Metode Terbaik Murajaah Hafalan al-Quran (Dijamin Tidak Lupa) – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, dan hadis ini masih saya ingat dengan baik, saya tidak pernah melupakannya. Saya ingat bahwa dulu saya di Masjidil Haram, ketika itu Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu Ta’ala sedang menyampaikan kajian. Lalu setelah kajian saya bertanya dengan menulisnya di kertas: “Apa metode terbaik untuk memurajaah hafalan al-Quran al-Karim?” Saya terdorong untuk menanyakan pertanyaan ini, karena dulu saya menghafal dan memurajaah (al-Quran). Saya bergumam, “Saya yakin Syaikh akan menyebutkan banyak metode.” Lalu Syaikh rahimahullah menjawab–dan saya tidak pernah melupakan ucapan beliau ini: “Metode terbaik untuk menghafal al-Quran adalah metode Nabi.” Maka saya semakin takjub, “Apa itu metode Nabi?!” Lalu beliau menyebutkan hadis ini: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghafal al-Quran mendirikan salat lalu membaca al-Quran itu (dalam salat) di malam dan siang hari, maka dia akan terus mengingatnya Namun jika dia tidak salat dan tidak membacanya dalam salat, maka dia akan melupakannya.” (HR. Muslim) “Jika penghafal al-Quran mendirikan salat…” Yaitu dia mendirikan salat dan membaca al-Quran di dalam salatnya itu pada siang atau malam hari. Anda membaca al-Quran dalam Salat Malam, Salat Duha, atau salat sunah lainnya, maka ini menguatkan al-Quran di dalam dirimu. Demikianlah Anda dapat membuat dirimu suka membaca al-Quran dalam salat. “Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari itu atau tambahlah Dan bacalah al-Quran itu dengan tartil…Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. al-Muzzammil: 1 – 5) ===== النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهَذَا الْحَدِيثُ أَذْكُرُهُ جَيِّدًا مَا أَنْسَاهُ عِنْدَمَا أَذْكُرُ كُنْتُ فِي الْحَرَمِ وَكَانَ الشَّيْخُ ابْنُ عُثَيْمِينَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يُلْقِي دَرْسًا فَبَعْدَ الدَّرْسِ أَنَا أُسَائِلُ فِي وَرَقَةٍ مَا الطَّرِيقَةُ الْمُثْلَى لِمُرَاجَعَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ؟ فَأَنَا يَعْنِي شَدَّنِي هَذَا السُّؤَالُ كُنْتُ أَحْفَظُ وَأُرَاجِعُ فَقُلْتُ أَكِيدٌ الشَّيْخُ الْآنَ سَيَأْتِي بِطُرُقٍ فَقَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ مَا أَنْسَى هَذِهِ يَعْنِي الْكَلَامَ قَالَ أَمْثَلُ طَرِيقَةِ حِفْظِ الْقُرْآنِ الطَّرِيقَةُ النَّبَوِيَّةُ فَازْدَدْتُ عَجَبًا قُلْتُ أَيْش الطَّرِيقَةُ النَّبَوِيَّةُ؟ فَذَكَرَ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقْرَأْهُ قَالَ نَسِيَهُ (وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ) وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِالْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ أَوْ النَّهَارِ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى فِي الصَّلَاةِ النَّافِلَةِ فَهَذَا يُثَبِّتُ الْقُرْآنَ فِي نَفْسِكَ هَكَذَا تُحَبِّبُ إِلَيْهَا الْقِيَامَ بِالْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلْ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا

Metode Terbaik Murajaah Hafalan al-Quran (Dijamin Tidak Lupa) – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, dan hadis ini masih saya ingat dengan baik, saya tidak pernah melupakannya. Saya ingat bahwa dulu saya di Masjidil Haram, ketika itu Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu Ta’ala sedang menyampaikan kajian. Lalu setelah kajian saya bertanya dengan menulisnya di kertas: “Apa metode terbaik untuk memurajaah hafalan al-Quran al-Karim?” Saya terdorong untuk menanyakan pertanyaan ini, karena dulu saya menghafal dan memurajaah (al-Quran). Saya bergumam, “Saya yakin Syaikh akan menyebutkan banyak metode.” Lalu Syaikh rahimahullah menjawab–dan saya tidak pernah melupakan ucapan beliau ini: “Metode terbaik untuk menghafal al-Quran adalah metode Nabi.” Maka saya semakin takjub, “Apa itu metode Nabi?!” Lalu beliau menyebutkan hadis ini: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghafal al-Quran mendirikan salat lalu membaca al-Quran itu (dalam salat) di malam dan siang hari, maka dia akan terus mengingatnya Namun jika dia tidak salat dan tidak membacanya dalam salat, maka dia akan melupakannya.” (HR. Muslim) “Jika penghafal al-Quran mendirikan salat…” Yaitu dia mendirikan salat dan membaca al-Quran di dalam salatnya itu pada siang atau malam hari. Anda membaca al-Quran dalam Salat Malam, Salat Duha, atau salat sunah lainnya, maka ini menguatkan al-Quran di dalam dirimu. Demikianlah Anda dapat membuat dirimu suka membaca al-Quran dalam salat. “Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari itu atau tambahlah Dan bacalah al-Quran itu dengan tartil…Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. al-Muzzammil: 1 – 5) ===== النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهَذَا الْحَدِيثُ أَذْكُرُهُ جَيِّدًا مَا أَنْسَاهُ عِنْدَمَا أَذْكُرُ كُنْتُ فِي الْحَرَمِ وَكَانَ الشَّيْخُ ابْنُ عُثَيْمِينَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يُلْقِي دَرْسًا فَبَعْدَ الدَّرْسِ أَنَا أُسَائِلُ فِي وَرَقَةٍ مَا الطَّرِيقَةُ الْمُثْلَى لِمُرَاجَعَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ؟ فَأَنَا يَعْنِي شَدَّنِي هَذَا السُّؤَالُ كُنْتُ أَحْفَظُ وَأُرَاجِعُ فَقُلْتُ أَكِيدٌ الشَّيْخُ الْآنَ سَيَأْتِي بِطُرُقٍ فَقَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ مَا أَنْسَى هَذِهِ يَعْنِي الْكَلَامَ قَالَ أَمْثَلُ طَرِيقَةِ حِفْظِ الْقُرْآنِ الطَّرِيقَةُ النَّبَوِيَّةُ فَازْدَدْتُ عَجَبًا قُلْتُ أَيْش الطَّرِيقَةُ النَّبَوِيَّةُ؟ فَذَكَرَ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقْرَأْهُ قَالَ نَسِيَهُ (وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ) وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِالْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ أَوْ النَّهَارِ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى فِي الصَّلَاةِ النَّافِلَةِ فَهَذَا يُثَبِّتُ الْقُرْآنَ فِي نَفْسِكَ هَكَذَا تُحَبِّبُ إِلَيْهَا الْقِيَامَ بِالْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلْ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, dan hadis ini masih saya ingat dengan baik, saya tidak pernah melupakannya. Saya ingat bahwa dulu saya di Masjidil Haram, ketika itu Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu Ta’ala sedang menyampaikan kajian. Lalu setelah kajian saya bertanya dengan menulisnya di kertas: “Apa metode terbaik untuk memurajaah hafalan al-Quran al-Karim?” Saya terdorong untuk menanyakan pertanyaan ini, karena dulu saya menghafal dan memurajaah (al-Quran). Saya bergumam, “Saya yakin Syaikh akan menyebutkan banyak metode.” Lalu Syaikh rahimahullah menjawab–dan saya tidak pernah melupakan ucapan beliau ini: “Metode terbaik untuk menghafal al-Quran adalah metode Nabi.” Maka saya semakin takjub, “Apa itu metode Nabi?!” Lalu beliau menyebutkan hadis ini: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghafal al-Quran mendirikan salat lalu membaca al-Quran itu (dalam salat) di malam dan siang hari, maka dia akan terus mengingatnya Namun jika dia tidak salat dan tidak membacanya dalam salat, maka dia akan melupakannya.” (HR. Muslim) “Jika penghafal al-Quran mendirikan salat…” Yaitu dia mendirikan salat dan membaca al-Quran di dalam salatnya itu pada siang atau malam hari. Anda membaca al-Quran dalam Salat Malam, Salat Duha, atau salat sunah lainnya, maka ini menguatkan al-Quran di dalam dirimu. Demikianlah Anda dapat membuat dirimu suka membaca al-Quran dalam salat. “Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari itu atau tambahlah Dan bacalah al-Quran itu dengan tartil…Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. al-Muzzammil: 1 – 5) ===== النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهَذَا الْحَدِيثُ أَذْكُرُهُ جَيِّدًا مَا أَنْسَاهُ عِنْدَمَا أَذْكُرُ كُنْتُ فِي الْحَرَمِ وَكَانَ الشَّيْخُ ابْنُ عُثَيْمِينَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يُلْقِي دَرْسًا فَبَعْدَ الدَّرْسِ أَنَا أُسَائِلُ فِي وَرَقَةٍ مَا الطَّرِيقَةُ الْمُثْلَى لِمُرَاجَعَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ؟ فَأَنَا يَعْنِي شَدَّنِي هَذَا السُّؤَالُ كُنْتُ أَحْفَظُ وَأُرَاجِعُ فَقُلْتُ أَكِيدٌ الشَّيْخُ الْآنَ سَيَأْتِي بِطُرُقٍ فَقَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ مَا أَنْسَى هَذِهِ يَعْنِي الْكَلَامَ قَالَ أَمْثَلُ طَرِيقَةِ حِفْظِ الْقُرْآنِ الطَّرِيقَةُ النَّبَوِيَّةُ فَازْدَدْتُ عَجَبًا قُلْتُ أَيْش الطَّرِيقَةُ النَّبَوِيَّةُ؟ فَذَكَرَ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقْرَأْهُ قَالَ نَسِيَهُ (وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ) وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِالْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ أَوْ النَّهَارِ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى فِي الصَّلَاةِ النَّافِلَةِ فَهَذَا يُثَبِّتُ الْقُرْآنَ فِي نَفْسِكَ هَكَذَا تُحَبِّبُ إِلَيْهَا الْقِيَامَ بِالْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلْ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, dan hadis ini masih saya ingat dengan baik, saya tidak pernah melupakannya. Saya ingat bahwa dulu saya di Masjidil Haram, ketika itu Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu Ta’ala sedang menyampaikan kajian. Lalu setelah kajian saya bertanya dengan menulisnya di kertas: “Apa metode terbaik untuk memurajaah hafalan al-Quran al-Karim?” Saya terdorong untuk menanyakan pertanyaan ini, karena dulu saya menghafal dan memurajaah (al-Quran). Saya bergumam, “Saya yakin Syaikh akan menyebutkan banyak metode.” Lalu Syaikh rahimahullah menjawab–dan saya tidak pernah melupakan ucapan beliau ini: “Metode terbaik untuk menghafal al-Quran adalah metode Nabi.” Maka saya semakin takjub, “Apa itu metode Nabi?!” Lalu beliau menyebutkan hadis ini: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghafal al-Quran mendirikan salat lalu membaca al-Quran itu (dalam salat) di malam dan siang hari, maka dia akan terus mengingatnya Namun jika dia tidak salat dan tidak membacanya dalam salat, maka dia akan melupakannya.” (HR. Muslim) “Jika penghafal al-Quran mendirikan salat…” Yaitu dia mendirikan salat dan membaca al-Quran di dalam salatnya itu pada siang atau malam hari. Anda membaca al-Quran dalam Salat Malam, Salat Duha, atau salat sunah lainnya, maka ini menguatkan al-Quran di dalam dirimu. Demikianlah Anda dapat membuat dirimu suka membaca al-Quran dalam salat. “Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari itu atau tambahlah Dan bacalah al-Quran itu dengan tartil…Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. al-Muzzammil: 1 – 5) ===== النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهَذَا الْحَدِيثُ أَذْكُرُهُ جَيِّدًا مَا أَنْسَاهُ عِنْدَمَا أَذْكُرُ كُنْتُ فِي الْحَرَمِ وَكَانَ الشَّيْخُ ابْنُ عُثَيْمِينَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يُلْقِي دَرْسًا فَبَعْدَ الدَّرْسِ أَنَا أُسَائِلُ فِي وَرَقَةٍ مَا الطَّرِيقَةُ الْمُثْلَى لِمُرَاجَعَةِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ؟ فَأَنَا يَعْنِي شَدَّنِي هَذَا السُّؤَالُ كُنْتُ أَحْفَظُ وَأُرَاجِعُ فَقُلْتُ أَكِيدٌ الشَّيْخُ الْآنَ سَيَأْتِي بِطُرُقٍ فَقَالَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللهُ مَا أَنْسَى هَذِهِ يَعْنِي الْكَلَامَ قَالَ أَمْثَلُ طَرِيقَةِ حِفْظِ الْقُرْآنِ الطَّرِيقَةُ النَّبَوِيَّةُ فَازْدَدْتُ عَجَبًا قُلْتُ أَيْش الطَّرِيقَةُ النَّبَوِيَّةُ؟ فَذَكَرَ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقْرَأْهُ قَالَ نَسِيَهُ (وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ) وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ قَامَ بِالْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ أَوْ النَّهَارِ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ فِي صَلَاةِ الضُّحَى فِي الصَّلَاةِ النَّافِلَةِ فَهَذَا يُثَبِّتُ الْقُرْآنَ فِي نَفْسِكَ هَكَذَا تُحَبِّبُ إِلَيْهَا الْقِيَامَ بِالْقُرْآنِ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلْ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا

Hukum Khuluk dengan Syarat Melepaskan Hadanah

Hadanah adalah mendidik anak bagi orang yang memiliki hak di dalam mengasuh, memelihara, dan merawat anak [1]. Sederhananya, hadanah bisa diartikan sebagai hak asuh. Namun, ada perbedaan pandangan di dalam tinjauan atau pendekatan hukum fikih di dalam masalah hadanah. Yaitu, apakah ibu sang anak lebih berhak terhadap hadanah atau itu memang kewajiban atas sang ibu; atau hadanah adalah hak bersama antara ibu dan anak; atau hadanah adalah hak khusus yang dimiliki sang anak? Sebagaimana diketahui bahwa asalnya, sang ibulah yang berkewajiban di dalam hadanah terhadap anaknya baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka (ibu) lebih penyayang, lemah lembut, dan lebih terbimbing dalam membesarkan dan mendidik anak. Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini bahwasanya hadanah adalah hak anak. Sebab, kebutuhan anak akan pemeliharaan, penjagaan, pendidikan, dan segala yang berkaitan dengan urusannya. Sehingga keabsahan hadanah didasarkan atas tercapainya kepentingan dan maslahat anak, dan ini sesuai dengan esensi dan makna hadanah, bukan demi kepentingan dan maslahat orang yang berhak terhadap hadanah. Sehingga setiap orang yang paling mampu dan bisa mewujudkan maslahat, manfaat, dan pemeliharaan terhadap sang anak, maka dia paling berhak terhadap hadanah. Di atas, apabila hadanah adalah haknya anak, maka sang ibu harus menjalankan hadanah terhadap anaknya jika sang anak membutuhkannya. Sehingga jangan sampai menyia-nyiakan dan mengabaikan hak anak di dalam pemeliharaan, pengasuhan, pembimbingan, dan penjagaan. Maka, setiap syarat yang berdampak pada hilangnya atau berkurangnya kemaslahatan dan manfaat bagi anak kepada orang yang mampu mewujudkannya adalah syarat yang batil dan tidak sah. Apabila ada wanita meminta khuluk kepada suaminya, kemudian suaminya memberikan syarat dengan meninggalkan bayinya atau anaknya yang masih kecil, maka khuluknya sah, tetapi syaratnya fasid (rusak) dan batal, dan tidak wajib memenuhinya. Sebab, bila terbukti dan valid bahwa hadanah merupakan hak anak, maka baik suami maupun istri tidak berhak membatalkannya (hak anak) dengan syarat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Setiap syarat yang dibuat yang menyelisihi Kitabullah, maka itu batil, walaupun yang dibuat adalah seratus persyaratan.” [2] Yaitu, tidak ada di dalam Kitabullah yang membolehkannya atau mewajibkannya. Dan juga hadis, المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامً “Orang Islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” [3] Namun, berbeda kondisi apabila ibunya menikah lagi, maka dia tidak berhak atas hadanah. Sebab, dia akan disibukkan dengan mengurus dan melayani suami barunya, sehingga tidak bermanfaat dan maslahat keberadaan ibunya di sisi sang anak. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” [4] Karena adanya mani’ (penghalang), yaitu pernikahan, maka hadanah (hak asuh) dipercayakan kepada penerus berikutnya (setelah ibunya) untuk mencapai kepentingan dan maslahat anak. Dan hak asuh bisa kembali kepada ibunya apabila mani’-nya (penghalangnya) tersebut telah hilang. Hal ini sebagaimana kaidah fikih, إِذَا زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوعُ “Apabila penghalangnya telah hilang, maka kembali sediakala (yang sebelumnya) terlarang.” Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-159   Catatan kaki: [1] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (3: 555), Al-Mukhtashar Al-Fiqhiy (5: 49). [2] HR. Bukhari no. 2168 dan Muslim no. 1504. [3] HR. Tirmidzi no. 1352. [4] HR. Abu Dawud no. 2276, HR. Ahmad no. 6707, dan HR. Hakim no. 2830. Tags: hadanahkhuluk

Hukum Khuluk dengan Syarat Melepaskan Hadanah

Hadanah adalah mendidik anak bagi orang yang memiliki hak di dalam mengasuh, memelihara, dan merawat anak [1]. Sederhananya, hadanah bisa diartikan sebagai hak asuh. Namun, ada perbedaan pandangan di dalam tinjauan atau pendekatan hukum fikih di dalam masalah hadanah. Yaitu, apakah ibu sang anak lebih berhak terhadap hadanah atau itu memang kewajiban atas sang ibu; atau hadanah adalah hak bersama antara ibu dan anak; atau hadanah adalah hak khusus yang dimiliki sang anak? Sebagaimana diketahui bahwa asalnya, sang ibulah yang berkewajiban di dalam hadanah terhadap anaknya baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka (ibu) lebih penyayang, lemah lembut, dan lebih terbimbing dalam membesarkan dan mendidik anak. Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini bahwasanya hadanah adalah hak anak. Sebab, kebutuhan anak akan pemeliharaan, penjagaan, pendidikan, dan segala yang berkaitan dengan urusannya. Sehingga keabsahan hadanah didasarkan atas tercapainya kepentingan dan maslahat anak, dan ini sesuai dengan esensi dan makna hadanah, bukan demi kepentingan dan maslahat orang yang berhak terhadap hadanah. Sehingga setiap orang yang paling mampu dan bisa mewujudkan maslahat, manfaat, dan pemeliharaan terhadap sang anak, maka dia paling berhak terhadap hadanah. Di atas, apabila hadanah adalah haknya anak, maka sang ibu harus menjalankan hadanah terhadap anaknya jika sang anak membutuhkannya. Sehingga jangan sampai menyia-nyiakan dan mengabaikan hak anak di dalam pemeliharaan, pengasuhan, pembimbingan, dan penjagaan. Maka, setiap syarat yang berdampak pada hilangnya atau berkurangnya kemaslahatan dan manfaat bagi anak kepada orang yang mampu mewujudkannya adalah syarat yang batil dan tidak sah. Apabila ada wanita meminta khuluk kepada suaminya, kemudian suaminya memberikan syarat dengan meninggalkan bayinya atau anaknya yang masih kecil, maka khuluknya sah, tetapi syaratnya fasid (rusak) dan batal, dan tidak wajib memenuhinya. Sebab, bila terbukti dan valid bahwa hadanah merupakan hak anak, maka baik suami maupun istri tidak berhak membatalkannya (hak anak) dengan syarat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Setiap syarat yang dibuat yang menyelisihi Kitabullah, maka itu batil, walaupun yang dibuat adalah seratus persyaratan.” [2] Yaitu, tidak ada di dalam Kitabullah yang membolehkannya atau mewajibkannya. Dan juga hadis, المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامً “Orang Islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” [3] Namun, berbeda kondisi apabila ibunya menikah lagi, maka dia tidak berhak atas hadanah. Sebab, dia akan disibukkan dengan mengurus dan melayani suami barunya, sehingga tidak bermanfaat dan maslahat keberadaan ibunya di sisi sang anak. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” [4] Karena adanya mani’ (penghalang), yaitu pernikahan, maka hadanah (hak asuh) dipercayakan kepada penerus berikutnya (setelah ibunya) untuk mencapai kepentingan dan maslahat anak. Dan hak asuh bisa kembali kepada ibunya apabila mani’-nya (penghalangnya) tersebut telah hilang. Hal ini sebagaimana kaidah fikih, إِذَا زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوعُ “Apabila penghalangnya telah hilang, maka kembali sediakala (yang sebelumnya) terlarang.” Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-159   Catatan kaki: [1] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (3: 555), Al-Mukhtashar Al-Fiqhiy (5: 49). [2] HR. Bukhari no. 2168 dan Muslim no. 1504. [3] HR. Tirmidzi no. 1352. [4] HR. Abu Dawud no. 2276, HR. Ahmad no. 6707, dan HR. Hakim no. 2830. Tags: hadanahkhuluk
Hadanah adalah mendidik anak bagi orang yang memiliki hak di dalam mengasuh, memelihara, dan merawat anak [1]. Sederhananya, hadanah bisa diartikan sebagai hak asuh. Namun, ada perbedaan pandangan di dalam tinjauan atau pendekatan hukum fikih di dalam masalah hadanah. Yaitu, apakah ibu sang anak lebih berhak terhadap hadanah atau itu memang kewajiban atas sang ibu; atau hadanah adalah hak bersama antara ibu dan anak; atau hadanah adalah hak khusus yang dimiliki sang anak? Sebagaimana diketahui bahwa asalnya, sang ibulah yang berkewajiban di dalam hadanah terhadap anaknya baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka (ibu) lebih penyayang, lemah lembut, dan lebih terbimbing dalam membesarkan dan mendidik anak. Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini bahwasanya hadanah adalah hak anak. Sebab, kebutuhan anak akan pemeliharaan, penjagaan, pendidikan, dan segala yang berkaitan dengan urusannya. Sehingga keabsahan hadanah didasarkan atas tercapainya kepentingan dan maslahat anak, dan ini sesuai dengan esensi dan makna hadanah, bukan demi kepentingan dan maslahat orang yang berhak terhadap hadanah. Sehingga setiap orang yang paling mampu dan bisa mewujudkan maslahat, manfaat, dan pemeliharaan terhadap sang anak, maka dia paling berhak terhadap hadanah. Di atas, apabila hadanah adalah haknya anak, maka sang ibu harus menjalankan hadanah terhadap anaknya jika sang anak membutuhkannya. Sehingga jangan sampai menyia-nyiakan dan mengabaikan hak anak di dalam pemeliharaan, pengasuhan, pembimbingan, dan penjagaan. Maka, setiap syarat yang berdampak pada hilangnya atau berkurangnya kemaslahatan dan manfaat bagi anak kepada orang yang mampu mewujudkannya adalah syarat yang batil dan tidak sah. Apabila ada wanita meminta khuluk kepada suaminya, kemudian suaminya memberikan syarat dengan meninggalkan bayinya atau anaknya yang masih kecil, maka khuluknya sah, tetapi syaratnya fasid (rusak) dan batal, dan tidak wajib memenuhinya. Sebab, bila terbukti dan valid bahwa hadanah merupakan hak anak, maka baik suami maupun istri tidak berhak membatalkannya (hak anak) dengan syarat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Setiap syarat yang dibuat yang menyelisihi Kitabullah, maka itu batil, walaupun yang dibuat adalah seratus persyaratan.” [2] Yaitu, tidak ada di dalam Kitabullah yang membolehkannya atau mewajibkannya. Dan juga hadis, المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامً “Orang Islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” [3] Namun, berbeda kondisi apabila ibunya menikah lagi, maka dia tidak berhak atas hadanah. Sebab, dia akan disibukkan dengan mengurus dan melayani suami barunya, sehingga tidak bermanfaat dan maslahat keberadaan ibunya di sisi sang anak. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” [4] Karena adanya mani’ (penghalang), yaitu pernikahan, maka hadanah (hak asuh) dipercayakan kepada penerus berikutnya (setelah ibunya) untuk mencapai kepentingan dan maslahat anak. Dan hak asuh bisa kembali kepada ibunya apabila mani’-nya (penghalangnya) tersebut telah hilang. Hal ini sebagaimana kaidah fikih, إِذَا زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوعُ “Apabila penghalangnya telah hilang, maka kembali sediakala (yang sebelumnya) terlarang.” Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-159   Catatan kaki: [1] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (3: 555), Al-Mukhtashar Al-Fiqhiy (5: 49). [2] HR. Bukhari no. 2168 dan Muslim no. 1504. [3] HR. Tirmidzi no. 1352. [4] HR. Abu Dawud no. 2276, HR. Ahmad no. 6707, dan HR. Hakim no. 2830. Tags: hadanahkhuluk


Hadanah adalah mendidik anak bagi orang yang memiliki hak di dalam mengasuh, memelihara, dan merawat anak [1]. Sederhananya, hadanah bisa diartikan sebagai hak asuh. Namun, ada perbedaan pandangan di dalam tinjauan atau pendekatan hukum fikih di dalam masalah hadanah. Yaitu, apakah ibu sang anak lebih berhak terhadap hadanah atau itu memang kewajiban atas sang ibu; atau hadanah adalah hak bersama antara ibu dan anak; atau hadanah adalah hak khusus yang dimiliki sang anak? Sebagaimana diketahui bahwa asalnya, sang ibulah yang berkewajiban di dalam hadanah terhadap anaknya baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka (ibu) lebih penyayang, lemah lembut, dan lebih terbimbing dalam membesarkan dan mendidik anak. Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini bahwasanya hadanah adalah hak anak. Sebab, kebutuhan anak akan pemeliharaan, penjagaan, pendidikan, dan segala yang berkaitan dengan urusannya. Sehingga keabsahan hadanah didasarkan atas tercapainya kepentingan dan maslahat anak, dan ini sesuai dengan esensi dan makna hadanah, bukan demi kepentingan dan maslahat orang yang berhak terhadap hadanah. Sehingga setiap orang yang paling mampu dan bisa mewujudkan maslahat, manfaat, dan pemeliharaan terhadap sang anak, maka dia paling berhak terhadap hadanah. Di atas, apabila hadanah adalah haknya anak, maka sang ibu harus menjalankan hadanah terhadap anaknya jika sang anak membutuhkannya. Sehingga jangan sampai menyia-nyiakan dan mengabaikan hak anak di dalam pemeliharaan, pengasuhan, pembimbingan, dan penjagaan. Maka, setiap syarat yang berdampak pada hilangnya atau berkurangnya kemaslahatan dan manfaat bagi anak kepada orang yang mampu mewujudkannya adalah syarat yang batil dan tidak sah. Apabila ada wanita meminta khuluk kepada suaminya, kemudian suaminya memberikan syarat dengan meninggalkan bayinya atau anaknya yang masih kecil, maka khuluknya sah, tetapi syaratnya fasid (rusak) dan batal, dan tidak wajib memenuhinya. Sebab, bila terbukti dan valid bahwa hadanah merupakan hak anak, maka baik suami maupun istri tidak berhak membatalkannya (hak anak) dengan syarat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ “Setiap syarat yang dibuat yang menyelisihi Kitabullah, maka itu batil, walaupun yang dibuat adalah seratus persyaratan.” [2] Yaitu, tidak ada di dalam Kitabullah yang membolehkannya atau mewajibkannya. Dan juga hadis, المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامً “Orang Islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” [3] Namun, berbeda kondisi apabila ibunya menikah lagi, maka dia tidak berhak atas hadanah. Sebab, dia akan disibukkan dengan mengurus dan melayani suami barunya, sehingga tidak bermanfaat dan maslahat keberadaan ibunya di sisi sang anak. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” [4] Karena adanya mani’ (penghalang), yaitu pernikahan, maka hadanah (hak asuh) dipercayakan kepada penerus berikutnya (setelah ibunya) untuk mencapai kepentingan dan maslahat anak. Dan hak asuh bisa kembali kepada ibunya apabila mani’-nya (penghalangnya) tersebut telah hilang. Hal ini sebagaimana kaidah fikih, إِذَا زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوعُ “Apabila penghalangnya telah hilang, maka kembali sediakala (yang sebelumnya) terlarang.” Wallahu Ta’ala A’lam. Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak *** Penerjemah: Junaidi, S.H., M.H. Artikel: Muslim.or.id   Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-159   Catatan kaki: [1] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (3: 555), Al-Mukhtashar Al-Fiqhiy (5: 49). [2] HR. Bukhari no. 2168 dan Muslim no. 1504. [3] HR. Tirmidzi no. 1352. [4] HR. Abu Dawud no. 2276, HR. Ahmad no. 6707, dan HR. Hakim no. 2830. Tags: hadanahkhuluk

