Salat adalah Ibadah yang Agung, Yakin Masih Mau Meninggalkannya?

Daftar Isi Toggle Agungnya ibadah salatPertama: Merupakan tiang agamaKedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang muliaKetiga: Allah wajibkan taharah sebelum salatKeempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwaKelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkarKeenam: Penghubung antara hamba dan RabbnyaAncaman bagi yang melalaikan salatHukum meninggalkan salat Salat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh orang Islam yang merupakan rukun kedua dalam rukun Islam. Salat merupakan kewajiban yang sangat penting bagi kaum muslimin setelah dua kalimat syahadat. Allah telah mewajibkan salat 5 waktu bagi orang Islam sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat ke-103, إِنَّ الصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan untuk orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 103) Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk salat setelah mentauhidkan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَوة “Mereka tidaklah diperintahkan, kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif, melaksanakan salat, …” (QS. Al-Bayyinah: 5) Salat juga merupakan ibadah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan untuk mengajarkan kepada anak-anak kita sejak dini, مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat di umur tujuh tahun, dan pukullah jika mereka tidak melaksanakannya di umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud) Agungnya ibadah salat Salat merupakan ibadah yang paling penting setelah dua kalimat syahadat. Salat juga memiliki keutamaan-keutamaan dan faedah-faedah yang banyak. Di antaranya: Pertama: Merupakan tiang agama Salat merupakan tiang agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Kedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang mulia Tidak seperti ibadah lainnya, Allah ‘Azza Wajalla memerintahkan salat secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa perantara melalui malaikat Jibril. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan salat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di langit ke tujuh ketika beliau mikraj, naik untuk bertemu dengan Allah ‘Azza Wajalla. Ketiga: Allah wajibkan taharah sebelum salat Di antara hal yang menunjukkan agungnya ibadah salat adalah Allah wajibkan taharah sebelum melaksanakan salat. Wajib bagi seorang muslim ketika hendak melaksanakan salat untuk bersih dari hadas-hadas kecil maupun besar pada badannya, pakaiannya, maupun tempatnya. Keempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwa Salat juga bisa menjadi penyejuk mata, penenang jiwa, dan istirahatnya badan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطَّيِّبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dijadikan untukku kesenangan dunia ada pada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk hatiku ada pada salat.” (HR. Nasa’i) Selain itu, Rasulullah shallalllahu ’alaihi wasallam juga bersabda, قُمْ يَا بِلالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ “Berdirilah wahai Bilal, istirahatkan kami dengan salat.” (HR. Abu Dawud) Kelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar Salat juga ketika dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh bisa menjadi pencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ “Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Keenam: Penghubung antara hamba dan Rabbnya Salat merupakan salah satu ibadah yang menghubungkan hamba dengan Rabbnya. Ketika seorang hamba melakukan salat, sejatinya ia sedang menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla. Hal tersebut ditunjukkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ}  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ} اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ {قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ “Allah berfirman, ‘Aku membagi salat antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memujiku.’ Selanjutnya Dia berfirman, ‘Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan’, Allah berfirman, ‘Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat’, Allah berfirman, ‘Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta’ …” Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ancaman bagi yang melalaikan salat Walaupun salat merupakan suatu ibadah yang mayoritas kaum muslimin tahu kewajibannya, mereka juga mengetahui bahwa salat merupakan rukun Islam yang kedua. Akan tetapi, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang melalaikannya, bahkan tidak mengerjakan salat wajib. Padahal, jelaslah ancaman bagi mereka yang melalaikan salat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ  الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ “Celakalah bagi orang-orang yang salat. Yaitu, orang yang lalai dalam salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5) Allah juga mensifati orang-orang yang tersesat dengan orang yang mengabaikan salat, فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا “Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan salah satu ciri orang munafik adalah mereka salat dalam keadaan malas, اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya’ di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Tidak mengerjakan salat juga merupakan ciri-ciri dari penghuni neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ “Apa yang menjerumuskan kalian ke Saqar (neraka). Mereka berkata, ‘Dulu kamu bukan orang yang melaksanakan salat.’” (QS. Al-Mudassir: 42-4) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ ارْكَعُوْا لَا يَرْكَعُوْنَ “Jika dikatakan pada mereka, ‘Rukuklah!’, mereka tidak mau rukuk.” (QS. Al-Mursalat: 48) Hukum meninggalkan salat Orang yang melalaikan salat tentu mendapatkan ancaman, lalu apa hukumnya bagi orang yang meninggalkan salat. Jika orang tersebut meninggalkan salat karena menentang wajibnya salat, maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Hal tersebut dikarenakan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا “Siapa saja yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115) Lalu, bagaimana bagi yang meninggalkan salat karena malas? Para ulama memperselisihkan status keislamannya. Apakah mereka masih muslim atau sudah keluar dari Islam. Bahkan, sebagian ulama menyatakan adanya ijma’ tentang kafirnya orang yang meninggalkan salat. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menukil perkataan Ishaq bin Rahuyah, صح عن النبي ﷺ أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي ﷺ إلى يومناهذا أن تارك الصلاة عَمْدًا من غير عُذر حتى يذهب وقتها كافر “Telah sahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan salat itu kafir. Begitu juga pendapat ahli ilmu di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam hingga saat ini bahwa orang yang meninggalkan salat dengan sengaja tanpa uzur hingga terlewatlah waktunya, maka ia kafir.” Baca juga: Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dijumpai ketika Salat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Salat adalah Ibadah yang Agung, Yakin Masih Mau Meninggalkannya?

Daftar Isi Toggle Agungnya ibadah salatPertama: Merupakan tiang agamaKedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang muliaKetiga: Allah wajibkan taharah sebelum salatKeempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwaKelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkarKeenam: Penghubung antara hamba dan RabbnyaAncaman bagi yang melalaikan salatHukum meninggalkan salat Salat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh orang Islam yang merupakan rukun kedua dalam rukun Islam. Salat merupakan kewajiban yang sangat penting bagi kaum muslimin setelah dua kalimat syahadat. Allah telah mewajibkan salat 5 waktu bagi orang Islam sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat ke-103, إِنَّ الصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan untuk orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 103) Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk salat setelah mentauhidkan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَوة “Mereka tidaklah diperintahkan, kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif, melaksanakan salat, …” (QS. Al-Bayyinah: 5) Salat juga merupakan ibadah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan untuk mengajarkan kepada anak-anak kita sejak dini, مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat di umur tujuh tahun, dan pukullah jika mereka tidak melaksanakannya di umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud) Agungnya ibadah salat Salat merupakan ibadah yang paling penting setelah dua kalimat syahadat. Salat juga memiliki keutamaan-keutamaan dan faedah-faedah yang banyak. Di antaranya: Pertama: Merupakan tiang agama Salat merupakan tiang agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Kedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang mulia Tidak seperti ibadah lainnya, Allah ‘Azza Wajalla memerintahkan salat secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa perantara melalui malaikat Jibril. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan salat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di langit ke tujuh ketika beliau mikraj, naik untuk bertemu dengan Allah ‘Azza Wajalla. Ketiga: Allah wajibkan taharah sebelum salat Di antara hal yang menunjukkan agungnya ibadah salat adalah Allah wajibkan taharah sebelum melaksanakan salat. Wajib bagi seorang muslim ketika hendak melaksanakan salat untuk bersih dari hadas-hadas kecil maupun besar pada badannya, pakaiannya, maupun tempatnya. Keempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwa Salat juga bisa menjadi penyejuk mata, penenang jiwa, dan istirahatnya badan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطَّيِّبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dijadikan untukku kesenangan dunia ada pada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk hatiku ada pada salat.” (HR. Nasa’i) Selain itu, Rasulullah shallalllahu ’alaihi wasallam juga bersabda, قُمْ يَا بِلالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ “Berdirilah wahai Bilal, istirahatkan kami dengan salat.” (HR. Abu Dawud) Kelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar Salat juga ketika dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh bisa menjadi pencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ “Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Keenam: Penghubung antara hamba dan Rabbnya Salat merupakan salah satu ibadah yang menghubungkan hamba dengan Rabbnya. Ketika seorang hamba melakukan salat, sejatinya ia sedang menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla. Hal tersebut ditunjukkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ}  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ} اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ {قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ “Allah berfirman, ‘Aku membagi salat antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memujiku.’ Selanjutnya Dia berfirman, ‘Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan’, Allah berfirman, ‘Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat’, Allah berfirman, ‘Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta’ …” Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ancaman bagi yang melalaikan salat Walaupun salat merupakan suatu ibadah yang mayoritas kaum muslimin tahu kewajibannya, mereka juga mengetahui bahwa salat merupakan rukun Islam yang kedua. Akan tetapi, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang melalaikannya, bahkan tidak mengerjakan salat wajib. Padahal, jelaslah ancaman bagi mereka yang melalaikan salat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ  الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ “Celakalah bagi orang-orang yang salat. Yaitu, orang yang lalai dalam salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5) Allah juga mensifati orang-orang yang tersesat dengan orang yang mengabaikan salat, فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا “Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan salah satu ciri orang munafik adalah mereka salat dalam keadaan malas, اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya’ di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Tidak mengerjakan salat juga merupakan ciri-ciri dari penghuni neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ “Apa yang menjerumuskan kalian ke Saqar (neraka). Mereka berkata, ‘Dulu kamu bukan orang yang melaksanakan salat.’” (QS. Al-Mudassir: 42-4) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ ارْكَعُوْا لَا يَرْكَعُوْنَ “Jika dikatakan pada mereka, ‘Rukuklah!’, mereka tidak mau rukuk.” (QS. Al-Mursalat: 48) Hukum meninggalkan salat Orang yang melalaikan salat tentu mendapatkan ancaman, lalu apa hukumnya bagi orang yang meninggalkan salat. Jika orang tersebut meninggalkan salat karena menentang wajibnya salat, maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Hal tersebut dikarenakan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا “Siapa saja yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115) Lalu, bagaimana bagi yang meninggalkan salat karena malas? Para ulama memperselisihkan status keislamannya. Apakah mereka masih muslim atau sudah keluar dari Islam. Bahkan, sebagian ulama menyatakan adanya ijma’ tentang kafirnya orang yang meninggalkan salat. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menukil perkataan Ishaq bin Rahuyah, صح عن النبي ﷺ أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي ﷺ إلى يومناهذا أن تارك الصلاة عَمْدًا من غير عُذر حتى يذهب وقتها كافر “Telah sahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan salat itu kafir. Begitu juga pendapat ahli ilmu di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam hingga saat ini bahwa orang yang meninggalkan salat dengan sengaja tanpa uzur hingga terlewatlah waktunya, maka ia kafir.” Baca juga: Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dijumpai ketika Salat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Daftar Isi Toggle Agungnya ibadah salatPertama: Merupakan tiang agamaKedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang muliaKetiga: Allah wajibkan taharah sebelum salatKeempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwaKelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkarKeenam: Penghubung antara hamba dan RabbnyaAncaman bagi yang melalaikan salatHukum meninggalkan salat Salat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh orang Islam yang merupakan rukun kedua dalam rukun Islam. Salat merupakan kewajiban yang sangat penting bagi kaum muslimin setelah dua kalimat syahadat. Allah telah mewajibkan salat 5 waktu bagi orang Islam sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat ke-103, إِنَّ الصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan untuk orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 103) Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk salat setelah mentauhidkan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَوة “Mereka tidaklah diperintahkan, kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif, melaksanakan salat, …” (QS. Al-Bayyinah: 5) Salat juga merupakan ibadah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan untuk mengajarkan kepada anak-anak kita sejak dini, مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat di umur tujuh tahun, dan pukullah jika mereka tidak melaksanakannya di umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud) Agungnya ibadah salat Salat merupakan ibadah yang paling penting setelah dua kalimat syahadat. Salat juga memiliki keutamaan-keutamaan dan faedah-faedah yang banyak. Di antaranya: Pertama: Merupakan tiang agama Salat merupakan tiang agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Kedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang mulia Tidak seperti ibadah lainnya, Allah ‘Azza Wajalla memerintahkan salat secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa perantara melalui malaikat Jibril. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan salat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di langit ke tujuh ketika beliau mikraj, naik untuk bertemu dengan Allah ‘Azza Wajalla. Ketiga: Allah wajibkan taharah sebelum salat Di antara hal yang menunjukkan agungnya ibadah salat adalah Allah wajibkan taharah sebelum melaksanakan salat. Wajib bagi seorang muslim ketika hendak melaksanakan salat untuk bersih dari hadas-hadas kecil maupun besar pada badannya, pakaiannya, maupun tempatnya. Keempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwa Salat juga bisa menjadi penyejuk mata, penenang jiwa, dan istirahatnya badan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطَّيِّبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dijadikan untukku kesenangan dunia ada pada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk hatiku ada pada salat.” (HR. Nasa’i) Selain itu, Rasulullah shallalllahu ’alaihi wasallam juga bersabda, قُمْ يَا بِلالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ “Berdirilah wahai Bilal, istirahatkan kami dengan salat.” (HR. Abu Dawud) Kelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar Salat juga ketika dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh bisa menjadi pencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ “Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Keenam: Penghubung antara hamba dan Rabbnya Salat merupakan salah satu ibadah yang menghubungkan hamba dengan Rabbnya. Ketika seorang hamba melakukan salat, sejatinya ia sedang menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla. Hal tersebut ditunjukkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ}  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ} اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ {قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ “Allah berfirman, ‘Aku membagi salat antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memujiku.’ Selanjutnya Dia berfirman, ‘Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan’, Allah berfirman, ‘Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat’, Allah berfirman, ‘Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta’ …” Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ancaman bagi yang melalaikan salat Walaupun salat merupakan suatu ibadah yang mayoritas kaum muslimin tahu kewajibannya, mereka juga mengetahui bahwa salat merupakan rukun Islam yang kedua. Akan tetapi, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang melalaikannya, bahkan tidak mengerjakan salat wajib. Padahal, jelaslah ancaman bagi mereka yang melalaikan salat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ  الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ “Celakalah bagi orang-orang yang salat. Yaitu, orang yang lalai dalam salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5) Allah juga mensifati orang-orang yang tersesat dengan orang yang mengabaikan salat, فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا “Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan salah satu ciri orang munafik adalah mereka salat dalam keadaan malas, اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya’ di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Tidak mengerjakan salat juga merupakan ciri-ciri dari penghuni neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ “Apa yang menjerumuskan kalian ke Saqar (neraka). Mereka berkata, ‘Dulu kamu bukan orang yang melaksanakan salat.’” (QS. Al-Mudassir: 42-4) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ ارْكَعُوْا لَا يَرْكَعُوْنَ “Jika dikatakan pada mereka, ‘Rukuklah!’, mereka tidak mau rukuk.” (QS. Al-Mursalat: 48) Hukum meninggalkan salat Orang yang melalaikan salat tentu mendapatkan ancaman, lalu apa hukumnya bagi orang yang meninggalkan salat. Jika orang tersebut meninggalkan salat karena menentang wajibnya salat, maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Hal tersebut dikarenakan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا “Siapa saja yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115) Lalu, bagaimana bagi yang meninggalkan salat karena malas? Para ulama memperselisihkan status keislamannya. Apakah mereka masih muslim atau sudah keluar dari Islam. Bahkan, sebagian ulama menyatakan adanya ijma’ tentang kafirnya orang yang meninggalkan salat. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menukil perkataan Ishaq bin Rahuyah, صح عن النبي ﷺ أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي ﷺ إلى يومناهذا أن تارك الصلاة عَمْدًا من غير عُذر حتى يذهب وقتها كافر “Telah sahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan salat itu kafir. Begitu juga pendapat ahli ilmu di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam hingga saat ini bahwa orang yang meninggalkan salat dengan sengaja tanpa uzur hingga terlewatlah waktunya, maka ia kafir.” Baca juga: Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dijumpai ketika Salat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.


Daftar Isi Toggle Agungnya ibadah salatPertama: Merupakan tiang agamaKedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang muliaKetiga: Allah wajibkan taharah sebelum salatKeempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwaKelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkarKeenam: Penghubung antara hamba dan RabbnyaAncaman bagi yang melalaikan salatHukum meninggalkan salat Salat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh orang Islam yang merupakan rukun kedua dalam rukun Islam. Salat merupakan kewajiban yang sangat penting bagi kaum muslimin setelah dua kalimat syahadat. Allah telah mewajibkan salat 5 waktu bagi orang Islam sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat ke-103, إِنَّ الصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَبًا مَّوْقُوتًا “Sesungguhnya salat merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan untuk orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 103) Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk salat setelah mentauhidkan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَوة “Mereka tidaklah diperintahkan, kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif, melaksanakan salat, …” (QS. Al-Bayyinah: 5) Salat juga merupakan ibadah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan untuk mengajarkan kepada anak-anak kita sejak dini, مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها لعشر، وفرقوا بينهم في المضاجع “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat di umur tujuh tahun, dan pukullah jika mereka tidak melaksanakannya di umur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud) Agungnya ibadah salat Salat merupakan ibadah yang paling penting setelah dua kalimat syahadat. Salat juga memiliki keutamaan-keutamaan dan faedah-faedah yang banyak. Di antaranya: Pertama: Merupakan tiang agama Salat merupakan tiang agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رَأْسُ الْأَمْرِ الإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ “Pokok dari perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi) Kedua: Allah mewajibkannya pada Rasulullah tanpa perantara di malam yang mulia Tidak seperti ibadah lainnya, Allah ‘Azza Wajalla memerintahkan salat secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa perantara melalui malaikat Jibril. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan salat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di langit ke tujuh ketika beliau mikraj, naik untuk bertemu dengan Allah ‘Azza Wajalla. Ketiga: Allah wajibkan taharah sebelum salat Di antara hal yang menunjukkan agungnya ibadah salat adalah Allah wajibkan taharah sebelum melaksanakan salat. Wajib bagi seorang muslim ketika hendak melaksanakan salat untuk bersih dari hadas-hadas kecil maupun besar pada badannya, pakaiannya, maupun tempatnya. Keempat: Merupakan penyejuk mata dan penenang jiwa Salat juga bisa menjadi penyejuk mata, penenang jiwa, dan istirahatnya badan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطَّيِّبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ “Dijadikan untukku kesenangan dunia ada pada wanita dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk hatiku ada pada salat.” (HR. Nasa’i) Selain itu, Rasulullah shallalllahu ’alaihi wasallam juga bersabda, قُمْ يَا بِلالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ “Berdirilah wahai Bilal, istirahatkan kami dengan salat.” (HR. Abu Dawud) Kelima: Mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar Salat juga ketika dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh bisa menjadi pencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ “Sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45) Keenam: Penghubung antara hamba dan Rabbnya Salat merupakan salah satu ibadah yang menghubungkan hamba dengan Rabbnya. Ketika seorang hamba melakukan salat, sejatinya ia sedang menghadap kepada Allah ‘Azza Wajalla. Hal tersebut ditunjukkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ}  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ} اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ {قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ “Allah berfirman, ‘Aku membagi salat antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam’, maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memujiku.’ Selanjutnya Dia berfirman, ‘Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan’, Allah berfirman, ‘Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat’, Allah berfirman, ‘Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta’ …” Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Ancaman bagi yang melalaikan salat Walaupun salat merupakan suatu ibadah yang mayoritas kaum muslimin tahu kewajibannya, mereka juga mengetahui bahwa salat merupakan rukun Islam yang kedua. Akan tetapi, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang melalaikannya, bahkan tidak mengerjakan salat wajib. Padahal, jelaslah ancaman bagi mereka yang melalaikan salat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ  الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ “Celakalah bagi orang-orang yang salat. Yaitu, orang yang lalai dalam salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5) Allah juga mensifati orang-orang yang tersesat dengan orang yang mengabaikan salat, فَخَلَفَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ اَضَاعُوا الصَّلٰوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا “Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak akan tersesat.” (QS. Maryam: 59) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan salah satu ciri orang munafik adalah mereka salat dalam keadaan malas, اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya’ di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142) Tidak mengerjakan salat juga merupakan ciri-ciri dari penghuni neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ “Apa yang menjerumuskan kalian ke Saqar (neraka). Mereka berkata, ‘Dulu kamu bukan orang yang melaksanakan salat.’” (QS. Al-Mudassir: 42-4) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ ارْكَعُوْا لَا يَرْكَعُوْنَ “Jika dikatakan pada mereka, ‘Rukuklah!’, mereka tidak mau rukuk.” (QS. Al-Mursalat: 48) Hukum meninggalkan salat Orang yang melalaikan salat tentu mendapatkan ancaman, lalu apa hukumnya bagi orang yang meninggalkan salat. Jika orang tersebut meninggalkan salat karena menentang wajibnya salat, maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Hal tersebut dikarenakan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا “Siapa saja yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115) Lalu, bagaimana bagi yang meninggalkan salat karena malas? Para ulama memperselisihkan status keislamannya. Apakah mereka masih muslim atau sudah keluar dari Islam. Bahkan, sebagian ulama menyatakan adanya ijma’ tentang kafirnya orang yang meninggalkan salat. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menukil perkataan Ishaq bin Rahuyah, صح عن النبي ﷺ أن تارك الصلاة كافر، وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي ﷺ إلى يومناهذا أن تارك الصلاة عَمْدًا من غير عُذر حتى يذهب وقتها كافر “Telah sahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bahwa orang yang meninggalkan salat itu kafir. Begitu juga pendapat ahli ilmu di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam hingga saat ini bahwa orang yang meninggalkan salat dengan sengaja tanpa uzur hingga terlewatlah waktunya, maka ia kafir.” Baca juga: Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dijumpai ketika Salat *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Sumber: Mulakhas Fiqhy, karya Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Shifat Shalat, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.

Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Renungkan Aib Sendiri

Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih.   Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri    Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih. وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain. Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه “Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani). Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib Sendiri Pesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589) Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin. Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.” Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.” Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?” Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu. Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya. Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan. Baca juga: Berbagai Ghibah yang Dibolehkan Namun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas. Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat Ini Peringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih). Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain. Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.” Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?” Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut. Hindari bergabung jika tidak mampu menahan. Ingatkan diri akan bahaya ghibah. Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif. Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa. Baca juga: Siksaan bagi Pendosa Fokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ Baca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan – Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah

Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Renungkan Aib Sendiri

Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih.   Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri    Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih. وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain. Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه “Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani). Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib Sendiri Pesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589) Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin. Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.” Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.” Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?” Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu. Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya. Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan. Baca juga: Berbagai Ghibah yang Dibolehkan Namun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas. Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat Ini Peringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih). Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain. Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.” Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?” Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut. Hindari bergabung jika tidak mampu menahan. Ingatkan diri akan bahaya ghibah. Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif. Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa. Baca juga: Siksaan bagi Pendosa Fokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ Baca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan – Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah
Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih.   Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri    Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih. وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain. Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه “Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani). Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib Sendiri Pesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589) Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin. Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.” Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.” Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?” Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu. Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya. Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan. Baca juga: Berbagai Ghibah yang Dibolehkan Namun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas. Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat Ini Peringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih). Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain. Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.” Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?” Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut. Hindari bergabung jika tidak mampu menahan. Ingatkan diri akan bahaya ghibah. Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif. Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa. Baca juga: Siksaan bagi Pendosa Fokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ Baca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan – Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah


Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih.   Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri <span style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" data-mce-type="bookmark" class="mce_SELRES_start"></span>   Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertama الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ Amma ba’du … Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain. Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih. وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain. Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه “Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani). Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.” Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib Sendiri Pesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589) Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin. Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.” Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.” Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?” Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu. Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya. Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan. Baca juga: Berbagai Ghibah yang Dibolehkan Namun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas. Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat Ini Peringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ. “Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih). Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah … Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain. Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.” Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?” Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut. Hindari bergabung jika tidak mampu menahan. Ingatkan diri akan bahaya ghibah. Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif. Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa. Baca juga: Siksaan bagi Pendosa Fokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ Baca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan – Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah

Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Renungkan Aib Sendiri

Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri  Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْنفَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِفَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًااللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُAmma ba’du …Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain.Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih.وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي.Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.”Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain.Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata,ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه“Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani).Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.”Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib SendiriPesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,« أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589)Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin.Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.”Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.”Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?”Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu.Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya.Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan.Baca juga: Berbagai Ghibah yang DibolehkanNamun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas.Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat IniPeringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ.“Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain.Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.”Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?”Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut.Hindari bergabung jika tidak mampu menahan.Ingatkan diri akan bahaya ghibah.Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif.Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa.Baca juga: Siksaan bagi PendosaFokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُBaca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan–Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah

Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Renungkan Aib Sendiri

Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri  Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْنفَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِفَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًااللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُAmma ba’du …Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain.Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih.وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي.Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.”Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain.Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata,ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه“Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani).Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.”Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib SendiriPesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,« أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589)Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin.Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.”Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.”Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?”Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu.Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya.Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan.Baca juga: Berbagai Ghibah yang DibolehkanNamun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas.Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat IniPeringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ.“Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain.Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.”Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?”Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut.Hindari bergabung jika tidak mampu menahan.Ingatkan diri akan bahaya ghibah.Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif.Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa.Baca juga: Siksaan bagi PendosaFokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُBaca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan–Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah
Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri  Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْنفَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِفَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًااللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُAmma ba’du …Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain.Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih.وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي.Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.”Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain.Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata,ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه“Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani).Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.”Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib SendiriPesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,« أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589)Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin.Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.”Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.”Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?”Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu.Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya.Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan.Baca juga: Berbagai Ghibah yang DibolehkanNamun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas.Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat IniPeringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ.“Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain.Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.”Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?”Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut.Hindari bergabung jika tidak mampu menahan.Ingatkan diri akan bahaya ghibah.Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif.Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa.Baca juga: Siksaan bagi PendosaFokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُBaca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan–Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah


Ghibah adalah dosa lisan yang dilarang keras dalam Islam karena dapat merusak hubungan dan membawa murka Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati—aib yang sangat tercela. Tulisan ini mengajak kita untuk memahami bahaya ghibah dan bagaimana menghindarinya demi menjaga hati dan lisan tetap bersih. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri<span style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" data-mce-type="bookmark" class="mce_SELRES_start"></span>  Daftar Isi tutup 1. Tonton Khutbah Jumat: Jauhi Ghibah, Mending Memikirkan Aib Sendiri 2. Khutbah Pertama 3. Khutbah Kedua Khutbah Pertamaالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْنفَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِفَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًااللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُAmma ba’du …Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya. Takwa itu berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Bentuk takwa yang paling utama adalah mempertahankan iman dan menjaga tauhid kita. Takwa juga diwujudkan dengan meninggalkan larangan Allah, di antaranya adalah menjaga diri dari membicarakan aib orang lain.Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, suri teladan kita semua, yaitu Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri teladan kita mengajarkan untuk tidak banyak mengetahui kejelekan orang lain agar kita memiliki SALIIMUSH SHODR, hati yang bersih.وعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يُبَلِّغُنِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِي عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ». رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي.Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai ada seseorang dari sahabatku yang menyampaikan sesuatu yang buruk tentang orang lain kepadaku, karena aku ingin keluar (bertemu) kalian dalam keadaan hatiku bersih.”Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (4860) dan At-Tirmidzi (3896, 3897), tetapi hadits ini dinilai lemah (dhaif). Meskipun status hadits ini lemah, pesan moralnya relevan: menjaga hati agar tidak tercemari prasangka buruk terhadap orang lain.Kita diajarkan untuk lebih fokus pada introspeksi dan memperbaiki kekurangan diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Sering kali, kita tidak menyadari betapa banyaknya aib kita sendiri, sementara mudah sekali melihat kekurangan orang lain. Hal ini ditegaskan dalam nasihat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata,ِيُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجِذَلَ- أو الجِذْعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِه“Salah seorang dari kalian mampu melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi lupa dengan kayu besar di matanya sendiri.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 592; dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani).Dalam bahasa kita, ada pepatah yang menggambarkan hal ini, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat.”Baca juga: Sibuk Memikirkan Aib SendiriPesan ini mengingatkan kita untuk selalu merenungi kesalahan diri sebelum menyibukkan diri dengan kesalahan orang lain. Orang yang fokus memperbaiki dirinya tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk membicarakan keburukan orang lain, apalagi ketika ia tidak mengetahui hakikat keadaan hati mereka. Hal ini sejalan dengan peringatan tentang ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang tidak disukainya, meskipun hal itu benar adanya.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,« أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Bagaimana jika yang saya bicarakan itu benar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika benar, berarti kamu menggibahinya (menggunjingnya). Jika tidak benar, berarti kamu menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim, no. 2589)Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Meskipun ghibah pada umumnya dilarang, ada beberapa keadaan tertentu di mana hal itu dibolehkan untuk tujuan syari. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan adanya pengecualian-pengecualian ini dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini beliau sampaikan di dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin.Mengadu Kezaliman: Ketika mengadukan kezaliman kepada pihak berwenang, misalnya mengatakan, “Si Fulan telah menzalimi saya.”Meminta Bantuan Menghentikan Kemungkaran: Meminta bantuan pada orang yang mampu menghentikan kemungkaran, misalnya, “Si Fulan telah melakukan hal ini, tolong bantu agar ia kembali ke jalan yang benar.”Meminta Fatwa: Ketika meminta fatwa, misalnya bertanya, “Saudaraku telah menzalimi saya, apa yang harus saya lakukan?”Memberi Peringatan kepada Kaum Muslimin: Contohnya, memperingatkan tentang kelemahan hafalan seorang perawi hadits untuk menghindari kerancuan dalam ilmu.Menyebut Orang yang Terang-Terangan Bermaksiat: Membicarakan maksiat yang dilakukan terang-terangan, bukan aspek lainnya.Menggunakan Julukan yang Sudah Dikenal: Menyebut seseorang dengan julukan yang dikenal, seperti “si buta,” jika diperlukan untuk identifikasi. Namun, lebih baik menggunakan kata-kata yang tidak menyakitkan.Baca juga: Berbagai Ghibah yang DibolehkanNamun, pengecualian ini tidak boleh dijadikan alasan untuk bebas berbicara buruk tentang orang lain. Allah Ta’ala memberikan peringatan keras dalam firman-Nya,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Jangan mencari-cari keburukan orang lain, dan jangan menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)Ayat ini dengan jelas melarang perbuatan ghibah dan menggambarkannya sebagai tindakan yang menjijikkan, diibaratkan seperti memakan daging saudara yang telah mati. Ibnu Katsir rahimahullah menegaskan bahwa larangan ghibah ini telah disepakati oleh seluruh ulama (ijmak), kecuali dalam situasi tertentu yang membawa maslahat yang jelas.Baca juga: Ghibah di Dunia Politik Saat IniPeringatan keras tentang bahaya ghibah juga dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu dalam Musnad Imam Ahmad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ.“Tatkala aku dimikrajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar wajah dan dada sendiri. Aku pun bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (melakukan ghibah) dan menodai kehormatan mereka.’” (HR. Ahmad, 3:224; Abu Daud, no. 4878, 4879; Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shumtu, no. 165, 572. Syaikh ‘Ali Al-Halabi Al-Atsari mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …Jika dosa ghibah adalah demikian, bagaimana agar kita menghindari dosa ghibah terutama saat berada di perkumpulan yang sering ditemukan pembicaraan dosa dan membicarakan jelek orang lain.Tetap mengingatkan dengan cara yang baik. Contoh: “Maaf, yuk kita obrolin hal lain yang lebih bermanfaat.”Ubah topik pembicaraan. Ketika obrolan mulai menjurus ke ghibah, coba alihkan topik ke hal yang lebih netral atau bermanfaat, seperti kabar umum, berita terkini, atau obrolan yang mengedukasi. Contoh: “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluarga kalian?”Hindari memberikan respon. Jika sulit menegur, cukup diam atau tidak menanggapi. Reaksi diam bisa menjadi sinyal bahwa kita tidak setuju dengan pembicaraan tersebut.Hindari bergabung jika tidak mampu menahan.Ingatkan diri akan bahaya ghibah.Jika memungkinkan, ajak mereka melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca buku Islami bersama, berdiskusi tentang ilmu agama, atau saling berbagi inspirasi positif.Berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga lisan dan menghindari perkumpulan yang berpotensi membawa dosa.Baca juga: Siksaan bagi PendosaFokus utama seorang muslim seharusnya adalah memperbaiki diri, bukan mencari-cari kesalahan orang lain. Hindarilah ghibah untuk menjaga hati tetap bersih dan lisan dari dosa.أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah Keduaاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌاَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَىاللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَاللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِرَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُBaca juga: 50+ Masalah Wanita Terkait Ramadhan–Naskah Khutbah Jum’at pada 5 Jumadal Akhir 1446 H (6 Desember 2024)@ Darush Sholihin Panggang GunungkidulDr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsbahaya ghibah cara menghindari ghibah dosa besar dosa lisan ghibah ghibah yang dibolehkan hadits tentang ghibah introspeksi diri keutamaan menjaga kehormatan saudara khutbah jumat larangan ghibah dalam Islam membicarakan aib orang lain menjaga hati menjaga lisan nasihat Islami pentingnya takwa solusi Islami menghindari ghibah

Mengapa Ada Banyak Orang yang Terhalang dari Hidayah?

