Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pertama: Kepastian dalil agama dan sains bertingkat-tingkatContoh dugaan pertentangan ayat Al-Qur’an dan sainsContoh dugaan pertentangan hadis dan sains “Ayat ini bertentangan dengan Sains! Hadis ini tidak masuk akal!” Demikianlah, salah satu ucapan yang menggambarkan kesalahpahaman terhadap Islam yang sering ditemukan di kalangan para intelektual dan semisalnya. Miskonsepsi tersebut adalah dugaan adanya pertentangan antara sains dan syariat atau pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sebagian orang merasa tidak memiliki masalah terhadap syariat dan informasi-informasi di dalamnya. Mereka menganggap bahwa agama adalah salah satu sumber pengetahuan. Akan tetapi, di benaknya ia merasa ada pertentangan antara dalil tertentu dengan fakta ilmiah tertentu. Kemudian ia menganggap bahwa fakta ilmiah tersebut harus didahulukan. Sebagian orang lainnya menganggap bahwa dalil apa pun sudah pasti benar, tanpa mengecek validitas dalil tersebut. Oleh karenanya, apabila ia temukan pertentangan antara agama dan sains, ia langsung buru-buru menyalahkan sains, dan membela dalil tersebut. Padahal, bisa jadi, dalil yang ia gunakan tidak sahih dan sains yang ia salahkan adalah fakta aksiomatis yang tidak bisa diganggu gugat kebenarannya. Lantas, bagaimanakah posisi yang tepat dalam masalah ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami sajikan dalam bentuk poin-poin. Pertama: Kepastian dalil agama dan sains bertingkat-tingkat Di antara faktor yang melahirkan permasalahan ini adalah anggapan bahwa dalil agama dan sains berada dalam satu tingkatan kekuatan, baik dari sisi validitas informasi ataupun penafsirannya. Padahal, faktanya tidaklah demikian. Dalil agama dan sains keabsahannya bertingkat-tingkat. Dalil agama ada yang pasti benar dari sisi periwayatan dan penafsirannya, ada pula yang bersifat dugaan. Sebagai contoh, Al-Qur’an, dari awal hingga akhir, diriwayatkan secara mutawātir, yaitu sekelompok orang meriwayatkan dari sekelompok orang sampai bersambung ke Nabi ﷺ. Oleh karena itu, tingkat validitas seluruh informasinya adalah pasti. Namun, pemahaman terhadap dalālah atau maksud dari ayat-ayatnya bertingkat-tingkat. Ada yang pasti, tidak ada perselisihan dalam memahami maksud ayat tersebut. Ada pula yang bersifat dugaan, sehingga perlu dikembalikan tafsirnya kepada ulama untuk memahami maksudnya dengan benar. Contoh ayat yang maksudnya pasti adalah, Allah Ta’āla berfirman قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ “Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Maha Esa.’” (QS. Al-Ikhlas: 1) Maksud ayat tersebut bersifat pasti, yaitu Allah adalah Esa. Ayat tersebut tidak dapat dipahami dengan pemahaman lainnya. Seseorang tidak bisa mengalihkan maknanya ke makna lain, seperti Allah tidak esa, atau Allah adalah dua. Contoh dugaan pertentangan ayat Al-Qur’an dan sains Adapun ayat berikut adalah contoh pemahaman maksud ayat yang tidak pasti, sehingga perlu dikembalikan maknanya kepada ulama tafsir. Allah Ta’āla berfirman, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ ٱلشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِى عَيْنٍ حَمِئَةٍۢ … “Hingga ketika dia telah sampai di tempat matahari terbenam, dia melihatnya terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam…” (QS. Al-Kahfi: 86) Pemahaman secara tekstual terhadap ayat tersebut adalah bahwasanya matahari terbenam di laut yang berlumpur hitam. Sedangkan konsensus sains mengatakan bahwa bumi berotasi mengitari matahari, bukan matahari yang masuk ke dalam bumi. Pertanyaannya, apakah pemahaman bahwa matahari terbenam ke dalam laut berlumpur tersebut benar atau salah? Jawabannya tentu saja salah. Para ahli tafsir bersepakat bahwa maksud matahari terbenam ke dalam laut adalah terbenam dari perspektif orang yang melihatnya. Maknanya, orang yang menyaksikan matahari terbenam di sore hari seakan-akan melihatnya masuk ke dalam laut yang berlumpur hitam. Hal ini menunjukkan luasnya penggunaan ekspresi kalimat dalam khazanah bahasa Arab. Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Ibnu Al-‘Utṣaimīn rahimahullah dalam menafsirkan ayat tersebut, ﴿وَجَدَهَا تَغْرُبُ﴾ في هذه العين، ومعلوم أنها تغرب في هذه العين الحمئة حسب رؤية الإنسان، وإلَّا فهي أكبر من الأرض، وأكبر من هذه العين الحمئة وأعظم، …لكن لا حرج أن الإنسان يُخْبِر عن الشيء حسب رؤيته إياه. “‘Dia melihatnya terbenam …’ ke dalam air laut tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa matahari terbenam ke dalam laut berlumpur hitam berdasarkan penglihatan manusia, karena matahari lebih besar dibandingkan bumi dan laut berlumpur hitam tersebut. Akan tetapi, tidak mengapa seseorang mengabarkan sesuatu berdasarkan perspektif ia melihat.” [1] Oleh karena itu, dugaan pertentangan di sini muncul dari kekeliruan memahami maksud ayat. Apabila ayat dipahami secara tepat, maka hilanglah dugaan pertentangan tersebut. Contoh dugaan pertentangan hadis dan sains Adapun hadis, maka validitasnya bertingkat dari sisi periwayatan dan pemahaman. Berdasarkan periwayatannya, ada hadis yang derajatnya sahih dan ada yang di bawah itu. Demikian pula, dari sisi penafsiran maksud hadis, ada yang bersifat pasti dan ada yang bersifat dugaan. Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan secara marfū‘ oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, من حدّث حديثًا فعطس عنده فهو حقٌّ “Barangsiapa yang berbicara suatu ucapan kemudian bersin, maka ucapan tersebut benar.”[2] Hadis ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang bersin ketika berbicara, maka ucapannya benar dan jujur. Apakah hal ini terbukti benar? Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Seandainya ada yang menilai hadis ini sahih, tetap secara insting inderawi terasa palsu. Sebab, kita menyaksikan ada orang yang bersin, sedangkan kebohongan tetap berjalan. Seandainya ada seratus orang bersin ketika meriwayatkan sebuah hadis Nabi ﷺ, maka tidak dapat dianggap sahih hanya karena bersin, dan seandainya mereka bersin ketika bersaksi sebuah persaksian dusta, tidak bisa dibenarkan persaksiannya.” [3] Perhatikanlah bagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah menjadikan indera dan observasi terhadap realita sebagai bukti kebatilan hadis tersebut. Demikianlah faktanya, hadis tersebut berstatus sangat lemah atau bahkan palsu, sebagaimana dijelaskan beberapa ulama seperti Asy-Syaukāni [4] dan Al-Albāni [5]. Sehingga, tidak dapat dikatakan adanya pertentangan antara hadis dan sains. Karena hadis tersebut tidak sahih, artinya ia bukan ucapan Nabi ﷺ. Oleh karena itu, hakikat pertentangan di sini adalah antara observasi inderawi yang pasti dan dalil yang lemah, sehingga yang harus dimenangkan adalah observasi inderawi yang pasti. Lanjut ke bagian 2: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?   Catatan kaki: [1] Tafsīr Ibn Al-‘Utṣaimīn, Al-Kahf, hal. 127. [2] HR. Abu Ya’la di dalam Musnad Abi Ya’la, no. 6352. [3] Al-Manār Al-Munīf, karya Ibnul Qayyim, hal. 51. [4] Al-Fawā’id Al-Majmū’ah fī Al-Aḥadīṣi Al-Mauḍū‘ah li Asy-Syaukāni, hal. 224. [5] Silsilah Al-Aḥādīṣ Al-Ḍa‘īfah lil-Albāni, no. 136. Tags: agamasains

Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Pertama: Kepastian dalil agama dan sains bertingkat-tingkatContoh dugaan pertentangan ayat Al-Qur’an dan sainsContoh dugaan pertentangan hadis dan sains “Ayat ini bertentangan dengan Sains! Hadis ini tidak masuk akal!” Demikianlah, salah satu ucapan yang menggambarkan kesalahpahaman terhadap Islam yang sering ditemukan di kalangan para intelektual dan semisalnya. Miskonsepsi tersebut adalah dugaan adanya pertentangan antara sains dan syariat atau pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sebagian orang merasa tidak memiliki masalah terhadap syariat dan informasi-informasi di dalamnya. Mereka menganggap bahwa agama adalah salah satu sumber pengetahuan. Akan tetapi, di benaknya ia merasa ada pertentangan antara dalil tertentu dengan fakta ilmiah tertentu. Kemudian ia menganggap bahwa fakta ilmiah tersebut harus didahulukan. Sebagian orang lainnya menganggap bahwa dalil apa pun sudah pasti benar, tanpa mengecek validitas dalil tersebut. Oleh karenanya, apabila ia temukan pertentangan antara agama dan sains, ia langsung buru-buru menyalahkan sains, dan membela dalil tersebut. Padahal, bisa jadi, dalil yang ia gunakan tidak sahih dan sains yang ia salahkan adalah fakta aksiomatis yang tidak bisa diganggu gugat kebenarannya. Lantas, bagaimanakah posisi yang tepat dalam masalah ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami sajikan dalam bentuk poin-poin. Pertama: Kepastian dalil agama dan sains bertingkat-tingkat Di antara faktor yang melahirkan permasalahan ini adalah anggapan bahwa dalil agama dan sains berada dalam satu tingkatan kekuatan, baik dari sisi validitas informasi ataupun penafsirannya. Padahal, faktanya tidaklah demikian. Dalil agama dan sains keabsahannya bertingkat-tingkat. Dalil agama ada yang pasti benar dari sisi periwayatan dan penafsirannya, ada pula yang bersifat dugaan. Sebagai contoh, Al-Qur’an, dari awal hingga akhir, diriwayatkan secara mutawātir, yaitu sekelompok orang meriwayatkan dari sekelompok orang sampai bersambung ke Nabi ﷺ. Oleh karena itu, tingkat validitas seluruh informasinya adalah pasti. Namun, pemahaman terhadap dalālah atau maksud dari ayat-ayatnya bertingkat-tingkat. Ada yang pasti, tidak ada perselisihan dalam memahami maksud ayat tersebut. Ada pula yang bersifat dugaan, sehingga perlu dikembalikan tafsirnya kepada ulama untuk memahami maksudnya dengan benar. Contoh ayat yang maksudnya pasti adalah, Allah Ta’āla berfirman قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ “Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Maha Esa.’” (QS. Al-Ikhlas: 1) Maksud ayat tersebut bersifat pasti, yaitu Allah adalah Esa. Ayat tersebut tidak dapat dipahami dengan pemahaman lainnya. Seseorang tidak bisa mengalihkan maknanya ke makna lain, seperti Allah tidak esa, atau Allah adalah dua. Contoh dugaan pertentangan ayat Al-Qur’an dan sains Adapun ayat berikut adalah contoh pemahaman maksud ayat yang tidak pasti, sehingga perlu dikembalikan maknanya kepada ulama tafsir. Allah Ta’āla berfirman, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ ٱلشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِى عَيْنٍ حَمِئَةٍۢ … “Hingga ketika dia telah sampai di tempat matahari terbenam, dia melihatnya terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam…” (QS. Al-Kahfi: 86) Pemahaman secara tekstual terhadap ayat tersebut adalah bahwasanya matahari terbenam di laut yang berlumpur hitam. Sedangkan konsensus sains mengatakan bahwa bumi berotasi mengitari matahari, bukan matahari yang masuk ke dalam bumi. Pertanyaannya, apakah pemahaman bahwa matahari terbenam ke dalam laut berlumpur tersebut benar atau salah? Jawabannya tentu saja salah. Para ahli tafsir bersepakat bahwa maksud matahari terbenam ke dalam laut adalah terbenam dari perspektif orang yang melihatnya. Maknanya, orang yang menyaksikan matahari terbenam di sore hari seakan-akan melihatnya masuk ke dalam laut yang berlumpur hitam. Hal ini menunjukkan luasnya penggunaan ekspresi kalimat dalam khazanah bahasa Arab. Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Ibnu Al-‘Utṣaimīn rahimahullah dalam menafsirkan ayat tersebut, ﴿وَجَدَهَا تَغْرُبُ﴾ في هذه العين، ومعلوم أنها تغرب في هذه العين الحمئة حسب رؤية الإنسان، وإلَّا فهي أكبر من الأرض، وأكبر من هذه العين الحمئة وأعظم، …لكن لا حرج أن الإنسان يُخْبِر عن الشيء حسب رؤيته إياه. “‘Dia melihatnya terbenam …’ ke dalam air laut tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa matahari terbenam ke dalam laut berlumpur hitam berdasarkan penglihatan manusia, karena matahari lebih besar dibandingkan bumi dan laut berlumpur hitam tersebut. Akan tetapi, tidak mengapa seseorang mengabarkan sesuatu berdasarkan perspektif ia melihat.” [1] Oleh karena itu, dugaan pertentangan di sini muncul dari kekeliruan memahami maksud ayat. Apabila ayat dipahami secara tepat, maka hilanglah dugaan pertentangan tersebut. Contoh dugaan pertentangan hadis dan sains Adapun hadis, maka validitasnya bertingkat dari sisi periwayatan dan pemahaman. Berdasarkan periwayatannya, ada hadis yang derajatnya sahih dan ada yang di bawah itu. Demikian pula, dari sisi penafsiran maksud hadis, ada yang bersifat pasti dan ada yang bersifat dugaan. Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan secara marfū‘ oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, من حدّث حديثًا فعطس عنده فهو حقٌّ “Barangsiapa yang berbicara suatu ucapan kemudian bersin, maka ucapan tersebut benar.”[2] Hadis ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang bersin ketika berbicara, maka ucapannya benar dan jujur. Apakah hal ini terbukti benar? Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Seandainya ada yang menilai hadis ini sahih, tetap secara insting inderawi terasa palsu. Sebab, kita menyaksikan ada orang yang bersin, sedangkan kebohongan tetap berjalan. Seandainya ada seratus orang bersin ketika meriwayatkan sebuah hadis Nabi ﷺ, maka tidak dapat dianggap sahih hanya karena bersin, dan seandainya mereka bersin ketika bersaksi sebuah persaksian dusta, tidak bisa dibenarkan persaksiannya.” [3] Perhatikanlah bagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah menjadikan indera dan observasi terhadap realita sebagai bukti kebatilan hadis tersebut. Demikianlah faktanya, hadis tersebut berstatus sangat lemah atau bahkan palsu, sebagaimana dijelaskan beberapa ulama seperti Asy-Syaukāni [4] dan Al-Albāni [5]. Sehingga, tidak dapat dikatakan adanya pertentangan antara hadis dan sains. Karena hadis tersebut tidak sahih, artinya ia bukan ucapan Nabi ﷺ. Oleh karena itu, hakikat pertentangan di sini adalah antara observasi inderawi yang pasti dan dalil yang lemah, sehingga yang harus dimenangkan adalah observasi inderawi yang pasti. Lanjut ke bagian 2: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?   Catatan kaki: [1] Tafsīr Ibn Al-‘Utṣaimīn, Al-Kahf, hal. 127. [2] HR. Abu Ya’la di dalam Musnad Abi Ya’la, no. 6352. [3] Al-Manār Al-Munīf, karya Ibnul Qayyim, hal. 51. [4] Al-Fawā’id Al-Majmū’ah fī Al-Aḥadīṣi Al-Mauḍū‘ah li Asy-Syaukāni, hal. 224. [5] Silsilah Al-Aḥādīṣ Al-Ḍa‘īfah lil-Albāni, no. 136. Tags: agamasains
Daftar Isi Toggle Pertama: Kepastian dalil agama dan sains bertingkat-tingkatContoh dugaan pertentangan ayat Al-Qur’an dan sainsContoh dugaan pertentangan hadis dan sains “Ayat ini bertentangan dengan Sains! Hadis ini tidak masuk akal!” Demikianlah, salah satu ucapan yang menggambarkan kesalahpahaman terhadap Islam yang sering ditemukan di kalangan para intelektual dan semisalnya. Miskonsepsi tersebut adalah dugaan adanya pertentangan antara sains dan syariat atau pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sebagian orang merasa tidak memiliki masalah terhadap syariat dan informasi-informasi di dalamnya. Mereka menganggap bahwa agama adalah salah satu sumber pengetahuan. Akan tetapi, di benaknya ia merasa ada pertentangan antara dalil tertentu dengan fakta ilmiah tertentu. Kemudian ia menganggap bahwa fakta ilmiah tersebut harus didahulukan. Sebagian orang lainnya menganggap bahwa dalil apa pun sudah pasti benar, tanpa mengecek validitas dalil tersebut. Oleh karenanya, apabila ia temukan pertentangan antara agama dan sains, ia langsung buru-buru menyalahkan sains, dan membela dalil tersebut. Padahal, bisa jadi, dalil yang ia gunakan tidak sahih dan sains yang ia salahkan adalah fakta aksiomatis yang tidak bisa diganggu gugat kebenarannya. Lantas, bagaimanakah posisi yang tepat dalam masalah ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami sajikan dalam bentuk poin-poin. Pertama: Kepastian dalil agama dan sains bertingkat-tingkat Di antara faktor yang melahirkan permasalahan ini adalah anggapan bahwa dalil agama dan sains berada dalam satu tingkatan kekuatan, baik dari sisi validitas informasi ataupun penafsirannya. Padahal, faktanya tidaklah demikian. Dalil agama dan sains keabsahannya bertingkat-tingkat. Dalil agama ada yang pasti benar dari sisi periwayatan dan penafsirannya, ada pula yang bersifat dugaan. Sebagai contoh, Al-Qur’an, dari awal hingga akhir, diriwayatkan secara mutawātir, yaitu sekelompok orang meriwayatkan dari sekelompok orang sampai bersambung ke Nabi ﷺ. Oleh karena itu, tingkat validitas seluruh informasinya adalah pasti. Namun, pemahaman terhadap dalālah atau maksud dari ayat-ayatnya bertingkat-tingkat. Ada yang pasti, tidak ada perselisihan dalam memahami maksud ayat tersebut. Ada pula yang bersifat dugaan, sehingga perlu dikembalikan tafsirnya kepada ulama untuk memahami maksudnya dengan benar. Contoh ayat yang maksudnya pasti adalah, Allah Ta’āla berfirman قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ “Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Maha Esa.’” (QS. Al-Ikhlas: 1) Maksud ayat tersebut bersifat pasti, yaitu Allah adalah Esa. Ayat tersebut tidak dapat dipahami dengan pemahaman lainnya. Seseorang tidak bisa mengalihkan maknanya ke makna lain, seperti Allah tidak esa, atau Allah adalah dua. Contoh dugaan pertentangan ayat Al-Qur’an dan sains Adapun ayat berikut adalah contoh pemahaman maksud ayat yang tidak pasti, sehingga perlu dikembalikan maknanya kepada ulama tafsir. Allah Ta’āla berfirman, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ ٱلشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِى عَيْنٍ حَمِئَةٍۢ … “Hingga ketika dia telah sampai di tempat matahari terbenam, dia melihatnya terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam…” (QS. Al-Kahfi: 86) Pemahaman secara tekstual terhadap ayat tersebut adalah bahwasanya matahari terbenam di laut yang berlumpur hitam. Sedangkan konsensus sains mengatakan bahwa bumi berotasi mengitari matahari, bukan matahari yang masuk ke dalam bumi. Pertanyaannya, apakah pemahaman bahwa matahari terbenam ke dalam laut berlumpur tersebut benar atau salah? Jawabannya tentu saja salah. Para ahli tafsir bersepakat bahwa maksud matahari terbenam ke dalam laut adalah terbenam dari perspektif orang yang melihatnya. Maknanya, orang yang menyaksikan matahari terbenam di sore hari seakan-akan melihatnya masuk ke dalam laut yang berlumpur hitam. Hal ini menunjukkan luasnya penggunaan ekspresi kalimat dalam khazanah bahasa Arab. Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Ibnu Al-‘Utṣaimīn rahimahullah dalam menafsirkan ayat tersebut, ﴿وَجَدَهَا تَغْرُبُ﴾ في هذه العين، ومعلوم أنها تغرب في هذه العين الحمئة حسب رؤية الإنسان، وإلَّا فهي أكبر من الأرض، وأكبر من هذه العين الحمئة وأعظم، …لكن لا حرج أن الإنسان يُخْبِر عن الشيء حسب رؤيته إياه. “‘Dia melihatnya terbenam …’ ke dalam air laut tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa matahari terbenam ke dalam laut berlumpur hitam berdasarkan penglihatan manusia, karena matahari lebih besar dibandingkan bumi dan laut berlumpur hitam tersebut. Akan tetapi, tidak mengapa seseorang mengabarkan sesuatu berdasarkan perspektif ia melihat.” [1] Oleh karena itu, dugaan pertentangan di sini muncul dari kekeliruan memahami maksud ayat. Apabila ayat dipahami secara tepat, maka hilanglah dugaan pertentangan tersebut. Contoh dugaan pertentangan hadis dan sains Adapun hadis, maka validitasnya bertingkat dari sisi periwayatan dan pemahaman. Berdasarkan periwayatannya, ada hadis yang derajatnya sahih dan ada yang di bawah itu. Demikian pula, dari sisi penafsiran maksud hadis, ada yang bersifat pasti dan ada yang bersifat dugaan. Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan secara marfū‘ oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, من حدّث حديثًا فعطس عنده فهو حقٌّ “Barangsiapa yang berbicara suatu ucapan kemudian bersin, maka ucapan tersebut benar.”[2] Hadis ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang bersin ketika berbicara, maka ucapannya benar dan jujur. Apakah hal ini terbukti benar? Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Seandainya ada yang menilai hadis ini sahih, tetap secara insting inderawi terasa palsu. Sebab, kita menyaksikan ada orang yang bersin, sedangkan kebohongan tetap berjalan. Seandainya ada seratus orang bersin ketika meriwayatkan sebuah hadis Nabi ﷺ, maka tidak dapat dianggap sahih hanya karena bersin, dan seandainya mereka bersin ketika bersaksi sebuah persaksian dusta, tidak bisa dibenarkan persaksiannya.” [3] Perhatikanlah bagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah menjadikan indera dan observasi terhadap realita sebagai bukti kebatilan hadis tersebut. Demikianlah faktanya, hadis tersebut berstatus sangat lemah atau bahkan palsu, sebagaimana dijelaskan beberapa ulama seperti Asy-Syaukāni [4] dan Al-Albāni [5]. Sehingga, tidak dapat dikatakan adanya pertentangan antara hadis dan sains. Karena hadis tersebut tidak sahih, artinya ia bukan ucapan Nabi ﷺ. Oleh karena itu, hakikat pertentangan di sini adalah antara observasi inderawi yang pasti dan dalil yang lemah, sehingga yang harus dimenangkan adalah observasi inderawi yang pasti. Lanjut ke bagian 2: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?   Catatan kaki: [1] Tafsīr Ibn Al-‘Utṣaimīn, Al-Kahf, hal. 127. [2] HR. Abu Ya’la di dalam Musnad Abi Ya’la, no. 6352. [3] Al-Manār Al-Munīf, karya Ibnul Qayyim, hal. 51. [4] Al-Fawā’id Al-Majmū’ah fī Al-Aḥadīṣi Al-Mauḍū‘ah li Asy-Syaukāni, hal. 224. [5] Silsilah Al-Aḥādīṣ Al-Ḍa‘īfah lil-Albāni, no. 136. Tags: agamasains


Daftar Isi Toggle Pertama: Kepastian dalil agama dan sains bertingkat-tingkatContoh dugaan pertentangan ayat Al-Qur’an dan sainsContoh dugaan pertentangan hadis dan sains “Ayat ini bertentangan dengan Sains! Hadis ini tidak masuk akal!” Demikianlah, salah satu ucapan yang menggambarkan kesalahpahaman terhadap Islam yang sering ditemukan di kalangan para intelektual dan semisalnya. Miskonsepsi tersebut adalah dugaan adanya pertentangan antara sains dan syariat atau pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sebagian orang merasa tidak memiliki masalah terhadap syariat dan informasi-informasi di dalamnya. Mereka menganggap bahwa agama adalah salah satu sumber pengetahuan. Akan tetapi, di benaknya ia merasa ada pertentangan antara dalil tertentu dengan fakta ilmiah tertentu. Kemudian ia menganggap bahwa fakta ilmiah tersebut harus didahulukan. Sebagian orang lainnya menganggap bahwa dalil apa pun sudah pasti benar, tanpa mengecek validitas dalil tersebut. Oleh karenanya, apabila ia temukan pertentangan antara agama dan sains, ia langsung buru-buru menyalahkan sains, dan membela dalil tersebut. Padahal, bisa jadi, dalil yang ia gunakan tidak sahih dan sains yang ia salahkan adalah fakta aksiomatis yang tidak bisa diganggu gugat kebenarannya. Lantas, bagaimanakah posisi yang tepat dalam masalah ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami sajikan dalam bentuk poin-poin. Pertama: Kepastian dalil agama dan sains bertingkat-tingkat Di antara faktor yang melahirkan permasalahan ini adalah anggapan bahwa dalil agama dan sains berada dalam satu tingkatan kekuatan, baik dari sisi validitas informasi ataupun penafsirannya. Padahal, faktanya tidaklah demikian. Dalil agama dan sains keabsahannya bertingkat-tingkat. Dalil agama ada yang pasti benar dari sisi periwayatan dan penafsirannya, ada pula yang bersifat dugaan. Sebagai contoh, Al-Qur’an, dari awal hingga akhir, diriwayatkan secara mutawātir, yaitu sekelompok orang meriwayatkan dari sekelompok orang sampai bersambung ke Nabi ﷺ. Oleh karena itu, tingkat validitas seluruh informasinya adalah pasti. Namun, pemahaman terhadap dalālah atau maksud dari ayat-ayatnya bertingkat-tingkat. Ada yang pasti, tidak ada perselisihan dalam memahami maksud ayat tersebut. Ada pula yang bersifat dugaan, sehingga perlu dikembalikan tafsirnya kepada ulama untuk memahami maksudnya dengan benar. Contoh ayat yang maksudnya pasti adalah, Allah Ta’āla berfirman قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ “Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Maha Esa.’” (QS. Al-Ikhlas: 1) Maksud ayat tersebut bersifat pasti, yaitu Allah adalah Esa. Ayat tersebut tidak dapat dipahami dengan pemahaman lainnya. Seseorang tidak bisa mengalihkan maknanya ke makna lain, seperti Allah tidak esa, atau Allah adalah dua. Contoh dugaan pertentangan ayat Al-Qur’an dan sains Adapun ayat berikut adalah contoh pemahaman maksud ayat yang tidak pasti, sehingga perlu dikembalikan maknanya kepada ulama tafsir. Allah Ta’āla berfirman, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ ٱلشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِى عَيْنٍ حَمِئَةٍۢ … “Hingga ketika dia telah sampai di tempat matahari terbenam, dia melihatnya terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam…” (QS. Al-Kahfi: 86) Pemahaman secara tekstual terhadap ayat tersebut adalah bahwasanya matahari terbenam di laut yang berlumpur hitam. Sedangkan konsensus sains mengatakan bahwa bumi berotasi mengitari matahari, bukan matahari yang masuk ke dalam bumi. Pertanyaannya, apakah pemahaman bahwa matahari terbenam ke dalam laut berlumpur tersebut benar atau salah? Jawabannya tentu saja salah. Para ahli tafsir bersepakat bahwa maksud matahari terbenam ke dalam laut adalah terbenam dari perspektif orang yang melihatnya. Maknanya, orang yang menyaksikan matahari terbenam di sore hari seakan-akan melihatnya masuk ke dalam laut yang berlumpur hitam. Hal ini menunjukkan luasnya penggunaan ekspresi kalimat dalam khazanah bahasa Arab. Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Ibnu Al-‘Utṣaimīn rahimahullah dalam menafsirkan ayat tersebut, ﴿وَجَدَهَا تَغْرُبُ﴾ في هذه العين، ومعلوم أنها تغرب في هذه العين الحمئة حسب رؤية الإنسان، وإلَّا فهي أكبر من الأرض، وأكبر من هذه العين الحمئة وأعظم، …لكن لا حرج أن الإنسان يُخْبِر عن الشيء حسب رؤيته إياه. “‘Dia melihatnya terbenam …’ ke dalam air laut tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa matahari terbenam ke dalam laut berlumpur hitam berdasarkan penglihatan manusia, karena matahari lebih besar dibandingkan bumi dan laut berlumpur hitam tersebut. Akan tetapi, tidak mengapa seseorang mengabarkan sesuatu berdasarkan perspektif ia melihat.” [1] Oleh karena itu, dugaan pertentangan di sini muncul dari kekeliruan memahami maksud ayat. Apabila ayat dipahami secara tepat, maka hilanglah dugaan pertentangan tersebut. Contoh dugaan pertentangan hadis dan sains Adapun hadis, maka validitasnya bertingkat dari sisi periwayatan dan pemahaman. Berdasarkan periwayatannya, ada hadis yang derajatnya sahih dan ada yang di bawah itu. Demikian pula, dari sisi penafsiran maksud hadis, ada yang bersifat pasti dan ada yang bersifat dugaan. Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan secara marfū‘ oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, من حدّث حديثًا فعطس عنده فهو حقٌّ “Barangsiapa yang berbicara suatu ucapan kemudian bersin, maka ucapan tersebut benar.”[2] Hadis ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang bersin ketika berbicara, maka ucapannya benar dan jujur. Apakah hal ini terbukti benar? Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Seandainya ada yang menilai hadis ini sahih, tetap secara insting inderawi terasa palsu. Sebab, kita menyaksikan ada orang yang bersin, sedangkan kebohongan tetap berjalan. Seandainya ada seratus orang bersin ketika meriwayatkan sebuah hadis Nabi ﷺ, maka tidak dapat dianggap sahih hanya karena bersin, dan seandainya mereka bersin ketika bersaksi sebuah persaksian dusta, tidak bisa dibenarkan persaksiannya.” [3] Perhatikanlah bagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah menjadikan indera dan observasi terhadap realita sebagai bukti kebatilan hadis tersebut. Demikianlah faktanya, hadis tersebut berstatus sangat lemah atau bahkan palsu, sebagaimana dijelaskan beberapa ulama seperti Asy-Syaukāni [4] dan Al-Albāni [5]. Sehingga, tidak dapat dikatakan adanya pertentangan antara hadis dan sains. Karena hadis tersebut tidak sahih, artinya ia bukan ucapan Nabi ﷺ. Oleh karena itu, hakikat pertentangan di sini adalah antara observasi inderawi yang pasti dan dalil yang lemah, sehingga yang harus dimenangkan adalah observasi inderawi yang pasti. Lanjut ke bagian 2: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?   Catatan kaki: [1] Tafsīr Ibn Al-‘Utṣaimīn, Al-Kahf, hal. 127. [2] HR. Abu Ya’la di dalam Musnad Abi Ya’la, no. 6352. [3] Al-Manār Al-Munīf, karya Ibnul Qayyim, hal. 51. [4] Al-Fawā’id Al-Majmū’ah fī Al-Aḥadīṣi Al-Mauḍū‘ah li Asy-Syaukāni, hal. 224. [5] Silsilah Al-Aḥādīṣ Al-Ḍa‘īfah lil-Albāni, no. 136. Tags: agamasains

Hukum Rutin Shalat Dhuha Setiap Hari – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

PERTANYAAN: Salah satu pertanyaan, dari saudari Fatimah yang bertanya tentang hukum rutin Salat Dhuha setiap hari. JAWABAN: Rutin melakukan Salat Dhuha adalah sunah, menurut pendapat yang lebih kuat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Setiap sendi manusia memasuki waktu pagi harus menanggung sedekah. “Setiap pagi, seluruh persendian milik kalian ada sedekahnya…” Yakni setiap hari saat manusia memasuki pagi hari, dituntut untuk bersedekah atas setiap persendiannya. Sedangkan persendian manusia ada 360 sendi Berarti dia dituntut untuk bersedekah sebanyak 360 sedekah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas keselamatan seluruh persendiannya. Lalu Nabi ‘alaihis shalatu wassalam melanjutkan sabdanya, “… dan setiap ucapan tasbih adalah sedekah, setiap ucapan tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, ajakan kepada kebaikan adalah sedekah, dan melarang dari kemungkaran adalah sedekah. Dan itu semua dapat tercukupi …” Yakni dapat mencukupi 360 sedekah. “… dua rakaat yang dia lakukan pada waktu dhuha.” Hadis ini menunjukkan keutamaan dua rakaat Salat Dhuha. Dan Salat Dhuha ini dapat mencukupi 360 sedekah. Hadis ini juga menunjukkan disunahkannya mendirikan Salat Dhuha secara rutin dan senantiasa berusaha melakukannya setiap hari. Karena manusia dituntut untuk melakukan 360 sedekah setiap hari. Sehingga jika dia melakukan sedekah itu (maka itulah yang diharapkan). Namun jika tidak melakukan atau tidak mampu bersedekah sebanyak 360 sedekah, maka cukup baginya untuk mendirikan dua rakaat Salat Dhuha. Ini adalah dalil paling kuat yang menunjukkan disunahkannya rutin mendirikan Salat Dhuha setiap hari. Adapun pendapat sebagian ulama fikih bahwa sebaiknya sesekali tidak mendirikan Salat Dhuha dan tidak merutinkannya, itu mereka berlandasan bahwa dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tidak mendirikannya. Namun, berdalil ini adalah suatu penggunaan dalil yang tidak tepat; masih terbantahkan, terbantahkan karena dalil ini dibantah oleh sebagian ulama yang mendalami perkara ini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menganjurkan sesuatu, tapi beliau tidak melakukannya, karena beliau sibuk dengan kemaslahatan yang lebih besar. Sebagai contoh, Nabi menyampaikan bahwa puasa sunah terbaik adalah sehari puasa sehari tidak (Puasa Daud). Namun apakah dulu Nabi sehari puasa dan sehari tidak? Jawabannya, tidak! Namun, yang beliau lakukan sebagaimana ucapan Aisyah, “Beliau berpuasa hingga ada yang mengatakan bahwa beliau terus berpuasa, dan kadang beliau tidak berpuasa hingga ada yang berkata bahwa beliau tidak pernah berpuasa.” Jadi, terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan sesuatu, tapi beliau tidak melakukannya karena sibuk dengan sesuatu yang maslahatnya lebih besar Di antara contohnya adalah Salat Dhuha. Cukup bagi kita bahwa Nabi menganjurkannya dan menjelaskan keutamaannya bahwa Salat Dhuha mencukupkan dari 360 sedekah. Juga sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Abu Hurairah, “Sahabat terkasihku (yaitu Nabi) mewasiatkan kepadaku tiga hal …”Di antaranya disebutkan, “… dua rakaat Salat Dhuha.” Nabi ‘alaihis shalatu wassalam terkadang mendirikan Salat Dhuha. Dengan demikian kami katakan bahwa pendapat yang lebih kuat menurut banyak ulama yang menelitinya adalah disunahkannya melakukan Salat Dhuha secara rutin, seorang Muslim hendaknya melakukannya setiap hari. ==== وَمِنَ الْأَسْئِلَةِ الْأُخْتُ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ عَنِ الِاسْتِمْرَارِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى يَوْمِيًّا الِاسْتِمْرَارُ فِي صَلَاةِ الضُّحَى سُنَّةٌ عَلَى الْقَوْلِ الرَّاجِحِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى يَعْنِي عَلَى كُلِّ مِفْصَلٍ مِنْ مَفَاصِلِ الْإِنْسَانِ إِذَا أَصْبَحَ صَدَقَةٌ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ يَعْنِي كُلَّ يَوْمٍ يُصْبِحُ فِيهِ الْإِنْسَانُ مَطْلُوبٌ مِنْهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مِفْصَلٍ مِنْ مَفَاصِلِهِ صَدَقَةً وَمَفَاصِلُ الْإِنْسَانِ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتُّونَ مَعْنَى ذَلِكَ مَطْلُوبٌ مِنْهُ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتُّونَ صَدَقَةً شُكْرٌ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى سَلَامَةِ مَفَاصِلِهِ ثُمَّ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ يَعْنِي عَنْ الثَّلَاثِمِئَةِ وَسِتِّينَ صَدَقَةً رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ رَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنَّهَا تُجْزِئُ عَنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَسِتِّينَ صَدَقَةً وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى اسْتِحْبَابِ الِاسْتِمْرَارِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى وَالْمُحَافَظَةِ عَلَيْهَا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ مَطْلُوبٌ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتِّينَ صَدَقَةً فَإِذَا أَتَى بِهَذِهِ الصَّدَقَاتِ َوَإِلَّا وَإِنْ عَجَزَ أَوْ مَا تَيَسَّر لَهُ أَنْ يَأْتِيَ بِهَذِهِ الثَّلَاثِمِئَةِ وَسِتِّينَ يَكْفِي أَنْ يَرْكَعَ رَكْعَتَيْ الضُّحَى فَهَذَا مِنْ أَظْهَرِ الْأَدِلَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْمُحَافَظَةِ وَالِاسْتِمْرَارِ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى وَقَوْلُ مَنْ قَالَ مِنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَتْرُكُهَا غِبًّا وَلَا يُحَافِظُ عَلَيْهَا اعْتَمَدُوا عَلَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْيَانًا لَا يُصَلِّيهَا لَكِنَّ هَذَا الِاسْتِدْلَالَ اسْتِدْلَالٌ فِي غَيْرِ يَعْنِي مُنَاقَشٍ لِأَنَّهُ مُنَاقَشٌ نَاقَشَهُ بَعْضُ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ يَحُثُّ عَلَى الشَّيْءِ وَلَا يَفْعَلُهُ لِانْشِغَالِهِ بِمَصَالِحَ أَرْجَحَ فَمَثَلًا أَخْبَرَ بِأَنَّ أَفْضَلَ صِيَامِ النَّافِلَةِ صِيَامُ يَوْمٍ وَإِفْطَارُ يَوْمٍ طَيِّبٌ هَلْ كَانَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا؟ الْجَوَابُ لَا وَإِنَّمَا كَانَ كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ يَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يَصُومُ فَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَدْ يَحُثُّ عَلَى الشَّيْءِ وَلَا يَفْعَلُهُ لِإِشْغَالِهِ بِمَا هُوَ بِمَا مَصْلَحَتُهُ أَرْجَحُ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ الضُّحَى يَكْفِينَا أَنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ فَضْلَهَا وَأَنَّهَا تُجْزِئُ عَنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَسِتِّينَ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَكَمَا جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَوْصَانِي خَلِيلِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ وَذَكَرَ مِنْهَا رَكْعَتَيْ الضُّحَى وَكَانَ يُصَلِّيْهَا أَحْيَانًا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَعَلَى هَذَا نَقُولُ إِنَّ الْقَوْلَ الْمُرَجَّحَ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنَ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ اسْتِحْبَابُ الْمُحَافَظَةِ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى وَأَنْ يُصَلِّيَهَا الْمُسْلِمُ كُلَّ يَوْمٍ

Hukum Rutin Shalat Dhuha Setiap Hari – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

PERTANYAAN: Salah satu pertanyaan, dari saudari Fatimah yang bertanya tentang hukum rutin Salat Dhuha setiap hari. JAWABAN: Rutin melakukan Salat Dhuha adalah sunah, menurut pendapat yang lebih kuat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Setiap sendi manusia memasuki waktu pagi harus menanggung sedekah. “Setiap pagi, seluruh persendian milik kalian ada sedekahnya…” Yakni setiap hari saat manusia memasuki pagi hari, dituntut untuk bersedekah atas setiap persendiannya. Sedangkan persendian manusia ada 360 sendi Berarti dia dituntut untuk bersedekah sebanyak 360 sedekah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas keselamatan seluruh persendiannya. Lalu Nabi ‘alaihis shalatu wassalam melanjutkan sabdanya, “… dan setiap ucapan tasbih adalah sedekah, setiap ucapan tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, ajakan kepada kebaikan adalah sedekah, dan melarang dari kemungkaran adalah sedekah. Dan itu semua dapat tercukupi …” Yakni dapat mencukupi 360 sedekah. “… dua rakaat yang dia lakukan pada waktu dhuha.” Hadis ini menunjukkan keutamaan dua rakaat Salat Dhuha. Dan Salat Dhuha ini dapat mencukupi 360 sedekah. Hadis ini juga menunjukkan disunahkannya mendirikan Salat Dhuha secara rutin dan senantiasa berusaha melakukannya setiap hari. Karena manusia dituntut untuk melakukan 360 sedekah setiap hari. Sehingga jika dia melakukan sedekah itu (maka itulah yang diharapkan). Namun jika tidak melakukan atau tidak mampu bersedekah sebanyak 360 sedekah, maka cukup baginya untuk mendirikan dua rakaat Salat Dhuha. Ini adalah dalil paling kuat yang menunjukkan disunahkannya rutin mendirikan Salat Dhuha setiap hari. Adapun pendapat sebagian ulama fikih bahwa sebaiknya sesekali tidak mendirikan Salat Dhuha dan tidak merutinkannya, itu mereka berlandasan bahwa dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tidak mendirikannya. Namun, berdalil ini adalah suatu penggunaan dalil yang tidak tepat; masih terbantahkan, terbantahkan karena dalil ini dibantah oleh sebagian ulama yang mendalami perkara ini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menganjurkan sesuatu, tapi beliau tidak melakukannya, karena beliau sibuk dengan kemaslahatan yang lebih besar. Sebagai contoh, Nabi menyampaikan bahwa puasa sunah terbaik adalah sehari puasa sehari tidak (Puasa Daud). Namun apakah dulu Nabi sehari puasa dan sehari tidak? Jawabannya, tidak! Namun, yang beliau lakukan sebagaimana ucapan Aisyah, “Beliau berpuasa hingga ada yang mengatakan bahwa beliau terus berpuasa, dan kadang beliau tidak berpuasa hingga ada yang berkata bahwa beliau tidak pernah berpuasa.” Jadi, terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan sesuatu, tapi beliau tidak melakukannya karena sibuk dengan sesuatu yang maslahatnya lebih besar Di antara contohnya adalah Salat Dhuha. Cukup bagi kita bahwa Nabi menganjurkannya dan menjelaskan keutamaannya bahwa Salat Dhuha mencukupkan dari 360 sedekah. Juga sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Abu Hurairah, “Sahabat terkasihku (yaitu Nabi) mewasiatkan kepadaku tiga hal …”Di antaranya disebutkan, “… dua rakaat Salat Dhuha.” Nabi ‘alaihis shalatu wassalam terkadang mendirikan Salat Dhuha. Dengan demikian kami katakan bahwa pendapat yang lebih kuat menurut banyak ulama yang menelitinya adalah disunahkannya melakukan Salat Dhuha secara rutin, seorang Muslim hendaknya melakukannya setiap hari. ==== وَمِنَ الْأَسْئِلَةِ الْأُخْتُ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ عَنِ الِاسْتِمْرَارِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى يَوْمِيًّا الِاسْتِمْرَارُ فِي صَلَاةِ الضُّحَى سُنَّةٌ عَلَى الْقَوْلِ الرَّاجِحِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى يَعْنِي عَلَى كُلِّ مِفْصَلٍ مِنْ مَفَاصِلِ الْإِنْسَانِ إِذَا أَصْبَحَ صَدَقَةٌ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ يَعْنِي كُلَّ يَوْمٍ يُصْبِحُ فِيهِ الْإِنْسَانُ مَطْلُوبٌ مِنْهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مِفْصَلٍ مِنْ مَفَاصِلِهِ صَدَقَةً وَمَفَاصِلُ الْإِنْسَانِ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتُّونَ مَعْنَى ذَلِكَ مَطْلُوبٌ مِنْهُ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتُّونَ صَدَقَةً شُكْرٌ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى سَلَامَةِ مَفَاصِلِهِ ثُمَّ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ يَعْنِي عَنْ الثَّلَاثِمِئَةِ وَسِتِّينَ صَدَقَةً رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ رَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنَّهَا تُجْزِئُ عَنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَسِتِّينَ صَدَقَةً وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى اسْتِحْبَابِ الِاسْتِمْرَارِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى وَالْمُحَافَظَةِ عَلَيْهَا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ مَطْلُوبٌ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتِّينَ صَدَقَةً فَإِذَا أَتَى بِهَذِهِ الصَّدَقَاتِ َوَإِلَّا وَإِنْ عَجَزَ أَوْ مَا تَيَسَّر لَهُ أَنْ يَأْتِيَ بِهَذِهِ الثَّلَاثِمِئَةِ وَسِتِّينَ يَكْفِي أَنْ يَرْكَعَ رَكْعَتَيْ الضُّحَى فَهَذَا مِنْ أَظْهَرِ الْأَدِلَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْمُحَافَظَةِ وَالِاسْتِمْرَارِ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى وَقَوْلُ مَنْ قَالَ مِنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَتْرُكُهَا غِبًّا وَلَا يُحَافِظُ عَلَيْهَا اعْتَمَدُوا عَلَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْيَانًا لَا يُصَلِّيهَا لَكِنَّ هَذَا الِاسْتِدْلَالَ اسْتِدْلَالٌ فِي غَيْرِ يَعْنِي مُنَاقَشٍ لِأَنَّهُ مُنَاقَشٌ نَاقَشَهُ بَعْضُ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ يَحُثُّ عَلَى الشَّيْءِ وَلَا يَفْعَلُهُ لِانْشِغَالِهِ بِمَصَالِحَ أَرْجَحَ فَمَثَلًا أَخْبَرَ بِأَنَّ أَفْضَلَ صِيَامِ النَّافِلَةِ صِيَامُ يَوْمٍ وَإِفْطَارُ يَوْمٍ طَيِّبٌ هَلْ كَانَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا؟ الْجَوَابُ لَا وَإِنَّمَا كَانَ كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ يَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يَصُومُ فَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَدْ يَحُثُّ عَلَى الشَّيْءِ وَلَا يَفْعَلُهُ لِإِشْغَالِهِ بِمَا هُوَ بِمَا مَصْلَحَتُهُ أَرْجَحُ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ الضُّحَى يَكْفِينَا أَنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ فَضْلَهَا وَأَنَّهَا تُجْزِئُ عَنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَسِتِّينَ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَكَمَا جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَوْصَانِي خَلِيلِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ وَذَكَرَ مِنْهَا رَكْعَتَيْ الضُّحَى وَكَانَ يُصَلِّيْهَا أَحْيَانًا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَعَلَى هَذَا نَقُولُ إِنَّ الْقَوْلَ الْمُرَجَّحَ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنَ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ اسْتِحْبَابُ الْمُحَافَظَةِ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى وَأَنْ يُصَلِّيَهَا الْمُسْلِمُ كُلَّ يَوْمٍ
PERTANYAAN: Salah satu pertanyaan, dari saudari Fatimah yang bertanya tentang hukum rutin Salat Dhuha setiap hari. JAWABAN: Rutin melakukan Salat Dhuha adalah sunah, menurut pendapat yang lebih kuat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Setiap sendi manusia memasuki waktu pagi harus menanggung sedekah. “Setiap pagi, seluruh persendian milik kalian ada sedekahnya…” Yakni setiap hari saat manusia memasuki pagi hari, dituntut untuk bersedekah atas setiap persendiannya. Sedangkan persendian manusia ada 360 sendi Berarti dia dituntut untuk bersedekah sebanyak 360 sedekah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas keselamatan seluruh persendiannya. Lalu Nabi ‘alaihis shalatu wassalam melanjutkan sabdanya, “… dan setiap ucapan tasbih adalah sedekah, setiap ucapan tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, ajakan kepada kebaikan adalah sedekah, dan melarang dari kemungkaran adalah sedekah. Dan itu semua dapat tercukupi …” Yakni dapat mencukupi 360 sedekah. “… dua rakaat yang dia lakukan pada waktu dhuha.” Hadis ini menunjukkan keutamaan dua rakaat Salat Dhuha. Dan Salat Dhuha ini dapat mencukupi 360 sedekah. Hadis ini juga menunjukkan disunahkannya mendirikan Salat Dhuha secara rutin dan senantiasa berusaha melakukannya setiap hari. Karena manusia dituntut untuk melakukan 360 sedekah setiap hari. Sehingga jika dia melakukan sedekah itu (maka itulah yang diharapkan). Namun jika tidak melakukan atau tidak mampu bersedekah sebanyak 360 sedekah, maka cukup baginya untuk mendirikan dua rakaat Salat Dhuha. Ini adalah dalil paling kuat yang menunjukkan disunahkannya rutin mendirikan Salat Dhuha setiap hari. Adapun pendapat sebagian ulama fikih bahwa sebaiknya sesekali tidak mendirikan Salat Dhuha dan tidak merutinkannya, itu mereka berlandasan bahwa dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tidak mendirikannya. Namun, berdalil ini adalah suatu penggunaan dalil yang tidak tepat; masih terbantahkan, terbantahkan karena dalil ini dibantah oleh sebagian ulama yang mendalami perkara ini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menganjurkan sesuatu, tapi beliau tidak melakukannya, karena beliau sibuk dengan kemaslahatan yang lebih besar. Sebagai contoh, Nabi menyampaikan bahwa puasa sunah terbaik adalah sehari puasa sehari tidak (Puasa Daud). Namun apakah dulu Nabi sehari puasa dan sehari tidak? Jawabannya, tidak! Namun, yang beliau lakukan sebagaimana ucapan Aisyah, “Beliau berpuasa hingga ada yang mengatakan bahwa beliau terus berpuasa, dan kadang beliau tidak berpuasa hingga ada yang berkata bahwa beliau tidak pernah berpuasa.” Jadi, terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan sesuatu, tapi beliau tidak melakukannya karena sibuk dengan sesuatu yang maslahatnya lebih besar Di antara contohnya adalah Salat Dhuha. Cukup bagi kita bahwa Nabi menganjurkannya dan menjelaskan keutamaannya bahwa Salat Dhuha mencukupkan dari 360 sedekah. Juga sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Abu Hurairah, “Sahabat terkasihku (yaitu Nabi) mewasiatkan kepadaku tiga hal …”Di antaranya disebutkan, “… dua rakaat Salat Dhuha.” Nabi ‘alaihis shalatu wassalam terkadang mendirikan Salat Dhuha. Dengan demikian kami katakan bahwa pendapat yang lebih kuat menurut banyak ulama yang menelitinya adalah disunahkannya melakukan Salat Dhuha secara rutin, seorang Muslim hendaknya melakukannya setiap hari. ==== وَمِنَ الْأَسْئِلَةِ الْأُخْتُ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ عَنِ الِاسْتِمْرَارِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى يَوْمِيًّا الِاسْتِمْرَارُ فِي صَلَاةِ الضُّحَى سُنَّةٌ عَلَى الْقَوْلِ الرَّاجِحِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى يَعْنِي عَلَى كُلِّ مِفْصَلٍ مِنْ مَفَاصِلِ الْإِنْسَانِ إِذَا أَصْبَحَ صَدَقَةٌ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ يَعْنِي كُلَّ يَوْمٍ يُصْبِحُ فِيهِ الْإِنْسَانُ مَطْلُوبٌ مِنْهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مِفْصَلٍ مِنْ مَفَاصِلِهِ صَدَقَةً وَمَفَاصِلُ الْإِنْسَانِ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتُّونَ مَعْنَى ذَلِكَ مَطْلُوبٌ مِنْهُ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتُّونَ صَدَقَةً شُكْرٌ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى سَلَامَةِ مَفَاصِلِهِ ثُمَّ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ يَعْنِي عَنْ الثَّلَاثِمِئَةِ وَسِتِّينَ صَدَقَةً رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ رَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنَّهَا تُجْزِئُ عَنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَسِتِّينَ صَدَقَةً وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى اسْتِحْبَابِ الِاسْتِمْرَارِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى وَالْمُحَافَظَةِ عَلَيْهَا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ مَطْلُوبٌ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتِّينَ صَدَقَةً فَإِذَا أَتَى بِهَذِهِ الصَّدَقَاتِ َوَإِلَّا وَإِنْ عَجَزَ أَوْ مَا تَيَسَّر لَهُ أَنْ يَأْتِيَ بِهَذِهِ الثَّلَاثِمِئَةِ وَسِتِّينَ يَكْفِي أَنْ يَرْكَعَ رَكْعَتَيْ الضُّحَى فَهَذَا مِنْ أَظْهَرِ الْأَدِلَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْمُحَافَظَةِ وَالِاسْتِمْرَارِ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى وَقَوْلُ مَنْ قَالَ مِنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَتْرُكُهَا غِبًّا وَلَا يُحَافِظُ عَلَيْهَا اعْتَمَدُوا عَلَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْيَانًا لَا يُصَلِّيهَا لَكِنَّ هَذَا الِاسْتِدْلَالَ اسْتِدْلَالٌ فِي غَيْرِ يَعْنِي مُنَاقَشٍ لِأَنَّهُ مُنَاقَشٌ نَاقَشَهُ بَعْضُ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ يَحُثُّ عَلَى الشَّيْءِ وَلَا يَفْعَلُهُ لِانْشِغَالِهِ بِمَصَالِحَ أَرْجَحَ فَمَثَلًا أَخْبَرَ بِأَنَّ أَفْضَلَ صِيَامِ النَّافِلَةِ صِيَامُ يَوْمٍ وَإِفْطَارُ يَوْمٍ طَيِّبٌ هَلْ كَانَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا؟ الْجَوَابُ لَا وَإِنَّمَا كَانَ كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ يَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يَصُومُ فَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَدْ يَحُثُّ عَلَى الشَّيْءِ وَلَا يَفْعَلُهُ لِإِشْغَالِهِ بِمَا هُوَ بِمَا مَصْلَحَتُهُ أَرْجَحُ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ الضُّحَى يَكْفِينَا أَنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ فَضْلَهَا وَأَنَّهَا تُجْزِئُ عَنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَسِتِّينَ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَكَمَا جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَوْصَانِي خَلِيلِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ وَذَكَرَ مِنْهَا رَكْعَتَيْ الضُّحَى وَكَانَ يُصَلِّيْهَا أَحْيَانًا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَعَلَى هَذَا نَقُولُ إِنَّ الْقَوْلَ الْمُرَجَّحَ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنَ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ اسْتِحْبَابُ الْمُحَافَظَةِ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى وَأَنْ يُصَلِّيَهَا الْمُسْلِمُ كُلَّ يَوْمٍ