6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #nasehatulama PERTANYAAN: Kapan waktu-waktu yang paling mustajab? Semoga Allah membalas Anda dengan sebaik-baik kebaikan. JAWABAN: Waktu-waktu yang mustajab ada banyak. Di antaranya: [PERTAMA] Sepertiga malam yang terakhir. [KEDUA]Antara azan dan iqamah. [KETIGA] Ketika sujud dalam salat. [KEEMPAT]Pada akhir salat sebelum salam. Semua ini adalah waktu-waktu yang mustajab. [KELIMA] Pada hari Jumat, antara azan dan akhir Salat Jumat. Yaitu antara azan kedua yang dikumandangkan saat khatib datang, hingga selesai Salat Jumat. Ini termasuk waktu yang mustajab. [KEENAM] Demikian juga waktu sore pada hari Jumat, yaitu setelah Asar hingga tenggelamnya matahari. Ini juga termasuk waktu yang mustajab. Disyariatkan juga bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan ketika berdoa untuk memfokuskan dan menghadirkan hati saat berdoa. Apabila dia dalam keadaan suci dan menghadap kiblat, maka doa itu lebih diharapkan untuk dikabulkan. Kita memohon taufik kepada Allah untuk kita semua. Hendaklah diketahui juga bahwa lalai saat berdoa adalah salah satu sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga kemaksiatan, termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga memakan harta riba dan harta haram lainnya, termasuk juga sebab tidak dikabulkannya doa. Maka wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk menjauhi setiap hal yang menghalangi dikabulkannya doa, seperti maksiat yang haram dilakukan, kemaksiatan-kemaksiatan dan lainnya yang merupakan sebab tidak dikabulkannya doa, berupa hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti riba, khianat terhadap amanah, dan penipuan dalam transaksi. Semua ini disebut dengan kemaksiatan. Maksudnya, segala jenis kemaksiatan termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan kezaliman terhadap orang lain seperti khianat dan penipuan maka itu lebih besar dosanya dan lebih berat dalam menghalangi terkabulnya doa. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Demikian. Jazakumullahu khairan. ==== مَا هِيَ أَرْجَى سَاعَاتِ الْإِجَابَة؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرَ الْجَزَاءِ سَاعَاتُ الْإِجَابَةِ مُتَعَدِّدَةٌ مِنْهَا الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ وَمِنْهَا مَا بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَمِنْهَا السُّجُودُ حَالَ السُّجُودِ وَمِنْهَا آخِرُ الصَّلَاةِ قَبْلَ السَّلَامِ كُلُّ هَذِهِ مِنْ سَاعَاتِ الْإِجَابَةِ وَمِنْهَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَنِهَايَةِ الصَّلَاةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ الْأَخِيْرِ الَّذِي عِنْدَ دُخُولِ الْخَطِيبِ إِلَى أَنْ تَنْتَهِيَ الصَّلَاةُ هَذَا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ آخِرَ النَّهَارِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ أَيْضًا سَاعَةُ إِجَابَةٍ وَيُشْرَعُ لِلْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ عِنْدَ الدُّعَاءِ إِقْبَالُ الْقَلْبِ عَلَى الدُّعَاءِ وَالْحُضُورِ بِالْقَلْبِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَإِذَا كَانَ عَلَى طَهَارَةٍ وَمُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ كَانَ ذَلِكَ أَرْجَى فِي قَبُولِ الدُّعَاءِ نَسْأَلُ اللهَ لِلْجَمِيعِ التَّوْفِيقَ وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الْغَفْلَةَ عِنْدَ الدُّعَاءِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ أَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ الْحَرَامِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ فَالْوَاجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ الْحَذَرُ مِنْ كُلِّ مَا يَمْنَعُ الْإِجَابَةَ مِنَ الْمَعَاصِي الْمُحَرَّمَةِ مِنَ الْمَعَاصِي وَغَيْرِهَا مِمَّا هُوَ سَبَبٌ لِعَدَمِ الْإِجَابَةِ مِمَّا حَرَّمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ كَالرِّبَا وَخِيَانَةِ الأَمَانَاتِ وَالْغِشِّ بِالْمُعَامَلَاتِ كُلُّ هَذَا يُسَمَّى المَعَاصِي الْمَقْصُودُ أَنَّ جِنْسَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ وَإِذَا كَانَتْ الْمَعْصِيَةُ تَتَعَلَّقُ بِظُلْمِ النَّاسِ كَخِيَانَةٍ وَغِشٍّ كَانَ ذَلِكَ أَشَدَّ فِي الإِثْمِ وَأَشَدَّ فِي حِرْمَانِ الْإِجَابَةِ نَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #NasehatUlama

6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #nasehatulama PERTANYAAN: Kapan waktu-waktu yang paling mustajab? Semoga Allah membalas Anda dengan sebaik-baik kebaikan. JAWABAN: Waktu-waktu yang mustajab ada banyak. Di antaranya: [PERTAMA] Sepertiga malam yang terakhir. [KEDUA]Antara azan dan iqamah. [KETIGA] Ketika sujud dalam salat. [KEEMPAT]Pada akhir salat sebelum salam. Semua ini adalah waktu-waktu yang mustajab. [KELIMA] Pada hari Jumat, antara azan dan akhir Salat Jumat. Yaitu antara azan kedua yang dikumandangkan saat khatib datang, hingga selesai Salat Jumat. Ini termasuk waktu yang mustajab. [KEENAM] Demikian juga waktu sore pada hari Jumat, yaitu setelah Asar hingga tenggelamnya matahari. Ini juga termasuk waktu yang mustajab. Disyariatkan juga bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan ketika berdoa untuk memfokuskan dan menghadirkan hati saat berdoa. Apabila dia dalam keadaan suci dan menghadap kiblat, maka doa itu lebih diharapkan untuk dikabulkan. Kita memohon taufik kepada Allah untuk kita semua. Hendaklah diketahui juga bahwa lalai saat berdoa adalah salah satu sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga kemaksiatan, termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga memakan harta riba dan harta haram lainnya, termasuk juga sebab tidak dikabulkannya doa. Maka wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk menjauhi setiap hal yang menghalangi dikabulkannya doa, seperti maksiat yang haram dilakukan, kemaksiatan-kemaksiatan dan lainnya yang merupakan sebab tidak dikabulkannya doa, berupa hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti riba, khianat terhadap amanah, dan penipuan dalam transaksi. Semua ini disebut dengan kemaksiatan. Maksudnya, segala jenis kemaksiatan termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan kezaliman terhadap orang lain seperti khianat dan penipuan maka itu lebih besar dosanya dan lebih berat dalam menghalangi terkabulnya doa. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Demikian. Jazakumullahu khairan. ==== مَا هِيَ أَرْجَى سَاعَاتِ الْإِجَابَة؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرَ الْجَزَاءِ سَاعَاتُ الْإِجَابَةِ مُتَعَدِّدَةٌ مِنْهَا الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ وَمِنْهَا مَا بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَمِنْهَا السُّجُودُ حَالَ السُّجُودِ وَمِنْهَا آخِرُ الصَّلَاةِ قَبْلَ السَّلَامِ كُلُّ هَذِهِ مِنْ سَاعَاتِ الْإِجَابَةِ وَمِنْهَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَنِهَايَةِ الصَّلَاةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ الْأَخِيْرِ الَّذِي عِنْدَ دُخُولِ الْخَطِيبِ إِلَى أَنْ تَنْتَهِيَ الصَّلَاةُ هَذَا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ آخِرَ النَّهَارِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ أَيْضًا سَاعَةُ إِجَابَةٍ وَيُشْرَعُ لِلْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ عِنْدَ الدُّعَاءِ إِقْبَالُ الْقَلْبِ عَلَى الدُّعَاءِ وَالْحُضُورِ بِالْقَلْبِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَإِذَا كَانَ عَلَى طَهَارَةٍ وَمُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ كَانَ ذَلِكَ أَرْجَى فِي قَبُولِ الدُّعَاءِ نَسْأَلُ اللهَ لِلْجَمِيعِ التَّوْفِيقَ وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الْغَفْلَةَ عِنْدَ الدُّعَاءِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ أَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ الْحَرَامِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ فَالْوَاجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ الْحَذَرُ مِنْ كُلِّ مَا يَمْنَعُ الْإِجَابَةَ مِنَ الْمَعَاصِي الْمُحَرَّمَةِ مِنَ الْمَعَاصِي وَغَيْرِهَا مِمَّا هُوَ سَبَبٌ لِعَدَمِ الْإِجَابَةِ مِمَّا حَرَّمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ كَالرِّبَا وَخِيَانَةِ الأَمَانَاتِ وَالْغِشِّ بِالْمُعَامَلَاتِ كُلُّ هَذَا يُسَمَّى المَعَاصِي الْمَقْصُودُ أَنَّ جِنْسَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ وَإِذَا كَانَتْ الْمَعْصِيَةُ تَتَعَلَّقُ بِظُلْمِ النَّاسِ كَخِيَانَةٍ وَغِشٍّ كَانَ ذَلِكَ أَشَدَّ فِي الإِثْمِ وَأَشَدَّ فِي حِرْمَانِ الْإِجَابَةِ نَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا
6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #nasehatulama PERTANYAAN: Kapan waktu-waktu yang paling mustajab? Semoga Allah membalas Anda dengan sebaik-baik kebaikan. JAWABAN: Waktu-waktu yang mustajab ada banyak. Di antaranya: [PERTAMA] Sepertiga malam yang terakhir. [KEDUA]Antara azan dan iqamah. [KETIGA] Ketika sujud dalam salat. [KEEMPAT]Pada akhir salat sebelum salam. Semua ini adalah waktu-waktu yang mustajab. [KELIMA] Pada hari Jumat, antara azan dan akhir Salat Jumat. Yaitu antara azan kedua yang dikumandangkan saat khatib datang, hingga selesai Salat Jumat. Ini termasuk waktu yang mustajab. [KEENAM] Demikian juga waktu sore pada hari Jumat, yaitu setelah Asar hingga tenggelamnya matahari. Ini juga termasuk waktu yang mustajab. Disyariatkan juga bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan ketika berdoa untuk memfokuskan dan menghadirkan hati saat berdoa. Apabila dia dalam keadaan suci dan menghadap kiblat, maka doa itu lebih diharapkan untuk dikabulkan. Kita memohon taufik kepada Allah untuk kita semua. Hendaklah diketahui juga bahwa lalai saat berdoa adalah salah satu sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga kemaksiatan, termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga memakan harta riba dan harta haram lainnya, termasuk juga sebab tidak dikabulkannya doa. Maka wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk menjauhi setiap hal yang menghalangi dikabulkannya doa, seperti maksiat yang haram dilakukan, kemaksiatan-kemaksiatan dan lainnya yang merupakan sebab tidak dikabulkannya doa, berupa hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti riba, khianat terhadap amanah, dan penipuan dalam transaksi. Semua ini disebut dengan kemaksiatan. Maksudnya, segala jenis kemaksiatan termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan kezaliman terhadap orang lain seperti khianat dan penipuan maka itu lebih besar dosanya dan lebih berat dalam menghalangi terkabulnya doa. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Demikian. Jazakumullahu khairan. ==== مَا هِيَ أَرْجَى سَاعَاتِ الْإِجَابَة؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرَ الْجَزَاءِ سَاعَاتُ الْإِجَابَةِ مُتَعَدِّدَةٌ مِنْهَا الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ وَمِنْهَا مَا بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَمِنْهَا السُّجُودُ حَالَ السُّجُودِ وَمِنْهَا آخِرُ الصَّلَاةِ قَبْلَ السَّلَامِ كُلُّ هَذِهِ مِنْ سَاعَاتِ الْإِجَابَةِ وَمِنْهَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَنِهَايَةِ الصَّلَاةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ الْأَخِيْرِ الَّذِي عِنْدَ دُخُولِ الْخَطِيبِ إِلَى أَنْ تَنْتَهِيَ الصَّلَاةُ هَذَا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ آخِرَ النَّهَارِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ أَيْضًا سَاعَةُ إِجَابَةٍ وَيُشْرَعُ لِلْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ عِنْدَ الدُّعَاءِ إِقْبَالُ الْقَلْبِ عَلَى الدُّعَاءِ وَالْحُضُورِ بِالْقَلْبِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَإِذَا كَانَ عَلَى طَهَارَةٍ وَمُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ كَانَ ذَلِكَ أَرْجَى فِي قَبُولِ الدُّعَاءِ نَسْأَلُ اللهَ لِلْجَمِيعِ التَّوْفِيقَ وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الْغَفْلَةَ عِنْدَ الدُّعَاءِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ أَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ الْحَرَامِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ فَالْوَاجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ الْحَذَرُ مِنْ كُلِّ مَا يَمْنَعُ الْإِجَابَةَ مِنَ الْمَعَاصِي الْمُحَرَّمَةِ مِنَ الْمَعَاصِي وَغَيْرِهَا مِمَّا هُوَ سَبَبٌ لِعَدَمِ الْإِجَابَةِ مِمَّا حَرَّمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ كَالرِّبَا وَخِيَانَةِ الأَمَانَاتِ وَالْغِشِّ بِالْمُعَامَلَاتِ كُلُّ هَذَا يُسَمَّى المَعَاصِي الْمَقْصُودُ أَنَّ جِنْسَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ وَإِذَا كَانَتْ الْمَعْصِيَةُ تَتَعَلَّقُ بِظُلْمِ النَّاسِ كَخِيَانَةٍ وَغِشٍّ كَانَ ذَلِكَ أَشَدَّ فِي الإِثْمِ وَأَشَدَّ فِي حِرْمَانِ الْإِجَابَةِ نَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا


6 Waktu Mustajab Terkabulnya Doa – Syaikh Bin Baz #nasehatulama PERTANYAAN: Kapan waktu-waktu yang paling mustajab? Semoga Allah membalas Anda dengan sebaik-baik kebaikan. JAWABAN: Waktu-waktu yang mustajab ada banyak. Di antaranya: [PERTAMA] Sepertiga malam yang terakhir. [KEDUA]Antara azan dan iqamah. [KETIGA] Ketika sujud dalam salat. [KEEMPAT]Pada akhir salat sebelum salam. Semua ini adalah waktu-waktu yang mustajab. [KELIMA] Pada hari Jumat, antara azan dan akhir Salat Jumat. Yaitu antara azan kedua yang dikumandangkan saat khatib datang, hingga selesai Salat Jumat. Ini termasuk waktu yang mustajab. [KEENAM] Demikian juga waktu sore pada hari Jumat, yaitu setelah Asar hingga tenggelamnya matahari. Ini juga termasuk waktu yang mustajab. Disyariatkan juga bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan ketika berdoa untuk memfokuskan dan menghadirkan hati saat berdoa. Apabila dia dalam keadaan suci dan menghadap kiblat, maka doa itu lebih diharapkan untuk dikabulkan. Kita memohon taufik kepada Allah untuk kita semua. Hendaklah diketahui juga bahwa lalai saat berdoa adalah salah satu sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga kemaksiatan, termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Demikian juga memakan harta riba dan harta haram lainnya, termasuk juga sebab tidak dikabulkannya doa. Maka wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk menjauhi setiap hal yang menghalangi dikabulkannya doa, seperti maksiat yang haram dilakukan, kemaksiatan-kemaksiatan dan lainnya yang merupakan sebab tidak dikabulkannya doa, berupa hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, seperti riba, khianat terhadap amanah, dan penipuan dalam transaksi. Semua ini disebut dengan kemaksiatan. Maksudnya, segala jenis kemaksiatan termasuk sebab tidak dikabulkannya doa. Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan kezaliman terhadap orang lain seperti khianat dan penipuan maka itu lebih besar dosanya dan lebih berat dalam menghalangi terkabulnya doa. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Demikian. Jazakumullahu khairan. ==== مَا هِيَ أَرْجَى سَاعَاتِ الْإِجَابَة؟ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرَ الْجَزَاءِ سَاعَاتُ الْإِجَابَةِ مُتَعَدِّدَةٌ مِنْهَا الثُّلُثُ الْأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ وَمِنْهَا مَا بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَمِنْهَا السُّجُودُ حَالَ السُّجُودِ وَمِنْهَا آخِرُ الصَّلَاةِ قَبْلَ السَّلَامِ كُلُّ هَذِهِ مِنْ سَاعَاتِ الْإِجَابَةِ وَمِنْهَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَنِهَايَةِ الصَّلَاةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الْأَذَانِ الْأَخِيْرِ الَّذِي عِنْدَ دُخُولِ الْخَطِيبِ إِلَى أَنْ تَنْتَهِيَ الصَّلَاةُ هَذَا مِنْ أَوْقَاتِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ آخِرَ النَّهَارِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ أَيْضًا سَاعَةُ إِجَابَةٍ وَيُشْرَعُ لِلْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ عِنْدَ الدُّعَاءِ إِقْبَالُ الْقَلْبِ عَلَى الدُّعَاءِ وَالْحُضُورِ بِالْقَلْبِ عِنْدَ الدُّعَاءِ وَإِذَا كَانَ عَلَى طَهَارَةٍ وَمُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ كَانَ ذَلِكَ أَرْجَى فِي قَبُولِ الدُّعَاءِ نَسْأَلُ اللهَ لِلْجَمِيعِ التَّوْفِيقَ وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الْغَفْلَةَ عِنْدَ الدُّعَاءِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ كَذَلِكَ أَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ الْحَرَامِ مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ فَالْوَاجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ الْحَذَرُ مِنْ كُلِّ مَا يَمْنَعُ الْإِجَابَةَ مِنَ الْمَعَاصِي الْمُحَرَّمَةِ مِنَ الْمَعَاصِي وَغَيْرِهَا مِمَّا هُوَ سَبَبٌ لِعَدَمِ الْإِجَابَةِ مِمَّا حَرَّمَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ كَالرِّبَا وَخِيَانَةِ الأَمَانَاتِ وَالْغِشِّ بِالْمُعَامَلَاتِ كُلُّ هَذَا يُسَمَّى المَعَاصِي الْمَقْصُودُ أَنَّ جِنْسَ الْمَعَاصِي مِنْ أَسْبَابِ عَدَمِ الْإِجَابَةِ وَإِذَا كَانَتْ الْمَعْصِيَةُ تَتَعَلَّقُ بِظُلْمِ النَّاسِ كَخِيَانَةٍ وَغِشٍّ كَانَ ذَلِكَ أَشَدَّ فِي الإِثْمِ وَأَشَدَّ فِي حِرْمَانِ الْإِجَابَةِ نَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ نَعَمْ جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا

Teks Khotbah Jumat: Kiat Selamat dari Fitnah Akhir Zaman