لماذا يُحرَم الناس الهداية؟ Oleh: Khalid Ratib د. خالد راتب كثير مِن الناس يَطرُق باب الهداية، فمنهم مَن يُحرَم منها بالكلية حتى يُختم له بالشقاء، ومنهم مَن يتحصَّل على جزء مِن الهداية ويُحرَم الجزء الآخَر، ومنهم مَن يَهتدي لفترة ثم ينقلب بعد ذلك على عقبَيه ويُسلَب الهداية، فما الذي حرَمنا الهداية ونحن نَطلُبها؟ ولماذا تُسلَب منا بعدما تذوَّقنا حلاوتها؟ Banyak orang yang mengetuk pintu hidayah; lalu sebagian mereka ada yang terhalang dari hidayah sepenuhnya, hingga ditetapkan kesengsaraan baginya; dan ada juga dari mereka yang mendapat sebagian hidayah dan terhalang dari hidayah lainnya; lalu ada juga dari mereka yang mendapat hidayah beberapa saat, lalu dia berbalik dan hidayah tercabut darinya. Lalu apa yang sebenarnya menghalangi kita dari hidayah, padahal kita menginginkannya? Dan mengapa hidayah tercabut dari diri kita setelah kita merasakan manisnya? القرآن أجاب لنا عن هذا السؤال؛ يقول الحق سبحانه: ﴿ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾ [البقرة: 258]، ﴿وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [المائدة: 108]، ﴿ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ ﴾ [يوسف: 52]. Al-Quran telah memberi jawaban bagi kita atas pertanyaan ini. Allah Yang Maha Benar berfirman: وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “…Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 258). وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Dan Allah Tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah: 108). وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ “…Dan sungguh Allah tidak memberi petunjuk pada tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (QS. Yusuf: 52). أسباب حِرمان الهداية: السبب الأول – الظُّلم: الظلم ظلُمات في الدنيا والآخِرة، والإنسان يُحرم التوفيقَ إلى الهداية بسبب ظلمه لنفسِه أو لغيره، ومِن الظلم للنفس: • الشِّرك، وهو مِن أقبَح الظُّلم، والذي منه اتخاذ الندِّ والنظير والشريك مع ربِّ العالَمين؛ يحبُّ أحدًا مثل الله، أو يطلُب شيئًا لا يستطيع تلبيتَه له إلا ربُّ العالَمين، أو يُرائي بعمله أو يُسمِّع به؛ لذا الذين لم يُخالطوا إيمانَهم بظلم (بشرك) تتحقَّق لهم الهداية والأمن؛ قال تعالى: ﴿ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ ﴾ [الأنعام: 82]. Sebab-Sebab Terhalang dari Hidayah Sebab Pertama: Kezaliman Kezaliman merupakan kegelapan di dunia dan akhirat. Manusia akan terhalang dari taufik menuju hidayah akibat kezaliman yang dia perbuat terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Di antara bentuk kezaliman terhadap diri sendiri adalah: Perbuatan syirik. Ini merupakan kezaliman yang paling buruk. Di antara bentuknya adalah mengangkat sekutu dan tandingan dalam beribadah kepada Allah Tuhan semesta alam; mencintai sesuatu seperti kecintaan kepada Allah; meminta kepada makhluk sesuatu yang tidak mampu dipenuhi kecuali oleh Allah Tuhan semesta alam; atau melakukan riya dan sum’ah dalam amalannya. Oleh sebab itulah, orang-orang yang tidak mencampurkan keimanannya dengan kezaliman (syirik) adalah orang-orang yang dapat merealisasikan hidayah dan keimanan. Allah Ta’ala berfirman: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82). • ومِن ظلْم الإنسان لنفسِه أيضًا: التمادي في المعاصي، وتَركُ الجوارِح دون ضابط ودون توبة، فتتراكَمُ عليه الذنوب فتَسدُّ باب الهداية عليه؛ لأن الذنوب تُحجِّم حركات الجوارح، وساعتَها لا يستطيع أن يَسلُك طريق الهداية، وقد أكَّد هذا المعنى حديثُ النبي – صلى الله عليه وسلم – حيث قال: ((مَثَل الذي يعمل السيئات، ثم يَعمل الحسنات، كمَثَل رجل كانت عليه دِرْع ضيِّقة قد خنَقتْه، ثم عمل حسنةً فانفكَّت حَلقة، ثم عمل حسَنة أخرى، فانفكَّت أُخرى، حتى يَخرج إلى الأرض))؛ (أخرجه أحمد، والطبراني في “الكبير“، والبغويُّ، وهو حديث قوي)، فالذنوب كالدِّرع الذي يَخنق العاصي ويشلُّ حرَكته، فلا بد من توبة واستِغفار، ودعاء ورجاء، وتذلُّل وعمل صالح حتى يفكَّ أسرك من هذه القيود، وتَرجِع مرة أخرى إلى نعيم الطاعة والهداية. Di antara bentuk kezaliman seseorang terhadap diri sendiri juga adalah terus-menerus berkubang dalam kemaksiatan, dan membiarkan anggota badan tanpa kontrol dan tanpa tobat; sehingga dosa-dosanya semakin menumpuk dan menutup pintu hidayah baginya. Sebab, dosa-dosa akan mengendalikan gerakan anggota badan. Ketika ini sudah terjadi, maka ia tidak dapat menempuh jalan hidayah. Perkara ini telah ditegaskan oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau bersabda: مَثَل الذي يعمل السيئات، ثم يَعمل الحسنات، كمَثَل رجل كانت عليه دِرْع ضيِّقة قد خنَقتْه، ثم عمل حسنةً فانفكَّت حَلقة، ثم عمل حسَنة أخرى، فانفكَّت أُخرى، حتى يَخرج إلى الأرض “Perumpamaan orang yang mengerjakan amalan-amalan buruk, lalu melakukan amalan-amalan baik; bagaikan orang yang berada dalam baju perang yang sempit dan mencekiknya. Lalu dia melakukan amal kebaikan, sehingga terbukalah satu lingkaran besi (dari baju perang itu). Lalu dia melakukan amal kebaikan lainnya, sehingga terbuka juga lingkaran besi yang lain; hingga dia dapat keluar sepenuhnya ke tanah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, at-Thabrani dalam kitab “al-Kabir”, dan al-Baghawi. Hadis ini adalah hadis yang kuat). Jadi, dosa-dosa bagaikan baju perang yang mencekik pelaku maksiat dan menghalangi gerakannya. Oleh sebab itu, kamu harus bertobat dan memohon ampun, berdoa dan berharap, serta tunduk dan melakukan amal saleh, agar kamu dapat terbebas dari ikatan-ikatan itu dan kembali kepada nikmatnya kenikmatan dan hidayah. • ومِن ظلم الإنسان لغيره: الاستطالة في أعراض الناس؛ فلسانُه يَجرح في أعراض الناس بحق أو بغير حق، وإنه لَمِن أربى الرِّبا – أشدُّ مِن رِبا الأموال – أن يَخوض المرء في عِرض أخيه، قال – صلى الله عليه وسلم -: ((إن مِن أربى الرِّبا الاستِطالة في عِرض المسلم بغير حق))؛ رواه أحمد والبزار، ورواة أحمد ثقات. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah membicarakan aib-aib orang lain; lisannya mencederai kehormatan orang lain, baik itu atas dasar yang benar atau tidak. Ini merupakan riba terbesar – lebih berat daripada riba harta – yaitu membahas hal-hal yang mencemari kehormatan saudaranya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إن مِن أربى الرِّبا الاستِطالة في عِرض المسلم بغير حق “Sesungguhnya riba yang paling berat adalah mencemari kehormatan seorang Muslim tanpa alasan yang benar.” (HR. Ahmad dan al-Bazzar; dan para perawi riwayat Imam Ahmad adalah orang-orang yang terpercaya). • ومِن ظلم الإنسان لغيره: تضييع مَن يَعول وقطْع الأرحام التي أمَر الله بوصلِها؛ قال – صلى الله عليه وسلم -: ((كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يقوت))؛ (أخرجه أبو داود، وقال الشيخ الألباني: صحيح)، وفي رواية لأحمد عن وهب قال: إن مولًى لعبدالله بن عَمرو قال له: إني أريد أن أقيم هذا الشَّهر هَهُنا ببيت المقدس، فقال له: تركتَ لأهلِك ما يُقوِّتهم هذا الشهر؟ قال: لا، قال: فارجع إلى أهلك فاترك لهم ما يُقوِّتهم؛ فإني سمعت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول: ((كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يَقوت))، وليس الإيضاعُ إيضاعَ النفَقة عليهم وتلبية حاجاتهم فقط، ولكنَّ الإيضاع الأكبر ألا يَقيَهم عذاب النار التي وقودُها الناس والحجارة، وذلك بتعريفهم حقوقَ الله عليهم، والإعانة على تأديتِها، وكذلك الصبر والمُصابَرة في دعوتهم وإعانتهم على ذلك؛ قال تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴾ [التحريم: 6]، وقال تعالى: ﴿ وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى ﴾ [طه: 132]. وأما عن قطْع الرَّحِم فيقول – صلى الله عليه وسلم -: ((وإن هذه الرَّحم شُجنَةٌ مِن الرحمن – عزَّ وجل – فمَن قطَعها حرَّم الله عليه الجنَّة))؛ رواه أحمد والبزار، ورُواة أحمد ثقات. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, dan memutus silaturahmi yang telah Allah perintahkan untuk dijaga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يقوت “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika dia menelantarkan orang yang menjadi tanggungan nafkahnya.” (HR. Abu Daud. Syaikh al-Albani berkata bahwa hadis ini sahih). Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan dari Wahb bahwa ia menceritakan, “Pembantu Abdullah bin Amr pernah berkata kepada Abdullah bin Amr, ‘Aku ingin pada bulan ini tinggal di sini, di Baitul Maqdis!’ Lalu Abdullah bin Amr menanggapi, ‘Apakah kamu sudah meninggalkan nafkah sehari-hari bagi keluargamu pada bulan ini?’ Pembantu itu menjawab, ‘Belum.’ Abdullah bin Amr berkata, ‘Kalau begitu, pulanglah ke keluargamu, dan tinggalkan bagi mereka nafkah sehari-hari; karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يَقوت “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika dia menelantarkan orang yang menjadi tanggungan nafkahnya.” Penelantaran keluarga bukan hanya dengan penelantaran nafkah dan kebutuhan mereka saja, tapi penelantaran yang paling besar adalah dengan tidak melindungi mereka dari azab neraka – yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Hal ini dapat ditunaikan dengan mengenalkan hak-hak Allah yang harus mereka kerjakan, membantu mereka untuk menunaikannya, dan bersabar terus menerus dalam mengajak dan membantu mereka dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6). Allah Ta’ala juga berfirman: وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132). Sedangkan yang berkaitan dengan pemutusan silaturahmi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وإن هذه الرَّحم شُجنَةٌ مِن الرحمن – عزَّ وجل – فمَن قطَعها حرَّم الله عليه الجنَّة “Sesungguhnya rahim ini berasal dari Allah Yang Maha Pengasih; barang siapa yang memutus silaturahmi, maka Allah akan mengharamkan baginya surga.” (HR. Ahmad dan al-Bazzar; dan para perawi riwayat Imam Ahmad adalah orang-orang yang terpercaya). • ومِن ظُلمِ الإنسان لغيره: أكْل أمول الناس بالباطل، والتعدي على حُقوقهم؛ قال تعالى: ﴿ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [البقرة: 188]، وقال – صلى الله عليه وسلم -: ((مَن ظلَم مِن الأرض شِبرًا طُوِّقه مِن سبع أرَضين))؛ متفق عليه. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, dan merampas hak-hak orang lain. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن ظلَم مِن الأرض شِبرًا طُوِّقه مِن سبع أرَضين “Barang siapa yang merampas sejengkal tanah, maka tanah itu akan dililitkan padanya sebesar tujuh kali lipat bumi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). السبب الثاني: الفسق: ومِن أسباب حِرمان الهداية: الفسْق، وهو الخُروج عن طاعة الله، وأشدُّه النفاق، وكثيرًا ما يَصف ربُّنا المنافقين بهذه الصِّفة، والنِّفاق يَحرم صاحبَه الهداية؛ وذلك لأنه يزيغ القلب عن الطريق المستقيم، وهو أخطر الأمراض التي تُهدِّد المجتمع كلَّه في كل زمان، وما سقَط أناس كثيرون في هاويَة الضَّلال إلا بسبب نِفاقهم، فأزاغ الله قلوبهم لما زاغوا عن طريق الحق بفسقِهم؛ قال تعالى: ﴿ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [الصف: 5]، نسأل الله أن يُطهِّر قلوبنا مِن النِّفاق والرياء. Sebab Kedua: Kefasikan Di antara sebab lain yang menjadi penghalang hidayah adalah kefasikan, yaitu perbuatan yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Kefasikan yang paling besar adalah kemunafikan. Allah sering kali menyebut orang-orang munafik dengan sifat kefasikan ini. Kemunafikan dapat menghalangi hidayah bagi pelakunya; hal ini karena orang munafik memalingkan hatinya dari jalan yang lurus. Kemunafikan merupakan penyakit paling berbahaya yang mengancam seluruh komunitas masyarakat pada setiap zaman. Banyak sekali orang yang terjerumus ke dalam jurang kesesatan karena sifat kemunafikan mereka; sehingga Allah membelokkan hati mereka setelah mereka sendiri membelokkan diri dari jalan yang benar karena perbuatan fasik mereka. Allah Ta’ala berfirman: فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Maka, ketika mereka berpaling (dari perintah Allah), Allah memalingkan hati mereka (dari kebenaran). Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaff: 5). Kita memohon kepada Allah agar menyucikan hati kita dari segala kemunafikan dan sifat riya. السبب الثالث: الخيانة: جرَت سنَّة الله في الكون على أنَّ فُنون الباطل وإن راجَت أوائلُها لا تَلبَث أن تَنقشِع، وأن الخائنين مهما طالتْ خيانتُهم فإنهم سيُكشَفون؛ لأن الخيانة سواء بالقول أو الفعل زاهِقةٌ؛ لأنها باطِل، قال تعالى: ﴿ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [الصف: 5]. ومِن أكبَر الخيانة أن يَخون الإنسان دينَه وأمانته، ويَبيع هذا الدِّين بعرَض قليل؛ قال تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [الأنفال: 27]. Sebab Ketiga: Khianat Telah berlaku Sunnatullah di alam semesta ini bahwa segala bentuk kebatilan – meskipun pada awalnya sangat laris – tidak akan bertahan lama, dan para pengkhianat – meskipun pengkhianatan mereka berlangsung lama – pasti akan terungkap juga; karena pengkhianatan, baik itu dengan ucapan atau perbuatan pasti akan lenyap, karena ia adalah kebatilan. Allah Ta’ala berfirman:  فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Maka, ketika mereka berpaling (dari perintah Allah), Allah memalingkan hati mereka (dari kebenaran). Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaff: 5). Pengkhianatan terbesar adalah ketika seseorang mengkhianati agama dan amanahnya, dan menjual agamanya dengan perkara dunia yang sedikit. Allah Ta’ala berfirman:  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27). وعمومًا، فإن التوغُّل في الظلم أو الفسْق أو الخيانة يَحرم صاحبَه الهداية، وإذا أراد العبد أن يَسلك الهداية ﴿اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴾ [الفاتحة: 6]، إلى أن يلقى الله وهو على ذلك، فلْيتَخلَّص مِن عوائق الهداية؛ وهي الظلم بجميع أنواعه (ظلم الإنسان لنفسِه ولغيره)، ومِن الخروج عن الطاعة، والخيانةِ، ثم يأخذ بأسباب الهداية، فبعدما طلَب اللهُ مِن عباده أن يسألوه الهداية في سورة الفاتحة (اهدِنا)، بيَّن لهم صفات المُهتدين؛ حتى يتمسَّكوا بها، وهذا مذكور في أوائل سورة البقرة مِن قوله تعالى: ﴿ ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ ﴾ [البقرة: 2] إلى قوله تعالى: ﴿ أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴾ [البقرة: 5]، وحذَّرهم كذلك مِن مسالك أهْل الضلال مِن الكافرين والمنافِقين، منقوله تعالى: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ… ﴾ [البقرة: 6] إلى قوله تعالى: ﴿ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴾ [البقرة: 20]. Secara umum, berkubang dalam kezaliman, kefasikan, dan kemunafikan dapat menghalangi pelakunya dari hidayah. Apabila seorang hamba hendak menempuh jalan hidayah,  اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ  “Berilah kami petunjuk menuju jalan yang lurus” (QS. Al-Fatihah: 6) dan tetap di atasnya hingga kelak berjumpa dengan Allah, maka hendaklah dia berlepas diri dari hal-hal yang dapat menghalangi datangnya hidayah; yaitu kezaliman dengan segala bentuknya (kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain), keluar dari ketaatan kepada Allah, dan pengkhianatan; kemudian jemputlah sebab-sebab hidayah.  Setelah Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk meminta hidayah kepada-Nya sebagaimana yang ada dalam surat al-Fatihah “Berilah kami petunjuk”, Allah menjelaskan kepada mereka sifat orang-orang yang mendapat petunjuk, agar mereka dapat berpegang teguh pada sifat-sifat tersebut. Hal ini disebutkan dalam permulaan surat al-Baqarah, yakni dalam firman Allah Ta’ala: ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2). Hingga firman Allah Ta’ala: أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 5). Kemudian Allah juga memperingatkan mereka dari jalan orang-orang yang sesat dari kalangan orang-orang kafir dan munafik, yang disebutkan dari firman Allah: إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ… “Sesungguhnya orang-orang yang kufur itu sama saja bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah: 6). Hingga firman Allah Ta’ala: وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/11875/46252/لماذا-يحرم-الناس-الهداية؟/PDF Sumber Artikel. 🔍 Bacaan Untuk Meruqyah Diri Sendiri, Hukum Memakai Pensil Alis Dalam Islam, Arti Kata Ghibah, Jodoh Pasti Bertemu Menurut Islam, Contoh Undangan Natal 2011 Visited 1,740 times, 1 visit(s) today Post Views: 855 QRIS donasi Yufid

Mengapa Ada Banyak Orang yang Terhalang dari Hidayah?

