Teks Khotbah Jumat: Kiat Selamat dari Fitnah Akhir Zaman

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, karena takwa merupakan bekal terbaik bagi seorang muslim baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Sesungguhnya kita hidup di penghujung zaman. Zaman di mana fitnah syahwat dan syubhat merajalela. Zaman di mana seorang muslim tidak henti-hentinya diterjang berbagai macam fitnah dan ujian. Zaman di mana kebenaran seringkali menjadi kabur dan kemaksiatan serta perbuatan dosa dihias dan dipercantik seolah-olah indah dan baik untuk dilakukan. Baginda besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sejak ribuan tahun yang lalu telah mengingatkan akan banyaknya fitnah di zaman ini. Beliau bersabda, إنَّ بين أيديكم فِتَنًا كقِطَعِ اللَّيْلِ المُظلِمِ، يُصبِحُ الرَّجُلُ فيها مُؤمِنًا ويُمْسي كافرًا، ويُمْسي مُؤمِنًا ويُصبِحُ كافرًا، القاعدُ فيها خَيْرٌ مِن القائمِ، والقائمُ فيها خيرٌ مِن الماشي، والماشي فيها خَيْرٌ مِن السَّاعي، قالوا: فما تأمُرُنا ؟ قال: كونوا أحلاسَ بُيوتِكم. “Akan datang kepada kalian fitnah sebagaimana malam yang gelap gulita. Pada masa itu, seorang beriman di pagi hari lalu kafir di sore hari, orang yang beriman di pagi hari lalu menjadi kafir di sore harinya. Orang yang duduk lebih baik dari orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berlari.” Para sahabat bertanya, “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4262) Betapa besarnya fitnah tersebut sampai-sampai ia tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, hingga dengan mudahnya terjerumus ke dalam kekufuran atau hal-hal yang akan mengantarkan kepadanya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis. Bisa jadi di pagi hari seseorang masih menunjukkan keislamannya, akan tetapi di sore harinya ia berubah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Naudzubillahi min dzalik. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Dikisahkan bahwa dahulu kala sebagian kaum muslimin datang mengadu kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu perihal apa yang menimpa mereka dari fitnah Hajjaj bin Yusuf. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu memberikan nasihat, اصْبِرُوا؛ فإنَّهُ لا يَأْتي علَيْكُم زَمَانٌ إلَّا الذي بَعْدَهُ شَرٌّ منهُ، حتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ، سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ “Bersabarlah, sebab tidaklah kalian melalui suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga kalian berjumpa Tuhan kalian. Aku mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 7068) Sebagian dari kita mungkin akan bertanya, bukankan ini ketidakadilan? Mereka yang hidup jauh dari sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun justru mendekatkan cobaan fitnah yang lebih besar dan lebih berat?! Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh syariat Islam adalah syariat yang adil dan menjunjung tinggi keadilan. Mengenai kondisi umat yang mendapatkan ujian fitnah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan tentang keutamaan mereka, الْعِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إلَيَّ “Ibadah saat terjadi banyak fitnah itu seperti hijrah menujuku.” (HR. Muslim no. 2948) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum, niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka, barangsiapa yang rida (dengan ketetapan Allah –pent), maka Allah akan rida kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak rida, maka Allah pun tidak akan rida kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031 dengan sanad yang hasan.) Di dalam hadis tersebut, dijelaskan bahwa semakin besar ujian dan fitnah yang dihadapi oleh seorang hamba, maka semakin besar pula pahala kesabaran dan ketaatan yang diperolehnya. Dijelaskan juga bahwa semakin banyak seorang hamba itu diuji, maka itu adalah salah satu pertanda bahwa Allah Ta’ala mencintai-Nya. Semoga kita semua termasuk hamba Allah yang bersabar ketika diuji, serta termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mendapatkan rasa kasih sayang dan cinta dari-Nya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Di zaman yang penuh dengan fitnah ini, di zaman di mana kebanyakan manusia seringkali menjadi bingung karena banyaknya kerancuan dalam beragama dan bercampurnya kebatilan dengan kebenaran, tidak ada solusi yang lebih baik selain fokus dalam belajar dan memperkaya diri dengan ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkannya, dan berpegang teguh dengan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أُوصيكم بتقوى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ والسمعِ والطاعةِ، وإن تأمَّر عليكم عبدٌ، فإنه من يعِشْ مِنكُم فسيرى اختلافًا كثيرًا فعليكُم بسنتي وسُنَّةِ الخلفاءِ الراشدِينَ المهدِيِّينَ تمسّكوا بِهَا، وعَضّوا عليهَا بالنَّواجذِ، وإياكم ومحدثاتِ الأمورِ فإنَّ كلَّ محدثةٍ بدعَةٌ، وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ ”Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa) meskipun kalian diperintah oleh seorang budak Habasyi. Dan sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid`ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 43) Syekh Binbaz rahimahullah mengatakan, “Tidak ada jalan keluar agar terhindar dari segala macam fitnah dan selamat darinya, kecuali dengan memahami Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengetahui manhaj (metode beragama) para pendahulu umat kita dari kalangan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan para imam ulama Islam serta para pendakwah ke jalan hidayah.” Jemaah Jumat yang berbahagia, Saat badai fitnah ini menerjang dengan begitu kerasnya, membuat kita seakan-akan sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya, maka ingatlah agar jangan sampai meninggalkan jemaah kaum muslimin dan para ulama serta para pemimpinnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah sahabat beliau, تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ “(Dalam situasi tersebarnya fitnah, maka hendaklah) kamu tetap bersama jemaah kaum muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jemaah dan imam (bagaimana)?” Beliau menjawab, “Jauhilah semua firqah (golongan) itu, meskipun kamu harus menggigit akar pohon sampai maut menjemputmu dan kamu berada di atasnya.” (HR. Bukhari no. 3606) Allah Ta’ala juga berfirman, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103) Berada di barisan kaum muslimin dan bersama mereka adalah karunia. Adapun perpecahan dan perselisihan di antara mereka, maka akan membawa bencana dan malapetaka. Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa serigala hanya akan menerkam domba yang sedang sendirian dan terpisah dari rombongannya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, semua usaha kita agar terhindar dari fitnah tidak akan sempurna, kecuali dengan melibatkan Allah di dalamnya. Sepantasnya bagi diri kita untuk terus memohon dan berdoa kepada-Nya agar diberikan hidayah dan keselamatan dari ancaman fitnah yang besar ini.  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada kita, تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ قَالُوا: نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ “Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” Mereka para sahabat berkata, “Kami berlindung diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” (HR. Muslim no. 2867) Berdoa dan memohon perlindungan dari fitnah juga diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk senantiasa kita lakukan sesaat sebelum salam dan sesudah tasyahud akhir. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan salah satu doa yang senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam salatnya, اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ “Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al-Masih Ad-Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu dari segala macam fitnah dan ujian ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang.” (HR. Bukhari, no. 832 dan Muslim, no. 589) Ma’asyiral mukminin yang dirahmati Allah Ta’ala, Marilah kita berdoa agar Allah Ta’ala menyelamatkan kita dari berbagai macam fitnah dan ujian dalam kehidupan kita, baik itu fitnah dalam bentuk harta, kedudukan, ketidakcukupan, ataupun fitnah kebodohan yang menimpa sehingga membuat kita terjatuh ke dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Semoga Allah jadikan kita hamba-hamba-Nya yang cerdas di dalam menyikapi setiap fitnah yang ada, tidak mudah terbawa arus dan berhati-hati dalam mengambil langkah di setiap keputusan yang kita ambil. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Sebab Meraih Kemenangan dan Pertolongan Allah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanfitnah

Teks Khotbah Jumat: Kiat Selamat dari Fitnah Akhir Zaman

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, karena takwa merupakan bekal terbaik bagi seorang muslim baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Sesungguhnya kita hidup di penghujung zaman. Zaman di mana fitnah syahwat dan syubhat merajalela. Zaman di mana seorang muslim tidak henti-hentinya diterjang berbagai macam fitnah dan ujian. Zaman di mana kebenaran seringkali menjadi kabur dan kemaksiatan serta perbuatan dosa dihias dan dipercantik seolah-olah indah dan baik untuk dilakukan. Baginda besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sejak ribuan tahun yang lalu telah mengingatkan akan banyaknya fitnah di zaman ini. Beliau bersabda, إنَّ بين أيديكم فِتَنًا كقِطَعِ اللَّيْلِ المُظلِمِ، يُصبِحُ الرَّجُلُ فيها مُؤمِنًا ويُمْسي كافرًا، ويُمْسي مُؤمِنًا ويُصبِحُ كافرًا، القاعدُ فيها خَيْرٌ مِن القائمِ، والقائمُ فيها خيرٌ مِن الماشي، والماشي فيها خَيْرٌ مِن السَّاعي، قالوا: فما تأمُرُنا ؟ قال: كونوا أحلاسَ بُيوتِكم. “Akan datang kepada kalian fitnah sebagaimana malam yang gelap gulita. Pada masa itu, seorang beriman di pagi hari lalu kafir di sore hari, orang yang beriman di pagi hari lalu menjadi kafir di sore harinya. Orang yang duduk lebih baik dari orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berlari.” Para sahabat bertanya, “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4262) Betapa besarnya fitnah tersebut sampai-sampai ia tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, hingga dengan mudahnya terjerumus ke dalam kekufuran atau hal-hal yang akan mengantarkan kepadanya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis. Bisa jadi di pagi hari seseorang masih menunjukkan keislamannya, akan tetapi di sore harinya ia berubah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Naudzubillahi min dzalik. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Dikisahkan bahwa dahulu kala sebagian kaum muslimin datang mengadu kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu perihal apa yang menimpa mereka dari fitnah Hajjaj bin Yusuf. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu memberikan nasihat, اصْبِرُوا؛ فإنَّهُ لا يَأْتي علَيْكُم زَمَانٌ إلَّا الذي بَعْدَهُ شَرٌّ منهُ، حتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ، سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ “Bersabarlah, sebab tidaklah kalian melalui suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga kalian berjumpa Tuhan kalian. Aku mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 7068) Sebagian dari kita mungkin akan bertanya, bukankan ini ketidakadilan? Mereka yang hidup jauh dari sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun justru mendekatkan cobaan fitnah yang lebih besar dan lebih berat?! Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh syariat Islam adalah syariat yang adil dan menjunjung tinggi keadilan. Mengenai kondisi umat yang mendapatkan ujian fitnah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan tentang keutamaan mereka, الْعِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إلَيَّ “Ibadah saat terjadi banyak fitnah itu seperti hijrah menujuku.” (HR. Muslim no. 2948) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum, niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka, barangsiapa yang rida (dengan ketetapan Allah –pent), maka Allah akan rida kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak rida, maka Allah pun tidak akan rida kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031 dengan sanad yang hasan.) Di dalam hadis tersebut, dijelaskan bahwa semakin besar ujian dan fitnah yang dihadapi oleh seorang hamba, maka semakin besar pula pahala kesabaran dan ketaatan yang diperolehnya. Dijelaskan juga bahwa semakin banyak seorang hamba itu diuji, maka itu adalah salah satu pertanda bahwa Allah Ta’ala mencintai-Nya. Semoga kita semua termasuk hamba Allah yang bersabar ketika diuji, serta termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mendapatkan rasa kasih sayang dan cinta dari-Nya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Di zaman yang penuh dengan fitnah ini, di zaman di mana kebanyakan manusia seringkali menjadi bingung karena banyaknya kerancuan dalam beragama dan bercampurnya kebatilan dengan kebenaran, tidak ada solusi yang lebih baik selain fokus dalam belajar dan memperkaya diri dengan ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkannya, dan berpegang teguh dengan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أُوصيكم بتقوى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ والسمعِ والطاعةِ، وإن تأمَّر عليكم عبدٌ، فإنه من يعِشْ مِنكُم فسيرى اختلافًا كثيرًا فعليكُم بسنتي وسُنَّةِ الخلفاءِ الراشدِينَ المهدِيِّينَ تمسّكوا بِهَا، وعَضّوا عليهَا بالنَّواجذِ، وإياكم ومحدثاتِ الأمورِ فإنَّ كلَّ محدثةٍ بدعَةٌ، وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ ”Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa) meskipun kalian diperintah oleh seorang budak Habasyi. Dan sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid`ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 43) Syekh Binbaz rahimahullah mengatakan, “Tidak ada jalan keluar agar terhindar dari segala macam fitnah dan selamat darinya, kecuali dengan memahami Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengetahui manhaj (metode beragama) para pendahulu umat kita dari kalangan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan para imam ulama Islam serta para pendakwah ke jalan hidayah.” Jemaah Jumat yang berbahagia, Saat badai fitnah ini menerjang dengan begitu kerasnya, membuat kita seakan-akan sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya, maka ingatlah agar jangan sampai meninggalkan jemaah kaum muslimin dan para ulama serta para pemimpinnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah sahabat beliau, تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ “(Dalam situasi tersebarnya fitnah, maka hendaklah) kamu tetap bersama jemaah kaum muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jemaah dan imam (bagaimana)?” Beliau menjawab, “Jauhilah semua firqah (golongan) itu, meskipun kamu harus menggigit akar pohon sampai maut menjemputmu dan kamu berada di atasnya.” (HR. Bukhari no. 3606) Allah Ta’ala juga berfirman, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103) Berada di barisan kaum muslimin dan bersama mereka adalah karunia. Adapun perpecahan dan perselisihan di antara mereka, maka akan membawa bencana dan malapetaka. Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa serigala hanya akan menerkam domba yang sedang sendirian dan terpisah dari rombongannya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, semua usaha kita agar terhindar dari fitnah tidak akan sempurna, kecuali dengan melibatkan Allah di dalamnya. Sepantasnya bagi diri kita untuk terus memohon dan berdoa kepada-Nya agar diberikan hidayah dan keselamatan dari ancaman fitnah yang besar ini.  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada kita, تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ قَالُوا: نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ “Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” Mereka para sahabat berkata, “Kami berlindung diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” (HR. Muslim no. 2867) Berdoa dan memohon perlindungan dari fitnah juga diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk senantiasa kita lakukan sesaat sebelum salam dan sesudah tasyahud akhir. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan salah satu doa yang senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam salatnya, اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ “Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al-Masih Ad-Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu dari segala macam fitnah dan ujian ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang.” (HR. Bukhari, no. 832 dan Muslim, no. 589) Ma’asyiral mukminin yang dirahmati Allah Ta’ala, Marilah kita berdoa agar Allah Ta’ala menyelamatkan kita dari berbagai macam fitnah dan ujian dalam kehidupan kita, baik itu fitnah dalam bentuk harta, kedudukan, ketidakcukupan, ataupun fitnah kebodohan yang menimpa sehingga membuat kita terjatuh ke dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Semoga Allah jadikan kita hamba-hamba-Nya yang cerdas di dalam menyikapi setiap fitnah yang ada, tidak mudah terbawa arus dan berhati-hati dalam mengambil langkah di setiap keputusan yang kita ambil. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Sebab Meraih Kemenangan dan Pertolongan Allah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanfitnah
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, karena takwa merupakan bekal terbaik bagi seorang muslim baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Sesungguhnya kita hidup di penghujung zaman. Zaman di mana fitnah syahwat dan syubhat merajalela. Zaman di mana seorang muslim tidak henti-hentinya diterjang berbagai macam fitnah dan ujian. Zaman di mana kebenaran seringkali menjadi kabur dan kemaksiatan serta perbuatan dosa dihias dan dipercantik seolah-olah indah dan baik untuk dilakukan. Baginda besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sejak ribuan tahun yang lalu telah mengingatkan akan banyaknya fitnah di zaman ini. Beliau bersabda, إنَّ بين أيديكم فِتَنًا كقِطَعِ اللَّيْلِ المُظلِمِ، يُصبِحُ الرَّجُلُ فيها مُؤمِنًا ويُمْسي كافرًا، ويُمْسي مُؤمِنًا ويُصبِحُ كافرًا، القاعدُ فيها خَيْرٌ مِن القائمِ، والقائمُ فيها خيرٌ مِن الماشي، والماشي فيها خَيْرٌ مِن السَّاعي، قالوا: فما تأمُرُنا ؟ قال: كونوا أحلاسَ بُيوتِكم. “Akan datang kepada kalian fitnah sebagaimana malam yang gelap gulita. Pada masa itu, seorang beriman di pagi hari lalu kafir di sore hari, orang yang beriman di pagi hari lalu menjadi kafir di sore harinya. Orang yang duduk lebih baik dari orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berlari.” Para sahabat bertanya, “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4262) Betapa besarnya fitnah tersebut sampai-sampai ia tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, hingga dengan mudahnya terjerumus ke dalam kekufuran atau hal-hal yang akan mengantarkan kepadanya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis. Bisa jadi di pagi hari seseorang masih menunjukkan keislamannya, akan tetapi di sore harinya ia berubah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Naudzubillahi min dzalik. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Dikisahkan bahwa dahulu kala sebagian kaum muslimin datang mengadu kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu perihal apa yang menimpa mereka dari fitnah Hajjaj bin Yusuf. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu memberikan nasihat, اصْبِرُوا؛ فإنَّهُ لا يَأْتي علَيْكُم زَمَانٌ إلَّا الذي بَعْدَهُ شَرٌّ منهُ، حتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ، سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ “Bersabarlah, sebab tidaklah kalian melalui suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga kalian berjumpa Tuhan kalian. Aku mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 7068) Sebagian dari kita mungkin akan bertanya, bukankan ini ketidakadilan? Mereka yang hidup jauh dari sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun justru mendekatkan cobaan fitnah yang lebih besar dan lebih berat?! Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh syariat Islam adalah syariat yang adil dan menjunjung tinggi keadilan. Mengenai kondisi umat yang mendapatkan ujian fitnah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan tentang keutamaan mereka, الْعِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إلَيَّ “Ibadah saat terjadi banyak fitnah itu seperti hijrah menujuku.” (HR. Muslim no. 2948) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum, niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka, barangsiapa yang rida (dengan ketetapan Allah –pent), maka Allah akan rida kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak rida, maka Allah pun tidak akan rida kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031 dengan sanad yang hasan.) Di dalam hadis tersebut, dijelaskan bahwa semakin besar ujian dan fitnah yang dihadapi oleh seorang hamba, maka semakin besar pula pahala kesabaran dan ketaatan yang diperolehnya. Dijelaskan juga bahwa semakin banyak seorang hamba itu diuji, maka itu adalah salah satu pertanda bahwa Allah Ta’ala mencintai-Nya. Semoga kita semua termasuk hamba Allah yang bersabar ketika diuji, serta termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mendapatkan rasa kasih sayang dan cinta dari-Nya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Di zaman yang penuh dengan fitnah ini, di zaman di mana kebanyakan manusia seringkali menjadi bingung karena banyaknya kerancuan dalam beragama dan bercampurnya kebatilan dengan kebenaran, tidak ada solusi yang lebih baik selain fokus dalam belajar dan memperkaya diri dengan ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkannya, dan berpegang teguh dengan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أُوصيكم بتقوى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ والسمعِ والطاعةِ، وإن تأمَّر عليكم عبدٌ، فإنه من يعِشْ مِنكُم فسيرى اختلافًا كثيرًا فعليكُم بسنتي وسُنَّةِ الخلفاءِ الراشدِينَ المهدِيِّينَ تمسّكوا بِهَا، وعَضّوا عليهَا بالنَّواجذِ، وإياكم ومحدثاتِ الأمورِ فإنَّ كلَّ محدثةٍ بدعَةٌ، وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ ”Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa) meskipun kalian diperintah oleh seorang budak Habasyi. Dan sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid`ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 43) Syekh Binbaz rahimahullah mengatakan, “Tidak ada jalan keluar agar terhindar dari segala macam fitnah dan selamat darinya, kecuali dengan memahami Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengetahui manhaj (metode beragama) para pendahulu umat kita dari kalangan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan para imam ulama Islam serta para pendakwah ke jalan hidayah.” Jemaah Jumat yang berbahagia, Saat badai fitnah ini menerjang dengan begitu kerasnya, membuat kita seakan-akan sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya, maka ingatlah agar jangan sampai meninggalkan jemaah kaum muslimin dan para ulama serta para pemimpinnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah sahabat beliau, تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ “(Dalam situasi tersebarnya fitnah, maka hendaklah) kamu tetap bersama jemaah kaum muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jemaah dan imam (bagaimana)?” Beliau menjawab, “Jauhilah semua firqah (golongan) itu, meskipun kamu harus menggigit akar pohon sampai maut menjemputmu dan kamu berada di atasnya.” (HR. Bukhari no. 3606) Allah Ta’ala juga berfirman, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103) Berada di barisan kaum muslimin dan bersama mereka adalah karunia. Adapun perpecahan dan perselisihan di antara mereka, maka akan membawa bencana dan malapetaka. Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa serigala hanya akan menerkam domba yang sedang sendirian dan terpisah dari rombongannya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, semua usaha kita agar terhindar dari fitnah tidak akan sempurna, kecuali dengan melibatkan Allah di dalamnya. Sepantasnya bagi diri kita untuk terus memohon dan berdoa kepada-Nya agar diberikan hidayah dan keselamatan dari ancaman fitnah yang besar ini.  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada kita, تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ قَالُوا: نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ “Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” Mereka para sahabat berkata, “Kami berlindung diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” (HR. Muslim no. 2867) Berdoa dan memohon perlindungan dari fitnah juga diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk senantiasa kita lakukan sesaat sebelum salam dan sesudah tasyahud akhir. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan salah satu doa yang senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam salatnya, اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ “Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al-Masih Ad-Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu dari segala macam fitnah dan ujian ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang.” (HR. Bukhari, no. 832 dan Muslim, no. 589) Ma’asyiral mukminin yang dirahmati Allah Ta’ala, Marilah kita berdoa agar Allah Ta’ala menyelamatkan kita dari berbagai macam fitnah dan ujian dalam kehidupan kita, baik itu fitnah dalam bentuk harta, kedudukan, ketidakcukupan, ataupun fitnah kebodohan yang menimpa sehingga membuat kita terjatuh ke dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Semoga Allah jadikan kita hamba-hamba-Nya yang cerdas di dalam menyikapi setiap fitnah yang ada, tidak mudah terbawa arus dan berhati-hati dalam mengambil langkah di setiap keputusan yang kita ambil. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Sebab Meraih Kemenangan dan Pertolongan Allah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanfitnah


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, karena takwa merupakan bekal terbaik bagi seorang muslim baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Sesungguhnya kita hidup di penghujung zaman. Zaman di mana fitnah syahwat dan syubhat merajalela. Zaman di mana seorang muslim tidak henti-hentinya diterjang berbagai macam fitnah dan ujian. Zaman di mana kebenaran seringkali menjadi kabur dan kemaksiatan serta perbuatan dosa dihias dan dipercantik seolah-olah indah dan baik untuk dilakukan. Baginda besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sejak ribuan tahun yang lalu telah mengingatkan akan banyaknya fitnah di zaman ini. Beliau bersabda, إنَّ بين أيديكم فِتَنًا كقِطَعِ اللَّيْلِ المُظلِمِ، يُصبِحُ الرَّجُلُ فيها مُؤمِنًا ويُمْسي كافرًا، ويُمْسي مُؤمِنًا ويُصبِحُ كافرًا، القاعدُ فيها خَيْرٌ مِن القائمِ، والقائمُ فيها خيرٌ مِن الماشي، والماشي فيها خَيْرٌ مِن السَّاعي، قالوا: فما تأمُرُنا ؟ قال: كونوا أحلاسَ بُيوتِكم. “Akan datang kepada kalian fitnah sebagaimana malam yang gelap gulita. Pada masa itu, seorang beriman di pagi hari lalu kafir di sore hari, orang yang beriman di pagi hari lalu menjadi kafir di sore harinya. Orang yang duduk lebih baik dari orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berlari.” Para sahabat bertanya, “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4262) Betapa besarnya fitnah tersebut sampai-sampai ia tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, hingga dengan mudahnya terjerumus ke dalam kekufuran atau hal-hal yang akan mengantarkan kepadanya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis. Bisa jadi di pagi hari seseorang masih menunjukkan keislamannya, akan tetapi di sore harinya ia berubah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Naudzubillahi min dzalik. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Dikisahkan bahwa dahulu kala sebagian kaum muslimin datang mengadu kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu perihal apa yang menimpa mereka dari fitnah Hajjaj bin Yusuf. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu memberikan nasihat, اصْبِرُوا؛ فإنَّهُ لا يَأْتي علَيْكُم زَمَانٌ إلَّا الذي بَعْدَهُ شَرٌّ منهُ، حتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ، سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ “Bersabarlah, sebab tidaklah kalian melalui suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga kalian berjumpa Tuhan kalian. Aku mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 7068) Sebagian dari kita mungkin akan bertanya, bukankan ini ketidakadilan? Mereka yang hidup jauh dari sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun justru mendekatkan cobaan fitnah yang lebih besar dan lebih berat?! Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh syariat Islam adalah syariat yang adil dan menjunjung tinggi keadilan. Mengenai kondisi umat yang mendapatkan ujian fitnah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan tentang keutamaan mereka, الْعِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إلَيَّ “Ibadah saat terjadi banyak fitnah itu seperti hijrah menujuku.” (HR. Muslim no. 2948) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum, niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka, barangsiapa yang rida (dengan ketetapan Allah –pent), maka Allah akan rida kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak rida, maka Allah pun tidak akan rida kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031 dengan sanad yang hasan.) Di dalam hadis tersebut, dijelaskan bahwa semakin besar ujian dan fitnah yang dihadapi oleh seorang hamba, maka semakin besar pula pahala kesabaran dan ketaatan yang diperolehnya. Dijelaskan juga bahwa semakin banyak seorang hamba itu diuji, maka itu adalah salah satu pertanda bahwa Allah Ta’ala mencintai-Nya. Semoga kita semua termasuk hamba Allah yang bersabar ketika diuji, serta termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mendapatkan rasa kasih sayang dan cinta dari-Nya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Di zaman yang penuh dengan fitnah ini, di zaman di mana kebanyakan manusia seringkali menjadi bingung karena banyaknya kerancuan dalam beragama dan bercampurnya kebatilan dengan kebenaran, tidak ada solusi yang lebih baik selain fokus dalam belajar dan memperkaya diri dengan ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkannya, dan berpegang teguh dengan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أُوصيكم بتقوى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ والسمعِ والطاعةِ، وإن تأمَّر عليكم عبدٌ، فإنه من يعِشْ مِنكُم فسيرى اختلافًا كثيرًا فعليكُم بسنتي وسُنَّةِ الخلفاءِ الراشدِينَ المهدِيِّينَ تمسّكوا بِهَا، وعَضّوا عليهَا بالنَّواجذِ، وإياكم ومحدثاتِ الأمورِ فإنَّ كلَّ محدثةٍ بدعَةٌ، وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ ”Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa) meskipun kalian diperintah oleh seorang budak Habasyi. Dan sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid`ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 43) Syekh Binbaz rahimahullah mengatakan, “Tidak ada jalan keluar agar terhindar dari segala macam fitnah dan selamat darinya, kecuali dengan memahami Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengetahui manhaj (metode beragama) para pendahulu umat kita dari kalangan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan para imam ulama Islam serta para pendakwah ke jalan hidayah.” Jemaah Jumat yang berbahagia, Saat badai fitnah ini menerjang dengan begitu kerasnya, membuat kita seakan-akan sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya, maka ingatlah agar jangan sampai meninggalkan jemaah kaum muslimin dan para ulama serta para pemimpinnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah sahabat beliau, تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ “(Dalam situasi tersebarnya fitnah, maka hendaklah) kamu tetap bersama jemaah kaum muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jemaah dan imam (bagaimana)?” Beliau menjawab, “Jauhilah semua firqah (golongan) itu, meskipun kamu harus menggigit akar pohon sampai maut menjemputmu dan kamu berada di atasnya.” (HR. Bukhari no. 3606) Allah Ta’ala juga berfirman, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103) Berada di barisan kaum muslimin dan bersama mereka adalah karunia. Adapun perpecahan dan perselisihan di antara mereka, maka akan membawa bencana dan malapetaka. Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa serigala hanya akan menerkam domba yang sedang sendirian dan terpisah dari rombongannya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, semua usaha kita agar terhindar dari fitnah tidak akan sempurna, kecuali dengan melibatkan Allah di dalamnya. Sepantasnya bagi diri kita untuk terus memohon dan berdoa kepada-Nya agar diberikan hidayah dan keselamatan dari ancaman fitnah yang besar ini.  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada kita, تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ قَالُوا: نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ “Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” Mereka para sahabat berkata, “Kami berlindung diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” (HR. Muslim no. 2867) Berdoa dan memohon perlindungan dari fitnah juga diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk senantiasa kita lakukan sesaat sebelum salam dan sesudah tasyahud akhir. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan salah satu doa yang senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam salatnya, اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ “Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al-Masih Ad-Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu dari segala macam fitnah dan ujian ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang.” (HR. Bukhari, no. 832 dan Muslim, no. 589) Ma’asyiral mukminin yang dirahmati Allah Ta’ala, Marilah kita berdoa agar Allah Ta’ala menyelamatkan kita dari berbagai macam fitnah dan ujian dalam kehidupan kita, baik itu fitnah dalam bentuk harta, kedudukan, ketidakcukupan, ataupun fitnah kebodohan yang menimpa sehingga membuat kita terjatuh ke dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Semoga Allah jadikan kita hamba-hamba-Nya yang cerdas di dalam menyikapi setiap fitnah yang ada, tidak mudah terbawa arus dan berhati-hati dalam mengambil langkah di setiap keputusan yang kita ambil. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Sebab Meraih Kemenangan dan Pertolongan Allah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanfitnah

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 6): Fi’il Amr

Daftar Isi Toggle Ciri-ciri fi’il amrTanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَأَمْرٌ يُعْرَفُ بِدَلَالَتِهِ عَلَى الطَّلَبِ مَعَ قَبُوْلِهِ يَاءَ المُخَاطَبَةِ “Fi’il amr bisa diketahui dengan adanya permintaan untuk melakukan perbuatan dan kata tersebut bisa bersambung dengan يَاءُ المُخَاطَبَةِ (huruf ya’ yang menunjukkan perempuan satu orang yang diajak berbicara).” Syekh Muhammad ibn Saleh Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya ini adalah pembahasan fi’il yang kedua, yaitu fi’il amr. Kata أَمْرٌ tersebut ma’tuf  (mengikuti i’rab) kata مَاضٍ yang disampaikan Ibnu Hisyam pada awal pembahasan mengenal macam-macam fi’il. Adapun kalimat lengkapnya adalah: وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاضٍ, َأَمْرٍ Ciri-ciri fi’il amr Fi’il amr mempunyai 2 ciri yang selalu ada padanya. Yaitu: Pertama, Kata yang menunjukkan perintah untuk melakukan perbuatan. Contohnya adalah أَطِعْ أَبَاكَ “Taatilah bapakmu!” Maka, kata أَطِعْ adalah fi’il amr karena kata tersebut menunjukkan perintah untuk melakukan ketaatan. Kedua, Bisa bersambung dengan  يَاء mukhathabah (perempuan satu orang yang diajak berbicara). Contohnya adalah: يَا نَجْلِاءُ أَطِيْعِيْ أَبَاكَ “Wahai Perempuan, taatilah bapakmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah  يَاءُ mukhathabah. Apabila kata menunjukkan perintah dan tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Contohnya adalah: صَهْ إِذَا تَكَلَّمَ غَيْرُكَ “Diamlah apabila orang lain berbicara.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan perintah untuk diam. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Oleh karena itu, apabila kedua syarat tidak terpenuhi, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Akan tetapi, kata tersebut adalah isim fi’il amr (isim yang bermakna perintah). Apabila ada kata yang bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah dan tidak menunjukkan perintah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Kata tersebut adalah fi’il mudhari’. Contohnya adalah: أَنْتِ – يَا هِنْدُ – تُهذِّبِيْنَ الْأَطْفَالَ “Kamu, wahai Hindun, mendidik anak-anak itu.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut hanya bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, namun tidak menunjukkan perintah. Tanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَبِنَاءُهُ عَلَى السُّكُوْنِ, كَاضْرِبْ, إِلَّا الْمُعْتَلَّ فَعَلَى حَذْفِ آخِرِهِ كَاغْزُ, وَاخْشَى, وَارْمِ, وَنَحْوَ : قُوْمَا, وَقُوْمُوْا,وَقُوْمِي, فَعَلَى حَذْفِ النُّوْنِ Fi’il amr mabni-nya dengan tanda sukun. Contohnya adalah: إِضْرِبْ  (Pukullah olehmu!) Jika fi’il amr yang diakhiri oleh mu’tal akhir (huruf yang cacat), fi’il amr yang diakhiri oleh huruf mu’tal akhir tersebut mabni dengan tanda dihapusnya huruf terakhir. Contohnya adalah: أُغْزُ (Berperanglah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  و (wawu). إِخْشَ (takutlah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ا  (alif). إِرْمِ (Lemparkanlah olehmu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ي  (ya’). Kemudian, apabila fi’il amr yang menunjukkan pelakunya أنتما (kalian berdua orang laki-laki/perempuan) dan أنتم (kalian laki-laki banyak), maka mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun. Contohnya adalah : قُوْمَا (Kalian berdua laki-laki/perempuan beririlah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ن  (nun). قُوْمُوْا (Kalian laki-laki berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). قُوْمِي (Kamu (perempuan) berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). Ibnu Hisyam menjelaskan bahwasanya fi’il amr mirip dengan fi’il madhi jika dilihat tanda i’rabnya. Yaitu: Pertama, Fi’il amr mabni dengan tanda sukun. Apabila fi’il amr tersebut adalah fi’il amr shahih akhir (yang tidak diakhiri huruf cacat (alif, wawu, dan ya’) dan tidak bersambung dengan apa pun. Contohnya adalah: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ (Bersamangatlah untuk yang bermanfaat bagimu!) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il shahih akhir dan tidak bersambung dengan huruf atau kata apa pun. Contoh fi’il amr yang bersambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak) adalah: اُتْرُكْنَ الْجِدَالَ (Wahai perempuan, tinggalkanlah perdebatan!) Maka, kata tersebut besambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak). Kedua, Fi’il amr mabni dengan menghapus huruf ‘illah (huruf cacat). Mabni dengan menghapus huruf ‘illah ketika fi’il amr kategori mu’tal akhir (yang diakhiri huruf cacat). Contohnya adalah: اُدْعُ إِلَى اللهِ بِاحِكْمَةِ “Berdakwahlah kepada Allah dengan hikmah!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut ada huruf ‘’illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  و (wawu). تَحَرَّ الصِّدْقَ فِيْمَا تَقُوْلُ “Berusahalah untuk jujur terhadap apa yang kamu katakan!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ا (alif). أَهْدِ إِلَى أَقْرَبَائِكَ “Berikanlah hadiah kepada kerabat-kerabatmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ي (ya’). Ketiga, Fi’il amr mabni dengan tanda menghapus huruf  ن (nun). Fi’il amr mabni dengan tanda tersebut apabila bersambung dengan ا  (alif istnain/menunjukkan pelakunya dua orang) atau bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan banyak), dan bersambung dengan ي mukhathabah (menunjukkan pelakunya satu orang perempuan yang diajak berbicara). Contohnya adalah: أَكْرَمَا ضُيُوْفَكُمَا “Muliakanlah  tamu-tamu kalian!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. تَصَدَّقُوْا عَلَى الْفُقَرَاءِ “Hendaklah kalian bersedekah kepada orang-orang fakir.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. أَحْسِنِي الْحِجَابَ “Perbaikilah hijabmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. Keempat, Ada tanda mabni fi’il amr yang tidak disebutkan oleh Ibnu Hisyam dan ditambahkan oleh Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan. Yaitu, Fi’il amr mabni dengan dengan tanda fathah apabila bersambung dengan nun taukid (penegas). Contohnya adalah: عَاشِرَنَّ إِخْوَانَكَ بِالمَعْرُوْفِ “Benar-benar bergaullah dengan saudaramu dengan cara yang baik.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda fathah. Adapun nun taukid tersebut mabni dengan tanda fathah dan tidak ada kedudukannya di dalam kalimat. Ibnu Hisyam mengatakan وَمِنْهُ  فِي لُغَةِ تَمِيْمً, وَهَاتَ وَتَعَالَ فِي الْأَصَح “Menurut dialeg Bani Tamim, kategori fi’il amr lainya adalah وَهَاتَ وَتَعَالَ هَلُمَّ.  Pendapat tersebut adalah pendapat yang sahih” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya penjelasan tanda mabni fi’il amr no 1-3 adalah pendapat yang sahih. Adapun kata هَلُمَّ ada dua makna. Yaitu: Pertama, Kata tersebut berkmakna أَقْبِلْ (kemarilah). Contohnya adalah: هَلُمَّ إِلَى حَلَقَاتِ الْعِلْمِ “Kemarilah ke halaqah ilmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut bermakna “kemarilah.” وَالۡقَآٮِٕلِيۡنَ لِاِخۡوَانِهِمۡ هَلُمَّ اِلَيۡنَا “Orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah bersama kami.’” (Al-Ahzab : 18) Maka, kata هَلُمَّ tersebut bermakna أَقْبِلُوْا “Kemarilah kalian!”. Kedua, Kata tersebut bisa bermakna أَحْضِرْ “Datangkanlah!” Contohnya adalah : هَلُمَّ زَمِيْلَكَ “Datangkanlah temanmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut أَحْضِرْهُ  bermakna “Hadirkanlah dia!” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاۤءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), Datangkanlah saksi-saksi kalian!” (Q.S.Al-An’am: 15) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut maknanya adalah أَحْضِرْهُ , “Datangkanlah oleh kalian!” Menurut dialeg Bani Tamim kata هَلُمَّ tersebut masuk kategori fi’il amr. Kata tersebut dikatakan fi’il amr dikarenakan mencukupi syarat sebagai fi’il amr, yaitu menunjukkan makna perintah, bisa bersambung dengan   يَاءُ mukhathabah, dan bisa bersambung dengan dhamir muttashil bariz. Contohnya adalah : هَلُمَّ يَا صَالِحُ “Kemarilah, wahai Sholih!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki satu orang yang sedang diajak berbicara. هَلُمِّي يَا عَائِشَةُ “Kemarilah wahai Aisyah!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan satu orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. هَلُمَّا يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki dua orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhommir muttashil bariz. هَلُمُّوا يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. يَا هِنْدَاتِ هَلْمُمْنَ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. Kembali ke bagian 5: Mengenal Macam-Macam Fi’il Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 6): Fi’il Amr

Daftar Isi Toggle Ciri-ciri fi’il amrTanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَأَمْرٌ يُعْرَفُ بِدَلَالَتِهِ عَلَى الطَّلَبِ مَعَ قَبُوْلِهِ يَاءَ المُخَاطَبَةِ “Fi’il amr bisa diketahui dengan adanya permintaan untuk melakukan perbuatan dan kata tersebut bisa bersambung dengan يَاءُ المُخَاطَبَةِ (huruf ya’ yang menunjukkan perempuan satu orang yang diajak berbicara).” Syekh Muhammad ibn Saleh Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya ini adalah pembahasan fi’il yang kedua, yaitu fi’il amr. Kata أَمْرٌ tersebut ma’tuf  (mengikuti i’rab) kata مَاضٍ yang disampaikan Ibnu Hisyam pada awal pembahasan mengenal macam-macam fi’il. Adapun kalimat lengkapnya adalah: وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاضٍ, َأَمْرٍ Ciri-ciri fi’il amr Fi’il amr mempunyai 2 ciri yang selalu ada padanya. Yaitu: Pertama, Kata yang menunjukkan perintah untuk melakukan perbuatan. Contohnya adalah أَطِعْ أَبَاكَ “Taatilah bapakmu!” Maka, kata أَطِعْ adalah fi’il amr karena kata tersebut menunjukkan perintah untuk melakukan ketaatan. Kedua, Bisa bersambung dengan  يَاء mukhathabah (perempuan satu orang yang diajak berbicara). Contohnya adalah: يَا نَجْلِاءُ أَطِيْعِيْ أَبَاكَ “Wahai Perempuan, taatilah bapakmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah  يَاءُ mukhathabah. Apabila kata menunjukkan perintah dan tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Contohnya adalah: صَهْ إِذَا تَكَلَّمَ غَيْرُكَ “Diamlah apabila orang lain berbicara.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan perintah untuk diam. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Oleh karena itu, apabila kedua syarat tidak terpenuhi, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Akan tetapi, kata tersebut adalah isim fi’il amr (isim yang bermakna perintah). Apabila ada kata yang bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah dan tidak menunjukkan perintah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Kata tersebut adalah fi’il mudhari’. Contohnya adalah: أَنْتِ – يَا هِنْدُ – تُهذِّبِيْنَ الْأَطْفَالَ “Kamu, wahai Hindun, mendidik anak-anak itu.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut hanya bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, namun tidak menunjukkan perintah. Tanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَبِنَاءُهُ عَلَى السُّكُوْنِ, كَاضْرِبْ, إِلَّا الْمُعْتَلَّ فَعَلَى حَذْفِ آخِرِهِ كَاغْزُ, وَاخْشَى, وَارْمِ, وَنَحْوَ : قُوْمَا, وَقُوْمُوْا,وَقُوْمِي, فَعَلَى حَذْفِ النُّوْنِ Fi’il amr mabni-nya dengan tanda sukun. Contohnya adalah: إِضْرِبْ  (Pukullah olehmu!) Jika fi’il amr yang diakhiri oleh mu’tal akhir (huruf yang cacat), fi’il amr yang diakhiri oleh huruf mu’tal akhir tersebut mabni dengan tanda dihapusnya huruf terakhir. Contohnya adalah: أُغْزُ (Berperanglah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  و (wawu). إِخْشَ (takutlah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ا  (alif). إِرْمِ (Lemparkanlah olehmu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ي  (ya’). Kemudian, apabila fi’il amr yang menunjukkan pelakunya أنتما (kalian berdua orang laki-laki/perempuan) dan أنتم (kalian laki-laki banyak), maka mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun. Contohnya adalah : قُوْمَا (Kalian berdua laki-laki/perempuan beririlah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ن  (nun). قُوْمُوْا (Kalian laki-laki berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). قُوْمِي (Kamu (perempuan) berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). Ibnu Hisyam menjelaskan bahwasanya fi’il amr mirip dengan fi’il madhi jika dilihat tanda i’rabnya. Yaitu: Pertama, Fi’il amr mabni dengan tanda sukun. Apabila fi’il amr tersebut adalah fi’il amr shahih akhir (yang tidak diakhiri huruf cacat (alif, wawu, dan ya’) dan tidak bersambung dengan apa pun. Contohnya adalah: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ (Bersamangatlah untuk yang bermanfaat bagimu!) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il shahih akhir dan tidak bersambung dengan huruf atau kata apa pun. Contoh fi’il amr yang bersambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak) adalah: اُتْرُكْنَ الْجِدَالَ (Wahai perempuan, tinggalkanlah perdebatan!) Maka, kata tersebut besambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak). Kedua, Fi’il amr mabni dengan menghapus huruf ‘illah (huruf cacat). Mabni dengan menghapus huruf ‘illah ketika fi’il amr kategori mu’tal akhir (yang diakhiri huruf cacat). Contohnya adalah: اُدْعُ إِلَى اللهِ بِاحِكْمَةِ “Berdakwahlah kepada Allah dengan hikmah!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut ada huruf ‘’illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  و (wawu). تَحَرَّ الصِّدْقَ فِيْمَا تَقُوْلُ “Berusahalah untuk jujur terhadap apa yang kamu katakan!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ا (alif). أَهْدِ إِلَى أَقْرَبَائِكَ “Berikanlah hadiah kepada kerabat-kerabatmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ي (ya’). Ketiga, Fi’il amr mabni dengan tanda menghapus huruf  ن (nun). Fi’il amr mabni dengan tanda tersebut apabila bersambung dengan ا  (alif istnain/menunjukkan pelakunya dua orang) atau bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan banyak), dan bersambung dengan ي mukhathabah (menunjukkan pelakunya satu orang perempuan yang diajak berbicara). Contohnya adalah: أَكْرَمَا ضُيُوْفَكُمَا “Muliakanlah  tamu-tamu kalian!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. تَصَدَّقُوْا عَلَى الْفُقَرَاءِ “Hendaklah kalian bersedekah kepada orang-orang fakir.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. أَحْسِنِي الْحِجَابَ “Perbaikilah hijabmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. Keempat, Ada tanda mabni fi’il amr yang tidak disebutkan oleh Ibnu Hisyam dan ditambahkan oleh Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan. Yaitu, Fi’il amr mabni dengan dengan tanda fathah apabila bersambung dengan nun taukid (penegas). Contohnya adalah: عَاشِرَنَّ إِخْوَانَكَ بِالمَعْرُوْفِ “Benar-benar bergaullah dengan saudaramu dengan cara yang baik.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda fathah. Adapun nun taukid tersebut mabni dengan tanda fathah dan tidak ada kedudukannya di dalam kalimat. Ibnu Hisyam mengatakan وَمِنْهُ  فِي لُغَةِ تَمِيْمً, وَهَاتَ وَتَعَالَ فِي الْأَصَح “Menurut dialeg Bani Tamim, kategori fi’il amr lainya adalah وَهَاتَ وَتَعَالَ هَلُمَّ.  Pendapat tersebut adalah pendapat yang sahih” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya penjelasan tanda mabni fi’il amr no 1-3 adalah pendapat yang sahih. Adapun kata هَلُمَّ ada dua makna. Yaitu: Pertama, Kata tersebut berkmakna أَقْبِلْ (kemarilah). Contohnya adalah: هَلُمَّ إِلَى حَلَقَاتِ الْعِلْمِ “Kemarilah ke halaqah ilmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut bermakna “kemarilah.” وَالۡقَآٮِٕلِيۡنَ لِاِخۡوَانِهِمۡ هَلُمَّ اِلَيۡنَا “Orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah bersama kami.’” (Al-Ahzab : 18) Maka, kata هَلُمَّ tersebut bermakna أَقْبِلُوْا “Kemarilah kalian!”. Kedua, Kata tersebut bisa bermakna أَحْضِرْ “Datangkanlah!” Contohnya adalah : هَلُمَّ زَمِيْلَكَ “Datangkanlah temanmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut أَحْضِرْهُ  bermakna “Hadirkanlah dia!” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاۤءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), Datangkanlah saksi-saksi kalian!” (Q.S.Al-An’am: 15) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut maknanya adalah أَحْضِرْهُ , “Datangkanlah oleh kalian!” Menurut dialeg Bani Tamim kata هَلُمَّ tersebut masuk kategori fi’il amr. Kata tersebut dikatakan fi’il amr dikarenakan mencukupi syarat sebagai fi’il amr, yaitu menunjukkan makna perintah, bisa bersambung dengan   يَاءُ mukhathabah, dan bisa bersambung dengan dhamir muttashil bariz. Contohnya adalah : هَلُمَّ يَا صَالِحُ “Kemarilah, wahai Sholih!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki satu orang yang sedang diajak berbicara. هَلُمِّي يَا عَائِشَةُ “Kemarilah wahai Aisyah!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan satu orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. هَلُمَّا يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki dua orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhommir muttashil bariz. هَلُمُّوا يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. يَا هِنْدَاتِ هَلْمُمْنَ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. Kembali ke bagian 5: Mengenal Macam-Macam Fi’il Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Daftar Isi Toggle Ciri-ciri fi’il amrTanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَأَمْرٌ يُعْرَفُ بِدَلَالَتِهِ عَلَى الطَّلَبِ مَعَ قَبُوْلِهِ يَاءَ المُخَاطَبَةِ “Fi’il amr bisa diketahui dengan adanya permintaan untuk melakukan perbuatan dan kata tersebut bisa bersambung dengan يَاءُ المُخَاطَبَةِ (huruf ya’ yang menunjukkan perempuan satu orang yang diajak berbicara).” Syekh Muhammad ibn Saleh Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya ini adalah pembahasan fi’il yang kedua, yaitu fi’il amr. Kata أَمْرٌ tersebut ma’tuf  (mengikuti i’rab) kata مَاضٍ yang disampaikan Ibnu Hisyam pada awal pembahasan mengenal macam-macam fi’il. Adapun kalimat lengkapnya adalah: وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاضٍ, َأَمْرٍ Ciri-ciri fi’il amr Fi’il amr mempunyai 2 ciri yang selalu ada padanya. Yaitu: Pertama, Kata yang menunjukkan perintah untuk melakukan perbuatan. Contohnya adalah أَطِعْ أَبَاكَ “Taatilah bapakmu!” Maka, kata أَطِعْ adalah fi’il amr karena kata tersebut menunjukkan perintah untuk melakukan ketaatan. Kedua, Bisa bersambung dengan  يَاء mukhathabah (perempuan satu orang yang diajak berbicara). Contohnya adalah: يَا نَجْلِاءُ أَطِيْعِيْ أَبَاكَ “Wahai Perempuan, taatilah bapakmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah  يَاءُ mukhathabah. Apabila kata menunjukkan perintah dan tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Contohnya adalah: صَهْ إِذَا تَكَلَّمَ غَيْرُكَ “Diamlah apabila orang lain berbicara.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan perintah untuk diam. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Oleh karena itu, apabila kedua syarat tidak terpenuhi, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Akan tetapi, kata tersebut adalah isim fi’il amr (isim yang bermakna perintah). Apabila ada kata yang bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah dan tidak menunjukkan perintah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Kata tersebut adalah fi’il mudhari’. Contohnya adalah: أَنْتِ – يَا هِنْدُ – تُهذِّبِيْنَ الْأَطْفَالَ “Kamu, wahai Hindun, mendidik anak-anak itu.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut hanya bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, namun tidak menunjukkan perintah. Tanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَبِنَاءُهُ عَلَى السُّكُوْنِ, كَاضْرِبْ, إِلَّا الْمُعْتَلَّ فَعَلَى حَذْفِ آخِرِهِ كَاغْزُ, وَاخْشَى, وَارْمِ, وَنَحْوَ : قُوْمَا, وَقُوْمُوْا,وَقُوْمِي, فَعَلَى حَذْفِ النُّوْنِ Fi’il amr mabni-nya dengan tanda sukun. Contohnya adalah: إِضْرِبْ  (Pukullah olehmu!) Jika fi’il amr yang diakhiri oleh mu’tal akhir (huruf yang cacat), fi’il amr yang diakhiri oleh huruf mu’tal akhir tersebut mabni dengan tanda dihapusnya huruf terakhir. Contohnya adalah: أُغْزُ (Berperanglah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  و (wawu). إِخْشَ (takutlah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ا  (alif). إِرْمِ (Lemparkanlah olehmu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ي  (ya’). Kemudian, apabila fi’il amr yang menunjukkan pelakunya أنتما (kalian berdua orang laki-laki/perempuan) dan أنتم (kalian laki-laki banyak), maka mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun. Contohnya adalah : قُوْمَا (Kalian berdua laki-laki/perempuan beririlah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ن  (nun). قُوْمُوْا (Kalian laki-laki berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). قُوْمِي (Kamu (perempuan) berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). Ibnu Hisyam menjelaskan bahwasanya fi’il amr mirip dengan fi’il madhi jika dilihat tanda i’rabnya. Yaitu: Pertama, Fi’il amr mabni dengan tanda sukun. Apabila fi’il amr tersebut adalah fi’il amr shahih akhir (yang tidak diakhiri huruf cacat (alif, wawu, dan ya’) dan tidak bersambung dengan apa pun. Contohnya adalah: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ (Bersamangatlah untuk yang bermanfaat bagimu!) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il shahih akhir dan tidak bersambung dengan huruf atau kata apa pun. Contoh fi’il amr yang bersambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak) adalah: اُتْرُكْنَ الْجِدَالَ (Wahai perempuan, tinggalkanlah perdebatan!) Maka, kata tersebut besambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak). Kedua, Fi’il amr mabni dengan menghapus huruf ‘illah (huruf cacat). Mabni dengan menghapus huruf ‘illah ketika fi’il amr kategori mu’tal akhir (yang diakhiri huruf cacat). Contohnya adalah: اُدْعُ إِلَى اللهِ بِاحِكْمَةِ “Berdakwahlah kepada Allah dengan hikmah!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut ada huruf ‘’illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  و (wawu). تَحَرَّ الصِّدْقَ فِيْمَا تَقُوْلُ “Berusahalah untuk jujur terhadap apa yang kamu katakan!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ا (alif). أَهْدِ إِلَى أَقْرَبَائِكَ “Berikanlah hadiah kepada kerabat-kerabatmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ي (ya’). Ketiga, Fi’il amr mabni dengan tanda menghapus huruf  ن (nun). Fi’il amr mabni dengan tanda tersebut apabila bersambung dengan ا  (alif istnain/menunjukkan pelakunya dua orang) atau bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan banyak), dan bersambung dengan ي mukhathabah (menunjukkan pelakunya satu orang perempuan yang diajak berbicara). Contohnya adalah: أَكْرَمَا ضُيُوْفَكُمَا “Muliakanlah  tamu-tamu kalian!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. تَصَدَّقُوْا عَلَى الْفُقَرَاءِ “Hendaklah kalian bersedekah kepada orang-orang fakir.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. أَحْسِنِي الْحِجَابَ “Perbaikilah hijabmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. Keempat, Ada tanda mabni fi’il amr yang tidak disebutkan oleh Ibnu Hisyam dan ditambahkan oleh Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan. Yaitu, Fi’il amr mabni dengan dengan tanda fathah apabila bersambung dengan nun taukid (penegas). Contohnya adalah: عَاشِرَنَّ إِخْوَانَكَ بِالمَعْرُوْفِ “Benar-benar bergaullah dengan saudaramu dengan cara yang baik.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda fathah. Adapun nun taukid tersebut mabni dengan tanda fathah dan tidak ada kedudukannya di dalam kalimat. Ibnu Hisyam mengatakan وَمِنْهُ  فِي لُغَةِ تَمِيْمً, وَهَاتَ وَتَعَالَ فِي الْأَصَح “Menurut dialeg Bani Tamim, kategori fi’il amr lainya adalah وَهَاتَ وَتَعَالَ هَلُمَّ.  Pendapat tersebut adalah pendapat yang sahih” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya penjelasan tanda mabni fi’il amr no 1-3 adalah pendapat yang sahih. Adapun kata هَلُمَّ ada dua makna. Yaitu: Pertama, Kata tersebut berkmakna أَقْبِلْ (kemarilah). Contohnya adalah: هَلُمَّ إِلَى حَلَقَاتِ الْعِلْمِ “Kemarilah ke halaqah ilmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut bermakna “kemarilah.” وَالۡقَآٮِٕلِيۡنَ لِاِخۡوَانِهِمۡ هَلُمَّ اِلَيۡنَا “Orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah bersama kami.’” (Al-Ahzab : 18) Maka, kata هَلُمَّ tersebut bermakna أَقْبِلُوْا “Kemarilah kalian!”. Kedua, Kata tersebut bisa bermakna أَحْضِرْ “Datangkanlah!” Contohnya adalah : هَلُمَّ زَمِيْلَكَ “Datangkanlah temanmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut أَحْضِرْهُ  bermakna “Hadirkanlah dia!” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاۤءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), Datangkanlah saksi-saksi kalian!” (Q.S.Al-An’am: 15) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut maknanya adalah أَحْضِرْهُ , “Datangkanlah oleh kalian!” Menurut dialeg Bani Tamim kata هَلُمَّ tersebut masuk kategori fi’il amr. Kata tersebut dikatakan fi’il amr dikarenakan mencukupi syarat sebagai fi’il amr, yaitu menunjukkan makna perintah, bisa bersambung dengan   يَاءُ mukhathabah, dan bisa bersambung dengan dhamir muttashil bariz. Contohnya adalah : هَلُمَّ يَا صَالِحُ “Kemarilah, wahai Sholih!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki satu orang yang sedang diajak berbicara. هَلُمِّي يَا عَائِشَةُ “Kemarilah wahai Aisyah!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan satu orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. هَلُمَّا يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki dua orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhommir muttashil bariz. هَلُمُّوا يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. يَا هِنْدَاتِ هَلْمُمْنَ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. Kembali ke bagian 5: Mengenal Macam-Macam Fi’il Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Daftar Isi Toggle Ciri-ciri fi’il amrTanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَأَمْرٌ يُعْرَفُ بِدَلَالَتِهِ عَلَى الطَّلَبِ مَعَ قَبُوْلِهِ يَاءَ المُخَاطَبَةِ “Fi’il amr bisa diketahui dengan adanya permintaan untuk melakukan perbuatan dan kata tersebut bisa bersambung dengan يَاءُ المُخَاطَبَةِ (huruf ya’ yang menunjukkan perempuan satu orang yang diajak berbicara).” Syekh Muhammad ibn Saleh Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya ini adalah pembahasan fi’il yang kedua, yaitu fi’il amr. Kata أَمْرٌ tersebut ma’tuf  (mengikuti i’rab) kata مَاضٍ yang disampaikan Ibnu Hisyam pada awal pembahasan mengenal macam-macam fi’il. Adapun kalimat lengkapnya adalah: وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاضٍ, َأَمْرٍ Ciri-ciri fi’il amr Fi’il amr mempunyai 2 ciri yang selalu ada padanya. Yaitu: Pertama, Kata yang menunjukkan perintah untuk melakukan perbuatan. Contohnya adalah أَطِعْ أَبَاكَ “Taatilah bapakmu!” Maka, kata أَطِعْ adalah fi’il amr karena kata tersebut menunjukkan perintah untuk melakukan ketaatan. Kedua, Bisa bersambung dengan  يَاء mukhathabah (perempuan satu orang yang diajak berbicara). Contohnya adalah: يَا نَجْلِاءُ أَطِيْعِيْ أَبَاكَ “Wahai Perempuan, taatilah bapakmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah  يَاءُ mukhathabah. Apabila kata menunjukkan perintah dan tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Contohnya adalah: صَهْ إِذَا تَكَلَّمَ غَيْرُكَ “Diamlah apabila orang lain berbicara.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan perintah untuk diam. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Oleh karena itu, apabila kedua syarat tidak terpenuhi, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Akan tetapi, kata tersebut adalah isim fi’il amr (isim yang bermakna perintah). Apabila ada kata yang bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah dan tidak menunjukkan perintah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Kata tersebut adalah fi’il mudhari’. Contohnya adalah: أَنْتِ – يَا هِنْدُ – تُهذِّبِيْنَ الْأَطْفَالَ “Kamu, wahai Hindun, mendidik anak-anak itu.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut hanya bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, namun tidak menunjukkan perintah. Tanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَبِنَاءُهُ عَلَى السُّكُوْنِ, كَاضْرِبْ, إِلَّا الْمُعْتَلَّ فَعَلَى حَذْفِ آخِرِهِ كَاغْزُ, وَاخْشَى, وَارْمِ, وَنَحْوَ : قُوْمَا, وَقُوْمُوْا,وَقُوْمِي, فَعَلَى حَذْفِ النُّوْنِ Fi’il amr mabni-nya dengan tanda sukun. Contohnya adalah: إِضْرِبْ  (Pukullah olehmu!) Jika fi’il amr yang diakhiri oleh mu’tal akhir (huruf yang cacat), fi’il amr yang diakhiri oleh huruf mu’tal akhir tersebut mabni dengan tanda dihapusnya huruf terakhir. Contohnya adalah: أُغْزُ (Berperanglah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  و (wawu). إِخْشَ (takutlah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ا  (alif). إِرْمِ (Lemparkanlah olehmu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ي  (ya’). Kemudian, apabila fi’il amr yang menunjukkan pelakunya أنتما (kalian berdua orang laki-laki/perempuan) dan أنتم (kalian laki-laki banyak), maka mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun. Contohnya adalah : قُوْمَا (Kalian berdua laki-laki/perempuan beririlah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ن  (nun). قُوْمُوْا (Kalian laki-laki berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). قُوْمِي (Kamu (perempuan) berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). Ibnu Hisyam menjelaskan bahwasanya fi’il amr mirip dengan fi’il madhi jika dilihat tanda i’rabnya. Yaitu: Pertama, Fi’il amr mabni dengan tanda sukun. Apabila fi’il amr tersebut adalah fi’il amr shahih akhir (yang tidak diakhiri huruf cacat (alif, wawu, dan ya’) dan tidak bersambung dengan apa pun. Contohnya adalah: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ (Bersamangatlah untuk yang bermanfaat bagimu!) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il shahih akhir dan tidak bersambung dengan huruf atau kata apa pun. Contoh fi’il amr yang bersambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak) adalah: اُتْرُكْنَ الْجِدَالَ (Wahai perempuan, tinggalkanlah perdebatan!) Maka, kata tersebut besambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak). Kedua, Fi’il amr mabni dengan menghapus huruf ‘illah (huruf cacat). Mabni dengan menghapus huruf ‘illah ketika fi’il amr kategori mu’tal akhir (yang diakhiri huruf cacat). Contohnya adalah: اُدْعُ إِلَى اللهِ بِاحِكْمَةِ “Berdakwahlah kepada Allah dengan hikmah!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut ada huruf ‘’illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  و (wawu). تَحَرَّ الصِّدْقَ فِيْمَا تَقُوْلُ “Berusahalah untuk jujur terhadap apa yang kamu katakan!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ا (alif). أَهْدِ إِلَى أَقْرَبَائِكَ “Berikanlah hadiah kepada kerabat-kerabatmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ي (ya’). Ketiga, Fi’il amr mabni dengan tanda menghapus huruf  ن (nun). Fi’il amr mabni dengan tanda tersebut apabila bersambung dengan ا  (alif istnain/menunjukkan pelakunya dua orang) atau bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan banyak), dan bersambung dengan ي mukhathabah (menunjukkan pelakunya satu orang perempuan yang diajak berbicara). Contohnya adalah: أَكْرَمَا ضُيُوْفَكُمَا “Muliakanlah  tamu-tamu kalian!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. تَصَدَّقُوْا عَلَى الْفُقَرَاءِ “Hendaklah kalian bersedekah kepada orang-orang fakir.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. أَحْسِنِي الْحِجَابَ “Perbaikilah hijabmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. Keempat, Ada tanda mabni fi’il amr yang tidak disebutkan oleh Ibnu Hisyam dan ditambahkan oleh Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan. Yaitu, Fi’il amr mabni dengan dengan tanda fathah apabila bersambung dengan nun taukid (penegas). Contohnya adalah: عَاشِرَنَّ إِخْوَانَكَ بِالمَعْرُوْفِ “Benar-benar bergaullah dengan saudaramu dengan cara yang baik.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda fathah. Adapun nun taukid tersebut mabni dengan tanda fathah dan tidak ada kedudukannya di dalam kalimat. Ibnu Hisyam mengatakan وَمِنْهُ  فِي لُغَةِ تَمِيْمً, وَهَاتَ وَتَعَالَ فِي الْأَصَح “Menurut dialeg Bani Tamim, kategori fi’il amr lainya adalah وَهَاتَ وَتَعَالَ هَلُمَّ.  Pendapat tersebut adalah pendapat yang sahih” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya penjelasan tanda mabni fi’il amr no 1-3 adalah pendapat yang sahih. Adapun kata هَلُمَّ ada dua makna. Yaitu: Pertama, Kata tersebut berkmakna أَقْبِلْ (kemarilah). Contohnya adalah: هَلُمَّ إِلَى حَلَقَاتِ الْعِلْمِ “Kemarilah ke halaqah ilmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut bermakna “kemarilah.” وَالۡقَآٮِٕلِيۡنَ لِاِخۡوَانِهِمۡ هَلُمَّ اِلَيۡنَا “Orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah bersama kami.’” (Al-Ahzab : 18) Maka, kata هَلُمَّ tersebut bermakna أَقْبِلُوْا “Kemarilah kalian!”. Kedua, Kata tersebut bisa bermakna أَحْضِرْ “Datangkanlah!” Contohnya adalah : هَلُمَّ زَمِيْلَكَ “Datangkanlah temanmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut أَحْضِرْهُ  bermakna “Hadirkanlah dia!” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاۤءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), Datangkanlah saksi-saksi kalian!” (Q.S.Al-An’am: 15) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut maknanya adalah أَحْضِرْهُ , “Datangkanlah oleh kalian!” Menurut dialeg Bani Tamim kata هَلُمَّ tersebut masuk kategori fi’il amr. Kata tersebut dikatakan fi’il amr dikarenakan mencukupi syarat sebagai fi’il amr, yaitu menunjukkan makna perintah, bisa bersambung dengan   يَاءُ mukhathabah, dan bisa bersambung dengan dhamir muttashil bariz. Contohnya adalah : هَلُمَّ يَا صَالِحُ “Kemarilah, wahai Sholih!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki satu orang yang sedang diajak berbicara. هَلُمِّي يَا عَائِشَةُ “Kemarilah wahai Aisyah!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan satu orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. هَلُمَّا يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki dua orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhommir muttashil bariz. هَلُمُّوا يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. يَا هِنْدَاتِ هَلْمُمْنَ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. Kembali ke bagian 5: Mengenal Macam-Macam Fi’il Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Matan Taqrib: Rincian Rukun Shalat

