mereka dengan ilmu agama, dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mengingatkan kita untuk senantiasa mendidik keluarga kita dalam kebaikan agar mendapatkan balasan pahala yang besar di sisi Allah, tidak hanya di akhirat, tetapi juga insya Allah di dunia, melalui sabdanya dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Maka, saudaraku, marilah kita selalu mengingat bahwa hasil dari usaha kita ada di tangan Allah. Oleh karenanya, kita harus terus berdoa dan berharap agar Allah menerima usaha kita, mengampuni kekurangan kita, dan memberikan kepada kita keluarga yang saleh, serta berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkannya dengan mengikuti petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Tiga Syarat Meraih Surga: Cinta, Khawatir, dan Amal

Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.  Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik  Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih SurgaSebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi.Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan.Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya.Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut.Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan.Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:“Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.” Rasa Takut dan Khawatir Orang SalehSebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman:“Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61)Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan.Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa. Contoh Rasa Takut Para SahabatAbu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab.Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan.Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran. Kekhawatiran Menjadi MunafikIbnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya.Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat.Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam. –Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim

Tiga Syarat Meraih Surga: Cinta, Khawatir, dan Amal

Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.  Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik  Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih SurgaSebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi.Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan.Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya.Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut.Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan.Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:“Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.” Rasa Takut dan Khawatir Orang SalehSebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman:“Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61)Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan.Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa. Contoh Rasa Takut Para SahabatAbu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab.Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan.Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran. Kekhawatiran Menjadi MunafikIbnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya.Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat.Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam. –Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim
Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.  Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik  Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih SurgaSebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi.Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan.Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya.Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut.Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan.Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:“Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.” Rasa Takut dan Khawatir Orang SalehSebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman:“Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61)Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan.Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa. Contoh Rasa Takut Para SahabatAbu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab.Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan.Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran. Kekhawatiran Menjadi MunafikIbnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya.Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat.Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam. –Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim


Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.  Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik  Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih SurgaSebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi.Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan.Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya.Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut.Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan.Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:“Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.” Rasa Takut dan Khawatir Orang SalehSebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman:“Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61)Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan.Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa. Contoh Rasa Takut Para SahabatAbu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab.Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan.Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran. Kekhawatiran Menjadi MunafikIbnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya.Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat.Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam. –Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim

Tiga Syarat Meraih Surga: Cinta, Khawatir, dan Amal

Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim

Tiga Syarat Meraih Surga: Cinta, Khawatir, dan Amal

Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim
Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim


Setiap Muslim yang ingin meraih Surga harus memenuhi tiga syarat utama: cinta kepada tujuan, rasa khawatir akan kegagalan, dan amal yang sungguh-sungguh. Tulisan ini mengupas ketiga syarat tersebut serta teladan dari para Sahabat Rasulullah ﷺ.   Daftar Isi tutup 1. Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga 2. Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh 3. Contoh Rasa Takut Para Sahabat 4. Kekhawatiran Menjadi Munafik   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 60-65, di antara poin-poin pentingnya adalah sebagai berikut.   Cara Meraih Sesuatu, Termasuk Meraih Surga Sebagai manusia, perlu kita pahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, termasuk Surga, ada tiga syarat penting yang harus dipenuhi. Pertama, adanya rasa cinta yang mendalam terhadap apa yang diharapkan. Kedua, perasaan khawatir jika tidak berhasil mencapainya. Ketiga, upaya yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan dalam mewujudkan harapan tersebut. Dengan demikian, harapan yang tidak dibarengi salah satu dari ketiga syarat ini hanya akan berakhir sebagai angan-angan. Harapan dan angan-angan berbeda; orang yang memiliki harapan selalu disertai rasa khawatir. Jika rasa khawatir tersebut hadir saat seseorang sedang berjalan, ia pasti mempercepat langkahnya karena takut kehilangan tujuan. Dalam Jami’ut Tirmidzi, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang takut terlambat, niscaya ia akan berjalan semalam suntuk, dan barang siapa yang berjalan semalam suntuk ia pasti akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah, barang dagangan Allah itu mahal. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah Surga.”   Rasa Takut dan Khawatir Orang Saleh Sebagaimana Allah ﷻ memberikan harapan kepada mereka yang beramal saleh, Allah juga menyertakan rasa takut pada mereka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa harap dan takut yang benar-benar bermanfaat adalah yang diiringi oleh amal saleh. Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61) Dalam riwayat At-Tirmidzi, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang orang-orang dalam ayat tersebut. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, shalat, dan bersedekah, namun tetap khawatir bahwa amal mereka tidak diterima, sehingga mereka selalu bersegera dalam kebaikan. Orang yang memperhatikan keadaan para Sahabat akan menemukan bahwa mereka berada pada puncak amal dengan puncak rasa takut. Sementara itu, kita cenderung menggabungkan amal yang sedikit dengan perasaan aman dari siksa.   Contoh Rasa Takut Para Sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sering menggenggam lisannya, sambil berkata, “Inilah yang membawa kepada kebinasaan.” Ia juga menyarankan agar menangis, dan jika tidak mampu, berpura-puralah menangis. Ketika menjelang wafat, Abu Bakar meminta putrinya, Aisyah, untuk menyerahkan harta kaum Muslimin yang ada padanya kepada Umar bin Khaththab. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut akan azab Allah. Ketika membaca ayat, “Sungguh, azab Rabbmu pasti terjadi” (QS. At-Thur: 7), beliau menangis hingga sakit. Pernah juga saat berzikir di malam hari, beliau membaca ayat yang menimbulkan rasa takut mendalam hingga beberapa hari tidak keluar rumah. Begitu mendalam rasa takutnya, di wajah Umar terdapat garis hitam bekas tangisan. Demikian pula dengan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ketika berada di dekat kuburan, beliau menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, dan berkata bahwa ia lebih rela menjadi abu daripada menghadapi ketidakpastian apakah ia akan dimasukkan ke Surga atau Neraka. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu juga sangat takut terhadap dua hal: panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu, yang menurutnya membuat manusia lalai dari akhirat dan menjauh dari kebenaran.   Kekhawatiran Menjadi Munafik Ibnu Abi Mulaikah menyampaikan bahwa tiga puluh Sahabat yang ia temui semua takut jika mereka terjatuh dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang merasa aman dari kemunafikan, bahkan mereka tidak mengklaim bahwa keimanan mereka setara dengan Jibril dan Mikail. Al-Hasan rahimahullah menambahkan bahwa hanya orang Mukmin yang takut akan kemunafikan, sedangkan orang munafik merasa aman darinya. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menanyakan kepada Hudzaifah, “Apakah Rasulullah menyebutkan namaku di antara orang-orang munafik?” Hudzaifah menjawab bahwa Umar tidak termasuk, tetapi menutup pintu untuk pertanyaan semacam itu, karena hal ini dapat menimbulkan anggapan yang tidak perlu di antara umat. Demikian pula, ketika seorang Sahabat meminta Rasulullah ﷺ mendoakannya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab, beliau bersabda bahwa ia telah didahului oleh Ukasyah. Maksud Rasulullah bukan bahwa hanya Ukasyah yang berhak, tetapi agar tidak terbuka pintu permintaan yang tidak dapat dipenuhi dengan hakikat sesungguhnya, dan agar kita tidak mudah merasa aman akan Surga tanpa amal. Wallahu a’lam.   – Ditulis pada 4 Jumadal Ula 1446 H, 6 November 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi budak dunia cinta Allah cinta dunia cinta karena Allah faedah dari Ibnul Qayyim harap dan takut nasihat ibnul qayyim

Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala?

