Teks Khotbah Jumat: Ramadan Kesempatan Terbaik untuk Bertobat

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian. Marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena ketakwaan kita kepada Allah merupakan salah satu kunci mendapatkan ampunan-Nya. Di dalam surah Al-Mudatstsir, Allah Ta’ala berfirman tentang dirinya, وَمَا يَذْكُرُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ هُوَ أَهْلُ التَّقْوَىٰ وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ “Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran dari Al-Qur’an, kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS. Al-Mudatstsir: 56) Allah Ta’ala adalah Tuhan kita yang patut untuk kita takuti dan kita wajib bertakwa kepada-Nya. Begitu pula, Dialah Allah Yang Maha Memberikan ampunan kepada para hamba-Nya. Ma’asyiral muslimin, Kita sebagai manusia pastilah tidak akan pernah lepas dari perbuatan dosa dan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, baik itu kemaksiatan yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Nabi shallallahu ”alaihi wasallam bersabda, كلُّ ابنِ آدمَ خطَّاءٌ ، وخيرُ الخطَّائينَ التَّوَّابونَ “Semua bani Adam pernah melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang segera bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ahmad no. 13049 dan Ibnu Majah no. 4251) Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa bertobat setiap saat. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan contoh tentang hal ini kepada kita. Beliau bersabda. يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ “Wahai sekalian manusia. Bertobatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertobat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim no. 2702) Jemaah yang berbahagia, sesungguhnya kita sedang berada di bulan Ramadan. Bulan di mana Allah Ta’ala memberikan banyak sekali ampunan-Nya kepada kita semua. Sehingga bulan ini merupakan kesempatan emas dan momentum terbaik diri kita untuk meminta ampun dan bertobat kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان، مكفرات لما بينهن إذا اجتنبت الكبائر “Antara salat lima waktu yang satu dengan yang lainnya, Jumat yang satu dan Jumat lainnya, Ramadan yang satu ke Ramadan lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233) Bahkan, Allah jadikan puasa dan salat malam/ salat tarawih kita di bulan yang mulia ini sebagai penghapus dari dosa-dosa kita. Nabi bersabda, مَن صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 760) Di hadis yang lain, Nabi bersabda, مَن قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759) Belum lagi di bulan Ramadan terdapat waktu-waktu khusus di mana Allah Ta’ala memberikan banyak sekali ampunan-Nya. Di bulan Ramadan kita memiliki kesempatan besar untuk bangun di sepertiga malam terakhir. Waktu yang Allah sebutkan keutamaannya di dalam hadis qudsi, يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ “Rabb kita Tabaraka Wata’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas, Dia berfirman, ‘Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758) Hal ini juga dikuatkan di dalam Al-Qur’an tatkala Allah Ta’ala menggambarkan sifat-sifat orang yang bertakwa. Salah satunya Allah sebutkan, وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Dan orang orang yang bertakwa selalu memohon ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz-Dariyat: 18) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan keutamaan waktu berbuka sebagai waktu di mana Allah banyak sekali memberikan ampunan-Nya dan membebaskan hamba-hamba-Nya dari neraka. Nabi bersabda, إنَّ للَّهِ عندَ كلِّ فِطرٍ عتقاءَ وذلِك في كلِّ ليلةٍ “Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari neraka saat buka puasa, dan itu terjadi setiap malam.” (HR. Ibnu Majah no. 1340) Semoga kita semua termasuk salah satu hamba Allah yang sukses mendapatkan ampunan-Nya di bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Mari Memperbanyak Tobat Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Berjumpa dengan bulan Ramadan merupakan sebuah nikmat yang sangat besar. Terlebih lagi apabila bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan sepuluh hari terakhir bulan yang mulia ini. Sayangnya, belum tentu seorang muslim menjadi beruntung karena mendapatkan keutamaan dan nikmat besar ini. Sebaliknya, ada di antara mereka yang justru merugi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam hadis sahih riwayat Tirmidzi, رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ “Celakalah seseorang, yang namaku disebut-sebut di depannya dan ia tidak mengucapkan selawat kepadaku. Dan celakalah seseorang, bulan Ramadan datang menemuinya kemudian pergi darinya sedang ia tidak mendapatkan ampunan. Dan celakalah seseorang yang kedua orang tuanya berusia lanjut, namun kedua orangtuanya tidak dapat memasukkannya ke dalam surga (karena kebaktiannya).” (HR. Tirmidzi no. 3545) Di dalam riwayat lain, bahkan disebutkan bahwa malaikat Jibril mendoakan kecelakaan dan kerugian bagi seorang hamba yang tidak dapat memaksimalkan bulan Ramadan yang mulia ini sebagai peluang untuk mendapatkan ampunan Allah Ta’ala. Bahkan, di dalam riwayat tersebut juga disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengamini doa Malaikat Jibril tersebut. Alangkah meruginya seseorang yang tidak mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di bulan yang mulia ini. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, Mari bersama-sama, kita manfaatkan bulan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya. Perbanyaklah istigfar dan memohon ampunan kepada Allah Ta’ala di bulan yang mulia ini. Terlebih lagi sebentar lagi kita akan memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan. Hari-hari di mana malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, terletak di dalamnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan, كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sepuluh hari terakhir ini, terutama di malam-malam ganjilnya yang berpeluang besar menjadi malam lailatul qadar memerintahkan kita untuk memperbanyak doa meminta ampunan kepada Allah Ta’ala. Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika aku dapati suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa doa yang mesti kuucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,  قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى “Katakan, ‘Ya Allah, Engkau Maha Memberikan maaf dan Engkau suka memberikan maaf. Karenanya, maafkanlah aku dan dosa-dosaku.’” (HR. Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850) Mari kita kencangkan sabuk-sabuk kita. Kita perbanyak amal kebaikan kita di bulan yang mulia ini. Jangan sampai kita termasuk salah satu dari orang-orang yang mendapatkan doa kerugian dan kecelakaan dari malaikat Jibril ‘alaihissalam karena tidak mendapatkan ampunan Allah di bulan yang mulia ini. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Cara Tobat Nasuha *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: ramadantobat

Teks Khotbah Jumat: Ramadan Kesempatan Terbaik untuk Bertobat

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian. Marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena ketakwaan kita kepada Allah merupakan salah satu kunci mendapatkan ampunan-Nya. Di dalam surah Al-Mudatstsir, Allah Ta’ala berfirman tentang dirinya, وَمَا يَذْكُرُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ هُوَ أَهْلُ التَّقْوَىٰ وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ “Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran dari Al-Qur’an, kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS. Al-Mudatstsir: 56) Allah Ta’ala adalah Tuhan kita yang patut untuk kita takuti dan kita wajib bertakwa kepada-Nya. Begitu pula, Dialah Allah Yang Maha Memberikan ampunan kepada para hamba-Nya. Ma’asyiral muslimin, Kita sebagai manusia pastilah tidak akan pernah lepas dari perbuatan dosa dan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, baik itu kemaksiatan yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Nabi shallallahu ”alaihi wasallam bersabda, كلُّ ابنِ آدمَ خطَّاءٌ ، وخيرُ الخطَّائينَ التَّوَّابونَ “Semua bani Adam pernah melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang segera bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ahmad no. 13049 dan Ibnu Majah no. 4251) Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa bertobat setiap saat. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan contoh tentang hal ini kepada kita. Beliau bersabda. يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ “Wahai sekalian manusia. Bertobatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertobat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim no. 2702) Jemaah yang berbahagia, sesungguhnya kita sedang berada di bulan Ramadan. Bulan di mana Allah Ta’ala memberikan banyak sekali ampunan-Nya kepada kita semua. Sehingga bulan ini merupakan kesempatan emas dan momentum terbaik diri kita untuk meminta ampun dan bertobat kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان، مكفرات لما بينهن إذا اجتنبت الكبائر “Antara salat lima waktu yang satu dengan yang lainnya, Jumat yang satu dan Jumat lainnya, Ramadan yang satu ke Ramadan lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233) Bahkan, Allah jadikan puasa dan salat malam/ salat tarawih kita di bulan yang mulia ini sebagai penghapus dari dosa-dosa kita. Nabi bersabda, مَن صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 760) Di hadis yang lain, Nabi bersabda, مَن قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759) Belum lagi di bulan Ramadan terdapat waktu-waktu khusus di mana Allah Ta’ala memberikan banyak sekali ampunan-Nya. Di bulan Ramadan kita memiliki kesempatan besar untuk bangun di sepertiga malam terakhir. Waktu yang Allah sebutkan keutamaannya di dalam hadis qudsi, يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ “Rabb kita Tabaraka Wata’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas, Dia berfirman, ‘Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758) Hal ini juga dikuatkan di dalam Al-Qur’an tatkala Allah Ta’ala menggambarkan sifat-sifat orang yang bertakwa. Salah satunya Allah sebutkan, وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Dan orang orang yang bertakwa selalu memohon ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz-Dariyat: 18) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan keutamaan waktu berbuka sebagai waktu di mana Allah banyak sekali memberikan ampunan-Nya dan membebaskan hamba-hamba-Nya dari neraka. Nabi bersabda, إنَّ للَّهِ عندَ كلِّ فِطرٍ عتقاءَ وذلِك في كلِّ ليلةٍ “Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari neraka saat buka puasa, dan itu terjadi setiap malam.” (HR. Ibnu Majah no. 1340) Semoga kita semua termasuk salah satu hamba Allah yang sukses mendapatkan ampunan-Nya di bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Mari Memperbanyak Tobat Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Berjumpa dengan bulan Ramadan merupakan sebuah nikmat yang sangat besar. Terlebih lagi apabila bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan sepuluh hari terakhir bulan yang mulia ini. Sayangnya, belum tentu seorang muslim menjadi beruntung karena mendapatkan keutamaan dan nikmat besar ini. Sebaliknya, ada di antara mereka yang justru merugi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam hadis sahih riwayat Tirmidzi, رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ “Celakalah seseorang, yang namaku disebut-sebut di depannya dan ia tidak mengucapkan selawat kepadaku. Dan celakalah seseorang, bulan Ramadan datang menemuinya kemudian pergi darinya sedang ia tidak mendapatkan ampunan. Dan celakalah seseorang yang kedua orang tuanya berusia lanjut, namun kedua orangtuanya tidak dapat memasukkannya ke dalam surga (karena kebaktiannya).” (HR. Tirmidzi no. 3545) Di dalam riwayat lain, bahkan disebutkan bahwa malaikat Jibril mendoakan kecelakaan dan kerugian bagi seorang hamba yang tidak dapat memaksimalkan bulan Ramadan yang mulia ini sebagai peluang untuk mendapatkan ampunan Allah Ta’ala. Bahkan, di dalam riwayat tersebut juga disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengamini doa Malaikat Jibril tersebut. Alangkah meruginya seseorang yang tidak mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di bulan yang mulia ini. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, Mari bersama-sama, kita manfaatkan bulan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya. Perbanyaklah istigfar dan memohon ampunan kepada Allah Ta’ala di bulan yang mulia ini. Terlebih lagi sebentar lagi kita akan memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan. Hari-hari di mana malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, terletak di dalamnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan, كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sepuluh hari terakhir ini, terutama di malam-malam ganjilnya yang berpeluang besar menjadi malam lailatul qadar memerintahkan kita untuk memperbanyak doa meminta ampunan kepada Allah Ta’ala. Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika aku dapati suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa doa yang mesti kuucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,  قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى “Katakan, ‘Ya Allah, Engkau Maha Memberikan maaf dan Engkau suka memberikan maaf. Karenanya, maafkanlah aku dan dosa-dosaku.’” (HR. Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850) Mari kita kencangkan sabuk-sabuk kita. Kita perbanyak amal kebaikan kita di bulan yang mulia ini. Jangan sampai kita termasuk salah satu dari orang-orang yang mendapatkan doa kerugian dan kecelakaan dari malaikat Jibril ‘alaihissalam karena tidak mendapatkan ampunan Allah di bulan yang mulia ini. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Cara Tobat Nasuha *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: ramadantobat
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian. Marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena ketakwaan kita kepada Allah merupakan salah satu kunci mendapatkan ampunan-Nya. Di dalam surah Al-Mudatstsir, Allah Ta’ala berfirman tentang dirinya, وَمَا يَذْكُرُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ هُوَ أَهْلُ التَّقْوَىٰ وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ “Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran dari Al-Qur’an, kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS. Al-Mudatstsir: 56) Allah Ta’ala adalah Tuhan kita yang patut untuk kita takuti dan kita wajib bertakwa kepada-Nya. Begitu pula, Dialah Allah Yang Maha Memberikan ampunan kepada para hamba-Nya. Ma’asyiral muslimin, Kita sebagai manusia pastilah tidak akan pernah lepas dari perbuatan dosa dan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, baik itu kemaksiatan yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Nabi shallallahu ”alaihi wasallam bersabda, كلُّ ابنِ آدمَ خطَّاءٌ ، وخيرُ الخطَّائينَ التَّوَّابونَ “Semua bani Adam pernah melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang segera bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ahmad no. 13049 dan Ibnu Majah no. 4251) Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa bertobat setiap saat. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan contoh tentang hal ini kepada kita. Beliau bersabda. يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ “Wahai sekalian manusia. Bertobatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertobat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim no. 2702) Jemaah yang berbahagia, sesungguhnya kita sedang berada di bulan Ramadan. Bulan di mana Allah Ta’ala memberikan banyak sekali ampunan-Nya kepada kita semua. Sehingga bulan ini merupakan kesempatan emas dan momentum terbaik diri kita untuk meminta ampun dan bertobat kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان، مكفرات لما بينهن إذا اجتنبت الكبائر “Antara salat lima waktu yang satu dengan yang lainnya, Jumat yang satu dan Jumat lainnya, Ramadan yang satu ke Ramadan lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233) Bahkan, Allah jadikan puasa dan salat malam/ salat tarawih kita di bulan yang mulia ini sebagai penghapus dari dosa-dosa kita. Nabi bersabda, مَن صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 760) Di hadis yang lain, Nabi bersabda, مَن قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759) Belum lagi di bulan Ramadan terdapat waktu-waktu khusus di mana Allah Ta’ala memberikan banyak sekali ampunan-Nya. Di bulan Ramadan kita memiliki kesempatan besar untuk bangun di sepertiga malam terakhir. Waktu yang Allah sebutkan keutamaannya di dalam hadis qudsi, يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ “Rabb kita Tabaraka Wata’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas, Dia berfirman, ‘Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758) Hal ini juga dikuatkan di dalam Al-Qur’an tatkala Allah Ta’ala menggambarkan sifat-sifat orang yang bertakwa. Salah satunya Allah sebutkan, وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Dan orang orang yang bertakwa selalu memohon ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz-Dariyat: 18) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan keutamaan waktu berbuka sebagai waktu di mana Allah banyak sekali memberikan ampunan-Nya dan membebaskan hamba-hamba-Nya dari neraka. Nabi bersabda, إنَّ للَّهِ عندَ كلِّ فِطرٍ عتقاءَ وذلِك في كلِّ ليلةٍ “Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari neraka saat buka puasa, dan itu terjadi setiap malam.” (HR. Ibnu Majah no. 1340) Semoga kita semua termasuk salah satu hamba Allah yang sukses mendapatkan ampunan-Nya di bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Mari Memperbanyak Tobat Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Berjumpa dengan bulan Ramadan merupakan sebuah nikmat yang sangat besar. Terlebih lagi apabila bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan sepuluh hari terakhir bulan yang mulia ini. Sayangnya, belum tentu seorang muslim menjadi beruntung karena mendapatkan keutamaan dan nikmat besar ini. Sebaliknya, ada di antara mereka yang justru merugi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam hadis sahih riwayat Tirmidzi, رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ “Celakalah seseorang, yang namaku disebut-sebut di depannya dan ia tidak mengucapkan selawat kepadaku. Dan celakalah seseorang, bulan Ramadan datang menemuinya kemudian pergi darinya sedang ia tidak mendapatkan ampunan. Dan celakalah seseorang yang kedua orang tuanya berusia lanjut, namun kedua orangtuanya tidak dapat memasukkannya ke dalam surga (karena kebaktiannya).” (HR. Tirmidzi no. 3545) Di dalam riwayat lain, bahkan disebutkan bahwa malaikat Jibril mendoakan kecelakaan dan kerugian bagi seorang hamba yang tidak dapat memaksimalkan bulan Ramadan yang mulia ini sebagai peluang untuk mendapatkan ampunan Allah Ta’ala. Bahkan, di dalam riwayat tersebut juga disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengamini doa Malaikat Jibril tersebut. Alangkah meruginya seseorang yang tidak mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di bulan yang mulia ini. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, Mari bersama-sama, kita manfaatkan bulan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya. Perbanyaklah istigfar dan memohon ampunan kepada Allah Ta’ala di bulan yang mulia ini. Terlebih lagi sebentar lagi kita akan memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan. Hari-hari di mana malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, terletak di dalamnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan, كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sepuluh hari terakhir ini, terutama di malam-malam ganjilnya yang berpeluang besar menjadi malam lailatul qadar memerintahkan kita untuk memperbanyak doa meminta ampunan kepada Allah Ta’ala. Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika aku dapati suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa doa yang mesti kuucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,  قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى “Katakan, ‘Ya Allah, Engkau Maha Memberikan maaf dan Engkau suka memberikan maaf. Karenanya, maafkanlah aku dan dosa-dosaku.’” (HR. Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850) Mari kita kencangkan sabuk-sabuk kita. Kita perbanyak amal kebaikan kita di bulan yang mulia ini. Jangan sampai kita termasuk salah satu dari orang-orang yang mendapatkan doa kerugian dan kecelakaan dari malaikat Jibril ‘alaihissalam karena tidak mendapatkan ampunan Allah di bulan yang mulia ini. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Cara Tobat Nasuha *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: ramadantobat


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian. Marilah senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena ketakwaan kita kepada Allah merupakan salah satu kunci mendapatkan ampunan-Nya. Di dalam surah Al-Mudatstsir, Allah Ta’ala berfirman tentang dirinya, وَمَا يَذْكُرُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ هُوَ أَهْلُ التَّقْوَىٰ وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ “Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran dari Al-Qur’an, kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS. Al-Mudatstsir: 56) Allah Ta’ala adalah Tuhan kita yang patut untuk kita takuti dan kita wajib bertakwa kepada-Nya. Begitu pula, Dialah Allah Yang Maha Memberikan ampunan kepada para hamba-Nya. Ma’asyiral muslimin, Kita sebagai manusia pastilah tidak akan pernah lepas dari perbuatan dosa dan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, baik itu kemaksiatan yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Nabi shallallahu ”alaihi wasallam bersabda, كلُّ ابنِ آدمَ خطَّاءٌ ، وخيرُ الخطَّائينَ التَّوَّابونَ “Semua bani Adam pernah melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang segera bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ahmad no. 13049 dan Ibnu Majah no. 4251) Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa bertobat setiap saat. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan contoh tentang hal ini kepada kita. Beliau bersabda. يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ “Wahai sekalian manusia. Bertobatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertobat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim no. 2702) Jemaah yang berbahagia, sesungguhnya kita sedang berada di bulan Ramadan. Bulan di mana Allah Ta’ala memberikan banyak sekali ampunan-Nya kepada kita semua. Sehingga bulan ini merupakan kesempatan emas dan momentum terbaik diri kita untuk meminta ampun dan bertobat kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان، مكفرات لما بينهن إذا اجتنبت الكبائر “Antara salat lima waktu yang satu dengan yang lainnya, Jumat yang satu dan Jumat lainnya, Ramadan yang satu ke Ramadan lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233) Bahkan, Allah jadikan puasa dan salat malam/ salat tarawih kita di bulan yang mulia ini sebagai penghapus dari dosa-dosa kita. Nabi bersabda, مَن صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ “Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 760) Di hadis yang lain, Nabi bersabda, مَن قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759) Belum lagi di bulan Ramadan terdapat waktu-waktu khusus di mana Allah Ta’ala memberikan banyak sekali ampunan-Nya. Di bulan Ramadan kita memiliki kesempatan besar untuk bangun di sepertiga malam terakhir. Waktu yang Allah sebutkan keutamaannya di dalam hadis qudsi, يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ “Rabb kita Tabaraka Wata’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas, Dia berfirman, ‘Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.’” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758) Hal ini juga dikuatkan di dalam Al-Qur’an tatkala Allah Ta’ala menggambarkan sifat-sifat orang yang bertakwa. Salah satunya Allah sebutkan, وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ “Dan orang orang yang bertakwa selalu memohon ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz-Dariyat: 18) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan keutamaan waktu berbuka sebagai waktu di mana Allah banyak sekali memberikan ampunan-Nya dan membebaskan hamba-hamba-Nya dari neraka. Nabi bersabda, إنَّ للَّهِ عندَ كلِّ فِطرٍ عتقاءَ وذلِك في كلِّ ليلةٍ “Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari neraka saat buka puasa, dan itu terjadi setiap malam.” (HR. Ibnu Majah no. 1340) Semoga kita semua termasuk salah satu hamba Allah yang sukses mendapatkan ampunan-Nya di bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Mari Memperbanyak Tobat Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Berjumpa dengan bulan Ramadan merupakan sebuah nikmat yang sangat besar. Terlebih lagi apabila bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan sepuluh hari terakhir bulan yang mulia ini. Sayangnya, belum tentu seorang muslim menjadi beruntung karena mendapatkan keutamaan dan nikmat besar ini. Sebaliknya, ada di antara mereka yang justru merugi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam hadis sahih riwayat Tirmidzi, رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ “Celakalah seseorang, yang namaku disebut-sebut di depannya dan ia tidak mengucapkan selawat kepadaku. Dan celakalah seseorang, bulan Ramadan datang menemuinya kemudian pergi darinya sedang ia tidak mendapatkan ampunan. Dan celakalah seseorang yang kedua orang tuanya berusia lanjut, namun kedua orangtuanya tidak dapat memasukkannya ke dalam surga (karena kebaktiannya).” (HR. Tirmidzi no. 3545) Di dalam riwayat lain, bahkan disebutkan bahwa malaikat Jibril mendoakan kecelakaan dan kerugian bagi seorang hamba yang tidak dapat memaksimalkan bulan Ramadan yang mulia ini sebagai peluang untuk mendapatkan ampunan Allah Ta’ala. Bahkan, di dalam riwayat tersebut juga disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengamini doa Malaikat Jibril tersebut. Alangkah meruginya seseorang yang tidak mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di bulan yang mulia ini. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, Mari bersama-sama, kita manfaatkan bulan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya. Perbanyaklah istigfar dan memohon ampunan kepada Allah Ta’ala di bulan yang mulia ini. Terlebih lagi sebentar lagi kita akan memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan. Hari-hari di mana malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, terletak di dalamnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan, كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ اَلْعَشْرُ -أَيْ: اَلْعَشْرُ اَلْأَخِيرُ مِنْ رَمَضَانَ- شَدَّ مِئْزَرَهُ, وَأَحْيَا لَيْلَهُ, وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah (dengan meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sepuluh hari terakhir ini, terutama di malam-malam ganjilnya yang berpeluang besar menjadi malam lailatul qadar memerintahkan kita untuk memperbanyak doa meminta ampunan kepada Allah Ta’ala. Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika aku dapati suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa doa yang mesti kuucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,  قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى “Katakan, ‘Ya Allah, Engkau Maha Memberikan maaf dan Engkau suka memberikan maaf. Karenanya, maafkanlah aku dan dosa-dosaku.’” (HR. Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850) Mari kita kencangkan sabuk-sabuk kita. Kita perbanyak amal kebaikan kita di bulan yang mulia ini. Jangan sampai kita termasuk salah satu dari orang-orang yang mendapatkan doa kerugian dan kecelakaan dari malaikat Jibril ‘alaihissalam karena tidak mendapatkan ampunan Allah di bulan yang mulia ini. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Cara Tobat Nasuha *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: ramadantobat

Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 8)

Daftar Isi Toggle Faedah 19. Batas amalmuFaedah 20. Dalih pelaku syirikFaedah 21. Ajaran pertengahan Faedah 19. Batas amalmu Allah berfirman, وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu ‘keyakinan’ itu.” (QS. Al-Hijr: 99) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, قال البخاري : قال سالم : الموت وسالم هذا هو : سالم بن عبد الله بن عمر  “Imam Bukhari mengatakan, ‘Salim berkata bahwa yang dimaksud ‘keyakinan’ di sini adalah kematian.’ Salim ini adalah Salim bin Abdullah bin Umar.” Beliau juga menjelaskan, عن سالم بن عبد الله : ( واعبد ربك حتى يأتيك اليقين ) قال : الموت وهكذا قال مجاهد ، والحسن ، وقتادة ، وعبد الرحمن بن زيد بن أسلم ، وغيره “Dari Salim bin Abdullah mengenai makna firman Allah (yang artinya), ‘Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu keyakinan.’ Beliau (Salim) mengatakan, ‘yaitu kematian’. Demikianlah tafsir dari Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan ulama lainnya.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surah Al-Hijr ayat 99) Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan, ويستدل بها على تخطئة من ذهب من الملاحدة إلى أن المراد باليقين المعرفة ، فمتى وصل أحدهم إلى المعرفة سقط عنه التكليف عندهم . وهذا كفر وضلال وجهل ، فإن الأنبياء – عليهم السلام – كانوا هم وأصحابهم أعلم الناس بالله وأعرفهم بحقوقه وصفاته ، وما يستحق من التعظيم ، وكانوا مع هذا أعبد الناس وأكثر الناس عبادة ومواظبة على فعل الخيرات إلى حين الوفاة . وإنما المراد باليقين هاهنا الموت “Ayat ini juga menjadi dalil yang menunjukkan kekeliruan sebagian orang mulhid (kaum yang akidahnya menyimpang) yang menyatakan bahwa yang dimaksud keyakinan (dalam ayat itu) adalah ma’rifah (pengetahuan atau ilmu mengenai Allah). Maka, kapan saja seorang di antara mereka (mulhid/sufi ekstrim atau filsuf, pent) sampai pada derajat ma’rifah, gugurlah taklif (kewajiban agama) bagi mereka. Ini adalah kekafiran dan kesesatan sekaligus kebodohan. Sesungguhnya para nabi ‘alaihimus salam dan para sahabat (murid mereka) adalah orang yang paling berilmu tentang Allah dan paling ma’rifah terhadap hak-hak-Nya dan mengerti keagungan sifat-sifat-Nya serta apa saja yang layak diberikan kepada-Nya berupa pengagungan. Meskipun demikian, mereka adalah orang yang paling tekun beribadah dan paling konsisten dalam melakukan kebaikan hingga datangnya kematian. Sesungguhnya yang dimaksud ‘keyakinan’ di dalam ayat ini adalah maut.” Faedah 20. Dalih pelaku syirik Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh para pelaku syirik adalah bahwa mereka menujukan ibadah kepada selain Allah dalam rangka mencari syafaat untuk mereka di sisi Allah. Hal ini telah diterangkan dengan gamblang di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 18, وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ “Mereka (orang-orang musyrik) itu beribadah kepada selain Allah yang tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat bagi mereka. Mereka mengatakan/beralasan, ‘Mereka ini adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diketahui-Nya di langit maupun di bumi?! Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa-apa yang mereka persekutukan.” Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menafsirkan, يعني: أنهم كانوا يعبدونها رجاء شفاعتها عند الله “Maksudnya adalah mereka itu beribadah kepada mereka (sesembahan selain Allah) dengan harapan untuk bisa mendapatkan syafaatnya di sisi Allah.” (Tafsir Ath-Thabari, sumber: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura10-aya18.html) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, وقد يغلط بعض الناس لجهله فيسمى دعوة الأموات والاستغاثة بهم وسيلة، ويظنها جائزة وهذا غلط عظيم؛ لأن هذا العمل من أعظم الشرك بالله، وإن سماه بعض الجهلة أو المشركين وسيلة “Sebagian orang keliru akibat kebodohannya sehingga menamai perbuatan berdoa kepada orang yang sudah mati dan memohon bantuan keselamatan kepada mereka sebagai wasilah (perantara). Mereka pun menganggap bahwa hal itu boleh-boleh saja. Padahal, ini adalah kekeliruan yang sangat besar. Karena perbuatan ini termasuk sebesar-besarnya syirik kepada Allah, walaupun sebagian orang yang bodoh atau kaum musyrik menyebutnya sebagai wasilah.” وهو دين المشركين الذي ذمهم الله عليه وعابهم به، وأرسل الرسل وأنزل الكتب لإنكاره والتحذير منه، وأما الوسيلة المذكورة في قول الله  : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ [المائدة:35] فالمراد بها التقرب إليه سبحانه بطاعته، وهذا هو معناها عند أهل العلم جميعا “Dan pada hakikatnya adalah seperti inilah agama yang dianut oleh kaum musyrikin yang dicela oleh Allah. Sebuah ajaran yang diingkari dan diperingatkan oleh para rasul dan diterangkan di dalam kitab-kitab suci. Adapun makna ‘wasilah’ yang disebutkan dalam firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah untuk menuju kepada-Nya.’ (QS. Al-Ma’idah: 35), yang dimaksud dengan wasilah di sini adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan kepada-Nya. Inilah makna yang dimaksud oleh ayat menurut seluruh ulama.” Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas Dari sini, kita mengetahui bahwa perbuatan sebagian orang yang berdoa dan ber-istighatsah kepada selain Allah, berupa jin atau orang yang sudah meninggal atau orang yang gaib (tidak hadir dan tidak terhubung secara langsung dengan sarana telekomunikasi) adalah termasuk syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Walaupun mereka beralasan bahwa itu dalam rangka mencari syafaat atau mencari wasilah kepada wali atau orang saleh. Syekh Faishal Al-Jasim hafizhahullah menyebutkan 3 keadaan di mana berdoa kepada selain Allah itu dihukumi termasuk perbuatan syirik: Pertama, apabila dia berdoa/meminta kepada makhluk, sesuatu yang tidak dikuasai, kecuali oleh Allah, seperti memberi petunjuk ke dalam hati, mengampuni dosa, memberikan keturunan, menurunkan hujan, dan sebagainya. Kedua, apabila dia berdoa kepada orang yang sudah meninggal dan meminta kepadanya. Ketiga, apabila dia berdoa kepada orang yang gaib (tidak hadir dan tidak berhubungan dengannya dengan sarana telekomunikasi). Karena tidak ada yang bisa meliputi semua suara, kecuali Allah. Tidak ada yang bisa membebaskan dari kesulitan dari jarak jauh, kecuali Allah. Karena hanya Allah yang mampu mendengar semua suara dari mana pun datangnya. (lihat penjelasan beliau dalam Tajrid At-Tauhid min Daranisy Syirki, hal. 24-26) Demikian sedikit catatan yang bisa kami sajikan, dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi kita untuk menjauhkan diri dari syirik dan kekafiran. Wallahul musta’an. Faedah 21. Ajaran pertengahan Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah memaparkan, دين الإسلام توسط واعتدال، بين الغلو والتقصير. والغلو: مجاوزة الحد. والتقصير: هو نقص فيما يجب القيام به. فهذان مدخلان للشيطان على الإنسان، فالشيطان؛ إما أن يحمل الإنسان على الغلو في الدين؛ فيقع في التجاوز؛ فيبتدع في الدين ما لم يأذن به الله أو يحمله على التقصير بترك واجب، أو فعل محرم. “Agama Islam adalah ajaran yang mengajarkan sikap pertengahan dan proporsional, berada di antara sikap ghuluw/esktrim atau berlebihan dan taqshir/sikap meremehkan. Ghuluw adalah sikap atau tindakan yang melampaui batas. Taqshir/meremehkan adalah mengurangi apa yang wajib untuk ditunaikan. Kedua hal ini merupakan pintu gerbang setan dalam merusak manusia. Setan bisa jadi menggiring manusia untuk bersikap ghuluw dalam beragama sehingga dia terjerumus dalam perilaku melampaui batas/aturan sehingga membuat-buat sesuatu di dalam agama ini yang tidak mendapatkan izin dari Allah (bid’ah); atau bisa jadi setan menggiring manusia untuk bersikap taqshir/meremehkan ketaatan dengan cara meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram.” Kemudian, beliau melanjutkan, والواجب الوقوف عند حدود الله، قال تعالى: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا [البقرة:229] أي: بالتجاوز وهو الغلو. وقال سبحانه: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا [البقرة:187] وهي: المحرمات؛ فقربانها تقصير والغلو يجري في مسائل الدين كلها: الاعتقادية والعملية  “Adapun yang wajib adalah berhenti mengikuti batasan dan aturan Allah. Allah berfirman (yang artinya), ‘Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian melanggarnya.’ (QS. Al-Baqarah: 229), maksudnya adalah larangan berbuat melampaui batas, yaitu ghuluw. Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya.’ (QS. Al-Baqarah: 187), maksudnya adalah jangan mendekati hal-hal yang diharamkan. Mendekati yang haram itu merupakan bentuk dari sikap taqshir/meremehkan ketaatan. Adapun perbuatan ghuluw itu bisa menimpa dalam segala bidang urusan agama, baik dalam urusan akidah/ keyakinan maupun urusan amaliah/perbuatan.” Sumber: https://sh-albarrak.com/article/19654 Apabila kita mencermati bimbingan para ulama, niscaya akan tampaklah bagi kita bahwa segala bentuk kesesatan dan penyimpangan itu bersumber dari dua hal di atas. Yaitu, sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-lebihan), atau sikap taqshir (meremehkan dan menyepelekan ketaatan). Di antara sebab sikap ghuluw itu semakin berkembang (bahkan salah satu sebab utamanya) adalah fitnah syubhat (kerancuan pemahaman). Inilah tipe kesesatan yang menjangkiti orang-orang yang memiliki semangat beragama semacam sekte Khawarij di masa lalu maupun teroris berkedok jihad di masa kini. Di antara sebab sikap taqshir itu semakin merebak dan meledak adalah akibat gelombang fitnah syahwat (ajakan pada hal-hal yang memuaskan hawa nafsu) dan hanyut dalam keharaman. Inilah jenis penyimpangan yang ada pada zaman ini, digerakkan dan diusung oleh mereka yang meneriakkan kebebasan dan kesetaraan dengan membawa baju liberalisme Islam dan sekulerisme. Mereka yang tidak rida dengan aturan Islam dan terkagum-kagum dengan peradaban barat. Hari ini, kita telah menjumpai masa itu, masa di mana berpegang teguh dengan Sunnah dan syariat Islam dianggap sebagai musuh bangsa dan kemajuan umat. Hari di mana akidah Islam dituduh sebagai sebab pemicu konflik dan perpecah-belahan masyarakat. Padahal, Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa memberikan nasihat dan menghendaki kebaikan bagi masyarakat dan bangsanya. Islam mengajarkan norma ketaatan kepada ulil amri dalam perkara yang makruf. Islam menjaga kewibawaan dan kehormatan penguasa serta menjunjung tinggi keadilan bagi segenap manusia tanpa membedakan agama dan ras atau suku bangsa. Inilah perkara yang banyak tidak dipahami oleh manusia, sehingga mereka mengira bahwa Islam mengajarkan radikalisme dan menebarkan kebencian. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk menjadi muslim yang hakiki, yang tidak terjerumus dalam sikap ghuluw maupun sikap taqshir. Wallahul muwaffiq. Kembali ke bagian 7: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 7) Lanjut ke bagian 9: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 9) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid

Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 8)

Daftar Isi Toggle Faedah 19. Batas amalmuFaedah 20. Dalih pelaku syirikFaedah 21. Ajaran pertengahan Faedah 19. Batas amalmu Allah berfirman, وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu ‘keyakinan’ itu.” (QS. Al-Hijr: 99) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, قال البخاري : قال سالم : الموت وسالم هذا هو : سالم بن عبد الله بن عمر  “Imam Bukhari mengatakan, ‘Salim berkata bahwa yang dimaksud ‘keyakinan’ di sini adalah kematian.’ Salim ini adalah Salim bin Abdullah bin Umar.” Beliau juga menjelaskan, عن سالم بن عبد الله : ( واعبد ربك حتى يأتيك اليقين ) قال : الموت وهكذا قال مجاهد ، والحسن ، وقتادة ، وعبد الرحمن بن زيد بن أسلم ، وغيره “Dari Salim bin Abdullah mengenai makna firman Allah (yang artinya), ‘Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu keyakinan.’ Beliau (Salim) mengatakan, ‘yaitu kematian’. Demikianlah tafsir dari Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan ulama lainnya.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surah Al-Hijr ayat 99) Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan, ويستدل بها على تخطئة من ذهب من الملاحدة إلى أن المراد باليقين المعرفة ، فمتى وصل أحدهم إلى المعرفة سقط عنه التكليف عندهم . وهذا كفر وضلال وجهل ، فإن الأنبياء – عليهم السلام – كانوا هم وأصحابهم أعلم الناس بالله وأعرفهم بحقوقه وصفاته ، وما يستحق من التعظيم ، وكانوا مع هذا أعبد الناس وأكثر الناس عبادة ومواظبة على فعل الخيرات إلى حين الوفاة . وإنما المراد باليقين هاهنا الموت “Ayat ini juga menjadi dalil yang menunjukkan kekeliruan sebagian orang mulhid (kaum yang akidahnya menyimpang) yang menyatakan bahwa yang dimaksud keyakinan (dalam ayat itu) adalah ma’rifah (pengetahuan atau ilmu mengenai Allah). Maka, kapan saja seorang di antara mereka (mulhid/sufi ekstrim atau filsuf, pent) sampai pada derajat ma’rifah, gugurlah taklif (kewajiban agama) bagi mereka. Ini adalah kekafiran dan kesesatan sekaligus kebodohan. Sesungguhnya para nabi ‘alaihimus salam dan para sahabat (murid mereka) adalah orang yang paling berilmu tentang Allah dan paling ma’rifah terhadap hak-hak-Nya dan mengerti keagungan sifat-sifat-Nya serta apa saja yang layak diberikan kepada-Nya berupa pengagungan. Meskipun demikian, mereka adalah orang yang paling tekun beribadah dan paling konsisten dalam melakukan kebaikan hingga datangnya kematian. Sesungguhnya yang dimaksud ‘keyakinan’ di dalam ayat ini adalah maut.” Faedah 20. Dalih pelaku syirik Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh para pelaku syirik adalah bahwa mereka menujukan ibadah kepada selain Allah dalam rangka mencari syafaat untuk mereka di sisi Allah. Hal ini telah diterangkan dengan gamblang di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 18, وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ “Mereka (orang-orang musyrik) itu beribadah kepada selain Allah yang tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat bagi mereka. Mereka mengatakan/beralasan, ‘Mereka ini adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diketahui-Nya di langit maupun di bumi?! Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa-apa yang mereka persekutukan.” Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menafsirkan, يعني: أنهم كانوا يعبدونها رجاء شفاعتها عند الله “Maksudnya adalah mereka itu beribadah kepada mereka (sesembahan selain Allah) dengan harapan untuk bisa mendapatkan syafaatnya di sisi Allah.” (Tafsir Ath-Thabari, sumber: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura10-aya18.html) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, وقد يغلط بعض الناس لجهله فيسمى دعوة الأموات والاستغاثة بهم وسيلة، ويظنها جائزة وهذا غلط عظيم؛ لأن هذا العمل من أعظم الشرك بالله، وإن سماه بعض الجهلة أو المشركين وسيلة “Sebagian orang keliru akibat kebodohannya sehingga menamai perbuatan berdoa kepada orang yang sudah mati dan memohon bantuan keselamatan kepada mereka sebagai wasilah (perantara). Mereka pun menganggap bahwa hal itu boleh-boleh saja. Padahal, ini adalah kekeliruan yang sangat besar. Karena perbuatan ini termasuk sebesar-besarnya syirik kepada Allah, walaupun sebagian orang yang bodoh atau kaum musyrik menyebutnya sebagai wasilah.” وهو دين المشركين الذي ذمهم الله عليه وعابهم به، وأرسل الرسل وأنزل الكتب لإنكاره والتحذير منه، وأما الوسيلة المذكورة في قول الله  : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ [المائدة:35] فالمراد بها التقرب إليه سبحانه بطاعته، وهذا هو معناها عند أهل العلم جميعا “Dan pada hakikatnya adalah seperti inilah agama yang dianut oleh kaum musyrikin yang dicela oleh Allah. Sebuah ajaran yang diingkari dan diperingatkan oleh para rasul dan diterangkan di dalam kitab-kitab suci. Adapun makna ‘wasilah’ yang disebutkan dalam firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah untuk menuju kepada-Nya.’ (QS. Al-Ma’idah: 35), yang dimaksud dengan wasilah di sini adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan kepada-Nya. Inilah makna yang dimaksud oleh ayat menurut seluruh ulama.” Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas Dari sini, kita mengetahui bahwa perbuatan sebagian orang yang berdoa dan ber-istighatsah kepada selain Allah, berupa jin atau orang yang sudah meninggal atau orang yang gaib (tidak hadir dan tidak terhubung secara langsung dengan sarana telekomunikasi) adalah termasuk syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Walaupun mereka beralasan bahwa itu dalam rangka mencari syafaat atau mencari wasilah kepada wali atau orang saleh. Syekh Faishal Al-Jasim hafizhahullah menyebutkan 3 keadaan di mana berdoa kepada selain Allah itu dihukumi termasuk perbuatan syirik: Pertama, apabila dia berdoa/meminta kepada makhluk, sesuatu yang tidak dikuasai, kecuali oleh Allah, seperti memberi petunjuk ke dalam hati, mengampuni dosa, memberikan keturunan, menurunkan hujan, dan sebagainya. Kedua, apabila dia berdoa kepada orang yang sudah meninggal dan meminta kepadanya. Ketiga, apabila dia berdoa kepada orang yang gaib (tidak hadir dan tidak berhubungan dengannya dengan sarana telekomunikasi). Karena tidak ada yang bisa meliputi semua suara, kecuali Allah. Tidak ada yang bisa membebaskan dari kesulitan dari jarak jauh, kecuali Allah. Karena hanya Allah yang mampu mendengar semua suara dari mana pun datangnya. (lihat penjelasan beliau dalam Tajrid At-Tauhid min Daranisy Syirki, hal. 24-26) Demikian sedikit catatan yang bisa kami sajikan, dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi kita untuk menjauhkan diri dari syirik dan kekafiran. Wallahul musta’an. Faedah 21. Ajaran pertengahan Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah memaparkan, دين الإسلام توسط واعتدال، بين الغلو والتقصير. والغلو: مجاوزة الحد. والتقصير: هو نقص فيما يجب القيام به. فهذان مدخلان للشيطان على الإنسان، فالشيطان؛ إما أن يحمل الإنسان على الغلو في الدين؛ فيقع في التجاوز؛ فيبتدع في الدين ما لم يأذن به الله أو يحمله على التقصير بترك واجب، أو فعل محرم. “Agama Islam adalah ajaran yang mengajarkan sikap pertengahan dan proporsional, berada di antara sikap ghuluw/esktrim atau berlebihan dan taqshir/sikap meremehkan. Ghuluw adalah sikap atau tindakan yang melampaui batas. Taqshir/meremehkan adalah mengurangi apa yang wajib untuk ditunaikan. Kedua hal ini merupakan pintu gerbang setan dalam merusak manusia. Setan bisa jadi menggiring manusia untuk bersikap ghuluw dalam beragama sehingga dia terjerumus dalam perilaku melampaui batas/aturan sehingga membuat-buat sesuatu di dalam agama ini yang tidak mendapatkan izin dari Allah (bid’ah); atau bisa jadi setan menggiring manusia untuk bersikap taqshir/meremehkan ketaatan dengan cara meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram.” Kemudian, beliau melanjutkan, والواجب الوقوف عند حدود الله، قال تعالى: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا [البقرة:229] أي: بالتجاوز وهو الغلو. وقال سبحانه: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا [البقرة:187] وهي: المحرمات؛ فقربانها تقصير والغلو يجري في مسائل الدين كلها: الاعتقادية والعملية  “Adapun yang wajib adalah berhenti mengikuti batasan dan aturan Allah. Allah berfirman (yang artinya), ‘Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian melanggarnya.’ (QS. Al-Baqarah: 229), maksudnya adalah larangan berbuat melampaui batas, yaitu ghuluw. Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya.’ (QS. Al-Baqarah: 187), maksudnya adalah jangan mendekati hal-hal yang diharamkan. Mendekati yang haram itu merupakan bentuk dari sikap taqshir/meremehkan ketaatan. Adapun perbuatan ghuluw itu bisa menimpa dalam segala bidang urusan agama, baik dalam urusan akidah/ keyakinan maupun urusan amaliah/perbuatan.” Sumber: https://sh-albarrak.com/article/19654 Apabila kita mencermati bimbingan para ulama, niscaya akan tampaklah bagi kita bahwa segala bentuk kesesatan dan penyimpangan itu bersumber dari dua hal di atas. Yaitu, sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-lebihan), atau sikap taqshir (meremehkan dan menyepelekan ketaatan). Di antara sebab sikap ghuluw itu semakin berkembang (bahkan salah satu sebab utamanya) adalah fitnah syubhat (kerancuan pemahaman). Inilah tipe kesesatan yang menjangkiti orang-orang yang memiliki semangat beragama semacam sekte Khawarij di masa lalu maupun teroris berkedok jihad di masa kini. Di antara sebab sikap taqshir itu semakin merebak dan meledak adalah akibat gelombang fitnah syahwat (ajakan pada hal-hal yang memuaskan hawa nafsu) dan hanyut dalam keharaman. Inilah jenis penyimpangan yang ada pada zaman ini, digerakkan dan diusung oleh mereka yang meneriakkan kebebasan dan kesetaraan dengan membawa baju liberalisme Islam dan sekulerisme. Mereka yang tidak rida dengan aturan Islam dan terkagum-kagum dengan peradaban barat. Hari ini, kita telah menjumpai masa itu, masa di mana berpegang teguh dengan Sunnah dan syariat Islam dianggap sebagai musuh bangsa dan kemajuan umat. Hari di mana akidah Islam dituduh sebagai sebab pemicu konflik dan perpecah-belahan masyarakat. Padahal, Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa memberikan nasihat dan menghendaki kebaikan bagi masyarakat dan bangsanya. Islam mengajarkan norma ketaatan kepada ulil amri dalam perkara yang makruf. Islam menjaga kewibawaan dan kehormatan penguasa serta menjunjung tinggi keadilan bagi segenap manusia tanpa membedakan agama dan ras atau suku bangsa. Inilah perkara yang banyak tidak dipahami oleh manusia, sehingga mereka mengira bahwa Islam mengajarkan radikalisme dan menebarkan kebencian. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk menjadi muslim yang hakiki, yang tidak terjerumus dalam sikap ghuluw maupun sikap taqshir. Wallahul muwaffiq. Kembali ke bagian 7: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 7) Lanjut ke bagian 9: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 9) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid
Daftar Isi Toggle Faedah 19. Batas amalmuFaedah 20. Dalih pelaku syirikFaedah 21. Ajaran pertengahan Faedah 19. Batas amalmu Allah berfirman, وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu ‘keyakinan’ itu.” (QS. Al-Hijr: 99) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, قال البخاري : قال سالم : الموت وسالم هذا هو : سالم بن عبد الله بن عمر  “Imam Bukhari mengatakan, ‘Salim berkata bahwa yang dimaksud ‘keyakinan’ di sini adalah kematian.’ Salim ini adalah Salim bin Abdullah bin Umar.” Beliau juga menjelaskan, عن سالم بن عبد الله : ( واعبد ربك حتى يأتيك اليقين ) قال : الموت وهكذا قال مجاهد ، والحسن ، وقتادة ، وعبد الرحمن بن زيد بن أسلم ، وغيره “Dari Salim bin Abdullah mengenai makna firman Allah (yang artinya), ‘Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu keyakinan.’ Beliau (Salim) mengatakan, ‘yaitu kematian’. Demikianlah tafsir dari Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan ulama lainnya.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surah Al-Hijr ayat 99) Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan, ويستدل بها على تخطئة من ذهب من الملاحدة إلى أن المراد باليقين المعرفة ، فمتى وصل أحدهم إلى المعرفة سقط عنه التكليف عندهم . وهذا كفر وضلال وجهل ، فإن الأنبياء – عليهم السلام – كانوا هم وأصحابهم أعلم الناس بالله وأعرفهم بحقوقه وصفاته ، وما يستحق من التعظيم ، وكانوا مع هذا أعبد الناس وأكثر الناس عبادة ومواظبة على فعل الخيرات إلى حين الوفاة . وإنما المراد باليقين هاهنا الموت “Ayat ini juga menjadi dalil yang menunjukkan kekeliruan sebagian orang mulhid (kaum yang akidahnya menyimpang) yang menyatakan bahwa yang dimaksud keyakinan (dalam ayat itu) adalah ma’rifah (pengetahuan atau ilmu mengenai Allah). Maka, kapan saja seorang di antara mereka (mulhid/sufi ekstrim atau filsuf, pent) sampai pada derajat ma’rifah, gugurlah taklif (kewajiban agama) bagi mereka. Ini adalah kekafiran dan kesesatan sekaligus kebodohan. Sesungguhnya para nabi ‘alaihimus salam dan para sahabat (murid mereka) adalah orang yang paling berilmu tentang Allah dan paling ma’rifah terhadap hak-hak-Nya dan mengerti keagungan sifat-sifat-Nya serta apa saja yang layak diberikan kepada-Nya berupa pengagungan. Meskipun demikian, mereka adalah orang yang paling tekun beribadah dan paling konsisten dalam melakukan kebaikan hingga datangnya kematian. Sesungguhnya yang dimaksud ‘keyakinan’ di dalam ayat ini adalah maut.” Faedah 20. Dalih pelaku syirik Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh para pelaku syirik adalah bahwa mereka menujukan ibadah kepada selain Allah dalam rangka mencari syafaat untuk mereka di sisi Allah. Hal ini telah diterangkan dengan gamblang di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 18, وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ “Mereka (orang-orang musyrik) itu beribadah kepada selain Allah yang tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat bagi mereka. Mereka mengatakan/beralasan, ‘Mereka ini adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diketahui-Nya di langit maupun di bumi?! Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa-apa yang mereka persekutukan.” Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menafsirkan, يعني: أنهم كانوا يعبدونها رجاء شفاعتها عند الله “Maksudnya adalah mereka itu beribadah kepada mereka (sesembahan selain Allah) dengan harapan untuk bisa mendapatkan syafaatnya di sisi Allah.” (Tafsir Ath-Thabari, sumber: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura10-aya18.html) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, وقد يغلط بعض الناس لجهله فيسمى دعوة الأموات والاستغاثة بهم وسيلة، ويظنها جائزة وهذا غلط عظيم؛ لأن هذا العمل من أعظم الشرك بالله، وإن سماه بعض الجهلة أو المشركين وسيلة “Sebagian orang keliru akibat kebodohannya sehingga menamai perbuatan berdoa kepada orang yang sudah mati dan memohon bantuan keselamatan kepada mereka sebagai wasilah (perantara). Mereka pun menganggap bahwa hal itu boleh-boleh saja. Padahal, ini adalah kekeliruan yang sangat besar. Karena perbuatan ini termasuk sebesar-besarnya syirik kepada Allah, walaupun sebagian orang yang bodoh atau kaum musyrik menyebutnya sebagai wasilah.” وهو دين المشركين الذي ذمهم الله عليه وعابهم به، وأرسل الرسل وأنزل الكتب لإنكاره والتحذير منه، وأما الوسيلة المذكورة في قول الله  : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ [المائدة:35] فالمراد بها التقرب إليه سبحانه بطاعته، وهذا هو معناها عند أهل العلم جميعا “Dan pada hakikatnya adalah seperti inilah agama yang dianut oleh kaum musyrikin yang dicela oleh Allah. Sebuah ajaran yang diingkari dan diperingatkan oleh para rasul dan diterangkan di dalam kitab-kitab suci. Adapun makna ‘wasilah’ yang disebutkan dalam firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah untuk menuju kepada-Nya.’ (QS. Al-Ma’idah: 35), yang dimaksud dengan wasilah di sini adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan kepada-Nya. Inilah makna yang dimaksud oleh ayat menurut seluruh ulama.” Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas Dari sini, kita mengetahui bahwa perbuatan sebagian orang yang berdoa dan ber-istighatsah kepada selain Allah, berupa jin atau orang yang sudah meninggal atau orang yang gaib (tidak hadir dan tidak terhubung secara langsung dengan sarana telekomunikasi) adalah termasuk syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Walaupun mereka beralasan bahwa itu dalam rangka mencari syafaat atau mencari wasilah kepada wali atau orang saleh. Syekh Faishal Al-Jasim hafizhahullah menyebutkan 3 keadaan di mana berdoa kepada selain Allah itu dihukumi termasuk perbuatan syirik: Pertama, apabila dia berdoa/meminta kepada makhluk, sesuatu yang tidak dikuasai, kecuali oleh Allah, seperti memberi petunjuk ke dalam hati, mengampuni dosa, memberikan keturunan, menurunkan hujan, dan sebagainya. Kedua, apabila dia berdoa kepada orang yang sudah meninggal dan meminta kepadanya. Ketiga, apabila dia berdoa kepada orang yang gaib (tidak hadir dan tidak berhubungan dengannya dengan sarana telekomunikasi). Karena tidak ada yang bisa meliputi semua suara, kecuali Allah. Tidak ada yang bisa membebaskan dari kesulitan dari jarak jauh, kecuali Allah. Karena hanya Allah yang mampu mendengar semua suara dari mana pun datangnya. (lihat penjelasan beliau dalam Tajrid At-Tauhid min Daranisy Syirki, hal. 24-26) Demikian sedikit catatan yang bisa kami sajikan, dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi kita untuk menjauhkan diri dari syirik dan kekafiran. Wallahul musta’an. Faedah 21. Ajaran pertengahan Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah memaparkan, دين الإسلام توسط واعتدال، بين الغلو والتقصير. والغلو: مجاوزة الحد. والتقصير: هو نقص فيما يجب القيام به. فهذان مدخلان للشيطان على الإنسان، فالشيطان؛ إما أن يحمل الإنسان على الغلو في الدين؛ فيقع في التجاوز؛ فيبتدع في الدين ما لم يأذن به الله أو يحمله على التقصير بترك واجب، أو فعل محرم. “Agama Islam adalah ajaran yang mengajarkan sikap pertengahan dan proporsional, berada di antara sikap ghuluw/esktrim atau berlebihan dan taqshir/sikap meremehkan. Ghuluw adalah sikap atau tindakan yang melampaui batas. Taqshir/meremehkan adalah mengurangi apa yang wajib untuk ditunaikan. Kedua hal ini merupakan pintu gerbang setan dalam merusak manusia. Setan bisa jadi menggiring manusia untuk bersikap ghuluw dalam beragama sehingga dia terjerumus dalam perilaku melampaui batas/aturan sehingga membuat-buat sesuatu di dalam agama ini yang tidak mendapatkan izin dari Allah (bid’ah); atau bisa jadi setan menggiring manusia untuk bersikap taqshir/meremehkan ketaatan dengan cara meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram.” Kemudian, beliau melanjutkan, والواجب الوقوف عند حدود الله، قال تعالى: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا [البقرة:229] أي: بالتجاوز وهو الغلو. وقال سبحانه: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا [البقرة:187] وهي: المحرمات؛ فقربانها تقصير والغلو يجري في مسائل الدين كلها: الاعتقادية والعملية  “Adapun yang wajib adalah berhenti mengikuti batasan dan aturan Allah. Allah berfirman (yang artinya), ‘Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian melanggarnya.’ (QS. Al-Baqarah: 229), maksudnya adalah larangan berbuat melampaui batas, yaitu ghuluw. Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya.’ (QS. Al-Baqarah: 187), maksudnya adalah jangan mendekati hal-hal yang diharamkan. Mendekati yang haram itu merupakan bentuk dari sikap taqshir/meremehkan ketaatan. Adapun perbuatan ghuluw itu bisa menimpa dalam segala bidang urusan agama, baik dalam urusan akidah/ keyakinan maupun urusan amaliah/perbuatan.” Sumber: https://sh-albarrak.com/article/19654 Apabila kita mencermati bimbingan para ulama, niscaya akan tampaklah bagi kita bahwa segala bentuk kesesatan dan penyimpangan itu bersumber dari dua hal di atas. Yaitu, sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-lebihan), atau sikap taqshir (meremehkan dan menyepelekan ketaatan). Di antara sebab sikap ghuluw itu semakin berkembang (bahkan salah satu sebab utamanya) adalah fitnah syubhat (kerancuan pemahaman). Inilah tipe kesesatan yang menjangkiti orang-orang yang memiliki semangat beragama semacam sekte Khawarij di masa lalu maupun teroris berkedok jihad di masa kini. Di antara sebab sikap taqshir itu semakin merebak dan meledak adalah akibat gelombang fitnah syahwat (ajakan pada hal-hal yang memuaskan hawa nafsu) dan hanyut dalam keharaman. Inilah jenis penyimpangan yang ada pada zaman ini, digerakkan dan diusung oleh mereka yang meneriakkan kebebasan dan kesetaraan dengan membawa baju liberalisme Islam dan sekulerisme. Mereka yang tidak rida dengan aturan Islam dan terkagum-kagum dengan peradaban barat. Hari ini, kita telah menjumpai masa itu, masa di mana berpegang teguh dengan Sunnah dan syariat Islam dianggap sebagai musuh bangsa dan kemajuan umat. Hari di mana akidah Islam dituduh sebagai sebab pemicu konflik dan perpecah-belahan masyarakat. Padahal, Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa memberikan nasihat dan menghendaki kebaikan bagi masyarakat dan bangsanya. Islam mengajarkan norma ketaatan kepada ulil amri dalam perkara yang makruf. Islam menjaga kewibawaan dan kehormatan penguasa serta menjunjung tinggi keadilan bagi segenap manusia tanpa membedakan agama dan ras atau suku bangsa. Inilah perkara yang banyak tidak dipahami oleh manusia, sehingga mereka mengira bahwa Islam mengajarkan radikalisme dan menebarkan kebencian. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk menjadi muslim yang hakiki, yang tidak terjerumus dalam sikap ghuluw maupun sikap taqshir. Wallahul muwaffiq. Kembali ke bagian 7: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 7) Lanjut ke bagian 9: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 9) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid


Daftar Isi Toggle Faedah 19. Batas amalmuFaedah 20. Dalih pelaku syirikFaedah 21. Ajaran pertengahan Faedah 19. Batas amalmu Allah berfirman, وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu ‘keyakinan’ itu.” (QS. Al-Hijr: 99) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, قال البخاري : قال سالم : الموت وسالم هذا هو : سالم بن عبد الله بن عمر  “Imam Bukhari mengatakan, ‘Salim berkata bahwa yang dimaksud ‘keyakinan’ di sini adalah kematian.’ Salim ini adalah Salim bin Abdullah bin Umar.” Beliau juga menjelaskan, عن سالم بن عبد الله : ( واعبد ربك حتى يأتيك اليقين ) قال : الموت وهكذا قال مجاهد ، والحسن ، وقتادة ، وعبد الرحمن بن زيد بن أسلم ، وغيره “Dari Salim bin Abdullah mengenai makna firman Allah (yang artinya), ‘Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu keyakinan.’ Beliau (Salim) mengatakan, ‘yaitu kematian’. Demikianlah tafsir dari Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan ulama lainnya.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surah Al-Hijr ayat 99) Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan, ويستدل بها على تخطئة من ذهب من الملاحدة إلى أن المراد باليقين المعرفة ، فمتى وصل أحدهم إلى المعرفة سقط عنه التكليف عندهم . وهذا كفر وضلال وجهل ، فإن الأنبياء – عليهم السلام – كانوا هم وأصحابهم أعلم الناس بالله وأعرفهم بحقوقه وصفاته ، وما يستحق من التعظيم ، وكانوا مع هذا أعبد الناس وأكثر الناس عبادة ومواظبة على فعل الخيرات إلى حين الوفاة . وإنما المراد باليقين هاهنا الموت “Ayat ini juga menjadi dalil yang menunjukkan kekeliruan sebagian orang mulhid (kaum yang akidahnya menyimpang) yang menyatakan bahwa yang dimaksud keyakinan (dalam ayat itu) adalah ma’rifah (pengetahuan atau ilmu mengenai Allah). Maka, kapan saja seorang di antara mereka (mulhid/sufi ekstrim atau filsuf, pent) sampai pada derajat ma’rifah, gugurlah taklif (kewajiban agama) bagi mereka. Ini adalah kekafiran dan kesesatan sekaligus kebodohan. Sesungguhnya para nabi ‘alaihimus salam dan para sahabat (murid mereka) adalah orang yang paling berilmu tentang Allah dan paling ma’rifah terhadap hak-hak-Nya dan mengerti keagungan sifat-sifat-Nya serta apa saja yang layak diberikan kepada-Nya berupa pengagungan. Meskipun demikian, mereka adalah orang yang paling tekun beribadah dan paling konsisten dalam melakukan kebaikan hingga datangnya kematian. Sesungguhnya yang dimaksud ‘keyakinan’ di dalam ayat ini adalah maut.” Faedah 20. Dalih pelaku syirik Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh para pelaku syirik adalah bahwa mereka menujukan ibadah kepada selain Allah dalam rangka mencari syafaat untuk mereka di sisi Allah. Hal ini telah diterangkan dengan gamblang di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 18, وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ “Mereka (orang-orang musyrik) itu beribadah kepada selain Allah yang tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat bagi mereka. Mereka mengatakan/beralasan, ‘Mereka ini adalah pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diketahui-Nya di langit maupun di bumi?! Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa-apa yang mereka persekutukan.” Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menafsirkan, يعني: أنهم كانوا يعبدونها رجاء شفاعتها عند الله “Maksudnya adalah mereka itu beribadah kepada mereka (sesembahan selain Allah) dengan harapan untuk bisa mendapatkan syafaatnya di sisi Allah.” (Tafsir Ath-Thabari, sumber: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura10-aya18.html) Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, وقد يغلط بعض الناس لجهله فيسمى دعوة الأموات والاستغاثة بهم وسيلة، ويظنها جائزة وهذا غلط عظيم؛ لأن هذا العمل من أعظم الشرك بالله، وإن سماه بعض الجهلة أو المشركين وسيلة “Sebagian orang keliru akibat kebodohannya sehingga menamai perbuatan berdoa kepada orang yang sudah mati dan memohon bantuan keselamatan kepada mereka sebagai wasilah (perantara). Mereka pun menganggap bahwa hal itu boleh-boleh saja. Padahal, ini adalah kekeliruan yang sangat besar. Karena perbuatan ini termasuk sebesar-besarnya syirik kepada Allah, walaupun sebagian orang yang bodoh atau kaum musyrik menyebutnya sebagai wasilah.” وهو دين المشركين الذي ذمهم الله عليه وعابهم به، وأرسل الرسل وأنزل الكتب لإنكاره والتحذير منه، وأما الوسيلة المذكورة في قول الله  : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ [المائدة:35] فالمراد بها التقرب إليه سبحانه بطاعته، وهذا هو معناها عند أهل العلم جميعا “Dan pada hakikatnya adalah seperti inilah agama yang dianut oleh kaum musyrikin yang dicela oleh Allah. Sebuah ajaran yang diingkari dan diperingatkan oleh para rasul dan diterangkan di dalam kitab-kitab suci. Adapun makna ‘wasilah’ yang disebutkan dalam firman Allah (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah untuk menuju kepada-Nya.’ (QS. Al-Ma’idah: 35), yang dimaksud dengan wasilah di sini adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan ketaatan kepada-Nya. Inilah makna yang dimaksud oleh ayat menurut seluruh ulama.” Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas Dari sini, kita mengetahui bahwa perbuatan sebagian orang yang berdoa dan ber-istighatsah kepada selain Allah, berupa jin atau orang yang sudah meninggal atau orang yang gaib (tidak hadir dan tidak terhubung secara langsung dengan sarana telekomunikasi) adalah termasuk syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Walaupun mereka beralasan bahwa itu dalam rangka mencari syafaat atau mencari wasilah kepada wali atau orang saleh. Syekh Faishal Al-Jasim hafizhahullah menyebutkan 3 keadaan di mana berdoa kepada selain Allah itu dihukumi termasuk perbuatan syirik: Pertama, apabila dia berdoa/meminta kepada makhluk, sesuatu yang tidak dikuasai, kecuali oleh Allah, seperti memberi petunjuk ke dalam hati, mengampuni dosa, memberikan keturunan, menurunkan hujan, dan sebagainya. Kedua, apabila dia berdoa kepada orang yang sudah meninggal dan meminta kepadanya. Ketiga, apabila dia berdoa kepada orang yang gaib (tidak hadir dan tidak berhubungan dengannya dengan sarana telekomunikasi). Karena tidak ada yang bisa meliputi semua suara, kecuali Allah. Tidak ada yang bisa membebaskan dari kesulitan dari jarak jauh, kecuali Allah. Karena hanya Allah yang mampu mendengar semua suara dari mana pun datangnya. (lihat penjelasan beliau dalam Tajrid At-Tauhid min Daranisy Syirki, hal. 24-26) Demikian sedikit catatan yang bisa kami sajikan, dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi kita untuk menjauhkan diri dari syirik dan kekafiran. Wallahul musta’an. Faedah 21. Ajaran pertengahan Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah memaparkan, دين الإسلام توسط واعتدال، بين الغلو والتقصير. والغلو: مجاوزة الحد. والتقصير: هو نقص فيما يجب القيام به. فهذان مدخلان للشيطان على الإنسان، فالشيطان؛ إما أن يحمل الإنسان على الغلو في الدين؛ فيقع في التجاوز؛ فيبتدع في الدين ما لم يأذن به الله أو يحمله على التقصير بترك واجب، أو فعل محرم. “Agama Islam adalah ajaran yang mengajarkan sikap pertengahan dan proporsional, berada di antara sikap ghuluw/esktrim atau berlebihan dan taqshir/sikap meremehkan. Ghuluw adalah sikap atau tindakan yang melampaui batas. Taqshir/meremehkan adalah mengurangi apa yang wajib untuk ditunaikan. Kedua hal ini merupakan pintu gerbang setan dalam merusak manusia. Setan bisa jadi menggiring manusia untuk bersikap ghuluw dalam beragama sehingga dia terjerumus dalam perilaku melampaui batas/aturan sehingga membuat-buat sesuatu di dalam agama ini yang tidak mendapatkan izin dari Allah (bid’ah); atau bisa jadi setan menggiring manusia untuk bersikap taqshir/meremehkan ketaatan dengan cara meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram.” Kemudian, beliau melanjutkan, والواجب الوقوف عند حدود الله، قال تعالى: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا [البقرة:229] أي: بالتجاوز وهو الغلو. وقال سبحانه: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا [البقرة:187] وهي: المحرمات؛ فقربانها تقصير والغلو يجري في مسائل الدين كلها: الاعتقادية والعملية  “Adapun yang wajib adalah berhenti mengikuti batasan dan aturan Allah. Allah berfirman (yang artinya), ‘Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian melanggarnya.’ (QS. Al-Baqarah: 229), maksudnya adalah larangan berbuat melampaui batas, yaitu ghuluw. Allah juga berfirman (yang artinya), ‘Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya.’ (QS. Al-Baqarah: 187), maksudnya adalah jangan mendekati hal-hal yang diharamkan. Mendekati yang haram itu merupakan bentuk dari sikap taqshir/meremehkan ketaatan. Adapun perbuatan ghuluw itu bisa menimpa dalam segala bidang urusan agama, baik dalam urusan akidah/ keyakinan maupun urusan amaliah/perbuatan.” Sumber: https://sh-albarrak.com/article/19654 Apabila kita mencermati bimbingan para ulama, niscaya akan tampaklah bagi kita bahwa segala bentuk kesesatan dan penyimpangan itu bersumber dari dua hal di atas. Yaitu, sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-lebihan), atau sikap taqshir (meremehkan dan menyepelekan ketaatan). Di antara sebab sikap ghuluw itu semakin berkembang (bahkan salah satu sebab utamanya) adalah fitnah syubhat (kerancuan pemahaman). Inilah tipe kesesatan yang menjangkiti orang-orang yang memiliki semangat beragama semacam sekte Khawarij di masa lalu maupun teroris berkedok jihad di masa kini. Di antara sebab sikap taqshir itu semakin merebak dan meledak adalah akibat gelombang fitnah syahwat (ajakan pada hal-hal yang memuaskan hawa nafsu) dan hanyut dalam keharaman. Inilah jenis penyimpangan yang ada pada zaman ini, digerakkan dan diusung oleh mereka yang meneriakkan kebebasan dan kesetaraan dengan membawa baju liberalisme Islam dan sekulerisme. Mereka yang tidak rida dengan aturan Islam dan terkagum-kagum dengan peradaban barat. Hari ini, kita telah menjumpai masa itu, masa di mana berpegang teguh dengan Sunnah dan syariat Islam dianggap sebagai musuh bangsa dan kemajuan umat. Hari di mana akidah Islam dituduh sebagai sebab pemicu konflik dan perpecah-belahan masyarakat. Padahal, Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa memberikan nasihat dan menghendaki kebaikan bagi masyarakat dan bangsanya. Islam mengajarkan norma ketaatan kepada ulil amri dalam perkara yang makruf. Islam menjaga kewibawaan dan kehormatan penguasa serta menjunjung tinggi keadilan bagi segenap manusia tanpa membedakan agama dan ras atau suku bangsa. Inilah perkara yang banyak tidak dipahami oleh manusia, sehingga mereka mengira bahwa Islam mengajarkan radikalisme dan menebarkan kebencian. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk menjadi muslim yang hakiki, yang tidak terjerumus dalam sikap ghuluw maupun sikap taqshir. Wallahul muwaffiq. Kembali ke bagian 7: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 7) Lanjut ke bagian 9: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 9) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid

Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal

Daftar Isi Toggle Pertama, menjadi sebab seseorang untuk beramalKedua, bertekad kuat mengerjakan suatu amalKetiga, berangan-angan yang jujur untuk beramal Di antara bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah dengan memberikan kemudahan dan banyak cara kepada hamba-hamba-Nya dalam mengumpulkan pahala sebagai bekal untuk menyambut hari akhirat. Ketika seseorang beramal dengan amalan saleh, maka Allah akan melipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat, tujuh ratus kali lipat, bahkan tanpa batas, sesuai kadar niat dan keikhlasan seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.’” (HR. Bukhari dan Muslim) Ternyata, selain dengan beramal, kita bisa mendapatkan pahala yang banyak seperti hadis di atas walau tidak beramal dengannya. Berikut beberapa cara agar kita bisa mendapatkan pahala walau tidak dengan beramal. Pertama, menjadi sebab seseorang untuk beramal Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Maka, siapa saja yang menginformasikan suatu ilmu agama, atau poster kegiatan agama, donasi, wakaf, sedekah, dan semisalnya, tatkala ada orang yang beramal dengan sebab mengetahui informasi tersebut dengan mengamalkan ilmu agama yang diperoleh, datang ke pengajian, atau menyalurkan hartanya di jalan Allah, ia akan mendapatkan pahala walau tidak melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ جَهَّز غَازِياً فِي سَبِيلِ الله فَقَد غَزَا، وَمَنْ خَلَّف غَازِياً في أهلِه بخَير فقَد غزَا “Siapa yang mempersiapkan bekal untuk orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang. Dan barangsiapa yang mengurus keluarga orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Kedua, bertekad kuat mengerjakan suatu amal Orang dengan keadaan kedua ini, ia mampu mengerjakan suatu amal. Akan tetapi, karena suatu hal, terhalangi untuk beramal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً “Barangsiapa yang berniat (bertekad kuat) melakukan kebaikan lalu tidak (jadi) mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan (pahala) yang sempurna.” (HR. Bukhari dan Muslim) Niat yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah niat dengan tekad yang kuat dan jujur, bukan sekedar angan-angan belaka. Misalnya, ada orang yang berniat memberikan infak ke masjid. Qadarullah sampai di masjid ia lupa membawa atau terjatuh dompetnya di perjalanan. Maka, ia sudah dicatat pahalanya di sisi Allah Ta’ala. Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ “Barangsiapa yang berdoa pada Allah dengan jujur agar bisa mati syahid, maka Allah akan memberinya kedudukan syahid walau nanti matinya di atas ranjangnya.” (HR. Muslim) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنِ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلاَةٌ بِلَيْلٍ فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ صَلاَتِهِ وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ “Tidaklah seseorang bertekad untuk bangun melaksanakan salat malam, namun kantuk mengalahkannya (sehingga tertidur), maka Allah tetap mencatat pahala salat malam untuknya dan tidurnya tadi dianggap sebagai sedekah untuknya.” (HR. An-Nasai no. 1784) Ketiga, berangan-angan yang jujur untuk beramal Orang dengan keadaan ketiga ini berbeda dengan jenis yang kedua tadi. Jika yang kedua ia memang mampu untuk beramal namun terhalangi, sedang yang ketiga ini memang dari awal tidak memiliki kemampuan dari segi harta dan ilmu, tetapi berkeinginan jika mempunyai salah satunya, dia akan beramal dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِى مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ “Dunia telah diberikan pada empat orang: Orang pertama, diberikan rezeki dan ilmu oleh Allah. Ia kemudian bertakwa dengan harta tadi kepada-Nya, menjalin hubungan dengan kerabatnya, dan ia pun tahu kewajiban yang ia mesti tunaikan pada Allah. Inilah sebaik-baik kedudukan. Orang kedua, diberikan ilmu oleh Allah, namun tidak diberi rezeki berupa harta oleh Allah. Akan tetapi, ia punya keinginan sembari berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti si fulan.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Pahalanya pun sama dengan orang yang pertama. Orang ketiga, diberikan rezeki oleh Allah berupa harta, namun tidak diberikan ilmu. Ia akhirnya menyia-nyiakan hartanya tanpa dasar ilmu. Ia pun tidak bertakwa dengan harta tadi pada Rabbnya dan ia juga tidak mengetahui kewajiban yang mesti ia lakukan pada Allah. Orang ini menempati sejelek-jelek kedudukan. Orang keempat, tidak diberikan rezeki oleh Allah berupa harta maupun ilmu. Dan ia pun berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan berfoya-foya dengannya.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Dosanya pun sama dengan orang ketiga.” (HR. Tirmidzi no. 2325) Semoga bermanfaat. Baca juga: Ibadah: Semakin Bermanfaat, Semakin Berpahala *** Penulis: Arif  Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: beramalpahala

