Lebih Didahulukan Istri atau Ibu?

Pertanyaan: Dalam Islam, bagi seorang suami, mana yang lebih didahulukan? Ibunya atau istrinya? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Menggabungkan Dua Perkara Lebih Utama Pertama, menggabungkan dua perkara yang baik itu lebih utama daripada menguatkan salah satu saja. Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizani menjelaskan: لا يُصار إلى الترجيح بين الأدلة المتعارضة إلا بعد محاولة الجمع بينها، فإن الجمع مقدم على الترجيح، فإن أمكن الجمع وزال التعارض امتنع الترجيح “Tidak boleh melakukan tarjih (memilih salah satu) antara dalil-dalil yang nampak bertentangan, kecuali setelah mencoba untuk mengkompromikan keduanya. Karena mengkompromikan dua dalil itu lebih didahulukan daripada tarjih. Jika masih memungkinkan untuk dikompromikan, maka tidak ada pertentangan dan tidak boleh memilih salah satu” (Ma’alim Ushulil Fiqhi inda Ahlissunnah wal Jama’ah, hal.274). Dalam kasus di atas, dalil perintah berbakti kepada orang tua dengan dalil perintah berbuat baik kepada istri, nampak bertentangan. Maka yang lebih utama adalah mengkompromikan dua hal tersebut.  Oleh karena itu seorang suami berusaha untuk terus berbakti kepada ibunya dan juga berbuat baik kepada istrinya dan berusaha merekatkan hubungan baik antara keduanya. Ini yang ideal dan lebih utama. Ibu Lebih Diutamakan daripada Istri Kedua, secara mutlak dan secara umum bagi seorang suami, ibu lebih didahulukan daripada istri. Ini yang ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena ibu adalah orang tua, dan orang tua adalah orang paling berhak untuk diberikan bakti yang terbaik dari anaknya. Allah ta’ala berfirman: وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (QS. An-Nisa: 36). Allah ta’ala juga berfirman: وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23). Dalam ayat-ayat di atas Allah ta’ala menggandengkan perintah untuk bertauhid dengan perintah untuk berbakti kepada orang tua. Menunjukkan tingginya kedudukan berbakti kepada orang tua. Bahkan durhaka kepada orang tua merupakan dosa besar. Dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: أَكْبَرُ الكَبائِرِ: الإشْراكُ باللَّهِ، وعُقُوقُ الوالِدَيْنِ، وشَهادَةُ الزُّورِ، وشَهادَةُ الزُّورِ “Dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu” (HR. Al-Bukhari no.6919, Muslim no.88). Dalam hadis dari Nafi’ bin Al-Harits Ats-Tsaqafi radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ألا أنبِّئُكم بأكبرِ الكبائرِ . ثلاثًا ، قالوا : بلَى يا رسولَ اللهِ ، قال : الإشراكُ باللهِ ، وعقوقُ الوالدينِ “Maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya ini 3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi bersabda: syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari no.2654, Muslim no.87). Kemudian, terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa ibu lebih ditekankan lagi untuk diberikan bakti yang terbaik. Dari Mu’awiyah bin Haidah Al-Qusyairi radhiyallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi: يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no.5, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Dari Miqdam bin Ma’di Karib radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ِإِنَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ “Sesungguhnya Allah berwasiat 3x kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat” (HR. Ibnu Majah no.3661, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam dua hadis ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ibu adalah orang yang paling berhak mendapatkan bakti yang terbaik, bahkan melebihi ayah. Bagaimana lagi dengan istri. Maka jelas ibu lebih diutamakan daripada istri. Dari Atha bin Yassar, ia berkata: عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ ، فقالَ : إنِّي خَطبتُ امرأةً فأبَت أن تنكِحَني ، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ ، فَغِرْتُ علَيها فقتَلتُها ، فَهَل لي مِن تَوبةٍ ؟ قالَ : أُمُّكَ حَيَّةٌ ؟ قالَ : لا ، قالَ : تُب إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ ، فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ : لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ : إنِّي لا أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ “Dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Saya pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepada-Nya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa Anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no.4, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Dalam atsar ini, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menganggap amalan yang paling besar yang dapat menghapus dosa sebesar dosa pembunuhan adalah berbakti kepada ibu. Ini menunjukkan bahwa ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti yang terbaik. Berdasarkan dalil-dalil di atas jelas bahwa ibu lebih diutamakan dari pada istri dalam bakti dan perbuatan baik. Istri Lebih Diutamakan Dalam Hal Nafkah Ketiga, hanya dalam satu perkara yang suami lebih wajib mendahulukan istrinya daripada ibunya. Yaitu dalam perkara nafkah. Karena suami wajib menafkahi istrinya, sedangkan ia tidak wajib menafkahi ibunya kecuali jika ibu dalam keadaan miskin. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Daud no.1692, Ibnu Hibban no.4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, Nahi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ابْدَأْ بنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فإنْ فَضَلَ شيءٌ فَلأَهْلِكَ، فإنْ فَضَلَ عن أَهْلِكَ شيءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فإنْ فَضَلَ عن ذِي قَرَابَتِكَ شيءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا “Mulailah dari dirimu sendiri, berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah nafkah pada keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya” (HR. Muslim no. 997). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa istri wajib diberikan nafkah oleh suaminya.  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid menjelaskan: الأفضلية عند المسلم للأم لما جاء في الحديث أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم : ” من أحق الناس بحسن صحابتي قال أمك قال ثم من قال أمك قال ثم من قال أمك … الحديث ” رواه البخاري (5514) ومسلم (4621) ، إلا أن الزوجة تقدم على الأم في شيء واحد وهو النفقة إذا كان الزوج لا يستطيع أن ينفق على زوجته وأمه معا “Yang paling utama bagi seorang lelaki Muslim adalah mendahulukan ibunya. Berdasarkan hadis tentang seorang lelaki yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu” (HR. Al-Bukhari no.5514, Muslim no.4612). Adapun istri, lebih didahulukan daripada ibu dalam satu masalah saja, yaitu masalah nafkah. Ini pun ketika sang suami tidak mampu untuk menafkahi keduanya secara sekaligus” (Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.6293). Dan jika sang suami memberikan pemberian kepada istrinya di luar dari nafkah yang wajib dengan jumlah yang lebih banyak daripada pemberian kepada ibunya karena melihat maslahat dan kebutuhan-kebutuhannya, maka ini tidak mengapa. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan : فإذا أعطى كل واحدة ما يناسبها فلا حرج في ذلك، ولو كان الذي أعطى الزوجة أكثر، أو أعلى؛ لأنه الذي يناسبها، والمرأة التي هي أمه يناسبها شيء آخر، فلا حرج في ذلك “Jika seorang suami memberikan pemberian kepada salah satu saja (ibu saja atau istri saja) yang sesuai dengan kebutuhannya, maka tidak mengapa. Misalnya jika sang suami memberi pemberian kepada istrinya lebih banyak daripada pemberian kepada ibunya, karena memang itu sesuai dengan kebutuhan istrinya, sedangkan pemberian untuk ibunya ia berikan pemberian yang lain yang sesuai untuknya, maka ini tidak mengapa” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.286 soal ke-20). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 12,157 times, 38 visit(s) today Post Views: 1,294 QRIS donasi Yufid

Lebih Didahulukan Istri atau Ibu?

Pertanyaan: Dalam Islam, bagi seorang suami, mana yang lebih didahulukan? Ibunya atau istrinya? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Menggabungkan Dua Perkara Lebih Utama Pertama, menggabungkan dua perkara yang baik itu lebih utama daripada menguatkan salah satu saja. Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizani menjelaskan: لا يُصار إلى الترجيح بين الأدلة المتعارضة إلا بعد محاولة الجمع بينها، فإن الجمع مقدم على الترجيح، فإن أمكن الجمع وزال التعارض امتنع الترجيح “Tidak boleh melakukan tarjih (memilih salah satu) antara dalil-dalil yang nampak bertentangan, kecuali setelah mencoba untuk mengkompromikan keduanya. Karena mengkompromikan dua dalil itu lebih didahulukan daripada tarjih. Jika masih memungkinkan untuk dikompromikan, maka tidak ada pertentangan dan tidak boleh memilih salah satu” (Ma’alim Ushulil Fiqhi inda Ahlissunnah wal Jama’ah, hal.274). Dalam kasus di atas, dalil perintah berbakti kepada orang tua dengan dalil perintah berbuat baik kepada istri, nampak bertentangan. Maka yang lebih utama adalah mengkompromikan dua hal tersebut.  Oleh karena itu seorang suami berusaha untuk terus berbakti kepada ibunya dan juga berbuat baik kepada istrinya dan berusaha merekatkan hubungan baik antara keduanya. Ini yang ideal dan lebih utama. Ibu Lebih Diutamakan daripada Istri Kedua, secara mutlak dan secara umum bagi seorang suami, ibu lebih didahulukan daripada istri. Ini yang ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena ibu adalah orang tua, dan orang tua adalah orang paling berhak untuk diberikan bakti yang terbaik dari anaknya. Allah ta’ala berfirman: وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (QS. An-Nisa: 36). Allah ta’ala juga berfirman: وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23). Dalam ayat-ayat di atas Allah ta’ala menggandengkan perintah untuk bertauhid dengan perintah untuk berbakti kepada orang tua. Menunjukkan tingginya kedudukan berbakti kepada orang tua. Bahkan durhaka kepada orang tua merupakan dosa besar. Dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: أَكْبَرُ الكَبائِرِ: الإشْراكُ باللَّهِ، وعُقُوقُ الوالِدَيْنِ، وشَهادَةُ الزُّورِ، وشَهادَةُ الزُّورِ “Dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu” (HR. Al-Bukhari no.6919, Muslim no.88). Dalam hadis dari Nafi’ bin Al-Harits Ats-Tsaqafi radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ألا أنبِّئُكم بأكبرِ الكبائرِ . ثلاثًا ، قالوا : بلَى يا رسولَ اللهِ ، قال : الإشراكُ باللهِ ، وعقوقُ الوالدينِ “Maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya ini 3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi bersabda: syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari no.2654, Muslim no.87). Kemudian, terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa ibu lebih ditekankan lagi untuk diberikan bakti yang terbaik. Dari Mu’awiyah bin Haidah Al-Qusyairi radhiyallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi: يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no.5, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Dari Miqdam bin Ma’di Karib radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ِإِنَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ “Sesungguhnya Allah berwasiat 3x kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat” (HR. Ibnu Majah no.3661, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam dua hadis ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ibu adalah orang yang paling berhak mendapatkan bakti yang terbaik, bahkan melebihi ayah. Bagaimana lagi dengan istri. Maka jelas ibu lebih diutamakan daripada istri. Dari Atha bin Yassar, ia berkata: عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ ، فقالَ : إنِّي خَطبتُ امرأةً فأبَت أن تنكِحَني ، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ ، فَغِرْتُ علَيها فقتَلتُها ، فَهَل لي مِن تَوبةٍ ؟ قالَ : أُمُّكَ حَيَّةٌ ؟ قالَ : لا ، قالَ : تُب إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ ، فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ : لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ : إنِّي لا أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ “Dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Saya pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepada-Nya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa Anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no.4, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Dalam atsar ini, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menganggap amalan yang paling besar yang dapat menghapus dosa sebesar dosa pembunuhan adalah berbakti kepada ibu. Ini menunjukkan bahwa ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti yang terbaik. Berdasarkan dalil-dalil di atas jelas bahwa ibu lebih diutamakan dari pada istri dalam bakti dan perbuatan baik. Istri Lebih Diutamakan Dalam Hal Nafkah Ketiga, hanya dalam satu perkara yang suami lebih wajib mendahulukan istrinya daripada ibunya. Yaitu dalam perkara nafkah. Karena suami wajib menafkahi istrinya, sedangkan ia tidak wajib menafkahi ibunya kecuali jika ibu dalam keadaan miskin. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Daud no.1692, Ibnu Hibban no.4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, Nahi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ابْدَأْ بنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فإنْ فَضَلَ شيءٌ فَلأَهْلِكَ، فإنْ فَضَلَ عن أَهْلِكَ شيءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فإنْ فَضَلَ عن ذِي قَرَابَتِكَ شيءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا “Mulailah dari dirimu sendiri, berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah nafkah pada keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya” (HR. Muslim no. 997). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa istri wajib diberikan nafkah oleh suaminya.  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid menjelaskan: الأفضلية عند المسلم للأم لما جاء في الحديث أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم : ” من أحق الناس بحسن صحابتي قال أمك قال ثم من قال أمك قال ثم من قال أمك … الحديث ” رواه البخاري (5514) ومسلم (4621) ، إلا أن الزوجة تقدم على الأم في شيء واحد وهو النفقة إذا كان الزوج لا يستطيع أن ينفق على زوجته وأمه معا “Yang paling utama bagi seorang lelaki Muslim adalah mendahulukan ibunya. Berdasarkan hadis tentang seorang lelaki yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu” (HR. Al-Bukhari no.5514, Muslim no.4612). Adapun istri, lebih didahulukan daripada ibu dalam satu masalah saja, yaitu masalah nafkah. Ini pun ketika sang suami tidak mampu untuk menafkahi keduanya secara sekaligus” (Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.6293). Dan jika sang suami memberikan pemberian kepada istrinya di luar dari nafkah yang wajib dengan jumlah yang lebih banyak daripada pemberian kepada ibunya karena melihat maslahat dan kebutuhan-kebutuhannya, maka ini tidak mengapa. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan : فإذا أعطى كل واحدة ما يناسبها فلا حرج في ذلك، ولو كان الذي أعطى الزوجة أكثر، أو أعلى؛ لأنه الذي يناسبها، والمرأة التي هي أمه يناسبها شيء آخر، فلا حرج في ذلك “Jika seorang suami memberikan pemberian kepada salah satu saja (ibu saja atau istri saja) yang sesuai dengan kebutuhannya, maka tidak mengapa. Misalnya jika sang suami memberi pemberian kepada istrinya lebih banyak daripada pemberian kepada ibunya, karena memang itu sesuai dengan kebutuhan istrinya, sedangkan pemberian untuk ibunya ia berikan pemberian yang lain yang sesuai untuknya, maka ini tidak mengapa” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.286 soal ke-20). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 12,157 times, 38 visit(s) today Post Views: 1,294 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Dalam Islam, bagi seorang suami, mana yang lebih didahulukan? Ibunya atau istrinya? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Menggabungkan Dua Perkara Lebih Utama Pertama, menggabungkan dua perkara yang baik itu lebih utama daripada menguatkan salah satu saja. Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizani menjelaskan: لا يُصار إلى الترجيح بين الأدلة المتعارضة إلا بعد محاولة الجمع بينها، فإن الجمع مقدم على الترجيح، فإن أمكن الجمع وزال التعارض امتنع الترجيح “Tidak boleh melakukan tarjih (memilih salah satu) antara dalil-dalil yang nampak bertentangan, kecuali setelah mencoba untuk mengkompromikan keduanya. Karena mengkompromikan dua dalil itu lebih didahulukan daripada tarjih. Jika masih memungkinkan untuk dikompromikan, maka tidak ada pertentangan dan tidak boleh memilih salah satu” (Ma’alim Ushulil Fiqhi inda Ahlissunnah wal Jama’ah, hal.274). Dalam kasus di atas, dalil perintah berbakti kepada orang tua dengan dalil perintah berbuat baik kepada istri, nampak bertentangan. Maka yang lebih utama adalah mengkompromikan dua hal tersebut.  Oleh karena itu seorang suami berusaha untuk terus berbakti kepada ibunya dan juga berbuat baik kepada istrinya dan berusaha merekatkan hubungan baik antara keduanya. Ini yang ideal dan lebih utama. Ibu Lebih Diutamakan daripada Istri Kedua, secara mutlak dan secara umum bagi seorang suami, ibu lebih didahulukan daripada istri. Ini yang ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena ibu adalah orang tua, dan orang tua adalah orang paling berhak untuk diberikan bakti yang terbaik dari anaknya. Allah ta’ala berfirman: وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (QS. An-Nisa: 36). Allah ta’ala juga berfirman: وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23). Dalam ayat-ayat di atas Allah ta’ala menggandengkan perintah untuk bertauhid dengan perintah untuk berbakti kepada orang tua. Menunjukkan tingginya kedudukan berbakti kepada orang tua. Bahkan durhaka kepada orang tua merupakan dosa besar. Dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: أَكْبَرُ الكَبائِرِ: الإشْراكُ باللَّهِ، وعُقُوقُ الوالِدَيْنِ، وشَهادَةُ الزُّورِ، وشَهادَةُ الزُّورِ “Dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu” (HR. Al-Bukhari no.6919, Muslim no.88). Dalam hadis dari Nafi’ bin Al-Harits Ats-Tsaqafi radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ألا أنبِّئُكم بأكبرِ الكبائرِ . ثلاثًا ، قالوا : بلَى يا رسولَ اللهِ ، قال : الإشراكُ باللهِ ، وعقوقُ الوالدينِ “Maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya ini 3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi bersabda: syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari no.2654, Muslim no.87). Kemudian, terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa ibu lebih ditekankan lagi untuk diberikan bakti yang terbaik. Dari Mu’awiyah bin Haidah Al-Qusyairi radhiyallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi: يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no.5, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Dari Miqdam bin Ma’di Karib radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ِإِنَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ “Sesungguhnya Allah berwasiat 3x kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat” (HR. Ibnu Majah no.3661, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam dua hadis ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ibu adalah orang yang paling berhak mendapatkan bakti yang terbaik, bahkan melebihi ayah. Bagaimana lagi dengan istri. Maka jelas ibu lebih diutamakan daripada istri. Dari Atha bin Yassar, ia berkata: عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ ، فقالَ : إنِّي خَطبتُ امرأةً فأبَت أن تنكِحَني ، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ ، فَغِرْتُ علَيها فقتَلتُها ، فَهَل لي مِن تَوبةٍ ؟ قالَ : أُمُّكَ حَيَّةٌ ؟ قالَ : لا ، قالَ : تُب إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ ، فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ : لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ : إنِّي لا أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ “Dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Saya pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepada-Nya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa Anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no.4, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Dalam atsar ini, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menganggap amalan yang paling besar yang dapat menghapus dosa sebesar dosa pembunuhan adalah berbakti kepada ibu. Ini menunjukkan bahwa ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti yang terbaik. Berdasarkan dalil-dalil di atas jelas bahwa ibu lebih diutamakan dari pada istri dalam bakti dan perbuatan baik. Istri Lebih Diutamakan Dalam Hal Nafkah Ketiga, hanya dalam satu perkara yang suami lebih wajib mendahulukan istrinya daripada ibunya. Yaitu dalam perkara nafkah. Karena suami wajib menafkahi istrinya, sedangkan ia tidak wajib menafkahi ibunya kecuali jika ibu dalam keadaan miskin. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Daud no.1692, Ibnu Hibban no.4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, Nahi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ابْدَأْ بنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فإنْ فَضَلَ شيءٌ فَلأَهْلِكَ، فإنْ فَضَلَ عن أَهْلِكَ شيءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فإنْ فَضَلَ عن ذِي قَرَابَتِكَ شيءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا “Mulailah dari dirimu sendiri, berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah nafkah pada keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya” (HR. Muslim no. 997). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa istri wajib diberikan nafkah oleh suaminya.  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid menjelaskan: الأفضلية عند المسلم للأم لما جاء في الحديث أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم : ” من أحق الناس بحسن صحابتي قال أمك قال ثم من قال أمك قال ثم من قال أمك … الحديث ” رواه البخاري (5514) ومسلم (4621) ، إلا أن الزوجة تقدم على الأم في شيء واحد وهو النفقة إذا كان الزوج لا يستطيع أن ينفق على زوجته وأمه معا “Yang paling utama bagi seorang lelaki Muslim adalah mendahulukan ibunya. Berdasarkan hadis tentang seorang lelaki yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu” (HR. Al-Bukhari no.5514, Muslim no.4612). Adapun istri, lebih didahulukan daripada ibu dalam satu masalah saja, yaitu masalah nafkah. Ini pun ketika sang suami tidak mampu untuk menafkahi keduanya secara sekaligus” (Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.6293). Dan jika sang suami memberikan pemberian kepada istrinya di luar dari nafkah yang wajib dengan jumlah yang lebih banyak daripada pemberian kepada ibunya karena melihat maslahat dan kebutuhan-kebutuhannya, maka ini tidak mengapa. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan : فإذا أعطى كل واحدة ما يناسبها فلا حرج في ذلك، ولو كان الذي أعطى الزوجة أكثر، أو أعلى؛ لأنه الذي يناسبها، والمرأة التي هي أمه يناسبها شيء آخر، فلا حرج في ذلك “Jika seorang suami memberikan pemberian kepada salah satu saja (ibu saja atau istri saja) yang sesuai dengan kebutuhannya, maka tidak mengapa. Misalnya jika sang suami memberi pemberian kepada istrinya lebih banyak daripada pemberian kepada ibunya, karena memang itu sesuai dengan kebutuhan istrinya, sedangkan pemberian untuk ibunya ia berikan pemberian yang lain yang sesuai untuknya, maka ini tidak mengapa” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.286 soal ke-20). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 12,157 times, 38 visit(s) today Post Views: 1,294 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Dalam Islam, bagi seorang suami, mana yang lebih didahulukan? Ibunya atau istrinya? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Menggabungkan Dua Perkara Lebih Utama Pertama, menggabungkan dua perkara yang baik itu lebih utama daripada menguatkan salah satu saja. Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizani menjelaskan: لا يُصار إلى الترجيح بين الأدلة المتعارضة إلا بعد محاولة الجمع بينها، فإن الجمع مقدم على الترجيح، فإن أمكن الجمع وزال التعارض امتنع الترجيح “Tidak boleh melakukan tarjih (memilih salah satu) antara dalil-dalil yang nampak bertentangan, kecuali setelah mencoba untuk mengkompromikan keduanya. Karena mengkompromikan dua dalil itu lebih didahulukan daripada tarjih. Jika masih memungkinkan untuk dikompromikan, maka tidak ada pertentangan dan tidak boleh memilih salah satu” (Ma’alim Ushulil Fiqhi inda Ahlissunnah wal Jama’ah, hal.274). Dalam kasus di atas, dalil perintah berbakti kepada orang tua dengan dalil perintah berbuat baik kepada istri, nampak bertentangan. Maka yang lebih utama adalah mengkompromikan dua hal tersebut.  Oleh karena itu seorang suami berusaha untuk terus berbakti kepada ibunya dan juga berbuat baik kepada istrinya dan berusaha merekatkan hubungan baik antara keduanya. Ini yang ideal dan lebih utama. Ibu Lebih Diutamakan daripada Istri Kedua, secara mutlak dan secara umum bagi seorang suami, ibu lebih didahulukan daripada istri. Ini yang ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena ibu adalah orang tua, dan orang tua adalah orang paling berhak untuk diberikan bakti yang terbaik dari anaknya. Allah ta’ala berfirman: وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (QS. An-Nisa: 36). Allah ta’ala juga berfirman: وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23). Dalam ayat-ayat di atas Allah ta’ala menggandengkan perintah untuk bertauhid dengan perintah untuk berbakti kepada orang tua. Menunjukkan tingginya kedudukan berbakti kepada orang tua. Bahkan durhaka kepada orang tua merupakan dosa besar. Dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: أَكْبَرُ الكَبائِرِ: الإشْراكُ باللَّهِ، وعُقُوقُ الوالِدَيْنِ، وشَهادَةُ الزُّورِ، وشَهادَةُ الزُّورِ “Dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu” (HR. Al-Bukhari no.6919, Muslim no.88). Dalam hadis dari Nafi’ bin Al-Harits Ats-Tsaqafi radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ألا أنبِّئُكم بأكبرِ الكبائرِ . ثلاثًا ، قالوا : بلَى يا رسولَ اللهِ ، قال : الإشراكُ باللهِ ، وعقوقُ الوالدينِ “Maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya ini 3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi bersabda: syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari no.2654, Muslim no.87). Kemudian, terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa ibu lebih ditekankan lagi untuk diberikan bakti yang terbaik. Dari Mu’awiyah bin Haidah Al-Qusyairi radhiyallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi: يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no.5, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Dari Miqdam bin Ma’di Karib radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ِإِنَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ “Sesungguhnya Allah berwasiat 3x kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat” (HR. Ibnu Majah no.3661, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Dalam dua hadis ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyebutkan bahwa ibu adalah orang yang paling berhak mendapatkan bakti yang terbaik, bahkan melebihi ayah. Bagaimana lagi dengan istri. Maka jelas ibu lebih diutamakan daripada istri. Dari Atha bin Yassar, ia berkata: عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ ، فقالَ : إنِّي خَطبتُ امرأةً فأبَت أن تنكِحَني ، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ ، فَغِرْتُ علَيها فقتَلتُها ، فَهَل لي مِن تَوبةٍ ؟ قالَ : أُمُّكَ حَيَّةٌ ؟ قالَ : لا ، قالَ : تُب إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ ، فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ : لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ : إنِّي لا أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ “Dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Saya pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepada-Nya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa Anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad no.4, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Dalam atsar ini, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menganggap amalan yang paling besar yang dapat menghapus dosa sebesar dosa pembunuhan adalah berbakti kepada ibu. Ini menunjukkan bahwa ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti yang terbaik. Berdasarkan dalil-dalil di atas jelas bahwa ibu lebih diutamakan dari pada istri dalam bakti dan perbuatan baik. Istri Lebih Diutamakan Dalam Hal Nafkah Ketiga, hanya dalam satu perkara yang suami lebih wajib mendahulukan istrinya daripada ibunya. Yaitu dalam perkara nafkah. Karena suami wajib menafkahi istrinya, sedangkan ia tidak wajib menafkahi ibunya kecuali jika ibu dalam keadaan miskin. Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: كفى بالمرءِ إثمًا أن يضَيِّعَ من يَقُوتُ “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Daud no.1692, Ibnu Hibban no.4240, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud). Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, Nahi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ابْدَأْ بنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فإنْ فَضَلَ شيءٌ فَلأَهْلِكَ، فإنْ فَضَلَ عن أَهْلِكَ شيءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فإنْ فَضَلَ عن ذِي قَرَابَتِكَ شيءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا “Mulailah dari dirimu sendiri, berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah nafkah pada keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya” (HR. Muslim no. 997). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك “Empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinar yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Adabil Mufrad). Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa istri wajib diberikan nafkah oleh suaminya.  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid menjelaskan: الأفضلية عند المسلم للأم لما جاء في الحديث أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم : ” من أحق الناس بحسن صحابتي قال أمك قال ثم من قال أمك قال ثم من قال أمك … الحديث ” رواه البخاري (5514) ومسلم (4621) ، إلا أن الزوجة تقدم على الأم في شيء واحد وهو النفقة إذا كان الزوج لا يستطيع أن ينفق على زوجته وأمه معا “Yang paling utama bagi seorang lelaki Muslim adalah mendahulukan ibunya. Berdasarkan hadis tentang seorang lelaki yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu” (HR. Al-Bukhari no.5514, Muslim no.4612). Adapun istri, lebih didahulukan daripada ibu dalam satu masalah saja, yaitu masalah nafkah. Ini pun ketika sang suami tidak mampu untuk menafkahi keduanya secara sekaligus” (Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.6293). Dan jika sang suami memberikan pemberian kepada istrinya di luar dari nafkah yang wajib dengan jumlah yang lebih banyak daripada pemberian kepada ibunya karena melihat maslahat dan kebutuhan-kebutuhannya, maka ini tidak mengapa. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan : فإذا أعطى كل واحدة ما يناسبها فلا حرج في ذلك، ولو كان الذي أعطى الزوجة أكثر، أو أعلى؛ لأنه الذي يناسبها، والمرأة التي هي أمه يناسبها شيء آخر، فلا حرج في ذلك “Jika seorang suami memberikan pemberian kepada salah satu saja (ibu saja atau istri saja) yang sesuai dengan kebutuhannya, maka tidak mengapa. Misalnya jika sang suami memberi pemberian kepada istrinya lebih banyak daripada pemberian kepada ibunya, karena memang itu sesuai dengan kebutuhan istrinya, sedangkan pemberian untuk ibunya ia berikan pemberian yang lain yang sesuai untuknya, maka ini tidak mengapa” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.286 soal ke-20). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Masa Haid Menurut Islam, Waktu Adzan Isya, Surah Al Jin Dan Artinya, Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Doa Agar Barang Yang Dicuri Kembali Visited 12,157 times, 38 visit(s) today Post Views: 1,294 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Wanita Berolahraga dengan Pakaian Ketat 