PERTANYAAN: Salah satu pertanyaan, dari saudari Fatimah yang bertanya tentang hukum rutin Salat Dhuha setiap hari. JAWABAN: Rutin melakukan Salat Dhuha adalah sunah, menurut pendapat yang lebih kuat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Setiap sendi manusia memasuki waktu pagi harus menanggung sedekah. “Setiap pagi, seluruh persendian milik kalian ada sedekahnya…” Yakni setiap hari saat manusia memasuki pagi hari, dituntut untuk bersedekah atas setiap persendiannya. Sedangkan persendian manusia ada 360 sendi Berarti dia dituntut untuk bersedekah sebanyak 360 sedekah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas keselamatan seluruh persendiannya. Lalu Nabi ‘alaihis shalatu wassalam melanjutkan sabdanya, “… dan setiap ucapan tasbih adalah sedekah, setiap ucapan tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, ajakan kepada kebaikan adalah sedekah, dan melarang dari kemungkaran adalah sedekah. Dan itu semua dapat tercukupi …” Yakni dapat mencukupi 360 sedekah. “… dua rakaat yang dia lakukan pada waktu dhuha.” Hadis ini menunjukkan keutamaan dua rakaat Salat Dhuha. Dan Salat Dhuha ini dapat mencukupi 360 sedekah. Hadis ini juga menunjukkan disunahkannya mendirikan Salat Dhuha secara rutin dan senantiasa berusaha melakukannya setiap hari. Karena manusia dituntut untuk melakukan 360 sedekah setiap hari. Sehingga jika dia melakukan sedekah itu (maka itulah yang diharapkan). Namun jika tidak melakukan atau tidak mampu bersedekah sebanyak 360 sedekah, maka cukup baginya untuk mendirikan dua rakaat Salat Dhuha. Ini adalah dalil paling kuat yang menunjukkan disunahkannya rutin mendirikan Salat Dhuha setiap hari. Adapun pendapat sebagian ulama fikih bahwa sebaiknya sesekali tidak mendirikan Salat Dhuha dan tidak merutinkannya, itu mereka berlandasan bahwa dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tidak mendirikannya. Namun, berdalil ini adalah suatu penggunaan dalil yang tidak tepat; masih terbantahkan, terbantahkan karena dalil ini dibantah oleh sebagian ulama yang mendalami perkara ini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menganjurkan sesuatu, tapi beliau tidak melakukannya, karena beliau sibuk dengan kemaslahatan yang lebih besar. Sebagai contoh, Nabi menyampaikan bahwa puasa sunah terbaik adalah sehari puasa sehari tidak (Puasa Daud). Namun apakah dulu Nabi sehari puasa dan sehari tidak? Jawabannya, tidak! Namun, yang beliau lakukan sebagaimana ucapan Aisyah, “Beliau berpuasa hingga ada yang mengatakan bahwa beliau terus berpuasa, dan kadang beliau tidak berpuasa hingga ada yang berkata bahwa beliau tidak pernah berpuasa.” Jadi, terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan sesuatu, tapi beliau tidak melakukannya karena sibuk dengan sesuatu yang maslahatnya lebih besar Di antara contohnya adalah Salat Dhuha. Cukup bagi kita bahwa Nabi menganjurkannya dan menjelaskan keutamaannya bahwa Salat Dhuha mencukupkan dari 360 sedekah. Juga sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Abu Hurairah, “Sahabat terkasihku (yaitu Nabi) mewasiatkan kepadaku tiga hal …”Di antaranya disebutkan, “… dua rakaat Salat Dhuha.” Nabi ‘alaihis shalatu wassalam terkadang mendirikan Salat Dhuha. Dengan demikian kami katakan bahwa pendapat yang lebih kuat menurut banyak ulama yang menelitinya adalah disunahkannya melakukan Salat Dhuha secara rutin, seorang Muslim hendaknya melakukannya setiap hari. ==== وَمِنَ الْأَسْئِلَةِ الْأُخْتُ فَاطِمَةُ تَسْأَلُ عَنِ الِاسْتِمْرَارِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى يَوْمِيًّا الِاسْتِمْرَارُ فِي صَلَاةِ الضُّحَى سُنَّةٌ عَلَى الْقَوْلِ الرَّاجِحِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى يَعْنِي عَلَى كُلِّ مِفْصَلٍ مِنْ مَفَاصِلِ الْإِنْسَانِ إِذَا أَصْبَحَ صَدَقَةٌ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ يَعْنِي كُلَّ يَوْمٍ يُصْبِحُ فِيهِ الْإِنْسَانُ مَطْلُوبٌ مِنْهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مِفْصَلٍ مِنْ مَفَاصِلِهِ صَدَقَةً وَمَفَاصِلُ الْإِنْسَانِ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتُّونَ مَعْنَى ذَلِكَ مَطْلُوبٌ مِنْهُ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتُّونَ صَدَقَةً شُكْرٌ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى سَلَامَةِ مَفَاصِلِهِ ثُمَّ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ يَعْنِي عَنْ الثَّلَاثِمِئَةِ وَسِتِّينَ صَدَقَةً رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ رَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنَّهَا تُجْزِئُ عَنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَسِتِّينَ صَدَقَةً وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى اسْتِحْبَابِ الِاسْتِمْرَارِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى وَالْمُحَافَظَةِ عَلَيْهَا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ مَطْلُوبٌ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ ثَلَاثُمِئَةٍ وَسِتِّينَ صَدَقَةً فَإِذَا أَتَى بِهَذِهِ الصَّدَقَاتِ َوَإِلَّا وَإِنْ عَجَزَ أَوْ مَا تَيَسَّر لَهُ أَنْ يَأْتِيَ بِهَذِهِ الثَّلَاثِمِئَةِ وَسِتِّينَ يَكْفِي أَنْ يَرْكَعَ رَكْعَتَيْ الضُّحَى فَهَذَا مِنْ أَظْهَرِ الْأَدِلَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْمُحَافَظَةِ وَالِاسْتِمْرَارِ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى وَقَوْلُ مَنْ قَالَ مِنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَتْرُكُهَا غِبًّا وَلَا يُحَافِظُ عَلَيْهَا اعْتَمَدُوا عَلَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْيَانًا لَا يُصَلِّيهَا لَكِنَّ هَذَا الِاسْتِدْلَالَ اسْتِدْلَالٌ فِي غَيْرِ يَعْنِي مُنَاقَشٍ لِأَنَّهُ مُنَاقَشٌ نَاقَشَهُ بَعْضُ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ يَحُثُّ عَلَى الشَّيْءِ وَلَا يَفْعَلُهُ لِانْشِغَالِهِ بِمَصَالِحَ أَرْجَحَ فَمَثَلًا أَخْبَرَ بِأَنَّ أَفْضَلَ صِيَامِ النَّافِلَةِ صِيَامُ يَوْمٍ وَإِفْطَارُ يَوْمٍ طَيِّبٌ هَلْ كَانَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا؟ الْجَوَابُ لَا وَإِنَّمَا كَانَ كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ يَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا يَصُومُ فَالنَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَدْ يَحُثُّ عَلَى الشَّيْءِ وَلَا يَفْعَلُهُ لِإِشْغَالِهِ بِمَا هُوَ بِمَا مَصْلَحَتُهُ أَرْجَحُ وَمِنْ ذَلِكَ صَلَاةُ الضُّحَى يَكْفِينَا أَنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ حَثَّ عَلَيْهَا وَبَيَّنَ فَضْلَهَا وَأَنَّهَا تُجْزِئُ عَنْ ثَلَاثِمِئَةٍ وَسِتِّينَ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَكَمَا جَاءَ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَوْصَانِي خَلِيلِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ وَذَكَرَ مِنْهَا رَكْعَتَيْ الضُّحَى وَكَانَ يُصَلِّيْهَا أَحْيَانًا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَعَلَى هَذَا نَقُولُ إِنَّ الْقَوْلَ الْمُرَجَّحَ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنَ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ اسْتِحْبَابُ الْمُحَافَظَةِ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى وَأَنْ يُصَلِّيَهَا الْمُسْلِمُ كُلَّ يَوْمٍ

Kapan Waktu Mustajab di Hari Jumat? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Penanya bertanya tentang waktu mustajab pada hari Jumat, kapan itu? Dalam masalah ini terdapat banyak nas tentangnya, oleh sebab itu terdapat banyak perselisihan di dalamnya. Bahkan sebagian ulama menyebutkan 40 pendapat dalam hal ini. Allah Jalla wa ‘Ala merahasiakan waktu ini dengan tujuan agar manusia selalu menyibukkan diri dengan doa dan zikir pada hari yang mulia ini di setiap waktunya. Waktu hari Jumat hanya sebentar, sekitar 12 jam. Dalam waktu ini ada keutamaan dan pahala yang besar ini. Dengan demikian, alangkah baiknya seseorang memanfaatkan waktunya pada hari Jumat, agar dapat meraih keutamaan yang besar ini berupa terkabulnya doa. Di sini saya ingatkan, bahwa pendapat yang paling populer dan yang paling kuat dari pendapat-pendapat ini berkutat di antara dua pendapat: [PERTAMA]Pendapat yang menyatakan bahwa waktu ini berkaitan dengan Salat Jumat. [KEDUA]Juga pendapat yang menyatakan bahwa waktunya ada di akhir waktu hari Jumat sebelum matahari terbenam. Terdapat banyak riwayat dalam hal ini. Manapun pendapat yang benar, hendaklah manusia memperbanyak doa pada setiap waktunya. Karena Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang berdoa kepada-Nya, serta mencintai orang-orang yang tekun dalam berdoa. Dengan demikian, hendaklah manusia mengharapkan pahala pada doanya yang dia lakukan setiap saat. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya…. Sungguh orang-orang yang enggan menyembah-Ku…akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan yang hina.” (QS. Ghafir: 60). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan dikabulkan untuk kalian, selama tidak berdoa dengan doa yang mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad) ==== سَأَلَ عَنْ وَقْتِ الْإِجَابَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَتَى يَكُونُ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ قَدْ وَرَدَتْ فِيهَا نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ وَلِذَلِكَ اخْتُلِفَ فِيهَا اخْتِلَافًا كَثِيرًا كَثِيرًا حَتَّى إِنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ حَكَى فِيهَا أَرْبَعِيْنَ قَوْلًا وَاللهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ أَخْفَاهَا مِنْ أَجْلِ أَنْ تَشْتَغِلَ النُّفُوسُ بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ فِي هَذَا الْيَوْمِ الْفَاضِلِ فِي كُلِّ سَاعَاتِهِ فَسَاعَاتُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَلِيلَةٌ قَرَابَةُ اثْنَتَي عَشْرَةَ سَاعَةً فِيهَا هَذَا الْفَضْلُ وَالْأَجْرُ الْكَبِيرُ وَبِالتَّالِي يَحْسُنُ بِالْإِنْسَانِ أَنْ يَغْتَنِمَ الْوَقْتَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ لِيَنَالَ هَذَا الْفَضْلَ الْكَبِيرَ بِإِجَابَةِ دُعَائِهِ وَهُنَا أُنَبِّهُ عَلَى أَنَّ أَشْهُرَ الْأَقْوَالِ وَأَرْجَحَ الْأَقْوَالِ تَتَرَدَّدُ بَيْنَ قَوْلَيْنِ قَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّهَا تَتَعَلَّقُ بِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ وَقَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّهَا فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الْغُرُوبِ وَقَدْ وَرَدَ فِي ذَلِكَ رِوَايَاتٌ وَعَلَى كُلٍّ فَالْإِنْسَانُ يَنْبَغِي بِهِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ فِي كُلِّ أَوْقَاتِهِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ الدَّاعِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُلِحِّيْنَ فِي الدُّعَاءِ وَبِالتَّالِي عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَحْتَسِبَ الْأَجْرَ فِي دُعَائِهِ فِي كُلِّ أَوْقَاتِهِ قَدْ قَالَ جَلَّ وَعَلَا وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ

Kapan Waktu Mustajab di Hari Jumat? – Syaikh Sa’ad asy-Syatsri #NasehatUlama

Penanya bertanya tentang waktu mustajab pada hari Jumat, kapan itu? Dalam masalah ini terdapat banyak nas tentangnya, oleh sebab itu terdapat banyak perselisihan di dalamnya. Bahkan sebagian ulama menyebutkan 40 pendapat dalam hal ini. Allah Jalla wa ‘Ala merahasiakan waktu ini dengan tujuan agar manusia selalu menyibukkan diri dengan doa dan zikir pada hari yang mulia ini di setiap waktunya. Waktu hari Jumat hanya sebentar, sekitar 12 jam. Dalam waktu ini ada keutamaan dan pahala yang besar ini. Dengan demikian, alangkah baiknya seseorang memanfaatkan waktunya pada hari Jumat, agar dapat meraih keutamaan yang besar ini berupa terkabulnya doa. Di sini saya ingatkan, bahwa pendapat yang paling populer dan yang paling kuat dari pendapat-pendapat ini berkutat di antara dua pendapat: [PERTAMA]Pendapat yang menyatakan bahwa waktu ini berkaitan dengan Salat Jumat. [KEDUA]Juga pendapat yang menyatakan bahwa waktunya ada di akhir waktu hari Jumat sebelum matahari terbenam. Terdapat banyak riwayat dalam hal ini. Manapun pendapat yang benar, hendaklah manusia memperbanyak doa pada setiap waktunya. Karena Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang berdoa kepada-Nya, serta mencintai orang-orang yang tekun dalam berdoa. Dengan demikian, hendaklah manusia mengharapkan pahala pada doanya yang dia lakukan setiap saat. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya…. Sungguh orang-orang yang enggan menyembah-Ku…akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan yang hina.” (QS. Ghafir: 60). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan dikabulkan untuk kalian, selama tidak berdoa dengan doa yang mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad) ==== سَأَلَ عَنْ وَقْتِ الْإِجَابَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَتَى يَكُونُ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ قَدْ وَرَدَتْ فِيهَا نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ وَلِذَلِكَ اخْتُلِفَ فِيهَا اخْتِلَافًا كَثِيرًا كَثِيرًا حَتَّى إِنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ حَكَى فِيهَا أَرْبَعِيْنَ قَوْلًا وَاللهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ أَخْفَاهَا مِنْ أَجْلِ أَنْ تَشْتَغِلَ النُّفُوسُ بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ فِي هَذَا الْيَوْمِ الْفَاضِلِ فِي كُلِّ سَاعَاتِهِ فَسَاعَاتُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَلِيلَةٌ قَرَابَةُ اثْنَتَي عَشْرَةَ سَاعَةً فِيهَا هَذَا الْفَضْلُ وَالْأَجْرُ الْكَبِيرُ وَبِالتَّالِي يَحْسُنُ بِالْإِنْسَانِ أَنْ يَغْتَنِمَ الْوَقْتَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ لِيَنَالَ هَذَا الْفَضْلَ الْكَبِيرَ بِإِجَابَةِ دُعَائِهِ وَهُنَا أُنَبِّهُ عَلَى أَنَّ أَشْهُرَ الْأَقْوَالِ وَأَرْجَحَ الْأَقْوَالِ تَتَرَدَّدُ بَيْنَ قَوْلَيْنِ قَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّهَا تَتَعَلَّقُ بِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ وَقَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّهَا فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الْغُرُوبِ وَقَدْ وَرَدَ فِي ذَلِكَ رِوَايَاتٌ وَعَلَى كُلٍّ فَالْإِنْسَانُ يَنْبَغِي بِهِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ فِي كُلِّ أَوْقَاتِهِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ الدَّاعِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُلِحِّيْنَ فِي الدُّعَاءِ وَبِالتَّالِي عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَحْتَسِبَ الْأَجْرَ فِي دُعَائِهِ فِي كُلِّ أَوْقَاتِهِ قَدْ قَالَ جَلَّ وَعَلَا وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ
Penanya bertanya tentang waktu mustajab pada hari Jumat, kapan itu? Dalam masalah ini terdapat banyak nas tentangnya, oleh sebab itu terdapat banyak perselisihan di dalamnya. Bahkan sebagian ulama menyebutkan 40 pendapat dalam hal ini. Allah Jalla wa ‘Ala merahasiakan waktu ini dengan tujuan agar manusia selalu menyibukkan diri dengan doa dan zikir pada hari yang mulia ini di setiap waktunya. Waktu hari Jumat hanya sebentar, sekitar 12 jam. Dalam waktu ini ada keutamaan dan pahala yang besar ini. Dengan demikian, alangkah baiknya seseorang memanfaatkan waktunya pada hari Jumat, agar dapat meraih keutamaan yang besar ini berupa terkabulnya doa. Di sini saya ingatkan, bahwa pendapat yang paling populer dan yang paling kuat dari pendapat-pendapat ini berkutat di antara dua pendapat: [PERTAMA]Pendapat yang menyatakan bahwa waktu ini berkaitan dengan Salat Jumat. [KEDUA]Juga pendapat yang menyatakan bahwa waktunya ada di akhir waktu hari Jumat sebelum matahari terbenam. Terdapat banyak riwayat dalam hal ini. Manapun pendapat yang benar, hendaklah manusia memperbanyak doa pada setiap waktunya. Karena Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang berdoa kepada-Nya, serta mencintai orang-orang yang tekun dalam berdoa. Dengan demikian, hendaklah manusia mengharapkan pahala pada doanya yang dia lakukan setiap saat. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya…. Sungguh orang-orang yang enggan menyembah-Ku…akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan yang hina.” (QS. Ghafir: 60). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan dikabulkan untuk kalian, selama tidak berdoa dengan doa yang mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad) ==== سَأَلَ عَنْ وَقْتِ الْإِجَابَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَتَى يَكُونُ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ قَدْ وَرَدَتْ فِيهَا نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ وَلِذَلِكَ اخْتُلِفَ فِيهَا اخْتِلَافًا كَثِيرًا كَثِيرًا حَتَّى إِنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ حَكَى فِيهَا أَرْبَعِيْنَ قَوْلًا وَاللهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ أَخْفَاهَا مِنْ أَجْلِ أَنْ تَشْتَغِلَ النُّفُوسُ بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ فِي هَذَا الْيَوْمِ الْفَاضِلِ فِي كُلِّ سَاعَاتِهِ فَسَاعَاتُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَلِيلَةٌ قَرَابَةُ اثْنَتَي عَشْرَةَ سَاعَةً فِيهَا هَذَا الْفَضْلُ وَالْأَجْرُ الْكَبِيرُ وَبِالتَّالِي يَحْسُنُ بِالْإِنْسَانِ أَنْ يَغْتَنِمَ الْوَقْتَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ لِيَنَالَ هَذَا الْفَضْلَ الْكَبِيرَ بِإِجَابَةِ دُعَائِهِ وَهُنَا أُنَبِّهُ عَلَى أَنَّ أَشْهُرَ الْأَقْوَالِ وَأَرْجَحَ الْأَقْوَالِ تَتَرَدَّدُ بَيْنَ قَوْلَيْنِ قَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّهَا تَتَعَلَّقُ بِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ وَقَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّهَا فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الْغُرُوبِ وَقَدْ وَرَدَ فِي ذَلِكَ رِوَايَاتٌ وَعَلَى كُلٍّ فَالْإِنْسَانُ يَنْبَغِي بِهِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ فِي كُلِّ أَوْقَاتِهِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ الدَّاعِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُلِحِّيْنَ فِي الدُّعَاءِ وَبِالتَّالِي عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَحْتَسِبَ الْأَجْرَ فِي دُعَائِهِ فِي كُلِّ أَوْقَاتِهِ قَدْ قَالَ جَلَّ وَعَلَا وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ


Penanya bertanya tentang waktu mustajab pada hari Jumat, kapan itu? Dalam masalah ini terdapat banyak nas tentangnya, oleh sebab itu terdapat banyak perselisihan di dalamnya. Bahkan sebagian ulama menyebutkan 40 pendapat dalam hal ini. Allah Jalla wa ‘Ala merahasiakan waktu ini dengan tujuan agar manusia selalu menyibukkan diri dengan doa dan zikir pada hari yang mulia ini di setiap waktunya. Waktu hari Jumat hanya sebentar, sekitar 12 jam. Dalam waktu ini ada keutamaan dan pahala yang besar ini. Dengan demikian, alangkah baiknya seseorang memanfaatkan waktunya pada hari Jumat, agar dapat meraih keutamaan yang besar ini berupa terkabulnya doa. Di sini saya ingatkan, bahwa pendapat yang paling populer dan yang paling kuat dari pendapat-pendapat ini berkutat di antara dua pendapat: [PERTAMA]Pendapat yang menyatakan bahwa waktu ini berkaitan dengan Salat Jumat. [KEDUA]Juga pendapat yang menyatakan bahwa waktunya ada di akhir waktu hari Jumat sebelum matahari terbenam. Terdapat banyak riwayat dalam hal ini. Manapun pendapat yang benar, hendaklah manusia memperbanyak doa pada setiap waktunya. Karena Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang berdoa kepada-Nya, serta mencintai orang-orang yang tekun dalam berdoa. Dengan demikian, hendaklah manusia mengharapkan pahala pada doanya yang dia lakukan setiap saat. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya…. Sungguh orang-orang yang enggan menyembah-Ku…akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan yang hina.” (QS. Ghafir: 60). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan dikabulkan untuk kalian, selama tidak berdoa dengan doa yang mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad) ==== سَأَلَ عَنْ وَقْتِ الْإِجَابَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَتَى يَكُونُ؟ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ قَدْ وَرَدَتْ فِيهَا نُصُوصٌ كَثِيرَةٌ وَلِذَلِكَ اخْتُلِفَ فِيهَا اخْتِلَافًا كَثِيرًا كَثِيرًا حَتَّى إِنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ حَكَى فِيهَا أَرْبَعِيْنَ قَوْلًا وَاللهُ جَلَّ وَعَلَا قَدْ أَخْفَاهَا مِنْ أَجْلِ أَنْ تَشْتَغِلَ النُّفُوسُ بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ فِي هَذَا الْيَوْمِ الْفَاضِلِ فِي كُلِّ سَاعَاتِهِ فَسَاعَاتُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَلِيلَةٌ قَرَابَةُ اثْنَتَي عَشْرَةَ سَاعَةً فِيهَا هَذَا الْفَضْلُ وَالْأَجْرُ الْكَبِيرُ وَبِالتَّالِي يَحْسُنُ بِالْإِنْسَانِ أَنْ يَغْتَنِمَ الْوَقْتَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ لِيَنَالَ هَذَا الْفَضْلَ الْكَبِيرَ بِإِجَابَةِ دُعَائِهِ وَهُنَا أُنَبِّهُ عَلَى أَنَّ أَشْهُرَ الْأَقْوَالِ وَأَرْجَحَ الْأَقْوَالِ تَتَرَدَّدُ بَيْنَ قَوْلَيْنِ قَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّهَا تَتَعَلَّقُ بِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ وَقَوْلٌ يَقُولُ بِأَنَّهَا فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الْغُرُوبِ وَقَدْ وَرَدَ فِي ذَلِكَ رِوَايَاتٌ وَعَلَى كُلٍّ فَالْإِنْسَانُ يَنْبَغِي بِهِ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ فِي كُلِّ أَوْقَاتِهِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ الدَّاعِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُلِحِّيْنَ فِي الدُّعَاءِ وَبِالتَّالِي عَلَى الْإِنْسَانِ أَنْ يَحْتَسِبَ الْأَجْرَ فِي دُعَائِهِ فِي كُلِّ أَوْقَاتِهِ قَدْ قَالَ جَلَّ وَعَلَا وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle MukadimahDefinisi akalRambu-rambu terpenting dalam memahami kedudukan akal sesuai dengan pemahaman ahlisunah waljamaahAkal memiliki kedudukan yang tinggi Mukadimah Segala puji milik Allah yang telah mengirimkan utusannya dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkan agama-Nya di atas seluruh agama lainnya, cukuplah Allah sebagai saksi terhadap hal tersebut. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, kecuali Allah semata. Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga selawat dan sebaik-baik salam selalu tercurah kepadanya, keluarganya, dan para sahabatnya. Amma ba’d, tema pembahasan mengenai akal merupakan topik yang luas dan hangat diperbincangkan oleh para cendekiawan berbagai generasi. Mereka membahas mulai dari definisi, hakikat, wilayah kerja, dan batasannya, sampai bagaimana hubungan akal dengan hal-hal eksternal seperti wahyu. Adapun berbagai permasalahan, konsekuensi, metode, dan perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah. Di antara fakta yang mengherankan adalah akal pun bisa tersesat ke dalam akal lainnya. Hanya saja, tulisan ini membahas suatu substansi khusus yang memiliki urgensi untuk dibahas, yaitu kedudukan akal dalam sudut pandang ahlisunah waljamaah. Ahlisunah waljamaah adalah orang-orang yang Allah beri hidayah untuk mengenali kebenaran yang diperselisihkan orang-orang dalam topik ini. Mereka memperlakukan akal sesuai derajat yang layak baginya, tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan. Memang tidak mudah untuk mengumpulkan berbagai sisi pembahasan topik ini dalam lembaran yang ringkas, namun saya meminta tolong kepada Allah agar mampu menyebutkan rambu-rambu terpenting. Aku memohon taufik kepada Allah. Definisi akal Asal-usul kata عقل (akal) dalam bahasa Arab bermakna المنع (mencegah). Maka, ada istilah عقال البعير (tali yang mencegah gerak kaki unta). Oleh karenanya, akal dinamai dengan عقل karena akal dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas [1]. Di antara sinonim istilah عقل (akal) adalah اللب (Al-Lub), الحجى (Al-Hija), الحجر (Al-Hijr), النهية (An-Nuhyah) [2]. Para ulama memiliki ruang diskusi yang panjang mengenai definisi akal [3]. Pertama: Akal adalah penahan diri dari perbuatan dan ucapan yang tidak terpuji [4]. Kedua: Akal adalah lawan dari ketidaktahuan [5]. Ketiga: Akal didefinisikan oleh Ar-Raghib Al-Ashfahani sebagai daya tangkap yang siap untuk menerima ilmu. Dikatakan pula akal adalah ilmu yang dapat dimanfaatkan manusia melalui daya tangkapnya [6]. Kesimpulanmya, definisi akal yang digunakan dalam Al-Qur’an, hadis, maupun perkataan para ulama tidak keluar dari empat makna berikut [7]: Pertama: Kemampuan berpikir yang Allah tanamkan pada manusia sejak lahir. Dengan kemampuan inilah, Allah jadikan manusia mampu memahami berbagai hal. Melalui kemampuan ini, manusia terbedakan dengan hewan dan orang berakal terbedakan dengan orang gila. Kedua: Ilmu dharuri [8] yang disepakati oleh seluruh orang berakal. Misalnya, “seluruh” itu lebih banyak daripada “sebagian”, keberadaan makhluk menunjukkan keberadaan pencipta, mustahil menggabungkan dua hal yang kontras, dan seterusnya. Ketiga: Ilmu nazhari, yaitu pengetahuan yang didapatkan dari proses berpikir dan penelitian. Keempat: Tindakan yang muncul akibat keberadaan suatu pengetahuan. Inilah penggunaan kata akal yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ “Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (QS. Al-Mulk: 10) Untuk menentukan makna penggunaan kata akal dalam suatu teks, perlu memahami konteks redaksinya. Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia Rambu-rambu terpenting dalam memahami kedudukan akal sesuai dengan pemahaman ahlisunah waljamaah Akal memiliki kedudukan yang tinggi Ahlisunah menempatkan akal sesuai dengan derajat yang layak baginya. Penetapan kedudukan tersebut berdasarkan sikap syariat dalam memuliakan, menghormati [9], dan memelihara akal. Dengan meneliti dalil-dalil, konsep ini dapat dipahami dengan jelas. Berikut di antara penjelasan yang mendukung rambu pertama. Pertama: Syariat menjadikan akal sebagai syarat berlakunya ketentuan hukum Allah bagi seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pena catatan amal diangkat dari tiga golongan: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal. [10]” Kedua: Syariat memotivasi agar akal kita menjadi produktif. Hal ini ditunjukkan oleh setiap ayat dan hadis yang mengajak untuk tadabur (merenung), tafakkur (memikirkan dengan sungguh-sungguh), dan tadzakkur (mengambil pelajaran). Ketiga: Syariat memuji orang-orang yang memiliki akal sehat. Allah berfirman, وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al Baqarah: 269) Keempat: Syariat mencela orang-orang yang menelantarkan akal. Allah berfirman, وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ  وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan seruan (teriakan) semata-mata. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu), mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 170-171) Kelima: Syariat telah menetapkan bahwa akal adalah satu dari lima hal besar yang harus dijaga dalam agama kita. Tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap lima hal tersebut, sehingga kita dilarang untuk mengonsumsi zat yang dapat menghilangkan akal. Syariat juga bersikap tegas jika terjadi tindakan kriminal yang merugikan akal. Jika terjadi kesewenang-wenangan terhadap akal, ada diyat yang harus dibayar secara penuh [11]. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Sub Bab: Adanya Hukuman Diyat pada Kasus Penghilangan Akal Kami tidak mengetahui adanya silang pendapat dalam masalah ini. Karena akal merupakan bagian tubuh yang paling penting dalam menangkap makna, indra yang paling besar manfaatnya, dan dengan akallah manusia terbedakan dari hewan. Melalui akal, manusia dapat mengetahui hakikat sesuatu, mendapat maslahat dan tercegah dari keburukan. Manusia baru bisa terkena aturan hukum syariat jika berakal. Akal juga menjadi syarat sahnya keberadaan wilayah kekuasaan, kebijakan ekonomi, serta pelaksanaan ibadah. Dengan demikian, akal lebih berhak mendapat jaminan dengan adanya diyat daripada indra lainnya.” [12] Keenam: Syariat melarang kita untuk melumpuhkan dan melecehkan akal dengan cara mendengarkan cerita-cerita khurafat (takhayul), sulap, perdukunan, sihir, pamali, jimat, dan semisalnya. Ketujuh: Syariat menjaga akal dari kebingungan dan beban kerja di luar kapasitasnya. Hal ini ditetapkan dalam rangka memelihara akal dari kesia-siaan. Contohnya, Allah tidak membebani kita untuk memikirkan bentuk rupa hal-hal gaib, mencari-mencari tahu hikmah seluruh kejadian. [13] [Bersambung] Kembali ke bagian 1: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1) *** Penerjemah: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Ma’alim fi Manzilati Al-‘Aql ‘inda Ahlissunnah wal-Jama’ah (Rambu-Rambu dalam Memahami Kedudukan Akal sesuai Pemahaman Ahlisunah waljamaah) karya Syekh Shalih bin Abdul Aziz Sindi.   Catatan kaki: [1] Tajul ‘Arus, 30: 19-20. [2] Ibid, 30: 18, Al-Kulliyyat, hal. 619. [3] Al-Kulliyyat, hal. 619. [4] Maqayis Al-Lughah, 4: 69. [5] Al-‘Ain karya Al-Khalil bin Ahmad, 1: 159 dan Mujmal Al-Lughah, 2: 617. [6] Al-Mufradaat, hal. 577. [7] Manhaj Al-Istidlal ‘ala Masail Al-I’tiqad ‘inda Ahli As-Sunnah wal Jama’ah, 1: 158-159. [8] Pengetahuan yang bisa didapatkan tanpa melalui proses eksperimen dan penelitian. Contoh lainnya yaitu pengetahuan bahwa api itu panas, kulit durian itu kasar. [9] Ibid, 1: 168. [10] HR. Ahmad, 41: 224; Abu Dawud, 4: 245; An-Nasa’i, 6: 156; Ibnu Majah, 1: 658; Hadis sahih. Baca penjelasannya di Irwa’u Al-Ghalil, 2: 4-7. [11] Diyat adalah harta yang wajib dikeluarkan karena tindakan pidana dan diberikan kepada korban atau keluarganya. Nominal diyat beragam dan tidak semua kasus mengharuskan membayar diyat secara penuh. Namun, pada kasus yang sampai menghilangkan akal, maka pelaku diharuskan membayar diyat secara penuh. [12] Al-Mughni, 8: 465. [13] Jika kita melakukan perkara-perkara tersebut, hanya membuat rugi diri sendiri. Mengapa? Karena hasil usaha kita belum tentu benar. Pada akhirnya, yang ada hanya lelah tanpa mendapat hasil yang diinginkan. Tags: akalislam

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle MukadimahDefinisi akalRambu-rambu terpenting dalam memahami kedudukan akal sesuai dengan pemahaman ahlisunah waljamaahAkal memiliki kedudukan yang tinggi Mukadimah Segala puji milik Allah yang telah mengirimkan utusannya dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkan agama-Nya di atas seluruh agama lainnya, cukuplah Allah sebagai saksi terhadap hal tersebut. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, kecuali Allah semata. Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga selawat dan sebaik-baik salam selalu tercurah kepadanya, keluarganya, dan para sahabatnya. Amma ba’d, tema pembahasan mengenai akal merupakan topik yang luas dan hangat diperbincangkan oleh para cendekiawan berbagai generasi. Mereka membahas mulai dari definisi, hakikat, wilayah kerja, dan batasannya, sampai bagaimana hubungan akal dengan hal-hal eksternal seperti wahyu. Adapun berbagai permasalahan, konsekuensi, metode, dan perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah. Di antara fakta yang mengherankan adalah akal pun bisa tersesat ke dalam akal lainnya. Hanya saja, tulisan ini membahas suatu substansi khusus yang memiliki urgensi untuk dibahas, yaitu kedudukan akal dalam sudut pandang ahlisunah waljamaah. Ahlisunah waljamaah adalah orang-orang yang Allah beri hidayah untuk mengenali kebenaran yang diperselisihkan orang-orang dalam topik ini. Mereka memperlakukan akal sesuai derajat yang layak baginya, tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan. Memang tidak mudah untuk mengumpulkan berbagai sisi pembahasan topik ini dalam lembaran yang ringkas, namun saya meminta tolong kepada Allah agar mampu menyebutkan rambu-rambu terpenting. Aku memohon taufik kepada Allah. Definisi akal Asal-usul kata عقل (akal) dalam bahasa Arab bermakna المنع (mencegah). Maka, ada istilah عقال البعير (tali yang mencegah gerak kaki unta). Oleh karenanya, akal dinamai dengan عقل karena akal dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas [1]. Di antara sinonim istilah عقل (akal) adalah اللب (Al-Lub), الحجى (Al-Hija), الحجر (Al-Hijr), النهية (An-Nuhyah) [2]. Para ulama memiliki ruang diskusi yang panjang mengenai definisi akal [3]. Pertama: Akal adalah penahan diri dari perbuatan dan ucapan yang tidak terpuji [4]. Kedua: Akal adalah lawan dari ketidaktahuan [5]. Ketiga: Akal didefinisikan oleh Ar-Raghib Al-Ashfahani sebagai daya tangkap yang siap untuk menerima ilmu. Dikatakan pula akal adalah ilmu yang dapat dimanfaatkan manusia melalui daya tangkapnya [6]. Kesimpulanmya, definisi akal yang digunakan dalam Al-Qur’an, hadis, maupun perkataan para ulama tidak keluar dari empat makna berikut [7]: Pertama: Kemampuan berpikir yang Allah tanamkan pada manusia sejak lahir. Dengan kemampuan inilah, Allah jadikan manusia mampu memahami berbagai hal. Melalui kemampuan ini, manusia terbedakan dengan hewan dan orang berakal terbedakan dengan orang gila. Kedua: Ilmu dharuri [8] yang disepakati oleh seluruh orang berakal. Misalnya, “seluruh” itu lebih banyak daripada “sebagian”, keberadaan makhluk menunjukkan keberadaan pencipta, mustahil menggabungkan dua hal yang kontras, dan seterusnya. Ketiga: Ilmu nazhari, yaitu pengetahuan yang didapatkan dari proses berpikir dan penelitian. Keempat: Tindakan yang muncul akibat keberadaan suatu pengetahuan. Inilah penggunaan kata akal yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ “Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (QS. Al-Mulk: 10) Untuk menentukan makna penggunaan kata akal dalam suatu teks, perlu memahami konteks redaksinya. Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia Rambu-rambu terpenting dalam memahami kedudukan akal sesuai dengan pemahaman ahlisunah waljamaah Akal memiliki kedudukan yang tinggi Ahlisunah menempatkan akal sesuai dengan derajat yang layak baginya. Penetapan kedudukan tersebut berdasarkan sikap syariat dalam memuliakan, menghormati [9], dan memelihara akal. Dengan meneliti dalil-dalil, konsep ini dapat dipahami dengan jelas. Berikut di antara penjelasan yang mendukung rambu pertama. Pertama: Syariat menjadikan akal sebagai syarat berlakunya ketentuan hukum Allah bagi seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pena catatan amal diangkat dari tiga golongan: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal. [10]” Kedua: Syariat memotivasi agar akal kita menjadi produktif. Hal ini ditunjukkan oleh setiap ayat dan hadis yang mengajak untuk tadabur (merenung), tafakkur (memikirkan dengan sungguh-sungguh), dan tadzakkur (mengambil pelajaran). Ketiga: Syariat memuji orang-orang yang memiliki akal sehat. Allah berfirman, وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al Baqarah: 269) Keempat: Syariat mencela orang-orang yang menelantarkan akal. Allah berfirman, وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ  وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan seruan (teriakan) semata-mata. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu), mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 170-171) Kelima: Syariat telah menetapkan bahwa akal adalah satu dari lima hal besar yang harus dijaga dalam agama kita. Tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap lima hal tersebut, sehingga kita dilarang untuk mengonsumsi zat yang dapat menghilangkan akal. Syariat juga bersikap tegas jika terjadi tindakan kriminal yang merugikan akal. Jika terjadi kesewenang-wenangan terhadap akal, ada diyat yang harus dibayar secara penuh [11]. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Sub Bab: Adanya Hukuman Diyat pada Kasus Penghilangan Akal Kami tidak mengetahui adanya silang pendapat dalam masalah ini. Karena akal merupakan bagian tubuh yang paling penting dalam menangkap makna, indra yang paling besar manfaatnya, dan dengan akallah manusia terbedakan dari hewan. Melalui akal, manusia dapat mengetahui hakikat sesuatu, mendapat maslahat dan tercegah dari keburukan. Manusia baru bisa terkena aturan hukum syariat jika berakal. Akal juga menjadi syarat sahnya keberadaan wilayah kekuasaan, kebijakan ekonomi, serta pelaksanaan ibadah. Dengan demikian, akal lebih berhak mendapat jaminan dengan adanya diyat daripada indra lainnya.” [12] Keenam: Syariat melarang kita untuk melumpuhkan dan melecehkan akal dengan cara mendengarkan cerita-cerita khurafat (takhayul), sulap, perdukunan, sihir, pamali, jimat, dan semisalnya. Ketujuh: Syariat menjaga akal dari kebingungan dan beban kerja di luar kapasitasnya. Hal ini ditetapkan dalam rangka memelihara akal dari kesia-siaan. Contohnya, Allah tidak membebani kita untuk memikirkan bentuk rupa hal-hal gaib, mencari-mencari tahu hikmah seluruh kejadian. [13] [Bersambung] Kembali ke bagian 1: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1) *** Penerjemah: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Ma’alim fi Manzilati Al-‘Aql ‘inda Ahlissunnah wal-Jama’ah (Rambu-Rambu dalam Memahami Kedudukan Akal sesuai Pemahaman Ahlisunah waljamaah) karya Syekh Shalih bin Abdul Aziz Sindi.   Catatan kaki: [1] Tajul ‘Arus, 30: 19-20. [2] Ibid, 30: 18, Al-Kulliyyat, hal. 619. [3] Al-Kulliyyat, hal. 619. [4] Maqayis Al-Lughah, 4: 69. [5] Al-‘Ain karya Al-Khalil bin Ahmad, 1: 159 dan Mujmal Al-Lughah, 2: 617. [6] Al-Mufradaat, hal. 577. [7] Manhaj Al-Istidlal ‘ala Masail Al-I’tiqad ‘inda Ahli As-Sunnah wal Jama’ah, 1: 158-159. [8] Pengetahuan yang bisa didapatkan tanpa melalui proses eksperimen dan penelitian. Contoh lainnya yaitu pengetahuan bahwa api itu panas, kulit durian itu kasar. [9] Ibid, 1: 168. [10] HR. Ahmad, 41: 224; Abu Dawud, 4: 245; An-Nasa’i, 6: 156; Ibnu Majah, 1: 658; Hadis sahih. Baca penjelasannya di Irwa’u Al-Ghalil, 2: 4-7. [11] Diyat adalah harta yang wajib dikeluarkan karena tindakan pidana dan diberikan kepada korban atau keluarganya. Nominal diyat beragam dan tidak semua kasus mengharuskan membayar diyat secara penuh. Namun, pada kasus yang sampai menghilangkan akal, maka pelaku diharuskan membayar diyat secara penuh. [12] Al-Mughni, 8: 465. [13] Jika kita melakukan perkara-perkara tersebut, hanya membuat rugi diri sendiri. Mengapa? Karena hasil usaha kita belum tentu benar. Pada akhirnya, yang ada hanya lelah tanpa mendapat hasil yang diinginkan. Tags: akalislam
Daftar Isi Toggle MukadimahDefinisi akalRambu-rambu terpenting dalam memahami kedudukan akal sesuai dengan pemahaman ahlisunah waljamaahAkal memiliki kedudukan yang tinggi Mukadimah Segala puji milik Allah yang telah mengirimkan utusannya dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkan agama-Nya di atas seluruh agama lainnya, cukuplah Allah sebagai saksi terhadap hal tersebut. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, kecuali Allah semata. Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga selawat dan sebaik-baik salam selalu tercurah kepadanya, keluarganya, dan para sahabatnya. Amma ba’d, tema pembahasan mengenai akal merupakan topik yang luas dan hangat diperbincangkan oleh para cendekiawan berbagai generasi. Mereka membahas mulai dari definisi, hakikat, wilayah kerja, dan batasannya, sampai bagaimana hubungan akal dengan hal-hal eksternal seperti wahyu. Adapun berbagai permasalahan, konsekuensi, metode, dan perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah. Di antara fakta yang mengherankan adalah akal pun bisa tersesat ke dalam akal lainnya. Hanya saja, tulisan ini membahas suatu substansi khusus yang memiliki urgensi untuk dibahas, yaitu kedudukan akal dalam sudut pandang ahlisunah waljamaah. Ahlisunah waljamaah adalah orang-orang yang Allah beri hidayah untuk mengenali kebenaran yang diperselisihkan orang-orang dalam topik ini. Mereka memperlakukan akal sesuai derajat yang layak baginya, tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan. Memang tidak mudah untuk mengumpulkan berbagai sisi pembahasan topik ini dalam lembaran yang ringkas, namun saya meminta tolong kepada Allah agar mampu menyebutkan rambu-rambu terpenting. Aku memohon taufik kepada Allah. Definisi akal Asal-usul kata عقل (akal) dalam bahasa Arab bermakna المنع (mencegah). Maka, ada istilah عقال البعير (tali yang mencegah gerak kaki unta). Oleh karenanya, akal dinamai dengan عقل karena akal dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas [1]. Di antara sinonim istilah عقل (akal) adalah اللب (Al-Lub), الحجى (Al-Hija), الحجر (Al-Hijr), النهية (An-Nuhyah) [2]. Para ulama memiliki ruang diskusi yang panjang mengenai definisi akal [3]. Pertama: Akal adalah penahan diri dari perbuatan dan ucapan yang tidak terpuji [4]. Kedua: Akal adalah lawan dari ketidaktahuan [5]. Ketiga: Akal didefinisikan oleh Ar-Raghib Al-Ashfahani sebagai daya tangkap yang siap untuk menerima ilmu. Dikatakan pula akal adalah ilmu yang dapat dimanfaatkan manusia melalui daya tangkapnya [6]. Kesimpulanmya, definisi akal yang digunakan dalam Al-Qur’an, hadis, maupun perkataan para ulama tidak keluar dari empat makna berikut [7]: Pertama: Kemampuan berpikir yang Allah tanamkan pada manusia sejak lahir. Dengan kemampuan inilah, Allah jadikan manusia mampu memahami berbagai hal. Melalui kemampuan ini, manusia terbedakan dengan hewan dan orang berakal terbedakan dengan orang gila. Kedua: Ilmu dharuri [8] yang disepakati oleh seluruh orang berakal. Misalnya, “seluruh” itu lebih banyak daripada “sebagian”, keberadaan makhluk menunjukkan keberadaan pencipta, mustahil menggabungkan dua hal yang kontras, dan seterusnya. Ketiga: Ilmu nazhari, yaitu pengetahuan yang didapatkan dari proses berpikir dan penelitian. Keempat: Tindakan yang muncul akibat keberadaan suatu pengetahuan. Inilah penggunaan kata akal yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ “Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (QS. Al-Mulk: 10) Untuk menentukan makna penggunaan kata akal dalam suatu teks, perlu memahami konteks redaksinya. Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia Rambu-rambu terpenting dalam memahami kedudukan akal sesuai dengan pemahaman ahlisunah waljamaah Akal memiliki kedudukan yang tinggi Ahlisunah menempatkan akal sesuai dengan derajat yang layak baginya. Penetapan kedudukan tersebut berdasarkan sikap syariat dalam memuliakan, menghormati [9], dan memelihara akal. Dengan meneliti dalil-dalil, konsep ini dapat dipahami dengan jelas. Berikut di antara penjelasan yang mendukung rambu pertama. Pertama: Syariat menjadikan akal sebagai syarat berlakunya ketentuan hukum Allah bagi seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pena catatan amal diangkat dari tiga golongan: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal. [10]” Kedua: Syariat memotivasi agar akal kita menjadi produktif. Hal ini ditunjukkan oleh setiap ayat dan hadis yang mengajak untuk tadabur (merenung), tafakkur (memikirkan dengan sungguh-sungguh), dan tadzakkur (mengambil pelajaran). Ketiga: Syariat memuji orang-orang yang memiliki akal sehat. Allah berfirman, وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al Baqarah: 269) Keempat: Syariat mencela orang-orang yang menelantarkan akal. Allah berfirman, وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ  وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan seruan (teriakan) semata-mata. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu), mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 170-171) Kelima: Syariat telah menetapkan bahwa akal adalah satu dari lima hal besar yang harus dijaga dalam agama kita. Tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap lima hal tersebut, sehingga kita dilarang untuk mengonsumsi zat yang dapat menghilangkan akal. Syariat juga bersikap tegas jika terjadi tindakan kriminal yang merugikan akal. Jika terjadi kesewenang-wenangan terhadap akal, ada diyat yang harus dibayar secara penuh [11]. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Sub Bab: Adanya Hukuman Diyat pada Kasus Penghilangan Akal Kami tidak mengetahui adanya silang pendapat dalam masalah ini. Karena akal merupakan bagian tubuh yang paling penting dalam menangkap makna, indra yang paling besar manfaatnya, dan dengan akallah manusia terbedakan dari hewan. Melalui akal, manusia dapat mengetahui hakikat sesuatu, mendapat maslahat dan tercegah dari keburukan. Manusia baru bisa terkena aturan hukum syariat jika berakal. Akal juga menjadi syarat sahnya keberadaan wilayah kekuasaan, kebijakan ekonomi, serta pelaksanaan ibadah. Dengan demikian, akal lebih berhak mendapat jaminan dengan adanya diyat daripada indra lainnya.” [12] Keenam: Syariat melarang kita untuk melumpuhkan dan melecehkan akal dengan cara mendengarkan cerita-cerita khurafat (takhayul), sulap, perdukunan, sihir, pamali, jimat, dan semisalnya. Ketujuh: Syariat menjaga akal dari kebingungan dan beban kerja di luar kapasitasnya. Hal ini ditetapkan dalam rangka memelihara akal dari kesia-siaan. Contohnya, Allah tidak membebani kita untuk memikirkan bentuk rupa hal-hal gaib, mencari-mencari tahu hikmah seluruh kejadian. [13] [Bersambung] Kembali ke bagian 1: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1) *** Penerjemah: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Ma’alim fi Manzilati Al-‘Aql ‘inda Ahlissunnah wal-Jama’ah (Rambu-Rambu dalam Memahami Kedudukan Akal sesuai Pemahaman Ahlisunah waljamaah) karya Syekh Shalih bin Abdul Aziz Sindi.   Catatan kaki: [1] Tajul ‘Arus, 30: 19-20. [2] Ibid, 30: 18, Al-Kulliyyat, hal. 619. [3] Al-Kulliyyat, hal. 619. [4] Maqayis Al-Lughah, 4: 69. [5] Al-‘Ain karya Al-Khalil bin Ahmad, 1: 159 dan Mujmal Al-Lughah, 2: 617. [6] Al-Mufradaat, hal. 577. [7] Manhaj Al-Istidlal ‘ala Masail Al-I’tiqad ‘inda Ahli As-Sunnah wal Jama’ah, 1: 158-159. [8] Pengetahuan yang bisa didapatkan tanpa melalui proses eksperimen dan penelitian. Contoh lainnya yaitu pengetahuan bahwa api itu panas, kulit durian itu kasar. [9] Ibid, 1: 168. [10] HR. Ahmad, 41: 224; Abu Dawud, 4: 245; An-Nasa’i, 6: 156; Ibnu Majah, 1: 658; Hadis sahih. Baca penjelasannya di Irwa’u Al-Ghalil, 2: 4-7. [11] Diyat adalah harta yang wajib dikeluarkan karena tindakan pidana dan diberikan kepada korban atau keluarganya. Nominal diyat beragam dan tidak semua kasus mengharuskan membayar diyat secara penuh. Namun, pada kasus yang sampai menghilangkan akal, maka pelaku diharuskan membayar diyat secara penuh. [12] Al-Mughni, 8: 465. [13] Jika kita melakukan perkara-perkara tersebut, hanya membuat rugi diri sendiri. Mengapa? Karena hasil usaha kita belum tentu benar. Pada akhirnya, yang ada hanya lelah tanpa mendapat hasil yang diinginkan. Tags: akalislam


