Pengertian Safar, Jarak Safar, Lama Safar, dan Syarat Safar

Berikut adalah catatan pendahuluan dari bahasan Bulughul Maram mengenai shalat bagi musafir dan orang sakit. Kali ini dibahas pengertian, jarak, lama, dan syarat safar.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Pembahasan shalat untuk musafir dan orang sakit sesuai dengan kaidah “al-masyaqqah tajlibut taysiir”, kesulitan itu membawa kemudahan. Catatan: Keringanan saat safar tidaklah terkait dengan kesulitan. Hal ini bukan berarti safar yang tidak sulit berarti tak dapat keringanan. Kesulitan itu tidak terukur. Keringanan saat safar ini diperoleh terkait dengan safarnya, baik safar tersebut dengan kendaraan mobil, pesawat, kapal, atau lainnya. Begitu pula sakit adalah sebab mendapatkan keringanan dalam syariat. Karena sakit menyebabkan lemah untuk berdiri yang bisa dilakukan saat kondisi normal dan sehat.   Pengertian Safar Secara bahasa, safar berarti “وضح وانكشف” (jelas dan tersingkap). (Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 457). Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam (3:451) menyatakan bahwa safar disebut demikian karena safar itu akan menyingkap kelakuan dan akhlak para musafir. Yang sebelumnya tak terlihat menjadi tampak. Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, safar secara bahasa berarti, قَطْعُ الْمَسَافَةِ الْبَعِيدَةِ . “Memangkas jarak yang jauh.” Secara istilah, safar adalah, الْخُرُوجُ عَلَى قَصْدِ قَطْعِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ الشَّرْعِيَّةِ فَمَا فَوْقَهَا “Keluar dengan tujuan menempuh jarak minimal secara standar syari yang sudah boleh mengqashar shalat.” Dalam Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm. 245, safar berarti, الخُرُوْجُ عَنْ عِمَارَةِ مَوْطِنِ الاِقَامَةِ قَاصِدًا مَكَانًا يَبْعُدُ مَسَافَةُ يَصِحُّ فِيْهَا قَصْرٌ “Keluar bepergian meninggalkan batas bangunan terakhir dari negeri mukim dengan maksud menuju tempat yang jarak antara negeri mukim tadi dengan tempat tujuan membolehkan orang yang bepergian tersebut untuk mengqashar shalat.”   Safar yang Menyebabkan Hukum Berubah Tidak semua safar berlaku hukum bolehnya tidak puasa, bolehnya menjadikan shalat empat rakaat menjadi dua rakaat (qashar shalat), dan mengusap khuf. Yang berlaku demikian hanyalah safar tertentu yang para fuqaha menjadikan batas tertentu sebagai patokan jarak minimal safar. Walaupun untuk jarak minimal safar ini, para ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hambali berpandangan bahwa qashar shalat hanya berlaku untuk safar jauh (safar thawil). Safar thawil adalah minimal jarak 4 burud baik menempuh jalan darat maupun laut. Dalil dari pendapat ini adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas yang mengqashar shalat dan tidak berpuasa pada jarak minimal empat burud. Pendapat lainnya yang menyelisihi hal ini tidak diketahui. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hal ini dengan sanad yang sahih. Imam Al-Khatthabi berkata bahwa pendapat semacam ini pasti berdasarkan dalil (tauqifiyyah). Pendapat ulama terdahulu lainnya menyatakan bahwa qashar shalat itu boleh untuk perjalanan kurang dari sehari. Imam Al-Auza’i berkata, “Anas mengqashar shalat pada jarak minimal lima farsakh.” Ada riwayat dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa beliau keluar dari Kuffah hingga mendapati pepohonan kurma, lalu ia mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar masing-masing dua rakaat (qashar shalat). Kemudian beliau kembali pada hari itu juga. Lantas ‘Ali mengatakan, “Aku ingin mengajarkan sunnah kepada kalian.” Menurut ulama Hanafiyyah, safar yang membolehkan untuk tidak puasa dan mengqashar shalat (berubah hukum dari orang mukim) adalah bila menempuh jarak tiga kali 24 jam dengan hitungan perjalanan dengan unta dan berjalan kaki. Ada dalil yang mendukung hal ini dan kurang dari jarak tersebut tidak ada dalil dan kesepakatan ulama yang mendukung untuk mengubah hukum shalat dari sisi tidak puasa atau mengqashar shalat. Baca juga: Dalil Berbagai Pendapat tentang Jarak Safar   Jarak Minimal Disebut Safar Dalil jarak empat burud adalah hadits berikut ini, وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3: 137. Lihat Al-Irwa’ 565) Yang dimaksud empat burud di sini adalah sama dengan marhalatain (dua marhalah). Maksud marhalatain adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula waktu menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum, istirahat seperti biasa. Dua marhalah ini adalah menempuh perjalanan pergi dua hari atau dua malam. Kalau mau dihitung jaraknya adalah 48 mil Hasyimiyyah. Tujuannya adalah jarak tersebut walaupun belum sampai. 1 mil = 3.500 dziro’ 48 mil = 168.000 dziro’ 1 dziro’ = 50 cm 48 mil = 8.400.000 cm = 84 km Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya seperti ulama Hadromaut yang tertulis dalam Bughya Al-Mustarsyidin, 1:538. Baca juga: Aturan Safar untuk Jamak dan Qashar Shalat   Syarat Safar Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan mengenai syarat safar yang menjadikan hukum berubah (boleh mengqashar shalat, boleh tidak puasa, atau bolehnya mengusap khuf) adalah: Menempuh jarak minimal secara syari, menurut jumhur ulama (Syafiiyyah, Malikiyyah, dan Hambali) adalah empat burud. Bermaksud menuju tempat tertentu sejak memulai safar. Telah meninggalkan tempat mukim (rumah terakhir di kota atau batas kota). Dalilnya adalah, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ “Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu; ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah sebanyak empat rakaat, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan Bir Ali) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebanyak dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 1089 dan Muslim, no. 690) Demikianlah pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبُنَا أَنَّهُ إِذَا فَارَقَ بُنْيَان البَلَدِ قَصَرَ وَلاَ يَقْصُر قَبْلَ مُفَارَقَتِهَا وَاِنْ فَارَقَ مَنْزِلَهُ وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ وَاَحْمَدُ وَجَمَاهِيْرُ العُلَمَاءِ “Menurut Mazhab Syafi’iyyah, seorang musafir baru boleh mengqashar shalat setelah ia berpisah dari bangunan terakhir di negerinya; ia tidak boleh mengqashar shalat sebelum ia berpisah dari negerinya walaupun ia baru saja keluar dari rumahnya. Ini juga menjadi pendapat Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan mayoritas (jumhur) ulama.” (Al-Majmu’, 4:349) Bukan safar maksiat, artinya bukan ‘AASHIYAN BI SAFARIHI, yaitu sejak awal safar berniat maksiat.   Perbedaan Musafir dan Mukim Orang mukim adalah: – Yang singgah di suatu negeri selama empat hari sempurna atau lebih (di luar hari masuk dan keluar). – Yang singgah di suatu negeri selama kurang dari empat hari DENGAN NIATAN IQAMAH (menetap). Musafir adalah: – Yang melakukan perjalanan safar. – Yang singgah di suatu negeri selama kurang dari empat hari TANPA BERNIAT UNTUK IQAMAH (menetap).   Keringanan Bagi Musafir Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan pula mengenai hukum yang berlaku saat safar sebagai keringanan bagi musafir: Tiga hari tiga malam boleh mengusap khuf. Qashar shalat Jamak shalat Gugur kewajiban shalat Jumat Shalat sunnah di kendaraan Bolehnya tidak berpuasa Ramadhan Baca juga: Keringanan Bagi Musafir Semua bahasan di atas diringkas dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah pada index kata “muddah safar” dan “safar” dan Minhah Al-‘Allam, serta Bughyah Al-Mustarsyidin.    Referensi: Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait. Bughyah Al-Mustarsyidin. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad (Al-Husaini Al-Hadhrami Asy-Syafii). Penerbit Dar Al-Minhaj. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:450-451.   –   Diselesaikan pada Ahad pagi, 12 Syawal 1445 H, 21 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar keringanan saat safar panduan safar Safar shalat saat safar

Pengertian Safar, Jarak Safar, Lama Safar, dan Syarat Safar

Berikut adalah catatan pendahuluan dari bahasan Bulughul Maram mengenai shalat bagi musafir dan orang sakit. Kali ini dibahas pengertian, jarak, lama, dan syarat safar.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Pembahasan shalat untuk musafir dan orang sakit sesuai dengan kaidah “al-masyaqqah tajlibut taysiir”, kesulitan itu membawa kemudahan. Catatan: Keringanan saat safar tidaklah terkait dengan kesulitan. Hal ini bukan berarti safar yang tidak sulit berarti tak dapat keringanan. Kesulitan itu tidak terukur. Keringanan saat safar ini diperoleh terkait dengan safarnya, baik safar tersebut dengan kendaraan mobil, pesawat, kapal, atau lainnya. Begitu pula sakit adalah sebab mendapatkan keringanan dalam syariat. Karena sakit menyebabkan lemah untuk berdiri yang bisa dilakukan saat kondisi normal dan sehat.   Pengertian Safar Secara bahasa, safar berarti “وضح وانكشف” (jelas dan tersingkap). (Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 457). Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam (3:451) menyatakan bahwa safar disebut demikian karena safar itu akan menyingkap kelakuan dan akhlak para musafir. Yang sebelumnya tak terlihat menjadi tampak. Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, safar secara bahasa berarti, قَطْعُ الْمَسَافَةِ الْبَعِيدَةِ . “Memangkas jarak yang jauh.” Secara istilah, safar adalah, الْخُرُوجُ عَلَى قَصْدِ قَطْعِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ الشَّرْعِيَّةِ فَمَا فَوْقَهَا “Keluar dengan tujuan menempuh jarak minimal secara standar syari yang sudah boleh mengqashar shalat.” Dalam Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm. 245, safar berarti, الخُرُوْجُ عَنْ عِمَارَةِ مَوْطِنِ الاِقَامَةِ قَاصِدًا مَكَانًا يَبْعُدُ مَسَافَةُ يَصِحُّ فِيْهَا قَصْرٌ “Keluar bepergian meninggalkan batas bangunan terakhir dari negeri mukim dengan maksud menuju tempat yang jarak antara negeri mukim tadi dengan tempat tujuan membolehkan orang yang bepergian tersebut untuk mengqashar shalat.”   Safar yang Menyebabkan Hukum Berubah Tidak semua safar berlaku hukum bolehnya tidak puasa, bolehnya menjadikan shalat empat rakaat menjadi dua rakaat (qashar shalat), dan mengusap khuf. Yang berlaku demikian hanyalah safar tertentu yang para fuqaha menjadikan batas tertentu sebagai patokan jarak minimal safar. Walaupun untuk jarak minimal safar ini, para ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hambali berpandangan bahwa qashar shalat hanya berlaku untuk safar jauh (safar thawil). Safar thawil adalah minimal jarak 4 burud baik menempuh jalan darat maupun laut. Dalil dari pendapat ini adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas yang mengqashar shalat dan tidak berpuasa pada jarak minimal empat burud. Pendapat lainnya yang menyelisihi hal ini tidak diketahui. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hal ini dengan sanad yang sahih. Imam Al-Khatthabi berkata bahwa pendapat semacam ini pasti berdasarkan dalil (tauqifiyyah). Pendapat ulama terdahulu lainnya menyatakan bahwa qashar shalat itu boleh untuk perjalanan kurang dari sehari. Imam Al-Auza’i berkata, “Anas mengqashar shalat pada jarak minimal lima farsakh.” Ada riwayat dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa beliau keluar dari Kuffah hingga mendapati pepohonan kurma, lalu ia mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar masing-masing dua rakaat (qashar shalat). Kemudian beliau kembali pada hari itu juga. Lantas ‘Ali mengatakan, “Aku ingin mengajarkan sunnah kepada kalian.” Menurut ulama Hanafiyyah, safar yang membolehkan untuk tidak puasa dan mengqashar shalat (berubah hukum dari orang mukim) adalah bila menempuh jarak tiga kali 24 jam dengan hitungan perjalanan dengan unta dan berjalan kaki. Ada dalil yang mendukung hal ini dan kurang dari jarak tersebut tidak ada dalil dan kesepakatan ulama yang mendukung untuk mengubah hukum shalat dari sisi tidak puasa atau mengqashar shalat. Baca juga: Dalil Berbagai Pendapat tentang Jarak Safar   Jarak Minimal Disebut Safar Dalil jarak empat burud adalah hadits berikut ini, وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3: 137. Lihat Al-Irwa’ 565) Yang dimaksud empat burud di sini adalah sama dengan marhalatain (dua marhalah). Maksud marhalatain adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula waktu menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum, istirahat seperti biasa. Dua marhalah ini adalah menempuh perjalanan pergi dua hari atau dua malam. Kalau mau dihitung jaraknya adalah 48 mil Hasyimiyyah. Tujuannya adalah jarak tersebut walaupun belum sampai. 1 mil = 3.500 dziro’ 48 mil = 168.000 dziro’ 1 dziro’ = 50 cm 48 mil = 8.400.000 cm = 84 km Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya seperti ulama Hadromaut yang tertulis dalam Bughya Al-Mustarsyidin, 1:538. Baca juga: Aturan Safar untuk Jamak dan Qashar Shalat   Syarat Safar Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan mengenai syarat safar yang menjadikan hukum berubah (boleh mengqashar shalat, boleh tidak puasa, atau bolehnya mengusap khuf) adalah: Menempuh jarak minimal secara syari, menurut jumhur ulama (Syafiiyyah, Malikiyyah, dan Hambali) adalah empat burud. Bermaksud menuju tempat tertentu sejak memulai safar. Telah meninggalkan tempat mukim (rumah terakhir di kota atau batas kota). Dalilnya adalah, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ “Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu; ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah sebanyak empat rakaat, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan Bir Ali) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebanyak dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 1089 dan Muslim, no. 690) Demikianlah pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبُنَا أَنَّهُ إِذَا فَارَقَ بُنْيَان البَلَدِ قَصَرَ وَلاَ يَقْصُر قَبْلَ مُفَارَقَتِهَا وَاِنْ فَارَقَ مَنْزِلَهُ وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ وَاَحْمَدُ وَجَمَاهِيْرُ العُلَمَاءِ “Menurut Mazhab Syafi’iyyah, seorang musafir baru boleh mengqashar shalat setelah ia berpisah dari bangunan terakhir di negerinya; ia tidak boleh mengqashar shalat sebelum ia berpisah dari negerinya walaupun ia baru saja keluar dari rumahnya. Ini juga menjadi pendapat Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan mayoritas (jumhur) ulama.” (Al-Majmu’, 4:349) Bukan safar maksiat, artinya bukan ‘AASHIYAN BI SAFARIHI, yaitu sejak awal safar berniat maksiat.   Perbedaan Musafir dan Mukim Orang mukim adalah: – Yang singgah di suatu negeri selama empat hari sempurna atau lebih (di luar hari masuk dan keluar). – Yang singgah di suatu negeri selama kurang dari empat hari DENGAN NIATAN IQAMAH (menetap). Musafir adalah: – Yang melakukan perjalanan safar. – Yang singgah di suatu negeri selama kurang dari empat hari TANPA BERNIAT UNTUK IQAMAH (menetap).   Keringanan Bagi Musafir Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan pula mengenai hukum yang berlaku saat safar sebagai keringanan bagi musafir: Tiga hari tiga malam boleh mengusap khuf. Qashar shalat Jamak shalat Gugur kewajiban shalat Jumat Shalat sunnah di kendaraan Bolehnya tidak berpuasa Ramadhan Baca juga: Keringanan Bagi Musafir Semua bahasan di atas diringkas dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah pada index kata “muddah safar” dan “safar” dan Minhah Al-‘Allam, serta Bughyah Al-Mustarsyidin.    Referensi: Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait. Bughyah Al-Mustarsyidin. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad (Al-Husaini Al-Hadhrami Asy-Syafii). Penerbit Dar Al-Minhaj. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:450-451.   –   Diselesaikan pada Ahad pagi, 12 Syawal 1445 H, 21 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar keringanan saat safar panduan safar Safar shalat saat safar
Berikut adalah catatan pendahuluan dari bahasan Bulughul Maram mengenai shalat bagi musafir dan orang sakit. Kali ini dibahas pengertian, jarak, lama, dan syarat safar.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Pembahasan shalat untuk musafir dan orang sakit sesuai dengan kaidah “al-masyaqqah tajlibut taysiir”, kesulitan itu membawa kemudahan. Catatan: Keringanan saat safar tidaklah terkait dengan kesulitan. Hal ini bukan berarti safar yang tidak sulit berarti tak dapat keringanan. Kesulitan itu tidak terukur. Keringanan saat safar ini diperoleh terkait dengan safarnya, baik safar tersebut dengan kendaraan mobil, pesawat, kapal, atau lainnya. Begitu pula sakit adalah sebab mendapatkan keringanan dalam syariat. Karena sakit menyebabkan lemah untuk berdiri yang bisa dilakukan saat kondisi normal dan sehat.   Pengertian Safar Secara bahasa, safar berarti “وضح وانكشف” (jelas dan tersingkap). (Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 457). Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam (3:451) menyatakan bahwa safar disebut demikian karena safar itu akan menyingkap kelakuan dan akhlak para musafir. Yang sebelumnya tak terlihat menjadi tampak. Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, safar secara bahasa berarti, قَطْعُ الْمَسَافَةِ الْبَعِيدَةِ . “Memangkas jarak yang jauh.” Secara istilah, safar adalah, الْخُرُوجُ عَلَى قَصْدِ قَطْعِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ الشَّرْعِيَّةِ فَمَا فَوْقَهَا “Keluar dengan tujuan menempuh jarak minimal secara standar syari yang sudah boleh mengqashar shalat.” Dalam Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm. 245, safar berarti, الخُرُوْجُ عَنْ عِمَارَةِ مَوْطِنِ الاِقَامَةِ قَاصِدًا مَكَانًا يَبْعُدُ مَسَافَةُ يَصِحُّ فِيْهَا قَصْرٌ “Keluar bepergian meninggalkan batas bangunan terakhir dari negeri mukim dengan maksud menuju tempat yang jarak antara negeri mukim tadi dengan tempat tujuan membolehkan orang yang bepergian tersebut untuk mengqashar shalat.”   Safar yang Menyebabkan Hukum Berubah Tidak semua safar berlaku hukum bolehnya tidak puasa, bolehnya menjadikan shalat empat rakaat menjadi dua rakaat (qashar shalat), dan mengusap khuf. Yang berlaku demikian hanyalah safar tertentu yang para fuqaha menjadikan batas tertentu sebagai patokan jarak minimal safar. Walaupun untuk jarak minimal safar ini, para ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hambali berpandangan bahwa qashar shalat hanya berlaku untuk safar jauh (safar thawil). Safar thawil adalah minimal jarak 4 burud baik menempuh jalan darat maupun laut. Dalil dari pendapat ini adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas yang mengqashar shalat dan tidak berpuasa pada jarak minimal empat burud. Pendapat lainnya yang menyelisihi hal ini tidak diketahui. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hal ini dengan sanad yang sahih. Imam Al-Khatthabi berkata bahwa pendapat semacam ini pasti berdasarkan dalil (tauqifiyyah). Pendapat ulama terdahulu lainnya menyatakan bahwa qashar shalat itu boleh untuk perjalanan kurang dari sehari. Imam Al-Auza’i berkata, “Anas mengqashar shalat pada jarak minimal lima farsakh.” Ada riwayat dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa beliau keluar dari Kuffah hingga mendapati pepohonan kurma, lalu ia mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar masing-masing dua rakaat (qashar shalat). Kemudian beliau kembali pada hari itu juga. Lantas ‘Ali mengatakan, “Aku ingin mengajarkan sunnah kepada kalian.” Menurut ulama Hanafiyyah, safar yang membolehkan untuk tidak puasa dan mengqashar shalat (berubah hukum dari orang mukim) adalah bila menempuh jarak tiga kali 24 jam dengan hitungan perjalanan dengan unta dan berjalan kaki. Ada dalil yang mendukung hal ini dan kurang dari jarak tersebut tidak ada dalil dan kesepakatan ulama yang mendukung untuk mengubah hukum shalat dari sisi tidak puasa atau mengqashar shalat. Baca juga: Dalil Berbagai Pendapat tentang Jarak Safar   Jarak Minimal Disebut Safar Dalil jarak empat burud adalah hadits berikut ini, وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3: 137. Lihat Al-Irwa’ 565) Yang dimaksud empat burud di sini adalah sama dengan marhalatain (dua marhalah). Maksud marhalatain adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula waktu menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum, istirahat seperti biasa. Dua marhalah ini adalah menempuh perjalanan pergi dua hari atau dua malam. Kalau mau dihitung jaraknya adalah 48 mil Hasyimiyyah. Tujuannya adalah jarak tersebut walaupun belum sampai. 1 mil = 3.500 dziro’ 48 mil = 168.000 dziro’ 1 dziro’ = 50 cm 48 mil = 8.400.000 cm = 84 km Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya seperti ulama Hadromaut yang tertulis dalam Bughya Al-Mustarsyidin, 1:538. Baca juga: Aturan Safar untuk Jamak dan Qashar Shalat   Syarat Safar Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan mengenai syarat safar yang menjadikan hukum berubah (boleh mengqashar shalat, boleh tidak puasa, atau bolehnya mengusap khuf) adalah: Menempuh jarak minimal secara syari, menurut jumhur ulama (Syafiiyyah, Malikiyyah, dan Hambali) adalah empat burud. Bermaksud menuju tempat tertentu sejak memulai safar. Telah meninggalkan tempat mukim (rumah terakhir di kota atau batas kota). Dalilnya adalah, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ “Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu; ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah sebanyak empat rakaat, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan Bir Ali) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebanyak dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 1089 dan Muslim, no. 690) Demikianlah pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبُنَا أَنَّهُ إِذَا فَارَقَ بُنْيَان البَلَدِ قَصَرَ وَلاَ يَقْصُر قَبْلَ مُفَارَقَتِهَا وَاِنْ فَارَقَ مَنْزِلَهُ وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ وَاَحْمَدُ وَجَمَاهِيْرُ العُلَمَاءِ “Menurut Mazhab Syafi’iyyah, seorang musafir baru boleh mengqashar shalat setelah ia berpisah dari bangunan terakhir di negerinya; ia tidak boleh mengqashar shalat sebelum ia berpisah dari negerinya walaupun ia baru saja keluar dari rumahnya. Ini juga menjadi pendapat Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan mayoritas (jumhur) ulama.” (Al-Majmu’, 4:349) Bukan safar maksiat, artinya bukan ‘AASHIYAN BI SAFARIHI, yaitu sejak awal safar berniat maksiat.   Perbedaan Musafir dan Mukim Orang mukim adalah: – Yang singgah di suatu negeri selama empat hari sempurna atau lebih (di luar hari masuk dan keluar). – Yang singgah di suatu negeri selama kurang dari empat hari DENGAN NIATAN IQAMAH (menetap). Musafir adalah: – Yang melakukan perjalanan safar. – Yang singgah di suatu negeri selama kurang dari empat hari TANPA BERNIAT UNTUK IQAMAH (menetap).   Keringanan Bagi Musafir Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan pula mengenai hukum yang berlaku saat safar sebagai keringanan bagi musafir: Tiga hari tiga malam boleh mengusap khuf. Qashar shalat Jamak shalat Gugur kewajiban shalat Jumat Shalat sunnah di kendaraan Bolehnya tidak berpuasa Ramadhan Baca juga: Keringanan Bagi Musafir Semua bahasan di atas diringkas dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah pada index kata “muddah safar” dan “safar” dan Minhah Al-‘Allam, serta Bughyah Al-Mustarsyidin.    Referensi: Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait. Bughyah Al-Mustarsyidin. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad (Al-Husaini Al-Hadhrami Asy-Syafii). Penerbit Dar Al-Minhaj. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:450-451.   –   Diselesaikan pada Ahad pagi, 12 Syawal 1445 H, 21 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar keringanan saat safar panduan safar Safar shalat saat safar


Berikut adalah catatan pendahuluan dari bahasan Bulughul Maram mengenai shalat bagi musafir dan orang sakit. Kali ini dibahas pengertian, jarak, lama, dan syarat safar.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Pembahasan shalat untuk musafir dan orang sakit sesuai dengan kaidah “al-masyaqqah tajlibut taysiir”, kesulitan itu membawa kemudahan. Catatan: Keringanan saat safar tidaklah terkait dengan kesulitan. Hal ini bukan berarti safar yang tidak sulit berarti tak dapat keringanan. Kesulitan itu tidak terukur. Keringanan saat safar ini diperoleh terkait dengan safarnya, baik safar tersebut dengan kendaraan mobil, pesawat, kapal, atau lainnya. Begitu pula sakit adalah sebab mendapatkan keringanan dalam syariat. Karena sakit menyebabkan lemah untuk berdiri yang bisa dilakukan saat kondisi normal dan sehat.   Pengertian Safar Secara bahasa, safar berarti “وضح وانكشف” (jelas dan tersingkap). (Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 457). Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam (3:451) menyatakan bahwa safar disebut demikian karena safar itu akan menyingkap kelakuan dan akhlak para musafir. Yang sebelumnya tak terlihat menjadi tampak. Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, safar secara bahasa berarti, قَطْعُ الْمَسَافَةِ الْبَعِيدَةِ . “Memangkas jarak yang jauh.” Secara istilah, safar adalah, الْخُرُوجُ عَلَى قَصْدِ قَطْعِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ الشَّرْعِيَّةِ فَمَا فَوْقَهَا “Keluar dengan tujuan menempuh jarak minimal secara standar syari yang sudah boleh mengqashar shalat.” Dalam Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm. 245, safar berarti, الخُرُوْجُ عَنْ عِمَارَةِ مَوْطِنِ الاِقَامَةِ قَاصِدًا مَكَانًا يَبْعُدُ مَسَافَةُ يَصِحُّ فِيْهَا قَصْرٌ “Keluar bepergian meninggalkan batas bangunan terakhir dari negeri mukim dengan maksud menuju tempat yang jarak antara negeri mukim tadi dengan tempat tujuan membolehkan orang yang bepergian tersebut untuk mengqashar shalat.”   Safar yang Menyebabkan Hukum Berubah Tidak semua safar berlaku hukum bolehnya tidak puasa, bolehnya menjadikan shalat empat rakaat menjadi dua rakaat (qashar shalat), dan mengusap khuf. Yang berlaku demikian hanyalah safar tertentu yang para fuqaha menjadikan batas tertentu sebagai patokan jarak minimal safar. Walaupun untuk jarak minimal safar ini, para ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hambali berpandangan bahwa qashar shalat hanya berlaku untuk safar jauh (safar thawil). Safar thawil adalah minimal jarak 4 burud baik menempuh jalan darat maupun laut. Dalil dari pendapat ini adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas yang mengqashar shalat dan tidak berpuasa pada jarak minimal empat burud. Pendapat lainnya yang menyelisihi hal ini tidak diketahui. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hal ini dengan sanad yang sahih. Imam Al-Khatthabi berkata bahwa pendapat semacam ini pasti berdasarkan dalil (tauqifiyyah). Pendapat ulama terdahulu lainnya menyatakan bahwa qashar shalat itu boleh untuk perjalanan kurang dari sehari. Imam Al-Auza’i berkata, “Anas mengqashar shalat pada jarak minimal lima farsakh.” Ada riwayat dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa beliau keluar dari Kuffah hingga mendapati pepohonan kurma, lalu ia mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar masing-masing dua rakaat (qashar shalat). Kemudian beliau kembali pada hari itu juga. Lantas ‘Ali mengatakan, “Aku ingin mengajarkan sunnah kepada kalian.” Menurut ulama Hanafiyyah, safar yang membolehkan untuk tidak puasa dan mengqashar shalat (berubah hukum dari orang mukim) adalah bila menempuh jarak tiga kali 24 jam dengan hitungan perjalanan dengan unta dan berjalan kaki. Ada dalil yang mendukung hal ini dan kurang dari jarak tersebut tidak ada dalil dan kesepakatan ulama yang mendukung untuk mengubah hukum shalat dari sisi tidak puasa atau mengqashar shalat. Baca juga: Dalil Berbagai Pendapat tentang Jarak Safar   Jarak Minimal Disebut Safar Dalil jarak empat burud adalah hadits berikut ini, وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3: 137. Lihat Al-Irwa’ 565) Yang dimaksud empat burud di sini adalah sama dengan marhalatain (dua marhalah). Maksud marhalatain adalah perjalanan dua hari pergi saja dan disertai hewan yang membawa tunggangan berat, dengan diperhitungkan pula waktu menurunkan beban dan mengangkat beban, turun untuk shalat, makan, minum, istirahat seperti biasa. Dua marhalah ini adalah menempuh perjalanan pergi dua hari atau dua malam. Kalau mau dihitung jaraknya adalah 48 mil Hasyimiyyah. Tujuannya adalah jarak tersebut walaupun belum sampai. 1 mil = 3.500 dziro’ 48 mil = 168.000 dziro’ 1 dziro’ = 50 cm 48 mil = 8.400.000 cm = 84 km Jarak inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dan ulama lainnya seperti ulama Hadromaut yang tertulis dalam Bughya Al-Mustarsyidin, 1:538. Baca juga: Aturan Safar untuk Jamak dan Qashar Shalat   Syarat Safar Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan mengenai syarat safar yang menjadikan hukum berubah (boleh mengqashar shalat, boleh tidak puasa, atau bolehnya mengusap khuf) adalah: Menempuh jarak minimal secara syari, menurut jumhur ulama (Syafiiyyah, Malikiyyah, dan Hambali) adalah empat burud. Bermaksud menuju tempat tertentu sejak memulai safar. Telah meninggalkan tempat mukim (rumah terakhir di kota atau batas kota). Dalilnya adalah, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ “Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu; ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah sebanyak empat rakaat, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan Bir Ali) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebanyak dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 1089 dan Muslim, no. 690) Demikianlah pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبُنَا أَنَّهُ إِذَا فَارَقَ بُنْيَان البَلَدِ قَصَرَ وَلاَ يَقْصُر قَبْلَ مُفَارَقَتِهَا وَاِنْ فَارَقَ مَنْزِلَهُ وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ وَاَحْمَدُ وَجَمَاهِيْرُ العُلَمَاءِ “Menurut Mazhab Syafi’iyyah, seorang musafir baru boleh mengqashar shalat setelah ia berpisah dari bangunan terakhir di negerinya; ia tidak boleh mengqashar shalat sebelum ia berpisah dari negerinya walaupun ia baru saja keluar dari rumahnya. Ini juga menjadi pendapat Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan mayoritas (jumhur) ulama.” (Al-Majmu’, 4:349) Bukan safar maksiat, artinya bukan ‘AASHIYAN BI SAFARIHI, yaitu sejak awal safar berniat maksiat.   Perbedaan Musafir dan Mukim Orang mukim adalah: – Yang singgah di suatu negeri selama empat hari sempurna atau lebih (di luar hari masuk dan keluar). – Yang singgah di suatu negeri selama kurang dari empat hari DENGAN NIATAN IQAMAH (menetap). Musafir adalah: – Yang melakukan perjalanan safar. – Yang singgah di suatu negeri selama kurang dari empat hari TANPA BERNIAT UNTUK IQAMAH (menetap).   Keringanan Bagi Musafir Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan pula mengenai hukum yang berlaku saat safar sebagai keringanan bagi musafir: Tiga hari tiga malam boleh mengusap khuf. Qashar shalat Jamak shalat Gugur kewajiban shalat Jumat Shalat sunnah di kendaraan Bolehnya tidak berpuasa Ramadhan Baca juga: Keringanan Bagi Musafir Semua bahasan di atas diringkas dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah pada index kata “muddah safar” dan “safar” dan Minhah Al-‘Allam, serta Bughyah Al-Mustarsyidin.    Referensi: Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait. Bughyah Al-Mustarsyidin. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad (Al-Husaini Al-Hadhrami Asy-Syafii). Penerbit Dar Al-Minhaj. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:450-451.   –   Diselesaikan pada Ahad pagi, 12 Syawal 1445 H, 21 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar keringanan saat safar panduan safar Safar shalat saat safar

Bulan Syawal Adalah Bulan Peningkatan?

Pertanyaan: Saya sering mendengar bahwa bulan Syawal adalah bulan peningkatan. Artinya, kita tidak boleh kendor dalam beramal shalih setelah Ramadhan, bahkan seharusnya bertambah semangatnya. Apakah pernyataan tersebut benar? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ahli bahasa mengatakan bahwa ada tiga pendapat tentang asal usul penamaan bulan Syawal: Pendapat pertama, Syawal berasal dari kata شَالَ –  يَشُولُ yang artinya: mengangkat. Karena di bulan ini biasanya unta betina mengangkat ekornya sebagai tanda keengganan untuk digauli oleh unta jantan. Sehingga di bulan ini para peternak unta dahulu sulit untuk melakukan perkawinan pada untanya. Pendapat yang kedua, Syawal dari kata تشويل yang artinya: berkurang. Karena biasanya unta berkurang dan sedikit susunya di bulan ini, karena memang biasanya di bulan ini merupakan puncak dari musim panas. Sehingga para peternak unta dahulu juga mengalami masa sulit karena berkurang produksi susu unta di bulan ini. Karena dua makna di atas, orang Arab Jahiliyah punya anggapan sial jika menikah di bulan Syawal. Sehingga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sengaja menikahi Aisyah radhiyallahu’anha di bulan Syawal untuk membantah keyakinan tersebut. Aisyah radhiyallahu’anha berkata: تَزَوَّجَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَوَّالٍ وَبَنَى بِى فِى شَوَّالٍ فَأَىُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّى “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal dan mulai tinggal bersamaku di bulan Syawal. Lalu istri Nabi yang mana yang lebih beruntung melainkan aku?” (HR. Muslim no. 3548). Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (di antaranya Syawal), mereka khawatir akan terjadi perceraian jika menikah di bulan tersebut. Keyakinan ini tidaklah benar.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/253). Pendapat ketiga, Syawal dari kata شَوَّلَ yang artinya: pergi melakukan perjalanan. Karena di bulan ini konon banyak begal yang melakukan perjalanan untuk merampas harta suatu kaum, dalam rangka menumpuk harta. Dikarenakan adanya larangan berperang di bulan-bulan haram (yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram).  Adapun Syawal dimaknai sebagai bulan peningkatan, ini tidak kami ketahui dasarnya. Sehingga nampaknya kurang tepat jika dikatakan bulan Syawal sebagai bulan peningkatan. Karena tidak diketahui dasarnya dan juga tidak didukung oleh dalil-dalil syar’i.  Namun benar bahwa di bulan Syawal hendaknya kita berusaha istiqomah dan tidak kendor dalam beramal shalih. Itulah salah satu hikmah dianjurkannya puasa 6 hari di bulan Syawal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر “Barangsiapa yang puasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Nadzor, Menelan Sperma Dalam Islam, Kubah Masjid Nabawi Berubah Warna, Kerudung Besar Syar I, Walimatus Safar Haji, Larangan Tidur Setelah Subuh Visited 15 times, 1 visit(s) today Post Views: 368 QRIS donasi Yufid

Bulan Syawal Adalah Bulan Peningkatan?

Pertanyaan: Saya sering mendengar bahwa bulan Syawal adalah bulan peningkatan. Artinya, kita tidak boleh kendor dalam beramal shalih setelah Ramadhan, bahkan seharusnya bertambah semangatnya. Apakah pernyataan tersebut benar? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ahli bahasa mengatakan bahwa ada tiga pendapat tentang asal usul penamaan bulan Syawal: Pendapat pertama, Syawal berasal dari kata شَالَ –  يَشُولُ yang artinya: mengangkat. Karena di bulan ini biasanya unta betina mengangkat ekornya sebagai tanda keengganan untuk digauli oleh unta jantan. Sehingga di bulan ini para peternak unta dahulu sulit untuk melakukan perkawinan pada untanya. Pendapat yang kedua, Syawal dari kata تشويل yang artinya: berkurang. Karena biasanya unta berkurang dan sedikit susunya di bulan ini, karena memang biasanya di bulan ini merupakan puncak dari musim panas. Sehingga para peternak unta dahulu juga mengalami masa sulit karena berkurang produksi susu unta di bulan ini. Karena dua makna di atas, orang Arab Jahiliyah punya anggapan sial jika menikah di bulan Syawal. Sehingga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sengaja menikahi Aisyah radhiyallahu’anha di bulan Syawal untuk membantah keyakinan tersebut. Aisyah radhiyallahu’anha berkata: تَزَوَّجَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَوَّالٍ وَبَنَى بِى فِى شَوَّالٍ فَأَىُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّى “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal dan mulai tinggal bersamaku di bulan Syawal. Lalu istri Nabi yang mana yang lebih beruntung melainkan aku?” (HR. Muslim no. 3548). Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (di antaranya Syawal), mereka khawatir akan terjadi perceraian jika menikah di bulan tersebut. Keyakinan ini tidaklah benar.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/253). Pendapat ketiga, Syawal dari kata شَوَّلَ yang artinya: pergi melakukan perjalanan. Karena di bulan ini konon banyak begal yang melakukan perjalanan untuk merampas harta suatu kaum, dalam rangka menumpuk harta. Dikarenakan adanya larangan berperang di bulan-bulan haram (yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram).  Adapun Syawal dimaknai sebagai bulan peningkatan, ini tidak kami ketahui dasarnya. Sehingga nampaknya kurang tepat jika dikatakan bulan Syawal sebagai bulan peningkatan. Karena tidak diketahui dasarnya dan juga tidak didukung oleh dalil-dalil syar’i.  Namun benar bahwa di bulan Syawal hendaknya kita berusaha istiqomah dan tidak kendor dalam beramal shalih. Itulah salah satu hikmah dianjurkannya puasa 6 hari di bulan Syawal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر “Barangsiapa yang puasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Nadzor, Menelan Sperma Dalam Islam, Kubah Masjid Nabawi Berubah Warna, Kerudung Besar Syar I, Walimatus Safar Haji, Larangan Tidur Setelah Subuh Visited 15 times, 1 visit(s) today Post Views: 368 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Saya sering mendengar bahwa bulan Syawal adalah bulan peningkatan. Artinya, kita tidak boleh kendor dalam beramal shalih setelah Ramadhan, bahkan seharusnya bertambah semangatnya. Apakah pernyataan tersebut benar? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ahli bahasa mengatakan bahwa ada tiga pendapat tentang asal usul penamaan bulan Syawal: Pendapat pertama, Syawal berasal dari kata شَالَ –  يَشُولُ yang artinya: mengangkat. Karena di bulan ini biasanya unta betina mengangkat ekornya sebagai tanda keengganan untuk digauli oleh unta jantan. Sehingga di bulan ini para peternak unta dahulu sulit untuk melakukan perkawinan pada untanya. Pendapat yang kedua, Syawal dari kata تشويل yang artinya: berkurang. Karena biasanya unta berkurang dan sedikit susunya di bulan ini, karena memang biasanya di bulan ini merupakan puncak dari musim panas. Sehingga para peternak unta dahulu juga mengalami masa sulit karena berkurang produksi susu unta di bulan ini. Karena dua makna di atas, orang Arab Jahiliyah punya anggapan sial jika menikah di bulan Syawal. Sehingga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sengaja menikahi Aisyah radhiyallahu’anha di bulan Syawal untuk membantah keyakinan tersebut. Aisyah radhiyallahu’anha berkata: تَزَوَّجَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَوَّالٍ وَبَنَى بِى فِى شَوَّالٍ فَأَىُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّى “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal dan mulai tinggal bersamaku di bulan Syawal. Lalu istri Nabi yang mana yang lebih beruntung melainkan aku?” (HR. Muslim no. 3548). Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (di antaranya Syawal), mereka khawatir akan terjadi perceraian jika menikah di bulan tersebut. Keyakinan ini tidaklah benar.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/253). Pendapat ketiga, Syawal dari kata شَوَّلَ yang artinya: pergi melakukan perjalanan. Karena di bulan ini konon banyak begal yang melakukan perjalanan untuk merampas harta suatu kaum, dalam rangka menumpuk harta. Dikarenakan adanya larangan berperang di bulan-bulan haram (yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram).  Adapun Syawal dimaknai sebagai bulan peningkatan, ini tidak kami ketahui dasarnya. Sehingga nampaknya kurang tepat jika dikatakan bulan Syawal sebagai bulan peningkatan. Karena tidak diketahui dasarnya dan juga tidak didukung oleh dalil-dalil syar’i.  Namun benar bahwa di bulan Syawal hendaknya kita berusaha istiqomah dan tidak kendor dalam beramal shalih. Itulah salah satu hikmah dianjurkannya puasa 6 hari di bulan Syawal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر “Barangsiapa yang puasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Nadzor, Menelan Sperma Dalam Islam, Kubah Masjid Nabawi Berubah Warna, Kerudung Besar Syar I, Walimatus Safar Haji, Larangan Tidur Setelah Subuh Visited 15 times, 1 visit(s) today Post Views: 368 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Saya sering mendengar bahwa bulan Syawal adalah bulan peningkatan. Artinya, kita tidak boleh kendor dalam beramal shalih setelah Ramadhan, bahkan seharusnya bertambah semangatnya. Apakah pernyataan tersebut benar? Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ahli bahasa mengatakan bahwa ada tiga pendapat tentang asal usul penamaan bulan Syawal: Pendapat pertama, Syawal berasal dari kata شَالَ –  يَشُولُ yang artinya: mengangkat. Karena di bulan ini biasanya unta betina mengangkat ekornya sebagai tanda keengganan untuk digauli oleh unta jantan. Sehingga di bulan ini para peternak unta dahulu sulit untuk melakukan perkawinan pada untanya. Pendapat yang kedua, Syawal dari kata تشويل yang artinya: berkurang. Karena biasanya unta berkurang dan sedikit susunya di bulan ini, karena memang biasanya di bulan ini merupakan puncak dari musim panas. Sehingga para peternak unta dahulu juga mengalami masa sulit karena berkurang produksi susu unta di bulan ini. Karena dua makna di atas, orang Arab Jahiliyah punya anggapan sial jika menikah di bulan Syawal. Sehingga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sengaja menikahi Aisyah radhiyallahu’anha di bulan Syawal untuk membantah keyakinan tersebut. Aisyah radhiyallahu’anha berkata: تَزَوَّجَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَوَّالٍ وَبَنَى بِى فِى شَوَّالٍ فَأَىُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّى “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal dan mulai tinggal bersamaku di bulan Syawal. Lalu istri Nabi yang mana yang lebih beruntung melainkan aku?” (HR. Muslim no. 3548). Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (di antaranya Syawal), mereka khawatir akan terjadi perceraian jika menikah di bulan tersebut. Keyakinan ini tidaklah benar.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/253). Pendapat ketiga, Syawal dari kata شَوَّلَ yang artinya: pergi melakukan perjalanan. Karena di bulan ini konon banyak begal yang melakukan perjalanan untuk merampas harta suatu kaum, dalam rangka menumpuk harta. Dikarenakan adanya larangan berperang di bulan-bulan haram (yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram).  Adapun Syawal dimaknai sebagai bulan peningkatan, ini tidak kami ketahui dasarnya. Sehingga nampaknya kurang tepat jika dikatakan bulan Syawal sebagai bulan peningkatan. Karena tidak diketahui dasarnya dan juga tidak didukung oleh dalil-dalil syar’i.  Namun benar bahwa di bulan Syawal hendaknya kita berusaha istiqomah dan tidak kendor dalam beramal shalih. Itulah salah satu hikmah dianjurkannya puasa 6 hari di bulan Syawal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر “Barangsiapa yang puasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Nadzor, Menelan Sperma Dalam Islam, Kubah Masjid Nabawi Berubah Warna, Kerudung Besar Syar I, Walimatus Safar Haji, Larangan Tidur Setelah Subuh Visited 15 times, 1 visit(s) today Post Views: 368 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Manusia Tidak Mengetahui Akhir Sesuatu, Hanya Allah Yang Maha Mengetahui