Pertanyaan: Saya sehari-hari berhijab. Namun akhir-akhir ini saya mulai mencoba merutinkan lari pagi atau jogging untuk menjaga kesehatan. Ketika lari pagi, saya menggunakan pakaian khusus olahraga yang agak ketat. Karena lebih membuat gerakan lebih ringan karena aerodinamis (tidak menahan angin) dan juga lebih menyerap keringat. Namun saya tetap menggunakan hijab. Bolehkah demikian?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, perlu diketahui bahwa wanita tidak boleh menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya di hadapan lelaki nonmahram. Ini disebut oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan istilah “Berpakaian tapi telanjang”. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: صِنْفانِ مِن أهْلِ النَّارِ لَمْ أرَهُما، قَوْمٌ معهُمْ سِياطٌ كَأَذْنابِ البَقَرِ يَضْرِبُونَ بها النَّاسَ، ونِساءٌ كاسِياتٌ عارِياتٌ مُمِيلاتٌ مائِلاتٌ، رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ البُخْتِ المائِلَةِ، لا يَدْخُلْنَ الجَنَّةَ، ولا يَجِدْنَ رِيحَها، وإنَّ رِيحَها لَيُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ كَذا وكَذا “Ada dua golongan dari umatku yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul orang-orang dan (2) Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring (seperti benjolan). Mereka itu tidak masuk surga dan tidak akan mencium wanginya, walaupun wanginya surga tercium sejauh jarak perjalanan sekian dan sekian” (HR. Muslim no. 2128). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits ini : قد فُسِّر قوله ” كاسيات عاريات ” : بأنهن يلبسن ألبسة قصيرة ، لا تستر ما يجب ستره من العورة ، وفسر : بأنهن يلبسن ألبسة خفيفة لا تمنع من رؤية ما وراءها من بشرة المرأة ، وفسرت : بأن يلبسن ملابس ضيقة ، فهي ساترة عن الرؤية لكنها مبدية لمفاتن المرأة “Para ulama menafsirkan “berpakaian tapi telanjang” maksudnya mereka memakai busana yang mini, yang tidak menutup aurat yang wajib ditutup. Juga sebagian ulama menafsirkan, mereka memakai busana yang tipis yang masih memperlihatkan apa yang dibaliknya yaitu kulit wanita. Juga sebagian ulama menafsirkan, mereka memakai pakaian yang ketat walaupun masih menutup auratnya, namun ia memperlihatkan keindahan wanita” (Fatawa Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, 2/285). Dan jelas bahwa pakaian yang ketat bagi wanita akan menambah fitnah (godaan) mereka bagi laki-laki. Padahal wanita yang berpakaian lebar dan tidak terlihat lekukan tubuhnya, itu saja sudah menjadi fitnah terbesar bagi laki-laki. Apalagi jika terlihat lekukan tubuhnya?! Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ “Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah (cobaan) dari wanita” (HR. Al-Bukhari no.5096, Muslim no.2740). Adapun menggunakan pakaian yang ketat dengan alasan untuk olahraga. Yaitu karena membutuhkan fleksibilitas gerak, supaya tidak gerah dan alasan lainnya. Maka dalam hal ini kita sampaikan kaidah yang disebutkan para ulama: الغَايَةُ لَا تُبَرِّرُ الوَسِيْلَةَ “Tujuan yang baik tidak menghalalkan segala cara”. Olahraga itu baik, namun bukan berarti semua hal yang terlarang dihalalkan demi olahraga. Perbuatan demikian juga termasuk mudahanah, mengorbankan agama demi kepentingan duniawi. Padahal Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah“ (QS. Al-Baqarah: 41). Maksud ayat ini adalah, jangan melakukan pelanggaran terhadap agama demi kepentingan dunia. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: لا تعتاضوا عن الإيمان بآياتي وتصديق رسولي بالدنيا وشهواتها فإنها قليلة “Maksudnya, jangan menukar keimanan terhadap ayat-ayatKu dan keimanan kepada Rasul-Ku dengan dunia dan syahwatnya, karena urusan dunia itu hal yang kecil (remeh)” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/242). Dan berpakaian syar’i bagi Muslimah itu bukan bersifat insidental dan seremonial. Yaitu hanya berpakaian syar’i ketika pengajian atau ketika mendatangi undangan saja. Sedangkan ketika olahraga tidak perlu menggunakan pakaian syar’i. Ini pemahaman keliru. Yang benar, wanita Muslimah diwajibkan berpakaian syar’i ketika ada lelaki ajnabi (nonmahram). Lihat penjelasan para ulama ketika menjelaskan batasan aurat. Asy-Syarwani rahimahullah berkata, جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ: وَعَوْرَةُ بِالنِّسْبَةِ لِنَظْرِ الْأَجَانِبِ إِلَيْهَا “Batasan aurat wanita jika ada lelaki ajnabi yang melihatnya, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad (resmi)” (Hasyiah asy-Syarwani ‘ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112). Az-Zarqani rahimahullah berkata, وَعَوْرَةُ الْحرة مَعَ رَجُلٍ أَجْنَبِيٍّ مُسْلِمٍ غَيْر الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مِنْ جَمِيْعِ جَسَدِهَا “Aurat wanita di depan lelaki ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan.” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176). Maka selama ada lelaki ajnabi, baik di luar rumah, maupun di dalam rumah, baik sedang pengajian ataupun sedang olahraga, maka wajib menutup aurat dengan berpakaian syar’i. Dan juga, jika konsep berpikir seperti di atas ditoleransi, akan timbul banyak pemahaman aneh seperti: * Muslimah dibolehkan berpakaian ketat seksi di pemandian umum, dengan dalih karena ingin latihan renang. * Muslimah dibolehkan campur baur dengan laki-laki di gym, dengan alasan ingin fitnes untuk kesehatan. * Muslimah sparing partner beladiri gulat dengan laki-laki, dengan alasan latihan bela diri. dan hal-hal lain yang lebih rusak lagi. Allahul musta’an. Sekali lagi, tujuan baik tidak menghalalkan segala cara. Tujuan yang baik harus dibarengi dengan cara yang benar. Semestinya seorang mukmin berpikir bagaimana menjalankan aktifitas duniawinya dengan tanpa melanggar agama. Bukan aturan agama dilanggar demi kepentingan dunia. Oleh karena itu, wanita Muslimah tetap wajib berpakaian syar’i walaupun ketika berolahraga, ketika ada lelaki nonmahram di tempat ia berolahraga. Atau, solusi lain yang bisa dipertimbangkan yaitu berusaha untuk mencari tempat olahraga khusus wanita yang sama sekali tidak terlihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan: الرياضة تختلف فهي كلمة مجملة فالرياضة بين البنات بأشياء لا تخالف الشرع المطهر، بمشي كثير في محل خاص بهن، لا يخالطهن فيه الرجال، ولا يطلع عليهن الرجال، أو بسباحة عندهن في بيتهن أو في مدرستهن خاصة لا يراها الرجال ولا يتصل بها الرجال، لا يضر ذلك. أما رياضة يحصل بها الاختلاط بين الرجال والنساء، أو يراها الرجال أو تسبب شراً على المسلمين فلا تجوز “Olahraga itu banyak macamnya, dan ia kalimat yang umum. Maka olahraga untuk anak-anak wanita dengan berbagai macam jenisnya, ini (asalnya) tidak melanggar syariat yang suci ini. Misalnya para wanita jalan kaki bersama-sama di tempat yang khusus bagi wanita, tidak bercampur-baur dengan lelaki, dan tidak ada lelaki yang melihat mereka, atau olahraga renang bagi wanita di rumah mereka atau sekolah renang khusus bagi wanita, yang tidak terlihat oleh lelaki dan tidak ada lelaki. Ini tidak mengapa. Adapun olahraga yang terdapat ikhtilat (campur-baur) antara lelaki dan wanita, atau lelaki bisa melihat mereka, atau menyebabkan keburukan bagi kaum Muslimin maka tidak boleh” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.166 soal ke-4). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Shalat Berjamaah Di Masjid Bagi Laki Laki, Budak Zaman Sekarang, Arti Sighat, Kisah Segitiga Bermuda Dalam Al Quran, Sedekap Visited 488 times, 1 visit(s) today Post Views: 713 QRIS donasi Yufid

Wanita Berolahraga dengan Pakaian Ketat 

Pertanyaan: Saya sehari-hari berhijab. Namun akhir-akhir ini saya mulai mencoba merutinkan lari pagi atau jogging untuk menjaga kesehatan. Ketika lari pagi, saya menggunakan pakaian khusus olahraga yang agak ketat. Karena lebih membuat gerakan lebih ringan karena aerodinamis (tidak menahan angin) dan juga lebih menyerap keringat. Namun saya tetap menggunakan hijab. Bolehkah demikian?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, perlu diketahui bahwa wanita tidak boleh menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya di hadapan lelaki nonmahram. Ini disebut oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan istilah “Berpakaian tapi telanjang”. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: صِنْفانِ مِن أهْلِ النَّارِ لَمْ أرَهُما، قَوْمٌ معهُمْ سِياطٌ كَأَذْنابِ البَقَرِ يَضْرِبُونَ بها النَّاسَ، ونِساءٌ كاسِياتٌ عارِياتٌ مُمِيلاتٌ مائِلاتٌ، رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ البُخْتِ المائِلَةِ، لا يَدْخُلْنَ الجَنَّةَ، ولا يَجِدْنَ رِيحَها، وإنَّ رِيحَها لَيُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ كَذا وكَذا “Ada dua golongan dari umatku yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul orang-orang dan (2) Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring (seperti benjolan). Mereka itu tidak masuk surga dan tidak akan mencium wanginya, walaupun wanginya surga tercium sejauh jarak perjalanan sekian dan sekian” (HR. Muslim no. 2128). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits ini : قد فُسِّر قوله ” كاسيات عاريات ” : بأنهن يلبسن ألبسة قصيرة ، لا تستر ما يجب ستره من العورة ، وفسر : بأنهن يلبسن ألبسة خفيفة لا تمنع من رؤية ما وراءها من بشرة المرأة ، وفسرت : بأن يلبسن ملابس ضيقة ، فهي ساترة عن الرؤية لكنها مبدية لمفاتن المرأة “Para ulama menafsirkan “berpakaian tapi telanjang” maksudnya mereka memakai busana yang mini, yang tidak menutup aurat yang wajib ditutup. Juga sebagian ulama menafsirkan, mereka memakai busana yang tipis yang masih memperlihatkan apa yang dibaliknya yaitu kulit wanita. Juga sebagian ulama menafsirkan, mereka memakai pakaian yang ketat walaupun masih menutup auratnya, namun ia memperlihatkan keindahan wanita” (Fatawa Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, 2/285). Dan jelas bahwa pakaian yang ketat bagi wanita akan menambah fitnah (godaan) mereka bagi laki-laki. Padahal wanita yang berpakaian lebar dan tidak terlihat lekukan tubuhnya, itu saja sudah menjadi fitnah terbesar bagi laki-laki. Apalagi jika terlihat lekukan tubuhnya?! Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ “Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah (cobaan) dari wanita” (HR. Al-Bukhari no.5096, Muslim no.2740). Adapun menggunakan pakaian yang ketat dengan alasan untuk olahraga. Yaitu karena membutuhkan fleksibilitas gerak, supaya tidak gerah dan alasan lainnya. Maka dalam hal ini kita sampaikan kaidah yang disebutkan para ulama: الغَايَةُ لَا تُبَرِّرُ الوَسِيْلَةَ “Tujuan yang baik tidak menghalalkan segala cara”. Olahraga itu baik, namun bukan berarti semua hal yang terlarang dihalalkan demi olahraga. Perbuatan demikian juga termasuk mudahanah, mengorbankan agama demi kepentingan duniawi. Padahal Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah“ (QS. Al-Baqarah: 41). Maksud ayat ini adalah, jangan melakukan pelanggaran terhadap agama demi kepentingan dunia. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: لا تعتاضوا عن الإيمان بآياتي وتصديق رسولي بالدنيا وشهواتها فإنها قليلة “Maksudnya, jangan menukar keimanan terhadap ayat-ayatKu dan keimanan kepada Rasul-Ku dengan dunia dan syahwatnya, karena urusan dunia itu hal yang kecil (remeh)” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/242). Dan berpakaian syar’i bagi Muslimah itu bukan bersifat insidental dan seremonial. Yaitu hanya berpakaian syar’i ketika pengajian atau ketika mendatangi undangan saja. Sedangkan ketika olahraga tidak perlu menggunakan pakaian syar’i. Ini pemahaman keliru. Yang benar, wanita Muslimah diwajibkan berpakaian syar’i ketika ada lelaki ajnabi (nonmahram). Lihat penjelasan para ulama ketika menjelaskan batasan aurat. Asy-Syarwani rahimahullah berkata, جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ: وَعَوْرَةُ بِالنِّسْبَةِ لِنَظْرِ الْأَجَانِبِ إِلَيْهَا “Batasan aurat wanita jika ada lelaki ajnabi yang melihatnya, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad (resmi)” (Hasyiah asy-Syarwani ‘ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112). Az-Zarqani rahimahullah berkata, وَعَوْرَةُ الْحرة مَعَ رَجُلٍ أَجْنَبِيٍّ مُسْلِمٍ غَيْر الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مِنْ جَمِيْعِ جَسَدِهَا “Aurat wanita di depan lelaki ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan.” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176). Maka selama ada lelaki ajnabi, baik di luar rumah, maupun di dalam rumah, baik sedang pengajian ataupun sedang olahraga, maka wajib menutup aurat dengan berpakaian syar’i. Dan juga, jika konsep berpikir seperti di atas ditoleransi, akan timbul banyak pemahaman aneh seperti: * Muslimah dibolehkan berpakaian ketat seksi di pemandian umum, dengan dalih karena ingin latihan renang. * Muslimah dibolehkan campur baur dengan laki-laki di gym, dengan alasan ingin fitnes untuk kesehatan. * Muslimah sparing partner beladiri gulat dengan laki-laki, dengan alasan latihan bela diri. dan hal-hal lain yang lebih rusak lagi. Allahul musta’an. Sekali lagi, tujuan baik tidak menghalalkan segala cara. Tujuan yang baik harus dibarengi dengan cara yang benar. Semestinya seorang mukmin berpikir bagaimana menjalankan aktifitas duniawinya dengan tanpa melanggar agama. Bukan aturan agama dilanggar demi kepentingan dunia. Oleh karena itu, wanita Muslimah tetap wajib berpakaian syar’i walaupun ketika berolahraga, ketika ada lelaki nonmahram di tempat ia berolahraga. Atau, solusi lain yang bisa dipertimbangkan yaitu berusaha untuk mencari tempat olahraga khusus wanita yang sama sekali tidak terlihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan: الرياضة تختلف فهي كلمة مجملة فالرياضة بين البنات بأشياء لا تخالف الشرع المطهر، بمشي كثير في محل خاص بهن، لا يخالطهن فيه الرجال، ولا يطلع عليهن الرجال، أو بسباحة عندهن في بيتهن أو في مدرستهن خاصة لا يراها الرجال ولا يتصل بها الرجال، لا يضر ذلك. أما رياضة يحصل بها الاختلاط بين الرجال والنساء، أو يراها الرجال أو تسبب شراً على المسلمين فلا تجوز “Olahraga itu banyak macamnya, dan ia kalimat yang umum. Maka olahraga untuk anak-anak wanita dengan berbagai macam jenisnya, ini (asalnya) tidak melanggar syariat yang suci ini. Misalnya para wanita jalan kaki bersama-sama di tempat yang khusus bagi wanita, tidak bercampur-baur dengan lelaki, dan tidak ada lelaki yang melihat mereka, atau olahraga renang bagi wanita di rumah mereka atau sekolah renang khusus bagi wanita, yang tidak terlihat oleh lelaki dan tidak ada lelaki. Ini tidak mengapa. Adapun olahraga yang terdapat ikhtilat (campur-baur) antara lelaki dan wanita, atau lelaki bisa melihat mereka, atau menyebabkan keburukan bagi kaum Muslimin maka tidak boleh” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.166 soal ke-4). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Shalat Berjamaah Di Masjid Bagi Laki Laki, Budak Zaman Sekarang, Arti Sighat, Kisah Segitiga Bermuda Dalam Al Quran, Sedekap Visited 488 times, 1 visit(s) today Post Views: 713 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Saya sehari-hari berhijab. Namun akhir-akhir ini saya mulai mencoba merutinkan lari pagi atau jogging untuk menjaga kesehatan. Ketika lari pagi, saya menggunakan pakaian khusus olahraga yang agak ketat. Karena lebih membuat gerakan lebih ringan karena aerodinamis (tidak menahan angin) dan juga lebih menyerap keringat. Namun saya tetap menggunakan hijab. Bolehkah demikian?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, perlu diketahui bahwa wanita tidak boleh menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya di hadapan lelaki nonmahram. Ini disebut oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan istilah “Berpakaian tapi telanjang”. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: صِنْفانِ مِن أهْلِ النَّارِ لَمْ أرَهُما، قَوْمٌ معهُمْ سِياطٌ كَأَذْنابِ البَقَرِ يَضْرِبُونَ بها النَّاسَ، ونِساءٌ كاسِياتٌ عارِياتٌ مُمِيلاتٌ مائِلاتٌ، رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ البُخْتِ المائِلَةِ، لا يَدْخُلْنَ الجَنَّةَ، ولا يَجِدْنَ رِيحَها، وإنَّ رِيحَها لَيُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ كَذا وكَذا “Ada dua golongan dari umatku yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul orang-orang dan (2) Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring (seperti benjolan). Mereka itu tidak masuk surga dan tidak akan mencium wanginya, walaupun wanginya surga tercium sejauh jarak perjalanan sekian dan sekian” (HR. Muslim no. 2128). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits ini : قد فُسِّر قوله ” كاسيات عاريات ” : بأنهن يلبسن ألبسة قصيرة ، لا تستر ما يجب ستره من العورة ، وفسر : بأنهن يلبسن ألبسة خفيفة لا تمنع من رؤية ما وراءها من بشرة المرأة ، وفسرت : بأن يلبسن ملابس ضيقة ، فهي ساترة عن الرؤية لكنها مبدية لمفاتن المرأة “Para ulama menafsirkan “berpakaian tapi telanjang” maksudnya mereka memakai busana yang mini, yang tidak menutup aurat yang wajib ditutup. Juga sebagian ulama menafsirkan, mereka memakai busana yang tipis yang masih memperlihatkan apa yang dibaliknya yaitu kulit wanita. Juga sebagian ulama menafsirkan, mereka memakai pakaian yang ketat walaupun masih menutup auratnya, namun ia memperlihatkan keindahan wanita” (Fatawa Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, 2/285). Dan jelas bahwa pakaian yang ketat bagi wanita akan menambah fitnah (godaan) mereka bagi laki-laki. Padahal wanita yang berpakaian lebar dan tidak terlihat lekukan tubuhnya, itu saja sudah menjadi fitnah terbesar bagi laki-laki. Apalagi jika terlihat lekukan tubuhnya?! Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ “Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah (cobaan) dari wanita” (HR. Al-Bukhari no.5096, Muslim no.2740). Adapun menggunakan pakaian yang ketat dengan alasan untuk olahraga. Yaitu karena membutuhkan fleksibilitas gerak, supaya tidak gerah dan alasan lainnya. Maka dalam hal ini kita sampaikan kaidah yang disebutkan para ulama: الغَايَةُ لَا تُبَرِّرُ الوَسِيْلَةَ “Tujuan yang baik tidak menghalalkan segala cara”. Olahraga itu baik, namun bukan berarti semua hal yang terlarang dihalalkan demi olahraga. Perbuatan demikian juga termasuk mudahanah, mengorbankan agama demi kepentingan duniawi. Padahal Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah“ (QS. Al-Baqarah: 41). Maksud ayat ini adalah, jangan melakukan pelanggaran terhadap agama demi kepentingan dunia. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: لا تعتاضوا عن الإيمان بآياتي وتصديق رسولي بالدنيا وشهواتها فإنها قليلة “Maksudnya, jangan menukar keimanan terhadap ayat-ayatKu dan keimanan kepada Rasul-Ku dengan dunia dan syahwatnya, karena urusan dunia itu hal yang kecil (remeh)” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/242). Dan berpakaian syar’i bagi Muslimah itu bukan bersifat insidental dan seremonial. Yaitu hanya berpakaian syar’i ketika pengajian atau ketika mendatangi undangan saja. Sedangkan ketika olahraga tidak perlu menggunakan pakaian syar’i. Ini pemahaman keliru. Yang benar, wanita Muslimah diwajibkan berpakaian syar’i ketika ada lelaki ajnabi (nonmahram). Lihat penjelasan para ulama ketika menjelaskan batasan aurat. Asy-Syarwani rahimahullah berkata, جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ: وَعَوْرَةُ بِالنِّسْبَةِ لِنَظْرِ الْأَجَانِبِ إِلَيْهَا “Batasan aurat wanita jika ada lelaki ajnabi yang melihatnya, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad (resmi)” (Hasyiah asy-Syarwani ‘ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112). Az-Zarqani rahimahullah berkata, وَعَوْرَةُ الْحرة مَعَ رَجُلٍ أَجْنَبِيٍّ مُسْلِمٍ غَيْر الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مِنْ جَمِيْعِ جَسَدِهَا “Aurat wanita di depan lelaki ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan.” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176). Maka selama ada lelaki ajnabi, baik di luar rumah, maupun di dalam rumah, baik sedang pengajian ataupun sedang olahraga, maka wajib menutup aurat dengan berpakaian syar’i. Dan juga, jika konsep berpikir seperti di atas ditoleransi, akan timbul banyak pemahaman aneh seperti: * Muslimah dibolehkan berpakaian ketat seksi di pemandian umum, dengan dalih karena ingin latihan renang. * Muslimah dibolehkan campur baur dengan laki-laki di gym, dengan alasan ingin fitnes untuk kesehatan. * Muslimah sparing partner beladiri gulat dengan laki-laki, dengan alasan latihan bela diri. dan hal-hal lain yang lebih rusak lagi. Allahul musta’an. Sekali lagi, tujuan baik tidak menghalalkan segala cara. Tujuan yang baik harus dibarengi dengan cara yang benar. Semestinya seorang mukmin berpikir bagaimana menjalankan aktifitas duniawinya dengan tanpa melanggar agama. Bukan aturan agama dilanggar demi kepentingan dunia. Oleh karena itu, wanita Muslimah tetap wajib berpakaian syar’i walaupun ketika berolahraga, ketika ada lelaki nonmahram di tempat ia berolahraga. Atau, solusi lain yang bisa dipertimbangkan yaitu berusaha untuk mencari tempat olahraga khusus wanita yang sama sekali tidak terlihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan: الرياضة تختلف فهي كلمة مجملة فالرياضة بين البنات بأشياء لا تخالف الشرع المطهر، بمشي كثير في محل خاص بهن، لا يخالطهن فيه الرجال، ولا يطلع عليهن الرجال، أو بسباحة عندهن في بيتهن أو في مدرستهن خاصة لا يراها الرجال ولا يتصل بها الرجال، لا يضر ذلك. أما رياضة يحصل بها الاختلاط بين الرجال والنساء، أو يراها الرجال أو تسبب شراً على المسلمين فلا تجوز “Olahraga itu banyak macamnya, dan ia kalimat yang umum. Maka olahraga untuk anak-anak wanita dengan berbagai macam jenisnya, ini (asalnya) tidak melanggar syariat yang suci ini. Misalnya para wanita jalan kaki bersama-sama di tempat yang khusus bagi wanita, tidak bercampur-baur dengan lelaki, dan tidak ada lelaki yang melihat mereka, atau olahraga renang bagi wanita di rumah mereka atau sekolah renang khusus bagi wanita, yang tidak terlihat oleh lelaki dan tidak ada lelaki. Ini tidak mengapa. Adapun olahraga yang terdapat ikhtilat (campur-baur) antara lelaki dan wanita, atau lelaki bisa melihat mereka, atau menyebabkan keburukan bagi kaum Muslimin maka tidak boleh” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.166 soal ke-4). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Shalat Berjamaah Di Masjid Bagi Laki Laki, Budak Zaman Sekarang, Arti Sighat, Kisah Segitiga Bermuda Dalam Al Quran, Sedekap Visited 488 times, 1 visit(s) today Post Views: 713 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Saya sehari-hari berhijab. Namun akhir-akhir ini saya mulai mencoba merutinkan lari pagi atau jogging untuk menjaga kesehatan. Ketika lari pagi, saya menggunakan pakaian khusus olahraga yang agak ketat. Karena lebih membuat gerakan lebih ringan karena aerodinamis (tidak menahan angin) dan juga lebih menyerap keringat. Namun saya tetap menggunakan hijab. Bolehkah demikian?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Pertama, perlu diketahui bahwa wanita tidak boleh menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya di hadapan lelaki nonmahram. Ini disebut oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan istilah “Berpakaian tapi telanjang”. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: صِنْفانِ مِن أهْلِ النَّارِ لَمْ أرَهُما، قَوْمٌ معهُمْ سِياطٌ كَأَذْنابِ البَقَرِ يَضْرِبُونَ بها النَّاسَ، ونِساءٌ كاسِياتٌ عارِياتٌ مُمِيلاتٌ مائِلاتٌ، رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ البُخْتِ المائِلَةِ، لا يَدْخُلْنَ الجَنَّةَ، ولا يَجِدْنَ رِيحَها، وإنَّ رِيحَها لَيُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ كَذا وكَذا “Ada dua golongan dari umatku yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul orang-orang dan (2) Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring (seperti benjolan). Mereka itu tidak masuk surga dan tidak akan mencium wanginya, walaupun wanginya surga tercium sejauh jarak perjalanan sekian dan sekian” (HR. Muslim no. 2128). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits ini : قد فُسِّر قوله ” كاسيات عاريات ” : بأنهن يلبسن ألبسة قصيرة ، لا تستر ما يجب ستره من العورة ، وفسر : بأنهن يلبسن ألبسة خفيفة لا تمنع من رؤية ما وراءها من بشرة المرأة ، وفسرت : بأن يلبسن ملابس ضيقة ، فهي ساترة عن الرؤية لكنها مبدية لمفاتن المرأة “Para ulama menafsirkan “berpakaian tapi telanjang” maksudnya mereka memakai busana yang mini, yang tidak menutup aurat yang wajib ditutup. Juga sebagian ulama menafsirkan, mereka memakai busana yang tipis yang masih memperlihatkan apa yang dibaliknya yaitu kulit wanita. Juga sebagian ulama menafsirkan, mereka memakai pakaian yang ketat walaupun masih menutup auratnya, namun ia memperlihatkan keindahan wanita” (Fatawa Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, 2/285). Dan jelas bahwa pakaian yang ketat bagi wanita akan menambah fitnah (godaan) mereka bagi laki-laki. Padahal wanita yang berpakaian lebar dan tidak terlihat lekukan tubuhnya, itu saja sudah menjadi fitnah terbesar bagi laki-laki. Apalagi jika terlihat lekukan tubuhnya?! Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ “Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah (cobaan) dari wanita” (HR. Al-Bukhari no.5096, Muslim no.2740). Adapun menggunakan pakaian yang ketat dengan alasan untuk olahraga. Yaitu karena membutuhkan fleksibilitas gerak, supaya tidak gerah dan alasan lainnya. Maka dalam hal ini kita sampaikan kaidah yang disebutkan para ulama: الغَايَةُ لَا تُبَرِّرُ الوَسِيْلَةَ “Tujuan yang baik tidak menghalalkan segala cara”. Olahraga itu baik, namun bukan berarti semua hal yang terlarang dihalalkan demi olahraga. Perbuatan demikian juga termasuk mudahanah, mengorbankan agama demi kepentingan duniawi. Padahal Allah ta’ala berfirman: وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah“ (QS. Al-Baqarah: 41). Maksud ayat ini adalah, jangan melakukan pelanggaran terhadap agama demi kepentingan dunia. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: لا تعتاضوا عن الإيمان بآياتي وتصديق رسولي بالدنيا وشهواتها فإنها قليلة “Maksudnya, jangan menukar keimanan terhadap ayat-ayatKu dan keimanan kepada Rasul-Ku dengan dunia dan syahwatnya, karena urusan dunia itu hal yang kecil (remeh)” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/242). Dan berpakaian syar’i bagi Muslimah itu bukan bersifat insidental dan seremonial. Yaitu hanya berpakaian syar’i ketika pengajian atau ketika mendatangi undangan saja. Sedangkan ketika olahraga tidak perlu menggunakan pakaian syar’i. Ini pemahaman keliru. Yang benar, wanita Muslimah diwajibkan berpakaian syar’i ketika ada lelaki ajnabi (nonmahram). Lihat penjelasan para ulama ketika menjelaskan batasan aurat. Asy-Syarwani rahimahullah berkata, جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ: وَعَوْرَةُ بِالنِّسْبَةِ لِنَظْرِ الْأَجَانِبِ إِلَيْهَا “Batasan aurat wanita jika ada lelaki ajnabi yang melihatnya, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad (resmi)” (Hasyiah asy-Syarwani ‘ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112). Az-Zarqani rahimahullah berkata, وَعَوْرَةُ الْحرة مَعَ رَجُلٍ أَجْنَبِيٍّ مُسْلِمٍ غَيْر الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مِنْ جَمِيْعِ جَسَدِهَا “Aurat wanita di depan lelaki ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan.” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176). Maka selama ada lelaki ajnabi, baik di luar rumah, maupun di dalam rumah, baik sedang pengajian ataupun sedang olahraga, maka wajib menutup aurat dengan berpakaian syar’i. Dan juga, jika konsep berpikir seperti di atas ditoleransi, akan timbul banyak pemahaman aneh seperti: * Muslimah dibolehkan berpakaian ketat seksi di pemandian umum, dengan dalih karena ingin latihan renang. * Muslimah dibolehkan campur baur dengan laki-laki di gym, dengan alasan ingin fitnes untuk kesehatan. * Muslimah sparing partner beladiri gulat dengan laki-laki, dengan alasan latihan bela diri. dan hal-hal lain yang lebih rusak lagi. Allahul musta’an. Sekali lagi, tujuan baik tidak menghalalkan segala cara. Tujuan yang baik harus dibarengi dengan cara yang benar. Semestinya seorang mukmin berpikir bagaimana menjalankan aktifitas duniawinya dengan tanpa melanggar agama. Bukan aturan agama dilanggar demi kepentingan dunia. Oleh karena itu, wanita Muslimah tetap wajib berpakaian syar’i walaupun ketika berolahraga, ketika ada lelaki nonmahram di tempat ia berolahraga. Atau, solusi lain yang bisa dipertimbangkan yaitu berusaha untuk mencari tempat olahraga khusus wanita yang sama sekali tidak terlihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan: الرياضة تختلف فهي كلمة مجملة فالرياضة بين البنات بأشياء لا تخالف الشرع المطهر، بمشي كثير في محل خاص بهن، لا يخالطهن فيه الرجال، ولا يطلع عليهن الرجال، أو بسباحة عندهن في بيتهن أو في مدرستهن خاصة لا يراها الرجال ولا يتصل بها الرجال، لا يضر ذلك. أما رياضة يحصل بها الاختلاط بين الرجال والنساء، أو يراها الرجال أو تسبب شراً على المسلمين فلا تجوز “Olahraga itu banyak macamnya, dan ia kalimat yang umum. Maka olahraga untuk anak-anak wanita dengan berbagai macam jenisnya, ini (asalnya) tidak melanggar syariat yang suci ini. Misalnya para wanita jalan kaki bersama-sama di tempat yang khusus bagi wanita, tidak bercampur-baur dengan lelaki, dan tidak ada lelaki yang melihat mereka, atau olahraga renang bagi wanita di rumah mereka atau sekolah renang khusus bagi wanita, yang tidak terlihat oleh lelaki dan tidak ada lelaki. Ini tidak mengapa. Adapun olahraga yang terdapat ikhtilat (campur-baur) antara lelaki dan wanita, atau lelaki bisa melihat mereka, atau menyebabkan keburukan bagi kaum Muslimin maka tidak boleh” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.166 soal ke-4). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Shalat Berjamaah Di Masjid Bagi Laki Laki, Budak Zaman Sekarang, Arti Sighat, Kisah Segitiga Bermuda Dalam Al Quran, Sedekap Visited 488 times, 1 visit(s) today Post Views: 713 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Zulhijah