لماذا يُحرَم الناس الهداية؟ Oleh: Khalid Ratib د. خالد راتب كثير مِن الناس يَطرُق باب الهداية، فمنهم مَن يُحرَم منها بالكلية حتى يُختم له بالشقاء، ومنهم مَن يتحصَّل على جزء مِن الهداية ويُحرَم الجزء الآخَر، ومنهم مَن يَهتدي لفترة ثم ينقلب بعد ذلك على عقبَيه ويُسلَب الهداية، فما الذي حرَمنا الهداية ونحن نَطلُبها؟ ولماذا تُسلَب منا بعدما تذوَّقنا حلاوتها؟ Banyak orang yang mengetuk pintu hidayah; lalu sebagian mereka ada yang terhalang dari hidayah sepenuhnya, hingga ditetapkan kesengsaraan baginya; dan ada juga dari mereka yang mendapat sebagian hidayah dan terhalang dari hidayah lainnya; lalu ada juga dari mereka yang mendapat hidayah beberapa saat, lalu dia berbalik dan hidayah tercabut darinya. Lalu apa yang sebenarnya menghalangi kita dari hidayah, padahal kita menginginkannya? Dan mengapa hidayah tercabut dari diri kita setelah kita merasakan manisnya? القرآن أجاب لنا عن هذا السؤال؛ يقول الحق سبحانه: ﴿ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾ [البقرة: 258]، ﴿وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [المائدة: 108]، ﴿ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ ﴾ [يوسف: 52]. Al-Quran telah memberi jawaban bagi kita atas pertanyaan ini. Allah Yang Maha Benar berfirman: وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “…Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 258). وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Dan Allah Tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah: 108). وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ “…Dan sungguh Allah tidak memberi petunjuk pada tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (QS. Yusuf: 52). أسباب حِرمان الهداية: السبب الأول – الظُّلم: الظلم ظلُمات في الدنيا والآخِرة، والإنسان يُحرم التوفيقَ إلى الهداية بسبب ظلمه لنفسِه أو لغيره، ومِن الظلم للنفس: • الشِّرك، وهو مِن أقبَح الظُّلم، والذي منه اتخاذ الندِّ والنظير والشريك مع ربِّ العالَمين؛ يحبُّ أحدًا مثل الله، أو يطلُب شيئًا لا يستطيع تلبيتَه له إلا ربُّ العالَمين، أو يُرائي بعمله أو يُسمِّع به؛ لذا الذين لم يُخالطوا إيمانَهم بظلم (بشرك) تتحقَّق لهم الهداية والأمن؛ قال تعالى: ﴿ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ ﴾ [الأنعام: 82]. Sebab-Sebab Terhalang dari Hidayah Sebab Pertama: Kezaliman Kezaliman merupakan kegelapan di dunia dan akhirat. Manusia akan terhalang dari taufik menuju hidayah akibat kezaliman yang dia perbuat terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Di antara bentuk kezaliman terhadap diri sendiri adalah: Perbuatan syirik. Ini merupakan kezaliman yang paling buruk. Di antara bentuknya adalah mengangkat sekutu dan tandingan dalam beribadah kepada Allah Tuhan semesta alam; mencintai sesuatu seperti kecintaan kepada Allah; meminta kepada makhluk sesuatu yang tidak mampu dipenuhi kecuali oleh Allah Tuhan semesta alam; atau melakukan riya dan sum’ah dalam amalannya. Oleh sebab itulah, orang-orang yang tidak mencampurkan keimanannya dengan kezaliman (syirik) adalah orang-orang yang dapat merealisasikan hidayah dan keimanan. Allah Ta’ala berfirman: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82). • ومِن ظلْم الإنسان لنفسِه أيضًا: التمادي في المعاصي، وتَركُ الجوارِح دون ضابط ودون توبة، فتتراكَمُ عليه الذنوب فتَسدُّ باب الهداية عليه؛ لأن الذنوب تُحجِّم حركات الجوارح، وساعتَها لا يستطيع أن يَسلُك طريق الهداية، وقد أكَّد هذا المعنى حديثُ النبي – صلى الله عليه وسلم – حيث قال: ((مَثَل الذي يعمل السيئات، ثم يَعمل الحسنات، كمَثَل رجل كانت عليه دِرْع ضيِّقة قد خنَقتْه، ثم عمل حسنةً فانفكَّت حَلقة، ثم عمل حسَنة أخرى، فانفكَّت أُخرى، حتى يَخرج إلى الأرض))؛ (أخرجه أحمد، والطبراني في “الكبير“، والبغويُّ، وهو حديث قوي)، فالذنوب كالدِّرع الذي يَخنق العاصي ويشلُّ حرَكته، فلا بد من توبة واستِغفار، ودعاء ورجاء، وتذلُّل وعمل صالح حتى يفكَّ أسرك من هذه القيود، وتَرجِع مرة أخرى إلى نعيم الطاعة والهداية. Di antara bentuk kezaliman seseorang terhadap diri sendiri juga adalah terus-menerus berkubang dalam kemaksiatan, dan membiarkan anggota badan tanpa kontrol dan tanpa tobat; sehingga dosa-dosanya semakin menumpuk dan menutup pintu hidayah baginya. Sebab, dosa-dosa akan mengendalikan gerakan anggota badan. Ketika ini sudah terjadi, maka ia tidak dapat menempuh jalan hidayah. Perkara ini telah ditegaskan oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau bersabda: مَثَل الذي يعمل السيئات، ثم يَعمل الحسنات، كمَثَل رجل كانت عليه دِرْع ضيِّقة قد خنَقتْه، ثم عمل حسنةً فانفكَّت حَلقة، ثم عمل حسَنة أخرى، فانفكَّت أُخرى، حتى يَخرج إلى الأرض “Perumpamaan orang yang mengerjakan amalan-amalan buruk, lalu melakukan amalan-amalan baik; bagaikan orang yang berada dalam baju perang yang sempit dan mencekiknya. Lalu dia melakukan amal kebaikan, sehingga terbukalah satu lingkaran besi (dari baju perang itu). Lalu dia melakukan amal kebaikan lainnya, sehingga terbuka juga lingkaran besi yang lain; hingga dia dapat keluar sepenuhnya ke tanah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, at-Thabrani dalam kitab “al-Kabir”, dan al-Baghawi. Hadis ini adalah hadis yang kuat). Jadi, dosa-dosa bagaikan baju perang yang mencekik pelaku maksiat dan menghalangi gerakannya. Oleh sebab itu, kamu harus bertobat dan memohon ampun, berdoa dan berharap, serta tunduk dan melakukan amal saleh, agar kamu dapat terbebas dari ikatan-ikatan itu dan kembali kepada nikmatnya kenikmatan dan hidayah. • ومِن ظلم الإنسان لغيره: الاستطالة في أعراض الناس؛ فلسانُه يَجرح في أعراض الناس بحق أو بغير حق، وإنه لَمِن أربى الرِّبا – أشدُّ مِن رِبا الأموال – أن يَخوض المرء في عِرض أخيه، قال – صلى الله عليه وسلم -: ((إن مِن أربى الرِّبا الاستِطالة في عِرض المسلم بغير حق))؛ رواه أحمد والبزار، ورواة أحمد ثقات. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah membicarakan aib-aib orang lain; lisannya mencederai kehormatan orang lain, baik itu atas dasar yang benar atau tidak. Ini merupakan riba terbesar – lebih berat daripada riba harta – yaitu membahas hal-hal yang mencemari kehormatan saudaranya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إن مِن أربى الرِّبا الاستِطالة في عِرض المسلم بغير حق “Sesungguhnya riba yang paling berat adalah mencemari kehormatan seorang Muslim tanpa alasan yang benar.” (HR. Ahmad dan al-Bazzar; dan para perawi riwayat Imam Ahmad adalah orang-orang yang terpercaya). • ومِن ظلم الإنسان لغيره: تضييع مَن يَعول وقطْع الأرحام التي أمَر الله بوصلِها؛ قال – صلى الله عليه وسلم -: ((كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يقوت))؛ (أخرجه أبو داود، وقال الشيخ الألباني: صحيح)، وفي رواية لأحمد عن وهب قال: إن مولًى لعبدالله بن عَمرو قال له: إني أريد أن أقيم هذا الشَّهر هَهُنا ببيت المقدس، فقال له: تركتَ لأهلِك ما يُقوِّتهم هذا الشهر؟ قال: لا، قال: فارجع إلى أهلك فاترك لهم ما يُقوِّتهم؛ فإني سمعت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول: ((كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يَقوت))، وليس الإيضاعُ إيضاعَ النفَقة عليهم وتلبية حاجاتهم فقط، ولكنَّ الإيضاع الأكبر ألا يَقيَهم عذاب النار التي وقودُها الناس والحجارة، وذلك بتعريفهم حقوقَ الله عليهم، والإعانة على تأديتِها، وكذلك الصبر والمُصابَرة في دعوتهم وإعانتهم على ذلك؛ قال تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴾ [التحريم: 6]، وقال تعالى: ﴿ وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى ﴾ [طه: 132]. وأما عن قطْع الرَّحِم فيقول – صلى الله عليه وسلم -: ((وإن هذه الرَّحم شُجنَةٌ مِن الرحمن – عزَّ وجل – فمَن قطَعها حرَّم الله عليه الجنَّة))؛ رواه أحمد والبزار، ورُواة أحمد ثقات. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, dan memutus silaturahmi yang telah Allah perintahkan untuk dijaga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يقوت “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika dia menelantarkan orang yang menjadi tanggungan nafkahnya.” (HR. Abu Daud. Syaikh al-Albani berkata bahwa hadis ini sahih). Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan dari Wahb bahwa ia menceritakan, “Pembantu Abdullah bin Amr pernah berkata kepada Abdullah bin Amr, ‘Aku ingin pada bulan ini tinggal di sini, di Baitul Maqdis!’ Lalu Abdullah bin Amr menanggapi, ‘Apakah kamu sudah meninggalkan nafkah sehari-hari bagi keluargamu pada bulan ini?’ Pembantu itu menjawab, ‘Belum.’ Abdullah bin Amr berkata, ‘Kalau begitu, pulanglah ke keluargamu, dan tinggalkan bagi mereka nafkah sehari-hari; karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يَقوت “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika dia menelantarkan orang yang menjadi tanggungan nafkahnya.” Penelantaran keluarga bukan hanya dengan penelantaran nafkah dan kebutuhan mereka saja, tapi penelantaran yang paling besar adalah dengan tidak melindungi mereka dari azab neraka – yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Hal ini dapat ditunaikan dengan mengenalkan hak-hak Allah yang harus mereka kerjakan, membantu mereka untuk menunaikannya, dan bersabar terus menerus dalam mengajak dan membantu mereka dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6). Allah Ta’ala juga berfirman: وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132). Sedangkan yang berkaitan dengan pemutusan silaturahmi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وإن هذه الرَّحم شُجنَةٌ مِن الرحمن – عزَّ وجل – فمَن قطَعها حرَّم الله عليه الجنَّة “Sesungguhnya rahim ini berasal dari Allah Yang Maha Pengasih; barang siapa yang memutus silaturahmi, maka Allah akan mengharamkan baginya surga.” (HR. Ahmad dan al-Bazzar; dan para perawi riwayat Imam Ahmad adalah orang-orang yang terpercaya). • ومِن ظُلمِ الإنسان لغيره: أكْل أمول الناس بالباطل، والتعدي على حُقوقهم؛ قال تعالى: ﴿ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [البقرة: 188]، وقال – صلى الله عليه وسلم -: ((مَن ظلَم مِن الأرض شِبرًا طُوِّقه مِن سبع أرَضين))؛ متفق عليه. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, dan merampas hak-hak orang lain. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن ظلَم مِن الأرض شِبرًا طُوِّقه مِن سبع أرَضين “Barang siapa yang merampas sejengkal tanah, maka tanah itu akan dililitkan padanya sebesar tujuh kali lipat bumi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). السبب الثاني: الفسق: ومِن أسباب حِرمان الهداية: الفسْق، وهو الخُروج عن طاعة الله، وأشدُّه النفاق، وكثيرًا ما يَصف ربُّنا المنافقين بهذه الصِّفة، والنِّفاق يَحرم صاحبَه الهداية؛ وذلك لأنه يزيغ القلب عن الطريق المستقيم، وهو أخطر الأمراض التي تُهدِّد المجتمع كلَّه في كل زمان، وما سقَط أناس كثيرون في هاويَة الضَّلال إلا بسبب نِفاقهم، فأزاغ الله قلوبهم لما زاغوا عن طريق الحق بفسقِهم؛ قال تعالى: ﴿ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [الصف: 5]، نسأل الله أن يُطهِّر قلوبنا مِن النِّفاق والرياء. Sebab Kedua: Kefasikan Di antara sebab lain yang menjadi penghalang hidayah adalah kefasikan, yaitu perbuatan yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Kefasikan yang paling besar adalah kemunafikan. Allah sering kali menyebut orang-orang munafik dengan sifat kefasikan ini. Kemunafikan dapat menghalangi hidayah bagi pelakunya; hal ini karena orang munafik memalingkan hatinya dari jalan yang lurus. Kemunafikan merupakan penyakit paling berbahaya yang mengancam seluruh komunitas masyarakat pada setiap zaman. Banyak sekali orang yang terjerumus ke dalam jurang kesesatan karena sifat kemunafikan mereka; sehingga Allah membelokkan hati mereka setelah mereka sendiri membelokkan diri dari jalan yang benar karena perbuatan fasik mereka. Allah Ta’ala berfirman: فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Maka, ketika mereka berpaling (dari perintah Allah), Allah memalingkan hati mereka (dari kebenaran). Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaff: 5). Kita memohon kepada Allah agar menyucikan hati kita dari segala kemunafikan dan sifat riya. السبب الثالث: الخيانة: جرَت سنَّة الله في الكون على أنَّ فُنون الباطل وإن راجَت أوائلُها لا تَلبَث أن تَنقشِع، وأن الخائنين مهما طالتْ خيانتُهم فإنهم سيُكشَفون؛ لأن الخيانة سواء بالقول أو الفعل زاهِقةٌ؛ لأنها باطِل، قال تعالى: ﴿ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [الصف: 5]. ومِن أكبَر الخيانة أن يَخون الإنسان دينَه وأمانته، ويَبيع هذا الدِّين بعرَض قليل؛ قال تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [الأنفال: 27]. Sebab Ketiga: Khianat Telah berlaku Sunnatullah di alam semesta ini bahwa segala bentuk kebatilan – meskipun pada awalnya sangat laris – tidak akan bertahan lama, dan para pengkhianat – meskipun pengkhianatan mereka berlangsung lama – pasti akan terungkap juga; karena pengkhianatan, baik itu dengan ucapan atau perbuatan pasti akan lenyap, karena ia adalah kebatilan. Allah Ta’ala berfirman:  فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Maka, ketika mereka berpaling (dari perintah Allah), Allah memalingkan hati mereka (dari kebenaran). Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaff: 5). Pengkhianatan terbesar adalah ketika seseorang mengkhianati agama dan amanahnya, dan menjual agamanya dengan perkara dunia yang sedikit. Allah Ta’ala berfirman:  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27). وعمومًا، فإن التوغُّل في الظلم أو الفسْق أو الخيانة يَحرم صاحبَه الهداية، وإذا أراد العبد أن يَسلك الهداية ﴿اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴾ [الفاتحة: 6]، إلى أن يلقى الله وهو على ذلك، فلْيتَخلَّص مِن عوائق الهداية؛ وهي الظلم بجميع أنواعه (ظلم الإنسان لنفسِه ولغيره)، ومِن الخروج عن الطاعة، والخيانةِ، ثم يأخذ بأسباب الهداية، فبعدما طلَب اللهُ مِن عباده أن يسألوه الهداية في سورة الفاتحة (اهدِنا)، بيَّن لهم صفات المُهتدين؛ حتى يتمسَّكوا بها، وهذا مذكور في أوائل سورة البقرة مِن قوله تعالى: ﴿ ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ ﴾ [البقرة: 2] إلى قوله تعالى: ﴿ أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴾ [البقرة: 5]، وحذَّرهم كذلك مِن مسالك أهْل الضلال مِن الكافرين والمنافِقين، منقوله تعالى: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ… ﴾ [البقرة: 6] إلى قوله تعالى: ﴿ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴾ [البقرة: 20]. Secara umum, berkubang dalam kezaliman, kefasikan, dan kemunafikan dapat menghalangi pelakunya dari hidayah. Apabila seorang hamba hendak menempuh jalan hidayah,  اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ  “Berilah kami petunjuk menuju jalan yang lurus” (QS. Al-Fatihah: 6) dan tetap di atasnya hingga kelak berjumpa dengan Allah, maka hendaklah dia berlepas diri dari hal-hal yang dapat menghalangi datangnya hidayah; yaitu kezaliman dengan segala bentuknya (kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain), keluar dari ketaatan kepada Allah, dan pengkhianatan; kemudian jemputlah sebab-sebab hidayah.  Setelah Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk meminta hidayah kepada-Nya sebagaimana yang ada dalam surat al-Fatihah “Berilah kami petunjuk”, Allah menjelaskan kepada mereka sifat orang-orang yang mendapat petunjuk, agar mereka dapat berpegang teguh pada sifat-sifat tersebut. Hal ini disebutkan dalam permulaan surat al-Baqarah, yakni dalam firman Allah Ta’ala: ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2). Hingga firman Allah Ta’ala: أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 5). Kemudian Allah juga memperingatkan mereka dari jalan orang-orang yang sesat dari kalangan orang-orang kafir dan munafik, yang disebutkan dari firman Allah: إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ… “Sesungguhnya orang-orang yang kufur itu sama saja bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah: 6). Hingga firman Allah Ta’ala: وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/11875/46252/لماذا-يحرم-الناس-الهداية؟/PDF Sumber Artikel. 🔍 Bacaan Untuk Meruqyah Diri Sendiri, Hukum Memakai Pensil Alis Dalam Islam, Arti Kata Ghibah, Jodoh Pasti Bertemu Menurut Islam, Contoh Undangan Natal 2011 Visited 1,740 times, 1 visit(s) today Post Views: 855 QRIS donasi Yufid
لماذا يُحرَم الناس الهداية؟ Oleh: Khalid Ratib د. خالد راتب كثير مِن الناس يَطرُق باب الهداية، فمنهم مَن يُحرَم منها بالكلية حتى يُختم له بالشقاء، ومنهم مَن يتحصَّل على جزء مِن الهداية ويُحرَم الجزء الآخَر، ومنهم مَن يَهتدي لفترة ثم ينقلب بعد ذلك على عقبَيه ويُسلَب الهداية، فما الذي حرَمنا الهداية ونحن نَطلُبها؟ ولماذا تُسلَب منا بعدما تذوَّقنا حلاوتها؟ Banyak orang yang mengetuk pintu hidayah; lalu sebagian mereka ada yang terhalang dari hidayah sepenuhnya, hingga ditetapkan kesengsaraan baginya; dan ada juga dari mereka yang mendapat sebagian hidayah dan terhalang dari hidayah lainnya; lalu ada juga dari mereka yang mendapat hidayah beberapa saat, lalu dia berbalik dan hidayah tercabut darinya. Lalu apa yang sebenarnya menghalangi kita dari hidayah, padahal kita menginginkannya? Dan mengapa hidayah tercabut dari diri kita setelah kita merasakan manisnya? القرآن أجاب لنا عن هذا السؤال؛ يقول الحق سبحانه: ﴿ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾ [البقرة: 258]، ﴿وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [المائدة: 108]، ﴿ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ ﴾ [يوسف: 52]. Al-Quran telah memberi jawaban bagi kita atas pertanyaan ini. Allah Yang Maha Benar berfirman: وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “…Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 258). وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Dan Allah Tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah: 108). وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ “…Dan sungguh Allah tidak memberi petunjuk pada tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (QS. Yusuf: 52). أسباب حِرمان الهداية: السبب الأول – الظُّلم: الظلم ظلُمات في الدنيا والآخِرة، والإنسان يُحرم التوفيقَ إلى الهداية بسبب ظلمه لنفسِه أو لغيره، ومِن الظلم للنفس: • الشِّرك، وهو مِن أقبَح الظُّلم، والذي منه اتخاذ الندِّ والنظير والشريك مع ربِّ العالَمين؛ يحبُّ أحدًا مثل الله، أو يطلُب شيئًا لا يستطيع تلبيتَه له إلا ربُّ العالَمين، أو يُرائي بعمله أو يُسمِّع به؛ لذا الذين لم يُخالطوا إيمانَهم بظلم (بشرك) تتحقَّق لهم الهداية والأمن؛ قال تعالى: ﴿ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ ﴾ [الأنعام: 82]. Sebab-Sebab Terhalang dari Hidayah Sebab Pertama: Kezaliman Kezaliman merupakan kegelapan di dunia dan akhirat. Manusia akan terhalang dari taufik menuju hidayah akibat kezaliman yang dia perbuat terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Di antara bentuk kezaliman terhadap diri sendiri adalah: Perbuatan syirik. Ini merupakan kezaliman yang paling buruk. Di antara bentuknya adalah mengangkat sekutu dan tandingan dalam beribadah kepada Allah Tuhan semesta alam; mencintai sesuatu seperti kecintaan kepada Allah; meminta kepada makhluk sesuatu yang tidak mampu dipenuhi kecuali oleh Allah Tuhan semesta alam; atau melakukan riya dan sum’ah dalam amalannya. Oleh sebab itulah, orang-orang yang tidak mencampurkan keimanannya dengan kezaliman (syirik) adalah orang-orang yang dapat merealisasikan hidayah dan keimanan. Allah Ta’ala berfirman: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82). • ومِن ظلْم الإنسان لنفسِه أيضًا: التمادي في المعاصي، وتَركُ الجوارِح دون ضابط ودون توبة، فتتراكَمُ عليه الذنوب فتَسدُّ باب الهداية عليه؛ لأن الذنوب تُحجِّم حركات الجوارح، وساعتَها لا يستطيع أن يَسلُك طريق الهداية، وقد أكَّد هذا المعنى حديثُ النبي – صلى الله عليه وسلم – حيث قال: ((مَثَل الذي يعمل السيئات، ثم يَعمل الحسنات، كمَثَل رجل كانت عليه دِرْع ضيِّقة قد خنَقتْه، ثم عمل حسنةً فانفكَّت حَلقة، ثم عمل حسَنة أخرى، فانفكَّت أُخرى، حتى يَخرج إلى الأرض))؛ (أخرجه أحمد، والطبراني في “الكبير“، والبغويُّ، وهو حديث قوي)، فالذنوب كالدِّرع الذي يَخنق العاصي ويشلُّ حرَكته، فلا بد من توبة واستِغفار، ودعاء ورجاء، وتذلُّل وعمل صالح حتى يفكَّ أسرك من هذه القيود، وتَرجِع مرة أخرى إلى نعيم الطاعة والهداية. Di antara bentuk kezaliman seseorang terhadap diri sendiri juga adalah terus-menerus berkubang dalam kemaksiatan, dan membiarkan anggota badan tanpa kontrol dan tanpa tobat; sehingga dosa-dosanya semakin menumpuk dan menutup pintu hidayah baginya. Sebab, dosa-dosa akan mengendalikan gerakan anggota badan. Ketika ini sudah terjadi, maka ia tidak dapat menempuh jalan hidayah. Perkara ini telah ditegaskan oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau bersabda: مَثَل الذي يعمل السيئات، ثم يَعمل الحسنات، كمَثَل رجل كانت عليه دِرْع ضيِّقة قد خنَقتْه، ثم عمل حسنةً فانفكَّت حَلقة، ثم عمل حسَنة أخرى، فانفكَّت أُخرى، حتى يَخرج إلى الأرض “Perumpamaan orang yang mengerjakan amalan-amalan buruk, lalu melakukan amalan-amalan baik; bagaikan orang yang berada dalam baju perang yang sempit dan mencekiknya. Lalu dia melakukan amal kebaikan, sehingga terbukalah satu lingkaran besi (dari baju perang itu). Lalu dia melakukan amal kebaikan lainnya, sehingga terbuka juga lingkaran besi yang lain; hingga dia dapat keluar sepenuhnya ke tanah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, at-Thabrani dalam kitab “al-Kabir”, dan al-Baghawi. Hadis ini adalah hadis yang kuat). Jadi, dosa-dosa bagaikan baju perang yang mencekik pelaku maksiat dan menghalangi gerakannya. Oleh sebab itu, kamu harus bertobat dan memohon ampun, berdoa dan berharap, serta tunduk dan melakukan amal saleh, agar kamu dapat terbebas dari ikatan-ikatan itu dan kembali kepada nikmatnya kenikmatan dan hidayah. • ومِن ظلم الإنسان لغيره: الاستطالة في أعراض الناس؛ فلسانُه يَجرح في أعراض الناس بحق أو بغير حق، وإنه لَمِن أربى الرِّبا – أشدُّ مِن رِبا الأموال – أن يَخوض المرء في عِرض أخيه، قال – صلى الله عليه وسلم -: ((إن مِن أربى الرِّبا الاستِطالة في عِرض المسلم بغير حق))؛ رواه أحمد والبزار، ورواة أحمد ثقات. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah membicarakan aib-aib orang lain; lisannya mencederai kehormatan orang lain, baik itu atas dasar yang benar atau tidak. Ini merupakan riba terbesar – lebih berat daripada riba harta – yaitu membahas hal-hal yang mencemari kehormatan saudaranya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إن مِن أربى الرِّبا الاستِطالة في عِرض المسلم بغير حق “Sesungguhnya riba yang paling berat adalah mencemari kehormatan seorang Muslim tanpa alasan yang benar.” (HR. Ahmad dan al-Bazzar; dan para perawi riwayat Imam Ahmad adalah orang-orang yang terpercaya). • ومِن ظلم الإنسان لغيره: تضييع مَن يَعول وقطْع الأرحام التي أمَر الله بوصلِها؛ قال – صلى الله عليه وسلم -: ((كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يقوت))؛ (أخرجه أبو داود، وقال الشيخ الألباني: صحيح)، وفي رواية لأحمد عن وهب قال: إن مولًى لعبدالله بن عَمرو قال له: إني أريد أن أقيم هذا الشَّهر هَهُنا ببيت المقدس، فقال له: تركتَ لأهلِك ما يُقوِّتهم هذا الشهر؟ قال: لا، قال: فارجع إلى أهلك فاترك لهم ما يُقوِّتهم؛ فإني سمعت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول: ((كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يَقوت))، وليس الإيضاعُ إيضاعَ النفَقة عليهم وتلبية حاجاتهم فقط، ولكنَّ الإيضاع الأكبر ألا يَقيَهم عذاب النار التي وقودُها الناس والحجارة، وذلك بتعريفهم حقوقَ الله عليهم، والإعانة على تأديتِها، وكذلك الصبر والمُصابَرة في دعوتهم وإعانتهم على ذلك؛ قال تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴾ [التحريم: 6]، وقال تعالى: ﴿ وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى ﴾ [طه: 132]. وأما عن قطْع الرَّحِم فيقول – صلى الله عليه وسلم -: ((وإن هذه الرَّحم شُجنَةٌ مِن الرحمن – عزَّ وجل – فمَن قطَعها حرَّم الله عليه الجنَّة))؛ رواه أحمد والبزار، ورُواة أحمد ثقات. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, dan memutus silaturahmi yang telah Allah perintahkan untuk dijaga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يقوت “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika dia menelantarkan orang yang menjadi tanggungan nafkahnya.” (HR. Abu Daud. Syaikh al-Albani berkata bahwa hadis ini sahih). Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan dari Wahb bahwa ia menceritakan, “Pembantu Abdullah bin Amr pernah berkata kepada Abdullah bin Amr, ‘Aku ingin pada bulan ini tinggal di sini, di Baitul Maqdis!’ Lalu Abdullah bin Amr menanggapi, ‘Apakah kamu sudah meninggalkan nafkah sehari-hari bagi keluargamu pada bulan ini?’ Pembantu itu menjawab, ‘Belum.’ Abdullah bin Amr berkata, ‘Kalau begitu, pulanglah ke keluargamu, dan tinggalkan bagi mereka nafkah sehari-hari; karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يَقوت “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika dia menelantarkan orang yang menjadi tanggungan nafkahnya.” Penelantaran keluarga bukan hanya dengan penelantaran nafkah dan kebutuhan mereka saja, tapi penelantaran yang paling besar adalah dengan tidak melindungi mereka dari azab neraka – yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Hal ini dapat ditunaikan dengan mengenalkan hak-hak Allah yang harus mereka kerjakan, membantu mereka untuk menunaikannya, dan bersabar terus menerus dalam mengajak dan membantu mereka dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6). Allah Ta’ala juga berfirman: وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132). Sedangkan yang berkaitan dengan pemutusan silaturahmi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وإن هذه الرَّحم شُجنَةٌ مِن الرحمن – عزَّ وجل – فمَن قطَعها حرَّم الله عليه الجنَّة “Sesungguhnya rahim ini berasal dari Allah Yang Maha Pengasih; barang siapa yang memutus silaturahmi, maka Allah akan mengharamkan baginya surga.” (HR. Ahmad dan al-Bazzar; dan para perawi riwayat Imam Ahmad adalah orang-orang yang terpercaya). • ومِن ظُلمِ الإنسان لغيره: أكْل أمول الناس بالباطل، والتعدي على حُقوقهم؛ قال تعالى: ﴿ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [البقرة: 188]، وقال – صلى الله عليه وسلم -: ((مَن ظلَم مِن الأرض شِبرًا طُوِّقه مِن سبع أرَضين))؛ متفق عليه. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, dan merampas hak-hak orang lain. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن ظلَم مِن الأرض شِبرًا طُوِّقه مِن سبع أرَضين “Barang siapa yang merampas sejengkal tanah, maka tanah itu akan dililitkan padanya sebesar tujuh kali lipat bumi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). السبب الثاني: الفسق: ومِن أسباب حِرمان الهداية: الفسْق، وهو الخُروج عن طاعة الله، وأشدُّه النفاق، وكثيرًا ما يَصف ربُّنا المنافقين بهذه الصِّفة، والنِّفاق يَحرم صاحبَه الهداية؛ وذلك لأنه يزيغ القلب عن الطريق المستقيم، وهو أخطر الأمراض التي تُهدِّد المجتمع كلَّه في كل زمان، وما سقَط أناس كثيرون في هاويَة الضَّلال إلا بسبب نِفاقهم، فأزاغ الله قلوبهم لما زاغوا عن طريق الحق بفسقِهم؛ قال تعالى: ﴿ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [الصف: 5]، نسأل الله أن يُطهِّر قلوبنا مِن النِّفاق والرياء. Sebab Kedua: Kefasikan Di antara sebab lain yang menjadi penghalang hidayah adalah kefasikan, yaitu perbuatan yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Kefasikan yang paling besar adalah kemunafikan. Allah sering kali menyebut orang-orang munafik dengan sifat kefasikan ini. Kemunafikan dapat menghalangi hidayah bagi pelakunya; hal ini karena orang munafik memalingkan hatinya dari jalan yang lurus. Kemunafikan merupakan penyakit paling berbahaya yang mengancam seluruh komunitas masyarakat pada setiap zaman. Banyak sekali orang yang terjerumus ke dalam jurang kesesatan karena sifat kemunafikan mereka; sehingga Allah membelokkan hati mereka setelah mereka sendiri membelokkan diri dari jalan yang benar karena perbuatan fasik mereka. Allah Ta’ala berfirman: فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Maka, ketika mereka berpaling (dari perintah Allah), Allah memalingkan hati mereka (dari kebenaran). Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaff: 5). Kita memohon kepada Allah agar menyucikan hati kita dari segala kemunafikan dan sifat riya. السبب الثالث: الخيانة: جرَت سنَّة الله في الكون على أنَّ فُنون الباطل وإن راجَت أوائلُها لا تَلبَث أن تَنقشِع، وأن الخائنين مهما طالتْ خيانتُهم فإنهم سيُكشَفون؛ لأن الخيانة سواء بالقول أو الفعل زاهِقةٌ؛ لأنها باطِل، قال تعالى: ﴿ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [الصف: 5]. ومِن أكبَر الخيانة أن يَخون الإنسان دينَه وأمانته، ويَبيع هذا الدِّين بعرَض قليل؛ قال تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [الأنفال: 27]. Sebab Ketiga: Khianat Telah berlaku Sunnatullah di alam semesta ini bahwa segala bentuk kebatilan – meskipun pada awalnya sangat laris – tidak akan bertahan lama, dan para pengkhianat – meskipun pengkhianatan mereka berlangsung lama – pasti akan terungkap juga; karena pengkhianatan, baik itu dengan ucapan atau perbuatan pasti akan lenyap, karena ia adalah kebatilan. Allah Ta’ala berfirman:  فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Maka, ketika mereka berpaling (dari perintah Allah), Allah memalingkan hati mereka (dari kebenaran). Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaff: 5). Pengkhianatan terbesar adalah ketika seseorang mengkhianati agama dan amanahnya, dan menjual agamanya dengan perkara dunia yang sedikit. Allah Ta’ala berfirman:  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27). وعمومًا، فإن التوغُّل في الظلم أو الفسْق أو الخيانة يَحرم صاحبَه الهداية، وإذا أراد العبد أن يَسلك الهداية ﴿اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴾ [الفاتحة: 6]، إلى أن يلقى الله وهو على ذلك، فلْيتَخلَّص مِن عوائق الهداية؛ وهي الظلم بجميع أنواعه (ظلم الإنسان لنفسِه ولغيره)، ومِن الخروج عن الطاعة، والخيانةِ، ثم يأخذ بأسباب الهداية، فبعدما طلَب اللهُ مِن عباده أن يسألوه الهداية في سورة الفاتحة (اهدِنا)، بيَّن لهم صفات المُهتدين؛ حتى يتمسَّكوا بها، وهذا مذكور في أوائل سورة البقرة مِن قوله تعالى: ﴿ ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ ﴾ [البقرة: 2] إلى قوله تعالى: ﴿ أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴾ [البقرة: 5]، وحذَّرهم كذلك مِن مسالك أهْل الضلال مِن الكافرين والمنافِقين، منقوله تعالى: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ… ﴾ [البقرة: 6] إلى قوله تعالى: ﴿ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴾ [البقرة: 20]. Secara umum, berkubang dalam kezaliman, kefasikan, dan kemunafikan dapat menghalangi pelakunya dari hidayah. Apabila seorang hamba hendak menempuh jalan hidayah,  اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ  “Berilah kami petunjuk menuju jalan yang lurus” (QS. Al-Fatihah: 6) dan tetap di atasnya hingga kelak berjumpa dengan Allah, maka hendaklah dia berlepas diri dari hal-hal yang dapat menghalangi datangnya hidayah; yaitu kezaliman dengan segala bentuknya (kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain), keluar dari ketaatan kepada Allah, dan pengkhianatan; kemudian jemputlah sebab-sebab hidayah.  Setelah Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk meminta hidayah kepada-Nya sebagaimana yang ada dalam surat al-Fatihah “Berilah kami petunjuk”, Allah menjelaskan kepada mereka sifat orang-orang yang mendapat petunjuk, agar mereka dapat berpegang teguh pada sifat-sifat tersebut. Hal ini disebutkan dalam permulaan surat al-Baqarah, yakni dalam firman Allah Ta’ala: ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2). Hingga firman Allah Ta’ala: أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 5). Kemudian Allah juga memperingatkan mereka dari jalan orang-orang yang sesat dari kalangan orang-orang kafir dan munafik, yang disebutkan dari firman Allah: إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ… “Sesungguhnya orang-orang yang kufur itu sama saja bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah: 6). Hingga firman Allah Ta’ala: وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/11875/46252/لماذا-يحرم-الناس-الهداية؟/PDF Sumber Artikel. 🔍 Bacaan Untuk Meruqyah Diri Sendiri, Hukum Memakai Pensil Alis Dalam Islam, Arti Kata Ghibah, Jodoh Pasti Bertemu Menurut Islam, Contoh Undangan Natal 2011 Visited 1,740 times, 1 visit(s) today Post Views: 855 QRIS donasi Yufid