Cara Mendapatkan Pahala tanpa Beramal

Daftar Isi Toggle Pertama, menjadi sebab seseorang untuk beramalKedua, bertekad kuat mengerjakan suatu amalKetiga, berangan-angan yang jujur untuk beramal Di antara bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah dengan memberikan kemudahan dan banyak cara kepada hamba-hamba-Nya dalam mengumpulkan pahala sebagai bekal untuk menyambut hari akhirat. Ketika seseorang beramal dengan amalan saleh, maka Allah akan melipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat, tujuh ratus kali lipat, bahkan tanpa batas, sesuai kadar niat dan keikhlasan seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.’” (HR. Bukhari dan Muslim) Ternyata, selain dengan beramal, kita bisa mendapatkan pahala yang banyak seperti hadis di atas walau tidak beramal dengannya. Berikut beberapa cara agar kita bisa mendapatkan pahala walau tidak dengan beramal. Pertama, menjadi sebab seseorang untuk beramal Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Maka, siapa saja yang menginformasikan suatu ilmu agama, atau poster kegiatan agama, donasi, wakaf, sedekah, dan semisalnya, tatkala ada orang yang beramal dengan sebab mengetahui informasi tersebut dengan mengamalkan ilmu agama yang diperoleh, datang ke pengajian, atau menyalurkan hartanya di jalan Allah, ia akan mendapatkan pahala walau tidak melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ جَهَّز غَازِياً فِي سَبِيلِ الله فَقَد غَزَا، وَمَنْ خَلَّف غَازِياً في أهلِه بخَير فقَد غزَا “Siapa yang mempersiapkan bekal untuk orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang. Dan barangsiapa yang mengurus keluarga orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Kedua, bertekad kuat mengerjakan suatu amal Orang dengan keadaan kedua ini, ia mampu mengerjakan suatu amal. Akan tetapi, karena suatu hal, terhalangi untuk beramal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً “Barangsiapa yang berniat (bertekad kuat) melakukan kebaikan lalu tidak (jadi) mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan (pahala) yang sempurna.” (HR. Bukhari dan Muslim) Niat yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah niat dengan tekad yang kuat dan jujur, bukan sekedar angan-angan belaka. Misalnya, ada orang yang berniat memberikan infak ke masjid. Qadarullah sampai di masjid ia lupa membawa atau terjatuh dompetnya di perjalanan. Maka, ia sudah dicatat pahalanya di sisi Allah Ta’ala. Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ “Barangsiapa yang berdoa pada Allah dengan jujur agar bisa mati syahid, maka Allah akan memberinya kedudukan syahid walau nanti matinya di atas ranjangnya.” (HR. Muslim) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنِ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلاَةٌ بِلَيْلٍ فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ صَلاَتِهِ وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ “Tidaklah seseorang bertekad untuk bangun melaksanakan salat malam, namun kantuk mengalahkannya (sehingga tertidur), maka Allah tetap mencatat pahala salat malam untuknya dan tidurnya tadi dianggap sebagai sedekah untuknya.” (HR. An-Nasai no. 1784) Ketiga, berangan-angan yang jujur untuk beramal Orang dengan keadaan ketiga ini berbeda dengan jenis yang kedua tadi. Jika yang kedua ia memang mampu untuk beramal namun terhalangi, sedang yang ketiga ini memang dari awal tidak memiliki kemampuan dari segi harta dan ilmu, tetapi berkeinginan jika mempunyai salah satunya, dia akan beramal dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِى مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ “Dunia telah diberikan pada empat orang: Orang pertama, diberikan rezeki dan ilmu oleh Allah. Ia kemudian bertakwa dengan harta tadi kepada-Nya, menjalin hubungan dengan kerabatnya, dan ia pun tahu kewajiban yang ia mesti tunaikan pada Allah. Inilah sebaik-baik kedudukan. Orang kedua, diberikan ilmu oleh Allah, namun tidak diberi rezeki berupa harta oleh Allah. Akan tetapi, ia punya keinginan sembari berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti si fulan.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Pahalanya pun sama dengan orang yang pertama. Orang ketiga, diberikan rezeki oleh Allah berupa harta, namun tidak diberikan ilmu. Ia akhirnya menyia-nyiakan hartanya tanpa dasar ilmu. Ia pun tidak bertakwa dengan harta tadi pada Rabbnya dan ia juga tidak mengetahui kewajiban yang mesti ia lakukan pada Allah. Orang ini menempati sejelek-jelek kedudukan. Orang keempat, tidak diberikan rezeki oleh Allah berupa harta maupun ilmu. Dan ia pun berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan berfoya-foya dengannya.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Dosanya pun sama dengan orang ketiga.” (HR. Tirmidzi no. 2325) Semoga bermanfaat. Baca juga: Ibadah: Semakin Bermanfaat, Semakin Berpahala *** Penulis: Arif  Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: beramalpahala
Daftar Isi Toggle Pertama, menjadi sebab seseorang untuk beramalKedua, bertekad kuat mengerjakan suatu amalKetiga, berangan-angan yang jujur untuk beramal Di antara bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah dengan memberikan kemudahan dan banyak cara kepada hamba-hamba-Nya dalam mengumpulkan pahala sebagai bekal untuk menyambut hari akhirat. Ketika seseorang beramal dengan amalan saleh, maka Allah akan melipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat, tujuh ratus kali lipat, bahkan tanpa batas, sesuai kadar niat dan keikhlasan seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.’” (HR. Bukhari dan Muslim) Ternyata, selain dengan beramal, kita bisa mendapatkan pahala yang banyak seperti hadis di atas walau tidak beramal dengannya. Berikut beberapa cara agar kita bisa mendapatkan pahala walau tidak dengan beramal. Pertama, menjadi sebab seseorang untuk beramal Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Maka, siapa saja yang menginformasikan suatu ilmu agama, atau poster kegiatan agama, donasi, wakaf, sedekah, dan semisalnya, tatkala ada orang yang beramal dengan sebab mengetahui informasi tersebut dengan mengamalkan ilmu agama yang diperoleh, datang ke pengajian, atau menyalurkan hartanya di jalan Allah, ia akan mendapatkan pahala walau tidak melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ جَهَّز غَازِياً فِي سَبِيلِ الله فَقَد غَزَا، وَمَنْ خَلَّف غَازِياً في أهلِه بخَير فقَد غزَا “Siapa yang mempersiapkan bekal untuk orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang. Dan barangsiapa yang mengurus keluarga orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Kedua, bertekad kuat mengerjakan suatu amal Orang dengan keadaan kedua ini, ia mampu mengerjakan suatu amal. Akan tetapi, karena suatu hal, terhalangi untuk beramal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً “Barangsiapa yang berniat (bertekad kuat) melakukan kebaikan lalu tidak (jadi) mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan (pahala) yang sempurna.” (HR. Bukhari dan Muslim) Niat yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah niat dengan tekad yang kuat dan jujur, bukan sekedar angan-angan belaka. Misalnya, ada orang yang berniat memberikan infak ke masjid. Qadarullah sampai di masjid ia lupa membawa atau terjatuh dompetnya di perjalanan. Maka, ia sudah dicatat pahalanya di sisi Allah Ta’ala. Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ “Barangsiapa yang berdoa pada Allah dengan jujur agar bisa mati syahid, maka Allah akan memberinya kedudukan syahid walau nanti matinya di atas ranjangnya.” (HR. Muslim) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنِ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلاَةٌ بِلَيْلٍ فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ صَلاَتِهِ وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ “Tidaklah seseorang bertekad untuk bangun melaksanakan salat malam, namun kantuk mengalahkannya (sehingga tertidur), maka Allah tetap mencatat pahala salat malam untuknya dan tidurnya tadi dianggap sebagai sedekah untuknya.” (HR. An-Nasai no. 1784) Ketiga, berangan-angan yang jujur untuk beramal Orang dengan keadaan ketiga ini berbeda dengan jenis yang kedua tadi. Jika yang kedua ia memang mampu untuk beramal namun terhalangi, sedang yang ketiga ini memang dari awal tidak memiliki kemampuan dari segi harta dan ilmu, tetapi berkeinginan jika mempunyai salah satunya, dia akan beramal dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِى مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ “Dunia telah diberikan pada empat orang: Orang pertama, diberikan rezeki dan ilmu oleh Allah. Ia kemudian bertakwa dengan harta tadi kepada-Nya, menjalin hubungan dengan kerabatnya, dan ia pun tahu kewajiban yang ia mesti tunaikan pada Allah. Inilah sebaik-baik kedudukan. Orang kedua, diberikan ilmu oleh Allah, namun tidak diberi rezeki berupa harta oleh Allah. Akan tetapi, ia punya keinginan sembari berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti si fulan.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Pahalanya pun sama dengan orang yang pertama. Orang ketiga, diberikan rezeki oleh Allah berupa harta, namun tidak diberikan ilmu. Ia akhirnya menyia-nyiakan hartanya tanpa dasar ilmu. Ia pun tidak bertakwa dengan harta tadi pada Rabbnya dan ia juga tidak mengetahui kewajiban yang mesti ia lakukan pada Allah. Orang ini menempati sejelek-jelek kedudukan. Orang keempat, tidak diberikan rezeki oleh Allah berupa harta maupun ilmu. Dan ia pun berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan berfoya-foya dengannya.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Dosanya pun sama dengan orang ketiga.” (HR. Tirmidzi no. 2325) Semoga bermanfaat. Baca juga: Ibadah: Semakin Bermanfaat, Semakin Berpahala *** Penulis: Arif  Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: beramalpahala


Daftar Isi Toggle Pertama, menjadi sebab seseorang untuk beramalKedua, bertekad kuat mengerjakan suatu amalKetiga, berangan-angan yang jujur untuk beramal Di antara bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah dengan memberikan kemudahan dan banyak cara kepada hamba-hamba-Nya dalam mengumpulkan pahala sebagai bekal untuk menyambut hari akhirat. Ketika seseorang beramal dengan amalan saleh, maka Allah akan melipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat, tujuh ratus kali lipat, bahkan tanpa batas, sesuai kadar niat dan keikhlasan seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.’” (HR. Bukhari dan Muslim) Ternyata, selain dengan beramal, kita bisa mendapatkan pahala yang banyak seperti hadis di atas walau tidak beramal dengannya. Berikut beberapa cara agar kita bisa mendapatkan pahala walau tidak dengan beramal. Pertama, menjadi sebab seseorang untuk beramal Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim) Maka, siapa saja yang menginformasikan suatu ilmu agama, atau poster kegiatan agama, donasi, wakaf, sedekah, dan semisalnya, tatkala ada orang yang beramal dengan sebab mengetahui informasi tersebut dengan mengamalkan ilmu agama yang diperoleh, datang ke pengajian, atau menyalurkan hartanya di jalan Allah, ia akan mendapatkan pahala walau tidak melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ جَهَّز غَازِياً فِي سَبِيلِ الله فَقَد غَزَا، وَمَنْ خَلَّف غَازِياً في أهلِه بخَير فقَد غزَا “Siapa yang mempersiapkan bekal untuk orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang. Dan barangsiapa yang mengurus keluarga orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap benar-benar telah (ikut) berperang.” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala Kedua, bertekad kuat mengerjakan suatu amal Orang dengan keadaan kedua ini, ia mampu mengerjakan suatu amal. Akan tetapi, karena suatu hal, terhalangi untuk beramal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً “Barangsiapa yang berniat (bertekad kuat) melakukan kebaikan lalu tidak (jadi) mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan (pahala) yang sempurna.” (HR. Bukhari dan Muslim) Niat yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah niat dengan tekad yang kuat dan jujur, bukan sekedar angan-angan belaka. Misalnya, ada orang yang berniat memberikan infak ke masjid. Qadarullah sampai di masjid ia lupa membawa atau terjatuh dompetnya di perjalanan. Maka, ia sudah dicatat pahalanya di sisi Allah Ta’ala. Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ “Barangsiapa yang berdoa pada Allah dengan jujur agar bisa mati syahid, maka Allah akan memberinya kedudukan syahid walau nanti matinya di atas ranjangnya.” (HR. Muslim) ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنِ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلاَةٌ بِلَيْلٍ فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ صَلاَتِهِ وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ “Tidaklah seseorang bertekad untuk bangun melaksanakan salat malam, namun kantuk mengalahkannya (sehingga tertidur), maka Allah tetap mencatat pahala salat malam untuknya dan tidurnya tadi dianggap sebagai sedekah untuknya.” (HR. An-Nasai no. 1784) Ketiga, berangan-angan yang jujur untuk beramal Orang dengan keadaan ketiga ini berbeda dengan jenis yang kedua tadi. Jika yang kedua ia memang mampu untuk beramal namun terhalangi, sedang yang ketiga ini memang dari awal tidak memiliki kemampuan dari segi harta dan ilmu, tetapi berkeinginan jika mempunyai salah satunya, dia akan beramal dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِى مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِى فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِى مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ “Dunia telah diberikan pada empat orang: Orang pertama, diberikan rezeki dan ilmu oleh Allah. Ia kemudian bertakwa dengan harta tadi kepada-Nya, menjalin hubungan dengan kerabatnya, dan ia pun tahu kewajiban yang ia mesti tunaikan pada Allah. Inilah sebaik-baik kedudukan. Orang kedua, diberikan ilmu oleh Allah, namun tidak diberi rezeki berupa harta oleh Allah. Akan tetapi, ia punya keinginan sembari berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti si fulan.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Pahalanya pun sama dengan orang yang pertama. Orang ketiga, diberikan rezeki oleh Allah berupa harta, namun tidak diberikan ilmu. Ia akhirnya menyia-nyiakan hartanya tanpa dasar ilmu. Ia pun tidak bertakwa dengan harta tadi pada Rabbnya dan ia juga tidak mengetahui kewajiban yang mesti ia lakukan pada Allah. Orang ini menempati sejelek-jelek kedudukan. Orang keempat, tidak diberikan rezeki oleh Allah berupa harta maupun ilmu. Dan ia pun berujar, ‘Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan berfoya-foya dengannya.’ Orang ini akan mendapatkan yang ia niatkan. Dosanya pun sama dengan orang ketiga.” (HR. Tirmidzi no. 2325) Semoga bermanfaat. Baca juga: Ibadah: Semakin Bermanfaat, Semakin Berpahala *** Penulis: Arif  Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id Tags: beramalpahala

Sang Pemenang Ramadan

Bismillah. Bulan Ramadan merupakan sarana untuk menempa semangat juang kaum beriman. Sebab, pada hakikatnya hidup ini penuh dengan perjuangan dan ujian. Allah berfirman, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia itu mengira mereka ditinggalkan begitu saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’, lantas mereka tidak diberi ujian?” (QS. Al-’Ankabut: 2) Waktu secara umum adalah wahana pemberian ujian dan cobaan bagi segenap insan. Allah berfirman, وَٱلْعَصْرِ ١ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ٣ “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3) Jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan adalah rangkaian episode cobaan dan ujian keimanan. Apakah seseorang dapat menjadi penakluk hawa nafsu dan pengejar akhirat, ataukah ia justru terlempar ke barisan pemuja dunia dan budak fatamorgana?! Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak- anak dunia!” Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap hari berlalu, maka lenyaplah bagian dari dirimu.” Demikianlah keadaan manusia. Ada di antara mereka yang bergabung dengan pejuang iman dan pembela hidayah, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang larut bersama gempuran fitnah dan hanyut bersama arus kehinaan dan kerusakan. Wal ‘iyadzu billah. Saudaraku yang dirahmati Allah, bulan Ramadan ini menjadi lahan produktif untuk menyemai amal saleh dan memperkuat pondasi ketakwaan. Amal yang murni untuk Allah dan mengikuti pedoman dari rasul terakhir yang diutus di muka bumi. Allah berfirman, فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَـٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا  “Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من صَام رمضان إيِمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِر له ما تَقدَّم من ذَنْبِه “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hal ini menjadi penanda bagi kita bahwa memanfaatkan bulan Ramadan untuk memperbarui iman dan membersihkan jiwa adalah bagian dari perintah agama. Sebab, manusia penuh dengan kesalahan dan dosa. Ia senantiasa butuh pembersihan dan pemurnian. Sebagaimana halnya ibadah salat lima waktu dalam sehari semalam yang digambarkan seperti mandi 5 kali dalam sehari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Iman bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dan menguat dengan adanya amal saleh dan ketaatan, dan ia melemah serta berkurang akibat dari kelalaian dan maksiat. Di sinilah peran Ramadan menggenjot amal saleh dan memperkuat akar-akar ketaatan. Sebab, di dalam Islam, amal bukan dibangun di atas pemikiran dan perasaan. Akan tetapi, ia berkembang dari pancaran wahyu dan petunjuk Nabi. Allah berfirman, وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ ٣ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌۭ يُوحَىٰ ٤ “Dan tidaklah ia (Muhammad) itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4) Baca juga: Ramadan Mengajarkanku Keistikamahan Seperti itulah kaidah dan prinsip yang selalu ditanamkan oleh para ulama salaf kepada kita, bahwa amal harus dibangun dengan petunjuk wahyu. Ia tunduk kepada bimbingan Allah dan arahan Nabi. Allah berfirman, مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ “Barangsiapa yang taat kepada Rasul, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Barangsiapa menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan.” Ibadah puasa Ramadan, qiyam Ramadan, sahur, buka puasa, iktikaf, zakat, dan lain sebagainya adalah bentuk ibadah-ibadah yang semuanya dibangun di atas pondasi wahyu dan petunjuk Allah. Bukan hasil rekayasa pemikiran manusia. Bukan produk budaya atau kompilasi tradisi bangsa dan suku tertentu di alam dunia. Ia merupakan syariat dari Rabb, Penguasa alam semesta. Inilah pilar tegaknya penghambaan kepada Allah, yaitu sikap pasrah dan tunduk kepada Allah. Para ulama menjelaskan bahwa Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Keislaman inilah yang diajarkan para nabi dan rasul kepada umat di sepanjang masa. Allah berfirman, وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ  “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyeru, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36) Islam tegak di atas tauhid. Karena ibadah kepada Allah tidak diterima tanpanya. Allah berfirman, وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Ibadah puasa Ramadan bukanlah ibadah yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia tegak di atas nilai-nilai iman dan pondasi akidah. Oleh sebab itu, di dalam surah Al-Kahfi ayat 110 di atas, telah disebutkan bahwa amal saleh yang dilakukan itu harus bebas dari kesyirikan. Begitu pula, ditegaskan dalam surah Az-Zumar ayat 65 bahwa syirik akan menghancurkan amal-amal kebaikan. Inilah konsep ibadah dan ketaatan di dalam agama Islam. Ibadah yang dibangun di atas pemurnian amal kepada Allah dan berlepas dari dari syirik. Allah berfirman, وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ “Dan tidaklah mereka diperintahkan, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dalam keadaan hanif/bertauhid dan ikhlas….” (QS. Al-Bayyinah: 5) Ibadah puasa dalam konsep Islam tidak terlepas dari pembinaan akhlak dan penjagaan hati. Karena itulah, disebutkan dalam hadis bahwa Allah tidak ‘membutuhkan’ ibadah puasa dari orang yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengatakan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak meraih apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga. Ini artinya ibadah puasa hanya akan membuahkan derajat yang mulia jika dipelihara dari segala perusak dan kotoran yang menodainya. Ketika seorang muslim menundukkan akalnya untuk menahan haus dan lapar sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari di ufuk barat, maka ini adalah pelajaran tentang kecintaan dan perendahan diri. Bagaimana seorang muslim lebih mendahulukan perintah Rabbnya daripada keinginan hawa nafsu dan akal pikirannya. Bagaimana seorang hamba meninggalkan sesuatu yang disukai oleh hawa nafsu demi mendapatkan keridaan dan kecintaan Allah. Orang yang lulus dari madrasah Ramadan ini bukanlah mereka yang berhari raya dengan baju baru, menyalakan petasan, atau menggelar pentas musik sembari melalaikan salat berjemaah di masjid. Mereka yang sukses menjadi juara dari madrasah Ramadan ini adalah orang-orang beriman yang tunduk kepada bimbingan Allah. Allah berfirman, فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَاىَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ “Maka, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123) Mereka yang tampil sebagai pemenang adalah yang menyerap takwa ke dalam sanubari dan membuahkan amal saleh di dalam kehidupannya. Allah berfirman,  يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau sekadar memperindah penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut akan hukuman Allah.” Demikian sedikit catatan dan perenungan, semoga bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Untukmu Wahai Pencari Kebaikan, Inilah Saatnya di Bulan Ramadan *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: juarapemenang

Sang Pemenang Ramadan

Bismillah. Bulan Ramadan merupakan sarana untuk menempa semangat juang kaum beriman. Sebab, pada hakikatnya hidup ini penuh dengan perjuangan dan ujian. Allah berfirman, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia itu mengira mereka ditinggalkan begitu saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’, lantas mereka tidak diberi ujian?” (QS. Al-’Ankabut: 2) Waktu secara umum adalah wahana pemberian ujian dan cobaan bagi segenap insan. Allah berfirman, وَٱلْعَصْرِ ١ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ٣ “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3) Jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan adalah rangkaian episode cobaan dan ujian keimanan. Apakah seseorang dapat menjadi penakluk hawa nafsu dan pengejar akhirat, ataukah ia justru terlempar ke barisan pemuja dunia dan budak fatamorgana?! Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak- anak dunia!” Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap hari berlalu, maka lenyaplah bagian dari dirimu.” Demikianlah keadaan manusia. Ada di antara mereka yang bergabung dengan pejuang iman dan pembela hidayah, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang larut bersama gempuran fitnah dan hanyut bersama arus kehinaan dan kerusakan. Wal ‘iyadzu billah. Saudaraku yang dirahmati Allah, bulan Ramadan ini menjadi lahan produktif untuk menyemai amal saleh dan memperkuat pondasi ketakwaan. Amal yang murni untuk Allah dan mengikuti pedoman dari rasul terakhir yang diutus di muka bumi. Allah berfirman, فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَـٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا  “Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من صَام رمضان إيِمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِر له ما تَقدَّم من ذَنْبِه “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hal ini menjadi penanda bagi kita bahwa memanfaatkan bulan Ramadan untuk memperbarui iman dan membersihkan jiwa adalah bagian dari perintah agama. Sebab, manusia penuh dengan kesalahan dan dosa. Ia senantiasa butuh pembersihan dan pemurnian. Sebagaimana halnya ibadah salat lima waktu dalam sehari semalam yang digambarkan seperti mandi 5 kali dalam sehari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Iman bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dan menguat dengan adanya amal saleh dan ketaatan, dan ia melemah serta berkurang akibat dari kelalaian dan maksiat. Di sinilah peran Ramadan menggenjot amal saleh dan memperkuat akar-akar ketaatan. Sebab, di dalam Islam, amal bukan dibangun di atas pemikiran dan perasaan. Akan tetapi, ia berkembang dari pancaran wahyu dan petunjuk Nabi. Allah berfirman, وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ ٣ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌۭ يُوحَىٰ ٤ “Dan tidaklah ia (Muhammad) itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4) Baca juga: Ramadan Mengajarkanku Keistikamahan Seperti itulah kaidah dan prinsip yang selalu ditanamkan oleh para ulama salaf kepada kita, bahwa amal harus dibangun dengan petunjuk wahyu. Ia tunduk kepada bimbingan Allah dan arahan Nabi. Allah berfirman, مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ “Barangsiapa yang taat kepada Rasul, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Barangsiapa menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan.” Ibadah puasa Ramadan, qiyam Ramadan, sahur, buka puasa, iktikaf, zakat, dan lain sebagainya adalah bentuk ibadah-ibadah yang semuanya dibangun di atas pondasi wahyu dan petunjuk Allah. Bukan hasil rekayasa pemikiran manusia. Bukan produk budaya atau kompilasi tradisi bangsa dan suku tertentu di alam dunia. Ia merupakan syariat dari Rabb, Penguasa alam semesta. Inilah pilar tegaknya penghambaan kepada Allah, yaitu sikap pasrah dan tunduk kepada Allah. Para ulama menjelaskan bahwa Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Keislaman inilah yang diajarkan para nabi dan rasul kepada umat di sepanjang masa. Allah berfirman, وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ  “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyeru, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36) Islam tegak di atas tauhid. Karena ibadah kepada Allah tidak diterima tanpanya. Allah berfirman, وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Ibadah puasa Ramadan bukanlah ibadah yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia tegak di atas nilai-nilai iman dan pondasi akidah. Oleh sebab itu, di dalam surah Al-Kahfi ayat 110 di atas, telah disebutkan bahwa amal saleh yang dilakukan itu harus bebas dari kesyirikan. Begitu pula, ditegaskan dalam surah Az-Zumar ayat 65 bahwa syirik akan menghancurkan amal-amal kebaikan. Inilah konsep ibadah dan ketaatan di dalam agama Islam. Ibadah yang dibangun di atas pemurnian amal kepada Allah dan berlepas dari dari syirik. Allah berfirman, وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ “Dan tidaklah mereka diperintahkan, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dalam keadaan hanif/bertauhid dan ikhlas….” (QS. Al-Bayyinah: 5) Ibadah puasa dalam konsep Islam tidak terlepas dari pembinaan akhlak dan penjagaan hati. Karena itulah, disebutkan dalam hadis bahwa Allah tidak ‘membutuhkan’ ibadah puasa dari orang yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengatakan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak meraih apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga. Ini artinya ibadah puasa hanya akan membuahkan derajat yang mulia jika dipelihara dari segala perusak dan kotoran yang menodainya. Ketika seorang muslim menundukkan akalnya untuk menahan haus dan lapar sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari di ufuk barat, maka ini adalah pelajaran tentang kecintaan dan perendahan diri. Bagaimana seorang muslim lebih mendahulukan perintah Rabbnya daripada keinginan hawa nafsu dan akal pikirannya. Bagaimana seorang hamba meninggalkan sesuatu yang disukai oleh hawa nafsu demi mendapatkan keridaan dan kecintaan Allah. Orang yang lulus dari madrasah Ramadan ini bukanlah mereka yang berhari raya dengan baju baru, menyalakan petasan, atau menggelar pentas musik sembari melalaikan salat berjemaah di masjid. Mereka yang sukses menjadi juara dari madrasah Ramadan ini adalah orang-orang beriman yang tunduk kepada bimbingan Allah. Allah berfirman, فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَاىَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ “Maka, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123) Mereka yang tampil sebagai pemenang adalah yang menyerap takwa ke dalam sanubari dan membuahkan amal saleh di dalam kehidupannya. Allah berfirman,  يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau sekadar memperindah penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut akan hukuman Allah.” Demikian sedikit catatan dan perenungan, semoga bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Untukmu Wahai Pencari Kebaikan, Inilah Saatnya di Bulan Ramadan *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: juarapemenang
Bismillah. Bulan Ramadan merupakan sarana untuk menempa semangat juang kaum beriman. Sebab, pada hakikatnya hidup ini penuh dengan perjuangan dan ujian. Allah berfirman, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia itu mengira mereka ditinggalkan begitu saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’, lantas mereka tidak diberi ujian?” (QS. Al-’Ankabut: 2) Waktu secara umum adalah wahana pemberian ujian dan cobaan bagi segenap insan. Allah berfirman, وَٱلْعَصْرِ ١ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ٣ “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3) Jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan adalah rangkaian episode cobaan dan ujian keimanan. Apakah seseorang dapat menjadi penakluk hawa nafsu dan pengejar akhirat, ataukah ia justru terlempar ke barisan pemuja dunia dan budak fatamorgana?! Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak- anak dunia!” Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap hari berlalu, maka lenyaplah bagian dari dirimu.” Demikianlah keadaan manusia. Ada di antara mereka yang bergabung dengan pejuang iman dan pembela hidayah, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang larut bersama gempuran fitnah dan hanyut bersama arus kehinaan dan kerusakan. Wal ‘iyadzu billah. Saudaraku yang dirahmati Allah, bulan Ramadan ini menjadi lahan produktif untuk menyemai amal saleh dan memperkuat pondasi ketakwaan. Amal yang murni untuk Allah dan mengikuti pedoman dari rasul terakhir yang diutus di muka bumi. Allah berfirman, فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَـٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا  “Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من صَام رمضان إيِمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِر له ما تَقدَّم من ذَنْبِه “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hal ini menjadi penanda bagi kita bahwa memanfaatkan bulan Ramadan untuk memperbarui iman dan membersihkan jiwa adalah bagian dari perintah agama. Sebab, manusia penuh dengan kesalahan dan dosa. Ia senantiasa butuh pembersihan dan pemurnian. Sebagaimana halnya ibadah salat lima waktu dalam sehari semalam yang digambarkan seperti mandi 5 kali dalam sehari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Iman bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dan menguat dengan adanya amal saleh dan ketaatan, dan ia melemah serta berkurang akibat dari kelalaian dan maksiat. Di sinilah peran Ramadan menggenjot amal saleh dan memperkuat akar-akar ketaatan. Sebab, di dalam Islam, amal bukan dibangun di atas pemikiran dan perasaan. Akan tetapi, ia berkembang dari pancaran wahyu dan petunjuk Nabi. Allah berfirman, وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ ٣ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌۭ يُوحَىٰ ٤ “Dan tidaklah ia (Muhammad) itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4) Baca juga: Ramadan Mengajarkanku Keistikamahan Seperti itulah kaidah dan prinsip yang selalu ditanamkan oleh para ulama salaf kepada kita, bahwa amal harus dibangun dengan petunjuk wahyu. Ia tunduk kepada bimbingan Allah dan arahan Nabi. Allah berfirman, مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ “Barangsiapa yang taat kepada Rasul, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Barangsiapa menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan.” Ibadah puasa Ramadan, qiyam Ramadan, sahur, buka puasa, iktikaf, zakat, dan lain sebagainya adalah bentuk ibadah-ibadah yang semuanya dibangun di atas pondasi wahyu dan petunjuk Allah. Bukan hasil rekayasa pemikiran manusia. Bukan produk budaya atau kompilasi tradisi bangsa dan suku tertentu di alam dunia. Ia merupakan syariat dari Rabb, Penguasa alam semesta. Inilah pilar tegaknya penghambaan kepada Allah, yaitu sikap pasrah dan tunduk kepada Allah. Para ulama menjelaskan bahwa Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Keislaman inilah yang diajarkan para nabi dan rasul kepada umat di sepanjang masa. Allah berfirman, وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ  “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyeru, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36) Islam tegak di atas tauhid. Karena ibadah kepada Allah tidak diterima tanpanya. Allah berfirman, وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Ibadah puasa Ramadan bukanlah ibadah yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia tegak di atas nilai-nilai iman dan pondasi akidah. Oleh sebab itu, di dalam surah Al-Kahfi ayat 110 di atas, telah disebutkan bahwa amal saleh yang dilakukan itu harus bebas dari kesyirikan. Begitu pula, ditegaskan dalam surah Az-Zumar ayat 65 bahwa syirik akan menghancurkan amal-amal kebaikan. Inilah konsep ibadah dan ketaatan di dalam agama Islam. Ibadah yang dibangun di atas pemurnian amal kepada Allah dan berlepas dari dari syirik. Allah berfirman, وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ “Dan tidaklah mereka diperintahkan, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dalam keadaan hanif/bertauhid dan ikhlas….” (QS. Al-Bayyinah: 5) Ibadah puasa dalam konsep Islam tidak terlepas dari pembinaan akhlak dan penjagaan hati. Karena itulah, disebutkan dalam hadis bahwa Allah tidak ‘membutuhkan’ ibadah puasa dari orang yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengatakan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak meraih apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga. Ini artinya ibadah puasa hanya akan membuahkan derajat yang mulia jika dipelihara dari segala perusak dan kotoran yang menodainya. Ketika seorang muslim menundukkan akalnya untuk menahan haus dan lapar sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari di ufuk barat, maka ini adalah pelajaran tentang kecintaan dan perendahan diri. Bagaimana seorang muslim lebih mendahulukan perintah Rabbnya daripada keinginan hawa nafsu dan akal pikirannya. Bagaimana seorang hamba meninggalkan sesuatu yang disukai oleh hawa nafsu demi mendapatkan keridaan dan kecintaan Allah. Orang yang lulus dari madrasah Ramadan ini bukanlah mereka yang berhari raya dengan baju baru, menyalakan petasan, atau menggelar pentas musik sembari melalaikan salat berjemaah di masjid. Mereka yang sukses menjadi juara dari madrasah Ramadan ini adalah orang-orang beriman yang tunduk kepada bimbingan Allah. Allah berfirman, فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَاىَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ “Maka, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123) Mereka yang tampil sebagai pemenang adalah yang menyerap takwa ke dalam sanubari dan membuahkan amal saleh di dalam kehidupannya. Allah berfirman,  يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau sekadar memperindah penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut akan hukuman Allah.” Demikian sedikit catatan dan perenungan, semoga bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Untukmu Wahai Pencari Kebaikan, Inilah Saatnya di Bulan Ramadan *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: juarapemenang


Bismillah. Bulan Ramadan merupakan sarana untuk menempa semangat juang kaum beriman. Sebab, pada hakikatnya hidup ini penuh dengan perjuangan dan ujian. Allah berfirman, أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia itu mengira mereka ditinggalkan begitu saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’, lantas mereka tidak diberi ujian?” (QS. Al-’Ankabut: 2) Waktu secara umum adalah wahana pemberian ujian dan cobaan bagi segenap insan. Allah berfirman, وَٱلْعَصْرِ ١ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ٣ “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3) Jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan adalah rangkaian episode cobaan dan ujian keimanan. Apakah seseorang dapat menjadi penakluk hawa nafsu dan pengejar akhirat, ataukah ia justru terlempar ke barisan pemuja dunia dan budak fatamorgana?! Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak- anak dunia!” Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap hari berlalu, maka lenyaplah bagian dari dirimu.” Demikianlah keadaan manusia. Ada di antara mereka yang bergabung dengan pejuang iman dan pembela hidayah, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang larut bersama gempuran fitnah dan hanyut bersama arus kehinaan dan kerusakan. Wal ‘iyadzu billah. Saudaraku yang dirahmati Allah, bulan Ramadan ini menjadi lahan produktif untuk menyemai amal saleh dan memperkuat pondasi ketakwaan. Amal yang murni untuk Allah dan mengikuti pedoman dari rasul terakhir yang diutus di muka bumi. Allah berfirman, فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَـٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا  “Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من صَام رمضان إيِمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِر له ما تَقدَّم من ذَنْبِه “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hal ini menjadi penanda bagi kita bahwa memanfaatkan bulan Ramadan untuk memperbarui iman dan membersihkan jiwa adalah bagian dari perintah agama. Sebab, manusia penuh dengan kesalahan dan dosa. Ia senantiasa butuh pembersihan dan pemurnian. Sebagaimana halnya ibadah salat lima waktu dalam sehari semalam yang digambarkan seperti mandi 5 kali dalam sehari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Iman bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dan menguat dengan adanya amal saleh dan ketaatan, dan ia melemah serta berkurang akibat dari kelalaian dan maksiat. Di sinilah peran Ramadan menggenjot amal saleh dan memperkuat akar-akar ketaatan. Sebab, di dalam Islam, amal bukan dibangun di atas pemikiran dan perasaan. Akan tetapi, ia berkembang dari pancaran wahyu dan petunjuk Nabi. Allah berfirman, وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ ٣ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌۭ يُوحَىٰ ٤ “Dan tidaklah ia (Muhammad) itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4) Baca juga: Ramadan Mengajarkanku Keistikamahan Seperti itulah kaidah dan prinsip yang selalu ditanamkan oleh para ulama salaf kepada kita, bahwa amal harus dibangun dengan petunjuk wahyu. Ia tunduk kepada bimbingan Allah dan arahan Nabi. Allah berfirman, مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ “Barangsiapa yang taat kepada Rasul, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 80) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Barangsiapa menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia berada di tepi jurang kebinasaan.” Ibadah puasa Ramadan, qiyam Ramadan, sahur, buka puasa, iktikaf, zakat, dan lain sebagainya adalah bentuk ibadah-ibadah yang semuanya dibangun di atas pondasi wahyu dan petunjuk Allah. Bukan hasil rekayasa pemikiran manusia. Bukan produk budaya atau kompilasi tradisi bangsa dan suku tertentu di alam dunia. Ia merupakan syariat dari Rabb, Penguasa alam semesta. Inilah pilar tegaknya penghambaan kepada Allah, yaitu sikap pasrah dan tunduk kepada Allah. Para ulama menjelaskan bahwa Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Keislaman inilah yang diajarkan para nabi dan rasul kepada umat di sepanjang masa. Allah berfirman, وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ  “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyeru, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36) Islam tegak di atas tauhid. Karena ibadah kepada Allah tidak diterima tanpanya. Allah berfirman, وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Jika kamu berbuat syirik, pasti lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65) Ibadah puasa Ramadan bukanlah ibadah yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia tegak di atas nilai-nilai iman dan pondasi akidah. Oleh sebab itu, di dalam surah Al-Kahfi ayat 110 di atas, telah disebutkan bahwa amal saleh yang dilakukan itu harus bebas dari kesyirikan. Begitu pula, ditegaskan dalam surah Az-Zumar ayat 65 bahwa syirik akan menghancurkan amal-amal kebaikan. Inilah konsep ibadah dan ketaatan di dalam agama Islam. Ibadah yang dibangun di atas pemurnian amal kepada Allah dan berlepas dari dari syirik. Allah berfirman, وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ “Dan tidaklah mereka diperintahkan, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dalam keadaan hanif/bertauhid dan ikhlas….” (QS. Al-Bayyinah: 5) Ibadah puasa dalam konsep Islam tidak terlepas dari pembinaan akhlak dan penjagaan hati. Karena itulah, disebutkan dalam hadis bahwa Allah tidak ‘membutuhkan’ ibadah puasa dari orang yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengatakan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak meraih apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga. Ini artinya ibadah puasa hanya akan membuahkan derajat yang mulia jika dipelihara dari segala perusak dan kotoran yang menodainya. Ketika seorang muslim menundukkan akalnya untuk menahan haus dan lapar sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari di ufuk barat, maka ini adalah pelajaran tentang kecintaan dan perendahan diri. Bagaimana seorang muslim lebih mendahulukan perintah Rabbnya daripada keinginan hawa nafsu dan akal pikirannya. Bagaimana seorang hamba meninggalkan sesuatu yang disukai oleh hawa nafsu demi mendapatkan keridaan dan kecintaan Allah. Orang yang lulus dari madrasah Ramadan ini bukanlah mereka yang berhari raya dengan baju baru, menyalakan petasan, atau menggelar pentas musik sembari melalaikan salat berjemaah di masjid. Mereka yang sukses menjadi juara dari madrasah Ramadan ini adalah orang-orang beriman yang tunduk kepada bimbingan Allah. Allah berfirman, فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَاىَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ “Maka, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123) Mereka yang tampil sebagai pemenang adalah yang menyerap takwa ke dalam sanubari dan membuahkan amal saleh di dalam kehidupannya. Allah berfirman,  يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau sekadar memperindah penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut akan hukuman Allah.” Demikian sedikit catatan dan perenungan, semoga bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Baca juga: Untukmu Wahai Pencari Kebaikan, Inilah Saatnya di Bulan Ramadan *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: juarapemenang

Biografi Abu Amr bin Al-‘Ala’, Imam Qiraah di Bashrah

Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Sesungguhnya orang mukmin yang tulus sangat antusias dalam memanfaatkan musim-musim ketaatan dengan amalan ibadah dan ketaatan yang sepantasnya. Dan berusaha jangan sampai baginya seperti waktu-waktu dan masa-masa lain. Telah disebutkan dalam biografi Abu Amr bin Al-‘Ala’ bahwa dia mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga hari. [1] Inilah biografi singkat beliau. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Nama lengkap Nama lengkap beliau adalah: زَيَّانُ بْنُ العلاء بن عَمَّار بن العريان التميمي المازني البصري Zayyan bin Al-‘Ala’ bin ‘Ammar bin Al-‘Ariyan At-Tamimi Al-Mazini Al-Bashri. Kunyahnya: ( أبو عمرو ) Abu ‘Amru. Dia dilahirkan pada tahun 70 Hijriah di Makkah, namun dibesarkan di Bashrah. [2] Sifat-sifat secara umum Abu Amr bin Al-‘Ala’ adalah seorang tabiin dan salah satu dari tujuh imam qiraah. Dia termasyhur dengan kepandaian berbahasanya, kejujuran, kepercayaan, luasnya ilmu, kezuhudan, dan ibadahnya. Dia termasuk orang-orang Arab terhormat. Dia dipuji oleh Al-Farazdaq rahimahullah dan lainnya. Dia adalah guru qiraah dan bahasa Arab, satu-satunya di zamannya, mahir dalam ilmu huruf (qiraah), nahwu, dan mengajar dalam waktu lama. Dia termasuk orang yang paling alim tentang qiraah, bahasa Arab, syair, dan sejarah Arab. Ibrahim Al-Harbi rahimahullah dan lainnya berkata, كان أبو عمرو من أهل السنة “Abu Amr termasuk ahlusunah.” Al-Asma’i rahimahullah berkata, سمعت أبا عمرو يقول : ما رأيت أحدا قبلي أعلم مني، وقال الأصمعي : أنا لم أر بعد أبي عمرو أعلم منه. “Saya mendengar Abu Amr berkata, ‘Saya tidak melihat seorang pun sebelumku yang lebih alim dariku.'” Aku (Al-Asma’i) berkata, “Saya tidak melihat setelah Abu Amr orang yang lebih alim darinya.” [3] Pada hari wafatnya, orang-orang datang menghibur anak-anaknya. Yunus bin Habib rahimahullah berkata, تعزيكم وأنفسنا بمن لا نرى شبها له آخر الزمان، والله لو قسم علم أبي عمرو وزهده على مائة إنسان لكانوا كلهم علماء زهادًا، والله لو رآه رسول الله ﷺ لسره ما هو عليه “Saya turut menghibur kalian dan diri kami dengan kepergian orang yang tidak ada bandingannya sampai akhir zaman. Demi Allah, seandainya ilmu Abu Amr dan kezuhudan beliau dibagi kepada seratus orang, niscaya mereka semua akan menjadi orang-orang alim dan zuhud. Demi Allah, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau pasti akan gembira dengan keadaannya.” [4] Keadaannya bersama Al-Qur’an Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah sangat perhatian dalam mempelajari Al-Qur’an dan mengambilnya dari para syekh dan imam di masanya. Dia membaca (belajar) di Makkah, Madinah, Kufah, dan Bashrah. Tidak ada seorang pun dari tujuh imam qiraah yang memiliki lebih banyak guru darinya. Di antara guru-gurunya adalah Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Jubair, ‘Ashim bin Abi An-Najud, Abdullah bin Katsir Al-Makki, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Mujahid bin Jabr, Ikrimah bekas budak Ibnu Abbas, dan lainnya rahimahumullah. Setelah itu, dia memimpin dalam mengajarkan Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada manusia, hingga dia memiliki halaqah (majelis) yang terkenal yang dihadiri oleh siapa saja yang ingin belajar qiraahnya. Waki’ rahimahullah berkata, قدم أبو عمرو بن العلاء الكوفة فاجتمعوا إليه كما اجتمعوا على هشام بن عروة، أحد حفاظ الحديث “Abu Amr bin Al-‘Ala’ datang ke Kufah, lalu mereka berkerumun kepadanya sebagaimana mereka berkerumun kepada Hisyam bin ‘Urwah, salah seorang hafizh hadis.” Sesungguhnya orang mukmin yang tulus itu sangat antusias dalam memanfaatkan musim-musim ketaatan dengan amalan ibadah dan ketaatan yang sepantasnya, dan jangan sampai baginya seperti waktu-waktu dan masa-masa lain. Telah disebutkan dalam biografi Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah bahwa dia mengkhatamkan (menyelesaikan) Al-Qur’an setiap tiga hari dan mengevaluasi dirinya atas itu. Barangsiapa yang tidak memiliki wirid (bacaan) harian dari Al-Qur’an yang dia khatamkan, maka dia menjadi orang yang menyia-nyiakan waktunya dan melampaui batas dalam waktu-waktu kehidupannya, kemudian menyesal ketika penyesalan tidak berguna lagi. Dia (Abu Amr) apabila memasuki bulan Ramadan, bulan Al-Qur’an, tidak sibuk dengan selain Al-Qur’an. Dia terus seperti itu hingga wafat. [5] Nashr bin Ali Al-Jahdhami rahimahullah berkata, “Ayahku berkata kepadaku, ‘Syu’bah berkata kepadaku, انظر ما يقرأ أبو عمرو وما يختار لنفسه فاكتبه، فإنه سيصير للناس أستاذا. ‘Lihatlah apa yang dibaca Abu Amr dan apa yang dia pilih untuk dirinya, lalu tuliskanlah, karena dia akan menjadi guru bagi manusia.’” Yahya Al-Yazidi rahimahullah berkata, كان أبو عمرو قد عرف القراءات، فقرأ من كل قراءة بأحسنها، وبما يختار العرب، وبما بلغه من لغة النبي وجاء تصديقه في كتاب الله عز وجل “Abu Amr telah mengetahui qiraah-qiraah, lalu dia membaca setiap qiraah dengan yang terbaiknya, sesuai pilihan orang Arab, dan sesuai apa yang sampai kepadanya dari bahasa Nabi, yang mendapatkan pembenaran dalam Kitab Allah Azza Wajalla.” Dalam qiraahnya, dia memilih untuk meringankan dan mempermudah selama dia menemukan jalannya. Semua orang sepakat dengan qiraahnya, dan mereka menyerupakannya dengan qiraah Ibnu Mas’ud. Sebagian mereka mewasiati sebagian lainnya dengan qiraahnya. [6] Baca juga: Biografi Abdullah bin Katsir Gurunya dalam qiraah Abu Amr bin Al-‘Ala’ mempelajari qiraah dari penduduk Hijaz, Bashrah, dan Kufah. Tidak ada seorang pun dari tujuh imam qiraah yang memiliki lebih banyak guru darinya. Dia membaca Al-Qur’an di Makkah kepada Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, Ikrimah bin Khalid bekas budak Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Abdullah bin Katsir, dan diriwayatkan bahwa dia membacanya kepada Abu Al-‘Aliyah Al-Hasan bin Mihran Ar-Riyahi. Dia membaca di Madinah kepada Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’, Yazid bin Ruman, dan Syaibah bin Nashshah. Dia membaca di Bashrah kepada Yahya bin Ya’mur, Nashr bin ‘Ashim, Hasan Al-Bashri, dan lainnya. Dia membaca di Kufah kepada ‘Ashim bin Abi An-Najud. rahimahumullah [7] Muridnya dalam qiraah Banyak orang telah belajar kepada beliau, di antaranya adalah Abdullah bin Al-Mubarak, Abdul Malik bin Quraib Al-Asma’i, Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi, Al-Abbas bin Al-Fadl, Abdul Warith bin Said Al-Tanuri, Shuja’ Al-Balkhi, Husain Al-Ja’fi, Mu’adh bin Mu’adh, Yunus bin Habib Al-Nahwi, Sahl bin Yusuf, dan Abu Zaid Al-Ansari Sa’id bin Aus, Salam Al-Tawil, Sibawaih, dan lainnya rahimahumullah. [8] Kedudukannya dalam ilmu hadis Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah termasuk imam-imam ahlusunah dan para perawi hadis. [9] Abu Amr meriwayatkan sedikit hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Iyas bin Ja’far Al-Bashri, Yahya bin Ya’mur, Budail bin Maisarah Al-‘Aqili, Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq, Mujahid bin Jabr, Abu Shalih As-Samman, Abu Raja’ Al-‘Utharidi, Nafi’ Al-‘Umari, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Hasan Al-Bashri, dan lainnya rahimuhumullah. Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata tentangnya, ” ( ثقة ) terpercaya.” [10] Wafat Abu Amr meninggal pada tahun 154 H. Al-Asma’i rahimahullah berkata, “Abu Amr hidup selama delapan puluh enam tahun. Pada hari kematiannya, orang-orang datang untuk memberikan belasungkawa kepada anak-anaknya. Yunus bin Habib rahimahullah berkata, تعزيكم وأنفسنا بمن لا نرى شبها له آخر الزمان، والله لو قسم علم أبي عمرو وزهده على مائة إنسان لكانوا كلهم علماء زهادًا، والله لو رآه رسول الله ﷺ لسره ما هو عليه ‘Kami dan kalian sama-sama berduka atas kehilangan seseorang yang kita tidak melihat tandingannya di akhir zaman ini. Demi Allah, jika ilmu dan zuhud (ketakwaan) Abu Amr dibagi kepada seratus orang, maka mereka semua akan menjadi ulama yang zuhud. Demi Allah, jika Rasulullah ﷺ melihatnya, pasti beliau akan merasa senang dengan apa yang ada padanya.’” [11] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Nafi’ bin Abi Nu’aim *** 18 Ramadan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M. Taarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarajimul Qurra’ ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Haalus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 479. [2] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 100-101 dan Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 42. [3] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 46-47. [4] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 54. [5] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 479-481. [6] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 47-49. [7] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 50. [8] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 51. [9] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 451. [10] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 51. [11] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah,  hal. 46 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 54. Tags: Abu Amr bin Al-'Ala'

Biografi Abu Amr bin Al-‘Ala’, Imam Qiraah di Bashrah

Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Sesungguhnya orang mukmin yang tulus sangat antusias dalam memanfaatkan musim-musim ketaatan dengan amalan ibadah dan ketaatan yang sepantasnya. Dan berusaha jangan sampai baginya seperti waktu-waktu dan masa-masa lain. Telah disebutkan dalam biografi Abu Amr bin Al-‘Ala’ bahwa dia mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga hari. [1] Inilah biografi singkat beliau. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Nama lengkap Nama lengkap beliau adalah: زَيَّانُ بْنُ العلاء بن عَمَّار بن العريان التميمي المازني البصري Zayyan bin Al-‘Ala’ bin ‘Ammar bin Al-‘Ariyan At-Tamimi Al-Mazini Al-Bashri. Kunyahnya: ( أبو عمرو ) Abu ‘Amru. Dia dilahirkan pada tahun 70 Hijriah di Makkah, namun dibesarkan di Bashrah. [2] Sifat-sifat secara umum Abu Amr bin Al-‘Ala’ adalah seorang tabiin dan salah satu dari tujuh imam qiraah. Dia termasyhur dengan kepandaian berbahasanya, kejujuran, kepercayaan, luasnya ilmu, kezuhudan, dan ibadahnya. Dia termasuk orang-orang Arab terhormat. Dia dipuji oleh Al-Farazdaq rahimahullah dan lainnya. Dia adalah guru qiraah dan bahasa Arab, satu-satunya di zamannya, mahir dalam ilmu huruf (qiraah), nahwu, dan mengajar dalam waktu lama. Dia termasuk orang yang paling alim tentang qiraah, bahasa Arab, syair, dan sejarah Arab. Ibrahim Al-Harbi rahimahullah dan lainnya berkata, كان أبو عمرو من أهل السنة “Abu Amr termasuk ahlusunah.” Al-Asma’i rahimahullah berkata, سمعت أبا عمرو يقول : ما رأيت أحدا قبلي أعلم مني، وقال الأصمعي : أنا لم أر بعد أبي عمرو أعلم منه. “Saya mendengar Abu Amr berkata, ‘Saya tidak melihat seorang pun sebelumku yang lebih alim dariku.'” Aku (Al-Asma’i) berkata, “Saya tidak melihat setelah Abu Amr orang yang lebih alim darinya.” [3] Pada hari wafatnya, orang-orang datang menghibur anak-anaknya. Yunus bin Habib rahimahullah berkata, تعزيكم وأنفسنا بمن لا نرى شبها له آخر الزمان، والله لو قسم علم أبي عمرو وزهده على مائة إنسان لكانوا كلهم علماء زهادًا، والله لو رآه رسول الله ﷺ لسره ما هو عليه “Saya turut menghibur kalian dan diri kami dengan kepergian orang yang tidak ada bandingannya sampai akhir zaman. Demi Allah, seandainya ilmu Abu Amr dan kezuhudan beliau dibagi kepada seratus orang, niscaya mereka semua akan menjadi orang-orang alim dan zuhud. Demi Allah, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau pasti akan gembira dengan keadaannya.” [4] Keadaannya bersama Al-Qur’an Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah sangat perhatian dalam mempelajari Al-Qur’an dan mengambilnya dari para syekh dan imam di masanya. Dia membaca (belajar) di Makkah, Madinah, Kufah, dan Bashrah. Tidak ada seorang pun dari tujuh imam qiraah yang memiliki lebih banyak guru darinya. Di antara guru-gurunya adalah Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Jubair, ‘Ashim bin Abi An-Najud, Abdullah bin Katsir Al-Makki, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Mujahid bin Jabr, Ikrimah bekas budak Ibnu Abbas, dan lainnya rahimahumullah. Setelah itu, dia memimpin dalam mengajarkan Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada manusia, hingga dia memiliki halaqah (majelis) yang terkenal yang dihadiri oleh siapa saja yang ingin belajar qiraahnya. Waki’ rahimahullah berkata, قدم أبو عمرو بن العلاء الكوفة فاجتمعوا إليه كما اجتمعوا على هشام بن عروة، أحد حفاظ الحديث “Abu Amr bin Al-‘Ala’ datang ke Kufah, lalu mereka berkerumun kepadanya sebagaimana mereka berkerumun kepada Hisyam bin ‘Urwah, salah seorang hafizh hadis.” Sesungguhnya orang mukmin yang tulus itu sangat antusias dalam memanfaatkan musim-musim ketaatan dengan amalan ibadah dan ketaatan yang sepantasnya, dan jangan sampai baginya seperti waktu-waktu dan masa-masa lain. Telah disebutkan dalam biografi Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah bahwa dia mengkhatamkan (menyelesaikan) Al-Qur’an setiap tiga hari dan mengevaluasi dirinya atas itu. Barangsiapa yang tidak memiliki wirid (bacaan) harian dari Al-Qur’an yang dia khatamkan, maka dia menjadi orang yang menyia-nyiakan waktunya dan melampaui batas dalam waktu-waktu kehidupannya, kemudian menyesal ketika penyesalan tidak berguna lagi. Dia (Abu Amr) apabila memasuki bulan Ramadan, bulan Al-Qur’an, tidak sibuk dengan selain Al-Qur’an. Dia terus seperti itu hingga wafat. [5] Nashr bin Ali Al-Jahdhami rahimahullah berkata, “Ayahku berkata kepadaku, ‘Syu’bah berkata kepadaku, انظر ما يقرأ أبو عمرو وما يختار لنفسه فاكتبه، فإنه سيصير للناس أستاذا. ‘Lihatlah apa yang dibaca Abu Amr dan apa yang dia pilih untuk dirinya, lalu tuliskanlah, karena dia akan menjadi guru bagi manusia.’” Yahya Al-Yazidi rahimahullah berkata, كان أبو عمرو قد عرف القراءات، فقرأ من كل قراءة بأحسنها، وبما يختار العرب، وبما بلغه من لغة النبي وجاء تصديقه في كتاب الله عز وجل “Abu Amr telah mengetahui qiraah-qiraah, lalu dia membaca setiap qiraah dengan yang terbaiknya, sesuai pilihan orang Arab, dan sesuai apa yang sampai kepadanya dari bahasa Nabi, yang mendapatkan pembenaran dalam Kitab Allah Azza Wajalla.” Dalam qiraahnya, dia memilih untuk meringankan dan mempermudah selama dia menemukan jalannya. Semua orang sepakat dengan qiraahnya, dan mereka menyerupakannya dengan qiraah Ibnu Mas’ud. Sebagian mereka mewasiati sebagian lainnya dengan qiraahnya. [6] Baca juga: Biografi Abdullah bin Katsir Gurunya dalam qiraah Abu Amr bin Al-‘Ala’ mempelajari qiraah dari penduduk Hijaz, Bashrah, dan Kufah. Tidak ada seorang pun dari tujuh imam qiraah yang memiliki lebih banyak guru darinya. Dia membaca Al-Qur’an di Makkah kepada Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, Ikrimah bin Khalid bekas budak Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Abdullah bin Katsir, dan diriwayatkan bahwa dia membacanya kepada Abu Al-‘Aliyah Al-Hasan bin Mihran Ar-Riyahi. Dia membaca di Madinah kepada Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’, Yazid bin Ruman, dan Syaibah bin Nashshah. Dia membaca di Bashrah kepada Yahya bin Ya’mur, Nashr bin ‘Ashim, Hasan Al-Bashri, dan lainnya. Dia membaca di Kufah kepada ‘Ashim bin Abi An-Najud. rahimahumullah [7] Muridnya dalam qiraah Banyak orang telah belajar kepada beliau, di antaranya adalah Abdullah bin Al-Mubarak, Abdul Malik bin Quraib Al-Asma’i, Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi, Al-Abbas bin Al-Fadl, Abdul Warith bin Said Al-Tanuri, Shuja’ Al-Balkhi, Husain Al-Ja’fi, Mu’adh bin Mu’adh, Yunus bin Habib Al-Nahwi, Sahl bin Yusuf, dan Abu Zaid Al-Ansari Sa’id bin Aus, Salam Al-Tawil, Sibawaih, dan lainnya rahimahumullah. [8] Kedudukannya dalam ilmu hadis Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah termasuk imam-imam ahlusunah dan para perawi hadis. [9] Abu Amr meriwayatkan sedikit hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Iyas bin Ja’far Al-Bashri, Yahya bin Ya’mur, Budail bin Maisarah Al-‘Aqili, Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq, Mujahid bin Jabr, Abu Shalih As-Samman, Abu Raja’ Al-‘Utharidi, Nafi’ Al-‘Umari, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Hasan Al-Bashri, dan lainnya rahimuhumullah. Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata tentangnya, ” ( ثقة ) terpercaya.” [10] Wafat Abu Amr meninggal pada tahun 154 H. Al-Asma’i rahimahullah berkata, “Abu Amr hidup selama delapan puluh enam tahun. Pada hari kematiannya, orang-orang datang untuk memberikan belasungkawa kepada anak-anaknya. Yunus bin Habib rahimahullah berkata, تعزيكم وأنفسنا بمن لا نرى شبها له آخر الزمان، والله لو قسم علم أبي عمرو وزهده على مائة إنسان لكانوا كلهم علماء زهادًا، والله لو رآه رسول الله ﷺ لسره ما هو عليه ‘Kami dan kalian sama-sama berduka atas kehilangan seseorang yang kita tidak melihat tandingannya di akhir zaman ini. Demi Allah, jika ilmu dan zuhud (ketakwaan) Abu Amr dibagi kepada seratus orang, maka mereka semua akan menjadi ulama yang zuhud. Demi Allah, jika Rasulullah ﷺ melihatnya, pasti beliau akan merasa senang dengan apa yang ada padanya.’” [11] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Nafi’ bin Abi Nu’aim *** 18 Ramadan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M. Taarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarajimul Qurra’ ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Haalus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 479. [2] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 100-101 dan Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 42. [3] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 46-47. [4] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 54. [5] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 479-481. [6] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 47-49. [7] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 50. [8] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 51. [9] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 451. [10] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 51. [11] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah,  hal. 46 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 54. Tags: Abu Amr bin Al-'Ala'
Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Sesungguhnya orang mukmin yang tulus sangat antusias dalam memanfaatkan musim-musim ketaatan dengan amalan ibadah dan ketaatan yang sepantasnya. Dan berusaha jangan sampai baginya seperti waktu-waktu dan masa-masa lain. Telah disebutkan dalam biografi Abu Amr bin Al-‘Ala’ bahwa dia mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga hari. [1] Inilah biografi singkat beliau. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Nama lengkap Nama lengkap beliau adalah: زَيَّانُ بْنُ العلاء بن عَمَّار بن العريان التميمي المازني البصري Zayyan bin Al-‘Ala’ bin ‘Ammar bin Al-‘Ariyan At-Tamimi Al-Mazini Al-Bashri. Kunyahnya: ( أبو عمرو ) Abu ‘Amru. Dia dilahirkan pada tahun 70 Hijriah di Makkah, namun dibesarkan di Bashrah. [2] Sifat-sifat secara umum Abu Amr bin Al-‘Ala’ adalah seorang tabiin dan salah satu dari tujuh imam qiraah. Dia termasyhur dengan kepandaian berbahasanya, kejujuran, kepercayaan, luasnya ilmu, kezuhudan, dan ibadahnya. Dia termasuk orang-orang Arab terhormat. Dia dipuji oleh Al-Farazdaq rahimahullah dan lainnya. Dia adalah guru qiraah dan bahasa Arab, satu-satunya di zamannya, mahir dalam ilmu huruf (qiraah), nahwu, dan mengajar dalam waktu lama. Dia termasuk orang yang paling alim tentang qiraah, bahasa Arab, syair, dan sejarah Arab. Ibrahim Al-Harbi rahimahullah dan lainnya berkata, كان أبو عمرو من أهل السنة “Abu Amr termasuk ahlusunah.” Al-Asma’i rahimahullah berkata, سمعت أبا عمرو يقول : ما رأيت أحدا قبلي أعلم مني، وقال الأصمعي : أنا لم أر بعد أبي عمرو أعلم منه. “Saya mendengar Abu Amr berkata, ‘Saya tidak melihat seorang pun sebelumku yang lebih alim dariku.'” Aku (Al-Asma’i) berkata, “Saya tidak melihat setelah Abu Amr orang yang lebih alim darinya.” [3] Pada hari wafatnya, orang-orang datang menghibur anak-anaknya. Yunus bin Habib rahimahullah berkata, تعزيكم وأنفسنا بمن لا نرى شبها له آخر الزمان، والله لو قسم علم أبي عمرو وزهده على مائة إنسان لكانوا كلهم علماء زهادًا، والله لو رآه رسول الله ﷺ لسره ما هو عليه “Saya turut menghibur kalian dan diri kami dengan kepergian orang yang tidak ada bandingannya sampai akhir zaman. Demi Allah, seandainya ilmu Abu Amr dan kezuhudan beliau dibagi kepada seratus orang, niscaya mereka semua akan menjadi orang-orang alim dan zuhud. Demi Allah, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau pasti akan gembira dengan keadaannya.” [4] Keadaannya bersama Al-Qur’an Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah sangat perhatian dalam mempelajari Al-Qur’an dan mengambilnya dari para syekh dan imam di masanya. Dia membaca (belajar) di Makkah, Madinah, Kufah, dan Bashrah. Tidak ada seorang pun dari tujuh imam qiraah yang memiliki lebih banyak guru darinya. Di antara guru-gurunya adalah Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Jubair, ‘Ashim bin Abi An-Najud, Abdullah bin Katsir Al-Makki, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Mujahid bin Jabr, Ikrimah bekas budak Ibnu Abbas, dan lainnya rahimahumullah. Setelah itu, dia memimpin dalam mengajarkan Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada manusia, hingga dia memiliki halaqah (majelis) yang terkenal yang dihadiri oleh siapa saja yang ingin belajar qiraahnya. Waki’ rahimahullah berkata, قدم أبو عمرو بن العلاء الكوفة فاجتمعوا إليه كما اجتمعوا على هشام بن عروة، أحد حفاظ الحديث “Abu Amr bin Al-‘Ala’ datang ke Kufah, lalu mereka berkerumun kepadanya sebagaimana mereka berkerumun kepada Hisyam bin ‘Urwah, salah seorang hafizh hadis.” Sesungguhnya orang mukmin yang tulus itu sangat antusias dalam memanfaatkan musim-musim ketaatan dengan amalan ibadah dan ketaatan yang sepantasnya, dan jangan sampai baginya seperti waktu-waktu dan masa-masa lain. Telah disebutkan dalam biografi Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah bahwa dia mengkhatamkan (menyelesaikan) Al-Qur’an setiap tiga hari dan mengevaluasi dirinya atas itu. Barangsiapa yang tidak memiliki wirid (bacaan) harian dari Al-Qur’an yang dia khatamkan, maka dia menjadi orang yang menyia-nyiakan waktunya dan melampaui batas dalam waktu-waktu kehidupannya, kemudian menyesal ketika penyesalan tidak berguna lagi. Dia (Abu Amr) apabila memasuki bulan Ramadan, bulan Al-Qur’an, tidak sibuk dengan selain Al-Qur’an. Dia terus seperti itu hingga wafat. [5] Nashr bin Ali Al-Jahdhami rahimahullah berkata, “Ayahku berkata kepadaku, ‘Syu’bah berkata kepadaku, انظر ما يقرأ أبو عمرو وما يختار لنفسه فاكتبه، فإنه سيصير للناس أستاذا. ‘Lihatlah apa yang dibaca Abu Amr dan apa yang dia pilih untuk dirinya, lalu tuliskanlah, karena dia akan menjadi guru bagi manusia.’” Yahya Al-Yazidi rahimahullah berkata, كان أبو عمرو قد عرف القراءات، فقرأ من كل قراءة بأحسنها، وبما يختار العرب، وبما بلغه من لغة النبي وجاء تصديقه في كتاب الله عز وجل “Abu Amr telah mengetahui qiraah-qiraah, lalu dia membaca setiap qiraah dengan yang terbaiknya, sesuai pilihan orang Arab, dan sesuai apa yang sampai kepadanya dari bahasa Nabi, yang mendapatkan pembenaran dalam Kitab Allah Azza Wajalla.” Dalam qiraahnya, dia memilih untuk meringankan dan mempermudah selama dia menemukan jalannya. Semua orang sepakat dengan qiraahnya, dan mereka menyerupakannya dengan qiraah Ibnu Mas’ud. Sebagian mereka mewasiati sebagian lainnya dengan qiraahnya. [6] Baca juga: Biografi Abdullah bin Katsir Gurunya dalam qiraah Abu Amr bin Al-‘Ala’ mempelajari qiraah dari penduduk Hijaz, Bashrah, dan Kufah. Tidak ada seorang pun dari tujuh imam qiraah yang memiliki lebih banyak guru darinya. Dia membaca Al-Qur’an di Makkah kepada Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, Ikrimah bin Khalid bekas budak Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Abdullah bin Katsir, dan diriwayatkan bahwa dia membacanya kepada Abu Al-‘Aliyah Al-Hasan bin Mihran Ar-Riyahi. Dia membaca di Madinah kepada Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’, Yazid bin Ruman, dan Syaibah bin Nashshah. Dia membaca di Bashrah kepada Yahya bin Ya’mur, Nashr bin ‘Ashim, Hasan Al-Bashri, dan lainnya. Dia membaca di Kufah kepada ‘Ashim bin Abi An-Najud. rahimahumullah [7] Muridnya dalam qiraah Banyak orang telah belajar kepada beliau, di antaranya adalah Abdullah bin Al-Mubarak, Abdul Malik bin Quraib Al-Asma’i, Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi, Al-Abbas bin Al-Fadl, Abdul Warith bin Said Al-Tanuri, Shuja’ Al-Balkhi, Husain Al-Ja’fi, Mu’adh bin Mu’adh, Yunus bin Habib Al-Nahwi, Sahl bin Yusuf, dan Abu Zaid Al-Ansari Sa’id bin Aus, Salam Al-Tawil, Sibawaih, dan lainnya rahimahumullah. [8] Kedudukannya dalam ilmu hadis Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah termasuk imam-imam ahlusunah dan para perawi hadis. [9] Abu Amr meriwayatkan sedikit hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Iyas bin Ja’far Al-Bashri, Yahya bin Ya’mur, Budail bin Maisarah Al-‘Aqili, Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq, Mujahid bin Jabr, Abu Shalih As-Samman, Abu Raja’ Al-‘Utharidi, Nafi’ Al-‘Umari, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Hasan Al-Bashri, dan lainnya rahimuhumullah. Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata tentangnya, ” ( ثقة ) terpercaya.” [10] Wafat Abu Amr meninggal pada tahun 154 H. Al-Asma’i rahimahullah berkata, “Abu Amr hidup selama delapan puluh enam tahun. Pada hari kematiannya, orang-orang datang untuk memberikan belasungkawa kepada anak-anaknya. Yunus bin Habib rahimahullah berkata, تعزيكم وأنفسنا بمن لا نرى شبها له آخر الزمان، والله لو قسم علم أبي عمرو وزهده على مائة إنسان لكانوا كلهم علماء زهادًا، والله لو رآه رسول الله ﷺ لسره ما هو عليه ‘Kami dan kalian sama-sama berduka atas kehilangan seseorang yang kita tidak melihat tandingannya di akhir zaman ini. Demi Allah, jika ilmu dan zuhud (ketakwaan) Abu Amr dibagi kepada seratus orang, maka mereka semua akan menjadi ulama yang zuhud. Demi Allah, jika Rasulullah ﷺ melihatnya, pasti beliau akan merasa senang dengan apa yang ada padanya.’” [11] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Nafi’ bin Abi Nu’aim *** 18 Ramadan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M. Taarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarajimul Qurra’ ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Haalus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 479. [2] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 100-101 dan Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 42. [3] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 46-47. [4] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 54. [5] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 479-481. [6] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 47-49. [7] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 50. [8] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 51. [9] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 451. [10] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 51. [11] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah,  hal. 46 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 54. Tags: Abu Amr bin Al-'Ala'


Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Sesungguhnya orang mukmin yang tulus sangat antusias dalam memanfaatkan musim-musim ketaatan dengan amalan ibadah dan ketaatan yang sepantasnya. Dan berusaha jangan sampai baginya seperti waktu-waktu dan masa-masa lain. Telah disebutkan dalam biografi Abu Amr bin Al-‘Ala’ bahwa dia mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga hari. [1] Inilah biografi singkat beliau. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Nama lengkap Nama lengkap beliau adalah: زَيَّانُ بْنُ العلاء بن عَمَّار بن العريان التميمي المازني البصري Zayyan bin Al-‘Ala’ bin ‘Ammar bin Al-‘Ariyan At-Tamimi Al-Mazini Al-Bashri. Kunyahnya: ( أبو عمرو ) Abu ‘Amru. Dia dilahirkan pada tahun 70 Hijriah di Makkah, namun dibesarkan di Bashrah. [2] Sifat-sifat secara umum Abu Amr bin Al-‘Ala’ adalah seorang tabiin dan salah satu dari tujuh imam qiraah. Dia termasyhur dengan kepandaian berbahasanya, kejujuran, kepercayaan, luasnya ilmu, kezuhudan, dan ibadahnya. Dia termasuk orang-orang Arab terhormat. Dia dipuji oleh Al-Farazdaq rahimahullah dan lainnya. Dia adalah guru qiraah dan bahasa Arab, satu-satunya di zamannya, mahir dalam ilmu huruf (qiraah), nahwu, dan mengajar dalam waktu lama. Dia termasuk orang yang paling alim tentang qiraah, bahasa Arab, syair, dan sejarah Arab. Ibrahim Al-Harbi rahimahullah dan lainnya berkata, كان أبو عمرو من أهل السنة “Abu Amr termasuk ahlusunah.” Al-Asma’i rahimahullah berkata, سمعت أبا عمرو يقول : ما رأيت أحدا قبلي أعلم مني، وقال الأصمعي : أنا لم أر بعد أبي عمرو أعلم منه. “Saya mendengar Abu Amr berkata, ‘Saya tidak melihat seorang pun sebelumku yang lebih alim dariku.'” Aku (Al-Asma’i) berkata, “Saya tidak melihat setelah Abu Amr orang yang lebih alim darinya.” [3] Pada hari wafatnya, orang-orang datang menghibur anak-anaknya. Yunus bin Habib rahimahullah berkata, تعزيكم وأنفسنا بمن لا نرى شبها له آخر الزمان، والله لو قسم علم أبي عمرو وزهده على مائة إنسان لكانوا كلهم علماء زهادًا، والله لو رآه رسول الله ﷺ لسره ما هو عليه “Saya turut menghibur kalian dan diri kami dengan kepergian orang yang tidak ada bandingannya sampai akhir zaman. Demi Allah, seandainya ilmu Abu Amr dan kezuhudan beliau dibagi kepada seratus orang, niscaya mereka semua akan menjadi orang-orang alim dan zuhud. Demi Allah, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau pasti akan gembira dengan keadaannya.” [4] Keadaannya bersama Al-Qur’an Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah sangat perhatian dalam mempelajari Al-Qur’an dan mengambilnya dari para syekh dan imam di masanya. Dia membaca (belajar) di Makkah, Madinah, Kufah, dan Bashrah. Tidak ada seorang pun dari tujuh imam qiraah yang memiliki lebih banyak guru darinya. Di antara guru-gurunya adalah Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Jubair, ‘Ashim bin Abi An-Najud, Abdullah bin Katsir Al-Makki, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Mujahid bin Jabr, Ikrimah bekas budak Ibnu Abbas, dan lainnya rahimahumullah. Setelah itu, dia memimpin dalam mengajarkan Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada manusia, hingga dia memiliki halaqah (majelis) yang terkenal yang dihadiri oleh siapa saja yang ingin belajar qiraahnya. Waki’ rahimahullah berkata, قدم أبو عمرو بن العلاء الكوفة فاجتمعوا إليه كما اجتمعوا على هشام بن عروة، أحد حفاظ الحديث “Abu Amr bin Al-‘Ala’ datang ke Kufah, lalu mereka berkerumun kepadanya sebagaimana mereka berkerumun kepada Hisyam bin ‘Urwah, salah seorang hafizh hadis.” Sesungguhnya orang mukmin yang tulus itu sangat antusias dalam memanfaatkan musim-musim ketaatan dengan amalan ibadah dan ketaatan yang sepantasnya, dan jangan sampai baginya seperti waktu-waktu dan masa-masa lain. Telah disebutkan dalam biografi Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah bahwa dia mengkhatamkan (menyelesaikan) Al-Qur’an setiap tiga hari dan mengevaluasi dirinya atas itu. Barangsiapa yang tidak memiliki wirid (bacaan) harian dari Al-Qur’an yang dia khatamkan, maka dia menjadi orang yang menyia-nyiakan waktunya dan melampaui batas dalam waktu-waktu kehidupannya, kemudian menyesal ketika penyesalan tidak berguna lagi. Dia (Abu Amr) apabila memasuki bulan Ramadan, bulan Al-Qur’an, tidak sibuk dengan selain Al-Qur’an. Dia terus seperti itu hingga wafat. [5] Nashr bin Ali Al-Jahdhami rahimahullah berkata, “Ayahku berkata kepadaku, ‘Syu’bah berkata kepadaku, انظر ما يقرأ أبو عمرو وما يختار لنفسه فاكتبه، فإنه سيصير للناس أستاذا. ‘Lihatlah apa yang dibaca Abu Amr dan apa yang dia pilih untuk dirinya, lalu tuliskanlah, karena dia akan menjadi guru bagi manusia.’” Yahya Al-Yazidi rahimahullah berkata, كان أبو عمرو قد عرف القراءات، فقرأ من كل قراءة بأحسنها، وبما يختار العرب، وبما بلغه من لغة النبي وجاء تصديقه في كتاب الله عز وجل “Abu Amr telah mengetahui qiraah-qiraah, lalu dia membaca setiap qiraah dengan yang terbaiknya, sesuai pilihan orang Arab, dan sesuai apa yang sampai kepadanya dari bahasa Nabi, yang mendapatkan pembenaran dalam Kitab Allah Azza Wajalla.” Dalam qiraahnya, dia memilih untuk meringankan dan mempermudah selama dia menemukan jalannya. Semua orang sepakat dengan qiraahnya, dan mereka menyerupakannya dengan qiraah Ibnu Mas’ud. Sebagian mereka mewasiati sebagian lainnya dengan qiraahnya. [6] Baca juga: Biografi Abdullah bin Katsir Gurunya dalam qiraah Abu Amr bin Al-‘Ala’ mempelajari qiraah dari penduduk Hijaz, Bashrah, dan Kufah. Tidak ada seorang pun dari tujuh imam qiraah yang memiliki lebih banyak guru darinya. Dia membaca Al-Qur’an di Makkah kepada Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, Ikrimah bin Khalid bekas budak Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Abdullah bin Katsir, dan diriwayatkan bahwa dia membacanya kepada Abu Al-‘Aliyah Al-Hasan bin Mihran Ar-Riyahi. Dia membaca di Madinah kepada Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’, Yazid bin Ruman, dan Syaibah bin Nashshah. Dia membaca di Bashrah kepada Yahya bin Ya’mur, Nashr bin ‘Ashim, Hasan Al-Bashri, dan lainnya. Dia membaca di Kufah kepada ‘Ashim bin Abi An-Najud. rahimahumullah [7] Muridnya dalam qiraah Banyak orang telah belajar kepada beliau, di antaranya adalah Abdullah bin Al-Mubarak, Abdul Malik bin Quraib Al-Asma’i, Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi, Al-Abbas bin Al-Fadl, Abdul Warith bin Said Al-Tanuri, Shuja’ Al-Balkhi, Husain Al-Ja’fi, Mu’adh bin Mu’adh, Yunus bin Habib Al-Nahwi, Sahl bin Yusuf, dan Abu Zaid Al-Ansari Sa’id bin Aus, Salam Al-Tawil, Sibawaih, dan lainnya rahimahumullah. [8] Kedudukannya dalam ilmu hadis Abu Amr bin Al-‘Ala’ rahimahullah termasuk imam-imam ahlusunah dan para perawi hadis. [9] Abu Amr meriwayatkan sedikit hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Iyas bin Ja’far Al-Bashri, Yahya bin Ya’mur, Budail bin Maisarah Al-‘Aqili, Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq, Mujahid bin Jabr, Abu Shalih As-Samman, Abu Raja’ Al-‘Utharidi, Nafi’ Al-‘Umari, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Hasan Al-Bashri, dan lainnya rahimuhumullah. Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata tentangnya, ” ( ثقة ) terpercaya.” [10] Wafat Abu Amr meninggal pada tahun 154 H. Al-Asma’i rahimahullah berkata, “Abu Amr hidup selama delapan puluh enam tahun. Pada hari kematiannya, orang-orang datang untuk memberikan belasungkawa kepada anak-anaknya. Yunus bin Habib rahimahullah berkata, تعزيكم وأنفسنا بمن لا نرى شبها له آخر الزمان، والله لو قسم علم أبي عمرو وزهده على مائة إنسان لكانوا كلهم علماء زهادًا، والله لو رآه رسول الله ﷺ لسره ما هو عليه ‘Kami dan kalian sama-sama berduka atas kehilangan seseorang yang kita tidak melihat tandingannya di akhir zaman ini. Demi Allah, jika ilmu dan zuhud (ketakwaan) Abu Amr dibagi kepada seratus orang, maka mereka semua akan menjadi ulama yang zuhud. Demi Allah, jika Rasulullah ﷺ melihatnya, pasti beliau akan merasa senang dengan apa yang ada padanya.’” [11] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Nafi’ bin Abi Nu’aim *** 18 Ramadan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-2, 1988 M. Taarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarajimul Qurra’ ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Haalus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 479. [2] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 100-101 dan Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 42. [3] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 46-47. [4] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 54. [5] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 479-481. [6] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 47-49. [7] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 50. [8] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 51. [9] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 451. [10] Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 51. [11] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah,  hal. 46 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 54. Tags: Abu Amr bin Al-'Ala'