Daftar Isi Toggle Besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan ZulhijahPertama, Allah Ta’ala bersumpah dengannya karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya.Kedua, amal ibadah di hari-hari tersebut adalah amal ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala.Ketiga, Di dalamnya terdapat hari paling mulia di sisi Allah Ta’ala.Keempat, pada hari-hari tersebut terkumpul di dalamnya amal-amal ibadah agung, baik itu pelaksanaan salat, sedekah kurban, puasa, dan ibadah haji.Amal ibadah apa saja yang dianjurkan untuk kita kerjakan pada hari-hari tersebut?Pertama, menjaga amal ibadah wajib.Kedua, berpuasa sembilan hari.Ketiga, memperbanyak takbir dan mengagungkan Allah Ta’ala. Di antara bentuk karunia Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya adalah menjadikan waktu-waktu dan musim-musim khusus bagi seorang hamba untuk memaksimalkan ketaatannya kepada Allah Ta’ala. Allah jadikan pahala dan balasan pada waktu-waktu tersebut lebih besar dari waktu-waktu lainnya. Sehingga, dengannya, seorang muslim dapat beramal dengan maksimal dan memanfaatkannya untuk menambal kekurangannya dalam ibadah yang telah lalu. Setelah sebelumnya, Allah mengaruniakan kita dengan bulan Ramadan, bulan ketataan dan bulan ampunan, bulan yang di dalamnya terdapat sepuluh malam yang penuh keutamaan dan keistimewaan. Di penghujung tahun hijriah ini, Allah mengaruniakan kita juga dengan waktu-waktu utama yang bisa kita maksimalkan untuk beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Waktu-waktu dan hari-hari yang akan datang tersebut adalah sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah, hari-hari terbaik dalam satu tahun yang kita miliki. Besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan Zulhijah Sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah memiliki keutamaan yang sangat besar bagi seorang muslim, karena pada hari-hari tersebut terkumpul banyak sekali keutamaan. Di antaranya: Pertama, Allah Ta’ala bersumpah dengannya karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, وَالْفَجْرِ  وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Demi fajar. Dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2) Yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh pertama dari bulan Zulhijah, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama dari kalangan salaf (terdahulu) dan ulama khalaf (masa kini). Sebagian ulama juga menafsirkan bahwa maksudnya adalah sepuluh terakhir bulan Ramadan. Hanya saja, pendapat pertama lebih kuat, karena di ayat yang selanjutnya Allah Ta’ala berfirman, وَٱلشَّفْعِ وَٱلْوَتْرِ “Dan yang genap dan yang ganjil.” (QS. Al-Fajr: 3) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “al-watr” adalah hari Arafah karena itu pada tanggal sembilan, dan yang dimaksud dengan “asy-syaf’u” adalah hari raya kurban karena terletak pada tanggal sepuluh. Hal ini menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut berbicara mengenai keutamaan sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah. Kedua, amal ibadah di hari-hari tersebut adalah amal ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ “Tidak ada hari-hari yang amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini.” Yakni, 10 hari pertama dari bulan Zulhijah. Mereka (para shahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?” Beliau bersabda, “Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun.” (HR. Abu Dawud no. 2438 dan HR. Bukhari no. 969 dengan lafaz yang sedikit berbeda.) Ketiga, Di dalamnya terdapat hari paling mulia di sisi Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan kepada kita bahwa hari Iduladha, hari kesepuluh dari bulan Zulhijah merupakan hari yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala. Beliau bersabda, إنَّ أعظمَ الأيَّامِ عندَ اللَّهِ تبارَكَ وتعالَى يومُ النَّحرِ ثمَّ يومُ القَرِّ “Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah, Tabaraka wa Ta’ala, adalah hari Iduladha, kemudian hari menetap (tanggal sebelas dari bulan Zulhijah, hari di mana jemaah haji menetap di Mina dan tidak pergi meninggalkannya).” (HR. Abu Dawud no 1765 dan Ahmad no. 19075) Keempat, pada hari-hari tersebut terkumpul di dalamnya amal-amal ibadah agung, baik itu pelaksanaan salat, sedekah kurban, puasa, dan ibadah haji. Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ  لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 27-29) Imam Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya juga mengatakan, “Yang menjadi alasan mengapa sepuluh hari (pertama) bulan Zulhijah diistimewakan adalah karena di dalamnya terkumpul ibadah-ibadah pokok, yaitu salat, puasa, sedekah, dan haji. Dan hal ini tidak terjadi pada waktu-waktu lainnya.” (Fathul Bari, 2: 534) Baca juga: Peristiwa-Peristiwa Penting di Bulan Zulhijah Amal ibadah apa saja yang dianjurkan untuk kita kerjakan pada hari-hari tersebut? Pertama, menjaga amal ibadah wajib. Sebelum mengerjakan amal ibadah sunah, hendaknya seorang muslim terlebih dahulu memperhatikan dan menjaga rutinitas amal ibadah wajibnya. Karena mengerjakan amal ibadah wajib merupakan seutama-utamanya amal di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman di dalam hadis qudsi, مَن عادَى لي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه ”Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di hari-hari yang mulia tersebut, jangan sampai kita tertinggal dari melaksanakan salat lima waktu pada waktunya, baik itu berjemaah bagi laki-laki maupun di rumah bagi wanita. Jangan terluput juga dari berbakti kepada kedua orang tua dan membahagiakan mereka. Tidak kalah penting dari itu adalah menyempatkan waktu untuk duduk bermajelis dengan para ustaz dan menghadiri kajian, karena menuntut ilmu merupakan salah satu kewajiban bagi seorang muslim. Setelah perkara-perkara wajib ini kita kerjakan, barulah kemudian kita sempurnakan amal ibadah kita dengan amal ibadah sunah. Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya di dalam hadis qudsi yang telah kita sebutkan, وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، فإذا أحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الَّذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها، وإنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، ولَئِنِ اسْتَعاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ “Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang, dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku, pasti Aku memberinya; dan jika dia meminta perlindungan kepada–Ku, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 6502) Kedua, berpuasa sembilan hari. Di antara amal ibadah sunah yang ditekankan untuk dilakukan di 10 hari pertama dari bulan Zulhijah adalah berpuasa. Hal ini berdasarkan keumuman hadis mengenai keutamaan beramal di sepuluh hari pertama bulan Zulhijah yang telah kita sebutkan sebelumnya. Berdasarkan juga perbuatan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab,  وممن كان يصوم العشر عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ويقول أكثر العلماء أو كثير منهم بفضل صيام هذه الأيام “Dan di antara mereka yang berpuasa di sepuluh hari pertama bulan Zulhijah (kecuali tanggal sepuluh, karena itu adalah hari raya) adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Kebanyakan ulama atau banyak dari mereka juga berpendapat adanya keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 522) Hari yang paling utama untuk berpuasa di dalamnya adalah hari kesembilan, yaitu hari yang bertepatan dengan wukufnya jemaah haji di padang Arafah. Sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan, كَانً رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يصومُ تِسعَ ذي الحِجَّةِ، ويومَ عاشوراءَ، وثلاثةَ أيَّامٍ مِن كلِّ شَهرٍ : أوَّلُ اثنين من الشَّهرِ، والخميس “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Zulhijah, hari Asyura, tiga hari pada tiap bulan, dan hari Senin dan Kamis tiap pertama bulan.” (HR. Abu Dawud no. 2437, An-Nasa’i no. 2417, dan Ahmad no. 22334) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda menyampaikan kepada kita keutamaan berpuasa di hari Arafah, صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ “Puasa pada hari Arafah, aku memohon pula kepada Allah agar puasa itu bisa menghapus dosa setahun penuh sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim no. 1162 dan Ahmad no. 22650) Ketiga, memperbanyak takbir dan mengagungkan Allah Ta’ala. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28) Berdasarkan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ما من أيامٍ أعظمُ عندَ اللهِ ولا أحبَّ إليه العملُ فيهنَّ من هذهِ الأيامِ العشرِ فأكثروا فِيهنَّ من التهليل والتكبيرِ والتحميدِ “Tidak ada hari yang lebih agung di hadapan Allah dan lebih dicintai oleh Allah amalan-amalan di dalamnya melebihi dari pada hari-hari 10 pertama Zulhijah ini. Maka, perbanyaklah di hari-hari tersebut takbir, tahlil, dan tahmid.” (HR. Ahmad no. 5446) Diriwayatkan bahwa Said bin Jubair, Mujahid, dan Abdurrahman bin Abi Laila biasa memasuki pasar pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah dalam keadaan bertakbir serta mengagungkan Allah di dalamnya, hingga pasar tersebut dipenuhi dengan takbir mereka. Begitu pula dengan Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah, mereka berdua biasa memasuki pasar sambil mengucapkan “Allahu Akbar,” dan mereka tidak masuk, kecuali karena alasan tersebut. Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Adakah Doa Akhir dan Awal Tahun Hijriah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: zulhijah

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Zulhijah

Daftar Isi Toggle Besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan ZulhijahPertama, Allah Ta’ala bersumpah dengannya karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya.Kedua, amal ibadah di hari-hari tersebut adalah amal ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala.Ketiga, Di dalamnya terdapat hari paling mulia di sisi Allah Ta’ala.Keempat, pada hari-hari tersebut terkumpul di dalamnya amal-amal ibadah agung, baik itu pelaksanaan salat, sedekah kurban, puasa, dan ibadah haji.Amal ibadah apa saja yang dianjurkan untuk kita kerjakan pada hari-hari tersebut?Pertama, menjaga amal ibadah wajib.Kedua, berpuasa sembilan hari.Ketiga, memperbanyak takbir dan mengagungkan Allah Ta’ala. Di antara bentuk karunia Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya adalah menjadikan waktu-waktu dan musim-musim khusus bagi seorang hamba untuk memaksimalkan ketaatannya kepada Allah Ta’ala. Allah jadikan pahala dan balasan pada waktu-waktu tersebut lebih besar dari waktu-waktu lainnya. Sehingga, dengannya, seorang muslim dapat beramal dengan maksimal dan memanfaatkannya untuk menambal kekurangannya dalam ibadah yang telah lalu. Setelah sebelumnya, Allah mengaruniakan kita dengan bulan Ramadan, bulan ketataan dan bulan ampunan, bulan yang di dalamnya terdapat sepuluh malam yang penuh keutamaan dan keistimewaan. Di penghujung tahun hijriah ini, Allah mengaruniakan kita juga dengan waktu-waktu utama yang bisa kita maksimalkan untuk beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Waktu-waktu dan hari-hari yang akan datang tersebut adalah sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah, hari-hari terbaik dalam satu tahun yang kita miliki. Besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan Zulhijah Sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah memiliki keutamaan yang sangat besar bagi seorang muslim, karena pada hari-hari tersebut terkumpul banyak sekali keutamaan. Di antaranya: Pertama, Allah Ta’ala bersumpah dengannya karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, وَالْفَجْرِ  وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Demi fajar. Dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2) Yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh pertama dari bulan Zulhijah, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama dari kalangan salaf (terdahulu) dan ulama khalaf (masa kini). Sebagian ulama juga menafsirkan bahwa maksudnya adalah sepuluh terakhir bulan Ramadan. Hanya saja, pendapat pertama lebih kuat, karena di ayat yang selanjutnya Allah Ta’ala berfirman, وَٱلشَّفْعِ وَٱلْوَتْرِ “Dan yang genap dan yang ganjil.” (QS. Al-Fajr: 3) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “al-watr” adalah hari Arafah karena itu pada tanggal sembilan, dan yang dimaksud dengan “asy-syaf’u” adalah hari raya kurban karena terletak pada tanggal sepuluh. Hal ini menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut berbicara mengenai keutamaan sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah. Kedua, amal ibadah di hari-hari tersebut adalah amal ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ “Tidak ada hari-hari yang amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini.” Yakni, 10 hari pertama dari bulan Zulhijah. Mereka (para shahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?” Beliau bersabda, “Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun.” (HR. Abu Dawud no. 2438 dan HR. Bukhari no. 969 dengan lafaz yang sedikit berbeda.) Ketiga, Di dalamnya terdapat hari paling mulia di sisi Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan kepada kita bahwa hari Iduladha, hari kesepuluh dari bulan Zulhijah merupakan hari yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala. Beliau bersabda, إنَّ أعظمَ الأيَّامِ عندَ اللَّهِ تبارَكَ وتعالَى يومُ النَّحرِ ثمَّ يومُ القَرِّ “Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah, Tabaraka wa Ta’ala, adalah hari Iduladha, kemudian hari menetap (tanggal sebelas dari bulan Zulhijah, hari di mana jemaah haji menetap di Mina dan tidak pergi meninggalkannya).” (HR. Abu Dawud no 1765 dan Ahmad no. 19075) Keempat, pada hari-hari tersebut terkumpul di dalamnya amal-amal ibadah agung, baik itu pelaksanaan salat, sedekah kurban, puasa, dan ibadah haji. Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ  لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 27-29) Imam Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya juga mengatakan, “Yang menjadi alasan mengapa sepuluh hari (pertama) bulan Zulhijah diistimewakan adalah karena di dalamnya terkumpul ibadah-ibadah pokok, yaitu salat, puasa, sedekah, dan haji. Dan hal ini tidak terjadi pada waktu-waktu lainnya.” (Fathul Bari, 2: 534) Baca juga: Peristiwa-Peristiwa Penting di Bulan Zulhijah Amal ibadah apa saja yang dianjurkan untuk kita kerjakan pada hari-hari tersebut? Pertama, menjaga amal ibadah wajib. Sebelum mengerjakan amal ibadah sunah, hendaknya seorang muslim terlebih dahulu memperhatikan dan menjaga rutinitas amal ibadah wajibnya. Karena mengerjakan amal ibadah wajib merupakan seutama-utamanya amal di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman di dalam hadis qudsi, مَن عادَى لي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه ”Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di hari-hari yang mulia tersebut, jangan sampai kita tertinggal dari melaksanakan salat lima waktu pada waktunya, baik itu berjemaah bagi laki-laki maupun di rumah bagi wanita. Jangan terluput juga dari berbakti kepada kedua orang tua dan membahagiakan mereka. Tidak kalah penting dari itu adalah menyempatkan waktu untuk duduk bermajelis dengan para ustaz dan menghadiri kajian, karena menuntut ilmu merupakan salah satu kewajiban bagi seorang muslim. Setelah perkara-perkara wajib ini kita kerjakan, barulah kemudian kita sempurnakan amal ibadah kita dengan amal ibadah sunah. Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya di dalam hadis qudsi yang telah kita sebutkan, وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، فإذا أحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الَّذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها، وإنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، ولَئِنِ اسْتَعاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ “Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang, dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku, pasti Aku memberinya; dan jika dia meminta perlindungan kepada–Ku, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 6502) Kedua, berpuasa sembilan hari. Di antara amal ibadah sunah yang ditekankan untuk dilakukan di 10 hari pertama dari bulan Zulhijah adalah berpuasa. Hal ini berdasarkan keumuman hadis mengenai keutamaan beramal di sepuluh hari pertama bulan Zulhijah yang telah kita sebutkan sebelumnya. Berdasarkan juga perbuatan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab,  وممن كان يصوم العشر عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ويقول أكثر العلماء أو كثير منهم بفضل صيام هذه الأيام “Dan di antara mereka yang berpuasa di sepuluh hari pertama bulan Zulhijah (kecuali tanggal sepuluh, karena itu adalah hari raya) adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Kebanyakan ulama atau banyak dari mereka juga berpendapat adanya keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 522) Hari yang paling utama untuk berpuasa di dalamnya adalah hari kesembilan, yaitu hari yang bertepatan dengan wukufnya jemaah haji di padang Arafah. Sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan, كَانً رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يصومُ تِسعَ ذي الحِجَّةِ، ويومَ عاشوراءَ، وثلاثةَ أيَّامٍ مِن كلِّ شَهرٍ : أوَّلُ اثنين من الشَّهرِ، والخميس “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Zulhijah, hari Asyura, tiga hari pada tiap bulan, dan hari Senin dan Kamis tiap pertama bulan.” (HR. Abu Dawud no. 2437, An-Nasa’i no. 2417, dan Ahmad no. 22334) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda menyampaikan kepada kita keutamaan berpuasa di hari Arafah, صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ “Puasa pada hari Arafah, aku memohon pula kepada Allah agar puasa itu bisa menghapus dosa setahun penuh sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim no. 1162 dan Ahmad no. 22650) Ketiga, memperbanyak takbir dan mengagungkan Allah Ta’ala. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28) Berdasarkan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ما من أيامٍ أعظمُ عندَ اللهِ ولا أحبَّ إليه العملُ فيهنَّ من هذهِ الأيامِ العشرِ فأكثروا فِيهنَّ من التهليل والتكبيرِ والتحميدِ “Tidak ada hari yang lebih agung di hadapan Allah dan lebih dicintai oleh Allah amalan-amalan di dalamnya melebihi dari pada hari-hari 10 pertama Zulhijah ini. Maka, perbanyaklah di hari-hari tersebut takbir, tahlil, dan tahmid.” (HR. Ahmad no. 5446) Diriwayatkan bahwa Said bin Jubair, Mujahid, dan Abdurrahman bin Abi Laila biasa memasuki pasar pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah dalam keadaan bertakbir serta mengagungkan Allah di dalamnya, hingga pasar tersebut dipenuhi dengan takbir mereka. Begitu pula dengan Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah, mereka berdua biasa memasuki pasar sambil mengucapkan “Allahu Akbar,” dan mereka tidak masuk, kecuali karena alasan tersebut. Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Adakah Doa Akhir dan Awal Tahun Hijriah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: zulhijah
Daftar Isi Toggle Besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan ZulhijahPertama, Allah Ta’ala bersumpah dengannya karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya.Kedua, amal ibadah di hari-hari tersebut adalah amal ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala.Ketiga, Di dalamnya terdapat hari paling mulia di sisi Allah Ta’ala.Keempat, pada hari-hari tersebut terkumpul di dalamnya amal-amal ibadah agung, baik itu pelaksanaan salat, sedekah kurban, puasa, dan ibadah haji.Amal ibadah apa saja yang dianjurkan untuk kita kerjakan pada hari-hari tersebut?Pertama, menjaga amal ibadah wajib.Kedua, berpuasa sembilan hari.Ketiga, memperbanyak takbir dan mengagungkan Allah Ta’ala. Di antara bentuk karunia Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya adalah menjadikan waktu-waktu dan musim-musim khusus bagi seorang hamba untuk memaksimalkan ketaatannya kepada Allah Ta’ala. Allah jadikan pahala dan balasan pada waktu-waktu tersebut lebih besar dari waktu-waktu lainnya. Sehingga, dengannya, seorang muslim dapat beramal dengan maksimal dan memanfaatkannya untuk menambal kekurangannya dalam ibadah yang telah lalu. Setelah sebelumnya, Allah mengaruniakan kita dengan bulan Ramadan, bulan ketataan dan bulan ampunan, bulan yang di dalamnya terdapat sepuluh malam yang penuh keutamaan dan keistimewaan. Di penghujung tahun hijriah ini, Allah mengaruniakan kita juga dengan waktu-waktu utama yang bisa kita maksimalkan untuk beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Waktu-waktu dan hari-hari yang akan datang tersebut adalah sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah, hari-hari terbaik dalam satu tahun yang kita miliki. Besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan Zulhijah Sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah memiliki keutamaan yang sangat besar bagi seorang muslim, karena pada hari-hari tersebut terkumpul banyak sekali keutamaan. Di antaranya: Pertama, Allah Ta’ala bersumpah dengannya karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, وَالْفَجْرِ  وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Demi fajar. Dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2) Yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh pertama dari bulan Zulhijah, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama dari kalangan salaf (terdahulu) dan ulama khalaf (masa kini). Sebagian ulama juga menafsirkan bahwa maksudnya adalah sepuluh terakhir bulan Ramadan. Hanya saja, pendapat pertama lebih kuat, karena di ayat yang selanjutnya Allah Ta’ala berfirman, وَٱلشَّفْعِ وَٱلْوَتْرِ “Dan yang genap dan yang ganjil.” (QS. Al-Fajr: 3) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “al-watr” adalah hari Arafah karena itu pada tanggal sembilan, dan yang dimaksud dengan “asy-syaf’u” adalah hari raya kurban karena terletak pada tanggal sepuluh. Hal ini menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut berbicara mengenai keutamaan sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah. Kedua, amal ibadah di hari-hari tersebut adalah amal ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ “Tidak ada hari-hari yang amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini.” Yakni, 10 hari pertama dari bulan Zulhijah. Mereka (para shahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?” Beliau bersabda, “Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun.” (HR. Abu Dawud no. 2438 dan HR. Bukhari no. 969 dengan lafaz yang sedikit berbeda.) Ketiga, Di dalamnya terdapat hari paling mulia di sisi Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan kepada kita bahwa hari Iduladha, hari kesepuluh dari bulan Zulhijah merupakan hari yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala. Beliau bersabda, إنَّ أعظمَ الأيَّامِ عندَ اللَّهِ تبارَكَ وتعالَى يومُ النَّحرِ ثمَّ يومُ القَرِّ “Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah, Tabaraka wa Ta’ala, adalah hari Iduladha, kemudian hari menetap (tanggal sebelas dari bulan Zulhijah, hari di mana jemaah haji menetap di Mina dan tidak pergi meninggalkannya).” (HR. Abu Dawud no 1765 dan Ahmad no. 19075) Keempat, pada hari-hari tersebut terkumpul di dalamnya amal-amal ibadah agung, baik itu pelaksanaan salat, sedekah kurban, puasa, dan ibadah haji. Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ  لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 27-29) Imam Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya juga mengatakan, “Yang menjadi alasan mengapa sepuluh hari (pertama) bulan Zulhijah diistimewakan adalah karena di dalamnya terkumpul ibadah-ibadah pokok, yaitu salat, puasa, sedekah, dan haji. Dan hal ini tidak terjadi pada waktu-waktu lainnya.” (Fathul Bari, 2: 534) Baca juga: Peristiwa-Peristiwa Penting di Bulan Zulhijah Amal ibadah apa saja yang dianjurkan untuk kita kerjakan pada hari-hari tersebut? Pertama, menjaga amal ibadah wajib. Sebelum mengerjakan amal ibadah sunah, hendaknya seorang muslim terlebih dahulu memperhatikan dan menjaga rutinitas amal ibadah wajibnya. Karena mengerjakan amal ibadah wajib merupakan seutama-utamanya amal di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman di dalam hadis qudsi, مَن عادَى لي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه ”Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di hari-hari yang mulia tersebut, jangan sampai kita tertinggal dari melaksanakan salat lima waktu pada waktunya, baik itu berjemaah bagi laki-laki maupun di rumah bagi wanita. Jangan terluput juga dari berbakti kepada kedua orang tua dan membahagiakan mereka. Tidak kalah penting dari itu adalah menyempatkan waktu untuk duduk bermajelis dengan para ustaz dan menghadiri kajian, karena menuntut ilmu merupakan salah satu kewajiban bagi seorang muslim. Setelah perkara-perkara wajib ini kita kerjakan, barulah kemudian kita sempurnakan amal ibadah kita dengan amal ibadah sunah. Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya di dalam hadis qudsi yang telah kita sebutkan, وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، فإذا أحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الَّذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها، وإنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، ولَئِنِ اسْتَعاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ “Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang, dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku, pasti Aku memberinya; dan jika dia meminta perlindungan kepada–Ku, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 6502) Kedua, berpuasa sembilan hari. Di antara amal ibadah sunah yang ditekankan untuk dilakukan di 10 hari pertama dari bulan Zulhijah adalah berpuasa. Hal ini berdasarkan keumuman hadis mengenai keutamaan beramal di sepuluh hari pertama bulan Zulhijah yang telah kita sebutkan sebelumnya. Berdasarkan juga perbuatan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab,  وممن كان يصوم العشر عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ويقول أكثر العلماء أو كثير منهم بفضل صيام هذه الأيام “Dan di antara mereka yang berpuasa di sepuluh hari pertama bulan Zulhijah (kecuali tanggal sepuluh, karena itu adalah hari raya) adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Kebanyakan ulama atau banyak dari mereka juga berpendapat adanya keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 522) Hari yang paling utama untuk berpuasa di dalamnya adalah hari kesembilan, yaitu hari yang bertepatan dengan wukufnya jemaah haji di padang Arafah. Sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan, كَانً رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يصومُ تِسعَ ذي الحِجَّةِ، ويومَ عاشوراءَ، وثلاثةَ أيَّامٍ مِن كلِّ شَهرٍ : أوَّلُ اثنين من الشَّهرِ، والخميس “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Zulhijah, hari Asyura, tiga hari pada tiap bulan, dan hari Senin dan Kamis tiap pertama bulan.” (HR. Abu Dawud no. 2437, An-Nasa’i no. 2417, dan Ahmad no. 22334) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda menyampaikan kepada kita keutamaan berpuasa di hari Arafah, صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ “Puasa pada hari Arafah, aku memohon pula kepada Allah agar puasa itu bisa menghapus dosa setahun penuh sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim no. 1162 dan Ahmad no. 22650) Ketiga, memperbanyak takbir dan mengagungkan Allah Ta’ala. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28) Berdasarkan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ما من أيامٍ أعظمُ عندَ اللهِ ولا أحبَّ إليه العملُ فيهنَّ من هذهِ الأيامِ العشرِ فأكثروا فِيهنَّ من التهليل والتكبيرِ والتحميدِ “Tidak ada hari yang lebih agung di hadapan Allah dan lebih dicintai oleh Allah amalan-amalan di dalamnya melebihi dari pada hari-hari 10 pertama Zulhijah ini. Maka, perbanyaklah di hari-hari tersebut takbir, tahlil, dan tahmid.” (HR. Ahmad no. 5446) Diriwayatkan bahwa Said bin Jubair, Mujahid, dan Abdurrahman bin Abi Laila biasa memasuki pasar pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah dalam keadaan bertakbir serta mengagungkan Allah di dalamnya, hingga pasar tersebut dipenuhi dengan takbir mereka. Begitu pula dengan Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah, mereka berdua biasa memasuki pasar sambil mengucapkan “Allahu Akbar,” dan mereka tidak masuk, kecuali karena alasan tersebut. Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Adakah Doa Akhir dan Awal Tahun Hijriah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: zulhijah


Daftar Isi Toggle Besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan ZulhijahPertama, Allah Ta’ala bersumpah dengannya karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya.Kedua, amal ibadah di hari-hari tersebut adalah amal ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala.Ketiga, Di dalamnya terdapat hari paling mulia di sisi Allah Ta’ala.Keempat, pada hari-hari tersebut terkumpul di dalamnya amal-amal ibadah agung, baik itu pelaksanaan salat, sedekah kurban, puasa, dan ibadah haji.Amal ibadah apa saja yang dianjurkan untuk kita kerjakan pada hari-hari tersebut?Pertama, menjaga amal ibadah wajib.Kedua, berpuasa sembilan hari.Ketiga, memperbanyak takbir dan mengagungkan Allah Ta’ala. Di antara bentuk karunia Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya adalah menjadikan waktu-waktu dan musim-musim khusus bagi seorang hamba untuk memaksimalkan ketaatannya kepada Allah Ta’ala. Allah jadikan pahala dan balasan pada waktu-waktu tersebut lebih besar dari waktu-waktu lainnya. Sehingga, dengannya, seorang muslim dapat beramal dengan maksimal dan memanfaatkannya untuk menambal kekurangannya dalam ibadah yang telah lalu. Setelah sebelumnya, Allah mengaruniakan kita dengan bulan Ramadan, bulan ketataan dan bulan ampunan, bulan yang di dalamnya terdapat sepuluh malam yang penuh keutamaan dan keistimewaan. Di penghujung tahun hijriah ini, Allah mengaruniakan kita juga dengan waktu-waktu utama yang bisa kita maksimalkan untuk beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Waktu-waktu dan hari-hari yang akan datang tersebut adalah sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah, hari-hari terbaik dalam satu tahun yang kita miliki. Besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan Zulhijah Sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah memiliki keutamaan yang sangat besar bagi seorang muslim, karena pada hari-hari tersebut terkumpul banyak sekali keutamaan. Di antaranya: Pertama, Allah Ta’ala bersumpah dengannya karena besarnya keutamaan yang ada di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman, وَالْفَجْرِ  وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Demi fajar. Dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2) Yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh pertama dari bulan Zulhijah, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama dari kalangan salaf (terdahulu) dan ulama khalaf (masa kini). Sebagian ulama juga menafsirkan bahwa maksudnya adalah sepuluh terakhir bulan Ramadan. Hanya saja, pendapat pertama lebih kuat, karena di ayat yang selanjutnya Allah Ta’ala berfirman, وَٱلشَّفْعِ وَٱلْوَتْرِ “Dan yang genap dan yang ganjil.” (QS. Al-Fajr: 3) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “al-watr” adalah hari Arafah karena itu pada tanggal sembilan, dan yang dimaksud dengan “asy-syaf’u” adalah hari raya kurban karena terletak pada tanggal sepuluh. Hal ini menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut berbicara mengenai keutamaan sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah. Kedua, amal ibadah di hari-hari tersebut adalah amal ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ “Tidak ada hari-hari yang amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini.” Yakni, 10 hari pertama dari bulan Zulhijah. Mereka (para shahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?” Beliau bersabda, “Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun.” (HR. Abu Dawud no. 2438 dan HR. Bukhari no. 969 dengan lafaz yang sedikit berbeda.) Ketiga, Di dalamnya terdapat hari paling mulia di sisi Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan kepada kita bahwa hari Iduladha, hari kesepuluh dari bulan Zulhijah merupakan hari yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala. Beliau bersabda, إنَّ أعظمَ الأيَّامِ عندَ اللَّهِ تبارَكَ وتعالَى يومُ النَّحرِ ثمَّ يومُ القَرِّ “Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah, Tabaraka wa Ta’ala, adalah hari Iduladha, kemudian hari menetap (tanggal sebelas dari bulan Zulhijah, hari di mana jemaah haji menetap di Mina dan tidak pergi meninggalkannya).” (HR. Abu Dawud no 1765 dan Ahmad no. 19075) Keempat, pada hari-hari tersebut terkumpul di dalamnya amal-amal ibadah agung, baik itu pelaksanaan salat, sedekah kurban, puasa, dan ibadah haji. Allah Ta’ala berfirman, وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ  لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 27-29) Imam Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya juga mengatakan, “Yang menjadi alasan mengapa sepuluh hari (pertama) bulan Zulhijah diistimewakan adalah karena di dalamnya terkumpul ibadah-ibadah pokok, yaitu salat, puasa, sedekah, dan haji. Dan hal ini tidak terjadi pada waktu-waktu lainnya.” (Fathul Bari, 2: 534) Baca juga: Peristiwa-Peristiwa Penting di Bulan Zulhijah Amal ibadah apa saja yang dianjurkan untuk kita kerjakan pada hari-hari tersebut? Pertama, menjaga amal ibadah wajib. Sebelum mengerjakan amal ibadah sunah, hendaknya seorang muslim terlebih dahulu memperhatikan dan menjaga rutinitas amal ibadah wajibnya. Karena mengerjakan amal ibadah wajib merupakan seutama-utamanya amal di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman di dalam hadis qudsi, مَن عادَى لي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه ”Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya.” (HR. Bukhari no. 6502) Di hari-hari yang mulia tersebut, jangan sampai kita tertinggal dari melaksanakan salat lima waktu pada waktunya, baik itu berjemaah bagi laki-laki maupun di rumah bagi wanita. Jangan terluput juga dari berbakti kepada kedua orang tua dan membahagiakan mereka. Tidak kalah penting dari itu adalah menyempatkan waktu untuk duduk bermajelis dengan para ustaz dan menghadiri kajian, karena menuntut ilmu merupakan salah satu kewajiban bagi seorang muslim. Setelah perkara-perkara wajib ini kita kerjakan, barulah kemudian kita sempurnakan amal ibadah kita dengan amal ibadah sunah. Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya di dalam hadis qudsi yang telah kita sebutkan, وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، فإذا أحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الَّذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها، وإنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، ولَئِنِ اسْتَعاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ “Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang, dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku, pasti Aku memberinya; dan jika dia meminta perlindungan kepada–Ku, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 6502) Kedua, berpuasa sembilan hari. Di antara amal ibadah sunah yang ditekankan untuk dilakukan di 10 hari pertama dari bulan Zulhijah adalah berpuasa. Hal ini berdasarkan keumuman hadis mengenai keutamaan beramal di sepuluh hari pertama bulan Zulhijah yang telah kita sebutkan sebelumnya. Berdasarkan juga perbuatan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab,  وممن كان يصوم العشر عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ويقول أكثر العلماء أو كثير منهم بفضل صيام هذه الأيام “Dan di antara mereka yang berpuasa di sepuluh hari pertama bulan Zulhijah (kecuali tanggal sepuluh, karena itu adalah hari raya) adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Kebanyakan ulama atau banyak dari mereka juga berpendapat adanya keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 522) Hari yang paling utama untuk berpuasa di dalamnya adalah hari kesembilan, yaitu hari yang bertepatan dengan wukufnya jemaah haji di padang Arafah. Sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan, كَانً رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يصومُ تِسعَ ذي الحِجَّةِ، ويومَ عاشوراءَ، وثلاثةَ أيَّامٍ مِن كلِّ شَهرٍ : أوَّلُ اثنين من الشَّهرِ، والخميس “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Zulhijah, hari Asyura, tiga hari pada tiap bulan, dan hari Senin dan Kamis tiap pertama bulan.” (HR. Abu Dawud no. 2437, An-Nasa’i no. 2417, dan Ahmad no. 22334) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda menyampaikan kepada kita keutamaan berpuasa di hari Arafah, صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ “Puasa pada hari Arafah, aku memohon pula kepada Allah agar puasa itu bisa menghapus dosa setahun penuh sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim no. 1162 dan Ahmad no. 22650) Ketiga, memperbanyak takbir dan mengagungkan Allah Ta’ala. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28) Berdasarkan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ما من أيامٍ أعظمُ عندَ اللهِ ولا أحبَّ إليه العملُ فيهنَّ من هذهِ الأيامِ العشرِ فأكثروا فِيهنَّ من التهليل والتكبيرِ والتحميدِ “Tidak ada hari yang lebih agung di hadapan Allah dan lebih dicintai oleh Allah amalan-amalan di dalamnya melebihi dari pada hari-hari 10 pertama Zulhijah ini. Maka, perbanyaklah di hari-hari tersebut takbir, tahlil, dan tahmid.” (HR. Ahmad no. 5446) Diriwayatkan bahwa Said bin Jubair, Mujahid, dan Abdurrahman bin Abi Laila biasa memasuki pasar pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah dalam keadaan bertakbir serta mengagungkan Allah di dalamnya, hingga pasar tersebut dipenuhi dengan takbir mereka. Begitu pula dengan Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah, mereka berdua biasa memasuki pasar sambil mengucapkan “Allahu Akbar,” dan mereka tidak masuk, kecuali karena alasan tersebut. Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Adakah Doa Akhir dan Awal Tahun Hijriah? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: zulhijah