لماذا يُحرَم الناس الهداية؟ Oleh: Khalid Ratib د. خالد راتب كثير مِن الناس يَطرُق باب الهداية، فمنهم مَن يُحرَم منها بالكلية حتى يُختم له بالشقاء، ومنهم مَن يتحصَّل على جزء مِن الهداية ويُحرَم الجزء الآخَر، ومنهم مَن يَهتدي لفترة ثم ينقلب بعد ذلك على عقبَيه ويُسلَب الهداية، فما الذي حرَمنا الهداية ونحن نَطلُبها؟ ولماذا تُسلَب منا بعدما تذوَّقنا حلاوتها؟ Banyak orang yang mengetuk pintu hidayah; lalu sebagian mereka ada yang terhalang dari hidayah sepenuhnya, hingga ditetapkan kesengsaraan baginya; dan ada juga dari mereka yang mendapat sebagian hidayah dan terhalang dari hidayah lainnya; lalu ada juga dari mereka yang mendapat hidayah beberapa saat, lalu dia berbalik dan hidayah tercabut darinya. Lalu apa yang sebenarnya menghalangi kita dari hidayah, padahal kita menginginkannya? Dan mengapa hidayah tercabut dari diri kita setelah kita merasakan manisnya? القرآن أجاب لنا عن هذا السؤال؛ يقول الحق سبحانه: ﴿ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴾ [البقرة: 258]، ﴿وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [المائدة: 108]، ﴿ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ ﴾ [يوسف: 52]. Al-Quran telah memberi jawaban bagi kita atas pertanyaan ini. Allah Yang Maha Benar berfirman: وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ “…Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 258). وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Dan Allah Tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah: 108). وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ “…Dan sungguh Allah tidak memberi petunjuk pada tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (QS. Yusuf: 52). أسباب حِرمان الهداية: السبب الأول – الظُّلم: الظلم ظلُمات في الدنيا والآخِرة، والإنسان يُحرم التوفيقَ إلى الهداية بسبب ظلمه لنفسِه أو لغيره، ومِن الظلم للنفس: • الشِّرك، وهو مِن أقبَح الظُّلم، والذي منه اتخاذ الندِّ والنظير والشريك مع ربِّ العالَمين؛ يحبُّ أحدًا مثل الله، أو يطلُب شيئًا لا يستطيع تلبيتَه له إلا ربُّ العالَمين، أو يُرائي بعمله أو يُسمِّع به؛ لذا الذين لم يُخالطوا إيمانَهم بظلم (بشرك) تتحقَّق لهم الهداية والأمن؛ قال تعالى: ﴿ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ ﴾ [الأنعام: 82]. Sebab-Sebab Terhalang dari Hidayah Sebab Pertama: Kezaliman Kezaliman merupakan kegelapan di dunia dan akhirat. Manusia akan terhalang dari taufik menuju hidayah akibat kezaliman yang dia perbuat terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Di antara bentuk kezaliman terhadap diri sendiri adalah: Perbuatan syirik. Ini merupakan kezaliman yang paling buruk. Di antara bentuknya adalah mengangkat sekutu dan tandingan dalam beribadah kepada Allah Tuhan semesta alam; mencintai sesuatu seperti kecintaan kepada Allah; meminta kepada makhluk sesuatu yang tidak mampu dipenuhi kecuali oleh Allah Tuhan semesta alam; atau melakukan riya dan sum’ah dalam amalannya. Oleh sebab itulah, orang-orang yang tidak mencampurkan keimanannya dengan kezaliman (syirik) adalah orang-orang yang dapat merealisasikan hidayah dan keimanan. Allah Ta’ala berfirman: الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82). • ومِن ظلْم الإنسان لنفسِه أيضًا: التمادي في المعاصي، وتَركُ الجوارِح دون ضابط ودون توبة، فتتراكَمُ عليه الذنوب فتَسدُّ باب الهداية عليه؛ لأن الذنوب تُحجِّم حركات الجوارح، وساعتَها لا يستطيع أن يَسلُك طريق الهداية، وقد أكَّد هذا المعنى حديثُ النبي – صلى الله عليه وسلم – حيث قال: ((مَثَل الذي يعمل السيئات، ثم يَعمل الحسنات، كمَثَل رجل كانت عليه دِرْع ضيِّقة قد خنَقتْه، ثم عمل حسنةً فانفكَّت حَلقة، ثم عمل حسَنة أخرى، فانفكَّت أُخرى، حتى يَخرج إلى الأرض))؛ (أخرجه أحمد، والطبراني في “الكبير“، والبغويُّ، وهو حديث قوي)، فالذنوب كالدِّرع الذي يَخنق العاصي ويشلُّ حرَكته، فلا بد من توبة واستِغفار، ودعاء ورجاء، وتذلُّل وعمل صالح حتى يفكَّ أسرك من هذه القيود، وتَرجِع مرة أخرى إلى نعيم الطاعة والهداية. Di antara bentuk kezaliman seseorang terhadap diri sendiri juga adalah terus-menerus berkubang dalam kemaksiatan, dan membiarkan anggota badan tanpa kontrol dan tanpa tobat; sehingga dosa-dosanya semakin menumpuk dan menutup pintu hidayah baginya. Sebab, dosa-dosa akan mengendalikan gerakan anggota badan. Ketika ini sudah terjadi, maka ia tidak dapat menempuh jalan hidayah. Perkara ini telah ditegaskan oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau bersabda: مَثَل الذي يعمل السيئات، ثم يَعمل الحسنات، كمَثَل رجل كانت عليه دِرْع ضيِّقة قد خنَقتْه، ثم عمل حسنةً فانفكَّت حَلقة، ثم عمل حسَنة أخرى، فانفكَّت أُخرى، حتى يَخرج إلى الأرض “Perumpamaan orang yang mengerjakan amalan-amalan buruk, lalu melakukan amalan-amalan baik; bagaikan orang yang berada dalam baju perang yang sempit dan mencekiknya. Lalu dia melakukan amal kebaikan, sehingga terbukalah satu lingkaran besi (dari baju perang itu). Lalu dia melakukan amal kebaikan lainnya, sehingga terbuka juga lingkaran besi yang lain; hingga dia dapat keluar sepenuhnya ke tanah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, at-Thabrani dalam kitab “al-Kabir”, dan al-Baghawi. Hadis ini adalah hadis yang kuat). Jadi, dosa-dosa bagaikan baju perang yang mencekik pelaku maksiat dan menghalangi gerakannya. Oleh sebab itu, kamu harus bertobat dan memohon ampun, berdoa dan berharap, serta tunduk dan melakukan amal saleh, agar kamu dapat terbebas dari ikatan-ikatan itu dan kembali kepada nikmatnya kenikmatan dan hidayah. • ومِن ظلم الإنسان لغيره: الاستطالة في أعراض الناس؛ فلسانُه يَجرح في أعراض الناس بحق أو بغير حق، وإنه لَمِن أربى الرِّبا – أشدُّ مِن رِبا الأموال – أن يَخوض المرء في عِرض أخيه، قال – صلى الله عليه وسلم -: ((إن مِن أربى الرِّبا الاستِطالة في عِرض المسلم بغير حق))؛ رواه أحمد والبزار، ورواة أحمد ثقات. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah membicarakan aib-aib orang lain; lisannya mencederai kehormatan orang lain, baik itu atas dasar yang benar atau tidak. Ini merupakan riba terbesar – lebih berat daripada riba harta – yaitu membahas hal-hal yang mencemari kehormatan saudaranya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إن مِن أربى الرِّبا الاستِطالة في عِرض المسلم بغير حق “Sesungguhnya riba yang paling berat adalah mencemari kehormatan seorang Muslim tanpa alasan yang benar.” (HR. Ahmad dan al-Bazzar; dan para perawi riwayat Imam Ahmad adalah orang-orang yang terpercaya). • ومِن ظلم الإنسان لغيره: تضييع مَن يَعول وقطْع الأرحام التي أمَر الله بوصلِها؛ قال – صلى الله عليه وسلم -: ((كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يقوت))؛ (أخرجه أبو داود، وقال الشيخ الألباني: صحيح)، وفي رواية لأحمد عن وهب قال: إن مولًى لعبدالله بن عَمرو قال له: إني أريد أن أقيم هذا الشَّهر هَهُنا ببيت المقدس، فقال له: تركتَ لأهلِك ما يُقوِّتهم هذا الشهر؟ قال: لا، قال: فارجع إلى أهلك فاترك لهم ما يُقوِّتهم؛ فإني سمعت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول: ((كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يَقوت))، وليس الإيضاعُ إيضاعَ النفَقة عليهم وتلبية حاجاتهم فقط، ولكنَّ الإيضاع الأكبر ألا يَقيَهم عذاب النار التي وقودُها الناس والحجارة، وذلك بتعريفهم حقوقَ الله عليهم، والإعانة على تأديتِها، وكذلك الصبر والمُصابَرة في دعوتهم وإعانتهم على ذلك؛ قال تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴾ [التحريم: 6]، وقال تعالى: ﴿ وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى ﴾ [طه: 132]. وأما عن قطْع الرَّحِم فيقول – صلى الله عليه وسلم -: ((وإن هذه الرَّحم شُجنَةٌ مِن الرحمن – عزَّ وجل – فمَن قطَعها حرَّم الله عليه الجنَّة))؛ رواه أحمد والبزار، ورُواة أحمد ثقات. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, dan memutus silaturahmi yang telah Allah perintahkan untuk dijaga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يقوت “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika dia menelantarkan orang yang menjadi tanggungan nafkahnya.” (HR. Abu Daud. Syaikh al-Albani berkata bahwa hadis ini sahih). Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan dari Wahb bahwa ia menceritakan, “Pembantu Abdullah bin Amr pernah berkata kepada Abdullah bin Amr, ‘Aku ingin pada bulan ini tinggal di sini, di Baitul Maqdis!’ Lalu Abdullah bin Amr menanggapi, ‘Apakah kamu sudah meninggalkan nafkah sehari-hari bagi keluargamu pada bulan ini?’ Pembantu itu menjawab, ‘Belum.’ Abdullah bin Amr berkata, ‘Kalau begitu, pulanglah ke keluargamu, dan tinggalkan bagi mereka nafkah sehari-hari; karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  كفى بالمرء إثمًا أن يُضيِّع مَن يَقوت “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika dia menelantarkan orang yang menjadi tanggungan nafkahnya.” Penelantaran keluarga bukan hanya dengan penelantaran nafkah dan kebutuhan mereka saja, tapi penelantaran yang paling besar adalah dengan tidak melindungi mereka dari azab neraka – yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Hal ini dapat ditunaikan dengan mengenalkan hak-hak Allah yang harus mereka kerjakan, membantu mereka untuk menunaikannya, dan bersabar terus menerus dalam mengajak dan membantu mereka dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6). Allah Ta’ala juga berfirman: وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132). Sedangkan yang berkaitan dengan pemutusan silaturahmi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وإن هذه الرَّحم شُجنَةٌ مِن الرحمن – عزَّ وجل – فمَن قطَعها حرَّم الله عليه الجنَّة “Sesungguhnya rahim ini berasal dari Allah Yang Maha Pengasih; barang siapa yang memutus silaturahmi, maka Allah akan mengharamkan baginya surga.” (HR. Ahmad dan al-Bazzar; dan para perawi riwayat Imam Ahmad adalah orang-orang yang terpercaya). • ومِن ظُلمِ الإنسان لغيره: أكْل أمول الناس بالباطل، والتعدي على حُقوقهم؛ قال تعالى: ﴿ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [البقرة: 188]، وقال – صلى الله عليه وسلم -: ((مَن ظلَم مِن الأرض شِبرًا طُوِّقه مِن سبع أرَضين))؛ متفق عليه. Di antara bentuk kezaliman seseorang kepada orang lain adalah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, dan merampas hak-hak orang lain. Allah Ta’ala berfirman: وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن ظلَم مِن الأرض شِبرًا طُوِّقه مِن سبع أرَضين “Barang siapa yang merampas sejengkal tanah, maka tanah itu akan dililitkan padanya sebesar tujuh kali lipat bumi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). السبب الثاني: الفسق: ومِن أسباب حِرمان الهداية: الفسْق، وهو الخُروج عن طاعة الله، وأشدُّه النفاق، وكثيرًا ما يَصف ربُّنا المنافقين بهذه الصِّفة، والنِّفاق يَحرم صاحبَه الهداية؛ وذلك لأنه يزيغ القلب عن الطريق المستقيم، وهو أخطر الأمراض التي تُهدِّد المجتمع كلَّه في كل زمان، وما سقَط أناس كثيرون في هاويَة الضَّلال إلا بسبب نِفاقهم، فأزاغ الله قلوبهم لما زاغوا عن طريق الحق بفسقِهم؛ قال تعالى: ﴿ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [الصف: 5]، نسأل الله أن يُطهِّر قلوبنا مِن النِّفاق والرياء. Sebab Kedua: Kefasikan Di antara sebab lain yang menjadi penghalang hidayah adalah kefasikan, yaitu perbuatan yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Kefasikan yang paling besar adalah kemunafikan. Allah sering kali menyebut orang-orang munafik dengan sifat kefasikan ini. Kemunafikan dapat menghalangi hidayah bagi pelakunya; hal ini karena orang munafik memalingkan hatinya dari jalan yang lurus. Kemunafikan merupakan penyakit paling berbahaya yang mengancam seluruh komunitas masyarakat pada setiap zaman. Banyak sekali orang yang terjerumus ke dalam jurang kesesatan karena sifat kemunafikan mereka; sehingga Allah membelokkan hati mereka setelah mereka sendiri membelokkan diri dari jalan yang benar karena perbuatan fasik mereka. Allah Ta’ala berfirman: فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Maka, ketika mereka berpaling (dari perintah Allah), Allah memalingkan hati mereka (dari kebenaran). Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaff: 5). Kita memohon kepada Allah agar menyucikan hati kita dari segala kemunafikan dan sifat riya. السبب الثالث: الخيانة: جرَت سنَّة الله في الكون على أنَّ فُنون الباطل وإن راجَت أوائلُها لا تَلبَث أن تَنقشِع، وأن الخائنين مهما طالتْ خيانتُهم فإنهم سيُكشَفون؛ لأن الخيانة سواء بالقول أو الفعل زاهِقةٌ؛ لأنها باطِل، قال تعالى: ﴿ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴾ [الصف: 5]. ومِن أكبَر الخيانة أن يَخون الإنسان دينَه وأمانته، ويَبيع هذا الدِّين بعرَض قليل؛ قال تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾ [الأنفال: 27]. Sebab Ketiga: Khianat Telah berlaku Sunnatullah di alam semesta ini bahwa segala bentuk kebatilan – meskipun pada awalnya sangat laris – tidak akan bertahan lama, dan para pengkhianat – meskipun pengkhianatan mereka berlangsung lama – pasti akan terungkap juga; karena pengkhianatan, baik itu dengan ucapan atau perbuatan pasti akan lenyap, karena ia adalah kebatilan. Allah Ta’ala berfirman:  فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “…Maka, ketika mereka berpaling (dari perintah Allah), Allah memalingkan hati mereka (dari kebenaran). Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaff: 5). Pengkhianatan terbesar adalah ketika seseorang mengkhianati agama dan amanahnya, dan menjual agamanya dengan perkara dunia yang sedikit. Allah Ta’ala berfirman:  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27). وعمومًا، فإن التوغُّل في الظلم أو الفسْق أو الخيانة يَحرم صاحبَه الهداية، وإذا أراد العبد أن يَسلك الهداية ﴿اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴾ [الفاتحة: 6]، إلى أن يلقى الله وهو على ذلك، فلْيتَخلَّص مِن عوائق الهداية؛ وهي الظلم بجميع أنواعه (ظلم الإنسان لنفسِه ولغيره)، ومِن الخروج عن الطاعة، والخيانةِ، ثم يأخذ بأسباب الهداية، فبعدما طلَب اللهُ مِن عباده أن يسألوه الهداية في سورة الفاتحة (اهدِنا)، بيَّن لهم صفات المُهتدين؛ حتى يتمسَّكوا بها، وهذا مذكور في أوائل سورة البقرة مِن قوله تعالى: ﴿ ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ ﴾ [البقرة: 2] إلى قوله تعالى: ﴿ أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴾ [البقرة: 5]، وحذَّرهم كذلك مِن مسالك أهْل الضلال مِن الكافرين والمنافِقين، منقوله تعالى: ﴿ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ… ﴾ [البقرة: 6] إلى قوله تعالى: ﴿ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴾ [البقرة: 20]. Secara umum, berkubang dalam kezaliman, kefasikan, dan kemunafikan dapat menghalangi pelakunya dari hidayah. Apabila seorang hamba hendak menempuh jalan hidayah,  اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ  “Berilah kami petunjuk menuju jalan yang lurus” (QS. Al-Fatihah: 6) dan tetap di atasnya hingga kelak berjumpa dengan Allah, maka hendaklah dia berlepas diri dari hal-hal yang dapat menghalangi datangnya hidayah; yaitu kezaliman dengan segala bentuknya (kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain), keluar dari ketaatan kepada Allah, dan pengkhianatan; kemudian jemputlah sebab-sebab hidayah.  Setelah Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk meminta hidayah kepada-Nya sebagaimana yang ada dalam surat al-Fatihah “Berilah kami petunjuk”, Allah menjelaskan kepada mereka sifat orang-orang yang mendapat petunjuk, agar mereka dapat berpegang teguh pada sifat-sifat tersebut. Hal ini disebutkan dalam permulaan surat al-Baqarah, yakni dalam firman Allah Ta’ala: ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2). Hingga firman Allah Ta’ala: أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 5). Kemudian Allah juga memperingatkan mereka dari jalan orang-orang yang sesat dari kalangan orang-orang kafir dan munafik, yang disebutkan dari firman Allah: إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ… “Sesungguhnya orang-orang yang kufur itu sama saja bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah: 6). Hingga firman Allah Ta’ala: وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20). Sumber: https://www.alukah.net/sharia/11875/46252/لماذا-يحرم-الناس-الهداية؟/PDF Sumber Artikel. 🔍 Bacaan Untuk Meruqyah Diri Sendiri, Hukum Memakai Pensil Alis Dalam Islam, Arti Kata Ghibah, Jodoh Pasti Bertemu Menurut Islam, Contoh Undangan Natal 2011 Visited 1,740 times, 1 visit(s) today Post Views: 855 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

5 Akhlak Utama Guru dan Murid dalam Menuntut Ilmu (Belajar dari Ceramah Viral Gus Miftah)

Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya.Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” 1. Guru sebagai TeladanSeorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih)Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya.Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih2. Menjaga Ucapan dalam MengajarDalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman,وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53)Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka.Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah.3. Membantu Jamaah yang MembutuhkanSeorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda,تَهَادَوْا تَحَابُّوا“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan)Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir,هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصالHadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka.Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat.Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak BaikAkhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda,لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا“Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan.Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy,تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,بالأدب تفهم العلم“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka.Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat.Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru5. Memilih Guru yang Berakhlak MuliaPenting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya.Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata,أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ،“Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.”Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak.Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ“Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif)Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita.Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama Doa agar Memiiki Akhlak yang MuliaDalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771).Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari.Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah –@ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu

5 Akhlak Utama Guru dan Murid dalam Menuntut Ilmu (Belajar dari Ceramah Viral Gus Miftah)

Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya.Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” 1. Guru sebagai TeladanSeorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih)Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya.Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih2. Menjaga Ucapan dalam MengajarDalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman,وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53)Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka.Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah.3. Membantu Jamaah yang MembutuhkanSeorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda,تَهَادَوْا تَحَابُّوا“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan)Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir,هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصالHadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka.Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat.Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak BaikAkhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda,لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا“Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan.Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy,تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,بالأدب تفهم العلم“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka.Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat.Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru5. Memilih Guru yang Berakhlak MuliaPenting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya.Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata,أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ،“Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.”Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak.Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ“Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif)Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita.Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama Doa agar Memiiki Akhlak yang MuliaDalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771).Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari.Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah –@ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu
Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya.Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” 1. Guru sebagai TeladanSeorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih)Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya.Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih2. Menjaga Ucapan dalam MengajarDalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman,وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53)Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka.Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah.3. Membantu Jamaah yang MembutuhkanSeorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda,تَهَادَوْا تَحَابُّوا“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan)Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir,هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصالHadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka.Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat.Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak BaikAkhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda,لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا“Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan.Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy,تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,بالأدب تفهم العلم“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka.Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat.Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru5. Memilih Guru yang Berakhlak MuliaPenting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya.Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata,أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ،“Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.”Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak.Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ“Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif)Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita.Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama Doa agar Memiiki Akhlak yang MuliaDalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771).Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari.Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah –@ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu


Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya.Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” 1. Guru sebagai TeladanSeorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih)Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya.Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih2. Menjaga Ucapan dalam MengajarDalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman,وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53)Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka.Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah.3. Membantu Jamaah yang MembutuhkanSeorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda,تَهَادَوْا تَحَابُّوا“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan)Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir,هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصالHadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka.Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat.Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak BaikAkhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda,لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا“Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan.Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy,تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,بالأدب تفهم العلم“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka.Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat.Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru5. Memilih Guru yang Berakhlak MuliaPenting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya.Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata,أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ،“Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.”Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak.Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ“Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif)Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita.Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama Doa agar Memiiki Akhlak yang MuliaDalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771).Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari.Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah –@ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu

Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali

Daftar Isi Toggle Nasab dan kelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-gurunyaAkhlak dan ibadahnyaAkidah dan mazhabnyaKarya-karya yang terkenalPujian para ulama terhadapnyaMurid-muridnyaWafatnya Dalam lintasan sejarah Islam, Ibnu Rajab Al-Hambali dikenal sebagai ulama besar yang mengabdikan hidupnya untuk ibadah, ilmu, dan dakwah. Keilmuan beliau yang mendalam, disertai akhlak mulia dan keteguhan dalam mengikuti Al-Qur’an serta Sunnah, menjadikannya panutan bagi generasi setelahnya. Artikel ini akan mengupas biografi singkat Ibnu Rajab Al-Hambali, mulai dari nasab, perjalanan menuntut ilmu, akidah, kepribadian, hingga karya-karyanya. Semoga pembahasan ini menjadi pelajaran dan inspirasi bagi kita semua dalam meneladani perjalanan hidup beliau yang penuh hikmah. Nasab dan kelahiran Nama lengkap beliau adalah Abdul-Rahman bin Ahmad bin Rajab Al-Baghdadi, yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rajab Al-Hambali. Beliau dijuluki Zainuddin dan termasuk dalam jajaran ulama besar dari kalangan Hanabilah. Ibnu Rajab dilahirkan di Baghdad pada tahun 736 Hijriah. [1] Perjalanan menuntut ilmu Beliau berasal dari keluarga yang penuh dengan ilmu dan ulama. Ayah beliau (Ahmad bin Rajab) dan kakek beliau (Rajab bin Al-Hasan) merupakan ulama besar dan termasuk ahli hadis. Ibnu Rajab Al-Hambali datang bersama ayahnya dari Baghdad ke Damaskus saat masih kecil, pada tahun 744 Hijriah.  Beliau memulai pembelajaran dasar membaca di kuttab sebagaimana anak-anak pada zamannya. Beliau kemudian serius mendalami ilmu dan mengerahkan segala upaya untuk memperolehnya, bahkan melakukan perjalanan berulang kali demi menuntut ilmu. Beliau mempelajari fikih, hadis, dan ilmu lainnya, menguasai pokok-pokoknya, serta mempelajarinya dari para ulama terkemuka di zamannya. Beliau belajar dari banyak ulama hingga unggul dalam berbagai cabang ilmu, seperti tafsir, hadis, ushuluddin, ilmu tasawuf, fikih, dan lain sebagainya. [2] Ibnu Qadhi Syuhbah rahimahullah mengutip dari salah satu gurunya yang berkata, كان قرأ وأتقنَ الفَنَّ، ثم أكبّ على الاشتغال بمعرفة فنون الحديث وعلله ومعانيه “Beliau (Ibnu Rajab Al-Hambali) telah membaca dan menguasai ilmu dengan sangat baik, kemudian berfokus sepenuhnya untuk mendalami berbagai disiplin ilmu hadis, termasuk memahami sanad, illat (cacat hadis), dan maknanya.” [3] Ibnul Mibrad rahimahullah mengatakan, وكان لا يعرفُ شيئًا من أمورِ الدُّنيا، فارغاً عن الرئاسة، ليس له شغلٌ إلاّ الاشتغالِ بالعلم “Beliau tidak mengetahui sedikit pun tentang urusan dunia, tidak mencari jabatan, dan tidak memiliki pekerjaan lain selain menyibukkan diri dengan ilmu.” [4] Guru-gurunya Kesungguhan Ibnu Rajab rahimahullah dalam menuntut ilmu sejak usia dini serta perjalanannya yang berulang kali ke berbagai negeri memberinya kesempatan untuk bertemu dengan banyak ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Hal ini berdampak pada banyaknya jumlah guru dan pembimbingnya. Di antara guru-guru beliau yang masyhur adalah: Petama: Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz Az-Zura’i, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beliau wafat pada tahun 751 H. Kedua: Abu Sa’id Shalahuddin Khalil bin Kaikaladi bin Abdullah Al-‘Ala’i Asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 761 H. Ibnu Rajab mendengar ilmu darinya di Al-Quds. Ketiga: Najmuddin Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Salim bin Barakat bin Sa’ad Ad-Dimasyqi Al-‘Abbadi, yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Khabbaz. Beliau wafat pada tahun 756 H. [5] Selain itu, disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, وسمع بمصر من الميدومي، وبالقاهرة من ابن الملوك، وبدمشق من ابن الخباز، وجمع جمّ، ورافق شيخنا زين الدين العراقي في السماع كثيراً، “Beliau mendengar hadis di Mesir dari Al-Maydumi, di Kairo dari Ibnu Al-Muluk, dan di Damaskus dari Ibnu Al-Khabbaz. Beliau mengumpulkan ilmu dalam jumlah yang besar dan sering mendampingi guru kita, Zainuddin Al-Iraqi, dalam banyak sesi mendengar hadis.” [6] Akhlak dan ibadahnya Beliau dikenal tidak bergaul dengan banyak orang. Disebutkan bahwa beliau menjauhkan diri dari keramaian, tidak berbaur, dan tidak sering berkunjung kepada siapa pun dari kalangan penguasa. Beliau menetap di Madrasah As-Sukariyah di kawasan Al-Qassain, mengemban tugas mengajar di lembaga pendidikan Hambali. Kehidupan beliau sangat sederhana. Meskipun hidup dalam kekurangan, beliau tetap menjaga kehormatan dirinya dengan sikap qana’ah (puas dengan apa yang dimiliki). Ibnu Mibrad rahimahullah mengatakan, أحدُ الأئمةِ الزُّهاد، والعلماءِ العُبَّاد “Beliau termasuk salah satu imam yang zuhud dan ulama yang sangat banyak beribadah.” [7] Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, وكان صاحب عبادة وتهجد “Ibnu Rajab adalah seorang ahli ibadah dan gemar bertahajud.” [8] Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy Akidah dan mazhabnya Ibnu Rajab rahimahullah merupakan seorang ulama berakidah salaf, mengikuti metode Ahli Hadis. Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili mengatakan, فهو سلفي العقيدة على طريقة أهل الحديث يقول بما قال به الصحابة رضي الله عنهم والتابعون والأئمة المشهورون من أئمة السلف الصالح “Beliau berakidah salafy, mengikuti metode Ahli Hadis. Berpegang pada keyakinan yang dianut oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, serta para imam salaf yang masyhur.” Tidak hanya berpegang pada akidah salaf, beliau juga menjadi salah satu pendakwah yang menyeru kepada akidah ini. [9] Terkait mazhab fikih, Ibnu Rajab mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hal ini karena lingkungan tempat tinggalnya dan para ulama yang menjadi gurunya adalah dari kalangan Hanabilah. Namun, meskipun mendalami mazhab Hambali, beliau tidak bersikap fanatik buta terhadapnya. Ibnu Rajab mengedepankan Al-Qur’an dan Sunnah di atas segala pendapat, bahkan jika pendapat itu berasal dari imam mazhab sekalipun. Beliau menjelaskan dalam beberapa karyanya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama dalam hukum syariat dan menjadi acuan yang tidak bisa digantikan oleh pendapat siapa pun jika terbukti bertentangan dengan keduanya. Dengan kedalaman ilmu dan kematangannya, beliau senantiasa menyeru untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan agama dan penentu hukum syar’i. [10] Karya-karya yang terkenal Ibnu Rajab rahimahullah meninggalkan sejumlah karya monumental yang menunjukkan kedalaman ilmu dan kemampuannya. Di antara karya-karya beliau yang terkenal adalah: Pertama: Fathul Bari fi Syarh Al-Bukhari. Penjelasan atas Shahih Al-Bukhari, yang mencakup bagian awal kitab hingga Kitab Jenazah. Karya ini dianggap sebagai salah satu keajaiban di zamannya. Kedua: Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam. Penjelasan atas 50 hadis yang dihimpun oleh Imam An-Nawawi (42 hadis), kemudian ditambah menjadi 50 hadis. Kitab ini merupakan kitab yang sangat besar manfaatnya, layak untuk menjadi perhatian bagi para peneliti dan penuntut ilmu. Ketiga: Latha’if Al-Ma’arif. Buku yang membahas berbagai amalan harian dan bulanan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keempat: Thabaqat Al-Hanabilah. Tambahan atas karya serupa yang sebelumnya disusun oleh Abu Ya’la. Kelima: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Kitab besar tentang kaidah-kaidah fikih yang bermanfaat dan dianggap sebagai salah satu karya paling menonjol di bidangnya. Beberapa orang bahkan menduga isinya adalah kumpulan dari kaidah-kaidah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, namun hal ini tidak benar, karena karya tersebut sepenuhnya merupakan hasil orisinal Ibnu Rajab. [11] Pujian para ulama terhadapnya Ibnu Rajab mendapat pujian dari banyak ulama besar karena ilmunya yang luas, hafalannya yang kuat, dan sikap zuhudnya terhadap dunia. Beliau dipandang sebagai sosok alim yang fokus penuh pada ilmu dan jauh dari kehidupan duniawi. [12] Di antara pujian para ulama terhadap beliau: Pertama: Ibnu Haji berkata, أتقن الفن وصار أعرف أهل عصره بالعلل، وتتبع الطرق “Beliau sangat menguasai bidangnya, menjadi ulama paling ahli pada masanya dalam ilmu ‘ilal (cacat hadis) dan penelusuran sanad.” [13] Kedua: Syamsuddin bin Nashiruddin berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, zuhud, panutan, berkah, hafiz, tiang keilmuan, kepercayaan, dan hujah. Beliau adalah pemberi manfaat bagi umat Islam, penyampai faedah bagi para ahli hadis, salah satu imam yang zuhud, dan ulama yang sangat taat.” Ketiga: Ibnu Qadhi Syuhbah berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, hafiz, zuhud, wara‘, pemimpin kaum Hanabilah, dan ahli hadis terbaik pada masanya.” Keempat: Qadhi Alauddin bin Al-Lahham menyebut beliau sebagai, الِإمامُ العالمُ العلامةُ الأوحدُ الحافظ شيخُ الِإسلام، مجلّى المشكلات، ومُوضح المبهمات “Imam yang alim, ulama yang terkemuka, hafiz, dan satu-satunya pada masanya. Beliau adalah Syekh Islam, pemecah persoalan-persoalan sulit, dan penjelas perkara-perkara yang samar.” [14] Murid-muridnya Ibnu Rajab menjadi guru bagi mayoritas ulama Hambali di Damaskus. Posisi beliau di Syam sangat tinggi, menjadikannya salah satu ulama terkemuka di wilayah tersebut. Reputasi beliau tersebar luas, sehingga banyak pelajar dari berbagai tempat datang untuk belajar darinya, mendengar pelajaran-pelajarannya, dan menghadiri majelis-majelis ilmunya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: Pertama: Alauddin Ali bin Muhammad bin Abbas Al-Ba’li, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Lahham, wafat pada tahun 803 H. Kedua: Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Mulaqqin, wafat pada tahun 804 H. Ketiga: Abu Al-Abbas Ahmad bin Abi Bakr bin Ahmad bin Ali Al-Hamawi Al-Halabi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Ar-Rassam, wafat pada tahun 844 H. [15] Wafatnya Ibnu Rajab wafat pada bulan Ramadan tahun 795 Hijriah di Damaskus. [16] Disebutkan oleh Syamsuddin bin Nashiruddin bahwa beberapa hari sebelum wafat, Ibnu Rajab meminta untuk dibuatkan liang lahad di tempat yang telah ditunjukkannya. Setelah liang tersebut selesai, beliau turun ke dalamnya, berbaring, lalu berkata, “Ini bagus.” Beberapa hari kemudian, beliau wafat, dan jenazahnya dimakamkan di tempat itu. [17] Baca juga: Biografi Syekh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilwal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Ghufaili, Abdullah bin Sulaiman. Ibnu Rajab Al-Hanbali wa Atsaruhu fi Tawdhih Aqidah As-Salaf. Riyadh: Dar Al-Maseer, 1418 H/1998 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (2 Rabiul Akhir 1442 H), sesuai nomor cetakan. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ahmad bin Ali. Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-‘Umr. Ed. Dr. Hasan Habashi. Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyah, 1389 H/1969 M. 4 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Al-Mibrad, Yusuf bin Al-Hasan. Al-Jawhar Al-Munadhdham fi Thabaqat Muta’akhkhi Ashab Ahmad. Tahqiq: Dr. Abdurrahman bin Sulaiman Al-Utsaimin. Kairo: Maktabah Al-Khanji, 1407 H/1987 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (11 Syawal 1436 H), sesuai nomor cetakan. Al-Karmi, Mar’i bin Yusuf. Asy-Syahadah Az-Zakiyyah fi Tsana Al-A’immah ‘ala Ibni Taimiyyah. Beirut: Dar Al-Furqan dan Mu’assasah Ar-Risalah, 1404 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460; lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 59 – 62. [2] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 64-79. [3] Al-Jawhar, hal. 48. [4] Al-Jawhar, hal. 49. [5] Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 87-100. [6] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [7] Al-Jawhar, hal. 47-48. [8] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [9] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 123. [10] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal 125-129. [11] Al-Jawhar, hal. 49-50. [12] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 130. [13] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 461. [14] Al-Jawhar, hal. 47-48. [15] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 104. [16] Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 50; Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [17] Al-Jawhar, hal. 52; dan  Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 49.