Daftar Isi Toggle MukadimahDefinisi akalRambu-rambu terpenting dalam memahami kedudukan akal sesuai dengan pemahaman ahlisunah waljamaahAkal memiliki kedudukan yang tinggi Mukadimah Segala puji milik Allah yang telah mengirimkan utusannya dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkan agama-Nya di atas seluruh agama lainnya, cukuplah Allah sebagai saksi terhadap hal tersebut. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, kecuali Allah semata. Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga selawat dan sebaik-baik salam selalu tercurah kepadanya, keluarganya, dan para sahabatnya. Amma ba’d, tema pembahasan mengenai akal merupakan topik yang luas dan hangat diperbincangkan oleh para cendekiawan berbagai generasi. Mereka membahas mulai dari definisi, hakikat, wilayah kerja, dan batasannya, sampai bagaimana hubungan akal dengan hal-hal eksternal seperti wahyu. Adapun berbagai permasalahan, konsekuensi, metode, dan perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah. Di antara fakta yang mengherankan adalah akal pun bisa tersesat ke dalam akal lainnya. Hanya saja, tulisan ini membahas suatu substansi khusus yang memiliki urgensi untuk dibahas, yaitu kedudukan akal dalam sudut pandang ahlisunah waljamaah. Ahlisunah waljamaah adalah orang-orang yang Allah beri hidayah untuk mengenali kebenaran yang diperselisihkan orang-orang dalam topik ini. Mereka memperlakukan akal sesuai derajat yang layak baginya, tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan. Memang tidak mudah untuk mengumpulkan berbagai sisi pembahasan topik ini dalam lembaran yang ringkas, namun saya meminta tolong kepada Allah agar mampu menyebutkan rambu-rambu terpenting. Aku memohon taufik kepada Allah. Definisi akal Asal-usul kata عقل (akal) dalam bahasa Arab bermakna المنع (mencegah). Maka, ada istilah عقال البعير (tali yang mencegah gerak kaki unta). Oleh karenanya, akal dinamai dengan عقل karena akal dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas [1]. Di antara sinonim istilah عقل (akal) adalah اللب (Al-Lub), الحجى (Al-Hija), الحجر (Al-Hijr), النهية (An-Nuhyah) [2]. Para ulama memiliki ruang diskusi yang panjang mengenai definisi akal [3]. Pertama: Akal adalah penahan diri dari perbuatan dan ucapan yang tidak terpuji [4]. Kedua: Akal adalah lawan dari ketidaktahuan [5]. Ketiga: Akal didefinisikan oleh Ar-Raghib Al-Ashfahani sebagai daya tangkap yang siap untuk menerima ilmu. Dikatakan pula akal adalah ilmu yang dapat dimanfaatkan manusia melalui daya tangkapnya [6]. Kesimpulanmya, definisi akal yang digunakan dalam Al-Qur’an, hadis, maupun perkataan para ulama tidak keluar dari empat makna berikut [7]: Pertama: Kemampuan berpikir yang Allah tanamkan pada manusia sejak lahir. Dengan kemampuan inilah, Allah jadikan manusia mampu memahami berbagai hal. Melalui kemampuan ini, manusia terbedakan dengan hewan dan orang berakal terbedakan dengan orang gila. Kedua: Ilmu dharuri [8] yang disepakati oleh seluruh orang berakal. Misalnya, “seluruh” itu lebih banyak daripada “sebagian”, keberadaan makhluk menunjukkan keberadaan pencipta, mustahil menggabungkan dua hal yang kontras, dan seterusnya. Ketiga: Ilmu nazhari, yaitu pengetahuan yang didapatkan dari proses berpikir dan penelitian. Keempat: Tindakan yang muncul akibat keberadaan suatu pengetahuan. Inilah penggunaan kata akal yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ “Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (QS. Al-Mulk: 10) Untuk menentukan makna penggunaan kata akal dalam suatu teks, perlu memahami konteks redaksinya. Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia Rambu-rambu terpenting dalam memahami kedudukan akal sesuai dengan pemahaman ahlisunah waljamaah Akal memiliki kedudukan yang tinggi Ahlisunah menempatkan akal sesuai dengan derajat yang layak baginya. Penetapan kedudukan tersebut berdasarkan sikap syariat dalam memuliakan, menghormati [9], dan memelihara akal. Dengan meneliti dalil-dalil, konsep ini dapat dipahami dengan jelas. Berikut di antara penjelasan yang mendukung rambu pertama. Pertama: Syariat menjadikan akal sebagai syarat berlakunya ketentuan hukum Allah bagi seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pena catatan amal diangkat dari tiga golongan: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal. [10]” Kedua: Syariat memotivasi agar akal kita menjadi produktif. Hal ini ditunjukkan oleh setiap ayat dan hadis yang mengajak untuk tadabur (merenung), tafakkur (memikirkan dengan sungguh-sungguh), dan tadzakkur (mengambil pelajaran). Ketiga: Syariat memuji orang-orang yang memiliki akal sehat. Allah berfirman, وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al Baqarah: 269) Keempat: Syariat mencela orang-orang yang menelantarkan akal. Allah berfirman, وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ  وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan seruan (teriakan) semata-mata. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu), mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 170-171) Kelima: Syariat telah menetapkan bahwa akal adalah satu dari lima hal besar yang harus dijaga dalam agama kita. Tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap lima hal tersebut, sehingga kita dilarang untuk mengonsumsi zat yang dapat menghilangkan akal. Syariat juga bersikap tegas jika terjadi tindakan kriminal yang merugikan akal. Jika terjadi kesewenang-wenangan terhadap akal, ada diyat yang harus dibayar secara penuh [11]. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Sub Bab: Adanya Hukuman Diyat pada Kasus Penghilangan Akal Kami tidak mengetahui adanya silang pendapat dalam masalah ini. Karena akal merupakan bagian tubuh yang paling penting dalam menangkap makna, indra yang paling besar manfaatnya, dan dengan akallah manusia terbedakan dari hewan. Melalui akal, manusia dapat mengetahui hakikat sesuatu, mendapat maslahat dan tercegah dari keburukan. Manusia baru bisa terkena aturan hukum syariat jika berakal. Akal juga menjadi syarat sahnya keberadaan wilayah kekuasaan, kebijakan ekonomi, serta pelaksanaan ibadah. Dengan demikian, akal lebih berhak mendapat jaminan dengan adanya diyat daripada indra lainnya.” [12] Keenam: Syariat melarang kita untuk melumpuhkan dan melecehkan akal dengan cara mendengarkan cerita-cerita khurafat (takhayul), sulap, perdukunan, sihir, pamali, jimat, dan semisalnya. Ketujuh: Syariat menjaga akal dari kebingungan dan beban kerja di luar kapasitasnya. Hal ini ditetapkan dalam rangka memelihara akal dari kesia-siaan. Contohnya, Allah tidak membebani kita untuk memikirkan bentuk rupa hal-hal gaib, mencari-mencari tahu hikmah seluruh kejadian. [13] [Bersambung] Kembali ke bagian 1: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1) *** Penerjemah: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Ma’alim fi Manzilati Al-‘Aql ‘inda Ahlissunnah wal-Jama’ah (Rambu-Rambu dalam Memahami Kedudukan Akal sesuai Pemahaman Ahlisunah waljamaah) karya Syekh Shalih bin Abdul Aziz Sindi.   Catatan kaki: [1] Tajul ‘Arus, 30: 19-20. [2] Ibid, 30: 18, Al-Kulliyyat, hal. 619. [3] Al-Kulliyyat, hal. 619. [4] Maqayis Al-Lughah, 4: 69. [5] Al-‘Ain karya Al-Khalil bin Ahmad, 1: 159 dan Mujmal Al-Lughah, 2: 617. [6] Al-Mufradaat, hal. 577. [7] Manhaj Al-Istidlal ‘ala Masail Al-I’tiqad ‘inda Ahli As-Sunnah wal Jama’ah, 1: 158-159. [8] Pengetahuan yang bisa didapatkan tanpa melalui proses eksperimen dan penelitian. Contoh lainnya yaitu pengetahuan bahwa api itu panas, kulit durian itu kasar. [9] Ibid, 1: 168. [10] HR. Ahmad, 41: 224; Abu Dawud, 4: 245; An-Nasa’i, 6: 156; Ibnu Majah, 1: 658; Hadis sahih. Baca penjelasannya di Irwa’u Al-Ghalil, 2: 4-7. [11] Diyat adalah harta yang wajib dikeluarkan karena tindakan pidana dan diberikan kepada korban atau keluarganya. Nominal diyat beragam dan tidak semua kasus mengharuskan membayar diyat secara penuh. Namun, pada kasus yang sampai menghilangkan akal, maka pelaku diharuskan membayar diyat secara penuh. [12] Al-Mughni, 8: 465. [13] Jika kita melakukan perkara-perkara tersebut, hanya membuat rugi diri sendiri. Mengapa? Karena hasil usaha kita belum tentu benar. Pada akhirnya, yang ada hanya lelah tanpa mendapat hasil yang diinginkan. Tags: akalislam

Apakah Berhijab Harus dari Hati? 

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du. Baru-baru ini sedang ramai ada putri salah seorang public figure yang mengumumkan untuk melepas jilbabnya. Alasannya klasik, karena selama ini ia berjilbab belum dari hatinya. Dan andaikan ia kelak berjilbab maka itu harus dari hatinya. Kenapa alasan ini klasik? Karena sejak zaman dulu kita sudah mendengar alasan sebagian Muslimah yang tidak berjilbab mereka mengatakan “Yang penting menjilbabi hati dulu“. Ungkapannya berbeda, namun intinya sama saja. Alasan di atas kalau kita coba ambil benang merahnya adalah mereka merasa bahwa berjilbab itu harus penuh dengan kerelaan, bukan paksaan, harus benar-benar menyadari apa untungnya berjilbab, apa maslahatnya untuk mereka, apa hikmah di balik perintah jilbab dan seterusnya. Jika semua ini sudah mereka dapatkan di dalam hati, barulah mereka mau berjilbab. Jika Anda memahami ini, tentu Anda sudah bisa melihat di mana sisi kekeliruan pola pikir tersebut. Minimalnya ada tiga poin yang bisa kita garis bawahi: Pertama, kita semua adalah hamba bagi Allah ta’ala, Rabb semesta alam. Maka seorang hamba itu tidak dalam posisi “Apa untungnya buat saya? Kalau menguntungkan saya lakukan, kalau tidak maka saya tidak mau“. Seorang hamba tidak ada di domain itu. Kita diciptakan di dunia ini untuk sepenuhnya mempersembahkan diri kita kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)“. (QS. Al-An’am: 162-163). Jangan sampai kita menjadi orang yang menghamba kepada hawa nafsunya. Jika cocok dengan hawa nafsunya, maka akan ia jalankan. Jika tidak cocok dengan hawa nafsunya, maka ia pun enggan, Sejatinya orang seperti ini menghamba kepada hawa nafsunya. Allah ta’ala berfirman: أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS. Al-Jatsiyah: 23). Kedua, semua ajaran agama itu pasti menguntungkan kita dan maslahat untuk kita. Semuanya tanpa terkecuali. Sehingga kita tidak perlu lagi memilah-milah mana yang menguntungkan dan mana yang tidak, karena semuanya pasti menguntungkan kita. Mengapa demikian? Dua poin: 1. Ajaran agama jelas bukan untuk menguntungkan Allah ta’ala. Karena Allah ta’ala tidak membutuhkan kita. Allah berfirman: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (saja). Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”  (QS. Adz-Dzariyat: 56-58). Kita beribadah atau tidak, kita melakukan amal kebaikan atau tidak, kita taat atau ingkar, kita maksiat atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh pada keagungan Allah ta’ala. Andai seluruh manusia beriman dan bertakwa, keagungan Allah tetap pada kesempurnaan-Nya. Andai semua manusia kafir dan ingkar kepada Allah, sama sekali tidak mengurangi kekuasaan-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم وإنسكم وجنكم . كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم . ما زاد ذلك في ملكي شيئا . يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم . وإنسكم وجنكم . كانوا على أفجر قلب رجل واحد . ما نقص ذلك من ملكي شيئا “Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertakwa, hal itu sedikit pun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikit pun tidak mengurangi kekuasaan-Ku” (HR. Muslim, no.2577) Demikianlah, Allah ta’ala tidak butuh terhadap ibadah kita. Lalu untuk apa kita berlelah-lelah, menghabiskan banyak waktu untuk beramal dan beribadah? Karena untuk keuntungan dan kebaikan kita sendiri. Allah ta’ala berfirman: إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا “Jika kamu berbuat baik, kebaikan itu bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri” (QS. Al-Isra: 7) وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ “Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri” (QS. Luqman: 12). 2. Ajaran agama ini datang dari Rabb semesta alam yang menciptakan langit, bumi serta isinya. Bukan hasil musyawarah sekelompok manusia, bukan kesepakatan politik, bukan buah akal budi manusia yang penuh salah dan dosa. Tapi ajaran agama untuk manusia ini datang dari Dzat yang menciptakan si manusia itu, yaitu Allah ta’ala. Adakah yang lebih mengetahui mana yang baik dan buruk bagi manusia melebihi penciptanya? Janganlah kita ini merasa lebih tahu daripada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman: وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216). Alasan yang ketiga, menjalankan agama tidak harus mengetahui hikmahnya dulu. Bahkan wajib kita menjalankan agama yang shahih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, walaupun belum mengetahui apa hikmahnya. Taat tanpa harus mengetahui hikmahnya  Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu’anhu, ia berkata: نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 1548). Walaupun para sahabat tidak mengetahui hikmah dari larangan Rasulullah, mereka tetap taat. Bahkan, awalnya mereka merasa yang dilarang tersebut bermanfaat bagi mereka. Namun mereka tetap taat. Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu ketika hendak mencium hajar aswad beliau berkata: إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ “Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270). Bagi Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, andai hikmah mencium hajar aswad sekedar meneladani Rasulullah  shallallahu’alaihi wa sallam, itu sudah cukup bagi beliau. Syaikh Shalih As-Suhaimi ketika menyebutkan atsar ini, beliau mengatakan, “Jika seseorang mengetahui hikmah dari suatu syari’at, maka itu kebaikan di atas kebaikan. Namun jika ia tidak mengetahuinya, tetap wajib baginya untuk menerima syari’at tersebut dengan lapang dada. Karena akal manusia terbatas, sehingga tidak bisa mengetahui semua hikmah. Para sahabat ridwanullah ‘alaihim ajma’in mereka semua melaksanakan perintah-perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mempertanyakan apa hikmahnya” (Mudzakkirah fil Aqidah, hal. 6). Namun kita yakin, pasti ada hikmah yang besar di balik setiap ajaran syari’at. Dan pasti Allah syari’atkan itu semua untuk kebaikan dan kemaslahatan kita. Sebagaimana kaidah yang disebutkan para ulama: الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً “Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan” (Qawaid Wal Ushul Al-Jami’ah, hal.27). Berjilbab dan menjalankan ajaran Islam yang lainnya tidak harus dalam keadaan memahami hikmahnya. Walaupun merasa berat, dan belum memahami hikmahnya, tetap wajib menjalankannya dengan mengharap pahala dari Allah ta’ala dan meyakini ada hikmah besar di baliknya. Mudah-mudahan orang yang demikian termasuk seperti apa yang Rasulullah  shallallahu’alaihi wa sallam sabdakan: عجِبَ رَبُّنا عزَّ وجلَّ مِن قَومٍ يُقادون إلى الجنَّةِ في السَّلاسِلِ “Sungguh Rabb kita ‘azza wajalla kagum kepada orang masuk surganya karena ditarik dengan rantai” (HR. Al-Bukhari no.3010). Subhanallah! Ada orang yang masuk surga karena dipaksa dan ditarik! Makna hadits ini adalah tentang orang-orang yang dahulu menjadi tawanan perang kemudian mereka masuk Islam karena terpaksa. Namun ternyata setelah itu mereka berislam dengan baik dan akhirnya masuk surga. Semoga Allah ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk istiqomah dalam berislam. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wasallam. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Wali Qutub, Pria Memakai Pakaian Wanita, Hukum Dropship Erwandi, Bacaan Sebelum Adzan Maghrib, Ipar Selingkuh, Perayaan Maulid Nabi Visited 147 times, 1 visit(s) today Post Views: 631 QRIS donasi Yufid

Apakah Berhijab Harus dari Hati? 

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du. Baru-baru ini sedang ramai ada putri salah seorang public figure yang mengumumkan untuk melepas jilbabnya. Alasannya klasik, karena selama ini ia berjilbab belum dari hatinya. Dan andaikan ia kelak berjilbab maka itu harus dari hatinya. Kenapa alasan ini klasik? Karena sejak zaman dulu kita sudah mendengar alasan sebagian Muslimah yang tidak berjilbab mereka mengatakan “Yang penting menjilbabi hati dulu“. Ungkapannya berbeda, namun intinya sama saja. Alasan di atas kalau kita coba ambil benang merahnya adalah mereka merasa bahwa berjilbab itu harus penuh dengan kerelaan, bukan paksaan, harus benar-benar menyadari apa untungnya berjilbab, apa maslahatnya untuk mereka, apa hikmah di balik perintah jilbab dan seterusnya. Jika semua ini sudah mereka dapatkan di dalam hati, barulah mereka mau berjilbab. Jika Anda memahami ini, tentu Anda sudah bisa melihat di mana sisi kekeliruan pola pikir tersebut. Minimalnya ada tiga poin yang bisa kita garis bawahi: Pertama, kita semua adalah hamba bagi Allah ta’ala, Rabb semesta alam. Maka seorang hamba itu tidak dalam posisi “Apa untungnya buat saya? Kalau menguntungkan saya lakukan, kalau tidak maka saya tidak mau“. Seorang hamba tidak ada di domain itu. Kita diciptakan di dunia ini untuk sepenuhnya mempersembahkan diri kita kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)“. (QS. Al-An’am: 162-163). Jangan sampai kita menjadi orang yang menghamba kepada hawa nafsunya. Jika cocok dengan hawa nafsunya, maka akan ia jalankan. Jika tidak cocok dengan hawa nafsunya, maka ia pun enggan, Sejatinya orang seperti ini menghamba kepada hawa nafsunya. Allah ta’ala berfirman: أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS. Al-Jatsiyah: 23). Kedua, semua ajaran agama itu pasti menguntungkan kita dan maslahat untuk kita. Semuanya tanpa terkecuali. Sehingga kita tidak perlu lagi memilah-milah mana yang menguntungkan dan mana yang tidak, karena semuanya pasti menguntungkan kita. Mengapa demikian? Dua poin: 1. Ajaran agama jelas bukan untuk menguntungkan Allah ta’ala. Karena Allah ta’ala tidak membutuhkan kita. Allah berfirman: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (saja). Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”  (QS. Adz-Dzariyat: 56-58). Kita beribadah atau tidak, kita melakukan amal kebaikan atau tidak, kita taat atau ingkar, kita maksiat atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh pada keagungan Allah ta’ala. Andai seluruh manusia beriman dan bertakwa, keagungan Allah tetap pada kesempurnaan-Nya. Andai semua manusia kafir dan ingkar kepada Allah, sama sekali tidak mengurangi kekuasaan-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم وإنسكم وجنكم . كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم . ما زاد ذلك في ملكي شيئا . يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم . وإنسكم وجنكم . كانوا على أفجر قلب رجل واحد . ما نقص ذلك من ملكي شيئا “Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertakwa, hal itu sedikit pun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikit pun tidak mengurangi kekuasaan-Ku” (HR. Muslim, no.2577) Demikianlah, Allah ta’ala tidak butuh terhadap ibadah kita. Lalu untuk apa kita berlelah-lelah, menghabiskan banyak waktu untuk beramal dan beribadah? Karena untuk keuntungan dan kebaikan kita sendiri. Allah ta’ala berfirman: إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا “Jika kamu berbuat baik, kebaikan itu bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri” (QS. Al-Isra: 7) وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ “Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri” (QS. Luqman: 12). 2. Ajaran agama ini datang dari Rabb semesta alam yang menciptakan langit, bumi serta isinya. Bukan hasil musyawarah sekelompok manusia, bukan kesepakatan politik, bukan buah akal budi manusia yang penuh salah dan dosa. Tapi ajaran agama untuk manusia ini datang dari Dzat yang menciptakan si manusia itu, yaitu Allah ta’ala. Adakah yang lebih mengetahui mana yang baik dan buruk bagi manusia melebihi penciptanya? Janganlah kita ini merasa lebih tahu daripada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman: وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216). Alasan yang ketiga, menjalankan agama tidak harus mengetahui hikmahnya dulu. Bahkan wajib kita menjalankan agama yang shahih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, walaupun belum mengetahui apa hikmahnya. Taat tanpa harus mengetahui hikmahnya  Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu’anhu, ia berkata: نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 1548). Walaupun para sahabat tidak mengetahui hikmah dari larangan Rasulullah, mereka tetap taat. Bahkan, awalnya mereka merasa yang dilarang tersebut bermanfaat bagi mereka. Namun mereka tetap taat. Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu ketika hendak mencium hajar aswad beliau berkata: إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ “Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270). Bagi Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, andai hikmah mencium hajar aswad sekedar meneladani Rasulullah  shallallahu’alaihi wa sallam, itu sudah cukup bagi beliau. Syaikh Shalih As-Suhaimi ketika menyebutkan atsar ini, beliau mengatakan, “Jika seseorang mengetahui hikmah dari suatu syari’at, maka itu kebaikan di atas kebaikan. Namun jika ia tidak mengetahuinya, tetap wajib baginya untuk menerima syari’at tersebut dengan lapang dada. Karena akal manusia terbatas, sehingga tidak bisa mengetahui semua hikmah. Para sahabat ridwanullah ‘alaihim ajma’in mereka semua melaksanakan perintah-perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mempertanyakan apa hikmahnya” (Mudzakkirah fil Aqidah, hal. 6). Namun kita yakin, pasti ada hikmah yang besar di balik setiap ajaran syari’at. Dan pasti Allah syari’atkan itu semua untuk kebaikan dan kemaslahatan kita. Sebagaimana kaidah yang disebutkan para ulama: الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً “Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan” (Qawaid Wal Ushul Al-Jami’ah, hal.27). Berjilbab dan menjalankan ajaran Islam yang lainnya tidak harus dalam keadaan memahami hikmahnya. Walaupun merasa berat, dan belum memahami hikmahnya, tetap wajib menjalankannya dengan mengharap pahala dari Allah ta’ala dan meyakini ada hikmah besar di baliknya. Mudah-mudahan orang yang demikian termasuk seperti apa yang Rasulullah  shallallahu’alaihi wa sallam sabdakan: عجِبَ رَبُّنا عزَّ وجلَّ مِن قَومٍ يُقادون إلى الجنَّةِ في السَّلاسِلِ “Sungguh Rabb kita ‘azza wajalla kagum kepada orang masuk surganya karena ditarik dengan rantai” (HR. Al-Bukhari no.3010). Subhanallah! Ada orang yang masuk surga karena dipaksa dan ditarik! Makna hadits ini adalah tentang orang-orang yang dahulu menjadi tawanan perang kemudian mereka masuk Islam karena terpaksa. Namun ternyata setelah itu mereka berislam dengan baik dan akhirnya masuk surga. Semoga Allah ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk istiqomah dalam berislam. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wasallam. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Wali Qutub, Pria Memakai Pakaian Wanita, Hukum Dropship Erwandi, Bacaan Sebelum Adzan Maghrib, Ipar Selingkuh, Perayaan Maulid Nabi Visited 147 times, 1 visit(s) today Post Views: 631 QRIS donasi Yufid
Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du. Baru-baru ini sedang ramai ada putri salah seorang public figure yang mengumumkan untuk melepas jilbabnya. Alasannya klasik, karena selama ini ia berjilbab belum dari hatinya. Dan andaikan ia kelak berjilbab maka itu harus dari hatinya. Kenapa alasan ini klasik? Karena sejak zaman dulu kita sudah mendengar alasan sebagian Muslimah yang tidak berjilbab mereka mengatakan “Yang penting menjilbabi hati dulu“. Ungkapannya berbeda, namun intinya sama saja. Alasan di atas kalau kita coba ambil benang merahnya adalah mereka merasa bahwa berjilbab itu harus penuh dengan kerelaan, bukan paksaan, harus benar-benar menyadari apa untungnya berjilbab, apa maslahatnya untuk mereka, apa hikmah di balik perintah jilbab dan seterusnya. Jika semua ini sudah mereka dapatkan di dalam hati, barulah mereka mau berjilbab. Jika Anda memahami ini, tentu Anda sudah bisa melihat di mana sisi kekeliruan pola pikir tersebut. Minimalnya ada tiga poin yang bisa kita garis bawahi: Pertama, kita semua adalah hamba bagi Allah ta’ala, Rabb semesta alam. Maka seorang hamba itu tidak dalam posisi “Apa untungnya buat saya? Kalau menguntungkan saya lakukan, kalau tidak maka saya tidak mau“. Seorang hamba tidak ada di domain itu. Kita diciptakan di dunia ini untuk sepenuhnya mempersembahkan diri kita kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)“. (QS. Al-An’am: 162-163). Jangan sampai kita menjadi orang yang menghamba kepada hawa nafsunya. Jika cocok dengan hawa nafsunya, maka akan ia jalankan. Jika tidak cocok dengan hawa nafsunya, maka ia pun enggan, Sejatinya orang seperti ini menghamba kepada hawa nafsunya. Allah ta’ala berfirman: أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS. Al-Jatsiyah: 23). Kedua, semua ajaran agama itu pasti menguntungkan kita dan maslahat untuk kita. Semuanya tanpa terkecuali. Sehingga kita tidak perlu lagi memilah-milah mana yang menguntungkan dan mana yang tidak, karena semuanya pasti menguntungkan kita. Mengapa demikian? Dua poin: 1. Ajaran agama jelas bukan untuk menguntungkan Allah ta’ala. Karena Allah ta’ala tidak membutuhkan kita. Allah berfirman: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (saja). Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”  (QS. Adz-Dzariyat: 56-58). Kita beribadah atau tidak, kita melakukan amal kebaikan atau tidak, kita taat atau ingkar, kita maksiat atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh pada keagungan Allah ta’ala. Andai seluruh manusia beriman dan bertakwa, keagungan Allah tetap pada kesempurnaan-Nya. Andai semua manusia kafir dan ingkar kepada Allah, sama sekali tidak mengurangi kekuasaan-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم وإنسكم وجنكم . كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم . ما زاد ذلك في ملكي شيئا . يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم . وإنسكم وجنكم . كانوا على أفجر قلب رجل واحد . ما نقص ذلك من ملكي شيئا “Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertakwa, hal itu sedikit pun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikit pun tidak mengurangi kekuasaan-Ku” (HR. Muslim, no.2577) Demikianlah, Allah ta’ala tidak butuh terhadap ibadah kita. Lalu untuk apa kita berlelah-lelah, menghabiskan banyak waktu untuk beramal dan beribadah? Karena untuk keuntungan dan kebaikan kita sendiri. Allah ta’ala berfirman: إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا “Jika kamu berbuat baik, kebaikan itu bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri” (QS. Al-Isra: 7) وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ “Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri” (QS. Luqman: 12). 2. Ajaran agama ini datang dari Rabb semesta alam yang menciptakan langit, bumi serta isinya. Bukan hasil musyawarah sekelompok manusia, bukan kesepakatan politik, bukan buah akal budi manusia yang penuh salah dan dosa. Tapi ajaran agama untuk manusia ini datang dari Dzat yang menciptakan si manusia itu, yaitu Allah ta’ala. Adakah yang lebih mengetahui mana yang baik dan buruk bagi manusia melebihi penciptanya? Janganlah kita ini merasa lebih tahu daripada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman: وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216). Alasan yang ketiga, menjalankan agama tidak harus mengetahui hikmahnya dulu. Bahkan wajib kita menjalankan agama yang shahih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, walaupun belum mengetahui apa hikmahnya. Taat tanpa harus mengetahui hikmahnya  Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu’anhu, ia berkata: نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 1548). Walaupun para sahabat tidak mengetahui hikmah dari larangan Rasulullah, mereka tetap taat. Bahkan, awalnya mereka merasa yang dilarang tersebut bermanfaat bagi mereka. Namun mereka tetap taat. Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu ketika hendak mencium hajar aswad beliau berkata: إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ “Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270). Bagi Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, andai hikmah mencium hajar aswad sekedar meneladani Rasulullah  shallallahu’alaihi wa sallam, itu sudah cukup bagi beliau. Syaikh Shalih As-Suhaimi ketika menyebutkan atsar ini, beliau mengatakan, “Jika seseorang mengetahui hikmah dari suatu syari’at, maka itu kebaikan di atas kebaikan. Namun jika ia tidak mengetahuinya, tetap wajib baginya untuk menerima syari’at tersebut dengan lapang dada. Karena akal manusia terbatas, sehingga tidak bisa mengetahui semua hikmah. Para sahabat ridwanullah ‘alaihim ajma’in mereka semua melaksanakan perintah-perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mempertanyakan apa hikmahnya” (Mudzakkirah fil Aqidah, hal. 6). Namun kita yakin, pasti ada hikmah yang besar di balik setiap ajaran syari’at. Dan pasti Allah syari’atkan itu semua untuk kebaikan dan kemaslahatan kita. Sebagaimana kaidah yang disebutkan para ulama: الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً “Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan” (Qawaid Wal Ushul Al-Jami’ah, hal.27). Berjilbab dan menjalankan ajaran Islam yang lainnya tidak harus dalam keadaan memahami hikmahnya. Walaupun merasa berat, dan belum memahami hikmahnya, tetap wajib menjalankannya dengan mengharap pahala dari Allah ta’ala dan meyakini ada hikmah besar di baliknya. Mudah-mudahan orang yang demikian termasuk seperti apa yang Rasulullah  shallallahu’alaihi wa sallam sabdakan: عجِبَ رَبُّنا عزَّ وجلَّ مِن قَومٍ يُقادون إلى الجنَّةِ في السَّلاسِلِ “Sungguh Rabb kita ‘azza wajalla kagum kepada orang masuk surganya karena ditarik dengan rantai” (HR. Al-Bukhari no.3010). Subhanallah! Ada orang yang masuk surga karena dipaksa dan ditarik! Makna hadits ini adalah tentang orang-orang yang dahulu menjadi tawanan perang kemudian mereka masuk Islam karena terpaksa. Namun ternyata setelah itu mereka berislam dengan baik dan akhirnya masuk surga. Semoga Allah ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk istiqomah dalam berislam. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wasallam. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Wali Qutub, Pria Memakai Pakaian Wanita, Hukum Dropship Erwandi, Bacaan Sebelum Adzan Maghrib, Ipar Selingkuh, Perayaan Maulid Nabi Visited 147 times, 1 visit(s) today Post Views: 631 QRIS donasi Yufid


Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du. Baru-baru ini sedang ramai ada putri salah seorang public figure yang mengumumkan untuk melepas jilbabnya. Alasannya klasik, karena selama ini ia berjilbab belum dari hatinya. Dan andaikan ia kelak berjilbab maka itu harus dari hatinya. Kenapa alasan ini klasik? Karena sejak zaman dulu kita sudah mendengar alasan sebagian Muslimah yang tidak berjilbab mereka mengatakan “Yang penting menjilbabi hati dulu“. Ungkapannya berbeda, namun intinya sama saja. Alasan di atas kalau kita coba ambil benang merahnya adalah mereka merasa bahwa berjilbab itu harus penuh dengan kerelaan, bukan paksaan, harus benar-benar menyadari apa untungnya berjilbab, apa maslahatnya untuk mereka, apa hikmah di balik perintah jilbab dan seterusnya. Jika semua ini sudah mereka dapatkan di dalam hati, barulah mereka mau berjilbab. Jika Anda memahami ini, tentu Anda sudah bisa melihat di mana sisi kekeliruan pola pikir tersebut. Minimalnya ada tiga poin yang bisa kita garis bawahi: Pertama, kita semua adalah hamba bagi Allah ta’ala, Rabb semesta alam. Maka seorang hamba itu tidak dalam posisi “Apa untungnya buat saya? Kalau menguntungkan saya lakukan, kalau tidak maka saya tidak mau“. Seorang hamba tidak ada di domain itu. Kita diciptakan di dunia ini untuk sepenuhnya mempersembahkan diri kita kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)“. (QS. Al-An’am: 162-163). Jangan sampai kita menjadi orang yang menghamba kepada hawa nafsunya. Jika cocok dengan hawa nafsunya, maka akan ia jalankan. Jika tidak cocok dengan hawa nafsunya, maka ia pun enggan, Sejatinya orang seperti ini menghamba kepada hawa nafsunya. Allah ta’ala berfirman: أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS. Al-Jatsiyah: 23). Kedua, semua ajaran agama itu pasti menguntungkan kita dan maslahat untuk kita. Semuanya tanpa terkecuali. Sehingga kita tidak perlu lagi memilah-milah mana yang menguntungkan dan mana yang tidak, karena semuanya pasti menguntungkan kita. Mengapa demikian? Dua poin: 1. Ajaran agama jelas bukan untuk menguntungkan Allah ta’ala. Karena Allah ta’ala tidak membutuhkan kita. Allah berfirman: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (saja). Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”  (QS. Adz-Dzariyat: 56-58). Kita beribadah atau tidak, kita melakukan amal kebaikan atau tidak, kita taat atau ingkar, kita maksiat atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh pada keagungan Allah ta’ala. Andai seluruh manusia beriman dan bertakwa, keagungan Allah tetap pada kesempurnaan-Nya. Andai semua manusia kafir dan ingkar kepada Allah, sama sekali tidak mengurangi kekuasaan-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم وإنسكم وجنكم . كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم . ما زاد ذلك في ملكي شيئا . يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم . وإنسكم وجنكم . كانوا على أفجر قلب رجل واحد . ما نقص ذلك من ملكي شيئا “Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertakwa, hal itu sedikit pun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikit pun tidak mengurangi kekuasaan-Ku” (HR. Muslim, no.2577) Demikianlah, Allah ta’ala tidak butuh terhadap ibadah kita. Lalu untuk apa kita berlelah-lelah, menghabiskan banyak waktu untuk beramal dan beribadah? Karena untuk keuntungan dan kebaikan kita sendiri. Allah ta’ala berfirman: إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا “Jika kamu berbuat baik, kebaikan itu bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri” (QS. Al-Isra: 7) وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ “Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri” (QS. Luqman: 12). 2. Ajaran agama ini datang dari Rabb semesta alam yang menciptakan langit, bumi serta isinya. Bukan hasil musyawarah sekelompok manusia, bukan kesepakatan politik, bukan buah akal budi manusia yang penuh salah dan dosa. Tapi ajaran agama untuk manusia ini datang dari Dzat yang menciptakan si manusia itu, yaitu Allah ta’ala. Adakah yang lebih mengetahui mana yang baik dan buruk bagi manusia melebihi penciptanya? Janganlah kita ini merasa lebih tahu daripada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman: وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216). Alasan yang ketiga, menjalankan agama tidak harus mengetahui hikmahnya dulu. Bahkan wajib kita menjalankan agama yang shahih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, walaupun belum mengetahui apa hikmahnya. Taat tanpa harus mengetahui hikmahnya  Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu’anhu, ia berkata: نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَ “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 1548). Walaupun para sahabat tidak mengetahui hikmah dari larangan Rasulullah, mereka tetap taat. Bahkan, awalnya mereka merasa yang dilarang tersebut bermanfaat bagi mereka. Namun mereka tetap taat. Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu ketika hendak mencium hajar aswad beliau berkata: إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ “Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270). Bagi Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, andai hikmah mencium hajar aswad sekedar meneladani Rasulullah  shallallahu’alaihi wa sallam, itu sudah cukup bagi beliau. Syaikh Shalih As-Suhaimi ketika menyebutkan atsar ini, beliau mengatakan, “Jika seseorang mengetahui hikmah dari suatu syari’at, maka itu kebaikan di atas kebaikan. Namun jika ia tidak mengetahuinya, tetap wajib baginya untuk menerima syari’at tersebut dengan lapang dada. Karena akal manusia terbatas, sehingga tidak bisa mengetahui semua hikmah. Para sahabat ridwanullah ‘alaihim ajma’in mereka semua melaksanakan perintah-perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mempertanyakan apa hikmahnya” (Mudzakkirah fil Aqidah, hal. 6). Namun kita yakin, pasti ada hikmah yang besar di balik setiap ajaran syari’at. Dan pasti Allah syari’atkan itu semua untuk kebaikan dan kemaslahatan kita. Sebagaimana kaidah yang disebutkan para ulama: الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً “Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan” (Qawaid Wal Ushul Al-Jami’ah, hal.27). Berjilbab dan menjalankan ajaran Islam yang lainnya tidak harus dalam keadaan memahami hikmahnya. Walaupun merasa berat, dan belum memahami hikmahnya, tetap wajib menjalankannya dengan mengharap pahala dari Allah ta’ala dan meyakini ada hikmah besar di baliknya. Mudah-mudahan orang yang demikian termasuk seperti apa yang Rasulullah  shallallahu’alaihi wa sallam sabdakan: عجِبَ رَبُّنا عزَّ وجلَّ مِن قَومٍ يُقادون إلى الجنَّةِ في السَّلاسِلِ “Sungguh Rabb kita ‘azza wajalla kagum kepada orang masuk surganya karena ditarik dengan rantai” (HR. Al-Bukhari no.3010). Subhanallah! Ada orang yang masuk surga karena dipaksa dan ditarik! Makna hadits ini adalah tentang orang-orang yang dahulu menjadi tawanan perang kemudian mereka masuk Islam karena terpaksa. Namun ternyata setelah itu mereka berislam dengan baik dan akhirnya masuk surga. Semoga Allah ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk istiqomah dalam berislam. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wasallam. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Wali Qutub, Pria Memakai Pakaian Wanita, Hukum Dropship Erwandi, Bacaan Sebelum Adzan Maghrib, Ipar Selingkuh, Perayaan Maulid Nabi Visited 147 times, 1 visit(s) today Post Views: 631 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1)

Islam sangat mengapresiasi produktivitas keilmuan. Allah berfirman, يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Allah akan memberikan kegembiraan kepada orang-orang yang mau memanfaatkan kemampuan nalarnya guna mencari kebenaran. Allah berfirman, وَٱلَّذِينَ ٱجْتَنَبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ ۚ فَبَشِّرْ عِبَادِ  ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ  “Orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira. Sebab itu, sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 17-18) Sebaliknya, Allah mencela siapa pun yang memiliki daya pikir, namun tidak mereka gunakan untuk memahami kebenaran. Allah berfirman, وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ  وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan teriakan semata-mata. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al Baqarah: 170-171) Konsep tersebut tidak hanya berhenti pada tataran teori, tetapi dapat kita temukan adanya teladan yang merealisasikan kemuliaan tersebut dalam jumlah banyak. Kami kutipkan segelintir petualangan keilmuan para cendekiawan Islam sebagai berikut [1]: Pertama: Muhammad bin Salam Al-Bikandi (guru Imam Al-Bukhari) pernah duduk dalam majelis ilmu. Ketika gurunya mendiktekan hadis, pena yang ia pakai patah. Lantas ia berkata, “Siapa yang mau menjual penanya seharga satu dinar [2]?” Maka, beterbanganlah beberapa pena ke arahnya. Kedua: Ubaid bin Ya’isy berkata, “Aku tidak pernah makan malam dengan tanganku sendiri selama 30 tahun. Saudariku yang menyuapkanku, sementara aku menulis hadis.” Ketiga: Ibnu Jarir Ath-Thabari bertanya kepada teman-temannya, “Apakah kalian bersemangat menulis tafsir Al-Qur’an?“ Mereka jawab, “Seberapa besar?” Ia jawab, “30.000 lembar.” Mereka berkata, “Itu tidak bisa selesai.” Akhirnya, beliau pun meringkasnya menjadi 3000 lembar. Beliau diktekan dari tahun 283H – 290H. Keempat: Ibnu Jarir menulis selama sehari sebanyak 40 lembar. Total hasil karya tulis beliau sejumlah 315.000 lembar. Kelima: Abu Yusuf membahas permasalahan fikih haji sesaat sebelum sakratulmautnya. Al-Bairuni mempelajari satu persoalan hukum waris saat menghadapi sakratulmaut. Keenam: Ibnu Aqil Al-Hambali lebih menyukai makan kue basah daripada roti kering untuk menghemat waktunya, sehingga ia dimudahkan oleh Allah untuk melahirkan kitab Al-Funun yang berjumlah 800 jilid. Ketujuh: Bekas rautan pensil Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan jenazah beliau, bahkan masih tersisa. Kedelapan: Imam An-Nawawi menghadiri 12 pelajaran dalam sehari semalam. Asy-Syaukani sejumlah 13 pelajaran. Dan Al-Alusi menulis tafsir di malam hari, sedangkan siang hari digunakan untuk mengajar 13 pelajaran. Pencapaian imam-imam tersebut menjadi bukti tingginya apresiasi Islam terhadap aktivitas keilmuan. Hanya saja, terkadang tidak seluruh produktivitas ilmiah menghasilkan dampak yang baik. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa kelompok Islam yang menjadikan filsafat Yunani Kuno sebagai asas akidah mereka. Mereka berargumen panjang lebar untuk menentukan kriteria Tuhan sesuai filosofi yang mereka pelajari, bukan sesuai keterangan yang Allah sampaikan kepada kita mengenai diri-Nya sendiri. Sayangnya, kerja keras mereka mendapat kritikan dari berbagai ulama, bahkan di kalangan internal mereka saling memperdebatkan keyakinan mereka sendiri. Mengapa demikian? Karena aliran tersebut tidak menempatkan akal sebagaimana posisi yang semestinya. Fakhruddin Ar-Razi mengatakan bahwa jika dalil wahyu bertentangan dengan akal, maka dahulukan akal [3]. Konsep tersebut melahirkan banyak penyimpangan. Misalnya, mereka tidak mau mengakui adanya hikmah atas keputusan takdir Allah [4]. Mereka meyakini bahwa redaksi Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam dan/atau malaikat Jibril, bukan dari Allah [5]. Mereka meyakini Allah tidak mencintai dan dicintai [6]. Sekali lagi, ini semua keliru. Pada akhirnya, mereka memfilter wahyu harus sesuai dengan premis yang mereka anggap benar menurut akal mereka, sedangkan akal tiap orang beragam. Akibat keberagaman akal tersebut, mereka pun saling mengkritisi keyakinan sesama mereka. Contoh perdebatan internal mereka: Pemahaman kelompok Asy’ari meyakini bahwa seluruh kejadian terjadi atas dampak yang Allah ciptakan. Adapun sebab usaha kita tidak berperan di dalamnya [7]. Ilustrasinya seperti ini. Seseorang memotong kue dengan pisau. Kue tersebut terbelah bukan karena kemampuan manusia ketika menggerakkan pisau, tetapi Allah menciptakan roti itu terbelah di saat yang sama ketika orang tersebut memotongnya. Jadi mereka menafikan sebab yang dilakukan makhluk. Keyakinan seperti ini disanggah oleh imam mereka sendiri, yaitu Abul Ma’ali Al-Juwaini dalam bukunya Al-Aqidah An-Nizhamiyah dan Asy-Syahristani dalam bukunya Al-Milal wan-Nihal. Demikian, jika akal bekerja di luar kapasitasnya. Ahlussunah merupakan orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam sebagaimana yang dipahami oleh 3 generasi terbaik umat Islam, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka memberikan ketundukan dan kepatuhan 100% hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, mereka memiliki pengagungan yang tinggi kepada segala hal yang Allah perintahkan dan larang, termasuk bagaimana memposisikan akal sesuai dengan yang diinginkan syariat. Mereka tidak berlebihan seperti aliran Jahmiyah dan yang semisal, juga tidak meremehkan seperti aliran sufi ekstrem dan yang semisal. Untuk memahami bagaimana sikap seorang muslim dalam memaksimalkan peran akalnya, berikut kami sajikan terjemahan salah satu karya ulama di masa ini, Syekh Shalih Sindi, yang berjudul Ma’alim fi Manzilati Al-‘Aql ‘inda Ahlissunnah wal Jama’ah. Buku ini menjelaskan beberapa kaidah yang semestinya diperhatikan agar kita dapat memberlakukan akal kita sesuai posisinya sebagaimana yang Allah inginkan. Lanjut ke bagian 2: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 2) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Dirangkum dari buku Qimah Az-Zaman ‘inda Al-‘Ulama [2] Harga emas saat ini Rp 1.321.000, maka 1 dinar seharga Rp 5.612.450. Apa yang membuat beliau rela membeli satu pena dengan harga tersebut, kalau bukan kecintaan terhadap ilmu? [3] Dikenal dengan istilah Al-Qanun Al-Kulli. Konsep tersebut disanggah oleh Ibn Taimiyyah dalam bukunya Dar’u Ta’arud Al-‘Aql wan Naql, dicetak 5 jilid oleh Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Alamiyyah. [4] Al-Arba’in fi Ushul Ad-Din, 1: 350 via Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, Ustaz Firanda, 3:163. [5] Al-Inshaf, hal. 101-102, Mafatih Al-Ghaib, 2: 277 via Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, Ustaz Firanda, 4: 275-276. [6] Al-Kasyaf, 1: 353 via Syarah Rinci Rukun Iman, Ustaz Firanda, 2:331. [7] Al-Ghazali dalam Majmu’ Rasail Al-Imam Al-Ghazali, Ibrahim Al-Laqqani dalam Jauharut Tauhid, dan juga syarah-nya oleh Al-Bajuri dan Abdus Salam Al-Laqqani, As-Sanusi dalam Syarh Ummul Barahin beserta Hasyiyah Ad-Dasuqi. Tags: akalislam