Biografi Abdullah bin Katsir, Imam Qiraah di Makkah

Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Makkah memiliki banyak keutamaan. Di antaranya: Pertama: Allah mengabarkan bahwa ia adalah induk dari segala negeri. Hal ini sebagaimana firman-Nya, لِّتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا “Agar engkau (Muhammad) memberi peringatan kepada (penduduk) Ibu Kota (Makkah) dan orang-orang di sekitarnya.” [1].  Semua negeri adalah cabang darinya. Kedua: Makkah menjadi kiblat bagi seluruh penghuni bumi. Tidak ada kiblat lain di muka bumi ini. Allah berfirman, وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ “Dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam.” [2] Ketiga: Makkah adalah negeri yang aman, tempat diturunkannya wahyu, dan sumber risalah. [3] Di antara imam qiraah di Makkah adalah Abdullah bin Katsir rahimahullah. Allah memilihnya di antara para qari (pembaca) pada masanya. Berikut biografi singkatnya: Nama lengkap Nama lengkap beliau adalah: عبد الله بن كثير بن عمرو بن عبد الله الداري Abdullah bin Katsir bin Amru bin Abdullah Ad-Dariy. Kunyahnya:  ( أبو معبد ) Abu Mu’bad. Berasal dari Persia, dan lahir di Makkah pada tahun 45 H. [4] Sifat-sifat secara umum Dia rahimahullah adalah seorang tabiin dari thabaqah (tingkatan) kedua, salah satu dari tujuh imam qiraah. Dia menjadi qadhi (hakim) di Makkah, pemberi nasihat, orang yang sangat wara‘ (menjaga diri dari yang syubhat), dan mempunyai kedudukan yang tinggi. Dia adalah seorang yang sangat fasih, berbicara dengan sangat baik, berjenggot putih, bertubuh tinggi besar, berkulit sawo matang, bermata sipit, menyemir rambutnya dengan hinna (inai) atau warna kuning, dan memiliki ketenangan dan wibawa. [5] Keadaannya bersama Al-Qur’an Abdullah bin Katsir rahimahullah adalah imam penduduk Makkah dalam qiraah dan dhabt (menghafalnya dengan baik). Dia memimpin dalam membaca dan mengajarkan Al-Qur’an di Makkah setelah wafatnya Mujahid bin Jabr rahimahullah pada tahun 103 Hijriah. Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata, لم يكن بمكة أحد أقرأ من حميد بن قيس وعبد الله بن كثير “Tidak ada seorang pun di Makkah yang lebih mahir membaca Al-Qur’an selain Humaid bin Qais dan Abdullah bin Katsir.” Ibnu Mujahid rahimahullah berkata, ولم يزل عبد الله هو الإمام المجتمع عليه في القراءة بمكة “Abdullah terus-menerus menjadi imam yang disepakati dalam qiraah di Makkah.” Ibnu Mujahid juga berkata, لم أر أهل مكة يعدلون بقراءة ابن كثير قراءة أحد ممن كان في عصره “Saya tidak melihat penduduk Makkah yang sebanding dengan qiraah Ibnu Katsir, yakni qiraah satu orang pun yang semasa dengannya.” Ibnu Katsir rahimahullah apabila hendak mengajarkan Al-Qur’an, dia terlebih dahulu menasihati murid-muridnya, kemudian mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada mereka agar bacaan mereka terpengaruh oleh nasihat tersebut sehingga menjadi lembut. Mereka (para murid) berkata, قراءة ابن كثير خز (نوع من أنواع اللباس الحريرية) القراءة “Qiraah Ibnu Katsir adalah khazz (sejenis kain sutera) dari qiraah.” Mereka menggambarkannya demikian karena kelembutannya, keindahannya, dan kemudahannya. [6] Imam Syafi’i rahimahullah mempelajari qiraah Ibnu Katsir dan memujinya. Beliau berkata, قِرَاءَتُنَا قِرَاءَةُ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَثِيرٍ، وَعَلَيْهَا وَجَدتُّ أَهْلَ مَكَةَ “Qiraah kami adalah qiraah Abdullah bin Katsir. Dan seperti itulah yang saya dapati pada penduduk Makkah.” Al-Asma’i rahimahullah berkata, قُلْتُ لِأَبِي عَمْرِو : قَرَأْتَ عَلَى ابْنِ كَثِيرٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ، خَتَمْتُ عَلَى ابْنِ كَثِيرٍ بَعْدَ مَا خَتَمْتُ عَلَى مُجَاهِدٍ، وَكَانَ ابْنُ كَثِيرٍ أَعْلَمَ بِالعَرَبِيَّةِ مِن مُجَاهِدٍ “Saya bertanya kepada Abu Amru, ‘Apakah engkau membaca (Al-Qur’an) kepada Ibnu Katsir?’ Dia menjawab, ‘Ya, saya khatam (menyelesaikan) kepada Ibnu Katsir setelah khatam kepada Mujahid, dan Ibnu Katsir lebih paham bahasa Arab dibandingkan Mujahid.'” [7] Dia rahimahullah berpegang teguh pada petunjuk salaf saleh dalam berpegang pada sunnah dan menghiasi diri dengan ketenangan dan wibawa, penghormatan terhadap Al-Qur’an dan keagungan firman Allah azza wa jalla. Demikianlah seharusnya para pengamal dan penghafal Al-Qur’an, karena merekalah kekasih Allah azza wa jalla dan orang-orang khususnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لله من الناس أهلون ‘Allah memiliki keluarga di antara manusia.’ Ditanyakan, ‘Siapa mereka, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, أهل القرآن هم أهل الله وخاصته “Ahlu Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya.” [8] Baca juga: Biografi Nafi’ bin Abi Nu’aim Gurunya dalam qiraah Abdullah bin Katsir rahimahullah bertemu sejumlah sahabat. Di antaranya adalah Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub Al-Anshari, Anas bin Malik, dan Abdullah bin As-Sa’ib radhiyallahu ‘anhum, serta meriwayatkan hadis dari mereka. Dia membaca (belajar) Al-Qur’an kepada sahabat Abdullah bin As-Sa’ib Al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu, kepada tabiin Mujahid bin Jabr dari Ibnu Abbas, dan kepada Darbas bekas budak Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. [9] Muridnya dalam qiraah Banyak orang yang belajar qiraah kepada Abdullah bin Katsir Al-Makki rahimahullah. Di antaranya adalah Abu Amru bin Al-‘Ala’ Al-Bashri, Isma’il bin Abdullah bin Qustanthin, Isma’il bin Muslim, Jarir bin Hazim, Al-Harits bin Qudamah, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Khalid bin Al-Qasim, Al-Khalil bin Ahmad, Sulaiman bin Al-Mughirah, Syabl bin ‘Abbad dan anaknya Shadaqah bin Abdullah, Thalhah bin ‘Amru, Abdullah bin Zaid bin Yazid, Abdulmalik bin Juraij, Sufyan bin ‘Uyainah, dan lainnya rahimahumullah. [10] Kedudukannya dalam ilmu hadis Ibnu Katsir adalah seorang yang terpercaya dalam hal periwayatan hadis, meskipun dia sedikit meriwayatkannya. Dia meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Zubair, Abu Al-Munhal Abdurrahman bin Mu’tam, Ikrimah bekas budak Ibnu Abbas, dan Umar bin Abdul Aziz. Orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu Juraij, Jarir bin Hazim, Al-Husain bin Waqid, Hammad bin Salamah, dan lainnya. Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata, كان ثقة “Dia (Ibnu Katsir) adalah orang yang terpercaya.” Yahya bin Ma’in berkata, ثقة “Dia terpercaya.” Banyak dari ahli hadis meriwayatkan darinya, dan hadis-hadisnya diriwayatkan dalam Kutub As-Sittah. [11] Wafat Ibnu Katsir rahimahullah wafat pada tahun 120 hijriah. Sufyan bin Uyainah rahimahullah mengabarkan bahwa dia menghadiri pemakaman jenazah Ibnu Katsir Ad-Dariy pada tahun 120 Hijriah. Ibnu Katsir hidup selama 75 tahun. [12] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Ashim bin Abi An-Najud *** 15 Ramadhan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risaalah, cet. ke-2, 1988 M. Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarajimul Qurra ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] QS. Asy-Syura: 7 [2] QS. Al-Baqarah: 150 [3] https://www.alukah.net/culture/0/75108 [4] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 86 dan Tarikhul Qurrw’ Al-’Asyarah, hal. 36. [5] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 36 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 34-36. [6] Tarajimul Qurra ‘Asyr, hal. 34-36. [7] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 37. [8] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 372-373. [9] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 36 dab Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 36. [10] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 87 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 36-37. [11] idem [12] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 88 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 37. Tags: Abdullah bin Katsir

Biografi Abdullah bin Katsir, Imam Qiraah di Makkah

Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Makkah memiliki banyak keutamaan. Di antaranya: Pertama: Allah mengabarkan bahwa ia adalah induk dari segala negeri. Hal ini sebagaimana firman-Nya, لِّتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا “Agar engkau (Muhammad) memberi peringatan kepada (penduduk) Ibu Kota (Makkah) dan orang-orang di sekitarnya.” [1].  Semua negeri adalah cabang darinya. Kedua: Makkah menjadi kiblat bagi seluruh penghuni bumi. Tidak ada kiblat lain di muka bumi ini. Allah berfirman, وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ “Dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam.” [2] Ketiga: Makkah adalah negeri yang aman, tempat diturunkannya wahyu, dan sumber risalah. [3] Di antara imam qiraah di Makkah adalah Abdullah bin Katsir rahimahullah. Allah memilihnya di antara para qari (pembaca) pada masanya. Berikut biografi singkatnya: Nama lengkap Nama lengkap beliau adalah: عبد الله بن كثير بن عمرو بن عبد الله الداري Abdullah bin Katsir bin Amru bin Abdullah Ad-Dariy. Kunyahnya:  ( أبو معبد ) Abu Mu’bad. Berasal dari Persia, dan lahir di Makkah pada tahun 45 H. [4] Sifat-sifat secara umum Dia rahimahullah adalah seorang tabiin dari thabaqah (tingkatan) kedua, salah satu dari tujuh imam qiraah. Dia menjadi qadhi (hakim) di Makkah, pemberi nasihat, orang yang sangat wara‘ (menjaga diri dari yang syubhat), dan mempunyai kedudukan yang tinggi. Dia adalah seorang yang sangat fasih, berbicara dengan sangat baik, berjenggot putih, bertubuh tinggi besar, berkulit sawo matang, bermata sipit, menyemir rambutnya dengan hinna (inai) atau warna kuning, dan memiliki ketenangan dan wibawa. [5] Keadaannya bersama Al-Qur’an Abdullah bin Katsir rahimahullah adalah imam penduduk Makkah dalam qiraah dan dhabt (menghafalnya dengan baik). Dia memimpin dalam membaca dan mengajarkan Al-Qur’an di Makkah setelah wafatnya Mujahid bin Jabr rahimahullah pada tahun 103 Hijriah. Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata, لم يكن بمكة أحد أقرأ من حميد بن قيس وعبد الله بن كثير “Tidak ada seorang pun di Makkah yang lebih mahir membaca Al-Qur’an selain Humaid bin Qais dan Abdullah bin Katsir.” Ibnu Mujahid rahimahullah berkata, ولم يزل عبد الله هو الإمام المجتمع عليه في القراءة بمكة “Abdullah terus-menerus menjadi imam yang disepakati dalam qiraah di Makkah.” Ibnu Mujahid juga berkata, لم أر أهل مكة يعدلون بقراءة ابن كثير قراءة أحد ممن كان في عصره “Saya tidak melihat penduduk Makkah yang sebanding dengan qiraah Ibnu Katsir, yakni qiraah satu orang pun yang semasa dengannya.” Ibnu Katsir rahimahullah apabila hendak mengajarkan Al-Qur’an, dia terlebih dahulu menasihati murid-muridnya, kemudian mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada mereka agar bacaan mereka terpengaruh oleh nasihat tersebut sehingga menjadi lembut. Mereka (para murid) berkata, قراءة ابن كثير خز (نوع من أنواع اللباس الحريرية) القراءة “Qiraah Ibnu Katsir adalah khazz (sejenis kain sutera) dari qiraah.” Mereka menggambarkannya demikian karena kelembutannya, keindahannya, dan kemudahannya. [6] Imam Syafi’i rahimahullah mempelajari qiraah Ibnu Katsir dan memujinya. Beliau berkata, قِرَاءَتُنَا قِرَاءَةُ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَثِيرٍ، وَعَلَيْهَا وَجَدتُّ أَهْلَ مَكَةَ “Qiraah kami adalah qiraah Abdullah bin Katsir. Dan seperti itulah yang saya dapati pada penduduk Makkah.” Al-Asma’i rahimahullah berkata, قُلْتُ لِأَبِي عَمْرِو : قَرَأْتَ عَلَى ابْنِ كَثِيرٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ، خَتَمْتُ عَلَى ابْنِ كَثِيرٍ بَعْدَ مَا خَتَمْتُ عَلَى مُجَاهِدٍ، وَكَانَ ابْنُ كَثِيرٍ أَعْلَمَ بِالعَرَبِيَّةِ مِن مُجَاهِدٍ “Saya bertanya kepada Abu Amru, ‘Apakah engkau membaca (Al-Qur’an) kepada Ibnu Katsir?’ Dia menjawab, ‘Ya, saya khatam (menyelesaikan) kepada Ibnu Katsir setelah khatam kepada Mujahid, dan Ibnu Katsir lebih paham bahasa Arab dibandingkan Mujahid.'” [7] Dia rahimahullah berpegang teguh pada petunjuk salaf saleh dalam berpegang pada sunnah dan menghiasi diri dengan ketenangan dan wibawa, penghormatan terhadap Al-Qur’an dan keagungan firman Allah azza wa jalla. Demikianlah seharusnya para pengamal dan penghafal Al-Qur’an, karena merekalah kekasih Allah azza wa jalla dan orang-orang khususnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لله من الناس أهلون ‘Allah memiliki keluarga di antara manusia.’ Ditanyakan, ‘Siapa mereka, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, أهل القرآن هم أهل الله وخاصته “Ahlu Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya.” [8] Baca juga: Biografi Nafi’ bin Abi Nu’aim Gurunya dalam qiraah Abdullah bin Katsir rahimahullah bertemu sejumlah sahabat. Di antaranya adalah Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub Al-Anshari, Anas bin Malik, dan Abdullah bin As-Sa’ib radhiyallahu ‘anhum, serta meriwayatkan hadis dari mereka. Dia membaca (belajar) Al-Qur’an kepada sahabat Abdullah bin As-Sa’ib Al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu, kepada tabiin Mujahid bin Jabr dari Ibnu Abbas, dan kepada Darbas bekas budak Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. [9] Muridnya dalam qiraah Banyak orang yang belajar qiraah kepada Abdullah bin Katsir Al-Makki rahimahullah. Di antaranya adalah Abu Amru bin Al-‘Ala’ Al-Bashri, Isma’il bin Abdullah bin Qustanthin, Isma’il bin Muslim, Jarir bin Hazim, Al-Harits bin Qudamah, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Khalid bin Al-Qasim, Al-Khalil bin Ahmad, Sulaiman bin Al-Mughirah, Syabl bin ‘Abbad dan anaknya Shadaqah bin Abdullah, Thalhah bin ‘Amru, Abdullah bin Zaid bin Yazid, Abdulmalik bin Juraij, Sufyan bin ‘Uyainah, dan lainnya rahimahumullah. [10] Kedudukannya dalam ilmu hadis Ibnu Katsir adalah seorang yang terpercaya dalam hal periwayatan hadis, meskipun dia sedikit meriwayatkannya. Dia meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Zubair, Abu Al-Munhal Abdurrahman bin Mu’tam, Ikrimah bekas budak Ibnu Abbas, dan Umar bin Abdul Aziz. Orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu Juraij, Jarir bin Hazim, Al-Husain bin Waqid, Hammad bin Salamah, dan lainnya. Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata, كان ثقة “Dia (Ibnu Katsir) adalah orang yang terpercaya.” Yahya bin Ma’in berkata, ثقة “Dia terpercaya.” Banyak dari ahli hadis meriwayatkan darinya, dan hadis-hadisnya diriwayatkan dalam Kutub As-Sittah. [11] Wafat Ibnu Katsir rahimahullah wafat pada tahun 120 hijriah. Sufyan bin Uyainah rahimahullah mengabarkan bahwa dia menghadiri pemakaman jenazah Ibnu Katsir Ad-Dariy pada tahun 120 Hijriah. Ibnu Katsir hidup selama 75 tahun. [12] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Ashim bin Abi An-Najud *** 15 Ramadhan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risaalah, cet. ke-2, 1988 M. Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarajimul Qurra ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] QS. Asy-Syura: 7 [2] QS. Al-Baqarah: 150 [3] https://www.alukah.net/culture/0/75108 [4] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 86 dan Tarikhul Qurrw’ Al-’Asyarah, hal. 36. [5] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 36 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 34-36. [6] Tarajimul Qurra ‘Asyr, hal. 34-36. [7] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 37. [8] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 372-373. [9] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 36 dab Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 36. [10] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 87 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 36-37. [11] idem [12] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 88 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 37. Tags: Abdullah bin Katsir
Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Makkah memiliki banyak keutamaan. Di antaranya: Pertama: Allah mengabarkan bahwa ia adalah induk dari segala negeri. Hal ini sebagaimana firman-Nya, لِّتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا “Agar engkau (Muhammad) memberi peringatan kepada (penduduk) Ibu Kota (Makkah) dan orang-orang di sekitarnya.” [1].  Semua negeri adalah cabang darinya. Kedua: Makkah menjadi kiblat bagi seluruh penghuni bumi. Tidak ada kiblat lain di muka bumi ini. Allah berfirman, وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ “Dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam.” [2] Ketiga: Makkah adalah negeri yang aman, tempat diturunkannya wahyu, dan sumber risalah. [3] Di antara imam qiraah di Makkah adalah Abdullah bin Katsir rahimahullah. Allah memilihnya di antara para qari (pembaca) pada masanya. Berikut biografi singkatnya: Nama lengkap Nama lengkap beliau adalah: عبد الله بن كثير بن عمرو بن عبد الله الداري Abdullah bin Katsir bin Amru bin Abdullah Ad-Dariy. Kunyahnya:  ( أبو معبد ) Abu Mu’bad. Berasal dari Persia, dan lahir di Makkah pada tahun 45 H. [4] Sifat-sifat secara umum Dia rahimahullah adalah seorang tabiin dari thabaqah (tingkatan) kedua, salah satu dari tujuh imam qiraah. Dia menjadi qadhi (hakim) di Makkah, pemberi nasihat, orang yang sangat wara‘ (menjaga diri dari yang syubhat), dan mempunyai kedudukan yang tinggi. Dia adalah seorang yang sangat fasih, berbicara dengan sangat baik, berjenggot putih, bertubuh tinggi besar, berkulit sawo matang, bermata sipit, menyemir rambutnya dengan hinna (inai) atau warna kuning, dan memiliki ketenangan dan wibawa. [5] Keadaannya bersama Al-Qur’an Abdullah bin Katsir rahimahullah adalah imam penduduk Makkah dalam qiraah dan dhabt (menghafalnya dengan baik). Dia memimpin dalam membaca dan mengajarkan Al-Qur’an di Makkah setelah wafatnya Mujahid bin Jabr rahimahullah pada tahun 103 Hijriah. Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata, لم يكن بمكة أحد أقرأ من حميد بن قيس وعبد الله بن كثير “Tidak ada seorang pun di Makkah yang lebih mahir membaca Al-Qur’an selain Humaid bin Qais dan Abdullah bin Katsir.” Ibnu Mujahid rahimahullah berkata, ولم يزل عبد الله هو الإمام المجتمع عليه في القراءة بمكة “Abdullah terus-menerus menjadi imam yang disepakati dalam qiraah di Makkah.” Ibnu Mujahid juga berkata, لم أر أهل مكة يعدلون بقراءة ابن كثير قراءة أحد ممن كان في عصره “Saya tidak melihat penduduk Makkah yang sebanding dengan qiraah Ibnu Katsir, yakni qiraah satu orang pun yang semasa dengannya.” Ibnu Katsir rahimahullah apabila hendak mengajarkan Al-Qur’an, dia terlebih dahulu menasihati murid-muridnya, kemudian mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada mereka agar bacaan mereka terpengaruh oleh nasihat tersebut sehingga menjadi lembut. Mereka (para murid) berkata, قراءة ابن كثير خز (نوع من أنواع اللباس الحريرية) القراءة “Qiraah Ibnu Katsir adalah khazz (sejenis kain sutera) dari qiraah.” Mereka menggambarkannya demikian karena kelembutannya, keindahannya, dan kemudahannya. [6] Imam Syafi’i rahimahullah mempelajari qiraah Ibnu Katsir dan memujinya. Beliau berkata, قِرَاءَتُنَا قِرَاءَةُ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَثِيرٍ، وَعَلَيْهَا وَجَدتُّ أَهْلَ مَكَةَ “Qiraah kami adalah qiraah Abdullah bin Katsir. Dan seperti itulah yang saya dapati pada penduduk Makkah.” Al-Asma’i rahimahullah berkata, قُلْتُ لِأَبِي عَمْرِو : قَرَأْتَ عَلَى ابْنِ كَثِيرٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ، خَتَمْتُ عَلَى ابْنِ كَثِيرٍ بَعْدَ مَا خَتَمْتُ عَلَى مُجَاهِدٍ، وَكَانَ ابْنُ كَثِيرٍ أَعْلَمَ بِالعَرَبِيَّةِ مِن مُجَاهِدٍ “Saya bertanya kepada Abu Amru, ‘Apakah engkau membaca (Al-Qur’an) kepada Ibnu Katsir?’ Dia menjawab, ‘Ya, saya khatam (menyelesaikan) kepada Ibnu Katsir setelah khatam kepada Mujahid, dan Ibnu Katsir lebih paham bahasa Arab dibandingkan Mujahid.'” [7] Dia rahimahullah berpegang teguh pada petunjuk salaf saleh dalam berpegang pada sunnah dan menghiasi diri dengan ketenangan dan wibawa, penghormatan terhadap Al-Qur’an dan keagungan firman Allah azza wa jalla. Demikianlah seharusnya para pengamal dan penghafal Al-Qur’an, karena merekalah kekasih Allah azza wa jalla dan orang-orang khususnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لله من الناس أهلون ‘Allah memiliki keluarga di antara manusia.’ Ditanyakan, ‘Siapa mereka, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, أهل القرآن هم أهل الله وخاصته “Ahlu Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya.” [8] Baca juga: Biografi Nafi’ bin Abi Nu’aim Gurunya dalam qiraah Abdullah bin Katsir rahimahullah bertemu sejumlah sahabat. Di antaranya adalah Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub Al-Anshari, Anas bin Malik, dan Abdullah bin As-Sa’ib radhiyallahu ‘anhum, serta meriwayatkan hadis dari mereka. Dia membaca (belajar) Al-Qur’an kepada sahabat Abdullah bin As-Sa’ib Al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu, kepada tabiin Mujahid bin Jabr dari Ibnu Abbas, dan kepada Darbas bekas budak Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. [9] Muridnya dalam qiraah Banyak orang yang belajar qiraah kepada Abdullah bin Katsir Al-Makki rahimahullah. Di antaranya adalah Abu Amru bin Al-‘Ala’ Al-Bashri, Isma’il bin Abdullah bin Qustanthin, Isma’il bin Muslim, Jarir bin Hazim, Al-Harits bin Qudamah, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Khalid bin Al-Qasim, Al-Khalil bin Ahmad, Sulaiman bin Al-Mughirah, Syabl bin ‘Abbad dan anaknya Shadaqah bin Abdullah, Thalhah bin ‘Amru, Abdullah bin Zaid bin Yazid, Abdulmalik bin Juraij, Sufyan bin ‘Uyainah, dan lainnya rahimahumullah. [10] Kedudukannya dalam ilmu hadis Ibnu Katsir adalah seorang yang terpercaya dalam hal periwayatan hadis, meskipun dia sedikit meriwayatkannya. Dia meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Zubair, Abu Al-Munhal Abdurrahman bin Mu’tam, Ikrimah bekas budak Ibnu Abbas, dan Umar bin Abdul Aziz. Orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu Juraij, Jarir bin Hazim, Al-Husain bin Waqid, Hammad bin Salamah, dan lainnya. Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata, كان ثقة “Dia (Ibnu Katsir) adalah orang yang terpercaya.” Yahya bin Ma’in berkata, ثقة “Dia terpercaya.” Banyak dari ahli hadis meriwayatkan darinya, dan hadis-hadisnya diriwayatkan dalam Kutub As-Sittah. [11] Wafat Ibnu Katsir rahimahullah wafat pada tahun 120 hijriah. Sufyan bin Uyainah rahimahullah mengabarkan bahwa dia menghadiri pemakaman jenazah Ibnu Katsir Ad-Dariy pada tahun 120 Hijriah. Ibnu Katsir hidup selama 75 tahun. [12] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Ashim bin Abi An-Najud *** 15 Ramadhan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risaalah, cet. ke-2, 1988 M. Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarajimul Qurra ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] QS. Asy-Syura: 7 [2] QS. Al-Baqarah: 150 [3] https://www.alukah.net/culture/0/75108 [4] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 86 dan Tarikhul Qurrw’ Al-’Asyarah, hal. 36. [5] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 36 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 34-36. [6] Tarajimul Qurra ‘Asyr, hal. 34-36. [7] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 37. [8] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 372-373. [9] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 36 dab Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 36. [10] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 87 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 36-37. [11] idem [12] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 88 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 37. Tags: Abdullah bin Katsir


Daftar Isi Toggle Nama lengkapSifat-sifat secara umumKeadaannya bersama Al-Qur’anGurunya dalam qiraahMuridnya dalam qiraahKedudukannya dalam ilmu hadisWafat Makkah memiliki banyak keutamaan. Di antaranya: Pertama: Allah mengabarkan bahwa ia adalah induk dari segala negeri. Hal ini sebagaimana firman-Nya, لِّتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا “Agar engkau (Muhammad) memberi peringatan kepada (penduduk) Ibu Kota (Makkah) dan orang-orang di sekitarnya.” [1].  Semua negeri adalah cabang darinya. Kedua: Makkah menjadi kiblat bagi seluruh penghuni bumi. Tidak ada kiblat lain di muka bumi ini. Allah berfirman, وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ “Dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam.” [2] Ketiga: Makkah adalah negeri yang aman, tempat diturunkannya wahyu, dan sumber risalah. [3] Di antara imam qiraah di Makkah adalah Abdullah bin Katsir rahimahullah. Allah memilihnya di antara para qari (pembaca) pada masanya. Berikut biografi singkatnya: Nama lengkap Nama lengkap beliau adalah: عبد الله بن كثير بن عمرو بن عبد الله الداري Abdullah bin Katsir bin Amru bin Abdullah Ad-Dariy. Kunyahnya:  ( أبو معبد ) Abu Mu’bad. Berasal dari Persia, dan lahir di Makkah pada tahun 45 H. [4] Sifat-sifat secara umum Dia rahimahullah adalah seorang tabiin dari thabaqah (tingkatan) kedua, salah satu dari tujuh imam qiraah. Dia menjadi qadhi (hakim) di Makkah, pemberi nasihat, orang yang sangat wara‘ (menjaga diri dari yang syubhat), dan mempunyai kedudukan yang tinggi. Dia adalah seorang yang sangat fasih, berbicara dengan sangat baik, berjenggot putih, bertubuh tinggi besar, berkulit sawo matang, bermata sipit, menyemir rambutnya dengan hinna (inai) atau warna kuning, dan memiliki ketenangan dan wibawa. [5] Keadaannya bersama Al-Qur’an Abdullah bin Katsir rahimahullah adalah imam penduduk Makkah dalam qiraah dan dhabt (menghafalnya dengan baik). Dia memimpin dalam membaca dan mengajarkan Al-Qur’an di Makkah setelah wafatnya Mujahid bin Jabr rahimahullah pada tahun 103 Hijriah. Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata, لم يكن بمكة أحد أقرأ من حميد بن قيس وعبد الله بن كثير “Tidak ada seorang pun di Makkah yang lebih mahir membaca Al-Qur’an selain Humaid bin Qais dan Abdullah bin Katsir.” Ibnu Mujahid rahimahullah berkata, ولم يزل عبد الله هو الإمام المجتمع عليه في القراءة بمكة “Abdullah terus-menerus menjadi imam yang disepakati dalam qiraah di Makkah.” Ibnu Mujahid juga berkata, لم أر أهل مكة يعدلون بقراءة ابن كثير قراءة أحد ممن كان في عصره “Saya tidak melihat penduduk Makkah yang sebanding dengan qiraah Ibnu Katsir, yakni qiraah satu orang pun yang semasa dengannya.” Ibnu Katsir rahimahullah apabila hendak mengajarkan Al-Qur’an, dia terlebih dahulu menasihati murid-muridnya, kemudian mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada mereka agar bacaan mereka terpengaruh oleh nasihat tersebut sehingga menjadi lembut. Mereka (para murid) berkata, قراءة ابن كثير خز (نوع من أنواع اللباس الحريرية) القراءة “Qiraah Ibnu Katsir adalah khazz (sejenis kain sutera) dari qiraah.” Mereka menggambarkannya demikian karena kelembutannya, keindahannya, dan kemudahannya. [6] Imam Syafi’i rahimahullah mempelajari qiraah Ibnu Katsir dan memujinya. Beliau berkata, قِرَاءَتُنَا قِرَاءَةُ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَثِيرٍ، وَعَلَيْهَا وَجَدتُّ أَهْلَ مَكَةَ “Qiraah kami adalah qiraah Abdullah bin Katsir. Dan seperti itulah yang saya dapati pada penduduk Makkah.” Al-Asma’i rahimahullah berkata, قُلْتُ لِأَبِي عَمْرِو : قَرَأْتَ عَلَى ابْنِ كَثِيرٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ، خَتَمْتُ عَلَى ابْنِ كَثِيرٍ بَعْدَ مَا خَتَمْتُ عَلَى مُجَاهِدٍ، وَكَانَ ابْنُ كَثِيرٍ أَعْلَمَ بِالعَرَبِيَّةِ مِن مُجَاهِدٍ “Saya bertanya kepada Abu Amru, ‘Apakah engkau membaca (Al-Qur’an) kepada Ibnu Katsir?’ Dia menjawab, ‘Ya, saya khatam (menyelesaikan) kepada Ibnu Katsir setelah khatam kepada Mujahid, dan Ibnu Katsir lebih paham bahasa Arab dibandingkan Mujahid.'” [7] Dia rahimahullah berpegang teguh pada petunjuk salaf saleh dalam berpegang pada sunnah dan menghiasi diri dengan ketenangan dan wibawa, penghormatan terhadap Al-Qur’an dan keagungan firman Allah azza wa jalla. Demikianlah seharusnya para pengamal dan penghafal Al-Qur’an, karena merekalah kekasih Allah azza wa jalla dan orang-orang khususnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لله من الناس أهلون ‘Allah memiliki keluarga di antara manusia.’ Ditanyakan, ‘Siapa mereka, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, أهل القرآن هم أهل الله وخاصته “Ahlu Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya.” [8] Baca juga: Biografi Nafi’ bin Abi Nu’aim Gurunya dalam qiraah Abdullah bin Katsir rahimahullah bertemu sejumlah sahabat. Di antaranya adalah Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub Al-Anshari, Anas bin Malik, dan Abdullah bin As-Sa’ib radhiyallahu ‘anhum, serta meriwayatkan hadis dari mereka. Dia membaca (belajar) Al-Qur’an kepada sahabat Abdullah bin As-Sa’ib Al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu, kepada tabiin Mujahid bin Jabr dari Ibnu Abbas, dan kepada Darbas bekas budak Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. [9] Muridnya dalam qiraah Banyak orang yang belajar qiraah kepada Abdullah bin Katsir Al-Makki rahimahullah. Di antaranya adalah Abu Amru bin Al-‘Ala’ Al-Bashri, Isma’il bin Abdullah bin Qustanthin, Isma’il bin Muslim, Jarir bin Hazim, Al-Harits bin Qudamah, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Khalid bin Al-Qasim, Al-Khalil bin Ahmad, Sulaiman bin Al-Mughirah, Syabl bin ‘Abbad dan anaknya Shadaqah bin Abdullah, Thalhah bin ‘Amru, Abdullah bin Zaid bin Yazid, Abdulmalik bin Juraij, Sufyan bin ‘Uyainah, dan lainnya rahimahumullah. [10] Kedudukannya dalam ilmu hadis Ibnu Katsir adalah seorang yang terpercaya dalam hal periwayatan hadis, meskipun dia sedikit meriwayatkannya. Dia meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Zubair, Abu Al-Munhal Abdurrahman bin Mu’tam, Ikrimah bekas budak Ibnu Abbas, dan Umar bin Abdul Aziz. Orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu Juraij, Jarir bin Hazim, Al-Husain bin Waqid, Hammad bin Salamah, dan lainnya. Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata, كان ثقة “Dia (Ibnu Katsir) adalah orang yang terpercaya.” Yahya bin Ma’in berkata, ثقة “Dia terpercaya.” Banyak dari ahli hadis meriwayatkan darinya, dan hadis-hadisnya diriwayatkan dalam Kutub As-Sittah. [11] Wafat Ibnu Katsir rahimahullah wafat pada tahun 120 hijriah. Sufyan bin Uyainah rahimahullah mengabarkan bahwa dia menghadiri pemakaman jenazah Ibnu Katsir Ad-Dariy pada tahun 120 Hijriah. Ibnu Katsir hidup selama 75 tahun. [12] Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau. Baca juga: Biografi Ashim bin Abi An-Najud *** 15 Ramadhan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risaalah, cet. ke-2, 1988 M. Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M. Tarajimul Qurra ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M. Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.   Catatan kaki: [1] QS. Asy-Syura: 7 [2] QS. Al-Baqarah: 150 [3] https://www.alukah.net/culture/0/75108 [4] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 86 dan Tarikhul Qurrw’ Al-’Asyarah, hal. 36. [5] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 36 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 34-36. [6] Tarajimul Qurra ‘Asyr, hal. 34-36. [7] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 37. [8] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 372-373. [9] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 36 dab Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 36. [10] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 87 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 36-37. [11] idem [12] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 88 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 37. Tags: Abdullah bin Katsir

Birrul Walidain dari Jarak Jauh

Daftar Isi Toggle Meskipun jauhBentuk bakti dari jarak jauhMendoakan kebaikan untuk kedua orang tuaMendakwahkan sunnah kepada orang tuaIntens melakukan komunikasi dengan orang tuaMemberikan nafkah kepada orang tuaMenjadwalkan berkunjung kepada orang tuaMendekatkan istri dan anak kepada orang tua Tulisan ini teruntuk orang-orang yang kini berada jauh dari kedua orang tua yang masih hidup. Entah itu karena merantau untuk studi, bekerja, atau alasan lain yang menyebabkan ia jauh secara fisik dari kedua orang tuanya. Ingin sekali rasanya berada dekat dengan mereka apalagi pada usia-usia senja, menyuapkan makanan langsung ke mulut mereka, membawa mereka berobat saat sakit, dan selalu ada kapan pun mereka inginkan. Namun, kadangkala, kondisi yang ada tidak selalu seperti yang diinginkan. Karena keadaan tertentu, kita terpaksa harus jauh secara fisik dari orang tua. Sehingga perlu pula bagi kita untuk mengetahui bagaimana seharusnya kita tetap berbakti kepada mereka, meskipun dari jarak jauh. Karena sejatinya berbakti kepada orang tua adalah perintah utama atas setiap muslim. Saking prioritasnya, dalam banyak dalil, Allah Ta’ala meletakkan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah untuk menyembah hanya kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23) Alasan kenapa begitu pentingnya berbakti kepada orang tua sangat jelas. Telah banyak pengorbanan, kasih sayang, dan cinta yang diberikan sejak dalam kandungan, bahkan hingga dewasa seperti saat ini. Allah Ta’ala berfirman. وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15)  Meskipun jauh Hal penting yang perlu kita pahami bahwa sebaik-baik bakti kepada orang tua adalah berbuat baik kepada mereka dan selalu ada untuk memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun semua kebutuhan orang tua mampu kita penuhi dengan materi, tetap saja fitrahnya para orang tua ingin selalu dekat secara fisik dengan anak-anaknya. Tidak hanya itu, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada orang tua secara langsung juga memiliki dampak positif bagi kesehatan mental dan emosional mereka. Menunjukkan rasa cinta dan perhatian kepada orang tua dapat meningkatkan perasaan bahagia dan kepuasan hidup mereka, sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka di masa tua. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, المسلمُ أخو المسلمِ ، لا يَظْلِمُه ولا يُسْلِمُه ، ومَن كان في حاجةِ أخيه كان اللهُ في حاجتِه ، ومَن فرَّجَ عن مسلمٍ كربةً فرَّجَ اللهُ عنه كربةً مِن كُرُبَاتِ يومِ القيامةِ ، ومَن ستَرَ مسلمًا ستَرَه اللهُ يومَ القيامةِ “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya, tidak boleh membiarkannya dalam bahaya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan penuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang melepaskan satu kesulitan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan melepaskan ia dari satu kesulitan di hari kiamat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2442) Hadis di atas adalah umum diperuntukkan bagi saudara sesama muslim. Konon lagi, bila dilakukan kepada orang tua kita? Mereka adalah yang paling berhak untuk dijaga dari segala mara bahaya, dipenuhi kebutuhannya, dipermudah urusannya, dan ditutupi aib-aibnya. Tentunya, akan lebih mudah melakukan segala kebaikan tersebut kepada mereka tatkala kita hidup dan tinggal berdekatan secara fisik dengan mereka. Bayangkan saja, bagi yang saat ini dikaruniai anak, bagaimana jika suatu saat nanti anak-anak yang sangat anda cintai itu berada jauh darimu. Mereka memiliki kehidupan sendiri dan jarang berjumpa secara fisik denganmu. Tidakkah berat terasa di hatimu? Demikian pula yang dirasakan oleh orang tuamu saat ini. Namun demikian, meski keutamaan berada dekat secara fisik dengan orang tua itu sangat besar, kita pun tidak dapat mengelak ketika keadaan-keadaan tertentu memaksa kita untuk merantau berada jauh dari kedua orang tua. Seperti karena kebutuhan studi di luar kota ataupun di luar negeri, tugas dinas, ataupun karena alasan lainnya. Oleh karenanya, meskipun berada jauh secara fisik dari orang tua, kewajiban kita untuk berbuat baik dan berbakti semaksimal mungkin kepada mereka tetaplah menjadi kewajiban. Jangan mau kalah dengan orang-orang yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk berbakti langsung kepada orang tuanya. Jarak bukan berarti penghalang. Banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai bentuk bakti kepada kedua orang tua. Baca juga: Potret Salaf Dalam Birrul Walidain Bentuk bakti dari jarak jauh Mendoakan kebaikan untuk kedua orang tua Pada waktu-waktu mustajabnya doa, mohonlah ampunan untuk kedua orang tua kita. Sebagaimana doa yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut: رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepadaku dan kedua ibu bapakku, dan orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari Kiamat).” (QS. Ibrahim: 41) رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10) Mendakwahkan sunnah kepada orang tua Siapa yang tidak menginginkan orang tuanya memegang teguh manhaj salaf dalam beragama? Karenanya, dakwahkanlah dengan lembut agama yang mulia ini kepada orang tua. Merekalah orang yang paling berhak atas kita untuk mendapatkan kemuliaan dakwah sunnah. Sampaikan kepada mereka tentang manhaj salaf saleh dalam memahami agama mulia ini. Allah Ta’ala berfirman, ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS: An-Nahl: 125) Sikap lemah lembut sangat dianjurkan dalam berdakwah terlebih kepada orang tua. Karenanya Allah Ta’ala berfiman, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Intens melakukan komunikasi dengan orang tua Luangkanlah waktu untuk berkomunikasi dengan orang tua sesering mungkin. Alhamdulillah, kita hidup di zaman modern dengan kecanggihan teknologi yang memudahkan banyak urusan kita terlebih komunikasi. Melalui telepon seluler, meski belum sempat menelpon langsung, kita bisa mengirimkan pesan singkat walaupun hanya bertanya kabar mereka. Hal itu mungkin terlihat sederhana, tetapi insyaAllah menjadi sangat berarti bagi orang tua. Jarak yang jauh dari mereka menjadikan kepedulian kita menanyakan keadaan mereka sebagai momen yang sangat dinanti-nantikan. Ingat pula, dalam berkomunikasi dengan orang tua jangan pernah membentak, memarahi, dan menyakiti hati mereka. Allah Ta’ala sangat tegas melarang hal ini. وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23) Memberikan nafkah kepada orang tua Orang tua kita, merekalah, yang membesarkan dan menghidupi kita, bahkan hingga beranjak dewasa di mana seharusnya khusus untuk seorang laki-laki, kewajiban orang tua untuk menafkahi hanyalah sampai usia balig. Namun, tidak sedikit pula anak-anak muda yang masih bergantung pada orang tua dari sisi nafkah, padahal usia mereka sudah dewasa. Karenanya, muslim sejati adalah yang menyadari hakikat diri. Tumbuh dengan usia produktif di tengah-tengah pesatnya teknologi di zaman ini semestinya memacu semangat kita untuk meraih kesuksesan dalam bidang ekonomi dengan cara yang syar’i agar menjadi hamba Allah Ta’ala yang dapat memberikan banyak manfaat kepada sesama khususnya kepada orang tua. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih, maka untuk keluargamu. Jika ada lebih, maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no.997) Saudaraku, hadis di atas jelas menggambarkan kepada siapa seharusnya kita memberi nafkah. Maka, pemahamannya adalah bahwa untuk diri kita sendiri saja menjadi prioritas. Apalagi untuk kedua orang tua. Karenanya, utamakanlah kedua orang tua dalam memberi nafkah. Menjadwalkan berkunjung kepada orang tua Aturlah waktu khusus untuk mengunjungi orang tua. Sejauh apa pun jarak kita saat ini dengan mereka, tidak ada alasan rasanya jika kita tidak sempat untuk mengunjungi mereka. Bahkan, hitungan satu kali dalam satu tahun pun terasa masih kurang, sebagai wujud bakti kita kepada mereka. Namun, dengan berbagai keterbatasan yang ada, meski satu kali setahun, pulanglah. Waktu Idulfitri biasanya menjadi momen mudik pulang kampung untuk mengunjungi orang tua. Sekali lagi, manfaatkanlah waktu tersebut dengan sebaik-baiknya. Maksimalkan waktu yang berkualitas untuk bercengkrama dengan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan betapa keutamaan mengunjungi kerabat itu sangatlah besar. Apalagi mengunjungi orang tua, yang merupakan kerabat paling dekat dari kita. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, أنَّ رجلًا زارَ أخًا لَهُ في قريةٍ أخرى ، فأرصدَ اللَّهُ لَهُ على مَدرجَتِهِ ملَكًا فلمَّا أتى عليهِ ، قالَ : أينَ تريدُ ؟ قالَ : أريدُ أخًا لي في هذِهِ القريةِ ، قالَ : هل لَكَ عليهِ من نعمةٍ تربُّها ؟ قالَ : لا ، غيرَ أنِّي أحببتُهُ في اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، قالَ : فإنِّي رسولُ اللَّهِ إليكَ ، بأنَّ اللَّهَ قد أحبَّكَ كما أحببتَهُ فيهِ “Pernah ada seseorang pergi mengunjungi saudaranya di daerah yang lain. Lalu, Allah pun mengutus malaikat kepadanya di tengah perjalanannya. Ketika mendatanginya, malaikat tersebut bertanya, ‘Engkau mau kemana?’ Ia menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di daerah ini.’ Malaikat bertanya, ‘Apakah ada suatu keuntungan yang ingin engkau dapatkan darinya?’ Orang tadi mengatakan, ‘Tidak ada, kecuali karena aku mencintainya karena Allah ‘Azza Wajalla.’ Maka, malaikat mengatakan, ‘Sesungguhnya aku diutus oleh Allah kepadamu untuk mengabarkan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya.’“ (HR. Muslim no. 2567) Mendekatkan istri dan anak kepada orang tua Jarak yang jauh bisa jadi penyebab jauh pula kedekatan emosional terlebih bagi orang-orang terdekat kita, seperti istri dan anak-anak. Kitalah yang menjadi penentu hubungan baik antara keluarga kecil kita dengan kedua orang tua. Harmonisnya hubungan antar mereka merupakan kebahagiaan yang tak ternilai. Sebaliknya, pertikaian yang mungkin terjadi antara mereka adalah perkara yang sangat tidak kita inginkan. Karenanya, jadilah penengah yang adil, penyambung hubungan emosional yang harmonis bagi mereka. Dalam hal terjadi sesuatu hal yang qadarullah menjadi pemicu persoalan, jadilah bijak dan berlaku adillah. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8) Baca juga: Ancaman Bagi Yang Lalai Dari Birrul Walidain *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: Birrul Walidain

Birrul Walidain dari Jarak Jauh

Daftar Isi Toggle Meskipun jauhBentuk bakti dari jarak jauhMendoakan kebaikan untuk kedua orang tuaMendakwahkan sunnah kepada orang tuaIntens melakukan komunikasi dengan orang tuaMemberikan nafkah kepada orang tuaMenjadwalkan berkunjung kepada orang tuaMendekatkan istri dan anak kepada orang tua Tulisan ini teruntuk orang-orang yang kini berada jauh dari kedua orang tua yang masih hidup. Entah itu karena merantau untuk studi, bekerja, atau alasan lain yang menyebabkan ia jauh secara fisik dari kedua orang tuanya. Ingin sekali rasanya berada dekat dengan mereka apalagi pada usia-usia senja, menyuapkan makanan langsung ke mulut mereka, membawa mereka berobat saat sakit, dan selalu ada kapan pun mereka inginkan. Namun, kadangkala, kondisi yang ada tidak selalu seperti yang diinginkan. Karena keadaan tertentu, kita terpaksa harus jauh secara fisik dari orang tua. Sehingga perlu pula bagi kita untuk mengetahui bagaimana seharusnya kita tetap berbakti kepada mereka, meskipun dari jarak jauh. Karena sejatinya berbakti kepada orang tua adalah perintah utama atas setiap muslim. Saking prioritasnya, dalam banyak dalil, Allah Ta’ala meletakkan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah untuk menyembah hanya kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23) Alasan kenapa begitu pentingnya berbakti kepada orang tua sangat jelas. Telah banyak pengorbanan, kasih sayang, dan cinta yang diberikan sejak dalam kandungan, bahkan hingga dewasa seperti saat ini. Allah Ta’ala berfirman. وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15)  Meskipun jauh Hal penting yang perlu kita pahami bahwa sebaik-baik bakti kepada orang tua adalah berbuat baik kepada mereka dan selalu ada untuk memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun semua kebutuhan orang tua mampu kita penuhi dengan materi, tetap saja fitrahnya para orang tua ingin selalu dekat secara fisik dengan anak-anaknya. Tidak hanya itu, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada orang tua secara langsung juga memiliki dampak positif bagi kesehatan mental dan emosional mereka. Menunjukkan rasa cinta dan perhatian kepada orang tua dapat meningkatkan perasaan bahagia dan kepuasan hidup mereka, sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka di masa tua. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, المسلمُ أخو المسلمِ ، لا يَظْلِمُه ولا يُسْلِمُه ، ومَن كان في حاجةِ أخيه كان اللهُ في حاجتِه ، ومَن فرَّجَ عن مسلمٍ كربةً فرَّجَ اللهُ عنه كربةً مِن كُرُبَاتِ يومِ القيامةِ ، ومَن ستَرَ مسلمًا ستَرَه اللهُ يومَ القيامةِ “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya, tidak boleh membiarkannya dalam bahaya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan penuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang melepaskan satu kesulitan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan melepaskan ia dari satu kesulitan di hari kiamat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2442) Hadis di atas adalah umum diperuntukkan bagi saudara sesama muslim. Konon lagi, bila dilakukan kepada orang tua kita? Mereka adalah yang paling berhak untuk dijaga dari segala mara bahaya, dipenuhi kebutuhannya, dipermudah urusannya, dan ditutupi aib-aibnya. Tentunya, akan lebih mudah melakukan segala kebaikan tersebut kepada mereka tatkala kita hidup dan tinggal berdekatan secara fisik dengan mereka. Bayangkan saja, bagi yang saat ini dikaruniai anak, bagaimana jika suatu saat nanti anak-anak yang sangat anda cintai itu berada jauh darimu. Mereka memiliki kehidupan sendiri dan jarang berjumpa secara fisik denganmu. Tidakkah berat terasa di hatimu? Demikian pula yang dirasakan oleh orang tuamu saat ini. Namun demikian, meski keutamaan berada dekat secara fisik dengan orang tua itu sangat besar, kita pun tidak dapat mengelak ketika keadaan-keadaan tertentu memaksa kita untuk merantau berada jauh dari kedua orang tua. Seperti karena kebutuhan studi di luar kota ataupun di luar negeri, tugas dinas, ataupun karena alasan lainnya. Oleh karenanya, meskipun berada jauh secara fisik dari orang tua, kewajiban kita untuk berbuat baik dan berbakti semaksimal mungkin kepada mereka tetaplah menjadi kewajiban. Jangan mau kalah dengan orang-orang yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk berbakti langsung kepada orang tuanya. Jarak bukan berarti penghalang. Banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai bentuk bakti kepada kedua orang tua. Baca juga: Potret Salaf Dalam Birrul Walidain Bentuk bakti dari jarak jauh Mendoakan kebaikan untuk kedua orang tua Pada waktu-waktu mustajabnya doa, mohonlah ampunan untuk kedua orang tua kita. Sebagaimana doa yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut: رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepadaku dan kedua ibu bapakku, dan orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari Kiamat).” (QS. Ibrahim: 41) رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10) Mendakwahkan sunnah kepada orang tua Siapa yang tidak menginginkan orang tuanya memegang teguh manhaj salaf dalam beragama? Karenanya, dakwahkanlah dengan lembut agama yang mulia ini kepada orang tua. Merekalah orang yang paling berhak atas kita untuk mendapatkan kemuliaan dakwah sunnah. Sampaikan kepada mereka tentang manhaj salaf saleh dalam memahami agama mulia ini. Allah Ta’ala berfirman, ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS: An-Nahl: 125) Sikap lemah lembut sangat dianjurkan dalam berdakwah terlebih kepada orang tua. Karenanya Allah Ta’ala berfiman, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Intens melakukan komunikasi dengan orang tua Luangkanlah waktu untuk berkomunikasi dengan orang tua sesering mungkin. Alhamdulillah, kita hidup di zaman modern dengan kecanggihan teknologi yang memudahkan banyak urusan kita terlebih komunikasi. Melalui telepon seluler, meski belum sempat menelpon langsung, kita bisa mengirimkan pesan singkat walaupun hanya bertanya kabar mereka. Hal itu mungkin terlihat sederhana, tetapi insyaAllah menjadi sangat berarti bagi orang tua. Jarak yang jauh dari mereka menjadikan kepedulian kita menanyakan keadaan mereka sebagai momen yang sangat dinanti-nantikan. Ingat pula, dalam berkomunikasi dengan orang tua jangan pernah membentak, memarahi, dan menyakiti hati mereka. Allah Ta’ala sangat tegas melarang hal ini. وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23) Memberikan nafkah kepada orang tua Orang tua kita, merekalah, yang membesarkan dan menghidupi kita, bahkan hingga beranjak dewasa di mana seharusnya khusus untuk seorang laki-laki, kewajiban orang tua untuk menafkahi hanyalah sampai usia balig. Namun, tidak sedikit pula anak-anak muda yang masih bergantung pada orang tua dari sisi nafkah, padahal usia mereka sudah dewasa. Karenanya, muslim sejati adalah yang menyadari hakikat diri. Tumbuh dengan usia produktif di tengah-tengah pesatnya teknologi di zaman ini semestinya memacu semangat kita untuk meraih kesuksesan dalam bidang ekonomi dengan cara yang syar’i agar menjadi hamba Allah Ta’ala yang dapat memberikan banyak manfaat kepada sesama khususnya kepada orang tua. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih, maka untuk keluargamu. Jika ada lebih, maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no.997) Saudaraku, hadis di atas jelas menggambarkan kepada siapa seharusnya kita memberi nafkah. Maka, pemahamannya adalah bahwa untuk diri kita sendiri saja menjadi prioritas. Apalagi untuk kedua orang tua. Karenanya, utamakanlah kedua orang tua dalam memberi nafkah. Menjadwalkan berkunjung kepada orang tua Aturlah waktu khusus untuk mengunjungi orang tua. Sejauh apa pun jarak kita saat ini dengan mereka, tidak ada alasan rasanya jika kita tidak sempat untuk mengunjungi mereka. Bahkan, hitungan satu kali dalam satu tahun pun terasa masih kurang, sebagai wujud bakti kita kepada mereka. Namun, dengan berbagai keterbatasan yang ada, meski satu kali setahun, pulanglah. Waktu Idulfitri biasanya menjadi momen mudik pulang kampung untuk mengunjungi orang tua. Sekali lagi, manfaatkanlah waktu tersebut dengan sebaik-baiknya. Maksimalkan waktu yang berkualitas untuk bercengkrama dengan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan betapa keutamaan mengunjungi kerabat itu sangatlah besar. Apalagi mengunjungi orang tua, yang merupakan kerabat paling dekat dari kita. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, أنَّ رجلًا زارَ أخًا لَهُ في قريةٍ أخرى ، فأرصدَ اللَّهُ لَهُ على مَدرجَتِهِ ملَكًا فلمَّا أتى عليهِ ، قالَ : أينَ تريدُ ؟ قالَ : أريدُ أخًا لي في هذِهِ القريةِ ، قالَ : هل لَكَ عليهِ من نعمةٍ تربُّها ؟ قالَ : لا ، غيرَ أنِّي أحببتُهُ في اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، قالَ : فإنِّي رسولُ اللَّهِ إليكَ ، بأنَّ اللَّهَ قد أحبَّكَ كما أحببتَهُ فيهِ “Pernah ada seseorang pergi mengunjungi saudaranya di daerah yang lain. Lalu, Allah pun mengutus malaikat kepadanya di tengah perjalanannya. Ketika mendatanginya, malaikat tersebut bertanya, ‘Engkau mau kemana?’ Ia menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di daerah ini.’ Malaikat bertanya, ‘Apakah ada suatu keuntungan yang ingin engkau dapatkan darinya?’ Orang tadi mengatakan, ‘Tidak ada, kecuali karena aku mencintainya karena Allah ‘Azza Wajalla.’ Maka, malaikat mengatakan, ‘Sesungguhnya aku diutus oleh Allah kepadamu untuk mengabarkan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya.’“ (HR. Muslim no. 2567) Mendekatkan istri dan anak kepada orang tua Jarak yang jauh bisa jadi penyebab jauh pula kedekatan emosional terlebih bagi orang-orang terdekat kita, seperti istri dan anak-anak. Kitalah yang menjadi penentu hubungan baik antara keluarga kecil kita dengan kedua orang tua. Harmonisnya hubungan antar mereka merupakan kebahagiaan yang tak ternilai. Sebaliknya, pertikaian yang mungkin terjadi antara mereka adalah perkara yang sangat tidak kita inginkan. Karenanya, jadilah penengah yang adil, penyambung hubungan emosional yang harmonis bagi mereka. Dalam hal terjadi sesuatu hal yang qadarullah menjadi pemicu persoalan, jadilah bijak dan berlaku adillah. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8) Baca juga: Ancaman Bagi Yang Lalai Dari Birrul Walidain *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: Birrul Walidain
Daftar Isi Toggle Meskipun jauhBentuk bakti dari jarak jauhMendoakan kebaikan untuk kedua orang tuaMendakwahkan sunnah kepada orang tuaIntens melakukan komunikasi dengan orang tuaMemberikan nafkah kepada orang tuaMenjadwalkan berkunjung kepada orang tuaMendekatkan istri dan anak kepada orang tua Tulisan ini teruntuk orang-orang yang kini berada jauh dari kedua orang tua yang masih hidup. Entah itu karena merantau untuk studi, bekerja, atau alasan lain yang menyebabkan ia jauh secara fisik dari kedua orang tuanya. Ingin sekali rasanya berada dekat dengan mereka apalagi pada usia-usia senja, menyuapkan makanan langsung ke mulut mereka, membawa mereka berobat saat sakit, dan selalu ada kapan pun mereka inginkan. Namun, kadangkala, kondisi yang ada tidak selalu seperti yang diinginkan. Karena keadaan tertentu, kita terpaksa harus jauh secara fisik dari orang tua. Sehingga perlu pula bagi kita untuk mengetahui bagaimana seharusnya kita tetap berbakti kepada mereka, meskipun dari jarak jauh. Karena sejatinya berbakti kepada orang tua adalah perintah utama atas setiap muslim. Saking prioritasnya, dalam banyak dalil, Allah Ta’ala meletakkan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah untuk menyembah hanya kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23) Alasan kenapa begitu pentingnya berbakti kepada orang tua sangat jelas. Telah banyak pengorbanan, kasih sayang, dan cinta yang diberikan sejak dalam kandungan, bahkan hingga dewasa seperti saat ini. Allah Ta’ala berfirman. وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15)  Meskipun jauh Hal penting yang perlu kita pahami bahwa sebaik-baik bakti kepada orang tua adalah berbuat baik kepada mereka dan selalu ada untuk memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun semua kebutuhan orang tua mampu kita penuhi dengan materi, tetap saja fitrahnya para orang tua ingin selalu dekat secara fisik dengan anak-anaknya. Tidak hanya itu, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada orang tua secara langsung juga memiliki dampak positif bagi kesehatan mental dan emosional mereka. Menunjukkan rasa cinta dan perhatian kepada orang tua dapat meningkatkan perasaan bahagia dan kepuasan hidup mereka, sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka di masa tua. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, المسلمُ أخو المسلمِ ، لا يَظْلِمُه ولا يُسْلِمُه ، ومَن كان في حاجةِ أخيه كان اللهُ في حاجتِه ، ومَن فرَّجَ عن مسلمٍ كربةً فرَّجَ اللهُ عنه كربةً مِن كُرُبَاتِ يومِ القيامةِ ، ومَن ستَرَ مسلمًا ستَرَه اللهُ يومَ القيامةِ “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya, tidak boleh membiarkannya dalam bahaya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan penuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang melepaskan satu kesulitan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan melepaskan ia dari satu kesulitan di hari kiamat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2442) Hadis di atas adalah umum diperuntukkan bagi saudara sesama muslim. Konon lagi, bila dilakukan kepada orang tua kita? Mereka adalah yang paling berhak untuk dijaga dari segala mara bahaya, dipenuhi kebutuhannya, dipermudah urusannya, dan ditutupi aib-aibnya. Tentunya, akan lebih mudah melakukan segala kebaikan tersebut kepada mereka tatkala kita hidup dan tinggal berdekatan secara fisik dengan mereka. Bayangkan saja, bagi yang saat ini dikaruniai anak, bagaimana jika suatu saat nanti anak-anak yang sangat anda cintai itu berada jauh darimu. Mereka memiliki kehidupan sendiri dan jarang berjumpa secara fisik denganmu. Tidakkah berat terasa di hatimu? Demikian pula yang dirasakan oleh orang tuamu saat ini. Namun demikian, meski keutamaan berada dekat secara fisik dengan orang tua itu sangat besar, kita pun tidak dapat mengelak ketika keadaan-keadaan tertentu memaksa kita untuk merantau berada jauh dari kedua orang tua. Seperti karena kebutuhan studi di luar kota ataupun di luar negeri, tugas dinas, ataupun karena alasan lainnya. Oleh karenanya, meskipun berada jauh secara fisik dari orang tua, kewajiban kita untuk berbuat baik dan berbakti semaksimal mungkin kepada mereka tetaplah menjadi kewajiban. Jangan mau kalah dengan orang-orang yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk berbakti langsung kepada orang tuanya. Jarak bukan berarti penghalang. Banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai bentuk bakti kepada kedua orang tua. Baca juga: Potret Salaf Dalam Birrul Walidain Bentuk bakti dari jarak jauh Mendoakan kebaikan untuk kedua orang tua Pada waktu-waktu mustajabnya doa, mohonlah ampunan untuk kedua orang tua kita. Sebagaimana doa yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut: رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepadaku dan kedua ibu bapakku, dan orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari Kiamat).” (QS. Ibrahim: 41) رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10) Mendakwahkan sunnah kepada orang tua Siapa yang tidak menginginkan orang tuanya memegang teguh manhaj salaf dalam beragama? Karenanya, dakwahkanlah dengan lembut agama yang mulia ini kepada orang tua. Merekalah orang yang paling berhak atas kita untuk mendapatkan kemuliaan dakwah sunnah. Sampaikan kepada mereka tentang manhaj salaf saleh dalam memahami agama mulia ini. Allah Ta’ala berfirman, ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS: An-Nahl: 125) Sikap lemah lembut sangat dianjurkan dalam berdakwah terlebih kepada orang tua. Karenanya Allah Ta’ala berfiman, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Intens melakukan komunikasi dengan orang tua Luangkanlah waktu untuk berkomunikasi dengan orang tua sesering mungkin. Alhamdulillah, kita hidup di zaman modern dengan kecanggihan teknologi yang memudahkan banyak urusan kita terlebih komunikasi. Melalui telepon seluler, meski belum sempat menelpon langsung, kita bisa mengirimkan pesan singkat walaupun hanya bertanya kabar mereka. Hal itu mungkin terlihat sederhana, tetapi insyaAllah menjadi sangat berarti bagi orang tua. Jarak yang jauh dari mereka menjadikan kepedulian kita menanyakan keadaan mereka sebagai momen yang sangat dinanti-nantikan. Ingat pula, dalam berkomunikasi dengan orang tua jangan pernah membentak, memarahi, dan menyakiti hati mereka. Allah Ta’ala sangat tegas melarang hal ini. وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23) Memberikan nafkah kepada orang tua Orang tua kita, merekalah, yang membesarkan dan menghidupi kita, bahkan hingga beranjak dewasa di mana seharusnya khusus untuk seorang laki-laki, kewajiban orang tua untuk menafkahi hanyalah sampai usia balig. Namun, tidak sedikit pula anak-anak muda yang masih bergantung pada orang tua dari sisi nafkah, padahal usia mereka sudah dewasa. Karenanya, muslim sejati adalah yang menyadari hakikat diri. Tumbuh dengan usia produktif di tengah-tengah pesatnya teknologi di zaman ini semestinya memacu semangat kita untuk meraih kesuksesan dalam bidang ekonomi dengan cara yang syar’i agar menjadi hamba Allah Ta’ala yang dapat memberikan banyak manfaat kepada sesama khususnya kepada orang tua. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih, maka untuk keluargamu. Jika ada lebih, maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no.997) Saudaraku, hadis di atas jelas menggambarkan kepada siapa seharusnya kita memberi nafkah. Maka, pemahamannya adalah bahwa untuk diri kita sendiri saja menjadi prioritas. Apalagi untuk kedua orang tua. Karenanya, utamakanlah kedua orang tua dalam memberi nafkah. Menjadwalkan berkunjung kepada orang tua Aturlah waktu khusus untuk mengunjungi orang tua. Sejauh apa pun jarak kita saat ini dengan mereka, tidak ada alasan rasanya jika kita tidak sempat untuk mengunjungi mereka. Bahkan, hitungan satu kali dalam satu tahun pun terasa masih kurang, sebagai wujud bakti kita kepada mereka. Namun, dengan berbagai keterbatasan yang ada, meski satu kali setahun, pulanglah. Waktu Idulfitri biasanya menjadi momen mudik pulang kampung untuk mengunjungi orang tua. Sekali lagi, manfaatkanlah waktu tersebut dengan sebaik-baiknya. Maksimalkan waktu yang berkualitas untuk bercengkrama dengan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan betapa keutamaan mengunjungi kerabat itu sangatlah besar. Apalagi mengunjungi orang tua, yang merupakan kerabat paling dekat dari kita. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, أنَّ رجلًا زارَ أخًا لَهُ في قريةٍ أخرى ، فأرصدَ اللَّهُ لَهُ على مَدرجَتِهِ ملَكًا فلمَّا أتى عليهِ ، قالَ : أينَ تريدُ ؟ قالَ : أريدُ أخًا لي في هذِهِ القريةِ ، قالَ : هل لَكَ عليهِ من نعمةٍ تربُّها ؟ قالَ : لا ، غيرَ أنِّي أحببتُهُ في اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، قالَ : فإنِّي رسولُ اللَّهِ إليكَ ، بأنَّ اللَّهَ قد أحبَّكَ كما أحببتَهُ فيهِ “Pernah ada seseorang pergi mengunjungi saudaranya di daerah yang lain. Lalu, Allah pun mengutus malaikat kepadanya di tengah perjalanannya. Ketika mendatanginya, malaikat tersebut bertanya, ‘Engkau mau kemana?’ Ia menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di daerah ini.’ Malaikat bertanya, ‘Apakah ada suatu keuntungan yang ingin engkau dapatkan darinya?’ Orang tadi mengatakan, ‘Tidak ada, kecuali karena aku mencintainya karena Allah ‘Azza Wajalla.’ Maka, malaikat mengatakan, ‘Sesungguhnya aku diutus oleh Allah kepadamu untuk mengabarkan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya.’“ (HR. Muslim no. 2567) Mendekatkan istri dan anak kepada orang tua Jarak yang jauh bisa jadi penyebab jauh pula kedekatan emosional terlebih bagi orang-orang terdekat kita, seperti istri dan anak-anak. Kitalah yang menjadi penentu hubungan baik antara keluarga kecil kita dengan kedua orang tua. Harmonisnya hubungan antar mereka merupakan kebahagiaan yang tak ternilai. Sebaliknya, pertikaian yang mungkin terjadi antara mereka adalah perkara yang sangat tidak kita inginkan. Karenanya, jadilah penengah yang adil, penyambung hubungan emosional yang harmonis bagi mereka. Dalam hal terjadi sesuatu hal yang qadarullah menjadi pemicu persoalan, jadilah bijak dan berlaku adillah. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8) Baca juga: Ancaman Bagi Yang Lalai Dari Birrul Walidain *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: Birrul Walidain


Daftar Isi Toggle Meskipun jauhBentuk bakti dari jarak jauhMendoakan kebaikan untuk kedua orang tuaMendakwahkan sunnah kepada orang tuaIntens melakukan komunikasi dengan orang tuaMemberikan nafkah kepada orang tuaMenjadwalkan berkunjung kepada orang tuaMendekatkan istri dan anak kepada orang tua Tulisan ini teruntuk orang-orang yang kini berada jauh dari kedua orang tua yang masih hidup. Entah itu karena merantau untuk studi, bekerja, atau alasan lain yang menyebabkan ia jauh secara fisik dari kedua orang tuanya. Ingin sekali rasanya berada dekat dengan mereka apalagi pada usia-usia senja, menyuapkan makanan langsung ke mulut mereka, membawa mereka berobat saat sakit, dan selalu ada kapan pun mereka inginkan. Namun, kadangkala, kondisi yang ada tidak selalu seperti yang diinginkan. Karena keadaan tertentu, kita terpaksa harus jauh secara fisik dari orang tua. Sehingga perlu pula bagi kita untuk mengetahui bagaimana seharusnya kita tetap berbakti kepada mereka, meskipun dari jarak jauh. Karena sejatinya berbakti kepada orang tua adalah perintah utama atas setiap muslim. Saking prioritasnya, dalam banyak dalil, Allah Ta’ala meletakkan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah untuk menyembah hanya kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23) Alasan kenapa begitu pentingnya berbakti kepada orang tua sangat jelas. Telah banyak pengorbanan, kasih sayang, dan cinta yang diberikan sejak dalam kandungan, bahkan hingga dewasa seperti saat ini. Allah Ta’ala berfirman. وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15)  Meskipun jauh Hal penting yang perlu kita pahami bahwa sebaik-baik bakti kepada orang tua adalah berbuat baik kepada mereka dan selalu ada untuk memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun semua kebutuhan orang tua mampu kita penuhi dengan materi, tetap saja fitrahnya para orang tua ingin selalu dekat secara fisik dengan anak-anaknya. Tidak hanya itu, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada orang tua secara langsung juga memiliki dampak positif bagi kesehatan mental dan emosional mereka. Menunjukkan rasa cinta dan perhatian kepada orang tua dapat meningkatkan perasaan bahagia dan kepuasan hidup mereka, sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka di masa tua. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, المسلمُ أخو المسلمِ ، لا يَظْلِمُه ولا يُسْلِمُه ، ومَن كان في حاجةِ أخيه كان اللهُ في حاجتِه ، ومَن فرَّجَ عن مسلمٍ كربةً فرَّجَ اللهُ عنه كربةً مِن كُرُبَاتِ يومِ القيامةِ ، ومَن ستَرَ مسلمًا ستَرَه اللهُ يومَ القيامةِ “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya, tidak boleh membiarkannya dalam bahaya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan penuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang melepaskan satu kesulitan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan melepaskan ia dari satu kesulitan di hari kiamat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2442) Hadis di atas adalah umum diperuntukkan bagi saudara sesama muslim. Konon lagi, bila dilakukan kepada orang tua kita? Mereka adalah yang paling berhak untuk dijaga dari segala mara bahaya, dipenuhi kebutuhannya, dipermudah urusannya, dan ditutupi aib-aibnya. Tentunya, akan lebih mudah melakukan segala kebaikan tersebut kepada mereka tatkala kita hidup dan tinggal berdekatan secara fisik dengan mereka. Bayangkan saja, bagi yang saat ini dikaruniai anak, bagaimana jika suatu saat nanti anak-anak yang sangat anda cintai itu berada jauh darimu. Mereka memiliki kehidupan sendiri dan jarang berjumpa secara fisik denganmu. Tidakkah berat terasa di hatimu? Demikian pula yang dirasakan oleh orang tuamu saat ini. Namun demikian, meski keutamaan berada dekat secara fisik dengan orang tua itu sangat besar, kita pun tidak dapat mengelak ketika keadaan-keadaan tertentu memaksa kita untuk merantau berada jauh dari kedua orang tua. Seperti karena kebutuhan studi di luar kota ataupun di luar negeri, tugas dinas, ataupun karena alasan lainnya. Oleh karenanya, meskipun berada jauh secara fisik dari orang tua, kewajiban kita untuk berbuat baik dan berbakti semaksimal mungkin kepada mereka tetaplah menjadi kewajiban. Jangan mau kalah dengan orang-orang yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk berbakti langsung kepada orang tuanya. Jarak bukan berarti penghalang. Banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai bentuk bakti kepada kedua orang tua. Baca juga: Potret Salaf Dalam Birrul Walidain Bentuk bakti dari jarak jauh Mendoakan kebaikan untuk kedua orang tua Pada waktu-waktu mustajabnya doa, mohonlah ampunan untuk kedua orang tua kita. Sebagaimana doa yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut: رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepadaku dan kedua ibu bapakku, dan orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari Kiamat).” (QS. Ibrahim: 41) رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10) Mendakwahkan sunnah kepada orang tua Siapa yang tidak menginginkan orang tuanya memegang teguh manhaj salaf dalam beragama? Karenanya, dakwahkanlah dengan lembut agama yang mulia ini kepada orang tua. Merekalah orang yang paling berhak atas kita untuk mendapatkan kemuliaan dakwah sunnah. Sampaikan kepada mereka tentang manhaj salaf saleh dalam memahami agama mulia ini. Allah Ta’ala berfirman, ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS: An-Nahl: 125) Sikap lemah lembut sangat dianjurkan dalam berdakwah terlebih kepada orang tua. Karenanya Allah Ta’ala berfiman, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Intens melakukan komunikasi dengan orang tua Luangkanlah waktu untuk berkomunikasi dengan orang tua sesering mungkin. Alhamdulillah, kita hidup di zaman modern dengan kecanggihan teknologi yang memudahkan banyak urusan kita terlebih komunikasi. Melalui telepon seluler, meski belum sempat menelpon langsung, kita bisa mengirimkan pesan singkat walaupun hanya bertanya kabar mereka. Hal itu mungkin terlihat sederhana, tetapi insyaAllah menjadi sangat berarti bagi orang tua. Jarak yang jauh dari mereka menjadikan kepedulian kita menanyakan keadaan mereka sebagai momen yang sangat dinanti-nantikan. Ingat pula, dalam berkomunikasi dengan orang tua jangan pernah membentak, memarahi, dan menyakiti hati mereka. Allah Ta’ala sangat tegas melarang hal ini. وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23) Memberikan nafkah kepada orang tua Orang tua kita, merekalah, yang membesarkan dan menghidupi kita, bahkan hingga beranjak dewasa di mana seharusnya khusus untuk seorang laki-laki, kewajiban orang tua untuk menafkahi hanyalah sampai usia balig. Namun, tidak sedikit pula anak-anak muda yang masih bergantung pada orang tua dari sisi nafkah, padahal usia mereka sudah dewasa. Karenanya, muslim sejati adalah yang menyadari hakikat diri. Tumbuh dengan usia produktif di tengah-tengah pesatnya teknologi di zaman ini semestinya memacu semangat kita untuk meraih kesuksesan dalam bidang ekonomi dengan cara yang syar’i agar menjadi hamba Allah Ta’ala yang dapat memberikan banyak manfaat kepada sesama khususnya kepada orang tua. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ “Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih, maka untuk keluargamu. Jika ada lebih, maka untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no.997) Saudaraku, hadis di atas jelas menggambarkan kepada siapa seharusnya kita memberi nafkah. Maka, pemahamannya adalah bahwa untuk diri kita sendiri saja menjadi prioritas. Apalagi untuk kedua orang tua. Karenanya, utamakanlah kedua orang tua dalam memberi nafkah. Menjadwalkan berkunjung kepada orang tua Aturlah waktu khusus untuk mengunjungi orang tua. Sejauh apa pun jarak kita saat ini dengan mereka, tidak ada alasan rasanya jika kita tidak sempat untuk mengunjungi mereka. Bahkan, hitungan satu kali dalam satu tahun pun terasa masih kurang, sebagai wujud bakti kita kepada mereka. Namun, dengan berbagai keterbatasan yang ada, meski satu kali setahun, pulanglah. Waktu Idulfitri biasanya menjadi momen mudik pulang kampung untuk mengunjungi orang tua. Sekali lagi, manfaatkanlah waktu tersebut dengan sebaik-baiknya. Maksimalkan waktu yang berkualitas untuk bercengkrama dengan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan betapa keutamaan mengunjungi kerabat itu sangatlah besar. Apalagi mengunjungi orang tua, yang merupakan kerabat paling dekat dari kita. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, أنَّ رجلًا زارَ أخًا لَهُ في قريةٍ أخرى ، فأرصدَ اللَّهُ لَهُ على مَدرجَتِهِ ملَكًا فلمَّا أتى عليهِ ، قالَ : أينَ تريدُ ؟ قالَ : أريدُ أخًا لي في هذِهِ القريةِ ، قالَ : هل لَكَ عليهِ من نعمةٍ تربُّها ؟ قالَ : لا ، غيرَ أنِّي أحببتُهُ في اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، قالَ : فإنِّي رسولُ اللَّهِ إليكَ ، بأنَّ اللَّهَ قد أحبَّكَ كما أحببتَهُ فيهِ “Pernah ada seseorang pergi mengunjungi saudaranya di daerah yang lain. Lalu, Allah pun mengutus malaikat kepadanya di tengah perjalanannya. Ketika mendatanginya, malaikat tersebut bertanya, ‘Engkau mau kemana?’ Ia menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di daerah ini.’ Malaikat bertanya, ‘Apakah ada suatu keuntungan yang ingin engkau dapatkan darinya?’ Orang tadi mengatakan, ‘Tidak ada, kecuali karena aku mencintainya karena Allah ‘Azza Wajalla.’ Maka, malaikat mengatakan, ‘Sesungguhnya aku diutus oleh Allah kepadamu untuk mengabarkan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya.’“ (HR. Muslim no. 2567) Mendekatkan istri dan anak kepada orang tua Jarak yang jauh bisa jadi penyebab jauh pula kedekatan emosional terlebih bagi orang-orang terdekat kita, seperti istri dan anak-anak. Kitalah yang menjadi penentu hubungan baik antara keluarga kecil kita dengan kedua orang tua. Harmonisnya hubungan antar mereka merupakan kebahagiaan yang tak ternilai. Sebaliknya, pertikaian yang mungkin terjadi antara mereka adalah perkara yang sangat tidak kita inginkan. Karenanya, jadilah penengah yang adil, penyambung hubungan emosional yang harmonis bagi mereka. Dalam hal terjadi sesuatu hal yang qadarullah menjadi pemicu persoalan, jadilah bijak dan berlaku adillah. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8) Baca juga: Ancaman Bagi Yang Lalai Dari Birrul Walidain *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: Birrul Walidain