Allah yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita. Kita sebagai manusia asalnya tidak mengetahui kesudahan di balik sesuatu.   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!)   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid berkata sebagai berikut. “Allah Ta’ala berfirman,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Masih tentang surah Al-Baqarah ayat 216. Di dalam ayat ini terkandung banyak hikmah, rahasia, dan kemaslahatan bagi seorang hamba. Di antaranya adalah apabila seorang hamba mengetahui bahwa sesuatu yang dibencinya terkadang justru mendatangkan sesuatu yang dicintai. Sebaliknya, sesuatu yang dicintainya terkadang justru mendatangkan sesuatu yang dibenci. Maka ia tidak akan merasa aman dari bahaya pada saat dianugrahi kebahagiaan. Begitu pula, ia tidak akan putus asa untuk memperoleh kebahagiaan ketika ditimpa kesulitan. Hamba itu bersikap demikian karena ia tidak mengetahui kesudahan di balik semua itu. Hanya Allah yang Mengetahuinya sebagaimana Allah mengetahui hal-hal lainnya yang tidak diketahui oleh hamba-Nya.  Pengetahuan seorang hamba bahwa sesuatu yang dibenci terkadang mendatangkan sesuatu yang dicintai dan sesuatu yang dicintai terkadang mendatangkan sesuatu yang dibenci, ini semua menuntutnya untuk melakukan:  (1) melaksanakan perintah Allah meskipun terasa berat, (2) menyerahkan semua urusan kepada Allah, (3) mengosongkan hati dari segala kesibukan.”   Pelajaran Penting: Allah Yang Tahu Akhir Segala Sesuatu, Bukan Manusia Coba direnungkan ayat berikut, فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam kitab tafsirnya (Tafsir As-Sa’di, hlm. 970) menjelaskan tentang ayat ini, َيُخْبِرُ تَعَالَى عَنْ طَبِيْعَةِ الإِنْسَانِ مِنْ حَيْثُ هُوَ، وَأَنَّهُ جَاهِلٌ ظَالِمٌ، لاَ عِلْمَ لَهُ بِالعَوَاقِبِ، يَظُنُّ الحَالَة الَّتِي تَقَعُ فِيْهِ تَسْتَمِرُّ وَلاَ تَزُوْل، “Allah mengabarkan tabiat manusia dari segi manusia itu sendiri. Manusia adalah sosok bodoh dan zalim, yang tidak mengetahui akhir berbagai hal. Ia mengira kondisi yang ada padanya akan terus berlanjut dan tidak akan hilang.” Artinya, ia mengira bahwa kalau saat ini hidup susah, maka akan hidup susah selamanya. Padahal tidak seperti itu. Baca juga: Diluaskan dan Disempitkan Rezeki   Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 203. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 174. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim musibah

Manusia Tidak Mengetahui Akhir Sesuatu, Hanya Allah Yang Maha Mengetahui

Allah yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita. Kita sebagai manusia asalnya tidak mengetahui kesudahan di balik sesuatu.   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!)   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid berkata sebagai berikut. “Allah Ta’ala berfirman,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Masih tentang surah Al-Baqarah ayat 216. Di dalam ayat ini terkandung banyak hikmah, rahasia, dan kemaslahatan bagi seorang hamba. Di antaranya adalah apabila seorang hamba mengetahui bahwa sesuatu yang dibencinya terkadang justru mendatangkan sesuatu yang dicintai. Sebaliknya, sesuatu yang dicintainya terkadang justru mendatangkan sesuatu yang dibenci. Maka ia tidak akan merasa aman dari bahaya pada saat dianugrahi kebahagiaan. Begitu pula, ia tidak akan putus asa untuk memperoleh kebahagiaan ketika ditimpa kesulitan. Hamba itu bersikap demikian karena ia tidak mengetahui kesudahan di balik semua itu. Hanya Allah yang Mengetahuinya sebagaimana Allah mengetahui hal-hal lainnya yang tidak diketahui oleh hamba-Nya.  Pengetahuan seorang hamba bahwa sesuatu yang dibenci terkadang mendatangkan sesuatu yang dicintai dan sesuatu yang dicintai terkadang mendatangkan sesuatu yang dibenci, ini semua menuntutnya untuk melakukan:  (1) melaksanakan perintah Allah meskipun terasa berat, (2) menyerahkan semua urusan kepada Allah, (3) mengosongkan hati dari segala kesibukan.”   Pelajaran Penting: Allah Yang Tahu Akhir Segala Sesuatu, Bukan Manusia Coba direnungkan ayat berikut, فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam kitab tafsirnya (Tafsir As-Sa’di, hlm. 970) menjelaskan tentang ayat ini, َيُخْبِرُ تَعَالَى عَنْ طَبِيْعَةِ الإِنْسَانِ مِنْ حَيْثُ هُوَ، وَأَنَّهُ جَاهِلٌ ظَالِمٌ، لاَ عِلْمَ لَهُ بِالعَوَاقِبِ، يَظُنُّ الحَالَة الَّتِي تَقَعُ فِيْهِ تَسْتَمِرُّ وَلاَ تَزُوْل، “Allah mengabarkan tabiat manusia dari segi manusia itu sendiri. Manusia adalah sosok bodoh dan zalim, yang tidak mengetahui akhir berbagai hal. Ia mengira kondisi yang ada padanya akan terus berlanjut dan tidak akan hilang.” Artinya, ia mengira bahwa kalau saat ini hidup susah, maka akan hidup susah selamanya. Padahal tidak seperti itu. Baca juga: Diluaskan dan Disempitkan Rezeki   Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 203. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 174. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim musibah
Allah yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita. Kita sebagai manusia asalnya tidak mengetahui kesudahan di balik sesuatu.   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!)   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid berkata sebagai berikut. “Allah Ta’ala berfirman,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Masih tentang surah Al-Baqarah ayat 216. Di dalam ayat ini terkandung banyak hikmah, rahasia, dan kemaslahatan bagi seorang hamba. Di antaranya adalah apabila seorang hamba mengetahui bahwa sesuatu yang dibencinya terkadang justru mendatangkan sesuatu yang dicintai. Sebaliknya, sesuatu yang dicintainya terkadang justru mendatangkan sesuatu yang dibenci. Maka ia tidak akan merasa aman dari bahaya pada saat dianugrahi kebahagiaan. Begitu pula, ia tidak akan putus asa untuk memperoleh kebahagiaan ketika ditimpa kesulitan. Hamba itu bersikap demikian karena ia tidak mengetahui kesudahan di balik semua itu. Hanya Allah yang Mengetahuinya sebagaimana Allah mengetahui hal-hal lainnya yang tidak diketahui oleh hamba-Nya.  Pengetahuan seorang hamba bahwa sesuatu yang dibenci terkadang mendatangkan sesuatu yang dicintai dan sesuatu yang dicintai terkadang mendatangkan sesuatu yang dibenci, ini semua menuntutnya untuk melakukan:  (1) melaksanakan perintah Allah meskipun terasa berat, (2) menyerahkan semua urusan kepada Allah, (3) mengosongkan hati dari segala kesibukan.”   Pelajaran Penting: Allah Yang Tahu Akhir Segala Sesuatu, Bukan Manusia Coba direnungkan ayat berikut, فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam kitab tafsirnya (Tafsir As-Sa’di, hlm. 970) menjelaskan tentang ayat ini, َيُخْبِرُ تَعَالَى عَنْ طَبِيْعَةِ الإِنْسَانِ مِنْ حَيْثُ هُوَ، وَأَنَّهُ جَاهِلٌ ظَالِمٌ، لاَ عِلْمَ لَهُ بِالعَوَاقِبِ، يَظُنُّ الحَالَة الَّتِي تَقَعُ فِيْهِ تَسْتَمِرُّ وَلاَ تَزُوْل، “Allah mengabarkan tabiat manusia dari segi manusia itu sendiri. Manusia adalah sosok bodoh dan zalim, yang tidak mengetahui akhir berbagai hal. Ia mengira kondisi yang ada padanya akan terus berlanjut dan tidak akan hilang.” Artinya, ia mengira bahwa kalau saat ini hidup susah, maka akan hidup susah selamanya. Padahal tidak seperti itu. Baca juga: Diluaskan dan Disempitkan Rezeki   Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 203. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 174. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim musibah


Allah yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita. Kita sebagai manusia asalnya tidak mengetahui kesudahan di balik sesuatu.   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!)   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid berkata sebagai berikut. “Allah Ta’ala berfirman,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Masih tentang surah Al-Baqarah ayat 216. Di dalam ayat ini terkandung banyak hikmah, rahasia, dan kemaslahatan bagi seorang hamba. Di antaranya adalah apabila seorang hamba mengetahui bahwa sesuatu yang dibencinya terkadang justru mendatangkan sesuatu yang dicintai. Sebaliknya, sesuatu yang dicintainya terkadang justru mendatangkan sesuatu yang dibenci. Maka ia tidak akan merasa aman dari bahaya pada saat dianugrahi kebahagiaan. Begitu pula, ia tidak akan putus asa untuk memperoleh kebahagiaan ketika ditimpa kesulitan. Hamba itu bersikap demikian karena ia tidak mengetahui kesudahan di balik semua itu. Hanya Allah yang Mengetahuinya sebagaimana Allah mengetahui hal-hal lainnya yang tidak diketahui oleh hamba-Nya.  Pengetahuan seorang hamba bahwa sesuatu yang dibenci terkadang mendatangkan sesuatu yang dicintai dan sesuatu yang dicintai terkadang mendatangkan sesuatu yang dibenci, ini semua menuntutnya untuk melakukan:  (1) melaksanakan perintah Allah meskipun terasa berat, (2) menyerahkan semua urusan kepada Allah, (3) mengosongkan hati dari segala kesibukan.”   Pelajaran Penting: Allah Yang Tahu Akhir Segala Sesuatu, Bukan Manusia Coba direnungkan ayat berikut, فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16) Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam kitab tafsirnya (Tafsir As-Sa’di, hlm. 970) menjelaskan tentang ayat ini, َيُخْبِرُ تَعَالَى عَنْ طَبِيْعَةِ الإِنْسَانِ مِنْ حَيْثُ هُوَ، وَأَنَّهُ جَاهِلٌ ظَالِمٌ، لاَ عِلْمَ لَهُ بِالعَوَاقِبِ، يَظُنُّ الحَالَة الَّتِي تَقَعُ فِيْهِ تَسْتَمِرُّ وَلاَ تَزُوْل، “Allah mengabarkan tabiat manusia dari segi manusia itu sendiri. Manusia adalah sosok bodoh dan zalim, yang tidak mengetahui akhir berbagai hal. Ia mengira kondisi yang ada padanya akan terus berlanjut dan tidak akan hilang.” Artinya, ia mengira bahwa kalau saat ini hidup susah, maka akan hidup susah selamanya. Padahal tidak seperti itu. Baca juga: Diluaskan dan Disempitkan Rezeki   Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 203. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 174. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim musibah

Teks Khotbah Jumat: Bulan Syawal yang Penuh Keberkahan

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah Kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan senantiasa berada di jalan ketaatan kepada Allah maupun konsisten di dalam meninggalkan hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan. Allah berfirman, وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنْ اتَّقُوا اللَّهَ “Sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kalian dan (juga) kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 131) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, bulan Ramadan telah pergi meninggalkan kita. Bulan yang penuh keutamaan ini telah memberikan banyak sekali pelajaran bagi kita. Oleh karenanya, marilah kita jaga kebiasaan-kebiasaan yang telah kita lakukan di bulan Ramadan untuk tetap kita laksanakan setelahnya. Karena keistikamahan dan amal kebaikan merupakan tanda diterimanya amal kita di bulan Ramadan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, قَالَ بَعْضُهُمْ : ثَوَابُ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا, فَمَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اتَّبَعَ بِحَسَنَةٍ بَعْدَهَا كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةً عَلَى قَبُوْلِ الحَسَنَةِ الْأُوْلَى. كَمَا أَنَّ مَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اْتَّبَعَهَا بِسَيِّئَةٍ كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةَ رَدِّ الحَسَنَةِ وَ عَدَمِ قَبُوْلِهَا. “Sebagian ulama mengatakan, ‘Ganjaran sebuah amal kebaikan adalah amal kebaikan setelahnya. Maka, barangsiapa yang beramal dengan sebuah amal kebaikan, kemudian mengiringinya dengan amal kebaikan setelahnya, hal itu merupakan tanda diterimanya amal kebaikan sebelumnya. Demikian juga, barangsiapa yang beramal kebaikan, kemudian mengiringinya dengan amal keburukan setelahnya, maka hal itu merupakan tanda ditolaknya dan tidak diterimanya amal kabaikan sebelumnya.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 221) Jemaah yang semoga senantiasa dalam rahmat Allah Ta’ala, Ketahuilah! Sesungguhnya bulan Syawal merupakan salah satu bulan yang penuh keberkahan. Allah letakkan bulan tersebut di antara dua bulan yang juga penuh keberkahan dan kemuliaan, yaitu antara bulan Ramadan yang diwajibkan di dalamnya ibadah puasa dan bulan Zulkaidah yang merupakan salah satu bulan yang Allah Ta’ala haramkan. Allah jadikan pula hari pertama dari bulan Syawal ini sebagai hari raya bagi kita, yaitu hari raya Idulfitri Oleh karenanya, wahai saudaraku sekalian, jangan engkau kotori bulan yang mulia ini dengan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, sehingga kebahagiaan Idulfitri ini menjadi sia-sia dan tidak memberikan makna yang berarti bagi diri kita. Karena kemaksiatan pada hakikatnya akan merusak kebahagiaan serta memberikan kesedihan dan kesempitan baik di dunia maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Di bulan Syawal ini, marilah berusaha untuk mewujudkan keistikamahan dan konsistensi dalam beramal, mari kita jaga salat wajib kita, serta kita kerjakan pula amal ibadah sunah yang ada di dalamnya. Di antaranya adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal ini. Dengan begitu, kita mendapatkan keutamaan berpuasa selama satu tahun penuh. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ “Siapa saja yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164) Akan tetapi, wahai jemaah yang semoga mendapatkan ampunan Allah Ta’ala, jikalau memiliki utang puasa di bulan Ramadan, usahakanlah untuk membayar utang puasanya tersebut terlebih dahulu. Karena pahala berpuasa selama satu tahun penuh tersebut tidak akan terwujud dengan sempurna, kecuali apabila kita telah benar-benar menyelesaikan puasa Ramadan. Hal ini berdasarkan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idulfitri, maka dia seperti berpuasa selama setahun penuh. (Kemudian Nabi membacakan ayat), “Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan yang semisal dengannya.” (HR. Ibnu Majah dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil.) Berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadan, maka pahalanya seperti berpuasa selama sepuluh bulan. Kemudian apabila disempurnakan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka pahala puasa enam hari tersebut setara dengan berpuasa selama enam puluh hari atau dua bulan. Dengan begitu, menjadi sempurnalah pahala puasa kita layaknya berpuasa selama dua belas bulan atau satu tahun penuh. Ma’asyiral muslimin, saudaraku sekalian, dengan mengamalkan sunah berpuasa enam hari di bulan Syawal ini, maka kita sudah berusaha untuk terus istikamah di atas ketaatan dan melakukan amal saleh. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman menyebutkan keutamaan orang-orang yang istikamah, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah.’, kemudian mereka istikamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih! Dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allâh kepadamu.!’” (QS. Fussilat: 30) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa istikamah di atas ketaatan kepada-Nya. Hamba-hamba Allah yang tidak hanya beribadah di bulan Ramadan saja. Akan tetapi, senantiasa menjaga ibadah dan ketaatannya di bulan-bulan lainnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pelajaran Tauhid dari Pernikahan Nabi dan Aisyah di Bulan Syawal Khotbah Kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di bulan Syawal yang mulia ini, ada dua sunah lainnya yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada kita. Yang apabila kita amalkan, maka insyaAllah kita termasuk umatnya yang giat dan senang menghidupkan sunah-sunah yang beliau ajarkan. Yang pertama, wahai jemaah yang dimuliakan Allah, adalah menikah di bulan Syawal. Sebagaimana disampaikan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, تزوَّجَني النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ في شوَّالٍ وبنَى بي في شوَّالٍ، فأيُّ نسائِهِ كانَ أحظَى عندَهُ منِّي، وَكانت عائشةُ تستحبُّ أن تُدْخِلَ نساءَها في شوَّالٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan hidup berumah tangga denganku juga pada bulan Syawal. Karenanya, siapakah di antara istrinya yang lebih beruntung daripadaku?” Dan ‘Aisyah paling suka jika malam pertama itu dilakukan pada bulan Syawal.” (HR. Ibnu Majah no. 1990 dan Muslim no. 1423) Di antara sebab pernikahan Nabi di bulan Syawal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah adalah untuk membantah anggapan sial menikah di bulan Syawal ketika itu. Imam Nawawi mengatakan, “Tujuan Aisyah mengatakan demikian adalah sebagai bantahan terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar di kalangan masyarakat awam, bahwa dimakruhkan menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang salah, yang tidak memiliki landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarakat jahiliah yang meyakini adanya kesialan di bulan Syawal.” Kemudian wahai jemaah sekalian, sunah kedua yang bisa kita amalkan di bulan yang mulia ini adalah melangsungkan ibadah umrah. Karena umrah di bulan-bulan Haji sangatlah ditekankan dan disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bulan Syawal termasuk bulan bulan Haji. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كانوا يَرَونَ أن العمرةَ في أشهرِ الحجِّ من أفجَرِ الفُجورِ في الأرضِ، ويَجعلون المحرَّمَ صفَرًا، ويقولون إذا بَرَا الدَّبَر، وعَفَا الأثَرْ، وانسَلَخَ صَفَرْ، حلَّت العُمْرَةُ لمن اعتَمَرْ، قدمَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم وأصحابُه صبيحَةَ رابعةٍ مُهلِّين بالحجِّ، فأمَرَهُم أن يجعلوها عمرةً، فتَعَاظَمَ ذلكَ عندهم، فقالوا يا رسول اللهِ: أيُّ الحِلِّ؟ قال: حِلٌّ كُلُّهُ “Orang-orang jahiliah menganggap bahwa umrah di bulan-bulan Haji merupakan perbuatan yang paling keji di muka bumi. Dan mereka juga menganggap bulan Muharam sama dengan bulan Shafar. Mereka mengatakan, “Apabila jemaah haji sudah bubar (pulang), dan bulan Shafar telah berlalu, maka baru boleh melakukan umrah (sunah) bagi orang yang melakukan umrah wajib. Lalu, pada pagi hari yang keempat (dari bulan Zulhijah), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Makkah dengan para sahabatnya untuk berihram haji, tetapi kemudian beliau menyuruh para sahabat agar merubah dan menjadikan niat ihramnya tersebut sebagai umrah. Hal itu tentu saja membuat para sahabat bingung dan heran (karena sebelum-sebelumnya mereka senantiasa mengakhirkan umrah hingga lewat bulan bulan Haji). Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apa nanti kita bertahallul?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tahallul keseluruhan.” (HR. Bukhari no. 1564 dan Muslim no. 1240) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah bersemangat di dalam mengingkari kebiasaan-kebiasaan orang jahiliah yang tidak sejalan dengan syariat Islam. Oleh karenanya, beliau perintahkan para sahabatnya untuk berumrah di bulan bulan Haji, sebagai bentuk pengingkaran terhadap kebiasaan dan adat orang orang jahiliah yang dibuat-buat dan memberatkan. Nabi tegaskan kepada kaum muslimin bahwa berumrah di bulan-bulan Haji hukumnya diperbolehkan. Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana disampaikan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tidaklah berumrah, kecuali di bulan-bulan Haji. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, di bulan Syawal yang mulia ini, mari kita maksimalkan ibadah kita, mari tetap bersemangat di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Senantiasalah berdoa kepada Allah Ta’ala agar menerima seluruh amal ibadah yang kita lakukan, baik di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan selainnya. Sebagian ulama salaf mengatakan, كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ ”Mereka (para sahabat) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadan. Kemudian mereka pun berdoa selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Latha’iful Ma’arif, hal. 232) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ  Baca juga: Fikih Puasa Syawal *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: keberkahansyawal

Teks Khotbah Jumat: Bulan Syawal yang Penuh Keberkahan

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah Kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan senantiasa berada di jalan ketaatan kepada Allah maupun konsisten di dalam meninggalkan hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan. Allah berfirman, وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنْ اتَّقُوا اللَّهَ “Sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kalian dan (juga) kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 131) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, bulan Ramadan telah pergi meninggalkan kita. Bulan yang penuh keutamaan ini telah memberikan banyak sekali pelajaran bagi kita. Oleh karenanya, marilah kita jaga kebiasaan-kebiasaan yang telah kita lakukan di bulan Ramadan untuk tetap kita laksanakan setelahnya. Karena keistikamahan dan amal kebaikan merupakan tanda diterimanya amal kita di bulan Ramadan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, قَالَ بَعْضُهُمْ : ثَوَابُ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا, فَمَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اتَّبَعَ بِحَسَنَةٍ بَعْدَهَا كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةً عَلَى قَبُوْلِ الحَسَنَةِ الْأُوْلَى. كَمَا أَنَّ مَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اْتَّبَعَهَا بِسَيِّئَةٍ كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةَ رَدِّ الحَسَنَةِ وَ عَدَمِ قَبُوْلِهَا. “Sebagian ulama mengatakan, ‘Ganjaran sebuah amal kebaikan adalah amal kebaikan setelahnya. Maka, barangsiapa yang beramal dengan sebuah amal kebaikan, kemudian mengiringinya dengan amal kebaikan setelahnya, hal itu merupakan tanda diterimanya amal kebaikan sebelumnya. Demikian juga, barangsiapa yang beramal kebaikan, kemudian mengiringinya dengan amal keburukan setelahnya, maka hal itu merupakan tanda ditolaknya dan tidak diterimanya amal kabaikan sebelumnya.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 221) Jemaah yang semoga senantiasa dalam rahmat Allah Ta’ala, Ketahuilah! Sesungguhnya bulan Syawal merupakan salah satu bulan yang penuh keberkahan. Allah letakkan bulan tersebut di antara dua bulan yang juga penuh keberkahan dan kemuliaan, yaitu antara bulan Ramadan yang diwajibkan di dalamnya ibadah puasa dan bulan Zulkaidah yang merupakan salah satu bulan yang Allah Ta’ala haramkan. Allah jadikan pula hari pertama dari bulan Syawal ini sebagai hari raya bagi kita, yaitu hari raya Idulfitri Oleh karenanya, wahai saudaraku sekalian, jangan engkau kotori bulan yang mulia ini dengan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, sehingga kebahagiaan Idulfitri ini menjadi sia-sia dan tidak memberikan makna yang berarti bagi diri kita. Karena kemaksiatan pada hakikatnya akan merusak kebahagiaan serta memberikan kesedihan dan kesempitan baik di dunia maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Di bulan Syawal ini, marilah berusaha untuk mewujudkan keistikamahan dan konsistensi dalam beramal, mari kita jaga salat wajib kita, serta kita kerjakan pula amal ibadah sunah yang ada di dalamnya. Di antaranya adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal ini. Dengan begitu, kita mendapatkan keutamaan berpuasa selama satu tahun penuh. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ “Siapa saja yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164) Akan tetapi, wahai jemaah yang semoga mendapatkan ampunan Allah Ta’ala, jikalau memiliki utang puasa di bulan Ramadan, usahakanlah untuk membayar utang puasanya tersebut terlebih dahulu. Karena pahala berpuasa selama satu tahun penuh tersebut tidak akan terwujud dengan sempurna, kecuali apabila kita telah benar-benar menyelesaikan puasa Ramadan. Hal ini berdasarkan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idulfitri, maka dia seperti berpuasa selama setahun penuh. (Kemudian Nabi membacakan ayat), “Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan yang semisal dengannya.” (HR. Ibnu Majah dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil.) Berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadan, maka pahalanya seperti berpuasa selama sepuluh bulan. Kemudian apabila disempurnakan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka pahala puasa enam hari tersebut setara dengan berpuasa selama enam puluh hari atau dua bulan. Dengan begitu, menjadi sempurnalah pahala puasa kita layaknya berpuasa selama dua belas bulan atau satu tahun penuh. Ma’asyiral muslimin, saudaraku sekalian, dengan mengamalkan sunah berpuasa enam hari di bulan Syawal ini, maka kita sudah berusaha untuk terus istikamah di atas ketaatan dan melakukan amal saleh. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman menyebutkan keutamaan orang-orang yang istikamah, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah.’, kemudian mereka istikamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih! Dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allâh kepadamu.!’” (QS. Fussilat: 30) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa istikamah di atas ketaatan kepada-Nya. Hamba-hamba Allah yang tidak hanya beribadah di bulan Ramadan saja. Akan tetapi, senantiasa menjaga ibadah dan ketaatannya di bulan-bulan lainnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pelajaran Tauhid dari Pernikahan Nabi dan Aisyah di Bulan Syawal Khotbah Kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di bulan Syawal yang mulia ini, ada dua sunah lainnya yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada kita. Yang apabila kita amalkan, maka insyaAllah kita termasuk umatnya yang giat dan senang menghidupkan sunah-sunah yang beliau ajarkan. Yang pertama, wahai jemaah yang dimuliakan Allah, adalah menikah di bulan Syawal. Sebagaimana disampaikan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, تزوَّجَني النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ في شوَّالٍ وبنَى بي في شوَّالٍ، فأيُّ نسائِهِ كانَ أحظَى عندَهُ منِّي، وَكانت عائشةُ تستحبُّ أن تُدْخِلَ نساءَها في شوَّالٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan hidup berumah tangga denganku juga pada bulan Syawal. Karenanya, siapakah di antara istrinya yang lebih beruntung daripadaku?” Dan ‘Aisyah paling suka jika malam pertama itu dilakukan pada bulan Syawal.” (HR. Ibnu Majah no. 1990 dan Muslim no. 1423) Di antara sebab pernikahan Nabi di bulan Syawal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah adalah untuk membantah anggapan sial menikah di bulan Syawal ketika itu. Imam Nawawi mengatakan, “Tujuan Aisyah mengatakan demikian adalah sebagai bantahan terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar di kalangan masyarakat awam, bahwa dimakruhkan menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang salah, yang tidak memiliki landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarakat jahiliah yang meyakini adanya kesialan di bulan Syawal.” Kemudian wahai jemaah sekalian, sunah kedua yang bisa kita amalkan di bulan yang mulia ini adalah melangsungkan ibadah umrah. Karena umrah di bulan-bulan Haji sangatlah ditekankan dan disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bulan Syawal termasuk bulan bulan Haji. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كانوا يَرَونَ أن العمرةَ في أشهرِ الحجِّ من أفجَرِ الفُجورِ في الأرضِ، ويَجعلون المحرَّمَ صفَرًا، ويقولون إذا بَرَا الدَّبَر، وعَفَا الأثَرْ، وانسَلَخَ صَفَرْ، حلَّت العُمْرَةُ لمن اعتَمَرْ، قدمَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم وأصحابُه صبيحَةَ رابعةٍ مُهلِّين بالحجِّ، فأمَرَهُم أن يجعلوها عمرةً، فتَعَاظَمَ ذلكَ عندهم، فقالوا يا رسول اللهِ: أيُّ الحِلِّ؟ قال: حِلٌّ كُلُّهُ “Orang-orang jahiliah menganggap bahwa umrah di bulan-bulan Haji merupakan perbuatan yang paling keji di muka bumi. Dan mereka juga menganggap bulan Muharam sama dengan bulan Shafar. Mereka mengatakan, “Apabila jemaah haji sudah bubar (pulang), dan bulan Shafar telah berlalu, maka baru boleh melakukan umrah (sunah) bagi orang yang melakukan umrah wajib. Lalu, pada pagi hari yang keempat (dari bulan Zulhijah), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Makkah dengan para sahabatnya untuk berihram haji, tetapi kemudian beliau menyuruh para sahabat agar merubah dan menjadikan niat ihramnya tersebut sebagai umrah. Hal itu tentu saja membuat para sahabat bingung dan heran (karena sebelum-sebelumnya mereka senantiasa mengakhirkan umrah hingga lewat bulan bulan Haji). Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apa nanti kita bertahallul?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tahallul keseluruhan.” (HR. Bukhari no. 1564 dan Muslim no. 1240) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah bersemangat di dalam mengingkari kebiasaan-kebiasaan orang jahiliah yang tidak sejalan dengan syariat Islam. Oleh karenanya, beliau perintahkan para sahabatnya untuk berumrah di bulan bulan Haji, sebagai bentuk pengingkaran terhadap kebiasaan dan adat orang orang jahiliah yang dibuat-buat dan memberatkan. Nabi tegaskan kepada kaum muslimin bahwa berumrah di bulan-bulan Haji hukumnya diperbolehkan. Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana disampaikan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tidaklah berumrah, kecuali di bulan-bulan Haji. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, di bulan Syawal yang mulia ini, mari kita maksimalkan ibadah kita, mari tetap bersemangat di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Senantiasalah berdoa kepada Allah Ta’ala agar menerima seluruh amal ibadah yang kita lakukan, baik di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan selainnya. Sebagian ulama salaf mengatakan, كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ ”Mereka (para sahabat) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadan. Kemudian mereka pun berdoa selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Latha’iful Ma’arif, hal. 232) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ  Baca juga: Fikih Puasa Syawal *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: keberkahansyawal
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah Kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan senantiasa berada di jalan ketaatan kepada Allah maupun konsisten di dalam meninggalkan hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan. Allah berfirman, وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنْ اتَّقُوا اللَّهَ “Sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kalian dan (juga) kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 131) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, bulan Ramadan telah pergi meninggalkan kita. Bulan yang penuh keutamaan ini telah memberikan banyak sekali pelajaran bagi kita. Oleh karenanya, marilah kita jaga kebiasaan-kebiasaan yang telah kita lakukan di bulan Ramadan untuk tetap kita laksanakan setelahnya. Karena keistikamahan dan amal kebaikan merupakan tanda diterimanya amal kita di bulan Ramadan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, قَالَ بَعْضُهُمْ : ثَوَابُ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا, فَمَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اتَّبَعَ بِحَسَنَةٍ بَعْدَهَا كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةً عَلَى قَبُوْلِ الحَسَنَةِ الْأُوْلَى. كَمَا أَنَّ مَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اْتَّبَعَهَا بِسَيِّئَةٍ كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةَ رَدِّ الحَسَنَةِ وَ عَدَمِ قَبُوْلِهَا. “Sebagian ulama mengatakan, ‘Ganjaran sebuah amal kebaikan adalah amal kebaikan setelahnya. Maka, barangsiapa yang beramal dengan sebuah amal kebaikan, kemudian mengiringinya dengan amal kebaikan setelahnya, hal itu merupakan tanda diterimanya amal kebaikan sebelumnya. Demikian juga, barangsiapa yang beramal kebaikan, kemudian mengiringinya dengan amal keburukan setelahnya, maka hal itu merupakan tanda ditolaknya dan tidak diterimanya amal kabaikan sebelumnya.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 221) Jemaah yang semoga senantiasa dalam rahmat Allah Ta’ala, Ketahuilah! Sesungguhnya bulan Syawal merupakan salah satu bulan yang penuh keberkahan. Allah letakkan bulan tersebut di antara dua bulan yang juga penuh keberkahan dan kemuliaan, yaitu antara bulan Ramadan yang diwajibkan di dalamnya ibadah puasa dan bulan Zulkaidah yang merupakan salah satu bulan yang Allah Ta’ala haramkan. Allah jadikan pula hari pertama dari bulan Syawal ini sebagai hari raya bagi kita, yaitu hari raya Idulfitri Oleh karenanya, wahai saudaraku sekalian, jangan engkau kotori bulan yang mulia ini dengan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, sehingga kebahagiaan Idulfitri ini menjadi sia-sia dan tidak memberikan makna yang berarti bagi diri kita. Karena kemaksiatan pada hakikatnya akan merusak kebahagiaan serta memberikan kesedihan dan kesempitan baik di dunia maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Di bulan Syawal ini, marilah berusaha untuk mewujudkan keistikamahan dan konsistensi dalam beramal, mari kita jaga salat wajib kita, serta kita kerjakan pula amal ibadah sunah yang ada di dalamnya. Di antaranya adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal ini. Dengan begitu, kita mendapatkan keutamaan berpuasa selama satu tahun penuh. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ “Siapa saja yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164) Akan tetapi, wahai jemaah yang semoga mendapatkan ampunan Allah Ta’ala, jikalau memiliki utang puasa di bulan Ramadan, usahakanlah untuk membayar utang puasanya tersebut terlebih dahulu. Karena pahala berpuasa selama satu tahun penuh tersebut tidak akan terwujud dengan sempurna, kecuali apabila kita telah benar-benar menyelesaikan puasa Ramadan. Hal ini berdasarkan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idulfitri, maka dia seperti berpuasa selama setahun penuh. (Kemudian Nabi membacakan ayat), “Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan yang semisal dengannya.” (HR. Ibnu Majah dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil.) Berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadan, maka pahalanya seperti berpuasa selama sepuluh bulan. Kemudian apabila disempurnakan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka pahala puasa enam hari tersebut setara dengan berpuasa selama enam puluh hari atau dua bulan. Dengan begitu, menjadi sempurnalah pahala puasa kita layaknya berpuasa selama dua belas bulan atau satu tahun penuh. Ma’asyiral muslimin, saudaraku sekalian, dengan mengamalkan sunah berpuasa enam hari di bulan Syawal ini, maka kita sudah berusaha untuk terus istikamah di atas ketaatan dan melakukan amal saleh. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman menyebutkan keutamaan orang-orang yang istikamah, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah.’, kemudian mereka istikamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih! Dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allâh kepadamu.!’” (QS. Fussilat: 30) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa istikamah di atas ketaatan kepada-Nya. Hamba-hamba Allah yang tidak hanya beribadah di bulan Ramadan saja. Akan tetapi, senantiasa menjaga ibadah dan ketaatannya di bulan-bulan lainnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pelajaran Tauhid dari Pernikahan Nabi dan Aisyah di Bulan Syawal Khotbah Kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di bulan Syawal yang mulia ini, ada dua sunah lainnya yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada kita. Yang apabila kita amalkan, maka insyaAllah kita termasuk umatnya yang giat dan senang menghidupkan sunah-sunah yang beliau ajarkan. Yang pertama, wahai jemaah yang dimuliakan Allah, adalah menikah di bulan Syawal. Sebagaimana disampaikan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, تزوَّجَني النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ في شوَّالٍ وبنَى بي في شوَّالٍ، فأيُّ نسائِهِ كانَ أحظَى عندَهُ منِّي، وَكانت عائشةُ تستحبُّ أن تُدْخِلَ نساءَها في شوَّالٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan hidup berumah tangga denganku juga pada bulan Syawal. Karenanya, siapakah di antara istrinya yang lebih beruntung daripadaku?” Dan ‘Aisyah paling suka jika malam pertama itu dilakukan pada bulan Syawal.” (HR. Ibnu Majah no. 1990 dan Muslim no. 1423) Di antara sebab pernikahan Nabi di bulan Syawal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah adalah untuk membantah anggapan sial menikah di bulan Syawal ketika itu. Imam Nawawi mengatakan, “Tujuan Aisyah mengatakan demikian adalah sebagai bantahan terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar di kalangan masyarakat awam, bahwa dimakruhkan menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang salah, yang tidak memiliki landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarakat jahiliah yang meyakini adanya kesialan di bulan Syawal.” Kemudian wahai jemaah sekalian, sunah kedua yang bisa kita amalkan di bulan yang mulia ini adalah melangsungkan ibadah umrah. Karena umrah di bulan-bulan Haji sangatlah ditekankan dan disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bulan Syawal termasuk bulan bulan Haji. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كانوا يَرَونَ أن العمرةَ في أشهرِ الحجِّ من أفجَرِ الفُجورِ في الأرضِ، ويَجعلون المحرَّمَ صفَرًا، ويقولون إذا بَرَا الدَّبَر، وعَفَا الأثَرْ، وانسَلَخَ صَفَرْ، حلَّت العُمْرَةُ لمن اعتَمَرْ، قدمَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم وأصحابُه صبيحَةَ رابعةٍ مُهلِّين بالحجِّ، فأمَرَهُم أن يجعلوها عمرةً، فتَعَاظَمَ ذلكَ عندهم، فقالوا يا رسول اللهِ: أيُّ الحِلِّ؟ قال: حِلٌّ كُلُّهُ “Orang-orang jahiliah menganggap bahwa umrah di bulan-bulan Haji merupakan perbuatan yang paling keji di muka bumi. Dan mereka juga menganggap bulan Muharam sama dengan bulan Shafar. Mereka mengatakan, “Apabila jemaah haji sudah bubar (pulang), dan bulan Shafar telah berlalu, maka baru boleh melakukan umrah (sunah) bagi orang yang melakukan umrah wajib. Lalu, pada pagi hari yang keempat (dari bulan Zulhijah), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Makkah dengan para sahabatnya untuk berihram haji, tetapi kemudian beliau menyuruh para sahabat agar merubah dan menjadikan niat ihramnya tersebut sebagai umrah. Hal itu tentu saja membuat para sahabat bingung dan heran (karena sebelum-sebelumnya mereka senantiasa mengakhirkan umrah hingga lewat bulan bulan Haji). Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apa nanti kita bertahallul?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tahallul keseluruhan.” (HR. Bukhari no. 1564 dan Muslim no. 1240) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah bersemangat di dalam mengingkari kebiasaan-kebiasaan orang jahiliah yang tidak sejalan dengan syariat Islam. Oleh karenanya, beliau perintahkan para sahabatnya untuk berumrah di bulan bulan Haji, sebagai bentuk pengingkaran terhadap kebiasaan dan adat orang orang jahiliah yang dibuat-buat dan memberatkan. Nabi tegaskan kepada kaum muslimin bahwa berumrah di bulan-bulan Haji hukumnya diperbolehkan. Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana disampaikan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tidaklah berumrah, kecuali di bulan-bulan Haji. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, di bulan Syawal yang mulia ini, mari kita maksimalkan ibadah kita, mari tetap bersemangat di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Senantiasalah berdoa kepada Allah Ta’ala agar menerima seluruh amal ibadah yang kita lakukan, baik di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan selainnya. Sebagian ulama salaf mengatakan, كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ ”Mereka (para sahabat) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadan. Kemudian mereka pun berdoa selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Latha’iful Ma’arif, hal. 232) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ  Baca juga: Fikih Puasa Syawal *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: keberkahansyawal