Apa saja yang termasuk rukun shalat? Rukun shalat adalah sesuatu yang diwajibkan di dalam shalat, yang tidak bisa ditinggalkan.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Rukun Shalat Pertama: Berniat 3.2. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu 3.3. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram 3.4. Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah 3.5. Rukun Shalat Kelima: Rukuk 3.6. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk 3.7. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal 3.8. Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal 3.9. Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat 3.10. Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud 3.11. Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud 3.12. Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud 3.13. Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir 3.14. Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir 3.15. Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir 3.16. Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama 3.17. Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat 3.18. Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan 3.19. Rukun shalat dapat dibagi menjadi: 3.20. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَأَرْكَانُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَّةَ عَشَرَ رُكْناً: النِّيَّةُ وَالقِيَامُ مَعَ القُدْرَةِ وَتَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةٌ مِنْهَا وَالرُّكُوْعُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالرَّفْعُ وَالاِعْتِدَالُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالسُّجُوْدُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ الأَخِيْرُ وَالتَّشَهُّدُ فِيْهِ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ وَالتَّسْلِيْمَةُ الأُوْلَى وَنِيَّةُ الخُرُوْجِ مِنَ الصَّلاَةِ وَتَرْتِيْبُ الأَرْكَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ. Rukun shalat ada delapan belas, yaitu: 1. Berniat, 2. Berdiri bagi yang mampu, 3. Takbiratul ihram, 4. Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah, 5. Rukuk, 6. Thumakninah ketika rukuk, 7. Bangkit dan iktidal, 8. Thumakninah ketika iktidal, 9. Sujud, 10. Thumakninah ketika sujud, 11. Duduk di antara dua sujud, 12. Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud, 13. Duduk tasyahud akhir, 14. Membaca tasyahud akhir, 15. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, 16. Salam pertama, 17. Niat keluar dari shalat, 18. Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan. Penjelasan: Catatan: Menurut pendapat ash-shahih, niat keluar dari shalat merupakan sunnah shalat, bukan merupakan rukun shalat. Inilah pendapat mu’tamad.   Rukun Shalat Pertama: Berniat Shalat tidaklah sah kecuali dengan niat. Niat secara bahasa berarti keinginan. Niat secara istilah syari adalah qashdusy syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan melakukan sesuatu berbarengan saat memulai sesuatu tersebut. Letak niat adalah di hati. Niat tidak wajib diucapkan di lisan, hanya disunnahkan saja. Tujuan niat diucapkan adalah liyusa’idul lisaanu al-qolba, agar lisan menolong hati untuk hadir. Jika berbeda antara lisan dengan hati, maka yang jadi patokan adalah niat di hati. Misalnya, ada yang niat shalat Zhuhur dalam hatinya, tetapi di lisannya mengucapkan niat shalat lain, maka patokannya adalah niat di hati. Cara niat: 1. Untuk shalat fardhu, wajib berniat: fardhu, shalat, takyin nama shalatnya. 2. Untuk shalat sunnah yang memiliki batasan waktu seperti rawatib atau shalat tersebut memiliki sebab seperti shalat Istisqa’, maka wajib berniat: shalat, takyin, nama shalatnya, tanpa menyebut kata sunnah. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu Berdiri ini berlaku wajib untuk shalat fardhu ketika mampu. Walaupun shalatnya adalah shalat nadzar, shalat mu’adah (yang diulang), shalat anak kecil. Shalat sunnah (seperti rawatib, shalat sunnah berjamaah) boleh dilakukan dengan duduk dan berbaring. Namun, shalat sunnah dengan duduk pahalanya separuh dari shalat sambil berdiri. Shalat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari shalat sambil duduk. Jika shalat dilakukan dalam keadaan duduk, maka cara duduknya adalah iftirasy, itu lebih afdal. Catatan: – Orang sakit itu shalat sesuai kemampuannya. Pahala bagi orang sakit, tetap pahala yang sempurna. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram Takbiratul ihram adalah perkataan orang yang shalat ketika memulai shalat dengan mengucapkan ALLAHU AKBAR, sebagai tanda masuk dalam shalat dan tanda memutuskan dari segala hal yang di luar shalat. Takbir ini disebut pula dengan takbir iftitah karena orang yang shalat membuka shalat dengannya. Ucapan ALLAHU AKBAR menunjukkan bahwa Allah itu Mahabesar, Allah itu Mahaagung dari segala sesuatu, baik dalam zat, nama, dan sifat-Nya. Takbir ini disebut dengan tahrim (ihram) karena takbir ini menghalangi orang yang shalat dari segala sesuatu yang diharamkan di dalam shalat. Contoh yang diharamkan di dalam shalat adalah berbicara dan makan. Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ “Jika engkau berdiri shalat, maka bertakbirlah.” (Dikeluarkan oleh yang lima). Baca juga: Rukun Shalat, Takbiratul Ihram dan Syaratnya Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah Surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat berdasarkan kesepakatan para ulama. Basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah. Di saat jahriyyah, surah Al-Fatihah dibaca jahar. Di saat sirriyyah, surah Al-Fatihah dibaca sir. Dalam hadits, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca BISMILLAHIRROHMAANIR ROHIIM secara jahar.” (HR. Al-Hakim, sanad sahih). Hendaklah memperhatikan hukum tajwid saat membaca surah Al-Fatihah dalam harokat dan tasydidnya. Baca juga: Rukun Shalat, Syarat Membaca Surah Al-Fatihah Rukun Shalat Kelima: Rukuk Rukuk secara bahasa berarti menunduk. Secara syariat, rukuk adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin. Inkhinas adalah membungkukkan pinggul, mengangkat kepalanya, dan mengedepankan dadanya.Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya, shalatnya batal. Jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa, shalat tidak batal. Ia wajib kembali menuju berdiri dan melakukan rukuk yang sempurna karena tidak cukup gerakan menuju rukuk yang tujuannya inkhinas. Syarat rukuk adalah tidak bergerak menuju rukuk untuk tujuan yang lain. Rukuk yang sempurna adalah: sejajarnya punggung dan leher, meluruskan betis dan paha disertai merenggangkan jari-jari pada lutut dengan menghadap kiblat. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk Thumakninah adalah diam setelah bergerak atau diam di antara dua bergerak. Thumakninah yang paling minimal adalah sekadar ucapan SUBHANALLAH bersama dengan berdiam membungkuk. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal Iktidal secara bahasa berarti istiqamah. Secara syari, iktidal adalah kembalinya orang yang rukuk menuju gerakan sebelum rukuknya. Iktidal itu berarti berdiri yang memisahkan antara rukuk dan sujud. Ketika bangkit dari rukuk tidaklah dimaksudkan selain iktidal. Iktidal tidak diperpanjang melebihi dzikir yang disyariatkan sehingga tidak sama dengan lama membaca surah Al-Fatihah. Jika ada yang membuat bacaan iktidal lama secara sengaja dan mengetahui, shalatnya batal. Karena iktidal termasuk rukun qashir (ringkas). Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal Thumakninah ketika iktidal berarti berdiri lurus sekadar tasbih (ucapan SUBHANALLAH). Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat Sujud secara bahasa berarti condong. Sebagian ada yang berpendapat, sujud adalah merendahkan diri. Secara syariat, sujud adalah terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik pada tanah atau lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ “Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490) Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. (Al-Majmu’, 3: 277-278) Baca juga: Menempelkan Hidung Saat Sujud Wajib ataukah Sunnah? Syarat sujud ada tujuh, yaitu [1] sujud di tujuh anggota sujud, [2] dahinya terbuka, [3] meletakkan kepalanya dengan menekannya, [4] tidak meniatkan untuk selain sujud, [5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya), [6] kepala lebih rendah dari pantat, [7] thumakninah. Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara  dua pelipis (shudghoini), dan lebarnya antara antara rambut kepala dengan kedua alis. Yang disunnahkan: Meletakkan jabiin bersamaan saat sujud Dahi (jabhah) di sini harus dalam keadaan terbuka, sebagian kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya. Anggota tubuh yang lain dari anggota saat sujud disunnahkan terbuka yaitu kedua tangan dan kakinya, tetapi dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh untuk sujud tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun, jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun, yang lebih tepat adalah tidaklah wajib terbuka untuk kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185) Baca juga: Rukun Shalat Hingga Syarat Sujud dari Safinatun Naja   Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud Thumakninah ketika sujud berarti turun sujud sekadar minimal membaca sekali tasbih (SUBHANALLAH).   Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud Duduk di antara dua sujud pada setiap rakaat. Lamanya duduk yang paling minimal adalah sekadar sekali bacaan tasbih (SUBHANALLAH). Duduk ini dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah. Duduk ini dalam keadaan tidak lama.   Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud   Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir ketika salam.   Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir Lafaz yang sempurna adalah: AT-TAHIYYAATUL MUBAAROKAATU, ASH-SHOLAWAATU ATH-THOYYIBAAT LILLAH, AS-SALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. ASY-HADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASY-HADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH (atau ‘ABDUHU WA ROSULUUH).   Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir Lafaz yang paling sempurna adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALA AALI IBROOHIIM, WA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALAA AALI IBROOHIM FIL ‘ALAAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID.   Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama Salam paling minimal adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM. Salam paling sempurna adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH. Salam ini diwajibkan dalam keadaan duduk.   Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat Niat keluar dari shalat ketika salam adalah pendapat marjuh (lemah dalam madzhab Syafii). Niat keluar dari shalat tidaklah termasuk wajib.   Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan Berurutan ini dikecualikan untuk: takbiratul ihram, karena takbiratul ihram dan niat itu berbarengan. duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Catatan: Rukun shalat menurut ulama Syafiiyyah lainnya (seperti dalam Al-Minhaj dan Az-Zubad) berjumlah 13 rukun, di mana thumakninah menjadi pengikut rukunnya.   Rukun shalat dapat dibagi menjadi: Rukun qawliyyah (perkataan), ada lima, yaitu: (a) takbiratul ihram, (b) membaca surah Al-Fatihah, (c) membaca tasyahud akhir, (d) shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, (e) salam pertama. Rukun fi’liyyah (perbuatan), ada enam, yaitu: (a) berdiri bagi yang mampu untuk shalat fardhu, (b) rukuk, (c) iktidal, (d) sujud, (e) duduk di antara dua sujud, (f) duduk pada tasyahud akhir. Rukun qolbi (hati), yaitu niat. Rukun maknawi, yaitu tertib (berurutan). Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Hasyiyah Al-Baajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj. Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj. – Diperbaharui pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 saat perjalanan Panggang – Pogung Dalangan Sleman Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat

Matan Taqrib: Rincian Rukun Shalat

Apa saja yang termasuk rukun shalat? Rukun shalat adalah sesuatu yang diwajibkan di dalam shalat, yang tidak bisa ditinggalkan.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Rukun Shalat Pertama: Berniat 3.2. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu 3.3. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram 3.4. Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah 3.5. Rukun Shalat Kelima: Rukuk 3.6. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk 3.7. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal 3.8. Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal 3.9. Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat 3.10. Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud 3.11. Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud 3.12. Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud 3.13. Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir 3.14. Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir 3.15. Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir 3.16. Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama 3.17. Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat 3.18. Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan 3.19. Rukun shalat dapat dibagi menjadi: 3.20. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَأَرْكَانُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَّةَ عَشَرَ رُكْناً: النِّيَّةُ وَالقِيَامُ مَعَ القُدْرَةِ وَتَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةٌ مِنْهَا وَالرُّكُوْعُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالرَّفْعُ وَالاِعْتِدَالُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالسُّجُوْدُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ الأَخِيْرُ وَالتَّشَهُّدُ فِيْهِ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ وَالتَّسْلِيْمَةُ الأُوْلَى وَنِيَّةُ الخُرُوْجِ مِنَ الصَّلاَةِ وَتَرْتِيْبُ الأَرْكَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ. Rukun shalat ada delapan belas, yaitu: 1. Berniat, 2. Berdiri bagi yang mampu, 3. Takbiratul ihram, 4. Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah, 5. Rukuk, 6. Thumakninah ketika rukuk, 7. Bangkit dan iktidal, 8. Thumakninah ketika iktidal, 9. Sujud, 10. Thumakninah ketika sujud, 11. Duduk di antara dua sujud, 12. Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud, 13. Duduk tasyahud akhir, 14. Membaca tasyahud akhir, 15. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, 16. Salam pertama, 17. Niat keluar dari shalat, 18. Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan. Penjelasan: Catatan: Menurut pendapat ash-shahih, niat keluar dari shalat merupakan sunnah shalat, bukan merupakan rukun shalat. Inilah pendapat mu’tamad.   Rukun Shalat Pertama: Berniat Shalat tidaklah sah kecuali dengan niat. Niat secara bahasa berarti keinginan. Niat secara istilah syari adalah qashdusy syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan melakukan sesuatu berbarengan saat memulai sesuatu tersebut. Letak niat adalah di hati. Niat tidak wajib diucapkan di lisan, hanya disunnahkan saja. Tujuan niat diucapkan adalah liyusa’idul lisaanu al-qolba, agar lisan menolong hati untuk hadir. Jika berbeda antara lisan dengan hati, maka yang jadi patokan adalah niat di hati. Misalnya, ada yang niat shalat Zhuhur dalam hatinya, tetapi di lisannya mengucapkan niat shalat lain, maka patokannya adalah niat di hati. Cara niat: 1. Untuk shalat fardhu, wajib berniat: fardhu, shalat, takyin nama shalatnya. 2. Untuk shalat sunnah yang memiliki batasan waktu seperti rawatib atau shalat tersebut memiliki sebab seperti shalat Istisqa’, maka wajib berniat: shalat, takyin, nama shalatnya, tanpa menyebut kata sunnah. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu Berdiri ini berlaku wajib untuk shalat fardhu ketika mampu. Walaupun shalatnya adalah shalat nadzar, shalat mu’adah (yang diulang), shalat anak kecil. Shalat sunnah (seperti rawatib, shalat sunnah berjamaah) boleh dilakukan dengan duduk dan berbaring. Namun, shalat sunnah dengan duduk pahalanya separuh dari shalat sambil berdiri. Shalat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari shalat sambil duduk. Jika shalat dilakukan dalam keadaan duduk, maka cara duduknya adalah iftirasy, itu lebih afdal. Catatan: – Orang sakit itu shalat sesuai kemampuannya. Pahala bagi orang sakit, tetap pahala yang sempurna. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram Takbiratul ihram adalah perkataan orang yang shalat ketika memulai shalat dengan mengucapkan ALLAHU AKBAR, sebagai tanda masuk dalam shalat dan tanda memutuskan dari segala hal yang di luar shalat. Takbir ini disebut pula dengan takbir iftitah karena orang yang shalat membuka shalat dengannya. Ucapan ALLAHU AKBAR menunjukkan bahwa Allah itu Mahabesar, Allah itu Mahaagung dari segala sesuatu, baik dalam zat, nama, dan sifat-Nya. Takbir ini disebut dengan tahrim (ihram) karena takbir ini menghalangi orang yang shalat dari segala sesuatu yang diharamkan di dalam shalat. Contoh yang diharamkan di dalam shalat adalah berbicara dan makan. Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ “Jika engkau berdiri shalat, maka bertakbirlah.” (Dikeluarkan oleh yang lima). Baca juga: Rukun Shalat, Takbiratul Ihram dan Syaratnya Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah Surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat berdasarkan kesepakatan para ulama. Basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah. Di saat jahriyyah, surah Al-Fatihah dibaca jahar. Di saat sirriyyah, surah Al-Fatihah dibaca sir. Dalam hadits, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca BISMILLAHIRROHMAANIR ROHIIM secara jahar.” (HR. Al-Hakim, sanad sahih). Hendaklah memperhatikan hukum tajwid saat membaca surah Al-Fatihah dalam harokat dan tasydidnya. Baca juga: Rukun Shalat, Syarat Membaca Surah Al-Fatihah Rukun Shalat Kelima: Rukuk Rukuk secara bahasa berarti menunduk. Secara syariat, rukuk adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin. Inkhinas adalah membungkukkan pinggul, mengangkat kepalanya, dan mengedepankan dadanya.Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya, shalatnya batal. Jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa, shalat tidak batal. Ia wajib kembali menuju berdiri dan melakukan rukuk yang sempurna karena tidak cukup gerakan menuju rukuk yang tujuannya inkhinas. Syarat rukuk adalah tidak bergerak menuju rukuk untuk tujuan yang lain. Rukuk yang sempurna adalah: sejajarnya punggung dan leher, meluruskan betis dan paha disertai merenggangkan jari-jari pada lutut dengan menghadap kiblat. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk Thumakninah adalah diam setelah bergerak atau diam di antara dua bergerak. Thumakninah yang paling minimal adalah sekadar ucapan SUBHANALLAH bersama dengan berdiam membungkuk. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal Iktidal secara bahasa berarti istiqamah. Secara syari, iktidal adalah kembalinya orang yang rukuk menuju gerakan sebelum rukuknya. Iktidal itu berarti berdiri yang memisahkan antara rukuk dan sujud. Ketika bangkit dari rukuk tidaklah dimaksudkan selain iktidal. Iktidal tidak diperpanjang melebihi dzikir yang disyariatkan sehingga tidak sama dengan lama membaca surah Al-Fatihah. Jika ada yang membuat bacaan iktidal lama secara sengaja dan mengetahui, shalatnya batal. Karena iktidal termasuk rukun qashir (ringkas). Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal Thumakninah ketika iktidal berarti berdiri lurus sekadar tasbih (ucapan SUBHANALLAH). Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat Sujud secara bahasa berarti condong. Sebagian ada yang berpendapat, sujud adalah merendahkan diri. Secara syariat, sujud adalah terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik pada tanah atau lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ “Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490) Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. (Al-Majmu’, 3: 277-278) Baca juga: Menempelkan Hidung Saat Sujud Wajib ataukah Sunnah? Syarat sujud ada tujuh, yaitu [1] sujud di tujuh anggota sujud, [2] dahinya terbuka, [3] meletakkan kepalanya dengan menekannya, [4] tidak meniatkan untuk selain sujud, [5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya), [6] kepala lebih rendah dari pantat, [7] thumakninah. Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara  dua pelipis (shudghoini), dan lebarnya antara antara rambut kepala dengan kedua alis. Yang disunnahkan: Meletakkan jabiin bersamaan saat sujud Dahi (jabhah) di sini harus dalam keadaan terbuka, sebagian kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya. Anggota tubuh yang lain dari anggota saat sujud disunnahkan terbuka yaitu kedua tangan dan kakinya, tetapi dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh untuk sujud tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun, jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun, yang lebih tepat adalah tidaklah wajib terbuka untuk kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185) Baca juga: Rukun Shalat Hingga Syarat Sujud dari Safinatun Naja   Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud Thumakninah ketika sujud berarti turun sujud sekadar minimal membaca sekali tasbih (SUBHANALLAH).   Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud Duduk di antara dua sujud pada setiap rakaat. Lamanya duduk yang paling minimal adalah sekadar sekali bacaan tasbih (SUBHANALLAH). Duduk ini dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah. Duduk ini dalam keadaan tidak lama.   Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud   Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir ketika salam.   Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir Lafaz yang sempurna adalah: AT-TAHIYYAATUL MUBAAROKAATU, ASH-SHOLAWAATU ATH-THOYYIBAAT LILLAH, AS-SALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. ASY-HADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASY-HADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH (atau ‘ABDUHU WA ROSULUUH).   Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir Lafaz yang paling sempurna adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALA AALI IBROOHIIM, WA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALAA AALI IBROOHIM FIL ‘ALAAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID.   Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama Salam paling minimal adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM. Salam paling sempurna adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH. Salam ini diwajibkan dalam keadaan duduk.   Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat Niat keluar dari shalat ketika salam adalah pendapat marjuh (lemah dalam madzhab Syafii). Niat keluar dari shalat tidaklah termasuk wajib.   Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan Berurutan ini dikecualikan untuk: takbiratul ihram, karena takbiratul ihram dan niat itu berbarengan. duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Catatan: Rukun shalat menurut ulama Syafiiyyah lainnya (seperti dalam Al-Minhaj dan Az-Zubad) berjumlah 13 rukun, di mana thumakninah menjadi pengikut rukunnya.   Rukun shalat dapat dibagi menjadi: Rukun qawliyyah (perkataan), ada lima, yaitu: (a) takbiratul ihram, (b) membaca surah Al-Fatihah, (c) membaca tasyahud akhir, (d) shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, (e) salam pertama. Rukun fi’liyyah (perbuatan), ada enam, yaitu: (a) berdiri bagi yang mampu untuk shalat fardhu, (b) rukuk, (c) iktidal, (d) sujud, (e) duduk di antara dua sujud, (f) duduk pada tasyahud akhir. Rukun qolbi (hati), yaitu niat. Rukun maknawi, yaitu tertib (berurutan). Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Hasyiyah Al-Baajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj. Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj. – Diperbaharui pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 saat perjalanan Panggang – Pogung Dalangan Sleman Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat
Apa saja yang termasuk rukun shalat? Rukun shalat adalah sesuatu yang diwajibkan di dalam shalat, yang tidak bisa ditinggalkan.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Rukun Shalat Pertama: Berniat 3.2. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu 3.3. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram 3.4. Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah 3.5. Rukun Shalat Kelima: Rukuk 3.6. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk 3.7. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal 3.8. Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal 3.9. Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat 3.10. Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud 3.11. Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud 3.12. Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud 3.13. Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir 3.14. Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir 3.15. Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir 3.16. Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama 3.17. Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat 3.18. Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan 3.19. Rukun shalat dapat dibagi menjadi: 3.20. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَأَرْكَانُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَّةَ عَشَرَ رُكْناً: النِّيَّةُ وَالقِيَامُ مَعَ القُدْرَةِ وَتَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةٌ مِنْهَا وَالرُّكُوْعُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالرَّفْعُ وَالاِعْتِدَالُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالسُّجُوْدُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ الأَخِيْرُ وَالتَّشَهُّدُ فِيْهِ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ وَالتَّسْلِيْمَةُ الأُوْلَى وَنِيَّةُ الخُرُوْجِ مِنَ الصَّلاَةِ وَتَرْتِيْبُ الأَرْكَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ. Rukun shalat ada delapan belas, yaitu: 1. Berniat, 2. Berdiri bagi yang mampu, 3. Takbiratul ihram, 4. Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah, 5. Rukuk, 6. Thumakninah ketika rukuk, 7. Bangkit dan iktidal, 8. Thumakninah ketika iktidal, 9. Sujud, 10. Thumakninah ketika sujud, 11. Duduk di antara dua sujud, 12. Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud, 13. Duduk tasyahud akhir, 14. Membaca tasyahud akhir, 15. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, 16. Salam pertama, 17. Niat keluar dari shalat, 18. Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan. Penjelasan: Catatan: Menurut pendapat ash-shahih, niat keluar dari shalat merupakan sunnah shalat, bukan merupakan rukun shalat. Inilah pendapat mu’tamad.   Rukun Shalat Pertama: Berniat Shalat tidaklah sah kecuali dengan niat. Niat secara bahasa berarti keinginan. Niat secara istilah syari adalah qashdusy syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan melakukan sesuatu berbarengan saat memulai sesuatu tersebut. Letak niat adalah di hati. Niat tidak wajib diucapkan di lisan, hanya disunnahkan saja. Tujuan niat diucapkan adalah liyusa’idul lisaanu al-qolba, agar lisan menolong hati untuk hadir. Jika berbeda antara lisan dengan hati, maka yang jadi patokan adalah niat di hati. Misalnya, ada yang niat shalat Zhuhur dalam hatinya, tetapi di lisannya mengucapkan niat shalat lain, maka patokannya adalah niat di hati. Cara niat: 1. Untuk shalat fardhu, wajib berniat: fardhu, shalat, takyin nama shalatnya. 2. Untuk shalat sunnah yang memiliki batasan waktu seperti rawatib atau shalat tersebut memiliki sebab seperti shalat Istisqa’, maka wajib berniat: shalat, takyin, nama shalatnya, tanpa menyebut kata sunnah. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu Berdiri ini berlaku wajib untuk shalat fardhu ketika mampu. Walaupun shalatnya adalah shalat nadzar, shalat mu’adah (yang diulang), shalat anak kecil. Shalat sunnah (seperti rawatib, shalat sunnah berjamaah) boleh dilakukan dengan duduk dan berbaring. Namun, shalat sunnah dengan duduk pahalanya separuh dari shalat sambil berdiri. Shalat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari shalat sambil duduk. Jika shalat dilakukan dalam keadaan duduk, maka cara duduknya adalah iftirasy, itu lebih afdal. Catatan: – Orang sakit itu shalat sesuai kemampuannya. Pahala bagi orang sakit, tetap pahala yang sempurna. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram Takbiratul ihram adalah perkataan orang yang shalat ketika memulai shalat dengan mengucapkan ALLAHU AKBAR, sebagai tanda masuk dalam shalat dan tanda memutuskan dari segala hal yang di luar shalat. Takbir ini disebut pula dengan takbir iftitah karena orang yang shalat membuka shalat dengannya. Ucapan ALLAHU AKBAR menunjukkan bahwa Allah itu Mahabesar, Allah itu Mahaagung dari segala sesuatu, baik dalam zat, nama, dan sifat-Nya. Takbir ini disebut dengan tahrim (ihram) karena takbir ini menghalangi orang yang shalat dari segala sesuatu yang diharamkan di dalam shalat. Contoh yang diharamkan di dalam shalat adalah berbicara dan makan. Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ “Jika engkau berdiri shalat, maka bertakbirlah.” (Dikeluarkan oleh yang lima). Baca juga: Rukun Shalat, Takbiratul Ihram dan Syaratnya Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah Surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat berdasarkan kesepakatan para ulama. Basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah. Di saat jahriyyah, surah Al-Fatihah dibaca jahar. Di saat sirriyyah, surah Al-Fatihah dibaca sir. Dalam hadits, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca BISMILLAHIRROHMAANIR ROHIIM secara jahar.” (HR. Al-Hakim, sanad sahih). Hendaklah memperhatikan hukum tajwid saat membaca surah Al-Fatihah dalam harokat dan tasydidnya. Baca juga: Rukun Shalat, Syarat Membaca Surah Al-Fatihah Rukun Shalat Kelima: Rukuk Rukuk secara bahasa berarti menunduk. Secara syariat, rukuk adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin. Inkhinas adalah membungkukkan pinggul, mengangkat kepalanya, dan mengedepankan dadanya.Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya, shalatnya batal. Jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa, shalat tidak batal. Ia wajib kembali menuju berdiri dan melakukan rukuk yang sempurna karena tidak cukup gerakan menuju rukuk yang tujuannya inkhinas. Syarat rukuk adalah tidak bergerak menuju rukuk untuk tujuan yang lain. Rukuk yang sempurna adalah: sejajarnya punggung dan leher, meluruskan betis dan paha disertai merenggangkan jari-jari pada lutut dengan menghadap kiblat. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk Thumakninah adalah diam setelah bergerak atau diam di antara dua bergerak. Thumakninah yang paling minimal adalah sekadar ucapan SUBHANALLAH bersama dengan berdiam membungkuk. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal Iktidal secara bahasa berarti istiqamah. Secara syari, iktidal adalah kembalinya orang yang rukuk menuju gerakan sebelum rukuknya. Iktidal itu berarti berdiri yang memisahkan antara rukuk dan sujud. Ketika bangkit dari rukuk tidaklah dimaksudkan selain iktidal. Iktidal tidak diperpanjang melebihi dzikir yang disyariatkan sehingga tidak sama dengan lama membaca surah Al-Fatihah. Jika ada yang membuat bacaan iktidal lama secara sengaja dan mengetahui, shalatnya batal. Karena iktidal termasuk rukun qashir (ringkas). Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal Thumakninah ketika iktidal berarti berdiri lurus sekadar tasbih (ucapan SUBHANALLAH). Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat Sujud secara bahasa berarti condong. Sebagian ada yang berpendapat, sujud adalah merendahkan diri. Secara syariat, sujud adalah terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik pada tanah atau lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ “Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490) Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. (Al-Majmu’, 3: 277-278) Baca juga: Menempelkan Hidung Saat Sujud Wajib ataukah Sunnah? Syarat sujud ada tujuh, yaitu [1] sujud di tujuh anggota sujud, [2] dahinya terbuka, [3] meletakkan kepalanya dengan menekannya, [4] tidak meniatkan untuk selain sujud, [5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya), [6] kepala lebih rendah dari pantat, [7] thumakninah. Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara  dua pelipis (shudghoini), dan lebarnya antara antara rambut kepala dengan kedua alis. Yang disunnahkan: Meletakkan jabiin bersamaan saat sujud Dahi (jabhah) di sini harus dalam keadaan terbuka, sebagian kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya. Anggota tubuh yang lain dari anggota saat sujud disunnahkan terbuka yaitu kedua tangan dan kakinya, tetapi dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh untuk sujud tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun, jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun, yang lebih tepat adalah tidaklah wajib terbuka untuk kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185) Baca juga: Rukun Shalat Hingga Syarat Sujud dari Safinatun Naja   Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud Thumakninah ketika sujud berarti turun sujud sekadar minimal membaca sekali tasbih (SUBHANALLAH).   Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud Duduk di antara dua sujud pada setiap rakaat. Lamanya duduk yang paling minimal adalah sekadar sekali bacaan tasbih (SUBHANALLAH). Duduk ini dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah. Duduk ini dalam keadaan tidak lama.   Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud   Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir ketika salam.   Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir Lafaz yang sempurna adalah: AT-TAHIYYAATUL MUBAAROKAATU, ASH-SHOLAWAATU ATH-THOYYIBAAT LILLAH, AS-SALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. ASY-HADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASY-HADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH (atau ‘ABDUHU WA ROSULUUH).   Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir Lafaz yang paling sempurna adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALA AALI IBROOHIIM, WA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALAA AALI IBROOHIM FIL ‘ALAAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID.   Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama Salam paling minimal adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM. Salam paling sempurna adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH. Salam ini diwajibkan dalam keadaan duduk.   Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat Niat keluar dari shalat ketika salam adalah pendapat marjuh (lemah dalam madzhab Syafii). Niat keluar dari shalat tidaklah termasuk wajib.   Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan Berurutan ini dikecualikan untuk: takbiratul ihram, karena takbiratul ihram dan niat itu berbarengan. duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Catatan: Rukun shalat menurut ulama Syafiiyyah lainnya (seperti dalam Al-Minhaj dan Az-Zubad) berjumlah 13 rukun, di mana thumakninah menjadi pengikut rukunnya.   Rukun shalat dapat dibagi menjadi: Rukun qawliyyah (perkataan), ada lima, yaitu: (a) takbiratul ihram, (b) membaca surah Al-Fatihah, (c) membaca tasyahud akhir, (d) shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, (e) salam pertama. Rukun fi’liyyah (perbuatan), ada enam, yaitu: (a) berdiri bagi yang mampu untuk shalat fardhu, (b) rukuk, (c) iktidal, (d) sujud, (e) duduk di antara dua sujud, (f) duduk pada tasyahud akhir. Rukun qolbi (hati), yaitu niat. Rukun maknawi, yaitu tertib (berurutan). Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Hasyiyah Al-Baajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj. Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj. – Diperbaharui pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 saat perjalanan Panggang – Pogung Dalangan Sleman Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat


Apa saja yang termasuk rukun shalat? Rukun shalat adalah sesuatu yang diwajibkan di dalam shalat, yang tidak bisa ditinggalkan.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Rukun Shalat Pertama: Berniat 3.2. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu 3.3. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram 3.4. Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah 3.5. Rukun Shalat Kelima: Rukuk 3.6. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk 3.7. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal 3.8. Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal 3.9. Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat 3.10. Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud 3.11. Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud 3.12. Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud 3.13. Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir 3.14. Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir 3.15. Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir 3.16. Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama 3.17. Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat 3.18. Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan 3.19. Rukun shalat dapat dibagi menjadi: 3.20. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَأَرْكَانُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَّةَ عَشَرَ رُكْناً: النِّيَّةُ وَالقِيَامُ مَعَ القُدْرَةِ وَتَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةٌ مِنْهَا وَالرُّكُوْعُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالرَّفْعُ وَالاِعْتِدَالُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالسُّجُوْدُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ الأَخِيْرُ وَالتَّشَهُّدُ فِيْهِ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ وَالتَّسْلِيْمَةُ الأُوْلَى وَنِيَّةُ الخُرُوْجِ مِنَ الصَّلاَةِ وَتَرْتِيْبُ الأَرْكَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ. Rukun shalat ada delapan belas, yaitu: 1. Berniat, 2. Berdiri bagi yang mampu, 3. Takbiratul ihram, 4. Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah, 5. Rukuk, 6. Thumakninah ketika rukuk, 7. Bangkit dan iktidal, 8. Thumakninah ketika iktidal, 9. Sujud, 10. Thumakninah ketika sujud, 11. Duduk di antara dua sujud, 12. Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud, 13. Duduk tasyahud akhir, 14. Membaca tasyahud akhir, 15. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, 16. Salam pertama, 17. Niat keluar dari shalat, 18. Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan. Penjelasan: Catatan: Menurut pendapat ash-shahih, niat keluar dari shalat merupakan sunnah shalat, bukan merupakan rukun shalat. Inilah pendapat mu’tamad.   Rukun Shalat Pertama: Berniat Shalat tidaklah sah kecuali dengan niat. Niat secara bahasa berarti keinginan. Niat secara istilah syari adalah qashdusy syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan melakukan sesuatu berbarengan saat memulai sesuatu tersebut. Letak niat adalah di hati. Niat tidak wajib diucapkan di lisan, hanya disunnahkan saja. Tujuan niat diucapkan adalah liyusa’idul lisaanu al-qolba, agar lisan menolong hati untuk hadir. Jika berbeda antara lisan dengan hati, maka yang jadi patokan adalah niat di hati. Misalnya, ada yang niat shalat Zhuhur dalam hatinya, tetapi di lisannya mengucapkan niat shalat lain, maka patokannya adalah niat di hati. Cara niat: 1. Untuk shalat fardhu, wajib berniat: fardhu, shalat, takyin nama shalatnya. 2. Untuk shalat sunnah yang memiliki batasan waktu seperti rawatib atau shalat tersebut memiliki sebab seperti shalat Istisqa’, maka wajib berniat: shalat, takyin, nama shalatnya, tanpa menyebut kata sunnah. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu Berdiri ini berlaku wajib untuk shalat fardhu ketika mampu. Walaupun shalatnya adalah shalat nadzar, shalat mu’adah (yang diulang), shalat anak kecil. Shalat sunnah (seperti rawatib, shalat sunnah berjamaah) boleh dilakukan dengan duduk dan berbaring. Namun, shalat sunnah dengan duduk pahalanya separuh dari shalat sambil berdiri. Shalat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari shalat sambil duduk. Jika shalat dilakukan dalam keadaan duduk, maka cara duduknya adalah iftirasy, itu lebih afdal. Catatan: – Orang sakit itu shalat sesuai kemampuannya. Pahala bagi orang sakit, tetap pahala yang sempurna. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram Takbiratul ihram adalah perkataan orang yang shalat ketika memulai shalat dengan mengucapkan ALLAHU AKBAR, sebagai tanda masuk dalam shalat dan tanda memutuskan dari segala hal yang di luar shalat. Takbir ini disebut pula dengan takbir iftitah karena orang yang shalat membuka shalat dengannya. Ucapan ALLAHU AKBAR menunjukkan bahwa Allah itu Mahabesar, Allah itu Mahaagung dari segala sesuatu, baik dalam zat, nama, dan sifat-Nya. Takbir ini disebut dengan tahrim (ihram) karena takbir ini menghalangi orang yang shalat dari segala sesuatu yang diharamkan di dalam shalat. Contoh yang diharamkan di dalam shalat adalah berbicara dan makan. Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ “Jika engkau berdiri shalat, maka bertakbirlah.” (Dikeluarkan oleh yang lima). Baca juga: Rukun Shalat, Takbiratul Ihram dan Syaratnya Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah Surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat berdasarkan kesepakatan para ulama. Basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah. Di saat jahriyyah, surah Al-Fatihah dibaca jahar. Di saat sirriyyah, surah Al-Fatihah dibaca sir. Dalam hadits, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca BISMILLAHIRROHMAANIR ROHIIM secara jahar.” (HR. Al-Hakim, sanad sahih). Hendaklah memperhatikan hukum tajwid saat membaca surah Al-Fatihah dalam harokat dan tasydidnya. Baca juga: Rukun Shalat, Syarat Membaca Surah Al-Fatihah Rukun Shalat Kelima: Rukuk Rukuk secara bahasa berarti menunduk. Secara syariat, rukuk adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin. Inkhinas adalah membungkukkan pinggul, mengangkat kepalanya, dan mengedepankan dadanya.Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya, shalatnya batal. Jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa, shalat tidak batal. Ia wajib kembali menuju berdiri dan melakukan rukuk yang sempurna karena tidak cukup gerakan menuju rukuk yang tujuannya inkhinas. Syarat rukuk adalah tidak bergerak menuju rukuk untuk tujuan yang lain. Rukuk yang sempurna adalah: sejajarnya punggung dan leher, meluruskan betis dan paha disertai merenggangkan jari-jari pada lutut dengan menghadap kiblat. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk Thumakninah adalah diam setelah bergerak atau diam di antara dua bergerak. Thumakninah yang paling minimal adalah sekadar ucapan SUBHANALLAH bersama dengan berdiam membungkuk. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal Iktidal secara bahasa berarti istiqamah. Secara syari, iktidal adalah kembalinya orang yang rukuk menuju gerakan sebelum rukuknya. Iktidal itu berarti berdiri yang memisahkan antara rukuk dan sujud. Ketika bangkit dari rukuk tidaklah dimaksudkan selain iktidal. Iktidal tidak diperpanjang melebihi dzikir yang disyariatkan sehingga tidak sama dengan lama membaca surah Al-Fatihah. Jika ada yang membuat bacaan iktidal lama secara sengaja dan mengetahui, shalatnya batal. Karena iktidal termasuk rukun qashir (ringkas). Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal Thumakninah ketika iktidal berarti berdiri lurus sekadar tasbih (ucapan SUBHANALLAH). Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat Sujud secara bahasa berarti condong. Sebagian ada yang berpendapat, sujud adalah merendahkan diri. Secara syariat, sujud adalah terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik pada tanah atau lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ “Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490) Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. (Al-Majmu’, 3: 277-278) Baca juga: Menempelkan Hidung Saat Sujud Wajib ataukah Sunnah? Syarat sujud ada tujuh, yaitu [1] sujud di tujuh anggota sujud, [2] dahinya terbuka, [3] meletakkan kepalanya dengan menekannya, [4] tidak meniatkan untuk selain sujud, [5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya), [6] kepala lebih rendah dari pantat, [7] thumakninah. Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara  dua pelipis (shudghoini), dan lebarnya antara antara rambut kepala dengan kedua alis. Yang disunnahkan: Meletakkan jabiin bersamaan saat sujud Dahi (jabhah) di sini harus dalam keadaan terbuka, sebagian kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya. Anggota tubuh yang lain dari anggota saat sujud disunnahkan terbuka yaitu kedua tangan dan kakinya, tetapi dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh untuk sujud tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun, jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun, yang lebih tepat adalah tidaklah wajib terbuka untuk kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185) Baca juga: Rukun Shalat Hingga Syarat Sujud dari Safinatun Naja   Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud Thumakninah ketika sujud berarti turun sujud sekadar minimal membaca sekali tasbih (SUBHANALLAH).   Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud Duduk di antara dua sujud pada setiap rakaat. Lamanya duduk yang paling minimal adalah sekadar sekali bacaan tasbih (SUBHANALLAH). Duduk ini dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah. Duduk ini dalam keadaan tidak lama.   Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud   Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir ketika salam.   Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir Lafaz yang sempurna adalah: AT-TAHIYYAATUL MUBAAROKAATU, ASH-SHOLAWAATU ATH-THOYYIBAAT LILLAH, AS-SALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. ASY-HADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASY-HADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH (atau ‘ABDUHU WA ROSULUUH).   Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir Lafaz yang paling sempurna adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALA AALI IBROOHIIM, WA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALAA AALI IBROOHIM FIL ‘ALAAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID.   Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama Salam paling minimal adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM. Salam paling sempurna adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH. Salam ini diwajibkan dalam keadaan duduk.   Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat Niat keluar dari shalat ketika salam adalah pendapat marjuh (lemah dalam madzhab Syafii). Niat keluar dari shalat tidaklah termasuk wajib.   Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan Berurutan ini dikecualikan untuk: takbiratul ihram, karena takbiratul ihram dan niat itu berbarengan. duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Catatan: Rukun shalat menurut ulama Syafiiyyah lainnya (seperti dalam Al-Minhaj dan Az-Zubad) berjumlah 13 rukun, di mana thumakninah menjadi pengikut rukunnya.   Rukun shalat dapat dibagi menjadi: Rukun qawliyyah (perkataan), ada lima, yaitu: (a) takbiratul ihram, (b) membaca surah Al-Fatihah, (c) membaca tasyahud akhir, (d) shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, (e) salam pertama. Rukun fi’liyyah (perbuatan), ada enam, yaitu: (a) berdiri bagi yang mampu untuk shalat fardhu, (b) rukuk, (c) iktidal, (d) sujud, (e) duduk di antara dua sujud, (f) duduk pada tasyahud akhir. Rukun qolbi (hati), yaitu niat. Rukun maknawi, yaitu tertib (berurutan). Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Hasyiyah Al-Baajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj. Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj. – Diperbaharui pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 saat perjalanan Panggang – Pogung Dalangan Sleman Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat

Apakah Surat Asy-Syu’ara Disebut Juga Surat Pemusik?