Ramadan Mengajarkanku Keistikamahan

Daftar Isi Toggle Hubungan antara ampunan di bulan Ramadan dan keistikamahanHakikat istikamah yang sebenarnya Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah memberikan kekhususan kepada kita berupa bulan suci Ramadan sebagai ladang amal dan ketaatan. Bulan di mana pahala amal kebaikan di dalamnya dilipatgandakan dan derajat seorang muslim diangkat. Bulan di mana Allah Ta’ala menjanjikan ampunan dosa bagi siapa saja yang berpuasa karena keyakinan, keimanan, dan pengharapan pahala. Bulan di mana waktu yang ada di dalamnya lebih mulia dari waktu-waktu lainnya. Bulan Ramadan sarat akan faedah dan pelajaran yang bisa diambil oleh seorang muslim. Di antaranya adalah perannya di dalam meningkatkan kualitas konsistensi kita dalam melakukan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Membantu kita untuk memperbaiki kualitas keimanan dan keistikamahan kita. Dengan merutinkan ibadah serta ketaatan selama tiga puluh hari berturut-turut di dalamnya, tentu akan menguatkan jiwa, meneguhkan hati, serta memperkuat anggota tubuh yang kita miliki. Harapannya adalah sifat-sifat utama tersebut tetap ada dan bertahan, meskipun Ramadan telah pergi meninggalkan kita. Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Sebagian ulama menjelaskan bahwa lafaz “petunjuk bagi manusia” kembali kepada Ramadan, sehingga Ramadan adalah bulan yang akan memberikan petunjuk dan menguatkan seorang mukmin. Dengan adanya bulan Ramadan, maka akan menambah keimanan pada diri seorang mukmin dan menambah pula amalannya. Dengan adanya bulan Ramadan, bervariasi pula amal ibadah yang dilakukannya, baik itu amalan hati berupa ketakwaan dan kesabaran ataupun amalan tubuh berupa zikir, doa, bacaan Al-Qur’an, serta sedekah yang dilakukannya. Di dalam ayat tersebut, makna hidayah dan memberikan petunjuk memliki makna ganda. Hidayah berkat kemuliaan Al-Qur’an dan hidayah berkat kemuliaan bulan Ramadan. Hubungan antara ampunan di bulan Ramadan dan keistikamahan Di antara tujuan utama seorang muslim ketika datang bulan Ramadan adalah mendapatkan kebebasan dari api neraka. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إذا كانَت أوَّلُ ليلةٍ من رمَضانَ صُفِّدتِ الشَّياطينُ ومَردةُ الجِنِّ وغلِّقت أبَوابُ النَّارِ فلم يُفتَحْ منها بابٌ وفُتِحت أبوابُ الجنَّةِ فلم يُغلَقْ منها بابٌ ونادى منادٍ يا باغيَ الخيرِ أقبِلْ ويا باغيَ الشَّرِّ أقصِر وللَّهِ عتقاءُ منَ النَّارِ وذلِك في كلِّ ليلةٍ “Jika tiba malam pertama di bulan Ramadan, maka setan-setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak ada yang dibuka, dan pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup. Lalu, ada penyeru yang berseru, ‘Hai orang yang mencari kebaikan, teruskanlah. Hai orang yang mencari keburukan, berhentilah.’ Sesungguhnya Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam.” (HR. Tirmidzi no. 682 dan Ibnu Majah no. 1642) Keutamaan yang besar ini tidak bisa diraih oleh seorang muslim, kecuali apabila diiringi dengan keistikamahan dalam melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala selepas Ramadan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ؛ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ؛ نُزُلًا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ ”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah.’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih! Dan berilah kabar gembira kepada mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fussilat: 29-31) Seorang tabiin bernama Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala, (ṡummastaqāmụ) “kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka.” Beliau menafsirkannya dengan, “Istikamah dan teguh pendirian di dalam menjalankan kewajiban kepada Allah Ta’ala.” Keberkahan dan keutamaan bulan Ramadan tidak diraih, kecuali dengan keistikamahan. Yaitu, apabila seorang muslim menjaga kewajiban salat lima waktunya, sedekahnya, bacaan Al-Qur’annya, serta pengekangan terhadap hawa nafsunya, baik di bulan Ramadan yang mulia ini ataupun di luar Ramadan. Dan ketahuilah, tidaklah keutamaan terbebas dari api neraka ini Allah berikan kepada seorang hamba yang hanya beribadah kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadan saja. Jangan sampai diri kita hanya menjadi hamba yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadan saja. Jadilah seorang hamba yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala di semua waktu yang kita miliki. Baik itu di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan selainnya. Baca juga: Untukmu Wahai Pencari Kebaikan, Inilah Saatnya di Bulan Ramadan Hakikat istikamah yang sebenarnya Mengenai makna keistikamahan yang sebenarnya, para ulama sejak zaman dahulu telah membicarakannya. Bahkan, khalifah yang pertama Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya mengenai makna istikamaah, beliau mengatakan, ألا تشرك بالله شيئا “Hendaknya engkau tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun.” Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitab Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam mengatakan, “(Istikamah) yaitu berjalan di atas jalan yang lurus, mencakup di dalamnya melakukan ketaatan, baik itu yang tampak maupun yang tidak, serta mencakup juga meninggalkan larangan-larangan Allah Ta’ala.” (Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hal. 193) Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathu Al-Bari juga mengatakan mengenai makna istikamah ini, الاستقامة كناية عن التّمسّك بأمر اللّه تعالى فعلا وتركا “Istikamah merupakan istilah lain dari berpegang teguh dengan perintah-perintah Allah, baik yang berupa perintah untuk melakukan ketaatan maupun larangan untuk melakukan sebuah perbuatan.” (Fathu Al-Bari, 13: 257) Dari sini, dapat kita ambil pelajaran bahwa keistikamahan yang akan mengantarkan seorang hamba untuk mendapatkan kemenangan di bulan Ramadan adalah keistikamahan yang membuat dirinya konsisten di dalam melakukan ketaatan kepada Allah di semua waktunya. Bahkan, ketika Ramadan itu telah pergi meninggalkannya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan salah satu hamba-Nya yang dapat mengambil pelajaran di bulan Ramadan ini, menjadikan bulan Ramadan ini sebagai momentum untuk bertobat dan menata kembali bangunan keistikamahan kita dalam beribadah kepada-Nya. Amin, ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Ramadan: Bulan Perbaikan Akhlak *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: istikamah

Ramadan Mengajarkanku Keistikamahan

Daftar Isi Toggle Hubungan antara ampunan di bulan Ramadan dan keistikamahanHakikat istikamah yang sebenarnya Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah memberikan kekhususan kepada kita berupa bulan suci Ramadan sebagai ladang amal dan ketaatan. Bulan di mana pahala amal kebaikan di dalamnya dilipatgandakan dan derajat seorang muslim diangkat. Bulan di mana Allah Ta’ala menjanjikan ampunan dosa bagi siapa saja yang berpuasa karena keyakinan, keimanan, dan pengharapan pahala. Bulan di mana waktu yang ada di dalamnya lebih mulia dari waktu-waktu lainnya. Bulan Ramadan sarat akan faedah dan pelajaran yang bisa diambil oleh seorang muslim. Di antaranya adalah perannya di dalam meningkatkan kualitas konsistensi kita dalam melakukan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Membantu kita untuk memperbaiki kualitas keimanan dan keistikamahan kita. Dengan merutinkan ibadah serta ketaatan selama tiga puluh hari berturut-turut di dalamnya, tentu akan menguatkan jiwa, meneguhkan hati, serta memperkuat anggota tubuh yang kita miliki. Harapannya adalah sifat-sifat utama tersebut tetap ada dan bertahan, meskipun Ramadan telah pergi meninggalkan kita. Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Sebagian ulama menjelaskan bahwa lafaz “petunjuk bagi manusia” kembali kepada Ramadan, sehingga Ramadan adalah bulan yang akan memberikan petunjuk dan menguatkan seorang mukmin. Dengan adanya bulan Ramadan, maka akan menambah keimanan pada diri seorang mukmin dan menambah pula amalannya. Dengan adanya bulan Ramadan, bervariasi pula amal ibadah yang dilakukannya, baik itu amalan hati berupa ketakwaan dan kesabaran ataupun amalan tubuh berupa zikir, doa, bacaan Al-Qur’an, serta sedekah yang dilakukannya. Di dalam ayat tersebut, makna hidayah dan memberikan petunjuk memliki makna ganda. Hidayah berkat kemuliaan Al-Qur’an dan hidayah berkat kemuliaan bulan Ramadan. Hubungan antara ampunan di bulan Ramadan dan keistikamahan Di antara tujuan utama seorang muslim ketika datang bulan Ramadan adalah mendapatkan kebebasan dari api neraka. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إذا كانَت أوَّلُ ليلةٍ من رمَضانَ صُفِّدتِ الشَّياطينُ ومَردةُ الجِنِّ وغلِّقت أبَوابُ النَّارِ فلم يُفتَحْ منها بابٌ وفُتِحت أبوابُ الجنَّةِ فلم يُغلَقْ منها بابٌ ونادى منادٍ يا باغيَ الخيرِ أقبِلْ ويا باغيَ الشَّرِّ أقصِر وللَّهِ عتقاءُ منَ النَّارِ وذلِك في كلِّ ليلةٍ “Jika tiba malam pertama di bulan Ramadan, maka setan-setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak ada yang dibuka, dan pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup. Lalu, ada penyeru yang berseru, ‘Hai orang yang mencari kebaikan, teruskanlah. Hai orang yang mencari keburukan, berhentilah.’ Sesungguhnya Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam.” (HR. Tirmidzi no. 682 dan Ibnu Majah no. 1642) Keutamaan yang besar ini tidak bisa diraih oleh seorang muslim, kecuali apabila diiringi dengan keistikamahan dalam melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala selepas Ramadan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ؛ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ؛ نُزُلًا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ ”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah.’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih! Dan berilah kabar gembira kepada mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fussilat: 29-31) Seorang tabiin bernama Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala, (ṡummastaqāmụ) “kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka.” Beliau menafsirkannya dengan, “Istikamah dan teguh pendirian di dalam menjalankan kewajiban kepada Allah Ta’ala.” Keberkahan dan keutamaan bulan Ramadan tidak diraih, kecuali dengan keistikamahan. Yaitu, apabila seorang muslim menjaga kewajiban salat lima waktunya, sedekahnya, bacaan Al-Qur’annya, serta pengekangan terhadap hawa nafsunya, baik di bulan Ramadan yang mulia ini ataupun di luar Ramadan. Dan ketahuilah, tidaklah keutamaan terbebas dari api neraka ini Allah berikan kepada seorang hamba yang hanya beribadah kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadan saja. Jangan sampai diri kita hanya menjadi hamba yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadan saja. Jadilah seorang hamba yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala di semua waktu yang kita miliki. Baik itu di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan selainnya. Baca juga: Untukmu Wahai Pencari Kebaikan, Inilah Saatnya di Bulan Ramadan Hakikat istikamah yang sebenarnya Mengenai makna keistikamahan yang sebenarnya, para ulama sejak zaman dahulu telah membicarakannya. Bahkan, khalifah yang pertama Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya mengenai makna istikamaah, beliau mengatakan, ألا تشرك بالله شيئا “Hendaknya engkau tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun.” Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitab Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam mengatakan, “(Istikamah) yaitu berjalan di atas jalan yang lurus, mencakup di dalamnya melakukan ketaatan, baik itu yang tampak maupun yang tidak, serta mencakup juga meninggalkan larangan-larangan Allah Ta’ala.” (Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hal. 193) Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathu Al-Bari juga mengatakan mengenai makna istikamah ini, الاستقامة كناية عن التّمسّك بأمر اللّه تعالى فعلا وتركا “Istikamah merupakan istilah lain dari berpegang teguh dengan perintah-perintah Allah, baik yang berupa perintah untuk melakukan ketaatan maupun larangan untuk melakukan sebuah perbuatan.” (Fathu Al-Bari, 13: 257) Dari sini, dapat kita ambil pelajaran bahwa keistikamahan yang akan mengantarkan seorang hamba untuk mendapatkan kemenangan di bulan Ramadan adalah keistikamahan yang membuat dirinya konsisten di dalam melakukan ketaatan kepada Allah di semua waktunya. Bahkan, ketika Ramadan itu telah pergi meninggalkannya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan salah satu hamba-Nya yang dapat mengambil pelajaran di bulan Ramadan ini, menjadikan bulan Ramadan ini sebagai momentum untuk bertobat dan menata kembali bangunan keistikamahan kita dalam beribadah kepada-Nya. Amin, ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Ramadan: Bulan Perbaikan Akhlak *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: istikamah
Daftar Isi Toggle Hubungan antara ampunan di bulan Ramadan dan keistikamahanHakikat istikamah yang sebenarnya Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah memberikan kekhususan kepada kita berupa bulan suci Ramadan sebagai ladang amal dan ketaatan. Bulan di mana pahala amal kebaikan di dalamnya dilipatgandakan dan derajat seorang muslim diangkat. Bulan di mana Allah Ta’ala menjanjikan ampunan dosa bagi siapa saja yang berpuasa karena keyakinan, keimanan, dan pengharapan pahala. Bulan di mana waktu yang ada di dalamnya lebih mulia dari waktu-waktu lainnya. Bulan Ramadan sarat akan faedah dan pelajaran yang bisa diambil oleh seorang muslim. Di antaranya adalah perannya di dalam meningkatkan kualitas konsistensi kita dalam melakukan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Membantu kita untuk memperbaiki kualitas keimanan dan keistikamahan kita. Dengan merutinkan ibadah serta ketaatan selama tiga puluh hari berturut-turut di dalamnya, tentu akan menguatkan jiwa, meneguhkan hati, serta memperkuat anggota tubuh yang kita miliki. Harapannya adalah sifat-sifat utama tersebut tetap ada dan bertahan, meskipun Ramadan telah pergi meninggalkan kita. Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Sebagian ulama menjelaskan bahwa lafaz “petunjuk bagi manusia” kembali kepada Ramadan, sehingga Ramadan adalah bulan yang akan memberikan petunjuk dan menguatkan seorang mukmin. Dengan adanya bulan Ramadan, maka akan menambah keimanan pada diri seorang mukmin dan menambah pula amalannya. Dengan adanya bulan Ramadan, bervariasi pula amal ibadah yang dilakukannya, baik itu amalan hati berupa ketakwaan dan kesabaran ataupun amalan tubuh berupa zikir, doa, bacaan Al-Qur’an, serta sedekah yang dilakukannya. Di dalam ayat tersebut, makna hidayah dan memberikan petunjuk memliki makna ganda. Hidayah berkat kemuliaan Al-Qur’an dan hidayah berkat kemuliaan bulan Ramadan. Hubungan antara ampunan di bulan Ramadan dan keistikamahan Di antara tujuan utama seorang muslim ketika datang bulan Ramadan adalah mendapatkan kebebasan dari api neraka. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إذا كانَت أوَّلُ ليلةٍ من رمَضانَ صُفِّدتِ الشَّياطينُ ومَردةُ الجِنِّ وغلِّقت أبَوابُ النَّارِ فلم يُفتَحْ منها بابٌ وفُتِحت أبوابُ الجنَّةِ فلم يُغلَقْ منها بابٌ ونادى منادٍ يا باغيَ الخيرِ أقبِلْ ويا باغيَ الشَّرِّ أقصِر وللَّهِ عتقاءُ منَ النَّارِ وذلِك في كلِّ ليلةٍ “Jika tiba malam pertama di bulan Ramadan, maka setan-setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak ada yang dibuka, dan pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup. Lalu, ada penyeru yang berseru, ‘Hai orang yang mencari kebaikan, teruskanlah. Hai orang yang mencari keburukan, berhentilah.’ Sesungguhnya Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam.” (HR. Tirmidzi no. 682 dan Ibnu Majah no. 1642) Keutamaan yang besar ini tidak bisa diraih oleh seorang muslim, kecuali apabila diiringi dengan keistikamahan dalam melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala selepas Ramadan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ؛ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ؛ نُزُلًا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ ”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah.’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih! Dan berilah kabar gembira kepada mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fussilat: 29-31) Seorang tabiin bernama Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala, (ṡummastaqāmụ) “kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka.” Beliau menafsirkannya dengan, “Istikamah dan teguh pendirian di dalam menjalankan kewajiban kepada Allah Ta’ala.” Keberkahan dan keutamaan bulan Ramadan tidak diraih, kecuali dengan keistikamahan. Yaitu, apabila seorang muslim menjaga kewajiban salat lima waktunya, sedekahnya, bacaan Al-Qur’annya, serta pengekangan terhadap hawa nafsunya, baik di bulan Ramadan yang mulia ini ataupun di luar Ramadan. Dan ketahuilah, tidaklah keutamaan terbebas dari api neraka ini Allah berikan kepada seorang hamba yang hanya beribadah kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadan saja. Jangan sampai diri kita hanya menjadi hamba yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadan saja. Jadilah seorang hamba yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala di semua waktu yang kita miliki. Baik itu di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan selainnya. Baca juga: Untukmu Wahai Pencari Kebaikan, Inilah Saatnya di Bulan Ramadan Hakikat istikamah yang sebenarnya Mengenai makna keistikamahan yang sebenarnya, para ulama sejak zaman dahulu telah membicarakannya. Bahkan, khalifah yang pertama Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya mengenai makna istikamaah, beliau mengatakan, ألا تشرك بالله شيئا “Hendaknya engkau tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun.” Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitab Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam mengatakan, “(Istikamah) yaitu berjalan di atas jalan yang lurus, mencakup di dalamnya melakukan ketaatan, baik itu yang tampak maupun yang tidak, serta mencakup juga meninggalkan larangan-larangan Allah Ta’ala.” (Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hal. 193) Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathu Al-Bari juga mengatakan mengenai makna istikamah ini, الاستقامة كناية عن التّمسّك بأمر اللّه تعالى فعلا وتركا “Istikamah merupakan istilah lain dari berpegang teguh dengan perintah-perintah Allah, baik yang berupa perintah untuk melakukan ketaatan maupun larangan untuk melakukan sebuah perbuatan.” (Fathu Al-Bari, 13: 257) Dari sini, dapat kita ambil pelajaran bahwa keistikamahan yang akan mengantarkan seorang hamba untuk mendapatkan kemenangan di bulan Ramadan adalah keistikamahan yang membuat dirinya konsisten di dalam melakukan ketaatan kepada Allah di semua waktunya. Bahkan, ketika Ramadan itu telah pergi meninggalkannya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan salah satu hamba-Nya yang dapat mengambil pelajaran di bulan Ramadan ini, menjadikan bulan Ramadan ini sebagai momentum untuk bertobat dan menata kembali bangunan keistikamahan kita dalam beribadah kepada-Nya. Amin, ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Ramadan: Bulan Perbaikan Akhlak *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: istikamah


Daftar Isi Toggle Hubungan antara ampunan di bulan Ramadan dan keistikamahanHakikat istikamah yang sebenarnya Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah memberikan kekhususan kepada kita berupa bulan suci Ramadan sebagai ladang amal dan ketaatan. Bulan di mana pahala amal kebaikan di dalamnya dilipatgandakan dan derajat seorang muslim diangkat. Bulan di mana Allah Ta’ala menjanjikan ampunan dosa bagi siapa saja yang berpuasa karena keyakinan, keimanan, dan pengharapan pahala. Bulan di mana waktu yang ada di dalamnya lebih mulia dari waktu-waktu lainnya. Bulan Ramadan sarat akan faedah dan pelajaran yang bisa diambil oleh seorang muslim. Di antaranya adalah perannya di dalam meningkatkan kualitas konsistensi kita dalam melakukan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Membantu kita untuk memperbaiki kualitas keimanan dan keistikamahan kita. Dengan merutinkan ibadah serta ketaatan selama tiga puluh hari berturut-turut di dalamnya, tentu akan menguatkan jiwa, meneguhkan hati, serta memperkuat anggota tubuh yang kita miliki. Harapannya adalah sifat-sifat utama tersebut tetap ada dan bertahan, meskipun Ramadan telah pergi meninggalkan kita. Allah Ta’ala berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185) Sebagian ulama menjelaskan bahwa lafaz “petunjuk bagi manusia” kembali kepada Ramadan, sehingga Ramadan adalah bulan yang akan memberikan petunjuk dan menguatkan seorang mukmin. Dengan adanya bulan Ramadan, maka akan menambah keimanan pada diri seorang mukmin dan menambah pula amalannya. Dengan adanya bulan Ramadan, bervariasi pula amal ibadah yang dilakukannya, baik itu amalan hati berupa ketakwaan dan kesabaran ataupun amalan tubuh berupa zikir, doa, bacaan Al-Qur’an, serta sedekah yang dilakukannya. Di dalam ayat tersebut, makna hidayah dan memberikan petunjuk memliki makna ganda. Hidayah berkat kemuliaan Al-Qur’an dan hidayah berkat kemuliaan bulan Ramadan. Hubungan antara ampunan di bulan Ramadan dan keistikamahan Di antara tujuan utama seorang muslim ketika datang bulan Ramadan adalah mendapatkan kebebasan dari api neraka. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إذا كانَت أوَّلُ ليلةٍ من رمَضانَ صُفِّدتِ الشَّياطينُ ومَردةُ الجِنِّ وغلِّقت أبَوابُ النَّارِ فلم يُفتَحْ منها بابٌ وفُتِحت أبوابُ الجنَّةِ فلم يُغلَقْ منها بابٌ ونادى منادٍ يا باغيَ الخيرِ أقبِلْ ويا باغيَ الشَّرِّ أقصِر وللَّهِ عتقاءُ منَ النَّارِ وذلِك في كلِّ ليلةٍ “Jika tiba malam pertama di bulan Ramadan, maka setan-setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak ada yang dibuka, dan pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup. Lalu, ada penyeru yang berseru, ‘Hai orang yang mencari kebaikan, teruskanlah. Hai orang yang mencari keburukan, berhentilah.’ Sesungguhnya Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam.” (HR. Tirmidzi no. 682 dan Ibnu Majah no. 1642) Keutamaan yang besar ini tidak bisa diraih oleh seorang muslim, kecuali apabila diiringi dengan keistikamahan dalam melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala selepas Ramadan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ؛ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ؛ نُزُلًا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ ”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah.’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih! Dan berilah kabar gembira kepada mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fussilat: 29-31) Seorang tabiin bernama Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala, (ṡummastaqāmụ) “kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka.” Beliau menafsirkannya dengan, “Istikamah dan teguh pendirian di dalam menjalankan kewajiban kepada Allah Ta’ala.” Keberkahan dan keutamaan bulan Ramadan tidak diraih, kecuali dengan keistikamahan. Yaitu, apabila seorang muslim menjaga kewajiban salat lima waktunya, sedekahnya, bacaan Al-Qur’annya, serta pengekangan terhadap hawa nafsunya, baik di bulan Ramadan yang mulia ini ataupun di luar Ramadan. Dan ketahuilah, tidaklah keutamaan terbebas dari api neraka ini Allah berikan kepada seorang hamba yang hanya beribadah kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadan saja. Jangan sampai diri kita hanya menjadi hamba yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadan saja. Jadilah seorang hamba yang taat dan patuh kepada Allah Ta’ala di semua waktu yang kita miliki. Baik itu di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan selainnya. Baca juga: Untukmu Wahai Pencari Kebaikan, Inilah Saatnya di Bulan Ramadan Hakikat istikamah yang sebenarnya Mengenai makna keistikamahan yang sebenarnya, para ulama sejak zaman dahulu telah membicarakannya. Bahkan, khalifah yang pertama Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya mengenai makna istikamaah, beliau mengatakan, ألا تشرك بالله شيئا “Hendaknya engkau tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun.” Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitab Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam mengatakan, “(Istikamah) yaitu berjalan di atas jalan yang lurus, mencakup di dalamnya melakukan ketaatan, baik itu yang tampak maupun yang tidak, serta mencakup juga meninggalkan larangan-larangan Allah Ta’ala.” (Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hal. 193) Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathu Al-Bari juga mengatakan mengenai makna istikamah ini, الاستقامة كناية عن التّمسّك بأمر اللّه تعالى فعلا وتركا “Istikamah merupakan istilah lain dari berpegang teguh dengan perintah-perintah Allah, baik yang berupa perintah untuk melakukan ketaatan maupun larangan untuk melakukan sebuah perbuatan.” (Fathu Al-Bari, 13: 257) Dari sini, dapat kita ambil pelajaran bahwa keistikamahan yang akan mengantarkan seorang hamba untuk mendapatkan kemenangan di bulan Ramadan adalah keistikamahan yang membuat dirinya konsisten di dalam melakukan ketaatan kepada Allah di semua waktunya. Bahkan, ketika Ramadan itu telah pergi meninggalkannya. Semoga Allah Ta’ala menjadikan salah satu hamba-Nya yang dapat mengambil pelajaran di bulan Ramadan ini, menjadikan bulan Ramadan ini sebagai momentum untuk bertobat dan menata kembali bangunan keistikamahan kita dalam beribadah kepada-Nya. Amin, ya Rabbal ‘alamin. Baca juga: Ramadan: Bulan Perbaikan Akhlak *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: istikamah

Khutbah Jumat: Lima Peristiwa Penting di Bulan Syawal

Ada lima peristiwa penting yang bisa kita gali pelajaran dan peristiwa-peristiwa ini terjadi di bulan Syawal. Perhatikan Khutbah Jumat berikut ini. Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Lima Peristiwa Penting di Bulan Syawal” 2. Khutbah Pertama 3. Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah pada bulan Syawal 4. Kedua: Perang Uhud Terjadi di Bulan Syawal 5. Ketiga: Perang Khandaq (Perang Ahzab) Terjadi pada Bulan Syawal 6. Keempat: Perang Hunain terjadi di Bulan Syawal 7. Kelima: Anjuran Secara Lisan untuk Berpuasa Syawal 8. Khutbah Kedua 9. Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: 5 Peristiwa Penting di Bulan Syawal Video Khutbah Jumat “Lima Peristiwa Penting di Bulan Syawal”    Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di bulan Syawal ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Syawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Hijriyah yang terletak di antara bulan Ramadhan dan Dzulqa’dah. Bulan Syawal juga menjadi salah satu bulan yang penuh keutamaan dalam Islam. Ibnul ‘Allan Asy-Syafii mengatakan bahwa pemberian nama Syawal berasal dari kata Syaalat al-ibil yang berarti unta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Pada bulan ini para penduduk Arab akan menggantungkan alat-alat perang mereka karena telah memasuki bulan haram untuk berperang. Ada lima peristiwa penting yang bisa jadi pelajaran bagi kita semuanya di bulan Syawal ini.   Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah pada bulan Syawal Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟، قَالَ: ((وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ)) “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada bulan Syawal. Ia membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal pula. Istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah radhiyallahu ‘anha dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (HR. Muslim, no. 1423). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama Syafiiyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini. Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan tidak bolehnya menikahkan dan menikah, serta membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Ini adalah pernyataan yang batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyah yang dinilai sebagai tathayyur (beranggapan sial) karena menurut mereka Syawal sendiri berasal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u (menghilangkan/ mengangkat).” (Syarh Shahih Muslim, 9:209)   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kedua: Perang Uhud Terjadi di Bulan Syawal Perang Uhud yang pecah pada 15 Syawal, yakni tiga tahun setelah hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebanyak tujuh ratus pasukan Muslim berhadapan dengan tiga ribu pasukan musyrik. Awalnya, umat Islam mendominasi jalannya pertempuran. Orang-orang musyrik terdesak sehingga meninggalkan harta benda yang mereka bawa. Di sinilah sekelompok pasukan Muslim yang bertugas sebagai pemanah di puncak-puncak bukit lengah. Khalid bin Walid yang saat itu masih kafir melihat celah itu lalu kemudian menyerang sisi pemanah sehingga pasukan Islam kocar kacir. Kekalahan ini menyebabkan Rasulullah terluka parah. Kejadian ini terekam dalam QS. Ali Imran ayat 121. Perang Uhud adalah salah satu perang yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an sebagai salah ujian ketaatan kepada sunah dan ajaran Nabi Muhammad. Tentang peristiwa Uhud ini, Allah menurunkan 60 ayat dalam surah Ali Imran, diawali dengan firman-Nya, وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ ٱلْمُؤْمِنِينَ مَقَٰعِدَ لِلْقِتَالِ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Arab-Latin: Wa iż gadauta min ahlika tubawwi`ul-mu`minīna maqā’ida lil-qitāl, wallāhu samī’un ‘alīm “Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 121) Sedikitnya ada 70 sahabat yang menjadi syuhada dan kebanyakan mereka adalah dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur mereka pada lokasi mereka terbunuh. Salah satu dari syuhada pada perang Uhud adalah Hamzah bin ‘Abdil Muththalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pelajaran penting dari kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud disebutkan dalam ayat berikut, أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165). Yaitu, kekalahan itu disebabkan pelanggaran kalian terhadap perintah rasul kalian dan ketertarikan kalian untuk mengumpulkan harta rampasan.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Ketiga: Perang Khandaq (Perang Ahzab) Terjadi pada Bulan Syawal Disebut perang Khandaq karena saat itu Salman Al-Farisi mencetuskan sebuah strategi pembuatan parit yang dalam dan lebar untuk menghalau musuh. Disebut perang Ahzab karena ada beberapa suku yang bersekutu melawan kaum muslimin.  Perhatikan bahwa pasukan sekutu yang begitu menyeramkan yang sebelumnya disangka bahwa bangsa Arab tidak mungkin bersatu seperti itu. Yang bersekutu dalam perang Ahzab adalah: Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan, lalu ada berbagai kabilah Arab yang mengikutinya, Bani Sulaim di bawah pimpinan Sufyan bin ‘Abdi Syams, Ghathafan di bawah pimpinan ‘Uyainah bin Hishn, Bani Murrah di bawah pimpinan Harits bin ‘Auf, Asyja‘ di bawah pimpinan Mas’ar bin Rukhailih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui ide membangun parit untuk menghalau pasukan musuh untuk masuk kota Madinah. Bahkan, Rasulullah dengan tangannya sendiri ikut bersama-sama membangun parit pertahanan itu. Total pasukan Muslim mencapai tiga ribu orang, sedangkan pasukan sekutu kaum musyrik sebanyak sepuluh ribu orang. Dalam perang ini, kubu musyrik mengalami kekalahan karena diterjang angin puyuh setelah menunggu lama di luar parit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebinasaan untuk pasukan gabungan seraya berdoa, اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ سَرِيعَ الْحِسَابِ اللَّهُمَّ اهْزِمْ الْأَحْزَابَ اللَّهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ “Ya Allah, yang menurunkan kitab, yang cepat dalam menghisab, hancurkanlah pasukan gabungan Ahzab! Ya Allah hancurkanlah dan luluh-lantakkanlah mereka!” (HR. Bukhari, no. 4115, Fath Al-Bari, 7:406) Allah memberi pertolongan kepada kaum muslimin di mana disebutkan dalam ayat, وَٱللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰٓ أَمْرِهِۦ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21) Sejak perang Khandaq (Ahzab), kaum muslimin tidak lagi bertahan (defense), tetapi mereka yang akan memulai penyerbuan (attacking).   Keempat: Perang Hunain terjadi di Bulan Syawal Perang Hunain terjadi pada tahun kedelapan Hijriyah bulan Syawal. Saat itu, kaum Muslim menghadapi suku Hawazin dan suku Tsaqif, dua suku yang tinggal sebelah timur laut Makkah yang khawatir akan diserang pihak Muslim juga setelah Fathul Makkah. Dua pekan lamanya Perang Hunain berlangsung setelah Rasulullah berhasil memimpin kaum Muslim dalam menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Dengan demikian, pasukan Muslim di medan Hunain cukup diuntungkan dengan kondisi mental yang penuh kegemilangan. Dari total 12 ribu pasukan Muslim, sebanyak dua ribu di antaranya berasal dari dukungan Quraisy Makkah. Hasilnya, Perang Hunain dimenangkan kaum Muslimin.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kelima: Anjuran Secara Lisan untuk Berpuasa Syawal Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ “Siapa yang melakukan puasa Ramadhan lantas ia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu seperti berpuasa setahun.” (HR. Muslim, no. 1164) Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuuri rahimahullah memberikan alasan kenapa sampai puasa enam hari Syawal mendapatkan pahala puasa setahun, “Karena puasa satu bulan Ramadhan sama dengan berpuasa selama sepuluh bulan. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal, itu sama dengan puasa selama dua bulan. Sehingga totalnya adalah berpuasa selama setahun seperti puasa fardhu. Jika tidak, maka tidak ada kekhususan untuk hal itu. Karena ingat satu kebaikan diberi ganjaran dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Yang afdal adalah berpuasa mulai dari 2 Syawal dan berurutan (muttashilah, mutatabi’ah), walaupun tidak dimulai dari 2 Syawal dan tidak berurutan tetap meraih keutamaan.” (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:457-458). Baca juga: Cara Puasa Syawal Menurut Ulama Syafiiyah Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan. Semoga Allah mudahkan kita berjumpa lagi dengan bulan penuh keberkahan, bulan Ramadhan tahun berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua   اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: 5 Peristiwa Penting di Bulan Syawal   Download   —   Ditulis pada Jumat, 3 Syawal 1445 H, 12 April 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara puasa syawal fikih bulan syawal puasa syawal syawal

Khutbah Jumat: Lima Peristiwa Penting di Bulan Syawal

Ada lima peristiwa penting yang bisa kita gali pelajaran dan peristiwa-peristiwa ini terjadi di bulan Syawal. Perhatikan Khutbah Jumat berikut ini. Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Lima Peristiwa Penting di Bulan Syawal” 2. Khutbah Pertama 3. Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah pada bulan Syawal 4. Kedua: Perang Uhud Terjadi di Bulan Syawal 5. Ketiga: Perang Khandaq (Perang Ahzab) Terjadi pada Bulan Syawal 6. Keempat: Perang Hunain terjadi di Bulan Syawal 7. Kelima: Anjuran Secara Lisan untuk Berpuasa Syawal 8. Khutbah Kedua 9. Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: 5 Peristiwa Penting di Bulan Syawal Video Khutbah Jumat “Lima Peristiwa Penting di Bulan Syawal”    Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di bulan Syawal ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Syawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Hijriyah yang terletak di antara bulan Ramadhan dan Dzulqa’dah. Bulan Syawal juga menjadi salah satu bulan yang penuh keutamaan dalam Islam. Ibnul ‘Allan Asy-Syafii mengatakan bahwa pemberian nama Syawal berasal dari kata Syaalat al-ibil yang berarti unta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Pada bulan ini para penduduk Arab akan menggantungkan alat-alat perang mereka karena telah memasuki bulan haram untuk berperang. Ada lima peristiwa penting yang bisa jadi pelajaran bagi kita semuanya di bulan Syawal ini.   Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah pada bulan Syawal Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟، قَالَ: ((وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ)) “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada bulan Syawal. Ia membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal pula. Istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah radhiyallahu ‘anha dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (HR. Muslim, no. 1423). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama Syafiiyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini. Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan tidak bolehnya menikahkan dan menikah, serta membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Ini adalah pernyataan yang batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyah yang dinilai sebagai tathayyur (beranggapan sial) karena menurut mereka Syawal sendiri berasal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u (menghilangkan/ mengangkat).” (Syarh Shahih Muslim, 9:209)   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kedua: Perang Uhud Terjadi di Bulan Syawal Perang Uhud yang pecah pada 15 Syawal, yakni tiga tahun setelah hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebanyak tujuh ratus pasukan Muslim berhadapan dengan tiga ribu pasukan musyrik. Awalnya, umat Islam mendominasi jalannya pertempuran. Orang-orang musyrik terdesak sehingga meninggalkan harta benda yang mereka bawa. Di sinilah sekelompok pasukan Muslim yang bertugas sebagai pemanah di puncak-puncak bukit lengah. Khalid bin Walid yang saat itu masih kafir melihat celah itu lalu kemudian menyerang sisi pemanah sehingga pasukan Islam kocar kacir. Kekalahan ini menyebabkan Rasulullah terluka parah. Kejadian ini terekam dalam QS. Ali Imran ayat 121. Perang Uhud adalah salah satu perang yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an sebagai salah ujian ketaatan kepada sunah dan ajaran Nabi Muhammad. Tentang peristiwa Uhud ini, Allah menurunkan 60 ayat dalam surah Ali Imran, diawali dengan firman-Nya, وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ ٱلْمُؤْمِنِينَ مَقَٰعِدَ لِلْقِتَالِ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Arab-Latin: Wa iż gadauta min ahlika tubawwi`ul-mu`minīna maqā’ida lil-qitāl, wallāhu samī’un ‘alīm “Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 121) Sedikitnya ada 70 sahabat yang menjadi syuhada dan kebanyakan mereka adalah dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur mereka pada lokasi mereka terbunuh. Salah satu dari syuhada pada perang Uhud adalah Hamzah bin ‘Abdil Muththalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pelajaran penting dari kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud disebutkan dalam ayat berikut, أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165). Yaitu, kekalahan itu disebabkan pelanggaran kalian terhadap perintah rasul kalian dan ketertarikan kalian untuk mengumpulkan harta rampasan.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Ketiga: Perang Khandaq (Perang Ahzab) Terjadi pada Bulan Syawal Disebut perang Khandaq karena saat itu Salman Al-Farisi mencetuskan sebuah strategi pembuatan parit yang dalam dan lebar untuk menghalau musuh. Disebut perang Ahzab karena ada beberapa suku yang bersekutu melawan kaum muslimin.  Perhatikan bahwa pasukan sekutu yang begitu menyeramkan yang sebelumnya disangka bahwa bangsa Arab tidak mungkin bersatu seperti itu. Yang bersekutu dalam perang Ahzab adalah: Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan, lalu ada berbagai kabilah Arab yang mengikutinya, Bani Sulaim di bawah pimpinan Sufyan bin ‘Abdi Syams, Ghathafan di bawah pimpinan ‘Uyainah bin Hishn, Bani Murrah di bawah pimpinan Harits bin ‘Auf, Asyja‘ di bawah pimpinan Mas’ar bin Rukhailih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui ide membangun parit untuk menghalau pasukan musuh untuk masuk kota Madinah. Bahkan, Rasulullah dengan tangannya sendiri ikut bersama-sama membangun parit pertahanan itu. Total pasukan Muslim mencapai tiga ribu orang, sedangkan pasukan sekutu kaum musyrik sebanyak sepuluh ribu orang. Dalam perang ini, kubu musyrik mengalami kekalahan karena diterjang angin puyuh setelah menunggu lama di luar parit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebinasaan untuk pasukan gabungan seraya berdoa, اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ سَرِيعَ الْحِسَابِ اللَّهُمَّ اهْزِمْ الْأَحْزَابَ اللَّهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ “Ya Allah, yang menurunkan kitab, yang cepat dalam menghisab, hancurkanlah pasukan gabungan Ahzab! Ya Allah hancurkanlah dan luluh-lantakkanlah mereka!” (HR. Bukhari, no. 4115, Fath Al-Bari, 7:406) Allah memberi pertolongan kepada kaum muslimin di mana disebutkan dalam ayat, وَٱللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰٓ أَمْرِهِۦ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21) Sejak perang Khandaq (Ahzab), kaum muslimin tidak lagi bertahan (defense), tetapi mereka yang akan memulai penyerbuan (attacking).   Keempat: Perang Hunain terjadi di Bulan Syawal Perang Hunain terjadi pada tahun kedelapan Hijriyah bulan Syawal. Saat itu, kaum Muslim menghadapi suku Hawazin dan suku Tsaqif, dua suku yang tinggal sebelah timur laut Makkah yang khawatir akan diserang pihak Muslim juga setelah Fathul Makkah. Dua pekan lamanya Perang Hunain berlangsung setelah Rasulullah berhasil memimpin kaum Muslim dalam menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Dengan demikian, pasukan Muslim di medan Hunain cukup diuntungkan dengan kondisi mental yang penuh kegemilangan. Dari total 12 ribu pasukan Muslim, sebanyak dua ribu di antaranya berasal dari dukungan Quraisy Makkah. Hasilnya, Perang Hunain dimenangkan kaum Muslimin.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kelima: Anjuran Secara Lisan untuk Berpuasa Syawal Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ “Siapa yang melakukan puasa Ramadhan lantas ia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu seperti berpuasa setahun.” (HR. Muslim, no. 1164) Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuuri rahimahullah memberikan alasan kenapa sampai puasa enam hari Syawal mendapatkan pahala puasa setahun, “Karena puasa satu bulan Ramadhan sama dengan berpuasa selama sepuluh bulan. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal, itu sama dengan puasa selama dua bulan. Sehingga totalnya adalah berpuasa selama setahun seperti puasa fardhu. Jika tidak, maka tidak ada kekhususan untuk hal itu. Karena ingat satu kebaikan diberi ganjaran dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Yang afdal adalah berpuasa mulai dari 2 Syawal dan berurutan (muttashilah, mutatabi’ah), walaupun tidak dimulai dari 2 Syawal dan tidak berurutan tetap meraih keutamaan.” (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:457-458). Baca juga: Cara Puasa Syawal Menurut Ulama Syafiiyah Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan. Semoga Allah mudahkan kita berjumpa lagi dengan bulan penuh keberkahan, bulan Ramadhan tahun berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua   اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: 5 Peristiwa Penting di Bulan Syawal   Download   —   Ditulis pada Jumat, 3 Syawal 1445 H, 12 April 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara puasa syawal fikih bulan syawal puasa syawal syawal
Ada lima peristiwa penting yang bisa kita gali pelajaran dan peristiwa-peristiwa ini terjadi di bulan Syawal. Perhatikan Khutbah Jumat berikut ini. Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Lima Peristiwa Penting di Bulan Syawal” 2. Khutbah Pertama 3. Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah pada bulan Syawal 4. Kedua: Perang Uhud Terjadi di Bulan Syawal 5. Ketiga: Perang Khandaq (Perang Ahzab) Terjadi pada Bulan Syawal 6. Keempat: Perang Hunain terjadi di Bulan Syawal 7. Kelima: Anjuran Secara Lisan untuk Berpuasa Syawal 8. Khutbah Kedua 9. Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: 5 Peristiwa Penting di Bulan Syawal Video Khutbah Jumat “Lima Peristiwa Penting di Bulan Syawal”    Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di bulan Syawal ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Syawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Hijriyah yang terletak di antara bulan Ramadhan dan Dzulqa’dah. Bulan Syawal juga menjadi salah satu bulan yang penuh keutamaan dalam Islam. Ibnul ‘Allan Asy-Syafii mengatakan bahwa pemberian nama Syawal berasal dari kata Syaalat al-ibil yang berarti unta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Pada bulan ini para penduduk Arab akan menggantungkan alat-alat perang mereka karena telah memasuki bulan haram untuk berperang. Ada lima peristiwa penting yang bisa jadi pelajaran bagi kita semuanya di bulan Syawal ini.   Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah pada bulan Syawal Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟، قَالَ: ((وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ)) “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada bulan Syawal. Ia membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal pula. Istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah radhiyallahu ‘anha dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (HR. Muslim, no. 1423). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama Syafiiyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini. Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan tidak bolehnya menikahkan dan menikah, serta membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Ini adalah pernyataan yang batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyah yang dinilai sebagai tathayyur (beranggapan sial) karena menurut mereka Syawal sendiri berasal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u (menghilangkan/ mengangkat).” (Syarh Shahih Muslim, 9:209)   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kedua: Perang Uhud Terjadi di Bulan Syawal Perang Uhud yang pecah pada 15 Syawal, yakni tiga tahun setelah hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebanyak tujuh ratus pasukan Muslim berhadapan dengan tiga ribu pasukan musyrik. Awalnya, umat Islam mendominasi jalannya pertempuran. Orang-orang musyrik terdesak sehingga meninggalkan harta benda yang mereka bawa. Di sinilah sekelompok pasukan Muslim yang bertugas sebagai pemanah di puncak-puncak bukit lengah. Khalid bin Walid yang saat itu masih kafir melihat celah itu lalu kemudian menyerang sisi pemanah sehingga pasukan Islam kocar kacir. Kekalahan ini menyebabkan Rasulullah terluka parah. Kejadian ini terekam dalam QS. Ali Imran ayat 121. Perang Uhud adalah salah satu perang yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an sebagai salah ujian ketaatan kepada sunah dan ajaran Nabi Muhammad. Tentang peristiwa Uhud ini, Allah menurunkan 60 ayat dalam surah Ali Imran, diawali dengan firman-Nya, وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ ٱلْمُؤْمِنِينَ مَقَٰعِدَ لِلْقِتَالِ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Arab-Latin: Wa iż gadauta min ahlika tubawwi`ul-mu`minīna maqā’ida lil-qitāl, wallāhu samī’un ‘alīm “Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 121) Sedikitnya ada 70 sahabat yang menjadi syuhada dan kebanyakan mereka adalah dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur mereka pada lokasi mereka terbunuh. Salah satu dari syuhada pada perang Uhud adalah Hamzah bin ‘Abdil Muththalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pelajaran penting dari kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud disebutkan dalam ayat berikut, أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165). Yaitu, kekalahan itu disebabkan pelanggaran kalian terhadap perintah rasul kalian dan ketertarikan kalian untuk mengumpulkan harta rampasan.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Ketiga: Perang Khandaq (Perang Ahzab) Terjadi pada Bulan Syawal Disebut perang Khandaq karena saat itu Salman Al-Farisi mencetuskan sebuah strategi pembuatan parit yang dalam dan lebar untuk menghalau musuh. Disebut perang Ahzab karena ada beberapa suku yang bersekutu melawan kaum muslimin.  Perhatikan bahwa pasukan sekutu yang begitu menyeramkan yang sebelumnya disangka bahwa bangsa Arab tidak mungkin bersatu seperti itu. Yang bersekutu dalam perang Ahzab adalah: Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan, lalu ada berbagai kabilah Arab yang mengikutinya, Bani Sulaim di bawah pimpinan Sufyan bin ‘Abdi Syams, Ghathafan di bawah pimpinan ‘Uyainah bin Hishn, Bani Murrah di bawah pimpinan Harits bin ‘Auf, Asyja‘ di bawah pimpinan Mas’ar bin Rukhailih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui ide membangun parit untuk menghalau pasukan musuh untuk masuk kota Madinah. Bahkan, Rasulullah dengan tangannya sendiri ikut bersama-sama membangun parit pertahanan itu. Total pasukan Muslim mencapai tiga ribu orang, sedangkan pasukan sekutu kaum musyrik sebanyak sepuluh ribu orang. Dalam perang ini, kubu musyrik mengalami kekalahan karena diterjang angin puyuh setelah menunggu lama di luar parit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebinasaan untuk pasukan gabungan seraya berdoa, اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ سَرِيعَ الْحِسَابِ اللَّهُمَّ اهْزِمْ الْأَحْزَابَ اللَّهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ “Ya Allah, yang menurunkan kitab, yang cepat dalam menghisab, hancurkanlah pasukan gabungan Ahzab! Ya Allah hancurkanlah dan luluh-lantakkanlah mereka!” (HR. Bukhari, no. 4115, Fath Al-Bari, 7:406) Allah memberi pertolongan kepada kaum muslimin di mana disebutkan dalam ayat, وَٱللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰٓ أَمْرِهِۦ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21) Sejak perang Khandaq (Ahzab), kaum muslimin tidak lagi bertahan (defense), tetapi mereka yang akan memulai penyerbuan (attacking).   Keempat: Perang Hunain terjadi di Bulan Syawal Perang Hunain terjadi pada tahun kedelapan Hijriyah bulan Syawal. Saat itu, kaum Muslim menghadapi suku Hawazin dan suku Tsaqif, dua suku yang tinggal sebelah timur laut Makkah yang khawatir akan diserang pihak Muslim juga setelah Fathul Makkah. Dua pekan lamanya Perang Hunain berlangsung setelah Rasulullah berhasil memimpin kaum Muslim dalam menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Dengan demikian, pasukan Muslim di medan Hunain cukup diuntungkan dengan kondisi mental yang penuh kegemilangan. Dari total 12 ribu pasukan Muslim, sebanyak dua ribu di antaranya berasal dari dukungan Quraisy Makkah. Hasilnya, Perang Hunain dimenangkan kaum Muslimin.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kelima: Anjuran Secara Lisan untuk Berpuasa Syawal Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ “Siapa yang melakukan puasa Ramadhan lantas ia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu seperti berpuasa setahun.” (HR. Muslim, no. 1164) Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuuri rahimahullah memberikan alasan kenapa sampai puasa enam hari Syawal mendapatkan pahala puasa setahun, “Karena puasa satu bulan Ramadhan sama dengan berpuasa selama sepuluh bulan. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal, itu sama dengan puasa selama dua bulan. Sehingga totalnya adalah berpuasa selama setahun seperti puasa fardhu. Jika tidak, maka tidak ada kekhususan untuk hal itu. Karena ingat satu kebaikan diberi ganjaran dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Yang afdal adalah berpuasa mulai dari 2 Syawal dan berurutan (muttashilah, mutatabi’ah), walaupun tidak dimulai dari 2 Syawal dan tidak berurutan tetap meraih keutamaan.” (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:457-458). Baca juga: Cara Puasa Syawal Menurut Ulama Syafiiyah Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan. Semoga Allah mudahkan kita berjumpa lagi dengan bulan penuh keberkahan, bulan Ramadhan tahun berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua   اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: 5 Peristiwa Penting di Bulan Syawal   Download   —   Ditulis pada Jumat, 3 Syawal 1445 H, 12 April 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara puasa syawal fikih bulan syawal puasa syawal syawal


Ada lima peristiwa penting yang bisa kita gali pelajaran dan peristiwa-peristiwa ini terjadi di bulan Syawal. Perhatikan Khutbah Jumat berikut ini. Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Lima Peristiwa Penting di Bulan Syawal” 2. Khutbah Pertama 3. Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah pada bulan Syawal 4. Kedua: Perang Uhud Terjadi di Bulan Syawal 5. Ketiga: Perang Khandaq (Perang Ahzab) Terjadi pada Bulan Syawal 6. Keempat: Perang Hunain terjadi di Bulan Syawal 7. Kelima: Anjuran Secara Lisan untuk Berpuasa Syawal 8. Khutbah Kedua 9. Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: 5 Peristiwa Penting di Bulan Syawal Video Khutbah Jumat “Lima Peristiwa Penting di Bulan Syawal” <span style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" data-mce-type="bookmark" class="mce_SELRES_start"></span>   Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di bulan Syawal ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Syawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Hijriyah yang terletak di antara bulan Ramadhan dan Dzulqa’dah. Bulan Syawal juga menjadi salah satu bulan yang penuh keutamaan dalam Islam. Ibnul ‘Allan Asy-Syafii mengatakan bahwa pemberian nama Syawal berasal dari kata Syaalat al-ibil yang berarti unta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Pada bulan ini para penduduk Arab akan menggantungkan alat-alat perang mereka karena telah memasuki bulan haram untuk berperang. Ada lima peristiwa penting yang bisa jadi pelajaran bagi kita semuanya di bulan Syawal ini.   Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah pada bulan Syawal Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟، قَالَ: ((وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ)) “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada bulan Syawal. Ia membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal pula. Istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah radhiyallahu ‘anha dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (HR. Muslim, no. 1423). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama Syafiiyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini. Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan tidak bolehnya menikahkan dan menikah, serta membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Ini adalah pernyataan yang batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyah yang dinilai sebagai tathayyur (beranggapan sial) karena menurut mereka Syawal sendiri berasal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u (menghilangkan/ mengangkat).” (Syarh Shahih Muslim, 9:209)   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kedua: Perang Uhud Terjadi di Bulan Syawal Perang Uhud yang pecah pada 15 Syawal, yakni tiga tahun setelah hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebanyak tujuh ratus pasukan Muslim berhadapan dengan tiga ribu pasukan musyrik. Awalnya, umat Islam mendominasi jalannya pertempuran. Orang-orang musyrik terdesak sehingga meninggalkan harta benda yang mereka bawa. Di sinilah sekelompok pasukan Muslim yang bertugas sebagai pemanah di puncak-puncak bukit lengah. Khalid bin Walid yang saat itu masih kafir melihat celah itu lalu kemudian menyerang sisi pemanah sehingga pasukan Islam kocar kacir. Kekalahan ini menyebabkan Rasulullah terluka parah. Kejadian ini terekam dalam QS. Ali Imran ayat 121. Perang Uhud adalah salah satu perang yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an sebagai salah ujian ketaatan kepada sunah dan ajaran Nabi Muhammad. Tentang peristiwa Uhud ini, Allah menurunkan 60 ayat dalam surah Ali Imran, diawali dengan firman-Nya, وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ ٱلْمُؤْمِنِينَ مَقَٰعِدَ لِلْقِتَالِ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Arab-Latin: Wa iż gadauta min ahlika tubawwi`ul-mu`minīna maqā’ida lil-qitāl, wallāhu samī’un ‘alīm “Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 121) Sedikitnya ada 70 sahabat yang menjadi syuhada dan kebanyakan mereka adalah dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur mereka pada lokasi mereka terbunuh. Salah satu dari syuhada pada perang Uhud adalah Hamzah bin ‘Abdil Muththalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pelajaran penting dari kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud disebutkan dalam ayat berikut, أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165). Yaitu, kekalahan itu disebabkan pelanggaran kalian terhadap perintah rasul kalian dan ketertarikan kalian untuk mengumpulkan harta rampasan.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Ketiga: Perang Khandaq (Perang Ahzab) Terjadi pada Bulan Syawal Disebut perang Khandaq karena saat itu Salman Al-Farisi mencetuskan sebuah strategi pembuatan parit yang dalam dan lebar untuk menghalau musuh. Disebut perang Ahzab karena ada beberapa suku yang bersekutu melawan kaum muslimin.  Perhatikan bahwa pasukan sekutu yang begitu menyeramkan yang sebelumnya disangka bahwa bangsa Arab tidak mungkin bersatu seperti itu. Yang bersekutu dalam perang Ahzab adalah: Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan, lalu ada berbagai kabilah Arab yang mengikutinya, Bani Sulaim di bawah pimpinan Sufyan bin ‘Abdi Syams, Ghathafan di bawah pimpinan ‘Uyainah bin Hishn, Bani Murrah di bawah pimpinan Harits bin ‘Auf, Asyja‘ di bawah pimpinan Mas’ar bin Rukhailih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui ide membangun parit untuk menghalau pasukan musuh untuk masuk kota Madinah. Bahkan, Rasulullah dengan tangannya sendiri ikut bersama-sama membangun parit pertahanan itu. Total pasukan Muslim mencapai tiga ribu orang, sedangkan pasukan sekutu kaum musyrik sebanyak sepuluh ribu orang. Dalam perang ini, kubu musyrik mengalami kekalahan karena diterjang angin puyuh setelah menunggu lama di luar parit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebinasaan untuk pasukan gabungan seraya berdoa, اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ سَرِيعَ الْحِسَابِ اللَّهُمَّ اهْزِمْ الْأَحْزَابَ اللَّهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ “Ya Allah, yang menurunkan kitab, yang cepat dalam menghisab, hancurkanlah pasukan gabungan Ahzab! Ya Allah hancurkanlah dan luluh-lantakkanlah mereka!” (HR. Bukhari, no. 4115, Fath Al-Bari, 7:406) Allah memberi pertolongan kepada kaum muslimin di mana disebutkan dalam ayat, وَٱللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰٓ أَمْرِهِۦ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21) Sejak perang Khandaq (Ahzab), kaum muslimin tidak lagi bertahan (defense), tetapi mereka yang akan memulai penyerbuan (attacking).   Keempat: Perang Hunain terjadi di Bulan Syawal Perang Hunain terjadi pada tahun kedelapan Hijriyah bulan Syawal. Saat itu, kaum Muslim menghadapi suku Hawazin dan suku Tsaqif, dua suku yang tinggal sebelah timur laut Makkah yang khawatir akan diserang pihak Muslim juga setelah Fathul Makkah. Dua pekan lamanya Perang Hunain berlangsung setelah Rasulullah berhasil memimpin kaum Muslim dalam menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Dengan demikian, pasukan Muslim di medan Hunain cukup diuntungkan dengan kondisi mental yang penuh kegemilangan. Dari total 12 ribu pasukan Muslim, sebanyak dua ribu di antaranya berasal dari dukungan Quraisy Makkah. Hasilnya, Perang Hunain dimenangkan kaum Muslimin.   Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Kelima: Anjuran Secara Lisan untuk Berpuasa Syawal Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ “Siapa yang melakukan puasa Ramadhan lantas ia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu seperti berpuasa setahun.” (HR. Muslim, no. 1164) Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuuri rahimahullah memberikan alasan kenapa sampai puasa enam hari Syawal mendapatkan pahala puasa setahun, “Karena puasa satu bulan Ramadhan sama dengan berpuasa selama sepuluh bulan. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal, itu sama dengan puasa selama dua bulan. Sehingga totalnya adalah berpuasa selama setahun seperti puasa fardhu. Jika tidak, maka tidak ada kekhususan untuk hal itu. Karena ingat satu kebaikan diberi ganjaran dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Yang afdal adalah berpuasa mulai dari 2 Syawal dan berurutan (muttashilah, mutatabi’ah), walaupun tidak dimulai dari 2 Syawal dan tidak berurutan tetap meraih keutamaan.” (Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:457-458). Baca juga: Cara Puasa Syawal Menurut Ulama Syafiiyah Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan. Semoga Allah mudahkan kita berjumpa lagi dengan bulan penuh keberkahan, bulan Ramadhan tahun berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua   اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: 5 Peristiwa Penting di Bulan Syawal   Download   —   Ditulis pada Jumat, 3 Syawal 1445 H, 12 April 2024 di Pondok Pesantren Darush Sholihin @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara puasa syawal fikih bulan syawal puasa syawal syawal

Membaca Takbir “Allahu Akbar” dengan Lisan dan Hati – Syaikh Shalih Sindi #NasehatUlama

Ketahuilah! Jika takbir dengan lisan adalah perkara yang baik dan hukumnya sunah,maka takbir dengan hati adalah perkara yang lebih agung dan wajib. Takbir dengan lisan di luar salat adalah sunah, tapi takbir dengan hati adalah takbir yang wajib. Takbir dengan lisan dituntut di waktu-waktu tertentu saja, sementara takbir dengan hati adalah kewajiban di setiap waktu. Pengulangan ini: ALLAAHU AKBAR Allah Maha Besar, ALLAAHU AKBAR, ALLAAHU AKBAR Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, menuntut Anda untuk mengendapkan maknanya dalam hati Anda, sehingga menjadi keyakinan yang kokoh, yang berpengaruh terhadap hati, dan kemudian terhadap anggota badan. Hakikat ini, jika disadari dan diyakini oleh seorang muslim, dan diamalkan konsekuensi-konsekuensinya secara lahir dan batin, maka demi Allah! Dia akan hidup dengan kehidupan yang berbeda dengan kehidupan kebanyakan orang, kehidupan yang berbeda! Orang yang bertakbir dengan hatinya, maka Allah akan agung dalam hatinya, hingga lenyap dari dalam hatinya segala sesuatu selain-Nya. Dia tidak menyembah selain Allah walau dengan bentuk ibadah terkecil, baik berupa keinginan dan kekhawatiran, harapan, rasa takut, tidak sedikit pun dari semua itu secara mutlak. kecintaan, doa, maupun sesembelihan, Allah Maha Besar, lalu kenapa hati bertawajuh kepada selain Allah ʿAzza wa Jalla? Kenapa anggota tubuh harus tergerak kepada selain-Nya? Allah Maha Besar! ==== وَاعْلَمْ أَنَّهُ إِنْ كَانَ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ أَمْرًا حَسَنًا مَسْنُونًا فَالتَّكْبيرُ بِالْقَلْبِ أَعْظَمُ وَأَوجَبُ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ مَسْنُونٌ لَكِنَّ التَّكْبيرَ بِالْقَلْبِ تَكْبيرٌ وَاجِبٌ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ يُطْلَبُ فِي وَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ أَمَّا التَّكْبيرُ بِالْقَلْبِ فَإِنَّهُ وَاجِبٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَذَا التَّكْرَارُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ يَدْعُوكَ إِلَى أَنْ يَقَرَّ هَذَا الْمَعْنَى فِي قَلْبِكَ فَيَكُونَ عَقِيدَةً رَاسِخَةً تُؤَثِّرُ فِي الْقَلْبِ ثُمَّ فِي الْجَوَارِحِ وَهَذِهِ الْحَقِيقَةُ لَوْ أَدْرَكَهَا الْمُسْلِمُ وَأَيْقَنَ بِهَا وَعَمِلَ فِي ظَاهِرِهِ وَبَاطِنِهِ بِمُقْتَضَاهَا وَاللهِ إِنَّهُ سَيَعِيشُ حَيَاةً غَيْرَ الْحَيَاةِ الَّتِي يَعِيشُهَا كُلُّ النَّاسِ حَيَاةً أُخْرَى مَنْ كَبَّرَ اللهَ بِقَلْبِهِ عَظُمَ فِي قَلْبِهِ حَتَّى تَلَاشَى مِنْ قَلْبِهِ كُلُّ مَا سِوَاهُ فَلَا يَتَعَبَّدُ أَدْنَى تَعَبُّدٍ لِغَيرِهِ لَا رَغْبَةٍ وَلَا رَهْبَةٍ وَلَا رَجَاءٍ وَلَا خَوْفٍ وَلَا مَحَبَّةٍ وَلَا دُعَاءٍ وَلَا ذَبْحٍ وَلَا شَيْءٍ مِنْ هَذَا إِطْلَاقًا اللهُ أَكْبَرُ إِذَنْ لِمَ يَتَوَجَّهُ الْقَلْبُ لِغَيْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِمَ تَنْبَعِثُ الْجَوَارِحُ لِغَيرِهِ اللهُ أَكْبَرُ

Membaca Takbir “Allahu Akbar” dengan Lisan dan Hati – Syaikh Shalih Sindi #NasehatUlama

Ketahuilah! Jika takbir dengan lisan adalah perkara yang baik dan hukumnya sunah,maka takbir dengan hati adalah perkara yang lebih agung dan wajib. Takbir dengan lisan di luar salat adalah sunah, tapi takbir dengan hati adalah takbir yang wajib. Takbir dengan lisan dituntut di waktu-waktu tertentu saja, sementara takbir dengan hati adalah kewajiban di setiap waktu. Pengulangan ini: ALLAAHU AKBAR Allah Maha Besar, ALLAAHU AKBAR, ALLAAHU AKBAR Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, menuntut Anda untuk mengendapkan maknanya dalam hati Anda, sehingga menjadi keyakinan yang kokoh, yang berpengaruh terhadap hati, dan kemudian terhadap anggota badan. Hakikat ini, jika disadari dan diyakini oleh seorang muslim, dan diamalkan konsekuensi-konsekuensinya secara lahir dan batin, maka demi Allah! Dia akan hidup dengan kehidupan yang berbeda dengan kehidupan kebanyakan orang, kehidupan yang berbeda! Orang yang bertakbir dengan hatinya, maka Allah akan agung dalam hatinya, hingga lenyap dari dalam hatinya segala sesuatu selain-Nya. Dia tidak menyembah selain Allah walau dengan bentuk ibadah terkecil, baik berupa keinginan dan kekhawatiran, harapan, rasa takut, tidak sedikit pun dari semua itu secara mutlak. kecintaan, doa, maupun sesembelihan, Allah Maha Besar, lalu kenapa hati bertawajuh kepada selain Allah ʿAzza wa Jalla? Kenapa anggota tubuh harus tergerak kepada selain-Nya? Allah Maha Besar! ==== وَاعْلَمْ أَنَّهُ إِنْ كَانَ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ أَمْرًا حَسَنًا مَسْنُونًا فَالتَّكْبيرُ بِالْقَلْبِ أَعْظَمُ وَأَوجَبُ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ مَسْنُونٌ لَكِنَّ التَّكْبيرَ بِالْقَلْبِ تَكْبيرٌ وَاجِبٌ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ يُطْلَبُ فِي وَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ أَمَّا التَّكْبيرُ بِالْقَلْبِ فَإِنَّهُ وَاجِبٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَذَا التَّكْرَارُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ يَدْعُوكَ إِلَى أَنْ يَقَرَّ هَذَا الْمَعْنَى فِي قَلْبِكَ فَيَكُونَ عَقِيدَةً رَاسِخَةً تُؤَثِّرُ فِي الْقَلْبِ ثُمَّ فِي الْجَوَارِحِ وَهَذِهِ الْحَقِيقَةُ لَوْ أَدْرَكَهَا الْمُسْلِمُ وَأَيْقَنَ بِهَا وَعَمِلَ فِي ظَاهِرِهِ وَبَاطِنِهِ بِمُقْتَضَاهَا وَاللهِ إِنَّهُ سَيَعِيشُ حَيَاةً غَيْرَ الْحَيَاةِ الَّتِي يَعِيشُهَا كُلُّ النَّاسِ حَيَاةً أُخْرَى مَنْ كَبَّرَ اللهَ بِقَلْبِهِ عَظُمَ فِي قَلْبِهِ حَتَّى تَلَاشَى مِنْ قَلْبِهِ كُلُّ مَا سِوَاهُ فَلَا يَتَعَبَّدُ أَدْنَى تَعَبُّدٍ لِغَيرِهِ لَا رَغْبَةٍ وَلَا رَهْبَةٍ وَلَا رَجَاءٍ وَلَا خَوْفٍ وَلَا مَحَبَّةٍ وَلَا دُعَاءٍ وَلَا ذَبْحٍ وَلَا شَيْءٍ مِنْ هَذَا إِطْلَاقًا اللهُ أَكْبَرُ إِذَنْ لِمَ يَتَوَجَّهُ الْقَلْبُ لِغَيْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِمَ تَنْبَعِثُ الْجَوَارِحُ لِغَيرِهِ اللهُ أَكْبَرُ
Ketahuilah! Jika takbir dengan lisan adalah perkara yang baik dan hukumnya sunah,maka takbir dengan hati adalah perkara yang lebih agung dan wajib. Takbir dengan lisan di luar salat adalah sunah, tapi takbir dengan hati adalah takbir yang wajib. Takbir dengan lisan dituntut di waktu-waktu tertentu saja, sementara takbir dengan hati adalah kewajiban di setiap waktu. Pengulangan ini: ALLAAHU AKBAR Allah Maha Besar, ALLAAHU AKBAR, ALLAAHU AKBAR Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, menuntut Anda untuk mengendapkan maknanya dalam hati Anda, sehingga menjadi keyakinan yang kokoh, yang berpengaruh terhadap hati, dan kemudian terhadap anggota badan. Hakikat ini, jika disadari dan diyakini oleh seorang muslim, dan diamalkan konsekuensi-konsekuensinya secara lahir dan batin, maka demi Allah! Dia akan hidup dengan kehidupan yang berbeda dengan kehidupan kebanyakan orang, kehidupan yang berbeda! Orang yang bertakbir dengan hatinya, maka Allah akan agung dalam hatinya, hingga lenyap dari dalam hatinya segala sesuatu selain-Nya. Dia tidak menyembah selain Allah walau dengan bentuk ibadah terkecil, baik berupa keinginan dan kekhawatiran, harapan, rasa takut, tidak sedikit pun dari semua itu secara mutlak. kecintaan, doa, maupun sesembelihan, Allah Maha Besar, lalu kenapa hati bertawajuh kepada selain Allah ʿAzza wa Jalla? Kenapa anggota tubuh harus tergerak kepada selain-Nya? Allah Maha Besar! ==== وَاعْلَمْ أَنَّهُ إِنْ كَانَ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ أَمْرًا حَسَنًا مَسْنُونًا فَالتَّكْبيرُ بِالْقَلْبِ أَعْظَمُ وَأَوجَبُ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ مَسْنُونٌ لَكِنَّ التَّكْبيرَ بِالْقَلْبِ تَكْبيرٌ وَاجِبٌ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ يُطْلَبُ فِي وَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ أَمَّا التَّكْبيرُ بِالْقَلْبِ فَإِنَّهُ وَاجِبٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَذَا التَّكْرَارُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ يَدْعُوكَ إِلَى أَنْ يَقَرَّ هَذَا الْمَعْنَى فِي قَلْبِكَ فَيَكُونَ عَقِيدَةً رَاسِخَةً تُؤَثِّرُ فِي الْقَلْبِ ثُمَّ فِي الْجَوَارِحِ وَهَذِهِ الْحَقِيقَةُ لَوْ أَدْرَكَهَا الْمُسْلِمُ وَأَيْقَنَ بِهَا وَعَمِلَ فِي ظَاهِرِهِ وَبَاطِنِهِ بِمُقْتَضَاهَا وَاللهِ إِنَّهُ سَيَعِيشُ حَيَاةً غَيْرَ الْحَيَاةِ الَّتِي يَعِيشُهَا كُلُّ النَّاسِ حَيَاةً أُخْرَى مَنْ كَبَّرَ اللهَ بِقَلْبِهِ عَظُمَ فِي قَلْبِهِ حَتَّى تَلَاشَى مِنْ قَلْبِهِ كُلُّ مَا سِوَاهُ فَلَا يَتَعَبَّدُ أَدْنَى تَعَبُّدٍ لِغَيرِهِ لَا رَغْبَةٍ وَلَا رَهْبَةٍ وَلَا رَجَاءٍ وَلَا خَوْفٍ وَلَا مَحَبَّةٍ وَلَا دُعَاءٍ وَلَا ذَبْحٍ وَلَا شَيْءٍ مِنْ هَذَا إِطْلَاقًا اللهُ أَكْبَرُ إِذَنْ لِمَ يَتَوَجَّهُ الْقَلْبُ لِغَيْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِمَ تَنْبَعِثُ الْجَوَارِحُ لِغَيرِهِ اللهُ أَكْبَرُ


Ketahuilah! Jika takbir dengan lisan adalah perkara yang baik dan hukumnya sunah,maka takbir dengan hati adalah perkara yang lebih agung dan wajib. Takbir dengan lisan di luar salat adalah sunah, tapi takbir dengan hati adalah takbir yang wajib. Takbir dengan lisan dituntut di waktu-waktu tertentu saja, sementara takbir dengan hati adalah kewajiban di setiap waktu. Pengulangan ini: ALLAAHU AKBAR Allah Maha Besar, ALLAAHU AKBAR, ALLAAHU AKBAR Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, menuntut Anda untuk mengendapkan maknanya dalam hati Anda, sehingga menjadi keyakinan yang kokoh, yang berpengaruh terhadap hati, dan kemudian terhadap anggota badan. Hakikat ini, jika disadari dan diyakini oleh seorang muslim, dan diamalkan konsekuensi-konsekuensinya secara lahir dan batin, maka demi Allah! Dia akan hidup dengan kehidupan yang berbeda dengan kehidupan kebanyakan orang, kehidupan yang berbeda! Orang yang bertakbir dengan hatinya, maka Allah akan agung dalam hatinya, hingga lenyap dari dalam hatinya segala sesuatu selain-Nya. Dia tidak menyembah selain Allah walau dengan bentuk ibadah terkecil, baik berupa keinginan dan kekhawatiran, harapan, rasa takut, tidak sedikit pun dari semua itu secara mutlak. kecintaan, doa, maupun sesembelihan, Allah Maha Besar, lalu kenapa hati bertawajuh kepada selain Allah ʿAzza wa Jalla? Kenapa anggota tubuh harus tergerak kepada selain-Nya? Allah Maha Besar! ==== وَاعْلَمْ أَنَّهُ إِنْ كَانَ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ أَمْرًا حَسَنًا مَسْنُونًا فَالتَّكْبيرُ بِالْقَلْبِ أَعْظَمُ وَأَوجَبُ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ مَسْنُونٌ لَكِنَّ التَّكْبيرَ بِالْقَلْبِ تَكْبيرٌ وَاجِبٌ التَّكْبيرُ بِاللِّسَانِ يُطْلَبُ فِي وَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ أَمَّا التَّكْبيرُ بِالْقَلْبِ فَإِنَّهُ وَاجِبٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَذَا التَّكْرَارُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ يَدْعُوكَ إِلَى أَنْ يَقَرَّ هَذَا الْمَعْنَى فِي قَلْبِكَ فَيَكُونَ عَقِيدَةً رَاسِخَةً تُؤَثِّرُ فِي الْقَلْبِ ثُمَّ فِي الْجَوَارِحِ وَهَذِهِ الْحَقِيقَةُ لَوْ أَدْرَكَهَا الْمُسْلِمُ وَأَيْقَنَ بِهَا وَعَمِلَ فِي ظَاهِرِهِ وَبَاطِنِهِ بِمُقْتَضَاهَا وَاللهِ إِنَّهُ سَيَعِيشُ حَيَاةً غَيْرَ الْحَيَاةِ الَّتِي يَعِيشُهَا كُلُّ النَّاسِ حَيَاةً أُخْرَى مَنْ كَبَّرَ اللهَ بِقَلْبِهِ عَظُمَ فِي قَلْبِهِ حَتَّى تَلَاشَى مِنْ قَلْبِهِ كُلُّ مَا سِوَاهُ فَلَا يَتَعَبَّدُ أَدْنَى تَعَبُّدٍ لِغَيرِهِ لَا رَغْبَةٍ وَلَا رَهْبَةٍ وَلَا رَجَاءٍ وَلَا خَوْفٍ وَلَا مَحَبَّةٍ وَلَا دُعَاءٍ وَلَا ذَبْحٍ وَلَا شَيْءٍ مِنْ هَذَا إِطْلَاقًا اللهُ أَكْبَرُ إِذَنْ لِمَ يَتَوَجَّهُ الْقَلْبُ لِغَيْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِمَ تَنْبَعِثُ الْجَوَارِحُ لِغَيرِهِ اللهُ أَكْبَرُ

