Seandainya Anda Punya Gunung Emas – Syaikh Hasan bin Abdul Hamid Bukhari #NasehatUlama

Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Tidaklah menyenangkanku…” Artinya, demi Allah, tidak akan membahagiakan dirinya seandainya beliau diberi emas sebesar gunung Uhud. Beliau bersabda, “Tidaklah membahagiakanku, jika aku punya emas sebesar gunung Uhud, lalu ada sisa satu dinar yang bermalam bersamaku…” Jikalau emas sebesar gunung Uhud, berapa dinar semua itu? Banyak sekali, beribu-ribu jumlahnya! Namun beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Seandainya aku punya emas sebesar gunung Uhud…” Emas itu benar-benar di tanganku, maka tidaklah tiba waktu malam dan tiba waktunya tidur, tapi masih tersisa satu dinar di tanganku… Nabi katakan, “Kecuali dinar yang aku pakai untuk membayar utang.” (HR. Bukhari) Yakni untuk melunasi utang jika beliau punya utang. Pertanyaannya, apa yang beliau lakukan terhadap emas itu? Ke mana emas itu akan disalurkan? Jawabnya: Untuk semua bidang kehidupan yang akan mendekatkan kepada Allah; sebagiannya disalurkan dalam bentuk sedekah untuk para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, ada pula yang diberikan untuk memperkuat umat Islam, mempersiapkan perbekalan dan persiapan pasukan, serta memperkuat negeri-negeri kaum muslimin, sehingga pada akhirnya tidak ada emas yang dialokasikan untuk memperkaya diri sendiri. Nabi ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Tidaklah menyenangkanku…” artinya bahwa sebenarnya itu tidak terjadi kepada beliau, beliau hanya berbicara tentang perasaan dalam hati, yang beliau jadikan sikap hakiki terhadap harta. Sekarang, tanyakan diri Anda, andaikata itu hanya sekadar khayalan Anda dan mimpi Anda, jujur saja, apakah Anda senang jika bisa mengumpulkan banyak harta? Adapun bimbingan beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, maka jawabannya tidak! Tidak akan membuat beliau senang, kemudian beliau juga tidak pernah memikirkannya. Sekarang, mari kita renungkan bersama, bahwa banyak sekali mimpi kita ketika kita masih fakir, dan banyak cita-cita kita ketika kita belum punya harta dan kedudukan, maka tidaklah itu menjadi harapan dan mimpi melainkan karena perasaan dalam hati ini terkait dengannya. Lalu ketika perasaan dalam hati ini sudah terkait dengannya, maka itu menjadi titik kebahagiaan bagi seseorang, dengan sekadar memikirkan dan memimpikannya. Lalu bagaimana jika itu menjadi nyata di tangannya? Ini akan membuatnya lupa diri, merasa nyaman dengannya, dan hatinya akan terkait dengannya. Memang benar, demikianlah keadaan manusia. Adapun bagi orang yang telah mencabut rasa itu dari hati, maka tidak akan membuatnya senang walau hanya sekadar memikirkan, membayangkan, memimpikan, dan mengkhayalkannya. Jika memikirkan, mengkhayalkan, memimpikan, dan membayangkan saja sama sekali tidak memicu kesenangan baginya, lalu apakah Anda mengira jika hal itu benar dia miliki lalu hatinya dan jiwanya akan tersibukkan dan terkait dengannya? Demi Allah, tidak sama sekali! Hal ini bisa disaksikan dalam realita kehidupan Nabi ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, Nabi bersabda, “Tidaklah menyenangkanku, jika aku punya emas segunung Uhud lalu ada sisa satu dinar yang bermalam bersamaku…” “…kecuali dinar yang aku pakai untuk membayar utang.” (HR. Bukhari)Demikian. ==== يَقَوْلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا يَسُرُّنِي يَعْنِي وَاللهِ لَنْ يُدَاخِلَهُ سُرُورٌ أَنَّهُ لَوْ أُوتِيَ مِثْلَ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا يَقُولُ: مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي أُحُدًا ذَهَبًا يَبِيتُ عِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ لَوْ كَانَ أُحُدٌ… مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا كَمْ يَكُونُ مِنَ الدَّنَانيرِ ؟ شَيءٌ عَظِيمٌ أُلُوفٌ مُؤَلَّفَةٌ لَكِنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مِثْلَ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا وَكَانَ بِيَدَيَّ فَإِنَّهُ لَنْ يَأْتِيَ عَلَيَّ الْمَسَاءُ وَيُدْرِكَنِي الْمَبِيتُ وَقَدْ بَقِيَ مِنْهُ دِينَارٌ عِنْدِي قَالَ: إِلَّا دِينَارًا أَرْصُدُهُ لِلدَّيْنِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ يَعْنِي يَسُدُّ بِهِ دَينًا إِنْ كَانَ عَلَيْهِ السُّؤَالُ مَاذَا سَيَفْعَلُ بِهِ؟ أَيْنَ سَيُصَرِّفُهُ ؟ الْجَوَابُ فِي كُلِّ مَصَارِفِ الْحَيَاةِ الَّتِي تُقَرِّبُ إِلَى اللهِ سَيَكُونُ شَيْئًا مِنَ الْقُرُوبَاتِ فِي الصَّدَقَاتِ فِي الْمَسَاكِينِ فِي أَصْحَابِ الْحَاجَاتِ سَيَكُونُ شَيْئًا مِنْ تَقْوِيَةِ الْمُسْلِمِينَ وَإِعْدَادِ الْعُدَّةِ وَتَجْهِيزِ الْجُيُوشِ وَتَقْوِيَةِ الْبِلَادِ الْإِسْلَامِ سَيَكُونُ مَصْرِفًا فِي النِّهَايَةِ لَيْسَ حَظًّا يَكْتَنِزُهُ لِنَفْسِهِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا يَسُرُّنِي يَعْنِي حَقِيقَةً هُوَ مَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ لَكِنَّهُ يَتَحَدَّثُ عَنْ مَشَاعِرِ الْقَلْبِ الَّذِي اتَّخَذَ مَوْقِفًا حَقِيقِيًّا تُجَاهَ الْمَالِ فَالْآنَ اسْأَلْ نَفْسَكَ لَوْ كَانَ مُجَرَّدَ خَيَالٍ تَتَخَيَّلُهُ وَحُلُمًا تَحْلُمُ بِهِ صِدْقًا أَيَسُرُّكَ أَنْ يَجْتَمِعَ لَكَ مَالٌ وَفِيرٌ؟ أَمَّا هَدْيُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكَانَ لَا لَنْ يَسُرَّهُ وَبِالتَّالِي فَلَنْ يُفَكِّرَ فِيهِ أَدْرِكْ مَعِيَ الْآنَ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْلَامِ الَّتِي نَحْلَمُهَا وَنَحْنُ فُقَرَاءُ وَأَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْآمَالِ الَّتِي نُؤَمِّلُهَا وَنَحْنُ لَسْنَا مِنْ أَرْبَابِ الْغِنَى وَالْجَاهِ مَا كَانَتْ آمَالًا وَلَا أَحْلَامًا إِلَّا لِأَنَّ خَوَاطِرَ الْقُلُوبِ تَعَلَّقَتْ بِهَا فَلَمَّا تَعَلَّقَتْ بِهَا الْخَوَاطِرُ أَصْبَحَتْ مَحَلَّ سُرُورٍ يُسَرُّ بِهَا الْمَرْءُ بِمُجَرَّدِ التَّفْكِيرِ وَالْحُلُمِ فَكَيْفَ إِذَا أَصْبَحَتْ حَقِيقَةً فِي يَدِهِ؟ سَيُجَنُّ بِهَا سَيَرْكَنُ لَهَا سَيَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِهَا وَصِدْقًا هَذَا حَالُ النَّاسِ وَأَمَّا مَنْ نَزَعَهَا مِنْ قَلْبِهِ فَلَنْ يَسُرَّهُ مُجَرَّدُ التَّفْكِيرِ وَالْخَاطِرَةِ وَالْحُلُمِ وَالْخَيَالِ فَإِذَا كَانَ التَّفْكِيرُ وَالْخَيَالُ وَالْحُلُمُ وَالْخَوَاطِرُ لَنْ تَكُونَ أَبَدًا مَبْعَثَ سُرُورٍ أَتَظُنُّ أَنَّهَا إِنْ حَلَّتْ بِيَدِهِ سَيَشْتَغِلُ بِهَا الْقَلْبُ وَيَتَعَلَّقُ بِهَا الْفُؤَادُ؟ أَبَدًا وَاللهِ وَهَذَا شَاهِدٌ مِنْ حَيَاتِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي أُحُدًا ذَهَبًا يَبِيتُ عِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ قَالَ: إِلَّا دِينَارٌ أَرْصُدُهُ لِلدَّيْنِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ نَعَمْ

Seandainya Anda Punya Gunung Emas – Syaikh Hasan bin Abdul Hamid Bukhari #NasehatUlama

Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Tidaklah menyenangkanku…” Artinya, demi Allah, tidak akan membahagiakan dirinya seandainya beliau diberi emas sebesar gunung Uhud. Beliau bersabda, “Tidaklah membahagiakanku, jika aku punya emas sebesar gunung Uhud, lalu ada sisa satu dinar yang bermalam bersamaku…” Jikalau emas sebesar gunung Uhud, berapa dinar semua itu? Banyak sekali, beribu-ribu jumlahnya! Namun beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Seandainya aku punya emas sebesar gunung Uhud…” Emas itu benar-benar di tanganku, maka tidaklah tiba waktu malam dan tiba waktunya tidur, tapi masih tersisa satu dinar di tanganku… Nabi katakan, “Kecuali dinar yang aku pakai untuk membayar utang.” (HR. Bukhari) Yakni untuk melunasi utang jika beliau punya utang. Pertanyaannya, apa yang beliau lakukan terhadap emas itu? Ke mana emas itu akan disalurkan? Jawabnya: Untuk semua bidang kehidupan yang akan mendekatkan kepada Allah; sebagiannya disalurkan dalam bentuk sedekah untuk para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, ada pula yang diberikan untuk memperkuat umat Islam, mempersiapkan perbekalan dan persiapan pasukan, serta memperkuat negeri-negeri kaum muslimin, sehingga pada akhirnya tidak ada emas yang dialokasikan untuk memperkaya diri sendiri. Nabi ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Tidaklah menyenangkanku…” artinya bahwa sebenarnya itu tidak terjadi kepada beliau, beliau hanya berbicara tentang perasaan dalam hati, yang beliau jadikan sikap hakiki terhadap harta. Sekarang, tanyakan diri Anda, andaikata itu hanya sekadar khayalan Anda dan mimpi Anda, jujur saja, apakah Anda senang jika bisa mengumpulkan banyak harta? Adapun bimbingan beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, maka jawabannya tidak! Tidak akan membuat beliau senang, kemudian beliau juga tidak pernah memikirkannya. Sekarang, mari kita renungkan bersama, bahwa banyak sekali mimpi kita ketika kita masih fakir, dan banyak cita-cita kita ketika kita belum punya harta dan kedudukan, maka tidaklah itu menjadi harapan dan mimpi melainkan karena perasaan dalam hati ini terkait dengannya. Lalu ketika perasaan dalam hati ini sudah terkait dengannya, maka itu menjadi titik kebahagiaan bagi seseorang, dengan sekadar memikirkan dan memimpikannya. Lalu bagaimana jika itu menjadi nyata di tangannya? Ini akan membuatnya lupa diri, merasa nyaman dengannya, dan hatinya akan terkait dengannya. Memang benar, demikianlah keadaan manusia. Adapun bagi orang yang telah mencabut rasa itu dari hati, maka tidak akan membuatnya senang walau hanya sekadar memikirkan, membayangkan, memimpikan, dan mengkhayalkannya. Jika memikirkan, mengkhayalkan, memimpikan, dan membayangkan saja sama sekali tidak memicu kesenangan baginya, lalu apakah Anda mengira jika hal itu benar dia miliki lalu hatinya dan jiwanya akan tersibukkan dan terkait dengannya? Demi Allah, tidak sama sekali! Hal ini bisa disaksikan dalam realita kehidupan Nabi ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, Nabi bersabda, “Tidaklah menyenangkanku, jika aku punya emas segunung Uhud lalu ada sisa satu dinar yang bermalam bersamaku…” “…kecuali dinar yang aku pakai untuk membayar utang.” (HR. Bukhari)Demikian. ==== يَقَوْلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا يَسُرُّنِي يَعْنِي وَاللهِ لَنْ يُدَاخِلَهُ سُرُورٌ أَنَّهُ لَوْ أُوتِيَ مِثْلَ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا يَقُولُ: مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي أُحُدًا ذَهَبًا يَبِيتُ عِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ لَوْ كَانَ أُحُدٌ… مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا كَمْ يَكُونُ مِنَ الدَّنَانيرِ ؟ شَيءٌ عَظِيمٌ أُلُوفٌ مُؤَلَّفَةٌ لَكِنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مِثْلَ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا وَكَانَ بِيَدَيَّ فَإِنَّهُ لَنْ يَأْتِيَ عَلَيَّ الْمَسَاءُ وَيُدْرِكَنِي الْمَبِيتُ وَقَدْ بَقِيَ مِنْهُ دِينَارٌ عِنْدِي قَالَ: إِلَّا دِينَارًا أَرْصُدُهُ لِلدَّيْنِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ يَعْنِي يَسُدُّ بِهِ دَينًا إِنْ كَانَ عَلَيْهِ السُّؤَالُ مَاذَا سَيَفْعَلُ بِهِ؟ أَيْنَ سَيُصَرِّفُهُ ؟ الْجَوَابُ فِي كُلِّ مَصَارِفِ الْحَيَاةِ الَّتِي تُقَرِّبُ إِلَى اللهِ سَيَكُونُ شَيْئًا مِنَ الْقُرُوبَاتِ فِي الصَّدَقَاتِ فِي الْمَسَاكِينِ فِي أَصْحَابِ الْحَاجَاتِ سَيَكُونُ شَيْئًا مِنْ تَقْوِيَةِ الْمُسْلِمِينَ وَإِعْدَادِ الْعُدَّةِ وَتَجْهِيزِ الْجُيُوشِ وَتَقْوِيَةِ الْبِلَادِ الْإِسْلَامِ سَيَكُونُ مَصْرِفًا فِي النِّهَايَةِ لَيْسَ حَظًّا يَكْتَنِزُهُ لِنَفْسِهِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا يَسُرُّنِي يَعْنِي حَقِيقَةً هُوَ مَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ لَكِنَّهُ يَتَحَدَّثُ عَنْ مَشَاعِرِ الْقَلْبِ الَّذِي اتَّخَذَ مَوْقِفًا حَقِيقِيًّا تُجَاهَ الْمَالِ فَالْآنَ اسْأَلْ نَفْسَكَ لَوْ كَانَ مُجَرَّدَ خَيَالٍ تَتَخَيَّلُهُ وَحُلُمًا تَحْلُمُ بِهِ صِدْقًا أَيَسُرُّكَ أَنْ يَجْتَمِعَ لَكَ مَالٌ وَفِيرٌ؟ أَمَّا هَدْيُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكَانَ لَا لَنْ يَسُرَّهُ وَبِالتَّالِي فَلَنْ يُفَكِّرَ فِيهِ أَدْرِكْ مَعِيَ الْآنَ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْلَامِ الَّتِي نَحْلَمُهَا وَنَحْنُ فُقَرَاءُ وَأَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْآمَالِ الَّتِي نُؤَمِّلُهَا وَنَحْنُ لَسْنَا مِنْ أَرْبَابِ الْغِنَى وَالْجَاهِ مَا كَانَتْ آمَالًا وَلَا أَحْلَامًا إِلَّا لِأَنَّ خَوَاطِرَ الْقُلُوبِ تَعَلَّقَتْ بِهَا فَلَمَّا تَعَلَّقَتْ بِهَا الْخَوَاطِرُ أَصْبَحَتْ مَحَلَّ سُرُورٍ يُسَرُّ بِهَا الْمَرْءُ بِمُجَرَّدِ التَّفْكِيرِ وَالْحُلُمِ فَكَيْفَ إِذَا أَصْبَحَتْ حَقِيقَةً فِي يَدِهِ؟ سَيُجَنُّ بِهَا سَيَرْكَنُ لَهَا سَيَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِهَا وَصِدْقًا هَذَا حَالُ النَّاسِ وَأَمَّا مَنْ نَزَعَهَا مِنْ قَلْبِهِ فَلَنْ يَسُرَّهُ مُجَرَّدُ التَّفْكِيرِ وَالْخَاطِرَةِ وَالْحُلُمِ وَالْخَيَالِ فَإِذَا كَانَ التَّفْكِيرُ وَالْخَيَالُ وَالْحُلُمُ وَالْخَوَاطِرُ لَنْ تَكُونَ أَبَدًا مَبْعَثَ سُرُورٍ أَتَظُنُّ أَنَّهَا إِنْ حَلَّتْ بِيَدِهِ سَيَشْتَغِلُ بِهَا الْقَلْبُ وَيَتَعَلَّقُ بِهَا الْفُؤَادُ؟ أَبَدًا وَاللهِ وَهَذَا شَاهِدٌ مِنْ حَيَاتِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي أُحُدًا ذَهَبًا يَبِيتُ عِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ قَالَ: إِلَّا دِينَارٌ أَرْصُدُهُ لِلدَّيْنِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ نَعَمْ
Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Tidaklah menyenangkanku…” Artinya, demi Allah, tidak akan membahagiakan dirinya seandainya beliau diberi emas sebesar gunung Uhud. Beliau bersabda, “Tidaklah membahagiakanku, jika aku punya emas sebesar gunung Uhud, lalu ada sisa satu dinar yang bermalam bersamaku…” Jikalau emas sebesar gunung Uhud, berapa dinar semua itu? Banyak sekali, beribu-ribu jumlahnya! Namun beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Seandainya aku punya emas sebesar gunung Uhud…” Emas itu benar-benar di tanganku, maka tidaklah tiba waktu malam dan tiba waktunya tidur, tapi masih tersisa satu dinar di tanganku… Nabi katakan, “Kecuali dinar yang aku pakai untuk membayar utang.” (HR. Bukhari) Yakni untuk melunasi utang jika beliau punya utang. Pertanyaannya, apa yang beliau lakukan terhadap emas itu? Ke mana emas itu akan disalurkan? Jawabnya: Untuk semua bidang kehidupan yang akan mendekatkan kepada Allah; sebagiannya disalurkan dalam bentuk sedekah untuk para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, ada pula yang diberikan untuk memperkuat umat Islam, mempersiapkan perbekalan dan persiapan pasukan, serta memperkuat negeri-negeri kaum muslimin, sehingga pada akhirnya tidak ada emas yang dialokasikan untuk memperkaya diri sendiri. Nabi ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Tidaklah menyenangkanku…” artinya bahwa sebenarnya itu tidak terjadi kepada beliau, beliau hanya berbicara tentang perasaan dalam hati, yang beliau jadikan sikap hakiki terhadap harta. Sekarang, tanyakan diri Anda, andaikata itu hanya sekadar khayalan Anda dan mimpi Anda, jujur saja, apakah Anda senang jika bisa mengumpulkan banyak harta? Adapun bimbingan beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, maka jawabannya tidak! Tidak akan membuat beliau senang, kemudian beliau juga tidak pernah memikirkannya. Sekarang, mari kita renungkan bersama, bahwa banyak sekali mimpi kita ketika kita masih fakir, dan banyak cita-cita kita ketika kita belum punya harta dan kedudukan, maka tidaklah itu menjadi harapan dan mimpi melainkan karena perasaan dalam hati ini terkait dengannya. Lalu ketika perasaan dalam hati ini sudah terkait dengannya, maka itu menjadi titik kebahagiaan bagi seseorang, dengan sekadar memikirkan dan memimpikannya. Lalu bagaimana jika itu menjadi nyata di tangannya? Ini akan membuatnya lupa diri, merasa nyaman dengannya, dan hatinya akan terkait dengannya. Memang benar, demikianlah keadaan manusia. Adapun bagi orang yang telah mencabut rasa itu dari hati, maka tidak akan membuatnya senang walau hanya sekadar memikirkan, membayangkan, memimpikan, dan mengkhayalkannya. Jika memikirkan, mengkhayalkan, memimpikan, dan membayangkan saja sama sekali tidak memicu kesenangan baginya, lalu apakah Anda mengira jika hal itu benar dia miliki lalu hatinya dan jiwanya akan tersibukkan dan terkait dengannya? Demi Allah, tidak sama sekali! Hal ini bisa disaksikan dalam realita kehidupan Nabi ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, Nabi bersabda, “Tidaklah menyenangkanku, jika aku punya emas segunung Uhud lalu ada sisa satu dinar yang bermalam bersamaku…” “…kecuali dinar yang aku pakai untuk membayar utang.” (HR. Bukhari)Demikian. ==== يَقَوْلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا يَسُرُّنِي يَعْنِي وَاللهِ لَنْ يُدَاخِلَهُ سُرُورٌ أَنَّهُ لَوْ أُوتِيَ مِثْلَ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا يَقُولُ: مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي أُحُدًا ذَهَبًا يَبِيتُ عِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ لَوْ كَانَ أُحُدٌ… مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا كَمْ يَكُونُ مِنَ الدَّنَانيرِ ؟ شَيءٌ عَظِيمٌ أُلُوفٌ مُؤَلَّفَةٌ لَكِنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مِثْلَ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا وَكَانَ بِيَدَيَّ فَإِنَّهُ لَنْ يَأْتِيَ عَلَيَّ الْمَسَاءُ وَيُدْرِكَنِي الْمَبِيتُ وَقَدْ بَقِيَ مِنْهُ دِينَارٌ عِنْدِي قَالَ: إِلَّا دِينَارًا أَرْصُدُهُ لِلدَّيْنِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ يَعْنِي يَسُدُّ بِهِ دَينًا إِنْ كَانَ عَلَيْهِ السُّؤَالُ مَاذَا سَيَفْعَلُ بِهِ؟ أَيْنَ سَيُصَرِّفُهُ ؟ الْجَوَابُ فِي كُلِّ مَصَارِفِ الْحَيَاةِ الَّتِي تُقَرِّبُ إِلَى اللهِ سَيَكُونُ شَيْئًا مِنَ الْقُرُوبَاتِ فِي الصَّدَقَاتِ فِي الْمَسَاكِينِ فِي أَصْحَابِ الْحَاجَاتِ سَيَكُونُ شَيْئًا مِنْ تَقْوِيَةِ الْمُسْلِمِينَ وَإِعْدَادِ الْعُدَّةِ وَتَجْهِيزِ الْجُيُوشِ وَتَقْوِيَةِ الْبِلَادِ الْإِسْلَامِ سَيَكُونُ مَصْرِفًا فِي النِّهَايَةِ لَيْسَ حَظًّا يَكْتَنِزُهُ لِنَفْسِهِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا يَسُرُّنِي يَعْنِي حَقِيقَةً هُوَ مَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ لَكِنَّهُ يَتَحَدَّثُ عَنْ مَشَاعِرِ الْقَلْبِ الَّذِي اتَّخَذَ مَوْقِفًا حَقِيقِيًّا تُجَاهَ الْمَالِ فَالْآنَ اسْأَلْ نَفْسَكَ لَوْ كَانَ مُجَرَّدَ خَيَالٍ تَتَخَيَّلُهُ وَحُلُمًا تَحْلُمُ بِهِ صِدْقًا أَيَسُرُّكَ أَنْ يَجْتَمِعَ لَكَ مَالٌ وَفِيرٌ؟ أَمَّا هَدْيُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكَانَ لَا لَنْ يَسُرَّهُ وَبِالتَّالِي فَلَنْ يُفَكِّرَ فِيهِ أَدْرِكْ مَعِيَ الْآنَ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْلَامِ الَّتِي نَحْلَمُهَا وَنَحْنُ فُقَرَاءُ وَأَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْآمَالِ الَّتِي نُؤَمِّلُهَا وَنَحْنُ لَسْنَا مِنْ أَرْبَابِ الْغِنَى وَالْجَاهِ مَا كَانَتْ آمَالًا وَلَا أَحْلَامًا إِلَّا لِأَنَّ خَوَاطِرَ الْقُلُوبِ تَعَلَّقَتْ بِهَا فَلَمَّا تَعَلَّقَتْ بِهَا الْخَوَاطِرُ أَصْبَحَتْ مَحَلَّ سُرُورٍ يُسَرُّ بِهَا الْمَرْءُ بِمُجَرَّدِ التَّفْكِيرِ وَالْحُلُمِ فَكَيْفَ إِذَا أَصْبَحَتْ حَقِيقَةً فِي يَدِهِ؟ سَيُجَنُّ بِهَا سَيَرْكَنُ لَهَا سَيَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِهَا وَصِدْقًا هَذَا حَالُ النَّاسِ وَأَمَّا مَنْ نَزَعَهَا مِنْ قَلْبِهِ فَلَنْ يَسُرَّهُ مُجَرَّدُ التَّفْكِيرِ وَالْخَاطِرَةِ وَالْحُلُمِ وَالْخَيَالِ فَإِذَا كَانَ التَّفْكِيرُ وَالْخَيَالُ وَالْحُلُمُ وَالْخَوَاطِرُ لَنْ تَكُونَ أَبَدًا مَبْعَثَ سُرُورٍ أَتَظُنُّ أَنَّهَا إِنْ حَلَّتْ بِيَدِهِ سَيَشْتَغِلُ بِهَا الْقَلْبُ وَيَتَعَلَّقُ بِهَا الْفُؤَادُ؟ أَبَدًا وَاللهِ وَهَذَا شَاهِدٌ مِنْ حَيَاتِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي أُحُدًا ذَهَبًا يَبِيتُ عِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ قَالَ: إِلَّا دِينَارٌ أَرْصُدُهُ لِلدَّيْنِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ نَعَمْ


Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Tidaklah menyenangkanku…” Artinya, demi Allah, tidak akan membahagiakan dirinya seandainya beliau diberi emas sebesar gunung Uhud. Beliau bersabda, “Tidaklah membahagiakanku, jika aku punya emas sebesar gunung Uhud, lalu ada sisa satu dinar yang bermalam bersamaku…” Jikalau emas sebesar gunung Uhud, berapa dinar semua itu? Banyak sekali, beribu-ribu jumlahnya! Namun beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Seandainya aku punya emas sebesar gunung Uhud…” Emas itu benar-benar di tanganku, maka tidaklah tiba waktu malam dan tiba waktunya tidur, tapi masih tersisa satu dinar di tanganku… Nabi katakan, “Kecuali dinar yang aku pakai untuk membayar utang.” (HR. Bukhari) Yakni untuk melunasi utang jika beliau punya utang. Pertanyaannya, apa yang beliau lakukan terhadap emas itu? Ke mana emas itu akan disalurkan? Jawabnya: Untuk semua bidang kehidupan yang akan mendekatkan kepada Allah; sebagiannya disalurkan dalam bentuk sedekah untuk para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan, ada pula yang diberikan untuk memperkuat umat Islam, mempersiapkan perbekalan dan persiapan pasukan, serta memperkuat negeri-negeri kaum muslimin, sehingga pada akhirnya tidak ada emas yang dialokasikan untuk memperkaya diri sendiri. Nabi ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām bersabda, “Tidaklah menyenangkanku…” artinya bahwa sebenarnya itu tidak terjadi kepada beliau, beliau hanya berbicara tentang perasaan dalam hati, yang beliau jadikan sikap hakiki terhadap harta. Sekarang, tanyakan diri Anda, andaikata itu hanya sekadar khayalan Anda dan mimpi Anda, jujur saja, apakah Anda senang jika bisa mengumpulkan banyak harta? Adapun bimbingan beliau ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, maka jawabannya tidak! Tidak akan membuat beliau senang, kemudian beliau juga tidak pernah memikirkannya. Sekarang, mari kita renungkan bersama, bahwa banyak sekali mimpi kita ketika kita masih fakir, dan banyak cita-cita kita ketika kita belum punya harta dan kedudukan, maka tidaklah itu menjadi harapan dan mimpi melainkan karena perasaan dalam hati ini terkait dengannya. Lalu ketika perasaan dalam hati ini sudah terkait dengannya, maka itu menjadi titik kebahagiaan bagi seseorang, dengan sekadar memikirkan dan memimpikannya. Lalu bagaimana jika itu menjadi nyata di tangannya? Ini akan membuatnya lupa diri, merasa nyaman dengannya, dan hatinya akan terkait dengannya. Memang benar, demikianlah keadaan manusia. Adapun bagi orang yang telah mencabut rasa itu dari hati, maka tidak akan membuatnya senang walau hanya sekadar memikirkan, membayangkan, memimpikan, dan mengkhayalkannya. Jika memikirkan, mengkhayalkan, memimpikan, dan membayangkan saja sama sekali tidak memicu kesenangan baginya, lalu apakah Anda mengira jika hal itu benar dia miliki lalu hatinya dan jiwanya akan tersibukkan dan terkait dengannya? Demi Allah, tidak sama sekali! Hal ini bisa disaksikan dalam realita kehidupan Nabi ʿAlaihiṣ Ṣalātu was Salām, Nabi bersabda, “Tidaklah menyenangkanku, jika aku punya emas segunung Uhud lalu ada sisa satu dinar yang bermalam bersamaku…” “…kecuali dinar yang aku pakai untuk membayar utang.” (HR. Bukhari)Demikian. ==== يَقَوْلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا يَسُرُّنِي يَعْنِي وَاللهِ لَنْ يُدَاخِلَهُ سُرُورٌ أَنَّهُ لَوْ أُوتِيَ مِثْلَ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا يَقُولُ: مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي أُحُدًا ذَهَبًا يَبِيتُ عِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ لَوْ كَانَ أُحُدٌ… مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا كَمْ يَكُونُ مِنَ الدَّنَانيرِ ؟ شَيءٌ عَظِيمٌ أُلُوفٌ مُؤَلَّفَةٌ لَكِنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مِثْلَ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا وَكَانَ بِيَدَيَّ فَإِنَّهُ لَنْ يَأْتِيَ عَلَيَّ الْمَسَاءُ وَيُدْرِكَنِي الْمَبِيتُ وَقَدْ بَقِيَ مِنْهُ دِينَارٌ عِنْدِي قَالَ: إِلَّا دِينَارًا أَرْصُدُهُ لِلدَّيْنِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ يَعْنِي يَسُدُّ بِهِ دَينًا إِنْ كَانَ عَلَيْهِ السُّؤَالُ مَاذَا سَيَفْعَلُ بِهِ؟ أَيْنَ سَيُصَرِّفُهُ ؟ الْجَوَابُ فِي كُلِّ مَصَارِفِ الْحَيَاةِ الَّتِي تُقَرِّبُ إِلَى اللهِ سَيَكُونُ شَيْئًا مِنَ الْقُرُوبَاتِ فِي الصَّدَقَاتِ فِي الْمَسَاكِينِ فِي أَصْحَابِ الْحَاجَاتِ سَيَكُونُ شَيْئًا مِنْ تَقْوِيَةِ الْمُسْلِمِينَ وَإِعْدَادِ الْعُدَّةِ وَتَجْهِيزِ الْجُيُوشِ وَتَقْوِيَةِ الْبِلَادِ الْإِسْلَامِ سَيَكُونُ مَصْرِفًا فِي النِّهَايَةِ لَيْسَ حَظًّا يَكْتَنِزُهُ لِنَفْسِهِ يَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا يَسُرُّنِي يَعْنِي حَقِيقَةً هُوَ مَا حَصَلَ لَهُ ذَلِكَ لَكِنَّهُ يَتَحَدَّثُ عَنْ مَشَاعِرِ الْقَلْبِ الَّذِي اتَّخَذَ مَوْقِفًا حَقِيقِيًّا تُجَاهَ الْمَالِ فَالْآنَ اسْأَلْ نَفْسَكَ لَوْ كَانَ مُجَرَّدَ خَيَالٍ تَتَخَيَّلُهُ وَحُلُمًا تَحْلُمُ بِهِ صِدْقًا أَيَسُرُّكَ أَنْ يَجْتَمِعَ لَكَ مَالٌ وَفِيرٌ؟ أَمَّا هَدْيُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَكَانَ لَا لَنْ يَسُرَّهُ وَبِالتَّالِي فَلَنْ يُفَكِّرَ فِيهِ أَدْرِكْ مَعِيَ الْآنَ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْلَامِ الَّتِي نَحْلَمُهَا وَنَحْنُ فُقَرَاءُ وَأَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْآمَالِ الَّتِي نُؤَمِّلُهَا وَنَحْنُ لَسْنَا مِنْ أَرْبَابِ الْغِنَى وَالْجَاهِ مَا كَانَتْ آمَالًا وَلَا أَحْلَامًا إِلَّا لِأَنَّ خَوَاطِرَ الْقُلُوبِ تَعَلَّقَتْ بِهَا فَلَمَّا تَعَلَّقَتْ بِهَا الْخَوَاطِرُ أَصْبَحَتْ مَحَلَّ سُرُورٍ يُسَرُّ بِهَا الْمَرْءُ بِمُجَرَّدِ التَّفْكِيرِ وَالْحُلُمِ فَكَيْفَ إِذَا أَصْبَحَتْ حَقِيقَةً فِي يَدِهِ؟ سَيُجَنُّ بِهَا سَيَرْكَنُ لَهَا سَيَتَعَلَّقُ قَلْبُهُ بِهَا وَصِدْقًا هَذَا حَالُ النَّاسِ وَأَمَّا مَنْ نَزَعَهَا مِنْ قَلْبِهِ فَلَنْ يَسُرَّهُ مُجَرَّدُ التَّفْكِيرِ وَالْخَاطِرَةِ وَالْحُلُمِ وَالْخَيَالِ فَإِذَا كَانَ التَّفْكِيرُ وَالْخَيَالُ وَالْحُلُمُ وَالْخَوَاطِرُ لَنْ تَكُونَ أَبَدًا مَبْعَثَ سُرُورٍ أَتَظُنُّ أَنَّهَا إِنْ حَلَّتْ بِيَدِهِ سَيَشْتَغِلُ بِهَا الْقَلْبُ وَيَتَعَلَّقُ بِهَا الْفُؤَادُ؟ أَبَدًا وَاللهِ وَهَذَا شَاهِدٌ مِنْ حَيَاتِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَقُولُ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي أُحُدًا ذَهَبًا يَبِيتُ عِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ قَالَ: إِلَّا دِينَارٌ أَرْصُدُهُ لِلدَّيْنِ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ نَعَمْ

Satu Kesulitan Tidak Mungkin Menang Melawan Dua Kemudahan, Tetap Optimis!

Ingat, kita harus optimis ketika hadapi masalah. Karena di balik satu kesulitan ada dua kemudahan. Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan. Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan faedah berharga, ومن فهم هذا فهم معنى قول النبي صلى الله عليه وسلم “لن يغلب عسر يسرين” مرسل وله طرق تعضده فإنه أشار إلى قوله تعالى: {فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً} فالعسر وإن تكرر مرتين فتكرر بلفظ المعرفة فهو واحد واليسر تكرر بلفظ النكرة فهو يسران فالعسر محفوف بيسرين يسر قبله ويسر بعده فلن يغلب عسر يسرين “Siapa yang memahami ini, maka ia akan memahami makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.” Ini adalah hadits mursal dan memiliki berbagai jalur pendukung. Hadits ini merujuk pada firman Allah Ta’ala, فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا , إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6) Kaidahnya adalah kata “al-‘usri” berulang dua kali dengan kata bentuk makrifah (terdapat alif laam atau al), maka al-‘usri atau kesulitan itu dianggap satu. Sedangkan kata “yusron” berulang dengan bentuk nakirah, yurson atau kemudahan itu berarti dua. Oleh karenanya, kesulitan itu diapit oleh dua kemudahan, yaitu kemudahan sebelum dan sesudahnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa satu kesulitan tidak akan menang melawan dua kemudahan. (Badai’ Al-Fawaid, 2:634)   Baca juga: Di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat Tafsir Surah Asy-Syarh 1 Kesulitan Mustahil Mengalahkan 2 Kemudahan   Referensi: Badai’ Al-Fawaid. Cetakan ketiga, Tahun 1433 H. Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Ayyub bin Qayyim Al-Jauziyah. Tahqiq: ‘Ali bin Muhammad Al-‘Imraan. Penerbit Daar ‘Alam Al-Fawaid.   @ Warak Pondok DS, 25 Syawal 1445 H, 4 Mei 2024 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagskemudahan tafsir juz amma

Satu Kesulitan Tidak Mungkin Menang Melawan Dua Kemudahan, Tetap Optimis!

Ingat, kita harus optimis ketika hadapi masalah. Karena di balik satu kesulitan ada dua kemudahan. Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan. Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan faedah berharga, ومن فهم هذا فهم معنى قول النبي صلى الله عليه وسلم “لن يغلب عسر يسرين” مرسل وله طرق تعضده فإنه أشار إلى قوله تعالى: {فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً} فالعسر وإن تكرر مرتين فتكرر بلفظ المعرفة فهو واحد واليسر تكرر بلفظ النكرة فهو يسران فالعسر محفوف بيسرين يسر قبله ويسر بعده فلن يغلب عسر يسرين “Siapa yang memahami ini, maka ia akan memahami makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.” Ini adalah hadits mursal dan memiliki berbagai jalur pendukung. Hadits ini merujuk pada firman Allah Ta’ala, فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا , إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6) Kaidahnya adalah kata “al-‘usri” berulang dua kali dengan kata bentuk makrifah (terdapat alif laam atau al), maka al-‘usri atau kesulitan itu dianggap satu. Sedangkan kata “yusron” berulang dengan bentuk nakirah, yurson atau kemudahan itu berarti dua. Oleh karenanya, kesulitan itu diapit oleh dua kemudahan, yaitu kemudahan sebelum dan sesudahnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa satu kesulitan tidak akan menang melawan dua kemudahan. (Badai’ Al-Fawaid, 2:634)   Baca juga: Di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat Tafsir Surah Asy-Syarh 1 Kesulitan Mustahil Mengalahkan 2 Kemudahan   Referensi: Badai’ Al-Fawaid. Cetakan ketiga, Tahun 1433 H. Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Ayyub bin Qayyim Al-Jauziyah. Tahqiq: ‘Ali bin Muhammad Al-‘Imraan. Penerbit Daar ‘Alam Al-Fawaid.   @ Warak Pondok DS, 25 Syawal 1445 H, 4 Mei 2024 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagskemudahan tafsir juz amma
Ingat, kita harus optimis ketika hadapi masalah. Karena di balik satu kesulitan ada dua kemudahan. Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan. Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan faedah berharga, ومن فهم هذا فهم معنى قول النبي صلى الله عليه وسلم “لن يغلب عسر يسرين” مرسل وله طرق تعضده فإنه أشار إلى قوله تعالى: {فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً} فالعسر وإن تكرر مرتين فتكرر بلفظ المعرفة فهو واحد واليسر تكرر بلفظ النكرة فهو يسران فالعسر محفوف بيسرين يسر قبله ويسر بعده فلن يغلب عسر يسرين “Siapa yang memahami ini, maka ia akan memahami makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.” Ini adalah hadits mursal dan memiliki berbagai jalur pendukung. Hadits ini merujuk pada firman Allah Ta’ala, فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا , إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6) Kaidahnya adalah kata “al-‘usri” berulang dua kali dengan kata bentuk makrifah (terdapat alif laam atau al), maka al-‘usri atau kesulitan itu dianggap satu. Sedangkan kata “yusron” berulang dengan bentuk nakirah, yurson atau kemudahan itu berarti dua. Oleh karenanya, kesulitan itu diapit oleh dua kemudahan, yaitu kemudahan sebelum dan sesudahnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa satu kesulitan tidak akan menang melawan dua kemudahan. (Badai’ Al-Fawaid, 2:634)   Baca juga: Di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat Tafsir Surah Asy-Syarh 1 Kesulitan Mustahil Mengalahkan 2 Kemudahan   Referensi: Badai’ Al-Fawaid. Cetakan ketiga, Tahun 1433 H. Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Ayyub bin Qayyim Al-Jauziyah. Tahqiq: ‘Ali bin Muhammad Al-‘Imraan. Penerbit Daar ‘Alam Al-Fawaid.   @ Warak Pondok DS, 25 Syawal 1445 H, 4 Mei 2024 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagskemudahan tafsir juz amma


Ingat, kita harus optimis ketika hadapi masalah. Karena di balik satu kesulitan ada dua kemudahan. Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan. Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan faedah berharga, ومن فهم هذا فهم معنى قول النبي صلى الله عليه وسلم “لن يغلب عسر يسرين” مرسل وله طرق تعضده فإنه أشار إلى قوله تعالى: {فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً} فالعسر وإن تكرر مرتين فتكرر بلفظ المعرفة فهو واحد واليسر تكرر بلفظ النكرة فهو يسران فالعسر محفوف بيسرين يسر قبله ويسر بعده فلن يغلب عسر يسرين “Siapa yang memahami ini, maka ia akan memahami makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.” Ini adalah hadits mursal dan memiliki berbagai jalur pendukung. Hadits ini merujuk pada firman Allah Ta’ala, فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا , إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 6) Kaidahnya adalah kata “al-‘usri” berulang dua kali dengan kata bentuk makrifah (terdapat alif laam atau al), maka al-‘usri atau kesulitan itu dianggap satu. Sedangkan kata “yusron” berulang dengan bentuk nakirah, yurson atau kemudahan itu berarti dua. Oleh karenanya, kesulitan itu diapit oleh dua kemudahan, yaitu kemudahan sebelum dan sesudahnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa satu kesulitan tidak akan menang melawan dua kemudahan. (Badai’ Al-Fawaid, 2:634)   Baca juga: Di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat Tafsir Surah Asy-Syarh 1 Kesulitan Mustahil Mengalahkan 2 Kemudahan   Referensi: Badai’ Al-Fawaid. Cetakan ketiga, Tahun 1433 H. Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Ayyub bin Qayyim Al-Jauziyah. Tahqiq: ‘Ali bin Muhammad Al-‘Imraan. Penerbit Daar ‘Alam Al-Fawaid.   @ Warak Pondok DS, 25 Syawal 1445 H, 4 Mei 2024 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagskemudahan tafsir juz amma

Berlari Menuju Allah

Daftar Isi Toggle Pertama, mengenal siapa yang menjadi tujuannya berlari, yaitu Allah.Kedua, mengenal jalan yang ditempuh ketika berlari menuju Allah, yaitu konsisten dalam melakukan ketaatan.Ketiga, mengenal tujuan akhir dari jalan ini, yaitu kesuksesan mendapatkan surga dan rida Allah. Ibadah “berlari menuju Allah” (الفرار الى الله) adalah berlari menuju Allah untuk mendapatkan keselamatan atau perlindungan dari murka Allah dan dari api neraka. Ibadah ini memiliki kedudukan yang agung. Demikian pula, Allah telah menyiapkan balasan bagi orang-orang yang bersegera berlari menuju Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Adz-Dzariyat, فَفِرُّوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۖ إِنِّي لَكُم مِّنۡهُ نَذِير مُّبِين “Maka segeralah berlari menuju kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 50) Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang yang berbahagia dan orang yang celaka. Orang yang berbahagia yaitu orang yang segera berlari menuju Allah Ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang mencari kebahagiaan dan kesuksesan dunia akhirat dengan bersegera berlari menuju Allah. Adapun orang yang celaka yaitu orang yang berlari meninggalkan atau menjauh dari Allah, mereka tidak berlari menuju Allah. Ini adalah jalan dan sebab kebinasaan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Ulama yang lain mengatakan, “Bebaskanlah dirimu dari azab Allah menuju pahala dari Allah dengan iman dan ketaatan.“ (Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Segala sesuatu yang ditakuti hamba, dia akan berlari menjauh darinya, kecuali Allah. Contoh, orang yang takut api, dia akan berlari menjauh dari api agar tidak terbakar. Orang yang takut binatang buas, dia akan berlari menjauh darinya. Namun, tidak demikian kondisi orang yang takut kepada Allah. Karena barangsiapa yang takut kepada Allah, maka justru ia akan berlari mendekat dan menuju Allah. Allah Ta’ala berfirman menceritakan tobatnya tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk, حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ وَضَاقَتۡ عَلَيۡهِمۡ أَنفُسُهُمۡ وَظَنُّوٓاْ أَن لَّا مَلۡجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيۡهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيۡهِمۡ لِيَتُوبُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ   “Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha penerima tobat lagi Maha penyayang.” (QS. At-Taubah: 118) Seseorang yang berlari menuju Allah Ta’ala pasti menghadapi banyak halangan dan rintangan, yaitu berbagai jenis pelanggaran syariat, baik lahir maupun yang batin, yang akan menghambat atau bahkan menghentikan perjalanannya menuju Allah. Secara umum, terdapat tiga penghalang dan hambatan, yaitu 1) syirik kepada Allah; ini merupakan penghalang paling berat; 2) perbuatan bidah di dalam agama; dan 3) berbagai macam kemakisatan. Seseorang bisa selamat dari perbuatan syirik apabila memurnikan tauhid; seseorang bisa selamat dari bidah apabila berpegang teguh dengan sunah; dan seseorang bisa selamat dari maksiat apabila bertobat dengan tulus. Seseorang yang berlari menuju Allah membutuhkan tiga hal yang harus dia ilmui dan amalkan, yaitu: Pertama, mengenal siapa yang menjadi tujuannya berlari, yaitu Allah. Mengenal Allah adalah dengan mengenal nama, sifat, keagungan, kesempurnaan, dan juga mengenal kerasnya hukuman dan siksaan (azab) Allah. Semakin besar pengenalan seorang hamba kepada Allah, maka akan semakin cepat pula proses berlarinya menuju Allah. Allah Ta’ala berfriman, إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fatir: 28) Siapa saja yang mengenal Allah, maka dia akan takut dengan-Nya, bersemangat dalam ibadah, serta menjauhkan diri dari bermaksiat kepada-Nya. Kedua, mengenal jalan yang ditempuh ketika berlari menuju Allah, yaitu konsisten dalam melakukan ketaatan. Oleh karena itu, telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Jalan yang harus ditempuh oleh orang yang berlari menuju Allah adalah konsisten di atas jalan Allah yang lurus, tidak menyimpang, tidak berbelok, dan tidak berpaling. Bahkan, dia terus konsisten (istikamah) menempuhnya dengan lurus menuju Allah dengan melakukan berbagai macam kewajiban dan menjauhi berbagai larangan dalam rangka mencari rida dan pahala dari Allah. Ketiga, mengenal tujuan akhir dari jalan ini, yaitu kesuksesan mendapatkan surga dan rida Allah. Orang yang berlari menuju Allah akan selamat dari murka Allah dan mendapatkan kebahagiaan dengan keridaan Allah. Orang yang berlari menuju Allah adalah mereka yang selamat pada hari kiamat dari neraka dan masuk ke dalam surga. Allah Ta’ala berfirman, فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185) Tiga hal di atas terkumpul dalam firman Allah Ta’ala, وَمَنۡ أَرَادَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعۡيَهَا وَهُوَ مُؤۡمِن فَأُوْلَٰٓئِكَ كَانَ سَعۡيُهُم مَّشۡكُورا “Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah seorang mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 19) Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan keadaan usaha yang dibalas baik dengan tiga hal, yaitu: 1) menghendaki kehidupan akhirat; 2) mengerahkan usaha dengan sungguh-sungguh; dan 3) pelakunya adalah orang mukmin.” (Fathul Qadir, 3: 258) Kedudukan semacam ini tidak bisa didapatkan dengan berlambat-lambat, bermalas-malasan, atau menunda-nunda. Akan tetapi, hanya akan diraih dengan bergerak cepat dan bersegera. Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Ali Imran: 133) سَابِقُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Al-Hadid: 21) Barangsiapa yang tidak berlari menuju Allah ketika berada di dunia ini, maka kelak di akhirat dia akan berkata, “Kemanakah tempat berlari?” Padahal, tidak ada lagi tempat (tujuan) berlari ketika itu, karena semuanya sudah terlambat. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا بَرِقَ ٱلۡبَصَرُ  ؛ وَخَسَفَ ٱلۡقَمَرُ ؛ وَجُمِعَ ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ ؛ يَقُولُ ٱلۡإِنسَٰنُ يَوۡمَئِذٍ أَيۡنَ ٱلۡمَفَرُّ ؛ كَلَّا لَا وَزَرَ “Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata, “Ke manakah tempat berlari?” Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung!” (QS. Al-Qiyamah: 7-11) Allah Ta’ala juga berfirman, مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإ يَوۡمَئِذ وَمَا لَكُم مِّن نَّكِير “Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).” (QS. Asy-Syura: 47) Maksudnya, tidak ada bagimu pelindung yang akan melindungimu, dan tidak ada pula tempat yang menutupimu sehingga engkau bisa bersembunyi dari penglihatan Allah. Bahkan, Allah meliputimu dengan ilmu, penglihatan, serta kekuasaan-Nya. Maka tidak ada tempat perlindungan kecuali hanya kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 215) Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk bisa bertobat dengan setulus-tulusnya dan menjadi hamba yang senantiasa berlari menuju kepada Allah dengan sebaik-sebaiknya. Dialah satu-satunya tempat kembali dan tempat bergantung, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata. Baca juga: Berjuang Menundukkan Hawa Nafsu *** @Rumah Kasongan, 19 Syawal 1445/ 28 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 33; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: ibadah