Biografi Ibnu Rajab Al-Hambali

Daftar Isi Toggle Nasab dan kelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-gurunyaAkhlak dan ibadahnyaAkidah dan mazhabnyaKarya-karya yang terkenalPujian para ulama terhadapnyaMurid-muridnyaWafatnya Dalam lintasan sejarah Islam, Ibnu Rajab Al-Hambali dikenal sebagai ulama besar yang mengabdikan hidupnya untuk ibadah, ilmu, dan dakwah. Keilmuan beliau yang mendalam, disertai akhlak mulia dan keteguhan dalam mengikuti Al-Qur’an serta Sunnah, menjadikannya panutan bagi generasi setelahnya. Artikel ini akan mengupas biografi singkat Ibnu Rajab Al-Hambali, mulai dari nasab, perjalanan menuntut ilmu, akidah, kepribadian, hingga karya-karyanya. Semoga pembahasan ini menjadi pelajaran dan inspirasi bagi kita semua dalam meneladani perjalanan hidup beliau yang penuh hikmah. Nasab dan kelahiran Nama lengkap beliau adalah Abdul-Rahman bin Ahmad bin Rajab Al-Baghdadi, yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rajab Al-Hambali. Beliau dijuluki Zainuddin dan termasuk dalam jajaran ulama besar dari kalangan Hanabilah. Ibnu Rajab dilahirkan di Baghdad pada tahun 736 Hijriah. [1] Perjalanan menuntut ilmu Beliau berasal dari keluarga yang penuh dengan ilmu dan ulama. Ayah beliau (Ahmad bin Rajab) dan kakek beliau (Rajab bin Al-Hasan) merupakan ulama besar dan termasuk ahli hadis. Ibnu Rajab Al-Hambali datang bersama ayahnya dari Baghdad ke Damaskus saat masih kecil, pada tahun 744 Hijriah.  Beliau memulai pembelajaran dasar membaca di kuttab sebagaimana anak-anak pada zamannya. Beliau kemudian serius mendalami ilmu dan mengerahkan segala upaya untuk memperolehnya, bahkan melakukan perjalanan berulang kali demi menuntut ilmu. Beliau mempelajari fikih, hadis, dan ilmu lainnya, menguasai pokok-pokoknya, serta mempelajarinya dari para ulama terkemuka di zamannya. Beliau belajar dari banyak ulama hingga unggul dalam berbagai cabang ilmu, seperti tafsir, hadis, ushuluddin, ilmu tasawuf, fikih, dan lain sebagainya. [2] Ibnu Qadhi Syuhbah rahimahullah mengutip dari salah satu gurunya yang berkata, كان قرأ وأتقنَ الفَنَّ، ثم أكبّ على الاشتغال بمعرفة فنون الحديث وعلله ومعانيه “Beliau (Ibnu Rajab Al-Hambali) telah membaca dan menguasai ilmu dengan sangat baik, kemudian berfokus sepenuhnya untuk mendalami berbagai disiplin ilmu hadis, termasuk memahami sanad, illat (cacat hadis), dan maknanya.” [3] Ibnul Mibrad rahimahullah mengatakan, وكان لا يعرفُ شيئًا من أمورِ الدُّنيا، فارغاً عن الرئاسة، ليس له شغلٌ إلاّ الاشتغالِ بالعلم “Beliau tidak mengetahui sedikit pun tentang urusan dunia, tidak mencari jabatan, dan tidak memiliki pekerjaan lain selain menyibukkan diri dengan ilmu.” [4] Guru-gurunya Kesungguhan Ibnu Rajab rahimahullah dalam menuntut ilmu sejak usia dini serta perjalanannya yang berulang kali ke berbagai negeri memberinya kesempatan untuk bertemu dengan banyak ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Hal ini berdampak pada banyaknya jumlah guru dan pembimbingnya. Di antara guru-guru beliau yang masyhur adalah: Petama: Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz Az-Zura’i, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beliau wafat pada tahun 751 H. Kedua: Abu Sa’id Shalahuddin Khalil bin Kaikaladi bin Abdullah Al-‘Ala’i Asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 761 H. Ibnu Rajab mendengar ilmu darinya di Al-Quds. Ketiga: Najmuddin Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Salim bin Barakat bin Sa’ad Ad-Dimasyqi Al-‘Abbadi, yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Khabbaz. Beliau wafat pada tahun 756 H. [5] Selain itu, disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, وسمع بمصر من الميدومي، وبالقاهرة من ابن الملوك، وبدمشق من ابن الخباز، وجمع جمّ، ورافق شيخنا زين الدين العراقي في السماع كثيراً، “Beliau mendengar hadis di Mesir dari Al-Maydumi, di Kairo dari Ibnu Al-Muluk, dan di Damaskus dari Ibnu Al-Khabbaz. Beliau mengumpulkan ilmu dalam jumlah yang besar dan sering mendampingi guru kita, Zainuddin Al-Iraqi, dalam banyak sesi mendengar hadis.” [6] Akhlak dan ibadahnya Beliau dikenal tidak bergaul dengan banyak orang. Disebutkan bahwa beliau menjauhkan diri dari keramaian, tidak berbaur, dan tidak sering berkunjung kepada siapa pun dari kalangan penguasa. Beliau menetap di Madrasah As-Sukariyah di kawasan Al-Qassain, mengemban tugas mengajar di lembaga pendidikan Hambali. Kehidupan beliau sangat sederhana. Meskipun hidup dalam kekurangan, beliau tetap menjaga kehormatan dirinya dengan sikap qana’ah (puas dengan apa yang dimiliki). Ibnu Mibrad rahimahullah mengatakan, أحدُ الأئمةِ الزُّهاد، والعلماءِ العُبَّاد “Beliau termasuk salah satu imam yang zuhud dan ulama yang sangat banyak beribadah.” [7] Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, وكان صاحب عبادة وتهجد “Ibnu Rajab adalah seorang ahli ibadah dan gemar bertahajud.” [8] Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy Akidah dan mazhabnya Ibnu Rajab rahimahullah merupakan seorang ulama berakidah salaf, mengikuti metode Ahli Hadis. Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili mengatakan, فهو سلفي العقيدة على طريقة أهل الحديث يقول بما قال به الصحابة رضي الله عنهم والتابعون والأئمة المشهورون من أئمة السلف الصالح “Beliau berakidah salafy, mengikuti metode Ahli Hadis. Berpegang pada keyakinan yang dianut oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, serta para imam salaf yang masyhur.” Tidak hanya berpegang pada akidah salaf, beliau juga menjadi salah satu pendakwah yang menyeru kepada akidah ini. [9] Terkait mazhab fikih, Ibnu Rajab mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hal ini karena lingkungan tempat tinggalnya dan para ulama yang menjadi gurunya adalah dari kalangan Hanabilah. Namun, meskipun mendalami mazhab Hambali, beliau tidak bersikap fanatik buta terhadapnya. Ibnu Rajab mengedepankan Al-Qur’an dan Sunnah di atas segala pendapat, bahkan jika pendapat itu berasal dari imam mazhab sekalipun. Beliau menjelaskan dalam beberapa karyanya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama dalam hukum syariat dan menjadi acuan yang tidak bisa digantikan oleh pendapat siapa pun jika terbukti bertentangan dengan keduanya. Dengan kedalaman ilmu dan kematangannya, beliau senantiasa menyeru untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan agama dan penentu hukum syar’i. [10] Karya-karya yang terkenal Ibnu Rajab rahimahullah meninggalkan sejumlah karya monumental yang menunjukkan kedalaman ilmu dan kemampuannya. Di antara karya-karya beliau yang terkenal adalah: Pertama: Fathul Bari fi Syarh Al-Bukhari. Penjelasan atas Shahih Al-Bukhari, yang mencakup bagian awal kitab hingga Kitab Jenazah. Karya ini dianggap sebagai salah satu keajaiban di zamannya. Kedua: Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam. Penjelasan atas 50 hadis yang dihimpun oleh Imam An-Nawawi (42 hadis), kemudian ditambah menjadi 50 hadis. Kitab ini merupakan kitab yang sangat besar manfaatnya, layak untuk menjadi perhatian bagi para peneliti dan penuntut ilmu. Ketiga: Latha’if Al-Ma’arif. Buku yang membahas berbagai amalan harian dan bulanan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keempat: Thabaqat Al-Hanabilah. Tambahan atas karya serupa yang sebelumnya disusun oleh Abu Ya’la. Kelima: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Kitab besar tentang kaidah-kaidah fikih yang bermanfaat dan dianggap sebagai salah satu karya paling menonjol di bidangnya. Beberapa orang bahkan menduga isinya adalah kumpulan dari kaidah-kaidah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, namun hal ini tidak benar, karena karya tersebut sepenuhnya merupakan hasil orisinal Ibnu Rajab. [11] Pujian para ulama terhadapnya Ibnu Rajab mendapat pujian dari banyak ulama besar karena ilmunya yang luas, hafalannya yang kuat, dan sikap zuhudnya terhadap dunia. Beliau dipandang sebagai sosok alim yang fokus penuh pada ilmu dan jauh dari kehidupan duniawi. [12] Di antara pujian para ulama terhadap beliau: Pertama: Ibnu Haji berkata, أتقن الفن وصار أعرف أهل عصره بالعلل، وتتبع الطرق “Beliau sangat menguasai bidangnya, menjadi ulama paling ahli pada masanya dalam ilmu ‘ilal (cacat hadis) dan penelusuran sanad.” [13] Kedua: Syamsuddin bin Nashiruddin berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, zuhud, panutan, berkah, hafiz, tiang keilmuan, kepercayaan, dan hujah. Beliau adalah pemberi manfaat bagi umat Islam, penyampai faedah bagi para ahli hadis, salah satu imam yang zuhud, dan ulama yang sangat taat.” Ketiga: Ibnu Qadhi Syuhbah berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, hafiz, zuhud, wara‘, pemimpin kaum Hanabilah, dan ahli hadis terbaik pada masanya.” Keempat: Qadhi Alauddin bin Al-Lahham menyebut beliau sebagai, الِإمامُ العالمُ العلامةُ الأوحدُ الحافظ شيخُ الِإسلام، مجلّى المشكلات، ومُوضح المبهمات “Imam yang alim, ulama yang terkemuka, hafiz, dan satu-satunya pada masanya. Beliau adalah Syekh Islam, pemecah persoalan-persoalan sulit, dan penjelas perkara-perkara yang samar.” [14] Murid-muridnya Ibnu Rajab menjadi guru bagi mayoritas ulama Hambali di Damaskus. Posisi beliau di Syam sangat tinggi, menjadikannya salah satu ulama terkemuka di wilayah tersebut. Reputasi beliau tersebar luas, sehingga banyak pelajar dari berbagai tempat datang untuk belajar darinya, mendengar pelajaran-pelajarannya, dan menghadiri majelis-majelis ilmunya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: Pertama: Alauddin Ali bin Muhammad bin Abbas Al-Ba’li, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Lahham, wafat pada tahun 803 H. Kedua: Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Mulaqqin, wafat pada tahun 804 H. Ketiga: Abu Al-Abbas Ahmad bin Abi Bakr bin Ahmad bin Ali Al-Hamawi Al-Halabi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Ar-Rassam, wafat pada tahun 844 H. [15] Wafatnya Ibnu Rajab wafat pada bulan Ramadan tahun 795 Hijriah di Damaskus. [16] Disebutkan oleh Syamsuddin bin Nashiruddin bahwa beberapa hari sebelum wafat, Ibnu Rajab meminta untuk dibuatkan liang lahad di tempat yang telah ditunjukkannya. Setelah liang tersebut selesai, beliau turun ke dalamnya, berbaring, lalu berkata, “Ini bagus.” Beberapa hari kemudian, beliau wafat, dan jenazahnya dimakamkan di tempat itu. [17] Baca juga: Biografi Syekh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilwal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Ghufaili, Abdullah bin Sulaiman. Ibnu Rajab Al-Hanbali wa Atsaruhu fi Tawdhih Aqidah As-Salaf. Riyadh: Dar Al-Maseer, 1418 H/1998 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (2 Rabiul Akhir 1442 H), sesuai nomor cetakan. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ahmad bin Ali. Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-‘Umr. Ed. Dr. Hasan Habashi. Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyah, 1389 H/1969 M. 4 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Al-Mibrad, Yusuf bin Al-Hasan. Al-Jawhar Al-Munadhdham fi Thabaqat Muta’akhkhi Ashab Ahmad. Tahqiq: Dr. Abdurrahman bin Sulaiman Al-Utsaimin. Kairo: Maktabah Al-Khanji, 1407 H/1987 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (11 Syawal 1436 H), sesuai nomor cetakan. Al-Karmi, Mar’i bin Yusuf. Asy-Syahadah Az-Zakiyyah fi Tsana Al-A’immah ‘ala Ibni Taimiyyah. Beirut: Dar Al-Furqan dan Mu’assasah Ar-Risalah, 1404 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460; lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 59 – 62. [2] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 64-79. [3] Al-Jawhar, hal. 48. [4] Al-Jawhar, hal. 49. [5] Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 87-100. [6] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [7] Al-Jawhar, hal. 47-48. [8] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [9] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 123. [10] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal 125-129. [11] Al-Jawhar, hal. 49-50. [12] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 130. [13] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 461. [14] Al-Jawhar, hal. 47-48. [15] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 104. [16] Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 50; Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [17] Al-Jawhar, hal. 52; dan  Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 49.
Daftar Isi Toggle Nasab dan kelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-gurunyaAkhlak dan ibadahnyaAkidah dan mazhabnyaKarya-karya yang terkenalPujian para ulama terhadapnyaMurid-muridnyaWafatnya Dalam lintasan sejarah Islam, Ibnu Rajab Al-Hambali dikenal sebagai ulama besar yang mengabdikan hidupnya untuk ibadah, ilmu, dan dakwah. Keilmuan beliau yang mendalam, disertai akhlak mulia dan keteguhan dalam mengikuti Al-Qur’an serta Sunnah, menjadikannya panutan bagi generasi setelahnya. Artikel ini akan mengupas biografi singkat Ibnu Rajab Al-Hambali, mulai dari nasab, perjalanan menuntut ilmu, akidah, kepribadian, hingga karya-karyanya. Semoga pembahasan ini menjadi pelajaran dan inspirasi bagi kita semua dalam meneladani perjalanan hidup beliau yang penuh hikmah. Nasab dan kelahiran Nama lengkap beliau adalah Abdul-Rahman bin Ahmad bin Rajab Al-Baghdadi, yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rajab Al-Hambali. Beliau dijuluki Zainuddin dan termasuk dalam jajaran ulama besar dari kalangan Hanabilah. Ibnu Rajab dilahirkan di Baghdad pada tahun 736 Hijriah. [1] Perjalanan menuntut ilmu Beliau berasal dari keluarga yang penuh dengan ilmu dan ulama. Ayah beliau (Ahmad bin Rajab) dan kakek beliau (Rajab bin Al-Hasan) merupakan ulama besar dan termasuk ahli hadis. Ibnu Rajab Al-Hambali datang bersama ayahnya dari Baghdad ke Damaskus saat masih kecil, pada tahun 744 Hijriah.  Beliau memulai pembelajaran dasar membaca di kuttab sebagaimana anak-anak pada zamannya. Beliau kemudian serius mendalami ilmu dan mengerahkan segala upaya untuk memperolehnya, bahkan melakukan perjalanan berulang kali demi menuntut ilmu. Beliau mempelajari fikih, hadis, dan ilmu lainnya, menguasai pokok-pokoknya, serta mempelajarinya dari para ulama terkemuka di zamannya. Beliau belajar dari banyak ulama hingga unggul dalam berbagai cabang ilmu, seperti tafsir, hadis, ushuluddin, ilmu tasawuf, fikih, dan lain sebagainya. [2] Ibnu Qadhi Syuhbah rahimahullah mengutip dari salah satu gurunya yang berkata, كان قرأ وأتقنَ الفَنَّ، ثم أكبّ على الاشتغال بمعرفة فنون الحديث وعلله ومعانيه “Beliau (Ibnu Rajab Al-Hambali) telah membaca dan menguasai ilmu dengan sangat baik, kemudian berfokus sepenuhnya untuk mendalami berbagai disiplin ilmu hadis, termasuk memahami sanad, illat (cacat hadis), dan maknanya.” [3] Ibnul Mibrad rahimahullah mengatakan, وكان لا يعرفُ شيئًا من أمورِ الدُّنيا، فارغاً عن الرئاسة، ليس له شغلٌ إلاّ الاشتغالِ بالعلم “Beliau tidak mengetahui sedikit pun tentang urusan dunia, tidak mencari jabatan, dan tidak memiliki pekerjaan lain selain menyibukkan diri dengan ilmu.” [4] Guru-gurunya Kesungguhan Ibnu Rajab rahimahullah dalam menuntut ilmu sejak usia dini serta perjalanannya yang berulang kali ke berbagai negeri memberinya kesempatan untuk bertemu dengan banyak ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Hal ini berdampak pada banyaknya jumlah guru dan pembimbingnya. Di antara guru-guru beliau yang masyhur adalah: Petama: Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz Az-Zura’i, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beliau wafat pada tahun 751 H. Kedua: Abu Sa’id Shalahuddin Khalil bin Kaikaladi bin Abdullah Al-‘Ala’i Asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 761 H. Ibnu Rajab mendengar ilmu darinya di Al-Quds. Ketiga: Najmuddin Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Salim bin Barakat bin Sa’ad Ad-Dimasyqi Al-‘Abbadi, yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Khabbaz. Beliau wafat pada tahun 756 H. [5] Selain itu, disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, وسمع بمصر من الميدومي، وبالقاهرة من ابن الملوك، وبدمشق من ابن الخباز، وجمع جمّ، ورافق شيخنا زين الدين العراقي في السماع كثيراً، “Beliau mendengar hadis di Mesir dari Al-Maydumi, di Kairo dari Ibnu Al-Muluk, dan di Damaskus dari Ibnu Al-Khabbaz. Beliau mengumpulkan ilmu dalam jumlah yang besar dan sering mendampingi guru kita, Zainuddin Al-Iraqi, dalam banyak sesi mendengar hadis.” [6] Akhlak dan ibadahnya Beliau dikenal tidak bergaul dengan banyak orang. Disebutkan bahwa beliau menjauhkan diri dari keramaian, tidak berbaur, dan tidak sering berkunjung kepada siapa pun dari kalangan penguasa. Beliau menetap di Madrasah As-Sukariyah di kawasan Al-Qassain, mengemban tugas mengajar di lembaga pendidikan Hambali. Kehidupan beliau sangat sederhana. Meskipun hidup dalam kekurangan, beliau tetap menjaga kehormatan dirinya dengan sikap qana’ah (puas dengan apa yang dimiliki). Ibnu Mibrad rahimahullah mengatakan, أحدُ الأئمةِ الزُّهاد، والعلماءِ العُبَّاد “Beliau termasuk salah satu imam yang zuhud dan ulama yang sangat banyak beribadah.” [7] Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, وكان صاحب عبادة وتهجد “Ibnu Rajab adalah seorang ahli ibadah dan gemar bertahajud.” [8] Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy Akidah dan mazhabnya Ibnu Rajab rahimahullah merupakan seorang ulama berakidah salaf, mengikuti metode Ahli Hadis. Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili mengatakan, فهو سلفي العقيدة على طريقة أهل الحديث يقول بما قال به الصحابة رضي الله عنهم والتابعون والأئمة المشهورون من أئمة السلف الصالح “Beliau berakidah salafy, mengikuti metode Ahli Hadis. Berpegang pada keyakinan yang dianut oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, serta para imam salaf yang masyhur.” Tidak hanya berpegang pada akidah salaf, beliau juga menjadi salah satu pendakwah yang menyeru kepada akidah ini. [9] Terkait mazhab fikih, Ibnu Rajab mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hal ini karena lingkungan tempat tinggalnya dan para ulama yang menjadi gurunya adalah dari kalangan Hanabilah. Namun, meskipun mendalami mazhab Hambali, beliau tidak bersikap fanatik buta terhadapnya. Ibnu Rajab mengedepankan Al-Qur’an dan Sunnah di atas segala pendapat, bahkan jika pendapat itu berasal dari imam mazhab sekalipun. Beliau menjelaskan dalam beberapa karyanya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama dalam hukum syariat dan menjadi acuan yang tidak bisa digantikan oleh pendapat siapa pun jika terbukti bertentangan dengan keduanya. Dengan kedalaman ilmu dan kematangannya, beliau senantiasa menyeru untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan agama dan penentu hukum syar’i. [10] Karya-karya yang terkenal Ibnu Rajab rahimahullah meninggalkan sejumlah karya monumental yang menunjukkan kedalaman ilmu dan kemampuannya. Di antara karya-karya beliau yang terkenal adalah: Pertama: Fathul Bari fi Syarh Al-Bukhari. Penjelasan atas Shahih Al-Bukhari, yang mencakup bagian awal kitab hingga Kitab Jenazah. Karya ini dianggap sebagai salah satu keajaiban di zamannya. Kedua: Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam. Penjelasan atas 50 hadis yang dihimpun oleh Imam An-Nawawi (42 hadis), kemudian ditambah menjadi 50 hadis. Kitab ini merupakan kitab yang sangat besar manfaatnya, layak untuk menjadi perhatian bagi para peneliti dan penuntut ilmu. Ketiga: Latha’if Al-Ma’arif. Buku yang membahas berbagai amalan harian dan bulanan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keempat: Thabaqat Al-Hanabilah. Tambahan atas karya serupa yang sebelumnya disusun oleh Abu Ya’la. Kelima: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Kitab besar tentang kaidah-kaidah fikih yang bermanfaat dan dianggap sebagai salah satu karya paling menonjol di bidangnya. Beberapa orang bahkan menduga isinya adalah kumpulan dari kaidah-kaidah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, namun hal ini tidak benar, karena karya tersebut sepenuhnya merupakan hasil orisinal Ibnu Rajab. [11] Pujian para ulama terhadapnya Ibnu Rajab mendapat pujian dari banyak ulama besar karena ilmunya yang luas, hafalannya yang kuat, dan sikap zuhudnya terhadap dunia. Beliau dipandang sebagai sosok alim yang fokus penuh pada ilmu dan jauh dari kehidupan duniawi. [12] Di antara pujian para ulama terhadap beliau: Pertama: Ibnu Haji berkata, أتقن الفن وصار أعرف أهل عصره بالعلل، وتتبع الطرق “Beliau sangat menguasai bidangnya, menjadi ulama paling ahli pada masanya dalam ilmu ‘ilal (cacat hadis) dan penelusuran sanad.” [13] Kedua: Syamsuddin bin Nashiruddin berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, zuhud, panutan, berkah, hafiz, tiang keilmuan, kepercayaan, dan hujah. Beliau adalah pemberi manfaat bagi umat Islam, penyampai faedah bagi para ahli hadis, salah satu imam yang zuhud, dan ulama yang sangat taat.” Ketiga: Ibnu Qadhi Syuhbah berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, hafiz, zuhud, wara‘, pemimpin kaum Hanabilah, dan ahli hadis terbaik pada masanya.” Keempat: Qadhi Alauddin bin Al-Lahham menyebut beliau sebagai, الِإمامُ العالمُ العلامةُ الأوحدُ الحافظ شيخُ الِإسلام، مجلّى المشكلات، ومُوضح المبهمات “Imam yang alim, ulama yang terkemuka, hafiz, dan satu-satunya pada masanya. Beliau adalah Syekh Islam, pemecah persoalan-persoalan sulit, dan penjelas perkara-perkara yang samar.” [14] Murid-muridnya Ibnu Rajab menjadi guru bagi mayoritas ulama Hambali di Damaskus. Posisi beliau di Syam sangat tinggi, menjadikannya salah satu ulama terkemuka di wilayah tersebut. Reputasi beliau tersebar luas, sehingga banyak pelajar dari berbagai tempat datang untuk belajar darinya, mendengar pelajaran-pelajarannya, dan menghadiri majelis-majelis ilmunya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: Pertama: Alauddin Ali bin Muhammad bin Abbas Al-Ba’li, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Lahham, wafat pada tahun 803 H. Kedua: Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Mulaqqin, wafat pada tahun 804 H. Ketiga: Abu Al-Abbas Ahmad bin Abi Bakr bin Ahmad bin Ali Al-Hamawi Al-Halabi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Ar-Rassam, wafat pada tahun 844 H. [15] Wafatnya Ibnu Rajab wafat pada bulan Ramadan tahun 795 Hijriah di Damaskus. [16] Disebutkan oleh Syamsuddin bin Nashiruddin bahwa beberapa hari sebelum wafat, Ibnu Rajab meminta untuk dibuatkan liang lahad di tempat yang telah ditunjukkannya. Setelah liang tersebut selesai, beliau turun ke dalamnya, berbaring, lalu berkata, “Ini bagus.” Beberapa hari kemudian, beliau wafat, dan jenazahnya dimakamkan di tempat itu. [17] Baca juga: Biografi Syekh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilwal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Ghufaili, Abdullah bin Sulaiman. Ibnu Rajab Al-Hanbali wa Atsaruhu fi Tawdhih Aqidah As-Salaf. Riyadh: Dar Al-Maseer, 1418 H/1998 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (2 Rabiul Akhir 1442 H), sesuai nomor cetakan. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ahmad bin Ali. Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-‘Umr. Ed. Dr. Hasan Habashi. Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyah, 1389 H/1969 M. 4 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Al-Mibrad, Yusuf bin Al-Hasan. Al-Jawhar Al-Munadhdham fi Thabaqat Muta’akhkhi Ashab Ahmad. Tahqiq: Dr. Abdurrahman bin Sulaiman Al-Utsaimin. Kairo: Maktabah Al-Khanji, 1407 H/1987 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (11 Syawal 1436 H), sesuai nomor cetakan. Al-Karmi, Mar’i bin Yusuf. Asy-Syahadah Az-Zakiyyah fi Tsana Al-A’immah ‘ala Ibni Taimiyyah. Beirut: Dar Al-Furqan dan Mu’assasah Ar-Risalah, 1404 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460; lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 59 – 62. [2] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 64-79. [3] Al-Jawhar, hal. 48. [4] Al-Jawhar, hal. 49. [5] Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 87-100. [6] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [7] Al-Jawhar, hal. 47-48. [8] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [9] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 123. [10] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal 125-129. [11] Al-Jawhar, hal. 49-50. [12] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 130. [13] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 461. [14] Al-Jawhar, hal. 47-48. [15] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 104. [16] Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 50; Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [17] Al-Jawhar, hal. 52; dan  Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 49.