Pertanyaan: Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah surat pemusik dan Hassan bin Tsabit adalah pemusik di sisi Nabi. Apakah ini benar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jelas ini merupakan kekeliruan dan penyimpangan. Karena Asy-Syu’ara (الشعراء) artinya para penyair, bentuk jamak dari asy-sya’ir (الشاعر) yaitu penyair. Penyair tentu berbeda dengan pemusik, sya’ir berbeda dengan musik.  Dalam kitab Mu’jamul Wasith disebutkan : الشِّعرُ : كلام موزون مُقفَّى قصدًا “Sya’ir adalah kalimat-kalimat yang memiliki wazan (pola) dan disusun dengan qafiyah (rima) secara sengaja”. Demikian juga dalam kitab Lisanul Arab disebutkan : والشِّعْرُ: منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية “Sya’ir adalah perkataan yang tersusun, yang didominasi oleh wazan (pola) dan qafiyah (rima) sehingga ia menjadi indah”. Pantun dan puisi adalah contoh syair dalam bahasa Indonesia. Adapun musik, dalam bahasa Arab disebut dengan al-ma’azif atau al-‘azf, yaitu alat-alat musik yang dimainkan.  Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (10/46) berkata: وفي حواشي الدمياطي، المعازف: الدفوف وغيرها مما يضرب به “Dalam kitab Al-Hawasyi karya Ad-Dimyathi, al-ma’azif maknanya duff dan sejenisnya yang ditabuh”. Dalam kitab Lisanul Arab disebutkan: فهو ضَرْب من الطَّنابير ويتخذ أَهل اليمن وغيرُهم، يجعل العُود مِعْزفاً “Ma’azif adalah memainkan thanbur (semacam gitar) yang biasa digunakan oleh orang Yaman dan semisalnya. Mereka biasa membuat alat musik dari kayu”. Ringkas kata, ma’azif adalah alat-alat musik yang dimainkan, baik ditabuh, ditiup, dipetik, dan semisalnya. Dari sini jelas sudah perbedaan antara sya’ir dengan musik. Sya’ir adalah perkataan yang berpola dan berima, baik diiringi musik atau tidak. Musik adalah permainan alat musik, baik mengandung sya’ir atau tidak. Terkadang musik dimainkan tanpa mengandung lirik sama sekali, seperti musik instrumental. Sehingga sya’ir dan musik adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, tidak benar menyebut surat Asy-Syu’ara dengan surat musik. Dan tidak kami ketahui kitab-kitab bahasa Arab yang menyebutkan bahwa syi’r (الشِّعرُ) dengan ma’azif (المعازف) itu sama.  Juga tidak kami dapati ada satu ulama pun yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara dengan istilah surat musik. Ini pernyataan yang nyeleneh, yang belum ada pendahulunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا بِهِ أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ “Akan datang di akhir zaman, beberapa orang dari umatku yang bicara sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya (yang aneh-aneh) oleh kalian atau kakek moyang kalian. Maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka” (HR. Ahmad no. 8267, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth). Imam Ahmad bin Hambal sering berkata kepada murid-murid beliau: إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ “Jangan sampai engkau berkata-kata dalam suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki imam yang mendahuluimu” (Siyar A’lamin Nubala’, 11/296). Dan penyataan seperti ini termasuk penyimpangan dalam agama. Karena musik diharamkan dalam agama. Sehingga tidak layak menyebut salah satu surat dari Al-Qur’an dengan surat musik. Ini merupakan perendahan terhadap Al-Qur’an. Demikian juga, sahabat yang mulia, Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, yang merupakan salah satu penyair Nabi. Beliau pernah mengatakan : قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan ketika itu ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi shallallahu‘alaihi wasallam)” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Maka tidak layak menyebut Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu dengan sebutan pemusik di sisi Nabi. Ini merupakan perendahan terhadap beliau. Dan pernyataan seperti ini nampak sebagai sebuah retorika untuk menghalalkan musik dalam Islam. Seolah-olah musik itu perkara yang boleh bahkan mulia dalam Islam, sehingga (diklaim) ada surat musik dalam Al-Qur’an dan ada pemusik di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh ini sebuah pengelabuan dan tipu daya terhadap umat. Padahal musik telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dalam hadits dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm). Haramnya musik adalah pendapat ulama 4 mazhab bahkan ada 20 orang ulama yang menukil ijma’ (kesepakatan) akan haramnya musik.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mimpi Basah Di Bulan Ramadhan, Ceramah Singkat Tentang Sholat Tarawih, Gunting Kuku Saat Puasa, Niat Sahur, Kaum Nabi Isa Visited 318 times, 1 visit(s) today Post Views: 661 QRIS donasi Yufid

Apakah Surat Asy-Syu’ara Disebut Juga Surat Pemusik?

Pertanyaan: Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah surat pemusik dan Hassan bin Tsabit adalah pemusik di sisi Nabi. Apakah ini benar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jelas ini merupakan kekeliruan dan penyimpangan. Karena Asy-Syu’ara (الشعراء) artinya para penyair, bentuk jamak dari asy-sya’ir (الشاعر) yaitu penyair. Penyair tentu berbeda dengan pemusik, sya’ir berbeda dengan musik.  Dalam kitab Mu’jamul Wasith disebutkan : الشِّعرُ : كلام موزون مُقفَّى قصدًا “Sya’ir adalah kalimat-kalimat yang memiliki wazan (pola) dan disusun dengan qafiyah (rima) secara sengaja”. Demikian juga dalam kitab Lisanul Arab disebutkan : والشِّعْرُ: منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية “Sya’ir adalah perkataan yang tersusun, yang didominasi oleh wazan (pola) dan qafiyah (rima) sehingga ia menjadi indah”. Pantun dan puisi adalah contoh syair dalam bahasa Indonesia. Adapun musik, dalam bahasa Arab disebut dengan al-ma’azif atau al-‘azf, yaitu alat-alat musik yang dimainkan.  Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (10/46) berkata: وفي حواشي الدمياطي، المعازف: الدفوف وغيرها مما يضرب به “Dalam kitab Al-Hawasyi karya Ad-Dimyathi, al-ma’azif maknanya duff dan sejenisnya yang ditabuh”. Dalam kitab Lisanul Arab disebutkan: فهو ضَرْب من الطَّنابير ويتخذ أَهل اليمن وغيرُهم، يجعل العُود مِعْزفاً “Ma’azif adalah memainkan thanbur (semacam gitar) yang biasa digunakan oleh orang Yaman dan semisalnya. Mereka biasa membuat alat musik dari kayu”. Ringkas kata, ma’azif adalah alat-alat musik yang dimainkan, baik ditabuh, ditiup, dipetik, dan semisalnya. Dari sini jelas sudah perbedaan antara sya’ir dengan musik. Sya’ir adalah perkataan yang berpola dan berima, baik diiringi musik atau tidak. Musik adalah permainan alat musik, baik mengandung sya’ir atau tidak. Terkadang musik dimainkan tanpa mengandung lirik sama sekali, seperti musik instrumental. Sehingga sya’ir dan musik adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, tidak benar menyebut surat Asy-Syu’ara dengan surat musik. Dan tidak kami ketahui kitab-kitab bahasa Arab yang menyebutkan bahwa syi’r (الشِّعرُ) dengan ma’azif (المعازف) itu sama.  Juga tidak kami dapati ada satu ulama pun yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara dengan istilah surat musik. Ini pernyataan yang nyeleneh, yang belum ada pendahulunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا بِهِ أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ “Akan datang di akhir zaman, beberapa orang dari umatku yang bicara sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya (yang aneh-aneh) oleh kalian atau kakek moyang kalian. Maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka” (HR. Ahmad no. 8267, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth). Imam Ahmad bin Hambal sering berkata kepada murid-murid beliau: إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ “Jangan sampai engkau berkata-kata dalam suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki imam yang mendahuluimu” (Siyar A’lamin Nubala’, 11/296). Dan penyataan seperti ini termasuk penyimpangan dalam agama. Karena musik diharamkan dalam agama. Sehingga tidak layak menyebut salah satu surat dari Al-Qur’an dengan surat musik. Ini merupakan perendahan terhadap Al-Qur’an. Demikian juga, sahabat yang mulia, Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, yang merupakan salah satu penyair Nabi. Beliau pernah mengatakan : قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan ketika itu ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi shallallahu‘alaihi wasallam)” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Maka tidak layak menyebut Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu dengan sebutan pemusik di sisi Nabi. Ini merupakan perendahan terhadap beliau. Dan pernyataan seperti ini nampak sebagai sebuah retorika untuk menghalalkan musik dalam Islam. Seolah-olah musik itu perkara yang boleh bahkan mulia dalam Islam, sehingga (diklaim) ada surat musik dalam Al-Qur’an dan ada pemusik di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh ini sebuah pengelabuan dan tipu daya terhadap umat. Padahal musik telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dalam hadits dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm). Haramnya musik adalah pendapat ulama 4 mazhab bahkan ada 20 orang ulama yang menukil ijma’ (kesepakatan) akan haramnya musik.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mimpi Basah Di Bulan Ramadhan, Ceramah Singkat Tentang Sholat Tarawih, Gunting Kuku Saat Puasa, Niat Sahur, Kaum Nabi Isa Visited 318 times, 1 visit(s) today Post Views: 661 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah surat pemusik dan Hassan bin Tsabit adalah pemusik di sisi Nabi. Apakah ini benar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jelas ini merupakan kekeliruan dan penyimpangan. Karena Asy-Syu’ara (الشعراء) artinya para penyair, bentuk jamak dari asy-sya’ir (الشاعر) yaitu penyair. Penyair tentu berbeda dengan pemusik, sya’ir berbeda dengan musik.  Dalam kitab Mu’jamul Wasith disebutkan : الشِّعرُ : كلام موزون مُقفَّى قصدًا “Sya’ir adalah kalimat-kalimat yang memiliki wazan (pola) dan disusun dengan qafiyah (rima) secara sengaja”. Demikian juga dalam kitab Lisanul Arab disebutkan : والشِّعْرُ: منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية “Sya’ir adalah perkataan yang tersusun, yang didominasi oleh wazan (pola) dan qafiyah (rima) sehingga ia menjadi indah”. Pantun dan puisi adalah contoh syair dalam bahasa Indonesia. Adapun musik, dalam bahasa Arab disebut dengan al-ma’azif atau al-‘azf, yaitu alat-alat musik yang dimainkan.  Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (10/46) berkata: وفي حواشي الدمياطي، المعازف: الدفوف وغيرها مما يضرب به “Dalam kitab Al-Hawasyi karya Ad-Dimyathi, al-ma’azif maknanya duff dan sejenisnya yang ditabuh”. Dalam kitab Lisanul Arab disebutkan: فهو ضَرْب من الطَّنابير ويتخذ أَهل اليمن وغيرُهم، يجعل العُود مِعْزفاً “Ma’azif adalah memainkan thanbur (semacam gitar) yang biasa digunakan oleh orang Yaman dan semisalnya. Mereka biasa membuat alat musik dari kayu”. Ringkas kata, ma’azif adalah alat-alat musik yang dimainkan, baik ditabuh, ditiup, dipetik, dan semisalnya. Dari sini jelas sudah perbedaan antara sya’ir dengan musik. Sya’ir adalah perkataan yang berpola dan berima, baik diiringi musik atau tidak. Musik adalah permainan alat musik, baik mengandung sya’ir atau tidak. Terkadang musik dimainkan tanpa mengandung lirik sama sekali, seperti musik instrumental. Sehingga sya’ir dan musik adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, tidak benar menyebut surat Asy-Syu’ara dengan surat musik. Dan tidak kami ketahui kitab-kitab bahasa Arab yang menyebutkan bahwa syi’r (الشِّعرُ) dengan ma’azif (المعازف) itu sama.  Juga tidak kami dapati ada satu ulama pun yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara dengan istilah surat musik. Ini pernyataan yang nyeleneh, yang belum ada pendahulunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا بِهِ أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ “Akan datang di akhir zaman, beberapa orang dari umatku yang bicara sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya (yang aneh-aneh) oleh kalian atau kakek moyang kalian. Maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka” (HR. Ahmad no. 8267, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth). Imam Ahmad bin Hambal sering berkata kepada murid-murid beliau: إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ “Jangan sampai engkau berkata-kata dalam suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki imam yang mendahuluimu” (Siyar A’lamin Nubala’, 11/296). Dan penyataan seperti ini termasuk penyimpangan dalam agama. Karena musik diharamkan dalam agama. Sehingga tidak layak menyebut salah satu surat dari Al-Qur’an dengan surat musik. Ini merupakan perendahan terhadap Al-Qur’an. Demikian juga, sahabat yang mulia, Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, yang merupakan salah satu penyair Nabi. Beliau pernah mengatakan : قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan ketika itu ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi shallallahu‘alaihi wasallam)” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Maka tidak layak menyebut Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu dengan sebutan pemusik di sisi Nabi. Ini merupakan perendahan terhadap beliau. Dan pernyataan seperti ini nampak sebagai sebuah retorika untuk menghalalkan musik dalam Islam. Seolah-olah musik itu perkara yang boleh bahkan mulia dalam Islam, sehingga (diklaim) ada surat musik dalam Al-Qur’an dan ada pemusik di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh ini sebuah pengelabuan dan tipu daya terhadap umat. Padahal musik telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dalam hadits dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm). Haramnya musik adalah pendapat ulama 4 mazhab bahkan ada 20 orang ulama yang menukil ijma’ (kesepakatan) akan haramnya musik.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mimpi Basah Di Bulan Ramadhan, Ceramah Singkat Tentang Sholat Tarawih, Gunting Kuku Saat Puasa, Niat Sahur, Kaum Nabi Isa Visited 318 times, 1 visit(s) today Post Views: 661 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah surat pemusik dan Hassan bin Tsabit adalah pemusik di sisi Nabi. Apakah ini benar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jelas ini merupakan kekeliruan dan penyimpangan. Karena Asy-Syu’ara (الشعراء) artinya para penyair, bentuk jamak dari asy-sya’ir (الشاعر) yaitu penyair. Penyair tentu berbeda dengan pemusik, sya’ir berbeda dengan musik.  Dalam kitab Mu’jamul Wasith disebutkan : الشِّعرُ : كلام موزون مُقفَّى قصدًا “Sya’ir adalah kalimat-kalimat yang memiliki wazan (pola) dan disusun dengan qafiyah (rima) secara sengaja”. Demikian juga dalam kitab Lisanul Arab disebutkan : والشِّعْرُ: منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية “Sya’ir adalah perkataan yang tersusun, yang didominasi oleh wazan (pola) dan qafiyah (rima) sehingga ia menjadi indah”. Pantun dan puisi adalah contoh syair dalam bahasa Indonesia. Adapun musik, dalam bahasa Arab disebut dengan al-ma’azif atau al-‘azf, yaitu alat-alat musik yang dimainkan.  Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (10/46) berkata: وفي حواشي الدمياطي، المعازف: الدفوف وغيرها مما يضرب به “Dalam kitab Al-Hawasyi karya Ad-Dimyathi, al-ma’azif maknanya duff dan sejenisnya yang ditabuh”. Dalam kitab Lisanul Arab disebutkan: فهو ضَرْب من الطَّنابير ويتخذ أَهل اليمن وغيرُهم، يجعل العُود مِعْزفاً “Ma’azif adalah memainkan thanbur (semacam gitar) yang biasa digunakan oleh orang Yaman dan semisalnya. Mereka biasa membuat alat musik dari kayu”. Ringkas kata, ma’azif adalah alat-alat musik yang dimainkan, baik ditabuh, ditiup, dipetik, dan semisalnya. Dari sini jelas sudah perbedaan antara sya’ir dengan musik. Sya’ir adalah perkataan yang berpola dan berima, baik diiringi musik atau tidak. Musik adalah permainan alat musik, baik mengandung sya’ir atau tidak. Terkadang musik dimainkan tanpa mengandung lirik sama sekali, seperti musik instrumental. Sehingga sya’ir dan musik adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, tidak benar menyebut surat Asy-Syu’ara dengan surat musik. Dan tidak kami ketahui kitab-kitab bahasa Arab yang menyebutkan bahwa syi’r (الشِّعرُ) dengan ma’azif (المعازف) itu sama.  Juga tidak kami dapati ada satu ulama pun yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara dengan istilah surat musik. Ini pernyataan yang nyeleneh, yang belum ada pendahulunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا بِهِ أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ “Akan datang di akhir zaman, beberapa orang dari umatku yang bicara sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya (yang aneh-aneh) oleh kalian atau kakek moyang kalian. Maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka” (HR. Ahmad no. 8267, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth). Imam Ahmad bin Hambal sering berkata kepada murid-murid beliau: إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ “Jangan sampai engkau berkata-kata dalam suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki imam yang mendahuluimu” (Siyar A’lamin Nubala’, 11/296). Dan penyataan seperti ini termasuk penyimpangan dalam agama. Karena musik diharamkan dalam agama. Sehingga tidak layak menyebut salah satu surat dari Al-Qur’an dengan surat musik. Ini merupakan perendahan terhadap Al-Qur’an. Demikian juga, sahabat yang mulia, Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, yang merupakan salah satu penyair Nabi. Beliau pernah mengatakan : قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan ketika itu ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi shallallahu‘alaihi wasallam)” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Maka tidak layak menyebut Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu dengan sebutan pemusik di sisi Nabi. Ini merupakan perendahan terhadap beliau. Dan pernyataan seperti ini nampak sebagai sebuah retorika untuk menghalalkan musik dalam Islam. Seolah-olah musik itu perkara yang boleh bahkan mulia dalam Islam, sehingga (diklaim) ada surat musik dalam Al-Qur’an dan ada pemusik di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh ini sebuah pengelabuan dan tipu daya terhadap umat. Padahal musik telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dalam hadits dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm). Haramnya musik adalah pendapat ulama 4 mazhab bahkan ada 20 orang ulama yang menukil ijma’ (kesepakatan) akan haramnya musik.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mimpi Basah Di Bulan Ramadhan, Ceramah Singkat Tentang Sholat Tarawih, Gunting Kuku Saat Puasa, Niat Sahur, Kaum Nabi Isa Visited 318 times, 1 visit(s) today Post Views: 661 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Merasa Diawasi Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, baik ketika dilihat orang lain ataupun ketika bersendirian. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا كَرِهَ اللَّهُ مِنْكَ شَيْئًا، فَلَا تَفْعَلْهُ إِذَا خَلَوْتَ “Segala perbuatan yang Allah benci dari dirimu untuk dilakukan, maka janganlah kamu lakukan hal tersebut ketika kamu bersendirian.“ (HR. Ibnu Hibban no. 403 dan Adh–Dhiyaa’ dalam Al–Mukhtarat no. 1393. Al-Albani menyatakan hasan lighairihi. Lihat As–Silsilah As-Shahihah no. 1055) Hal ini karena jiwa manusia itu menjadi lemah ketika dalam kondisi bersendirian, sehingga terdorong serta lebih berani untuk melakukan kemaksiatan ketika itu. Karena pada saat itu, tidak ada orang lain yang melihatnya. Keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat seorang hamba dan juga mengawasi gerak-gerik dirinya merupakan penghalang terbesar dari bermaksiat kepada-Nya. Dia senantiasa ingat bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, hampir dalam setiap lembaran mushaf Al-Quran yang mulia terdapat ancaman yang besar dan peringatan yang tegas tentang hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala berikut ini, وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29) وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِير “Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234) وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ “Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan.” (QS. An-Nahl: 19) وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. Al-An’am: 59) وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (QS. Qaf: 16) وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah: 235) وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡن وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَان وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ “Kamu tidaklah berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61) Hendaknya seseorang menyadari dan waspada bahwa keadaannya itu seperti orang-orang yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. Padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai.” (QS An-Nisaa’: 108) Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang tersembunyi dari Allah. Sesuatu yang tersembunyi di malam hari, baik di tempat yang tersembunyi atapun tampak, semuanya sama saja bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman, يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19) Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang makna ayat ini, “Allah menginformasikan tentang ilmunya yang sempurna yang meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang kecil maupun yang besar. Semua Allah ketahui secara rinci dan mendetail agar manusia waspada bahwa Allah mengetahui juga kondisi mereka. Maka milikilah sikap malu kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan hendaknya merasa selalu diawasi oleh Allah yang melihat dirinya. Allah Ta’ala mengetahui pandangan khianat dan yang menjaga amanat, dan Allah mengetahui berbagai rahasia dan yang tersembunyi di dalam hati.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 137) Betapa banyak kita jumpai ayat Al-Quran yang menyebutkan suatu amal dan balasannya, kemudian ditutup dengan menyebutkan bahwa ilmu Allah itu senantiasa meliputi semuanya. Hal ini bertujuan agar hati manusia itu waspada dan menaruh perhatian untuk menyempurnakan dan memperbaiki hatinya, sehingga dia senantiasa memiliki rasa harap (ar-raja’) dan takut (al-khauf). Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dalam Az-Zuhud (no. 137), “Dahulu, (materi) dakwah Bakr bin ‘Abdillah al-Muzanny kepada orang yang berjumpa dengannya adalah dengan mengatakan kepada mereka, “Semoga Allah menjadikan kita memiliki sifat zuhud terhadap perbuatan haram dan dosa ketika bersendirian. Ketahuilah bahwa Allah melihatnya, maka tinggalkanlah.“ Ini adalah kedudukan yang agung dalam sikap zuhud, yaitu seseorang meninggalkan dosa dalam keadaan bersendirian karena takut kepada azab dan hukuman Allah, bukan karena riya’ dan sum’ah. Dia melakukannya hanya karena Allah semata. Sehingga hal ini merupakan di antara bentuk ibadah paling agung yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Abu Hatim Al-Busty mengatakan, “Poros ketaatan seseorang di dunia ini adalah memperbaiki hati dan meninggalkan hal-hal yang merusak hati. Wajib bagi orang yang berakal untuk perhatian dan semangat dalam memperbaiki hatinya, baik ketika di hadapan orang lain maupun ketika sendirian, baik ketika bergerak ataupun diam, karena hilangnya waktu dan penyebab penderitaan tidaklah terjadi kecuali dengan rusaknya hati.“ (Raudhatul ‘Uqola’ wa Nazhatu al–Fudholaa, hal. 27) Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya hati orang yang baik senantiasa sibuk dengan amal kebaikan. Adapun hati orang fajir itu senantiasa sibuk dengan amal keburukan. Sesungguhnya Allah melihat keinginan yang ada di hati kalian. Maka senantiasa perhatikanlah hal tersebut, semoga Allah merahmati kalian.“ (HR. Ibnu Abid Dunya dalam Al–Hamm wal Hazn no. 112. Lihat dalam Raudhatul ‘Uqola’ wa Nuzhatu al–Fudholaa’ hal. 27) Maksudnya, kita harus senantiasa ingat bahwa Rabbul ‘alaamin senantiasa mengetahui dan mengawasi keinginan hati kita. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba berusaha untuk memperbaiki keinginan hatinya dan menjadikan keinginan hatinya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat dengan meraih rida Allah. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهِ هَلَكَ “Barangsiapa menjadikan segala macam keinginannya hanya satu, yaitu keinginan tempat kembali (negeri akhirat), niscaya Allah akan mencukupkan baginya keinginan dunianya. Dan barangsiapa yang keinginannya beraneka ragam pada urusan dunia, maka Allah tidak akan mempedulikan di manapun dia binasa.” (HR. Ibnu Majah no. 4106) Baca juga: Penjelasan Isykal Hadits Mengenai Orang Yang Bermaksiat Tatkala Sendirian *** @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 35; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: diawasi Allah

Merasa Diawasi Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, baik ketika dilihat orang lain ataupun ketika bersendirian. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا كَرِهَ اللَّهُ مِنْكَ شَيْئًا، فَلَا تَفْعَلْهُ إِذَا خَلَوْتَ “Segala perbuatan yang Allah benci dari dirimu untuk dilakukan, maka janganlah kamu lakukan hal tersebut ketika kamu bersendirian.“ (HR. Ibnu Hibban no. 403 dan Adh–Dhiyaa’ dalam Al–Mukhtarat no. 1393. Al-Albani menyatakan hasan lighairihi. Lihat As–Silsilah As-Shahihah no. 1055) Hal ini karena jiwa manusia itu menjadi lemah ketika dalam kondisi bersendirian, sehingga terdorong serta lebih berani untuk melakukan kemaksiatan ketika itu. Karena pada saat itu, tidak ada orang lain yang melihatnya. Keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat seorang hamba dan juga mengawasi gerak-gerik dirinya merupakan penghalang terbesar dari bermaksiat kepada-Nya. Dia senantiasa ingat bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, hampir dalam setiap lembaran mushaf Al-Quran yang mulia terdapat ancaman yang besar dan peringatan yang tegas tentang hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala berikut ini, وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29) وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِير “Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234) وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ “Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan.” (QS. An-Nahl: 19) وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. Al-An’am: 59) وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (QS. Qaf: 16) وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah: 235) وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡن وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَان وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ “Kamu tidaklah berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61) Hendaknya seseorang menyadari dan waspada bahwa keadaannya itu seperti orang-orang yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. Padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai.” (QS An-Nisaa’: 108) Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang tersembunyi dari Allah. Sesuatu yang tersembunyi di malam hari, baik di tempat yang tersembunyi atapun tampak, semuanya sama saja bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman, يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19) Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang makna ayat ini, “Allah menginformasikan tentang ilmunya yang sempurna yang meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang kecil maupun yang besar. Semua Allah ketahui secara rinci dan mendetail agar manusia waspada bahwa Allah mengetahui juga kondisi mereka. Maka milikilah sikap malu kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan hendaknya merasa selalu diawasi oleh Allah yang melihat dirinya. Allah Ta’ala mengetahui pandangan khianat dan yang menjaga amanat, dan Allah mengetahui berbagai rahasia dan yang tersembunyi di dalam hati.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 137) Betapa banyak kita jumpai ayat Al-Quran yang menyebutkan suatu amal dan balasannya, kemudian ditutup dengan menyebutkan bahwa ilmu Allah itu senantiasa meliputi semuanya. Hal ini bertujuan agar hati manusia itu waspada dan menaruh perhatian untuk menyempurnakan dan memperbaiki hatinya, sehingga dia senantiasa memiliki rasa harap (ar-raja’) dan takut (al-khauf). Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dalam Az-Zuhud (no. 137), “Dahulu, (materi) dakwah Bakr bin ‘Abdillah al-Muzanny kepada orang yang berjumpa dengannya adalah dengan mengatakan kepada mereka, “Semoga Allah menjadikan kita memiliki sifat zuhud terhadap perbuatan haram dan dosa ketika bersendirian. Ketahuilah bahwa Allah melihatnya, maka tinggalkanlah.“ Ini adalah kedudukan yang agung dalam sikap zuhud, yaitu seseorang meninggalkan dosa dalam keadaan bersendirian karena takut kepada azab dan hukuman Allah, bukan karena riya’ dan sum’ah. Dia melakukannya hanya karena Allah semata. Sehingga hal ini merupakan di antara bentuk ibadah paling agung yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Abu Hatim Al-Busty mengatakan, “Poros ketaatan seseorang di dunia ini adalah memperbaiki hati dan meninggalkan hal-hal yang merusak hati. Wajib bagi orang yang berakal untuk perhatian dan semangat dalam memperbaiki hatinya, baik ketika di hadapan orang lain maupun ketika sendirian, baik ketika bergerak ataupun diam, karena hilangnya waktu dan penyebab penderitaan tidaklah terjadi kecuali dengan rusaknya hati.“ (Raudhatul ‘Uqola’ wa Nazhatu al–Fudholaa, hal. 27) Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya hati orang yang baik senantiasa sibuk dengan amal kebaikan. Adapun hati orang fajir itu senantiasa sibuk dengan amal keburukan. Sesungguhnya Allah melihat keinginan yang ada di hati kalian. Maka senantiasa perhatikanlah hal tersebut, semoga Allah merahmati kalian.“ (HR. Ibnu Abid Dunya dalam Al–Hamm wal Hazn no. 112. Lihat dalam Raudhatul ‘Uqola’ wa Nuzhatu al–Fudholaa’ hal. 27) Maksudnya, kita harus senantiasa ingat bahwa Rabbul ‘alaamin senantiasa mengetahui dan mengawasi keinginan hati kita. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba berusaha untuk memperbaiki keinginan hatinya dan menjadikan keinginan hatinya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat dengan meraih rida Allah. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهِ هَلَكَ “Barangsiapa menjadikan segala macam keinginannya hanya satu, yaitu keinginan tempat kembali (negeri akhirat), niscaya Allah akan mencukupkan baginya keinginan dunianya. Dan barangsiapa yang keinginannya beraneka ragam pada urusan dunia, maka Allah tidak akan mempedulikan di manapun dia binasa.” (HR. Ibnu Majah no. 4106) Baca juga: Penjelasan Isykal Hadits Mengenai Orang Yang Bermaksiat Tatkala Sendirian *** @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 35; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: diawasi Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, baik ketika dilihat orang lain ataupun ketika bersendirian. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا كَرِهَ اللَّهُ مِنْكَ شَيْئًا، فَلَا تَفْعَلْهُ إِذَا خَلَوْتَ “Segala perbuatan yang Allah benci dari dirimu untuk dilakukan, maka janganlah kamu lakukan hal tersebut ketika kamu bersendirian.“ (HR. Ibnu Hibban no. 403 dan Adh–Dhiyaa’ dalam Al–Mukhtarat no. 1393. Al-Albani menyatakan hasan lighairihi. Lihat As–Silsilah As-Shahihah no. 1055) Hal ini karena jiwa manusia itu menjadi lemah ketika dalam kondisi bersendirian, sehingga terdorong serta lebih berani untuk melakukan kemaksiatan ketika itu. Karena pada saat itu, tidak ada orang lain yang melihatnya. Keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat seorang hamba dan juga mengawasi gerak-gerik dirinya merupakan penghalang terbesar dari bermaksiat kepada-Nya. Dia senantiasa ingat bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, hampir dalam setiap lembaran mushaf Al-Quran yang mulia terdapat ancaman yang besar dan peringatan yang tegas tentang hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala berikut ini, وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29) وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِير “Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234) وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ “Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan.” (QS. An-Nahl: 19) وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. Al-An’am: 59) وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (QS. Qaf: 16) وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah: 235) وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡن وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَان وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ “Kamu tidaklah berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61) Hendaknya seseorang menyadari dan waspada bahwa keadaannya itu seperti orang-orang yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. Padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai.” (QS An-Nisaa’: 108) Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang tersembunyi dari Allah. Sesuatu yang tersembunyi di malam hari, baik di tempat yang tersembunyi atapun tampak, semuanya sama saja bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman, يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19) Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang makna ayat ini, “Allah menginformasikan tentang ilmunya yang sempurna yang meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang kecil maupun yang besar. Semua Allah ketahui secara rinci dan mendetail agar manusia waspada bahwa Allah mengetahui juga kondisi mereka. Maka milikilah sikap malu kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan hendaknya merasa selalu diawasi oleh Allah yang melihat dirinya. Allah Ta’ala mengetahui pandangan khianat dan yang menjaga amanat, dan Allah mengetahui berbagai rahasia dan yang tersembunyi di dalam hati.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 137) Betapa banyak kita jumpai ayat Al-Quran yang menyebutkan suatu amal dan balasannya, kemudian ditutup dengan menyebutkan bahwa ilmu Allah itu senantiasa meliputi semuanya. Hal ini bertujuan agar hati manusia itu waspada dan menaruh perhatian untuk menyempurnakan dan memperbaiki hatinya, sehingga dia senantiasa memiliki rasa harap (ar-raja’) dan takut (al-khauf). Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dalam Az-Zuhud (no. 137), “Dahulu, (materi) dakwah Bakr bin ‘Abdillah al-Muzanny kepada orang yang berjumpa dengannya adalah dengan mengatakan kepada mereka, “Semoga Allah menjadikan kita memiliki sifat zuhud terhadap perbuatan haram dan dosa ketika bersendirian. Ketahuilah bahwa Allah melihatnya, maka tinggalkanlah.“ Ini adalah kedudukan yang agung dalam sikap zuhud, yaitu seseorang meninggalkan dosa dalam keadaan bersendirian karena takut kepada azab dan hukuman Allah, bukan karena riya’ dan sum’ah. Dia melakukannya hanya karena Allah semata. Sehingga hal ini merupakan di antara bentuk ibadah paling agung yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Abu Hatim Al-Busty mengatakan, “Poros ketaatan seseorang di dunia ini adalah memperbaiki hati dan meninggalkan hal-hal yang merusak hati. Wajib bagi orang yang berakal untuk perhatian dan semangat dalam memperbaiki hatinya, baik ketika di hadapan orang lain maupun ketika sendirian, baik ketika bergerak ataupun diam, karena hilangnya waktu dan penyebab penderitaan tidaklah terjadi kecuali dengan rusaknya hati.“ (Raudhatul ‘Uqola’ wa Nazhatu al–Fudholaa, hal. 27) Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya hati orang yang baik senantiasa sibuk dengan amal kebaikan. Adapun hati orang fajir itu senantiasa sibuk dengan amal keburukan. Sesungguhnya Allah melihat keinginan yang ada di hati kalian. Maka senantiasa perhatikanlah hal tersebut, semoga Allah merahmati kalian.“ (HR. Ibnu Abid Dunya dalam Al–Hamm wal Hazn no. 112. Lihat dalam Raudhatul ‘Uqola’ wa Nuzhatu al–Fudholaa’ hal. 27) Maksudnya, kita harus senantiasa ingat bahwa Rabbul ‘alaamin senantiasa mengetahui dan mengawasi keinginan hati kita. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba berusaha untuk memperbaiki keinginan hatinya dan menjadikan keinginan hatinya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat dengan meraih rida Allah. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهِ هَلَكَ “Barangsiapa menjadikan segala macam keinginannya hanya satu, yaitu keinginan tempat kembali (negeri akhirat), niscaya Allah akan mencukupkan baginya keinginan dunianya. Dan barangsiapa yang keinginannya beraneka ragam pada urusan dunia, maka Allah tidak akan mempedulikan di manapun dia binasa.” (HR. Ibnu Majah no. 4106) Baca juga: Penjelasan Isykal Hadits Mengenai Orang Yang Bermaksiat Tatkala Sendirian *** @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 35; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: diawasi Allah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, baik ketika dilihat orang lain ataupun ketika bersendirian. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا كَرِهَ اللَّهُ مِنْكَ شَيْئًا، فَلَا تَفْعَلْهُ إِذَا خَلَوْتَ “Segala perbuatan yang Allah benci dari dirimu untuk dilakukan, maka janganlah kamu lakukan hal tersebut ketika kamu bersendirian.“ (HR. Ibnu Hibban no. 403 dan Adh–Dhiyaa’ dalam Al–Mukhtarat no. 1393. Al-Albani menyatakan hasan lighairihi. Lihat As–Silsilah As-Shahihah no. 1055) Hal ini karena jiwa manusia itu menjadi lemah ketika dalam kondisi bersendirian, sehingga terdorong serta lebih berani untuk melakukan kemaksiatan ketika itu. Karena pada saat itu, tidak ada orang lain yang melihatnya. Keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat seorang hamba dan juga mengawasi gerak-gerik dirinya merupakan penghalang terbesar dari bermaksiat kepada-Nya. Dia senantiasa ingat bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, hampir dalam setiap lembaran mushaf Al-Quran yang mulia terdapat ancaman yang besar dan peringatan yang tegas tentang hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala berikut ini, وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29) وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِير “Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234) وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ “Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan.” (QS. An-Nahl: 19) وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. Al-An’am: 59) وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (QS. Qaf: 16) وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah: 235) وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡن وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَان وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ “Kamu tidaklah berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61) Hendaknya seseorang menyadari dan waspada bahwa keadaannya itu seperti orang-orang yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. Padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai.” (QS An-Nisaa’: 108) Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang tersembunyi dari Allah. Sesuatu yang tersembunyi di malam hari, baik di tempat yang tersembunyi atapun tampak, semuanya sama saja bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman, يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19) Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang makna ayat ini, “Allah menginformasikan tentang ilmunya yang sempurna yang meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang kecil maupun yang besar. Semua Allah ketahui secara rinci dan mendetail agar manusia waspada bahwa Allah mengetahui juga kondisi mereka. Maka milikilah sikap malu kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan hendaknya merasa selalu diawasi oleh Allah yang melihat dirinya. Allah Ta’ala mengetahui pandangan khianat dan yang menjaga amanat, dan Allah mengetahui berbagai rahasia dan yang tersembunyi di dalam hati.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 137) Betapa banyak kita jumpai ayat Al-Quran yang menyebutkan suatu amal dan balasannya, kemudian ditutup dengan menyebutkan bahwa ilmu Allah itu senantiasa meliputi semuanya. Hal ini bertujuan agar hati manusia itu waspada dan menaruh perhatian untuk menyempurnakan dan memperbaiki hatinya, sehingga dia senantiasa memiliki rasa harap (ar-raja’) dan takut (al-khauf). Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dalam Az-Zuhud (no. 137), “Dahulu, (materi) dakwah Bakr bin ‘Abdillah al-Muzanny kepada orang yang berjumpa dengannya adalah dengan mengatakan kepada mereka, “Semoga Allah menjadikan kita memiliki sifat zuhud terhadap perbuatan haram dan dosa ketika bersendirian. Ketahuilah bahwa Allah melihatnya, maka tinggalkanlah.“ Ini adalah kedudukan yang agung dalam sikap zuhud, yaitu seseorang meninggalkan dosa dalam keadaan bersendirian karena takut kepada azab dan hukuman Allah, bukan karena riya’ dan sum’ah. Dia melakukannya hanya karena Allah semata. Sehingga hal ini merupakan di antara bentuk ibadah paling agung yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Abu Hatim Al-Busty mengatakan, “Poros ketaatan seseorang di dunia ini adalah memperbaiki hati dan meninggalkan hal-hal yang merusak hati. Wajib bagi orang yang berakal untuk perhatian dan semangat dalam memperbaiki hatinya, baik ketika di hadapan orang lain maupun ketika sendirian, baik ketika bergerak ataupun diam, karena hilangnya waktu dan penyebab penderitaan tidaklah terjadi kecuali dengan rusaknya hati.“ (Raudhatul ‘Uqola’ wa Nazhatu al–Fudholaa, hal. 27) Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya hati orang yang baik senantiasa sibuk dengan amal kebaikan. Adapun hati orang fajir itu senantiasa sibuk dengan amal keburukan. Sesungguhnya Allah melihat keinginan yang ada di hati kalian. Maka senantiasa perhatikanlah hal tersebut, semoga Allah merahmati kalian.“ (HR. Ibnu Abid Dunya dalam Al–Hamm wal Hazn no. 112. Lihat dalam Raudhatul ‘Uqola’ wa Nuzhatu al–Fudholaa’ hal. 27) Maksudnya, kita harus senantiasa ingat bahwa Rabbul ‘alaamin senantiasa mengetahui dan mengawasi keinginan hati kita. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba berusaha untuk memperbaiki keinginan hatinya dan menjadikan keinginan hatinya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat dengan meraih rida Allah. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهِ هَلَكَ “Barangsiapa menjadikan segala macam keinginannya hanya satu, yaitu keinginan tempat kembali (negeri akhirat), niscaya Allah akan mencukupkan baginya keinginan dunianya. Dan barangsiapa yang keinginannya beraneka ragam pada urusan dunia, maka Allah tidak akan mempedulikan di manapun dia binasa.” (HR. Ibnu Majah no. 4106) Baca juga: Penjelasan Isykal Hadits Mengenai Orang Yang Bermaksiat Tatkala Sendirian *** @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 35; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: diawasi Allah

Kisah Nikmatnya Berteman al-Quran di Hari Tua – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Penulis mengatakan — bisa juga diambil faedah lain dari hadis ini bahwa orang yang dipanjangkan umurnya oleh Allah hendaknya memperbanyak membaca al-Quran. Hendaknya ia memperbanyak membaca al-Quran dan memfokuskan diri dengan al-Quran. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu ahli ibadah yang sudah tua, —demikian aku menilainya, dan Allah yang benar Menilainya— Beliau mengatakan, “Saya akan mengatakan sesuatu kepada Anda yang mungkin akan membuat Anda mengkritik saya karenanya… Saya dulu tidak belajar baca tulis… Kami hidup dalam kehidupan yang sulit dan harus bekerja… Aku tidak belajar, tapi di akhir-akhir usia saya… —dia sekarang sudah atau mendekati usia 90 tahun— di akhir-akhir usia saya, saya mulai bisa membaca…Saya sekarang bisa membaca al-Quran walau dengan susah payah…Namun jika Anda mendengar, saya punya banyak kekeliruan dalam membaca…Saya punya banyak kekeliruan dan terbata-bata dalam membaca…Namun, alhamdulillah, alhamdulillah, tidaklah saya melewatkan…10 hari kecuali saya sudah mengkhatamkan al-Quran…Tidaklah saya melewatkan 10 hari kecuali aku sudah mengkhatamkan al-Quran.” Lalu dia berkata, “Berilah saya masukan…”Ketika dia maju dan meminta maaf, kemudian bertanya dengan berkata,”Apakah ini boleh aku lanjutkan, begini ini?” Aku jawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang mahir membaca al-Quran akan bersama para utusan (malaikat) yang mulia lagi baik. Adapun orang yang kesulitan dan terbata-bata membaca al-Quran, maka baginya dua pahala dalam bacaannya itu.” (HR. Muslim) Karunia Allah itu luas, dan ini termasuk anugerah, ketika orang yang sudah tua bisa memfokuskan diri dengan mushaf, dengan membaca, menadaburi, dan juga memperbanyak amal, ketika disebutkan istigfar, tasbih, tahmid, atau amalan-amalan lain, ia memperbanyak amalan tersebut. Maka, sungguh elok jika dia fokus dengan al-Quran. Jadi, di antara inti hadis ini adalah memfokuskan diri dengan al-Quran, apalagi di akhir-akhir umur, hendaknya seseorang meluangkan waktu yang banyak dan lama untuk menelaah Firman Allah dan membaca mushaf. Demikian. Jika dia tidak mampu membaca, karena sudah lemah atau hilang penglihatannya, maka sekarang sudah muncul kenikmatan baru, yaitu mendengar, mendengarkan murotal al-Quran. Mendengarkan murotal al-Quran juga penting. Termasuk bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah mendengarkan al-Quran. Beliau menyuruh salah seorang sahabat untuk membaca dan beliau mendengarnya. Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalawātu was Salām membaca dan mendengar al-Quran. Jadi, seseorang hendaknya banyak mendengarkan al-Quran, dan hal ini, alhamdulillah, sekarang amat mudah, yang tidak semudah ini di masa-masa yang lalu. Demikian. ==== قَالَ الْمُصَنِّفُ — يُمْكِنُ أَيْضًا يُسْتَظْهَرُ مِنْ هَذَا أَيْضًا فَائِدَةٌ أُخْرَى أَنَّ مَنْ فَسَحَ اللهُ لَهُ فِي الْعُمْرِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ قَبْلَ أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ اِلْتَقَيْتُ بِأَحَدِ كِبَارِ السِّنِّ مِنَ الْعُبَّادِ أَحْسَبُهُ وَاللهُ حَسِيبُهُ قَالَ: سَأَقُولُ لَكَ كَلَامًا رُبَّمَا تَنْتَقِدُنِي فِيهِ أَنَا مَا تَعَلَّمْتُ الْقِرَاءَةَ وَلَا تَعَلَّمْتُ الْكِتَابَةَ عِشْنَا فِي حَيَاةٍ يَعْنِي شِدَّةٍ وَحَاجَةٍ لِلْعَمَلِ فَمَا تَعَلَّمْتُ لَكِنْ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي هُوَ الْآنَ فِي التِّسْعِيْنَ أَوْ يُقَارِبُ التِّسْعِيْنَ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي بَدَأْتُ أَقْرَأُ وَأَنَا الْآنَ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِصُعُوبَةٍ لَكِنْ لَوْ تَسْمَعُ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَأَتَتَعْتَعُ فِي الْقِرَاءَةِ لَكِنْ الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ وَيَقُولُ: تَنْتَقِدُنِي لَمَّا يُقَدِّمُ وَيَعْتَذِرُ ثُمَّ يَسْأَلُ يَقُولُ هَلْ هَذَا يَعْنِي أَسْتَمِرُّ عَلَيهِ هَذَا؟ قُلْتُ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ السَّفَرَةِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ وَيَتَتَعْتَعُ بِهِ فَلَهُ فِيْهِ أَجْرَانِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ فَفَضْلُ اللهِ وَاسِعٌ وَهَذِهِ مِنَ النِّعَمِ أَنْ يُقْبِلَ كَبِيرُ الْسِّنِّ عَلَى الْمُصْحَفِ يَقْرَأُ وَيَتَأَمَّلُ وَأَيْضًا يَزْدَادُ فِي الْعَمَلِ إِذَا جَاءَ الْاِسْتِغْفَارُ إِذَا جَاءَ التَّسْبِيحُ إِذَا جَاءَ الْحَمْدُ إِذَا جَاءَ غَيْرُهَا مِنَ الْأَعْمَالِ يَسْتَكْثِرُ الْأَعْمَالَ فَمِنْ خَيْرٍ لَهُ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ فَمِنْ فُؤَادِ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِقْبَالُ عَلَى الْقُرْآنِ وَلَا سِيَّمَا فِي أَوَاخِرِ الْعُمْرِ لِيَجْعَلَ لَهُ حَظَّا وَافِرًا كَبِيرًا مِنَ النَّظَرِ فِي كَلَامِ اللهِ وَالْقِرَاءَةِ فِي الْمُصْحَفِ نَعَمْ وَإِذَا كَانَ مَا يَسْتَطِيعُ الْقِرَاءَةَ لِضَعْفِ الْبَصَرِ أَوْ عَدَمِ وُجُودِ الْبَصَرِ فَفِيهِ نِعْمَةٌ الْآنَ اسْتَجَدَّتْ وَهِيَ السَّمَاعُ سَمَاعُ الْقُرْآنِ وَسَمَاعُ الْقُرْآنِ أَيْضًا مُهِمٌّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَدْيِهِ سَمَاعُ الْقُرْآنِ كَانَ يَأْمُرُ بَعْضَ أَصْحَابِهِ يَتْلُو وَيَسْمَعُ يَتْلُو وَيَسْمَعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَيَسْمَعُ الْقُرْآنَ بِكَثْرَةٍ وَهَذِهِ الْآنَ الْحَمْدُ لِلهِ يَعْنِي تَيَسَّرَتْ وَلَمْ تَكُنْ مُتَيَسِّرَةً فِي أَوْقَاتٍ مَاضِيَةٍ نَعَمْ

Kisah Nikmatnya Berteman al-Quran di Hari Tua – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Penulis mengatakan — bisa juga diambil faedah lain dari hadis ini bahwa orang yang dipanjangkan umurnya oleh Allah hendaknya memperbanyak membaca al-Quran. Hendaknya ia memperbanyak membaca al-Quran dan memfokuskan diri dengan al-Quran. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu ahli ibadah yang sudah tua, —demikian aku menilainya, dan Allah yang benar Menilainya— Beliau mengatakan, “Saya akan mengatakan sesuatu kepada Anda yang mungkin akan membuat Anda mengkritik saya karenanya… Saya dulu tidak belajar baca tulis… Kami hidup dalam kehidupan yang sulit dan harus bekerja… Aku tidak belajar, tapi di akhir-akhir usia saya… —dia sekarang sudah atau mendekati usia 90 tahun— di akhir-akhir usia saya, saya mulai bisa membaca…Saya sekarang bisa membaca al-Quran walau dengan susah payah…Namun jika Anda mendengar, saya punya banyak kekeliruan dalam membaca…Saya punya banyak kekeliruan dan terbata-bata dalam membaca…Namun, alhamdulillah, alhamdulillah, tidaklah saya melewatkan…10 hari kecuali saya sudah mengkhatamkan al-Quran…Tidaklah saya melewatkan 10 hari kecuali aku sudah mengkhatamkan al-Quran.” Lalu dia berkata, “Berilah saya masukan…”Ketika dia maju dan meminta maaf, kemudian bertanya dengan berkata,”Apakah ini boleh aku lanjutkan, begini ini?” Aku jawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang mahir membaca al-Quran akan bersama para utusan (malaikat) yang mulia lagi baik. Adapun orang yang kesulitan dan terbata-bata membaca al-Quran, maka baginya dua pahala dalam bacaannya itu.” (HR. Muslim) Karunia Allah itu luas, dan ini termasuk anugerah, ketika orang yang sudah tua bisa memfokuskan diri dengan mushaf, dengan membaca, menadaburi, dan juga memperbanyak amal, ketika disebutkan istigfar, tasbih, tahmid, atau amalan-amalan lain, ia memperbanyak amalan tersebut. Maka, sungguh elok jika dia fokus dengan al-Quran. Jadi, di antara inti hadis ini adalah memfokuskan diri dengan al-Quran, apalagi di akhir-akhir umur, hendaknya seseorang meluangkan waktu yang banyak dan lama untuk menelaah Firman Allah dan membaca mushaf. Demikian. Jika dia tidak mampu membaca, karena sudah lemah atau hilang penglihatannya, maka sekarang sudah muncul kenikmatan baru, yaitu mendengar, mendengarkan murotal al-Quran. Mendengarkan murotal al-Quran juga penting. Termasuk bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah mendengarkan al-Quran. Beliau menyuruh salah seorang sahabat untuk membaca dan beliau mendengarnya. Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalawātu was Salām membaca dan mendengar al-Quran. Jadi, seseorang hendaknya banyak mendengarkan al-Quran, dan hal ini, alhamdulillah, sekarang amat mudah, yang tidak semudah ini di masa-masa yang lalu. Demikian. ==== قَالَ الْمُصَنِّفُ — يُمْكِنُ أَيْضًا يُسْتَظْهَرُ مِنْ هَذَا أَيْضًا فَائِدَةٌ أُخْرَى أَنَّ مَنْ فَسَحَ اللهُ لَهُ فِي الْعُمْرِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ قَبْلَ أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ اِلْتَقَيْتُ بِأَحَدِ كِبَارِ السِّنِّ مِنَ الْعُبَّادِ أَحْسَبُهُ وَاللهُ حَسِيبُهُ قَالَ: سَأَقُولُ لَكَ كَلَامًا رُبَّمَا تَنْتَقِدُنِي فِيهِ أَنَا مَا تَعَلَّمْتُ الْقِرَاءَةَ وَلَا تَعَلَّمْتُ الْكِتَابَةَ عِشْنَا فِي حَيَاةٍ يَعْنِي شِدَّةٍ وَحَاجَةٍ لِلْعَمَلِ فَمَا تَعَلَّمْتُ لَكِنْ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي هُوَ الْآنَ فِي التِّسْعِيْنَ أَوْ يُقَارِبُ التِّسْعِيْنَ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي بَدَأْتُ أَقْرَأُ وَأَنَا الْآنَ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِصُعُوبَةٍ لَكِنْ لَوْ تَسْمَعُ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَأَتَتَعْتَعُ فِي الْقِرَاءَةِ لَكِنْ الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ وَيَقُولُ: تَنْتَقِدُنِي لَمَّا يُقَدِّمُ وَيَعْتَذِرُ ثُمَّ يَسْأَلُ يَقُولُ هَلْ هَذَا يَعْنِي أَسْتَمِرُّ عَلَيهِ هَذَا؟ قُلْتُ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ السَّفَرَةِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ وَيَتَتَعْتَعُ بِهِ فَلَهُ فِيْهِ أَجْرَانِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ فَفَضْلُ اللهِ وَاسِعٌ وَهَذِهِ مِنَ النِّعَمِ أَنْ يُقْبِلَ كَبِيرُ الْسِّنِّ عَلَى الْمُصْحَفِ يَقْرَأُ وَيَتَأَمَّلُ وَأَيْضًا يَزْدَادُ فِي الْعَمَلِ إِذَا جَاءَ الْاِسْتِغْفَارُ إِذَا جَاءَ التَّسْبِيحُ إِذَا جَاءَ الْحَمْدُ إِذَا جَاءَ غَيْرُهَا مِنَ الْأَعْمَالِ يَسْتَكْثِرُ الْأَعْمَالَ فَمِنْ خَيْرٍ لَهُ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ فَمِنْ فُؤَادِ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِقْبَالُ عَلَى الْقُرْآنِ وَلَا سِيَّمَا فِي أَوَاخِرِ الْعُمْرِ لِيَجْعَلَ لَهُ حَظَّا وَافِرًا كَبِيرًا مِنَ النَّظَرِ فِي كَلَامِ اللهِ وَالْقِرَاءَةِ فِي الْمُصْحَفِ نَعَمْ وَإِذَا كَانَ مَا يَسْتَطِيعُ الْقِرَاءَةَ لِضَعْفِ الْبَصَرِ أَوْ عَدَمِ وُجُودِ الْبَصَرِ فَفِيهِ نِعْمَةٌ الْآنَ اسْتَجَدَّتْ وَهِيَ السَّمَاعُ سَمَاعُ الْقُرْآنِ وَسَمَاعُ الْقُرْآنِ أَيْضًا مُهِمٌّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَدْيِهِ سَمَاعُ الْقُرْآنِ كَانَ يَأْمُرُ بَعْضَ أَصْحَابِهِ يَتْلُو وَيَسْمَعُ يَتْلُو وَيَسْمَعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَيَسْمَعُ الْقُرْآنَ بِكَثْرَةٍ وَهَذِهِ الْآنَ الْحَمْدُ لِلهِ يَعْنِي تَيَسَّرَتْ وَلَمْ تَكُنْ مُتَيَسِّرَةً فِي أَوْقَاتٍ مَاضِيَةٍ نَعَمْ
Penulis mengatakan — bisa juga diambil faedah lain dari hadis ini bahwa orang yang dipanjangkan umurnya oleh Allah hendaknya memperbanyak membaca al-Quran. Hendaknya ia memperbanyak membaca al-Quran dan memfokuskan diri dengan al-Quran. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu ahli ibadah yang sudah tua, —demikian aku menilainya, dan Allah yang benar Menilainya— Beliau mengatakan, “Saya akan mengatakan sesuatu kepada Anda yang mungkin akan membuat Anda mengkritik saya karenanya… Saya dulu tidak belajar baca tulis… Kami hidup dalam kehidupan yang sulit dan harus bekerja… Aku tidak belajar, tapi di akhir-akhir usia saya… —dia sekarang sudah atau mendekati usia 90 tahun— di akhir-akhir usia saya, saya mulai bisa membaca…Saya sekarang bisa membaca al-Quran walau dengan susah payah…Namun jika Anda mendengar, saya punya banyak kekeliruan dalam membaca…Saya punya banyak kekeliruan dan terbata-bata dalam membaca…Namun, alhamdulillah, alhamdulillah, tidaklah saya melewatkan…10 hari kecuali saya sudah mengkhatamkan al-Quran…Tidaklah saya melewatkan 10 hari kecuali aku sudah mengkhatamkan al-Quran.” Lalu dia berkata, “Berilah saya masukan…”Ketika dia maju dan meminta maaf, kemudian bertanya dengan berkata,”Apakah ini boleh aku lanjutkan, begini ini?” Aku jawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang mahir membaca al-Quran akan bersama para utusan (malaikat) yang mulia lagi baik. Adapun orang yang kesulitan dan terbata-bata membaca al-Quran, maka baginya dua pahala dalam bacaannya itu.” (HR. Muslim) Karunia Allah itu luas, dan ini termasuk anugerah, ketika orang yang sudah tua bisa memfokuskan diri dengan mushaf, dengan membaca, menadaburi, dan juga memperbanyak amal, ketika disebutkan istigfar, tasbih, tahmid, atau amalan-amalan lain, ia memperbanyak amalan tersebut. Maka, sungguh elok jika dia fokus dengan al-Quran. Jadi, di antara inti hadis ini adalah memfokuskan diri dengan al-Quran, apalagi di akhir-akhir umur, hendaknya seseorang meluangkan waktu yang banyak dan lama untuk menelaah Firman Allah dan membaca mushaf. Demikian. Jika dia tidak mampu membaca, karena sudah lemah atau hilang penglihatannya, maka sekarang sudah muncul kenikmatan baru, yaitu mendengar, mendengarkan murotal al-Quran. Mendengarkan murotal al-Quran juga penting. Termasuk bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah mendengarkan al-Quran. Beliau menyuruh salah seorang sahabat untuk membaca dan beliau mendengarnya. Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalawātu was Salām membaca dan mendengar al-Quran. Jadi, seseorang hendaknya banyak mendengarkan al-Quran, dan hal ini, alhamdulillah, sekarang amat mudah, yang tidak semudah ini di masa-masa yang lalu. Demikian. ==== قَالَ الْمُصَنِّفُ — يُمْكِنُ أَيْضًا يُسْتَظْهَرُ مِنْ هَذَا أَيْضًا فَائِدَةٌ أُخْرَى أَنَّ مَنْ فَسَحَ اللهُ لَهُ فِي الْعُمْرِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ قَبْلَ أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ اِلْتَقَيْتُ بِأَحَدِ كِبَارِ السِّنِّ مِنَ الْعُبَّادِ أَحْسَبُهُ وَاللهُ حَسِيبُهُ قَالَ: سَأَقُولُ لَكَ كَلَامًا رُبَّمَا تَنْتَقِدُنِي فِيهِ أَنَا مَا تَعَلَّمْتُ الْقِرَاءَةَ وَلَا تَعَلَّمْتُ الْكِتَابَةَ عِشْنَا فِي حَيَاةٍ يَعْنِي شِدَّةٍ وَحَاجَةٍ لِلْعَمَلِ فَمَا تَعَلَّمْتُ لَكِنْ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي هُوَ الْآنَ فِي التِّسْعِيْنَ أَوْ يُقَارِبُ التِّسْعِيْنَ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي بَدَأْتُ أَقْرَأُ وَأَنَا الْآنَ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِصُعُوبَةٍ لَكِنْ لَوْ تَسْمَعُ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَأَتَتَعْتَعُ فِي الْقِرَاءَةِ لَكِنْ الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ وَيَقُولُ: تَنْتَقِدُنِي لَمَّا يُقَدِّمُ وَيَعْتَذِرُ ثُمَّ يَسْأَلُ يَقُولُ هَلْ هَذَا يَعْنِي أَسْتَمِرُّ عَلَيهِ هَذَا؟ قُلْتُ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ السَّفَرَةِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ وَيَتَتَعْتَعُ بِهِ فَلَهُ فِيْهِ أَجْرَانِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ فَفَضْلُ اللهِ وَاسِعٌ وَهَذِهِ مِنَ النِّعَمِ أَنْ يُقْبِلَ كَبِيرُ الْسِّنِّ عَلَى الْمُصْحَفِ يَقْرَأُ وَيَتَأَمَّلُ وَأَيْضًا يَزْدَادُ فِي الْعَمَلِ إِذَا جَاءَ الْاِسْتِغْفَارُ إِذَا جَاءَ التَّسْبِيحُ إِذَا جَاءَ الْحَمْدُ إِذَا جَاءَ غَيْرُهَا مِنَ الْأَعْمَالِ يَسْتَكْثِرُ الْأَعْمَالَ فَمِنْ خَيْرٍ لَهُ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ فَمِنْ فُؤَادِ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِقْبَالُ عَلَى الْقُرْآنِ وَلَا سِيَّمَا فِي أَوَاخِرِ الْعُمْرِ لِيَجْعَلَ لَهُ حَظَّا وَافِرًا كَبِيرًا مِنَ النَّظَرِ فِي كَلَامِ اللهِ وَالْقِرَاءَةِ فِي الْمُصْحَفِ نَعَمْ وَإِذَا كَانَ مَا يَسْتَطِيعُ الْقِرَاءَةَ لِضَعْفِ الْبَصَرِ أَوْ عَدَمِ وُجُودِ الْبَصَرِ فَفِيهِ نِعْمَةٌ الْآنَ اسْتَجَدَّتْ وَهِيَ السَّمَاعُ سَمَاعُ الْقُرْآنِ وَسَمَاعُ الْقُرْآنِ أَيْضًا مُهِمٌّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَدْيِهِ سَمَاعُ الْقُرْآنِ كَانَ يَأْمُرُ بَعْضَ أَصْحَابِهِ يَتْلُو وَيَسْمَعُ يَتْلُو وَيَسْمَعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَيَسْمَعُ الْقُرْآنَ بِكَثْرَةٍ وَهَذِهِ الْآنَ الْحَمْدُ لِلهِ يَعْنِي تَيَسَّرَتْ وَلَمْ تَكُنْ مُتَيَسِّرَةً فِي أَوْقَاتٍ مَاضِيَةٍ نَعَمْ