6 Faedah Ilmu Seputar Puasa Ramadan

Daftar Isi Toggle Pertama: Hukum orang yang meninggalkan puasaKedua: Keistimewaan puasaKetiga: Perusak puasa RamadanKeempat: Berkumur-kumur ketika puasaKelima: Niat puasa RamadanKeenam: Rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya Pertama: Hukum orang yang meninggalkan puasa Orang yang meninggalkan puasa karena meremehkan dan malas tidaklah menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang itu tetap dihukumi pada asalnya muslim sampai tegaknya dalil yang membuktikan bahwa dia telah keluar dari Islam. Sementara tidak tegaknya dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak berpuasa keluar dari Islam selama dia meninggalkan puasa itu karena meremehkan atau malas. Berbeda halnya dengan salat. Karena untuk masalah salat, telah terdapat dalil-dalil dari Kitabullah, Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan perkataan para sahabat radhiyallahu ’anhum yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan salat dihukumi sebagai kafir yang dia meninggalkan salat karena meremehkan dan malas. Abdullah bin Syaqiq berkata, “Adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memandang suatu perkara yang apabila ditinggalkan menjadikan pelakunya kafir, selain salat.” Meskipun demikian, orang ini (yang tidak mau puasa karena meremehkan dan malas) semestinya diajak untuk berpuasa. Dan apabila ternyata dia enggan, seharusnya dia diberikan ta’zir/hukuman pelajaran sampai dia mau menjalankan puasa. (Sumber : Fatwa Syekh Al-‘Utsaimin yang dikumpulkan dalam Min Fatawa Al-‘Ulama’ fi Ash-Shiyam wa Al-Qiyam, hal. 41-42, penerbit Baitul Afkar Ad-Dauliyah, cet I/1420 H) Kedua: Keistimewaan puasa Syekh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan olehnya dari Rabbnya (hadis qudsi), كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به ‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.‘ Suatu hal yang dimaklumi bahwa semua ibadah itu untuk Allah dan diberikan pahala, tetapi bagaimana Allah memberikan kekhususan bahwa puasa itu untuk-Nya saja?” Beliau menjawab, “Keistimewaan yang terkandung di dalamnya ialah bahwa puasa merupakan amalan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Karena, bisa saja seorang menampakkan diri bahwa dia sedang berpuasa, tetapi apabila dia pulang ke rumahnya atau ke tempat sepi, lalu dia pun makan. Ini menunjukkan bahwa puasa mengandung suatu kelebihan dan keutamaan khusus. Begitu pula, setiap amal itu memiliki nilai lebih dan kemuliaannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan sebagaimana dalam hadis Abu Umamah yang menuturkan kepada beliau, ‘Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan untuk aku kerjakan, wahai Rasulullah.’ Beliau menjawab, عليك بالصوم، فإنه لا مثل له ‘Hendaklah kamu berpuasa. Sesungguhnya tidak ada amal lain yang serupa dengannya.’ Bukanlah artinya puasa menjadi lebih utama daripada salat. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa puasa itu memiliki suatu keistimewaan tersendiri dan ia menunjukkan kepada keikhlasan.” (Sumber : https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=4254) Ketiga: Perusak puasa Ramadan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud. Lafaz ini milik Abu Dawud) Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berlaku bodoh/dungu bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja pengharaman perbuatan itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan lagi, seperti halnya pengharaman zina atas orang yang sudah tua renta dan diharamkannya kesombongan bagi orang yang miskin. (Lihat Subul As-Salam, 2:876) Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan bahwa maksud hadis ini adalah orang yang melakukan perbuatan semacam itu tidak akan bisa memetik manfaat dari puasanya dan tidak akan memperoleh pahala atas puasanya apabila dia tidak meninggalkan ucapan dusta, tindakan bohong, serta perbuatan dungu. Dan hal ini mengandung peringatan keras terhadap segala bentuk kemaksiatan, seperti berbohong, caci-maki, suap, berinteraksi dengan riba, melanggar hak-hak orang lain dalam hal darah, harta, atau kehormatannya. Bagaimana mungkin orang mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang pada asalnya mubah sementara di saat yang sama dia justru bergelimang dengan keharaman yang dilarang sepanjang waktu. Nilai apa yang bisa diraih dari puasa semacam ini?! Puasa yang lemah seperti ini tidak bisa menghapus dosa-dosa dan tidak mengangkat derajat pelakunya. (Lihat Minhatul Malik Al-Jalil, 4:147) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa istilah al-qaul az-zur (perkataan dusta) di dalam hadis ini mencakup segala ucapan yang menyimpang dari kebenaran, tercakup di dalamnya kebohongan dan fitnah. Termasuk yang paling parah adalah persaksian palsu dalam rangka mengambil sesuatu dengan cara yang batil atau menggugurkan hak. Termasuk di dalamnya adalah gibah/menggunjing, namimah/adu domba, mengumpat, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud tindakan bodoh adalah ucapan yang kotor/keji. Hadis ini menunjukkan bahwa puasanya orang yang melakukan perbuatan semacam itu menjadi berkurang maknanya dan sedikit pahalanya karena ia bukan puasa yang sempurna. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:482-483) Baca juga: 8 Faedah dari Ketegasan Sikap Nabi Ibrahim Keempat: Berkumur-kumur ketika puasa Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah benar pendapat yang menyatakan bahwasanya berkumur-kumur dalam wudu tidak wajib bagi orang yang sedang melakukan puasa di siang hari Ramadan?” Beliau menjawab, “Ini tidak benar. Berkumur-kumur di dalam wudu adalah salah satu kewajiban di dalam berwudu. Sama saja, apakah hal itu pada siang hari Ramadan atau di waktu lainnya, untuk orang yang sedang puasa ataupun selainnya. Hal itu berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ ‘Maka, cucilah wajah-wajah kalian.’ (QS. Al-Ma’idah: 6) Meskipun demikian, tidak selayaknya berlebih-lebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) dalam keadaan dia sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan hadis Laqith bin Shabirah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ‘Sempurnakanlah wudu, sela-selailah antara jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq, kecuali apabila kamu sedang berpuasa.’ (HR. Tirmidzi dan Nasa’i Disahihkan Al-Albani.)” (Sumber : Tsamaniyah wal Arba’una Su’alan fish Shiyam, hal. 58.) Kelima: Niat puasa Ramadan Suatu saat, Syekh Muqbil ditanya, “Apakah wajib niat puasa Ramadan itu (dilakukan setiap hari, pent), ataukah cukup berniat puasa untuk sebulan penuh dengan sekali niat di awal? Dan kapankah berniatnya?” Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ‘Sesungguhnya setiap amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang yang beramal akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan.’ Ini adalah dalil yang menunjukkan wajibnya berniat dalam seluruh amal yang hendak dilakukan. Maka, yang lebih tampak kuat (bagi kami) adalah setiap orang wajib berniat di setiap hari. Namun, itu bukanlah berarti dia mengucapkan ‘nawaitu an ashuma yauma kadza wa kadza’ (saya berniat untuk puasa pada hari ini dan itu di bulan Ramadan). Akan tetapi, yang dimaksud niat itu adalah keinginan/maksud dan kesengajaan. Sehingga, ketika Anda bangun untuk makan sahur, ini pun sudah dianggap niat. Ketika anda menyengaja menahan makan dan minum, ini pun sudah termasuk niat. Adapun hadis ‘Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sejak malam, maka tiada puasa baginya.’, ini adalah hadis yang lemah dan mudhthorrib/goncang, meskipun hadis ini dinilai hasan oleh sebagian ulama. Akan tetapi, pendapat yang benar/lebih kuat adalah hadis ini mengandung kegoncangan/idhthirrab.” (Sumber : http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3321) Keenam: Rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به،…والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك “Allah ‘Azza Wajalla berfirman, ‘Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan Akulah yang akan membalasnya… Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada semerbak minyak kasturi.'” (HR. Muslim) Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Tidak ada yang mengetahui dengan sebenarnya hakikat puasa seorang hamba, kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bisa saja seorang insan secara sembunyi-sembunyi makan dan minum, sementara tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Akan tetapi, karena dia yakin bahwasanya Allah melihat dan mengawasinya, maka hal itu pun tidak dilakukannya. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Al-‘Ibrah fi Syahri Shaum sebagaimana tercantum dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209) Pelajaran atau ibrah yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwasanya apabila seorang hamba takut kepada Allah kalau-kalau puasanya rusak/cacat, maka semestinya seorang insan juga takut kepada Allah apabila salat, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya mengalami kerusakan/cacat. Karena sesungguhnya Yang mewajibkan puasa sama dengan Yang mewajibkan salat. Terlebih lagi, salat adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya keutamaan salat, sehingga Allah pun mewajibkannya kepada Nabi dengan mengangkat beliau ke langit. Apabila seorang muslim merasakan bahwa kerusakan pada puasanya adalah perkara yang sangat besar dan membahayakan, maka semestinya dia juga bisa merasakan bahwa rusaknya salat yang dia lakukan lebih besar dan lebih membahayakan. Inilah salah satu faedah dan pelajaran paling agung yang semestinya dipetik oleh setiap muslim dari bulan puasa. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209-210) Baca juga: Sekilas tentang Keutamaan dan Faedah Surat Al-Fatihah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahIlmupuasa

6 Faedah Ilmu Seputar Puasa Ramadan

Daftar Isi Toggle Pertama: Hukum orang yang meninggalkan puasaKedua: Keistimewaan puasaKetiga: Perusak puasa RamadanKeempat: Berkumur-kumur ketika puasaKelima: Niat puasa RamadanKeenam: Rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya Pertama: Hukum orang yang meninggalkan puasa Orang yang meninggalkan puasa karena meremehkan dan malas tidaklah menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang itu tetap dihukumi pada asalnya muslim sampai tegaknya dalil yang membuktikan bahwa dia telah keluar dari Islam. Sementara tidak tegaknya dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak berpuasa keluar dari Islam selama dia meninggalkan puasa itu karena meremehkan atau malas. Berbeda halnya dengan salat. Karena untuk masalah salat, telah terdapat dalil-dalil dari Kitabullah, Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan perkataan para sahabat radhiyallahu ’anhum yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan salat dihukumi sebagai kafir yang dia meninggalkan salat karena meremehkan dan malas. Abdullah bin Syaqiq berkata, “Adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memandang suatu perkara yang apabila ditinggalkan menjadikan pelakunya kafir, selain salat.” Meskipun demikian, orang ini (yang tidak mau puasa karena meremehkan dan malas) semestinya diajak untuk berpuasa. Dan apabila ternyata dia enggan, seharusnya dia diberikan ta’zir/hukuman pelajaran sampai dia mau menjalankan puasa. (Sumber : Fatwa Syekh Al-‘Utsaimin yang dikumpulkan dalam Min Fatawa Al-‘Ulama’ fi Ash-Shiyam wa Al-Qiyam, hal. 41-42, penerbit Baitul Afkar Ad-Dauliyah, cet I/1420 H) Kedua: Keistimewaan puasa Syekh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan olehnya dari Rabbnya (hadis qudsi), كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به ‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.‘ Suatu hal yang dimaklumi bahwa semua ibadah itu untuk Allah dan diberikan pahala, tetapi bagaimana Allah memberikan kekhususan bahwa puasa itu untuk-Nya saja?” Beliau menjawab, “Keistimewaan yang terkandung di dalamnya ialah bahwa puasa merupakan amalan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Karena, bisa saja seorang menampakkan diri bahwa dia sedang berpuasa, tetapi apabila dia pulang ke rumahnya atau ke tempat sepi, lalu dia pun makan. Ini menunjukkan bahwa puasa mengandung suatu kelebihan dan keutamaan khusus. Begitu pula, setiap amal itu memiliki nilai lebih dan kemuliaannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan sebagaimana dalam hadis Abu Umamah yang menuturkan kepada beliau, ‘Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan untuk aku kerjakan, wahai Rasulullah.’ Beliau menjawab, عليك بالصوم، فإنه لا مثل له ‘Hendaklah kamu berpuasa. Sesungguhnya tidak ada amal lain yang serupa dengannya.’ Bukanlah artinya puasa menjadi lebih utama daripada salat. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa puasa itu memiliki suatu keistimewaan tersendiri dan ia menunjukkan kepada keikhlasan.” (Sumber : https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=4254) Ketiga: Perusak puasa Ramadan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud. Lafaz ini milik Abu Dawud) Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berlaku bodoh/dungu bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja pengharaman perbuatan itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan lagi, seperti halnya pengharaman zina atas orang yang sudah tua renta dan diharamkannya kesombongan bagi orang yang miskin. (Lihat Subul As-Salam, 2:876) Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan bahwa maksud hadis ini adalah orang yang melakukan perbuatan semacam itu tidak akan bisa memetik manfaat dari puasanya dan tidak akan memperoleh pahala atas puasanya apabila dia tidak meninggalkan ucapan dusta, tindakan bohong, serta perbuatan dungu. Dan hal ini mengandung peringatan keras terhadap segala bentuk kemaksiatan, seperti berbohong, caci-maki, suap, berinteraksi dengan riba, melanggar hak-hak orang lain dalam hal darah, harta, atau kehormatannya. Bagaimana mungkin orang mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang pada asalnya mubah sementara di saat yang sama dia justru bergelimang dengan keharaman yang dilarang sepanjang waktu. Nilai apa yang bisa diraih dari puasa semacam ini?! Puasa yang lemah seperti ini tidak bisa menghapus dosa-dosa dan tidak mengangkat derajat pelakunya. (Lihat Minhatul Malik Al-Jalil, 4:147) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa istilah al-qaul az-zur (perkataan dusta) di dalam hadis ini mencakup segala ucapan yang menyimpang dari kebenaran, tercakup di dalamnya kebohongan dan fitnah. Termasuk yang paling parah adalah persaksian palsu dalam rangka mengambil sesuatu dengan cara yang batil atau menggugurkan hak. Termasuk di dalamnya adalah gibah/menggunjing, namimah/adu domba, mengumpat, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud tindakan bodoh adalah ucapan yang kotor/keji. Hadis ini menunjukkan bahwa puasanya orang yang melakukan perbuatan semacam itu menjadi berkurang maknanya dan sedikit pahalanya karena ia bukan puasa yang sempurna. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:482-483) Baca juga: 8 Faedah dari Ketegasan Sikap Nabi Ibrahim Keempat: Berkumur-kumur ketika puasa Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah benar pendapat yang menyatakan bahwasanya berkumur-kumur dalam wudu tidak wajib bagi orang yang sedang melakukan puasa di siang hari Ramadan?” Beliau menjawab, “Ini tidak benar. Berkumur-kumur di dalam wudu adalah salah satu kewajiban di dalam berwudu. Sama saja, apakah hal itu pada siang hari Ramadan atau di waktu lainnya, untuk orang yang sedang puasa ataupun selainnya. Hal itu berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ ‘Maka, cucilah wajah-wajah kalian.’ (QS. Al-Ma’idah: 6) Meskipun demikian, tidak selayaknya berlebih-lebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) dalam keadaan dia sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan hadis Laqith bin Shabirah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ‘Sempurnakanlah wudu, sela-selailah antara jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq, kecuali apabila kamu sedang berpuasa.’ (HR. Tirmidzi dan Nasa’i Disahihkan Al-Albani.)” (Sumber : Tsamaniyah wal Arba’una Su’alan fish Shiyam, hal. 58.) Kelima: Niat puasa Ramadan Suatu saat, Syekh Muqbil ditanya, “Apakah wajib niat puasa Ramadan itu (dilakukan setiap hari, pent), ataukah cukup berniat puasa untuk sebulan penuh dengan sekali niat di awal? Dan kapankah berniatnya?” Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ‘Sesungguhnya setiap amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang yang beramal akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan.’ Ini adalah dalil yang menunjukkan wajibnya berniat dalam seluruh amal yang hendak dilakukan. Maka, yang lebih tampak kuat (bagi kami) adalah setiap orang wajib berniat di setiap hari. Namun, itu bukanlah berarti dia mengucapkan ‘nawaitu an ashuma yauma kadza wa kadza’ (saya berniat untuk puasa pada hari ini dan itu di bulan Ramadan). Akan tetapi, yang dimaksud niat itu adalah keinginan/maksud dan kesengajaan. Sehingga, ketika Anda bangun untuk makan sahur, ini pun sudah dianggap niat. Ketika anda menyengaja menahan makan dan minum, ini pun sudah termasuk niat. Adapun hadis ‘Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sejak malam, maka tiada puasa baginya.’, ini adalah hadis yang lemah dan mudhthorrib/goncang, meskipun hadis ini dinilai hasan oleh sebagian ulama. Akan tetapi, pendapat yang benar/lebih kuat adalah hadis ini mengandung kegoncangan/idhthirrab.” (Sumber : http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3321) Keenam: Rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به،…والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك “Allah ‘Azza Wajalla berfirman, ‘Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan Akulah yang akan membalasnya… Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada semerbak minyak kasturi.'” (HR. Muslim) Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Tidak ada yang mengetahui dengan sebenarnya hakikat puasa seorang hamba, kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bisa saja seorang insan secara sembunyi-sembunyi makan dan minum, sementara tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Akan tetapi, karena dia yakin bahwasanya Allah melihat dan mengawasinya, maka hal itu pun tidak dilakukannya. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Al-‘Ibrah fi Syahri Shaum sebagaimana tercantum dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209) Pelajaran atau ibrah yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwasanya apabila seorang hamba takut kepada Allah kalau-kalau puasanya rusak/cacat, maka semestinya seorang insan juga takut kepada Allah apabila salat, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya mengalami kerusakan/cacat. Karena sesungguhnya Yang mewajibkan puasa sama dengan Yang mewajibkan salat. Terlebih lagi, salat adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya keutamaan salat, sehingga Allah pun mewajibkannya kepada Nabi dengan mengangkat beliau ke langit. Apabila seorang muslim merasakan bahwa kerusakan pada puasanya adalah perkara yang sangat besar dan membahayakan, maka semestinya dia juga bisa merasakan bahwa rusaknya salat yang dia lakukan lebih besar dan lebih membahayakan. Inilah salah satu faedah dan pelajaran paling agung yang semestinya dipetik oleh setiap muslim dari bulan puasa. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209-210) Baca juga: Sekilas tentang Keutamaan dan Faedah Surat Al-Fatihah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahIlmupuasa
Daftar Isi Toggle Pertama: Hukum orang yang meninggalkan puasaKedua: Keistimewaan puasaKetiga: Perusak puasa RamadanKeempat: Berkumur-kumur ketika puasaKelima: Niat puasa RamadanKeenam: Rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya Pertama: Hukum orang yang meninggalkan puasa Orang yang meninggalkan puasa karena meremehkan dan malas tidaklah menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang itu tetap dihukumi pada asalnya muslim sampai tegaknya dalil yang membuktikan bahwa dia telah keluar dari Islam. Sementara tidak tegaknya dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak berpuasa keluar dari Islam selama dia meninggalkan puasa itu karena meremehkan atau malas. Berbeda halnya dengan salat. Karena untuk masalah salat, telah terdapat dalil-dalil dari Kitabullah, Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan perkataan para sahabat radhiyallahu ’anhum yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan salat dihukumi sebagai kafir yang dia meninggalkan salat karena meremehkan dan malas. Abdullah bin Syaqiq berkata, “Adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memandang suatu perkara yang apabila ditinggalkan menjadikan pelakunya kafir, selain salat.” Meskipun demikian, orang ini (yang tidak mau puasa karena meremehkan dan malas) semestinya diajak untuk berpuasa. Dan apabila ternyata dia enggan, seharusnya dia diberikan ta’zir/hukuman pelajaran sampai dia mau menjalankan puasa. (Sumber : Fatwa Syekh Al-‘Utsaimin yang dikumpulkan dalam Min Fatawa Al-‘Ulama’ fi Ash-Shiyam wa Al-Qiyam, hal. 41-42, penerbit Baitul Afkar Ad-Dauliyah, cet I/1420 H) Kedua: Keistimewaan puasa Syekh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan olehnya dari Rabbnya (hadis qudsi), كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به ‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.‘ Suatu hal yang dimaklumi bahwa semua ibadah itu untuk Allah dan diberikan pahala, tetapi bagaimana Allah memberikan kekhususan bahwa puasa itu untuk-Nya saja?” Beliau menjawab, “Keistimewaan yang terkandung di dalamnya ialah bahwa puasa merupakan amalan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Karena, bisa saja seorang menampakkan diri bahwa dia sedang berpuasa, tetapi apabila dia pulang ke rumahnya atau ke tempat sepi, lalu dia pun makan. Ini menunjukkan bahwa puasa mengandung suatu kelebihan dan keutamaan khusus. Begitu pula, setiap amal itu memiliki nilai lebih dan kemuliaannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan sebagaimana dalam hadis Abu Umamah yang menuturkan kepada beliau, ‘Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan untuk aku kerjakan, wahai Rasulullah.’ Beliau menjawab, عليك بالصوم، فإنه لا مثل له ‘Hendaklah kamu berpuasa. Sesungguhnya tidak ada amal lain yang serupa dengannya.’ Bukanlah artinya puasa menjadi lebih utama daripada salat. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa puasa itu memiliki suatu keistimewaan tersendiri dan ia menunjukkan kepada keikhlasan.” (Sumber : https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=4254) Ketiga: Perusak puasa Ramadan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud. Lafaz ini milik Abu Dawud) Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berlaku bodoh/dungu bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja pengharaman perbuatan itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan lagi, seperti halnya pengharaman zina atas orang yang sudah tua renta dan diharamkannya kesombongan bagi orang yang miskin. (Lihat Subul As-Salam, 2:876) Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan bahwa maksud hadis ini adalah orang yang melakukan perbuatan semacam itu tidak akan bisa memetik manfaat dari puasanya dan tidak akan memperoleh pahala atas puasanya apabila dia tidak meninggalkan ucapan dusta, tindakan bohong, serta perbuatan dungu. Dan hal ini mengandung peringatan keras terhadap segala bentuk kemaksiatan, seperti berbohong, caci-maki, suap, berinteraksi dengan riba, melanggar hak-hak orang lain dalam hal darah, harta, atau kehormatannya. Bagaimana mungkin orang mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang pada asalnya mubah sementara di saat yang sama dia justru bergelimang dengan keharaman yang dilarang sepanjang waktu. Nilai apa yang bisa diraih dari puasa semacam ini?! Puasa yang lemah seperti ini tidak bisa menghapus dosa-dosa dan tidak mengangkat derajat pelakunya. (Lihat Minhatul Malik Al-Jalil, 4:147) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa istilah al-qaul az-zur (perkataan dusta) di dalam hadis ini mencakup segala ucapan yang menyimpang dari kebenaran, tercakup di dalamnya kebohongan dan fitnah. Termasuk yang paling parah adalah persaksian palsu dalam rangka mengambil sesuatu dengan cara yang batil atau menggugurkan hak. Termasuk di dalamnya adalah gibah/menggunjing, namimah/adu domba, mengumpat, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud tindakan bodoh adalah ucapan yang kotor/keji. Hadis ini menunjukkan bahwa puasanya orang yang melakukan perbuatan semacam itu menjadi berkurang maknanya dan sedikit pahalanya karena ia bukan puasa yang sempurna. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:482-483) Baca juga: 8 Faedah dari Ketegasan Sikap Nabi Ibrahim Keempat: Berkumur-kumur ketika puasa Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah benar pendapat yang menyatakan bahwasanya berkumur-kumur dalam wudu tidak wajib bagi orang yang sedang melakukan puasa di siang hari Ramadan?” Beliau menjawab, “Ini tidak benar. Berkumur-kumur di dalam wudu adalah salah satu kewajiban di dalam berwudu. Sama saja, apakah hal itu pada siang hari Ramadan atau di waktu lainnya, untuk orang yang sedang puasa ataupun selainnya. Hal itu berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ ‘Maka, cucilah wajah-wajah kalian.’ (QS. Al-Ma’idah: 6) Meskipun demikian, tidak selayaknya berlebih-lebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) dalam keadaan dia sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan hadis Laqith bin Shabirah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ‘Sempurnakanlah wudu, sela-selailah antara jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq, kecuali apabila kamu sedang berpuasa.’ (HR. Tirmidzi dan Nasa’i Disahihkan Al-Albani.)” (Sumber : Tsamaniyah wal Arba’una Su’alan fish Shiyam, hal. 58.) Kelima: Niat puasa Ramadan Suatu saat, Syekh Muqbil ditanya, “Apakah wajib niat puasa Ramadan itu (dilakukan setiap hari, pent), ataukah cukup berniat puasa untuk sebulan penuh dengan sekali niat di awal? Dan kapankah berniatnya?” Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ‘Sesungguhnya setiap amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang yang beramal akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan.’ Ini adalah dalil yang menunjukkan wajibnya berniat dalam seluruh amal yang hendak dilakukan. Maka, yang lebih tampak kuat (bagi kami) adalah setiap orang wajib berniat di setiap hari. Namun, itu bukanlah berarti dia mengucapkan ‘nawaitu an ashuma yauma kadza wa kadza’ (saya berniat untuk puasa pada hari ini dan itu di bulan Ramadan). Akan tetapi, yang dimaksud niat itu adalah keinginan/maksud dan kesengajaan. Sehingga, ketika Anda bangun untuk makan sahur, ini pun sudah dianggap niat. Ketika anda menyengaja menahan makan dan minum, ini pun sudah termasuk niat. Adapun hadis ‘Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sejak malam, maka tiada puasa baginya.’, ini adalah hadis yang lemah dan mudhthorrib/goncang, meskipun hadis ini dinilai hasan oleh sebagian ulama. Akan tetapi, pendapat yang benar/lebih kuat adalah hadis ini mengandung kegoncangan/idhthirrab.” (Sumber : http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3321) Keenam: Rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به،…والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك “Allah ‘Azza Wajalla berfirman, ‘Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan Akulah yang akan membalasnya… Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada semerbak minyak kasturi.'” (HR. Muslim) Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Tidak ada yang mengetahui dengan sebenarnya hakikat puasa seorang hamba, kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bisa saja seorang insan secara sembunyi-sembunyi makan dan minum, sementara tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Akan tetapi, karena dia yakin bahwasanya Allah melihat dan mengawasinya, maka hal itu pun tidak dilakukannya. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Al-‘Ibrah fi Syahri Shaum sebagaimana tercantum dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209) Pelajaran atau ibrah yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwasanya apabila seorang hamba takut kepada Allah kalau-kalau puasanya rusak/cacat, maka semestinya seorang insan juga takut kepada Allah apabila salat, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya mengalami kerusakan/cacat. Karena sesungguhnya Yang mewajibkan puasa sama dengan Yang mewajibkan salat. Terlebih lagi, salat adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya keutamaan salat, sehingga Allah pun mewajibkannya kepada Nabi dengan mengangkat beliau ke langit. Apabila seorang muslim merasakan bahwa kerusakan pada puasanya adalah perkara yang sangat besar dan membahayakan, maka semestinya dia juga bisa merasakan bahwa rusaknya salat yang dia lakukan lebih besar dan lebih membahayakan. Inilah salah satu faedah dan pelajaran paling agung yang semestinya dipetik oleh setiap muslim dari bulan puasa. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209-210) Baca juga: Sekilas tentang Keutamaan dan Faedah Surat Al-Fatihah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahIlmupuasa


Daftar Isi Toggle Pertama: Hukum orang yang meninggalkan puasaKedua: Keistimewaan puasaKetiga: Perusak puasa RamadanKeempat: Berkumur-kumur ketika puasaKelima: Niat puasa RamadanKeenam: Rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya Pertama: Hukum orang yang meninggalkan puasa Orang yang meninggalkan puasa karena meremehkan dan malas tidaklah menjadi kafir. Hal itu dikarenakan orang itu tetap dihukumi pada asalnya muslim sampai tegaknya dalil yang membuktikan bahwa dia telah keluar dari Islam. Sementara tidak tegaknya dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak berpuasa keluar dari Islam selama dia meninggalkan puasa itu karena meremehkan atau malas. Berbeda halnya dengan salat. Karena untuk masalah salat, telah terdapat dalil-dalil dari Kitabullah, Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan perkataan para sahabat radhiyallahu ’anhum yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan salat dihukumi sebagai kafir yang dia meninggalkan salat karena meremehkan dan malas. Abdullah bin Syaqiq berkata, “Adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memandang suatu perkara yang apabila ditinggalkan menjadikan pelakunya kafir, selain salat.” Meskipun demikian, orang ini (yang tidak mau puasa karena meremehkan dan malas) semestinya diajak untuk berpuasa. Dan apabila ternyata dia enggan, seharusnya dia diberikan ta’zir/hukuman pelajaran sampai dia mau menjalankan puasa. (Sumber : Fatwa Syekh Al-‘Utsaimin yang dikumpulkan dalam Min Fatawa Al-‘Ulama’ fi Ash-Shiyam wa Al-Qiyam, hal. 41-42, penerbit Baitul Afkar Ad-Dauliyah, cet I/1420 H) Kedua: Keistimewaan puasa Syekh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan olehnya dari Rabbnya (hadis qudsi), كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به ‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.‘ Suatu hal yang dimaklumi bahwa semua ibadah itu untuk Allah dan diberikan pahala, tetapi bagaimana Allah memberikan kekhususan bahwa puasa itu untuk-Nya saja?” Beliau menjawab, “Keistimewaan yang terkandung di dalamnya ialah bahwa puasa merupakan amalan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Karena, bisa saja seorang menampakkan diri bahwa dia sedang berpuasa, tetapi apabila dia pulang ke rumahnya atau ke tempat sepi, lalu dia pun makan. Ini menunjukkan bahwa puasa mengandung suatu kelebihan dan keutamaan khusus. Begitu pula, setiap amal itu memiliki nilai lebih dan kemuliaannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan sebagaimana dalam hadis Abu Umamah yang menuturkan kepada beliau, ‘Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan untuk aku kerjakan, wahai Rasulullah.’ Beliau menjawab, عليك بالصوم، فإنه لا مثل له ‘Hendaklah kamu berpuasa. Sesungguhnya tidak ada amal lain yang serupa dengannya.’ Bukanlah artinya puasa menjadi lebih utama daripada salat. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa puasa itu memiliki suatu keistimewaan tersendiri dan ia menunjukkan kepada keikhlasan.” (Sumber : https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=4254) Ketiga: Perusak puasa Ramadan Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud. Lafaz ini milik Abu Dawud) Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil diharamkannya berkata-kata dusta dan bertindak bohong serta diharamkannya berlaku bodoh/dungu bagi orang yang berpuasa. Dan kedua bentuk perbuatan ini juga diharamkan bagi orang yang sedang tidak berpuasa. Hanya saja pengharaman perbuatan itu bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan lagi, seperti halnya pengharaman zina atas orang yang sudah tua renta dan diharamkannya kesombongan bagi orang yang miskin. (Lihat Subul As-Salam, 2:876) Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan bahwa maksud hadis ini adalah orang yang melakukan perbuatan semacam itu tidak akan bisa memetik manfaat dari puasanya dan tidak akan memperoleh pahala atas puasanya apabila dia tidak meninggalkan ucapan dusta, tindakan bohong, serta perbuatan dungu. Dan hal ini mengandung peringatan keras terhadap segala bentuk kemaksiatan, seperti berbohong, caci-maki, suap, berinteraksi dengan riba, melanggar hak-hak orang lain dalam hal darah, harta, atau kehormatannya. Bagaimana mungkin orang mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang pada asalnya mubah sementara di saat yang sama dia justru bergelimang dengan keharaman yang dilarang sepanjang waktu. Nilai apa yang bisa diraih dari puasa semacam ini?! Puasa yang lemah seperti ini tidak bisa menghapus dosa-dosa dan tidak mengangkat derajat pelakunya. (Lihat Minhatul Malik Al-Jalil, 4:147) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa istilah al-qaul az-zur (perkataan dusta) di dalam hadis ini mencakup segala ucapan yang menyimpang dari kebenaran, tercakup di dalamnya kebohongan dan fitnah. Termasuk yang paling parah adalah persaksian palsu dalam rangka mengambil sesuatu dengan cara yang batil atau menggugurkan hak. Termasuk di dalamnya adalah gibah/menggunjing, namimah/adu domba, mengumpat, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud tindakan bodoh adalah ucapan yang kotor/keji. Hadis ini menunjukkan bahwa puasanya orang yang melakukan perbuatan semacam itu menjadi berkurang maknanya dan sedikit pahalanya karena ia bukan puasa yang sempurna. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:482-483) Baca juga: 8 Faedah dari Ketegasan Sikap Nabi Ibrahim Keempat: Berkumur-kumur ketika puasa Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah benar pendapat yang menyatakan bahwasanya berkumur-kumur dalam wudu tidak wajib bagi orang yang sedang melakukan puasa di siang hari Ramadan?” Beliau menjawab, “Ini tidak benar. Berkumur-kumur di dalam wudu adalah salah satu kewajiban di dalam berwudu. Sama saja, apakah hal itu pada siang hari Ramadan atau di waktu lainnya, untuk orang yang sedang puasa ataupun selainnya. Hal itu berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ ‘Maka, cucilah wajah-wajah kalian.’ (QS. Al-Ma’idah: 6) Meskipun demikian, tidak selayaknya berlebih-lebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung) dalam keadaan dia sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan hadis Laqith bin Shabirah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ‘Sempurnakanlah wudu, sela-selailah antara jari-jemari, dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq, kecuali apabila kamu sedang berpuasa.’ (HR. Tirmidzi dan Nasa’i Disahihkan Al-Albani.)” (Sumber : Tsamaniyah wal Arba’una Su’alan fish Shiyam, hal. 58.) Kelima: Niat puasa Ramadan Suatu saat, Syekh Muqbil ditanya, “Apakah wajib niat puasa Ramadan itu (dilakukan setiap hari, pent), ataukah cukup berniat puasa untuk sebulan penuh dengan sekali niat di awal? Dan kapankah berniatnya?” Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ‘Sesungguhnya setiap amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang yang beramal akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan.’ Ini adalah dalil yang menunjukkan wajibnya berniat dalam seluruh amal yang hendak dilakukan. Maka, yang lebih tampak kuat (bagi kami) adalah setiap orang wajib berniat di setiap hari. Namun, itu bukanlah berarti dia mengucapkan ‘nawaitu an ashuma yauma kadza wa kadza’ (saya berniat untuk puasa pada hari ini dan itu di bulan Ramadan). Akan tetapi, yang dimaksud niat itu adalah keinginan/maksud dan kesengajaan. Sehingga, ketika Anda bangun untuk makan sahur, ini pun sudah dianggap niat. Ketika anda menyengaja menahan makan dan minum, ini pun sudah termasuk niat. Adapun hadis ‘Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sejak malam, maka tiada puasa baginya.’, ini adalah hadis yang lemah dan mudhthorrib/goncang, meskipun hadis ini dinilai hasan oleh sebagian ulama. Akan tetapi, pendapat yang benar/lebih kuat adalah hadis ini mengandung kegoncangan/idhthirrab.” (Sumber : http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3321) Keenam: Rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به،…والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك “Allah ‘Azza Wajalla berfirman, ‘Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan Akulah yang akan membalasnya… Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada semerbak minyak kasturi.'” (HR. Muslim) Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Tidak ada yang mengetahui dengan sebenarnya hakikat puasa seorang hamba, kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bisa saja seorang insan secara sembunyi-sembunyi makan dan minum, sementara tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Akan tetapi, karena dia yakin bahwasanya Allah melihat dan mengawasinya, maka hal itu pun tidak dilakukannya. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Al-‘Ibrah fi Syahri Shaum sebagaimana tercantum dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209) Pelajaran atau ibrah yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwasanya apabila seorang hamba takut kepada Allah kalau-kalau puasanya rusak/cacat, maka semestinya seorang insan juga takut kepada Allah apabila salat, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya mengalami kerusakan/cacat. Karena sesungguhnya Yang mewajibkan puasa sama dengan Yang mewajibkan salat. Terlebih lagi, salat adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya keutamaan salat, sehingga Allah pun mewajibkannya kepada Nabi dengan mengangkat beliau ke langit. Apabila seorang muslim merasakan bahwa kerusakan pada puasanya adalah perkara yang sangat besar dan membahayakan, maka semestinya dia juga bisa merasakan bahwa rusaknya salat yang dia lakukan lebih besar dan lebih membahayakan. Inilah salah satu faedah dan pelajaran paling agung yang semestinya dipetik oleh setiap muslim dari bulan puasa. (Lihat keterangan Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il, 6:209-210) Baca juga: Sekilas tentang Keutamaan dan Faedah Surat Al-Fatihah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahIlmupuasa

Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya, pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan salah satunya, yaitu, وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ “ … seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’ .. “ (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031) Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اضْمَنُوا لِي سِنًّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ: اصْدُقُوا إِذَا حَدَّثْتُمْ، وَأَوْنُوا إِذَا وَعَدْتُمْ، وَأَدُّوا إِذَا اؤْتُمِثْتُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ، وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ “Jaminkanlah enam perkara untukku, maka aku akan menjaminkan surga untuk kalian: 1) Jujurlah jika berbicara; 2) penuhilah janji-janji kalian; 3) tunaikanlah amanah jika kalian mendapatkan amanah; 4) jagalah kemaluan kalian; 5) tundukkanlah pandangan; dan 6) tahanlah tangan-tangan kalian.” (HR. Ahmad no. 22757. Al-Albani berkata, “Hadis shahih lighairihi” dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1901) Hadis ini berisi tentang salah satu bentuk kesabaran yang paling berat, yaitu kesabaran menahan diri dari terjatuh dalam perbuatan keji yang amat menggiurkan untuk dilakukan, yaitu berzina. Allah Ta’ala telah menyebutkan sebuah kisah yang amat bagus untuk diteladani dan diambil pelajaran, yaitu kisah tentang kesabaran Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam ketika menghadapi godaan dan rayuan istri Al-‘Aziz. Nabi Yusuf bersabar atas godaan dan rayuan tersebut. Istri Al-‘Aziz menggoda Nabi Yusuf karena rasa cinta yang sangat dalam karena ketampanan Nabi Yusuf. Hal tersebut kemudian mendorong istri Al-‘Aziz mempercantik dan merias diri untuk menggoda Nabi Yusuf, menutup pintu, dan memanggil Nabi Yusuf. Nabi Yusuf kemudian memohon perlindungan dan keteguhan kepada Allah. Akhirnya, Allah pun menyelamatkan, melindungi, dan, menjaga beliau. Sebagaimana yang Allah ceritakan dalam surah Yusuf ayat 23-35, dan sangat bagus untuk disimak. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa faktor-faktor pendorong yang mengarah ke zina berada pada puncaknya, alias tidak terdapat lagi penghalang. Beliau sampai menyebutkan tiga belas faktor pendorong (Lihat Ad-Daa’ wa Ad–Dawa’, hlm. 208) Di antaranya adalah bahwa Yusuf masih muda dan bujangan, tidak mempunyai istri atau budak untuk meredam nafsu syahwatnya. Istri Al-‘Aziz mempunyai kedudukan terhormat sekaligus cantik jelita. Dan istri Al-‘Aziz-lah yang meminta, berhasrat, menggoda, dan berusaha sehingga Yusuf tidak perlu lagi meminta dan merendahkan diri. Pihak wanitalah yang berada pada kerendahan. Sedangkan beliau berada pada posisi yang tinggi dan menjadi pihak yang diinginkan. Meskipun faktor-faktor pendorong zina tadi sangat banyak, Yusuf tetap mengutamakan rida dan takut kepada Allah. Kecintaan kepada Allah membuatnya memilih penjara dibandingkan harus berzina. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ “Yusuf berkata, “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku …” (QS. Yusuf: 33) Fitnah perempuan adalah fitnah terberat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan akan hal ini, اتقوا الدنيا، واتقوا النساء؛ فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء “Berhati-hatilah kalian terhadap fitnah dunia dan fitnah wanita, sungguh fitnah pertama yang menimpa bani Israil adalah fitnah wanita.” (HR. Muslim no. 2742) Setiap orang, terlebih lagi para pemuda, sangat butuh untuk memahami pembahasan ini. Sehingga hal tersebut dapat membantunya terhindar dari fitnah syahwat dan tidak jatuh ke dalamnya. Apalagi kita saksikan di zaman ini, ketika kita jumpai semakin banyak dan beragamnya faktor pendorong yang memudahkan seseorang untuk terjatuh dalam fitnah jenis ini. Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Dengan merenungkan kisah Nabi Yusuf tersebut, kita dapati bahwa sebab yang membantu seseorang untuk bisa selamat dari ujian atau fitnah syahwat ada tujuh sebab, yaitu: Pertama, memohon perlindungan kepada Allah. Siapa saja yang memohon perlindungan kepada Allah, niscaya Allah akan melindunginya. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan memenuhi urusannya. Nabi Yusufbersegera meminta perlindungan kepada Allah, ketika rayuan itu mendekatinya. Nabi Yusuf berkata, مَعَاذَ اللّهِ “Aku berlindung kepada Allah.” (QS. Yusuf: 23) Kedua, seseorang harus menyadari bahwa perbuatan ini adalah bentuk kezaliman. Sedangkan setiap orang tidak akan mau apabila bentuk kezaliman tersebut menimpa keluarganya. Oleh karena itu, beliau berkata, mengingatkan hal tersebut, إِنَّهُۥ لَا يُفْلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat zalim tidak akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23) Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam sebuah kisah tentang seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina.” (HR. Ahmad no. 22211, disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 370) Para sahabat menegurnya, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendekatinya dan bertanya, “Apakah kamu menyukainya untuk ibumu?” “Apakah kamu menyukainya untuk putrimu?” “Apakah kamu menyukainya untuk saudara perempuanmu?” “Apakah kamu menyukainya untuk bibimu?”  Dan untuk setiap pertanyaan tersebut pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah, engkau telah menjadikan diriku penebus bagi dirimu sendiri.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Demikian pula, manusia tidak akan menyukainya untuk ibu mereka, putri mereka, saudara perempuan mereka, atau bibi mereka”, karena itu adalah kezaliman yang keji. Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, اكْرَهُ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ وَأَحِبُّ لَهُمْ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ “Bencilah untuk mereka apa yang kamu benci untuk dirimu sendiri; dan cintai untuk mereka apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri.” Ketiga, memperbarui dan memperkuat iman. Iman itulah yang akan melindungi dan menyelamatkan pemiliknya. Renungkanlah firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِمَا لَوْلَا أَن رَّمَا بُرْهَانَ رَبِّهِ “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (QS. Yusuf: 24) Makna yang benar tentang bukti (burhan) dari Tuhan-Nya adalah ilmu dan iman yang dimilikinya. Iman yang paling berpengaruh untuk menahan dirinya adalah iman kepada Allah, serta kesadaran bahwa Allah melihat setiap hamba-hamba-Nya dalam hal-hal yang tersembunyi dan hal yang tidak tersembunyi. Keempat, merealisasikan keikhlasan. Ikhlas akan menyelamatkan pemiliknya dari fitnah dan cobaan, serta ikhlas adalah keamanan dari bencana dan kejahatan. Renungkanlah kisah Yusuf, Allah Ta’ala berfirman, كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلْفَحْشَآءَ ۚ إِنَّهُۥ مِنْ عِبَادِنَا ٱلْمُخْلَصِينَ “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24) Dalam bacaan (qira’ah) “al–mukhlishin“, artinya orang-orang yang tulus (ikhlas) kepada Allah. Siapa saja yang mengikhlaskan hatinya, maka Allah akan menyelamatkannya sehingga nafsu syahwat dan kenikmatan yang diharamkan tersebut tidak akan menemukan jalan untuk masuk ke dalam hatinya. Kelima, melarikan diri dari fitnah dan godaan, terutama ketika sebab-sebab dan dorongan untuk melakukan hal tersebut muncul. Yusuf, dalam menghadapi godaan sulit ini, melarikan diri menuju pintu (QS. Yusuf: 25) untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Demikianlah seharusnya seorang hamba Allah yang beriman, dia tidak melangkah menuju fitnah. Demikianlah hendaknya orang beriman ketika diuji dengan sesuatu yang seperti itu. Dia harus menyelamatkan diri dengan melarikan diri, menjauh darinya, bukan dengan mendekat atau atau menempatkan dirinya pada risiko terjatuh ke dalam fitnah. Namun, dia harus melarikan diri dari fitnah untuk mencari keselamatan diri. Keenam, menahan diri, dan ini merupakan hal yang sulit. Allah menyebutkan hal ini dalam kisah Yusuf ketika dia menolak godaan dari istri Al-‘Aziz. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ رَٰوَدتُّهُۥ عَن نَّفْسِهِۦ فَٱسْتَعْصَمَ “Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku), akan tetapi dia menolak.” (QS. Yusuf: 32) Menahan diri adalah bentuk kekuatan dan ketegasan terhadap diri sendiri, serta mengambil langkah-langkah konkrit untuk menyelamatkannya dan menjaganya tetap aman. Ketika menghadapi godaan, orang-orang berada di antara dua kondisi, yaitu menahan diri atau menyerah. Orang yang menahan diri akan selamat; sementara orang yang menyerah pada godaan, maka dia akan binasa. Ketujuh, meminta kepada Allah dengan berdoa dan sungguh-sungguh berlindung kepada Allah Ta’ala. Karena siapa saja yang memohon kepada Allah dengan tulus, Allah akan mengabulkan doanya. Nabi Yusuf ‘alaihi as–salam berlindung kepada Rabb-nya, bersandar kepada Allah, mencari keselamatan dan keamanan dari-Nya, karena Allah-lah yang memiliki kendali penuh atas segala urusan. Yusuf ‘alaihi as–salam berkata, قَالَ رَبِّ ٱلسِّجْنُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا يَدْعُونَنِىٓ إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّى كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلْجَٰهِلِينَ “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan aku tentu termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33) Dengan doa-doanya yang tulus, dia menghadapkan diri kepada Tuhan pemilik langit dan bumi. Allah pun mengabulkan doanya dan mewujudkan permohonannya, فَٱسْتَجَابَ لَهُۥ رَبُّهُۥ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Maka Tuhannya memperkenankan (mengabulkan) doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Yusuf: 34) Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan kepada kita semua pemahaman terhadap agamanya, kebaikan dalam mentadabburi kitab-Nya, keindahan dalam mencintai para nabi-Nya dan orang-orang saleh, serta agar Dia menyatukan kita dengan hamba-hamba-Nya yang saleh. Baca juga: Wanita Pun Terfitnah oleh Lelaki *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 71; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: fitnahsyahwat

Sebab Keselamatan dari Fitnah Syahwat

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya, pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan salah satunya, yaitu, وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ “ … seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’ .. “ (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031) Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اضْمَنُوا لِي سِنًّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ: اصْدُقُوا إِذَا حَدَّثْتُمْ، وَأَوْنُوا إِذَا وَعَدْتُمْ، وَأَدُّوا إِذَا اؤْتُمِثْتُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ، وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ “Jaminkanlah enam perkara untukku, maka aku akan menjaminkan surga untuk kalian: 1) Jujurlah jika berbicara; 2) penuhilah janji-janji kalian; 3) tunaikanlah amanah jika kalian mendapatkan amanah; 4) jagalah kemaluan kalian; 5) tundukkanlah pandangan; dan 6) tahanlah tangan-tangan kalian.” (HR. Ahmad no. 22757. Al-Albani berkata, “Hadis shahih lighairihi” dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1901) Hadis ini berisi tentang salah satu bentuk kesabaran yang paling berat, yaitu kesabaran menahan diri dari terjatuh dalam perbuatan keji yang amat menggiurkan untuk dilakukan, yaitu berzina. Allah Ta’ala telah menyebutkan sebuah kisah yang amat bagus untuk diteladani dan diambil pelajaran, yaitu kisah tentang kesabaran Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam ketika menghadapi godaan dan rayuan istri Al-‘Aziz. Nabi Yusuf bersabar atas godaan dan rayuan tersebut. Istri Al-‘Aziz menggoda Nabi Yusuf karena rasa cinta yang sangat dalam karena ketampanan Nabi Yusuf. Hal tersebut kemudian mendorong istri Al-‘Aziz mempercantik dan merias diri untuk menggoda Nabi Yusuf, menutup pintu, dan memanggil Nabi Yusuf. Nabi Yusuf kemudian memohon perlindungan dan keteguhan kepada Allah. Akhirnya, Allah pun menyelamatkan, melindungi, dan, menjaga beliau. Sebagaimana yang Allah ceritakan dalam surah Yusuf ayat 23-35, dan sangat bagus untuk disimak. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa faktor-faktor pendorong yang mengarah ke zina berada pada puncaknya, alias tidak terdapat lagi penghalang. Beliau sampai menyebutkan tiga belas faktor pendorong (Lihat Ad-Daa’ wa Ad–Dawa’, hlm. 208) Di antaranya adalah bahwa Yusuf masih muda dan bujangan, tidak mempunyai istri atau budak untuk meredam nafsu syahwatnya. Istri Al-‘Aziz mempunyai kedudukan terhormat sekaligus cantik jelita. Dan istri Al-‘Aziz-lah yang meminta, berhasrat, menggoda, dan berusaha sehingga Yusuf tidak perlu lagi meminta dan merendahkan diri. Pihak wanitalah yang berada pada kerendahan. Sedangkan beliau berada pada posisi yang tinggi dan menjadi pihak yang diinginkan. Meskipun faktor-faktor pendorong zina tadi sangat banyak, Yusuf tetap mengutamakan rida dan takut kepada Allah. Kecintaan kepada Allah membuatnya memilih penjara dibandingkan harus berzina. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ “Yusuf berkata, “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku …” (QS. Yusuf: 33) Fitnah perempuan adalah fitnah terberat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan akan hal ini, اتقوا الدنيا، واتقوا النساء؛ فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء “Berhati-hatilah kalian terhadap fitnah dunia dan fitnah wanita, sungguh fitnah pertama yang menimpa bani Israil adalah fitnah wanita.” (HR. Muslim no. 2742) Setiap orang, terlebih lagi para pemuda, sangat butuh untuk memahami pembahasan ini. Sehingga hal tersebut dapat membantunya terhindar dari fitnah syahwat dan tidak jatuh ke dalamnya. Apalagi kita saksikan di zaman ini, ketika kita jumpai semakin banyak dan beragamnya faktor pendorong yang memudahkan seseorang untuk terjatuh dalam fitnah jenis ini. Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Dengan merenungkan kisah Nabi Yusuf tersebut, kita dapati bahwa sebab yang membantu seseorang untuk bisa selamat dari ujian atau fitnah syahwat ada tujuh sebab, yaitu: Pertama, memohon perlindungan kepada Allah. Siapa saja yang memohon perlindungan kepada Allah, niscaya Allah akan melindunginya. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan memenuhi urusannya. Nabi Yusufbersegera meminta perlindungan kepada Allah, ketika rayuan itu mendekatinya. Nabi Yusuf berkata, مَعَاذَ اللّهِ “Aku berlindung kepada Allah.” (QS. Yusuf: 23) Kedua, seseorang harus menyadari bahwa perbuatan ini adalah bentuk kezaliman. Sedangkan setiap orang tidak akan mau apabila bentuk kezaliman tersebut menimpa keluarganya. Oleh karena itu, beliau berkata, mengingatkan hal tersebut, إِنَّهُۥ لَا يُفْلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat zalim tidak akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23) Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam sebuah kisah tentang seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina.” (HR. Ahmad no. 22211, disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 370) Para sahabat menegurnya, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendekatinya dan bertanya, “Apakah kamu menyukainya untuk ibumu?” “Apakah kamu menyukainya untuk putrimu?” “Apakah kamu menyukainya untuk saudara perempuanmu?” “Apakah kamu menyukainya untuk bibimu?”  Dan untuk setiap pertanyaan tersebut pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah, engkau telah menjadikan diriku penebus bagi dirimu sendiri.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Demikian pula, manusia tidak akan menyukainya untuk ibu mereka, putri mereka, saudara perempuan mereka, atau bibi mereka”, karena itu adalah kezaliman yang keji. Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, اكْرَهُ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ وَأَحِبُّ لَهُمْ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ “Bencilah untuk mereka apa yang kamu benci untuk dirimu sendiri; dan cintai untuk mereka apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri.” Ketiga, memperbarui dan memperkuat iman. Iman itulah yang akan melindungi dan menyelamatkan pemiliknya. Renungkanlah firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِمَا لَوْلَا أَن رَّمَا بُرْهَانَ رَبِّهِ “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (QS. Yusuf: 24) Makna yang benar tentang bukti (burhan) dari Tuhan-Nya adalah ilmu dan iman yang dimilikinya. Iman yang paling berpengaruh untuk menahan dirinya adalah iman kepada Allah, serta kesadaran bahwa Allah melihat setiap hamba-hamba-Nya dalam hal-hal yang tersembunyi dan hal yang tidak tersembunyi. Keempat, merealisasikan keikhlasan. Ikhlas akan menyelamatkan pemiliknya dari fitnah dan cobaan, serta ikhlas adalah keamanan dari bencana dan kejahatan. Renungkanlah kisah Yusuf, Allah Ta’ala berfirman, كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلْفَحْشَآءَ ۚ إِنَّهُۥ مِنْ عِبَادِنَا ٱلْمُخْلَصِينَ “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24) Dalam bacaan (qira’ah) “al–mukhlishin“, artinya orang-orang yang tulus (ikhlas) kepada Allah. Siapa saja yang mengikhlaskan hatinya, maka Allah akan menyelamatkannya sehingga nafsu syahwat dan kenikmatan yang diharamkan tersebut tidak akan menemukan jalan untuk masuk ke dalam hatinya. Kelima, melarikan diri dari fitnah dan godaan, terutama ketika sebab-sebab dan dorongan untuk melakukan hal tersebut muncul. Yusuf, dalam menghadapi godaan sulit ini, melarikan diri menuju pintu (QS. Yusuf: 25) untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Demikianlah seharusnya seorang hamba Allah yang beriman, dia tidak melangkah menuju fitnah. Demikianlah hendaknya orang beriman ketika diuji dengan sesuatu yang seperti itu. Dia harus menyelamatkan diri dengan melarikan diri, menjauh darinya, bukan dengan mendekat atau atau menempatkan dirinya pada risiko terjatuh ke dalam fitnah. Namun, dia harus melarikan diri dari fitnah untuk mencari keselamatan diri. Keenam, menahan diri, dan ini merupakan hal yang sulit. Allah menyebutkan hal ini dalam kisah Yusuf ketika dia menolak godaan dari istri Al-‘Aziz. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ رَٰوَدتُّهُۥ عَن نَّفْسِهِۦ فَٱسْتَعْصَمَ “Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku), akan tetapi dia menolak.” (QS. Yusuf: 32) Menahan diri adalah bentuk kekuatan dan ketegasan terhadap diri sendiri, serta mengambil langkah-langkah konkrit untuk menyelamatkannya dan menjaganya tetap aman. Ketika menghadapi godaan, orang-orang berada di antara dua kondisi, yaitu menahan diri atau menyerah. Orang yang menahan diri akan selamat; sementara orang yang menyerah pada godaan, maka dia akan binasa. Ketujuh, meminta kepada Allah dengan berdoa dan sungguh-sungguh berlindung kepada Allah Ta’ala. Karena siapa saja yang memohon kepada Allah dengan tulus, Allah akan mengabulkan doanya. Nabi Yusuf ‘alaihi as–salam berlindung kepada Rabb-nya, bersandar kepada Allah, mencari keselamatan dan keamanan dari-Nya, karena Allah-lah yang memiliki kendali penuh atas segala urusan. Yusuf ‘alaihi as–salam berkata, قَالَ رَبِّ ٱلسِّجْنُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا يَدْعُونَنِىٓ إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّى كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلْجَٰهِلِينَ “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan aku tentu termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33) Dengan doa-doanya yang tulus, dia menghadapkan diri kepada Tuhan pemilik langit dan bumi. Allah pun mengabulkan doanya dan mewujudkan permohonannya, فَٱسْتَجَابَ لَهُۥ رَبُّهُۥ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Maka Tuhannya memperkenankan (mengabulkan) doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Yusuf: 34) Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan kepada kita semua pemahaman terhadap agamanya, kebaikan dalam mentadabburi kitab-Nya, keindahan dalam mencintai para nabi-Nya dan orang-orang saleh, serta agar Dia menyatukan kita dengan hamba-hamba-Nya yang saleh. Baca juga: Wanita Pun Terfitnah oleh Lelaki *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 71; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: fitnahsyahwat
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya, pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan salah satunya, yaitu, وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ “ … seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’ .. “ (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031) Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اضْمَنُوا لِي سِنًّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ: اصْدُقُوا إِذَا حَدَّثْتُمْ، وَأَوْنُوا إِذَا وَعَدْتُمْ، وَأَدُّوا إِذَا اؤْتُمِثْتُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ، وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ “Jaminkanlah enam perkara untukku, maka aku akan menjaminkan surga untuk kalian: 1) Jujurlah jika berbicara; 2) penuhilah janji-janji kalian; 3) tunaikanlah amanah jika kalian mendapatkan amanah; 4) jagalah kemaluan kalian; 5) tundukkanlah pandangan; dan 6) tahanlah tangan-tangan kalian.” (HR. Ahmad no. 22757. Al-Albani berkata, “Hadis shahih lighairihi” dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1901) Hadis ini berisi tentang salah satu bentuk kesabaran yang paling berat, yaitu kesabaran menahan diri dari terjatuh dalam perbuatan keji yang amat menggiurkan untuk dilakukan, yaitu berzina. Allah Ta’ala telah menyebutkan sebuah kisah yang amat bagus untuk diteladani dan diambil pelajaran, yaitu kisah tentang kesabaran Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam ketika menghadapi godaan dan rayuan istri Al-‘Aziz. Nabi Yusuf bersabar atas godaan dan rayuan tersebut. Istri Al-‘Aziz menggoda Nabi Yusuf karena rasa cinta yang sangat dalam karena ketampanan Nabi Yusuf. Hal tersebut kemudian mendorong istri Al-‘Aziz mempercantik dan merias diri untuk menggoda Nabi Yusuf, menutup pintu, dan memanggil Nabi Yusuf. Nabi Yusuf kemudian memohon perlindungan dan keteguhan kepada Allah. Akhirnya, Allah pun menyelamatkan, melindungi, dan, menjaga beliau. Sebagaimana yang Allah ceritakan dalam surah Yusuf ayat 23-35, dan sangat bagus untuk disimak. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa faktor-faktor pendorong yang mengarah ke zina berada pada puncaknya, alias tidak terdapat lagi penghalang. Beliau sampai menyebutkan tiga belas faktor pendorong (Lihat Ad-Daa’ wa Ad–Dawa’, hlm. 208) Di antaranya adalah bahwa Yusuf masih muda dan bujangan, tidak mempunyai istri atau budak untuk meredam nafsu syahwatnya. Istri Al-‘Aziz mempunyai kedudukan terhormat sekaligus cantik jelita. Dan istri Al-‘Aziz-lah yang meminta, berhasrat, menggoda, dan berusaha sehingga Yusuf tidak perlu lagi meminta dan merendahkan diri. Pihak wanitalah yang berada pada kerendahan. Sedangkan beliau berada pada posisi yang tinggi dan menjadi pihak yang diinginkan. Meskipun faktor-faktor pendorong zina tadi sangat banyak, Yusuf tetap mengutamakan rida dan takut kepada Allah. Kecintaan kepada Allah membuatnya memilih penjara dibandingkan harus berzina. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ “Yusuf berkata, “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku …” (QS. Yusuf: 33) Fitnah perempuan adalah fitnah terberat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan akan hal ini, اتقوا الدنيا، واتقوا النساء؛ فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء “Berhati-hatilah kalian terhadap fitnah dunia dan fitnah wanita, sungguh fitnah pertama yang menimpa bani Israil adalah fitnah wanita.” (HR. Muslim no. 2742) Setiap orang, terlebih lagi para pemuda, sangat butuh untuk memahami pembahasan ini. Sehingga hal tersebut dapat membantunya terhindar dari fitnah syahwat dan tidak jatuh ke dalamnya. Apalagi kita saksikan di zaman ini, ketika kita jumpai semakin banyak dan beragamnya faktor pendorong yang memudahkan seseorang untuk terjatuh dalam fitnah jenis ini. Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Dengan merenungkan kisah Nabi Yusuf tersebut, kita dapati bahwa sebab yang membantu seseorang untuk bisa selamat dari ujian atau fitnah syahwat ada tujuh sebab, yaitu: Pertama, memohon perlindungan kepada Allah. Siapa saja yang memohon perlindungan kepada Allah, niscaya Allah akan melindunginya. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan memenuhi urusannya. Nabi Yusufbersegera meminta perlindungan kepada Allah, ketika rayuan itu mendekatinya. Nabi Yusuf berkata, مَعَاذَ اللّهِ “Aku berlindung kepada Allah.” (QS. Yusuf: 23) Kedua, seseorang harus menyadari bahwa perbuatan ini adalah bentuk kezaliman. Sedangkan setiap orang tidak akan mau apabila bentuk kezaliman tersebut menimpa keluarganya. Oleh karena itu, beliau berkata, mengingatkan hal tersebut, إِنَّهُۥ لَا يُفْلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat zalim tidak akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23) Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam sebuah kisah tentang seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina.” (HR. Ahmad no. 22211, disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 370) Para sahabat menegurnya, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendekatinya dan bertanya, “Apakah kamu menyukainya untuk ibumu?” “Apakah kamu menyukainya untuk putrimu?” “Apakah kamu menyukainya untuk saudara perempuanmu?” “Apakah kamu menyukainya untuk bibimu?”  Dan untuk setiap pertanyaan tersebut pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah, engkau telah menjadikan diriku penebus bagi dirimu sendiri.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Demikian pula, manusia tidak akan menyukainya untuk ibu mereka, putri mereka, saudara perempuan mereka, atau bibi mereka”, karena itu adalah kezaliman yang keji. Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, اكْرَهُ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ وَأَحِبُّ لَهُمْ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ “Bencilah untuk mereka apa yang kamu benci untuk dirimu sendiri; dan cintai untuk mereka apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri.” Ketiga, memperbarui dan memperkuat iman. Iman itulah yang akan melindungi dan menyelamatkan pemiliknya. Renungkanlah firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِمَا لَوْلَا أَن رَّمَا بُرْهَانَ رَبِّهِ “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (QS. Yusuf: 24) Makna yang benar tentang bukti (burhan) dari Tuhan-Nya adalah ilmu dan iman yang dimilikinya. Iman yang paling berpengaruh untuk menahan dirinya adalah iman kepada Allah, serta kesadaran bahwa Allah melihat setiap hamba-hamba-Nya dalam hal-hal yang tersembunyi dan hal yang tidak tersembunyi. Keempat, merealisasikan keikhlasan. Ikhlas akan menyelamatkan pemiliknya dari fitnah dan cobaan, serta ikhlas adalah keamanan dari bencana dan kejahatan. Renungkanlah kisah Yusuf, Allah Ta’ala berfirman, كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلْفَحْشَآءَ ۚ إِنَّهُۥ مِنْ عِبَادِنَا ٱلْمُخْلَصِينَ “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24) Dalam bacaan (qira’ah) “al–mukhlishin“, artinya orang-orang yang tulus (ikhlas) kepada Allah. Siapa saja yang mengikhlaskan hatinya, maka Allah akan menyelamatkannya sehingga nafsu syahwat dan kenikmatan yang diharamkan tersebut tidak akan menemukan jalan untuk masuk ke dalam hatinya. Kelima, melarikan diri dari fitnah dan godaan, terutama ketika sebab-sebab dan dorongan untuk melakukan hal tersebut muncul. Yusuf, dalam menghadapi godaan sulit ini, melarikan diri menuju pintu (QS. Yusuf: 25) untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Demikianlah seharusnya seorang hamba Allah yang beriman, dia tidak melangkah menuju fitnah. Demikianlah hendaknya orang beriman ketika diuji dengan sesuatu yang seperti itu. Dia harus menyelamatkan diri dengan melarikan diri, menjauh darinya, bukan dengan mendekat atau atau menempatkan dirinya pada risiko terjatuh ke dalam fitnah. Namun, dia harus melarikan diri dari fitnah untuk mencari keselamatan diri. Keenam, menahan diri, dan ini merupakan hal yang sulit. Allah menyebutkan hal ini dalam kisah Yusuf ketika dia menolak godaan dari istri Al-‘Aziz. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ رَٰوَدتُّهُۥ عَن نَّفْسِهِۦ فَٱسْتَعْصَمَ “Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku), akan tetapi dia menolak.” (QS. Yusuf: 32) Menahan diri adalah bentuk kekuatan dan ketegasan terhadap diri sendiri, serta mengambil langkah-langkah konkrit untuk menyelamatkannya dan menjaganya tetap aman. Ketika menghadapi godaan, orang-orang berada di antara dua kondisi, yaitu menahan diri atau menyerah. Orang yang menahan diri akan selamat; sementara orang yang menyerah pada godaan, maka dia akan binasa. Ketujuh, meminta kepada Allah dengan berdoa dan sungguh-sungguh berlindung kepada Allah Ta’ala. Karena siapa saja yang memohon kepada Allah dengan tulus, Allah akan mengabulkan doanya. Nabi Yusuf ‘alaihi as–salam berlindung kepada Rabb-nya, bersandar kepada Allah, mencari keselamatan dan keamanan dari-Nya, karena Allah-lah yang memiliki kendali penuh atas segala urusan. Yusuf ‘alaihi as–salam berkata, قَالَ رَبِّ ٱلسِّجْنُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا يَدْعُونَنِىٓ إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّى كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلْجَٰهِلِينَ “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan aku tentu termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33) Dengan doa-doanya yang tulus, dia menghadapkan diri kepada Tuhan pemilik langit dan bumi. Allah pun mengabulkan doanya dan mewujudkan permohonannya, فَٱسْتَجَابَ لَهُۥ رَبُّهُۥ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Maka Tuhannya memperkenankan (mengabulkan) doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Yusuf: 34) Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan kepada kita semua pemahaman terhadap agamanya, kebaikan dalam mentadabburi kitab-Nya, keindahan dalam mencintai para nabi-Nya dan orang-orang saleh, serta agar Dia menyatukan kita dengan hamba-hamba-Nya yang saleh. Baca juga: Wanita Pun Terfitnah oleh Lelaki *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 71; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: fitnahsyahwat


Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya, pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan salah satunya, yaitu, وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ “ … seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’ .. “ (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031) Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اضْمَنُوا لِي سِنًّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ: اصْدُقُوا إِذَا حَدَّثْتُمْ، وَأَوْنُوا إِذَا وَعَدْتُمْ، وَأَدُّوا إِذَا اؤْتُمِثْتُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ، وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ “Jaminkanlah enam perkara untukku, maka aku akan menjaminkan surga untuk kalian: 1) Jujurlah jika berbicara; 2) penuhilah janji-janji kalian; 3) tunaikanlah amanah jika kalian mendapatkan amanah; 4) jagalah kemaluan kalian; 5) tundukkanlah pandangan; dan 6) tahanlah tangan-tangan kalian.” (HR. Ahmad no. 22757. Al-Albani berkata, “Hadis shahih lighairihi” dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1901) Hadis ini berisi tentang salah satu bentuk kesabaran yang paling berat, yaitu kesabaran menahan diri dari terjatuh dalam perbuatan keji yang amat menggiurkan untuk dilakukan, yaitu berzina. Allah Ta’ala telah menyebutkan sebuah kisah yang amat bagus untuk diteladani dan diambil pelajaran, yaitu kisah tentang kesabaran Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam ketika menghadapi godaan dan rayuan istri Al-‘Aziz. Nabi Yusuf bersabar atas godaan dan rayuan tersebut. Istri Al-‘Aziz menggoda Nabi Yusuf karena rasa cinta yang sangat dalam karena ketampanan Nabi Yusuf. Hal tersebut kemudian mendorong istri Al-‘Aziz mempercantik dan merias diri untuk menggoda Nabi Yusuf, menutup pintu, dan memanggil Nabi Yusuf. Nabi Yusuf kemudian memohon perlindungan dan keteguhan kepada Allah. Akhirnya, Allah pun menyelamatkan, melindungi, dan, menjaga beliau. Sebagaimana yang Allah ceritakan dalam surah Yusuf ayat 23-35, dan sangat bagus untuk disimak. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa faktor-faktor pendorong yang mengarah ke zina berada pada puncaknya, alias tidak terdapat lagi penghalang. Beliau sampai menyebutkan tiga belas faktor pendorong (Lihat Ad-Daa’ wa Ad–Dawa’, hlm. 208) Di antaranya adalah bahwa Yusuf masih muda dan bujangan, tidak mempunyai istri atau budak untuk meredam nafsu syahwatnya. Istri Al-‘Aziz mempunyai kedudukan terhormat sekaligus cantik jelita. Dan istri Al-‘Aziz-lah yang meminta, berhasrat, menggoda, dan berusaha sehingga Yusuf tidak perlu lagi meminta dan merendahkan diri. Pihak wanitalah yang berada pada kerendahan. Sedangkan beliau berada pada posisi yang tinggi dan menjadi pihak yang diinginkan. Meskipun faktor-faktor pendorong zina tadi sangat banyak, Yusuf tetap mengutamakan rida dan takut kepada Allah. Kecintaan kepada Allah membuatnya memilih penjara dibandingkan harus berzina. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ “Yusuf berkata, “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku …” (QS. Yusuf: 33) Fitnah perempuan adalah fitnah terberat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan akan hal ini, اتقوا الدنيا، واتقوا النساء؛ فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء “Berhati-hatilah kalian terhadap fitnah dunia dan fitnah wanita, sungguh fitnah pertama yang menimpa bani Israil adalah fitnah wanita.” (HR. Muslim no. 2742) Setiap orang, terlebih lagi para pemuda, sangat butuh untuk memahami pembahasan ini. Sehingga hal tersebut dapat membantunya terhindar dari fitnah syahwat dan tidak jatuh ke dalamnya. Apalagi kita saksikan di zaman ini, ketika kita jumpai semakin banyak dan beragamnya faktor pendorong yang memudahkan seseorang untuk terjatuh dalam fitnah jenis ini. Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Dengan merenungkan kisah Nabi Yusuf tersebut, kita dapati bahwa sebab yang membantu seseorang untuk bisa selamat dari ujian atau fitnah syahwat ada tujuh sebab, yaitu: Pertama, memohon perlindungan kepada Allah. Siapa saja yang memohon perlindungan kepada Allah, niscaya Allah akan melindunginya. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan memenuhi urusannya. Nabi Yusufbersegera meminta perlindungan kepada Allah, ketika rayuan itu mendekatinya. Nabi Yusuf berkata, مَعَاذَ اللّهِ “Aku berlindung kepada Allah.” (QS. Yusuf: 23) Kedua, seseorang harus menyadari bahwa perbuatan ini adalah bentuk kezaliman. Sedangkan setiap orang tidak akan mau apabila bentuk kezaliman tersebut menimpa keluarganya. Oleh karena itu, beliau berkata, mengingatkan hal tersebut, إِنَّهُۥ لَا يُفْلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat zalim tidak akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23) Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam sebuah kisah tentang seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina.” (HR. Ahmad no. 22211, disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 370) Para sahabat menegurnya, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendekatinya dan bertanya, “Apakah kamu menyukainya untuk ibumu?” “Apakah kamu menyukainya untuk putrimu?” “Apakah kamu menyukainya untuk saudara perempuanmu?” “Apakah kamu menyukainya untuk bibimu?”  Dan untuk setiap pertanyaan tersebut pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah, engkau telah menjadikan diriku penebus bagi dirimu sendiri.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Demikian pula, manusia tidak akan menyukainya untuk ibu mereka, putri mereka, saudara perempuan mereka, atau bibi mereka”, karena itu adalah kezaliman yang keji. Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, اكْرَهُ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ وَأَحِبُّ لَهُمْ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ “Bencilah untuk mereka apa yang kamu benci untuk dirimu sendiri; dan cintai untuk mereka apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri.” Ketiga, memperbarui dan memperkuat iman. Iman itulah yang akan melindungi dan menyelamatkan pemiliknya. Renungkanlah firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِمَا لَوْلَا أَن رَّمَا بُرْهَانَ رَبِّهِ “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (QS. Yusuf: 24) Makna yang benar tentang bukti (burhan) dari Tuhan-Nya adalah ilmu dan iman yang dimilikinya. Iman yang paling berpengaruh untuk menahan dirinya adalah iman kepada Allah, serta kesadaran bahwa Allah melihat setiap hamba-hamba-Nya dalam hal-hal yang tersembunyi dan hal yang tidak tersembunyi. Keempat, merealisasikan keikhlasan. Ikhlas akan menyelamatkan pemiliknya dari fitnah dan cobaan, serta ikhlas adalah keamanan dari bencana dan kejahatan. Renungkanlah kisah Yusuf, Allah Ta’ala berfirman, كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلْفَحْشَآءَ ۚ إِنَّهُۥ مِنْ عِبَادِنَا ٱلْمُخْلَصِينَ “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24) Dalam bacaan (qira’ah) “al–mukhlishin“, artinya orang-orang yang tulus (ikhlas) kepada Allah. Siapa saja yang mengikhlaskan hatinya, maka Allah akan menyelamatkannya sehingga nafsu syahwat dan kenikmatan yang diharamkan tersebut tidak akan menemukan jalan untuk masuk ke dalam hatinya. Kelima, melarikan diri dari fitnah dan godaan, terutama ketika sebab-sebab dan dorongan untuk melakukan hal tersebut muncul. Yusuf, dalam menghadapi godaan sulit ini, melarikan diri menuju pintu (QS. Yusuf: 25) untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Demikianlah seharusnya seorang hamba Allah yang beriman, dia tidak melangkah menuju fitnah. Demikianlah hendaknya orang beriman ketika diuji dengan sesuatu yang seperti itu. Dia harus menyelamatkan diri dengan melarikan diri, menjauh darinya, bukan dengan mendekat atau atau menempatkan dirinya pada risiko terjatuh ke dalam fitnah. Namun, dia harus melarikan diri dari fitnah untuk mencari keselamatan diri. Keenam, menahan diri, dan ini merupakan hal yang sulit. Allah menyebutkan hal ini dalam kisah Yusuf ketika dia menolak godaan dari istri Al-‘Aziz. Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ رَٰوَدتُّهُۥ عَن نَّفْسِهِۦ فَٱسْتَعْصَمَ “Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku), akan tetapi dia menolak.” (QS. Yusuf: 32) Menahan diri adalah bentuk kekuatan dan ketegasan terhadap diri sendiri, serta mengambil langkah-langkah konkrit untuk menyelamatkannya dan menjaganya tetap aman. Ketika menghadapi godaan, orang-orang berada di antara dua kondisi, yaitu menahan diri atau menyerah. Orang yang menahan diri akan selamat; sementara orang yang menyerah pada godaan, maka dia akan binasa. Ketujuh, meminta kepada Allah dengan berdoa dan sungguh-sungguh berlindung kepada Allah Ta’ala. Karena siapa saja yang memohon kepada Allah dengan tulus, Allah akan mengabulkan doanya. Nabi Yusuf ‘alaihi as–salam berlindung kepada Rabb-nya, bersandar kepada Allah, mencari keselamatan dan keamanan dari-Nya, karena Allah-lah yang memiliki kendali penuh atas segala urusan. Yusuf ‘alaihi as–salam berkata, قَالَ رَبِّ ٱلسِّجْنُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا يَدْعُونَنِىٓ إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّى كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلْجَٰهِلِينَ “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan aku tentu termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33) Dengan doa-doanya yang tulus, dia menghadapkan diri kepada Tuhan pemilik langit dan bumi. Allah pun mengabulkan doanya dan mewujudkan permohonannya, فَٱسْتَجَابَ لَهُۥ رَبُّهُۥ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ “Maka Tuhannya memperkenankan (mengabulkan) doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Yusuf: 34) Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan kepada kita semua pemahaman terhadap agamanya, kebaikan dalam mentadabburi kitab-Nya, keindahan dalam mencintai para nabi-Nya dan orang-orang saleh, serta agar Dia menyatukan kita dengan hamba-hamba-Nya yang saleh. Baca juga: Wanita Pun Terfitnah oleh Lelaki *** @Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 71; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: fitnahsyahwat