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah Kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, baik itu dengan senantiasa berada di jalan ketaatan kepada Allah maupun konsisten di dalam meninggalkan hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan. Allah berfirman, وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنْ اتَّقُوا اللَّهَ “Sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kalian dan (juga) kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 131) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, bulan Ramadan telah pergi meninggalkan kita. Bulan yang penuh keutamaan ini telah memberikan banyak sekali pelajaran bagi kita. Oleh karenanya, marilah kita jaga kebiasaan-kebiasaan yang telah kita lakukan di bulan Ramadan untuk tetap kita laksanakan setelahnya. Karena keistikamahan dan amal kebaikan merupakan tanda diterimanya amal kita di bulan Ramadan. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, قَالَ بَعْضُهُمْ : ثَوَابُ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا, فَمَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اتَّبَعَ بِحَسَنَةٍ بَعْدَهَا كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةً عَلَى قَبُوْلِ الحَسَنَةِ الْأُوْلَى. كَمَا أَنَّ مَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اْتَّبَعَهَا بِسَيِّئَةٍ كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةَ رَدِّ الحَسَنَةِ وَ عَدَمِ قَبُوْلِهَا. “Sebagian ulama mengatakan, ‘Ganjaran sebuah amal kebaikan adalah amal kebaikan setelahnya. Maka, barangsiapa yang beramal dengan sebuah amal kebaikan, kemudian mengiringinya dengan amal kebaikan setelahnya, hal itu merupakan tanda diterimanya amal kebaikan sebelumnya. Demikian juga, barangsiapa yang beramal kebaikan, kemudian mengiringinya dengan amal keburukan setelahnya, maka hal itu merupakan tanda ditolaknya dan tidak diterimanya amal kabaikan sebelumnya.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 221) Jemaah yang semoga senantiasa dalam rahmat Allah Ta’ala, Ketahuilah! Sesungguhnya bulan Syawal merupakan salah satu bulan yang penuh keberkahan. Allah letakkan bulan tersebut di antara dua bulan yang juga penuh keberkahan dan kemuliaan, yaitu antara bulan Ramadan yang diwajibkan di dalamnya ibadah puasa dan bulan Zulkaidah yang merupakan salah satu bulan yang Allah Ta’ala haramkan. Allah jadikan pula hari pertama dari bulan Syawal ini sebagai hari raya bagi kita, yaitu hari raya Idulfitri Oleh karenanya, wahai saudaraku sekalian, jangan engkau kotori bulan yang mulia ini dengan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, sehingga kebahagiaan Idulfitri ini menjadi sia-sia dan tidak memberikan makna yang berarti bagi diri kita. Karena kemaksiatan pada hakikatnya akan merusak kebahagiaan serta memberikan kesedihan dan kesempitan baik di dunia maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 124) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Di bulan Syawal ini, marilah berusaha untuk mewujudkan keistikamahan dan konsistensi dalam beramal, mari kita jaga salat wajib kita, serta kita kerjakan pula amal ibadah sunah yang ada di dalamnya. Di antaranya adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal ini. Dengan begitu, kita mendapatkan keutamaan berpuasa selama satu tahun penuh. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ “Siapa saja yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164) Akan tetapi, wahai jemaah yang semoga mendapatkan ampunan Allah Ta’ala, jikalau memiliki utang puasa di bulan Ramadan, usahakanlah untuk membayar utang puasanya tersebut terlebih dahulu. Karena pahala berpuasa selama satu tahun penuh tersebut tidak akan terwujud dengan sempurna, kecuali apabila kita telah benar-benar menyelesaikan puasa Ramadan. Hal ini berdasarkan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idulfitri, maka dia seperti berpuasa selama setahun penuh. (Kemudian Nabi membacakan ayat), “Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan yang semisal dengannya.” (HR. Ibnu Majah dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil.) Berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadan, maka pahalanya seperti berpuasa selama sepuluh bulan. Kemudian apabila disempurnakan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka pahala puasa enam hari tersebut setara dengan berpuasa selama enam puluh hari atau dua bulan. Dengan begitu, menjadi sempurnalah pahala puasa kita layaknya berpuasa selama dua belas bulan atau satu tahun penuh. Ma’asyiral muslimin, saudaraku sekalian, dengan mengamalkan sunah berpuasa enam hari di bulan Syawal ini, maka kita sudah berusaha untuk terus istikamah di atas ketaatan dan melakukan amal saleh. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman menyebutkan keutamaan orang-orang yang istikamah, إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah.’, kemudian mereka istikamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih! Dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allâh kepadamu.!’” (QS. Fussilat: 30) Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa istikamah di atas ketaatan kepada-Nya. Hamba-hamba Allah yang tidak hanya beribadah di bulan Ramadan saja. Akan tetapi, senantiasa menjaga ibadah dan ketaatannya di bulan-bulan lainnya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pelajaran Tauhid dari Pernikahan Nabi dan Aisyah di Bulan Syawal Khotbah Kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di bulan Syawal yang mulia ini, ada dua sunah lainnya yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada kita. Yang apabila kita amalkan, maka insyaAllah kita termasuk umatnya yang giat dan senang menghidupkan sunah-sunah yang beliau ajarkan. Yang pertama, wahai jemaah yang dimuliakan Allah, adalah menikah di bulan Syawal. Sebagaimana disampaikan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, تزوَّجَني النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ في شوَّالٍ وبنَى بي في شوَّالٍ، فأيُّ نسائِهِ كانَ أحظَى عندَهُ منِّي، وَكانت عائشةُ تستحبُّ أن تُدْخِلَ نساءَها في شوَّالٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan hidup berumah tangga denganku juga pada bulan Syawal. Karenanya, siapakah di antara istrinya yang lebih beruntung daripadaku?” Dan ‘Aisyah paling suka jika malam pertama itu dilakukan pada bulan Syawal.” (HR. Ibnu Majah no. 1990 dan Muslim no. 1423) Di antara sebab pernikahan Nabi di bulan Syawal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah adalah untuk membantah anggapan sial menikah di bulan Syawal ketika itu. Imam Nawawi mengatakan, “Tujuan Aisyah mengatakan demikian adalah sebagai bantahan terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar di kalangan masyarakat awam, bahwa dimakruhkan menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang salah, yang tidak memiliki landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarakat jahiliah yang meyakini adanya kesialan di bulan Syawal.” Kemudian wahai jemaah sekalian, sunah kedua yang bisa kita amalkan di bulan yang mulia ini adalah melangsungkan ibadah umrah. Karena umrah di bulan-bulan Haji sangatlah ditekankan dan disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bulan Syawal termasuk bulan bulan Haji. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, كانوا يَرَونَ أن العمرةَ في أشهرِ الحجِّ من أفجَرِ الفُجورِ في الأرضِ، ويَجعلون المحرَّمَ صفَرًا، ويقولون إذا بَرَا الدَّبَر، وعَفَا الأثَرْ، وانسَلَخَ صَفَرْ، حلَّت العُمْرَةُ لمن اعتَمَرْ، قدمَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم وأصحابُه صبيحَةَ رابعةٍ مُهلِّين بالحجِّ، فأمَرَهُم أن يجعلوها عمرةً، فتَعَاظَمَ ذلكَ عندهم، فقالوا يا رسول اللهِ: أيُّ الحِلِّ؟ قال: حِلٌّ كُلُّهُ “Orang-orang jahiliah menganggap bahwa umrah di bulan-bulan Haji merupakan perbuatan yang paling keji di muka bumi. Dan mereka juga menganggap bulan Muharam sama dengan bulan Shafar. Mereka mengatakan, “Apabila jemaah haji sudah bubar (pulang), dan bulan Shafar telah berlalu, maka baru boleh melakukan umrah (sunah) bagi orang yang melakukan umrah wajib. Lalu, pada pagi hari yang keempat (dari bulan Zulhijah), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Makkah dengan para sahabatnya untuk berihram haji, tetapi kemudian beliau menyuruh para sahabat agar merubah dan menjadikan niat ihramnya tersebut sebagai umrah. Hal itu tentu saja membuat para sahabat bingung dan heran (karena sebelum-sebelumnya mereka senantiasa mengakhirkan umrah hingga lewat bulan bulan Haji). Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apa nanti kita bertahallul?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tahallul keseluruhan.” (HR. Bukhari no. 1564 dan Muslim no. 1240) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah bersemangat di dalam mengingkari kebiasaan-kebiasaan orang jahiliah yang tidak sejalan dengan syariat Islam. Oleh karenanya, beliau perintahkan para sahabatnya untuk berumrah di bulan bulan Haji, sebagai bentuk pengingkaran terhadap kebiasaan dan adat orang orang jahiliah yang dibuat-buat dan memberatkan. Nabi tegaskan kepada kaum muslimin bahwa berumrah di bulan-bulan Haji hukumnya diperbolehkan. Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana disampaikan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tidaklah berumrah, kecuali di bulan-bulan Haji. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, di bulan Syawal yang mulia ini, mari kita maksimalkan ibadah kita, mari tetap bersemangat di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Senantiasalah berdoa kepada Allah Ta’ala agar menerima seluruh amal ibadah yang kita lakukan, baik di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan selainnya. Sebagian ulama salaf mengatakan, كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ ”Mereka (para sahabat) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadan. Kemudian mereka pun berdoa selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Latha’iful Ma’arif, hal. 232) إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ  Baca juga: Fikih Puasa Syawal *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: keberkahansyawal

Khutbah Jumat: Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik

Jika seorang muslim memperhatikan shalat lima waktu, maka asalnya agama dia itu baik. Demikian dikatakan oleh Umar bin Al-Khattab.   Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik” 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua 4. Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik   Video Khutbah Jumat “Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik”  Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَءَامِنُوا۟ بِرَسُولِهِۦ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِۦ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِۦ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wa āminụ birasụlihī yu`tikum kiflaini mir raḥmatihī wa yaj’al lakum nụran tamsyụna bihī wa yagfir lakum, wallāhu gafụrur raḥīm “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28). Maksud ayat ini, niscaya Allah memberikan kepada kalian dua bagian dari pahala dan balasan atas keimanan kalian terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keimanan kepada para rasul yang telah lalu, dan menjadikan untuk kalian cahaya yang kalian gunakan sebagai petunjuk di kehidupan dunia dan kalian gunakan sebagai penerang di atas titian pada hari Kiamat. (Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Di antara bentuk takwa adalah menjalankan shalat lima waktu. Karena orang yang bertakwa menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah, المُتَّقُوْنَ الَّذِيْنَ يَحْذَرُوْنَ مِنَ اللهِ عُقُوْبَتَهُ فِي تَرْكِ مَا يَعْرِفُوْنَ مِنَ الهُدَى ، وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ فِي التَّصْدِيْقِ بِمَا جَاءَ بِه “Orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga diri dari siksa Allah karena meninggalkan petunjuk yang mereka sudah mengetahuinya dan ia mengharap rahmat Allah karena meyakini apa yang datang dari Allah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:400). Meninggalkan shalat adalah termasuk meninggalkan petunjuk. Dalam hadits, orang yang meninggalkan shalat diancam keras. Buraidah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barang siapa meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, sahih). Baca juga: Khutbah Jumat, Nasihat bagi yang Meremehkan Shalat Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Di antara kedudukan shalat dalam Islam disebutkan dalam firman Allah yang memerintahkan keluarga untuk shalat, وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132). Kedudukan shalat yang lainnya, jika shalat itu lupa atau tertidur sehingga luput dari mengerjakannya, tetap ada qadha’ shalat. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى “Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684) Cara mengqadha’ shalat jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin, وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا “Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.” Berarti jika lupa beberapa shalat misalnya shalat Zhuhur dan Ashar dan ingatnya di waktu Maghrib, maka dikerjakan kedua shalat tersebut segera, lalu mengurutkan shalat Zhuhur kemudian Ashar, lalu mengerjakan shalat Maghrib di waktunya. Baca juga: 13 Kedudukan Shalat dalam Islam Adapun keutamaan shalat lima waktu di antaranya adalah orang yang mengerjakan shalat di hari kiamat akan mendapatkan cahaya. Dalam hadits disebutkan, بَشِّرِ الْمَشَّائِينَ فِى الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Berilah kabar gembira bagi orang yang berjalan ke masjid dalam keadaan gelap bahwasanya kelak ia akan mendapatkan cahaya sempurna pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 561 dan Tirmidzi, no. 223. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih). Baca juga: Keutamaan Shalat Lima Waktu Ingat, jika orang menjaga shalat dengan baik, maka urusan lainnya juga pasti baik. Maka standar menilai seseorang itu baik dilihat dari perhatian ia pada shalat lima waktu. Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu pernah menuliskan surat ke berbagai daerah kekuasaan beliau, isinya adalah, إِنَّ مِنْ أَهَمِّ أُمُوْرِكُمْ عِنْدِي الصَّلاَةُ, فَمَنْ حَفِظَهَا حَفِظَ دِيْنَهُ , وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَنْ سِوَاهَا أَضْيَعُ , وَلاَ حَظَّ فِي الإِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ “Sesungguhnya perkara paling penting menurut penilaianku adalah shalat. Siapa saja yang menjaga shalat, maka ia telah menjaga agamanya. Siapa saja yang melalaikan shalat, maka untuk perkara lainnya ia lebih mengabaikan. Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Ash-Shalah wa Hukmu Taarikihaa, hlm. 12). Baca juga: Kata Umar, Mengabaikan Shalat Jadinya Urusan Lain Terabaikan Jika shalat baik, maka puasa, zakat, hingga haji pun akan ikut baik. Jika shalat jelek, untuk urusan lainnya, sampai pun masalah ia sering bermaksiat, dapat dinilai dari shalat dia yang tidak beres. Maka, jika ada yang punya masalah rumah tangga dengan istri, suami, atau anak, coba perhatikan apakah shalatnya sudah benar ataukah belum. Ada anjuran juga untuk melaksanakan shalat berjamaah terutama bagi pria. Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ ، فَإنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ في بَيْتِهِ إِلاَّ المَكْتُوبَةَ “Shalatlah kalian, wahai manusia, di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari, no. 731 dan Muslim, no. 781). Alasan shalat berjamaah yang afdal adalah di masjid, yaitu; (1) masjid adalah tempat yang mulia dan suci, (2)  shalat di masjid berarti menampakkan syiar Islam dan banyak jamaah. Maka dalam keadaan aman tanpa ada uzur, Imam An-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menjelaskan,  إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ فِي بَيْتِهِ بِرَفِيقِهِ، أَوْ زَوْجَتِهِ، أَوْ وَلَدِهِ، حَازَ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ، لَكِنَّهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَلُ. وَحَيْثُ كَانَ الْجَمْعُ مِنَ الْمَسَاجِدِ أَكْثَرَ فَهُوَ أَفْضَل Ketika seorang laki-laki shalat di rumah bersama temannya, atau istrinya, atau anaknya, maka ia tetap memperolah keutamaan berjamaah. Akan tetapi, jika dilakukan di masjid, itu lebih utama. Ingatlah bahwa jamaah semakin banyak di masjid, itu tentu afdal. (Raudhah Ath-Thalibin, 1:238) Semoga dengan mengetahui kedudukan shalat lima waktu, keutamaan shalat lima waktu, dan pentingnya shalat berjamaah terutama untuk pria, moga kita bisa lebih memperhatikan shalat kita dan mengajak yang lain untuk shalat. Baca juga: Yuk Shalat Berjamaah di Masjid Selama Tidak Ada Uzur Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah pada kita semua untuk memperhatikan shalat lima waktu, lebih-lebih untuk pria memperhatikan shalat berjamaah di masjid.  أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua   اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik   Download   – Disusun pada siang hari, Jumat Legi, 10 Syawal 1445 H, 19 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa meninggalkan shalat hukum meninggalkan shalat berjamaah meninggalkan shalat meninggalkan shalat jumat menjaga shalat

Khutbah Jumat: Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik

Jika seorang muslim memperhatikan shalat lima waktu, maka asalnya agama dia itu baik. Demikian dikatakan oleh Umar bin Al-Khattab.   Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik” 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua 4. Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik   Video Khutbah Jumat “Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik”  Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَءَامِنُوا۟ بِرَسُولِهِۦ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِۦ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِۦ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wa āminụ birasụlihī yu`tikum kiflaini mir raḥmatihī wa yaj’al lakum nụran tamsyụna bihī wa yagfir lakum, wallāhu gafụrur raḥīm “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28). Maksud ayat ini, niscaya Allah memberikan kepada kalian dua bagian dari pahala dan balasan atas keimanan kalian terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keimanan kepada para rasul yang telah lalu, dan menjadikan untuk kalian cahaya yang kalian gunakan sebagai petunjuk di kehidupan dunia dan kalian gunakan sebagai penerang di atas titian pada hari Kiamat. (Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Di antara bentuk takwa adalah menjalankan shalat lima waktu. Karena orang yang bertakwa menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah, المُتَّقُوْنَ الَّذِيْنَ يَحْذَرُوْنَ مِنَ اللهِ عُقُوْبَتَهُ فِي تَرْكِ مَا يَعْرِفُوْنَ مِنَ الهُدَى ، وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ فِي التَّصْدِيْقِ بِمَا جَاءَ بِه “Orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga diri dari siksa Allah karena meninggalkan petunjuk yang mereka sudah mengetahuinya dan ia mengharap rahmat Allah karena meyakini apa yang datang dari Allah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:400). Meninggalkan shalat adalah termasuk meninggalkan petunjuk. Dalam hadits, orang yang meninggalkan shalat diancam keras. Buraidah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barang siapa meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, sahih). Baca juga: Khutbah Jumat, Nasihat bagi yang Meremehkan Shalat Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Di antara kedudukan shalat dalam Islam disebutkan dalam firman Allah yang memerintahkan keluarga untuk shalat, وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132). Kedudukan shalat yang lainnya, jika shalat itu lupa atau tertidur sehingga luput dari mengerjakannya, tetap ada qadha’ shalat. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى “Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684) Cara mengqadha’ shalat jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin, وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا “Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.” Berarti jika lupa beberapa shalat misalnya shalat Zhuhur dan Ashar dan ingatnya di waktu Maghrib, maka dikerjakan kedua shalat tersebut segera, lalu mengurutkan shalat Zhuhur kemudian Ashar, lalu mengerjakan shalat Maghrib di waktunya. Baca juga: 13 Kedudukan Shalat dalam Islam Adapun keutamaan shalat lima waktu di antaranya adalah orang yang mengerjakan shalat di hari kiamat akan mendapatkan cahaya. Dalam hadits disebutkan, بَشِّرِ الْمَشَّائِينَ فِى الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Berilah kabar gembira bagi orang yang berjalan ke masjid dalam keadaan gelap bahwasanya kelak ia akan mendapatkan cahaya sempurna pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 561 dan Tirmidzi, no. 223. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih). Baca juga: Keutamaan Shalat Lima Waktu Ingat, jika orang menjaga shalat dengan baik, maka urusan lainnya juga pasti baik. Maka standar menilai seseorang itu baik dilihat dari perhatian ia pada shalat lima waktu. Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu pernah menuliskan surat ke berbagai daerah kekuasaan beliau, isinya adalah, إِنَّ مِنْ أَهَمِّ أُمُوْرِكُمْ عِنْدِي الصَّلاَةُ, فَمَنْ حَفِظَهَا حَفِظَ دِيْنَهُ , وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَنْ سِوَاهَا أَضْيَعُ , وَلاَ حَظَّ فِي الإِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ “Sesungguhnya perkara paling penting menurut penilaianku adalah shalat. Siapa saja yang menjaga shalat, maka ia telah menjaga agamanya. Siapa saja yang melalaikan shalat, maka untuk perkara lainnya ia lebih mengabaikan. Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Ash-Shalah wa Hukmu Taarikihaa, hlm. 12). Baca juga: Kata Umar, Mengabaikan Shalat Jadinya Urusan Lain Terabaikan Jika shalat baik, maka puasa, zakat, hingga haji pun akan ikut baik. Jika shalat jelek, untuk urusan lainnya, sampai pun masalah ia sering bermaksiat, dapat dinilai dari shalat dia yang tidak beres. Maka, jika ada yang punya masalah rumah tangga dengan istri, suami, atau anak, coba perhatikan apakah shalatnya sudah benar ataukah belum. Ada anjuran juga untuk melaksanakan shalat berjamaah terutama bagi pria. Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ ، فَإنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ في بَيْتِهِ إِلاَّ المَكْتُوبَةَ “Shalatlah kalian, wahai manusia, di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari, no. 731 dan Muslim, no. 781). Alasan shalat berjamaah yang afdal adalah di masjid, yaitu; (1) masjid adalah tempat yang mulia dan suci, (2)  shalat di masjid berarti menampakkan syiar Islam dan banyak jamaah. Maka dalam keadaan aman tanpa ada uzur, Imam An-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menjelaskan,  إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ فِي بَيْتِهِ بِرَفِيقِهِ، أَوْ زَوْجَتِهِ، أَوْ وَلَدِهِ، حَازَ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ، لَكِنَّهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَلُ. وَحَيْثُ كَانَ الْجَمْعُ مِنَ الْمَسَاجِدِ أَكْثَرَ فَهُوَ أَفْضَل Ketika seorang laki-laki shalat di rumah bersama temannya, atau istrinya, atau anaknya, maka ia tetap memperolah keutamaan berjamaah. Akan tetapi, jika dilakukan di masjid, itu lebih utama. Ingatlah bahwa jamaah semakin banyak di masjid, itu tentu afdal. (Raudhah Ath-Thalibin, 1:238) Semoga dengan mengetahui kedudukan shalat lima waktu, keutamaan shalat lima waktu, dan pentingnya shalat berjamaah terutama untuk pria, moga kita bisa lebih memperhatikan shalat kita dan mengajak yang lain untuk shalat. Baca juga: Yuk Shalat Berjamaah di Masjid Selama Tidak Ada Uzur Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah pada kita semua untuk memperhatikan shalat lima waktu, lebih-lebih untuk pria memperhatikan shalat berjamaah di masjid.  أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua   اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik   Download   – Disusun pada siang hari, Jumat Legi, 10 Syawal 1445 H, 19 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa meninggalkan shalat hukum meninggalkan shalat berjamaah meninggalkan shalat meninggalkan shalat jumat menjaga shalat
Jika seorang muslim memperhatikan shalat lima waktu, maka asalnya agama dia itu baik. Demikian dikatakan oleh Umar bin Al-Khattab.   Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik” 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua 4. Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik   Video Khutbah Jumat “Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik”  Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَءَامِنُوا۟ بِرَسُولِهِۦ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِۦ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِۦ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wa āminụ birasụlihī yu`tikum kiflaini mir raḥmatihī wa yaj’al lakum nụran tamsyụna bihī wa yagfir lakum, wallāhu gafụrur raḥīm “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28). Maksud ayat ini, niscaya Allah memberikan kepada kalian dua bagian dari pahala dan balasan atas keimanan kalian terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keimanan kepada para rasul yang telah lalu, dan menjadikan untuk kalian cahaya yang kalian gunakan sebagai petunjuk di kehidupan dunia dan kalian gunakan sebagai penerang di atas titian pada hari Kiamat. (Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Di antara bentuk takwa adalah menjalankan shalat lima waktu. Karena orang yang bertakwa menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah, المُتَّقُوْنَ الَّذِيْنَ يَحْذَرُوْنَ مِنَ اللهِ عُقُوْبَتَهُ فِي تَرْكِ مَا يَعْرِفُوْنَ مِنَ الهُدَى ، وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ فِي التَّصْدِيْقِ بِمَا جَاءَ بِه “Orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga diri dari siksa Allah karena meninggalkan petunjuk yang mereka sudah mengetahuinya dan ia mengharap rahmat Allah karena meyakini apa yang datang dari Allah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:400). Meninggalkan shalat adalah termasuk meninggalkan petunjuk. Dalam hadits, orang yang meninggalkan shalat diancam keras. Buraidah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barang siapa meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, sahih). Baca juga: Khutbah Jumat, Nasihat bagi yang Meremehkan Shalat Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Di antara kedudukan shalat dalam Islam disebutkan dalam firman Allah yang memerintahkan keluarga untuk shalat, وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132). Kedudukan shalat yang lainnya, jika shalat itu lupa atau tertidur sehingga luput dari mengerjakannya, tetap ada qadha’ shalat. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى “Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684) Cara mengqadha’ shalat jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin, وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا “Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.” Berarti jika lupa beberapa shalat misalnya shalat Zhuhur dan Ashar dan ingatnya di waktu Maghrib, maka dikerjakan kedua shalat tersebut segera, lalu mengurutkan shalat Zhuhur kemudian Ashar, lalu mengerjakan shalat Maghrib di waktunya. Baca juga: 13 Kedudukan Shalat dalam Islam Adapun keutamaan shalat lima waktu di antaranya adalah orang yang mengerjakan shalat di hari kiamat akan mendapatkan cahaya. Dalam hadits disebutkan, بَشِّرِ الْمَشَّائِينَ فِى الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Berilah kabar gembira bagi orang yang berjalan ke masjid dalam keadaan gelap bahwasanya kelak ia akan mendapatkan cahaya sempurna pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 561 dan Tirmidzi, no. 223. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih). Baca juga: Keutamaan Shalat Lima Waktu Ingat, jika orang menjaga shalat dengan baik, maka urusan lainnya juga pasti baik. Maka standar menilai seseorang itu baik dilihat dari perhatian ia pada shalat lima waktu. Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu pernah menuliskan surat ke berbagai daerah kekuasaan beliau, isinya adalah, إِنَّ مِنْ أَهَمِّ أُمُوْرِكُمْ عِنْدِي الصَّلاَةُ, فَمَنْ حَفِظَهَا حَفِظَ دِيْنَهُ , وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَنْ سِوَاهَا أَضْيَعُ , وَلاَ حَظَّ فِي الإِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ “Sesungguhnya perkara paling penting menurut penilaianku adalah shalat. Siapa saja yang menjaga shalat, maka ia telah menjaga agamanya. Siapa saja yang melalaikan shalat, maka untuk perkara lainnya ia lebih mengabaikan. Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Ash-Shalah wa Hukmu Taarikihaa, hlm. 12). Baca juga: Kata Umar, Mengabaikan Shalat Jadinya Urusan Lain Terabaikan Jika shalat baik, maka puasa, zakat, hingga haji pun akan ikut baik. Jika shalat jelek, untuk urusan lainnya, sampai pun masalah ia sering bermaksiat, dapat dinilai dari shalat dia yang tidak beres. Maka, jika ada yang punya masalah rumah tangga dengan istri, suami, atau anak, coba perhatikan apakah shalatnya sudah benar ataukah belum. Ada anjuran juga untuk melaksanakan shalat berjamaah terutama bagi pria. Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ ، فَإنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ في بَيْتِهِ إِلاَّ المَكْتُوبَةَ “Shalatlah kalian, wahai manusia, di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari, no. 731 dan Muslim, no. 781). Alasan shalat berjamaah yang afdal adalah di masjid, yaitu; (1) masjid adalah tempat yang mulia dan suci, (2)  shalat di masjid berarti menampakkan syiar Islam dan banyak jamaah. Maka dalam keadaan aman tanpa ada uzur, Imam An-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menjelaskan,  إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ فِي بَيْتِهِ بِرَفِيقِهِ، أَوْ زَوْجَتِهِ، أَوْ وَلَدِهِ، حَازَ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ، لَكِنَّهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَلُ. وَحَيْثُ كَانَ الْجَمْعُ مِنَ الْمَسَاجِدِ أَكْثَرَ فَهُوَ أَفْضَل Ketika seorang laki-laki shalat di rumah bersama temannya, atau istrinya, atau anaknya, maka ia tetap memperolah keutamaan berjamaah. Akan tetapi, jika dilakukan di masjid, itu lebih utama. Ingatlah bahwa jamaah semakin banyak di masjid, itu tentu afdal. (Raudhah Ath-Thalibin, 1:238) Semoga dengan mengetahui kedudukan shalat lima waktu, keutamaan shalat lima waktu, dan pentingnya shalat berjamaah terutama untuk pria, moga kita bisa lebih memperhatikan shalat kita dan mengajak yang lain untuk shalat. Baca juga: Yuk Shalat Berjamaah di Masjid Selama Tidak Ada Uzur Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah pada kita semua untuk memperhatikan shalat lima waktu, lebih-lebih untuk pria memperhatikan shalat berjamaah di masjid.  أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua   اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik   Download   – Disusun pada siang hari, Jumat Legi, 10 Syawal 1445 H, 19 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa meninggalkan shalat hukum meninggalkan shalat berjamaah meninggalkan shalat meninggalkan shalat jumat menjaga shalat


Jika seorang muslim memperhatikan shalat lima waktu, maka asalnya agama dia itu baik. Demikian dikatakan oleh Umar bin Al-Khattab.   Daftar Isi tutup 1. Video Khutbah Jumat “Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik” 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua 4. Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik   Video Khutbah Jumat “Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik” <span style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" data-mce-type="bookmark" class="mce_SELRES_start"></span> Khutbah Pertama   الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَءَامِنُوا۟ بِرَسُولِهِۦ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِۦ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِۦ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wa āminụ birasụlihī yu`tikum kiflaini mir raḥmatihī wa yaj’al lakum nụran tamsyụna bihī wa yagfir lakum, wallāhu gafụrur raḥīm “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid: 28). Maksud ayat ini, niscaya Allah memberikan kepada kalian dua bagian dari pahala dan balasan atas keimanan kalian terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keimanan kepada para rasul yang telah lalu, dan menjadikan untuk kalian cahaya yang kalian gunakan sebagai petunjuk di kehidupan dunia dan kalian gunakan sebagai penerang di atas titian pada hari Kiamat. (Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir) Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya. Di antara bentuk takwa adalah menjalankan shalat lima waktu. Karena orang yang bertakwa menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah, المُتَّقُوْنَ الَّذِيْنَ يَحْذَرُوْنَ مِنَ اللهِ عُقُوْبَتَهُ فِي تَرْكِ مَا يَعْرِفُوْنَ مِنَ الهُدَى ، وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهُ فِي التَّصْدِيْقِ بِمَا جَاءَ بِه “Orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga diri dari siksa Allah karena meninggalkan petunjuk yang mereka sudah mengetahuinya dan ia mengharap rahmat Allah karena meyakini apa yang datang dari Allah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:400). Meninggalkan shalat adalah termasuk meninggalkan petunjuk. Dalam hadits, orang yang meninggalkan shalat diancam keras. Buraidah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barang siapa meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, sahih). Baca juga: Khutbah Jumat, Nasihat bagi yang Meremehkan Shalat Jamaah shalat Jumat rahimani wa rahimakumullah … Di antara kedudukan shalat dalam Islam disebutkan dalam firman Allah yang memerintahkan keluarga untuk shalat, وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132). Kedudukan shalat yang lainnya, jika shalat itu lupa atau tertidur sehingga luput dari mengerjakannya, tetap ada qadha’ shalat. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى “Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684) Cara mengqadha’ shalat jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin, وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا “Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.” Berarti jika lupa beberapa shalat misalnya shalat Zhuhur dan Ashar dan ingatnya di waktu Maghrib, maka dikerjakan kedua shalat tersebut segera, lalu mengurutkan shalat Zhuhur kemudian Ashar, lalu mengerjakan shalat Maghrib di waktunya. Baca juga: 13 Kedudukan Shalat dalam Islam Adapun keutamaan shalat lima waktu di antaranya adalah orang yang mengerjakan shalat di hari kiamat akan mendapatkan cahaya. Dalam hadits disebutkan, بَشِّرِ الْمَشَّائِينَ فِى الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Berilah kabar gembira bagi orang yang berjalan ke masjid dalam keadaan gelap bahwasanya kelak ia akan mendapatkan cahaya sempurna pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 561 dan Tirmidzi, no. 223. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih). Baca juga: Keutamaan Shalat Lima Waktu Ingat, jika orang menjaga shalat dengan baik, maka urusan lainnya juga pasti baik. Maka standar menilai seseorang itu baik dilihat dari perhatian ia pada shalat lima waktu. Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu pernah menuliskan surat ke berbagai daerah kekuasaan beliau, isinya adalah, إِنَّ مِنْ أَهَمِّ أُمُوْرِكُمْ عِنْدِي الصَّلاَةُ, فَمَنْ حَفِظَهَا حَفِظَ دِيْنَهُ , وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَنْ سِوَاهَا أَضْيَعُ , وَلاَ حَظَّ فِي الإِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ “Sesungguhnya perkara paling penting menurut penilaianku adalah shalat. Siapa saja yang menjaga shalat, maka ia telah menjaga agamanya. Siapa saja yang melalaikan shalat, maka untuk perkara lainnya ia lebih mengabaikan. Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Ash-Shalah wa Hukmu Taarikihaa, hlm. 12). Baca juga: Kata Umar, Mengabaikan Shalat Jadinya Urusan Lain Terabaikan Jika shalat baik, maka puasa, zakat, hingga haji pun akan ikut baik. Jika shalat jelek, untuk urusan lainnya, sampai pun masalah ia sering bermaksiat, dapat dinilai dari shalat dia yang tidak beres. Maka, jika ada yang punya masalah rumah tangga dengan istri, suami, atau anak, coba perhatikan apakah shalatnya sudah benar ataukah belum. Ada anjuran juga untuk melaksanakan shalat berjamaah terutama bagi pria. Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ ، فَإنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ المَرْءِ في بَيْتِهِ إِلاَّ المَكْتُوبَةَ “Shalatlah kalian, wahai manusia, di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baiknya shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari, no. 731 dan Muslim, no. 781). Alasan shalat berjamaah yang afdal adalah di masjid, yaitu; (1) masjid adalah tempat yang mulia dan suci, (2)  shalat di masjid berarti menampakkan syiar Islam dan banyak jamaah. Maka dalam keadaan aman tanpa ada uzur, Imam An-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menjelaskan,  إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ فِي بَيْتِهِ بِرَفِيقِهِ، أَوْ زَوْجَتِهِ، أَوْ وَلَدِهِ، حَازَ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ، لَكِنَّهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَلُ. وَحَيْثُ كَانَ الْجَمْعُ مِنَ الْمَسَاجِدِ أَكْثَرَ فَهُوَ أَفْضَل Ketika seorang laki-laki shalat di rumah bersama temannya, atau istrinya, atau anaknya, maka ia tetap memperolah keutamaan berjamaah. Akan tetapi, jika dilakukan di masjid, itu lebih utama. Ingatlah bahwa jamaah semakin banyak di masjid, itu tentu afdal. (Raudhah Ath-Thalibin, 1:238) Semoga dengan mengetahui kedudukan shalat lima waktu, keutamaan shalat lima waktu, dan pentingnya shalat berjamaah terutama untuk pria, moga kita bisa lebih memperhatikan shalat kita dan mengajak yang lain untuk shalat. Baca juga: Yuk Shalat Berjamaah di Masjid Selama Tidak Ada Uzur Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah pada kita semua untuk memperhatikan shalat lima waktu, lebih-lebih untuk pria memperhatikan shalat berjamaah di masjid.  أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua   اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ، اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا. اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ   Silakan Unduh Materi Khutbah Jumat: Jika Seorang Muslim Memperhatikan Shalat, Asalnya Agama Dia itu Baik   Download   – Disusun pada siang hari, Jumat Legi, 10 Syawal 1445 H, 19 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsdosa meninggalkan shalat hukum meninggalkan shalat berjamaah meninggalkan shalat meninggalkan shalat jumat menjaga shalat

Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Alasan pertama: Sumber yang validAlasan kedua: Mukjizat isi Al-Qur’an Dalam perjalanan mencari kebenaran, setelah seseorang mengetahui dan mengakui keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, maka langkah selanjutnya adalah mencari tahu petunjuk Tuhan manakah yang benar? Sebab, seseorang akan dihadapkan pada fakta banyaknya jumlah agama di dunia ini. Hal itu seringkali membuat orang yang sedang mencari kebenaran kebingungan. Apalagi ditambah dengan banyaknya aliran -isme, semacam liberalisme, sekulerisme, nihilisme, ateisme, feminisme, dan lain sebagainya yang turut memperkeruh terangnya cahaya kebenaran. Oleh karena itu,  jika seseorang lengah, ia akan dengan mudah jatuh ke dalam salah satu agama atau aliran kepercayaan tersebut, dan menghabiskan sepanjang umurnya memperdalam, mengkaji, bahkan membela kepercayaan yang keliru. Agar hal tersebut tidak terjadi, maka kita perlu memahami apa yang membuat Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Allah ‘Azza Wajalla. Alasan pertama: Sumber yang valid Dalil-dalil yang digunakan kaum muslimin untuk membuktikan kebenaran Islam tidak dapat dibandingkan dengan dalil-dalil yang digunakan umat Kristen, Yahudi, ataupun umat beragama lainnya. Bahkan, salah satu hal yang bisa dibanggakan kaum muslimin adalah kemampuan mereka dalam membuktikan validitas sumber setiap syariat agama mereka. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, Bibel adalah kitab umat Kristen, dan Taurat adalah kitab umat Yahudi. Hal yang membedakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab samawi lainnya adalah kemampuan umat Islam untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an, dengan setiap surat dan ayatnya, jalur periwayatannya bersambung sampai ke Nabi Muhammad ﷺ. Periwayatan Al-Qur’an merupakan periwayatan yang mutawātir, artinya periwayatannya tidak dilakukan oleh satu orang dari satu orang dari satu orang. Akan tetapi, Al-Qur’an diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang dari sekelompok orang dan seterusnya hingga bersambung kepada Nabi ﷺ yang menerima wahyu lewat perantara Jibril ‘alaihissalām yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah ‘Azza Wajalla. Sementara itu, agama-agama lainnya tidak memiliki jalur periwayatan yang bersambung ke nabi-nabi mereka, yang dalam bahasa Arab disebut sanad. Sanad adalah rantai transmisi informasi dari satu person ke person yang lain. Setiap person dalam rantai transmisi tersebut paling tidak harus dikenal identitasnya, sehingga dapat diteliti lebih lanjut kredibilitasnya dalam meriwayatkan. Pada kitab-kitab agama selain Islam terdapat keterputusan sanad yang sangat jelas, bahkan pada beberapa bagian tidak diketahui penulisnya. Sebagai contoh, salah satu peneliti Perjanjian Baru (salah satu bagian dari Bibel) Stephen L. Harris [1] mengatakan bahwa keempat Injil, yaitu Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes adalah hasil karya orang-orang yang tidak dikenal. Demikian pula, menurut Bart D. Herman, peneliti Bibel Universitas North Carolina, menyatakan bahwa tidak ada satu pun dari penulis Injil menyaksikan dan mendengar Yesus atau mengaku menyaksikan atau mendengar ucapan Yesus secara langsung, serta nama Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes bukanlah nama penulisnya, melainkan nama yang diberikan Bapa-Bapa Gereja. [2] Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut topik ini, dapat merujuk buku-buku yang ditulis peneliti-peneliti tersebut. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran Alasan kedua: Mukjizat isi Al-Qur’an Selain ketersambungan periwayatan Al-Qur’an, salah satu keistimewaan Al-Qur’an juga terletak pada isinya. Dr. Muhammad ‘Abdullāh Darrāz menyusun sebuah kitab yang membahas mukjizat isi Al-Qur’an secara khusus yang berjudul Al-Naba’ Al-‘Aẓīm. Di dalam kitab tersebut, dijelaskan berbagai alasan mengapa Al-Qur’an merupakan firman Allah, dan Nabi Muhammad ﷺ tidak mungkin mengarang Al-Qur’an. Salah satunya kutipannya sebagai berikut, “Kitab yang mulia ini dengan karakteristiknya mustahil berasal dari buatan manusia. Ayat-ayatnya memanggil seakan sebuah suratan takdir. Bahkan, seandainya ia ditemukan tergeletak di padang pasir, orang yang menemukan dan menelaahnya akan yakin bahwa ia bukan bersumber dari bumi ini, melainkan diturunkan dari langit.” [3] Salah satu bentuk mukjizat isi Al-Qur’an adalah tidak adanya kontradiksi, baik kontradiksi antar ayat maupun kontradiksi dengan fakta ilmiah atau sejarah. Allah Subhānahu Wa Ta‘āla berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَـٰفًۭا كَثِيرًۭا “Maka, tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur`ān? Sekiranya (Al-Qur`ān) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82) Sedangkan dalam kitab-kitab agama lainnya, terdapat banyak sekali kontradiksi. Sebagai contoh, kontradiksi di dalam Bibel yang berbicara tentang seseorang bernama Ahazia. Ayat yang pertama mengatakan bahwa umurnya 22 tahun, sedangkan ayat yang kedua menyebutkan bahwa umurnya 42 tahun. Berikut ayatnya: “Ia, Ahazia, berumur dua puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri raja Israil.” (Kitab 2, Raja-raja, 8: 26) “Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya adalah Atalya, cucu Omri.” (Kitab 2, Tawarikh, 22: 2) Tanggapan umat Kristen terhadap kontradiksi kedua ayat tersebut biasanya menyatakan bahwa penyalin manuskrip keliru saat menulis di kedua tempat tersebut. Semudah itukah respons mereka? Masalahnya, kekeliruan ini bukanlah kekeliruan penerjemahan, tetapi kekeliruan pada naskah aslinya. Bayangkan, jika kesalahan semacam ini terjadi pada Al-Qur’an, lalu kita katakan, “Para sahabat keliru saat menulis ayat.” Apakah kita akan percaya terhadap Al-Qur’an? Lanjut ke bagian 2: Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Understanding the Bible (1985), California: Mayfield. [2] Lost Christianities: The Battles for Scripture and the Faiths We Never Knew (2003), Oxford University Press. [3] An-Naba’ul-Aẓīm, hal. 106. Tags: agamaislam

Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Alasan pertama: Sumber yang validAlasan kedua: Mukjizat isi Al-Qur’an Dalam perjalanan mencari kebenaran, setelah seseorang mengetahui dan mengakui keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, maka langkah selanjutnya adalah mencari tahu petunjuk Tuhan manakah yang benar? Sebab, seseorang akan dihadapkan pada fakta banyaknya jumlah agama di dunia ini. Hal itu seringkali membuat orang yang sedang mencari kebenaran kebingungan. Apalagi ditambah dengan banyaknya aliran -isme, semacam liberalisme, sekulerisme, nihilisme, ateisme, feminisme, dan lain sebagainya yang turut memperkeruh terangnya cahaya kebenaran. Oleh karena itu,  jika seseorang lengah, ia akan dengan mudah jatuh ke dalam salah satu agama atau aliran kepercayaan tersebut, dan menghabiskan sepanjang umurnya memperdalam, mengkaji, bahkan membela kepercayaan yang keliru. Agar hal tersebut tidak terjadi, maka kita perlu memahami apa yang membuat Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Allah ‘Azza Wajalla. Alasan pertama: Sumber yang valid Dalil-dalil yang digunakan kaum muslimin untuk membuktikan kebenaran Islam tidak dapat dibandingkan dengan dalil-dalil yang digunakan umat Kristen, Yahudi, ataupun umat beragama lainnya. Bahkan, salah satu hal yang bisa dibanggakan kaum muslimin adalah kemampuan mereka dalam membuktikan validitas sumber setiap syariat agama mereka. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, Bibel adalah kitab umat Kristen, dan Taurat adalah kitab umat Yahudi. Hal yang membedakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab samawi lainnya adalah kemampuan umat Islam untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an, dengan setiap surat dan ayatnya, jalur periwayatannya bersambung sampai ke Nabi Muhammad ﷺ. Periwayatan Al-Qur’an merupakan periwayatan yang mutawātir, artinya periwayatannya tidak dilakukan oleh satu orang dari satu orang dari satu orang. Akan tetapi, Al-Qur’an diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang dari sekelompok orang dan seterusnya hingga bersambung kepada Nabi ﷺ yang menerima wahyu lewat perantara Jibril ‘alaihissalām yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah ‘Azza Wajalla. Sementara itu, agama-agama lainnya tidak memiliki jalur periwayatan yang bersambung ke nabi-nabi mereka, yang dalam bahasa Arab disebut sanad. Sanad adalah rantai transmisi informasi dari satu person ke person yang lain. Setiap person dalam rantai transmisi tersebut paling tidak harus dikenal identitasnya, sehingga dapat diteliti lebih lanjut kredibilitasnya dalam meriwayatkan. Pada kitab-kitab agama selain Islam terdapat keterputusan sanad yang sangat jelas, bahkan pada beberapa bagian tidak diketahui penulisnya. Sebagai contoh, salah satu peneliti Perjanjian Baru (salah satu bagian dari Bibel) Stephen L. Harris [1] mengatakan bahwa keempat Injil, yaitu Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes adalah hasil karya orang-orang yang tidak dikenal. Demikian pula, menurut Bart D. Herman, peneliti Bibel Universitas North Carolina, menyatakan bahwa tidak ada satu pun dari penulis Injil menyaksikan dan mendengar Yesus atau mengaku menyaksikan atau mendengar ucapan Yesus secara langsung, serta nama Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes bukanlah nama penulisnya, melainkan nama yang diberikan Bapa-Bapa Gereja. [2] Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut topik ini, dapat merujuk buku-buku yang ditulis peneliti-peneliti tersebut. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran Alasan kedua: Mukjizat isi Al-Qur’an Selain ketersambungan periwayatan Al-Qur’an, salah satu keistimewaan Al-Qur’an juga terletak pada isinya. Dr. Muhammad ‘Abdullāh Darrāz menyusun sebuah kitab yang membahas mukjizat isi Al-Qur’an secara khusus yang berjudul Al-Naba’ Al-‘Aẓīm. Di dalam kitab tersebut, dijelaskan berbagai alasan mengapa Al-Qur’an merupakan firman Allah, dan Nabi Muhammad ﷺ tidak mungkin mengarang Al-Qur’an. Salah satunya kutipannya sebagai berikut, “Kitab yang mulia ini dengan karakteristiknya mustahil berasal dari buatan manusia. Ayat-ayatnya memanggil seakan sebuah suratan takdir. Bahkan, seandainya ia ditemukan tergeletak di padang pasir, orang yang menemukan dan menelaahnya akan yakin bahwa ia bukan bersumber dari bumi ini, melainkan diturunkan dari langit.” [3] Salah satu bentuk mukjizat isi Al-Qur’an adalah tidak adanya kontradiksi, baik kontradiksi antar ayat maupun kontradiksi dengan fakta ilmiah atau sejarah. Allah Subhānahu Wa Ta‘āla berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَـٰفًۭا كَثِيرًۭا “Maka, tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur`ān? Sekiranya (Al-Qur`ān) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82) Sedangkan dalam kitab-kitab agama lainnya, terdapat banyak sekali kontradiksi. Sebagai contoh, kontradiksi di dalam Bibel yang berbicara tentang seseorang bernama Ahazia. Ayat yang pertama mengatakan bahwa umurnya 22 tahun, sedangkan ayat yang kedua menyebutkan bahwa umurnya 42 tahun. Berikut ayatnya: “Ia, Ahazia, berumur dua puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri raja Israil.” (Kitab 2, Raja-raja, 8: 26) “Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya adalah Atalya, cucu Omri.” (Kitab 2, Tawarikh, 22: 2) Tanggapan umat Kristen terhadap kontradiksi kedua ayat tersebut biasanya menyatakan bahwa penyalin manuskrip keliru saat menulis di kedua tempat tersebut. Semudah itukah respons mereka? Masalahnya, kekeliruan ini bukanlah kekeliruan penerjemahan, tetapi kekeliruan pada naskah aslinya. Bayangkan, jika kesalahan semacam ini terjadi pada Al-Qur’an, lalu kita katakan, “Para sahabat keliru saat menulis ayat.” Apakah kita akan percaya terhadap Al-Qur’an? Lanjut ke bagian 2: Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Understanding the Bible (1985), California: Mayfield. [2] Lost Christianities: The Battles for Scripture and the Faiths We Never Knew (2003), Oxford University Press. [3] An-Naba’ul-Aẓīm, hal. 106. Tags: agamaislam
Daftar Isi Toggle Alasan pertama: Sumber yang validAlasan kedua: Mukjizat isi Al-Qur’an Dalam perjalanan mencari kebenaran, setelah seseorang mengetahui dan mengakui keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, maka langkah selanjutnya adalah mencari tahu petunjuk Tuhan manakah yang benar? Sebab, seseorang akan dihadapkan pada fakta banyaknya jumlah agama di dunia ini. Hal itu seringkali membuat orang yang sedang mencari kebenaran kebingungan. Apalagi ditambah dengan banyaknya aliran -isme, semacam liberalisme, sekulerisme, nihilisme, ateisme, feminisme, dan lain sebagainya yang turut memperkeruh terangnya cahaya kebenaran. Oleh karena itu,  jika seseorang lengah, ia akan dengan mudah jatuh ke dalam salah satu agama atau aliran kepercayaan tersebut, dan menghabiskan sepanjang umurnya memperdalam, mengkaji, bahkan membela kepercayaan yang keliru. Agar hal tersebut tidak terjadi, maka kita perlu memahami apa yang membuat Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Allah ‘Azza Wajalla. Alasan pertama: Sumber yang valid Dalil-dalil yang digunakan kaum muslimin untuk membuktikan kebenaran Islam tidak dapat dibandingkan dengan dalil-dalil yang digunakan umat Kristen, Yahudi, ataupun umat beragama lainnya. Bahkan, salah satu hal yang bisa dibanggakan kaum muslimin adalah kemampuan mereka dalam membuktikan validitas sumber setiap syariat agama mereka. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, Bibel adalah kitab umat Kristen, dan Taurat adalah kitab umat Yahudi. Hal yang membedakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab samawi lainnya adalah kemampuan umat Islam untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an, dengan setiap surat dan ayatnya, jalur periwayatannya bersambung sampai ke Nabi Muhammad ﷺ. Periwayatan Al-Qur’an merupakan periwayatan yang mutawātir, artinya periwayatannya tidak dilakukan oleh satu orang dari satu orang dari satu orang. Akan tetapi, Al-Qur’an diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang dari sekelompok orang dan seterusnya hingga bersambung kepada Nabi ﷺ yang menerima wahyu lewat perantara Jibril ‘alaihissalām yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah ‘Azza Wajalla. Sementara itu, agama-agama lainnya tidak memiliki jalur periwayatan yang bersambung ke nabi-nabi mereka, yang dalam bahasa Arab disebut sanad. Sanad adalah rantai transmisi informasi dari satu person ke person yang lain. Setiap person dalam rantai transmisi tersebut paling tidak harus dikenal identitasnya, sehingga dapat diteliti lebih lanjut kredibilitasnya dalam meriwayatkan. Pada kitab-kitab agama selain Islam terdapat keterputusan sanad yang sangat jelas, bahkan pada beberapa bagian tidak diketahui penulisnya. Sebagai contoh, salah satu peneliti Perjanjian Baru (salah satu bagian dari Bibel) Stephen L. Harris [1] mengatakan bahwa keempat Injil, yaitu Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes adalah hasil karya orang-orang yang tidak dikenal. Demikian pula, menurut Bart D. Herman, peneliti Bibel Universitas North Carolina, menyatakan bahwa tidak ada satu pun dari penulis Injil menyaksikan dan mendengar Yesus atau mengaku menyaksikan atau mendengar ucapan Yesus secara langsung, serta nama Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes bukanlah nama penulisnya, melainkan nama yang diberikan Bapa-Bapa Gereja. [2] Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut topik ini, dapat merujuk buku-buku yang ditulis peneliti-peneliti tersebut. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran Alasan kedua: Mukjizat isi Al-Qur’an Selain ketersambungan periwayatan Al-Qur’an, salah satu keistimewaan Al-Qur’an juga terletak pada isinya. Dr. Muhammad ‘Abdullāh Darrāz menyusun sebuah kitab yang membahas mukjizat isi Al-Qur’an secara khusus yang berjudul Al-Naba’ Al-‘Aẓīm. Di dalam kitab tersebut, dijelaskan berbagai alasan mengapa Al-Qur’an merupakan firman Allah, dan Nabi Muhammad ﷺ tidak mungkin mengarang Al-Qur’an. Salah satunya kutipannya sebagai berikut, “Kitab yang mulia ini dengan karakteristiknya mustahil berasal dari buatan manusia. Ayat-ayatnya memanggil seakan sebuah suratan takdir. Bahkan, seandainya ia ditemukan tergeletak di padang pasir, orang yang menemukan dan menelaahnya akan yakin bahwa ia bukan bersumber dari bumi ini, melainkan diturunkan dari langit.” [3] Salah satu bentuk mukjizat isi Al-Qur’an adalah tidak adanya kontradiksi, baik kontradiksi antar ayat maupun kontradiksi dengan fakta ilmiah atau sejarah. Allah Subhānahu Wa Ta‘āla berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَـٰفًۭا كَثِيرًۭا “Maka, tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur`ān? Sekiranya (Al-Qur`ān) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82) Sedangkan dalam kitab-kitab agama lainnya, terdapat banyak sekali kontradiksi. Sebagai contoh, kontradiksi di dalam Bibel yang berbicara tentang seseorang bernama Ahazia. Ayat yang pertama mengatakan bahwa umurnya 22 tahun, sedangkan ayat yang kedua menyebutkan bahwa umurnya 42 tahun. Berikut ayatnya: “Ia, Ahazia, berumur dua puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri raja Israil.” (Kitab 2, Raja-raja, 8: 26) “Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya adalah Atalya, cucu Omri.” (Kitab 2, Tawarikh, 22: 2) Tanggapan umat Kristen terhadap kontradiksi kedua ayat tersebut biasanya menyatakan bahwa penyalin manuskrip keliru saat menulis di kedua tempat tersebut. Semudah itukah respons mereka? Masalahnya, kekeliruan ini bukanlah kekeliruan penerjemahan, tetapi kekeliruan pada naskah aslinya. Bayangkan, jika kesalahan semacam ini terjadi pada Al-Qur’an, lalu kita katakan, “Para sahabat keliru saat menulis ayat.” Apakah kita akan percaya terhadap Al-Qur’an? Lanjut ke bagian 2: Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Understanding the Bible (1985), California: Mayfield. [2] Lost Christianities: The Battles for Scripture and the Faiths We Never Knew (2003), Oxford University Press. [3] An-Naba’ul-Aẓīm, hal. 106. Tags: agamaislam


Daftar Isi Toggle Alasan pertama: Sumber yang validAlasan kedua: Mukjizat isi Al-Qur’an Dalam perjalanan mencari kebenaran, setelah seseorang mengetahui dan mengakui keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, maka langkah selanjutnya adalah mencari tahu petunjuk Tuhan manakah yang benar? Sebab, seseorang akan dihadapkan pada fakta banyaknya jumlah agama di dunia ini. Hal itu seringkali membuat orang yang sedang mencari kebenaran kebingungan. Apalagi ditambah dengan banyaknya aliran -isme, semacam liberalisme, sekulerisme, nihilisme, ateisme, feminisme, dan lain sebagainya yang turut memperkeruh terangnya cahaya kebenaran. Oleh karena itu,  jika seseorang lengah, ia akan dengan mudah jatuh ke dalam salah satu agama atau aliran kepercayaan tersebut, dan menghabiskan sepanjang umurnya memperdalam, mengkaji, bahkan membela kepercayaan yang keliru. Agar hal tersebut tidak terjadi, maka kita perlu memahami apa yang membuat Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Allah ‘Azza Wajalla. Alasan pertama: Sumber yang valid Dalil-dalil yang digunakan kaum muslimin untuk membuktikan kebenaran Islam tidak dapat dibandingkan dengan dalil-dalil yang digunakan umat Kristen, Yahudi, ataupun umat beragama lainnya. Bahkan, salah satu hal yang bisa dibanggakan kaum muslimin adalah kemampuan mereka dalam membuktikan validitas sumber setiap syariat agama mereka. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, Bibel adalah kitab umat Kristen, dan Taurat adalah kitab umat Yahudi. Hal yang membedakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab samawi lainnya adalah kemampuan umat Islam untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an, dengan setiap surat dan ayatnya, jalur periwayatannya bersambung sampai ke Nabi Muhammad ﷺ. Periwayatan Al-Qur’an merupakan periwayatan yang mutawātir, artinya periwayatannya tidak dilakukan oleh satu orang dari satu orang dari satu orang. Akan tetapi, Al-Qur’an diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang dari sekelompok orang dan seterusnya hingga bersambung kepada Nabi ﷺ yang menerima wahyu lewat perantara Jibril ‘alaihissalām yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah ‘Azza Wajalla. Sementara itu, agama-agama lainnya tidak memiliki jalur periwayatan yang bersambung ke nabi-nabi mereka, yang dalam bahasa Arab disebut sanad. Sanad adalah rantai transmisi informasi dari satu person ke person yang lain. Setiap person dalam rantai transmisi tersebut paling tidak harus dikenal identitasnya, sehingga dapat diteliti lebih lanjut kredibilitasnya dalam meriwayatkan. Pada kitab-kitab agama selain Islam terdapat keterputusan sanad yang sangat jelas, bahkan pada beberapa bagian tidak diketahui penulisnya. Sebagai contoh, salah satu peneliti Perjanjian Baru (salah satu bagian dari Bibel) Stephen L. Harris [1] mengatakan bahwa keempat Injil, yaitu Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes adalah hasil karya orang-orang yang tidak dikenal. Demikian pula, menurut Bart D. Herman, peneliti Bibel Universitas North Carolina, menyatakan bahwa tidak ada satu pun dari penulis Injil menyaksikan dan mendengar Yesus atau mengaku menyaksikan atau mendengar ucapan Yesus secara langsung, serta nama Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes bukanlah nama penulisnya, melainkan nama yang diberikan Bapa-Bapa Gereja. [2] Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut topik ini, dapat merujuk buku-buku yang ditulis peneliti-peneliti tersebut. Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran Alasan kedua: Mukjizat isi Al-Qur’an Selain ketersambungan periwayatan Al-Qur’an, salah satu keistimewaan Al-Qur’an juga terletak pada isinya. Dr. Muhammad ‘Abdullāh Darrāz menyusun sebuah kitab yang membahas mukjizat isi Al-Qur’an secara khusus yang berjudul Al-Naba’ Al-‘Aẓīm. Di dalam kitab tersebut, dijelaskan berbagai alasan mengapa Al-Qur’an merupakan firman Allah, dan Nabi Muhammad ﷺ tidak mungkin mengarang Al-Qur’an. Salah satunya kutipannya sebagai berikut, “Kitab yang mulia ini dengan karakteristiknya mustahil berasal dari buatan manusia. Ayat-ayatnya memanggil seakan sebuah suratan takdir. Bahkan, seandainya ia ditemukan tergeletak di padang pasir, orang yang menemukan dan menelaahnya akan yakin bahwa ia bukan bersumber dari bumi ini, melainkan diturunkan dari langit.” [3] Salah satu bentuk mukjizat isi Al-Qur’an adalah tidak adanya kontradiksi, baik kontradiksi antar ayat maupun kontradiksi dengan fakta ilmiah atau sejarah. Allah Subhānahu Wa Ta‘āla berfirman, أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَـٰفًۭا كَثِيرًۭا “Maka, tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur`ān? Sekiranya (Al-Qur`ān) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82) Sedangkan dalam kitab-kitab agama lainnya, terdapat banyak sekali kontradiksi. Sebagai contoh, kontradiksi di dalam Bibel yang berbicara tentang seseorang bernama Ahazia. Ayat yang pertama mengatakan bahwa umurnya 22 tahun, sedangkan ayat yang kedua menyebutkan bahwa umurnya 42 tahun. Berikut ayatnya: “Ia, Ahazia, berumur dua puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri raja Israil.” (Kitab 2, Raja-raja, 8: 26) “Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya adalah Atalya, cucu Omri.” (Kitab 2, Tawarikh, 22: 2) Tanggapan umat Kristen terhadap kontradiksi kedua ayat tersebut biasanya menyatakan bahwa penyalin manuskrip keliru saat menulis di kedua tempat tersebut. Semudah itukah respons mereka? Masalahnya, kekeliruan ini bukanlah kekeliruan penerjemahan, tetapi kekeliruan pada naskah aslinya. Bayangkan, jika kesalahan semacam ini terjadi pada Al-Qur’an, lalu kita katakan, “Para sahabat keliru saat menulis ayat.” Apakah kita akan percaya terhadap Al-Qur’an? Lanjut ke bagian 2: Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Understanding the Bible (1985), California: Mayfield. [2] Lost Christianities: The Battles for Scripture and the Faiths We Never Knew (2003), Oxford University Press. [3] An-Naba’ul-Aẓīm, hal. 106. Tags: agamaislam

Yang Nilai Baik dan Buruk itu dari Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Selalu Indah)

Ini faedah yang amat penting sekali yang manfaat untuk kehidupan kita saat menghadapi takdir. Sesuatu yang Allah sukai kadang datang dengan sesuatu yang kita benci. Ingat, standar sesuatu itu baik dan buruk hendaklah melihat pada ketetapan Allah, bukan dari penilaian manusia. Takdir Allah selalu indah!   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid berkata sebagai berikut. “Allah Ta’ala berfirman, كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Kutiba ‘alaikumul-qitālu wa huwa kur-hul lakum, wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Dalam ayat lainnya disebutkan,  فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا Arab-Latin: fa ing karihtumụhunna fa ‘asā an takrahụ syai`aw wa yaj’alallāhu fīhi khairang kaṡīrā “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 19) Ayat pertama berbicara tentang jihad yang merupakan puncak dorongan amarah (karena Allah). Sedangkan ayat kedua membicarakan tentang pernikahan yang merupakan puncak dorongan hasrat biologis. Pada umumnya, seorang hamba tidak suka menghadapi jihad fisik karena ia takut dirinya dicelakai oleh musuh. Padahal, jihad yang tidak disukainya itu lebih baik bagi dirinya di dunia dan akhirat. Sebaliknya, ia lebih menyukai berdamai dengan musuh dan tidak berjihad melawan mereka. Padahal, yang demikian itu buruk bagi dirinya di dunia maupun akhirat. Demikian, terkadang seorang suami tidak suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk menceraikannya. Padahal, mempertahankan rumah tangganya bersama istrinya adalah jauh lebih baik bagi dirinya, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat ini. Terkadang pula, seorang suami suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk tetap berumah tangga dengannya. Padahal, jika ia tetap bertahan dengan istrinya itu, maka keburukan yang menyertainya justru lebih banyak, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat tersebut.  Manusia, sebagaimana yang difirmankan oleh Penciptanya sendiri adalah makhluk yang zhaluum (zalim pada diri sendiri) dan jahuul (jahil, tidak tahu akibat dari suatu urusan). Maka manusia tidak pantas menjadikan perasaan suka, tidak suka, cinta, atau benci sebagai standar dalam menetapkan sesuatu bermanfaat atau berbahaya. Namun, yang menjadi standar dalam menetapkan hal ini adalah apa yang Allah pilih melalui perintah dan larangan-Nya.” – Catatan: Mengenai manusia yang zhaluum dan jahuul disebutkan pada firman Allah,  إِنّا عَرَضنَا الأَمانَةَ عَلَى السَّماواتِ وَالأَرضِ وَالجِبالِ فَأَبَينَ أَن يَحمِلنَها وَأَشفَقنَ مِنها وَحَمَلَهَا الإِنسانُ إِنَّهُ كانَ ظَلومًا جَهولًا “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu amat zalim dan sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72). Sebagaimana disebutkan dalam Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir, manusia itu zalim pada dirinya sendiri dan bodoh (tidak mengetahui) akibat dari suatu urusan.    Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 145. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 169-170. Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir.  – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Malam Sabtu (Jumat Sore) bakda Maghrib, 11 Syawal 1445 H, 19 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim memahami takdir musibah solusi musibah takdir takdir Allah takdir ilahi

Yang Nilai Baik dan Buruk itu dari Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Selalu Indah)

Ini faedah yang amat penting sekali yang manfaat untuk kehidupan kita saat menghadapi takdir. Sesuatu yang Allah sukai kadang datang dengan sesuatu yang kita benci. Ingat, standar sesuatu itu baik dan buruk hendaklah melihat pada ketetapan Allah, bukan dari penilaian manusia. Takdir Allah selalu indah!   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid berkata sebagai berikut. “Allah Ta’ala berfirman, كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Kutiba ‘alaikumul-qitālu wa huwa kur-hul lakum, wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Dalam ayat lainnya disebutkan,  فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا Arab-Latin: fa ing karihtumụhunna fa ‘asā an takrahụ syai`aw wa yaj’alallāhu fīhi khairang kaṡīrā “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 19) Ayat pertama berbicara tentang jihad yang merupakan puncak dorongan amarah (karena Allah). Sedangkan ayat kedua membicarakan tentang pernikahan yang merupakan puncak dorongan hasrat biologis. Pada umumnya, seorang hamba tidak suka menghadapi jihad fisik karena ia takut dirinya dicelakai oleh musuh. Padahal, jihad yang tidak disukainya itu lebih baik bagi dirinya di dunia dan akhirat. Sebaliknya, ia lebih menyukai berdamai dengan musuh dan tidak berjihad melawan mereka. Padahal, yang demikian itu buruk bagi dirinya di dunia maupun akhirat. Demikian, terkadang seorang suami tidak suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk menceraikannya. Padahal, mempertahankan rumah tangganya bersama istrinya adalah jauh lebih baik bagi dirinya, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat ini. Terkadang pula, seorang suami suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk tetap berumah tangga dengannya. Padahal, jika ia tetap bertahan dengan istrinya itu, maka keburukan yang menyertainya justru lebih banyak, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat tersebut.  Manusia, sebagaimana yang difirmankan oleh Penciptanya sendiri adalah makhluk yang zhaluum (zalim pada diri sendiri) dan jahuul (jahil, tidak tahu akibat dari suatu urusan). Maka manusia tidak pantas menjadikan perasaan suka, tidak suka, cinta, atau benci sebagai standar dalam menetapkan sesuatu bermanfaat atau berbahaya. Namun, yang menjadi standar dalam menetapkan hal ini adalah apa yang Allah pilih melalui perintah dan larangan-Nya.” – Catatan: Mengenai manusia yang zhaluum dan jahuul disebutkan pada firman Allah,  إِنّا عَرَضنَا الأَمانَةَ عَلَى السَّماواتِ وَالأَرضِ وَالجِبالِ فَأَبَينَ أَن يَحمِلنَها وَأَشفَقنَ مِنها وَحَمَلَهَا الإِنسانُ إِنَّهُ كانَ ظَلومًا جَهولًا “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu amat zalim dan sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72). Sebagaimana disebutkan dalam Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir, manusia itu zalim pada dirinya sendiri dan bodoh (tidak mengetahui) akibat dari suatu urusan.    Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 145. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 169-170. Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir.  – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Malam Sabtu (Jumat Sore) bakda Maghrib, 11 Syawal 1445 H, 19 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim memahami takdir musibah solusi musibah takdir takdir Allah takdir ilahi
Ini faedah yang amat penting sekali yang manfaat untuk kehidupan kita saat menghadapi takdir. Sesuatu yang Allah sukai kadang datang dengan sesuatu yang kita benci. Ingat, standar sesuatu itu baik dan buruk hendaklah melihat pada ketetapan Allah, bukan dari penilaian manusia. Takdir Allah selalu indah!   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid berkata sebagai berikut. “Allah Ta’ala berfirman, كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Kutiba ‘alaikumul-qitālu wa huwa kur-hul lakum, wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Dalam ayat lainnya disebutkan,  فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا Arab-Latin: fa ing karihtumụhunna fa ‘asā an takrahụ syai`aw wa yaj’alallāhu fīhi khairang kaṡīrā “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 19) Ayat pertama berbicara tentang jihad yang merupakan puncak dorongan amarah (karena Allah). Sedangkan ayat kedua membicarakan tentang pernikahan yang merupakan puncak dorongan hasrat biologis. Pada umumnya, seorang hamba tidak suka menghadapi jihad fisik karena ia takut dirinya dicelakai oleh musuh. Padahal, jihad yang tidak disukainya itu lebih baik bagi dirinya di dunia dan akhirat. Sebaliknya, ia lebih menyukai berdamai dengan musuh dan tidak berjihad melawan mereka. Padahal, yang demikian itu buruk bagi dirinya di dunia maupun akhirat. Demikian, terkadang seorang suami tidak suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk menceraikannya. Padahal, mempertahankan rumah tangganya bersama istrinya adalah jauh lebih baik bagi dirinya, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat ini. Terkadang pula, seorang suami suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk tetap berumah tangga dengannya. Padahal, jika ia tetap bertahan dengan istrinya itu, maka keburukan yang menyertainya justru lebih banyak, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat tersebut.  Manusia, sebagaimana yang difirmankan oleh Penciptanya sendiri adalah makhluk yang zhaluum (zalim pada diri sendiri) dan jahuul (jahil, tidak tahu akibat dari suatu urusan). Maka manusia tidak pantas menjadikan perasaan suka, tidak suka, cinta, atau benci sebagai standar dalam menetapkan sesuatu bermanfaat atau berbahaya. Namun, yang menjadi standar dalam menetapkan hal ini adalah apa yang Allah pilih melalui perintah dan larangan-Nya.” – Catatan: Mengenai manusia yang zhaluum dan jahuul disebutkan pada firman Allah,  إِنّا عَرَضنَا الأَمانَةَ عَلَى السَّماواتِ وَالأَرضِ وَالجِبالِ فَأَبَينَ أَن يَحمِلنَها وَأَشفَقنَ مِنها وَحَمَلَهَا الإِنسانُ إِنَّهُ كانَ ظَلومًا جَهولًا “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu amat zalim dan sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72). Sebagaimana disebutkan dalam Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir, manusia itu zalim pada dirinya sendiri dan bodoh (tidak mengetahui) akibat dari suatu urusan.    Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 145. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 169-170. Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir.  – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Malam Sabtu (Jumat Sore) bakda Maghrib, 11 Syawal 1445 H, 19 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim memahami takdir musibah solusi musibah takdir takdir Allah takdir ilahi


Ini faedah yang amat penting sekali yang manfaat untuk kehidupan kita saat menghadapi takdir. Sesuatu yang Allah sukai kadang datang dengan sesuatu yang kita benci. Ingat, standar sesuatu itu baik dan buruk hendaklah melihat pada ketetapan Allah, bukan dari penilaian manusia. Takdir Allah selalu indah!   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid berkata sebagai berikut. “Allah Ta’ala berfirman, كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Kutiba ‘alaikumul-qitālu wa huwa kur-hul lakum, wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Dalam ayat lainnya disebutkan,  فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا Arab-Latin: fa ing karihtumụhunna fa ‘asā an takrahụ syai`aw wa yaj’alallāhu fīhi khairang kaṡīrā “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 19) Ayat pertama berbicara tentang jihad yang merupakan puncak dorongan amarah (karena Allah). Sedangkan ayat kedua membicarakan tentang pernikahan yang merupakan puncak dorongan hasrat biologis. Pada umumnya, seorang hamba tidak suka menghadapi jihad fisik karena ia takut dirinya dicelakai oleh musuh. Padahal, jihad yang tidak disukainya itu lebih baik bagi dirinya di dunia dan akhirat. Sebaliknya, ia lebih menyukai berdamai dengan musuh dan tidak berjihad melawan mereka. Padahal, yang demikian itu buruk bagi dirinya di dunia maupun akhirat. Demikian, terkadang seorang suami tidak suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk menceraikannya. Padahal, mempertahankan rumah tangganya bersama istrinya adalah jauh lebih baik bagi dirinya, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat ini. Terkadang pula, seorang suami suka kepada istrinya karena salah satu sifatnya sehingga ia pun memutuskan untuk tetap berumah tangga dengannya. Padahal, jika ia tetap bertahan dengan istrinya itu, maka keburukan yang menyertainya justru lebih banyak, hanya saja ia tidak mengetahui hakikat tersebut.  Manusia, sebagaimana yang difirmankan oleh Penciptanya sendiri adalah makhluk yang zhaluum (zalim pada diri sendiri) dan jahuul (jahil, tidak tahu akibat dari suatu urusan). Maka manusia tidak pantas menjadikan perasaan suka, tidak suka, cinta, atau benci sebagai standar dalam menetapkan sesuatu bermanfaat atau berbahaya. Namun, yang menjadi standar dalam menetapkan hal ini adalah apa yang Allah pilih melalui perintah dan larangan-Nya.” – Catatan: Mengenai manusia yang zhaluum dan jahuul disebutkan pada firman Allah,  إِنّا عَرَضنَا الأَمانَةَ عَلَى السَّماواتِ وَالأَرضِ وَالجِبالِ فَأَبَينَ أَن يَحمِلنَها وَأَشفَقنَ مِنها وَحَمَلَهَا الإِنسانُ إِنَّهُ كانَ ظَلومًا جَهولًا “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu amat zalim dan sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72). Sebagaimana disebutkan dalam Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir, manusia itu zalim pada dirinya sendiri dan bodoh (tidak mengetahui) akibat dari suatu urusan.    Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 145. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 169-170. Al-Mukhtashar fii At-Tafsiir.  – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Malam Sabtu (Jumat Sore) bakda Maghrib, 11 Syawal 1445 H, 19 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid beriman kepada takdir faedah dari Ibnul Qayyim memahami takdir musibah solusi musibah takdir takdir Allah takdir ilahi

Membedakan antara Fakir, Miskin, dan Gharim

Pada asalnya, tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin dalam hal kebutuhan (sama-sama masih membutuhkan) dan mereka berhak menerima zakat. Namun, perbedaannya terletak pada siapa yang lebih membutuhkan karena beratnya dan besaran kebutuhannya. Namun, jika digali lebih dalam, maka ada perbedaan antara fakir dan miskin. Orang fakir adalah orang yang membutuhkan yang tidak memiliki sesuatu apa pun dan tidak meminta-minta kepada manusia. Sedangkan orang miskin adalah orang yang membutuhkan, memiliki beberapa harta benda, tetapi tidak mencukupinya dan dia meminta-minta kepada manusia. Oleh karenanya, penyebutan orang fakir didahulukan dari semua golongan yang berhak menerima zakat. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” [1] Karena mereka (fakir) lebih membutuhkan dibandingkan orang lain dan keadaannya yang paling buruk. Mereka mungkin mempunyai hambatan yang menghalangi mereka untuk mencari nafkah, atau mereka mungkin tidak dapat mencari nafkah karena alasan-alasan tertentu. Sehingga orang yang tidak mengenal mereka menganggap bahwa mereka cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Allah Ta’ala berfirman, لِلْفُقَرَاء الَّذِينَ أُحصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” [2] Adapun orang miskin sebagaimana yang disebutkan di atas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun, orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain.” [3] Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang lebih berhak menerima zakat adalah orang yang tidak meminta kepada manusia, yang tidak menampakkan kebutuhannya (kemiskinannya), dan tidak mendapati sesuatu yang dapat mencukupi dirinya. Adapun orang miskin adalah orang yang masih mendapati sesuatu untuk mencukupinya dengan meminta-minta kepada manusia dan menampakkan kemiskinannya. Hal ini diperkuat dengan firman Allah Ta’ala, أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي البَحْرِ “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut.” [4] Allah Ta’ala menamakan mereka dengan orang-orang miskin, padahal mereka memiliki kapal dan bekerja di dalamnya. Adapun Gharim adalah orang yang memiliki utang dan berat untuk membayar dan melunasinya. Bisa jadi statusnya masih sebagai orang kaya dan bisa jadi pula statusnya tergolong fakir atau miskin. Maka, zakat boleh diberikan kepada orang fakir, miskin, gharim, dan yang selainnya dari golongan yang berhak menerima zakat selama dengan zakat tersebut tidak membantu mereka di dalam kemaksiatan. Oleh karenanya, orang-orang yang ingin membayar atau menyalurkan zakat lebih mengutamakan dan mendahulukan mereka (golongan penerima zakat) yang dikenal baik agamanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ولا ينبغي أَنْ يُعْطِيَ الزكاةَ لِمَن لا يستعين بها على طاعة الله؛ فإنَّ الله تعالى فَرَضَها معونةً على طاعته لِمَنْ يحتاجُ إليها مِن المؤمنين كالفقراء والغارمين، أو لمن يُعاوِنُ المؤمنين؛ فمَنْ لا يصلِّي مِن أهل الحاجات لا يُعطى شيئًا حتى يتوبَ ويلتزمَ أداءَ الصلاةِ في وقتها. “Dan tidak boleh memberikan zakat kepada seseorang yang tidak menggunakannya untuk menaati Allah. Karena Allah Ta’ala telah menitipkannya sebagai pertolongan ketaatan kepada-Nya bagi orang-orang mukmin yang membutuhkan, seperti orang-orang miskin dan orang-orang yang berutang, atau bagi orang-orang yang menolong orang-orang mukmin. Barangsiapa yang tidak salat di antara orang-orang yang membutuhkan, maka ia tidak diberi apa-apa sampai ia bertobat dan menunaikan salat tepat waktu.” [5] Baca juga: Siapakah Orang yang Termasuk Fakir Miskin? *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-726   Catatan kaki: [1] QS. At-Taubah: 60. [2] QS. Al-Baqarah: 273. [3] HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039. [4] QS. Al-Kahfi: 79. [5] Ikhtiyarat Ibni Taimiyah oleh Al-Ba’li, hal 103. Tags: fakirgharimmiskin

Membedakan antara Fakir, Miskin, dan Gharim

Pada asalnya, tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin dalam hal kebutuhan (sama-sama masih membutuhkan) dan mereka berhak menerima zakat. Namun, perbedaannya terletak pada siapa yang lebih membutuhkan karena beratnya dan besaran kebutuhannya. Namun, jika digali lebih dalam, maka ada perbedaan antara fakir dan miskin. Orang fakir adalah orang yang membutuhkan yang tidak memiliki sesuatu apa pun dan tidak meminta-minta kepada manusia. Sedangkan orang miskin adalah orang yang membutuhkan, memiliki beberapa harta benda, tetapi tidak mencukupinya dan dia meminta-minta kepada manusia. Oleh karenanya, penyebutan orang fakir didahulukan dari semua golongan yang berhak menerima zakat. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” [1] Karena mereka (fakir) lebih membutuhkan dibandingkan orang lain dan keadaannya yang paling buruk. Mereka mungkin mempunyai hambatan yang menghalangi mereka untuk mencari nafkah, atau mereka mungkin tidak dapat mencari nafkah karena alasan-alasan tertentu. Sehingga orang yang tidak mengenal mereka menganggap bahwa mereka cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Allah Ta’ala berfirman, لِلْفُقَرَاء الَّذِينَ أُحصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” [2] Adapun orang miskin sebagaimana yang disebutkan di atas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun, orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain.” [3] Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang lebih berhak menerima zakat adalah orang yang tidak meminta kepada manusia, yang tidak menampakkan kebutuhannya (kemiskinannya), dan tidak mendapati sesuatu yang dapat mencukupi dirinya. Adapun orang miskin adalah orang yang masih mendapati sesuatu untuk mencukupinya dengan meminta-minta kepada manusia dan menampakkan kemiskinannya. Hal ini diperkuat dengan firman Allah Ta’ala, أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي البَحْرِ “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut.” [4] Allah Ta’ala menamakan mereka dengan orang-orang miskin, padahal mereka memiliki kapal dan bekerja di dalamnya. Adapun Gharim adalah orang yang memiliki utang dan berat untuk membayar dan melunasinya. Bisa jadi statusnya masih sebagai orang kaya dan bisa jadi pula statusnya tergolong fakir atau miskin. Maka, zakat boleh diberikan kepada orang fakir, miskin, gharim, dan yang selainnya dari golongan yang berhak menerima zakat selama dengan zakat tersebut tidak membantu mereka di dalam kemaksiatan. Oleh karenanya, orang-orang yang ingin membayar atau menyalurkan zakat lebih mengutamakan dan mendahulukan mereka (golongan penerima zakat) yang dikenal baik agamanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ولا ينبغي أَنْ يُعْطِيَ الزكاةَ لِمَن لا يستعين بها على طاعة الله؛ فإنَّ الله تعالى فَرَضَها معونةً على طاعته لِمَنْ يحتاجُ إليها مِن المؤمنين كالفقراء والغارمين، أو لمن يُعاوِنُ المؤمنين؛ فمَنْ لا يصلِّي مِن أهل الحاجات لا يُعطى شيئًا حتى يتوبَ ويلتزمَ أداءَ الصلاةِ في وقتها. “Dan tidak boleh memberikan zakat kepada seseorang yang tidak menggunakannya untuk menaati Allah. Karena Allah Ta’ala telah menitipkannya sebagai pertolongan ketaatan kepada-Nya bagi orang-orang mukmin yang membutuhkan, seperti orang-orang miskin dan orang-orang yang berutang, atau bagi orang-orang yang menolong orang-orang mukmin. Barangsiapa yang tidak salat di antara orang-orang yang membutuhkan, maka ia tidak diberi apa-apa sampai ia bertobat dan menunaikan salat tepat waktu.” [5] Baca juga: Siapakah Orang yang Termasuk Fakir Miskin? *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-726   Catatan kaki: [1] QS. At-Taubah: 60. [2] QS. Al-Baqarah: 273. [3] HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039. [4] QS. Al-Kahfi: 79. [5] Ikhtiyarat Ibni Taimiyah oleh Al-Ba’li, hal 103. Tags: fakirgharimmiskin
Pada asalnya, tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin dalam hal kebutuhan (sama-sama masih membutuhkan) dan mereka berhak menerima zakat. Namun, perbedaannya terletak pada siapa yang lebih membutuhkan karena beratnya dan besaran kebutuhannya. Namun, jika digali lebih dalam, maka ada perbedaan antara fakir dan miskin. Orang fakir adalah orang yang membutuhkan yang tidak memiliki sesuatu apa pun dan tidak meminta-minta kepada manusia. Sedangkan orang miskin adalah orang yang membutuhkan, memiliki beberapa harta benda, tetapi tidak mencukupinya dan dia meminta-minta kepada manusia. Oleh karenanya, penyebutan orang fakir didahulukan dari semua golongan yang berhak menerima zakat. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” [1] Karena mereka (fakir) lebih membutuhkan dibandingkan orang lain dan keadaannya yang paling buruk. Mereka mungkin mempunyai hambatan yang menghalangi mereka untuk mencari nafkah, atau mereka mungkin tidak dapat mencari nafkah karena alasan-alasan tertentu. Sehingga orang yang tidak mengenal mereka menganggap bahwa mereka cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Allah Ta’ala berfirman, لِلْفُقَرَاء الَّذِينَ أُحصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” [2] Adapun orang miskin sebagaimana yang disebutkan di atas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun, orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain.” [3] Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang lebih berhak menerima zakat adalah orang yang tidak meminta kepada manusia, yang tidak menampakkan kebutuhannya (kemiskinannya), dan tidak mendapati sesuatu yang dapat mencukupi dirinya. Adapun orang miskin adalah orang yang masih mendapati sesuatu untuk mencukupinya dengan meminta-minta kepada manusia dan menampakkan kemiskinannya. Hal ini diperkuat dengan firman Allah Ta’ala, أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي البَحْرِ “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut.” [4] Allah Ta’ala menamakan mereka dengan orang-orang miskin, padahal mereka memiliki kapal dan bekerja di dalamnya. Adapun Gharim adalah orang yang memiliki utang dan berat untuk membayar dan melunasinya. Bisa jadi statusnya masih sebagai orang kaya dan bisa jadi pula statusnya tergolong fakir atau miskin. Maka, zakat boleh diberikan kepada orang fakir, miskin, gharim, dan yang selainnya dari golongan yang berhak menerima zakat selama dengan zakat tersebut tidak membantu mereka di dalam kemaksiatan. Oleh karenanya, orang-orang yang ingin membayar atau menyalurkan zakat lebih mengutamakan dan mendahulukan mereka (golongan penerima zakat) yang dikenal baik agamanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ولا ينبغي أَنْ يُعْطِيَ الزكاةَ لِمَن لا يستعين بها على طاعة الله؛ فإنَّ الله تعالى فَرَضَها معونةً على طاعته لِمَنْ يحتاجُ إليها مِن المؤمنين كالفقراء والغارمين، أو لمن يُعاوِنُ المؤمنين؛ فمَنْ لا يصلِّي مِن أهل الحاجات لا يُعطى شيئًا حتى يتوبَ ويلتزمَ أداءَ الصلاةِ في وقتها. “Dan tidak boleh memberikan zakat kepada seseorang yang tidak menggunakannya untuk menaati Allah. Karena Allah Ta’ala telah menitipkannya sebagai pertolongan ketaatan kepada-Nya bagi orang-orang mukmin yang membutuhkan, seperti orang-orang miskin dan orang-orang yang berutang, atau bagi orang-orang yang menolong orang-orang mukmin. Barangsiapa yang tidak salat di antara orang-orang yang membutuhkan, maka ia tidak diberi apa-apa sampai ia bertobat dan menunaikan salat tepat waktu.” [5] Baca juga: Siapakah Orang yang Termasuk Fakir Miskin? *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-726   Catatan kaki: [1] QS. At-Taubah: 60. [2] QS. Al-Baqarah: 273. [3] HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039. [4] QS. Al-Kahfi: 79. [5] Ikhtiyarat Ibni Taimiyah oleh Al-Ba’li, hal 103. Tags: fakirgharimmiskin


