Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan

Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan

Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Anjuran menjaga perasaan antar sesamaMenjaga perasaan hewan Menjaga perasaan adalah salah satu etika yang diajarkan dalam agama Islam. Teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang sangat perasa, mudah tersentuh empatinya, meskipun hanya dengan melihat orang lain. Dikisahkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika sedang bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beristirahat di tengah perjalanan. Tiba-tiba datang seorang pria menunggang di atas unta miliknya yang mulai menoleh ke kanan dan ke kiri (mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya, karena para sahabat menjaga diri dari meminta-minta,-penj). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لاَ زَادَ لَهُ “Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan (tungganganya masih ada tempat duduk), maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang memili kelebihan bekal, maka hendaklah ia berikan kepada yang tidak mempunyai bekal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan beberapa jenis harta yang lain sehingga kami mengira bahwa kami tidak berhak atas kelebihan harta yang kami miliki. (HR. Muslim no. 1728) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda di atas sebagai respon terhadap salah seorang sahabat beliau yang kekurangan bekal makanan. Dan beliau mengawalinya dengan tidak langsung tertuju pada makanan, akan tetapi pada ajakan memberikan tunggangan karena menjaga perasaan sahabat tersebut. Dalam riwayat lain, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَخَلَّفُ فِى الْمَسِيرِ فَيُزْجِى الضَّعِيفَ وَيُرْدِفُ وَيَدْعُو لَهُمْ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berada di belakang rombongan ketika dalam perjalanan guna membantu, memboncengkan, dan mendoakan yang lemah.” (HR. Abu Daud no. 2639 . Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Anjuran menjaga perasaan antar sesama Dalam Islam, yang pertama kali diperhatikan terkait menjaga perasaan adalah terhadap orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan tetangga. Antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya, maka Islam menekankan agar saling menjaga perasaan untuk terciptanya keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Istri patut menjaga perasaan suaminya dan begitu pula seorang suami perlu menjaga perasaan istrinya. Anak wajib menjaga perasaan kedua orang tuanya, sebaliknya orang tua juga harus menjaga perasaan anak-anaknya terutama dalam masalah adil. Allah Ta’ala berfirman terkait wajibnya menjaga perasaan dalam keluarga, terutama anak kepada orang tuanya, وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.’ ” (QS. Al-Isra’: 23-24) Ayat tersebut menginstruksikan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua dan dilarang untuk bersikap kasar atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sebaliknya, kita harus menjaga perasaan mereka dengan berbicara yang baik dan penuh hormat. Allah Ta’ala juga berfirman terkait hubungan suami dan istri, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka agar kalian dapat mengambil sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan perlakukanlah mereka dengan baik. Jika kalian benci kepada mereka, maka bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19) Ayat ini menegaskan bahwa suami tidak boleh memperlakukan istri dengan cara paksa atau menyusahkan mereka. Bahkan, jika ada ketidaksukaan, suami diingatkan untuk tetap berperilaku baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan. Ayat di atas juga menekankan pentingnya sikap saling menjaga perasaan dan menjaga hubungan yang harmonis dalam pernikahan, baik suami maupun istri, harus diperlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Lihat Ash-Shahihah no. 285.) Selain keluarga, tetangga merupakan orang terdekat dalam kehidupan seseorang. Dalam ajaran Islam, menjaga hubungan baik dengan tetangga dianggap sebagai bagian dari iman. Tindakan yang baik dan menjaga perasaan tetangga adalah cara untuk menciptakan lingkungan yang rukun dan serasi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ “Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016) Dalam riwayat lain, لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016 dan Muslim no. 46) Salah satu aktivitas yang tidak luput dari perhatian tetangga dan dapat menjaga kita adalah memasak, karena bisa terdengar dan tercium aromanya. Hal ini tentu dapat membangkitkan selera bagi tetangga yang mendengar atau mencium bau masakannya, sehingga apabila seseorang tidak menjaga perasaan dengan memberikan (membagikan) masakannya dikhawatirkan dapat menimbulkan kerenggangan, kekecewaan, dan penilaian buruk (pelit) dari tetangganya. Oleh karenanya, Islam menutup celah tersebut dengan memberikan tuntunan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ “Jika engkau memasak daging (atau masakan berkuah), maka perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim) Dari hadis di atas terdapat beberapa faedah terutama bagaimana seseorang dianjurkan untuk peka menjaga perasaan orang lain dengan memperbanyak kuah ketika memasak dan membagikannya kepada tetangga. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa level terendah seseorang ketika memasak adalah dengan memperbanyak kuahnya, sehingga tidak butuh modal besar dan banyak untuk diberikan kepada tetangganya. Alangkah lebih baik lagi jika ditambahkan sayur dan dagingnya agar tetangga juga merasakan isi kuah dari masakan tersebut. Secara umum ada sebuah riwayat yang menegaskan terkait anjuran menjaga perasaan antar sesama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً، فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ “Jika kalian bertiga, maka janganlah berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, kecuali sampai kalian bersama dengan manusia lainnya (orang banyak). Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih (tersinggung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Baca juga: Metode Dakwah dengan Memancing dan Menggugah Perasaan Menjaga perasaan hewan Terhadap hewan pun Islam mengajarkan kepada umatnya bagaimana tata cara menjaga perasaan. Dari Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فانطلق لحاجة، فرأينا حمرة معها فرخان، فأخذنا فرخيها فجاءت الحمرة فجعلت تفرش، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم فقال: من فجع هذه بولديها؟ ردوا ولديها إليها “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sebentar karena keperluan beliau. Kemudian kami menemukan burung kecil dengan dua anaknya. Lalu, kami ambil keduanya. Ternyata induk burung terbang mengepak-epakkan kedua sayapnya (mencari anak-anaknya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang seraya berkata, ‘Siapa yang memisahkan induk burung ini dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.’ “ (HR. Abu Dawud no. 4584) Tidak hanya menjaga perasaan kepada hewan secara umum, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana menjaga perasaan terhadap hewan yang hendak disembelih dengan tidak menyembelih hewan kurban di hadapan hewan lainnya dan tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang hendak disembelih. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (mewajibkan) berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”  (HR. Muslim no. 1955) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melewati seorang laki-laki yang sedang meletakkan salah satu kakinya di atas pelipis seekor kambing sambil mengasah pisau, sedangkan hewan tersebut melihatnya, maka beliau bersabda, أفلا قبل أتريد أن تميتها\أتريدُ أن تُميتَها مَوتاتٍ ؟ “Apakah kamu benar-benar ingin mematikannya (dalam riwayat lain: apakah engkau ingin membunuhnya sebanyak dua kali atau berkali-kali)?” (HR. Al-Hakim, 4: 257, Al-Baihaqi, 9: 280, dan At-Thabrani di Al-Kafir, 11: 332, dan Abdurrazzaq no. 8608. Lihat  Shahihul Jami no. 93) Demikian, semoga Allah berikan kita taufik untuk mengamalkannya. Baca juga: Kafirkah Kedua Orang Tua Nabi? (Antara Dalil Dan Perasaan) *** Penulis: Arif Muhammad N. Artikel: Muslim.or.id

Menikah itu Disunnahkan, Penjelasan Berbagai Hukum Nikah Disertai Dalil

Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata:النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah. Penjelasan:Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.  Nikah dalam Pengertian SyariatSecara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama:Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci.Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad.Dalil disyari’atkannya nikah,وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya,وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ“Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400). Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam IslamTerkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan:Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina.Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya.Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36). Hukum NikahHukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya:a. Disunnahkan atau DianjurkanPernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat.Kriteria:Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikahMampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikahSelama tidak khawatir terjerumus dalam zina b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh)Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ.Kriteria:Butuh nikahBelum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah c. Hukum Makruh untuk MenikahPernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga.Kriteria:Tidak memiliki kebutuhan untuk menikahTidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah d. Hukum Wajib untuk MenikahPernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram.Kriteria:Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zinaMemiliki kebutuhan untuk menikahMampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah e. Hukum Haram untuk MenikahPernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan.Kriteria:Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasanganTidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial KesimpulanPernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib.Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ.Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah. Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Baca juga: Hukum Menikah – Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah

Menikah itu Disunnahkan, Penjelasan Berbagai Hukum Nikah Disertai Dalil

Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata:النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah. Penjelasan:Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.  Nikah dalam Pengertian SyariatSecara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama:Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci.Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad.Dalil disyari’atkannya nikah,وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya,وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ“Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400). Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam IslamTerkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan:Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina.Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya.Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36). Hukum NikahHukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya:a. Disunnahkan atau DianjurkanPernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat.Kriteria:Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikahMampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikahSelama tidak khawatir terjerumus dalam zina b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh)Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ.Kriteria:Butuh nikahBelum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah c. Hukum Makruh untuk MenikahPernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga.Kriteria:Tidak memiliki kebutuhan untuk menikahTidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah d. Hukum Wajib untuk MenikahPernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram.Kriteria:Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zinaMemiliki kebutuhan untuk menikahMampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah e. Hukum Haram untuk MenikahPernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan.Kriteria:Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasanganTidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial KesimpulanPernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib.Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ.Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah. Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Baca juga: Hukum Menikah – Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah
Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata:النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah. Penjelasan:Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.  Nikah dalam Pengertian SyariatSecara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama:Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci.Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad.Dalil disyari’atkannya nikah,وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya,وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ“Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400). Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam IslamTerkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan:Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina.Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya.Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36). Hukum NikahHukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya:a. Disunnahkan atau DianjurkanPernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat.Kriteria:Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikahMampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikahSelama tidak khawatir terjerumus dalam zina b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh)Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ.Kriteria:Butuh nikahBelum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah c. Hukum Makruh untuk MenikahPernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga.Kriteria:Tidak memiliki kebutuhan untuk menikahTidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah d. Hukum Wajib untuk MenikahPernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram.Kriteria:Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zinaMemiliki kebutuhan untuk menikahMampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah e. Hukum Haram untuk MenikahPernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan.Kriteria:Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasanganTidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial KesimpulanPernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib.Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ.Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah. Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Baca juga: Hukum Menikah – Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah


Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.  Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata:النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ.Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah. Penjelasan:Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.  Nikah dalam Pengertian SyariatSecara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama:Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci.Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad.Dalil disyari’atkannya nikah,وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya,وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ“Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400). Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam IslamTerkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan:Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina.Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya.Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36). Hukum NikahHukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya:a. Disunnahkan atau DianjurkanPernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat.Kriteria:Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikahMampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikahSelama tidak khawatir terjerumus dalam zina b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh)Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ.Kriteria:Butuh nikahBelum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah c. Hukum Makruh untuk MenikahPernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga.Kriteria:Tidak memiliki kebutuhan untuk menikahTidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah d. Hukum Wajib untuk MenikahPernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram.Kriteria:Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zinaMemiliki kebutuhan untuk menikahMampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah e. Hukum Haram untuk MenikahPernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan.Kriteria:Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasanganTidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial KesimpulanPernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib.Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ.Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah. Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Baca juga: Hukum Menikah – Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen GunungkidulPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah

Apabila Mereka Sendirian, Mereka Melanggar Larangan Allah

إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها روى الإمام ابن ماجه في سننه عَنْ ثَوْبَانَ: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: (لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا)[رواه ابن ماجة في سننه]. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab “as-Sunan” dari Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak menyadarinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari golongan kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah dalam “as-Sunan”). يخبر النبي صلى الله تعالى عليه وسلم عن أناس من أمته، لهم أعمال طيبة وحسنات متكاثرة، وصلوات وصدقات وقربات وأعمال بر صالحات وكثيرات.. حتى إنهم ليقومون الليل يصلون لله تعالى مما يدل على اجتهادهم في التعبد.. وأنهم قد جمعوا من عباداتهم وطاعاتهم أجورا كثيرة، وحسنات بلغت مبلغا عظيما حتى صارت كالجبال من كثرتها… ولكن. أخبر صلوات الله وسلامه عليه أنهم إذا جاءوا يوم القيامة جعل الله هذه الحسنات هباءً منثورا.. ثم بيَّن عليه الصلاة والسلام السبب في حبوط هذه الأعمال أو ذهاب ثوابها وضياع أجورها فقال: كانوا (إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang segolongan orang dari umatnya yang memiliki begitu banyak amalan-amalan shaleh, kebaikan, shalat, sedekah, ibadah, dan amal-amal kebajikan yang melimpah. Bahkan mereka juga mendirikan Shalat Malam karena Allah Ta’ala; dan ini menunjukkan betapa kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka telah mengumpulkan banyak pahala dari ibadah dan ketaatan yang mereka kerjakan, serta kebaikan-kebaikan yang begitu besar hingga seperti gunung-gunung karena begitu banyaknya.  Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa ketika mereka datang pada Hari Kiamat, Allah menjadikan amal-amal kebaikan mereka itu sia-sia bagaikan debu yang berhamburan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab dari gugurnya amalan itu dan hilangnya pahala dan ganjarannya; beliau bersabda, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” ومحارم الله: كل ما نهى الله عنه نهي تحريم. ومعنى انتهاك الحرمات هو: تناولها بما لا يحلّ، والمبالغة في خرق محارم الشّرع وإتيانها. . كسرقة، وغش، وخداع، ورشوة، وشرب مخدرات، أو شرب مسكرات، وفعل الفاحشة، ونظر إلى ما حرم الله من الصور العارية والأفلام الهابطة القذرة. وقوله صلى الله عليه وسلم: (كانوا إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها)، يدل على أنها عادة لهم، وأنهم كانوا يفعلون ذلك دائما. فيعتدون على حرمات الله في السر، ولا يحفظون حقوق الله، فهؤلاء سيئاتهم تذهب حسناتهم. Yang dimaksud dengan (‌مَحَارِم ‌اللهِ) yakni segala hal yang Allah larang dalam bentuk pengharaman. Sedangkan yang dimaksud dengan melanggar hal-hal yang diharamkan Allah yakni mengerjakan apa yang tidak halal tersebut, serta berlebihan dalam menerjang dan melakukannya; seperti dengan melakukan pencurian, penipuan, memperdaya, menyuap, mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, melakukan zina, dan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah seperti foto-foto dan video-video yang mengandung pornografi. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya” menunjukkan bahwa perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mereka selalu melakukannya. Mereka melanggar apa yang diharamkan oleh Allah secara diam-diam dan tidak menjaga hak-hak Allah. Mereka adalah orang-orang yang amal keburukannya menggugurkan amal kebaikannya. يجعلها الله هباء منثورا وأما حبوط الأعمال وذهاب ثوابها فقد قال بعض أهل العلم: – إن الحديث إنما هو في أقوام عندهم نوع من النفاق فهم يصلون ويصومون، ولكن الذي أفسد أعمالهم هو النفاق ومرض القلب، فقد روى أبو نعيم في حلية الأولياء عن مالك بن دينار أن هذا الحديث في المنافقين قال: هو والله النفاق.. فأخذ المعلى بن زياد بلحيته فقال: صدقت والله أبا يحيى. أي أنهم قوم منافقون فجَّار ماكرون، فهم أمام الناس من المصلين المحافظين، أما إذا غابوا عن الناس فجروا ومكروا فلم يرعوا لله وقارا، ولم يستحوا من ربهم في الوقوع في المحرمات وانتهاك الأعراض من السب والغيبة والنميمة، والظلم، والتعدي، على حقوق الآخرين، وغيره من الفواحش والمنكرات والمحرمات، فهم كما قال تعالى: {يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً}[النساء:108]. Allah Menjadikan Amal Kebaikan Mereka Bagaikan Debu yang Berterbangan Adapun berkaitan dengan gugurnya amalan dan hilangnya pahala, sebagian ulama telah mengatakan bahwa: hadits ini berbicara tentang orang-orang yang punya sifat kemunafikan. Mereka mendirikan shalat dan berpuasa, tapi yang merusak amalan mereka adalah kemunafikan dan penyakit hati. Abu Na’im meriwayatkan dalam kitab “Hilyah al-Auliya” dari Malik bin Dinar bahwa hadits ini berkaitan dengan orang-orang munafik, ia berkata, “Demi Allah! Ini adalah tentang sifat munafik!” Kemudian al-Ma’la bin Ziyad memegang jenggotnya seraya berkata, “Demi Allah! Kamu benar, wahai Abu Yahya!” Yakni mereka adalah orang-orang munafik dan pelaku maksiat serta suka melakukan tipu daya. Di hadapan orang banyak, mereka melaksanakan shalat dan menampakkan diri sebagai orang-orang yang menjaganya. Namun, apabila mereka telah terlepas dari pandangan banyak orang, mereka berbuat maksiat dan tipu daya, tidak menjaga kesantunan di hadapan Allah, dan tanpa rasa malu terhadap Tuhan mereka dalam mengerjakan hal-hal haram dan melanggar kehormatan orang lain seperti mencela, ghibah, namimah, zalim, melanggar hak-hak orang lain, dan berbagai perbuatan keji, mungkar, dan haram lainnya. Mereka sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa: 108). – وقال بعضهم: إنما ورد الحديث في أقوام يراءون الناس بأعمالهم، كما في الثلاثة الذين هم أول من تسعر بهم النار، فإن الرياء محبط للعمل الذي أريد به غير وجه الله وليس لكل الأعمال، ولكن لما كان أكثر عملهم رياء، والله لا يقبل من العمل إلا ما أريد به وجهه، رد عليهم ما راءوا به الخلق وجعله هباء منثورا. فالله سبحانه وتعالى أكرم وأعدل من أن يحبط عمل أحد دون سبب، وأن يضيع أجر من أحسن عملاً، {إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ}[النساء:40]، وإنما رد أعمالهم لأنها رياء، وفي الحديث القدسي: (أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه)[رواه مسلم]، وفي رواية ابن ماجه: (فأنا منه بريء وهو للذي أشرك). Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut berkaitan dengan orang-orang yang berbuat riya (pamer) dengan amalan mereka; sebagaimana hadits tentang tiga orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka. Hal ini karena riya dapat menggugurkan amalan yang diniatkan bukan karena ingin mengharap keridhaan Allah. Meskipun amalan mereka tidak seperti itu, tapi karena mayoritas amalan mereka atas dasar riya – sedangkan Allah tidak akan menerima amalan melainkan yang diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya – maka Allah menolak amalan yang mereka pamerkan kepada makhluk itu, dan menjadikannya sia-sia bagaikan debu-debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah dan Maha Adil, tidak mungkin menghapus amalan seseorang tanpa sebab atau menyia-nyiakan pahala orang yang telah beramal dengan baik. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun hanya sebesar semut kecil…” (QS. An-Nisa: 40). Hanya saja, Allah menolak amalan mereka karena itu didasari oleh riya. Dalam hadits Qudsi disebutkan: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku (Allah) paling tidak butuh penyekutuan terhadap-Ku. Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan mencampakkannya dengan sekutunya.” (HR. Muslim). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah menggunakan redaksi:  فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ “…maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu bagi sekutunya.” (HR. Ibnu Majah). – قال ابن رجب: “وقد يكون له سيئات تحبط بعض أعماله وأعمال جوارحه سوى التوحيد فيدخل النار. وفي “سنن ابن ماجه” من رواية ثوبان مرفوعًا: “إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا”. وفيه: “هم قومٌ من جلدتكم ويتكلمون بألسنتكم ويأخذون من الليل كما تأخذون ولكنهم إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها” Ibnu Rajab berkata, “Bisa jadi seseorang (yang dimaksud dalam hadits tersebut) memiliki amal-amal keburukan yang menggugurkan sebagian amalannya yang lain dan amalan anggota badannya, selain ketauhidan; sehingga dia masuk neraka.” Dalam “Sunan Ibnu Majah” terdapat hadits yang diriwayatkan dari Tsauban secara marfu’: إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا “Sesungguhnya ada sebagian umatku yang datang (pada Hari Kiamat) dengan amalan-amalan seperti gunung-gunung, lalu Allah menjadikannya seperti debu berhamburan.” Lalu dalam hadits itu disebutkan: هُمْ قَومٌ مِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Mereka adalah kaum dari dari golongan kalian, berbicara dengan bahasa kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka apabila telah menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” وهذا الحديث فيه تحذير شديد لمن لا يبالي بالوقوع في المحرمات متى خلا بها، ولا يقيم وزنا لرقابة الله واطلاعه عليه فهذا قد جعل الله سبحانه أهون الناظرين إليه، فلم يراقب ربه، ولم يخش خالقه، كما راقب الناس وخشيهم. والذي يداوم على العصيان في الخلوة ويبارز الله بالمبالغة في إتيان الحرام “لم يقدّر الله حقّ قدره بل هان عليه أمره فعصاه، ونهيه فارتكبه، وحقّه فضيّعه، وذكره فأهمله، وغفل قلبه عنه، وكان هواه آثر عنده من طلب رضا الله، وطاعة المخلوق أهمّ من طاعته. فهو يستخفّ بنظر الله إليه، واطّلاعه عليه، وهو في قبضته، وناصيته بيده، ويعظّم نظر المخلوق إليه واطّلاعه عليه بكلّ قلبه وجوارحه يستحيي من النّاس ولا يستحيي من الله”. وفي فعلهم هذا أيضا ما يدل على أن معرفتهم بالله مغلوطة، ولو عرفوا الله حق المعرفة لعلموا أنه مطلع عليهم عالم بما يفعلون يسمع ما يقولون ويرى ما يفعلون ولا يغيب عنه شيء مما يعملون، ف{إن الله لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء}، {وهو معكم أينما كنتم والله بما تعملون بصير}. وفيه دليل على قلة حيائهم منه سبحانه وتعالى. Dalam hadits ini terdapat peringatan keras terhadap orang yang tidak peduli dengan terjerumus ke dalam hal-hal haram apabila telah menyendiri; mereka sama sekali tidak memperhitungkan pengawasan Allah terhadapnya. Orang seperti ini telah menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang melihatnya yang paling remeh baginya; sehingga dia tidak merasa diawasi oleh-Nya dan tidak takut terhadap Penciptanya; tidak seperti perasaannya diawasi oleh manusia dan ketakutannya terhadap mereka. Orang yang terus menerus bermaksiat dalam kesendiriannya dan menantang Allah dengan senantiasa melakukan hal yang haram, tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan. Bahkan justru dia meremehkan perintah Allah, sehingga dia berani bermaksiat kepada-Nya; meremehkan larangan-Nya, sehingga dia berani melanggarnya; meremehkan hak-Nya, sehingga dia berani melalaikannya; dan meremehkan zikir kepada-Nya, sehingga dia mengabaikannya dan hatinya lalai darinya. Dia lebih mementingkan hawa nafsunya daripada mencari keridhaan Allah. Dia menganggap ketaatan kepada makhluk lebih penting daripada ketaatan kepada Allah. Dia meremehkan pandangan dan pengawasan Allah terhadapnya; padahal dia berada di dalam genggaman-Nya, ubun-ubunnya berada di tangan-Nya. Di sisi lain, dia menganggap besar pandangan dan pengawasan makhluk terhadapnya dengan sepenuh jiwa dan raga. Dia malu terhadap manusia, tapi tidak malu terhadap Allah. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan mereka terhadap Allah keliru; karena seandainya dia mengenal Allah dengan benar, niscaya mereka mengetahui bahwa Allah Maha Melihat mereka, Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan Maha Melihat apa yang mereka lakukan; tidak ada sedikitpun dari yang mereka kerjakan itu luput dari pengetahuan-Nya. Sebab, “Sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit.” (QS. Ali Imran: 5). “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).  ثم هو أيضا دلالة على قلة محبة الله في قلوبهم؛ فإن من أعظم علامات المحبة الموافقة للمحبوب فيما يحب ويكره، والطاعة له فيما يأمر وينهى. فكما قالوا: إنما المحبة الطاعة. تعصى الإله وأنت تظهر حبه .. هذا محال في القياس بديع لو كان حبك صادقا لأطــعته .. إن المحب لمن يحب مطيع فهذا كله مما يقلل قدر الحسنات، ويجعلها لا تقاوم السيئات عند الموازنة والمحاصصة، فيهلك صاحبها، ولا ينتفع بثواب ما عمل انتفاع المؤمنين المخلصين. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan rendahnya rasa malu mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, perbuatan tersebut juga menunjukkan rendahnya kecintaan kepada Allah dalam hati mereka; karena di antara tanda terbesar rasa cinta adalah mengikuti segala hal yang disukai dan dibenci oleh yang dicintai, dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangannya. Sebagaimana diungkapkan, “Sesungguhnya rasa cinta adalah ketaatan.” تَعْصِي الْإِلَهَ وَأَنْتَ تُظْهِرُ حُبَّهُ هَذَا مُحَالٌ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ Kamu bermaksiat kepada Allah, sedangkan kamu menampakkan kecintaan kepada-Nya Ini mustahil terjadi secara akal sehat لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَــعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ Seandainya cintamu itu tulus, niscaya kamu akan menaati-Nya Karena orang yang mencintai akan menaati orang yang dicintainya Ini semua adalah hal yang dapat mengurangi bobot amal kebaikan, dan menjadikannya tidak dapat mengimbangi bobot amal keburukan saat ditimbang; sehingga pemiliknya akan binasa dan tidak bisa mendapat manfaat dari pahala amal kebaikannya sebagaimana manfaat yang didapatkan orang-orang beriman yang ikhlas. أما ارتكاب المعاصي في الخلوات أحيانا، وضعف النفس أمام شيء من الشهوات والمحرمات، من غير مداومة عليها، ولا إصرار على إتيانها، فلا يكاد يسلم منه أحد، إلاّ من عصمه الله، فمن كان هذا حاله فعليه بالإسراع بالتوبة وإتباع السيئة الحسنة ومثل هذا فيرجى ألا يكون داخلاً في ذلك الوعيد. وعموما فالحديث فيه تخويف شديد من الوقوع في المنكرات، والاستهانة بذنوب الخلوات، وعدم الاغترار بالأعمال، والتساهل في اللمم والذنوب الصغيرات، فإنهن يجتمعن على العبد حتى يهلكنه.. نسأل الله أن يعاملنا جميعا بلطفه وفضله. وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وصحبه وسلم. Adapun mengerjakan kemaksiatan dalam kesendirian sesekali, jiwanya tidak kuasa melawan di hadapan hawa nafsu dan perkara-perkara haram, tanpa melakukannya secara terus menerus; maka ini hampir tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya, kecuali orang yang telah dilindungi oleh Allah. Sehingga, barang siapa yang keadaannya seperti ini, maka hendaklah ia segera bertobat dan menyusul perbuatan buruknya itu dengan perbuatan baik. Orang yang seperti ini diharapkan tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits tersebut. Secara umum, hadits ini mengandung peringatan keras dari terjerumus ke dalam kemungkaran, dan meremehkan dosa-dosa yang dilakukan dalam kesendirian. Juga peringatan untuk tidak terlena dengan amalan-amalan kebaikan, dan tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil akan terus terkumpul hingga membinasakan pelakunya. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan kita semua dengan penuh kelembutan dan kemurahan. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan para Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237394/إذا-خلوا-بمحارم-الله-انتهكوهاPDF Sumber Artikel. 🔍 Jelaskan Pengertian Ibadah, Makna Hu Allah, Waktu Yang Baik Untuk Bersetubuh, Dzikir Sesuai Tuntunan Rasulullah, Asbahan Visited 915 times, 1 visit(s) today Post Views: 908 QRIS donasi Yufid