Fikih Ringkas Zakat Fitrah

تعريف زكاة الفطر زكاة الفطر هي صدقة تجب بالفطر في رمضان، وأضيفت الزكاة إلى الفطر لأنها سبب وجوبها Pengertian Zakat Fitrah Zakātu al-Fiṯhri (Bahasa Indonesia: Zakat Fitrah) adalah sedekah yang wajib saat Idul Fitri setelah selesainya Ramadan. Kata zakat diasosiasikan kepada kata fitri karena ia (Idul Fitri) menjadi sebab kewajibannya. حكم مشروعية زكاة الفطر عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ  رواه أبو داود 1371  Dalil Disyariatkannya Zakat Fitrah Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat (Idul Fitri), maka itu menjadi zakat yang diterima. Adapun barang siapa yang menunaikannya setelah salat (Idul Fitri), maka itu menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya. (HR. Abu Dawud 1371). قال النووي: رَوَاهُ أَبُو دَاوُد مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ. قوله: (طهرة): أي تطهيرا لنفس من صام رمضان، وقوله (والرفث) قال ابن الأثير: الرفث هنا هو الفحش من كلام، قوله (وطعمة): بضم الطاء وهو الطعام الذي يؤكل. قوله: (من أداها قبل الصلاة): أي قبل صلاة العيد، قوله (فهي زكاة مقبولة): المراد بالزكاة صدقة الفطر، قوله (صدقة من الصدقات): يعني التي يتصدق بها في سائر الأوقات. عون المعبود شرح أبي داود An-Nawawi berkata bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari riwayat Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— dengan sanad yang baik. Sabda beliau, “Ṯuhrah (penyucian)” artinya menyucikan jiwa orang yang berpuasa Ramadan.  Adapun sabda beliau, “Rafats (perkataan kotor),” maka Ibnul Atsīr berkata bahwa Rafats di sini adalah perkataan-perkataan yang keji.  Adapun sabda beliau, “Ṯuʿmah (makanan),” dengan mendamahkan huruf Tha’ artinya adalah makanan yang dimakan. Sabda beliau, “Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat,” yakni sebelum salat Idul Fitri. Sabda beliau, “… maka itu menjadi zakat yang diterima.” Maksud zakat ini adalah zakat fitrah.  Sabda beliau, “… menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya,” yakni yang disedekahkan di waktu-waktu lainnya. ʿAun al-Maʿbūd Syarẖi Abī Dawūd. وقيل هي المقصودة بقوله تعالى في سورة الأعْلَى:  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَبِي الْعَالِيَةِ قَالا: ” أَدَّى زَكَاةَ الْفِطْرِ ثُمَّ خَرَجَ إلَى الصَّلاةِ ” أي صلاة العيد. أحكام القرآن للجصاص ج3: سورة الأعلى وعَنْ وَكِيعٍ بْنِ الْجَرَّاحِ رحمه الله قَالَ: زَكَاةُ الْفِطْرِ لِشَهْرِ رَمَضَانَ كَسَجْدَتِي السَّهْوِ لِلصَّلاةِ، تَجْبُرُ نُقْصَانَ الصَّوْمِ كَمَا يَجْبُرُ السُّجُودُ نُقْصَانَ الصَّلاةِ. المجموع للنووي ج6 Ada yang mengatakan bahwa inilah yang dimaksud dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā dalam surah al-Aʿlā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir (bertakbir) menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Abul ʿĀliyah bahwa mereka berkata, “Maksudnya membayar zakat fitrah lalu keluar untuk salat,” yakni salat Idul Fitri. Aẖkām al-Qurʾān karya al-Jaṣṣāṣ (Juz 3: Surah Al-A’la)  Diriwayatkan dari Wakīʿ bin al-Jarrāẖ —Semoga Allah Merahmatinya— yang mengatakan bahwa zakat fitrah di bulan Ramadan ibarat sujud sahwi dalam salat, yang menutup kekurangan puasa sebagaimana sujud sahwi menutup kekurangan salat. Aḷ-Majmūʿ karya an-Nawawi (Juz 6). حكم زكاة الفطر  الصَّحِيحُ أَنَّهَا فَرْضٌ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ:  فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ . وَلإجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهَا فَرْضٌ. المغني ج2 باب صدقة الفطر Hukum Zakat Fitrah Pendapat yang benar adalah bahwa hukumnya wajib, berdasarkan perkataan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah, dan juga berdasarkan ijmak para ulama akan kewajibannya. Al-Mughnī (Juz 2: Bab Zakat Fitri) وقت وجوب زكاة الفطر فَأَمَّا وَقْتُ الْوُجُوبِ فَهُوَ وَقْتُ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ، فَإِنَّهَا تَجِبُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ شَهْرِ رَمَضَانَ. فَمَنْ تَزَوَّجَ، أَوْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ أَوْ أَسْلَمَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَعَلَيْهِ الْفِطْرَةُ. وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْغُرُوبِ، لَمْ تَلْزَمْهُ.. وَمِنْ مَاتَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْفِطْرِ، فَعَلَيْهِ صَدَقَةُ الْفِطْرِ. نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ المغني ج2: فصل وقت وجوب زكاة الفطر. Waktu Diwajibkannya Zakat Fitrah Adapun waktu diwajibkannya adalah ketika matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan. Karena zakat ini wajib saat matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan, maka orang yang menikah, terlahir anaknya, atau masuk Islam sebelum matahari terbenam, maka dia diwajibkan zakat fitrah. Adapun jika setelah matahari terbenam, maka tidak diwajibkan baginya. Bagi orang yang meninggal setelah matahari terbenam pada malam Idul Fitri, maka zakat fitrah juga wajib baginya. Hal ini ditegaskan oleh Ahmad. Al-Mughnī (Jilid 2: Pasal tentang Waktu Wajibnya Zakat Fitrah) على من تجب زكاة الفطر – زكاة الفطر تجب على المسلمين: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ. البخاري 1407 قال الشافعي رحمه الله: وَفِي حَدِيثِ نَافِعٍ دَلالَةٌ عَلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَفْرِضْهَا إلا عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَذَلِكَ مُوَافَقَةٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِنَّهُ جَعَلَ الزَّكَاةَ لِلْمُسْلِمِينَ طَهُورًا وَالطَّهُورُ لا يَكُونُ إلا لِلْمُسْلِمِينَ. الأم ج2 باب زكاة الفطر Kepada siapa zakat fitrah wajib? Zakat fitrah wajib bagi kaum muslimin. Diriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai.” (HR. Bukhari 1407)  Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dalam hadis Nāfiʿ terdapat dalil bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak mewajibkannya kecuali kepada kaum muslimin, dan ini selaras dengan Kitab Allah ʿAzza wa Jalla, di samping bahwa zakat itu menjadi penyucian bagi kaum muslimin, sementara kesucian hanya ada dalam diri kaum muslimin. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) – تجب على المستطيع، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَكُلُّ مَنْ دَخَلَ عَلَيْهِ شَوَّالٌ وَعِنْدَهُ قُوتُهُ وَقُوتُ مَنْ يَقُوتُهُ يَوْمَهُ وَمَا يُؤَدِّي بِهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْهُمْ أَدَّاهَا عَنْهُمْ وَعَنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ إلا مَا يُؤَدِّي عَنْ بَعْضِهِمْ أَدَّاهَا عَنْ بَعْضٍ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ إلا سِوَى مُؤْنَتِهِ وَمُؤْنَتِهِمْ يَوْمَهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ وَلا عَلَى مَنْ يَقُوتُ عَنْهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ. الأم ج2 باب زكاة الفطر  Zakat fitrah wajib bagi orang yang mampu. Syafii berkata bahwa setiap orang yang telah memasuki bulan Syawal dan dia memiliki makanan pokok yang mencukupi untuknya dan untuk orang-orang yang dia nafkahi di hari tersebut dan juga sejumlah yang mencukupi untuk dia menunaikan zakat fitrah atas namanya dan mereka, maka dia harus menunaikannya atas namanya dan mereka. Adapun jika dia tidak mempunyai sejumlah yang mencukupi kecuali untuk menunaikan zakat fitrah atas namanya dan sebagian mereka saja, maka dia harus menunaikannya atas namanya dan sebagian mereka itu.  Adapun jika dia tidak mempunyai sejumlah yang mencukupi kecuali hanya untuk kebutuhan makanan pokoknya dan orang-orang yang dinafkahinya pada hari itu, maka dia dan orang-orang yang dinafkahinya tidak wajibkan menunaikan zakat fitrah. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) قال النووي رحمه الله: الْمُعْسِرُ لا فِطْرَةَ عَلَيْهِ بِلا خِلافٍ،.. وَالاعْتِبَارُ بِالْيَسَارِ وَالإِعْسَارِ بِحَالِ الْوُجُوبِ، فَمَنْ فَضَلَ عَنْ قُوتِهِ وَقُوتِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لِلَيْلَةِ الْعِيدِ وَيَوْمِهِ صَاعٌ، فَهُوَ مُوسِرٌ، وَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ فَهُوَ مُعْسِرٌ وَلا يَلْزَمُهُ شَيْءٌ فِي الْحَالِ. المجموع ج6 شروط وجوب صدقة الفطر An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang yang kekurangan tidak wajib zakat fitrah tanpa ada perselisihan. … Tolok ukur kesempitan dan kelapangan adalah ketika waktu diwajibkannya zakat tersebut, maka orang yang memiliki kelebihan makanan pokok sejumlah satu Ṣhāʿ untuknya dan untuk orang-orang yang dia nafkahi di malam Idul Fitri dan siang harinya, maka dia dalam kelapangan. Adapun jika dia tidak punya kelebihan tersebut, berarti dia dalam kesempitan, sehingga dalam keadaan itu tiada kewajiban apa pun baginya. Al-Majmū’ (Jilid 6: Syarat Wajib Zakat Fitrah) – يخرجها الإنسان المسلم عن نفسه وعمن ينفق عليهم من الزوجات والأقارب إذا لم يستطيعوا إخراجها عن أنفسهم فإن استطاعوا فالأولى أن يخرجوها هم، لأنهم المخاطبون بها أصلاً. فعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ. صحيح البخاري 1407 قال الشافعي رحمه الله: وَيُؤَدِّي وَلِيُّ الْمَعْتُوهِ وَالصَّبِيِّ عَنْهُمَا زَكَاةَ الْفِطْرِ وَعَمَّنْ تَلْزَمُهُمَا مُؤْنَتُهُ كَمَا يُؤَدِّي الصَّحِيحُ عَنْ نَفْسِهِ.. وإِنْ كَانَ فِيمَنْ يُمَوِّنُ (أي يعول) كَافِرٌ لَمْ يَلْزَمْهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ لأَنَّهُ لا يَطْهُرْ بِالزَّكَاةِ. الأم ج2 باب زكاة الفطر. Seorang muslim menunaikan zakat ini atas nama dirinya sendiri dan orang-orang yang dia nafkahi, seperti istri-istri dan kerabatnya jika mereka tidak mampu menunaikannya atas nama mereka sendiri. Jika memang mereka mampu, maka lebih utama jika mereka menunaikannya atas nama mereka sendiri, karena pada asalnya, merekalah yang diperintahkan.  Diriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat ke tempat salat.” (HR. Bukhari 1407)  Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa wali bagi orang gila dan anak kecil menunaikan zakat fitrah atas nama mereka dan atas nama orang-orang yang dia tanggung nafkahnya, sebagaimana orang yang sehat menunaikan atas namanya sendiri. … Jika di antara orang yang dia tanggung nafkahnya adalah orang kafir, maka dia tidak diwajibkan menunaikan zakat fitrah atas namanya, karena dia tidak bisa disucikan dengan zakat. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) وقال صاحب المهذب: قَالَ الْمُصَنِّفُ رحمه الله تعالى: (وَمَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَتُهُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ إذَا كَانُوا مُسْلِمِينَ وَوَجَدَ مَا يُؤَدِّي عَنْهُمْ فَاضِلا عَنْ النَّفَقَةِ، فَيَجِبُ عَلَى الأَبِ وَالأُمِّ وَعَلَى أَبِيهِمَا وَأُمِّهِمَا – وَإِنْ عَلَوْا – فِطْرَةُ وَلَدِهِمَا وَوَلَدِ وَلَدِهِمَا – وَإِنْ سَفَلُوا – وَعَلَى الْوَلَدِ وَوَلَدِ الْوَلَدِ (وَإِنْ سَفَلُوا) فِطْرَةُ الأَبِ وَالأُمِّ وَأَبِيهِمَا وَأُمِّهِمَا – وَإِنْ عَلَوْا – إذَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمْ نَفَقَتُهُمْ، المجموع ج6. Pengarang kitab al-Muhadzdzab berkata, “Penulis —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang yang terkena kewajiban zakat fitrah, maka dia juga wajib menunaikan zakat fitrahnya orang yang dia tanggung nafkahnya, asalkan mereka muslim dan dia sendiri memiliki kelebihan nafkah yang mencukupi untuk menunaikan zakat atas nama mereka. Seorang ayah dan ibu atau kakek dan nenek —dan ke atas seterusnya— wajib menunaikan zakat fitrah anak dan cucunya —dan ke bawah seterusnya—, sebagaimana anak dan cucu —dan ke bawah seterusnya— wajib menunaikan zakat fitrah ayah dan ibunya atau kakek dan neneknya —dan ke atas seterusnya— jika memang mereka terkena kewajiban untuk menafkahi mereka. Aḷ-Majmūʿ (Jilid 6) يخرج الإنسان عن نفسه وزوجته – وإن كان لها مال – وأولاده الفقراء ووالديه الفقيرين، والبنت التي لم يدخل بها زوجها. فإن كان ولده غنياً لم يجب عليه أن يخرج عنه، ويُخرج الزوج عن مطلقته الرجعية لا الناشز ولا البائن، ولا يلزم الولد إخراج فطرة زوجة أبيه الفقير لأنه لا تجب عليه نفقتها. ويبدأ بالأقرب فالأقرب، بنفسه فزوجته فأولاده ثم بقية القرابة أقربهم فأقربهم على حسب قانون الميراث. Seseorang menunaikan zakat fitrah atas nama dirinya sendiri, istrinya —meskipun istrinya kaya—, anak-anak dan orang tuanya yang miskin, dan anak perempuan yang belum ikut dengan suaminya. Jika anaknya kaya, maka ia tidak wajib menunaikan zakat fitrah atas namanya. Seorang suami wajib menunaikan zakat fitrah atas nama istrinya yang ditalak dengan talak Rajʿi (yang masih bisa rujuk, pent), tapi tidak untuk yang melakukan Nusyuz atau ditalak Bāʾin (yang sudah tidak bisa rujuk kecuali dengan akad nikah lagi, pent). Seorang anak tidak wajib menunaikan zakat fitrah atas nama istri ayahnya yang miskin, karena dia memang tidak wajib menanggung nafkahnya.  Jadi, dimulai dari yang terdekat dahulu lalu yang lebih dekat, dirinya sendiri, kemudian isterinya, kemudian anak-anaknya, kemudian kerabatnya yang paling dekat terlebih dahulu sesuai hukum waris. – قال الشافعي رحمه الله: وَمَنْ قُلْت تَجِبُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ، فَإِذَا وُلِدَ، أَوْ كَانَ فِي مِلْكِهِ، أَوْ عِيَالِهِ فِي شَيْءٍ مِنْ نَهَارِ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَغَابَتْ الشَّمْسُ لَيْلَةَ هِلالِ شَوَّالٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ.. الأم: باب زكاة الفطر الثاني. Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Orang yang aku katakan terkena kewajiban zakat fitrah adalah orang yang dilahirkan, dimiliki sebagai budak, atau ditanggung nafkahnya walaupun hanya sebentar saja di hari terakhir di bulan Ramadan, kemudian matahari terbenam pada malam pertama bulan Syawal, maka zakat fitrah wajib ditunaikan atas namanya.” Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) – ولا تجب عن الحمل الذي في البطن إلا إن يتطوع بها فلا بأس.  – وَإِنْ مَاتَ مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْفِطْرَةُ قَبْلَ أَدَائِهَا، أُخْرِجَتْ مِنْ تَرِكَتِهِ.. وَلَوْ مَاتَ مَنْ يَمُونُهُ، بَعْدَ وُجُوبِ الْفِطْرَةِ، لَمْ تَسْقُطْ. المغني ج2.  – والخادم إذا كان له أجرة مقدرة كل يوم أو كل شهر لا يُخرج عنه الصدقة لأنه أجير والأجير لا يُنفق عليه. الموسوعة 23/339 Zakat fitrah tidak wajib bagi janin dalam kandungan, tetapi tidak masalah jika ditunaikan untuknya secara sukarela. Jika orang yang wajib zakat fitrah meninggal sebelum menunaikannya, maka dibayarkan dari warisannya. Jika orang yang menanggung nafkahnya meninggal setelah dia terkena kewajiban zakat fitri, maka kewajiban itu tidak gugur. Al-Mughnī (Jilid 2) Jika seorang pembantu mendapatkan upah tertentu setiap hari atau setiap bulan, maka majikannya tidak menunaikan zakat atas namanya, karena dia adalah seorang pekerja. Pekerja tidaklah ditanggung nafkahnya. Al-Mausūʿah (23/339) وفِي إخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ عَنْ الْيَتِيمِ: قَالَ مَالِكٌ رحمه الله: يُؤَدِّي الْوَصِيُّ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ الْيَتَامَى الَّذِينَ عِنْدَهُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَإِنْ كَانُوا صِغَارًا. المدونة ج1.  – إذا أسلم الكافر يوم الفطر: فقد قَالَ مَالِكٌ: مَنْ أَسْلَمَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ اُسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يُؤَدِّيَ زَكَاةَ الْفِطْرِ. المدونة ج1 Mengenai membayar zakat fitrah atas nama anak yatim, maka Malik —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan bahwa walinya menunaikan zakat fitrah atas nama anak yatim yang hartanya dia urusi jika anak tersebut masih kecil. Al-Mudawwanah (Jilid 1) Jika orang kafir masuk Islam saat Idul Fitri, maka Malik berkata bahwa orang yang masuk Islam sebelum terbitnya fajar di hari Idul Fitri, maka dia dianjurkan untuk menunaikan zakat fitrah. Al-Mudawwanah (Jilid 1)   مقدار زكاة الفطر  مقدارها صاع من طعام بصاع النبي ﷺ لحديث أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ.. رواه البخاري 1412 والوزن يختلف باختلاف ما يملأ به الصاع، فعند إخراج الوزن لابد من التأكد أنه يعادل ملئ الصاع من النوع المخرَج منه… وهو مثل 3 كيلو من الرز تقريباً Takaran Zakat Fitrah Takarannya adalah satu Ṣhā makanan pokok dengan ukuran Ṣhā Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, berdasarkan hadis Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Kami pada masa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memberikan satu Ṣhā makanan pokok.” (HR. Bukhari 1412)  Takarannya bervariasi sesuai kadar penuhnya Ṣhā tersebut. Jadi, saat membayarkan takaran tersebut, harus dipastikan dahulu bahwa beratnya sudah sepenuh satu Ṣhā berupa suatu jenis makanan pokok untuk menunaikannya, yang kurang lebih setara dengan dengan 3 kilo beras. الأصناف التي تؤدى منها زكاة الفطر الجنس الذي تُخرج منه هو طعام الآدميين، من تمر أو بر أو رز أو غيرها من طعام بني آدم. ففي الصحيحين من حديث ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ (وكان الشعير يومذاك من طعامهم) البخاري 1408 وعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالأَقِطُ وَالتَّمْرُ. رواه البخاري 1414. Jenis Makanan yang Digunakan untuk Zakat Fitrah Jenis makanan yang digunakan untuk menunaikan zakat fitrah adalah makanan pokok manusia, seperti kurma, gandum, beras, atau makanan pokok manusia lainnya. Dalam kitab Shahihain dari hadis Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin, baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai. (HR. Bukhari 1408)  Jelai ketika itu adalah makanan pokok mereka. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Kami di era Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pada hari raya Idul Fitri mengeluarkan satu Ṣhāʿ makanan.” Abu Said mengatakan, “Ketika itu makanan pokok kami adalah jelai, kismis, yogurt kering, dan kurma.” (HR. Bukhari 1414) فتخرج من غالب قوت البلد الذي يستعمله الناس وينتفعون به سواء كان قمحا أو رزاً أو تمراً أو عدسا…قال الشافعي رحمه الله: وَإِنْ اقْتَاتَ قَوْمٌ ذُرَةً، أَوْ دُخْنًا، أَوْ سُلْتًا أَوْ أُرْزًا، أَوْ أَيَّ حَبَّةٍ مَا كَانَتْ مِمَّا فِيهِ الزَّكَاةُ فَلَهُمْ إخْرَاجُ الزَّكَاةِ مِنْهَا. الأم للشافعي ج2 باب الرجل يختلف قوته. Zakat Fitrah ditunaikan berupa makanan pokok yang umum di suatu wilayah, yang digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas, baik gandum, beras, kurma, atau kacang adas. Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika suatu kaum makanan pokoknya adalah jagung, jewawut, sorgum, atau beras, atau biji-bijian apa pun, yang termasuk komoditas yang dikenakan zakat, maka mereka boleh menunaikan zakat fitrah dengannya. Al-Umm karya Syafii (Jilid 2, Bab: Orang yang Berbeda-beda Makanan Pokoknya) وقال النووي رحمه الله: قَالَ أَصْحَابُنَا: يُشْتَرَطُ فِي الْمُخْرَجِ مِنْ الْفِطْرَةِ أَنْ يَكُونَ مِنْ الأَقْوَاتِ الَّتِي يَجِبُ فِيهَا الْعُشْرُ (أي في زكاة الحبوب والثمار)، فَلا يُجْزِئُ شَيْءٌ مِنْ غَيْرِهَا إلا الأَقِطَ وَالْجُبْنُ وَاللَّبَنُ. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَكَذَا لَوْ كَانَ بَعْضُ أَهْلِ الْجَزَائِرِ أَوْ غَيْرِهِمْ يَقْتَاتُونَ السَّمَكَ وَالْبَيْضَ فَلا يُجْزِئُهُمْ بِلا خِلافٍ، وَأَمَّا اللَّحْمُ فَالصَّوَابُ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَقَطَعَ بِهِ الْمُصَنِّفُ وَالأَصْحَابُ فِي جَمِيعِ الطُّرُقِ: أَنَّهُ لا يُجْزِئُ قَوْلا وَاحِدًا… قَالَ أَصْحَابُنَا: وَكَذَا لَوْ اقْتَاتُوا ثَمَرَةً لا عُشْرَ فِيهَا كَالتِّينِ وَغَيْرِهِ لا يُجْزِئُ قَطْعًا. المجموع ج6: الواجب في زكاة الفطر. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Sahabat-sahabat kami berkata bahwa jenis yang digunakan untuk zakat fitrah disyaratkan harus berupa makanan pokok yang dikenakan zakat sebesar sepersepuluh (yakni zakat biji-bijian dan buah-buahan). Jadi, tidak sah jika berupa jenis selain itu, kecuali yogurt dan susu yang dikeringkan serta keju.  Al-Mawardi berkata bahwa jika sebagian masyarakat di jazirah Arab atau selain mereka makanan pokoknya adalah ikan dan telur, maka itu tidak juga tidak sah. Adapun daging, pendapat yang benar yang dikemukakan Syafii dan ditegaskan oleh penulis dan para sahabatnya dari berbagai jalur riwayat adalah satu pendapat, yakni tidak sah. Para sahabat kami berkata bahwa jika orang-orang makanan pokoknya adalah buah-buahan yang tidak dikenakan zakat sebesar sepersepuluhnya, seperti buah tin dan lain-lain, maka jelas tidak sah. Al-Majmūʿ (Jilid 6: Yang Diwajibkan dalam Zakat Fitrah) وقال ابن القيم رحمه الله: فَإِنْ قِيلَ: فَأَنْتُمْ تُوجِبُونَ صَاعَ التَّمْرِ فِي كُلِّ مَكَان، سَوَاءٌ كَانَ قُوتًا لَهُمْ أَوْ لَمْ يَكُنْ. قِيلَ: هَذَا مِنْ مَسَائِلِ النِّزَاعِ وَمَوَارِدِ الاجْتِهَادِ، فَمِنْ النَّاسِ مَنْ يُوجِبُ ذَلِكَ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُوجِبُ فِي كُلِّ بَلَدٍ صَاعًا مِنْ قُوتِهِمْ، وَنَظِيرُ هَذَا تَعْيِينُهُ صلى الله عليه وسلم الأَصْنَافَ الْخَمْسَةَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ وَأَنَّ كُلَّ بَلَدٍ يُخْرِجُونَ مِنْ قُوتِهِمْ مِقْدَارَ الصَّاعِ، وَهَذَا أَرْجَحُ وَأَقْرَبُ إلَى قَوَاعِدِ الشَّرْعِ، وَإِلا فَكَيْفَ يُكَلَّفُ مَنْ قُوتُهُمْ السَّمَكُ مَثَلا أَوْ الأَرُزُّ أَوْ الدُّخْنُ إلَى التَّمْرِ.. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ. إعلام الموقعين ج2. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada yang mengatakan, “Kalian wajib mengeluarkan berupa satu Ṣhāʿ kurma di mana pun tempatnya, baik itu menjadi makanan pokok mereka atau bukan.”  Jawabannya adalah bahwa ini adalah salah satu masalah yang diperselisihkan dan menjadi bidang ijtihad. Sebagian ada yang mewajibkan seperti itu, dan sebagian lagi ada yang mewajibkan untuk setiap wilayah satu Ṣhāʿ makanan pokok setempat. Hal ini sebagaimana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menentukan lima jenis makanan pokok untuk zakat fitrah, dan bahwa setiap wilayah ditunaikan zakat fitrahnya sesuai makanan pokoknya masing-masing sejumlah satu Ṣhāʿ. Inilah yang lebih tepat dan lebih dekat dengan kaidah-kaidah syariat, jika tidak demikian, bagaimana jadinya jika orang yang makanan pokoknya adalah ikan misalnya, atau beras atau jewawut dibebani berzakat dengan kurma? Taufik hanya dari Allah. Iʿlām al-Muwaqqiʿīn (Jilid 2) ويجوز إخراجها من المكرونة المصنوعة من القمح ولكن يتأكد أنّ الوزن هو وزن صاع القمح. وأما إخراجها مالا فلا يجوز مطلقا لأنّ الشّارع فرضها طعاما لا مالا وحدّد جنسها وهو الطّعام فلا يجوز الإخراج من غيره، ولأنّه أرادها ظاهرة لا خفيّة، ولأنّ الصحابة أخرجوها طعاما ونحن نتّبع ولا نبتدع، ثمّ إخراج زكاة الفطر بالطعام ينضبط بهذا الصّاع أمّا إخراجها نقودا فلا ينضبط، فعلى سعر أي شيء يُخرج ؟، وقد تظهر فوائد لإخراجها قوتا كما في حالات الاحتكار وارتفاع الأسعار والحروب والغلاء. Boleh menunaikan zakat dengan makaroni yang terbuat dari gandum, namun harus dipastikan bahwa beratnya setara dengan satu Ṣhāʿ gandum. Adapun menunaikannya dalam bentuk uang, maka mutlak tidak boleh, karena syariat mewajibkannya dalam bentuk makanan, bukan uang, serta ditentukan jenisnya, yaitu makanan pokok.  Jadi, tidak boleh ditunaikan dengan selain itu. Selain itu, karena zakat ini dimaksudkan agar ditampakkan, bukan disembunyikan, dan para Sahabat pun menunaikannya berupa makanan, maka kita mengikuti dan bukan mengada-ada.  Di samping itu, mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan akan sesuai dengan takaran satu Ṣhāʿ, adapun membayarnya berupa uang, maka tidak akan bisa selaras takarannya, harga apa yang akan dipakai untuk standar pembayaran zakat? Mungkin juga manfaat mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan akan tampak jelas sebagaimana ketika masa-masa terjadi penimbunan, kenaikan harga, perang, dan pergolakan. قال قائل: النقود أنفع للفقير ويشتري بها ما يشاء وقد يحتاج شيئا آخر غير الطعام، ثم قد يبيع الفقير الطعام ويخسر فيه فالجواب عن هذا كله أن هناك مصادر أخرى لسدّ احتياجات الفقراء في المسكن والملبس وغيرها، وذلك من زكاة المال والصدقات العامة والهبات وغيرها فلنضع الأمور في نصابها الشّرعي ونلتزم بما حدّده الشّارع وهو قد فرضها صاعا من طعام: طُعمة للمساكين ونحن لو أعطينا الفقير طعاما من قوت البلد فإنه سيأكل منه ويستفيد عاجلا أو آجلا لأنّ هذا مما يستعمله أصلا.  وبناء عليه فلا يجوز إعطاؤها مالا لسداد دين شخص أو أجرة عملية جراحية لمريض أو تسديد قسط دراسة عن طالب محتاج ونحو ذلك فلهذا مصادر أخرى كما تقدم. Ada yang berkata bahwa uang lebih berguna bagi orang miskin dan bisa dipakai untuk membeli apa pun yang dia butuhkan dengan uang itu. Dia juga mungkin membutuhkan sesuatu selain makanan. Kemudian, orang miskin juga bisa menjual makanan itu tapi malah merugi.  Jawaban dari semua ini adalah bahwa masih ada sumber-sumber dana lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin terhadap sandang, papan, dan lain-lain, yaitu dari dana zakat harta, sedekah masyarakat, hadiah, dan lain-lain. Kita berpegang teguh pada syariat yang telah menetapkannya berupa satu Ṣhāʿ makanan bagi orang-orang miskin.  Jika orang miskin kita beri zakat berupa makanan pokok negeri setempat, niscaya dia bisa memakannya dan memanfaatkannya langsung atau di kemudian hari, karena pada asalnya memang inilah yang mereka manfaatkan. Oleh karena itu, tidak boleh memberikan zakat fitrah berupa uang untuk melunasi hutang seseorang, biaya operasi pasien, membayar biaya pendidikan siswa yang membutuhkan, dan kebutuhan lainnya. Masih ada sumber dana lain untuk itu, sebagaimana disebutkan di atas. وقت إخراج زكاة الفطر – تؤدى قبل صلاة العيد كما في الحديث أن النبي ﷺ ” أَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ. البخاري 1407 ووقت الدفع له وقت استحباب ووقت جواز. فأما وقت الاستحباب فهو صباح يوم العيد للحديث السابق، ولهذا يسن تأخير صلاة العيد يوم الفطر ليتسع الوقت لمن عليه إخراجها، ويفطر قبل الخروج. كما يسن تعجيل صلاة العيد يوم الأضحى ليذهب الناس لذبح أضاحيهم ويأكلوا منها.  Waktu Menunaikan Zakat Fitrah Hendaknya ditunaikan sebelum salat Idul Fitri, sebagaimana tersebut dalam hadis Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkannya agar ditunaikan sebelum keluar untuk salat (Idul Fitri). (HR. Bukhari 1407)  Waktu menunaikan zakat fitrah ini ada waktu yang dianjurkan dan waktu yang diperbolehkan. Waktu yang dianjurkan adalah pagi hari Idul Fitri, berdasarkan hadis di atas. Inilah sebabnya disunahkan untuk mengakhirkan waktu salat Idul Fitri, yakni agar ada kelonggaran waktu bagi orang yang wajib menunaikannya dan agar bisa makan dahulu sebelum pergi. Hal ini sebagaimana disunahkan juga untuk menyegerakan shalat id saat Idul Adha agar orang-orang bisa segera beranjak menyembelih hewan kurban mereka lalu memakan sebagiannya. أما وقت الجواز فهو قبل العيد بيوم أو يومين. ففي صحيح البخاري عن نافع قال: كان ابن عمر يعطي عن الصغير والكبير حتى أنه كان يعطي عن بنيّ وكان يعطيها الذين يقبلونها وكان يُعطون قبل الفطر بيوم أو بيومين. ومعنى قوله (الذين يقبلونها) هم الجباة الذين ينصبهم الإمام لجمع صدقة الفطر. وعَنْ نَافِعٍ: إنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ بِثَلاثَةٍ. المدونة ج1 باب تعجيل الزكاة قبل حلولها. Adapun waktu yang diperbolehkan adalah satu atau dua hari sebelum Idul Fitri. Disebutkan dalam Sahih Bukhari dari Nāfiʿ yang menyatakan, “Ibnu Umar dahulu memberikan zakat fitrah atas nama anak kecil dan orang tua bahkan atas nama anakku. Beliau memberikannya kepada orang-orang yang menerimanya, dan mereka menyalurkannya satu atau dua hari sebelum Idul Fitri.”  Makna perkataan beliau “orang-orang yang menerimanya” adalah para petugas yang ditunjuk oleh penguasa untuk memungut zakat fitrah. Diriwayatkan dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar dahulu mengutus orang untuk menyerahkan zakat fitrah kepada pihak yang mengumpulkannya dua atau tiga hari sebelum Idul Fitri. Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab Menyegerakan Zakat Sebelum Waktunya) ويكره تأخيرها بعد صلاة العيد وقال بعضهم يحرم وتكون قضاء واستُدِل لذلك بحديث: مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ رواه أبو داود 1371. قال في عون المعبود شرح أبي داود: والظاهر أن من أخرج الفطرة بعد الصلاة كان كمن لم يخرجها باعتبار اشتراكهما في ترك هذه الصدقة الواجبة. وقد ذهب أكثر العلماء إلى أن إخراجها قبل صلاة العيد إنما هو مستحب فقط، وجزموا بأنها تجزئ إلى آخر يوم الفطر، والحديث يردّ عليهم، وأما تأخيرها عن يوم العيد. فقال ابن رسلان: إنه حرام بالاتفاق لأنها زكاة، فوجب أن يكون في تأخيرها إثم كما في إخراج الصلاة عن وقتها. Makruh hukumnya menundanya sampai setelah salat Idul Fitri. Sebagian ulama mengharamkannya, sehingga zakatnya menjadi qada. Mereka berdalil dengan hadis, “Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat (Idul Fitri), maka itu menjadi zakat yang diterima. Adapun barang siapa yang menunaikannya setelah salat (Idul Fitri), maka itu menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya. (HR. Abu Dawud 1371).  Disebutkan dalam ʿAun al-Maʿbūd Syarẖi Abī Dawūd bahwa yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa orang yang menunaikan zakat fitrah setelah salat, maka dia seperti orang yang tidak menunaikannya, karena kedua-duanya sama-sama meninggalkan zakat wajib ini. Mayoritas ulama berpendapat bahwa menunaikannya sebelum salat Idul Fitri hukumnya disunahkan dan mereka menyatakan bolehnya ditunaikan hingga akhir hari raya Idul Fitri. Hadis di atas menjadi bantahan untuk mereka. Mengenai penundaannya sampai setelah Idul Fitri, maka Ibnu Ruslan berkata bahwa hukumnya haram dengan kesepakatan ulama, karena itu adalah zakat, sehingga penundaannya akan berakibat dosa, sebagaimana menunda salat sampai keluar dari waktunya. فيحرم إذن تأخيرها عن وقتها بلا عذر لأن يفوت به المعنى المقصود، وهو إغناء الفقراء عن الطلب يوم السرور فلو أخرّها بلا عذر عصى وقضى. ويجب أن تصل إلى مستحقها أو من ينوب عنه من المتوكلين في وقتها قبل الصلاة، فلو أراد دفعها إلى شخص فلم يجده ولم يجد وكيلاً له وخاف خروج الوقت فعليه أن يدفعها إلى مستحق آخر ولا يؤخرها عن وقتها Oleh karena itu, diharamkan menundanya sampai terlewat waktunya tanpa uzur, karena itu berarti melewatkan tujuan utamanya, yaitu mencukupi orang-orang miskin agar tidak meminta-minta di hari kegembiraan ini. Jika seseorang menundanya tanpa uzur, maka dia telah bermaksiat dan wajib mengqadanya. Dia harus menunaikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya atau pihak yang biasa yang mewakili mereka di waktu yang semestinya sebelum salat.  Jika dia ingin memberikannya kepada seseorang tetapi dia tidak dapat bertemu dengannya atau mendapati wakilnya sementara dia khawatir keluar dari waktunya, maka ia harus memberikannya kepada orang lain yang berhak menerimanya dan jangan ditunda sampai melewati waktunya.  وإذا كان الشّخص يحب أن يدفع فطرته لفقير معيّن ويخشى أن لا يراه وقت إخراجها فليأمره أن يوكل أحداً بقبضها منه أو يوكله هو في قبضها له من نفسه فإذا جاء وقت دفعها فليأخذها له في كيس أو غيره ويبقيها أمانة عنده حتى يلقى صاحبها. وإذا وكّل المزكّي شخصا بإخراج الزكاة عنه فلا تبرأ الذمة حتى يتأكد أن الوكيل قد أخرجها ودفعها فعلاً.: مجالس شهر رمضان: أحكام زكاة الفطر للشيخ ابن عثيمين. Jika seseorang ingin membayarkan zakat fitrahnya kepada orang miskin tertentu, tetapi ia takut tidak akan berjumpa dengannya ketika tiba waktu wajib pemberian zakat, hendaknya dia memerintahkannya untuk menunjuk seseorang untuk menjadi wakil untuk menerimanya darinya. Bisa juga dengan dia menunjuk dirinya sendiri menjadi wakilnya untuk menerimanya. Jika tiba waktunya mengeluarkan zakat, maka ia bisa mengambilkannya untuknya di plastik atau yang lainnya lalu itu menjadi amanah baginya sampai dia bertemu dengan yang berhak menerimanya.  Jika orang yang mengeluarkan zakat ingin menunjuk seseorang sebagai wakil untuk menunaikan zakat atas namanya, maka kewajiban itu tidak gugur darinya sampai dia memastikan bahwa wakilnya itu benar-benar telah menunaikannya dan menyerahkannya. Majālis Syahri Ramaḏān: Aẖkām Zakāti al-Fiṯri lisy Syaikhi Ibni Utsaimin. إخراج زكاة الفطر وتفريقها – الأفضل أن يتولى الإنسان قسْمها بنفسه: (قَالَ الشَّافِعِيُّ): وَأَخْتَارُ قَسْمَ زَكَاةِ الْفِطْرِ بِنَفْسِي عَلَى طَرْحِهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ.  قال النووي رحمه الله: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي ” الْمُخْتَصَرِ “: وَتُقَسَّمُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى مَنْ تُقَسَّمُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْمَالِ، وَأُحِبُّ دَفْعَهَا إلَى ذَوِي رَحِمِهِ الَّذِينَ لا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُمْ بِحَالٍ، قَالَ: فَإِنْ طَرَحَهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ أَجْزَأَهُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى.. و..الأَفْضَلَ أَنْ يُفَرِّقَ الْفِطْرَةَ بِنَفْسِهِ و.. لَوْ دَفَعَهَا إلَى الإِمَامِ أَوْ السَّاعِي أَوْ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ الْفِطْرَةُ لِلنَّاسِ وَأَذِنَ لَهُ فِي إخْرَاجِهَا أَجْزَأَهُ، وَلَكِنَّ تَفْرِيقَهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ. المجموع: ج6 Penunaian Zakat Fitrah dan Pendistribusiannya Yang lebih baik adalah seseorang bertanggung jawab sendiri mendistribusikannya. Syafii berkata, “Aku memilih untuk membagi zakat fitrah sendiri daripada menyerahkannya kepada pihak yang mengumpulkannya.” An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Syafii berkata dalam al-Mukhtashar, “Zakat fitrah diserahkan kepada orang-orang yang berhak mendapatkan zakat harta. Aku lebih suka jika seseorang memberikannya secara langsung kepada kerabat-kerabatnya yang mana nafkah mereka bukan dia yang menanggungnya.” Beliau juga mengatakan bahwa jika dia menyerahkannya kepada pihak yang mengumpulkannya, maka sah juga, insya Allah. … Yang afdal adalah mendistribusikan zakat fitrahnya sendiri. … Jika ia menyerahkannya kepada pemerintah setempat, petugas, atau pihak yang mengumpulkannya, dan dia mengizinkan mereka menyalurkannya, maka demikian juga sah. Hanya saja, mendistribusikan zakat fitrahnya sendiri lebih baik dari semua itu. Aḷ-Majmūʿ (Jilid 6) – ويجوز أن يوكّل ثقة بإيصالها إلى مستحقيهاوأما إن كان غير ثقة فلا، قال عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُؤَمَّلِ قَالَ سَمِعْت ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ وَرَجُلٌ يَقُولُ لَهُ: إنَّ (فلانا) أَمَرَنِي أَنْ أَطْرَحَ زَكَاةَ الْفِطْرِ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: أَفْتَاك الْعِلْجُ بِغَيْرِ رَأْيِهِ ؟ اقْسِمْهَا (أي تولّ أنت قسمتها بنفسك)، فَإِنَّمَا يُعْطِيهَا ابْنُ هِشَامٍ (أي الوالي الذي يجمعها في المسجد) أَحْرَاسَهُ وَمَنْ شَاءَ. (أي يعطيها لغير مستحقّيها). الأم: باب ضيعة زكاة الفطر قبل قسمها Boleh juga seseorang mewakilkannya kepada orang yang tepercaya untuk mengantarkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Namun jika dia tidak tepercaya, maka tidak boleh. Abdullah bin al-Muammal pernah berkata, “Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah ketika ada seorang laki-laki berkata kepadanya, ‘Si fulan memerintahkanku untuk menyerahkan zakat fitrah ke masjid.’ Ibnu Abi Mulaikah berkata, ‘Orang itu memberi fatwa yang keliru. Bagikan saja! (Artinya, kamu saja sendiri yang mendistribusikannya.) Karena Ibnu Hisyam (dia adalah penguasa yang mengumpulkan zakat fitrah di masjid) hanya akan mendistribusikannya kepada bawahannya dan siapa saja yang dikehendakinya.’” (Artinya, dia memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya.) Al-Umm: Bab tentang Hilangnya Zakat Fitrah sebelum Didistribusikan. ونص الإمام أحمد رحمه الله على أنه يَجُوزُصَرْفُ صَاعٍ إلَى جَمَاعَةٍ، وَآصُعٍ إلَى وَاحِدٍ.  وَقَالَ مَالِكٌ: لا بَأْسَ أَنْ يُعْطِيَ الرَّجُلُ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْ عِيَالِهِ مِسْكِينًا وَاحِدًا. المدونة ج1 باب في قسم زكاة الفطر وإذا أعطى فقيرا أقلّ من صاع فلينبهه لأنّ الفقير قد يُخرجها عن نفسه. ويجوز للفقير إذا أخذ الفطرة من شخص وزادت عن حاجته أن يدفعها هو عن نفسه أو أحد ممن يعولهم إذا علم أنها تامة مجزئة.  Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— menyatakan diperbolehkannya membagikan satu Ṣhāʿ kepada sejumlah orang atau beberapa Ṣhāʿ kepada satu orang saja.  Malik berkata bahwa seseorang yang memberikan zakat fitrah atas nama dirinya sendiri dan keluarganya kepada satu orang miskin tidaklah mengapa. Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab Pembagian Zakat Fitrah)  Jika dia memberikannya kepada satu orang miskin kurang dari satu Ṣhāʿ, maka dia hendaknya menjelaskannya kepadanya, karena orang miskin terkadang juga menunaikan zakat untuk dirinya sendiri. Orang miskin boleh demikian jika dia menerima zakat fitrah dari seseorang dan ternyata melebihi kebutuhannya, maka ia menunaikan zakatnya atas nama dirinya sendiri atau atas nama orang yang ditanggungnya, jika memang dia benar-benar tahu zakat itu mencukupi. مكان إخراج زكاة الفطر قال ابن قدامة رحمه الله: فَأَمَّا زَكَاةُ الْفِطْرِ فَإِنَّهُ يُفَرِّقُهَا فِي الْبَلَدِ الَّذِي وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِيه، سَوَاءٌ كَانَ مَالُهُ فِيهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ؛ لأَنَّهُ سَبَبُ وُجُوبِ الزَّكَاةِ، فَفُرِّقَتْ فِي الْبَلَدِ الَّذِي سَبَبُهَا فِيهِ. المغني ج2 فصل إذا كان المزكي في بلد وماله في بلد. وورد في المدونة في فقه الإمام مالك رحمه الله: قُلْتُ: مَا قَوْلُ مَالِكٍ فِيمَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِ إفْرِيقِيَّةَ وَهُوَ بِمِصْرَ يَوْمَ الْفِطْرِ أَيْنَ يُؤَدِّي زَكَاةَ الْفِطْرِ ؟ قَالَ: قَالَ مَالِكٌ: حَيْثُ هُوَ، قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ أَدَّى عَنْهُ أَهْلُهُ بِإِفْرِيقِيَّةَ أَجْزَأَهُ (ومصطلحهم في كلمة إفريقية يختلف عما هو عليه الآن) ج1. باب في إخراج المسافر زكاة الفطر. نسأل الله أن يتقبّل منّا أجمعين، وأن يُلحقنا بالصالحين وصلى الله على النبي الأمين وعلى آله وصحبه أجمعين. Tempat Menunaikan Zakat Fitrah Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa zakat fitrah wajib didistribusikan di wilayah di mana seseorang terkena kewajiban tersebut, baik hartanya ada di sana atau tidak, karena itulah yang menjadi sebab wajibnya zakat, sehingga zakat didistribusikan di wilayah yang menjadi sebab diwajibkannya zakat tersebut. Al-Mughnī (Jilid 2, Pasal tentang Jika Muzaki ada di Suatu Wilayah dan Hartanya di Wilayah Lain)  Disebutkan dalam kitab al-Mudawwanah tentang fikih Imam Malik —Semoga Allah Merahmatinya—, “Aku berkata, ‘Apa pendapat Malik tentang seseorang yang merupakan penduduk Afrika tapi dia sedang berada di Mesir pada hari raya Idul Fitri? Ke mana dia harus menunaikan zakat fitrahnya?’ Beliau berkata bahwa Malik mengatakan, ‘Di wilayah di mana dia berada.’ Malik juga berkata, ‘Jika keluarganya menunaikannya atas namanya di Afrika, maka sah.’ (Catatan: Kata Afrika dalam terminologi mereka berbeda dengan zaman sekarang). (Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab tentang Musafir yang Membayar Zakat Fitrah))  Kami Memohon kepada Allah agar Menerima dari kita semuanya, dan Mempertemukan kita dengan orang-orang saleh. Semoga selawat Allah terlimpahkan kepada Nabi yang amanah beserta seluruh keluarga dan Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamqa.info/ar/articles/69/احكام-مختصرة-في-زكاة-الفطر PDF sumber artikel. 🔍 Cara Menggauli Istri Saat Haid, Pengertian Nyadran, Kenapa Kodok Haram, Jamak Takhir Isya, Waktu Sholat Isya Jakarta, Ucapan Selamat Melahirkan Dalam Islam Visited 51 times, 1 visit(s) today Post Views: 403 QRIS donasi Yufid