Daftar Isi Toggle Nasab dan kelahiranPerjalanan menuntut ilmuGuru-gurunyaAkhlak dan ibadahnyaAkidah dan mazhabnyaKarya-karya yang terkenalPujian para ulama terhadapnyaMurid-muridnyaWafatnya Dalam lintasan sejarah Islam, Ibnu Rajab Al-Hambali dikenal sebagai ulama besar yang mengabdikan hidupnya untuk ibadah, ilmu, dan dakwah. Keilmuan beliau yang mendalam, disertai akhlak mulia dan keteguhan dalam mengikuti Al-Qur’an serta Sunnah, menjadikannya panutan bagi generasi setelahnya. Artikel ini akan mengupas biografi singkat Ibnu Rajab Al-Hambali, mulai dari nasab, perjalanan menuntut ilmu, akidah, kepribadian, hingga karya-karyanya. Semoga pembahasan ini menjadi pelajaran dan inspirasi bagi kita semua dalam meneladani perjalanan hidup beliau yang penuh hikmah. Nasab dan kelahiran Nama lengkap beliau adalah Abdul-Rahman bin Ahmad bin Rajab Al-Baghdadi, yang kemudian dikenal sebagai Ibnu Rajab Al-Hambali. Beliau dijuluki Zainuddin dan termasuk dalam jajaran ulama besar dari kalangan Hanabilah. Ibnu Rajab dilahirkan di Baghdad pada tahun 736 Hijriah. [1] Perjalanan menuntut ilmu Beliau berasal dari keluarga yang penuh dengan ilmu dan ulama. Ayah beliau (Ahmad bin Rajab) dan kakek beliau (Rajab bin Al-Hasan) merupakan ulama besar dan termasuk ahli hadis. Ibnu Rajab Al-Hambali datang bersama ayahnya dari Baghdad ke Damaskus saat masih kecil, pada tahun 744 Hijriah.  Beliau memulai pembelajaran dasar membaca di kuttab sebagaimana anak-anak pada zamannya. Beliau kemudian serius mendalami ilmu dan mengerahkan segala upaya untuk memperolehnya, bahkan melakukan perjalanan berulang kali demi menuntut ilmu. Beliau mempelajari fikih, hadis, dan ilmu lainnya, menguasai pokok-pokoknya, serta mempelajarinya dari para ulama terkemuka di zamannya. Beliau belajar dari banyak ulama hingga unggul dalam berbagai cabang ilmu, seperti tafsir, hadis, ushuluddin, ilmu tasawuf, fikih, dan lain sebagainya. [2] Ibnu Qadhi Syuhbah rahimahullah mengutip dari salah satu gurunya yang berkata, كان قرأ وأتقنَ الفَنَّ، ثم أكبّ على الاشتغال بمعرفة فنون الحديث وعلله ومعانيه “Beliau (Ibnu Rajab Al-Hambali) telah membaca dan menguasai ilmu dengan sangat baik, kemudian berfokus sepenuhnya untuk mendalami berbagai disiplin ilmu hadis, termasuk memahami sanad, illat (cacat hadis), dan maknanya.” [3] Ibnul Mibrad rahimahullah mengatakan, وكان لا يعرفُ شيئًا من أمورِ الدُّنيا، فارغاً عن الرئاسة، ليس له شغلٌ إلاّ الاشتغالِ بالعلم “Beliau tidak mengetahui sedikit pun tentang urusan dunia, tidak mencari jabatan, dan tidak memiliki pekerjaan lain selain menyibukkan diri dengan ilmu.” [4] Guru-gurunya Kesungguhan Ibnu Rajab rahimahullah dalam menuntut ilmu sejak usia dini serta perjalanannya yang berulang kali ke berbagai negeri memberinya kesempatan untuk bertemu dengan banyak ulama dan mengambil ilmu dari mereka. Hal ini berdampak pada banyaknya jumlah guru dan pembimbingnya. Di antara guru-guru beliau yang masyhur adalah: Petama: Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz Az-Zura’i, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beliau wafat pada tahun 751 H. Kedua: Abu Sa’id Shalahuddin Khalil bin Kaikaladi bin Abdullah Al-‘Ala’i Asy-Syafi’i, yang wafat pada tahun 761 H. Ibnu Rajab mendengar ilmu darinya di Al-Quds. Ketiga: Najmuddin Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Salim bin Barakat bin Sa’ad Ad-Dimasyqi Al-‘Abbadi, yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Khabbaz. Beliau wafat pada tahun 756 H. [5] Selain itu, disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, وسمع بمصر من الميدومي، وبالقاهرة من ابن الملوك، وبدمشق من ابن الخباز، وجمع جمّ، ورافق شيخنا زين الدين العراقي في السماع كثيراً، “Beliau mendengar hadis di Mesir dari Al-Maydumi, di Kairo dari Ibnu Al-Muluk, dan di Damaskus dari Ibnu Al-Khabbaz. Beliau mengumpulkan ilmu dalam jumlah yang besar dan sering mendampingi guru kita, Zainuddin Al-Iraqi, dalam banyak sesi mendengar hadis.” [6] Akhlak dan ibadahnya Beliau dikenal tidak bergaul dengan banyak orang. Disebutkan bahwa beliau menjauhkan diri dari keramaian, tidak berbaur, dan tidak sering berkunjung kepada siapa pun dari kalangan penguasa. Beliau menetap di Madrasah As-Sukariyah di kawasan Al-Qassain, mengemban tugas mengajar di lembaga pendidikan Hambali. Kehidupan beliau sangat sederhana. Meskipun hidup dalam kekurangan, beliau tetap menjaga kehormatan dirinya dengan sikap qana’ah (puas dengan apa yang dimiliki). Ibnu Mibrad rahimahullah mengatakan, أحدُ الأئمةِ الزُّهاد، والعلماءِ العُبَّاد “Beliau termasuk salah satu imam yang zuhud dan ulama yang sangat banyak beribadah.” [7] Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, وكان صاحب عبادة وتهجد “Ibnu Rajab adalah seorang ahli ibadah dan gemar bertahajud.” [8] Baca juga: Biografi Sufyan Ats-Tsauriy Akidah dan mazhabnya Ibnu Rajab rahimahullah merupakan seorang ulama berakidah salaf, mengikuti metode Ahli Hadis. Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Ghufaili mengatakan, فهو سلفي العقيدة على طريقة أهل الحديث يقول بما قال به الصحابة رضي الله عنهم والتابعون والأئمة المشهورون من أئمة السلف الصالح “Beliau berakidah salafy, mengikuti metode Ahli Hadis. Berpegang pada keyakinan yang dianut oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, serta para imam salaf yang masyhur.” Tidak hanya berpegang pada akidah salaf, beliau juga menjadi salah satu pendakwah yang menyeru kepada akidah ini. [9] Terkait mazhab fikih, Ibnu Rajab mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hal ini karena lingkungan tempat tinggalnya dan para ulama yang menjadi gurunya adalah dari kalangan Hanabilah. Namun, meskipun mendalami mazhab Hambali, beliau tidak bersikap fanatik buta terhadapnya. Ibnu Rajab mengedepankan Al-Qur’an dan Sunnah di atas segala pendapat, bahkan jika pendapat itu berasal dari imam mazhab sekalipun. Beliau menjelaskan dalam beberapa karyanya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber utama dalam hukum syariat dan menjadi acuan yang tidak bisa digantikan oleh pendapat siapa pun jika terbukti bertentangan dengan keduanya. Dengan kedalaman ilmu dan kematangannya, beliau senantiasa menyeru untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan agama dan penentu hukum syar’i. [10] Karya-karya yang terkenal Ibnu Rajab rahimahullah meninggalkan sejumlah karya monumental yang menunjukkan kedalaman ilmu dan kemampuannya. Di antara karya-karya beliau yang terkenal adalah: Pertama: Fathul Bari fi Syarh Al-Bukhari. Penjelasan atas Shahih Al-Bukhari, yang mencakup bagian awal kitab hingga Kitab Jenazah. Karya ini dianggap sebagai salah satu keajaiban di zamannya. Kedua: Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam. Penjelasan atas 50 hadis yang dihimpun oleh Imam An-Nawawi (42 hadis), kemudian ditambah menjadi 50 hadis. Kitab ini merupakan kitab yang sangat besar manfaatnya, layak untuk menjadi perhatian bagi para peneliti dan penuntut ilmu. Ketiga: Latha’if Al-Ma’arif. Buku yang membahas berbagai amalan harian dan bulanan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keempat: Thabaqat Al-Hanabilah. Tambahan atas karya serupa yang sebelumnya disusun oleh Abu Ya’la. Kelima: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Kitab besar tentang kaidah-kaidah fikih yang bermanfaat dan dianggap sebagai salah satu karya paling menonjol di bidangnya. Beberapa orang bahkan menduga isinya adalah kumpulan dari kaidah-kaidah Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, namun hal ini tidak benar, karena karya tersebut sepenuhnya merupakan hasil orisinal Ibnu Rajab. [11] Pujian para ulama terhadapnya Ibnu Rajab mendapat pujian dari banyak ulama besar karena ilmunya yang luas, hafalannya yang kuat, dan sikap zuhudnya terhadap dunia. Beliau dipandang sebagai sosok alim yang fokus penuh pada ilmu dan jauh dari kehidupan duniawi. [12] Di antara pujian para ulama terhadap beliau: Pertama: Ibnu Haji berkata, أتقن الفن وصار أعرف أهل عصره بالعلل، وتتبع الطرق “Beliau sangat menguasai bidangnya, menjadi ulama paling ahli pada masanya dalam ilmu ‘ilal (cacat hadis) dan penelusuran sanad.” [13] Kedua: Syamsuddin bin Nashiruddin berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, zuhud, panutan, berkah, hafiz, tiang keilmuan, kepercayaan, dan hujah. Beliau adalah pemberi manfaat bagi umat Islam, penyampai faedah bagi para ahli hadis, salah satu imam yang zuhud, dan ulama yang sangat taat.” Ketiga: Ibnu Qadhi Syuhbah berkata, “Beliau adalah seorang imam, ulama besar, hafiz, zuhud, wara‘, pemimpin kaum Hanabilah, dan ahli hadis terbaik pada masanya.” Keempat: Qadhi Alauddin bin Al-Lahham menyebut beliau sebagai, الِإمامُ العالمُ العلامةُ الأوحدُ الحافظ شيخُ الِإسلام، مجلّى المشكلات، ومُوضح المبهمات “Imam yang alim, ulama yang terkemuka, hafiz, dan satu-satunya pada masanya. Beliau adalah Syekh Islam, pemecah persoalan-persoalan sulit, dan penjelas perkara-perkara yang samar.” [14] Murid-muridnya Ibnu Rajab menjadi guru bagi mayoritas ulama Hambali di Damaskus. Posisi beliau di Syam sangat tinggi, menjadikannya salah satu ulama terkemuka di wilayah tersebut. Reputasi beliau tersebar luas, sehingga banyak pelajar dari berbagai tempat datang untuk belajar darinya, mendengar pelajaran-pelajarannya, dan menghadiri majelis-majelis ilmunya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: Pertama: Alauddin Ali bin Muhammad bin Abbas Al-Ba’li, kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Lahham, wafat pada tahun 803 H. Kedua: Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, yang dikenal sebagai Ibnu Al-Mulaqqin, wafat pada tahun 804 H. Ketiga: Abu Al-Abbas Ahmad bin Abi Bakr bin Ahmad bin Ali Al-Hamawi Al-Halabi Al-Hambali, yang dikenal sebagai Ibnu Ar-Rassam, wafat pada tahun 844 H. [15] Wafatnya Ibnu Rajab wafat pada bulan Ramadan tahun 795 Hijriah di Damaskus. [16] Disebutkan oleh Syamsuddin bin Nashiruddin bahwa beberapa hari sebelum wafat, Ibnu Rajab meminta untuk dibuatkan liang lahad di tempat yang telah ditunjukkannya. Setelah liang tersebut selesai, beliau turun ke dalamnya, berbaring, lalu berkata, “Ini bagus.” Beberapa hari kemudian, beliau wafat, dan jenazahnya dimakamkan di tempat itu. [17] Baca juga: Biografi Syekh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di *** Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumadilwal 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Ghufaili, Abdullah bin Sulaiman. Ibnu Rajab Al-Hanbali wa Atsaruhu fi Tawdhih Aqidah As-Salaf. Riyadh: Dar Al-Maseer, 1418 H/1998 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (2 Rabiul Akhir 1442 H), sesuai nomor cetakan. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ahmad bin Ali. Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-‘Umr. Ed. Dr. Hasan Habashi. Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyah, 1389 H/1969 M. 4 jilid. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan. Ibn Al-Mibrad, Yusuf bin Al-Hasan. Al-Jawhar Al-Munadhdham fi Thabaqat Muta’akhkhi Ashab Ahmad. Tahqiq: Dr. Abdurrahman bin Sulaiman Al-Utsaimin. Kairo: Maktabah Al-Khanji, 1407 H/1987 M. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (11 Syawal 1436 H), sesuai nomor cetakan. Al-Karmi, Mar’i bin Yusuf. Asy-Syahadah Az-Zakiyyah fi Tsana Al-A’immah ‘ala Ibni Taimiyyah. Beirut: Dar Al-Furqan dan Mu’assasah Ar-Risalah, 1404 H. Edisi digital diambil dari Maktabah Syamilah (8 Dzulhijjah 1431 H), sesuai nomor cetakan.   Catatan kaki: [1] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460; lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 59 – 62. [2] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 64-79. [3] Al-Jawhar, hal. 48. [4] Al-Jawhar, hal. 49. [5] Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 87-100. [6] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [7] Al-Jawhar, hal. 47-48. [8] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [9] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 123. [10] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal 125-129. [11] Al-Jawhar, hal. 49-50. [12] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 130. [13] Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 461. [14] Al-Jawhar, hal. 47-48. [15] Ibnu Rajab Al-Hanbali, hal. 104. [16] Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 50; Inba’ Al-Ghumr, jilid 1, hal. 460. [17] Al-Jawhar, hal. 52; dan  Asy-Syahadah Az-Zakiyyah, hal. 49.

Apa Saja Sunnah Shalat? Pelajari Sunnah Ab’adh dan Hay’ah

Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.  Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-TaqribKitab Shalat PENJELASAN SUNNAH AB’ADHAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَانSunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi.Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud)Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir.Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.”Catatan: – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi.– Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh.– Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal. – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh. Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaituِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ“ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).Catatan:– Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya.– Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit. PENJELASAN SUNNAH HAY’AHAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬Hay’at shalat ada lima belas:1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk.2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri. 3. Tawajjuh, membaca doa iftitah.4. Membaca ta’awudz.5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya.6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah).7. Membaca surah setelah Al-Fatihah.8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit. 9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk.10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal.11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud. 12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud.13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat.14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam.15. Salam kedua.  PenjelasanPertama: Mengangkat kedua tanganMengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat:Ketika takbiratul ihram,Ketika turun rukuk,Ketika bangkit dari rukuk,Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga.Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal.Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud.Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri.Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN.Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM.Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat.Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja.Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ“Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih).Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371)Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-FatihahKetujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah.Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah:Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua.Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad).Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail).Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas).Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam:Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah.Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori:Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa.Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha.Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas.Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima WaktuKedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392)Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan,ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائماKeterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99)Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat?Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid).Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali.Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat.Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim.Catatan:Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir.Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri.Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau.Catatan:Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua.Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri.Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan TawarukWalhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat. Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84.– Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPDPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat

Apa Saja Sunnah Shalat? Pelajari Sunnah Ab’adh dan Hay’ah

Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.  Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-TaqribKitab Shalat PENJELASAN SUNNAH AB’ADHAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَانSunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi.Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud)Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir.Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.”Catatan: – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi.– Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh.– Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal. – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh. Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaituِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ“ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).Catatan:– Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya.– Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit. PENJELASAN SUNNAH HAY’AHAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬Hay’at shalat ada lima belas:1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk.2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri. 3. Tawajjuh, membaca doa iftitah.4. Membaca ta’awudz.5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya.6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah).7. Membaca surah setelah Al-Fatihah.8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit. 9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk.10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal.11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud. 12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud.13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat.14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam.15. Salam kedua.  PenjelasanPertama: Mengangkat kedua tanganMengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat:Ketika takbiratul ihram,Ketika turun rukuk,Ketika bangkit dari rukuk,Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga.Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal.Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud.Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri.Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN.Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM.Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat.Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja.Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ“Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih).Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371)Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-FatihahKetujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah.Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah:Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua.Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad).Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail).Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas).Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam:Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah.Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori:Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa.Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha.Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas.Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima WaktuKedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392)Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan,ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائماKeterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99)Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat?Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid).Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali.Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat.Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim.Catatan:Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir.Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri.Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau.Catatan:Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua.Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri.Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan TawarukWalhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat. Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84.– Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPDPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat
Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.  Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-TaqribKitab Shalat PENJELASAN SUNNAH AB’ADHAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَانSunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi.Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud)Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir.Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.”Catatan: – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi.– Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh.– Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal. – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh. Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaituِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ“ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).Catatan:– Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya.– Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit. PENJELASAN SUNNAH HAY’AHAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬Hay’at shalat ada lima belas:1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk.2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri. 3. Tawajjuh, membaca doa iftitah.4. Membaca ta’awudz.5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya.6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah).7. Membaca surah setelah Al-Fatihah.8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit. 9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk.10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal.11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud. 12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud.13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat.14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam.15. Salam kedua.  PenjelasanPertama: Mengangkat kedua tanganMengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat:Ketika takbiratul ihram,Ketika turun rukuk,Ketika bangkit dari rukuk,Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga.Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal.Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud.Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri.Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN.Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM.Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat.Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja.Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ“Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih).Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371)Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-FatihahKetujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah.Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah:Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua.Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad).Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail).Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas).Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam:Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah.Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori:Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa.Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha.Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas.Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima WaktuKedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392)Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan,ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائماKeterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99)Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat?Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid).Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali.Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat.Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim.Catatan:Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir.Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri.Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau.Catatan:Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua.Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri.Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan TawarukWalhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat. Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84.– Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPDPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat


Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.  Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-TaqribKitab Shalat PENJELASAN SUNNAH AB’ADHAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَانSunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi.Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud)Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir.Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.”Catatan: – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi.– Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh.– Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal. – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh. Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaituِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ“ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).Catatan:– Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya.– Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit. PENJELASAN SUNNAH HAY’AHAl-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬Hay’at shalat ada lima belas:1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk.2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri. 3. Tawajjuh, membaca doa iftitah.4. Membaca ta’awudz.5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya.6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah).7. Membaca surah setelah Al-Fatihah.8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit. 9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk.10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal.11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud. 12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud.13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat.14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam.15. Salam kedua.  PenjelasanPertama: Mengangkat kedua tanganMengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat:Ketika takbiratul ihram,Ketika turun rukuk,Ketika bangkit dari rukuk,Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga.Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal.Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud.Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri.Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN.Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM.Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat.Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja.Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ“Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih).Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371)Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-FatihahKetujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah.Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah:Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua.Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad).Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail).Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas).Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam:Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah.Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori:Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa.Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha.Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas.Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima WaktuKedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392)Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan,ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائماKeterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99)Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat?Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid).Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali.Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat.Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim.Catatan:Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir.Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri.Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau.Catatan:Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua.Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri.Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan TawarukWalhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat. Referensi:Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84.– Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPDPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib kitab shalat matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat

Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal

Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.  Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍBab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1021ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ:ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ».ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ».ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌDari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809] Faedah haditsHadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya.Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia. Baca juga: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 1-12Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran Penting di DalamnyaMunculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal Referensi:Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. –Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi

Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal

Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.  Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍBab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1021ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ:ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ».ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ».ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌDari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809] Faedah haditsHadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya.Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia. Baca juga: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 1-12Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran Penting di DalamnyaMunculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal Referensi:Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. –Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi
Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.  Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍBab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1021ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ:ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ».ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ».ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌDari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809] Faedah haditsHadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya.Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia. Baca juga: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 1-12Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran Penting di DalamnyaMunculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal Referensi:Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. –Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi


Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.  Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍBab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1021ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ:ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ».ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ».ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌDari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809] Faedah haditsHadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya.Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia. Baca juga: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 1-12Kisah Ashabul Kahfi dan Pelajaran Penting di DalamnyaMunculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal Referensi:Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. –Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush SholihinPenulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi

Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal

Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1021 ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ». ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ». ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌ Dari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809]   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya. Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. Baca Juga: Munculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal – Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi

Hafal 10 Ayat Surah Al-Kahfi: Perlindungan dari Dajjal

Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1021 ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ». ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ». ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌ Dari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809]   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya. Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. Baca Juga: Munculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal – Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi
Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1021 ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ». ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ». ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌ Dari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809]   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya. Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. Baca Juga: Munculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal – Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi


Surah Al-Kahfi memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah melindungi seorang muslim dari fitnah Dajjal, seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitnah Dajjal adalah ujian besar yang akan terjadi menjelang hari kiamat, dan umat Islam dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan amalan yang dapat menjadi pelindung. Salah satunya adalah menghafal sepuluh ayat pertama atau terakhir dari Surah Al-Kahfi. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang faedah hadits terkait amalan mulia ini.   Daftar Isi tutup 1. Hadits #1021 1.1. Faedah hadits 1.2. Referensi: Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan) ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍ Bab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu   Hadits #1021 ِوعن أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: ِ«مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ». ِوفي رواية: «مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْكَهْفِ». ِرَوَاهُمَا مُسْلِمٌ Dari Abud Darda radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari surah Al-Kahfi akan dilindungi dari Dajjal.” Dalam riwayat lain: “Akhir surah Al-Kahfi.” (HR. Muslim). [HR. Muslim, no. 809]   Faedah hadits Hadits ini menunjukkan keutamaan Surah Al-Kahfi, khususnya sepuluh ayat pertama atau terakhir, yang memiliki manfaat besar dalam melindungi seseorang dari fitnah Dajjal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya tentang bahaya fitnah Dajjal dan memberikan solusi berupa amalan yang dapat melindungi dari bahayanya. Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, dapat menjadi perisai bagi seorang muslim dari berbagai ujian dan keburukan di dunia.   Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:243. Baca Juga: Munculnya Dajjal (1), Bukti Adanya Dajjal – Diselesaikan pada 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan pelindung dari fitnah ashabul kahfi fitnah Dajjal hadits tentang Surah Al-Kahfi Keutamaan Surah Al-Kahfi keutamaan surat al kahfi kisah ashabul kahfi menghafal Al-Qur’an pemuda al kahfi perlindungan dari Dajjal riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail Surah Al-Kahfi dan Dajjal. surat al kahfi

Apa Saja Sunnah Shalat? Pelajari Sunnah Ab’adh dan Hay’ah

Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   PENJELASAN SUNNAH AB’ADH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi. Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud) Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir. Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh 3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.” Catatan:  – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi. – Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh. – Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal.  – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh.  Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu ِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ “ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Catatan: – Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya. – Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit.   PENJELASAN SUNNAH HAY’AH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬ Hay’at shalat ada lima belas: 1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk. 2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri.  3. Tawajjuh, membaca doa iftitah. 4. Membaca ta’awudz. 5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya. 6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah). 7. Membaca surah setelah Al-Fatihah. 8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit.  9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk. 10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal. 11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud.  12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud. 13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat. 14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam. 15. Salam kedua.    Penjelasan Pertama: Mengangkat kedua tangan Mengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat: Ketika takbiratul ihram, Ketika turun rukuk, Ketika bangkit dari rukuk, Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga. Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal. Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud. Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri. Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN. Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM. Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat. Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja. Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371) Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-Fatihah Ketujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah. Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah: Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua. Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad). Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail). Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas). Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam: Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah. Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori: Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa. Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha. Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas. Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima Waktu Kedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392) Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan, ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائما Keterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99) Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat? Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali. Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat. Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim. Catatan: Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir. Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri. Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau. Catatan: Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua. Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri. Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan Tawaruk Walhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84. –   Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPD Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat

Apa Saja Sunnah Shalat? Pelajari Sunnah Ab’adh dan Hay’ah

Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   PENJELASAN SUNNAH AB’ADH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi. Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud) Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir. Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh 3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.” Catatan:  – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi. – Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh. – Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal.  – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh.  Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu ِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ “ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Catatan: – Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya. – Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit.   PENJELASAN SUNNAH HAY’AH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬ Hay’at shalat ada lima belas: 1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk. 2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri.  3. Tawajjuh, membaca doa iftitah. 4. Membaca ta’awudz. 5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya. 6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah). 7. Membaca surah setelah Al-Fatihah. 8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit.  9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk. 10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal. 11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud.  12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud. 13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat. 14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam. 15. Salam kedua.    Penjelasan Pertama: Mengangkat kedua tangan Mengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat: Ketika takbiratul ihram, Ketika turun rukuk, Ketika bangkit dari rukuk, Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga. Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal. Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud. Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri. Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN. Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM. Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat. Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja. Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371) Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-Fatihah Ketujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah. Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah: Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua. Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad). Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail). Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas). Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam: Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah. Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori: Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa. Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha. Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas. Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima Waktu Kedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392) Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan, ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائما Keterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99) Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat? Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali. Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat. Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim. Catatan: Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir. Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri. Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau. Catatan: Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua. Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri. Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan Tawaruk Walhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84. –   Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPD Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat
Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   PENJELASAN SUNNAH AB’ADH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi. Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud) Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir. Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh 3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.” Catatan:  – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi. – Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh. – Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal.  – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh.  Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu ِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ “ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Catatan: – Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya. – Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit.   PENJELASAN SUNNAH HAY’AH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬ Hay’at shalat ada lima belas: 1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk. 2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri.  3. Tawajjuh, membaca doa iftitah. 4. Membaca ta’awudz. 5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya. 6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah). 7. Membaca surah setelah Al-Fatihah. 8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit.  9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk. 10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal. 11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud.  12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud. 13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat. 14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam. 15. Salam kedua.    Penjelasan Pertama: Mengangkat kedua tangan Mengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat: Ketika takbiratul ihram, Ketika turun rukuk, Ketika bangkit dari rukuk, Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga. Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal. Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud. Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri. Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN. Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM. Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat. Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja. Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371) Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-Fatihah Ketujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah. Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah: Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua. Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad). Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail). Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas). Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam: Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah. Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori: Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa. Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha. Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas. Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima Waktu Kedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392) Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan, ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائما Keterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99) Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat? Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali. Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat. Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim. Catatan: Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir. Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri. Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau. Catatan: Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua. Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri. Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan Tawaruk Walhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84. –   Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPD Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat


Berikut adalah penjelasan mengenai tata cara shalat dari segi sunnah, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah. Semoga dengan mempelajari hal ini, kita dapat mengetahui cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. PENJELASAN SUNNAH AB’ADH 4. PENJELASAN SUNNAH HAY’AH 4.1. Penjelasan 4.2. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   PENJELASAN SUNNAH AB’ADH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَسُنَنُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: الأَذَانُ وَالإِقَامَةُ، وَبَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا شَيْئَانِ: التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَالقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي الوِتْرِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَهْرِ رَمَضَان Sunnah-sunnah shalat sebelum memasuki shalat ada dua: azan dan iqamah. Setelah memasuki shalat ada dua: tasyahud awal, qunut pada shalat Shubuh dan pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Sunnah Ab’adh adalah sunnah-sunnah yang jika ditinggalkan dapat ditebus dengan sujud sahwi. Tasyahud awal: dalam shalat tiga rakaat dan empat rakaat. Berdasarkan hadits, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengucapkan tahiyat dalam setiap dua rakaat.” (HR. Muslim dan Abu Daud) Qunut dalam shalat Shubuh dilakukan ketika berdiri setelah rukuk pada rakaat kedua. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam selalu berqunut dalam shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad) Bacaan Qunut: Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhuma: Dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkanku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut witir. Baca juga: Sikap Bijak dalam Menyikapi Qunut Shubuh 3. Qunut pada shalat witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits riwayat Abu Daud disebutkan, “Ubay bin Ka’ab mengimami para jamaah dan ia membaca qunut witir di separuh terakhir dari bulan Ramadhan.” Catatan:  – Tiga hal ini disebut sunnah ab’adh karena memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan rukun shalat. Jika sunnah ab’adh ini tidak dilakukan, kekurangannya dapat ditutupi dengan sujud sahwi. – Shalawat kepada Nabi pada tasyahud awal termasuk dalam sunnah ab’adh. – Shalawat kepada keluarga Nabi tidak disunnahkan dibaca pada tasyahud awal.  – Shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir termasuk sunnah ab’adh.  Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu ِاللَّهُمَّ‭ ‬اهْدِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬هَدَيْتَ‭ ‬وَعَافِنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬عَافَيْتَ‭ ‬وَتَوَلَّنِى‭ ‬فِيمَنْ‭ ‬تَوَلَّيْتَ‭ ‬وَبَارِكْ‭ ‬لِى‭ ‬فِيمَا‭ ‬أَعْطَيْتَ‭ ‬وَقِنِى‭ ‬شَرَّ‭ ‬مَا‭ ‬قَضَيْتَ‭ ‬فَإِنَّكَ‭ ‬تَقْضِى‭ ‬وَلاَ‭ ‬يُقْضَى‭ ‬عَلَيْكَ‭ ‬وَإِنَّهُ‭ ‬لاَ‭ ‬يَذِلُّ‭ ‬مَنْ‭ ‬وَالَيْتَ‭ ‬تَبَارَكْتَ‭ ‬رَبَّنَا‭ ‬وَتَعَالَيْتَ “ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIT, WA ’AAFINI FIIMAN ‘AAFAIT, WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WA BAARIK LII FIIMA A’THOIT, WA QINII SYARRO MAA QODHOIT, FA INNAKA TAQDHI WA LAA YUQDHO ‘ALAIK, WA INNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAAROKTA ROBBANAA WA TA’AALAIT. (artinya: Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud, no. 1425; An-Nasa’i; no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). Catatan: – Bacaan tersebut berlaku jika shalat sendirian, sedangkan jika shalat berjamaah, maka imam menggunakan lafaz jamak dalam doanya. – Orang yang membaca qunut disunnahkan mengangkat tangan dan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit.   PENJELASAN SUNNAH HAY’AH Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, ِوهيئاتها‭ ‬خمس‭ ‬عشرة‭ ‬خصلة‭ ‬رفع‭ ‬اليدين‭ ‬عند‭ ‬تكبيرة‭ ‬الإحرام‭ ‬وعند‭ ‬الركوع‭ ‬والرفع‭ ‬منه‭ ‬ووضع‭ ‬اليمين‭ ‬على‭ ‬الشمال‭ ‬والتوجه‭ ‬والاستعاذة‭ ‬والجهر‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والإسرار‭ ‬في‭ ‬موضوعه‭ ‬والتأمين‭ ‬وقراءة‭ ‬السورة‭ ‬بعد‭ ‬الفاتحة‭ ‬والتكبيرات‭ ‬عند‭ ‬الرفع‭ ‬والخفض‭ ‬وقول‭ ‬سمع‭ ‬الله‭ ‬لمن‭ ‬حمده‭ ‬ربنا‭ ‬لك‭ ‬الحمد‭ ‬والتسبيح‭ ‬في‭ ‬الركوع‭ ‬والسجود‭ ‬ووضع‭ ‬اليدين‭ ‬على‭ ‬الفخذين‭ ‬في‭ ‬الجلوس‭ ‬يبسط‭ ‬اليسرى‭ ‬ويقبض‭ ‬اليمنى‭ ‬إلى‭ ‬المسبحة‭ ‬فإنه‭ ‬يشير‭ ‬بها‭ ‬متشهدا‭ ‬والافتراش‭ ‬في‭ ‬جميع‭ ‬الجلسات‭ ‬والتورك‭ ‬في‭ ‬الجلسة‭ ‬الأخيرة‭ ‬والتسليمة‭ ‬الثانية‭.‬ Hay’at shalat ada lima belas: 1. mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit dari rukuk. 2. Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri.  3. Tawajjuh, membaca doa iftitah. 4. Membaca ta’awudz. 5. Menjahrkan bacaan di tempatnya, mensirrkan bacaan di tempatnya. 6. Membaca aamiin (bakda membaca surah Al-Fatihah). 7. Membaca surah setelah Al-Fatihah. 8. Membaca takbir ketika turun dan ketika bangkit.  9. Membaca sami’allahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk. 10. Membaca robbana lakal hamdu ketika iktidal. 11. Membaca tasbih ketika rukuk dan sujud.  12. Meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk dan membentangkan tangan kiri, sedangkan tangan kanan digenggam lalu jari telunjuk berisyarat ketika membaca tasyahud. 13. Duduk iftirasy pada semua duduk dalam shalat. 14. Duduk tawaruk pada duduk terakhir yang mau salam. 15. Salam kedua.    Penjelasan Pertama: Mengangkat kedua tangan Mengangkat tangan disunnahkan pada empat tempat: Ketika takbiratul ihram, Ketika turun rukuk, Ketika bangkit dari rukuk, Ketika berdiri dari tasyahud awal dan berdiri ke rakaat ketiga. Kedua telapak tangan sejajar pundak dalam keadaan menghadap kiblat. Ketika akan turun rukuk, maka bertakbirlah semisal itu. Ketika bangkit dari rukuk mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, lakukanlah semisal yang dilakukan tadi, dan mengucapkan ROBBANA WA LAKAL HAMDU saat iktidal. Catatan: Mengangkat tangan tidaklah dilakukan ketika akan sujud dan bangkit dari sujud. Kedua: Meletakkan bagian dalam telapak tangan kanan di depan punggung telapak tangan kiri. Letak tangan saat sedekap ini adalah di bawah dada dan di atas pusar, condong ke arah kiri. Ketiga: Membaca doa iftitah. Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca ta’awudz dan surah Al-Fatihah. Lafaz iftitah ini banyak sekali. Di antaranya: WAJAHTU WAJHIYA LILLADZI FATHOROS SAMAWAATI WAL ARDHI HANIIFAA WA MAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLAATII WA NUSUKII WA MAHYAYAA WA MAMAATII LILLAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. LAA SYARIKA LAH. WA BI DZALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN. Keempat: Membaca ta’awudz. Hukumnya adalah sunnah dalam setiap rakaat sebelum membaca basmalah. Hukum membaca ta’awudz adalah secara sirr (lirih) dalam setiap shalat sirriyyah dan jahriyyah. Lafaz ta’awudz yang paling afdal adalah: A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM. Kelima: Jahr pada tempatnya, sirr pada tempatnya. Tempat jahr adalah pada shalat wajib yaitu shalat Shubuh, shalat Maghrib dan Isyak pada rakaat pertama dan kedua. Tempat sirr pada shalat wajib yaitu shalat Zhuhur, Ashar, serta shalat Maghrib pada rakaat ketiga dan shalat Isyak pada rakaat ketiga dan keempat. Catatan: Cara jahr adalah lebih dari mendengar untuk diri sendiri. Sedangkan sirr adalah mendengar untuk dirinya sendiri saja. Keenam: Mengucapkan aamiin bagi imam dan makum. Mengucapkan aamiin merupakan sunnah bagi imam dan makmum setelah bacaan “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin.” Ucapan aamiin ini dibaca dengan suara jelas (jahr) ketika shalat jahriyyah, dan dengan suara pelan (sirr) dalam shalat sirriyyah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِإِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Jika imam membaca ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin,’ maka ucapkanlah ‘aamiin,’ karena para malaikat juga mengucapkan ‘aamiin’ ketika imam mengucapkannya. Siapa saja yang ucapan ‘aamiin’-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. An-Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini sahih). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Membaca aamiin disunnahkan bagi siapa saja yang shalat setelah membaca Al-Fatihah, baik itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Sunnah ini berlaku untuk laki-laki, perempuan, anak-anak, serta untuk mereka yang shalat dalam posisi berdiri, duduk, atau berbaring karena uzur. Membaca aamiin juga disunnahkan baik dalam shalat wajib maupun sunnah, serta dalam shalat dengan bacaan lirih (sirr) maupun bacaan keras (jahr). Tidak ada perselisihan mengenai hal ini dalam Mazhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3:371) Baca juga: Hukum Membaca Aamiin setelah Membaca Surah Al-Fatihah Ketujuh: Membaca surah setelah Al-Fatihah. Dalam shalat berjamaah, imam disunnahkan membaca satu surah atau sebagian surah setelah membaca Al-Fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Hal ini juga disunnahkan bagi orang yang shalat sendirian (munfarid). Adapun bagi makmum, cukup membaca Al-Fatihah, kemudian mendengarkan bacaan surah yang dibacakan oleh imam. Jika makmum memilih untuk membaca surah setelah Al-Fatihah di belakang imam, shalatnya tetap sah. Beberapa ketentuan tambahan untuk bacaan surah setelah Al-Fatihah: Membaca surah hanya pada rakaat pertama dan kedua. Pada shalat Shubuh dan Zhuhur, disunnahkan membaca surah thiwaal al-mufasshol (surah-surah antara Al-Hujurat hingga Al-Balad). Pada shalat Ashar dan Isyak, disunnahkan membaca surah awsath al-mufasshol (surah Asy-Syams dan Al-Lail). Pada shalat Maghrib, disunnahkan membaca surah qishar al-mufasshol (seperti surah Adh-Dhuha hingga An-Naas). Penjelasan dari Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam: Surah Al-Mufashshal adalah kumpulan surah dari Surah Qaaf hingga Surah An-Naas. Ini adalah pendapat yang dianggap sahih oleh mayoritas ulama. Dinamakan al-mufashshal karena di dalamnya terdapat banyak fashl (pemisah) di antara surah-surah, yang dipisahkan dengan basmalah di awal tiap surah. Surah Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga kategori: Thiwaal Al-Mufashshal (surah yang panjang), mencakup surah-surah dari Surah Qaaf hingga Surah ‘Abasa. Awsath Al-Mufashshal (surah yang sedang), dimulai dari akhir surah thiwaal al-mufashshal hingga Surah Adh-Dhuha. Qishaar Al-Mufashshal (surah yang pendek), yaitu sisanya dari Surah Adh-Dhuha hingga Surah An-Naas. Baca juga: Tipe Surah yang Dibaca Nabi dalam Shalat Lima Waktu Kedelapan: Bertakbir ketika turun dan bangkit: takbiratul ihram (termasuk rukun shalat), takbir yang termasuk sunnah hay’ah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ِكان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika berdiri, kemudian ketika rukuk. (HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392) Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan, ِوقوله: يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ … هذا دليل على مقارنة التكبير لهذه الحركات وبسطه عليها فيبدأ بالتكبير حين يشرع في الانتقال إلى الركوع ويمده حتى يصل حد الراكعين … ويبدأ بالتكبير حين يشرع في الهوي إلى السجود ويمده حتى يضع جبهته على الأرض… ويشرع في التكبير للقيام من التشهد الأول حين يشرع في الانتقال ويمده حتى ينتصب قائما Keterangan Abu Hurairah: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk, dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 4:99) Baca juga: Adakah Anjuran Memanjangkan Takbir Intiqal Saat Shalat? Kesembilan: Mengucapkan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” dianjurkan dilakukan oleh imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Kesepuluh: Mengucapkan “ROBBANA LAKAL HAMDU” setelah bangkit dari rukuk juga berlaku untuk imam, makmum, dan munfarid. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Kesebelas: Membaca tasbih saat rukuk dengan mengucapkan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” dan saat sujud dengan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA”. Hadits yang mendasari amalan ini diriwayatkan oleh lima penulis kitab hadits utama. Minimal bacaan tasbih adalah satu kali. Bacaan yang dianggap mencukupi (aqollul kamaal) adalah tiga kali, sementara yang paling sempurna adalah sebelas kali. Kedua belas: Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha saat posisi duduk. Tangan kiri dibentangkan, sementara tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, yang diangkat untuk memberikan isyarat ketika membaca syahadat. Praktik ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Ketiga belas: Duduk iftirasy dilakukan pada setiap duduk dalam shalat. Posisi iftirasy adalah dengan cara duduk di atas punggung kaki kiri yang diratakan di lantai, sementara kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari-jemarinya menghadap kiblat. Keempat belas: Duduk tawaruk dilakukan saat tasyahud akhir. Posisi tawaruk adalah duduk dengan bertumpu pada pangkal paha atau pinggul sebelah kiri, kaki kanan ditegakkan, dan kaki kiri diletakkan di bawah kaki kanan. Amalan ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh empat penulis kitab hadits utama, kecuali Imam Muslim. Catatan: Imam disunnahkan duduk tawaruk karena posisinya berada di tasyahud terakhir. Makmum masbuk tidak duduk tawaruk mengikuti imam, namun hanya melakukannya saat ia berada pada tasyahud terakhir dalam shalatnya sendiri. Kelima belas: Mengucapkan salam kedua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab sunan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri hingga terlihat putihnya pipi beliau. Catatan: Ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM” adalah rukun pada salam pertama, sedangkan tambahan “WA BARAKATUH” bersifat sunnah. Seluruh ucapan “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH” adalah sunnah pada salam kedua. Disunnahkan memulai salam dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat, kemudian menoleh ke kanan pada salam pertama. Hal yang sama dilakukan pada salam kedua, salam dimulai dengan menghadapkan wajah ke kiblat lalu menoleh ke kiri. Baca juga: Penjelasan Dalil Lengkap Kapan Duduk Iftirasy dan Tawaruk Walhamdulillah selesai pembahasan sunnah ab’adh dan sunnah hay’ah sehingga bila digabungkan dengan rukun shalat lengkaplah cara shalat dengan memenuhi wajib dan sunnah shalat.   Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:79-84. –   Direvisi pada 21 November 2024, 19 Jumadal Ula 1446 H, perjalanan Darush Sholihin Panggang – MPD Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagscara shalat matan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat sunnah shalat tata cara shalat