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1)

Islam sangat mengapresiasi produktivitas keilmuan. Allah berfirman, يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Allah akan memberikan kegembiraan kepada orang-orang yang mau memanfaatkan kemampuan nalarnya guna mencari kebenaran. Allah berfirman, وَٱلَّذِينَ ٱجْتَنَبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ ۚ فَبَشِّرْ عِبَادِ  ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ  “Orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira. Sebab itu, sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 17-18) Sebaliknya, Allah mencela siapa pun yang memiliki daya pikir, namun tidak mereka gunakan untuk memahami kebenaran. Allah berfirman, وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ  وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan teriakan semata-mata. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al Baqarah: 170-171) Konsep tersebut tidak hanya berhenti pada tataran teori, tetapi dapat kita temukan adanya teladan yang merealisasikan kemuliaan tersebut dalam jumlah banyak. Kami kutipkan segelintir petualangan keilmuan para cendekiawan Islam sebagai berikut [1]: Pertama: Muhammad bin Salam Al-Bikandi (guru Imam Al-Bukhari) pernah duduk dalam majelis ilmu. Ketika gurunya mendiktekan hadis, pena yang ia pakai patah. Lantas ia berkata, “Siapa yang mau menjual penanya seharga satu dinar [2]?” Maka, beterbanganlah beberapa pena ke arahnya. Kedua: Ubaid bin Ya’isy berkata, “Aku tidak pernah makan malam dengan tanganku sendiri selama 30 tahun. Saudariku yang menyuapkanku, sementara aku menulis hadis.” Ketiga: Ibnu Jarir Ath-Thabari bertanya kepada teman-temannya, “Apakah kalian bersemangat menulis tafsir Al-Qur’an?“ Mereka jawab, “Seberapa besar?” Ia jawab, “30.000 lembar.” Mereka berkata, “Itu tidak bisa selesai.” Akhirnya, beliau pun meringkasnya menjadi 3000 lembar. Beliau diktekan dari tahun 283H – 290H. Keempat: Ibnu Jarir menulis selama sehari sebanyak 40 lembar. Total hasil karya tulis beliau sejumlah 315.000 lembar. Kelima: Abu Yusuf membahas permasalahan fikih haji sesaat sebelum sakratulmautnya. Al-Bairuni mempelajari satu persoalan hukum waris saat menghadapi sakratulmaut. Keenam: Ibnu Aqil Al-Hambali lebih menyukai makan kue basah daripada roti kering untuk menghemat waktunya, sehingga ia dimudahkan oleh Allah untuk melahirkan kitab Al-Funun yang berjumlah 800 jilid. Ketujuh: Bekas rautan pensil Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan jenazah beliau, bahkan masih tersisa. Kedelapan: Imam An-Nawawi menghadiri 12 pelajaran dalam sehari semalam. Asy-Syaukani sejumlah 13 pelajaran. Dan Al-Alusi menulis tafsir di malam hari, sedangkan siang hari digunakan untuk mengajar 13 pelajaran. Pencapaian imam-imam tersebut menjadi bukti tingginya apresiasi Islam terhadap aktivitas keilmuan. Hanya saja, terkadang tidak seluruh produktivitas ilmiah menghasilkan dampak yang baik. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa kelompok Islam yang menjadikan filsafat Yunani Kuno sebagai asas akidah mereka. Mereka berargumen panjang lebar untuk menentukan kriteria Tuhan sesuai filosofi yang mereka pelajari, bukan sesuai keterangan yang Allah sampaikan kepada kita mengenai diri-Nya sendiri. Sayangnya, kerja keras mereka mendapat kritikan dari berbagai ulama, bahkan di kalangan internal mereka saling memperdebatkan keyakinan mereka sendiri. Mengapa demikian? Karena aliran tersebut tidak menempatkan akal sebagaimana posisi yang semestinya. Fakhruddin Ar-Razi mengatakan bahwa jika dalil wahyu bertentangan dengan akal, maka dahulukan akal [3]. Konsep tersebut melahirkan banyak penyimpangan. Misalnya, mereka tidak mau mengakui adanya hikmah atas keputusan takdir Allah [4]. Mereka meyakini bahwa redaksi Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam dan/atau malaikat Jibril, bukan dari Allah [5]. Mereka meyakini Allah tidak mencintai dan dicintai [6]. Sekali lagi, ini semua keliru. Pada akhirnya, mereka memfilter wahyu harus sesuai dengan premis yang mereka anggap benar menurut akal mereka, sedangkan akal tiap orang beragam. Akibat keberagaman akal tersebut, mereka pun saling mengkritisi keyakinan sesama mereka. Contoh perdebatan internal mereka: Pemahaman kelompok Asy’ari meyakini bahwa seluruh kejadian terjadi atas dampak yang Allah ciptakan. Adapun sebab usaha kita tidak berperan di dalamnya [7]. Ilustrasinya seperti ini. Seseorang memotong kue dengan pisau. Kue tersebut terbelah bukan karena kemampuan manusia ketika menggerakkan pisau, tetapi Allah menciptakan roti itu terbelah di saat yang sama ketika orang tersebut memotongnya. Jadi mereka menafikan sebab yang dilakukan makhluk. Keyakinan seperti ini disanggah oleh imam mereka sendiri, yaitu Abul Ma’ali Al-Juwaini dalam bukunya Al-Aqidah An-Nizhamiyah dan Asy-Syahristani dalam bukunya Al-Milal wan-Nihal. Demikian, jika akal bekerja di luar kapasitasnya. Ahlussunah merupakan orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam sebagaimana yang dipahami oleh 3 generasi terbaik umat Islam, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka memberikan ketundukan dan kepatuhan 100% hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, mereka memiliki pengagungan yang tinggi kepada segala hal yang Allah perintahkan dan larang, termasuk bagaimana memposisikan akal sesuai dengan yang diinginkan syariat. Mereka tidak berlebihan seperti aliran Jahmiyah dan yang semisal, juga tidak meremehkan seperti aliran sufi ekstrem dan yang semisal. Untuk memahami bagaimana sikap seorang muslim dalam memaksimalkan peran akalnya, berikut kami sajikan terjemahan salah satu karya ulama di masa ini, Syekh Shalih Sindi, yang berjudul Ma’alim fi Manzilati Al-‘Aql ‘inda Ahlissunnah wal Jama’ah. Buku ini menjelaskan beberapa kaidah yang semestinya diperhatikan agar kita dapat memberlakukan akal kita sesuai posisinya sebagaimana yang Allah inginkan. Lanjut ke bagian 2: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 2) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Dirangkum dari buku Qimah Az-Zaman ‘inda Al-‘Ulama [2] Harga emas saat ini Rp 1.321.000, maka 1 dinar seharga Rp 5.612.450. Apa yang membuat beliau rela membeli satu pena dengan harga tersebut, kalau bukan kecintaan terhadap ilmu? [3] Dikenal dengan istilah Al-Qanun Al-Kulli. Konsep tersebut disanggah oleh Ibn Taimiyyah dalam bukunya Dar’u Ta’arud Al-‘Aql wan Naql, dicetak 5 jilid oleh Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Alamiyyah. [4] Al-Arba’in fi Ushul Ad-Din, 1: 350 via Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, Ustaz Firanda, 3:163. [5] Al-Inshaf, hal. 101-102, Mafatih Al-Ghaib, 2: 277 via Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, Ustaz Firanda, 4: 275-276. [6] Al-Kasyaf, 1: 353 via Syarah Rinci Rukun Iman, Ustaz Firanda, 2:331. [7] Al-Ghazali dalam Majmu’ Rasail Al-Imam Al-Ghazali, Ibrahim Al-Laqqani dalam Jauharut Tauhid, dan juga syarah-nya oleh Al-Bajuri dan Abdus Salam Al-Laqqani, As-Sanusi dalam Syarh Ummul Barahin beserta Hasyiyah Ad-Dasuqi. Tags: akalislam
Islam sangat mengapresiasi produktivitas keilmuan. Allah berfirman, يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Allah akan memberikan kegembiraan kepada orang-orang yang mau memanfaatkan kemampuan nalarnya guna mencari kebenaran. Allah berfirman, وَٱلَّذِينَ ٱجْتَنَبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ ۚ فَبَشِّرْ عِبَادِ  ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ  “Orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira. Sebab itu, sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 17-18) Sebaliknya, Allah mencela siapa pun yang memiliki daya pikir, namun tidak mereka gunakan untuk memahami kebenaran. Allah berfirman, وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ  وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan teriakan semata-mata. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al Baqarah: 170-171) Konsep tersebut tidak hanya berhenti pada tataran teori, tetapi dapat kita temukan adanya teladan yang merealisasikan kemuliaan tersebut dalam jumlah banyak. Kami kutipkan segelintir petualangan keilmuan para cendekiawan Islam sebagai berikut [1]: Pertama: Muhammad bin Salam Al-Bikandi (guru Imam Al-Bukhari) pernah duduk dalam majelis ilmu. Ketika gurunya mendiktekan hadis, pena yang ia pakai patah. Lantas ia berkata, “Siapa yang mau menjual penanya seharga satu dinar [2]?” Maka, beterbanganlah beberapa pena ke arahnya. Kedua: Ubaid bin Ya’isy berkata, “Aku tidak pernah makan malam dengan tanganku sendiri selama 30 tahun. Saudariku yang menyuapkanku, sementara aku menulis hadis.” Ketiga: Ibnu Jarir Ath-Thabari bertanya kepada teman-temannya, “Apakah kalian bersemangat menulis tafsir Al-Qur’an?“ Mereka jawab, “Seberapa besar?” Ia jawab, “30.000 lembar.” Mereka berkata, “Itu tidak bisa selesai.” Akhirnya, beliau pun meringkasnya menjadi 3000 lembar. Beliau diktekan dari tahun 283H – 290H. Keempat: Ibnu Jarir menulis selama sehari sebanyak 40 lembar. Total hasil karya tulis beliau sejumlah 315.000 lembar. Kelima: Abu Yusuf membahas permasalahan fikih haji sesaat sebelum sakratulmautnya. Al-Bairuni mempelajari satu persoalan hukum waris saat menghadapi sakratulmaut. Keenam: Ibnu Aqil Al-Hambali lebih menyukai makan kue basah daripada roti kering untuk menghemat waktunya, sehingga ia dimudahkan oleh Allah untuk melahirkan kitab Al-Funun yang berjumlah 800 jilid. Ketujuh: Bekas rautan pensil Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan jenazah beliau, bahkan masih tersisa. Kedelapan: Imam An-Nawawi menghadiri 12 pelajaran dalam sehari semalam. Asy-Syaukani sejumlah 13 pelajaran. Dan Al-Alusi menulis tafsir di malam hari, sedangkan siang hari digunakan untuk mengajar 13 pelajaran. Pencapaian imam-imam tersebut menjadi bukti tingginya apresiasi Islam terhadap aktivitas keilmuan. Hanya saja, terkadang tidak seluruh produktivitas ilmiah menghasilkan dampak yang baik. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa kelompok Islam yang menjadikan filsafat Yunani Kuno sebagai asas akidah mereka. Mereka berargumen panjang lebar untuk menentukan kriteria Tuhan sesuai filosofi yang mereka pelajari, bukan sesuai keterangan yang Allah sampaikan kepada kita mengenai diri-Nya sendiri. Sayangnya, kerja keras mereka mendapat kritikan dari berbagai ulama, bahkan di kalangan internal mereka saling memperdebatkan keyakinan mereka sendiri. Mengapa demikian? Karena aliran tersebut tidak menempatkan akal sebagaimana posisi yang semestinya. Fakhruddin Ar-Razi mengatakan bahwa jika dalil wahyu bertentangan dengan akal, maka dahulukan akal [3]. Konsep tersebut melahirkan banyak penyimpangan. Misalnya, mereka tidak mau mengakui adanya hikmah atas keputusan takdir Allah [4]. Mereka meyakini bahwa redaksi Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam dan/atau malaikat Jibril, bukan dari Allah [5]. Mereka meyakini Allah tidak mencintai dan dicintai [6]. Sekali lagi, ini semua keliru. Pada akhirnya, mereka memfilter wahyu harus sesuai dengan premis yang mereka anggap benar menurut akal mereka, sedangkan akal tiap orang beragam. Akibat keberagaman akal tersebut, mereka pun saling mengkritisi keyakinan sesama mereka. Contoh perdebatan internal mereka: Pemahaman kelompok Asy’ari meyakini bahwa seluruh kejadian terjadi atas dampak yang Allah ciptakan. Adapun sebab usaha kita tidak berperan di dalamnya [7]. Ilustrasinya seperti ini. Seseorang memotong kue dengan pisau. Kue tersebut terbelah bukan karena kemampuan manusia ketika menggerakkan pisau, tetapi Allah menciptakan roti itu terbelah di saat yang sama ketika orang tersebut memotongnya. Jadi mereka menafikan sebab yang dilakukan makhluk. Keyakinan seperti ini disanggah oleh imam mereka sendiri, yaitu Abul Ma’ali Al-Juwaini dalam bukunya Al-Aqidah An-Nizhamiyah dan Asy-Syahristani dalam bukunya Al-Milal wan-Nihal. Demikian, jika akal bekerja di luar kapasitasnya. Ahlussunah merupakan orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam sebagaimana yang dipahami oleh 3 generasi terbaik umat Islam, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka memberikan ketundukan dan kepatuhan 100% hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, mereka memiliki pengagungan yang tinggi kepada segala hal yang Allah perintahkan dan larang, termasuk bagaimana memposisikan akal sesuai dengan yang diinginkan syariat. Mereka tidak berlebihan seperti aliran Jahmiyah dan yang semisal, juga tidak meremehkan seperti aliran sufi ekstrem dan yang semisal. Untuk memahami bagaimana sikap seorang muslim dalam memaksimalkan peran akalnya, berikut kami sajikan terjemahan salah satu karya ulama di masa ini, Syekh Shalih Sindi, yang berjudul Ma’alim fi Manzilati Al-‘Aql ‘inda Ahlissunnah wal Jama’ah. Buku ini menjelaskan beberapa kaidah yang semestinya diperhatikan agar kita dapat memberlakukan akal kita sesuai posisinya sebagaimana yang Allah inginkan. Lanjut ke bagian 2: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 2) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Dirangkum dari buku Qimah Az-Zaman ‘inda Al-‘Ulama [2] Harga emas saat ini Rp 1.321.000, maka 1 dinar seharga Rp 5.612.450. Apa yang membuat beliau rela membeli satu pena dengan harga tersebut, kalau bukan kecintaan terhadap ilmu? [3] Dikenal dengan istilah Al-Qanun Al-Kulli. Konsep tersebut disanggah oleh Ibn Taimiyyah dalam bukunya Dar’u Ta’arud Al-‘Aql wan Naql, dicetak 5 jilid oleh Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Alamiyyah. [4] Al-Arba’in fi Ushul Ad-Din, 1: 350 via Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, Ustaz Firanda, 3:163. [5] Al-Inshaf, hal. 101-102, Mafatih Al-Ghaib, 2: 277 via Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, Ustaz Firanda, 4: 275-276. [6] Al-Kasyaf, 1: 353 via Syarah Rinci Rukun Iman, Ustaz Firanda, 2:331. [7] Al-Ghazali dalam Majmu’ Rasail Al-Imam Al-Ghazali, Ibrahim Al-Laqqani dalam Jauharut Tauhid, dan juga syarah-nya oleh Al-Bajuri dan Abdus Salam Al-Laqqani, As-Sanusi dalam Syarh Ummul Barahin beserta Hasyiyah Ad-Dasuqi. Tags: akalislam


Islam sangat mengapresiasi produktivitas keilmuan. Allah berfirman, يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Allah akan memberikan kegembiraan kepada orang-orang yang mau memanfaatkan kemampuan nalarnya guna mencari kebenaran. Allah berfirman, وَٱلَّذِينَ ٱجْتَنَبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ ۚ فَبَشِّرْ عِبَادِ  ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ  “Orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira. Sebab itu, sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 17-18) Sebaliknya, Allah mencela siapa pun yang memiliki daya pikir, namun tidak mereka gunakan untuk memahami kebenaran. Allah berfirman, وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ  وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan teriakan semata-mata. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al Baqarah: 170-171) Konsep tersebut tidak hanya berhenti pada tataran teori, tetapi dapat kita temukan adanya teladan yang merealisasikan kemuliaan tersebut dalam jumlah banyak. Kami kutipkan segelintir petualangan keilmuan para cendekiawan Islam sebagai berikut [1]: Pertama: Muhammad bin Salam Al-Bikandi (guru Imam Al-Bukhari) pernah duduk dalam majelis ilmu. Ketika gurunya mendiktekan hadis, pena yang ia pakai patah. Lantas ia berkata, “Siapa yang mau menjual penanya seharga satu dinar [2]?” Maka, beterbanganlah beberapa pena ke arahnya. Kedua: Ubaid bin Ya’isy berkata, “Aku tidak pernah makan malam dengan tanganku sendiri selama 30 tahun. Saudariku yang menyuapkanku, sementara aku menulis hadis.” Ketiga: Ibnu Jarir Ath-Thabari bertanya kepada teman-temannya, “Apakah kalian bersemangat menulis tafsir Al-Qur’an?“ Mereka jawab, “Seberapa besar?” Ia jawab, “30.000 lembar.” Mereka berkata, “Itu tidak bisa selesai.” Akhirnya, beliau pun meringkasnya menjadi 3000 lembar. Beliau diktekan dari tahun 283H – 290H. Keempat: Ibnu Jarir menulis selama sehari sebanyak 40 lembar. Total hasil karya tulis beliau sejumlah 315.000 lembar. Kelima: Abu Yusuf membahas permasalahan fikih haji sesaat sebelum sakratulmautnya. Al-Bairuni mempelajari satu persoalan hukum waris saat menghadapi sakratulmaut. Keenam: Ibnu Aqil Al-Hambali lebih menyukai makan kue basah daripada roti kering untuk menghemat waktunya, sehingga ia dimudahkan oleh Allah untuk melahirkan kitab Al-Funun yang berjumlah 800 jilid. Ketujuh: Bekas rautan pensil Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan jenazah beliau, bahkan masih tersisa. Kedelapan: Imam An-Nawawi menghadiri 12 pelajaran dalam sehari semalam. Asy-Syaukani sejumlah 13 pelajaran. Dan Al-Alusi menulis tafsir di malam hari, sedangkan siang hari digunakan untuk mengajar 13 pelajaran. Pencapaian imam-imam tersebut menjadi bukti tingginya apresiasi Islam terhadap aktivitas keilmuan. Hanya saja, terkadang tidak seluruh produktivitas ilmiah menghasilkan dampak yang baik. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa kelompok Islam yang menjadikan filsafat Yunani Kuno sebagai asas akidah mereka. Mereka berargumen panjang lebar untuk menentukan kriteria Tuhan sesuai filosofi yang mereka pelajari, bukan sesuai keterangan yang Allah sampaikan kepada kita mengenai diri-Nya sendiri. Sayangnya, kerja keras mereka mendapat kritikan dari berbagai ulama, bahkan di kalangan internal mereka saling memperdebatkan keyakinan mereka sendiri. Mengapa demikian? Karena aliran tersebut tidak menempatkan akal sebagaimana posisi yang semestinya. Fakhruddin Ar-Razi mengatakan bahwa jika dalil wahyu bertentangan dengan akal, maka dahulukan akal [3]. Konsep tersebut melahirkan banyak penyimpangan. Misalnya, mereka tidak mau mengakui adanya hikmah atas keputusan takdir Allah [4]. Mereka meyakini bahwa redaksi Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam dan/atau malaikat Jibril, bukan dari Allah [5]. Mereka meyakini Allah tidak mencintai dan dicintai [6]. Sekali lagi, ini semua keliru. Pada akhirnya, mereka memfilter wahyu harus sesuai dengan premis yang mereka anggap benar menurut akal mereka, sedangkan akal tiap orang beragam. Akibat keberagaman akal tersebut, mereka pun saling mengkritisi keyakinan sesama mereka. Contoh perdebatan internal mereka: Pemahaman kelompok Asy’ari meyakini bahwa seluruh kejadian terjadi atas dampak yang Allah ciptakan. Adapun sebab usaha kita tidak berperan di dalamnya [7]. Ilustrasinya seperti ini. Seseorang memotong kue dengan pisau. Kue tersebut terbelah bukan karena kemampuan manusia ketika menggerakkan pisau, tetapi Allah menciptakan roti itu terbelah di saat yang sama ketika orang tersebut memotongnya. Jadi mereka menafikan sebab yang dilakukan makhluk. Keyakinan seperti ini disanggah oleh imam mereka sendiri, yaitu Abul Ma’ali Al-Juwaini dalam bukunya Al-Aqidah An-Nizhamiyah dan Asy-Syahristani dalam bukunya Al-Milal wan-Nihal. Demikian, jika akal bekerja di luar kapasitasnya. Ahlussunah merupakan orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam sebagaimana yang dipahami oleh 3 generasi terbaik umat Islam, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka memberikan ketundukan dan kepatuhan 100% hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, mereka memiliki pengagungan yang tinggi kepada segala hal yang Allah perintahkan dan larang, termasuk bagaimana memposisikan akal sesuai dengan yang diinginkan syariat. Mereka tidak berlebihan seperti aliran Jahmiyah dan yang semisal, juga tidak meremehkan seperti aliran sufi ekstrem dan yang semisal. Untuk memahami bagaimana sikap seorang muslim dalam memaksimalkan peran akalnya, berikut kami sajikan terjemahan salah satu karya ulama di masa ini, Syekh Shalih Sindi, yang berjudul Ma’alim fi Manzilati Al-‘Aql ‘inda Ahlissunnah wal Jama’ah. Buku ini menjelaskan beberapa kaidah yang semestinya diperhatikan agar kita dapat memberlakukan akal kita sesuai posisinya sebagaimana yang Allah inginkan. Lanjut ke bagian 2: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 2) *** Penulis: Syaroful Anam Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Dirangkum dari buku Qimah Az-Zaman ‘inda Al-‘Ulama [2] Harga emas saat ini Rp 1.321.000, maka 1 dinar seharga Rp 5.612.450. Apa yang membuat beliau rela membeli satu pena dengan harga tersebut, kalau bukan kecintaan terhadap ilmu? [3] Dikenal dengan istilah Al-Qanun Al-Kulli. Konsep tersebut disanggah oleh Ibn Taimiyyah dalam bukunya Dar’u Ta’arud Al-‘Aql wan Naql, dicetak 5 jilid oleh Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Alamiyyah. [4] Al-Arba’in fi Ushul Ad-Din, 1: 350 via Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, Ustaz Firanda, 3:163. [5] Al-Inshaf, hal. 101-102, Mafatih Al-Ghaib, 2: 277 via Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, Ustaz Firanda, 4: 275-276. [6] Al-Kasyaf, 1: 353 via Syarah Rinci Rukun Iman, Ustaz Firanda, 2:331. [7] Al-Ghazali dalam Majmu’ Rasail Al-Imam Al-Ghazali, Ibrahim Al-Laqqani dalam Jauharut Tauhid, dan juga syarah-nya oleh Al-Bajuri dan Abdus Salam Al-Laqqani, As-Sanusi dalam Syarh Ummul Barahin beserta Hasyiyah Ad-Dasuqi. Tags: akalislam

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Bagian 1: Overdosis bicaraKondisi hatiHal-hal yang menyebabkan hati menjadi sakitOverdosis bicaraBentuk-bentuk overdosis bicaraAntisipasi dari racun hati iniSadar akan muraqabah AllahMengetahui bahwa setiap perkataan memiliki risikoBerlepas diriDiam Bagian 1: Overdosis bicara Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah. Kondisi hati Sebuah hal yang familiar dan sering kita dapatkan dalam kajian-kajian tentang hati bahwasanya hati itu terbagi menjadi tiga berdasarkan kondisinya, yaitu: Pertama: Hati yang sehat Yaitu, hati yang dengannya amalan-amalan diikhlaskan hanya untuk Allah dan terlepas dari berbagai syahwat dan syubhat dunia beserta ranting dan cabang-cabangnya. Orang dengan hati inilah yang akan selamat di hari kiamat kelak. Kedua: Hati yang mati Kebalikan dari hati yang sehat. Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal Rabb-nya, dipenuhi oleh maksiat dan bekerja mengikuti syahwat serta hawa nafsu. Ketiga: Hati yang sakit Jenis hati yang ini berada di antara dua kondisi hati yang sehat dan hati yang mati, di mana di dalamnya terdapat ketaatan-ketaatan, akan tetapi telah terkontaminasi oleh syahwat. Sehingga hati ini terkadang mengarahkan pada kebaikan dan ketaatan dan kadang pula mendorong pada keburukan dan kemaksiatan. Hal-hal yang menyebabkan hati menjadi sakit Ada banyak hal yang membuat hati menjadi sehat, mati, apalagi sakit. Di antara yang menyebabkan sebuah hati kondisinya menjadi sakit adalah keracunan. Ada 4 macam racun hati yang paling luas persebarannya dan paling besar pengaruh juga efek sampingnya pada kondisi hati. Empat racun tersebut berasal dari overdosis pada konsumsi hal-hal yang tidak begitu esensial, terlalu banyak dan melebihi kadar wajar yang seharusnya, sehingga berubah menjadi racun. Yaitu, overdosis/terlalu banyak bicara, overdosis melihat, overdosis makanan, serta overdosis bergaul. Dalam kitab “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid, racun-racun hati yang empat tersebut dinarasikan dengan kata “فضول” (dibaca: fudhul), yang secara bahasa Arab terdapat beberapa arti, seperti “rasa ingin tahu yang berlebih” atau “keheranan akan sesuatu” atau “sesuatu yang tidak berfaedah” atau juga “suatu lebihan atau sisa yang terlampau dari seharusnya pada sesuatu”. Kemudian dalam konteks ini, kata “فضول” dapat diartikan dengan “kelebihan atau terlalu banyak yang tidak ada gunanya”. Kemudian yang akan digunakan pada kesempatan kali ini adalah kata “overdosis” dalam rangka mempersingkat dan mempermudah tersampaikannya makna pada pembaca. Overdosis bicara Selanjutnya, mari kita bahas satu per satu dari racun-racun yang disebabkan oleh overdosis tersebut. Yang pertama adalah “overdosis bicara”. Adalah suatu nikmat tiada tara, Allah yang telah menciptakan kita dan menjadikan manusia sebagai makhluk dengan rupa penciptaan yang paling bagus seperti yang difirmankan-Nya pada surah At-Tin ayat 4. Kemudian sebagai salah satu bentuk penyempurnaan pada surah Asy-Syams ayat 7 adalah sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Balad ayat 8-9, أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ  وَلِسَانًۭا وَشَفَتَيْنِ  “Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata, lisan (lidah), dan sepasang bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9) Lisan disebutkan secara eksplisit dalam firman-Nya sebagai salah satu nikmat, bentuk penyempurnaan, yang kita pahami sebagai fasilitas, tidaklah secara cuma-cuma, melainkan karena memang lisan memiliki peran sentral dalam berlangsungnya kehidupan manusia. Lisan memiliki peran baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, berguna sebagai alat komunikasi antar makhluk ataupun dengan Rabb, seperti dalam berdoa. Kita tentu dapat saling memahami satu sama lain, di antaranya adalah melalui perkataan yang disampaikan oleh lisan yang berperan sebagai translator akan maksud dan keinginan hati dan pikiran kita. Bahkan, dengan perkataan, seorang muslim dan kafir dapat dibedakan, yaitu melalui syahadatain yang diucapkan sebagai bukti keislaman seseorang. Mirisnya, masih banyak orang yang entah belum tahu, atau tidak tahu, atau sudah tahu, namun abai, ataupun bisa jadi tidak mau tahu sama sekali akan betapa besarnya efek-efek yang dihasilkan dari hanya sekadar ucapan yang kita ucapkan melalui lisan kita. Tidak perlu melihat terlalu jauh. Kita cukup melihat ke diri sendiri, ke sekitar kita, juga ke gadget kita. Tentu banyak sekali ucapan-ucapan dan ujaran-ujaran yang tidak layak justru dinormalisasi. Jika kita kembali ke pengertian daripada “فضول” yang telah disampaikan di atas, maka “فضول الكلام” (dibaca: fudhul kalam) sebagai racun hati yang pertama dibahas ini dapat merujuk kepada di antara tiga hal berikut: Pertama: Terlalu banyak bicara, melebihi kadar dan porsi yang wajar. Kedua: Bicara yang tidak bermanfaat. Ketiga: Gabungan antara keduanya, banyak bicara yang tidak bermanfaat. Sehingga, apa-apa yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga kriteria di atas, maka sudah termasuk ke dalam racun hati ini dan harus kita hindari. Baca juga: Jangan Asal Bicara Agama Tanpa Ilmu Bentuk-bentuk overdosis bicara Di antara bentuk-bentuk fudhul kalam atau overdosis bicara yang marak terjadi yaitu: Pertama: banyak bicara. Ini dapat kita pahami dengan mudah. Setiap banyak bicara pada dasarnya adalah tidak baik. Bahkan, tidak jarang seseorang yang memiliki kepiawaian, setiap kali berbicara, justru melebihi porsi yang seharusnya. Sehingga mengaburkan maksud, mempersulit pendengar memahami, juga banyak membuang waktu. Kedua: Bicara yang tidak perlu dan dilarang secara syariat. Seperti berbohong, gosip, adu domba, juga melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi dalam menyampaikan sesuatu, terutamanya ketika bercerita. Ketiga: Toxic atau bicara kata-kata kasar. Termasuk pula yang tidak disebutkan secara jelas karena diplesetkan. Ketika kata tersebut masih mengandung makna dan penggunaan yang sama, maka dihukumi sama. Dalam hal ini, sudah menjadi virus terutama pada sebagian besar anak muda generasi sekarang yang seakan tidak dapat lepas dari berbagai kata-kata kasar, padahal jelas-jelas tidak boleh karena selain tidak elok, juga memiliki banyak dampak negatif. Keempat: Termasuk pula menceritakan segala sesuatu yang dilihat ataupun didengarnya, karena sudah tidak sesuai porsi, tidak perlu, masuk kategori dusta pula, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, كفى بالمرء كذبًا أن يحدّث بكل ما سَمِع “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim no. 5) Antisipasi dari racun hati ini Lantas, sebagai seorang muslim, apa yang selayaknya kita lakukan entah itu untuk menghindari dan antisipasi dari racun hati ini atau pula untuk mengobatinya? Ada banyak sekali dalil beserta atsar dari para ulama yang dapat kita cermati. Dan di sini, telah dirangkum ke dalam beberapa cara yang dapat dilakukan. Di antaranya: Sadar akan muraqabah Allah Muraqabah artinya pengawasan. Tentu saja, pertama-tama, kita haruslah sadar akan pengawasan Allah yang meliputi segala sesuatu, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, kecil-besar, semua Allah ketahui dengan benar. Bahkan, Allah lebih tahu tentang diri kita daripada kita sendiri. Tak terkecuali dalam segala yang kita ucapkan melalui lisan kita. Karena setiap yang kita ucapkan sebenarnya dicatat sebagai amal baik ataukah buruk oleh malaikat yang ditugaskan oleh Allah. Allah Ta’ala mengabarkan, مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌۭ “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18) Mengetahui bahwa setiap perkataan memiliki risiko Adalah suatu keniscayaan bahwa segala sesuatu pastilah memiliki dampak, entah baik atau buruk. Begitu pula dengan segala perkataan, tentu ada dampak, risiko, atau efek samping. Ada dampak langsung dan juga tidak langsung, dampak terhadap diri kita atau dampak terhadap orang lain, pun dengan dampak terhadap masa yang akan mendatang secara umum. Sahabat Muadz bin Jabal pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ « ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قاَلَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ “’Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Semoga ibumu kehilanganmu! (Kalimat ini maksudnya adalah untuk memperhatikan ucapan selanjutnya.) Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah atau di atas hidung mereka, melainkan dengan sebab lisan mereka.’” (HR. Tirmidzi. Ia mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.) Hadis di atas menjelaskan betapa perkataan dan ucapan memiliki dampak yang sangat serius, terutama perkataan-perkataan buruk yang menyebabkan siksa neraka di akhirat kelak. Sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ما النجاة؟ “Apa itu keselamatan?” Rasulullah kemudian menjawab, أمسك عليك لسانك “Jagalah olehmu lisanmu.” Setiap manusia sejatinya sedang menanam. Jika yang ditanam baik, maka baik pula yang akan dipanen. Jika yang ditanam buruk, maka buruk pula yang akan dipanen. Berlepas diri Ketika kita sudah terlanjur melakukan berbagai hal yang tidak baik yang berkaitan dengan lisan dan ucapan, kemudian kita telah mengetahui dampak buruknya, hendaknya kita melepaskan diri dari hal itu. Jika tidak bisa langsung terlepas, maka tidak mengapa apabila dengan bertahap. Adapun berlepas diri yang dimaksud adalah dengan bertobat. Dan tobat yang paling mudah adalah dengan istigfar. Hendaknya kita memperbanyak istigfar, terkhusus setiap kita khilaf. Qatadah pernah menuturkan, فأما داؤكم فالذنوب وأما دواؤكم باللاستغفار “Penyakit kalian adalah dosa-dosa yang kalian kerjakan. Adapun obat kalian adalah dengan beristigfar (meminta ampunan).” Diam Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik saja atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis tersebut memberikan aturan sederhana dalam berucap dan bertutur kata, yaitu katakan yang baik-baik atau diam saja. Sahabat Abdullah bin Mas’ud juga pernah berujar, يا لسان قل خيرا تغنم واسكت عن شر تسلم قبل أن تندم “Wahai lisan (lidah), katakanlah yang baik (saja), niscaya kau akan mendapatkan (kebaikan). Dan diamlah dari mengatakan yang buruk, maka kau akan selamat sebelum kau akan menyesal.” Maka, betapa kita bisa melihat bahwa diam itu jauh lebih baik daripada kita harus membuat lelah diri kita dari berbicara berlebih, terutama ketika itu bukanlah hal yang baik. Hal ini sebagaimana aturan berupa tips sederhana dari Rasulullah, yaitu berbicara yang baik saja atau diam, tidak usah berbicara sekalian. Sehingga dengan berbagai penjabaran juga dalil dan atsar-atsar di atas, kita dapat memahami dan menerapkannya ke dalam kehidupan kita tentang peran sentral ucapan yang keluar dari lisan kita. Secukupnya saja, yang baik saja, jangan melebihi porsi bicara. Sadari juga efek samping dari ucapan yang keluar dari mulut kita. Dan jika tidak bisa bicara yang bermanfaat, lebih baik diam atau akan menjadi racun yang membuat hati kita sakit keracunan. Semoga Allah senantiasa memberi taufik agar kita tetap berada dalam koridor pengendalian lisan yang benar. Lanjut ke bagian 2: Bersambung Baca juga: Berbicara dengan Orang Lain Sesuai dengan Tingkat Pemahamannya *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disadur dari “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid Tags: keracunanoverdosis