Berlari Menuju Allah

Daftar Isi Toggle Pertama, mengenal siapa yang menjadi tujuannya berlari, yaitu Allah.Kedua, mengenal jalan yang ditempuh ketika berlari menuju Allah, yaitu konsisten dalam melakukan ketaatan.Ketiga, mengenal tujuan akhir dari jalan ini, yaitu kesuksesan mendapatkan surga dan rida Allah. Ibadah “berlari menuju Allah” (الفرار الى الله) adalah berlari menuju Allah untuk mendapatkan keselamatan atau perlindungan dari murka Allah dan dari api neraka. Ibadah ini memiliki kedudukan yang agung. Demikian pula, Allah telah menyiapkan balasan bagi orang-orang yang bersegera berlari menuju Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Adz-Dzariyat, فَفِرُّوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۖ إِنِّي لَكُم مِّنۡهُ نَذِير مُّبِين “Maka segeralah berlari menuju kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 50) Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang yang berbahagia dan orang yang celaka. Orang yang berbahagia yaitu orang yang segera berlari menuju Allah Ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang mencari kebahagiaan dan kesuksesan dunia akhirat dengan bersegera berlari menuju Allah. Adapun orang yang celaka yaitu orang yang berlari meninggalkan atau menjauh dari Allah, mereka tidak berlari menuju Allah. Ini adalah jalan dan sebab kebinasaan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Ulama yang lain mengatakan, “Bebaskanlah dirimu dari azab Allah menuju pahala dari Allah dengan iman dan ketaatan.“ (Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Segala sesuatu yang ditakuti hamba, dia akan berlari menjauh darinya, kecuali Allah. Contoh, orang yang takut api, dia akan berlari menjauh dari api agar tidak terbakar. Orang yang takut binatang buas, dia akan berlari menjauh darinya. Namun, tidak demikian kondisi orang yang takut kepada Allah. Karena barangsiapa yang takut kepada Allah, maka justru ia akan berlari mendekat dan menuju Allah. Allah Ta’ala berfirman menceritakan tobatnya tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk, حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ وَضَاقَتۡ عَلَيۡهِمۡ أَنفُسُهُمۡ وَظَنُّوٓاْ أَن لَّا مَلۡجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيۡهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيۡهِمۡ لِيَتُوبُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ   “Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha penerima tobat lagi Maha penyayang.” (QS. At-Taubah: 118) Seseorang yang berlari menuju Allah Ta’ala pasti menghadapi banyak halangan dan rintangan, yaitu berbagai jenis pelanggaran syariat, baik lahir maupun yang batin, yang akan menghambat atau bahkan menghentikan perjalanannya menuju Allah. Secara umum, terdapat tiga penghalang dan hambatan, yaitu 1) syirik kepada Allah; ini merupakan penghalang paling berat; 2) perbuatan bidah di dalam agama; dan 3) berbagai macam kemakisatan. Seseorang bisa selamat dari perbuatan syirik apabila memurnikan tauhid; seseorang bisa selamat dari bidah apabila berpegang teguh dengan sunah; dan seseorang bisa selamat dari maksiat apabila bertobat dengan tulus. Seseorang yang berlari menuju Allah membutuhkan tiga hal yang harus dia ilmui dan amalkan, yaitu: Pertama, mengenal siapa yang menjadi tujuannya berlari, yaitu Allah. Mengenal Allah adalah dengan mengenal nama, sifat, keagungan, kesempurnaan, dan juga mengenal kerasnya hukuman dan siksaan (azab) Allah. Semakin besar pengenalan seorang hamba kepada Allah, maka akan semakin cepat pula proses berlarinya menuju Allah. Allah Ta’ala berfriman, إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fatir: 28) Siapa saja yang mengenal Allah, maka dia akan takut dengan-Nya, bersemangat dalam ibadah, serta menjauhkan diri dari bermaksiat kepada-Nya. Kedua, mengenal jalan yang ditempuh ketika berlari menuju Allah, yaitu konsisten dalam melakukan ketaatan. Oleh karena itu, telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Jalan yang harus ditempuh oleh orang yang berlari menuju Allah adalah konsisten di atas jalan Allah yang lurus, tidak menyimpang, tidak berbelok, dan tidak berpaling. Bahkan, dia terus konsisten (istikamah) menempuhnya dengan lurus menuju Allah dengan melakukan berbagai macam kewajiban dan menjauhi berbagai larangan dalam rangka mencari rida dan pahala dari Allah. Ketiga, mengenal tujuan akhir dari jalan ini, yaitu kesuksesan mendapatkan surga dan rida Allah. Orang yang berlari menuju Allah akan selamat dari murka Allah dan mendapatkan kebahagiaan dengan keridaan Allah. Orang yang berlari menuju Allah adalah mereka yang selamat pada hari kiamat dari neraka dan masuk ke dalam surga. Allah Ta’ala berfirman, فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185) Tiga hal di atas terkumpul dalam firman Allah Ta’ala, وَمَنۡ أَرَادَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعۡيَهَا وَهُوَ مُؤۡمِن فَأُوْلَٰٓئِكَ كَانَ سَعۡيُهُم مَّشۡكُورا “Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah seorang mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 19) Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan keadaan usaha yang dibalas baik dengan tiga hal, yaitu: 1) menghendaki kehidupan akhirat; 2) mengerahkan usaha dengan sungguh-sungguh; dan 3) pelakunya adalah orang mukmin.” (Fathul Qadir, 3: 258) Kedudukan semacam ini tidak bisa didapatkan dengan berlambat-lambat, bermalas-malasan, atau menunda-nunda. Akan tetapi, hanya akan diraih dengan bergerak cepat dan bersegera. Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Ali Imran: 133) سَابِقُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Al-Hadid: 21) Barangsiapa yang tidak berlari menuju Allah ketika berada di dunia ini, maka kelak di akhirat dia akan berkata, “Kemanakah tempat berlari?” Padahal, tidak ada lagi tempat (tujuan) berlari ketika itu, karena semuanya sudah terlambat. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا بَرِقَ ٱلۡبَصَرُ  ؛ وَخَسَفَ ٱلۡقَمَرُ ؛ وَجُمِعَ ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ ؛ يَقُولُ ٱلۡإِنسَٰنُ يَوۡمَئِذٍ أَيۡنَ ٱلۡمَفَرُّ ؛ كَلَّا لَا وَزَرَ “Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata, “Ke manakah tempat berlari?” Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung!” (QS. Al-Qiyamah: 7-11) Allah Ta’ala juga berfirman, مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإ يَوۡمَئِذ وَمَا لَكُم مِّن نَّكِير “Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).” (QS. Asy-Syura: 47) Maksudnya, tidak ada bagimu pelindung yang akan melindungimu, dan tidak ada pula tempat yang menutupimu sehingga engkau bisa bersembunyi dari penglihatan Allah. Bahkan, Allah meliputimu dengan ilmu, penglihatan, serta kekuasaan-Nya. Maka tidak ada tempat perlindungan kecuali hanya kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 215) Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk bisa bertobat dengan setulus-tulusnya dan menjadi hamba yang senantiasa berlari menuju kepada Allah dengan sebaik-sebaiknya. Dialah satu-satunya tempat kembali dan tempat bergantung, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata. Baca juga: Berjuang Menundukkan Hawa Nafsu *** @Rumah Kasongan, 19 Syawal 1445/ 28 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 33; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: ibadah
Daftar Isi Toggle Pertama, mengenal siapa yang menjadi tujuannya berlari, yaitu Allah.Kedua, mengenal jalan yang ditempuh ketika berlari menuju Allah, yaitu konsisten dalam melakukan ketaatan.Ketiga, mengenal tujuan akhir dari jalan ini, yaitu kesuksesan mendapatkan surga dan rida Allah. Ibadah “berlari menuju Allah” (الفرار الى الله) adalah berlari menuju Allah untuk mendapatkan keselamatan atau perlindungan dari murka Allah dan dari api neraka. Ibadah ini memiliki kedudukan yang agung. Demikian pula, Allah telah menyiapkan balasan bagi orang-orang yang bersegera berlari menuju Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Adz-Dzariyat, فَفِرُّوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۖ إِنِّي لَكُم مِّنۡهُ نَذِير مُّبِين “Maka segeralah berlari menuju kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 50) Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang yang berbahagia dan orang yang celaka. Orang yang berbahagia yaitu orang yang segera berlari menuju Allah Ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang mencari kebahagiaan dan kesuksesan dunia akhirat dengan bersegera berlari menuju Allah. Adapun orang yang celaka yaitu orang yang berlari meninggalkan atau menjauh dari Allah, mereka tidak berlari menuju Allah. Ini adalah jalan dan sebab kebinasaan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Ulama yang lain mengatakan, “Bebaskanlah dirimu dari azab Allah menuju pahala dari Allah dengan iman dan ketaatan.“ (Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Segala sesuatu yang ditakuti hamba, dia akan berlari menjauh darinya, kecuali Allah. Contoh, orang yang takut api, dia akan berlari menjauh dari api agar tidak terbakar. Orang yang takut binatang buas, dia akan berlari menjauh darinya. Namun, tidak demikian kondisi orang yang takut kepada Allah. Karena barangsiapa yang takut kepada Allah, maka justru ia akan berlari mendekat dan menuju Allah. Allah Ta’ala berfirman menceritakan tobatnya tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk, حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ وَضَاقَتۡ عَلَيۡهِمۡ أَنفُسُهُمۡ وَظَنُّوٓاْ أَن لَّا مَلۡجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيۡهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيۡهِمۡ لِيَتُوبُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ   “Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha penerima tobat lagi Maha penyayang.” (QS. At-Taubah: 118) Seseorang yang berlari menuju Allah Ta’ala pasti menghadapi banyak halangan dan rintangan, yaitu berbagai jenis pelanggaran syariat, baik lahir maupun yang batin, yang akan menghambat atau bahkan menghentikan perjalanannya menuju Allah. Secara umum, terdapat tiga penghalang dan hambatan, yaitu 1) syirik kepada Allah; ini merupakan penghalang paling berat; 2) perbuatan bidah di dalam agama; dan 3) berbagai macam kemakisatan. Seseorang bisa selamat dari perbuatan syirik apabila memurnikan tauhid; seseorang bisa selamat dari bidah apabila berpegang teguh dengan sunah; dan seseorang bisa selamat dari maksiat apabila bertobat dengan tulus. Seseorang yang berlari menuju Allah membutuhkan tiga hal yang harus dia ilmui dan amalkan, yaitu: Pertama, mengenal siapa yang menjadi tujuannya berlari, yaitu Allah. Mengenal Allah adalah dengan mengenal nama, sifat, keagungan, kesempurnaan, dan juga mengenal kerasnya hukuman dan siksaan (azab) Allah. Semakin besar pengenalan seorang hamba kepada Allah, maka akan semakin cepat pula proses berlarinya menuju Allah. Allah Ta’ala berfriman, إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fatir: 28) Siapa saja yang mengenal Allah, maka dia akan takut dengan-Nya, bersemangat dalam ibadah, serta menjauhkan diri dari bermaksiat kepada-Nya. Kedua, mengenal jalan yang ditempuh ketika berlari menuju Allah, yaitu konsisten dalam melakukan ketaatan. Oleh karena itu, telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Jalan yang harus ditempuh oleh orang yang berlari menuju Allah adalah konsisten di atas jalan Allah yang lurus, tidak menyimpang, tidak berbelok, dan tidak berpaling. Bahkan, dia terus konsisten (istikamah) menempuhnya dengan lurus menuju Allah dengan melakukan berbagai macam kewajiban dan menjauhi berbagai larangan dalam rangka mencari rida dan pahala dari Allah. Ketiga, mengenal tujuan akhir dari jalan ini, yaitu kesuksesan mendapatkan surga dan rida Allah. Orang yang berlari menuju Allah akan selamat dari murka Allah dan mendapatkan kebahagiaan dengan keridaan Allah. Orang yang berlari menuju Allah adalah mereka yang selamat pada hari kiamat dari neraka dan masuk ke dalam surga. Allah Ta’ala berfirman, فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185) Tiga hal di atas terkumpul dalam firman Allah Ta’ala, وَمَنۡ أَرَادَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعۡيَهَا وَهُوَ مُؤۡمِن فَأُوْلَٰٓئِكَ كَانَ سَعۡيُهُم مَّشۡكُورا “Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah seorang mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 19) Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan keadaan usaha yang dibalas baik dengan tiga hal, yaitu: 1) menghendaki kehidupan akhirat; 2) mengerahkan usaha dengan sungguh-sungguh; dan 3) pelakunya adalah orang mukmin.” (Fathul Qadir, 3: 258) Kedudukan semacam ini tidak bisa didapatkan dengan berlambat-lambat, bermalas-malasan, atau menunda-nunda. Akan tetapi, hanya akan diraih dengan bergerak cepat dan bersegera. Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Ali Imran: 133) سَابِقُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Al-Hadid: 21) Barangsiapa yang tidak berlari menuju Allah ketika berada di dunia ini, maka kelak di akhirat dia akan berkata, “Kemanakah tempat berlari?” Padahal, tidak ada lagi tempat (tujuan) berlari ketika itu, karena semuanya sudah terlambat. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا بَرِقَ ٱلۡبَصَرُ  ؛ وَخَسَفَ ٱلۡقَمَرُ ؛ وَجُمِعَ ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ ؛ يَقُولُ ٱلۡإِنسَٰنُ يَوۡمَئِذٍ أَيۡنَ ٱلۡمَفَرُّ ؛ كَلَّا لَا وَزَرَ “Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata, “Ke manakah tempat berlari?” Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung!” (QS. Al-Qiyamah: 7-11) Allah Ta’ala juga berfirman, مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإ يَوۡمَئِذ وَمَا لَكُم مِّن نَّكِير “Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).” (QS. Asy-Syura: 47) Maksudnya, tidak ada bagimu pelindung yang akan melindungimu, dan tidak ada pula tempat yang menutupimu sehingga engkau bisa bersembunyi dari penglihatan Allah. Bahkan, Allah meliputimu dengan ilmu, penglihatan, serta kekuasaan-Nya. Maka tidak ada tempat perlindungan kecuali hanya kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 215) Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk bisa bertobat dengan setulus-tulusnya dan menjadi hamba yang senantiasa berlari menuju kepada Allah dengan sebaik-sebaiknya. Dialah satu-satunya tempat kembali dan tempat bergantung, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata. Baca juga: Berjuang Menundukkan Hawa Nafsu *** @Rumah Kasongan, 19 Syawal 1445/ 28 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 33; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: ibadah


Daftar Isi Toggle Pertama, mengenal siapa yang menjadi tujuannya berlari, yaitu Allah.Kedua, mengenal jalan yang ditempuh ketika berlari menuju Allah, yaitu konsisten dalam melakukan ketaatan.Ketiga, mengenal tujuan akhir dari jalan ini, yaitu kesuksesan mendapatkan surga dan rida Allah. Ibadah “berlari menuju Allah” (الفرار الى الله) adalah berlari menuju Allah untuk mendapatkan keselamatan atau perlindungan dari murka Allah dan dari api neraka. Ibadah ini memiliki kedudukan yang agung. Demikian pula, Allah telah menyiapkan balasan bagi orang-orang yang bersegera berlari menuju Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Adz-Dzariyat, فَفِرُّوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۖ إِنِّي لَكُم مِّنۡهُ نَذِير مُّبِين “Maka segeralah berlari menuju kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 50) Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang yang berbahagia dan orang yang celaka. Orang yang berbahagia yaitu orang yang segera berlari menuju Allah Ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang mencari kebahagiaan dan kesuksesan dunia akhirat dengan bersegera berlari menuju Allah. Adapun orang yang celaka yaitu orang yang berlari meninggalkan atau menjauh dari Allah, mereka tidak berlari menuju Allah. Ini adalah jalan dan sebab kebinasaan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Ulama yang lain mengatakan, “Bebaskanlah dirimu dari azab Allah menuju pahala dari Allah dengan iman dan ketaatan.“ (Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Segala sesuatu yang ditakuti hamba, dia akan berlari menjauh darinya, kecuali Allah. Contoh, orang yang takut api, dia akan berlari menjauh dari api agar tidak terbakar. Orang yang takut binatang buas, dia akan berlari menjauh darinya. Namun, tidak demikian kondisi orang yang takut kepada Allah. Karena barangsiapa yang takut kepada Allah, maka justru ia akan berlari mendekat dan menuju Allah. Allah Ta’ala berfirman menceritakan tobatnya tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk, حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ وَضَاقَتۡ عَلَيۡهِمۡ أَنفُسُهُمۡ وَظَنُّوٓاْ أَن لَّا مَلۡجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيۡهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيۡهِمۡ لِيَتُوبُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ   “Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha penerima tobat lagi Maha penyayang.” (QS. At-Taubah: 118) Seseorang yang berlari menuju Allah Ta’ala pasti menghadapi banyak halangan dan rintangan, yaitu berbagai jenis pelanggaran syariat, baik lahir maupun yang batin, yang akan menghambat atau bahkan menghentikan perjalanannya menuju Allah. Secara umum, terdapat tiga penghalang dan hambatan, yaitu 1) syirik kepada Allah; ini merupakan penghalang paling berat; 2) perbuatan bidah di dalam agama; dan 3) berbagai macam kemakisatan. Seseorang bisa selamat dari perbuatan syirik apabila memurnikan tauhid; seseorang bisa selamat dari bidah apabila berpegang teguh dengan sunah; dan seseorang bisa selamat dari maksiat apabila bertobat dengan tulus. Seseorang yang berlari menuju Allah membutuhkan tiga hal yang harus dia ilmui dan amalkan, yaitu: Pertama, mengenal siapa yang menjadi tujuannya berlari, yaitu Allah. Mengenal Allah adalah dengan mengenal nama, sifat, keagungan, kesempurnaan, dan juga mengenal kerasnya hukuman dan siksaan (azab) Allah. Semakin besar pengenalan seorang hamba kepada Allah, maka akan semakin cepat pula proses berlarinya menuju Allah. Allah Ta’ala berfriman, إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fatir: 28) Siapa saja yang mengenal Allah, maka dia akan takut dengan-Nya, bersemangat dalam ibadah, serta menjauhkan diri dari bermaksiat kepada-Nya. Kedua, mengenal jalan yang ditempuh ketika berlari menuju Allah, yaitu konsisten dalam melakukan ketaatan. Oleh karena itu, telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379) Jalan yang harus ditempuh oleh orang yang berlari menuju Allah adalah konsisten di atas jalan Allah yang lurus, tidak menyimpang, tidak berbelok, dan tidak berpaling. Bahkan, dia terus konsisten (istikamah) menempuhnya dengan lurus menuju Allah dengan melakukan berbagai macam kewajiban dan menjauhi berbagai larangan dalam rangka mencari rida dan pahala dari Allah. Ketiga, mengenal tujuan akhir dari jalan ini, yaitu kesuksesan mendapatkan surga dan rida Allah. Orang yang berlari menuju Allah akan selamat dari murka Allah dan mendapatkan kebahagiaan dengan keridaan Allah. Orang yang berlari menuju Allah adalah mereka yang selamat pada hari kiamat dari neraka dan masuk ke dalam surga. Allah Ta’ala berfirman, فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185) Tiga hal di atas terkumpul dalam firman Allah Ta’ala, وَمَنۡ أَرَادَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعۡيَهَا وَهُوَ مُؤۡمِن فَأُوْلَٰٓئِكَ كَانَ سَعۡيُهُم مَّشۡكُورا “Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah seorang mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 19) Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan keadaan usaha yang dibalas baik dengan tiga hal, yaitu: 1) menghendaki kehidupan akhirat; 2) mengerahkan usaha dengan sungguh-sungguh; dan 3) pelakunya adalah orang mukmin.” (Fathul Qadir, 3: 258) Kedudukan semacam ini tidak bisa didapatkan dengan berlambat-lambat, bermalas-malasan, atau menunda-nunda. Akan tetapi, hanya akan diraih dengan bergerak cepat dan bersegera. Allah Ta’ala berfirman, وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Ali Imran: 133) سَابِقُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Al-Hadid: 21) Barangsiapa yang tidak berlari menuju Allah ketika berada di dunia ini, maka kelak di akhirat dia akan berkata, “Kemanakah tempat berlari?” Padahal, tidak ada lagi tempat (tujuan) berlari ketika itu, karena semuanya sudah terlambat. Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا بَرِقَ ٱلۡبَصَرُ  ؛ وَخَسَفَ ٱلۡقَمَرُ ؛ وَجُمِعَ ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ ؛ يَقُولُ ٱلۡإِنسَٰنُ يَوۡمَئِذٍ أَيۡنَ ٱلۡمَفَرُّ ؛ كَلَّا لَا وَزَرَ “Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata, “Ke manakah tempat berlari?” Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung!” (QS. Al-Qiyamah: 7-11) Allah Ta’ala juga berfirman, مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإ يَوۡمَئِذ وَمَا لَكُم مِّن نَّكِير “Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).” (QS. Asy-Syura: 47) Maksudnya, tidak ada bagimu pelindung yang akan melindungimu, dan tidak ada pula tempat yang menutupimu sehingga engkau bisa bersembunyi dari penglihatan Allah. Bahkan, Allah meliputimu dengan ilmu, penglihatan, serta kekuasaan-Nya. Maka tidak ada tempat perlindungan kecuali hanya kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 215) Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk bisa bertobat dengan setulus-tulusnya dan menjadi hamba yang senantiasa berlari menuju kepada Allah dengan sebaik-sebaiknya. Dialah satu-satunya tempat kembali dan tempat bergantung, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata. Baca juga: Berjuang Menundukkan Hawa Nafsu *** @Rumah Kasongan, 19 Syawal 1445/ 28 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 33; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: ibadah

Faedah Sirah Nabi: Perang Ahzab (Perang Khandaq) dan Pelajaran di Dalamnya

Perang Ahzab terjadi pada Syawal tahun 5 Hijriyah. Tempat terjadinya perang Ahzab itu di Madinah. Yang membawa bendera Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Zaid bin Haritsah dan Sa’ad bin ‘Ubadah. Sedangkan pemimpin pasukan musuh adalah Abu Sufyan bin Harb. Jumlah pasukan kaum muslimin 3.000, melawan 10.000 pasukan musuh. Surah yang membicarakan perang Ahzab adalah ayat-ayat dalam surah Al-Ahzab.   Daftar Isi tutup 1. Penggalian Parit 2. Berkah dari Nabi Membuat Makanan Menjadi Banyak 3. Pelajaran Berharga dari Perang Ahzab atau Khandaq 3.1. Referensi: Perang Ahzab disebut pula dengan perang Khandaq. Hal ini dikarenakan umat Islam menggali parit pada perang tersebut. Khandaq berarti parit, khandaqa berarti menggali parit. Ini adalah perang ketika Allah menguji hamba-hamba-Nya yang beriman dengan memasukkan iman ke dalam dada para wali-Nya yang bertakwa serta menampakkan apa yang selama ini disembunyikan oleh orang-orang munafik dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan pertolongan-Nya guna membela mereka, memporak-porandakan pasukan musuh dengan kekuatan-Nya, memuliakan para tentara-Nya, menjadikan orang-orang kafir kembali dengan kekecewaan, melindungi kaum mukminin dari kejahatan mereka, mengharamkan mereka untuk tidak lagi dapat memerangi umat Islam, mereka kalah dan Allah menjadikan golongan-Nya meraih kemenangan yang gemilang. Ibnu Ishaq berkata, “Perang Khandaq ini terjadi pada bulan Syawal tahun kelima Hijriyah. Latar belakang peperangan ini adalah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Bani Nadhir hingga mereka pergi ke perkampungan Khaibar yang mayoritasnya penduduk Yahudi yang memiliki keterampilan dalam perang. Oleh karena itu, berangkatlah Huyai bin Akhthab, Kinanah bin Abdul Haqiq, Haudzah bin Qais Al-Waili, dan Abu Amir Al-Fasiq (yang terkenal dengan kefasikannya) serta yang lainnya menuju Makkah. Mereka mengajak Quraisy dan pendukung-pendukungnya untuk memerangi Muhammad. Mereka membentuk pasukan koalisi. Mereka berkata kepada orang-orang Quraisy, “Kami akan bersama kalian hingga kita dapat mengalahkan Muhammad. Kami datang untuk bekerja sama dengan kalian untuk menjadikannya musuh bersama dan memeranginya.” Kemudian orang Quraisy menyambutnya dengan semangat dan gembira. Mereka juga mengajak suku Ghathafan dan Bani Sulaim untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun menyambut ajakan tersebut serta berjanji akan bergabung bersama kaum Quraisy. Kemudian keluarlah Abu Sufyan dengan pasukan Quraisy dan kabilah-kabilah lainnya. Sedangkan Bani Sulaim dipimpin langsung oleh Sufyan bin Abdu Syams, Ghathafan dipimpin oleh Uyyainah bin Hishn, Bani Murrah dipimpin oleh Harits bin ‘Auf, suku Asyja’ oleh Mas’ar bin Rukhailih. Pasukan gabungan tersebut dengan kekuatan 10.000 personil siap berangkat ke Madinah di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui informasi tentang pasukan gabungan ini, beliau mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Kemudian Salman Al-Farisi menyarankan untuk menggali parit. Sarannya itu membuat mereka takjub dan mereka memilih untuk menetap di dalam kota Madinah.   Penggalian Parit Kemudian penggalian parit pun dilakukan yang melibatkan seluruh kaum muslimin. Mereka menggalinya dengan cepat karena berlomba-lomba dengan kedatangan musuh. Mereka meminjam berbagai alat yang dibutuhkan kepada Bani Quraizhah. Asy-Syami berkata, “Imam Thabrani meriwayatkan dengan sanad laa ba’sa (dapat diterima) dari ‘Amr bin Al-Muzni, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis parit yang harus digali dari Ajam Syaikhan ujung wilayah Bani Haritsah hingga Mazad. Selain itu, setiap 10 sahabat menggali 40 hasta.” Al-Waqidi berkata, “Parit yang digali sangat panjang. Kaum Muhajirin dan Anshar memanggul batu-batu di atas kepala mereka. Mereka melakukannya terus menerus hingga selesai penggalian parit tersebut. Tidak satu pun dari kaum muslimin yang tidak terlibat dalam proyek penggalian parit ini. Sementara itu, Abu Bakar dan Umar memindahkan tanah dengan bajunya karena tidak ada wadah yang dapat digunakan lagi. Keduanya selalu berdampingan dalam bekerja. Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggali parit. Sebagian dari mereka menggali, sedangkan kami memindahkan tanah galian dengan memanggulnya di atas pundak-pundak kami. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اللَّهُمَّ لا عَيْشَ إلَّا عَيْشُ الآخِرَةِ، فَاغْفِرْ لِلْمُهَاجِرِينَ والأنْصَارِ. “Ya Allah, tidak ada kehidupan, kecuali kehidupan akhirat, ampunilah kaum Muhajirin dan Anshar.” (HR. Bukhari, no. 4098)*   Berkah dari Nabi Membuat Makanan Menjadi Banyak Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika sedang menggali parit, kami terhalang oleh sebuah batu besar. Kemudian mereka pun mendatangi Nabi dan berkata, “Kami mendapatkan sebuah batu besar di dalam parit.” Beliau berkata, “Saya akan melihatnya.” Lalu beliau berdiri sementara perutnya diganjal dengan sebuah batu. Sebab sudah tiga hari kami tidak mendapat makanan yang cukup. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sebuah palu besar lalu memukulkannya ke atas batu besar tersebut dan batu itu pun hancur berkeping-keping. Aku berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, izinkan aku untuk pulang ke rumah.” Kemudian aku pun berkata kepada istriku, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu sabar dalam menahan lapar, apakah kamu memiliki sesuatu?” Istriku berkata, “Ya, sedikit gandum dan seekor anak kambing.” Kemudian aku menyembelih anak kambing tersebut dan menumbuk gandum lalu membakarnya. Kemudian aku datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara adonan pun sudah mulai merekah dan daging pun hampir matang. Aku berkata, “Aku memiliki sedikit makanan, datanglah engkau ya Rasulullah bersama satu atau dua orang lainnya.” Beliau bertanya, “Berapa banyak makanan itu?” Lalu aku pun menyebutkannya. Beliau berkata, “Sungguh banyak lagi baik. Katakan kepada istrimu untuk tidak mengangkat panggangan daging dan roti dari tempat memasak hingga aku datang.” Lalu beliau berkata kepada orang-orang, “Berdirilah kalian semua!” Maka orang-orang Anshar dan Muhajirin pun bangkit. Setelah sampai di rumahnya, ia pun masuk menemui istrinya dan berkata, “Celaka! Rasulullah mengajak semua orang Anshar dan Muhajirin.” Istriku bertanya, “Apakah beliau bertanya kepadamu?” Aku menjawab, “Ya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Masuklah kalian dan jangan berdesak-desakan.” Lalu beliau memotong roti dan menaburkan daging di atasnya dan memberikannya kepada para sahabatnya. Beliau terus memotong roti dan menyiramkannya hingga semua kenyang, sementara makanan masih tersisa banyak. Beliau berkata, “Makanlah kamu dan hadiahkan kepada orang-orang karena mereka juga lapar.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Bukhari yang lain disebutkan bahwa jumlah mereka yang ikut makan sebanyak seribu orang. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ada riwayat dengan sanad yang bagus dari Barra’ bin ‘Azib, ia berkata, ‘Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menggali parit, kami mendapatkan batu besar sehingga menghalangi pekerjaan kami, sementara batu tersebut tidak dapat kami hancurkan dengan godam (martil besar). Lalu kami melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau pun datang dan mengambil godam seraya berkata, “Bismillah.” Lalu beliau memukulkan dengan sekali pukulan hingga hancur sepertiganya dan beliau berkata, “Allahu Akbar! Aku diberi kemenangan atas kerajaan Syam. Demi Allah, sungguh aku melihat istana-istana merahnya saat ini.” Lalu beliau memukulkan untuk yang kedua kalinya, maka hancurlah sepertiganya lagi, seraya berkata, “Allahu Akbar!” Aku diberi kemenangan atas kerajaan Persia. Demi Allah sungguh aku melihat istana-istana putihnya.” Kemudian beliau memukulkannya kembali untuk yang ketiga kalinya seraya berkata, “Bismillah.” Maka hancurlah sisa batu tersebut. “Allahu Akbar! Aku diberikan kemenangan atas kerajaan Yaman. Demi Allah! Sungguh aku melihat gerbang San’a dari tempatku ini saat ini.” Barra radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ikut menggali parit. Aku melihat beliau memindahkan tanah galian hingga mengotori kulit perut beliau yang berbulu lebat. Aku mendengar beliau menyenandungkan syair Ibnu Rawahah sambil mengangkut tanah, Demi Allah,  Seandainya bukan karena-Mu, Kami tidak akan mendapatkan petunjuk,  tidak bersedekah, tidak pula shalat. Maka, turunkanlah ketenangan kepada kami.  Teguhkanlah kaki kami saat bertemu musuh. Sungguh mereka telah berbuat aniaya kepada kami. Bila mereka menginginkan fitnah, tentuk kami menolaknya.  Kemudian memanjangkan senandungnya. (HR. Bukhari dalam Fath Al-Bari) Ayat-ayat yang terdapat dalam surah Al-Ahzab menggambarkan perilaku orang-orang munafik dan cara mereka untuk menghindari dari proyek penggalian parit. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai melakukan penggalian, beliau menyerahkan Madinah kepada Ibnu Ummi Maktum sebagai wakil beliau dan menempatkan para wanita dan anak-anak pada sebuah benteng. Beliau mengambil posisi di depan sebuah bukit besar, sedangkan parit berada di hadapannya. Sementara pasukan Quraisy berada di hadapannya, sedangkan Ghathafan dan penduduk Najed berada di samping Uhud. Huyai bin Akhthab, musuh Allah keluar untuk menemui Ka’ab bin Asad Al Qurzhi, pemimpin Bani Quraizhah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menitipkan kaumnya kepadanya dan melakukan perjanjian dengannya. Sehingga ketika dia mendengar kedatangan Huyai bin Akhthab segera mengunci pintunya rapat-rapat. Namun, Huyai tetap saja mendesaknya hingga akhirnya ia membukakan pintu untuknya dan melanggar perjanjiannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar informasi pengkhianatan Bani Quraizhah, beliau mengutus Sa’ad bin Mu’adz, Sa’ad bin ‘Ubadah, ‘Abdullah bin Rawahah, dan Khawat bin Jubair, seraya berkata, “Pergi dan lihatlah! Apakah benar berita yang sampai kepada kita tentang mereka atau tidak. Apabila benar berikan isyarat kepadaku dan jangan disebarkan ke orang-orang. Namun, apabila mereka tetap dalam perjanjiannya dengan kita, katakan kepada orang-orang.” Maka, mereka pun berangkat dan ternyata mereka mendapati bahwa mereka telah melanggar perjanjian. Mereka pun kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan tentang pengkhianatan Bani Quraizhah tersebut. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bergembiralah wahai kaum muslimin dengan kemenangan dari Allah dan bantuan-Nya.” Ketakutan pun semakin menjadi-jadi, ujian semakin berat dan kekhawatiran terhadap para wanita dan anak-anak pun semakin meningkat. Kondisi mereka seperti yang Allah firmankan, إِذْ جَآءُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ ٱلْأَبْصَٰرُ وَبَلَغَتِ ٱلْقُلُوبُ ٱلْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِٱللَّهِ ٱلظُّنُونَا۠ “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.” (QS. Al-Ahzab: 10) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin siap menyambut kedatangan musuh. Mereka tidak dapat meninggalkan posisinya dan terus menerus secara bergantian berjaga-jaga di seputar parit. Sementara kemunafikan orang-orang munafik semakin terlihat. Sebagian mereka berkata, “Dulu Muhammad pernah menjanjikan kepada kita akan menguasai kekaisaran Romawi. Namun, sekarang untuk buang hajat saja, orang tidak merasa aman.” Kaum muslimin bergiliran menjaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara itu mereka juga merasakan kelaparan yang sangat, baik siang maupun malam. Demikian juga halnya dengan kaum musyrikin yang bergiliran melakukan patroli. Terkadang dipimpin oleh Abu Sufyan dan pasukannya, terkadang Khalid, kadang Ikrimah, dan seterusnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui pengkhiantan Bani Quraizhah, beliau mengirim delegasi untuk menemui Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin ‘Auf, pemimpin Ghathafan untuk melakukan kesepakatan damai dan beliau bersedia memberikan hasil panen kurma Madinah sebanyak sepertiga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memanggil Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah untuk meminta pendapatnya. Keduanya berkata, “Ya Rasulullah, kalau memang Allah memerintahkan kamu seperti itu, maka kamu mendengar dan taat. Namun, kalau ini hanya strategi kamu demi kemaslahatan kami, kami tidak membutuhkannya. Dahulu ketika kami dan mereka sama-sama musyrik dan penyembah berhala, mereka tidak dapat menikmati kurma kami, kecuali dengan bertamu atau membeli. ” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya membatalkan tawarannya tersebut. Beliau mendoakan kebinasaan untuk pasukan gabungan seraya berdoa, اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ سَرِيعَ الْحِسَابِ اللَّهُمَّ اهْزِمْ الْأَحْزَابَ اللَّهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ “Ya Allah, yang menurunkan kitab, yang cepat dalam menghisab, hancurkanlah pasukan gabungan Ahzab! Ya Allah hancurkanlah dan luluh-lantakkanlah mereka!” (HR. Bukhari, no. 4115, Fath Al-Bari, 7:406) Kaum musyrikin terus berupaya menembus barisan kaum muslimin dengan menghujankan anak panah tanpa henti-hentinya sepanjang pengepungannya sehingga membuat kaum muslimin sibuk sehari penuh dan melupakan shalat Ashar.** Mereka baru mengerjakannya setelah terbenam matahari. Namun, segala upaya kaum musyrikin untuk menembus parit mengalami kegagalan. Bahkan Ali dapat membunuh Amr bin Abdud, sementar yang lain melarikan diri. Begitu pula dengan Naufal Makhzhumi yang tewas terbunuh. Sedangkan dari kaum muslimin sedikitnya yang menjadi syahid ada enam orang, di antaranya adalah Sa’ad bin Mu’adz. Adapun pengepungan pasukan koalisi terhadap umat Islam berlangsung selama 24 malam. Sebagaimana yang Allah firmankan bahwa Allah akan menghindarkan kaum muslimin dari peperangan dengan dua cara, yaitu: (1) upaya yang dilakukan oleh Nu’aim bin Mas’ud yang masuk Islam tanpa diketahui masyarakatnya. Ia akan mencerai beraikan dengan seizin Nabi antara Yahudi Bani Quraizhah dengan kaum musyrikin. Ia mengingatkan Bani Quraizhah untuk tidak memulai perang melawan Muhammad, kecuali kaum musyrikin mau memberikan jaminan bahwa mereka tidak akan pergi meninggalkannya apabila terjadi sesuatu di luar harapan. Begitu pula dilakukannya kepada kafir Quraisy bahwa Bani Quraizhah menyesali pengkhianatan yang dilakukannya terhaap Nabi. Demikianlah Allah memporakporandakan kesatuan mereka dan menciptakan kecurigaan dan kehinaan di antara mereka. (2) berupa badai kencang yang memporak-porandakan kemah-kemah, menerbangkan perlengkapan masak, dan memadamkan api yang mereka gunakan untuk penerangan. Sehingga mereka terpaksa mengumumkan untuk pulang meninggalkan medan perang dengan membawa kegagalan dan kekecewaan yang luar biasa. Ini adalah sebuah nikmat dan pertolongan dari Allah kepada orang-orang beriman. Kemenangan ini bukanlah bersifat sementara. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan berita gembira kepada para sahabatnya bahwa kaum kafir tersebut tidak lagi dapat menyerbu umat Islam setelah peperangan ini. Kaum muslimlah yang akan menyerbu mereka. Dari Salman bin Shard, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika pasukan Ahzab dikalahkan, “Mulai saat ini, kitalah yang akan melakukan penyerbuan dan mereka tidak akan pernah menyerbut kita lagi.” (HR. Bukhari) Kisahnya akan berlanjut pada penjelasan surah Al-Ahzab ayat 9-25.     *Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, لأنَّ عيش الدنيا زائلٌ، وعيش الآخرة هو الدَّائم، فهو العيش الحقيقي “Karena kehidupan dunia hanyalah sementara, dan kehidupan akhirat kekal, maka itulah kehidupan yang hakiki.” **Dalil baiknya mengerjakan qadha’ shalat secara berurutan (misalnya, qadha’ shalat Zhuhur kemudian Ashar) adalah hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di mana disebutkan, إِنَّ المُشْرِكِيْنَ شَغَلُوا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَرْبَعِ صَلَواتٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللهُ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى المَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العِشَاءَ “Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari empat shalat pada perang Khandaq hingga lewat sebagian malam sesuai kehendak Allah. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan, lalu iqamah kemudian shalat Zhuhur dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Ashar dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Maghrib dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Isya dilaksanakan.” (HR. Tirmidzi, no. 178. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).   Baca juga: Qadha Shalat yang Luput   Pelajaran Berharga dari Perang Ahzab atau Khandaq   Pertama: Perhatikan bahwa pasukan sekutu yang begitu menyeramkan yang sebelumnya disangka bahwa bangsa Arab tidak mungkin bersatu seperti itu. Yang bersekutu dalam perang Ahzab adalah: Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan, lalu ada berbagai kabilah Arab yang mengikutinya, Bani Sulaim di bawah pimpinan Sufyan bin ‘Abdi Syams, Ghathafan di bawah pimpinan ‘Uyainah bin Hishn, Bani Murrah di bawah pimpinan Harits bin ‘Auf, Asyja‘ di bawah pimpinan Mas’ar bin Rukhailih. Sekutu besar ini bergabung dan berjalan menuju Madinah. Menurut pakar sirah, jumlah pasukan adalah 10.000 personil. Semua pasukan sekutu tersebut di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Pasukan tersebut mendatangi Madinah dengan persenjataan. Mereka sangat mendambakan untuk menumbangkan, lalu pulang dengan membawa harta rampasan perang dan tawanan, serta bisa menjadikan kekalahan Nabi Muhammad sebagai bahan ejekan, wal ‘iyadzu billah. Namun, Allah memberi pertolongan kepada kaum muslimin. وَٱللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰٓ أَمْرِهِۦ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21) Kedua: Kekufuran itu satu millah, satu agama. Kekufuran dengan berbagai macamnya pasti menjadi musuh Islam. Yang membuktikan hal ini, orang-orang Yahudi dari Khaibar menuju Makkah dan orang musyrikin Arab, mereka semua bersatu untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga: Ketika mendapatkan berita mengenai pasukan Ahzab (sekutu), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bermusyawarah dengan para sahabatnya. Dalam menghadapi suatu problem, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat dikenal sering bermusyawarah dengan para sahabatnya. Musyawarah ini ditemukan ide-ide cemerlang yang tidak ditemukan dalam wahyu di antaranya adalah ada ide bagus mengenai strategi perang. Dalam ayat disebutkan, وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 159) وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (QS. Asy-Syuura: 38) Keempat: Yang dihasilkan dari musyawarah ini adalah usulan-usulan yang cemerlang yang penuh berkah (bawa kebaikan). Usulan yang dihasilkan kala perang Ahzab ini adalah ide dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu untuk menggali parit (khandaq). Inilah ide yang cemerlang berkat taufik dari Allah untuk mencegah orang musyrik untuk memasuki kota Madinah. Orang-orang musyrik berkata mengenai parit ini, “Inilah intrik/ konspirasi yang belum dikenal oleh kalangan Arab.” Dari sini, kita bisa ambil suatu pelajaran mengenai pentingnya usulan atau ide cemerlang sebagai bentuk mengabdi pada agama. Ide-ide cemerlang untuk membela Islam ini bisa saja muncul dari seorang mujahid, insinyur, dokter, atau yang memiliki keahlian apa pun. Kelima: Ide cemerlang bisa saja diperoleh dari orang luar. Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang mengusulkan gagasan ini mengambilnya dari Persia, negeri asalnya. Gagasan dari orang luar bisa saja diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Keenam: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggali parit bersama para sahabatnya. Beliau ikut memindahkan tanah bersama mereka. Pelajaran pentingnya adalah untuk para dai dalam berdakwah, para ayah di rumah, para guru di sekolah, dan para imam di masjid kampung, hendaklah menjadi orang pertama yang menjadi pelopor dalam mengajak kebaikan, sekaligus terlibat dalam kebaikan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44). Memang untuk memulai dari diri sendiri adalah persoalan yang sangat berat. Meskipun berat, hal tersebut dapat memberikan pengaruh yang sangat besar, sekaligus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat di lingkungannya. Ketujuh: Dalam peperangan ini, pasukan sekutu telah berdatangan dari segala penjuru. Sementara kaum muslimin baru saja memulai penggalian parit agar Madinah tidak dapat ditembus musuh. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun langsung untuk memecahkan batu besar yang menghalangi proses penggalian parit. Dengan tangan beliau yang mulia, beliau ayunkan sebuah godam dan berkata kepada para sahabatnya padahal musuh semakin dekat dan siap untuk mengepung Madinah, “Allahu Akbar! Aku diberikan kemenangan atas kerajaan Syam! Demi Allah aku melihat istana-istana merahnya saat ini! dan seterusnya.” Hal seperti ini berguna untuk memantapkan hati para sahabat yang diliputi oleh rasa takut. Yaitu menjanjikan kepada kaum muslimin dengan berbagai janji dari Rasulullah, manusia yang jujur. Memang beliau adalah Rasulullah, tetapi mengapa ia menjanjikan sesuatu yang disampaikan di kala itu? Mengapa janji itu disampaikan pada saat-saat yang mencekam? Padahal beliau tengah menanti pasukan sekutu yang datang ingin menghancurkan Madinah! Janji beliau adalah sebagai bentuk arahan kepada umat ini agar lebih fokus, memperteguh hati, dan menentramkannya, serta menghilangkan segala kekhawatiran dan rasa takut pada situasi yang kritis. Manusia saat menghadapi ujian berat sangat membutuhkan orang yang dapat meneguhkan hatinya, bukan menakut-nakutinya. Umat ini sangat membutuhkan orang-orang yang dapat membangkitkan semangat dan motivasi, bukan orang-orang yang sebaliknya, membutuhkan orang-orang yang dapat meneguhkan keimanannya, mengokohkan keyakinannya, dan memantapkan akidahnya, serta menggiringnya ke dalam pangkuan agama Allah. Kedelapan: Pada situasi yang berat biasanya akan terlihat sosok-sosok manusia munafik. Penggalian parit adalah pekerjaan yang berat ditambah kondisi tubuh yang lapar, musuh yang semakin dekat, dan rasa khawatir terhadap keselamatan anak dan istri. Hanya orang-orang yang benar (dalam keimanan), yang dapat menghadapi situasi seperti ini. Sedangkan selain mereka, maka mereka akan mengendap-endap menyelinap ke rumah menemui keluarganya dan meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini, Allah berfirman, لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63) Baca juga: Adab Terhadap Rasulullah, Tafsir An-Nuur ayat 48 Kesembilan: Seburuk-buruknya teman adalah teman yang jahat. Sesungguhnya Ka’ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah, posisinya sudah aman karena terikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, ketika datang teman yang buruk dan membawa sial yaitu Huyai bin Akhthab yang terus membujuk dan merayu agar mau membatalkan dan mengkhianati perjanjiannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal inilah yang menyebabkan kehinaan bagi kaumnya yang akan dijelaskan pada peperangan Bani Quraizhah. Demikianlah watak teman dan kawan yang jahat, yang akan membawa kerugian dan tidak pernah membawa kebaikan. Dalam hadits dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً “Perumpamaan seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101) Baca juga: Manfaat Teman yang Baik Kesepuluh: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan informasi tentang pengkhianatan Bani Quraizhah, lalu beliau mengutus empat sahabatnya untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa demikianlah seharusnya sikap seorang mukmin ketika mendapatkan informasi, tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6). Baca juga: Jangan Mudah Menerima Berita Media Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Asyaj ‘Abdul Qois, إن فيك لخصلتين يحبهما الله : الحلم والأناة “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod, no. 586. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ “Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Sunanul Qubro. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shoghir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Baca juga: Nasihat Berharga, Janganlah Tergesa-Gesa Kesebelas: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada sahabatnya yang akan berangkat memberikan isyarat yang dipahami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi tidak dapat dipahami oleh sahabat lainnya jika Bani Quraizhah benar-benar melakukan pengkhianatan. Namun, jika mereka tidak melakukannya, silakan memberitahukan kepada semua orang. Artinya, apabila ada perkara-perkara negatif yang menimbulkan efek yang buruk, maka tidak perlu diumumkan, tidak perlu dibicarakan dan tidak perlu disebarkan. Karena hal ini akan menimbulkan kegoncangan dan ketakutan dalam masyarakat serta membuat musuh senang dan bahagia, sementara orang-orang mukmin menjadi sedih. Namun, jika perkara itu adalah baik, perlu diumumkan untuk meneguhkan jiwa orang-orang beriman. Begitu pula bagi seseorang hendaknya ia menjaga lisan sekalipun yang diucapkannya adalah benar. Karena, tidak setiap apa yang diketahui harus diomongkan. Selain itu, tidak setiap omongan harus dibicarakan bebas pada yang lain. Mukmin yang cerdas adalah yang menyadari konsekuensi ucapannya. Apabila berakibat negatif, maka ia tidak akan berbicara, bahkan akan merahasiakannya dan melarang orang lain untuk membicarakannya. Baca juga: Disebut Dusta Ketika Membicarakan Semua yang Didengar Kedua belas: Pada perang Ahzab terjadi mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti memperbanyak makanan yang dihidangkan oleh Jabir hingga mampu memberikan makanan kepada seribu orang prajurit. Juga ada mukjizat berupa kurma yang dibawa oleh putri dari Basyir bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa dengan tangannya lantas dimakan oleh seluruh prajurit perang Khandaq/Ahzab lalu masih ada sisa. Mukjizat lainnya adalah kabar gembira bahwa Persia, Syam, dan Yaman akan ditaklukkan. Serta masih ada lagi mukjizat lainnya dari kisah Perang Ahzab ini. Ketiga belas: Musyawarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua sahabat untuk memberikan sebagian hasil panen kurma Madinah kepada Bani Ghathafan agar mereka mau bergabung kembali. Kemudian keduanya memberikan tanggapannya kepada beliau. Dalam hal ini, kita dapat mengambil pelajaran sejauh mana ide itu dapat diterima. Apabila wahyu telah menetapkannya, maka tidak berlaku lagi ijtihad. Kedua sahabat ingin memastikan sebelum menjelaskan gagasan dan idenya. Apakah perjanjian tersebut berdasarkan wahyu dari Allah atau hanya ijtihad beliau saja, yang dapat dilaksanakan atau tidak? Ketika keduanya mengetahui bahwa itu hanya ijtihad beliau saja dan bukan wahyu, baru kemudian keduanya mengemukakan pendapatnya serta argumentasinya. Begitulah seharusnya bagi kita untuk selalu tunduk terhadap ketetapan syariat, tidak menyanggahnya dengan pendapat atau ide yang berdasarkan akal saja. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7) Baca juga: Mau Selamat? Ikuti Petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi! Keempat belas: Kita juga dapat mengambil pelajaran tentang disyariatkannya untuk berlaku khusyuk, berdoa dan menyerahkan segala urusan kepada Allah karena itu semua merupakan faktor yang dapat mendatangkan kemenangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berdoa, menyerahkan diri, dan khusyuk kepada Allah sebagaimana yang kita lihat dalam perang Ahzab, bagaimana beliau berdoa dengan khusyuk mengharap kemenangan dari Allah. Kelima belas: Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu menunjukkan bahwa undangan makan yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh prajurit menunjukkan sejauh mana kerja sama yang terjalin di antara mereka. Tidak ada di antara mereka yang makan sendirian tanpa berbagi kepada yang lain. Mereka saling bekerja sama, bahu membahu, mengutamakan orang lain, dan berempati. Begitulah gambaran masyarakat Islam sebagaimana disebutkan dalam hadits dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR. Bukhari, no. 6011) Keenam belas: Peperangan membawa dampak positif. Allah telah mengusir orang-orang kafir dengan membawa kekecewaan yang sangat besar karena mereka tidak mendapatkan sedikit pun keuntungan. Mereka telah menghimpun segala potensi yang mereka miliki dengan susah payah, tetapi mereka kembali dengan membawa kegagalan dan tidak dapat membantai kaum muslimin, kecuali hanya enam sahabat, sementara dari mereka hanya tiga orang di antaranya Amr bin Abdud, panglima pasukan berkuda. Namun, jumlah mereka yang mencapai 10.000 hanya kembali membawa kerugian dan kekecewaan. Untuk itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mulai sekarang, kitalah yang akan memerangi mereka dan mereka tidak akan lagi sanggup memerangi kita. Kitalah yang akan melakukan serbuan kepada mereka.” Ketujuh belas: Kaum musyrikin, sekalipun tampaknya mereka bersatu-padu, tetapi berpotensi untuk bercerai berai dan Allah berfirman tentang hal ini di dalam kitab-Nya yang mulia, ذَٰلِكُمْ وَأَنَّ ٱللَّهَ مُوهِنُ كَيْدِ ٱلْكَٰفِرِينَ “Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Anfal: 18) Kaum kafir telah mampu menggalang persatuan yang terdiri dari Bani Quraisy, Bani Ghathafan, kabilah-kabilah Arab, Yahudi Nadhir dan Quraizhah. Namun, dalam seketika mereka berselisih dan bertikai, maka mereka pun kembali dengan membawa kerugian.   Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, selesai penjelasan perang Ahzab/ Khandaq.  Selanjutnya, kita akan berlanjut ke Perang Bani Quraizhah.    Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah. Al-Athlas At-Tarikhi li Sirah Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cetakan ketujuh, Tahun 1433 H. Sami bin ‘Abdillah bin Ahmad Al-Malghuts. Penerbit Obekan. https://binbaz.org.sa/audios/2486/163-من-حديث-اللهم-لا-عيش-الا-عيش-الاخرة   –   Ditulis sejak 3 Jumadal Akhirah 1445 H, 15 Desember 2023 M @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, direvisi pada 24 Syawal 1445 H, 3 Mei 2024 M Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi jihad peperangan di masa Rasulullah perang ahzab perang khandaq sirah nabi