Penulis mengatakan — bisa juga diambil faedah lain dari hadis ini bahwa orang yang dipanjangkan umurnya oleh Allah hendaknya memperbanyak membaca al-Quran. Hendaknya ia memperbanyak membaca al-Quran dan memfokuskan diri dengan al-Quran. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu ahli ibadah yang sudah tua, —demikian aku menilainya, dan Allah yang benar Menilainya— Beliau mengatakan, “Saya akan mengatakan sesuatu kepada Anda yang mungkin akan membuat Anda mengkritik saya karenanya… Saya dulu tidak belajar baca tulis… Kami hidup dalam kehidupan yang sulit dan harus bekerja… Aku tidak belajar, tapi di akhir-akhir usia saya… —dia sekarang sudah atau mendekati usia 90 tahun— di akhir-akhir usia saya, saya mulai bisa membaca…Saya sekarang bisa membaca al-Quran walau dengan susah payah…Namun jika Anda mendengar, saya punya banyak kekeliruan dalam membaca…Saya punya banyak kekeliruan dan terbata-bata dalam membaca…Namun, alhamdulillah, alhamdulillah, tidaklah saya melewatkan…10 hari kecuali saya sudah mengkhatamkan al-Quran…Tidaklah saya melewatkan 10 hari kecuali aku sudah mengkhatamkan al-Quran.” Lalu dia berkata, “Berilah saya masukan…”Ketika dia maju dan meminta maaf, kemudian bertanya dengan berkata,”Apakah ini boleh aku lanjutkan, begini ini?” Aku jawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang mahir membaca al-Quran akan bersama para utusan (malaikat) yang mulia lagi baik. Adapun orang yang kesulitan dan terbata-bata membaca al-Quran, maka baginya dua pahala dalam bacaannya itu.” (HR. Muslim) Karunia Allah itu luas, dan ini termasuk anugerah, ketika orang yang sudah tua bisa memfokuskan diri dengan mushaf, dengan membaca, menadaburi, dan juga memperbanyak amal, ketika disebutkan istigfar, tasbih, tahmid, atau amalan-amalan lain, ia memperbanyak amalan tersebut. Maka, sungguh elok jika dia fokus dengan al-Quran. Jadi, di antara inti hadis ini adalah memfokuskan diri dengan al-Quran, apalagi di akhir-akhir umur, hendaknya seseorang meluangkan waktu yang banyak dan lama untuk menelaah Firman Allah dan membaca mushaf. Demikian. Jika dia tidak mampu membaca, karena sudah lemah atau hilang penglihatannya, maka sekarang sudah muncul kenikmatan baru, yaitu mendengar, mendengarkan murotal al-Quran. Mendengarkan murotal al-Quran juga penting. Termasuk bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah mendengarkan al-Quran. Beliau menyuruh salah seorang sahabat untuk membaca dan beliau mendengarnya. Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalawātu was Salām membaca dan mendengar al-Quran. Jadi, seseorang hendaknya banyak mendengarkan al-Quran, dan hal ini, alhamdulillah, sekarang amat mudah, yang tidak semudah ini di masa-masa yang lalu. Demikian. ==== قَالَ الْمُصَنِّفُ — يُمْكِنُ أَيْضًا يُسْتَظْهَرُ مِنْ هَذَا أَيْضًا فَائِدَةٌ أُخْرَى أَنَّ مَنْ فَسَحَ اللهُ لَهُ فِي الْعُمْرِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ قَبْلَ أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ اِلْتَقَيْتُ بِأَحَدِ كِبَارِ السِّنِّ مِنَ الْعُبَّادِ أَحْسَبُهُ وَاللهُ حَسِيبُهُ قَالَ: سَأَقُولُ لَكَ كَلَامًا رُبَّمَا تَنْتَقِدُنِي فِيهِ أَنَا مَا تَعَلَّمْتُ الْقِرَاءَةَ وَلَا تَعَلَّمْتُ الْكِتَابَةَ عِشْنَا فِي حَيَاةٍ يَعْنِي شِدَّةٍ وَحَاجَةٍ لِلْعَمَلِ فَمَا تَعَلَّمْتُ لَكِنْ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي هُوَ الْآنَ فِي التِّسْعِيْنَ أَوْ يُقَارِبُ التِّسْعِيْنَ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي بَدَأْتُ أَقْرَأُ وَأَنَا الْآنَ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِصُعُوبَةٍ لَكِنْ لَوْ تَسْمَعُ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَأَتَتَعْتَعُ فِي الْقِرَاءَةِ لَكِنْ الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ وَيَقُولُ: تَنْتَقِدُنِي لَمَّا يُقَدِّمُ وَيَعْتَذِرُ ثُمَّ يَسْأَلُ يَقُولُ هَلْ هَذَا يَعْنِي أَسْتَمِرُّ عَلَيهِ هَذَا؟ قُلْتُ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ السَّفَرَةِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ وَيَتَتَعْتَعُ بِهِ فَلَهُ فِيْهِ أَجْرَانِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ فَفَضْلُ اللهِ وَاسِعٌ وَهَذِهِ مِنَ النِّعَمِ أَنْ يُقْبِلَ كَبِيرُ الْسِّنِّ عَلَى الْمُصْحَفِ يَقْرَأُ وَيَتَأَمَّلُ وَأَيْضًا يَزْدَادُ فِي الْعَمَلِ إِذَا جَاءَ الْاِسْتِغْفَارُ إِذَا جَاءَ التَّسْبِيحُ إِذَا جَاءَ الْحَمْدُ إِذَا جَاءَ غَيْرُهَا مِنَ الْأَعْمَالِ يَسْتَكْثِرُ الْأَعْمَالَ فَمِنْ خَيْرٍ لَهُ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ فَمِنْ فُؤَادِ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِقْبَالُ عَلَى الْقُرْآنِ وَلَا سِيَّمَا فِي أَوَاخِرِ الْعُمْرِ لِيَجْعَلَ لَهُ حَظَّا وَافِرًا كَبِيرًا مِنَ النَّظَرِ فِي كَلَامِ اللهِ وَالْقِرَاءَةِ فِي الْمُصْحَفِ نَعَمْ وَإِذَا كَانَ مَا يَسْتَطِيعُ الْقِرَاءَةَ لِضَعْفِ الْبَصَرِ أَوْ عَدَمِ وُجُودِ الْبَصَرِ فَفِيهِ نِعْمَةٌ الْآنَ اسْتَجَدَّتْ وَهِيَ السَّمَاعُ سَمَاعُ الْقُرْآنِ وَسَمَاعُ الْقُرْآنِ أَيْضًا مُهِمٌّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَدْيِهِ سَمَاعُ الْقُرْآنِ كَانَ يَأْمُرُ بَعْضَ أَصْحَابِهِ يَتْلُو وَيَسْمَعُ يَتْلُو وَيَسْمَعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَيَسْمَعُ الْقُرْآنَ بِكَثْرَةٍ وَهَذِهِ الْآنَ الْحَمْدُ لِلهِ يَعْنِي تَيَسَّرَتْ وَلَمْ تَكُنْ مُتَيَسِّرَةً فِي أَوْقَاتٍ مَاضِيَةٍ نَعَمْ

Bolehkah Berangkat Umrah tetapi ke Madinah Terlebih Dahulu?

Pertanyaan: Bolehkah seseorang yang pergi ke tanah suci untuk melakukan ibadah umrah, ia mendarat di kota Jeddah dalam keadaan belum berihram karena bermaksud untuk menuju ke kota Madinah terlebih dahulu? Setelah beberapa hari di kota Madinah, barulah ia berihram di Dzul Hulaifah untuk umrah dan kemudian melakukan perjalanan ke Mekkah. Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ulama menjelaskan bahwa praktik demikian diperbolehkan, karena ia ketika memasuki Jeddah belum berniat untuk umrah. Namun berniat untuk menuju ke kota Madinah. Maka tidak diharuskan untuk berihram sebelum mendarat di Jeddah.  Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ditanya: حاج ينوي الحج ولكنه له غرض في مكة ثم إلى المدينة ، وتجاوز الميقات ولم يحرم ، ودخل مكة ثم سافر إلى المدينة وأحرم من ميقات المدينة حاجاً . فما حكم تصرفه هذا ؟ “Seseorang berniat haji namun ia berencana untuk menuju ke Mekkah terlebih dahulu, kemudian ke Madinah. Dan ketika memasuki Mekkah, ia tidak berihram. Ia memasuki kota Mekkah kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Madinah. Lalu ia berihram untuk haji di miqat Madinah (Dzul Hulaifah). Apakah perbuatan seperti ini dibolehkan?”. Mereka menjawab: مادام أن الحاج خرج إلى ميقات أهل المدينة ، وأتى محرماً فلا شيء عليه في دخوله بدون إحرام ، وكان الأولى له أن يدخل من ميقاته الأول محرماً ” انتهى . “Selama orang tersebut keluar menuju miqat Madinah, kemudian ia berihram dari miqat Madinah, maka tidak mengapa baginya melewati miqat dalam keadaan belum berihram. Walaupun yang lebih utama adalah berihram ketika melewati miqat yang pertama” (Fatawa Al-Lajnah, 11/155). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: رجل جاء من جدة ، ولم يحرم ، أولاً ذهب إلى المدينة المنورة لزيارة المسجد النبوي ، ثم أحرم من ميقات أهل المدينة ، هل هذا صحيح ؟ “Ada seseorang yang datang ke kota Jeddah namun ia belum berihram. Karena pertama kali ia akan menuju ke kota Madinah Al-Munawwarah untuk mengunjungi Masjid An-Nabawi. Setelah itu barulah ia berihram di miqat penduduk Madinah. Apakah umrah atau hajinya sah?”. Beliau menjawab: لا بأس ، يعني: لو أن الإنسان جاء من بلده قاصداً المدينة أولاً ، ونزل في جدة ثم سافر من جدة إلى المدينة ثم رجع من المدينة محرماً من ميقات أهل المدينة ، فلا بأس “Ini tidak mengapa. Maksudnya, jika seseorang datang dari negerinya berniat untuk mengunjungi kota Madinah terlebih dahulu, lalu ia mendarat di kota Jeddah dan bersafar ke kota Madinah, kemudian setelah itu ia berihram dari Madinah di miqat-nya penduduk Madinah, ini tidak mengapa” (Liqa’ Babil Maftuh, no. 121). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?   🔍 Tabarruj, Umat Nabi Muhammad Di Akhirat, Qurban Untuk Keluarga, Makan Sebelum Shalat Idul Fitri Termasuk Hal Yang, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Ijazah Ilmu Hikmah 2017 Visited 1,088 times, 1 visit(s) today Post Views: 672 QRIS donasi Yufid

Bolehkah Berangkat Umrah tetapi ke Madinah Terlebih Dahulu?

Pertanyaan: Bolehkah seseorang yang pergi ke tanah suci untuk melakukan ibadah umrah, ia mendarat di kota Jeddah dalam keadaan belum berihram karena bermaksud untuk menuju ke kota Madinah terlebih dahulu? Setelah beberapa hari di kota Madinah, barulah ia berihram di Dzul Hulaifah untuk umrah dan kemudian melakukan perjalanan ke Mekkah. Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ulama menjelaskan bahwa praktik demikian diperbolehkan, karena ia ketika memasuki Jeddah belum berniat untuk umrah. Namun berniat untuk menuju ke kota Madinah. Maka tidak diharuskan untuk berihram sebelum mendarat di Jeddah.  Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ditanya: حاج ينوي الحج ولكنه له غرض في مكة ثم إلى المدينة ، وتجاوز الميقات ولم يحرم ، ودخل مكة ثم سافر إلى المدينة وأحرم من ميقات المدينة حاجاً . فما حكم تصرفه هذا ؟ “Seseorang berniat haji namun ia berencana untuk menuju ke Mekkah terlebih dahulu, kemudian ke Madinah. Dan ketika memasuki Mekkah, ia tidak berihram. Ia memasuki kota Mekkah kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Madinah. Lalu ia berihram untuk haji di miqat Madinah (Dzul Hulaifah). Apakah perbuatan seperti ini dibolehkan?”. Mereka menjawab: مادام أن الحاج خرج إلى ميقات أهل المدينة ، وأتى محرماً فلا شيء عليه في دخوله بدون إحرام ، وكان الأولى له أن يدخل من ميقاته الأول محرماً ” انتهى . “Selama orang tersebut keluar menuju miqat Madinah, kemudian ia berihram dari miqat Madinah, maka tidak mengapa baginya melewati miqat dalam keadaan belum berihram. Walaupun yang lebih utama adalah berihram ketika melewati miqat yang pertama” (Fatawa Al-Lajnah, 11/155). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: رجل جاء من جدة ، ولم يحرم ، أولاً ذهب إلى المدينة المنورة لزيارة المسجد النبوي ، ثم أحرم من ميقات أهل المدينة ، هل هذا صحيح ؟ “Ada seseorang yang datang ke kota Jeddah namun ia belum berihram. Karena pertama kali ia akan menuju ke kota Madinah Al-Munawwarah untuk mengunjungi Masjid An-Nabawi. Setelah itu barulah ia berihram di miqat penduduk Madinah. Apakah umrah atau hajinya sah?”. Beliau menjawab: لا بأس ، يعني: لو أن الإنسان جاء من بلده قاصداً المدينة أولاً ، ونزل في جدة ثم سافر من جدة إلى المدينة ثم رجع من المدينة محرماً من ميقات أهل المدينة ، فلا بأس “Ini tidak mengapa. Maksudnya, jika seseorang datang dari negerinya berniat untuk mengunjungi kota Madinah terlebih dahulu, lalu ia mendarat di kota Jeddah dan bersafar ke kota Madinah, kemudian setelah itu ia berihram dari Madinah di miqat-nya penduduk Madinah, ini tidak mengapa” (Liqa’ Babil Maftuh, no. 121). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?   🔍 Tabarruj, Umat Nabi Muhammad Di Akhirat, Qurban Untuk Keluarga, Makan Sebelum Shalat Idul Fitri Termasuk Hal Yang, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Ijazah Ilmu Hikmah 2017 Visited 1,088 times, 1 visit(s) today Post Views: 672 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Bolehkah seseorang yang pergi ke tanah suci untuk melakukan ibadah umrah, ia mendarat di kota Jeddah dalam keadaan belum berihram karena bermaksud untuk menuju ke kota Madinah terlebih dahulu? Setelah beberapa hari di kota Madinah, barulah ia berihram di Dzul Hulaifah untuk umrah dan kemudian melakukan perjalanan ke Mekkah. Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ulama menjelaskan bahwa praktik demikian diperbolehkan, karena ia ketika memasuki Jeddah belum berniat untuk umrah. Namun berniat untuk menuju ke kota Madinah. Maka tidak diharuskan untuk berihram sebelum mendarat di Jeddah.  Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ditanya: حاج ينوي الحج ولكنه له غرض في مكة ثم إلى المدينة ، وتجاوز الميقات ولم يحرم ، ودخل مكة ثم سافر إلى المدينة وأحرم من ميقات المدينة حاجاً . فما حكم تصرفه هذا ؟ “Seseorang berniat haji namun ia berencana untuk menuju ke Mekkah terlebih dahulu, kemudian ke Madinah. Dan ketika memasuki Mekkah, ia tidak berihram. Ia memasuki kota Mekkah kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Madinah. Lalu ia berihram untuk haji di miqat Madinah (Dzul Hulaifah). Apakah perbuatan seperti ini dibolehkan?”. Mereka menjawab: مادام أن الحاج خرج إلى ميقات أهل المدينة ، وأتى محرماً فلا شيء عليه في دخوله بدون إحرام ، وكان الأولى له أن يدخل من ميقاته الأول محرماً ” انتهى . “Selama orang tersebut keluar menuju miqat Madinah, kemudian ia berihram dari miqat Madinah, maka tidak mengapa baginya melewati miqat dalam keadaan belum berihram. Walaupun yang lebih utama adalah berihram ketika melewati miqat yang pertama” (Fatawa Al-Lajnah, 11/155). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: رجل جاء من جدة ، ولم يحرم ، أولاً ذهب إلى المدينة المنورة لزيارة المسجد النبوي ، ثم أحرم من ميقات أهل المدينة ، هل هذا صحيح ؟ “Ada seseorang yang datang ke kota Jeddah namun ia belum berihram. Karena pertama kali ia akan menuju ke kota Madinah Al-Munawwarah untuk mengunjungi Masjid An-Nabawi. Setelah itu barulah ia berihram di miqat penduduk Madinah. Apakah umrah atau hajinya sah?”. Beliau menjawab: لا بأس ، يعني: لو أن الإنسان جاء من بلده قاصداً المدينة أولاً ، ونزل في جدة ثم سافر من جدة إلى المدينة ثم رجع من المدينة محرماً من ميقات أهل المدينة ، فلا بأس “Ini tidak mengapa. Maksudnya, jika seseorang datang dari negerinya berniat untuk mengunjungi kota Madinah terlebih dahulu, lalu ia mendarat di kota Jeddah dan bersafar ke kota Madinah, kemudian setelah itu ia berihram dari Madinah di miqat-nya penduduk Madinah, ini tidak mengapa” (Liqa’ Babil Maftuh, no. 121). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?   🔍 Tabarruj, Umat Nabi Muhammad Di Akhirat, Qurban Untuk Keluarga, Makan Sebelum Shalat Idul Fitri Termasuk Hal Yang, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Ijazah Ilmu Hikmah 2017 Visited 1,088 times, 1 visit(s) today Post Views: 672 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Bolehkah seseorang yang pergi ke tanah suci untuk melakukan ibadah umrah, ia mendarat di kota Jeddah dalam keadaan belum berihram karena bermaksud untuk menuju ke kota Madinah terlebih dahulu? Setelah beberapa hari di kota Madinah, barulah ia berihram di Dzul Hulaifah untuk umrah dan kemudian melakukan perjalanan ke Mekkah. Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ulama menjelaskan bahwa praktik demikian diperbolehkan, karena ia ketika memasuki Jeddah belum berniat untuk umrah. Namun berniat untuk menuju ke kota Madinah. Maka tidak diharuskan untuk berihram sebelum mendarat di Jeddah.  Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ditanya: حاج ينوي الحج ولكنه له غرض في مكة ثم إلى المدينة ، وتجاوز الميقات ولم يحرم ، ودخل مكة ثم سافر إلى المدينة وأحرم من ميقات المدينة حاجاً . فما حكم تصرفه هذا ؟ “Seseorang berniat haji namun ia berencana untuk menuju ke Mekkah terlebih dahulu, kemudian ke Madinah. Dan ketika memasuki Mekkah, ia tidak berihram. Ia memasuki kota Mekkah kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Madinah. Lalu ia berihram untuk haji di miqat Madinah (Dzul Hulaifah). Apakah perbuatan seperti ini dibolehkan?”. Mereka menjawab: مادام أن الحاج خرج إلى ميقات أهل المدينة ، وأتى محرماً فلا شيء عليه في دخوله بدون إحرام ، وكان الأولى له أن يدخل من ميقاته الأول محرماً ” انتهى . “Selama orang tersebut keluar menuju miqat Madinah, kemudian ia berihram dari miqat Madinah, maka tidak mengapa baginya melewati miqat dalam keadaan belum berihram. Walaupun yang lebih utama adalah berihram ketika melewati miqat yang pertama” (Fatawa Al-Lajnah, 11/155). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: رجل جاء من جدة ، ولم يحرم ، أولاً ذهب إلى المدينة المنورة لزيارة المسجد النبوي ، ثم أحرم من ميقات أهل المدينة ، هل هذا صحيح ؟ “Ada seseorang yang datang ke kota Jeddah namun ia belum berihram. Karena pertama kali ia akan menuju ke kota Madinah Al-Munawwarah untuk mengunjungi Masjid An-Nabawi. Setelah itu barulah ia berihram di miqat penduduk Madinah. Apakah umrah atau hajinya sah?”. Beliau menjawab: لا بأس ، يعني: لو أن الإنسان جاء من بلده قاصداً المدينة أولاً ، ونزل في جدة ثم سافر من جدة إلى المدينة ثم رجع من المدينة محرماً من ميقات أهل المدينة ، فلا بأس “Ini tidak mengapa. Maksudnya, jika seseorang datang dari negerinya berniat untuk mengunjungi kota Madinah terlebih dahulu, lalu ia mendarat di kota Jeddah dan bersafar ke kota Madinah, kemudian setelah itu ia berihram dari Madinah di miqat-nya penduduk Madinah, ini tidak mengapa” (Liqa’ Babil Maftuh, no. 121). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?   🔍 Tabarruj, Umat Nabi Muhammad Di Akhirat, Qurban Untuk Keluarga, Makan Sebelum Shalat Idul Fitri Termasuk Hal Yang, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Ijazah Ilmu Hikmah 2017 Visited 1,088 times, 1 visit(s) today Post Views: 672 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Malapetaka Akhir Zaman dengan Hilangnya Ilmu Agama

Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, ‘Umar bin Hafsh menuturkan kepada kami. Dia berkata, ayahku menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-A’masy menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syaqiq menuturkan kepada kami. Dia berkata, suatu saat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk-duduk bersama. Mereka berdua pun berbincang-bincang. Abu Musa pun berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menjelang hari kiamat nanti akan ada hari-hari di mana ilmu itu diangkat, kebodohan turun/merebak di mana-mana, dan banyak terjadi al-harj.” Yang dimaksud dengan al-harj adalah pembunuhan. (Lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, Juz 13, hal. 16.) Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan, niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya …” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, karya Syekh Abdurrahman bin Mu’alla, hal. 28.) Syekh Abdullah bin Shalfiq hafizhahullah berkata, “… Bahwasanya salah satu pokok manhaj salaf adalah keterkaitan erat dengan ilmu dan para ulama. Dan bahwasanya hal ini termasuk perkara yang diwasiatkan Allah. Di dalamnya terkandung kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan dari segala fitnah. Karena sesungguhnya dengan perginya para ulama atau tidak adanya jalinan dengan mereka menyebabkan lenyapnya ilmu dan agama. Itu pula yang menyebabkan merebaknya kebodohan dan fitnah (kekacauan), sehingga manusia setelah mereka akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang mereka itu sesat lagi menyesatkan.” (Lihat Haqiqah Al-Manhaj As-Salafi, hal. 14.) Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu. Lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!” Ibnu Mas’ud menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 1: 133) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan, ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (Lihat Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98.) Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang melupakan Allah, niscaya Allah akan membuat dirinya lupa akan hakikat dan kemaslahatan dirinya. Sehingga orang itu pun akan lupa tentang hal-hal yang membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu, hidupnya berubah laksana gaya hidup binatang. Bahkan, bisa jadi binatang jauh lebih baik keadaannya daripada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah adalah pokok segala ilmu. Ilmu tentang Allah merupakan pondasi ilmu seorang hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Adapun kebodohan tentang Allah (baca: tidak paham tauhid) adalah sumber kehancuran dirinya. (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah, 1:312.) Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” (Lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36.) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan (untuk dikonsumsi) dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan (untuk dipahami, pent) sebanyak hembusan nafas.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah, 1: 248-249.) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu sebelum ia dicabut. Dan dicabutnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya orang yang membawanya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 196.) Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka, mereka pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar. Dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199.) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (Lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22.) Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163.) Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (Lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579.) Ubay bin Ka’ab berkata, “Pelajarilah ilmu dan beramallah dengannya. Janganlah kalian mencari ilmu untuk hanya berhias diri. Sesungguhnya hampir-hampir saja muncul apabila umur kalian masih panjang ketika ilmu dijadikan sebagai perhiasan seperti halnya seorang yang berhias diri dengan pakaiannya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 247.) Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadis sebagaimana datangnya (apa adanya, pen), maka dia adalah pembela sunah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata, maka dia adalah pembela bid’ah.” (Lihat Mukadimah Tahqiq Kitab Az-Zuhd, hal. 69.) Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim (ahli ilmu) orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Lihat Min A’lam As-Salaf, 2: 81.) Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain, maka sungguh dia telah terpedaya.” (Lihat Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 38.) Imam Ibnul Qayyim berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.) Syekh Shalih Al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid (keras)’ atau ‘si fulan itu begini dan begitu’ selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas sunnah, maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 104.) Ada yang berkata kepada Sa’id bin Jubair, “Apakah tanda kebinasaan umat manusia?” Maka, beliau menjawab, “Yaitu, tatkala para ulama meninggal di antara mereka.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi dalam tafsirnya.) Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, Aku mendengar Qutaibah berkata, “(Sufyan) Ats-Tsauri telah meninggal, maka matilah wara’ (sifat kehati-hatian). Syafi’i telah meninggal pula dan matilah sunah-sunah (hadis). Dan Ahmad bin Hanbal meninggal, sehingga merebaklah bid’ah-bid’ah.” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 49; dan Manaqib Al-A’immah Al-Arba’ah, hal. 115.) Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan, Aku mendengar Yahya bin Ja’far Al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku, niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu (agama).” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 118.) Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali rahimahullah berkata, “Demi Allah! Sungguh kematian seorang ‘alim/ahli ilmu lebih dicintai Iblis daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah.” (Lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 78.) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian di mana tukang ceramahnya banyak, namun ulamanya amat sedikit.” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama) Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula, seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (Dinukil dari Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “ ما من إنسان في الغالب أعطي الجدل إلا حرم بركة العلم ؛ لأن غالب من أوتي الجدل يريد بذلك نصرة قوله فقط ، وبذلك يحرم بركة العلم .. أما من أراد الحق ؛ فإن الحق سهل قريب ، لا يحتاج إلى مجادلات كبيرة ؛ لأنه واضح .. ولذلك تجد أهل البدع الذين يخاصمون في بدعهم علومهم ناقصة البركة لا خير فيها ، وتجد أنهم يخاصمون ويجادلون وينتهون إلى لا شيء ! .. لا ينتهون إلى الحق . ” “Tidaklah ada seorang insan (pada umumnya) yang diberikan hobi debat (berbantah-bantahan), kecuali dia pasti terhalang dari keberkahan ilmu. Karena kebanyakan orang diberi kepandaian mendebat (suka membantah) hanya ingin dengan debatnya itu untuk membela pendapatnya sendiri. Dengan sebab itulah ia terhalang dari keberkahan ilmu. Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka sesungguhnya kebenaran itu mudah dan dekat (tidak sulit diperoleh), ia tidak butuh kepada banyak perdebatan yang besar; karena kebenaran itu gamblang. Oleh sebab itu anda dapati bahwa ahli bid’ah yang suka membela kebid’ahan mereka dengan segala bentuk perdebatan (bantahan), ilmu mereka itu minim keberkahan, yaitu tidak ada kebaikan padanya sama sekali. Dan anda bisa jumpai bahwa mereka suka mendebat dan membantah hingga pada akhirnya mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa [yang bermanfaat]! … Artinya mereka tidak menggapai kebenaran.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, 2: 444.) Abu Abdillah Ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Lihat Al-Muntakhab min Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqa’iq, hal. 71) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menimba ilmu (agama) untuk bersikap lancang (membanggakan diri) kepada para ulama, atau untuk mendebat (melecehkan) orang-orang dungu, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (mencari ketenaran), maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, Al-Albani mengatakan hadis ini sahih lighairihi.) (Lihat Al-’Ilmu, Wasa’luhu wa Tsimaruhu, hal. 18) Hal ini mengisyaratkan bahwa penimba ilmu harus membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak berupa tipu daya (sifat curang), kotoran dosa, iri, dan dengki, ataupun keburukan akidah dan kejelekan akhlak. Ilmu adalah ibadah hati, dan tidak mungkin ilmu bisa diserap dengan baik, kecuali apabila hati itu bersih dari segala hal yang mengotorinya. Sahl rahimahullah berkata, “Haram bagi hati yang memendam sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk dimasuki cahaya (ilmu).” (Lihat kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jama’ah, halm. 86.) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) yang seharusnya dia pelajari demi mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla sedangkan ternyata dia justru mempelajarinya untuk mencari suatu bentuk kesenangan (perhiasan) dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain, dan dinyatakan sahih lighairihi oleh Al-Albani) (Lihat Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hlm. 11.) Baca juga: Wasiat Penting bagi Kaum Beriman di Zaman Fitnah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanmalapetaka

Malapetaka Akhir Zaman dengan Hilangnya Ilmu Agama

Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, ‘Umar bin Hafsh menuturkan kepada kami. Dia berkata, ayahku menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-A’masy menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syaqiq menuturkan kepada kami. Dia berkata, suatu saat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk-duduk bersama. Mereka berdua pun berbincang-bincang. Abu Musa pun berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menjelang hari kiamat nanti akan ada hari-hari di mana ilmu itu diangkat, kebodohan turun/merebak di mana-mana, dan banyak terjadi al-harj.” Yang dimaksud dengan al-harj adalah pembunuhan. (Lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, Juz 13, hal. 16.) Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan, niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya …” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, karya Syekh Abdurrahman bin Mu’alla, hal. 28.) Syekh Abdullah bin Shalfiq hafizhahullah berkata, “… Bahwasanya salah satu pokok manhaj salaf adalah keterkaitan erat dengan ilmu dan para ulama. Dan bahwasanya hal ini termasuk perkara yang diwasiatkan Allah. Di dalamnya terkandung kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan dari segala fitnah. Karena sesungguhnya dengan perginya para ulama atau tidak adanya jalinan dengan mereka menyebabkan lenyapnya ilmu dan agama. Itu pula yang menyebabkan merebaknya kebodohan dan fitnah (kekacauan), sehingga manusia setelah mereka akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang mereka itu sesat lagi menyesatkan.” (Lihat Haqiqah Al-Manhaj As-Salafi, hal. 14.) Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu. Lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!” Ibnu Mas’ud menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 1: 133) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan, ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (Lihat Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98.) Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang melupakan Allah, niscaya Allah akan membuat dirinya lupa akan hakikat dan kemaslahatan dirinya. Sehingga orang itu pun akan lupa tentang hal-hal yang membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu, hidupnya berubah laksana gaya hidup binatang. Bahkan, bisa jadi binatang jauh lebih baik keadaannya daripada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah adalah pokok segala ilmu. Ilmu tentang Allah merupakan pondasi ilmu seorang hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Adapun kebodohan tentang Allah (baca: tidak paham tauhid) adalah sumber kehancuran dirinya. (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah, 1:312.) Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” (Lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36.) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan (untuk dikonsumsi) dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan (untuk dipahami, pent) sebanyak hembusan nafas.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah, 1: 248-249.) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu sebelum ia dicabut. Dan dicabutnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya orang yang membawanya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 196.) Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka, mereka pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar. Dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199.) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (Lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22.) Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163.) Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (Lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579.) Ubay bin Ka’ab berkata, “Pelajarilah ilmu dan beramallah dengannya. Janganlah kalian mencari ilmu untuk hanya berhias diri. Sesungguhnya hampir-hampir saja muncul apabila umur kalian masih panjang ketika ilmu dijadikan sebagai perhiasan seperti halnya seorang yang berhias diri dengan pakaiannya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 247.) Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadis sebagaimana datangnya (apa adanya, pen), maka dia adalah pembela sunah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata, maka dia adalah pembela bid’ah.” (Lihat Mukadimah Tahqiq Kitab Az-Zuhd, hal. 69.) Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim (ahli ilmu) orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Lihat Min A’lam As-Salaf, 2: 81.) Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain, maka sungguh dia telah terpedaya.” (Lihat Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 38.) Imam Ibnul Qayyim berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.) Syekh Shalih Al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid (keras)’ atau ‘si fulan itu begini dan begitu’ selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas sunnah, maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 104.) Ada yang berkata kepada Sa’id bin Jubair, “Apakah tanda kebinasaan umat manusia?” Maka, beliau menjawab, “Yaitu, tatkala para ulama meninggal di antara mereka.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi dalam tafsirnya.) Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, Aku mendengar Qutaibah berkata, “(Sufyan) Ats-Tsauri telah meninggal, maka matilah wara’ (sifat kehati-hatian). Syafi’i telah meninggal pula dan matilah sunah-sunah (hadis). Dan Ahmad bin Hanbal meninggal, sehingga merebaklah bid’ah-bid’ah.” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 49; dan Manaqib Al-A’immah Al-Arba’ah, hal. 115.) Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan, Aku mendengar Yahya bin Ja’far Al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku, niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu (agama).” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 118.) Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali rahimahullah berkata, “Demi Allah! Sungguh kematian seorang ‘alim/ahli ilmu lebih dicintai Iblis daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah.” (Lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 78.) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian di mana tukang ceramahnya banyak, namun ulamanya amat sedikit.” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama) Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula, seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (Dinukil dari Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “ ما من إنسان في الغالب أعطي الجدل إلا حرم بركة العلم ؛ لأن غالب من أوتي الجدل يريد بذلك نصرة قوله فقط ، وبذلك يحرم بركة العلم .. أما من أراد الحق ؛ فإن الحق سهل قريب ، لا يحتاج إلى مجادلات كبيرة ؛ لأنه واضح .. ولذلك تجد أهل البدع الذين يخاصمون في بدعهم علومهم ناقصة البركة لا خير فيها ، وتجد أنهم يخاصمون ويجادلون وينتهون إلى لا شيء ! .. لا ينتهون إلى الحق . ” “Tidaklah ada seorang insan (pada umumnya) yang diberikan hobi debat (berbantah-bantahan), kecuali dia pasti terhalang dari keberkahan ilmu. Karena kebanyakan orang diberi kepandaian mendebat (suka membantah) hanya ingin dengan debatnya itu untuk membela pendapatnya sendiri. Dengan sebab itulah ia terhalang dari keberkahan ilmu. Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka sesungguhnya kebenaran itu mudah dan dekat (tidak sulit diperoleh), ia tidak butuh kepada banyak perdebatan yang besar; karena kebenaran itu gamblang. Oleh sebab itu anda dapati bahwa ahli bid’ah yang suka membela kebid’ahan mereka dengan segala bentuk perdebatan (bantahan), ilmu mereka itu minim keberkahan, yaitu tidak ada kebaikan padanya sama sekali. Dan anda bisa jumpai bahwa mereka suka mendebat dan membantah hingga pada akhirnya mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa [yang bermanfaat]! … Artinya mereka tidak menggapai kebenaran.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, 2: 444.) Abu Abdillah Ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Lihat Al-Muntakhab min Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqa’iq, hal. 71) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menimba ilmu (agama) untuk bersikap lancang (membanggakan diri) kepada para ulama, atau untuk mendebat (melecehkan) orang-orang dungu, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (mencari ketenaran), maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, Al-Albani mengatakan hadis ini sahih lighairihi.) (Lihat Al-’Ilmu, Wasa’luhu wa Tsimaruhu, hal. 18) Hal ini mengisyaratkan bahwa penimba ilmu harus membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak berupa tipu daya (sifat curang), kotoran dosa, iri, dan dengki, ataupun keburukan akidah dan kejelekan akhlak. Ilmu adalah ibadah hati, dan tidak mungkin ilmu bisa diserap dengan baik, kecuali apabila hati itu bersih dari segala hal yang mengotorinya. Sahl rahimahullah berkata, “Haram bagi hati yang memendam sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk dimasuki cahaya (ilmu).” (Lihat kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jama’ah, halm. 86.) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) yang seharusnya dia pelajari demi mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla sedangkan ternyata dia justru mempelajarinya untuk mencari suatu bentuk kesenangan (perhiasan) dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain, dan dinyatakan sahih lighairihi oleh Al-Albani) (Lihat Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hlm. 11.) Baca juga: Wasiat Penting bagi Kaum Beriman di Zaman Fitnah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanmalapetaka
Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, ‘Umar bin Hafsh menuturkan kepada kami. Dia berkata, ayahku menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-A’masy menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syaqiq menuturkan kepada kami. Dia berkata, suatu saat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk-duduk bersama. Mereka berdua pun berbincang-bincang. Abu Musa pun berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menjelang hari kiamat nanti akan ada hari-hari di mana ilmu itu diangkat, kebodohan turun/merebak di mana-mana, dan banyak terjadi al-harj.” Yang dimaksud dengan al-harj adalah pembunuhan. (Lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, Juz 13, hal. 16.) Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan, niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya …” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, karya Syekh Abdurrahman bin Mu’alla, hal. 28.) Syekh Abdullah bin Shalfiq hafizhahullah berkata, “… Bahwasanya salah satu pokok manhaj salaf adalah keterkaitan erat dengan ilmu dan para ulama. Dan bahwasanya hal ini termasuk perkara yang diwasiatkan Allah. Di dalamnya terkandung kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan dari segala fitnah. Karena sesungguhnya dengan perginya para ulama atau tidak adanya jalinan dengan mereka menyebabkan lenyapnya ilmu dan agama. Itu pula yang menyebabkan merebaknya kebodohan dan fitnah (kekacauan), sehingga manusia setelah mereka akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang mereka itu sesat lagi menyesatkan.” (Lihat Haqiqah Al-Manhaj As-Salafi, hal. 14.) Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu. Lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!” Ibnu Mas’ud menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 1: 133) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan, ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (Lihat Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98.) Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang melupakan Allah, niscaya Allah akan membuat dirinya lupa akan hakikat dan kemaslahatan dirinya. Sehingga orang itu pun akan lupa tentang hal-hal yang membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu, hidupnya berubah laksana gaya hidup binatang. Bahkan, bisa jadi binatang jauh lebih baik keadaannya daripada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah adalah pokok segala ilmu. Ilmu tentang Allah merupakan pondasi ilmu seorang hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Adapun kebodohan tentang Allah (baca: tidak paham tauhid) adalah sumber kehancuran dirinya. (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah, 1:312.) Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” (Lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36.) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan (untuk dikonsumsi) dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan (untuk dipahami, pent) sebanyak hembusan nafas.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah, 1: 248-249.) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu sebelum ia dicabut. Dan dicabutnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya orang yang membawanya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 196.) Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka, mereka pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar. Dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199.) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (Lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22.) Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163.) Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (Lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579.) Ubay bin Ka’ab berkata, “Pelajarilah ilmu dan beramallah dengannya. Janganlah kalian mencari ilmu untuk hanya berhias diri. Sesungguhnya hampir-hampir saja muncul apabila umur kalian masih panjang ketika ilmu dijadikan sebagai perhiasan seperti halnya seorang yang berhias diri dengan pakaiannya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 247.) Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadis sebagaimana datangnya (apa adanya, pen), maka dia adalah pembela sunah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata, maka dia adalah pembela bid’ah.” (Lihat Mukadimah Tahqiq Kitab Az-Zuhd, hal. 69.) Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim (ahli ilmu) orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Lihat Min A’lam As-Salaf, 2: 81.) Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain, maka sungguh dia telah terpedaya.” (Lihat Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 38.) Imam Ibnul Qayyim berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.) Syekh Shalih Al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid (keras)’ atau ‘si fulan itu begini dan begitu’ selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas sunnah, maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 104.) Ada yang berkata kepada Sa’id bin Jubair, “Apakah tanda kebinasaan umat manusia?” Maka, beliau menjawab, “Yaitu, tatkala para ulama meninggal di antara mereka.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi dalam tafsirnya.) Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, Aku mendengar Qutaibah berkata, “(Sufyan) Ats-Tsauri telah meninggal, maka matilah wara’ (sifat kehati-hatian). Syafi’i telah meninggal pula dan matilah sunah-sunah (hadis). Dan Ahmad bin Hanbal meninggal, sehingga merebaklah bid’ah-bid’ah.” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 49; dan Manaqib Al-A’immah Al-Arba’ah, hal. 115.) Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan, Aku mendengar Yahya bin Ja’far Al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku, niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu (agama).” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 118.) Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali rahimahullah berkata, “Demi Allah! Sungguh kematian seorang ‘alim/ahli ilmu lebih dicintai Iblis daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah.” (Lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 78.) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian di mana tukang ceramahnya banyak, namun ulamanya amat sedikit.” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama) Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula, seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (Dinukil dari Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “ ما من إنسان في الغالب أعطي الجدل إلا حرم بركة العلم ؛ لأن غالب من أوتي الجدل يريد بذلك نصرة قوله فقط ، وبذلك يحرم بركة العلم .. أما من أراد الحق ؛ فإن الحق سهل قريب ، لا يحتاج إلى مجادلات كبيرة ؛ لأنه واضح .. ولذلك تجد أهل البدع الذين يخاصمون في بدعهم علومهم ناقصة البركة لا خير فيها ، وتجد أنهم يخاصمون ويجادلون وينتهون إلى لا شيء ! .. لا ينتهون إلى الحق . ” “Tidaklah ada seorang insan (pada umumnya) yang diberikan hobi debat (berbantah-bantahan), kecuali dia pasti terhalang dari keberkahan ilmu. Karena kebanyakan orang diberi kepandaian mendebat (suka membantah) hanya ingin dengan debatnya itu untuk membela pendapatnya sendiri. Dengan sebab itulah ia terhalang dari keberkahan ilmu. Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka sesungguhnya kebenaran itu mudah dan dekat (tidak sulit diperoleh), ia tidak butuh kepada banyak perdebatan yang besar; karena kebenaran itu gamblang. Oleh sebab itu anda dapati bahwa ahli bid’ah yang suka membela kebid’ahan mereka dengan segala bentuk perdebatan (bantahan), ilmu mereka itu minim keberkahan, yaitu tidak ada kebaikan padanya sama sekali. Dan anda bisa jumpai bahwa mereka suka mendebat dan membantah hingga pada akhirnya mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa [yang bermanfaat]! … Artinya mereka tidak menggapai kebenaran.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, 2: 444.) Abu Abdillah Ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Lihat Al-Muntakhab min Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqa’iq, hal. 71) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menimba ilmu (agama) untuk bersikap lancang (membanggakan diri) kepada para ulama, atau untuk mendebat (melecehkan) orang-orang dungu, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (mencari ketenaran), maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, Al-Albani mengatakan hadis ini sahih lighairihi.) (Lihat Al-’Ilmu, Wasa’luhu wa Tsimaruhu, hal. 18) Hal ini mengisyaratkan bahwa penimba ilmu harus membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak berupa tipu daya (sifat curang), kotoran dosa, iri, dan dengki, ataupun keburukan akidah dan kejelekan akhlak. Ilmu adalah ibadah hati, dan tidak mungkin ilmu bisa diserap dengan baik, kecuali apabila hati itu bersih dari segala hal yang mengotorinya. Sahl rahimahullah berkata, “Haram bagi hati yang memendam sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk dimasuki cahaya (ilmu).” (Lihat kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jama’ah, halm. 86.) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) yang seharusnya dia pelajari demi mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla sedangkan ternyata dia justru mempelajarinya untuk mencari suatu bentuk kesenangan (perhiasan) dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain, dan dinyatakan sahih lighairihi oleh Al-Albani) (Lihat Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hlm. 11.) Baca juga: Wasiat Penting bagi Kaum Beriman di Zaman Fitnah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanmalapetaka


Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, ‘Umar bin Hafsh menuturkan kepada kami. Dia berkata, ayahku menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-A’masy menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syaqiq menuturkan kepada kami. Dia berkata, suatu saat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk-duduk bersama. Mereka berdua pun berbincang-bincang. Abu Musa pun berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menjelang hari kiamat nanti akan ada hari-hari di mana ilmu itu diangkat, kebodohan turun/merebak di mana-mana, dan banyak terjadi al-harj.” Yang dimaksud dengan al-harj adalah pembunuhan. (Lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, Juz 13, hal. 16.) Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan, niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya …” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, karya Syekh Abdurrahman bin Mu’alla, hal. 28.) Syekh Abdullah bin Shalfiq hafizhahullah berkata, “… Bahwasanya salah satu pokok manhaj salaf adalah keterkaitan erat dengan ilmu dan para ulama. Dan bahwasanya hal ini termasuk perkara yang diwasiatkan Allah. Di dalamnya terkandung kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan dari segala fitnah. Karena sesungguhnya dengan perginya para ulama atau tidak adanya jalinan dengan mereka menyebabkan lenyapnya ilmu dan agama. Itu pula yang menyebabkan merebaknya kebodohan dan fitnah (kekacauan), sehingga manusia setelah mereka akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang mereka itu sesat lagi menyesatkan.” (Lihat Haqiqah Al-Manhaj As-Salafi, hal. 14.) Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu. Lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!” Ibnu Mas’ud menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 1: 133) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan, ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (Lihat Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98.) Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang melupakan Allah, niscaya Allah akan membuat dirinya lupa akan hakikat dan kemaslahatan dirinya. Sehingga orang itu pun akan lupa tentang hal-hal yang membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu, hidupnya berubah laksana gaya hidup binatang. Bahkan, bisa jadi binatang jauh lebih baik keadaannya daripada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah adalah pokok segala ilmu. Ilmu tentang Allah merupakan pondasi ilmu seorang hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Adapun kebodohan tentang Allah (baca: tidak paham tauhid) adalah sumber kehancuran dirinya. (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah, 1:312.) Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” (Lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36.) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan (untuk dikonsumsi) dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan (untuk dipahami, pent) sebanyak hembusan nafas.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah, 1: 248-249.) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu sebelum ia dicabut. Dan dicabutnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya orang yang membawanya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 196.) Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka, mereka pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar. Dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199.) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (Lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22.) Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163.) Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (Lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579.) Ubay bin Ka’ab berkata, “Pelajarilah ilmu dan beramallah dengannya. Janganlah kalian mencari ilmu untuk hanya berhias diri. Sesungguhnya hampir-hampir saja muncul apabila umur kalian masih panjang ketika ilmu dijadikan sebagai perhiasan seperti halnya seorang yang berhias diri dengan pakaiannya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 247.) Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadis sebagaimana datangnya (apa adanya, pen), maka dia adalah pembela sunah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata, maka dia adalah pembela bid’ah.” (Lihat Mukadimah Tahqiq Kitab Az-Zuhd, hal. 69.) Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim (ahli ilmu) orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Lihat Min A’lam As-Salaf, 2: 81.) Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain, maka sungguh dia telah terpedaya.” (Lihat Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 38.) Imam Ibnul Qayyim berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.) Syekh Shalih Al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid (keras)’ atau ‘si fulan itu begini dan begitu’ selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas sunnah, maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 104.) Ada yang berkata kepada Sa’id bin Jubair, “Apakah tanda kebinasaan umat manusia?” Maka, beliau menjawab, “Yaitu, tatkala para ulama meninggal di antara mereka.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi dalam tafsirnya.) Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, Aku mendengar Qutaibah berkata, “(Sufyan) Ats-Tsauri telah meninggal, maka matilah wara’ (sifat kehati-hatian). Syafi’i telah meninggal pula dan matilah sunah-sunah (hadis). Dan Ahmad bin Hanbal meninggal, sehingga merebaklah bid’ah-bid’ah.” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 49; dan Manaqib Al-A’immah Al-Arba’ah, hal. 115.) Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan, Aku mendengar Yahya bin Ja’far Al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku, niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu (agama).” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 118.) Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali rahimahullah berkata, “Demi Allah! Sungguh kematian seorang ‘alim/ahli ilmu lebih dicintai Iblis daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah.” (Lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 78.) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian di mana tukang ceramahnya banyak, namun ulamanya amat sedikit.” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama) Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula, seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (Dinukil dari Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “ ما من إنسان في الغالب أعطي الجدل إلا حرم بركة العلم ؛ لأن غالب من أوتي الجدل يريد بذلك نصرة قوله فقط ، وبذلك يحرم بركة العلم .. أما من أراد الحق ؛ فإن الحق سهل قريب ، لا يحتاج إلى مجادلات كبيرة ؛ لأنه واضح .. ولذلك تجد أهل البدع الذين يخاصمون في بدعهم علومهم ناقصة البركة لا خير فيها ، وتجد أنهم يخاصمون ويجادلون وينتهون إلى لا شيء ! .. لا ينتهون إلى الحق . ” “Tidaklah ada seorang insan (pada umumnya) yang diberikan hobi debat (berbantah-bantahan), kecuali dia pasti terhalang dari keberkahan ilmu. Karena kebanyakan orang diberi kepandaian mendebat (suka membantah) hanya ingin dengan debatnya itu untuk membela pendapatnya sendiri. Dengan sebab itulah ia terhalang dari keberkahan ilmu. Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka sesungguhnya kebenaran itu mudah dan dekat (tidak sulit diperoleh), ia tidak butuh kepada banyak perdebatan yang besar; karena kebenaran itu gamblang. Oleh sebab itu anda dapati bahwa ahli bid’ah yang suka membela kebid’ahan mereka dengan segala bentuk perdebatan (bantahan), ilmu mereka itu minim keberkahan, yaitu tidak ada kebaikan padanya sama sekali. Dan anda bisa jumpai bahwa mereka suka mendebat dan membantah hingga pada akhirnya mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa [yang bermanfaat]! … Artinya mereka tidak menggapai kebenaran.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, 2: 444.) Abu Abdillah Ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Lihat Al-Muntakhab min Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqa’iq, hal. 71) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menimba ilmu (agama) untuk bersikap lancang (membanggakan diri) kepada para ulama, atau untuk mendebat (melecehkan) orang-orang dungu, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (mencari ketenaran), maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, Al-Albani mengatakan hadis ini sahih lighairihi.) (Lihat Al-’Ilmu, Wasa’luhu wa Tsimaruhu, hal. 18) Hal ini mengisyaratkan bahwa penimba ilmu harus membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak berupa tipu daya (sifat curang), kotoran dosa, iri, dan dengki, ataupun keburukan akidah dan kejelekan akhlak. Ilmu adalah ibadah hati, dan tidak mungkin ilmu bisa diserap dengan baik, kecuali apabila hati itu bersih dari segala hal yang mengotorinya. Sahl rahimahullah berkata, “Haram bagi hati yang memendam sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk dimasuki cahaya (ilmu).” (Lihat kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jama’ah, halm. 86.) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) yang seharusnya dia pelajari demi mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla sedangkan ternyata dia justru mempelajarinya untuk mencari suatu bentuk kesenangan (perhiasan) dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain, dan dinyatakan sahih lighairihi oleh Al-Albani) (Lihat Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hlm. 11.) Baca juga: Wasiat Penting bagi Kaum Beriman di Zaman Fitnah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanmalapetaka

Permasalahan Seputar Basmalah di Awal Wudu

Daftar Isi Toggle Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim?Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu?Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Basmalah atau ucapan “bismillahirrahmanirrahim” merupakan kalimat mulia yang paling sering diucapkan oleh seorang muslim. Dengannya, Al-Qur’an dimulai dan dengannya pula, syariat Islam memerintahkan kita untuk membacanya di setiap perbuatan baik. Termasuk di dalamnya adalah tatkala akan berwudu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca basmalah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) Hadis ini diriwayatkan oleh sembilan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan betapa pentingnya perkara ini bagi seorang muslim. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan kepada para sahabatnya agar senantiasa membaca basmalah di setiap wudu mereka. Hanya saja wahai saudaraku, ada beberapa permasalahan seputar basmalah di awal wudu yang bisa kita pelajari lebih lanjut dalam pembahasan artikel kali ini. Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim? Pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan lafaz basmalah di awal wudu adalah dengan mengucapkan “bismillah” saja tanpa dibaca secara lengkap. Karena bacaan inilah yang terdapat dalam ayat dan hadis-hadis yang memerintahkan kita untuk mengucapkan basmalah di setiap kegiatan sehari-hari kita, seperti ayat yang menceritakan tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam tatkala menaiki bahtera, وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah (bismillah) di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Hud: 41) Atau seperti yang terdapat di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala berbicara kepada seorang anak, يا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وكُلْ بيَمِينِكَ، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ  “Wahai anak, sebutlah nama Allah (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022) Adapun menyempurnakan dengan bismillahirrahmanirrahim, maka hukumnya boleh dan tidak terlarang. Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Mazhab Zahiriyah, salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah, dan Hasan Al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa membaca basmalah di awal wudu hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) “Tidak ada wudu” di dalam hadis tersebut bermakna tidak ada wudu yang sah apabila tidak membaca basmalah. Adapun pendapat kedua dan ini merupakan pendapat yang lebih kuat serta dipegang oleh mayoritas ulama adalah pendapat yang menyatakan bahwa basmalah di awal wudu hukumnya sunah muakadah dan bukan wajib. Karena di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ “Berwudulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Tirmidzi no. 302. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 247.) Sedangkan sifat wudu sebagaimana yang diperintahkan Allah berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Berwudu yang diperintahkan pada ayat di atas tidak menyebutkan perintah membaca basmalah. Sehingga basmalah tidak termasuk kewajiban dalam wudu. Dan juga, tidak ada satu pun dari para sahabat yang meriwayatkan sifat dan tata cara wudu Nabi yang menyebutkan basmalah di awal wudu, padahal kita tahu mereka meriwayatkan hadis tersebut dalam rangka mengajarkan dan menyampaikan pelajaran kepada kita. Sedangkan dalam syariat terdapat kaidah, لا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.” Adapun mengenai hadis yang menyatakan, “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” Maka, maknanya adalah tidak ada wudu yang sempurna dan bukan tidak ada wudu yang sah. Karena tata cara wudu yang sah yang dijelaskan di dalam hadis-hadis Nabi tidak menyebutkan kewajiban membaca basmalah. Baca juga: Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Imamah dan Kerudung ketika Wudu Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Apabila seseorang berwudu di dalam toilet yang digunakan untuk buang air, maka akan timbul sebuah permasalahan. Yaitu, bersinggungannya hukum makruh dan terlarangnya pengucapan nama Allah di tempat-tempat seperti ini dengan anjuran membaca basmalah di awal wudu. Sebagian ulama mengambil solusi dengan cara menyebutkan lafaz basmalah di dalam hati saja tanpa perlu melafalkannya dengan lisan. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukum anjuran membaca basmalah lebih diutamakan dari pelarangan penyebutan nama Allah di dalam kamar mandi/toilet. Sehingga seorang muslim boleh melafalkan dengan lisannya tanpa adanya pelarangan dan keberatan dari syariat. Syekh Binbaz menyebutkan, “Boleh hukumnya wudu di dalam kamar mandi apabila mendesak dan kita membutuhkan hal tersebut, maka ia membaca basmalah di awal wudu dengan mengucapkan “bismillah”, karena basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sunah muakadah menurut sebagian besar ulama lainnya. Ia boleh membacanya dan hilang kemakruhannya. Karena hukum makruh hilang dengan adanya kebutuhan membaca basmalah. Seorang muslim dituntut untuk mengucapkan basmalah di awal wudu, maka ia membaca basmalah dan melanjutkan wudunya.” (Majmu Fatawa Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah, 10: 28.) Syekh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan, “Membaca basmalah di kamar mandi dan yang semisalnya hukumnya tidak mengapa, karena kamar mandi-kamar mandi tersebut di masa sekarang cenderung sudah bersih, air akan menghilangkan dan mensucikan najis yang ada di tempat-tempat tersebut. Jikalau seseorang lebih memilih untuk mengucapkan basmalah dengan hatinya saja, tanpa melafalkannya dengan lisan, tentu ini adalah kebaikan.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi, 3: 117.) Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Sunah-Sunah Wudu yang Sering Dilalaikan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: basmalahwudu

Permasalahan Seputar Basmalah di Awal Wudu

Daftar Isi Toggle Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim?Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu?Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Basmalah atau ucapan “bismillahirrahmanirrahim” merupakan kalimat mulia yang paling sering diucapkan oleh seorang muslim. Dengannya, Al-Qur’an dimulai dan dengannya pula, syariat Islam memerintahkan kita untuk membacanya di setiap perbuatan baik. Termasuk di dalamnya adalah tatkala akan berwudu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca basmalah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) Hadis ini diriwayatkan oleh sembilan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan betapa pentingnya perkara ini bagi seorang muslim. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan kepada para sahabatnya agar senantiasa membaca basmalah di setiap wudu mereka. Hanya saja wahai saudaraku, ada beberapa permasalahan seputar basmalah di awal wudu yang bisa kita pelajari lebih lanjut dalam pembahasan artikel kali ini. Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim? Pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan lafaz basmalah di awal wudu adalah dengan mengucapkan “bismillah” saja tanpa dibaca secara lengkap. Karena bacaan inilah yang terdapat dalam ayat dan hadis-hadis yang memerintahkan kita untuk mengucapkan basmalah di setiap kegiatan sehari-hari kita, seperti ayat yang menceritakan tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam tatkala menaiki bahtera, وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah (bismillah) di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Hud: 41) Atau seperti yang terdapat di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala berbicara kepada seorang anak, يا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وكُلْ بيَمِينِكَ، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ  “Wahai anak, sebutlah nama Allah (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022) Adapun menyempurnakan dengan bismillahirrahmanirrahim, maka hukumnya boleh dan tidak terlarang. Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Mazhab Zahiriyah, salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah, dan Hasan Al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa membaca basmalah di awal wudu hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) “Tidak ada wudu” di dalam hadis tersebut bermakna tidak ada wudu yang sah apabila tidak membaca basmalah. Adapun pendapat kedua dan ini merupakan pendapat yang lebih kuat serta dipegang oleh mayoritas ulama adalah pendapat yang menyatakan bahwa basmalah di awal wudu hukumnya sunah muakadah dan bukan wajib. Karena di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ “Berwudulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Tirmidzi no. 302. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 247.) Sedangkan sifat wudu sebagaimana yang diperintahkan Allah berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Berwudu yang diperintahkan pada ayat di atas tidak menyebutkan perintah membaca basmalah. Sehingga basmalah tidak termasuk kewajiban dalam wudu. Dan juga, tidak ada satu pun dari para sahabat yang meriwayatkan sifat dan tata cara wudu Nabi yang menyebutkan basmalah di awal wudu, padahal kita tahu mereka meriwayatkan hadis tersebut dalam rangka mengajarkan dan menyampaikan pelajaran kepada kita. Sedangkan dalam syariat terdapat kaidah, لا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.” Adapun mengenai hadis yang menyatakan, “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” Maka, maknanya adalah tidak ada wudu yang sempurna dan bukan tidak ada wudu yang sah. Karena tata cara wudu yang sah yang dijelaskan di dalam hadis-hadis Nabi tidak menyebutkan kewajiban membaca basmalah. Baca juga: Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Imamah dan Kerudung ketika Wudu Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Apabila seseorang berwudu di dalam toilet yang digunakan untuk buang air, maka akan timbul sebuah permasalahan. Yaitu, bersinggungannya hukum makruh dan terlarangnya pengucapan nama Allah di tempat-tempat seperti ini dengan anjuran membaca basmalah di awal wudu. Sebagian ulama mengambil solusi dengan cara menyebutkan lafaz basmalah di dalam hati saja tanpa perlu melafalkannya dengan lisan. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukum anjuran membaca basmalah lebih diutamakan dari pelarangan penyebutan nama Allah di dalam kamar mandi/toilet. Sehingga seorang muslim boleh melafalkan dengan lisannya tanpa adanya pelarangan dan keberatan dari syariat. Syekh Binbaz menyebutkan, “Boleh hukumnya wudu di dalam kamar mandi apabila mendesak dan kita membutuhkan hal tersebut, maka ia membaca basmalah di awal wudu dengan mengucapkan “bismillah”, karena basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sunah muakadah menurut sebagian besar ulama lainnya. Ia boleh membacanya dan hilang kemakruhannya. Karena hukum makruh hilang dengan adanya kebutuhan membaca basmalah. Seorang muslim dituntut untuk mengucapkan basmalah di awal wudu, maka ia membaca basmalah dan melanjutkan wudunya.” (Majmu Fatawa Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah, 10: 28.) Syekh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan, “Membaca basmalah di kamar mandi dan yang semisalnya hukumnya tidak mengapa, karena kamar mandi-kamar mandi tersebut di masa sekarang cenderung sudah bersih, air akan menghilangkan dan mensucikan najis yang ada di tempat-tempat tersebut. Jikalau seseorang lebih memilih untuk mengucapkan basmalah dengan hatinya saja, tanpa melafalkannya dengan lisan, tentu ini adalah kebaikan.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi, 3: 117.) Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Sunah-Sunah Wudu yang Sering Dilalaikan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: basmalahwudu
Daftar Isi Toggle Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim?Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu?Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Basmalah atau ucapan “bismillahirrahmanirrahim” merupakan kalimat mulia yang paling sering diucapkan oleh seorang muslim. Dengannya, Al-Qur’an dimulai dan dengannya pula, syariat Islam memerintahkan kita untuk membacanya di setiap perbuatan baik. Termasuk di dalamnya adalah tatkala akan berwudu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca basmalah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) Hadis ini diriwayatkan oleh sembilan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan betapa pentingnya perkara ini bagi seorang muslim. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan kepada para sahabatnya agar senantiasa membaca basmalah di setiap wudu mereka. Hanya saja wahai saudaraku, ada beberapa permasalahan seputar basmalah di awal wudu yang bisa kita pelajari lebih lanjut dalam pembahasan artikel kali ini. Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim? Pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan lafaz basmalah di awal wudu adalah dengan mengucapkan “bismillah” saja tanpa dibaca secara lengkap. Karena bacaan inilah yang terdapat dalam ayat dan hadis-hadis yang memerintahkan kita untuk mengucapkan basmalah di setiap kegiatan sehari-hari kita, seperti ayat yang menceritakan tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam tatkala menaiki bahtera, وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah (bismillah) di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Hud: 41) Atau seperti yang terdapat di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala berbicara kepada seorang anak, يا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وكُلْ بيَمِينِكَ، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ  “Wahai anak, sebutlah nama Allah (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022) Adapun menyempurnakan dengan bismillahirrahmanirrahim, maka hukumnya boleh dan tidak terlarang. Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Mazhab Zahiriyah, salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah, dan Hasan Al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa membaca basmalah di awal wudu hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) “Tidak ada wudu” di dalam hadis tersebut bermakna tidak ada wudu yang sah apabila tidak membaca basmalah. Adapun pendapat kedua dan ini merupakan pendapat yang lebih kuat serta dipegang oleh mayoritas ulama adalah pendapat yang menyatakan bahwa basmalah di awal wudu hukumnya sunah muakadah dan bukan wajib. Karena di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ “Berwudulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Tirmidzi no. 302. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 247.) Sedangkan sifat wudu sebagaimana yang diperintahkan Allah berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Berwudu yang diperintahkan pada ayat di atas tidak menyebutkan perintah membaca basmalah. Sehingga basmalah tidak termasuk kewajiban dalam wudu. Dan juga, tidak ada satu pun dari para sahabat yang meriwayatkan sifat dan tata cara wudu Nabi yang menyebutkan basmalah di awal wudu, padahal kita tahu mereka meriwayatkan hadis tersebut dalam rangka mengajarkan dan menyampaikan pelajaran kepada kita. Sedangkan dalam syariat terdapat kaidah, لا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.” Adapun mengenai hadis yang menyatakan, “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” Maka, maknanya adalah tidak ada wudu yang sempurna dan bukan tidak ada wudu yang sah. Karena tata cara wudu yang sah yang dijelaskan di dalam hadis-hadis Nabi tidak menyebutkan kewajiban membaca basmalah. Baca juga: Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Imamah dan Kerudung ketika Wudu Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Apabila seseorang berwudu di dalam toilet yang digunakan untuk buang air, maka akan timbul sebuah permasalahan. Yaitu, bersinggungannya hukum makruh dan terlarangnya pengucapan nama Allah di tempat-tempat seperti ini dengan anjuran membaca basmalah di awal wudu. Sebagian ulama mengambil solusi dengan cara menyebutkan lafaz basmalah di dalam hati saja tanpa perlu melafalkannya dengan lisan. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukum anjuran membaca basmalah lebih diutamakan dari pelarangan penyebutan nama Allah di dalam kamar mandi/toilet. Sehingga seorang muslim boleh melafalkan dengan lisannya tanpa adanya pelarangan dan keberatan dari syariat. Syekh Binbaz menyebutkan, “Boleh hukumnya wudu di dalam kamar mandi apabila mendesak dan kita membutuhkan hal tersebut, maka ia membaca basmalah di awal wudu dengan mengucapkan “bismillah”, karena basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sunah muakadah menurut sebagian besar ulama lainnya. Ia boleh membacanya dan hilang kemakruhannya. Karena hukum makruh hilang dengan adanya kebutuhan membaca basmalah. Seorang muslim dituntut untuk mengucapkan basmalah di awal wudu, maka ia membaca basmalah dan melanjutkan wudunya.” (Majmu Fatawa Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah, 10: 28.) Syekh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan, “Membaca basmalah di kamar mandi dan yang semisalnya hukumnya tidak mengapa, karena kamar mandi-kamar mandi tersebut di masa sekarang cenderung sudah bersih, air akan menghilangkan dan mensucikan najis yang ada di tempat-tempat tersebut. Jikalau seseorang lebih memilih untuk mengucapkan basmalah dengan hatinya saja, tanpa melafalkannya dengan lisan, tentu ini adalah kebaikan.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi, 3: 117.) Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Sunah-Sunah Wudu yang Sering Dilalaikan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: basmalahwudu


Daftar Isi Toggle Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim?Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu?Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Basmalah atau ucapan “bismillahirrahmanirrahim” merupakan kalimat mulia yang paling sering diucapkan oleh seorang muslim. Dengannya, Al-Qur’an dimulai dan dengannya pula, syariat Islam memerintahkan kita untuk membacanya di setiap perbuatan baik. Termasuk di dalamnya adalah tatkala akan berwudu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca basmalah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) Hadis ini diriwayatkan oleh sembilan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan betapa pentingnya perkara ini bagi seorang muslim. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan kepada para sahabatnya agar senantiasa membaca basmalah di setiap wudu mereka. Hanya saja wahai saudaraku, ada beberapa permasalahan seputar basmalah di awal wudu yang bisa kita pelajari lebih lanjut dalam pembahasan artikel kali ini. Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim? Pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan lafaz basmalah di awal wudu adalah dengan mengucapkan “bismillah” saja tanpa dibaca secara lengkap. Karena bacaan inilah yang terdapat dalam ayat dan hadis-hadis yang memerintahkan kita untuk mengucapkan basmalah di setiap kegiatan sehari-hari kita, seperti ayat yang menceritakan tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam tatkala menaiki bahtera, وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah (bismillah) di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Hud: 41) Atau seperti yang terdapat di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala berbicara kepada seorang anak, يا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وكُلْ بيَمِينِكَ، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ  “Wahai anak, sebutlah nama Allah (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022) Adapun menyempurnakan dengan bismillahirrahmanirrahim, maka hukumnya boleh dan tidak terlarang. Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Mazhab Zahiriyah, salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah, dan Hasan Al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa membaca basmalah di awal wudu hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) “Tidak ada wudu” di dalam hadis tersebut bermakna tidak ada wudu yang sah apabila tidak membaca basmalah. Adapun pendapat kedua dan ini merupakan pendapat yang lebih kuat serta dipegang oleh mayoritas ulama adalah pendapat yang menyatakan bahwa basmalah di awal wudu hukumnya sunah muakadah dan bukan wajib. Karena di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ “Berwudulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Tirmidzi no. 302. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 247.) Sedangkan sifat wudu sebagaimana yang diperintahkan Allah berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Berwudu yang diperintahkan pada ayat di atas tidak menyebutkan perintah membaca basmalah. Sehingga basmalah tidak termasuk kewajiban dalam wudu. Dan juga, tidak ada satu pun dari para sahabat yang meriwayatkan sifat dan tata cara wudu Nabi yang menyebutkan basmalah di awal wudu, padahal kita tahu mereka meriwayatkan hadis tersebut dalam rangka mengajarkan dan menyampaikan pelajaran kepada kita. Sedangkan dalam syariat terdapat kaidah, لا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.” Adapun mengenai hadis yang menyatakan, “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” Maka, maknanya adalah tidak ada wudu yang sempurna dan bukan tidak ada wudu yang sah. Karena tata cara wudu yang sah yang dijelaskan di dalam hadis-hadis Nabi tidak menyebutkan kewajiban membaca basmalah. Baca juga: Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Imamah dan Kerudung ketika Wudu Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Apabila seseorang berwudu di dalam toilet yang digunakan untuk buang air, maka akan timbul sebuah permasalahan. Yaitu, bersinggungannya hukum makruh dan terlarangnya pengucapan nama Allah di tempat-tempat seperti ini dengan anjuran membaca basmalah di awal wudu. Sebagian ulama mengambil solusi dengan cara menyebutkan lafaz basmalah di dalam hati saja tanpa perlu melafalkannya dengan lisan. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukum anjuran membaca basmalah lebih diutamakan dari pelarangan penyebutan nama Allah di dalam kamar mandi/toilet. Sehingga seorang muslim boleh melafalkan dengan lisannya tanpa adanya pelarangan dan keberatan dari syariat. Syekh Binbaz menyebutkan, “Boleh hukumnya wudu di dalam kamar mandi apabila mendesak dan kita membutuhkan hal tersebut, maka ia membaca basmalah di awal wudu dengan mengucapkan “bismillah”, karena basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sunah muakadah menurut sebagian besar ulama lainnya. Ia boleh membacanya dan hilang kemakruhannya. Karena hukum makruh hilang dengan adanya kebutuhan membaca basmalah. Seorang muslim dituntut untuk mengucapkan basmalah di awal wudu, maka ia membaca basmalah dan melanjutkan wudunya.” (Majmu Fatawa Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah, 10: 28.) Syekh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan, “Membaca basmalah di kamar mandi dan yang semisalnya hukumnya tidak mengapa, karena kamar mandi-kamar mandi tersebut di masa sekarang cenderung sudah bersih, air akan menghilangkan dan mensucikan najis yang ada di tempat-tempat tersebut. Jikalau seseorang lebih memilih untuk mengucapkan basmalah dengan hatinya saja, tanpa melafalkannya dengan lisan, tentu ini adalah kebaikan.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi, 3: 117.) Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Sunah-Sunah Wudu yang Sering Dilalaikan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: basmalahwudu

Sepuluh Perkara Tetap Mengalir Pahalanya setelah Mati

Oleh:  Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr Bismillahirrahmanirrahim  Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasul mulia, Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Di antara keagungan nikmat Allah ‘Azza wa Jalla bagi para hamba-Nya yang beriman adalah Dia menyediakan bagi mereka pintu-pintu kebaikan dan kebajikan yang dapat ditempuh oleh hamba yang mendapatkan taufik di kehidupan ini; dan pahala amalan itu tetap mengalir setelah kematiannya. Karena para penghuni kubur akan tersandera di dalam alam kubur mereka, terhenti dari melakukan amalan, dan akan dimintai perhitungan dan diberi balasan atas apa yang telah mereka lakukan. Sedangkan orang yang mendapat taufik untuk melakukan amalan-amalan yang dapat terus mengalir pahalanya, maka kebaikan-kebaikan akan terus tercurah kepadanya di dalam kubur, serta pahala dan karunia akan terus berjalan untuknya. Dia telah berpindah dari negeri tempat beramal, tapi pahalanya tidak terhenti darinya. Namun, justru derajatnya terus bertambah, kebaikannya terus tumbuh, dan pahalanya terus berlipat ganda di alam kubur. Sungguh betapa mulianya keadaan ini, dan betapa baik dan indahnya kesudahan yang seperti ini!  Dalam riwayat hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa terdapat amalan-amalan saleh yang terus mengalir pahalanya bagi pelakunya di alam kubur setelah dia meninggal dunia. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا أَوْ أَجْرَى نَهْرًا أَوْ حَفَرَ بِئْرًا أَوْ غَرَسَ نَخْلاً أَوْ بَنَى مَسْجِدًا أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ “Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah berada di dalam kuburnya setelah meninggal dunia: (1) Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu, (2) orang yang mengalirkan sungai, (3) orang yang menggali sumur, (4) orang yang menanam kurma, (5) orang yang membangun masjid, (6) orang yang mewariskan mushaf, (7) atau orang yang meninggalkan anak yang memohonkan ampun untuknya setelah dia meninggal.” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya no. 7289; dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 73). Diriwayatkan juga dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَرْبَعٌ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أُجُورُهُمْ بَعْدَ الْمَوْتِ رَجُلٌ مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَرَجُلٌ عَلَّمَ عِلْمًا فَأَجْرُهُ يَجْرِي عَلَيْهِ مَا عَمِلَ بِهِ وَرَجُلٌ أَجْرَى صَدَقَةً فَأَجْرُهَا يَجْرِي عَلَيْهِ مَا جَرَتْ عَلَيْهِ وَرَجُلٌ تَرَكَ وَلَدًا صَالِحًا يَدْعُو لَهُ “Ada empat perkara yang terus mengalir pahala bagi para pelakunya setelah mereka meninggal dunia: (1) Seseorang yang meninggal dalam keadaan menjaga di perbatasan saat perang di jalan Allah, (2) seseorang yang mengajarkan ilmu, pahalanya akan terus mengalir untuknya selama ilmu itu tetap diamalkan oleh orang yang diajar, (3) seseorang yang bersedekah jariyah, pahalanya akan terus mengalir baginya selama sedekah itu masih bermanfaat, (4) seseorang yang ketika mati, meninggalkan anak saleh yang senantiasa mendoakannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22318 dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 114; juga diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 6181 dengan lafaz yang serupa dari riwayat Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 888). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ “Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah (1) ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, (2) anak shalih yang ia tinggal mati, (3) dan mushaf al-Quran yang ia wariskan, (4) atau masjid yang ia bangun, (5) rumah yang ia bangun untuk para musafir, (6) sungai yang ia alirkan (untuk orang lain), (7) dan sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya pada masa sehat dan masa hidupnya; semuanya akan mengiringinya setelah meninggal dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 242; dan dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 2231). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal; (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahih, no. 1631). Perbedaan dalam penyebutan jenis-jenis amalan dan jumlahnya antara hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa maksudnya adalah pembatasan pada jumlah tertentu; tapi itu adalah bentuk metode agar ilmu mudah dihafal. Di antara amalan yang disebutkan dalam hadis juga memiliki makna yang umum, dan mencakup beberapa jenis amalan yang disebutkan dalam hadis lainnya. Inti yang menyatukan antara hadis-hadis tersebut adalah semuanya memiliki kesamaan dalam keutamaan amalan-amalannya, yaitu mengalirnya pahala amalan tersebut semasa pelakunya masih hidup dan setelah kematiannya. Apabila seorang muslim yang menghendaki kebaikan bagi dirinya itu memperhatikan sejenak amalan-amalan ini, dan meyakini bahwa pahala yang agung dan ganjaran yang besar akan kembali kepadanya semasa hidupnya dan setelah kematiannya; niscaya dia akan bersungguh-sungguh agar mendapatkan bagian dari pahala itu, dan bersegera sebisa mungkin untuk mengamalkannya selagi dia masih di kehidupan dunia, sebelum umurnya habis dan ajalnya tiba. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati seorang lelaki, dan bersabda: اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هِرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah lima hal sebelum datang lima hal; (1) masa mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, (4) masa senggangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, no. 7846 dan beliau menyahihkannya, serta disepakati oleh adz-Dzahabi. Disahihkan pula oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 1077). Saya menghimpun dalam risalah ini sepuluh amalan yang telah ditetapkan adanya keutamaan di dalamnya sebagaimana yang dijelaskan; tujuh di antaranya adalah amalan yang disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas, dan tiga lainnya adalah amalan yang disebutkan dalam hadis-hadis lain setelahnya. Saya juga berusaha menjelaskan pintu-pintu kebaikan lain yang masih termasuk ke dalam amalan-amalan tersebut dan tercakup dalam maknanya, agar orang-orang beriman bersegera untuk mengamalkannya, dan orang-orang yang bersemangat tinggi dapat semakin meningkatkan usahanya; sehingga pahala mereka semakin agung dan timbangan amal kebaikan mereka semakin berat, pada hari tidak berguna lagi harta dan anak keturunan, kecuali orang yang datang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih. (Risalah ini pada asalnya adalah khotbah Jumat yang saya sampaikan pada tanggal 1 Zulqaidah 1421 H di Madinah al-Munawwarah. Kemudian beberapa saudara kita mengubahnya ke dalam bentuk teks dan menyusunnya; lalu saya mengoreksinya dan menambahkan beberapa faedah baru. Saya memohon kepada Allah agar membalas dengan sebaik-baik balasan bagi setiap orang yang berkontribusi dalam penerbitan risalah ini dan pendistribusiannya di kalangan kaum Muslimin; terkhusus kepada saudara-saudara dari Maktab Itqan yang ada di Kuwait, karena usaha dan kepedulian lebih dari mereka dalam proses penerbitannya). Amalan Pertama: Mengajarkan Ilmu Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا  “Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah berada di dalam kuburnya setelah meninggal dunia: Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu …” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam kitab al-Musnad, no. 7289; dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 73). Amalan ini juga disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Umamah al-Bahili dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini karena mengajarkan ilmu yang bermanfaat termasuk amal saleh yang paling mulia dan ibadah yang paling utama. Ia adalah tugas para nabi seluruhnya. Orang yang mengajarkan ilmu adalah yang menjadikan orang lain mengetahui agama mereka, mengenalkan mereka dengan Tuhan dan Sembahan mereka, menunjukkan kepada mereka jalan Tuhan yang lurus; dan menjadikan mereka dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara hidayah dan kesesatan, dan antara yang halal dan yang haram. Dari sini dapat diketahui betapa besar keutamaan para ulama yang tulus dan para dai yang ikhlas. Mereka adalah pelita bagi para hamba, menara cahaya bagi negara, tiang utama bagi umat, dan sumber-sumber mata air hikmah. Kehidupan mereka adalah keberuntungan, sedangkan kematian mereka adalah musibah; sebab mereka mengajarkan ilmu kepada orang yang jahil, mengingatkan orang yang lalai, dan memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Tidak perlu disangka akan datang keburukan dari mereka, dan tidak perlu ditakutkan akan hadir dari mereka tipu daya. Ketika salah satu dari ulama meninggal dunia, ilmunya akan tetap diwariskan di antara manusia; serta tulisan dan ucapan mereka akan terus disampaikan di antara mereka. Darinya orang-orang menyampaikan faedah ilmu, dan darinya mereka mengambil ilmu; sedangkan dia di dalam kubur menerima pahala yang terus mengalir dan balasan yang terus tercurah tiada henti; sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ عَلَّمَ آية مِنْ كِتَابِ اللّٰه كَانَ لَهُ ثَوَابُهَا مَا تُلِيَت “Barang siapa yang mengajarkan satu ayat dari kitab Allah, maka baginya pahala ayat tersebut selama ayat itu dibaca.” (Diriwayatkan oleh Abu Sahl al-Qaththan dalam kitab “al-Hadits” jilid 4 hlm. 243, menurut al-Albani sanadnya bagus sebagaimana yang disebutkan dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1335). Jadi meskipun orang yang berilmu telah meninggal dunia, tapi ilmunya, dan rekaman-rekaman kajian, seminar, dan khotbahnya yang bermanfaat akan tetap kekal. Dan akan mendapat manfaat beliau generasi-generasi setelah zamannya dan tidak ditakdirkan dapat bertemu dengannya secara langsung.  Barang siapa yang mencermati keadaan para ulama Islam – seperti para ulama hadis dan fikih – bagaimana ketika mereka sudah di dalam tanah; tapi bagi alam semesta, mereka bagaikan orang-orang yang masih hidup di antara mereka. Para manusia hanya kehilangan wajah mereka, tapi sebutan dan perbincangan tentang mereka serta pujian bagi mereka tidak pernah terhenti. Inilah kehidupan yang hakiki, sehingga itu disebut sebagai kehidupan kedua; sebagaimana yang diucapkan oleh al-Mutanabbi: ذِكْرُ الفتى عَيْشُهُ الثاني، وَحَاجَتُهُ ما قاتٓهُ، وَفُضُولُ العَيشِ أشْغالُ Pujian bagi seseorang adalah kehidupan keduanya. Dan kebutuhannya hanyalah … terhadap makanan pokoknya. Sedangkan kehidupan foya-foya hanyalah kesibukan (yang tidak perlu) (Kitab Miftah Dar as-Sa’adah, karya Ibnu al-Qayyim, jilid 1 hlm. 387). ibnu al-Jauzi rahimahullah berkata, “Apabila seseorang telah mengetahui bahwa kematian akan menghentikan amalnya, maka ia akan beramal dalam hidupnya dengan amalan yang pahalanya tetap mengalir setelah ia mati; seperti dengan menulis buku yang mengandung ilmu, karena tulisan seorang ulama bagaikan anaknya yang hidup kekal.” (Kitab Shaid al-Khathir, hlm. 34 dengan sedikit saduran). Demikian juga dengan setiap orang yang punya andil dalam proyek percetakan buku-buku yang bermanfaat, serta pendistribusian artikel-artikel dan buku-buku yang mengandung faedah; dia juga akan mendapat bagian yang banyak dari pahala besar dan berkelanjutan bagi seorang hamba semasa hidup dan setelah kematiannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا “Barang siapa mengajak orang lain kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam ash-Shahih no. 2674). Di antara amalan berkaitan dengan ilmu bermanfaat yang pahalanya terus mengalir bagi seorang hamba setelah kematiannya adalah membeli buku-buku yang bermanfaat dan mewakafkan atau menghadiahkannya kepada orang yang dapat memanfaatkannya, seperti para penuntut ilmu, peneliti, dan pembaca. Selama buku ini masih ada, maka itu terhitung sebagai sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir bagi penulis dan orang yang mewakafkan buku itu. Termasuk di antaranya juga adalah membuat e-book dan menyebarkannya melalui aplikasi-aplikasi bacaan, pencarian, dan lain sebagainya. Buku-buku dan program-program elektronik sama dengan buku-buku fisik dari sisi manfaat dan kemampuannya dalam menebar ilmu, atau bahkan dapat lebih luas penyebaran dan manfaatnya. Amalan Kedua: Mengalirkan Sungai Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ …أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ “Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah … (beliau menyebutkan di antaranya): sungai yang ia alirkan …” Dan dalam riwayat Anas bin Malik radhiyallahu’ anhu disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَوْ كَرَى نَهْرًا “… atau menyalurkan air sungai.”  Yang dimaksud dengan (كَرَى نَهْرًا) adalah membuat parit-parit air dari sumber mata air atau sungai-sungai, agar airnya dapat sampai ke pemukiman penduduk atau lahan pertanian mereka, sehingga orang-orang dapat meminum darinya, tanaman dapat diairi, dan diminum hewan-hewan ternak. Betapa banyak kebaikan kepada orang lain dan pemberian kemudahan bagi mereka yang dapat dihasilkan dari amalan agung seperti ini, dengan memudahkan mereka memperoleh air yang menjadi sumber kehidupan dan hajat hidup utama mereka. Termasuk dalam hal ini juga penyaluran air melalui pipa-pipa menuju pemukiman masyarakat dan tempat-tempat yang mereka butuhkan. Termasuk juga memasang pendingin air di pemukiman masyarakat dan tempat-tempat yang mereka butuhkan. Dalam hadis sahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:  وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ “Dan kamu menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah sedekah bagimu.” (Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab al-Jami, no. 1956; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah, no. 572). Bahkan Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sedekah yang paling utama, lalu beliau menjawab, “Memberi air minum.” (Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dalam kitab as-Sunan, no. 3664; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib, no. 962). Amalan Ketiga: Menggali Sumur Disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau menggali sumur.” (Sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat al-Bazzar sebelumnya). Amalan ini sangat mulia derajatnya dan sangat agung manfaatnya. Keutamaan yang ada pada pengaliran air sungai dan pemberian air minum yang telah disebutkan sebelumnya juga mencakup amalan ini juga, karena ini adalah salah satu bentuk pemberian air. Bahkan, pada umumnya sumur-sumur dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama, manusia dan hewan dapat memanfaatkannya. Dalam hadis sahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Pada suatu ketika ada seorang laki-laki sedang berjalan melalui suatu jalan, lalu dia merasa sangat kehausan. Kebetulan dia menemukan sebuah sumur, maka dia turun ke sumur itu untuk minum. Setelah keluar dari sumur, dia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu bergumam, ‘Anjing itu sangat kehausan seperti yang aku rasakan tadi.’ Lalu dia turun kembali ke sumur, kemudian dia mengisi sepatu kulitnya dengan air dan memegangnya dengan mulutnya, agar dapat memanjat naik. Lalu dia memberi minum kepada anjing itu. Maka Allah berterima kasih kepada orang itu sehingga Allah mengampuninya. Para sahabat bertanya; ‘Wahai Rasulullah! Dapat pahalakah kami jika kami berbuat baik kepada hewan-hewan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, setiap perbuatan baik kepada makhluk hidup adalah berpahala.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 2363 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 2244). Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa lelaki itu karena telah memberi minum seekor anjing; lalu bagaimana dengan orang yang telah menggali sumurnya dan menjadi sebab keberadaannya, hingga banyak makhluk yang bisa minum dan mengambil manfaat darinya?! Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: مَنْ حَفَرَ مَاءً لَمْ يَشْرَبْ مِنْه كَبِدٌ حَرَّى مِنْ جنٍّ وَلَا إِنْسٍ وَلَا طَائِرٍ إِلَّا آجَرَهُ اللهُ يَومَ القيامةِ “Barang siapa yang menggali sumber air, lalu tidaklah ada makhluk hidup haus dan meminumnya; baik itu dari golongan jin, manusia, hewan buas, dan burung kecuali Allah akan memberinya pahala atas hal itu pada hari kiamat kelak.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab ash-Shahihnya no. 1292 dan Imam al-Bukhari dalam kitab at-Tarikh jilid 1 hlm. 332; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib no. 271). Amalan Keempat: Menanam Pohon Kurma Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau menanam pohon kurma.” Ditegaskan dalam as-Sunnah bahwa pohon kurma adalah pohon yang paling utama, paling bermanfaat, dan paling banyak mendatangkan faedah bagi manusia. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakannya dengan seorang Muslim. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ “Sesungguhnya di antara pohon-pohon itu terdapat satu pohon yang tidak jatuh daunnya, sungguh pohon itu bagaikan seorang Muslim.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 61 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 2811). Dan dalam riwayat lain menggunakan lafaz: إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ … هِيَ النَّخْلَةُ “Sesungguhnya di antara pohon-pohon itu terdapat satu pohon yang keberkahannya seperti keberkahan seorang Muslim … itu adalah pohon kurma.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 5444). Pohon kurma memiliki keutamaan besar seperti ini karena ia adalah pohon yang bagus dan diberkahi, dan memiliki banyak manfaat; setiap bagiannya hampir tidak terlepas dari manfaat bagi manusia dan hewan. Buahnya juga termasuk buah yang paling bermanfaat; punya tingkat kemanisan yang hampir tidak tertandingi. Demikian juga dengan inti batangnya yang mengandung banyak komposisi yang bermanfaat bagi tubuh. Begitu juga dengan seluruh bagian pohon tersebut, dapat dimanfaatkan oleh manusia. Bahkan, manusia memanfaatkannya untuk rumah mereka. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِ مَثَلُ النَّخْلَة مَا أَخَذْتَ مِنْهَا مِنْ شَيْءٍ نَفَعَكَ “Perumpamaan seorang Mukmin seperti pohon kurma, setiap bagian yang kamu ambil darinya dapat bermanfaat bagimu.” (Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 13514; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah, no. 2285). Barang siapa yang menanam pohon kurma dan mewakafkan buahnya untuk kaum Muslimin, maka pahalanya akan terus mengalir selama ada orang yang memakan buahnya, dan ada makhluk yang memanfaatkan pohonnya, baik itu manusia maupun hewan. Pahala yang agung ini juga mencakup segala jenis pohon; karena disebutkan pohon kurma secara khusus dalam hadis tersebut adalah untuk menunjukkan keunggulannya dan begitu banyak manfaatnya. Oleh sebab itu, setiap orang yang menanam pohon, lalu ada manusia, hewan melata, atau burung yang memanfaatkannya; maka itu bernilai sedekah baginya; pahalanya akan sampai kepadanya semasa hidup dan setelah dia mati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menanam tanaman, kemudian pohon atau tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia, atau binatang melata melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 2320 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 1554). Amalan Kelima: Membangun Masjid Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau membangun masjid.” Masjid adalah petak tanah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala; sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash-nash syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا “Tempat yang paling dicintai oleh Allah adalah masjid-masjid.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 671). Memberi perhatian dan berusaha memakmurkan masjid adalah salah satu tanda keimanan, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir …” (QS. At-Taubah: 18).  Dan yang dimaksud dengan memakmurkan masjid berkatian dengan dua aspek: Aspek pertama: Memakmurkan masjid secara lahiriah; dan ini dapat direalisasikan dalam bentuk pembangunan masjid, perawatan, perluasan, perbaikan, penyediaan fasilitas, dan lain sebagainya. Aspek kedua: Memakmurkan masjid secara maknawi; dan ini dapat direalisasikan dengan mendirikan salat, membaca al-Quran, dan menghidupkan majelis-majelis zikir dan ilmu di dalamnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 36-37). Barang siapa yang membangun masjid agar dapat didirikan salat di dalamnya, nama-nama Allah senantiasa disebut, ilmu dapat disebarkan; kaum muslimin dapat berkumpul dalam kebaikan, kebajikan, dan penguatan hubungan di antara mereka; dan untuk maslahat-maslahat besar lainnya; maka pahala dari seluruh amal saleh itu akan mengalir juga bagi orang yang membangun masjid tersebut, pada saat masih hidup dan setelah kematiannya. Inilah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Diriwayatkan juga hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan besar lainnya bagi orang yang membangun masjid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بيتا فِي الْجَنَّةِ. “Barang siapa yang membangun masjid karena mengharapkan keridaan Allah, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 450 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 533). Pahala membangun masjid mencakup orang yang membangun satu masjid seluruhnya dengan biaya dari satu orang, dan juga mencakup orang yang membantu orang lain dalam pembangunannya, meskipun bantuannya kecil. Diriwayatkan dari Jabir al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Barang siapa yang membangun masjid karena Allah, walaupun hanya sebesar sarang burung atau lebih kecil dari itu, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 738; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami, no. 6128). Yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “sarang burung” yakni sarang tempat burung meletakkan telurnya; dan ini mengisyaratkan betapa besar pahala amal saleh ini dan kontribusi dalam amal ini meskipun hanya kontribusi kecil. Amalan Keenam: Mencetak Mushaf Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau mewariskan mushaf.” Pewarisan mushaf di sini mencakup amalan meninggalkan mushaf bagi para ahli waris dari keluarganya agar mereka dapat membaca dan memanfaatkannya; dan mencakup juga amalan mencetak mushaf, lalu membagikan dan mewakafkannya di masjid-masjid dan sekolah-sekolah agar dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslimin. Setiap ada orang yang membaca satu ayat dari mushaf-mushaf itu, menadaburinya, atau mengamalkan petunjuk yang ada di dalamnya; maka pahala yang besar akan mengalir bagi orang yang mewariskan mushaf-mushaf tersebut. Amalan Ketujuh: Mendidik Anak agar Menjadi Anak yang Saleh Amalan ini telah disebutkan dalam semua hadis yang lalu berkaitan dengan pembahasan ini. ini menunjukkan bahwa amalan ini sangat penting, karena mendidik dan mengasuh anak, dan berusaha agar mereka tumbuh di atas ketakwaan dan kesalehan termasuk salah satu kewajiban paling penting yang harus diperhatikan oleh seorang muslim. Anak merupakan bagian dari amanah besar yang Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan kita untuk menjaganya; sebagaimana yang Allah firmankan tentang sifat orang-orang beriman: وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Ma’arij: 32). Hal ini karena kesalehan anak akan menjadi kesalehan bagi masyarakat, komunitas keluarga, dan negeri. Di antara buah dari kesalehan mereka adalah mereka menjadi anak-anak yang berbakti kepada orang tua mereka, baik itu semasa hidup para orang tua itu maupun setelah kematian mereka, sehingga mereka akan mendoakan kebaikan dan memohonkan ampunan dan rahmat bagi orang tua mereka. Ini termasuk hal yang bermanfaat bagi mayit di alam kuburnya. Bahkan, seluruh pahala amal saleh seperti salat, sedekah, amal kebaikan dan kebajikan dari seorang anak akan mengalir juga bagi kedua orang tuanya, karena mereka berdua telah mendidik dan membimbingnya dengan baik; sehingga mereka adalah sebab kesalehan mereka – setelah taufik dari Allah Ta’ala –. Sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: إنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah bagian dari hasil usaha kalian.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam as-Sunan, no. 3528 dan at-Tirmidzi dalam al-Jami, no. 1358; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 1626). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ “Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, lalu orang tersebut akan bertanya, ‘Bagaimana ini bisa terjadi?’ Lalu dijawab, ‘Karena anakmu telah memohonkan ampun untukmu.’” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 3660; dan dihasankan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1598). Amalan Kedelapan: Membangun Rumah Lalu Mewakafkannya Hal ini telah disebutkan dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau rumah yang dia bangun untuk para musafir.” Dalam hadis ini disebutkan keutamaan membangun rumah lalu mewakafkannya, agar kaum Muslimin bisa mendapat manfaat darinya; baik itu untuk para musafir, para penuntut ilmu, anak-anak yatim, para janda, atau orang-orang fakir miskin. Betapa banyak kebaikan dan kebajikan yang didapat dari amalan ini! Termasuk dalam cakupan amalan ini juga membangun rumah sakit umum dan mewakafkan manfaatnya untuk kaum muslimin, atau bangunan-bangunan umum lainnya. Semua ini adalah kebaikan besar yang mengalir pahalanya bagi pelakunya ketika masih hidup dan setelah dia meninggal dunia. Termasuk dalam cakupan amalan ini juga orang yang membeli tanah lalu mewakafkannya untuk dijadikan sebagai tanah pemakaman kaum muslimin, pemandian mayit, dan pengafanannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ حَفَرَ لِمَيِّتٍ قَبْرًا فَأَجَنَّهُ فِيهِ؛ أُجْرِيَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Barang siapa yang menggali lubang kubur bagi mayit, lalu dia menguburkannya di sana, maka dialirkan baginya pahala hingga hari kiamat seperti pahala orang yang membuatkannya rumah.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, jilid 1 hlm. 505; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 3492). Amalan Kesembilan: Meninggal Dunia dalam Keadaan Berjaga di Perbatasan Amalan ini disebutkan dalam hadis riwayat Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَرْبَعٌ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أُجُورُهُمْ بَعْدَ الْمَوْتِ رَجُلٌ مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ  “Ada empat perkara yang terus mengalir pahala bagi para pelakunya setelah mereka meninggal dunia: Seseorang yang meninggal dalam keadaan menjaga di perbatasan saat perang di jalan Allah …” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22318 dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 114; juga diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 6181 dengan lafaz yang serupa dari riwayat Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 888). Menjaga perbatasan di jalan Allah untuk menghalangi musuh agar tidak memasuki negeri Islam dan menjaga kaum muslimin dari bahaya termasuk ibadah yang sangat agung di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Terdapat banyak keutamaan yang ada dalam amalan ini; Imam Muslim meriwayatkan dalam ash-Shahih dari hadis Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ “Berjaga-jaga di perbatasan sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal dunia (dalam keadaan itu) maka amalannya senantiasa mengalir (pahalanya) sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir pula rezekinya, dan dia akan terbebas dari fitnah (kubur).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam ash-Shahih, no. 1913). Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan empat keutamaan bagi orang yang berjaga di perbatasan, yaitu: Pertama: Pahala berjaga sehari di jalan Allah, lebih baik daripada pahala puasa dan salat malam selama sebulan penuh. Kedua: Pahala dari amal kebaikan yang pernah dia kerjakan semasa hidupnya seperti salat, zakat, puasa, bakti dan kebaikan kepada orang lain akan terus mengalir baginya setelah meninggal dunia. Pahala amalan-amalan itu tidak terputus ketika dia meninggal dunia dalam keadaan berjaga di jalan Allah. Justru Allah Ta’ala akan menambah dan melipatgandakan pahalanya saat dia sudah ada di alam kubur. Ketiga: Rezekinya yang berupa kenikmatan-kenikmatan surga akan terus diberikan kepadanya, seperti keadaan orang-orang yang mati syahid yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya: وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إنَّ أرْوَاحَ الشُهَدَاءِ فِي طيرٍ خُضْرٍ تَعْلُقُ مِنْ ثَمَرِ الجَنّةِ “Sesungguhnya ruh orang-orang yang mati syahid berada dalam burung hijau, ia hinggap (untuk makan) buah surga.”  Keempat: Selamat dari fitnah kubur; yaitu ujian pertanyaan dari dua malaikat bagi seorang hamba di alam kuburnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كُلُّ مَيِّتٍ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلَّا المُرَابِط فَإِنَّهُ ينْمو لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيَأْمَنُ مِنْ فتَّان الْقَبْرِ  “Setiap mayit ditutup amalnya kecuali orang yang mati dalam keadaan berjaga di perbatasan; amalannya akan tetap bertambah hingga hari kiamat, dan dia akan selamat dari fitnah kubur.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam as-Sunan, no. 2500; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami, no. 4562). Termasuk dalam cakupan amalan ini juga, orang yang berjihad dengan hartanya; dia bersedekah di jalan Allah dan berinfak ke berbagai aspek untuk mempersiapkan kekuatan dan perbekalan bagi para pasukan yang akan bertugas untuk melindungi negeri kaum Muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِن غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الْغَازِي شَيْئًا  “Barang siapa yang menyiapkan perbekalan bagi orang yang berperang di jalan Allah, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berperang itu; hanya saja dia tidak mengurangi sedikit pun dari pahala orang yang berperang tersebut.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 2759; dan disahihkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 2690). Amalan Kesepuluh: Sedekah Jariyah Amalan ini telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ “… atau sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya pada masa sehat dan masa hidupnya; semuanya akan mengiringinya setelah dia meninggal dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 242; dan dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 2231). Juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِلَّا … مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ  “… kecuali … sedekah jariyah.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahih, no. 1631). Yang dimaksud dengan sedekah jariyah adalah hal-hal yang disedekahkan oleh seorang muslim dan tetap dapat dimanfaatkan dalam rentang waktu yang lama, sehingga pahalanya terus mengalir bagi orang yang bersedekah, selama benda yang disedekahkan itu masih ada dan dapat dimanfaatkan. Termasuk dalam hal ini, mewakafkan tanah atau bangunan untuk kepentingan umum, seperti rumah sakit, sekolah, dan masjid; mewakafkan mushaf dan buku-buku ilmiah agar dapat dibaca dan dimanfaatkan; mewakafkan sumur dan sejenisnya yang dapat mengalirkan air bagi manusia dan hewan; serta sedekah dan wakaf lainnya yang manfaatnya dapat berkelanjutan. Penutup  Apabila seorang mukmin yang mendapat taufik telah mengetahui keutamaan amal-amal tersebut dan kebaikan yang akan mengalir darinya bagi dirinya, maka dia akan segera berusaha meraihnya dan bersungguh-sungguh untuk mencapai keutamaannya, selagi dia masih dalam keadaan hidup dan sehat; karena itu lebih baik baginya daripada menundanya hingga waktu kematiannya, sebab manusia tidak mengetahui kapan akan datang ajalnya. Oleh sebab itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang sedekah apa yang paling agung pahalanya? Beliau menjawab: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ  “Yaitu kamu bersedekah pada saat kamu dalam keadaan sehat, kikir, khawatir akan miskin, dan kamu berangan-angan untuk menjadi kaya, serta kamu tidak menunda bersedekah hingga nyawamu sampai di kerongkongan, barulah kamu berkata, ‘Ini untuk si Fulan dan ini untuk Fulan!’ Padahal harta itu memang akan menjadi milik si Fulan.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam ash-Shahihnya, no. 1419; dan Imam Muslim dalam ash-Shahihnya, no. 1032). Dulu Yazid ar-Raqasyi berkata kepada dirinya, “Celakalah dirimu wahai Yazid! Siapa yang akan mendirikan salat untukmu setelah kamu mati?! Siapa yang akan berpuasa untukmu setelah kamu mati?! Siapa yang akan berusaha membuat Tuhanmu rida untukmu setelah kamu mati?!” (Disebutkan dalam kitab al-Aqibah fi Zikr al-Maut, karya Abdul Haq al-Isybili, hlm. 40). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsir firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan …” (QS. Yasin: 12) Beliau berkata, “Yang dimaksud adalah sisa-sisa kebaikan dan sisa-sisa keburukan yang dulu mereka menjadi sebab keberadaannya saat mereka masih hidup dan setelah mereka mati. Jadi yang dimaksud adalah amalan-amalan yang timbul disebabkan oleh ucapan, perbuatan, dan keadaan mereka. Sehingga setiap kebaikan yang dilakukan oleh seorang manusia akibat ilmu dari seseorang, pengajarannya, nasihatnya, amar makrufnya, nahi mungkarnya, ilmu yang ia titipkan kepada murid-muridnya, atau ilmu yang ia tulis dalam buku-bukunya sehingga dapat dimanfaatkan semasa hidup dan setelah kematiannya; atau amal kebaikan seperti salat, zakat, sedekah, kebajikan kepada orang lain lalu ditiru oleh orang lain; atau membangun masjid atau fasilitas umum dan lain sebagainya; maka itu semua adalah bagian dari bekas-bekas kebaikan yang pahalanya tetap ditulis baginya. Demikian juga dalam amal keburukan.” (Kitab Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 692). Seorang mukmin harus memperhatikan bahwa sebagaimana pahala beberapa amal saleh dapat terus mengalir, selama pengaruh baiknya tetap ada pada orang lain; begitu juga ada beberapa amalan yang dosanya terus mengalir kepada orang yang menyerukannya, selama keburukannya dan pengaruh buruknya masih ada pada orang lain. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. PDF sumber artikel. 🔍 Hukum Makan Kepiting, Hukum Pelihara Anjing, Doa Agar Cepat Menghafal Pelajaran, Doa Sebelum Adzan Maghrib, Surat Toha Dan Artinya, Bangun Pagi Menurut Islam Visited 1,375 times, 6 visit(s) today Post Views: 696 QRIS donasi Yufid