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, karena takwa merupakan bekal terbaik bagi seorang muslim baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Sesungguhnya kita hidup di penghujung zaman. Zaman di mana fitnah syahwat dan syubhat merajalela. Zaman di mana seorang muslim tidak henti-hentinya diterjang berbagai macam fitnah dan ujian. Zaman di mana kebenaran seringkali menjadi kabur dan kemaksiatan serta perbuatan dosa dihias dan dipercantik seolah-olah indah dan baik untuk dilakukan. Baginda besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sejak ribuan tahun yang lalu telah mengingatkan akan banyaknya fitnah di zaman ini. Beliau bersabda, إنَّ بين أيديكم فِتَنًا كقِطَعِ اللَّيْلِ المُظلِمِ، يُصبِحُ الرَّجُلُ فيها مُؤمِنًا ويُمْسي كافرًا، ويُمْسي مُؤمِنًا ويُصبِحُ كافرًا، القاعدُ فيها خَيْرٌ مِن القائمِ، والقائمُ فيها خيرٌ مِن الماشي، والماشي فيها خَيْرٌ مِن السَّاعي، قالوا: فما تأمُرُنا ؟ قال: كونوا أحلاسَ بُيوتِكم. “Akan datang kepada kalian fitnah sebagaimana malam yang gelap gulita. Pada masa itu, seorang beriman di pagi hari lalu kafir di sore hari, orang yang beriman di pagi hari lalu menjadi kafir di sore harinya. Orang yang duduk lebih baik dari orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berlari.” Para sahabat bertanya, “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4262) Betapa besarnya fitnah tersebut sampai-sampai ia tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, hingga dengan mudahnya terjerumus ke dalam kekufuran atau hal-hal yang akan mengantarkan kepadanya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis. Bisa jadi di pagi hari seseorang masih menunjukkan keislamannya, akan tetapi di sore harinya ia berubah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Naudzubillahi min dzalik. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Dikisahkan bahwa dahulu kala sebagian kaum muslimin datang mengadu kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu perihal apa yang menimpa mereka dari fitnah Hajjaj bin Yusuf. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu memberikan nasihat, اصْبِرُوا؛ فإنَّهُ لا يَأْتي علَيْكُم زَمَانٌ إلَّا الذي بَعْدَهُ شَرٌّ منهُ، حتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ، سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ “Bersabarlah, sebab tidaklah kalian melalui suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga kalian berjumpa Tuhan kalian. Aku mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 7068) Sebagian dari kita mungkin akan bertanya, bukankan ini ketidakadilan? Mereka yang hidup jauh dari sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun justru mendekatkan cobaan fitnah yang lebih besar dan lebih berat?! Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh syariat Islam adalah syariat yang adil dan menjunjung tinggi keadilan. Mengenai kondisi umat yang mendapatkan ujian fitnah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan tentang keutamaan mereka, الْعِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إلَيَّ “Ibadah saat terjadi banyak fitnah itu seperti hijrah menujuku.” (HR. Muslim no. 2948) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum, niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka, barangsiapa yang rida (dengan ketetapan Allah –pent), maka Allah akan rida kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak rida, maka Allah pun tidak akan rida kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031 dengan sanad yang hasan.) Di dalam hadis tersebut, dijelaskan bahwa semakin besar ujian dan fitnah yang dihadapi oleh seorang hamba, maka semakin besar pula pahala kesabaran dan ketaatan yang diperolehnya. Dijelaskan juga bahwa semakin banyak seorang hamba itu diuji, maka itu adalah salah satu pertanda bahwa Allah Ta’ala mencintai-Nya. Semoga kita semua termasuk hamba Allah yang bersabar ketika diuji, serta termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mendapatkan rasa kasih sayang dan cinta dari-Nya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Di zaman yang penuh dengan fitnah ini, di zaman di mana kebanyakan manusia seringkali menjadi bingung karena banyaknya kerancuan dalam beragama dan bercampurnya kebatilan dengan kebenaran, tidak ada solusi yang lebih baik selain fokus dalam belajar dan memperkaya diri dengan ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkannya, dan berpegang teguh dengan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أُوصيكم بتقوى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ والسمعِ والطاعةِ، وإن تأمَّر عليكم عبدٌ، فإنه من يعِشْ مِنكُم فسيرى اختلافًا كثيرًا فعليكُم بسنتي وسُنَّةِ الخلفاءِ الراشدِينَ المهدِيِّينَ تمسّكوا بِهَا، وعَضّوا عليهَا بالنَّواجذِ، وإياكم ومحدثاتِ الأمورِ فإنَّ كلَّ محدثةٍ بدعَةٌ، وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ ”Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa) meskipun kalian diperintah oleh seorang budak Habasyi. Dan sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid`ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 43) Syekh Binbaz rahimahullah mengatakan, “Tidak ada jalan keluar agar terhindar dari segala macam fitnah dan selamat darinya, kecuali dengan memahami Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengetahui manhaj (metode beragama) para pendahulu umat kita dari kalangan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan para imam ulama Islam serta para pendakwah ke jalan hidayah.” Jemaah Jumat yang berbahagia, Saat badai fitnah ini menerjang dengan begitu kerasnya, membuat kita seakan-akan sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya, maka ingatlah agar jangan sampai meninggalkan jemaah kaum muslimin dan para ulama serta para pemimpinnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah sahabat beliau, تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ “(Dalam situasi tersebarnya fitnah, maka hendaklah) kamu tetap bersama jemaah kaum muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jemaah dan imam (bagaimana)?” Beliau menjawab, “Jauhilah semua firqah (golongan) itu, meskipun kamu harus menggigit akar pohon sampai maut menjemputmu dan kamu berada di atasnya.” (HR. Bukhari no. 3606) Allah Ta’ala juga berfirman, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103) Berada di barisan kaum muslimin dan bersama mereka adalah karunia. Adapun perpecahan dan perselisihan di antara mereka, maka akan membawa bencana dan malapetaka. Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa serigala hanya akan menerkam domba yang sedang sendirian dan terpisah dari rombongannya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, semua usaha kita agar terhindar dari fitnah tidak akan sempurna, kecuali dengan melibatkan Allah di dalamnya. Sepantasnya bagi diri kita untuk terus memohon dan berdoa kepada-Nya agar diberikan hidayah dan keselamatan dari ancaman fitnah yang besar ini.  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada kita, تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ قَالُوا: نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ “Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” Mereka para sahabat berkata, “Kami berlindung diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” (HR. Muslim no. 2867) Berdoa dan memohon perlindungan dari fitnah juga diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk senantiasa kita lakukan sesaat sebelum salam dan sesudah tasyahud akhir. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan salah satu doa yang senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam salatnya, اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ “Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al-Masih Ad-Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu dari segala macam fitnah dan ujian ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang.” (HR. Bukhari, no. 832 dan Muslim, no. 589) Ma’asyiral mukminin yang dirahmati Allah Ta’ala, Marilah kita berdoa agar Allah Ta’ala menyelamatkan kita dari berbagai macam fitnah dan ujian dalam kehidupan kita, baik itu fitnah dalam bentuk harta, kedudukan, ketidakcukupan, ataupun fitnah kebodohan yang menimpa sehingga membuat kita terjatuh ke dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Semoga Allah jadikan kita hamba-hamba-Nya yang cerdas di dalam menyikapi setiap fitnah yang ada, tidak mudah terbawa arus dan berhati-hati dalam mengambil langkah di setiap keputusan yang kita ambil. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Sebab Meraih Kemenangan dan Pertolongan Allah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanfitnah

Teks Khotbah Jumat: Kiat Selamat dari Fitnah Akhir Zaman