Faedah Sirah Nabi: Perang Ahzab (Perang Khandaq) dan Pelajaran di Dalamnya

Perang Ahzab terjadi pada Syawal tahun 5 Hijriyah. Tempat terjadinya perang Ahzab itu di Madinah. Yang membawa bendera Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Zaid bin Haritsah dan Sa’ad bin ‘Ubadah. Sedangkan pemimpin pasukan musuh adalah Abu Sufyan bin Harb. Jumlah pasukan kaum muslimin 3.000, melawan 10.000 pasukan musuh. Surah yang membicarakan perang Ahzab adalah ayat-ayat dalam surah Al-Ahzab.   Daftar Isi tutup 1. Penggalian Parit 2. Berkah dari Nabi Membuat Makanan Menjadi Banyak 3. Pelajaran Berharga dari Perang Ahzab atau Khandaq 3.1. Referensi: Perang Ahzab disebut pula dengan perang Khandaq. Hal ini dikarenakan umat Islam menggali parit pada perang tersebut. Khandaq berarti parit, khandaqa berarti menggali parit. Ini adalah perang ketika Allah menguji hamba-hamba-Nya yang beriman dengan memasukkan iman ke dalam dada para wali-Nya yang bertakwa serta menampakkan apa yang selama ini disembunyikan oleh orang-orang munafik dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan pertolongan-Nya guna membela mereka, memporak-porandakan pasukan musuh dengan kekuatan-Nya, memuliakan para tentara-Nya, menjadikan orang-orang kafir kembali dengan kekecewaan, melindungi kaum mukminin dari kejahatan mereka, mengharamkan mereka untuk tidak lagi dapat memerangi umat Islam, mereka kalah dan Allah menjadikan golongan-Nya meraih kemenangan yang gemilang. Ibnu Ishaq berkata, “Perang Khandaq ini terjadi pada bulan Syawal tahun kelima Hijriyah. Latar belakang peperangan ini adalah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Bani Nadhir hingga mereka pergi ke perkampungan Khaibar yang mayoritasnya penduduk Yahudi yang memiliki keterampilan dalam perang. Oleh karena itu, berangkatlah Huyai bin Akhthab, Kinanah bin Abdul Haqiq, Haudzah bin Qais Al-Waili, dan Abu Amir Al-Fasiq (yang terkenal dengan kefasikannya) serta yang lainnya menuju Makkah. Mereka mengajak Quraisy dan pendukung-pendukungnya untuk memerangi Muhammad. Mereka membentuk pasukan koalisi. Mereka berkata kepada orang-orang Quraisy, “Kami akan bersama kalian hingga kita dapat mengalahkan Muhammad. Kami datang untuk bekerja sama dengan kalian untuk menjadikannya musuh bersama dan memeranginya.” Kemudian orang Quraisy menyambutnya dengan semangat dan gembira. Mereka juga mengajak suku Ghathafan dan Bani Sulaim untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun menyambut ajakan tersebut serta berjanji akan bergabung bersama kaum Quraisy. Kemudian keluarlah Abu Sufyan dengan pasukan Quraisy dan kabilah-kabilah lainnya. Sedangkan Bani Sulaim dipimpin langsung oleh Sufyan bin Abdu Syams, Ghathafan dipimpin oleh Uyyainah bin Hishn, Bani Murrah dipimpin oleh Harits bin ‘Auf, suku Asyja’ oleh Mas’ar bin Rukhailih. Pasukan gabungan tersebut dengan kekuatan 10.000 personil siap berangkat ke Madinah di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui informasi tentang pasukan gabungan ini, beliau mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Kemudian Salman Al-Farisi menyarankan untuk menggali parit. Sarannya itu membuat mereka takjub dan mereka memilih untuk menetap di dalam kota Madinah.   Penggalian Parit Kemudian penggalian parit pun dilakukan yang melibatkan seluruh kaum muslimin. Mereka menggalinya dengan cepat karena berlomba-lomba dengan kedatangan musuh. Mereka meminjam berbagai alat yang dibutuhkan kepada Bani Quraizhah. Asy-Syami berkata, “Imam Thabrani meriwayatkan dengan sanad laa ba’sa (dapat diterima) dari ‘Amr bin Al-Muzni, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis parit yang harus digali dari Ajam Syaikhan ujung wilayah Bani Haritsah hingga Mazad. Selain itu, setiap 10 sahabat menggali 40 hasta.” Al-Waqidi berkata, “Parit yang digali sangat panjang. Kaum Muhajirin dan Anshar memanggul batu-batu di atas kepala mereka. Mereka melakukannya terus menerus hingga selesai penggalian parit tersebut. Tidak satu pun dari kaum muslimin yang tidak terlibat dalam proyek penggalian parit ini. Sementara itu, Abu Bakar dan Umar memindahkan tanah dengan bajunya karena tidak ada wadah yang dapat digunakan lagi. Keduanya selalu berdampingan dalam bekerja. Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggali parit. Sebagian dari mereka menggali, sedangkan kami memindahkan tanah galian dengan memanggulnya di atas pundak-pundak kami. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اللَّهُمَّ لا عَيْشَ إلَّا عَيْشُ الآخِرَةِ، فَاغْفِرْ لِلْمُهَاجِرِينَ والأنْصَارِ. “Ya Allah, tidak ada kehidupan, kecuali kehidupan akhirat, ampunilah kaum Muhajirin dan Anshar.” (HR. Bukhari, no. 4098)*   Berkah dari Nabi Membuat Makanan Menjadi Banyak Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika sedang menggali parit, kami terhalang oleh sebuah batu besar. Kemudian mereka pun mendatangi Nabi dan berkata, “Kami mendapatkan sebuah batu besar di dalam parit.” Beliau berkata, “Saya akan melihatnya.” Lalu beliau berdiri sementara perutnya diganjal dengan sebuah batu. Sebab sudah tiga hari kami tidak mendapat makanan yang cukup. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sebuah palu besar lalu memukulkannya ke atas batu besar tersebut dan batu itu pun hancur berkeping-keping. Aku berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, izinkan aku untuk pulang ke rumah.” Kemudian aku pun berkata kepada istriku, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu sabar dalam menahan lapar, apakah kamu memiliki sesuatu?” Istriku berkata, “Ya, sedikit gandum dan seekor anak kambing.” Kemudian aku menyembelih anak kambing tersebut dan menumbuk gandum lalu membakarnya. Kemudian aku datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara adonan pun sudah mulai merekah dan daging pun hampir matang. Aku berkata, “Aku memiliki sedikit makanan, datanglah engkau ya Rasulullah bersama satu atau dua orang lainnya.” Beliau bertanya, “Berapa banyak makanan itu?” Lalu aku pun menyebutkannya. Beliau berkata, “Sungguh banyak lagi baik. Katakan kepada istrimu untuk tidak mengangkat panggangan daging dan roti dari tempat memasak hingga aku datang.” Lalu beliau berkata kepada orang-orang, “Berdirilah kalian semua!” Maka orang-orang Anshar dan Muhajirin pun bangkit. Setelah sampai di rumahnya, ia pun masuk menemui istrinya dan berkata, “Celaka! Rasulullah mengajak semua orang Anshar dan Muhajirin.” Istriku bertanya, “Apakah beliau bertanya kepadamu?” Aku menjawab, “Ya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Masuklah kalian dan jangan berdesak-desakan.” Lalu beliau memotong roti dan menaburkan daging di atasnya dan memberikannya kepada para sahabatnya. Beliau terus memotong roti dan menyiramkannya hingga semua kenyang, sementara makanan masih tersisa banyak. Beliau berkata, “Makanlah kamu dan hadiahkan kepada orang-orang karena mereka juga lapar.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Bukhari yang lain disebutkan bahwa jumlah mereka yang ikut makan sebanyak seribu orang. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ada riwayat dengan sanad yang bagus dari Barra’ bin ‘Azib, ia berkata, ‘Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menggali parit, kami mendapatkan batu besar sehingga menghalangi pekerjaan kami, sementara batu tersebut tidak dapat kami hancurkan dengan godam (martil besar). Lalu kami melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau pun datang dan mengambil godam seraya berkata, “Bismillah.” Lalu beliau memukulkan dengan sekali pukulan hingga hancur sepertiganya dan beliau berkata, “Allahu Akbar! Aku diberi kemenangan atas kerajaan Syam. Demi Allah, sungguh aku melihat istana-istana merahnya saat ini.” Lalu beliau memukulkan untuk yang kedua kalinya, maka hancurlah sepertiganya lagi, seraya berkata, “Allahu Akbar!” Aku diberi kemenangan atas kerajaan Persia. Demi Allah sungguh aku melihat istana-istana putihnya.” Kemudian beliau memukulkannya kembali untuk yang ketiga kalinya seraya berkata, “Bismillah.” Maka hancurlah sisa batu tersebut. “Allahu Akbar! Aku diberikan kemenangan atas kerajaan Yaman. Demi Allah! Sungguh aku melihat gerbang San’a dari tempatku ini saat ini.” Barra radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ikut menggali parit. Aku melihat beliau memindahkan tanah galian hingga mengotori kulit perut beliau yang berbulu lebat. Aku mendengar beliau menyenandungkan syair Ibnu Rawahah sambil mengangkut tanah, Demi Allah,  Seandainya bukan karena-Mu, Kami tidak akan mendapatkan petunjuk,  tidak bersedekah, tidak pula shalat. Maka, turunkanlah ketenangan kepada kami.  Teguhkanlah kaki kami saat bertemu musuh. Sungguh mereka telah berbuat aniaya kepada kami. Bila mereka menginginkan fitnah, tentuk kami menolaknya.  Kemudian memanjangkan senandungnya. (HR. Bukhari dalam Fath Al-Bari) Ayat-ayat yang terdapat dalam surah Al-Ahzab menggambarkan perilaku orang-orang munafik dan cara mereka untuk menghindari dari proyek penggalian parit. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai melakukan penggalian, beliau menyerahkan Madinah kepada Ibnu Ummi Maktum sebagai wakil beliau dan menempatkan para wanita dan anak-anak pada sebuah benteng. Beliau mengambil posisi di depan sebuah bukit besar, sedangkan parit berada di hadapannya. Sementara pasukan Quraisy berada di hadapannya, sedangkan Ghathafan dan penduduk Najed berada di samping Uhud. Huyai bin Akhthab, musuh Allah keluar untuk menemui Ka’ab bin Asad Al Qurzhi, pemimpin Bani Quraizhah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menitipkan kaumnya kepadanya dan melakukan perjanjian dengannya. Sehingga ketika dia mendengar kedatangan Huyai bin Akhthab segera mengunci pintunya rapat-rapat. Namun, Huyai tetap saja mendesaknya hingga akhirnya ia membukakan pintu untuknya dan melanggar perjanjiannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar informasi pengkhianatan Bani Quraizhah, beliau mengutus Sa’ad bin Mu’adz, Sa’ad bin ‘Ubadah, ‘Abdullah bin Rawahah, dan Khawat bin Jubair, seraya berkata, “Pergi dan lihatlah! Apakah benar berita yang sampai kepada kita tentang mereka atau tidak. Apabila benar berikan isyarat kepadaku dan jangan disebarkan ke orang-orang. Namun, apabila mereka tetap dalam perjanjiannya dengan kita, katakan kepada orang-orang.” Maka, mereka pun berangkat dan ternyata mereka mendapati bahwa mereka telah melanggar perjanjian. Mereka pun kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan tentang pengkhianatan Bani Quraizhah tersebut. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bergembiralah wahai kaum muslimin dengan kemenangan dari Allah dan bantuan-Nya.” Ketakutan pun semakin menjadi-jadi, ujian semakin berat dan kekhawatiran terhadap para wanita dan anak-anak pun semakin meningkat. Kondisi mereka seperti yang Allah firmankan, إِذْ جَآءُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ ٱلْأَبْصَٰرُ وَبَلَغَتِ ٱلْقُلُوبُ ٱلْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِٱللَّهِ ٱلظُّنُونَا۠ “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.” (QS. Al-Ahzab: 10) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin siap menyambut kedatangan musuh. Mereka tidak dapat meninggalkan posisinya dan terus menerus secara bergantian berjaga-jaga di seputar parit. Sementara kemunafikan orang-orang munafik semakin terlihat. Sebagian mereka berkata, “Dulu Muhammad pernah menjanjikan kepada kita akan menguasai kekaisaran Romawi. Namun, sekarang untuk buang hajat saja, orang tidak merasa aman.” Kaum muslimin bergiliran menjaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara itu mereka juga merasakan kelaparan yang sangat, baik siang maupun malam. Demikian juga halnya dengan kaum musyrikin yang bergiliran melakukan patroli. Terkadang dipimpin oleh Abu Sufyan dan pasukannya, terkadang Khalid, kadang Ikrimah, dan seterusnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui pengkhiantan Bani Quraizhah, beliau mengirim delegasi untuk menemui Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin ‘Auf, pemimpin Ghathafan untuk melakukan kesepakatan damai dan beliau bersedia memberikan hasil panen kurma Madinah sebanyak sepertiga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memanggil Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah untuk meminta pendapatnya. Keduanya berkata, “Ya Rasulullah, kalau memang Allah memerintahkan kamu seperti itu, maka kamu mendengar dan taat. Namun, kalau ini hanya strategi kamu demi kemaslahatan kami, kami tidak membutuhkannya. Dahulu ketika kami dan mereka sama-sama musyrik dan penyembah berhala, mereka tidak dapat menikmati kurma kami, kecuali dengan bertamu atau membeli. ” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya membatalkan tawarannya tersebut. Beliau mendoakan kebinasaan untuk pasukan gabungan seraya berdoa, اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ سَرِيعَ الْحِسَابِ اللَّهُمَّ اهْزِمْ الْأَحْزَابَ اللَّهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ “Ya Allah, yang menurunkan kitab, yang cepat dalam menghisab, hancurkanlah pasukan gabungan Ahzab! Ya Allah hancurkanlah dan luluh-lantakkanlah mereka!” (HR. Bukhari, no. 4115, Fath Al-Bari, 7:406) Kaum musyrikin terus berupaya menembus barisan kaum muslimin dengan menghujankan anak panah tanpa henti-hentinya sepanjang pengepungannya sehingga membuat kaum muslimin sibuk sehari penuh dan melupakan shalat Ashar.** Mereka baru mengerjakannya setelah terbenam matahari. Namun, segala upaya kaum musyrikin untuk menembus parit mengalami kegagalan. Bahkan Ali dapat membunuh Amr bin Abdud, sementar yang lain melarikan diri. Begitu pula dengan Naufal Makhzhumi yang tewas terbunuh. Sedangkan dari kaum muslimin sedikitnya yang menjadi syahid ada enam orang, di antaranya adalah Sa’ad bin Mu’adz. Adapun pengepungan pasukan koalisi terhadap umat Islam berlangsung selama 24 malam. Sebagaimana yang Allah firmankan bahwa Allah akan menghindarkan kaum muslimin dari peperangan dengan dua cara, yaitu: (1) upaya yang dilakukan oleh Nu’aim bin Mas’ud yang masuk Islam tanpa diketahui masyarakatnya. Ia akan mencerai beraikan dengan seizin Nabi antara Yahudi Bani Quraizhah dengan kaum musyrikin. Ia mengingatkan Bani Quraizhah untuk tidak memulai perang melawan Muhammad, kecuali kaum musyrikin mau memberikan jaminan bahwa mereka tidak akan pergi meninggalkannya apabila terjadi sesuatu di luar harapan. Begitu pula dilakukannya kepada kafir Quraisy bahwa Bani Quraizhah menyesali pengkhianatan yang dilakukannya terhaap Nabi. Demikianlah Allah memporakporandakan kesatuan mereka dan menciptakan kecurigaan dan kehinaan di antara mereka. (2) berupa badai kencang yang memporak-porandakan kemah-kemah, menerbangkan perlengkapan masak, dan memadamkan api yang mereka gunakan untuk penerangan. Sehingga mereka terpaksa mengumumkan untuk pulang meninggalkan medan perang dengan membawa kegagalan dan kekecewaan yang luar biasa. Ini adalah sebuah nikmat dan pertolongan dari Allah kepada orang-orang beriman. Kemenangan ini bukanlah bersifat sementara. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan berita gembira kepada para sahabatnya bahwa kaum kafir tersebut tidak lagi dapat menyerbu umat Islam setelah peperangan ini. Kaum muslimlah yang akan menyerbu mereka. Dari Salman bin Shard, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika pasukan Ahzab dikalahkan, “Mulai saat ini, kitalah yang akan melakukan penyerbuan dan mereka tidak akan pernah menyerbut kita lagi.” (HR. Bukhari) Kisahnya akan berlanjut pada penjelasan surah Al-Ahzab ayat 9-25.     *Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, لأنَّ عيش الدنيا زائلٌ، وعيش الآخرة هو الدَّائم، فهو العيش الحقيقي “Karena kehidupan dunia hanyalah sementara, dan kehidupan akhirat kekal, maka itulah kehidupan yang hakiki.” **Dalil baiknya mengerjakan qadha’ shalat secara berurutan (misalnya, qadha’ shalat Zhuhur kemudian Ashar) adalah hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di mana disebutkan, إِنَّ المُشْرِكِيْنَ شَغَلُوا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَرْبَعِ صَلَواتٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللهُ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى المَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العِشَاءَ “Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari empat shalat pada perang Khandaq hingga lewat sebagian malam sesuai kehendak Allah. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan, lalu iqamah kemudian shalat Zhuhur dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Ashar dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Maghrib dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Isya dilaksanakan.” (HR. Tirmidzi, no. 178. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).   Baca juga: Qadha Shalat yang Luput   Pelajaran Berharga dari Perang Ahzab atau Khandaq   Pertama: Perhatikan bahwa pasukan sekutu yang begitu menyeramkan yang sebelumnya disangka bahwa bangsa Arab tidak mungkin bersatu seperti itu. Yang bersekutu dalam perang Ahzab adalah: Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan, lalu ada berbagai kabilah Arab yang mengikutinya, Bani Sulaim di bawah pimpinan Sufyan bin ‘Abdi Syams, Ghathafan di bawah pimpinan ‘Uyainah bin Hishn, Bani Murrah di bawah pimpinan Harits bin ‘Auf, Asyja‘ di bawah pimpinan Mas’ar bin Rukhailih. Sekutu besar ini bergabung dan berjalan menuju Madinah. Menurut pakar sirah, jumlah pasukan adalah 10.000 personil. Semua pasukan sekutu tersebut di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Pasukan tersebut mendatangi Madinah dengan persenjataan. Mereka sangat mendambakan untuk menumbangkan, lalu pulang dengan membawa harta rampasan perang dan tawanan, serta bisa menjadikan kekalahan Nabi Muhammad sebagai bahan ejekan, wal ‘iyadzu billah. Namun, Allah memberi pertolongan kepada kaum muslimin. وَٱللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰٓ أَمْرِهِۦ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21) Kedua: Kekufuran itu satu millah, satu agama. Kekufuran dengan berbagai macamnya pasti menjadi musuh Islam. Yang membuktikan hal ini, orang-orang Yahudi dari Khaibar menuju Makkah dan orang musyrikin Arab, mereka semua bersatu untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga: Ketika mendapatkan berita mengenai pasukan Ahzab (sekutu), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bermusyawarah dengan para sahabatnya. Dalam menghadapi suatu problem, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat dikenal sering bermusyawarah dengan para sahabatnya. Musyawarah ini ditemukan ide-ide cemerlang yang tidak ditemukan dalam wahyu di antaranya adalah ada ide bagus mengenai strategi perang. Dalam ayat disebutkan, وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 159) وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (QS. Asy-Syuura: 38) Keempat: Yang dihasilkan dari musyawarah ini adalah usulan-usulan yang cemerlang yang penuh berkah (bawa kebaikan). Usulan yang dihasilkan kala perang Ahzab ini adalah ide dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu untuk menggali parit (khandaq). Inilah ide yang cemerlang berkat taufik dari Allah untuk mencegah orang musyrik untuk memasuki kota Madinah. Orang-orang musyrik berkata mengenai parit ini, “Inilah intrik/ konspirasi yang belum dikenal oleh kalangan Arab.” Dari sini, kita bisa ambil suatu pelajaran mengenai pentingnya usulan atau ide cemerlang sebagai bentuk mengabdi pada agama. Ide-ide cemerlang untuk membela Islam ini bisa saja muncul dari seorang mujahid, insinyur, dokter, atau yang memiliki keahlian apa pun. Kelima: Ide cemerlang bisa saja diperoleh dari orang luar. Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang mengusulkan gagasan ini mengambilnya dari Persia, negeri asalnya. Gagasan dari orang luar bisa saja diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Keenam: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggali parit bersama para sahabatnya. Beliau ikut memindahkan tanah bersama mereka. Pelajaran pentingnya adalah untuk para dai dalam berdakwah, para ayah di rumah, para guru di sekolah, dan para imam di masjid kampung, hendaklah menjadi orang pertama yang menjadi pelopor dalam mengajak kebaikan, sekaligus terlibat dalam kebaikan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44). Memang untuk memulai dari diri sendiri adalah persoalan yang sangat berat. Meskipun berat, hal tersebut dapat memberikan pengaruh yang sangat besar, sekaligus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat di lingkungannya. Ketujuh: Dalam peperangan ini, pasukan sekutu telah berdatangan dari segala penjuru. Sementara kaum muslimin baru saja memulai penggalian parit agar Madinah tidak dapat ditembus musuh. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun langsung untuk memecahkan batu besar yang menghalangi proses penggalian parit. Dengan tangan beliau yang mulia, beliau ayunkan sebuah godam dan berkata kepada para sahabatnya padahal musuh semakin dekat dan siap untuk mengepung Madinah, “Allahu Akbar! Aku diberikan kemenangan atas kerajaan Syam! Demi Allah aku melihat istana-istana merahnya saat ini! dan seterusnya.” Hal seperti ini berguna untuk memantapkan hati para sahabat yang diliputi oleh rasa takut. Yaitu menjanjikan kepada kaum muslimin dengan berbagai janji dari Rasulullah, manusia yang jujur. Memang beliau adalah Rasulullah, tetapi mengapa ia menjanjikan sesuatu yang disampaikan di kala itu? Mengapa janji itu disampaikan pada saat-saat yang mencekam? Padahal beliau tengah menanti pasukan sekutu yang datang ingin menghancurkan Madinah! Janji beliau adalah sebagai bentuk arahan kepada umat ini agar lebih fokus, memperteguh hati, dan menentramkannya, serta menghilangkan segala kekhawatiran dan rasa takut pada situasi yang kritis. Manusia saat menghadapi ujian berat sangat membutuhkan orang yang dapat meneguhkan hatinya, bukan menakut-nakutinya. Umat ini sangat membutuhkan orang-orang yang dapat membangkitkan semangat dan motivasi, bukan orang-orang yang sebaliknya, membutuhkan orang-orang yang dapat meneguhkan keimanannya, mengokohkan keyakinannya, dan memantapkan akidahnya, serta menggiringnya ke dalam pangkuan agama Allah. Kedelapan: Pada situasi yang berat biasanya akan terlihat sosok-sosok manusia munafik. Penggalian parit adalah pekerjaan yang berat ditambah kondisi tubuh yang lapar, musuh yang semakin dekat, dan rasa khawatir terhadap keselamatan anak dan istri. Hanya orang-orang yang benar (dalam keimanan), yang dapat menghadapi situasi seperti ini. Sedangkan selain mereka, maka mereka akan mengendap-endap menyelinap ke rumah menemui keluarganya dan meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini, Allah berfirman, لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63) Baca juga: Adab Terhadap Rasulullah, Tafsir An-Nuur ayat 48 Kesembilan: Seburuk-buruknya teman adalah teman yang jahat. Sesungguhnya Ka’ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah, posisinya sudah aman karena terikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, ketika datang teman yang buruk dan membawa sial yaitu Huyai bin Akhthab yang terus membujuk dan merayu agar mau membatalkan dan mengkhianati perjanjiannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal inilah yang menyebabkan kehinaan bagi kaumnya yang akan dijelaskan pada peperangan Bani Quraizhah. Demikianlah watak teman dan kawan yang jahat, yang akan membawa kerugian dan tidak pernah membawa kebaikan. Dalam hadits dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً “Perumpamaan seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101) Baca juga: Manfaat Teman yang Baik Kesepuluh: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan informasi tentang pengkhianatan Bani Quraizhah, lalu beliau mengutus empat sahabatnya untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa demikianlah seharusnya sikap seorang mukmin ketika mendapatkan informasi, tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6). Baca juga: Jangan Mudah Menerima Berita Media Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Asyaj ‘Abdul Qois, إن فيك لخصلتين يحبهما الله : الحلم والأناة “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod, no. 586. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ “Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Sunanul Qubro. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shoghir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Baca juga: Nasihat Berharga, Janganlah Tergesa-Gesa Kesebelas: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada sahabatnya yang akan berangkat memberikan isyarat yang dipahami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi tidak dapat dipahami oleh sahabat lainnya jika Bani Quraizhah benar-benar melakukan pengkhianatan. Namun, jika mereka tidak melakukannya, silakan memberitahukan kepada semua orang. Artinya, apabila ada perkara-perkara negatif yang menimbulkan efek yang buruk, maka tidak perlu diumumkan, tidak perlu dibicarakan dan tidak perlu disebarkan. Karena hal ini akan menimbulkan kegoncangan dan ketakutan dalam masyarakat serta membuat musuh senang dan bahagia, sementara orang-orang mukmin menjadi sedih. Namun, jika perkara itu adalah baik, perlu diumumkan untuk meneguhkan jiwa orang-orang beriman. Begitu pula bagi seseorang hendaknya ia menjaga lisan sekalipun yang diucapkannya adalah benar. Karena, tidak setiap apa yang diketahui harus diomongkan. Selain itu, tidak setiap omongan harus dibicarakan bebas pada yang lain. Mukmin yang cerdas adalah yang menyadari konsekuensi ucapannya. Apabila berakibat negatif, maka ia tidak akan berbicara, bahkan akan merahasiakannya dan melarang orang lain untuk membicarakannya. Baca juga: Disebut Dusta Ketika Membicarakan Semua yang Didengar Kedua belas: Pada perang Ahzab terjadi mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti memperbanyak makanan yang dihidangkan oleh Jabir hingga mampu memberikan makanan kepada seribu orang prajurit. Juga ada mukjizat berupa kurma yang dibawa oleh putri dari Basyir bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa dengan tangannya lantas dimakan oleh seluruh prajurit perang Khandaq/Ahzab lalu masih ada sisa. Mukjizat lainnya adalah kabar gembira bahwa Persia, Syam, dan Yaman akan ditaklukkan. Serta masih ada lagi mukjizat lainnya dari kisah Perang Ahzab ini. Ketiga belas: Musyawarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua sahabat untuk memberikan sebagian hasil panen kurma Madinah kepada Bani Ghathafan agar mereka mau bergabung kembali. Kemudian keduanya memberikan tanggapannya kepada beliau. Dalam hal ini, kita dapat mengambil pelajaran sejauh mana ide itu dapat diterima. Apabila wahyu telah menetapkannya, maka tidak berlaku lagi ijtihad. Kedua sahabat ingin memastikan sebelum menjelaskan gagasan dan idenya. Apakah perjanjian tersebut berdasarkan wahyu dari Allah atau hanya ijtihad beliau saja, yang dapat dilaksanakan atau tidak? Ketika keduanya mengetahui bahwa itu hanya ijtihad beliau saja dan bukan wahyu, baru kemudian keduanya mengemukakan pendapatnya serta argumentasinya. Begitulah seharusnya bagi kita untuk selalu tunduk terhadap ketetapan syariat, tidak menyanggahnya dengan pendapat atau ide yang berdasarkan akal saja. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7) Baca juga: Mau Selamat? Ikuti Petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi! Keempat belas: Kita juga dapat mengambil pelajaran tentang disyariatkannya untuk berlaku khusyuk, berdoa dan menyerahkan segala urusan kepada Allah karena itu semua merupakan faktor yang dapat mendatangkan kemenangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berdoa, menyerahkan diri, dan khusyuk kepada Allah sebagaimana yang kita lihat dalam perang Ahzab, bagaimana beliau berdoa dengan khusyuk mengharap kemenangan dari Allah. Kelima belas: Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu menunjukkan bahwa undangan makan yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh prajurit menunjukkan sejauh mana kerja sama yang terjalin di antara mereka. Tidak ada di antara mereka yang makan sendirian tanpa berbagi kepada yang lain. Mereka saling bekerja sama, bahu membahu, mengutamakan orang lain, dan berempati. Begitulah gambaran masyarakat Islam sebagaimana disebutkan dalam hadits dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR. Bukhari, no. 6011) Keenam belas: Peperangan membawa dampak positif. Allah telah mengusir orang-orang kafir dengan membawa kekecewaan yang sangat besar karena mereka tidak mendapatkan sedikit pun keuntungan. Mereka telah menghimpun segala potensi yang mereka miliki dengan susah payah, tetapi mereka kembali dengan membawa kegagalan dan tidak dapat membantai kaum muslimin, kecuali hanya enam sahabat, sementara dari mereka hanya tiga orang di antaranya Amr bin Abdud, panglima pasukan berkuda. Namun, jumlah mereka yang mencapai 10.000 hanya kembali membawa kerugian dan kekecewaan. Untuk itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mulai sekarang, kitalah yang akan memerangi mereka dan mereka tidak akan lagi sanggup memerangi kita. Kitalah yang akan melakukan serbuan kepada mereka.” Ketujuh belas: Kaum musyrikin, sekalipun tampaknya mereka bersatu-padu, tetapi berpotensi untuk bercerai berai dan Allah berfirman tentang hal ini di dalam kitab-Nya yang mulia, ذَٰلِكُمْ وَأَنَّ ٱللَّهَ مُوهِنُ كَيْدِ ٱلْكَٰفِرِينَ “Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Anfal: 18) Kaum kafir telah mampu menggalang persatuan yang terdiri dari Bani Quraisy, Bani Ghathafan, kabilah-kabilah Arab, Yahudi Nadhir dan Quraizhah. Namun, dalam seketika mereka berselisih dan bertikai, maka mereka pun kembali dengan membawa kerugian.   Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, selesai penjelasan perang Ahzab/ Khandaq.  Selanjutnya, kita akan berlanjut ke Perang Bani Quraizhah.    Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah. Al-Athlas At-Tarikhi li Sirah Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cetakan ketujuh, Tahun 1433 H. Sami bin ‘Abdillah bin Ahmad Al-Malghuts. Penerbit Obekan. https://binbaz.org.sa/audios/2486/163-من-حديث-اللهم-لا-عيش-الا-عيش-الاخرة   –   Ditulis sejak 3 Jumadal Akhirah 1445 H, 15 Desember 2023 M @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, direvisi pada 24 Syawal 1445 H, 3 Mei 2024 M Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi jihad peperangan di masa Rasulullah perang ahzab perang khandaq sirah nabi
Perang Ahzab terjadi pada Syawal tahun 5 Hijriyah. Tempat terjadinya perang Ahzab itu di Madinah. Yang membawa bendera Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Zaid bin Haritsah dan Sa’ad bin ‘Ubadah. Sedangkan pemimpin pasukan musuh adalah Abu Sufyan bin Harb. Jumlah pasukan kaum muslimin 3.000, melawan 10.000 pasukan musuh. Surah yang membicarakan perang Ahzab adalah ayat-ayat dalam surah Al-Ahzab.   Daftar Isi tutup 1. Penggalian Parit 2. Berkah dari Nabi Membuat Makanan Menjadi Banyak 3. Pelajaran Berharga dari Perang Ahzab atau Khandaq 3.1. Referensi: Perang Ahzab disebut pula dengan perang Khandaq. Hal ini dikarenakan umat Islam menggali parit pada perang tersebut. Khandaq berarti parit, khandaqa berarti menggali parit. Ini adalah perang ketika Allah menguji hamba-hamba-Nya yang beriman dengan memasukkan iman ke dalam dada para wali-Nya yang bertakwa serta menampakkan apa yang selama ini disembunyikan oleh orang-orang munafik dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan pertolongan-Nya guna membela mereka, memporak-porandakan pasukan musuh dengan kekuatan-Nya, memuliakan para tentara-Nya, menjadikan orang-orang kafir kembali dengan kekecewaan, melindungi kaum mukminin dari kejahatan mereka, mengharamkan mereka untuk tidak lagi dapat memerangi umat Islam, mereka kalah dan Allah menjadikan golongan-Nya meraih kemenangan yang gemilang. Ibnu Ishaq berkata, “Perang Khandaq ini terjadi pada bulan Syawal tahun kelima Hijriyah. Latar belakang peperangan ini adalah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Bani Nadhir hingga mereka pergi ke perkampungan Khaibar yang mayoritasnya penduduk Yahudi yang memiliki keterampilan dalam perang. Oleh karena itu, berangkatlah Huyai bin Akhthab, Kinanah bin Abdul Haqiq, Haudzah bin Qais Al-Waili, dan Abu Amir Al-Fasiq (yang terkenal dengan kefasikannya) serta yang lainnya menuju Makkah. Mereka mengajak Quraisy dan pendukung-pendukungnya untuk memerangi Muhammad. Mereka membentuk pasukan koalisi. Mereka berkata kepada orang-orang Quraisy, “Kami akan bersama kalian hingga kita dapat mengalahkan Muhammad. Kami datang untuk bekerja sama dengan kalian untuk menjadikannya musuh bersama dan memeranginya.” Kemudian orang Quraisy menyambutnya dengan semangat dan gembira. Mereka juga mengajak suku Ghathafan dan Bani Sulaim untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun menyambut ajakan tersebut serta berjanji akan bergabung bersama kaum Quraisy. Kemudian keluarlah Abu Sufyan dengan pasukan Quraisy dan kabilah-kabilah lainnya. Sedangkan Bani Sulaim dipimpin langsung oleh Sufyan bin Abdu Syams, Ghathafan dipimpin oleh Uyyainah bin Hishn, Bani Murrah dipimpin oleh Harits bin ‘Auf, suku Asyja’ oleh Mas’ar bin Rukhailih. Pasukan gabungan tersebut dengan kekuatan 10.000 personil siap berangkat ke Madinah di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui informasi tentang pasukan gabungan ini, beliau mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Kemudian Salman Al-Farisi menyarankan untuk menggali parit. Sarannya itu membuat mereka takjub dan mereka memilih untuk menetap di dalam kota Madinah.   Penggalian Parit Kemudian penggalian parit pun dilakukan yang melibatkan seluruh kaum muslimin. Mereka menggalinya dengan cepat karena berlomba-lomba dengan kedatangan musuh. Mereka meminjam berbagai alat yang dibutuhkan kepada Bani Quraizhah. Asy-Syami berkata, “Imam Thabrani meriwayatkan dengan sanad laa ba’sa (dapat diterima) dari ‘Amr bin Al-Muzni, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis parit yang harus digali dari Ajam Syaikhan ujung wilayah Bani Haritsah hingga Mazad. Selain itu, setiap 10 sahabat menggali 40 hasta.” Al-Waqidi berkata, “Parit yang digali sangat panjang. Kaum Muhajirin dan Anshar memanggul batu-batu di atas kepala mereka. Mereka melakukannya terus menerus hingga selesai penggalian parit tersebut. Tidak satu pun dari kaum muslimin yang tidak terlibat dalam proyek penggalian parit ini. Sementara itu, Abu Bakar dan Umar memindahkan tanah dengan bajunya karena tidak ada wadah yang dapat digunakan lagi. Keduanya selalu berdampingan dalam bekerja. Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggali parit. Sebagian dari mereka menggali, sedangkan kami memindahkan tanah galian dengan memanggulnya di atas pundak-pundak kami. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اللَّهُمَّ لا عَيْشَ إلَّا عَيْشُ الآخِرَةِ، فَاغْفِرْ لِلْمُهَاجِرِينَ والأنْصَارِ. “Ya Allah, tidak ada kehidupan, kecuali kehidupan akhirat, ampunilah kaum Muhajirin dan Anshar.” (HR. Bukhari, no. 4098)*   Berkah dari Nabi Membuat Makanan Menjadi Banyak Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika sedang menggali parit, kami terhalang oleh sebuah batu besar. Kemudian mereka pun mendatangi Nabi dan berkata, “Kami mendapatkan sebuah batu besar di dalam parit.” Beliau berkata, “Saya akan melihatnya.” Lalu beliau berdiri sementara perutnya diganjal dengan sebuah batu. Sebab sudah tiga hari kami tidak mendapat makanan yang cukup. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sebuah palu besar lalu memukulkannya ke atas batu besar tersebut dan batu itu pun hancur berkeping-keping. Aku berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, izinkan aku untuk pulang ke rumah.” Kemudian aku pun berkata kepada istriku, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu sabar dalam menahan lapar, apakah kamu memiliki sesuatu?” Istriku berkata, “Ya, sedikit gandum dan seekor anak kambing.” Kemudian aku menyembelih anak kambing tersebut dan menumbuk gandum lalu membakarnya. Kemudian aku datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara adonan pun sudah mulai merekah dan daging pun hampir matang. Aku berkata, “Aku memiliki sedikit makanan, datanglah engkau ya Rasulullah bersama satu atau dua orang lainnya.” Beliau bertanya, “Berapa banyak makanan itu?” Lalu aku pun menyebutkannya. Beliau berkata, “Sungguh banyak lagi baik. Katakan kepada istrimu untuk tidak mengangkat panggangan daging dan roti dari tempat memasak hingga aku datang.” Lalu beliau berkata kepada orang-orang, “Berdirilah kalian semua!” Maka orang-orang Anshar dan Muhajirin pun bangkit. Setelah sampai di rumahnya, ia pun masuk menemui istrinya dan berkata, “Celaka! Rasulullah mengajak semua orang Anshar dan Muhajirin.” Istriku bertanya, “Apakah beliau bertanya kepadamu?” Aku menjawab, “Ya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Masuklah kalian dan jangan berdesak-desakan.” Lalu beliau memotong roti dan menaburkan daging di atasnya dan memberikannya kepada para sahabatnya. Beliau terus memotong roti dan menyiramkannya hingga semua kenyang, sementara makanan masih tersisa banyak. Beliau berkata, “Makanlah kamu dan hadiahkan kepada orang-orang karena mereka juga lapar.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Bukhari yang lain disebutkan bahwa jumlah mereka yang ikut makan sebanyak seribu orang. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ada riwayat dengan sanad yang bagus dari Barra’ bin ‘Azib, ia berkata, ‘Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menggali parit, kami mendapatkan batu besar sehingga menghalangi pekerjaan kami, sementara batu tersebut tidak dapat kami hancurkan dengan godam (martil besar). Lalu kami melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau pun datang dan mengambil godam seraya berkata, “Bismillah.” Lalu beliau memukulkan dengan sekali pukulan hingga hancur sepertiganya dan beliau berkata, “Allahu Akbar! Aku diberi kemenangan atas kerajaan Syam. Demi Allah, sungguh aku melihat istana-istana merahnya saat ini.” Lalu beliau memukulkan untuk yang kedua kalinya, maka hancurlah sepertiganya lagi, seraya berkata, “Allahu Akbar!” Aku diberi kemenangan atas kerajaan Persia. Demi Allah sungguh aku melihat istana-istana putihnya.” Kemudian beliau memukulkannya kembali untuk yang ketiga kalinya seraya berkata, “Bismillah.” Maka hancurlah sisa batu tersebut. “Allahu Akbar! Aku diberikan kemenangan atas kerajaan Yaman. Demi Allah! Sungguh aku melihat gerbang San’a dari tempatku ini saat ini.” Barra radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ikut menggali parit. Aku melihat beliau memindahkan tanah galian hingga mengotori kulit perut beliau yang berbulu lebat. Aku mendengar beliau menyenandungkan syair Ibnu Rawahah sambil mengangkut tanah, Demi Allah,  Seandainya bukan karena-Mu, Kami tidak akan mendapatkan petunjuk,  tidak bersedekah, tidak pula shalat. Maka, turunkanlah ketenangan kepada kami.  Teguhkanlah kaki kami saat bertemu musuh. Sungguh mereka telah berbuat aniaya kepada kami. Bila mereka menginginkan fitnah, tentuk kami menolaknya.  Kemudian memanjangkan senandungnya. (HR. Bukhari dalam Fath Al-Bari) Ayat-ayat yang terdapat dalam surah Al-Ahzab menggambarkan perilaku orang-orang munafik dan cara mereka untuk menghindari dari proyek penggalian parit. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai melakukan penggalian, beliau menyerahkan Madinah kepada Ibnu Ummi Maktum sebagai wakil beliau dan menempatkan para wanita dan anak-anak pada sebuah benteng. Beliau mengambil posisi di depan sebuah bukit besar, sedangkan parit berada di hadapannya. Sementara pasukan Quraisy berada di hadapannya, sedangkan Ghathafan dan penduduk Najed berada di samping Uhud. Huyai bin Akhthab, musuh Allah keluar untuk menemui Ka’ab bin Asad Al Qurzhi, pemimpin Bani Quraizhah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menitipkan kaumnya kepadanya dan melakukan perjanjian dengannya. Sehingga ketika dia mendengar kedatangan Huyai bin Akhthab segera mengunci pintunya rapat-rapat. Namun, Huyai tetap saja mendesaknya hingga akhirnya ia membukakan pintu untuknya dan melanggar perjanjiannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar informasi pengkhianatan Bani Quraizhah, beliau mengutus Sa’ad bin Mu’adz, Sa’ad bin ‘Ubadah, ‘Abdullah bin Rawahah, dan Khawat bin Jubair, seraya berkata, “Pergi dan lihatlah! Apakah benar berita yang sampai kepada kita tentang mereka atau tidak. Apabila benar berikan isyarat kepadaku dan jangan disebarkan ke orang-orang. Namun, apabila mereka tetap dalam perjanjiannya dengan kita, katakan kepada orang-orang.” Maka, mereka pun berangkat dan ternyata mereka mendapati bahwa mereka telah melanggar perjanjian. Mereka pun kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan tentang pengkhianatan Bani Quraizhah tersebut. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bergembiralah wahai kaum muslimin dengan kemenangan dari Allah dan bantuan-Nya.” Ketakutan pun semakin menjadi-jadi, ujian semakin berat dan kekhawatiran terhadap para wanita dan anak-anak pun semakin meningkat. Kondisi mereka seperti yang Allah firmankan, إِذْ جَآءُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ ٱلْأَبْصَٰرُ وَبَلَغَتِ ٱلْقُلُوبُ ٱلْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِٱللَّهِ ٱلظُّنُونَا۠ “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.” (QS. Al-Ahzab: 10) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin siap menyambut kedatangan musuh. Mereka tidak dapat meninggalkan posisinya dan terus menerus secara bergantian berjaga-jaga di seputar parit. Sementara kemunafikan orang-orang munafik semakin terlihat. Sebagian mereka berkata, “Dulu Muhammad pernah menjanjikan kepada kita akan menguasai kekaisaran Romawi. Namun, sekarang untuk buang hajat saja, orang tidak merasa aman.” Kaum muslimin bergiliran menjaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara itu mereka juga merasakan kelaparan yang sangat, baik siang maupun malam. Demikian juga halnya dengan kaum musyrikin yang bergiliran melakukan patroli. Terkadang dipimpin oleh Abu Sufyan dan pasukannya, terkadang Khalid, kadang Ikrimah, dan seterusnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui pengkhiantan Bani Quraizhah, beliau mengirim delegasi untuk menemui Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin ‘Auf, pemimpin Ghathafan untuk melakukan kesepakatan damai dan beliau bersedia memberikan hasil panen kurma Madinah sebanyak sepertiga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memanggil Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah untuk meminta pendapatnya. Keduanya berkata, “Ya Rasulullah, kalau memang Allah memerintahkan kamu seperti itu, maka kamu mendengar dan taat. Namun, kalau ini hanya strategi kamu demi kemaslahatan kami, kami tidak membutuhkannya. Dahulu ketika kami dan mereka sama-sama musyrik dan penyembah berhala, mereka tidak dapat menikmati kurma kami, kecuali dengan bertamu atau membeli. ” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya membatalkan tawarannya tersebut. Beliau mendoakan kebinasaan untuk pasukan gabungan seraya berdoa, اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ سَرِيعَ الْحِسَابِ اللَّهُمَّ اهْزِمْ الْأَحْزَابَ اللَّهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ “Ya Allah, yang menurunkan kitab, yang cepat dalam menghisab, hancurkanlah pasukan gabungan Ahzab! Ya Allah hancurkanlah dan luluh-lantakkanlah mereka!” (HR. Bukhari, no. 4115, Fath Al-Bari, 7:406) Kaum musyrikin terus berupaya menembus barisan kaum muslimin dengan menghujankan anak panah tanpa henti-hentinya sepanjang pengepungannya sehingga membuat kaum muslimin sibuk sehari penuh dan melupakan shalat Ashar.** Mereka baru mengerjakannya setelah terbenam matahari. Namun, segala upaya kaum musyrikin untuk menembus parit mengalami kegagalan. Bahkan Ali dapat membunuh Amr bin Abdud, sementar yang lain melarikan diri. Begitu pula dengan Naufal Makhzhumi yang tewas terbunuh. Sedangkan dari kaum muslimin sedikitnya yang menjadi syahid ada enam orang, di antaranya adalah Sa’ad bin Mu’adz. Adapun pengepungan pasukan koalisi terhadap umat Islam berlangsung selama 24 malam. Sebagaimana yang Allah firmankan bahwa Allah akan menghindarkan kaum muslimin dari peperangan dengan dua cara, yaitu: (1) upaya yang dilakukan oleh Nu’aim bin Mas’ud yang masuk Islam tanpa diketahui masyarakatnya. Ia akan mencerai beraikan dengan seizin Nabi antara Yahudi Bani Quraizhah dengan kaum musyrikin. Ia mengingatkan Bani Quraizhah untuk tidak memulai perang melawan Muhammad, kecuali kaum musyrikin mau memberikan jaminan bahwa mereka tidak akan pergi meninggalkannya apabila terjadi sesuatu di luar harapan. Begitu pula dilakukannya kepada kafir Quraisy bahwa Bani Quraizhah menyesali pengkhianatan yang dilakukannya terhaap Nabi. Demikianlah Allah memporakporandakan kesatuan mereka dan menciptakan kecurigaan dan kehinaan di antara mereka. (2) berupa badai kencang yang memporak-porandakan kemah-kemah, menerbangkan perlengkapan masak, dan memadamkan api yang mereka gunakan untuk penerangan. Sehingga mereka terpaksa mengumumkan untuk pulang meninggalkan medan perang dengan membawa kegagalan dan kekecewaan yang luar biasa. Ini adalah sebuah nikmat dan pertolongan dari Allah kepada orang-orang beriman. Kemenangan ini bukanlah bersifat sementara. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan berita gembira kepada para sahabatnya bahwa kaum kafir tersebut tidak lagi dapat menyerbu umat Islam setelah peperangan ini. Kaum muslimlah yang akan menyerbu mereka. Dari Salman bin Shard, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika pasukan Ahzab dikalahkan, “Mulai saat ini, kitalah yang akan melakukan penyerbuan dan mereka tidak akan pernah menyerbut kita lagi.” (HR. Bukhari) Kisahnya akan berlanjut pada penjelasan surah Al-Ahzab ayat 9-25.     *Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, لأنَّ عيش الدنيا زائلٌ، وعيش الآخرة هو الدَّائم، فهو العيش الحقيقي “Karena kehidupan dunia hanyalah sementara, dan kehidupan akhirat kekal, maka itulah kehidupan yang hakiki.” **Dalil baiknya mengerjakan qadha’ shalat secara berurutan (misalnya, qadha’ shalat Zhuhur kemudian Ashar) adalah hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di mana disebutkan, إِنَّ المُشْرِكِيْنَ شَغَلُوا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَرْبَعِ صَلَواتٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللهُ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى المَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العِشَاءَ “Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari empat shalat pada perang Khandaq hingga lewat sebagian malam sesuai kehendak Allah. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan, lalu iqamah kemudian shalat Zhuhur dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Ashar dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Maghrib dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Isya dilaksanakan.” (HR. Tirmidzi, no. 178. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).   Baca juga: Qadha Shalat yang Luput   Pelajaran Berharga dari Perang Ahzab atau Khandaq   Pertama: Perhatikan bahwa pasukan sekutu yang begitu menyeramkan yang sebelumnya disangka bahwa bangsa Arab tidak mungkin bersatu seperti itu. Yang bersekutu dalam perang Ahzab adalah: Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan, lalu ada berbagai kabilah Arab yang mengikutinya, Bani Sulaim di bawah pimpinan Sufyan bin ‘Abdi Syams, Ghathafan di bawah pimpinan ‘Uyainah bin Hishn, Bani Murrah di bawah pimpinan Harits bin ‘Auf, Asyja‘ di bawah pimpinan Mas’ar bin Rukhailih. Sekutu besar ini bergabung dan berjalan menuju Madinah. Menurut pakar sirah, jumlah pasukan adalah 10.000 personil. Semua pasukan sekutu tersebut di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Pasukan tersebut mendatangi Madinah dengan persenjataan. Mereka sangat mendambakan untuk menumbangkan, lalu pulang dengan membawa harta rampasan perang dan tawanan, serta bisa menjadikan kekalahan Nabi Muhammad sebagai bahan ejekan, wal ‘iyadzu billah. Namun, Allah memberi pertolongan kepada kaum muslimin. وَٱللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰٓ أَمْرِهِۦ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21) Kedua: Kekufuran itu satu millah, satu agama. Kekufuran dengan berbagai macamnya pasti menjadi musuh Islam. Yang membuktikan hal ini, orang-orang Yahudi dari Khaibar menuju Makkah dan orang musyrikin Arab, mereka semua bersatu untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga: Ketika mendapatkan berita mengenai pasukan Ahzab (sekutu), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bermusyawarah dengan para sahabatnya. Dalam menghadapi suatu problem, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat dikenal sering bermusyawarah dengan para sahabatnya. Musyawarah ini ditemukan ide-ide cemerlang yang tidak ditemukan dalam wahyu di antaranya adalah ada ide bagus mengenai strategi perang. Dalam ayat disebutkan, وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 159) وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (QS. Asy-Syuura: 38) Keempat: Yang dihasilkan dari musyawarah ini adalah usulan-usulan yang cemerlang yang penuh berkah (bawa kebaikan). Usulan yang dihasilkan kala perang Ahzab ini adalah ide dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu untuk menggali parit (khandaq). Inilah ide yang cemerlang berkat taufik dari Allah untuk mencegah orang musyrik untuk memasuki kota Madinah. Orang-orang musyrik berkata mengenai parit ini, “Inilah intrik/ konspirasi yang belum dikenal oleh kalangan Arab.” Dari sini, kita bisa ambil suatu pelajaran mengenai pentingnya usulan atau ide cemerlang sebagai bentuk mengabdi pada agama. Ide-ide cemerlang untuk membela Islam ini bisa saja muncul dari seorang mujahid, insinyur, dokter, atau yang memiliki keahlian apa pun. Kelima: Ide cemerlang bisa saja diperoleh dari orang luar. Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang mengusulkan gagasan ini mengambilnya dari Persia, negeri asalnya. Gagasan dari orang luar bisa saja diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Keenam: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggali parit bersama para sahabatnya. Beliau ikut memindahkan tanah bersama mereka. Pelajaran pentingnya adalah untuk para dai dalam berdakwah, para ayah di rumah, para guru di sekolah, dan para imam di masjid kampung, hendaklah menjadi orang pertama yang menjadi pelopor dalam mengajak kebaikan, sekaligus terlibat dalam kebaikan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44). Memang untuk memulai dari diri sendiri adalah persoalan yang sangat berat. Meskipun berat, hal tersebut dapat memberikan pengaruh yang sangat besar, sekaligus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat di lingkungannya. Ketujuh: Dalam peperangan ini, pasukan sekutu telah berdatangan dari segala penjuru. Sementara kaum muslimin baru saja memulai penggalian parit agar Madinah tidak dapat ditembus musuh. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun langsung untuk memecahkan batu besar yang menghalangi proses penggalian parit. Dengan tangan beliau yang mulia, beliau ayunkan sebuah godam dan berkata kepada para sahabatnya padahal musuh semakin dekat dan siap untuk mengepung Madinah, “Allahu Akbar! Aku diberikan kemenangan atas kerajaan Syam! Demi Allah aku melihat istana-istana merahnya saat ini! dan seterusnya.” Hal seperti ini berguna untuk memantapkan hati para sahabat yang diliputi oleh rasa takut. Yaitu menjanjikan kepada kaum muslimin dengan berbagai janji dari Rasulullah, manusia yang jujur. Memang beliau adalah Rasulullah, tetapi mengapa ia menjanjikan sesuatu yang disampaikan di kala itu? Mengapa janji itu disampaikan pada saat-saat yang mencekam? Padahal beliau tengah menanti pasukan sekutu yang datang ingin menghancurkan Madinah! Janji beliau adalah sebagai bentuk arahan kepada umat ini agar lebih fokus, memperteguh hati, dan menentramkannya, serta menghilangkan segala kekhawatiran dan rasa takut pada situasi yang kritis. Manusia saat menghadapi ujian berat sangat membutuhkan orang yang dapat meneguhkan hatinya, bukan menakut-nakutinya. Umat ini sangat membutuhkan orang-orang yang dapat membangkitkan semangat dan motivasi, bukan orang-orang yang sebaliknya, membutuhkan orang-orang yang dapat meneguhkan keimanannya, mengokohkan keyakinannya, dan memantapkan akidahnya, serta menggiringnya ke dalam pangkuan agama Allah. Kedelapan: Pada situasi yang berat biasanya akan terlihat sosok-sosok manusia munafik. Penggalian parit adalah pekerjaan yang berat ditambah kondisi tubuh yang lapar, musuh yang semakin dekat, dan rasa khawatir terhadap keselamatan anak dan istri. Hanya orang-orang yang benar (dalam keimanan), yang dapat menghadapi situasi seperti ini. Sedangkan selain mereka, maka mereka akan mengendap-endap menyelinap ke rumah menemui keluarganya dan meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini, Allah berfirman, لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63) Baca juga: Adab Terhadap Rasulullah, Tafsir An-Nuur ayat 48 Kesembilan: Seburuk-buruknya teman adalah teman yang jahat. Sesungguhnya Ka’ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah, posisinya sudah aman karena terikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, ketika datang teman yang buruk dan membawa sial yaitu Huyai bin Akhthab yang terus membujuk dan merayu agar mau membatalkan dan mengkhianati perjanjiannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal inilah yang menyebabkan kehinaan bagi kaumnya yang akan dijelaskan pada peperangan Bani Quraizhah. Demikianlah watak teman dan kawan yang jahat, yang akan membawa kerugian dan tidak pernah membawa kebaikan. Dalam hadits dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً “Perumpamaan seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101) Baca juga: Manfaat Teman yang Baik Kesepuluh: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan informasi tentang pengkhianatan Bani Quraizhah, lalu beliau mengutus empat sahabatnya untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa demikianlah seharusnya sikap seorang mukmin ketika mendapatkan informasi, tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6). Baca juga: Jangan Mudah Menerima Berita Media Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Asyaj ‘Abdul Qois, إن فيك لخصلتين يحبهما الله : الحلم والأناة “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod, no. 586. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ “Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Sunanul Qubro. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shoghir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Baca juga: Nasihat Berharga, Janganlah Tergesa-Gesa Kesebelas: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada sahabatnya yang akan berangkat memberikan isyarat yang dipahami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi tidak dapat dipahami oleh sahabat lainnya jika Bani Quraizhah benar-benar melakukan pengkhianatan. Namun, jika mereka tidak melakukannya, silakan memberitahukan kepada semua orang. Artinya, apabila ada perkara-perkara negatif yang menimbulkan efek yang buruk, maka tidak perlu diumumkan, tidak perlu dibicarakan dan tidak perlu disebarkan. Karena hal ini akan menimbulkan kegoncangan dan ketakutan dalam masyarakat serta membuat musuh senang dan bahagia, sementara orang-orang mukmin menjadi sedih. Namun, jika perkara itu adalah baik, perlu diumumkan untuk meneguhkan jiwa orang-orang beriman. Begitu pula bagi seseorang hendaknya ia menjaga lisan sekalipun yang diucapkannya adalah benar. Karena, tidak setiap apa yang diketahui harus diomongkan. Selain itu, tidak setiap omongan harus dibicarakan bebas pada yang lain. Mukmin yang cerdas adalah yang menyadari konsekuensi ucapannya. Apabila berakibat negatif, maka ia tidak akan berbicara, bahkan akan merahasiakannya dan melarang orang lain untuk membicarakannya. Baca juga: Disebut Dusta Ketika Membicarakan Semua yang Didengar Kedua belas: Pada perang Ahzab terjadi mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti memperbanyak makanan yang dihidangkan oleh Jabir hingga mampu memberikan makanan kepada seribu orang prajurit. Juga ada mukjizat berupa kurma yang dibawa oleh putri dari Basyir bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa dengan tangannya lantas dimakan oleh seluruh prajurit perang Khandaq/Ahzab lalu masih ada sisa. Mukjizat lainnya adalah kabar gembira bahwa Persia, Syam, dan Yaman akan ditaklukkan. Serta masih ada lagi mukjizat lainnya dari kisah Perang Ahzab ini. Ketiga belas: Musyawarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua sahabat untuk memberikan sebagian hasil panen kurma Madinah kepada Bani Ghathafan agar mereka mau bergabung kembali. Kemudian keduanya memberikan tanggapannya kepada beliau. Dalam hal ini, kita dapat mengambil pelajaran sejauh mana ide itu dapat diterima. Apabila wahyu telah menetapkannya, maka tidak berlaku lagi ijtihad. Kedua sahabat ingin memastikan sebelum menjelaskan gagasan dan idenya. Apakah perjanjian tersebut berdasarkan wahyu dari Allah atau hanya ijtihad beliau saja, yang dapat dilaksanakan atau tidak? Ketika keduanya mengetahui bahwa itu hanya ijtihad beliau saja dan bukan wahyu, baru kemudian keduanya mengemukakan pendapatnya serta argumentasinya. Begitulah seharusnya bagi kita untuk selalu tunduk terhadap ketetapan syariat, tidak menyanggahnya dengan pendapat atau ide yang berdasarkan akal saja. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7) Baca juga: Mau Selamat? Ikuti Petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi! Keempat belas: Kita juga dapat mengambil pelajaran tentang disyariatkannya untuk berlaku khusyuk, berdoa dan menyerahkan segala urusan kepada Allah karena itu semua merupakan faktor yang dapat mendatangkan kemenangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berdoa, menyerahkan diri, dan khusyuk kepada Allah sebagaimana yang kita lihat dalam perang Ahzab, bagaimana beliau berdoa dengan khusyuk mengharap kemenangan dari Allah. Kelima belas: Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu menunjukkan bahwa undangan makan yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh prajurit menunjukkan sejauh mana kerja sama yang terjalin di antara mereka. Tidak ada di antara mereka yang makan sendirian tanpa berbagi kepada yang lain. Mereka saling bekerja sama, bahu membahu, mengutamakan orang lain, dan berempati. Begitulah gambaran masyarakat Islam sebagaimana disebutkan dalam hadits dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR. Bukhari, no. 6011) Keenam belas: Peperangan membawa dampak positif. Allah telah mengusir orang-orang kafir dengan membawa kekecewaan yang sangat besar karena mereka tidak mendapatkan sedikit pun keuntungan. Mereka telah menghimpun segala potensi yang mereka miliki dengan susah payah, tetapi mereka kembali dengan membawa kegagalan dan tidak dapat membantai kaum muslimin, kecuali hanya enam sahabat, sementara dari mereka hanya tiga orang di antaranya Amr bin Abdud, panglima pasukan berkuda. Namun, jumlah mereka yang mencapai 10.000 hanya kembali membawa kerugian dan kekecewaan. Untuk itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mulai sekarang, kitalah yang akan memerangi mereka dan mereka tidak akan lagi sanggup memerangi kita. Kitalah yang akan melakukan serbuan kepada mereka.” Ketujuh belas: Kaum musyrikin, sekalipun tampaknya mereka bersatu-padu, tetapi berpotensi untuk bercerai berai dan Allah berfirman tentang hal ini di dalam kitab-Nya yang mulia, ذَٰلِكُمْ وَأَنَّ ٱللَّهَ مُوهِنُ كَيْدِ ٱلْكَٰفِرِينَ “Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Anfal: 18) Kaum kafir telah mampu menggalang persatuan yang terdiri dari Bani Quraisy, Bani Ghathafan, kabilah-kabilah Arab, Yahudi Nadhir dan Quraizhah. Namun, dalam seketika mereka berselisih dan bertikai, maka mereka pun kembali dengan membawa kerugian.   Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, selesai penjelasan perang Ahzab/ Khandaq.  Selanjutnya, kita akan berlanjut ke Perang Bani Quraizhah.    Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah. Al-Athlas At-Tarikhi li Sirah Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cetakan ketujuh, Tahun 1433 H. Sami bin ‘Abdillah bin Ahmad Al-Malghuts. Penerbit Obekan. https://binbaz.org.sa/audios/2486/163-من-حديث-اللهم-لا-عيش-الا-عيش-الاخرة   –   Ditulis sejak 3 Jumadal Akhirah 1445 H, 15 Desember 2023 M @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, direvisi pada 24 Syawal 1445 H, 3 Mei 2024 M Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi jihad peperangan di masa Rasulullah perang ahzab perang khandaq sirah nabi