5 Akhlak Utama Guru dan Murid dalam Menuntut Ilmu (Belajar dari Ceramah Viral Gus Miftah)

Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”   1. Guru sebagai Teladan Seorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih) Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih 2. Menjaga Ucapan dalam Mengajar Dalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman, وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ “Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka. Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah. 3. Membantu Jamaah yang Membutuhkan Seorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda, تَهَادَوْا تَحَابُّوا “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan) Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir, هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصال Hadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka. Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat. Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah 4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak Baik Akhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda, لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan. Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy, تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, بالأدب تفهم العلم “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka. Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat. Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru 5. Memilih Guru yang Berakhlak Mulia Penting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata, أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ، “Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.” Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak. Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ “Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif) Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita. Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama   Doa agar Memiiki Akhlak yang Mulia Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a, اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ “Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771). Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari. Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak   Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah   – @ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu

5 Akhlak Utama Guru dan Murid dalam Menuntut Ilmu (Belajar dari Ceramah Viral Gus Miftah)

Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”   1. Guru sebagai Teladan Seorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih) Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih 2. Menjaga Ucapan dalam Mengajar Dalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman, وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ “Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka. Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah. 3. Membantu Jamaah yang Membutuhkan Seorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda, تَهَادَوْا تَحَابُّوا “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan) Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir, هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصال Hadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka. Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat. Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah 4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak Baik Akhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda, لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan. Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy, تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, بالأدب تفهم العلم “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka. Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat. Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru 5. Memilih Guru yang Berakhlak Mulia Penting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata, أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ، “Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.” Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak. Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ “Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif) Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita. Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama   Doa agar Memiiki Akhlak yang Mulia Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a, اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ “Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771). Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari. Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak   Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah   – @ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu
Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”   1. Guru sebagai Teladan Seorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih) Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih 2. Menjaga Ucapan dalam Mengajar Dalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman, وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ “Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka. Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah. 3. Membantu Jamaah yang Membutuhkan Seorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda, تَهَادَوْا تَحَابُّوا “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan) Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir, هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصال Hadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka. Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat. Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah 4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak Baik Akhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda, لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan. Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy, تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, بالأدب تفهم العلم “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka. Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat. Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru 5. Memilih Guru yang Berakhlak Mulia Penting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata, أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ، “Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.” Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak. Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ “Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif) Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita. Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama   Doa agar Memiiki Akhlak yang Mulia Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a, اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ “Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771). Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari. Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak   Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah   – @ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu


Menuntut ilmu bukan hanya soal memperkaya wawasan, tetapi juga memperindah akhlak. Guru dan murid memiliki peran besar dalam menjaga adab dan etika selama proses belajar-mengajar. Ceramah viral Gus Miftah yang merendahkan penjual es teh mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak, baik sebagai pengajar maupun pembelajar. Akhlak yang baik tidak hanya menjadi perhiasan ilmu, tetapi juga pintu keberkahan dan manfaatnya. Dalam tulisan ini, kita akan membahas lima akhlak utama yang harus dimiliki oleh guru dan murid, dengan inspirasi dari nasihat Gus Miftah yang patut direnungkan. Mari jadikan adab sebagai prioritas dalam menuntut ilmu, sebagaimana pesan para ulama terdahulu: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.”   1. Guru sebagai Teladan Seorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai panutan dalam akhlak dan perilaku. Setiap tindakan dan ucapan guru menjadi contoh bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menjaga adab dan akhlak yang mulia. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad, 2:381, sahih) Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, guru dapat menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Baca juga: 13 Akhlak Utama Salafush Shalih 2. Menjaga Ucapan dalam Mengajar Dalam menyampaikan ilmu, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak menyinggung perasaan jamaah atau murid, juga tidak sampai merendahkan. Ucapan yang baik dan bijak akan lebih mudah diterima dan dipahami. Sebagaimana Allah berfirman, وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ “Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).” (QS. Al-Isra: 53) Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan maksud ayat di atas: Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu yang beriman, agar hendaknya mereka bertutur kata yang baik lagi bagus dalam komunikasi dan perbincangan mereka. Dengan menjaga ucapan, guru dapat membangun hubungan yang harmonis dengan murid dan jamaah. 3. Membantu Jamaah yang Membutuhkan Seorang guru hendaknya peka terhadap kebutuhan jamaah dan berusaha membantu mereka yang dalam kesulitan. Tindakan ini akan menumbuhkan rasa cinta dan saling menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda, تَهَادَوْا تَحَابُّوا “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6:169, hasan) Seorang penyair Arab menyatakan dalam sebuah sya’ir, هدايا الناس بعضهم لبعض تولد في قلوبهم الوصال Hadiah yang diberikan oleh sebagian orang kepada yang lain bisa menumbuhkan rasa saling mencintai di hati mereka. Dengan saling membantu dan memberi, hubungan antara guru dan jamaah akan semakin erat. Baca juga: Jangan Lupa Oleh-Oleh, Keutamaan Saling Memberi Hadiah 4. Menjadi Guru dan Murid yang Berakhlak Baik Akhlak yang baik adalah fondasi dalam proses belajar-mengajar. Baik guru maupun murid memiliki kewajiban untuk menjaga adab agar ilmu yang diajarkan dan dipelajari menjadi berkah. Seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid-muridnya, sementara murid wajib menghormati gurunya. Rasulullah ﷺ bersabda, لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا “Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi no. 1919. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan) Hadis ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kasih sayang dan penghormatan dalam hubungan antara guru dan murid. Kasih sayang dari seorang guru menciptakan suasana belajar yang nyaman, sementara penghormatan dari murid kepada guru adalah bentuk pengakuan terhadap ilmu yang disampaikan. Para ulama terdahulu sangat menekankan pentingnya adab dalam proses belajar. Imam Malik rahimahullah pernah menasihati seorang pemuda Quraisy, تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa adab harus didahulukan? Karena akhlak yang baik akan mempermudah seseorang dalam memahami dan mengamalkan ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, بالأدب تفهم العلم “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Adab seorang murid dalam menghormati guru mencakup cara berbicara, mendengar dengan penuh perhatian, dan tidak membantah secara kasar. Sebaliknya, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik muridnya, menasihati dengan lemah lembut, serta mengedepankan kasih sayang dalam mengarahkan mereka. Dengan menjaga adab dan akhlak, proses belajar-mengajar tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa keberkahan. Seorang guru menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, dan murid tumbuh menjadi pribadi yang berilmu serta berakhlak mulia. Semua ini adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan akhirat. Baca juga: Berbagai Tulisan Adab pada Guru 5. Memilih Guru yang Berakhlak Mulia Penting bagi seorang murid untuk memilih guru yang memiliki akhlak yang baik, sehingga dapat meneladani perilaku yang mulia. Guru yang baik tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan teladan akhlak dan etika yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari guru yang berakhlak baik akan mempengaruhi pembentukan karakter murid, karena seorang murid cenderung meniru akhlak gurunya. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-Ta’allum berkata, أَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ: فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَ الأَعْلَم وَالأَوْرَعَ وَالأَسَنَّ، كَمَا اخْتَارَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ، رَحِمَ اللهُ عَلَيْهِ، حَمَّادَ بْنَ سُلَيْمَانَ، بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفْكِيْرِ، “Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’, dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.” Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan dalam memilih guru agar ilmu yang dipelajari tidak hanya berdampak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga memperbaiki akhlak. Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ مَثَلَ العلماءِ في الأرْضِ، كَمَثَلِ النجومِ في السماءِ يُهتَدَى بها في ظُلُماتِ البرِّ والبحرِ، فإذا انطمَسَتِ النجومُ، أوشكَ أنْ تضلَّ الهداةُ “Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, dhaif) Hadis ini mengajarkan bahwa ulama adalah penerang jalan bagi umat dalam kegelapan kebodohan dan kebingungan. Oleh karena itu, memilih ulama yang benar-benar berilmu dan berakhlak mulia sangat penting untuk membimbing hidup kita. Baca juga: Kiat Orang Awam dalam Belajar Agama   Doa agar Memiiki Akhlak yang Mulia Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a, اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ “Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim, no. 771). Semoga Allah menjaga para guru yang telah membimbing kita dengan ilmu yang bermanfaat. Mari kita renungkan dan amalkan lima pelajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari. Baca juga: Banyak Ilmu, Tetapi Gak Beradab dan Berakhlak   Tonton video short Youtube: 5 Hal yang Harus Diperbaiki Gus Miftah   – @ Perjalanan Solo – Gunungkidul, 3 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 5 Desember 2024 Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsadab belajar adab majelis adab menuntut ilmu akhlak dalam Islam akhlak guru akhlak mulia akhlak murid belajar akhlak dari Gus Miftah. ceramah Gus Miftah etika belajar guru sebagai teladan Gus Miftah hadis tentang akhlak hubungan guru dan murid Islam dan pendidikan manfaat ilmu memilih guru yang baik Menuntut ilmu pentingnya adab sebelum ilmu

Gimana Caranya ketika Hasrat Ingin B3rz1na Menggebu-gebu? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Misalnya, jika seorang pemuda tebersit keinginan dalam dirinya untuk berbicara dengan seorang pemudi melalui ponsel atau media lainnya dengan pembicaraan yang mengandung dosa, meskipun itu tidak sampai berzina, maka hendaknya dia mengingat sabda Nabi yang agung dan komprehensif ini: “Apa kau rela jika ibumu dizinai? Apa kau rela jika putrimu dizinai? Apa kau rela jika saudarimu dizinai? Apa kau rela jika bibimu dizinai?” Lalu, orang-orang berdosa yang memanfaatkan perangkat-perangkat modern ini untuk menggoda para pemudi, mendekati mereka secara perlahan, dan memikat mereka dengan cara keji, sedikit demi sedikit. Tidakkah para pendosa tersebut ingat dengan sabda agung dari Nabi yang mulia ʿalaihiṣ ṣalātu was salām ini? Ya, lebih dari itu, tidakkah mereka khawatir bahwa apa yang mereka lakukan terhadap putri-putri kaum muslimin akan menimpa keluarga mereka sendiri?! Hal ini juga disarikan dari sebuah hadis. Para ulama berkata, “Zina adalah utang.” “Zina adalah utang.” Ada juga riwayat dari Imam Syafi’i raẖimahullāh taʿālā yang mengatakan: “Zina adalah utang. Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya akan datang dari keluargamu.” “Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya berasal dari keluargamu.” ==== مَثَلًا لَوْ أَنَّ الشَّابَّ حَدَّثَتْهُ نَفْسُهُ أَنْ يَتَخَاطَبَ مَعَ فَتَاتٍ عَبْرَ جَوَّالٍ أَوْ غَيْرِهِ مُخَاطَبَةً آثِمَةً حَتَّى وَلَوْ لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ الزِّنَا فَلْيَتَذَكَّرْ هَذَا الْكَلَامَ الْعَظِيمَ الْجَامِعَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لاِبْنَتِكَ؟ أَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ ؟ ثُمَّ أُولَئِكَ الآثِمُونَ الَّذِينَ اسْتَغَلُّوا هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ الْحَدِيثَةَ وَأَخَذُوا مِنْ خِلَالِهَا يُوَرِّطُونَ بَعْضَ الْفَتَيَاتِ وَيَسْتَدْرِجُونَ بَعْضَ الْبَنَاتِ وَيَبْتَزُّونَ بَعْضَ الْغَافِلَاتِ عَبْرَ خُطُوَاتٍ وَخُطُوَاتٍ أَلَا يَتَذَكَّرُ هَؤُلَاءِ الْآثِمُونَ هَذَا الْحَدِيثَ الْعَظِيمَ عَنِ النَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ نَعَمْ وَأَيْضًا أَمَا يَخْشَى هَؤُلَاءِ أَنْ يُسَلَّطَ عَلَيْهِمْ فِي مِثْلِ مَا تَسَلَّطَ بِهِ عَلَى بَنَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا الْمَعْنَى أَيْضًا مُسْتَفَادٌ مِنَ الْحَدِيثِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ وَفِي هَذَا مَا يُرْوَى عَنِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الزِّنَا دَيْنٌ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ

Gimana Caranya ketika Hasrat Ingin B3rz1na Menggebu-gebu? – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Misalnya, jika seorang pemuda tebersit keinginan dalam dirinya untuk berbicara dengan seorang pemudi melalui ponsel atau media lainnya dengan pembicaraan yang mengandung dosa, meskipun itu tidak sampai berzina, maka hendaknya dia mengingat sabda Nabi yang agung dan komprehensif ini: “Apa kau rela jika ibumu dizinai? Apa kau rela jika putrimu dizinai? Apa kau rela jika saudarimu dizinai? Apa kau rela jika bibimu dizinai?” Lalu, orang-orang berdosa yang memanfaatkan perangkat-perangkat modern ini untuk menggoda para pemudi, mendekati mereka secara perlahan, dan memikat mereka dengan cara keji, sedikit demi sedikit. Tidakkah para pendosa tersebut ingat dengan sabda agung dari Nabi yang mulia ʿalaihiṣ ṣalātu was salām ini? Ya, lebih dari itu, tidakkah mereka khawatir bahwa apa yang mereka lakukan terhadap putri-putri kaum muslimin akan menimpa keluarga mereka sendiri?! Hal ini juga disarikan dari sebuah hadis. Para ulama berkata, “Zina adalah utang.” “Zina adalah utang.” Ada juga riwayat dari Imam Syafi’i raẖimahullāh taʿālā yang mengatakan: “Zina adalah utang. Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya akan datang dari keluargamu.” “Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya berasal dari keluargamu.” ==== مَثَلًا لَوْ أَنَّ الشَّابَّ حَدَّثَتْهُ نَفْسُهُ أَنْ يَتَخَاطَبَ مَعَ فَتَاتٍ عَبْرَ جَوَّالٍ أَوْ غَيْرِهِ مُخَاطَبَةً آثِمَةً حَتَّى وَلَوْ لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ الزِّنَا فَلْيَتَذَكَّرْ هَذَا الْكَلَامَ الْعَظِيمَ الْجَامِعَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لاِبْنَتِكَ؟ أَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ ؟ ثُمَّ أُولَئِكَ الآثِمُونَ الَّذِينَ اسْتَغَلُّوا هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ الْحَدِيثَةَ وَأَخَذُوا مِنْ خِلَالِهَا يُوَرِّطُونَ بَعْضَ الْفَتَيَاتِ وَيَسْتَدْرِجُونَ بَعْضَ الْبَنَاتِ وَيَبْتَزُّونَ بَعْضَ الْغَافِلَاتِ عَبْرَ خُطُوَاتٍ وَخُطُوَاتٍ أَلَا يَتَذَكَّرُ هَؤُلَاءِ الْآثِمُونَ هَذَا الْحَدِيثَ الْعَظِيمَ عَنِ النَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ نَعَمْ وَأَيْضًا أَمَا يَخْشَى هَؤُلَاءِ أَنْ يُسَلَّطَ عَلَيْهِمْ فِي مِثْلِ مَا تَسَلَّطَ بِهِ عَلَى بَنَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا الْمَعْنَى أَيْضًا مُسْتَفَادٌ مِنَ الْحَدِيثِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ وَفِي هَذَا مَا يُرْوَى عَنِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الزِّنَا دَيْنٌ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ
Misalnya, jika seorang pemuda tebersit keinginan dalam dirinya untuk berbicara dengan seorang pemudi melalui ponsel atau media lainnya dengan pembicaraan yang mengandung dosa, meskipun itu tidak sampai berzina, maka hendaknya dia mengingat sabda Nabi yang agung dan komprehensif ini: “Apa kau rela jika ibumu dizinai? Apa kau rela jika putrimu dizinai? Apa kau rela jika saudarimu dizinai? Apa kau rela jika bibimu dizinai?” Lalu, orang-orang berdosa yang memanfaatkan perangkat-perangkat modern ini untuk menggoda para pemudi, mendekati mereka secara perlahan, dan memikat mereka dengan cara keji, sedikit demi sedikit. Tidakkah para pendosa tersebut ingat dengan sabda agung dari Nabi yang mulia ʿalaihiṣ ṣalātu was salām ini? Ya, lebih dari itu, tidakkah mereka khawatir bahwa apa yang mereka lakukan terhadap putri-putri kaum muslimin akan menimpa keluarga mereka sendiri?! Hal ini juga disarikan dari sebuah hadis. Para ulama berkata, “Zina adalah utang.” “Zina adalah utang.” Ada juga riwayat dari Imam Syafi’i raẖimahullāh taʿālā yang mengatakan: “Zina adalah utang. Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya akan datang dari keluargamu.” “Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya berasal dari keluargamu.” ==== مَثَلًا لَوْ أَنَّ الشَّابَّ حَدَّثَتْهُ نَفْسُهُ أَنْ يَتَخَاطَبَ مَعَ فَتَاتٍ عَبْرَ جَوَّالٍ أَوْ غَيْرِهِ مُخَاطَبَةً آثِمَةً حَتَّى وَلَوْ لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ الزِّنَا فَلْيَتَذَكَّرْ هَذَا الْكَلَامَ الْعَظِيمَ الْجَامِعَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لاِبْنَتِكَ؟ أَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ ؟ ثُمَّ أُولَئِكَ الآثِمُونَ الَّذِينَ اسْتَغَلُّوا هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ الْحَدِيثَةَ وَأَخَذُوا مِنْ خِلَالِهَا يُوَرِّطُونَ بَعْضَ الْفَتَيَاتِ وَيَسْتَدْرِجُونَ بَعْضَ الْبَنَاتِ وَيَبْتَزُّونَ بَعْضَ الْغَافِلَاتِ عَبْرَ خُطُوَاتٍ وَخُطُوَاتٍ أَلَا يَتَذَكَّرُ هَؤُلَاءِ الْآثِمُونَ هَذَا الْحَدِيثَ الْعَظِيمَ عَنِ النَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ نَعَمْ وَأَيْضًا أَمَا يَخْشَى هَؤُلَاءِ أَنْ يُسَلَّطَ عَلَيْهِمْ فِي مِثْلِ مَا تَسَلَّطَ بِهِ عَلَى بَنَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا الْمَعْنَى أَيْضًا مُسْتَفَادٌ مِنَ الْحَدِيثِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ وَفِي هَذَا مَا يُرْوَى عَنِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الزِّنَا دَيْنٌ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ


Misalnya, jika seorang pemuda tebersit keinginan dalam dirinya untuk berbicara dengan seorang pemudi melalui ponsel atau media lainnya dengan pembicaraan yang mengandung dosa, meskipun itu tidak sampai berzina, maka hendaknya dia mengingat sabda Nabi yang agung dan komprehensif ini: “Apa kau rela jika ibumu dizinai? Apa kau rela jika putrimu dizinai? Apa kau rela jika saudarimu dizinai? Apa kau rela jika bibimu dizinai?” Lalu, orang-orang berdosa yang memanfaatkan perangkat-perangkat modern ini untuk menggoda para pemudi, mendekati mereka secara perlahan, dan memikat mereka dengan cara keji, sedikit demi sedikit. Tidakkah para pendosa tersebut ingat dengan sabda agung dari Nabi yang mulia ʿalaihiṣ ṣalātu was salām ini? Ya, lebih dari itu, tidakkah mereka khawatir bahwa apa yang mereka lakukan terhadap putri-putri kaum muslimin akan menimpa keluarga mereka sendiri?! Hal ini juga disarikan dari sebuah hadis. Para ulama berkata, “Zina adalah utang.” “Zina adalah utang.” Ada juga riwayat dari Imam Syafi’i raẖimahullāh taʿālā yang mengatakan: “Zina adalah utang. Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya akan datang dari keluargamu.” “Jika engkau mengambil utang ini, maka ketahuilah bahwa pelunasannya berasal dari keluargamu.” ==== مَثَلًا لَوْ أَنَّ الشَّابَّ حَدَّثَتْهُ نَفْسُهُ أَنْ يَتَخَاطَبَ مَعَ فَتَاتٍ عَبْرَ جَوَّالٍ أَوْ غَيْرِهِ مُخَاطَبَةً آثِمَةً حَتَّى وَلَوْ لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ الزِّنَا فَلْيَتَذَكَّرْ هَذَا الْكَلَامَ الْعَظِيمَ الْجَامِعَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لاِبْنَتِكَ؟ أَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ ؟ أَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ ؟ ثُمَّ أُولَئِكَ الآثِمُونَ الَّذِينَ اسْتَغَلُّوا هَذِهِ الْأَجْهِزَةَ الْحَدِيثَةَ وَأَخَذُوا مِنْ خِلَالِهَا يُوَرِّطُونَ بَعْضَ الْفَتَيَاتِ وَيَسْتَدْرِجُونَ بَعْضَ الْبَنَاتِ وَيَبْتَزُّونَ بَعْضَ الْغَافِلَاتِ عَبْرَ خُطُوَاتٍ وَخُطُوَاتٍ أَلَا يَتَذَكَّرُ هَؤُلَاءِ الْآثِمُونَ هَذَا الْحَدِيثَ الْعَظِيمَ عَنِ النَّبِيِّ الْكَرِيمِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ نَعَمْ وَأَيْضًا أَمَا يَخْشَى هَؤُلَاءِ أَنْ يُسَلَّطَ عَلَيْهِمْ فِي مِثْلِ مَا تَسَلَّطَ بِهِ عَلَى بَنَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا الْمَعْنَى أَيْضًا مُسْتَفَادٌ مِنَ الْحَدِيثِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ يَقُولُونَ الزِّنَا دَيْنٌ وَفِي هَذَا مَا يُرْوَى عَنِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُولُ إِنَّ الزِّنَا دَيْنٌ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ فَإِنْ أَقْرَضْتَهُ كَانَ الْوَفَا مِنْ أَهْلِ بَيْتِكَ فَاعْلَمِ

Ubah Mindset Anda Tentang Harta Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Anda tidak diciptakan untuk ini, sama sekali! Anda tidak diciptakan untuk mengumpulkan harta semata! Harta diciptakan untuk Anda agar Anda dapat menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan menaati Allah. Namun sekarang, keadaan justru berbalik, seolah-olah manusia diciptakan untuk harta, hingga akhirnya manusia menjadi budak harta, bukan sebaliknya—harta yang seharusnya diperbudak. Seharusnya manusia menggunakan harta sesuai kehendaknya, namun kini manusia justru diperbudak oleh harta. Sayang sekali! Keadaan ini merusak agamanya dan menghancurkan hatinya. Mengapa Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam menyerupakan dampak buruk cinta harta dan reputasi dengan perumpamaan yang begitu tajam? Karena memang begitulah adanya! Perhatikanlah, segala sesuatu menjadi terputus, dan begitulah cinta harta memutus hati seseorang. Membuat hati Anda tercerai berai dan tidak khusyuk. Anda tidak bisa merasakan lezatnya iman dan mata Anda tak lagi bisa menangis, karena hati Anda terkait dengan harta. ==== مَا خُلِقْتَ لِهَذَا أَبَدًا مَا خُلِقْتَ لِجَمْعِ الْمَالِ الْمَالُ خُلِقَ لَكَ حَتَّى تَسْتَعِينَ بِهِ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَعَلَى طَاعَةِ اللهِ لَكِنِ الْآنَ انْقَلَبَتِ الْمَسْأَلَةُ كَأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِي خُلِقَ لِأَجْلِ الْمَالِ يُصْبِحُ عَبْدًا لَهُ بَدَلًا أَنْ يَكُونَ الْمَالُ مُعَبَّدًا يَعْنِي الْإِنْسَانُ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَمَا يَشَاءُ أَصْبَحَ هُوَ عَبْدًا لِلْمَالِ لِلْأَسَفِ فَهَذَا يُفْسِدُ عَلَيْهِ دِينَهُ وَيُفْسِدُ عَلَيْهِ قَلْبَهُ لِمَاذَا شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي إِفْسَادَ حُبِّ الْمَالِ وَالشَّرَفِ بِمِثْلِ هَذَا الْمَثَلِ لِأَنَّهُ بِالْفِعْلِ اُنْظُرْ كَيْفَ يَعْنِي أَشْيَاءُ تَتَقَطَّعُ وَهَكَذَا حُبُّ الْمَالِ يُقَطِّعُ الْقَلْبَ يَجْعَلُكَ مُشَتَّةَ الْقَلْبِ مَا تَخْشَعُ مَا تَشْعُرُ بِلَذَّةٍ فِي إِيمَانِكَ مَا تَدْمَعُ عَيْنُكَ بِسَبَبِ تَعَلُّقِ الْقَلْبِ