Apabila Mereka Sendirian, Mereka Melanggar Larangan Allah

إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها روى الإمام ابن ماجه في سننه عَنْ ثَوْبَانَ: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: (لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا)[رواه ابن ماجة في سننه]. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab “as-Sunan” dari Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak menyadarinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari golongan kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah dalam “as-Sunan”). يخبر النبي صلى الله تعالى عليه وسلم عن أناس من أمته، لهم أعمال طيبة وحسنات متكاثرة، وصلوات وصدقات وقربات وأعمال بر صالحات وكثيرات.. حتى إنهم ليقومون الليل يصلون لله تعالى مما يدل على اجتهادهم في التعبد.. وأنهم قد جمعوا من عباداتهم وطاعاتهم أجورا كثيرة، وحسنات بلغت مبلغا عظيما حتى صارت كالجبال من كثرتها… ولكن. أخبر صلوات الله وسلامه عليه أنهم إذا جاءوا يوم القيامة جعل الله هذه الحسنات هباءً منثورا.. ثم بيَّن عليه الصلاة والسلام السبب في حبوط هذه الأعمال أو ذهاب ثوابها وضياع أجورها فقال: كانوا (إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang segolongan orang dari umatnya yang memiliki begitu banyak amalan-amalan shaleh, kebaikan, shalat, sedekah, ibadah, dan amal-amal kebajikan yang melimpah. Bahkan mereka juga mendirikan Shalat Malam karena Allah Ta’ala; dan ini menunjukkan betapa kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka telah mengumpulkan banyak pahala dari ibadah dan ketaatan yang mereka kerjakan, serta kebaikan-kebaikan yang begitu besar hingga seperti gunung-gunung karena begitu banyaknya.  Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa ketika mereka datang pada Hari Kiamat, Allah menjadikan amal-amal kebaikan mereka itu sia-sia bagaikan debu yang berhamburan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab dari gugurnya amalan itu dan hilangnya pahala dan ganjarannya; beliau bersabda, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” ومحارم الله: كل ما نهى الله عنه نهي تحريم. ومعنى انتهاك الحرمات هو: تناولها بما لا يحلّ، والمبالغة في خرق محارم الشّرع وإتيانها. . كسرقة، وغش، وخداع، ورشوة، وشرب مخدرات، أو شرب مسكرات، وفعل الفاحشة، ونظر إلى ما حرم الله من الصور العارية والأفلام الهابطة القذرة. وقوله صلى الله عليه وسلم: (كانوا إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها)، يدل على أنها عادة لهم، وأنهم كانوا يفعلون ذلك دائما. فيعتدون على حرمات الله في السر، ولا يحفظون حقوق الله، فهؤلاء سيئاتهم تذهب حسناتهم. Yang dimaksud dengan (‌مَحَارِم ‌اللهِ) yakni segala hal yang Allah larang dalam bentuk pengharaman. Sedangkan yang dimaksud dengan melanggar hal-hal yang diharamkan Allah yakni mengerjakan apa yang tidak halal tersebut, serta berlebihan dalam menerjang dan melakukannya; seperti dengan melakukan pencurian, penipuan, memperdaya, menyuap, mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, melakukan zina, dan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah seperti foto-foto dan video-video yang mengandung pornografi. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya” menunjukkan bahwa perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mereka selalu melakukannya. Mereka melanggar apa yang diharamkan oleh Allah secara diam-diam dan tidak menjaga hak-hak Allah. Mereka adalah orang-orang yang amal keburukannya menggugurkan amal kebaikannya. يجعلها الله هباء منثورا وأما حبوط الأعمال وذهاب ثوابها فقد قال بعض أهل العلم: – إن الحديث إنما هو في أقوام عندهم نوع من النفاق فهم يصلون ويصومون، ولكن الذي أفسد أعمالهم هو النفاق ومرض القلب، فقد روى أبو نعيم في حلية الأولياء عن مالك بن دينار أن هذا الحديث في المنافقين قال: هو والله النفاق.. فأخذ المعلى بن زياد بلحيته فقال: صدقت والله أبا يحيى. أي أنهم قوم منافقون فجَّار ماكرون، فهم أمام الناس من المصلين المحافظين، أما إذا غابوا عن الناس فجروا ومكروا فلم يرعوا لله وقارا، ولم يستحوا من ربهم في الوقوع في المحرمات وانتهاك الأعراض من السب والغيبة والنميمة، والظلم، والتعدي، على حقوق الآخرين، وغيره من الفواحش والمنكرات والمحرمات، فهم كما قال تعالى: {يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً}[النساء:108]. Allah Menjadikan Amal Kebaikan Mereka Bagaikan Debu yang Berterbangan Adapun berkaitan dengan gugurnya amalan dan hilangnya pahala, sebagian ulama telah mengatakan bahwa: hadits ini berbicara tentang orang-orang yang punya sifat kemunafikan. Mereka mendirikan shalat dan berpuasa, tapi yang merusak amalan mereka adalah kemunafikan dan penyakit hati. Abu Na’im meriwayatkan dalam kitab “Hilyah al-Auliya” dari Malik bin Dinar bahwa hadits ini berkaitan dengan orang-orang munafik, ia berkata, “Demi Allah! Ini adalah tentang sifat munafik!” Kemudian al-Ma’la bin Ziyad memegang jenggotnya seraya berkata, “Demi Allah! Kamu benar, wahai Abu Yahya!” Yakni mereka adalah orang-orang munafik dan pelaku maksiat serta suka melakukan tipu daya. Di hadapan orang banyak, mereka melaksanakan shalat dan menampakkan diri sebagai orang-orang yang menjaganya. Namun, apabila mereka telah terlepas dari pandangan banyak orang, mereka berbuat maksiat dan tipu daya, tidak menjaga kesantunan di hadapan Allah, dan tanpa rasa malu terhadap Tuhan mereka dalam mengerjakan hal-hal haram dan melanggar kehormatan orang lain seperti mencela, ghibah, namimah, zalim, melanggar hak-hak orang lain, dan berbagai perbuatan keji, mungkar, dan haram lainnya. Mereka sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa: 108). – وقال بعضهم: إنما ورد الحديث في أقوام يراءون الناس بأعمالهم، كما في الثلاثة الذين هم أول من تسعر بهم النار، فإن الرياء محبط للعمل الذي أريد به غير وجه الله وليس لكل الأعمال، ولكن لما كان أكثر عملهم رياء، والله لا يقبل من العمل إلا ما أريد به وجهه، رد عليهم ما راءوا به الخلق وجعله هباء منثورا. فالله سبحانه وتعالى أكرم وأعدل من أن يحبط عمل أحد دون سبب، وأن يضيع أجر من أحسن عملاً، {إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ}[النساء:40]، وإنما رد أعمالهم لأنها رياء، وفي الحديث القدسي: (أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه)[رواه مسلم]، وفي رواية ابن ماجه: (فأنا منه بريء وهو للذي أشرك). Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut berkaitan dengan orang-orang yang berbuat riya (pamer) dengan amalan mereka; sebagaimana hadits tentang tiga orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka. Hal ini karena riya dapat menggugurkan amalan yang diniatkan bukan karena ingin mengharap keridhaan Allah. Meskipun amalan mereka tidak seperti itu, tapi karena mayoritas amalan mereka atas dasar riya – sedangkan Allah tidak akan menerima amalan melainkan yang diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya – maka Allah menolak amalan yang mereka pamerkan kepada makhluk itu, dan menjadikannya sia-sia bagaikan debu-debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah dan Maha Adil, tidak mungkin menghapus amalan seseorang tanpa sebab atau menyia-nyiakan pahala orang yang telah beramal dengan baik. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun hanya sebesar semut kecil…” (QS. An-Nisa: 40). Hanya saja, Allah menolak amalan mereka karena itu didasari oleh riya. Dalam hadits Qudsi disebutkan: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku (Allah) paling tidak butuh penyekutuan terhadap-Ku. Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan mencampakkannya dengan sekutunya.” (HR. Muslim). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah menggunakan redaksi:  فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ “…maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu bagi sekutunya.” (HR. Ibnu Majah). – قال ابن رجب: “وقد يكون له سيئات تحبط بعض أعماله وأعمال جوارحه سوى التوحيد فيدخل النار. وفي “سنن ابن ماجه” من رواية ثوبان مرفوعًا: “إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا”. وفيه: “هم قومٌ من جلدتكم ويتكلمون بألسنتكم ويأخذون من الليل كما تأخذون ولكنهم إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها” Ibnu Rajab berkata, “Bisa jadi seseorang (yang dimaksud dalam hadits tersebut) memiliki amal-amal keburukan yang menggugurkan sebagian amalannya yang lain dan amalan anggota badannya, selain ketauhidan; sehingga dia masuk neraka.” Dalam “Sunan Ibnu Majah” terdapat hadits yang diriwayatkan dari Tsauban secara marfu’: إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا “Sesungguhnya ada sebagian umatku yang datang (pada Hari Kiamat) dengan amalan-amalan seperti gunung-gunung, lalu Allah menjadikannya seperti debu berhamburan.” Lalu dalam hadits itu disebutkan: هُمْ قَومٌ مِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Mereka adalah kaum dari dari golongan kalian, berbicara dengan bahasa kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka apabila telah menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” وهذا الحديث فيه تحذير شديد لمن لا يبالي بالوقوع في المحرمات متى خلا بها، ولا يقيم وزنا لرقابة الله واطلاعه عليه فهذا قد جعل الله سبحانه أهون الناظرين إليه، فلم يراقب ربه، ولم يخش خالقه، كما راقب الناس وخشيهم. والذي يداوم على العصيان في الخلوة ويبارز الله بالمبالغة في إتيان الحرام “لم يقدّر الله حقّ قدره بل هان عليه أمره فعصاه، ونهيه فارتكبه، وحقّه فضيّعه، وذكره فأهمله، وغفل قلبه عنه، وكان هواه آثر عنده من طلب رضا الله، وطاعة المخلوق أهمّ من طاعته. فهو يستخفّ بنظر الله إليه، واطّلاعه عليه، وهو في قبضته، وناصيته بيده، ويعظّم نظر المخلوق إليه واطّلاعه عليه بكلّ قلبه وجوارحه يستحيي من النّاس ولا يستحيي من الله”. وفي فعلهم هذا أيضا ما يدل على أن معرفتهم بالله مغلوطة، ولو عرفوا الله حق المعرفة لعلموا أنه مطلع عليهم عالم بما يفعلون يسمع ما يقولون ويرى ما يفعلون ولا يغيب عنه شيء مما يعملون، ف{إن الله لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء}، {وهو معكم أينما كنتم والله بما تعملون بصير}. وفيه دليل على قلة حيائهم منه سبحانه وتعالى. Dalam hadits ini terdapat peringatan keras terhadap orang yang tidak peduli dengan terjerumus ke dalam hal-hal haram apabila telah menyendiri; mereka sama sekali tidak memperhitungkan pengawasan Allah terhadapnya. Orang seperti ini telah menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang melihatnya yang paling remeh baginya; sehingga dia tidak merasa diawasi oleh-Nya dan tidak takut terhadap Penciptanya; tidak seperti perasaannya diawasi oleh manusia dan ketakutannya terhadap mereka. Orang yang terus menerus bermaksiat dalam kesendiriannya dan menantang Allah dengan senantiasa melakukan hal yang haram, tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan. Bahkan justru dia meremehkan perintah Allah, sehingga dia berani bermaksiat kepada-Nya; meremehkan larangan-Nya, sehingga dia berani melanggarnya; meremehkan hak-Nya, sehingga dia berani melalaikannya; dan meremehkan zikir kepada-Nya, sehingga dia mengabaikannya dan hatinya lalai darinya. Dia lebih mementingkan hawa nafsunya daripada mencari keridhaan Allah. Dia menganggap ketaatan kepada makhluk lebih penting daripada ketaatan kepada Allah. Dia meremehkan pandangan dan pengawasan Allah terhadapnya; padahal dia berada di dalam genggaman-Nya, ubun-ubunnya berada di tangan-Nya. Di sisi lain, dia menganggap besar pandangan dan pengawasan makhluk terhadapnya dengan sepenuh jiwa dan raga. Dia malu terhadap manusia, tapi tidak malu terhadap Allah. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan mereka terhadap Allah keliru; karena seandainya dia mengenal Allah dengan benar, niscaya mereka mengetahui bahwa Allah Maha Melihat mereka, Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan Maha Melihat apa yang mereka lakukan; tidak ada sedikitpun dari yang mereka kerjakan itu luput dari pengetahuan-Nya. Sebab, “Sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit.” (QS. Ali Imran: 5). “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).  ثم هو أيضا دلالة على قلة محبة الله في قلوبهم؛ فإن من أعظم علامات المحبة الموافقة للمحبوب فيما يحب ويكره، والطاعة له فيما يأمر وينهى. فكما قالوا: إنما المحبة الطاعة. تعصى الإله وأنت تظهر حبه .. هذا محال في القياس بديع لو كان حبك صادقا لأطــعته .. إن المحب لمن يحب مطيع فهذا كله مما يقلل قدر الحسنات، ويجعلها لا تقاوم السيئات عند الموازنة والمحاصصة، فيهلك صاحبها، ولا ينتفع بثواب ما عمل انتفاع المؤمنين المخلصين. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan rendahnya rasa malu mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, perbuatan tersebut juga menunjukkan rendahnya kecintaan kepada Allah dalam hati mereka; karena di antara tanda terbesar rasa cinta adalah mengikuti segala hal yang disukai dan dibenci oleh yang dicintai, dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangannya. Sebagaimana diungkapkan, “Sesungguhnya rasa cinta adalah ketaatan.” تَعْصِي الْإِلَهَ وَأَنْتَ تُظْهِرُ حُبَّهُ هَذَا مُحَالٌ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ Kamu bermaksiat kepada Allah, sedangkan kamu menampakkan kecintaan kepada-Nya Ini mustahil terjadi secara akal sehat لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَــعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ Seandainya cintamu itu tulus, niscaya kamu akan menaati-Nya Karena orang yang mencintai akan menaati orang yang dicintainya Ini semua adalah hal yang dapat mengurangi bobot amal kebaikan, dan menjadikannya tidak dapat mengimbangi bobot amal keburukan saat ditimbang; sehingga pemiliknya akan binasa dan tidak bisa mendapat manfaat dari pahala amal kebaikannya sebagaimana manfaat yang didapatkan orang-orang beriman yang ikhlas. أما ارتكاب المعاصي في الخلوات أحيانا، وضعف النفس أمام شيء من الشهوات والمحرمات، من غير مداومة عليها، ولا إصرار على إتيانها، فلا يكاد يسلم منه أحد، إلاّ من عصمه الله، فمن كان هذا حاله فعليه بالإسراع بالتوبة وإتباع السيئة الحسنة ومثل هذا فيرجى ألا يكون داخلاً في ذلك الوعيد. وعموما فالحديث فيه تخويف شديد من الوقوع في المنكرات، والاستهانة بذنوب الخلوات، وعدم الاغترار بالأعمال، والتساهل في اللمم والذنوب الصغيرات، فإنهن يجتمعن على العبد حتى يهلكنه.. نسأل الله أن يعاملنا جميعا بلطفه وفضله. وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وصحبه وسلم. Adapun mengerjakan kemaksiatan dalam kesendirian sesekali, jiwanya tidak kuasa melawan di hadapan hawa nafsu dan perkara-perkara haram, tanpa melakukannya secara terus menerus; maka ini hampir tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya, kecuali orang yang telah dilindungi oleh Allah. Sehingga, barang siapa yang keadaannya seperti ini, maka hendaklah ia segera bertobat dan menyusul perbuatan buruknya itu dengan perbuatan baik. Orang yang seperti ini diharapkan tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits tersebut. Secara umum, hadits ini mengandung peringatan keras dari terjerumus ke dalam kemungkaran, dan meremehkan dosa-dosa yang dilakukan dalam kesendirian. Juga peringatan untuk tidak terlena dengan amalan-amalan kebaikan, dan tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil akan terus terkumpul hingga membinasakan pelakunya. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan kita semua dengan penuh kelembutan dan kemurahan. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan para Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237394/إذا-خلوا-بمحارم-الله-انتهكوهاPDF Sumber Artikel. 🔍 Jelaskan Pengertian Ibadah, Makna Hu Allah, Waktu Yang Baik Untuk Bersetubuh, Dzikir Sesuai Tuntunan Rasulullah, Asbahan Visited 915 times, 1 visit(s) today Post Views: 908 QRIS donasi Yufid
إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها روى الإمام ابن ماجه في سننه عَنْ ثَوْبَانَ: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: (لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا)[رواه ابن ماجة في سننه]. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab “as-Sunan” dari Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak menyadarinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari golongan kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah dalam “as-Sunan”). يخبر النبي صلى الله تعالى عليه وسلم عن أناس من أمته، لهم أعمال طيبة وحسنات متكاثرة، وصلوات وصدقات وقربات وأعمال بر صالحات وكثيرات.. حتى إنهم ليقومون الليل يصلون لله تعالى مما يدل على اجتهادهم في التعبد.. وأنهم قد جمعوا من عباداتهم وطاعاتهم أجورا كثيرة، وحسنات بلغت مبلغا عظيما حتى صارت كالجبال من كثرتها… ولكن. أخبر صلوات الله وسلامه عليه أنهم إذا جاءوا يوم القيامة جعل الله هذه الحسنات هباءً منثورا.. ثم بيَّن عليه الصلاة والسلام السبب في حبوط هذه الأعمال أو ذهاب ثوابها وضياع أجورها فقال: كانوا (إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang segolongan orang dari umatnya yang memiliki begitu banyak amalan-amalan shaleh, kebaikan, shalat, sedekah, ibadah, dan amal-amal kebajikan yang melimpah. Bahkan mereka juga mendirikan Shalat Malam karena Allah Ta’ala; dan ini menunjukkan betapa kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka telah mengumpulkan banyak pahala dari ibadah dan ketaatan yang mereka kerjakan, serta kebaikan-kebaikan yang begitu besar hingga seperti gunung-gunung karena begitu banyaknya.  Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa ketika mereka datang pada Hari Kiamat, Allah menjadikan amal-amal kebaikan mereka itu sia-sia bagaikan debu yang berhamburan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab dari gugurnya amalan itu dan hilangnya pahala dan ganjarannya; beliau bersabda, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” ومحارم الله: كل ما نهى الله عنه نهي تحريم. ومعنى انتهاك الحرمات هو: تناولها بما لا يحلّ، والمبالغة في خرق محارم الشّرع وإتيانها. . كسرقة، وغش، وخداع، ورشوة، وشرب مخدرات، أو شرب مسكرات، وفعل الفاحشة، ونظر إلى ما حرم الله من الصور العارية والأفلام الهابطة القذرة. وقوله صلى الله عليه وسلم: (كانوا إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها)، يدل على أنها عادة لهم، وأنهم كانوا يفعلون ذلك دائما. فيعتدون على حرمات الله في السر، ولا يحفظون حقوق الله، فهؤلاء سيئاتهم تذهب حسناتهم. Yang dimaksud dengan (‌مَحَارِم ‌اللهِ) yakni segala hal yang Allah larang dalam bentuk pengharaman. Sedangkan yang dimaksud dengan melanggar hal-hal yang diharamkan Allah yakni mengerjakan apa yang tidak halal tersebut, serta berlebihan dalam menerjang dan melakukannya; seperti dengan melakukan pencurian, penipuan, memperdaya, menyuap, mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, melakukan zina, dan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah seperti foto-foto dan video-video yang mengandung pornografi. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya” menunjukkan bahwa perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mereka selalu melakukannya. Mereka melanggar apa yang diharamkan oleh Allah secara diam-diam dan tidak menjaga hak-hak Allah. Mereka adalah orang-orang yang amal keburukannya menggugurkan amal kebaikannya. يجعلها الله هباء منثورا وأما حبوط الأعمال وذهاب ثوابها فقد قال بعض أهل العلم: – إن الحديث إنما هو في أقوام عندهم نوع من النفاق فهم يصلون ويصومون، ولكن الذي أفسد أعمالهم هو النفاق ومرض القلب، فقد روى أبو نعيم في حلية الأولياء عن مالك بن دينار أن هذا الحديث في المنافقين قال: هو والله النفاق.. فأخذ المعلى بن زياد بلحيته فقال: صدقت والله أبا يحيى. أي أنهم قوم منافقون فجَّار ماكرون، فهم أمام الناس من المصلين المحافظين، أما إذا غابوا عن الناس فجروا ومكروا فلم يرعوا لله وقارا، ولم يستحوا من ربهم في الوقوع في المحرمات وانتهاك الأعراض من السب والغيبة والنميمة، والظلم، والتعدي، على حقوق الآخرين، وغيره من الفواحش والمنكرات والمحرمات، فهم كما قال تعالى: {يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً}[النساء:108]. Allah Menjadikan Amal Kebaikan Mereka Bagaikan Debu yang Berterbangan Adapun berkaitan dengan gugurnya amalan dan hilangnya pahala, sebagian ulama telah mengatakan bahwa: hadits ini berbicara tentang orang-orang yang punya sifat kemunafikan. Mereka mendirikan shalat dan berpuasa, tapi yang merusak amalan mereka adalah kemunafikan dan penyakit hati. Abu Na’im meriwayatkan dalam kitab “Hilyah al-Auliya” dari Malik bin Dinar bahwa hadits ini berkaitan dengan orang-orang munafik, ia berkata, “Demi Allah! Ini adalah tentang sifat munafik!” Kemudian al-Ma’la bin Ziyad memegang jenggotnya seraya berkata, “Demi Allah! Kamu benar, wahai Abu Yahya!” Yakni mereka adalah orang-orang munafik dan pelaku maksiat serta suka melakukan tipu daya. Di hadapan orang banyak, mereka melaksanakan shalat dan menampakkan diri sebagai orang-orang yang menjaganya. Namun, apabila mereka telah terlepas dari pandangan banyak orang, mereka berbuat maksiat dan tipu daya, tidak menjaga kesantunan di hadapan Allah, dan tanpa rasa malu terhadap Tuhan mereka dalam mengerjakan hal-hal haram dan melanggar kehormatan orang lain seperti mencela, ghibah, namimah, zalim, melanggar hak-hak orang lain, dan berbagai perbuatan keji, mungkar, dan haram lainnya. Mereka sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa: 108). – وقال بعضهم: إنما ورد الحديث في أقوام يراءون الناس بأعمالهم، كما في الثلاثة الذين هم أول من تسعر بهم النار، فإن الرياء محبط للعمل الذي أريد به غير وجه الله وليس لكل الأعمال، ولكن لما كان أكثر عملهم رياء، والله لا يقبل من العمل إلا ما أريد به وجهه، رد عليهم ما راءوا به الخلق وجعله هباء منثورا. فالله سبحانه وتعالى أكرم وأعدل من أن يحبط عمل أحد دون سبب، وأن يضيع أجر من أحسن عملاً، {إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ}[النساء:40]، وإنما رد أعمالهم لأنها رياء، وفي الحديث القدسي: (أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه)[رواه مسلم]، وفي رواية ابن ماجه: (فأنا منه بريء وهو للذي أشرك). Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut berkaitan dengan orang-orang yang berbuat riya (pamer) dengan amalan mereka; sebagaimana hadits tentang tiga orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka. Hal ini karena riya dapat menggugurkan amalan yang diniatkan bukan karena ingin mengharap keridhaan Allah. Meskipun amalan mereka tidak seperti itu, tapi karena mayoritas amalan mereka atas dasar riya – sedangkan Allah tidak akan menerima amalan melainkan yang diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya – maka Allah menolak amalan yang mereka pamerkan kepada makhluk itu, dan menjadikannya sia-sia bagaikan debu-debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah dan Maha Adil, tidak mungkin menghapus amalan seseorang tanpa sebab atau menyia-nyiakan pahala orang yang telah beramal dengan baik. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun hanya sebesar semut kecil…” (QS. An-Nisa: 40). Hanya saja, Allah menolak amalan mereka karena itu didasari oleh riya. Dalam hadits Qudsi disebutkan: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku (Allah) paling tidak butuh penyekutuan terhadap-Ku. Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan mencampakkannya dengan sekutunya.” (HR. Muslim). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah menggunakan redaksi:  فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ “…maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu bagi sekutunya.” (HR. Ibnu Majah). – قال ابن رجب: “وقد يكون له سيئات تحبط بعض أعماله وأعمال جوارحه سوى التوحيد فيدخل النار. وفي “سنن ابن ماجه” من رواية ثوبان مرفوعًا: “إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا”. وفيه: “هم قومٌ من جلدتكم ويتكلمون بألسنتكم ويأخذون من الليل كما تأخذون ولكنهم إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها” Ibnu Rajab berkata, “Bisa jadi seseorang (yang dimaksud dalam hadits tersebut) memiliki amal-amal keburukan yang menggugurkan sebagian amalannya yang lain dan amalan anggota badannya, selain ketauhidan; sehingga dia masuk neraka.” Dalam “Sunan Ibnu Majah” terdapat hadits yang diriwayatkan dari Tsauban secara marfu’: إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا “Sesungguhnya ada sebagian umatku yang datang (pada Hari Kiamat) dengan amalan-amalan seperti gunung-gunung, lalu Allah menjadikannya seperti debu berhamburan.” Lalu dalam hadits itu disebutkan: هُمْ قَومٌ مِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Mereka adalah kaum dari dari golongan kalian, berbicara dengan bahasa kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka apabila telah menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” وهذا الحديث فيه تحذير شديد لمن لا يبالي بالوقوع في المحرمات متى خلا بها، ولا يقيم وزنا لرقابة الله واطلاعه عليه فهذا قد جعل الله سبحانه أهون الناظرين إليه، فلم يراقب ربه، ولم يخش خالقه، كما راقب الناس وخشيهم. والذي يداوم على العصيان في الخلوة ويبارز الله بالمبالغة في إتيان الحرام “لم يقدّر الله حقّ قدره بل هان عليه أمره فعصاه، ونهيه فارتكبه، وحقّه فضيّعه، وذكره فأهمله، وغفل قلبه عنه، وكان هواه آثر عنده من طلب رضا الله، وطاعة المخلوق أهمّ من طاعته. فهو يستخفّ بنظر الله إليه، واطّلاعه عليه، وهو في قبضته، وناصيته بيده، ويعظّم نظر المخلوق إليه واطّلاعه عليه بكلّ قلبه وجوارحه يستحيي من النّاس ولا يستحيي من الله”. وفي فعلهم هذا أيضا ما يدل على أن معرفتهم بالله مغلوطة، ولو عرفوا الله حق المعرفة لعلموا أنه مطلع عليهم عالم بما يفعلون يسمع ما يقولون ويرى ما يفعلون ولا يغيب عنه شيء مما يعملون، ف{إن الله لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء}، {وهو معكم أينما كنتم والله بما تعملون بصير}. وفيه دليل على قلة حيائهم منه سبحانه وتعالى. Dalam hadits ini terdapat peringatan keras terhadap orang yang tidak peduli dengan terjerumus ke dalam hal-hal haram apabila telah menyendiri; mereka sama sekali tidak memperhitungkan pengawasan Allah terhadapnya. Orang seperti ini telah menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang melihatnya yang paling remeh baginya; sehingga dia tidak merasa diawasi oleh-Nya dan tidak takut terhadap Penciptanya; tidak seperti perasaannya diawasi oleh manusia dan ketakutannya terhadap mereka. Orang yang terus menerus bermaksiat dalam kesendiriannya dan menantang Allah dengan senantiasa melakukan hal yang haram, tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan. Bahkan justru dia meremehkan perintah Allah, sehingga dia berani bermaksiat kepada-Nya; meremehkan larangan-Nya, sehingga dia berani melanggarnya; meremehkan hak-Nya, sehingga dia berani melalaikannya; dan meremehkan zikir kepada-Nya, sehingga dia mengabaikannya dan hatinya lalai darinya. Dia lebih mementingkan hawa nafsunya daripada mencari keridhaan Allah. Dia menganggap ketaatan kepada makhluk lebih penting daripada ketaatan kepada Allah. Dia meremehkan pandangan dan pengawasan Allah terhadapnya; padahal dia berada di dalam genggaman-Nya, ubun-ubunnya berada di tangan-Nya. Di sisi lain, dia menganggap besar pandangan dan pengawasan makhluk terhadapnya dengan sepenuh jiwa dan raga. Dia malu terhadap manusia, tapi tidak malu terhadap Allah. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan mereka terhadap Allah keliru; karena seandainya dia mengenal Allah dengan benar, niscaya mereka mengetahui bahwa Allah Maha Melihat mereka, Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan Maha Melihat apa yang mereka lakukan; tidak ada sedikitpun dari yang mereka kerjakan itu luput dari pengetahuan-Nya. Sebab, “Sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit.” (QS. Ali Imran: 5). “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).  ثم هو أيضا دلالة على قلة محبة الله في قلوبهم؛ فإن من أعظم علامات المحبة الموافقة للمحبوب فيما يحب ويكره، والطاعة له فيما يأمر وينهى. فكما قالوا: إنما المحبة الطاعة. تعصى الإله وأنت تظهر حبه .. هذا محال في القياس بديع لو كان حبك صادقا لأطــعته .. إن المحب لمن يحب مطيع فهذا كله مما يقلل قدر الحسنات، ويجعلها لا تقاوم السيئات عند الموازنة والمحاصصة، فيهلك صاحبها، ولا ينتفع بثواب ما عمل انتفاع المؤمنين المخلصين. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan rendahnya rasa malu mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, perbuatan tersebut juga menunjukkan rendahnya kecintaan kepada Allah dalam hati mereka; karena di antara tanda terbesar rasa cinta adalah mengikuti segala hal yang disukai dan dibenci oleh yang dicintai, dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangannya. Sebagaimana diungkapkan, “Sesungguhnya rasa cinta adalah ketaatan.” تَعْصِي الْإِلَهَ وَأَنْتَ تُظْهِرُ حُبَّهُ هَذَا مُحَالٌ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ Kamu bermaksiat kepada Allah, sedangkan kamu menampakkan kecintaan kepada-Nya Ini mustahil terjadi secara akal sehat لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَــعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ Seandainya cintamu itu tulus, niscaya kamu akan menaati-Nya Karena orang yang mencintai akan menaati orang yang dicintainya Ini semua adalah hal yang dapat mengurangi bobot amal kebaikan, dan menjadikannya tidak dapat mengimbangi bobot amal keburukan saat ditimbang; sehingga pemiliknya akan binasa dan tidak bisa mendapat manfaat dari pahala amal kebaikannya sebagaimana manfaat yang didapatkan orang-orang beriman yang ikhlas. أما ارتكاب المعاصي في الخلوات أحيانا، وضعف النفس أمام شيء من الشهوات والمحرمات، من غير مداومة عليها، ولا إصرار على إتيانها، فلا يكاد يسلم منه أحد، إلاّ من عصمه الله، فمن كان هذا حاله فعليه بالإسراع بالتوبة وإتباع السيئة الحسنة ومثل هذا فيرجى ألا يكون داخلاً في ذلك الوعيد. وعموما فالحديث فيه تخويف شديد من الوقوع في المنكرات، والاستهانة بذنوب الخلوات، وعدم الاغترار بالأعمال، والتساهل في اللمم والذنوب الصغيرات، فإنهن يجتمعن على العبد حتى يهلكنه.. نسأل الله أن يعاملنا جميعا بلطفه وفضله. وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وصحبه وسلم. Adapun mengerjakan kemaksiatan dalam kesendirian sesekali, jiwanya tidak kuasa melawan di hadapan hawa nafsu dan perkara-perkara haram, tanpa melakukannya secara terus menerus; maka ini hampir tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya, kecuali orang yang telah dilindungi oleh Allah. Sehingga, barang siapa yang keadaannya seperti ini, maka hendaklah ia segera bertobat dan menyusul perbuatan buruknya itu dengan perbuatan baik. Orang yang seperti ini diharapkan tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits tersebut. Secara umum, hadits ini mengandung peringatan keras dari terjerumus ke dalam kemungkaran, dan meremehkan dosa-dosa yang dilakukan dalam kesendirian. Juga peringatan untuk tidak terlena dengan amalan-amalan kebaikan, dan tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil akan terus terkumpul hingga membinasakan pelakunya. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan kita semua dengan penuh kelembutan dan kemurahan. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan para Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237394/إذا-خلوا-بمحارم-الله-انتهكوهاPDF Sumber Artikel. 🔍 Jelaskan Pengertian Ibadah, Makna Hu Allah, Waktu Yang Baik Untuk Bersetubuh, Dzikir Sesuai Tuntunan Rasulullah, Asbahan Visited 915 times, 1 visit(s) today Post Views: 908 QRIS donasi Yufid


إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها روى الإمام ابن ماجه في سننه عَنْ ثَوْبَانَ: عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: (لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا)[رواه ابن ماجة في سننه]. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab “as-Sunan” dari Tsauban dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا, قَالَ ثَوْبَانُ: يَارَسُولَ اللهِ! صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا؛ أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada kaum-kaum dari umatku yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak menyadarinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari golongan kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah dalam “as-Sunan”). يخبر النبي صلى الله تعالى عليه وسلم عن أناس من أمته، لهم أعمال طيبة وحسنات متكاثرة، وصلوات وصدقات وقربات وأعمال بر صالحات وكثيرات.. حتى إنهم ليقومون الليل يصلون لله تعالى مما يدل على اجتهادهم في التعبد.. وأنهم قد جمعوا من عباداتهم وطاعاتهم أجورا كثيرة، وحسنات بلغت مبلغا عظيما حتى صارت كالجبال من كثرتها… ولكن. أخبر صلوات الله وسلامه عليه أنهم إذا جاءوا يوم القيامة جعل الله هذه الحسنات هباءً منثورا.. ثم بيَّن عليه الصلاة والسلام السبب في حبوط هذه الأعمال أو ذهاب ثوابها وضياع أجورها فقال: كانوا (إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang segolongan orang dari umatnya yang memiliki begitu banyak amalan-amalan shaleh, kebaikan, shalat, sedekah, ibadah, dan amal-amal kebajikan yang melimpah. Bahkan mereka juga mendirikan Shalat Malam karena Allah Ta’ala; dan ini menunjukkan betapa kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka telah mengumpulkan banyak pahala dari ibadah dan ketaatan yang mereka kerjakan, serta kebaikan-kebaikan yang begitu besar hingga seperti gunung-gunung karena begitu banyaknya.  Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa ketika mereka datang pada Hari Kiamat, Allah menjadikan amal-amal kebaikan mereka itu sia-sia bagaikan debu yang berhamburan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab dari gugurnya amalan itu dan hilangnya pahala dan ganjarannya; beliau bersabda, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” ومحارم الله: كل ما نهى الله عنه نهي تحريم. ومعنى انتهاك الحرمات هو: تناولها بما لا يحلّ، والمبالغة في خرق محارم الشّرع وإتيانها. . كسرقة، وغش، وخداع، ورشوة، وشرب مخدرات، أو شرب مسكرات، وفعل الفاحشة، ونظر إلى ما حرم الله من الصور العارية والأفلام الهابطة القذرة. وقوله صلى الله عليه وسلم: (كانوا إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها)، يدل على أنها عادة لهم، وأنهم كانوا يفعلون ذلك دائما. فيعتدون على حرمات الله في السر، ولا يحفظون حقوق الله، فهؤلاء سيئاتهم تذهب حسناتهم. Yang dimaksud dengan (‌مَحَارِم ‌اللهِ) yakni segala hal yang Allah larang dalam bentuk pengharaman. Sedangkan yang dimaksud dengan melanggar hal-hal yang diharamkan Allah yakni mengerjakan apa yang tidak halal tersebut, serta berlebihan dalam menerjang dan melakukannya; seperti dengan melakukan pencurian, penipuan, memperdaya, menyuap, mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, melakukan zina, dan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah seperti foto-foto dan video-video yang mengandung pornografi. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…tetapi mereka adalah kaum yang jika menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya” menunjukkan bahwa perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mereka selalu melakukannya. Mereka melanggar apa yang diharamkan oleh Allah secara diam-diam dan tidak menjaga hak-hak Allah. Mereka adalah orang-orang yang amal keburukannya menggugurkan amal kebaikannya. يجعلها الله هباء منثورا وأما حبوط الأعمال وذهاب ثوابها فقد قال بعض أهل العلم: – إن الحديث إنما هو في أقوام عندهم نوع من النفاق فهم يصلون ويصومون، ولكن الذي أفسد أعمالهم هو النفاق ومرض القلب، فقد روى أبو نعيم في حلية الأولياء عن مالك بن دينار أن هذا الحديث في المنافقين قال: هو والله النفاق.. فأخذ المعلى بن زياد بلحيته فقال: صدقت والله أبا يحيى. أي أنهم قوم منافقون فجَّار ماكرون، فهم أمام الناس من المصلين المحافظين، أما إذا غابوا عن الناس فجروا ومكروا فلم يرعوا لله وقارا، ولم يستحوا من ربهم في الوقوع في المحرمات وانتهاك الأعراض من السب والغيبة والنميمة، والظلم، والتعدي، على حقوق الآخرين، وغيره من الفواحش والمنكرات والمحرمات، فهم كما قال تعالى: {يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً}[النساء:108]. Allah Menjadikan Amal Kebaikan Mereka Bagaikan Debu yang Berterbangan Adapun berkaitan dengan gugurnya amalan dan hilangnya pahala, sebagian ulama telah mengatakan bahwa: hadits ini berbicara tentang orang-orang yang punya sifat kemunafikan. Mereka mendirikan shalat dan berpuasa, tapi yang merusak amalan mereka adalah kemunafikan dan penyakit hati. Abu Na’im meriwayatkan dalam kitab “Hilyah al-Auliya” dari Malik bin Dinar bahwa hadits ini berkaitan dengan orang-orang munafik, ia berkata, “Demi Allah! Ini adalah tentang sifat munafik!” Kemudian al-Ma’la bin Ziyad memegang jenggotnya seraya berkata, “Demi Allah! Kamu benar, wahai Abu Yahya!” Yakni mereka adalah orang-orang munafik dan pelaku maksiat serta suka melakukan tipu daya. Di hadapan orang banyak, mereka melaksanakan shalat dan menampakkan diri sebagai orang-orang yang menjaganya. Namun, apabila mereka telah terlepas dari pandangan banyak orang, mereka berbuat maksiat dan tipu daya, tidak menjaga kesantunan di hadapan Allah, dan tanpa rasa malu terhadap Tuhan mereka dalam mengerjakan hal-hal haram dan melanggar kehormatan orang lain seperti mencela, ghibah, namimah, zalim, melanggar hak-hak orang lain, dan berbagai perbuatan keji, mungkar, dan haram lainnya. Mereka sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa: 108). – وقال بعضهم: إنما ورد الحديث في أقوام يراءون الناس بأعمالهم، كما في الثلاثة الذين هم أول من تسعر بهم النار، فإن الرياء محبط للعمل الذي أريد به غير وجه الله وليس لكل الأعمال، ولكن لما كان أكثر عملهم رياء، والله لا يقبل من العمل إلا ما أريد به وجهه، رد عليهم ما راءوا به الخلق وجعله هباء منثورا. فالله سبحانه وتعالى أكرم وأعدل من أن يحبط عمل أحد دون سبب، وأن يضيع أجر من أحسن عملاً، {إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ}[النساء:40]، وإنما رد أعمالهم لأنها رياء، وفي الحديث القدسي: (أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه)[رواه مسلم]، وفي رواية ابن ماجه: (فأنا منه بريء وهو للذي أشرك). Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut berkaitan dengan orang-orang yang berbuat riya (pamer) dengan amalan mereka; sebagaimana hadits tentang tiga orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka. Hal ini karena riya dapat menggugurkan amalan yang diniatkan bukan karena ingin mengharap keridhaan Allah. Meskipun amalan mereka tidak seperti itu, tapi karena mayoritas amalan mereka atas dasar riya – sedangkan Allah tidak akan menerima amalan melainkan yang diniatkan untuk mencari keridhaan-Nya – maka Allah menolak amalan yang mereka pamerkan kepada makhluk itu, dan menjadikannya sia-sia bagaikan debu-debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah dan Maha Adil, tidak mungkin menghapus amalan seseorang tanpa sebab atau menyia-nyiakan pahala orang yang telah beramal dengan baik. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun hanya sebesar semut kecil…” (QS. An-Nisa: 40). Hanya saja, Allah menolak amalan mereka karena itu didasari oleh riya. Dalam hadits Qudsi disebutkan: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “Aku (Allah) paling tidak butuh penyekutuan terhadap-Ku. Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan mencampakkannya dengan sekutunya.” (HR. Muslim). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah menggunakan redaksi:  فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ “…maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu bagi sekutunya.” (HR. Ibnu Majah). – قال ابن رجب: “وقد يكون له سيئات تحبط بعض أعماله وأعمال جوارحه سوى التوحيد فيدخل النار. وفي “سنن ابن ماجه” من رواية ثوبان مرفوعًا: “إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا”. وفيه: “هم قومٌ من جلدتكم ويتكلمون بألسنتكم ويأخذون من الليل كما تأخذون ولكنهم إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها” Ibnu Rajab berkata, “Bisa jadi seseorang (yang dimaksud dalam hadits tersebut) memiliki amal-amal keburukan yang menggugurkan sebagian amalannya yang lain dan amalan anggota badannya, selain ketauhidan; sehingga dia masuk neraka.” Dalam “Sunan Ibnu Majah” terdapat hadits yang diriwayatkan dari Tsauban secara marfu’: إنَّ مِنْ أمتي من يجيء بأعمال أمثال الجبال فيجعلها الله هباءً منثورًا “Sesungguhnya ada sebagian umatku yang datang (pada Hari Kiamat) dengan amalan-amalan seperti gunung-gunung, lalu Allah menjadikannya seperti debu berhamburan.” Lalu dalam hadits itu disebutkan: هُمْ قَومٌ مِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ إِذَا خَلَوْا ‌بِمَحَارِمِ ‌اللهِ ‌انْتَهَكُوهَا “Mereka adalah kaum dari dari golongan kalian, berbicara dengan bahasa kalian, serta mereka Shalat Malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka apabila telah menyendiri dengan apa yang diharamkan Allah, mereka segera melanggarnya.” وهذا الحديث فيه تحذير شديد لمن لا يبالي بالوقوع في المحرمات متى خلا بها، ولا يقيم وزنا لرقابة الله واطلاعه عليه فهذا قد جعل الله سبحانه أهون الناظرين إليه، فلم يراقب ربه، ولم يخش خالقه، كما راقب الناس وخشيهم. والذي يداوم على العصيان في الخلوة ويبارز الله بالمبالغة في إتيان الحرام “لم يقدّر الله حقّ قدره بل هان عليه أمره فعصاه، ونهيه فارتكبه، وحقّه فضيّعه، وذكره فأهمله، وغفل قلبه عنه، وكان هواه آثر عنده من طلب رضا الله، وطاعة المخلوق أهمّ من طاعته. فهو يستخفّ بنظر الله إليه، واطّلاعه عليه، وهو في قبضته، وناصيته بيده، ويعظّم نظر المخلوق إليه واطّلاعه عليه بكلّ قلبه وجوارحه يستحيي من النّاس ولا يستحيي من الله”. وفي فعلهم هذا أيضا ما يدل على أن معرفتهم بالله مغلوطة، ولو عرفوا الله حق المعرفة لعلموا أنه مطلع عليهم عالم بما يفعلون يسمع ما يقولون ويرى ما يفعلون ولا يغيب عنه شيء مما يعملون، ف{إن الله لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء}، {وهو معكم أينما كنتم والله بما تعملون بصير}. وفيه دليل على قلة حيائهم منه سبحانه وتعالى. Dalam hadits ini terdapat peringatan keras terhadap orang yang tidak peduli dengan terjerumus ke dalam hal-hal haram apabila telah menyendiri; mereka sama sekali tidak memperhitungkan pengawasan Allah terhadapnya. Orang seperti ini telah menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang melihatnya yang paling remeh baginya; sehingga dia tidak merasa diawasi oleh-Nya dan tidak takut terhadap Penciptanya; tidak seperti perasaannya diawasi oleh manusia dan ketakutannya terhadap mereka. Orang yang terus menerus bermaksiat dalam kesendiriannya dan menantang Allah dengan senantiasa melakukan hal yang haram, tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan. Bahkan justru dia meremehkan perintah Allah, sehingga dia berani bermaksiat kepada-Nya; meremehkan larangan-Nya, sehingga dia berani melanggarnya; meremehkan hak-Nya, sehingga dia berani melalaikannya; dan meremehkan zikir kepada-Nya, sehingga dia mengabaikannya dan hatinya lalai darinya. Dia lebih mementingkan hawa nafsunya daripada mencari keridhaan Allah. Dia menganggap ketaatan kepada makhluk lebih penting daripada ketaatan kepada Allah. Dia meremehkan pandangan dan pengawasan Allah terhadapnya; padahal dia berada di dalam genggaman-Nya, ubun-ubunnya berada di tangan-Nya. Di sisi lain, dia menganggap besar pandangan dan pengawasan makhluk terhadapnya dengan sepenuh jiwa dan raga. Dia malu terhadap manusia, tapi tidak malu terhadap Allah. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan mereka terhadap Allah keliru; karena seandainya dia mengenal Allah dengan benar, niscaya mereka mengetahui bahwa Allah Maha Melihat mereka, Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan Maha Melihat apa yang mereka lakukan; tidak ada sedikitpun dari yang mereka kerjakan itu luput dari pengetahuan-Nya. Sebab, “Sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit.” (QS. Ali Imran: 5). “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).  ثم هو أيضا دلالة على قلة محبة الله في قلوبهم؛ فإن من أعظم علامات المحبة الموافقة للمحبوب فيما يحب ويكره، والطاعة له فيما يأمر وينهى. فكما قالوا: إنما المحبة الطاعة. تعصى الإله وأنت تظهر حبه .. هذا محال في القياس بديع لو كان حبك صادقا لأطــعته .. إن المحب لمن يحب مطيع فهذا كله مما يقلل قدر الحسنات، ويجعلها لا تقاوم السيئات عند الموازنة والمحاصصة، فيهلك صاحبها، ولا ينتفع بثواب ما عمل انتفاع المؤمنين المخلصين. Perbuatan mereka ini juga menunjukkan rendahnya rasa malu mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, perbuatan tersebut juga menunjukkan rendahnya kecintaan kepada Allah dalam hati mereka; karena di antara tanda terbesar rasa cinta adalah mengikuti segala hal yang disukai dan dibenci oleh yang dicintai, dan menaatinya dalam setiap perintah dan larangannya. Sebagaimana diungkapkan, “Sesungguhnya rasa cinta adalah ketaatan.” تَعْصِي الْإِلَهَ وَأَنْتَ تُظْهِرُ حُبَّهُ هَذَا مُحَالٌ فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ Kamu bermaksiat kepada Allah, sedangkan kamu menampakkan kecintaan kepada-Nya Ini mustahil terjadi secara akal sehat لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَــعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ Seandainya cintamu itu tulus, niscaya kamu akan menaati-Nya Karena orang yang mencintai akan menaati orang yang dicintainya Ini semua adalah hal yang dapat mengurangi bobot amal kebaikan, dan menjadikannya tidak dapat mengimbangi bobot amal keburukan saat ditimbang; sehingga pemiliknya akan binasa dan tidak bisa mendapat manfaat dari pahala amal kebaikannya sebagaimana manfaat yang didapatkan orang-orang beriman yang ikhlas. أما ارتكاب المعاصي في الخلوات أحيانا، وضعف النفس أمام شيء من الشهوات والمحرمات، من غير مداومة عليها، ولا إصرار على إتيانها، فلا يكاد يسلم منه أحد، إلاّ من عصمه الله، فمن كان هذا حاله فعليه بالإسراع بالتوبة وإتباع السيئة الحسنة ومثل هذا فيرجى ألا يكون داخلاً في ذلك الوعيد. وعموما فالحديث فيه تخويف شديد من الوقوع في المنكرات، والاستهانة بذنوب الخلوات، وعدم الاغترار بالأعمال، والتساهل في اللمم والذنوب الصغيرات، فإنهن يجتمعن على العبد حتى يهلكنه.. نسأل الله أن يعاملنا جميعا بلطفه وفضله. وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وصحبه وسلم. Adapun mengerjakan kemaksiatan dalam kesendirian sesekali, jiwanya tidak kuasa melawan di hadapan hawa nafsu dan perkara-perkara haram, tanpa melakukannya secara terus menerus; maka ini hampir tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya, kecuali orang yang telah dilindungi oleh Allah. Sehingga, barang siapa yang keadaannya seperti ini, maka hendaklah ia segera bertobat dan menyusul perbuatan buruknya itu dengan perbuatan baik. Orang yang seperti ini diharapkan tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits tersebut. Secara umum, hadits ini mengandung peringatan keras dari terjerumus ke dalam kemungkaran, dan meremehkan dosa-dosa yang dilakukan dalam kesendirian. Juga peringatan untuk tidak terlena dengan amalan-amalan kebaikan, dan tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil akan terus terkumpul hingga membinasakan pelakunya. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan kita semua dengan penuh kelembutan dan kemurahan. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga dan para Sahabat beliau. Sumber: https://www.islamweb.net/ar/article/237394/إذا-خلوا-بمحارم-الله-انتهكوهاPDF Sumber Artikel. 🔍 Jelaskan Pengertian Ibadah, Makna Hu Allah, Waktu Yang Baik Untuk Bersetubuh, Dzikir Sesuai Tuntunan Rasulullah, Asbahan Visited 915 times, 1 visit(s) today Post Views: 908 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Menikah itu Disunnahkan, Penjelasan Berbagai Hukum Nikah Disertai Dalil

Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah

Menikah itu Disunnahkan, Penjelasan Berbagai Hukum Nikah Disertai Dalil

Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah
Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah


Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam karena manfaatnya yang besar, baik untuk individu maupun masyarakat. Tulisan ini mengulas hukum dan hikmah pernikahan berdasarkan pandangan ulama serta dalil-dalil syar’i yang kuat.   Daftar Isi tutup 1. Penjelasan: 2. Nikah dalam Pengertian Syariat 3. Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam 4. Hukum Nikah 4.1. a. Disunnahkan atau Dianjurkan 4.2. b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) 4.3. c. Hukum Makruh untuk Menikah 4.4. d. Hukum Wajib untuk Menikah 4.5. e. Hukum Haram untuk Menikah 5. Kesimpulan 5.1. Referensi: Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah berkata: النِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَيَجُوزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ، وَلِلْعَبْدِ بَيْنَ اثْنَتَيْنِ، وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَةً إِلَّا بِشَرْطَيْنِ: عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ، وَخَوْفِ الْعَنَتِ. Menikah adalah amalan yang disunnahkan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi seorang yang merdeka, diperbolehkan untuk menikahi hingga empat wanita yang merdeka. Sementara itu, seorang budak hanya diizinkan menikahi hingga dua wanita. Adapun seorang yang merdeka tidak diperbolehkan menikahi wanita budak kecuali dengan memenuhi dua syarat: (1) tidak mampu memberikan mahar untuk wanita merdeka, dan (2) khawatir jatuh dalam perzinaan jika tidak menikah.   Penjelasan: Nikah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “adh-dhamm wa al-jam’u” yang berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal. Secara terminologi, nikah adalah sebuah ikatan yang berfungsi untuk mempersatukan dua insan dalam ikatan yang sah menurut syariat.    Nikah dalam Pengertian Syariat Secara istilah, nikah adalah sebuah akad yang di dalamnya terkandung dua aspek utama: Akad – yang merupakan substansi utama dari pernikahan, di mana proses ijab kabul dilaksanakan sebagai bentuk perjanjian suci. Kehalalan Hubungan Intim – pernikahan memberikan legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim, yang sebelumnya tidak dibenarkan sebelum adanya akad. Dalil disyari’atkannya nikah, وَأَنكِحُوا‭ ‬اْلأَيَامَى‭ ‬مِنكُمْ‭ ‬وَالصَّالِحِينَ‭ ‬مِنْ‭ ‬عِبَادِكُمْ‭ ‬وَإِمَآئِكُمْ‭ ‬إِن‭ ‬يَكُونُوا‭ ‬فُقَرَآءَ‭ ‬يُغْنِهِمُ‭ ‬اللهُ‭ ‬مِن‭ ‬فَضْلِهِ‭ ‬وَاللهُ‭ ‬وَاسِعٌ‭ ‬عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ‭ ‬الَّذِي‭ ‬يُرِيدُ‭ ‬الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An-Nasai, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا‭ ‬مَعْشَرَ‭ ‬الشَّبَابِ‭ ‬مَنِ‭ ‬اسْتَطَاعَ‭ ‬مِنْكُمُ‭ ‬الْبَاءَةَ‭ ‬فَلْيَتَزَوَّجْ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬أَغَضُّ‭ ‬لِلْبَصَرِ‭ ‬وَأَحْصَنُ‭ ‬لِلْفَرْجِ‭ ‬وَمَنْ‭ ‬لَمْ‭ ‬يَسْتَطِعْ‭ ‬فَعَلَيْهِ‭ ‬بِالصَّوْمِ‭ ‬فَإِنَّهُ‭ ‬لَهُ‭ ‬وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barang siapa yang memiliki baa-ah (kemampuan finansial) , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).   Kebutuhan dan Kesiapan Menikah dalam Islam Terkait nikah, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, فَانْكِحُوا‭ ‬مَا‭ ‬طَابَ‭ ‬لَكُمْ‭ ‬مِنَ‭ ‬النِّسَاءِ “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian. Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina. Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah memberinya kecukupan dengan karunia-Nya. Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah (Kifayah Al-Akhyar, 2:35-36).   Hukum Nikah Hukum pernikahan dalam Islam bisa dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung pada kondisi seseorang. Berikut adalah rincian hukumnya: a. Disunnahkan atau Dianjurkan Pernikahan disunnahkan bagi mereka yang merasa memiliki kebutuhan untuk menikah, memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi, selama tidak khawatir terjerumus dalam zina. Dalam keadaan ini, pernikahan dianggap sebagai sunnah yang sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan maksiat. Kriteria: Memiliki kebutuhan atau keinginan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan serta nafkah setelah menikah Selama tidak khawatir terjerumus dalam zina   b. Khilaf Al-Aula (Tidak Dianjurkan Tetapi Boleh) Dalam situasi tertentu, menikah boleh dilakukan tetapi tidak disarankan. Hal ini terjadi jika ia belum memiliki kesiapan dari segi finansial untuk menanggung biaya nikah dan nafkah. Dalam kondisi ini, disarankan agar orang tersebut menahan diri terlebih dahulu dan disarankan untuk memperbanyak puasa sunnah sebagai cara untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsu, sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ. Kriteria: Butuh nikah Belum mampu menanggung biaya pernikahan dan nafkah   c. Hukum Makruh untuk Menikah Pernikahan bisa menjadi makruh atau sebaiknya dihindari apabila seseorang tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk menikah dan juga tidak mampu menanggung biaya pernikahan serta memberikan nafkah. Dalam situasi ini, pernikahan tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan membawa beban tambahan yang tidak mampu ia pikul, yang akhirnya dapat mengakibatkan kesulitan dalam rumah tangga. Kriteria: Tidak memiliki kebutuhan untuk menikah Tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah   d. Hukum Wajib untuk Menikah Pernikahan menjadi wajib bagi seseorang yang khawatir akan terjerumus dalam zina apabila ia tidak menikah, sedangkan ia memiliki kemampuan finansial dan kebutuhan untuk menikah. Dalam kondisi ini, pernikahan adalah jalan untuk menjaga kehormatan diri dan menunaikan kewajiban menjaga diri dari perbuatan haram. Kriteria: Ada kekhawatiran akan terjerumus dalam zina Memiliki kebutuhan untuk menikah Mampu menanggung biaya pernikahan dan memberikan nafkah   e. Hukum Haram untuk Menikah Pernikahan dianggap haram jika seseorang sadar bahwa ia tidak mampu menunaikan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak istri atau suami, baik dari segi nafkah maupun hal-hal lainnya yang menjadi kewajiban dalam pernikahan. Dalam situasi ini, menikah justru akan menjadi perbuatan yang tidak adil bagi pasangan dan melanggar prinsip tanggung jawab dalam pernikahan. Kriteria: Tidak mampu menunaikan tanggung jawab terhadap pasangan Tidak dapat memenuhi hak-hak suami atau istri secara fisik maupun finansial   Kesimpulan Pernikahan memiliki hukum yang beragam tergantung kondisi individu, mulai dari sunnah, makruh, hingga wajib. Menikah bertujuan menjaga kesucian diri, memenuhi kebutuhan fitrah manusia, dan melaksanakan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam Islam, kesiapan finansial dan kemampuan menjalankan tanggung jawab menjadi syarat utama dalam menikah.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.   Baca juga: Hukum Menikah   –   Direvisi pada 17 Jumadal Ula 1446 H, 19 November 2024, Playen Gunungkidul Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsakad nikah hukum nikah keutamaan menikah matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab nikah nikah

Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.

Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.
Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.


Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatibKeutamaan salat sunah rawatib ZuhurPerlindungan dari api nerakaMendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib ZuhurWaktu pelaksanaanApakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur?Jika terlewat empat rakaat sebelum ZuhurJika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur merupakan salah satu amalan yang memiliki keutamaan besar dalam Islam. Sebagai amalan tambahan yang mengiringi salat fardu, salat ini menjadi sarana untuk menyempurnakan kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan salat wajib. Tidak hanya sekadar tambahan, salat sunah rawatib Zuhur juga memiliki keutamaan-keutamaan lainnya. Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan, tata cara, dan ketentuan salat sunah rawatib Zuhur, serta bagaimana mengatasinya jika seseorang terlewat melaksanakan salat qabliyah atau ba’diyah Zuhur.  Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Di antara hikmah salat rawatib Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib (rawatib qabliyah) dan setelahnya (rawatib ba’diyah). Beliau rahimahullah berkata, “Adapun mendahulukan salat sunah sebelum salat wajib, hal ini karena jiwa yang disibukkan dengan urusan dunia biasanya jauh dari keadaan khusyuk dan hadirnya hati, yang merupakan inti dari ibadah. Maka, jika salat sunah dilakukan sebelum salat wajib, jiwa akan menjadi akrab dengan ibadah dan cenderung lebih dekat pada keadaan khusyuk. Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Zuhur Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib Zuhur memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Perlindungan dari api neraka Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, من حافظ على أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها، حرمه الله على النار ‘Barangsiapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah akan mengharamkannya dari api neraka.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Disahihkan oleh Al-Albani) Mendapatkan rumah di surga Hadis lain dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ ، و ركعتَين بعدَها ، و ركعتَين بعد المغربِ ، و ركعتَين بعد العشاءِ ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.‘ ” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) Tata cara salat sunah rawatib Zuhur Salat sunah rawatib Zuhur dapat dilakukan dengan beberapa cara: Pertama: Empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: Dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Cara mana pun yang dipilih seorang muslim dengan niat untuk melaksanakan salat rawatib Zuhur, maka hal itu dianggap cukup dan ia telah menunaikan sunah ini. Berikut adalah dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya cara-cara tersebut: Pertama: HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160 (disahihkan oleh Al-Albani), sebagaimana telah disebutkan di atas. Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan empat rakaat setelahnya. Kedua: Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Hadis ini menunjukkan dianjurkannya melaksanakan dua rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Ketiga: HR. Tirmidzi no. 415 di pembahasan sebelumnya (disahihkan oleh Al-Albani), menunjukkan dianjurkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. Keempat: Demikian juga, hadis dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang salat sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menjawab, كان يصلي في بيتي قبل الظهر أربعاً، ثم يخرج فيصلي بالناس، ثم يدخل فيصلي ركعتين، … “Beliau melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur di rumahku, kemudian keluar untuk melaksanakan salat bersama orang-orang, lalu masuk kembali dan melaksanakan dua rakaat. … ” (HR. Muslim no. 730) Hadis ini menunjukkan disyariatkannya melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat setelahnya. [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Waktu pelaksanaan Salat sunah yang dilakukan sebelum salat fardu (rawatib qabliyah), waktunya dimulai sejak masuknya waktu salat fardu hingga ikamah dikumandangkan apabila dilaksanakan berjemaah. Sebab, ketika ikamah telah dikumandangkan, maka tidak ada lagi salat selain salat fardu, karena salat fardu selalu didahulukan atas salat sunah jika terjadi benturan waktu. Kecuali, jika seseorang yakin bahwa ia bisa menyelesaikan salat sunah dan tetap dapat mengikuti salat berjemaah bersama imam, maka tidak mengapa ia melaksanakan salat sunah tersebut. Jika seseorang melaksanakan salat secara sendiri (tidak berjemaah), maka waktu salat sunah terus berlanjut hingga ia memulai salat fardu. Lebih utama bagi seseorang ketika ikamah dikumandangkan untuk langsung bergabung dalam salat fardu bersama imam, dan ia dapat melaksanakan salat sunah setelah selesai salat fardu. Hal ini berlaku pada semua salat sunah sebelum fajar dan sebelum Zuhur. Adapun sunah (rawatib) ba’diyah (seperti sunah ba’diyah Zuhur, Magrib, dan Isya), waktu pelaksanaannya dimulai setelah selesainya salat fardu hingga habisnya waktu salat tersebut dan masuknya waktu salat berikutnya. Jika waktu salat fardu telah habis dan salat sunah ba’diyah belum dikerjakan, maka sunah ba’diyah tersebut dianggap terlewat (qada). [3] Apakah boleh menunda salat sunah qabliyah dari salat Zuhur? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini: Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu salat sunah berakhir ketika ikamah salat fardu dikumandangkan, jika salat dilaksanakan secara berjemaah. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Kedua: Ulama lain memperbolehkan menunda pelaksanaan salat sunah qabliyah dari salat Zuhur, bahkan tanpa alasan khusus, karena waktu salat sunah berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu salat fardu Zuhur. Namun, lebih utama untuk melaksanakan salat sunah sebelum salat Zuhur. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan, (‌وَلَا ‌تُقَدَّمُ ‌الرَّوَاتِبُ ‌اللَّاحِقَةُ) ‌لِلْفَرَائِضِ ‌عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا إنَّمَا يَدْخُلُ بِفِعْلِهَا (وَتُؤَخَّرُ) عَنْهَا (السَّابِقَةُ) عَلَيْهَا (جَوَازًا لَا اخْتِيَارًا) لِامْتِدَادِ وَقْتِهَا بِامْتِدَادِ وَقْتِ الْفَرَائِضِ، وَقَدْ يَخْتَارُ تَأْخِيرَهَا كَمَنْ حَضَرَ، وَالصَّلَاةُ تُقَامُ. “Salat rawatib yang datang setelah salat fardu tidak boleh didahulukan, karena waktunya baru masuk setelah fardu dilaksanakan. Namun, diperbolehkan menunda rawatib yang dilakukan sebelumnya (rawatib qabliyah), bukan sebagai pilihan utama, tetapi diperbolehkan; karena waktunya terus berlanjut seiring waktu fardu. Bisa juga seseorang memilih untuk menundanya jika sudah hadir saat ikamah dikumandangkan.” [4] Jika terlewat empat rakaat sebelum Zuhur Secara khusus, praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelah salat Zuhur. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, إن النبي كان إذا لم يصل أربعاً قبل الظهر؛ صلاهن بعدها “Sesungguhnya Nabi, apabila tidak melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, beliau mengerjakannya setelahnya.” (HR. Tirmidzi no. 426 dan Ibnu Majah no. 1158. Syekh Muhammad Umar Bazmul menyatakan hadis ini hasan) Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang terlewat melaksanakan empat rakaat sebelum Zuhur, maka ia dapat mengerjakannya setelah salat fardu Zuhur. [5] Jika terlewat dua rakaat setelah Zuhur Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zuhur, maka beliau mengganti keduanya setelah salat Asar. Diriwayatkan dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim). [6] Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Sebelum Asar *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilawal 1446 H. Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shafwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 31-32, dengan perubahan. [3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [4] Asna Al-Mathalib fi Syarh Raud At-Thalib, 1: 202, lihat juga Fatawa Ar-Ramli, 1: 220. [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. [6] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33.

Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan?

Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Bolehkah Berdoa Meminta Harta dan Keturunan?

Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Apakah harta dan anak hanya fitnah?Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin MalikMenjadikan harta dan anak sebagai berkahMenggunakan harta di jalan AllahMendidik anak menjadi salehBerdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia AllahKomitmen seorang muslim Banyak orang beranggapan bahwa mengejar duniawi adalah kesalahan besar. Namun, apakah benar Islam melarang kita meminta harta dan keturunan? Jika dunia adalah fitnah, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru mendoakan keberkahan harta dan anak bagi sahabatnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang Engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480) Harta dan keturunan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan bisa menjadi nikmat yang diberkahi jika dipergunakan dengan baik. Di balik doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, terkandung hikmah penting bahwa harta dan keturunan adalah karunia Allah yang bisa membawa kebaikan. Apakah harta dan anak hanya fitnah? Memang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghabun: 15) Benar bahwa harta dan anak dapat menjadi ujian, tetapi ujian tidaklah identik dengan keburukan. Justru, ujian adalah kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan amanah tersebut dengan baik. Kunci utamanya adalah bagaimana kita memperlakukan harta dan anak dalam kehidupan kita. Harta yang berkah bisa menjadi jalan untuk menegakkan agama Allah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ حَسَدَ إِلاَّ في اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ القُرْآنَ ، فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاء اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً ، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan), kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberi Allah Al-Qur’an lalu ia mengamalkannya siang dan malam, dan seseorang yang diberi harta lalu ia menginfakkannya siang dan malam.” (HR. Bukhari no. 5025 dan Muslim no. 815) Dengan harta, kita bisa bersedekah, membangun masjid, menyantuni fakir miskin, dan berkontribusi dalam dakwah. Begitu pula, anak yang saleh bisa menjadi investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه “Apabila seseorang meninggal dunia, maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Memaknai doa Rasulullah untuk Anas bin Malik Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengajarkan kepada kita bahwa memiliki banyak harta dan keturunan bukanlah tujuan yang buruk selama disertai dengan keberkahan. Kata “berkah” dalam hadis ini bermakna bahwa apa yang kita miliki dapat mendatangkan manfaat, ketenangan, dan kebaikan yang berkesinambungan. Sebaliknya, harta yang melimpah tanpa berkah hanya akan membawa kehancuran. Seperti firman Allah Ta’ala, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka membuat hatimu kagum. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Harta dan anak bisa menjadi rahmat atau laknat, tergantung bagaimana kita memperlakukan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan Anas agar apa yang Allah karuniakan menjadi kebaikan, bukan keburukan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman kita, yaitu memohon keberkahan, bukan sekadar jumlah yang banyak. Baca juga: Bagaimana Sikap Seharusnya ketika Kita Diberi Harta? Menjadikan harta dan anak sebagai berkah Islam mengajarkan bahwa harta dan keturunan adalah amanah sekaligus ujian. Namun, bukan berarti kita harus menghindari keduanya. Justru, kita diajarkan untuk memanfaatkan segala nikmat Allah sebagai bekal menuju akhirat. Harta maupun anak dapat menjadi ladang pahala yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Menggunakan harta di jalan Allah Harta yang dibelanjakan untuk kebaikan, seperti sedekah, infak, atau pembangunan masjid, akan menjadi amalan jariyah yang terus mengalir pahalanya. Ketika harta digunakan untuk membantu orang lain dan mendukung dakwah, ia tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendatangkan keberkahan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kekayaan bukan lagi sekadar sarana kenikmatan pribadi, tetapi menjadi penopang ketaatan dan kontribusi sosial. Mendidik anak menjadi saleh Sebab, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan investasi akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahwa doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi orang tua, bahkan setelah mereka wafat. Karena itu, menanamkan akhlak yang baik dan ilmu agama sejak dini adalah kunci agar mereka tumbuh menjadi generasi yang bermanfaat dan selalu mendoakan orang tuanya. Berdoa meminta keberkahan dan mensyukuri karunia Allah Harta dan anak yang diberkahi tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat. Dengan bersyukur, Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Doa, usaha, dan syukur harus senantiasa berjalan beriringan agar setiap karunia Allah benar-benar menjadi keberkahan bagi kehidupan kita. Komitmen seorang muslim Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Anas bin Malik adalah bukti bahwa Islam tidak melarang kita meminta harta dan keturunan, selama kita berkomitmen untuk menjadikannya sarana kebaikan. Harta dan anak adalah amanah yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, jika diiringi dengan keberkahan dan ketaatan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk berdoa meminta rezeki dan keturunan kepada Allah, dengan syarat kita juga berdoa meminta keberkahan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita, ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479) Semoga Allah Ta’ala memperbanyak harta dan anak kita serta memberkahi setiap karunia yang diberikan. Amin. Wallahu A’lam. Baca juga: Doa dan Ikhtiar Nabi Zakaria dalam Memperoleh Keturunan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Hadis: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hadis: Hukum Hadiah dari Calon Suami kepada Calon Istri dan Walinya

Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks HadisKandungan HadisKandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks Hadis Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أيّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ عَلَى صَدَاقٍ، أَو حِبَاءٍ، أَو عِدَةٍ، قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ، فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكرِمَ الرَّجُلُ عَلَيهِ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu menjadi miliknya (milik si perempuan). Dan apa pun yang diberikan setelah akad nikah, maka itu menjadi milik orang yang menerimanya. Hal yang paling berhak dihormati oleh seorang laki-laki adalah putrinya atau saudarinya [1].” (HR. Ahmad, 11: 313; Abu Dawud no. 2129; An-Nasa’i, 6: 120; Ibnu Majah no. 1955, hadis ini hasan) Kandungan Hadis Kandungan pertama Hadis ini menjadi dalil bahwa seorang wanita berhak mendapatkan apa yang disebutkan sebelum akad nikah, baik itu berupa mahar, hadiah (yang merupakan pemberian di luar mahar), atau janji, meskipun disebutkan atas nama kerabatnya yang lain. Hal ini karena pemberian tersebut hanya diberikan demi pernikahan dengan wanita tersebut yang akan datang. Adapun apa yang diberikan setelah akad nikah dan pernikahan selesai kepada selain istri, seperti diberikan kepada ayah atau saudaranya, maka hal itu menjadi milik orang yang menerimanya. Karena pemberian itu adalah hadiah, sedangkan akad nikah telah selesai, sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan sesuatu. Menghormati kerabat suami adalah perkara yang telah diketahui (ma’ruf) dan juga dianjurkan. Ini adalah pendapat Imam Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Ats-Tsauri. Mereka berdalil dengan hadis ini, dan juga memiliki alasan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa Imam Malik membedakan antara dua keadaan. Imam Malik meragukan kejujuran wali si perempuan jika syarat dalam akad nikah adalah sesuatu yang dia syaratkan untuk dirinya sendiri, sehingga menyebabkan pengurangan mahar bagi si perempuan. Namun, Imam Malik tidak meragukan kejujuran wali si perempuan jika hal tersebut terjadi setelah akad nikah selesai dan kesepakatan mengenai mahar telah tercapai, karena kekhawatiran (kecurigaan) tersebut tentu telah hilang. [2] Pendapat kedua menyatakan bahwa syarat itu tetap berlaku, baik disebutkan untuk (atas nama) ayah atau saudara, dan mahar tetap sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, yang mungkin berpegang pada dalil umum yang menunjukkan bahwa kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Pendapat ketiga menyatakan bahwa mahar tersebut batal, dan perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar standar (mahar mitsl), tanpa perbedaan apakah syarat pemberian itu untuk ayah atau orang lain. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, karena syarat yang batal tersebut dapat menyebabkan pengurangan mahar yang seharusnya menjadi hak si perempuan. Pendapat keempat menyatakan bahwa jika syarat itu ditetapkan oleh ayah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika yang menetapkannya adalah selain ayah, seperti saudara laki-laki atau paman, maka syarat itu batal, dan semua mahar yang telah disebutkan menjadi milik perempuan tersebut. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi’i [3]. Hal ini didasarkan pada dalil umum bahwa seseorang dan hartanya adalah milik ayahnya. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat berpegang pada makna dzahir hadis di atas. Akan tetapi, ayah dapat dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan bahwa ayah memiliki hak atas harta anaknya. Dengan demikian, dalil-dalil umum ini tidak menghalangi penerapan makna dzahir dari hadis di atas, sehingga terdapat kompromi antara berbagai dalil yang ada. Makna dzahir dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Perempuan mana saja yang menikah dengan mahar, hadiah, atau janji sebelum akad nikah, maka itu miliknya …”, bahwa konteks hadis ini adalah ketika seorang perempuan menikah dan disyaratkan dalam maharnya adanya pemberian yang ditujukan untuk ayah atau wali lainnya. [4] Kandungan kedua Disyariatkannya menjalin hubungan yang baik dengan kerabat istri, menghormati mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan dan diajarkan oleh Islam. Namun, jika mereka (wali dari si perempuan) menolak untuk menikahkan si perempuan kecuali dengan syarat-syarat tersebut, maka hal itu diharamkan bagi mereka. Kandungan ketiga Jika seorang suami memberikan hadiah kepada (calon) istrinya sebelum melakukan akad nikah dan kemudian terjadi pembatalan pernikahan, maka jika pembatalan tersebut berasal dari pihak pemberi (suami), dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah-hadiah tersebut. Hal ini agar tidak menambah beban kepada penerima hadiah (yaitu calon istri dan keluarganya) dengan rasa sakit akibat pembatalan pernikahan serta rasa sakit akibat pengembalian hadiah. Namun, jika pembatalan pernikahan berasal dari pihak penerima (istri) dan walinya, maka hadiah tersebut harus dikembalikan dalam bentuknya jika masih ada, atau nilai (harga) hadiah tersebut jika telah hilang atau habis digunakan. Hal ini karena tidak adil jika pemberi harus menanggung beban pembatalan ditambah dengan kerugian finansial, mengingat alasan pemberian hadiah tersebut (yaitu akad nikah) tidak lagi ada (karena dibatalkan oleh calon istri atau walinya). Rincian semacam ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, dan ini adalah pilihan Ibnu Taimiyah serta beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki. Wallahu Ta’ala a’lam. [5] Baca juga: Hak Mendapatkan Mahar dan Kewajiban Istri yang Ditinggal Mati Suami *** @Fall, 14 Rabiul akhir 1446/ 17 Oktober 2024 Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya, Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Maksudnya, hal yang paling berhak diberikan kepada seorang laki-laki adalah sesuatu yang diberikan kepadanya karena dia adalah ayah dari istri atau saudara dari istrinya. [2] Bidayatul Mujtahid, 3: 52. [3] Al-Mughni, 10: 120. [4] Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 216. [5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 380-383). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Fikih Salat Sunah setelah Wudu

Daftar Isi Toggle Keutamaan salat dua rakaat setelah wuduPengampunan dosa yang telah laluDijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk)Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surgaTata cara pelaksanaannyaSegera setelah selesai berwuduKhusyuk dalam salatMelaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkanKesimpulan Salat merupakan ibadah yang sangat utama dalam Islam, dan salat sunah memiliki kedudukan istimewa di antara amalan-amalan tambahan (nawafil) lainnya. Salat sunah dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala dan mendatangkan berbagai keutamaan berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah, hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di antara salat-salat sunah adalah salat sunah wudu. Dianjurkan untuk melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu sebagaimana yang dinyatakan oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Pendapat ini juga dipegang oleh Qadhi Iyadh dari mazhab Maliki, serta oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [1] Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan-keutamaan salat sunah setelah wudu beserta tata caranya berdasarkan dalil-dalil yang sahih dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga pembahasan ini bermanfaat dalam meningkatkan kecintaan kita terhadap amalan sunah dan mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala. Keutamaan salat dua rakaat setelah wudu Sebagai bagian dari salat sunah, salat ini memiliki keutamaan sebagaimana salat-salat sunah lainnya, seperti ketinggian derajat dan penghapusan dosa. Secara khusus, salat ini memiliki keutamaan-keutamaan tersendiri, di antaranya: Pengampunan dosa yang telah lalu Dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, terkait dengan tata cara wudu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن توضَّأ نحوَ وُضوئِي هذا، ثم قام فرَكَع رَكعتينِ لا يُحدِّثُ فيهما نفْسَه، غُفِرَ له ما تَقدَّم من ذنبِه “Barangsiapa yang berwudu seperti wuduku ini, lalu melaksanakan salat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya sendiri (khusyuk), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226) Dijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk) Dari ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من أحدٍ يتوضَّأُ فيُحسنُ الوضوءَ، ويُصلِّي رَكعتينِ، يُقبِلُ بقلبِه ووجهِه عليهما، إلَّا وجبتْ له الجَنَّةُ “Tidaklah seorang yang berwudu dan menyempurnakan wudunya, lalu salat dua rakaat dengan menghadapkan hati dan wajahnya, melainkan wajib baginya surga.” (HR. Muslim no. 234) Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surga Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal pada waktu salat Subuh, يا بلالُ، حدِّثْني بأرْجَى عملٍ عَمِلتَه في الإسلامِ؛ فإنِّي سمِعتُ دَفَّ نَعْلَيك بين يَديَّ في الجَنَّة؟ “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam, karena aku mendengar suara langkah-langkah sandalmu di hadapanku di surga.” Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ما عملتُ عملًا أرْجَى عندي: أَنِّي لم أتطهَّرْ طُهورًا، في ساعةِ ليلٍ أو نَهار، إلَّا صليتُ بذلك الطُّهورِ ما كُتِبَ لي أنْ أُصلِّي “Amalan yang paling aku harapkan adalah bahwa aku tidak berwudu, baik di waktu malam atau siang, kecuali aku melaksanakan salat dengan wudu tersebut sebanyak yang ditetapkan bagiku untuk melakukannya.” (HR. Bukhari no. 1149 dan Muslim no. 2458) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Tata cara pelaksanaannya Segera setelah selesai berwudu Waktu terbaik untuk melaksanakan salat ini adalah segera setelah selesai berwudu, sehingga tidak ada jeda panjang antara wudu dan salat, karena salat ini berkaitan dengan wudu. Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengutip perkataan Ibnu Al-Jauzi, فيه الحث على الصلاة عقب الوضوء لئلا يبقى الوضوء خاليًا عن مقصوده “Di dalamnya terdapat anjuran untuk melaksanakan salat segera setelah wudu, agar wudu tidak terlewatkan dari tujuan utamanya.” [3] Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu pelaksanaan salat ini. Sebagian mengatakan bahwa salat ini terlewat jika seseorang mengabaikannya, sebagian lainnya menyebutkan bahwa salat ini terlewat jika jedanya terlalu lama, dan ada juga yang berpendapat bahwa salat ini hanya terlewat jika terjadi hadas. [4] Khusyuk dalam salat Ketika melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu, hendaknya memperhatikan bahwa keutamaan salat ini disyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يقبل عليهما بقلبه ووجهه “Ia menghadap dengan hati dan wajahnya,” serta sabda beliau, لا يحدث فيهما نفسه “Tidak membicarakan hal-hal lain di dalamnya.” Terdapat pula riwayat yang menyatakan, لا تغتروا “janganlah kalian tertipu.” [5] Melaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkan Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa orang yang berwudu disunahkan untuk melaksanakan salat sunah wudu di luar waktu-waktu yang dimakruhkan untuk salat. Waktu-waktu yang dimakruhkan ini adalah lima waktu yang dilarang untuk melaksanakan salat. Hal ini karena meninggalkan yang makruh lebih utama daripada melakukan amalan sunah. [6] Kesimpulan Disunahkan untuk melaksanakan salat dua rakaat setelah wudu dengan niat sebagai salat sunah wudu dan dilakukan dengan khusyuk, sebagaimana terdapat anjuran dan dorongan dalam syariat. Sebaiknya, salat ini dilaksanakan segera setelah wudu agar tidak ada jeda yang panjang, dan dilakukan di luar waktu-waktu yang dilarang untuk salat, demi menghindari perbedaan pendapat. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, th. 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, th. 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1274 [2] Ibid [3] Fathul Bari, 3: 34. [4] Lihat: https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/18428/حكم صلاة-ركعتين-سنة-الوضوء-بعده [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Shalat At-Tatawwu’, hal. 89. [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 43: 379.