Pada asalnya, tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin dalam hal kebutuhan (sama-sama masih membutuhkan) dan mereka berhak menerima zakat. Namun, perbedaannya terletak pada siapa yang lebih membutuhkan karena beratnya dan besaran kebutuhannya. Namun, jika digali lebih dalam, maka ada perbedaan antara fakir dan miskin. Orang fakir adalah orang yang membutuhkan yang tidak memiliki sesuatu apa pun dan tidak meminta-minta kepada manusia. Sedangkan orang miskin adalah orang yang membutuhkan, memiliki beberapa harta benda, tetapi tidak mencukupinya dan dia meminta-minta kepada manusia. Oleh karenanya, penyebutan orang fakir didahulukan dari semua golongan yang berhak menerima zakat. Allah Ta’ala berfirman, اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” [1] Karena mereka (fakir) lebih membutuhkan dibandingkan orang lain dan keadaannya yang paling buruk. Mereka mungkin mempunyai hambatan yang menghalangi mereka untuk mencari nafkah, atau mereka mungkin tidak dapat mencari nafkah karena alasan-alasan tertentu. Sehingga orang yang tidak mengenal mereka menganggap bahwa mereka cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Allah Ta’ala berfirman, لِلْفُقَرَاء الَّذِينَ أُحصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” [2] Adapun orang miskin sebagaimana yang disebutkan di atas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun, orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain.” [3] Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang lebih berhak menerima zakat adalah orang yang tidak meminta kepada manusia, yang tidak menampakkan kebutuhannya (kemiskinannya), dan tidak mendapati sesuatu yang dapat mencukupi dirinya. Adapun orang miskin adalah orang yang masih mendapati sesuatu untuk mencukupinya dengan meminta-minta kepada manusia dan menampakkan kemiskinannya. Hal ini diperkuat dengan firman Allah Ta’ala, أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي البَحْرِ “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut.” [4] Allah Ta’ala menamakan mereka dengan orang-orang miskin, padahal mereka memiliki kapal dan bekerja di dalamnya. Adapun Gharim adalah orang yang memiliki utang dan berat untuk membayar dan melunasinya. Bisa jadi statusnya masih sebagai orang kaya dan bisa jadi pula statusnya tergolong fakir atau miskin. Maka, zakat boleh diberikan kepada orang fakir, miskin, gharim, dan yang selainnya dari golongan yang berhak menerima zakat selama dengan zakat tersebut tidak membantu mereka di dalam kemaksiatan. Oleh karenanya, orang-orang yang ingin membayar atau menyalurkan zakat lebih mengutamakan dan mendahulukan mereka (golongan penerima zakat) yang dikenal baik agamanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ولا ينبغي أَنْ يُعْطِيَ الزكاةَ لِمَن لا يستعين بها على طاعة الله؛ فإنَّ الله تعالى فَرَضَها معونةً على طاعته لِمَنْ يحتاجُ إليها مِن المؤمنين كالفقراء والغارمين، أو لمن يُعاوِنُ المؤمنين؛ فمَنْ لا يصلِّي مِن أهل الحاجات لا يُعطى شيئًا حتى يتوبَ ويلتزمَ أداءَ الصلاةِ في وقتها. “Dan tidak boleh memberikan zakat kepada seseorang yang tidak menggunakannya untuk menaati Allah. Karena Allah Ta’ala telah menitipkannya sebagai pertolongan ketaatan kepada-Nya bagi orang-orang mukmin yang membutuhkan, seperti orang-orang miskin dan orang-orang yang berutang, atau bagi orang-orang yang menolong orang-orang mukmin. Barangsiapa yang tidak salat di antara orang-orang yang membutuhkan, maka ia tidak diberi apa-apa sampai ia bertobat dan menunaikan salat tepat waktu.” [5] Baca juga: Siapakah Orang yang Termasuk Fakir Miskin? *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-726   Catatan kaki: [1] QS. At-Taubah: 60. [2] QS. Al-Baqarah: 273. [3] HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039. [4] QS. Al-Kahfi: 79. [5] Ikhtiyarat Ibni Taimiyah oleh Al-Ba’li, hal 103. Tags: fakirgharimmiskin

Besarnya Perhatian Islam terhadap Perkara Silaturahmi

Daftar Isi Toggle Ancaman bagi seseorang yang memutus hubungan silaturahmiLebaran, momentum terbaik untuk bersilaturahmi Dalam Islam, silaturahmi memiliki kedudukan yang agung dan bahkan lebih didahulukan dari amal-amal kebaikan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin.” (QS. Al-Ahzab: 6) Ayat ini merupakan ayat yang menghapus hukum warisan pada awal Islam yang bersandar pada hijrah dan hubungan pertemanan. Di mana di dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa hubungan kerabat dan saudara sedarah lebih diutamakan dari hubungan-hubungan selainnya. Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menjadikan wasiat menyambung silaturahmi bersandingan dengan wasiat untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfiman, وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1) Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menyambung tali silaturahmi setelah memerintahkan kita untuk bertakwa. Hal ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa menyambung silaturahmi merupakan buah dan hasil serta keberkahan takwa kita kepada Allah Ta’ala, menunjukkan juga jujurnya keimanan kita kepada Allah Ta’ala. Mereka yang senantiasa menyambung tali silaturahmi dan menjaga hubungan kekerabatan dengan sanak keluarganya adalah orang yang paling sempurna imannya serta paling sempurna ketakwaannya. Sebagaimana hal ini disebutkan di dalam hadis yang sahih, ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 6138 dan Muslim no. 47) Tidak mengherankan juga jika Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi muslim yang paling perhatian terhadap kerabat dekat dan keluarganya, karena beliaulah hamba Allah yang paling bertakwa. Pada permulaan turunnya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengemukakan kepada Khadijah akan rasa khawatir terhadap dirinya sendiri atas apa yang terjadi kepada beliau dari turunnya wahyu yang sangat berat ini. Maka Khadijah radhiyallahu ‘anha mengatakan kepada beliau, كَلَّا، أبْشِرْ، فَوَاللَّهِ لا يُخْزِيكَ اللَّهُ أبَدًا؛ إنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وتَصْدُقُ الحَدِيثَ، وتَحْمِلُ الكَلَّ، وتَقْرِي الضَّيْفَ، وتُعِينُ علَى نَوَائِبِ الحَقِّ “Tidak. Bergembiralah engkau. Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar seorang yang senantiasa menyambung silaturahmi, seorang yang jujur kata-katanya, menolong yang lemah, memberi kepada orang yang tak punya, engkau juga memuliakan tamu, dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari no. 6982) Perkara menyambung tali silaturahmi juga merupakan salah satu perkara yang diajarkan dan didakwahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali. Dikisahkan bahwa ketika Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu sedang bersama Kaisar Heraklius, Kaisar Heraklius bertanya kepadanya, “Apa yang diperintahkan olehnya kepada kalian (maksudnya adalah Nabi Muhammad).” Maka Abu Sufyan menjawab, اعْبُدُوا اللَّهَ وحْدَهُ ولَا تُشْرِكُوا به شيئًا، واتْرُكُوا ما يقولُ آبَاؤُكُمْ، ويَأْمُرُنَا بالصَّلَاةِ والزَّكَاةِ والصِّدْقِ والعَفَافِ والصِّلَةِ “(Dia menyuruh kami), ‘Sembahlah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, dan tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian. (Dia juga memerintahkan kami untuk) menegakkan salat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan, dan menyambung silaturahmi.’” (HR. Bukhari no. 7) Baca juga: Utang Bisa Menjadi Pemutus Silaturahmi dan Pertemanan Ancaman bagi seseorang yang memutus hubungan silaturahmi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memotivasi umatnya untuk menyambung tali silaturahmi serta mengancam dan mengingatkan mereka dari bahaya memutusnya. Nabi ingatkan mereka bahwa akibat buruk dari memutus silaturahmi begitu cepatnya sampai kepada pelakunya. Beliau bersabda, مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ مِنَ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ “Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukumannya bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada al-baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902) Di hadis yang lain disebutkan, إِنَّ الرَّحِمَ شَجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَقَالَ اللَّهُ مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ “Sesungguhnya, penamaan rahim itu diambil dari (nama Allah) Ar-Rahman, lalu Allah berfirman, ‘Barangsiapa menyambungmu, maka Akupun menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskanmu, maka Aku pun akan memutuskannya.'” (HR. Bukhari no. 5988) Dalam riwayat Muslim, dikisahkan dengan lebih lengkap, إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا  “Sesungguhnya Allah Ta’alalah yang menciptakan seluruh makhluk. Setelah Allah ‘Azza Wajalla menciptakan semua makhluk tersebut, maka rahim pun berdiri sambil berkata, ‘Inikah tempat bagi yang berlindung dari terputusnya silaturahmi (Menyambung silaturahim)?’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Benar. Tidakkah kamu rela bahwasanya Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu?’ Rahim menjawab, ‘Tentu.’ Allah berfirman, ‘ltulah yang kamu miliki (apa yang aku sebutkan tadi itulah yang akan aku perbuat).’ Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika kamu mau, maka bacalah ayat berikut ini, ‘Maka, apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka serta dibutakan penglihatan mereka. Maka, apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?’ (QS. Muhammad 22-24).” (HR. Muslim no. 2554) Allah Ta’ala memberikan jaminan bagi siapa saja yang menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabat dekatnya, menjamin rezeki mereka dan keberkahan hidup mereka. Allah Ta’ala juga mengancam siapa pun yang memutus hubungan silaturahmi dengan saudara dan kerabatnya, bahwa Allah juga akan memutus hubungannya dengan orang tersebut. Sungguh, hadis dan ayat tersebut menjelaskan kepada kita betapa besarnya perhatian Allah dan Nabi-Nya terhadap perkara menyambung silaturahmi ini, baik itu dengan saling berkunjung, memberikan hadiah, ataupun memenuhi kebutuhan kerabat dan saudara kita yang membutuhkan. Lebaran, momentum terbaik untuk bersilaturahmi Tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan dan adat lebaran di negeri kita merupakan salah satu kesempatan besar untuk menyambung silaturahmi dengan keluarga kita, orang tua kita, dan sanak keluarga kita. Adanya kesempatan liburan secara serempak serta kebiasaan untuk mudik ke kampung halaman, semuanya itu memudahkan kita untuk bisa menyambung silaturahmi. Marilah kita manfaatkan momentum lebaran dan bulan Syawal ini untuk meraih keutamaan yang besar dari menyambung silaturahmi. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ “Belajarlah tentang nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturahmi karena silaturahmi itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 8855 dan Tirmidzi no. 1979) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahminya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5985 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7571) Belum lagi, menyambung silaturahmi adalah salah satu sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Sahabat Abu Ayub Al-Ansari radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga.’ Orang-orang pun berkata, ‘Ada apa dengan orang ini? Ada apa dengan orang ini?’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أرَبٌ ما له، تَعْبُدُ اللَّهَ ولَا تُشْرِكُ به شيئًا، وتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وتُؤْتي الزَّكَاةَ، وتَصِلُ الرَّحِمَ. ‘Biarkanlah urusan orang ini.’ (Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya), ‘Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan salat, dan membayar zakat, serta menjalin tali silaturahmi.’” (HR. Bukhari no. 1396) Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Salah Kaprah Memaknai Silaturahim *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: silaturahmi

Besarnya Perhatian Islam terhadap Perkara Silaturahmi

Daftar Isi Toggle Ancaman bagi seseorang yang memutus hubungan silaturahmiLebaran, momentum terbaik untuk bersilaturahmi Dalam Islam, silaturahmi memiliki kedudukan yang agung dan bahkan lebih didahulukan dari amal-amal kebaikan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin.” (QS. Al-Ahzab: 6) Ayat ini merupakan ayat yang menghapus hukum warisan pada awal Islam yang bersandar pada hijrah dan hubungan pertemanan. Di mana di dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa hubungan kerabat dan saudara sedarah lebih diutamakan dari hubungan-hubungan selainnya. Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menjadikan wasiat menyambung silaturahmi bersandingan dengan wasiat untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfiman, وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1) Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menyambung tali silaturahmi setelah memerintahkan kita untuk bertakwa. Hal ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa menyambung silaturahmi merupakan buah dan hasil serta keberkahan takwa kita kepada Allah Ta’ala, menunjukkan juga jujurnya keimanan kita kepada Allah Ta’ala. Mereka yang senantiasa menyambung tali silaturahmi dan menjaga hubungan kekerabatan dengan sanak keluarganya adalah orang yang paling sempurna imannya serta paling sempurna ketakwaannya. Sebagaimana hal ini disebutkan di dalam hadis yang sahih, ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 6138 dan Muslim no. 47) Tidak mengherankan juga jika Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi muslim yang paling perhatian terhadap kerabat dekat dan keluarganya, karena beliaulah hamba Allah yang paling bertakwa. Pada permulaan turunnya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengemukakan kepada Khadijah akan rasa khawatir terhadap dirinya sendiri atas apa yang terjadi kepada beliau dari turunnya wahyu yang sangat berat ini. Maka Khadijah radhiyallahu ‘anha mengatakan kepada beliau, كَلَّا، أبْشِرْ، فَوَاللَّهِ لا يُخْزِيكَ اللَّهُ أبَدًا؛ إنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وتَصْدُقُ الحَدِيثَ، وتَحْمِلُ الكَلَّ، وتَقْرِي الضَّيْفَ، وتُعِينُ علَى نَوَائِبِ الحَقِّ “Tidak. Bergembiralah engkau. Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar seorang yang senantiasa menyambung silaturahmi, seorang yang jujur kata-katanya, menolong yang lemah, memberi kepada orang yang tak punya, engkau juga memuliakan tamu, dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari no. 6982) Perkara menyambung tali silaturahmi juga merupakan salah satu perkara yang diajarkan dan didakwahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali. Dikisahkan bahwa ketika Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu sedang bersama Kaisar Heraklius, Kaisar Heraklius bertanya kepadanya, “Apa yang diperintahkan olehnya kepada kalian (maksudnya adalah Nabi Muhammad).” Maka Abu Sufyan menjawab, اعْبُدُوا اللَّهَ وحْدَهُ ولَا تُشْرِكُوا به شيئًا، واتْرُكُوا ما يقولُ آبَاؤُكُمْ، ويَأْمُرُنَا بالصَّلَاةِ والزَّكَاةِ والصِّدْقِ والعَفَافِ والصِّلَةِ “(Dia menyuruh kami), ‘Sembahlah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, dan tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian. (Dia juga memerintahkan kami untuk) menegakkan salat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan, dan menyambung silaturahmi.’” (HR. Bukhari no. 7) Baca juga: Utang Bisa Menjadi Pemutus Silaturahmi dan Pertemanan Ancaman bagi seseorang yang memutus hubungan silaturahmi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memotivasi umatnya untuk menyambung tali silaturahmi serta mengancam dan mengingatkan mereka dari bahaya memutusnya. Nabi ingatkan mereka bahwa akibat buruk dari memutus silaturahmi begitu cepatnya sampai kepada pelakunya. Beliau bersabda, مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ مِنَ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ “Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukumannya bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada al-baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902) Di hadis yang lain disebutkan, إِنَّ الرَّحِمَ شَجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَقَالَ اللَّهُ مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ “Sesungguhnya, penamaan rahim itu diambil dari (nama Allah) Ar-Rahman, lalu Allah berfirman, ‘Barangsiapa menyambungmu, maka Akupun menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskanmu, maka Aku pun akan memutuskannya.'” (HR. Bukhari no. 5988) Dalam riwayat Muslim, dikisahkan dengan lebih lengkap, إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا  “Sesungguhnya Allah Ta’alalah yang menciptakan seluruh makhluk. Setelah Allah ‘Azza Wajalla menciptakan semua makhluk tersebut, maka rahim pun berdiri sambil berkata, ‘Inikah tempat bagi yang berlindung dari terputusnya silaturahmi (Menyambung silaturahim)?’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Benar. Tidakkah kamu rela bahwasanya Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu?’ Rahim menjawab, ‘Tentu.’ Allah berfirman, ‘ltulah yang kamu miliki (apa yang aku sebutkan tadi itulah yang akan aku perbuat).’ Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika kamu mau, maka bacalah ayat berikut ini, ‘Maka, apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka serta dibutakan penglihatan mereka. Maka, apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?’ (QS. Muhammad 22-24).” (HR. Muslim no. 2554) Allah Ta’ala memberikan jaminan bagi siapa saja yang menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabat dekatnya, menjamin rezeki mereka dan keberkahan hidup mereka. Allah Ta’ala juga mengancam siapa pun yang memutus hubungan silaturahmi dengan saudara dan kerabatnya, bahwa Allah juga akan memutus hubungannya dengan orang tersebut. Sungguh, hadis dan ayat tersebut menjelaskan kepada kita betapa besarnya perhatian Allah dan Nabi-Nya terhadap perkara menyambung silaturahmi ini, baik itu dengan saling berkunjung, memberikan hadiah, ataupun memenuhi kebutuhan kerabat dan saudara kita yang membutuhkan. Lebaran, momentum terbaik untuk bersilaturahmi Tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan dan adat lebaran di negeri kita merupakan salah satu kesempatan besar untuk menyambung silaturahmi dengan keluarga kita, orang tua kita, dan sanak keluarga kita. Adanya kesempatan liburan secara serempak serta kebiasaan untuk mudik ke kampung halaman, semuanya itu memudahkan kita untuk bisa menyambung silaturahmi. Marilah kita manfaatkan momentum lebaran dan bulan Syawal ini untuk meraih keutamaan yang besar dari menyambung silaturahmi. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ “Belajarlah tentang nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturahmi karena silaturahmi itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 8855 dan Tirmidzi no. 1979) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahminya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5985 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7571) Belum lagi, menyambung silaturahmi adalah salah satu sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Sahabat Abu Ayub Al-Ansari radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga.’ Orang-orang pun berkata, ‘Ada apa dengan orang ini? Ada apa dengan orang ini?’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أرَبٌ ما له، تَعْبُدُ اللَّهَ ولَا تُشْرِكُ به شيئًا، وتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وتُؤْتي الزَّكَاةَ، وتَصِلُ الرَّحِمَ. ‘Biarkanlah urusan orang ini.’ (Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya), ‘Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan salat, dan membayar zakat, serta menjalin tali silaturahmi.’” (HR. Bukhari no. 1396) Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Salah Kaprah Memaknai Silaturahim *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: silaturahmi
Daftar Isi Toggle Ancaman bagi seseorang yang memutus hubungan silaturahmiLebaran, momentum terbaik untuk bersilaturahmi Dalam Islam, silaturahmi memiliki kedudukan yang agung dan bahkan lebih didahulukan dari amal-amal kebaikan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin.” (QS. Al-Ahzab: 6) Ayat ini merupakan ayat yang menghapus hukum warisan pada awal Islam yang bersandar pada hijrah dan hubungan pertemanan. Di mana di dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa hubungan kerabat dan saudara sedarah lebih diutamakan dari hubungan-hubungan selainnya. Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menjadikan wasiat menyambung silaturahmi bersandingan dengan wasiat untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfiman, وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1) Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menyambung tali silaturahmi setelah memerintahkan kita untuk bertakwa. Hal ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa menyambung silaturahmi merupakan buah dan hasil serta keberkahan takwa kita kepada Allah Ta’ala, menunjukkan juga jujurnya keimanan kita kepada Allah Ta’ala. Mereka yang senantiasa menyambung tali silaturahmi dan menjaga hubungan kekerabatan dengan sanak keluarganya adalah orang yang paling sempurna imannya serta paling sempurna ketakwaannya. Sebagaimana hal ini disebutkan di dalam hadis yang sahih, ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 6138 dan Muslim no. 47) Tidak mengherankan juga jika Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi muslim yang paling perhatian terhadap kerabat dekat dan keluarganya, karena beliaulah hamba Allah yang paling bertakwa. Pada permulaan turunnya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengemukakan kepada Khadijah akan rasa khawatir terhadap dirinya sendiri atas apa yang terjadi kepada beliau dari turunnya wahyu yang sangat berat ini. Maka Khadijah radhiyallahu ‘anha mengatakan kepada beliau, كَلَّا، أبْشِرْ، فَوَاللَّهِ لا يُخْزِيكَ اللَّهُ أبَدًا؛ إنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وتَصْدُقُ الحَدِيثَ، وتَحْمِلُ الكَلَّ، وتَقْرِي الضَّيْفَ، وتُعِينُ علَى نَوَائِبِ الحَقِّ “Tidak. Bergembiralah engkau. Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar seorang yang senantiasa menyambung silaturahmi, seorang yang jujur kata-katanya, menolong yang lemah, memberi kepada orang yang tak punya, engkau juga memuliakan tamu, dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari no. 6982) Perkara menyambung tali silaturahmi juga merupakan salah satu perkara yang diajarkan dan didakwahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali. Dikisahkan bahwa ketika Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu sedang bersama Kaisar Heraklius, Kaisar Heraklius bertanya kepadanya, “Apa yang diperintahkan olehnya kepada kalian (maksudnya adalah Nabi Muhammad).” Maka Abu Sufyan menjawab, اعْبُدُوا اللَّهَ وحْدَهُ ولَا تُشْرِكُوا به شيئًا، واتْرُكُوا ما يقولُ آبَاؤُكُمْ، ويَأْمُرُنَا بالصَّلَاةِ والزَّكَاةِ والصِّدْقِ والعَفَافِ والصِّلَةِ “(Dia menyuruh kami), ‘Sembahlah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, dan tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian. (Dia juga memerintahkan kami untuk) menegakkan salat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan, dan menyambung silaturahmi.’” (HR. Bukhari no. 7) Baca juga: Utang Bisa Menjadi Pemutus Silaturahmi dan Pertemanan Ancaman bagi seseorang yang memutus hubungan silaturahmi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memotivasi umatnya untuk menyambung tali silaturahmi serta mengancam dan mengingatkan mereka dari bahaya memutusnya. Nabi ingatkan mereka bahwa akibat buruk dari memutus silaturahmi begitu cepatnya sampai kepada pelakunya. Beliau bersabda, مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ مِنَ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ “Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukumannya bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada al-baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902) Di hadis yang lain disebutkan, إِنَّ الرَّحِمَ شَجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَقَالَ اللَّهُ مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ “Sesungguhnya, penamaan rahim itu diambil dari (nama Allah) Ar-Rahman, lalu Allah berfirman, ‘Barangsiapa menyambungmu, maka Akupun menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskanmu, maka Aku pun akan memutuskannya.'” (HR. Bukhari no. 5988) Dalam riwayat Muslim, dikisahkan dengan lebih lengkap, إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا  “Sesungguhnya Allah Ta’alalah yang menciptakan seluruh makhluk. Setelah Allah ‘Azza Wajalla menciptakan semua makhluk tersebut, maka rahim pun berdiri sambil berkata, ‘Inikah tempat bagi yang berlindung dari terputusnya silaturahmi (Menyambung silaturahim)?’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Benar. Tidakkah kamu rela bahwasanya Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu?’ Rahim menjawab, ‘Tentu.’ Allah berfirman, ‘ltulah yang kamu miliki (apa yang aku sebutkan tadi itulah yang akan aku perbuat).’ Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika kamu mau, maka bacalah ayat berikut ini, ‘Maka, apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka serta dibutakan penglihatan mereka. Maka, apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?’ (QS. Muhammad 22-24).” (HR. Muslim no. 2554) Allah Ta’ala memberikan jaminan bagi siapa saja yang menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabat dekatnya, menjamin rezeki mereka dan keberkahan hidup mereka. Allah Ta’ala juga mengancam siapa pun yang memutus hubungan silaturahmi dengan saudara dan kerabatnya, bahwa Allah juga akan memutus hubungannya dengan orang tersebut. Sungguh, hadis dan ayat tersebut menjelaskan kepada kita betapa besarnya perhatian Allah dan Nabi-Nya terhadap perkara menyambung silaturahmi ini, baik itu dengan saling berkunjung, memberikan hadiah, ataupun memenuhi kebutuhan kerabat dan saudara kita yang membutuhkan. Lebaran, momentum terbaik untuk bersilaturahmi Tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan dan adat lebaran di negeri kita merupakan salah satu kesempatan besar untuk menyambung silaturahmi dengan keluarga kita, orang tua kita, dan sanak keluarga kita. Adanya kesempatan liburan secara serempak serta kebiasaan untuk mudik ke kampung halaman, semuanya itu memudahkan kita untuk bisa menyambung silaturahmi. Marilah kita manfaatkan momentum lebaran dan bulan Syawal ini untuk meraih keutamaan yang besar dari menyambung silaturahmi. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ “Belajarlah tentang nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturahmi karena silaturahmi itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 8855 dan Tirmidzi no. 1979) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahminya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5985 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7571) Belum lagi, menyambung silaturahmi adalah salah satu sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Sahabat Abu Ayub Al-Ansari radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga.’ Orang-orang pun berkata, ‘Ada apa dengan orang ini? Ada apa dengan orang ini?’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أرَبٌ ما له، تَعْبُدُ اللَّهَ ولَا تُشْرِكُ به شيئًا، وتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وتُؤْتي الزَّكَاةَ، وتَصِلُ الرَّحِمَ. ‘Biarkanlah urusan orang ini.’ (Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya), ‘Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan salat, dan membayar zakat, serta menjalin tali silaturahmi.’” (HR. Bukhari no. 1396) Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Salah Kaprah Memaknai Silaturahim *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: silaturahmi


Daftar Isi Toggle Ancaman bagi seseorang yang memutus hubungan silaturahmiLebaran, momentum terbaik untuk bersilaturahmi Dalam Islam, silaturahmi memiliki kedudukan yang agung dan bahkan lebih didahulukan dari amal-amal kebaikan lainnya. Allah Ta’ala berfirman, وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin.” (QS. Al-Ahzab: 6) Ayat ini merupakan ayat yang menghapus hukum warisan pada awal Islam yang bersandar pada hijrah dan hubungan pertemanan. Di mana di dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa hubungan kerabat dan saudara sedarah lebih diutamakan dari hubungan-hubungan selainnya. Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menjadikan wasiat menyambung silaturahmi bersandingan dengan wasiat untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfiman, وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1) Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menyambung tali silaturahmi setelah memerintahkan kita untuk bertakwa. Hal ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa menyambung silaturahmi merupakan buah dan hasil serta keberkahan takwa kita kepada Allah Ta’ala, menunjukkan juga jujurnya keimanan kita kepada Allah Ta’ala. Mereka yang senantiasa menyambung tali silaturahmi dan menjaga hubungan kekerabatan dengan sanak keluarganya adalah orang yang paling sempurna imannya serta paling sempurna ketakwaannya. Sebagaimana hal ini disebutkan di dalam hadis yang sahih, ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari no. 6138 dan Muslim no. 47) Tidak mengherankan juga jika Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi muslim yang paling perhatian terhadap kerabat dekat dan keluarganya, karena beliaulah hamba Allah yang paling bertakwa. Pada permulaan turunnya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengemukakan kepada Khadijah akan rasa khawatir terhadap dirinya sendiri atas apa yang terjadi kepada beliau dari turunnya wahyu yang sangat berat ini. Maka Khadijah radhiyallahu ‘anha mengatakan kepada beliau, كَلَّا، أبْشِرْ، فَوَاللَّهِ لا يُخْزِيكَ اللَّهُ أبَدًا؛ إنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وتَصْدُقُ الحَدِيثَ، وتَحْمِلُ الكَلَّ، وتَقْرِي الضَّيْفَ، وتُعِينُ علَى نَوَائِبِ الحَقِّ “Tidak. Bergembiralah engkau. Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar seorang yang senantiasa menyambung silaturahmi, seorang yang jujur kata-katanya, menolong yang lemah, memberi kepada orang yang tak punya, engkau juga memuliakan tamu, dan membela kebenaran.” (HR. Bukhari no. 6982) Perkara menyambung tali silaturahmi juga merupakan salah satu perkara yang diajarkan dan didakwahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali. Dikisahkan bahwa ketika Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu sedang bersama Kaisar Heraklius, Kaisar Heraklius bertanya kepadanya, “Apa yang diperintahkan olehnya kepada kalian (maksudnya adalah Nabi Muhammad).” Maka Abu Sufyan menjawab, اعْبُدُوا اللَّهَ وحْدَهُ ولَا تُشْرِكُوا به شيئًا، واتْرُكُوا ما يقولُ آبَاؤُكُمْ، ويَأْمُرُنَا بالصَّلَاةِ والزَّكَاةِ والصِّدْقِ والعَفَافِ والصِّلَةِ “(Dia menyuruh kami), ‘Sembahlah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, dan tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian. (Dia juga memerintahkan kami untuk) menegakkan salat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan, dan menyambung silaturahmi.’” (HR. Bukhari no. 7) Baca juga: Utang Bisa Menjadi Pemutus Silaturahmi dan Pertemanan Ancaman bagi seseorang yang memutus hubungan silaturahmi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memotivasi umatnya untuk menyambung tali silaturahmi serta mengancam dan mengingatkan mereka dari bahaya memutusnya. Nabi ingatkan mereka bahwa akibat buruk dari memutus silaturahmi begitu cepatnya sampai kepada pelakunya. Beliau bersabda, مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ مِنَ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ “Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukumannya bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allah siapkan baginya di akhirat daripada al-baghyu (kezaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 29; Tirmidzi no. 2511; Abu Dawud no. 4902) Di hadis yang lain disebutkan, إِنَّ الرَّحِمَ شَجْنَةٌ مِنْ الرَّحْمَنِ فَقَالَ اللَّهُ مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ “Sesungguhnya, penamaan rahim itu diambil dari (nama Allah) Ar-Rahman, lalu Allah berfirman, ‘Barangsiapa menyambungmu, maka Akupun menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskanmu, maka Aku pun akan memutuskannya.'” (HR. Bukhari no. 5988) Dalam riwayat Muslim, dikisahkan dengan lebih lengkap, إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا  “Sesungguhnya Allah Ta’alalah yang menciptakan seluruh makhluk. Setelah Allah ‘Azza Wajalla menciptakan semua makhluk tersebut, maka rahim pun berdiri sambil berkata, ‘Inikah tempat bagi yang berlindung dari terputusnya silaturahmi (Menyambung silaturahim)?’ Allah Ta’ala menjawab, ‘Benar. Tidakkah kamu rela bahwasanya Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu?’ Rahim menjawab, ‘Tentu.’ Allah berfirman, ‘ltulah yang kamu miliki (apa yang aku sebutkan tadi itulah yang akan aku perbuat).’ Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika kamu mau, maka bacalah ayat berikut ini, ‘Maka, apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka serta dibutakan penglihatan mereka. Maka, apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?’ (QS. Muhammad 22-24).” (HR. Muslim no. 2554) Allah Ta’ala memberikan jaminan bagi siapa saja yang menjaga hubungan silaturahmi dengan kerabat dekatnya, menjamin rezeki mereka dan keberkahan hidup mereka. Allah Ta’ala juga mengancam siapa pun yang memutus hubungan silaturahmi dengan saudara dan kerabatnya, bahwa Allah juga akan memutus hubungannya dengan orang tersebut. Sungguh, hadis dan ayat tersebut menjelaskan kepada kita betapa besarnya perhatian Allah dan Nabi-Nya terhadap perkara menyambung silaturahmi ini, baik itu dengan saling berkunjung, memberikan hadiah, ataupun memenuhi kebutuhan kerabat dan saudara kita yang membutuhkan. Lebaran, momentum terbaik untuk bersilaturahmi Tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan dan adat lebaran di negeri kita merupakan salah satu kesempatan besar untuk menyambung silaturahmi dengan keluarga kita, orang tua kita, dan sanak keluarga kita. Adanya kesempatan liburan secara serempak serta kebiasaan untuk mudik ke kampung halaman, semuanya itu memudahkan kita untuk bisa menyambung silaturahmi. Marilah kita manfaatkan momentum lebaran dan bulan Syawal ini untuk meraih keutamaan yang besar dari menyambung silaturahmi. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ “Belajarlah tentang nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturahmi karena silaturahmi itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” (HR. Ahmad no. 8855 dan Tirmidzi no. 1979) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menyambung silaturahminya (dengan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5985 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7571) Belum lagi, menyambung silaturahmi adalah salah satu sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Sahabat Abu Ayub Al-Ansari radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga.’ Orang-orang pun berkata, ‘Ada apa dengan orang ini? Ada apa dengan orang ini?’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أرَبٌ ما له، تَعْبُدُ اللَّهَ ولَا تُشْرِكُ به شيئًا، وتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وتُؤْتي الزَّكَاةَ، وتَصِلُ الرَّحِمَ. ‘Biarkanlah urusan orang ini.’ (Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya), ‘Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan salat, dan membayar zakat, serta menjalin tali silaturahmi.’” (HR. Bukhari no. 1396) Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Salah Kaprah Memaknai Silaturahim *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: silaturahmi

Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya

Ingatlah, setiap penyakit pasti ada obatnya. Coba perhatikan penjelasan dari Imam Ibnul Qayyim di awal-awal kitab Al-Jawaabul Kaafi berikut ini. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah suatu ketika mendapatkan pertanyaan, “Apa nasihat dan saran para ulama, semoga Allah meridai mereka, kepada seseorang yang tengah ditimpa suatu cobaan dan orang itu menyadari apabila cobaan itu terus berlangsung, maka akan rusak dunia dan akhiratnya. Orang ini telah berusaha dengan segala daya dan upaya untuk menanggulanginya. Namun, cobaan tersebut justru bertambah parah dan kian menjadi-jadi. Bagaimanakah cara menghindari dan menyingkirkan cobaan itu? Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang mengulurkan pertolongan untuk membantu sesamanya yang tengah tertimpa bencana. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Berilah fatwa kepada kami, semoga Allah memberikan rahmat dan ganjaran-Nya kepada Anda.” Beliau kemudian menuliskan jawaban: Alhamdulillah. Amma ba’du. Dalam Shahih Al-Bukhari tercantum sebuah hadits yang dikutip dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ًمَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاء “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari, no. 5354) Disebutkan juga dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah, ia menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِلِكُلِّ دَاءِ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِاِذْنِ الله  “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim, no. 2204) Disebutkan pula dalam Musnad Imam Ahmad, dari Usamah bin Syarik, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُإِنَّ اللهَ لَمْ يُنْزِل دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَه “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya. Ini diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lain.” (HR. Ahmad, 4:278, Sanad hadits ini sahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, juga ada hadits dari Ibnu Mas’ud) Dalam lafaz lain disebutkan, إن الله لم يضع داء إلا وضع له شفاء أو دواء إلا داء واحدا قالوا يا رسول الله ما هو قال الهرم “Sungguh, Allah tidak meletakkan penyakit, melainkan Allah juga meletakkan obatnya, kecuali satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Penyakit apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, hasan sahih) Dalil-dalil tersebut mencakup semua penyakit yang terdapat di hati, ruh, dan badan. Ia mencakup semua obat dari tiap-tiap penyakit tersebut. Sebagai contoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan bahwa kebodohan adalah suatu penyakit. Lalu beliau menjelaskan bahwa obatnya adalah bertanya kepada ulama. Abu Daud dalam kitab Sunan-nya mencantumkan sebuah hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengisahkan, “Kami pernah mengadakan suatu perjalanan. Pada saat itu, salah seorang dari kami tertimpa batu sehingga kepalanya terluka parah. Kemudian, orang itu mengalami mimpi basah. Ia bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah menurut kalian aku telah mendapatkan keringanan untuk bertayamum (sebagai pengganti mandi)?” Mereka menjawab, “Menurut kami, kamu tidak mendapatkan keringanan. Sebab, kamu masih bisa memakai air.” Ia pun mandi lantas meninggal dunia. Ketika kami mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahu hal tersebut, lalu beliau berseru, قتلوه قتلهم الله إلا سألوا إذ لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصر أو يعصب على جرحه بخرقة ثم يمسح عليها ويغسل سائر جسده “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka! Mengapa mereka tidak bertanya bila tidak mengetahui? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya. Seharusnya ia cukup bertayamum saja, caranya dengan menutupi bagian yang luka tersebut dengan secarik kain, lalu mengusap atasnya, baru kemudian mengguyur anggota tubuhnya yang lain dengan air.” (HR. Abu Daud, no. 336, haditsnya hasan sebagaimana kata Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) أن الجهل داء وأن شفاءه السؤال  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kebodohan adalah penyakit. Obat dari kebodohan adalah bertanya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 11-12.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat Jangan-Jangan Kita Terjangkit Penyakit Cinta Dunia, Ini Tandanya – Rabu pagi, 8 Syawal 1445 H, 17 April 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit solusi masalah hidup

Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya

Ingatlah, setiap penyakit pasti ada obatnya. Coba perhatikan penjelasan dari Imam Ibnul Qayyim di awal-awal kitab Al-Jawaabul Kaafi berikut ini. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah suatu ketika mendapatkan pertanyaan, “Apa nasihat dan saran para ulama, semoga Allah meridai mereka, kepada seseorang yang tengah ditimpa suatu cobaan dan orang itu menyadari apabila cobaan itu terus berlangsung, maka akan rusak dunia dan akhiratnya. Orang ini telah berusaha dengan segala daya dan upaya untuk menanggulanginya. Namun, cobaan tersebut justru bertambah parah dan kian menjadi-jadi. Bagaimanakah cara menghindari dan menyingkirkan cobaan itu? Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang mengulurkan pertolongan untuk membantu sesamanya yang tengah tertimpa bencana. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Berilah fatwa kepada kami, semoga Allah memberikan rahmat dan ganjaran-Nya kepada Anda.” Beliau kemudian menuliskan jawaban: Alhamdulillah. Amma ba’du. Dalam Shahih Al-Bukhari tercantum sebuah hadits yang dikutip dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ًمَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاء “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari, no. 5354) Disebutkan juga dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah, ia menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِلِكُلِّ دَاءِ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِاِذْنِ الله  “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim, no. 2204) Disebutkan pula dalam Musnad Imam Ahmad, dari Usamah bin Syarik, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُإِنَّ اللهَ لَمْ يُنْزِل دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَه “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya. Ini diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lain.” (HR. Ahmad, 4:278, Sanad hadits ini sahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, juga ada hadits dari Ibnu Mas’ud) Dalam lafaz lain disebutkan, إن الله لم يضع داء إلا وضع له شفاء أو دواء إلا داء واحدا قالوا يا رسول الله ما هو قال الهرم “Sungguh, Allah tidak meletakkan penyakit, melainkan Allah juga meletakkan obatnya, kecuali satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Penyakit apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, hasan sahih) Dalil-dalil tersebut mencakup semua penyakit yang terdapat di hati, ruh, dan badan. Ia mencakup semua obat dari tiap-tiap penyakit tersebut. Sebagai contoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan bahwa kebodohan adalah suatu penyakit. Lalu beliau menjelaskan bahwa obatnya adalah bertanya kepada ulama. Abu Daud dalam kitab Sunan-nya mencantumkan sebuah hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengisahkan, “Kami pernah mengadakan suatu perjalanan. Pada saat itu, salah seorang dari kami tertimpa batu sehingga kepalanya terluka parah. Kemudian, orang itu mengalami mimpi basah. Ia bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah menurut kalian aku telah mendapatkan keringanan untuk bertayamum (sebagai pengganti mandi)?” Mereka menjawab, “Menurut kami, kamu tidak mendapatkan keringanan. Sebab, kamu masih bisa memakai air.” Ia pun mandi lantas meninggal dunia. Ketika kami mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahu hal tersebut, lalu beliau berseru, قتلوه قتلهم الله إلا سألوا إذ لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصر أو يعصب على جرحه بخرقة ثم يمسح عليها ويغسل سائر جسده “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka! Mengapa mereka tidak bertanya bila tidak mengetahui? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya. Seharusnya ia cukup bertayamum saja, caranya dengan menutupi bagian yang luka tersebut dengan secarik kain, lalu mengusap atasnya, baru kemudian mengguyur anggota tubuhnya yang lain dengan air.” (HR. Abu Daud, no. 336, haditsnya hasan sebagaimana kata Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) أن الجهل داء وأن شفاءه السؤال  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kebodohan adalah penyakit. Obat dari kebodohan adalah bertanya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 11-12.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat Jangan-Jangan Kita Terjangkit Penyakit Cinta Dunia, Ini Tandanya – Rabu pagi, 8 Syawal 1445 H, 17 April 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit solusi masalah hidup
Ingatlah, setiap penyakit pasti ada obatnya. Coba perhatikan penjelasan dari Imam Ibnul Qayyim di awal-awal kitab Al-Jawaabul Kaafi berikut ini. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah suatu ketika mendapatkan pertanyaan, “Apa nasihat dan saran para ulama, semoga Allah meridai mereka, kepada seseorang yang tengah ditimpa suatu cobaan dan orang itu menyadari apabila cobaan itu terus berlangsung, maka akan rusak dunia dan akhiratnya. Orang ini telah berusaha dengan segala daya dan upaya untuk menanggulanginya. Namun, cobaan tersebut justru bertambah parah dan kian menjadi-jadi. Bagaimanakah cara menghindari dan menyingkirkan cobaan itu? Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang mengulurkan pertolongan untuk membantu sesamanya yang tengah tertimpa bencana. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Berilah fatwa kepada kami, semoga Allah memberikan rahmat dan ganjaran-Nya kepada Anda.” Beliau kemudian menuliskan jawaban: Alhamdulillah. Amma ba’du. Dalam Shahih Al-Bukhari tercantum sebuah hadits yang dikutip dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ًمَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاء “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari, no. 5354) Disebutkan juga dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah, ia menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِلِكُلِّ دَاءِ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِاِذْنِ الله  “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim, no. 2204) Disebutkan pula dalam Musnad Imam Ahmad, dari Usamah bin Syarik, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُإِنَّ اللهَ لَمْ يُنْزِل دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَه “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya. Ini diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lain.” (HR. Ahmad, 4:278, Sanad hadits ini sahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, juga ada hadits dari Ibnu Mas’ud) Dalam lafaz lain disebutkan, إن الله لم يضع داء إلا وضع له شفاء أو دواء إلا داء واحدا قالوا يا رسول الله ما هو قال الهرم “Sungguh, Allah tidak meletakkan penyakit, melainkan Allah juga meletakkan obatnya, kecuali satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Penyakit apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, hasan sahih) Dalil-dalil tersebut mencakup semua penyakit yang terdapat di hati, ruh, dan badan. Ia mencakup semua obat dari tiap-tiap penyakit tersebut. Sebagai contoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan bahwa kebodohan adalah suatu penyakit. Lalu beliau menjelaskan bahwa obatnya adalah bertanya kepada ulama. Abu Daud dalam kitab Sunan-nya mencantumkan sebuah hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengisahkan, “Kami pernah mengadakan suatu perjalanan. Pada saat itu, salah seorang dari kami tertimpa batu sehingga kepalanya terluka parah. Kemudian, orang itu mengalami mimpi basah. Ia bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah menurut kalian aku telah mendapatkan keringanan untuk bertayamum (sebagai pengganti mandi)?” Mereka menjawab, “Menurut kami, kamu tidak mendapatkan keringanan. Sebab, kamu masih bisa memakai air.” Ia pun mandi lantas meninggal dunia. Ketika kami mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahu hal tersebut, lalu beliau berseru, قتلوه قتلهم الله إلا سألوا إذ لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصر أو يعصب على جرحه بخرقة ثم يمسح عليها ويغسل سائر جسده “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka! Mengapa mereka tidak bertanya bila tidak mengetahui? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya. Seharusnya ia cukup bertayamum saja, caranya dengan menutupi bagian yang luka tersebut dengan secarik kain, lalu mengusap atasnya, baru kemudian mengguyur anggota tubuhnya yang lain dengan air.” (HR. Abu Daud, no. 336, haditsnya hasan sebagaimana kata Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) أن الجهل داء وأن شفاءه السؤال  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kebodohan adalah penyakit. Obat dari kebodohan adalah bertanya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 11-12.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat Jangan-Jangan Kita Terjangkit Penyakit Cinta Dunia, Ini Tandanya – Rabu pagi, 8 Syawal 1445 H, 17 April 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit solusi masalah hidup


Ingatlah, setiap penyakit pasti ada obatnya. Coba perhatikan penjelasan dari Imam Ibnul Qayyim di awal-awal kitab Al-Jawaabul Kaafi berikut ini. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah suatu ketika mendapatkan pertanyaan, “Apa nasihat dan saran para ulama, semoga Allah meridai mereka, kepada seseorang yang tengah ditimpa suatu cobaan dan orang itu menyadari apabila cobaan itu terus berlangsung, maka akan rusak dunia dan akhiratnya. Orang ini telah berusaha dengan segala daya dan upaya untuk menanggulanginya. Namun, cobaan tersebut justru bertambah parah dan kian menjadi-jadi. Bagaimanakah cara menghindari dan menyingkirkan cobaan itu? Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang mengulurkan pertolongan untuk membantu sesamanya yang tengah tertimpa bencana. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Berilah fatwa kepada kami, semoga Allah memberikan rahmat dan ganjaran-Nya kepada Anda.” Beliau kemudian menuliskan jawaban: Alhamdulillah. Amma ba’du. Dalam Shahih Al-Bukhari tercantum sebuah hadits yang dikutip dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ًمَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاء “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari, no. 5354) Disebutkan juga dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah, ia menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِلِكُلِّ دَاءِ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِاِذْنِ الله  “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR. Muslim, no. 2204) Disebutkan pula dalam Musnad Imam Ahmad, dari Usamah bin Syarik, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُإِنَّ اللهَ لَمْ يُنْزِل دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَه “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya. Ini diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lain.” (HR. Ahmad, 4:278, Sanad hadits ini sahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, juga ada hadits dari Ibnu Mas’ud) Dalam lafaz lain disebutkan, إن الله لم يضع داء إلا وضع له شفاء أو دواء إلا داء واحدا قالوا يا رسول الله ما هو قال الهرم “Sungguh, Allah tidak meletakkan penyakit, melainkan Allah juga meletakkan obatnya, kecuali satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Penyakit apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, hasan sahih) Dalil-dalil tersebut mencakup semua penyakit yang terdapat di hati, ruh, dan badan. Ia mencakup semua obat dari tiap-tiap penyakit tersebut. Sebagai contoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan bahwa kebodohan adalah suatu penyakit. Lalu beliau menjelaskan bahwa obatnya adalah bertanya kepada ulama. Abu Daud dalam kitab Sunan-nya mencantumkan sebuah hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengisahkan, “Kami pernah mengadakan suatu perjalanan. Pada saat itu, salah seorang dari kami tertimpa batu sehingga kepalanya terluka parah. Kemudian, orang itu mengalami mimpi basah. Ia bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah menurut kalian aku telah mendapatkan keringanan untuk bertayamum (sebagai pengganti mandi)?” Mereka menjawab, “Menurut kami, kamu tidak mendapatkan keringanan. Sebab, kamu masih bisa memakai air.” Ia pun mandi lantas meninggal dunia. Ketika kami mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahu hal tersebut, lalu beliau berseru, قتلوه قتلهم الله إلا سألوا إذ لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصر أو يعصب على جرحه بخرقة ثم يمسح عليها ويغسل سائر جسده “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka! Mengapa mereka tidak bertanya bila tidak mengetahui? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya. Seharusnya ia cukup bertayamum saja, caranya dengan menutupi bagian yang luka tersebut dengan secarik kain, lalu mengusap atasnya, baru kemudian mengguyur anggota tubuhnya yang lain dengan air.” (HR. Abu Daud, no. 336, haditsnya hasan sebagaimana kata Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) أن الجهل داء وأن شفاءه السؤال  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kebodohan adalah penyakit. Obat dari kebodohan adalah bertanya. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 11-12.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat Jangan-Jangan Kita Terjangkit Penyakit Cinta Dunia, Ini Tandanya – Rabu pagi, 8 Syawal 1445 H, 17 April 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit solusi masalah hidup

Laporan Produksi Yufid Bulan Maret 2024

Laporan Produksi Yufid Bulan Maret 2024 Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.766 video dengan total 4.782.214 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam.Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.496 video Total Subscribers: 3.994.152 Total Tayangan Video: 679.898.766 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Maret 2024: 117 video Tayangan Video Maret 2024: 6.169.773 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 401.972 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +26.010 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.328 video Total Subscribers: 302.363 Total Tayangan Video: 21.093.276 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Maret 2024: 33 video Tayangan Video Maret 2024: 131.139 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 7.370 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +1.370 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 85 video Total Subscribers: 431.029 Total Tayangan Video: 130.186.090 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Maret 2024: 0 video Tayangan Video Maret 2024: 2.836.368 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 155.439 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +10.721 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.670 Total Tayangan Video: 458.747 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Maret 2024: 1.769 views Jam Tayang Video Maret 2024: 431 Jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +20 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 585 Total Subscribers: 50.100 Total Tayangan Video: 2.809.494 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Maret 2024: 49.656 views Penambahan Subscribers Maret 2024: +700 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.797 Total Pengikut: 1.155.070 Konten Bulan Maret 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 48 Konten/bulan Penambahan Followers Maret 2024: +10.723 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.706 Total Pengikut: 502.595 Konten Bulan Maret 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 47 Konten/bulan Penambahan Followers Maret 2024: +3.377 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.009 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 14 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.089 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 424 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.250 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.489 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.300 file mp3 dengan total ukuran 383 Gb dan pada bulan Maret 2024 ini telah mempublikasikan 129 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Maret 2024 ini saja telah didengarkan 31.738 kali dan telah di download sebanyak 1.058 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.396.680 kata dengan rata-rata produksi per bulan 51.464 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, project terjemahan ini telah memproduksi 93.039 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.475 artikel dengan total durasi audio 215 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 15 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Maret 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Doa Supaya Mimpi Basah Menurut Islam, Kumpulan Doa Nabi, Hukum Memakai Pensil Alis Menurut Islam, Perguruan Al Hikmah Karomah, Suasana Neraka, Bacaaan Tahiyat Akhir Visited 3 times, 1 visit(s) today Post Views: 279

Laporan Produksi Yufid Bulan Maret 2024

Laporan Produksi Yufid Bulan Maret 2024 Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.766 video dengan total 4.782.214 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam.Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.496 video Total Subscribers: 3.994.152 Total Tayangan Video: 679.898.766 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Maret 2024: 117 video Tayangan Video Maret 2024: 6.169.773 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 401.972 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +26.010 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.328 video Total Subscribers: 302.363 Total Tayangan Video: 21.093.276 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Maret 2024: 33 video Tayangan Video Maret 2024: 131.139 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 7.370 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +1.370 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 85 video Total Subscribers: 431.029 Total Tayangan Video: 130.186.090 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Maret 2024: 0 video Tayangan Video Maret 2024: 2.836.368 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 155.439 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +10.721 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.670 Total Tayangan Video: 458.747 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Maret 2024: 1.769 views Jam Tayang Video Maret 2024: 431 Jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +20 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 585 Total Subscribers: 50.100 Total Tayangan Video: 2.809.494 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Maret 2024: 49.656 views Penambahan Subscribers Maret 2024: +700 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.797 Total Pengikut: 1.155.070 Konten Bulan Maret 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 48 Konten/bulan Penambahan Followers Maret 2024: +10.723 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.706 Total Pengikut: 502.595 Konten Bulan Maret 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 47 Konten/bulan Penambahan Followers Maret 2024: +3.377 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.009 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 14 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.089 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 424 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.250 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.489 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.300 file mp3 dengan total ukuran 383 Gb dan pada bulan Maret 2024 ini telah mempublikasikan 129 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Maret 2024 ini saja telah didengarkan 31.738 kali dan telah di download sebanyak 1.058 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.396.680 kata dengan rata-rata produksi per bulan 51.464 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, project terjemahan ini telah memproduksi 93.039 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.475 artikel dengan total durasi audio 215 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 15 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Maret 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Doa Supaya Mimpi Basah Menurut Islam, Kumpulan Doa Nabi, Hukum Memakai Pensil Alis Menurut Islam, Perguruan Al Hikmah Karomah, Suasana Neraka, Bacaaan Tahiyat Akhir Visited 3 times, 1 visit(s) today Post Views: 279
Laporan Produksi Yufid Bulan Maret 2024 Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.766 video dengan total 4.782.214 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam.Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV Total Video Yufid.TV: 17.496 video Total Subscribers: 3.994.152 Total Tayangan Video: 679.898.766 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Maret 2024: 117 video Tayangan Video Maret 2024: 6.169.773 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 401.972 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +26.010 Channel YouTube YUFID EDU Total Video Yufid Edu: 2.328 video Total Subscribers: 302.363 Total Tayangan Video: 21.093.276 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Maret 2024: 33 video Tayangan Video Maret 2024: 131.139 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 7.370 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +1.370 Channel YouTube YUFID KIDS Total Video Yufid Kids: 85 video Total Subscribers: 431.029 Total Tayangan Video: 130.186.090 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Maret 2024: 0 video Tayangan Video Maret 2024: 2.836.368 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 155.439 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +10.721 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.670 Total Tayangan Video: 458.747 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Maret 2024: 1.769 views Jam Tayang Video Maret 2024: 431 Jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +20 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 585 Total Subscribers: 50.100 Total Tayangan Video: 2.809.494 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Maret 2024: 49.656 views Penambahan Subscribers Maret 2024: +700 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.797 Total Pengikut: 1.155.070 Konten Bulan Maret 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 48 Konten/bulan Penambahan Followers Maret 2024: +10.723 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.706 Total Pengikut: 502.595 Konten Bulan Maret 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 47 Konten/bulan Penambahan Followers Maret 2024: +3.377 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.009 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 14 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.089 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 424 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.250 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.489 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.300 file mp3 dengan total ukuran 383 Gb dan pada bulan Maret 2024 ini telah mempublikasikan 129 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Maret 2024 ini saja telah didengarkan 31.738 kali dan telah di download sebanyak 1.058 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.396.680 kata dengan rata-rata produksi per bulan 51.464 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, project terjemahan ini telah memproduksi 93.039 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.475 artikel dengan total durasi audio 215 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 15 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Maret 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Doa Supaya Mimpi Basah Menurut Islam, Kumpulan Doa Nabi, Hukum Memakai Pensil Alis Menurut Islam, Perguruan Al Hikmah Karomah, Suasana Neraka, Bacaaan Tahiyat Akhir Visited 3 times, 1 visit(s) today Post Views: 279


Laporan Produksi Yufid Bulan Maret 2024 Bismillahirrohmanirrohim … Yayasan Yufid Network telah berkontribusi selama 15 tahun dalam menyediakan konten pendidikan dan dakwah Islam secara gratis melalui berbagai platform, termasuk channel YouTube seperti Yufid.TV, Yufid EDU, dan Yufid Kids yang telah memproduksi 20.766 video dengan total 4.782.214 subscribers. Yufid juga mengelola situs website dengan lebih dari 10.000 artikel yang tersebar di berbagai platform. Melalui laporan produktivitas bulanan sejak tahun 2022, Yufid memberikan transparansi terhadap projek dan perkembangan timnya, memperkuat keterlibatan pemirsa Yufid dan membangun wadah kreativitas bersama untuk penyebaran dakwah Islam.Yufid telah menjadi kekuatan signifikan dalam memberikan akses luas kepada pengetahuan dan informasi dakwah Islam, mencapai lebih dari 1,5 miliar penayangan di platform YouTube. Dengan komitmen pada misi non-profit kami, Yufid terus memberikan dampak positif dan berusaha untuk terus berkembang sembari mempertahankan transparansi dan keterlibatan pemirsa yang kuat. Channel YouTube YUFID.TV <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/Q_JD6A0XT-SxFr4WSz647t17DZTV3NrVTMRb81K24JKGkrxc2ytW5RXGZZk677m0CCkWlI_EJSRZJjsRZ_qlnQYIwXeR48y-BOQDclJjzL4TO6fluIaTVivZX7fWEVJlkm5PVhxJ_MQzyQw69Oil8IU" alt="" width="512" height="384"/> Total Video Yufid.TV: 17.496 video Total Subscribers: 3.994.152 Total Tayangan Video: 679.898.766 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 111 video Produksi Video Maret 2024: 117 video Tayangan Video Maret 2024: 6.169.773 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 401.972 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +26.010 Channel YouTube YUFID EDU <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/zIM-LXo8dKIBo-4EpaGj-M_247sIyE4ogVR5K11i5TRdtfrrfD97nvZZ-ln2e6Bz2xa8E7FAv0VtwJ3JjUZLlBj0_C1t5E3DZL2sfEy4iI5dck6AuKZt93KzkyCW-fk9m7HvfhSSW7Xl-biTCZ9l4u8" alt="" width="512" height="384"/> Total Video Yufid Edu: 2.328 video Total Subscribers: 302.363 Total Tayangan Video: 21.093.276 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 18 video Produksi Video Maret 2024: 33 video Tayangan Video Maret 2024: 131.139 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 7.370 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +1.370 Channel YouTube YUFID KIDS <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/RbV_8C6irlud0ruQtJzM7FFnQidlJk_BPuqTmBWQrv8i7c1q12J0Ipb7pPTw_1UHl-zhsSi5xVgtAU-q1TmqTjeMa6WqIeYzeCxwtHnjRARjrLzGOH4_wijGWv-GQrEACfItqCEblXDtyyfBuAWwqWI" alt="" width="512" height="384"/> Total Video Yufid Kids: 85 video Total Subscribers: 431.029 Total Tayangan Video: 130.186.090 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 1 video Produksi Video Maret 2024: 0 video Tayangan Video Maret 2024: 2.836.368 views Waktu Tayang Video Maret 2024: 155.439 jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +10.721 Untuk memproduksi video Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya. Channel YouTube Dunia Mengaji  Channel Dunia Mengaji adalah untuk menampung video-video yang secara kualitas pengambilan gambar dan kualitas gambar jauh di bawah standar Yufid.TV, agar konten dakwah tetap bisa dinikmati oleh pemirsa. Total Video: 272 Total Subscribers: 4.670 Total Tayangan Video: 458.747 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 3 video Tayangan Video Maret 2024: 1.769 views Jam Tayang Video Maret 2024: 431 Jam Penambahan Subscribers Maret 2024: +20 Channel YouTube العلم نور  Channel “Al-’Ilmu Nuurun” ini merupakan wadah yang berisi ceramah singkat maupun kajian-kajian panjang dari Masyayikh dari Timur Tengah seperti Syaikh Sulaiman Ar-Ruhayli, Syaikh Utsman Al-Khomis, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al Badr hafidzahumullah dan masih banyak yang lainnya yang full menggunakan bahasa Arab. Cocok disimak para pemirsa Yufid.TV yang sudah menguasai bahasa Arab serta ingin belajar bersama guru-guru kita para alim ulama dari Saudi dan sekitarnya.  Total Video: 585 Total Subscribers: 50.100 Total Tayangan Video: 2.809.494 views Rata-rata Produksi Per Bulan: 7 video Tayangan Video Maret 2024: 49.656 views Penambahan Subscribers Maret 2024: +700 Instagram Yufid TV & Instagram Yufid Network <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/AFB80-wndFBUU5gOrR4VdMDFdUmsPvtLCW8qbzi2v66NYPDfutZMikOSuF7QaoNKfED3pFbKcsZxRp9O4F9rT8bjQzabuAQ7zZlXjDhGg_wLT_5hfgIxH2WFBypuIdw3GRTUbVeFUvnNyF1qjpk1s7k" alt="" width="512" height="384"/> Instagram Yufid.TV Total Konten: 3.797 Total Pengikut: 1.155.070 Konten Bulan Maret 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 48 Konten/bulan Penambahan Followers Maret 2024: +10.723 Instagram Yufid Network Total Konten: 3.706 Total Pengikut: 502.595 Konten Bulan Maret 2024: 44 Rata-Rata Produksi: 47 Konten/bulan Penambahan Followers Maret 2024: +3.377 Pertama kali Yufid memanfaatkan media instagram memiliki nama Yufid Network yaitu sejak tahun 2013, sebelum akhirnya di buatlah akun Yufid.TV pada tahun 2015 agar lebih dikenal seiring dengan berkembangnya channel YouTube Yufid.TV. Mulai tahun 2022, instagram Yufid.TV dan Yufid Network insya Allah akan memposting konten setiap hari minimal 2 postingan, jadi rata-rata dari kedua akun tersebut dapat memproduksi yaitu 60 konten per bulannya. Video Nasehat Ulama Salah satu project yang dikerjakan oleh tim Yufid.TV yaitu video Nasehat Ulama. Video pendek namun penuh dengan faedah berisi penggalan-penggalan nasehat serta jawaban dari pertanyaan kaum muslimin yang disampaikan ulama-ulama terkemuka. <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/J6XQ1Tmw5z4fbKUva13-ACysb75mDX4syYc1gMDnmhm2x2ho5fGdR3KZWiN5jM7bpsZJ3-2IRvbJ2BP1uNMuX3wfQqXqmYuZ5wKdagYGNgW75NcgFx-G53HPT19OhNn7CnkCSqhxnWx-LLAmuY5bYDI" alt="" width="512" height="384"/> Produksi konten Nasehat Ulama bulan ini sedikit menurun dikarenakan tim membuat konten baru dengan konsep berbeda dengan tetap mengambil penggalan-penggalan nasehat para masyaikh berbahasa Arab dalam bentuk shorts YouTube dan reels Instagram. Video Motion Graphic & Yufid Kids Project unggulan lainnya dari Yufid.TV yaitu pembuatan video animasi motion graphic dan video Yufid Kids. Project motion graphic Yufid.TV memproduksi video-video berkualitas yang memadukan antara pemilihan tema yang tepat berupa potongan-potongan nasehat dari para ustadz atau ceramah-ceramah pendek yang diilustrasikan dalam bentuk animasi yang menarik. Sedangkan video Yufid Kids mengemas materi-materi pendidikan untuk anak yang disajikan dengan gambar animasi anak sehingga membuat anak-anak kita lebih bersemangat dalam mempelajarinya. <img decoding="async" src="https://lh7-us.googleusercontent.com/arA-1_9WEhrXYyQoX2zhprq_cv5IeHRWxg3G0GsOES74U6tXnArvc8t-OxlH-pSNmcc5pppWHNEDGXIWR2NBHDGhZJiRIcrWPJfGzWOgr6K0WjBQUqpbA7s23mwdnILlukx-N29rRH28gLlYYG8z-7w" alt="" width="512" height="384"/> Untuk memproduksi video Motion Graphic dan Yufid Kids membutuhkan waktu yang lebih panjang dan pekerjaan yang lebih kompleks, namun sejak awal produksi hingga video dipublikasikan tim tetap bekerja setiap harinya.  Website KonsultasiSyariah.com KonsultasiSyariah.com merupakan sebuah website yang menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah serta keterangan para ulama. Hingga saat ini, website tersebut telah menuliskan 5.009 artikel yang berisi materi-materi permasalahan agama yang telah dijawab oleh para asatidz. Artikel dalam website KonsultasiSyariah.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography dan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 2.025 audio dan rata-rata menghasilkan 23 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Poster Dakwah Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KonsultasiSyariah.com telah mempublikasikan 14 artikel.  Website KisahMuslim.com KisahMuslim.com berisi kumpulan kisah para Nabi dan Rasul, kisah para sahabat Nabi, kisah orang-orang shalih terdahulu, biografi ulama, dan berbagai kisah yang penuh hikmah. Dalam website tersebut sudah ada 1.089 artikel yang banyak kita ambil pelajarannya.  Artikel dalam website KisahMuslim.com juga kami tuangkan ke dalam bentuk audio visual dengan teknik typography serta ilustrasi yang menarik dengan dibantu oleh pengisi suara (voice over) yang telah memproduksi 424 audio dan rata-rata menghasilkan 16 audio per bulan yang siap dimasukkan ke dalam project video Kisah Muslim Yufid.TV.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KisahMuslim.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website KhotbahJumat.com KhotbahJumat.com berisi materi-materi khutbah yang bisa kita gunakan untuk mengisi khotbah pada ibadah shalat Jumat, terdapat 1.250 artikel hingga saat ini, yang sangat bermanfaat untuk para khatib dan da’i yang mengisi khutbah jumat. Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website KhotbahJumat.com telah mempublikasikan 2 artikel.  Website PengusahaMuslim.com PengusahaMuslim.com merupakan sebuah website yang mengupas seluk beluk dunia usaha dan bisnis guna membantu terbentuknya pengusaha muslim baik secara ekonomi maupun agamanya, yang pada akhirnya menjadi kesatuan kuat dalam memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dan memajukan perekonomian Indonesia. Terdapat 2.489 artikel dalam website tersebut yang dapat membantu Anda menjadi seorang pengusaha yang sukses, tidak hanya di dunia, namun kesuksesan tersebut abadi hingga ke negeri akhirat.  Dalam sebulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, website PengusahaMuslim.com telah mempublikasikan 1 artikel. *Tim artikel Yufid yang terdiri dari penulis, penerjemah, editor, dan admin website menyiapkan konten untuk seluruh website yang dikelola oleh Yufid secara bergantian.  Website Kajian.net Kajian.net adalah situs koleksi audio ceramah berbahasa Indonesia terlengkap dari ustadz-ustadz Ahlussunnah wal Jamaah, audio bacaan doa dan hadits berformat mp3, serta software islami dan e-Book kitab-kitab para ulama besar.  Total audio yang tersedia dalam website kajian.net yaitu 28.300 file mp3 dengan total ukuran 383 Gb dan pada bulan Maret 2024 ini telah mempublikasikan 129 file mp3.  Website Kajian.net bercita-cita sebagai gudang podcast kumpulan audio MP3 ceramah terlengkap yang dapat di download secara gratis dengan harapan dapat memudahkan Anda belajar hukum agama Islam dan aqidah Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman salafush sholeh. Kami juga rutin mengupload audio MP3 seluruh kajian Yufid ke platform SoundCloud, Anda dapat mengaksesnya melalui https://soundcloud.com/kajiannet, yang pada bulan Maret 2024 ini saja telah didengarkan 31.738 kali dan telah di download sebanyak 1.058 file audio.  Project Terjemahan Project ini bertujuan menerjemahkan konten dakwah, baik itu artikel, buku, dan ceramah para ulama. Konten dakwah yang aslinya berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, konten yang sudah diterjemahkan tersebut diolah kembali menjadi konten video, mp3, e-book, dan artikel di website. Sejak memulai project ini pada tahun 2018, tim penerjemah Yufid telah menerjemahkan 3.396.680 kata dengan rata-rata produksi per bulan 51.464 kata. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, project terjemahan ini telah memproduksi 93.039 kata.  Perekaman Artikel Menjadi Audio Program ini adalah merekam seluruh artikel yang dipublikasikan di website-website Yufid seperti KonsultasiSyariah.com, PengusahaMuslim.com dan KisahMuslim.com ke dalam bentuk audio. Program ini bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin mengakses konten dakwah dalam bentuk audio, terutama bagi mereka yang sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk membaca artikel. Mereka dapat mendengarkan audio yang sudah Yufid rekam sambil mereka beraktivitas, semisal di kendaraan, sambil bekerja, berolahraga, dan lain-lain. Total artikel yang sudah direkam dalam format audio sejak pertama dimulai program ini tahun 2017 yaitu 2.475 artikel dengan total durasi audio 215 jam dengan rata-rata perekaman 32 artikel per bulan. Dalam 1 bulan terakhir yaitu bulan Maret 2024, perekaman audio yang telah diproduksi yaitu 15 artikel.  Pengelolaan Server Yufid mengelola tujuh server yang di dalamnya berisi website-website dakwah, ada server khusus untuk website Yufid, website yang telah dijelaskan pada point-point diatas hanya sebagian kecil dari website yang kami kelola, yaitu berTotal 29 website dalam satu server tersebut. Selain itu terdapat juga website para ulama yang diletakkan di server yang berbeda dari server Yufid, ada pula website-website dakwah, streaming radio dll. Dari ketujuh server yang Yufid kelola kurang lebih terdapat 107 website yang masih aktif hingga saat ini. Demikian telah kami sampaikan laporan produksi Yufid Network pada bulan Maret 2024. Wallahu a’lam… Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, walhamdulillahi rabbil ‘alamin. 🔍 Doa Supaya Mimpi Basah Menurut Islam, Kumpulan Doa Nabi, Hukum Memakai Pensil Alis Menurut Islam, Perguruan Al Hikmah Karomah, Suasana Neraka, Bacaaan Tahiyat Akhir Visited 3 times, 1 visit(s) today Post Views: 279

Buah Manis Ramadan

Daftar Isi Toggle Sikap terhadap amal ibadah yang telah ditunaikanTanda Allah menerima amal seseorangBuah manis Ramadan Ramadan adalah sebuah wadah pembentukan jiwa dan kualitas diri seorang muslim. Ibarat perguruan tinggi dengan mahasiswa yang dibentuk oleh pendidikan dan keterampilan untuk menghadapi tantangan dunia kerja yang penuh dengan dinamika. Keberhasilannya diukur dari bagaimana ia dapat bertahan hidup dan menghidupi keluarganya dengan keterampilan yang ia miliki. Bahkan, dengan izin Allah, berbekal keterampilan itu ia bisa membuka lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja dan berkontribusi pada pengurangan angka pengangguran untuk bangsa ini. Adapun Ramadan, dengannya seorang muslim digembleng dan dididik sedemikian rupa dengan ‘sistem’ yang telah dibentuk oleh Allah Ta’ala. Pahala dilipatgandakan, setan dibelenggu, nafsu diredam, pintu surga dibuka, dan pintu neraka ditutup. Kecenderungan hati untuk selalu dekat dengan Allah Ta’ala melalui Al-Qur’an, salat malam, sahur, puasa, sedekah, dan berbuka. Demikianlah, sekelumit gambaran dari pendidikan Ramadan yang telah Allah persiapkan untuk kita. Janji Allah bagi hamba-Nya yang berhasil melewati aturan-aturan Allah dalam menjalani pendidikan Ramadan ini adalah takwa. Sebagaimana seorang mahasiswa yang menginginkan ilmu dan gelar kesarjanaannya, begitu pula seorang muslim seharusnya menginginkan keistikamahan dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi semua larangan syariat dengan ‘gelar’ takwanya. Uniknya, hanya Allah Ta’ala, satu-satunya Zat yang mengetahui siapa saja dari hamba-Nya yang telah menyandang gelar ketakwaan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Karenanya, kita tidak boleh terlalu pede dengan amalan-amalan yang telah kita lakukan selama Ramadan, dengan menganggap bahwa pasti semua diterima oleh Allah Ta’ala. Tidak pula kita pesimis bahwa amalan-amalan tersebut tertolak. Diterima atau tidaknya amal seseorang adalah hak Allah Ta’ala semata. Akan tetapi, Allah Ta’ala telah memberikan kita petunjuk untuk mengetahui tanda-tanda diterimanya amalan-amalan kita baik dalam konteks seluruh bentuk ibadah secara umum maupun ibadah puasa secara khusus. Sikap terhadap amal ibadah yang telah ditunaikan Sekali lagi, kita tidak pernah tahu apakah amal ibadah kita diterima oleh Allah Ta’ala. Jangan-jangan ada unsur riya’ dalam menjalankannya, bisa jadi terdapat kekeliruan dalam tata caranya, dan mungkin saja ada rukun-rukun dan syarat yang tidak terpenuhi yang disebabkan karena masih minimnya pengetahuan kita dalam menjalankan berbagai amalan ibadah tersebut. Namun, para ulama salaf telah mencontohkan bahwa kita mesti memaksimalkan amalan ibadah semampu yang mereka bisa untuk menyempurnakannya. Kemudian mereka merasa khawatir apakah Allah Ta’ala menerima atau menolaknya. Allah Ta’ala berfirman tentang karakteristik para salaf tersebut, وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60) Terhadap ayat di atas, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, يَا رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ « لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ ». “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.’, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menjawab, “Wahai putri Ash-Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash-Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan, yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah, dan yang salat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad. Disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi.) Oleh karenanya, justru kekhawatiran terhadap amalan ibadah yang telah ditunaikan merupakan sifat orang-orang yang beriman. Karena, perasaan khawatir tersebut akan mendorong dirinya untuk melakukan amalan yang lebih berkualitas dan lebih sempurna sehingga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi dirinya untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa. Baca juga: Kontinu dalam Menjaga Amal Ibadah Sunah Tanda Allah menerima amal seseorang Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita sebuah petunjuk untuk mengetahui tanda amal ibadah kita diterima atau tidak, yaitu kebaikan-kebaikan serupa yang dilakukan secara konsisten setelahnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, هَلۡ جَزَاۤءُ ٱلۡإِحۡسَـٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَـٰنُ “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Raḥmān: 60) Lebih spesifik dari ibadah Ramadan, kita dapat mengenali sebuah tanda bahwa amalan selama bulan puasa seseorang diterima adalah bahwa Allah memberikan kemudahan baginya untuk menjalankan ibadah puasa pada bulan Syawal. Mari kita renungkan perkataan Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah tentang faedah Ramadan, أن معاودة الصيام بعد صيام رمضان علامة على قبول صوم رمضان فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفقه لعمل صالح بعده كما قال بعضهم : ثواب الحسنة الحسنة بعدها فمن عمل حسنة ثم اتبعها بعد بحسنة كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى كما أن من عمل حسنة ثم اتبعها بسيئة كان ذلك علامة رد الحسنة و عدم قبولها “Kembali lagi melakukan puasa setelah puasa Ramadan, itu tanda diterimanya amalan puasa Ramadan. Karena jika Allah menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberi taufik untuk melakukan amalan saleh setelah itu. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, ‘Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.’ Oleh karena itu, siapa yang melakukan kebaikan lantas diikuti dengan kebaikan selanjutnya, maka itu tanda amalan kebaikan yang pertama diterima. Sedangkan, yang melakukan kebaikan lantas setelahnya malah ada kejelekan, maka itu tanda tertolaknya kebaikan tersebut dan tanda tidak diterimanya.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 388.) Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, وعلامة قبول عملك : احتقاره واستقلاله وصغره في قلبك “Tanda diterimanya amal salehmu adalah engkau memandang remeh, sedikit, dan kecil amalan saleh tersebut di dalam hatimu!” (Madarijus Salikin, 2: 62) Pandangan remeh, sedikit, dan kecil tersebut berangkat dari kesadaran diri bahwa kita merupakan hamba Allah Ta’ala yang lemah dan sangat bergantung kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan petunjuk kemudahan dalam menjalankan ibadah. Mari kita perhatikan diri kita! Betapa kasih sayang Allah sangat besar diberikan kepada kita berupa kesempatan untuk kembali merasakan nikmatnya ibadah Ramadan di tahun ini, di mana jutaan hamba-hamba-Nya telah Allah wafatkan sebelum Ramadan. Bagaimana jika kita menjadi bagian dari mereka, sedangkan dosa-dosa masih bertumpuk? Karena sedikitnya amalan kita, maka kita perlu memohon pertolongan Allah agar diberikan kemudahan demi kemudahan untuk menjadi seorang hamba yang bertakwa. Buah manis Ramadan Tanda dari diterimanya amalan seorang hamba adalah perubahan diri menjadi pribadi yang lebih baik dari segala aspek. Keistikamahan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya (yang merupakan tanda ketakwaan seorang hamba) merupakan buah manis dari hasil gemblengan muslim selama bulan puasa merupakan buah manis Ramadan. Maka, hendaknya, kebaikan puasa selama bulan Ramadan melahirkan azam (tekad) yang kuat untuk mengiringinya dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, kemudian mendorong diri untuk mempunyai kebiasaan melaksanakan puasa Senin Kamis, puasa ayyamul bidh, hingga puasa Daud pada bulan berikutnya. Terlebih perkara salat, khususnya salat-salat nawafil (salat sunah) yang selama Ramadan kita maksimalkan dengan tekun. Salat-salat rawatib, salat malam, Witir, Duha, dan syuruq menjadi rutinitas yang terasa ringan selama Ramadan. Alangkah baiknya, jika rutinitas yang agung ini juga kita pertahankan pada bulan-bulan setelah Ramadan sebagai bentuk ikhtiar dan optimisme terhadap amalan Ramadan, serta pertanda Allah menerima amalan kita. Allahumma amin. Begitu pula, kebiasaan membaca Al-Qur’an selama Ramadan melahirkan habit untuk senantiasa membaca Al-Qur’an pada bulan-bulan berikutnya dengan intensitas yang lebih tinggi, menambah perbendaharaan hafalan, serta memperkaya diri dengan ilmu tafsir guna memperoleh kemudahan dalam mentadaburinya setiap waktu. Demikian pula, dengan sedekah yang biasa kita lakukan selama Ramadan. Menjadi rutinitas pula kiranya untuk diri kita dalam memberikan bantuan kepada sesama baik moril maupun materil yang berorientasi untuk mencapai keridaan Allah. Mudah-mudahan Allah Ta’ala menanamkan semua kebiasaan-kebiasaan baik ini pada diri kita sehingga kita menjadi pribadi yang saleh dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kasih sayang Allah Ta’ala. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sang Pemenang Ramadan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: amalibadah