Fikih Ringkas Zakat Fitrah

تعريف زكاة الفطر زكاة الفطر هي صدقة تجب بالفطر في رمضان، وأضيفت الزكاة إلى الفطر لأنها سبب وجوبها Pengertian Zakat Fitrah Zakātu al-Fiṯhri (Bahasa Indonesia: Zakat Fitrah) adalah sedekah yang wajib saat Idul Fitri setelah selesainya Ramadan. Kata zakat diasosiasikan kepada kata fitri karena ia (Idul Fitri) menjadi sebab kewajibannya. حكم مشروعية زكاة الفطر عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ  رواه أبو داود 1371  Dalil Disyariatkannya Zakat Fitrah Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat (Idul Fitri), maka itu menjadi zakat yang diterima. Adapun barang siapa yang menunaikannya setelah salat (Idul Fitri), maka itu menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya. (HR. Abu Dawud 1371). قال النووي: رَوَاهُ أَبُو دَاوُد مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ. قوله: (طهرة): أي تطهيرا لنفس من صام رمضان، وقوله (والرفث) قال ابن الأثير: الرفث هنا هو الفحش من كلام، قوله (وطعمة): بضم الطاء وهو الطعام الذي يؤكل. قوله: (من أداها قبل الصلاة): أي قبل صلاة العيد، قوله (فهي زكاة مقبولة): المراد بالزكاة صدقة الفطر، قوله (صدقة من الصدقات): يعني التي يتصدق بها في سائر الأوقات. عون المعبود شرح أبي داود An-Nawawi berkata bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari riwayat Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— dengan sanad yang baik. Sabda beliau, “Ṯuhrah (penyucian)” artinya menyucikan jiwa orang yang berpuasa Ramadan.  Adapun sabda beliau, “Rafats (perkataan kotor),” maka Ibnul Atsīr berkata bahwa Rafats di sini adalah perkataan-perkataan yang keji.  Adapun sabda beliau, “Ṯuʿmah (makanan),” dengan mendamahkan huruf Tha’ artinya adalah makanan yang dimakan. Sabda beliau, “Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat,” yakni sebelum salat Idul Fitri. Sabda beliau, “… maka itu menjadi zakat yang diterima.” Maksud zakat ini adalah zakat fitrah.  Sabda beliau, “… menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya,” yakni yang disedekahkan di waktu-waktu lainnya. ʿAun al-Maʿbūd Syarẖi Abī Dawūd. وقيل هي المقصودة بقوله تعالى في سورة الأعْلَى:  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَبِي الْعَالِيَةِ قَالا: ” أَدَّى زَكَاةَ الْفِطْرِ ثُمَّ خَرَجَ إلَى الصَّلاةِ ” أي صلاة العيد. أحكام القرآن للجصاص ج3: سورة الأعلى وعَنْ وَكِيعٍ بْنِ الْجَرَّاحِ رحمه الله قَالَ: زَكَاةُ الْفِطْرِ لِشَهْرِ رَمَضَانَ كَسَجْدَتِي السَّهْوِ لِلصَّلاةِ، تَجْبُرُ نُقْصَانَ الصَّوْمِ كَمَا يَجْبُرُ السُّجُودُ نُقْصَانَ الصَّلاةِ. المجموع للنووي ج6 Ada yang mengatakan bahwa inilah yang dimaksud dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā dalam surah al-Aʿlā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir (bertakbir) menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Abul ʿĀliyah bahwa mereka berkata, “Maksudnya membayar zakat fitrah lalu keluar untuk salat,” yakni salat Idul Fitri. Aẖkām al-Qurʾān karya al-Jaṣṣāṣ (Juz 3: Surah Al-A’la)  Diriwayatkan dari Wakīʿ bin al-Jarrāẖ —Semoga Allah Merahmatinya— yang mengatakan bahwa zakat fitrah di bulan Ramadan ibarat sujud sahwi dalam salat, yang menutup kekurangan puasa sebagaimana sujud sahwi menutup kekurangan salat. Aḷ-Majmūʿ karya an-Nawawi (Juz 6). حكم زكاة الفطر  الصَّحِيحُ أَنَّهَا فَرْضٌ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ:  فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ . وَلإجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهَا فَرْضٌ. المغني ج2 باب صدقة الفطر Hukum Zakat Fitrah Pendapat yang benar adalah bahwa hukumnya wajib, berdasarkan perkataan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah, dan juga berdasarkan ijmak para ulama akan kewajibannya. Al-Mughnī (Juz 2: Bab Zakat Fitri) وقت وجوب زكاة الفطر فَأَمَّا وَقْتُ الْوُجُوبِ فَهُوَ وَقْتُ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ، فَإِنَّهَا تَجِبُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ شَهْرِ رَمَضَانَ. فَمَنْ تَزَوَّجَ، أَوْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ أَوْ أَسْلَمَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَعَلَيْهِ الْفِطْرَةُ. وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْغُرُوبِ، لَمْ تَلْزَمْهُ.. وَمِنْ مَاتَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْفِطْرِ، فَعَلَيْهِ صَدَقَةُ الْفِطْرِ. نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ المغني ج2: فصل وقت وجوب زكاة الفطر. Waktu Diwajibkannya Zakat Fitrah Adapun waktu diwajibkannya adalah ketika matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan. Karena zakat ini wajib saat matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan, maka orang yang menikah, terlahir anaknya, atau masuk Islam sebelum matahari terbenam, maka dia diwajibkan zakat fitrah. Adapun jika setelah matahari terbenam, maka tidak diwajibkan baginya. Bagi orang yang meninggal setelah matahari terbenam pada malam Idul Fitri, maka zakat fitrah juga wajib baginya. Hal ini ditegaskan oleh Ahmad. Al-Mughnī (Jilid 2: Pasal tentang Waktu Wajibnya Zakat Fitrah) على من تجب زكاة الفطر – زكاة الفطر تجب على المسلمين: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ. البخاري 1407 قال الشافعي رحمه الله: وَفِي حَدِيثِ نَافِعٍ دَلالَةٌ عَلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَفْرِضْهَا إلا عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَذَلِكَ مُوَافَقَةٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِنَّهُ جَعَلَ الزَّكَاةَ لِلْمُسْلِمِينَ طَهُورًا وَالطَّهُورُ لا يَكُونُ إلا لِلْمُسْلِمِينَ. الأم ج2 باب زكاة الفطر Kepada siapa zakat fitrah wajib? Zakat fitrah wajib bagi kaum muslimin. Diriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai.” (HR. Bukhari 1407)  Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dalam hadis Nāfiʿ terdapat dalil bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak mewajibkannya kecuali kepada kaum muslimin, dan ini selaras dengan Kitab Allah ʿAzza wa Jalla, di samping bahwa zakat itu menjadi penyucian bagi kaum muslimin, sementara kesucian hanya ada dalam diri kaum muslimin. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) – تجب على المستطيع، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَكُلُّ مَنْ دَخَلَ عَلَيْهِ شَوَّالٌ وَعِنْدَهُ قُوتُهُ وَقُوتُ مَنْ يَقُوتُهُ يَوْمَهُ وَمَا يُؤَدِّي بِهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْهُمْ أَدَّاهَا عَنْهُمْ وَعَنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ إلا مَا يُؤَدِّي عَنْ بَعْضِهِمْ أَدَّاهَا عَنْ بَعْضٍ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ إلا سِوَى مُؤْنَتِهِ وَمُؤْنَتِهِمْ يَوْمَهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ وَلا عَلَى مَنْ يَقُوتُ عَنْهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ. الأم ج2 باب زكاة الفطر  Zakat fitrah wajib bagi orang yang mampu. Syafii berkata bahwa setiap orang yang telah memasuki bulan Syawal dan dia memiliki makanan pokok yang mencukupi untuknya dan untuk orang-orang yang dia nafkahi di hari tersebut dan juga sejumlah yang mencukupi untuk dia menunaikan zakat fitrah atas namanya dan mereka, maka dia harus menunaikannya atas namanya dan mereka. Adapun jika dia tidak mempunyai sejumlah yang mencukupi kecuali untuk menunaikan zakat fitrah atas namanya dan sebagian mereka saja, maka dia harus menunaikannya atas namanya dan sebagian mereka itu.  Adapun jika dia tidak mempunyai sejumlah yang mencukupi kecuali hanya untuk kebutuhan makanan pokoknya dan orang-orang yang dinafkahinya pada hari itu, maka dia dan orang-orang yang dinafkahinya tidak wajibkan menunaikan zakat fitrah. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) قال النووي رحمه الله: الْمُعْسِرُ لا فِطْرَةَ عَلَيْهِ بِلا خِلافٍ،.. وَالاعْتِبَارُ بِالْيَسَارِ وَالإِعْسَارِ بِحَالِ الْوُجُوبِ، فَمَنْ فَضَلَ عَنْ قُوتِهِ وَقُوتِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لِلَيْلَةِ الْعِيدِ وَيَوْمِهِ صَاعٌ، فَهُوَ مُوسِرٌ، وَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ فَهُوَ مُعْسِرٌ وَلا يَلْزَمُهُ شَيْءٌ فِي الْحَالِ. المجموع ج6 شروط وجوب صدقة الفطر An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang yang kekurangan tidak wajib zakat fitrah tanpa ada perselisihan. … Tolok ukur kesempitan dan kelapangan adalah ketika waktu diwajibkannya zakat tersebut, maka orang yang memiliki kelebihan makanan pokok sejumlah satu Ṣhāʿ untuknya dan untuk orang-orang yang dia nafkahi di malam Idul Fitri dan siang harinya, maka dia dalam kelapangan. Adapun jika dia tidak punya kelebihan tersebut, berarti dia dalam kesempitan, sehingga dalam keadaan itu tiada kewajiban apa pun baginya. Al-Majmū’ (Jilid 6: Syarat Wajib Zakat Fitrah) – يخرجها الإنسان المسلم عن نفسه وعمن ينفق عليهم من الزوجات والأقارب إذا لم يستطيعوا إخراجها عن أنفسهم فإن استطاعوا فالأولى أن يخرجوها هم، لأنهم المخاطبون بها أصلاً. فعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ. صحيح البخاري 1407 قال الشافعي رحمه الله: وَيُؤَدِّي وَلِيُّ الْمَعْتُوهِ وَالصَّبِيِّ عَنْهُمَا زَكَاةَ الْفِطْرِ وَعَمَّنْ تَلْزَمُهُمَا مُؤْنَتُهُ كَمَا يُؤَدِّي الصَّحِيحُ عَنْ نَفْسِهِ.. وإِنْ كَانَ فِيمَنْ يُمَوِّنُ (أي يعول) كَافِرٌ لَمْ يَلْزَمْهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ لأَنَّهُ لا يَطْهُرْ بِالزَّكَاةِ. الأم ج2 باب زكاة الفطر. Seorang muslim menunaikan zakat ini atas nama dirinya sendiri dan orang-orang yang dia nafkahi, seperti istri-istri dan kerabatnya jika mereka tidak mampu menunaikannya atas nama mereka sendiri. Jika memang mereka mampu, maka lebih utama jika mereka menunaikannya atas nama mereka sendiri, karena pada asalnya, merekalah yang diperintahkan.  Diriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat ke tempat salat.” (HR. Bukhari 1407)  Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa wali bagi orang gila dan anak kecil menunaikan zakat fitrah atas nama mereka dan atas nama orang-orang yang dia tanggung nafkahnya, sebagaimana orang yang sehat menunaikan atas namanya sendiri. … Jika di antara orang yang dia tanggung nafkahnya adalah orang kafir, maka dia tidak diwajibkan menunaikan zakat fitrah atas namanya, karena dia tidak bisa disucikan dengan zakat. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) وقال صاحب المهذب: قَالَ الْمُصَنِّفُ رحمه الله تعالى: (وَمَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَتُهُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ إذَا كَانُوا مُسْلِمِينَ وَوَجَدَ مَا يُؤَدِّي عَنْهُمْ فَاضِلا عَنْ النَّفَقَةِ، فَيَجِبُ عَلَى الأَبِ وَالأُمِّ وَعَلَى أَبِيهِمَا وَأُمِّهِمَا – وَإِنْ عَلَوْا – فِطْرَةُ وَلَدِهِمَا وَوَلَدِ وَلَدِهِمَا – وَإِنْ سَفَلُوا – وَعَلَى الْوَلَدِ وَوَلَدِ الْوَلَدِ (وَإِنْ سَفَلُوا) فِطْرَةُ الأَبِ وَالأُمِّ وَأَبِيهِمَا وَأُمِّهِمَا – وَإِنْ عَلَوْا – إذَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمْ نَفَقَتُهُمْ، المجموع ج6. Pengarang kitab al-Muhadzdzab berkata, “Penulis —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang yang terkena kewajiban zakat fitrah, maka dia juga wajib menunaikan zakat fitrahnya orang yang dia tanggung nafkahnya, asalkan mereka muslim dan dia sendiri memiliki kelebihan nafkah yang mencukupi untuk menunaikan zakat atas nama mereka. Seorang ayah dan ibu atau kakek dan nenek —dan ke atas seterusnya— wajib menunaikan zakat fitrah anak dan cucunya —dan ke bawah seterusnya—, sebagaimana anak dan cucu —dan ke bawah seterusnya— wajib menunaikan zakat fitrah ayah dan ibunya atau kakek dan neneknya —dan ke atas seterusnya— jika memang mereka terkena kewajiban untuk menafkahi mereka. Aḷ-Majmūʿ (Jilid 6) يخرج الإنسان عن نفسه وزوجته – وإن كان لها مال – وأولاده الفقراء ووالديه الفقيرين، والبنت التي لم يدخل بها زوجها. فإن كان ولده غنياً لم يجب عليه أن يخرج عنه، ويُخرج الزوج عن مطلقته الرجعية لا الناشز ولا البائن، ولا يلزم الولد إخراج فطرة زوجة أبيه الفقير لأنه لا تجب عليه نفقتها. ويبدأ بالأقرب فالأقرب، بنفسه فزوجته فأولاده ثم بقية القرابة أقربهم فأقربهم على حسب قانون الميراث. Seseorang menunaikan zakat fitrah atas nama dirinya sendiri, istrinya —meskipun istrinya kaya—, anak-anak dan orang tuanya yang miskin, dan anak perempuan yang belum ikut dengan suaminya. Jika anaknya kaya, maka ia tidak wajib menunaikan zakat fitrah atas namanya. Seorang suami wajib menunaikan zakat fitrah atas nama istrinya yang ditalak dengan talak Rajʿi (yang masih bisa rujuk, pent), tapi tidak untuk yang melakukan Nusyuz atau ditalak Bāʾin (yang sudah tidak bisa rujuk kecuali dengan akad nikah lagi, pent). Seorang anak tidak wajib menunaikan zakat fitrah atas nama istri ayahnya yang miskin, karena dia memang tidak wajib menanggung nafkahnya.  Jadi, dimulai dari yang terdekat dahulu lalu yang lebih dekat, dirinya sendiri, kemudian isterinya, kemudian anak-anaknya, kemudian kerabatnya yang paling dekat terlebih dahulu sesuai hukum waris. – قال الشافعي رحمه الله: وَمَنْ قُلْت تَجِبُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ، فَإِذَا وُلِدَ، أَوْ كَانَ فِي مِلْكِهِ، أَوْ عِيَالِهِ فِي شَيْءٍ مِنْ نَهَارِ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَغَابَتْ الشَّمْسُ لَيْلَةَ هِلالِ شَوَّالٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ.. الأم: باب زكاة الفطر الثاني. Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Orang yang aku katakan terkena kewajiban zakat fitrah adalah orang yang dilahirkan, dimiliki sebagai budak, atau ditanggung nafkahnya walaupun hanya sebentar saja di hari terakhir di bulan Ramadan, kemudian matahari terbenam pada malam pertama bulan Syawal, maka zakat fitrah wajib ditunaikan atas namanya.” Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) – ولا تجب عن الحمل الذي في البطن إلا إن يتطوع بها فلا بأس.  – وَإِنْ مَاتَ مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْفِطْرَةُ قَبْلَ أَدَائِهَا، أُخْرِجَتْ مِنْ تَرِكَتِهِ.. وَلَوْ مَاتَ مَنْ يَمُونُهُ، بَعْدَ وُجُوبِ الْفِطْرَةِ، لَمْ تَسْقُطْ. المغني ج2.  – والخادم إذا كان له أجرة مقدرة كل يوم أو كل شهر لا يُخرج عنه الصدقة لأنه أجير والأجير لا يُنفق عليه. الموسوعة 23/339 Zakat fitrah tidak wajib bagi janin dalam kandungan, tetapi tidak masalah jika ditunaikan untuknya secara sukarela. Jika orang yang wajib zakat fitrah meninggal sebelum menunaikannya, maka dibayarkan dari warisannya. Jika orang yang menanggung nafkahnya meninggal setelah dia terkena kewajiban zakat fitri, maka kewajiban itu tidak gugur. Al-Mughnī (Jilid 2) Jika seorang pembantu mendapatkan upah tertentu setiap hari atau setiap bulan, maka majikannya tidak menunaikan zakat atas namanya, karena dia adalah seorang pekerja. Pekerja tidaklah ditanggung nafkahnya. Al-Mausūʿah (23/339) وفِي إخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ عَنْ الْيَتِيمِ: قَالَ مَالِكٌ رحمه الله: يُؤَدِّي الْوَصِيُّ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ الْيَتَامَى الَّذِينَ عِنْدَهُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَإِنْ كَانُوا صِغَارًا. المدونة ج1.  – إذا أسلم الكافر يوم الفطر: فقد قَالَ مَالِكٌ: مَنْ أَسْلَمَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ اُسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يُؤَدِّيَ زَكَاةَ الْفِطْرِ. المدونة ج1 Mengenai membayar zakat fitrah atas nama anak yatim, maka Malik —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan bahwa walinya menunaikan zakat fitrah atas nama anak yatim yang hartanya dia urusi jika anak tersebut masih kecil. Al-Mudawwanah (Jilid 1) Jika orang kafir masuk Islam saat Idul Fitri, maka Malik berkata bahwa orang yang masuk Islam sebelum terbitnya fajar di hari Idul Fitri, maka dia dianjurkan untuk menunaikan zakat fitrah. Al-Mudawwanah (Jilid 1)   مقدار زكاة الفطر  مقدارها صاع من طعام بصاع النبي ﷺ لحديث أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ.. رواه البخاري 1412 والوزن يختلف باختلاف ما يملأ به الصاع، فعند إخراج الوزن لابد من التأكد أنه يعادل ملئ الصاع من النوع المخرَج منه… وهو مثل 3 كيلو من الرز تقريباً Takaran Zakat Fitrah Takarannya adalah satu Ṣhā makanan pokok dengan ukuran Ṣhā Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, berdasarkan hadis Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Kami pada masa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memberikan satu Ṣhā makanan pokok.” (HR. Bukhari 1412)  Takarannya bervariasi sesuai kadar penuhnya Ṣhā tersebut. Jadi, saat membayarkan takaran tersebut, harus dipastikan dahulu bahwa beratnya sudah sepenuh satu Ṣhā berupa suatu jenis makanan pokok untuk menunaikannya, yang kurang lebih setara dengan dengan 3 kilo beras. الأصناف التي تؤدى منها زكاة الفطر الجنس الذي تُخرج منه هو طعام الآدميين، من تمر أو بر أو رز أو غيرها من طعام بني آدم. ففي الصحيحين من حديث ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ (وكان الشعير يومذاك من طعامهم) البخاري 1408 وعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالأَقِطُ وَالتَّمْرُ. رواه البخاري 1414. Jenis Makanan yang Digunakan untuk Zakat Fitrah Jenis makanan yang digunakan untuk menunaikan zakat fitrah adalah makanan pokok manusia, seperti kurma, gandum, beras, atau makanan pokok manusia lainnya. Dalam kitab Shahihain dari hadis Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin, baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai. (HR. Bukhari 1408)  Jelai ketika itu adalah makanan pokok mereka. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Kami di era Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pada hari raya Idul Fitri mengeluarkan satu Ṣhāʿ makanan.” Abu Said mengatakan, “Ketika itu makanan pokok kami adalah jelai, kismis, yogurt kering, dan kurma.” (HR. Bukhari 1414) فتخرج من غالب قوت البلد الذي يستعمله الناس وينتفعون به سواء كان قمحا أو رزاً أو تمراً أو عدسا…قال الشافعي رحمه الله: وَإِنْ اقْتَاتَ قَوْمٌ ذُرَةً، أَوْ دُخْنًا، أَوْ سُلْتًا أَوْ أُرْزًا، أَوْ أَيَّ حَبَّةٍ مَا كَانَتْ مِمَّا فِيهِ الزَّكَاةُ فَلَهُمْ إخْرَاجُ الزَّكَاةِ مِنْهَا. الأم للشافعي ج2 باب الرجل يختلف قوته. Zakat Fitrah ditunaikan berupa makanan pokok yang umum di suatu wilayah, yang digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas, baik gandum, beras, kurma, atau kacang adas. Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika suatu kaum makanan pokoknya adalah jagung, jewawut, sorgum, atau beras, atau biji-bijian apa pun, yang termasuk komoditas yang dikenakan zakat, maka mereka boleh menunaikan zakat fitrah dengannya. Al-Umm karya Syafii (Jilid 2, Bab: Orang yang Berbeda-beda Makanan Pokoknya) وقال النووي رحمه الله: قَالَ أَصْحَابُنَا: يُشْتَرَطُ فِي الْمُخْرَجِ مِنْ الْفِطْرَةِ أَنْ يَكُونَ مِنْ الأَقْوَاتِ الَّتِي يَجِبُ فِيهَا الْعُشْرُ (أي في زكاة الحبوب والثمار)، فَلا يُجْزِئُ شَيْءٌ مِنْ غَيْرِهَا إلا الأَقِطَ وَالْجُبْنُ وَاللَّبَنُ. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَكَذَا لَوْ كَانَ بَعْضُ أَهْلِ الْجَزَائِرِ أَوْ غَيْرِهِمْ يَقْتَاتُونَ السَّمَكَ وَالْبَيْضَ فَلا يُجْزِئُهُمْ بِلا خِلافٍ، وَأَمَّا اللَّحْمُ فَالصَّوَابُ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَقَطَعَ بِهِ الْمُصَنِّفُ وَالأَصْحَابُ فِي جَمِيعِ الطُّرُقِ: أَنَّهُ لا يُجْزِئُ قَوْلا وَاحِدًا… قَالَ أَصْحَابُنَا: وَكَذَا لَوْ اقْتَاتُوا ثَمَرَةً لا عُشْرَ فِيهَا كَالتِّينِ وَغَيْرِهِ لا يُجْزِئُ قَطْعًا. المجموع ج6: الواجب في زكاة الفطر. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Sahabat-sahabat kami berkata bahwa jenis yang digunakan untuk zakat fitrah disyaratkan harus berupa makanan pokok yang dikenakan zakat sebesar sepersepuluh (yakni zakat biji-bijian dan buah-buahan). Jadi, tidak sah jika berupa jenis selain itu, kecuali yogurt dan susu yang dikeringkan serta keju.  Al-Mawardi berkata bahwa jika sebagian masyarakat di jazirah Arab atau selain mereka makanan pokoknya adalah ikan dan telur, maka itu tidak juga tidak sah. Adapun daging, pendapat yang benar yang dikemukakan Syafii dan ditegaskan oleh penulis dan para sahabatnya dari berbagai jalur riwayat adalah satu pendapat, yakni tidak sah. Para sahabat kami berkata bahwa jika orang-orang makanan pokoknya adalah buah-buahan yang tidak dikenakan zakat sebesar sepersepuluhnya, seperti buah tin dan lain-lain, maka jelas tidak sah. Al-Majmūʿ (Jilid 6: Yang Diwajibkan dalam Zakat Fitrah) وقال ابن القيم رحمه الله: فَإِنْ قِيلَ: فَأَنْتُمْ تُوجِبُونَ صَاعَ التَّمْرِ فِي كُلِّ مَكَان، سَوَاءٌ كَانَ قُوتًا لَهُمْ أَوْ لَمْ يَكُنْ. قِيلَ: هَذَا مِنْ مَسَائِلِ النِّزَاعِ وَمَوَارِدِ الاجْتِهَادِ، فَمِنْ النَّاسِ مَنْ يُوجِبُ ذَلِكَ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُوجِبُ فِي كُلِّ بَلَدٍ صَاعًا مِنْ قُوتِهِمْ، وَنَظِيرُ هَذَا تَعْيِينُهُ صلى الله عليه وسلم الأَصْنَافَ الْخَمْسَةَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ وَأَنَّ كُلَّ بَلَدٍ يُخْرِجُونَ مِنْ قُوتِهِمْ مِقْدَارَ الصَّاعِ، وَهَذَا أَرْجَحُ وَأَقْرَبُ إلَى قَوَاعِدِ الشَّرْعِ، وَإِلا فَكَيْفَ يُكَلَّفُ مَنْ قُوتُهُمْ السَّمَكُ مَثَلا أَوْ الأَرُزُّ أَوْ الدُّخْنُ إلَى التَّمْرِ.. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ. إعلام الموقعين ج2. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada yang mengatakan, “Kalian wajib mengeluarkan berupa satu Ṣhāʿ kurma di mana pun tempatnya, baik itu menjadi makanan pokok mereka atau bukan.”  Jawabannya adalah bahwa ini adalah salah satu masalah yang diperselisihkan dan menjadi bidang ijtihad. Sebagian ada yang mewajibkan seperti itu, dan sebagian lagi ada yang mewajibkan untuk setiap wilayah satu Ṣhāʿ makanan pokok setempat. Hal ini sebagaimana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menentukan lima jenis makanan pokok untuk zakat fitrah, dan bahwa setiap wilayah ditunaikan zakat fitrahnya sesuai makanan pokoknya masing-masing sejumlah satu Ṣhāʿ. Inilah yang lebih tepat dan lebih dekat dengan kaidah-kaidah syariat, jika tidak demikian, bagaimana jadinya jika orang yang makanan pokoknya adalah ikan misalnya, atau beras atau jewawut dibebani berzakat dengan kurma? Taufik hanya dari Allah. Iʿlām al-Muwaqqiʿīn (Jilid 2) ويجوز إخراجها من المكرونة المصنوعة من القمح ولكن يتأكد أنّ الوزن هو وزن صاع القمح. وأما إخراجها مالا فلا يجوز مطلقا لأنّ الشّارع فرضها طعاما لا مالا وحدّد جنسها وهو الطّعام فلا يجوز الإخراج من غيره، ولأنّه أرادها ظاهرة لا خفيّة، ولأنّ الصحابة أخرجوها طعاما ونحن نتّبع ولا نبتدع، ثمّ إخراج زكاة الفطر بالطعام ينضبط بهذا الصّاع أمّا إخراجها نقودا فلا ينضبط، فعلى سعر أي شيء يُخرج ؟، وقد تظهر فوائد لإخراجها قوتا كما في حالات الاحتكار وارتفاع الأسعار والحروب والغلاء. Boleh menunaikan zakat dengan makaroni yang terbuat dari gandum, namun harus dipastikan bahwa beratnya setara dengan satu Ṣhāʿ gandum. Adapun menunaikannya dalam bentuk uang, maka mutlak tidak boleh, karena syariat mewajibkannya dalam bentuk makanan, bukan uang, serta ditentukan jenisnya, yaitu makanan pokok.  Jadi, tidak boleh ditunaikan dengan selain itu. Selain itu, karena zakat ini dimaksudkan agar ditampakkan, bukan disembunyikan, dan para Sahabat pun menunaikannya berupa makanan, maka kita mengikuti dan bukan mengada-ada.  Di samping itu, mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan akan sesuai dengan takaran satu Ṣhāʿ, adapun membayarnya berupa uang, maka tidak akan bisa selaras takarannya, harga apa yang akan dipakai untuk standar pembayaran zakat? Mungkin juga manfaat mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan akan tampak jelas sebagaimana ketika masa-masa terjadi penimbunan, kenaikan harga, perang, dan pergolakan. قال قائل: النقود أنفع للفقير ويشتري بها ما يشاء وقد يحتاج شيئا آخر غير الطعام، ثم قد يبيع الفقير الطعام ويخسر فيه فالجواب عن هذا كله أن هناك مصادر أخرى لسدّ احتياجات الفقراء في المسكن والملبس وغيرها، وذلك من زكاة المال والصدقات العامة والهبات وغيرها فلنضع الأمور في نصابها الشّرعي ونلتزم بما حدّده الشّارع وهو قد فرضها صاعا من طعام: طُعمة للمساكين ونحن لو أعطينا الفقير طعاما من قوت البلد فإنه سيأكل منه ويستفيد عاجلا أو آجلا لأنّ هذا مما يستعمله أصلا.  وبناء عليه فلا يجوز إعطاؤها مالا لسداد دين شخص أو أجرة عملية جراحية لمريض أو تسديد قسط دراسة عن طالب محتاج ونحو ذلك فلهذا مصادر أخرى كما تقدم. Ada yang berkata bahwa uang lebih berguna bagi orang miskin dan bisa dipakai untuk membeli apa pun yang dia butuhkan dengan uang itu. Dia juga mungkin membutuhkan sesuatu selain makanan. Kemudian, orang miskin juga bisa menjual makanan itu tapi malah merugi.  Jawaban dari semua ini adalah bahwa masih ada sumber-sumber dana lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin terhadap sandang, papan, dan lain-lain, yaitu dari dana zakat harta, sedekah masyarakat, hadiah, dan lain-lain. Kita berpegang teguh pada syariat yang telah menetapkannya berupa satu Ṣhāʿ makanan bagi orang-orang miskin.  Jika orang miskin kita beri zakat berupa makanan pokok negeri setempat, niscaya dia bisa memakannya dan memanfaatkannya langsung atau di kemudian hari, karena pada asalnya memang inilah yang mereka manfaatkan. Oleh karena itu, tidak boleh memberikan zakat fitrah berupa uang untuk melunasi hutang seseorang, biaya operasi pasien, membayar biaya pendidikan siswa yang membutuhkan, dan kebutuhan lainnya. Masih ada sumber dana lain untuk itu, sebagaimana disebutkan di atas. وقت إخراج زكاة الفطر – تؤدى قبل صلاة العيد كما في الحديث أن النبي ﷺ ” أَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ. البخاري 1407 ووقت الدفع له وقت استحباب ووقت جواز. فأما وقت الاستحباب فهو صباح يوم العيد للحديث السابق، ولهذا يسن تأخير صلاة العيد يوم الفطر ليتسع الوقت لمن عليه إخراجها، ويفطر قبل الخروج. كما يسن تعجيل صلاة العيد يوم الأضحى ليذهب الناس لذبح أضاحيهم ويأكلوا منها.  Waktu Menunaikan Zakat Fitrah Hendaknya ditunaikan sebelum salat Idul Fitri, sebagaimana tersebut dalam hadis Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkannya agar ditunaikan sebelum keluar untuk salat (Idul Fitri). (HR. Bukhari 1407)  Waktu menunaikan zakat fitrah ini ada waktu yang dianjurkan dan waktu yang diperbolehkan. Waktu yang dianjurkan adalah pagi hari Idul Fitri, berdasarkan hadis di atas. Inilah sebabnya disunahkan untuk mengakhirkan waktu salat Idul Fitri, yakni agar ada kelonggaran waktu bagi orang yang wajib menunaikannya dan agar bisa makan dahulu sebelum pergi. Hal ini sebagaimana disunahkan juga untuk menyegerakan shalat id saat Idul Adha agar orang-orang bisa segera beranjak menyembelih hewan kurban mereka lalu memakan sebagiannya. أما وقت الجواز فهو قبل العيد بيوم أو يومين. ففي صحيح البخاري عن نافع قال: كان ابن عمر يعطي عن الصغير والكبير حتى أنه كان يعطي عن بنيّ وكان يعطيها الذين يقبلونها وكان يُعطون قبل الفطر بيوم أو بيومين. ومعنى قوله (الذين يقبلونها) هم الجباة الذين ينصبهم الإمام لجمع صدقة الفطر. وعَنْ نَافِعٍ: إنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ بِثَلاثَةٍ. المدونة ج1 باب تعجيل الزكاة قبل حلولها. Adapun waktu yang diperbolehkan adalah satu atau dua hari sebelum Idul Fitri. Disebutkan dalam Sahih Bukhari dari Nāfiʿ yang menyatakan, “Ibnu Umar dahulu memberikan zakat fitrah atas nama anak kecil dan orang tua bahkan atas nama anakku. Beliau memberikannya kepada orang-orang yang menerimanya, dan mereka menyalurkannya satu atau dua hari sebelum Idul Fitri.”  Makna perkataan beliau “orang-orang yang menerimanya” adalah para petugas yang ditunjuk oleh penguasa untuk memungut zakat fitrah. Diriwayatkan dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar dahulu mengutus orang untuk menyerahkan zakat fitrah kepada pihak yang mengumpulkannya dua atau tiga hari sebelum Idul Fitri. Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab Menyegerakan Zakat Sebelum Waktunya) ويكره تأخيرها بعد صلاة العيد وقال بعضهم يحرم وتكون قضاء واستُدِل لذلك بحديث: مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ رواه أبو داود 1371. قال في عون المعبود شرح أبي داود: والظاهر أن من أخرج الفطرة بعد الصلاة كان كمن لم يخرجها باعتبار اشتراكهما في ترك هذه الصدقة الواجبة. وقد ذهب أكثر العلماء إلى أن إخراجها قبل صلاة العيد إنما هو مستحب فقط، وجزموا بأنها تجزئ إلى آخر يوم الفطر، والحديث يردّ عليهم، وأما تأخيرها عن يوم العيد. فقال ابن رسلان: إنه حرام بالاتفاق لأنها زكاة، فوجب أن يكون في تأخيرها إثم كما في إخراج الصلاة عن وقتها. Makruh hukumnya menundanya sampai setelah salat Idul Fitri. Sebagian ulama mengharamkannya, sehingga zakatnya menjadi qada. Mereka berdalil dengan hadis, “Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat (Idul Fitri), maka itu menjadi zakat yang diterima. Adapun barang siapa yang menunaikannya setelah salat (Idul Fitri), maka itu menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya. (HR. Abu Dawud 1371).  Disebutkan dalam ʿAun al-Maʿbūd Syarẖi Abī Dawūd bahwa yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa orang yang menunaikan zakat fitrah setelah salat, maka dia seperti orang yang tidak menunaikannya, karena kedua-duanya sama-sama meninggalkan zakat wajib ini. Mayoritas ulama berpendapat bahwa menunaikannya sebelum salat Idul Fitri hukumnya disunahkan dan mereka menyatakan bolehnya ditunaikan hingga akhir hari raya Idul Fitri. Hadis di atas menjadi bantahan untuk mereka. Mengenai penundaannya sampai setelah Idul Fitri, maka Ibnu Ruslan berkata bahwa hukumnya haram dengan kesepakatan ulama, karena itu adalah zakat, sehingga penundaannya akan berakibat dosa, sebagaimana menunda salat sampai keluar dari waktunya. فيحرم إذن تأخيرها عن وقتها بلا عذر لأن يفوت به المعنى المقصود، وهو إغناء الفقراء عن الطلب يوم السرور فلو أخرّها بلا عذر عصى وقضى. ويجب أن تصل إلى مستحقها أو من ينوب عنه من المتوكلين في وقتها قبل الصلاة، فلو أراد دفعها إلى شخص فلم يجده ولم يجد وكيلاً له وخاف خروج الوقت فعليه أن يدفعها إلى مستحق آخر ولا يؤخرها عن وقتها Oleh karena itu, diharamkan menundanya sampai terlewat waktunya tanpa uzur, karena itu berarti melewatkan tujuan utamanya, yaitu mencukupi orang-orang miskin agar tidak meminta-minta di hari kegembiraan ini. Jika seseorang menundanya tanpa uzur, maka dia telah bermaksiat dan wajib mengqadanya. Dia harus menunaikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya atau pihak yang biasa yang mewakili mereka di waktu yang semestinya sebelum salat.  Jika dia ingin memberikannya kepada seseorang tetapi dia tidak dapat bertemu dengannya atau mendapati wakilnya sementara dia khawatir keluar dari waktunya, maka ia harus memberikannya kepada orang lain yang berhak menerimanya dan jangan ditunda sampai melewati waktunya.  وإذا كان الشّخص يحب أن يدفع فطرته لفقير معيّن ويخشى أن لا يراه وقت إخراجها فليأمره أن يوكل أحداً بقبضها منه أو يوكله هو في قبضها له من نفسه فإذا جاء وقت دفعها فليأخذها له في كيس أو غيره ويبقيها أمانة عنده حتى يلقى صاحبها. وإذا وكّل المزكّي شخصا بإخراج الزكاة عنه فلا تبرأ الذمة حتى يتأكد أن الوكيل قد أخرجها ودفعها فعلاً.: مجالس شهر رمضان: أحكام زكاة الفطر للشيخ ابن عثيمين. Jika seseorang ingin membayarkan zakat fitrahnya kepada orang miskin tertentu, tetapi ia takut tidak akan berjumpa dengannya ketika tiba waktu wajib pemberian zakat, hendaknya dia memerintahkannya untuk menunjuk seseorang untuk menjadi wakil untuk menerimanya darinya. Bisa juga dengan dia menunjuk dirinya sendiri menjadi wakilnya untuk menerimanya. Jika tiba waktunya mengeluarkan zakat, maka ia bisa mengambilkannya untuknya di plastik atau yang lainnya lalu itu menjadi amanah baginya sampai dia bertemu dengan yang berhak menerimanya.  Jika orang yang mengeluarkan zakat ingin menunjuk seseorang sebagai wakil untuk menunaikan zakat atas namanya, maka kewajiban itu tidak gugur darinya sampai dia memastikan bahwa wakilnya itu benar-benar telah menunaikannya dan menyerahkannya. Majālis Syahri Ramaḏān: Aẖkām Zakāti al-Fiṯri lisy Syaikhi Ibni Utsaimin. إخراج زكاة الفطر وتفريقها – الأفضل أن يتولى الإنسان قسْمها بنفسه: (قَالَ الشَّافِعِيُّ): وَأَخْتَارُ قَسْمَ زَكَاةِ الْفِطْرِ بِنَفْسِي عَلَى طَرْحِهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ.  قال النووي رحمه الله: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي ” الْمُخْتَصَرِ “: وَتُقَسَّمُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى مَنْ تُقَسَّمُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْمَالِ، وَأُحِبُّ دَفْعَهَا إلَى ذَوِي رَحِمِهِ الَّذِينَ لا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُمْ بِحَالٍ، قَالَ: فَإِنْ طَرَحَهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ أَجْزَأَهُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى.. و..الأَفْضَلَ أَنْ يُفَرِّقَ الْفِطْرَةَ بِنَفْسِهِ و.. لَوْ دَفَعَهَا إلَى الإِمَامِ أَوْ السَّاعِي أَوْ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ الْفِطْرَةُ لِلنَّاسِ وَأَذِنَ لَهُ فِي إخْرَاجِهَا أَجْزَأَهُ، وَلَكِنَّ تَفْرِيقَهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ. المجموع: ج6 Penunaian Zakat Fitrah dan Pendistribusiannya Yang lebih baik adalah seseorang bertanggung jawab sendiri mendistribusikannya. Syafii berkata, “Aku memilih untuk membagi zakat fitrah sendiri daripada menyerahkannya kepada pihak yang mengumpulkannya.” An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Syafii berkata dalam al-Mukhtashar, “Zakat fitrah diserahkan kepada orang-orang yang berhak mendapatkan zakat harta. Aku lebih suka jika seseorang memberikannya secara langsung kepada kerabat-kerabatnya yang mana nafkah mereka bukan dia yang menanggungnya.” Beliau juga mengatakan bahwa jika dia menyerahkannya kepada pihak yang mengumpulkannya, maka sah juga, insya Allah. … Yang afdal adalah mendistribusikan zakat fitrahnya sendiri. … Jika ia menyerahkannya kepada pemerintah setempat, petugas, atau pihak yang mengumpulkannya, dan dia mengizinkan mereka menyalurkannya, maka demikian juga sah. Hanya saja, mendistribusikan zakat fitrahnya sendiri lebih baik dari semua itu. Aḷ-Majmūʿ (Jilid 6) – ويجوز أن يوكّل ثقة بإيصالها إلى مستحقيهاوأما إن كان غير ثقة فلا، قال عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُؤَمَّلِ قَالَ سَمِعْت ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ وَرَجُلٌ يَقُولُ لَهُ: إنَّ (فلانا) أَمَرَنِي أَنْ أَطْرَحَ زَكَاةَ الْفِطْرِ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: أَفْتَاك الْعِلْجُ بِغَيْرِ رَأْيِهِ ؟ اقْسِمْهَا (أي تولّ أنت قسمتها بنفسك)، فَإِنَّمَا يُعْطِيهَا ابْنُ هِشَامٍ (أي الوالي الذي يجمعها في المسجد) أَحْرَاسَهُ وَمَنْ شَاءَ. (أي يعطيها لغير مستحقّيها). الأم: باب ضيعة زكاة الفطر قبل قسمها Boleh juga seseorang mewakilkannya kepada orang yang tepercaya untuk mengantarkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Namun jika dia tidak tepercaya, maka tidak boleh. Abdullah bin al-Muammal pernah berkata, “Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah ketika ada seorang laki-laki berkata kepadanya, ‘Si fulan memerintahkanku untuk menyerahkan zakat fitrah ke masjid.’ Ibnu Abi Mulaikah berkata, ‘Orang itu memberi fatwa yang keliru. Bagikan saja! (Artinya, kamu saja sendiri yang mendistribusikannya.) Karena Ibnu Hisyam (dia adalah penguasa yang mengumpulkan zakat fitrah di masjid) hanya akan mendistribusikannya kepada bawahannya dan siapa saja yang dikehendakinya.’” (Artinya, dia memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya.) Al-Umm: Bab tentang Hilangnya Zakat Fitrah sebelum Didistribusikan. ونص الإمام أحمد رحمه الله على أنه يَجُوزُصَرْفُ صَاعٍ إلَى جَمَاعَةٍ، وَآصُعٍ إلَى وَاحِدٍ.  وَقَالَ مَالِكٌ: لا بَأْسَ أَنْ يُعْطِيَ الرَّجُلُ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْ عِيَالِهِ مِسْكِينًا وَاحِدًا. المدونة ج1 باب في قسم زكاة الفطر وإذا أعطى فقيرا أقلّ من صاع فلينبهه لأنّ الفقير قد يُخرجها عن نفسه. ويجوز للفقير إذا أخذ الفطرة من شخص وزادت عن حاجته أن يدفعها هو عن نفسه أو أحد ممن يعولهم إذا علم أنها تامة مجزئة.  Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— menyatakan diperbolehkannya membagikan satu Ṣhāʿ kepada sejumlah orang atau beberapa Ṣhāʿ kepada satu orang saja.  Malik berkata bahwa seseorang yang memberikan zakat fitrah atas nama dirinya sendiri dan keluarganya kepada satu orang miskin tidaklah mengapa. Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab Pembagian Zakat Fitrah)  Jika dia memberikannya kepada satu orang miskin kurang dari satu Ṣhāʿ, maka dia hendaknya menjelaskannya kepadanya, karena orang miskin terkadang juga menunaikan zakat untuk dirinya sendiri. Orang miskin boleh demikian jika dia menerima zakat fitrah dari seseorang dan ternyata melebihi kebutuhannya, maka ia menunaikan zakatnya atas nama dirinya sendiri atau atas nama orang yang ditanggungnya, jika memang dia benar-benar tahu zakat itu mencukupi. مكان إخراج زكاة الفطر قال ابن قدامة رحمه الله: فَأَمَّا زَكَاةُ الْفِطْرِ فَإِنَّهُ يُفَرِّقُهَا فِي الْبَلَدِ الَّذِي وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِيه، سَوَاءٌ كَانَ مَالُهُ فِيهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ؛ لأَنَّهُ سَبَبُ وُجُوبِ الزَّكَاةِ، فَفُرِّقَتْ فِي الْبَلَدِ الَّذِي سَبَبُهَا فِيهِ. المغني ج2 فصل إذا كان المزكي في بلد وماله في بلد. وورد في المدونة في فقه الإمام مالك رحمه الله: قُلْتُ: مَا قَوْلُ مَالِكٍ فِيمَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِ إفْرِيقِيَّةَ وَهُوَ بِمِصْرَ يَوْمَ الْفِطْرِ أَيْنَ يُؤَدِّي زَكَاةَ الْفِطْرِ ؟ قَالَ: قَالَ مَالِكٌ: حَيْثُ هُوَ، قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ أَدَّى عَنْهُ أَهْلُهُ بِإِفْرِيقِيَّةَ أَجْزَأَهُ (ومصطلحهم في كلمة إفريقية يختلف عما هو عليه الآن) ج1. باب في إخراج المسافر زكاة الفطر. نسأل الله أن يتقبّل منّا أجمعين، وأن يُلحقنا بالصالحين وصلى الله على النبي الأمين وعلى آله وصحبه أجمعين. Tempat Menunaikan Zakat Fitrah Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa zakat fitrah wajib didistribusikan di wilayah di mana seseorang terkena kewajiban tersebut, baik hartanya ada di sana atau tidak, karena itulah yang menjadi sebab wajibnya zakat, sehingga zakat didistribusikan di wilayah yang menjadi sebab diwajibkannya zakat tersebut. Al-Mughnī (Jilid 2, Pasal tentang Jika Muzaki ada di Suatu Wilayah dan Hartanya di Wilayah Lain)  Disebutkan dalam kitab al-Mudawwanah tentang fikih Imam Malik —Semoga Allah Merahmatinya—, “Aku berkata, ‘Apa pendapat Malik tentang seseorang yang merupakan penduduk Afrika tapi dia sedang berada di Mesir pada hari raya Idul Fitri? Ke mana dia harus menunaikan zakat fitrahnya?’ Beliau berkata bahwa Malik mengatakan, ‘Di wilayah di mana dia berada.’ Malik juga berkata, ‘Jika keluarganya menunaikannya atas namanya di Afrika, maka sah.’ (Catatan: Kata Afrika dalam terminologi mereka berbeda dengan zaman sekarang). (Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab tentang Musafir yang Membayar Zakat Fitrah))  Kami Memohon kepada Allah agar Menerima dari kita semuanya, dan Mempertemukan kita dengan orang-orang saleh. Semoga selawat Allah terlimpahkan kepada Nabi yang amanah beserta seluruh keluarga dan Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamqa.info/ar/articles/69/احكام-مختصرة-في-زكاة-الفطر PDF sumber artikel. 🔍 Cara Menggauli Istri Saat Haid, Pengertian Nyadran, Kenapa Kodok Haram, Jamak Takhir Isya, Waktu Sholat Isya Jakarta, Ucapan Selamat Melahirkan Dalam Islam Visited 51 times, 1 visit(s) today Post Views: 403 QRIS donasi Yufid
تعريف زكاة الفطر زكاة الفطر هي صدقة تجب بالفطر في رمضان، وأضيفت الزكاة إلى الفطر لأنها سبب وجوبها Pengertian Zakat Fitrah Zakātu al-Fiṯhri (Bahasa Indonesia: Zakat Fitrah) adalah sedekah yang wajib saat Idul Fitri setelah selesainya Ramadan. Kata zakat diasosiasikan kepada kata fitri karena ia (Idul Fitri) menjadi sebab kewajibannya. حكم مشروعية زكاة الفطر عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ  رواه أبو داود 1371  Dalil Disyariatkannya Zakat Fitrah Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat (Idul Fitri), maka itu menjadi zakat yang diterima. Adapun barang siapa yang menunaikannya setelah salat (Idul Fitri), maka itu menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya. (HR. Abu Dawud 1371). قال النووي: رَوَاهُ أَبُو دَاوُد مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ. قوله: (طهرة): أي تطهيرا لنفس من صام رمضان، وقوله (والرفث) قال ابن الأثير: الرفث هنا هو الفحش من كلام، قوله (وطعمة): بضم الطاء وهو الطعام الذي يؤكل. قوله: (من أداها قبل الصلاة): أي قبل صلاة العيد، قوله (فهي زكاة مقبولة): المراد بالزكاة صدقة الفطر، قوله (صدقة من الصدقات): يعني التي يتصدق بها في سائر الأوقات. عون المعبود شرح أبي داود An-Nawawi berkata bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari riwayat Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— dengan sanad yang baik. Sabda beliau, “Ṯuhrah (penyucian)” artinya menyucikan jiwa orang yang berpuasa Ramadan.  Adapun sabda beliau, “Rafats (perkataan kotor),” maka Ibnul Atsīr berkata bahwa Rafats di sini adalah perkataan-perkataan yang keji.  Adapun sabda beliau, “Ṯuʿmah (makanan),” dengan mendamahkan huruf Tha’ artinya adalah makanan yang dimakan. Sabda beliau, “Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat,” yakni sebelum salat Idul Fitri. Sabda beliau, “… maka itu menjadi zakat yang diterima.” Maksud zakat ini adalah zakat fitrah.  Sabda beliau, “… menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya,” yakni yang disedekahkan di waktu-waktu lainnya. ʿAun al-Maʿbūd Syarẖi Abī Dawūd. وقيل هي المقصودة بقوله تعالى في سورة الأعْلَى:  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَبِي الْعَالِيَةِ قَالا: ” أَدَّى زَكَاةَ الْفِطْرِ ثُمَّ خَرَجَ إلَى الصَّلاةِ ” أي صلاة العيد. أحكام القرآن للجصاص ج3: سورة الأعلى وعَنْ وَكِيعٍ بْنِ الْجَرَّاحِ رحمه الله قَالَ: زَكَاةُ الْفِطْرِ لِشَهْرِ رَمَضَانَ كَسَجْدَتِي السَّهْوِ لِلصَّلاةِ، تَجْبُرُ نُقْصَانَ الصَّوْمِ كَمَا يَجْبُرُ السُّجُودُ نُقْصَانَ الصَّلاةِ. المجموع للنووي ج6 Ada yang mengatakan bahwa inilah yang dimaksud dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā dalam surah al-Aʿlā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir (bertakbir) menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Abul ʿĀliyah bahwa mereka berkata, “Maksudnya membayar zakat fitrah lalu keluar untuk salat,” yakni salat Idul Fitri. Aẖkām al-Qurʾān karya al-Jaṣṣāṣ (Juz 3: Surah Al-A’la)  Diriwayatkan dari Wakīʿ bin al-Jarrāẖ —Semoga Allah Merahmatinya— yang mengatakan bahwa zakat fitrah di bulan Ramadan ibarat sujud sahwi dalam salat, yang menutup kekurangan puasa sebagaimana sujud sahwi menutup kekurangan salat. Aḷ-Majmūʿ karya an-Nawawi (Juz 6). حكم زكاة الفطر  الصَّحِيحُ أَنَّهَا فَرْضٌ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ:  فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ . وَلإجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهَا فَرْضٌ. المغني ج2 باب صدقة الفطر Hukum Zakat Fitrah Pendapat yang benar adalah bahwa hukumnya wajib, berdasarkan perkataan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah, dan juga berdasarkan ijmak para ulama akan kewajibannya. Al-Mughnī (Juz 2: Bab Zakat Fitri) وقت وجوب زكاة الفطر فَأَمَّا وَقْتُ الْوُجُوبِ فَهُوَ وَقْتُ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ، فَإِنَّهَا تَجِبُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ شَهْرِ رَمَضَانَ. فَمَنْ تَزَوَّجَ، أَوْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ أَوْ أَسْلَمَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَعَلَيْهِ الْفِطْرَةُ. وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْغُرُوبِ، لَمْ تَلْزَمْهُ.. وَمِنْ مَاتَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْفِطْرِ، فَعَلَيْهِ صَدَقَةُ الْفِطْرِ. نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ المغني ج2: فصل وقت وجوب زكاة الفطر. Waktu Diwajibkannya Zakat Fitrah Adapun waktu diwajibkannya adalah ketika matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan. Karena zakat ini wajib saat matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan, maka orang yang menikah, terlahir anaknya, atau masuk Islam sebelum matahari terbenam, maka dia diwajibkan zakat fitrah. Adapun jika setelah matahari terbenam, maka tidak diwajibkan baginya. Bagi orang yang meninggal setelah matahari terbenam pada malam Idul Fitri, maka zakat fitrah juga wajib baginya. Hal ini ditegaskan oleh Ahmad. Al-Mughnī (Jilid 2: Pasal tentang Waktu Wajibnya Zakat Fitrah) على من تجب زكاة الفطر – زكاة الفطر تجب على المسلمين: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ. البخاري 1407 قال الشافعي رحمه الله: وَفِي حَدِيثِ نَافِعٍ دَلالَةٌ عَلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَفْرِضْهَا إلا عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَذَلِكَ مُوَافَقَةٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِنَّهُ جَعَلَ الزَّكَاةَ لِلْمُسْلِمِينَ طَهُورًا وَالطَّهُورُ لا يَكُونُ إلا لِلْمُسْلِمِينَ. الأم ج2 باب زكاة الفطر Kepada siapa zakat fitrah wajib? Zakat fitrah wajib bagi kaum muslimin. Diriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai.” (HR. Bukhari 1407)  Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dalam hadis Nāfiʿ terdapat dalil bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak mewajibkannya kecuali kepada kaum muslimin, dan ini selaras dengan Kitab Allah ʿAzza wa Jalla, di samping bahwa zakat itu menjadi penyucian bagi kaum muslimin, sementara kesucian hanya ada dalam diri kaum muslimin. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) – تجب على المستطيع، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَكُلُّ مَنْ دَخَلَ عَلَيْهِ شَوَّالٌ وَعِنْدَهُ قُوتُهُ وَقُوتُ مَنْ يَقُوتُهُ يَوْمَهُ وَمَا يُؤَدِّي بِهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْهُمْ أَدَّاهَا عَنْهُمْ وَعَنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ إلا مَا يُؤَدِّي عَنْ بَعْضِهِمْ أَدَّاهَا عَنْ بَعْضٍ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ إلا سِوَى مُؤْنَتِهِ وَمُؤْنَتِهِمْ يَوْمَهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ وَلا عَلَى مَنْ يَقُوتُ عَنْهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ. الأم ج2 باب زكاة الفطر  Zakat fitrah wajib bagi orang yang mampu. Syafii berkata bahwa setiap orang yang telah memasuki bulan Syawal dan dia memiliki makanan pokok yang mencukupi untuknya dan untuk orang-orang yang dia nafkahi di hari tersebut dan juga sejumlah yang mencukupi untuk dia menunaikan zakat fitrah atas namanya dan mereka, maka dia harus menunaikannya atas namanya dan mereka. Adapun jika dia tidak mempunyai sejumlah yang mencukupi kecuali untuk menunaikan zakat fitrah atas namanya dan sebagian mereka saja, maka dia harus menunaikannya atas namanya dan sebagian mereka itu.  Adapun jika dia tidak mempunyai sejumlah yang mencukupi kecuali hanya untuk kebutuhan makanan pokoknya dan orang-orang yang dinafkahinya pada hari itu, maka dia dan orang-orang yang dinafkahinya tidak wajibkan menunaikan zakat fitrah. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) قال النووي رحمه الله: الْمُعْسِرُ لا فِطْرَةَ عَلَيْهِ بِلا خِلافٍ،.. وَالاعْتِبَارُ بِالْيَسَارِ وَالإِعْسَارِ بِحَالِ الْوُجُوبِ، فَمَنْ فَضَلَ عَنْ قُوتِهِ وَقُوتِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لِلَيْلَةِ الْعِيدِ وَيَوْمِهِ صَاعٌ، فَهُوَ مُوسِرٌ، وَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ فَهُوَ مُعْسِرٌ وَلا يَلْزَمُهُ شَيْءٌ فِي الْحَالِ. المجموع ج6 شروط وجوب صدقة الفطر An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang yang kekurangan tidak wajib zakat fitrah tanpa ada perselisihan. … Tolok ukur kesempitan dan kelapangan adalah ketika waktu diwajibkannya zakat tersebut, maka orang yang memiliki kelebihan makanan pokok sejumlah satu Ṣhāʿ untuknya dan untuk orang-orang yang dia nafkahi di malam Idul Fitri dan siang harinya, maka dia dalam kelapangan. Adapun jika dia tidak punya kelebihan tersebut, berarti dia dalam kesempitan, sehingga dalam keadaan itu tiada kewajiban apa pun baginya. Al-Majmū’ (Jilid 6: Syarat Wajib Zakat Fitrah) – يخرجها الإنسان المسلم عن نفسه وعمن ينفق عليهم من الزوجات والأقارب إذا لم يستطيعوا إخراجها عن أنفسهم فإن استطاعوا فالأولى أن يخرجوها هم، لأنهم المخاطبون بها أصلاً. فعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ. صحيح البخاري 1407 قال الشافعي رحمه الله: وَيُؤَدِّي وَلِيُّ الْمَعْتُوهِ وَالصَّبِيِّ عَنْهُمَا زَكَاةَ الْفِطْرِ وَعَمَّنْ تَلْزَمُهُمَا مُؤْنَتُهُ كَمَا يُؤَدِّي الصَّحِيحُ عَنْ نَفْسِهِ.. وإِنْ كَانَ فِيمَنْ يُمَوِّنُ (أي يعول) كَافِرٌ لَمْ يَلْزَمْهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ لأَنَّهُ لا يَطْهُرْ بِالزَّكَاةِ. الأم ج2 باب زكاة الفطر. Seorang muslim menunaikan zakat ini atas nama dirinya sendiri dan orang-orang yang dia nafkahi, seperti istri-istri dan kerabatnya jika mereka tidak mampu menunaikannya atas nama mereka sendiri. Jika memang mereka mampu, maka lebih utama jika mereka menunaikannya atas nama mereka sendiri, karena pada asalnya, merekalah yang diperintahkan.  Diriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat ke tempat salat.” (HR. Bukhari 1407)  Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa wali bagi orang gila dan anak kecil menunaikan zakat fitrah atas nama mereka dan atas nama orang-orang yang dia tanggung nafkahnya, sebagaimana orang yang sehat menunaikan atas namanya sendiri. … Jika di antara orang yang dia tanggung nafkahnya adalah orang kafir, maka dia tidak diwajibkan menunaikan zakat fitrah atas namanya, karena dia tidak bisa disucikan dengan zakat. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) وقال صاحب المهذب: قَالَ الْمُصَنِّفُ رحمه الله تعالى: (وَمَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَتُهُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ إذَا كَانُوا مُسْلِمِينَ وَوَجَدَ مَا يُؤَدِّي عَنْهُمْ فَاضِلا عَنْ النَّفَقَةِ، فَيَجِبُ عَلَى الأَبِ وَالأُمِّ وَعَلَى أَبِيهِمَا وَأُمِّهِمَا – وَإِنْ عَلَوْا – فِطْرَةُ وَلَدِهِمَا وَوَلَدِ وَلَدِهِمَا – وَإِنْ سَفَلُوا – وَعَلَى الْوَلَدِ وَوَلَدِ الْوَلَدِ (وَإِنْ سَفَلُوا) فِطْرَةُ الأَبِ وَالأُمِّ وَأَبِيهِمَا وَأُمِّهِمَا – وَإِنْ عَلَوْا – إذَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمْ نَفَقَتُهُمْ، المجموع ج6. Pengarang kitab al-Muhadzdzab berkata, “Penulis —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang yang terkena kewajiban zakat fitrah, maka dia juga wajib menunaikan zakat fitrahnya orang yang dia tanggung nafkahnya, asalkan mereka muslim dan dia sendiri memiliki kelebihan nafkah yang mencukupi untuk menunaikan zakat atas nama mereka. Seorang ayah dan ibu atau kakek dan nenek —dan ke atas seterusnya— wajib menunaikan zakat fitrah anak dan cucunya —dan ke bawah seterusnya—, sebagaimana anak dan cucu —dan ke bawah seterusnya— wajib menunaikan zakat fitrah ayah dan ibunya atau kakek dan neneknya —dan ke atas seterusnya— jika memang mereka terkena kewajiban untuk menafkahi mereka. Aḷ-Majmūʿ (Jilid 6) يخرج الإنسان عن نفسه وزوجته – وإن كان لها مال – وأولاده الفقراء ووالديه الفقيرين، والبنت التي لم يدخل بها زوجها. فإن كان ولده غنياً لم يجب عليه أن يخرج عنه، ويُخرج الزوج عن مطلقته الرجعية لا الناشز ولا البائن، ولا يلزم الولد إخراج فطرة زوجة أبيه الفقير لأنه لا تجب عليه نفقتها. ويبدأ بالأقرب فالأقرب، بنفسه فزوجته فأولاده ثم بقية القرابة أقربهم فأقربهم على حسب قانون الميراث. Seseorang menunaikan zakat fitrah atas nama dirinya sendiri, istrinya —meskipun istrinya kaya—, anak-anak dan orang tuanya yang miskin, dan anak perempuan yang belum ikut dengan suaminya. Jika anaknya kaya, maka ia tidak wajib menunaikan zakat fitrah atas namanya. Seorang suami wajib menunaikan zakat fitrah atas nama istrinya yang ditalak dengan talak Rajʿi (yang masih bisa rujuk, pent), tapi tidak untuk yang melakukan Nusyuz atau ditalak Bāʾin (yang sudah tidak bisa rujuk kecuali dengan akad nikah lagi, pent). Seorang anak tidak wajib menunaikan zakat fitrah atas nama istri ayahnya yang miskin, karena dia memang tidak wajib menanggung nafkahnya.  Jadi, dimulai dari yang terdekat dahulu lalu yang lebih dekat, dirinya sendiri, kemudian isterinya, kemudian anak-anaknya, kemudian kerabatnya yang paling dekat terlebih dahulu sesuai hukum waris. – قال الشافعي رحمه الله: وَمَنْ قُلْت تَجِبُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ، فَإِذَا وُلِدَ، أَوْ كَانَ فِي مِلْكِهِ، أَوْ عِيَالِهِ فِي شَيْءٍ مِنْ نَهَارِ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَغَابَتْ الشَّمْسُ لَيْلَةَ هِلالِ شَوَّالٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ.. الأم: باب زكاة الفطر الثاني. Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Orang yang aku katakan terkena kewajiban zakat fitrah adalah orang yang dilahirkan, dimiliki sebagai budak, atau ditanggung nafkahnya walaupun hanya sebentar saja di hari terakhir di bulan Ramadan, kemudian matahari terbenam pada malam pertama bulan Syawal, maka zakat fitrah wajib ditunaikan atas namanya.” Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) – ولا تجب عن الحمل الذي في البطن إلا إن يتطوع بها فلا بأس.  – وَإِنْ مَاتَ مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْفِطْرَةُ قَبْلَ أَدَائِهَا، أُخْرِجَتْ مِنْ تَرِكَتِهِ.. وَلَوْ مَاتَ مَنْ يَمُونُهُ، بَعْدَ وُجُوبِ الْفِطْرَةِ، لَمْ تَسْقُطْ. المغني ج2.  – والخادم إذا كان له أجرة مقدرة كل يوم أو كل شهر لا يُخرج عنه الصدقة لأنه أجير والأجير لا يُنفق عليه. الموسوعة 23/339 Zakat fitrah tidak wajib bagi janin dalam kandungan, tetapi tidak masalah jika ditunaikan untuknya secara sukarela. Jika orang yang wajib zakat fitrah meninggal sebelum menunaikannya, maka dibayarkan dari warisannya. Jika orang yang menanggung nafkahnya meninggal setelah dia terkena kewajiban zakat fitri, maka kewajiban itu tidak gugur. Al-Mughnī (Jilid 2) Jika seorang pembantu mendapatkan upah tertentu setiap hari atau setiap bulan, maka majikannya tidak menunaikan zakat atas namanya, karena dia adalah seorang pekerja. Pekerja tidaklah ditanggung nafkahnya. Al-Mausūʿah (23/339) وفِي إخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ عَنْ الْيَتِيمِ: قَالَ مَالِكٌ رحمه الله: يُؤَدِّي الْوَصِيُّ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ الْيَتَامَى الَّذِينَ عِنْدَهُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَإِنْ كَانُوا صِغَارًا. المدونة ج1.  – إذا أسلم الكافر يوم الفطر: فقد قَالَ مَالِكٌ: مَنْ أَسْلَمَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ اُسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يُؤَدِّيَ زَكَاةَ الْفِطْرِ. المدونة ج1 Mengenai membayar zakat fitrah atas nama anak yatim, maka Malik —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan bahwa walinya menunaikan zakat fitrah atas nama anak yatim yang hartanya dia urusi jika anak tersebut masih kecil. Al-Mudawwanah (Jilid 1) Jika orang kafir masuk Islam saat Idul Fitri, maka Malik berkata bahwa orang yang masuk Islam sebelum terbitnya fajar di hari Idul Fitri, maka dia dianjurkan untuk menunaikan zakat fitrah. Al-Mudawwanah (Jilid 1)   مقدار زكاة الفطر  مقدارها صاع من طعام بصاع النبي ﷺ لحديث أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ.. رواه البخاري 1412 والوزن يختلف باختلاف ما يملأ به الصاع، فعند إخراج الوزن لابد من التأكد أنه يعادل ملئ الصاع من النوع المخرَج منه… وهو مثل 3 كيلو من الرز تقريباً Takaran Zakat Fitrah Takarannya adalah satu Ṣhā makanan pokok dengan ukuran Ṣhā Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, berdasarkan hadis Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Kami pada masa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memberikan satu Ṣhā makanan pokok.” (HR. Bukhari 1412)  Takarannya bervariasi sesuai kadar penuhnya Ṣhā tersebut. Jadi, saat membayarkan takaran tersebut, harus dipastikan dahulu bahwa beratnya sudah sepenuh satu Ṣhā berupa suatu jenis makanan pokok untuk menunaikannya, yang kurang lebih setara dengan dengan 3 kilo beras. الأصناف التي تؤدى منها زكاة الفطر الجنس الذي تُخرج منه هو طعام الآدميين، من تمر أو بر أو رز أو غيرها من طعام بني آدم. ففي الصحيحين من حديث ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ (وكان الشعير يومذاك من طعامهم) البخاري 1408 وعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالأَقِطُ وَالتَّمْرُ. رواه البخاري 1414. Jenis Makanan yang Digunakan untuk Zakat Fitrah Jenis makanan yang digunakan untuk menunaikan zakat fitrah adalah makanan pokok manusia, seperti kurma, gandum, beras, atau makanan pokok manusia lainnya. Dalam kitab Shahihain dari hadis Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin, baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai. (HR. Bukhari 1408)  Jelai ketika itu adalah makanan pokok mereka. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Kami di era Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pada hari raya Idul Fitri mengeluarkan satu Ṣhāʿ makanan.” Abu Said mengatakan, “Ketika itu makanan pokok kami adalah jelai, kismis, yogurt kering, dan kurma.” (HR. Bukhari 1414) فتخرج من غالب قوت البلد الذي يستعمله الناس وينتفعون به سواء كان قمحا أو رزاً أو تمراً أو عدسا…قال الشافعي رحمه الله: وَإِنْ اقْتَاتَ قَوْمٌ ذُرَةً، أَوْ دُخْنًا، أَوْ سُلْتًا أَوْ أُرْزًا، أَوْ أَيَّ حَبَّةٍ مَا كَانَتْ مِمَّا فِيهِ الزَّكَاةُ فَلَهُمْ إخْرَاجُ الزَّكَاةِ مِنْهَا. الأم للشافعي ج2 باب الرجل يختلف قوته. Zakat Fitrah ditunaikan berupa makanan pokok yang umum di suatu wilayah, yang digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas, baik gandum, beras, kurma, atau kacang adas. Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika suatu kaum makanan pokoknya adalah jagung, jewawut, sorgum, atau beras, atau biji-bijian apa pun, yang termasuk komoditas yang dikenakan zakat, maka mereka boleh menunaikan zakat fitrah dengannya. Al-Umm karya Syafii (Jilid 2, Bab: Orang yang Berbeda-beda Makanan Pokoknya) وقال النووي رحمه الله: قَالَ أَصْحَابُنَا: يُشْتَرَطُ فِي الْمُخْرَجِ مِنْ الْفِطْرَةِ أَنْ يَكُونَ مِنْ الأَقْوَاتِ الَّتِي يَجِبُ فِيهَا الْعُشْرُ (أي في زكاة الحبوب والثمار)، فَلا يُجْزِئُ شَيْءٌ مِنْ غَيْرِهَا إلا الأَقِطَ وَالْجُبْنُ وَاللَّبَنُ. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَكَذَا لَوْ كَانَ بَعْضُ أَهْلِ الْجَزَائِرِ أَوْ غَيْرِهِمْ يَقْتَاتُونَ السَّمَكَ وَالْبَيْضَ فَلا يُجْزِئُهُمْ بِلا خِلافٍ، وَأَمَّا اللَّحْمُ فَالصَّوَابُ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَقَطَعَ بِهِ الْمُصَنِّفُ وَالأَصْحَابُ فِي جَمِيعِ الطُّرُقِ: أَنَّهُ لا يُجْزِئُ قَوْلا وَاحِدًا… قَالَ أَصْحَابُنَا: وَكَذَا لَوْ اقْتَاتُوا ثَمَرَةً لا عُشْرَ فِيهَا كَالتِّينِ وَغَيْرِهِ لا يُجْزِئُ قَطْعًا. المجموع ج6: الواجب في زكاة الفطر. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Sahabat-sahabat kami berkata bahwa jenis yang digunakan untuk zakat fitrah disyaratkan harus berupa makanan pokok yang dikenakan zakat sebesar sepersepuluh (yakni zakat biji-bijian dan buah-buahan). Jadi, tidak sah jika berupa jenis selain itu, kecuali yogurt dan susu yang dikeringkan serta keju.  Al-Mawardi berkata bahwa jika sebagian masyarakat di jazirah Arab atau selain mereka makanan pokoknya adalah ikan dan telur, maka itu tidak juga tidak sah. Adapun daging, pendapat yang benar yang dikemukakan Syafii dan ditegaskan oleh penulis dan para sahabatnya dari berbagai jalur riwayat adalah satu pendapat, yakni tidak sah. Para sahabat kami berkata bahwa jika orang-orang makanan pokoknya adalah buah-buahan yang tidak dikenakan zakat sebesar sepersepuluhnya, seperti buah tin dan lain-lain, maka jelas tidak sah. Al-Majmūʿ (Jilid 6: Yang Diwajibkan dalam Zakat Fitrah) وقال ابن القيم رحمه الله: فَإِنْ قِيلَ: فَأَنْتُمْ تُوجِبُونَ صَاعَ التَّمْرِ فِي كُلِّ مَكَان، سَوَاءٌ كَانَ قُوتًا لَهُمْ أَوْ لَمْ يَكُنْ. قِيلَ: هَذَا مِنْ مَسَائِلِ النِّزَاعِ وَمَوَارِدِ الاجْتِهَادِ، فَمِنْ النَّاسِ مَنْ يُوجِبُ ذَلِكَ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُوجِبُ فِي كُلِّ بَلَدٍ صَاعًا مِنْ قُوتِهِمْ، وَنَظِيرُ هَذَا تَعْيِينُهُ صلى الله عليه وسلم الأَصْنَافَ الْخَمْسَةَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ وَأَنَّ كُلَّ بَلَدٍ يُخْرِجُونَ مِنْ قُوتِهِمْ مِقْدَارَ الصَّاعِ، وَهَذَا أَرْجَحُ وَأَقْرَبُ إلَى قَوَاعِدِ الشَّرْعِ، وَإِلا فَكَيْفَ يُكَلَّفُ مَنْ قُوتُهُمْ السَّمَكُ مَثَلا أَوْ الأَرُزُّ أَوْ الدُّخْنُ إلَى التَّمْرِ.. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ. إعلام الموقعين ج2. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada yang mengatakan, “Kalian wajib mengeluarkan berupa satu Ṣhāʿ kurma di mana pun tempatnya, baik itu menjadi makanan pokok mereka atau bukan.”  Jawabannya adalah bahwa ini adalah salah satu masalah yang diperselisihkan dan menjadi bidang ijtihad. Sebagian ada yang mewajibkan seperti itu, dan sebagian lagi ada yang mewajibkan untuk setiap wilayah satu Ṣhāʿ makanan pokok setempat. Hal ini sebagaimana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menentukan lima jenis makanan pokok untuk zakat fitrah, dan bahwa setiap wilayah ditunaikan zakat fitrahnya sesuai makanan pokoknya masing-masing sejumlah satu Ṣhāʿ. Inilah yang lebih tepat dan lebih dekat dengan kaidah-kaidah syariat, jika tidak demikian, bagaimana jadinya jika orang yang makanan pokoknya adalah ikan misalnya, atau beras atau jewawut dibebani berzakat dengan kurma? Taufik hanya dari Allah. Iʿlām al-Muwaqqiʿīn (Jilid 2) ويجوز إخراجها من المكرونة المصنوعة من القمح ولكن يتأكد أنّ الوزن هو وزن صاع القمح. وأما إخراجها مالا فلا يجوز مطلقا لأنّ الشّارع فرضها طعاما لا مالا وحدّد جنسها وهو الطّعام فلا يجوز الإخراج من غيره، ولأنّه أرادها ظاهرة لا خفيّة، ولأنّ الصحابة أخرجوها طعاما ونحن نتّبع ولا نبتدع، ثمّ إخراج زكاة الفطر بالطعام ينضبط بهذا الصّاع أمّا إخراجها نقودا فلا ينضبط، فعلى سعر أي شيء يُخرج ؟، وقد تظهر فوائد لإخراجها قوتا كما في حالات الاحتكار وارتفاع الأسعار والحروب والغلاء. Boleh menunaikan zakat dengan makaroni yang terbuat dari gandum, namun harus dipastikan bahwa beratnya setara dengan satu Ṣhāʿ gandum. Adapun menunaikannya dalam bentuk uang, maka mutlak tidak boleh, karena syariat mewajibkannya dalam bentuk makanan, bukan uang, serta ditentukan jenisnya, yaitu makanan pokok.  Jadi, tidak boleh ditunaikan dengan selain itu. Selain itu, karena zakat ini dimaksudkan agar ditampakkan, bukan disembunyikan, dan para Sahabat pun menunaikannya berupa makanan, maka kita mengikuti dan bukan mengada-ada.  Di samping itu, mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan akan sesuai dengan takaran satu Ṣhāʿ, adapun membayarnya berupa uang, maka tidak akan bisa selaras takarannya, harga apa yang akan dipakai untuk standar pembayaran zakat? Mungkin juga manfaat mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan akan tampak jelas sebagaimana ketika masa-masa terjadi penimbunan, kenaikan harga, perang, dan pergolakan. قال قائل: النقود أنفع للفقير ويشتري بها ما يشاء وقد يحتاج شيئا آخر غير الطعام، ثم قد يبيع الفقير الطعام ويخسر فيه فالجواب عن هذا كله أن هناك مصادر أخرى لسدّ احتياجات الفقراء في المسكن والملبس وغيرها، وذلك من زكاة المال والصدقات العامة والهبات وغيرها فلنضع الأمور في نصابها الشّرعي ونلتزم بما حدّده الشّارع وهو قد فرضها صاعا من طعام: طُعمة للمساكين ونحن لو أعطينا الفقير طعاما من قوت البلد فإنه سيأكل منه ويستفيد عاجلا أو آجلا لأنّ هذا مما يستعمله أصلا.  وبناء عليه فلا يجوز إعطاؤها مالا لسداد دين شخص أو أجرة عملية جراحية لمريض أو تسديد قسط دراسة عن طالب محتاج ونحو ذلك فلهذا مصادر أخرى كما تقدم. Ada yang berkata bahwa uang lebih berguna bagi orang miskin dan bisa dipakai untuk membeli apa pun yang dia butuhkan dengan uang itu. Dia juga mungkin membutuhkan sesuatu selain makanan. Kemudian, orang miskin juga bisa menjual makanan itu tapi malah merugi.  Jawaban dari semua ini adalah bahwa masih ada sumber-sumber dana lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin terhadap sandang, papan, dan lain-lain, yaitu dari dana zakat harta, sedekah masyarakat, hadiah, dan lain-lain. Kita berpegang teguh pada syariat yang telah menetapkannya berupa satu Ṣhāʿ makanan bagi orang-orang miskin.  Jika orang miskin kita beri zakat berupa makanan pokok negeri setempat, niscaya dia bisa memakannya dan memanfaatkannya langsung atau di kemudian hari, karena pada asalnya memang inilah yang mereka manfaatkan. Oleh karena itu, tidak boleh memberikan zakat fitrah berupa uang untuk melunasi hutang seseorang, biaya operasi pasien, membayar biaya pendidikan siswa yang membutuhkan, dan kebutuhan lainnya. Masih ada sumber dana lain untuk itu, sebagaimana disebutkan di atas. وقت إخراج زكاة الفطر – تؤدى قبل صلاة العيد كما في الحديث أن النبي ﷺ ” أَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ. البخاري 1407 ووقت الدفع له وقت استحباب ووقت جواز. فأما وقت الاستحباب فهو صباح يوم العيد للحديث السابق، ولهذا يسن تأخير صلاة العيد يوم الفطر ليتسع الوقت لمن عليه إخراجها، ويفطر قبل الخروج. كما يسن تعجيل صلاة العيد يوم الأضحى ليذهب الناس لذبح أضاحيهم ويأكلوا منها.  Waktu Menunaikan Zakat Fitrah Hendaknya ditunaikan sebelum salat Idul Fitri, sebagaimana tersebut dalam hadis Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkannya agar ditunaikan sebelum keluar untuk salat (Idul Fitri). (HR. Bukhari 1407)  Waktu menunaikan zakat fitrah ini ada waktu yang dianjurkan dan waktu yang diperbolehkan. Waktu yang dianjurkan adalah pagi hari Idul Fitri, berdasarkan hadis di atas. Inilah sebabnya disunahkan untuk mengakhirkan waktu salat Idul Fitri, yakni agar ada kelonggaran waktu bagi orang yang wajib menunaikannya dan agar bisa makan dahulu sebelum pergi. Hal ini sebagaimana disunahkan juga untuk menyegerakan shalat id saat Idul Adha agar orang-orang bisa segera beranjak menyembelih hewan kurban mereka lalu memakan sebagiannya. أما وقت الجواز فهو قبل العيد بيوم أو يومين. ففي صحيح البخاري عن نافع قال: كان ابن عمر يعطي عن الصغير والكبير حتى أنه كان يعطي عن بنيّ وكان يعطيها الذين يقبلونها وكان يُعطون قبل الفطر بيوم أو بيومين. ومعنى قوله (الذين يقبلونها) هم الجباة الذين ينصبهم الإمام لجمع صدقة الفطر. وعَنْ نَافِعٍ: إنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ بِثَلاثَةٍ. المدونة ج1 باب تعجيل الزكاة قبل حلولها. Adapun waktu yang diperbolehkan adalah satu atau dua hari sebelum Idul Fitri. Disebutkan dalam Sahih Bukhari dari Nāfiʿ yang menyatakan, “Ibnu Umar dahulu memberikan zakat fitrah atas nama anak kecil dan orang tua bahkan atas nama anakku. Beliau memberikannya kepada orang-orang yang menerimanya, dan mereka menyalurkannya satu atau dua hari sebelum Idul Fitri.”  Makna perkataan beliau “orang-orang yang menerimanya” adalah para petugas yang ditunjuk oleh penguasa untuk memungut zakat fitrah. Diriwayatkan dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar dahulu mengutus orang untuk menyerahkan zakat fitrah kepada pihak yang mengumpulkannya dua atau tiga hari sebelum Idul Fitri. Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab Menyegerakan Zakat Sebelum Waktunya) ويكره تأخيرها بعد صلاة العيد وقال بعضهم يحرم وتكون قضاء واستُدِل لذلك بحديث: مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ رواه أبو داود 1371. قال في عون المعبود شرح أبي داود: والظاهر أن من أخرج الفطرة بعد الصلاة كان كمن لم يخرجها باعتبار اشتراكهما في ترك هذه الصدقة الواجبة. وقد ذهب أكثر العلماء إلى أن إخراجها قبل صلاة العيد إنما هو مستحب فقط، وجزموا بأنها تجزئ إلى آخر يوم الفطر، والحديث يردّ عليهم، وأما تأخيرها عن يوم العيد. فقال ابن رسلان: إنه حرام بالاتفاق لأنها زكاة، فوجب أن يكون في تأخيرها إثم كما في إخراج الصلاة عن وقتها. Makruh hukumnya menundanya sampai setelah salat Idul Fitri. Sebagian ulama mengharamkannya, sehingga zakatnya menjadi qada. Mereka berdalil dengan hadis, “Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat (Idul Fitri), maka itu menjadi zakat yang diterima. Adapun barang siapa yang menunaikannya setelah salat (Idul Fitri), maka itu menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya. (HR. Abu Dawud 1371).  Disebutkan dalam ʿAun al-Maʿbūd Syarẖi Abī Dawūd bahwa yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa orang yang menunaikan zakat fitrah setelah salat, maka dia seperti orang yang tidak menunaikannya, karena kedua-duanya sama-sama meninggalkan zakat wajib ini. Mayoritas ulama berpendapat bahwa menunaikannya sebelum salat Idul Fitri hukumnya disunahkan dan mereka menyatakan bolehnya ditunaikan hingga akhir hari raya Idul Fitri. Hadis di atas menjadi bantahan untuk mereka. Mengenai penundaannya sampai setelah Idul Fitri, maka Ibnu Ruslan berkata bahwa hukumnya haram dengan kesepakatan ulama, karena itu adalah zakat, sehingga penundaannya akan berakibat dosa, sebagaimana menunda salat sampai keluar dari waktunya. فيحرم إذن تأخيرها عن وقتها بلا عذر لأن يفوت به المعنى المقصود، وهو إغناء الفقراء عن الطلب يوم السرور فلو أخرّها بلا عذر عصى وقضى. ويجب أن تصل إلى مستحقها أو من ينوب عنه من المتوكلين في وقتها قبل الصلاة، فلو أراد دفعها إلى شخص فلم يجده ولم يجد وكيلاً له وخاف خروج الوقت فعليه أن يدفعها إلى مستحق آخر ولا يؤخرها عن وقتها Oleh karena itu, diharamkan menundanya sampai terlewat waktunya tanpa uzur, karena itu berarti melewatkan tujuan utamanya, yaitu mencukupi orang-orang miskin agar tidak meminta-minta di hari kegembiraan ini. Jika seseorang menundanya tanpa uzur, maka dia telah bermaksiat dan wajib mengqadanya. Dia harus menunaikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya atau pihak yang biasa yang mewakili mereka di waktu yang semestinya sebelum salat.  Jika dia ingin memberikannya kepada seseorang tetapi dia tidak dapat bertemu dengannya atau mendapati wakilnya sementara dia khawatir keluar dari waktunya, maka ia harus memberikannya kepada orang lain yang berhak menerimanya dan jangan ditunda sampai melewati waktunya.  وإذا كان الشّخص يحب أن يدفع فطرته لفقير معيّن ويخشى أن لا يراه وقت إخراجها فليأمره أن يوكل أحداً بقبضها منه أو يوكله هو في قبضها له من نفسه فإذا جاء وقت دفعها فليأخذها له في كيس أو غيره ويبقيها أمانة عنده حتى يلقى صاحبها. وإذا وكّل المزكّي شخصا بإخراج الزكاة عنه فلا تبرأ الذمة حتى يتأكد أن الوكيل قد أخرجها ودفعها فعلاً.: مجالس شهر رمضان: أحكام زكاة الفطر للشيخ ابن عثيمين. Jika seseorang ingin membayarkan zakat fitrahnya kepada orang miskin tertentu, tetapi ia takut tidak akan berjumpa dengannya ketika tiba waktu wajib pemberian zakat, hendaknya dia memerintahkannya untuk menunjuk seseorang untuk menjadi wakil untuk menerimanya darinya. Bisa juga dengan dia menunjuk dirinya sendiri menjadi wakilnya untuk menerimanya. Jika tiba waktunya mengeluarkan zakat, maka ia bisa mengambilkannya untuknya di plastik atau yang lainnya lalu itu menjadi amanah baginya sampai dia bertemu dengan yang berhak menerimanya.  Jika orang yang mengeluarkan zakat ingin menunjuk seseorang sebagai wakil untuk menunaikan zakat atas namanya, maka kewajiban itu tidak gugur darinya sampai dia memastikan bahwa wakilnya itu benar-benar telah menunaikannya dan menyerahkannya. Majālis Syahri Ramaḏān: Aẖkām Zakāti al-Fiṯri lisy Syaikhi Ibni Utsaimin. إخراج زكاة الفطر وتفريقها – الأفضل أن يتولى الإنسان قسْمها بنفسه: (قَالَ الشَّافِعِيُّ): وَأَخْتَارُ قَسْمَ زَكَاةِ الْفِطْرِ بِنَفْسِي عَلَى طَرْحِهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ.  قال النووي رحمه الله: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي ” الْمُخْتَصَرِ “: وَتُقَسَّمُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى مَنْ تُقَسَّمُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْمَالِ، وَأُحِبُّ دَفْعَهَا إلَى ذَوِي رَحِمِهِ الَّذِينَ لا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُمْ بِحَالٍ، قَالَ: فَإِنْ طَرَحَهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ أَجْزَأَهُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى.. و..الأَفْضَلَ أَنْ يُفَرِّقَ الْفِطْرَةَ بِنَفْسِهِ و.. لَوْ دَفَعَهَا إلَى الإِمَامِ أَوْ السَّاعِي أَوْ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ الْفِطْرَةُ لِلنَّاسِ وَأَذِنَ لَهُ فِي إخْرَاجِهَا أَجْزَأَهُ، وَلَكِنَّ تَفْرِيقَهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ. المجموع: ج6 Penunaian Zakat Fitrah dan Pendistribusiannya Yang lebih baik adalah seseorang bertanggung jawab sendiri mendistribusikannya. Syafii berkata, “Aku memilih untuk membagi zakat fitrah sendiri daripada menyerahkannya kepada pihak yang mengumpulkannya.” An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Syafii berkata dalam al-Mukhtashar, “Zakat fitrah diserahkan kepada orang-orang yang berhak mendapatkan zakat harta. Aku lebih suka jika seseorang memberikannya secara langsung kepada kerabat-kerabatnya yang mana nafkah mereka bukan dia yang menanggungnya.” Beliau juga mengatakan bahwa jika dia menyerahkannya kepada pihak yang mengumpulkannya, maka sah juga, insya Allah. … Yang afdal adalah mendistribusikan zakat fitrahnya sendiri. … Jika ia menyerahkannya kepada pemerintah setempat, petugas, atau pihak yang mengumpulkannya, dan dia mengizinkan mereka menyalurkannya, maka demikian juga sah. Hanya saja, mendistribusikan zakat fitrahnya sendiri lebih baik dari semua itu. Aḷ-Majmūʿ (Jilid 6) – ويجوز أن يوكّل ثقة بإيصالها إلى مستحقيهاوأما إن كان غير ثقة فلا، قال عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُؤَمَّلِ قَالَ سَمِعْت ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ وَرَجُلٌ يَقُولُ لَهُ: إنَّ (فلانا) أَمَرَنِي أَنْ أَطْرَحَ زَكَاةَ الْفِطْرِ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: أَفْتَاك الْعِلْجُ بِغَيْرِ رَأْيِهِ ؟ اقْسِمْهَا (أي تولّ أنت قسمتها بنفسك)، فَإِنَّمَا يُعْطِيهَا ابْنُ هِشَامٍ (أي الوالي الذي يجمعها في المسجد) أَحْرَاسَهُ وَمَنْ شَاءَ. (أي يعطيها لغير مستحقّيها). الأم: باب ضيعة زكاة الفطر قبل قسمها Boleh juga seseorang mewakilkannya kepada orang yang tepercaya untuk mengantarkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Namun jika dia tidak tepercaya, maka tidak boleh. Abdullah bin al-Muammal pernah berkata, “Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah ketika ada seorang laki-laki berkata kepadanya, ‘Si fulan memerintahkanku untuk menyerahkan zakat fitrah ke masjid.’ Ibnu Abi Mulaikah berkata, ‘Orang itu memberi fatwa yang keliru. Bagikan saja! (Artinya, kamu saja sendiri yang mendistribusikannya.) Karena Ibnu Hisyam (dia adalah penguasa yang mengumpulkan zakat fitrah di masjid) hanya akan mendistribusikannya kepada bawahannya dan siapa saja yang dikehendakinya.’” (Artinya, dia memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya.) Al-Umm: Bab tentang Hilangnya Zakat Fitrah sebelum Didistribusikan. ونص الإمام أحمد رحمه الله على أنه يَجُوزُصَرْفُ صَاعٍ إلَى جَمَاعَةٍ، وَآصُعٍ إلَى وَاحِدٍ.  وَقَالَ مَالِكٌ: لا بَأْسَ أَنْ يُعْطِيَ الرَّجُلُ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْ عِيَالِهِ مِسْكِينًا وَاحِدًا. المدونة ج1 باب في قسم زكاة الفطر وإذا أعطى فقيرا أقلّ من صاع فلينبهه لأنّ الفقير قد يُخرجها عن نفسه. ويجوز للفقير إذا أخذ الفطرة من شخص وزادت عن حاجته أن يدفعها هو عن نفسه أو أحد ممن يعولهم إذا علم أنها تامة مجزئة.  Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— menyatakan diperbolehkannya membagikan satu Ṣhāʿ kepada sejumlah orang atau beberapa Ṣhāʿ kepada satu orang saja.  Malik berkata bahwa seseorang yang memberikan zakat fitrah atas nama dirinya sendiri dan keluarganya kepada satu orang miskin tidaklah mengapa. Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab Pembagian Zakat Fitrah)  Jika dia memberikannya kepada satu orang miskin kurang dari satu Ṣhāʿ, maka dia hendaknya menjelaskannya kepadanya, karena orang miskin terkadang juga menunaikan zakat untuk dirinya sendiri. Orang miskin boleh demikian jika dia menerima zakat fitrah dari seseorang dan ternyata melebihi kebutuhannya, maka ia menunaikan zakatnya atas nama dirinya sendiri atau atas nama orang yang ditanggungnya, jika memang dia benar-benar tahu zakat itu mencukupi. مكان إخراج زكاة الفطر قال ابن قدامة رحمه الله: فَأَمَّا زَكَاةُ الْفِطْرِ فَإِنَّهُ يُفَرِّقُهَا فِي الْبَلَدِ الَّذِي وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِيه، سَوَاءٌ كَانَ مَالُهُ فِيهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ؛ لأَنَّهُ سَبَبُ وُجُوبِ الزَّكَاةِ، فَفُرِّقَتْ فِي الْبَلَدِ الَّذِي سَبَبُهَا فِيهِ. المغني ج2 فصل إذا كان المزكي في بلد وماله في بلد. وورد في المدونة في فقه الإمام مالك رحمه الله: قُلْتُ: مَا قَوْلُ مَالِكٍ فِيمَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِ إفْرِيقِيَّةَ وَهُوَ بِمِصْرَ يَوْمَ الْفِطْرِ أَيْنَ يُؤَدِّي زَكَاةَ الْفِطْرِ ؟ قَالَ: قَالَ مَالِكٌ: حَيْثُ هُوَ، قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ أَدَّى عَنْهُ أَهْلُهُ بِإِفْرِيقِيَّةَ أَجْزَأَهُ (ومصطلحهم في كلمة إفريقية يختلف عما هو عليه الآن) ج1. باب في إخراج المسافر زكاة الفطر. نسأل الله أن يتقبّل منّا أجمعين، وأن يُلحقنا بالصالحين وصلى الله على النبي الأمين وعلى آله وصحبه أجمعين. Tempat Menunaikan Zakat Fitrah Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa zakat fitrah wajib didistribusikan di wilayah di mana seseorang terkena kewajiban tersebut, baik hartanya ada di sana atau tidak, karena itulah yang menjadi sebab wajibnya zakat, sehingga zakat didistribusikan di wilayah yang menjadi sebab diwajibkannya zakat tersebut. Al-Mughnī (Jilid 2, Pasal tentang Jika Muzaki ada di Suatu Wilayah dan Hartanya di Wilayah Lain)  Disebutkan dalam kitab al-Mudawwanah tentang fikih Imam Malik —Semoga Allah Merahmatinya—, “Aku berkata, ‘Apa pendapat Malik tentang seseorang yang merupakan penduduk Afrika tapi dia sedang berada di Mesir pada hari raya Idul Fitri? Ke mana dia harus menunaikan zakat fitrahnya?’ Beliau berkata bahwa Malik mengatakan, ‘Di wilayah di mana dia berada.’ Malik juga berkata, ‘Jika keluarganya menunaikannya atas namanya di Afrika, maka sah.’ (Catatan: Kata Afrika dalam terminologi mereka berbeda dengan zaman sekarang). (Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab tentang Musafir yang Membayar Zakat Fitrah))  Kami Memohon kepada Allah agar Menerima dari kita semuanya, dan Mempertemukan kita dengan orang-orang saleh. Semoga selawat Allah terlimpahkan kepada Nabi yang amanah beserta seluruh keluarga dan Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamqa.info/ar/articles/69/احكام-مختصرة-في-زكاة-الفطر PDF sumber artikel. 🔍 Cara Menggauli Istri Saat Haid, Pengertian Nyadran, Kenapa Kodok Haram, Jamak Takhir Isya, Waktu Sholat Isya Jakarta, Ucapan Selamat Melahirkan Dalam Islam Visited 51 times, 1 visit(s) today Post Views: 403 QRIS donasi Yufid