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Bagian 1: Overdosis bicaraKondisi hatiHal-hal yang menyebabkan hati menjadi sakitOverdosis bicaraBentuk-bentuk overdosis bicaraAntisipasi dari racun hati iniSadar akan muraqabah AllahMengetahui bahwa setiap perkataan memiliki risikoBerlepas diriDiam Bagian 1: Overdosis bicara Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah. Kondisi hati Sebuah hal yang familiar dan sering kita dapatkan dalam kajian-kajian tentang hati bahwasanya hati itu terbagi menjadi tiga berdasarkan kondisinya, yaitu: Pertama: Hati yang sehat Yaitu, hati yang dengannya amalan-amalan diikhlaskan hanya untuk Allah dan terlepas dari berbagai syahwat dan syubhat dunia beserta ranting dan cabang-cabangnya. Orang dengan hati inilah yang akan selamat di hari kiamat kelak. Kedua: Hati yang mati Kebalikan dari hati yang sehat. Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal Rabb-nya, dipenuhi oleh maksiat dan bekerja mengikuti syahwat serta hawa nafsu. Ketiga: Hati yang sakit Jenis hati yang ini berada di antara dua kondisi hati yang sehat dan hati yang mati, di mana di dalamnya terdapat ketaatan-ketaatan, akan tetapi telah terkontaminasi oleh syahwat. Sehingga hati ini terkadang mengarahkan pada kebaikan dan ketaatan dan kadang pula mendorong pada keburukan dan kemaksiatan. Hal-hal yang menyebabkan hati menjadi sakit Ada banyak hal yang membuat hati menjadi sehat, mati, apalagi sakit. Di antara yang menyebabkan sebuah hati kondisinya menjadi sakit adalah keracunan. Ada 4 macam racun hati yang paling luas persebarannya dan paling besar pengaruh juga efek sampingnya pada kondisi hati. Empat racun tersebut berasal dari overdosis pada konsumsi hal-hal yang tidak begitu esensial, terlalu banyak dan melebihi kadar wajar yang seharusnya, sehingga berubah menjadi racun. Yaitu, overdosis/terlalu banyak bicara, overdosis melihat, overdosis makanan, serta overdosis bergaul. Dalam kitab “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid, racun-racun hati yang empat tersebut dinarasikan dengan kata “فضول” (dibaca: fudhul), yang secara bahasa Arab terdapat beberapa arti, seperti “rasa ingin tahu yang berlebih” atau “keheranan akan sesuatu” atau “sesuatu yang tidak berfaedah” atau juga “suatu lebihan atau sisa yang terlampau dari seharusnya pada sesuatu”. Kemudian dalam konteks ini, kata “فضول” dapat diartikan dengan “kelebihan atau terlalu banyak yang tidak ada gunanya”. Kemudian yang akan digunakan pada kesempatan kali ini adalah kata “overdosis” dalam rangka mempersingkat dan mempermudah tersampaikannya makna pada pembaca. Overdosis bicara Selanjutnya, mari kita bahas satu per satu dari racun-racun yang disebabkan oleh overdosis tersebut. Yang pertama adalah “overdosis bicara”. Adalah suatu nikmat tiada tara, Allah yang telah menciptakan kita dan menjadikan manusia sebagai makhluk dengan rupa penciptaan yang paling bagus seperti yang difirmankan-Nya pada surah At-Tin ayat 4. Kemudian sebagai salah satu bentuk penyempurnaan pada surah Asy-Syams ayat 7 adalah sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Balad ayat 8-9, أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ  وَلِسَانًۭا وَشَفَتَيْنِ  “Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata, lisan (lidah), dan sepasang bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9) Lisan disebutkan secara eksplisit dalam firman-Nya sebagai salah satu nikmat, bentuk penyempurnaan, yang kita pahami sebagai fasilitas, tidaklah secara cuma-cuma, melainkan karena memang lisan memiliki peran sentral dalam berlangsungnya kehidupan manusia. Lisan memiliki peran baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, berguna sebagai alat komunikasi antar makhluk ataupun dengan Rabb, seperti dalam berdoa. Kita tentu dapat saling memahami satu sama lain, di antaranya adalah melalui perkataan yang disampaikan oleh lisan yang berperan sebagai translator akan maksud dan keinginan hati dan pikiran kita. Bahkan, dengan perkataan, seorang muslim dan kafir dapat dibedakan, yaitu melalui syahadatain yang diucapkan sebagai bukti keislaman seseorang. Mirisnya, masih banyak orang yang entah belum tahu, atau tidak tahu, atau sudah tahu, namun abai, ataupun bisa jadi tidak mau tahu sama sekali akan betapa besarnya efek-efek yang dihasilkan dari hanya sekadar ucapan yang kita ucapkan melalui lisan kita. Tidak perlu melihat terlalu jauh. Kita cukup melihat ke diri sendiri, ke sekitar kita, juga ke gadget kita. Tentu banyak sekali ucapan-ucapan dan ujaran-ujaran yang tidak layak justru dinormalisasi. Jika kita kembali ke pengertian daripada “فضول” yang telah disampaikan di atas, maka “فضول الكلام” (dibaca: fudhul kalam) sebagai racun hati yang pertama dibahas ini dapat merujuk kepada di antara tiga hal berikut: Pertama: Terlalu banyak bicara, melebihi kadar dan porsi yang wajar. Kedua: Bicara yang tidak bermanfaat. Ketiga: Gabungan antara keduanya, banyak bicara yang tidak bermanfaat. Sehingga, apa-apa yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga kriteria di atas, maka sudah termasuk ke dalam racun hati ini dan harus kita hindari. Baca juga: Jangan Asal Bicara Agama Tanpa Ilmu Bentuk-bentuk overdosis bicara Di antara bentuk-bentuk fudhul kalam atau overdosis bicara yang marak terjadi yaitu: Pertama: banyak bicara. Ini dapat kita pahami dengan mudah. Setiap banyak bicara pada dasarnya adalah tidak baik. Bahkan, tidak jarang seseorang yang memiliki kepiawaian, setiap kali berbicara, justru melebihi porsi yang seharusnya. Sehingga mengaburkan maksud, mempersulit pendengar memahami, juga banyak membuang waktu. Kedua: Bicara yang tidak perlu dan dilarang secara syariat. Seperti berbohong, gosip, adu domba, juga melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi dalam menyampaikan sesuatu, terutamanya ketika bercerita. Ketiga: Toxic atau bicara kata-kata kasar. Termasuk pula yang tidak disebutkan secara jelas karena diplesetkan. Ketika kata tersebut masih mengandung makna dan penggunaan yang sama, maka dihukumi sama. Dalam hal ini, sudah menjadi virus terutama pada sebagian besar anak muda generasi sekarang yang seakan tidak dapat lepas dari berbagai kata-kata kasar, padahal jelas-jelas tidak boleh karena selain tidak elok, juga memiliki banyak dampak negatif. Keempat: Termasuk pula menceritakan segala sesuatu yang dilihat ataupun didengarnya, karena sudah tidak sesuai porsi, tidak perlu, masuk kategori dusta pula, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, كفى بالمرء كذبًا أن يحدّث بكل ما سَمِع “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim no. 5) Antisipasi dari racun hati ini Lantas, sebagai seorang muslim, apa yang selayaknya kita lakukan entah itu untuk menghindari dan antisipasi dari racun hati ini atau pula untuk mengobatinya? Ada banyak sekali dalil beserta atsar dari para ulama yang dapat kita cermati. Dan di sini, telah dirangkum ke dalam beberapa cara yang dapat dilakukan. Di antaranya: Sadar akan muraqabah Allah Muraqabah artinya pengawasan. Tentu saja, pertama-tama, kita haruslah sadar akan pengawasan Allah yang meliputi segala sesuatu, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, kecil-besar, semua Allah ketahui dengan benar. Bahkan, Allah lebih tahu tentang diri kita daripada kita sendiri. Tak terkecuali dalam segala yang kita ucapkan melalui lisan kita. Karena setiap yang kita ucapkan sebenarnya dicatat sebagai amal baik ataukah buruk oleh malaikat yang ditugaskan oleh Allah. Allah Ta’ala mengabarkan, مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌۭ “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18) Mengetahui bahwa setiap perkataan memiliki risiko Adalah suatu keniscayaan bahwa segala sesuatu pastilah memiliki dampak, entah baik atau buruk. Begitu pula dengan segala perkataan, tentu ada dampak, risiko, atau efek samping. Ada dampak langsung dan juga tidak langsung, dampak terhadap diri kita atau dampak terhadap orang lain, pun dengan dampak terhadap masa yang akan mendatang secara umum. Sahabat Muadz bin Jabal pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ « ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قاَلَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ “’Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Semoga ibumu kehilanganmu! (Kalimat ini maksudnya adalah untuk memperhatikan ucapan selanjutnya.) Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah atau di atas hidung mereka, melainkan dengan sebab lisan mereka.’” (HR. Tirmidzi. Ia mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.) Hadis di atas menjelaskan betapa perkataan dan ucapan memiliki dampak yang sangat serius, terutama perkataan-perkataan buruk yang menyebabkan siksa neraka di akhirat kelak. Sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ما النجاة؟ “Apa itu keselamatan?” Rasulullah kemudian menjawab, أمسك عليك لسانك “Jagalah olehmu lisanmu.” Setiap manusia sejatinya sedang menanam. Jika yang ditanam baik, maka baik pula yang akan dipanen. Jika yang ditanam buruk, maka buruk pula yang akan dipanen. Berlepas diri Ketika kita sudah terlanjur melakukan berbagai hal yang tidak baik yang berkaitan dengan lisan dan ucapan, kemudian kita telah mengetahui dampak buruknya, hendaknya kita melepaskan diri dari hal itu. Jika tidak bisa langsung terlepas, maka tidak mengapa apabila dengan bertahap. Adapun berlepas diri yang dimaksud adalah dengan bertobat. Dan tobat yang paling mudah adalah dengan istigfar. Hendaknya kita memperbanyak istigfar, terkhusus setiap kita khilaf. Qatadah pernah menuturkan, فأما داؤكم فالذنوب وأما دواؤكم باللاستغفار “Penyakit kalian adalah dosa-dosa yang kalian kerjakan. Adapun obat kalian adalah dengan beristigfar (meminta ampunan).” Diam Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik saja atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis tersebut memberikan aturan sederhana dalam berucap dan bertutur kata, yaitu katakan yang baik-baik atau diam saja. Sahabat Abdullah bin Mas’ud juga pernah berujar, يا لسان قل خيرا تغنم واسكت عن شر تسلم قبل أن تندم “Wahai lisan (lidah), katakanlah yang baik (saja), niscaya kau akan mendapatkan (kebaikan). Dan diamlah dari mengatakan yang buruk, maka kau akan selamat sebelum kau akan menyesal.” Maka, betapa kita bisa melihat bahwa diam itu jauh lebih baik daripada kita harus membuat lelah diri kita dari berbicara berlebih, terutama ketika itu bukanlah hal yang baik. Hal ini sebagaimana aturan berupa tips sederhana dari Rasulullah, yaitu berbicara yang baik saja atau diam, tidak usah berbicara sekalian. Sehingga dengan berbagai penjabaran juga dalil dan atsar-atsar di atas, kita dapat memahami dan menerapkannya ke dalam kehidupan kita tentang peran sentral ucapan yang keluar dari lisan kita. Secukupnya saja, yang baik saja, jangan melebihi porsi bicara. Sadari juga efek samping dari ucapan yang keluar dari mulut kita. Dan jika tidak bisa bicara yang bermanfaat, lebih baik diam atau akan menjadi racun yang membuat hati kita sakit keracunan. Semoga Allah senantiasa memberi taufik agar kita tetap berada dalam koridor pengendalian lisan yang benar. Lanjut ke bagian 2: Bersambung Baca juga: Berbicara dengan Orang Lain Sesuai dengan Tingkat Pemahamannya *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disadur dari “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid Tags: keracunanoverdosis
Daftar Isi Toggle Bagian 1: Overdosis bicaraKondisi hatiHal-hal yang menyebabkan hati menjadi sakitOverdosis bicaraBentuk-bentuk overdosis bicaraAntisipasi dari racun hati iniSadar akan muraqabah AllahMengetahui bahwa setiap perkataan memiliki risikoBerlepas diriDiam Bagian 1: Overdosis bicara Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah. Kondisi hati Sebuah hal yang familiar dan sering kita dapatkan dalam kajian-kajian tentang hati bahwasanya hati itu terbagi menjadi tiga berdasarkan kondisinya, yaitu: Pertama: Hati yang sehat Yaitu, hati yang dengannya amalan-amalan diikhlaskan hanya untuk Allah dan terlepas dari berbagai syahwat dan syubhat dunia beserta ranting dan cabang-cabangnya. Orang dengan hati inilah yang akan selamat di hari kiamat kelak. Kedua: Hati yang mati Kebalikan dari hati yang sehat. Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal Rabb-nya, dipenuhi oleh maksiat dan bekerja mengikuti syahwat serta hawa nafsu. Ketiga: Hati yang sakit Jenis hati yang ini berada di antara dua kondisi hati yang sehat dan hati yang mati, di mana di dalamnya terdapat ketaatan-ketaatan, akan tetapi telah terkontaminasi oleh syahwat. Sehingga hati ini terkadang mengarahkan pada kebaikan dan ketaatan dan kadang pula mendorong pada keburukan dan kemaksiatan. Hal-hal yang menyebabkan hati menjadi sakit Ada banyak hal yang membuat hati menjadi sehat, mati, apalagi sakit. Di antara yang menyebabkan sebuah hati kondisinya menjadi sakit adalah keracunan. Ada 4 macam racun hati yang paling luas persebarannya dan paling besar pengaruh juga efek sampingnya pada kondisi hati. Empat racun tersebut berasal dari overdosis pada konsumsi hal-hal yang tidak begitu esensial, terlalu banyak dan melebihi kadar wajar yang seharusnya, sehingga berubah menjadi racun. Yaitu, overdosis/terlalu banyak bicara, overdosis melihat, overdosis makanan, serta overdosis bergaul. Dalam kitab “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid, racun-racun hati yang empat tersebut dinarasikan dengan kata “فضول” (dibaca: fudhul), yang secara bahasa Arab terdapat beberapa arti, seperti “rasa ingin tahu yang berlebih” atau “keheranan akan sesuatu” atau “sesuatu yang tidak berfaedah” atau juga “suatu lebihan atau sisa yang terlampau dari seharusnya pada sesuatu”. Kemudian dalam konteks ini, kata “فضول” dapat diartikan dengan “kelebihan atau terlalu banyak yang tidak ada gunanya”. Kemudian yang akan digunakan pada kesempatan kali ini adalah kata “overdosis” dalam rangka mempersingkat dan mempermudah tersampaikannya makna pada pembaca. Overdosis bicara Selanjutnya, mari kita bahas satu per satu dari racun-racun yang disebabkan oleh overdosis tersebut. Yang pertama adalah “overdosis bicara”. Adalah suatu nikmat tiada tara, Allah yang telah menciptakan kita dan menjadikan manusia sebagai makhluk dengan rupa penciptaan yang paling bagus seperti yang difirmankan-Nya pada surah At-Tin ayat 4. Kemudian sebagai salah satu bentuk penyempurnaan pada surah Asy-Syams ayat 7 adalah sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Balad ayat 8-9, أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ  وَلِسَانًۭا وَشَفَتَيْنِ  “Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata, lisan (lidah), dan sepasang bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9) Lisan disebutkan secara eksplisit dalam firman-Nya sebagai salah satu nikmat, bentuk penyempurnaan, yang kita pahami sebagai fasilitas, tidaklah secara cuma-cuma, melainkan karena memang lisan memiliki peran sentral dalam berlangsungnya kehidupan manusia. Lisan memiliki peran baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, berguna sebagai alat komunikasi antar makhluk ataupun dengan Rabb, seperti dalam berdoa. Kita tentu dapat saling memahami satu sama lain, di antaranya adalah melalui perkataan yang disampaikan oleh lisan yang berperan sebagai translator akan maksud dan keinginan hati dan pikiran kita. Bahkan, dengan perkataan, seorang muslim dan kafir dapat dibedakan, yaitu melalui syahadatain yang diucapkan sebagai bukti keislaman seseorang. Mirisnya, masih banyak orang yang entah belum tahu, atau tidak tahu, atau sudah tahu, namun abai, ataupun bisa jadi tidak mau tahu sama sekali akan betapa besarnya efek-efek yang dihasilkan dari hanya sekadar ucapan yang kita ucapkan melalui lisan kita. Tidak perlu melihat terlalu jauh. Kita cukup melihat ke diri sendiri, ke sekitar kita, juga ke gadget kita. Tentu banyak sekali ucapan-ucapan dan ujaran-ujaran yang tidak layak justru dinormalisasi. Jika kita kembali ke pengertian daripada “فضول” yang telah disampaikan di atas, maka “فضول الكلام” (dibaca: fudhul kalam) sebagai racun hati yang pertama dibahas ini dapat merujuk kepada di antara tiga hal berikut: Pertama: Terlalu banyak bicara, melebihi kadar dan porsi yang wajar. Kedua: Bicara yang tidak bermanfaat. Ketiga: Gabungan antara keduanya, banyak bicara yang tidak bermanfaat. Sehingga, apa-apa yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga kriteria di atas, maka sudah termasuk ke dalam racun hati ini dan harus kita hindari. Baca juga: Jangan Asal Bicara Agama Tanpa Ilmu Bentuk-bentuk overdosis bicara Di antara bentuk-bentuk fudhul kalam atau overdosis bicara yang marak terjadi yaitu: Pertama: banyak bicara. Ini dapat kita pahami dengan mudah. Setiap banyak bicara pada dasarnya adalah tidak baik. Bahkan, tidak jarang seseorang yang memiliki kepiawaian, setiap kali berbicara, justru melebihi porsi yang seharusnya. Sehingga mengaburkan maksud, mempersulit pendengar memahami, juga banyak membuang waktu. Kedua: Bicara yang tidak perlu dan dilarang secara syariat. Seperti berbohong, gosip, adu domba, juga melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi dalam menyampaikan sesuatu, terutamanya ketika bercerita. Ketiga: Toxic atau bicara kata-kata kasar. Termasuk pula yang tidak disebutkan secara jelas karena diplesetkan. Ketika kata tersebut masih mengandung makna dan penggunaan yang sama, maka dihukumi sama. Dalam hal ini, sudah menjadi virus terutama pada sebagian besar anak muda generasi sekarang yang seakan tidak dapat lepas dari berbagai kata-kata kasar, padahal jelas-jelas tidak boleh karena selain tidak elok, juga memiliki banyak dampak negatif. Keempat: Termasuk pula menceritakan segala sesuatu yang dilihat ataupun didengarnya, karena sudah tidak sesuai porsi, tidak perlu, masuk kategori dusta pula, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, كفى بالمرء كذبًا أن يحدّث بكل ما سَمِع “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim no. 5) Antisipasi dari racun hati ini Lantas, sebagai seorang muslim, apa yang selayaknya kita lakukan entah itu untuk menghindari dan antisipasi dari racun hati ini atau pula untuk mengobatinya? Ada banyak sekali dalil beserta atsar dari para ulama yang dapat kita cermati. Dan di sini, telah dirangkum ke dalam beberapa cara yang dapat dilakukan. Di antaranya: Sadar akan muraqabah Allah Muraqabah artinya pengawasan. Tentu saja, pertama-tama, kita haruslah sadar akan pengawasan Allah yang meliputi segala sesuatu, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, kecil-besar, semua Allah ketahui dengan benar. Bahkan, Allah lebih tahu tentang diri kita daripada kita sendiri. Tak terkecuali dalam segala yang kita ucapkan melalui lisan kita. Karena setiap yang kita ucapkan sebenarnya dicatat sebagai amal baik ataukah buruk oleh malaikat yang ditugaskan oleh Allah. Allah Ta’ala mengabarkan, مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌۭ “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18) Mengetahui bahwa setiap perkataan memiliki risiko Adalah suatu keniscayaan bahwa segala sesuatu pastilah memiliki dampak, entah baik atau buruk. Begitu pula dengan segala perkataan, tentu ada dampak, risiko, atau efek samping. Ada dampak langsung dan juga tidak langsung, dampak terhadap diri kita atau dampak terhadap orang lain, pun dengan dampak terhadap masa yang akan mendatang secara umum. Sahabat Muadz bin Jabal pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ « ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قاَلَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ “’Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Semoga ibumu kehilanganmu! (Kalimat ini maksudnya adalah untuk memperhatikan ucapan selanjutnya.) Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah atau di atas hidung mereka, melainkan dengan sebab lisan mereka.’” (HR. Tirmidzi. Ia mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.) Hadis di atas menjelaskan betapa perkataan dan ucapan memiliki dampak yang sangat serius, terutama perkataan-perkataan buruk yang menyebabkan siksa neraka di akhirat kelak. Sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ما النجاة؟ “Apa itu keselamatan?” Rasulullah kemudian menjawab, أمسك عليك لسانك “Jagalah olehmu lisanmu.” Setiap manusia sejatinya sedang menanam. Jika yang ditanam baik, maka baik pula yang akan dipanen. Jika yang ditanam buruk, maka buruk pula yang akan dipanen. Berlepas diri Ketika kita sudah terlanjur melakukan berbagai hal yang tidak baik yang berkaitan dengan lisan dan ucapan, kemudian kita telah mengetahui dampak buruknya, hendaknya kita melepaskan diri dari hal itu. Jika tidak bisa langsung terlepas, maka tidak mengapa apabila dengan bertahap. Adapun berlepas diri yang dimaksud adalah dengan bertobat. Dan tobat yang paling mudah adalah dengan istigfar. Hendaknya kita memperbanyak istigfar, terkhusus setiap kita khilaf. Qatadah pernah menuturkan, فأما داؤكم فالذنوب وأما دواؤكم باللاستغفار “Penyakit kalian adalah dosa-dosa yang kalian kerjakan. Adapun obat kalian adalah dengan beristigfar (meminta ampunan).” Diam Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik saja atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis tersebut memberikan aturan sederhana dalam berucap dan bertutur kata, yaitu katakan yang baik-baik atau diam saja. Sahabat Abdullah bin Mas’ud juga pernah berujar, يا لسان قل خيرا تغنم واسكت عن شر تسلم قبل أن تندم “Wahai lisan (lidah), katakanlah yang baik (saja), niscaya kau akan mendapatkan (kebaikan). Dan diamlah dari mengatakan yang buruk, maka kau akan selamat sebelum kau akan menyesal.” Maka, betapa kita bisa melihat bahwa diam itu jauh lebih baik daripada kita harus membuat lelah diri kita dari berbicara berlebih, terutama ketika itu bukanlah hal yang baik. Hal ini sebagaimana aturan berupa tips sederhana dari Rasulullah, yaitu berbicara yang baik saja atau diam, tidak usah berbicara sekalian. Sehingga dengan berbagai penjabaran juga dalil dan atsar-atsar di atas, kita dapat memahami dan menerapkannya ke dalam kehidupan kita tentang peran sentral ucapan yang keluar dari lisan kita. Secukupnya saja, yang baik saja, jangan melebihi porsi bicara. Sadari juga efek samping dari ucapan yang keluar dari mulut kita. Dan jika tidak bisa bicara yang bermanfaat, lebih baik diam atau akan menjadi racun yang membuat hati kita sakit keracunan. Semoga Allah senantiasa memberi taufik agar kita tetap berada dalam koridor pengendalian lisan yang benar. Lanjut ke bagian 2: Bersambung Baca juga: Berbicara dengan Orang Lain Sesuai dengan Tingkat Pemahamannya *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disadur dari “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid Tags: keracunanoverdosis


Daftar Isi Toggle Bagian 1: Overdosis bicaraKondisi hatiHal-hal yang menyebabkan hati menjadi sakitOverdosis bicaraBentuk-bentuk overdosis bicaraAntisipasi dari racun hati iniSadar akan muraqabah AllahMengetahui bahwa setiap perkataan memiliki risikoBerlepas diriDiam Bagian 1: Overdosis bicara Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah. Kondisi hati Sebuah hal yang familiar dan sering kita dapatkan dalam kajian-kajian tentang hati bahwasanya hati itu terbagi menjadi tiga berdasarkan kondisinya, yaitu: Pertama: Hati yang sehat Yaitu, hati yang dengannya amalan-amalan diikhlaskan hanya untuk Allah dan terlepas dari berbagai syahwat dan syubhat dunia beserta ranting dan cabang-cabangnya. Orang dengan hati inilah yang akan selamat di hari kiamat kelak. Kedua: Hati yang mati Kebalikan dari hati yang sehat. Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal Rabb-nya, dipenuhi oleh maksiat dan bekerja mengikuti syahwat serta hawa nafsu. Ketiga: Hati yang sakit Jenis hati yang ini berada di antara dua kondisi hati yang sehat dan hati yang mati, di mana di dalamnya terdapat ketaatan-ketaatan, akan tetapi telah terkontaminasi oleh syahwat. Sehingga hati ini terkadang mengarahkan pada kebaikan dan ketaatan dan kadang pula mendorong pada keburukan dan kemaksiatan. Hal-hal yang menyebabkan hati menjadi sakit Ada banyak hal yang membuat hati menjadi sehat, mati, apalagi sakit. Di antara yang menyebabkan sebuah hati kondisinya menjadi sakit adalah keracunan. Ada 4 macam racun hati yang paling luas persebarannya dan paling besar pengaruh juga efek sampingnya pada kondisi hati. Empat racun tersebut berasal dari overdosis pada konsumsi hal-hal yang tidak begitu esensial, terlalu banyak dan melebihi kadar wajar yang seharusnya, sehingga berubah menjadi racun. Yaitu, overdosis/terlalu banyak bicara, overdosis melihat, overdosis makanan, serta overdosis bergaul. Dalam kitab “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid, racun-racun hati yang empat tersebut dinarasikan dengan kata “فضول” (dibaca: fudhul), yang secara bahasa Arab terdapat beberapa arti, seperti “rasa ingin tahu yang berlebih” atau “keheranan akan sesuatu” atau “sesuatu yang tidak berfaedah” atau juga “suatu lebihan atau sisa yang terlampau dari seharusnya pada sesuatu”. Kemudian dalam konteks ini, kata “فضول” dapat diartikan dengan “kelebihan atau terlalu banyak yang tidak ada gunanya”. Kemudian yang akan digunakan pada kesempatan kali ini adalah kata “overdosis” dalam rangka mempersingkat dan mempermudah tersampaikannya makna pada pembaca. Overdosis bicara Selanjutnya, mari kita bahas satu per satu dari racun-racun yang disebabkan oleh overdosis tersebut. Yang pertama adalah “overdosis bicara”. Adalah suatu nikmat tiada tara, Allah yang telah menciptakan kita dan menjadikan manusia sebagai makhluk dengan rupa penciptaan yang paling bagus seperti yang difirmankan-Nya pada surah At-Tin ayat 4. Kemudian sebagai salah satu bentuk penyempurnaan pada surah Asy-Syams ayat 7 adalah sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Balad ayat 8-9, أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ  وَلِسَانًۭا وَشَفَتَيْنِ  “Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata, lisan (lidah), dan sepasang bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9) Lisan disebutkan secara eksplisit dalam firman-Nya sebagai salah satu nikmat, bentuk penyempurnaan, yang kita pahami sebagai fasilitas, tidaklah secara cuma-cuma, melainkan karena memang lisan memiliki peran sentral dalam berlangsungnya kehidupan manusia. Lisan memiliki peran baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, berguna sebagai alat komunikasi antar makhluk ataupun dengan Rabb, seperti dalam berdoa. Kita tentu dapat saling memahami satu sama lain, di antaranya adalah melalui perkataan yang disampaikan oleh lisan yang berperan sebagai translator akan maksud dan keinginan hati dan pikiran kita. Bahkan, dengan perkataan, seorang muslim dan kafir dapat dibedakan, yaitu melalui syahadatain yang diucapkan sebagai bukti keislaman seseorang. Mirisnya, masih banyak orang yang entah belum tahu, atau tidak tahu, atau sudah tahu, namun abai, ataupun bisa jadi tidak mau tahu sama sekali akan betapa besarnya efek-efek yang dihasilkan dari hanya sekadar ucapan yang kita ucapkan melalui lisan kita. Tidak perlu melihat terlalu jauh. Kita cukup melihat ke diri sendiri, ke sekitar kita, juga ke gadget kita. Tentu banyak sekali ucapan-ucapan dan ujaran-ujaran yang tidak layak justru dinormalisasi. Jika kita kembali ke pengertian daripada “فضول” yang telah disampaikan di atas, maka “فضول الكلام” (dibaca: fudhul kalam) sebagai racun hati yang pertama dibahas ini dapat merujuk kepada di antara tiga hal berikut: Pertama: Terlalu banyak bicara, melebihi kadar dan porsi yang wajar. Kedua: Bicara yang tidak bermanfaat. Ketiga: Gabungan antara keduanya, banyak bicara yang tidak bermanfaat. Sehingga, apa-apa yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga kriteria di atas, maka sudah termasuk ke dalam racun hati ini dan harus kita hindari. Baca juga: Jangan Asal Bicara Agama Tanpa Ilmu Bentuk-bentuk overdosis bicara Di antara bentuk-bentuk fudhul kalam atau overdosis bicara yang marak terjadi yaitu: Pertama: banyak bicara. Ini dapat kita pahami dengan mudah. Setiap banyak bicara pada dasarnya adalah tidak baik. Bahkan, tidak jarang seseorang yang memiliki kepiawaian, setiap kali berbicara, justru melebihi porsi yang seharusnya. Sehingga mengaburkan maksud, mempersulit pendengar memahami, juga banyak membuang waktu. Kedua: Bicara yang tidak perlu dan dilarang secara syariat. Seperti berbohong, gosip, adu domba, juga melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi dalam menyampaikan sesuatu, terutamanya ketika bercerita. Ketiga: Toxic atau bicara kata-kata kasar. Termasuk pula yang tidak disebutkan secara jelas karena diplesetkan. Ketika kata tersebut masih mengandung makna dan penggunaan yang sama, maka dihukumi sama. Dalam hal ini, sudah menjadi virus terutama pada sebagian besar anak muda generasi sekarang yang seakan tidak dapat lepas dari berbagai kata-kata kasar, padahal jelas-jelas tidak boleh karena selain tidak elok, juga memiliki banyak dampak negatif. Keempat: Termasuk pula menceritakan segala sesuatu yang dilihat ataupun didengarnya, karena sudah tidak sesuai porsi, tidak perlu, masuk kategori dusta pula, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, كفى بالمرء كذبًا أن يحدّث بكل ما سَمِع “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim no. 5) Antisipasi dari racun hati ini Lantas, sebagai seorang muslim, apa yang selayaknya kita lakukan entah itu untuk menghindari dan antisipasi dari racun hati ini atau pula untuk mengobatinya? Ada banyak sekali dalil beserta atsar dari para ulama yang dapat kita cermati. Dan di sini, telah dirangkum ke dalam beberapa cara yang dapat dilakukan. Di antaranya: Sadar akan muraqabah Allah Muraqabah artinya pengawasan. Tentu saja, pertama-tama, kita haruslah sadar akan pengawasan Allah yang meliputi segala sesuatu, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, kecil-besar, semua Allah ketahui dengan benar. Bahkan, Allah lebih tahu tentang diri kita daripada kita sendiri. Tak terkecuali dalam segala yang kita ucapkan melalui lisan kita. Karena setiap yang kita ucapkan sebenarnya dicatat sebagai amal baik ataukah buruk oleh malaikat yang ditugaskan oleh Allah. Allah Ta’ala mengabarkan, مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌۭ “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18) Mengetahui bahwa setiap perkataan memiliki risiko Adalah suatu keniscayaan bahwa segala sesuatu pastilah memiliki dampak, entah baik atau buruk. Begitu pula dengan segala perkataan, tentu ada dampak, risiko, atau efek samping. Ada dampak langsung dan juga tidak langsung, dampak terhadap diri kita atau dampak terhadap orang lain, pun dengan dampak terhadap masa yang akan mendatang secara umum. Sahabat Muadz bin Jabal pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ « ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قاَلَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ “’Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Semoga ibumu kehilanganmu! (Kalimat ini maksudnya adalah untuk memperhatikan ucapan selanjutnya.) Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah atau di atas hidung mereka, melainkan dengan sebab lisan mereka.’” (HR. Tirmidzi. Ia mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.) Hadis di atas menjelaskan betapa perkataan dan ucapan memiliki dampak yang sangat serius, terutama perkataan-perkataan buruk yang menyebabkan siksa neraka di akhirat kelak. Sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ما النجاة؟ “Apa itu keselamatan?” Rasulullah kemudian menjawab, أمسك عليك لسانك “Jagalah olehmu lisanmu.” Setiap manusia sejatinya sedang menanam. Jika yang ditanam baik, maka baik pula yang akan dipanen. Jika yang ditanam buruk, maka buruk pula yang akan dipanen. Berlepas diri Ketika kita sudah terlanjur melakukan berbagai hal yang tidak baik yang berkaitan dengan lisan dan ucapan, kemudian kita telah mengetahui dampak buruknya, hendaknya kita melepaskan diri dari hal itu. Jika tidak bisa langsung terlepas, maka tidak mengapa apabila dengan bertahap. Adapun berlepas diri yang dimaksud adalah dengan bertobat. Dan tobat yang paling mudah adalah dengan istigfar. Hendaknya kita memperbanyak istigfar, terkhusus setiap kita khilaf. Qatadah pernah menuturkan, فأما داؤكم فالذنوب وأما دواؤكم باللاستغفار “Penyakit kalian adalah dosa-dosa yang kalian kerjakan. Adapun obat kalian adalah dengan beristigfar (meminta ampunan).” Diam Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik saja atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis tersebut memberikan aturan sederhana dalam berucap dan bertutur kata, yaitu katakan yang baik-baik atau diam saja. Sahabat Abdullah bin Mas’ud juga pernah berujar, يا لسان قل خيرا تغنم واسكت عن شر تسلم قبل أن تندم “Wahai lisan (lidah), katakanlah yang baik (saja), niscaya kau akan mendapatkan (kebaikan). Dan diamlah dari mengatakan yang buruk, maka kau akan selamat sebelum kau akan menyesal.” Maka, betapa kita bisa melihat bahwa diam itu jauh lebih baik daripada kita harus membuat lelah diri kita dari berbicara berlebih, terutama ketika itu bukanlah hal yang baik. Hal ini sebagaimana aturan berupa tips sederhana dari Rasulullah, yaitu berbicara yang baik saja atau diam, tidak usah berbicara sekalian. Sehingga dengan berbagai penjabaran juga dalil dan atsar-atsar di atas, kita dapat memahami dan menerapkannya ke dalam kehidupan kita tentang peran sentral ucapan yang keluar dari lisan kita. Secukupnya saja, yang baik saja, jangan melebihi porsi bicara. Sadari juga efek samping dari ucapan yang keluar dari mulut kita. Dan jika tidak bisa bicara yang bermanfaat, lebih baik diam atau akan menjadi racun yang membuat hati kita sakit keracunan. Semoga Allah senantiasa memberi taufik agar kita tetap berada dalam koridor pengendalian lisan yang benar. Lanjut ke bagian 2: Bersambung Baca juga: Berbicara dengan Orang Lain Sesuai dengan Tingkat Pemahamannya *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disadur dari “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid Tags: keracunanoverdosis

Pilihan Allah Pasti Terbaik, Kita Tidak Bisa Memaksa Pilihan Kita kepada Allah

Kita tidak boleh memaksa Allah agar memenuhi pilihan kita. Tugas kita adalah pasrah dan tawakal pada apa yang Allah tetapkan. Karena pilihan Allah pasti terbaik untuk kita.   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid masih membicarakan ayat berikut,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan faedah lainnya dari ayat di atas, “Di antara hikmah yang terkandung di dalam ayat ini ialah jika seorang hamba menginginkan kesudahan yang baik dalam setiap urusannya, maka ia dituntut untuk menyerahkan segala urusannya kepada Allah Yang Maha Mengetahui akibat segala urusan, serta rida atas pilihan dan ketentuan Allah baginya.  Hikmah lainnya yang dikandung ayat ini ialah seorang hamba tidak berhak mengajukan usul kepada Rabbnya, tidak berhak mendikte Rabbnya agar memenuhi pilihannya dan tidak berhak memohon agar diberikan sesuatu yang dia sendiri tidak mengetahui bagaimana kesudahannya. Sebab, boleh jadi sesuatu yang dimintanya justru membahayakan dan membinasakannya karena ia tidak mengetahui akibat dan dampak negatifnya. Atas dasar itu, manusia sama sekali tidak boleh memaksa suatu pilihan kepada Rabbnya. Yang sebaiknya dilakukan adalah hendaknya ia memohon pilihan yang terbaik dari Allah dan meminta agar hatinya rida atas pilihan tersebut. Sebab, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi dirinya selain daripada itu. Hikmah lainnya adalah apabila seorang hamba telah menyerahkan urusannya kepada Rabbnya dan rida atas pilihan Allah untuk dirinya niscaya Allah akan membantunya menerima pilihan itu dengan menganugerahkan ketegaran, kebulatan tekad, dan kesabaran hati. Lalu, Allah akan menghindarkannya dari segala macam bencana yang mungkin terjadi apabila seorang hamba berpegang kepada pilihannya sendiri. Kemudian Allah akan memperlihatkan kepadanya dampak positif dari pilihan Allah bagi dirinya, yang tidak akan dicapai walaupun separuhnya jika ia menentukan pilihan hidupnya sendiri.”   Catatan: Maksud Ibnul Qayyim rahimahullah di atas dapat dilihat dari doa shalat istikharah berikut ini. اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ – ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA, WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA, WA AS-ALUKA MIN FADHLIKA, FA INNAKA TAQDIRU WA LAA AQDIRU, WA TA’LAMU WA LAA A’LAMU, WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUB. ALLAHUMMA FA-IN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRO (SEBUT NAMA URUSAN TERSEBUT) KHOIRON LII FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIH (AW FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII) FAQDUR LII, WA YASSIRHU LII, TSUMMA BAARIK LII FIIHI. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNAHU SYARRUN LII FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII (FII ‘AAJILI AMRI WA AAJILIH) FASH-RIFNII ‘ANHU, WAQDUR LIIL KHOIRO HAITSU KAANA TSUMMA RODH-DHINII BIH. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun rida dengannya. Baca juga: Inilah Panduan Shalat Istikharah    Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 204. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 175-176. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid faedah dari Ibnul Qayyim takdir takdir Allah takdir ilahi tawakal tawakkal

Pilihan Allah Pasti Terbaik, Kita Tidak Bisa Memaksa Pilihan Kita kepada Allah

Kita tidak boleh memaksa Allah agar memenuhi pilihan kita. Tugas kita adalah pasrah dan tawakal pada apa yang Allah tetapkan. Karena pilihan Allah pasti terbaik untuk kita.   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid masih membicarakan ayat berikut,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan faedah lainnya dari ayat di atas, “Di antara hikmah yang terkandung di dalam ayat ini ialah jika seorang hamba menginginkan kesudahan yang baik dalam setiap urusannya, maka ia dituntut untuk menyerahkan segala urusannya kepada Allah Yang Maha Mengetahui akibat segala urusan, serta rida atas pilihan dan ketentuan Allah baginya.  Hikmah lainnya yang dikandung ayat ini ialah seorang hamba tidak berhak mengajukan usul kepada Rabbnya, tidak berhak mendikte Rabbnya agar memenuhi pilihannya dan tidak berhak memohon agar diberikan sesuatu yang dia sendiri tidak mengetahui bagaimana kesudahannya. Sebab, boleh jadi sesuatu yang dimintanya justru membahayakan dan membinasakannya karena ia tidak mengetahui akibat dan dampak negatifnya. Atas dasar itu, manusia sama sekali tidak boleh memaksa suatu pilihan kepada Rabbnya. Yang sebaiknya dilakukan adalah hendaknya ia memohon pilihan yang terbaik dari Allah dan meminta agar hatinya rida atas pilihan tersebut. Sebab, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi dirinya selain daripada itu. Hikmah lainnya adalah apabila seorang hamba telah menyerahkan urusannya kepada Rabbnya dan rida atas pilihan Allah untuk dirinya niscaya Allah akan membantunya menerima pilihan itu dengan menganugerahkan ketegaran, kebulatan tekad, dan kesabaran hati. Lalu, Allah akan menghindarkannya dari segala macam bencana yang mungkin terjadi apabila seorang hamba berpegang kepada pilihannya sendiri. Kemudian Allah akan memperlihatkan kepadanya dampak positif dari pilihan Allah bagi dirinya, yang tidak akan dicapai walaupun separuhnya jika ia menentukan pilihan hidupnya sendiri.”   Catatan: Maksud Ibnul Qayyim rahimahullah di atas dapat dilihat dari doa shalat istikharah berikut ini. اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ – ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA, WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA, WA AS-ALUKA MIN FADHLIKA, FA INNAKA TAQDIRU WA LAA AQDIRU, WA TA’LAMU WA LAA A’LAMU, WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUB. ALLAHUMMA FA-IN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRO (SEBUT NAMA URUSAN TERSEBUT) KHOIRON LII FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIH (AW FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII) FAQDUR LII, WA YASSIRHU LII, TSUMMA BAARIK LII FIIHI. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNAHU SYARRUN LII FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII (FII ‘AAJILI AMRI WA AAJILIH) FASH-RIFNII ‘ANHU, WAQDUR LIIL KHOIRO HAITSU KAANA TSUMMA RODH-DHINII BIH. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun rida dengannya. Baca juga: Inilah Panduan Shalat Istikharah    Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 204. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 175-176. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid faedah dari Ibnul Qayyim takdir takdir Allah takdir ilahi tawakal tawakkal
Kita tidak boleh memaksa Allah agar memenuhi pilihan kita. Tugas kita adalah pasrah dan tawakal pada apa yang Allah tetapkan. Karena pilihan Allah pasti terbaik untuk kita.   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid masih membicarakan ayat berikut,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan faedah lainnya dari ayat di atas, “Di antara hikmah yang terkandung di dalam ayat ini ialah jika seorang hamba menginginkan kesudahan yang baik dalam setiap urusannya, maka ia dituntut untuk menyerahkan segala urusannya kepada Allah Yang Maha Mengetahui akibat segala urusan, serta rida atas pilihan dan ketentuan Allah baginya.  Hikmah lainnya yang dikandung ayat ini ialah seorang hamba tidak berhak mengajukan usul kepada Rabbnya, tidak berhak mendikte Rabbnya agar memenuhi pilihannya dan tidak berhak memohon agar diberikan sesuatu yang dia sendiri tidak mengetahui bagaimana kesudahannya. Sebab, boleh jadi sesuatu yang dimintanya justru membahayakan dan membinasakannya karena ia tidak mengetahui akibat dan dampak negatifnya. Atas dasar itu, manusia sama sekali tidak boleh memaksa suatu pilihan kepada Rabbnya. Yang sebaiknya dilakukan adalah hendaknya ia memohon pilihan yang terbaik dari Allah dan meminta agar hatinya rida atas pilihan tersebut. Sebab, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi dirinya selain daripada itu. Hikmah lainnya adalah apabila seorang hamba telah menyerahkan urusannya kepada Rabbnya dan rida atas pilihan Allah untuk dirinya niscaya Allah akan membantunya menerima pilihan itu dengan menganugerahkan ketegaran, kebulatan tekad, dan kesabaran hati. Lalu, Allah akan menghindarkannya dari segala macam bencana yang mungkin terjadi apabila seorang hamba berpegang kepada pilihannya sendiri. Kemudian Allah akan memperlihatkan kepadanya dampak positif dari pilihan Allah bagi dirinya, yang tidak akan dicapai walaupun separuhnya jika ia menentukan pilihan hidupnya sendiri.”   Catatan: Maksud Ibnul Qayyim rahimahullah di atas dapat dilihat dari doa shalat istikharah berikut ini. اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ – ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA, WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA, WA AS-ALUKA MIN FADHLIKA, FA INNAKA TAQDIRU WA LAA AQDIRU, WA TA’LAMU WA LAA A’LAMU, WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUB. ALLAHUMMA FA-IN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRO (SEBUT NAMA URUSAN TERSEBUT) KHOIRON LII FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIH (AW FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII) FAQDUR LII, WA YASSIRHU LII, TSUMMA BAARIK LII FIIHI. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNAHU SYARRUN LII FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII (FII ‘AAJILI AMRI WA AAJILIH) FASH-RIFNII ‘ANHU, WAQDUR LIIL KHOIRO HAITSU KAANA TSUMMA RODH-DHINII BIH. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun rida dengannya. Baca juga: Inilah Panduan Shalat Istikharah    Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 204. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 175-176. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid faedah dari Ibnul Qayyim takdir takdir Allah takdir ilahi tawakal tawakkal


Kita tidak boleh memaksa Allah agar memenuhi pilihan kita. Tugas kita adalah pasrah dan tawakal pada apa yang Allah tetapkan. Karena pilihan Allah pasti terbaik untuk kita.   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid masih membicarakan ayat berikut,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!) Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan faedah lainnya dari ayat di atas, “Di antara hikmah yang terkandung di dalam ayat ini ialah jika seorang hamba menginginkan kesudahan yang baik dalam setiap urusannya, maka ia dituntut untuk menyerahkan segala urusannya kepada Allah Yang Maha Mengetahui akibat segala urusan, serta rida atas pilihan dan ketentuan Allah baginya.  Hikmah lainnya yang dikandung ayat ini ialah seorang hamba tidak berhak mengajukan usul kepada Rabbnya, tidak berhak mendikte Rabbnya agar memenuhi pilihannya dan tidak berhak memohon agar diberikan sesuatu yang dia sendiri tidak mengetahui bagaimana kesudahannya. Sebab, boleh jadi sesuatu yang dimintanya justru membahayakan dan membinasakannya karena ia tidak mengetahui akibat dan dampak negatifnya. Atas dasar itu, manusia sama sekali tidak boleh memaksa suatu pilihan kepada Rabbnya. Yang sebaiknya dilakukan adalah hendaknya ia memohon pilihan yang terbaik dari Allah dan meminta agar hatinya rida atas pilihan tersebut. Sebab, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi dirinya selain daripada itu. Hikmah lainnya adalah apabila seorang hamba telah menyerahkan urusannya kepada Rabbnya dan rida atas pilihan Allah untuk dirinya niscaya Allah akan membantunya menerima pilihan itu dengan menganugerahkan ketegaran, kebulatan tekad, dan kesabaran hati. Lalu, Allah akan menghindarkannya dari segala macam bencana yang mungkin terjadi apabila seorang hamba berpegang kepada pilihannya sendiri. Kemudian Allah akan memperlihatkan kepadanya dampak positif dari pilihan Allah bagi dirinya, yang tidak akan dicapai walaupun separuhnya jika ia menentukan pilihan hidupnya sendiri.”   Catatan: Maksud Ibnul Qayyim rahimahullah di atas dapat dilihat dari doa shalat istikharah berikut ini. اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ – ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA, WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA, WA AS-ALUKA MIN FADHLIKA, FA INNAKA TAQDIRU WA LAA AQDIRU, WA TA’LAMU WA LAA A’LAMU, WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUB. ALLAHUMMA FA-IN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRO (SEBUT NAMA URUSAN TERSEBUT) KHOIRON LII FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIH (AW FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII) FAQDUR LII, WA YASSIRHU LII, TSUMMA BAARIK LII FIIHI. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNAHU SYARRUN LII FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII (FII ‘AAJILI AMRI WA AAJILIH) FASH-RIFNII ‘ANHU, WAQDUR LIIL KHOIRO HAITSU KAANA TSUMMA RODH-DHINII BIH. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun rida dengannya. Baca juga: Inilah Panduan Shalat Istikharah    Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 204. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 175-176. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid faedah dari Ibnul Qayyim takdir takdir Allah takdir ilahi tawakal tawakkal

‘Urf dan Adat dalam Timbangan Syariat

Daftar Isi Toggle Pendahuluan‘Urf di antara dalil isti’nasiyah‘Urf secara perbuatan dan ucapan‘Urf dilihat dari ruang lingkup terbagi menjadi dua jenis‘Urf ‘am‘Urf khashSyarat-syarat ‘urf untuk digunakan sebagai hujahUrf bersifat universal atau menyeluruhHendaknya ‘urf tersebut banyak dilakukan oleh manusia‘Urf tersebut harus masih berlakuUrf bersifat suatu keharusanUrf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’iMenukar uang baru di hari raya dengan adanya tambahanBersalaman dan cipika-cipiki dengan yang bukan mahram Pendahuluan Menyoal tentang ‘urf atau tradisi adalah suatu hal yang tidak bisa lepas dari perkara syariat karena ‘urf termasuk pijakan dalam penetapan hukum islam. Di dalam ilmu ushul fiqih, ‘urf termasuk dalil-dalil isti’nasiyah. Yaitu, sebagai penyempurna dalil-dalil syar’i baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Makna dari isti’nas itu sendiri adalah dalil-dalil yang diambil oleh para ulama fikih dan ushul untuk mengantarkan kepada dalil-dalil syar’i dan juga untuk men-tarjih (memilih yang paling kuat) di antara beberapa pendapat yang berbeda. ‘Urf di antara dalil isti’nasiyah Dalil-dalil isti’nasiyah itu sendiri terbagi menjadi enam. Salah satu di antaranya adalah ‘urf atau adat. ‘Urf sendiri menurut para ulama adalah suatu hal yang telah ada dan menetap pada kebiasaan masyarakat dan dapat diterima dengan akal yang waras. Adapun adat adalah suatu hal yang berjalan terus menerus di antara masyarakat menurut persepsi mereka sehingga masyarakat terus mengulangi hal itu di kemudian hari. Dari sini, dapat kita ketahui tidak ada bedanya antara ‘urf dan adat.  Di antara dalil adanya ‘urf adalah firman Allah Ta’ala,  خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَـٰهِلِينَ “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf (‘urf), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al ‘Araf: 199)  ‘Urf secara perbuatan dan ucapan ‘Urf secara perbuatan seperti contohnya adalah praktik transaksi jual beli tanpa mengucapkan akad ijab kabul atau akad jual beli. Terkadang ada kalanya untuk transaksi hanya cukup dengan perbuatan seperti halnya ketika membeli garam dan gula. Pembeli mengambil barang yang diinginkan dan memberikan nominal sesuai harga barang. Penjual menyerahkan barang dan menerima sesuai nominal harga barang.  Adapun ‘urf secara ucapan adalah seperti kebiasaan masyarakat kita yang sering menggunakan kata “daging” sebagai alias dari daging sapi. Ketika ada seseorang yang mengucapkan, “Saya ingin membeli daging.” Maka, yang dipahami adalah daging sapi. Karena ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita.  ‘Urf dilihat dari ruang lingkup terbagi menjadi dua jenis ‘Urf ‘am Yaitu, suatu kebiasaan umum yang berlaku pada kebanyakan manusia di seluruh negara. Seperti contohnya transaksi jual beli rumah, maka sudah include (meliputi) seluruh apa saja yang ada di dalam rumah, baik pintu, keran, jendela, dan lain sebagainya. Begitu halnya transaksi jual beli mobil, tentu sudah termasuk dengan ban, perkakas, dan lain-lain. Atau contoh yang lebih dekat, ketika kita ingin menyewa atau menggunakan kamar mandi umum, tentu tidak ditakar berapa batas maksimal air yang harus digunakan dan berapa lama waktu penggunaannya.  ‘Urf khash Yaitu, suatu kebiasaan yang bersifat khusus. Seperti halnya penggunaan lafal salat. Pada asalnya, salat secara bahasa berarti doa. Namun, kebiasaan yang ada ketika disebutkan salat, maka maksudnya adalah setiap ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam. Yakni, ibadah salat. Hal ini dapat diterjemahkan dengan ucapan seseorang kepada anaknya, “Apakah engkau sudah salat?” Tentu ‘urf atau kebiasaan masyarakat kita akan menerjemahkan kalimat di atas dengan salat berupa ibadah yang ada padanya takbir, rukuk, iktidal, sujud, dan salam. Bukan diterjemahkan dengan arti doa. Baca juga: Batasan Israf (Berlebih-lebihan) adalah ‘Urf Syarat-syarat ‘urf untuk digunakan sebagai hujah Urf bersifat universal atau menyeluruh Yakni, kebiasaan tersebut banyak dilakukan oleh manusia. Bukan kebiasaan yang diperuntukkan hanya untuk golongan, ormas, maupun kelompok tertentu. Seperti contohnya kebiasaan dalam menikah. Di sebagian tempat, mahar diserahkan seluruhnya kepada calon suami. Di sebagian tempat yang lain, mahar ditentukan oleh pihak wali dari calon istri. Di sebagian lagi, ada yang menjadikan tanggungan tersebut kepada calon kedua mempelai. Demikianlah ‘urf.  Hendaknya ‘urf tersebut banyak dilakukan oleh manusia Sebagai penekanan untuk poin pertama, ‘urf hendaknya tidak hanya dilakukan oleh person tertentu saja. Namun, dilakukan oleh masyarakat luas, setidaknya telah menjadi kebiasaan sebagian besar populasi di negara ini. Sehingga, dari sini dapat difahami, bahwasanya ‘urf tidak boleh bertentangan dengan khalayak umum.  ‘Urf tersebut harus masih berlaku Artinya, ‘urf atau kebiasaan tersebut masih dianggap dan masih dilakukan di antara manusia. Karena ada sebagian ‘urf yang sudah kuno dan tidak terangkat dan tidak dilakukan lagi di antara masyarakat. Sehingga, di antara syaratnya, yaitu ‘urf tersebut harus masih berlaku di kalangan masyarakat saat ini. Di antara contoh ‘urf yang masih berlaku sampai pada saat ini adalah kebiasaan mudik di hari lebaran.  Urf bersifat suatu keharusan Di antara syaratnya, kebiasaan tersebut menjadi suatu keharusan dan kewajiban dalam pandangan masyarakat untuk dilakukan. Seperti halnya seorang suami yang menikah, maka ia harus menyiapkan tempat tinggal untuk istrinya. Hal ini kiranya tidak harus tertulis pada syarat sebelum menikah. Namun, masyarakat kita memandang menjadi suatu keharusan seorang suami memberikan tempat tinggal yang layak untuk istrinya.  Adapun seorang istri, hendaknya ia membantu suaminya dalam menyiapkan tempat tinggal untuknya. Jika istri tidak bisa, maka bukan menjadi suatu permasalahan. Karena ini merupakan kewajiban seorang suami. Demikianlah kebiasaan yang ada pada masyarakat kita.  Urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i Inilah di antara syarat yang sangat penting. Yaitu, ‘urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang ada baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jika bertentangan, maka tidak bisa dilakukan. Di antara kebiasaan yang bertentangan adalah: Menukar uang baru di hari raya dengan adanya tambahan Tentu tambahan yang ada merupakan riba. Dan riba telah Allah dan Rasul-Nya larang. Allah berfirman,  يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡڪُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَـٰفً۬ا مُّضَـٰعَفَةً۬‌ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran : 130)  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat, serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim no.2970.) Adapun uang yang sekarang itu sama halnya dengan emas di zaman dahulu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan emas sebagai alat tukar di zaman tersebut. Maka, tidak boleh untuk kita menukar uang baru dengan adanya tambahan. Jika ada tambahan, maka termasuk riba. Dan penukaran harus dalam bentuk tunai tidak boleh ada tenggang waktu ataupun utang dari salah satu pihak.  Bersalaman dan cipika-cipiki dengan yang bukan mahram Ini masih sangat banyak terjadi di masyarakat kita. Kebiasaan ini seolah menjadi hal yang lumrah. Seorang bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, bahkan wal’iyadzu billah sampai cipika-cipiki dengan wanita yang bukan mahram. Ketahuilah! Bahwa ditusuknya seseorang dengan besi yang panas, itu lebih baik daripada seseorang bersentuhan dengan yang bukan mahram! لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ “Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak besi, itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani)  Pada hadis di atas, disebutkan hanya sebatas menyentuh, lalu bagaimana jika sengaja bersalaman, cipika-cipiki, bahkan lebih dari itu? Tentu lebih diharamkan lagi.  Inilah di antara contoh-contoh dari sekian banyak contoh ‘urf ataupun kebiasaan yang bertentangan dengan syariat. Tentunya hal ini sudah semestinya kita hindari.  Ringkasnya, pada pembahasan kali ini, ‘urf merupakan di antara dalil-dalil penopang dalil-dalil syar’i. ‘Urf bisa diamalkan tentunya setelah terpenuhinya syarat-syarat di atas. Dipersilakan untuk mengamalkan kebiasaan yang ada di tengah masyarakat kita, tentunya dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah disebutkan.  Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala ’alam. Baca juga: Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil *** Depok, 28 Ramadan 1445 H / 8 April 2024  Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi : Diringkas dari pelajaran Syarah Al-Bidayah fi Ushul Fiqh oleh Syekh Dr. Ayman Musa hafidzahullah dengan sedikit tambahan. Tags: 'urfadat