Sepuluh Perkara Tetap Mengalir Pahalanya setelah Mati

Oleh:  Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr Bismillahirrahmanirrahim  Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasul mulia, Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Di antara keagungan nikmat Allah ‘Azza wa Jalla bagi para hamba-Nya yang beriman adalah Dia menyediakan bagi mereka pintu-pintu kebaikan dan kebajikan yang dapat ditempuh oleh hamba yang mendapatkan taufik di kehidupan ini; dan pahala amalan itu tetap mengalir setelah kematiannya. Karena para penghuni kubur akan tersandera di dalam alam kubur mereka, terhenti dari melakukan amalan, dan akan dimintai perhitungan dan diberi balasan atas apa yang telah mereka lakukan. Sedangkan orang yang mendapat taufik untuk melakukan amalan-amalan yang dapat terus mengalir pahalanya, maka kebaikan-kebaikan akan terus tercurah kepadanya di dalam kubur, serta pahala dan karunia akan terus berjalan untuknya. Dia telah berpindah dari negeri tempat beramal, tapi pahalanya tidak terhenti darinya. Namun, justru derajatnya terus bertambah, kebaikannya terus tumbuh, dan pahalanya terus berlipat ganda di alam kubur. Sungguh betapa mulianya keadaan ini, dan betapa baik dan indahnya kesudahan yang seperti ini!  Dalam riwayat hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa terdapat amalan-amalan saleh yang terus mengalir pahalanya bagi pelakunya di alam kubur setelah dia meninggal dunia. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا أَوْ أَجْرَى نَهْرًا أَوْ حَفَرَ بِئْرًا أَوْ غَرَسَ نَخْلاً أَوْ بَنَى مَسْجِدًا أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ “Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah berada di dalam kuburnya setelah meninggal dunia: (1) Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu, (2) orang yang mengalirkan sungai, (3) orang yang menggali sumur, (4) orang yang menanam kurma, (5) orang yang membangun masjid, (6) orang yang mewariskan mushaf, (7) atau orang yang meninggalkan anak yang memohonkan ampun untuknya setelah dia meninggal.” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya no. 7289; dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 73). Diriwayatkan juga dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَرْبَعٌ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أُجُورُهُمْ بَعْدَ الْمَوْتِ رَجُلٌ مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَرَجُلٌ عَلَّمَ عِلْمًا فَأَجْرُهُ يَجْرِي عَلَيْهِ مَا عَمِلَ بِهِ وَرَجُلٌ أَجْرَى صَدَقَةً فَأَجْرُهَا يَجْرِي عَلَيْهِ مَا جَرَتْ عَلَيْهِ وَرَجُلٌ تَرَكَ وَلَدًا صَالِحًا يَدْعُو لَهُ “Ada empat perkara yang terus mengalir pahala bagi para pelakunya setelah mereka meninggal dunia: (1) Seseorang yang meninggal dalam keadaan menjaga di perbatasan saat perang di jalan Allah, (2) seseorang yang mengajarkan ilmu, pahalanya akan terus mengalir untuknya selama ilmu itu tetap diamalkan oleh orang yang diajar, (3) seseorang yang bersedekah jariyah, pahalanya akan terus mengalir baginya selama sedekah itu masih bermanfaat, (4) seseorang yang ketika mati, meninggalkan anak saleh yang senantiasa mendoakannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22318 dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 114; juga diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 6181 dengan lafaz yang serupa dari riwayat Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 888). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ “Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah (1) ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, (2) anak shalih yang ia tinggal mati, (3) dan mushaf al-Quran yang ia wariskan, (4) atau masjid yang ia bangun, (5) rumah yang ia bangun untuk para musafir, (6) sungai yang ia alirkan (untuk orang lain), (7) dan sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya pada masa sehat dan masa hidupnya; semuanya akan mengiringinya setelah meninggal dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 242; dan dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 2231). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal; (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahih, no. 1631). Perbedaan dalam penyebutan jenis-jenis amalan dan jumlahnya antara hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa maksudnya adalah pembatasan pada jumlah tertentu; tapi itu adalah bentuk metode agar ilmu mudah dihafal. Di antara amalan yang disebutkan dalam hadis juga memiliki makna yang umum, dan mencakup beberapa jenis amalan yang disebutkan dalam hadis lainnya. Inti yang menyatukan antara hadis-hadis tersebut adalah semuanya memiliki kesamaan dalam keutamaan amalan-amalannya, yaitu mengalirnya pahala amalan tersebut semasa pelakunya masih hidup dan setelah kematiannya. Apabila seorang muslim yang menghendaki kebaikan bagi dirinya itu memperhatikan sejenak amalan-amalan ini, dan meyakini bahwa pahala yang agung dan ganjaran yang besar akan kembali kepadanya semasa hidupnya dan setelah kematiannya; niscaya dia akan bersungguh-sungguh agar mendapatkan bagian dari pahala itu, dan bersegera sebisa mungkin untuk mengamalkannya selagi dia masih di kehidupan dunia, sebelum umurnya habis dan ajalnya tiba. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati seorang lelaki, dan bersabda: اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هِرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah lima hal sebelum datang lima hal; (1) masa mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, (4) masa senggangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, no. 7846 dan beliau menyahihkannya, serta disepakati oleh adz-Dzahabi. Disahihkan pula oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 1077). Saya menghimpun dalam risalah ini sepuluh amalan yang telah ditetapkan adanya keutamaan di dalamnya sebagaimana yang dijelaskan; tujuh di antaranya adalah amalan yang disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas, dan tiga lainnya adalah amalan yang disebutkan dalam hadis-hadis lain setelahnya. Saya juga berusaha menjelaskan pintu-pintu kebaikan lain yang masih termasuk ke dalam amalan-amalan tersebut dan tercakup dalam maknanya, agar orang-orang beriman bersegera untuk mengamalkannya, dan orang-orang yang bersemangat tinggi dapat semakin meningkatkan usahanya; sehingga pahala mereka semakin agung dan timbangan amal kebaikan mereka semakin berat, pada hari tidak berguna lagi harta dan anak keturunan, kecuali orang yang datang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih. (Risalah ini pada asalnya adalah khotbah Jumat yang saya sampaikan pada tanggal 1 Zulqaidah 1421 H di Madinah al-Munawwarah. Kemudian beberapa saudara kita mengubahnya ke dalam bentuk teks dan menyusunnya; lalu saya mengoreksinya dan menambahkan beberapa faedah baru. Saya memohon kepada Allah agar membalas dengan sebaik-baik balasan bagi setiap orang yang berkontribusi dalam penerbitan risalah ini dan pendistribusiannya di kalangan kaum Muslimin; terkhusus kepada saudara-saudara dari Maktab Itqan yang ada di Kuwait, karena usaha dan kepedulian lebih dari mereka dalam proses penerbitannya). Amalan Pertama: Mengajarkan Ilmu Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا  “Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah berada di dalam kuburnya setelah meninggal dunia: Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu …” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam kitab al-Musnad, no. 7289; dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 73). Amalan ini juga disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Umamah al-Bahili dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini karena mengajarkan ilmu yang bermanfaat termasuk amal saleh yang paling mulia dan ibadah yang paling utama. Ia adalah tugas para nabi seluruhnya. Orang yang mengajarkan ilmu adalah yang menjadikan orang lain mengetahui agama mereka, mengenalkan mereka dengan Tuhan dan Sembahan mereka, menunjukkan kepada mereka jalan Tuhan yang lurus; dan menjadikan mereka dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara hidayah dan kesesatan, dan antara yang halal dan yang haram. Dari sini dapat diketahui betapa besar keutamaan para ulama yang tulus dan para dai yang ikhlas. Mereka adalah pelita bagi para hamba, menara cahaya bagi negara, tiang utama bagi umat, dan sumber-sumber mata air hikmah. Kehidupan mereka adalah keberuntungan, sedangkan kematian mereka adalah musibah; sebab mereka mengajarkan ilmu kepada orang yang jahil, mengingatkan orang yang lalai, dan memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Tidak perlu disangka akan datang keburukan dari mereka, dan tidak perlu ditakutkan akan hadir dari mereka tipu daya. Ketika salah satu dari ulama meninggal dunia, ilmunya akan tetap diwariskan di antara manusia; serta tulisan dan ucapan mereka akan terus disampaikan di antara mereka. Darinya orang-orang menyampaikan faedah ilmu, dan darinya mereka mengambil ilmu; sedangkan dia di dalam kubur menerima pahala yang terus mengalir dan balasan yang terus tercurah tiada henti; sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ عَلَّمَ آية مِنْ كِتَابِ اللّٰه كَانَ لَهُ ثَوَابُهَا مَا تُلِيَت “Barang siapa yang mengajarkan satu ayat dari kitab Allah, maka baginya pahala ayat tersebut selama ayat itu dibaca.” (Diriwayatkan oleh Abu Sahl al-Qaththan dalam kitab “al-Hadits” jilid 4 hlm. 243, menurut al-Albani sanadnya bagus sebagaimana yang disebutkan dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1335). Jadi meskipun orang yang berilmu telah meninggal dunia, tapi ilmunya, dan rekaman-rekaman kajian, seminar, dan khotbahnya yang bermanfaat akan tetap kekal. Dan akan mendapat manfaat beliau generasi-generasi setelah zamannya dan tidak ditakdirkan dapat bertemu dengannya secara langsung.  Barang siapa yang mencermati keadaan para ulama Islam – seperti para ulama hadis dan fikih – bagaimana ketika mereka sudah di dalam tanah; tapi bagi alam semesta, mereka bagaikan orang-orang yang masih hidup di antara mereka. Para manusia hanya kehilangan wajah mereka, tapi sebutan dan perbincangan tentang mereka serta pujian bagi mereka tidak pernah terhenti. Inilah kehidupan yang hakiki, sehingga itu disebut sebagai kehidupan kedua; sebagaimana yang diucapkan oleh al-Mutanabbi: ذِكْرُ الفتى عَيْشُهُ الثاني، وَحَاجَتُهُ ما قاتٓهُ، وَفُضُولُ العَيشِ أشْغالُ Pujian bagi seseorang adalah kehidupan keduanya. Dan kebutuhannya hanyalah … terhadap makanan pokoknya. Sedangkan kehidupan foya-foya hanyalah kesibukan (yang tidak perlu) (Kitab Miftah Dar as-Sa’adah, karya Ibnu al-Qayyim, jilid 1 hlm. 387). ibnu al-Jauzi rahimahullah berkata, “Apabila seseorang telah mengetahui bahwa kematian akan menghentikan amalnya, maka ia akan beramal dalam hidupnya dengan amalan yang pahalanya tetap mengalir setelah ia mati; seperti dengan menulis buku yang mengandung ilmu, karena tulisan seorang ulama bagaikan anaknya yang hidup kekal.” (Kitab Shaid al-Khathir, hlm. 34 dengan sedikit saduran). Demikian juga dengan setiap orang yang punya andil dalam proyek percetakan buku-buku yang bermanfaat, serta pendistribusian artikel-artikel dan buku-buku yang mengandung faedah; dia juga akan mendapat bagian yang banyak dari pahala besar dan berkelanjutan bagi seorang hamba semasa hidup dan setelah kematiannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا “Barang siapa mengajak orang lain kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam ash-Shahih no. 2674). Di antara amalan berkaitan dengan ilmu bermanfaat yang pahalanya terus mengalir bagi seorang hamba setelah kematiannya adalah membeli buku-buku yang bermanfaat dan mewakafkan atau menghadiahkannya kepada orang yang dapat memanfaatkannya, seperti para penuntut ilmu, peneliti, dan pembaca. Selama buku ini masih ada, maka itu terhitung sebagai sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir bagi penulis dan orang yang mewakafkan buku itu. Termasuk di antaranya juga adalah membuat e-book dan menyebarkannya melalui aplikasi-aplikasi bacaan, pencarian, dan lain sebagainya. Buku-buku dan program-program elektronik sama dengan buku-buku fisik dari sisi manfaat dan kemampuannya dalam menebar ilmu, atau bahkan dapat lebih luas penyebaran dan manfaatnya. Amalan Kedua: Mengalirkan Sungai Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ …أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ “Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah … (beliau menyebutkan di antaranya): sungai yang ia alirkan …” Dan dalam riwayat Anas bin Malik radhiyallahu’ anhu disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَوْ كَرَى نَهْرًا “… atau menyalurkan air sungai.”  Yang dimaksud dengan (كَرَى نَهْرًا) adalah membuat parit-parit air dari sumber mata air atau sungai-sungai, agar airnya dapat sampai ke pemukiman penduduk atau lahan pertanian mereka, sehingga orang-orang dapat meminum darinya, tanaman dapat diairi, dan diminum hewan-hewan ternak. Betapa banyak kebaikan kepada orang lain dan pemberian kemudahan bagi mereka yang dapat dihasilkan dari amalan agung seperti ini, dengan memudahkan mereka memperoleh air yang menjadi sumber kehidupan dan hajat hidup utama mereka. Termasuk dalam hal ini juga penyaluran air melalui pipa-pipa menuju pemukiman masyarakat dan tempat-tempat yang mereka butuhkan. Termasuk juga memasang pendingin air di pemukiman masyarakat dan tempat-tempat yang mereka butuhkan. Dalam hadis sahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:  وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ “Dan kamu menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah sedekah bagimu.” (Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab al-Jami, no. 1956; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah, no. 572). Bahkan Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sedekah yang paling utama, lalu beliau menjawab, “Memberi air minum.” (Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dalam kitab as-Sunan, no. 3664; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib, no. 962). Amalan Ketiga: Menggali Sumur Disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau menggali sumur.” (Sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat al-Bazzar sebelumnya). Amalan ini sangat mulia derajatnya dan sangat agung manfaatnya. Keutamaan yang ada pada pengaliran air sungai dan pemberian air minum yang telah disebutkan sebelumnya juga mencakup amalan ini juga, karena ini adalah salah satu bentuk pemberian air. Bahkan, pada umumnya sumur-sumur dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama, manusia dan hewan dapat memanfaatkannya. Dalam hadis sahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Pada suatu ketika ada seorang laki-laki sedang berjalan melalui suatu jalan, lalu dia merasa sangat kehausan. Kebetulan dia menemukan sebuah sumur, maka dia turun ke sumur itu untuk minum. Setelah keluar dari sumur, dia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu bergumam, ‘Anjing itu sangat kehausan seperti yang aku rasakan tadi.’ Lalu dia turun kembali ke sumur, kemudian dia mengisi sepatu kulitnya dengan air dan memegangnya dengan mulutnya, agar dapat memanjat naik. Lalu dia memberi minum kepada anjing itu. Maka Allah berterima kasih kepada orang itu sehingga Allah mengampuninya. Para sahabat bertanya; ‘Wahai Rasulullah! Dapat pahalakah kami jika kami berbuat baik kepada hewan-hewan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, setiap perbuatan baik kepada makhluk hidup adalah berpahala.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 2363 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 2244). Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa lelaki itu karena telah memberi minum seekor anjing; lalu bagaimana dengan orang yang telah menggali sumurnya dan menjadi sebab keberadaannya, hingga banyak makhluk yang bisa minum dan mengambil manfaat darinya?! Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: مَنْ حَفَرَ مَاءً لَمْ يَشْرَبْ مِنْه كَبِدٌ حَرَّى مِنْ جنٍّ وَلَا إِنْسٍ وَلَا طَائِرٍ إِلَّا آجَرَهُ اللهُ يَومَ القيامةِ “Barang siapa yang menggali sumber air, lalu tidaklah ada makhluk hidup haus dan meminumnya; baik itu dari golongan jin, manusia, hewan buas, dan burung kecuali Allah akan memberinya pahala atas hal itu pada hari kiamat kelak.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab ash-Shahihnya no. 1292 dan Imam al-Bukhari dalam kitab at-Tarikh jilid 1 hlm. 332; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib no. 271). Amalan Keempat: Menanam Pohon Kurma Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau menanam pohon kurma.” Ditegaskan dalam as-Sunnah bahwa pohon kurma adalah pohon yang paling utama, paling bermanfaat, dan paling banyak mendatangkan faedah bagi manusia. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakannya dengan seorang Muslim. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ “Sesungguhnya di antara pohon-pohon itu terdapat satu pohon yang tidak jatuh daunnya, sungguh pohon itu bagaikan seorang Muslim.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 61 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 2811). Dan dalam riwayat lain menggunakan lafaz: إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ … هِيَ النَّخْلَةُ “Sesungguhnya di antara pohon-pohon itu terdapat satu pohon yang keberkahannya seperti keberkahan seorang Muslim … itu adalah pohon kurma.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 5444). Pohon kurma memiliki keutamaan besar seperti ini karena ia adalah pohon yang bagus dan diberkahi, dan memiliki banyak manfaat; setiap bagiannya hampir tidak terlepas dari manfaat bagi manusia dan hewan. Buahnya juga termasuk buah yang paling bermanfaat; punya tingkat kemanisan yang hampir tidak tertandingi. Demikian juga dengan inti batangnya yang mengandung banyak komposisi yang bermanfaat bagi tubuh. Begitu juga dengan seluruh bagian pohon tersebut, dapat dimanfaatkan oleh manusia. Bahkan, manusia memanfaatkannya untuk rumah mereka. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِ مَثَلُ النَّخْلَة مَا أَخَذْتَ مِنْهَا مِنْ شَيْءٍ نَفَعَكَ “Perumpamaan seorang Mukmin seperti pohon kurma, setiap bagian yang kamu ambil darinya dapat bermanfaat bagimu.” (Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 13514; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah, no. 2285). Barang siapa yang menanam pohon kurma dan mewakafkan buahnya untuk kaum Muslimin, maka pahalanya akan terus mengalir selama ada orang yang memakan buahnya, dan ada makhluk yang memanfaatkan pohonnya, baik itu manusia maupun hewan. Pahala yang agung ini juga mencakup segala jenis pohon; karena disebutkan pohon kurma secara khusus dalam hadis tersebut adalah untuk menunjukkan keunggulannya dan begitu banyak manfaatnya. Oleh sebab itu, setiap orang yang menanam pohon, lalu ada manusia, hewan melata, atau burung yang memanfaatkannya; maka itu bernilai sedekah baginya; pahalanya akan sampai kepadanya semasa hidup dan setelah dia mati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menanam tanaman, kemudian pohon atau tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia, atau binatang melata melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 2320 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 1554). Amalan Kelima: Membangun Masjid Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau membangun masjid.” Masjid adalah petak tanah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala; sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash-nash syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا “Tempat yang paling dicintai oleh Allah adalah masjid-masjid.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 671). Memberi perhatian dan berusaha memakmurkan masjid adalah salah satu tanda keimanan, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir …” (QS. At-Taubah: 18).  Dan yang dimaksud dengan memakmurkan masjid berkatian dengan dua aspek: Aspek pertama: Memakmurkan masjid secara lahiriah; dan ini dapat direalisasikan dalam bentuk pembangunan masjid, perawatan, perluasan, perbaikan, penyediaan fasilitas, dan lain sebagainya. Aspek kedua: Memakmurkan masjid secara maknawi; dan ini dapat direalisasikan dengan mendirikan salat, membaca al-Quran, dan menghidupkan majelis-majelis zikir dan ilmu di dalamnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 36-37). Barang siapa yang membangun masjid agar dapat didirikan salat di dalamnya, nama-nama Allah senantiasa disebut, ilmu dapat disebarkan; kaum muslimin dapat berkumpul dalam kebaikan, kebajikan, dan penguatan hubungan di antara mereka; dan untuk maslahat-maslahat besar lainnya; maka pahala dari seluruh amal saleh itu akan mengalir juga bagi orang yang membangun masjid tersebut, pada saat masih hidup dan setelah kematiannya. Inilah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Diriwayatkan juga hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan besar lainnya bagi orang yang membangun masjid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بيتا فِي الْجَنَّةِ. “Barang siapa yang membangun masjid karena mengharapkan keridaan Allah, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 450 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 533). Pahala membangun masjid mencakup orang yang membangun satu masjid seluruhnya dengan biaya dari satu orang, dan juga mencakup orang yang membantu orang lain dalam pembangunannya, meskipun bantuannya kecil. Diriwayatkan dari Jabir al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Barang siapa yang membangun masjid karena Allah, walaupun hanya sebesar sarang burung atau lebih kecil dari itu, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 738; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami, no. 6128). Yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “sarang burung” yakni sarang tempat burung meletakkan telurnya; dan ini mengisyaratkan betapa besar pahala amal saleh ini dan kontribusi dalam amal ini meskipun hanya kontribusi kecil. Amalan Keenam: Mencetak Mushaf Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau mewariskan mushaf.” Pewarisan mushaf di sini mencakup amalan meninggalkan mushaf bagi para ahli waris dari keluarganya agar mereka dapat membaca dan memanfaatkannya; dan mencakup juga amalan mencetak mushaf, lalu membagikan dan mewakafkannya di masjid-masjid dan sekolah-sekolah agar dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslimin. Setiap ada orang yang membaca satu ayat dari mushaf-mushaf itu, menadaburinya, atau mengamalkan petunjuk yang ada di dalamnya; maka pahala yang besar akan mengalir bagi orang yang mewariskan mushaf-mushaf tersebut. Amalan Ketujuh: Mendidik Anak agar Menjadi Anak yang Saleh Amalan ini telah disebutkan dalam semua hadis yang lalu berkaitan dengan pembahasan ini. ini menunjukkan bahwa amalan ini sangat penting, karena mendidik dan mengasuh anak, dan berusaha agar mereka tumbuh di atas ketakwaan dan kesalehan termasuk salah satu kewajiban paling penting yang harus diperhatikan oleh seorang muslim. Anak merupakan bagian dari amanah besar yang Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan kita untuk menjaganya; sebagaimana yang Allah firmankan tentang sifat orang-orang beriman: وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Ma’arij: 32). Hal ini karena kesalehan anak akan menjadi kesalehan bagi masyarakat, komunitas keluarga, dan negeri. Di antara buah dari kesalehan mereka adalah mereka menjadi anak-anak yang berbakti kepada orang tua mereka, baik itu semasa hidup para orang tua itu maupun setelah kematian mereka, sehingga mereka akan mendoakan kebaikan dan memohonkan ampunan dan rahmat bagi orang tua mereka. Ini termasuk hal yang bermanfaat bagi mayit di alam kuburnya. Bahkan, seluruh pahala amal saleh seperti salat, sedekah, amal kebaikan dan kebajikan dari seorang anak akan mengalir juga bagi kedua orang tuanya, karena mereka berdua telah mendidik dan membimbingnya dengan baik; sehingga mereka adalah sebab kesalehan mereka – setelah taufik dari Allah Ta’ala –. Sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: إنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah bagian dari hasil usaha kalian.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam as-Sunan, no. 3528 dan at-Tirmidzi dalam al-Jami, no. 1358; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 1626). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ “Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, lalu orang tersebut akan bertanya, ‘Bagaimana ini bisa terjadi?’ Lalu dijawab, ‘Karena anakmu telah memohonkan ampun untukmu.’” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 3660; dan dihasankan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1598). Amalan Kedelapan: Membangun Rumah Lalu Mewakafkannya Hal ini telah disebutkan dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau rumah yang dia bangun untuk para musafir.” Dalam hadis ini disebutkan keutamaan membangun rumah lalu mewakafkannya, agar kaum Muslimin bisa mendapat manfaat darinya; baik itu untuk para musafir, para penuntut ilmu, anak-anak yatim, para janda, atau orang-orang fakir miskin. Betapa banyak kebaikan dan kebajikan yang didapat dari amalan ini! Termasuk dalam cakupan amalan ini juga membangun rumah sakit umum dan mewakafkan manfaatnya untuk kaum muslimin, atau bangunan-bangunan umum lainnya. Semua ini adalah kebaikan besar yang mengalir pahalanya bagi pelakunya ketika masih hidup dan setelah dia meninggal dunia. Termasuk dalam cakupan amalan ini juga orang yang membeli tanah lalu mewakafkannya untuk dijadikan sebagai tanah pemakaman kaum muslimin, pemandian mayit, dan pengafanannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ حَفَرَ لِمَيِّتٍ قَبْرًا فَأَجَنَّهُ فِيهِ؛ أُجْرِيَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Barang siapa yang menggali lubang kubur bagi mayit, lalu dia menguburkannya di sana, maka dialirkan baginya pahala hingga hari kiamat seperti pahala orang yang membuatkannya rumah.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, jilid 1 hlm. 505; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 3492). Amalan Kesembilan: Meninggal Dunia dalam Keadaan Berjaga di Perbatasan Amalan ini disebutkan dalam hadis riwayat Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَرْبَعٌ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أُجُورُهُمْ بَعْدَ الْمَوْتِ رَجُلٌ مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ  “Ada empat perkara yang terus mengalir pahala bagi para pelakunya setelah mereka meninggal dunia: Seseorang yang meninggal dalam keadaan menjaga di perbatasan saat perang di jalan Allah …” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22318 dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 114; juga diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 6181 dengan lafaz yang serupa dari riwayat Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 888). Menjaga perbatasan di jalan Allah untuk menghalangi musuh agar tidak memasuki negeri Islam dan menjaga kaum muslimin dari bahaya termasuk ibadah yang sangat agung di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Terdapat banyak keutamaan yang ada dalam amalan ini; Imam Muslim meriwayatkan dalam ash-Shahih dari hadis Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ “Berjaga-jaga di perbatasan sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal dunia (dalam keadaan itu) maka amalannya senantiasa mengalir (pahalanya) sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir pula rezekinya, dan dia akan terbebas dari fitnah (kubur).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam ash-Shahih, no. 1913). Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan empat keutamaan bagi orang yang berjaga di perbatasan, yaitu: Pertama: Pahala berjaga sehari di jalan Allah, lebih baik daripada pahala puasa dan salat malam selama sebulan penuh. Kedua: Pahala dari amal kebaikan yang pernah dia kerjakan semasa hidupnya seperti salat, zakat, puasa, bakti dan kebaikan kepada orang lain akan terus mengalir baginya setelah meninggal dunia. Pahala amalan-amalan itu tidak terputus ketika dia meninggal dunia dalam keadaan berjaga di jalan Allah. Justru Allah Ta’ala akan menambah dan melipatgandakan pahalanya saat dia sudah ada di alam kubur. Ketiga: Rezekinya yang berupa kenikmatan-kenikmatan surga akan terus diberikan kepadanya, seperti keadaan orang-orang yang mati syahid yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya: وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إنَّ أرْوَاحَ الشُهَدَاءِ فِي طيرٍ خُضْرٍ تَعْلُقُ مِنْ ثَمَرِ الجَنّةِ “Sesungguhnya ruh orang-orang yang mati syahid berada dalam burung hijau, ia hinggap (untuk makan) buah surga.”  Keempat: Selamat dari fitnah kubur; yaitu ujian pertanyaan dari dua malaikat bagi seorang hamba di alam kuburnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كُلُّ مَيِّتٍ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلَّا المُرَابِط فَإِنَّهُ ينْمو لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيَأْمَنُ مِنْ فتَّان الْقَبْرِ  “Setiap mayit ditutup amalnya kecuali orang yang mati dalam keadaan berjaga di perbatasan; amalannya akan tetap bertambah hingga hari kiamat, dan dia akan selamat dari fitnah kubur.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam as-Sunan, no. 2500; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami, no. 4562). Termasuk dalam cakupan amalan ini juga, orang yang berjihad dengan hartanya; dia bersedekah di jalan Allah dan berinfak ke berbagai aspek untuk mempersiapkan kekuatan dan perbekalan bagi para pasukan yang akan bertugas untuk melindungi negeri kaum Muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِن غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الْغَازِي شَيْئًا  “Barang siapa yang menyiapkan perbekalan bagi orang yang berperang di jalan Allah, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berperang itu; hanya saja dia tidak mengurangi sedikit pun dari pahala orang yang berperang tersebut.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 2759; dan disahihkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 2690). Amalan Kesepuluh: Sedekah Jariyah Amalan ini telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ “… atau sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya pada masa sehat dan masa hidupnya; semuanya akan mengiringinya setelah dia meninggal dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 242; dan dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 2231). Juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِلَّا … مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ  “… kecuali … sedekah jariyah.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahih, no. 1631). Yang dimaksud dengan sedekah jariyah adalah hal-hal yang disedekahkan oleh seorang muslim dan tetap dapat dimanfaatkan dalam rentang waktu yang lama, sehingga pahalanya terus mengalir bagi orang yang bersedekah, selama benda yang disedekahkan itu masih ada dan dapat dimanfaatkan. Termasuk dalam hal ini, mewakafkan tanah atau bangunan untuk kepentingan umum, seperti rumah sakit, sekolah, dan masjid; mewakafkan mushaf dan buku-buku ilmiah agar dapat dibaca dan dimanfaatkan; mewakafkan sumur dan sejenisnya yang dapat mengalirkan air bagi manusia dan hewan; serta sedekah dan wakaf lainnya yang manfaatnya dapat berkelanjutan. Penutup  Apabila seorang mukmin yang mendapat taufik telah mengetahui keutamaan amal-amal tersebut dan kebaikan yang akan mengalir darinya bagi dirinya, maka dia akan segera berusaha meraihnya dan bersungguh-sungguh untuk mencapai keutamaannya, selagi dia masih dalam keadaan hidup dan sehat; karena itu lebih baik baginya daripada menundanya hingga waktu kematiannya, sebab manusia tidak mengetahui kapan akan datang ajalnya. Oleh sebab itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang sedekah apa yang paling agung pahalanya? Beliau menjawab: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ  “Yaitu kamu bersedekah pada saat kamu dalam keadaan sehat, kikir, khawatir akan miskin, dan kamu berangan-angan untuk menjadi kaya, serta kamu tidak menunda bersedekah hingga nyawamu sampai di kerongkongan, barulah kamu berkata, ‘Ini untuk si Fulan dan ini untuk Fulan!’ Padahal harta itu memang akan menjadi milik si Fulan.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam ash-Shahihnya, no. 1419; dan Imam Muslim dalam ash-Shahihnya, no. 1032). Dulu Yazid ar-Raqasyi berkata kepada dirinya, “Celakalah dirimu wahai Yazid! Siapa yang akan mendirikan salat untukmu setelah kamu mati?! Siapa yang akan berpuasa untukmu setelah kamu mati?! Siapa yang akan berusaha membuat Tuhanmu rida untukmu setelah kamu mati?!” (Disebutkan dalam kitab al-Aqibah fi Zikr al-Maut, karya Abdul Haq al-Isybili, hlm. 40). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsir firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan …” (QS. Yasin: 12) Beliau berkata, “Yang dimaksud adalah sisa-sisa kebaikan dan sisa-sisa keburukan yang dulu mereka menjadi sebab keberadaannya saat mereka masih hidup dan setelah mereka mati. Jadi yang dimaksud adalah amalan-amalan yang timbul disebabkan oleh ucapan, perbuatan, dan keadaan mereka. Sehingga setiap kebaikan yang dilakukan oleh seorang manusia akibat ilmu dari seseorang, pengajarannya, nasihatnya, amar makrufnya, nahi mungkarnya, ilmu yang ia titipkan kepada murid-muridnya, atau ilmu yang ia tulis dalam buku-bukunya sehingga dapat dimanfaatkan semasa hidup dan setelah kematiannya; atau amal kebaikan seperti salat, zakat, sedekah, kebajikan kepada orang lain lalu ditiru oleh orang lain; atau membangun masjid atau fasilitas umum dan lain sebagainya; maka itu semua adalah bagian dari bekas-bekas kebaikan yang pahalanya tetap ditulis baginya. Demikian juga dalam amal keburukan.” (Kitab Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 692). Seorang mukmin harus memperhatikan bahwa sebagaimana pahala beberapa amal saleh dapat terus mengalir, selama pengaruh baiknya tetap ada pada orang lain; begitu juga ada beberapa amalan yang dosanya terus mengalir kepada orang yang menyerukannya, selama keburukannya dan pengaruh buruknya masih ada pada orang lain. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. PDF sumber artikel. 🔍 Hukum Makan Kepiting, Hukum Pelihara Anjing, Doa Agar Cepat Menghafal Pelajaran, Doa Sebelum Adzan Maghrib, Surat Toha Dan Artinya, Bangun Pagi Menurut Islam Visited 1,375 times, 6 visit(s) today Post Views: 696 QRIS donasi Yufid
Oleh:  Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr Bismillahirrahmanirrahim  Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasul mulia, Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Di antara keagungan nikmat Allah ‘Azza wa Jalla bagi para hamba-Nya yang beriman adalah Dia menyediakan bagi mereka pintu-pintu kebaikan dan kebajikan yang dapat ditempuh oleh hamba yang mendapatkan taufik di kehidupan ini; dan pahala amalan itu tetap mengalir setelah kematiannya. Karena para penghuni kubur akan tersandera di dalam alam kubur mereka, terhenti dari melakukan amalan, dan akan dimintai perhitungan dan diberi balasan atas apa yang telah mereka lakukan. Sedangkan orang yang mendapat taufik untuk melakukan amalan-amalan yang dapat terus mengalir pahalanya, maka kebaikan-kebaikan akan terus tercurah kepadanya di dalam kubur, serta pahala dan karunia akan terus berjalan untuknya. Dia telah berpindah dari negeri tempat beramal, tapi pahalanya tidak terhenti darinya. Namun, justru derajatnya terus bertambah, kebaikannya terus tumbuh, dan pahalanya terus berlipat ganda di alam kubur. Sungguh betapa mulianya keadaan ini, dan betapa baik dan indahnya kesudahan yang seperti ini!  Dalam riwayat hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa terdapat amalan-amalan saleh yang terus mengalir pahalanya bagi pelakunya di alam kubur setelah dia meninggal dunia. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا أَوْ أَجْرَى نَهْرًا أَوْ حَفَرَ بِئْرًا أَوْ غَرَسَ نَخْلاً أَوْ بَنَى مَسْجِدًا أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ “Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah berada di dalam kuburnya setelah meninggal dunia: (1) Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu, (2) orang yang mengalirkan sungai, (3) orang yang menggali sumur, (4) orang yang menanam kurma, (5) orang yang membangun masjid, (6) orang yang mewariskan mushaf, (7) atau orang yang meninggalkan anak yang memohonkan ampun untuknya setelah dia meninggal.” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya no. 7289; dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 73). Diriwayatkan juga dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَرْبَعٌ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أُجُورُهُمْ بَعْدَ الْمَوْتِ رَجُلٌ مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَرَجُلٌ عَلَّمَ عِلْمًا فَأَجْرُهُ يَجْرِي عَلَيْهِ مَا عَمِلَ بِهِ وَرَجُلٌ أَجْرَى صَدَقَةً فَأَجْرُهَا يَجْرِي عَلَيْهِ مَا جَرَتْ عَلَيْهِ وَرَجُلٌ تَرَكَ وَلَدًا صَالِحًا يَدْعُو لَهُ “Ada empat perkara yang terus mengalir pahala bagi para pelakunya setelah mereka meninggal dunia: (1) Seseorang yang meninggal dalam keadaan menjaga di perbatasan saat perang di jalan Allah, (2) seseorang yang mengajarkan ilmu, pahalanya akan terus mengalir untuknya selama ilmu itu tetap diamalkan oleh orang yang diajar, (3) seseorang yang bersedekah jariyah, pahalanya akan terus mengalir baginya selama sedekah itu masih bermanfaat, (4) seseorang yang ketika mati, meninggalkan anak saleh yang senantiasa mendoakannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22318 dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 114; juga diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 6181 dengan lafaz yang serupa dari riwayat Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 888). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ “Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah (1) ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, (2) anak shalih yang ia tinggal mati, (3) dan mushaf al-Quran yang ia wariskan, (4) atau masjid yang ia bangun, (5) rumah yang ia bangun untuk para musafir, (6) sungai yang ia alirkan (untuk orang lain), (7) dan sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya pada masa sehat dan masa hidupnya; semuanya akan mengiringinya setelah meninggal dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 242; dan dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 2231). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal; (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahih, no. 1631). Perbedaan dalam penyebutan jenis-jenis amalan dan jumlahnya antara hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa maksudnya adalah pembatasan pada jumlah tertentu; tapi itu adalah bentuk metode agar ilmu mudah dihafal. Di antara amalan yang disebutkan dalam hadis juga memiliki makna yang umum, dan mencakup beberapa jenis amalan yang disebutkan dalam hadis lainnya. Inti yang menyatukan antara hadis-hadis tersebut adalah semuanya memiliki kesamaan dalam keutamaan amalan-amalannya, yaitu mengalirnya pahala amalan tersebut semasa pelakunya masih hidup dan setelah kematiannya. Apabila seorang muslim yang menghendaki kebaikan bagi dirinya itu memperhatikan sejenak amalan-amalan ini, dan meyakini bahwa pahala yang agung dan ganjaran yang besar akan kembali kepadanya semasa hidupnya dan setelah kematiannya; niscaya dia akan bersungguh-sungguh agar mendapatkan bagian dari pahala itu, dan bersegera sebisa mungkin untuk mengamalkannya selagi dia masih di kehidupan dunia, sebelum umurnya habis dan ajalnya tiba. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati seorang lelaki, dan bersabda: اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هِرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah lima hal sebelum datang lima hal; (1) masa mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, (4) masa senggangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, no. 7846 dan beliau menyahihkannya, serta disepakati oleh adz-Dzahabi. Disahihkan pula oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 1077). Saya menghimpun dalam risalah ini sepuluh amalan yang telah ditetapkan adanya keutamaan di dalamnya sebagaimana yang dijelaskan; tujuh di antaranya adalah amalan yang disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas, dan tiga lainnya adalah amalan yang disebutkan dalam hadis-hadis lain setelahnya. Saya juga berusaha menjelaskan pintu-pintu kebaikan lain yang masih termasuk ke dalam amalan-amalan tersebut dan tercakup dalam maknanya, agar orang-orang beriman bersegera untuk mengamalkannya, dan orang-orang yang bersemangat tinggi dapat semakin meningkatkan usahanya; sehingga pahala mereka semakin agung dan timbangan amal kebaikan mereka semakin berat, pada hari tidak berguna lagi harta dan anak keturunan, kecuali orang yang datang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih. (Risalah ini pada asalnya adalah khotbah Jumat yang saya sampaikan pada tanggal 1 Zulqaidah 1421 H di Madinah al-Munawwarah. Kemudian beberapa saudara kita mengubahnya ke dalam bentuk teks dan menyusunnya; lalu saya mengoreksinya dan menambahkan beberapa faedah baru. Saya memohon kepada Allah agar membalas dengan sebaik-baik balasan bagi setiap orang yang berkontribusi dalam penerbitan risalah ini dan pendistribusiannya di kalangan kaum Muslimin; terkhusus kepada saudara-saudara dari Maktab Itqan yang ada di Kuwait, karena usaha dan kepedulian lebih dari mereka dalam proses penerbitannya). Amalan Pertama: Mengajarkan Ilmu Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا  “Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah berada di dalam kuburnya setelah meninggal dunia: Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu …” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam kitab al-Musnad, no. 7289; dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 73). Amalan ini juga disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Umamah al-Bahili dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini karena mengajarkan ilmu yang bermanfaat termasuk amal saleh yang paling mulia dan ibadah yang paling utama. Ia adalah tugas para nabi seluruhnya. Orang yang mengajarkan ilmu adalah yang menjadikan orang lain mengetahui agama mereka, mengenalkan mereka dengan Tuhan dan Sembahan mereka, menunjukkan kepada mereka jalan Tuhan yang lurus; dan menjadikan mereka dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara hidayah dan kesesatan, dan antara yang halal dan yang haram. Dari sini dapat diketahui betapa besar keutamaan para ulama yang tulus dan para dai yang ikhlas. Mereka adalah pelita bagi para hamba, menara cahaya bagi negara, tiang utama bagi umat, dan sumber-sumber mata air hikmah. Kehidupan mereka adalah keberuntungan, sedangkan kematian mereka adalah musibah; sebab mereka mengajarkan ilmu kepada orang yang jahil, mengingatkan orang yang lalai, dan memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Tidak perlu disangka akan datang keburukan dari mereka, dan tidak perlu ditakutkan akan hadir dari mereka tipu daya. Ketika salah satu dari ulama meninggal dunia, ilmunya akan tetap diwariskan di antara manusia; serta tulisan dan ucapan mereka akan terus disampaikan di antara mereka. Darinya orang-orang menyampaikan faedah ilmu, dan darinya mereka mengambil ilmu; sedangkan dia di dalam kubur menerima pahala yang terus mengalir dan balasan yang terus tercurah tiada henti; sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ عَلَّمَ آية مِنْ كِتَابِ اللّٰه كَانَ لَهُ ثَوَابُهَا مَا تُلِيَت “Barang siapa yang mengajarkan satu ayat dari kitab Allah, maka baginya pahala ayat tersebut selama ayat itu dibaca.” (Diriwayatkan oleh Abu Sahl al-Qaththan dalam kitab “al-Hadits” jilid 4 hlm. 243, menurut al-Albani sanadnya bagus sebagaimana yang disebutkan dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1335). Jadi meskipun orang yang berilmu telah meninggal dunia, tapi ilmunya, dan rekaman-rekaman kajian, seminar, dan khotbahnya yang bermanfaat akan tetap kekal. Dan akan mendapat manfaat beliau generasi-generasi setelah zamannya dan tidak ditakdirkan dapat bertemu dengannya secara langsung.  Barang siapa yang mencermati keadaan para ulama Islam – seperti para ulama hadis dan fikih – bagaimana ketika mereka sudah di dalam tanah; tapi bagi alam semesta, mereka bagaikan orang-orang yang masih hidup di antara mereka. Para manusia hanya kehilangan wajah mereka, tapi sebutan dan perbincangan tentang mereka serta pujian bagi mereka tidak pernah terhenti. Inilah kehidupan yang hakiki, sehingga itu disebut sebagai kehidupan kedua; sebagaimana yang diucapkan oleh al-Mutanabbi: ذِكْرُ الفتى عَيْشُهُ الثاني، وَحَاجَتُهُ ما قاتٓهُ، وَفُضُولُ العَيشِ أشْغالُ Pujian bagi seseorang adalah kehidupan keduanya. Dan kebutuhannya hanyalah … terhadap makanan pokoknya. Sedangkan kehidupan foya-foya hanyalah kesibukan (yang tidak perlu) (Kitab Miftah Dar as-Sa’adah, karya Ibnu al-Qayyim, jilid 1 hlm. 387). ibnu al-Jauzi rahimahullah berkata, “Apabila seseorang telah mengetahui bahwa kematian akan menghentikan amalnya, maka ia akan beramal dalam hidupnya dengan amalan yang pahalanya tetap mengalir setelah ia mati; seperti dengan menulis buku yang mengandung ilmu, karena tulisan seorang ulama bagaikan anaknya yang hidup kekal.” (Kitab Shaid al-Khathir, hlm. 34 dengan sedikit saduran). Demikian juga dengan setiap orang yang punya andil dalam proyek percetakan buku-buku yang bermanfaat, serta pendistribusian artikel-artikel dan buku-buku yang mengandung faedah; dia juga akan mendapat bagian yang banyak dari pahala besar dan berkelanjutan bagi seorang hamba semasa hidup dan setelah kematiannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا “Barang siapa mengajak orang lain kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam ash-Shahih no. 2674). Di antara amalan berkaitan dengan ilmu bermanfaat yang pahalanya terus mengalir bagi seorang hamba setelah kematiannya adalah membeli buku-buku yang bermanfaat dan mewakafkan atau menghadiahkannya kepada orang yang dapat memanfaatkannya, seperti para penuntut ilmu, peneliti, dan pembaca. Selama buku ini masih ada, maka itu terhitung sebagai sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir bagi penulis dan orang yang mewakafkan buku itu. Termasuk di antaranya juga adalah membuat e-book dan menyebarkannya melalui aplikasi-aplikasi bacaan, pencarian, dan lain sebagainya. Buku-buku dan program-program elektronik sama dengan buku-buku fisik dari sisi manfaat dan kemampuannya dalam menebar ilmu, atau bahkan dapat lebih luas penyebaran dan manfaatnya. Amalan Kedua: Mengalirkan Sungai Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ …أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ “Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah … (beliau menyebutkan di antaranya): sungai yang ia alirkan …” Dan dalam riwayat Anas bin Malik radhiyallahu’ anhu disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَوْ كَرَى نَهْرًا “… atau menyalurkan air sungai.”  Yang dimaksud dengan (كَرَى نَهْرًا) adalah membuat parit-parit air dari sumber mata air atau sungai-sungai, agar airnya dapat sampai ke pemukiman penduduk atau lahan pertanian mereka, sehingga orang-orang dapat meminum darinya, tanaman dapat diairi, dan diminum hewan-hewan ternak. Betapa banyak kebaikan kepada orang lain dan pemberian kemudahan bagi mereka yang dapat dihasilkan dari amalan agung seperti ini, dengan memudahkan mereka memperoleh air yang menjadi sumber kehidupan dan hajat hidup utama mereka. Termasuk dalam hal ini juga penyaluran air melalui pipa-pipa menuju pemukiman masyarakat dan tempat-tempat yang mereka butuhkan. Termasuk juga memasang pendingin air di pemukiman masyarakat dan tempat-tempat yang mereka butuhkan. Dalam hadis sahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:  وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ “Dan kamu menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah sedekah bagimu.” (Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab al-Jami, no. 1956; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah, no. 572). Bahkan Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sedekah yang paling utama, lalu beliau menjawab, “Memberi air minum.” (Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dalam kitab as-Sunan, no. 3664; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib, no. 962). Amalan Ketiga: Menggali Sumur Disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau menggali sumur.” (Sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat al-Bazzar sebelumnya). Amalan ini sangat mulia derajatnya dan sangat agung manfaatnya. Keutamaan yang ada pada pengaliran air sungai dan pemberian air minum yang telah disebutkan sebelumnya juga mencakup amalan ini juga, karena ini adalah salah satu bentuk pemberian air. Bahkan, pada umumnya sumur-sumur dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama, manusia dan hewan dapat memanfaatkannya. Dalam hadis sahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Pada suatu ketika ada seorang laki-laki sedang berjalan melalui suatu jalan, lalu dia merasa sangat kehausan. Kebetulan dia menemukan sebuah sumur, maka dia turun ke sumur itu untuk minum. Setelah keluar dari sumur, dia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu bergumam, ‘Anjing itu sangat kehausan seperti yang aku rasakan tadi.’ Lalu dia turun kembali ke sumur, kemudian dia mengisi sepatu kulitnya dengan air dan memegangnya dengan mulutnya, agar dapat memanjat naik. Lalu dia memberi minum kepada anjing itu. Maka Allah berterima kasih kepada orang itu sehingga Allah mengampuninya. Para sahabat bertanya; ‘Wahai Rasulullah! Dapat pahalakah kami jika kami berbuat baik kepada hewan-hewan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, setiap perbuatan baik kepada makhluk hidup adalah berpahala.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 2363 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 2244). Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa lelaki itu karena telah memberi minum seekor anjing; lalu bagaimana dengan orang yang telah menggali sumurnya dan menjadi sebab keberadaannya, hingga banyak makhluk yang bisa minum dan mengambil manfaat darinya?! Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: مَنْ حَفَرَ مَاءً لَمْ يَشْرَبْ مِنْه كَبِدٌ حَرَّى مِنْ جنٍّ وَلَا إِنْسٍ وَلَا طَائِرٍ إِلَّا آجَرَهُ اللهُ يَومَ القيامةِ “Barang siapa yang menggali sumber air, lalu tidaklah ada makhluk hidup haus dan meminumnya; baik itu dari golongan jin, manusia, hewan buas, dan burung kecuali Allah akan memberinya pahala atas hal itu pada hari kiamat kelak.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab ash-Shahihnya no. 1292 dan Imam al-Bukhari dalam kitab at-Tarikh jilid 1 hlm. 332; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib no. 271). Amalan Keempat: Menanam Pohon Kurma Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau menanam pohon kurma.” Ditegaskan dalam as-Sunnah bahwa pohon kurma adalah pohon yang paling utama, paling bermanfaat, dan paling banyak mendatangkan faedah bagi manusia. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakannya dengan seorang Muslim. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ “Sesungguhnya di antara pohon-pohon itu terdapat satu pohon yang tidak jatuh daunnya, sungguh pohon itu bagaikan seorang Muslim.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 61 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 2811). Dan dalam riwayat lain menggunakan lafaz: إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ … هِيَ النَّخْلَةُ “Sesungguhnya di antara pohon-pohon itu terdapat satu pohon yang keberkahannya seperti keberkahan seorang Muslim … itu adalah pohon kurma.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 5444). Pohon kurma memiliki keutamaan besar seperti ini karena ia adalah pohon yang bagus dan diberkahi, dan memiliki banyak manfaat; setiap bagiannya hampir tidak terlepas dari manfaat bagi manusia dan hewan. Buahnya juga termasuk buah yang paling bermanfaat; punya tingkat kemanisan yang hampir tidak tertandingi. Demikian juga dengan inti batangnya yang mengandung banyak komposisi yang bermanfaat bagi tubuh. Begitu juga dengan seluruh bagian pohon tersebut, dapat dimanfaatkan oleh manusia. Bahkan, manusia memanfaatkannya untuk rumah mereka. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِ مَثَلُ النَّخْلَة مَا أَخَذْتَ مِنْهَا مِنْ شَيْءٍ نَفَعَكَ “Perumpamaan seorang Mukmin seperti pohon kurma, setiap bagian yang kamu ambil darinya dapat bermanfaat bagimu.” (Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 13514; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah, no. 2285). Barang siapa yang menanam pohon kurma dan mewakafkan buahnya untuk kaum Muslimin, maka pahalanya akan terus mengalir selama ada orang yang memakan buahnya, dan ada makhluk yang memanfaatkan pohonnya, baik itu manusia maupun hewan. Pahala yang agung ini juga mencakup segala jenis pohon; karena disebutkan pohon kurma secara khusus dalam hadis tersebut adalah untuk menunjukkan keunggulannya dan begitu banyak manfaatnya. Oleh sebab itu, setiap orang yang menanam pohon, lalu ada manusia, hewan melata, atau burung yang memanfaatkannya; maka itu bernilai sedekah baginya; pahalanya akan sampai kepadanya semasa hidup dan setelah dia mati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menanam tanaman, kemudian pohon atau tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia, atau binatang melata melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 2320 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 1554). Amalan Kelima: Membangun Masjid Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau membangun masjid.” Masjid adalah petak tanah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala; sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash-nash syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا “Tempat yang paling dicintai oleh Allah adalah masjid-masjid.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 671). Memberi perhatian dan berusaha memakmurkan masjid adalah salah satu tanda keimanan, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir …” (QS. At-Taubah: 18).  Dan yang dimaksud dengan memakmurkan masjid berkatian dengan dua aspek: Aspek pertama: Memakmurkan masjid secara lahiriah; dan ini dapat direalisasikan dalam bentuk pembangunan masjid, perawatan, perluasan, perbaikan, penyediaan fasilitas, dan lain sebagainya. Aspek kedua: Memakmurkan masjid secara maknawi; dan ini dapat direalisasikan dengan mendirikan salat, membaca al-Quran, dan menghidupkan majelis-majelis zikir dan ilmu di dalamnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 36-37). Barang siapa yang membangun masjid agar dapat didirikan salat di dalamnya, nama-nama Allah senantiasa disebut, ilmu dapat disebarkan; kaum muslimin dapat berkumpul dalam kebaikan, kebajikan, dan penguatan hubungan di antara mereka; dan untuk maslahat-maslahat besar lainnya; maka pahala dari seluruh amal saleh itu akan mengalir juga bagi orang yang membangun masjid tersebut, pada saat masih hidup dan setelah kematiannya. Inilah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Diriwayatkan juga hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan besar lainnya bagi orang yang membangun masjid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بيتا فِي الْجَنَّةِ. “Barang siapa yang membangun masjid karena mengharapkan keridaan Allah, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 450 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 533). Pahala membangun masjid mencakup orang yang membangun satu masjid seluruhnya dengan biaya dari satu orang, dan juga mencakup orang yang membantu orang lain dalam pembangunannya, meskipun bantuannya kecil. Diriwayatkan dari Jabir al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Barang siapa yang membangun masjid karena Allah, walaupun hanya sebesar sarang burung atau lebih kecil dari itu, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 738; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami, no. 6128). Yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “sarang burung” yakni sarang tempat burung meletakkan telurnya; dan ini mengisyaratkan betapa besar pahala amal saleh ini dan kontribusi dalam amal ini meskipun hanya kontribusi kecil. Amalan Keenam: Mencetak Mushaf Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau mewariskan mushaf.” Pewarisan mushaf di sini mencakup amalan meninggalkan mushaf bagi para ahli waris dari keluarganya agar mereka dapat membaca dan memanfaatkannya; dan mencakup juga amalan mencetak mushaf, lalu membagikan dan mewakafkannya di masjid-masjid dan sekolah-sekolah agar dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslimin. Setiap ada orang yang membaca satu ayat dari mushaf-mushaf itu, menadaburinya, atau mengamalkan petunjuk yang ada di dalamnya; maka pahala yang besar akan mengalir bagi orang yang mewariskan mushaf-mushaf tersebut. Amalan Ketujuh: Mendidik Anak agar Menjadi Anak yang Saleh Amalan ini telah disebutkan dalam semua hadis yang lalu berkaitan dengan pembahasan ini. ini menunjukkan bahwa amalan ini sangat penting, karena mendidik dan mengasuh anak, dan berusaha agar mereka tumbuh di atas ketakwaan dan kesalehan termasuk salah satu kewajiban paling penting yang harus diperhatikan oleh seorang muslim. Anak merupakan bagian dari amanah besar yang Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan kita untuk menjaganya; sebagaimana yang Allah firmankan tentang sifat orang-orang beriman: وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Ma’arij: 32). Hal ini karena kesalehan anak akan menjadi kesalehan bagi masyarakat, komunitas keluarga, dan negeri. Di antara buah dari kesalehan mereka adalah mereka menjadi anak-anak yang berbakti kepada orang tua mereka, baik itu semasa hidup para orang tua itu maupun setelah kematian mereka, sehingga mereka akan mendoakan kebaikan dan memohonkan ampunan dan rahmat bagi orang tua mereka. Ini termasuk hal yang bermanfaat bagi mayit di alam kuburnya. Bahkan, seluruh pahala amal saleh seperti salat, sedekah, amal kebaikan dan kebajikan dari seorang anak akan mengalir juga bagi kedua orang tuanya, karena mereka berdua telah mendidik dan membimbingnya dengan baik; sehingga mereka adalah sebab kesalehan mereka – setelah taufik dari Allah Ta’ala –. Sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: إنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah bagian dari hasil usaha kalian.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam as-Sunan, no. 3528 dan at-Tirmidzi dalam al-Jami, no. 1358; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 1626). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ “Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, lalu orang tersebut akan bertanya, ‘Bagaimana ini bisa terjadi?’ Lalu dijawab, ‘Karena anakmu telah memohonkan ampun untukmu.’” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 3660; dan dihasankan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1598). Amalan Kedelapan: Membangun Rumah Lalu Mewakafkannya Hal ini telah disebutkan dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau rumah yang dia bangun untuk para musafir.” Dalam hadis ini disebutkan keutamaan membangun rumah lalu mewakafkannya, agar kaum Muslimin bisa mendapat manfaat darinya; baik itu untuk para musafir, para penuntut ilmu, anak-anak yatim, para janda, atau orang-orang fakir miskin. Betapa banyak kebaikan dan kebajikan yang didapat dari amalan ini! Termasuk dalam cakupan amalan ini juga membangun rumah sakit umum dan mewakafkan manfaatnya untuk kaum muslimin, atau bangunan-bangunan umum lainnya. Semua ini adalah kebaikan besar yang mengalir pahalanya bagi pelakunya ketika masih hidup dan setelah dia meninggal dunia. Termasuk dalam cakupan amalan ini juga orang yang membeli tanah lalu mewakafkannya untuk dijadikan sebagai tanah pemakaman kaum muslimin, pemandian mayit, dan pengafanannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ حَفَرَ لِمَيِّتٍ قَبْرًا فَأَجَنَّهُ فِيهِ؛ أُجْرِيَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Barang siapa yang menggali lubang kubur bagi mayit, lalu dia menguburkannya di sana, maka dialirkan baginya pahala hingga hari kiamat seperti pahala orang yang membuatkannya rumah.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, jilid 1 hlm. 505; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 3492). Amalan Kesembilan: Meninggal Dunia dalam Keadaan Berjaga di Perbatasan Amalan ini disebutkan dalam hadis riwayat Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَرْبَعٌ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أُجُورُهُمْ بَعْدَ الْمَوْتِ رَجُلٌ مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ  “Ada empat perkara yang terus mengalir pahala bagi para pelakunya setelah mereka meninggal dunia: Seseorang yang meninggal dalam keadaan menjaga di perbatasan saat perang di jalan Allah …” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22318 dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 114; juga diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 6181 dengan lafaz yang serupa dari riwayat Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 888). Menjaga perbatasan di jalan Allah untuk menghalangi musuh agar tidak memasuki negeri Islam dan menjaga kaum muslimin dari bahaya termasuk ibadah yang sangat agung di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Terdapat banyak keutamaan yang ada dalam amalan ini; Imam Muslim meriwayatkan dalam ash-Shahih dari hadis Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ “Berjaga-jaga di perbatasan sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal dunia (dalam keadaan itu) maka amalannya senantiasa mengalir (pahalanya) sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir pula rezekinya, dan dia akan terbebas dari fitnah (kubur).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam ash-Shahih, no. 1913). Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan empat keutamaan bagi orang yang berjaga di perbatasan, yaitu: Pertama: Pahala berjaga sehari di jalan Allah, lebih baik daripada pahala puasa dan salat malam selama sebulan penuh. Kedua: Pahala dari amal kebaikan yang pernah dia kerjakan semasa hidupnya seperti salat, zakat, puasa, bakti dan kebaikan kepada orang lain akan terus mengalir baginya setelah meninggal dunia. Pahala amalan-amalan itu tidak terputus ketika dia meninggal dunia dalam keadaan berjaga di jalan Allah. Justru Allah Ta’ala akan menambah dan melipatgandakan pahalanya saat dia sudah ada di alam kubur. Ketiga: Rezekinya yang berupa kenikmatan-kenikmatan surga akan terus diberikan kepadanya, seperti keadaan orang-orang yang mati syahid yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya: وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إنَّ أرْوَاحَ الشُهَدَاءِ فِي طيرٍ خُضْرٍ تَعْلُقُ مِنْ ثَمَرِ الجَنّةِ “Sesungguhnya ruh orang-orang yang mati syahid berada dalam burung hijau, ia hinggap (untuk makan) buah surga.”  Keempat: Selamat dari fitnah kubur; yaitu ujian pertanyaan dari dua malaikat bagi seorang hamba di alam kuburnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كُلُّ مَيِّتٍ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلَّا المُرَابِط فَإِنَّهُ ينْمو لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيَأْمَنُ مِنْ فتَّان الْقَبْرِ  “Setiap mayit ditutup amalnya kecuali orang yang mati dalam keadaan berjaga di perbatasan; amalannya akan tetap bertambah hingga hari kiamat, dan dia akan selamat dari fitnah kubur.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam as-Sunan, no. 2500; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami, no. 4562). Termasuk dalam cakupan amalan ini juga, orang yang berjihad dengan hartanya; dia bersedekah di jalan Allah dan berinfak ke berbagai aspek untuk mempersiapkan kekuatan dan perbekalan bagi para pasukan yang akan bertugas untuk melindungi negeri kaum Muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِن غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الْغَازِي شَيْئًا  “Barang siapa yang menyiapkan perbekalan bagi orang yang berperang di jalan Allah, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berperang itu; hanya saja dia tidak mengurangi sedikit pun dari pahala orang yang berperang tersebut.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 2759; dan disahihkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 2690). Amalan Kesepuluh: Sedekah Jariyah Amalan ini telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ “… atau sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya pada masa sehat dan masa hidupnya; semuanya akan mengiringinya setelah dia meninggal dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 242; dan dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 2231). Juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِلَّا … مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ  “… kecuali … sedekah jariyah.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahih, no. 1631). Yang dimaksud dengan sedekah jariyah adalah hal-hal yang disedekahkan oleh seorang muslim dan tetap dapat dimanfaatkan dalam rentang waktu yang lama, sehingga pahalanya terus mengalir bagi orang yang bersedekah, selama benda yang disedekahkan itu masih ada dan dapat dimanfaatkan. Termasuk dalam hal ini, mewakafkan tanah atau bangunan untuk kepentingan umum, seperti rumah sakit, sekolah, dan masjid; mewakafkan mushaf dan buku-buku ilmiah agar dapat dibaca dan dimanfaatkan; mewakafkan sumur dan sejenisnya yang dapat mengalirkan air bagi manusia dan hewan; serta sedekah dan wakaf lainnya yang manfaatnya dapat berkelanjutan. Penutup  Apabila seorang mukmin yang mendapat taufik telah mengetahui keutamaan amal-amal tersebut dan kebaikan yang akan mengalir darinya bagi dirinya, maka dia akan segera berusaha meraihnya dan bersungguh-sungguh untuk mencapai keutamaannya, selagi dia masih dalam keadaan hidup dan sehat; karena itu lebih baik baginya daripada menundanya hingga waktu kematiannya, sebab manusia tidak mengetahui kapan akan datang ajalnya. Oleh sebab itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang sedekah apa yang paling agung pahalanya? Beliau menjawab: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ  “Yaitu kamu bersedekah pada saat kamu dalam keadaan sehat, kikir, khawatir akan miskin, dan kamu berangan-angan untuk menjadi kaya, serta kamu tidak menunda bersedekah hingga nyawamu sampai di kerongkongan, barulah kamu berkata, ‘Ini untuk si Fulan dan ini untuk Fulan!’ Padahal harta itu memang akan menjadi milik si Fulan.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam ash-Shahihnya, no. 1419; dan Imam Muslim dalam ash-Shahihnya, no. 1032). Dulu Yazid ar-Raqasyi berkata kepada dirinya, “Celakalah dirimu wahai Yazid! Siapa yang akan mendirikan salat untukmu setelah kamu mati?! Siapa yang akan berpuasa untukmu setelah kamu mati?! Siapa yang akan berusaha membuat Tuhanmu rida untukmu setelah kamu mati?!” (Disebutkan dalam kitab al-Aqibah fi Zikr al-Maut, karya Abdul Haq al-Isybili, hlm. 40). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsir firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan …” (QS. Yasin: 12) Beliau berkata, “Yang dimaksud adalah sisa-sisa kebaikan dan sisa-sisa keburukan yang dulu mereka menjadi sebab keberadaannya saat mereka masih hidup dan setelah mereka mati. Jadi yang dimaksud adalah amalan-amalan yang timbul disebabkan oleh ucapan, perbuatan, dan keadaan mereka. Sehingga setiap kebaikan yang dilakukan oleh seorang manusia akibat ilmu dari seseorang, pengajarannya, nasihatnya, amar makrufnya, nahi mungkarnya, ilmu yang ia titipkan kepada murid-muridnya, atau ilmu yang ia tulis dalam buku-bukunya sehingga dapat dimanfaatkan semasa hidup dan setelah kematiannya; atau amal kebaikan seperti salat, zakat, sedekah, kebajikan kepada orang lain lalu ditiru oleh orang lain; atau membangun masjid atau fasilitas umum dan lain sebagainya; maka itu semua adalah bagian dari bekas-bekas kebaikan yang pahalanya tetap ditulis baginya. Demikian juga dalam amal keburukan.” (Kitab Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 692). Seorang mukmin harus memperhatikan bahwa sebagaimana pahala beberapa amal saleh dapat terus mengalir, selama pengaruh baiknya tetap ada pada orang lain; begitu juga ada beberapa amalan yang dosanya terus mengalir kepada orang yang menyerukannya, selama keburukannya dan pengaruh buruknya masih ada pada orang lain. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. PDF sumber artikel. 🔍 Hukum Makan Kepiting, Hukum Pelihara Anjing, Doa Agar Cepat Menghafal Pelajaran, Doa Sebelum Adzan Maghrib, Surat Toha Dan Artinya, Bangun Pagi Menurut Islam Visited 1,375 times, 6 visit(s) today Post Views: 696 QRIS donasi Yufid