Fikih Salat Sunah setelah Wudu

Daftar Isi Toggle Keutamaan salat dua rakaat setelah wuduPengampunan dosa yang telah laluDijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk)Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surgaTata cara pelaksanaannyaSegera setelah selesai berwuduKhusyuk dalam salatMelaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkanKesimpulan Salat merupakan ibadah yang sangat utama dalam Islam, dan salat sunah memiliki kedudukan istimewa di antara amalan-amalan tambahan (nawafil) lainnya. Salat sunah dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala dan mendatangkan berbagai keutamaan berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah, hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di antara salat-salat sunah adalah salat sunah wudu. Dianjurkan untuk melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu sebagaimana yang dinyatakan oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Pendapat ini juga dipegang oleh Qadhi Iyadh dari mazhab Maliki, serta oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [1] Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan-keutamaan salat sunah setelah wudu beserta tata caranya berdasarkan dalil-dalil yang sahih dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga pembahasan ini bermanfaat dalam meningkatkan kecintaan kita terhadap amalan sunah dan mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala. Keutamaan salat dua rakaat setelah wudu Sebagai bagian dari salat sunah, salat ini memiliki keutamaan sebagaimana salat-salat sunah lainnya, seperti ketinggian derajat dan penghapusan dosa. Secara khusus, salat ini memiliki keutamaan-keutamaan tersendiri, di antaranya: Pengampunan dosa yang telah lalu Dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, terkait dengan tata cara wudu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن توضَّأ نحوَ وُضوئِي هذا، ثم قام فرَكَع رَكعتينِ لا يُحدِّثُ فيهما نفْسَه، غُفِرَ له ما تَقدَّم من ذنبِه “Barangsiapa yang berwudu seperti wuduku ini, lalu melaksanakan salat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya sendiri (khusyuk), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226) Dijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk) Dari ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من أحدٍ يتوضَّأُ فيُحسنُ الوضوءَ، ويُصلِّي رَكعتينِ، يُقبِلُ بقلبِه ووجهِه عليهما، إلَّا وجبتْ له الجَنَّةُ “Tidaklah seorang yang berwudu dan menyempurnakan wudunya, lalu salat dua rakaat dengan menghadapkan hati dan wajahnya, melainkan wajib baginya surga.” (HR. Muslim no. 234) Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surga Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal pada waktu salat Subuh, يا بلالُ، حدِّثْني بأرْجَى عملٍ عَمِلتَه في الإسلامِ؛ فإنِّي سمِعتُ دَفَّ نَعْلَيك بين يَديَّ في الجَنَّة؟ “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam, karena aku mendengar suara langkah-langkah sandalmu di hadapanku di surga.” Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ما عملتُ عملًا أرْجَى عندي: أَنِّي لم أتطهَّرْ طُهورًا، في ساعةِ ليلٍ أو نَهار، إلَّا صليتُ بذلك الطُّهورِ ما كُتِبَ لي أنْ أُصلِّي “Amalan yang paling aku harapkan adalah bahwa aku tidak berwudu, baik di waktu malam atau siang, kecuali aku melaksanakan salat dengan wudu tersebut sebanyak yang ditetapkan bagiku untuk melakukannya.” (HR. Bukhari no. 1149 dan Muslim no. 2458) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Tata cara pelaksanaannya Segera setelah selesai berwudu Waktu terbaik untuk melaksanakan salat ini adalah segera setelah selesai berwudu, sehingga tidak ada jeda panjang antara wudu dan salat, karena salat ini berkaitan dengan wudu. Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengutip perkataan Ibnu Al-Jauzi, فيه الحث على الصلاة عقب الوضوء لئلا يبقى الوضوء خاليًا عن مقصوده “Di dalamnya terdapat anjuran untuk melaksanakan salat segera setelah wudu, agar wudu tidak terlewatkan dari tujuan utamanya.” [3] Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu pelaksanaan salat ini. Sebagian mengatakan bahwa salat ini terlewat jika seseorang mengabaikannya, sebagian lainnya menyebutkan bahwa salat ini terlewat jika jedanya terlalu lama, dan ada juga yang berpendapat bahwa salat ini hanya terlewat jika terjadi hadas. [4] Khusyuk dalam salat Ketika melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu, hendaknya memperhatikan bahwa keutamaan salat ini disyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يقبل عليهما بقلبه ووجهه “Ia menghadap dengan hati dan wajahnya,” serta sabda beliau, لا يحدث فيهما نفسه “Tidak membicarakan hal-hal lain di dalamnya.” Terdapat pula riwayat yang menyatakan, لا تغتروا “janganlah kalian tertipu.” [5] Melaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkan Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa orang yang berwudu disunahkan untuk melaksanakan salat sunah wudu di luar waktu-waktu yang dimakruhkan untuk salat. Waktu-waktu yang dimakruhkan ini adalah lima waktu yang dilarang untuk melaksanakan salat. Hal ini karena meninggalkan yang makruh lebih utama daripada melakukan amalan sunah. [6] Kesimpulan Disunahkan untuk melaksanakan salat dua rakaat setelah wudu dengan niat sebagai salat sunah wudu dan dilakukan dengan khusyuk, sebagaimana terdapat anjuran dan dorongan dalam syariat. Sebaiknya, salat ini dilaksanakan segera setelah wudu agar tidak ada jeda yang panjang, dan dilakukan di luar waktu-waktu yang dilarang untuk salat, demi menghindari perbedaan pendapat. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, th. 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, th. 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1274 [2] Ibid [3] Fathul Bari, 3: 34. [4] Lihat: https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/18428/حكم صلاة-ركعتين-سنة-الوضوء-بعده [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Shalat At-Tatawwu’, hal. 89. [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 43: 379.
Daftar Isi Toggle Keutamaan salat dua rakaat setelah wuduPengampunan dosa yang telah laluDijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk)Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surgaTata cara pelaksanaannyaSegera setelah selesai berwuduKhusyuk dalam salatMelaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkanKesimpulan Salat merupakan ibadah yang sangat utama dalam Islam, dan salat sunah memiliki kedudukan istimewa di antara amalan-amalan tambahan (nawafil) lainnya. Salat sunah dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala dan mendatangkan berbagai keutamaan berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah, hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di antara salat-salat sunah adalah salat sunah wudu. Dianjurkan untuk melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu sebagaimana yang dinyatakan oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Pendapat ini juga dipegang oleh Qadhi Iyadh dari mazhab Maliki, serta oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [1] Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan-keutamaan salat sunah setelah wudu beserta tata caranya berdasarkan dalil-dalil yang sahih dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga pembahasan ini bermanfaat dalam meningkatkan kecintaan kita terhadap amalan sunah dan mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala. Keutamaan salat dua rakaat setelah wudu Sebagai bagian dari salat sunah, salat ini memiliki keutamaan sebagaimana salat-salat sunah lainnya, seperti ketinggian derajat dan penghapusan dosa. Secara khusus, salat ini memiliki keutamaan-keutamaan tersendiri, di antaranya: Pengampunan dosa yang telah lalu Dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, terkait dengan tata cara wudu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن توضَّأ نحوَ وُضوئِي هذا، ثم قام فرَكَع رَكعتينِ لا يُحدِّثُ فيهما نفْسَه، غُفِرَ له ما تَقدَّم من ذنبِه “Barangsiapa yang berwudu seperti wuduku ini, lalu melaksanakan salat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya sendiri (khusyuk), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226) Dijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk) Dari ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من أحدٍ يتوضَّأُ فيُحسنُ الوضوءَ، ويُصلِّي رَكعتينِ، يُقبِلُ بقلبِه ووجهِه عليهما، إلَّا وجبتْ له الجَنَّةُ “Tidaklah seorang yang berwudu dan menyempurnakan wudunya, lalu salat dua rakaat dengan menghadapkan hati dan wajahnya, melainkan wajib baginya surga.” (HR. Muslim no. 234) Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surga Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal pada waktu salat Subuh, يا بلالُ، حدِّثْني بأرْجَى عملٍ عَمِلتَه في الإسلامِ؛ فإنِّي سمِعتُ دَفَّ نَعْلَيك بين يَديَّ في الجَنَّة؟ “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam, karena aku mendengar suara langkah-langkah sandalmu di hadapanku di surga.” Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ما عملتُ عملًا أرْجَى عندي: أَنِّي لم أتطهَّرْ طُهورًا، في ساعةِ ليلٍ أو نَهار، إلَّا صليتُ بذلك الطُّهورِ ما كُتِبَ لي أنْ أُصلِّي “Amalan yang paling aku harapkan adalah bahwa aku tidak berwudu, baik di waktu malam atau siang, kecuali aku melaksanakan salat dengan wudu tersebut sebanyak yang ditetapkan bagiku untuk melakukannya.” (HR. Bukhari no. 1149 dan Muslim no. 2458) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Tata cara pelaksanaannya Segera setelah selesai berwudu Waktu terbaik untuk melaksanakan salat ini adalah segera setelah selesai berwudu, sehingga tidak ada jeda panjang antara wudu dan salat, karena salat ini berkaitan dengan wudu. Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengutip perkataan Ibnu Al-Jauzi, فيه الحث على الصلاة عقب الوضوء لئلا يبقى الوضوء خاليًا عن مقصوده “Di dalamnya terdapat anjuran untuk melaksanakan salat segera setelah wudu, agar wudu tidak terlewatkan dari tujuan utamanya.” [3] Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu pelaksanaan salat ini. Sebagian mengatakan bahwa salat ini terlewat jika seseorang mengabaikannya, sebagian lainnya menyebutkan bahwa salat ini terlewat jika jedanya terlalu lama, dan ada juga yang berpendapat bahwa salat ini hanya terlewat jika terjadi hadas. [4] Khusyuk dalam salat Ketika melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu, hendaknya memperhatikan bahwa keutamaan salat ini disyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يقبل عليهما بقلبه ووجهه “Ia menghadap dengan hati dan wajahnya,” serta sabda beliau, لا يحدث فيهما نفسه “Tidak membicarakan hal-hal lain di dalamnya.” Terdapat pula riwayat yang menyatakan, لا تغتروا “janganlah kalian tertipu.” [5] Melaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkan Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa orang yang berwudu disunahkan untuk melaksanakan salat sunah wudu di luar waktu-waktu yang dimakruhkan untuk salat. Waktu-waktu yang dimakruhkan ini adalah lima waktu yang dilarang untuk melaksanakan salat. Hal ini karena meninggalkan yang makruh lebih utama daripada melakukan amalan sunah. [6] Kesimpulan Disunahkan untuk melaksanakan salat dua rakaat setelah wudu dengan niat sebagai salat sunah wudu dan dilakukan dengan khusyuk, sebagaimana terdapat anjuran dan dorongan dalam syariat. Sebaiknya, salat ini dilaksanakan segera setelah wudu agar tidak ada jeda yang panjang, dan dilakukan di luar waktu-waktu yang dilarang untuk salat, demi menghindari perbedaan pendapat. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, th. 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, th. 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1274 [2] Ibid [3] Fathul Bari, 3: 34. [4] Lihat: https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/18428/حكم صلاة-ركعتين-سنة-الوضوء-بعده [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Shalat At-Tatawwu’, hal. 89. [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 43: 379.


Daftar Isi Toggle Keutamaan salat dua rakaat setelah wuduPengampunan dosa yang telah laluDijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk)Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surgaTata cara pelaksanaannyaSegera setelah selesai berwuduKhusyuk dalam salatMelaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkanKesimpulan Salat merupakan ibadah yang sangat utama dalam Islam, dan salat sunah memiliki kedudukan istimewa di antara amalan-amalan tambahan (nawafil) lainnya. Salat sunah dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala dan mendatangkan berbagai keutamaan berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadis qudsi, وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah, hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di antara salat-salat sunah adalah salat sunah wudu. Dianjurkan untuk melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu sebagaimana yang dinyatakan oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Pendapat ini juga dipegang oleh Qadhi Iyadh dari mazhab Maliki, serta oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [1] Dalam artikel ini, kita akan mengulas keutamaan-keutamaan salat sunah setelah wudu beserta tata caranya berdasarkan dalil-dalil yang sahih dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga pembahasan ini bermanfaat dalam meningkatkan kecintaan kita terhadap amalan sunah dan mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala. Keutamaan salat dua rakaat setelah wudu Sebagai bagian dari salat sunah, salat ini memiliki keutamaan sebagaimana salat-salat sunah lainnya, seperti ketinggian derajat dan penghapusan dosa. Secara khusus, salat ini memiliki keutamaan-keutamaan tersendiri, di antaranya: Pengampunan dosa yang telah lalu Dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, terkait dengan tata cara wudu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَن توضَّأ نحوَ وُضوئِي هذا، ثم قام فرَكَع رَكعتينِ لا يُحدِّثُ فيهما نفْسَه، غُفِرَ له ما تَقدَّم من ذنبِه “Barangsiapa yang berwudu seperti wuduku ini, lalu melaksanakan salat dua rakaat tanpa berbicara kepada dirinya sendiri (khusyuk), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226) Dijanjikan masuk surga (bagi yang khusyuk) Dari ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من أحدٍ يتوضَّأُ فيُحسنُ الوضوءَ، ويُصلِّي رَكعتينِ، يُقبِلُ بقلبِه ووجهِه عليهما، إلَّا وجبتْ له الجَنَّةُ “Tidaklah seorang yang berwudu dan menyempurnakan wudunya, lalu salat dua rakaat dengan menghadapkan hati dan wajahnya, melainkan wajib baginya surga.” (HR. Muslim no. 234) Mengantarkan ke surga hingga Nabi mendengar suara langkahnya di surga Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal pada waktu salat Subuh, يا بلالُ، حدِّثْني بأرْجَى عملٍ عَمِلتَه في الإسلامِ؛ فإنِّي سمِعتُ دَفَّ نَعْلَيك بين يَديَّ في الجَنَّة؟ “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam, karena aku mendengar suara langkah-langkah sandalmu di hadapanku di surga.” Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ما عملتُ عملًا أرْجَى عندي: أَنِّي لم أتطهَّرْ طُهورًا، في ساعةِ ليلٍ أو نَهار، إلَّا صليتُ بذلك الطُّهورِ ما كُتِبَ لي أنْ أُصلِّي “Amalan yang paling aku harapkan adalah bahwa aku tidak berwudu, baik di waktu malam atau siang, kecuali aku melaksanakan salat dengan wudu tersebut sebanyak yang ditetapkan bagiku untuk melakukannya.” (HR. Bukhari no. 1149 dan Muslim no. 2458) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Qabliyah Jumat Tata cara pelaksanaannya Segera setelah selesai berwudu Waktu terbaik untuk melaksanakan salat ini adalah segera setelah selesai berwudu, sehingga tidak ada jeda panjang antara wudu dan salat, karena salat ini berkaitan dengan wudu. Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengutip perkataan Ibnu Al-Jauzi, فيه الحث على الصلاة عقب الوضوء لئلا يبقى الوضوء خاليًا عن مقصوده “Di dalamnya terdapat anjuran untuk melaksanakan salat segera setelah wudu, agar wudu tidak terlewatkan dari tujuan utamanya.” [3] Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu pelaksanaan salat ini. Sebagian mengatakan bahwa salat ini terlewat jika seseorang mengabaikannya, sebagian lainnya menyebutkan bahwa salat ini terlewat jika jedanya terlalu lama, dan ada juga yang berpendapat bahwa salat ini hanya terlewat jika terjadi hadas. [4] Khusyuk dalam salat Ketika melaksanakan dua rakaat salat setelah wudu, hendaknya memperhatikan bahwa keutamaan salat ini disyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, يقبل عليهما بقلبه ووجهه “Ia menghadap dengan hati dan wajahnya,” serta sabda beliau, لا يحدث فيهما نفسه “Tidak membicarakan hal-hal lain di dalamnya.” Terdapat pula riwayat yang menyatakan, لا تغتروا “janganlah kalian tertipu.” [5] Melaksanakannya di luar waktu yang dimakruhkan Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa orang yang berwudu disunahkan untuk melaksanakan salat sunah wudu di luar waktu-waktu yang dimakruhkan untuk salat. Waktu-waktu yang dimakruhkan ini adalah lima waktu yang dilarang untuk melaksanakan salat. Hal ini karena meninggalkan yang makruh lebih utama daripada melakukan amalan sunah. [6] Kesimpulan Disunahkan untuk melaksanakan salat dua rakaat setelah wudu dengan niat sebagai salat sunah wudu dan dilakukan dengan khusyuk, sebagaimana terdapat anjuran dan dorongan dalam syariat. Sebaiknya, salat ini dilaksanakan segera setelah wudu agar tidak ada jeda yang panjang, dan dilakukan di luar waktu-waktu yang dilarang untuk salat, demi menghindari perbedaan pendapat. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Mutlak *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilawal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, th. 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, th. 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Lihat: https://dorar.net/feqhia/1274 [2] Ibid [3] Fathul Bari, 3: 34. [4] Lihat: https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/18428/حكم صلاة-ركعتين-سنة-الوضوء-بعده [5] Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Shalat At-Tatawwu’, hal. 89. [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 43: 379.

Inilah 2 Orang: Satu Paling Dibenci & Satunya Paling Dicintai Allah – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Laki-laki yang paling dibenci Allah adalah al-Aladd al-Khoshim.” Makna al-Aladd adalah orang yang sangat keras dalam bermusuhan dan sering berdebat. Sedangkan makna al-Khoshim adalah orang yang selalu berselisih dan sering terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain. Sifat ini dapat kita temui pada beberapa orang. Ada beberapa orang yang punya sikap keras dalam bermusuhan dan suka sekali bertengkar. Dia banyak sekali berselisih dengan orang lain. Dia punya banyak masalah dan perselisihan dengan orang lain. Dan juga, ketika dia sedang berselisih dengan seseorang, dia sangat keras dalam perselisihan. Dia sangat suka berdebat, keras kepala, dan sangat keras dalam berselisih. Serta banyak punya masalah dan banyak berseteru. Orang dengan sifat seperti ini adalah orang yang paling dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, dalam hadits yang shahih ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Laki-laki yang paling dibenci…” Ini dalam konteks mayoritasnya, karena ini juga mencakup kaum wanita. “al-Aladd al-Khoshim” adalah orang yang banyak dan sangat keras dalam berselisih. Lalu di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, ketika beliau ditanya, “Siapa manusia yang paling baik?” Beliau menjawab, “Orang yang jujur lisannya dan jernih hatinya.” Para sahabat menanggapi, “Wahai Rasulullah, kami paham maksud orang yang jujur lisannya, tapi apa maksud orang yang jernih hatinya?” Beliau menjawab, “Dia adalah orang yang bertakwa dan bersih hatinya tidak menyimpan dosa, tidak ada kezaliman, tidak ada dendam, dan tidak ada kedengkian (dalam hatinya).” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Inilah makna orang yang jernih hatinya, yakni yang bertakwa dan bersih hatinya. Yang tidak menyimpan dosa dan kezaliman. Tidak bersikap zalim terhadap orang lain. Tidak punya kebencian dan hasad, hatinya bersih. Jauh dari dendam dan hasad. Dia menyukai untuk saudara-saudara muslimnya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Dia membenci untuk mereka apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Inilah orang yang paling baik. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ وَمَعْنَى الْأَلَدِّ أَيْ شَدِيدُ الْخُصُومَةِ كَثِيرُ الْجَدَلِ وَالْخَصِمُ دَائِمُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ خُصُومَةٍ وَهَذَا نَجِدُهُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ تَجِدُ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ شِدَّةُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ الْخُصُومَاتِ كَثِيرُ الْخُصُومَاتِ مَعَ النَّاسِ يَعْنِي عِنْدَهُ كَثْرَةُ مَشَاكِلَ وَخُصُومَاتٍ مَعَ النَّاسِ وَأَيْضًا إِذَا خَاصَمَ أَحَدًا يَكُونُ شَدِيدَ الْخُصُومَةِ مَعَهُمْ يَكُونُ جَدَلِيًّا مُعَانِدًا شَدِيدَ الْخُصُومَةِ كَثِيرَ الْمَشَاكِلِ كَثِيرَ الْخُصُومَاتِ هَذَا الصِّنْفُ مِنَ النَّاسِ هُوَ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَبْغَضُ الرِّجَالِ وَهَذَا مِنْ بَابِ التَّغْلِيبِ وَإِلَّا فَإِنَّهُ يَشْمَلُ النِّسَاءَ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ كَثِيرُ الْخُصُومَةِ وَشَدِيدُ الْخُصُومَةِ وَفِي الْمُقَابِلِ يُخْبِرُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدُوقُ اللِّسَانِ مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ هَذَا هُوَ مَخْمُومُ الْقَلْبِ التَّقِيُّ النَّقِيُّ الَّذِي لَا إِثْمَ عِنْدَهُ وَلَا بَغْيَ لَا يَعْتَدِي عَلَى الْآخَرِينَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ سَلِيمُ الصَّدْرِ بَعِيدٌ عَنِ الأَحْقَادِ وَبَعِيدٌ عَنِ الْحَسَدِ يُحِبُّ لِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِينَ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ وَيَكْرَهُ لَهُمْ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ هَذَا هُوَ أَفْضَلُ النَّاسِ

Inilah 2 Orang: Satu Paling Dibenci & Satunya Paling Dicintai Allah – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Laki-laki yang paling dibenci Allah adalah al-Aladd al-Khoshim.” Makna al-Aladd adalah orang yang sangat keras dalam bermusuhan dan sering berdebat. Sedangkan makna al-Khoshim adalah orang yang selalu berselisih dan sering terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain. Sifat ini dapat kita temui pada beberapa orang. Ada beberapa orang yang punya sikap keras dalam bermusuhan dan suka sekali bertengkar. Dia banyak sekali berselisih dengan orang lain. Dia punya banyak masalah dan perselisihan dengan orang lain. Dan juga, ketika dia sedang berselisih dengan seseorang, dia sangat keras dalam perselisihan. Dia sangat suka berdebat, keras kepala, dan sangat keras dalam berselisih. Serta banyak punya masalah dan banyak berseteru. Orang dengan sifat seperti ini adalah orang yang paling dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, dalam hadits yang shahih ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Laki-laki yang paling dibenci…” Ini dalam konteks mayoritasnya, karena ini juga mencakup kaum wanita. “al-Aladd al-Khoshim” adalah orang yang banyak dan sangat keras dalam berselisih. Lalu di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, ketika beliau ditanya, “Siapa manusia yang paling baik?” Beliau menjawab, “Orang yang jujur lisannya dan jernih hatinya.” Para sahabat menanggapi, “Wahai Rasulullah, kami paham maksud orang yang jujur lisannya, tapi apa maksud orang yang jernih hatinya?” Beliau menjawab, “Dia adalah orang yang bertakwa dan bersih hatinya tidak menyimpan dosa, tidak ada kezaliman, tidak ada dendam, dan tidak ada kedengkian (dalam hatinya).” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Inilah makna orang yang jernih hatinya, yakni yang bertakwa dan bersih hatinya. Yang tidak menyimpan dosa dan kezaliman. Tidak bersikap zalim terhadap orang lain. Tidak punya kebencian dan hasad, hatinya bersih. Jauh dari dendam dan hasad. Dia menyukai untuk saudara-saudara muslimnya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Dia membenci untuk mereka apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Inilah orang yang paling baik. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ وَمَعْنَى الْأَلَدِّ أَيْ شَدِيدُ الْخُصُومَةِ كَثِيرُ الْجَدَلِ وَالْخَصِمُ دَائِمُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ خُصُومَةٍ وَهَذَا نَجِدُهُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ تَجِدُ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ شِدَّةُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ الْخُصُومَاتِ كَثِيرُ الْخُصُومَاتِ مَعَ النَّاسِ يَعْنِي عِنْدَهُ كَثْرَةُ مَشَاكِلَ وَخُصُومَاتٍ مَعَ النَّاسِ وَأَيْضًا إِذَا خَاصَمَ أَحَدًا يَكُونُ شَدِيدَ الْخُصُومَةِ مَعَهُمْ يَكُونُ جَدَلِيًّا مُعَانِدًا شَدِيدَ الْخُصُومَةِ كَثِيرَ الْمَشَاكِلِ كَثِيرَ الْخُصُومَاتِ هَذَا الصِّنْفُ مِنَ النَّاسِ هُوَ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَبْغَضُ الرِّجَالِ وَهَذَا مِنْ بَابِ التَّغْلِيبِ وَإِلَّا فَإِنَّهُ يَشْمَلُ النِّسَاءَ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ كَثِيرُ الْخُصُومَةِ وَشَدِيدُ الْخُصُومَةِ وَفِي الْمُقَابِلِ يُخْبِرُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدُوقُ اللِّسَانِ مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ هَذَا هُوَ مَخْمُومُ الْقَلْبِ التَّقِيُّ النَّقِيُّ الَّذِي لَا إِثْمَ عِنْدَهُ وَلَا بَغْيَ لَا يَعْتَدِي عَلَى الْآخَرِينَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ سَلِيمُ الصَّدْرِ بَعِيدٌ عَنِ الأَحْقَادِ وَبَعِيدٌ عَنِ الْحَسَدِ يُحِبُّ لِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِينَ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ وَيَكْرَهُ لَهُمْ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ هَذَا هُوَ أَفْضَلُ النَّاسِ
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Laki-laki yang paling dibenci Allah adalah al-Aladd al-Khoshim.” Makna al-Aladd adalah orang yang sangat keras dalam bermusuhan dan sering berdebat. Sedangkan makna al-Khoshim adalah orang yang selalu berselisih dan sering terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain. Sifat ini dapat kita temui pada beberapa orang. Ada beberapa orang yang punya sikap keras dalam bermusuhan dan suka sekali bertengkar. Dia banyak sekali berselisih dengan orang lain. Dia punya banyak masalah dan perselisihan dengan orang lain. Dan juga, ketika dia sedang berselisih dengan seseorang, dia sangat keras dalam perselisihan. Dia sangat suka berdebat, keras kepala, dan sangat keras dalam berselisih. Serta banyak punya masalah dan banyak berseteru. Orang dengan sifat seperti ini adalah orang yang paling dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, dalam hadits yang shahih ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Laki-laki yang paling dibenci…” Ini dalam konteks mayoritasnya, karena ini juga mencakup kaum wanita. “al-Aladd al-Khoshim” adalah orang yang banyak dan sangat keras dalam berselisih. Lalu di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, ketika beliau ditanya, “Siapa manusia yang paling baik?” Beliau menjawab, “Orang yang jujur lisannya dan jernih hatinya.” Para sahabat menanggapi, “Wahai Rasulullah, kami paham maksud orang yang jujur lisannya, tapi apa maksud orang yang jernih hatinya?” Beliau menjawab, “Dia adalah orang yang bertakwa dan bersih hatinya tidak menyimpan dosa, tidak ada kezaliman, tidak ada dendam, dan tidak ada kedengkian (dalam hatinya).” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Inilah makna orang yang jernih hatinya, yakni yang bertakwa dan bersih hatinya. Yang tidak menyimpan dosa dan kezaliman. Tidak bersikap zalim terhadap orang lain. Tidak punya kebencian dan hasad, hatinya bersih. Jauh dari dendam dan hasad. Dia menyukai untuk saudara-saudara muslimnya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Dia membenci untuk mereka apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Inilah orang yang paling baik. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ وَمَعْنَى الْأَلَدِّ أَيْ شَدِيدُ الْخُصُومَةِ كَثِيرُ الْجَدَلِ وَالْخَصِمُ دَائِمُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ خُصُومَةٍ وَهَذَا نَجِدُهُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ تَجِدُ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ شِدَّةُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ الْخُصُومَاتِ كَثِيرُ الْخُصُومَاتِ مَعَ النَّاسِ يَعْنِي عِنْدَهُ كَثْرَةُ مَشَاكِلَ وَخُصُومَاتٍ مَعَ النَّاسِ وَأَيْضًا إِذَا خَاصَمَ أَحَدًا يَكُونُ شَدِيدَ الْخُصُومَةِ مَعَهُمْ يَكُونُ جَدَلِيًّا مُعَانِدًا شَدِيدَ الْخُصُومَةِ كَثِيرَ الْمَشَاكِلِ كَثِيرَ الْخُصُومَاتِ هَذَا الصِّنْفُ مِنَ النَّاسِ هُوَ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَبْغَضُ الرِّجَالِ وَهَذَا مِنْ بَابِ التَّغْلِيبِ وَإِلَّا فَإِنَّهُ يَشْمَلُ النِّسَاءَ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ كَثِيرُ الْخُصُومَةِ وَشَدِيدُ الْخُصُومَةِ وَفِي الْمُقَابِلِ يُخْبِرُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدُوقُ اللِّسَانِ مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ هَذَا هُوَ مَخْمُومُ الْقَلْبِ التَّقِيُّ النَّقِيُّ الَّذِي لَا إِثْمَ عِنْدَهُ وَلَا بَغْيَ لَا يَعْتَدِي عَلَى الْآخَرِينَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ سَلِيمُ الصَّدْرِ بَعِيدٌ عَنِ الأَحْقَادِ وَبَعِيدٌ عَنِ الْحَسَدِ يُحِبُّ لِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِينَ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ وَيَكْرَهُ لَهُمْ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ هَذَا هُوَ أَفْضَلُ النَّاسِ


Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Laki-laki yang paling dibenci Allah adalah al-Aladd al-Khoshim.” Makna al-Aladd adalah orang yang sangat keras dalam bermusuhan dan sering berdebat. Sedangkan makna al-Khoshim adalah orang yang selalu berselisih dan sering terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain. Sifat ini dapat kita temui pada beberapa orang. Ada beberapa orang yang punya sikap keras dalam bermusuhan dan suka sekali bertengkar. Dia banyak sekali berselisih dengan orang lain. Dia punya banyak masalah dan perselisihan dengan orang lain. Dan juga, ketika dia sedang berselisih dengan seseorang, dia sangat keras dalam perselisihan. Dia sangat suka berdebat, keras kepala, dan sangat keras dalam berselisih. Serta banyak punya masalah dan banyak berseteru. Orang dengan sifat seperti ini adalah orang yang paling dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, dalam hadits yang shahih ini, Nabi ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Laki-laki yang paling dibenci…” Ini dalam konteks mayoritasnya, karena ini juga mencakup kaum wanita. “al-Aladd al-Khoshim” adalah orang yang banyak dan sangat keras dalam berselisih. Lalu di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, ketika beliau ditanya, “Siapa manusia yang paling baik?” Beliau menjawab, “Orang yang jujur lisannya dan jernih hatinya.” Para sahabat menanggapi, “Wahai Rasulullah, kami paham maksud orang yang jujur lisannya, tapi apa maksud orang yang jernih hatinya?” Beliau menjawab, “Dia adalah orang yang bertakwa dan bersih hatinya tidak menyimpan dosa, tidak ada kezaliman, tidak ada dendam, dan tidak ada kedengkian (dalam hatinya).” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Inilah makna orang yang jernih hatinya, yakni yang bertakwa dan bersih hatinya. Yang tidak menyimpan dosa dan kezaliman. Tidak bersikap zalim terhadap orang lain. Tidak punya kebencian dan hasad, hatinya bersih. Jauh dari dendam dan hasad. Dia menyukai untuk saudara-saudara muslimnya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Dia membenci untuk mereka apa yang dia benci untuk dirinya sendiri. Inilah orang yang paling baik. ==== جَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ وَمَعْنَى الْأَلَدِّ أَيْ شَدِيدُ الْخُصُومَةِ كَثِيرُ الْجَدَلِ وَالْخَصِمُ دَائِمُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ خُصُومَةٍ وَهَذَا نَجِدُهُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ تَجِدُ بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَهُ شِدَّةُ خُصُومَةٍ وَكَثِيرُ الْخُصُومَاتِ كَثِيرُ الْخُصُومَاتِ مَعَ النَّاسِ يَعْنِي عِنْدَهُ كَثْرَةُ مَشَاكِلَ وَخُصُومَاتٍ مَعَ النَّاسِ وَأَيْضًا إِذَا خَاصَمَ أَحَدًا يَكُونُ شَدِيدَ الْخُصُومَةِ مَعَهُمْ يَكُونُ جَدَلِيًّا مُعَانِدًا شَدِيدَ الْخُصُومَةِ كَثِيرَ الْمَشَاكِلِ كَثِيرَ الْخُصُومَاتِ هَذَا الصِّنْفُ مِنَ النَّاسِ هُوَ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِهَذَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَبْغَضُ الرِّجَالِ وَهَذَا مِنْ بَابِ التَّغْلِيبِ وَإِلَّا فَإِنَّهُ يَشْمَلُ النِّسَاءَ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ كَثِيرُ الْخُصُومَةِ وَشَدِيدُ الْخُصُومَةِ وَفِي الْمُقَابِلِ يُخْبِرُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدُوقُ اللِّسَانِ مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ هَذَا هُوَ مَخْمُومُ الْقَلْبِ التَّقِيُّ النَّقِيُّ الَّذِي لَا إِثْمَ عِنْدَهُ وَلَا بَغْيَ لَا يَعْتَدِي عَلَى الْآخَرِينَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ سَلِيمُ الصَّدْرِ بَعِيدٌ عَنِ الأَحْقَادِ وَبَعِيدٌ عَنِ الْحَسَدِ يُحِبُّ لِإِخْوَانِهِ الْمُسْلِمِينَ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ وَيَكْرَهُ لَهُمْ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ هَذَا هُوَ أَفْضَلُ النَّاسِ

Tiga Keadaan Hati Manusia

Daftar Isi Toggle Qalbun salimHati yang mati (Qalbun mayyit)Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati bagaikan raja bagi seluruh anggota badan. Sebagaimana raja mengatur dan memerintah para rakyat dan pasukannya, maka demikianlah hati, segala amalan lahiriah diatur dan diperintah oleh hati. Hati adalah raja, karena seluruh amalan lahiriah akan terlahir ketika ada niatan atau kehendak dalam hati. Hatilah yang memerintah anggota badan, dan anggota badan melaksanakan perintah hati. Maka, baik buruk lahiriah manusia sangat dipengaruhi oleh baik buruknya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ “Ketahuilah, bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad pun menjadi baik. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Seorang hamba yang ingin menyucikan jiwanya, dia harus memberikan perhatian yang besar terhadap hatinya. Dan tentunya dia harus mengetahui bagaimana keadaan-keadaan hati manusia, agar dia mengetahui hati seperti apa yang seharusnya dia miliki agar mendapatkan kebaikan. Para ulama telah menjelaskan bahwa hati manusia bisa hidup dan bisa mati, sebagaimana jasad manusia. Maka, sebagaimana jasad manusia ada yang hidup dengan sehat dan ada yang sakit, demikian pula halnya dengan hati. Sehingga, keadaan hati manusia bisa dibagi menjadi tiga macam sesuai dengan sifat kehidupan yang ada padanya: hati yang hidup dengan sehat, hati yang hidup dengan penyakit, dan hati yang mati. Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang tiga macam keadaan hati manusia tersebut. Qalbun salim Qalbun salim adalah keadaan hati yang paling baik. Hati ini akan menyebabkan pemiliknya mendapatkan keselamatan di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Qalbun salim adalah hati yang senantiasa memiliki sifat keselamatan. Dialah hati yang sehat dan tidak sakit. Tentang definisinya, maka para ulama telah mengungkapkannya dengan berbagai macam ungkapan yang berbeda-beda. Dan penjelasan yang mencakup semua ungkapan itu adalah bahwa qalbun salim adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, dan selamat dari setiap syubhat yang bertentangan dengan kabar berita dari-Nya. Maka, hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah dan selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Maka, hati ini selamat dari kesyirikan kepada Allah dengan berbagai bentuknya. Hati ini secara murni hanya menghamba kepada Allah saja; baik dalam kehendak, kecintaan, tawakal (penyandaran hati), inabah (sikap senantiasa kembali), ketundukan, kekhusyukan, dan harapan. Dan amal perbuatan yang muncul dari hati ini pun murni hanya untuk Allah saja. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena Allah. Jika membenci, maka dia membenci karena Allah. Jika memberi, maka memberi karena Allah. Dan jika tidak mau memberi, maka juga karena Allah. Di samping itu, hati ini juga selamat dari ketaatan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Hati ini memiliki ikatan yang kuat untuk hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Dia hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkataan dan amalan, baik perkataan hati dan lisan, maupun amalan hati dan anggota badan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hakim atasnya pada keyakinan, perkataan, dan amal perbuatannya. Dia tidak mendahulukan sesuatu pun atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu semua, sebagaimana Allah telah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (QS. Al-Hujurat: 1) Inilah hakikat qalbun salim yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan bagi pemiliknya. Baca juga: Tiga Keadaan Orang Beriman Ketika Masuk Surga Hati yang mati (Qalbun mayyit) Adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Hati ini tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang dicintai dan diridai oleh-Nya. Akan tetapi, hati ini hanya mengikuti syahwat dan kesenangan nafsunya, meskipun menyebabkan kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Jika dia bisa meraih syahwat dan keinginannya, maka dia tidak peduli apakah Allah rida atau murka. Hati ini menghamba kepada selain Allah, dengan kecintaan, rasa takut, harapan, keridaan, kemurkaan, pengagungan, dan perendahan dirinya. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena hawa nafusnya. Jika membenci, dia membenci karena hawa nafsunya. Jika memberi, maka karena hawa nafsunya. Dan jika mencegah pemberian, juga karena hawa nafsunya. Maka, hawa nafsunya lebih dia utamakan dan lebih dia cintai daripada keridaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi imamnya, syahwat menjadi penuntunnya, kebodohan menjadi pengendalinya, dan kelalaian telah menjadi kendaraannya. Pikirannya dipenuhi dengan usaha meraih tujuan-tujuan dunia. Kecintaan terhadap dunia telah menutupi hatinya. Apabila dia diseru dan dinasihati untuk kembali kepada Allah dan untuk menggapai negeri akhirat, dia tidak menyambut seruan orang yang menasihatinya. Bahkan, dia malah mengikuti setan yang durhaka. Kemurkaan dan keridaannya tergantung kepada dunia. Dan hawa nafsu telah menjadikannya buta dan tuli dari kebenaran. Berteman, bergaul, dan duduk bersama dengan pemilik hati yang mati adalah penyakit, racun, dan kebinasaan. Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati ini masih memiliki kehidupan. Namun, hati ini memiliki penyakit. Dalam hati ini terdapat dua unsur yang saling tarik menarik: unsur kehidupan dan unsur penyakit. Maka, hati ini akan dikuasai oleh unsur yang dominan dari keduanya. Maka, dalam hati ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah yang merupakan unsur kehidupannya. Akan tetapi, dalam hati ini juga terdapat unsur-unsur yang membawanya kepada kebinasaan. Seperti: kecintaan kepada syahwat (kesenangan jiwa), keinginan untuk meraih dan mendahulukan syahwatnya, sifat hasad, kesombongan, ujub (bangga diri), kecintaan terhadap kepemimpinan yang bisa menyebabkan keangkuhan dan kerusakan di muka bumi, dan lain sebagainya. Maka, hati ini diuji oleh dua dorongan: dorongan yang menyerunya menuju Allah, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat, dan dorongan yang menyerunya menuju kesenangan dunia yang sementara. Dan mana saja yang paling dekat dengan hati dari dua dorongan tersebut, itulah yang akan disambut seruannya. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 30-37.

Tiga Keadaan Hati Manusia

Daftar Isi Toggle Qalbun salimHati yang mati (Qalbun mayyit)Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati bagaikan raja bagi seluruh anggota badan. Sebagaimana raja mengatur dan memerintah para rakyat dan pasukannya, maka demikianlah hati, segala amalan lahiriah diatur dan diperintah oleh hati. Hati adalah raja, karena seluruh amalan lahiriah akan terlahir ketika ada niatan atau kehendak dalam hati. Hatilah yang memerintah anggota badan, dan anggota badan melaksanakan perintah hati. Maka, baik buruk lahiriah manusia sangat dipengaruhi oleh baik buruknya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ “Ketahuilah, bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad pun menjadi baik. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Seorang hamba yang ingin menyucikan jiwanya, dia harus memberikan perhatian yang besar terhadap hatinya. Dan tentunya dia harus mengetahui bagaimana keadaan-keadaan hati manusia, agar dia mengetahui hati seperti apa yang seharusnya dia miliki agar mendapatkan kebaikan. Para ulama telah menjelaskan bahwa hati manusia bisa hidup dan bisa mati, sebagaimana jasad manusia. Maka, sebagaimana jasad manusia ada yang hidup dengan sehat dan ada yang sakit, demikian pula halnya dengan hati. Sehingga, keadaan hati manusia bisa dibagi menjadi tiga macam sesuai dengan sifat kehidupan yang ada padanya: hati yang hidup dengan sehat, hati yang hidup dengan penyakit, dan hati yang mati. Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang tiga macam keadaan hati manusia tersebut. Qalbun salim Qalbun salim adalah keadaan hati yang paling baik. Hati ini akan menyebabkan pemiliknya mendapatkan keselamatan di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Qalbun salim adalah hati yang senantiasa memiliki sifat keselamatan. Dialah hati yang sehat dan tidak sakit. Tentang definisinya, maka para ulama telah mengungkapkannya dengan berbagai macam ungkapan yang berbeda-beda. Dan penjelasan yang mencakup semua ungkapan itu adalah bahwa qalbun salim adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, dan selamat dari setiap syubhat yang bertentangan dengan kabar berita dari-Nya. Maka, hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah dan selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Maka, hati ini selamat dari kesyirikan kepada Allah dengan berbagai bentuknya. Hati ini secara murni hanya menghamba kepada Allah saja; baik dalam kehendak, kecintaan, tawakal (penyandaran hati), inabah (sikap senantiasa kembali), ketundukan, kekhusyukan, dan harapan. Dan amal perbuatan yang muncul dari hati ini pun murni hanya untuk Allah saja. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena Allah. Jika membenci, maka dia membenci karena Allah. Jika memberi, maka memberi karena Allah. Dan jika tidak mau memberi, maka juga karena Allah. Di samping itu, hati ini juga selamat dari ketaatan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Hati ini memiliki ikatan yang kuat untuk hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Dia hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkataan dan amalan, baik perkataan hati dan lisan, maupun amalan hati dan anggota badan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hakim atasnya pada keyakinan, perkataan, dan amal perbuatannya. Dia tidak mendahulukan sesuatu pun atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu semua, sebagaimana Allah telah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (QS. Al-Hujurat: 1) Inilah hakikat qalbun salim yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan bagi pemiliknya. Baca juga: Tiga Keadaan Orang Beriman Ketika Masuk Surga Hati yang mati (Qalbun mayyit) Adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Hati ini tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang dicintai dan diridai oleh-Nya. Akan tetapi, hati ini hanya mengikuti syahwat dan kesenangan nafsunya, meskipun menyebabkan kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Jika dia bisa meraih syahwat dan keinginannya, maka dia tidak peduli apakah Allah rida atau murka. Hati ini menghamba kepada selain Allah, dengan kecintaan, rasa takut, harapan, keridaan, kemurkaan, pengagungan, dan perendahan dirinya. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena hawa nafusnya. Jika membenci, dia membenci karena hawa nafsunya. Jika memberi, maka karena hawa nafsunya. Dan jika mencegah pemberian, juga karena hawa nafsunya. Maka, hawa nafsunya lebih dia utamakan dan lebih dia cintai daripada keridaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi imamnya, syahwat menjadi penuntunnya, kebodohan menjadi pengendalinya, dan kelalaian telah menjadi kendaraannya. Pikirannya dipenuhi dengan usaha meraih tujuan-tujuan dunia. Kecintaan terhadap dunia telah menutupi hatinya. Apabila dia diseru dan dinasihati untuk kembali kepada Allah dan untuk menggapai negeri akhirat, dia tidak menyambut seruan orang yang menasihatinya. Bahkan, dia malah mengikuti setan yang durhaka. Kemurkaan dan keridaannya tergantung kepada dunia. Dan hawa nafsu telah menjadikannya buta dan tuli dari kebenaran. Berteman, bergaul, dan duduk bersama dengan pemilik hati yang mati adalah penyakit, racun, dan kebinasaan. Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati ini masih memiliki kehidupan. Namun, hati ini memiliki penyakit. Dalam hati ini terdapat dua unsur yang saling tarik menarik: unsur kehidupan dan unsur penyakit. Maka, hati ini akan dikuasai oleh unsur yang dominan dari keduanya. Maka, dalam hati ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah yang merupakan unsur kehidupannya. Akan tetapi, dalam hati ini juga terdapat unsur-unsur yang membawanya kepada kebinasaan. Seperti: kecintaan kepada syahwat (kesenangan jiwa), keinginan untuk meraih dan mendahulukan syahwatnya, sifat hasad, kesombongan, ujub (bangga diri), kecintaan terhadap kepemimpinan yang bisa menyebabkan keangkuhan dan kerusakan di muka bumi, dan lain sebagainya. Maka, hati ini diuji oleh dua dorongan: dorongan yang menyerunya menuju Allah, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat, dan dorongan yang menyerunya menuju kesenangan dunia yang sementara. Dan mana saja yang paling dekat dengan hati dari dua dorongan tersebut, itulah yang akan disambut seruannya. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 30-37.
Daftar Isi Toggle Qalbun salimHati yang mati (Qalbun mayyit)Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati bagaikan raja bagi seluruh anggota badan. Sebagaimana raja mengatur dan memerintah para rakyat dan pasukannya, maka demikianlah hati, segala amalan lahiriah diatur dan diperintah oleh hati. Hati adalah raja, karena seluruh amalan lahiriah akan terlahir ketika ada niatan atau kehendak dalam hati. Hatilah yang memerintah anggota badan, dan anggota badan melaksanakan perintah hati. Maka, baik buruk lahiriah manusia sangat dipengaruhi oleh baik buruknya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ “Ketahuilah, bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad pun menjadi baik. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Seorang hamba yang ingin menyucikan jiwanya, dia harus memberikan perhatian yang besar terhadap hatinya. Dan tentunya dia harus mengetahui bagaimana keadaan-keadaan hati manusia, agar dia mengetahui hati seperti apa yang seharusnya dia miliki agar mendapatkan kebaikan. Para ulama telah menjelaskan bahwa hati manusia bisa hidup dan bisa mati, sebagaimana jasad manusia. Maka, sebagaimana jasad manusia ada yang hidup dengan sehat dan ada yang sakit, demikian pula halnya dengan hati. Sehingga, keadaan hati manusia bisa dibagi menjadi tiga macam sesuai dengan sifat kehidupan yang ada padanya: hati yang hidup dengan sehat, hati yang hidup dengan penyakit, dan hati yang mati. Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang tiga macam keadaan hati manusia tersebut. Qalbun salim Qalbun salim adalah keadaan hati yang paling baik. Hati ini akan menyebabkan pemiliknya mendapatkan keselamatan di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Qalbun salim adalah hati yang senantiasa memiliki sifat keselamatan. Dialah hati yang sehat dan tidak sakit. Tentang definisinya, maka para ulama telah mengungkapkannya dengan berbagai macam ungkapan yang berbeda-beda. Dan penjelasan yang mencakup semua ungkapan itu adalah bahwa qalbun salim adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, dan selamat dari setiap syubhat yang bertentangan dengan kabar berita dari-Nya. Maka, hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah dan selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Maka, hati ini selamat dari kesyirikan kepada Allah dengan berbagai bentuknya. Hati ini secara murni hanya menghamba kepada Allah saja; baik dalam kehendak, kecintaan, tawakal (penyandaran hati), inabah (sikap senantiasa kembali), ketundukan, kekhusyukan, dan harapan. Dan amal perbuatan yang muncul dari hati ini pun murni hanya untuk Allah saja. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena Allah. Jika membenci, maka dia membenci karena Allah. Jika memberi, maka memberi karena Allah. Dan jika tidak mau memberi, maka juga karena Allah. Di samping itu, hati ini juga selamat dari ketaatan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Hati ini memiliki ikatan yang kuat untuk hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Dia hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkataan dan amalan, baik perkataan hati dan lisan, maupun amalan hati dan anggota badan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hakim atasnya pada keyakinan, perkataan, dan amal perbuatannya. Dia tidak mendahulukan sesuatu pun atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu semua, sebagaimana Allah telah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (QS. Al-Hujurat: 1) Inilah hakikat qalbun salim yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan bagi pemiliknya. Baca juga: Tiga Keadaan Orang Beriman Ketika Masuk Surga Hati yang mati (Qalbun mayyit) Adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Hati ini tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang dicintai dan diridai oleh-Nya. Akan tetapi, hati ini hanya mengikuti syahwat dan kesenangan nafsunya, meskipun menyebabkan kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Jika dia bisa meraih syahwat dan keinginannya, maka dia tidak peduli apakah Allah rida atau murka. Hati ini menghamba kepada selain Allah, dengan kecintaan, rasa takut, harapan, keridaan, kemurkaan, pengagungan, dan perendahan dirinya. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena hawa nafusnya. Jika membenci, dia membenci karena hawa nafsunya. Jika memberi, maka karena hawa nafsunya. Dan jika mencegah pemberian, juga karena hawa nafsunya. Maka, hawa nafsunya lebih dia utamakan dan lebih dia cintai daripada keridaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi imamnya, syahwat menjadi penuntunnya, kebodohan menjadi pengendalinya, dan kelalaian telah menjadi kendaraannya. Pikirannya dipenuhi dengan usaha meraih tujuan-tujuan dunia. Kecintaan terhadap dunia telah menutupi hatinya. Apabila dia diseru dan dinasihati untuk kembali kepada Allah dan untuk menggapai negeri akhirat, dia tidak menyambut seruan orang yang menasihatinya. Bahkan, dia malah mengikuti setan yang durhaka. Kemurkaan dan keridaannya tergantung kepada dunia. Dan hawa nafsu telah menjadikannya buta dan tuli dari kebenaran. Berteman, bergaul, dan duduk bersama dengan pemilik hati yang mati adalah penyakit, racun, dan kebinasaan. Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati ini masih memiliki kehidupan. Namun, hati ini memiliki penyakit. Dalam hati ini terdapat dua unsur yang saling tarik menarik: unsur kehidupan dan unsur penyakit. Maka, hati ini akan dikuasai oleh unsur yang dominan dari keduanya. Maka, dalam hati ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah yang merupakan unsur kehidupannya. Akan tetapi, dalam hati ini juga terdapat unsur-unsur yang membawanya kepada kebinasaan. Seperti: kecintaan kepada syahwat (kesenangan jiwa), keinginan untuk meraih dan mendahulukan syahwatnya, sifat hasad, kesombongan, ujub (bangga diri), kecintaan terhadap kepemimpinan yang bisa menyebabkan keangkuhan dan kerusakan di muka bumi, dan lain sebagainya. Maka, hati ini diuji oleh dua dorongan: dorongan yang menyerunya menuju Allah, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat, dan dorongan yang menyerunya menuju kesenangan dunia yang sementara. Dan mana saja yang paling dekat dengan hati dari dua dorongan tersebut, itulah yang akan disambut seruannya. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 30-37.


Daftar Isi Toggle Qalbun salimHati yang mati (Qalbun mayyit)Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati bagaikan raja bagi seluruh anggota badan. Sebagaimana raja mengatur dan memerintah para rakyat dan pasukannya, maka demikianlah hati, segala amalan lahiriah diatur dan diperintah oleh hati. Hati adalah raja, karena seluruh amalan lahiriah akan terlahir ketika ada niatan atau kehendak dalam hati. Hatilah yang memerintah anggota badan, dan anggota badan melaksanakan perintah hati. Maka, baik buruk lahiriah manusia sangat dipengaruhi oleh baik buruknya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ “Ketahuilah, bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad pun menjadi baik. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599) Seorang hamba yang ingin menyucikan jiwanya, dia harus memberikan perhatian yang besar terhadap hatinya. Dan tentunya dia harus mengetahui bagaimana keadaan-keadaan hati manusia, agar dia mengetahui hati seperti apa yang seharusnya dia miliki agar mendapatkan kebaikan. Para ulama telah menjelaskan bahwa hati manusia bisa hidup dan bisa mati, sebagaimana jasad manusia. Maka, sebagaimana jasad manusia ada yang hidup dengan sehat dan ada yang sakit, demikian pula halnya dengan hati. Sehingga, keadaan hati manusia bisa dibagi menjadi tiga macam sesuai dengan sifat kehidupan yang ada padanya: hati yang hidup dengan sehat, hati yang hidup dengan penyakit, dan hati yang mati. Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang tiga macam keadaan hati manusia tersebut. Qalbun salim Qalbun salim adalah keadaan hati yang paling baik. Hati ini akan menyebabkan pemiliknya mendapatkan keselamatan di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89) Qalbun salim adalah hati yang senantiasa memiliki sifat keselamatan. Dialah hati yang sehat dan tidak sakit. Tentang definisinya, maka para ulama telah mengungkapkannya dengan berbagai macam ungkapan yang berbeda-beda. Dan penjelasan yang mencakup semua ungkapan itu adalah bahwa qalbun salim adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, dan selamat dari setiap syubhat yang bertentangan dengan kabar berita dari-Nya. Maka, hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah dan selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Maka, hati ini selamat dari kesyirikan kepada Allah dengan berbagai bentuknya. Hati ini secara murni hanya menghamba kepada Allah saja; baik dalam kehendak, kecintaan, tawakal (penyandaran hati), inabah (sikap senantiasa kembali), ketundukan, kekhusyukan, dan harapan. Dan amal perbuatan yang muncul dari hati ini pun murni hanya untuk Allah saja. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena Allah. Jika membenci, maka dia membenci karena Allah. Jika memberi, maka memberi karena Allah. Dan jika tidak mau memberi, maka juga karena Allah. Di samping itu, hati ini juga selamat dari ketaatan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Hati ini memiliki ikatan yang kuat untuk hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Dia hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkataan dan amalan, baik perkataan hati dan lisan, maupun amalan hati dan anggota badan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hakim atasnya pada keyakinan, perkataan, dan amal perbuatannya. Dia tidak mendahulukan sesuatu pun atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu semua, sebagaimana Allah telah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (QS. Al-Hujurat: 1) Inilah hakikat qalbun salim yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan bagi pemiliknya. Baca juga: Tiga Keadaan Orang Beriman Ketika Masuk Surga Hati yang mati (Qalbun mayyit) Adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Hati ini tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang dicintai dan diridai oleh-Nya. Akan tetapi, hati ini hanya mengikuti syahwat dan kesenangan nafsunya, meskipun menyebabkan kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Jika dia bisa meraih syahwat dan keinginannya, maka dia tidak peduli apakah Allah rida atau murka. Hati ini menghamba kepada selain Allah, dengan kecintaan, rasa takut, harapan, keridaan, kemurkaan, pengagungan, dan perendahan dirinya. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena hawa nafusnya. Jika membenci, dia membenci karena hawa nafsunya. Jika memberi, maka karena hawa nafsunya. Dan jika mencegah pemberian, juga karena hawa nafsunya. Maka, hawa nafsunya lebih dia utamakan dan lebih dia cintai daripada keridaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi imamnya, syahwat menjadi penuntunnya, kebodohan menjadi pengendalinya, dan kelalaian telah menjadi kendaraannya. Pikirannya dipenuhi dengan usaha meraih tujuan-tujuan dunia. Kecintaan terhadap dunia telah menutupi hatinya. Apabila dia diseru dan dinasihati untuk kembali kepada Allah dan untuk menggapai negeri akhirat, dia tidak menyambut seruan orang yang menasihatinya. Bahkan, dia malah mengikuti setan yang durhaka. Kemurkaan dan keridaannya tergantung kepada dunia. Dan hawa nafsu telah menjadikannya buta dan tuli dari kebenaran. Berteman, bergaul, dan duduk bersama dengan pemilik hati yang mati adalah penyakit, racun, dan kebinasaan. Hati yang sakit (Qalbun maridh) Hati ini masih memiliki kehidupan. Namun, hati ini memiliki penyakit. Dalam hati ini terdapat dua unsur yang saling tarik menarik: unsur kehidupan dan unsur penyakit. Maka, hati ini akan dikuasai oleh unsur yang dominan dari keduanya. Maka, dalam hati ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah yang merupakan unsur kehidupannya. Akan tetapi, dalam hati ini juga terdapat unsur-unsur yang membawanya kepada kebinasaan. Seperti: kecintaan kepada syahwat (kesenangan jiwa), keinginan untuk meraih dan mendahulukan syahwatnya, sifat hasad, kesombongan, ujub (bangga diri), kecintaan terhadap kepemimpinan yang bisa menyebabkan keangkuhan dan kerusakan di muka bumi, dan lain sebagainya. Maka, hati ini diuji oleh dua dorongan: dorongan yang menyerunya menuju Allah, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat, dan dorongan yang menyerunya menuju kesenangan dunia yang sementara. Dan mana saja yang paling dekat dengan hati dari dua dorongan tersebut, itulah yang akan disambut seruannya. Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia *** Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Disarikan dari Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatil Lahafan fii Mashayidisy Syaithan, hal. 30-37.

Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk

Daftar Isi Toggle Pengertian khamrHukum minum khamrHukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Permasalahan hukum minum khamr sebetulnya sudah jelas dipahami, bagi orang-orang awam sekalipun, terutama kaum muslimin yang masih memiliki semangat dan kecemburuan dalam agama. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi perbuatan ini dan tidak dekat-dekat dengannya. Hal ini karena tampaknya sebagian orang yang menganggap remeh, bahkan menganggap biasa-biasa saja perbuatan ini, atau bahkan menjadi kebiasaan pada momen atau waktu tertentu. Kita berlindung kepada Allah dari perkara ini. Pengertian khamr Secara bahasa, khamr berarti, التَّغطيةُ والسَّترُ “menutupi” atau “menyembunyikan”. Berdasarkan makna bahasa ini, kerudung wanita disebut khimar (خِمارُ), karena khimar tersebut menutupi kepala. (Lihat Ash-Sihah oleh Al-Jawhari, 2: 649; Maqayis al-Lughah oleh Ibnu Faris, 2: 215) Adapun secara istilah, khamr adalah, هي كُلُّ ما يُسكِرُ قَليلُه أو كثيرُه، سواءٌ اتُّخِذَ مِن العِنَبِ أو التَّمرِ، أو الحِنْطةِ أو الشَّعيرِ، أو غيرِها “Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik itu dibuat dari anggur, kurma, hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), atau bahan-bahan lainnya.” (Lihat Al-Furu’ oleh Ibnu Muflih, 10: 96; Al-Inshaf oleh Al-Mardawi, 10: 172; dan Al-Fawakih ad-Dawani oleh An-Nafrawi, 2: 288) Sehingga khamr itu dapat berasal dari bahan apa saja, asalkan memiliki efek memabukkan. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ “Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr, dan segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Dalam lafaz yang lain, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mendengar ayahnya, ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, berkhotbah di mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهْىَ مِنْ خَمْسَةٍ ، مِنَ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ ، وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ “Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Khamr itu berasal dari lima macam: anggur, kurma, madu lebah, hinthoh (gandum halus), dan sya’ir (gandum kasar). Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal.” (HR. Bukhari no. 5581 dan Muslim no. 3032) Perkataan beliau, “Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal”; menunjukkan bahwa khamr tidak terbatas hanya pada lima jenis yang beliau sebutkan sebelumnya, dan bahwa sebab disebut khamr adalah karena memiliki efek memabukkan dan dapat menutupi akal. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai al-bit’i (arak yang biasa diminum penduduk Yaman). Beliau kemudian menjawab dengan memberikan kaidah dan definisi umum, كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap minuman yang memabukkan, maka hukumnya haram.” (HR. Bukhari no. 5586 dan Muslim no. 2001) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فلفظ الخمر عام ففي كل مسكر فإخرج بعض الأشربة المسكرة عن شمول اسم الخمر لها تقصير به وهضم لعمومه بل الحق ما قاله صاحب الشرع كل مسكر خمر “Kata ‘khamr’ bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang memabukkan. Mengeluarkan beberapa jenis minuman yang memabukkan dari definisi ‘khamr’ berarti mengurangi dan mengingkari maknanya yang umum tersebut. Sesungguhnya, yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr.” (I’laamul Muwaqi’in, 1: 261) Seseorang yang minum, dia akan mabuk, yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya kesadaran; dan juga merasa senang, nikmat, rileks, atau nge-fly. Hukum minum khamr Para ulama sepakat bahwa meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, يذم تعالى هذه الأشياء القبيحة، ويخبر أنها من عمل الشيطان، وأنها رجس. {فَاجْتَنِبُوهُ} أي: اتركوه {لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} فإن الفلاح لا يتم إلا بترك ما حرم الله، خصوصا هذه الفواحش المذكورة، وهي الخمر وهي: كل ما خامر العقل أي: غطاه بسكره “Allah Ta’ala mencela perkara-perkara yang buruk ini dan menjelaskan bahwa perkara-perkara tersebut adalah perbuatan setan dan merupakan kotoran (najis). Yang dimaksud dengan, فَاجْتَنِبُوهُ ‘jauhilah’ adalah ‘tinggalkanlah’. ‘Agar kalian mendapat keberuntungan’, karena keberuntungan (kesuksesan) tidak akan tercapai kecuali dengan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah, terutama keburukan-keburukan yang disebutkan (dalam ayat) ini, yaitu khamr. Khamr adalah segala sesuatu yang dapat mengacaukan akal, yakni menutupinya dengan efek memabukkannya.” Beliau rahimahullah juga kemudian melanjutkan penjelasannya, فهذه الأربعة نهى الله عنها وزجر، وأخبر عن مفاسدها الداعية إلى تركها واجتنابها. فمنها: أنها رجس، أي: خبث، نجس معنى، وإن لم تكن نجسة حسا. “Maka keempat perkara ini dilarang oleh Allah Ta’ala dan diperingatkan dengan keras. Allah juga menjelaskan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perkara-perkara tersebut, yang mendorong kita untuk meninggalkan dan menjauhinya. Di antaranya adalah bahwa hal-hal ini merupakan rijs, yakni sesuatu yang kotor, najis secara maknawi, meskipun tidak najis secara dzatnya.” (Taisir Karimir Rahman, tafsir surah Al-Maidah ayat 90) An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan adanya ijmak kaum muslimin tentang haramnya minum khamr, وَأَمَّا الْخَمْر فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى تَحْرِيم شُرْب الْخَمْر ، وَأَجْمَعُوا عَلَى وُجُوب الْحَدّ عَلَى شَارِبهَا ، سَوَاء شَرِبَ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا  “Adapun khamr, kaum muslimin telah ijmak (sepakat) atas haramnya meminum khamr, dan juga ijmak wajibnya diberlakukan hukuman had atas peminumnya, baik meminumnya dalam jumlah sedikit maupun banyak.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 129) Dalam kitab Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah disebutkan, أما السنة فهي مملوءة بالأحاديث الدالة على تحريم شرب الخمر والتنفير من القرب منه وكفى فيه قوله صلى الله عليه و سلم : ” لا يزنى الزاني حين يزني وهومؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهومؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ” وقد أجمع المسلمون وائمتهم على تحريم الخمر وأنها من أرذل الكبائر وأشد الجرائم “Adapun sunah, maka banyak hadis yang menunjukkan haramnya minum khamr dan peringatan untuk menjauhinya. Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ ”Seorang pezina tidaklah berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman; seorang pencuri tidaklah mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman; dan seorang peminum khamr tidaklah minum khamr ketika ia meminumnya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari no. 6810 dan Muslim no. 57) Kaum muslimin dan para imam telah ijmak (sepakat) haramnya khamr dan bahwa khamr termasuk dari dosa-dosa besar yang paling tercela dan kejahatan yang paling berat.” (Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah, 2: 14) Baca juga: Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya Hukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Lalu, bagaimana jika tidak sampai mabuk? Sebagian orang menyangka, tidak masalah minum khamr, asalkan tidak sampai mabuk. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, karena minum khamr tetap haram, meskipun hanya dalam jumlah yang sedikit. Hal ini telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ “Apa saja yang dalam jumlah banyak itu memabukkan, maka hukumnya haram (meskipun) dalam jumlah yang sedikit.” (HR. Ahmad, 11: 119; dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ketika menjelaskan hadis ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, معناه: أن الشيء إذا تناولتَ منه كثيراً حصل الإسكار، وإن تناولت يسيراً لم يحصل الإسكار، حَرُم حتى اليسير الذي ليس فيه إسكار سدَّاً للذريعة، وليس المعنى: ما كان فيه قليل من خمر فهو حرام، لا ليس هذا هو المعنى، فالشيء الذي فيه قليل من الخمر يُنظر إن ظهرت آثار الخمر فيه من طعم أو لون أو سَكَر فهو حرام، وإن لم يظهر فإنه ليس بحرام؛ لأنه اضمحلَّ وزال أثره. ولهذا لو أن الماء أصابته نجاسة يسيرة لم تؤثر عليه بقي على طهوريته، كذلك هذا الشراب لما صار فيه نقطة أو نقطتان من الخمر؛ لكن لم يؤثر فيه، فإنه باقٍ على حِلِّه. “Maknanya adalah bahwa suatu benda (bahan), jika Anda mengonsumsinya dalam jumlah banyak akan menyebabkan mabuk, dan jika dikonsumsi sedikit, tidak akan menyebabkan mabuk; maka hukumnya haram, bahkan dalam jumlah sedikit yang tidak memabukkan. Hal ini dalam rangka menutup jalan (perantara) menuju yang haram. Namun, yang dimaksud bukanlah “apa pun yang mengandung khamr dalam jumlah sedikit itu haram”, bukan begitu maknanya. Suatu benda yang mengandung sedikit khamr perlu dilihat, jika tanda-tanda (pengaruh) khamr seperti rasa, warna, atau efek memabukkan itu masih jelas (tampak), maka itu haram. Namun, jika tidak ada tanda-tanda tersebut, maka itu tidak haram, karena pengaruhnya telah hilang dan tidak ada lagi. Oleh karena itu, jika air terkena najis dalam jumlah sedikit yang tidak mempengaruhi sifatnya, ia tetap dalam keadaan suci. Begitu juga dengan minuman ini, jika hanya mengandung sedikit khamr, tetapi tidak berpengaruh terhadap efeknya, maka tetap halal.” (Jilsaat Ramadhaniyyah, 1: 107; Asy-Syamilah) Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila suatu minuman itu murni khamr, maka haram diminum, baik dalam jumlah sedikit (tidak sampai mabuk) ataupun banyak. Adapun jika khamr itu tercampur dengan bahan (minuman) lain yang halal, maka dirinci. Misalnya, ada air minum satu galon besar yang tidak sengaja kejatuhan satu atau dua tetes khamr. Apabila khamr tersebut tidak memiliki pengaruh, baik rasa, warna, atau efek khamr-nya hilang karena terencerkan, maka minuman yang tercampur tersebut tetap halal. Adapun jika pengaruh khamr tetap ada, baik terhadap rasa, warna, dan juga efek memabukkannya tidak hilang, maka campuran tersebut haram. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** @Fall, 11 Jumadil awal 1446/ 13 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id

Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk

Daftar Isi Toggle Pengertian khamrHukum minum khamrHukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Permasalahan hukum minum khamr sebetulnya sudah jelas dipahami, bagi orang-orang awam sekalipun, terutama kaum muslimin yang masih memiliki semangat dan kecemburuan dalam agama. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi perbuatan ini dan tidak dekat-dekat dengannya. Hal ini karena tampaknya sebagian orang yang menganggap remeh, bahkan menganggap biasa-biasa saja perbuatan ini, atau bahkan menjadi kebiasaan pada momen atau waktu tertentu. Kita berlindung kepada Allah dari perkara ini. Pengertian khamr Secara bahasa, khamr berarti, التَّغطيةُ والسَّترُ “menutupi” atau “menyembunyikan”. Berdasarkan makna bahasa ini, kerudung wanita disebut khimar (خِمارُ), karena khimar tersebut menutupi kepala. (Lihat Ash-Sihah oleh Al-Jawhari, 2: 649; Maqayis al-Lughah oleh Ibnu Faris, 2: 215) Adapun secara istilah, khamr adalah, هي كُلُّ ما يُسكِرُ قَليلُه أو كثيرُه، سواءٌ اتُّخِذَ مِن العِنَبِ أو التَّمرِ، أو الحِنْطةِ أو الشَّعيرِ، أو غيرِها “Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik itu dibuat dari anggur, kurma, hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), atau bahan-bahan lainnya.” (Lihat Al-Furu’ oleh Ibnu Muflih, 10: 96; Al-Inshaf oleh Al-Mardawi, 10: 172; dan Al-Fawakih ad-Dawani oleh An-Nafrawi, 2: 288) Sehingga khamr itu dapat berasal dari bahan apa saja, asalkan memiliki efek memabukkan. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ “Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr, dan segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Dalam lafaz yang lain, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mendengar ayahnya, ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, berkhotbah di mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهْىَ مِنْ خَمْسَةٍ ، مِنَ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ ، وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ “Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Khamr itu berasal dari lima macam: anggur, kurma, madu lebah, hinthoh (gandum halus), dan sya’ir (gandum kasar). Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal.” (HR. Bukhari no. 5581 dan Muslim no. 3032) Perkataan beliau, “Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal”; menunjukkan bahwa khamr tidak terbatas hanya pada lima jenis yang beliau sebutkan sebelumnya, dan bahwa sebab disebut khamr adalah karena memiliki efek memabukkan dan dapat menutupi akal. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai al-bit’i (arak yang biasa diminum penduduk Yaman). Beliau kemudian menjawab dengan memberikan kaidah dan definisi umum, كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap minuman yang memabukkan, maka hukumnya haram.” (HR. Bukhari no. 5586 dan Muslim no. 2001) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فلفظ الخمر عام ففي كل مسكر فإخرج بعض الأشربة المسكرة عن شمول اسم الخمر لها تقصير به وهضم لعمومه بل الحق ما قاله صاحب الشرع كل مسكر خمر “Kata ‘khamr’ bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang memabukkan. Mengeluarkan beberapa jenis minuman yang memabukkan dari definisi ‘khamr’ berarti mengurangi dan mengingkari maknanya yang umum tersebut. Sesungguhnya, yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr.” (I’laamul Muwaqi’in, 1: 261) Seseorang yang minum, dia akan mabuk, yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya kesadaran; dan juga merasa senang, nikmat, rileks, atau nge-fly. Hukum minum khamr Para ulama sepakat bahwa meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, يذم تعالى هذه الأشياء القبيحة، ويخبر أنها من عمل الشيطان، وأنها رجس. {فَاجْتَنِبُوهُ} أي: اتركوه {لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} فإن الفلاح لا يتم إلا بترك ما حرم الله، خصوصا هذه الفواحش المذكورة، وهي الخمر وهي: كل ما خامر العقل أي: غطاه بسكره “Allah Ta’ala mencela perkara-perkara yang buruk ini dan menjelaskan bahwa perkara-perkara tersebut adalah perbuatan setan dan merupakan kotoran (najis). Yang dimaksud dengan, فَاجْتَنِبُوهُ ‘jauhilah’ adalah ‘tinggalkanlah’. ‘Agar kalian mendapat keberuntungan’, karena keberuntungan (kesuksesan) tidak akan tercapai kecuali dengan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah, terutama keburukan-keburukan yang disebutkan (dalam ayat) ini, yaitu khamr. Khamr adalah segala sesuatu yang dapat mengacaukan akal, yakni menutupinya dengan efek memabukkannya.” Beliau rahimahullah juga kemudian melanjutkan penjelasannya, فهذه الأربعة نهى الله عنها وزجر، وأخبر عن مفاسدها الداعية إلى تركها واجتنابها. فمنها: أنها رجس، أي: خبث، نجس معنى، وإن لم تكن نجسة حسا. “Maka keempat perkara ini dilarang oleh Allah Ta’ala dan diperingatkan dengan keras. Allah juga menjelaskan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perkara-perkara tersebut, yang mendorong kita untuk meninggalkan dan menjauhinya. Di antaranya adalah bahwa hal-hal ini merupakan rijs, yakni sesuatu yang kotor, najis secara maknawi, meskipun tidak najis secara dzatnya.” (Taisir Karimir Rahman, tafsir surah Al-Maidah ayat 90) An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan adanya ijmak kaum muslimin tentang haramnya minum khamr, وَأَمَّا الْخَمْر فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى تَحْرِيم شُرْب الْخَمْر ، وَأَجْمَعُوا عَلَى وُجُوب الْحَدّ عَلَى شَارِبهَا ، سَوَاء شَرِبَ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا  “Adapun khamr, kaum muslimin telah ijmak (sepakat) atas haramnya meminum khamr, dan juga ijmak wajibnya diberlakukan hukuman had atas peminumnya, baik meminumnya dalam jumlah sedikit maupun banyak.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 129) Dalam kitab Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah disebutkan, أما السنة فهي مملوءة بالأحاديث الدالة على تحريم شرب الخمر والتنفير من القرب منه وكفى فيه قوله صلى الله عليه و سلم : ” لا يزنى الزاني حين يزني وهومؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهومؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ” وقد أجمع المسلمون وائمتهم على تحريم الخمر وأنها من أرذل الكبائر وأشد الجرائم “Adapun sunah, maka banyak hadis yang menunjukkan haramnya minum khamr dan peringatan untuk menjauhinya. Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ ”Seorang pezina tidaklah berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman; seorang pencuri tidaklah mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman; dan seorang peminum khamr tidaklah minum khamr ketika ia meminumnya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari no. 6810 dan Muslim no. 57) Kaum muslimin dan para imam telah ijmak (sepakat) haramnya khamr dan bahwa khamr termasuk dari dosa-dosa besar yang paling tercela dan kejahatan yang paling berat.” (Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah, 2: 14) Baca juga: Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya Hukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Lalu, bagaimana jika tidak sampai mabuk? Sebagian orang menyangka, tidak masalah minum khamr, asalkan tidak sampai mabuk. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, karena minum khamr tetap haram, meskipun hanya dalam jumlah yang sedikit. Hal ini telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ “Apa saja yang dalam jumlah banyak itu memabukkan, maka hukumnya haram (meskipun) dalam jumlah yang sedikit.” (HR. Ahmad, 11: 119; dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ketika menjelaskan hadis ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, معناه: أن الشيء إذا تناولتَ منه كثيراً حصل الإسكار، وإن تناولت يسيراً لم يحصل الإسكار، حَرُم حتى اليسير الذي ليس فيه إسكار سدَّاً للذريعة، وليس المعنى: ما كان فيه قليل من خمر فهو حرام، لا ليس هذا هو المعنى، فالشيء الذي فيه قليل من الخمر يُنظر إن ظهرت آثار الخمر فيه من طعم أو لون أو سَكَر فهو حرام، وإن لم يظهر فإنه ليس بحرام؛ لأنه اضمحلَّ وزال أثره. ولهذا لو أن الماء أصابته نجاسة يسيرة لم تؤثر عليه بقي على طهوريته، كذلك هذا الشراب لما صار فيه نقطة أو نقطتان من الخمر؛ لكن لم يؤثر فيه، فإنه باقٍ على حِلِّه. “Maknanya adalah bahwa suatu benda (bahan), jika Anda mengonsumsinya dalam jumlah banyak akan menyebabkan mabuk, dan jika dikonsumsi sedikit, tidak akan menyebabkan mabuk; maka hukumnya haram, bahkan dalam jumlah sedikit yang tidak memabukkan. Hal ini dalam rangka menutup jalan (perantara) menuju yang haram. Namun, yang dimaksud bukanlah “apa pun yang mengandung khamr dalam jumlah sedikit itu haram”, bukan begitu maknanya. Suatu benda yang mengandung sedikit khamr perlu dilihat, jika tanda-tanda (pengaruh) khamr seperti rasa, warna, atau efek memabukkan itu masih jelas (tampak), maka itu haram. Namun, jika tidak ada tanda-tanda tersebut, maka itu tidak haram, karena pengaruhnya telah hilang dan tidak ada lagi. Oleh karena itu, jika air terkena najis dalam jumlah sedikit yang tidak mempengaruhi sifatnya, ia tetap dalam keadaan suci. Begitu juga dengan minuman ini, jika hanya mengandung sedikit khamr, tetapi tidak berpengaruh terhadap efeknya, maka tetap halal.” (Jilsaat Ramadhaniyyah, 1: 107; Asy-Syamilah) Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila suatu minuman itu murni khamr, maka haram diminum, baik dalam jumlah sedikit (tidak sampai mabuk) ataupun banyak. Adapun jika khamr itu tercampur dengan bahan (minuman) lain yang halal, maka dirinci. Misalnya, ada air minum satu galon besar yang tidak sengaja kejatuhan satu atau dua tetes khamr. Apabila khamr tersebut tidak memiliki pengaruh, baik rasa, warna, atau efek khamr-nya hilang karena terencerkan, maka minuman yang tercampur tersebut tetap halal. Adapun jika pengaruh khamr tetap ada, baik terhadap rasa, warna, dan juga efek memabukkannya tidak hilang, maka campuran tersebut haram. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** @Fall, 11 Jumadil awal 1446/ 13 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Pengertian khamrHukum minum khamrHukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Permasalahan hukum minum khamr sebetulnya sudah jelas dipahami, bagi orang-orang awam sekalipun, terutama kaum muslimin yang masih memiliki semangat dan kecemburuan dalam agama. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi perbuatan ini dan tidak dekat-dekat dengannya. Hal ini karena tampaknya sebagian orang yang menganggap remeh, bahkan menganggap biasa-biasa saja perbuatan ini, atau bahkan menjadi kebiasaan pada momen atau waktu tertentu. Kita berlindung kepada Allah dari perkara ini. Pengertian khamr Secara bahasa, khamr berarti, التَّغطيةُ والسَّترُ “menutupi” atau “menyembunyikan”. Berdasarkan makna bahasa ini, kerudung wanita disebut khimar (خِمارُ), karena khimar tersebut menutupi kepala. (Lihat Ash-Sihah oleh Al-Jawhari, 2: 649; Maqayis al-Lughah oleh Ibnu Faris, 2: 215) Adapun secara istilah, khamr adalah, هي كُلُّ ما يُسكِرُ قَليلُه أو كثيرُه، سواءٌ اتُّخِذَ مِن العِنَبِ أو التَّمرِ، أو الحِنْطةِ أو الشَّعيرِ، أو غيرِها “Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik itu dibuat dari anggur, kurma, hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), atau bahan-bahan lainnya.” (Lihat Al-Furu’ oleh Ibnu Muflih, 10: 96; Al-Inshaf oleh Al-Mardawi, 10: 172; dan Al-Fawakih ad-Dawani oleh An-Nafrawi, 2: 288) Sehingga khamr itu dapat berasal dari bahan apa saja, asalkan memiliki efek memabukkan. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ “Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr, dan segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Dalam lafaz yang lain, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mendengar ayahnya, ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, berkhotbah di mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهْىَ مِنْ خَمْسَةٍ ، مِنَ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ ، وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ “Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Khamr itu berasal dari lima macam: anggur, kurma, madu lebah, hinthoh (gandum halus), dan sya’ir (gandum kasar). Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal.” (HR. Bukhari no. 5581 dan Muslim no. 3032) Perkataan beliau, “Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal”; menunjukkan bahwa khamr tidak terbatas hanya pada lima jenis yang beliau sebutkan sebelumnya, dan bahwa sebab disebut khamr adalah karena memiliki efek memabukkan dan dapat menutupi akal. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai al-bit’i (arak yang biasa diminum penduduk Yaman). Beliau kemudian menjawab dengan memberikan kaidah dan definisi umum, كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap minuman yang memabukkan, maka hukumnya haram.” (HR. Bukhari no. 5586 dan Muslim no. 2001) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فلفظ الخمر عام ففي كل مسكر فإخرج بعض الأشربة المسكرة عن شمول اسم الخمر لها تقصير به وهضم لعمومه بل الحق ما قاله صاحب الشرع كل مسكر خمر “Kata ‘khamr’ bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang memabukkan. Mengeluarkan beberapa jenis minuman yang memabukkan dari definisi ‘khamr’ berarti mengurangi dan mengingkari maknanya yang umum tersebut. Sesungguhnya, yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr.” (I’laamul Muwaqi’in, 1: 261) Seseorang yang minum, dia akan mabuk, yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya kesadaran; dan juga merasa senang, nikmat, rileks, atau nge-fly. Hukum minum khamr Para ulama sepakat bahwa meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, يذم تعالى هذه الأشياء القبيحة، ويخبر أنها من عمل الشيطان، وأنها رجس. {فَاجْتَنِبُوهُ} أي: اتركوه {لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} فإن الفلاح لا يتم إلا بترك ما حرم الله، خصوصا هذه الفواحش المذكورة، وهي الخمر وهي: كل ما خامر العقل أي: غطاه بسكره “Allah Ta’ala mencela perkara-perkara yang buruk ini dan menjelaskan bahwa perkara-perkara tersebut adalah perbuatan setan dan merupakan kotoran (najis). Yang dimaksud dengan, فَاجْتَنِبُوهُ ‘jauhilah’ adalah ‘tinggalkanlah’. ‘Agar kalian mendapat keberuntungan’, karena keberuntungan (kesuksesan) tidak akan tercapai kecuali dengan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah, terutama keburukan-keburukan yang disebutkan (dalam ayat) ini, yaitu khamr. Khamr adalah segala sesuatu yang dapat mengacaukan akal, yakni menutupinya dengan efek memabukkannya.” Beliau rahimahullah juga kemudian melanjutkan penjelasannya, فهذه الأربعة نهى الله عنها وزجر، وأخبر عن مفاسدها الداعية إلى تركها واجتنابها. فمنها: أنها رجس، أي: خبث، نجس معنى، وإن لم تكن نجسة حسا. “Maka keempat perkara ini dilarang oleh Allah Ta’ala dan diperingatkan dengan keras. Allah juga menjelaskan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perkara-perkara tersebut, yang mendorong kita untuk meninggalkan dan menjauhinya. Di antaranya adalah bahwa hal-hal ini merupakan rijs, yakni sesuatu yang kotor, najis secara maknawi, meskipun tidak najis secara dzatnya.” (Taisir Karimir Rahman, tafsir surah Al-Maidah ayat 90) An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan adanya ijmak kaum muslimin tentang haramnya minum khamr, وَأَمَّا الْخَمْر فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى تَحْرِيم شُرْب الْخَمْر ، وَأَجْمَعُوا عَلَى وُجُوب الْحَدّ عَلَى شَارِبهَا ، سَوَاء شَرِبَ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا  “Adapun khamr, kaum muslimin telah ijmak (sepakat) atas haramnya meminum khamr, dan juga ijmak wajibnya diberlakukan hukuman had atas peminumnya, baik meminumnya dalam jumlah sedikit maupun banyak.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 129) Dalam kitab Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah disebutkan, أما السنة فهي مملوءة بالأحاديث الدالة على تحريم شرب الخمر والتنفير من القرب منه وكفى فيه قوله صلى الله عليه و سلم : ” لا يزنى الزاني حين يزني وهومؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهومؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ” وقد أجمع المسلمون وائمتهم على تحريم الخمر وأنها من أرذل الكبائر وأشد الجرائم “Adapun sunah, maka banyak hadis yang menunjukkan haramnya minum khamr dan peringatan untuk menjauhinya. Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ ”Seorang pezina tidaklah berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman; seorang pencuri tidaklah mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman; dan seorang peminum khamr tidaklah minum khamr ketika ia meminumnya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari no. 6810 dan Muslim no. 57) Kaum muslimin dan para imam telah ijmak (sepakat) haramnya khamr dan bahwa khamr termasuk dari dosa-dosa besar yang paling tercela dan kejahatan yang paling berat.” (Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah, 2: 14) Baca juga: Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya Hukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Lalu, bagaimana jika tidak sampai mabuk? Sebagian orang menyangka, tidak masalah minum khamr, asalkan tidak sampai mabuk. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, karena minum khamr tetap haram, meskipun hanya dalam jumlah yang sedikit. Hal ini telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ “Apa saja yang dalam jumlah banyak itu memabukkan, maka hukumnya haram (meskipun) dalam jumlah yang sedikit.” (HR. Ahmad, 11: 119; dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ketika menjelaskan hadis ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, معناه: أن الشيء إذا تناولتَ منه كثيراً حصل الإسكار، وإن تناولت يسيراً لم يحصل الإسكار، حَرُم حتى اليسير الذي ليس فيه إسكار سدَّاً للذريعة، وليس المعنى: ما كان فيه قليل من خمر فهو حرام، لا ليس هذا هو المعنى، فالشيء الذي فيه قليل من الخمر يُنظر إن ظهرت آثار الخمر فيه من طعم أو لون أو سَكَر فهو حرام، وإن لم يظهر فإنه ليس بحرام؛ لأنه اضمحلَّ وزال أثره. ولهذا لو أن الماء أصابته نجاسة يسيرة لم تؤثر عليه بقي على طهوريته، كذلك هذا الشراب لما صار فيه نقطة أو نقطتان من الخمر؛ لكن لم يؤثر فيه، فإنه باقٍ على حِلِّه. “Maknanya adalah bahwa suatu benda (bahan), jika Anda mengonsumsinya dalam jumlah banyak akan menyebabkan mabuk, dan jika dikonsumsi sedikit, tidak akan menyebabkan mabuk; maka hukumnya haram, bahkan dalam jumlah sedikit yang tidak memabukkan. Hal ini dalam rangka menutup jalan (perantara) menuju yang haram. Namun, yang dimaksud bukanlah “apa pun yang mengandung khamr dalam jumlah sedikit itu haram”, bukan begitu maknanya. Suatu benda yang mengandung sedikit khamr perlu dilihat, jika tanda-tanda (pengaruh) khamr seperti rasa, warna, atau efek memabukkan itu masih jelas (tampak), maka itu haram. Namun, jika tidak ada tanda-tanda tersebut, maka itu tidak haram, karena pengaruhnya telah hilang dan tidak ada lagi. Oleh karena itu, jika air terkena najis dalam jumlah sedikit yang tidak mempengaruhi sifatnya, ia tetap dalam keadaan suci. Begitu juga dengan minuman ini, jika hanya mengandung sedikit khamr, tetapi tidak berpengaruh terhadap efeknya, maka tetap halal.” (Jilsaat Ramadhaniyyah, 1: 107; Asy-Syamilah) Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila suatu minuman itu murni khamr, maka haram diminum, baik dalam jumlah sedikit (tidak sampai mabuk) ataupun banyak. Adapun jika khamr itu tercampur dengan bahan (minuman) lain yang halal, maka dirinci. Misalnya, ada air minum satu galon besar yang tidak sengaja kejatuhan satu atau dua tetes khamr. Apabila khamr tersebut tidak memiliki pengaruh, baik rasa, warna, atau efek khamr-nya hilang karena terencerkan, maka minuman yang tercampur tersebut tetap halal. Adapun jika pengaruh khamr tetap ada, baik terhadap rasa, warna, dan juga efek memabukkannya tidak hilang, maka campuran tersebut haram. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** @Fall, 11 Jumadil awal 1446/ 13 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Pengertian khamrHukum minum khamrHukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Permasalahan hukum minum khamr sebetulnya sudah jelas dipahami, bagi orang-orang awam sekalipun, terutama kaum muslimin yang masih memiliki semangat dan kecemburuan dalam agama. Akan tetapi, penulis merasa perlu untuk menuliskannya kembali, sebagai bentuk nasihat kepada penulis sendiri dan juga kaum muslimin, untuk menjauhi perbuatan ini dan tidak dekat-dekat dengannya. Hal ini karena tampaknya sebagian orang yang menganggap remeh, bahkan menganggap biasa-biasa saja perbuatan ini, atau bahkan menjadi kebiasaan pada momen atau waktu tertentu. Kita berlindung kepada Allah dari perkara ini. Pengertian khamr Secara bahasa, khamr berarti, التَّغطيةُ والسَّترُ “menutupi” atau “menyembunyikan”. Berdasarkan makna bahasa ini, kerudung wanita disebut khimar (خِمارُ), karena khimar tersebut menutupi kepala. (Lihat Ash-Sihah oleh Al-Jawhari, 2: 649; Maqayis al-Lughah oleh Ibnu Faris, 2: 215) Adapun secara istilah, khamr adalah, هي كُلُّ ما يُسكِرُ قَليلُه أو كثيرُه، سواءٌ اتُّخِذَ مِن العِنَبِ أو التَّمرِ، أو الحِنْطةِ أو الشَّعيرِ، أو غيرِها “Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik itu dibuat dari anggur, kurma, hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), atau bahan-bahan lainnya.” (Lihat Al-Furu’ oleh Ibnu Muflih, 10: 96; Al-Inshaf oleh Al-Mardawi, 10: 172; dan Al-Fawakih ad-Dawani oleh An-Nafrawi, 2: 288) Sehingga khamr itu dapat berasal dari bahan apa saja, asalkan memiliki efek memabukkan. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ “Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr, dan segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Dalam lafaz yang lain, كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram.” (HR. Muslim no. 2003) Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mendengar ayahnya, ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, berkhotbah di mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهْىَ مِنْ خَمْسَةٍ ، مِنَ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ ، وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ “Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, Allah telah menurunkan pengharaman khamr. Khamr itu berasal dari lima macam: anggur, kurma, madu lebah, hinthoh (gandum halus), dan sya’ir (gandum kasar). Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal.” (HR. Bukhari no. 5581 dan Muslim no. 3032) Perkataan beliau, “Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (menguasai) akal”; menunjukkan bahwa khamr tidak terbatas hanya pada lima jenis yang beliau sebutkan sebelumnya, dan bahwa sebab disebut khamr adalah karena memiliki efek memabukkan dan dapat menutupi akal. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai al-bit’i (arak yang biasa diminum penduduk Yaman). Beliau kemudian menjawab dengan memberikan kaidah dan definisi umum, كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ “Setiap minuman yang memabukkan, maka hukumnya haram.” (HR. Bukhari no. 5586 dan Muslim no. 2001) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, فلفظ الخمر عام ففي كل مسكر فإخرج بعض الأشربة المسكرة عن شمول اسم الخمر لها تقصير به وهضم لعمومه بل الحق ما قاله صاحب الشرع كل مسكر خمر “Kata ‘khamr’ bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang memabukkan. Mengeluarkan beberapa jenis minuman yang memabukkan dari definisi ‘khamr’ berarti mengurangi dan mengingkari maknanya yang umum tersebut. Sesungguhnya, yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr.” (I’laamul Muwaqi’in, 1: 261) Seseorang yang minum, dia akan mabuk, yang ditandai dengan berkurang atau hilangnya kesadaran; dan juga merasa senang, nikmat, rileks, atau nge-fly. Hukum minum khamr Para ulama sepakat bahwa meminum khamr hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor), termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90) Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, يذم تعالى هذه الأشياء القبيحة، ويخبر أنها من عمل الشيطان، وأنها رجس. {فَاجْتَنِبُوهُ} أي: اتركوه {لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} فإن الفلاح لا يتم إلا بترك ما حرم الله، خصوصا هذه الفواحش المذكورة، وهي الخمر وهي: كل ما خامر العقل أي: غطاه بسكره “Allah Ta’ala mencela perkara-perkara yang buruk ini dan menjelaskan bahwa perkara-perkara tersebut adalah perbuatan setan dan merupakan kotoran (najis). Yang dimaksud dengan, فَاجْتَنِبُوهُ ‘jauhilah’ adalah ‘tinggalkanlah’. ‘Agar kalian mendapat keberuntungan’, karena keberuntungan (kesuksesan) tidak akan tercapai kecuali dengan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah, terutama keburukan-keburukan yang disebutkan (dalam ayat) ini, yaitu khamr. Khamr adalah segala sesuatu yang dapat mengacaukan akal, yakni menutupinya dengan efek memabukkannya.” Beliau rahimahullah juga kemudian melanjutkan penjelasannya, فهذه الأربعة نهى الله عنها وزجر، وأخبر عن مفاسدها الداعية إلى تركها واجتنابها. فمنها: أنها رجس، أي: خبث، نجس معنى، وإن لم تكن نجسة حسا. “Maka keempat perkara ini dilarang oleh Allah Ta’ala dan diperingatkan dengan keras. Allah juga menjelaskan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perkara-perkara tersebut, yang mendorong kita untuk meninggalkan dan menjauhinya. Di antaranya adalah bahwa hal-hal ini merupakan rijs, yakni sesuatu yang kotor, najis secara maknawi, meskipun tidak najis secara dzatnya.” (Taisir Karimir Rahman, tafsir surah Al-Maidah ayat 90) An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan adanya ijmak kaum muslimin tentang haramnya minum khamr, وَأَمَّا الْخَمْر فَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى تَحْرِيم شُرْب الْخَمْر ، وَأَجْمَعُوا عَلَى وُجُوب الْحَدّ عَلَى شَارِبهَا ، سَوَاء شَرِبَ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا  “Adapun khamr, kaum muslimin telah ijmak (sepakat) atas haramnya meminum khamr, dan juga ijmak wajibnya diberlakukan hukuman had atas peminumnya, baik meminumnya dalam jumlah sedikit maupun banyak.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 129) Dalam kitab Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah disebutkan, أما السنة فهي مملوءة بالأحاديث الدالة على تحريم شرب الخمر والتنفير من القرب منه وكفى فيه قوله صلى الله عليه و سلم : ” لا يزنى الزاني حين يزني وهومؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهومؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ” وقد أجمع المسلمون وائمتهم على تحريم الخمر وأنها من أرذل الكبائر وأشد الجرائم “Adapun sunah, maka banyak hadis yang menunjukkan haramnya minum khamr dan peringatan untuk menjauhinya. Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ ”Seorang pezina tidaklah berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman; seorang pencuri tidaklah mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman; dan seorang peminum khamr tidaklah minum khamr ketika ia meminumnya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari no. 6810 dan Muslim no. 57) Kaum muslimin dan para imam telah ijmak (sepakat) haramnya khamr dan bahwa khamr termasuk dari dosa-dosa besar yang paling tercela dan kejahatan yang paling berat.” (Fiqh ‘ala ‘Al-Madzaahib Al-Arba’ah, 2: 14) Baca juga: Hukum Menjual Khamr (Minuman Keras) dan Status Harta dari Hasil Penjualannya Hukum minum khamr jika tidak sampai mabuk Lalu, bagaimana jika tidak sampai mabuk? Sebagian orang menyangka, tidak masalah minum khamr, asalkan tidak sampai mabuk. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, karena minum khamr tetap haram, meskipun hanya dalam jumlah yang sedikit. Hal ini telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ “Apa saja yang dalam jumlah banyak itu memabukkan, maka hukumnya haram (meskipun) dalam jumlah yang sedikit.” (HR. Ahmad, 11: 119; dinilai sahih oleh Al-Arnauth) Ketika menjelaskan hadis ini, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, معناه: أن الشيء إذا تناولتَ منه كثيراً حصل الإسكار، وإن تناولت يسيراً لم يحصل الإسكار، حَرُم حتى اليسير الذي ليس فيه إسكار سدَّاً للذريعة، وليس المعنى: ما كان فيه قليل من خمر فهو حرام، لا ليس هذا هو المعنى، فالشيء الذي فيه قليل من الخمر يُنظر إن ظهرت آثار الخمر فيه من طعم أو لون أو سَكَر فهو حرام، وإن لم يظهر فإنه ليس بحرام؛ لأنه اضمحلَّ وزال أثره. ولهذا لو أن الماء أصابته نجاسة يسيرة لم تؤثر عليه بقي على طهوريته، كذلك هذا الشراب لما صار فيه نقطة أو نقطتان من الخمر؛ لكن لم يؤثر فيه، فإنه باقٍ على حِلِّه. “Maknanya adalah bahwa suatu benda (bahan), jika Anda mengonsumsinya dalam jumlah banyak akan menyebabkan mabuk, dan jika dikonsumsi sedikit, tidak akan menyebabkan mabuk; maka hukumnya haram, bahkan dalam jumlah sedikit yang tidak memabukkan. Hal ini dalam rangka menutup jalan (perantara) menuju yang haram. Namun, yang dimaksud bukanlah “apa pun yang mengandung khamr dalam jumlah sedikit itu haram”, bukan begitu maknanya. Suatu benda yang mengandung sedikit khamr perlu dilihat, jika tanda-tanda (pengaruh) khamr seperti rasa, warna, atau efek memabukkan itu masih jelas (tampak), maka itu haram. Namun, jika tidak ada tanda-tanda tersebut, maka itu tidak haram, karena pengaruhnya telah hilang dan tidak ada lagi. Oleh karena itu, jika air terkena najis dalam jumlah sedikit yang tidak mempengaruhi sifatnya, ia tetap dalam keadaan suci. Begitu juga dengan minuman ini, jika hanya mengandung sedikit khamr, tetapi tidak berpengaruh terhadap efeknya, maka tetap halal.” (Jilsaat Ramadhaniyyah, 1: 107; Asy-Syamilah) Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila suatu minuman itu murni khamr, maka haram diminum, baik dalam jumlah sedikit (tidak sampai mabuk) ataupun banyak. Adapun jika khamr itu tercampur dengan bahan (minuman) lain yang halal, maka dirinci. Misalnya, ada air minum satu galon besar yang tidak sengaja kejatuhan satu atau dua tetes khamr. Apabila khamr tersebut tidak memiliki pengaruh, baik rasa, warna, atau efek khamr-nya hilang karena terencerkan, maka minuman yang tercampur tersebut tetap halal. Adapun jika pengaruh khamr tetap ada, baik terhadap rasa, warna, dan juga efek memabukkannya tidak hilang, maka campuran tersebut haram. Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** @Fall, 11 Jumadil awal 1446/ 13 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id