Hukum Bermain Kartu Tarot

Pertanyaan: Apa hukum bermain kartu tarot? Bagaimana jika tidak berniat meyakini ramalannya hanya sekedar bersenang-senang saja? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Kartu tarot didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai sejumlah kartu yang memuat lambang-lambang gambar yang mewakili unsur api, air, udara, tanah, dan kekuatan spirit alam semesta, digunakan untuk meramal nasib. Dengan demikian tidak diperbolehkan memainkannya karena termasuk meramal. Sedangkan meramal perkara gaib seperti ajal, jodoh, nasib, atau meramal masa depan adalah perbuatan kekufuran. Allah ta’ala berfirman, قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah : “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An-Naml: 65). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Orang yang mengklaim tahu perkara gaib, maka ia kafir. Orang yang membenarkan orang yang mengklaim tahu perkara gaib, ia juga kafir. Berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : “Katakanlah : “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah”” (QS. An-Naml : 65). Maka tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah semata” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 1/292). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Barang siapa yang mendatangi dukun atau mendatangi tukang ramal, kemudian ia membenarkannya, maka ia telah kufur pada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad” (HR. Ahmad no. 9536, Abu Daud no. 3904, Tirmidzi no. 135, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5939). Dewan Fatwa Islamweb menjelaskan : فقد ذكر بعض الباحثين المعاصرين كلامًا كثيرًا حول حقيقة التاروت، ونشأتها … أنها من الأساليب الشائعة المستخدمة في العرافة، وإذا كانت كذلك؛ فإنه يحرم سؤال العرافين، وتصديقهم “Telah disebutkan oleh banyak peneliti kontemporer tentang hakikat kartu tarot dan sejarahnya … bahwasanya ia adalah sarana yang banyak digunakan oleh para peramal. Jika demikian, maka diharamkan bertanya kepada peramal dan membenarkannya” (Fatwa Islamweb, no. 270673). Demikian juga tidak boleh memainkan kartu tarot sekedar untuk bermain atau bersenang-senang, walaupun tidak mempercayai ramalannya. Dalam hadis yang diriwayatkan dari sebagian istri-istri Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن أتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عن شيءٍ، لَمْ تُقْبَلْ له صَلاةٌ أرْبَعِينَ لَيْلَةً “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari” (HR. Muslim no.2230). Dalam hadis ini, orang yang datang kepada peramal tetap dicela dan tidak diterima shalatnya selama 40 hari walaupun tidak percaya dan tidak membenarkan perkataan peramal.  Syaikh Dr. Sa’ad Asy-Syatsri menjelaskan: “Demikian juga tidak diperbolehkan seseorang pergi ke dukun atau peramal walaupun tidak membenarkan perkataan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari” (HR. Muslim)” (Sumber: #فتاوى | ماحكم قراءة الأبراج من باب التسلية وعدم الإعتقاد فيها؟ الشيخ سعد الشثري يوضح ذلك. | menit 2:58).Video sumber artikel. Kesimpulannya, tidak boleh memainkan permainan kartu tarot sama sekali. Demikian tidak diperbolehkan memainkannya walaupun tidak mempercayai ramalannya.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Cara Rukiyah Diri Sendiri, Yajud Dan Majud Dalam Islam, Doa Agar Dapat Jodoh Yang Diinginkan, Bermain Billiard, Website Tanya Jawab Populer Visited 552 times, 2 visit(s) today Post Views: 808 QRIS donasi Yufid

Hukum Bermain Kartu Tarot

Pertanyaan: Apa hukum bermain kartu tarot? Bagaimana jika tidak berniat meyakini ramalannya hanya sekedar bersenang-senang saja? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Kartu tarot didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai sejumlah kartu yang memuat lambang-lambang gambar yang mewakili unsur api, air, udara, tanah, dan kekuatan spirit alam semesta, digunakan untuk meramal nasib. Dengan demikian tidak diperbolehkan memainkannya karena termasuk meramal. Sedangkan meramal perkara gaib seperti ajal, jodoh, nasib, atau meramal masa depan adalah perbuatan kekufuran. Allah ta’ala berfirman, قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah : “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An-Naml: 65). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Orang yang mengklaim tahu perkara gaib, maka ia kafir. Orang yang membenarkan orang yang mengklaim tahu perkara gaib, ia juga kafir. Berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : “Katakanlah : “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah”” (QS. An-Naml : 65). Maka tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah semata” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 1/292). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Barang siapa yang mendatangi dukun atau mendatangi tukang ramal, kemudian ia membenarkannya, maka ia telah kufur pada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad” (HR. Ahmad no. 9536, Abu Daud no. 3904, Tirmidzi no. 135, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5939). Dewan Fatwa Islamweb menjelaskan : فقد ذكر بعض الباحثين المعاصرين كلامًا كثيرًا حول حقيقة التاروت، ونشأتها … أنها من الأساليب الشائعة المستخدمة في العرافة، وإذا كانت كذلك؛ فإنه يحرم سؤال العرافين، وتصديقهم “Telah disebutkan oleh banyak peneliti kontemporer tentang hakikat kartu tarot dan sejarahnya … bahwasanya ia adalah sarana yang banyak digunakan oleh para peramal. Jika demikian, maka diharamkan bertanya kepada peramal dan membenarkannya” (Fatwa Islamweb, no. 270673). Demikian juga tidak boleh memainkan kartu tarot sekedar untuk bermain atau bersenang-senang, walaupun tidak mempercayai ramalannya. Dalam hadis yang diriwayatkan dari sebagian istri-istri Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن أتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عن شيءٍ، لَمْ تُقْبَلْ له صَلاةٌ أرْبَعِينَ لَيْلَةً “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari” (HR. Muslim no.2230). Dalam hadis ini, orang yang datang kepada peramal tetap dicela dan tidak diterima shalatnya selama 40 hari walaupun tidak percaya dan tidak membenarkan perkataan peramal.  Syaikh Dr. Sa’ad Asy-Syatsri menjelaskan: “Demikian juga tidak diperbolehkan seseorang pergi ke dukun atau peramal walaupun tidak membenarkan perkataan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari” (HR. Muslim)” (Sumber: #فتاوى | ماحكم قراءة الأبراج من باب التسلية وعدم الإعتقاد فيها؟ الشيخ سعد الشثري يوضح ذلك. | menit 2:58).Video sumber artikel. Kesimpulannya, tidak boleh memainkan permainan kartu tarot sama sekali. Demikian tidak diperbolehkan memainkannya walaupun tidak mempercayai ramalannya.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Cara Rukiyah Diri Sendiri, Yajud Dan Majud Dalam Islam, Doa Agar Dapat Jodoh Yang Diinginkan, Bermain Billiard, Website Tanya Jawab Populer Visited 552 times, 2 visit(s) today Post Views: 808 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Apa hukum bermain kartu tarot? Bagaimana jika tidak berniat meyakini ramalannya hanya sekedar bersenang-senang saja? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Kartu tarot didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai sejumlah kartu yang memuat lambang-lambang gambar yang mewakili unsur api, air, udara, tanah, dan kekuatan spirit alam semesta, digunakan untuk meramal nasib. Dengan demikian tidak diperbolehkan memainkannya karena termasuk meramal. Sedangkan meramal perkara gaib seperti ajal, jodoh, nasib, atau meramal masa depan adalah perbuatan kekufuran. Allah ta’ala berfirman, قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah : “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An-Naml: 65). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Orang yang mengklaim tahu perkara gaib, maka ia kafir. Orang yang membenarkan orang yang mengklaim tahu perkara gaib, ia juga kafir. Berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : “Katakanlah : “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah”” (QS. An-Naml : 65). Maka tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah semata” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 1/292). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Barang siapa yang mendatangi dukun atau mendatangi tukang ramal, kemudian ia membenarkannya, maka ia telah kufur pada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad” (HR. Ahmad no. 9536, Abu Daud no. 3904, Tirmidzi no. 135, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5939). Dewan Fatwa Islamweb menjelaskan : فقد ذكر بعض الباحثين المعاصرين كلامًا كثيرًا حول حقيقة التاروت، ونشأتها … أنها من الأساليب الشائعة المستخدمة في العرافة، وإذا كانت كذلك؛ فإنه يحرم سؤال العرافين، وتصديقهم “Telah disebutkan oleh banyak peneliti kontemporer tentang hakikat kartu tarot dan sejarahnya … bahwasanya ia adalah sarana yang banyak digunakan oleh para peramal. Jika demikian, maka diharamkan bertanya kepada peramal dan membenarkannya” (Fatwa Islamweb, no. 270673). Demikian juga tidak boleh memainkan kartu tarot sekedar untuk bermain atau bersenang-senang, walaupun tidak mempercayai ramalannya. Dalam hadis yang diriwayatkan dari sebagian istri-istri Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن أتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عن شيءٍ، لَمْ تُقْبَلْ له صَلاةٌ أرْبَعِينَ لَيْلَةً “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari” (HR. Muslim no.2230). Dalam hadis ini, orang yang datang kepada peramal tetap dicela dan tidak diterima shalatnya selama 40 hari walaupun tidak percaya dan tidak membenarkan perkataan peramal.  Syaikh Dr. Sa’ad Asy-Syatsri menjelaskan: “Demikian juga tidak diperbolehkan seseorang pergi ke dukun atau peramal walaupun tidak membenarkan perkataan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari” (HR. Muslim)” (Sumber: #فتاوى | ماحكم قراءة الأبراج من باب التسلية وعدم الإعتقاد فيها؟ الشيخ سعد الشثري يوضح ذلك. | menit 2:58).Video sumber artikel. Kesimpulannya, tidak boleh memainkan permainan kartu tarot sama sekali. Demikian tidak diperbolehkan memainkannya walaupun tidak mempercayai ramalannya.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Cara Rukiyah Diri Sendiri, Yajud Dan Majud Dalam Islam, Doa Agar Dapat Jodoh Yang Diinginkan, Bermain Billiard, Website Tanya Jawab Populer Visited 552 times, 2 visit(s) today Post Views: 808 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Apa hukum bermain kartu tarot? Bagaimana jika tidak berniat meyakini ramalannya hanya sekedar bersenang-senang saja? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Kartu tarot didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai sejumlah kartu yang memuat lambang-lambang gambar yang mewakili unsur api, air, udara, tanah, dan kekuatan spirit alam semesta, digunakan untuk meramal nasib. Dengan demikian tidak diperbolehkan memainkannya karena termasuk meramal. Sedangkan meramal perkara gaib seperti ajal, jodoh, nasib, atau meramal masa depan adalah perbuatan kekufuran. Allah ta’ala berfirman, قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ “Katakanlah : “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An-Naml: 65). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Orang yang mengklaim tahu perkara gaib, maka ia kafir. Orang yang membenarkan orang yang mengklaim tahu perkara gaib, ia juga kafir. Berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : “Katakanlah : “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah”” (QS. An-Naml : 65). Maka tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah semata” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 1/292). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Barang siapa yang mendatangi dukun atau mendatangi tukang ramal, kemudian ia membenarkannya, maka ia telah kufur pada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad” (HR. Ahmad no. 9536, Abu Daud no. 3904, Tirmidzi no. 135, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5939). Dewan Fatwa Islamweb menjelaskan : فقد ذكر بعض الباحثين المعاصرين كلامًا كثيرًا حول حقيقة التاروت، ونشأتها … أنها من الأساليب الشائعة المستخدمة في العرافة، وإذا كانت كذلك؛ فإنه يحرم سؤال العرافين، وتصديقهم “Telah disebutkan oleh banyak peneliti kontemporer tentang hakikat kartu tarot dan sejarahnya … bahwasanya ia adalah sarana yang banyak digunakan oleh para peramal. Jika demikian, maka diharamkan bertanya kepada peramal dan membenarkannya” (Fatwa Islamweb, no. 270673). Demikian juga tidak boleh memainkan kartu tarot sekedar untuk bermain atau bersenang-senang, walaupun tidak mempercayai ramalannya. Dalam hadis yang diriwayatkan dari sebagian istri-istri Nabi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَن أتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عن شيءٍ، لَمْ تُقْبَلْ له صَلاةٌ أرْبَعِينَ لَيْلَةً “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari” (HR. Muslim no.2230). Dalam hadis ini, orang yang datang kepada peramal tetap dicela dan tidak diterima shalatnya selama 40 hari walaupun tidak percaya dan tidak membenarkan perkataan peramal.  Syaikh Dr. Sa’ad Asy-Syatsri menjelaskan: “Demikian juga tidak diperbolehkan seseorang pergi ke dukun atau peramal walaupun tidak membenarkan perkataan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang datang ke tukang ramal, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari” (HR. Muslim)” (Sumber: #فتاوى | ماحكم قراءة الأبراج من باب التسلية وعدم الإعتقاد فيها؟ الشيخ سعد الشثري يوضح ذلك. | menit 2:58).Video sumber artikel. Kesimpulannya, tidak boleh memainkan permainan kartu tarot sama sekali. Demikian tidak diperbolehkan memainkannya walaupun tidak mempercayai ramalannya.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Cara Rukiyah Diri Sendiri, Yajud Dan Majud Dalam Islam, Doa Agar Dapat Jodoh Yang Diinginkan, Bermain Billiard, Website Tanya Jawab Populer Visited 552 times, 2 visit(s) today Post Views: 808 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Menata hati, menata hidupBahagia dengan menerima, mungkinkah? Makin hari, perputaran dunia ini rasanya terlalu cepat. Semua orang seolah saling membalap, seakan terburu-buru memenuhi tuntutan zaman yang sangat cepat berubah nan dipenuhi ketidakpastian. Alhasil, hanya tubuh kita yang berada di masa kini, sedangkan hati dan pikiran kita ada di mana-mana. Kita tidak benar-benar menyadari, apalagi menikmati aktivitas yang sedang dilalui. Boleh jadi, di saat yang sama pikiran kita disandera oleh penyesalan masa lalu, atau dipenuhi kecemasan akan masa depan baik mengenai nasib diri, keluarga, hingga prediksi standar sosial dan ekonomi beberapa tahun ke depan. Hidup kita rasanya berjalan autopilot, bergerak sendiri tanpa ada yang mengemudi. Kita jalani hidup ini tanpa kesadaran penuh, hingga kosong dari pemaknaan. Alhasil, sangat lumrah jika akhirnya ada yang merasa lelah fisik maupun jiwa karena menjalani rutinitas seperti ini. Beberapa langkah yang dapat menjadi jalan keluar dalam mengatasi dampak negatif hidup autopilot akan dibahas dalam catatan ini, tentunya dari sudut pandang tuntunan Ilahi. Menata hati, menata hidup Secara ringkas, menyederhanakan hidup telah menjadi jurus yang marak digandrungi untuk menghindari dampak negatif hidup autopilot. Tidak hanya menyederhanakan barang dan konsumsi, namun juga menyederhanakan hati, karena menata hati = menata hidup. Banyak yang akhirnya merasa perlu menyederhanakan hati karena ia terbatas. Bagai bejana, hati adalah wadah yang tak bisa menampung semua masalah dan urusan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ آنِيَةً مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ ، وَآنِيَةُ رَبِّكُمْ قُلُوبُ عِبَادِهِ الصَّالِحِينَ , وَأَحَبُّهَا إِلَيْهِ أَلْيَنُهَا وَأَرَقُّهَا “Sesungguhnya Allah mempunyai bejana-bejana di atas muka bumi, dan bejana-bejana Tuhan kalian adalah hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh, dan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling halus dan yang paling lembut.” [1] Cobalah luangkan waktu sebentar saja, sekedar untuk mengobrol dengan diri sendiri. Tak ada yang boleh mendengarnya, kecuali Allah. Karena Allah mencintai hamba-Nya yang berkenan untuk mencintai dirinya sendiri dengan bermuhasabah. Mari merenung, apa kiranya penyebab riuhnya pikiran kita akhir-akhir ini? Baca juga: Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam Bahagia dengan menerima, mungkinkah? Boleh jadi, salah satu (bukan satu-satunya) sebab tidak tenangnya hati dan pikiran kita selama ini berkaitan dengan cara kita mengatur ekspektasi. Lingkungan mendorong kita untuk meraih capaian tinggi. Alhasil, kita memasang standar maksimal, tapi tidak menentukan batas minimal. Benar bahwa bercita-cita tinggi itu terpuji, namun sering kali kita lupa menyiapkan hati kalau-kalau cita-cita itu tidak terpenuhi. Sejak saat itu, kita mulai lelah dan kalah, diperbudak oleh ekspektasi diri sendiri. Kita lupa kapan terakhir kali menikmati hari-hari yang sedang dijalani, karena terus memandang ke arah angan yang entah kapan dapat benar-benar kita rasakan. Melihat hal ini, terlihatlah pentingnya peran qana’ah. Imam Suyuthi rahimahullah memaknai qana’ah dengan sebuah ungkapan yang indah, ترك التشوف إلى المفقود، والاستغناء بالموجود “Meninggalkan hasrat pada hal yang tiada, dan merasa cukup dengan yang ada.” [2] Qana’ah dapat membantu kita untuk menyederhanakan hati dalam menilai arti kebahagiaan. Mari kita tilik sejenak bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling bijak sepanjang sejarah, dalam menilai standar kebahagiaan. Beliau bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” [3] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyadarkan bahwa ternyata kita bisa bahagia dengan hal-hal yang sering kali dianggap kecil lagi sepele. Ternyata tidak selalu perlu capaian yang muluk-muluk untuk bisa berbahagia. Dengan qana’ah, kita dapat kembali menikmati masa kini yang selama ini terabaikan karena sibuknya pikiran membuntuti ekspektasi yang tak terkejar. Perlu dipahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan standar minimal untuk bisa berbahagia, bukan melarang kita untuk mencari yang lebih dari tiga hal di atas. Untuk merasa cukup, kita tidak selalu harus menolak yang lebih. Justru dengan merasa cukup, kita akan merasa lebih bahagia ketika mendapat yang lebih. Anggaplah kita merasa cukup saat mendapat 5000, bukankah kita akan sangat bahagia tatkala mendapat 5 juta? Beda halnya jika sejak awal sangat mengidamkan 500 juta, mungkin tidak akan terlalu bahagia ketika mendapat 50 juta. Demikian sederhana konsep qana’ah, namun selalu saja ada yang salah paham menyangka bahwa qana’ah itu seolah racun yang menyebabkan kemalasan dalam meningkatkan taraf hidup. Mari kita ulas sejenak wasiat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu kepada buah hatinya, يا بني، إذا طلبت الغنى فاطلبه بالقناعة؛ فإنها مال لا ينفذ “Nak, jika engkau mencari harta, carilah dengan qana’ah, karena qana’ah itu adalah harta yang tak dapat ditebus (dengan apa pun).” [4] Beliau sebut qana’ah itu tidak dapat ditebus, karena tak akan ada yang mampu membeli isi hati yang bersih, beda halnya dengan kekuasaan atau saham mayoritas. Wasiat ini memahamkan bahwa ketika kita memilih untuk qana’ah, bukan berarti kita sedang mengikrarkan penolakan terhadap kekayaan dan kemakmuran. Qana’ah tidaklah menghalangi semangat mencari penghidupan. Inilah esensi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب “Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kayanya hati (yang qana’ah). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (yang tak pernah puas).” [5] Jadi, sebabnya itu ada di hati yang dipenuhi kelapangan, baik kala ia fakir maupun saat hidup berada. Bukannya melarang kaya, tapi mengajak untuk menjadi kaya dengan hati yang layak nan pantas untuk menerima kekayaan. Tidak seperti sebagian orang kaya (harta) yang mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan agamanya karena terus menginginkan yang lebih, lebih, dan lebih! Demikianlah potret ia yang “terlihat” kaya, namun fakir tulen pada hakikatnya. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah karuniakan kepada kita hati yang sederhana dengan qana’ah di dalam relungnya. Catatan ini barulah awal, masih ada sebab-sebab “hidup autopilot” yang lainnya. Sampai jumpa di catatan berikutnya. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحبِهِ وَسَلَّمَ، وَآخِرُ دَعوَانَا أَن الحَمدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid [Bersambung] *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. At-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyin, hal. 840. [2] Mu’jamu Maqalidil Ulumi fil Hudud war Rusum, hal. 217. [3] HR. Tirmidzi no. 2346, beliau menilainya hasan gharib. [4] ‘Uyunul Akhbar, 3: 207. [5] HR. Ibnu Hibban, dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth. Tags: hatisederhana

Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Menata hati, menata hidupBahagia dengan menerima, mungkinkah? Makin hari, perputaran dunia ini rasanya terlalu cepat. Semua orang seolah saling membalap, seakan terburu-buru memenuhi tuntutan zaman yang sangat cepat berubah nan dipenuhi ketidakpastian. Alhasil, hanya tubuh kita yang berada di masa kini, sedangkan hati dan pikiran kita ada di mana-mana. Kita tidak benar-benar menyadari, apalagi menikmati aktivitas yang sedang dilalui. Boleh jadi, di saat yang sama pikiran kita disandera oleh penyesalan masa lalu, atau dipenuhi kecemasan akan masa depan baik mengenai nasib diri, keluarga, hingga prediksi standar sosial dan ekonomi beberapa tahun ke depan. Hidup kita rasanya berjalan autopilot, bergerak sendiri tanpa ada yang mengemudi. Kita jalani hidup ini tanpa kesadaran penuh, hingga kosong dari pemaknaan. Alhasil, sangat lumrah jika akhirnya ada yang merasa lelah fisik maupun jiwa karena menjalani rutinitas seperti ini. Beberapa langkah yang dapat menjadi jalan keluar dalam mengatasi dampak negatif hidup autopilot akan dibahas dalam catatan ini, tentunya dari sudut pandang tuntunan Ilahi. Menata hati, menata hidup Secara ringkas, menyederhanakan hidup telah menjadi jurus yang marak digandrungi untuk menghindari dampak negatif hidup autopilot. Tidak hanya menyederhanakan barang dan konsumsi, namun juga menyederhanakan hati, karena menata hati = menata hidup. Banyak yang akhirnya merasa perlu menyederhanakan hati karena ia terbatas. Bagai bejana, hati adalah wadah yang tak bisa menampung semua masalah dan urusan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ آنِيَةً مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ ، وَآنِيَةُ رَبِّكُمْ قُلُوبُ عِبَادِهِ الصَّالِحِينَ , وَأَحَبُّهَا إِلَيْهِ أَلْيَنُهَا وَأَرَقُّهَا “Sesungguhnya Allah mempunyai bejana-bejana di atas muka bumi, dan bejana-bejana Tuhan kalian adalah hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh, dan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling halus dan yang paling lembut.” [1] Cobalah luangkan waktu sebentar saja, sekedar untuk mengobrol dengan diri sendiri. Tak ada yang boleh mendengarnya, kecuali Allah. Karena Allah mencintai hamba-Nya yang berkenan untuk mencintai dirinya sendiri dengan bermuhasabah. Mari merenung, apa kiranya penyebab riuhnya pikiran kita akhir-akhir ini? Baca juga: Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam Bahagia dengan menerima, mungkinkah? Boleh jadi, salah satu (bukan satu-satunya) sebab tidak tenangnya hati dan pikiran kita selama ini berkaitan dengan cara kita mengatur ekspektasi. Lingkungan mendorong kita untuk meraih capaian tinggi. Alhasil, kita memasang standar maksimal, tapi tidak menentukan batas minimal. Benar bahwa bercita-cita tinggi itu terpuji, namun sering kali kita lupa menyiapkan hati kalau-kalau cita-cita itu tidak terpenuhi. Sejak saat itu, kita mulai lelah dan kalah, diperbudak oleh ekspektasi diri sendiri. Kita lupa kapan terakhir kali menikmati hari-hari yang sedang dijalani, karena terus memandang ke arah angan yang entah kapan dapat benar-benar kita rasakan. Melihat hal ini, terlihatlah pentingnya peran qana’ah. Imam Suyuthi rahimahullah memaknai qana’ah dengan sebuah ungkapan yang indah, ترك التشوف إلى المفقود، والاستغناء بالموجود “Meninggalkan hasrat pada hal yang tiada, dan merasa cukup dengan yang ada.” [2] Qana’ah dapat membantu kita untuk menyederhanakan hati dalam menilai arti kebahagiaan. Mari kita tilik sejenak bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling bijak sepanjang sejarah, dalam menilai standar kebahagiaan. Beliau bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” [3] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyadarkan bahwa ternyata kita bisa bahagia dengan hal-hal yang sering kali dianggap kecil lagi sepele. Ternyata tidak selalu perlu capaian yang muluk-muluk untuk bisa berbahagia. Dengan qana’ah, kita dapat kembali menikmati masa kini yang selama ini terabaikan karena sibuknya pikiran membuntuti ekspektasi yang tak terkejar. Perlu dipahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan standar minimal untuk bisa berbahagia, bukan melarang kita untuk mencari yang lebih dari tiga hal di atas. Untuk merasa cukup, kita tidak selalu harus menolak yang lebih. Justru dengan merasa cukup, kita akan merasa lebih bahagia ketika mendapat yang lebih. Anggaplah kita merasa cukup saat mendapat 5000, bukankah kita akan sangat bahagia tatkala mendapat 5 juta? Beda halnya jika sejak awal sangat mengidamkan 500 juta, mungkin tidak akan terlalu bahagia ketika mendapat 50 juta. Demikian sederhana konsep qana’ah, namun selalu saja ada yang salah paham menyangka bahwa qana’ah itu seolah racun yang menyebabkan kemalasan dalam meningkatkan taraf hidup. Mari kita ulas sejenak wasiat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu kepada buah hatinya, يا بني، إذا طلبت الغنى فاطلبه بالقناعة؛ فإنها مال لا ينفذ “Nak, jika engkau mencari harta, carilah dengan qana’ah, karena qana’ah itu adalah harta yang tak dapat ditebus (dengan apa pun).” [4] Beliau sebut qana’ah itu tidak dapat ditebus, karena tak akan ada yang mampu membeli isi hati yang bersih, beda halnya dengan kekuasaan atau saham mayoritas. Wasiat ini memahamkan bahwa ketika kita memilih untuk qana’ah, bukan berarti kita sedang mengikrarkan penolakan terhadap kekayaan dan kemakmuran. Qana’ah tidaklah menghalangi semangat mencari penghidupan. Inilah esensi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب “Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kayanya hati (yang qana’ah). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (yang tak pernah puas).” [5] Jadi, sebabnya itu ada di hati yang dipenuhi kelapangan, baik kala ia fakir maupun saat hidup berada. Bukannya melarang kaya, tapi mengajak untuk menjadi kaya dengan hati yang layak nan pantas untuk menerima kekayaan. Tidak seperti sebagian orang kaya (harta) yang mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan agamanya karena terus menginginkan yang lebih, lebih, dan lebih! Demikianlah potret ia yang “terlihat” kaya, namun fakir tulen pada hakikatnya. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah karuniakan kepada kita hati yang sederhana dengan qana’ah di dalam relungnya. Catatan ini barulah awal, masih ada sebab-sebab “hidup autopilot” yang lainnya. Sampai jumpa di catatan berikutnya. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحبِهِ وَسَلَّمَ، وَآخِرُ دَعوَانَا أَن الحَمدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid [Bersambung] *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. At-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyin, hal. 840. [2] Mu’jamu Maqalidil Ulumi fil Hudud war Rusum, hal. 217. [3] HR. Tirmidzi no. 2346, beliau menilainya hasan gharib. [4] ‘Uyunul Akhbar, 3: 207. [5] HR. Ibnu Hibban, dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth. Tags: hatisederhana
Daftar Isi Toggle Menata hati, menata hidupBahagia dengan menerima, mungkinkah? Makin hari, perputaran dunia ini rasanya terlalu cepat. Semua orang seolah saling membalap, seakan terburu-buru memenuhi tuntutan zaman yang sangat cepat berubah nan dipenuhi ketidakpastian. Alhasil, hanya tubuh kita yang berada di masa kini, sedangkan hati dan pikiran kita ada di mana-mana. Kita tidak benar-benar menyadari, apalagi menikmati aktivitas yang sedang dilalui. Boleh jadi, di saat yang sama pikiran kita disandera oleh penyesalan masa lalu, atau dipenuhi kecemasan akan masa depan baik mengenai nasib diri, keluarga, hingga prediksi standar sosial dan ekonomi beberapa tahun ke depan. Hidup kita rasanya berjalan autopilot, bergerak sendiri tanpa ada yang mengemudi. Kita jalani hidup ini tanpa kesadaran penuh, hingga kosong dari pemaknaan. Alhasil, sangat lumrah jika akhirnya ada yang merasa lelah fisik maupun jiwa karena menjalani rutinitas seperti ini. Beberapa langkah yang dapat menjadi jalan keluar dalam mengatasi dampak negatif hidup autopilot akan dibahas dalam catatan ini, tentunya dari sudut pandang tuntunan Ilahi. Menata hati, menata hidup Secara ringkas, menyederhanakan hidup telah menjadi jurus yang marak digandrungi untuk menghindari dampak negatif hidup autopilot. Tidak hanya menyederhanakan barang dan konsumsi, namun juga menyederhanakan hati, karena menata hati = menata hidup. Banyak yang akhirnya merasa perlu menyederhanakan hati karena ia terbatas. Bagai bejana, hati adalah wadah yang tak bisa menampung semua masalah dan urusan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ آنِيَةً مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ ، وَآنِيَةُ رَبِّكُمْ قُلُوبُ عِبَادِهِ الصَّالِحِينَ , وَأَحَبُّهَا إِلَيْهِ أَلْيَنُهَا وَأَرَقُّهَا “Sesungguhnya Allah mempunyai bejana-bejana di atas muka bumi, dan bejana-bejana Tuhan kalian adalah hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh, dan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling halus dan yang paling lembut.” [1] Cobalah luangkan waktu sebentar saja, sekedar untuk mengobrol dengan diri sendiri. Tak ada yang boleh mendengarnya, kecuali Allah. Karena Allah mencintai hamba-Nya yang berkenan untuk mencintai dirinya sendiri dengan bermuhasabah. Mari merenung, apa kiranya penyebab riuhnya pikiran kita akhir-akhir ini? Baca juga: Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam Bahagia dengan menerima, mungkinkah? Boleh jadi, salah satu (bukan satu-satunya) sebab tidak tenangnya hati dan pikiran kita selama ini berkaitan dengan cara kita mengatur ekspektasi. Lingkungan mendorong kita untuk meraih capaian tinggi. Alhasil, kita memasang standar maksimal, tapi tidak menentukan batas minimal. Benar bahwa bercita-cita tinggi itu terpuji, namun sering kali kita lupa menyiapkan hati kalau-kalau cita-cita itu tidak terpenuhi. Sejak saat itu, kita mulai lelah dan kalah, diperbudak oleh ekspektasi diri sendiri. Kita lupa kapan terakhir kali menikmati hari-hari yang sedang dijalani, karena terus memandang ke arah angan yang entah kapan dapat benar-benar kita rasakan. Melihat hal ini, terlihatlah pentingnya peran qana’ah. Imam Suyuthi rahimahullah memaknai qana’ah dengan sebuah ungkapan yang indah, ترك التشوف إلى المفقود، والاستغناء بالموجود “Meninggalkan hasrat pada hal yang tiada, dan merasa cukup dengan yang ada.” [2] Qana’ah dapat membantu kita untuk menyederhanakan hati dalam menilai arti kebahagiaan. Mari kita tilik sejenak bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling bijak sepanjang sejarah, dalam menilai standar kebahagiaan. Beliau bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” [3] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyadarkan bahwa ternyata kita bisa bahagia dengan hal-hal yang sering kali dianggap kecil lagi sepele. Ternyata tidak selalu perlu capaian yang muluk-muluk untuk bisa berbahagia. Dengan qana’ah, kita dapat kembali menikmati masa kini yang selama ini terabaikan karena sibuknya pikiran membuntuti ekspektasi yang tak terkejar. Perlu dipahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan standar minimal untuk bisa berbahagia, bukan melarang kita untuk mencari yang lebih dari tiga hal di atas. Untuk merasa cukup, kita tidak selalu harus menolak yang lebih. Justru dengan merasa cukup, kita akan merasa lebih bahagia ketika mendapat yang lebih. Anggaplah kita merasa cukup saat mendapat 5000, bukankah kita akan sangat bahagia tatkala mendapat 5 juta? Beda halnya jika sejak awal sangat mengidamkan 500 juta, mungkin tidak akan terlalu bahagia ketika mendapat 50 juta. Demikian sederhana konsep qana’ah, namun selalu saja ada yang salah paham menyangka bahwa qana’ah itu seolah racun yang menyebabkan kemalasan dalam meningkatkan taraf hidup. Mari kita ulas sejenak wasiat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu kepada buah hatinya, يا بني، إذا طلبت الغنى فاطلبه بالقناعة؛ فإنها مال لا ينفذ “Nak, jika engkau mencari harta, carilah dengan qana’ah, karena qana’ah itu adalah harta yang tak dapat ditebus (dengan apa pun).” [4] Beliau sebut qana’ah itu tidak dapat ditebus, karena tak akan ada yang mampu membeli isi hati yang bersih, beda halnya dengan kekuasaan atau saham mayoritas. Wasiat ini memahamkan bahwa ketika kita memilih untuk qana’ah, bukan berarti kita sedang mengikrarkan penolakan terhadap kekayaan dan kemakmuran. Qana’ah tidaklah menghalangi semangat mencari penghidupan. Inilah esensi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب “Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kayanya hati (yang qana’ah). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (yang tak pernah puas).” [5] Jadi, sebabnya itu ada di hati yang dipenuhi kelapangan, baik kala ia fakir maupun saat hidup berada. Bukannya melarang kaya, tapi mengajak untuk menjadi kaya dengan hati yang layak nan pantas untuk menerima kekayaan. Tidak seperti sebagian orang kaya (harta) yang mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan agamanya karena terus menginginkan yang lebih, lebih, dan lebih! Demikianlah potret ia yang “terlihat” kaya, namun fakir tulen pada hakikatnya. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah karuniakan kepada kita hati yang sederhana dengan qana’ah di dalam relungnya. Catatan ini barulah awal, masih ada sebab-sebab “hidup autopilot” yang lainnya. Sampai jumpa di catatan berikutnya. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحبِهِ وَسَلَّمَ، وَآخِرُ دَعوَانَا أَن الحَمدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid [Bersambung] *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. At-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyin, hal. 840. [2] Mu’jamu Maqalidil Ulumi fil Hudud war Rusum, hal. 217. [3] HR. Tirmidzi no. 2346, beliau menilainya hasan gharib. [4] ‘Uyunul Akhbar, 3: 207. [5] HR. Ibnu Hibban, dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth. Tags: hatisederhana