‘Urf dan Adat dalam Timbangan Syariat

Daftar Isi Toggle Pendahuluan‘Urf di antara dalil isti’nasiyah‘Urf secara perbuatan dan ucapan‘Urf dilihat dari ruang lingkup terbagi menjadi dua jenis‘Urf ‘am‘Urf khashSyarat-syarat ‘urf untuk digunakan sebagai hujahUrf bersifat universal atau menyeluruhHendaknya ‘urf tersebut banyak dilakukan oleh manusia‘Urf tersebut harus masih berlakuUrf bersifat suatu keharusanUrf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’iMenukar uang baru di hari raya dengan adanya tambahanBersalaman dan cipika-cipiki dengan yang bukan mahram Pendahuluan Menyoal tentang ‘urf atau tradisi adalah suatu hal yang tidak bisa lepas dari perkara syariat karena ‘urf termasuk pijakan dalam penetapan hukum islam. Di dalam ilmu ushul fiqih, ‘urf termasuk dalil-dalil isti’nasiyah. Yaitu, sebagai penyempurna dalil-dalil syar’i baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Makna dari isti’nas itu sendiri adalah dalil-dalil yang diambil oleh para ulama fikih dan ushul untuk mengantarkan kepada dalil-dalil syar’i dan juga untuk men-tarjih (memilih yang paling kuat) di antara beberapa pendapat yang berbeda. ‘Urf di antara dalil isti’nasiyah Dalil-dalil isti’nasiyah itu sendiri terbagi menjadi enam. Salah satu di antaranya adalah ‘urf atau adat. ‘Urf sendiri menurut para ulama adalah suatu hal yang telah ada dan menetap pada kebiasaan masyarakat dan dapat diterima dengan akal yang waras. Adapun adat adalah suatu hal yang berjalan terus menerus di antara masyarakat menurut persepsi mereka sehingga masyarakat terus mengulangi hal itu di kemudian hari. Dari sini, dapat kita ketahui tidak ada bedanya antara ‘urf dan adat.  Di antara dalil adanya ‘urf adalah firman Allah Ta’ala,  خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَـٰهِلِينَ “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf (‘urf), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al ‘Araf: 199)  ‘Urf secara perbuatan dan ucapan ‘Urf secara perbuatan seperti contohnya adalah praktik transaksi jual beli tanpa mengucapkan akad ijab kabul atau akad jual beli. Terkadang ada kalanya untuk transaksi hanya cukup dengan perbuatan seperti halnya ketika membeli garam dan gula. Pembeli mengambil barang yang diinginkan dan memberikan nominal sesuai harga barang. Penjual menyerahkan barang dan menerima sesuai nominal harga barang.  Adapun ‘urf secara ucapan adalah seperti kebiasaan masyarakat kita yang sering menggunakan kata “daging” sebagai alias dari daging sapi. Ketika ada seseorang yang mengucapkan, “Saya ingin membeli daging.” Maka, yang dipahami adalah daging sapi. Karena ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita.  ‘Urf dilihat dari ruang lingkup terbagi menjadi dua jenis ‘Urf ‘am Yaitu, suatu kebiasaan umum yang berlaku pada kebanyakan manusia di seluruh negara. Seperti contohnya transaksi jual beli rumah, maka sudah include (meliputi) seluruh apa saja yang ada di dalam rumah, baik pintu, keran, jendela, dan lain sebagainya. Begitu halnya transaksi jual beli mobil, tentu sudah termasuk dengan ban, perkakas, dan lain-lain. Atau contoh yang lebih dekat, ketika kita ingin menyewa atau menggunakan kamar mandi umum, tentu tidak ditakar berapa batas maksimal air yang harus digunakan dan berapa lama waktu penggunaannya.  ‘Urf khash Yaitu, suatu kebiasaan yang bersifat khusus. Seperti halnya penggunaan lafal salat. Pada asalnya, salat secara bahasa berarti doa. Namun, kebiasaan yang ada ketika disebutkan salat, maka maksudnya adalah setiap ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam. Yakni, ibadah salat. Hal ini dapat diterjemahkan dengan ucapan seseorang kepada anaknya, “Apakah engkau sudah salat?” Tentu ‘urf atau kebiasaan masyarakat kita akan menerjemahkan kalimat di atas dengan salat berupa ibadah yang ada padanya takbir, rukuk, iktidal, sujud, dan salam. Bukan diterjemahkan dengan arti doa. Baca juga: Batasan Israf (Berlebih-lebihan) adalah ‘Urf Syarat-syarat ‘urf untuk digunakan sebagai hujah Urf bersifat universal atau menyeluruh Yakni, kebiasaan tersebut banyak dilakukan oleh manusia. Bukan kebiasaan yang diperuntukkan hanya untuk golongan, ormas, maupun kelompok tertentu. Seperti contohnya kebiasaan dalam menikah. Di sebagian tempat, mahar diserahkan seluruhnya kepada calon suami. Di sebagian tempat yang lain, mahar ditentukan oleh pihak wali dari calon istri. Di sebagian lagi, ada yang menjadikan tanggungan tersebut kepada calon kedua mempelai. Demikianlah ‘urf.  Hendaknya ‘urf tersebut banyak dilakukan oleh manusia Sebagai penekanan untuk poin pertama, ‘urf hendaknya tidak hanya dilakukan oleh person tertentu saja. Namun, dilakukan oleh masyarakat luas, setidaknya telah menjadi kebiasaan sebagian besar populasi di negara ini. Sehingga, dari sini dapat difahami, bahwasanya ‘urf tidak boleh bertentangan dengan khalayak umum.  ‘Urf tersebut harus masih berlaku Artinya, ‘urf atau kebiasaan tersebut masih dianggap dan masih dilakukan di antara manusia. Karena ada sebagian ‘urf yang sudah kuno dan tidak terangkat dan tidak dilakukan lagi di antara masyarakat. Sehingga, di antara syaratnya, yaitu ‘urf tersebut harus masih berlaku di kalangan masyarakat saat ini. Di antara contoh ‘urf yang masih berlaku sampai pada saat ini adalah kebiasaan mudik di hari lebaran.  Urf bersifat suatu keharusan Di antara syaratnya, kebiasaan tersebut menjadi suatu keharusan dan kewajiban dalam pandangan masyarakat untuk dilakukan. Seperti halnya seorang suami yang menikah, maka ia harus menyiapkan tempat tinggal untuk istrinya. Hal ini kiranya tidak harus tertulis pada syarat sebelum menikah. Namun, masyarakat kita memandang menjadi suatu keharusan seorang suami memberikan tempat tinggal yang layak untuk istrinya.  Adapun seorang istri, hendaknya ia membantu suaminya dalam menyiapkan tempat tinggal untuknya. Jika istri tidak bisa, maka bukan menjadi suatu permasalahan. Karena ini merupakan kewajiban seorang suami. Demikianlah kebiasaan yang ada pada masyarakat kita.  Urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i Inilah di antara syarat yang sangat penting. Yaitu, ‘urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang ada baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jika bertentangan, maka tidak bisa dilakukan. Di antara kebiasaan yang bertentangan adalah: Menukar uang baru di hari raya dengan adanya tambahan Tentu tambahan yang ada merupakan riba. Dan riba telah Allah dan Rasul-Nya larang. Allah berfirman,  يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡڪُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَـٰفً۬ا مُّضَـٰعَفَةً۬‌ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran : 130)  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat, serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim no.2970.) Adapun uang yang sekarang itu sama halnya dengan emas di zaman dahulu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan emas sebagai alat tukar di zaman tersebut. Maka, tidak boleh untuk kita menukar uang baru dengan adanya tambahan. Jika ada tambahan, maka termasuk riba. Dan penukaran harus dalam bentuk tunai tidak boleh ada tenggang waktu ataupun utang dari salah satu pihak.  Bersalaman dan cipika-cipiki dengan yang bukan mahram Ini masih sangat banyak terjadi di masyarakat kita. Kebiasaan ini seolah menjadi hal yang lumrah. Seorang bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, bahkan wal’iyadzu billah sampai cipika-cipiki dengan wanita yang bukan mahram. Ketahuilah! Bahwa ditusuknya seseorang dengan besi yang panas, itu lebih baik daripada seseorang bersentuhan dengan yang bukan mahram! لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ “Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak besi, itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani)  Pada hadis di atas, disebutkan hanya sebatas menyentuh, lalu bagaimana jika sengaja bersalaman, cipika-cipiki, bahkan lebih dari itu? Tentu lebih diharamkan lagi.  Inilah di antara contoh-contoh dari sekian banyak contoh ‘urf ataupun kebiasaan yang bertentangan dengan syariat. Tentunya hal ini sudah semestinya kita hindari.  Ringkasnya, pada pembahasan kali ini, ‘urf merupakan di antara dalil-dalil penopang dalil-dalil syar’i. ‘Urf bisa diamalkan tentunya setelah terpenuhinya syarat-syarat di atas. Dipersilakan untuk mengamalkan kebiasaan yang ada di tengah masyarakat kita, tentunya dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah disebutkan.  Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala ’alam. Baca juga: Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil *** Depok, 28 Ramadan 1445 H / 8 April 2024  Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi : Diringkas dari pelajaran Syarah Al-Bidayah fi Ushul Fiqh oleh Syekh Dr. Ayman Musa hafidzahullah dengan sedikit tambahan. Tags: 'urfadat
Daftar Isi Toggle Pendahuluan‘Urf di antara dalil isti’nasiyah‘Urf secara perbuatan dan ucapan‘Urf dilihat dari ruang lingkup terbagi menjadi dua jenis‘Urf ‘am‘Urf khashSyarat-syarat ‘urf untuk digunakan sebagai hujahUrf bersifat universal atau menyeluruhHendaknya ‘urf tersebut banyak dilakukan oleh manusia‘Urf tersebut harus masih berlakuUrf bersifat suatu keharusanUrf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’iMenukar uang baru di hari raya dengan adanya tambahanBersalaman dan cipika-cipiki dengan yang bukan mahram Pendahuluan Menyoal tentang ‘urf atau tradisi adalah suatu hal yang tidak bisa lepas dari perkara syariat karena ‘urf termasuk pijakan dalam penetapan hukum islam. Di dalam ilmu ushul fiqih, ‘urf termasuk dalil-dalil isti’nasiyah. Yaitu, sebagai penyempurna dalil-dalil syar’i baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Makna dari isti’nas itu sendiri adalah dalil-dalil yang diambil oleh para ulama fikih dan ushul untuk mengantarkan kepada dalil-dalil syar’i dan juga untuk men-tarjih (memilih yang paling kuat) di antara beberapa pendapat yang berbeda. ‘Urf di antara dalil isti’nasiyah Dalil-dalil isti’nasiyah itu sendiri terbagi menjadi enam. Salah satu di antaranya adalah ‘urf atau adat. ‘Urf sendiri menurut para ulama adalah suatu hal yang telah ada dan menetap pada kebiasaan masyarakat dan dapat diterima dengan akal yang waras. Adapun adat adalah suatu hal yang berjalan terus menerus di antara masyarakat menurut persepsi mereka sehingga masyarakat terus mengulangi hal itu di kemudian hari. Dari sini, dapat kita ketahui tidak ada bedanya antara ‘urf dan adat.  Di antara dalil adanya ‘urf adalah firman Allah Ta’ala,  خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَـٰهِلِينَ “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf (‘urf), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al ‘Araf: 199)  ‘Urf secara perbuatan dan ucapan ‘Urf secara perbuatan seperti contohnya adalah praktik transaksi jual beli tanpa mengucapkan akad ijab kabul atau akad jual beli. Terkadang ada kalanya untuk transaksi hanya cukup dengan perbuatan seperti halnya ketika membeli garam dan gula. Pembeli mengambil barang yang diinginkan dan memberikan nominal sesuai harga barang. Penjual menyerahkan barang dan menerima sesuai nominal harga barang.  Adapun ‘urf secara ucapan adalah seperti kebiasaan masyarakat kita yang sering menggunakan kata “daging” sebagai alias dari daging sapi. Ketika ada seseorang yang mengucapkan, “Saya ingin membeli daging.” Maka, yang dipahami adalah daging sapi. Karena ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita.  ‘Urf dilihat dari ruang lingkup terbagi menjadi dua jenis ‘Urf ‘am Yaitu, suatu kebiasaan umum yang berlaku pada kebanyakan manusia di seluruh negara. Seperti contohnya transaksi jual beli rumah, maka sudah include (meliputi) seluruh apa saja yang ada di dalam rumah, baik pintu, keran, jendela, dan lain sebagainya. Begitu halnya transaksi jual beli mobil, tentu sudah termasuk dengan ban, perkakas, dan lain-lain. Atau contoh yang lebih dekat, ketika kita ingin menyewa atau menggunakan kamar mandi umum, tentu tidak ditakar berapa batas maksimal air yang harus digunakan dan berapa lama waktu penggunaannya.  ‘Urf khash Yaitu, suatu kebiasaan yang bersifat khusus. Seperti halnya penggunaan lafal salat. Pada asalnya, salat secara bahasa berarti doa. Namun, kebiasaan yang ada ketika disebutkan salat, maka maksudnya adalah setiap ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam. Yakni, ibadah salat. Hal ini dapat diterjemahkan dengan ucapan seseorang kepada anaknya, “Apakah engkau sudah salat?” Tentu ‘urf atau kebiasaan masyarakat kita akan menerjemahkan kalimat di atas dengan salat berupa ibadah yang ada padanya takbir, rukuk, iktidal, sujud, dan salam. Bukan diterjemahkan dengan arti doa. Baca juga: Batasan Israf (Berlebih-lebihan) adalah ‘Urf Syarat-syarat ‘urf untuk digunakan sebagai hujah Urf bersifat universal atau menyeluruh Yakni, kebiasaan tersebut banyak dilakukan oleh manusia. Bukan kebiasaan yang diperuntukkan hanya untuk golongan, ormas, maupun kelompok tertentu. Seperti contohnya kebiasaan dalam menikah. Di sebagian tempat, mahar diserahkan seluruhnya kepada calon suami. Di sebagian tempat yang lain, mahar ditentukan oleh pihak wali dari calon istri. Di sebagian lagi, ada yang menjadikan tanggungan tersebut kepada calon kedua mempelai. Demikianlah ‘urf.  Hendaknya ‘urf tersebut banyak dilakukan oleh manusia Sebagai penekanan untuk poin pertama, ‘urf hendaknya tidak hanya dilakukan oleh person tertentu saja. Namun, dilakukan oleh masyarakat luas, setidaknya telah menjadi kebiasaan sebagian besar populasi di negara ini. Sehingga, dari sini dapat difahami, bahwasanya ‘urf tidak boleh bertentangan dengan khalayak umum.  ‘Urf tersebut harus masih berlaku Artinya, ‘urf atau kebiasaan tersebut masih dianggap dan masih dilakukan di antara manusia. Karena ada sebagian ‘urf yang sudah kuno dan tidak terangkat dan tidak dilakukan lagi di antara masyarakat. Sehingga, di antara syaratnya, yaitu ‘urf tersebut harus masih berlaku di kalangan masyarakat saat ini. Di antara contoh ‘urf yang masih berlaku sampai pada saat ini adalah kebiasaan mudik di hari lebaran.  Urf bersifat suatu keharusan Di antara syaratnya, kebiasaan tersebut menjadi suatu keharusan dan kewajiban dalam pandangan masyarakat untuk dilakukan. Seperti halnya seorang suami yang menikah, maka ia harus menyiapkan tempat tinggal untuk istrinya. Hal ini kiranya tidak harus tertulis pada syarat sebelum menikah. Namun, masyarakat kita memandang menjadi suatu keharusan seorang suami memberikan tempat tinggal yang layak untuk istrinya.  Adapun seorang istri, hendaknya ia membantu suaminya dalam menyiapkan tempat tinggal untuknya. Jika istri tidak bisa, maka bukan menjadi suatu permasalahan. Karena ini merupakan kewajiban seorang suami. Demikianlah kebiasaan yang ada pada masyarakat kita.  Urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i Inilah di antara syarat yang sangat penting. Yaitu, ‘urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang ada baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jika bertentangan, maka tidak bisa dilakukan. Di antara kebiasaan yang bertentangan adalah: Menukar uang baru di hari raya dengan adanya tambahan Tentu tambahan yang ada merupakan riba. Dan riba telah Allah dan Rasul-Nya larang. Allah berfirman,  يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡڪُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَـٰفً۬ا مُّضَـٰعَفَةً۬‌ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran : 130)  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat, serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim no.2970.) Adapun uang yang sekarang itu sama halnya dengan emas di zaman dahulu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan emas sebagai alat tukar di zaman tersebut. Maka, tidak boleh untuk kita menukar uang baru dengan adanya tambahan. Jika ada tambahan, maka termasuk riba. Dan penukaran harus dalam bentuk tunai tidak boleh ada tenggang waktu ataupun utang dari salah satu pihak.  Bersalaman dan cipika-cipiki dengan yang bukan mahram Ini masih sangat banyak terjadi di masyarakat kita. Kebiasaan ini seolah menjadi hal yang lumrah. Seorang bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, bahkan wal’iyadzu billah sampai cipika-cipiki dengan wanita yang bukan mahram. Ketahuilah! Bahwa ditusuknya seseorang dengan besi yang panas, itu lebih baik daripada seseorang bersentuhan dengan yang bukan mahram! لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ “Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak besi, itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani)  Pada hadis di atas, disebutkan hanya sebatas menyentuh, lalu bagaimana jika sengaja bersalaman, cipika-cipiki, bahkan lebih dari itu? Tentu lebih diharamkan lagi.  Inilah di antara contoh-contoh dari sekian banyak contoh ‘urf ataupun kebiasaan yang bertentangan dengan syariat. Tentunya hal ini sudah semestinya kita hindari.  Ringkasnya, pada pembahasan kali ini, ‘urf merupakan di antara dalil-dalil penopang dalil-dalil syar’i. ‘Urf bisa diamalkan tentunya setelah terpenuhinya syarat-syarat di atas. Dipersilakan untuk mengamalkan kebiasaan yang ada di tengah masyarakat kita, tentunya dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah disebutkan.  Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala ’alam. Baca juga: Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil *** Depok, 28 Ramadan 1445 H / 8 April 2024  Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi : Diringkas dari pelajaran Syarah Al-Bidayah fi Ushul Fiqh oleh Syekh Dr. Ayman Musa hafidzahullah dengan sedikit tambahan. Tags: 'urfadat


Daftar Isi Toggle Pendahuluan‘Urf di antara dalil isti’nasiyah‘Urf secara perbuatan dan ucapan‘Urf dilihat dari ruang lingkup terbagi menjadi dua jenis‘Urf ‘am‘Urf khashSyarat-syarat ‘urf untuk digunakan sebagai hujahUrf bersifat universal atau menyeluruhHendaknya ‘urf tersebut banyak dilakukan oleh manusia‘Urf tersebut harus masih berlakuUrf bersifat suatu keharusanUrf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’iMenukar uang baru di hari raya dengan adanya tambahanBersalaman dan cipika-cipiki dengan yang bukan mahram Pendahuluan Menyoal tentang ‘urf atau tradisi adalah suatu hal yang tidak bisa lepas dari perkara syariat karena ‘urf termasuk pijakan dalam penetapan hukum islam. Di dalam ilmu ushul fiqih, ‘urf termasuk dalil-dalil isti’nasiyah. Yaitu, sebagai penyempurna dalil-dalil syar’i baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Makna dari isti’nas itu sendiri adalah dalil-dalil yang diambil oleh para ulama fikih dan ushul untuk mengantarkan kepada dalil-dalil syar’i dan juga untuk men-tarjih (memilih yang paling kuat) di antara beberapa pendapat yang berbeda. ‘Urf di antara dalil isti’nasiyah Dalil-dalil isti’nasiyah itu sendiri terbagi menjadi enam. Salah satu di antaranya adalah ‘urf atau adat. ‘Urf sendiri menurut para ulama adalah suatu hal yang telah ada dan menetap pada kebiasaan masyarakat dan dapat diterima dengan akal yang waras. Adapun adat adalah suatu hal yang berjalan terus menerus di antara masyarakat menurut persepsi mereka sehingga masyarakat terus mengulangi hal itu di kemudian hari. Dari sini, dapat kita ketahui tidak ada bedanya antara ‘urf dan adat.  Di antara dalil adanya ‘urf adalah firman Allah Ta’ala,  خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَـٰهِلِينَ “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf (‘urf), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al ‘Araf: 199)  ‘Urf secara perbuatan dan ucapan ‘Urf secara perbuatan seperti contohnya adalah praktik transaksi jual beli tanpa mengucapkan akad ijab kabul atau akad jual beli. Terkadang ada kalanya untuk transaksi hanya cukup dengan perbuatan seperti halnya ketika membeli garam dan gula. Pembeli mengambil barang yang diinginkan dan memberikan nominal sesuai harga barang. Penjual menyerahkan barang dan menerima sesuai nominal harga barang.  Adapun ‘urf secara ucapan adalah seperti kebiasaan masyarakat kita yang sering menggunakan kata “daging” sebagai alias dari daging sapi. Ketika ada seseorang yang mengucapkan, “Saya ingin membeli daging.” Maka, yang dipahami adalah daging sapi. Karena ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita.  ‘Urf dilihat dari ruang lingkup terbagi menjadi dua jenis ‘Urf ‘am Yaitu, suatu kebiasaan umum yang berlaku pada kebanyakan manusia di seluruh negara. Seperti contohnya transaksi jual beli rumah, maka sudah include (meliputi) seluruh apa saja yang ada di dalam rumah, baik pintu, keran, jendela, dan lain sebagainya. Begitu halnya transaksi jual beli mobil, tentu sudah termasuk dengan ban, perkakas, dan lain-lain. Atau contoh yang lebih dekat, ketika kita ingin menyewa atau menggunakan kamar mandi umum, tentu tidak ditakar berapa batas maksimal air yang harus digunakan dan berapa lama waktu penggunaannya.  ‘Urf khash Yaitu, suatu kebiasaan yang bersifat khusus. Seperti halnya penggunaan lafal salat. Pada asalnya, salat secara bahasa berarti doa. Namun, kebiasaan yang ada ketika disebutkan salat, maka maksudnya adalah setiap ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam. Yakni, ibadah salat. Hal ini dapat diterjemahkan dengan ucapan seseorang kepada anaknya, “Apakah engkau sudah salat?” Tentu ‘urf atau kebiasaan masyarakat kita akan menerjemahkan kalimat di atas dengan salat berupa ibadah yang ada padanya takbir, rukuk, iktidal, sujud, dan salam. Bukan diterjemahkan dengan arti doa. Baca juga: Batasan Israf (Berlebih-lebihan) adalah ‘Urf Syarat-syarat ‘urf untuk digunakan sebagai hujah Urf bersifat universal atau menyeluruh Yakni, kebiasaan tersebut banyak dilakukan oleh manusia. Bukan kebiasaan yang diperuntukkan hanya untuk golongan, ormas, maupun kelompok tertentu. Seperti contohnya kebiasaan dalam menikah. Di sebagian tempat, mahar diserahkan seluruhnya kepada calon suami. Di sebagian tempat yang lain, mahar ditentukan oleh pihak wali dari calon istri. Di sebagian lagi, ada yang menjadikan tanggungan tersebut kepada calon kedua mempelai. Demikianlah ‘urf.  Hendaknya ‘urf tersebut banyak dilakukan oleh manusia Sebagai penekanan untuk poin pertama, ‘urf hendaknya tidak hanya dilakukan oleh person tertentu saja. Namun, dilakukan oleh masyarakat luas, setidaknya telah menjadi kebiasaan sebagian besar populasi di negara ini. Sehingga, dari sini dapat difahami, bahwasanya ‘urf tidak boleh bertentangan dengan khalayak umum.  ‘Urf tersebut harus masih berlaku Artinya, ‘urf atau kebiasaan tersebut masih dianggap dan masih dilakukan di antara manusia. Karena ada sebagian ‘urf yang sudah kuno dan tidak terangkat dan tidak dilakukan lagi di antara masyarakat. Sehingga, di antara syaratnya, yaitu ‘urf tersebut harus masih berlaku di kalangan masyarakat saat ini. Di antara contoh ‘urf yang masih berlaku sampai pada saat ini adalah kebiasaan mudik di hari lebaran.  Urf bersifat suatu keharusan Di antara syaratnya, kebiasaan tersebut menjadi suatu keharusan dan kewajiban dalam pandangan masyarakat untuk dilakukan. Seperti halnya seorang suami yang menikah, maka ia harus menyiapkan tempat tinggal untuk istrinya. Hal ini kiranya tidak harus tertulis pada syarat sebelum menikah. Namun, masyarakat kita memandang menjadi suatu keharusan seorang suami memberikan tempat tinggal yang layak untuk istrinya.  Adapun seorang istri, hendaknya ia membantu suaminya dalam menyiapkan tempat tinggal untuknya. Jika istri tidak bisa, maka bukan menjadi suatu permasalahan. Karena ini merupakan kewajiban seorang suami. Demikianlah kebiasaan yang ada pada masyarakat kita.  Urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i Inilah di antara syarat yang sangat penting. Yaitu, ‘urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang ada baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jika bertentangan, maka tidak bisa dilakukan. Di antara kebiasaan yang bertentangan adalah: Menukar uang baru di hari raya dengan adanya tambahan Tentu tambahan yang ada merupakan riba. Dan riba telah Allah dan Rasul-Nya larang. Allah berfirman,  يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡڪُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَـٰفً۬ا مُّضَـٰعَفَةً۬‌ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran : 130)  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat, serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim no.2970.) Adapun uang yang sekarang itu sama halnya dengan emas di zaman dahulu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan emas sebagai alat tukar di zaman tersebut. Maka, tidak boleh untuk kita menukar uang baru dengan adanya tambahan. Jika ada tambahan, maka termasuk riba. Dan penukaran harus dalam bentuk tunai tidak boleh ada tenggang waktu ataupun utang dari salah satu pihak.  Bersalaman dan cipika-cipiki dengan yang bukan mahram Ini masih sangat banyak terjadi di masyarakat kita. Kebiasaan ini seolah menjadi hal yang lumrah. Seorang bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, bahkan wal’iyadzu billah sampai cipika-cipiki dengan wanita yang bukan mahram. Ketahuilah! Bahwa ditusuknya seseorang dengan besi yang panas, itu lebih baik daripada seseorang bersentuhan dengan yang bukan mahram! لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ “Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak besi, itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani)  Pada hadis di atas, disebutkan hanya sebatas menyentuh, lalu bagaimana jika sengaja bersalaman, cipika-cipiki, bahkan lebih dari itu? Tentu lebih diharamkan lagi.  Inilah di antara contoh-contoh dari sekian banyak contoh ‘urf ataupun kebiasaan yang bertentangan dengan syariat. Tentunya hal ini sudah semestinya kita hindari.  Ringkasnya, pada pembahasan kali ini, ‘urf merupakan di antara dalil-dalil penopang dalil-dalil syar’i. ‘Urf bisa diamalkan tentunya setelah terpenuhinya syarat-syarat di atas. Dipersilakan untuk mengamalkan kebiasaan yang ada di tengah masyarakat kita, tentunya dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah disebutkan.  Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala ’alam. Baca juga: Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil *** Depok, 28 Ramadan 1445 H / 8 April 2024  Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi : Diringkas dari pelajaran Syarah Al-Bidayah fi Ushul Fiqh oleh Syekh Dr. Ayman Musa hafidzahullah dengan sedikit tambahan. Tags: 'urfadat

Melaksanakan Perintah Allah itu Bagaikan Obat Pahit, Tetapi …

Orang cerdas itu ia memandang perintah Allah bagaikan obat yang pahit, tetapi menyehatkan dan dapat menyembuhkan penyakit.   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid masih membicarakan ayat berikut,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!)   Melaksanakan Perintah Allah Meskipun Berat Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan faedah dari ayat di atas, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada melaksanakan perintah Allah, meski hal itu terasa berat bagi dirinya. Sebab, buah dari semua pelaksanaan perintah atau kewajiban pasti berupa kebaikan, kebahagiaan, kenikmatan, dan kegembiraan. Kendati jiwa manusia pada dasarnya tidak suka melaksanakan perintah, tetapi sebenarnya melaksanakan perintah itu merupakan kebaikan baginya dan mengandung perkara yang sangat bermanfaat bagi kehidupannya. Begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang lebih membahayakan seorang hamba daripada melanggar larangan Allah, meski inilah yang disenangi dan disukai hawa nafsunya. Sebab, akibat dari semua pelanggaran adalah kepedihan, kesedihan, keburukan, dan musibah. Sementara akal sehat menuntut kesabaran dalam menghadapi sedikit penderitaan, demi memperoleh kenikmatan yang besar dan kebaikan yang melimpah. Akal pun mengajurkan untuk menjauhi sedikit kenikmatan, demi menghindari penderitaan yang besar dan keburukan yang berkepanjangan. Sayangnya, pandangan orang jahil tidak akan mampu menembus hikmah di balik peristiwa. Sedangkan pandangan orang yang cerdas selalu bisa menembus hikmah yang tersembunyi di balik peristiwa, sejak pertama kali peristiwa itu terjadi. Karena sejak awal, ia sudah bisa mengintip hikmah tersebut dari balik tabir peristiwa, apakah hikmah itu berupa kebaikan atau pun berupa keburukan. Ia melihat bahwa larangan Allah tak ubahnya makanan lezat, tetapi mengandung racun mematikan. Setiap kali kelezatan makanan itu menggugah seleranya, setiap itu pula keberadaan racun di dalamnya mencegah untuk memakannya. Di sisi lain, ia memandang perintah Allah bagaikan obat yang pahit, tetapi menyehatkan dan dapat menyembuhkan penyakit. Setiap kali rasa tak enak terbayangkan olehnya dan menghalanginya untuk meminum obat tersebut, setiap itu pula harapan kesembuhan mendorongnya dengan kuat untuk meminumnya. Namun, hal tersebut membutuhkan ilmu yang bisa membuat seseorang mengetahui hikmah di balik peristiwa. Selain itu, juga dibutuhkan kesabaran yang menguatkan jiwanya untuk menempuh jalan yang sulit nan terjal, demi menggapai cita-cita di akhir perjalanan. Apabila seseorang tidak mempunyai keyakinan dan kesabaran, niscaya ia tidak akan mencapai tujuan itu. Namun, jika keyakinan dan kesabarannya kuat, mudah baginya menanggung segala kesulitan dalam meraih kebaikan dan kesenangan abadi.”   Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 203-204. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 174-175. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid faedah dari Ibnul Qayyim obat hati perintah Allah perintah shalat takdir takdir Allah takdir ilahi

Melaksanakan Perintah Allah itu Bagaikan Obat Pahit, Tetapi …

Orang cerdas itu ia memandang perintah Allah bagaikan obat yang pahit, tetapi menyehatkan dan dapat menyembuhkan penyakit.   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid masih membicarakan ayat berikut,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!)   Melaksanakan Perintah Allah Meskipun Berat Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan faedah dari ayat di atas, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada melaksanakan perintah Allah, meski hal itu terasa berat bagi dirinya. Sebab, buah dari semua pelaksanaan perintah atau kewajiban pasti berupa kebaikan, kebahagiaan, kenikmatan, dan kegembiraan. Kendati jiwa manusia pada dasarnya tidak suka melaksanakan perintah, tetapi sebenarnya melaksanakan perintah itu merupakan kebaikan baginya dan mengandung perkara yang sangat bermanfaat bagi kehidupannya. Begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang lebih membahayakan seorang hamba daripada melanggar larangan Allah, meski inilah yang disenangi dan disukai hawa nafsunya. Sebab, akibat dari semua pelanggaran adalah kepedihan, kesedihan, keburukan, dan musibah. Sementara akal sehat menuntut kesabaran dalam menghadapi sedikit penderitaan, demi memperoleh kenikmatan yang besar dan kebaikan yang melimpah. Akal pun mengajurkan untuk menjauhi sedikit kenikmatan, demi menghindari penderitaan yang besar dan keburukan yang berkepanjangan. Sayangnya, pandangan orang jahil tidak akan mampu menembus hikmah di balik peristiwa. Sedangkan pandangan orang yang cerdas selalu bisa menembus hikmah yang tersembunyi di balik peristiwa, sejak pertama kali peristiwa itu terjadi. Karena sejak awal, ia sudah bisa mengintip hikmah tersebut dari balik tabir peristiwa, apakah hikmah itu berupa kebaikan atau pun berupa keburukan. Ia melihat bahwa larangan Allah tak ubahnya makanan lezat, tetapi mengandung racun mematikan. Setiap kali kelezatan makanan itu menggugah seleranya, setiap itu pula keberadaan racun di dalamnya mencegah untuk memakannya. Di sisi lain, ia memandang perintah Allah bagaikan obat yang pahit, tetapi menyehatkan dan dapat menyembuhkan penyakit. Setiap kali rasa tak enak terbayangkan olehnya dan menghalanginya untuk meminum obat tersebut, setiap itu pula harapan kesembuhan mendorongnya dengan kuat untuk meminumnya. Namun, hal tersebut membutuhkan ilmu yang bisa membuat seseorang mengetahui hikmah di balik peristiwa. Selain itu, juga dibutuhkan kesabaran yang menguatkan jiwanya untuk menempuh jalan yang sulit nan terjal, demi menggapai cita-cita di akhir perjalanan. Apabila seseorang tidak mempunyai keyakinan dan kesabaran, niscaya ia tidak akan mencapai tujuan itu. Namun, jika keyakinan dan kesabarannya kuat, mudah baginya menanggung segala kesulitan dalam meraih kebaikan dan kesenangan abadi.”   Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 203-204. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 174-175. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid faedah dari Ibnul Qayyim obat hati perintah Allah perintah shalat takdir takdir Allah takdir ilahi
Orang cerdas itu ia memandang perintah Allah bagaikan obat yang pahit, tetapi menyehatkan dan dapat menyembuhkan penyakit.   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid masih membicarakan ayat berikut,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!)   Melaksanakan Perintah Allah Meskipun Berat Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan faedah dari ayat di atas, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada melaksanakan perintah Allah, meski hal itu terasa berat bagi dirinya. Sebab, buah dari semua pelaksanaan perintah atau kewajiban pasti berupa kebaikan, kebahagiaan, kenikmatan, dan kegembiraan. Kendati jiwa manusia pada dasarnya tidak suka melaksanakan perintah, tetapi sebenarnya melaksanakan perintah itu merupakan kebaikan baginya dan mengandung perkara yang sangat bermanfaat bagi kehidupannya. Begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang lebih membahayakan seorang hamba daripada melanggar larangan Allah, meski inilah yang disenangi dan disukai hawa nafsunya. Sebab, akibat dari semua pelanggaran adalah kepedihan, kesedihan, keburukan, dan musibah. Sementara akal sehat menuntut kesabaran dalam menghadapi sedikit penderitaan, demi memperoleh kenikmatan yang besar dan kebaikan yang melimpah. Akal pun mengajurkan untuk menjauhi sedikit kenikmatan, demi menghindari penderitaan yang besar dan keburukan yang berkepanjangan. Sayangnya, pandangan orang jahil tidak akan mampu menembus hikmah di balik peristiwa. Sedangkan pandangan orang yang cerdas selalu bisa menembus hikmah yang tersembunyi di balik peristiwa, sejak pertama kali peristiwa itu terjadi. Karena sejak awal, ia sudah bisa mengintip hikmah tersebut dari balik tabir peristiwa, apakah hikmah itu berupa kebaikan atau pun berupa keburukan. Ia melihat bahwa larangan Allah tak ubahnya makanan lezat, tetapi mengandung racun mematikan. Setiap kali kelezatan makanan itu menggugah seleranya, setiap itu pula keberadaan racun di dalamnya mencegah untuk memakannya. Di sisi lain, ia memandang perintah Allah bagaikan obat yang pahit, tetapi menyehatkan dan dapat menyembuhkan penyakit. Setiap kali rasa tak enak terbayangkan olehnya dan menghalanginya untuk meminum obat tersebut, setiap itu pula harapan kesembuhan mendorongnya dengan kuat untuk meminumnya. Namun, hal tersebut membutuhkan ilmu yang bisa membuat seseorang mengetahui hikmah di balik peristiwa. Selain itu, juga dibutuhkan kesabaran yang menguatkan jiwanya untuk menempuh jalan yang sulit nan terjal, demi menggapai cita-cita di akhir perjalanan. Apabila seseorang tidak mempunyai keyakinan dan kesabaran, niscaya ia tidak akan mencapai tujuan itu. Namun, jika keyakinan dan kesabarannya kuat, mudah baginya menanggung segala kesulitan dalam meraih kebaikan dan kesenangan abadi.”   Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 203-204. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 174-175. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid faedah dari Ibnul Qayyim obat hati perintah Allah perintah shalat takdir takdir Allah takdir ilahi


Orang cerdas itu ia memandang perintah Allah bagaikan obat yang pahit, tetapi menyehatkan dan dapat menyembuhkan penyakit.   Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid masih membicarakan ayat berikut,  ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)   Baca juga: Yang Nilai Baik dan Buruk adalah Allah, Bukan dari Manusia (Pahami Takdir Allah Selalu Indah!)   Melaksanakan Perintah Allah Meskipun Berat Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan faedah dari ayat di atas, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada melaksanakan perintah Allah, meski hal itu terasa berat bagi dirinya. Sebab, buah dari semua pelaksanaan perintah atau kewajiban pasti berupa kebaikan, kebahagiaan, kenikmatan, dan kegembiraan. Kendati jiwa manusia pada dasarnya tidak suka melaksanakan perintah, tetapi sebenarnya melaksanakan perintah itu merupakan kebaikan baginya dan mengandung perkara yang sangat bermanfaat bagi kehidupannya. Begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang lebih membahayakan seorang hamba daripada melanggar larangan Allah, meski inilah yang disenangi dan disukai hawa nafsunya. Sebab, akibat dari semua pelanggaran adalah kepedihan, kesedihan, keburukan, dan musibah. Sementara akal sehat menuntut kesabaran dalam menghadapi sedikit penderitaan, demi memperoleh kenikmatan yang besar dan kebaikan yang melimpah. Akal pun mengajurkan untuk menjauhi sedikit kenikmatan, demi menghindari penderitaan yang besar dan keburukan yang berkepanjangan. Sayangnya, pandangan orang jahil tidak akan mampu menembus hikmah di balik peristiwa. Sedangkan pandangan orang yang cerdas selalu bisa menembus hikmah yang tersembunyi di balik peristiwa, sejak pertama kali peristiwa itu terjadi. Karena sejak awal, ia sudah bisa mengintip hikmah tersebut dari balik tabir peristiwa, apakah hikmah itu berupa kebaikan atau pun berupa keburukan. Ia melihat bahwa larangan Allah tak ubahnya makanan lezat, tetapi mengandung racun mematikan. Setiap kali kelezatan makanan itu menggugah seleranya, setiap itu pula keberadaan racun di dalamnya mencegah untuk memakannya. Di sisi lain, ia memandang perintah Allah bagaikan obat yang pahit, tetapi menyehatkan dan dapat menyembuhkan penyakit. Setiap kali rasa tak enak terbayangkan olehnya dan menghalanginya untuk meminum obat tersebut, setiap itu pula harapan kesembuhan mendorongnya dengan kuat untuk meminumnya. Namun, hal tersebut membutuhkan ilmu yang bisa membuat seseorang mengetahui hikmah di balik peristiwa. Selain itu, juga dibutuhkan kesabaran yang menguatkan jiwanya untuk menempuh jalan yang sulit nan terjal, demi menggapai cita-cita di akhir perjalanan. Apabila seseorang tidak mempunyai keyakinan dan kesabaran, niscaya ia tidak akan mencapai tujuan itu. Namun, jika keyakinan dan kesabarannya kuat, mudah baginya menanggung segala kesulitan dalam meraih kebaikan dan kesenangan abadi.”   Referensi: Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 203-204. Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 174-175. – Pesan buku “TAKDIR ALLAH SELALU BAIK” di Rumaysho Store 085200171222 atau 082136267701, ada juga di shopee Rumayshostore1 dan tokopedia Rumayshostore.   —   Sabtu pagi, 11 Syawal 1445 H, 20 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal fawaid faedah dari Ibnul Qayyim obat hati perintah Allah perintah shalat takdir takdir Allah takdir ilahi

Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Alasan ketiga: Akidah yang jelas dan selaras dengan akal dan fitrahSifat akidah Islam: Sesuai akal dan fitrah manusiaStandar kelayakan disebut TuhanPenutup Alasan ketiga: Akidah yang jelas dan selaras dengan akal dan fitrah Konsep ketuhanan dalam Islam adalah konsep ketuhanan yang  logis dan sesuai fitrah, berbeda dengan agama-agama lainnya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen mengklaim bahwa mereka mempercayai agama monoteisme yang mempercayai keesaan Tuhan, tetapi dalam praktiknya, mereka menyekutukan Allah dalam berbagai bentuk dan memberikan sifat-sifat yang tidak layak kepada Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Sebagai contoh, dalam Taurat yang telah mereka ubah, disebutkan bahwa Allah mencari-cari Adam saat ia bersembunyi setelah makan buah, lalu Allah memanggilnya. Berikut ayatnya: “Ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan istrinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi, Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya, ‘Di manakah engkau?’” (Kejadian 3, ayat 8-9.) Pada ayat di atas, Tuhan disifatkan dengan berjalan di dalam taman dan tidak mengetahui posisi hamba-Nya sehingga harus bertanya, ‘Di manakah engkau?’ Subhanallah, Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Sedangkan konsep ketuhanan agama Kristen yang dianut mayoritas umatnya tidak kalah absurd, yaitu konsep ketuhanan trinitas. Trinitas adalah kepercayaan tritunggal yang menyatakan Tuhan adalah tiga person, Tuhan Bapak (Allah), Tuhan Anak (Yesus), dan Roh Kudus. Meskipun terdiri dari tiga person, tetapi mereka adalah satu dalam esensi. Jika doktrin demikian diklaim sebagai monoteisme atau kepercayaan terhadap satu tuhan (tauhid), maka tidak diragukan lagi itu adalah klaim yang dipaksakan dan tidak masuk akal. Sebab esensi dari tauhid adalah mempercayai bahwa Allah adalah esa, baik dalam Zat-Nya, peribadatan hanya kepada-Nya, serta dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang setara dengan-Nya. Selain tidak masuk akal, mempercayai trinitas, juga tidak selaras dengan fitrah manusia. Sebab, manusia akan selalu berdoa secara tulus kepada satu tuhan dalam keadaan sempit. Mereka tidak sempat memilih salah satu dari ketiga person trinitas dalam keadaan darurat. Hal ini membuktikan bahwa mempercayai satu tuhan adalah posisi alamiah manusia. Sedangkan percaya kepada tiga tuhan adalah konsep karangan manusia. Allah Ta’āla berfirman, لَوۡ كَانَ فِیهِمَاۤ ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ رَبِّ ٱلۡعَرۡشِ عَمَّا یَصِفُونَ “Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki `Arasy, dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiyāʾ: 22) Selain itu, apabila kita minta umat Kristen menjelaskan konsep trinitas, kita akan mendapati setiap orang akan memberikan jawaban yang berbeda-beda, yang semakin menegaskan konsep ketuhanan mereka tidak tegas dan jelas, sehingga setiap orang dapat dengan mudah memahami. Terkadang mereka pada akhirnya mengatakan, trinitas adalah misteri ilahi. Apakah patut bagi seseorang yang logis menyandarkan kepercayaannya kepada suatu misteri? Akan tetapi, apabila kita perhatikan sifat-sifat Allah di dalam Al-Qur’an, maka kita akan dapati kesempurnaan dan pengagungan serta kejelasan dan keindahan. Allah Subhānahu Wa Ta’āla berfirman, ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ ۚ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍۢ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ “Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Yang Mahahidup. Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya, melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.”  (QS. Al-Baqarah: 255) Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? Sifat akidah Islam: Sesuai akal dan fitrah manusia Salah satu sifat akidah Islam adalah jelas dan sesuai fitrah manusia. Akidah Islam membuat kita mengagungkan agama ini dan membuat kita merasa tenang. Sehingga seseorang tidak berat dalam menerima konsep akidah Islam dalam ketuhanan Allah Ta’āla. Bukti terhadap hal itu tidaklah sulit dicari sama sekali, karena Al-Qur’an dari awal sampai akhir berisi pujian, pengagungan, dan penyucian Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Sebagai contoh, surah Al-Fatihah, surah yang  dikabarkan Nabi ﷺ bahwa ia adalah surat teragung di dalam Al-Qur’an, dimulai dengan pujian kepada Allah, kemudian pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, dan Allahlah Pemilik hari kiamat. Demikian pula, āyatul kursi, ayat teragung di dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan di atas berisi pengagungan dan penyucian terhadap Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Standar kelayakan disebut Tuhan Demikian halnya, surah Al-Ikhlās, surat yang setara dengan sepertiga Al-Qur’an, berisi parameter atau alat ukur kelayakan sesuatu dapat disebut sebagai Tuhan. Artinya, apabila kita ingin mengetahui kebenaran suatu agama, maka kita harus melihat konsep ketuhanannya, dan salah satu alat ukur kebenaran konsep Tuhan adalah apa yang terkandung di dalam surah Al-Ikhlas. قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ  Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Dari ayat tersebut, dapat kita simpulkan 4 kriteria sesuatu layak disebut sebagai Tuhan, yaitu: Pertama: Tunggal, tidak berbilang. Kedua: Sumber kekuatan segala sesuatu Ketiga: Tidak memiliki anak Keempat: Tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya Jika ada konsep Tuhan yang tidak memenuhi salah satu dari sifat di atas, maka ia tidak layak dianggap sebagai Tuhan dan tidak layak diibadahi. Agama-agama selain Islam tidak ada yang bisa memenuhi keempat kriteria tersebut, sehingga tersisalah Islam sebagai satu-satunya agama dengan konsep ketuhanan yang masuk akal dan sesuai fitrah. Penutup Dengan ketiga alasan di atas, yaitu: 1) validitas sumber; 2) mukjizat Al-Qur’an; dan 3) kesesuaian konsep ketuhanan dengan akal dan fitrah manusia, membuat Islam ialah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Tuhan semesta alam, Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Kembali ke bagian 1: Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 1) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Al-Binā’u Al-Aqadi lil-Jīli Aṣ-Sā ‘id, hal. 16-23 dengan beberapa penambahan dan pengurangan. Tags: agamaislam

Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Alasan ketiga: Akidah yang jelas dan selaras dengan akal dan fitrahSifat akidah Islam: Sesuai akal dan fitrah manusiaStandar kelayakan disebut TuhanPenutup Alasan ketiga: Akidah yang jelas dan selaras dengan akal dan fitrah Konsep ketuhanan dalam Islam adalah konsep ketuhanan yang  logis dan sesuai fitrah, berbeda dengan agama-agama lainnya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen mengklaim bahwa mereka mempercayai agama monoteisme yang mempercayai keesaan Tuhan, tetapi dalam praktiknya, mereka menyekutukan Allah dalam berbagai bentuk dan memberikan sifat-sifat yang tidak layak kepada Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Sebagai contoh, dalam Taurat yang telah mereka ubah, disebutkan bahwa Allah mencari-cari Adam saat ia bersembunyi setelah makan buah, lalu Allah memanggilnya. Berikut ayatnya: “Ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan istrinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi, Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya, ‘Di manakah engkau?’” (Kejadian 3, ayat 8-9.) Pada ayat di atas, Tuhan disifatkan dengan berjalan di dalam taman dan tidak mengetahui posisi hamba-Nya sehingga harus bertanya, ‘Di manakah engkau?’ Subhanallah, Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Sedangkan konsep ketuhanan agama Kristen yang dianut mayoritas umatnya tidak kalah absurd, yaitu konsep ketuhanan trinitas. Trinitas adalah kepercayaan tritunggal yang menyatakan Tuhan adalah tiga person, Tuhan Bapak (Allah), Tuhan Anak (Yesus), dan Roh Kudus. Meskipun terdiri dari tiga person, tetapi mereka adalah satu dalam esensi. Jika doktrin demikian diklaim sebagai monoteisme atau kepercayaan terhadap satu tuhan (tauhid), maka tidak diragukan lagi itu adalah klaim yang dipaksakan dan tidak masuk akal. Sebab esensi dari tauhid adalah mempercayai bahwa Allah adalah esa, baik dalam Zat-Nya, peribadatan hanya kepada-Nya, serta dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang setara dengan-Nya. Selain tidak masuk akal, mempercayai trinitas, juga tidak selaras dengan fitrah manusia. Sebab, manusia akan selalu berdoa secara tulus kepada satu tuhan dalam keadaan sempit. Mereka tidak sempat memilih salah satu dari ketiga person trinitas dalam keadaan darurat. Hal ini membuktikan bahwa mempercayai satu tuhan adalah posisi alamiah manusia. Sedangkan percaya kepada tiga tuhan adalah konsep karangan manusia. Allah Ta’āla berfirman, لَوۡ كَانَ فِیهِمَاۤ ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ رَبِّ ٱلۡعَرۡشِ عَمَّا یَصِفُونَ “Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki `Arasy, dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiyāʾ: 22) Selain itu, apabila kita minta umat Kristen menjelaskan konsep trinitas, kita akan mendapati setiap orang akan memberikan jawaban yang berbeda-beda, yang semakin menegaskan konsep ketuhanan mereka tidak tegas dan jelas, sehingga setiap orang dapat dengan mudah memahami. Terkadang mereka pada akhirnya mengatakan, trinitas adalah misteri ilahi. Apakah patut bagi seseorang yang logis menyandarkan kepercayaannya kepada suatu misteri? Akan tetapi, apabila kita perhatikan sifat-sifat Allah di dalam Al-Qur’an, maka kita akan dapati kesempurnaan dan pengagungan serta kejelasan dan keindahan. Allah Subhānahu Wa Ta’āla berfirman, ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ ۚ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍۢ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ “Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Yang Mahahidup. Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya, melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.”  (QS. Al-Baqarah: 255) Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? Sifat akidah Islam: Sesuai akal dan fitrah manusia Salah satu sifat akidah Islam adalah jelas dan sesuai fitrah manusia. Akidah Islam membuat kita mengagungkan agama ini dan membuat kita merasa tenang. Sehingga seseorang tidak berat dalam menerima konsep akidah Islam dalam ketuhanan Allah Ta’āla. Bukti terhadap hal itu tidaklah sulit dicari sama sekali, karena Al-Qur’an dari awal sampai akhir berisi pujian, pengagungan, dan penyucian Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Sebagai contoh, surah Al-Fatihah, surah yang  dikabarkan Nabi ﷺ bahwa ia adalah surat teragung di dalam Al-Qur’an, dimulai dengan pujian kepada Allah, kemudian pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, dan Allahlah Pemilik hari kiamat. Demikian pula, āyatul kursi, ayat teragung di dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan di atas berisi pengagungan dan penyucian terhadap Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Standar kelayakan disebut Tuhan Demikian halnya, surah Al-Ikhlās, surat yang setara dengan sepertiga Al-Qur’an, berisi parameter atau alat ukur kelayakan sesuatu dapat disebut sebagai Tuhan. Artinya, apabila kita ingin mengetahui kebenaran suatu agama, maka kita harus melihat konsep ketuhanannya, dan salah satu alat ukur kebenaran konsep Tuhan adalah apa yang terkandung di dalam surah Al-Ikhlas. قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ  Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Dari ayat tersebut, dapat kita simpulkan 4 kriteria sesuatu layak disebut sebagai Tuhan, yaitu: Pertama: Tunggal, tidak berbilang. Kedua: Sumber kekuatan segala sesuatu Ketiga: Tidak memiliki anak Keempat: Tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya Jika ada konsep Tuhan yang tidak memenuhi salah satu dari sifat di atas, maka ia tidak layak dianggap sebagai Tuhan dan tidak layak diibadahi. Agama-agama selain Islam tidak ada yang bisa memenuhi keempat kriteria tersebut, sehingga tersisalah Islam sebagai satu-satunya agama dengan konsep ketuhanan yang masuk akal dan sesuai fitrah. Penutup Dengan ketiga alasan di atas, yaitu: 1) validitas sumber; 2) mukjizat Al-Qur’an; dan 3) kesesuaian konsep ketuhanan dengan akal dan fitrah manusia, membuat Islam ialah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Tuhan semesta alam, Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Kembali ke bagian 1: Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 1) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Al-Binā’u Al-Aqadi lil-Jīli Aṣ-Sā ‘id, hal. 16-23 dengan beberapa penambahan dan pengurangan. Tags: agamaislam
Daftar Isi Toggle Alasan ketiga: Akidah yang jelas dan selaras dengan akal dan fitrahSifat akidah Islam: Sesuai akal dan fitrah manusiaStandar kelayakan disebut TuhanPenutup Alasan ketiga: Akidah yang jelas dan selaras dengan akal dan fitrah Konsep ketuhanan dalam Islam adalah konsep ketuhanan yang  logis dan sesuai fitrah, berbeda dengan agama-agama lainnya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen mengklaim bahwa mereka mempercayai agama monoteisme yang mempercayai keesaan Tuhan, tetapi dalam praktiknya, mereka menyekutukan Allah dalam berbagai bentuk dan memberikan sifat-sifat yang tidak layak kepada Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Sebagai contoh, dalam Taurat yang telah mereka ubah, disebutkan bahwa Allah mencari-cari Adam saat ia bersembunyi setelah makan buah, lalu Allah memanggilnya. Berikut ayatnya: “Ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan istrinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi, Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya, ‘Di manakah engkau?’” (Kejadian 3, ayat 8-9.) Pada ayat di atas, Tuhan disifatkan dengan berjalan di dalam taman dan tidak mengetahui posisi hamba-Nya sehingga harus bertanya, ‘Di manakah engkau?’ Subhanallah, Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Sedangkan konsep ketuhanan agama Kristen yang dianut mayoritas umatnya tidak kalah absurd, yaitu konsep ketuhanan trinitas. Trinitas adalah kepercayaan tritunggal yang menyatakan Tuhan adalah tiga person, Tuhan Bapak (Allah), Tuhan Anak (Yesus), dan Roh Kudus. Meskipun terdiri dari tiga person, tetapi mereka adalah satu dalam esensi. Jika doktrin demikian diklaim sebagai monoteisme atau kepercayaan terhadap satu tuhan (tauhid), maka tidak diragukan lagi itu adalah klaim yang dipaksakan dan tidak masuk akal. Sebab esensi dari tauhid adalah mempercayai bahwa Allah adalah esa, baik dalam Zat-Nya, peribadatan hanya kepada-Nya, serta dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang setara dengan-Nya. Selain tidak masuk akal, mempercayai trinitas, juga tidak selaras dengan fitrah manusia. Sebab, manusia akan selalu berdoa secara tulus kepada satu tuhan dalam keadaan sempit. Mereka tidak sempat memilih salah satu dari ketiga person trinitas dalam keadaan darurat. Hal ini membuktikan bahwa mempercayai satu tuhan adalah posisi alamiah manusia. Sedangkan percaya kepada tiga tuhan adalah konsep karangan manusia. Allah Ta’āla berfirman, لَوۡ كَانَ فِیهِمَاۤ ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ رَبِّ ٱلۡعَرۡشِ عَمَّا یَصِفُونَ “Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki `Arasy, dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiyāʾ: 22) Selain itu, apabila kita minta umat Kristen menjelaskan konsep trinitas, kita akan mendapati setiap orang akan memberikan jawaban yang berbeda-beda, yang semakin menegaskan konsep ketuhanan mereka tidak tegas dan jelas, sehingga setiap orang dapat dengan mudah memahami. Terkadang mereka pada akhirnya mengatakan, trinitas adalah misteri ilahi. Apakah patut bagi seseorang yang logis menyandarkan kepercayaannya kepada suatu misteri? Akan tetapi, apabila kita perhatikan sifat-sifat Allah di dalam Al-Qur’an, maka kita akan dapati kesempurnaan dan pengagungan serta kejelasan dan keindahan. Allah Subhānahu Wa Ta’āla berfirman, ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ ۚ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍۢ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ “Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Yang Mahahidup. Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya, melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.”  (QS. Al-Baqarah: 255) Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? Sifat akidah Islam: Sesuai akal dan fitrah manusia Salah satu sifat akidah Islam adalah jelas dan sesuai fitrah manusia. Akidah Islam membuat kita mengagungkan agama ini dan membuat kita merasa tenang. Sehingga seseorang tidak berat dalam menerima konsep akidah Islam dalam ketuhanan Allah Ta’āla. Bukti terhadap hal itu tidaklah sulit dicari sama sekali, karena Al-Qur’an dari awal sampai akhir berisi pujian, pengagungan, dan penyucian Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Sebagai contoh, surah Al-Fatihah, surah yang  dikabarkan Nabi ﷺ bahwa ia adalah surat teragung di dalam Al-Qur’an, dimulai dengan pujian kepada Allah, kemudian pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, dan Allahlah Pemilik hari kiamat. Demikian pula, āyatul kursi, ayat teragung di dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan di atas berisi pengagungan dan penyucian terhadap Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Standar kelayakan disebut Tuhan Demikian halnya, surah Al-Ikhlās, surat yang setara dengan sepertiga Al-Qur’an, berisi parameter atau alat ukur kelayakan sesuatu dapat disebut sebagai Tuhan. Artinya, apabila kita ingin mengetahui kebenaran suatu agama, maka kita harus melihat konsep ketuhanannya, dan salah satu alat ukur kebenaran konsep Tuhan adalah apa yang terkandung di dalam surah Al-Ikhlas. قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ  Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Dari ayat tersebut, dapat kita simpulkan 4 kriteria sesuatu layak disebut sebagai Tuhan, yaitu: Pertama: Tunggal, tidak berbilang. Kedua: Sumber kekuatan segala sesuatu Ketiga: Tidak memiliki anak Keempat: Tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya Jika ada konsep Tuhan yang tidak memenuhi salah satu dari sifat di atas, maka ia tidak layak dianggap sebagai Tuhan dan tidak layak diibadahi. Agama-agama selain Islam tidak ada yang bisa memenuhi keempat kriteria tersebut, sehingga tersisalah Islam sebagai satu-satunya agama dengan konsep ketuhanan yang masuk akal dan sesuai fitrah. Penutup Dengan ketiga alasan di atas, yaitu: 1) validitas sumber; 2) mukjizat Al-Qur’an; dan 3) kesesuaian konsep ketuhanan dengan akal dan fitrah manusia, membuat Islam ialah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Tuhan semesta alam, Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Kembali ke bagian 1: Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 1) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Al-Binā’u Al-Aqadi lil-Jīli Aṣ-Sā ‘id, hal. 16-23 dengan beberapa penambahan dan pengurangan. Tags: agamaislam


Daftar Isi Toggle Alasan ketiga: Akidah yang jelas dan selaras dengan akal dan fitrahSifat akidah Islam: Sesuai akal dan fitrah manusiaStandar kelayakan disebut TuhanPenutup Alasan ketiga: Akidah yang jelas dan selaras dengan akal dan fitrah Konsep ketuhanan dalam Islam adalah konsep ketuhanan yang  logis dan sesuai fitrah, berbeda dengan agama-agama lainnya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen mengklaim bahwa mereka mempercayai agama monoteisme yang mempercayai keesaan Tuhan, tetapi dalam praktiknya, mereka menyekutukan Allah dalam berbagai bentuk dan memberikan sifat-sifat yang tidak layak kepada Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Sebagai contoh, dalam Taurat yang telah mereka ubah, disebutkan bahwa Allah mencari-cari Adam saat ia bersembunyi setelah makan buah, lalu Allah memanggilnya. Berikut ayatnya: “Ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan istrinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi, Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya, ‘Di manakah engkau?’” (Kejadian 3, ayat 8-9.) Pada ayat di atas, Tuhan disifatkan dengan berjalan di dalam taman dan tidak mengetahui posisi hamba-Nya sehingga harus bertanya, ‘Di manakah engkau?’ Subhanallah, Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Sedangkan konsep ketuhanan agama Kristen yang dianut mayoritas umatnya tidak kalah absurd, yaitu konsep ketuhanan trinitas. Trinitas adalah kepercayaan tritunggal yang menyatakan Tuhan adalah tiga person, Tuhan Bapak (Allah), Tuhan Anak (Yesus), dan Roh Kudus. Meskipun terdiri dari tiga person, tetapi mereka adalah satu dalam esensi. Jika doktrin demikian diklaim sebagai monoteisme atau kepercayaan terhadap satu tuhan (tauhid), maka tidak diragukan lagi itu adalah klaim yang dipaksakan dan tidak masuk akal. Sebab esensi dari tauhid adalah mempercayai bahwa Allah adalah esa, baik dalam Zat-Nya, peribadatan hanya kepada-Nya, serta dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang setara dengan-Nya. Selain tidak masuk akal, mempercayai trinitas, juga tidak selaras dengan fitrah manusia. Sebab, manusia akan selalu berdoa secara tulus kepada satu tuhan dalam keadaan sempit. Mereka tidak sempat memilih salah satu dari ketiga person trinitas dalam keadaan darurat. Hal ini membuktikan bahwa mempercayai satu tuhan adalah posisi alamiah manusia. Sedangkan percaya kepada tiga tuhan adalah konsep karangan manusia. Allah Ta’āla berfirman, لَوۡ كَانَ فِیهِمَاۤ ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ رَبِّ ٱلۡعَرۡشِ عَمَّا یَصِفُونَ “Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki `Arasy, dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiyāʾ: 22) Selain itu, apabila kita minta umat Kristen menjelaskan konsep trinitas, kita akan mendapati setiap orang akan memberikan jawaban yang berbeda-beda, yang semakin menegaskan konsep ketuhanan mereka tidak tegas dan jelas, sehingga setiap orang dapat dengan mudah memahami. Terkadang mereka pada akhirnya mengatakan, trinitas adalah misteri ilahi. Apakah patut bagi seseorang yang logis menyandarkan kepercayaannya kepada suatu misteri? Akan tetapi, apabila kita perhatikan sifat-sifat Allah di dalam Al-Qur’an, maka kita akan dapati kesempurnaan dan pengagungan serta kejelasan dan keindahan. Allah Subhānahu Wa Ta’āla berfirman, ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ ۚ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍۢ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ “Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Yang Mahahidup. Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya, melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.”  (QS. Al-Baqarah: 255) Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? Sifat akidah Islam: Sesuai akal dan fitrah manusia Salah satu sifat akidah Islam adalah jelas dan sesuai fitrah manusia. Akidah Islam membuat kita mengagungkan agama ini dan membuat kita merasa tenang. Sehingga seseorang tidak berat dalam menerima konsep akidah Islam dalam ketuhanan Allah Ta’āla. Bukti terhadap hal itu tidaklah sulit dicari sama sekali, karena Al-Qur’an dari awal sampai akhir berisi pujian, pengagungan, dan penyucian Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Sebagai contoh, surah Al-Fatihah, surah yang  dikabarkan Nabi ﷺ bahwa ia adalah surat teragung di dalam Al-Qur’an, dimulai dengan pujian kepada Allah, kemudian pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, dan Allahlah Pemilik hari kiamat. Demikian pula, āyatul kursi, ayat teragung di dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan di atas berisi pengagungan dan penyucian terhadap Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Standar kelayakan disebut Tuhan Demikian halnya, surah Al-Ikhlās, surat yang setara dengan sepertiga Al-Qur’an, berisi parameter atau alat ukur kelayakan sesuatu dapat disebut sebagai Tuhan. Artinya, apabila kita ingin mengetahui kebenaran suatu agama, maka kita harus melihat konsep ketuhanannya, dan salah satu alat ukur kebenaran konsep Tuhan adalah apa yang terkandung di dalam surah Al-Ikhlas. قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ  Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Dari ayat tersebut, dapat kita simpulkan 4 kriteria sesuatu layak disebut sebagai Tuhan, yaitu: Pertama: Tunggal, tidak berbilang. Kedua: Sumber kekuatan segala sesuatu Ketiga: Tidak memiliki anak Keempat: Tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya Jika ada konsep Tuhan yang tidak memenuhi salah satu dari sifat di atas, maka ia tidak layak dianggap sebagai Tuhan dan tidak layak diibadahi. Agama-agama selain Islam tidak ada yang bisa memenuhi keempat kriteria tersebut, sehingga tersisalah Islam sebagai satu-satunya agama dengan konsep ketuhanan yang masuk akal dan sesuai fitrah. Penutup Dengan ketiga alasan di atas, yaitu: 1) validitas sumber; 2) mukjizat Al-Qur’an; dan 3) kesesuaian konsep ketuhanan dengan akal dan fitrah manusia, membuat Islam ialah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Tuhan semesta alam, Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Kembali ke bagian 1: Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 1) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Al-Binā’u Al-Aqadi lil-Jīli Aṣ-Sā ‘id, hal. 16-23 dengan beberapa penambahan dan pengurangan. Tags: agamaislam

Tantangan Dakwah Tauhid

Bismillah. Salah satu perkara yang membuat banyak orang mundur dari perjuangan dakwah adalah karena melihat begitu besar hambatan dan tantangan yang harus ia hadapi. Ada yang takut kehilangan penggemar. Ada yang khawatir berkurang rezekinya. Ada yang takut kehilangan jabatan dan kedudukannya di masyarakat. Apakah tantangan dan hambatan yang dihadapi manusia masa kini tidak ada di masa lalu? Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan bahwa para nabi dan rasul adalah barisan terdepan pejuang dakwah yang harus berbenturan dengan tantangan dan hambatan. Hidup mereka tidak pernah sepi dari ujian dan cobaan. Ada nabi yang dibunuh, sebagaimana nabi-nabi bani Israil. Ada nabi yang dicemooh dan dimusuhi oleh seluruh kaumnya sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan, tidak ada seorang pun rasul, melainkan kaumnya menjulukinya dengan tukang sihir atau orang gila (gendheng, dalam bahasa Jawa). Allah berfirman, كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ “Demikianlah, tidaklah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul, melainkan mereka berkata, ‘Dia adalah tukang sihir, atau orang gila.’” (QS. Adz-Dzariyat: 52) Ini merupakan bentuk hiburan yang Allah berikan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa keberadaan beliau yang diganggu dan disakiti tidaklah sendirian, bahkan para nabi terdahulu pun demikian. Mereka dicela, dicemooh, disakiti, dan dimusuhi oleh kaumnya. Tidak jauh dari hal itu, apa yang dapat kita jumpai di tengah medan dakwah hari ini. Orang-orang yang gencar mengajak kepada tauhid dan pemurnian akidah kerapkali dijuluki dan digelari dengan segudang cemoohan. Ada yang menyebutnya sebagai radikal, wahabi, ultra-konservatif, kaku, kaki tangan Amerika, penjilat penguasa, dan sebagainya. Imam Ahmad rahimahullah telah menggambarkan keadaan ini dengan berkata, فما أحسن أثرهم على الناس، وأقبح أثر الناس عليهم “Betapa indah pengaruh yang mereka (para ulama) berikan bagi manusia, tetapi sangat buruk pengaruh/tanggapan dari manusia terhadap mereka.” (Lihat Mukadimah kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyah, hal. 55, Syamilah.) Lihatlah dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam, bertahun-tahun lamanya, bahkan ratusan tahun, tetapi tidak ada yang memenuhi seruannya, selain sedikit manusia. Mereka pun mengejeknya atas apa yang ia lakukan atas perintah Allah kepadanya. Lihatlah dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang harus diusir dari rumahnya, dimusuhi oleh masyarakat pemuja berhala, hingga dibakar dengan api yang menyala-nyala. Akan tetapi, mereka gagal karena Allah menyelamatkan Nabi dan kekasih-Nya. Demikianlah, keadaan perjuangan dakwah keimanan di sepanjang perjalanan sejarah. Tidak sedikit tantangan dan hambatan yang harus mereka jumpai. Akan tetapi, hal itu tidaklah membuat mereka mundur, patah semangat, mengubah haluan, atau meninggalkan medan pertempuran. Allah berfirman, وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوْا عَلٰى مَا كُذِّبُوْا وَاُوْذُوْا حَتّٰٓى اَتٰىهُمْ نَصْرُنَا “Sungguh, para rasul sebelum kamu telah didustakan, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan yang mereka alami, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS. Al-An’am: 34) Allah berfirman, وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِىٌّ عَزِيزٌ  ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّـٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَـٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ “Dan sungguh Allah benar-benar akan menolong orang yang membela (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. Mereka itu adalah orang-orang yang apabila kami berikan keteguhan di atas muka bumi ini, mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar. Dan milik Allahlah akhir dari segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 40-41) Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengaku membela agama Allah, namun tidak memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan (mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar), maka dia adalah pendusta. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 540.) Dengan demikian, kesabaran di jalan Allah merupakan bekal perjuangan setiap penggerak dakwah Sunnah di tengah masyarakat. Janganlah mereka ragu bahwa pertolongan dari Allah merupakan janji bagi orang-orang yang tulus dan serius membela agama-Nya. Berbagai tantangan tidak boleh membuat mereka surut dan padam. Justru dengan ujian demi ujian, akan semakin memperkuat kesabaran dan tingkat ketahanan mereka dalam menghadapi cobaan hidup. Hidup di dunia tidaklah sepi dari ujian dan cobaan. Oleh sebab itu, hendaknya setiap diri berjuang dan bersungguh-sungguh dalam berupaya menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan demi menggapai kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ جَـٰهَدُوا۟ مِنكُمْ وَيَعْلَمَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan begitu saja masuk surga, sedangkan Allah belum mengetahui (melihat) siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian dan untuk mengetahui siapakah orang-orang yang sabar?” (QS. Ali ‘Imran: 142) Dengan ujian inilah, akan tampak siapakah orang yang benar keimanannya dengan orang yang hanya berpura-pura. Allah Ta’ala berfirman,  وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَـٰذِبِينَ “Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka benar-benar Allah akan mengetahui (membuktikan) siapakah orang-orang yang jujur dan akan mengetahui siapakah orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 3) Allah Ta’ala berfirman,  وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, dan melarang yang mungkar. Mereka itulah sebenarnya orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-’Imran: 104) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Al-Baqir setelah membaca ayat, “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang dimaksud kebaikan itu adalah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnahku.” (HR. Ibnu Mardawaih. Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2, hal. 66.) Baca juga: Tanggapan Kaum Musyrikin terhadap Dakwah Tauhid Meninggalkan dakwah membawa petaka Allah Ta’ala berfirman tentang kedurhakaan orang-orang kafir Bani Israil,  لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنۢ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ  كَانُوا۟ لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍۢ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ “Telah dilaknati orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu dikarenakan kemaksiatan mereka dan perbuatan mereka yang selalu melampaui batas. Mereka tidak melarang kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian di antara mereka. Amat buruk perbuatan yang mereka lakukan itu.” (QS. Al-Ma’idah: 78-79) Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Tindakan mereka itu (mendiamkan kemungkaran) menunjukkan bahwa mereka meremehkan perintah Allah, dan kemaksiatan mereka anggap sebagai perkara yang sepele. Seandainya di dalam diri mereka terdapat pengagungan terhadap Rabb mereka, niscaya mereka akan merasa cemburu karena larangan-larangan Allah dilanggar dan mereka pasti akan marah karena mengikuti kemurkaan-Nya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241) Di antara dampak mendiamkan kemungkaran adalah kemungkaran tersebut semakin menjadi-jadi dan bertambah merajalela. Syekh As-Sa’di telah memaparkan akibat buruk ini, “Sesungguhnya hal itu (mendiamkan kemungkaran) menyebabkan para pelaku kemaksiatan dan kefasikan menjadi semakin lancang dalam memperbanyak perbuatan kemaksiatan tatkala perbuatan mereka tidak dicegah oleh orang lain, sehingga keburukannya semakin menjadi-jadi. Musibah diniah dan duniawi yang timbul pun semakin besar karenanya. Hal itu membuat mereka (pelaku maksiat) memiliki kekuatan dan ketenaran. Kemudian, yang terjadi setelah itu adalah semakin lemahnya daya yang dimiliki oleh ahlul-khair (orang baik-baik) dalam melawan ahlusy-syarr (orang-orang jelek), sampai-sampai suatu keadaan di mana mereka tidak sanggup lagi mengingkari apa yang dahulu pernah mereka ingkari.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241.) Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Benar-benar kalian harus memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan untuk kalian hukuman dari sisi-Nya kemudian kalian pun berdoa kepada-Nya, namun permohonan kalian tak lagi dikabulkan.” (HR. Ahmad. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’, hadis no. 7070. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2, hal. 66.) Allah berfirman, وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌۭ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا ۙ ٱللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًۭا شَدِيدًۭا ۖ قَالُوا۟ مَعْذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ “Dan ingatlah ketika suatu kaum di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian tetap menasihati suatu kaum yang akan Allah binasakan atau Allah akan mengazab mereka dengan siksaan yang amat keras?’ Maka, mereka menjawab, ‘Agar ini menjadi alasan bagi kami di hadapan Rabb kalian dan semoga saja mereka mau kembali bertakwa.’” (QS. Al-A’raf: 164) Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Inilah maksud paling utama dari pengingkaran terhadap kemungkaran. Yaitu, agar menjadi alasan untuk menyelamatkan diri (di hadapan Allah), serta demi menegakkan hujah kepada orang yang diperintah dan dilarang, dengan harapan semoga Allah berkenan memberikan petunjuk kepadanya sehingga dengan begitu dia akan mau melaksanakan tuntutan perintah atau larangan itu.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 307.) Syekh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada akhlak, kejujuran, dan amanah, niscaya dia tidak akan menjumpai orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada tauhid yang didakwahkan oleh para rasul, yaitu untuk berdoa kepada Allah semata dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya, apakah itu para nabi maupun para wali yang notabene adalah hamba-hamba Allah (makhluk, tidak layak disembah, pent), maka orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’ agar orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung (ajaran) tauhid muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’! Kemudian apabila mereka membawakan hadis, ‘… Apabila kamu minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.’ sebagian orang itu pun mengatakan, ‘Ini adalah hadisnya Wahabi’! …” (lihat Da’watu Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13.) Salah satu alasan yang menunjukkan betapa pentingnya memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia, melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb Jalla Wa‘ala. (Lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh Ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah Ats-Tsubaiti, penerbit Dar Ibnul Jauzi, cet I, 1428 H.) Demikian sedikit kumpulan catatan yang dapat kami sajikan dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wallahul muwaffiq. Baca juga: Dakwah Tauhid, Perusak Persatuan? *** Yogyakarta, 17 Ramadan 1445 H / 28 Maret 2024 Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: dakwahtantangantauhid

Tantangan Dakwah Tauhid

Bismillah. Salah satu perkara yang membuat banyak orang mundur dari perjuangan dakwah adalah karena melihat begitu besar hambatan dan tantangan yang harus ia hadapi. Ada yang takut kehilangan penggemar. Ada yang khawatir berkurang rezekinya. Ada yang takut kehilangan jabatan dan kedudukannya di masyarakat. Apakah tantangan dan hambatan yang dihadapi manusia masa kini tidak ada di masa lalu? Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan bahwa para nabi dan rasul adalah barisan terdepan pejuang dakwah yang harus berbenturan dengan tantangan dan hambatan. Hidup mereka tidak pernah sepi dari ujian dan cobaan. Ada nabi yang dibunuh, sebagaimana nabi-nabi bani Israil. Ada nabi yang dicemooh dan dimusuhi oleh seluruh kaumnya sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan, tidak ada seorang pun rasul, melainkan kaumnya menjulukinya dengan tukang sihir atau orang gila (gendheng, dalam bahasa Jawa). Allah berfirman, كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ “Demikianlah, tidaklah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul, melainkan mereka berkata, ‘Dia adalah tukang sihir, atau orang gila.’” (QS. Adz-Dzariyat: 52) Ini merupakan bentuk hiburan yang Allah berikan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa keberadaan beliau yang diganggu dan disakiti tidaklah sendirian, bahkan para nabi terdahulu pun demikian. Mereka dicela, dicemooh, disakiti, dan dimusuhi oleh kaumnya. Tidak jauh dari hal itu, apa yang dapat kita jumpai di tengah medan dakwah hari ini. Orang-orang yang gencar mengajak kepada tauhid dan pemurnian akidah kerapkali dijuluki dan digelari dengan segudang cemoohan. Ada yang menyebutnya sebagai radikal, wahabi, ultra-konservatif, kaku, kaki tangan Amerika, penjilat penguasa, dan sebagainya. Imam Ahmad rahimahullah telah menggambarkan keadaan ini dengan berkata, فما أحسن أثرهم على الناس، وأقبح أثر الناس عليهم “Betapa indah pengaruh yang mereka (para ulama) berikan bagi manusia, tetapi sangat buruk pengaruh/tanggapan dari manusia terhadap mereka.” (Lihat Mukadimah kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyah, hal. 55, Syamilah.) Lihatlah dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam, bertahun-tahun lamanya, bahkan ratusan tahun, tetapi tidak ada yang memenuhi seruannya, selain sedikit manusia. Mereka pun mengejeknya atas apa yang ia lakukan atas perintah Allah kepadanya. Lihatlah dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang harus diusir dari rumahnya, dimusuhi oleh masyarakat pemuja berhala, hingga dibakar dengan api yang menyala-nyala. Akan tetapi, mereka gagal karena Allah menyelamatkan Nabi dan kekasih-Nya. Demikianlah, keadaan perjuangan dakwah keimanan di sepanjang perjalanan sejarah. Tidak sedikit tantangan dan hambatan yang harus mereka jumpai. Akan tetapi, hal itu tidaklah membuat mereka mundur, patah semangat, mengubah haluan, atau meninggalkan medan pertempuran. Allah berfirman, وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوْا عَلٰى مَا كُذِّبُوْا وَاُوْذُوْا حَتّٰٓى اَتٰىهُمْ نَصْرُنَا “Sungguh, para rasul sebelum kamu telah didustakan, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan yang mereka alami, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS. Al-An’am: 34) Allah berfirman, وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِىٌّ عَزِيزٌ  ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّـٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَـٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ “Dan sungguh Allah benar-benar akan menolong orang yang membela (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. Mereka itu adalah orang-orang yang apabila kami berikan keteguhan di atas muka bumi ini, mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar. Dan milik Allahlah akhir dari segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 40-41) Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengaku membela agama Allah, namun tidak memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan (mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar), maka dia adalah pendusta. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 540.) Dengan demikian, kesabaran di jalan Allah merupakan bekal perjuangan setiap penggerak dakwah Sunnah di tengah masyarakat. Janganlah mereka ragu bahwa pertolongan dari Allah merupakan janji bagi orang-orang yang tulus dan serius membela agama-Nya. Berbagai tantangan tidak boleh membuat mereka surut dan padam. Justru dengan ujian demi ujian, akan semakin memperkuat kesabaran dan tingkat ketahanan mereka dalam menghadapi cobaan hidup. Hidup di dunia tidaklah sepi dari ujian dan cobaan. Oleh sebab itu, hendaknya setiap diri berjuang dan bersungguh-sungguh dalam berupaya menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan demi menggapai kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ جَـٰهَدُوا۟ مِنكُمْ وَيَعْلَمَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan begitu saja masuk surga, sedangkan Allah belum mengetahui (melihat) siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian dan untuk mengetahui siapakah orang-orang yang sabar?” (QS. Ali ‘Imran: 142) Dengan ujian inilah, akan tampak siapakah orang yang benar keimanannya dengan orang yang hanya berpura-pura. Allah Ta’ala berfirman,  وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَـٰذِبِينَ “Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka benar-benar Allah akan mengetahui (membuktikan) siapakah orang-orang yang jujur dan akan mengetahui siapakah orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 3) Allah Ta’ala berfirman,  وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, dan melarang yang mungkar. Mereka itulah sebenarnya orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-’Imran: 104) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Al-Baqir setelah membaca ayat, “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang dimaksud kebaikan itu adalah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnahku.” (HR. Ibnu Mardawaih. Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2, hal. 66.) Baca juga: Tanggapan Kaum Musyrikin terhadap Dakwah Tauhid Meninggalkan dakwah membawa petaka Allah Ta’ala berfirman tentang kedurhakaan orang-orang kafir Bani Israil,  لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنۢ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ  كَانُوا۟ لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍۢ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ “Telah dilaknati orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu dikarenakan kemaksiatan mereka dan perbuatan mereka yang selalu melampaui batas. Mereka tidak melarang kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian di antara mereka. Amat buruk perbuatan yang mereka lakukan itu.” (QS. Al-Ma’idah: 78-79) Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Tindakan mereka itu (mendiamkan kemungkaran) menunjukkan bahwa mereka meremehkan perintah Allah, dan kemaksiatan mereka anggap sebagai perkara yang sepele. Seandainya di dalam diri mereka terdapat pengagungan terhadap Rabb mereka, niscaya mereka akan merasa cemburu karena larangan-larangan Allah dilanggar dan mereka pasti akan marah karena mengikuti kemurkaan-Nya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241) Di antara dampak mendiamkan kemungkaran adalah kemungkaran tersebut semakin menjadi-jadi dan bertambah merajalela. Syekh As-Sa’di telah memaparkan akibat buruk ini, “Sesungguhnya hal itu (mendiamkan kemungkaran) menyebabkan para pelaku kemaksiatan dan kefasikan menjadi semakin lancang dalam memperbanyak perbuatan kemaksiatan tatkala perbuatan mereka tidak dicegah oleh orang lain, sehingga keburukannya semakin menjadi-jadi. Musibah diniah dan duniawi yang timbul pun semakin besar karenanya. Hal itu membuat mereka (pelaku maksiat) memiliki kekuatan dan ketenaran. Kemudian, yang terjadi setelah itu adalah semakin lemahnya daya yang dimiliki oleh ahlul-khair (orang baik-baik) dalam melawan ahlusy-syarr (orang-orang jelek), sampai-sampai suatu keadaan di mana mereka tidak sanggup lagi mengingkari apa yang dahulu pernah mereka ingkari.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241.) Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Benar-benar kalian harus memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan untuk kalian hukuman dari sisi-Nya kemudian kalian pun berdoa kepada-Nya, namun permohonan kalian tak lagi dikabulkan.” (HR. Ahmad. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’, hadis no. 7070. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2, hal. 66.) Allah berfirman, وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌۭ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا ۙ ٱللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًۭا شَدِيدًۭا ۖ قَالُوا۟ مَعْذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ “Dan ingatlah ketika suatu kaum di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian tetap menasihati suatu kaum yang akan Allah binasakan atau Allah akan mengazab mereka dengan siksaan yang amat keras?’ Maka, mereka menjawab, ‘Agar ini menjadi alasan bagi kami di hadapan Rabb kalian dan semoga saja mereka mau kembali bertakwa.’” (QS. Al-A’raf: 164) Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Inilah maksud paling utama dari pengingkaran terhadap kemungkaran. Yaitu, agar menjadi alasan untuk menyelamatkan diri (di hadapan Allah), serta demi menegakkan hujah kepada orang yang diperintah dan dilarang, dengan harapan semoga Allah berkenan memberikan petunjuk kepadanya sehingga dengan begitu dia akan mau melaksanakan tuntutan perintah atau larangan itu.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 307.) Syekh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada akhlak, kejujuran, dan amanah, niscaya dia tidak akan menjumpai orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada tauhid yang didakwahkan oleh para rasul, yaitu untuk berdoa kepada Allah semata dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya, apakah itu para nabi maupun para wali yang notabene adalah hamba-hamba Allah (makhluk, tidak layak disembah, pent), maka orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’ agar orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung (ajaran) tauhid muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’! Kemudian apabila mereka membawakan hadis, ‘… Apabila kamu minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.’ sebagian orang itu pun mengatakan, ‘Ini adalah hadisnya Wahabi’! …” (lihat Da’watu Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13.) Salah satu alasan yang menunjukkan betapa pentingnya memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia, melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb Jalla Wa‘ala. (Lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh Ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah Ats-Tsubaiti, penerbit Dar Ibnul Jauzi, cet I, 1428 H.) Demikian sedikit kumpulan catatan yang dapat kami sajikan dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wallahul muwaffiq. Baca juga: Dakwah Tauhid, Perusak Persatuan? *** Yogyakarta, 17 Ramadan 1445 H / 28 Maret 2024 Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: dakwahtantangantauhid
Bismillah. Salah satu perkara yang membuat banyak orang mundur dari perjuangan dakwah adalah karena melihat begitu besar hambatan dan tantangan yang harus ia hadapi. Ada yang takut kehilangan penggemar. Ada yang khawatir berkurang rezekinya. Ada yang takut kehilangan jabatan dan kedudukannya di masyarakat. Apakah tantangan dan hambatan yang dihadapi manusia masa kini tidak ada di masa lalu? Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan bahwa para nabi dan rasul adalah barisan terdepan pejuang dakwah yang harus berbenturan dengan tantangan dan hambatan. Hidup mereka tidak pernah sepi dari ujian dan cobaan. Ada nabi yang dibunuh, sebagaimana nabi-nabi bani Israil. Ada nabi yang dicemooh dan dimusuhi oleh seluruh kaumnya sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan, tidak ada seorang pun rasul, melainkan kaumnya menjulukinya dengan tukang sihir atau orang gila (gendheng, dalam bahasa Jawa). Allah berfirman, كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ “Demikianlah, tidaklah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul, melainkan mereka berkata, ‘Dia adalah tukang sihir, atau orang gila.’” (QS. Adz-Dzariyat: 52) Ini merupakan bentuk hiburan yang Allah berikan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa keberadaan beliau yang diganggu dan disakiti tidaklah sendirian, bahkan para nabi terdahulu pun demikian. Mereka dicela, dicemooh, disakiti, dan dimusuhi oleh kaumnya. Tidak jauh dari hal itu, apa yang dapat kita jumpai di tengah medan dakwah hari ini. Orang-orang yang gencar mengajak kepada tauhid dan pemurnian akidah kerapkali dijuluki dan digelari dengan segudang cemoohan. Ada yang menyebutnya sebagai radikal, wahabi, ultra-konservatif, kaku, kaki tangan Amerika, penjilat penguasa, dan sebagainya. Imam Ahmad rahimahullah telah menggambarkan keadaan ini dengan berkata, فما أحسن أثرهم على الناس، وأقبح أثر الناس عليهم “Betapa indah pengaruh yang mereka (para ulama) berikan bagi manusia, tetapi sangat buruk pengaruh/tanggapan dari manusia terhadap mereka.” (Lihat Mukadimah kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyah, hal. 55, Syamilah.) Lihatlah dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam, bertahun-tahun lamanya, bahkan ratusan tahun, tetapi tidak ada yang memenuhi seruannya, selain sedikit manusia. Mereka pun mengejeknya atas apa yang ia lakukan atas perintah Allah kepadanya. Lihatlah dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang harus diusir dari rumahnya, dimusuhi oleh masyarakat pemuja berhala, hingga dibakar dengan api yang menyala-nyala. Akan tetapi, mereka gagal karena Allah menyelamatkan Nabi dan kekasih-Nya. Demikianlah, keadaan perjuangan dakwah keimanan di sepanjang perjalanan sejarah. Tidak sedikit tantangan dan hambatan yang harus mereka jumpai. Akan tetapi, hal itu tidaklah membuat mereka mundur, patah semangat, mengubah haluan, atau meninggalkan medan pertempuran. Allah berfirman, وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوْا عَلٰى مَا كُذِّبُوْا وَاُوْذُوْا حَتّٰٓى اَتٰىهُمْ نَصْرُنَا “Sungguh, para rasul sebelum kamu telah didustakan, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan yang mereka alami, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS. Al-An’am: 34) Allah berfirman, وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِىٌّ عَزِيزٌ  ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّـٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَـٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ “Dan sungguh Allah benar-benar akan menolong orang yang membela (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. Mereka itu adalah orang-orang yang apabila kami berikan keteguhan di atas muka bumi ini, mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar. Dan milik Allahlah akhir dari segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 40-41) Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengaku membela agama Allah, namun tidak memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan (mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar), maka dia adalah pendusta. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 540.) Dengan demikian, kesabaran di jalan Allah merupakan bekal perjuangan setiap penggerak dakwah Sunnah di tengah masyarakat. Janganlah mereka ragu bahwa pertolongan dari Allah merupakan janji bagi orang-orang yang tulus dan serius membela agama-Nya. Berbagai tantangan tidak boleh membuat mereka surut dan padam. Justru dengan ujian demi ujian, akan semakin memperkuat kesabaran dan tingkat ketahanan mereka dalam menghadapi cobaan hidup. Hidup di dunia tidaklah sepi dari ujian dan cobaan. Oleh sebab itu, hendaknya setiap diri berjuang dan bersungguh-sungguh dalam berupaya menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan demi menggapai kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ جَـٰهَدُوا۟ مِنكُمْ وَيَعْلَمَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan begitu saja masuk surga, sedangkan Allah belum mengetahui (melihat) siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian dan untuk mengetahui siapakah orang-orang yang sabar?” (QS. Ali ‘Imran: 142) Dengan ujian inilah, akan tampak siapakah orang yang benar keimanannya dengan orang yang hanya berpura-pura. Allah Ta’ala berfirman,  وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَـٰذِبِينَ “Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka benar-benar Allah akan mengetahui (membuktikan) siapakah orang-orang yang jujur dan akan mengetahui siapakah orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 3) Allah Ta’ala berfirman,  وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, dan melarang yang mungkar. Mereka itulah sebenarnya orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-’Imran: 104) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Al-Baqir setelah membaca ayat, “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang dimaksud kebaikan itu adalah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnahku.” (HR. Ibnu Mardawaih. Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2, hal. 66.) Baca juga: Tanggapan Kaum Musyrikin terhadap Dakwah Tauhid Meninggalkan dakwah membawa petaka Allah Ta’ala berfirman tentang kedurhakaan orang-orang kafir Bani Israil,  لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنۢ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ  كَانُوا۟ لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍۢ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ “Telah dilaknati orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu dikarenakan kemaksiatan mereka dan perbuatan mereka yang selalu melampaui batas. Mereka tidak melarang kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian di antara mereka. Amat buruk perbuatan yang mereka lakukan itu.” (QS. Al-Ma’idah: 78-79) Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Tindakan mereka itu (mendiamkan kemungkaran) menunjukkan bahwa mereka meremehkan perintah Allah, dan kemaksiatan mereka anggap sebagai perkara yang sepele. Seandainya di dalam diri mereka terdapat pengagungan terhadap Rabb mereka, niscaya mereka akan merasa cemburu karena larangan-larangan Allah dilanggar dan mereka pasti akan marah karena mengikuti kemurkaan-Nya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241) Di antara dampak mendiamkan kemungkaran adalah kemungkaran tersebut semakin menjadi-jadi dan bertambah merajalela. Syekh As-Sa’di telah memaparkan akibat buruk ini, “Sesungguhnya hal itu (mendiamkan kemungkaran) menyebabkan para pelaku kemaksiatan dan kefasikan menjadi semakin lancang dalam memperbanyak perbuatan kemaksiatan tatkala perbuatan mereka tidak dicegah oleh orang lain, sehingga keburukannya semakin menjadi-jadi. Musibah diniah dan duniawi yang timbul pun semakin besar karenanya. Hal itu membuat mereka (pelaku maksiat) memiliki kekuatan dan ketenaran. Kemudian, yang terjadi setelah itu adalah semakin lemahnya daya yang dimiliki oleh ahlul-khair (orang baik-baik) dalam melawan ahlusy-syarr (orang-orang jelek), sampai-sampai suatu keadaan di mana mereka tidak sanggup lagi mengingkari apa yang dahulu pernah mereka ingkari.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241.) Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Benar-benar kalian harus memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan untuk kalian hukuman dari sisi-Nya kemudian kalian pun berdoa kepada-Nya, namun permohonan kalian tak lagi dikabulkan.” (HR. Ahmad. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’, hadis no. 7070. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2, hal. 66.) Allah berfirman, وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌۭ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا ۙ ٱللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًۭا شَدِيدًۭا ۖ قَالُوا۟ مَعْذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ “Dan ingatlah ketika suatu kaum di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian tetap menasihati suatu kaum yang akan Allah binasakan atau Allah akan mengazab mereka dengan siksaan yang amat keras?’ Maka, mereka menjawab, ‘Agar ini menjadi alasan bagi kami di hadapan Rabb kalian dan semoga saja mereka mau kembali bertakwa.’” (QS. Al-A’raf: 164) Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Inilah maksud paling utama dari pengingkaran terhadap kemungkaran. Yaitu, agar menjadi alasan untuk menyelamatkan diri (di hadapan Allah), serta demi menegakkan hujah kepada orang yang diperintah dan dilarang, dengan harapan semoga Allah berkenan memberikan petunjuk kepadanya sehingga dengan begitu dia akan mau melaksanakan tuntutan perintah atau larangan itu.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 307.) Syekh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada akhlak, kejujuran, dan amanah, niscaya dia tidak akan menjumpai orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada tauhid yang didakwahkan oleh para rasul, yaitu untuk berdoa kepada Allah semata dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya, apakah itu para nabi maupun para wali yang notabene adalah hamba-hamba Allah (makhluk, tidak layak disembah, pent), maka orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’ agar orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung (ajaran) tauhid muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’! Kemudian apabila mereka membawakan hadis, ‘… Apabila kamu minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.’ sebagian orang itu pun mengatakan, ‘Ini adalah hadisnya Wahabi’! …” (lihat Da’watu Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13.) Salah satu alasan yang menunjukkan betapa pentingnya memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia, melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb Jalla Wa‘ala. (Lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh Ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah Ats-Tsubaiti, penerbit Dar Ibnul Jauzi, cet I, 1428 H.) Demikian sedikit kumpulan catatan yang dapat kami sajikan dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wallahul muwaffiq. Baca juga: Dakwah Tauhid, Perusak Persatuan? *** Yogyakarta, 17 Ramadan 1445 H / 28 Maret 2024 Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: dakwahtantangantauhid


Bismillah. Salah satu perkara yang membuat banyak orang mundur dari perjuangan dakwah adalah karena melihat begitu besar hambatan dan tantangan yang harus ia hadapi. Ada yang takut kehilangan penggemar. Ada yang khawatir berkurang rezekinya. Ada yang takut kehilangan jabatan dan kedudukannya di masyarakat. Apakah tantangan dan hambatan yang dihadapi manusia masa kini tidak ada di masa lalu? Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan bahwa para nabi dan rasul adalah barisan terdepan pejuang dakwah yang harus berbenturan dengan tantangan dan hambatan. Hidup mereka tidak pernah sepi dari ujian dan cobaan. Ada nabi yang dibunuh, sebagaimana nabi-nabi bani Israil. Ada nabi yang dicemooh dan dimusuhi oleh seluruh kaumnya sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan, tidak ada seorang pun rasul, melainkan kaumnya menjulukinya dengan tukang sihir atau orang gila (gendheng, dalam bahasa Jawa). Allah berfirman, كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ “Demikianlah, tidaklah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul, melainkan mereka berkata, ‘Dia adalah tukang sihir, atau orang gila.’” (QS. Adz-Dzariyat: 52) Ini merupakan bentuk hiburan yang Allah berikan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa keberadaan beliau yang diganggu dan disakiti tidaklah sendirian, bahkan para nabi terdahulu pun demikian. Mereka dicela, dicemooh, disakiti, dan dimusuhi oleh kaumnya. Tidak jauh dari hal itu, apa yang dapat kita jumpai di tengah medan dakwah hari ini. Orang-orang yang gencar mengajak kepada tauhid dan pemurnian akidah kerapkali dijuluki dan digelari dengan segudang cemoohan. Ada yang menyebutnya sebagai radikal, wahabi, ultra-konservatif, kaku, kaki tangan Amerika, penjilat penguasa, dan sebagainya. Imam Ahmad rahimahullah telah menggambarkan keadaan ini dengan berkata, فما أحسن أثرهم على الناس، وأقبح أثر الناس عليهم “Betapa indah pengaruh yang mereka (para ulama) berikan bagi manusia, tetapi sangat buruk pengaruh/tanggapan dari manusia terhadap mereka.” (Lihat Mukadimah kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyah, hal. 55, Syamilah.) Lihatlah dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam, bertahun-tahun lamanya, bahkan ratusan tahun, tetapi tidak ada yang memenuhi seruannya, selain sedikit manusia. Mereka pun mengejeknya atas apa yang ia lakukan atas perintah Allah kepadanya. Lihatlah dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang harus diusir dari rumahnya, dimusuhi oleh masyarakat pemuja berhala, hingga dibakar dengan api yang menyala-nyala. Akan tetapi, mereka gagal karena Allah menyelamatkan Nabi dan kekasih-Nya. Demikianlah, keadaan perjuangan dakwah keimanan di sepanjang perjalanan sejarah. Tidak sedikit tantangan dan hambatan yang harus mereka jumpai. Akan tetapi, hal itu tidaklah membuat mereka mundur, patah semangat, mengubah haluan, atau meninggalkan medan pertempuran. Allah berfirman, وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوْا عَلٰى مَا كُذِّبُوْا وَاُوْذُوْا حَتّٰٓى اَتٰىهُمْ نَصْرُنَا “Sungguh, para rasul sebelum kamu telah didustakan, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan yang mereka alami, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS. Al-An’am: 34) Allah berfirman, وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِىٌّ عَزِيزٌ  ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّـٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَـٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ “Dan sungguh Allah benar-benar akan menolong orang yang membela (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. Mereka itu adalah orang-orang yang apabila kami berikan keteguhan di atas muka bumi ini, mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar. Dan milik Allahlah akhir dari segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 40-41) Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengaku membela agama Allah, namun tidak memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan (mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar), maka dia adalah pendusta. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 540.) Dengan demikian, kesabaran di jalan Allah merupakan bekal perjuangan setiap penggerak dakwah Sunnah di tengah masyarakat. Janganlah mereka ragu bahwa pertolongan dari Allah merupakan janji bagi orang-orang yang tulus dan serius membela agama-Nya. Berbagai tantangan tidak boleh membuat mereka surut dan padam. Justru dengan ujian demi ujian, akan semakin memperkuat kesabaran dan tingkat ketahanan mereka dalam menghadapi cobaan hidup. Hidup di dunia tidaklah sepi dari ujian dan cobaan. Oleh sebab itu, hendaknya setiap diri berjuang dan bersungguh-sungguh dalam berupaya menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan demi menggapai kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ جَـٰهَدُوا۟ مِنكُمْ وَيَعْلَمَ ٱلصَّـٰبِرِينَ “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan begitu saja masuk surga, sedangkan Allah belum mengetahui (melihat) siapakah orang-orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian dan untuk mengetahui siapakah orang-orang yang sabar?” (QS. Ali ‘Imran: 142) Dengan ujian inilah, akan tampak siapakah orang yang benar keimanannya dengan orang yang hanya berpura-pura. Allah Ta’ala berfirman,  وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَـٰذِبِينَ “Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka benar-benar Allah akan mengetahui (membuktikan) siapakah orang-orang yang jujur dan akan mengetahui siapakah orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut: 3) Allah Ta’ala berfirman,  وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, dan melarang yang mungkar. Mereka itulah sebenarnya orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-’Imran: 104) Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Al-Baqir setelah membaca ayat, “Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yang dimaksud kebaikan itu adalah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnahku.” (HR. Ibnu Mardawaih. Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2, hal. 66.) Baca juga: Tanggapan Kaum Musyrikin terhadap Dakwah Tauhid Meninggalkan dakwah membawa petaka Allah Ta’ala berfirman tentang kedurhakaan orang-orang kafir Bani Israil,  لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنۢ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ  كَانُوا۟ لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍۢ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ “Telah dilaknati orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu dikarenakan kemaksiatan mereka dan perbuatan mereka yang selalu melampaui batas. Mereka tidak melarang kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian di antara mereka. Amat buruk perbuatan yang mereka lakukan itu.” (QS. Al-Ma’idah: 78-79) Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Tindakan mereka itu (mendiamkan kemungkaran) menunjukkan bahwa mereka meremehkan perintah Allah, dan kemaksiatan mereka anggap sebagai perkara yang sepele. Seandainya di dalam diri mereka terdapat pengagungan terhadap Rabb mereka, niscaya mereka akan merasa cemburu karena larangan-larangan Allah dilanggar dan mereka pasti akan marah karena mengikuti kemurkaan-Nya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241) Di antara dampak mendiamkan kemungkaran adalah kemungkaran tersebut semakin menjadi-jadi dan bertambah merajalela. Syekh As-Sa’di telah memaparkan akibat buruk ini, “Sesungguhnya hal itu (mendiamkan kemungkaran) menyebabkan para pelaku kemaksiatan dan kefasikan menjadi semakin lancang dalam memperbanyak perbuatan kemaksiatan tatkala perbuatan mereka tidak dicegah oleh orang lain, sehingga keburukannya semakin menjadi-jadi. Musibah diniah dan duniawi yang timbul pun semakin besar karenanya. Hal itu membuat mereka (pelaku maksiat) memiliki kekuatan dan ketenaran. Kemudian, yang terjadi setelah itu adalah semakin lemahnya daya yang dimiliki oleh ahlul-khair (orang baik-baik) dalam melawan ahlusy-syarr (orang-orang jelek), sampai-sampai suatu keadaan di mana mereka tidak sanggup lagi mengingkari apa yang dahulu pernah mereka ingkari.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241.) Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Benar-benar kalian harus memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan untuk kalian hukuman dari sisi-Nya kemudian kalian pun berdoa kepada-Nya, namun permohonan kalian tak lagi dikabulkan.” (HR. Ahmad. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’, hadis no. 7070. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2, hal. 66.) Allah berfirman, وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌۭ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا ۙ ٱللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًۭا شَدِيدًۭا ۖ قَالُوا۟ مَعْذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ “Dan ingatlah ketika suatu kaum di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian tetap menasihati suatu kaum yang akan Allah binasakan atau Allah akan mengazab mereka dengan siksaan yang amat keras?’ Maka, mereka menjawab, ‘Agar ini menjadi alasan bagi kami di hadapan Rabb kalian dan semoga saja mereka mau kembali bertakwa.’” (QS. Al-A’raf: 164) Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Inilah maksud paling utama dari pengingkaran terhadap kemungkaran. Yaitu, agar menjadi alasan untuk menyelamatkan diri (di hadapan Allah), serta demi menegakkan hujah kepada orang yang diperintah dan dilarang, dengan harapan semoga Allah berkenan memberikan petunjuk kepadanya sehingga dengan begitu dia akan mau melaksanakan tuntutan perintah atau larangan itu.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 307.) Syekh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada akhlak, kejujuran, dan amanah, niscaya dia tidak akan menjumpai orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada tauhid yang didakwahkan oleh para rasul, yaitu untuk berdoa kepada Allah semata dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya, apakah itu para nabi maupun para wali yang notabene adalah hamba-hamba Allah (makhluk, tidak layak disembah, pent), maka orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’ agar orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung (ajaran) tauhid muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’! Kemudian apabila mereka membawakan hadis, ‘… Apabila kamu minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah.’ sebagian orang itu pun mengatakan, ‘Ini adalah hadisnya Wahabi’! …” (lihat Da’watu Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13.) Salah satu alasan yang menunjukkan betapa pentingnya memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia, melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb Jalla Wa‘ala. (Lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh Ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah Ats-Tsubaiti, penerbit Dar Ibnul Jauzi, cet I, 1428 H.) Demikian sedikit kumpulan catatan yang dapat kami sajikan dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wallahul muwaffiq. Baca juga: Dakwah Tauhid, Perusak Persatuan? *** Yogyakarta, 17 Ramadan 1445 H / 28 Maret 2024 Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: dakwahtantangantauhid