Bagaimana Cara Menyucikan Hati dari Noda? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Pertanyaan: Ahsanallahu ilaikum, wahai Syaikh kami. Bagaimana seseorang bisa menyucikan hatinya dan menghilangkan noda dosa yang menutup hatinya? Jawaban: Penyuciannya dengan dua cara: Pertama, dengan menjauhkan unsur-unsur buruk yang dapat merusak hati. Apa saja unsur-unsur ini? Di antaranya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan. Terkhusus makan harta haram dan mendengar berita dusta. Mendengar berita dusta. Hal-hal ini dapat memengaruhi dan mencederai hati. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka kamu tidak akan mampu menolak apa pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta yang haram…” (QS. al-Maidah: 41 – 42). Jadi, seorang insan harus menjauhi harta haram dan tidak mendengar berita bohong Serta menjauhi seluruh dosa dan kemaksiatan lainnya. Inilah cara pertama. Adapun cara kedua adalah cara pendesakan. Yaitu dengan mendesak penutup hati itu dengan hal-hal yang bertolak belakang dengannya. Pertama-tama, dengan taubat yang tulus yang dapat menghilangkan noda itu. Lalu dengan mendengar ucapan-ucapan yang baik, baik itu dengan mendengar ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta petuah-petuah dan nasihat atau dengan menjadikan hati ini tidak mengonsumsi kecuali dengan harta halal yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang terbaik. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ شَيْخَنَا كَيْفَ يُطَهِّرُ الْإِنْسَانُ قَلْبَهُ وَكَيْفَ يُزِيْلُ الرَّانَ الَّذِي أَصَابَ قَلْبَهُ التَّطْهِيْرُ بِأَمْرَيْنِ الْأَوَّلُ بِإِبْعَادِ الْمَوَادِّ الْمُفْسِدَةِ الَّتِي تُفْسِدُ الْقَلْبَ مَا هِيَ هَذِهِ الْمَوَادُّ؟ مِنْهَا الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي وَخُصُوصًا أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تُؤَثِّرُ عَلَى الْقَلْبِ وَتَجْرَحُهُ وَانْظُرْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَن يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَيَجْتَنِبُ الْإِنْسَانُ الْمَالَ الْحَرَامَ وَيَجْتَنِبُ سَمَاعَ الْكَذِبِ وَيَجْتَنِبُ سَائِرَ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي هَذَا الطَرِيقُ الطَّرِيقُ الثَّانِي طَرِيقُ الْإِمْدَادِ فَيُمِدُّهَا بِمَا يُقَابِلُ ذَلِكَ أَوَّلُهَا بِالتَّوْبَةِ الصَّادِقَةِ الَّتِي تُزِيلُ الْأَثَرَ السَّابِقَ ثُمَّ بِسَمَاعِ الْحَدِيثِ الطَّيِّبِ سَوَاءً بِسَمَاعِ آيَاتِ الْقُرْآنِ وَأَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَوَاعِظِ وَالتَّذْكِيِر أَوْ بِجَعْلِ هَذَا الْقَلْبِ لَا يَتَغَذَّى إِلَّا بِالْمَالِ الْحَلَالِ الَّذِي يَكْسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنْ أَطْيَبِ الْمَكَاسِبِ

Bagaimana Cara Menyucikan Hati dari Noda? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Pertanyaan: Ahsanallahu ilaikum, wahai Syaikh kami. Bagaimana seseorang bisa menyucikan hatinya dan menghilangkan noda dosa yang menutup hatinya? Jawaban: Penyuciannya dengan dua cara: Pertama, dengan menjauhkan unsur-unsur buruk yang dapat merusak hati. Apa saja unsur-unsur ini? Di antaranya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan. Terkhusus makan harta haram dan mendengar berita dusta. Mendengar berita dusta. Hal-hal ini dapat memengaruhi dan mencederai hati. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka kamu tidak akan mampu menolak apa pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta yang haram…” (QS. al-Maidah: 41 – 42). Jadi, seorang insan harus menjauhi harta haram dan tidak mendengar berita bohong Serta menjauhi seluruh dosa dan kemaksiatan lainnya. Inilah cara pertama. Adapun cara kedua adalah cara pendesakan. Yaitu dengan mendesak penutup hati itu dengan hal-hal yang bertolak belakang dengannya. Pertama-tama, dengan taubat yang tulus yang dapat menghilangkan noda itu. Lalu dengan mendengar ucapan-ucapan yang baik, baik itu dengan mendengar ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta petuah-petuah dan nasihat atau dengan menjadikan hati ini tidak mengonsumsi kecuali dengan harta halal yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang terbaik. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ شَيْخَنَا كَيْفَ يُطَهِّرُ الْإِنْسَانُ قَلْبَهُ وَكَيْفَ يُزِيْلُ الرَّانَ الَّذِي أَصَابَ قَلْبَهُ التَّطْهِيْرُ بِأَمْرَيْنِ الْأَوَّلُ بِإِبْعَادِ الْمَوَادِّ الْمُفْسِدَةِ الَّتِي تُفْسِدُ الْقَلْبَ مَا هِيَ هَذِهِ الْمَوَادُّ؟ مِنْهَا الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي وَخُصُوصًا أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تُؤَثِّرُ عَلَى الْقَلْبِ وَتَجْرَحُهُ وَانْظُرْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَن يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَيَجْتَنِبُ الْإِنْسَانُ الْمَالَ الْحَرَامَ وَيَجْتَنِبُ سَمَاعَ الْكَذِبِ وَيَجْتَنِبُ سَائِرَ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي هَذَا الطَرِيقُ الطَّرِيقُ الثَّانِي طَرِيقُ الْإِمْدَادِ فَيُمِدُّهَا بِمَا يُقَابِلُ ذَلِكَ أَوَّلُهَا بِالتَّوْبَةِ الصَّادِقَةِ الَّتِي تُزِيلُ الْأَثَرَ السَّابِقَ ثُمَّ بِسَمَاعِ الْحَدِيثِ الطَّيِّبِ سَوَاءً بِسَمَاعِ آيَاتِ الْقُرْآنِ وَأَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَوَاعِظِ وَالتَّذْكِيِر أَوْ بِجَعْلِ هَذَا الْقَلْبِ لَا يَتَغَذَّى إِلَّا بِالْمَالِ الْحَلَالِ الَّذِي يَكْسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنْ أَطْيَبِ الْمَكَاسِبِ
Pertanyaan: Ahsanallahu ilaikum, wahai Syaikh kami. Bagaimana seseorang bisa menyucikan hatinya dan menghilangkan noda dosa yang menutup hatinya? Jawaban: Penyuciannya dengan dua cara: Pertama, dengan menjauhkan unsur-unsur buruk yang dapat merusak hati. Apa saja unsur-unsur ini? Di antaranya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan. Terkhusus makan harta haram dan mendengar berita dusta. Mendengar berita dusta. Hal-hal ini dapat memengaruhi dan mencederai hati. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka kamu tidak akan mampu menolak apa pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta yang haram…” (QS. al-Maidah: 41 – 42). Jadi, seorang insan harus menjauhi harta haram dan tidak mendengar berita bohong Serta menjauhi seluruh dosa dan kemaksiatan lainnya. Inilah cara pertama. Adapun cara kedua adalah cara pendesakan. Yaitu dengan mendesak penutup hati itu dengan hal-hal yang bertolak belakang dengannya. Pertama-tama, dengan taubat yang tulus yang dapat menghilangkan noda itu. Lalu dengan mendengar ucapan-ucapan yang baik, baik itu dengan mendengar ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta petuah-petuah dan nasihat atau dengan menjadikan hati ini tidak mengonsumsi kecuali dengan harta halal yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang terbaik. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ شَيْخَنَا كَيْفَ يُطَهِّرُ الْإِنْسَانُ قَلْبَهُ وَكَيْفَ يُزِيْلُ الرَّانَ الَّذِي أَصَابَ قَلْبَهُ التَّطْهِيْرُ بِأَمْرَيْنِ الْأَوَّلُ بِإِبْعَادِ الْمَوَادِّ الْمُفْسِدَةِ الَّتِي تُفْسِدُ الْقَلْبَ مَا هِيَ هَذِهِ الْمَوَادُّ؟ مِنْهَا الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي وَخُصُوصًا أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تُؤَثِّرُ عَلَى الْقَلْبِ وَتَجْرَحُهُ وَانْظُرْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَن يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَيَجْتَنِبُ الْإِنْسَانُ الْمَالَ الْحَرَامَ وَيَجْتَنِبُ سَمَاعَ الْكَذِبِ وَيَجْتَنِبُ سَائِرَ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي هَذَا الطَرِيقُ الطَّرِيقُ الثَّانِي طَرِيقُ الْإِمْدَادِ فَيُمِدُّهَا بِمَا يُقَابِلُ ذَلِكَ أَوَّلُهَا بِالتَّوْبَةِ الصَّادِقَةِ الَّتِي تُزِيلُ الْأَثَرَ السَّابِقَ ثُمَّ بِسَمَاعِ الْحَدِيثِ الطَّيِّبِ سَوَاءً بِسَمَاعِ آيَاتِ الْقُرْآنِ وَأَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَوَاعِظِ وَالتَّذْكِيِر أَوْ بِجَعْلِ هَذَا الْقَلْبِ لَا يَتَغَذَّى إِلَّا بِالْمَالِ الْحَلَالِ الَّذِي يَكْسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنْ أَطْيَبِ الْمَكَاسِبِ


Pertanyaan: Ahsanallahu ilaikum, wahai Syaikh kami. Bagaimana seseorang bisa menyucikan hatinya dan menghilangkan noda dosa yang menutup hatinya? Jawaban: Penyuciannya dengan dua cara: Pertama, dengan menjauhkan unsur-unsur buruk yang dapat merusak hati. Apa saja unsur-unsur ini? Di antaranya adalah dosa-dosa dan kemaksiatan. Terkhusus makan harta haram dan mendengar berita dusta. Mendengar berita dusta. Hal-hal ini dapat memengaruhi dan mencederai hati. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka kamu tidak akan mampu menolak apa pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta yang haram…” (QS. al-Maidah: 41 – 42). Jadi, seorang insan harus menjauhi harta haram dan tidak mendengar berita bohong Serta menjauhi seluruh dosa dan kemaksiatan lainnya. Inilah cara pertama. Adapun cara kedua adalah cara pendesakan. Yaitu dengan mendesak penutup hati itu dengan hal-hal yang bertolak belakang dengannya. Pertama-tama, dengan taubat yang tulus yang dapat menghilangkan noda itu. Lalu dengan mendengar ucapan-ucapan yang baik, baik itu dengan mendengar ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta petuah-petuah dan nasihat atau dengan menjadikan hati ini tidak mengonsumsi kecuali dengan harta halal yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang terbaik. ==== أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ شَيْخَنَا كَيْفَ يُطَهِّرُ الْإِنْسَانُ قَلْبَهُ وَكَيْفَ يُزِيْلُ الرَّانَ الَّذِي أَصَابَ قَلْبَهُ التَّطْهِيْرُ بِأَمْرَيْنِ الْأَوَّلُ بِإِبْعَادِ الْمَوَادِّ الْمُفْسِدَةِ الَّتِي تُفْسِدُ الْقَلْبَ مَا هِيَ هَذِهِ الْمَوَادُّ؟ مِنْهَا الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي وَخُصُوصًا أَكْلُ الْمَالِ الْحَرَامِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ وَسَمَاعُ الْحَدِيثِ الْكَاذِبِ فَهَذِهِ أُمُورٌ تُؤَثِّرُ عَلَى الْقَلْبِ وَتَجْرَحُهُ وَانْظُرْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمَن يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَيَجْتَنِبُ الْإِنْسَانُ الْمَالَ الْحَرَامَ وَيَجْتَنِبُ سَمَاعَ الْكَذِبِ وَيَجْتَنِبُ سَائِرَ الذُّنُوبِ وَالْمَعَاصِي هَذَا الطَرِيقُ الطَّرِيقُ الثَّانِي طَرِيقُ الْإِمْدَادِ فَيُمِدُّهَا بِمَا يُقَابِلُ ذَلِكَ أَوَّلُهَا بِالتَّوْبَةِ الصَّادِقَةِ الَّتِي تُزِيلُ الْأَثَرَ السَّابِقَ ثُمَّ بِسَمَاعِ الْحَدِيثِ الطَّيِّبِ سَوَاءً بِسَمَاعِ آيَاتِ الْقُرْآنِ وَأَحَادِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمَوَاعِظِ وَالتَّذْكِيِر أَوْ بِجَعْلِ هَذَا الْقَلْبِ لَا يَتَغَذَّى إِلَّا بِالْمَالِ الْحَلَالِ الَّذِي يَكْسِبُهُ الْإِنْسَانُ مِنْ أَطْيَبِ الْمَكَاسِبِ

Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat

Daftar Isi Toggle Salat SubuhSalat ZuhurSalat AsarSalat MagribSalat Isya Sebagai pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sepatutnya kita meneladani beliau, terutama dalam masalah ibadah. Salah satu ibadah agung, yang tentunya kita harus bersemangat untuk mencontoh beliau shallallahu ’alaihi wasallam adalah ibadah salat. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR. Bukhari) Di antara hal yang kita lakukan ketika salat adalah membaca surah dalam Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah. Kira-kira surah apa saja yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat? Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ما رأيتُ رجلًا أشبهَ صلاةً من فلانٍ لإمامٍ كان بالمدينةِ . قال سليمانُ بنُ يَسارٍ فصليتُ خلفهُ فكان يطيلُ الأُوليَينِ من الظهرِ ويخففُ الأُخرَيينِ ، ويخففُ العصرَ ، ويقرأُ في الأولَيينِ من المغربِ بقصارِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الأُوليَينِ من العشاءِ من وسطِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الغداةِ بطوالِ المفصَّلِ “Tidaklah aku melihat seseorang yang salatnya lebih serupa (dengan Rasulullah) dari fulan, imam di Madinah. Sulaiman bin Yasar berkata, ‘Aku salat di belakangnya dan ia memanjangkan dua rakaat awal salat Zuhur dan meringankan dua rakaat akhirnya, meringankan salat Asar, membaca pada salat Magrib qishar mufashal, membaca pada dua rakaat awal salat Isya denga wasath (pertengahan) mufashal, dan membaca di waktu pagi (subuh) dengan thiwal mufashal.” (HR. Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang surah mufashal, والمفصل يبتدئ من سورة ق إلى آخر الناس، وطوال المفصل من ق إلى عم، وأوساطه من عم إلى الضحى وقصاره من الضحى إلى آخر سورة الناس. وسُمي مفصلا لكثرة فواصله؛ لأن سوره قصيرة. “Mufashal dimulai dari surah Qaf hinga akhir surah An-Nas. Thiwal mufashal dari surah Qaf hingga ‘Amma (An-Naba). Pertengahannya dari surah ‘Amma (An-Naba) hinga surah Ad-Duha. Dan qishar mufashal dari surah Ad-Duha hingga akhir surat An-Nas. Dinamakan mufashal dikarenakan banyaknya bagiannya dan surah-surahnya yang pendek.” Secara umum, itulah surah yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat. Lalu, secara khusus akan kita bahas satu per satu surah yang dibaca Rasulullah pada 5 waktu salat wajib. Salat Subuh Secara umum, ketika salat Subuh, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca surah-surah yang panjang ketika salat Subuh. Di antara hadis yang menunjukkan panjangnya bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ مَا بَيْنَ السَّيِّينَ إلى المائة آية “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Fajr (Subuh) antara 60 hingga 100 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَقْرَأُ في الفَجْرِ بـ ق والْقُرْآنِ المَجِيدِ وكانَ صَلَاتُهُ بَعْدُ تَخْفِيفًا “Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Subuh surah Qaf dan salat beliau setelahnya ringan.” (HR. Muslim) Lalu, hadis lainnya yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, أَنَّهُ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَقَرَأَ الرُّومَ فَالْتَبَسَ “Sesungguhnya beliau shallallahu ’alaihi wasallam salat Subuh, lalu membaca surah Ar-Rum, lalu bercampur.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasalam di waktu Subuh adalah hadis yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud, أَنَّهُ سَمِعَ النبي : يقرأ في الصُّبْحُ إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا “Bahwasanya ia mendengar Nabi membaca pada salat Subuh surah Az-Zalzalah.” (HR. Abu Dawud) Walaupun secara umum, bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada salat Subuh itu panjang, bukan berarti tidak boleh membaca surah yang pendek. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ’anhu, أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ  ﷺ المُعَوَّذَتَيْنِ. قَالَ عُقْبَةُ:فَأَمَّنَا بِهِمَا رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ “Bahwasanya ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mu’awwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq). Uqbah berkata, ‘Maka, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengamini keduanya pada salat Fajr (Subuh).’ ” (HR. An-Nasa’i) Salat Zuhur Adapun ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur, disebutkan dalam beberapa hadis. Di antaranya hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ النَّبِيَّ  يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ بِاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَفِي الْعَصْرِ نَحْوَ ذَلِكَ “Nabi membaca pada salat Zuhur surah Al-Lail, dan pada salat Asar semisal itu.” (HR. Muslim) Hadis lainnya adalah hadis dari Bara’ radhiyallahu ’anhu, كُنَّا نُصَلِّي خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ الظُّهْرَ فَنَسْمَعُ مِنْهُ الْآيَةَ بَعْدَ الْآيَاتِ مِنْ سُورَةِ لُقْمَانَ، وَالدَّارِيَاتِ “Kami pernah salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu Zuhur. Kami mendengar dari beliau ayat-ayat dari surah Luqman dan surah Adz-Dzariyat.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Nabi ketika salat Zuhur adalah hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوحِ، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَنَحْوِهِمَا “Beliau membaca pada salat Zuhur dan Asar dengan surah Al-Buruj dan surah At-Thariq dan semisal keduanya.” (HR. An-Nasa’i) Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah Salat Asar Bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Asar semisal dengan bacaan beliau shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur sebagaimana hadis-hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Salat Magrib Ketika salat Magrib, sebagaimana hadis yang disebutkan, bacaannya merupakan surah-surah pendek. Akan tetapi, banyak hadis lainnya juga yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Magrib. Di antaranya, hadis dari Marwan bin Al-Hakam, قال لي زيد بن ثابت مَا لَكَ نَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِقِصَارِ – وفي رواية: بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ؟! وَقَدْ سَمِعْتُ  لنَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ بِطُولَى الطُّولَتَيْنِ “Zaid bin Tsabit telah berkata padaku, ‘Mengapa engkau membaca pada salat Magrib dengan qishar?’ Pada riwayat lain, ‘… dengan qishar mufashal?’ Sungguh aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca dengan dua surah panjang (Al-An’am dan Al-A’raf).” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi di salat Magrib adalah hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِي صَلَاةِ المَغْرِبِ بِسُورَةِ الْأَعْرَافِ فَرَّقَهَا فِي رَكْعَتَيْنِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Magrib dengan surah Al-A’raf dan membaginya menjadi dua rakaat.” (HR. An-Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang bacaan pada salat Magrib, فلا بأس أن يطيل الإنسان في المغرب أحيانًا، بل ينبغي له أن يقرأ بطوال المفصل في بعض الأحيان، كما ثبت عنه أنه قرأ في المغرب بالطور، وبالأعراف أيضًا فرّقها في ركعتين، فلا ينبغي أن يكون دائما في صلاة المغرب من قصار المفصل، بل من السنة أن تقرأ فيها بطوال المفصل في بعض الليالي “Maka, tidak mengapa orang-orang untuk memanjangkan bacaan pada salat Magrib sewaktu-waktu. Perlu baginya untuk membaca thiwal mufashal pada sebagian waktu, sebagaimana hadis yang menetapkan bahwa beliau (Rasulullah) membaca pada salat Magrib dengan surah At-Tur, dan juga surah Al-A’raf yang dibagi pada dua rakaat. Tidaklah sepatutnya untuk terus-menerus membaca qishar mufashal pada salat Magrib. Akan tetapi, termasuk bagian dari sunah adalah membaca thiwal mufashal pada sebagian malam.” Salat Isya Bacaan surah yang dibaca pada salat Isya di antaranya adalah beberapa hadis berikut. Hadis pertama merupakan hadis dari Jabir radhiyallahu ’anhu ketika ada seorang yang mengadukan Muadz bin Jabal ketika mengimami dan membaca surah yang panjang ketika salat Isya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Muadz, اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَهَا، وسَبحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعلى وَنَحْوَهُمَا “Bacalah surah Asy-Syams dan Al-A’la, dan semisal keduanya.” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat Isya adalah hadis, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرأْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَأَشْبَاهِهَا مِنَ السُّوَرِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Isya yang terakhir dengan surah Asy-Syamsi dan yang semisalnya dari surah-surah lainnya.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya adalah hadis dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ’anhu, أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ فِي سَفَرٍ فَقَرَأَ فِي العِشَاءِ فِي إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ : بِالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ “Sesungguhnya Nabi ketika safar, beliau membaca pada salat Isya pada salah satu rakaatnya dengan surah At-Tin.” (HR. Bukhari) Itulah gambaran umum mengenai surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan salat wajib. Baca juga: Surah Al-Ikhlas Setara dengan Sepertiga Al-Qur’an? *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Mumammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat

Daftar Isi Toggle Salat SubuhSalat ZuhurSalat AsarSalat MagribSalat Isya Sebagai pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sepatutnya kita meneladani beliau, terutama dalam masalah ibadah. Salah satu ibadah agung, yang tentunya kita harus bersemangat untuk mencontoh beliau shallallahu ’alaihi wasallam adalah ibadah salat. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR. Bukhari) Di antara hal yang kita lakukan ketika salat adalah membaca surah dalam Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah. Kira-kira surah apa saja yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat? Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ما رأيتُ رجلًا أشبهَ صلاةً من فلانٍ لإمامٍ كان بالمدينةِ . قال سليمانُ بنُ يَسارٍ فصليتُ خلفهُ فكان يطيلُ الأُوليَينِ من الظهرِ ويخففُ الأُخرَيينِ ، ويخففُ العصرَ ، ويقرأُ في الأولَيينِ من المغربِ بقصارِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الأُوليَينِ من العشاءِ من وسطِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الغداةِ بطوالِ المفصَّلِ “Tidaklah aku melihat seseorang yang salatnya lebih serupa (dengan Rasulullah) dari fulan, imam di Madinah. Sulaiman bin Yasar berkata, ‘Aku salat di belakangnya dan ia memanjangkan dua rakaat awal salat Zuhur dan meringankan dua rakaat akhirnya, meringankan salat Asar, membaca pada salat Magrib qishar mufashal, membaca pada dua rakaat awal salat Isya denga wasath (pertengahan) mufashal, dan membaca di waktu pagi (subuh) dengan thiwal mufashal.” (HR. Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang surah mufashal, والمفصل يبتدئ من سورة ق إلى آخر الناس، وطوال المفصل من ق إلى عم، وأوساطه من عم إلى الضحى وقصاره من الضحى إلى آخر سورة الناس. وسُمي مفصلا لكثرة فواصله؛ لأن سوره قصيرة. “Mufashal dimulai dari surah Qaf hinga akhir surah An-Nas. Thiwal mufashal dari surah Qaf hingga ‘Amma (An-Naba). Pertengahannya dari surah ‘Amma (An-Naba) hinga surah Ad-Duha. Dan qishar mufashal dari surah Ad-Duha hingga akhir surat An-Nas. Dinamakan mufashal dikarenakan banyaknya bagiannya dan surah-surahnya yang pendek.” Secara umum, itulah surah yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat. Lalu, secara khusus akan kita bahas satu per satu surah yang dibaca Rasulullah pada 5 waktu salat wajib. Salat Subuh Secara umum, ketika salat Subuh, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca surah-surah yang panjang ketika salat Subuh. Di antara hadis yang menunjukkan panjangnya bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ مَا بَيْنَ السَّيِّينَ إلى المائة آية “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Fajr (Subuh) antara 60 hingga 100 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَقْرَأُ في الفَجْرِ بـ ق والْقُرْآنِ المَجِيدِ وكانَ صَلَاتُهُ بَعْدُ تَخْفِيفًا “Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Subuh surah Qaf dan salat beliau setelahnya ringan.” (HR. Muslim) Lalu, hadis lainnya yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, أَنَّهُ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَقَرَأَ الرُّومَ فَالْتَبَسَ “Sesungguhnya beliau shallallahu ’alaihi wasallam salat Subuh, lalu membaca surah Ar-Rum, lalu bercampur.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasalam di waktu Subuh adalah hadis yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud, أَنَّهُ سَمِعَ النبي : يقرأ في الصُّبْحُ إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا “Bahwasanya ia mendengar Nabi membaca pada salat Subuh surah Az-Zalzalah.” (HR. Abu Dawud) Walaupun secara umum, bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada salat Subuh itu panjang, bukan berarti tidak boleh membaca surah yang pendek. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ’anhu, أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ  ﷺ المُعَوَّذَتَيْنِ. قَالَ عُقْبَةُ:فَأَمَّنَا بِهِمَا رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ “Bahwasanya ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mu’awwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq). Uqbah berkata, ‘Maka, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengamini keduanya pada salat Fajr (Subuh).’ ” (HR. An-Nasa’i) Salat Zuhur Adapun ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur, disebutkan dalam beberapa hadis. Di antaranya hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ النَّبِيَّ  يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ بِاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَفِي الْعَصْرِ نَحْوَ ذَلِكَ “Nabi membaca pada salat Zuhur surah Al-Lail, dan pada salat Asar semisal itu.” (HR. Muslim) Hadis lainnya adalah hadis dari Bara’ radhiyallahu ’anhu, كُنَّا نُصَلِّي خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ الظُّهْرَ فَنَسْمَعُ مِنْهُ الْآيَةَ بَعْدَ الْآيَاتِ مِنْ سُورَةِ لُقْمَانَ، وَالدَّارِيَاتِ “Kami pernah salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu Zuhur. Kami mendengar dari beliau ayat-ayat dari surah Luqman dan surah Adz-Dzariyat.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Nabi ketika salat Zuhur adalah hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوحِ، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَنَحْوِهِمَا “Beliau membaca pada salat Zuhur dan Asar dengan surah Al-Buruj dan surah At-Thariq dan semisal keduanya.” (HR. An-Nasa’i) Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah Salat Asar Bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Asar semisal dengan bacaan beliau shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur sebagaimana hadis-hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Salat Magrib Ketika salat Magrib, sebagaimana hadis yang disebutkan, bacaannya merupakan surah-surah pendek. Akan tetapi, banyak hadis lainnya juga yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Magrib. Di antaranya, hadis dari Marwan bin Al-Hakam, قال لي زيد بن ثابت مَا لَكَ نَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِقِصَارِ – وفي رواية: بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ؟! وَقَدْ سَمِعْتُ  لنَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ بِطُولَى الطُّولَتَيْنِ “Zaid bin Tsabit telah berkata padaku, ‘Mengapa engkau membaca pada salat Magrib dengan qishar?’ Pada riwayat lain, ‘… dengan qishar mufashal?’ Sungguh aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca dengan dua surah panjang (Al-An’am dan Al-A’raf).” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi di salat Magrib adalah hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِي صَلَاةِ المَغْرِبِ بِسُورَةِ الْأَعْرَافِ فَرَّقَهَا فِي رَكْعَتَيْنِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Magrib dengan surah Al-A’raf dan membaginya menjadi dua rakaat.” (HR. An-Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang bacaan pada salat Magrib, فلا بأس أن يطيل الإنسان في المغرب أحيانًا، بل ينبغي له أن يقرأ بطوال المفصل في بعض الأحيان، كما ثبت عنه أنه قرأ في المغرب بالطور، وبالأعراف أيضًا فرّقها في ركعتين، فلا ينبغي أن يكون دائما في صلاة المغرب من قصار المفصل، بل من السنة أن تقرأ فيها بطوال المفصل في بعض الليالي “Maka, tidak mengapa orang-orang untuk memanjangkan bacaan pada salat Magrib sewaktu-waktu. Perlu baginya untuk membaca thiwal mufashal pada sebagian waktu, sebagaimana hadis yang menetapkan bahwa beliau (Rasulullah) membaca pada salat Magrib dengan surah At-Tur, dan juga surah Al-A’raf yang dibagi pada dua rakaat. Tidaklah sepatutnya untuk terus-menerus membaca qishar mufashal pada salat Magrib. Akan tetapi, termasuk bagian dari sunah adalah membaca thiwal mufashal pada sebagian malam.” Salat Isya Bacaan surah yang dibaca pada salat Isya di antaranya adalah beberapa hadis berikut. Hadis pertama merupakan hadis dari Jabir radhiyallahu ’anhu ketika ada seorang yang mengadukan Muadz bin Jabal ketika mengimami dan membaca surah yang panjang ketika salat Isya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Muadz, اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَهَا، وسَبحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعلى وَنَحْوَهُمَا “Bacalah surah Asy-Syams dan Al-A’la, dan semisal keduanya.” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat Isya adalah hadis, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرأْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَأَشْبَاهِهَا مِنَ السُّوَرِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Isya yang terakhir dengan surah Asy-Syamsi dan yang semisalnya dari surah-surah lainnya.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya adalah hadis dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ’anhu, أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ فِي سَفَرٍ فَقَرَأَ فِي العِشَاءِ فِي إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ : بِالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ “Sesungguhnya Nabi ketika safar, beliau membaca pada salat Isya pada salah satu rakaatnya dengan surah At-Tin.” (HR. Bukhari) Itulah gambaran umum mengenai surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan salat wajib. Baca juga: Surah Al-Ikhlas Setara dengan Sepertiga Al-Qur’an? *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Mumammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Daftar Isi Toggle Salat SubuhSalat ZuhurSalat AsarSalat MagribSalat Isya Sebagai pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sepatutnya kita meneladani beliau, terutama dalam masalah ibadah. Salah satu ibadah agung, yang tentunya kita harus bersemangat untuk mencontoh beliau shallallahu ’alaihi wasallam adalah ibadah salat. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR. Bukhari) Di antara hal yang kita lakukan ketika salat adalah membaca surah dalam Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah. Kira-kira surah apa saja yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat? Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ما رأيتُ رجلًا أشبهَ صلاةً من فلانٍ لإمامٍ كان بالمدينةِ . قال سليمانُ بنُ يَسارٍ فصليتُ خلفهُ فكان يطيلُ الأُوليَينِ من الظهرِ ويخففُ الأُخرَيينِ ، ويخففُ العصرَ ، ويقرأُ في الأولَيينِ من المغربِ بقصارِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الأُوليَينِ من العشاءِ من وسطِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الغداةِ بطوالِ المفصَّلِ “Tidaklah aku melihat seseorang yang salatnya lebih serupa (dengan Rasulullah) dari fulan, imam di Madinah. Sulaiman bin Yasar berkata, ‘Aku salat di belakangnya dan ia memanjangkan dua rakaat awal salat Zuhur dan meringankan dua rakaat akhirnya, meringankan salat Asar, membaca pada salat Magrib qishar mufashal, membaca pada dua rakaat awal salat Isya denga wasath (pertengahan) mufashal, dan membaca di waktu pagi (subuh) dengan thiwal mufashal.” (HR. Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang surah mufashal, والمفصل يبتدئ من سورة ق إلى آخر الناس، وطوال المفصل من ق إلى عم، وأوساطه من عم إلى الضحى وقصاره من الضحى إلى آخر سورة الناس. وسُمي مفصلا لكثرة فواصله؛ لأن سوره قصيرة. “Mufashal dimulai dari surah Qaf hinga akhir surah An-Nas. Thiwal mufashal dari surah Qaf hingga ‘Amma (An-Naba). Pertengahannya dari surah ‘Amma (An-Naba) hinga surah Ad-Duha. Dan qishar mufashal dari surah Ad-Duha hingga akhir surat An-Nas. Dinamakan mufashal dikarenakan banyaknya bagiannya dan surah-surahnya yang pendek.” Secara umum, itulah surah yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat. Lalu, secara khusus akan kita bahas satu per satu surah yang dibaca Rasulullah pada 5 waktu salat wajib. Salat Subuh Secara umum, ketika salat Subuh, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca surah-surah yang panjang ketika salat Subuh. Di antara hadis yang menunjukkan panjangnya bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ مَا بَيْنَ السَّيِّينَ إلى المائة آية “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Fajr (Subuh) antara 60 hingga 100 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَقْرَأُ في الفَجْرِ بـ ق والْقُرْآنِ المَجِيدِ وكانَ صَلَاتُهُ بَعْدُ تَخْفِيفًا “Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Subuh surah Qaf dan salat beliau setelahnya ringan.” (HR. Muslim) Lalu, hadis lainnya yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, أَنَّهُ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَقَرَأَ الرُّومَ فَالْتَبَسَ “Sesungguhnya beliau shallallahu ’alaihi wasallam salat Subuh, lalu membaca surah Ar-Rum, lalu bercampur.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasalam di waktu Subuh adalah hadis yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud, أَنَّهُ سَمِعَ النبي : يقرأ في الصُّبْحُ إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا “Bahwasanya ia mendengar Nabi membaca pada salat Subuh surah Az-Zalzalah.” (HR. Abu Dawud) Walaupun secara umum, bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada salat Subuh itu panjang, bukan berarti tidak boleh membaca surah yang pendek. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ’anhu, أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ  ﷺ المُعَوَّذَتَيْنِ. قَالَ عُقْبَةُ:فَأَمَّنَا بِهِمَا رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ “Bahwasanya ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mu’awwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq). Uqbah berkata, ‘Maka, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengamini keduanya pada salat Fajr (Subuh).’ ” (HR. An-Nasa’i) Salat Zuhur Adapun ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur, disebutkan dalam beberapa hadis. Di antaranya hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ النَّبِيَّ  يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ بِاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَفِي الْعَصْرِ نَحْوَ ذَلِكَ “Nabi membaca pada salat Zuhur surah Al-Lail, dan pada salat Asar semisal itu.” (HR. Muslim) Hadis lainnya adalah hadis dari Bara’ radhiyallahu ’anhu, كُنَّا نُصَلِّي خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ الظُّهْرَ فَنَسْمَعُ مِنْهُ الْآيَةَ بَعْدَ الْآيَاتِ مِنْ سُورَةِ لُقْمَانَ، وَالدَّارِيَاتِ “Kami pernah salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu Zuhur. Kami mendengar dari beliau ayat-ayat dari surah Luqman dan surah Adz-Dzariyat.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Nabi ketika salat Zuhur adalah hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوحِ، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَنَحْوِهِمَا “Beliau membaca pada salat Zuhur dan Asar dengan surah Al-Buruj dan surah At-Thariq dan semisal keduanya.” (HR. An-Nasa’i) Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah Salat Asar Bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Asar semisal dengan bacaan beliau shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur sebagaimana hadis-hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Salat Magrib Ketika salat Magrib, sebagaimana hadis yang disebutkan, bacaannya merupakan surah-surah pendek. Akan tetapi, banyak hadis lainnya juga yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Magrib. Di antaranya, hadis dari Marwan bin Al-Hakam, قال لي زيد بن ثابت مَا لَكَ نَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِقِصَارِ – وفي رواية: بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ؟! وَقَدْ سَمِعْتُ  لنَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ بِطُولَى الطُّولَتَيْنِ “Zaid bin Tsabit telah berkata padaku, ‘Mengapa engkau membaca pada salat Magrib dengan qishar?’ Pada riwayat lain, ‘… dengan qishar mufashal?’ Sungguh aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca dengan dua surah panjang (Al-An’am dan Al-A’raf).” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi di salat Magrib adalah hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِي صَلَاةِ المَغْرِبِ بِسُورَةِ الْأَعْرَافِ فَرَّقَهَا فِي رَكْعَتَيْنِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Magrib dengan surah Al-A’raf dan membaginya menjadi dua rakaat.” (HR. An-Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang bacaan pada salat Magrib, فلا بأس أن يطيل الإنسان في المغرب أحيانًا، بل ينبغي له أن يقرأ بطوال المفصل في بعض الأحيان، كما ثبت عنه أنه قرأ في المغرب بالطور، وبالأعراف أيضًا فرّقها في ركعتين، فلا ينبغي أن يكون دائما في صلاة المغرب من قصار المفصل، بل من السنة أن تقرأ فيها بطوال المفصل في بعض الليالي “Maka, tidak mengapa orang-orang untuk memanjangkan bacaan pada salat Magrib sewaktu-waktu. Perlu baginya untuk membaca thiwal mufashal pada sebagian waktu, sebagaimana hadis yang menetapkan bahwa beliau (Rasulullah) membaca pada salat Magrib dengan surah At-Tur, dan juga surah Al-A’raf yang dibagi pada dua rakaat. Tidaklah sepatutnya untuk terus-menerus membaca qishar mufashal pada salat Magrib. Akan tetapi, termasuk bagian dari sunah adalah membaca thiwal mufashal pada sebagian malam.” Salat Isya Bacaan surah yang dibaca pada salat Isya di antaranya adalah beberapa hadis berikut. Hadis pertama merupakan hadis dari Jabir radhiyallahu ’anhu ketika ada seorang yang mengadukan Muadz bin Jabal ketika mengimami dan membaca surah yang panjang ketika salat Isya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Muadz, اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَهَا، وسَبحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعلى وَنَحْوَهُمَا “Bacalah surah Asy-Syams dan Al-A’la, dan semisal keduanya.” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat Isya adalah hadis, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرأْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَأَشْبَاهِهَا مِنَ السُّوَرِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Isya yang terakhir dengan surah Asy-Syamsi dan yang semisalnya dari surah-surah lainnya.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya adalah hadis dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ’anhu, أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ فِي سَفَرٍ فَقَرَأَ فِي العِشَاءِ فِي إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ : بِالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ “Sesungguhnya Nabi ketika safar, beliau membaca pada salat Isya pada salah satu rakaatnya dengan surah At-Tin.” (HR. Bukhari) Itulah gambaran umum mengenai surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan salat wajib. Baca juga: Surah Al-Ikhlas Setara dengan Sepertiga Al-Qur’an? *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Mumammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.