Buah Manis Ramadan

Daftar Isi Toggle Sikap terhadap amal ibadah yang telah ditunaikanTanda Allah menerima amal seseorangBuah manis Ramadan Ramadan adalah sebuah wadah pembentukan jiwa dan kualitas diri seorang muslim. Ibarat perguruan tinggi dengan mahasiswa yang dibentuk oleh pendidikan dan keterampilan untuk menghadapi tantangan dunia kerja yang penuh dengan dinamika. Keberhasilannya diukur dari bagaimana ia dapat bertahan hidup dan menghidupi keluarganya dengan keterampilan yang ia miliki. Bahkan, dengan izin Allah, berbekal keterampilan itu ia bisa membuka lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja dan berkontribusi pada pengurangan angka pengangguran untuk bangsa ini. Adapun Ramadan, dengannya seorang muslim digembleng dan dididik sedemikian rupa dengan ‘sistem’ yang telah dibentuk oleh Allah Ta’ala. Pahala dilipatgandakan, setan dibelenggu, nafsu diredam, pintu surga dibuka, dan pintu neraka ditutup. Kecenderungan hati untuk selalu dekat dengan Allah Ta’ala melalui Al-Qur’an, salat malam, sahur, puasa, sedekah, dan berbuka. Demikianlah, sekelumit gambaran dari pendidikan Ramadan yang telah Allah persiapkan untuk kita. Janji Allah bagi hamba-Nya yang berhasil melewati aturan-aturan Allah dalam menjalani pendidikan Ramadan ini adalah takwa. Sebagaimana seorang mahasiswa yang menginginkan ilmu dan gelar kesarjanaannya, begitu pula seorang muslim seharusnya menginginkan keistikamahan dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi semua larangan syariat dengan ‘gelar’ takwanya. Uniknya, hanya Allah Ta’ala, satu-satunya Zat yang mengetahui siapa saja dari hamba-Nya yang telah menyandang gelar ketakwaan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Karenanya, kita tidak boleh terlalu pede dengan amalan-amalan yang telah kita lakukan selama Ramadan, dengan menganggap bahwa pasti semua diterima oleh Allah Ta’ala. Tidak pula kita pesimis bahwa amalan-amalan tersebut tertolak. Diterima atau tidaknya amal seseorang adalah hak Allah Ta’ala semata. Akan tetapi, Allah Ta’ala telah memberikan kita petunjuk untuk mengetahui tanda-tanda diterimanya amalan-amalan kita baik dalam konteks seluruh bentuk ibadah secara umum maupun ibadah puasa secara khusus. Sikap terhadap amal ibadah yang telah ditunaikan Sekali lagi, kita tidak pernah tahu apakah amal ibadah kita diterima oleh Allah Ta’ala. Jangan-jangan ada unsur riya’ dalam menjalankannya, bisa jadi terdapat kekeliruan dalam tata caranya, dan mungkin saja ada rukun-rukun dan syarat yang tidak terpenuhi yang disebabkan karena masih minimnya pengetahuan kita dalam menjalankan berbagai amalan ibadah tersebut. Namun, para ulama salaf telah mencontohkan bahwa kita mesti memaksimalkan amalan ibadah semampu yang mereka bisa untuk menyempurnakannya. Kemudian mereka merasa khawatir apakah Allah Ta’ala menerima atau menolaknya. Allah Ta’ala berfirman tentang karakteristik para salaf tersebut, وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60) Terhadap ayat di atas, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, يَا رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ « لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ ». “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.’, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menjawab, “Wahai putri Ash-Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash-Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan, yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah, dan yang salat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad. Disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi.) Oleh karenanya, justru kekhawatiran terhadap amalan ibadah yang telah ditunaikan merupakan sifat orang-orang yang beriman. Karena, perasaan khawatir tersebut akan mendorong dirinya untuk melakukan amalan yang lebih berkualitas dan lebih sempurna sehingga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi dirinya untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa. Baca juga: Kontinu dalam Menjaga Amal Ibadah Sunah Tanda Allah menerima amal seseorang Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita sebuah petunjuk untuk mengetahui tanda amal ibadah kita diterima atau tidak, yaitu kebaikan-kebaikan serupa yang dilakukan secara konsisten setelahnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, هَلۡ جَزَاۤءُ ٱلۡإِحۡسَـٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَـٰنُ “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Raḥmān: 60) Lebih spesifik dari ibadah Ramadan, kita dapat mengenali sebuah tanda bahwa amalan selama bulan puasa seseorang diterima adalah bahwa Allah memberikan kemudahan baginya untuk menjalankan ibadah puasa pada bulan Syawal. Mari kita renungkan perkataan Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah tentang faedah Ramadan, أن معاودة الصيام بعد صيام رمضان علامة على قبول صوم رمضان فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفقه لعمل صالح بعده كما قال بعضهم : ثواب الحسنة الحسنة بعدها فمن عمل حسنة ثم اتبعها بعد بحسنة كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى كما أن من عمل حسنة ثم اتبعها بسيئة كان ذلك علامة رد الحسنة و عدم قبولها “Kembali lagi melakukan puasa setelah puasa Ramadan, itu tanda diterimanya amalan puasa Ramadan. Karena jika Allah menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberi taufik untuk melakukan amalan saleh setelah itu. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, ‘Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.’ Oleh karena itu, siapa yang melakukan kebaikan lantas diikuti dengan kebaikan selanjutnya, maka itu tanda amalan kebaikan yang pertama diterima. Sedangkan, yang melakukan kebaikan lantas setelahnya malah ada kejelekan, maka itu tanda tertolaknya kebaikan tersebut dan tanda tidak diterimanya.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 388.) Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, وعلامة قبول عملك : احتقاره واستقلاله وصغره في قلبك “Tanda diterimanya amal salehmu adalah engkau memandang remeh, sedikit, dan kecil amalan saleh tersebut di dalam hatimu!” (Madarijus Salikin, 2: 62) Pandangan remeh, sedikit, dan kecil tersebut berangkat dari kesadaran diri bahwa kita merupakan hamba Allah Ta’ala yang lemah dan sangat bergantung kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan petunjuk kemudahan dalam menjalankan ibadah. Mari kita perhatikan diri kita! Betapa kasih sayang Allah sangat besar diberikan kepada kita berupa kesempatan untuk kembali merasakan nikmatnya ibadah Ramadan di tahun ini, di mana jutaan hamba-hamba-Nya telah Allah wafatkan sebelum Ramadan. Bagaimana jika kita menjadi bagian dari mereka, sedangkan dosa-dosa masih bertumpuk? Karena sedikitnya amalan kita, maka kita perlu memohon pertolongan Allah agar diberikan kemudahan demi kemudahan untuk menjadi seorang hamba yang bertakwa. Buah manis Ramadan Tanda dari diterimanya amalan seorang hamba adalah perubahan diri menjadi pribadi yang lebih baik dari segala aspek. Keistikamahan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya (yang merupakan tanda ketakwaan seorang hamba) merupakan buah manis dari hasil gemblengan muslim selama bulan puasa merupakan buah manis Ramadan. Maka, hendaknya, kebaikan puasa selama bulan Ramadan melahirkan azam (tekad) yang kuat untuk mengiringinya dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, kemudian mendorong diri untuk mempunyai kebiasaan melaksanakan puasa Senin Kamis, puasa ayyamul bidh, hingga puasa Daud pada bulan berikutnya. Terlebih perkara salat, khususnya salat-salat nawafil (salat sunah) yang selama Ramadan kita maksimalkan dengan tekun. Salat-salat rawatib, salat malam, Witir, Duha, dan syuruq menjadi rutinitas yang terasa ringan selama Ramadan. Alangkah baiknya, jika rutinitas yang agung ini juga kita pertahankan pada bulan-bulan setelah Ramadan sebagai bentuk ikhtiar dan optimisme terhadap amalan Ramadan, serta pertanda Allah menerima amalan kita. Allahumma amin. Begitu pula, kebiasaan membaca Al-Qur’an selama Ramadan melahirkan habit untuk senantiasa membaca Al-Qur’an pada bulan-bulan berikutnya dengan intensitas yang lebih tinggi, menambah perbendaharaan hafalan, serta memperkaya diri dengan ilmu tafsir guna memperoleh kemudahan dalam mentadaburinya setiap waktu. Demikian pula, dengan sedekah yang biasa kita lakukan selama Ramadan. Menjadi rutinitas pula kiranya untuk diri kita dalam memberikan bantuan kepada sesama baik moril maupun materil yang berorientasi untuk mencapai keridaan Allah. Mudah-mudahan Allah Ta’ala menanamkan semua kebiasaan-kebiasaan baik ini pada diri kita sehingga kita menjadi pribadi yang saleh dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kasih sayang Allah Ta’ala. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sang Pemenang Ramadan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: amalibadah
Daftar Isi Toggle Sikap terhadap amal ibadah yang telah ditunaikanTanda Allah menerima amal seseorangBuah manis Ramadan Ramadan adalah sebuah wadah pembentukan jiwa dan kualitas diri seorang muslim. Ibarat perguruan tinggi dengan mahasiswa yang dibentuk oleh pendidikan dan keterampilan untuk menghadapi tantangan dunia kerja yang penuh dengan dinamika. Keberhasilannya diukur dari bagaimana ia dapat bertahan hidup dan menghidupi keluarganya dengan keterampilan yang ia miliki. Bahkan, dengan izin Allah, berbekal keterampilan itu ia bisa membuka lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja dan berkontribusi pada pengurangan angka pengangguran untuk bangsa ini. Adapun Ramadan, dengannya seorang muslim digembleng dan dididik sedemikian rupa dengan ‘sistem’ yang telah dibentuk oleh Allah Ta’ala. Pahala dilipatgandakan, setan dibelenggu, nafsu diredam, pintu surga dibuka, dan pintu neraka ditutup. Kecenderungan hati untuk selalu dekat dengan Allah Ta’ala melalui Al-Qur’an, salat malam, sahur, puasa, sedekah, dan berbuka. Demikianlah, sekelumit gambaran dari pendidikan Ramadan yang telah Allah persiapkan untuk kita. Janji Allah bagi hamba-Nya yang berhasil melewati aturan-aturan Allah dalam menjalani pendidikan Ramadan ini adalah takwa. Sebagaimana seorang mahasiswa yang menginginkan ilmu dan gelar kesarjanaannya, begitu pula seorang muslim seharusnya menginginkan keistikamahan dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi semua larangan syariat dengan ‘gelar’ takwanya. Uniknya, hanya Allah Ta’ala, satu-satunya Zat yang mengetahui siapa saja dari hamba-Nya yang telah menyandang gelar ketakwaan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Karenanya, kita tidak boleh terlalu pede dengan amalan-amalan yang telah kita lakukan selama Ramadan, dengan menganggap bahwa pasti semua diterima oleh Allah Ta’ala. Tidak pula kita pesimis bahwa amalan-amalan tersebut tertolak. Diterima atau tidaknya amal seseorang adalah hak Allah Ta’ala semata. Akan tetapi, Allah Ta’ala telah memberikan kita petunjuk untuk mengetahui tanda-tanda diterimanya amalan-amalan kita baik dalam konteks seluruh bentuk ibadah secara umum maupun ibadah puasa secara khusus. Sikap terhadap amal ibadah yang telah ditunaikan Sekali lagi, kita tidak pernah tahu apakah amal ibadah kita diterima oleh Allah Ta’ala. Jangan-jangan ada unsur riya’ dalam menjalankannya, bisa jadi terdapat kekeliruan dalam tata caranya, dan mungkin saja ada rukun-rukun dan syarat yang tidak terpenuhi yang disebabkan karena masih minimnya pengetahuan kita dalam menjalankan berbagai amalan ibadah tersebut. Namun, para ulama salaf telah mencontohkan bahwa kita mesti memaksimalkan amalan ibadah semampu yang mereka bisa untuk menyempurnakannya. Kemudian mereka merasa khawatir apakah Allah Ta’ala menerima atau menolaknya. Allah Ta’ala berfirman tentang karakteristik para salaf tersebut, وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60) Terhadap ayat di atas, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, يَا رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ « لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ ». “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.’, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menjawab, “Wahai putri Ash-Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash-Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan, yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah, dan yang salat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad. Disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi.) Oleh karenanya, justru kekhawatiran terhadap amalan ibadah yang telah ditunaikan merupakan sifat orang-orang yang beriman. Karena, perasaan khawatir tersebut akan mendorong dirinya untuk melakukan amalan yang lebih berkualitas dan lebih sempurna sehingga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi dirinya untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa. Baca juga: Kontinu dalam Menjaga Amal Ibadah Sunah Tanda Allah menerima amal seseorang Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita sebuah petunjuk untuk mengetahui tanda amal ibadah kita diterima atau tidak, yaitu kebaikan-kebaikan serupa yang dilakukan secara konsisten setelahnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, هَلۡ جَزَاۤءُ ٱلۡإِحۡسَـٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَـٰنُ “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Raḥmān: 60) Lebih spesifik dari ibadah Ramadan, kita dapat mengenali sebuah tanda bahwa amalan selama bulan puasa seseorang diterima adalah bahwa Allah memberikan kemudahan baginya untuk menjalankan ibadah puasa pada bulan Syawal. Mari kita renungkan perkataan Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah tentang faedah Ramadan, أن معاودة الصيام بعد صيام رمضان علامة على قبول صوم رمضان فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفقه لعمل صالح بعده كما قال بعضهم : ثواب الحسنة الحسنة بعدها فمن عمل حسنة ثم اتبعها بعد بحسنة كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى كما أن من عمل حسنة ثم اتبعها بسيئة كان ذلك علامة رد الحسنة و عدم قبولها “Kembali lagi melakukan puasa setelah puasa Ramadan, itu tanda diterimanya amalan puasa Ramadan. Karena jika Allah menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberi taufik untuk melakukan amalan saleh setelah itu. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, ‘Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.’ Oleh karena itu, siapa yang melakukan kebaikan lantas diikuti dengan kebaikan selanjutnya, maka itu tanda amalan kebaikan yang pertama diterima. Sedangkan, yang melakukan kebaikan lantas setelahnya malah ada kejelekan, maka itu tanda tertolaknya kebaikan tersebut dan tanda tidak diterimanya.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 388.) Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, وعلامة قبول عملك : احتقاره واستقلاله وصغره في قلبك “Tanda diterimanya amal salehmu adalah engkau memandang remeh, sedikit, dan kecil amalan saleh tersebut di dalam hatimu!” (Madarijus Salikin, 2: 62) Pandangan remeh, sedikit, dan kecil tersebut berangkat dari kesadaran diri bahwa kita merupakan hamba Allah Ta’ala yang lemah dan sangat bergantung kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan petunjuk kemudahan dalam menjalankan ibadah. Mari kita perhatikan diri kita! Betapa kasih sayang Allah sangat besar diberikan kepada kita berupa kesempatan untuk kembali merasakan nikmatnya ibadah Ramadan di tahun ini, di mana jutaan hamba-hamba-Nya telah Allah wafatkan sebelum Ramadan. Bagaimana jika kita menjadi bagian dari mereka, sedangkan dosa-dosa masih bertumpuk? Karena sedikitnya amalan kita, maka kita perlu memohon pertolongan Allah agar diberikan kemudahan demi kemudahan untuk menjadi seorang hamba yang bertakwa. Buah manis Ramadan Tanda dari diterimanya amalan seorang hamba adalah perubahan diri menjadi pribadi yang lebih baik dari segala aspek. Keistikamahan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya (yang merupakan tanda ketakwaan seorang hamba) merupakan buah manis dari hasil gemblengan muslim selama bulan puasa merupakan buah manis Ramadan. Maka, hendaknya, kebaikan puasa selama bulan Ramadan melahirkan azam (tekad) yang kuat untuk mengiringinya dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, kemudian mendorong diri untuk mempunyai kebiasaan melaksanakan puasa Senin Kamis, puasa ayyamul bidh, hingga puasa Daud pada bulan berikutnya. Terlebih perkara salat, khususnya salat-salat nawafil (salat sunah) yang selama Ramadan kita maksimalkan dengan tekun. Salat-salat rawatib, salat malam, Witir, Duha, dan syuruq menjadi rutinitas yang terasa ringan selama Ramadan. Alangkah baiknya, jika rutinitas yang agung ini juga kita pertahankan pada bulan-bulan setelah Ramadan sebagai bentuk ikhtiar dan optimisme terhadap amalan Ramadan, serta pertanda Allah menerima amalan kita. Allahumma amin. Begitu pula, kebiasaan membaca Al-Qur’an selama Ramadan melahirkan habit untuk senantiasa membaca Al-Qur’an pada bulan-bulan berikutnya dengan intensitas yang lebih tinggi, menambah perbendaharaan hafalan, serta memperkaya diri dengan ilmu tafsir guna memperoleh kemudahan dalam mentadaburinya setiap waktu. Demikian pula, dengan sedekah yang biasa kita lakukan selama Ramadan. Menjadi rutinitas pula kiranya untuk diri kita dalam memberikan bantuan kepada sesama baik moril maupun materil yang berorientasi untuk mencapai keridaan Allah. Mudah-mudahan Allah Ta’ala menanamkan semua kebiasaan-kebiasaan baik ini pada diri kita sehingga kita menjadi pribadi yang saleh dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kasih sayang Allah Ta’ala. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sang Pemenang Ramadan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: amalibadah


Daftar Isi Toggle Sikap terhadap amal ibadah yang telah ditunaikanTanda Allah menerima amal seseorangBuah manis Ramadan Ramadan adalah sebuah wadah pembentukan jiwa dan kualitas diri seorang muslim. Ibarat perguruan tinggi dengan mahasiswa yang dibentuk oleh pendidikan dan keterampilan untuk menghadapi tantangan dunia kerja yang penuh dengan dinamika. Keberhasilannya diukur dari bagaimana ia dapat bertahan hidup dan menghidupi keluarganya dengan keterampilan yang ia miliki. Bahkan, dengan izin Allah, berbekal keterampilan itu ia bisa membuka lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja dan berkontribusi pada pengurangan angka pengangguran untuk bangsa ini. Adapun Ramadan, dengannya seorang muslim digembleng dan dididik sedemikian rupa dengan ‘sistem’ yang telah dibentuk oleh Allah Ta’ala. Pahala dilipatgandakan, setan dibelenggu, nafsu diredam, pintu surga dibuka, dan pintu neraka ditutup. Kecenderungan hati untuk selalu dekat dengan Allah Ta’ala melalui Al-Qur’an, salat malam, sahur, puasa, sedekah, dan berbuka. Demikianlah, sekelumit gambaran dari pendidikan Ramadan yang telah Allah persiapkan untuk kita. Janji Allah bagi hamba-Nya yang berhasil melewati aturan-aturan Allah dalam menjalani pendidikan Ramadan ini adalah takwa. Sebagaimana seorang mahasiswa yang menginginkan ilmu dan gelar kesarjanaannya, begitu pula seorang muslim seharusnya menginginkan keistikamahan dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi semua larangan syariat dengan ‘gelar’ takwanya. Uniknya, hanya Allah Ta’ala, satu-satunya Zat yang mengetahui siapa saja dari hamba-Nya yang telah menyandang gelar ketakwaan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) Karenanya, kita tidak boleh terlalu pede dengan amalan-amalan yang telah kita lakukan selama Ramadan, dengan menganggap bahwa pasti semua diterima oleh Allah Ta’ala. Tidak pula kita pesimis bahwa amalan-amalan tersebut tertolak. Diterima atau tidaknya amal seseorang adalah hak Allah Ta’ala semata. Akan tetapi, Allah Ta’ala telah memberikan kita petunjuk untuk mengetahui tanda-tanda diterimanya amalan-amalan kita baik dalam konteks seluruh bentuk ibadah secara umum maupun ibadah puasa secara khusus. Sikap terhadap amal ibadah yang telah ditunaikan Sekali lagi, kita tidak pernah tahu apakah amal ibadah kita diterima oleh Allah Ta’ala. Jangan-jangan ada unsur riya’ dalam menjalankannya, bisa jadi terdapat kekeliruan dalam tata caranya, dan mungkin saja ada rukun-rukun dan syarat yang tidak terpenuhi yang disebabkan karena masih minimnya pengetahuan kita dalam menjalankan berbagai amalan ibadah tersebut. Namun, para ulama salaf telah mencontohkan bahwa kita mesti memaksimalkan amalan ibadah semampu yang mereka bisa untuk menyempurnakannya. Kemudian mereka merasa khawatir apakah Allah Ta’ala menerima atau menolaknya. Allah Ta’ala berfirman tentang karakteristik para salaf tersebut, وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60) Terhadap ayat di atas, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, يَا رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ « لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ ». “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.’, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menjawab, “Wahai putri Ash-Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash-Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan, yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah, dan yang salat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad. Disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi.) Oleh karenanya, justru kekhawatiran terhadap amalan ibadah yang telah ditunaikan merupakan sifat orang-orang yang beriman. Karena, perasaan khawatir tersebut akan mendorong dirinya untuk melakukan amalan yang lebih berkualitas dan lebih sempurna sehingga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi dirinya untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa. Baca juga: Kontinu dalam Menjaga Amal Ibadah Sunah Tanda Allah menerima amal seseorang Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita sebuah petunjuk untuk mengetahui tanda amal ibadah kita diterima atau tidak, yaitu kebaikan-kebaikan serupa yang dilakukan secara konsisten setelahnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, هَلۡ جَزَاۤءُ ٱلۡإِحۡسَـٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَـٰنُ “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Raḥmān: 60) Lebih spesifik dari ibadah Ramadan, kita dapat mengenali sebuah tanda bahwa amalan selama bulan puasa seseorang diterima adalah bahwa Allah memberikan kemudahan baginya untuk menjalankan ibadah puasa pada bulan Syawal. Mari kita renungkan perkataan Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah tentang faedah Ramadan, أن معاودة الصيام بعد صيام رمضان علامة على قبول صوم رمضان فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفقه لعمل صالح بعده كما قال بعضهم : ثواب الحسنة الحسنة بعدها فمن عمل حسنة ثم اتبعها بعد بحسنة كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى كما أن من عمل حسنة ثم اتبعها بسيئة كان ذلك علامة رد الحسنة و عدم قبولها “Kembali lagi melakukan puasa setelah puasa Ramadan, itu tanda diterimanya amalan puasa Ramadan. Karena jika Allah menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberi taufik untuk melakukan amalan saleh setelah itu. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, ‘Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.’ Oleh karena itu, siapa yang melakukan kebaikan lantas diikuti dengan kebaikan selanjutnya, maka itu tanda amalan kebaikan yang pertama diterima. Sedangkan, yang melakukan kebaikan lantas setelahnya malah ada kejelekan, maka itu tanda tertolaknya kebaikan tersebut dan tanda tidak diterimanya.” (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 388.) Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, وعلامة قبول عملك : احتقاره واستقلاله وصغره في قلبك “Tanda diterimanya amal salehmu adalah engkau memandang remeh, sedikit, dan kecil amalan saleh tersebut di dalam hatimu!” (Madarijus Salikin, 2: 62) Pandangan remeh, sedikit, dan kecil tersebut berangkat dari kesadaran diri bahwa kita merupakan hamba Allah Ta’ala yang lemah dan sangat bergantung kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan petunjuk kemudahan dalam menjalankan ibadah. Mari kita perhatikan diri kita! Betapa kasih sayang Allah sangat besar diberikan kepada kita berupa kesempatan untuk kembali merasakan nikmatnya ibadah Ramadan di tahun ini, di mana jutaan hamba-hamba-Nya telah Allah wafatkan sebelum Ramadan. Bagaimana jika kita menjadi bagian dari mereka, sedangkan dosa-dosa masih bertumpuk? Karena sedikitnya amalan kita, maka kita perlu memohon pertolongan Allah agar diberikan kemudahan demi kemudahan untuk menjadi seorang hamba yang bertakwa. Buah manis Ramadan Tanda dari diterimanya amalan seorang hamba adalah perubahan diri menjadi pribadi yang lebih baik dari segala aspek. Keistikamahan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya (yang merupakan tanda ketakwaan seorang hamba) merupakan buah manis dari hasil gemblengan muslim selama bulan puasa merupakan buah manis Ramadan. Maka, hendaknya, kebaikan puasa selama bulan Ramadan melahirkan azam (tekad) yang kuat untuk mengiringinya dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, kemudian mendorong diri untuk mempunyai kebiasaan melaksanakan puasa Senin Kamis, puasa ayyamul bidh, hingga puasa Daud pada bulan berikutnya. Terlebih perkara salat, khususnya salat-salat nawafil (salat sunah) yang selama Ramadan kita maksimalkan dengan tekun. Salat-salat rawatib, salat malam, Witir, Duha, dan syuruq menjadi rutinitas yang terasa ringan selama Ramadan. Alangkah baiknya, jika rutinitas yang agung ini juga kita pertahankan pada bulan-bulan setelah Ramadan sebagai bentuk ikhtiar dan optimisme terhadap amalan Ramadan, serta pertanda Allah menerima amalan kita. Allahumma amin. Begitu pula, kebiasaan membaca Al-Qur’an selama Ramadan melahirkan habit untuk senantiasa membaca Al-Qur’an pada bulan-bulan berikutnya dengan intensitas yang lebih tinggi, menambah perbendaharaan hafalan, serta memperkaya diri dengan ilmu tafsir guna memperoleh kemudahan dalam mentadaburinya setiap waktu. Demikian pula, dengan sedekah yang biasa kita lakukan selama Ramadan. Menjadi rutinitas pula kiranya untuk diri kita dalam memberikan bantuan kepada sesama baik moril maupun materil yang berorientasi untuk mencapai keridaan Allah. Mudah-mudahan Allah Ta’ala menanamkan semua kebiasaan-kebiasaan baik ini pada diri kita sehingga kita menjadi pribadi yang saleh dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kasih sayang Allah Ta’ala. Wallahu Ta’ala a’lam. Baca juga: Sang Pemenang Ramadan *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: amalibadah

Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 9)

Daftar Isi Toggle Faedah 22. Siapa teroris tulen?Faedah 23. Milik Allah timur dan barat Faedah 22. Siapa teroris tulen? Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah mendapat pertanyaan. “Banyak orang ketika melihat seorang yang taat dan rajin mengaji, maka mereka pun menjulukinya dengan teroris. Bagaimana tanggapan anda? Semoga Allah berikan taufik kepada anda.” Beliau menjawab, “Hal ini termasuk perbuatan suuzan/buruk sangka kepada kaum muslimin. Pada diri seorang muslim, pada dasarnya terdapat kebaikan. Oleh sebab itu, seharusnya bersangka baik padanya. Kecuali, apabila muncul darinya hal-hal yang menyelisihi kebenaran, maka yang semacam ini memang perlu untuk dibenahi pada momen yang tepat dan cara yang sesuai. Adapun apabila muncul darinya komitmen untuk berpegang-teguh dengan ajaran Nabi dan rajin melakukan amal-amal saleh lantas dikomentari sebagai teroris, maka sesungguhnya orang yang sering mengucapkan komentar semacam ini dia itulah teroris yang sebenarnya. Orang yang suka menuduh macam-macam kepada hamba-hamba Allah yang saleh dan mengolok-olok mereka disebabkan sikap komitmen mereka kepada sunah, sebenarnya orang itulah yang lebih pantas disebut sebagai teroris (penebar rasa takut dan kekacauan, pent).”(Lihat Majmu’ah Rasa’il Manhajiyah wa Da’awiyah, hal. 27) Kaum muslimin yang dirahmati Allah, fenomena semacam ini tidak jarang kita jumpai di tengah masyarakat, kalau tidak mau dikatakan banyak terjadi. Tuduhan-tuduhan kepada para pengikut sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai kelompok radikal. Padahal, mereka tidak menyerukan kepada pemahaman sesat dan menyimpang. Apalagi mengajak kepada aksi-aksi terorisme dan kekacauan. Bahkan, mereka mengajak manusia untuk taat kepada pemerintah dalam hal-hal yang makruf. Para pengikut sunah pun memandang bahwa ketaatan kepada pemerintah muslim adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini hanya salah satu contoh bagaimana kebenaran dan penyeru kebenaran dipojokkan dan dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan dan sumber masalah. Sementara di sisi lain, orang yang siang malam mengajak kepada kesesatan dan kerusakan dinobatkan sebagai sosok penasihat dan para penyebar maksiat justru digelari sebagai kaum yang toleran dan bijaksana. Sesungguhnya perkara ini bukanlah barang baru! Sejak dahulu kala, kaum musyrikin pun menggelari nabi pembawa petunjuk sebagai tukang sihir atau orang gila. Bahkan, mereka menganggap aneh dakwah tauhid serta menuduh para rasul sebagai perusak agama dan tatanan masyarakat. Allah mengisahkan ucapan Firaun ketika menentang dakwah Nabi Musa ‘alaihis salam, ذَرُونِیۤ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡیَدۡعُ رَبَّهُۥۤۖ إِنِّیۤ أَخَافُ أَن یُبَدِّلَ دِینَكُمۡ أَوۡ أَن یُظۡهِرَ فِی ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ “Biarkanlah aku, akan kubunuh Musa dan hendaklah dia menyeru kepada Rabbnya. Sesungguhnya aku khawatir dia akan mengganti agama kalian atau menampakkan di muka bumi ini kerusakan.” (QS. Ghafir: 26) Orang-orang musyrik pun membalas seruan dakwah tauhid dengan cemoohan dan ejekan kepada para dai tauhid. Allah berfirman mengisahkan ucapan mereka, أَىِٕنَّا لَتَارِكُوۤا۟ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرࣲ مَّجۡنُونِۭ “Akankah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara mengikuti perkataan seorang panyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 36) Mereka pun menilai bahwa dakwah untuk memurnikan ibadah kepada Allah serta meninggalkan syirik adalah seruan yang aneh dan nyeleneh. Allah berfirman menceritakan komentar mereka, أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَیۡءٌ عُجَابࣱ “Apakah dia (Rasul) menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja?! Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang aneh.” (QS. Shad: 5) Maksudnya, mereka menganggap tauhid sebagai barang aneh, sedangkan syirik bukan barang aneh?! (Lihat Majmu’ah Rasa’il Manhajiyah wa Da’awiyah, hal. 13 oleh Syekh Shalih Al-Fauzan) Faedah 23. Milik Allah timur dan barat Allah berfirman, وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَ ٰ⁠سِعٌ عَلِیمࣱ “Dan milik Allah semata, arah timur dan barat. Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115) Ayat yang mulia ini menunjukkan tentang betapa luasnya cakupan kerajaan dan kekuasaan Allah. Di dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan karunia-Nya. Seandainya seorang menghadap atau berjalan ke mana pun, maka sesungguhnya Allah meliputi dan mengetahui keadaannya. (Lihat Ahkam minal Qur’an oleh Al-Utsaimin, 1: 413) Selain itu, ayat ini juga mengandung penetapan salah satu sifat Allah, yaitu Allah memiliki wajah. Maka, wajib bagi kita meyakininya sebagaimana zahirnya/apa adanya. Di mana wajah Allah itu sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya sehingga tidak serupa dengan wajah-wajah makhluk. Maka, demikian pula, sifat-sifat Allah yang lain semacam dua tangan atau dua mata. Maka, wajib bagi seorang mukmin untuk menetapkan hal itu secara hakiki/apa adanya. Akan tetapi, kita tidak boleh menentukan bentuk/kaifiyat sifat itu dan tidak boleh menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk-Nya. (Lihat Ahkam minal Qur’an, 1: 414) Ayat yang mulia ini telah ditafsirkan maksudnya dalam sebuah hadis yang dibawakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Bulughul Maram (hadis ke-166). Ibnu Hajar berkata, “Dari Amir bin Rabi’ah radhiyallahu’anhu, dia berkata, ‘Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam, maka kami pun kesulitan mencari arah kiblat. Kami pun tetap melaksanakan salat. Ketika matahari sudah terbit (siang hari), jelaslah bahwa kami telah melakukan salat tidak menghadap kiblat, maka turunlah ayat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka, ke mana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’” (QS. Al-Baqarah: 115) Ibnu Hajar berkata, “Hadis ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dia melemahkannya.” Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini berderajat hasan. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 1: 516) Hadis ini juga dinyatakan hasan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. (Lihat Shahih Sunan Tirmidzi, no. 345) Hadis Amir bin Rabi’ah tersebut juga dibawakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan salah satu maksud yang tercakup di dalam ayat ini. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1: 392-393 tahqiq Sami bin Muhammad As-Salamah) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Apabila arah kiblat samar bagi musafir, lalu dia melakukan salat dan ternyata tampak baginya arahnya keliru, maka salatnya tetap sah, sama saja apakah dia mengetahui salahnya pada waktu salat tersebut masih ada atau sudah berlalu/habis waktu salat itu.” (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 1: 516) Dari sini, kita mengetahui bahwa pada dasarnya salat wajib menghadap kiblat/arah Ka’bah. Akan tetapi, apabila orang sudah berusaha dan tidak bisa menentukan dengan pasti, lalu dia salat ke suatu arah yang dianggap kiblat dan ternyata kemudian terbukti salah, maka salatnya tetap sah dan tidak perlu diulang. Keabsahan itu diisyaratkan oleh kalimat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ “Maka, ke mana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.” Yang menggambarkan bahwa ke arah mana pun seorang muslim menghadap, maka dia akan tetap mengabdi kepada Allah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Dan seandainya dia tersalah atau keliru secara tidak sengaja, maka hal itu dimaafkan. Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwasanya menghadap Ka’bah ketika salat merupakan kewajiban bagi orang yang bisa melihat Ka’bah, sedangkan bagi orang yang tidak bisa melihatnya secara langsung, maka dia cukup mengerjakan salat ke arahnya. (Lihat Ad-Darari Al-Mudhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah, hal. 75) Oleh sebab itu, wajibnya menghadap kiblat ketika salat adalah perkara yang diketahui oleh setiap muslim. Dan yang dimaksud kiblat itu adalah Ka’bah atau ke arahnya. Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, “Apa-apa yang dinukil secara mutawatir seperti (wajibnya) menghadap kiblat dan bahwa kiblat itu adalah ke arah Ka’bah, tidak ada yang menolak/membantah hal ini, kecuali orang kafir.” (Dinukil dengan perantaraan Taudhih Al-Ahkam, 1: 517) Di dalam fikih Mazhab Syafi’i juga telah diterangkan bahwa menghadap kiblat termasuk syarat salat, dan boleh tidak menghadap kiblat apabila dalam keadaan tercekam ketakutan yang sangat dahsyat atau ketika salat sunah pada waktu bersafar dengan naik kendaraan. Begitu pula dibolehkan bagi musafir yang berjalan kaki untuk salat sunah dengan tidak menghadap kiblat. (Lihat Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, hal. 64-65, tahqiq Majid Al-Hamawi) Begitu pula dalam fikih Mazhab Hanbali, diterangkan bahwa menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah salat. Dalilnya adalah firman Allah, وَمِنۡ حَیۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَیۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥ “Dan ke mana pun kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Di mana pun kalian berada, maka hadapkanlah wajahmu (ketika salat) ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 150) Apabila orang tidak mampu memenuhi syarat ini karena sakit atau sebab lain, maka ia gugur karena Allah tidak membebaninya, kecuali sebatas kemampuannya. (Lihat Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, 1: 133-134) Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, “Diturunkan ayat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’ Maksudnya, hendaklah kamu mengerjakan salat ke arah mana hewan tungganganmu menghadap, yaitu ketika mengerjakan salat sunah. (Lihat Ad-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bil Ma’tsur, 1: 565) Imam Ibnu Abi Syaibah, Bukhari, dan Baihaqi meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu bahwa dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salat di atas hewan tunggangannya menghadap ke arah timur. Apabila beliau hendak salat wajib, maka beliau pun turun dan menghadap kiblat lalu mengerjakan salat. (Lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 1: 565) Abdu bin Humaid dan Tirmidzi meriwayatkan dari Qatadah mengenai tafsiran dari ayat ini, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’ Qatadah berkata, ‘Ayat ini telah di-mansukh/dihapus hukumnya. Yaitu, dihapus dengan ayat, فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ ‘Maka, palingkanlah wajahmu menghadap ke Masjidil Haram.’ (QS. Al-Baqarah: 144) Yaitu, hendaknya kamu salat menghadap ke arahnya.'” (lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 1: 568) Faedah: Ibnu Katsir rahimahullah membantah apabila ada orang yang menafsirkan bahwa kalimat “Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.” menunjukkan bahwa Allah ada di mana-mana. Sebagian orang berkata, “Dan Allah Ta’ala, tidaklah ada satu tempat pun yang kosong dari-Nya.” Ibnu Katsir berkata, “Apabila yang dimaksud (ada dimana-mana) itu adalah ilmu Allah, maka itu benar. Karena ilmu Allah meliputi segala hal. Adapun Zat Allah Ta’ala tidak dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya. Mahatinggi Allah dari hal itu dengan ketinggian yang Mahabesar.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1: 391-392) Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Lum’atul I’tiqad menegaskan bahwa ilmu Allah meliputi segala tempat, tidak ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu Allah. Dan sebagaimana telah jelas dari dalil-dalil bahwa Allah berada di atas langit menetap tinggi di atas Arsy. Meskipun demikian, tidak ada sesuatu perkara pun yang samar bagi Allah di langit maupun di bumi, pada masa lalu maupun masa depan. Allah telah mengetahui semuanya. Sehingga ada perbedaan antara Zat Allah dengan ilmu-Nya. Zat Allah berada tinggi di atas langit, sedangkan ilmu-Nya Mahaluas meliputi segala sesuatu. (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syekh Shalih Al-Fauzan, hal. 27) Inilah akidah salaf sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik rahimahullah. Beliau mengatakan, “Allah berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya ada di mana-mana. Tidak ada satu tempat pun yang luput dari ilmu Allah…” (Dinukil melalui Al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il Ahlis Sunnah, hal. 180) Oleh sebab itu, ahlusunah meyakini bahwa Allah berada tinggi di atas Arsy-Nya (dan Allah tidak butuh kepada Arsy). Allah bersama hamba-hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Allah mengetahui keadaan makhluk, mendengar ucapan mereka, dan melihat segala perbuatan dan gerak-gerik mereka. (Lihat Syarh Aqidah Ahlis Sunnah oleh Al-Utsaimin, hal. 140 dst.) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 8: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 8) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid

Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 9)