Perang Ahzab terjadi pada Syawal tahun 5 Hijriyah. Tempat terjadinya perang Ahzab itu di Madinah. Yang membawa bendera Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Zaid bin Haritsah dan Sa’ad bin ‘Ubadah. Sedangkan pemimpin pasukan musuh adalah Abu Sufyan bin Harb. Jumlah pasukan kaum muslimin 3.000, melawan 10.000 pasukan musuh. Surah yang membicarakan perang Ahzab adalah ayat-ayat dalam surah Al-Ahzab.   Daftar Isi tutup 1. Penggalian Parit 2. Berkah dari Nabi Membuat Makanan Menjadi Banyak 3. Pelajaran Berharga dari Perang Ahzab atau Khandaq 3.1. Referensi: Perang Ahzab disebut pula dengan perang Khandaq. Hal ini dikarenakan umat Islam menggali parit pada perang tersebut. Khandaq berarti parit, khandaqa berarti menggali parit. Ini adalah perang ketika Allah menguji hamba-hamba-Nya yang beriman dengan memasukkan iman ke dalam dada para wali-Nya yang bertakwa serta menampakkan apa yang selama ini disembunyikan oleh orang-orang munafik dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan pertolongan-Nya guna membela mereka, memporak-porandakan pasukan musuh dengan kekuatan-Nya, memuliakan para tentara-Nya, menjadikan orang-orang kafir kembali dengan kekecewaan, melindungi kaum mukminin dari kejahatan mereka, mengharamkan mereka untuk tidak lagi dapat memerangi umat Islam, mereka kalah dan Allah menjadikan golongan-Nya meraih kemenangan yang gemilang. Ibnu Ishaq berkata, “Perang Khandaq ini terjadi pada bulan Syawal tahun kelima Hijriyah. Latar belakang peperangan ini adalah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir Bani Nadhir hingga mereka pergi ke perkampungan Khaibar yang mayoritasnya penduduk Yahudi yang memiliki keterampilan dalam perang. Oleh karena itu, berangkatlah Huyai bin Akhthab, Kinanah bin Abdul Haqiq, Haudzah bin Qais Al-Waili, dan Abu Amir Al-Fasiq (yang terkenal dengan kefasikannya) serta yang lainnya menuju Makkah. Mereka mengajak Quraisy dan pendukung-pendukungnya untuk memerangi Muhammad. Mereka membentuk pasukan koalisi. Mereka berkata kepada orang-orang Quraisy, “Kami akan bersama kalian hingga kita dapat mengalahkan Muhammad. Kami datang untuk bekerja sama dengan kalian untuk menjadikannya musuh bersama dan memeranginya.” Kemudian orang Quraisy menyambutnya dengan semangat dan gembira. Mereka juga mengajak suku Ghathafan dan Bani Sulaim untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun menyambut ajakan tersebut serta berjanji akan bergabung bersama kaum Quraisy. Kemudian keluarlah Abu Sufyan dengan pasukan Quraisy dan kabilah-kabilah lainnya. Sedangkan Bani Sulaim dipimpin langsung oleh Sufyan bin Abdu Syams, Ghathafan dipimpin oleh Uyyainah bin Hishn, Bani Murrah dipimpin oleh Harits bin ‘Auf, suku Asyja’ oleh Mas’ar bin Rukhailih. Pasukan gabungan tersebut dengan kekuatan 10.000 personil siap berangkat ke Madinah di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui informasi tentang pasukan gabungan ini, beliau mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Kemudian Salman Al-Farisi menyarankan untuk menggali parit. Sarannya itu membuat mereka takjub dan mereka memilih untuk menetap di dalam kota Madinah.   Penggalian Parit Kemudian penggalian parit pun dilakukan yang melibatkan seluruh kaum muslimin. Mereka menggalinya dengan cepat karena berlomba-lomba dengan kedatangan musuh. Mereka meminjam berbagai alat yang dibutuhkan kepada Bani Quraizhah. Asy-Syami berkata, “Imam Thabrani meriwayatkan dengan sanad laa ba’sa (dapat diterima) dari ‘Amr bin Al-Muzni, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis parit yang harus digali dari Ajam Syaikhan ujung wilayah Bani Haritsah hingga Mazad. Selain itu, setiap 10 sahabat menggali 40 hasta.” Al-Waqidi berkata, “Parit yang digali sangat panjang. Kaum Muhajirin dan Anshar memanggul batu-batu di atas kepala mereka. Mereka melakukannya terus menerus hingga selesai penggalian parit tersebut. Tidak satu pun dari kaum muslimin yang tidak terlibat dalam proyek penggalian parit ini. Sementara itu, Abu Bakar dan Umar memindahkan tanah dengan bajunya karena tidak ada wadah yang dapat digunakan lagi. Keduanya selalu berdampingan dalam bekerja. Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggali parit. Sebagian dari mereka menggali, sedangkan kami memindahkan tanah galian dengan memanggulnya di atas pundak-pundak kami. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اللَّهُمَّ لا عَيْشَ إلَّا عَيْشُ الآخِرَةِ، فَاغْفِرْ لِلْمُهَاجِرِينَ والأنْصَارِ. “Ya Allah, tidak ada kehidupan, kecuali kehidupan akhirat, ampunilah kaum Muhajirin dan Anshar.” (HR. Bukhari, no. 4098)*   Berkah dari Nabi Membuat Makanan Menjadi Banyak Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika sedang menggali parit, kami terhalang oleh sebuah batu besar. Kemudian mereka pun mendatangi Nabi dan berkata, “Kami mendapatkan sebuah batu besar di dalam parit.” Beliau berkata, “Saya akan melihatnya.” Lalu beliau berdiri sementara perutnya diganjal dengan sebuah batu. Sebab sudah tiga hari kami tidak mendapat makanan yang cukup. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sebuah palu besar lalu memukulkannya ke atas batu besar tersebut dan batu itu pun hancur berkeping-keping. Aku berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, izinkan aku untuk pulang ke rumah.” Kemudian aku pun berkata kepada istriku, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu sabar dalam menahan lapar, apakah kamu memiliki sesuatu?” Istriku berkata, “Ya, sedikit gandum dan seekor anak kambing.” Kemudian aku menyembelih anak kambing tersebut dan menumbuk gandum lalu membakarnya. Kemudian aku datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara adonan pun sudah mulai merekah dan daging pun hampir matang. Aku berkata, “Aku memiliki sedikit makanan, datanglah engkau ya Rasulullah bersama satu atau dua orang lainnya.” Beliau bertanya, “Berapa banyak makanan itu?” Lalu aku pun menyebutkannya. Beliau berkata, “Sungguh banyak lagi baik. Katakan kepada istrimu untuk tidak mengangkat panggangan daging dan roti dari tempat memasak hingga aku datang.” Lalu beliau berkata kepada orang-orang, “Berdirilah kalian semua!” Maka orang-orang Anshar dan Muhajirin pun bangkit. Setelah sampai di rumahnya, ia pun masuk menemui istrinya dan berkata, “Celaka! Rasulullah mengajak semua orang Anshar dan Muhajirin.” Istriku bertanya, “Apakah beliau bertanya kepadamu?” Aku menjawab, “Ya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Masuklah kalian dan jangan berdesak-desakan.” Lalu beliau memotong roti dan menaburkan daging di atasnya dan memberikannya kepada para sahabatnya. Beliau terus memotong roti dan menyiramkannya hingga semua kenyang, sementara makanan masih tersisa banyak. Beliau berkata, “Makanlah kamu dan hadiahkan kepada orang-orang karena mereka juga lapar.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Bukhari yang lain disebutkan bahwa jumlah mereka yang ikut makan sebanyak seribu orang. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ada riwayat dengan sanad yang bagus dari Barra’ bin ‘Azib, ia berkata, ‘Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menggali parit, kami mendapatkan batu besar sehingga menghalangi pekerjaan kami, sementara batu tersebut tidak dapat kami hancurkan dengan godam (martil besar). Lalu kami melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau pun datang dan mengambil godam seraya berkata, “Bismillah.” Lalu beliau memukulkan dengan sekali pukulan hingga hancur sepertiganya dan beliau berkata, “Allahu Akbar! Aku diberi kemenangan atas kerajaan Syam. Demi Allah, sungguh aku melihat istana-istana merahnya saat ini.” Lalu beliau memukulkan untuk yang kedua kalinya, maka hancurlah sepertiganya lagi, seraya berkata, “Allahu Akbar!” Aku diberi kemenangan atas kerajaan Persia. Demi Allah sungguh aku melihat istana-istana putihnya.” Kemudian beliau memukulkannya kembali untuk yang ketiga kalinya seraya berkata, “Bismillah.” Maka hancurlah sisa batu tersebut. “Allahu Akbar! Aku diberikan kemenangan atas kerajaan Yaman. Demi Allah! Sungguh aku melihat gerbang San’a dari tempatku ini saat ini.” Barra radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ikut menggali parit. Aku melihat beliau memindahkan tanah galian hingga mengotori kulit perut beliau yang berbulu lebat. Aku mendengar beliau menyenandungkan syair Ibnu Rawahah sambil mengangkut tanah, Demi Allah,  Seandainya bukan karena-Mu, Kami tidak akan mendapatkan petunjuk,  tidak bersedekah, tidak pula shalat. Maka, turunkanlah ketenangan kepada kami.  Teguhkanlah kaki kami saat bertemu musuh. Sungguh mereka telah berbuat aniaya kepada kami. Bila mereka menginginkan fitnah, tentuk kami menolaknya.  Kemudian memanjangkan senandungnya. (HR. Bukhari dalam Fath Al-Bari) Ayat-ayat yang terdapat dalam surah Al-Ahzab menggambarkan perilaku orang-orang munafik dan cara mereka untuk menghindari dari proyek penggalian parit. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai melakukan penggalian, beliau menyerahkan Madinah kepada Ibnu Ummi Maktum sebagai wakil beliau dan menempatkan para wanita dan anak-anak pada sebuah benteng. Beliau mengambil posisi di depan sebuah bukit besar, sedangkan parit berada di hadapannya. Sementara pasukan Quraisy berada di hadapannya, sedangkan Ghathafan dan penduduk Najed berada di samping Uhud. Huyai bin Akhthab, musuh Allah keluar untuk menemui Ka’ab bin Asad Al Qurzhi, pemimpin Bani Quraizhah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menitipkan kaumnya kepadanya dan melakukan perjanjian dengannya. Sehingga ketika dia mendengar kedatangan Huyai bin Akhthab segera mengunci pintunya rapat-rapat. Namun, Huyai tetap saja mendesaknya hingga akhirnya ia membukakan pintu untuknya dan melanggar perjanjiannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar informasi pengkhianatan Bani Quraizhah, beliau mengutus Sa’ad bin Mu’adz, Sa’ad bin ‘Ubadah, ‘Abdullah bin Rawahah, dan Khawat bin Jubair, seraya berkata, “Pergi dan lihatlah! Apakah benar berita yang sampai kepada kita tentang mereka atau tidak. Apabila benar berikan isyarat kepadaku dan jangan disebarkan ke orang-orang. Namun, apabila mereka tetap dalam perjanjiannya dengan kita, katakan kepada orang-orang.” Maka, mereka pun berangkat dan ternyata mereka mendapati bahwa mereka telah melanggar perjanjian. Mereka pun kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan tentang pengkhianatan Bani Quraizhah tersebut. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bergembiralah wahai kaum muslimin dengan kemenangan dari Allah dan bantuan-Nya.” Ketakutan pun semakin menjadi-jadi, ujian semakin berat dan kekhawatiran terhadap para wanita dan anak-anak pun semakin meningkat. Kondisi mereka seperti yang Allah firmankan, إِذْ جَآءُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ ٱلْأَبْصَٰرُ وَبَلَغَتِ ٱلْقُلُوبُ ٱلْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِٱللَّهِ ٱلظُّنُونَا۠ “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.” (QS. Al-Ahzab: 10) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin siap menyambut kedatangan musuh. Mereka tidak dapat meninggalkan posisinya dan terus menerus secara bergantian berjaga-jaga di seputar parit. Sementara kemunafikan orang-orang munafik semakin terlihat. Sebagian mereka berkata, “Dulu Muhammad pernah menjanjikan kepada kita akan menguasai kekaisaran Romawi. Namun, sekarang untuk buang hajat saja, orang tidak merasa aman.” Kaum muslimin bergiliran menjaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara itu mereka juga merasakan kelaparan yang sangat, baik siang maupun malam. Demikian juga halnya dengan kaum musyrikin yang bergiliran melakukan patroli. Terkadang dipimpin oleh Abu Sufyan dan pasukannya, terkadang Khalid, kadang Ikrimah, dan seterusnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui pengkhiantan Bani Quraizhah, beliau mengirim delegasi untuk menemui Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin ‘Auf, pemimpin Ghathafan untuk melakukan kesepakatan damai dan beliau bersedia memberikan hasil panen kurma Madinah sebanyak sepertiga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memanggil Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah untuk meminta pendapatnya. Keduanya berkata, “Ya Rasulullah, kalau memang Allah memerintahkan kamu seperti itu, maka kamu mendengar dan taat. Namun, kalau ini hanya strategi kamu demi kemaslahatan kami, kami tidak membutuhkannya. Dahulu ketika kami dan mereka sama-sama musyrik dan penyembah berhala, mereka tidak dapat menikmati kurma kami, kecuali dengan bertamu atau membeli. ” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya membatalkan tawarannya tersebut. Beliau mendoakan kebinasaan untuk pasukan gabungan seraya berdoa, اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ سَرِيعَ الْحِسَابِ اللَّهُمَّ اهْزِمْ الْأَحْزَابَ اللَّهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ “Ya Allah, yang menurunkan kitab, yang cepat dalam menghisab, hancurkanlah pasukan gabungan Ahzab! Ya Allah hancurkanlah dan luluh-lantakkanlah mereka!” (HR. Bukhari, no. 4115, Fath Al-Bari, 7:406) Kaum musyrikin terus berupaya menembus barisan kaum muslimin dengan menghujankan anak panah tanpa henti-hentinya sepanjang pengepungannya sehingga membuat kaum muslimin sibuk sehari penuh dan melupakan shalat Ashar.** Mereka baru mengerjakannya setelah terbenam matahari. Namun, segala upaya kaum musyrikin untuk menembus parit mengalami kegagalan. Bahkan Ali dapat membunuh Amr bin Abdud, sementar yang lain melarikan diri. Begitu pula dengan Naufal Makhzhumi yang tewas terbunuh. Sedangkan dari kaum muslimin sedikitnya yang menjadi syahid ada enam orang, di antaranya adalah Sa’ad bin Mu’adz. Adapun pengepungan pasukan koalisi terhadap umat Islam berlangsung selama 24 malam. Sebagaimana yang Allah firmankan bahwa Allah akan menghindarkan kaum muslimin dari peperangan dengan dua cara, yaitu: (1) upaya yang dilakukan oleh Nu’aim bin Mas’ud yang masuk Islam tanpa diketahui masyarakatnya. Ia akan mencerai beraikan dengan seizin Nabi antara Yahudi Bani Quraizhah dengan kaum musyrikin. Ia mengingatkan Bani Quraizhah untuk tidak memulai perang melawan Muhammad, kecuali kaum musyrikin mau memberikan jaminan bahwa mereka tidak akan pergi meninggalkannya apabila terjadi sesuatu di luar harapan. Begitu pula dilakukannya kepada kafir Quraisy bahwa Bani Quraizhah menyesali pengkhianatan yang dilakukannya terhaap Nabi. Demikianlah Allah memporakporandakan kesatuan mereka dan menciptakan kecurigaan dan kehinaan di antara mereka. (2) berupa badai kencang yang memporak-porandakan kemah-kemah, menerbangkan perlengkapan masak, dan memadamkan api yang mereka gunakan untuk penerangan. Sehingga mereka terpaksa mengumumkan untuk pulang meninggalkan medan perang dengan membawa kegagalan dan kekecewaan yang luar biasa. Ini adalah sebuah nikmat dan pertolongan dari Allah kepada orang-orang beriman. Kemenangan ini bukanlah bersifat sementara. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan berita gembira kepada para sahabatnya bahwa kaum kafir tersebut tidak lagi dapat menyerbu umat Islam setelah peperangan ini. Kaum muslimlah yang akan menyerbu mereka. Dari Salman bin Shard, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika pasukan Ahzab dikalahkan, “Mulai saat ini, kitalah yang akan melakukan penyerbuan dan mereka tidak akan pernah menyerbut kita lagi.” (HR. Bukhari) Kisahnya akan berlanjut pada penjelasan surah Al-Ahzab ayat 9-25.     *Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, لأنَّ عيش الدنيا زائلٌ، وعيش الآخرة هو الدَّائم، فهو العيش الحقيقي “Karena kehidupan dunia hanyalah sementara, dan kehidupan akhirat kekal, maka itulah kehidupan yang hakiki.” **Dalil baiknya mengerjakan qadha’ shalat secara berurutan (misalnya, qadha’ shalat Zhuhur kemudian Ashar) adalah hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di mana disebutkan, إِنَّ المُشْرِكِيْنَ شَغَلُوا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَرْبَعِ صَلَواتٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللهُ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى المَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العِشَاءَ “Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari empat shalat pada perang Khandaq hingga lewat sebagian malam sesuai kehendak Allah. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan, lalu iqamah kemudian shalat Zhuhur dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Ashar dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Maghrib dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Isya dilaksanakan.” (HR. Tirmidzi, no. 178. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).   Baca juga: Qadha Shalat yang Luput   Pelajaran Berharga dari Perang Ahzab atau Khandaq   Pertama: Perhatikan bahwa pasukan sekutu yang begitu menyeramkan yang sebelumnya disangka bahwa bangsa Arab tidak mungkin bersatu seperti itu. Yang bersekutu dalam perang Ahzab adalah: Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan, lalu ada berbagai kabilah Arab yang mengikutinya, Bani Sulaim di bawah pimpinan Sufyan bin ‘Abdi Syams, Ghathafan di bawah pimpinan ‘Uyainah bin Hishn, Bani Murrah di bawah pimpinan Harits bin ‘Auf, Asyja‘ di bawah pimpinan Mas’ar bin Rukhailih. Sekutu besar ini bergabung dan berjalan menuju Madinah. Menurut pakar sirah, jumlah pasukan adalah 10.000 personil. Semua pasukan sekutu tersebut di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb. Pasukan tersebut mendatangi Madinah dengan persenjataan. Mereka sangat mendambakan untuk menumbangkan, lalu pulang dengan membawa harta rampasan perang dan tawanan, serta bisa menjadikan kekalahan Nabi Muhammad sebagai bahan ejekan, wal ‘iyadzu billah. Namun, Allah memberi pertolongan kepada kaum muslimin. وَٱللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰٓ أَمْرِهِۦ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21) Kedua: Kekufuran itu satu millah, satu agama. Kekufuran dengan berbagai macamnya pasti menjadi musuh Islam. Yang membuktikan hal ini, orang-orang Yahudi dari Khaibar menuju Makkah dan orang musyrikin Arab, mereka semua bersatu untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga: Ketika mendapatkan berita mengenai pasukan Ahzab (sekutu), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bermusyawarah dengan para sahabatnya. Dalam menghadapi suatu problem, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat dikenal sering bermusyawarah dengan para sahabatnya. Musyawarah ini ditemukan ide-ide cemerlang yang tidak ditemukan dalam wahyu di antaranya adalah ada ide bagus mengenai strategi perang. Dalam ayat disebutkan, وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 159) وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (QS. Asy-Syuura: 38) Keempat: Yang dihasilkan dari musyawarah ini adalah usulan-usulan yang cemerlang yang penuh berkah (bawa kebaikan). Usulan yang dihasilkan kala perang Ahzab ini adalah ide dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu untuk menggali parit (khandaq). Inilah ide yang cemerlang berkat taufik dari Allah untuk mencegah orang musyrik untuk memasuki kota Madinah. Orang-orang musyrik berkata mengenai parit ini, “Inilah intrik/ konspirasi yang belum dikenal oleh kalangan Arab.” Dari sini, kita bisa ambil suatu pelajaran mengenai pentingnya usulan atau ide cemerlang sebagai bentuk mengabdi pada agama. Ide-ide cemerlang untuk membela Islam ini bisa saja muncul dari seorang mujahid, insinyur, dokter, atau yang memiliki keahlian apa pun. Kelima: Ide cemerlang bisa saja diperoleh dari orang luar. Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang mengusulkan gagasan ini mengambilnya dari Persia, negeri asalnya. Gagasan dari orang luar bisa saja diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Keenam: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggali parit bersama para sahabatnya. Beliau ikut memindahkan tanah bersama mereka. Pelajaran pentingnya adalah untuk para dai dalam berdakwah, para ayah di rumah, para guru di sekolah, dan para imam di masjid kampung, hendaklah menjadi orang pertama yang menjadi pelopor dalam mengajak kebaikan, sekaligus terlibat dalam kebaikan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44). Memang untuk memulai dari diri sendiri adalah persoalan yang sangat berat. Meskipun berat, hal tersebut dapat memberikan pengaruh yang sangat besar, sekaligus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat di lingkungannya. Ketujuh: Dalam peperangan ini, pasukan sekutu telah berdatangan dari segala penjuru. Sementara kaum muslimin baru saja memulai penggalian parit agar Madinah tidak dapat ditembus musuh. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun langsung untuk memecahkan batu besar yang menghalangi proses penggalian parit. Dengan tangan beliau yang mulia, beliau ayunkan sebuah godam dan berkata kepada para sahabatnya padahal musuh semakin dekat dan siap untuk mengepung Madinah, “Allahu Akbar! Aku diberikan kemenangan atas kerajaan Syam! Demi Allah aku melihat istana-istana merahnya saat ini! dan seterusnya.” Hal seperti ini berguna untuk memantapkan hati para sahabat yang diliputi oleh rasa takut. Yaitu menjanjikan kepada kaum muslimin dengan berbagai janji dari Rasulullah, manusia yang jujur. Memang beliau adalah Rasulullah, tetapi mengapa ia menjanjikan sesuatu yang disampaikan di kala itu? Mengapa janji itu disampaikan pada saat-saat yang mencekam? Padahal beliau tengah menanti pasukan sekutu yang datang ingin menghancurkan Madinah! Janji beliau adalah sebagai bentuk arahan kepada umat ini agar lebih fokus, memperteguh hati, dan menentramkannya, serta menghilangkan segala kekhawatiran dan rasa takut pada situasi yang kritis. Manusia saat menghadapi ujian berat sangat membutuhkan orang yang dapat meneguhkan hatinya, bukan menakut-nakutinya. Umat ini sangat membutuhkan orang-orang yang dapat membangkitkan semangat dan motivasi, bukan orang-orang yang sebaliknya, membutuhkan orang-orang yang dapat meneguhkan keimanannya, mengokohkan keyakinannya, dan memantapkan akidahnya, serta menggiringnya ke dalam pangkuan agama Allah. Kedelapan: Pada situasi yang berat biasanya akan terlihat sosok-sosok manusia munafik. Penggalian parit adalah pekerjaan yang berat ditambah kondisi tubuh yang lapar, musuh yang semakin dekat, dan rasa khawatir terhadap keselamatan anak dan istri. Hanya orang-orang yang benar (dalam keimanan), yang dapat menghadapi situasi seperti ini. Sedangkan selain mereka, maka mereka akan mengendap-endap menyelinap ke rumah menemui keluarganya dan meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini, Allah berfirman, لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63) Baca juga: Adab Terhadap Rasulullah, Tafsir An-Nuur ayat 48 Kesembilan: Seburuk-buruknya teman adalah teman yang jahat. Sesungguhnya Ka’ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah, posisinya sudah aman karena terikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, ketika datang teman yang buruk dan membawa sial yaitu Huyai bin Akhthab yang terus membujuk dan merayu agar mau membatalkan dan mengkhianati perjanjiannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal inilah yang menyebabkan kehinaan bagi kaumnya yang akan dijelaskan pada peperangan Bani Quraizhah. Demikianlah watak teman dan kawan yang jahat, yang akan membawa kerugian dan tidak pernah membawa kebaikan. Dalam hadits dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً “Perumpamaan seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101) Baca juga: Manfaat Teman yang Baik Kesepuluh: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan informasi tentang pengkhianatan Bani Quraizhah, lalu beliau mengutus empat sahabatnya untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa demikianlah seharusnya sikap seorang mukmin ketika mendapatkan informasi, tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6). Baca juga: Jangan Mudah Menerima Berita Media Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Asyaj ‘Abdul Qois, إن فيك لخصلتين يحبهما الله : الحلم والأناة “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod, no. 586. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, التَّأَنيِّ مِنَ اللهِ وَ العُجْلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ “Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Sunanul Qubro. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shoghir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Baca juga: Nasihat Berharga, Janganlah Tergesa-Gesa Kesebelas: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada sahabatnya yang akan berangkat memberikan isyarat yang dipahami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi tidak dapat dipahami oleh sahabat lainnya jika Bani Quraizhah benar-benar melakukan pengkhianatan. Namun, jika mereka tidak melakukannya, silakan memberitahukan kepada semua orang. Artinya, apabila ada perkara-perkara negatif yang menimbulkan efek yang buruk, maka tidak perlu diumumkan, tidak perlu dibicarakan dan tidak perlu disebarkan. Karena hal ini akan menimbulkan kegoncangan dan ketakutan dalam masyarakat serta membuat musuh senang dan bahagia, sementara orang-orang mukmin menjadi sedih. Namun, jika perkara itu adalah baik, perlu diumumkan untuk meneguhkan jiwa orang-orang beriman. Begitu pula bagi seseorang hendaknya ia menjaga lisan sekalipun yang diucapkannya adalah benar. Karena, tidak setiap apa yang diketahui harus diomongkan. Selain itu, tidak setiap omongan harus dibicarakan bebas pada yang lain. Mukmin yang cerdas adalah yang menyadari konsekuensi ucapannya. Apabila berakibat negatif, maka ia tidak akan berbicara, bahkan akan merahasiakannya dan melarang orang lain untuk membicarakannya. Baca juga: Disebut Dusta Ketika Membicarakan Semua yang Didengar Kedua belas: Pada perang Ahzab terjadi mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti memperbanyak makanan yang dihidangkan oleh Jabir hingga mampu memberikan makanan kepada seribu orang prajurit. Juga ada mukjizat berupa kurma yang dibawa oleh putri dari Basyir bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa dengan tangannya lantas dimakan oleh seluruh prajurit perang Khandaq/Ahzab lalu masih ada sisa. Mukjizat lainnya adalah kabar gembira bahwa Persia, Syam, dan Yaman akan ditaklukkan. Serta masih ada lagi mukjizat lainnya dari kisah Perang Ahzab ini. Ketiga belas: Musyawarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua sahabat untuk memberikan sebagian hasil panen kurma Madinah kepada Bani Ghathafan agar mereka mau bergabung kembali. Kemudian keduanya memberikan tanggapannya kepada beliau. Dalam hal ini, kita dapat mengambil pelajaran sejauh mana ide itu dapat diterima. Apabila wahyu telah menetapkannya, maka tidak berlaku lagi ijtihad. Kedua sahabat ingin memastikan sebelum menjelaskan gagasan dan idenya. Apakah perjanjian tersebut berdasarkan wahyu dari Allah atau hanya ijtihad beliau saja, yang dapat dilaksanakan atau tidak? Ketika keduanya mengetahui bahwa itu hanya ijtihad beliau saja dan bukan wahyu, baru kemudian keduanya mengemukakan pendapatnya serta argumentasinya. Begitulah seharusnya bagi kita untuk selalu tunduk terhadap ketetapan syariat, tidak menyanggahnya dengan pendapat atau ide yang berdasarkan akal saja. Allah Ta’ala berfirman, وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7) Baca juga: Mau Selamat? Ikuti Petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi! Keempat belas: Kita juga dapat mengambil pelajaran tentang disyariatkannya untuk berlaku khusyuk, berdoa dan menyerahkan segala urusan kepada Allah karena itu semua merupakan faktor yang dapat mendatangkan kemenangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berdoa, menyerahkan diri, dan khusyuk kepada Allah sebagaimana yang kita lihat dalam perang Ahzab, bagaimana beliau berdoa dengan khusyuk mengharap kemenangan dari Allah. Kelima belas: Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu menunjukkan bahwa undangan makan yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh prajurit menunjukkan sejauh mana kerja sama yang terjalin di antara mereka. Tidak ada di antara mereka yang makan sendirian tanpa berbagi kepada yang lain. Mereka saling bekerja sama, bahu membahu, mengutamakan orang lain, dan berempati. Begitulah gambaran masyarakat Islam sebagaimana disebutkan dalam hadits dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR. Bukhari, no. 6011) Keenam belas: Peperangan membawa dampak positif. Allah telah mengusir orang-orang kafir dengan membawa kekecewaan yang sangat besar karena mereka tidak mendapatkan sedikit pun keuntungan. Mereka telah menghimpun segala potensi yang mereka miliki dengan susah payah, tetapi mereka kembali dengan membawa kegagalan dan tidak dapat membantai kaum muslimin, kecuali hanya enam sahabat, sementara dari mereka hanya tiga orang di antaranya Amr bin Abdud, panglima pasukan berkuda. Namun, jumlah mereka yang mencapai 10.000 hanya kembali membawa kerugian dan kekecewaan. Untuk itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mulai sekarang, kitalah yang akan memerangi mereka dan mereka tidak akan lagi sanggup memerangi kita. Kitalah yang akan melakukan serbuan kepada mereka.” Ketujuh belas: Kaum musyrikin, sekalipun tampaknya mereka bersatu-padu, tetapi berpotensi untuk bercerai berai dan Allah berfirman tentang hal ini di dalam kitab-Nya yang mulia, ذَٰلِكُمْ وَأَنَّ ٱللَّهَ مُوهِنُ كَيْدِ ٱلْكَٰفِرِينَ “Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Anfal: 18) Kaum kafir telah mampu menggalang persatuan yang terdiri dari Bani Quraisy, Bani Ghathafan, kabilah-kabilah Arab, Yahudi Nadhir dan Quraizhah. Namun, dalam seketika mereka berselisih dan bertikai, maka mereka pun kembali dengan membawa kerugian.   Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, selesai penjelasan perang Ahzab/ Khandaq.  Selanjutnya, kita akan berlanjut ke Perang Bani Quraizhah.    Referensi: Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, Tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah. Al-Athlas At-Tarikhi li Sirah Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cetakan ketujuh, Tahun 1433 H. Sami bin ‘Abdillah bin Ahmad Al-Malghuts. Penerbit Obekan. https://binbaz.org.sa/audios/2486/163-من-حديث-اللهم-لا-عيش-الا-عيش-الاخرة   –   Ditulis sejak 3 Jumadal Akhirah 1445 H, 15 Desember 2023 M @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, direvisi pada 24 Syawal 1445 H, 3 Mei 2024 M Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsberperang faedah sirah nabi jihad peperangan di masa Rasulullah perang ahzab perang khandaq sirah nabi

Hukum dan Tata Cara Salat dengan Duduk di Atas Kendaraan

Daftar Isi Toggle Khusus salat sunah, diperbolehkan dengan dudukHukum asalnya, tidak diperbolehkan salat wajib di atas kendaraanRingkasan dari pembahasan di atasTata cara salat di atas kendaraanDia menghadap ke arah mana pun kendaraan tersebut menuju.Dia harus memberi isyarat dalam salatnya ketika rukuk dan sujud, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya. [13] Berdiri merupakan rukun dalam salat wajib, bagi orang yang mampu melakukannya. Para fuqaha sepakat bahwa berdiri merupakan rukun dalam salat wajib, bagi orang yang mampu melakukannya. [1] Allah Ta’ala berfirman, حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ “Peliharalah segala salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.” [2] Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan kewajiban berdiri dalam salat. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jama’ah, kecuali Muslim. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita penyakit bawasir. Lalu, aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ ‘Salatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan berbaring.‘” [3] Khusus salat sunah, diperbolehkan dengan duduk Diperbolehkan melakukan salat sunah dengan duduk karena uzur ataupun tanpa uzur. Para fuqaha sepakat tentang bolehnya salat sunah dengan duduk baik karena uzur atau tidak. [4] Hal ini berdasarkan hadis Imran bin Hushain bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seorang laki-laki yang salat dengan duduk, beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat dengan berdiri, itu lebih utama. Barangsiapa salat dengan duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat dengan tidur (berbaring), maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [5] Terlebih lagi, salat sunah di atas kendaraan seperti pesawat, kapal, kereta, atau mobil, para ulama sepakat tentang kebolehannya. “Para ulama sepakat [6] bahwa bagi musafir yang meringkas salatnya, diperbolehkan melakukan salat sunah di atas tunggangannya ke mana pun arahnya… Maka, barangsiapa yang berada di dalam pesawat, kereta, mobil, dan sejenisnya, diperbolehkan melakukan salat sunah …” [7] Hukum asalnya, tidak diperbolehkan salat wajib di atas kendaraan Salat wajib tidak sah dilakukan dengan duduk di atas kendaraan, kecuali karena uzur (alasan yang dibenarkan). Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan dua sahabat dari mazhab Hanafi, dalam pendapat yang lebih zahir, mengatakan, أَنَّهُ لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فَرْضًا فِي السَّفِينَةِ وَنَحْوِهَا كَالْمِحَفَّةِ وَالْهَوْدَجِ وَالطَّائِرَةِ وَالسَّيَّارَةِ قَاعِدًا إِلَاّ لِعُذْرٍ “Bahwasanya salat fardu/ wajib tidak sah dilakukan dengan duduk di dalam kapal/ perahu dan sejenisnya, seperti tandu, kereta kuda, pesawat, dan mobil, kecuali karena uzur (alasan yang dibenarkan).” [8] Namun demikian, bagi yang mampu melakukan salat fardu di atas kendaraan tunggangan dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya, meskipun tanpa uzur, maka salatnya sah. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, فَإِنَّ مَنْ أَمْكَنَهُ صَلَاةُ الْفَرِيضَةِ عَلَى الرَّاحِلَةِ مَعَ الإِْتْيَانِ بِكُل شُرُوطِهَا وَأَرْكَانِهَا، وَلَوْ بِلَا عُذْرٍ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَذَلِكَ كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ – وَهُوَ الرَّاجِحُ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ – “… Maka, bagi siapa yang mampu melakukan salat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya, meskipun tanpa uzur, maka salatnya sah. Ini pendapat mazhab Syafi’i dan Hanbali yang merupakan pendapat kuat dan dipegangi oleh mazhab Maliki.” [9] Ringkasan dari pembahasan di atas Hukum salat sunah dengan duduk di dalam kendaraan (misalkan pesawat atau kapal) adalah boleh. Sedangkan untuk shalat fardu dengan duduk, tidak diperbolehkan, kecuali karena uzur. Baca juga: Safar Adalah Sebagian dari Azab Tata cara salat di atas kendaraan Siapa saja yang diperbolehkan melaksanakan salat di atas kendaraan, dan dia ingin mendirikan salat, maka Dia menghadap ke arah mana pun kendaraan tersebut menuju. Disunahkan kadang-kadang mengarahkan kendaraan menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian salat ke arah mana kendaraan menghadap. [10] Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يسبح على الراحلة قبل أي وجه توجه، ويوتر عليها؛ غير أنه لا يصلي عليها المكتوبة “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salat sunah di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja, dan beliau melakukan salat witir di atasnya, tetapi beliau tidak melakukan salat wajib di atasnya.” [11] Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يصلي على راحلته تطوعاً؛ استقبل القبلة، فكبر للصلاة، ثم خلى راحلته، فصلى حيثما توجهت به “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak melakukan salat sunah di atas kendaraannya, beliau menghadapkan kendaraannya ke arah kiblat, lalu bertakbir memulai salat, kemudian membiarkan kendaraannya berjalan, maka beliau salat menghadap ke arah mana kendaraannya membawanya.” [12] Dia harus memberi isyarat dalam salatnya ketika rukuk dan sujud, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya. [13] Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, بَعَثَنِي رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي حَاجَةٍ فَجِئْتُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ، وَالسُّجُودُ أَخْفَضُ مِنَ الرُّكُوعِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu, aku datang (dan melihat) beliau salat di atas kendaraannya menghadap ke arah timur, dengan sujud lebih rendah daripada rukuk.” [14] Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءَ صَلَاةِ اللَّيْل إِلَاّ الْفَرَائِضَ “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila dalam bepergian (safar), beliau salat di atas kendaraannya menghadap ke mana pun kendaraannya menuju. Beliau memberi isyarat seperti gerakan salat malam, kecuali salat fardu (wajib).” [15] Syekh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya tentang tata cara salat di atas kendaraan dan mobil. Beliau menjawab, الصفة أنك تجلس على ما أنت عليه ثم عند الركوع توميء إيماء وعند السجود يكون إيماؤك أكثر، وكذلك في السيارة، تصلي النافلة “Caranya adalah duduk di atas apa yang Anda naiki, kemudian saat rukuk mengisyaratkan, dan saat sujud isyaratnya lebih rendah. Begitu pula di dalam mobil, Anda bisa melaksanakan salat sunah …” [16] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang hukum dan tata cara salat dengan duduk di atas kendaraan. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Adab-Adab Safar (Bepergian Jauh) *** 12 Syawal 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah, Mesir, cet. ke-1, 1421, (Maktabah Syamilah). Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tatawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad, Kairo, cet. ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [2] QS. Al-Baqarah: 238. [3] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 587. [4] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [5] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 586. [6] Al-Mughni, 2: 95. [7] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 235. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 110. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. [10] Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tatawwu’, hal. 158. [11] HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 700. [12] HR. Ahmad, 3: 203 dan Abu Dawud no. 1225. Dihasankan oleh Imam Al-Albani rahimahullah. [13] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 233. [14] HR. Abu Dawud, 2: 22. [15] HR. Bukhari, Fathul Baari, 2: 489. [16] https://al-fatawa.com/fatwa/45758 Tags: kendaraansalat