Memaksimalkan Dua Kemampuan Menuju Husnulkhatimah

Daftar Isi Toggle Kemampuan mengenali dosaKemampuan berfatwa Saudaraku, kita berada pada bulan-bulan di mana belenggu setan kembali dilepaskan. Dan nafsu yang selama ini dapat diredam selama Ramadan, kini potensi untuk kembali pada kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik sebelum Ramadan bisa saja terulang. Merenungi hal ini, sudah semestinya kita benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya kita dihadapkan pada 2 (dua) pilihan jalan dalam hidup, yaitu: kepada husnulkhatimah atau su’ulkhatimah. Akhir hidup yang husnulkhatimah tentunya akan digapai dengan menjadi hamba Allah yang bertakwa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ، قاَلُوُا: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hambanya, maka Allah memanfaatkannya.” Para sahabat bertanya, ”Bagaimana Allah akan memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab, ”Allah akan memberinya taufik untuk beramal saleh sebelum dia meninggal.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak.) Sedangkan akhir hidup su’ulkhatimah akan menimpa seseorang manakala ia meninggalkan ketakwaan dan terjerumus pada kubangan maksiat tanpa tobat sebelum ajal mendekat. Wal’iyadzubillah. Kita adalah makhluk yang sangat bergantung pada kasih sayang Allah Ta’ala. Dalam perkara ibadah saja, meski memiliki fisik yang prima, kadangkala kita (khususnya para pemuda) merasa berat untuk bangun salat malam atau untuk ke masjid melaksanakan salat 5 waktu. Bahkan, sudah di masjid pun, setelah melaksanakan salat 5 waktu, untuk salat rawatib pun terasa berat. Wallahulmusta’an. Sebaliknya, banyak pula para sepuh, telah berumur lanjut, tapi keistikamahannya dalam menjalankan ibadah-ibadah nawafil sangat tinggi. Mereka sangat patut menjadi contoh. Padahal, fisiknya terlihat lemah, berjalan melangkahkan kaki saja seperti sangat kesulitan. Namun, panggilan ketaatan dan semangat menuju keridaan Allah Ta’ala telah memudahkan dirinya dan pada akhirnya ketika malakulmaut menjemputnya, ia pun wafat dalam husnulkhatimah. Sungguh, sebuah akhir perjalanan hidup yang sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607.) Jika kita renungkan, sebenarnya Allah Ta’ala telah menganugerahkan banyak karunia yang sangat berharga bagi kita. Di antaranya: fisik, akal, maupun iman. Maka, dengan anugerah tersebut, kiranya kita mampu menjadi hamba Allah yang senantiasa memikirkan bagaimana agar memperoleh husnulkhatimah ketika ajal menjemput dan menggapai surga Allah Ta’ala. Dengannya pula, kita diwajibkan untuk mengenali batasan-batasan syariat di mana sebab melanggarnya kita dapat terjerumus pada akhir hidup yang su’ulkhatimah. Wal’iyadzu billah. Saudaraku, anugerah yang Allah berikan tersebut menjadi dasar bagi kita untuk mengetahui dan mengenali mana yang hak dan yang batil. Dengan anugerah tersebut pula, kita memiliki setidaknya 2 (dua) kemampuan yang bermanfaat khususnya bagi diri kita sendiri untuk menggapai husnulkhatimah di akhir kehidupan kita, yaitu: kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa. Baca juga: Doa Menghadapi Kematian Kemampuan mengenali dosa Sejatinya, fitrah seorang manusia adalah kebaikan. Bahkan, sejak lahir, pada dasarnya, semua manusia adalah muslim. Hanya saja, lingkungannyalah yang mengubah fitrahnya menjadi pribadi yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap bayi yang lahir berada di atas fitrahnya. Lalu, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari) Fitrah yang dimaksudkan di sini adalah Islam. Islam adalah kebaikan. Dengannya, seseorang dapat mengetahui kebenaran dan kekhilafan. Maka, dalam konteks mengenali dosa, setiap insan memiliki kemampuan. Cukup dengan merenungi kegelisahan dalam hati manakala ia mengerjakan suatu perbuatan yang belum ia ketahui apakah hal itu berdosa atau tidak. Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ “Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Dar Ihya’ At-Turats, no. 1392, 16: 111.) Kemampuan mengenali dosa ini sejatinya dimiliki oleh semua insan. Perkara apapun itu, tatkala jiwa dirundung gelisah ketika melakukan perbuatan tertentu seperti muamalah dengan sesama manusia atau sedang dalam aktivitas tertentu tatkala sendiri dan ada penolakan batin manakala hal itu diketahui oleh orang lain, maka itulah dosa yang mesti segera ditinggalkan. Namun, ada pula orang yang mengabaikan kemampuan mengenali dosa ini. Ia tetap melabrak ketentuan syariat yang ada. Meski sebenarnya kegelisahan datang sebagai tanda bahwa apa yang dikerjakannya adalah dosa, tetapi ia tetap saja melanjutkannya tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Ia lebih mengedepankan kenikmatan duniawi yang sesaat daripada kenikmatan ukhrawi yang kekal abadi. Mudah-mudahan, kita tidak menjadi bagian dari manusia yang abai tersebut. Oleh karenanya, maksimalkan kemampuan mengenali dosa ini dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan kita menjadi hamba Allah yang senantiasa mampu mengendalikan diri untuk menghindari segala potensi dosa yang dapat mendatangkan murka Allah Ta’ala. Kemampuan berfatwa Fatwa yang dimaksud disini adalah fatwa terhadap diri sendiri sebelum meminta fatwa dari orang lain. Kemampuan mengenali mana yang hak dan yang batil kemudian memutuskan untuk mengambil pilihan kebenaran sejatinya dimiliki oleh setiap insan. Oleh karenanya, kita perlu melakukan cross check terlebih dahulu terhadap perkara yang sedang kita hadapi. Menanyakan kembali kepada naluri tentang pilihan dan keputusan terhadap urusan duniawi dan ukhrawi kita. Sebagaimana nasihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kepada Wabishah, يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ “Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu tiga kali. Karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa.” (HR. Ahmad no.17545, Al-Albani dalam Shahih At Targhib, no. 1734 mengatakan, “Hasan lighairihi.“) Saudaraku, hadis ini menegaskan bahwa sejatinya, diri kita mampu memutuskan dengan hak perkara dari keraguan-keraguan diri. Namun, jangan lupa, hal itu dapat dilakukan dengan syarat, harus sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59) Sejatinya, seorang muslim yang lurus akidah dan manhajnya, fatwa yang keluar dari pikirannya akan sejalan dengan dalil yang ada. Maka, untuk memastikan bahwa pendapat kita tentang sesuatu tatkala meminta fatwa pada diri sendiri, kita mesti memahami bahwa ketentuan syariat Allah tidak boleh dilampaui oleh kehendak akal, logika, perasaan apalagi nafsu. Maka, asahlah kemampuan berfatwa ini dengan ilmu. Meski pada dasarnya, fitrah manusia adalah kebaikan. Namun, perasaan, akal, kecerdasan, dan logika harus mengikuti dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Karena sejatinya, bukan dalil yang mengikuti akal. Tapi akallah yang mengikuti dalil. Karenanya, pastikan bahwa kemampuan berfatwa yang kita miliki berada di bawah dan mengikuti petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah. Mudah-mudahan, anugerah Allah Ta’ala kepada kita melalui kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa ini menjadikan kita lebih mudah untuk lebih berhati-hati dan mawas diri dalam menyikapi problematika kehidupan duniawi dan ukhrawi kita, sehingga kita mendapati diri kita berada dalam keridaan Allah Ta’ala di akhir hayat kita dengan kematian yang husnulkhatimah. Wallahu a’lam. Baca juga: Seorang Mukmin Meninggal dengan Kening Berkeringat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: husnulkhatimah

Memaksimalkan Dua Kemampuan Menuju Husnulkhatimah

Daftar Isi Toggle Kemampuan mengenali dosaKemampuan berfatwa Saudaraku, kita berada pada bulan-bulan di mana belenggu setan kembali dilepaskan. Dan nafsu yang selama ini dapat diredam selama Ramadan, kini potensi untuk kembali pada kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik sebelum Ramadan bisa saja terulang. Merenungi hal ini, sudah semestinya kita benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya kita dihadapkan pada 2 (dua) pilihan jalan dalam hidup, yaitu: kepada husnulkhatimah atau su’ulkhatimah. Akhir hidup yang husnulkhatimah tentunya akan digapai dengan menjadi hamba Allah yang bertakwa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ، قاَلُوُا: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hambanya, maka Allah memanfaatkannya.” Para sahabat bertanya, ”Bagaimana Allah akan memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab, ”Allah akan memberinya taufik untuk beramal saleh sebelum dia meninggal.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak.) Sedangkan akhir hidup su’ulkhatimah akan menimpa seseorang manakala ia meninggalkan ketakwaan dan terjerumus pada kubangan maksiat tanpa tobat sebelum ajal mendekat. Wal’iyadzubillah. Kita adalah makhluk yang sangat bergantung pada kasih sayang Allah Ta’ala. Dalam perkara ibadah saja, meski memiliki fisik yang prima, kadangkala kita (khususnya para pemuda) merasa berat untuk bangun salat malam atau untuk ke masjid melaksanakan salat 5 waktu. Bahkan, sudah di masjid pun, setelah melaksanakan salat 5 waktu, untuk salat rawatib pun terasa berat. Wallahulmusta’an. Sebaliknya, banyak pula para sepuh, telah berumur lanjut, tapi keistikamahannya dalam menjalankan ibadah-ibadah nawafil sangat tinggi. Mereka sangat patut menjadi contoh. Padahal, fisiknya terlihat lemah, berjalan melangkahkan kaki saja seperti sangat kesulitan. Namun, panggilan ketaatan dan semangat menuju keridaan Allah Ta’ala telah memudahkan dirinya dan pada akhirnya ketika malakulmaut menjemputnya, ia pun wafat dalam husnulkhatimah. Sungguh, sebuah akhir perjalanan hidup yang sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607.) Jika kita renungkan, sebenarnya Allah Ta’ala telah menganugerahkan banyak karunia yang sangat berharga bagi kita. Di antaranya: fisik, akal, maupun iman. Maka, dengan anugerah tersebut, kiranya kita mampu menjadi hamba Allah yang senantiasa memikirkan bagaimana agar memperoleh husnulkhatimah ketika ajal menjemput dan menggapai surga Allah Ta’ala. Dengannya pula, kita diwajibkan untuk mengenali batasan-batasan syariat di mana sebab melanggarnya kita dapat terjerumus pada akhir hidup yang su’ulkhatimah. Wal’iyadzu billah. Saudaraku, anugerah yang Allah berikan tersebut menjadi dasar bagi kita untuk mengetahui dan mengenali mana yang hak dan yang batil. Dengan anugerah tersebut pula, kita memiliki setidaknya 2 (dua) kemampuan yang bermanfaat khususnya bagi diri kita sendiri untuk menggapai husnulkhatimah di akhir kehidupan kita, yaitu: kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa. Baca juga: Doa Menghadapi Kematian Kemampuan mengenali dosa Sejatinya, fitrah seorang manusia adalah kebaikan. Bahkan, sejak lahir, pada dasarnya, semua manusia adalah muslim. Hanya saja, lingkungannyalah yang mengubah fitrahnya menjadi pribadi yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap bayi yang lahir berada di atas fitrahnya. Lalu, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari) Fitrah yang dimaksudkan di sini adalah Islam. Islam adalah kebaikan. Dengannya, seseorang dapat mengetahui kebenaran dan kekhilafan. Maka, dalam konteks mengenali dosa, setiap insan memiliki kemampuan. Cukup dengan merenungi kegelisahan dalam hati manakala ia mengerjakan suatu perbuatan yang belum ia ketahui apakah hal itu berdosa atau tidak. Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ “Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Dar Ihya’ At-Turats, no. 1392, 16: 111.) Kemampuan mengenali dosa ini sejatinya dimiliki oleh semua insan. Perkara apapun itu, tatkala jiwa dirundung gelisah ketika melakukan perbuatan tertentu seperti muamalah dengan sesama manusia atau sedang dalam aktivitas tertentu tatkala sendiri dan ada penolakan batin manakala hal itu diketahui oleh orang lain, maka itulah dosa yang mesti segera ditinggalkan. Namun, ada pula orang yang mengabaikan kemampuan mengenali dosa ini. Ia tetap melabrak ketentuan syariat yang ada. Meski sebenarnya kegelisahan datang sebagai tanda bahwa apa yang dikerjakannya adalah dosa, tetapi ia tetap saja melanjutkannya tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Ia lebih mengedepankan kenikmatan duniawi yang sesaat daripada kenikmatan ukhrawi yang kekal abadi. Mudah-mudahan, kita tidak menjadi bagian dari manusia yang abai tersebut. Oleh karenanya, maksimalkan kemampuan mengenali dosa ini dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan kita menjadi hamba Allah yang senantiasa mampu mengendalikan diri untuk menghindari segala potensi dosa yang dapat mendatangkan murka Allah Ta’ala. Kemampuan berfatwa Fatwa yang dimaksud disini adalah fatwa terhadap diri sendiri sebelum meminta fatwa dari orang lain. Kemampuan mengenali mana yang hak dan yang batil kemudian memutuskan untuk mengambil pilihan kebenaran sejatinya dimiliki oleh setiap insan. Oleh karenanya, kita perlu melakukan cross check terlebih dahulu terhadap perkara yang sedang kita hadapi. Menanyakan kembali kepada naluri tentang pilihan dan keputusan terhadap urusan duniawi dan ukhrawi kita. Sebagaimana nasihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kepada Wabishah, يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ “Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu tiga kali. Karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa.” (HR. Ahmad no.17545, Al-Albani dalam Shahih At Targhib, no. 1734 mengatakan, “Hasan lighairihi.“) Saudaraku, hadis ini menegaskan bahwa sejatinya, diri kita mampu memutuskan dengan hak perkara dari keraguan-keraguan diri. Namun, jangan lupa, hal itu dapat dilakukan dengan syarat, harus sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59) Sejatinya, seorang muslim yang lurus akidah dan manhajnya, fatwa yang keluar dari pikirannya akan sejalan dengan dalil yang ada. Maka, untuk memastikan bahwa pendapat kita tentang sesuatu tatkala meminta fatwa pada diri sendiri, kita mesti memahami bahwa ketentuan syariat Allah tidak boleh dilampaui oleh kehendak akal, logika, perasaan apalagi nafsu. Maka, asahlah kemampuan berfatwa ini dengan ilmu. Meski pada dasarnya, fitrah manusia adalah kebaikan. Namun, perasaan, akal, kecerdasan, dan logika harus mengikuti dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Karena sejatinya, bukan dalil yang mengikuti akal. Tapi akallah yang mengikuti dalil. Karenanya, pastikan bahwa kemampuan berfatwa yang kita miliki berada di bawah dan mengikuti petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah. Mudah-mudahan, anugerah Allah Ta’ala kepada kita melalui kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa ini menjadikan kita lebih mudah untuk lebih berhati-hati dan mawas diri dalam menyikapi problematika kehidupan duniawi dan ukhrawi kita, sehingga kita mendapati diri kita berada dalam keridaan Allah Ta’ala di akhir hayat kita dengan kematian yang husnulkhatimah. Wallahu a’lam. Baca juga: Seorang Mukmin Meninggal dengan Kening Berkeringat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: husnulkhatimah
Daftar Isi Toggle Kemampuan mengenali dosaKemampuan berfatwa Saudaraku, kita berada pada bulan-bulan di mana belenggu setan kembali dilepaskan. Dan nafsu yang selama ini dapat diredam selama Ramadan, kini potensi untuk kembali pada kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik sebelum Ramadan bisa saja terulang. Merenungi hal ini, sudah semestinya kita benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya kita dihadapkan pada 2 (dua) pilihan jalan dalam hidup, yaitu: kepada husnulkhatimah atau su’ulkhatimah. Akhir hidup yang husnulkhatimah tentunya akan digapai dengan menjadi hamba Allah yang bertakwa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ، قاَلُوُا: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hambanya, maka Allah memanfaatkannya.” Para sahabat bertanya, ”Bagaimana Allah akan memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab, ”Allah akan memberinya taufik untuk beramal saleh sebelum dia meninggal.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak.) Sedangkan akhir hidup su’ulkhatimah akan menimpa seseorang manakala ia meninggalkan ketakwaan dan terjerumus pada kubangan maksiat tanpa tobat sebelum ajal mendekat. Wal’iyadzubillah. Kita adalah makhluk yang sangat bergantung pada kasih sayang Allah Ta’ala. Dalam perkara ibadah saja, meski memiliki fisik yang prima, kadangkala kita (khususnya para pemuda) merasa berat untuk bangun salat malam atau untuk ke masjid melaksanakan salat 5 waktu. Bahkan, sudah di masjid pun, setelah melaksanakan salat 5 waktu, untuk salat rawatib pun terasa berat. Wallahulmusta’an. Sebaliknya, banyak pula para sepuh, telah berumur lanjut, tapi keistikamahannya dalam menjalankan ibadah-ibadah nawafil sangat tinggi. Mereka sangat patut menjadi contoh. Padahal, fisiknya terlihat lemah, berjalan melangkahkan kaki saja seperti sangat kesulitan. Namun, panggilan ketaatan dan semangat menuju keridaan Allah Ta’ala telah memudahkan dirinya dan pada akhirnya ketika malakulmaut menjemputnya, ia pun wafat dalam husnulkhatimah. Sungguh, sebuah akhir perjalanan hidup yang sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607.) Jika kita renungkan, sebenarnya Allah Ta’ala telah menganugerahkan banyak karunia yang sangat berharga bagi kita. Di antaranya: fisik, akal, maupun iman. Maka, dengan anugerah tersebut, kiranya kita mampu menjadi hamba Allah yang senantiasa memikirkan bagaimana agar memperoleh husnulkhatimah ketika ajal menjemput dan menggapai surga Allah Ta’ala. Dengannya pula, kita diwajibkan untuk mengenali batasan-batasan syariat di mana sebab melanggarnya kita dapat terjerumus pada akhir hidup yang su’ulkhatimah. Wal’iyadzu billah. Saudaraku, anugerah yang Allah berikan tersebut menjadi dasar bagi kita untuk mengetahui dan mengenali mana yang hak dan yang batil. Dengan anugerah tersebut pula, kita memiliki setidaknya 2 (dua) kemampuan yang bermanfaat khususnya bagi diri kita sendiri untuk menggapai husnulkhatimah di akhir kehidupan kita, yaitu: kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa. Baca juga: Doa Menghadapi Kematian Kemampuan mengenali dosa Sejatinya, fitrah seorang manusia adalah kebaikan. Bahkan, sejak lahir, pada dasarnya, semua manusia adalah muslim. Hanya saja, lingkungannyalah yang mengubah fitrahnya menjadi pribadi yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap bayi yang lahir berada di atas fitrahnya. Lalu, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari) Fitrah yang dimaksudkan di sini adalah Islam. Islam adalah kebaikan. Dengannya, seseorang dapat mengetahui kebenaran dan kekhilafan. Maka, dalam konteks mengenali dosa, setiap insan memiliki kemampuan. Cukup dengan merenungi kegelisahan dalam hati manakala ia mengerjakan suatu perbuatan yang belum ia ketahui apakah hal itu berdosa atau tidak. Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ “Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Dar Ihya’ At-Turats, no. 1392, 16: 111.) Kemampuan mengenali dosa ini sejatinya dimiliki oleh semua insan. Perkara apapun itu, tatkala jiwa dirundung gelisah ketika melakukan perbuatan tertentu seperti muamalah dengan sesama manusia atau sedang dalam aktivitas tertentu tatkala sendiri dan ada penolakan batin manakala hal itu diketahui oleh orang lain, maka itulah dosa yang mesti segera ditinggalkan. Namun, ada pula orang yang mengabaikan kemampuan mengenali dosa ini. Ia tetap melabrak ketentuan syariat yang ada. Meski sebenarnya kegelisahan datang sebagai tanda bahwa apa yang dikerjakannya adalah dosa, tetapi ia tetap saja melanjutkannya tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Ia lebih mengedepankan kenikmatan duniawi yang sesaat daripada kenikmatan ukhrawi yang kekal abadi. Mudah-mudahan, kita tidak menjadi bagian dari manusia yang abai tersebut. Oleh karenanya, maksimalkan kemampuan mengenali dosa ini dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan kita menjadi hamba Allah yang senantiasa mampu mengendalikan diri untuk menghindari segala potensi dosa yang dapat mendatangkan murka Allah Ta’ala. Kemampuan berfatwa Fatwa yang dimaksud disini adalah fatwa terhadap diri sendiri sebelum meminta fatwa dari orang lain. Kemampuan mengenali mana yang hak dan yang batil kemudian memutuskan untuk mengambil pilihan kebenaran sejatinya dimiliki oleh setiap insan. Oleh karenanya, kita perlu melakukan cross check terlebih dahulu terhadap perkara yang sedang kita hadapi. Menanyakan kembali kepada naluri tentang pilihan dan keputusan terhadap urusan duniawi dan ukhrawi kita. Sebagaimana nasihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kepada Wabishah, يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ “Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu tiga kali. Karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa.” (HR. Ahmad no.17545, Al-Albani dalam Shahih At Targhib, no. 1734 mengatakan, “Hasan lighairihi.“) Saudaraku, hadis ini menegaskan bahwa sejatinya, diri kita mampu memutuskan dengan hak perkara dari keraguan-keraguan diri. Namun, jangan lupa, hal itu dapat dilakukan dengan syarat, harus sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59) Sejatinya, seorang muslim yang lurus akidah dan manhajnya, fatwa yang keluar dari pikirannya akan sejalan dengan dalil yang ada. Maka, untuk memastikan bahwa pendapat kita tentang sesuatu tatkala meminta fatwa pada diri sendiri, kita mesti memahami bahwa ketentuan syariat Allah tidak boleh dilampaui oleh kehendak akal, logika, perasaan apalagi nafsu. Maka, asahlah kemampuan berfatwa ini dengan ilmu. Meski pada dasarnya, fitrah manusia adalah kebaikan. Namun, perasaan, akal, kecerdasan, dan logika harus mengikuti dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Karena sejatinya, bukan dalil yang mengikuti akal. Tapi akallah yang mengikuti dalil. Karenanya, pastikan bahwa kemampuan berfatwa yang kita miliki berada di bawah dan mengikuti petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah. Mudah-mudahan, anugerah Allah Ta’ala kepada kita melalui kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa ini menjadikan kita lebih mudah untuk lebih berhati-hati dan mawas diri dalam menyikapi problematika kehidupan duniawi dan ukhrawi kita, sehingga kita mendapati diri kita berada dalam keridaan Allah Ta’ala di akhir hayat kita dengan kematian yang husnulkhatimah. Wallahu a’lam. Baca juga: Seorang Mukmin Meninggal dengan Kening Berkeringat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: husnulkhatimah


Daftar Isi Toggle Kemampuan mengenali dosaKemampuan berfatwa Saudaraku, kita berada pada bulan-bulan di mana belenggu setan kembali dilepaskan. Dan nafsu yang selama ini dapat diredam selama Ramadan, kini potensi untuk kembali pada kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik sebelum Ramadan bisa saja terulang. Merenungi hal ini, sudah semestinya kita benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya kita dihadapkan pada 2 (dua) pilihan jalan dalam hidup, yaitu: kepada husnulkhatimah atau su’ulkhatimah. Akhir hidup yang husnulkhatimah tentunya akan digapai dengan menjadi hamba Allah yang bertakwa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ، قاَلُوُا: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hambanya, maka Allah memanfaatkannya.” Para sahabat bertanya, ”Bagaimana Allah akan memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab, ”Allah akan memberinya taufik untuk beramal saleh sebelum dia meninggal.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, dan disahihkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak.) Sedangkan akhir hidup su’ulkhatimah akan menimpa seseorang manakala ia meninggalkan ketakwaan dan terjerumus pada kubangan maksiat tanpa tobat sebelum ajal mendekat. Wal’iyadzubillah. Kita adalah makhluk yang sangat bergantung pada kasih sayang Allah Ta’ala. Dalam perkara ibadah saja, meski memiliki fisik yang prima, kadangkala kita (khususnya para pemuda) merasa berat untuk bangun salat malam atau untuk ke masjid melaksanakan salat 5 waktu. Bahkan, sudah di masjid pun, setelah melaksanakan salat 5 waktu, untuk salat rawatib pun terasa berat. Wallahulmusta’an. Sebaliknya, banyak pula para sepuh, telah berumur lanjut, tapi keistikamahannya dalam menjalankan ibadah-ibadah nawafil sangat tinggi. Mereka sangat patut menjadi contoh. Padahal, fisiknya terlihat lemah, berjalan melangkahkan kaki saja seperti sangat kesulitan. Namun, panggilan ketaatan dan semangat menuju keridaan Allah Ta’ala telah memudahkan dirinya dan pada akhirnya ketika malakulmaut menjemputnya, ia pun wafat dalam husnulkhatimah. Sungguh, sebuah akhir perjalanan hidup yang sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607.) Jika kita renungkan, sebenarnya Allah Ta’ala telah menganugerahkan banyak karunia yang sangat berharga bagi kita. Di antaranya: fisik, akal, maupun iman. Maka, dengan anugerah tersebut, kiranya kita mampu menjadi hamba Allah yang senantiasa memikirkan bagaimana agar memperoleh husnulkhatimah ketika ajal menjemput dan menggapai surga Allah Ta’ala. Dengannya pula, kita diwajibkan untuk mengenali batasan-batasan syariat di mana sebab melanggarnya kita dapat terjerumus pada akhir hidup yang su’ulkhatimah. Wal’iyadzu billah. Saudaraku, anugerah yang Allah berikan tersebut menjadi dasar bagi kita untuk mengetahui dan mengenali mana yang hak dan yang batil. Dengan anugerah tersebut pula, kita memiliki setidaknya 2 (dua) kemampuan yang bermanfaat khususnya bagi diri kita sendiri untuk menggapai husnulkhatimah di akhir kehidupan kita, yaitu: kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa. Baca juga: Doa Menghadapi Kematian Kemampuan mengenali dosa Sejatinya, fitrah seorang manusia adalah kebaikan. Bahkan, sejak lahir, pada dasarnya, semua manusia adalah muslim. Hanya saja, lingkungannyalah yang mengubah fitrahnya menjadi pribadi yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap bayi yang lahir berada di atas fitrahnya. Lalu, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari) Fitrah yang dimaksudkan di sini adalah Islam. Islam adalah kebaikan. Dengannya, seseorang dapat mengetahui kebenaran dan kekhilafan. Maka, dalam konteks mengenali dosa, setiap insan memiliki kemampuan. Cukup dengan merenungi kegelisahan dalam hati manakala ia mengerjakan suatu perbuatan yang belum ia ketahui apakah hal itu berdosa atau tidak. Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ “Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Dar Ihya’ At-Turats, no. 1392, 16: 111.) Kemampuan mengenali dosa ini sejatinya dimiliki oleh semua insan. Perkara apapun itu, tatkala jiwa dirundung gelisah ketika melakukan perbuatan tertentu seperti muamalah dengan sesama manusia atau sedang dalam aktivitas tertentu tatkala sendiri dan ada penolakan batin manakala hal itu diketahui oleh orang lain, maka itulah dosa yang mesti segera ditinggalkan. Namun, ada pula orang yang mengabaikan kemampuan mengenali dosa ini. Ia tetap melabrak ketentuan syariat yang ada. Meski sebenarnya kegelisahan datang sebagai tanda bahwa apa yang dikerjakannya adalah dosa, tetapi ia tetap saja melanjutkannya tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Ia lebih mengedepankan kenikmatan duniawi yang sesaat daripada kenikmatan ukhrawi yang kekal abadi. Mudah-mudahan, kita tidak menjadi bagian dari manusia yang abai tersebut. Oleh karenanya, maksimalkan kemampuan mengenali dosa ini dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan kita menjadi hamba Allah yang senantiasa mampu mengendalikan diri untuk menghindari segala potensi dosa yang dapat mendatangkan murka Allah Ta’ala. Kemampuan berfatwa Fatwa yang dimaksud disini adalah fatwa terhadap diri sendiri sebelum meminta fatwa dari orang lain. Kemampuan mengenali mana yang hak dan yang batil kemudian memutuskan untuk mengambil pilihan kebenaran sejatinya dimiliki oleh setiap insan. Oleh karenanya, kita perlu melakukan cross check terlebih dahulu terhadap perkara yang sedang kita hadapi. Menanyakan kembali kepada naluri tentang pilihan dan keputusan terhadap urusan duniawi dan ukhrawi kita. Sebagaimana nasihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kepada Wabishah, يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ “Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu tiga kali. Karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa.” (HR. Ahmad no.17545, Al-Albani dalam Shahih At Targhib, no. 1734 mengatakan, “Hasan lighairihi.“) Saudaraku, hadis ini menegaskan bahwa sejatinya, diri kita mampu memutuskan dengan hak perkara dari keraguan-keraguan diri. Namun, jangan lupa, hal itu dapat dilakukan dengan syarat, harus sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59) Sejatinya, seorang muslim yang lurus akidah dan manhajnya, fatwa yang keluar dari pikirannya akan sejalan dengan dalil yang ada. Maka, untuk memastikan bahwa pendapat kita tentang sesuatu tatkala meminta fatwa pada diri sendiri, kita mesti memahami bahwa ketentuan syariat Allah tidak boleh dilampaui oleh kehendak akal, logika, perasaan apalagi nafsu. Maka, asahlah kemampuan berfatwa ini dengan ilmu. Meski pada dasarnya, fitrah manusia adalah kebaikan. Namun, perasaan, akal, kecerdasan, dan logika harus mengikuti dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Karena sejatinya, bukan dalil yang mengikuti akal. Tapi akallah yang mengikuti dalil. Karenanya, pastikan bahwa kemampuan berfatwa yang kita miliki berada di bawah dan mengikuti petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah. Mudah-mudahan, anugerah Allah Ta’ala kepada kita melalui kemampuan mengenali dosa dan kemampuan berfatwa ini menjadikan kita lebih mudah untuk lebih berhati-hati dan mawas diri dalam menyikapi problematika kehidupan duniawi dan ukhrawi kita, sehingga kita mendapati diri kita berada dalam keridaan Allah Ta’ala di akhir hayat kita dengan kematian yang husnulkhatimah. Wallahu a’lam. Baca juga: Seorang Mukmin Meninggal dengan Kening Berkeringat *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: husnulkhatimah

Saat Safar Qashar Shalat Menjadi Dua Rakaat, Saat Mukim Sempurna Empat Rakaat

Aturan saat safar adalah qashar shalat menjadi dua rakaat. Saat mukim mengerjakan sempurna menjadi empat rakaat.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Hadits #429 عَنْ عَائشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَوَّلُ مَا فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ، فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلاَةُ الْحَضَرِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Shalat itu awalnya diwajibkan dua rakaat, lalu ia ditetapkan sebagai shalat dalam perjalanan, dan shalat saat mukim disempurnakan (empat rakaat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 350 dan Muslim, no. 685] وَلِلْبُخَارِيِّ: ثُمَّ هَاجَرَ، فَفُرِضَتْ أَرْبَعاً، وَأُقرَّتْ صَلاَةُ السَّفَر عَلَى الأَوَّلِ. Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Kemudian beliau hijrah kemudian diwajibkan empat rakaat dan shalat saat safar ditetapkan seperti semula.” [HR. Bukhari, no. 3935]   Hadits #430 زَادَ أَحْمَدُ: إِلاَّ المَغْرِبَ فَإنَّهَا وِتْرُ النَّهَارِ، وَإلاَّ الصُّبْحَ، فَإِنَّهَا تُطَوَّلُ فِيهَا الْقِرَاءَةُ. Imam Ahmad menambahkan, “Kecuali Maghrib, karena shalat Maghrib itu pengganjil shalat siang. Adapun bacaan shalat Shubuh itu dipanjangkan. [HR. Ahmad, 43:167. Sanad hadits ini perawinya tsiqqah atau terpercaya. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:453]   Faedah hadits 1. Shalat antara musafir dan bukan musafir (mukim) sebelum hijrah adalah dua rakaat, dua rakaat. Kemudian saat mukim, rakaatnya bertambah. Maka, shalat Zhuhur dan Ashar, serta Isyak menjadi empat rakaat. Karena mukim adalah waktu rehat dan menetap. Di antara karunia Allah, yang ditambah adalah dua rakaat. Di dalamnya terdapat pahala yang besar. Sedangkan shalat Maghrib sedari awal adalah tiga rakaat karena shalat Maghrib disebut witrun nahaar (witir pada siang hari). Shalat Shubuh sedari awal adalah dua rakaat, di samping bacaannya lama. Baca juga: Qashar Shalat itu Apa? 2. Ulama ada yang berpendapat bahwa qashar shalat itu wajib dilakukan saat safar berdasarkan hadits Aisyah. Pendapat lainnya menyatakan bahwa qashar shalat itu sunnah, bukan wajib. Inilah pendapat umumnya ulama, yaitu Ibnu Taimiyyah, Imam Syafii, Imam Malik, pendapat masyhur dari Imam Ahmad, juga menjadi pilihan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa qashar shalat saat safar itu AFDAL, shalat itmam (tanpa qashar, menjadi empat rakaat) itu MAKRUH. Pendapat ketiga menyatakan bahwa musafir punya pilihan untuk mengerjakan itmam (tanpa qashar) ataukah qashar. Ibnul Mundzir menyatakan ini adalah pendapat Imam Syafii dan Abu Tsaur. Ibnul Mulaqqin menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat dari Syafiiyyah. Baca juga: Aturan Safar untuk Jamak dan Qashar Shalat   3. Yang tepat, qashar shalat adalah rukhshah atau keringanan, bukan ‘azimah (keharusan).   Baca juga: Keringanan Bagi Musafir Apakah Wajib Qashar Shalat Saat Safar?   Referensi: Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:452-457. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:61-62.   –   Diselesaikan pada Ahad pagi, 12 Syawal 1445 H, 21 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar keringanan saat safar panduan safar Safar shalat saat safar

Saat Safar Qashar Shalat Menjadi Dua Rakaat, Saat Mukim Sempurna Empat Rakaat

Aturan saat safar adalah qashar shalat menjadi dua rakaat. Saat mukim mengerjakan sempurna menjadi empat rakaat.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Hadits #429 عَنْ عَائشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَوَّلُ مَا فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ، فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلاَةُ الْحَضَرِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Shalat itu awalnya diwajibkan dua rakaat, lalu ia ditetapkan sebagai shalat dalam perjalanan, dan shalat saat mukim disempurnakan (empat rakaat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 350 dan Muslim, no. 685] وَلِلْبُخَارِيِّ: ثُمَّ هَاجَرَ، فَفُرِضَتْ أَرْبَعاً، وَأُقرَّتْ صَلاَةُ السَّفَر عَلَى الأَوَّلِ. Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Kemudian beliau hijrah kemudian diwajibkan empat rakaat dan shalat saat safar ditetapkan seperti semula.” [HR. Bukhari, no. 3935]   Hadits #430 زَادَ أَحْمَدُ: إِلاَّ المَغْرِبَ فَإنَّهَا وِتْرُ النَّهَارِ، وَإلاَّ الصُّبْحَ، فَإِنَّهَا تُطَوَّلُ فِيهَا الْقِرَاءَةُ. Imam Ahmad menambahkan, “Kecuali Maghrib, karena shalat Maghrib itu pengganjil shalat siang. Adapun bacaan shalat Shubuh itu dipanjangkan. [HR. Ahmad, 43:167. Sanad hadits ini perawinya tsiqqah atau terpercaya. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:453]   Faedah hadits 1. Shalat antara musafir dan bukan musafir (mukim) sebelum hijrah adalah dua rakaat, dua rakaat. Kemudian saat mukim, rakaatnya bertambah. Maka, shalat Zhuhur dan Ashar, serta Isyak menjadi empat rakaat. Karena mukim adalah waktu rehat dan menetap. Di antara karunia Allah, yang ditambah adalah dua rakaat. Di dalamnya terdapat pahala yang besar. Sedangkan shalat Maghrib sedari awal adalah tiga rakaat karena shalat Maghrib disebut witrun nahaar (witir pada siang hari). Shalat Shubuh sedari awal adalah dua rakaat, di samping bacaannya lama. Baca juga: Qashar Shalat itu Apa? 2. Ulama ada yang berpendapat bahwa qashar shalat itu wajib dilakukan saat safar berdasarkan hadits Aisyah. Pendapat lainnya menyatakan bahwa qashar shalat itu sunnah, bukan wajib. Inilah pendapat umumnya ulama, yaitu Ibnu Taimiyyah, Imam Syafii, Imam Malik, pendapat masyhur dari Imam Ahmad, juga menjadi pilihan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa qashar shalat saat safar itu AFDAL, shalat itmam (tanpa qashar, menjadi empat rakaat) itu MAKRUH. Pendapat ketiga menyatakan bahwa musafir punya pilihan untuk mengerjakan itmam (tanpa qashar) ataukah qashar. Ibnul Mundzir menyatakan ini adalah pendapat Imam Syafii dan Abu Tsaur. Ibnul Mulaqqin menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat dari Syafiiyyah. Baca juga: Aturan Safar untuk Jamak dan Qashar Shalat   3. Yang tepat, qashar shalat adalah rukhshah atau keringanan, bukan ‘azimah (keharusan).   Baca juga: Keringanan Bagi Musafir Apakah Wajib Qashar Shalat Saat Safar?   Referensi: Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:452-457. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:61-62.   –   Diselesaikan pada Ahad pagi, 12 Syawal 1445 H, 21 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar keringanan saat safar panduan safar Safar shalat saat safar
Aturan saat safar adalah qashar shalat menjadi dua rakaat. Saat mukim mengerjakan sempurna menjadi empat rakaat.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Hadits #429 عَنْ عَائشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَوَّلُ مَا فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ، فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلاَةُ الْحَضَرِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Shalat itu awalnya diwajibkan dua rakaat, lalu ia ditetapkan sebagai shalat dalam perjalanan, dan shalat saat mukim disempurnakan (empat rakaat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 350 dan Muslim, no. 685] وَلِلْبُخَارِيِّ: ثُمَّ هَاجَرَ، فَفُرِضَتْ أَرْبَعاً، وَأُقرَّتْ صَلاَةُ السَّفَر عَلَى الأَوَّلِ. Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Kemudian beliau hijrah kemudian diwajibkan empat rakaat dan shalat saat safar ditetapkan seperti semula.” [HR. Bukhari, no. 3935]   Hadits #430 زَادَ أَحْمَدُ: إِلاَّ المَغْرِبَ فَإنَّهَا وِتْرُ النَّهَارِ، وَإلاَّ الصُّبْحَ، فَإِنَّهَا تُطَوَّلُ فِيهَا الْقِرَاءَةُ. Imam Ahmad menambahkan, “Kecuali Maghrib, karena shalat Maghrib itu pengganjil shalat siang. Adapun bacaan shalat Shubuh itu dipanjangkan. [HR. Ahmad, 43:167. Sanad hadits ini perawinya tsiqqah atau terpercaya. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:453]   Faedah hadits 1. Shalat antara musafir dan bukan musafir (mukim) sebelum hijrah adalah dua rakaat, dua rakaat. Kemudian saat mukim, rakaatnya bertambah. Maka, shalat Zhuhur dan Ashar, serta Isyak menjadi empat rakaat. Karena mukim adalah waktu rehat dan menetap. Di antara karunia Allah, yang ditambah adalah dua rakaat. Di dalamnya terdapat pahala yang besar. Sedangkan shalat Maghrib sedari awal adalah tiga rakaat karena shalat Maghrib disebut witrun nahaar (witir pada siang hari). Shalat Shubuh sedari awal adalah dua rakaat, di samping bacaannya lama. Baca juga: Qashar Shalat itu Apa? 2. Ulama ada yang berpendapat bahwa qashar shalat itu wajib dilakukan saat safar berdasarkan hadits Aisyah. Pendapat lainnya menyatakan bahwa qashar shalat itu sunnah, bukan wajib. Inilah pendapat umumnya ulama, yaitu Ibnu Taimiyyah, Imam Syafii, Imam Malik, pendapat masyhur dari Imam Ahmad, juga menjadi pilihan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa qashar shalat saat safar itu AFDAL, shalat itmam (tanpa qashar, menjadi empat rakaat) itu MAKRUH. Pendapat ketiga menyatakan bahwa musafir punya pilihan untuk mengerjakan itmam (tanpa qashar) ataukah qashar. Ibnul Mundzir menyatakan ini adalah pendapat Imam Syafii dan Abu Tsaur. Ibnul Mulaqqin menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat dari Syafiiyyah. Baca juga: Aturan Safar untuk Jamak dan Qashar Shalat   3. Yang tepat, qashar shalat adalah rukhshah atau keringanan, bukan ‘azimah (keharusan).   Baca juga: Keringanan Bagi Musafir Apakah Wajib Qashar Shalat Saat Safar?   Referensi: Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:452-457. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:61-62.   –   Diselesaikan pada Ahad pagi, 12 Syawal 1445 H, 21 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar keringanan saat safar panduan safar Safar shalat saat safar


Aturan saat safar adalah qashar shalat menjadi dua rakaat. Saat mukim mengerjakan sempurna menjadi empat rakaat.   Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Kitab Shalat بَابُ صَلاَةِ المسَافِرِ وَالمريضِ Bab: Shalat Musafir dan Orang yang Sakit   Hadits #429 عَنْ عَائشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَوَّلُ مَا فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ، فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلاَةُ الْحَضَرِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Shalat itu awalnya diwajibkan dua rakaat, lalu ia ditetapkan sebagai shalat dalam perjalanan, dan shalat saat mukim disempurnakan (empat rakaat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 350 dan Muslim, no. 685] وَلِلْبُخَارِيِّ: ثُمَّ هَاجَرَ، فَفُرِضَتْ أَرْبَعاً، وَأُقرَّتْ صَلاَةُ السَّفَر عَلَى الأَوَّلِ. Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Kemudian beliau hijrah kemudian diwajibkan empat rakaat dan shalat saat safar ditetapkan seperti semula.” [HR. Bukhari, no. 3935]   Hadits #430 زَادَ أَحْمَدُ: إِلاَّ المَغْرِبَ فَإنَّهَا وِتْرُ النَّهَارِ، وَإلاَّ الصُّبْحَ، فَإِنَّهَا تُطَوَّلُ فِيهَا الْقِرَاءَةُ. Imam Ahmad menambahkan, “Kecuali Maghrib, karena shalat Maghrib itu pengganjil shalat siang. Adapun bacaan shalat Shubuh itu dipanjangkan. [HR. Ahmad, 43:167. Sanad hadits ini perawinya tsiqqah atau terpercaya. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:453]   Faedah hadits 1. Shalat antara musafir dan bukan musafir (mukim) sebelum hijrah adalah dua rakaat, dua rakaat. Kemudian saat mukim, rakaatnya bertambah. Maka, shalat Zhuhur dan Ashar, serta Isyak menjadi empat rakaat. Karena mukim adalah waktu rehat dan menetap. Di antara karunia Allah, yang ditambah adalah dua rakaat. Di dalamnya terdapat pahala yang besar. Sedangkan shalat Maghrib sedari awal adalah tiga rakaat karena shalat Maghrib disebut witrun nahaar (witir pada siang hari). Shalat Shubuh sedari awal adalah dua rakaat, di samping bacaannya lama. Baca juga: Qashar Shalat itu Apa? 2. Ulama ada yang berpendapat bahwa qashar shalat itu wajib dilakukan saat safar berdasarkan hadits Aisyah. Pendapat lainnya menyatakan bahwa qashar shalat itu sunnah, bukan wajib. Inilah pendapat umumnya ulama, yaitu Ibnu Taimiyyah, Imam Syafii, Imam Malik, pendapat masyhur dari Imam Ahmad, juga menjadi pilihan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa qashar shalat saat safar itu AFDAL, shalat itmam (tanpa qashar, menjadi empat rakaat) itu MAKRUH. Pendapat ketiga menyatakan bahwa musafir punya pilihan untuk mengerjakan itmam (tanpa qashar) ataukah qashar. Ibnul Mundzir menyatakan ini adalah pendapat Imam Syafii dan Abu Tsaur. Ibnul Mulaqqin menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat dari Syafiiyyah. Baca juga: Aturan Safar untuk Jamak dan Qashar Shalat   3. Yang tepat, qashar shalat adalah rukhshah atau keringanan, bukan ‘azimah (keharusan).   Baca juga: Keringanan Bagi Musafir Apakah Wajib Qashar Shalat Saat Safar?   Referensi: Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:452-457. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:61-62.   –   Diselesaikan pada Ahad pagi, 12 Syawal 1445 H, 21 April 2024 @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbulughul maram bulughul maram shalat bulughul maram shalat musafir fikih safar keringanan saat safar panduan safar Safar shalat saat safar
Prev     Next