Daftar Isi Toggle Salat SubuhSalat ZuhurSalat AsarSalat MagribSalat Isya Sebagai pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sepatutnya kita meneladani beliau, terutama dalam masalah ibadah. Salah satu ibadah agung, yang tentunya kita harus bersemangat untuk mencontoh beliau shallallahu ’alaihi wasallam adalah ibadah salat. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (HR. Bukhari) Di antara hal yang kita lakukan ketika salat adalah membaca surah dalam Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah. Kira-kira surah apa saja yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat? Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ما رأيتُ رجلًا أشبهَ صلاةً من فلانٍ لإمامٍ كان بالمدينةِ . قال سليمانُ بنُ يَسارٍ فصليتُ خلفهُ فكان يطيلُ الأُوليَينِ من الظهرِ ويخففُ الأُخرَيينِ ، ويخففُ العصرَ ، ويقرأُ في الأولَيينِ من المغربِ بقصارِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الأُوليَينِ من العشاءِ من وسطِ المفصَّلِ ، ويقرأُ في الغداةِ بطوالِ المفصَّلِ “Tidaklah aku melihat seseorang yang salatnya lebih serupa (dengan Rasulullah) dari fulan, imam di Madinah. Sulaiman bin Yasar berkata, ‘Aku salat di belakangnya dan ia memanjangkan dua rakaat awal salat Zuhur dan meringankan dua rakaat akhirnya, meringankan salat Asar, membaca pada salat Magrib qishar mufashal, membaca pada dua rakaat awal salat Isya denga wasath (pertengahan) mufashal, dan membaca di waktu pagi (subuh) dengan thiwal mufashal.” (HR. Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang surah mufashal, والمفصل يبتدئ من سورة ق إلى آخر الناس، وطوال المفصل من ق إلى عم، وأوساطه من عم إلى الضحى وقصاره من الضحى إلى آخر سورة الناس. وسُمي مفصلا لكثرة فواصله؛ لأن سوره قصيرة. “Mufashal dimulai dari surah Qaf hinga akhir surah An-Nas. Thiwal mufashal dari surah Qaf hingga ‘Amma (An-Naba). Pertengahannya dari surah ‘Amma (An-Naba) hinga surah Ad-Duha. Dan qishar mufashal dari surah Ad-Duha hingga akhir surat An-Nas. Dinamakan mufashal dikarenakan banyaknya bagiannya dan surah-surahnya yang pendek.” Secara umum, itulah surah yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat. Lalu, secara khusus akan kita bahas satu per satu surah yang dibaca Rasulullah pada 5 waktu salat wajib. Salat Subuh Secara umum, ketika salat Subuh, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca surah-surah yang panjang ketika salat Subuh. Di antara hadis yang menunjukkan panjangnya bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ مَا بَيْنَ السَّيِّينَ إلى المائة آية “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Fajr (Subuh) antara 60 hingga 100 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Adapun surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, إنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَقْرَأُ في الفَجْرِ بـ ق والْقُرْآنِ المَجِيدِ وكانَ صَلَاتُهُ بَعْدُ تَخْفِيفًا “Sesungguhnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Subuh surah Qaf dan salat beliau setelahnya ringan.” (HR. Muslim) Lalu, hadis lainnya yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, أَنَّهُ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَقَرَأَ الرُّومَ فَالْتَبَسَ “Sesungguhnya beliau shallallahu ’alaihi wasallam salat Subuh, lalu membaca surah Ar-Rum, lalu bercampur.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasalam di waktu Subuh adalah hadis yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud, أَنَّهُ سَمِعَ النبي : يقرأ في الصُّبْحُ إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا “Bahwasanya ia mendengar Nabi membaca pada salat Subuh surah Az-Zalzalah.” (HR. Abu Dawud) Walaupun secara umum, bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada salat Subuh itu panjang, bukan berarti tidak boleh membaca surah yang pendek. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ’anhu, أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ  ﷺ المُعَوَّذَتَيْنِ. قَالَ عُقْبَةُ:فَأَمَّنَا بِهِمَا رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ “Bahwasanya ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mu’awwidzatain (An-Nas dan Al-Falaq). Uqbah berkata, ‘Maka, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengamini keduanya pada salat Fajr (Subuh).’ ” (HR. An-Nasa’i) Salat Zuhur Adapun ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur, disebutkan dalam beberapa hadis. Di antaranya hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ النَّبِيَّ  يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ بِاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَفِي الْعَصْرِ نَحْوَ ذَلِكَ “Nabi membaca pada salat Zuhur surah Al-Lail, dan pada salat Asar semisal itu.” (HR. Muslim) Hadis lainnya adalah hadis dari Bara’ radhiyallahu ’anhu, كُنَّا نُصَلِّي خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ الظُّهْرَ فَنَسْمَعُ مِنْهُ الْآيَةَ بَعْدَ الْآيَاتِ مِنْ سُورَةِ لُقْمَانَ، وَالدَّارِيَاتِ “Kami pernah salat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu Zuhur. Kami mendengar dari beliau ayat-ayat dari surah Luqman dan surah Adz-Dzariyat.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan Nabi ketika salat Zuhur adalah hadis dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ’anhu, كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوحِ، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَنَحْوِهِمَا “Beliau membaca pada salat Zuhur dan Asar dengan surah Al-Buruj dan surah At-Thariq dan semisal keduanya.” (HR. An-Nasa’i) Baca juga: Hukum Membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Lain ketika Salat Jenazah Salat Asar Bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Asar semisal dengan bacaan beliau shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Zuhur sebagaimana hadis-hadis yang telah disebutkan sebelumnya. Salat Magrib Ketika salat Magrib, sebagaimana hadis yang disebutkan, bacaannya merupakan surah-surah pendek. Akan tetapi, banyak hadis lainnya juga yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika salat Magrib. Di antaranya, hadis dari Marwan bin Al-Hakam, قال لي زيد بن ثابت مَا لَكَ نَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِقِصَارِ – وفي رواية: بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ؟! وَقَدْ سَمِعْتُ  لنَّبِيَّ ﷺ يَقْرَأُ بِطُولَى الطُّولَتَيْنِ “Zaid bin Tsabit telah berkata padaku, ‘Mengapa engkau membaca pada salat Magrib dengan qishar?’ Pada riwayat lain, ‘… dengan qishar mufashal?’ Sungguh aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam membaca dengan dua surah panjang (Al-An’am dan Al-A’raf).” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan panjangnya bacaan Nabi di salat Magrib adalah hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِي صَلَاةِ المَغْرِبِ بِسُورَةِ الْأَعْرَافِ فَرَّقَهَا فِي رَكْعَتَيْنِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Magrib dengan surah Al-A’raf dan membaginya menjadi dua rakaat.” (HR. An-Nasa’i) Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang bacaan pada salat Magrib, فلا بأس أن يطيل الإنسان في المغرب أحيانًا، بل ينبغي له أن يقرأ بطوال المفصل في بعض الأحيان، كما ثبت عنه أنه قرأ في المغرب بالطور، وبالأعراف أيضًا فرّقها في ركعتين، فلا ينبغي أن يكون دائما في صلاة المغرب من قصار المفصل، بل من السنة أن تقرأ فيها بطوال المفصل في بعض الليالي “Maka, tidak mengapa orang-orang untuk memanjangkan bacaan pada salat Magrib sewaktu-waktu. Perlu baginya untuk membaca thiwal mufashal pada sebagian waktu, sebagaimana hadis yang menetapkan bahwa beliau (Rasulullah) membaca pada salat Magrib dengan surah At-Tur, dan juga surah Al-A’raf yang dibagi pada dua rakaat. Tidaklah sepatutnya untuk terus-menerus membaca qishar mufashal pada salat Magrib. Akan tetapi, termasuk bagian dari sunah adalah membaca thiwal mufashal pada sebagian malam.” Salat Isya Bacaan surah yang dibaca pada salat Isya di antaranya adalah beberapa hadis berikut. Hadis pertama merupakan hadis dari Jabir radhiyallahu ’anhu ketika ada seorang yang mengadukan Muadz bin Jabal ketika mengimami dan membaca surah yang panjang ketika salat Isya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Muadz, اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَهَا، وسَبحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعلى وَنَحْوَهُمَا “Bacalah surah Asy-Syams dan Al-A’la, dan semisal keduanya.” (HR. Bukhari) Hadis lainnya yang menunjukkan bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salat Isya adalah hadis, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرأْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَأَشْبَاهِهَا مِنَ السُّوَرِ “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membaca pada salat Isya yang terakhir dengan surah Asy-Syamsi dan yang semisalnya dari surah-surah lainnya.” (HR. An-Nasa’i) Hadis lainnya adalah hadis dari Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ’anhu, أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ فِي سَفَرٍ فَقَرَأَ فِي العِشَاءِ فِي إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ : بِالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ “Sesungguhnya Nabi ketika safar, beliau membaca pada salat Isya pada salah satu rakaatnya dengan surah At-Tin.” (HR. Bukhari) Itulah gambaran umum mengenai surah-surah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan salat wajib. Baca juga: Surah Al-Ikhlas Setara dengan Sepertiga Al-Qur’an? *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Shifat Shalat, karya Syekh Mumammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

KAPOLRES PURBALINGGA SOSIALISASIKAN KAMTIBMAS DI TUNAS ILMU

KAPOLRES PURBALINGGA SOSIALISASIKAN KAMTIBMAS DI TUNAS ILMU Posted on November 13, 2024November 14, 2024by Purbalingga, 12 November 2024 – Dalam suasana khidmat pasca sholat Dzuhur, Kapolres Purbalingga, AKBP Rosyid Hartanto, S.H., S.I., menyambangi Pondok Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga, tepatnya di Masjid Manarul Ilmi. Kunjungan istimewa ini disambut hangat oleh pengasuh pondok, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A. Sosialisasi yang diadakan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada para santri, khususnya mereka yang tergabung dalam PKBM Griya Quran Tunas Ilmu, tentang pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Dalam kesempatan tersebut, Kapolres memberikan pesan khusus kepada generasi muda. “Saya berharap para santri terus semangat dalam menuntut ilmu agama. Ilmu agama akan menjadi benteng yang kuat bagi kalian dalam menghadapi berbagai godaan zaman sekarang,” ujar Kapolres. Lebih lanjut, Kapolres juga menyoroti berbagai permasalahan yang kerap dihadapi oleh remaja saat ini, seperti pergaulan bebas, tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga dampak negatif dari game online. Beliau mengingatkan bahaya dari tindakan-tindakan tersebut dan mengajak para santri untuk menjauhinya. Kehadiran Kapolres di tengah-tengah santri bukan hanya sekadar memberikan ceramah, namun juga sebagai bentuk sinergi antara pihak kepolisian dengan pondok pesantren. Dengan adanya sosialisasi ini, diharapkan para santri dapat menjadi agen perubahan di lingkungannya, ikut serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Acara sosialisasi ini juga dihadiri oleh Wakapolres Kompol Donni Krestanto, Kapolsek Kalimanah AKP Mubarok, dan Kepala Desa Kedungwuluh Bapak Kamda. Kehadiran mereka semakin memperkuat komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif. Selain memberikan pesan moral, Kapolres Purbalingga juga memberikan tips praktis mengenai cara menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan masjid dan pondok pesantren. “Salah satu cara efektif adalah dengan membentuk komunitas pengajian,” ujar Kapolres. “Dengan aktif dalam kegiatan keagamaan, para santri akan terhindar dari pengaruh negatif pergaulan bebas.” Kapolres menekankan pentingnya sinergi antara pihak kepolisian dan pihak pondok pesantren dalam menjaga kamtibmas. “Ini bukan hanya tugas polisi semata, tetapi juga tanggung jawab bersama,” tegas Kapolres. Para pengasuh, guru, dan asatidz memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada santri tentang pentingnya menjaga ketertiban. “Para asatidz harus sering memberikan pengajaran tentang kamtibmas dari sudut pandang agama,” imbuhnya. Dalam kesempatan tersebut, Kapolres Purbalingga juga menyoroti tantangan yang semakin kompleks dalam menjaga Kamtibmas, khususnya di kalangan generasi muda. Salah satu tantangan terbesar adalah maraknya penggunaan media sosial. “Media sosial memiliki dampak yang sangat besar dalam kehidupan kita. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, media sosial justru dapat menjadi sumber masalah,” ungkap Kapolres. Beliau mencontohkan kasus-kasus seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas, hingga tindak pidana yang berawal dari interaksi di dunia maya. Selain itu, Kapolres juga menyoroti masalah sosial lainnya yang menjadi perhatian, seperti tingginya angka anak yang lahir tanpa ayah dan kasus pernikahan dini. “Ini semua merupakan dampak dari penggunaan media sosial yang tidak sehat,” tegas Kapolres. Kapolres juga memberikan perhatian terhadap beberapa kasus aktual yang sering terjadi di kalangan remaja, seperti tawuran antar pelajar dan peredaran narkoba di kalangan anak di bawah umur. “Permasalahan ini sangat memprihatinkan. Kita harus bertindak cepat untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,” imbuhnya. Kapolres berharap agar masjid dapat menjadi pusat kegiatan masyarakat yang positif dan kondusif. “Masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan sosial. Dengan demikian, masjid dapat menjadi benteng bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan zaman,” ujarnya. Dedi Purwanto, penyiar radio Insani 88.8 FM yang juga hadir dalam acara tersebut, turut memberikan tanggapannya. “Luar biasa, memberikan vibes positif tatkala datang ke masjid. Tentunya kunjungan ini bagi saya suatu kehormatan untuk warga Pondok Pesantren Tunas Ilmu,” ungkapnya. Pesan yang paling berkesan dari sosialisasi yang disampaikan Kapolres, menurut Dedi, adalah pentingnya ilmu agama. “Ilmu agama sangat penting untuk kita pelajari agar bisa menghindari pergaulan bebas yang sangat masif sekarang ini,” tegasnya. Sebagai bentuk apresiasi atas peran masjid dalam menjaga kamtibmas, Kapolres menyerahkan seperangkat alat sholat dan al-Qur’an kepada Masjid Manarul Ilmi. “Semoga alat sholat ini dapat bermanfaat bagi jamaah,” ucap Kapolres. Selain itu, Polres Purbalingga juga memberikan bantuan berupa beras kepada Pondok Pesantren Tunas Ilmu. Bantuan ini diharapkan dapat meringankan beban pondok pesantren dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Reporter: Septian Dwi Cahyo No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 201 – Mengajari Dengan MencontohiMemupuk Jiwa Sosial Santri SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

KAPOLRES PURBALINGGA SOSIALISASIKAN KAMTIBMAS DI TUNAS ILMU

KAPOLRES PURBALINGGA SOSIALISASIKAN KAMTIBMAS DI TUNAS ILMU Posted on November 13, 2024November 14, 2024by Purbalingga, 12 November 2024 – Dalam suasana khidmat pasca sholat Dzuhur, Kapolres Purbalingga, AKBP Rosyid Hartanto, S.H., S.I., menyambangi Pondok Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga, tepatnya di Masjid Manarul Ilmi. Kunjungan istimewa ini disambut hangat oleh pengasuh pondok, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A. Sosialisasi yang diadakan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada para santri, khususnya mereka yang tergabung dalam PKBM Griya Quran Tunas Ilmu, tentang pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Dalam kesempatan tersebut, Kapolres memberikan pesan khusus kepada generasi muda. “Saya berharap para santri terus semangat dalam menuntut ilmu agama. Ilmu agama akan menjadi benteng yang kuat bagi kalian dalam menghadapi berbagai godaan zaman sekarang,” ujar Kapolres. Lebih lanjut, Kapolres juga menyoroti berbagai permasalahan yang kerap dihadapi oleh remaja saat ini, seperti pergaulan bebas, tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga dampak negatif dari game online. Beliau mengingatkan bahaya dari tindakan-tindakan tersebut dan mengajak para santri untuk menjauhinya. Kehadiran Kapolres di tengah-tengah santri bukan hanya sekadar memberikan ceramah, namun juga sebagai bentuk sinergi antara pihak kepolisian dengan pondok pesantren. Dengan adanya sosialisasi ini, diharapkan para santri dapat menjadi agen perubahan di lingkungannya, ikut serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Acara sosialisasi ini juga dihadiri oleh Wakapolres Kompol Donni Krestanto, Kapolsek Kalimanah AKP Mubarok, dan Kepala Desa Kedungwuluh Bapak Kamda. Kehadiran mereka semakin memperkuat komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif. Selain memberikan pesan moral, Kapolres Purbalingga juga memberikan tips praktis mengenai cara menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan masjid dan pondok pesantren. “Salah satu cara efektif adalah dengan membentuk komunitas pengajian,” ujar Kapolres. “Dengan aktif dalam kegiatan keagamaan, para santri akan terhindar dari pengaruh negatif pergaulan bebas.” Kapolres menekankan pentingnya sinergi antara pihak kepolisian dan pihak pondok pesantren dalam menjaga kamtibmas. “Ini bukan hanya tugas polisi semata, tetapi juga tanggung jawab bersama,” tegas Kapolres. Para pengasuh, guru, dan asatidz memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada santri tentang pentingnya menjaga ketertiban. “Para asatidz harus sering memberikan pengajaran tentang kamtibmas dari sudut pandang agama,” imbuhnya. Dalam kesempatan tersebut, Kapolres Purbalingga juga menyoroti tantangan yang semakin kompleks dalam menjaga Kamtibmas, khususnya di kalangan generasi muda. Salah satu tantangan terbesar adalah maraknya penggunaan media sosial. “Media sosial memiliki dampak yang sangat besar dalam kehidupan kita. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, media sosial justru dapat menjadi sumber masalah,” ungkap Kapolres. Beliau mencontohkan kasus-kasus seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas, hingga tindak pidana yang berawal dari interaksi di dunia maya. Selain itu, Kapolres juga menyoroti masalah sosial lainnya yang menjadi perhatian, seperti tingginya angka anak yang lahir tanpa ayah dan kasus pernikahan dini. “Ini semua merupakan dampak dari penggunaan media sosial yang tidak sehat,” tegas Kapolres. Kapolres juga memberikan perhatian terhadap beberapa kasus aktual yang sering terjadi di kalangan remaja, seperti tawuran antar pelajar dan peredaran narkoba di kalangan anak di bawah umur. “Permasalahan ini sangat memprihatinkan. Kita harus bertindak cepat untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,” imbuhnya. Kapolres berharap agar masjid dapat menjadi pusat kegiatan masyarakat yang positif dan kondusif. “Masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan sosial. Dengan demikian, masjid dapat menjadi benteng bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan zaman,” ujarnya. Dedi Purwanto, penyiar radio Insani 88.8 FM yang juga hadir dalam acara tersebut, turut memberikan tanggapannya. “Luar biasa, memberikan vibes positif tatkala datang ke masjid. Tentunya kunjungan ini bagi saya suatu kehormatan untuk warga Pondok Pesantren Tunas Ilmu,” ungkapnya. Pesan yang paling berkesan dari sosialisasi yang disampaikan Kapolres, menurut Dedi, adalah pentingnya ilmu agama. “Ilmu agama sangat penting untuk kita pelajari agar bisa menghindari pergaulan bebas yang sangat masif sekarang ini,” tegasnya. Sebagai bentuk apresiasi atas peran masjid dalam menjaga kamtibmas, Kapolres menyerahkan seperangkat alat sholat dan al-Qur’an kepada Masjid Manarul Ilmi. “Semoga alat sholat ini dapat bermanfaat bagi jamaah,” ucap Kapolres. Selain itu, Polres Purbalingga juga memberikan bantuan berupa beras kepada Pondok Pesantren Tunas Ilmu. Bantuan ini diharapkan dapat meringankan beban pondok pesantren dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Reporter: Septian Dwi Cahyo No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 201 – Mengajari Dengan MencontohiMemupuk Jiwa Sosial Santri SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
KAPOLRES PURBALINGGA SOSIALISASIKAN KAMTIBMAS DI TUNAS ILMU Posted on November 13, 2024November 14, 2024by Purbalingga, 12 November 2024 – Dalam suasana khidmat pasca sholat Dzuhur, Kapolres Purbalingga, AKBP Rosyid Hartanto, S.H., S.I., menyambangi Pondok Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga, tepatnya di Masjid Manarul Ilmi. Kunjungan istimewa ini disambut hangat oleh pengasuh pondok, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A. Sosialisasi yang diadakan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada para santri, khususnya mereka yang tergabung dalam PKBM Griya Quran Tunas Ilmu, tentang pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Dalam kesempatan tersebut, Kapolres memberikan pesan khusus kepada generasi muda. “Saya berharap para santri terus semangat dalam menuntut ilmu agama. Ilmu agama akan menjadi benteng yang kuat bagi kalian dalam menghadapi berbagai godaan zaman sekarang,” ujar Kapolres. Lebih lanjut, Kapolres juga menyoroti berbagai permasalahan yang kerap dihadapi oleh remaja saat ini, seperti pergaulan bebas, tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga dampak negatif dari game online. Beliau mengingatkan bahaya dari tindakan-tindakan tersebut dan mengajak para santri untuk menjauhinya. Kehadiran Kapolres di tengah-tengah santri bukan hanya sekadar memberikan ceramah, namun juga sebagai bentuk sinergi antara pihak kepolisian dengan pondok pesantren. Dengan adanya sosialisasi ini, diharapkan para santri dapat menjadi agen perubahan di lingkungannya, ikut serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Acara sosialisasi ini juga dihadiri oleh Wakapolres Kompol Donni Krestanto, Kapolsek Kalimanah AKP Mubarok, dan Kepala Desa Kedungwuluh Bapak Kamda. Kehadiran mereka semakin memperkuat komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif. Selain memberikan pesan moral, Kapolres Purbalingga juga memberikan tips praktis mengenai cara menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan masjid dan pondok pesantren. “Salah satu cara efektif adalah dengan membentuk komunitas pengajian,” ujar Kapolres. “Dengan aktif dalam kegiatan keagamaan, para santri akan terhindar dari pengaruh negatif pergaulan bebas.” Kapolres menekankan pentingnya sinergi antara pihak kepolisian dan pihak pondok pesantren dalam menjaga kamtibmas. “Ini bukan hanya tugas polisi semata, tetapi juga tanggung jawab bersama,” tegas Kapolres. Para pengasuh, guru, dan asatidz memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada santri tentang pentingnya menjaga ketertiban. “Para asatidz harus sering memberikan pengajaran tentang kamtibmas dari sudut pandang agama,” imbuhnya. Dalam kesempatan tersebut, Kapolres Purbalingga juga menyoroti tantangan yang semakin kompleks dalam menjaga Kamtibmas, khususnya di kalangan generasi muda. Salah satu tantangan terbesar adalah maraknya penggunaan media sosial. “Media sosial memiliki dampak yang sangat besar dalam kehidupan kita. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, media sosial justru dapat menjadi sumber masalah,” ungkap Kapolres. Beliau mencontohkan kasus-kasus seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas, hingga tindak pidana yang berawal dari interaksi di dunia maya. Selain itu, Kapolres juga menyoroti masalah sosial lainnya yang menjadi perhatian, seperti tingginya angka anak yang lahir tanpa ayah dan kasus pernikahan dini. “Ini semua merupakan dampak dari penggunaan media sosial yang tidak sehat,” tegas Kapolres. Kapolres juga memberikan perhatian terhadap beberapa kasus aktual yang sering terjadi di kalangan remaja, seperti tawuran antar pelajar dan peredaran narkoba di kalangan anak di bawah umur. “Permasalahan ini sangat memprihatinkan. Kita harus bertindak cepat untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,” imbuhnya. Kapolres berharap agar masjid dapat menjadi pusat kegiatan masyarakat yang positif dan kondusif. “Masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan sosial. Dengan demikian, masjid dapat menjadi benteng bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan zaman,” ujarnya. Dedi Purwanto, penyiar radio Insani 88.8 FM yang juga hadir dalam acara tersebut, turut memberikan tanggapannya. “Luar biasa, memberikan vibes positif tatkala datang ke masjid. Tentunya kunjungan ini bagi saya suatu kehormatan untuk warga Pondok Pesantren Tunas Ilmu,” ungkapnya. Pesan yang paling berkesan dari sosialisasi yang disampaikan Kapolres, menurut Dedi, adalah pentingnya ilmu agama. “Ilmu agama sangat penting untuk kita pelajari agar bisa menghindari pergaulan bebas yang sangat masif sekarang ini,” tegasnya. Sebagai bentuk apresiasi atas peran masjid dalam menjaga kamtibmas, Kapolres menyerahkan seperangkat alat sholat dan al-Qur’an kepada Masjid Manarul Ilmi. “Semoga alat sholat ini dapat bermanfaat bagi jamaah,” ucap Kapolres. Selain itu, Polres Purbalingga juga memberikan bantuan berupa beras kepada Pondok Pesantren Tunas Ilmu. Bantuan ini diharapkan dapat meringankan beban pondok pesantren dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Reporter: Septian Dwi Cahyo No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 201 – Mengajari Dengan MencontohiMemupuk Jiwa Sosial Santri SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


KAPOLRES PURBALINGGA SOSIALISASIKAN KAMTIBMAS DI TUNAS ILMU Posted on November 13, 2024November 14, 2024by Purbalingga, 12 November 2024 – Dalam suasana khidmat pasca sholat Dzuhur, Kapolres Purbalingga, AKBP Rosyid Hartanto, S.H., S.I., menyambangi Pondok Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga, tepatnya di Masjid Manarul Ilmi. Kunjungan istimewa ini disambut hangat oleh pengasuh pondok, Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A. Sosialisasi yang diadakan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada para santri, khususnya mereka yang tergabung dalam PKBM Griya Quran Tunas Ilmu, tentang pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Dalam kesempatan tersebut, Kapolres memberikan pesan khusus kepada generasi muda. “Saya berharap para santri terus semangat dalam menuntut ilmu agama. Ilmu agama akan menjadi benteng yang kuat bagi kalian dalam menghadapi berbagai godaan zaman sekarang,” ujar Kapolres. Lebih lanjut, Kapolres juga menyoroti berbagai permasalahan yang kerap dihadapi oleh remaja saat ini, seperti pergaulan bebas, tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga dampak negatif dari game online. Beliau mengingatkan bahaya dari tindakan-tindakan tersebut dan mengajak para santri untuk menjauhinya. Kehadiran Kapolres di tengah-tengah santri bukan hanya sekadar memberikan ceramah, namun juga sebagai bentuk sinergi antara pihak kepolisian dengan pondok pesantren. Dengan adanya sosialisasi ini, diharapkan para santri dapat menjadi agen perubahan di lingkungannya, ikut serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Acara sosialisasi ini juga dihadiri oleh Wakapolres Kompol Donni Krestanto, Kapolsek Kalimanah AKP Mubarok, dan Kepala Desa Kedungwuluh Bapak Kamda. Kehadiran mereka semakin memperkuat komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif. Selain memberikan pesan moral, Kapolres Purbalingga juga memberikan tips praktis mengenai cara menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan masjid dan pondok pesantren. “Salah satu cara efektif adalah dengan membentuk komunitas pengajian,” ujar Kapolres. “Dengan aktif dalam kegiatan keagamaan, para santri akan terhindar dari pengaruh negatif pergaulan bebas.” Kapolres menekankan pentingnya sinergi antara pihak kepolisian dan pihak pondok pesantren dalam menjaga kamtibmas. “Ini bukan hanya tugas polisi semata, tetapi juga tanggung jawab bersama,” tegas Kapolres. Para pengasuh, guru, dan asatidz memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada santri tentang pentingnya menjaga ketertiban. “Para asatidz harus sering memberikan pengajaran tentang kamtibmas dari sudut pandang agama,” imbuhnya. Dalam kesempatan tersebut, Kapolres Purbalingga juga menyoroti tantangan yang semakin kompleks dalam menjaga Kamtibmas, khususnya di kalangan generasi muda. Salah satu tantangan terbesar adalah maraknya penggunaan media sosial. “Media sosial memiliki dampak yang sangat besar dalam kehidupan kita. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, media sosial justru dapat menjadi sumber masalah,” ungkap Kapolres. Beliau mencontohkan kasus-kasus seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas, hingga tindak pidana yang berawal dari interaksi di dunia maya. Selain itu, Kapolres juga menyoroti masalah sosial lainnya yang menjadi perhatian, seperti tingginya angka anak yang lahir tanpa ayah dan kasus pernikahan dini. “Ini semua merupakan dampak dari penggunaan media sosial yang tidak sehat,” tegas Kapolres. Kapolres juga memberikan perhatian terhadap beberapa kasus aktual yang sering terjadi di kalangan remaja, seperti tawuran antar pelajar dan peredaran narkoba di kalangan anak di bawah umur. “Permasalahan ini sangat memprihatinkan. Kita harus bertindak cepat untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,” imbuhnya. Kapolres berharap agar masjid dapat menjadi pusat kegiatan masyarakat yang positif dan kondusif. “Masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan sosial. Dengan demikian, masjid dapat menjadi benteng bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan zaman,” ujarnya. Dedi Purwanto, penyiar radio Insani 88.8 FM yang juga hadir dalam acara tersebut, turut memberikan tanggapannya. “Luar biasa, memberikan vibes positif tatkala datang ke masjid. Tentunya kunjungan ini bagi saya suatu kehormatan untuk warga Pondok Pesantren Tunas Ilmu,” ungkapnya. Pesan yang paling berkesan dari sosialisasi yang disampaikan Kapolres, menurut Dedi, adalah pentingnya ilmu agama. “Ilmu agama sangat penting untuk kita pelajari agar bisa menghindari pergaulan bebas yang sangat masif sekarang ini,” tegasnya. Sebagai bentuk apresiasi atas peran masjid dalam menjaga kamtibmas, Kapolres menyerahkan seperangkat alat sholat dan al-Qur’an kepada Masjid Manarul Ilmi. “Semoga alat sholat ini dapat bermanfaat bagi jamaah,” ucap Kapolres. Selain itu, Polres Purbalingga juga memberikan bantuan berupa beras kepada Pondok Pesantren Tunas Ilmu. Bantuan ini diharapkan dapat meringankan beban pondok pesantren dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Reporter: Septian Dwi Cahyo No comments yet Leave a Reply Cancel reply Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment. Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 201 – Mengajari Dengan MencontohiMemupuk Jiwa Sosial Santri SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Prev     Next