Hukum dan Tata Cara Salat dengan Duduk di Atas Kendaraan

Daftar Isi Toggle Khusus salat sunah, diperbolehkan dengan dudukHukum asalnya, tidak diperbolehkan salat wajib di atas kendaraanRingkasan dari pembahasan di atasTata cara salat di atas kendaraanDia menghadap ke arah mana pun kendaraan tersebut menuju.Dia harus memberi isyarat dalam salatnya ketika rukuk dan sujud, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya. [13] Berdiri merupakan rukun dalam salat wajib, bagi orang yang mampu melakukannya. Para fuqaha sepakat bahwa berdiri merupakan rukun dalam salat wajib, bagi orang yang mampu melakukannya. [1] Allah Ta’ala berfirman, حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ “Peliharalah segala salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.” [2] Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan kewajiban berdiri dalam salat. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jama’ah, kecuali Muslim. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita penyakit bawasir. Lalu, aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ ‘Salatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan berbaring.‘” [3] Khusus salat sunah, diperbolehkan dengan duduk Diperbolehkan melakukan salat sunah dengan duduk karena uzur ataupun tanpa uzur. Para fuqaha sepakat tentang bolehnya salat sunah dengan duduk baik karena uzur atau tidak. [4] Hal ini berdasarkan hadis Imran bin Hushain bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seorang laki-laki yang salat dengan duduk, beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat dengan berdiri, itu lebih utama. Barangsiapa salat dengan duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat dengan tidur (berbaring), maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [5] Terlebih lagi, salat sunah di atas kendaraan seperti pesawat, kapal, kereta, atau mobil, para ulama sepakat tentang kebolehannya. “Para ulama sepakat [6] bahwa bagi musafir yang meringkas salatnya, diperbolehkan melakukan salat sunah di atas tunggangannya ke mana pun arahnya… Maka, barangsiapa yang berada di dalam pesawat, kereta, mobil, dan sejenisnya, diperbolehkan melakukan salat sunah …” [7] Hukum asalnya, tidak diperbolehkan salat wajib di atas kendaraan Salat wajib tidak sah dilakukan dengan duduk di atas kendaraan, kecuali karena uzur (alasan yang dibenarkan). Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan dua sahabat dari mazhab Hanafi, dalam pendapat yang lebih zahir, mengatakan, أَنَّهُ لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فَرْضًا فِي السَّفِينَةِ وَنَحْوِهَا كَالْمِحَفَّةِ وَالْهَوْدَجِ وَالطَّائِرَةِ وَالسَّيَّارَةِ قَاعِدًا إِلَاّ لِعُذْرٍ “Bahwasanya salat fardu/ wajib tidak sah dilakukan dengan duduk di dalam kapal/ perahu dan sejenisnya, seperti tandu, kereta kuda, pesawat, dan mobil, kecuali karena uzur (alasan yang dibenarkan).” [8] Namun demikian, bagi yang mampu melakukan salat fardu di atas kendaraan tunggangan dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya, meskipun tanpa uzur, maka salatnya sah. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, فَإِنَّ مَنْ أَمْكَنَهُ صَلَاةُ الْفَرِيضَةِ عَلَى الرَّاحِلَةِ مَعَ الإِْتْيَانِ بِكُل شُرُوطِهَا وَأَرْكَانِهَا، وَلَوْ بِلَا عُذْرٍ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَذَلِكَ كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ – وَهُوَ الرَّاجِحُ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ – “… Maka, bagi siapa yang mampu melakukan salat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya, meskipun tanpa uzur, maka salatnya sah. Ini pendapat mazhab Syafi’i dan Hanbali yang merupakan pendapat kuat dan dipegangi oleh mazhab Maliki.” [9] Ringkasan dari pembahasan di atas Hukum salat sunah dengan duduk di dalam kendaraan (misalkan pesawat atau kapal) adalah boleh. Sedangkan untuk shalat fardu dengan duduk, tidak diperbolehkan, kecuali karena uzur. Baca juga: Safar Adalah Sebagian dari Azab Tata cara salat di atas kendaraan Siapa saja yang diperbolehkan melaksanakan salat di atas kendaraan, dan dia ingin mendirikan salat, maka Dia menghadap ke arah mana pun kendaraan tersebut menuju. Disunahkan kadang-kadang mengarahkan kendaraan menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian salat ke arah mana kendaraan menghadap. [10] Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يسبح على الراحلة قبل أي وجه توجه، ويوتر عليها؛ غير أنه لا يصلي عليها المكتوبة “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salat sunah di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja, dan beliau melakukan salat witir di atasnya, tetapi beliau tidak melakukan salat wajib di atasnya.” [11] Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يصلي على راحلته تطوعاً؛ استقبل القبلة، فكبر للصلاة، ثم خلى راحلته، فصلى حيثما توجهت به “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak melakukan salat sunah di atas kendaraannya, beliau menghadapkan kendaraannya ke arah kiblat, lalu bertakbir memulai salat, kemudian membiarkan kendaraannya berjalan, maka beliau salat menghadap ke arah mana kendaraannya membawanya.” [12] Dia harus memberi isyarat dalam salatnya ketika rukuk dan sujud, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya. [13] Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, بَعَثَنِي رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي حَاجَةٍ فَجِئْتُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ، وَالسُّجُودُ أَخْفَضُ مِنَ الرُّكُوعِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu, aku datang (dan melihat) beliau salat di atas kendaraannya menghadap ke arah timur, dengan sujud lebih rendah daripada rukuk.” [14] Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءَ صَلَاةِ اللَّيْل إِلَاّ الْفَرَائِضَ “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila dalam bepergian (safar), beliau salat di atas kendaraannya menghadap ke mana pun kendaraannya menuju. Beliau memberi isyarat seperti gerakan salat malam, kecuali salat fardu (wajib).” [15] Syekh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya tentang tata cara salat di atas kendaraan dan mobil. Beliau menjawab, الصفة أنك تجلس على ما أنت عليه ثم عند الركوع توميء إيماء وعند السجود يكون إيماؤك أكثر، وكذلك في السيارة، تصلي النافلة “Caranya adalah duduk di atas apa yang Anda naiki, kemudian saat rukuk mengisyaratkan, dan saat sujud isyaratnya lebih rendah. Begitu pula di dalam mobil, Anda bisa melaksanakan salat sunah …” [16] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang hukum dan tata cara salat dengan duduk di atas kendaraan. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Adab-Adab Safar (Bepergian Jauh) *** 12 Syawal 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah, Mesir, cet. ke-1, 1421, (Maktabah Syamilah). Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tatawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad, Kairo, cet. ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [2] QS. Al-Baqarah: 238. [3] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 587. [4] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [5] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 586. [6] Al-Mughni, 2: 95. [7] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 235. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 110. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. [10] Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tatawwu’, hal. 158. [11] HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 700. [12] HR. Ahmad, 3: 203 dan Abu Dawud no. 1225. Dihasankan oleh Imam Al-Albani rahimahullah. [13] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 233. [14] HR. Abu Dawud, 2: 22. [15] HR. Bukhari, Fathul Baari, 2: 489. [16] https://al-fatawa.com/fatwa/45758 Tags: kendaraansalat
Daftar Isi Toggle Khusus salat sunah, diperbolehkan dengan dudukHukum asalnya, tidak diperbolehkan salat wajib di atas kendaraanRingkasan dari pembahasan di atasTata cara salat di atas kendaraanDia menghadap ke arah mana pun kendaraan tersebut menuju.Dia harus memberi isyarat dalam salatnya ketika rukuk dan sujud, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya. [13] Berdiri merupakan rukun dalam salat wajib, bagi orang yang mampu melakukannya. Para fuqaha sepakat bahwa berdiri merupakan rukun dalam salat wajib, bagi orang yang mampu melakukannya. [1] Allah Ta’ala berfirman, حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ “Peliharalah segala salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.” [2] Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan kewajiban berdiri dalam salat. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jama’ah, kecuali Muslim. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita penyakit bawasir. Lalu, aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ ‘Salatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan berbaring.‘” [3] Khusus salat sunah, diperbolehkan dengan duduk Diperbolehkan melakukan salat sunah dengan duduk karena uzur ataupun tanpa uzur. Para fuqaha sepakat tentang bolehnya salat sunah dengan duduk baik karena uzur atau tidak. [4] Hal ini berdasarkan hadis Imran bin Hushain bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seorang laki-laki yang salat dengan duduk, beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat dengan berdiri, itu lebih utama. Barangsiapa salat dengan duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat dengan tidur (berbaring), maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [5] Terlebih lagi, salat sunah di atas kendaraan seperti pesawat, kapal, kereta, atau mobil, para ulama sepakat tentang kebolehannya. “Para ulama sepakat [6] bahwa bagi musafir yang meringkas salatnya, diperbolehkan melakukan salat sunah di atas tunggangannya ke mana pun arahnya… Maka, barangsiapa yang berada di dalam pesawat, kereta, mobil, dan sejenisnya, diperbolehkan melakukan salat sunah …” [7] Hukum asalnya, tidak diperbolehkan salat wajib di atas kendaraan Salat wajib tidak sah dilakukan dengan duduk di atas kendaraan, kecuali karena uzur (alasan yang dibenarkan). Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan dua sahabat dari mazhab Hanafi, dalam pendapat yang lebih zahir, mengatakan, أَنَّهُ لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فَرْضًا فِي السَّفِينَةِ وَنَحْوِهَا كَالْمِحَفَّةِ وَالْهَوْدَجِ وَالطَّائِرَةِ وَالسَّيَّارَةِ قَاعِدًا إِلَاّ لِعُذْرٍ “Bahwasanya salat fardu/ wajib tidak sah dilakukan dengan duduk di dalam kapal/ perahu dan sejenisnya, seperti tandu, kereta kuda, pesawat, dan mobil, kecuali karena uzur (alasan yang dibenarkan).” [8] Namun demikian, bagi yang mampu melakukan salat fardu di atas kendaraan tunggangan dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya, meskipun tanpa uzur, maka salatnya sah. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, فَإِنَّ مَنْ أَمْكَنَهُ صَلَاةُ الْفَرِيضَةِ عَلَى الرَّاحِلَةِ مَعَ الإِْتْيَانِ بِكُل شُرُوطِهَا وَأَرْكَانِهَا، وَلَوْ بِلَا عُذْرٍ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَذَلِكَ كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ – وَهُوَ الرَّاجِحُ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ – “… Maka, bagi siapa yang mampu melakukan salat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya, meskipun tanpa uzur, maka salatnya sah. Ini pendapat mazhab Syafi’i dan Hanbali yang merupakan pendapat kuat dan dipegangi oleh mazhab Maliki.” [9] Ringkasan dari pembahasan di atas Hukum salat sunah dengan duduk di dalam kendaraan (misalkan pesawat atau kapal) adalah boleh. Sedangkan untuk shalat fardu dengan duduk, tidak diperbolehkan, kecuali karena uzur. Baca juga: Safar Adalah Sebagian dari Azab Tata cara salat di atas kendaraan Siapa saja yang diperbolehkan melaksanakan salat di atas kendaraan, dan dia ingin mendirikan salat, maka Dia menghadap ke arah mana pun kendaraan tersebut menuju. Disunahkan kadang-kadang mengarahkan kendaraan menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian salat ke arah mana kendaraan menghadap. [10] Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يسبح على الراحلة قبل أي وجه توجه، ويوتر عليها؛ غير أنه لا يصلي عليها المكتوبة “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salat sunah di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja, dan beliau melakukan salat witir di atasnya, tetapi beliau tidak melakukan salat wajib di atasnya.” [11] Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يصلي على راحلته تطوعاً؛ استقبل القبلة، فكبر للصلاة، ثم خلى راحلته، فصلى حيثما توجهت به “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak melakukan salat sunah di atas kendaraannya, beliau menghadapkan kendaraannya ke arah kiblat, lalu bertakbir memulai salat, kemudian membiarkan kendaraannya berjalan, maka beliau salat menghadap ke arah mana kendaraannya membawanya.” [12] Dia harus memberi isyarat dalam salatnya ketika rukuk dan sujud, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya. [13] Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, بَعَثَنِي رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي حَاجَةٍ فَجِئْتُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ، وَالسُّجُودُ أَخْفَضُ مِنَ الرُّكُوعِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu, aku datang (dan melihat) beliau salat di atas kendaraannya menghadap ke arah timur, dengan sujud lebih rendah daripada rukuk.” [14] Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءَ صَلَاةِ اللَّيْل إِلَاّ الْفَرَائِضَ “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila dalam bepergian (safar), beliau salat di atas kendaraannya menghadap ke mana pun kendaraannya menuju. Beliau memberi isyarat seperti gerakan salat malam, kecuali salat fardu (wajib).” [15] Syekh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya tentang tata cara salat di atas kendaraan dan mobil. Beliau menjawab, الصفة أنك تجلس على ما أنت عليه ثم عند الركوع توميء إيماء وعند السجود يكون إيماؤك أكثر، وكذلك في السيارة، تصلي النافلة “Caranya adalah duduk di atas apa yang Anda naiki, kemudian saat rukuk mengisyaratkan, dan saat sujud isyaratnya lebih rendah. Begitu pula di dalam mobil, Anda bisa melaksanakan salat sunah …” [16] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang hukum dan tata cara salat dengan duduk di atas kendaraan. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Adab-Adab Safar (Bepergian Jauh) *** 12 Syawal 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah, Mesir, cet. ke-1, 1421, (Maktabah Syamilah). Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tatawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad, Kairo, cet. ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [2] QS. Al-Baqarah: 238. [3] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 587. [4] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [5] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 586. [6] Al-Mughni, 2: 95. [7] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 235. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 110. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. [10] Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tatawwu’, hal. 158. [11] HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 700. [12] HR. Ahmad, 3: 203 dan Abu Dawud no. 1225. Dihasankan oleh Imam Al-Albani rahimahullah. [13] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 233. [14] HR. Abu Dawud, 2: 22. [15] HR. Bukhari, Fathul Baari, 2: 489. [16] https://al-fatawa.com/fatwa/45758 Tags: kendaraansalat


Daftar Isi Toggle Khusus salat sunah, diperbolehkan dengan dudukHukum asalnya, tidak diperbolehkan salat wajib di atas kendaraanRingkasan dari pembahasan di atasTata cara salat di atas kendaraanDia menghadap ke arah mana pun kendaraan tersebut menuju.Dia harus memberi isyarat dalam salatnya ketika rukuk dan sujud, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya. [13] Berdiri merupakan rukun dalam salat wajib, bagi orang yang mampu melakukannya. Para fuqaha sepakat bahwa berdiri merupakan rukun dalam salat wajib, bagi orang yang mampu melakukannya. [1] Allah Ta’ala berfirman, حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ “Peliharalah segala salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.” [2] Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan kewajiban berdiri dalam salat. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Jama’ah, kecuali Muslim. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita penyakit bawasir. Lalu, aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda, صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ ‘Salatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan berbaring.‘” [3] Khusus salat sunah, diperbolehkan dengan duduk Diperbolehkan melakukan salat sunah dengan duduk karena uzur ataupun tanpa uzur. Para fuqaha sepakat tentang bolehnya salat sunah dengan duduk baik karena uzur atau tidak. [4] Hal ini berdasarkan hadis Imran bin Hushain bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seorang laki-laki yang salat dengan duduk, beliau bersabda, مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ “Barangsiapa salat dengan berdiri, itu lebih utama. Barangsiapa salat dengan duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat dengan tidur (berbaring), maka baginya setengah pahala orang yang duduk.” [5] Terlebih lagi, salat sunah di atas kendaraan seperti pesawat, kapal, kereta, atau mobil, para ulama sepakat tentang kebolehannya. “Para ulama sepakat [6] bahwa bagi musafir yang meringkas salatnya, diperbolehkan melakukan salat sunah di atas tunggangannya ke mana pun arahnya… Maka, barangsiapa yang berada di dalam pesawat, kereta, mobil, dan sejenisnya, diperbolehkan melakukan salat sunah …” [7] Hukum asalnya, tidak diperbolehkan salat wajib di atas kendaraan Salat wajib tidak sah dilakukan dengan duduk di atas kendaraan, kecuali karena uzur (alasan yang dibenarkan). Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan dua sahabat dari mazhab Hanafi, dalam pendapat yang lebih zahir, mengatakan, أَنَّهُ لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فَرْضًا فِي السَّفِينَةِ وَنَحْوِهَا كَالْمِحَفَّةِ وَالْهَوْدَجِ وَالطَّائِرَةِ وَالسَّيَّارَةِ قَاعِدًا إِلَاّ لِعُذْرٍ “Bahwasanya salat fardu/ wajib tidak sah dilakukan dengan duduk di dalam kapal/ perahu dan sejenisnya, seperti tandu, kereta kuda, pesawat, dan mobil, kecuali karena uzur (alasan yang dibenarkan).” [8] Namun demikian, bagi yang mampu melakukan salat fardu di atas kendaraan tunggangan dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya, meskipun tanpa uzur, maka salatnya sah. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, فَإِنَّ مَنْ أَمْكَنَهُ صَلَاةُ الْفَرِيضَةِ عَلَى الرَّاحِلَةِ مَعَ الإِْتْيَانِ بِكُل شُرُوطِهَا وَأَرْكَانِهَا، وَلَوْ بِلَا عُذْرٍ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَذَلِكَ كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ – وَهُوَ الرَّاجِحُ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ – “… Maka, bagi siapa yang mampu melakukan salat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya, meskipun tanpa uzur, maka salatnya sah. Ini pendapat mazhab Syafi’i dan Hanbali yang merupakan pendapat kuat dan dipegangi oleh mazhab Maliki.” [9] Ringkasan dari pembahasan di atas Hukum salat sunah dengan duduk di dalam kendaraan (misalkan pesawat atau kapal) adalah boleh. Sedangkan untuk shalat fardu dengan duduk, tidak diperbolehkan, kecuali karena uzur. Baca juga: Safar Adalah Sebagian dari Azab Tata cara salat di atas kendaraan Siapa saja yang diperbolehkan melaksanakan salat di atas kendaraan, dan dia ingin mendirikan salat, maka Dia menghadap ke arah mana pun kendaraan tersebut menuju. Disunahkan kadang-kadang mengarahkan kendaraan menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian salat ke arah mana kendaraan menghadap. [10] Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يسبح على الراحلة قبل أي وجه توجه، ويوتر عليها؛ غير أنه لا يصلي عليها المكتوبة “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salat sunah di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja, dan beliau melakukan salat witir di atasnya, tetapi beliau tidak melakukan salat wajib di atasnya.” [11] Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يصلي على راحلته تطوعاً؛ استقبل القبلة، فكبر للصلاة، ثم خلى راحلته، فصلى حيثما توجهت به “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak melakukan salat sunah di atas kendaraannya, beliau menghadapkan kendaraannya ke arah kiblat, lalu bertakbir memulai salat, kemudian membiarkan kendaraannya berjalan, maka beliau salat menghadap ke arah mana kendaraannya membawanya.” [12] Dia harus memberi isyarat dalam salatnya ketika rukuk dan sujud, dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya. [13] Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, بَعَثَنِي رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي حَاجَةٍ فَجِئْتُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ، وَالسُّجُودُ أَخْفَضُ مِنَ الرُّكُوعِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu, aku datang (dan melihat) beliau salat di atas kendaraannya menghadap ke arah timur, dengan sujud lebih rendah daripada rukuk.” [14] Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءَ صَلَاةِ اللَّيْل إِلَاّ الْفَرَائِضَ “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila dalam bepergian (safar), beliau salat di atas kendaraannya menghadap ke mana pun kendaraannya menuju. Beliau memberi isyarat seperti gerakan salat malam, kecuali salat fardu (wajib).” [15] Syekh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya tentang tata cara salat di atas kendaraan dan mobil. Beliau menjawab, الصفة أنك تجلس على ما أنت عليه ثم عند الركوع توميء إيماء وعند السجود يكون إيماؤك أكثر، وكذلك في السيارة، تصلي النافلة “Caranya adalah duduk di atas apa yang Anda naiki, kemudian saat rukuk mengisyaratkan, dan saat sujud isyaratnya lebih rendah. Begitu pula di dalam mobil, Anda bisa melaksanakan salat sunah …” [16] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang hukum dan tata cara salat dengan duduk di atas kendaraan. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Adab-Adab Safar (Bepergian Jauh) *** 12 Syawal 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah, Mesir, cet. ke-1, 1421, (Maktabah Syamilah). Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tatawwu’, Dr. Muhammad Umar Bazmul, Darul Imam Ahmad, Kairo, cet. ke-1, 2006.   Catatan kaki: [1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106. [2] QS. Al-Baqarah: 238. [3] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 587. [4] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109. [5] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 586. [6] Al-Mughni, 2: 95. [7] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 235. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 110. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. [10] Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tatawwu’, hal. 158. [11] HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 700. [12] HR. Ahmad, 3: 203 dan Abu Dawud no. 1225. Dihasankan oleh Imam Al-Albani rahimahullah. [13] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 233. [14] HR. Abu Dawud, 2: 22. [15] HR. Bukhari, Fathul Baari, 2: 489. [16] https://al-fatawa.com/fatwa/45758 Tags: kendaraansalat

Diperlakukan Buruk oleh Kerabat, Tetap Balas dengan Kebaikan

Jika kita berada dalam posisi diperlakukan buruk oleh kerabat, tetap balas dengan kebaikan. Itulah yang lebih menenangkan dan berpahala besar.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin 2. Faedah hadits 2.1. Referensi   Hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ: أَنَّ رَجُلاً ، قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي ، وَأُحْسِنُ إلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إلَيَّ ، وَأحْلُمُ عَنهم وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ ! فَقَالَ : (( لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ ، فَكأنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ ، وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ تَعَالَى ظَهيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya mempunyai beberapa orang kerabat. Saya menyambung hubungan tali kekeluargaan dengan mereka, tetapi mereka malah memustukannya dariku. Saya berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka berbuat buruk padaku. Saya senantiasa bersikap ramah kepada mereka, tetapi mereka tidak tahu diri.” Kemudian beliau bersabda, “Seandainya benar apa yang kamu katakan, maka seakan-akan kamu menyuapkan abu panas kepada mereka. Allah senantiasa memberi pertolongan kepadamu karena perbuatan mereka, jika kamu tetap berbuat demikian.” (HR. Muslim, no. 2558)   Faedah hadits Pertama: Dasar pokok dalam muamalah antar sesama kerabat adalah berbuat baik, saling menyambung silaturahim, bersabar, dan juga saling mengingatkan. Sehingga tidak sebaliknya, tetap harus bisa menahan gangguan dalam rangka menyambung tali silaturahim. Kedua: Membalas keburukan dengan kebaikan akan berakibat pelaku keburukan akan menjadi baik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ Arab-Latin: Wa lā tastawil-ḥasanatu wa las-sayyi`ah, idfa’ billatī hiya aḥsanu fa iżallażī bainaka wa bainahụ ‘adāwatung ka`annahụ waliyyun ḥamīm “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34) Ketiga: Menjalankan perintah Allah termasuk sebab datangnya pertolongan Allah bagi hamba yang beriman.  Keempat: Pemutusan silaturahim merupakan penderitaan dan azab di dunia, sekaligus sebagai dosa dan beratnya hisab (perhitungan) di akhirat. Kelima: Seorang muslim sudah sepatutnya mengharapkan pahala dari amal saleh pribadinya. Hendaknya gangguan manusia serta pemutusan hubungan mereka terhadapnya tidak memutus perbuatan atau kebiasaan baiknya terhadap mereka. Karena Allah pernah menegur Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika dia bermaksud memutuskan hubungan dengan Misthah bin Utsatsah yang telah menyakitinya pada saat terjadi haditsul ifki (berita bohong bahwa Aisyah telah berselingkuh). Maka waktu itulah Allah berfirman, وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Arab-Latin: Wa lā ya`tali ulul-faḍli mingkum was-sa’ati ay yu`tū ulil-qurbā wal-masākīna wal-muhājirīna fī sabīlillāhi walya’fụ walyaṣfaḥụ, alā tuḥibbụna ay yagfirallāhu lakum, wallāhu gafụrur raḥīm “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22) Catatan berharga: Kita berbuat baik kepada orang lain itu dilakukan karena Allah. Kebaikan itu tetap dijaga terus walau orang lain berperilaku jelek pada kita. Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Referensi Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. 1:359-360 (hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin).   – Kamis siang, 23 Syawal 1445 H, 2 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya memutus silaturahim keluarga keluarga sakinah keutamaan silaturahim riyadhus sholihin silaturahim

Diperlakukan Buruk oleh Kerabat, Tetap Balas dengan Kebaikan

Jika kita berada dalam posisi diperlakukan buruk oleh kerabat, tetap balas dengan kebaikan. Itulah yang lebih menenangkan dan berpahala besar.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin 2. Faedah hadits 2.1. Referensi   Hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ: أَنَّ رَجُلاً ، قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي ، وَأُحْسِنُ إلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إلَيَّ ، وَأحْلُمُ عَنهم وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ ! فَقَالَ : (( لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ ، فَكأنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ ، وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ تَعَالَى ظَهيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya mempunyai beberapa orang kerabat. Saya menyambung hubungan tali kekeluargaan dengan mereka, tetapi mereka malah memustukannya dariku. Saya berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka berbuat buruk padaku. Saya senantiasa bersikap ramah kepada mereka, tetapi mereka tidak tahu diri.” Kemudian beliau bersabda, “Seandainya benar apa yang kamu katakan, maka seakan-akan kamu menyuapkan abu panas kepada mereka. Allah senantiasa memberi pertolongan kepadamu karena perbuatan mereka, jika kamu tetap berbuat demikian.” (HR. Muslim, no. 2558)   Faedah hadits Pertama: Dasar pokok dalam muamalah antar sesama kerabat adalah berbuat baik, saling menyambung silaturahim, bersabar, dan juga saling mengingatkan. Sehingga tidak sebaliknya, tetap harus bisa menahan gangguan dalam rangka menyambung tali silaturahim. Kedua: Membalas keburukan dengan kebaikan akan berakibat pelaku keburukan akan menjadi baik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ Arab-Latin: Wa lā tastawil-ḥasanatu wa las-sayyi`ah, idfa’ billatī hiya aḥsanu fa iżallażī bainaka wa bainahụ ‘adāwatung ka`annahụ waliyyun ḥamīm “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34) Ketiga: Menjalankan perintah Allah termasuk sebab datangnya pertolongan Allah bagi hamba yang beriman.  Keempat: Pemutusan silaturahim merupakan penderitaan dan azab di dunia, sekaligus sebagai dosa dan beratnya hisab (perhitungan) di akhirat. Kelima: Seorang muslim sudah sepatutnya mengharapkan pahala dari amal saleh pribadinya. Hendaknya gangguan manusia serta pemutusan hubungan mereka terhadapnya tidak memutus perbuatan atau kebiasaan baiknya terhadap mereka. Karena Allah pernah menegur Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika dia bermaksud memutuskan hubungan dengan Misthah bin Utsatsah yang telah menyakitinya pada saat terjadi haditsul ifki (berita bohong bahwa Aisyah telah berselingkuh). Maka waktu itulah Allah berfirman, وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Arab-Latin: Wa lā ya`tali ulul-faḍli mingkum was-sa’ati ay yu`tū ulil-qurbā wal-masākīna wal-muhājirīna fī sabīlillāhi walya’fụ walyaṣfaḥụ, alā tuḥibbụna ay yagfirallāhu lakum, wallāhu gafụrur raḥīm “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22) Catatan berharga: Kita berbuat baik kepada orang lain itu dilakukan karena Allah. Kebaikan itu tetap dijaga terus walau orang lain berperilaku jelek pada kita. Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Referensi Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. 1:359-360 (hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin).   – Kamis siang, 23 Syawal 1445 H, 2 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya memutus silaturahim keluarga keluarga sakinah keutamaan silaturahim riyadhus sholihin silaturahim
Jika kita berada dalam posisi diperlakukan buruk oleh kerabat, tetap balas dengan kebaikan. Itulah yang lebih menenangkan dan berpahala besar.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin 2. Faedah hadits 2.1. Referensi   Hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ: أَنَّ رَجُلاً ، قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي ، وَأُحْسِنُ إلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إلَيَّ ، وَأحْلُمُ عَنهم وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ ! فَقَالَ : (( لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ ، فَكأنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ ، وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ تَعَالَى ظَهيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya mempunyai beberapa orang kerabat. Saya menyambung hubungan tali kekeluargaan dengan mereka, tetapi mereka malah memustukannya dariku. Saya berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka berbuat buruk padaku. Saya senantiasa bersikap ramah kepada mereka, tetapi mereka tidak tahu diri.” Kemudian beliau bersabda, “Seandainya benar apa yang kamu katakan, maka seakan-akan kamu menyuapkan abu panas kepada mereka. Allah senantiasa memberi pertolongan kepadamu karena perbuatan mereka, jika kamu tetap berbuat demikian.” (HR. Muslim, no. 2558)   Faedah hadits Pertama: Dasar pokok dalam muamalah antar sesama kerabat adalah berbuat baik, saling menyambung silaturahim, bersabar, dan juga saling mengingatkan. Sehingga tidak sebaliknya, tetap harus bisa menahan gangguan dalam rangka menyambung tali silaturahim. Kedua: Membalas keburukan dengan kebaikan akan berakibat pelaku keburukan akan menjadi baik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ Arab-Latin: Wa lā tastawil-ḥasanatu wa las-sayyi`ah, idfa’ billatī hiya aḥsanu fa iżallażī bainaka wa bainahụ ‘adāwatung ka`annahụ waliyyun ḥamīm “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34) Ketiga: Menjalankan perintah Allah termasuk sebab datangnya pertolongan Allah bagi hamba yang beriman.  Keempat: Pemutusan silaturahim merupakan penderitaan dan azab di dunia, sekaligus sebagai dosa dan beratnya hisab (perhitungan) di akhirat. Kelima: Seorang muslim sudah sepatutnya mengharapkan pahala dari amal saleh pribadinya. Hendaknya gangguan manusia serta pemutusan hubungan mereka terhadapnya tidak memutus perbuatan atau kebiasaan baiknya terhadap mereka. Karena Allah pernah menegur Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika dia bermaksud memutuskan hubungan dengan Misthah bin Utsatsah yang telah menyakitinya pada saat terjadi haditsul ifki (berita bohong bahwa Aisyah telah berselingkuh). Maka waktu itulah Allah berfirman, وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Arab-Latin: Wa lā ya`tali ulul-faḍli mingkum was-sa’ati ay yu`tū ulil-qurbā wal-masākīna wal-muhājirīna fī sabīlillāhi walya’fụ walyaṣfaḥụ, alā tuḥibbụna ay yagfirallāhu lakum, wallāhu gafụrur raḥīm “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22) Catatan berharga: Kita berbuat baik kepada orang lain itu dilakukan karena Allah. Kebaikan itu tetap dijaga terus walau orang lain berperilaku jelek pada kita. Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Referensi Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. 1:359-360 (hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin).   – Kamis siang, 23 Syawal 1445 H, 2 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya memutus silaturahim keluarga keluarga sakinah keutamaan silaturahim riyadhus sholihin silaturahim


Jika kita berada dalam posisi diperlakukan buruk oleh kerabat, tetap balas dengan kebaikan. Itulah yang lebih menenangkan dan berpahala besar.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin 2. Faedah hadits 2.1. Referensi   Hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ: أَنَّ رَجُلاً ، قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي ، وَأُحْسِنُ إلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إلَيَّ ، وَأحْلُمُ عَنهم وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ ! فَقَالَ : (( لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ ، فَكأنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ ، وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ تَعَالَى ظَهيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ . Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya mempunyai beberapa orang kerabat. Saya menyambung hubungan tali kekeluargaan dengan mereka, tetapi mereka malah memustukannya dariku. Saya berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka berbuat buruk padaku. Saya senantiasa bersikap ramah kepada mereka, tetapi mereka tidak tahu diri.” Kemudian beliau bersabda, “Seandainya benar apa yang kamu katakan, maka seakan-akan kamu menyuapkan abu panas kepada mereka. Allah senantiasa memberi pertolongan kepadamu karena perbuatan mereka, jika kamu tetap berbuat demikian.” (HR. Muslim, no. 2558)   Faedah hadits Pertama: Dasar pokok dalam muamalah antar sesama kerabat adalah berbuat baik, saling menyambung silaturahim, bersabar, dan juga saling mengingatkan. Sehingga tidak sebaliknya, tetap harus bisa menahan gangguan dalam rangka menyambung tali silaturahim. Kedua: Membalas keburukan dengan kebaikan akan berakibat pelaku keburukan akan menjadi baik. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ Arab-Latin: Wa lā tastawil-ḥasanatu wa las-sayyi`ah, idfa’ billatī hiya aḥsanu fa iżallażī bainaka wa bainahụ ‘adāwatung ka`annahụ waliyyun ḥamīm “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34) Ketiga: Menjalankan perintah Allah termasuk sebab datangnya pertolongan Allah bagi hamba yang beriman.  Keempat: Pemutusan silaturahim merupakan penderitaan dan azab di dunia, sekaligus sebagai dosa dan beratnya hisab (perhitungan) di akhirat. Kelima: Seorang muslim sudah sepatutnya mengharapkan pahala dari amal saleh pribadinya. Hendaknya gangguan manusia serta pemutusan hubungan mereka terhadapnya tidak memutus perbuatan atau kebiasaan baiknya terhadap mereka. Karena Allah pernah menegur Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika dia bermaksud memutuskan hubungan dengan Misthah bin Utsatsah yang telah menyakitinya pada saat terjadi haditsul ifki (berita bohong bahwa Aisyah telah berselingkuh). Maka waktu itulah Allah berfirman, وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Arab-Latin: Wa lā ya`tali ulul-faḍli mingkum was-sa’ati ay yu`tū ulil-qurbā wal-masākīna wal-muhājirīna fī sabīlillāhi walya’fụ walyaṣfaḥụ, alā tuḥibbụna ay yagfirallāhu lakum, wallāhu gafụrur raḥīm “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22) Catatan berharga: Kita berbuat baik kepada orang lain itu dilakukan karena Allah. Kebaikan itu tetap dijaga terus walau orang lain berperilaku jelek pada kita. Baca juga: Keutamaan Menyambung Silaturahim   Referensi Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi. 1:359-360 (hadits #318 dari Riyadh Ash-Shalihin).   – Kamis siang, 23 Syawal 1445 H, 2 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya memutus silaturahim keluarga keluarga sakinah keutamaan silaturahim riyadhus sholihin silaturahim

Menginspirasi: Sebab Terbesar untuk Memperbaiki Hati – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Ketahuilah bahwa di dalam jasad ada segumpal darah, jika ia baik maka baik pula seluruh jasad; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku, manusia harus berusaha untuk memperbaiki hatinya dan memberi perhatian besar pada sebab-sebab yang dapat membuat hati menjadi baik dan istiqamah. Di antara sebab yang paling besar adalah membaca al-Quran. Membaca al-Quran dengan disertai pemahaman dan tadabur. Itu adalah sebab terbesar untuk kebaikan hati. “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. az-Zumar: 23). Ini terjadi jika seseorang membaca al-Quran dengan bacaan sesuai dengan syariat. Allahlah tempat meminta pertolongan! Wahai saudara-saudara, al-Quran itu bagaikan hujan yang turun ke hati. Apa dalilnya? “Belumkah datang waktu bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang turun…” (QS. al-Hadid: 16). Lalu Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah mati…” Perumpamaan ini dinamakan oleh para ulama balaghah dengan tasybih dhimni (perumpamaan secara implisit). Allah mengumpamakan apa dengan apa? Mengumpamakan hati dengan tanah, dan mengumpamakan al-Quran dengan apa? Dengan hujan. Pengaruh apa yang diberikan hujan terhadap tanah? Menghidupkannya, serta menumbuhkan tanaman dan bunga. Lalu pengaruh apa yang diberikan Kitabullah terhadap hati, saudara-saudara? Menghidupkannya. (Seperti dalam doa), “Ya Allah, jadikanlah al-Quran al-Azhim sebagai musim semi bagi hatiku.” ==== أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ لِهَذَا يَتَأَكَّدُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي يَعْمَلُ عَلَى إِصْلَاحِ قَلْبِهِ وَيَحْرِصُ عَلَى الْأَسْبَابِ الَّتِي تُؤَدِّيْ إِلَى صَلَاحِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ وَمِنْ أَعْظَمِهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِفَهْمٍ وَتَدَبُّرٍ هِيَ أَعْظَمُ الْأَسْبَابِ لِصَلَاحِ القُلُوبِ اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيًا تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَاءُ هَذَا عِنْدَمَا يَقْرَأُ الْإِنْسَانُ يَا إِخْوَانُ قِرَاءَةً شَرْعِيَّةً وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ وَالْقُرْآنُ كَالْغَيْثِ يَا إِخْوَانُ يَنْزِلُ عَلَى الْقَلْبِ أَيْش الدَّلِيل؟ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ ثُمَّ قَالَ اِعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا هَذَا التَّشْبِيهُ يُسَمِّيهِ عُلَمَاءُ الْبَلَاغَةِ تَشْبِيْهٌ ضِمْنِيٌّ شَبَّهَ مَاذَا بِمَاذَا؟ شَبَّهَ الْقُلُوبَ بِالْأَرْضِ وَشَبَّهَ الْقُرْآنَ بِمَاذَا؟ بِالْغَيْثِ فَمَاذَا يَفْعَلُ الْغَيْثُ بِالْأَرْضِ؟ يُحْيِيهَا وَتُنْبِتُ وَتُزْهِرُ وَمَاذَا يَفْعَلُ كِتَابُ اللهِ بِالْقُلُوبِ يَا إِخْوَانُ يُحْيِيهَا أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيمَ رَبِيعَ قَلْبِي

Menginspirasi: Sebab Terbesar untuk Memperbaiki Hati – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Ketahuilah bahwa di dalam jasad ada segumpal darah, jika ia baik maka baik pula seluruh jasad; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku, manusia harus berusaha untuk memperbaiki hatinya dan memberi perhatian besar pada sebab-sebab yang dapat membuat hati menjadi baik dan istiqamah. Di antara sebab yang paling besar adalah membaca al-Quran. Membaca al-Quran dengan disertai pemahaman dan tadabur. Itu adalah sebab terbesar untuk kebaikan hati. “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. az-Zumar: 23). Ini terjadi jika seseorang membaca al-Quran dengan bacaan sesuai dengan syariat. Allahlah tempat meminta pertolongan! Wahai saudara-saudara, al-Quran itu bagaikan hujan yang turun ke hati. Apa dalilnya? “Belumkah datang waktu bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang turun…” (QS. al-Hadid: 16). Lalu Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah mati…” Perumpamaan ini dinamakan oleh para ulama balaghah dengan tasybih dhimni (perumpamaan secara implisit). Allah mengumpamakan apa dengan apa? Mengumpamakan hati dengan tanah, dan mengumpamakan al-Quran dengan apa? Dengan hujan. Pengaruh apa yang diberikan hujan terhadap tanah? Menghidupkannya, serta menumbuhkan tanaman dan bunga. Lalu pengaruh apa yang diberikan Kitabullah terhadap hati, saudara-saudara? Menghidupkannya. (Seperti dalam doa), “Ya Allah, jadikanlah al-Quran al-Azhim sebagai musim semi bagi hatiku.” ==== أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ لِهَذَا يَتَأَكَّدُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي يَعْمَلُ عَلَى إِصْلَاحِ قَلْبِهِ وَيَحْرِصُ عَلَى الْأَسْبَابِ الَّتِي تُؤَدِّيْ إِلَى صَلَاحِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ وَمِنْ أَعْظَمِهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِفَهْمٍ وَتَدَبُّرٍ هِيَ أَعْظَمُ الْأَسْبَابِ لِصَلَاحِ القُلُوبِ اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيًا تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَاءُ هَذَا عِنْدَمَا يَقْرَأُ الْإِنْسَانُ يَا إِخْوَانُ قِرَاءَةً شَرْعِيَّةً وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ وَالْقُرْآنُ كَالْغَيْثِ يَا إِخْوَانُ يَنْزِلُ عَلَى الْقَلْبِ أَيْش الدَّلِيل؟ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ ثُمَّ قَالَ اِعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا هَذَا التَّشْبِيهُ يُسَمِّيهِ عُلَمَاءُ الْبَلَاغَةِ تَشْبِيْهٌ ضِمْنِيٌّ شَبَّهَ مَاذَا بِمَاذَا؟ شَبَّهَ الْقُلُوبَ بِالْأَرْضِ وَشَبَّهَ الْقُرْآنَ بِمَاذَا؟ بِالْغَيْثِ فَمَاذَا يَفْعَلُ الْغَيْثُ بِالْأَرْضِ؟ يُحْيِيهَا وَتُنْبِتُ وَتُزْهِرُ وَمَاذَا يَفْعَلُ كِتَابُ اللهِ بِالْقُلُوبِ يَا إِخْوَانُ يُحْيِيهَا أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيمَ رَبِيعَ قَلْبِي
“Ketahuilah bahwa di dalam jasad ada segumpal darah, jika ia baik maka baik pula seluruh jasad; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku, manusia harus berusaha untuk memperbaiki hatinya dan memberi perhatian besar pada sebab-sebab yang dapat membuat hati menjadi baik dan istiqamah. Di antara sebab yang paling besar adalah membaca al-Quran. Membaca al-Quran dengan disertai pemahaman dan tadabur. Itu adalah sebab terbesar untuk kebaikan hati. “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. az-Zumar: 23). Ini terjadi jika seseorang membaca al-Quran dengan bacaan sesuai dengan syariat. Allahlah tempat meminta pertolongan! Wahai saudara-saudara, al-Quran itu bagaikan hujan yang turun ke hati. Apa dalilnya? “Belumkah datang waktu bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang turun…” (QS. al-Hadid: 16). Lalu Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah mati…” Perumpamaan ini dinamakan oleh para ulama balaghah dengan tasybih dhimni (perumpamaan secara implisit). Allah mengumpamakan apa dengan apa? Mengumpamakan hati dengan tanah, dan mengumpamakan al-Quran dengan apa? Dengan hujan. Pengaruh apa yang diberikan hujan terhadap tanah? Menghidupkannya, serta menumbuhkan tanaman dan bunga. Lalu pengaruh apa yang diberikan Kitabullah terhadap hati, saudara-saudara? Menghidupkannya. (Seperti dalam doa), “Ya Allah, jadikanlah al-Quran al-Azhim sebagai musim semi bagi hatiku.” ==== أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ لِهَذَا يَتَأَكَّدُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي يَعْمَلُ عَلَى إِصْلَاحِ قَلْبِهِ وَيَحْرِصُ عَلَى الْأَسْبَابِ الَّتِي تُؤَدِّيْ إِلَى صَلَاحِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ وَمِنْ أَعْظَمِهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِفَهْمٍ وَتَدَبُّرٍ هِيَ أَعْظَمُ الْأَسْبَابِ لِصَلَاحِ القُلُوبِ اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيًا تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَاءُ هَذَا عِنْدَمَا يَقْرَأُ الْإِنْسَانُ يَا إِخْوَانُ قِرَاءَةً شَرْعِيَّةً وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ وَالْقُرْآنُ كَالْغَيْثِ يَا إِخْوَانُ يَنْزِلُ عَلَى الْقَلْبِ أَيْش الدَّلِيل؟ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ ثُمَّ قَالَ اِعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا هَذَا التَّشْبِيهُ يُسَمِّيهِ عُلَمَاءُ الْبَلَاغَةِ تَشْبِيْهٌ ضِمْنِيٌّ شَبَّهَ مَاذَا بِمَاذَا؟ شَبَّهَ الْقُلُوبَ بِالْأَرْضِ وَشَبَّهَ الْقُرْآنَ بِمَاذَا؟ بِالْغَيْثِ فَمَاذَا يَفْعَلُ الْغَيْثُ بِالْأَرْضِ؟ يُحْيِيهَا وَتُنْبِتُ وَتُزْهِرُ وَمَاذَا يَفْعَلُ كِتَابُ اللهِ بِالْقُلُوبِ يَا إِخْوَانُ يُحْيِيهَا أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيمَ رَبِيعَ قَلْبِي


“Ketahuilah bahwa di dalam jasad ada segumpal darah, jika ia baik maka baik pula seluruh jasad; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” Oleh sebab itu, wahai saudara-saudaraku, manusia harus berusaha untuk memperbaiki hatinya dan memberi perhatian besar pada sebab-sebab yang dapat membuat hati menjadi baik dan istiqamah. Di antara sebab yang paling besar adalah membaca al-Quran. Membaca al-Quran dengan disertai pemahaman dan tadabur. Itu adalah sebab terbesar untuk kebaikan hati. “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. az-Zumar: 23). Ini terjadi jika seseorang membaca al-Quran dengan bacaan sesuai dengan syariat. Allahlah tempat meminta pertolongan! Wahai saudara-saudara, al-Quran itu bagaikan hujan yang turun ke hati. Apa dalilnya? “Belumkah datang waktu bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang turun…” (QS. al-Hadid: 16). Lalu Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah mati…” Perumpamaan ini dinamakan oleh para ulama balaghah dengan tasybih dhimni (perumpamaan secara implisit). Allah mengumpamakan apa dengan apa? Mengumpamakan hati dengan tanah, dan mengumpamakan al-Quran dengan apa? Dengan hujan. Pengaruh apa yang diberikan hujan terhadap tanah? Menghidupkannya, serta menumbuhkan tanaman dan bunga. Lalu pengaruh apa yang diberikan Kitabullah terhadap hati, saudara-saudara? Menghidupkannya. (Seperti dalam doa), “Ya Allah, jadikanlah al-Quran al-Azhim sebagai musim semi bagi hatiku.” ==== أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ لِهَذَا يَتَأَكَّدُ عَلَى الْإِنْسَانِ يَا إِخْوَانِي يَعْمَلُ عَلَى إِصْلَاحِ قَلْبِهِ وَيَحْرِصُ عَلَى الْأَسْبَابِ الَّتِي تُؤَدِّيْ إِلَى صَلَاحِهِ وَاسْتِقَامَتِهِ وَمِنْ أَعْظَمِهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِفَهْمٍ وَتَدَبُّرٍ هِيَ أَعْظَمُ الْأَسْبَابِ لِصَلَاحِ القُلُوبِ اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيًا تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَاءُ هَذَا عِنْدَمَا يَقْرَأُ الْإِنْسَانُ يَا إِخْوَانُ قِرَاءَةً شَرْعِيَّةً وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ وَالْقُرْآنُ كَالْغَيْثِ يَا إِخْوَانُ يَنْزِلُ عَلَى الْقَلْبِ أَيْش الدَّلِيل؟ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ ثُمَّ قَالَ اِعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا هَذَا التَّشْبِيهُ يُسَمِّيهِ عُلَمَاءُ الْبَلَاغَةِ تَشْبِيْهٌ ضِمْنِيٌّ شَبَّهَ مَاذَا بِمَاذَا؟ شَبَّهَ الْقُلُوبَ بِالْأَرْضِ وَشَبَّهَ الْقُرْآنَ بِمَاذَا؟ بِالْغَيْثِ فَمَاذَا يَفْعَلُ الْغَيْثُ بِالْأَرْضِ؟ يُحْيِيهَا وَتُنْبِتُ وَتُزْهِرُ وَمَاذَا يَفْعَلُ كِتَابُ اللهِ بِالْقُلُوبِ يَا إِخْوَانُ يُحْيِيهَا أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيمَ رَبِيعَ قَلْبِي

Al-Qur’an Sebagai Obat dan Faktor yang Mempengaruhi Berhasilnya Ruqyah

Al-Qur’an itu bisa menjadi obat bagi penyakit lahir dan batin. Semuanya dengan izin Allah, lalu pengaruh dari orang yang membacanya dan keadaan diri orang yang diobati. Baca juga: Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan di dalam kitab beliau Al-Jawaabul Kaafi (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’) sebagai berikut. “Al-Qur’an juga sebagai obat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, ِوَلَوْ جَعَلْنَٰهُ قُرْءَانًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا۟ لَوْلَا فُصِّلَتْ ءَايَٰتُهُۥٓ ۖ ءَا۬عْجَمِىٌّ وَعَرَبِىٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ Arab-Latin: Walau ja’alnāhu qur`ānan a’jamiyyal laqālụ lau lā fuṣṣilat āyātuh, a a’jamiyyuw wa ‘arabiyy, qul huwa lillażīna āmanụ hudaw wa syifā`. “Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” (QS. Fushshilat: 44) ِوَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ  Arab-Latin: Wa nunazzilu minal-qur`āni mā huwa syifā`uw wa raḥmatul lil-mu`minīna wa lā yazīduẓ-ẓālimīna illā khasārā “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Isra’: 82) Lafazh “min” pada ayat di atas adalah menunjukkan makna jenis, bukan menunjukkan makna sebagian dari. Sebab Al-Qur’an seluruhnya merupakan rahmat sekaligus obat penawar, sebagaimana dijelaskan pada ayat sebelumnya. Al-Qur’an adalah obat penawar bagi hati dari penyakit kebodohan, keraguan, dan kebimbangan. Allah sama sekali belum pernah menurunkan obat penawar dari langit yang lebih bermanfaat, lebih komprehensif, dan lebih mujarab dalam menghilangkan penyakit daripada Al-Qur’an. Daftar Isi tutup 1. Al-Qur’an Sebagai Ruqyah 2. Faktor yang Mempengaruhi Berhasilnya Ruqyah 3. Jangan Sampai Doa Lemah Al-Qur’an Sebagai Ruqyah Ada sebuah riwayat dalam Ash-Shahihain dari Abu Sa’id, ia bertutur, “Sebagian sahabat Nabi pernah mengadakan perjalanan. Ketika tiba di sebuah perkampungan Arab, mereka pun meminta penduduknya untuk menjamu mereka. Namun, penduduk dusun itu menolaknya. Tidak lama kemudian, kepala dusun tersebut disengat kalajengking. Penduduk dusun segera berusaha mengobatinya, tetapi upaya mereka tidak membuahkan hasil. Sebagian mereka menyarankan, “Cobalah lihat ada rombongan yang datang tadi. Mungkin saja di antara mereka ada yang membawa sesuatu untuk mengobatinya.” Penduduk kampung pun mendatangi rombongan para sahabat dan berkata, “Wahai para pengembara, kepala dusun kami disengat kalajengking. Kami telah melakukan segala macam upaya untuk menyembuhkannya, tetapi tidak kunjung berhasil. Apa di antara kalian ada yang mempunyai suatu cara untuk menyembuhkannya?” Sebagian sahabat menjawab, “Benar. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun, demi Allah, kalian pernah menolak untuk menjamu kami tatkala kami memintanya. Oleh karena itu, aku tidak mau meruqyah, kecuali apabila kalian bersedia memberikan upah.” Akhirnya, mereka bersepakat untuk memberi sejumlah kambing sebagai bayaran. Sahabat tadi bergegas pergi ke tempat kepala dusun lalu memberikan tiupan yang diiringi sedikit ludah, seraya membaca surah Al-Fatihah. Lalu kepala dusun itu seakan-akan terbebas dari ikatan. Ia pun bangkit dan berjalan tanpa merasakan sakit lagi. Penduduk dusun itu pun menepati upah yang mereka janjikan. Sebagian sahabat segera berkata, “Bagilah upah tersebut!” Namun, sahabat yang tadi meruqyah menyanggah, “Kita tidak akan membagi sampai mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan apa yang terjadi. Dengan kata lain, kita menunggu perintah beliau.” Setelah itu para sahabat mendatangi Rasulullah dan menceritakan kisah yang mereka alami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana kamu mengetahui bahwa surah Al-Fatihah dapat dipakai untuk meruqyah?” Beliau melanjutkan, “Kalian telah melakukan hal yang benar. Bagilah upah tersebut dan berilah aku bagian seperti halnya kalian.” (HR. Bukhari, no. 5417 dan Muslim, no. 2201) Surah Al-Fatihah terbukti memberikan dampak positif dalam menyembuhkan secara total penyakit yang diderita oleh kepala dusun hingga seolah-olah penyakit tersebut tidak pernah ada sebelumnya. Inilah obat termudah. Seandainya seseorang mampu untuk menggunakan surah Al-Fatihah dengan baik untuk tujuan pengobatan, niscaya dia akan melihat efek penyembuhan yang menakjubkan. Saya pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu. Saat itu, saya terkena penyakit tanpa bisa mendapatkan obat maupun dokter. Akhirnya, saya mengobati diri sendiri dengan surah Al-Fatihah dan merasakan efeknya yang menakjubkan. Pengalaman ini lantas saya ceritakan kepada orang yang sakit, hingga kemudian banyak dari mereka yang sembuh dalam waktu singkat. Baca juga: Bolehkah Meminta Diruqyah? Keampuhan dan Kemuliaan Surah Al-Fatihah Upah Mengajar Al-Qur’an, Halalkah? Faktor yang Mempengaruhi Berhasilnya Ruqyah Namun, ada satu permasalahan yang diperhatikan di sini. Dzikir-dzikir, ayat-ayat, doa-doa, atau obat-obatan yang digunakan untuk ruqyah serta penyembuhan, walaupun pada hakikatnya ia bermanfaat dan mampu menyembuhkan, tetapi tetap mempunyai ketergantungan terhadap: (1) keadaan tubuh penderita dan (2) kuatnya pengaruh yang mengobati.  Jika terjadi keterlambatan dalam penyembuhan, hal itu disebabkan oleh lemahnya pengaruh dan semangat dari pihak yang mengobati dan lemahnya tubuh, atua bisa jadi karena kuatnya faktor penghalang yang mencegah efek penyembuhan dari doa tersebut. Hal ini sebagaimana terjadi pada obat-obatan dan penyakit fisik. Efek penyembuhannya terkadang hilang disebabkan fisik penderita yang tidak sesuai dengan obat tersebut, atau bisa jadi disebabkan oleh adanya suatu penghalang. Jika kondisi fisik seseorang mampu menerima obat tersebut, tentulah tubuhnya juga akan mendapatkan manfaat dari obat tersebut sesuai dengan kadarnya. Demikian pula ruqyah. Jika jiwa penderita mampu menerima ruqyah dan ta’awudz tersebut dengan sempurna, sementara pihak yang meruqyah memiliki pengaruh dan semangat kuat, maka ruqyah tentu akan memberikan efek positif dalam menghilangkan penyakit. Jangan Sampai Doa Lemah Hal yang sama juga terjadi pada doa. Doa termasuk sebab yang paling kuat untuk (1) mendapatkan keinginan dan (2) mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki. Meskipun demikian, terkadang doa tidak memberikan efek apa pun. Hal ini bisa terjadi disebabkan doa itu pada dasarnya memang lemah. Misalnya, doa yang tidak disukai oleh Allah karena mengandung kezaliman atau karena kelemahan hati orang yang berdoa serta tidak adanya ketundukan kepada Allah. Mungkin juga hal itu disebabkan sesuatu yang menghalangi terkabulnya doa tersebut, seperti: mengonsumsi makanan haram, berbuat kezaliman, tertutupnya hati dengan maksiat, kondisi jiwa yang terkuasai dan terkalahkan oleh kelalaian, juga nafsu syahwat.” Berlanjut Insya-Allah …. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 13-14. Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 22 Syawal 1445 H, 1 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Al-Qur’an Sebagai Obat dan Faktor yang Mempengaruhi Berhasilnya Ruqyah