Daftar Isi Toggle Pertama, apa pekerjaannyaKedua, seperti apa niatnyaKetiga, bagaimana cara kerjanya Seorang muslim, dalam meraih dan mengumpulkan pahala, tidak hanya diperoleh dari ibadah, seperti salat, puasa, ataupun haji saja. Akan tetapi, seluruh aktivitas kehidupan seorang mukmin semuanya bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari pahala. Orang yang cerdas adalah orang yang berusaha memanfaatkan seluruh atau sebagian besar aktivitas kehidupannya untuk memperoleh dan menghasilkan pahala. Di antara aktivitas rutin tersebut adalah pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerjaan kita bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Pertama, apa pekerjaannya Supaya pekerjaan kita bernilai pahala, maka yang dilihat pertama kali adalah pekerjaan yang dilakukan harus halal. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168) Apapun pekerjaan yang kita lakukan, walaupun pekerjaan tersebut terlihat sederhana atau dianggap rendah dan remeh oleh orang lain, selagi itu pekerjaan yang halal, maka tidak perlu gengsi dan malu. Kedua, seperti apa niatnya Suatu pekerjaan akan dinilai pahala jika niatnya baik dan benar. Niat yang benar mencakup bekerja untuk menafkahi diri sendiri, menafkahi anggota keluarga, bermanfaat untuk orang lain, dan memudahkan kita untuk beribadah kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.“ (HR. Ibnu Majah no. 2138 dan Ahmad no. 916727; lihat Shahih Ibnu Majah, hal. 1739) Dalam riwayat yang lain, دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ “Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim) Agama Islam juga merupakan agama yang memotivasi umatnya untuk giat bekerja dan melarang umatnya untuk mengemis atau meminta-minta kepada orang lain, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Selain hal di atas, niat bekerja agar memudahkan kita untuk ibadah, juga bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Para sahabat pernah dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersedekah, akan tetapi sebagian sahabat tidak mempunyai harta untuk bersedekah. Akhirnya agar bisa bersedekah, mereka melakukan pekerjaan berat seperti menjadi kuli panggul atau mencari kayu bakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak. Karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR. Bukhari no. 2075 dan Muslim no. 1042) Baca juga: Ketika Istri Bekerja Ketiga, bagaimana cara kerjanya Cara kerja yang dimaksud adalah pekerjaan yang aslinya halal, semisal berdagang, bisa menjadi haram karena cara kerjanya salah dan zalim. Contohnya: ketika ada orang yang curang dalam menimbang, berbohong terkait kualitas barang atau malah yang diperjualbelikan barang haram, seperti minuman keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya, الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا “Kedua pihak, penjual dan pembeli, boleh memilih (hak khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan diberkahi dalam perdagangannya. Tapi jika keduanya menyembunyikan sesuatu dan berdusta, maka keberkahannya akan dihapus dari perdagangannya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532) Ketika kita bekerja melakukan kezaliman, kecurangan atau kebohongan, maka Allah akan mencabut keberkahan hartanya. Harta yang tidak berkah akan menimbulkan banyak dampak negatif dalam kehidupan dirinya dan keluarganya. Harta yang tidak berkah, walaupun banyak, akan terasa sedikit dan cepat hilang. (Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 646) Harta yang tidak berkah tersebut, jika masuk ke dalam perut, akan membuatnya malas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ujungnya harta yang tidak berkah tersebut akan menjerumuskan ke dalam api neraka. Wal-‘iyyadzu billah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati sahabat Ka’ab, يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.) Selain itu, cara kerja yang membuahkan pahala adalah tidak melalaikannya dari ibadah kepada Allah Ta’ala. Ibadah di sini meliputi hablumminallah (berhubungan dengan Allah, misalnya: salat lima waktu) dan hablumminannas (hubungannya dengan manusia, misalnya: mendidik keluarganya tentang agama dan akhlak). Demikian, karena seorang ayah akan ditanya tentang kepemimpinannya di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan demikian juga, seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari) Selain materi, tentu keluarga kita juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Maka, selayaknya tatkala seorang ayah atau suami pulang dari pekerjaannya, ia memberikan waktu untuk istri dan anak yang telah menanti kedatangannya di rumah. Semoga Allah Ta’ala memudahkan setiap pekerjaan yang kita lakukan dan memberikan pahala atas segala aktivitas yang telah kita upayakan untuk meraih rida dan rahmat-Nya. اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563; Ahmad, 1: 153; dan Al-Hakim, 1: 538. Hadis ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2: 509-510) Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Bagaimanakah agar Bekerja Berbuah Pahala?