Daftar Isi Toggle Menata hati, menata hidupBahagia dengan menerima, mungkinkah? Makin hari, perputaran dunia ini rasanya terlalu cepat. Semua orang seolah saling membalap, seakan terburu-buru memenuhi tuntutan zaman yang sangat cepat berubah nan dipenuhi ketidakpastian. Alhasil, hanya tubuh kita yang berada di masa kini, sedangkan hati dan pikiran kita ada di mana-mana. Kita tidak benar-benar menyadari, apalagi menikmati aktivitas yang sedang dilalui. Boleh jadi, di saat yang sama pikiran kita disandera oleh penyesalan masa lalu, atau dipenuhi kecemasan akan masa depan baik mengenai nasib diri, keluarga, hingga prediksi standar sosial dan ekonomi beberapa tahun ke depan. Hidup kita rasanya berjalan autopilot, bergerak sendiri tanpa ada yang mengemudi. Kita jalani hidup ini tanpa kesadaran penuh, hingga kosong dari pemaknaan. Alhasil, sangat lumrah jika akhirnya ada yang merasa lelah fisik maupun jiwa karena menjalani rutinitas seperti ini. Beberapa langkah yang dapat menjadi jalan keluar dalam mengatasi dampak negatif hidup autopilot akan dibahas dalam catatan ini, tentunya dari sudut pandang tuntunan Ilahi. Menata hati, menata hidup Secara ringkas, menyederhanakan hidup telah menjadi jurus yang marak digandrungi untuk menghindari dampak negatif hidup autopilot. Tidak hanya menyederhanakan barang dan konsumsi, namun juga menyederhanakan hati, karena menata hati = menata hidup. Banyak yang akhirnya merasa perlu menyederhanakan hati karena ia terbatas. Bagai bejana, hati adalah wadah yang tak bisa menampung semua masalah dan urusan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ لِلَّهِ آنِيَةً مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ ، وَآنِيَةُ رَبِّكُمْ قُلُوبُ عِبَادِهِ الصَّالِحِينَ , وَأَحَبُّهَا إِلَيْهِ أَلْيَنُهَا وَأَرَقُّهَا “Sesungguhnya Allah mempunyai bejana-bejana di atas muka bumi, dan bejana-bejana Tuhan kalian adalah hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh, dan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling halus dan yang paling lembut.” [1] Cobalah luangkan waktu sebentar saja, sekedar untuk mengobrol dengan diri sendiri. Tak ada yang boleh mendengarnya, kecuali Allah. Karena Allah mencintai hamba-Nya yang berkenan untuk mencintai dirinya sendiri dengan bermuhasabah. Mari merenung, apa kiranya penyebab riuhnya pikiran kita akhir-akhir ini? Baca juga: Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam Bahagia dengan menerima, mungkinkah? Boleh jadi, salah satu (bukan satu-satunya) sebab tidak tenangnya hati dan pikiran kita selama ini berkaitan dengan cara kita mengatur ekspektasi. Lingkungan mendorong kita untuk meraih capaian tinggi. Alhasil, kita memasang standar maksimal, tapi tidak menentukan batas minimal. Benar bahwa bercita-cita tinggi itu terpuji, namun sering kali kita lupa menyiapkan hati kalau-kalau cita-cita itu tidak terpenuhi. Sejak saat itu, kita mulai lelah dan kalah, diperbudak oleh ekspektasi diri sendiri. Kita lupa kapan terakhir kali menikmati hari-hari yang sedang dijalani, karena terus memandang ke arah angan yang entah kapan dapat benar-benar kita rasakan. Melihat hal ini, terlihatlah pentingnya peran qana’ah. Imam Suyuthi rahimahullah memaknai qana’ah dengan sebuah ungkapan yang indah, ترك التشوف إلى المفقود، والاستغناء بالموجود “Meninggalkan hasrat pada hal yang tiada, dan merasa cukup dengan yang ada.” [2] Qana’ah dapat membantu kita untuk menyederhanakan hati dalam menilai arti kebahagiaan. Mari kita tilik sejenak bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling bijak sepanjang sejarah, dalam menilai standar kebahagiaan. Beliau bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” [3] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyadarkan bahwa ternyata kita bisa bahagia dengan hal-hal yang sering kali dianggap kecil lagi sepele. Ternyata tidak selalu perlu capaian yang muluk-muluk untuk bisa berbahagia. Dengan qana’ah, kita dapat kembali menikmati masa kini yang selama ini terabaikan karena sibuknya pikiran membuntuti ekspektasi yang tak terkejar. Perlu dipahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan standar minimal untuk bisa berbahagia, bukan melarang kita untuk mencari yang lebih dari tiga hal di atas. Untuk merasa cukup, kita tidak selalu harus menolak yang lebih. Justru dengan merasa cukup, kita akan merasa lebih bahagia ketika mendapat yang lebih. Anggaplah kita merasa cukup saat mendapat 5000, bukankah kita akan sangat bahagia tatkala mendapat 5 juta? Beda halnya jika sejak awal sangat mengidamkan 500 juta, mungkin tidak akan terlalu bahagia ketika mendapat 50 juta. Demikian sederhana konsep qana’ah, namun selalu saja ada yang salah paham menyangka bahwa qana’ah itu seolah racun yang menyebabkan kemalasan dalam meningkatkan taraf hidup. Mari kita ulas sejenak wasiat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu kepada buah hatinya, يا بني، إذا طلبت الغنى فاطلبه بالقناعة؛ فإنها مال لا ينفذ “Nak, jika engkau mencari harta, carilah dengan qana’ah, karena qana’ah itu adalah harta yang tak dapat ditebus (dengan apa pun).” [4] Beliau sebut qana’ah itu tidak dapat ditebus, karena tak akan ada yang mampu membeli isi hati yang bersih, beda halnya dengan kekuasaan atau saham mayoritas. Wasiat ini memahamkan bahwa ketika kita memilih untuk qana’ah, bukan berarti kita sedang mengikrarkan penolakan terhadap kekayaan dan kemakmuran. Qana’ah tidaklah menghalangi semangat mencari penghidupan. Inilah esensi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب “Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kayanya hati (yang qana’ah). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (yang tak pernah puas).” [5] Jadi, sebabnya itu ada di hati yang dipenuhi kelapangan, baik kala ia fakir maupun saat hidup berada. Bukannya melarang kaya, tapi mengajak untuk menjadi kaya dengan hati yang layak nan pantas untuk menerima kekayaan. Tidak seperti sebagian orang kaya (harta) yang mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan agamanya karena terus menginginkan yang lebih, lebih, dan lebih! Demikianlah potret ia yang “terlihat” kaya, namun fakir tulen pada hakikatnya. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah karuniakan kepada kita hati yang sederhana dengan qana’ah di dalam relungnya. Catatan ini barulah awal, masih ada sebab-sebab “hidup autopilot” yang lainnya. Sampai jumpa di catatan berikutnya. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحبِهِ وَسَلَّمَ، وَآخِرُ دَعوَانَا أَن الحَمدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ Baca juga: Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid [Bersambung] *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] HR. At-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyin, hal. 840. [2] Mu’jamu Maqalidil Ulumi fil Hudud war Rusum, hal. 217. [3] HR. Tirmidzi no. 2346, beliau menilainya hasan gharib. [4] ‘Uyunul Akhbar, 3: 207. [5] HR. Ibnu Hibban, dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth. Tags: hatisederhana

Meninggal Hari Jumat Apakah Masuk Surga dan Dihapus Seluruh Dosanya? – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

Apakah benar bahwa orang yang wafat pada hari Jumat, hari Senin, bulan Ramadan, atau pada tanggal 9 Zulhijah, Allah akan memasukkannya ke dalam surga dan menghapus seluruh dosanya? Jazakumullahu khairan. Saya berharap Anda meluruskan pemahaman banyak orang berkaitan dengan perkara ini. Semoga Allah membalas Anda dengan pahala. Itu tidak benar, dan tidak ada dasarnya. Ada banyak hadis tentang wafat pada hari Jumat, tapi hadis-hadis itu lemah, tidak sahih. “Barang siapa meninggal di hari itu, dosanya diampuni…” tapi hadis ini tidak sahih. Namun, diharapkan bagi yang wafat setelah beribadah: setelah puasa atau saat puasa, setelah puasa hari Arafah, atau setelah haji. Diharapkan kebaikan baginya jika dia diwafatkan pada saat beribadah. Wafat pada saat ibadah, diharapkan kebaikan baginya. Para salaf mengharapkan kebaikan bagi orang yang wafat saat beribadah atau setelah beribadah: Saat dia pulang dari haji, saat berbuka puasa bulan Ramadan, saat berpuasa pada hari Arafah, dan lain sebagainya. Sekian. Jazakumullahu khairan. Jadi ini termasuk kabar gembira, wahai Syaikh? Ya Insya Allah, diharapkan dia mendapat kebaikan dari amalan yang dia lakukan sebelum wafat ini. Diharapkan dia mendapat kebaikan dari amalan itu. Yakni diharapkan seperti itu. Amiin, ya Allah. Jazakumullahu khairan. ==== هَلْ صَحِيحٌ أَنَّ الَّذِي يَمُوتُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَوْ فِي يَوْمِ الإِثْنَيْنِ أَوْ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ أَوْ فِي الْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ أَنَّ اللهَ يُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ وَيَمْحُو اللهُ جَمِيعَ خَطَايَاهُ؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا وَأَرْجُو أَنْ تُصَحِّحُوا مَفَاهِيْمَ النَّاسِ حَوْلَ هَذَا أَثَابَكُمُ اللهُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ وَلَا أَصْلَ لِهَذَا وَرَدَ فِي الْجُمُعَةِ أَحَادِيْثُ لَكِنَّهَا ضَعِيفَةٌ غَيْرُ صَحِيحَةٍ مَنْ مَاتَ فِيهَا غُفِرَ لَهُ لَكِنَّهَا غَيْرُ صَحِيحَةٍ لَكِنْ يُرْجَى لِمَنْ مَاتَ عَلَى أَثَرِ الْعِبَادَةِ فِي أَثَرِ صِيَامِهِ مِنَ الصِّيَامِ أَثَرِ صِيَامِ عَرَفَةَ أَثَرِ الْحَجِّ يُرْجَى لَهُ الْخَيْرُ هَذَا إِذَا خُتِمَ لَهُ وَقْتَ الْعِبَادَةِ وَفِي أَثْنَاءِ الْعِبَادَةِ يُرْجَى لَهُ خَيْرٌ السَّلَفُ يَرْجُونَ الْخَيْرَ لِمَنْ مَاتَ فِي الْعِبَادَةِ أَوْ عَلَى أَثَرِ الْعِبَادَةِ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنَ الْحَجّ عِنْدَ إِفْطَارِهِ مِنْ رَمَضَانَ عِنْدَ صَوْمِهِ عَرَفَةَ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا إِذًا هَذِهِ تُعَدُّ مِنَ الْبَشَائِرِ سَمَاحَةَ الشَّيخِ نَعَمْ إِنْ شَاءَ اللهُ يُرْجَى لَهُ الخَيْرُ لِهَذَا الْعَمَلِ الَّذِي مَاتَ عَلَى أَثَرِهِ يُرْجَى لَهُ بِهِ الْخَيْرُ يَعْنِي يُتَفَاءَلُ بِذَلِكَ اللَّهُمَّ آمِينَ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

Meninggal Hari Jumat Apakah Masuk Surga dan Dihapus Seluruh Dosanya? – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

Apakah benar bahwa orang yang wafat pada hari Jumat, hari Senin, bulan Ramadan, atau pada tanggal 9 Zulhijah, Allah akan memasukkannya ke dalam surga dan menghapus seluruh dosanya? Jazakumullahu khairan. Saya berharap Anda meluruskan pemahaman banyak orang berkaitan dengan perkara ini. Semoga Allah membalas Anda dengan pahala. Itu tidak benar, dan tidak ada dasarnya. Ada banyak hadis tentang wafat pada hari Jumat, tapi hadis-hadis itu lemah, tidak sahih. “Barang siapa meninggal di hari itu, dosanya diampuni…” tapi hadis ini tidak sahih. Namun, diharapkan bagi yang wafat setelah beribadah: setelah puasa atau saat puasa, setelah puasa hari Arafah, atau setelah haji. Diharapkan kebaikan baginya jika dia diwafatkan pada saat beribadah. Wafat pada saat ibadah, diharapkan kebaikan baginya. Para salaf mengharapkan kebaikan bagi orang yang wafat saat beribadah atau setelah beribadah: Saat dia pulang dari haji, saat berbuka puasa bulan Ramadan, saat berpuasa pada hari Arafah, dan lain sebagainya. Sekian. Jazakumullahu khairan. Jadi ini termasuk kabar gembira, wahai Syaikh? Ya Insya Allah, diharapkan dia mendapat kebaikan dari amalan yang dia lakukan sebelum wafat ini. Diharapkan dia mendapat kebaikan dari amalan itu. Yakni diharapkan seperti itu. Amiin, ya Allah. Jazakumullahu khairan. ==== هَلْ صَحِيحٌ أَنَّ الَّذِي يَمُوتُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَوْ فِي يَوْمِ الإِثْنَيْنِ أَوْ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ أَوْ فِي الْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ أَنَّ اللهَ يُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ وَيَمْحُو اللهُ جَمِيعَ خَطَايَاهُ؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا وَأَرْجُو أَنْ تُصَحِّحُوا مَفَاهِيْمَ النَّاسِ حَوْلَ هَذَا أَثَابَكُمُ اللهُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ وَلَا أَصْلَ لِهَذَا وَرَدَ فِي الْجُمُعَةِ أَحَادِيْثُ لَكِنَّهَا ضَعِيفَةٌ غَيْرُ صَحِيحَةٍ مَنْ مَاتَ فِيهَا غُفِرَ لَهُ لَكِنَّهَا غَيْرُ صَحِيحَةٍ لَكِنْ يُرْجَى لِمَنْ مَاتَ عَلَى أَثَرِ الْعِبَادَةِ فِي أَثَرِ صِيَامِهِ مِنَ الصِّيَامِ أَثَرِ صِيَامِ عَرَفَةَ أَثَرِ الْحَجِّ يُرْجَى لَهُ الْخَيْرُ هَذَا إِذَا خُتِمَ لَهُ وَقْتَ الْعِبَادَةِ وَفِي أَثْنَاءِ الْعِبَادَةِ يُرْجَى لَهُ خَيْرٌ السَّلَفُ يَرْجُونَ الْخَيْرَ لِمَنْ مَاتَ فِي الْعِبَادَةِ أَوْ عَلَى أَثَرِ الْعِبَادَةِ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنَ الْحَجّ عِنْدَ إِفْطَارِهِ مِنْ رَمَضَانَ عِنْدَ صَوْمِهِ عَرَفَةَ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا إِذًا هَذِهِ تُعَدُّ مِنَ الْبَشَائِرِ سَمَاحَةَ الشَّيخِ نَعَمْ إِنْ شَاءَ اللهُ يُرْجَى لَهُ الخَيْرُ لِهَذَا الْعَمَلِ الَّذِي مَاتَ عَلَى أَثَرِهِ يُرْجَى لَهُ بِهِ الْخَيْرُ يَعْنِي يُتَفَاءَلُ بِذَلِكَ اللَّهُمَّ آمِينَ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا
Apakah benar bahwa orang yang wafat pada hari Jumat, hari Senin, bulan Ramadan, atau pada tanggal 9 Zulhijah, Allah akan memasukkannya ke dalam surga dan menghapus seluruh dosanya? Jazakumullahu khairan. Saya berharap Anda meluruskan pemahaman banyak orang berkaitan dengan perkara ini. Semoga Allah membalas Anda dengan pahala. Itu tidak benar, dan tidak ada dasarnya. Ada banyak hadis tentang wafat pada hari Jumat, tapi hadis-hadis itu lemah, tidak sahih. “Barang siapa meninggal di hari itu, dosanya diampuni…” tapi hadis ini tidak sahih. Namun, diharapkan bagi yang wafat setelah beribadah: setelah puasa atau saat puasa, setelah puasa hari Arafah, atau setelah haji. Diharapkan kebaikan baginya jika dia diwafatkan pada saat beribadah. Wafat pada saat ibadah, diharapkan kebaikan baginya. Para salaf mengharapkan kebaikan bagi orang yang wafat saat beribadah atau setelah beribadah: Saat dia pulang dari haji, saat berbuka puasa bulan Ramadan, saat berpuasa pada hari Arafah, dan lain sebagainya. Sekian. Jazakumullahu khairan. Jadi ini termasuk kabar gembira, wahai Syaikh? Ya Insya Allah, diharapkan dia mendapat kebaikan dari amalan yang dia lakukan sebelum wafat ini. Diharapkan dia mendapat kebaikan dari amalan itu. Yakni diharapkan seperti itu. Amiin, ya Allah. Jazakumullahu khairan. ==== هَلْ صَحِيحٌ أَنَّ الَّذِي يَمُوتُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَوْ فِي يَوْمِ الإِثْنَيْنِ أَوْ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ أَوْ فِي الْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ أَنَّ اللهَ يُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ وَيَمْحُو اللهُ جَمِيعَ خَطَايَاهُ؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا وَأَرْجُو أَنْ تُصَحِّحُوا مَفَاهِيْمَ النَّاسِ حَوْلَ هَذَا أَثَابَكُمُ اللهُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ وَلَا أَصْلَ لِهَذَا وَرَدَ فِي الْجُمُعَةِ أَحَادِيْثُ لَكِنَّهَا ضَعِيفَةٌ غَيْرُ صَحِيحَةٍ مَنْ مَاتَ فِيهَا غُفِرَ لَهُ لَكِنَّهَا غَيْرُ صَحِيحَةٍ لَكِنْ يُرْجَى لِمَنْ مَاتَ عَلَى أَثَرِ الْعِبَادَةِ فِي أَثَرِ صِيَامِهِ مِنَ الصِّيَامِ أَثَرِ صِيَامِ عَرَفَةَ أَثَرِ الْحَجِّ يُرْجَى لَهُ الْخَيْرُ هَذَا إِذَا خُتِمَ لَهُ وَقْتَ الْعِبَادَةِ وَفِي أَثْنَاءِ الْعِبَادَةِ يُرْجَى لَهُ خَيْرٌ السَّلَفُ يَرْجُونَ الْخَيْرَ لِمَنْ مَاتَ فِي الْعِبَادَةِ أَوْ عَلَى أَثَرِ الْعِبَادَةِ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنَ الْحَجّ عِنْدَ إِفْطَارِهِ مِنْ رَمَضَانَ عِنْدَ صَوْمِهِ عَرَفَةَ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا إِذًا هَذِهِ تُعَدُّ مِنَ الْبَشَائِرِ سَمَاحَةَ الشَّيخِ نَعَمْ إِنْ شَاءَ اللهُ يُرْجَى لَهُ الخَيْرُ لِهَذَا الْعَمَلِ الَّذِي مَاتَ عَلَى أَثَرِهِ يُرْجَى لَهُ بِهِ الْخَيْرُ يَعْنِي يُتَفَاءَلُ بِذَلِكَ اللَّهُمَّ آمِينَ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا


Apakah benar bahwa orang yang wafat pada hari Jumat, hari Senin, bulan Ramadan, atau pada tanggal 9 Zulhijah, Allah akan memasukkannya ke dalam surga dan menghapus seluruh dosanya? Jazakumullahu khairan. Saya berharap Anda meluruskan pemahaman banyak orang berkaitan dengan perkara ini. Semoga Allah membalas Anda dengan pahala. Itu tidak benar, dan tidak ada dasarnya. Ada banyak hadis tentang wafat pada hari Jumat, tapi hadis-hadis itu lemah, tidak sahih. “Barang siapa meninggal di hari itu, dosanya diampuni…” tapi hadis ini tidak sahih. Namun, diharapkan bagi yang wafat setelah beribadah: setelah puasa atau saat puasa, setelah puasa hari Arafah, atau setelah haji. Diharapkan kebaikan baginya jika dia diwafatkan pada saat beribadah. Wafat pada saat ibadah, diharapkan kebaikan baginya. Para salaf mengharapkan kebaikan bagi orang yang wafat saat beribadah atau setelah beribadah: Saat dia pulang dari haji, saat berbuka puasa bulan Ramadan, saat berpuasa pada hari Arafah, dan lain sebagainya. Sekian. Jazakumullahu khairan. Jadi ini termasuk kabar gembira, wahai Syaikh? Ya Insya Allah, diharapkan dia mendapat kebaikan dari amalan yang dia lakukan sebelum wafat ini. Diharapkan dia mendapat kebaikan dari amalan itu. Yakni diharapkan seperti itu. Amiin, ya Allah. Jazakumullahu khairan. ==== هَلْ صَحِيحٌ أَنَّ الَّذِي يَمُوتُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَوْ فِي يَوْمِ الإِثْنَيْنِ أَوْ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ أَوْ فِي الْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ أَنَّ اللهَ يُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ وَيَمْحُو اللهُ جَمِيعَ خَطَايَاهُ؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا وَأَرْجُو أَنْ تُصَحِّحُوا مَفَاهِيْمَ النَّاسِ حَوْلَ هَذَا أَثَابَكُمُ اللهُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ وَلَا أَصْلَ لِهَذَا وَرَدَ فِي الْجُمُعَةِ أَحَادِيْثُ لَكِنَّهَا ضَعِيفَةٌ غَيْرُ صَحِيحَةٍ مَنْ مَاتَ فِيهَا غُفِرَ لَهُ لَكِنَّهَا غَيْرُ صَحِيحَةٍ لَكِنْ يُرْجَى لِمَنْ مَاتَ عَلَى أَثَرِ الْعِبَادَةِ فِي أَثَرِ صِيَامِهِ مِنَ الصِّيَامِ أَثَرِ صِيَامِ عَرَفَةَ أَثَرِ الْحَجِّ يُرْجَى لَهُ الْخَيْرُ هَذَا إِذَا خُتِمَ لَهُ وَقْتَ الْعِبَادَةِ وَفِي أَثْنَاءِ الْعِبَادَةِ يُرْجَى لَهُ خَيْرٌ السَّلَفُ يَرْجُونَ الْخَيْرَ لِمَنْ مَاتَ فِي الْعِبَادَةِ أَوْ عَلَى أَثَرِ الْعِبَادَةِ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنَ الْحَجّ عِنْدَ إِفْطَارِهِ مِنْ رَمَضَانَ عِنْدَ صَوْمِهِ عَرَفَةَ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا إِذًا هَذِهِ تُعَدُّ مِنَ الْبَشَائِرِ سَمَاحَةَ الشَّيخِ نَعَمْ إِنْ شَاءَ اللهُ يُرْجَى لَهُ الخَيْرُ لِهَذَا الْعَمَلِ الَّذِي مَاتَ عَلَى أَثَرِهِ يُرْجَى لَهُ بِهِ الْخَيْرُ يَعْنِي يُتَفَاءَلُ بِذَلِكَ اللَّهُمَّ آمِينَ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

Doa Penting yang Harus Sering Dipanjatkan – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Disebutkan dalam hadis sahih bahwa Nabi pernah menemui seorang lelaki yang sedang sakit, sampai-sampai keadaannya seperti anak burung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepadanya, “Apakah kamu pernah berdoa sesuatu atau meminta sesuatu (kepada Allah)?” Dia menjawab, “Ya! Dulu aku berdoa: Ya Allah! Jika Engkau kelak akan mengazabku di akhirat maka segerakanlah azab itu bagiku di dunia!” Nabi bersabda, “Subhanallah! Kamu tidak akan mampu” Mengapa kamu tidak berdoa…”Apa? ROBBANAA AATINAA FID DUN-YAA HASANAH “(Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia) WAFIL AAKHIROTI HASANAH WAQINAA ‘ADZAABAN NAAR (dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka).” Lelaki ini telah berijtihad dan ingin agar selamat dari azab pada hari kiamat. Sehingga dia berdoa kepada Tuhannya agar disegerakan siksaan yang akan diberikan pada hari kiamat. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya arahan bahwa yang lebih sempurna dan lebih agung adalah berdoa dengan doa ini. Doa ini adalah salah satu doa yang menghimpun makna yang luas yang senantiasa dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alangkah baiknya jika kita juga banyak berdoa dengan doa ini. ==== وَثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى رَجُلٍ كَانَ مَرِيضًا حَتَّى صَارَ مِثْلَ الْفَرْخِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلَّكَ دَعَوْتَ بِدُعَاءٍ أَوْ سَأَلْتَ شَيْئًا؟ قَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَقُولُ اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَذِّبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ إِنَّكَ لَا تَسْتَطِيعُ أَفَلاَ قُلْتَ مَاذَا؟ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ هَذَا الرَّجُلُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اجْتَهَدَ وَأَرَادَ أَنْ يَتَخَلَّصَ مِمَّا يَكُونُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَدَعَا رَبَّهُ أَنْ يُعَجَّلَ لَهُ مَا يَكُونُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَرْشَدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَنَّ الْأَكْمَلَ وَالْأَعْظَمَ أَنْ يَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ فَكَانَ هَذَا الدُّعَاءُ مِنْ جَوَامِعِ الدُّعَاءِ الَّذِي يَدْعُو بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي يَحْسُنُ بِنَا أَنْ نَدْعُوَ بِهِ كَثِيرًا