Al-Qur’an itu bisa menjadi obat bagi penyakit lahir dan batin. Semuanya dengan izin Allah, lalu pengaruh dari orang yang membacanya dan keadaan diri orang yang diobati. Baca juga: Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan di dalam kitab beliau Al-Jawaabul Kaafi (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’) sebagai berikut. “Al-Qur’an juga sebagai obat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, ِوَلَوْ جَعَلْنَٰهُ قُرْءَانًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا۟ لَوْلَا فُصِّلَتْ ءَايَٰتُهُۥٓ ۖ ءَا۬عْجَمِىٌّ وَعَرَبِىٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ Arab-Latin: Walau ja’alnāhu qur`ānan a’jamiyyal laqālụ lau lā fuṣṣilat āyātuh, a a’jamiyyuw wa ‘arabiyy, qul huwa lillażīna āmanụ hudaw wa syifā`. “Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” (QS. Fushshilat: 44) ِوَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ  Arab-Latin: Wa nunazzilu minal-qur`āni mā huwa syifā`uw wa raḥmatul lil-mu`minīna wa lā yazīduẓ-ẓālimīna illā khasārā “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Isra’: 82) Lafazh “min” pada ayat di atas adalah menunjukkan makna jenis, bukan menunjukkan makna sebagian dari. Sebab Al-Qur’an seluruhnya merupakan rahmat sekaligus obat penawar, sebagaimana dijelaskan pada ayat sebelumnya. Al-Qur’an adalah obat penawar bagi hati dari penyakit kebodohan, keraguan, dan kebimbangan. Allah sama sekali belum pernah menurunkan obat penawar dari langit yang lebih bermanfaat, lebih komprehensif, dan lebih mujarab dalam menghilangkan penyakit daripada Al-Qur’an. Daftar Isi tutup 1. Al-Qur’an Sebagai Ruqyah 2. Faktor yang Mempengaruhi Berhasilnya Ruqyah 3. Jangan Sampai Doa Lemah Al-Qur’an Sebagai Ruqyah Ada sebuah riwayat dalam Ash-Shahihain dari Abu Sa’id, ia bertutur, “Sebagian sahabat Nabi pernah mengadakan perjalanan. Ketika tiba di sebuah perkampungan Arab, mereka pun meminta penduduknya untuk menjamu mereka. Namun, penduduk dusun itu menolaknya. Tidak lama kemudian, kepala dusun tersebut disengat kalajengking. Penduduk dusun segera berusaha mengobatinya, tetapi upaya mereka tidak membuahkan hasil. Sebagian mereka menyarankan, “Cobalah lihat ada rombongan yang datang tadi. Mungkin saja di antara mereka ada yang membawa sesuatu untuk mengobatinya.” Penduduk kampung pun mendatangi rombongan para sahabat dan berkata, “Wahai para pengembara, kepala dusun kami disengat kalajengking. Kami telah melakukan segala macam upaya untuk menyembuhkannya, tetapi tidak kunjung berhasil. Apa di antara kalian ada yang mempunyai suatu cara untuk menyembuhkannya?” Sebagian sahabat menjawab, “Benar. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun, demi Allah, kalian pernah menolak untuk menjamu kami tatkala kami memintanya. Oleh karena itu, aku tidak mau meruqyah, kecuali apabila kalian bersedia memberikan upah.” Akhirnya, mereka bersepakat untuk memberi sejumlah kambing sebagai bayaran. Sahabat tadi bergegas pergi ke tempat kepala dusun lalu memberikan tiupan yang diiringi sedikit ludah, seraya membaca surah Al-Fatihah. Lalu kepala dusun itu seakan-akan terbebas dari ikatan. Ia pun bangkit dan berjalan tanpa merasakan sakit lagi. Penduduk dusun itu pun menepati upah yang mereka janjikan. Sebagian sahabat segera berkata, “Bagilah upah tersebut!” Namun, sahabat yang tadi meruqyah menyanggah, “Kita tidak akan membagi sampai mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan apa yang terjadi. Dengan kata lain, kita menunggu perintah beliau.” Setelah itu para sahabat mendatangi Rasulullah dan menceritakan kisah yang mereka alami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana kamu mengetahui bahwa surah Al-Fatihah dapat dipakai untuk meruqyah?” Beliau melanjutkan, “Kalian telah melakukan hal yang benar. Bagilah upah tersebut dan berilah aku bagian seperti halnya kalian.” (HR. Bukhari, no. 5417 dan Muslim, no. 2201) Surah Al-Fatihah terbukti memberikan dampak positif dalam menyembuhkan secara total penyakit yang diderita oleh kepala dusun hingga seolah-olah penyakit tersebut tidak pernah ada sebelumnya. Inilah obat termudah. Seandainya seseorang mampu untuk menggunakan surah Al-Fatihah dengan baik untuk tujuan pengobatan, niscaya dia akan melihat efek penyembuhan yang menakjubkan. Saya pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu. Saat itu, saya terkena penyakit tanpa bisa mendapatkan obat maupun dokter. Akhirnya, saya mengobati diri sendiri dengan surah Al-Fatihah dan merasakan efeknya yang menakjubkan. Pengalaman ini lantas saya ceritakan kepada orang yang sakit, hingga kemudian banyak dari mereka yang sembuh dalam waktu singkat. Baca juga: Bolehkah Meminta Diruqyah? Keampuhan dan Kemuliaan Surah Al-Fatihah Upah Mengajar Al-Qur’an, Halalkah? Faktor yang Mempengaruhi Berhasilnya Ruqyah Namun, ada satu permasalahan yang diperhatikan di sini. Dzikir-dzikir, ayat-ayat, doa-doa, atau obat-obatan yang digunakan untuk ruqyah serta penyembuhan, walaupun pada hakikatnya ia bermanfaat dan mampu menyembuhkan, tetapi tetap mempunyai ketergantungan terhadap: (1) keadaan tubuh penderita dan (2) kuatnya pengaruh yang mengobati.  Jika terjadi keterlambatan dalam penyembuhan, hal itu disebabkan oleh lemahnya pengaruh dan semangat dari pihak yang mengobati dan lemahnya tubuh, atua bisa jadi karena kuatnya faktor penghalang yang mencegah efek penyembuhan dari doa tersebut. Hal ini sebagaimana terjadi pada obat-obatan dan penyakit fisik. Efek penyembuhannya terkadang hilang disebabkan fisik penderita yang tidak sesuai dengan obat tersebut, atau bisa jadi disebabkan oleh adanya suatu penghalang. Jika kondisi fisik seseorang mampu menerima obat tersebut, tentulah tubuhnya juga akan mendapatkan manfaat dari obat tersebut sesuai dengan kadarnya. Demikian pula ruqyah. Jika jiwa penderita mampu menerima ruqyah dan ta’awudz tersebut dengan sempurna, sementara pihak yang meruqyah memiliki pengaruh dan semangat kuat, maka ruqyah tentu akan memberikan efek positif dalam menghilangkan penyakit. Jangan Sampai Doa Lemah Hal yang sama juga terjadi pada doa. Doa termasuk sebab yang paling kuat untuk (1) mendapatkan keinginan dan (2) mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki. Meskipun demikian, terkadang doa tidak memberikan efek apa pun. Hal ini bisa terjadi disebabkan doa itu pada dasarnya memang lemah. Misalnya, doa yang tidak disukai oleh Allah karena mengandung kezaliman atau karena kelemahan hati orang yang berdoa serta tidak adanya ketundukan kepada Allah. Mungkin juga hal itu disebabkan sesuatu yang menghalangi terkabulnya doa tersebut, seperti: mengonsumsi makanan haram, berbuat kezaliman, tertutupnya hati dengan maksiat, kondisi jiwa yang terkuasai dan terkalahkan oleh kelalaian, juga nafsu syahwat.” Berlanjut Insya-Allah …. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 13-14. Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 22 Syawal 1445 H, 1 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup
Al-Qur’an itu bisa menjadi obat bagi penyakit lahir dan batin. Semuanya dengan izin Allah, lalu pengaruh dari orang yang membacanya dan keadaan diri orang yang diobati. Baca juga: Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan di dalam kitab beliau Al-Jawaabul Kaafi (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’) sebagai berikut. “Al-Qur’an juga sebagai obat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, ِوَلَوْ جَعَلْنَٰهُ قُرْءَانًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا۟ لَوْلَا فُصِّلَتْ ءَايَٰتُهُۥٓ ۖ ءَا۬عْجَمِىٌّ وَعَرَبِىٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ Arab-Latin: Walau ja’alnāhu qur`ānan a’jamiyyal laqālụ lau lā fuṣṣilat āyātuh, a a’jamiyyuw wa ‘arabiyy, qul huwa lillażīna āmanụ hudaw wa syifā`. “Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” (QS. Fushshilat: 44) ِوَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ  Arab-Latin: Wa nunazzilu minal-qur`āni mā huwa syifā`uw wa raḥmatul lil-mu`minīna wa lā yazīduẓ-ẓālimīna illā khasārā “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Isra’: 82) Lafazh “min” pada ayat di atas adalah menunjukkan makna jenis, bukan menunjukkan makna sebagian dari. Sebab Al-Qur’an seluruhnya merupakan rahmat sekaligus obat penawar, sebagaimana dijelaskan pada ayat sebelumnya. Al-Qur’an adalah obat penawar bagi hati dari penyakit kebodohan, keraguan, dan kebimbangan. Allah sama sekali belum pernah menurunkan obat penawar dari langit yang lebih bermanfaat, lebih komprehensif, dan lebih mujarab dalam menghilangkan penyakit daripada Al-Qur’an. Daftar Isi tutup 1. Al-Qur’an Sebagai Ruqyah 2. Faktor yang Mempengaruhi Berhasilnya Ruqyah 3. Jangan Sampai Doa Lemah Al-Qur’an Sebagai Ruqyah Ada sebuah riwayat dalam Ash-Shahihain dari Abu Sa’id, ia bertutur, “Sebagian sahabat Nabi pernah mengadakan perjalanan. Ketika tiba di sebuah perkampungan Arab, mereka pun meminta penduduknya untuk menjamu mereka. Namun, penduduk dusun itu menolaknya. Tidak lama kemudian, kepala dusun tersebut disengat kalajengking. Penduduk dusun segera berusaha mengobatinya, tetapi upaya mereka tidak membuahkan hasil. Sebagian mereka menyarankan, “Cobalah lihat ada rombongan yang datang tadi. Mungkin saja di antara mereka ada yang membawa sesuatu untuk mengobatinya.” Penduduk kampung pun mendatangi rombongan para sahabat dan berkata, “Wahai para pengembara, kepala dusun kami disengat kalajengking. Kami telah melakukan segala macam upaya untuk menyembuhkannya, tetapi tidak kunjung berhasil. Apa di antara kalian ada yang mempunyai suatu cara untuk menyembuhkannya?” Sebagian sahabat menjawab, “Benar. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun, demi Allah, kalian pernah menolak untuk menjamu kami tatkala kami memintanya. Oleh karena itu, aku tidak mau meruqyah, kecuali apabila kalian bersedia memberikan upah.” Akhirnya, mereka bersepakat untuk memberi sejumlah kambing sebagai bayaran. Sahabat tadi bergegas pergi ke tempat kepala dusun lalu memberikan tiupan yang diiringi sedikit ludah, seraya membaca surah Al-Fatihah. Lalu kepala dusun itu seakan-akan terbebas dari ikatan. Ia pun bangkit dan berjalan tanpa merasakan sakit lagi. Penduduk dusun itu pun menepati upah yang mereka janjikan. Sebagian sahabat segera berkata, “Bagilah upah tersebut!” Namun, sahabat yang tadi meruqyah menyanggah, “Kita tidak akan membagi sampai mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan apa yang terjadi. Dengan kata lain, kita menunggu perintah beliau.” Setelah itu para sahabat mendatangi Rasulullah dan menceritakan kisah yang mereka alami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana kamu mengetahui bahwa surah Al-Fatihah dapat dipakai untuk meruqyah?” Beliau melanjutkan, “Kalian telah melakukan hal yang benar. Bagilah upah tersebut dan berilah aku bagian seperti halnya kalian.” (HR. Bukhari, no. 5417 dan Muslim, no. 2201) Surah Al-Fatihah terbukti memberikan dampak positif dalam menyembuhkan secara total penyakit yang diderita oleh kepala dusun hingga seolah-olah penyakit tersebut tidak pernah ada sebelumnya. Inilah obat termudah. Seandainya seseorang mampu untuk menggunakan surah Al-Fatihah dengan baik untuk tujuan pengobatan, niscaya dia akan melihat efek penyembuhan yang menakjubkan. Saya pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu. Saat itu, saya terkena penyakit tanpa bisa mendapatkan obat maupun dokter. Akhirnya, saya mengobati diri sendiri dengan surah Al-Fatihah dan merasakan efeknya yang menakjubkan. Pengalaman ini lantas saya ceritakan kepada orang yang sakit, hingga kemudian banyak dari mereka yang sembuh dalam waktu singkat. Baca juga: Bolehkah Meminta Diruqyah? Keampuhan dan Kemuliaan Surah Al-Fatihah Upah Mengajar Al-Qur’an, Halalkah? Faktor yang Mempengaruhi Berhasilnya Ruqyah Namun, ada satu permasalahan yang diperhatikan di sini. Dzikir-dzikir, ayat-ayat, doa-doa, atau obat-obatan yang digunakan untuk ruqyah serta penyembuhan, walaupun pada hakikatnya ia bermanfaat dan mampu menyembuhkan, tetapi tetap mempunyai ketergantungan terhadap: (1) keadaan tubuh penderita dan (2) kuatnya pengaruh yang mengobati.  Jika terjadi keterlambatan dalam penyembuhan, hal itu disebabkan oleh lemahnya pengaruh dan semangat dari pihak yang mengobati dan lemahnya tubuh, atua bisa jadi karena kuatnya faktor penghalang yang mencegah efek penyembuhan dari doa tersebut. Hal ini sebagaimana terjadi pada obat-obatan dan penyakit fisik. Efek penyembuhannya terkadang hilang disebabkan fisik penderita yang tidak sesuai dengan obat tersebut, atau bisa jadi disebabkan oleh adanya suatu penghalang. Jika kondisi fisik seseorang mampu menerima obat tersebut, tentulah tubuhnya juga akan mendapatkan manfaat dari obat tersebut sesuai dengan kadarnya. Demikian pula ruqyah. Jika jiwa penderita mampu menerima ruqyah dan ta’awudz tersebut dengan sempurna, sementara pihak yang meruqyah memiliki pengaruh dan semangat kuat, maka ruqyah tentu akan memberikan efek positif dalam menghilangkan penyakit. Jangan Sampai Doa Lemah Hal yang sama juga terjadi pada doa. Doa termasuk sebab yang paling kuat untuk (1) mendapatkan keinginan dan (2) mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki. Meskipun demikian, terkadang doa tidak memberikan efek apa pun. Hal ini bisa terjadi disebabkan doa itu pada dasarnya memang lemah. Misalnya, doa yang tidak disukai oleh Allah karena mengandung kezaliman atau karena kelemahan hati orang yang berdoa serta tidak adanya ketundukan kepada Allah. Mungkin juga hal itu disebabkan sesuatu yang menghalangi terkabulnya doa tersebut, seperti: mengonsumsi makanan haram, berbuat kezaliman, tertutupnya hati dengan maksiat, kondisi jiwa yang terkuasai dan terkalahkan oleh kelalaian, juga nafsu syahwat.” Berlanjut Insya-Allah …. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 13-14. Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 22 Syawal 1445 H, 1 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup


Al-Qur’an itu bisa menjadi obat bagi penyakit lahir dan batin. Semuanya dengan izin Allah, lalu pengaruh dari orang yang membacanya dan keadaan diri orang yang diobati. Baca juga: Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan di dalam kitab beliau Al-Jawaabul Kaafi (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’) sebagai berikut. “Al-Qur’an juga sebagai obat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, ِوَلَوْ جَعَلْنَٰهُ قُرْءَانًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا۟ لَوْلَا فُصِّلَتْ ءَايَٰتُهُۥٓ ۖ ءَا۬عْجَمِىٌّ وَعَرَبِىٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ Arab-Latin: Walau ja’alnāhu qur`ānan a’jamiyyal laqālụ lau lā fuṣṣilat āyātuh, a a’jamiyyuw wa ‘arabiyy, qul huwa lillażīna āmanụ hudaw wa syifā`. “Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” (QS. Fushshilat: 44) ِوَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ  Arab-Latin: Wa nunazzilu minal-qur`āni mā huwa syifā`uw wa raḥmatul lil-mu`minīna wa lā yazīduẓ-ẓālimīna illā khasārā “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Isra’: 82) Lafazh “min” pada ayat di atas adalah menunjukkan makna jenis, bukan menunjukkan makna sebagian dari. Sebab Al-Qur’an seluruhnya merupakan rahmat sekaligus obat penawar, sebagaimana dijelaskan pada ayat sebelumnya. Al-Qur’an adalah obat penawar bagi hati dari penyakit kebodohan, keraguan, dan kebimbangan. Allah sama sekali belum pernah menurunkan obat penawar dari langit yang lebih bermanfaat, lebih komprehensif, dan lebih mujarab dalam menghilangkan penyakit daripada Al-Qur’an. Daftar Isi tutup 1. Al-Qur’an Sebagai Ruqyah 2. Faktor yang Mempengaruhi Berhasilnya Ruqyah 3. Jangan Sampai Doa Lemah Al-Qur’an Sebagai Ruqyah Ada sebuah riwayat dalam Ash-Shahihain dari Abu Sa’id, ia bertutur, “Sebagian sahabat Nabi pernah mengadakan perjalanan. Ketika tiba di sebuah perkampungan Arab, mereka pun meminta penduduknya untuk menjamu mereka. Namun, penduduk dusun itu menolaknya. Tidak lama kemudian, kepala dusun tersebut disengat kalajengking. Penduduk dusun segera berusaha mengobatinya, tetapi upaya mereka tidak membuahkan hasil. Sebagian mereka menyarankan, “Cobalah lihat ada rombongan yang datang tadi. Mungkin saja di antara mereka ada yang membawa sesuatu untuk mengobatinya.” Penduduk kampung pun mendatangi rombongan para sahabat dan berkata, “Wahai para pengembara, kepala dusun kami disengat kalajengking. Kami telah melakukan segala macam upaya untuk menyembuhkannya, tetapi tidak kunjung berhasil. Apa di antara kalian ada yang mempunyai suatu cara untuk menyembuhkannya?” Sebagian sahabat menjawab, “Benar. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun, demi Allah, kalian pernah menolak untuk menjamu kami tatkala kami memintanya. Oleh karena itu, aku tidak mau meruqyah, kecuali apabila kalian bersedia memberikan upah.” Akhirnya, mereka bersepakat untuk memberi sejumlah kambing sebagai bayaran. Sahabat tadi bergegas pergi ke tempat kepala dusun lalu memberikan tiupan yang diiringi sedikit ludah, seraya membaca surah Al-Fatihah. Lalu kepala dusun itu seakan-akan terbebas dari ikatan. Ia pun bangkit dan berjalan tanpa merasakan sakit lagi. Penduduk dusun itu pun menepati upah yang mereka janjikan. Sebagian sahabat segera berkata, “Bagilah upah tersebut!” Namun, sahabat yang tadi meruqyah menyanggah, “Kita tidak akan membagi sampai mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan apa yang terjadi. Dengan kata lain, kita menunggu perintah beliau.” Setelah itu para sahabat mendatangi Rasulullah dan menceritakan kisah yang mereka alami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana kamu mengetahui bahwa surah Al-Fatihah dapat dipakai untuk meruqyah?” Beliau melanjutkan, “Kalian telah melakukan hal yang benar. Bagilah upah tersebut dan berilah aku bagian seperti halnya kalian.” (HR. Bukhari, no. 5417 dan Muslim, no. 2201) Surah Al-Fatihah terbukti memberikan dampak positif dalam menyembuhkan secara total penyakit yang diderita oleh kepala dusun hingga seolah-olah penyakit tersebut tidak pernah ada sebelumnya. Inilah obat termudah. Seandainya seseorang mampu untuk menggunakan surah Al-Fatihah dengan baik untuk tujuan pengobatan, niscaya dia akan melihat efek penyembuhan yang menakjubkan. Saya pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu. Saat itu, saya terkena penyakit tanpa bisa mendapatkan obat maupun dokter. Akhirnya, saya mengobati diri sendiri dengan surah Al-Fatihah dan merasakan efeknya yang menakjubkan. Pengalaman ini lantas saya ceritakan kepada orang yang sakit, hingga kemudian banyak dari mereka yang sembuh dalam waktu singkat. Baca juga: Bolehkah Meminta Diruqyah? Keampuhan dan Kemuliaan Surah Al-Fatihah Upah Mengajar Al-Qur’an, Halalkah? Faktor yang Mempengaruhi Berhasilnya Ruqyah Namun, ada satu permasalahan yang diperhatikan di sini. Dzikir-dzikir, ayat-ayat, doa-doa, atau obat-obatan yang digunakan untuk ruqyah serta penyembuhan, walaupun pada hakikatnya ia bermanfaat dan mampu menyembuhkan, tetapi tetap mempunyai ketergantungan terhadap: (1) keadaan tubuh penderita dan (2) kuatnya pengaruh yang mengobati.  Jika terjadi keterlambatan dalam penyembuhan, hal itu disebabkan oleh lemahnya pengaruh dan semangat dari pihak yang mengobati dan lemahnya tubuh, atua bisa jadi karena kuatnya faktor penghalang yang mencegah efek penyembuhan dari doa tersebut. Hal ini sebagaimana terjadi pada obat-obatan dan penyakit fisik. Efek penyembuhannya terkadang hilang disebabkan fisik penderita yang tidak sesuai dengan obat tersebut, atau bisa jadi disebabkan oleh adanya suatu penghalang. Jika kondisi fisik seseorang mampu menerima obat tersebut, tentulah tubuhnya juga akan mendapatkan manfaat dari obat tersebut sesuai dengan kadarnya. Demikian pula ruqyah. Jika jiwa penderita mampu menerima ruqyah dan ta’awudz tersebut dengan sempurna, sementara pihak yang meruqyah memiliki pengaruh dan semangat kuat, maka ruqyah tentu akan memberikan efek positif dalam menghilangkan penyakit. Jangan Sampai Doa Lemah Hal yang sama juga terjadi pada doa. Doa termasuk sebab yang paling kuat untuk (1) mendapatkan keinginan dan (2) mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki. Meskipun demikian, terkadang doa tidak memberikan efek apa pun. Hal ini bisa terjadi disebabkan doa itu pada dasarnya memang lemah. Misalnya, doa yang tidak disukai oleh Allah karena mengandung kezaliman atau karena kelemahan hati orang yang berdoa serta tidak adanya ketundukan kepada Allah. Mungkin juga hal itu disebabkan sesuatu yang menghalangi terkabulnya doa tersebut, seperti: mengonsumsi makanan haram, berbuat kezaliman, tertutupnya hati dengan maksiat, kondisi jiwa yang terkuasai dan terkalahkan oleh kelalaian, juga nafsu syahwat.” Berlanjut Insya-Allah …. Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 13-14. Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi. Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 22 Syawal 1445 H, 1 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Antara Tauhid dan Talbiyah

Daftar Isi Toggle Ibadah haji dan bukti bahwa tauhid adalah prioritasRenungan tauhid bagi yang telah berhaji atau akan berhaji Di antara perkara yang sangat disayangkan dari sebagian kaum muslimin di masa sekarang adalah keterasingan mereka dengan tauhid yang benar. Banyak di antara saudara semuslim kita yang mengaku beriman kepada Allah Ta’ala, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan yang mengandung kesyirikan, perbuatan-perbuatan yang akan mengurangi atau bahkan melunturkan keimanan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Banyak di antara mereka yang masih bergantung kepada selain Allah Ta’ala, meminta kepada kuburan, hal-hal yang dikeramatkan, dan yang lain sebagainya. Banyak juga di antara mereka yang masih menggantungkan nasibnya kepada ramalan serta memiliki anggapan sial terhadap waktu tertentu. Tidak mengherankan juga, di antara mereka ada yang mendatangi ‘orang pintar’ untuk mencari kesembuhan atau melariskan dagangan yang mereka miliki. Wahai saudaraku, sesungguhnya semua itu mencoreng makna keimanan, keislaman, dan ketauhidan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Padahal, tauhid adalah perkara pertama dan terakhir yang didakwahkan oleh para Nabi. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Bahkan, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal berdakwah tiga belas tahun lamanya di Makkah hanya untuk menyeru manusia kepada jalan tauhid yang benar serta mengajak mereka untuk untuk menyembah Allah Ta’ala semata serta meninggalkan peribadatan kepada berhala. Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa tauhid seharusnya menjadi prioritas seorang muslim. Tidaklah sempurna keimanan dan keislaman mereka, kecuali apabila tauhid mereka telah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibadah haji dan bukti bahwa tauhid adalah prioritas Mukmin yang jujur dengan keimanannya pastilah memiliki impian untuk bisa melaksanakan haji ke baitullah. Berbagai cara mereka tempuh untuk bisa menabung dan berangkat haji. Sayangnya, sebagian dari mereka lupa atau tidak tahu bahwa esensi dari ibadah haji yang sesungguhnya adalah mentauhidkan Allah Ta’ala. Tidaklah ada satu rangkaian dalam pelaksanaan ibadah haji, kecuali di dalamnya mengandung unsur tauhid. Tawaf yang kita lakukan, sa’i yang kita kerjakan, semuanya merupakan bentuk perwujudan tauhid kita kepada Allah Ta’ala. Bahkan, kalimat talbiyah, kalimat pertama yang diucapkan oleh seorang muslim yang berhaji adalah salah satu kalimat tauhid yang paling utama. Kalimat tauhid yang Nabi ajarkan kepada umatnya untuk senantiasa dilantunkan setelah berihram sampai dengan pelaksanaan lempar jamrah di tanggal sepuluh Zulhijah. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, فَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّوْحِيدِ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ وَأَهَلَّ النَّاسُ بِهَذَا الَّذِي يُهِلُّونَ بِهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِنْهُ وَلَزِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلْبِيَتَهُ “Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertalbiyah dengan kalimat tauhid, ‘Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka la syarika laka.’ (Ya Allah, aku memenuhi seruan-Mu, aku memenuhi seruan-Mu, aku memenuhi seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu). Dan orang-orang bertalbiyah dengan talbiyah yang mereka ucapan ini. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menolak sedikit pun dari hal tersebut. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terus mengucapkan talbiyahnya.” (HR. Muslim no. 1218) Dengan kalimat tersebut, seorang muslim yang sedang berhaji melantunkan dan mengeraskannya hingga ia melihat langsung Ka’bah. Dengan kalimat tersebut, ia tawaf mengelilingninya. Dengan kalimat tersebut pula, ia akan sa’i dan menyempurnakan ibadah hajinya hingga datang tanggal kesepuluh dan ia melaksanakan lempar jamrah. Sebuah kalimat yang mengandung makna tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Karena dengan melantunkannya, ia mengakui bahwa Allahlah satu-satunya yang berhak memberikan nikmat dan pemberian. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal apa pun. Tujuan utama dari kalimat tersebut apabila diucapkan dengan penuh kejujuran dan keimanan adalah ketauhidan yang sempurna. Orang yang melantunkannya dengan jujur dan penuh keyakinan, maka tidak akan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, tidak akan meminta kepada selain-Nya, tidak akan bergantung kecuali kepada Allah Ta’ala, tidak menyembelih dan bernazar kecuali untuk Allah Ta’ala, serta tidak melakukan ibadah kecuali untuk-Nya. Inilah tujuan utama dari talbiyah yang diucapkan oleh seorang muslim serta tujuan utama dari ibadah haji yang didambakan dan diimpikan oleh setiap muslim. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal tersebut, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ، لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ، ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ،  ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ، حُنَفَاء لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاء فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya. Maka, jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27-31) Baca juga: Makna Tauhid di Balik Kalimat Talbiyah Haji Renungan tauhid bagi yang telah berhaji atau akan berhaji Wajib hukumnya bagi siapa pun yang melantunkan kalimat talbiyah dan kalimat tauhid ini untuk memahami dan mengetahui kandungan dan makna dari kalimat tersebut. Menghadirkan makna-makna tersebut di dalam hati dan merealisasikannya di kehidupan nyata. Dengan begitu, ia termasuk orang orang yang jujur dalam setiap kalimatnya, menjadi seorang muslim yang berpegang teguh dengan tauhid serta menjauhkan diri dari apa-apa yang dapat merusak dan mengotori kesuciannya. Tatkala ia mengucapkan, “Labbaika la syarika laka.” (Aku memenuhi seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu), maka ia benar-benar menghindarkan diri dari kesyirikan kepada Allah Ta’ala, tidak bergantung kecuali kepada Allah, serta tidak meminta apa pun dari kenikmatan ataupun meminta dihindarkan dari marabahaya, kecuali kepada-Nya. Tidak berdoa dan meminta kepada kuburan, wali, benda mati, ataupun yang semisalnya. Tatkala ia mengucapkan, “Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka.” (Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu), maka ia tidak akan memuji dan menyanjung sesuatu melebihi sanjungannya kepada Allah Ta’ala, tidak mengkultuskan dan mensucikan seseorang melebihi penghormatannya kepada Allah Ta’ala. Tidak mengharapkan lancarnya rezeki atau terhindarkan dari marabahaya kepada selain Allah dan hanya menyandarkannya kepada Allah Ta’ala. Itulah saudaraku, esensi dari ibadah haji yang Allah syariatkan, bukan justru sebagai ajang berbangga diri, bukan juga agar kita mendapatkan gelar “haji” dan seakan terlahir kembali sehingga menyombongkan diri. Allah ingin agar setiap hamba yang melaksanakan haji atau telah mengetahui esensinya menjadi hamba-hamba Allah yang benar-benar bertauhid dan mengesakan-Nya, tidak beribadah kecuali kepada-Nya, dan tidak bergantung kepada selain-Nya. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: talbiyahtauhid

Antara Tauhid dan Talbiyah

Daftar Isi Toggle Ibadah haji dan bukti bahwa tauhid adalah prioritasRenungan tauhid bagi yang telah berhaji atau akan berhaji Di antara perkara yang sangat disayangkan dari sebagian kaum muslimin di masa sekarang adalah keterasingan mereka dengan tauhid yang benar. Banyak di antara saudara semuslim kita yang mengaku beriman kepada Allah Ta’ala, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan yang mengandung kesyirikan, perbuatan-perbuatan yang akan mengurangi atau bahkan melunturkan keimanan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Banyak di antara mereka yang masih bergantung kepada selain Allah Ta’ala, meminta kepada kuburan, hal-hal yang dikeramatkan, dan yang lain sebagainya. Banyak juga di antara mereka yang masih menggantungkan nasibnya kepada ramalan serta memiliki anggapan sial terhadap waktu tertentu. Tidak mengherankan juga, di antara mereka ada yang mendatangi ‘orang pintar’ untuk mencari kesembuhan atau melariskan dagangan yang mereka miliki. Wahai saudaraku, sesungguhnya semua itu mencoreng makna keimanan, keislaman, dan ketauhidan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Padahal, tauhid adalah perkara pertama dan terakhir yang didakwahkan oleh para Nabi. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Bahkan, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal berdakwah tiga belas tahun lamanya di Makkah hanya untuk menyeru manusia kepada jalan tauhid yang benar serta mengajak mereka untuk untuk menyembah Allah Ta’ala semata serta meninggalkan peribadatan kepada berhala. Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa tauhid seharusnya menjadi prioritas seorang muslim. Tidaklah sempurna keimanan dan keislaman mereka, kecuali apabila tauhid mereka telah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibadah haji dan bukti bahwa tauhid adalah prioritas Mukmin yang jujur dengan keimanannya pastilah memiliki impian untuk bisa melaksanakan haji ke baitullah. Berbagai cara mereka tempuh untuk bisa menabung dan berangkat haji. Sayangnya, sebagian dari mereka lupa atau tidak tahu bahwa esensi dari ibadah haji yang sesungguhnya adalah mentauhidkan Allah Ta’ala. Tidaklah ada satu rangkaian dalam pelaksanaan ibadah haji, kecuali di dalamnya mengandung unsur tauhid. Tawaf yang kita lakukan, sa’i yang kita kerjakan, semuanya merupakan bentuk perwujudan tauhid kita kepada Allah Ta’ala. Bahkan, kalimat talbiyah, kalimat pertama yang diucapkan oleh seorang muslim yang berhaji adalah salah satu kalimat tauhid yang paling utama. Kalimat tauhid yang Nabi ajarkan kepada umatnya untuk senantiasa dilantunkan setelah berihram sampai dengan pelaksanaan lempar jamrah di tanggal sepuluh Zulhijah. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, فَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّوْحِيدِ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ وَأَهَلَّ النَّاسُ بِهَذَا الَّذِي يُهِلُّونَ بِهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِنْهُ وَلَزِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلْبِيَتَهُ “Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertalbiyah dengan kalimat tauhid, ‘Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka la syarika laka.’ (Ya Allah, aku memenuhi seruan-Mu, aku memenuhi seruan-Mu, aku memenuhi seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu). Dan orang-orang bertalbiyah dengan talbiyah yang mereka ucapan ini. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menolak sedikit pun dari hal tersebut. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terus mengucapkan talbiyahnya.” (HR. Muslim no. 1218) Dengan kalimat tersebut, seorang muslim yang sedang berhaji melantunkan dan mengeraskannya hingga ia melihat langsung Ka’bah. Dengan kalimat tersebut, ia tawaf mengelilingninya. Dengan kalimat tersebut pula, ia akan sa’i dan menyempurnakan ibadah hajinya hingga datang tanggal kesepuluh dan ia melaksanakan lempar jamrah. Sebuah kalimat yang mengandung makna tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Karena dengan melantunkannya, ia mengakui bahwa Allahlah satu-satunya yang berhak memberikan nikmat dan pemberian. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal apa pun. Tujuan utama dari kalimat tersebut apabila diucapkan dengan penuh kejujuran dan keimanan adalah ketauhidan yang sempurna. Orang yang melantunkannya dengan jujur dan penuh keyakinan, maka tidak akan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, tidak akan meminta kepada selain-Nya, tidak akan bergantung kecuali kepada Allah Ta’ala, tidak menyembelih dan bernazar kecuali untuk Allah Ta’ala, serta tidak melakukan ibadah kecuali untuk-Nya. Inilah tujuan utama dari talbiyah yang diucapkan oleh seorang muslim serta tujuan utama dari ibadah haji yang didambakan dan diimpikan oleh setiap muslim. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal tersebut, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ، لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ، ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ،  ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ، حُنَفَاء لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاء فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya. Maka, jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27-31) Baca juga: Makna Tauhid di Balik Kalimat Talbiyah Haji Renungan tauhid bagi yang telah berhaji atau akan berhaji Wajib hukumnya bagi siapa pun yang melantunkan kalimat talbiyah dan kalimat tauhid ini untuk memahami dan mengetahui kandungan dan makna dari kalimat tersebut. Menghadirkan makna-makna tersebut di dalam hati dan merealisasikannya di kehidupan nyata. Dengan begitu, ia termasuk orang orang yang jujur dalam setiap kalimatnya, menjadi seorang muslim yang berpegang teguh dengan tauhid serta menjauhkan diri dari apa-apa yang dapat merusak dan mengotori kesuciannya. Tatkala ia mengucapkan, “Labbaika la syarika laka.” (Aku memenuhi seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu), maka ia benar-benar menghindarkan diri dari kesyirikan kepada Allah Ta’ala, tidak bergantung kecuali kepada Allah, serta tidak meminta apa pun dari kenikmatan ataupun meminta dihindarkan dari marabahaya, kecuali kepada-Nya. Tidak berdoa dan meminta kepada kuburan, wali, benda mati, ataupun yang semisalnya. Tatkala ia mengucapkan, “Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka.” (Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu), maka ia tidak akan memuji dan menyanjung sesuatu melebihi sanjungannya kepada Allah Ta’ala, tidak mengkultuskan dan mensucikan seseorang melebihi penghormatannya kepada Allah Ta’ala. Tidak mengharapkan lancarnya rezeki atau terhindarkan dari marabahaya kepada selain Allah dan hanya menyandarkannya kepada Allah Ta’ala. Itulah saudaraku, esensi dari ibadah haji yang Allah syariatkan, bukan justru sebagai ajang berbangga diri, bukan juga agar kita mendapatkan gelar “haji” dan seakan terlahir kembali sehingga menyombongkan diri. Allah ingin agar setiap hamba yang melaksanakan haji atau telah mengetahui esensinya menjadi hamba-hamba Allah yang benar-benar bertauhid dan mengesakan-Nya, tidak beribadah kecuali kepada-Nya, dan tidak bergantung kepada selain-Nya. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: talbiyahtauhid
Daftar Isi Toggle Ibadah haji dan bukti bahwa tauhid adalah prioritasRenungan tauhid bagi yang telah berhaji atau akan berhaji Di antara perkara yang sangat disayangkan dari sebagian kaum muslimin di masa sekarang adalah keterasingan mereka dengan tauhid yang benar. Banyak di antara saudara semuslim kita yang mengaku beriman kepada Allah Ta’ala, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan yang mengandung kesyirikan, perbuatan-perbuatan yang akan mengurangi atau bahkan melunturkan keimanan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Banyak di antara mereka yang masih bergantung kepada selain Allah Ta’ala, meminta kepada kuburan, hal-hal yang dikeramatkan, dan yang lain sebagainya. Banyak juga di antara mereka yang masih menggantungkan nasibnya kepada ramalan serta memiliki anggapan sial terhadap waktu tertentu. Tidak mengherankan juga, di antara mereka ada yang mendatangi ‘orang pintar’ untuk mencari kesembuhan atau melariskan dagangan yang mereka miliki. Wahai saudaraku, sesungguhnya semua itu mencoreng makna keimanan, keislaman, dan ketauhidan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Padahal, tauhid adalah perkara pertama dan terakhir yang didakwahkan oleh para Nabi. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Bahkan, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal berdakwah tiga belas tahun lamanya di Makkah hanya untuk menyeru manusia kepada jalan tauhid yang benar serta mengajak mereka untuk untuk menyembah Allah Ta’ala semata serta meninggalkan peribadatan kepada berhala. Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa tauhid seharusnya menjadi prioritas seorang muslim. Tidaklah sempurna keimanan dan keislaman mereka, kecuali apabila tauhid mereka telah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibadah haji dan bukti bahwa tauhid adalah prioritas Mukmin yang jujur dengan keimanannya pastilah memiliki impian untuk bisa melaksanakan haji ke baitullah. Berbagai cara mereka tempuh untuk bisa menabung dan berangkat haji. Sayangnya, sebagian dari mereka lupa atau tidak tahu bahwa esensi dari ibadah haji yang sesungguhnya adalah mentauhidkan Allah Ta’ala. Tidaklah ada satu rangkaian dalam pelaksanaan ibadah haji, kecuali di dalamnya mengandung unsur tauhid. Tawaf yang kita lakukan, sa’i yang kita kerjakan, semuanya merupakan bentuk perwujudan tauhid kita kepada Allah Ta’ala. Bahkan, kalimat talbiyah, kalimat pertama yang diucapkan oleh seorang muslim yang berhaji adalah salah satu kalimat tauhid yang paling utama. Kalimat tauhid yang Nabi ajarkan kepada umatnya untuk senantiasa dilantunkan setelah berihram sampai dengan pelaksanaan lempar jamrah di tanggal sepuluh Zulhijah. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, فَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّوْحِيدِ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ وَأَهَلَّ النَّاسُ بِهَذَا الَّذِي يُهِلُّونَ بِهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِنْهُ وَلَزِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلْبِيَتَهُ “Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertalbiyah dengan kalimat tauhid, ‘Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka la syarika laka.’ (Ya Allah, aku memenuhi seruan-Mu, aku memenuhi seruan-Mu, aku memenuhi seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu). Dan orang-orang bertalbiyah dengan talbiyah yang mereka ucapan ini. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menolak sedikit pun dari hal tersebut. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terus mengucapkan talbiyahnya.” (HR. Muslim no. 1218) Dengan kalimat tersebut, seorang muslim yang sedang berhaji melantunkan dan mengeraskannya hingga ia melihat langsung Ka’bah. Dengan kalimat tersebut, ia tawaf mengelilingninya. Dengan kalimat tersebut pula, ia akan sa’i dan menyempurnakan ibadah hajinya hingga datang tanggal kesepuluh dan ia melaksanakan lempar jamrah. Sebuah kalimat yang mengandung makna tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Karena dengan melantunkannya, ia mengakui bahwa Allahlah satu-satunya yang berhak memberikan nikmat dan pemberian. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal apa pun. Tujuan utama dari kalimat tersebut apabila diucapkan dengan penuh kejujuran dan keimanan adalah ketauhidan yang sempurna. Orang yang melantunkannya dengan jujur dan penuh keyakinan, maka tidak akan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, tidak akan meminta kepada selain-Nya, tidak akan bergantung kecuali kepada Allah Ta’ala, tidak menyembelih dan bernazar kecuali untuk Allah Ta’ala, serta tidak melakukan ibadah kecuali untuk-Nya. Inilah tujuan utama dari talbiyah yang diucapkan oleh seorang muslim serta tujuan utama dari ibadah haji yang didambakan dan diimpikan oleh setiap muslim. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal tersebut, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ، لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ، ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ،  ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ، حُنَفَاء لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاء فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya. Maka, jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27-31) Baca juga: Makna Tauhid di Balik Kalimat Talbiyah Haji Renungan tauhid bagi yang telah berhaji atau akan berhaji Wajib hukumnya bagi siapa pun yang melantunkan kalimat talbiyah dan kalimat tauhid ini untuk memahami dan mengetahui kandungan dan makna dari kalimat tersebut. Menghadirkan makna-makna tersebut di dalam hati dan merealisasikannya di kehidupan nyata. Dengan begitu, ia termasuk orang orang yang jujur dalam setiap kalimatnya, menjadi seorang muslim yang berpegang teguh dengan tauhid serta menjauhkan diri dari apa-apa yang dapat merusak dan mengotori kesuciannya. Tatkala ia mengucapkan, “Labbaika la syarika laka.” (Aku memenuhi seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu), maka ia benar-benar menghindarkan diri dari kesyirikan kepada Allah Ta’ala, tidak bergantung kecuali kepada Allah, serta tidak meminta apa pun dari kenikmatan ataupun meminta dihindarkan dari marabahaya, kecuali kepada-Nya. Tidak berdoa dan meminta kepada kuburan, wali, benda mati, ataupun yang semisalnya. Tatkala ia mengucapkan, “Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka.” (Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu), maka ia tidak akan memuji dan menyanjung sesuatu melebihi sanjungannya kepada Allah Ta’ala, tidak mengkultuskan dan mensucikan seseorang melebihi penghormatannya kepada Allah Ta’ala. Tidak mengharapkan lancarnya rezeki atau terhindarkan dari marabahaya kepada selain Allah dan hanya menyandarkannya kepada Allah Ta’ala. Itulah saudaraku, esensi dari ibadah haji yang Allah syariatkan, bukan justru sebagai ajang berbangga diri, bukan juga agar kita mendapatkan gelar “haji” dan seakan terlahir kembali sehingga menyombongkan diri. Allah ingin agar setiap hamba yang melaksanakan haji atau telah mengetahui esensinya menjadi hamba-hamba Allah yang benar-benar bertauhid dan mengesakan-Nya, tidak beribadah kecuali kepada-Nya, dan tidak bergantung kepada selain-Nya. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: talbiyahtauhid


Daftar Isi Toggle Ibadah haji dan bukti bahwa tauhid adalah prioritasRenungan tauhid bagi yang telah berhaji atau akan berhaji Di antara perkara yang sangat disayangkan dari sebagian kaum muslimin di masa sekarang adalah keterasingan mereka dengan tauhid yang benar. Banyak di antara saudara semuslim kita yang mengaku beriman kepada Allah Ta’ala, namun masih melakukan perbuatan-perbuatan yang mengandung kesyirikan, perbuatan-perbuatan yang akan mengurangi atau bahkan melunturkan keimanan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Banyak di antara mereka yang masih bergantung kepada selain Allah Ta’ala, meminta kepada kuburan, hal-hal yang dikeramatkan, dan yang lain sebagainya. Banyak juga di antara mereka yang masih menggantungkan nasibnya kepada ramalan serta memiliki anggapan sial terhadap waktu tertentu. Tidak mengherankan juga, di antara mereka ada yang mendatangi ‘orang pintar’ untuk mencari kesembuhan atau melariskan dagangan yang mereka miliki. Wahai saudaraku, sesungguhnya semua itu mencoreng makna keimanan, keislaman, dan ketauhidan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Padahal, tauhid adalah perkara pertama dan terakhir yang didakwahkan oleh para Nabi. Allah Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Bahkan, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal berdakwah tiga belas tahun lamanya di Makkah hanya untuk menyeru manusia kepada jalan tauhid yang benar serta mengajak mereka untuk untuk menyembah Allah Ta’ala semata serta meninggalkan peribadatan kepada berhala. Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa tauhid seharusnya menjadi prioritas seorang muslim. Tidaklah sempurna keimanan dan keislaman mereka, kecuali apabila tauhid mereka telah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibadah haji dan bukti bahwa tauhid adalah prioritas Mukmin yang jujur dengan keimanannya pastilah memiliki impian untuk bisa melaksanakan haji ke baitullah. Berbagai cara mereka tempuh untuk bisa menabung dan berangkat haji. Sayangnya, sebagian dari mereka lupa atau tidak tahu bahwa esensi dari ibadah haji yang sesungguhnya adalah mentauhidkan Allah Ta’ala. Tidaklah ada satu rangkaian dalam pelaksanaan ibadah haji, kecuali di dalamnya mengandung unsur tauhid. Tawaf yang kita lakukan, sa’i yang kita kerjakan, semuanya merupakan bentuk perwujudan tauhid kita kepada Allah Ta’ala. Bahkan, kalimat talbiyah, kalimat pertama yang diucapkan oleh seorang muslim yang berhaji adalah salah satu kalimat tauhid yang paling utama. Kalimat tauhid yang Nabi ajarkan kepada umatnya untuk senantiasa dilantunkan setelah berihram sampai dengan pelaksanaan lempar jamrah di tanggal sepuluh Zulhijah. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, فَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّوْحِيدِ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ وَأَهَلَّ النَّاسُ بِهَذَا الَّذِي يُهِلُّونَ بِهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِنْهُ وَلَزِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلْبِيَتَهُ “Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertalbiyah dengan kalimat tauhid, ‘Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka la syarika laka.’ (Ya Allah, aku memenuhi seruan-Mu, aku memenuhi seruan-Mu, aku memenuhi seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu). Dan orang-orang bertalbiyah dengan talbiyah yang mereka ucapan ini. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menolak sedikit pun dari hal tersebut. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terus mengucapkan talbiyahnya.” (HR. Muslim no. 1218) Dengan kalimat tersebut, seorang muslim yang sedang berhaji melantunkan dan mengeraskannya hingga ia melihat langsung Ka’bah. Dengan kalimat tersebut, ia tawaf mengelilingninya. Dengan kalimat tersebut pula, ia akan sa’i dan menyempurnakan ibadah hajinya hingga datang tanggal kesepuluh dan ia melaksanakan lempar jamrah. Sebuah kalimat yang mengandung makna tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Karena dengan melantunkannya, ia mengakui bahwa Allahlah satu-satunya yang berhak memberikan nikmat dan pemberian. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal apa pun. Tujuan utama dari kalimat tersebut apabila diucapkan dengan penuh kejujuran dan keimanan adalah ketauhidan yang sempurna. Orang yang melantunkannya dengan jujur dan penuh keyakinan, maka tidak akan berdoa kepada selain Allah Ta’ala, tidak akan meminta kepada selain-Nya, tidak akan bergantung kecuali kepada Allah Ta’ala, tidak menyembelih dan bernazar kecuali untuk Allah Ta’ala, serta tidak melakukan ibadah kecuali untuk-Nya. Inilah tujuan utama dari talbiyah yang diucapkan oleh seorang muslim serta tujuan utama dari ibadah haji yang didambakan dan diimpikan oleh setiap muslim. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal tersebut, وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ، لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ، ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ،  ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ، حُنَفَاء لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاء فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya. Maka, jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27-31) Baca juga: Makna Tauhid di Balik Kalimat Talbiyah Haji Renungan tauhid bagi yang telah berhaji atau akan berhaji Wajib hukumnya bagi siapa pun yang melantunkan kalimat talbiyah dan kalimat tauhid ini untuk memahami dan mengetahui kandungan dan makna dari kalimat tersebut. Menghadirkan makna-makna tersebut di dalam hati dan merealisasikannya di kehidupan nyata. Dengan begitu, ia termasuk orang orang yang jujur dalam setiap kalimatnya, menjadi seorang muslim yang berpegang teguh dengan tauhid serta menjauhkan diri dari apa-apa yang dapat merusak dan mengotori kesuciannya. Tatkala ia mengucapkan, “Labbaika la syarika laka.” (Aku memenuhi seruan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu), maka ia benar-benar menghindarkan diri dari kesyirikan kepada Allah Ta’ala, tidak bergantung kecuali kepada Allah, serta tidak meminta apa pun dari kenikmatan ataupun meminta dihindarkan dari marabahaya, kecuali kepada-Nya. Tidak berdoa dan meminta kepada kuburan, wali, benda mati, ataupun yang semisalnya. Tatkala ia mengucapkan, “Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka.” (Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan seluruh kerajaan adalah milik-Mu), maka ia tidak akan memuji dan menyanjung sesuatu melebihi sanjungannya kepada Allah Ta’ala, tidak mengkultuskan dan mensucikan seseorang melebihi penghormatannya kepada Allah Ta’ala. Tidak mengharapkan lancarnya rezeki atau terhindarkan dari marabahaya kepada selain Allah dan hanya menyandarkannya kepada Allah Ta’ala. Itulah saudaraku, esensi dari ibadah haji yang Allah syariatkan, bukan justru sebagai ajang berbangga diri, bukan juga agar kita mendapatkan gelar “haji” dan seakan terlahir kembali sehingga menyombongkan diri. Allah ingin agar setiap hamba yang melaksanakan haji atau telah mengetahui esensinya menjadi hamba-hamba Allah yang benar-benar bertauhid dan mengesakan-Nya, tidak beribadah kecuali kepada-Nya, dan tidak bergantung kepada selain-Nya. Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Selepas Haji, Apa yang Harus Kita Lakukan? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: talbiyahtauhid