Ubah Mindset Anda Tentang Harta Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Anda tidak diciptakan untuk ini, sama sekali! Anda tidak diciptakan untuk mengumpulkan harta semata! Harta diciptakan untuk Anda agar Anda dapat menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan menaati Allah. Namun sekarang, keadaan justru berbalik, seolah-olah manusia diciptakan untuk harta, hingga akhirnya manusia menjadi budak harta, bukan sebaliknya—harta yang seharusnya diperbudak. Seharusnya manusia menggunakan harta sesuai kehendaknya, namun kini manusia justru diperbudak oleh harta. Sayang sekali! Keadaan ini merusak agamanya dan menghancurkan hatinya. Mengapa Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam menyerupakan dampak buruk cinta harta dan reputasi dengan perumpamaan yang begitu tajam? Karena memang begitulah adanya! Perhatikanlah, segala sesuatu menjadi terputus, dan begitulah cinta harta memutus hati seseorang. Membuat hati Anda tercerai berai dan tidak khusyuk. Anda tidak bisa merasakan lezatnya iman dan mata Anda tak lagi bisa menangis, karena hati Anda terkait dengan harta. ==== مَا خُلِقْتَ لِهَذَا أَبَدًا مَا خُلِقْتَ لِجَمْعِ الْمَالِ الْمَالُ خُلِقَ لَكَ حَتَّى تَسْتَعِينَ بِهِ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَعَلَى طَاعَةِ اللهِ لَكِنِ الْآنَ انْقَلَبَتِ الْمَسْأَلَةُ كَأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِي خُلِقَ لِأَجْلِ الْمَالِ يُصْبِحُ عَبْدًا لَهُ بَدَلًا أَنْ يَكُونَ الْمَالُ مُعَبَّدًا يَعْنِي الْإِنْسَانُ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَمَا يَشَاءُ أَصْبَحَ هُوَ عَبْدًا لِلْمَالِ لِلْأَسَفِ فَهَذَا يُفْسِدُ عَلَيْهِ دِينَهُ وَيُفْسِدُ عَلَيْهِ قَلْبَهُ لِمَاذَا شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي إِفْسَادَ حُبِّ الْمَالِ وَالشَّرَفِ بِمِثْلِ هَذَا الْمَثَلِ لِأَنَّهُ بِالْفِعْلِ اُنْظُرْ كَيْفَ يَعْنِي أَشْيَاءُ تَتَقَطَّعُ وَهَكَذَا حُبُّ الْمَالِ يُقَطِّعُ الْقَلْبَ يَجْعَلُكَ مُشَتَّةَ الْقَلْبِ مَا تَخْشَعُ مَا تَشْعُرُ بِلَذَّةٍ فِي إِيمَانِكَ مَا تَدْمَعُ عَيْنُكَ بِسَبَبِ تَعَلُّقِ الْقَلْبِ
Anda tidak diciptakan untuk ini, sama sekali! Anda tidak diciptakan untuk mengumpulkan harta semata! Harta diciptakan untuk Anda agar Anda dapat menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan menaati Allah. Namun sekarang, keadaan justru berbalik, seolah-olah manusia diciptakan untuk harta, hingga akhirnya manusia menjadi budak harta, bukan sebaliknya—harta yang seharusnya diperbudak. Seharusnya manusia menggunakan harta sesuai kehendaknya, namun kini manusia justru diperbudak oleh harta. Sayang sekali! Keadaan ini merusak agamanya dan menghancurkan hatinya. Mengapa Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam menyerupakan dampak buruk cinta harta dan reputasi dengan perumpamaan yang begitu tajam? Karena memang begitulah adanya! Perhatikanlah, segala sesuatu menjadi terputus, dan begitulah cinta harta memutus hati seseorang. Membuat hati Anda tercerai berai dan tidak khusyuk. Anda tidak bisa merasakan lezatnya iman dan mata Anda tak lagi bisa menangis, karena hati Anda terkait dengan harta. ==== مَا خُلِقْتَ لِهَذَا أَبَدًا مَا خُلِقْتَ لِجَمْعِ الْمَالِ الْمَالُ خُلِقَ لَكَ حَتَّى تَسْتَعِينَ بِهِ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَعَلَى طَاعَةِ اللهِ لَكِنِ الْآنَ انْقَلَبَتِ الْمَسْأَلَةُ كَأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِي خُلِقَ لِأَجْلِ الْمَالِ يُصْبِحُ عَبْدًا لَهُ بَدَلًا أَنْ يَكُونَ الْمَالُ مُعَبَّدًا يَعْنِي الْإِنْسَانُ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَمَا يَشَاءُ أَصْبَحَ هُوَ عَبْدًا لِلْمَالِ لِلْأَسَفِ فَهَذَا يُفْسِدُ عَلَيْهِ دِينَهُ وَيُفْسِدُ عَلَيْهِ قَلْبَهُ لِمَاذَا شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي إِفْسَادَ حُبِّ الْمَالِ وَالشَّرَفِ بِمِثْلِ هَذَا الْمَثَلِ لِأَنَّهُ بِالْفِعْلِ اُنْظُرْ كَيْفَ يَعْنِي أَشْيَاءُ تَتَقَطَّعُ وَهَكَذَا حُبُّ الْمَالِ يُقَطِّعُ الْقَلْبَ يَجْعَلُكَ مُشَتَّةَ الْقَلْبِ مَا تَخْشَعُ مَا تَشْعُرُ بِلَذَّةٍ فِي إِيمَانِكَ مَا تَدْمَعُ عَيْنُكَ بِسَبَبِ تَعَلُّقِ الْقَلْبِ


Anda tidak diciptakan untuk ini, sama sekali! Anda tidak diciptakan untuk mengumpulkan harta semata! Harta diciptakan untuk Anda agar Anda dapat menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan menaati Allah. Namun sekarang, keadaan justru berbalik, seolah-olah manusia diciptakan untuk harta, hingga akhirnya manusia menjadi budak harta, bukan sebaliknya—harta yang seharusnya diperbudak. Seharusnya manusia menggunakan harta sesuai kehendaknya, namun kini manusia justru diperbudak oleh harta. Sayang sekali! Keadaan ini merusak agamanya dan menghancurkan hatinya. Mengapa Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam menyerupakan dampak buruk cinta harta dan reputasi dengan perumpamaan yang begitu tajam? Karena memang begitulah adanya! Perhatikanlah, segala sesuatu menjadi terputus, dan begitulah cinta harta memutus hati seseorang. Membuat hati Anda tercerai berai dan tidak khusyuk. Anda tidak bisa merasakan lezatnya iman dan mata Anda tak lagi bisa menangis, karena hati Anda terkait dengan harta. ==== مَا خُلِقْتَ لِهَذَا أَبَدًا مَا خُلِقْتَ لِجَمْعِ الْمَالِ الْمَالُ خُلِقَ لَكَ حَتَّى تَسْتَعِينَ بِهِ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَعَلَى طَاعَةِ اللهِ لَكِنِ الْآنَ انْقَلَبَتِ الْمَسْأَلَةُ كَأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِي خُلِقَ لِأَجْلِ الْمَالِ يُصْبِحُ عَبْدًا لَهُ بَدَلًا أَنْ يَكُونَ الْمَالُ مُعَبَّدًا يَعْنِي الْإِنْسَانُ يَتَصَرَّفُ فِيهِ كَيْفَمَا يَشَاءُ أَصْبَحَ هُوَ عَبْدًا لِلْمَالِ لِلْأَسَفِ فَهَذَا يُفْسِدُ عَلَيْهِ دِينَهُ وَيُفْسِدُ عَلَيْهِ قَلْبَهُ لِمَاذَا شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي إِفْسَادَ حُبِّ الْمَالِ وَالشَّرَفِ بِمِثْلِ هَذَا الْمَثَلِ لِأَنَّهُ بِالْفِعْلِ اُنْظُرْ كَيْفَ يَعْنِي أَشْيَاءُ تَتَقَطَّعُ وَهَكَذَا حُبُّ الْمَالِ يُقَطِّعُ الْقَلْبَ يَجْعَلُكَ مُشَتَّةَ الْقَلْبِ مَا تَخْشَعُ مَا تَشْعُرُ بِلَذَّةٍ فِي إِيمَانِكَ مَا تَدْمَعُ عَيْنُكَ بِسَبَبِ تَعَلُّقِ الْقَلْبِ

Penjelasan Hadis Arbain An-Nawawiyah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan Teks hadis Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [1] Penjelasan Hadis ini diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar mendengar langsung hadis ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khotbahnya. Setelah mendengar hadis ini, Umar bin Khattab juga menyampaikan hadis ini ketika Umar sedang khotbah. Tidak ada riwayat bahwasanya ada sahabat lain yang meriwayatkan hadis ini, kecuali Umar bin Khattab. Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Umar bin Khattab, kecuali ‘Alqamah bin Abi Waqqash. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah, kecuali Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Ibrahim, kecuali Yahya bin Sa’id Al-Anshariy. Baru setelah itu hadis ini menjadi terkenal dan diriwayatkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, hadis ini merupakan salah satu hadis yang gharib yang di mana perawinya hanya satu orang saja. [2] Hadis ini merupakan hadis yang agung dan mulia di mana para ulama salaf menganjurkan untuk memulai penulisan kitab mereka dengan hadis ini. Salah satu ulama yang menuliskan hadis ini di awal kitabnya adalah Imam Bukhari pada kitab Shahih-nya. Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, ينبغي لكل من صنف كتابا أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيها للطالب على تصحيح النية “Seyogyanya bagi seseorang yang menulis sebuah kitab untuk mengawalinya dengan hadis ini sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk memperbaiki niatnya.” Diriwayatkan dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau berkata, “Hadis ini masuk di 70 bab dalam permasalahan fikih.” Para ulama juga mengatakan bahwasanya hadis ini merupakan sepertiga dari Islam. [3] Hadis ini memiliki penguat dari ayat Al-Qur’an dan hadis yang lain. Di antaranya adalah, وَمَا تُنفِقُونَ اِلَّا ابتِغَاءَ وَجهِ اللّٰهِ “Dan janganlah kamu berinfak, melainkan karena mencari rida Allah.​” [4] مُحَمَّدٌ رَّسُوۡلُ اللّٰهِ​  وَالَّذِيۡنَ مَعَهۤ اَشِدَّآءُ عَلَى الۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡ ​ تَرٰٮهُمۡ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضۡوَانًا سِيۡمَاهُمۡ فِىۡ وُجُوۡهِهِمۡ مِّنۡ اَثَرِ السُّجُوۡدِ​  ذٰ لِكَ مَثَلُهُمۡ فِى التَّوۡرٰٮةِ   وَمَثَلُهُمۡ فِى الۡاِنۡجِيۡلِ  كَزَرۡعٍ اَخۡرَجَ شَطْئَـه فَاٰزَرَه فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰى عَلٰى سُوۡقِه يُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَـغِيۡظَ بِهِمُ الۡكُفَّارَ​  وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنۡهُمۡ مَّغۡفِرَةً وَّاَجۡرًا عَظِيۡمًا “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [5] Di dalam dua ayat ini, terdapat niat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك “Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan diberi pahala, termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” [6] Kata تبتغي بها وجه الله memiliki makna niat. [7] Hadis ini adalah salah satu pokok dalam agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Ada tiga hadis yang menjadi dasar utama Islam: Pertama: Hadis Umar, إنما الأعمال بالنيات ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.’ [8] Kedua: Hadis Aisyah, من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (syariat) kami ini sesuatu yang tidak ada darinya, maka itu tertolak.’ [9] Ketiga: Hadis Nu’man bin Basyir, الحلال بين والحرام بين ‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.’ [10]” Perkataan Imam ahli sunah ini sangat mendalam. Sebab, amal yang dilakukan oleh seorang mukallaf (yang telah mencapai kewajiban hukum) berkisar antara mematuhi perintah dan menjauhi larangan. Ketaatan terhadap perintah dan menjauhi larangan ini adalah yang halal dan haram. Dan di antara yang halal dan haram itu ada hal-hal yang syubhat (samar), yang merupakan bagian ketiga. Ketiga hal ini disebutkan dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar,” atau dalam riwayat lain disebutkan “syubhat.” Dan setiap amal yang hendak dilakukan, atau setiap perintah yang ingin dilaksanakan dan larangan yang ingin dihindari harus disertai niat agar menjadi sah. Dengan demikian, syarat diterimanya amal, baik berupa pelaksanaan kewajiban yang Allah perintahkan atau menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah adalah adanya niat yang membuat amal tersebut menjadi sah dan diterima. Begitu pula kewajiban dan sunah yang Allah tetapkan memerlukan ukuran lahiriah yang membuat amal itu menjadi sah, dan ini diatur oleh hadis, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka tertolak,” sebagaimana dalam riwayat Muslim. Jadi, hadis tentang amal, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”, dibutuhkan dalam segala hal: dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meninggalkan hal-hal syubhat. Oleh karena itu, hadis ini memiliki kedudukan yang agung, karena setiap orang mukallaf dalam setiap keadaannya selalu berada antara perkara yang wajib atau sunah untuk dilaksanakan, antara larangan untuk ditinggalkan (baik berupa larangan haram atau makruh) atau berada pada perkara yang syubhat yang perlu ditinggalkan. Semua itu tidak menjadi sah, kecuali dengan niat yang bertujuan mengharap wajah Allah Jalla wa ‘Ala. [11] Baca juga: Faedah-Faedah dari Hadis Niat *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907. [2] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah Al-Mukhtashar, karya Syekh Dr. Nashir bin Abdul Aziz As-Satriy, hal. 17. [3] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah fii Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyah, karya Imam Ibnu Daqiqi Al-‘Ied, hal. 27. [4] QS. Al-Baqarah: 272. [5] QS. Al-Fath: 29. [6] HR. Bukhari no. 56 dan Muslim no. 1628. [7] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 18. [8] HR. Bukhari no. 1  dan Muslim no. 1907. [9] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718. [10] HR. Bukhari no. 59 dan Muslim no. 1599. [11] Transkrip Rekaman Daurah Arba’un An-Nawawiyah, oleh Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh di web https://index.taimiah.org/lessons/7-شرح-الأربعين-النووية#reference1

Penjelasan Hadis Arbain An-Nawawiyah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan Teks hadis Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [1] Penjelasan Hadis ini diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar mendengar langsung hadis ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khotbahnya. Setelah mendengar hadis ini, Umar bin Khattab juga menyampaikan hadis ini ketika Umar sedang khotbah. Tidak ada riwayat bahwasanya ada sahabat lain yang meriwayatkan hadis ini, kecuali Umar bin Khattab. Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Umar bin Khattab, kecuali ‘Alqamah bin Abi Waqqash. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah, kecuali Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Ibrahim, kecuali Yahya bin Sa’id Al-Anshariy. Baru setelah itu hadis ini menjadi terkenal dan diriwayatkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, hadis ini merupakan salah satu hadis yang gharib yang di mana perawinya hanya satu orang saja. [2] Hadis ini merupakan hadis yang agung dan mulia di mana para ulama salaf menganjurkan untuk memulai penulisan kitab mereka dengan hadis ini. Salah satu ulama yang menuliskan hadis ini di awal kitabnya adalah Imam Bukhari pada kitab Shahih-nya. Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, ينبغي لكل من صنف كتابا أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيها للطالب على تصحيح النية “Seyogyanya bagi seseorang yang menulis sebuah kitab untuk mengawalinya dengan hadis ini sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk memperbaiki niatnya.” Diriwayatkan dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau berkata, “Hadis ini masuk di 70 bab dalam permasalahan fikih.” Para ulama juga mengatakan bahwasanya hadis ini merupakan sepertiga dari Islam. [3] Hadis ini memiliki penguat dari ayat Al-Qur’an dan hadis yang lain. Di antaranya adalah, وَمَا تُنفِقُونَ اِلَّا ابتِغَاءَ وَجهِ اللّٰهِ “Dan janganlah kamu berinfak, melainkan karena mencari rida Allah.​” [4] مُحَمَّدٌ رَّسُوۡلُ اللّٰهِ​  وَالَّذِيۡنَ مَعَهۤ اَشِدَّآءُ عَلَى الۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡ ​ تَرٰٮهُمۡ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضۡوَانًا سِيۡمَاهُمۡ فِىۡ وُجُوۡهِهِمۡ مِّنۡ اَثَرِ السُّجُوۡدِ​  ذٰ لِكَ مَثَلُهُمۡ فِى التَّوۡرٰٮةِ   وَمَثَلُهُمۡ فِى الۡاِنۡجِيۡلِ  كَزَرۡعٍ اَخۡرَجَ شَطْئَـه فَاٰزَرَه فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰى عَلٰى سُوۡقِه يُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَـغِيۡظَ بِهِمُ الۡكُفَّارَ​  وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنۡهُمۡ مَّغۡفِرَةً وَّاَجۡرًا عَظِيۡمًا “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [5] Di dalam dua ayat ini, terdapat niat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك “Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan diberi pahala, termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” [6] Kata تبتغي بها وجه الله memiliki makna niat. [7] Hadis ini adalah salah satu pokok dalam agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Ada tiga hadis yang menjadi dasar utama Islam: Pertama: Hadis Umar, إنما الأعمال بالنيات ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.’ [8] Kedua: Hadis Aisyah, من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (syariat) kami ini sesuatu yang tidak ada darinya, maka itu tertolak.’ [9] Ketiga: Hadis Nu’man bin Basyir, الحلال بين والحرام بين ‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.’ [10]” Perkataan Imam ahli sunah ini sangat mendalam. Sebab, amal yang dilakukan oleh seorang mukallaf (yang telah mencapai kewajiban hukum) berkisar antara mematuhi perintah dan menjauhi larangan. Ketaatan terhadap perintah dan menjauhi larangan ini adalah yang halal dan haram. Dan di antara yang halal dan haram itu ada hal-hal yang syubhat (samar), yang merupakan bagian ketiga. Ketiga hal ini disebutkan dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar,” atau dalam riwayat lain disebutkan “syubhat.” Dan setiap amal yang hendak dilakukan, atau setiap perintah yang ingin dilaksanakan dan larangan yang ingin dihindari harus disertai niat agar menjadi sah. Dengan demikian, syarat diterimanya amal, baik berupa pelaksanaan kewajiban yang Allah perintahkan atau menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah adalah adanya niat yang membuat amal tersebut menjadi sah dan diterima. Begitu pula kewajiban dan sunah yang Allah tetapkan memerlukan ukuran lahiriah yang membuat amal itu menjadi sah, dan ini diatur oleh hadis, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka tertolak,” sebagaimana dalam riwayat Muslim. Jadi, hadis tentang amal, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”, dibutuhkan dalam segala hal: dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meninggalkan hal-hal syubhat. Oleh karena itu, hadis ini memiliki kedudukan yang agung, karena setiap orang mukallaf dalam setiap keadaannya selalu berada antara perkara yang wajib atau sunah untuk dilaksanakan, antara larangan untuk ditinggalkan (baik berupa larangan haram atau makruh) atau berada pada perkara yang syubhat yang perlu ditinggalkan. Semua itu tidak menjadi sah, kecuali dengan niat yang bertujuan mengharap wajah Allah Jalla wa ‘Ala. [11] Baca juga: Faedah-Faedah dari Hadis Niat *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907. [2] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah Al-Mukhtashar, karya Syekh Dr. Nashir bin Abdul Aziz As-Satriy, hal. 17. [3] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah fii Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyah, karya Imam Ibnu Daqiqi Al-‘Ied, hal. 27. [4] QS. Al-Baqarah: 272. [5] QS. Al-Fath: 29. [6] HR. Bukhari no. 56 dan Muslim no. 1628. [7] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 18. [8] HR. Bukhari no. 1  dan Muslim no. 1907. [9] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718. [10] HR. Bukhari no. 59 dan Muslim no. 1599. [11] Transkrip Rekaman Daurah Arba’un An-Nawawiyah, oleh Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh di web https://index.taimiah.org/lessons/7-شرح-الأربعين-النووية#reference1
Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan Teks hadis Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [1] Penjelasan Hadis ini diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar mendengar langsung hadis ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khotbahnya. Setelah mendengar hadis ini, Umar bin Khattab juga menyampaikan hadis ini ketika Umar sedang khotbah. Tidak ada riwayat bahwasanya ada sahabat lain yang meriwayatkan hadis ini, kecuali Umar bin Khattab. Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Umar bin Khattab, kecuali ‘Alqamah bin Abi Waqqash. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah, kecuali Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Ibrahim, kecuali Yahya bin Sa’id Al-Anshariy. Baru setelah itu hadis ini menjadi terkenal dan diriwayatkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, hadis ini merupakan salah satu hadis yang gharib yang di mana perawinya hanya satu orang saja. [2] Hadis ini merupakan hadis yang agung dan mulia di mana para ulama salaf menganjurkan untuk memulai penulisan kitab mereka dengan hadis ini. Salah satu ulama yang menuliskan hadis ini di awal kitabnya adalah Imam Bukhari pada kitab Shahih-nya. Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, ينبغي لكل من صنف كتابا أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيها للطالب على تصحيح النية “Seyogyanya bagi seseorang yang menulis sebuah kitab untuk mengawalinya dengan hadis ini sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk memperbaiki niatnya.” Diriwayatkan dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau berkata, “Hadis ini masuk di 70 bab dalam permasalahan fikih.” Para ulama juga mengatakan bahwasanya hadis ini merupakan sepertiga dari Islam. [3] Hadis ini memiliki penguat dari ayat Al-Qur’an dan hadis yang lain. Di antaranya adalah, وَمَا تُنفِقُونَ اِلَّا ابتِغَاءَ وَجهِ اللّٰهِ “Dan janganlah kamu berinfak, melainkan karena mencari rida Allah.​” [4] مُحَمَّدٌ رَّسُوۡلُ اللّٰهِ​  وَالَّذِيۡنَ مَعَهۤ اَشِدَّآءُ عَلَى الۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡ ​ تَرٰٮهُمۡ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضۡوَانًا سِيۡمَاهُمۡ فِىۡ وُجُوۡهِهِمۡ مِّنۡ اَثَرِ السُّجُوۡدِ​  ذٰ لِكَ مَثَلُهُمۡ فِى التَّوۡرٰٮةِ   وَمَثَلُهُمۡ فِى الۡاِنۡجِيۡلِ  كَزَرۡعٍ اَخۡرَجَ شَطْئَـه فَاٰزَرَه فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰى عَلٰى سُوۡقِه يُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَـغِيۡظَ بِهِمُ الۡكُفَّارَ​  وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنۡهُمۡ مَّغۡفِرَةً وَّاَجۡرًا عَظِيۡمًا “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [5] Di dalam dua ayat ini, terdapat niat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك “Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan diberi pahala, termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” [6] Kata تبتغي بها وجه الله memiliki makna niat. [7] Hadis ini adalah salah satu pokok dalam agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Ada tiga hadis yang menjadi dasar utama Islam: Pertama: Hadis Umar, إنما الأعمال بالنيات ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.’ [8] Kedua: Hadis Aisyah, من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (syariat) kami ini sesuatu yang tidak ada darinya, maka itu tertolak.’ [9] Ketiga: Hadis Nu’man bin Basyir, الحلال بين والحرام بين ‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.’ [10]” Perkataan Imam ahli sunah ini sangat mendalam. Sebab, amal yang dilakukan oleh seorang mukallaf (yang telah mencapai kewajiban hukum) berkisar antara mematuhi perintah dan menjauhi larangan. Ketaatan terhadap perintah dan menjauhi larangan ini adalah yang halal dan haram. Dan di antara yang halal dan haram itu ada hal-hal yang syubhat (samar), yang merupakan bagian ketiga. Ketiga hal ini disebutkan dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar,” atau dalam riwayat lain disebutkan “syubhat.” Dan setiap amal yang hendak dilakukan, atau setiap perintah yang ingin dilaksanakan dan larangan yang ingin dihindari harus disertai niat agar menjadi sah. Dengan demikian, syarat diterimanya amal, baik berupa pelaksanaan kewajiban yang Allah perintahkan atau menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah adalah adanya niat yang membuat amal tersebut menjadi sah dan diterima. Begitu pula kewajiban dan sunah yang Allah tetapkan memerlukan ukuran lahiriah yang membuat amal itu menjadi sah, dan ini diatur oleh hadis, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka tertolak,” sebagaimana dalam riwayat Muslim. Jadi, hadis tentang amal, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”, dibutuhkan dalam segala hal: dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meninggalkan hal-hal syubhat. Oleh karena itu, hadis ini memiliki kedudukan yang agung, karena setiap orang mukallaf dalam setiap keadaannya selalu berada antara perkara yang wajib atau sunah untuk dilaksanakan, antara larangan untuk ditinggalkan (baik berupa larangan haram atau makruh) atau berada pada perkara yang syubhat yang perlu ditinggalkan. Semua itu tidak menjadi sah, kecuali dengan niat yang bertujuan mengharap wajah Allah Jalla wa ‘Ala. [11] Baca juga: Faedah-Faedah dari Hadis Niat *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907. [2] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah Al-Mukhtashar, karya Syekh Dr. Nashir bin Abdul Aziz As-Satriy, hal. 17. [3] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah fii Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyah, karya Imam Ibnu Daqiqi Al-‘Ied, hal. 27. [4] QS. Al-Baqarah: 272. [5] QS. Al-Fath: 29. [6] HR. Bukhari no. 56 dan Muslim no. 1628. [7] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 18. [8] HR. Bukhari no. 1  dan Muslim no. 1907. [9] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718. [10] HR. Bukhari no. 59 dan Muslim no. 1599. [11] Transkrip Rekaman Daurah Arba’un An-Nawawiyah, oleh Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh di web https://index.taimiah.org/lessons/7-شرح-الأربعين-النووية#reference1


Daftar Isi Toggle Teks hadisPenjelasan Teks hadis Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” [1] Penjelasan Hadis ini diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar mendengar langsung hadis ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khotbahnya. Setelah mendengar hadis ini, Umar bin Khattab juga menyampaikan hadis ini ketika Umar sedang khotbah. Tidak ada riwayat bahwasanya ada sahabat lain yang meriwayatkan hadis ini, kecuali Umar bin Khattab. Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Umar bin Khattab, kecuali ‘Alqamah bin Abi Waqqash. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah, kecuali Muhammad bin Ibrahim At-Taimiy. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Ibrahim, kecuali Yahya bin Sa’id Al-Anshariy. Baru setelah itu hadis ini menjadi terkenal dan diriwayatkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, hadis ini merupakan salah satu hadis yang gharib yang di mana perawinya hanya satu orang saja. [2] Hadis ini merupakan hadis yang agung dan mulia di mana para ulama salaf menganjurkan untuk memulai penulisan kitab mereka dengan hadis ini. Salah satu ulama yang menuliskan hadis ini di awal kitabnya adalah Imam Bukhari pada kitab Shahih-nya. Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, ينبغي لكل من صنف كتابا أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيها للطالب على تصحيح النية “Seyogyanya bagi seseorang yang menulis sebuah kitab untuk mengawalinya dengan hadis ini sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk memperbaiki niatnya.” Diriwayatkan dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau berkata, “Hadis ini masuk di 70 bab dalam permasalahan fikih.” Para ulama juga mengatakan bahwasanya hadis ini merupakan sepertiga dari Islam. [3] Hadis ini memiliki penguat dari ayat Al-Qur’an dan hadis yang lain. Di antaranya adalah, وَمَا تُنفِقُونَ اِلَّا ابتِغَاءَ وَجهِ اللّٰهِ “Dan janganlah kamu berinfak, melainkan karena mencari rida Allah.​” [4] مُحَمَّدٌ رَّسُوۡلُ اللّٰهِ​  وَالَّذِيۡنَ مَعَهۤ اَشِدَّآءُ عَلَى الۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡ ​ تَرٰٮهُمۡ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضۡوَانًا سِيۡمَاهُمۡ فِىۡ وُجُوۡهِهِمۡ مِّنۡ اَثَرِ السُّجُوۡدِ​  ذٰ لِكَ مَثَلُهُمۡ فِى التَّوۡرٰٮةِ   وَمَثَلُهُمۡ فِى الۡاِنۡجِيۡلِ  كَزَرۡعٍ اَخۡرَجَ شَطْئَـه فَاٰزَرَه فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰى عَلٰى سُوۡقِه يُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَـغِيۡظَ بِهِمُ الۡكُفَّارَ​  وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنۡهُمۡ مَّغۡفِرَةً وَّاَجۡرًا عَظِيۡمًا “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” [5] Di dalam dua ayat ini, terdapat niat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك “Sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan diberi pahala, termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” [6] Kata تبتغي بها وجه الله memiliki makna niat. [7] Hadis ini adalah salah satu pokok dalam agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Ada tiga hadis yang menjadi dasar utama Islam: Pertama: Hadis Umar, إنما الأعمال بالنيات ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.’ [8] Kedua: Hadis Aisyah, من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (syariat) kami ini sesuatu yang tidak ada darinya, maka itu tertolak.’ [9] Ketiga: Hadis Nu’man bin Basyir, الحلال بين والحرام بين ‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.’ [10]” Perkataan Imam ahli sunah ini sangat mendalam. Sebab, amal yang dilakukan oleh seorang mukallaf (yang telah mencapai kewajiban hukum) berkisar antara mematuhi perintah dan menjauhi larangan. Ketaatan terhadap perintah dan menjauhi larangan ini adalah yang halal dan haram. Dan di antara yang halal dan haram itu ada hal-hal yang syubhat (samar), yang merupakan bagian ketiga. Ketiga hal ini disebutkan dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar,” atau dalam riwayat lain disebutkan “syubhat.” Dan setiap amal yang hendak dilakukan, atau setiap perintah yang ingin dilaksanakan dan larangan yang ingin dihindari harus disertai niat agar menjadi sah. Dengan demikian, syarat diterimanya amal, baik berupa pelaksanaan kewajiban yang Allah perintahkan atau menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah adalah adanya niat yang membuat amal tersebut menjadi sah dan diterima. Begitu pula kewajiban dan sunah yang Allah tetapkan memerlukan ukuran lahiriah yang membuat amal itu menjadi sah, dan ini diatur oleh hadis, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka tertolak,” sebagaimana dalam riwayat Muslim. Jadi, hadis tentang amal, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”, dibutuhkan dalam segala hal: dalam melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meninggalkan hal-hal syubhat. Oleh karena itu, hadis ini memiliki kedudukan yang agung, karena setiap orang mukallaf dalam setiap keadaannya selalu berada antara perkara yang wajib atau sunah untuk dilaksanakan, antara larangan untuk ditinggalkan (baik berupa larangan haram atau makruh) atau berada pada perkara yang syubhat yang perlu ditinggalkan. Semua itu tidak menjadi sah, kecuali dengan niat yang bertujuan mengharap wajah Allah Jalla wa ‘Ala. [11] Baca juga: Faedah-Faedah dari Hadis Niat *** Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907. [2] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah Al-Mukhtashar, karya Syekh Dr. Nashir bin Abdul Aziz As-Satriy, hal. 17. [3] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah fii Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyah, karya Imam Ibnu Daqiqi Al-‘Ied, hal. 27. [4] QS. Al-Baqarah: 272. [5] QS. Al-Fath: 29. [6] HR. Bukhari no. 56 dan Muslim no. 1628. [7] Syarh Al-Arba’un An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 18. [8] HR. Bukhari no. 1  dan Muslim no. 1907. [9] HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718. [10] HR. Bukhari no. 59 dan Muslim no. 1599. [11] Transkrip Rekaman Daurah Arba’un An-Nawawiyah, oleh Syekh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syekh di web https://index.taimiah.org/lessons/7-شرح-الأربعين-النووية#reference1
Prev     Next