Doa Penting yang Harus Sering Dipanjatkan – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Disebutkan dalam hadis sahih bahwa Nabi pernah menemui seorang lelaki yang sedang sakit, sampai-sampai keadaannya seperti anak burung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepadanya, “Apakah kamu pernah berdoa sesuatu atau meminta sesuatu (kepada Allah)?” Dia menjawab, “Ya! Dulu aku berdoa: Ya Allah! Jika Engkau kelak akan mengazabku di akhirat maka segerakanlah azab itu bagiku di dunia!” Nabi bersabda, “Subhanallah! Kamu tidak akan mampu” Mengapa kamu tidak berdoa…”Apa? ROBBANAA AATINAA FID DUN-YAA HASANAH “(Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia) WAFIL AAKHIROTI HASANAH WAQINAA ‘ADZAABAN NAAR (dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka).” Lelaki ini telah berijtihad dan ingin agar selamat dari azab pada hari kiamat. Sehingga dia berdoa kepada Tuhannya agar disegerakan siksaan yang akan diberikan pada hari kiamat. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya arahan bahwa yang lebih sempurna dan lebih agung adalah berdoa dengan doa ini. Doa ini adalah salah satu doa yang menghimpun makna yang luas yang senantiasa dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alangkah baiknya jika kita juga banyak berdoa dengan doa ini. ==== وَثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى رَجُلٍ كَانَ مَرِيضًا حَتَّى صَارَ مِثْلَ الْفَرْخِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلَّكَ دَعَوْتَ بِدُعَاءٍ أَوْ سَأَلْتَ شَيْئًا؟ قَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَقُولُ اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَذِّبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ إِنَّكَ لَا تَسْتَطِيعُ أَفَلاَ قُلْتَ مَاذَا؟ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ هَذَا الرَّجُلُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اجْتَهَدَ وَأَرَادَ أَنْ يَتَخَلَّصَ مِمَّا يَكُونُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَدَعَا رَبَّهُ أَنْ يُعَجَّلَ لَهُ مَا يَكُونُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَرْشَدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَنَّ الْأَكْمَلَ وَالْأَعْظَمَ أَنْ يَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ فَكَانَ هَذَا الدُّعَاءُ مِنْ جَوَامِعِ الدُّعَاءِ الَّذِي يَدْعُو بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي يَحْسُنُ بِنَا أَنْ نَدْعُوَ بِهِ كَثِيرًا
Disebutkan dalam hadis sahih bahwa Nabi pernah menemui seorang lelaki yang sedang sakit, sampai-sampai keadaannya seperti anak burung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepadanya, “Apakah kamu pernah berdoa sesuatu atau meminta sesuatu (kepada Allah)?” Dia menjawab, “Ya! Dulu aku berdoa: Ya Allah! Jika Engkau kelak akan mengazabku di akhirat maka segerakanlah azab itu bagiku di dunia!” Nabi bersabda, “Subhanallah! Kamu tidak akan mampu” Mengapa kamu tidak berdoa…”Apa? ROBBANAA AATINAA FID DUN-YAA HASANAH “(Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia) WAFIL AAKHIROTI HASANAH WAQINAA ‘ADZAABAN NAAR (dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka).” Lelaki ini telah berijtihad dan ingin agar selamat dari azab pada hari kiamat. Sehingga dia berdoa kepada Tuhannya agar disegerakan siksaan yang akan diberikan pada hari kiamat. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya arahan bahwa yang lebih sempurna dan lebih agung adalah berdoa dengan doa ini. Doa ini adalah salah satu doa yang menghimpun makna yang luas yang senantiasa dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alangkah baiknya jika kita juga banyak berdoa dengan doa ini. ==== وَثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى رَجُلٍ كَانَ مَرِيضًا حَتَّى صَارَ مِثْلَ الْفَرْخِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلَّكَ دَعَوْتَ بِدُعَاءٍ أَوْ سَأَلْتَ شَيْئًا؟ قَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَقُولُ اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَذِّبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ إِنَّكَ لَا تَسْتَطِيعُ أَفَلاَ قُلْتَ مَاذَا؟ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ هَذَا الرَّجُلُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اجْتَهَدَ وَأَرَادَ أَنْ يَتَخَلَّصَ مِمَّا يَكُونُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَدَعَا رَبَّهُ أَنْ يُعَجَّلَ لَهُ مَا يَكُونُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَرْشَدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَنَّ الْأَكْمَلَ وَالْأَعْظَمَ أَنْ يَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ فَكَانَ هَذَا الدُّعَاءُ مِنْ جَوَامِعِ الدُّعَاءِ الَّذِي يَدْعُو بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي يَحْسُنُ بِنَا أَنْ نَدْعُوَ بِهِ كَثِيرًا


Disebutkan dalam hadis sahih bahwa Nabi pernah menemui seorang lelaki yang sedang sakit, sampai-sampai keadaannya seperti anak burung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepadanya, “Apakah kamu pernah berdoa sesuatu atau meminta sesuatu (kepada Allah)?” Dia menjawab, “Ya! Dulu aku berdoa: Ya Allah! Jika Engkau kelak akan mengazabku di akhirat maka segerakanlah azab itu bagiku di dunia!” Nabi bersabda, “Subhanallah! Kamu tidak akan mampu” Mengapa kamu tidak berdoa…”Apa? ROBBANAA AATINAA FID DUN-YAA HASANAH “(Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia) WAFIL AAKHIROTI HASANAH WAQINAA ‘ADZAABAN NAAR (dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka).” Lelaki ini telah berijtihad dan ingin agar selamat dari azab pada hari kiamat. Sehingga dia berdoa kepada Tuhannya agar disegerakan siksaan yang akan diberikan pada hari kiamat. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya arahan bahwa yang lebih sempurna dan lebih agung adalah berdoa dengan doa ini. Doa ini adalah salah satu doa yang menghimpun makna yang luas yang senantiasa dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alangkah baiknya jika kita juga banyak berdoa dengan doa ini. ==== وَثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى رَجُلٍ كَانَ مَرِيضًا حَتَّى صَارَ مِثْلَ الْفَرْخِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلَّكَ دَعَوْتَ بِدُعَاءٍ أَوْ سَأَلْتَ شَيْئًا؟ قَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَقُولُ اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَذِّبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ إِنَّكَ لَا تَسْتَطِيعُ أَفَلاَ قُلْتَ مَاذَا؟ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ هَذَا الرَّجُلُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اجْتَهَدَ وَأَرَادَ أَنْ يَتَخَلَّصَ مِمَّا يَكُونُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَدَعَا رَبَّهُ أَنْ يُعَجَّلَ لَهُ مَا يَكُونُ مِنْ عُقُوبَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَرْشَدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَنَّ الْأَكْمَلَ وَالْأَعْظَمَ أَنْ يَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ فَكَانَ هَذَا الدُّعَاءُ مِنْ جَوَامِعِ الدُّعَاءِ الَّذِي يَدْعُو بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي يَحْسُنُ بِنَا أَنْ نَدْعُوَ بِهِ كَثِيرًا

Apakah Suara Burung, Angin, Air, Juga Termasuk Musik?

Pertanyaan: Jika musik haram maka apakah berarti suara kicau burung juga harus diharamkan untuk didengar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Inilah pentingnya kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta pemahaman Salafus Shalih. Jika kita kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah maka kita dapati yang diharamkan adalah al ghina’ dan ma’azif (alat musik). Sedangkan kicauan burung bukanlah al-ghina’ dan juga bukan ma’azif.  Allah ta’ala berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan “lahwal hadis” untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6) Mayoritas ahli tafsir menafsirkan “lahwal hadis” dalam ayat ini maknanya adalah al-ghina’ (nyanyian yang diiringi dengan musik).  Juga hadis dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik).” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm, Ibnu Hibban no. 6754, Abu Daud no. 4039). Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Dan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة : مزمار عند نعمة ، ورنّة عند مصيبة “Dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat: suara seruling ketika mendapatkan nikmat dan suara teriakan ratapan ketika mendapat musibah” (HR. Al-Bazzar, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no.3527). Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu’anhu, beliau berkata: أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ “Sesungguhnya Nabiyullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang minum khamr, judi dan bermain kendang” (HR. Abu Daud no. 3685, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Maka jelaslah bahwa yang diharamkan adalah memainkan alat-alat musik. Dan jika kita kembali kepada pemahaman Salafus Shalih, tidak ada Salafus Shalih yang mengharamkan suara kicauan burung dan tidak ada Salafus Shalih yang memahami bahwa kicauan burung itu sama dengan musik. Bahkan tidak ada ulama yang berpendapat demikian. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid mengatakan:  وأما سماع صوت العصافير ، فمباح ، ولا يدخل في المعازف ، سواء سمع مباشرة ، أو على مسجل الصوت . وهكذا من يحتج بصوت خرير الماء ونحو ذلك “Adapun mendengarkan suara kicauan burung, hukumnya mubah. Tidak termasuk ma’azif. Baik secara langsung atau melalui rekaman. Demikian juga ada orang yang berdalih dengan suara percikan air, dan semisalnya” (Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.96219). Demikian juga percikan air, hembusan angin, suara dedaunan, yang ada di alam ini semua boleh didengarkan karena tidak termasuk ma’azif (alat musik).  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Nifas Dalam Islam, 7 Pintu Neraka, Hukum Onani Saat Ramadhan, Wallpaper Ramadhan 2019, Niat Sholat Lailatul Qodar Visited 164 times, 3 visit(s) today Post Views: 874 QRIS donasi Yufid

Apakah Suara Burung, Angin, Air, Juga Termasuk Musik?

Pertanyaan: Jika musik haram maka apakah berarti suara kicau burung juga harus diharamkan untuk didengar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Inilah pentingnya kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta pemahaman Salafus Shalih. Jika kita kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah maka kita dapati yang diharamkan adalah al ghina’ dan ma’azif (alat musik). Sedangkan kicauan burung bukanlah al-ghina’ dan juga bukan ma’azif.  Allah ta’ala berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan “lahwal hadis” untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6) Mayoritas ahli tafsir menafsirkan “lahwal hadis” dalam ayat ini maknanya adalah al-ghina’ (nyanyian yang diiringi dengan musik).  Juga hadis dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik).” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm, Ibnu Hibban no. 6754, Abu Daud no. 4039). Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Dan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة : مزمار عند نعمة ، ورنّة عند مصيبة “Dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat: suara seruling ketika mendapatkan nikmat dan suara teriakan ratapan ketika mendapat musibah” (HR. Al-Bazzar, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no.3527). Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu’anhu, beliau berkata: أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ “Sesungguhnya Nabiyullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang minum khamr, judi dan bermain kendang” (HR. Abu Daud no. 3685, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Maka jelaslah bahwa yang diharamkan adalah memainkan alat-alat musik. Dan jika kita kembali kepada pemahaman Salafus Shalih, tidak ada Salafus Shalih yang mengharamkan suara kicauan burung dan tidak ada Salafus Shalih yang memahami bahwa kicauan burung itu sama dengan musik. Bahkan tidak ada ulama yang berpendapat demikian. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid mengatakan:  وأما سماع صوت العصافير ، فمباح ، ولا يدخل في المعازف ، سواء سمع مباشرة ، أو على مسجل الصوت . وهكذا من يحتج بصوت خرير الماء ونحو ذلك “Adapun mendengarkan suara kicauan burung, hukumnya mubah. Tidak termasuk ma’azif. Baik secara langsung atau melalui rekaman. Demikian juga ada orang yang berdalih dengan suara percikan air, dan semisalnya” (Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.96219). Demikian juga percikan air, hembusan angin, suara dedaunan, yang ada di alam ini semua boleh didengarkan karena tidak termasuk ma’azif (alat musik).  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Nifas Dalam Islam, 7 Pintu Neraka, Hukum Onani Saat Ramadhan, Wallpaper Ramadhan 2019, Niat Sholat Lailatul Qodar Visited 164 times, 3 visit(s) today Post Views: 874 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Jika musik haram maka apakah berarti suara kicau burung juga harus diharamkan untuk didengar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Inilah pentingnya kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta pemahaman Salafus Shalih. Jika kita kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah maka kita dapati yang diharamkan adalah al ghina’ dan ma’azif (alat musik). Sedangkan kicauan burung bukanlah al-ghina’ dan juga bukan ma’azif.  Allah ta’ala berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan “lahwal hadis” untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6) Mayoritas ahli tafsir menafsirkan “lahwal hadis” dalam ayat ini maknanya adalah al-ghina’ (nyanyian yang diiringi dengan musik).  Juga hadis dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik).” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm, Ibnu Hibban no. 6754, Abu Daud no. 4039). Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Dan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة : مزمار عند نعمة ، ورنّة عند مصيبة “Dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat: suara seruling ketika mendapatkan nikmat dan suara teriakan ratapan ketika mendapat musibah” (HR. Al-Bazzar, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no.3527). Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu’anhu, beliau berkata: أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ “Sesungguhnya Nabiyullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang minum khamr, judi dan bermain kendang” (HR. Abu Daud no. 3685, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Maka jelaslah bahwa yang diharamkan adalah memainkan alat-alat musik. Dan jika kita kembali kepada pemahaman Salafus Shalih, tidak ada Salafus Shalih yang mengharamkan suara kicauan burung dan tidak ada Salafus Shalih yang memahami bahwa kicauan burung itu sama dengan musik. Bahkan tidak ada ulama yang berpendapat demikian. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid mengatakan:  وأما سماع صوت العصافير ، فمباح ، ولا يدخل في المعازف ، سواء سمع مباشرة ، أو على مسجل الصوت . وهكذا من يحتج بصوت خرير الماء ونحو ذلك “Adapun mendengarkan suara kicauan burung, hukumnya mubah. Tidak termasuk ma’azif. Baik secara langsung atau melalui rekaman. Demikian juga ada orang yang berdalih dengan suara percikan air, dan semisalnya” (Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.96219). Demikian juga percikan air, hembusan angin, suara dedaunan, yang ada di alam ini semua boleh didengarkan karena tidak termasuk ma’azif (alat musik).  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Nifas Dalam Islam, 7 Pintu Neraka, Hukum Onani Saat Ramadhan, Wallpaper Ramadhan 2019, Niat Sholat Lailatul Qodar Visited 164 times, 3 visit(s) today Post Views: 874 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Jika musik haram maka apakah berarti suara kicau burung juga harus diharamkan untuk didengar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Inilah pentingnya kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta pemahaman Salafus Shalih. Jika kita kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah maka kita dapati yang diharamkan adalah al ghina’ dan ma’azif (alat musik). Sedangkan kicauan burung bukanlah al-ghina’ dan juga bukan ma’azif.  Allah ta’ala berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan “lahwal hadis” untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6) Mayoritas ahli tafsir menafsirkan “lahwal hadis” dalam ayat ini maknanya adalah al-ghina’ (nyanyian yang diiringi dengan musik).  Juga hadis dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik).” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm, Ibnu Hibban no. 6754, Abu Daud no. 4039). Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Dan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة : مزمار عند نعمة ، ورنّة عند مصيبة “Dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat: suara seruling ketika mendapatkan nikmat dan suara teriakan ratapan ketika mendapat musibah” (HR. Al-Bazzar, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no.3527). Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu’anhu, beliau berkata: أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ “Sesungguhnya Nabiyullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang minum khamr, judi dan bermain kendang” (HR. Abu Daud no. 3685, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Maka jelaslah bahwa yang diharamkan adalah memainkan alat-alat musik. Dan jika kita kembali kepada pemahaman Salafus Shalih, tidak ada Salafus Shalih yang mengharamkan suara kicauan burung dan tidak ada Salafus Shalih yang memahami bahwa kicauan burung itu sama dengan musik. Bahkan tidak ada ulama yang berpendapat demikian. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid mengatakan:  وأما سماع صوت العصافير ، فمباح ، ولا يدخل في المعازف ، سواء سمع مباشرة ، أو على مسجل الصوت . وهكذا من يحتج بصوت خرير الماء ونحو ذلك “Adapun mendengarkan suara kicauan burung, hukumnya mubah. Tidak termasuk ma’azif. Baik secara langsung atau melalui rekaman. Demikian juga ada orang yang berdalih dengan suara percikan air, dan semisalnya” (Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.96219). Demikian juga percikan air, hembusan angin, suara dedaunan, yang ada di alam ini semua boleh didengarkan karena tidak termasuk ma’azif (alat musik).  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Nifas Dalam Islam, 7 Pintu Neraka, Hukum Onani Saat Ramadhan, Wallpaper Ramadhan 2019, Niat Sholat Lailatul Qodar Visited 164 times, 3 visit(s) today Post Views: 874 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Doa itu Senjata Orang Mukmin, Penjelasan Doa vs Musibah, Kapan Bisa Menang?

Doa itu senjata orang mukmin. Namun, senjata itu bisa kuat, bisa juga lemah.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. Doa adalah senjata orang mukmin. Disebutkan dalam Al-Mustadrak Al-Hakim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan doa kalian terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” [HR. Al-Hakim, 1:493] Berdasarkan hadits di atas, doa adalah obat penawar yang memberikan manfaat dan menghilangkan penyakit. Namun, kelalaian hati dari mengingat Allah dan mengonsumsi makanan haram akan melemahkan sekaligus melenyapkan kekuatan doa.  Penjelasan tersebut senada dengan riwayat dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَيَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتٍ مَارَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَهُ اِلَى السَّمَاءِ يَارَبِّ يَارَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ “Wahai manusia, sungguh Allah itu baik dan tidak akan menerima, kecuali hal yang baik. Sungguh, Allah juga telah memerintahkan kaum mukminin dengan perkara yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman: “Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mukminun: 51). Allah juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian beliau menceritakan tentang seorang laki-laki yang tengah mengadakan perjalanan panjang, rambutnya kusut, tubuhnya berdebu, dan ia menengadahkan tangan ke langit sambil berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku! Namun, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dibesarkan dengan hal-hal yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya akan terkabul?” (HR. Muslim, no. 1015) وَذَكرَ عَبْدُ اللهِ بْنِ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيْهِ أَصَابَ بَنِي إِسْرَائِيْلَ بَلاَءٌ فَخَرَجُوا مَخْرَجًا فَأَوْحَى اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ اِلَى نَبِيِّهِمْ أَنْ أَخْبَرَهُمْ إِنَّكُمْ تَخْرُجُوْنَ اِلَى الصَّعِيْدِ باَبْدَانٍ نَجَسَةٍ وَتَرْفَعُوْنَ اِلَيَّ أُكُفًّا قَدْ سَفَكْتُمْ بِهَا الدِّمَاء وَمَلَأْتُمْ بِهَا بُيُوْتَكُمْ مِنَ الحَرَامِ الآنَ حِيْنَ اشْتَدَّ غَضَبِي عَلَيْكُمْ وَلَنْ تَزْدَادُوْا مِنِّي اِلاَّبُعْدًا Abdullah bin Imam Ahmad menyebutkan dalam kitab Az-Zuhd karya ayahnya, “Dahulu Bani Israil pernah ditimpa bencana sehingga mereka pun keluar ke suatu tempat untuk berdoa. Kemudian, Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk mengabarkan kepada mereka, “Sungguh kalian keluar ke dataran tinggi ini dengan badan yang najis. Kalian menengadahkan tangan-tangan kalian kepada-Ku, padahal ia berlumuran darah dan dengannya kalian penuhi rumah-rumah dengan barang-barang yang haram. Apakah kalian sekarang memohon pada saat murka-Ku kepada kalian telah bertambah? Kalian hanyalah akan semakin menjauh dari-Ku.” وَقَالَ اَبُو ذَرٍّ يَكْفِى مِنَ الدُّعَاءِ مَعَ البِرِّ مَا يَكْفِى الطَّعَامَ مِنَ المِلْحِ Abu Dzarr berkata, “Cukuplah doa itu bisa diterima jika disertai dengan kebaikan, yakni layaknya sejumput garam yang mencukupi sejumlah makanan.”   Ingat, Doa adalah Senjata Orang Mukmin والدُّعَاءُ مِنْ أَنْفَعِ الأَدْوِيَّةِ وَهُوَ عَدُوُّ البَلَأِ يُدَافُعُهُ وَيُعَالِجُهُ وَيَمْنَعُ  نُزُوْلَهُ وَيَرْفَعُهُ أَوْ يُخَفِّفُهُ إِذَا نَزَلَ وَهُوَ سِلاَحُ المُؤْمِنِ Doa adalah obat yang amat bermanfaat dan musuh bagi bencana. Doa itu bisa: memerangi mengobati mencegah menghilangkan meringankan musibah yang menimpa. Itulah kenapa doa itu disebut senjata orang mukmin. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Shahih-nya, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الدُّعَاءُ سِلاَحُ المُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّيْنِ وَنُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ “Doa adalah senjata kaum mukminin dan merupakan tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.” وَلَهُ مَعَ البَلاَءِ ثَلاَثُ مَقَامَاتٍ أَحَدُهَا أَمْ يَكُوْنُ أَقْوَي مِنَ البَلاَءِ فَيَدْفَعُهُ الثَّانِي أَنْ يَكُوْنَ أَضْعَفَ مِنَ البَلاَءِ فَيَقْوَى عَلَيْهِ البَلاَءَ فَيُصَابُ بِِهِ العَبْدُ وَلَكِنْ قَدْ يُخَفِّفُهُ وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا الثَّالِثُ أَنْ يَتَقَاوَمَا وَيَمْنَعُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبُهُ Ketika bersanding dengan musibah, doa mempunya tiga kondisi sebagai berikut. Doa itu lebih kuat daripada musibah. Maka dari itu, doa mampu mencegah terjadinya musibah. Doa itu lebih lemah daripada musibah. Akibatnya, doa itu terkalahkan sehingga musibah pun menimpa orang yang bersangkutan. Namun, doa bisa meringankan musibah tersebut meski hanya sedikit. Doa dan musibah sama-sama kuat, maka akan saling menyerang dan mengalahkan. Al-Hakim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يُغْنِى حَذَرٌ مِنْ قَدَرٍ وَالدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ وَإِنَّ البَلاَءَ لَيَنْزِلُ فَيْلَقَاهُ الدُّعَاءُ فَيَعْتَلِجَانِ اِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ “Sikap waspada tidak mampu menolak takdir. Doa memberikan manfaat kepada hal-hal yang telah terjadi dan yang belum terjadi. Pada saat musibah turun, doa segera menghadapinya. Keduanya saling bertarung hingga tiba hari kiamat.” (HR. Al-Hakim, 1:492) Disebutkan juga dalam kitab yang sama, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللهِ بِالدُّعَاءِ “Doa akan memberikan manfaat terhadap apa yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Maka hendaklah kalian semua berdoa, wahai hamba-hamba Allah.” (HR. Al-Hakim, 1:493 dalam Al-Mustadrak) Masih dalam kitab yang sama, yaitu dari Tsauban, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَرُدُّ القَدَرَ اِلاَّ الدُّعَاءُ وَلاَ يَزِيْدُ فِي العُمْرِ اِلاَّ البِِرّ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa. Tidak ada yang bisa menambah usia kecuali kebajikan. Sungguh, seseorang benar-benar akan terhalang dari rezekinya karena doa yang telah ia kerjakan.” (HR. Al-Mustadrak, 1:493) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 15-17.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Senin pagi, 4 Dzulqa’dah 1445 H, 13 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Doa itu Senjata Orang Mukmin, Penjelasan Doa vs Musibah, Kapan Bisa Menang?