Oleh:  Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr Bismillahirrahmanirrahim  Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasul mulia, Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Di antara keagungan nikmat Allah ‘Azza wa Jalla bagi para hamba-Nya yang beriman adalah Dia menyediakan bagi mereka pintu-pintu kebaikan dan kebajikan yang dapat ditempuh oleh hamba yang mendapatkan taufik di kehidupan ini; dan pahala amalan itu tetap mengalir setelah kematiannya. Karena para penghuni kubur akan tersandera di dalam alam kubur mereka, terhenti dari melakukan amalan, dan akan dimintai perhitungan dan diberi balasan atas apa yang telah mereka lakukan. Sedangkan orang yang mendapat taufik untuk melakukan amalan-amalan yang dapat terus mengalir pahalanya, maka kebaikan-kebaikan akan terus tercurah kepadanya di dalam kubur, serta pahala dan karunia akan terus berjalan untuknya. Dia telah berpindah dari negeri tempat beramal, tapi pahalanya tidak terhenti darinya. Namun, justru derajatnya terus bertambah, kebaikannya terus tumbuh, dan pahalanya terus berlipat ganda di alam kubur. Sungguh betapa mulianya keadaan ini, dan betapa baik dan indahnya kesudahan yang seperti ini!  Dalam riwayat hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa terdapat amalan-amalan saleh yang terus mengalir pahalanya bagi pelakunya di alam kubur setelah dia meninggal dunia. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا أَوْ أَجْرَى نَهْرًا أَوْ حَفَرَ بِئْرًا أَوْ غَرَسَ نَخْلاً أَوْ بَنَى مَسْجِدًا أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ “Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah berada di dalam kuburnya setelah meninggal dunia: (1) Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu, (2) orang yang mengalirkan sungai, (3) orang yang menggali sumur, (4) orang yang menanam kurma, (5) orang yang membangun masjid, (6) orang yang mewariskan mushaf, (7) atau orang yang meninggalkan anak yang memohonkan ampun untuknya setelah dia meninggal.” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya no. 7289; dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 73). Diriwayatkan juga dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَرْبَعٌ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أُجُورُهُمْ بَعْدَ الْمَوْتِ رَجُلٌ مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَرَجُلٌ عَلَّمَ عِلْمًا فَأَجْرُهُ يَجْرِي عَلَيْهِ مَا عَمِلَ بِهِ وَرَجُلٌ أَجْرَى صَدَقَةً فَأَجْرُهَا يَجْرِي عَلَيْهِ مَا جَرَتْ عَلَيْهِ وَرَجُلٌ تَرَكَ وَلَدًا صَالِحًا يَدْعُو لَهُ “Ada empat perkara yang terus mengalir pahala bagi para pelakunya setelah mereka meninggal dunia: (1) Seseorang yang meninggal dalam keadaan menjaga di perbatasan saat perang di jalan Allah, (2) seseorang yang mengajarkan ilmu, pahalanya akan terus mengalir untuknya selama ilmu itu tetap diamalkan oleh orang yang diajar, (3) seseorang yang bersedekah jariyah, pahalanya akan terus mengalir baginya selama sedekah itu masih bermanfaat, (4) seseorang yang ketika mati, meninggalkan anak saleh yang senantiasa mendoakannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22318 dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 114; juga diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 6181 dengan lafaz yang serupa dari riwayat Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 888). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ “Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah (1) ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, (2) anak shalih yang ia tinggal mati, (3) dan mushaf al-Quran yang ia wariskan, (4) atau masjid yang ia bangun, (5) rumah yang ia bangun untuk para musafir, (6) sungai yang ia alirkan (untuk orang lain), (7) dan sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya pada masa sehat dan masa hidupnya; semuanya akan mengiringinya setelah meninggal dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 242; dan dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 2231). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal; (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahih, no. 1631). Perbedaan dalam penyebutan jenis-jenis amalan dan jumlahnya antara hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa maksudnya adalah pembatasan pada jumlah tertentu; tapi itu adalah bentuk metode agar ilmu mudah dihafal. Di antara amalan yang disebutkan dalam hadis juga memiliki makna yang umum, dan mencakup beberapa jenis amalan yang disebutkan dalam hadis lainnya. Inti yang menyatukan antara hadis-hadis tersebut adalah semuanya memiliki kesamaan dalam keutamaan amalan-amalannya, yaitu mengalirnya pahala amalan tersebut semasa pelakunya masih hidup dan setelah kematiannya. Apabila seorang muslim yang menghendaki kebaikan bagi dirinya itu memperhatikan sejenak amalan-amalan ini, dan meyakini bahwa pahala yang agung dan ganjaran yang besar akan kembali kepadanya semasa hidupnya dan setelah kematiannya; niscaya dia akan bersungguh-sungguh agar mendapatkan bagian dari pahala itu, dan bersegera sebisa mungkin untuk mengamalkannya selagi dia masih di kehidupan dunia, sebelum umurnya habis dan ajalnya tiba. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati seorang lelaki, dan bersabda: اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هِرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah lima hal sebelum datang lima hal; (1) masa mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, (4) masa senggangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, no. 7846 dan beliau menyahihkannya, serta disepakati oleh adz-Dzahabi. Disahihkan pula oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 1077). Saya menghimpun dalam risalah ini sepuluh amalan yang telah ditetapkan adanya keutamaan di dalamnya sebagaimana yang dijelaskan; tujuh di antaranya adalah amalan yang disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas, dan tiga lainnya adalah amalan yang disebutkan dalam hadis-hadis lain setelahnya. Saya juga berusaha menjelaskan pintu-pintu kebaikan lain yang masih termasuk ke dalam amalan-amalan tersebut dan tercakup dalam maknanya, agar orang-orang beriman bersegera untuk mengamalkannya, dan orang-orang yang bersemangat tinggi dapat semakin meningkatkan usahanya; sehingga pahala mereka semakin agung dan timbangan amal kebaikan mereka semakin berat, pada hari tidak berguna lagi harta dan anak keturunan, kecuali orang yang datang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih. (Risalah ini pada asalnya adalah khotbah Jumat yang saya sampaikan pada tanggal 1 Zulqaidah 1421 H di Madinah al-Munawwarah. Kemudian beberapa saudara kita mengubahnya ke dalam bentuk teks dan menyusunnya; lalu saya mengoreksinya dan menambahkan beberapa faedah baru. Saya memohon kepada Allah agar membalas dengan sebaik-baik balasan bagi setiap orang yang berkontribusi dalam penerbitan risalah ini dan pendistribusiannya di kalangan kaum Muslimin; terkhusus kepada saudara-saudara dari Maktab Itqan yang ada di Kuwait, karena usaha dan kepedulian lebih dari mereka dalam proses penerbitannya). Amalan Pertama: Mengajarkan Ilmu Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا  “Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah berada di dalam kuburnya setelah meninggal dunia: Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu …” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam kitab al-Musnad, no. 7289; dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 73). Amalan ini juga disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Umamah al-Bahili dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini karena mengajarkan ilmu yang bermanfaat termasuk amal saleh yang paling mulia dan ibadah yang paling utama. Ia adalah tugas para nabi seluruhnya. Orang yang mengajarkan ilmu adalah yang menjadikan orang lain mengetahui agama mereka, mengenalkan mereka dengan Tuhan dan Sembahan mereka, menunjukkan kepada mereka jalan Tuhan yang lurus; dan menjadikan mereka dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara hidayah dan kesesatan, dan antara yang halal dan yang haram. Dari sini dapat diketahui betapa besar keutamaan para ulama yang tulus dan para dai yang ikhlas. Mereka adalah pelita bagi para hamba, menara cahaya bagi negara, tiang utama bagi umat, dan sumber-sumber mata air hikmah. Kehidupan mereka adalah keberuntungan, sedangkan kematian mereka adalah musibah; sebab mereka mengajarkan ilmu kepada orang yang jahil, mengingatkan orang yang lalai, dan memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Tidak perlu disangka akan datang keburukan dari mereka, dan tidak perlu ditakutkan akan hadir dari mereka tipu daya. Ketika salah satu dari ulama meninggal dunia, ilmunya akan tetap diwariskan di antara manusia; serta tulisan dan ucapan mereka akan terus disampaikan di antara mereka. Darinya orang-orang menyampaikan faedah ilmu, dan darinya mereka mengambil ilmu; sedangkan dia di dalam kubur menerima pahala yang terus mengalir dan balasan yang terus tercurah tiada henti; sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ عَلَّمَ آية مِنْ كِتَابِ اللّٰه كَانَ لَهُ ثَوَابُهَا مَا تُلِيَت “Barang siapa yang mengajarkan satu ayat dari kitab Allah, maka baginya pahala ayat tersebut selama ayat itu dibaca.” (Diriwayatkan oleh Abu Sahl al-Qaththan dalam kitab “al-Hadits” jilid 4 hlm. 243, menurut al-Albani sanadnya bagus sebagaimana yang disebutkan dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1335). Jadi meskipun orang yang berilmu telah meninggal dunia, tapi ilmunya, dan rekaman-rekaman kajian, seminar, dan khotbahnya yang bermanfaat akan tetap kekal. Dan akan mendapat manfaat beliau generasi-generasi setelah zamannya dan tidak ditakdirkan dapat bertemu dengannya secara langsung.  Barang siapa yang mencermati keadaan para ulama Islam – seperti para ulama hadis dan fikih – bagaimana ketika mereka sudah di dalam tanah; tapi bagi alam semesta, mereka bagaikan orang-orang yang masih hidup di antara mereka. Para manusia hanya kehilangan wajah mereka, tapi sebutan dan perbincangan tentang mereka serta pujian bagi mereka tidak pernah terhenti. Inilah kehidupan yang hakiki, sehingga itu disebut sebagai kehidupan kedua; sebagaimana yang diucapkan oleh al-Mutanabbi: ذِكْرُ الفتى عَيْشُهُ الثاني، وَحَاجَتُهُ ما قاتٓهُ، وَفُضُولُ العَيشِ أشْغالُ Pujian bagi seseorang adalah kehidupan keduanya. Dan kebutuhannya hanyalah … terhadap makanan pokoknya. Sedangkan kehidupan foya-foya hanyalah kesibukan (yang tidak perlu) (Kitab Miftah Dar as-Sa’adah, karya Ibnu al-Qayyim, jilid 1 hlm. 387). ibnu al-Jauzi rahimahullah berkata, “Apabila seseorang telah mengetahui bahwa kematian akan menghentikan amalnya, maka ia akan beramal dalam hidupnya dengan amalan yang pahalanya tetap mengalir setelah ia mati; seperti dengan menulis buku yang mengandung ilmu, karena tulisan seorang ulama bagaikan anaknya yang hidup kekal.” (Kitab Shaid al-Khathir, hlm. 34 dengan sedikit saduran). Demikian juga dengan setiap orang yang punya andil dalam proyek percetakan buku-buku yang bermanfaat, serta pendistribusian artikel-artikel dan buku-buku yang mengandung faedah; dia juga akan mendapat bagian yang banyak dari pahala besar dan berkelanjutan bagi seorang hamba semasa hidup dan setelah kematiannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا “Barang siapa mengajak orang lain kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam ash-Shahih no. 2674). Di antara amalan berkaitan dengan ilmu bermanfaat yang pahalanya terus mengalir bagi seorang hamba setelah kematiannya adalah membeli buku-buku yang bermanfaat dan mewakafkan atau menghadiahkannya kepada orang yang dapat memanfaatkannya, seperti para penuntut ilmu, peneliti, dan pembaca. Selama buku ini masih ada, maka itu terhitung sebagai sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir bagi penulis dan orang yang mewakafkan buku itu. Termasuk di antaranya juga adalah membuat e-book dan menyebarkannya melalui aplikasi-aplikasi bacaan, pencarian, dan lain sebagainya. Buku-buku dan program-program elektronik sama dengan buku-buku fisik dari sisi manfaat dan kemampuannya dalam menebar ilmu, atau bahkan dapat lebih luas penyebaran dan manfaatnya. Amalan Kedua: Mengalirkan Sungai Telah disebutkan sebelumnya dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ …أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ “Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah … (beliau menyebutkan di antaranya): sungai yang ia alirkan …” Dan dalam riwayat Anas bin Malik radhiyallahu’ anhu disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَوْ كَرَى نَهْرًا “… atau menyalurkan air sungai.”  Yang dimaksud dengan (كَرَى نَهْرًا) adalah membuat parit-parit air dari sumber mata air atau sungai-sungai, agar airnya dapat sampai ke pemukiman penduduk atau lahan pertanian mereka, sehingga orang-orang dapat meminum darinya, tanaman dapat diairi, dan diminum hewan-hewan ternak. Betapa banyak kebaikan kepada orang lain dan pemberian kemudahan bagi mereka yang dapat dihasilkan dari amalan agung seperti ini, dengan memudahkan mereka memperoleh air yang menjadi sumber kehidupan dan hajat hidup utama mereka. Termasuk dalam hal ini juga penyaluran air melalui pipa-pipa menuju pemukiman masyarakat dan tempat-tempat yang mereka butuhkan. Termasuk juga memasang pendingin air di pemukiman masyarakat dan tempat-tempat yang mereka butuhkan. Dalam hadis sahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:  وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ “Dan kamu menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah sedekah bagimu.” (Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab al-Jami, no. 1956; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah, no. 572). Bahkan Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sedekah yang paling utama, lalu beliau menjawab, “Memberi air minum.” (Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dalam kitab as-Sunan, no. 3664; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib, no. 962). Amalan Ketiga: Menggali Sumur Disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau menggali sumur.” (Sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat al-Bazzar sebelumnya). Amalan ini sangat mulia derajatnya dan sangat agung manfaatnya. Keutamaan yang ada pada pengaliran air sungai dan pemberian air minum yang telah disebutkan sebelumnya juga mencakup amalan ini juga, karena ini adalah salah satu bentuk pemberian air. Bahkan, pada umumnya sumur-sumur dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama, manusia dan hewan dapat memanfaatkannya. Dalam hadis sahih diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Pada suatu ketika ada seorang laki-laki sedang berjalan melalui suatu jalan, lalu dia merasa sangat kehausan. Kebetulan dia menemukan sebuah sumur, maka dia turun ke sumur itu untuk minum. Setelah keluar dari sumur, dia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu bergumam, ‘Anjing itu sangat kehausan seperti yang aku rasakan tadi.’ Lalu dia turun kembali ke sumur, kemudian dia mengisi sepatu kulitnya dengan air dan memegangnya dengan mulutnya, agar dapat memanjat naik. Lalu dia memberi minum kepada anjing itu. Maka Allah berterima kasih kepada orang itu sehingga Allah mengampuninya. Para sahabat bertanya; ‘Wahai Rasulullah! Dapat pahalakah kami jika kami berbuat baik kepada hewan-hewan?’ Beliau menjawab, ‘Ya, setiap perbuatan baik kepada makhluk hidup adalah berpahala.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 2363 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 2244). Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa lelaki itu karena telah memberi minum seekor anjing; lalu bagaimana dengan orang yang telah menggali sumurnya dan menjadi sebab keberadaannya, hingga banyak makhluk yang bisa minum dan mengambil manfaat darinya?! Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: مَنْ حَفَرَ مَاءً لَمْ يَشْرَبْ مِنْه كَبِدٌ حَرَّى مِنْ جنٍّ وَلَا إِنْسٍ وَلَا طَائِرٍ إِلَّا آجَرَهُ اللهُ يَومَ القيامةِ “Barang siapa yang menggali sumber air, lalu tidaklah ada makhluk hidup haus dan meminumnya; baik itu dari golongan jin, manusia, hewan buas, dan burung kecuali Allah akan memberinya pahala atas hal itu pada hari kiamat kelak.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab ash-Shahihnya no. 1292 dan Imam al-Bukhari dalam kitab at-Tarikh jilid 1 hlm. 332; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib no. 271). Amalan Keempat: Menanam Pohon Kurma Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau menanam pohon kurma.” Ditegaskan dalam as-Sunnah bahwa pohon kurma adalah pohon yang paling utama, paling bermanfaat, dan paling banyak mendatangkan faedah bagi manusia. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakannya dengan seorang Muslim. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ “Sesungguhnya di antara pohon-pohon itu terdapat satu pohon yang tidak jatuh daunnya, sungguh pohon itu bagaikan seorang Muslim.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 61 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 2811). Dan dalam riwayat lain menggunakan lafaz: إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ … هِيَ النَّخْلَةُ “Sesungguhnya di antara pohon-pohon itu terdapat satu pohon yang keberkahannya seperti keberkahan seorang Muslim … itu adalah pohon kurma.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 5444). Pohon kurma memiliki keutamaan besar seperti ini karena ia adalah pohon yang bagus dan diberkahi, dan memiliki banyak manfaat; setiap bagiannya hampir tidak terlepas dari manfaat bagi manusia dan hewan. Buahnya juga termasuk buah yang paling bermanfaat; punya tingkat kemanisan yang hampir tidak tertandingi. Demikian juga dengan inti batangnya yang mengandung banyak komposisi yang bermanfaat bagi tubuh. Begitu juga dengan seluruh bagian pohon tersebut, dapat dimanfaatkan oleh manusia. Bahkan, manusia memanfaatkannya untuk rumah mereka. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِ مَثَلُ النَّخْلَة مَا أَخَذْتَ مِنْهَا مِنْ شَيْءٍ نَفَعَكَ “Perumpamaan seorang Mukmin seperti pohon kurma, setiap bagian yang kamu ambil darinya dapat bermanfaat bagimu.” (Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 13514; dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah, no. 2285). Barang siapa yang menanam pohon kurma dan mewakafkan buahnya untuk kaum Muslimin, maka pahalanya akan terus mengalir selama ada orang yang memakan buahnya, dan ada makhluk yang memanfaatkan pohonnya, baik itu manusia maupun hewan. Pahala yang agung ini juga mencakup segala jenis pohon; karena disebutkan pohon kurma secara khusus dalam hadis tersebut adalah untuk menunjukkan keunggulannya dan begitu banyak manfaatnya. Oleh sebab itu, setiap orang yang menanam pohon, lalu ada manusia, hewan melata, atau burung yang memanfaatkannya; maka itu bernilai sedekah baginya; pahalanya akan sampai kepadanya semasa hidup dan setelah dia mati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menanam tanaman, kemudian pohon atau tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia, atau binatang melata melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 2320 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 1554). Amalan Kelima: Membangun Masjid Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau membangun masjid.” Masjid adalah petak tanah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala; sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash-nash syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا “Tempat yang paling dicintai oleh Allah adalah masjid-masjid.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 671). Memberi perhatian dan berusaha memakmurkan masjid adalah salah satu tanda keimanan, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala: إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir …” (QS. At-Taubah: 18).  Dan yang dimaksud dengan memakmurkan masjid berkatian dengan dua aspek: Aspek pertama: Memakmurkan masjid secara lahiriah; dan ini dapat direalisasikan dalam bentuk pembangunan masjid, perawatan, perluasan, perbaikan, penyediaan fasilitas, dan lain sebagainya. Aspek kedua: Memakmurkan masjid secara maknawi; dan ini dapat direalisasikan dengan mendirikan salat, membaca al-Quran, dan menghidupkan majelis-majelis zikir dan ilmu di dalamnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan: فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 36-37). Barang siapa yang membangun masjid agar dapat didirikan salat di dalamnya, nama-nama Allah senantiasa disebut, ilmu dapat disebarkan; kaum muslimin dapat berkumpul dalam kebaikan, kebajikan, dan penguatan hubungan di antara mereka; dan untuk maslahat-maslahat besar lainnya; maka pahala dari seluruh amal saleh itu akan mengalir juga bagi orang yang membangun masjid tersebut, pada saat masih hidup dan setelah kematiannya. Inilah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Diriwayatkan juga hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan besar lainnya bagi orang yang membangun masjid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بيتا فِي الْجَنَّةِ. “Barang siapa yang membangun masjid karena mengharapkan keridaan Allah, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ash-Shahihnya no. 450 dan Imam Muslim dalam kitab ash-Shahihnya no. 533). Pahala membangun masjid mencakup orang yang membangun satu masjid seluruhnya dengan biaya dari satu orang, dan juga mencakup orang yang membantu orang lain dalam pembangunannya, meskipun bantuannya kecil. Diriwayatkan dari Jabir al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ “Barang siapa yang membangun masjid karena Allah, walaupun hanya sebesar sarang burung atau lebih kecil dari itu, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 738; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami, no. 6128). Yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “sarang burung” yakni sarang tempat burung meletakkan telurnya; dan ini mengisyaratkan betapa besar pahala amal saleh ini dan kontribusi dalam amal ini meskipun hanya kontribusi kecil. Amalan Keenam: Mencetak Mushaf Telah disebutkan dalam hadis riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau mewariskan mushaf.” Pewarisan mushaf di sini mencakup amalan meninggalkan mushaf bagi para ahli waris dari keluarganya agar mereka dapat membaca dan memanfaatkannya; dan mencakup juga amalan mencetak mushaf, lalu membagikan dan mewakafkannya di masjid-masjid dan sekolah-sekolah agar dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslimin. Setiap ada orang yang membaca satu ayat dari mushaf-mushaf itu, menadaburinya, atau mengamalkan petunjuk yang ada di dalamnya; maka pahala yang besar akan mengalir bagi orang yang mewariskan mushaf-mushaf tersebut. Amalan Ketujuh: Mendidik Anak agar Menjadi Anak yang Saleh Amalan ini telah disebutkan dalam semua hadis yang lalu berkaitan dengan pembahasan ini. ini menunjukkan bahwa amalan ini sangat penting, karena mendidik dan mengasuh anak, dan berusaha agar mereka tumbuh di atas ketakwaan dan kesalehan termasuk salah satu kewajiban paling penting yang harus diperhatikan oleh seorang muslim. Anak merupakan bagian dari amanah besar yang Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan kita untuk menjaganya; sebagaimana yang Allah firmankan tentang sifat orang-orang beriman: وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Ma’arij: 32). Hal ini karena kesalehan anak akan menjadi kesalehan bagi masyarakat, komunitas keluarga, dan negeri. Di antara buah dari kesalehan mereka adalah mereka menjadi anak-anak yang berbakti kepada orang tua mereka, baik itu semasa hidup para orang tua itu maupun setelah kematian mereka, sehingga mereka akan mendoakan kebaikan dan memohonkan ampunan dan rahmat bagi orang tua mereka. Ini termasuk hal yang bermanfaat bagi mayit di alam kuburnya. Bahkan, seluruh pahala amal saleh seperti salat, sedekah, amal kebaikan dan kebajikan dari seorang anak akan mengalir juga bagi kedua orang tuanya, karena mereka berdua telah mendidik dan membimbingnya dengan baik; sehingga mereka adalah sebab kesalehan mereka – setelah taufik dari Allah Ta’ala –. Sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: إنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah bagian dari hasil usaha kalian.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam as-Sunan, no. 3528 dan at-Tirmidzi dalam al-Jami, no. 1358; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 1626). Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ “Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, lalu orang tersebut akan bertanya, ‘Bagaimana ini bisa terjadi?’ Lalu dijawab, ‘Karena anakmu telah memohonkan ampun untukmu.’” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 3660; dan dihasankan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1598). Amalan Kedelapan: Membangun Rumah Lalu Mewakafkannya Hal ini telah disebutkan dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… atau rumah yang dia bangun untuk para musafir.” Dalam hadis ini disebutkan keutamaan membangun rumah lalu mewakafkannya, agar kaum Muslimin bisa mendapat manfaat darinya; baik itu untuk para musafir, para penuntut ilmu, anak-anak yatim, para janda, atau orang-orang fakir miskin. Betapa banyak kebaikan dan kebajikan yang didapat dari amalan ini! Termasuk dalam cakupan amalan ini juga membangun rumah sakit umum dan mewakafkan manfaatnya untuk kaum muslimin, atau bangunan-bangunan umum lainnya. Semua ini adalah kebaikan besar yang mengalir pahalanya bagi pelakunya ketika masih hidup dan setelah dia meninggal dunia. Termasuk dalam cakupan amalan ini juga orang yang membeli tanah lalu mewakafkannya untuk dijadikan sebagai tanah pemakaman kaum muslimin, pemandian mayit, dan pengafanannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ حَفَرَ لِمَيِّتٍ قَبْرًا فَأَجَنَّهُ فِيهِ؛ أُجْرِيَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Barang siapa yang menggali lubang kubur bagi mayit, lalu dia menguburkannya di sana, maka dialirkan baginya pahala hingga hari kiamat seperti pahala orang yang membuatkannya rumah.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, jilid 1 hlm. 505; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 3492). Amalan Kesembilan: Meninggal Dunia dalam Keadaan Berjaga di Perbatasan Amalan ini disebutkan dalam hadis riwayat Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَرْبَعٌ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أُجُورُهُمْ بَعْدَ الْمَوْتِ رَجُلٌ مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ  “Ada empat perkara yang terus mengalir pahala bagi para pelakunya setelah mereka meninggal dunia: Seseorang yang meninggal dalam keadaan menjaga di perbatasan saat perang di jalan Allah …” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22318 dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 114; juga diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 6181 dengan lafaz yang serupa dari riwayat Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 888). Menjaga perbatasan di jalan Allah untuk menghalangi musuh agar tidak memasuki negeri Islam dan menjaga kaum muslimin dari bahaya termasuk ibadah yang sangat agung di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Terdapat banyak keutamaan yang ada dalam amalan ini; Imam Muslim meriwayatkan dalam ash-Shahih dari hadis Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ “Berjaga-jaga di perbatasan sehari semalam lebih baik daripada puasa dan shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal dunia (dalam keadaan itu) maka amalannya senantiasa mengalir (pahalanya) sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir pula rezekinya, dan dia akan terbebas dari fitnah (kubur).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam ash-Shahih, no. 1913). Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan empat keutamaan bagi orang yang berjaga di perbatasan, yaitu: Pertama: Pahala berjaga sehari di jalan Allah, lebih baik daripada pahala puasa dan salat malam selama sebulan penuh. Kedua: Pahala dari amal kebaikan yang pernah dia kerjakan semasa hidupnya seperti salat, zakat, puasa, bakti dan kebaikan kepada orang lain akan terus mengalir baginya setelah meninggal dunia. Pahala amalan-amalan itu tidak terputus ketika dia meninggal dunia dalam keadaan berjaga di jalan Allah. Justru Allah Ta’ala akan menambah dan melipatgandakan pahalanya saat dia sudah ada di alam kubur. Ketiga: Rezekinya yang berupa kenikmatan-kenikmatan surga akan terus diberikan kepadanya, seperti keadaan orang-orang yang mati syahid yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya: وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: إنَّ أرْوَاحَ الشُهَدَاءِ فِي طيرٍ خُضْرٍ تَعْلُقُ مِنْ ثَمَرِ الجَنّةِ “Sesungguhnya ruh orang-orang yang mati syahid berada dalam burung hijau, ia hinggap (untuk makan) buah surga.”  Keempat: Selamat dari fitnah kubur; yaitu ujian pertanyaan dari dua malaikat bagi seorang hamba di alam kuburnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كُلُّ مَيِّتٍ يُخْتَمُ عَلَى عَمَلِهِ إِلَّا المُرَابِط فَإِنَّهُ ينْمو لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَيَأْمَنُ مِنْ فتَّان الْقَبْرِ  “Setiap mayit ditutup amalnya kecuali orang yang mati dalam keadaan berjaga di perbatasan; amalannya akan tetap bertambah hingga hari kiamat, dan dia akan selamat dari fitnah kubur.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam as-Sunan, no. 2500; dan disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami, no. 4562). Termasuk dalam cakupan amalan ini juga, orang yang berjihad dengan hartanya; dia bersedekah di jalan Allah dan berinfak ke berbagai aspek untuk mempersiapkan kekuatan dan perbekalan bagi para pasukan yang akan bertugas untuk melindungi negeri kaum Muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِن غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الْغَازِي شَيْئًا  “Barang siapa yang menyiapkan perbekalan bagi orang yang berperang di jalan Allah, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berperang itu; hanya saja dia tidak mengurangi sedikit pun dari pahala orang yang berperang tersebut.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 2759; dan disahihkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 2690). Amalan Kesepuluh: Sedekah Jariyah Amalan ini telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ “… atau sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya pada masa sehat dan masa hidupnya; semuanya akan mengiringinya setelah dia meninggal dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan, no. 242; dan dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami, no. 2231). Juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: إِلَّا … مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ  “… kecuali … sedekah jariyah.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shahih, no. 1631). Yang dimaksud dengan sedekah jariyah adalah hal-hal yang disedekahkan oleh seorang muslim dan tetap dapat dimanfaatkan dalam rentang waktu yang lama, sehingga pahalanya terus mengalir bagi orang yang bersedekah, selama benda yang disedekahkan itu masih ada dan dapat dimanfaatkan. Termasuk dalam hal ini, mewakafkan tanah atau bangunan untuk kepentingan umum, seperti rumah sakit, sekolah, dan masjid; mewakafkan mushaf dan buku-buku ilmiah agar dapat dibaca dan dimanfaatkan; mewakafkan sumur dan sejenisnya yang dapat mengalirkan air bagi manusia dan hewan; serta sedekah dan wakaf lainnya yang manfaatnya dapat berkelanjutan. Penutup  Apabila seorang mukmin yang mendapat taufik telah mengetahui keutamaan amal-amal tersebut dan kebaikan yang akan mengalir darinya bagi dirinya, maka dia akan segera berusaha meraihnya dan bersungguh-sungguh untuk mencapai keutamaannya, selagi dia masih dalam keadaan hidup dan sehat; karena itu lebih baik baginya daripada menundanya hingga waktu kematiannya, sebab manusia tidak mengetahui kapan akan datang ajalnya. Oleh sebab itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang sedekah apa yang paling agung pahalanya? Beliau menjawab: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ  “Yaitu kamu bersedekah pada saat kamu dalam keadaan sehat, kikir, khawatir akan miskin, dan kamu berangan-angan untuk menjadi kaya, serta kamu tidak menunda bersedekah hingga nyawamu sampai di kerongkongan, barulah kamu berkata, ‘Ini untuk si Fulan dan ini untuk Fulan!’ Padahal harta itu memang akan menjadi milik si Fulan.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam ash-Shahihnya, no. 1419; dan Imam Muslim dalam ash-Shahihnya, no. 1032). Dulu Yazid ar-Raqasyi berkata kepada dirinya, “Celakalah dirimu wahai Yazid! Siapa yang akan mendirikan salat untukmu setelah kamu mati?! Siapa yang akan berpuasa untukmu setelah kamu mati?! Siapa yang akan berusaha membuat Tuhanmu rida untukmu setelah kamu mati?!” (Disebutkan dalam kitab al-Aqibah fi Zikr al-Maut, karya Abdul Haq al-Isybili, hlm. 40). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsir firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan …” (QS. Yasin: 12) Beliau berkata, “Yang dimaksud adalah sisa-sisa kebaikan dan sisa-sisa keburukan yang dulu mereka menjadi sebab keberadaannya saat mereka masih hidup dan setelah mereka mati. Jadi yang dimaksud adalah amalan-amalan yang timbul disebabkan oleh ucapan, perbuatan, dan keadaan mereka. Sehingga setiap kebaikan yang dilakukan oleh seorang manusia akibat ilmu dari seseorang, pengajarannya, nasihatnya, amar makrufnya, nahi mungkarnya, ilmu yang ia titipkan kepada murid-muridnya, atau ilmu yang ia tulis dalam buku-bukunya sehingga dapat dimanfaatkan semasa hidup dan setelah kematiannya; atau amal kebaikan seperti salat, zakat, sedekah, kebajikan kepada orang lain lalu ditiru oleh orang lain; atau membangun masjid atau fasilitas umum dan lain sebagainya; maka itu semua adalah bagian dari bekas-bekas kebaikan yang pahalanya tetap ditulis baginya. Demikian juga dalam amal keburukan.” (Kitab Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 692). Seorang mukmin harus memperhatikan bahwa sebagaimana pahala beberapa amal saleh dapat terus mengalir, selama pengaruh baiknya tetap ada pada orang lain; begitu juga ada beberapa amalan yang dosanya terus mengalir kepada orang yang menyerukannya, selama keburukannya dan pengaruh buruknya masih ada pada orang lain. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. PDF sumber artikel. 🔍 Hukum Makan Kepiting, Hukum Pelihara Anjing, Doa Agar Cepat Menghafal Pelajaran, Doa Sebelum Adzan Maghrib, Surat Toha Dan Artinya, Bangun Pagi Menurut Islam Visited 1,375 times, 6 visit(s) today Post Views: 696 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Andai ini Salat Terakhirku

Daftar Isi Toggle Salat dan prioritas ibadahIkhtiar memaksimalkan kekhusyukanMenyadari kelemahan saat menunaikan salatNikmatnya salat khusyuk Bagaimana jika salat yang akan kita laksanakan setelah ini adalah salat terakhir kita sebagai makhluk yang bernyawa? Anggaplah kita tahu bahwa setelah salat ini nanti, malakul maut akan datang menjemput dan mencabut nyawa kita. Kita akan berpisah dengan orang-orang tercinta dan bersiap untuk menghadap Allah Ta’ala, serta mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan selama hidup di dunia. Ibadah yang merupakan amalan pertama dihisab pada hari akhir itu ternyata menjadi persembahan terakhir kita kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari salat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah.’ Maka, disempurnakanlah apa yang kurang dari salat wajibnya. Kemudian, begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 413 dan An-Nasa’i no. 466 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Barulah kita menyadari bahwa, di dalamnya terdapat waktu mustajabnya doa (ketika sujud). Di mana kita masih dapat memohon pengampunan dari Allah Ta’ala atas segala dosa selama hidup. Salat di mana kita berserah diri kepada Allah Ta’ala, mengakui kebesaran-Nya tatkala mengucap takbiratulihram “Allahu Akbar”. Kemudian, kita merenungi setiap kalimat dan kata di kala melantunkan surah Al-Fatihah, melakukan rukuk, iktidal, dan sujud dengan begitu tumakninahnya karena menyadari bahwa ibadah tersebut merupakan penutup amalan kita selama hidup di dunia. Tentu, menangislah diri kita sejadi-jadinya berharap kesempatan terakhir dalam ibadah kepada Allah Ta’ala tersebut. Terbayang dosa-dosa yang pernah dilakukan, rasa cemas yang begitu tinggi, serta harapan yang besar agar mendapat ampunan dari Allah Ta’ala sebelum ajal menjemput. Salat dan prioritas ibadah Salat merupakan ibadah yang paling fundamental dalam Islam. Ibadah salat merupakan sarana di mana seorang hamba berkomunikasi dengan Rabb-Nya. Renungkanlah bacaan-bacaan dalam salat mulai dari takbiratulihram hingga salam. Semua kalimat tersebut merupakan zikir pengagungan kepada Allah Ta’ala dan doa-doa agung yang dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Bagaimana mungkin sepanjang melantunkan zikir dan doa kepada Allah, kita tidak mampu khusyuk dan benar-benar memahami bacaan yang kita ucapkan? Padahal, sangat jelas bahwa dalam setiap ayat yang kita baca dalam surah Al-Fatihah, Allah Ta’ala menjawab lantunan kita tersebut. Karena pada setiap bacaan, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. Maka, Allah Ta’ala akan berfirman, حَمِدَنِي عَبْدِي “Hamba-Ku memuji-Ku.” Adapun dalam setiap bacaan, الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ Allah Ta’ala pun menjawab, أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي “Hamba-Ku menyanjung-Ku.” Begitu juga, dalam setiap bacaan, مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ Maka, Allah juga membalasnya dengan kalimat, مَجَّدَنِي عَبْدِي “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” (HR. Muslim no. 395, Ahmad no. 7291, dan yang lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)  Namun, kenyataannya, sebagian besar dari kita masih belum memprioritaskan salat sebagai momen paling berharga sepanjang kehidupan yang diberikan oleh Allah Ta’ala setiap waktu. Padahal, saat salatlah seharusnya kita benar-benar mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah Ta’ala dengan fisik yang prima, pakaian terbaik, dan ilmu yang mumpuni tentang salat. Seseorang yang memiliki fisik yang prima tentu akan dengan mudah melakukan rangkaian gerakan salat dengan baik, tumakninah, dan kesesuaian dengan petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu pula, pakaian terbaik disertai dengan wewangian terbaik pula sebagai tanda persiapan maksimum sebelum bertemu dengan Allah Ta’ala dalam salat. Serta, ilmu yang mumpuni, dengannya seorang hamba dapat menyempurnakan ibadah salatnya sesuai dengan ketentuan sunah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ikhtiar memaksimalkan kekhusyukan Ditegaskan pula bahwa salat menempati urutan prioritas untuk dipertanggungjawabkan seorang muslim dalam rukun Islam setelah syahadatain. Karena keislaman seseorang tidak akan utuh tanpa melaksanakan salat sebagai kewajiban utamanya sebagai seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; menunaikan haji (ke Baitullah); dan berpuasa Ramadan.” (HR. Bukhari no. 8; Muslim no. 16 dari Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma.) Oleh karenanya, pahami dan sadarilah bahwa kedudukan salat adalah sungguh sangat agung dalam Islam. Persiapkan diri dengan semaksimal mungkin sebelum melaksanakan ibadah mulia ini, seperti: Pertama: Memohon kemudahan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala; Kedua: Membulatkan tekad dan azam untuk memprioritaskan salat dari segala urusan duniawi lainnya; Ketiga: Senantiasa menambah ilmu tentang fikih salat agar wawasan terhadap ibadah mulia ini selalu bertambah dan dapat mendekati kesempurnaan dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; Keempat: Mengatur pengingat 10 menit sebelum waktu salat dengan niat mendapatkan saf pertama di masjid (bagi kaum pria); Kelima: Menjaga wudu agar selalu siap tatkala masuk waktu salat; Keenam: Menyiapkan pakaian salat di tempat tertentu agar mudah mengenakannya atau senantiasa mengenakan pakaian yang tertutup aurat agar memudahkan diri melaksanakan salat secara tepat waktu; Ketujuh: Senantiasa menyiapkan wewangian dan siwak agar terjaga dari bau yang tidak sedap tatkala menghadap Allah Ta’ala; Kedelapan: Memaksimalkan kekhusyukan setiap melaksanakan salat dan menganggap bahwa salat tersebut adalah ibadah terakhirnya; Kesembilan: Memahami seluruh kata dan kalimat yang diucapkan dalam salat serta berupaya mentadaburinya; Kesepuluh: Memutus setiap pikiran dan khayalan yang timbul saat sedang menunaikan ibadah salat. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Menyadari kelemahan saat menunaikan salat Banyak hal yang dapat menggiring dan menjauhkan kita dari fokus untuk dapat khusyuk setiap kali melaksanakan salat. Di antaranya adalah kesadaran diri dan benteng diri dari setan. Kadangkala, kita mengalami kurang fokus saat melaksanakan salat. Terpikir hal-hal yang sejatinya tidak terpikirkan ketika sedang tidak salat. Bahkan, ayat-ayat yang dibacakan mungkin benar secara tajwid, tapi satu huruf pun kadang tak mampu direnungi makna dan maksudnya. Wal’iyadzubillah. Padahal, jelas ditegaskan bahwa dalam salat seharusnya kita memahami apa yang kita baca. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43) Sering pula, kita diganggu oleh setan dengan berbagai cara, mulai dari rasa was-was apakah wudu batal atau tidak, terbayang permasalahan duniawi, bahkan bacaan Al-Qur’an yang terganggu karena pikiran sedang kacau. Maka, segeralah memohon perlindungan kepada Allah dan tiup/meludahlah ke sebelah kiri sebanyak tiga kali. Renungkanlah riwayat berikut ini. Dari Abul ‘Ala’ bahwa ‘Utsman bin Abil ‘Ash mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya setan mengganggu salat dan bacaanku, ia menggodaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا ». قَالَ فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللَّهُ عَنِّى. “Itu adalah setan, ia disebut dengan Khinzib. Jika engkau merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan tersebut. Kemudian ludahlah ke sebelah kirimu sebanyak tiga kali.” ‘Utsman kemudian melakukan seperti itu, lantas Allah mengusir setan itu darinya. (HR. Muslim no. 2203) Nikmatnya salat khusyuk Betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menikmati ibadah salatnya sampai-sampai Nabi berucap bahwa salat merupakan bagian dari perkara kesenangan duniawinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إليَّ مِن الدُّنيا النساءُ والطِّيب، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصلاة “Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi. Dan ketentramanku dijadikan ada pada salatku.” (HR. An-Nasa’i no. 3939) Begitu pula, banyak riwayat yang menceritakan bahwa para sahabat dahulu ketika di medan perang tertusuk panah tajam pada tubuhnya. Ia tidak rela untuk dicabut, kecuali saat sedang melaksanakan salat, saking khusyuknya. Mereka menyadari bahwa orang-orang yang istikamah dan khusuk dalam salatnya adalah mereka orang-orang beriman yang beruntung. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2) Dari Abi Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ “Apabila engkau mendirikan salat, maka salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah.” (Hadis hasan. Dikeluarkan oleh Ahmad, 5: 412; Ibnu Majah no. 417; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 1: 462; Al-Mizzi, 19: 347; dan Lihat Ash-Shahihah no. 401.) Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah Ta’ala yang diberikan karunia kekhusyukan dalam salatnya. Menghadirkan perasaan bahwa salat tersebut merupakan ibadah terakhir dalam hidup karena memang sejatinya tidak ada yang tahu kapan ajal menjemput. Bisa jadi setelah salat tersebut, itu benar-benar waktu ajal kita tiba. Maka, persembahkan kualitas ibadah terbaikmu pada setiap salat-salatmu. Wallahua’lam. Baca juga: Salat: Bagian dari Zikir yang Paling Utama *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: salat