Agar Pahala Membaca al-Quran Lebih Besar – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Bagaimana cara agar pahala lebih besar saat membaca al-Quran? Pertama, di antara keistimewaan al-Quran adalah bernilai ibadah meski hanya dengan membaca lafaznya. Baik itu kamu membacanya dengan pemahaman maupun tidak. Baik itu dengan tadabur maupun tidak. Inilah salah satu keistimewaan al-Quran. Keistimewaan ini tidak dimiliki kitab lain selain al-Quran. Jadi al-Quran bernilai ibadah hanya dengan membaca lafaznya. Namun, jika kamu ingin agar pahala dan ganjarannya lebih besar, maka hendaklah membaca al-Quran disertai dengan tadabur dan berusaha memahami makna-makna al-Quran serta berusaha menghayatinya. Sebagai contoh, kamu membaca suatu ayat yang menyebutkan surga dan ciri-cirinya maka mohonlah kepada Allah karunia-Nya, atau kamu mengulang-ulang bacaan ayat ini dan kamu membayangkan kenikmatan surga serta menghayatinya. Demikian juga saat disebutkan tentang neraka, kamu memohon perlindungan kepada Allah darinya. Dan kamu membaca doa yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan doa “Aku berlindung kepada Allah dari neraka.” “Ya Tuhanku lindungi aku dari neraka. Ya Tuhanku jauhkan dariku azab neraka.” Juga doa semisalnya. Inilah di antara amalan yang dapat memperbesar pahala membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Salat Malam, jika beliau membaca ayat yang menyebutkan tasbih, beliau bertasbih. Jika beliau membaca ayat yang menyebutkan doa, beliau berdoa. Jika membaca ayat tentang memohon perlindungan, beliau memohon perlindungan. Jadi, pahala membaca al-Quran semakin besar dengan tadabur, menghayati ayat-ayatnya, dan mencermatinya. Bahkan itu juga salah satu hal yang dapat menambah keimanan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, iman mereka bertambah” (QS. al-Anfal: 2) Ayat ini tentang mendengar al-Quran, maka bagaimana dengan membacanya?! Seorang muslim akan bertambah imannya dengan mendengar al-Quran dan dengan membacanya. ==== كَيْفَ يَعْظُمُ الْأَجْرُ عِنْدَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ؟ أَوَّلًا مِنْ خَصَائِصِ الْقُرْآنِ أَنَّهُ يُتَعَبَّدُ بِمُجَرَّدِ تِلَاوَةِ أَلْفَاظِهِ سَوَاءٌ قَرَأْتَ الْقُرْآنَ بِفَهْمٍ أَوْ بِغَيْرِ فَهْمٍ بِتَدَبُّرٍ أَوْ بِغَيْرِ تَدَبُّرٍ وَهَذَا مِنْ خَصَائِصِ الْقُرْآنِ وَهَذِهِ الْخَصِيصَةُ لَيْسَتْ بِغَيْرِ القُرْآنِ فَالْقُرْآنُ يُتَعَبَّدُ بِمُجَرَّدِ تِلَاوَةِ أَلْفَاظِهِ لَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يَعْظُمَ الْأَجْرُ وَالثَّوَابُ يَنْبَغِي أَنْ يَقْتَرِنَ بِالتِّلَاوَةِ التَّدَبُّرُ وَالْفَهْمُ لِمَعَانِي الْقُرْآنِ وَالْوُقُوفُ عِنْدَهَا فَإِذَا مَرَرْتَ مَثَلًا بِآيَةٍ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَأَوْصَافُ الْجَنَّةِ فَاسْأَلِ اللهَ مِنْ فَضْلِهِ وَرُبَّمَا يَعْنِي أَنَّكَ تُعِيْدُ هَذِهِ الآيَاتِ وَتُكَرِّرُهَا وَتَتَصَوَّرُ نَعِيمَ الْجَنَّةِ وَتَتَأَمَّلُ فِيهِ وَهَكَذَا أَيْضًا إِذَا وَرَدَ ذِكْرُ النَّارِ تَسْتَعِيْذُ بِاللهِ مِنْهَا وَتَأْتِي بِمَا وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ النَّار رَبِّ أَجِرْنِي مِنَ النَّارِ رَبِّ اصْرِفْ عَنِّي عَذَابَ جَهَنَّمَ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا مِمَّا يَعْظُمُ بِهِ الْأَجْرُ عِنْدَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا سُؤَالٌ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَعَوُّذٌ تَعَوَّذَ فَإِذًا يَعْظُمُ أَجْرُ التِّلَاوَةِ بِالتَّدَبُّرِ وَالْوُقُوفِ عِنْدَ الْآيَاتِ وَالتَّأَمُّلِ فِيهَا بَلْ إِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيْمَانِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا يَعْنِي هَذَا فِي الِاسْتِمَاعِ لِلْقُرْآنِ فَكَيْفَ بِتِلَاوَتِهِ؟ فَإِذًا الْمُسْلِمُ يَزِيدُ إِيْمَانُهُ بِالِاسْتِمَاعِ لِلْقُرْآنِ وَبِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ

Agar Pahala Membaca al-Quran Lebih Besar – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Bagaimana cara agar pahala lebih besar saat membaca al-Quran? Pertama, di antara keistimewaan al-Quran adalah bernilai ibadah meski hanya dengan membaca lafaznya. Baik itu kamu membacanya dengan pemahaman maupun tidak. Baik itu dengan tadabur maupun tidak. Inilah salah satu keistimewaan al-Quran. Keistimewaan ini tidak dimiliki kitab lain selain al-Quran. Jadi al-Quran bernilai ibadah hanya dengan membaca lafaznya. Namun, jika kamu ingin agar pahala dan ganjarannya lebih besar, maka hendaklah membaca al-Quran disertai dengan tadabur dan berusaha memahami makna-makna al-Quran serta berusaha menghayatinya. Sebagai contoh, kamu membaca suatu ayat yang menyebutkan surga dan ciri-cirinya maka mohonlah kepada Allah karunia-Nya, atau kamu mengulang-ulang bacaan ayat ini dan kamu membayangkan kenikmatan surga serta menghayatinya. Demikian juga saat disebutkan tentang neraka, kamu memohon perlindungan kepada Allah darinya. Dan kamu membaca doa yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan doa “Aku berlindung kepada Allah dari neraka.” “Ya Tuhanku lindungi aku dari neraka. Ya Tuhanku jauhkan dariku azab neraka.” Juga doa semisalnya. Inilah di antara amalan yang dapat memperbesar pahala membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Salat Malam, jika beliau membaca ayat yang menyebutkan tasbih, beliau bertasbih. Jika beliau membaca ayat yang menyebutkan doa, beliau berdoa. Jika membaca ayat tentang memohon perlindungan, beliau memohon perlindungan. Jadi, pahala membaca al-Quran semakin besar dengan tadabur, menghayati ayat-ayatnya, dan mencermatinya. Bahkan itu juga salah satu hal yang dapat menambah keimanan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, iman mereka bertambah” (QS. al-Anfal: 2) Ayat ini tentang mendengar al-Quran, maka bagaimana dengan membacanya?! Seorang muslim akan bertambah imannya dengan mendengar al-Quran dan dengan membacanya. ==== كَيْفَ يَعْظُمُ الْأَجْرُ عِنْدَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ؟ أَوَّلًا مِنْ خَصَائِصِ الْقُرْآنِ أَنَّهُ يُتَعَبَّدُ بِمُجَرَّدِ تِلَاوَةِ أَلْفَاظِهِ سَوَاءٌ قَرَأْتَ الْقُرْآنَ بِفَهْمٍ أَوْ بِغَيْرِ فَهْمٍ بِتَدَبُّرٍ أَوْ بِغَيْرِ تَدَبُّرٍ وَهَذَا مِنْ خَصَائِصِ الْقُرْآنِ وَهَذِهِ الْخَصِيصَةُ لَيْسَتْ بِغَيْرِ القُرْآنِ فَالْقُرْآنُ يُتَعَبَّدُ بِمُجَرَّدِ تِلَاوَةِ أَلْفَاظِهِ لَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يَعْظُمَ الْأَجْرُ وَالثَّوَابُ يَنْبَغِي أَنْ يَقْتَرِنَ بِالتِّلَاوَةِ التَّدَبُّرُ وَالْفَهْمُ لِمَعَانِي الْقُرْآنِ وَالْوُقُوفُ عِنْدَهَا فَإِذَا مَرَرْتَ مَثَلًا بِآيَةٍ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَأَوْصَافُ الْجَنَّةِ فَاسْأَلِ اللهَ مِنْ فَضْلِهِ وَرُبَّمَا يَعْنِي أَنَّكَ تُعِيْدُ هَذِهِ الآيَاتِ وَتُكَرِّرُهَا وَتَتَصَوَّرُ نَعِيمَ الْجَنَّةِ وَتَتَأَمَّلُ فِيهِ وَهَكَذَا أَيْضًا إِذَا وَرَدَ ذِكْرُ النَّارِ تَسْتَعِيْذُ بِاللهِ مِنْهَا وَتَأْتِي بِمَا وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ النَّار رَبِّ أَجِرْنِي مِنَ النَّارِ رَبِّ اصْرِفْ عَنِّي عَذَابَ جَهَنَّمَ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا مِمَّا يَعْظُمُ بِهِ الْأَجْرُ عِنْدَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا سُؤَالٌ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَعَوُّذٌ تَعَوَّذَ فَإِذًا يَعْظُمُ أَجْرُ التِّلَاوَةِ بِالتَّدَبُّرِ وَالْوُقُوفِ عِنْدَ الْآيَاتِ وَالتَّأَمُّلِ فِيهَا بَلْ إِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيْمَانِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا يَعْنِي هَذَا فِي الِاسْتِمَاعِ لِلْقُرْآنِ فَكَيْفَ بِتِلَاوَتِهِ؟ فَإِذًا الْمُسْلِمُ يَزِيدُ إِيْمَانُهُ بِالِاسْتِمَاعِ لِلْقُرْآنِ وَبِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ
Bagaimana cara agar pahala lebih besar saat membaca al-Quran? Pertama, di antara keistimewaan al-Quran adalah bernilai ibadah meski hanya dengan membaca lafaznya. Baik itu kamu membacanya dengan pemahaman maupun tidak. Baik itu dengan tadabur maupun tidak. Inilah salah satu keistimewaan al-Quran. Keistimewaan ini tidak dimiliki kitab lain selain al-Quran. Jadi al-Quran bernilai ibadah hanya dengan membaca lafaznya. Namun, jika kamu ingin agar pahala dan ganjarannya lebih besar, maka hendaklah membaca al-Quran disertai dengan tadabur dan berusaha memahami makna-makna al-Quran serta berusaha menghayatinya. Sebagai contoh, kamu membaca suatu ayat yang menyebutkan surga dan ciri-cirinya maka mohonlah kepada Allah karunia-Nya, atau kamu mengulang-ulang bacaan ayat ini dan kamu membayangkan kenikmatan surga serta menghayatinya. Demikian juga saat disebutkan tentang neraka, kamu memohon perlindungan kepada Allah darinya. Dan kamu membaca doa yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan doa “Aku berlindung kepada Allah dari neraka.” “Ya Tuhanku lindungi aku dari neraka. Ya Tuhanku jauhkan dariku azab neraka.” Juga doa semisalnya. Inilah di antara amalan yang dapat memperbesar pahala membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Salat Malam, jika beliau membaca ayat yang menyebutkan tasbih, beliau bertasbih. Jika beliau membaca ayat yang menyebutkan doa, beliau berdoa. Jika membaca ayat tentang memohon perlindungan, beliau memohon perlindungan. Jadi, pahala membaca al-Quran semakin besar dengan tadabur, menghayati ayat-ayatnya, dan mencermatinya. Bahkan itu juga salah satu hal yang dapat menambah keimanan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, iman mereka bertambah” (QS. al-Anfal: 2) Ayat ini tentang mendengar al-Quran, maka bagaimana dengan membacanya?! Seorang muslim akan bertambah imannya dengan mendengar al-Quran dan dengan membacanya. ==== كَيْفَ يَعْظُمُ الْأَجْرُ عِنْدَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ؟ أَوَّلًا مِنْ خَصَائِصِ الْقُرْآنِ أَنَّهُ يُتَعَبَّدُ بِمُجَرَّدِ تِلَاوَةِ أَلْفَاظِهِ سَوَاءٌ قَرَأْتَ الْقُرْآنَ بِفَهْمٍ أَوْ بِغَيْرِ فَهْمٍ بِتَدَبُّرٍ أَوْ بِغَيْرِ تَدَبُّرٍ وَهَذَا مِنْ خَصَائِصِ الْقُرْآنِ وَهَذِهِ الْخَصِيصَةُ لَيْسَتْ بِغَيْرِ القُرْآنِ فَالْقُرْآنُ يُتَعَبَّدُ بِمُجَرَّدِ تِلَاوَةِ أَلْفَاظِهِ لَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يَعْظُمَ الْأَجْرُ وَالثَّوَابُ يَنْبَغِي أَنْ يَقْتَرِنَ بِالتِّلَاوَةِ التَّدَبُّرُ وَالْفَهْمُ لِمَعَانِي الْقُرْآنِ وَالْوُقُوفُ عِنْدَهَا فَإِذَا مَرَرْتَ مَثَلًا بِآيَةٍ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَأَوْصَافُ الْجَنَّةِ فَاسْأَلِ اللهَ مِنْ فَضْلِهِ وَرُبَّمَا يَعْنِي أَنَّكَ تُعِيْدُ هَذِهِ الآيَاتِ وَتُكَرِّرُهَا وَتَتَصَوَّرُ نَعِيمَ الْجَنَّةِ وَتَتَأَمَّلُ فِيهِ وَهَكَذَا أَيْضًا إِذَا وَرَدَ ذِكْرُ النَّارِ تَسْتَعِيْذُ بِاللهِ مِنْهَا وَتَأْتِي بِمَا وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ النَّار رَبِّ أَجِرْنِي مِنَ النَّارِ رَبِّ اصْرِفْ عَنِّي عَذَابَ جَهَنَّمَ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا مِمَّا يَعْظُمُ بِهِ الْأَجْرُ عِنْدَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا سُؤَالٌ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَعَوُّذٌ تَعَوَّذَ فَإِذًا يَعْظُمُ أَجْرُ التِّلَاوَةِ بِالتَّدَبُّرِ وَالْوُقُوفِ عِنْدَ الْآيَاتِ وَالتَّأَمُّلِ فِيهَا بَلْ إِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيْمَانِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا يَعْنِي هَذَا فِي الِاسْتِمَاعِ لِلْقُرْآنِ فَكَيْفَ بِتِلَاوَتِهِ؟ فَإِذًا الْمُسْلِمُ يَزِيدُ إِيْمَانُهُ بِالِاسْتِمَاعِ لِلْقُرْآنِ وَبِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ


Bagaimana cara agar pahala lebih besar saat membaca al-Quran? Pertama, di antara keistimewaan al-Quran adalah bernilai ibadah meski hanya dengan membaca lafaznya. Baik itu kamu membacanya dengan pemahaman maupun tidak. Baik itu dengan tadabur maupun tidak. Inilah salah satu keistimewaan al-Quran. Keistimewaan ini tidak dimiliki kitab lain selain al-Quran. Jadi al-Quran bernilai ibadah hanya dengan membaca lafaznya. Namun, jika kamu ingin agar pahala dan ganjarannya lebih besar, maka hendaklah membaca al-Quran disertai dengan tadabur dan berusaha memahami makna-makna al-Quran serta berusaha menghayatinya. Sebagai contoh, kamu membaca suatu ayat yang menyebutkan surga dan ciri-cirinya maka mohonlah kepada Allah karunia-Nya, atau kamu mengulang-ulang bacaan ayat ini dan kamu membayangkan kenikmatan surga serta menghayatinya. Demikian juga saat disebutkan tentang neraka, kamu memohon perlindungan kepada Allah darinya. Dan kamu membaca doa yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan doa “Aku berlindung kepada Allah dari neraka.” “Ya Tuhanku lindungi aku dari neraka. Ya Tuhanku jauhkan dariku azab neraka.” Juga doa semisalnya. Inilah di antara amalan yang dapat memperbesar pahala membaca al-Quran. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Salat Malam, jika beliau membaca ayat yang menyebutkan tasbih, beliau bertasbih. Jika beliau membaca ayat yang menyebutkan doa, beliau berdoa. Jika membaca ayat tentang memohon perlindungan, beliau memohon perlindungan. Jadi, pahala membaca al-Quran semakin besar dengan tadabur, menghayati ayat-ayatnya, dan mencermatinya. Bahkan itu juga salah satu hal yang dapat menambah keimanan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, iman mereka bertambah” (QS. al-Anfal: 2) Ayat ini tentang mendengar al-Quran, maka bagaimana dengan membacanya?! Seorang muslim akan bertambah imannya dengan mendengar al-Quran dan dengan membacanya. ==== كَيْفَ يَعْظُمُ الْأَجْرُ عِنْدَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ؟ أَوَّلًا مِنْ خَصَائِصِ الْقُرْآنِ أَنَّهُ يُتَعَبَّدُ بِمُجَرَّدِ تِلَاوَةِ أَلْفَاظِهِ سَوَاءٌ قَرَأْتَ الْقُرْآنَ بِفَهْمٍ أَوْ بِغَيْرِ فَهْمٍ بِتَدَبُّرٍ أَوْ بِغَيْرِ تَدَبُّرٍ وَهَذَا مِنْ خَصَائِصِ الْقُرْآنِ وَهَذِهِ الْخَصِيصَةُ لَيْسَتْ بِغَيْرِ القُرْآنِ فَالْقُرْآنُ يُتَعَبَّدُ بِمُجَرَّدِ تِلَاوَةِ أَلْفَاظِهِ لَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ يَعْظُمَ الْأَجْرُ وَالثَّوَابُ يَنْبَغِي أَنْ يَقْتَرِنَ بِالتِّلَاوَةِ التَّدَبُّرُ وَالْفَهْمُ لِمَعَانِي الْقُرْآنِ وَالْوُقُوفُ عِنْدَهَا فَإِذَا مَرَرْتَ مَثَلًا بِآيَةٍ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَأَوْصَافُ الْجَنَّةِ فَاسْأَلِ اللهَ مِنْ فَضْلِهِ وَرُبَّمَا يَعْنِي أَنَّكَ تُعِيْدُ هَذِهِ الآيَاتِ وَتُكَرِّرُهَا وَتَتَصَوَّرُ نَعِيمَ الْجَنَّةِ وَتَتَأَمَّلُ فِيهِ وَهَكَذَا أَيْضًا إِذَا وَرَدَ ذِكْرُ النَّارِ تَسْتَعِيْذُ بِاللهِ مِنْهَا وَتَأْتِي بِمَا وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ النَّار رَبِّ أَجِرْنِي مِنَ النَّارِ رَبِّ اصْرِفْ عَنِّي عَذَابَ جَهَنَّمَ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا مِمَّا يَعْظُمُ بِهِ الْأَجْرُ عِنْدَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا سُؤَالٌ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَعَوُّذٌ تَعَوَّذَ فَإِذًا يَعْظُمُ أَجْرُ التِّلَاوَةِ بِالتَّدَبُّرِ وَالْوُقُوفِ عِنْدَ الْآيَاتِ وَالتَّأَمُّلِ فِيهَا بَلْ إِنَّ هَذَا مِنْ أَسْبَابِ زِيَادَةِ الْإِيْمَانِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا يَعْنِي هَذَا فِي الِاسْتِمَاعِ لِلْقُرْآنِ فَكَيْفَ بِتِلَاوَتِهِ؟ فَإِذًا الْمُسْلِمُ يَزِيدُ إِيْمَانُهُ بِالِاسْتِمَاعِ لِلْقُرْآنِ وَبِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ

Mutiara Faedah dari Ayat Murtad

Daftar Isi Toggle Pada ayat ini, terdapat isyarat terhadap suatu hal yang akan terjadi setelah kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamAyat ini menerangkan bahwasanya murtad tidaklah terjadi, melainkan setelah adanya keimananAgama yang benar hanyalah agama IslamAllah akan memberikan ganti yang sangat spesial bagi mereka yang ditinggal murtad oleh keluarga, karib kerabat, maupun sahabat dekat Murtad bermakna keluar dari agama Islam. Seseorang ketika sudah berada di dalam agama Islam, di kemudian hari ia keluar dari agama Islam ke agama lainnya, yang seperti ini sering kali di negeri kita diistilahkan dengan murtad. Di dalam Al-Qur’an Al-Karim terdapat firman Allah Ta’ala tentang masalah murtad, yang tentu banyak mutiara faedah yang bisa dipetik dari ayat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ يُحِبُّہُمۡ وَيُحِبُّونَهُ ۥۤ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآٮِٕمٍ۬‌ۚ ذَٲلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُ‌ۚ وَٱللَّهُ وَٲسِعٌ عَلِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah : 54) Di antara mutiara faedah dari ayat ini: Pada ayat ini, terdapat isyarat terhadap suatu hal yang akan terjadi setelah kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Yaitu, murtadnya beberapa bagian dari kabilah Arab, yang mana mereka murtad dengan dua keadaan: Pertama: Murtad secara keseluruhan keluar dari agama Islam. Kedua: Murtad dengan cara enggan untuk membayar zakat. Para ulama telah bersepakat akan wajibnya memerangi orang-orang yang enggan membayat zakat. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan telah disepakati pula oleh para sahabat radiyallahu ’anhum. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, عَلِمَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّ قَوْمًا يَرْجِعُوْنَ عَنِ الإِسْلَامِ بَعْدَ مَوْتِ نَبِيِّهِمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَ أَنَّهُ سَيَأْتِي بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمُ اللهُ وَيُحِبُّوْنَهُ “Allah Tabaraka wa Ta’ala mengetahui bahwasanya akan ada suatu kaum yang mereka murtad dari agama Islam setelah kematian Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya, Allah mengabarkan akan datang suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka cinta kepada Allah.” (Tafsir Al-Baghawi, 3: 69) Ayat ini menerangkan bahwasanya murtad tidaklah terjadi, melainkan setelah adanya keimanan Berdasarkan firman Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad…” Inilah hakikat murtad yang sebenarnya. Tidak dikatakan murtad, kecuali setelah adanya keimanan. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi yang pindah kepada agama Nasrani tidak dikatakan murtad, karena tidak terdapat keimanan pada mereka. Begitu pun dengan agama-agama lainnya. Dari hal ini, dapat diketahui suatu hukum bahwasanya beda antara murtad dengan kafir. Baca juga: Bersikap pada Saudara yang Murtad Agama yang benar hanyalah agama Islam Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَـٰمُ “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19) Di antara bukti bahwa agama yang benar adalah Islam terletak pada ayat di surah Al-Ma’idah yang sedang dibahas. Allah menyandarkan kata “agama” bagi orang yang murtad sebelum mereka murtad. Adapun setelah murtad, tidak disebutkan agama apa pun. مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِ “Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya…” Allah tidak menyebutkan “Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya kepada agama ini atau agama itu.” Dari sini, menunjukkan bahwa agama yang benar hanyalah Islam. Allah akan memberikan ganti yang sangat spesial bagi mereka yang ditinggal murtad oleh keluarga, karib kerabat, maupun sahabat dekat Pada firman Allah Ta’ala, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan…” Allah Ta’ala yang langsung akan menggantikan. Ini merupakan dalil bahwasanya segala keutamaan hanya milik Allah Ta’ala. Dan pada ayat ini terdapat penjelasan bahwasanya ganti dari Allah lebih spesial dibandingkan dengan perginya orang-orang yang murtad. Dilihat dari dua hal: Pertama: Dari segi jumlah bilangan. Allah menyebutkan pada ayat di atas orang-orang yang murtad dengan jumlah satu saja. Allah Ta’ala tidak mengatakan, “Orang-orang yang murtad di antara kalian.” Namun, Allah berfirman, “Barangsiapa di antara kalian ada satu orang yang murtad.” Dapat dilihat dari konteks ayat yang menggunakan ifrad atau kata tunggal. Bukan jamak atau plural. Namun, ketika Allah menyebutkan gantinya, Allah Ta’ala berfirman, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum…” Maka, satu orang yang murtad, akan diganti dengan suatu kaum. Kedua: Dari segi sifat atau karakteristik. Orang-orang yang murtad terhapus pahala amalan mereka dengan murtad tersebut dan orang yang murtad sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak ada manfaat bagi umat dengan adanya mereka. Mereka pun orang-orang yang lemah imannya sebelum murtad. Namun, lihatlah ganti yang Allah berikan dengan karakteristik yang sangat istimewa. Allah Ta’ala berfirman, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ يُحِبُّہُمۡ وَيُحِبُّونَهُ ۥۤ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآٮِٕمٍ۬‌ۚ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” Lihatlah ganti yang Allah berikan dari satu orang yang murtad. Pertama: Akan ada suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah. Kedua: Kaum tersebut bersikap lemah lembut terhadap orang beriman dan bersikap keras terhadap orang kafir. Ketiga: Mereka gemar untuk berjihad di jalan Allah. Keempat: Mereka tidak gentar terhadap celaan para pencela. Setelah Allah gantikan dari segi jumlah, Allah gantikan pula dengan sifat-sifat ataupun karakterisitik yang istimewa dan spesial. Sebagian orang bersedih ketika mendengar ada kerabat dekatnya yang murtad keluar dari agama Islam. Kiranya ini adalah hal yang wajar ia bersedih sejenak karena mungkin kecintaannya kepada kerabat dekatnya karena Allah. Namun, lihatlah ganjaran yang sangat melimpah bagi mereka yang bersabar dan betul-betul memahami ayat Allah Ta’ala. Setidaknya hal ini bisa menjadi penghibur untuknya. Semoga bermanfaat. Baca juga: Macam-Macam Kemurtadan *** Sleman, 12 Syawal 1445 H / 22 April 2024 M. Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Husnul Ifadah min Tadabburi Ayatil Ma’idah karya Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzahullah. Tags: faedahmurtad

Mutiara Faedah dari Ayat Murtad

Daftar Isi Toggle Pada ayat ini, terdapat isyarat terhadap suatu hal yang akan terjadi setelah kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamAyat ini menerangkan bahwasanya murtad tidaklah terjadi, melainkan setelah adanya keimananAgama yang benar hanyalah agama IslamAllah akan memberikan ganti yang sangat spesial bagi mereka yang ditinggal murtad oleh keluarga, karib kerabat, maupun sahabat dekat Murtad bermakna keluar dari agama Islam. Seseorang ketika sudah berada di dalam agama Islam, di kemudian hari ia keluar dari agama Islam ke agama lainnya, yang seperti ini sering kali di negeri kita diistilahkan dengan murtad. Di dalam Al-Qur’an Al-Karim terdapat firman Allah Ta’ala tentang masalah murtad, yang tentu banyak mutiara faedah yang bisa dipetik dari ayat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ يُحِبُّہُمۡ وَيُحِبُّونَهُ ۥۤ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآٮِٕمٍ۬‌ۚ ذَٲلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُ‌ۚ وَٱللَّهُ وَٲسِعٌ عَلِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah : 54) Di antara mutiara faedah dari ayat ini: Pada ayat ini, terdapat isyarat terhadap suatu hal yang akan terjadi setelah kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Yaitu, murtadnya beberapa bagian dari kabilah Arab, yang mana mereka murtad dengan dua keadaan: Pertama: Murtad secara keseluruhan keluar dari agama Islam. Kedua: Murtad dengan cara enggan untuk membayar zakat. Para ulama telah bersepakat akan wajibnya memerangi orang-orang yang enggan membayat zakat. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan telah disepakati pula oleh para sahabat radiyallahu ’anhum. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, عَلِمَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّ قَوْمًا يَرْجِعُوْنَ عَنِ الإِسْلَامِ بَعْدَ مَوْتِ نَبِيِّهِمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَ أَنَّهُ سَيَأْتِي بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمُ اللهُ وَيُحِبُّوْنَهُ “Allah Tabaraka wa Ta’ala mengetahui bahwasanya akan ada suatu kaum yang mereka murtad dari agama Islam setelah kematian Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya, Allah mengabarkan akan datang suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka cinta kepada Allah.” (Tafsir Al-Baghawi, 3: 69) Ayat ini menerangkan bahwasanya murtad tidaklah terjadi, melainkan setelah adanya keimanan Berdasarkan firman Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad…” Inilah hakikat murtad yang sebenarnya. Tidak dikatakan murtad, kecuali setelah adanya keimanan. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi yang pindah kepada agama Nasrani tidak dikatakan murtad, karena tidak terdapat keimanan pada mereka. Begitu pun dengan agama-agama lainnya. Dari hal ini, dapat diketahui suatu hukum bahwasanya beda antara murtad dengan kafir. Baca juga: Bersikap pada Saudara yang Murtad Agama yang benar hanyalah agama Islam Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَـٰمُ “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19) Di antara bukti bahwa agama yang benar adalah Islam terletak pada ayat di surah Al-Ma’idah yang sedang dibahas. Allah menyandarkan kata “agama” bagi orang yang murtad sebelum mereka murtad. Adapun setelah murtad, tidak disebutkan agama apa pun. مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِ “Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya…” Allah tidak menyebutkan “Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya kepada agama ini atau agama itu.” Dari sini, menunjukkan bahwa agama yang benar hanyalah Islam. Allah akan memberikan ganti yang sangat spesial bagi mereka yang ditinggal murtad oleh keluarga, karib kerabat, maupun sahabat dekat Pada firman Allah Ta’ala, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan…” Allah Ta’ala yang langsung akan menggantikan. Ini merupakan dalil bahwasanya segala keutamaan hanya milik Allah Ta’ala. Dan pada ayat ini terdapat penjelasan bahwasanya ganti dari Allah lebih spesial dibandingkan dengan perginya orang-orang yang murtad. Dilihat dari dua hal: Pertama: Dari segi jumlah bilangan. Allah menyebutkan pada ayat di atas orang-orang yang murtad dengan jumlah satu saja. Allah Ta’ala tidak mengatakan, “Orang-orang yang murtad di antara kalian.” Namun, Allah berfirman, “Barangsiapa di antara kalian ada satu orang yang murtad.” Dapat dilihat dari konteks ayat yang menggunakan ifrad atau kata tunggal. Bukan jamak atau plural. Namun, ketika Allah menyebutkan gantinya, Allah Ta’ala berfirman, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum…” Maka, satu orang yang murtad, akan diganti dengan suatu kaum. Kedua: Dari segi sifat atau karakteristik. Orang-orang yang murtad terhapus pahala amalan mereka dengan murtad tersebut dan orang yang murtad sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak ada manfaat bagi umat dengan adanya mereka. Mereka pun orang-orang yang lemah imannya sebelum murtad. Namun, lihatlah ganti yang Allah berikan dengan karakteristik yang sangat istimewa. Allah Ta’ala berfirman, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ يُحِبُّہُمۡ وَيُحِبُّونَهُ ۥۤ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآٮِٕمٍ۬‌ۚ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” Lihatlah ganti yang Allah berikan dari satu orang yang murtad. Pertama: Akan ada suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah. Kedua: Kaum tersebut bersikap lemah lembut terhadap orang beriman dan bersikap keras terhadap orang kafir. Ketiga: Mereka gemar untuk berjihad di jalan Allah. Keempat: Mereka tidak gentar terhadap celaan para pencela. Setelah Allah gantikan dari segi jumlah, Allah gantikan pula dengan sifat-sifat ataupun karakterisitik yang istimewa dan spesial. Sebagian orang bersedih ketika mendengar ada kerabat dekatnya yang murtad keluar dari agama Islam. Kiranya ini adalah hal yang wajar ia bersedih sejenak karena mungkin kecintaannya kepada kerabat dekatnya karena Allah. Namun, lihatlah ganjaran yang sangat melimpah bagi mereka yang bersabar dan betul-betul memahami ayat Allah Ta’ala. Setidaknya hal ini bisa menjadi penghibur untuknya. Semoga bermanfaat. Baca juga: Macam-Macam Kemurtadan *** Sleman, 12 Syawal 1445 H / 22 April 2024 M. Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Husnul Ifadah min Tadabburi Ayatil Ma’idah karya Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzahullah. Tags: faedahmurtad
Daftar Isi Toggle Pada ayat ini, terdapat isyarat terhadap suatu hal yang akan terjadi setelah kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamAyat ini menerangkan bahwasanya murtad tidaklah terjadi, melainkan setelah adanya keimananAgama yang benar hanyalah agama IslamAllah akan memberikan ganti yang sangat spesial bagi mereka yang ditinggal murtad oleh keluarga, karib kerabat, maupun sahabat dekat Murtad bermakna keluar dari agama Islam. Seseorang ketika sudah berada di dalam agama Islam, di kemudian hari ia keluar dari agama Islam ke agama lainnya, yang seperti ini sering kali di negeri kita diistilahkan dengan murtad. Di dalam Al-Qur’an Al-Karim terdapat firman Allah Ta’ala tentang masalah murtad, yang tentu banyak mutiara faedah yang bisa dipetik dari ayat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ يُحِبُّہُمۡ وَيُحِبُّونَهُ ۥۤ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآٮِٕمٍ۬‌ۚ ذَٲلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُ‌ۚ وَٱللَّهُ وَٲسِعٌ عَلِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah : 54) Di antara mutiara faedah dari ayat ini: Pada ayat ini, terdapat isyarat terhadap suatu hal yang akan terjadi setelah kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Yaitu, murtadnya beberapa bagian dari kabilah Arab, yang mana mereka murtad dengan dua keadaan: Pertama: Murtad secara keseluruhan keluar dari agama Islam. Kedua: Murtad dengan cara enggan untuk membayar zakat. Para ulama telah bersepakat akan wajibnya memerangi orang-orang yang enggan membayat zakat. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan telah disepakati pula oleh para sahabat radiyallahu ’anhum. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, عَلِمَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّ قَوْمًا يَرْجِعُوْنَ عَنِ الإِسْلَامِ بَعْدَ مَوْتِ نَبِيِّهِمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَ أَنَّهُ سَيَأْتِي بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمُ اللهُ وَيُحِبُّوْنَهُ “Allah Tabaraka wa Ta’ala mengetahui bahwasanya akan ada suatu kaum yang mereka murtad dari agama Islam setelah kematian Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya, Allah mengabarkan akan datang suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka cinta kepada Allah.” (Tafsir Al-Baghawi, 3: 69) Ayat ini menerangkan bahwasanya murtad tidaklah terjadi, melainkan setelah adanya keimanan Berdasarkan firman Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad…” Inilah hakikat murtad yang sebenarnya. Tidak dikatakan murtad, kecuali setelah adanya keimanan. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi yang pindah kepada agama Nasrani tidak dikatakan murtad, karena tidak terdapat keimanan pada mereka. Begitu pun dengan agama-agama lainnya. Dari hal ini, dapat diketahui suatu hukum bahwasanya beda antara murtad dengan kafir. Baca juga: Bersikap pada Saudara yang Murtad Agama yang benar hanyalah agama Islam Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَـٰمُ “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19) Di antara bukti bahwa agama yang benar adalah Islam terletak pada ayat di surah Al-Ma’idah yang sedang dibahas. Allah menyandarkan kata “agama” bagi orang yang murtad sebelum mereka murtad. Adapun setelah murtad, tidak disebutkan agama apa pun. مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِ “Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya…” Allah tidak menyebutkan “Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya kepada agama ini atau agama itu.” Dari sini, menunjukkan bahwa agama yang benar hanyalah Islam. Allah akan memberikan ganti yang sangat spesial bagi mereka yang ditinggal murtad oleh keluarga, karib kerabat, maupun sahabat dekat Pada firman Allah Ta’ala, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan…” Allah Ta’ala yang langsung akan menggantikan. Ini merupakan dalil bahwasanya segala keutamaan hanya milik Allah Ta’ala. Dan pada ayat ini terdapat penjelasan bahwasanya ganti dari Allah lebih spesial dibandingkan dengan perginya orang-orang yang murtad. Dilihat dari dua hal: Pertama: Dari segi jumlah bilangan. Allah menyebutkan pada ayat di atas orang-orang yang murtad dengan jumlah satu saja. Allah Ta’ala tidak mengatakan, “Orang-orang yang murtad di antara kalian.” Namun, Allah berfirman, “Barangsiapa di antara kalian ada satu orang yang murtad.” Dapat dilihat dari konteks ayat yang menggunakan ifrad atau kata tunggal. Bukan jamak atau plural. Namun, ketika Allah menyebutkan gantinya, Allah Ta’ala berfirman, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum…” Maka, satu orang yang murtad, akan diganti dengan suatu kaum. Kedua: Dari segi sifat atau karakteristik. Orang-orang yang murtad terhapus pahala amalan mereka dengan murtad tersebut dan orang yang murtad sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak ada manfaat bagi umat dengan adanya mereka. Mereka pun orang-orang yang lemah imannya sebelum murtad. Namun, lihatlah ganti yang Allah berikan dengan karakteristik yang sangat istimewa. Allah Ta’ala berfirman, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ يُحِبُّہُمۡ وَيُحِبُّونَهُ ۥۤ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآٮِٕمٍ۬‌ۚ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” Lihatlah ganti yang Allah berikan dari satu orang yang murtad. Pertama: Akan ada suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah. Kedua: Kaum tersebut bersikap lemah lembut terhadap orang beriman dan bersikap keras terhadap orang kafir. Ketiga: Mereka gemar untuk berjihad di jalan Allah. Keempat: Mereka tidak gentar terhadap celaan para pencela. Setelah Allah gantikan dari segi jumlah, Allah gantikan pula dengan sifat-sifat ataupun karakterisitik yang istimewa dan spesial. Sebagian orang bersedih ketika mendengar ada kerabat dekatnya yang murtad keluar dari agama Islam. Kiranya ini adalah hal yang wajar ia bersedih sejenak karena mungkin kecintaannya kepada kerabat dekatnya karena Allah. Namun, lihatlah ganjaran yang sangat melimpah bagi mereka yang bersabar dan betul-betul memahami ayat Allah Ta’ala. Setidaknya hal ini bisa menjadi penghibur untuknya. Semoga bermanfaat. Baca juga: Macam-Macam Kemurtadan *** Sleman, 12 Syawal 1445 H / 22 April 2024 M. Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Husnul Ifadah min Tadabburi Ayatil Ma’idah karya Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzahullah. Tags: faedahmurtad


Daftar Isi Toggle Pada ayat ini, terdapat isyarat terhadap suatu hal yang akan terjadi setelah kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamAyat ini menerangkan bahwasanya murtad tidaklah terjadi, melainkan setelah adanya keimananAgama yang benar hanyalah agama IslamAllah akan memberikan ganti yang sangat spesial bagi mereka yang ditinggal murtad oleh keluarga, karib kerabat, maupun sahabat dekat Murtad bermakna keluar dari agama Islam. Seseorang ketika sudah berada di dalam agama Islam, di kemudian hari ia keluar dari agama Islam ke agama lainnya, yang seperti ini sering kali di negeri kita diistilahkan dengan murtad. Di dalam Al-Qur’an Al-Karim terdapat firman Allah Ta’ala tentang masalah murtad, yang tentu banyak mutiara faedah yang bisa dipetik dari ayat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ يُحِبُّہُمۡ وَيُحِبُّونَهُ ۥۤ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآٮِٕمٍ۬‌ۚ ذَٲلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُ‌ۚ وَٱللَّهُ وَٲسِعٌ عَلِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah : 54) Di antara mutiara faedah dari ayat ini: Pada ayat ini, terdapat isyarat terhadap suatu hal yang akan terjadi setelah kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Yaitu, murtadnya beberapa bagian dari kabilah Arab, yang mana mereka murtad dengan dua keadaan: Pertama: Murtad secara keseluruhan keluar dari agama Islam. Kedua: Murtad dengan cara enggan untuk membayar zakat. Para ulama telah bersepakat akan wajibnya memerangi orang-orang yang enggan membayat zakat. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan telah disepakati pula oleh para sahabat radiyallahu ’anhum. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, عَلِمَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّ قَوْمًا يَرْجِعُوْنَ عَنِ الإِسْلَامِ بَعْدَ مَوْتِ نَبِيِّهِمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَ أَنَّهُ سَيَأْتِي بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمُ اللهُ وَيُحِبُّوْنَهُ “Allah Tabaraka wa Ta’ala mengetahui bahwasanya akan ada suatu kaum yang mereka murtad dari agama Islam setelah kematian Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya, Allah mengabarkan akan datang suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka cinta kepada Allah.” (Tafsir Al-Baghawi, 3: 69) Ayat ini menerangkan bahwasanya murtad tidaklah terjadi, melainkan setelah adanya keimanan Berdasarkan firman Allah Ta’ala, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad…” Inilah hakikat murtad yang sebenarnya. Tidak dikatakan murtad, kecuali setelah adanya keimanan. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi yang pindah kepada agama Nasrani tidak dikatakan murtad, karena tidak terdapat keimanan pada mereka. Begitu pun dengan agama-agama lainnya. Dari hal ini, dapat diketahui suatu hukum bahwasanya beda antara murtad dengan kafir. Baca juga: Bersikap pada Saudara yang Murtad Agama yang benar hanyalah agama Islam Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَـٰمُ “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19) Di antara bukti bahwa agama yang benar adalah Islam terletak pada ayat di surah Al-Ma’idah yang sedang dibahas. Allah menyandarkan kata “agama” bagi orang yang murtad sebelum mereka murtad. Adapun setelah murtad, tidak disebutkan agama apa pun. مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِ “Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya…” Allah tidak menyebutkan “Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya kepada agama ini atau agama itu.” Dari sini, menunjukkan bahwa agama yang benar hanyalah Islam. Allah akan memberikan ganti yang sangat spesial bagi mereka yang ditinggal murtad oleh keluarga, karib kerabat, maupun sahabat dekat Pada firman Allah Ta’ala, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan…” Allah Ta’ala yang langsung akan menggantikan. Ini merupakan dalil bahwasanya segala keutamaan hanya milik Allah Ta’ala. Dan pada ayat ini terdapat penjelasan bahwasanya ganti dari Allah lebih spesial dibandingkan dengan perginya orang-orang yang murtad. Dilihat dari dua hal: Pertama: Dari segi jumlah bilangan. Allah menyebutkan pada ayat di atas orang-orang yang murtad dengan jumlah satu saja. Allah Ta’ala tidak mengatakan, “Orang-orang yang murtad di antara kalian.” Namun, Allah berfirman, “Barangsiapa di antara kalian ada satu orang yang murtad.” Dapat dilihat dari konteks ayat yang menggunakan ifrad atau kata tunggal. Bukan jamak atau plural. Namun, ketika Allah menyebutkan gantinya, Allah Ta’ala berfirman, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum…” Maka, satu orang yang murtad, akan diganti dengan suatu kaum. Kedua: Dari segi sifat atau karakteristik. Orang-orang yang murtad terhapus pahala amalan mereka dengan murtad tersebut dan orang yang murtad sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak ada manfaat bagi umat dengan adanya mereka. Mereka pun orang-orang yang lemah imannya sebelum murtad. Namun, lihatlah ganti yang Allah berikan dengan karakteristik yang sangat istimewa. Allah Ta’ala berfirman, فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ يُحِبُّہُمۡ وَيُحِبُّونَهُ ۥۤ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآٮِٕمٍ۬‌ۚ “Maka, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” Lihatlah ganti yang Allah berikan dari satu orang yang murtad. Pertama: Akan ada suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah. Kedua: Kaum tersebut bersikap lemah lembut terhadap orang beriman dan bersikap keras terhadap orang kafir. Ketiga: Mereka gemar untuk berjihad di jalan Allah. Keempat: Mereka tidak gentar terhadap celaan para pencela. Setelah Allah gantikan dari segi jumlah, Allah gantikan pula dengan sifat-sifat ataupun karakterisitik yang istimewa dan spesial. Sebagian orang bersedih ketika mendengar ada kerabat dekatnya yang murtad keluar dari agama Islam. Kiranya ini adalah hal yang wajar ia bersedih sejenak karena mungkin kecintaannya kepada kerabat dekatnya karena Allah. Namun, lihatlah ganjaran yang sangat melimpah bagi mereka yang bersabar dan betul-betul memahami ayat Allah Ta’ala. Setidaknya hal ini bisa menjadi penghibur untuknya. Semoga bermanfaat. Baca juga: Macam-Macam Kemurtadan *** Sleman, 12 Syawal 1445 H / 22 April 2024 M. Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Husnul Ifadah min Tadabburi Ayatil Ma’idah karya Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzahullah. Tags: faedahmurtad

Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Bagaimana jika dalil agama menyatakan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik?Apakah berarti seorang Muslim tidak bisa menjadi ilmuwan?Kesimpulan Bagaimana jika dalil agama menyatakan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik? Misalnya, dalam hadis sahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, العَيْنُ حَقٌّ “Pandangan jahat (‘ain) itu benar adanya.” [1] ‘Ain sebagaimana didefinisikan Ibnul Qayyim rahimahullah adalah rasa kagum seseorang terhadap sesuatu. Kekaguman itu ia ikuti dengan niat buruk untuk mencelakakan pemiliknya dengan cara melihat orang tersebut.[2] Beberapa orang menyatakan bahwa hadis ini bertentangan dengan sains, dengan mengatakan, “Kepercayaan terhadap ‘ain tidak dapat diuji dengan kacamata sains modern.” Lalu, mereka menolak hadis ini atau meragukan eksistensi ‘ain. Ini merupakan sikap yang tidak tepat. Kedua hal tersebut tidak dapat dibandingkan. Memang benar, hadis tersebut adalah hadis sahih, namun sains tidak memberi komentar apapun, tidak mengonfirmasi, maupun menegasikan isi hadis tersebut. Sedangkan tidak adanya komentar sains terhadap sesuatu, tidak berarti menegasikannya. Ini sesuai dengan kaidah, عدم العلم بشيء ليس علمًا بالعدم “Ketiadaan pengetahuan tentang sesuatu, bukan berarti sesuatu itu tidak ada.” Maka, terdapat perbedaan yang jauh antara ‘‘menyatakan isi hadis tersebut tidak benar” dengan ‘‘sains tidak dapat mengonfirmasi atau menegasikan isi hadis tersebut’’. Oleh karena itu, tidak tepat dalam kasus seperti ini untuk menolak hadis dengan klaim adanya kontradiksi, padahal kenyataannya tidak ada. Hal itu dikarenakan sains hanya dapat bekerja pada hal-hal materiel. Salah satu prinsip sains adalah objek kajian harus bersifat materiel, artinya dapat diobservasi, sedangkan ‘ain tidak dapat diobservasi dari kacamata sains. Akan tetapi, ketidakmampuan ‘ain untuk diobservasi secara materiel tidak menunjukkan ketiadaan wujudnya. Demikianlah pula, pada hal-hal gaib lain yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis, semacam: jin, malaikat, roh, surga, neraka, sihir, mukjizat, dan selainnya. Ketidakmampuan sains untuk mengobservasi hal-hal gaib tersebut, tidak menunjukkan ketiadaan hal-hal gaib tersebut. Kaidah demikian juga disampaikan Ibnu Taymiyyah rahimahullah, فإن الرسل صلوات الله عليهم وسلامه قد يخبرون بمحارات العقول وهو ما تعجز العقول عن معرفته ولا يخبرون بمحالات العقول “Para rasul ﷺ terkadang mengabarkan hal-hal yang membuat akal bingung, yaitu hal-hal yang pengetahuannya tidak dapat dijangkau akal. Akan tetapi, mereka tidak mengabarkan hal-hal yang mustahil secara akal.” [3] Bahkan, jika anggapan tersebut ditujukan kepada Allah, maka apakah keberadaan Allah dapat dinegasikan hanya karena tidak dapat diobservasi melalui metode saintifik? Tentu saja tidak. Bukti keberadaan Allah tidak terbatas hanya pada keberterimaan-Nya terhadap observasi sains, tetapi dapat dibuktikan dengan metode lainnya, semacam prinsip sebab akibat, fitrah manusia, kesempurnaan alam semesta, dan sebagainya. Apabila kita telah meyakini bukti keberadaan-Nya, maka secara otomatis kabar-kabar gaib yang Allah beri tahu adalah nyata dan benar adanya, meskipun tidak dapat diobservasi secara saintifik. Hal itu dikarenakan Allah adalah Al- ‘Alīm (Maha Mengetahui) dan Lā yukhlifu Allāhu al-mī‘ād (Allah tidak menyelisihi janji-Nya). Apakah berarti seorang Muslim tidak bisa menjadi ilmuwan? Jika hal-hal gaib di dalam agama tidak dapat dibuktikan secara saintifik, apakah hal ini berarti seorang muslim tidak bisa menjadi ilmuwan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan dua konsep penting, yaitu naturalisme filosofis dan naturalisme metodologis. Naturalisme filosofis adalah kepercayaan bahwa alam semesta merupakan sistem tertutup, tidak ada sesuatu di luar alam semesta yang dapat mengintervensi, termasuk tidak ada Tuhan atau hal-hal yang gaib lainnya. Ini adalah aliran filsafat yang diyakini oleh mayoritas penganut ateisme. Prinsip utamanya adalah segala fenomena dapat dijelaskan melalui proses fisika. Sedangkan naturalisme metodologis adalah prinsip sains yang menyatakan bahwa agar sesuatu dapat disebut saintifik, maka tidak bisa dikaitkan dengan kekuatan dan perbuatan Tuhan. Naturalisme filosofis atau terkadang disebut materialisme adalah sebuah kepercayaan bahwa semua alam semesta ini hanya terdiri dari benda-benda materiel, tidak ada benda nonmateriel. Aliran kepercayaan demikian tentu saja berlawanan dengan Islam. Sebab, banyak hal yang tidak bisa dijelaskan apabila kita hanya mengandalkan penafsiran materiel saja. Contohnya, permasalahan sulit kesadaran (the hard problem of conciousness), yaitu dari mana kesadaran manusia berasal dan bagaimana ia bekerja. Contoh lainnya yaitu, keberadaan moralitas objektif yang membahas mengapa kita menganggap suatu hal sebagai baik atau buruk. Hal-hal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui proses fisik. Sedangkan naturalisme metodologis adalah bagian dari metode penelitian. Maknanya, agar suatu penelitian dapat dikatakan ilmiah dan empiris, seluruh proses sebab akibat antara hal satu dengan yang lainnya harus merujuk kepada hal-hal materiel, bukan hal-hal nonmateriel seperti kekuatan gaib. Hal yang demikian tidak masalah bagi seorang muslim, karena kita mempercayai bahwa Allah Ta’ala menciptakan sebab akibat secara fisik di alam semesta ini. Prinsip sebab akibat adalah manifestasi dari kehendak Allah. Maka, suatu anggapan keliru jika mengatakan kesimpulan atau teori sains tidak dapat dikaitkan dengan kekuatan gaib, berarti kekuatan gaib tidak ada. Dengan kata lain, meskipun kehendak Allah tidak dapat diobservasi dengan kacamata sains, bukan berarti kehendak Allah tidak ada. Oleh karena itu, secara personal, seorang ilmuwan bebas untuk mempercayai atau mengimani sesuatu yang berada di luar hal-hal materiel, sehingga istilah ilmuwan muslim adalah istilah yang dapat diterima. Seseorang dapat menjadi seorang muslim dan dapat menjadi ilmuwan pada saat yang sama. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka seorang muslim tidak memiliki masalah sama sekali antara agama yang ia anut dengan sains. Sains adalah metodologi penelitian yang telah memberikan kontribusi besar bagi manusia. Akan tetapi, kesimpulannya bukan harga mati. Sains dapat berubah-ubah sesuai dengan penemuan data terbaru menggunakan alat yang lebih mutakhir. Sebagai suatu metode, sains memiliki keterbatasan, ia tidak bisa mengobservasi hal-hal gaib, tetapi ketidakmampuan tersebut tidak menafikan keberadaan hal-hal gaib yang disebutkan di dalam  Al-Qur’an dan hadis yang sahih. Kembali ke bagian 2: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 5740. [2] Zād Al-Ma‘ād, hal. 239. [3] Bayān Talbīs Al-Jahmiyyah fī Ta’sīs Bida‘ihim Al-Kalāmiyyah, hal. 361, jilid 2. Majma‘ Al-Malik Fahd li Ṭibā‘ati Al-Muṣḥaf Asy-Syarīf. Tags: agamasains

Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 3)

Daftar Isi Toggle Bagaimana jika dalil agama menyatakan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik?Apakah berarti seorang Muslim tidak bisa menjadi ilmuwan?Kesimpulan Bagaimana jika dalil agama menyatakan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik? Misalnya, dalam hadis sahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, العَيْنُ حَقٌّ “Pandangan jahat (‘ain) itu benar adanya.” [1] ‘Ain sebagaimana didefinisikan Ibnul Qayyim rahimahullah adalah rasa kagum seseorang terhadap sesuatu. Kekaguman itu ia ikuti dengan niat buruk untuk mencelakakan pemiliknya dengan cara melihat orang tersebut.[2] Beberapa orang menyatakan bahwa hadis ini bertentangan dengan sains, dengan mengatakan, “Kepercayaan terhadap ‘ain tidak dapat diuji dengan kacamata sains modern.” Lalu, mereka menolak hadis ini atau meragukan eksistensi ‘ain. Ini merupakan sikap yang tidak tepat. Kedua hal tersebut tidak dapat dibandingkan. Memang benar, hadis tersebut adalah hadis sahih, namun sains tidak memberi komentar apapun, tidak mengonfirmasi, maupun menegasikan isi hadis tersebut. Sedangkan tidak adanya komentar sains terhadap sesuatu, tidak berarti menegasikannya. Ini sesuai dengan kaidah, عدم العلم بشيء ليس علمًا بالعدم “Ketiadaan pengetahuan tentang sesuatu, bukan berarti sesuatu itu tidak ada.” Maka, terdapat perbedaan yang jauh antara ‘‘menyatakan isi hadis tersebut tidak benar” dengan ‘‘sains tidak dapat mengonfirmasi atau menegasikan isi hadis tersebut’’. Oleh karena itu, tidak tepat dalam kasus seperti ini untuk menolak hadis dengan klaim adanya kontradiksi, padahal kenyataannya tidak ada. Hal itu dikarenakan sains hanya dapat bekerja pada hal-hal materiel. Salah satu prinsip sains adalah objek kajian harus bersifat materiel, artinya dapat diobservasi, sedangkan ‘ain tidak dapat diobservasi dari kacamata sains. Akan tetapi, ketidakmampuan ‘ain untuk diobservasi secara materiel tidak menunjukkan ketiadaan wujudnya. Demikianlah pula, pada hal-hal gaib lain yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis, semacam: jin, malaikat, roh, surga, neraka, sihir, mukjizat, dan selainnya. Ketidakmampuan sains untuk mengobservasi hal-hal gaib tersebut, tidak menunjukkan ketiadaan hal-hal gaib tersebut. Kaidah demikian juga disampaikan Ibnu Taymiyyah rahimahullah, فإن الرسل صلوات الله عليهم وسلامه قد يخبرون بمحارات العقول وهو ما تعجز العقول عن معرفته ولا يخبرون بمحالات العقول “Para rasul ﷺ terkadang mengabarkan hal-hal yang membuat akal bingung, yaitu hal-hal yang pengetahuannya tidak dapat dijangkau akal. Akan tetapi, mereka tidak mengabarkan hal-hal yang mustahil secara akal.” [3] Bahkan, jika anggapan tersebut ditujukan kepada Allah, maka apakah keberadaan Allah dapat dinegasikan hanya karena tidak dapat diobservasi melalui metode saintifik? Tentu saja tidak. Bukti keberadaan Allah tidak terbatas hanya pada keberterimaan-Nya terhadap observasi sains, tetapi dapat dibuktikan dengan metode lainnya, semacam prinsip sebab akibat, fitrah manusia, kesempurnaan alam semesta, dan sebagainya. Apabila kita telah meyakini bukti keberadaan-Nya, maka secara otomatis kabar-kabar gaib yang Allah beri tahu adalah nyata dan benar adanya, meskipun tidak dapat diobservasi secara saintifik. Hal itu dikarenakan Allah adalah Al- ‘Alīm (Maha Mengetahui) dan Lā yukhlifu Allāhu al-mī‘ād (Allah tidak menyelisihi janji-Nya). Apakah berarti seorang Muslim tidak bisa menjadi ilmuwan? Jika hal-hal gaib di dalam agama tidak dapat dibuktikan secara saintifik, apakah hal ini berarti seorang muslim tidak bisa menjadi ilmuwan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan dua konsep penting, yaitu naturalisme filosofis dan naturalisme metodologis. Naturalisme filosofis adalah kepercayaan bahwa alam semesta merupakan sistem tertutup, tidak ada sesuatu di luar alam semesta yang dapat mengintervensi, termasuk tidak ada Tuhan atau hal-hal yang gaib lainnya. Ini adalah aliran filsafat yang diyakini oleh mayoritas penganut ateisme. Prinsip utamanya adalah segala fenomena dapat dijelaskan melalui proses fisika. Sedangkan naturalisme metodologis adalah prinsip sains yang menyatakan bahwa agar sesuatu dapat disebut saintifik, maka tidak bisa dikaitkan dengan kekuatan dan perbuatan Tuhan. Naturalisme filosofis atau terkadang disebut materialisme adalah sebuah kepercayaan bahwa semua alam semesta ini hanya terdiri dari benda-benda materiel, tidak ada benda nonmateriel. Aliran kepercayaan demikian tentu saja berlawanan dengan Islam. Sebab, banyak hal yang tidak bisa dijelaskan apabila kita hanya mengandalkan penafsiran materiel saja. Contohnya, permasalahan sulit kesadaran (the hard problem of conciousness), yaitu dari mana kesadaran manusia berasal dan bagaimana ia bekerja. Contoh lainnya yaitu, keberadaan moralitas objektif yang membahas mengapa kita menganggap suatu hal sebagai baik atau buruk. Hal-hal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui proses fisik. Sedangkan naturalisme metodologis adalah bagian dari metode penelitian. Maknanya, agar suatu penelitian dapat dikatakan ilmiah dan empiris, seluruh proses sebab akibat antara hal satu dengan yang lainnya harus merujuk kepada hal-hal materiel, bukan hal-hal nonmateriel seperti kekuatan gaib. Hal yang demikian tidak masalah bagi seorang muslim, karena kita mempercayai bahwa Allah Ta’ala menciptakan sebab akibat secara fisik di alam semesta ini. Prinsip sebab akibat adalah manifestasi dari kehendak Allah. Maka, suatu anggapan keliru jika mengatakan kesimpulan atau teori sains tidak dapat dikaitkan dengan kekuatan gaib, berarti kekuatan gaib tidak ada. Dengan kata lain, meskipun kehendak Allah tidak dapat diobservasi dengan kacamata sains, bukan berarti kehendak Allah tidak ada. Oleh karena itu, secara personal, seorang ilmuwan bebas untuk mempercayai atau mengimani sesuatu yang berada di luar hal-hal materiel, sehingga istilah ilmuwan muslim adalah istilah yang dapat diterima. Seseorang dapat menjadi seorang muslim dan dapat menjadi ilmuwan pada saat yang sama. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka seorang muslim tidak memiliki masalah sama sekali antara agama yang ia anut dengan sains. Sains adalah metodologi penelitian yang telah memberikan kontribusi besar bagi manusia. Akan tetapi, kesimpulannya bukan harga mati. Sains dapat berubah-ubah sesuai dengan penemuan data terbaru menggunakan alat yang lebih mutakhir. Sebagai suatu metode, sains memiliki keterbatasan, ia tidak bisa mengobservasi hal-hal gaib, tetapi ketidakmampuan tersebut tidak menafikan keberadaan hal-hal gaib yang disebutkan di dalam  Al-Qur’an dan hadis yang sahih. Kembali ke bagian 2: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 5740. [2] Zād Al-Ma‘ād, hal. 239. [3] Bayān Talbīs Al-Jahmiyyah fī Ta’sīs Bida‘ihim Al-Kalāmiyyah, hal. 361, jilid 2. Majma‘ Al-Malik Fahd li Ṭibā‘ati Al-Muṣḥaf Asy-Syarīf. Tags: agamasains
Daftar Isi Toggle Bagaimana jika dalil agama menyatakan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik?Apakah berarti seorang Muslim tidak bisa menjadi ilmuwan?Kesimpulan Bagaimana jika dalil agama menyatakan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik? Misalnya, dalam hadis sahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, العَيْنُ حَقٌّ “Pandangan jahat (‘ain) itu benar adanya.” [1] ‘Ain sebagaimana didefinisikan Ibnul Qayyim rahimahullah adalah rasa kagum seseorang terhadap sesuatu. Kekaguman itu ia ikuti dengan niat buruk untuk mencelakakan pemiliknya dengan cara melihat orang tersebut.[2] Beberapa orang menyatakan bahwa hadis ini bertentangan dengan sains, dengan mengatakan, “Kepercayaan terhadap ‘ain tidak dapat diuji dengan kacamata sains modern.” Lalu, mereka menolak hadis ini atau meragukan eksistensi ‘ain. Ini merupakan sikap yang tidak tepat. Kedua hal tersebut tidak dapat dibandingkan. Memang benar, hadis tersebut adalah hadis sahih, namun sains tidak memberi komentar apapun, tidak mengonfirmasi, maupun menegasikan isi hadis tersebut. Sedangkan tidak adanya komentar sains terhadap sesuatu, tidak berarti menegasikannya. Ini sesuai dengan kaidah, عدم العلم بشيء ليس علمًا بالعدم “Ketiadaan pengetahuan tentang sesuatu, bukan berarti sesuatu itu tidak ada.” Maka, terdapat perbedaan yang jauh antara ‘‘menyatakan isi hadis tersebut tidak benar” dengan ‘‘sains tidak dapat mengonfirmasi atau menegasikan isi hadis tersebut’’. Oleh karena itu, tidak tepat dalam kasus seperti ini untuk menolak hadis dengan klaim adanya kontradiksi, padahal kenyataannya tidak ada. Hal itu dikarenakan sains hanya dapat bekerja pada hal-hal materiel. Salah satu prinsip sains adalah objek kajian harus bersifat materiel, artinya dapat diobservasi, sedangkan ‘ain tidak dapat diobservasi dari kacamata sains. Akan tetapi, ketidakmampuan ‘ain untuk diobservasi secara materiel tidak menunjukkan ketiadaan wujudnya. Demikianlah pula, pada hal-hal gaib lain yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis, semacam: jin, malaikat, roh, surga, neraka, sihir, mukjizat, dan selainnya. Ketidakmampuan sains untuk mengobservasi hal-hal gaib tersebut, tidak menunjukkan ketiadaan hal-hal gaib tersebut. Kaidah demikian juga disampaikan Ibnu Taymiyyah rahimahullah, فإن الرسل صلوات الله عليهم وسلامه قد يخبرون بمحارات العقول وهو ما تعجز العقول عن معرفته ولا يخبرون بمحالات العقول “Para rasul ﷺ terkadang mengabarkan hal-hal yang membuat akal bingung, yaitu hal-hal yang pengetahuannya tidak dapat dijangkau akal. Akan tetapi, mereka tidak mengabarkan hal-hal yang mustahil secara akal.” [3] Bahkan, jika anggapan tersebut ditujukan kepada Allah, maka apakah keberadaan Allah dapat dinegasikan hanya karena tidak dapat diobservasi melalui metode saintifik? Tentu saja tidak. Bukti keberadaan Allah tidak terbatas hanya pada keberterimaan-Nya terhadap observasi sains, tetapi dapat dibuktikan dengan metode lainnya, semacam prinsip sebab akibat, fitrah manusia, kesempurnaan alam semesta, dan sebagainya. Apabila kita telah meyakini bukti keberadaan-Nya, maka secara otomatis kabar-kabar gaib yang Allah beri tahu adalah nyata dan benar adanya, meskipun tidak dapat diobservasi secara saintifik. Hal itu dikarenakan Allah adalah Al- ‘Alīm (Maha Mengetahui) dan Lā yukhlifu Allāhu al-mī‘ād (Allah tidak menyelisihi janji-Nya). Apakah berarti seorang Muslim tidak bisa menjadi ilmuwan? Jika hal-hal gaib di dalam agama tidak dapat dibuktikan secara saintifik, apakah hal ini berarti seorang muslim tidak bisa menjadi ilmuwan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan dua konsep penting, yaitu naturalisme filosofis dan naturalisme metodologis. Naturalisme filosofis adalah kepercayaan bahwa alam semesta merupakan sistem tertutup, tidak ada sesuatu di luar alam semesta yang dapat mengintervensi, termasuk tidak ada Tuhan atau hal-hal yang gaib lainnya. Ini adalah aliran filsafat yang diyakini oleh mayoritas penganut ateisme. Prinsip utamanya adalah segala fenomena dapat dijelaskan melalui proses fisika. Sedangkan naturalisme metodologis adalah prinsip sains yang menyatakan bahwa agar sesuatu dapat disebut saintifik, maka tidak bisa dikaitkan dengan kekuatan dan perbuatan Tuhan. Naturalisme filosofis atau terkadang disebut materialisme adalah sebuah kepercayaan bahwa semua alam semesta ini hanya terdiri dari benda-benda materiel, tidak ada benda nonmateriel. Aliran kepercayaan demikian tentu saja berlawanan dengan Islam. Sebab, banyak hal yang tidak bisa dijelaskan apabila kita hanya mengandalkan penafsiran materiel saja. Contohnya, permasalahan sulit kesadaran (the hard problem of conciousness), yaitu dari mana kesadaran manusia berasal dan bagaimana ia bekerja. Contoh lainnya yaitu, keberadaan moralitas objektif yang membahas mengapa kita menganggap suatu hal sebagai baik atau buruk. Hal-hal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui proses fisik. Sedangkan naturalisme metodologis adalah bagian dari metode penelitian. Maknanya, agar suatu penelitian dapat dikatakan ilmiah dan empiris, seluruh proses sebab akibat antara hal satu dengan yang lainnya harus merujuk kepada hal-hal materiel, bukan hal-hal nonmateriel seperti kekuatan gaib. Hal yang demikian tidak masalah bagi seorang muslim, karena kita mempercayai bahwa Allah Ta’ala menciptakan sebab akibat secara fisik di alam semesta ini. Prinsip sebab akibat adalah manifestasi dari kehendak Allah. Maka, suatu anggapan keliru jika mengatakan kesimpulan atau teori sains tidak dapat dikaitkan dengan kekuatan gaib, berarti kekuatan gaib tidak ada. Dengan kata lain, meskipun kehendak Allah tidak dapat diobservasi dengan kacamata sains, bukan berarti kehendak Allah tidak ada. Oleh karena itu, secara personal, seorang ilmuwan bebas untuk mempercayai atau mengimani sesuatu yang berada di luar hal-hal materiel, sehingga istilah ilmuwan muslim adalah istilah yang dapat diterima. Seseorang dapat menjadi seorang muslim dan dapat menjadi ilmuwan pada saat yang sama. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka seorang muslim tidak memiliki masalah sama sekali antara agama yang ia anut dengan sains. Sains adalah metodologi penelitian yang telah memberikan kontribusi besar bagi manusia. Akan tetapi, kesimpulannya bukan harga mati. Sains dapat berubah-ubah sesuai dengan penemuan data terbaru menggunakan alat yang lebih mutakhir. Sebagai suatu metode, sains memiliki keterbatasan, ia tidak bisa mengobservasi hal-hal gaib, tetapi ketidakmampuan tersebut tidak menafikan keberadaan hal-hal gaib yang disebutkan di dalam  Al-Qur’an dan hadis yang sahih. Kembali ke bagian 2: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 5740. [2] Zād Al-Ma‘ād, hal. 239. [3] Bayān Talbīs Al-Jahmiyyah fī Ta’sīs Bida‘ihim Al-Kalāmiyyah, hal. 361, jilid 2. Majma‘ Al-Malik Fahd li Ṭibā‘ati Al-Muṣḥaf Asy-Syarīf. Tags: agamasains


Daftar Isi Toggle Bagaimana jika dalil agama menyatakan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik?Apakah berarti seorang Muslim tidak bisa menjadi ilmuwan?Kesimpulan Bagaimana jika dalil agama menyatakan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik? Misalnya, dalam hadis sahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, العَيْنُ حَقٌّ “Pandangan jahat (‘ain) itu benar adanya.” [1] ‘Ain sebagaimana didefinisikan Ibnul Qayyim rahimahullah adalah rasa kagum seseorang terhadap sesuatu. Kekaguman itu ia ikuti dengan niat buruk untuk mencelakakan pemiliknya dengan cara melihat orang tersebut.[2] Beberapa orang menyatakan bahwa hadis ini bertentangan dengan sains, dengan mengatakan, “Kepercayaan terhadap ‘ain tidak dapat diuji dengan kacamata sains modern.” Lalu, mereka menolak hadis ini atau meragukan eksistensi ‘ain. Ini merupakan sikap yang tidak tepat. Kedua hal tersebut tidak dapat dibandingkan. Memang benar, hadis tersebut adalah hadis sahih, namun sains tidak memberi komentar apapun, tidak mengonfirmasi, maupun menegasikan isi hadis tersebut. Sedangkan tidak adanya komentar sains terhadap sesuatu, tidak berarti menegasikannya. Ini sesuai dengan kaidah, عدم العلم بشيء ليس علمًا بالعدم “Ketiadaan pengetahuan tentang sesuatu, bukan berarti sesuatu itu tidak ada.” Maka, terdapat perbedaan yang jauh antara ‘‘menyatakan isi hadis tersebut tidak benar” dengan ‘‘sains tidak dapat mengonfirmasi atau menegasikan isi hadis tersebut’’. Oleh karena itu, tidak tepat dalam kasus seperti ini untuk menolak hadis dengan klaim adanya kontradiksi, padahal kenyataannya tidak ada. Hal itu dikarenakan sains hanya dapat bekerja pada hal-hal materiel. Salah satu prinsip sains adalah objek kajian harus bersifat materiel, artinya dapat diobservasi, sedangkan ‘ain tidak dapat diobservasi dari kacamata sains. Akan tetapi, ketidakmampuan ‘ain untuk diobservasi secara materiel tidak menunjukkan ketiadaan wujudnya. Demikianlah pula, pada hal-hal gaib lain yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis, semacam: jin, malaikat, roh, surga, neraka, sihir, mukjizat, dan selainnya. Ketidakmampuan sains untuk mengobservasi hal-hal gaib tersebut, tidak menunjukkan ketiadaan hal-hal gaib tersebut. Kaidah demikian juga disampaikan Ibnu Taymiyyah rahimahullah, فإن الرسل صلوات الله عليهم وسلامه قد يخبرون بمحارات العقول وهو ما تعجز العقول عن معرفته ولا يخبرون بمحالات العقول “Para rasul ﷺ terkadang mengabarkan hal-hal yang membuat akal bingung, yaitu hal-hal yang pengetahuannya tidak dapat dijangkau akal. Akan tetapi, mereka tidak mengabarkan hal-hal yang mustahil secara akal.” [3] Bahkan, jika anggapan tersebut ditujukan kepada Allah, maka apakah keberadaan Allah dapat dinegasikan hanya karena tidak dapat diobservasi melalui metode saintifik? Tentu saja tidak. Bukti keberadaan Allah tidak terbatas hanya pada keberterimaan-Nya terhadap observasi sains, tetapi dapat dibuktikan dengan metode lainnya, semacam prinsip sebab akibat, fitrah manusia, kesempurnaan alam semesta, dan sebagainya. Apabila kita telah meyakini bukti keberadaan-Nya, maka secara otomatis kabar-kabar gaib yang Allah beri tahu adalah nyata dan benar adanya, meskipun tidak dapat diobservasi secara saintifik. Hal itu dikarenakan Allah adalah Al- ‘Alīm (Maha Mengetahui) dan Lā yukhlifu Allāhu al-mī‘ād (Allah tidak menyelisihi janji-Nya). Apakah berarti seorang Muslim tidak bisa menjadi ilmuwan? Jika hal-hal gaib di dalam agama tidak dapat dibuktikan secara saintifik, apakah hal ini berarti seorang muslim tidak bisa menjadi ilmuwan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan dua konsep penting, yaitu naturalisme filosofis dan naturalisme metodologis. Naturalisme filosofis adalah kepercayaan bahwa alam semesta merupakan sistem tertutup, tidak ada sesuatu di luar alam semesta yang dapat mengintervensi, termasuk tidak ada Tuhan atau hal-hal yang gaib lainnya. Ini adalah aliran filsafat yang diyakini oleh mayoritas penganut ateisme. Prinsip utamanya adalah segala fenomena dapat dijelaskan melalui proses fisika. Sedangkan naturalisme metodologis adalah prinsip sains yang menyatakan bahwa agar sesuatu dapat disebut saintifik, maka tidak bisa dikaitkan dengan kekuatan dan perbuatan Tuhan. Naturalisme filosofis atau terkadang disebut materialisme adalah sebuah kepercayaan bahwa semua alam semesta ini hanya terdiri dari benda-benda materiel, tidak ada benda nonmateriel. Aliran kepercayaan demikian tentu saja berlawanan dengan Islam. Sebab, banyak hal yang tidak bisa dijelaskan apabila kita hanya mengandalkan penafsiran materiel saja. Contohnya, permasalahan sulit kesadaran (the hard problem of conciousness), yaitu dari mana kesadaran manusia berasal dan bagaimana ia bekerja. Contoh lainnya yaitu, keberadaan moralitas objektif yang membahas mengapa kita menganggap suatu hal sebagai baik atau buruk. Hal-hal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui proses fisik. Sedangkan naturalisme metodologis adalah bagian dari metode penelitian. Maknanya, agar suatu penelitian dapat dikatakan ilmiah dan empiris, seluruh proses sebab akibat antara hal satu dengan yang lainnya harus merujuk kepada hal-hal materiel, bukan hal-hal nonmateriel seperti kekuatan gaib. Hal yang demikian tidak masalah bagi seorang muslim, karena kita mempercayai bahwa Allah Ta’ala menciptakan sebab akibat secara fisik di alam semesta ini. Prinsip sebab akibat adalah manifestasi dari kehendak Allah. Maka, suatu anggapan keliru jika mengatakan kesimpulan atau teori sains tidak dapat dikaitkan dengan kekuatan gaib, berarti kekuatan gaib tidak ada. Dengan kata lain, meskipun kehendak Allah tidak dapat diobservasi dengan kacamata sains, bukan berarti kehendak Allah tidak ada. Oleh karena itu, secara personal, seorang ilmuwan bebas untuk mempercayai atau mengimani sesuatu yang berada di luar hal-hal materiel, sehingga istilah ilmuwan muslim adalah istilah yang dapat diterima. Seseorang dapat menjadi seorang muslim dan dapat menjadi ilmuwan pada saat yang sama. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka seorang muslim tidak memiliki masalah sama sekali antara agama yang ia anut dengan sains. Sains adalah metodologi penelitian yang telah memberikan kontribusi besar bagi manusia. Akan tetapi, kesimpulannya bukan harga mati. Sains dapat berubah-ubah sesuai dengan penemuan data terbaru menggunakan alat yang lebih mutakhir. Sebagai suatu metode, sains memiliki keterbatasan, ia tidak bisa mengobservasi hal-hal gaib, tetapi ketidakmampuan tersebut tidak menafikan keberadaan hal-hal gaib yang disebutkan di dalam  Al-Qur’an dan hadis yang sahih. Kembali ke bagian 2: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 5740. [2] Zād Al-Ma‘ād, hal. 239. [3] Bayān Talbīs Al-Jahmiyyah fī Ta’sīs Bida‘ihim Al-Kalāmiyyah, hal. 361, jilid 2. Majma‘ Al-Malik Fahd li Ṭibā‘ati Al-Muṣḥaf Asy-Syarīf. Tags: agamasains

Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kedua: Keterbatasan sainsApakah sains yang pasti bisa bertentangan dengan dalil agama yang pasti? Kedua: Keterbatasan sains Sebagaimana maksud Al-Qur’an dan derajat validitas hadis bertingkat-tingkat kepastiannya, ada yang benar dan ada yang salah, serta ada yang sahih dan ada yang lemah, begitu pula sains. Tidak semua kesimpulan sains mendapat predikat aksiomatik atau dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Sains dibangun berdasarkan argumen induktif. Argumen induktif didasarkan pada asumsi bahwa masa depan akan berlaku serupa dengan masa lalu, yang berarti alam semesta memiliki suatu pola. Ilmuwan sangat bertumpu pada prinsip ini untuk menyimpulkan data yang telah diobservasi. Akan tetapi, karena observasi dilakukan terbatas pada sekumpulan data, maka mengambil kesimpulan berdasarkan data yang terbatas itu tidak akan mencapai kepastian mutlak. Artinya, selalu ada celah untuk menyatakan suatu kesimpulan observasi tidak valid atau tidak sejalan dengan realita. Bahkan, kesimpulan penelitian di masa depan bisa jadi menggagalkan kesimpulan penelitian sekarang. Dalam sejarahnya, kesimpulan-kesimpulan sains banyak mengalami perubahan. Sebagai contoh, pada awal abad ke-20, konsensus ilmuwan fisika sepakat menggunakan model alam semesta Newton. Tidak ada yang membuat konsep tandingan selama 200 tahun, karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang terbukti secara saintifik. Akan tetapi, teori mekanika kuantum dan relativitas umum mengubah teori Newton tersebut. Mekanika Newton mengasumsikan ruang dan waktu sebagai dua hal yang tidak berubah dan stagnan, tetapi Albert Einstein menjelaskan bahwa keduanya bersifat relatif dan dinamis. Pada akhirnya, setelah beberapa waktu, model alam semesta Einstein menggantikan model alam semesta Newton. Maka dari itu, dengan sedikit menengok sejarah sains, akan memberikan wawasan kepada kita terhadap keterbatasan sains yang biasa disebut the problem of induction, yaitu observasi yang baru selalu berkemungkinan berlawanan dengan kesimpulan sebelumnya. Contoh lainnya adalah pemahaman tentang keabadian alam semesta. Sampai sekitar tahun 1950, semua fisikawan, termasuk Einstein, percaya bahwa alam semesta bersifat kekal berdasarkan observasi pada data-data yang diperoleh. Akan tetapi, kesimpulan ini bertentangan secara langsung dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an secara gamblang menyatakan alam semesta memiliki awal dan tidak kekal. Kemudian diadakan penelitian lebih lanjut menggunakan teleskop yang lebih mutakhir. Para fisikawan perlahan meninggalkan model alam semesta kekal (Steady State Model) dan beralih dengan model alam semesta Ledakan Dahsyat (The Big Bang) yang menyatakan alam semesta memiliki awal sekitar 13,7 miliar tahun lalu, sehingga sains berubah menjadi sejalan dengan Al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kesimpulan sains didasarkan pada argumen induktif. Argumen induktif tidak akan mengantarkan kepada kepastian, sehingga sesuatu yang disebut sebagai sains tidak bisa dianggap sesuatu yang absolut. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang tidak bisa diragukan lagi, seperti kebulatan bumi, keberadaan gravitasi, dan bentuk orbit yang melingkar. Oleh karena itu, seseorang tidak perlu panik apabila sains terlihat bertentangan dengan dalil agama dalam menjelaskan suatu fenomena alam. Seseorang tidak perlu bingung, kemudian malah menolak ayat atau hadis sahih karena tidak sejalan dengan sains. Sebab, dengan begitu, berarti dia mengasumsikan kesimpulan sains selalu benar secara absolut dan tidak akan berubah. Hal ini tentu saja keliru. Akan tetapi, memahami konsep seperti ini tidak membuat seseorang menjadi antisains. Bayangkan jika ilmuwan tidak diperkenankan untuk menantang kesimpulan sebelumnya, maka sains tidak akan mengalami progres. Apakah sains yang pasti bisa bertentangan dengan dalil agama yang pasti? Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa sains dan dalil agama memiliki kepastian yang bertingkat-tingkat. Maka, kemungkinan terjadinya pertentangan antara keduanya adalah sebagai berikut: Sains yang tidak pasti bertentangan dengan dalil yang pasti, maka dimenangkan dalil yang pasti. Sebagaimana pada contoh model alam semesta kekal yang bertentangan dengan berbagai ayat Al-Qur’an yang menyatakan Allah adalah pencipta alam semesta, sehingga alam semesta memiliki awal. Maka, dimenangkan ayat-ayat Al-Qur’an, karena kesimpulan sains tidak pasti dan mengalami perubahan. Sains yang pasti bertentangan dengan dalil yang tidak pasti, maka dimenangkan sains yang pasti. Sebagaimana pada hadis benarnya ucapan orang yang bersin, yang merupakan hadis sangat lemah atau palsu, sehingga dimenangkan sains. Sebab, observasi sederhana saja sudah dapat menjelaskan bahwa ada orang yang bersin, tetapi tetap berbohong. Sains yang tidak pasti bertentangan dengan dalil yang tidak pasti, maka diadakan penelitian terhadap keduanya lalu dimenangkan sisi yang paling kuat validitasnya. Sains yang pasti bertentangan dengan dalil yang pasti, maka hal ini mustahil terjadi. Hal ini dikarenakan Allah adalah pencipta alam semesta ini, sehingga Allah Ta’ala-lah yang paling mengetahui kondisi alam ini. Maka, tidak mungkin terjadi pertentangan hakiki antara suatu fenomena alam dengan ayat Al-Qur’an. Sebab, keduanya merupakan ayat Allah. Alam semesta merupakan ayat kauni, sedangkan Al-Qur’an merupakan ayat syar‘i. Keduanya bersumber dari Allah, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan. Bahkan, Al-Qur’an pasti akan selalu sejalan dan mengonfirmasi sains yang pasti. Misalnya, keberadaan orbit atau garis edar benda langit seperti bulan, bumi, dan matahari dikonfirmasi oleh Al-Qur’an dalam surah Yasin ayat 38-40 berikut, وَٱلشَّمْسُ تَجْرِى لِمُسْتَقَرٍّۢ لَّهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ ٱلْعَزِيزِ ٱلْعَلِيمِ  وَٱلْقَمَرَ قَدَّرْنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلْعُرْجُونِ ٱلْقَدِيمِ  لَا ٱلشَّمْسُ يَنۢبَغِى لَهَآ أَن تُدْرِكَ ٱلْقَمَرَ وَلَا ٱلَّيْلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِ ۚ وَكُلٌّۭ فِى فَلَكٍۢ يَسْبَحُونَ  “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir), kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasin: 38-40) Kembali ke bagian 1: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 3) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God? Tags: agamasains

Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2)

Daftar Isi Toggle Kedua: Keterbatasan sainsApakah sains yang pasti bisa bertentangan dengan dalil agama yang pasti? Kedua: Keterbatasan sains Sebagaimana maksud Al-Qur’an dan derajat validitas hadis bertingkat-tingkat kepastiannya, ada yang benar dan ada yang salah, serta ada yang sahih dan ada yang lemah, begitu pula sains. Tidak semua kesimpulan sains mendapat predikat aksiomatik atau dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Sains dibangun berdasarkan argumen induktif. Argumen induktif didasarkan pada asumsi bahwa masa depan akan berlaku serupa dengan masa lalu, yang berarti alam semesta memiliki suatu pola. Ilmuwan sangat bertumpu pada prinsip ini untuk menyimpulkan data yang telah diobservasi. Akan tetapi, karena observasi dilakukan terbatas pada sekumpulan data, maka mengambil kesimpulan berdasarkan data yang terbatas itu tidak akan mencapai kepastian mutlak. Artinya, selalu ada celah untuk menyatakan suatu kesimpulan observasi tidak valid atau tidak sejalan dengan realita. Bahkan, kesimpulan penelitian di masa depan bisa jadi menggagalkan kesimpulan penelitian sekarang. Dalam sejarahnya, kesimpulan-kesimpulan sains banyak mengalami perubahan. Sebagai contoh, pada awal abad ke-20, konsensus ilmuwan fisika sepakat menggunakan model alam semesta Newton. Tidak ada yang membuat konsep tandingan selama 200 tahun, karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang terbukti secara saintifik. Akan tetapi, teori mekanika kuantum dan relativitas umum mengubah teori Newton tersebut. Mekanika Newton mengasumsikan ruang dan waktu sebagai dua hal yang tidak berubah dan stagnan, tetapi Albert Einstein menjelaskan bahwa keduanya bersifat relatif dan dinamis. Pada akhirnya, setelah beberapa waktu, model alam semesta Einstein menggantikan model alam semesta Newton. Maka dari itu, dengan sedikit menengok sejarah sains, akan memberikan wawasan kepada kita terhadap keterbatasan sains yang biasa disebut the problem of induction, yaitu observasi yang baru selalu berkemungkinan berlawanan dengan kesimpulan sebelumnya. Contoh lainnya adalah pemahaman tentang keabadian alam semesta. Sampai sekitar tahun 1950, semua fisikawan, termasuk Einstein, percaya bahwa alam semesta bersifat kekal berdasarkan observasi pada data-data yang diperoleh. Akan tetapi, kesimpulan ini bertentangan secara langsung dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an secara gamblang menyatakan alam semesta memiliki awal dan tidak kekal. Kemudian diadakan penelitian lebih lanjut menggunakan teleskop yang lebih mutakhir. Para fisikawan perlahan meninggalkan model alam semesta kekal (Steady State Model) dan beralih dengan model alam semesta Ledakan Dahsyat (The Big Bang) yang menyatakan alam semesta memiliki awal sekitar 13,7 miliar tahun lalu, sehingga sains berubah menjadi sejalan dengan Al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kesimpulan sains didasarkan pada argumen induktif. Argumen induktif tidak akan mengantarkan kepada kepastian, sehingga sesuatu yang disebut sebagai sains tidak bisa dianggap sesuatu yang absolut. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang tidak bisa diragukan lagi, seperti kebulatan bumi, keberadaan gravitasi, dan bentuk orbit yang melingkar. Oleh karena itu, seseorang tidak perlu panik apabila sains terlihat bertentangan dengan dalil agama dalam menjelaskan suatu fenomena alam. Seseorang tidak perlu bingung, kemudian malah menolak ayat atau hadis sahih karena tidak sejalan dengan sains. Sebab, dengan begitu, berarti dia mengasumsikan kesimpulan sains selalu benar secara absolut dan tidak akan berubah. Hal ini tentu saja keliru. Akan tetapi, memahami konsep seperti ini tidak membuat seseorang menjadi antisains. Bayangkan jika ilmuwan tidak diperkenankan untuk menantang kesimpulan sebelumnya, maka sains tidak akan mengalami progres. Apakah sains yang pasti bisa bertentangan dengan dalil agama yang pasti? Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa sains dan dalil agama memiliki kepastian yang bertingkat-tingkat. Maka, kemungkinan terjadinya pertentangan antara keduanya adalah sebagai berikut: Sains yang tidak pasti bertentangan dengan dalil yang pasti, maka dimenangkan dalil yang pasti. Sebagaimana pada contoh model alam semesta kekal yang bertentangan dengan berbagai ayat Al-Qur’an yang menyatakan Allah adalah pencipta alam semesta, sehingga alam semesta memiliki awal. Maka, dimenangkan ayat-ayat Al-Qur’an, karena kesimpulan sains tidak pasti dan mengalami perubahan. Sains yang pasti bertentangan dengan dalil yang tidak pasti, maka dimenangkan sains yang pasti. Sebagaimana pada hadis benarnya ucapan orang yang bersin, yang merupakan hadis sangat lemah atau palsu, sehingga dimenangkan sains. Sebab, observasi sederhana saja sudah dapat menjelaskan bahwa ada orang yang bersin, tetapi tetap berbohong. Sains yang tidak pasti bertentangan dengan dalil yang tidak pasti, maka diadakan penelitian terhadap keduanya lalu dimenangkan sisi yang paling kuat validitasnya. Sains yang pasti bertentangan dengan dalil yang pasti, maka hal ini mustahil terjadi. Hal ini dikarenakan Allah adalah pencipta alam semesta ini, sehingga Allah Ta’ala-lah yang paling mengetahui kondisi alam ini. Maka, tidak mungkin terjadi pertentangan hakiki antara suatu fenomena alam dengan ayat Al-Qur’an. Sebab, keduanya merupakan ayat Allah. Alam semesta merupakan ayat kauni, sedangkan Al-Qur’an merupakan ayat syar‘i. Keduanya bersumber dari Allah, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan. Bahkan, Al-Qur’an pasti akan selalu sejalan dan mengonfirmasi sains yang pasti. Misalnya, keberadaan orbit atau garis edar benda langit seperti bulan, bumi, dan matahari dikonfirmasi oleh Al-Qur’an dalam surah Yasin ayat 38-40 berikut, وَٱلشَّمْسُ تَجْرِى لِمُسْتَقَرٍّۢ لَّهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ ٱلْعَزِيزِ ٱلْعَلِيمِ  وَٱلْقَمَرَ قَدَّرْنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلْعُرْجُونِ ٱلْقَدِيمِ  لَا ٱلشَّمْسُ يَنۢبَغِى لَهَآ أَن تُدْرِكَ ٱلْقَمَرَ وَلَا ٱلَّيْلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِ ۚ وَكُلٌّۭ فِى فَلَكٍۢ يَسْبَحُونَ  “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir), kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasin: 38-40) Kembali ke bagian 1: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 3) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God? Tags: agamasains
Daftar Isi Toggle Kedua: Keterbatasan sainsApakah sains yang pasti bisa bertentangan dengan dalil agama yang pasti? Kedua: Keterbatasan sains Sebagaimana maksud Al-Qur’an dan derajat validitas hadis bertingkat-tingkat kepastiannya, ada yang benar dan ada yang salah, serta ada yang sahih dan ada yang lemah, begitu pula sains. Tidak semua kesimpulan sains mendapat predikat aksiomatik atau dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Sains dibangun berdasarkan argumen induktif. Argumen induktif didasarkan pada asumsi bahwa masa depan akan berlaku serupa dengan masa lalu, yang berarti alam semesta memiliki suatu pola. Ilmuwan sangat bertumpu pada prinsip ini untuk menyimpulkan data yang telah diobservasi. Akan tetapi, karena observasi dilakukan terbatas pada sekumpulan data, maka mengambil kesimpulan berdasarkan data yang terbatas itu tidak akan mencapai kepastian mutlak. Artinya, selalu ada celah untuk menyatakan suatu kesimpulan observasi tidak valid atau tidak sejalan dengan realita. Bahkan, kesimpulan penelitian di masa depan bisa jadi menggagalkan kesimpulan penelitian sekarang. Dalam sejarahnya, kesimpulan-kesimpulan sains banyak mengalami perubahan. Sebagai contoh, pada awal abad ke-20, konsensus ilmuwan fisika sepakat menggunakan model alam semesta Newton. Tidak ada yang membuat konsep tandingan selama 200 tahun, karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang terbukti secara saintifik. Akan tetapi, teori mekanika kuantum dan relativitas umum mengubah teori Newton tersebut. Mekanika Newton mengasumsikan ruang dan waktu sebagai dua hal yang tidak berubah dan stagnan, tetapi Albert Einstein menjelaskan bahwa keduanya bersifat relatif dan dinamis. Pada akhirnya, setelah beberapa waktu, model alam semesta Einstein menggantikan model alam semesta Newton. Maka dari itu, dengan sedikit menengok sejarah sains, akan memberikan wawasan kepada kita terhadap keterbatasan sains yang biasa disebut the problem of induction, yaitu observasi yang baru selalu berkemungkinan berlawanan dengan kesimpulan sebelumnya. Contoh lainnya adalah pemahaman tentang keabadian alam semesta. Sampai sekitar tahun 1950, semua fisikawan, termasuk Einstein, percaya bahwa alam semesta bersifat kekal berdasarkan observasi pada data-data yang diperoleh. Akan tetapi, kesimpulan ini bertentangan secara langsung dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an secara gamblang menyatakan alam semesta memiliki awal dan tidak kekal. Kemudian diadakan penelitian lebih lanjut menggunakan teleskop yang lebih mutakhir. Para fisikawan perlahan meninggalkan model alam semesta kekal (Steady State Model) dan beralih dengan model alam semesta Ledakan Dahsyat (The Big Bang) yang menyatakan alam semesta memiliki awal sekitar 13,7 miliar tahun lalu, sehingga sains berubah menjadi sejalan dengan Al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kesimpulan sains didasarkan pada argumen induktif. Argumen induktif tidak akan mengantarkan kepada kepastian, sehingga sesuatu yang disebut sebagai sains tidak bisa dianggap sesuatu yang absolut. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang tidak bisa diragukan lagi, seperti kebulatan bumi, keberadaan gravitasi, dan bentuk orbit yang melingkar. Oleh karena itu, seseorang tidak perlu panik apabila sains terlihat bertentangan dengan dalil agama dalam menjelaskan suatu fenomena alam. Seseorang tidak perlu bingung, kemudian malah menolak ayat atau hadis sahih karena tidak sejalan dengan sains. Sebab, dengan begitu, berarti dia mengasumsikan kesimpulan sains selalu benar secara absolut dan tidak akan berubah. Hal ini tentu saja keliru. Akan tetapi, memahami konsep seperti ini tidak membuat seseorang menjadi antisains. Bayangkan jika ilmuwan tidak diperkenankan untuk menantang kesimpulan sebelumnya, maka sains tidak akan mengalami progres. Apakah sains yang pasti bisa bertentangan dengan dalil agama yang pasti? Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa sains dan dalil agama memiliki kepastian yang bertingkat-tingkat. Maka, kemungkinan terjadinya pertentangan antara keduanya adalah sebagai berikut: Sains yang tidak pasti bertentangan dengan dalil yang pasti, maka dimenangkan dalil yang pasti. Sebagaimana pada contoh model alam semesta kekal yang bertentangan dengan berbagai ayat Al-Qur’an yang menyatakan Allah adalah pencipta alam semesta, sehingga alam semesta memiliki awal. Maka, dimenangkan ayat-ayat Al-Qur’an, karena kesimpulan sains tidak pasti dan mengalami perubahan. Sains yang pasti bertentangan dengan dalil yang tidak pasti, maka dimenangkan sains yang pasti. Sebagaimana pada hadis benarnya ucapan orang yang bersin, yang merupakan hadis sangat lemah atau palsu, sehingga dimenangkan sains. Sebab, observasi sederhana saja sudah dapat menjelaskan bahwa ada orang yang bersin, tetapi tetap berbohong. Sains yang tidak pasti bertentangan dengan dalil yang tidak pasti, maka diadakan penelitian terhadap keduanya lalu dimenangkan sisi yang paling kuat validitasnya. Sains yang pasti bertentangan dengan dalil yang pasti, maka hal ini mustahil terjadi. Hal ini dikarenakan Allah adalah pencipta alam semesta ini, sehingga Allah Ta’ala-lah yang paling mengetahui kondisi alam ini. Maka, tidak mungkin terjadi pertentangan hakiki antara suatu fenomena alam dengan ayat Al-Qur’an. Sebab, keduanya merupakan ayat Allah. Alam semesta merupakan ayat kauni, sedangkan Al-Qur’an merupakan ayat syar‘i. Keduanya bersumber dari Allah, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan. Bahkan, Al-Qur’an pasti akan selalu sejalan dan mengonfirmasi sains yang pasti. Misalnya, keberadaan orbit atau garis edar benda langit seperti bulan, bumi, dan matahari dikonfirmasi oleh Al-Qur’an dalam surah Yasin ayat 38-40 berikut, وَٱلشَّمْسُ تَجْرِى لِمُسْتَقَرٍّۢ لَّهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ ٱلْعَزِيزِ ٱلْعَلِيمِ  وَٱلْقَمَرَ قَدَّرْنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلْعُرْجُونِ ٱلْقَدِيمِ  لَا ٱلشَّمْسُ يَنۢبَغِى لَهَآ أَن تُدْرِكَ ٱلْقَمَرَ وَلَا ٱلَّيْلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِ ۚ وَكُلٌّۭ فِى فَلَكٍۢ يَسْبَحُونَ  “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir), kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasin: 38-40) Kembali ke bagian 1: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 3) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God? Tags: agamasains


Daftar Isi Toggle Kedua: Keterbatasan sainsApakah sains yang pasti bisa bertentangan dengan dalil agama yang pasti? Kedua: Keterbatasan sains Sebagaimana maksud Al-Qur’an dan derajat validitas hadis bertingkat-tingkat kepastiannya, ada yang benar dan ada yang salah, serta ada yang sahih dan ada yang lemah, begitu pula sains. Tidak semua kesimpulan sains mendapat predikat aksiomatik atau dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Sains dibangun berdasarkan argumen induktif. Argumen induktif didasarkan pada asumsi bahwa masa depan akan berlaku serupa dengan masa lalu, yang berarti alam semesta memiliki suatu pola. Ilmuwan sangat bertumpu pada prinsip ini untuk menyimpulkan data yang telah diobservasi. Akan tetapi, karena observasi dilakukan terbatas pada sekumpulan data, maka mengambil kesimpulan berdasarkan data yang terbatas itu tidak akan mencapai kepastian mutlak. Artinya, selalu ada celah untuk menyatakan suatu kesimpulan observasi tidak valid atau tidak sejalan dengan realita. Bahkan, kesimpulan penelitian di masa depan bisa jadi menggagalkan kesimpulan penelitian sekarang. Dalam sejarahnya, kesimpulan-kesimpulan sains banyak mengalami perubahan. Sebagai contoh, pada awal abad ke-20, konsensus ilmuwan fisika sepakat menggunakan model alam semesta Newton. Tidak ada yang membuat konsep tandingan selama 200 tahun, karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang terbukti secara saintifik. Akan tetapi, teori mekanika kuantum dan relativitas umum mengubah teori Newton tersebut. Mekanika Newton mengasumsikan ruang dan waktu sebagai dua hal yang tidak berubah dan stagnan, tetapi Albert Einstein menjelaskan bahwa keduanya bersifat relatif dan dinamis. Pada akhirnya, setelah beberapa waktu, model alam semesta Einstein menggantikan model alam semesta Newton. Maka dari itu, dengan sedikit menengok sejarah sains, akan memberikan wawasan kepada kita terhadap keterbatasan sains yang biasa disebut the problem of induction, yaitu observasi yang baru selalu berkemungkinan berlawanan dengan kesimpulan sebelumnya. Contoh lainnya adalah pemahaman tentang keabadian alam semesta. Sampai sekitar tahun 1950, semua fisikawan, termasuk Einstein, percaya bahwa alam semesta bersifat kekal berdasarkan observasi pada data-data yang diperoleh. Akan tetapi, kesimpulan ini bertentangan secara langsung dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an secara gamblang menyatakan alam semesta memiliki awal dan tidak kekal. Kemudian diadakan penelitian lebih lanjut menggunakan teleskop yang lebih mutakhir. Para fisikawan perlahan meninggalkan model alam semesta kekal (Steady State Model) dan beralih dengan model alam semesta Ledakan Dahsyat (The Big Bang) yang menyatakan alam semesta memiliki awal sekitar 13,7 miliar tahun lalu, sehingga sains berubah menjadi sejalan dengan Al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kesimpulan sains didasarkan pada argumen induktif. Argumen induktif tidak akan mengantarkan kepada kepastian, sehingga sesuatu yang disebut sebagai sains tidak bisa dianggap sesuatu yang absolut. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang tidak bisa diragukan lagi, seperti kebulatan bumi, keberadaan gravitasi, dan bentuk orbit yang melingkar. Oleh karena itu, seseorang tidak perlu panik apabila sains terlihat bertentangan dengan dalil agama dalam menjelaskan suatu fenomena alam. Seseorang tidak perlu bingung, kemudian malah menolak ayat atau hadis sahih karena tidak sejalan dengan sains. Sebab, dengan begitu, berarti dia mengasumsikan kesimpulan sains selalu benar secara absolut dan tidak akan berubah. Hal ini tentu saja keliru. Akan tetapi, memahami konsep seperti ini tidak membuat seseorang menjadi antisains. Bayangkan jika ilmuwan tidak diperkenankan untuk menantang kesimpulan sebelumnya, maka sains tidak akan mengalami progres. Apakah sains yang pasti bisa bertentangan dengan dalil agama yang pasti? Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa sains dan dalil agama memiliki kepastian yang bertingkat-tingkat. Maka, kemungkinan terjadinya pertentangan antara keduanya adalah sebagai berikut: Sains yang tidak pasti bertentangan dengan dalil yang pasti, maka dimenangkan dalil yang pasti. Sebagaimana pada contoh model alam semesta kekal yang bertentangan dengan berbagai ayat Al-Qur’an yang menyatakan Allah adalah pencipta alam semesta, sehingga alam semesta memiliki awal. Maka, dimenangkan ayat-ayat Al-Qur’an, karena kesimpulan sains tidak pasti dan mengalami perubahan. Sains yang pasti bertentangan dengan dalil yang tidak pasti, maka dimenangkan sains yang pasti. Sebagaimana pada hadis benarnya ucapan orang yang bersin, yang merupakan hadis sangat lemah atau palsu, sehingga dimenangkan sains. Sebab, observasi sederhana saja sudah dapat menjelaskan bahwa ada orang yang bersin, tetapi tetap berbohong. Sains yang tidak pasti bertentangan dengan dalil yang tidak pasti, maka diadakan penelitian terhadap keduanya lalu dimenangkan sisi yang paling kuat validitasnya. Sains yang pasti bertentangan dengan dalil yang pasti, maka hal ini mustahil terjadi. Hal ini dikarenakan Allah adalah pencipta alam semesta ini, sehingga Allah Ta’ala-lah yang paling mengetahui kondisi alam ini. Maka, tidak mungkin terjadi pertentangan hakiki antara suatu fenomena alam dengan ayat Al-Qur’an. Sebab, keduanya merupakan ayat Allah. Alam semesta merupakan ayat kauni, sedangkan Al-Qur’an merupakan ayat syar‘i. Keduanya bersumber dari Allah, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan. Bahkan, Al-Qur’an pasti akan selalu sejalan dan mengonfirmasi sains yang pasti. Misalnya, keberadaan orbit atau garis edar benda langit seperti bulan, bumi, dan matahari dikonfirmasi oleh Al-Qur’an dalam surah Yasin ayat 38-40 berikut, وَٱلشَّمْسُ تَجْرِى لِمُسْتَقَرٍّۢ لَّهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ ٱلْعَزِيزِ ٱلْعَلِيمِ  وَٱلْقَمَرَ قَدَّرْنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلْعُرْجُونِ ٱلْقَدِيمِ  لَا ٱلشَّمْسُ يَنۢبَغِى لَهَآ أَن تُدْرِكَ ٱلْقَمَرَ وَلَا ٱلَّيْلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِ ۚ وَكُلٌّۭ فِى فَلَكٍۢ يَسْبَحُونَ  “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir), kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasin: 38-40) Kembali ke bagian 1: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 1) Lanjut ke bagian 3: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 3) *** Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God? Tags: agamasains
Prev     Next