Doa itu senjata orang mukmin. Namun, senjata itu bisa kuat, bisa juga lemah.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. Doa adalah senjata orang mukmin. Disebutkan dalam Al-Mustadrak Al-Hakim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan doa kalian terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” [HR. Al-Hakim, 1:493] Berdasarkan hadits di atas, doa adalah obat penawar yang memberikan manfaat dan menghilangkan penyakit. Namun, kelalaian hati dari mengingat Allah dan mengonsumsi makanan haram akan melemahkan sekaligus melenyapkan kekuatan doa.  Penjelasan tersebut senada dengan riwayat dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَيَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتٍ مَارَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَهُ اِلَى السَّمَاءِ يَارَبِّ يَارَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ “Wahai manusia, sungguh Allah itu baik dan tidak akan menerima, kecuali hal yang baik. Sungguh, Allah juga telah memerintahkan kaum mukminin dengan perkara yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman: “Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mukminun: 51). Allah juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian beliau menceritakan tentang seorang laki-laki yang tengah mengadakan perjalanan panjang, rambutnya kusut, tubuhnya berdebu, dan ia menengadahkan tangan ke langit sambil berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku! Namun, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dibesarkan dengan hal-hal yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya akan terkabul?” (HR. Muslim, no. 1015) وَذَكرَ عَبْدُ اللهِ بْنِ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيْهِ أَصَابَ بَنِي إِسْرَائِيْلَ بَلاَءٌ فَخَرَجُوا مَخْرَجًا فَأَوْحَى اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ اِلَى نَبِيِّهِمْ أَنْ أَخْبَرَهُمْ إِنَّكُمْ تَخْرُجُوْنَ اِلَى الصَّعِيْدِ باَبْدَانٍ نَجَسَةٍ وَتَرْفَعُوْنَ اِلَيَّ أُكُفًّا قَدْ سَفَكْتُمْ بِهَا الدِّمَاء وَمَلَأْتُمْ بِهَا بُيُوْتَكُمْ مِنَ الحَرَامِ الآنَ حِيْنَ اشْتَدَّ غَضَبِي عَلَيْكُمْ وَلَنْ تَزْدَادُوْا مِنِّي اِلاَّبُعْدًا Abdullah bin Imam Ahmad menyebutkan dalam kitab Az-Zuhd karya ayahnya, “Dahulu Bani Israil pernah ditimpa bencana sehingga mereka pun keluar ke suatu tempat untuk berdoa. Kemudian, Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk mengabarkan kepada mereka, “Sungguh kalian keluar ke dataran tinggi ini dengan badan yang najis. Kalian menengadahkan tangan-tangan kalian kepada-Ku, padahal ia berlumuran darah dan dengannya kalian penuhi rumah-rumah dengan barang-barang yang haram. Apakah kalian sekarang memohon pada saat murka-Ku kepada kalian telah bertambah? Kalian hanyalah akan semakin menjauh dari-Ku.” وَقَالَ اَبُو ذَرٍّ يَكْفِى مِنَ الدُّعَاءِ مَعَ البِرِّ مَا يَكْفِى الطَّعَامَ مِنَ المِلْحِ Abu Dzarr berkata, “Cukuplah doa itu bisa diterima jika disertai dengan kebaikan, yakni layaknya sejumput garam yang mencukupi sejumlah makanan.”   Ingat, Doa adalah Senjata Orang Mukmin والدُّعَاءُ مِنْ أَنْفَعِ الأَدْوِيَّةِ وَهُوَ عَدُوُّ البَلَأِ يُدَافُعُهُ وَيُعَالِجُهُ وَيَمْنَعُ  نُزُوْلَهُ وَيَرْفَعُهُ أَوْ يُخَفِّفُهُ إِذَا نَزَلَ وَهُوَ سِلاَحُ المُؤْمِنِ Doa adalah obat yang amat bermanfaat dan musuh bagi bencana. Doa itu bisa: memerangi mengobati mencegah menghilangkan meringankan musibah yang menimpa. Itulah kenapa doa itu disebut senjata orang mukmin. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Shahih-nya, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الدُّعَاءُ سِلاَحُ المُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّيْنِ وَنُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ “Doa adalah senjata kaum mukminin dan merupakan tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.” وَلَهُ مَعَ البَلاَءِ ثَلاَثُ مَقَامَاتٍ أَحَدُهَا أَمْ يَكُوْنُ أَقْوَي مِنَ البَلاَءِ فَيَدْفَعُهُ الثَّانِي أَنْ يَكُوْنَ أَضْعَفَ مِنَ البَلاَءِ فَيَقْوَى عَلَيْهِ البَلاَءَ فَيُصَابُ بِِهِ العَبْدُ وَلَكِنْ قَدْ يُخَفِّفُهُ وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا الثَّالِثُ أَنْ يَتَقَاوَمَا وَيَمْنَعُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبُهُ Ketika bersanding dengan musibah, doa mempunya tiga kondisi sebagai berikut. Doa itu lebih kuat daripada musibah. Maka dari itu, doa mampu mencegah terjadinya musibah. Doa itu lebih lemah daripada musibah. Akibatnya, doa itu terkalahkan sehingga musibah pun menimpa orang yang bersangkutan. Namun, doa bisa meringankan musibah tersebut meski hanya sedikit. Doa dan musibah sama-sama kuat, maka akan saling menyerang dan mengalahkan. Al-Hakim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يُغْنِى حَذَرٌ مِنْ قَدَرٍ وَالدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ وَإِنَّ البَلاَءَ لَيَنْزِلُ فَيْلَقَاهُ الدُّعَاءُ فَيَعْتَلِجَانِ اِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ “Sikap waspada tidak mampu menolak takdir. Doa memberikan manfaat kepada hal-hal yang telah terjadi dan yang belum terjadi. Pada saat musibah turun, doa segera menghadapinya. Keduanya saling bertarung hingga tiba hari kiamat.” (HR. Al-Hakim, 1:492) Disebutkan juga dalam kitab yang sama, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللهِ بِالدُّعَاءِ “Doa akan memberikan manfaat terhadap apa yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Maka hendaklah kalian semua berdoa, wahai hamba-hamba Allah.” (HR. Al-Hakim, 1:493 dalam Al-Mustadrak) Masih dalam kitab yang sama, yaitu dari Tsauban, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَرُدُّ القَدَرَ اِلاَّ الدُّعَاءُ وَلاَ يَزِيْدُ فِي العُمْرِ اِلاَّ البِِرّ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa. Tidak ada yang bisa menambah usia kecuali kebajikan. Sungguh, seseorang benar-benar akan terhalang dari rezekinya karena doa yang telah ia kerjakan.” (HR. Al-Mustadrak, 1:493) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 15-17.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Senin pagi, 4 Dzulqa’dah 1445 H, 13 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup
Doa itu senjata orang mukmin. Namun, senjata itu bisa kuat, bisa juga lemah.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. Doa adalah senjata orang mukmin. Disebutkan dalam Al-Mustadrak Al-Hakim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan doa kalian terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” [HR. Al-Hakim, 1:493] Berdasarkan hadits di atas, doa adalah obat penawar yang memberikan manfaat dan menghilangkan penyakit. Namun, kelalaian hati dari mengingat Allah dan mengonsumsi makanan haram akan melemahkan sekaligus melenyapkan kekuatan doa.  Penjelasan tersebut senada dengan riwayat dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَيَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتٍ مَارَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَهُ اِلَى السَّمَاءِ يَارَبِّ يَارَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ “Wahai manusia, sungguh Allah itu baik dan tidak akan menerima, kecuali hal yang baik. Sungguh, Allah juga telah memerintahkan kaum mukminin dengan perkara yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman: “Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mukminun: 51). Allah juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian beliau menceritakan tentang seorang laki-laki yang tengah mengadakan perjalanan panjang, rambutnya kusut, tubuhnya berdebu, dan ia menengadahkan tangan ke langit sambil berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku! Namun, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dibesarkan dengan hal-hal yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya akan terkabul?” (HR. Muslim, no. 1015) وَذَكرَ عَبْدُ اللهِ بْنِ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيْهِ أَصَابَ بَنِي إِسْرَائِيْلَ بَلاَءٌ فَخَرَجُوا مَخْرَجًا فَأَوْحَى اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ اِلَى نَبِيِّهِمْ أَنْ أَخْبَرَهُمْ إِنَّكُمْ تَخْرُجُوْنَ اِلَى الصَّعِيْدِ باَبْدَانٍ نَجَسَةٍ وَتَرْفَعُوْنَ اِلَيَّ أُكُفًّا قَدْ سَفَكْتُمْ بِهَا الدِّمَاء وَمَلَأْتُمْ بِهَا بُيُوْتَكُمْ مِنَ الحَرَامِ الآنَ حِيْنَ اشْتَدَّ غَضَبِي عَلَيْكُمْ وَلَنْ تَزْدَادُوْا مِنِّي اِلاَّبُعْدًا Abdullah bin Imam Ahmad menyebutkan dalam kitab Az-Zuhd karya ayahnya, “Dahulu Bani Israil pernah ditimpa bencana sehingga mereka pun keluar ke suatu tempat untuk berdoa. Kemudian, Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk mengabarkan kepada mereka, “Sungguh kalian keluar ke dataran tinggi ini dengan badan yang najis. Kalian menengadahkan tangan-tangan kalian kepada-Ku, padahal ia berlumuran darah dan dengannya kalian penuhi rumah-rumah dengan barang-barang yang haram. Apakah kalian sekarang memohon pada saat murka-Ku kepada kalian telah bertambah? Kalian hanyalah akan semakin menjauh dari-Ku.” وَقَالَ اَبُو ذَرٍّ يَكْفِى مِنَ الدُّعَاءِ مَعَ البِرِّ مَا يَكْفِى الطَّعَامَ مِنَ المِلْحِ Abu Dzarr berkata, “Cukuplah doa itu bisa diterima jika disertai dengan kebaikan, yakni layaknya sejumput garam yang mencukupi sejumlah makanan.”   Ingat, Doa adalah Senjata Orang Mukmin والدُّعَاءُ مِنْ أَنْفَعِ الأَدْوِيَّةِ وَهُوَ عَدُوُّ البَلَأِ يُدَافُعُهُ وَيُعَالِجُهُ وَيَمْنَعُ  نُزُوْلَهُ وَيَرْفَعُهُ أَوْ يُخَفِّفُهُ إِذَا نَزَلَ وَهُوَ سِلاَحُ المُؤْمِنِ Doa adalah obat yang amat bermanfaat dan musuh bagi bencana. Doa itu bisa: memerangi mengobati mencegah menghilangkan meringankan musibah yang menimpa. Itulah kenapa doa itu disebut senjata orang mukmin. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Shahih-nya, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الدُّعَاءُ سِلاَحُ المُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّيْنِ وَنُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ “Doa adalah senjata kaum mukminin dan merupakan tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.” وَلَهُ مَعَ البَلاَءِ ثَلاَثُ مَقَامَاتٍ أَحَدُهَا أَمْ يَكُوْنُ أَقْوَي مِنَ البَلاَءِ فَيَدْفَعُهُ الثَّانِي أَنْ يَكُوْنَ أَضْعَفَ مِنَ البَلاَءِ فَيَقْوَى عَلَيْهِ البَلاَءَ فَيُصَابُ بِِهِ العَبْدُ وَلَكِنْ قَدْ يُخَفِّفُهُ وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا الثَّالِثُ أَنْ يَتَقَاوَمَا وَيَمْنَعُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبُهُ Ketika bersanding dengan musibah, doa mempunya tiga kondisi sebagai berikut. Doa itu lebih kuat daripada musibah. Maka dari itu, doa mampu mencegah terjadinya musibah. Doa itu lebih lemah daripada musibah. Akibatnya, doa itu terkalahkan sehingga musibah pun menimpa orang yang bersangkutan. Namun, doa bisa meringankan musibah tersebut meski hanya sedikit. Doa dan musibah sama-sama kuat, maka akan saling menyerang dan mengalahkan. Al-Hakim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يُغْنِى حَذَرٌ مِنْ قَدَرٍ وَالدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ وَإِنَّ البَلاَءَ لَيَنْزِلُ فَيْلَقَاهُ الدُّعَاءُ فَيَعْتَلِجَانِ اِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ “Sikap waspada tidak mampu menolak takdir. Doa memberikan manfaat kepada hal-hal yang telah terjadi dan yang belum terjadi. Pada saat musibah turun, doa segera menghadapinya. Keduanya saling bertarung hingga tiba hari kiamat.” (HR. Al-Hakim, 1:492) Disebutkan juga dalam kitab yang sama, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللهِ بِالدُّعَاءِ “Doa akan memberikan manfaat terhadap apa yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Maka hendaklah kalian semua berdoa, wahai hamba-hamba Allah.” (HR. Al-Hakim, 1:493 dalam Al-Mustadrak) Masih dalam kitab yang sama, yaitu dari Tsauban, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَرُدُّ القَدَرَ اِلاَّ الدُّعَاءُ وَلاَ يَزِيْدُ فِي العُمْرِ اِلاَّ البِِرّ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa. Tidak ada yang bisa menambah usia kecuali kebajikan. Sungguh, seseorang benar-benar akan terhalang dari rezekinya karena doa yang telah ia kerjakan.” (HR. Al-Mustadrak, 1:493) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 15-17.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Senin pagi, 4 Dzulqa’dah 1445 H, 13 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup


Doa itu senjata orang mukmin. Namun, senjata itu bisa kuat, bisa juga lemah.   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. Doa adalah senjata orang mukmin. Disebutkan dalam Al-Mustadrak Al-Hakim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan doa kalian terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” [HR. Al-Hakim, 1:493] Berdasarkan hadits di atas, doa adalah obat penawar yang memberikan manfaat dan menghilangkan penyakit. Namun, kelalaian hati dari mengingat Allah dan mengonsumsi makanan haram akan melemahkan sekaligus melenyapkan kekuatan doa.  Penjelasan tersebut senada dengan riwayat dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَيَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتٍ مَارَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَهُ اِلَى السَّمَاءِ يَارَبِّ يَارَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ “Wahai manusia, sungguh Allah itu baik dan tidak akan menerima, kecuali hal yang baik. Sungguh, Allah juga telah memerintahkan kaum mukminin dengan perkara yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman: “Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mukminun: 51). Allah juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian beliau menceritakan tentang seorang laki-laki yang tengah mengadakan perjalanan panjang, rambutnya kusut, tubuhnya berdebu, dan ia menengadahkan tangan ke langit sambil berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku! Namun, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dibesarkan dengan hal-hal yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya akan terkabul?” (HR. Muslim, no. 1015) وَذَكرَ عَبْدُ اللهِ بْنِ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيْهِ أَصَابَ بَنِي إِسْرَائِيْلَ بَلاَءٌ فَخَرَجُوا مَخْرَجًا فَأَوْحَى اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ اِلَى نَبِيِّهِمْ أَنْ أَخْبَرَهُمْ إِنَّكُمْ تَخْرُجُوْنَ اِلَى الصَّعِيْدِ باَبْدَانٍ نَجَسَةٍ وَتَرْفَعُوْنَ اِلَيَّ أُكُفًّا قَدْ سَفَكْتُمْ بِهَا الدِّمَاء وَمَلَأْتُمْ بِهَا بُيُوْتَكُمْ مِنَ الحَرَامِ الآنَ حِيْنَ اشْتَدَّ غَضَبِي عَلَيْكُمْ وَلَنْ تَزْدَادُوْا مِنِّي اِلاَّبُعْدًا Abdullah bin Imam Ahmad menyebutkan dalam kitab Az-Zuhd karya ayahnya, “Dahulu Bani Israil pernah ditimpa bencana sehingga mereka pun keluar ke suatu tempat untuk berdoa. Kemudian, Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk mengabarkan kepada mereka, “Sungguh kalian keluar ke dataran tinggi ini dengan badan yang najis. Kalian menengadahkan tangan-tangan kalian kepada-Ku, padahal ia berlumuran darah dan dengannya kalian penuhi rumah-rumah dengan barang-barang yang haram. Apakah kalian sekarang memohon pada saat murka-Ku kepada kalian telah bertambah? Kalian hanyalah akan semakin menjauh dari-Ku.” وَقَالَ اَبُو ذَرٍّ يَكْفِى مِنَ الدُّعَاءِ مَعَ البِرِّ مَا يَكْفِى الطَّعَامَ مِنَ المِلْحِ Abu Dzarr berkata, “Cukuplah doa itu bisa diterima jika disertai dengan kebaikan, yakni layaknya sejumput garam yang mencukupi sejumlah makanan.”   Ingat, Doa adalah Senjata Orang Mukmin والدُّعَاءُ مِنْ أَنْفَعِ الأَدْوِيَّةِ وَهُوَ عَدُوُّ البَلَأِ يُدَافُعُهُ وَيُعَالِجُهُ وَيَمْنَعُ  نُزُوْلَهُ وَيَرْفَعُهُ أَوْ يُخَفِّفُهُ إِذَا نَزَلَ وَهُوَ سِلاَحُ المُؤْمِنِ Doa adalah obat yang amat bermanfaat dan musuh bagi bencana. Doa itu bisa: memerangi mengobati mencegah menghilangkan meringankan musibah yang menimpa. Itulah kenapa doa itu disebut senjata orang mukmin. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Shahih-nya, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الدُّعَاءُ سِلاَحُ المُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّيْنِ وَنُوْرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ “Doa adalah senjata kaum mukminin dan merupakan tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.” وَلَهُ مَعَ البَلاَءِ ثَلاَثُ مَقَامَاتٍ أَحَدُهَا أَمْ يَكُوْنُ أَقْوَي مِنَ البَلاَءِ فَيَدْفَعُهُ الثَّانِي أَنْ يَكُوْنَ أَضْعَفَ مِنَ البَلاَءِ فَيَقْوَى عَلَيْهِ البَلاَءَ فَيُصَابُ بِِهِ العَبْدُ وَلَكِنْ قَدْ يُخَفِّفُهُ وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا الثَّالِثُ أَنْ يَتَقَاوَمَا وَيَمْنَعُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبُهُ Ketika bersanding dengan musibah, doa mempunya tiga kondisi sebagai berikut. Doa itu lebih kuat daripada musibah. Maka dari itu, doa mampu mencegah terjadinya musibah. Doa itu lebih lemah daripada musibah. Akibatnya, doa itu terkalahkan sehingga musibah pun menimpa orang yang bersangkutan. Namun, doa bisa meringankan musibah tersebut meski hanya sedikit. Doa dan musibah sama-sama kuat, maka akan saling menyerang dan mengalahkan. Al-Hakim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يُغْنِى حَذَرٌ مِنْ قَدَرٍ وَالدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ وَإِنَّ البَلاَءَ لَيَنْزِلُ فَيْلَقَاهُ الدُّعَاءُ فَيَعْتَلِجَانِ اِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ “Sikap waspada tidak mampu menolak takdir. Doa memberikan manfaat kepada hal-hal yang telah terjadi dan yang belum terjadi. Pada saat musibah turun, doa segera menghadapinya. Keduanya saling bertarung hingga tiba hari kiamat.” (HR. Al-Hakim, 1:492) Disebutkan juga dalam kitab yang sama, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللهِ بِالدُّعَاءِ “Doa akan memberikan manfaat terhadap apa yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Maka hendaklah kalian semua berdoa, wahai hamba-hamba Allah.” (HR. Al-Hakim, 1:493 dalam Al-Mustadrak) Masih dalam kitab yang sama, yaitu dari Tsauban, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَرُدُّ القَدَرَ اِلاَّ الدُّعَاءُ وَلاَ يَزِيْدُ فِي العُمْرِ اِلاَّ البِِرّ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa. Tidak ada yang bisa menambah usia kecuali kebajikan. Sungguh, seseorang benar-benar akan terhalang dari rezekinya karena doa yang telah ia kerjakan.” (HR. Al-Mustadrak, 1:493) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 15-17.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Senin pagi, 4 Dzulqa’dah 1445 H, 13 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsal jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid

Tauhid merupakan nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada seorang hamba. Di awal surah an-Nahl yang juga dinamakan dengan surah an-Ni’am (berbagai kenikmatan), Allah Ta’ala berfirman, يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (QS. An-Nahl: 2) Inilah kenikmatan pertama yang disebutkan dalam surah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa taufik untuk bertauhid merupakan kenikmatan terbesar yang dianugerahkan oleh Allah kepada seorang hamba. Sufyan bin Uyainah rahimahullah menyatakan, مَا أنْعَمَ الله على العِبادِ نِعْمَةً أعْظَمَ من أنْ عرّفَهُم لا إلَهَ إلّا الله “Tidak ada kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada hamba melebihi anugerah makrifat (ilmu) terhadap esensi kalimat tauhid laa ilaha illallah.” (Lihat Kalimat al-Ikhlas, hal. 53; karya Ibnu Rajab) Hati merupakan hunian (tempat tinggal) bagi tauhid, mahabbah (rasa cinta), dan keimanan. Cahaya tauhid akan menyucikan hati, karena tauhid yang terpatri di dalam hati mengandung pengingkaran terhadap penyembahan yang batil kepada selain Allah dan penetapan adanya penyembahan yang hak (benar) hanya kepada Allah saja. Inilah intisari dan esensi dari kalimat tauhid “laa ilaha illallah” serta merupakan perkara terbaik yang diperoleh dan dicapai oleh hati dan jiwa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, قِيلَ يا رَسولَ اللَّهِ مَن أسْعَدُ النَّاسِ بشَفَاعَتِكَ يَومَ القِيَامَةِ؟ قالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لقَدْ ظَنَنْتُ يا أبَا هُرَيْرَةَ أنْ لا يَسْأَلُنِي عن هذا الحَديثِ أحَدٌ أوَّلُ مِنْكَ لِما رَأَيْتُ مِن حِرْصِكَ علَى الحَديثِ أسْعَدُ النَّاسِ بشَفَاعَتي يَومَ القِيَامَةِ، مَن قالَ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِن قَلْبِهِ، أوْ نَفْسِهِ “Terdapat satu pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini. Karena aku melihat Engkau sangat tertarik terhadap hadis. Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallah” dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari no. 99) Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Setiap orang yang meninggal dan bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari hati, niscaya dia masuk surga.” (HR. Ahmad no. 22003, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 2278) Tauhid inilah yang menjadi tujuan utama penciptaan makhluk dan menjadi misi utama diutusnya para rasul, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُۗ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.” Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl:36) Baca juga: Antara Tauhid dan Talbiyah Keberadaan tauhid akan menjadikan hati mampu hidup dengan kehidupan yang hakiki. Sebaliknya, tanpa tauhid, hati akan “hidup” layaknya binatang ternak. Allah Ta’ala berfirman, أِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44) Oleh karena itu, seorang yang tidak bertauhid itu seperti seonggok mayat, meskipun ia hidup dan berjalan di atas muka bumi. Sedangkan seorang yang bertauhid akan menjalani hidup dengan kehidupan yang hakiki. Allah Ta’ala berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْۖ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfal: 24) Keamanan dalam negara, ketenteraman, dan kebahagiaan bagi manusia juga terwujud dengan keberadaan tauhid. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Allah Ta’ala juga berfirman, وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًاۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًاۚ “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” (QS. An-Nur: 55) Kebahagiaan, ketenangan, dan ketenteraman jiwa pun terwujud dengan keberadaan tauhid. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةًۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Setiap orang yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Allah Ta’ala berfirman, فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ ؛ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ “Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 123-124) Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk mentauhidkan-Nya, melakukan setiap amal perbuatan yang dicintai dan diridai-Nya. Semoga Allah menghimpun hati kita di atas agama yang Dia ridai dan agama yang dibawa oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri” @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 18; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: hatitauhid

Kondisi Hati yang Dihuni oleh Tauhid

Tauhid merupakan nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada seorang hamba. Di awal surah an-Nahl yang juga dinamakan dengan surah an-Ni’am (berbagai kenikmatan), Allah Ta’ala berfirman, يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (QS. An-Nahl: 2) Inilah kenikmatan pertama yang disebutkan dalam surah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa taufik untuk bertauhid merupakan kenikmatan terbesar yang dianugerahkan oleh Allah kepada seorang hamba. Sufyan bin Uyainah rahimahullah menyatakan, مَا أنْعَمَ الله على العِبادِ نِعْمَةً أعْظَمَ من أنْ عرّفَهُم لا إلَهَ إلّا الله “Tidak ada kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada hamba melebihi anugerah makrifat (ilmu) terhadap esensi kalimat tauhid laa ilaha illallah.” (Lihat Kalimat al-Ikhlas, hal. 53; karya Ibnu Rajab) Hati merupakan hunian (tempat tinggal) bagi tauhid, mahabbah (rasa cinta), dan keimanan. Cahaya tauhid akan menyucikan hati, karena tauhid yang terpatri di dalam hati mengandung pengingkaran terhadap penyembahan yang batil kepada selain Allah dan penetapan adanya penyembahan yang hak (benar) hanya kepada Allah saja. Inilah intisari dan esensi dari kalimat tauhid “laa ilaha illallah” serta merupakan perkara terbaik yang diperoleh dan dicapai oleh hati dan jiwa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, قِيلَ يا رَسولَ اللَّهِ مَن أسْعَدُ النَّاسِ بشَفَاعَتِكَ يَومَ القِيَامَةِ؟ قالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لقَدْ ظَنَنْتُ يا أبَا هُرَيْرَةَ أنْ لا يَسْأَلُنِي عن هذا الحَديثِ أحَدٌ أوَّلُ مِنْكَ لِما رَأَيْتُ مِن حِرْصِكَ علَى الحَديثِ أسْعَدُ النَّاسِ بشَفَاعَتي يَومَ القِيَامَةِ، مَن قالَ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِن قَلْبِهِ، أوْ نَفْسِهِ “Terdapat satu pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini. Karena aku melihat Engkau sangat tertarik terhadap hadis. Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallah” dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari no. 99) Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Setiap orang yang meninggal dan bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari hati, niscaya dia masuk surga.” (HR. Ahmad no. 22003, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 2278) Tauhid inilah yang menjadi tujuan utama penciptaan makhluk dan menjadi misi utama diutusnya para rasul, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُۗ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.” Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl:36) Baca juga: Antara Tauhid dan Talbiyah Keberadaan tauhid akan menjadikan hati mampu hidup dengan kehidupan yang hakiki. Sebaliknya, tanpa tauhid, hati akan “hidup” layaknya binatang ternak. Allah Ta’ala berfirman, أِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44) Oleh karena itu, seorang yang tidak bertauhid itu seperti seonggok mayat, meskipun ia hidup dan berjalan di atas muka bumi. Sedangkan seorang yang bertauhid akan menjalani hidup dengan kehidupan yang hakiki. Allah Ta’ala berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْۖ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfal: 24) Keamanan dalam negara, ketenteraman, dan kebahagiaan bagi manusia juga terwujud dengan keberadaan tauhid. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Allah Ta’ala juga berfirman, وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًاۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًاۚ “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” (QS. An-Nur: 55) Kebahagiaan, ketenangan, dan ketenteraman jiwa pun terwujud dengan keberadaan tauhid. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةًۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Setiap orang yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Allah Ta’ala berfirman, فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ ؛ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ “Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 123-124) Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk mentauhidkan-Nya, melakukan setiap amal perbuatan yang dicintai dan diridai-Nya. Semoga Allah menghimpun hati kita di atas agama yang Dia ridai dan agama yang dibawa oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri” @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 18; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: hatitauhid
Tauhid merupakan nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada seorang hamba. Di awal surah an-Nahl yang juga dinamakan dengan surah an-Ni’am (berbagai kenikmatan), Allah Ta’ala berfirman, يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (QS. An-Nahl: 2) Inilah kenikmatan pertama yang disebutkan dalam surah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa taufik untuk bertauhid merupakan kenikmatan terbesar yang dianugerahkan oleh Allah kepada seorang hamba. Sufyan bin Uyainah rahimahullah menyatakan, مَا أنْعَمَ الله على العِبادِ نِعْمَةً أعْظَمَ من أنْ عرّفَهُم لا إلَهَ إلّا الله “Tidak ada kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada hamba melebihi anugerah makrifat (ilmu) terhadap esensi kalimat tauhid laa ilaha illallah.” (Lihat Kalimat al-Ikhlas, hal. 53; karya Ibnu Rajab) Hati merupakan hunian (tempat tinggal) bagi tauhid, mahabbah (rasa cinta), dan keimanan. Cahaya tauhid akan menyucikan hati, karena tauhid yang terpatri di dalam hati mengandung pengingkaran terhadap penyembahan yang batil kepada selain Allah dan penetapan adanya penyembahan yang hak (benar) hanya kepada Allah saja. Inilah intisari dan esensi dari kalimat tauhid “laa ilaha illallah” serta merupakan perkara terbaik yang diperoleh dan dicapai oleh hati dan jiwa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, قِيلَ يا رَسولَ اللَّهِ مَن أسْعَدُ النَّاسِ بشَفَاعَتِكَ يَومَ القِيَامَةِ؟ قالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لقَدْ ظَنَنْتُ يا أبَا هُرَيْرَةَ أنْ لا يَسْأَلُنِي عن هذا الحَديثِ أحَدٌ أوَّلُ مِنْكَ لِما رَأَيْتُ مِن حِرْصِكَ علَى الحَديثِ أسْعَدُ النَّاسِ بشَفَاعَتي يَومَ القِيَامَةِ، مَن قالَ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِن قَلْبِهِ، أوْ نَفْسِهِ “Terdapat satu pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini. Karena aku melihat Engkau sangat tertarik terhadap hadis. Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallah” dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari no. 99) Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Setiap orang yang meninggal dan bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari hati, niscaya dia masuk surga.” (HR. Ahmad no. 22003, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 2278) Tauhid inilah yang menjadi tujuan utama penciptaan makhluk dan menjadi misi utama diutusnya para rasul, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُۗ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.” Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl:36) Baca juga: Antara Tauhid dan Talbiyah Keberadaan tauhid akan menjadikan hati mampu hidup dengan kehidupan yang hakiki. Sebaliknya, tanpa tauhid, hati akan “hidup” layaknya binatang ternak. Allah Ta’ala berfirman, أِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44) Oleh karena itu, seorang yang tidak bertauhid itu seperti seonggok mayat, meskipun ia hidup dan berjalan di atas muka bumi. Sedangkan seorang yang bertauhid akan menjalani hidup dengan kehidupan yang hakiki. Allah Ta’ala berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْۖ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfal: 24) Keamanan dalam negara, ketenteraman, dan kebahagiaan bagi manusia juga terwujud dengan keberadaan tauhid. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Allah Ta’ala juga berfirman, وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًاۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًاۚ “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” (QS. An-Nur: 55) Kebahagiaan, ketenangan, dan ketenteraman jiwa pun terwujud dengan keberadaan tauhid. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةًۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Setiap orang yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Allah Ta’ala berfirman, فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ ؛ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ “Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 123-124) Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk mentauhidkan-Nya, melakukan setiap amal perbuatan yang dicintai dan diridai-Nya. Semoga Allah menghimpun hati kita di atas agama yang Dia ridai dan agama yang dibawa oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri” @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 18; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: hatitauhid


Tauhid merupakan nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada seorang hamba. Di awal surah an-Nahl yang juga dinamakan dengan surah an-Ni’am (berbagai kenikmatan), Allah Ta’ala berfirman, يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (QS. An-Nahl: 2) Inilah kenikmatan pertama yang disebutkan dalam surah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa taufik untuk bertauhid merupakan kenikmatan terbesar yang dianugerahkan oleh Allah kepada seorang hamba. Sufyan bin Uyainah rahimahullah menyatakan, مَا أنْعَمَ الله على العِبادِ نِعْمَةً أعْظَمَ من أنْ عرّفَهُم لا إلَهَ إلّا الله “Tidak ada kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada hamba melebihi anugerah makrifat (ilmu) terhadap esensi kalimat tauhid laa ilaha illallah.” (Lihat Kalimat al-Ikhlas, hal. 53; karya Ibnu Rajab) Hati merupakan hunian (tempat tinggal) bagi tauhid, mahabbah (rasa cinta), dan keimanan. Cahaya tauhid akan menyucikan hati, karena tauhid yang terpatri di dalam hati mengandung pengingkaran terhadap penyembahan yang batil kepada selain Allah dan penetapan adanya penyembahan yang hak (benar) hanya kepada Allah saja. Inilah intisari dan esensi dari kalimat tauhid “laa ilaha illallah” serta merupakan perkara terbaik yang diperoleh dan dicapai oleh hati dan jiwa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, قِيلَ يا رَسولَ اللَّهِ مَن أسْعَدُ النَّاسِ بشَفَاعَتِكَ يَومَ القِيَامَةِ؟ قالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لقَدْ ظَنَنْتُ يا أبَا هُرَيْرَةَ أنْ لا يَسْأَلُنِي عن هذا الحَديثِ أحَدٌ أوَّلُ مِنْكَ لِما رَأَيْتُ مِن حِرْصِكَ علَى الحَديثِ أسْعَدُ النَّاسِ بشَفَاعَتي يَومَ القِيَامَةِ، مَن قالَ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِن قَلْبِهِ، أوْ نَفْسِهِ “Terdapat satu pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini. Karena aku melihat Engkau sangat tertarik terhadap hadis. Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallah” dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari no. 99) Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Setiap orang yang meninggal dan bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari hati, niscaya dia masuk surga.” (HR. Ahmad no. 22003, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 2278) Tauhid inilah yang menjadi tujuan utama penciptaan makhluk dan menjadi misi utama diutusnya para rasul, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala, وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُۗ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.” Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl:36) Baca juga: Antara Tauhid dan Talbiyah Keberadaan tauhid akan menjadikan hati mampu hidup dengan kehidupan yang hakiki. Sebaliknya, tanpa tauhid, hati akan “hidup” layaknya binatang ternak. Allah Ta’ala berfirman, أِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا “Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44) Oleh karena itu, seorang yang tidak bertauhid itu seperti seonggok mayat, meskipun ia hidup dan berjalan di atas muka bumi. Sedangkan seorang yang bertauhid akan menjalani hidup dengan kehidupan yang hakiki. Allah Ta’ala berfirman, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْۖ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfal: 24) Keamanan dalam negara, ketenteraman, dan kebahagiaan bagi manusia juga terwujud dengan keberadaan tauhid. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Allah Ta’ala juga berfirman, وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًاۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًاۚ “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” (QS. An-Nur: 55) Kebahagiaan, ketenangan, dan ketenteraman jiwa pun terwujud dengan keberadaan tauhid. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةًۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Setiap orang yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Allah Ta’ala berfirman, فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ ؛ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ “Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 123-124) Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk mentauhidkan-Nya, melakukan setiap amal perbuatan yang dicintai dan diridai-Nya. Semoga Allah menghimpun hati kita di atas agama yang Dia ridai dan agama yang dibawa oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid *** “Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri” @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 18; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: hatitauhid