Daftar Isi Toggle Faedah 22. Siapa teroris tulen?Faedah 23. Milik Allah timur dan barat Faedah 22. Siapa teroris tulen? Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah mendapat pertanyaan. “Banyak orang ketika melihat seorang yang taat dan rajin mengaji, maka mereka pun menjulukinya dengan teroris. Bagaimana tanggapan anda? Semoga Allah berikan taufik kepada anda.” Beliau menjawab, “Hal ini termasuk perbuatan suuzan/buruk sangka kepada kaum muslimin. Pada diri seorang muslim, pada dasarnya terdapat kebaikan. Oleh sebab itu, seharusnya bersangka baik padanya. Kecuali, apabila muncul darinya hal-hal yang menyelisihi kebenaran, maka yang semacam ini memang perlu untuk dibenahi pada momen yang tepat dan cara yang sesuai. Adapun apabila muncul darinya komitmen untuk berpegang-teguh dengan ajaran Nabi dan rajin melakukan amal-amal saleh lantas dikomentari sebagai teroris, maka sesungguhnya orang yang sering mengucapkan komentar semacam ini dia itulah teroris yang sebenarnya. Orang yang suka menuduh macam-macam kepada hamba-hamba Allah yang saleh dan mengolok-olok mereka disebabkan sikap komitmen mereka kepada sunah, sebenarnya orang itulah yang lebih pantas disebut sebagai teroris (penebar rasa takut dan kekacauan, pent).”(Lihat Majmu’ah Rasa’il Manhajiyah wa Da’awiyah, hal. 27) Kaum muslimin yang dirahmati Allah, fenomena semacam ini tidak jarang kita jumpai di tengah masyarakat, kalau tidak mau dikatakan banyak terjadi. Tuduhan-tuduhan kepada para pengikut sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai kelompok radikal. Padahal, mereka tidak menyerukan kepada pemahaman sesat dan menyimpang. Apalagi mengajak kepada aksi-aksi terorisme dan kekacauan. Bahkan, mereka mengajak manusia untuk taat kepada pemerintah dalam hal-hal yang makruf. Para pengikut sunah pun memandang bahwa ketaatan kepada pemerintah muslim adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini hanya salah satu contoh bagaimana kebenaran dan penyeru kebenaran dipojokkan dan dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan dan sumber masalah. Sementara di sisi lain, orang yang siang malam mengajak kepada kesesatan dan kerusakan dinobatkan sebagai sosok penasihat dan para penyebar maksiat justru digelari sebagai kaum yang toleran dan bijaksana. Sesungguhnya perkara ini bukanlah barang baru! Sejak dahulu kala, kaum musyrikin pun menggelari nabi pembawa petunjuk sebagai tukang sihir atau orang gila. Bahkan, mereka menganggap aneh dakwah tauhid serta menuduh para rasul sebagai perusak agama dan tatanan masyarakat. Allah mengisahkan ucapan Firaun ketika menentang dakwah Nabi Musa ‘alaihis salam, ذَرُونِیۤ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡیَدۡعُ رَبَّهُۥۤۖ إِنِّیۤ أَخَافُ أَن یُبَدِّلَ دِینَكُمۡ أَوۡ أَن یُظۡهِرَ فِی ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ “Biarkanlah aku, akan kubunuh Musa dan hendaklah dia menyeru kepada Rabbnya. Sesungguhnya aku khawatir dia akan mengganti agama kalian atau menampakkan di muka bumi ini kerusakan.” (QS. Ghafir: 26) Orang-orang musyrik pun membalas seruan dakwah tauhid dengan cemoohan dan ejekan kepada para dai tauhid. Allah berfirman mengisahkan ucapan mereka, أَىِٕنَّا لَتَارِكُوۤا۟ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرࣲ مَّجۡنُونِۭ “Akankah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara mengikuti perkataan seorang panyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 36) Mereka pun menilai bahwa dakwah untuk memurnikan ibadah kepada Allah serta meninggalkan syirik adalah seruan yang aneh dan nyeleneh. Allah berfirman menceritakan komentar mereka, أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَیۡءٌ عُجَابࣱ “Apakah dia (Rasul) menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja?! Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang aneh.” (QS. Shad: 5) Maksudnya, mereka menganggap tauhid sebagai barang aneh, sedangkan syirik bukan barang aneh?! (Lihat Majmu’ah Rasa’il Manhajiyah wa Da’awiyah, hal. 13 oleh Syekh Shalih Al-Fauzan) Faedah 23. Milik Allah timur dan barat Allah berfirman, وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَ ٰ⁠سِعٌ عَلِیمࣱ “Dan milik Allah semata, arah timur dan barat. Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115) Ayat yang mulia ini menunjukkan tentang betapa luasnya cakupan kerajaan dan kekuasaan Allah. Di dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan karunia-Nya. Seandainya seorang menghadap atau berjalan ke mana pun, maka sesungguhnya Allah meliputi dan mengetahui keadaannya. (Lihat Ahkam minal Qur’an oleh Al-Utsaimin, 1: 413) Selain itu, ayat ini juga mengandung penetapan salah satu sifat Allah, yaitu Allah memiliki wajah. Maka, wajib bagi kita meyakininya sebagaimana zahirnya/apa adanya. Di mana wajah Allah itu sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya sehingga tidak serupa dengan wajah-wajah makhluk. Maka, demikian pula, sifat-sifat Allah yang lain semacam dua tangan atau dua mata. Maka, wajib bagi seorang mukmin untuk menetapkan hal itu secara hakiki/apa adanya. Akan tetapi, kita tidak boleh menentukan bentuk/kaifiyat sifat itu dan tidak boleh menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk-Nya. (Lihat Ahkam minal Qur’an, 1: 414) Ayat yang mulia ini telah ditafsirkan maksudnya dalam sebuah hadis yang dibawakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Bulughul Maram (hadis ke-166). Ibnu Hajar berkata, “Dari Amir bin Rabi’ah radhiyallahu’anhu, dia berkata, ‘Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam, maka kami pun kesulitan mencari arah kiblat. Kami pun tetap melaksanakan salat. Ketika matahari sudah terbit (siang hari), jelaslah bahwa kami telah melakukan salat tidak menghadap kiblat, maka turunlah ayat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka, ke mana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’” (QS. Al-Baqarah: 115) Ibnu Hajar berkata, “Hadis ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dia melemahkannya.” Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini berderajat hasan. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 1: 516) Hadis ini juga dinyatakan hasan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. (Lihat Shahih Sunan Tirmidzi, no. 345) Hadis Amir bin Rabi’ah tersebut juga dibawakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan salah satu maksud yang tercakup di dalam ayat ini. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1: 392-393 tahqiq Sami bin Muhammad As-Salamah) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Apabila arah kiblat samar bagi musafir, lalu dia melakukan salat dan ternyata tampak baginya arahnya keliru, maka salatnya tetap sah, sama saja apakah dia mengetahui salahnya pada waktu salat tersebut masih ada atau sudah berlalu/habis waktu salat itu.” (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 1: 516) Dari sini, kita mengetahui bahwa pada dasarnya salat wajib menghadap kiblat/arah Ka’bah. Akan tetapi, apabila orang sudah berusaha dan tidak bisa menentukan dengan pasti, lalu dia salat ke suatu arah yang dianggap kiblat dan ternyata kemudian terbukti salah, maka salatnya tetap sah dan tidak perlu diulang. Keabsahan itu diisyaratkan oleh kalimat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ “Maka, ke mana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.” Yang menggambarkan bahwa ke arah mana pun seorang muslim menghadap, maka dia akan tetap mengabdi kepada Allah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Dan seandainya dia tersalah atau keliru secara tidak sengaja, maka hal itu dimaafkan. Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwasanya menghadap Ka’bah ketika salat merupakan kewajiban bagi orang yang bisa melihat Ka’bah, sedangkan bagi orang yang tidak bisa melihatnya secara langsung, maka dia cukup mengerjakan salat ke arahnya. (Lihat Ad-Darari Al-Mudhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah, hal. 75) Oleh sebab itu, wajibnya menghadap kiblat ketika salat adalah perkara yang diketahui oleh setiap muslim. Dan yang dimaksud kiblat itu adalah Ka’bah atau ke arahnya. Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, “Apa-apa yang dinukil secara mutawatir seperti (wajibnya) menghadap kiblat dan bahwa kiblat itu adalah ke arah Ka’bah, tidak ada yang menolak/membantah hal ini, kecuali orang kafir.” (Dinukil dengan perantaraan Taudhih Al-Ahkam, 1: 517) Di dalam fikih Mazhab Syafi’i juga telah diterangkan bahwa menghadap kiblat termasuk syarat salat, dan boleh tidak menghadap kiblat apabila dalam keadaan tercekam ketakutan yang sangat dahsyat atau ketika salat sunah pada waktu bersafar dengan naik kendaraan. Begitu pula dibolehkan bagi musafir yang berjalan kaki untuk salat sunah dengan tidak menghadap kiblat. (Lihat Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, hal. 64-65, tahqiq Majid Al-Hamawi) Begitu pula dalam fikih Mazhab Hanbali, diterangkan bahwa menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah salat. Dalilnya adalah firman Allah, وَمِنۡ حَیۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَیۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥ “Dan ke mana pun kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Di mana pun kalian berada, maka hadapkanlah wajahmu (ketika salat) ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 150) Apabila orang tidak mampu memenuhi syarat ini karena sakit atau sebab lain, maka ia gugur karena Allah tidak membebaninya, kecuali sebatas kemampuannya. (Lihat Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, 1: 133-134) Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, “Diturunkan ayat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’ Maksudnya, hendaklah kamu mengerjakan salat ke arah mana hewan tungganganmu menghadap, yaitu ketika mengerjakan salat sunah. (Lihat Ad-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bil Ma’tsur, 1: 565) Imam Ibnu Abi Syaibah, Bukhari, dan Baihaqi meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu bahwa dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salat di atas hewan tunggangannya menghadap ke arah timur. Apabila beliau hendak salat wajib, maka beliau pun turun dan menghadap kiblat lalu mengerjakan salat. (Lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 1: 565) Abdu bin Humaid dan Tirmidzi meriwayatkan dari Qatadah mengenai tafsiran dari ayat ini, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’ Qatadah berkata, ‘Ayat ini telah di-mansukh/dihapus hukumnya. Yaitu, dihapus dengan ayat, فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ ‘Maka, palingkanlah wajahmu menghadap ke Masjidil Haram.’ (QS. Al-Baqarah: 144) Yaitu, hendaknya kamu salat menghadap ke arahnya.'” (lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 1: 568) Faedah: Ibnu Katsir rahimahullah membantah apabila ada orang yang menafsirkan bahwa kalimat “Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.” menunjukkan bahwa Allah ada di mana-mana. Sebagian orang berkata, “Dan Allah Ta’ala, tidaklah ada satu tempat pun yang kosong dari-Nya.” Ibnu Katsir berkata, “Apabila yang dimaksud (ada dimana-mana) itu adalah ilmu Allah, maka itu benar. Karena ilmu Allah meliputi segala hal. Adapun Zat Allah Ta’ala tidak dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya. Mahatinggi Allah dari hal itu dengan ketinggian yang Mahabesar.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1: 391-392) Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Lum’atul I’tiqad menegaskan bahwa ilmu Allah meliputi segala tempat, tidak ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu Allah. Dan sebagaimana telah jelas dari dalil-dalil bahwa Allah berada di atas langit menetap tinggi di atas Arsy. Meskipun demikian, tidak ada sesuatu perkara pun yang samar bagi Allah di langit maupun di bumi, pada masa lalu maupun masa depan. Allah telah mengetahui semuanya. Sehingga ada perbedaan antara Zat Allah dengan ilmu-Nya. Zat Allah berada tinggi di atas langit, sedangkan ilmu-Nya Mahaluas meliputi segala sesuatu. (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syekh Shalih Al-Fauzan, hal. 27) Inilah akidah salaf sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik rahimahullah. Beliau mengatakan, “Allah berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya ada di mana-mana. Tidak ada satu tempat pun yang luput dari ilmu Allah…” (Dinukil melalui Al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il Ahlis Sunnah, hal. 180) Oleh sebab itu, ahlusunah meyakini bahwa Allah berada tinggi di atas Arsy-Nya (dan Allah tidak butuh kepada Arsy). Allah bersama hamba-hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Allah mengetahui keadaan makhluk, mendengar ucapan mereka, dan melihat segala perbuatan dan gerak-gerik mereka. (Lihat Syarh Aqidah Ahlis Sunnah oleh Al-Utsaimin, hal. 140 dst.) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 8: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 8) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid
Daftar Isi Toggle Faedah 22. Siapa teroris tulen?Faedah 23. Milik Allah timur dan barat Faedah 22. Siapa teroris tulen? Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah mendapat pertanyaan. “Banyak orang ketika melihat seorang yang taat dan rajin mengaji, maka mereka pun menjulukinya dengan teroris. Bagaimana tanggapan anda? Semoga Allah berikan taufik kepada anda.” Beliau menjawab, “Hal ini termasuk perbuatan suuzan/buruk sangka kepada kaum muslimin. Pada diri seorang muslim, pada dasarnya terdapat kebaikan. Oleh sebab itu, seharusnya bersangka baik padanya. Kecuali, apabila muncul darinya hal-hal yang menyelisihi kebenaran, maka yang semacam ini memang perlu untuk dibenahi pada momen yang tepat dan cara yang sesuai. Adapun apabila muncul darinya komitmen untuk berpegang-teguh dengan ajaran Nabi dan rajin melakukan amal-amal saleh lantas dikomentari sebagai teroris, maka sesungguhnya orang yang sering mengucapkan komentar semacam ini dia itulah teroris yang sebenarnya. Orang yang suka menuduh macam-macam kepada hamba-hamba Allah yang saleh dan mengolok-olok mereka disebabkan sikap komitmen mereka kepada sunah, sebenarnya orang itulah yang lebih pantas disebut sebagai teroris (penebar rasa takut dan kekacauan, pent).”(Lihat Majmu’ah Rasa’il Manhajiyah wa Da’awiyah, hal. 27) Kaum muslimin yang dirahmati Allah, fenomena semacam ini tidak jarang kita jumpai di tengah masyarakat, kalau tidak mau dikatakan banyak terjadi. Tuduhan-tuduhan kepada para pengikut sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai kelompok radikal. Padahal, mereka tidak menyerukan kepada pemahaman sesat dan menyimpang. Apalagi mengajak kepada aksi-aksi terorisme dan kekacauan. Bahkan, mereka mengajak manusia untuk taat kepada pemerintah dalam hal-hal yang makruf. Para pengikut sunah pun memandang bahwa ketaatan kepada pemerintah muslim adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini hanya salah satu contoh bagaimana kebenaran dan penyeru kebenaran dipojokkan dan dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan dan sumber masalah. Sementara di sisi lain, orang yang siang malam mengajak kepada kesesatan dan kerusakan dinobatkan sebagai sosok penasihat dan para penyebar maksiat justru digelari sebagai kaum yang toleran dan bijaksana. Sesungguhnya perkara ini bukanlah barang baru! Sejak dahulu kala, kaum musyrikin pun menggelari nabi pembawa petunjuk sebagai tukang sihir atau orang gila. Bahkan, mereka menganggap aneh dakwah tauhid serta menuduh para rasul sebagai perusak agama dan tatanan masyarakat. Allah mengisahkan ucapan Firaun ketika menentang dakwah Nabi Musa ‘alaihis salam, ذَرُونِیۤ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡیَدۡعُ رَبَّهُۥۤۖ إِنِّیۤ أَخَافُ أَن یُبَدِّلَ دِینَكُمۡ أَوۡ أَن یُظۡهِرَ فِی ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ “Biarkanlah aku, akan kubunuh Musa dan hendaklah dia menyeru kepada Rabbnya. Sesungguhnya aku khawatir dia akan mengganti agama kalian atau menampakkan di muka bumi ini kerusakan.” (QS. Ghafir: 26) Orang-orang musyrik pun membalas seruan dakwah tauhid dengan cemoohan dan ejekan kepada para dai tauhid. Allah berfirman mengisahkan ucapan mereka, أَىِٕنَّا لَتَارِكُوۤا۟ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرࣲ مَّجۡنُونِۭ “Akankah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara mengikuti perkataan seorang panyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 36) Mereka pun menilai bahwa dakwah untuk memurnikan ibadah kepada Allah serta meninggalkan syirik adalah seruan yang aneh dan nyeleneh. Allah berfirman menceritakan komentar mereka, أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَیۡءٌ عُجَابࣱ “Apakah dia (Rasul) menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja?! Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang aneh.” (QS. Shad: 5) Maksudnya, mereka menganggap tauhid sebagai barang aneh, sedangkan syirik bukan barang aneh?! (Lihat Majmu’ah Rasa’il Manhajiyah wa Da’awiyah, hal. 13 oleh Syekh Shalih Al-Fauzan) Faedah 23. Milik Allah timur dan barat Allah berfirman, وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَ ٰ⁠سِعٌ عَلِیمࣱ “Dan milik Allah semata, arah timur dan barat. Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115) Ayat yang mulia ini menunjukkan tentang betapa luasnya cakupan kerajaan dan kekuasaan Allah. Di dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan karunia-Nya. Seandainya seorang menghadap atau berjalan ke mana pun, maka sesungguhnya Allah meliputi dan mengetahui keadaannya. (Lihat Ahkam minal Qur’an oleh Al-Utsaimin, 1: 413) Selain itu, ayat ini juga mengandung penetapan salah satu sifat Allah, yaitu Allah memiliki wajah. Maka, wajib bagi kita meyakininya sebagaimana zahirnya/apa adanya. Di mana wajah Allah itu sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya sehingga tidak serupa dengan wajah-wajah makhluk. Maka, demikian pula, sifat-sifat Allah yang lain semacam dua tangan atau dua mata. Maka, wajib bagi seorang mukmin untuk menetapkan hal itu secara hakiki/apa adanya. Akan tetapi, kita tidak boleh menentukan bentuk/kaifiyat sifat itu dan tidak boleh menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk-Nya. (Lihat Ahkam minal Qur’an, 1: 414) Ayat yang mulia ini telah ditafsirkan maksudnya dalam sebuah hadis yang dibawakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Bulughul Maram (hadis ke-166). Ibnu Hajar berkata, “Dari Amir bin Rabi’ah radhiyallahu’anhu, dia berkata, ‘Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam, maka kami pun kesulitan mencari arah kiblat. Kami pun tetap melaksanakan salat. Ketika matahari sudah terbit (siang hari), jelaslah bahwa kami telah melakukan salat tidak menghadap kiblat, maka turunlah ayat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka, ke mana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’” (QS. Al-Baqarah: 115) Ibnu Hajar berkata, “Hadis ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dia melemahkannya.” Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini berderajat hasan. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 1: 516) Hadis ini juga dinyatakan hasan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. (Lihat Shahih Sunan Tirmidzi, no. 345) Hadis Amir bin Rabi’ah tersebut juga dibawakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan salah satu maksud yang tercakup di dalam ayat ini. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1: 392-393 tahqiq Sami bin Muhammad As-Salamah) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Apabila arah kiblat samar bagi musafir, lalu dia melakukan salat dan ternyata tampak baginya arahnya keliru, maka salatnya tetap sah, sama saja apakah dia mengetahui salahnya pada waktu salat tersebut masih ada atau sudah berlalu/habis waktu salat itu.” (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 1: 516) Dari sini, kita mengetahui bahwa pada dasarnya salat wajib menghadap kiblat/arah Ka’bah. Akan tetapi, apabila orang sudah berusaha dan tidak bisa menentukan dengan pasti, lalu dia salat ke suatu arah yang dianggap kiblat dan ternyata kemudian terbukti salah, maka salatnya tetap sah dan tidak perlu diulang. Keabsahan itu diisyaratkan oleh kalimat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ “Maka, ke mana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.” Yang menggambarkan bahwa ke arah mana pun seorang muslim menghadap, maka dia akan tetap mengabdi kepada Allah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Dan seandainya dia tersalah atau keliru secara tidak sengaja, maka hal itu dimaafkan. Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwasanya menghadap Ka’bah ketika salat merupakan kewajiban bagi orang yang bisa melihat Ka’bah, sedangkan bagi orang yang tidak bisa melihatnya secara langsung, maka dia cukup mengerjakan salat ke arahnya. (Lihat Ad-Darari Al-Mudhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah, hal. 75) Oleh sebab itu, wajibnya menghadap kiblat ketika salat adalah perkara yang diketahui oleh setiap muslim. Dan yang dimaksud kiblat itu adalah Ka’bah atau ke arahnya. Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, “Apa-apa yang dinukil secara mutawatir seperti (wajibnya) menghadap kiblat dan bahwa kiblat itu adalah ke arah Ka’bah, tidak ada yang menolak/membantah hal ini, kecuali orang kafir.” (Dinukil dengan perantaraan Taudhih Al-Ahkam, 1: 517) Di dalam fikih Mazhab Syafi’i juga telah diterangkan bahwa menghadap kiblat termasuk syarat salat, dan boleh tidak menghadap kiblat apabila dalam keadaan tercekam ketakutan yang sangat dahsyat atau ketika salat sunah pada waktu bersafar dengan naik kendaraan. Begitu pula dibolehkan bagi musafir yang berjalan kaki untuk salat sunah dengan tidak menghadap kiblat. (Lihat Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, hal. 64-65, tahqiq Majid Al-Hamawi) Begitu pula dalam fikih Mazhab Hanbali, diterangkan bahwa menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah salat. Dalilnya adalah firman Allah, وَمِنۡ حَیۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَیۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥ “Dan ke mana pun kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Di mana pun kalian berada, maka hadapkanlah wajahmu (ketika salat) ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 150) Apabila orang tidak mampu memenuhi syarat ini karena sakit atau sebab lain, maka ia gugur karena Allah tidak membebaninya, kecuali sebatas kemampuannya. (Lihat Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, 1: 133-134) Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, “Diturunkan ayat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’ Maksudnya, hendaklah kamu mengerjakan salat ke arah mana hewan tungganganmu menghadap, yaitu ketika mengerjakan salat sunah. (Lihat Ad-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bil Ma’tsur, 1: 565) Imam Ibnu Abi Syaibah, Bukhari, dan Baihaqi meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu bahwa dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salat di atas hewan tunggangannya menghadap ke arah timur. Apabila beliau hendak salat wajib, maka beliau pun turun dan menghadap kiblat lalu mengerjakan salat. (Lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 1: 565) Abdu bin Humaid dan Tirmidzi meriwayatkan dari Qatadah mengenai tafsiran dari ayat ini, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’ Qatadah berkata, ‘Ayat ini telah di-mansukh/dihapus hukumnya. Yaitu, dihapus dengan ayat, فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ ‘Maka, palingkanlah wajahmu menghadap ke Masjidil Haram.’ (QS. Al-Baqarah: 144) Yaitu, hendaknya kamu salat menghadap ke arahnya.'” (lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 1: 568) Faedah: Ibnu Katsir rahimahullah membantah apabila ada orang yang menafsirkan bahwa kalimat “Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.” menunjukkan bahwa Allah ada di mana-mana. Sebagian orang berkata, “Dan Allah Ta’ala, tidaklah ada satu tempat pun yang kosong dari-Nya.” Ibnu Katsir berkata, “Apabila yang dimaksud (ada dimana-mana) itu adalah ilmu Allah, maka itu benar. Karena ilmu Allah meliputi segala hal. Adapun Zat Allah Ta’ala tidak dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya. Mahatinggi Allah dari hal itu dengan ketinggian yang Mahabesar.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1: 391-392) Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Lum’atul I’tiqad menegaskan bahwa ilmu Allah meliputi segala tempat, tidak ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu Allah. Dan sebagaimana telah jelas dari dalil-dalil bahwa Allah berada di atas langit menetap tinggi di atas Arsy. Meskipun demikian, tidak ada sesuatu perkara pun yang samar bagi Allah di langit maupun di bumi, pada masa lalu maupun masa depan. Allah telah mengetahui semuanya. Sehingga ada perbedaan antara Zat Allah dengan ilmu-Nya. Zat Allah berada tinggi di atas langit, sedangkan ilmu-Nya Mahaluas meliputi segala sesuatu. (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syekh Shalih Al-Fauzan, hal. 27) Inilah akidah salaf sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik rahimahullah. Beliau mengatakan, “Allah berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya ada di mana-mana. Tidak ada satu tempat pun yang luput dari ilmu Allah…” (Dinukil melalui Al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il Ahlis Sunnah, hal. 180) Oleh sebab itu, ahlusunah meyakini bahwa Allah berada tinggi di atas Arsy-Nya (dan Allah tidak butuh kepada Arsy). Allah bersama hamba-hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Allah mengetahui keadaan makhluk, mendengar ucapan mereka, dan melihat segala perbuatan dan gerak-gerik mereka. (Lihat Syarh Aqidah Ahlis Sunnah oleh Al-Utsaimin, hal. 140 dst.) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 8: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 8) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid


Daftar Isi Toggle Faedah 22. Siapa teroris tulen?Faedah 23. Milik Allah timur dan barat Faedah 22. Siapa teroris tulen? Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah mendapat pertanyaan. “Banyak orang ketika melihat seorang yang taat dan rajin mengaji, maka mereka pun menjulukinya dengan teroris. Bagaimana tanggapan anda? Semoga Allah berikan taufik kepada anda.” Beliau menjawab, “Hal ini termasuk perbuatan suuzan/buruk sangka kepada kaum muslimin. Pada diri seorang muslim, pada dasarnya terdapat kebaikan. Oleh sebab itu, seharusnya bersangka baik padanya. Kecuali, apabila muncul darinya hal-hal yang menyelisihi kebenaran, maka yang semacam ini memang perlu untuk dibenahi pada momen yang tepat dan cara yang sesuai. Adapun apabila muncul darinya komitmen untuk berpegang-teguh dengan ajaran Nabi dan rajin melakukan amal-amal saleh lantas dikomentari sebagai teroris, maka sesungguhnya orang yang sering mengucapkan komentar semacam ini dia itulah teroris yang sebenarnya. Orang yang suka menuduh macam-macam kepada hamba-hamba Allah yang saleh dan mengolok-olok mereka disebabkan sikap komitmen mereka kepada sunah, sebenarnya orang itulah yang lebih pantas disebut sebagai teroris (penebar rasa takut dan kekacauan, pent).”(Lihat Majmu’ah Rasa’il Manhajiyah wa Da’awiyah, hal. 27) Kaum muslimin yang dirahmati Allah, fenomena semacam ini tidak jarang kita jumpai di tengah masyarakat, kalau tidak mau dikatakan banyak terjadi. Tuduhan-tuduhan kepada para pengikut sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai kelompok radikal. Padahal, mereka tidak menyerukan kepada pemahaman sesat dan menyimpang. Apalagi mengajak kepada aksi-aksi terorisme dan kekacauan. Bahkan, mereka mengajak manusia untuk taat kepada pemerintah dalam hal-hal yang makruf. Para pengikut sunah pun memandang bahwa ketaatan kepada pemerintah muslim adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini hanya salah satu contoh bagaimana kebenaran dan penyeru kebenaran dipojokkan dan dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan dan sumber masalah. Sementara di sisi lain, orang yang siang malam mengajak kepada kesesatan dan kerusakan dinobatkan sebagai sosok penasihat dan para penyebar maksiat justru digelari sebagai kaum yang toleran dan bijaksana. Sesungguhnya perkara ini bukanlah barang baru! Sejak dahulu kala, kaum musyrikin pun menggelari nabi pembawa petunjuk sebagai tukang sihir atau orang gila. Bahkan, mereka menganggap aneh dakwah tauhid serta menuduh para rasul sebagai perusak agama dan tatanan masyarakat. Allah mengisahkan ucapan Firaun ketika menentang dakwah Nabi Musa ‘alaihis salam, ذَرُونِیۤ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡیَدۡعُ رَبَّهُۥۤۖ إِنِّیۤ أَخَافُ أَن یُبَدِّلَ دِینَكُمۡ أَوۡ أَن یُظۡهِرَ فِی ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ “Biarkanlah aku, akan kubunuh Musa dan hendaklah dia menyeru kepada Rabbnya. Sesungguhnya aku khawatir dia akan mengganti agama kalian atau menampakkan di muka bumi ini kerusakan.” (QS. Ghafir: 26) Orang-orang musyrik pun membalas seruan dakwah tauhid dengan cemoohan dan ejekan kepada para dai tauhid. Allah berfirman mengisahkan ucapan mereka, أَىِٕنَّا لَتَارِكُوۤا۟ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرࣲ مَّجۡنُونِۭ “Akankah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara mengikuti perkataan seorang panyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 36) Mereka pun menilai bahwa dakwah untuk memurnikan ibadah kepada Allah serta meninggalkan syirik adalah seruan yang aneh dan nyeleneh. Allah berfirman menceritakan komentar mereka, أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَیۡءٌ عُجَابࣱ “Apakah dia (Rasul) menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja?! Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang aneh.” (QS. Shad: 5) Maksudnya, mereka menganggap tauhid sebagai barang aneh, sedangkan syirik bukan barang aneh?! (Lihat Majmu’ah Rasa’il Manhajiyah wa Da’awiyah, hal. 13 oleh Syekh Shalih Al-Fauzan) Faedah 23. Milik Allah timur dan barat Allah berfirman, وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَ ٰ⁠سِعٌ عَلِیمࣱ “Dan milik Allah semata, arah timur dan barat. Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115) Ayat yang mulia ini menunjukkan tentang betapa luasnya cakupan kerajaan dan kekuasaan Allah. Di dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan karunia-Nya. Seandainya seorang menghadap atau berjalan ke mana pun, maka sesungguhnya Allah meliputi dan mengetahui keadaannya. (Lihat Ahkam minal Qur’an oleh Al-Utsaimin, 1: 413) Selain itu, ayat ini juga mengandung penetapan salah satu sifat Allah, yaitu Allah memiliki wajah. Maka, wajib bagi kita meyakininya sebagaimana zahirnya/apa adanya. Di mana wajah Allah itu sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya sehingga tidak serupa dengan wajah-wajah makhluk. Maka, demikian pula, sifat-sifat Allah yang lain semacam dua tangan atau dua mata. Maka, wajib bagi seorang mukmin untuk menetapkan hal itu secara hakiki/apa adanya. Akan tetapi, kita tidak boleh menentukan bentuk/kaifiyat sifat itu dan tidak boleh menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk-Nya. (Lihat Ahkam minal Qur’an, 1: 414) Ayat yang mulia ini telah ditafsirkan maksudnya dalam sebuah hadis yang dibawakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Bulughul Maram (hadis ke-166). Ibnu Hajar berkata, “Dari Amir bin Rabi’ah radhiyallahu’anhu, dia berkata, ‘Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam, maka kami pun kesulitan mencari arah kiblat. Kami pun tetap melaksanakan salat. Ketika matahari sudah terbit (siang hari), jelaslah bahwa kami telah melakukan salat tidak menghadap kiblat, maka turunlah ayat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka, ke mana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’” (QS. Al-Baqarah: 115) Ibnu Hajar berkata, “Hadis ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dia melemahkannya.” Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini berderajat hasan. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 1: 516) Hadis ini juga dinyatakan hasan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. (Lihat Shahih Sunan Tirmidzi, no. 345) Hadis Amir bin Rabi’ah tersebut juga dibawakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan salah satu maksud yang tercakup di dalam ayat ini. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1: 392-393 tahqiq Sami bin Muhammad As-Salamah) Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Apabila arah kiblat samar bagi musafir, lalu dia melakukan salat dan ternyata tampak baginya arahnya keliru, maka salatnya tetap sah, sama saja apakah dia mengetahui salahnya pada waktu salat tersebut masih ada atau sudah berlalu/habis waktu salat itu.” (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 1: 516) Dari sini, kita mengetahui bahwa pada dasarnya salat wajib menghadap kiblat/arah Ka’bah. Akan tetapi, apabila orang sudah berusaha dan tidak bisa menentukan dengan pasti, lalu dia salat ke suatu arah yang dianggap kiblat dan ternyata kemudian terbukti salah, maka salatnya tetap sah dan tidak perlu diulang. Keabsahan itu diisyaratkan oleh kalimat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ “Maka, ke mana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.” Yang menggambarkan bahwa ke arah mana pun seorang muslim menghadap, maka dia akan tetap mengabdi kepada Allah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Dan seandainya dia tersalah atau keliru secara tidak sengaja, maka hal itu dimaafkan. Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwasanya menghadap Ka’bah ketika salat merupakan kewajiban bagi orang yang bisa melihat Ka’bah, sedangkan bagi orang yang tidak bisa melihatnya secara langsung, maka dia cukup mengerjakan salat ke arahnya. (Lihat Ad-Darari Al-Mudhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah, hal. 75) Oleh sebab itu, wajibnya menghadap kiblat ketika salat adalah perkara yang diketahui oleh setiap muslim. Dan yang dimaksud kiblat itu adalah Ka’bah atau ke arahnya. Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, “Apa-apa yang dinukil secara mutawatir seperti (wajibnya) menghadap kiblat dan bahwa kiblat itu adalah ke arah Ka’bah, tidak ada yang menolak/membantah hal ini, kecuali orang kafir.” (Dinukil dengan perantaraan Taudhih Al-Ahkam, 1: 517) Di dalam fikih Mazhab Syafi’i juga telah diterangkan bahwa menghadap kiblat termasuk syarat salat, dan boleh tidak menghadap kiblat apabila dalam keadaan tercekam ketakutan yang sangat dahsyat atau ketika salat sunah pada waktu bersafar dengan naik kendaraan. Begitu pula dibolehkan bagi musafir yang berjalan kaki untuk salat sunah dengan tidak menghadap kiblat. (Lihat Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, hal. 64-65, tahqiq Majid Al-Hamawi) Begitu pula dalam fikih Mazhab Hanbali, diterangkan bahwa menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah salat. Dalilnya adalah firman Allah, وَمِنۡ حَیۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَیۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥ “Dan ke mana pun kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Di mana pun kalian berada, maka hadapkanlah wajahmu (ketika salat) ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 150) Apabila orang tidak mampu memenuhi syarat ini karena sakit atau sebab lain, maka ia gugur karena Allah tidak membebaninya, kecuali sebatas kemampuannya. (Lihat Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, 1: 133-134) Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, “Diturunkan ayat, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’ Maksudnya, hendaklah kamu mengerjakan salat ke arah mana hewan tungganganmu menghadap, yaitu ketika mengerjakan salat sunah. (Lihat Ad-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bil Ma’tsur, 1: 565) Imam Ibnu Abi Syaibah, Bukhari, dan Baihaqi meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu bahwa dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salat di atas hewan tunggangannya menghadap ke arah timur. Apabila beliau hendak salat wajib, maka beliau pun turun dan menghadap kiblat lalu mengerjakan salat. (Lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 1: 565) Abdu bin Humaid dan Tirmidzi meriwayatkan dari Qatadah mengenai tafsiran dari ayat ini, فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ ‘Maka ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’ Qatadah berkata, ‘Ayat ini telah di-mansukh/dihapus hukumnya. Yaitu, dihapus dengan ayat, فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ ‘Maka, palingkanlah wajahmu menghadap ke Masjidil Haram.’ (QS. Al-Baqarah: 144) Yaitu, hendaknya kamu salat menghadap ke arahnya.'” (lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 1: 568) Faedah: Ibnu Katsir rahimahullah membantah apabila ada orang yang menafsirkan bahwa kalimat “Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.” menunjukkan bahwa Allah ada di mana-mana. Sebagian orang berkata, “Dan Allah Ta’ala, tidaklah ada satu tempat pun yang kosong dari-Nya.” Ibnu Katsir berkata, “Apabila yang dimaksud (ada dimana-mana) itu adalah ilmu Allah, maka itu benar. Karena ilmu Allah meliputi segala hal. Adapun Zat Allah Ta’ala tidak dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya. Mahatinggi Allah dari hal itu dengan ketinggian yang Mahabesar.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1: 391-392) Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Lum’atul I’tiqad menegaskan bahwa ilmu Allah meliputi segala tempat, tidak ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu Allah. Dan sebagaimana telah jelas dari dalil-dalil bahwa Allah berada di atas langit menetap tinggi di atas Arsy. Meskipun demikian, tidak ada sesuatu perkara pun yang samar bagi Allah di langit maupun di bumi, pada masa lalu maupun masa depan. Allah telah mengetahui semuanya. Sehingga ada perbedaan antara Zat Allah dengan ilmu-Nya. Zat Allah berada tinggi di atas langit, sedangkan ilmu-Nya Mahaluas meliputi segala sesuatu. (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syekh Shalih Al-Fauzan, hal. 27) Inilah akidah salaf sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik rahimahullah. Beliau mengatakan, “Allah berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya ada di mana-mana. Tidak ada satu tempat pun yang luput dari ilmu Allah…” (Dinukil melalui Al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il Ahlis Sunnah, hal. 180) Oleh sebab itu, ahlusunah meyakini bahwa Allah berada tinggi di atas Arsy-Nya (dan Allah tidak butuh kepada Arsy). Allah bersama hamba-hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Allah mengetahui keadaan makhluk, mendengar ucapan mereka, dan melihat segala perbuatan dan gerak-gerik mereka. (Lihat Syarh Aqidah Ahlis Sunnah oleh Al-Utsaimin, hal. 140 dst.) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 8: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 8) *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: faedahtauhid

Hukum dan Kondisi Orang Puasa saat Safar

Islam adalah agama penuh kasih sayang. Dan di antara bentuk kasih sayang kepada umatnya adalah adanya kemudahan dan keringanan tatkala ada uzur, kesulitan, atau kepayahan bagi umatnya saat menjalankan sebagian ibadah. Baik itu berupa boleh meninggalkan ibadah tersebut dan diganti di lain waktu atau tetap mengerjakannya tetapi dengan bentuk peribadatan yang berubah dari asal tata caranya sehingga lebih ringan untuk dikerjakan. Di antara uzur yang mendapatkan rukhsah (keringanan) adalah safar. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.” [1] Adapun safar yang mendapatkan rukhsah (keringanan) apabila jarak tempuhnya sudah mencapai kurang lebih 83 km. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan yang dipilih oleh Syekh Ibnu Baz rahimahullah. [2] Mereka berdalil dengan hadis berikut, وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqasar salat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” [3] Sehingga, pada asalnya, apabila seseorang bersafar di bulan Ramadan atau dia sedang menjalankan puasa wajib lainnya (nazar, kafarat, atau qada’), maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Namun, meski demikian, setidaknya ada empat rincian hukum dan kondisi orang puasa saat safar sebagai berikut: Pertama, apabila puasa saat safar bisa membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa, maka puasanya sah. Sebagian ulama berpendapat hukumnya haram, dan ini pendapat yang lebih kuat. [4] Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.”[5] Kedua, apabila puasa saat safar memberatkan dirinya, namun tidak sampai membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh juga untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa maka puasanya sah. Berdasarkan hadis Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu, ada seseorang yang diberi naungan. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Siapa ini?’ Orang-orang pun mengatakan, ‘Ini adalah orang yang sedang berpuasa.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bukanlah suatu hal yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar.’” [6] Ketiga, apabila puasa atau tidak puasa saat safar sama saja tidak ada bedanya baginya. Artinya, dia tidak merasa keberatan sama sekali puasa saat safar. Maka, yang lebih utama bagi dia adalah tetap berpuasa karena lebih cepat menggugurkan kewajiban bagi mukallaf (orang yang dibebani syariat), lebih mudah menjalankan puasa bersama orang-orang juga puasa, dan mendapati waktu yang mulia dan utama, yaitu bulan Ramadan. [7] Keempat, apabila seseorang tidak merasa keberatan dan kesulitan puasa saat safar, namun dia merasa berat dan sulit untuk meng-qada’-nya. Seperti seseorang yang jauh lebih sibuk dengan pekerjaan dan banyak safar di luar bulan Ramadan. Maka kondisi yang seperti ini lebih utama baginya puasa saat safar di bulan Ramadan. Waallahu Ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Hukum Sengaja Melakukan Safar agar Tidak Berpuasa *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al-Baqarah: 185. [2] Fatawa Nur ‘ala Al-Darb, 42: 13-43. [3] HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Di-washal-kan oleh Al-Baihaqi, 3: 137. Lihat Al-Irwa’, 565. [4] Asy-Syarhu Al-Mumti’ oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 6: 355. [5] HR. Imam Ahmad, 1: 313. [6] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115. [7] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 28: 73. Tags: puasasafar

Hukum dan Kondisi Orang Puasa saat Safar

Islam adalah agama penuh kasih sayang. Dan di antara bentuk kasih sayang kepada umatnya adalah adanya kemudahan dan keringanan tatkala ada uzur, kesulitan, atau kepayahan bagi umatnya saat menjalankan sebagian ibadah. Baik itu berupa boleh meninggalkan ibadah tersebut dan diganti di lain waktu atau tetap mengerjakannya tetapi dengan bentuk peribadatan yang berubah dari asal tata caranya sehingga lebih ringan untuk dikerjakan. Di antara uzur yang mendapatkan rukhsah (keringanan) adalah safar. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.” [1] Adapun safar yang mendapatkan rukhsah (keringanan) apabila jarak tempuhnya sudah mencapai kurang lebih 83 km. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan yang dipilih oleh Syekh Ibnu Baz rahimahullah. [2] Mereka berdalil dengan hadis berikut, وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqasar salat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” [3] Sehingga, pada asalnya, apabila seseorang bersafar di bulan Ramadan atau dia sedang menjalankan puasa wajib lainnya (nazar, kafarat, atau qada’), maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Namun, meski demikian, setidaknya ada empat rincian hukum dan kondisi orang puasa saat safar sebagai berikut: Pertama, apabila puasa saat safar bisa membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa, maka puasanya sah. Sebagian ulama berpendapat hukumnya haram, dan ini pendapat yang lebih kuat. [4] Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.”[5] Kedua, apabila puasa saat safar memberatkan dirinya, namun tidak sampai membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh juga untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa maka puasanya sah. Berdasarkan hadis Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu, ada seseorang yang diberi naungan. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Siapa ini?’ Orang-orang pun mengatakan, ‘Ini adalah orang yang sedang berpuasa.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bukanlah suatu hal yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar.’” [6] Ketiga, apabila puasa atau tidak puasa saat safar sama saja tidak ada bedanya baginya. Artinya, dia tidak merasa keberatan sama sekali puasa saat safar. Maka, yang lebih utama bagi dia adalah tetap berpuasa karena lebih cepat menggugurkan kewajiban bagi mukallaf (orang yang dibebani syariat), lebih mudah menjalankan puasa bersama orang-orang juga puasa, dan mendapati waktu yang mulia dan utama, yaitu bulan Ramadan. [7] Keempat, apabila seseorang tidak merasa keberatan dan kesulitan puasa saat safar, namun dia merasa berat dan sulit untuk meng-qada’-nya. Seperti seseorang yang jauh lebih sibuk dengan pekerjaan dan banyak safar di luar bulan Ramadan. Maka kondisi yang seperti ini lebih utama baginya puasa saat safar di bulan Ramadan. Waallahu Ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Hukum Sengaja Melakukan Safar agar Tidak Berpuasa *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al-Baqarah: 185. [2] Fatawa Nur ‘ala Al-Darb, 42: 13-43. [3] HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Di-washal-kan oleh Al-Baihaqi, 3: 137. Lihat Al-Irwa’, 565. [4] Asy-Syarhu Al-Mumti’ oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 6: 355. [5] HR. Imam Ahmad, 1: 313. [6] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115. [7] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 28: 73. Tags: puasasafar
Islam adalah agama penuh kasih sayang. Dan di antara bentuk kasih sayang kepada umatnya adalah adanya kemudahan dan keringanan tatkala ada uzur, kesulitan, atau kepayahan bagi umatnya saat menjalankan sebagian ibadah. Baik itu berupa boleh meninggalkan ibadah tersebut dan diganti di lain waktu atau tetap mengerjakannya tetapi dengan bentuk peribadatan yang berubah dari asal tata caranya sehingga lebih ringan untuk dikerjakan. Di antara uzur yang mendapatkan rukhsah (keringanan) adalah safar. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.” [1] Adapun safar yang mendapatkan rukhsah (keringanan) apabila jarak tempuhnya sudah mencapai kurang lebih 83 km. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan yang dipilih oleh Syekh Ibnu Baz rahimahullah. [2] Mereka berdalil dengan hadis berikut, وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqasar salat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” [3] Sehingga, pada asalnya, apabila seseorang bersafar di bulan Ramadan atau dia sedang menjalankan puasa wajib lainnya (nazar, kafarat, atau qada’), maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Namun, meski demikian, setidaknya ada empat rincian hukum dan kondisi orang puasa saat safar sebagai berikut: Pertama, apabila puasa saat safar bisa membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa, maka puasanya sah. Sebagian ulama berpendapat hukumnya haram, dan ini pendapat yang lebih kuat. [4] Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.”[5] Kedua, apabila puasa saat safar memberatkan dirinya, namun tidak sampai membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh juga untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa maka puasanya sah. Berdasarkan hadis Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu, ada seseorang yang diberi naungan. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Siapa ini?’ Orang-orang pun mengatakan, ‘Ini adalah orang yang sedang berpuasa.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bukanlah suatu hal yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar.’” [6] Ketiga, apabila puasa atau tidak puasa saat safar sama saja tidak ada bedanya baginya. Artinya, dia tidak merasa keberatan sama sekali puasa saat safar. Maka, yang lebih utama bagi dia adalah tetap berpuasa karena lebih cepat menggugurkan kewajiban bagi mukallaf (orang yang dibebani syariat), lebih mudah menjalankan puasa bersama orang-orang juga puasa, dan mendapati waktu yang mulia dan utama, yaitu bulan Ramadan. [7] Keempat, apabila seseorang tidak merasa keberatan dan kesulitan puasa saat safar, namun dia merasa berat dan sulit untuk meng-qada’-nya. Seperti seseorang yang jauh lebih sibuk dengan pekerjaan dan banyak safar di luar bulan Ramadan. Maka kondisi yang seperti ini lebih utama baginya puasa saat safar di bulan Ramadan. Waallahu Ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Hukum Sengaja Melakukan Safar agar Tidak Berpuasa *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al-Baqarah: 185. [2] Fatawa Nur ‘ala Al-Darb, 42: 13-43. [3] HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Di-washal-kan oleh Al-Baihaqi, 3: 137. Lihat Al-Irwa’, 565. [4] Asy-Syarhu Al-Mumti’ oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 6: 355. [5] HR. Imam Ahmad, 1: 313. [6] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115. [7] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 28: 73. Tags: puasasafar


Islam adalah agama penuh kasih sayang. Dan di antara bentuk kasih sayang kepada umatnya adalah adanya kemudahan dan keringanan tatkala ada uzur, kesulitan, atau kepayahan bagi umatnya saat menjalankan sebagian ibadah. Baik itu berupa boleh meninggalkan ibadah tersebut dan diganti di lain waktu atau tetap mengerjakannya tetapi dengan bentuk peribadatan yang berubah dari asal tata caranya sehingga lebih ringan untuk dikerjakan. Di antara uzur yang mendapatkan rukhsah (keringanan) adalah safar. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.” [1] Adapun safar yang mendapatkan rukhsah (keringanan) apabila jarak tempuhnya sudah mencapai kurang lebih 83 km. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan yang dipilih oleh Syekh Ibnu Baz rahimahullah. [2] Mereka berdalil dengan hadis berikut, وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqasar salat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” [3] Sehingga, pada asalnya, apabila seseorang bersafar di bulan Ramadan atau dia sedang menjalankan puasa wajib lainnya (nazar, kafarat, atau qada’), maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Namun, meski demikian, setidaknya ada empat rincian hukum dan kondisi orang puasa saat safar sebagai berikut: Pertama, apabila puasa saat safar bisa membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa, maka puasanya sah. Sebagian ulama berpendapat hukumnya haram, dan ini pendapat yang lebih kuat. [4] Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.”[5] Kedua, apabila puasa saat safar memberatkan dirinya, namun tidak sampai membahayakan dan memberikan mudarat baginya, maka kondisi seperti ini hukumnya makruh juga untuk puasa. Namun, apabila tetap puasa maka puasanya sah. Berdasarkan hadis Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu, ada seseorang yang diberi naungan. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Siapa ini?’ Orang-orang pun mengatakan, ‘Ini adalah orang yang sedang berpuasa.’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bukanlah suatu hal yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar.’” [6] Ketiga, apabila puasa atau tidak puasa saat safar sama saja tidak ada bedanya baginya. Artinya, dia tidak merasa keberatan sama sekali puasa saat safar. Maka, yang lebih utama bagi dia adalah tetap berpuasa karena lebih cepat menggugurkan kewajiban bagi mukallaf (orang yang dibebani syariat), lebih mudah menjalankan puasa bersama orang-orang juga puasa, dan mendapati waktu yang mulia dan utama, yaitu bulan Ramadan. [7] Keempat, apabila seseorang tidak merasa keberatan dan kesulitan puasa saat safar, namun dia merasa berat dan sulit untuk meng-qada’-nya. Seperti seseorang yang jauh lebih sibuk dengan pekerjaan dan banyak safar di luar bulan Ramadan. Maka kondisi yang seperti ini lebih utama baginya puasa saat safar di bulan Ramadan. Waallahu Ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Hukum Sengaja Melakukan Safar agar Tidak Berpuasa *** Penulis: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] QS. Al-Baqarah: 185. [2] Fatawa Nur ‘ala Al-Darb, 42: 13-43. [3] HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Di-washal-kan oleh Al-Baihaqi, 3: 137. Lihat Al-Irwa’, 565. [4] Asy-Syarhu Al-Mumti’ oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 6: 355. [5] HR. Imam Ahmad, 1: 313. [6] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115. [7] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 28: 73. Tags: puasasafar
Prev     Next