Andai ini Salat Terakhirku

Daftar Isi Toggle Salat dan prioritas ibadahIkhtiar memaksimalkan kekhusyukanMenyadari kelemahan saat menunaikan salatNikmatnya salat khusyuk Bagaimana jika salat yang akan kita laksanakan setelah ini adalah salat terakhir kita sebagai makhluk yang bernyawa? Anggaplah kita tahu bahwa setelah salat ini nanti, malakul maut akan datang menjemput dan mencabut nyawa kita. Kita akan berpisah dengan orang-orang tercinta dan bersiap untuk menghadap Allah Ta’ala, serta mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan selama hidup di dunia. Ibadah yang merupakan amalan pertama dihisab pada hari akhir itu ternyata menjadi persembahan terakhir kita kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari salat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah.’ Maka, disempurnakanlah apa yang kurang dari salat wajibnya. Kemudian, begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 413 dan An-Nasa’i no. 466 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Barulah kita menyadari bahwa, di dalamnya terdapat waktu mustajabnya doa (ketika sujud). Di mana kita masih dapat memohon pengampunan dari Allah Ta’ala atas segala dosa selama hidup. Salat di mana kita berserah diri kepada Allah Ta’ala, mengakui kebesaran-Nya tatkala mengucap takbiratulihram “Allahu Akbar”. Kemudian, kita merenungi setiap kalimat dan kata di kala melantunkan surah Al-Fatihah, melakukan rukuk, iktidal, dan sujud dengan begitu tumakninahnya karena menyadari bahwa ibadah tersebut merupakan penutup amalan kita selama hidup di dunia. Tentu, menangislah diri kita sejadi-jadinya berharap kesempatan terakhir dalam ibadah kepada Allah Ta’ala tersebut. Terbayang dosa-dosa yang pernah dilakukan, rasa cemas yang begitu tinggi, serta harapan yang besar agar mendapat ampunan dari Allah Ta’ala sebelum ajal menjemput. Salat dan prioritas ibadah Salat merupakan ibadah yang paling fundamental dalam Islam. Ibadah salat merupakan sarana di mana seorang hamba berkomunikasi dengan Rabb-Nya. Renungkanlah bacaan-bacaan dalam salat mulai dari takbiratulihram hingga salam. Semua kalimat tersebut merupakan zikir pengagungan kepada Allah Ta’ala dan doa-doa agung yang dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Bagaimana mungkin sepanjang melantunkan zikir dan doa kepada Allah, kita tidak mampu khusyuk dan benar-benar memahami bacaan yang kita ucapkan? Padahal, sangat jelas bahwa dalam setiap ayat yang kita baca dalam surah Al-Fatihah, Allah Ta’ala menjawab lantunan kita tersebut. Karena pada setiap bacaan, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. Maka, Allah Ta’ala akan berfirman, حَمِدَنِي عَبْدِي “Hamba-Ku memuji-Ku.” Adapun dalam setiap bacaan, الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ Allah Ta’ala pun menjawab, أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي “Hamba-Ku menyanjung-Ku.” Begitu juga, dalam setiap bacaan, مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ Maka, Allah juga membalasnya dengan kalimat, مَجَّدَنِي عَبْدِي “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” (HR. Muslim no. 395, Ahmad no. 7291, dan yang lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)  Namun, kenyataannya, sebagian besar dari kita masih belum memprioritaskan salat sebagai momen paling berharga sepanjang kehidupan yang diberikan oleh Allah Ta’ala setiap waktu. Padahal, saat salatlah seharusnya kita benar-benar mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah Ta’ala dengan fisik yang prima, pakaian terbaik, dan ilmu yang mumpuni tentang salat. Seseorang yang memiliki fisik yang prima tentu akan dengan mudah melakukan rangkaian gerakan salat dengan baik, tumakninah, dan kesesuaian dengan petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu pula, pakaian terbaik disertai dengan wewangian terbaik pula sebagai tanda persiapan maksimum sebelum bertemu dengan Allah Ta’ala dalam salat. Serta, ilmu yang mumpuni, dengannya seorang hamba dapat menyempurnakan ibadah salatnya sesuai dengan ketentuan sunah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ikhtiar memaksimalkan kekhusyukan Ditegaskan pula bahwa salat menempati urutan prioritas untuk dipertanggungjawabkan seorang muslim dalam rukun Islam setelah syahadatain. Karena keislaman seseorang tidak akan utuh tanpa melaksanakan salat sebagai kewajiban utamanya sebagai seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; menunaikan haji (ke Baitullah); dan berpuasa Ramadan.” (HR. Bukhari no. 8; Muslim no. 16 dari Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma.) Oleh karenanya, pahami dan sadarilah bahwa kedudukan salat adalah sungguh sangat agung dalam Islam. Persiapkan diri dengan semaksimal mungkin sebelum melaksanakan ibadah mulia ini, seperti: Pertama: Memohon kemudahan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala; Kedua: Membulatkan tekad dan azam untuk memprioritaskan salat dari segala urusan duniawi lainnya; Ketiga: Senantiasa menambah ilmu tentang fikih salat agar wawasan terhadap ibadah mulia ini selalu bertambah dan dapat mendekati kesempurnaan dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; Keempat: Mengatur pengingat 10 menit sebelum waktu salat dengan niat mendapatkan saf pertama di masjid (bagi kaum pria); Kelima: Menjaga wudu agar selalu siap tatkala masuk waktu salat; Keenam: Menyiapkan pakaian salat di tempat tertentu agar mudah mengenakannya atau senantiasa mengenakan pakaian yang tertutup aurat agar memudahkan diri melaksanakan salat secara tepat waktu; Ketujuh: Senantiasa menyiapkan wewangian dan siwak agar terjaga dari bau yang tidak sedap tatkala menghadap Allah Ta’ala; Kedelapan: Memaksimalkan kekhusyukan setiap melaksanakan salat dan menganggap bahwa salat tersebut adalah ibadah terakhirnya; Kesembilan: Memahami seluruh kata dan kalimat yang diucapkan dalam salat serta berupaya mentadaburinya; Kesepuluh: Memutus setiap pikiran dan khayalan yang timbul saat sedang menunaikan ibadah salat. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Menyadari kelemahan saat menunaikan salat Banyak hal yang dapat menggiring dan menjauhkan kita dari fokus untuk dapat khusyuk setiap kali melaksanakan salat. Di antaranya adalah kesadaran diri dan benteng diri dari setan. Kadangkala, kita mengalami kurang fokus saat melaksanakan salat. Terpikir hal-hal yang sejatinya tidak terpikirkan ketika sedang tidak salat. Bahkan, ayat-ayat yang dibacakan mungkin benar secara tajwid, tapi satu huruf pun kadang tak mampu direnungi makna dan maksudnya. Wal’iyadzubillah. Padahal, jelas ditegaskan bahwa dalam salat seharusnya kita memahami apa yang kita baca. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43) Sering pula, kita diganggu oleh setan dengan berbagai cara, mulai dari rasa was-was apakah wudu batal atau tidak, terbayang permasalahan duniawi, bahkan bacaan Al-Qur’an yang terganggu karena pikiran sedang kacau. Maka, segeralah memohon perlindungan kepada Allah dan tiup/meludahlah ke sebelah kiri sebanyak tiga kali. Renungkanlah riwayat berikut ini. Dari Abul ‘Ala’ bahwa ‘Utsman bin Abil ‘Ash mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya setan mengganggu salat dan bacaanku, ia menggodaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا ». قَالَ فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللَّهُ عَنِّى. “Itu adalah setan, ia disebut dengan Khinzib. Jika engkau merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan tersebut. Kemudian ludahlah ke sebelah kirimu sebanyak tiga kali.” ‘Utsman kemudian melakukan seperti itu, lantas Allah mengusir setan itu darinya. (HR. Muslim no. 2203) Nikmatnya salat khusyuk Betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menikmati ibadah salatnya sampai-sampai Nabi berucap bahwa salat merupakan bagian dari perkara kesenangan duniawinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إليَّ مِن الدُّنيا النساءُ والطِّيب، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصلاة “Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi. Dan ketentramanku dijadikan ada pada salatku.” (HR. An-Nasa’i no. 3939) Begitu pula, banyak riwayat yang menceritakan bahwa para sahabat dahulu ketika di medan perang tertusuk panah tajam pada tubuhnya. Ia tidak rela untuk dicabut, kecuali saat sedang melaksanakan salat, saking khusyuknya. Mereka menyadari bahwa orang-orang yang istikamah dan khusuk dalam salatnya adalah mereka orang-orang beriman yang beruntung. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2) Dari Abi Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ “Apabila engkau mendirikan salat, maka salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah.” (Hadis hasan. Dikeluarkan oleh Ahmad, 5: 412; Ibnu Majah no. 417; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 1: 462; Al-Mizzi, 19: 347; dan Lihat Ash-Shahihah no. 401.) Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah Ta’ala yang diberikan karunia kekhusyukan dalam salatnya. Menghadirkan perasaan bahwa salat tersebut merupakan ibadah terakhir dalam hidup karena memang sejatinya tidak ada yang tahu kapan ajal menjemput. Bisa jadi setelah salat tersebut, itu benar-benar waktu ajal kita tiba. Maka, persembahkan kualitas ibadah terbaikmu pada setiap salat-salatmu. Wallahua’lam. Baca juga: Salat: Bagian dari Zikir yang Paling Utama *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: salat
Daftar Isi Toggle Salat dan prioritas ibadahIkhtiar memaksimalkan kekhusyukanMenyadari kelemahan saat menunaikan salatNikmatnya salat khusyuk Bagaimana jika salat yang akan kita laksanakan setelah ini adalah salat terakhir kita sebagai makhluk yang bernyawa? Anggaplah kita tahu bahwa setelah salat ini nanti, malakul maut akan datang menjemput dan mencabut nyawa kita. Kita akan berpisah dengan orang-orang tercinta dan bersiap untuk menghadap Allah Ta’ala, serta mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan selama hidup di dunia. Ibadah yang merupakan amalan pertama dihisab pada hari akhir itu ternyata menjadi persembahan terakhir kita kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari salat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah.’ Maka, disempurnakanlah apa yang kurang dari salat wajibnya. Kemudian, begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 413 dan An-Nasa’i no. 466 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Barulah kita menyadari bahwa, di dalamnya terdapat waktu mustajabnya doa (ketika sujud). Di mana kita masih dapat memohon pengampunan dari Allah Ta’ala atas segala dosa selama hidup. Salat di mana kita berserah diri kepada Allah Ta’ala, mengakui kebesaran-Nya tatkala mengucap takbiratulihram “Allahu Akbar”. Kemudian, kita merenungi setiap kalimat dan kata di kala melantunkan surah Al-Fatihah, melakukan rukuk, iktidal, dan sujud dengan begitu tumakninahnya karena menyadari bahwa ibadah tersebut merupakan penutup amalan kita selama hidup di dunia. Tentu, menangislah diri kita sejadi-jadinya berharap kesempatan terakhir dalam ibadah kepada Allah Ta’ala tersebut. Terbayang dosa-dosa yang pernah dilakukan, rasa cemas yang begitu tinggi, serta harapan yang besar agar mendapat ampunan dari Allah Ta’ala sebelum ajal menjemput. Salat dan prioritas ibadah Salat merupakan ibadah yang paling fundamental dalam Islam. Ibadah salat merupakan sarana di mana seorang hamba berkomunikasi dengan Rabb-Nya. Renungkanlah bacaan-bacaan dalam salat mulai dari takbiratulihram hingga salam. Semua kalimat tersebut merupakan zikir pengagungan kepada Allah Ta’ala dan doa-doa agung yang dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Bagaimana mungkin sepanjang melantunkan zikir dan doa kepada Allah, kita tidak mampu khusyuk dan benar-benar memahami bacaan yang kita ucapkan? Padahal, sangat jelas bahwa dalam setiap ayat yang kita baca dalam surah Al-Fatihah, Allah Ta’ala menjawab lantunan kita tersebut. Karena pada setiap bacaan, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. Maka, Allah Ta’ala akan berfirman, حَمِدَنِي عَبْدِي “Hamba-Ku memuji-Ku.” Adapun dalam setiap bacaan, الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ Allah Ta’ala pun menjawab, أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي “Hamba-Ku menyanjung-Ku.” Begitu juga, dalam setiap bacaan, مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ Maka, Allah juga membalasnya dengan kalimat, مَجَّدَنِي عَبْدِي “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” (HR. Muslim no. 395, Ahmad no. 7291, dan yang lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)  Namun, kenyataannya, sebagian besar dari kita masih belum memprioritaskan salat sebagai momen paling berharga sepanjang kehidupan yang diberikan oleh Allah Ta’ala setiap waktu. Padahal, saat salatlah seharusnya kita benar-benar mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah Ta’ala dengan fisik yang prima, pakaian terbaik, dan ilmu yang mumpuni tentang salat. Seseorang yang memiliki fisik yang prima tentu akan dengan mudah melakukan rangkaian gerakan salat dengan baik, tumakninah, dan kesesuaian dengan petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu pula, pakaian terbaik disertai dengan wewangian terbaik pula sebagai tanda persiapan maksimum sebelum bertemu dengan Allah Ta’ala dalam salat. Serta, ilmu yang mumpuni, dengannya seorang hamba dapat menyempurnakan ibadah salatnya sesuai dengan ketentuan sunah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ikhtiar memaksimalkan kekhusyukan Ditegaskan pula bahwa salat menempati urutan prioritas untuk dipertanggungjawabkan seorang muslim dalam rukun Islam setelah syahadatain. Karena keislaman seseorang tidak akan utuh tanpa melaksanakan salat sebagai kewajiban utamanya sebagai seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; menunaikan haji (ke Baitullah); dan berpuasa Ramadan.” (HR. Bukhari no. 8; Muslim no. 16 dari Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma.) Oleh karenanya, pahami dan sadarilah bahwa kedudukan salat adalah sungguh sangat agung dalam Islam. Persiapkan diri dengan semaksimal mungkin sebelum melaksanakan ibadah mulia ini, seperti: Pertama: Memohon kemudahan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala; Kedua: Membulatkan tekad dan azam untuk memprioritaskan salat dari segala urusan duniawi lainnya; Ketiga: Senantiasa menambah ilmu tentang fikih salat agar wawasan terhadap ibadah mulia ini selalu bertambah dan dapat mendekati kesempurnaan dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; Keempat: Mengatur pengingat 10 menit sebelum waktu salat dengan niat mendapatkan saf pertama di masjid (bagi kaum pria); Kelima: Menjaga wudu agar selalu siap tatkala masuk waktu salat; Keenam: Menyiapkan pakaian salat di tempat tertentu agar mudah mengenakannya atau senantiasa mengenakan pakaian yang tertutup aurat agar memudahkan diri melaksanakan salat secara tepat waktu; Ketujuh: Senantiasa menyiapkan wewangian dan siwak agar terjaga dari bau yang tidak sedap tatkala menghadap Allah Ta’ala; Kedelapan: Memaksimalkan kekhusyukan setiap melaksanakan salat dan menganggap bahwa salat tersebut adalah ibadah terakhirnya; Kesembilan: Memahami seluruh kata dan kalimat yang diucapkan dalam salat serta berupaya mentadaburinya; Kesepuluh: Memutus setiap pikiran dan khayalan yang timbul saat sedang menunaikan ibadah salat. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Menyadari kelemahan saat menunaikan salat Banyak hal yang dapat menggiring dan menjauhkan kita dari fokus untuk dapat khusyuk setiap kali melaksanakan salat. Di antaranya adalah kesadaran diri dan benteng diri dari setan. Kadangkala, kita mengalami kurang fokus saat melaksanakan salat. Terpikir hal-hal yang sejatinya tidak terpikirkan ketika sedang tidak salat. Bahkan, ayat-ayat yang dibacakan mungkin benar secara tajwid, tapi satu huruf pun kadang tak mampu direnungi makna dan maksudnya. Wal’iyadzubillah. Padahal, jelas ditegaskan bahwa dalam salat seharusnya kita memahami apa yang kita baca. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43) Sering pula, kita diganggu oleh setan dengan berbagai cara, mulai dari rasa was-was apakah wudu batal atau tidak, terbayang permasalahan duniawi, bahkan bacaan Al-Qur’an yang terganggu karena pikiran sedang kacau. Maka, segeralah memohon perlindungan kepada Allah dan tiup/meludahlah ke sebelah kiri sebanyak tiga kali. Renungkanlah riwayat berikut ini. Dari Abul ‘Ala’ bahwa ‘Utsman bin Abil ‘Ash mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya setan mengganggu salat dan bacaanku, ia menggodaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا ». قَالَ فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللَّهُ عَنِّى. “Itu adalah setan, ia disebut dengan Khinzib. Jika engkau merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan tersebut. Kemudian ludahlah ke sebelah kirimu sebanyak tiga kali.” ‘Utsman kemudian melakukan seperti itu, lantas Allah mengusir setan itu darinya. (HR. Muslim no. 2203) Nikmatnya salat khusyuk Betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menikmati ibadah salatnya sampai-sampai Nabi berucap bahwa salat merupakan bagian dari perkara kesenangan duniawinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إليَّ مِن الدُّنيا النساءُ والطِّيب، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصلاة “Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi. Dan ketentramanku dijadikan ada pada salatku.” (HR. An-Nasa’i no. 3939) Begitu pula, banyak riwayat yang menceritakan bahwa para sahabat dahulu ketika di medan perang tertusuk panah tajam pada tubuhnya. Ia tidak rela untuk dicabut, kecuali saat sedang melaksanakan salat, saking khusyuknya. Mereka menyadari bahwa orang-orang yang istikamah dan khusuk dalam salatnya adalah mereka orang-orang beriman yang beruntung. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2) Dari Abi Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ “Apabila engkau mendirikan salat, maka salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah.” (Hadis hasan. Dikeluarkan oleh Ahmad, 5: 412; Ibnu Majah no. 417; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 1: 462; Al-Mizzi, 19: 347; dan Lihat Ash-Shahihah no. 401.) Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah Ta’ala yang diberikan karunia kekhusyukan dalam salatnya. Menghadirkan perasaan bahwa salat tersebut merupakan ibadah terakhir dalam hidup karena memang sejatinya tidak ada yang tahu kapan ajal menjemput. Bisa jadi setelah salat tersebut, itu benar-benar waktu ajal kita tiba. Maka, persembahkan kualitas ibadah terbaikmu pada setiap salat-salatmu. Wallahua’lam. Baca juga: Salat: Bagian dari Zikir yang Paling Utama *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: salat


Daftar Isi Toggle Salat dan prioritas ibadahIkhtiar memaksimalkan kekhusyukanMenyadari kelemahan saat menunaikan salatNikmatnya salat khusyuk Bagaimana jika salat yang akan kita laksanakan setelah ini adalah salat terakhir kita sebagai makhluk yang bernyawa? Anggaplah kita tahu bahwa setelah salat ini nanti, malakul maut akan datang menjemput dan mencabut nyawa kita. Kita akan berpisah dengan orang-orang tercinta dan bersiap untuk menghadap Allah Ta’ala, serta mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan selama hidup di dunia. Ibadah yang merupakan amalan pertama dihisab pada hari akhir itu ternyata menjadi persembahan terakhir kita kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari salat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah.’ Maka, disempurnakanlah apa yang kurang dari salat wajibnya. Kemudian, begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 413 dan An-Nasa’i no. 466 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.) Barulah kita menyadari bahwa, di dalamnya terdapat waktu mustajabnya doa (ketika sujud). Di mana kita masih dapat memohon pengampunan dari Allah Ta’ala atas segala dosa selama hidup. Salat di mana kita berserah diri kepada Allah Ta’ala, mengakui kebesaran-Nya tatkala mengucap takbiratulihram “Allahu Akbar”. Kemudian, kita merenungi setiap kalimat dan kata di kala melantunkan surah Al-Fatihah, melakukan rukuk, iktidal, dan sujud dengan begitu tumakninahnya karena menyadari bahwa ibadah tersebut merupakan penutup amalan kita selama hidup di dunia. Tentu, menangislah diri kita sejadi-jadinya berharap kesempatan terakhir dalam ibadah kepada Allah Ta’ala tersebut. Terbayang dosa-dosa yang pernah dilakukan, rasa cemas yang begitu tinggi, serta harapan yang besar agar mendapat ampunan dari Allah Ta’ala sebelum ajal menjemput. Salat dan prioritas ibadah Salat merupakan ibadah yang paling fundamental dalam Islam. Ibadah salat merupakan sarana di mana seorang hamba berkomunikasi dengan Rabb-Nya. Renungkanlah bacaan-bacaan dalam salat mulai dari takbiratulihram hingga salam. Semua kalimat tersebut merupakan zikir pengagungan kepada Allah Ta’ala dan doa-doa agung yang dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Bagaimana mungkin sepanjang melantunkan zikir dan doa kepada Allah, kita tidak mampu khusyuk dan benar-benar memahami bacaan yang kita ucapkan? Padahal, sangat jelas bahwa dalam setiap ayat yang kita baca dalam surah Al-Fatihah, Allah Ta’ala menjawab lantunan kita tersebut. Karena pada setiap bacaan, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. Maka, Allah Ta’ala akan berfirman, حَمِدَنِي عَبْدِي “Hamba-Ku memuji-Ku.” Adapun dalam setiap bacaan, الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ Allah Ta’ala pun menjawab, أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي “Hamba-Ku menyanjung-Ku.” Begitu juga, dalam setiap bacaan, مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ Maka, Allah juga membalasnya dengan kalimat, مَجَّدَنِي عَبْدِي “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” (HR. Muslim no. 395, Ahmad no. 7291, dan yang lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)  Namun, kenyataannya, sebagian besar dari kita masih belum memprioritaskan salat sebagai momen paling berharga sepanjang kehidupan yang diberikan oleh Allah Ta’ala setiap waktu. Padahal, saat salatlah seharusnya kita benar-benar mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah Ta’ala dengan fisik yang prima, pakaian terbaik, dan ilmu yang mumpuni tentang salat. Seseorang yang memiliki fisik yang prima tentu akan dengan mudah melakukan rangkaian gerakan salat dengan baik, tumakninah, dan kesesuaian dengan petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu pula, pakaian terbaik disertai dengan wewangian terbaik pula sebagai tanda persiapan maksimum sebelum bertemu dengan Allah Ta’ala dalam salat. Serta, ilmu yang mumpuni, dengannya seorang hamba dapat menyempurnakan ibadah salatnya sesuai dengan ketentuan sunah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ikhtiar memaksimalkan kekhusyukan Ditegaskan pula bahwa salat menempati urutan prioritas untuk dipertanggungjawabkan seorang muslim dalam rukun Islam setelah syahadatain. Karena keislaman seseorang tidak akan utuh tanpa melaksanakan salat sebagai kewajiban utamanya sebagai seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; menunaikan haji (ke Baitullah); dan berpuasa Ramadan.” (HR. Bukhari no. 8; Muslim no. 16 dari Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma.) Oleh karenanya, pahami dan sadarilah bahwa kedudukan salat adalah sungguh sangat agung dalam Islam. Persiapkan diri dengan semaksimal mungkin sebelum melaksanakan ibadah mulia ini, seperti: Pertama: Memohon kemudahan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala; Kedua: Membulatkan tekad dan azam untuk memprioritaskan salat dari segala urusan duniawi lainnya; Ketiga: Senantiasa menambah ilmu tentang fikih salat agar wawasan terhadap ibadah mulia ini selalu bertambah dan dapat mendekati kesempurnaan dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; Keempat: Mengatur pengingat 10 menit sebelum waktu salat dengan niat mendapatkan saf pertama di masjid (bagi kaum pria); Kelima: Menjaga wudu agar selalu siap tatkala masuk waktu salat; Keenam: Menyiapkan pakaian salat di tempat tertentu agar mudah mengenakannya atau senantiasa mengenakan pakaian yang tertutup aurat agar memudahkan diri melaksanakan salat secara tepat waktu; Ketujuh: Senantiasa menyiapkan wewangian dan siwak agar terjaga dari bau yang tidak sedap tatkala menghadap Allah Ta’ala; Kedelapan: Memaksimalkan kekhusyukan setiap melaksanakan salat dan menganggap bahwa salat tersebut adalah ibadah terakhirnya; Kesembilan: Memahami seluruh kata dan kalimat yang diucapkan dalam salat serta berupaya mentadaburinya; Kesepuluh: Memutus setiap pikiran dan khayalan yang timbul saat sedang menunaikan ibadah salat. Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat Menyadari kelemahan saat menunaikan salat Banyak hal yang dapat menggiring dan menjauhkan kita dari fokus untuk dapat khusyuk setiap kali melaksanakan salat. Di antaranya adalah kesadaran diri dan benteng diri dari setan. Kadangkala, kita mengalami kurang fokus saat melaksanakan salat. Terpikir hal-hal yang sejatinya tidak terpikirkan ketika sedang tidak salat. Bahkan, ayat-ayat yang dibacakan mungkin benar secara tajwid, tapi satu huruf pun kadang tak mampu direnungi makna dan maksudnya. Wal’iyadzubillah. Padahal, jelas ditegaskan bahwa dalam salat seharusnya kita memahami apa yang kita baca. Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43) Sering pula, kita diganggu oleh setan dengan berbagai cara, mulai dari rasa was-was apakah wudu batal atau tidak, terbayang permasalahan duniawi, bahkan bacaan Al-Qur’an yang terganggu karena pikiran sedang kacau. Maka, segeralah memohon perlindungan kepada Allah dan tiup/meludahlah ke sebelah kiri sebanyak tiga kali. Renungkanlah riwayat berikut ini. Dari Abul ‘Ala’ bahwa ‘Utsman bin Abil ‘Ash mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya setan mengganggu salat dan bacaanku, ia menggodaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا ». قَالَ فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللَّهُ عَنِّى. “Itu adalah setan, ia disebut dengan Khinzib. Jika engkau merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan tersebut. Kemudian ludahlah ke sebelah kirimu sebanyak tiga kali.” ‘Utsman kemudian melakukan seperti itu, lantas Allah mengusir setan itu darinya. (HR. Muslim no. 2203) Nikmatnya salat khusyuk Betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menikmati ibadah salatnya sampai-sampai Nabi berucap bahwa salat merupakan bagian dari perkara kesenangan duniawinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, حُبِّبَ إليَّ مِن الدُّنيا النساءُ والطِّيب، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصلاة “Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi. Dan ketentramanku dijadikan ada pada salatku.” (HR. An-Nasa’i no. 3939) Begitu pula, banyak riwayat yang menceritakan bahwa para sahabat dahulu ketika di medan perang tertusuk panah tajam pada tubuhnya. Ia tidak rela untuk dicabut, kecuali saat sedang melaksanakan salat, saking khusyuknya. Mereka menyadari bahwa orang-orang yang istikamah dan khusuk dalam salatnya adalah mereka orang-orang beriman yang beruntung. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2) Dari Abi Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ “Apabila engkau mendirikan salat, maka salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah.” (Hadis hasan. Dikeluarkan oleh Ahmad, 5: 412; Ibnu Majah no. 417; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 1: 462; Al-Mizzi, 19: 347; dan Lihat Ash-Shahihah no. 401.) Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah Ta’ala yang diberikan karunia kekhusyukan dalam salatnya. Menghadirkan perasaan bahwa salat tersebut merupakan ibadah terakhir dalam hidup karena memang sejatinya tidak ada yang tahu kapan ajal menjemput. Bisa jadi setelah salat tersebut, itu benar-benar waktu ajal kita tiba. Maka, persembahkan kualitas ibadah terbaikmu pada setiap salat-salatmu. Wallahua’lam. Baca juga: Salat: Bagian dari Zikir yang Paling Utama *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: salat

Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat

Daftar Isi Toggle Menghadap kiblat merupakan syarat sah salatBatalnya salat orang yang berpaling dari kiblat ketika salatKhusus salat sunah, diperbolehkan di atas kendaraan, ke mana pun arah kendaraan tersebut menujuSalat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sahJika angin bertiup, sehingga mengubah arah kapal, apa yang harus dilakukan?Kesimpulan Bersafar dengan pesawat atau kapal merupakan hal wajar yang kita lakukan. Bahkan, kita kadang mendapatkan waktu salat wajib di atas kendaraan tersebut dan baru bisa turun ketika waktu salat sudah berlalu. Dalam keadaan seperti itu, kita diharuskan untuk melakukan salat wajib. Di sisi lain, kita tahu bahwasanya salat (khususnya yang wajib) harus dilaksanakan dengan menghadap kiblat dan itu tentu “agak repot” untuk dipraktikkan. Bolehkah kita salat wajib tanpa menghadap kiblat, yaitu cukup menghadap sebagaimana arah kapal atau pesawat? Apakah hal tersebut boleh dalam seluruh keadaan, atau khusus keadaan-keadaan tertentu saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang hukum menghadap kiblat ketika salat di kapal atau pesawat. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Menghadap kiblat merupakan syarat sah salat Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa salah satu syarat sah salat adalah menghadap kiblat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَوَل وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ “Maka, palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya (kiblat).” [1] Maksudnya adalah menghadap ke arahnya. Akan tetapi, ada beberapa kondisi yang tidak disyaratkan menghadap kiblat, seperti salat khauf (ketika dalam kondisi ketakutan), orang yang terpaksa (terpaksa tidak menghadap kiblat), orang yang tenggelam (tidak bisa menghadap kiblat), sunah saat dalam perjalanan yang diperbolehkan, dan lainnya. [2] Batalnya salat orang yang berpaling dari kiblat ketika salat Di antara pembatal salat adalah jika orang yang salat memutar badannya dari arah kiblat tanpa uzur (alasan yang dibenarkan). Syekh Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar hafidzahullah menyebutkan, للصلاة مبطلات منها: تخلف شرط ‌استقبال ‌القبلة: ذكرنا فيما سبق أنه يشترط لصلاة الفريضة ‌استقبال ‌القبلة وما يترتب على عدم استقبالها من أحكام. “Di antara pembatal salat adalah tidak terpenuhinya syarat menghadap kiblat. Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa salat fardu disyaratkan menghadap kiblat dan konsekuensi hukum jika tidak menghadapnya.” [3] Bahkan, ulama Hanafiyah menyebutkan, أَنَّ مِنْ مُفْسِدَاتِ الصَّلَاةِ تَحْوِيل الْمُصَلِّي صَدْرَهُ عَنِ الْقِبْلَةِ بِغَيْرِ عُذْرٍ اتِّفَاقًا “Salah satu pembatal salat adalah jika yang salat memutar badannya dari arah kiblat tanpa uzur (alasan yang dibenarkan), dengan kesepakatan ulama.” [4] Khusus salat sunah, diperbolehkan di atas kendaraan, ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju Para fuqaha sepakat bahwa diperbolehkan bagi musafir melakukan salat sunah di atas kendaraan ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ “Dan milik Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” [5] Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, نَزَلَتْ فِي التَّطَوُّعِ خَاصَّةً “Ayat ini turun khusus mengenai salat sunah.” Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهَهُ “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertasbih (salat) di atas kendaraannya ke mana pun arah beliau menghadap.” [6] Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, كَانَ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat di atas kendaraannya ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju. Namun, jika hendak salat fardu, beliau turun kemudian menghadap kiblat.” [7] Hal tersebut khusus pada salat sunah. Sedangkan untuk salat wajib, maka hukum asalnya tidak diperbolehkan untuk dilakukan di atas kendaraan, kecuali ada uzur (alasan yang dibenarkan) sebagaimana disebutkan dalam hadis Jabir di atas, atau terpenuhi semua syarat dan rukunnya sebagaimana akan dijelaskan lebih rinci pada pembahasan berikutnya. [8] Baca juga: Hukum Salat Tidak Menghadap ke Arah Kiblat Salat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sah Siapa saja yang mampu melaksanakan salat fardu / wajib di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat (di antaranya adalah menghadap kiblat) dan rukunnya, maka salatnya sah. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, فَإِنَّ مَنْ أَمْكَنَهُ صَلَاةُ الْفَرِيضَةِ عَلَى الرَّاحِلَةِ مَعَ الإِْتْيَانِ بِكُل شُرُوطِهَا وَأَرْكَانِهَا، وَلَوْ بِلَا عُذْرٍ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَذَلِكَ كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ – وَهُوَ الرَّاجِحُ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ – “Siapa saja yang mampu menunaikan salat fardu di atas kendaraan (tunggangan) dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sah meskipun tanpa uzur. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Hanabilah, dan pendapat yang kuat (rajih) menurut Malikiyyah.” [9] Jika angin bertiup, sehingga mengubah arah kapal, apa yang harus dilakukan? Jika itu salat fardu, maka dia wajib menghadap kiblat dalam seluruh keadaan salat. Jika kapal atau pesawat berubah arah, maka dia wajib berubah arah sehingga tetap menghadap kiblat. Syekh Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar hafidzahullah mengatakan [10], ذهب جمهور الفقهاء إلى وجوب استقبال القبلة لمن صلى فرضًا في السفينة، فإن هبت الريح وحولت السفينة وجب رد وجهه إلى القبلة؛ لأن التوجه فرض عند القدرة، وهذا قادر. … فيجب أن يدور مع السفينة أو الطائرة أين دارت في صلاة الفرض حسب طاقته؛ لأن استقبال القبلة شرط لصحة صلاة الفريضة كما بينا ذلك. وهذا هو الذي أفتت به اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في السعودية “Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa wajib menghadap kiblat bagi orang yang mengerjakan salat fardu di atas kapal. Jika angin bertiup dan mengubah arah kapal, maka dia wajib memalingkan wajahnya ke arah kiblat, karena menghadap kiblat adalah kewajiban jika mampu, dan dia memang mampu. … Maka, dia harus mengikuti arah putaran kapal atau pesawat selama salat fardu sesuai dengan kemampuannya, karena menghadap kiblat adalah syarat sah salat fardu sebagaimana telah dijelaskan. Inilah fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Daimah untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi.” [11] Adapun untuk salat sunah, dia boleh menghadap ke mana saja sesuai arah kendaraan atau perjalanannya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [12] Kesimpulan Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwasanya seseorang yang salat fardu (wajib) di atas kapal atau pesawat, wajib atasnya menghadap kiblat, dari awal salat sampai selesai. Jika tidak bisa demikian, maka salat dilaksanakan semampunya, sesuai dengan ketentuan dalam salat bagi orang yang memiliki uzur. Wallahu a’lam. Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang hukum menghadap kiblat ketika salat di kapal atau pesawat. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Buang Hajat Menghadap Kiblat *** 11 Syawal 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] QS. Al-Baqarah: 144. [2] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 62. [3] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 313. [4] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 62. [5] QS. Al-Baqarah: 115. [6] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 578. [7] HR. Bukhari, Fathul Bari, 1: 503. Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 228. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 230. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/867 [10] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 238. [11] Majmu’ Fatawa Lajnah Da’imah, 8: 121-122, Fatwa no. 6275 dan 2645. [12] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. Tags: kiblatsalat

Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat

Daftar Isi Toggle Menghadap kiblat merupakan syarat sah salatBatalnya salat orang yang berpaling dari kiblat ketika salatKhusus salat sunah, diperbolehkan di atas kendaraan, ke mana pun arah kendaraan tersebut menujuSalat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sahJika angin bertiup, sehingga mengubah arah kapal, apa yang harus dilakukan?Kesimpulan Bersafar dengan pesawat atau kapal merupakan hal wajar yang kita lakukan. Bahkan, kita kadang mendapatkan waktu salat wajib di atas kendaraan tersebut dan baru bisa turun ketika waktu salat sudah berlalu. Dalam keadaan seperti itu, kita diharuskan untuk melakukan salat wajib. Di sisi lain, kita tahu bahwasanya salat (khususnya yang wajib) harus dilaksanakan dengan menghadap kiblat dan itu tentu “agak repot” untuk dipraktikkan. Bolehkah kita salat wajib tanpa menghadap kiblat, yaitu cukup menghadap sebagaimana arah kapal atau pesawat? Apakah hal tersebut boleh dalam seluruh keadaan, atau khusus keadaan-keadaan tertentu saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang hukum menghadap kiblat ketika salat di kapal atau pesawat. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Menghadap kiblat merupakan syarat sah salat Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa salah satu syarat sah salat adalah menghadap kiblat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَوَل وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ “Maka, palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya (kiblat).” [1] Maksudnya adalah menghadap ke arahnya. Akan tetapi, ada beberapa kondisi yang tidak disyaratkan menghadap kiblat, seperti salat khauf (ketika dalam kondisi ketakutan), orang yang terpaksa (terpaksa tidak menghadap kiblat), orang yang tenggelam (tidak bisa menghadap kiblat), sunah saat dalam perjalanan yang diperbolehkan, dan lainnya. [2] Batalnya salat orang yang berpaling dari kiblat ketika salat Di antara pembatal salat adalah jika orang yang salat memutar badannya dari arah kiblat tanpa uzur (alasan yang dibenarkan). Syekh Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar hafidzahullah menyebutkan, للصلاة مبطلات منها: تخلف شرط ‌استقبال ‌القبلة: ذكرنا فيما سبق أنه يشترط لصلاة الفريضة ‌استقبال ‌القبلة وما يترتب على عدم استقبالها من أحكام. “Di antara pembatal salat adalah tidak terpenuhinya syarat menghadap kiblat. Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa salat fardu disyaratkan menghadap kiblat dan konsekuensi hukum jika tidak menghadapnya.” [3] Bahkan, ulama Hanafiyah menyebutkan, أَنَّ مِنْ مُفْسِدَاتِ الصَّلَاةِ تَحْوِيل الْمُصَلِّي صَدْرَهُ عَنِ الْقِبْلَةِ بِغَيْرِ عُذْرٍ اتِّفَاقًا “Salah satu pembatal salat adalah jika yang salat memutar badannya dari arah kiblat tanpa uzur (alasan yang dibenarkan), dengan kesepakatan ulama.” [4] Khusus salat sunah, diperbolehkan di atas kendaraan, ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju Para fuqaha sepakat bahwa diperbolehkan bagi musafir melakukan salat sunah di atas kendaraan ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ “Dan milik Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” [5] Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, نَزَلَتْ فِي التَّطَوُّعِ خَاصَّةً “Ayat ini turun khusus mengenai salat sunah.” Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهَهُ “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertasbih (salat) di atas kendaraannya ke mana pun arah beliau menghadap.” [6] Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, كَانَ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat di atas kendaraannya ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju. Namun, jika hendak salat fardu, beliau turun kemudian menghadap kiblat.” [7] Hal tersebut khusus pada salat sunah. Sedangkan untuk salat wajib, maka hukum asalnya tidak diperbolehkan untuk dilakukan di atas kendaraan, kecuali ada uzur (alasan yang dibenarkan) sebagaimana disebutkan dalam hadis Jabir di atas, atau terpenuhi semua syarat dan rukunnya sebagaimana akan dijelaskan lebih rinci pada pembahasan berikutnya. [8] Baca juga: Hukum Salat Tidak Menghadap ke Arah Kiblat Salat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sah Siapa saja yang mampu melaksanakan salat fardu / wajib di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat (di antaranya adalah menghadap kiblat) dan rukunnya, maka salatnya sah. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, فَإِنَّ مَنْ أَمْكَنَهُ صَلَاةُ الْفَرِيضَةِ عَلَى الرَّاحِلَةِ مَعَ الإِْتْيَانِ بِكُل شُرُوطِهَا وَأَرْكَانِهَا، وَلَوْ بِلَا عُذْرٍ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَذَلِكَ كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ – وَهُوَ الرَّاجِحُ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ – “Siapa saja yang mampu menunaikan salat fardu di atas kendaraan (tunggangan) dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sah meskipun tanpa uzur. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Hanabilah, dan pendapat yang kuat (rajih) menurut Malikiyyah.” [9] Jika angin bertiup, sehingga mengubah arah kapal, apa yang harus dilakukan? Jika itu salat fardu, maka dia wajib menghadap kiblat dalam seluruh keadaan salat. Jika kapal atau pesawat berubah arah, maka dia wajib berubah arah sehingga tetap menghadap kiblat. Syekh Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar hafidzahullah mengatakan [10], ذهب جمهور الفقهاء إلى وجوب استقبال القبلة لمن صلى فرضًا في السفينة، فإن هبت الريح وحولت السفينة وجب رد وجهه إلى القبلة؛ لأن التوجه فرض عند القدرة، وهذا قادر. … فيجب أن يدور مع السفينة أو الطائرة أين دارت في صلاة الفرض حسب طاقته؛ لأن استقبال القبلة شرط لصحة صلاة الفريضة كما بينا ذلك. وهذا هو الذي أفتت به اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في السعودية “Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa wajib menghadap kiblat bagi orang yang mengerjakan salat fardu di atas kapal. Jika angin bertiup dan mengubah arah kapal, maka dia wajib memalingkan wajahnya ke arah kiblat, karena menghadap kiblat adalah kewajiban jika mampu, dan dia memang mampu. … Maka, dia harus mengikuti arah putaran kapal atau pesawat selama salat fardu sesuai dengan kemampuannya, karena menghadap kiblat adalah syarat sah salat fardu sebagaimana telah dijelaskan. Inilah fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Daimah untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi.” [11] Adapun untuk salat sunah, dia boleh menghadap ke mana saja sesuai arah kendaraan atau perjalanannya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [12] Kesimpulan Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwasanya seseorang yang salat fardu (wajib) di atas kapal atau pesawat, wajib atasnya menghadap kiblat, dari awal salat sampai selesai. Jika tidak bisa demikian, maka salat dilaksanakan semampunya, sesuai dengan ketentuan dalam salat bagi orang yang memiliki uzur. Wallahu a’lam. Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang hukum menghadap kiblat ketika salat di kapal atau pesawat. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Buang Hajat Menghadap Kiblat *** 11 Syawal 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] QS. Al-Baqarah: 144. [2] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 62. [3] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 313. [4] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 62. [5] QS. Al-Baqarah: 115. [6] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 578. [7] HR. Bukhari, Fathul Bari, 1: 503. Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 228. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 230. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/867 [10] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 238. [11] Majmu’ Fatawa Lajnah Da’imah, 8: 121-122, Fatwa no. 6275 dan 2645. [12] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. Tags: kiblatsalat
Daftar Isi Toggle Menghadap kiblat merupakan syarat sah salatBatalnya salat orang yang berpaling dari kiblat ketika salatKhusus salat sunah, diperbolehkan di atas kendaraan, ke mana pun arah kendaraan tersebut menujuSalat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sahJika angin bertiup, sehingga mengubah arah kapal, apa yang harus dilakukan?Kesimpulan Bersafar dengan pesawat atau kapal merupakan hal wajar yang kita lakukan. Bahkan, kita kadang mendapatkan waktu salat wajib di atas kendaraan tersebut dan baru bisa turun ketika waktu salat sudah berlalu. Dalam keadaan seperti itu, kita diharuskan untuk melakukan salat wajib. Di sisi lain, kita tahu bahwasanya salat (khususnya yang wajib) harus dilaksanakan dengan menghadap kiblat dan itu tentu “agak repot” untuk dipraktikkan. Bolehkah kita salat wajib tanpa menghadap kiblat, yaitu cukup menghadap sebagaimana arah kapal atau pesawat? Apakah hal tersebut boleh dalam seluruh keadaan, atau khusus keadaan-keadaan tertentu saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang hukum menghadap kiblat ketika salat di kapal atau pesawat. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Menghadap kiblat merupakan syarat sah salat Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa salah satu syarat sah salat adalah menghadap kiblat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَوَل وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ “Maka, palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya (kiblat).” [1] Maksudnya adalah menghadap ke arahnya. Akan tetapi, ada beberapa kondisi yang tidak disyaratkan menghadap kiblat, seperti salat khauf (ketika dalam kondisi ketakutan), orang yang terpaksa (terpaksa tidak menghadap kiblat), orang yang tenggelam (tidak bisa menghadap kiblat), sunah saat dalam perjalanan yang diperbolehkan, dan lainnya. [2] Batalnya salat orang yang berpaling dari kiblat ketika salat Di antara pembatal salat adalah jika orang yang salat memutar badannya dari arah kiblat tanpa uzur (alasan yang dibenarkan). Syekh Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar hafidzahullah menyebutkan, للصلاة مبطلات منها: تخلف شرط ‌استقبال ‌القبلة: ذكرنا فيما سبق أنه يشترط لصلاة الفريضة ‌استقبال ‌القبلة وما يترتب على عدم استقبالها من أحكام. “Di antara pembatal salat adalah tidak terpenuhinya syarat menghadap kiblat. Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa salat fardu disyaratkan menghadap kiblat dan konsekuensi hukum jika tidak menghadapnya.” [3] Bahkan, ulama Hanafiyah menyebutkan, أَنَّ مِنْ مُفْسِدَاتِ الصَّلَاةِ تَحْوِيل الْمُصَلِّي صَدْرَهُ عَنِ الْقِبْلَةِ بِغَيْرِ عُذْرٍ اتِّفَاقًا “Salah satu pembatal salat adalah jika yang salat memutar badannya dari arah kiblat tanpa uzur (alasan yang dibenarkan), dengan kesepakatan ulama.” [4] Khusus salat sunah, diperbolehkan di atas kendaraan, ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju Para fuqaha sepakat bahwa diperbolehkan bagi musafir melakukan salat sunah di atas kendaraan ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ “Dan milik Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” [5] Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, نَزَلَتْ فِي التَّطَوُّعِ خَاصَّةً “Ayat ini turun khusus mengenai salat sunah.” Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهَهُ “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertasbih (salat) di atas kendaraannya ke mana pun arah beliau menghadap.” [6] Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, كَانَ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat di atas kendaraannya ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju. Namun, jika hendak salat fardu, beliau turun kemudian menghadap kiblat.” [7] Hal tersebut khusus pada salat sunah. Sedangkan untuk salat wajib, maka hukum asalnya tidak diperbolehkan untuk dilakukan di atas kendaraan, kecuali ada uzur (alasan yang dibenarkan) sebagaimana disebutkan dalam hadis Jabir di atas, atau terpenuhi semua syarat dan rukunnya sebagaimana akan dijelaskan lebih rinci pada pembahasan berikutnya. [8] Baca juga: Hukum Salat Tidak Menghadap ke Arah Kiblat Salat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sah Siapa saja yang mampu melaksanakan salat fardu / wajib di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat (di antaranya adalah menghadap kiblat) dan rukunnya, maka salatnya sah. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, فَإِنَّ مَنْ أَمْكَنَهُ صَلَاةُ الْفَرِيضَةِ عَلَى الرَّاحِلَةِ مَعَ الإِْتْيَانِ بِكُل شُرُوطِهَا وَأَرْكَانِهَا، وَلَوْ بِلَا عُذْرٍ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَذَلِكَ كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ – وَهُوَ الرَّاجِحُ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ – “Siapa saja yang mampu menunaikan salat fardu di atas kendaraan (tunggangan) dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sah meskipun tanpa uzur. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Hanabilah, dan pendapat yang kuat (rajih) menurut Malikiyyah.” [9] Jika angin bertiup, sehingga mengubah arah kapal, apa yang harus dilakukan? Jika itu salat fardu, maka dia wajib menghadap kiblat dalam seluruh keadaan salat. Jika kapal atau pesawat berubah arah, maka dia wajib berubah arah sehingga tetap menghadap kiblat. Syekh Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar hafidzahullah mengatakan [10], ذهب جمهور الفقهاء إلى وجوب استقبال القبلة لمن صلى فرضًا في السفينة، فإن هبت الريح وحولت السفينة وجب رد وجهه إلى القبلة؛ لأن التوجه فرض عند القدرة، وهذا قادر. … فيجب أن يدور مع السفينة أو الطائرة أين دارت في صلاة الفرض حسب طاقته؛ لأن استقبال القبلة شرط لصحة صلاة الفريضة كما بينا ذلك. وهذا هو الذي أفتت به اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في السعودية “Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa wajib menghadap kiblat bagi orang yang mengerjakan salat fardu di atas kapal. Jika angin bertiup dan mengubah arah kapal, maka dia wajib memalingkan wajahnya ke arah kiblat, karena menghadap kiblat adalah kewajiban jika mampu, dan dia memang mampu. … Maka, dia harus mengikuti arah putaran kapal atau pesawat selama salat fardu sesuai dengan kemampuannya, karena menghadap kiblat adalah syarat sah salat fardu sebagaimana telah dijelaskan. Inilah fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Daimah untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi.” [11] Adapun untuk salat sunah, dia boleh menghadap ke mana saja sesuai arah kendaraan atau perjalanannya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [12] Kesimpulan Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwasanya seseorang yang salat fardu (wajib) di atas kapal atau pesawat, wajib atasnya menghadap kiblat, dari awal salat sampai selesai. Jika tidak bisa demikian, maka salat dilaksanakan semampunya, sesuai dengan ketentuan dalam salat bagi orang yang memiliki uzur. Wallahu a’lam. Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang hukum menghadap kiblat ketika salat di kapal atau pesawat. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Buang Hajat Menghadap Kiblat *** 11 Syawal 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] QS. Al-Baqarah: 144. [2] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 62. [3] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 313. [4] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 62. [5] QS. Al-Baqarah: 115. [6] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 578. [7] HR. Bukhari, Fathul Bari, 1: 503. Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 228. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 230. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/867 [10] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 238. [11] Majmu’ Fatawa Lajnah Da’imah, 8: 121-122, Fatwa no. 6275 dan 2645. [12] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. Tags: kiblatsalat


Daftar Isi Toggle Menghadap kiblat merupakan syarat sah salatBatalnya salat orang yang berpaling dari kiblat ketika salatKhusus salat sunah, diperbolehkan di atas kendaraan, ke mana pun arah kendaraan tersebut menujuSalat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sahJika angin bertiup, sehingga mengubah arah kapal, apa yang harus dilakukan?Kesimpulan Bersafar dengan pesawat atau kapal merupakan hal wajar yang kita lakukan. Bahkan, kita kadang mendapatkan waktu salat wajib di atas kendaraan tersebut dan baru bisa turun ketika waktu salat sudah berlalu. Dalam keadaan seperti itu, kita diharuskan untuk melakukan salat wajib. Di sisi lain, kita tahu bahwasanya salat (khususnya yang wajib) harus dilaksanakan dengan menghadap kiblat dan itu tentu “agak repot” untuk dipraktikkan. Bolehkah kita salat wajib tanpa menghadap kiblat, yaitu cukup menghadap sebagaimana arah kapal atau pesawat? Apakah hal tersebut boleh dalam seluruh keadaan, atau khusus keadaan-keadaan tertentu saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang hukum menghadap kiblat ketika salat di kapal atau pesawat. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Menghadap kiblat merupakan syarat sah salat Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa salah satu syarat sah salat adalah menghadap kiblat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, فَوَل وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ “Maka, palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya (kiblat).” [1] Maksudnya adalah menghadap ke arahnya. Akan tetapi, ada beberapa kondisi yang tidak disyaratkan menghadap kiblat, seperti salat khauf (ketika dalam kondisi ketakutan), orang yang terpaksa (terpaksa tidak menghadap kiblat), orang yang tenggelam (tidak bisa menghadap kiblat), sunah saat dalam perjalanan yang diperbolehkan, dan lainnya. [2] Batalnya salat orang yang berpaling dari kiblat ketika salat Di antara pembatal salat adalah jika orang yang salat memutar badannya dari arah kiblat tanpa uzur (alasan yang dibenarkan). Syekh Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar hafidzahullah menyebutkan, للصلاة مبطلات منها: تخلف شرط ‌استقبال ‌القبلة: ذكرنا فيما سبق أنه يشترط لصلاة الفريضة ‌استقبال ‌القبلة وما يترتب على عدم استقبالها من أحكام. “Di antara pembatal salat adalah tidak terpenuhinya syarat menghadap kiblat. Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa salat fardu disyaratkan menghadap kiblat dan konsekuensi hukum jika tidak menghadapnya.” [3] Bahkan, ulama Hanafiyah menyebutkan, أَنَّ مِنْ مُفْسِدَاتِ الصَّلَاةِ تَحْوِيل الْمُصَلِّي صَدْرَهُ عَنِ الْقِبْلَةِ بِغَيْرِ عُذْرٍ اتِّفَاقًا “Salah satu pembatal salat adalah jika yang salat memutar badannya dari arah kiblat tanpa uzur (alasan yang dibenarkan), dengan kesepakatan ulama.” [4] Khusus salat sunah, diperbolehkan di atas kendaraan, ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju Para fuqaha sepakat bahwa diperbolehkan bagi musafir melakukan salat sunah di atas kendaraan ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ “Dan milik Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.” [5] Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, نَزَلَتْ فِي التَّطَوُّعِ خَاصَّةً “Ayat ini turun khusus mengenai salat sunah.” Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهَهُ “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertasbih (salat) di atas kendaraannya ke mana pun arah beliau menghadap.” [6] Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, كَانَ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat di atas kendaraannya ke mana pun arah kendaraan tersebut menuju. Namun, jika hendak salat fardu, beliau turun kemudian menghadap kiblat.” [7] Hal tersebut khusus pada salat sunah. Sedangkan untuk salat wajib, maka hukum asalnya tidak diperbolehkan untuk dilakukan di atas kendaraan, kecuali ada uzur (alasan yang dibenarkan) sebagaimana disebutkan dalam hadis Jabir di atas, atau terpenuhi semua syarat dan rukunnya sebagaimana akan dijelaskan lebih rinci pada pembahasan berikutnya. [8] Baca juga: Hukum Salat Tidak Menghadap ke Arah Kiblat Salat fardu di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sah Siapa saja yang mampu melaksanakan salat fardu / wajib di atas kendaraan dengan memenuhi semua syarat (di antaranya adalah menghadap kiblat) dan rukunnya, maka salatnya sah. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, فَإِنَّ مَنْ أَمْكَنَهُ صَلَاةُ الْفَرِيضَةِ عَلَى الرَّاحِلَةِ مَعَ الإِْتْيَانِ بِكُل شُرُوطِهَا وَأَرْكَانِهَا، وَلَوْ بِلَا عُذْرٍ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَذَلِكَ كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ – وَهُوَ الرَّاجِحُ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ – “Siapa saja yang mampu menunaikan salat fardu di atas kendaraan (tunggangan) dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka salatnya sah meskipun tanpa uzur. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Hanabilah, dan pendapat yang kuat (rajih) menurut Malikiyyah.” [9] Jika angin bertiup, sehingga mengubah arah kapal, apa yang harus dilakukan? Jika itu salat fardu, maka dia wajib menghadap kiblat dalam seluruh keadaan salat. Jika kapal atau pesawat berubah arah, maka dia wajib berubah arah sehingga tetap menghadap kiblat. Syekh Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar hafidzahullah mengatakan [10], ذهب جمهور الفقهاء إلى وجوب استقبال القبلة لمن صلى فرضًا في السفينة، فإن هبت الريح وحولت السفينة وجب رد وجهه إلى القبلة؛ لأن التوجه فرض عند القدرة، وهذا قادر. … فيجب أن يدور مع السفينة أو الطائرة أين دارت في صلاة الفرض حسب طاقته؛ لأن استقبال القبلة شرط لصحة صلاة الفريضة كما بينا ذلك. وهذا هو الذي أفتت به اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء في السعودية “Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa wajib menghadap kiblat bagi orang yang mengerjakan salat fardu di atas kapal. Jika angin bertiup dan mengubah arah kapal, maka dia wajib memalingkan wajahnya ke arah kiblat, karena menghadap kiblat adalah kewajiban jika mampu, dan dia memang mampu. … Maka, dia harus mengikuti arah putaran kapal atau pesawat selama salat fardu sesuai dengan kemampuannya, karena menghadap kiblat adalah syarat sah salat fardu sebagaimana telah dijelaskan. Inilah fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Daimah untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi.” [11] Adapun untuk salat sunah, dia boleh menghadap ke mana saja sesuai arah kendaraan atau perjalanannya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [12] Kesimpulan Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwasanya seseorang yang salat fardu (wajib) di atas kapal atau pesawat, wajib atasnya menghadap kiblat, dari awal salat sampai selesai. Jika tidak bisa demikian, maka salat dilaksanakan semampunya, sesuai dengan ketentuan dalam salat bagi orang yang memiliki uzur. Wallahu a’lam. Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang hukum menghadap kiblat ketika salat di kapal atau pesawat. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Buang Hajat Menghadap Kiblat *** 11 Syawal 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan – Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, 1421. (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] QS. Al-Baqarah: 144. [2] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 62. [3] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 313. [4] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 62. [5] QS. Al-Baqarah: 115. [6] HR. Bukhari, Fathul Bari, 2: 578. [7] HR. Bukhari, Fathul Bari, 1: 503. Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 228. [8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 230. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. Lihat juga https://dorar.net/feqhia/867 [10] Lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 238. [11] Majmu’ Fatawa Lajnah Da’imah, 8: 121-122, Fatwa no. 6275 dan 2645. [12] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 231. Tags: kiblatsalat
Prev     Next