6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #nasehatulama PERTANYAAN: Kapan waktu-waktu yang paling mustajab? Semoga Allah membalas Anda dengan sebaik-baik kebaikan. JAWABAN: Waktu-waktu yang mustajab ada banyak. Di antaranya: [PERTAMA] Sepertiga malam yang terakhir. [KEDUA]Antara azan dan iqamah. [KETIGA] Ketika sujud dalam salat. [KEEMPAT]Pada akhir salat sebelum salam. Semua ini adalah waktu-waktu yang mustajab. [KELIMA] Pada hari Jumat, antara azan dan akhir Salat Jumat. Yaitu antara azan kedua yang dikumandangkan saat khatib datang, hingga selesai Salat Jumat. Ini termasuk waktu yang mustajab. [KEENAM] Demikian juga waktu sore pada hari Jumat, yaitu setelah Asar hingga tenggelamnya matahari. Ini juga termasuk waktu yang mustajab. Disyariatkan juga bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan ketika berdoa untuk memfokuskan dan menghadirkan hati saat berdoa. Apabila dia dalam keadaan suci dan menghadap kiblat, maka doa itu lebih diharapkan untuk dikabulkan. Kita memohon taufik kepada Allah untuk kita semua. Hendaklah diketahui juga bahwa lalai saat berdoa adalah salah satu sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga kemaksiatan, termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga memakan harta riba dan harta haram lainnya, termasuk juga sebab tidak dikabulkannya doa. Maka wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk menjauhi setiap hal yang menghalangi dikabulkannya doa, seperti maksiat yang haram dilakukan, kemaksiatan-kemaksiatan dan lainnya yang merupakan sebab tidak dikabulkannya doa, berupa hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti riba, khianat terhadap amanah, dan penipuan dalam transaksi. Semua ini disebut dengan kemaksiatan. Maksudnya, segala jenis kemaksiatan termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan kezaliman terhadap orang lain seperti khianat dan penipuan maka itu lebih besar dosanya dan lebih berat dalam menghalangi terkabulnya doa. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Demikian. Jazakumullahu khairan. ==== مَا هِيَ أَرْجَى سَاعَاتِ الْإِجَابَة؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرَ الْجَزَاءِ سَاعَاتُ الْإِجَابَةِ مُتَعَدِّدَةٌ مِنْهَا الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ وَمِنْهَا مَا بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَمِنْهَا السُّجُودُ حَالَ السُّجُودِ وَمِنْهَا آخِرُ الصَّلَاةِ قَبْلَ السَّلَامِ كُلُّ هَذِهِ مِنْ سَاعَاتِ الْإِجَابَةِ وَمِنْهَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَنِهَايَةِ الصَّلَاةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ الْأَخِيْرِ الَّذِي عِنْدَ دُخُولِ الْخَطِيبِ إِلَى أَنْ تَنْتَهِيَ الصَّلَاةُ هَذَا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ آخِرَ النَّهَارِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ أَيْضًا سَاعَةُ إِجَابَةٍ وَيُشْرَعُ لِلْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ عِنْدَ الدُّعَاءِ إِقْبَالُ الْقَلْبِ عَلَى الدُّعَاءِ وَالْحُضُورِ بِالْقَلْبِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَإِذَا كَانَ عَلَى طَهَارَةٍ وَمُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ كَانَ ذَلِكَ أَرْجَى فِي قَبُولِ الدُّعَاءِ نَسْأَلُ اللهَ لِلْجَمِيعِ التَّوْفِيقَ وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الْغَفْلَةَ عِنْدَ الدُّعَاءِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ أَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ الْحَرَامِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ فَالْوَاجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ الْحَذَرُ مِنْ كُلِّ مَا يَمْنَعُ الْإِجَابَةَ مِنَ الْمَعَاصِي الْمُحَرَّمَةِ مِنَ الْمَعَاصِي وَغَيْرِهَا مِمَّا هُوَ سَبَبٌ لِعَدَمِ الْإِجَابَةِ مِمَّا حَرَّمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ كَالرِّبَا وَخِيَانَةِ الأَمَانَاتِ وَالْغِشِّ بِالْمُعَامَلَاتِ كُلُّ هَذَا يُسَمَّى المَعَاصِي الْمَقْصُودُ أَنَّ جِنْسَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ وَإِذَا كَانَتْ الْمَعْصِيَةُ تَتَعَلَّقُ بِظُلْمِ النَّاسِ كَخِيَانَةٍ وَغِشٍّ كَانَ ذَلِكَ أَشَدَّ فِي الإِثْمِ وَأَشَدَّ فِي حِرْمَانِ الْإِجَابَةِ نَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #nasehatulama PERTANYAAN: Kapan waktu-waktu yang paling mustajab? Semoga Allah membalas Anda dengan sebaik-baik kebaikan. JAWABAN: Waktu-waktu yang mustajab ada banyak. Di antaranya: [PERTAMA] Sepertiga malam yang terakhir. [KEDUA]Antara azan dan iqamah. [KETIGA] Ketika sujud dalam salat. [KEEMPAT]Pada akhir salat sebelum salam. Semua ini adalah waktu-waktu yang mustajab. [KELIMA] Pada hari Jumat, antara azan dan akhir Salat Jumat. Yaitu antara azan kedua yang dikumandangkan saat khatib datang, hingga selesai Salat Jumat. Ini termasuk waktu yang mustajab. [KEENAM] Demikian juga waktu sore pada hari Jumat, yaitu setelah Asar hingga tenggelamnya matahari. Ini juga termasuk waktu yang mustajab. Disyariatkan juga bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan ketika berdoa untuk memfokuskan dan menghadirkan hati saat berdoa. Apabila dia dalam keadaan suci dan menghadap kiblat, maka doa itu lebih diharapkan untuk dikabulkan. Kita memohon taufik kepada Allah untuk kita semua. Hendaklah diketahui juga bahwa lalai saat berdoa adalah salah satu sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga kemaksiatan, termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga memakan harta riba dan harta haram lainnya, termasuk juga sebab tidak dikabulkannya doa. Maka wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk menjauhi setiap hal yang menghalangi dikabulkannya doa, seperti maksiat yang haram dilakukan, kemaksiatan-kemaksiatan dan lainnya yang merupakan sebab tidak dikabulkannya doa, berupa hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti riba, khianat terhadap amanah, dan penipuan dalam transaksi. Semua ini disebut dengan kemaksiatan. Maksudnya, segala jenis kemaksiatan termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan kezaliman terhadap orang lain seperti khianat dan penipuan maka itu lebih besar dosanya dan lebih berat dalam menghalangi terkabulnya doa. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Demikian. Jazakumullahu khairan. ==== مَا هِيَ أَرْجَى سَاعَاتِ الْإِجَابَة؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرَ الْجَزَاءِ سَاعَاتُ الْإِجَابَةِ مُتَعَدِّدَةٌ مِنْهَا الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ وَمِنْهَا مَا بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَمِنْهَا السُّجُودُ حَالَ السُّجُودِ وَمِنْهَا آخِرُ الصَّلَاةِ قَبْلَ السَّلَامِ كُلُّ هَذِهِ مِنْ سَاعَاتِ الْإِجَابَةِ وَمِنْهَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَنِهَايَةِ الصَّلَاةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ الْأَخِيْرِ الَّذِي عِنْدَ دُخُولِ الْخَطِيبِ إِلَى أَنْ تَنْتَهِيَ الصَّلَاةُ هَذَا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ آخِرَ النَّهَارِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ أَيْضًا سَاعَةُ إِجَابَةٍ وَيُشْرَعُ لِلْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ عِنْدَ الدُّعَاءِ إِقْبَالُ الْقَلْبِ عَلَى الدُّعَاءِ وَالْحُضُورِ بِالْقَلْبِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَإِذَا كَانَ عَلَى طَهَارَةٍ وَمُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ كَانَ ذَلِكَ أَرْجَى فِي قَبُولِ الدُّعَاءِ نَسْأَلُ اللهَ لِلْجَمِيعِ التَّوْفِيقَ وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الْغَفْلَةَ عِنْدَ الدُّعَاءِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ أَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ الْحَرَامِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ فَالْوَاجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ الْحَذَرُ مِنْ كُلِّ مَا يَمْنَعُ الْإِجَابَةَ مِنَ الْمَعَاصِي الْمُحَرَّمَةِ مِنَ الْمَعَاصِي وَغَيْرِهَا مِمَّا هُوَ سَبَبٌ لِعَدَمِ الْإِجَابَةِ مِمَّا حَرَّمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ كَالرِّبَا وَخِيَانَةِ الأَمَانَاتِ وَالْغِشِّ بِالْمُعَامَلَاتِ كُلُّ هَذَا يُسَمَّى المَعَاصِي الْمَقْصُودُ أَنَّ جِنْسَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ وَإِذَا كَانَتْ الْمَعْصِيَةُ تَتَعَلَّقُ بِظُلْمِ النَّاسِ كَخِيَانَةٍ وَغِشٍّ كَانَ ذَلِكَ أَشَدَّ فِي الإِثْمِ وَأَشَدَّ فِي حِرْمَانِ الْإِجَابَةِ نَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا
6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #nasehatulama PERTANYAAN: Kapan waktu-waktu yang paling mustajab? Semoga Allah membalas Anda dengan sebaik-baik kebaikan. JAWABAN: Waktu-waktu yang mustajab ada banyak. Di antaranya: [PERTAMA] Sepertiga malam yang terakhir. [KEDUA]Antara azan dan iqamah. [KETIGA] Ketika sujud dalam salat. [KEEMPAT]Pada akhir salat sebelum salam. Semua ini adalah waktu-waktu yang mustajab. [KELIMA] Pada hari Jumat, antara azan dan akhir Salat Jumat. Yaitu antara azan kedua yang dikumandangkan saat khatib datang, hingga selesai Salat Jumat. Ini termasuk waktu yang mustajab. [KEENAM] Demikian juga waktu sore pada hari Jumat, yaitu setelah Asar hingga tenggelamnya matahari. Ini juga termasuk waktu yang mustajab. Disyariatkan juga bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan ketika berdoa untuk memfokuskan dan menghadirkan hati saat berdoa. Apabila dia dalam keadaan suci dan menghadap kiblat, maka doa itu lebih diharapkan untuk dikabulkan. Kita memohon taufik kepada Allah untuk kita semua. Hendaklah diketahui juga bahwa lalai saat berdoa adalah salah satu sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga kemaksiatan, termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga memakan harta riba dan harta haram lainnya, termasuk juga sebab tidak dikabulkannya doa. Maka wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk menjauhi setiap hal yang menghalangi dikabulkannya doa, seperti maksiat yang haram dilakukan, kemaksiatan-kemaksiatan dan lainnya yang merupakan sebab tidak dikabulkannya doa, berupa hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti riba, khianat terhadap amanah, dan penipuan dalam transaksi. Semua ini disebut dengan kemaksiatan. Maksudnya, segala jenis kemaksiatan termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan kezaliman terhadap orang lain seperti khianat dan penipuan maka itu lebih besar dosanya dan lebih berat dalam menghalangi terkabulnya doa. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Demikian. Jazakumullahu khairan. ==== مَا هِيَ أَرْجَى سَاعَاتِ الْإِجَابَة؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرَ الْجَزَاءِ سَاعَاتُ الْإِجَابَةِ مُتَعَدِّدَةٌ مِنْهَا الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ وَمِنْهَا مَا بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَمِنْهَا السُّجُودُ حَالَ السُّجُودِ وَمِنْهَا آخِرُ الصَّلَاةِ قَبْلَ السَّلَامِ كُلُّ هَذِهِ مِنْ سَاعَاتِ الْإِجَابَةِ وَمِنْهَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَنِهَايَةِ الصَّلَاةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ الْأَخِيْرِ الَّذِي عِنْدَ دُخُولِ الْخَطِيبِ إِلَى أَنْ تَنْتَهِيَ الصَّلَاةُ هَذَا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ آخِرَ النَّهَارِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ أَيْضًا سَاعَةُ إِجَابَةٍ وَيُشْرَعُ لِلْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ عِنْدَ الدُّعَاءِ إِقْبَالُ الْقَلْبِ عَلَى الدُّعَاءِ وَالْحُضُورِ بِالْقَلْبِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَإِذَا كَانَ عَلَى طَهَارَةٍ وَمُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ كَانَ ذَلِكَ أَرْجَى فِي قَبُولِ الدُّعَاءِ نَسْأَلُ اللهَ لِلْجَمِيعِ التَّوْفِيقَ وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الْغَفْلَةَ عِنْدَ الدُّعَاءِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ أَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ الْحَرَامِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ فَالْوَاجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ الْحَذَرُ مِنْ كُلِّ مَا يَمْنَعُ الْإِجَابَةَ مِنَ الْمَعَاصِي الْمُحَرَّمَةِ مِنَ الْمَعَاصِي وَغَيْرِهَا مِمَّا هُوَ سَبَبٌ لِعَدَمِ الْإِجَابَةِ مِمَّا حَرَّمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ كَالرِّبَا وَخِيَانَةِ الأَمَانَاتِ وَالْغِشِّ بِالْمُعَامَلَاتِ كُلُّ هَذَا يُسَمَّى المَعَاصِي الْمَقْصُودُ أَنَّ جِنْسَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ وَإِذَا كَانَتْ الْمَعْصِيَةُ تَتَعَلَّقُ بِظُلْمِ النَّاسِ كَخِيَانَةٍ وَغِشٍّ كَانَ ذَلِكَ أَشَدَّ فِي الإِثْمِ وَأَشَدَّ فِي حِرْمَانِ الْإِجَابَةِ نَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا


6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #nasehatulama PERTANYAAN: Kapan waktu-waktu yang paling mustajab? Semoga Allah membalas Anda dengan sebaik-baik kebaikan. JAWABAN: Waktu-waktu yang mustajab ada banyak. Di antaranya: [PERTAMA] Sepertiga malam yang terakhir. [KEDUA]Antara azan dan iqamah. [KETIGA] Ketika sujud dalam salat. [KEEMPAT]Pada akhir salat sebelum salam. Semua ini adalah waktu-waktu yang mustajab. [KELIMA] Pada hari Jumat, antara azan dan akhir Salat Jumat. Yaitu antara azan kedua yang dikumandangkan saat khatib datang, hingga selesai Salat Jumat. Ini termasuk waktu yang mustajab. [KEENAM] Demikian juga waktu sore pada hari Jumat, yaitu setelah Asar hingga tenggelamnya matahari. Ini juga termasuk waktu yang mustajab. Disyariatkan juga bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan ketika berdoa untuk memfokuskan dan menghadirkan hati saat berdoa. Apabila dia dalam keadaan suci dan menghadap kiblat, maka doa itu lebih diharapkan untuk dikabulkan. Kita memohon taufik kepada Allah untuk kita semua. Hendaklah diketahui juga bahwa lalai saat berdoa adalah salah satu sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga kemaksiatan, termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga memakan harta riba dan harta haram lainnya, termasuk juga sebab tidak dikabulkannya doa. Maka wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk menjauhi setiap hal yang menghalangi dikabulkannya doa, seperti maksiat yang haram dilakukan, kemaksiatan-kemaksiatan dan lainnya yang merupakan sebab tidak dikabulkannya doa, berupa hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti riba, khianat terhadap amanah, dan penipuan dalam transaksi. Semua ini disebut dengan kemaksiatan. Maksudnya, segala jenis kemaksiatan termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan kezaliman terhadap orang lain seperti khianat dan penipuan maka itu lebih besar dosanya dan lebih berat dalam menghalangi terkabulnya doa. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Demikian. Jazakumullahu khairan. ==== مَا هِيَ أَرْجَى سَاعَاتِ الْإِجَابَة؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرَ الْجَزَاءِ سَاعَاتُ الْإِجَابَةِ مُتَعَدِّدَةٌ مِنْهَا الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ وَمِنْهَا مَا بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَمِنْهَا السُّجُودُ حَالَ السُّجُودِ وَمِنْهَا آخِرُ الصَّلَاةِ قَبْلَ السَّلَامِ كُلُّ هَذِهِ مِنْ سَاعَاتِ الْإِجَابَةِ وَمِنْهَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَنِهَايَةِ الصَّلَاةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ الْأَخِيْرِ الَّذِي عِنْدَ دُخُولِ الْخَطِيبِ إِلَى أَنْ تَنْتَهِيَ الصَّلَاةُ هَذَا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ آخِرَ النَّهَارِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ أَيْضًا سَاعَةُ إِجَابَةٍ وَيُشْرَعُ لِلْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ عِنْدَ الدُّعَاءِ إِقْبَالُ الْقَلْبِ عَلَى الدُّعَاءِ وَالْحُضُورِ بِالْقَلْبِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَإِذَا كَانَ عَلَى طَهَارَةٍ وَمُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ كَانَ ذَلِكَ أَرْجَى فِي قَبُولِ الدُّعَاءِ نَسْأَلُ اللهَ لِلْجَمِيعِ التَّوْفِيقَ وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الْغَفْلَةَ عِنْدَ الدُّعَاءِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ أَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ الْحَرَامِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ فَالْوَاجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ الْحَذَرُ مِنْ كُلِّ مَا يَمْنَعُ الْإِجَابَةَ مِنَ الْمَعَاصِي الْمُحَرَّمَةِ مِنَ الْمَعَاصِي وَغَيْرِهَا مِمَّا هُوَ سَبَبٌ لِعَدَمِ الْإِجَابَةِ مِمَّا حَرَّمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ كَالرِّبَا وَخِيَانَةِ الأَمَانَاتِ وَالْغِشِّ بِالْمُعَامَلَاتِ كُلُّ هَذَا يُسَمَّى المَعَاصِي الْمَقْصُودُ أَنَّ جِنْسَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ وَإِذَا كَانَتْ الْمَعْصِيَةُ تَتَعَلَّقُ بِظُلْمِ النَّاسِ كَخِيَانَةٍ وَغِشٍّ كَانَ ذَلِكَ أَشَدَّ فِي الإِثْمِ وَأَشَدَّ فِي حِرْمَانِ الْإِجَابَةِ نَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

Hukum Khuluk dengan Syarat Melepaskan Hadanah

Hadanah adalah mendidik anak bagi orang yang memiliki hak di dalam mengasuh, memelihara, dan merawat anak [1]. Sederhananya, hadanah bisa diartikan sebagai hak asuh. Namun, ada perbedaan pandangan di dalam tinjauan atau pendekatan hukum fikih di dalam masalah hadanah. Yaitu, apakah ibu sang anak lebih berhak terhadap hadanah atau itu memang kewajiban atas sang ibu; atau hadanah adalah hak bersama antara ibu dan anak; atau hadanah adalah hak khusus yang dimiliki sang anak? Sebagaimana diketahui bahwa asalnya, sang ibulah yang berkewajiban di dalam hadanah terhadap anaknya baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka (ibu) lebih penyayang, lemah lembut, dan lebih terbimbing dalam membesarkan dan mendidik anak. Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini bahwasanya hadanah adalah hak anak. Sebab, kebutuhan anak akan pemeliharaan, penjagaan, pendidikan, dan segala yang berkaitan dengan urusannya. Sehingga keabsahan hadanah didasarkan atas tercapainya kepentingan dan maslahat anak, dan ini sesuai dengan esensi dan makna hadanah, bukan demi kepentingan dan maslahat orang yang berhak terhadap hadanah. Sehingga setiap orang yang paling mampu dan bisa mewujudkan maslahat, manfaat, dan pemeliharaan terhadap sang anak, maka dia paling berhak terhadap hadanah. Di atas, apabila hadanah adalah haknya anak, maka sang ibu harus menjalankan hadanah terhadap anaknya jika sang anak membutuhkannya. Sehingga jangan sampai menyia-nyiakan dan mengabaikan hak anak di dalam pemeliharaan, pengasuhan, pembimbingan, dan penjagaan. Maka, setiap syarat yang berdampak pada hilangnya atau berkurangnya kemaslahatan dan manfaat bagi anak kepada orang yang mampu mewujudkannya adalah syarat yang batil dan tidak sah. Apabila ada wanita meminta khuluk kepada suaminya, kemudian suaminya memberikan syarat dengan meninggalkan bayinya atau anaknya yang masih kecil, maka khuluknya sah, tetapi syaratnya fasid (rusak) dan batal, dan tidak wajib memenuhinya. Sebab, bila terbukti dan valid bahwa hadanah merupakan hak anak, maka baik suami maupun istri tidak berhak membatalkannya (hak anak) dengan syarat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Setiap syarat yang dibuat yang menyelisihi Kitabullah, maka itu batil, walaupun yang dibuat adalah seratus persyaratan.” [2] Yaitu, tidak ada di dalam Kitabullah yang membolehkannya atau mewajibkannya. Dan juga hadis, المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامً “Orang Islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” [3] Namun, berbeda kondisi apabila ibunya menikah lagi, maka dia tidak berhak atas hadanah. Sebab, dia akan disibukkan dengan mengurus dan melayani suami barunya, sehingga tidak bermanfaat dan maslahat keberadaan ibunya di sisi sang anak. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” [4] Karena adanya mani’ (penghalang), yaitu pernikahan, maka hadanah (hak asuh) dipercayakan kepada penerus berikutnya (setelah ibunya) untuk mencapai kepentingan dan maslahat anak. Dan hak asuh bisa kembali kepada ibunya apabila mani’-nya (penghalangnya) tersebut telah hilang. Hal ini sebagaimana kaidah fikih, إِذَا زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوعُ “Apabila penghalangnya telah hilang, maka kembali sediakala (yang sebelumnya) terlarang.” Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-159   Catatan kaki: [1] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (3: 555), Al-Mukhtashar Al-Fiqhiy (5: 49). [2] HR. Bukhari no. 2168 dan Muslim no. 1504. [3] HR. Tirmidzi no. 1352. [4] HR. Abu Dawud no. 2276, HR. Ahmad no. 6707, dan HR. Hakim no. 2830. Tags: hadanahkhuluk

Hukum Khuluk dengan Syarat Melepaskan Hadanah

Hadanah adalah mendidik anak bagi orang yang memiliki hak di dalam mengasuh, memelihara, dan merawat anak [1]. Sederhananya, hadanah bisa diartikan sebagai hak asuh. Namun, ada perbedaan pandangan di dalam tinjauan atau pendekatan hukum fikih di dalam masalah hadanah. Yaitu, apakah ibu sang anak lebih berhak terhadap hadanah atau itu memang kewajiban atas sang ibu; atau hadanah adalah hak bersama antara ibu dan anak; atau hadanah adalah hak khusus yang dimiliki sang anak? Sebagaimana diketahui bahwa asalnya, sang ibulah yang berkewajiban di dalam hadanah terhadap anaknya baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka (ibu) lebih penyayang, lemah lembut, dan lebih terbimbing dalam membesarkan dan mendidik anak. Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini bahwasanya hadanah adalah hak anak. Sebab, kebutuhan anak akan pemeliharaan, penjagaan, pendidikan, dan segala yang berkaitan dengan urusannya. Sehingga keabsahan hadanah didasarkan atas tercapainya kepentingan dan maslahat anak, dan ini sesuai dengan esensi dan makna hadanah, bukan demi kepentingan dan maslahat orang yang berhak terhadap hadanah. Sehingga setiap orang yang paling mampu dan bisa mewujudkan maslahat, manfaat, dan pemeliharaan terhadap sang anak, maka dia paling berhak terhadap hadanah. Di atas, apabila hadanah adalah haknya anak, maka sang ibu harus menjalankan hadanah terhadap anaknya jika sang anak membutuhkannya. Sehingga jangan sampai menyia-nyiakan dan mengabaikan hak anak di dalam pemeliharaan, pengasuhan, pembimbingan, dan penjagaan. Maka, setiap syarat yang berdampak pada hilangnya atau berkurangnya kemaslahatan dan manfaat bagi anak kepada orang yang mampu mewujudkannya adalah syarat yang batil dan tidak sah. Apabila ada wanita meminta khuluk kepada suaminya, kemudian suaminya memberikan syarat dengan meninggalkan bayinya atau anaknya yang masih kecil, maka khuluknya sah, tetapi syaratnya fasid (rusak) dan batal, dan tidak wajib memenuhinya. Sebab, bila terbukti dan valid bahwa hadanah merupakan hak anak, maka baik suami maupun istri tidak berhak membatalkannya (hak anak) dengan syarat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Setiap syarat yang dibuat yang menyelisihi Kitabullah, maka itu batil, walaupun yang dibuat adalah seratus persyaratan.” [2] Yaitu, tidak ada di dalam Kitabullah yang membolehkannya atau mewajibkannya. Dan juga hadis, المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامً “Orang Islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” [3] Namun, berbeda kondisi apabila ibunya menikah lagi, maka dia tidak berhak atas hadanah. Sebab, dia akan disibukkan dengan mengurus dan melayani suami barunya, sehingga tidak bermanfaat dan maslahat keberadaan ibunya di sisi sang anak. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” [4] Karena adanya mani’ (penghalang), yaitu pernikahan, maka hadanah (hak asuh) dipercayakan kepada penerus berikutnya (setelah ibunya) untuk mencapai kepentingan dan maslahat anak. Dan hak asuh bisa kembali kepada ibunya apabila mani’-nya (penghalangnya) tersebut telah hilang. Hal ini sebagaimana kaidah fikih, إِذَا زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوعُ “Apabila penghalangnya telah hilang, maka kembali sediakala (yang sebelumnya) terlarang.” Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-159   Catatan kaki: [1] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (3: 555), Al-Mukhtashar Al-Fiqhiy (5: 49). [2] HR. Bukhari no. 2168 dan Muslim no. 1504. [3] HR. Tirmidzi no. 1352. [4] HR. Abu Dawud no. 2276, HR. Ahmad no. 6707, dan HR. Hakim no. 2830. Tags: hadanahkhuluk
Hadanah adalah mendidik anak bagi orang yang memiliki hak di dalam mengasuh, memelihara, dan merawat anak [1]. Sederhananya, hadanah bisa diartikan sebagai hak asuh. Namun, ada perbedaan pandangan di dalam tinjauan atau pendekatan hukum fikih di dalam masalah hadanah. Yaitu, apakah ibu sang anak lebih berhak terhadap hadanah atau itu memang kewajiban atas sang ibu; atau hadanah adalah hak bersama antara ibu dan anak; atau hadanah adalah hak khusus yang dimiliki sang anak? Sebagaimana diketahui bahwa asalnya, sang ibulah yang berkewajiban di dalam hadanah terhadap anaknya baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka (ibu) lebih penyayang, lemah lembut, dan lebih terbimbing dalam membesarkan dan mendidik anak. Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini bahwasanya hadanah adalah hak anak. Sebab, kebutuhan anak akan pemeliharaan, penjagaan, pendidikan, dan segala yang berkaitan dengan urusannya. Sehingga keabsahan hadanah didasarkan atas tercapainya kepentingan dan maslahat anak, dan ini sesuai dengan esensi dan makna hadanah, bukan demi kepentingan dan maslahat orang yang berhak terhadap hadanah. Sehingga setiap orang yang paling mampu dan bisa mewujudkan maslahat, manfaat, dan pemeliharaan terhadap sang anak, maka dia paling berhak terhadap hadanah. Di atas, apabila hadanah adalah haknya anak, maka sang ibu harus menjalankan hadanah terhadap anaknya jika sang anak membutuhkannya. Sehingga jangan sampai menyia-nyiakan dan mengabaikan hak anak di dalam pemeliharaan, pengasuhan, pembimbingan, dan penjagaan. Maka, setiap syarat yang berdampak pada hilangnya atau berkurangnya kemaslahatan dan manfaat bagi anak kepada orang yang mampu mewujudkannya adalah syarat yang batil dan tidak sah. Apabila ada wanita meminta khuluk kepada suaminya, kemudian suaminya memberikan syarat dengan meninggalkan bayinya atau anaknya yang masih kecil, maka khuluknya sah, tetapi syaratnya fasid (rusak) dan batal, dan tidak wajib memenuhinya. Sebab, bila terbukti dan valid bahwa hadanah merupakan hak anak, maka baik suami maupun istri tidak berhak membatalkannya (hak anak) dengan syarat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Setiap syarat yang dibuat yang menyelisihi Kitabullah, maka itu batil, walaupun yang dibuat adalah seratus persyaratan.” [2] Yaitu, tidak ada di dalam Kitabullah yang membolehkannya atau mewajibkannya. Dan juga hadis, المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامً “Orang Islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” [3] Namun, berbeda kondisi apabila ibunya menikah lagi, maka dia tidak berhak atas hadanah. Sebab, dia akan disibukkan dengan mengurus dan melayani suami barunya, sehingga tidak bermanfaat dan maslahat keberadaan ibunya di sisi sang anak. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” [4] Karena adanya mani’ (penghalang), yaitu pernikahan, maka hadanah (hak asuh) dipercayakan kepada penerus berikutnya (setelah ibunya) untuk mencapai kepentingan dan maslahat anak. Dan hak asuh bisa kembali kepada ibunya apabila mani’-nya (penghalangnya) tersebut telah hilang. Hal ini sebagaimana kaidah fikih, إِذَا زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوعُ “Apabila penghalangnya telah hilang, maka kembali sediakala (yang sebelumnya) terlarang.” Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-159   Catatan kaki: [1] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (3: 555), Al-Mukhtashar Al-Fiqhiy (5: 49). [2] HR. Bukhari no. 2168 dan Muslim no. 1504. [3] HR. Tirmidzi no. 1352. [4] HR. Abu Dawud no. 2276, HR. Ahmad no. 6707, dan HR. Hakim no. 2830. Tags: hadanahkhuluk


Hadanah adalah mendidik anak bagi orang yang memiliki hak di dalam mengasuh, memelihara, dan merawat anak [1]. Sederhananya, hadanah bisa diartikan sebagai hak asuh. Namun, ada perbedaan pandangan di dalam tinjauan atau pendekatan hukum fikih di dalam masalah hadanah. Yaitu, apakah ibu sang anak lebih berhak terhadap hadanah atau itu memang kewajiban atas sang ibu; atau hadanah adalah hak bersama antara ibu dan anak; atau hadanah adalah hak khusus yang dimiliki sang anak? Sebagaimana diketahui bahwa asalnya, sang ibulah yang berkewajiban di dalam hadanah terhadap anaknya baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka (ibu) lebih penyayang, lemah lembut, dan lebih terbimbing dalam membesarkan dan mendidik anak. Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini bahwasanya hadanah adalah hak anak. Sebab, kebutuhan anak akan pemeliharaan, penjagaan, pendidikan, dan segala yang berkaitan dengan urusannya. Sehingga keabsahan hadanah didasarkan atas tercapainya kepentingan dan maslahat anak, dan ini sesuai dengan esensi dan makna hadanah, bukan demi kepentingan dan maslahat orang yang berhak terhadap hadanah. Sehingga setiap orang yang paling mampu dan bisa mewujudkan maslahat, manfaat, dan pemeliharaan terhadap sang anak, maka dia paling berhak terhadap hadanah. Di atas, apabila hadanah adalah haknya anak, maka sang ibu harus menjalankan hadanah terhadap anaknya jika sang anak membutuhkannya. Sehingga jangan sampai menyia-nyiakan dan mengabaikan hak anak di dalam pemeliharaan, pengasuhan, pembimbingan, dan penjagaan. Maka, setiap syarat yang berdampak pada hilangnya atau berkurangnya kemaslahatan dan manfaat bagi anak kepada orang yang mampu mewujudkannya adalah syarat yang batil dan tidak sah. Apabila ada wanita meminta khuluk kepada suaminya, kemudian suaminya memberikan syarat dengan meninggalkan bayinya atau anaknya yang masih kecil, maka khuluknya sah, tetapi syaratnya fasid (rusak) dan batal, dan tidak wajib memenuhinya. Sebab, bila terbukti dan valid bahwa hadanah merupakan hak anak, maka baik suami maupun istri tidak berhak membatalkannya (hak anak) dengan syarat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Setiap syarat yang dibuat yang menyelisihi Kitabullah, maka itu batil, walaupun yang dibuat adalah seratus persyaratan.” [2] Yaitu, tidak ada di dalam Kitabullah yang membolehkannya atau mewajibkannya. Dan juga hadis, المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامً “Orang Islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” [3] Namun, berbeda kondisi apabila ibunya menikah lagi, maka dia tidak berhak atas hadanah. Sebab, dia akan disibukkan dengan mengurus dan melayani suami barunya, sehingga tidak bermanfaat dan maslahat keberadaan ibunya di sisi sang anak. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” [4] Karena adanya mani’ (penghalang), yaitu pernikahan, maka hadanah (hak asuh) dipercayakan kepada penerus berikutnya (setelah ibunya) untuk mencapai kepentingan dan maslahat anak. Dan hak asuh bisa kembali kepada ibunya apabila mani’-nya (penghalangnya) tersebut telah hilang. Hal ini sebagaimana kaidah fikih, إِذَا زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوعُ “Apabila penghalangnya telah hilang, maka kembali sediakala (yang sebelumnya) terlarang.” Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-159   Catatan kaki: [1] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (3: 555), Al-Mukhtashar Al-Fiqhiy (5: 49). [2] HR. Bukhari no. 2168 dan Muslim no. 1504. [3] HR. Tirmidzi no. 1352. [4] HR. Abu Dawud no. 2276, HR. Ahmad no. 6707, dan HR. Hakim no. 2830. Tags: hadanahkhuluk
Prev     Next