تعريف زكاة الفطر زكاة الفطر هي صدقة تجب بالفطر في رمضان، وأضيفت الزكاة إلى الفطر لأنها سبب وجوبها Pengertian Zakat Fitrah Zakātu al-Fiṯhri (Bahasa Indonesia: Zakat Fitrah) adalah sedekah yang wajib saat Idul Fitri setelah selesainya Ramadan. Kata zakat diasosiasikan kepada kata fitri karena ia (Idul Fitri) menjadi sebab kewajibannya. حكم مشروعية زكاة الفطر عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ  رواه أبو داود 1371  Dalil Disyariatkannya Zakat Fitrah Diriwayatkan dari Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat (Idul Fitri), maka itu menjadi zakat yang diterima. Adapun barang siapa yang menunaikannya setelah salat (Idul Fitri), maka itu menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya. (HR. Abu Dawud 1371). قال النووي: رَوَاهُ أَبُو دَاوُد مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ. قوله: (طهرة): أي تطهيرا لنفس من صام رمضان، وقوله (والرفث) قال ابن الأثير: الرفث هنا هو الفحش من كلام، قوله (وطعمة): بضم الطاء وهو الطعام الذي يؤكل. قوله: (من أداها قبل الصلاة): أي قبل صلاة العيد، قوله (فهي زكاة مقبولة): المراد بالزكاة صدقة الفطر، قوله (صدقة من الصدقات): يعني التي يتصدق بها في سائر الأوقات. عون المعبود شرح أبي داود An-Nawawi berkata bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari riwayat Ibnu Abbas —Semoga Allah Meridainya— dengan sanad yang baik. Sabda beliau, “Ṯuhrah (penyucian)” artinya menyucikan jiwa orang yang berpuasa Ramadan.  Adapun sabda beliau, “Rafats (perkataan kotor),” maka Ibnul Atsīr berkata bahwa Rafats di sini adalah perkataan-perkataan yang keji.  Adapun sabda beliau, “Ṯuʿmah (makanan),” dengan mendamahkan huruf Tha’ artinya adalah makanan yang dimakan. Sabda beliau, “Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat,” yakni sebelum salat Idul Fitri. Sabda beliau, “… maka itu menjadi zakat yang diterima.” Maksud zakat ini adalah zakat fitrah.  Sabda beliau, “… menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya,” yakni yang disedekahkan di waktu-waktu lainnya. ʿAun al-Maʿbūd Syarẖi Abī Dawūd. وقيل هي المقصودة بقوله تعالى في سورة الأعْلَى:  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَبِي الْعَالِيَةِ قَالا: ” أَدَّى زَكَاةَ الْفِطْرِ ثُمَّ خَرَجَ إلَى الصَّلاةِ ” أي صلاة العيد. أحكام القرآن للجصاص ج3: سورة الأعلى وعَنْ وَكِيعٍ بْنِ الْجَرَّاحِ رحمه الله قَالَ: زَكَاةُ الْفِطْرِ لِشَهْرِ رَمَضَانَ كَسَجْدَتِي السَّهْوِ لِلصَّلاةِ، تَجْبُرُ نُقْصَانَ الصَّوْمِ كَمَا يَجْبُرُ السُّجُودُ نُقْصَانَ الصَّلاةِ. المجموع للنووي ج6 Ada yang mengatakan bahwa inilah yang dimaksud dalam firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā dalam surah al-Aʿlā,  قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan zakat), lalu berzikir (bertakbir) menyebut nama Tuhannya, kemudian dia mengerjakan salat (Idul Fitri).” (QS. Al-A’la: 14-15)  Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Abul ʿĀliyah bahwa mereka berkata, “Maksudnya membayar zakat fitrah lalu keluar untuk salat,” yakni salat Idul Fitri. Aẖkām al-Qurʾān karya al-Jaṣṣāṣ (Juz 3: Surah Al-A’la)  Diriwayatkan dari Wakīʿ bin al-Jarrāẖ —Semoga Allah Merahmatinya— yang mengatakan bahwa zakat fitrah di bulan Ramadan ibarat sujud sahwi dalam salat, yang menutup kekurangan puasa sebagaimana sujud sahwi menutup kekurangan salat. Aḷ-Majmūʿ karya an-Nawawi (Juz 6). حكم زكاة الفطر  الصَّحِيحُ أَنَّهَا فَرْضٌ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ:  فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ . وَلإجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهَا فَرْضٌ. المغني ج2 باب صدقة الفطر Hukum Zakat Fitrah Pendapat yang benar adalah bahwa hukumnya wajib, berdasarkan perkataan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah, dan juga berdasarkan ijmak para ulama akan kewajibannya. Al-Mughnī (Juz 2: Bab Zakat Fitri) وقت وجوب زكاة الفطر فَأَمَّا وَقْتُ الْوُجُوبِ فَهُوَ وَقْتُ غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ، فَإِنَّهَا تَجِبُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ شَهْرِ رَمَضَانَ. فَمَنْ تَزَوَّجَ، أَوْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ أَوْ أَسْلَمَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَعَلَيْهِ الْفِطْرَةُ. وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْغُرُوبِ، لَمْ تَلْزَمْهُ.. وَمِنْ مَاتَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْفِطْرِ، فَعَلَيْهِ صَدَقَةُ الْفِطْرِ. نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ المغني ج2: فصل وقت وجوب زكاة الفطر. Waktu Diwajibkannya Zakat Fitrah Adapun waktu diwajibkannya adalah ketika matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan. Karena zakat ini wajib saat matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan, maka orang yang menikah, terlahir anaknya, atau masuk Islam sebelum matahari terbenam, maka dia diwajibkan zakat fitrah. Adapun jika setelah matahari terbenam, maka tidak diwajibkan baginya. Bagi orang yang meninggal setelah matahari terbenam pada malam Idul Fitri, maka zakat fitrah juga wajib baginya. Hal ini ditegaskan oleh Ahmad. Al-Mughnī (Jilid 2: Pasal tentang Waktu Wajibnya Zakat Fitrah) على من تجب زكاة الفطر – زكاة الفطر تجب على المسلمين: عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ. البخاري 1407 قال الشافعي رحمه الله: وَفِي حَدِيثِ نَافِعٍ دَلالَةٌ عَلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَفْرِضْهَا إلا عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَذَلِكَ مُوَافَقَةٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِنَّهُ جَعَلَ الزَّكَاةَ لِلْمُسْلِمِينَ طَهُورًا وَالطَّهُورُ لا يَكُونُ إلا لِلْمُسْلِمِينَ. الأم ج2 باب زكاة الفطر Kepada siapa zakat fitrah wajib? Zakat fitrah wajib bagi kaum muslimin. Diriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai.” (HR. Bukhari 1407)  Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa dalam hadis Nāfiʿ terdapat dalil bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak mewajibkannya kecuali kepada kaum muslimin, dan ini selaras dengan Kitab Allah ʿAzza wa Jalla, di samping bahwa zakat itu menjadi penyucian bagi kaum muslimin, sementara kesucian hanya ada dalam diri kaum muslimin. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) – تجب على المستطيع، قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَكُلُّ مَنْ دَخَلَ عَلَيْهِ شَوَّالٌ وَعِنْدَهُ قُوتُهُ وَقُوتُ مَنْ يَقُوتُهُ يَوْمَهُ وَمَا يُؤَدِّي بِهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْهُمْ أَدَّاهَا عَنْهُمْ وَعَنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ إلا مَا يُؤَدِّي عَنْ بَعْضِهِمْ أَدَّاهَا عَنْ بَعْضٍ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ إلا سِوَى مُؤْنَتِهِ وَمُؤْنَتِهِمْ يَوْمَهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ وَلا عَلَى مَنْ يَقُوتُ عَنْهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ. الأم ج2 باب زكاة الفطر  Zakat fitrah wajib bagi orang yang mampu. Syafii berkata bahwa setiap orang yang telah memasuki bulan Syawal dan dia memiliki makanan pokok yang mencukupi untuknya dan untuk orang-orang yang dia nafkahi di hari tersebut dan juga sejumlah yang mencukupi untuk dia menunaikan zakat fitrah atas namanya dan mereka, maka dia harus menunaikannya atas namanya dan mereka. Adapun jika dia tidak mempunyai sejumlah yang mencukupi kecuali untuk menunaikan zakat fitrah atas namanya dan sebagian mereka saja, maka dia harus menunaikannya atas namanya dan sebagian mereka itu.  Adapun jika dia tidak mempunyai sejumlah yang mencukupi kecuali hanya untuk kebutuhan makanan pokoknya dan orang-orang yang dinafkahinya pada hari itu, maka dia dan orang-orang yang dinafkahinya tidak wajibkan menunaikan zakat fitrah. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) قال النووي رحمه الله: الْمُعْسِرُ لا فِطْرَةَ عَلَيْهِ بِلا خِلافٍ،.. وَالاعْتِبَارُ بِالْيَسَارِ وَالإِعْسَارِ بِحَالِ الْوُجُوبِ، فَمَنْ فَضَلَ عَنْ قُوتِهِ وَقُوتِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لِلَيْلَةِ الْعِيدِ وَيَوْمِهِ صَاعٌ، فَهُوَ مُوسِرٌ، وَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ فَهُوَ مُعْسِرٌ وَلا يَلْزَمُهُ شَيْءٌ فِي الْحَالِ. المجموع ج6 شروط وجوب صدقة الفطر An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang yang kekurangan tidak wajib zakat fitrah tanpa ada perselisihan. … Tolok ukur kesempitan dan kelapangan adalah ketika waktu diwajibkannya zakat tersebut, maka orang yang memiliki kelebihan makanan pokok sejumlah satu Ṣhāʿ untuknya dan untuk orang-orang yang dia nafkahi di malam Idul Fitri dan siang harinya, maka dia dalam kelapangan. Adapun jika dia tidak punya kelebihan tersebut, berarti dia dalam kesempitan, sehingga dalam keadaan itu tiada kewajiban apa pun baginya. Al-Majmū’ (Jilid 6: Syarat Wajib Zakat Fitrah) – يخرجها الإنسان المسلم عن نفسه وعمن ينفق عليهم من الزوجات والأقارب إذا لم يستطيعوا إخراجها عن أنفسهم فإن استطاعوا فالأولى أن يخرجوها هم، لأنهم المخاطبون بها أصلاً. فعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ. صحيح البخاري 1407 قال الشافعي رحمه الله: وَيُؤَدِّي وَلِيُّ الْمَعْتُوهِ وَالصَّبِيِّ عَنْهُمَا زَكَاةَ الْفِطْرِ وَعَمَّنْ تَلْزَمُهُمَا مُؤْنَتُهُ كَمَا يُؤَدِّي الصَّحِيحُ عَنْ نَفْسِهِ.. وإِنْ كَانَ فِيمَنْ يُمَوِّنُ (أي يعول) كَافِرٌ لَمْ يَلْزَمْهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ لأَنَّهُ لا يَطْهُرْ بِالزَّكَاةِ. الأم ج2 باب زكاة الفطر. Seorang muslim menunaikan zakat ini atas nama dirinya sendiri dan orang-orang yang dia nafkahi, seperti istri-istri dan kerabatnya jika mereka tidak mampu menunaikannya atas nama mereka sendiri. Jika memang mereka mampu, maka lebih utama jika mereka menunaikannya atas nama mereka sendiri, karena pada asalnya, merekalah yang diperintahkan.  Diriwayatkan dari Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— yang menyatakan bahwa Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat ke tempat salat.” (HR. Bukhari 1407)  Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa wali bagi orang gila dan anak kecil menunaikan zakat fitrah atas nama mereka dan atas nama orang-orang yang dia tanggung nafkahnya, sebagaimana orang yang sehat menunaikan atas namanya sendiri. … Jika di antara orang yang dia tanggung nafkahnya adalah orang kafir, maka dia tidak diwajibkan menunaikan zakat fitrah atas namanya, karena dia tidak bisa disucikan dengan zakat. Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) وقال صاحب المهذب: قَالَ الْمُصَنِّفُ رحمه الله تعالى: (وَمَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَتُهُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ إذَا كَانُوا مُسْلِمِينَ وَوَجَدَ مَا يُؤَدِّي عَنْهُمْ فَاضِلا عَنْ النَّفَقَةِ، فَيَجِبُ عَلَى الأَبِ وَالأُمِّ وَعَلَى أَبِيهِمَا وَأُمِّهِمَا – وَإِنْ عَلَوْا – فِطْرَةُ وَلَدِهِمَا وَوَلَدِ وَلَدِهِمَا – وَإِنْ سَفَلُوا – وَعَلَى الْوَلَدِ وَوَلَدِ الْوَلَدِ (وَإِنْ سَفَلُوا) فِطْرَةُ الأَبِ وَالأُمِّ وَأَبِيهِمَا وَأُمِّهِمَا – وَإِنْ عَلَوْا – إذَا وَجَبَتْ عَلَيْهِمْ نَفَقَتُهُمْ، المجموع ج6. Pengarang kitab al-Muhadzdzab berkata, “Penulis —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang yang terkena kewajiban zakat fitrah, maka dia juga wajib menunaikan zakat fitrahnya orang yang dia tanggung nafkahnya, asalkan mereka muslim dan dia sendiri memiliki kelebihan nafkah yang mencukupi untuk menunaikan zakat atas nama mereka. Seorang ayah dan ibu atau kakek dan nenek —dan ke atas seterusnya— wajib menunaikan zakat fitrah anak dan cucunya —dan ke bawah seterusnya—, sebagaimana anak dan cucu —dan ke bawah seterusnya— wajib menunaikan zakat fitrah ayah dan ibunya atau kakek dan neneknya —dan ke atas seterusnya— jika memang mereka terkena kewajiban untuk menafkahi mereka. Aḷ-Majmūʿ (Jilid 6) يخرج الإنسان عن نفسه وزوجته – وإن كان لها مال – وأولاده الفقراء ووالديه الفقيرين، والبنت التي لم يدخل بها زوجها. فإن كان ولده غنياً لم يجب عليه أن يخرج عنه، ويُخرج الزوج عن مطلقته الرجعية لا الناشز ولا البائن، ولا يلزم الولد إخراج فطرة زوجة أبيه الفقير لأنه لا تجب عليه نفقتها. ويبدأ بالأقرب فالأقرب، بنفسه فزوجته فأولاده ثم بقية القرابة أقربهم فأقربهم على حسب قانون الميراث. Seseorang menunaikan zakat fitrah atas nama dirinya sendiri, istrinya —meskipun istrinya kaya—, anak-anak dan orang tuanya yang miskin, dan anak perempuan yang belum ikut dengan suaminya. Jika anaknya kaya, maka ia tidak wajib menunaikan zakat fitrah atas namanya. Seorang suami wajib menunaikan zakat fitrah atas nama istrinya yang ditalak dengan talak Rajʿi (yang masih bisa rujuk, pent), tapi tidak untuk yang melakukan Nusyuz atau ditalak Bāʾin (yang sudah tidak bisa rujuk kecuali dengan akad nikah lagi, pent). Seorang anak tidak wajib menunaikan zakat fitrah atas nama istri ayahnya yang miskin, karena dia memang tidak wajib menanggung nafkahnya.  Jadi, dimulai dari yang terdekat dahulu lalu yang lebih dekat, dirinya sendiri, kemudian isterinya, kemudian anak-anaknya, kemudian kerabatnya yang paling dekat terlebih dahulu sesuai hukum waris. – قال الشافعي رحمه الله: وَمَنْ قُلْت تَجِبُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ، فَإِذَا وُلِدَ، أَوْ كَانَ فِي مِلْكِهِ، أَوْ عِيَالِهِ فِي شَيْءٍ مِنْ نَهَارِ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَغَابَتْ الشَّمْسُ لَيْلَةَ هِلالِ شَوَّالٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ.. الأم: باب زكاة الفطر الثاني. Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Orang yang aku katakan terkena kewajiban zakat fitrah adalah orang yang dilahirkan, dimiliki sebagai budak, atau ditanggung nafkahnya walaupun hanya sebentar saja di hari terakhir di bulan Ramadan, kemudian matahari terbenam pada malam pertama bulan Syawal, maka zakat fitrah wajib ditunaikan atas namanya.” Al-Umm (Jilid 2: Bab Zakat Fitrah) – ولا تجب عن الحمل الذي في البطن إلا إن يتطوع بها فلا بأس.  – وَإِنْ مَاتَ مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْفِطْرَةُ قَبْلَ أَدَائِهَا، أُخْرِجَتْ مِنْ تَرِكَتِهِ.. وَلَوْ مَاتَ مَنْ يَمُونُهُ، بَعْدَ وُجُوبِ الْفِطْرَةِ، لَمْ تَسْقُطْ. المغني ج2.  – والخادم إذا كان له أجرة مقدرة كل يوم أو كل شهر لا يُخرج عنه الصدقة لأنه أجير والأجير لا يُنفق عليه. الموسوعة 23/339 Zakat fitrah tidak wajib bagi janin dalam kandungan, tetapi tidak masalah jika ditunaikan untuknya secara sukarela. Jika orang yang wajib zakat fitrah meninggal sebelum menunaikannya, maka dibayarkan dari warisannya. Jika orang yang menanggung nafkahnya meninggal setelah dia terkena kewajiban zakat fitri, maka kewajiban itu tidak gugur. Al-Mughnī (Jilid 2) Jika seorang pembantu mendapatkan upah tertentu setiap hari atau setiap bulan, maka majikannya tidak menunaikan zakat atas namanya, karena dia adalah seorang pekerja. Pekerja tidaklah ditanggung nafkahnya. Al-Mausūʿah (23/339) وفِي إخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ عَنْ الْيَتِيمِ: قَالَ مَالِكٌ رحمه الله: يُؤَدِّي الْوَصِيُّ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ الْيَتَامَى الَّذِينَ عِنْدَهُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَإِنْ كَانُوا صِغَارًا. المدونة ج1.  – إذا أسلم الكافر يوم الفطر: فقد قَالَ مَالِكٌ: مَنْ أَسْلَمَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ اُسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يُؤَدِّيَ زَكَاةَ الْفِطْرِ. المدونة ج1 Mengenai membayar zakat fitrah atas nama anak yatim, maka Malik —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan bahwa walinya menunaikan zakat fitrah atas nama anak yatim yang hartanya dia urusi jika anak tersebut masih kecil. Al-Mudawwanah (Jilid 1) Jika orang kafir masuk Islam saat Idul Fitri, maka Malik berkata bahwa orang yang masuk Islam sebelum terbitnya fajar di hari Idul Fitri, maka dia dianjurkan untuk menunaikan zakat fitrah. Al-Mudawwanah (Jilid 1)   مقدار زكاة الفطر  مقدارها صاع من طعام بصاع النبي ﷺ لحديث أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ.. رواه البخاري 1412 والوزن يختلف باختلاف ما يملأ به الصاع، فعند إخراج الوزن لابد من التأكد أنه يعادل ملئ الصاع من النوع المخرَج منه… وهو مثل 3 كيلو من الرز تقريباً Takaran Zakat Fitrah Takarannya adalah satu Ṣhā makanan pokok dengan ukuran Ṣhā Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, berdasarkan hadis Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Kami pada masa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memberikan satu Ṣhā makanan pokok.” (HR. Bukhari 1412)  Takarannya bervariasi sesuai kadar penuhnya Ṣhā tersebut. Jadi, saat membayarkan takaran tersebut, harus dipastikan dahulu bahwa beratnya sudah sepenuh satu Ṣhā berupa suatu jenis makanan pokok untuk menunaikannya, yang kurang lebih setara dengan dengan 3 kilo beras. الأصناف التي تؤدى منها زكاة الفطر الجنس الذي تُخرج منه هو طعام الآدميين، من تمر أو بر أو رز أو غيرها من طعام بني آدم. ففي الصحيحين من حديث ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ (وكان الشعير يومذاك من طعامهم) البخاري 1408 وعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالأَقِطُ وَالتَّمْرُ. رواه البخاري 1414. Jenis Makanan yang Digunakan untuk Zakat Fitrah Jenis makanan yang digunakan untuk menunaikan zakat fitrah adalah makanan pokok manusia, seperti kurma, gandum, beras, atau makanan pokok manusia lainnya. Dalam kitab Shahihain dari hadis Ibnu Umar —Semoga Allah Meridainya— bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah kepada kaum muslimin, baik seorang budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, dan tua atau muda, berupa satu Ṣhāʿ kurma atau jelai. (HR. Bukhari 1408)  Jelai ketika itu adalah makanan pokok mereka. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri —Semoga Allah Meridainya— yang mengatakan, “Kami di era Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pada hari raya Idul Fitri mengeluarkan satu Ṣhāʿ makanan.” Abu Said mengatakan, “Ketika itu makanan pokok kami adalah jelai, kismis, yogurt kering, dan kurma.” (HR. Bukhari 1414) فتخرج من غالب قوت البلد الذي يستعمله الناس وينتفعون به سواء كان قمحا أو رزاً أو تمراً أو عدسا…قال الشافعي رحمه الله: وَإِنْ اقْتَاتَ قَوْمٌ ذُرَةً، أَوْ دُخْنًا، أَوْ سُلْتًا أَوْ أُرْزًا، أَوْ أَيَّ حَبَّةٍ مَا كَانَتْ مِمَّا فِيهِ الزَّكَاةُ فَلَهُمْ إخْرَاجُ الزَّكَاةِ مِنْهَا. الأم للشافعي ج2 باب الرجل يختلف قوته. Zakat Fitrah ditunaikan berupa makanan pokok yang umum di suatu wilayah, yang digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas, baik gandum, beras, kurma, atau kacang adas. Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika suatu kaum makanan pokoknya adalah jagung, jewawut, sorgum, atau beras, atau biji-bijian apa pun, yang termasuk komoditas yang dikenakan zakat, maka mereka boleh menunaikan zakat fitrah dengannya. Al-Umm karya Syafii (Jilid 2, Bab: Orang yang Berbeda-beda Makanan Pokoknya) وقال النووي رحمه الله: قَالَ أَصْحَابُنَا: يُشْتَرَطُ فِي الْمُخْرَجِ مِنْ الْفِطْرَةِ أَنْ يَكُونَ مِنْ الأَقْوَاتِ الَّتِي يَجِبُ فِيهَا الْعُشْرُ (أي في زكاة الحبوب والثمار)، فَلا يُجْزِئُ شَيْءٌ مِنْ غَيْرِهَا إلا الأَقِطَ وَالْجُبْنُ وَاللَّبَنُ. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَكَذَا لَوْ كَانَ بَعْضُ أَهْلِ الْجَزَائِرِ أَوْ غَيْرِهِمْ يَقْتَاتُونَ السَّمَكَ وَالْبَيْضَ فَلا يُجْزِئُهُمْ بِلا خِلافٍ، وَأَمَّا اللَّحْمُ فَالصَّوَابُ الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَقَطَعَ بِهِ الْمُصَنِّفُ وَالأَصْحَابُ فِي جَمِيعِ الطُّرُقِ: أَنَّهُ لا يُجْزِئُ قَوْلا وَاحِدًا… قَالَ أَصْحَابُنَا: وَكَذَا لَوْ اقْتَاتُوا ثَمَرَةً لا عُشْرَ فِيهَا كَالتِّينِ وَغَيْرِهِ لا يُجْزِئُ قَطْعًا. المجموع ج6: الواجب في زكاة الفطر. An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Sahabat-sahabat kami berkata bahwa jenis yang digunakan untuk zakat fitrah disyaratkan harus berupa makanan pokok yang dikenakan zakat sebesar sepersepuluh (yakni zakat biji-bijian dan buah-buahan). Jadi, tidak sah jika berupa jenis selain itu, kecuali yogurt dan susu yang dikeringkan serta keju.  Al-Mawardi berkata bahwa jika sebagian masyarakat di jazirah Arab atau selain mereka makanan pokoknya adalah ikan dan telur, maka itu tidak juga tidak sah. Adapun daging, pendapat yang benar yang dikemukakan Syafii dan ditegaskan oleh penulis dan para sahabatnya dari berbagai jalur riwayat adalah satu pendapat, yakni tidak sah. Para sahabat kami berkata bahwa jika orang-orang makanan pokoknya adalah buah-buahan yang tidak dikenakan zakat sebesar sepersepuluhnya, seperti buah tin dan lain-lain, maka jelas tidak sah. Al-Majmūʿ (Jilid 6: Yang Diwajibkan dalam Zakat Fitrah) وقال ابن القيم رحمه الله: فَإِنْ قِيلَ: فَأَنْتُمْ تُوجِبُونَ صَاعَ التَّمْرِ فِي كُلِّ مَكَان، سَوَاءٌ كَانَ قُوتًا لَهُمْ أَوْ لَمْ يَكُنْ. قِيلَ: هَذَا مِنْ مَسَائِلِ النِّزَاعِ وَمَوَارِدِ الاجْتِهَادِ، فَمِنْ النَّاسِ مَنْ يُوجِبُ ذَلِكَ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُوجِبُ فِي كُلِّ بَلَدٍ صَاعًا مِنْ قُوتِهِمْ، وَنَظِيرُ هَذَا تَعْيِينُهُ صلى الله عليه وسلم الأَصْنَافَ الْخَمْسَةَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ وَأَنَّ كُلَّ بَلَدٍ يُخْرِجُونَ مِنْ قُوتِهِمْ مِقْدَارَ الصَّاعِ، وَهَذَا أَرْجَحُ وَأَقْرَبُ إلَى قَوَاعِدِ الشَّرْعِ، وَإِلا فَكَيْفَ يُكَلَّفُ مَنْ قُوتُهُمْ السَّمَكُ مَثَلا أَوْ الأَرُزُّ أَوْ الدُّخْنُ إلَى التَّمْرِ.. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ. إعلام الموقعين ج2. Ibnul Qayyim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada yang mengatakan, “Kalian wajib mengeluarkan berupa satu Ṣhāʿ kurma di mana pun tempatnya, baik itu menjadi makanan pokok mereka atau bukan.”  Jawabannya adalah bahwa ini adalah salah satu masalah yang diperselisihkan dan menjadi bidang ijtihad. Sebagian ada yang mewajibkan seperti itu, dan sebagian lagi ada yang mewajibkan untuk setiap wilayah satu Ṣhāʿ makanan pokok setempat. Hal ini sebagaimana beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menentukan lima jenis makanan pokok untuk zakat fitrah, dan bahwa setiap wilayah ditunaikan zakat fitrahnya sesuai makanan pokoknya masing-masing sejumlah satu Ṣhāʿ. Inilah yang lebih tepat dan lebih dekat dengan kaidah-kaidah syariat, jika tidak demikian, bagaimana jadinya jika orang yang makanan pokoknya adalah ikan misalnya, atau beras atau jewawut dibebani berzakat dengan kurma? Taufik hanya dari Allah. Iʿlām al-Muwaqqiʿīn (Jilid 2) ويجوز إخراجها من المكرونة المصنوعة من القمح ولكن يتأكد أنّ الوزن هو وزن صاع القمح. وأما إخراجها مالا فلا يجوز مطلقا لأنّ الشّارع فرضها طعاما لا مالا وحدّد جنسها وهو الطّعام فلا يجوز الإخراج من غيره، ولأنّه أرادها ظاهرة لا خفيّة، ولأنّ الصحابة أخرجوها طعاما ونحن نتّبع ولا نبتدع، ثمّ إخراج زكاة الفطر بالطعام ينضبط بهذا الصّاع أمّا إخراجها نقودا فلا ينضبط، فعلى سعر أي شيء يُخرج ؟، وقد تظهر فوائد لإخراجها قوتا كما في حالات الاحتكار وارتفاع الأسعار والحروب والغلاء. Boleh menunaikan zakat dengan makaroni yang terbuat dari gandum, namun harus dipastikan bahwa beratnya setara dengan satu Ṣhāʿ gandum. Adapun menunaikannya dalam bentuk uang, maka mutlak tidak boleh, karena syariat mewajibkannya dalam bentuk makanan, bukan uang, serta ditentukan jenisnya, yaitu makanan pokok.  Jadi, tidak boleh ditunaikan dengan selain itu. Selain itu, karena zakat ini dimaksudkan agar ditampakkan, bukan disembunyikan, dan para Sahabat pun menunaikannya berupa makanan, maka kita mengikuti dan bukan mengada-ada.  Di samping itu, mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan akan sesuai dengan takaran satu Ṣhāʿ, adapun membayarnya berupa uang, maka tidak akan bisa selaras takarannya, harga apa yang akan dipakai untuk standar pembayaran zakat? Mungkin juga manfaat mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan akan tampak jelas sebagaimana ketika masa-masa terjadi penimbunan, kenaikan harga, perang, dan pergolakan. قال قائل: النقود أنفع للفقير ويشتري بها ما يشاء وقد يحتاج شيئا آخر غير الطعام، ثم قد يبيع الفقير الطعام ويخسر فيه فالجواب عن هذا كله أن هناك مصادر أخرى لسدّ احتياجات الفقراء في المسكن والملبس وغيرها، وذلك من زكاة المال والصدقات العامة والهبات وغيرها فلنضع الأمور في نصابها الشّرعي ونلتزم بما حدّده الشّارع وهو قد فرضها صاعا من طعام: طُعمة للمساكين ونحن لو أعطينا الفقير طعاما من قوت البلد فإنه سيأكل منه ويستفيد عاجلا أو آجلا لأنّ هذا مما يستعمله أصلا.  وبناء عليه فلا يجوز إعطاؤها مالا لسداد دين شخص أو أجرة عملية جراحية لمريض أو تسديد قسط دراسة عن طالب محتاج ونحو ذلك فلهذا مصادر أخرى كما تقدم. Ada yang berkata bahwa uang lebih berguna bagi orang miskin dan bisa dipakai untuk membeli apa pun yang dia butuhkan dengan uang itu. Dia juga mungkin membutuhkan sesuatu selain makanan. Kemudian, orang miskin juga bisa menjual makanan itu tapi malah merugi.  Jawaban dari semua ini adalah bahwa masih ada sumber-sumber dana lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin terhadap sandang, papan, dan lain-lain, yaitu dari dana zakat harta, sedekah masyarakat, hadiah, dan lain-lain. Kita berpegang teguh pada syariat yang telah menetapkannya berupa satu Ṣhāʿ makanan bagi orang-orang miskin.  Jika orang miskin kita beri zakat berupa makanan pokok negeri setempat, niscaya dia bisa memakannya dan memanfaatkannya langsung atau di kemudian hari, karena pada asalnya memang inilah yang mereka manfaatkan. Oleh karena itu, tidak boleh memberikan zakat fitrah berupa uang untuk melunasi hutang seseorang, biaya operasi pasien, membayar biaya pendidikan siswa yang membutuhkan, dan kebutuhan lainnya. Masih ada sumber dana lain untuk itu, sebagaimana disebutkan di atas. وقت إخراج زكاة الفطر – تؤدى قبل صلاة العيد كما في الحديث أن النبي ﷺ ” أَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ. البخاري 1407 ووقت الدفع له وقت استحباب ووقت جواز. فأما وقت الاستحباب فهو صباح يوم العيد للحديث السابق، ولهذا يسن تأخير صلاة العيد يوم الفطر ليتسع الوقت لمن عليه إخراجها، ويفطر قبل الخروج. كما يسن تعجيل صلاة العيد يوم الأضحى ليذهب الناس لذبح أضاحيهم ويأكلوا منها.  Waktu Menunaikan Zakat Fitrah Hendaknya ditunaikan sebelum salat Idul Fitri, sebagaimana tersebut dalam hadis Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkannya agar ditunaikan sebelum keluar untuk salat (Idul Fitri). (HR. Bukhari 1407)  Waktu menunaikan zakat fitrah ini ada waktu yang dianjurkan dan waktu yang diperbolehkan. Waktu yang dianjurkan adalah pagi hari Idul Fitri, berdasarkan hadis di atas. Inilah sebabnya disunahkan untuk mengakhirkan waktu salat Idul Fitri, yakni agar ada kelonggaran waktu bagi orang yang wajib menunaikannya dan agar bisa makan dahulu sebelum pergi. Hal ini sebagaimana disunahkan juga untuk menyegerakan shalat id saat Idul Adha agar orang-orang bisa segera beranjak menyembelih hewan kurban mereka lalu memakan sebagiannya. أما وقت الجواز فهو قبل العيد بيوم أو يومين. ففي صحيح البخاري عن نافع قال: كان ابن عمر يعطي عن الصغير والكبير حتى أنه كان يعطي عن بنيّ وكان يعطيها الذين يقبلونها وكان يُعطون قبل الفطر بيوم أو بيومين. ومعنى قوله (الذين يقبلونها) هم الجباة الذين ينصبهم الإمام لجمع صدقة الفطر. وعَنْ نَافِعٍ: إنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ بِثَلاثَةٍ. المدونة ج1 باب تعجيل الزكاة قبل حلولها. Adapun waktu yang diperbolehkan adalah satu atau dua hari sebelum Idul Fitri. Disebutkan dalam Sahih Bukhari dari Nāfiʿ yang menyatakan, “Ibnu Umar dahulu memberikan zakat fitrah atas nama anak kecil dan orang tua bahkan atas nama anakku. Beliau memberikannya kepada orang-orang yang menerimanya, dan mereka menyalurkannya satu atau dua hari sebelum Idul Fitri.”  Makna perkataan beliau “orang-orang yang menerimanya” adalah para petugas yang ditunjuk oleh penguasa untuk memungut zakat fitrah. Diriwayatkan dari Nāfiʿ bahwa Ibnu Umar dahulu mengutus orang untuk menyerahkan zakat fitrah kepada pihak yang mengumpulkannya dua atau tiga hari sebelum Idul Fitri. Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab Menyegerakan Zakat Sebelum Waktunya) ويكره تأخيرها بعد صلاة العيد وقال بعضهم يحرم وتكون قضاء واستُدِل لذلك بحديث: مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ رواه أبو داود 1371. قال في عون المعبود شرح أبي داود: والظاهر أن من أخرج الفطرة بعد الصلاة كان كمن لم يخرجها باعتبار اشتراكهما في ترك هذه الصدقة الواجبة. وقد ذهب أكثر العلماء إلى أن إخراجها قبل صلاة العيد إنما هو مستحب فقط، وجزموا بأنها تجزئ إلى آخر يوم الفطر، والحديث يردّ عليهم، وأما تأخيرها عن يوم العيد. فقال ابن رسلان: إنه حرام بالاتفاق لأنها زكاة، فوجب أن يكون في تأخيرها إثم كما في إخراج الصلاة عن وقتها. Makruh hukumnya menundanya sampai setelah salat Idul Fitri. Sebagian ulama mengharamkannya, sehingga zakatnya menjadi qada. Mereka berdalil dengan hadis, “Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat (Idul Fitri), maka itu menjadi zakat yang diterima. Adapun barang siapa yang menunaikannya setelah salat (Idul Fitri), maka itu menjadi sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya. (HR. Abu Dawud 1371).  Disebutkan dalam ʿAun al-Maʿbūd Syarẖi Abī Dawūd bahwa yang lebih tepat adalah pendapat yang mengatakan bahwa orang yang menunaikan zakat fitrah setelah salat, maka dia seperti orang yang tidak menunaikannya, karena kedua-duanya sama-sama meninggalkan zakat wajib ini. Mayoritas ulama berpendapat bahwa menunaikannya sebelum salat Idul Fitri hukumnya disunahkan dan mereka menyatakan bolehnya ditunaikan hingga akhir hari raya Idul Fitri. Hadis di atas menjadi bantahan untuk mereka. Mengenai penundaannya sampai setelah Idul Fitri, maka Ibnu Ruslan berkata bahwa hukumnya haram dengan kesepakatan ulama, karena itu adalah zakat, sehingga penundaannya akan berakibat dosa, sebagaimana menunda salat sampai keluar dari waktunya. فيحرم إذن تأخيرها عن وقتها بلا عذر لأن يفوت به المعنى المقصود، وهو إغناء الفقراء عن الطلب يوم السرور فلو أخرّها بلا عذر عصى وقضى. ويجب أن تصل إلى مستحقها أو من ينوب عنه من المتوكلين في وقتها قبل الصلاة، فلو أراد دفعها إلى شخص فلم يجده ولم يجد وكيلاً له وخاف خروج الوقت فعليه أن يدفعها إلى مستحق آخر ولا يؤخرها عن وقتها Oleh karena itu, diharamkan menundanya sampai terlewat waktunya tanpa uzur, karena itu berarti melewatkan tujuan utamanya, yaitu mencukupi orang-orang miskin agar tidak meminta-minta di hari kegembiraan ini. Jika seseorang menundanya tanpa uzur, maka dia telah bermaksiat dan wajib mengqadanya. Dia harus menunaikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya atau pihak yang biasa yang mewakili mereka di waktu yang semestinya sebelum salat.  Jika dia ingin memberikannya kepada seseorang tetapi dia tidak dapat bertemu dengannya atau mendapati wakilnya sementara dia khawatir keluar dari waktunya, maka ia harus memberikannya kepada orang lain yang berhak menerimanya dan jangan ditunda sampai melewati waktunya.  وإذا كان الشّخص يحب أن يدفع فطرته لفقير معيّن ويخشى أن لا يراه وقت إخراجها فليأمره أن يوكل أحداً بقبضها منه أو يوكله هو في قبضها له من نفسه فإذا جاء وقت دفعها فليأخذها له في كيس أو غيره ويبقيها أمانة عنده حتى يلقى صاحبها. وإذا وكّل المزكّي شخصا بإخراج الزكاة عنه فلا تبرأ الذمة حتى يتأكد أن الوكيل قد أخرجها ودفعها فعلاً.: مجالس شهر رمضان: أحكام زكاة الفطر للشيخ ابن عثيمين. Jika seseorang ingin membayarkan zakat fitrahnya kepada orang miskin tertentu, tetapi ia takut tidak akan berjumpa dengannya ketika tiba waktu wajib pemberian zakat, hendaknya dia memerintahkannya untuk menunjuk seseorang untuk menjadi wakil untuk menerimanya darinya. Bisa juga dengan dia menunjuk dirinya sendiri menjadi wakilnya untuk menerimanya. Jika tiba waktunya mengeluarkan zakat, maka ia bisa mengambilkannya untuknya di plastik atau yang lainnya lalu itu menjadi amanah baginya sampai dia bertemu dengan yang berhak menerimanya.  Jika orang yang mengeluarkan zakat ingin menunjuk seseorang sebagai wakil untuk menunaikan zakat atas namanya, maka kewajiban itu tidak gugur darinya sampai dia memastikan bahwa wakilnya itu benar-benar telah menunaikannya dan menyerahkannya. Majālis Syahri Ramaḏān: Aẖkām Zakāti al-Fiṯri lisy Syaikhi Ibni Utsaimin. إخراج زكاة الفطر وتفريقها – الأفضل أن يتولى الإنسان قسْمها بنفسه: (قَالَ الشَّافِعِيُّ): وَأَخْتَارُ قَسْمَ زَكَاةِ الْفِطْرِ بِنَفْسِي عَلَى طَرْحِهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ.  قال النووي رحمه الله: قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي ” الْمُخْتَصَرِ “: وَتُقَسَّمُ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى مَنْ تُقَسَّمُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْمَالِ، وَأُحِبُّ دَفْعَهَا إلَى ذَوِي رَحِمِهِ الَّذِينَ لا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُمْ بِحَالٍ، قَالَ: فَإِنْ طَرَحَهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ أَجْزَأَهُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى.. و..الأَفْضَلَ أَنْ يُفَرِّقَ الْفِطْرَةَ بِنَفْسِهِ و.. لَوْ دَفَعَهَا إلَى الإِمَامِ أَوْ السَّاعِي أَوْ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ الْفِطْرَةُ لِلنَّاسِ وَأَذِنَ لَهُ فِي إخْرَاجِهَا أَجْزَأَهُ، وَلَكِنَّ تَفْرِيقَهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا كُلِّهِ. المجموع: ج6 Penunaian Zakat Fitrah dan Pendistribusiannya Yang lebih baik adalah seseorang bertanggung jawab sendiri mendistribusikannya. Syafii berkata, “Aku memilih untuk membagi zakat fitrah sendiri daripada menyerahkannya kepada pihak yang mengumpulkannya.” An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa Syafii berkata dalam al-Mukhtashar, “Zakat fitrah diserahkan kepada orang-orang yang berhak mendapatkan zakat harta. Aku lebih suka jika seseorang memberikannya secara langsung kepada kerabat-kerabatnya yang mana nafkah mereka bukan dia yang menanggungnya.” Beliau juga mengatakan bahwa jika dia menyerahkannya kepada pihak yang mengumpulkannya, maka sah juga, insya Allah. … Yang afdal adalah mendistribusikan zakat fitrahnya sendiri. … Jika ia menyerahkannya kepada pemerintah setempat, petugas, atau pihak yang mengumpulkannya, dan dia mengizinkan mereka menyalurkannya, maka demikian juga sah. Hanya saja, mendistribusikan zakat fitrahnya sendiri lebih baik dari semua itu. Aḷ-Majmūʿ (Jilid 6) – ويجوز أن يوكّل ثقة بإيصالها إلى مستحقيهاوأما إن كان غير ثقة فلا، قال عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُؤَمَّلِ قَالَ سَمِعْت ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ وَرَجُلٌ يَقُولُ لَهُ: إنَّ (فلانا) أَمَرَنِي أَنْ أَطْرَحَ زَكَاةَ الْفِطْرِ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: أَفْتَاك الْعِلْجُ بِغَيْرِ رَأْيِهِ ؟ اقْسِمْهَا (أي تولّ أنت قسمتها بنفسك)، فَإِنَّمَا يُعْطِيهَا ابْنُ هِشَامٍ (أي الوالي الذي يجمعها في المسجد) أَحْرَاسَهُ وَمَنْ شَاءَ. (أي يعطيها لغير مستحقّيها). الأم: باب ضيعة زكاة الفطر قبل قسمها Boleh juga seseorang mewakilkannya kepada orang yang tepercaya untuk mengantarkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Namun jika dia tidak tepercaya, maka tidak boleh. Abdullah bin al-Muammal pernah berkata, “Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah ketika ada seorang laki-laki berkata kepadanya, ‘Si fulan memerintahkanku untuk menyerahkan zakat fitrah ke masjid.’ Ibnu Abi Mulaikah berkata, ‘Orang itu memberi fatwa yang keliru. Bagikan saja! (Artinya, kamu saja sendiri yang mendistribusikannya.) Karena Ibnu Hisyam (dia adalah penguasa yang mengumpulkan zakat fitrah di masjid) hanya akan mendistribusikannya kepada bawahannya dan siapa saja yang dikehendakinya.’” (Artinya, dia memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya.) Al-Umm: Bab tentang Hilangnya Zakat Fitrah sebelum Didistribusikan. ونص الإمام أحمد رحمه الله على أنه يَجُوزُصَرْفُ صَاعٍ إلَى جَمَاعَةٍ، وَآصُعٍ إلَى وَاحِدٍ.  وَقَالَ مَالِكٌ: لا بَأْسَ أَنْ يُعْطِيَ الرَّجُلُ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْ عِيَالِهِ مِسْكِينًا وَاحِدًا. المدونة ج1 باب في قسم زكاة الفطر وإذا أعطى فقيرا أقلّ من صاع فلينبهه لأنّ الفقير قد يُخرجها عن نفسه. ويجوز للفقير إذا أخذ الفطرة من شخص وزادت عن حاجته أن يدفعها هو عن نفسه أو أحد ممن يعولهم إذا علم أنها تامة مجزئة.  Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmatinya— menyatakan diperbolehkannya membagikan satu Ṣhāʿ kepada sejumlah orang atau beberapa Ṣhāʿ kepada satu orang saja.  Malik berkata bahwa seseorang yang memberikan zakat fitrah atas nama dirinya sendiri dan keluarganya kepada satu orang miskin tidaklah mengapa. Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab Pembagian Zakat Fitrah)  Jika dia memberikannya kepada satu orang miskin kurang dari satu Ṣhāʿ, maka dia hendaknya menjelaskannya kepadanya, karena orang miskin terkadang juga menunaikan zakat untuk dirinya sendiri. Orang miskin boleh demikian jika dia menerima zakat fitrah dari seseorang dan ternyata melebihi kebutuhannya, maka ia menunaikan zakatnya atas nama dirinya sendiri atau atas nama orang yang ditanggungnya, jika memang dia benar-benar tahu zakat itu mencukupi. مكان إخراج زكاة الفطر قال ابن قدامة رحمه الله: فَأَمَّا زَكَاةُ الْفِطْرِ فَإِنَّهُ يُفَرِّقُهَا فِي الْبَلَدِ الَّذِي وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِيه، سَوَاءٌ كَانَ مَالُهُ فِيهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ؛ لأَنَّهُ سَبَبُ وُجُوبِ الزَّكَاةِ، فَفُرِّقَتْ فِي الْبَلَدِ الَّذِي سَبَبُهَا فِيهِ. المغني ج2 فصل إذا كان المزكي في بلد وماله في بلد. وورد في المدونة في فقه الإمام مالك رحمه الله: قُلْتُ: مَا قَوْلُ مَالِكٍ فِيمَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِ إفْرِيقِيَّةَ وَهُوَ بِمِصْرَ يَوْمَ الْفِطْرِ أَيْنَ يُؤَدِّي زَكَاةَ الْفِطْرِ ؟ قَالَ: قَالَ مَالِكٌ: حَيْثُ هُوَ، قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ أَدَّى عَنْهُ أَهْلُهُ بِإِفْرِيقِيَّةَ أَجْزَأَهُ (ومصطلحهم في كلمة إفريقية يختلف عما هو عليه الآن) ج1. باب في إخراج المسافر زكاة الفطر. نسأل الله أن يتقبّل منّا أجمعين، وأن يُلحقنا بالصالحين وصلى الله على النبي الأمين وعلى آله وصحبه أجمعين. Tempat Menunaikan Zakat Fitrah Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa zakat fitrah wajib didistribusikan di wilayah di mana seseorang terkena kewajiban tersebut, baik hartanya ada di sana atau tidak, karena itulah yang menjadi sebab wajibnya zakat, sehingga zakat didistribusikan di wilayah yang menjadi sebab diwajibkannya zakat tersebut. Al-Mughnī (Jilid 2, Pasal tentang Jika Muzaki ada di Suatu Wilayah dan Hartanya di Wilayah Lain)  Disebutkan dalam kitab al-Mudawwanah tentang fikih Imam Malik —Semoga Allah Merahmatinya—, “Aku berkata, ‘Apa pendapat Malik tentang seseorang yang merupakan penduduk Afrika tapi dia sedang berada di Mesir pada hari raya Idul Fitri? Ke mana dia harus menunaikan zakat fitrahnya?’ Beliau berkata bahwa Malik mengatakan, ‘Di wilayah di mana dia berada.’ Malik juga berkata, ‘Jika keluarganya menunaikannya atas namanya di Afrika, maka sah.’ (Catatan: Kata Afrika dalam terminologi mereka berbeda dengan zaman sekarang). (Al-Mudawwanah (Jilid 1, Bab tentang Musafir yang Membayar Zakat Fitrah))  Kami Memohon kepada Allah agar Menerima dari kita semuanya, dan Mempertemukan kita dengan orang-orang saleh. Semoga selawat Allah terlimpahkan kepada Nabi yang amanah beserta seluruh keluarga dan Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamqa.info/ar/articles/69/احكام-مختصرة-في-زكاة-الفطر PDF sumber artikel. 🔍 Cara Menggauli Istri Saat Haid, Pengertian Nyadran, Kenapa Kodok Haram, Jamak Takhir Isya, Waktu Sholat Isya Jakarta, Ucapan Selamat Melahirkan Dalam Islam Visited 51 times, 1 visit(s) today Post Views: 403 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Khutbah Idulfitri | Dunia ini Negeri Ujian dan Kesulitan

Ingatlah dunia ini negeri ujian dan kesulitan, tak lepas dari masalah hidup. Solusinya perhatikan pada naskah khutbah berikut ini.     Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan 4. Aturan Khutbah Idulfitri 5. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: 6. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: 7. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021:     Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ، (9x) الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ أَمَّابَعْدُ؛ فَيَآ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تَقْوَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ، أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ، فَهُوَ يَوْمُ تَسْبِيْحٍ وَتَحْمِيْدٍ وَتَهْلِيْلٍ وَتَعْظِيْمٍ ، فَسَبِّحُوْا رَبَّكُمْ فِيْهِ وَعَظِّمُوْهُ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di hari Idulfitri ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Negeri ini penuh dengan musibah dan ujian belakangan ini. Ada daerah di negeri yang terkena banjir parah menjelang Ramadhan berakhir. Namun, ada daerah yang hujannya turun, tetapi jarang-jarang sehingga hasil panen tak seperti yang diharapkan dan diimpikan. Ada juga yang mendapat ujian pada keluarganya sendiri. Suami ada yang sulit menghadapi istri yang sulit diatur. Ada juga istri yang menghadapi suami yang tidak mau memberikan nafkah lahir dan batin. Ada juga orang tua yang menghadapi anak yang durhaka dan suka membantah. Ada juga menantu yang terus bermasalah dengan mertua. Ada juga yang mengalami kesulitan ekonomi, terlilit utang yang sangat sulit untuk dilunasi sampai tak ada lagi aset untuk menutupi utangnya. Ada juga yang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh bertahun-tahun. Itulah hidup di dunia, tak lepas dari ujian dan kesulitan. Kalau ingin hidup penuh keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan, itu hanyalah didapati di surga. Coba jamaah shalat Id sekalian merenungkan ayat berikut ini di mana sebelumnya diawali sumpah oleh Allah dengan menyebut kota Makkah, Nabi Adam, dan keturunannya. Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ laqad khalaqnal-insāna fī kabad “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Manusia itu menderita kesulitan di dunia, di alam barzakh (alam kubur), dan pada hari kiamat saat setiap amal akan disaksikan.” Lantas Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Untuk selamat dari berbagai kesulitan di dunia dan alam akhirat, solusinya adalah BERUSAHA BERAMAL SALEH. Jika amal saleh ini tidak dilakukan, maka kesulitan tetap akan dirasakan terus menerus.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 971) Maka benarlah manusia terus berada dalam kesulitan. Kenyamanan dan kebahagiaan hanyalah didapati ketika berada di surga. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, فَإِنَّ الإِنْسَانَ مَخْلُوْقٌ فِي شِدَّةٍ بِكَوْنِهِ فِي الرَّحِمِ، ثُمَّ فِي القَمَاط وَالرَّبَاطِ، ثُمَّ هُوَ عَلَى خَطْرٍ عَظِيْمٍ عِنْدَ بُلُوْغِهِ حَالَ التَّكْلِيْفِ وَمُكَابَدَةِ المَعِيْشَةِ وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِِ المَوْتِ وَمَا بَعْدَهُ فِي البَرْزَخِ وَمَوْقِفِ القِيَامَةِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِ العَذَابِ فِي النَّارِ، وَلاَ رَاحَةَ لَهُ إِلَّا فِي الجَنَّةِ “Manusia diciptakan dalam keadaan susah payah ketika di dalam rahim ibunya dan ketika berada pada keadaan di tali bedungnya (di buaian ibunya). Ia juga mendapatkan masalah hidup tatkala mencapai usia baligh (dewasa) dan ketika dikenakan beban syariat. Kemudian ia berada pada kesusahan dalam menjalani kehidupan, juga dalam menghadapi perintah dan larangan. Kemudian berada pada susahnya kematian dan kejadian setelahnya di alam kuburnya dan situasi hari kiamat. Kemudian ia berada pada susahnya siksaan api neraka. KITA TIDAK ADA WAKTU UNTUK REHAT MELAINKAN KETIKA SUDAH MASUK SURGA.” (At-Tibyan fii Aqsam Al-Qur’an, hlm. 34-35) Jalan selamat dari berbagai kesulitan ini disebutkan dalam ayat selanjutnya dari surah Al-Balad. فَلَا ٱقْتَحَمَ ٱلْعَقَبَةَ fa laqtaḥamal-‘aqabah “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad: 11) وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ wa mā adrāka mal-‘aqabah “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12) فَكُّ رَقَبَةٍ fakku raqabah  “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad: 13) أَوْ إِطْعَٰمٌ فِى يَوْمٍ ذِى مَسْغَبَةٍ au iṭ’āmun fī yaumin żī masgabah “atau memberi makan pada hari kelaparan.” (QS. Al-Balad: 14), di mana orang sangat butuh untuk makan. يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ yatīman żā maqrabah “(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.” (QS. Al-Balad: 15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ au miskīnan żā matrabah “atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. Al-Balad: 16) Lihatlah ayat-ayat di atas menerangkan bahwa selamat dari kesulitan (kesukaran) dengan: (1) membebaskan budak, (2) memberikan makan di saat orang-orang butuh dengan memberi makan kepada anak yatim yang masih ada hubungan kerabat dan orang miskin yang memang sangat memerlukan. Kemudian ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya. ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ ṡumma kāna minallażīna āmanụ wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-mar-ḥamah “Dan dia (juga) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17) أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ ulā`ika aṣ-ḥābul-maimanah “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (QS. Al-Balad: 17) Kesimpulannya, untuk selamat dari jalan kesulitan adalah dengan: beriman, beramal saleh, bersabar dalam ketaatan, bersabar dalam menjauhi maksiat, bersabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan, saling menasihati dalam berkasih sayang, yaitu dengan memberi pada orang yang butuh, mengajarkan ilmu pada yang belum tahu, dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan berbagai macam cara, membantu urusan dunia dan akhirat, mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah yang disebut dengan GOLONGAN KANAN yang meraih kebahagiaan, di mana ia menjalankan perintah terkait dengan hak Allah dan hak sesama, serta menjauhi larangan. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 972) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Yang jadi masalah adalah kita terus tertimpa masalah hidup, tetapi kita sendiri tidak mau koreksi diri. Iman kita begitu lemah dan tak mau meningkatkan keimanan. Amal saleh kita masih kurang di saat maksiat terus rutin. Lihat saja shalat sebagian jamaah kita hanya semangat di bulan Ramadhan, bakda Ramadhan sudah tak ada lagi shalat. Sabar kita begitu kurang, apalagi dalam menghadapi musibah atau saat disakiti orang lain. Kita juga kurang berkasih sayang dengan orang lain, menjadi orang pelit (enggan mengeluarkan harta dalam memenuhi kewajiban), tetapi kita terus mengejar harta yang membuat kita lalai pada ibadah. Kita jadi orang yang terlena pada dunia dan terus berbangga-bangga dengannya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At Takatsur: 1-2). Hal ini pun kita malas koreksi. Jika kita memiliki masalah hidup, adukanlah kepada Allah dengan terlebih dahulu mengoreksi diri. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al-Fawaid berkata, “Orang arif atau cerdas adalah yang mengeluhkan kekurangan dirinya sendiri kepada Allah (ketika menghadapi masalah hidup). Ia mengadukan keadaan dirinya yang jelek kepada Allah, ia bukan mengeluhkan keadaan orang lain yang telah menyakitinya. Ia hanya menilai bahwa perlakuan jelek orang lain padanya adalah lantaran kesalahan dirinya sendiri. Hal ini sama dengan kandungan firman Allah, ‎وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ  “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79) Juga firman Allah, ‎أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Sampai Ramadhan berakhir, sebagian kita masih tak sadar ibadah. Tak sedikit yang kami lihat semangat shalat Idulfitri hari ini, tetapi keseharian saat Ramadhan makan bebas di jalan dan tak peduli pada puasa, juga tak menghormati orang yang berpuasa. Itulah mengapa masalah hidup kita tak pernah usai karena kesalahan diri kita sendiri. Solusi utama adalah mengoreksi diri atas dosa dan kesalahan, kemudian memperbaikinya dengan BERTAUBAT NASHUHA serta jadi lebih baik bakda Ramadhan dan seterusnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Hari Idulfitri itu seharusnya untuk orang yang bertambah taat, bukan orang yang malas-malasan ibadah lantas merayakannya. Dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 484, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ‎لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد ‎لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب “Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian baru tanpa cacat, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin bertambah ibadah dan taat.  Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.” Seharusnya kebaikan itu berlanjut lagi dengan kebaikan bakda Ramadhan. ‎مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:583). Dari sini, bakda Ramadhan, lanjutkan lagi ibadah yang wajib dengan terus dijaga rutin. Ibadah shalat tarawih bisa dilanjutkan dengan ibadah shalat malam, yaitu shalat tahajud dan shalat witir. Witir pun paling ringan bisa satu rakaat bakda Isyak. Sedangkan ibadah puasa Ramadhan bisa dilanjutkan dengan puasa enam hari Syawal agar mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan dan kita diperpanjang umur oleh Allah untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَللهُ أَكْبَرُ (7x) اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.   Taqobbalallahu minna wa minkum, shalihal a’maal, kullu ‘aamin wa antum bi khairin. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.   Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan Download   – Aturan Khutbah Idulfitri 1. Khutbah Idulfitri adalah sunnah setelah shalat Id. 2. Khutbah Idulfitri ada dua kali khutbah. Rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat. 3. Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk. 4. Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir. 5. Rukun khutbatain (dua khutbah) ada 5, yaitu [1] memuji Allah pada kedua khutbah, [2] bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua khutbah, [3] berwasiat takwa pada kedua khutbah, [4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya, dan [5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir. 6. Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Namun, mendengarkan khutbah Idulfitri bukanlah syarat sahnya shalat Id. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:555-556. Lihat pula Kifayah Al-Akhyar, hlm. 200. – Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: “Jaga Hati, Jangan Lalai Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: “Realisasi Syukur Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021: “Berbuka Ketika Berjumpa dengan Allah”     Referensi: Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Fawaid Al-Fawaid yang ditahqiq oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari, hlm 378, Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al Maktab Al Islami.   – @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul 29 Ramadhan 1445 H, Selasa sore Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagscara istiqamah khutbah hari raya khutbah idul fitri

Khutbah Idulfitri | Dunia ini Negeri Ujian dan Kesulitan

Ingatlah dunia ini negeri ujian dan kesulitan, tak lepas dari masalah hidup. Solusinya perhatikan pada naskah khutbah berikut ini.     Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan 4. Aturan Khutbah Idulfitri 5. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: 6. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: 7. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021:     Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ، (9x) الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ أَمَّابَعْدُ؛ فَيَآ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تَقْوَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ، أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ، فَهُوَ يَوْمُ تَسْبِيْحٍ وَتَحْمِيْدٍ وَتَهْلِيْلٍ وَتَعْظِيْمٍ ، فَسَبِّحُوْا رَبَّكُمْ فِيْهِ وَعَظِّمُوْهُ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di hari Idulfitri ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Negeri ini penuh dengan musibah dan ujian belakangan ini. Ada daerah di negeri yang terkena banjir parah menjelang Ramadhan berakhir. Namun, ada daerah yang hujannya turun, tetapi jarang-jarang sehingga hasil panen tak seperti yang diharapkan dan diimpikan. Ada juga yang mendapat ujian pada keluarganya sendiri. Suami ada yang sulit menghadapi istri yang sulit diatur. Ada juga istri yang menghadapi suami yang tidak mau memberikan nafkah lahir dan batin. Ada juga orang tua yang menghadapi anak yang durhaka dan suka membantah. Ada juga menantu yang terus bermasalah dengan mertua. Ada juga yang mengalami kesulitan ekonomi, terlilit utang yang sangat sulit untuk dilunasi sampai tak ada lagi aset untuk menutupi utangnya. Ada juga yang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh bertahun-tahun. Itulah hidup di dunia, tak lepas dari ujian dan kesulitan. Kalau ingin hidup penuh keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan, itu hanyalah didapati di surga. Coba jamaah shalat Id sekalian merenungkan ayat berikut ini di mana sebelumnya diawali sumpah oleh Allah dengan menyebut kota Makkah, Nabi Adam, dan keturunannya. Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ laqad khalaqnal-insāna fī kabad “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Manusia itu menderita kesulitan di dunia, di alam barzakh (alam kubur), dan pada hari kiamat saat setiap amal akan disaksikan.” Lantas Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Untuk selamat dari berbagai kesulitan di dunia dan alam akhirat, solusinya adalah BERUSAHA BERAMAL SALEH. Jika amal saleh ini tidak dilakukan, maka kesulitan tetap akan dirasakan terus menerus.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 971) Maka benarlah manusia terus berada dalam kesulitan. Kenyamanan dan kebahagiaan hanyalah didapati ketika berada di surga. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, فَإِنَّ الإِنْسَانَ مَخْلُوْقٌ فِي شِدَّةٍ بِكَوْنِهِ فِي الرَّحِمِ، ثُمَّ فِي القَمَاط وَالرَّبَاطِ، ثُمَّ هُوَ عَلَى خَطْرٍ عَظِيْمٍ عِنْدَ بُلُوْغِهِ حَالَ التَّكْلِيْفِ وَمُكَابَدَةِ المَعِيْشَةِ وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِِ المَوْتِ وَمَا بَعْدَهُ فِي البَرْزَخِ وَمَوْقِفِ القِيَامَةِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِ العَذَابِ فِي النَّارِ، وَلاَ رَاحَةَ لَهُ إِلَّا فِي الجَنَّةِ “Manusia diciptakan dalam keadaan susah payah ketika di dalam rahim ibunya dan ketika berada pada keadaan di tali bedungnya (di buaian ibunya). Ia juga mendapatkan masalah hidup tatkala mencapai usia baligh (dewasa) dan ketika dikenakan beban syariat. Kemudian ia berada pada kesusahan dalam menjalani kehidupan, juga dalam menghadapi perintah dan larangan. Kemudian berada pada susahnya kematian dan kejadian setelahnya di alam kuburnya dan situasi hari kiamat. Kemudian ia berada pada susahnya siksaan api neraka. KITA TIDAK ADA WAKTU UNTUK REHAT MELAINKAN KETIKA SUDAH MASUK SURGA.” (At-Tibyan fii Aqsam Al-Qur’an, hlm. 34-35) Jalan selamat dari berbagai kesulitan ini disebutkan dalam ayat selanjutnya dari surah Al-Balad. فَلَا ٱقْتَحَمَ ٱلْعَقَبَةَ fa laqtaḥamal-‘aqabah “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad: 11) وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ wa mā adrāka mal-‘aqabah “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12) فَكُّ رَقَبَةٍ fakku raqabah  “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad: 13) أَوْ إِطْعَٰمٌ فِى يَوْمٍ ذِى مَسْغَبَةٍ au iṭ’āmun fī yaumin żī masgabah “atau memberi makan pada hari kelaparan.” (QS. Al-Balad: 14), di mana orang sangat butuh untuk makan. يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ yatīman żā maqrabah “(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.” (QS. Al-Balad: 15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ au miskīnan żā matrabah “atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. Al-Balad: 16) Lihatlah ayat-ayat di atas menerangkan bahwa selamat dari kesulitan (kesukaran) dengan: (1) membebaskan budak, (2) memberikan makan di saat orang-orang butuh dengan memberi makan kepada anak yatim yang masih ada hubungan kerabat dan orang miskin yang memang sangat memerlukan. Kemudian ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya. ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ ṡumma kāna minallażīna āmanụ wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-mar-ḥamah “Dan dia (juga) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17) أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ ulā`ika aṣ-ḥābul-maimanah “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (QS. Al-Balad: 17) Kesimpulannya, untuk selamat dari jalan kesulitan adalah dengan: beriman, beramal saleh, bersabar dalam ketaatan, bersabar dalam menjauhi maksiat, bersabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan, saling menasihati dalam berkasih sayang, yaitu dengan memberi pada orang yang butuh, mengajarkan ilmu pada yang belum tahu, dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan berbagai macam cara, membantu urusan dunia dan akhirat, mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah yang disebut dengan GOLONGAN KANAN yang meraih kebahagiaan, di mana ia menjalankan perintah terkait dengan hak Allah dan hak sesama, serta menjauhi larangan. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 972) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Yang jadi masalah adalah kita terus tertimpa masalah hidup, tetapi kita sendiri tidak mau koreksi diri. Iman kita begitu lemah dan tak mau meningkatkan keimanan. Amal saleh kita masih kurang di saat maksiat terus rutin. Lihat saja shalat sebagian jamaah kita hanya semangat di bulan Ramadhan, bakda Ramadhan sudah tak ada lagi shalat. Sabar kita begitu kurang, apalagi dalam menghadapi musibah atau saat disakiti orang lain. Kita juga kurang berkasih sayang dengan orang lain, menjadi orang pelit (enggan mengeluarkan harta dalam memenuhi kewajiban), tetapi kita terus mengejar harta yang membuat kita lalai pada ibadah. Kita jadi orang yang terlena pada dunia dan terus berbangga-bangga dengannya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At Takatsur: 1-2). Hal ini pun kita malas koreksi. Jika kita memiliki masalah hidup, adukanlah kepada Allah dengan terlebih dahulu mengoreksi diri. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al-Fawaid berkata, “Orang arif atau cerdas adalah yang mengeluhkan kekurangan dirinya sendiri kepada Allah (ketika menghadapi masalah hidup). Ia mengadukan keadaan dirinya yang jelek kepada Allah, ia bukan mengeluhkan keadaan orang lain yang telah menyakitinya. Ia hanya menilai bahwa perlakuan jelek orang lain padanya adalah lantaran kesalahan dirinya sendiri. Hal ini sama dengan kandungan firman Allah, ‎وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ  “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79) Juga firman Allah, ‎أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Sampai Ramadhan berakhir, sebagian kita masih tak sadar ibadah. Tak sedikit yang kami lihat semangat shalat Idulfitri hari ini, tetapi keseharian saat Ramadhan makan bebas di jalan dan tak peduli pada puasa, juga tak menghormati orang yang berpuasa. Itulah mengapa masalah hidup kita tak pernah usai karena kesalahan diri kita sendiri. Solusi utama adalah mengoreksi diri atas dosa dan kesalahan, kemudian memperbaikinya dengan BERTAUBAT NASHUHA serta jadi lebih baik bakda Ramadhan dan seterusnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Hari Idulfitri itu seharusnya untuk orang yang bertambah taat, bukan orang yang malas-malasan ibadah lantas merayakannya. Dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 484, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ‎لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد ‎لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب “Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian baru tanpa cacat, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin bertambah ibadah dan taat.  Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.” Seharusnya kebaikan itu berlanjut lagi dengan kebaikan bakda Ramadhan. ‎مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:583). Dari sini, bakda Ramadhan, lanjutkan lagi ibadah yang wajib dengan terus dijaga rutin. Ibadah shalat tarawih bisa dilanjutkan dengan ibadah shalat malam, yaitu shalat tahajud dan shalat witir. Witir pun paling ringan bisa satu rakaat bakda Isyak. Sedangkan ibadah puasa Ramadhan bisa dilanjutkan dengan puasa enam hari Syawal agar mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan dan kita diperpanjang umur oleh Allah untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَللهُ أَكْبَرُ (7x) اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.   Taqobbalallahu minna wa minkum, shalihal a’maal, kullu ‘aamin wa antum bi khairin. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.   Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan Download   – Aturan Khutbah Idulfitri 1. Khutbah Idulfitri adalah sunnah setelah shalat Id. 2. Khutbah Idulfitri ada dua kali khutbah. Rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat. 3. Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk. 4. Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir. 5. Rukun khutbatain (dua khutbah) ada 5, yaitu [1] memuji Allah pada kedua khutbah, [2] bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua khutbah, [3] berwasiat takwa pada kedua khutbah, [4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya, dan [5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir. 6. Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Namun, mendengarkan khutbah Idulfitri bukanlah syarat sahnya shalat Id. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:555-556. Lihat pula Kifayah Al-Akhyar, hlm. 200. – Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: “Jaga Hati, Jangan Lalai Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: “Realisasi Syukur Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021: “Berbuka Ketika Berjumpa dengan Allah”     Referensi: Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Fawaid Al-Fawaid yang ditahqiq oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari, hlm 378, Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al Maktab Al Islami.   – @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul 29 Ramadhan 1445 H, Selasa sore Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagscara istiqamah khutbah hari raya khutbah idul fitri
Ingatlah dunia ini negeri ujian dan kesulitan, tak lepas dari masalah hidup. Solusinya perhatikan pada naskah khutbah berikut ini.     Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan 4. Aturan Khutbah Idulfitri 5. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: 6. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: 7. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021:     Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ، (9x) الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ أَمَّابَعْدُ؛ فَيَآ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تَقْوَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ، أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ، فَهُوَ يَوْمُ تَسْبِيْحٍ وَتَحْمِيْدٍ وَتَهْلِيْلٍ وَتَعْظِيْمٍ ، فَسَبِّحُوْا رَبَّكُمْ فِيْهِ وَعَظِّمُوْهُ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di hari Idulfitri ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Negeri ini penuh dengan musibah dan ujian belakangan ini. Ada daerah di negeri yang terkena banjir parah menjelang Ramadhan berakhir. Namun, ada daerah yang hujannya turun, tetapi jarang-jarang sehingga hasil panen tak seperti yang diharapkan dan diimpikan. Ada juga yang mendapat ujian pada keluarganya sendiri. Suami ada yang sulit menghadapi istri yang sulit diatur. Ada juga istri yang menghadapi suami yang tidak mau memberikan nafkah lahir dan batin. Ada juga orang tua yang menghadapi anak yang durhaka dan suka membantah. Ada juga menantu yang terus bermasalah dengan mertua. Ada juga yang mengalami kesulitan ekonomi, terlilit utang yang sangat sulit untuk dilunasi sampai tak ada lagi aset untuk menutupi utangnya. Ada juga yang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh bertahun-tahun. Itulah hidup di dunia, tak lepas dari ujian dan kesulitan. Kalau ingin hidup penuh keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan, itu hanyalah didapati di surga. Coba jamaah shalat Id sekalian merenungkan ayat berikut ini di mana sebelumnya diawali sumpah oleh Allah dengan menyebut kota Makkah, Nabi Adam, dan keturunannya. Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ laqad khalaqnal-insāna fī kabad “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Manusia itu menderita kesulitan di dunia, di alam barzakh (alam kubur), dan pada hari kiamat saat setiap amal akan disaksikan.” Lantas Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Untuk selamat dari berbagai kesulitan di dunia dan alam akhirat, solusinya adalah BERUSAHA BERAMAL SALEH. Jika amal saleh ini tidak dilakukan, maka kesulitan tetap akan dirasakan terus menerus.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 971) Maka benarlah manusia terus berada dalam kesulitan. Kenyamanan dan kebahagiaan hanyalah didapati ketika berada di surga. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, فَإِنَّ الإِنْسَانَ مَخْلُوْقٌ فِي شِدَّةٍ بِكَوْنِهِ فِي الرَّحِمِ، ثُمَّ فِي القَمَاط وَالرَّبَاطِ، ثُمَّ هُوَ عَلَى خَطْرٍ عَظِيْمٍ عِنْدَ بُلُوْغِهِ حَالَ التَّكْلِيْفِ وَمُكَابَدَةِ المَعِيْشَةِ وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِِ المَوْتِ وَمَا بَعْدَهُ فِي البَرْزَخِ وَمَوْقِفِ القِيَامَةِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِ العَذَابِ فِي النَّارِ، وَلاَ رَاحَةَ لَهُ إِلَّا فِي الجَنَّةِ “Manusia diciptakan dalam keadaan susah payah ketika di dalam rahim ibunya dan ketika berada pada keadaan di tali bedungnya (di buaian ibunya). Ia juga mendapatkan masalah hidup tatkala mencapai usia baligh (dewasa) dan ketika dikenakan beban syariat. Kemudian ia berada pada kesusahan dalam menjalani kehidupan, juga dalam menghadapi perintah dan larangan. Kemudian berada pada susahnya kematian dan kejadian setelahnya di alam kuburnya dan situasi hari kiamat. Kemudian ia berada pada susahnya siksaan api neraka. KITA TIDAK ADA WAKTU UNTUK REHAT MELAINKAN KETIKA SUDAH MASUK SURGA.” (At-Tibyan fii Aqsam Al-Qur’an, hlm. 34-35) Jalan selamat dari berbagai kesulitan ini disebutkan dalam ayat selanjutnya dari surah Al-Balad. فَلَا ٱقْتَحَمَ ٱلْعَقَبَةَ fa laqtaḥamal-‘aqabah “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad: 11) وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ wa mā adrāka mal-‘aqabah “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12) فَكُّ رَقَبَةٍ fakku raqabah  “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad: 13) أَوْ إِطْعَٰمٌ فِى يَوْمٍ ذِى مَسْغَبَةٍ au iṭ’āmun fī yaumin żī masgabah “atau memberi makan pada hari kelaparan.” (QS. Al-Balad: 14), di mana orang sangat butuh untuk makan. يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ yatīman żā maqrabah “(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.” (QS. Al-Balad: 15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ au miskīnan żā matrabah “atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. Al-Balad: 16) Lihatlah ayat-ayat di atas menerangkan bahwa selamat dari kesulitan (kesukaran) dengan: (1) membebaskan budak, (2) memberikan makan di saat orang-orang butuh dengan memberi makan kepada anak yatim yang masih ada hubungan kerabat dan orang miskin yang memang sangat memerlukan. Kemudian ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya. ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ ṡumma kāna minallażīna āmanụ wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-mar-ḥamah “Dan dia (juga) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17) أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ ulā`ika aṣ-ḥābul-maimanah “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (QS. Al-Balad: 17) Kesimpulannya, untuk selamat dari jalan kesulitan adalah dengan: beriman, beramal saleh, bersabar dalam ketaatan, bersabar dalam menjauhi maksiat, bersabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan, saling menasihati dalam berkasih sayang, yaitu dengan memberi pada orang yang butuh, mengajarkan ilmu pada yang belum tahu, dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan berbagai macam cara, membantu urusan dunia dan akhirat, mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah yang disebut dengan GOLONGAN KANAN yang meraih kebahagiaan, di mana ia menjalankan perintah terkait dengan hak Allah dan hak sesama, serta menjauhi larangan. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 972) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Yang jadi masalah adalah kita terus tertimpa masalah hidup, tetapi kita sendiri tidak mau koreksi diri. Iman kita begitu lemah dan tak mau meningkatkan keimanan. Amal saleh kita masih kurang di saat maksiat terus rutin. Lihat saja shalat sebagian jamaah kita hanya semangat di bulan Ramadhan, bakda Ramadhan sudah tak ada lagi shalat. Sabar kita begitu kurang, apalagi dalam menghadapi musibah atau saat disakiti orang lain. Kita juga kurang berkasih sayang dengan orang lain, menjadi orang pelit (enggan mengeluarkan harta dalam memenuhi kewajiban), tetapi kita terus mengejar harta yang membuat kita lalai pada ibadah. Kita jadi orang yang terlena pada dunia dan terus berbangga-bangga dengannya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At Takatsur: 1-2). Hal ini pun kita malas koreksi. Jika kita memiliki masalah hidup, adukanlah kepada Allah dengan terlebih dahulu mengoreksi diri. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al-Fawaid berkata, “Orang arif atau cerdas adalah yang mengeluhkan kekurangan dirinya sendiri kepada Allah (ketika menghadapi masalah hidup). Ia mengadukan keadaan dirinya yang jelek kepada Allah, ia bukan mengeluhkan keadaan orang lain yang telah menyakitinya. Ia hanya menilai bahwa perlakuan jelek orang lain padanya adalah lantaran kesalahan dirinya sendiri. Hal ini sama dengan kandungan firman Allah, ‎وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ  “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79) Juga firman Allah, ‎أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Sampai Ramadhan berakhir, sebagian kita masih tak sadar ibadah. Tak sedikit yang kami lihat semangat shalat Idulfitri hari ini, tetapi keseharian saat Ramadhan makan bebas di jalan dan tak peduli pada puasa, juga tak menghormati orang yang berpuasa. Itulah mengapa masalah hidup kita tak pernah usai karena kesalahan diri kita sendiri. Solusi utama adalah mengoreksi diri atas dosa dan kesalahan, kemudian memperbaikinya dengan BERTAUBAT NASHUHA serta jadi lebih baik bakda Ramadhan dan seterusnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Hari Idulfitri itu seharusnya untuk orang yang bertambah taat, bukan orang yang malas-malasan ibadah lantas merayakannya. Dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 484, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ‎لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد ‎لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب “Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian baru tanpa cacat, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin bertambah ibadah dan taat.  Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.” Seharusnya kebaikan itu berlanjut lagi dengan kebaikan bakda Ramadhan. ‎مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:583). Dari sini, bakda Ramadhan, lanjutkan lagi ibadah yang wajib dengan terus dijaga rutin. Ibadah shalat tarawih bisa dilanjutkan dengan ibadah shalat malam, yaitu shalat tahajud dan shalat witir. Witir pun paling ringan bisa satu rakaat bakda Isyak. Sedangkan ibadah puasa Ramadhan bisa dilanjutkan dengan puasa enam hari Syawal agar mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan dan kita diperpanjang umur oleh Allah untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَللهُ أَكْبَرُ (7x) اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.   Taqobbalallahu minna wa minkum, shalihal a’maal, kullu ‘aamin wa antum bi khairin. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.   Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan Download   – Aturan Khutbah Idulfitri 1. Khutbah Idulfitri adalah sunnah setelah shalat Id. 2. Khutbah Idulfitri ada dua kali khutbah. Rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat. 3. Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk. 4. Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir. 5. Rukun khutbatain (dua khutbah) ada 5, yaitu [1] memuji Allah pada kedua khutbah, [2] bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua khutbah, [3] berwasiat takwa pada kedua khutbah, [4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya, dan [5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir. 6. Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Namun, mendengarkan khutbah Idulfitri bukanlah syarat sahnya shalat Id. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:555-556. Lihat pula Kifayah Al-Akhyar, hlm. 200. – Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: “Jaga Hati, Jangan Lalai Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: “Realisasi Syukur Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021: “Berbuka Ketika Berjumpa dengan Allah”     Referensi: Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Fawaid Al-Fawaid yang ditahqiq oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari, hlm 378, Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al Maktab Al Islami.   – @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul 29 Ramadhan 1445 H, Selasa sore Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagscara istiqamah khutbah hari raya khutbah idul fitri


Ingatlah dunia ini negeri ujian dan kesulitan, tak lepas dari masalah hidup. Solusinya perhatikan pada naskah khutbah berikut ini.     Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua 3. Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan 4. Aturan Khutbah Idulfitri 5. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: 6. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: 7. Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021:     Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ، (9x) الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ أَمَّابَعْدُ؛ فَيَآ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تَقْوَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ، أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ، فَهُوَ يَوْمُ تَسْبِيْحٍ وَتَحْمِيْدٍ وَتَهْلِيْلٍ وَتَعْظِيْمٍ ، فَسَبِّحُوْا رَبَّكُمْ فِيْهِ وَعَظِّمُوْهُ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ fa ammā man a’ṭā wattaqā “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ wa ṣaddaqa bil-ḥusnā “dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ fa sanuyassiruhụ lil-yusrā “maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di hari Idulfitri ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Negeri ini penuh dengan musibah dan ujian belakangan ini. Ada daerah di negeri yang terkena banjir parah menjelang Ramadhan berakhir. Namun, ada daerah yang hujannya turun, tetapi jarang-jarang sehingga hasil panen tak seperti yang diharapkan dan diimpikan. Ada juga yang mendapat ujian pada keluarganya sendiri. Suami ada yang sulit menghadapi istri yang sulit diatur. Ada juga istri yang menghadapi suami yang tidak mau memberikan nafkah lahir dan batin. Ada juga orang tua yang menghadapi anak yang durhaka dan suka membantah. Ada juga menantu yang terus bermasalah dengan mertua. Ada juga yang mengalami kesulitan ekonomi, terlilit utang yang sangat sulit untuk dilunasi sampai tak ada lagi aset untuk menutupi utangnya. Ada juga yang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh bertahun-tahun. Itulah hidup di dunia, tak lepas dari ujian dan kesulitan. Kalau ingin hidup penuh keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan, itu hanyalah didapati di surga. Coba jamaah shalat Id sekalian merenungkan ayat berikut ini di mana sebelumnya diawali sumpah oleh Allah dengan menyebut kota Makkah, Nabi Adam, dan keturunannya. Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ laqad khalaqnal-insāna fī kabad “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Manusia itu menderita kesulitan di dunia, di alam barzakh (alam kubur), dan pada hari kiamat saat setiap amal akan disaksikan.” Lantas Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Untuk selamat dari berbagai kesulitan di dunia dan alam akhirat, solusinya adalah BERUSAHA BERAMAL SALEH. Jika amal saleh ini tidak dilakukan, maka kesulitan tetap akan dirasakan terus menerus.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 971) Maka benarlah manusia terus berada dalam kesulitan. Kenyamanan dan kebahagiaan hanyalah didapati ketika berada di surga. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, فَإِنَّ الإِنْسَانَ مَخْلُوْقٌ فِي شِدَّةٍ بِكَوْنِهِ فِي الرَّحِمِ، ثُمَّ فِي القَمَاط وَالرَّبَاطِ، ثُمَّ هُوَ عَلَى خَطْرٍ عَظِيْمٍ عِنْدَ بُلُوْغِهِ حَالَ التَّكْلِيْفِ وَمُكَابَدَةِ المَعِيْشَةِ وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِِ المَوْتِ وَمَا بَعْدَهُ فِي البَرْزَخِ وَمَوْقِفِ القِيَامَةِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِ العَذَابِ فِي النَّارِ، وَلاَ رَاحَةَ لَهُ إِلَّا فِي الجَنَّةِ “Manusia diciptakan dalam keadaan susah payah ketika di dalam rahim ibunya dan ketika berada pada keadaan di tali bedungnya (di buaian ibunya). Ia juga mendapatkan masalah hidup tatkala mencapai usia baligh (dewasa) dan ketika dikenakan beban syariat. Kemudian ia berada pada kesusahan dalam menjalani kehidupan, juga dalam menghadapi perintah dan larangan. Kemudian berada pada susahnya kematian dan kejadian setelahnya di alam kuburnya dan situasi hari kiamat. Kemudian ia berada pada susahnya siksaan api neraka. KITA TIDAK ADA WAKTU UNTUK REHAT MELAINKAN KETIKA SUDAH MASUK SURGA.” (At-Tibyan fii Aqsam Al-Qur’an, hlm. 34-35) Jalan selamat dari berbagai kesulitan ini disebutkan dalam ayat selanjutnya dari surah Al-Balad. فَلَا ٱقْتَحَمَ ٱلْعَقَبَةَ fa laqtaḥamal-‘aqabah “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad: 11) وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ wa mā adrāka mal-‘aqabah “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12) فَكُّ رَقَبَةٍ fakku raqabah  “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad: 13) أَوْ إِطْعَٰمٌ فِى يَوْمٍ ذِى مَسْغَبَةٍ au iṭ’āmun fī yaumin żī masgabah “atau memberi makan pada hari kelaparan.” (QS. Al-Balad: 14), di mana orang sangat butuh untuk makan. يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ yatīman żā maqrabah “(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.” (QS. Al-Balad: 15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ au miskīnan żā matrabah “atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. Al-Balad: 16) Lihatlah ayat-ayat di atas menerangkan bahwa selamat dari kesulitan (kesukaran) dengan: (1) membebaskan budak, (2) memberikan makan di saat orang-orang butuh dengan memberi makan kepada anak yatim yang masih ada hubungan kerabat dan orang miskin yang memang sangat memerlukan. Kemudian ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya. ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ ṡumma kāna minallażīna āmanụ wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-mar-ḥamah “Dan dia (juga) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17) أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ ulā`ika aṣ-ḥābul-maimanah “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (QS. Al-Balad: 17) Kesimpulannya, untuk selamat dari jalan kesulitan adalah dengan: beriman, beramal saleh, bersabar dalam ketaatan, bersabar dalam menjauhi maksiat, bersabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan, saling menasihati dalam berkasih sayang, yaitu dengan memberi pada orang yang butuh, mengajarkan ilmu pada yang belum tahu, dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan berbagai macam cara, membantu urusan dunia dan akhirat, mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itulah yang disebut dengan GOLONGAN KANAN yang meraih kebahagiaan, di mana ia menjalankan perintah terkait dengan hak Allah dan hak sesama, serta menjauhi larangan. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 972) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Yang jadi masalah adalah kita terus tertimpa masalah hidup, tetapi kita sendiri tidak mau koreksi diri. Iman kita begitu lemah dan tak mau meningkatkan keimanan. Amal saleh kita masih kurang di saat maksiat terus rutin. Lihat saja shalat sebagian jamaah kita hanya semangat di bulan Ramadhan, bakda Ramadhan sudah tak ada lagi shalat. Sabar kita begitu kurang, apalagi dalam menghadapi musibah atau saat disakiti orang lain. Kita juga kurang berkasih sayang dengan orang lain, menjadi orang pelit (enggan mengeluarkan harta dalam memenuhi kewajiban), tetapi kita terus mengejar harta yang membuat kita lalai pada ibadah. Kita jadi orang yang terlena pada dunia dan terus berbangga-bangga dengannya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At Takatsur: 1-2). Hal ini pun kita malas koreksi. Jika kita memiliki masalah hidup, adukanlah kepada Allah dengan terlebih dahulu mengoreksi diri. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al-Fawaid berkata, “Orang arif atau cerdas adalah yang mengeluhkan kekurangan dirinya sendiri kepada Allah (ketika menghadapi masalah hidup). Ia mengadukan keadaan dirinya yang jelek kepada Allah, ia bukan mengeluhkan keadaan orang lain yang telah menyakitinya. Ia hanya menilai bahwa perlakuan jelek orang lain padanya adalah lantaran kesalahan dirinya sendiri. Hal ini sama dengan kandungan firman Allah, ‎وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ  “Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79) Juga firman Allah, ‎أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ  “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165) اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Sampai Ramadhan berakhir, sebagian kita masih tak sadar ibadah. Tak sedikit yang kami lihat semangat shalat Idulfitri hari ini, tetapi keseharian saat Ramadhan makan bebas di jalan dan tak peduli pada puasa, juga tak menghormati orang yang berpuasa. Itulah mengapa masalah hidup kita tak pernah usai karena kesalahan diri kita sendiri. Solusi utama adalah mengoreksi diri atas dosa dan kesalahan, kemudian memperbaikinya dengan BERTAUBAT NASHUHA serta jadi lebih baik bakda Ramadhan dan seterusnya. اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah … Hari Idulfitri itu seharusnya untuk orang yang bertambah taat, bukan orang yang malas-malasan ibadah lantas merayakannya. Dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 484, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ‎لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد ‎لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب “Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian baru tanpa cacat, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin bertambah ibadah dan taat.  Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.” Seharusnya kebaikan itu berlanjut lagi dengan kebaikan bakda Ramadhan. ‎مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:583). Dari sini, bakda Ramadhan, lanjutkan lagi ibadah yang wajib dengan terus dijaga rutin. Ibadah shalat tarawih bisa dilanjutkan dengan ibadah shalat malam, yaitu shalat tahajud dan shalat witir. Witir pun paling ringan bisa satu rakaat bakda Isyak. Sedangkan ibadah puasa Ramadhan bisa dilanjutkan dengan puasa enam hari Syawal agar mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan dan kita diperpanjang umur oleh Allah untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan berikutnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Kedua اَللهُ أَكْبَرُ (7x) اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.   Taqobbalallahu minna wa minkum, shalihal a’maal, kullu ‘aamin wa antum bi khairin. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.   Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan Download   – Aturan Khutbah Idulfitri 1. Khutbah Idulfitri adalah sunnah setelah shalat Id. 2. Khutbah Idulfitri ada dua kali khutbah. Rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat. 3. Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk. 4. Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir. 5. Rukun khutbatain (dua khutbah) ada 5, yaitu [1] memuji Allah pada kedua khutbah, [2] bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua khutbah, [3] berwasiat takwa pada kedua khutbah, [4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya, dan [5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir. 6. Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Namun, mendengarkan khutbah Idulfitri bukanlah syarat sahnya shalat Id. Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:555-556. Lihat pula Kifayah Al-Akhyar, hlm. 200. – Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023: “Jaga Hati, Jangan Lalai Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022: “Realisasi Syukur Bakda Ramadhan”   Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021: “Berbuka Ketika Berjumpa dengan Allah”     Referensi: Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Fawaid Al-Fawaid yang ditahqiq oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari, hlm 378, Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al Maktab Al Islami.   – @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul 29 Ramadhan 1445 H, Selasa sore Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com   Tagscara istiqamah khutbah hari raya khutbah idul fitri
Prev     Next