Daftar Isi Toggle Pertama, apa pekerjaannyaKedua, seperti apa niatnyaKetiga, bagaimana cara kerjanya Seorang muslim, dalam meraih dan mengumpulkan pahala, tidak hanya diperoleh dari ibadah, seperti salat, puasa, ataupun haji saja. Akan tetapi, seluruh aktivitas kehidupan seorang mukmin semuanya bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari pahala. Orang yang cerdas adalah orang yang berusaha memanfaatkan seluruh atau sebagian besar aktivitas kehidupannya untuk memperoleh dan menghasilkan pahala. Di antara aktivitas rutin tersebut adalah pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerjaan kita bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Pertama, apa pekerjaannya Supaya pekerjaan kita bernilai pahala, maka yang dilihat pertama kali adalah pekerjaan yang dilakukan harus halal. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168) Apapun pekerjaan yang kita lakukan, walaupun pekerjaan tersebut terlihat sederhana atau dianggap rendah dan remeh oleh orang lain, selagi itu pekerjaan yang halal, maka tidak perlu gengsi dan malu. Kedua, seperti apa niatnya Suatu pekerjaan akan dinilai pahala jika niatnya baik dan benar. Niat yang benar mencakup bekerja untuk menafkahi diri sendiri, menafkahi anggota keluarga, bermanfaat untuk orang lain, dan memudahkan kita untuk beribadah kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.“ (HR. Ibnu Majah no. 2138 dan Ahmad no. 916727; lihat Shahih Ibnu Majah, hal. 1739) Dalam riwayat yang lain, دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ “Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim) Agama Islam juga merupakan agama yang memotivasi umatnya untuk giat bekerja dan melarang umatnya untuk mengemis atau meminta-minta kepada orang lain, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Selain hal di atas, niat bekerja agar memudahkan kita untuk ibadah, juga bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Para sahabat pernah dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersedekah, akan tetapi sebagian sahabat tidak mempunyai harta untuk bersedekah. Akhirnya agar bisa bersedekah, mereka melakukan pekerjaan berat seperti menjadi kuli panggul atau mencari kayu bakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak. Karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR. Bukhari no. 2075 dan Muslim no. 1042) Baca juga: Ketika Istri Bekerja Ketiga, bagaimana cara kerjanya Cara kerja yang dimaksud adalah pekerjaan yang aslinya halal, semisal berdagang, bisa menjadi haram karena cara kerjanya salah dan zalim. Contohnya: ketika ada orang yang curang dalam menimbang, berbohong terkait kualitas barang atau malah yang diperjualbelikan barang haram, seperti minuman keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya, الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا “Kedua pihak, penjual dan pembeli, boleh memilih (hak khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan diberkahi dalam perdagangannya. Tapi jika keduanya menyembunyikan sesuatu dan berdusta, maka keberkahannya akan dihapus dari perdagangannya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532) Ketika kita bekerja melakukan kezaliman, kecurangan atau kebohongan, maka Allah akan mencabut keberkahan hartanya. Harta yang tidak berkah akan menimbulkan banyak dampak negatif dalam kehidupan dirinya dan keluarganya. Harta yang tidak berkah, walaupun banyak, akan terasa sedikit dan cepat hilang. (Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 646) Harta yang tidak berkah tersebut, jika masuk ke dalam perut, akan membuatnya malas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ujungnya harta yang tidak berkah tersebut akan menjerumuskan ke dalam api neraka. Wal-‘iyyadzu billah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati sahabat Ka’ab, يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.) Selain itu, cara kerja yang membuahkan pahala adalah tidak melalaikannya dari ibadah kepada Allah Ta’ala. Ibadah di sini meliputi hablumminallah (berhubungan dengan Allah, misalnya: salat lima waktu) dan hablumminannas (hubungannya dengan manusia, misalnya: mendidik keluarganya tentang agama dan akhlak). Demikian, karena seorang ayah akan ditanya tentang kepemimpinannya di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan demikian juga, seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari) Selain materi, tentu keluarga kita juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Maka, selayaknya tatkala seorang ayah atau suami pulang dari pekerjaannya, ia memberikan waktu untuk istri dan anak yang telah menanti kedatangannya di rumah. Semoga Allah Ta’ala memudahkan setiap pekerjaan yang kita lakukan dan memberikan pahala atas segala aktivitas yang telah kita upayakan untuk meraih rida dan rahmat-Nya. اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563; Ahmad, 1: 153; dan Al-Hakim, 1: 538. Hadis ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2: 509-510) Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pertama, apa pekerjaannyaKedua, seperti apa niatnyaKetiga, bagaimana cara kerjanya Seorang muslim, dalam meraih dan mengumpulkan pahala, tidak hanya diperoleh dari ibadah, seperti salat, puasa, ataupun haji saja. Akan tetapi, seluruh aktivitas kehidupan seorang mukmin semuanya bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari pahala. Orang yang cerdas adalah orang yang berusaha memanfaatkan seluruh atau sebagian besar aktivitas kehidupannya untuk memperoleh dan menghasilkan pahala. Di antara aktivitas rutin tersebut adalah pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerjaan kita bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Pertama, apa pekerjaannya Supaya pekerjaan kita bernilai pahala, maka yang dilihat pertama kali adalah pekerjaan yang dilakukan harus halal. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168) Apapun pekerjaan yang kita lakukan, walaupun pekerjaan tersebut terlihat sederhana atau dianggap rendah dan remeh oleh orang lain, selagi itu pekerjaan yang halal, maka tidak perlu gengsi dan malu. Kedua, seperti apa niatnya Suatu pekerjaan akan dinilai pahala jika niatnya baik dan benar. Niat yang benar mencakup bekerja untuk menafkahi diri sendiri, menafkahi anggota keluarga, bermanfaat untuk orang lain, dan memudahkan kita untuk beribadah kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.“ (HR. Ibnu Majah no. 2138 dan Ahmad no. 916727; lihat Shahih Ibnu Majah, hal. 1739) Dalam riwayat yang lain, دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ “Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim) Agama Islam juga merupakan agama yang memotivasi umatnya untuk giat bekerja dan melarang umatnya untuk mengemis atau meminta-minta kepada orang lain, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Selain hal di atas, niat bekerja agar memudahkan kita untuk ibadah, juga bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Para sahabat pernah dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersedekah, akan tetapi sebagian sahabat tidak mempunyai harta untuk bersedekah. Akhirnya agar bisa bersedekah, mereka melakukan pekerjaan berat seperti menjadi kuli panggul atau mencari kayu bakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak. Karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR. Bukhari no. 2075 dan Muslim no. 1042) Baca juga: Ketika Istri Bekerja Ketiga, bagaimana cara kerjanya Cara kerja yang dimaksud adalah pekerjaan yang aslinya halal, semisal berdagang, bisa menjadi haram karena cara kerjanya salah dan zalim. Contohnya: ketika ada orang yang curang dalam menimbang, berbohong terkait kualitas barang atau malah yang diperjualbelikan barang haram, seperti minuman keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya, الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا “Kedua pihak, penjual dan pembeli, boleh memilih (hak khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan diberkahi dalam perdagangannya. Tapi jika keduanya menyembunyikan sesuatu dan berdusta, maka keberkahannya akan dihapus dari perdagangannya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532) Ketika kita bekerja melakukan kezaliman, kecurangan atau kebohongan, maka Allah akan mencabut keberkahan hartanya. Harta yang tidak berkah akan menimbulkan banyak dampak negatif dalam kehidupan dirinya dan keluarganya. Harta yang tidak berkah, walaupun banyak, akan terasa sedikit dan cepat hilang. (Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 646) Harta yang tidak berkah tersebut, jika masuk ke dalam perut, akan membuatnya malas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ujungnya harta yang tidak berkah tersebut akan menjerumuskan ke dalam api neraka. Wal-‘iyyadzu billah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati sahabat Ka’ab, يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.) Selain itu, cara kerja yang membuahkan pahala adalah tidak melalaikannya dari ibadah kepada Allah Ta’ala. Ibadah di sini meliputi hablumminallah (berhubungan dengan Allah, misalnya: salat lima waktu) dan hablumminannas (hubungannya dengan manusia, misalnya: mendidik keluarganya tentang agama dan akhlak). Demikian, karena seorang ayah akan ditanya tentang kepemimpinannya di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan demikian juga, seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari) Selain materi, tentu keluarga kita juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Maka, selayaknya tatkala seorang ayah atau suami pulang dari pekerjaannya, ia memberikan waktu untuk istri dan anak yang telah menanti kedatangannya di rumah. Semoga Allah Ta’ala memudahkan setiap pekerjaan yang kita lakukan dan memberikan pahala atas segala aktivitas yang telah kita upayakan untuk meraih rida dan rahmat-Nya. اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563; Ahmad, 1: 153; dan Al-Hakim, 1: 538. Hadis ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2: 509-510) Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pertama, apa pekerjaannyaKedua, seperti apa niatnyaKetiga, bagaimana cara kerjanya Seorang muslim, dalam meraih dan mengumpulkan pahala, tidak hanya diperoleh dari ibadah, seperti salat, puasa, ataupun haji saja. Akan tetapi, seluruh aktivitas kehidupan seorang mukmin semuanya bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari pahala. Orang yang cerdas adalah orang yang berusaha memanfaatkan seluruh atau sebagian besar aktivitas kehidupannya untuk memperoleh dan menghasilkan pahala. Di antara aktivitas rutin tersebut adalah pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pekerjaan kita bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Pertama, apa pekerjaannya Supaya pekerjaan kita bernilai pahala, maka yang dilihat pertama kali adalah pekerjaan yang dilakukan harus halal. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168) Apapun pekerjaan yang kita lakukan, walaupun pekerjaan tersebut terlihat sederhana atau dianggap rendah dan remeh oleh orang lain, selagi itu pekerjaan yang halal, maka tidak perlu gengsi dan malu. Kedua, seperti apa niatnya Suatu pekerjaan akan dinilai pahala jika niatnya baik dan benar. Niat yang benar mencakup bekerja untuk menafkahi diri sendiri, menafkahi anggota keluarga, bermanfaat untuk orang lain, dan memudahkan kita untuk beribadah kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ “Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.“ (HR. Ibnu Majah no. 2138 dan Ahmad no. 916727; lihat Shahih Ibnu Majah, hal. 1739) Dalam riwayat yang lain, دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَقتَهُ في أهْلِكَ “Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim) Agama Islam juga merupakan agama yang memotivasi umatnya untuk giat bekerja dan melarang umatnya untuk mengemis atau meminta-minta kepada orang lain, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ “Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040) Selain hal di atas, niat bekerja agar memudahkan kita untuk ibadah, juga bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Para sahabat pernah dimotivasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersedekah, akan tetapi sebagian sahabat tidak mempunyai harta untuk bersedekah. Akhirnya agar bisa bersedekah, mereka melakukan pekerjaan berat seperti menjadi kuli panggul atau mencari kayu bakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ “Jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bersedekah dengan hasilnya dan merasa cukup dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak. Karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang engkau tanggung.” (HR. Bukhari no. 2075 dan Muslim no. 1042) Baca juga: Ketika Istri Bekerja Ketiga, bagaimana cara kerjanya Cara kerja yang dimaksud adalah pekerjaan yang aslinya halal, semisal berdagang, bisa menjadi haram karena cara kerjanya salah dan zalim. Contohnya: ketika ada orang yang curang dalam menimbang, berbohong terkait kualitas barang atau malah yang diperjualbelikan barang haram, seperti minuman keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya, الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا “Kedua pihak, penjual dan pembeli, boleh memilih (hak khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan diberkahi dalam perdagangannya. Tapi jika keduanya menyembunyikan sesuatu dan berdusta, maka keberkahannya akan dihapus dari perdagangannya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532) Ketika kita bekerja melakukan kezaliman, kecurangan atau kebohongan, maka Allah akan mencabut keberkahan hartanya. Harta yang tidak berkah akan menimbulkan banyak dampak negatif dalam kehidupan dirinya dan keluarganya. Harta yang tidak berkah, walaupun banyak, akan terasa sedikit dan cepat hilang. (Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 646) Harta yang tidak berkah tersebut, jika masuk ke dalam perut, akan membuatnya malas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan ujungnya harta yang tidak berkah tersebut akan menjerumuskan ke dalam api neraka. Wal-‘iyyadzu billah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati sahabat Ka’ab, يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram, kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.) Selain itu, cara kerja yang membuahkan pahala adalah tidak melalaikannya dari ibadah kepada Allah Ta’ala. Ibadah di sini meliputi hablumminallah (berhubungan dengan Allah, misalnya: salat lima waktu) dan hablumminannas (hubungannya dengan manusia, misalnya: mendidik keluarganya tentang agama dan akhlak). Demikian, karena seorang ayah akan ditanya tentang kepemimpinannya di akhirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan demikian juga, seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari) Selain materi, tentu keluarga kita juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Maka, selayaknya tatkala seorang ayah atau suami pulang dari pekerjaannya, ia memberikan waktu untuk istri dan anak yang telah menanti kedatangannya di rumah. Semoga Allah Ta’ala memudahkan setiap pekerjaan yang kita lakukan dan memberikan pahala atas segala aktivitas yang telah kita upayakan untuk meraih rida dan rahmat-Nya. اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563; Ahmad, 1: 153; dan Al-Hakim, 1: 538. Hadis ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Lihat Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2: 509-510) Baca juga: Motivasi untuk Bekerja dan Tercelanya Meminta-minta *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Konsep Wadiah: Pengertian, Hukum, dan Rukun dalam Perspektif Syariah

Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib.Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ.Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi.Catatan:Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548).Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga.Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281)Pengertian yang lain dari wadiah adalah,تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ“Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiahHukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN).Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya.Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib).Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah.Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut. Rukun wadiahWadiah, aset atau harta yang dititipkan.Muwdi’, orang yang menitipkan harta.Wadii’, orang yang dititipkan harta.Shighah, ada lafaz ijab dan qabul. Syarat wadiahYang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan.Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf).Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir. Shighah wadiahAda lafaz di antara dua pihak.Tidak ada penolakan dari yang lain. Hukum wadiah ada tigaPertama: AmanahKedua: TertolakKetiga: Boleh Catatan:Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya.Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah.Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan.Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib.Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya).Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau.Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak. Hukum wadiah berakhir dengan:Pengembalian pada pemiliknya.Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’. Dalil tentang wadiahDalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah.إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58)Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ“Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih)Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ“Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59).Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ“Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649).Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk) Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. – Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah

Konsep Wadiah: Pengertian, Hukum, dan Rukun dalam Perspektif Syariah

Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib.Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ.Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi.Catatan:Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548).Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga.Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281)Pengertian yang lain dari wadiah adalah,تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ“Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiahHukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN).Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya.Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib).Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah.Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut. Rukun wadiahWadiah, aset atau harta yang dititipkan.Muwdi’, orang yang menitipkan harta.Wadii’, orang yang dititipkan harta.Shighah, ada lafaz ijab dan qabul. Syarat wadiahYang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan.Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf).Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir. Shighah wadiahAda lafaz di antara dua pihak.Tidak ada penolakan dari yang lain. Hukum wadiah ada tigaPertama: AmanahKedua: TertolakKetiga: Boleh Catatan:Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya.Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah.Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan.Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib.Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya).Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau.Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak. Hukum wadiah berakhir dengan:Pengembalian pada pemiliknya.Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’. Dalil tentang wadiahDalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah.إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58)Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ“Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih)Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ“Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59).Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ“Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649).Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk) Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. – Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah
Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib.Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ.Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi.Catatan:Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548).Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga.Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281)Pengertian yang lain dari wadiah adalah,تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ“Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiahHukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN).Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya.Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib).Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah.Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut. Rukun wadiahWadiah, aset atau harta yang dititipkan.Muwdi’, orang yang menitipkan harta.Wadii’, orang yang dititipkan harta.Shighah, ada lafaz ijab dan qabul. Syarat wadiahYang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan.Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf).Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir. Shighah wadiahAda lafaz di antara dua pihak.Tidak ada penolakan dari yang lain. Hukum wadiah ada tigaPertama: AmanahKedua: TertolakKetiga: Boleh Catatan:Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya.Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah.Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan.Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib.Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya).Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau.Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak. Hukum wadiah berakhir dengan:Pengembalian pada pemiliknya.Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’. Dalil tentang wadiahDalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah.إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58)Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ“Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih)Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ“Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59).Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ“Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649).Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk) Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. – Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah


Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib.Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ.Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi.Catatan:Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548).Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga.Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281)Pengertian yang lain dari wadiah adalah,تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ“Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiahHukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN).Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya.Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib).Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah.Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut. Rukun wadiahWadiah, aset atau harta yang dititipkan.Muwdi’, orang yang menitipkan harta.Wadii’, orang yang dititipkan harta.Shighah, ada lafaz ijab dan qabul. Syarat wadiahYang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan.Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf).Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir. Shighah wadiahAda lafaz di antara dua pihak.Tidak ada penolakan dari yang lain. Hukum wadiah ada tigaPertama: AmanahKedua: TertolakKetiga: Boleh Catatan:Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya.Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah.Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan.Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib.Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya).Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau.Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak. Hukum wadiah berakhir dengan:Pengembalian pada pemiliknya.Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’. Dalil tentang wadiahDalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah.إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58)Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ“Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih)Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ“Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59).Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ“Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649).Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk) Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar. – Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah

Konsep Wadiah: Pengertian, Hukum, dan Rukun dalam Perspektif Syariah

Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata: وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ. Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi. Catatan: Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga. Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281) Pengertian yang lain dari wadiah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiah Hukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN). Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya. Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib). Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut.   Rukun wadiah Wadiah, aset atau harta yang dititipkan. Muwdi’, orang yang menitipkan harta. Wadii’, orang yang dititipkan harta. Shighah, ada lafaz ijab dan qabul.   Syarat wadiah Yang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan. Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf). Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir.   Shighah wadiah Ada lafaz di antara dua pihak. Tidak ada penolakan dari yang lain.   Hukum wadiah ada tiga Pertama: Amanah Kedua: Tertolak Ketiga: Boleh   Catatan: Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya. Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah. Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan. Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib. Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya). Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau. Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak.   Hukum wadiah berakhir dengan: Pengembalian pada pemiliknya. Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’.   Dalil tentang wadiah Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59). Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   –   Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah

Konsep Wadiah: Pengertian, Hukum, dan Rukun dalam Perspektif Syariah

Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata: وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ. Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi. Catatan: Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga. Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281) Pengertian yang lain dari wadiah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiah Hukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN). Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya. Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib). Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut.   Rukun wadiah Wadiah, aset atau harta yang dititipkan. Muwdi’, orang yang menitipkan harta. Wadii’, orang yang dititipkan harta. Shighah, ada lafaz ijab dan qabul.   Syarat wadiah Yang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan. Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf). Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir.   Shighah wadiah Ada lafaz di antara dua pihak. Tidak ada penolakan dari yang lain.   Hukum wadiah ada tiga Pertama: Amanah Kedua: Tertolak Ketiga: Boleh   Catatan: Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya. Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah. Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan. Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib. Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya). Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau. Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak.   Hukum wadiah berakhir dengan: Pengembalian pada pemiliknya. Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’.   Dalil tentang wadiah Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59). Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   –   Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah
Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata: وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ. Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi. Catatan: Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga. Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281) Pengertian yang lain dari wadiah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiah Hukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN). Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya. Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib). Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut.   Rukun wadiah Wadiah, aset atau harta yang dititipkan. Muwdi’, orang yang menitipkan harta. Wadii’, orang yang dititipkan harta. Shighah, ada lafaz ijab dan qabul.   Syarat wadiah Yang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan. Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf). Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir.   Shighah wadiah Ada lafaz di antara dua pihak. Tidak ada penolakan dari yang lain.   Hukum wadiah ada tiga Pertama: Amanah Kedua: Tertolak Ketiga: Boleh   Catatan: Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya. Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah. Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan. Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib. Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya). Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau. Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak.   Hukum wadiah berakhir dengan: Pengembalian pada pemiliknya. Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’.   Dalil tentang wadiah Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59). Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   –   Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah


Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata: وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ. Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi. Catatan: Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548). Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga. Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281) Pengertian yang lain dari wadiah adalah, تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ “Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015). Daftar Isi tutup 1. Hukum menerima wadiah 2. Rukun wadiah 3. Syarat wadiah 4. Shighah wadiah 5. Hukum wadiah ada tiga 5.1. Hukum wadiah berakhir dengan: 6. Dalil tentang wadiah Hukum menerima wadiah Hukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN). Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya. Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib). Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut.   Rukun wadiah Wadiah, aset atau harta yang dititipkan. Muwdi’, orang yang menitipkan harta. Wadii’, orang yang dititipkan harta. Shighah, ada lafaz ijab dan qabul.   Syarat wadiah Yang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan. Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf). Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir.   Shighah wadiah Ada lafaz di antara dua pihak. Tidak ada penolakan dari yang lain.   Hukum wadiah ada tiga Pertama: Amanah Kedua: Tertolak Ketiga: Boleh   Catatan: Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya. Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah. Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan. Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib. Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya). Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau. Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak.   Hukum wadiah berakhir dengan: Pengembalian pada pemiliknya. Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’.   Dalil tentang wadiah Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah. إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58) Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ “Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih) Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59). Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ “Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649). Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.   –   Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024 Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsdompet digital hukum dompet matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitabul buyu wadiah
Prev     Next