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, karena takwa merupakan bekal terbaik bagi seorang muslim baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Sesungguhnya kita hidup di penghujung zaman. Zaman di mana fitnah syahwat dan syubhat merajalela. Zaman di mana seorang muslim tidak henti-hentinya diterjang berbagai macam fitnah dan ujian. Zaman di mana kebenaran seringkali menjadi kabur dan kemaksiatan serta perbuatan dosa dihias dan dipercantik seolah-olah indah dan baik untuk dilakukan. Baginda besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sejak ribuan tahun yang lalu telah mengingatkan akan banyaknya fitnah di zaman ini. Beliau bersabda, إنَّ بين أيديكم فِتَنًا كقِطَعِ اللَّيْلِ المُظلِمِ، يُصبِحُ الرَّجُلُ فيها مُؤمِنًا ويُمْسي كافرًا، ويُمْسي مُؤمِنًا ويُصبِحُ كافرًا، القاعدُ فيها خَيْرٌ مِن القائمِ، والقائمُ فيها خيرٌ مِن الماشي، والماشي فيها خَيْرٌ مِن السَّاعي، قالوا: فما تأمُرُنا ؟ قال: كونوا أحلاسَ بُيوتِكم. “Akan datang kepada kalian fitnah sebagaimana malam yang gelap gulita. Pada masa itu, seorang beriman di pagi hari lalu kafir di sore hari, orang yang beriman di pagi hari lalu menjadi kafir di sore harinya. Orang yang duduk lebih baik dari orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berlari.” Para sahabat bertanya, “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4262) Betapa besarnya fitnah tersebut sampai-sampai ia tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, hingga dengan mudahnya terjerumus ke dalam kekufuran atau hal-hal yang akan mengantarkan kepadanya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis. Bisa jadi di pagi hari seseorang masih menunjukkan keislamannya, akan tetapi di sore harinya ia berubah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Naudzubillahi min dzalik. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Dikisahkan bahwa dahulu kala sebagian kaum muslimin datang mengadu kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu perihal apa yang menimpa mereka dari fitnah Hajjaj bin Yusuf. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu memberikan nasihat, اصْبِرُوا؛ فإنَّهُ لا يَأْتي علَيْكُم زَمَانٌ إلَّا الذي بَعْدَهُ شَرٌّ منهُ، حتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ، سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ “Bersabarlah, sebab tidaklah kalian melalui suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga kalian berjumpa Tuhan kalian. Aku mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 7068) Sebagian dari kita mungkin akan bertanya, bukankan ini ketidakadilan? Mereka yang hidup jauh dari sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun justru mendekatkan cobaan fitnah yang lebih besar dan lebih berat?! Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh syariat Islam adalah syariat yang adil dan menjunjung tinggi keadilan. Mengenai kondisi umat yang mendapatkan ujian fitnah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan tentang keutamaan mereka, الْعِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إلَيَّ “Ibadah saat terjadi banyak fitnah itu seperti hijrah menujuku.” (HR. Muslim no. 2948) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum, niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka, barangsiapa yang rida (dengan ketetapan Allah –pent), maka Allah akan rida kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak rida, maka Allah pun tidak akan rida kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031 dengan sanad yang hasan.) Di dalam hadis tersebut, dijelaskan bahwa semakin besar ujian dan fitnah yang dihadapi oleh seorang hamba, maka semakin besar pula pahala kesabaran dan ketaatan yang diperolehnya. Dijelaskan juga bahwa semakin banyak seorang hamba itu diuji, maka itu adalah salah satu pertanda bahwa Allah Ta’ala mencintai-Nya. Semoga kita semua termasuk hamba Allah yang bersabar ketika diuji, serta termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mendapatkan rasa kasih sayang dan cinta dari-Nya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Di zaman yang penuh dengan fitnah ini, di zaman di mana kebanyakan manusia seringkali menjadi bingung karena banyaknya kerancuan dalam beragama dan bercampurnya kebatilan dengan kebenaran, tidak ada solusi yang lebih baik selain fokus dalam belajar dan memperkaya diri dengan ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkannya, dan berpegang teguh dengan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أُوصيكم بتقوى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ والسمعِ والطاعةِ، وإن تأمَّر عليكم عبدٌ، فإنه من يعِشْ مِنكُم فسيرى اختلافًا كثيرًا فعليكُم بسنتي وسُنَّةِ الخلفاءِ الراشدِينَ المهدِيِّينَ تمسّكوا بِهَا، وعَضّوا عليهَا بالنَّواجذِ، وإياكم ومحدثاتِ الأمورِ فإنَّ كلَّ محدثةٍ بدعَةٌ، وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ ”Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa) meskipun kalian diperintah oleh seorang budak Habasyi. Dan sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid`ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 43) Syekh Binbaz rahimahullah mengatakan, “Tidak ada jalan keluar agar terhindar dari segala macam fitnah dan selamat darinya, kecuali dengan memahami Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengetahui manhaj (metode beragama) para pendahulu umat kita dari kalangan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan para imam ulama Islam serta para pendakwah ke jalan hidayah.” Jemaah Jumat yang berbahagia, Saat badai fitnah ini menerjang dengan begitu kerasnya, membuat kita seakan-akan sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya, maka ingatlah agar jangan sampai meninggalkan jemaah kaum muslimin dan para ulama serta para pemimpinnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah sahabat beliau, تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ “(Dalam situasi tersebarnya fitnah, maka hendaklah) kamu tetap bersama jemaah kaum muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jemaah dan imam (bagaimana)?” Beliau menjawab, “Jauhilah semua firqah (golongan) itu, meskipun kamu harus menggigit akar pohon sampai maut menjemputmu dan kamu berada di atasnya.” (HR. Bukhari no. 3606) Allah Ta’ala juga berfirman, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103) Berada di barisan kaum muslimin dan bersama mereka adalah karunia. Adapun perpecahan dan perselisihan di antara mereka, maka akan membawa bencana dan malapetaka. Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa serigala hanya akan menerkam domba yang sedang sendirian dan terpisah dari rombongannya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, semua usaha kita agar terhindar dari fitnah tidak akan sempurna, kecuali dengan melibatkan Allah di dalamnya. Sepantasnya bagi diri kita untuk terus memohon dan berdoa kepada-Nya agar diberikan hidayah dan keselamatan dari ancaman fitnah yang besar ini.  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada kita, تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ قَالُوا: نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ “Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” Mereka para sahabat berkata, “Kami berlindung diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” (HR. Muslim no. 2867) Berdoa dan memohon perlindungan dari fitnah juga diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk senantiasa kita lakukan sesaat sebelum salam dan sesudah tasyahud akhir. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan salah satu doa yang senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam salatnya, اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ “Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al-Masih Ad-Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu dari segala macam fitnah dan ujian ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang.” (HR. Bukhari, no. 832 dan Muslim, no. 589) Ma’asyiral mukminin yang dirahmati Allah Ta’ala, Marilah kita berdoa agar Allah Ta’ala menyelamatkan kita dari berbagai macam fitnah dan ujian dalam kehidupan kita, baik itu fitnah dalam bentuk harta, kedudukan, ketidakcukupan, ataupun fitnah kebodohan yang menimpa sehingga membuat kita terjatuh ke dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Semoga Allah jadikan kita hamba-hamba-Nya yang cerdas di dalam menyikapi setiap fitnah yang ada, tidak mudah terbawa arus dan berhati-hati dalam mengambil langkah di setiap keputusan yang kita ambil. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Sebab Meraih Kemenangan dan Pertolongan Allah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanfitnah
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, karena takwa merupakan bekal terbaik bagi seorang muslim baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Sesungguhnya kita hidup di penghujung zaman. Zaman di mana fitnah syahwat dan syubhat merajalela. Zaman di mana seorang muslim tidak henti-hentinya diterjang berbagai macam fitnah dan ujian. Zaman di mana kebenaran seringkali menjadi kabur dan kemaksiatan serta perbuatan dosa dihias dan dipercantik seolah-olah indah dan baik untuk dilakukan. Baginda besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sejak ribuan tahun yang lalu telah mengingatkan akan banyaknya fitnah di zaman ini. Beliau bersabda, إنَّ بين أيديكم فِتَنًا كقِطَعِ اللَّيْلِ المُظلِمِ، يُصبِحُ الرَّجُلُ فيها مُؤمِنًا ويُمْسي كافرًا، ويُمْسي مُؤمِنًا ويُصبِحُ كافرًا، القاعدُ فيها خَيْرٌ مِن القائمِ، والقائمُ فيها خيرٌ مِن الماشي، والماشي فيها خَيْرٌ مِن السَّاعي، قالوا: فما تأمُرُنا ؟ قال: كونوا أحلاسَ بُيوتِكم. “Akan datang kepada kalian fitnah sebagaimana malam yang gelap gulita. Pada masa itu, seorang beriman di pagi hari lalu kafir di sore hari, orang yang beriman di pagi hari lalu menjadi kafir di sore harinya. Orang yang duduk lebih baik dari orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berlari.” Para sahabat bertanya, “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4262) Betapa besarnya fitnah tersebut sampai-sampai ia tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, hingga dengan mudahnya terjerumus ke dalam kekufuran atau hal-hal yang akan mengantarkan kepadanya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis. Bisa jadi di pagi hari seseorang masih menunjukkan keislamannya, akan tetapi di sore harinya ia berubah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Naudzubillahi min dzalik. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Dikisahkan bahwa dahulu kala sebagian kaum muslimin datang mengadu kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu perihal apa yang menimpa mereka dari fitnah Hajjaj bin Yusuf. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu memberikan nasihat, اصْبِرُوا؛ فإنَّهُ لا يَأْتي علَيْكُم زَمَانٌ إلَّا الذي بَعْدَهُ شَرٌّ منهُ، حتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ، سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ “Bersabarlah, sebab tidaklah kalian melalui suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga kalian berjumpa Tuhan kalian. Aku mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 7068) Sebagian dari kita mungkin akan bertanya, bukankan ini ketidakadilan? Mereka yang hidup jauh dari sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun justru mendekatkan cobaan fitnah yang lebih besar dan lebih berat?! Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh syariat Islam adalah syariat yang adil dan menjunjung tinggi keadilan. Mengenai kondisi umat yang mendapatkan ujian fitnah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan tentang keutamaan mereka, الْعِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إلَيَّ “Ibadah saat terjadi banyak fitnah itu seperti hijrah menujuku.” (HR. Muslim no. 2948) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum, niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka, barangsiapa yang rida (dengan ketetapan Allah –pent), maka Allah akan rida kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak rida, maka Allah pun tidak akan rida kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031 dengan sanad yang hasan.) Di dalam hadis tersebut, dijelaskan bahwa semakin besar ujian dan fitnah yang dihadapi oleh seorang hamba, maka semakin besar pula pahala kesabaran dan ketaatan yang diperolehnya. Dijelaskan juga bahwa semakin banyak seorang hamba itu diuji, maka itu adalah salah satu pertanda bahwa Allah Ta’ala mencintai-Nya. Semoga kita semua termasuk hamba Allah yang bersabar ketika diuji, serta termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mendapatkan rasa kasih sayang dan cinta dari-Nya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Di zaman yang penuh dengan fitnah ini, di zaman di mana kebanyakan manusia seringkali menjadi bingung karena banyaknya kerancuan dalam beragama dan bercampurnya kebatilan dengan kebenaran, tidak ada solusi yang lebih baik selain fokus dalam belajar dan memperkaya diri dengan ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkannya, dan berpegang teguh dengan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أُوصيكم بتقوى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ والسمعِ والطاعةِ، وإن تأمَّر عليكم عبدٌ، فإنه من يعِشْ مِنكُم فسيرى اختلافًا كثيرًا فعليكُم بسنتي وسُنَّةِ الخلفاءِ الراشدِينَ المهدِيِّينَ تمسّكوا بِهَا، وعَضّوا عليهَا بالنَّواجذِ، وإياكم ومحدثاتِ الأمورِ فإنَّ كلَّ محدثةٍ بدعَةٌ، وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ ”Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa) meskipun kalian diperintah oleh seorang budak Habasyi. Dan sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid`ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 43) Syekh Binbaz rahimahullah mengatakan, “Tidak ada jalan keluar agar terhindar dari segala macam fitnah dan selamat darinya, kecuali dengan memahami Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengetahui manhaj (metode beragama) para pendahulu umat kita dari kalangan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan para imam ulama Islam serta para pendakwah ke jalan hidayah.” Jemaah Jumat yang berbahagia, Saat badai fitnah ini menerjang dengan begitu kerasnya, membuat kita seakan-akan sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya, maka ingatlah agar jangan sampai meninggalkan jemaah kaum muslimin dan para ulama serta para pemimpinnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah sahabat beliau, تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ “(Dalam situasi tersebarnya fitnah, maka hendaklah) kamu tetap bersama jemaah kaum muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jemaah dan imam (bagaimana)?” Beliau menjawab, “Jauhilah semua firqah (golongan) itu, meskipun kamu harus menggigit akar pohon sampai maut menjemputmu dan kamu berada di atasnya.” (HR. Bukhari no. 3606) Allah Ta’ala juga berfirman, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103) Berada di barisan kaum muslimin dan bersama mereka adalah karunia. Adapun perpecahan dan perselisihan di antara mereka, maka akan membawa bencana dan malapetaka. Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa serigala hanya akan menerkam domba yang sedang sendirian dan terpisah dari rombongannya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, semua usaha kita agar terhindar dari fitnah tidak akan sempurna, kecuali dengan melibatkan Allah di dalamnya. Sepantasnya bagi diri kita untuk terus memohon dan berdoa kepada-Nya agar diberikan hidayah dan keselamatan dari ancaman fitnah yang besar ini.  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada kita, تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ قَالُوا: نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ “Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” Mereka para sahabat berkata, “Kami berlindung diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” (HR. Muslim no. 2867) Berdoa dan memohon perlindungan dari fitnah juga diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk senantiasa kita lakukan sesaat sebelum salam dan sesudah tasyahud akhir. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan salah satu doa yang senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam salatnya, اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ “Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al-Masih Ad-Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu dari segala macam fitnah dan ujian ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang.” (HR. Bukhari, no. 832 dan Muslim, no. 589) Ma’asyiral mukminin yang dirahmati Allah Ta’ala, Marilah kita berdoa agar Allah Ta’ala menyelamatkan kita dari berbagai macam fitnah dan ujian dalam kehidupan kita, baik itu fitnah dalam bentuk harta, kedudukan, ketidakcukupan, ataupun fitnah kebodohan yang menimpa sehingga membuat kita terjatuh ke dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Semoga Allah jadikan kita hamba-hamba-Nya yang cerdas di dalam menyikapi setiap fitnah yang ada, tidak mudah terbawa arus dan berhati-hati dalam mengambil langkah di setiap keputusan yang kita ambil. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Sebab Meraih Kemenangan dan Pertolongan Allah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanfitnah


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala, karena takwa merupakan bekal terbaik bagi seorang muslim baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Allah Ta’ala berfirman, وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197) Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Sesungguhnya kita hidup di penghujung zaman. Zaman di mana fitnah syahwat dan syubhat merajalela. Zaman di mana seorang muslim tidak henti-hentinya diterjang berbagai macam fitnah dan ujian. Zaman di mana kebenaran seringkali menjadi kabur dan kemaksiatan serta perbuatan dosa dihias dan dipercantik seolah-olah indah dan baik untuk dilakukan. Baginda besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sejak ribuan tahun yang lalu telah mengingatkan akan banyaknya fitnah di zaman ini. Beliau bersabda, إنَّ بين أيديكم فِتَنًا كقِطَعِ اللَّيْلِ المُظلِمِ، يُصبِحُ الرَّجُلُ فيها مُؤمِنًا ويُمْسي كافرًا، ويُمْسي مُؤمِنًا ويُصبِحُ كافرًا، القاعدُ فيها خَيْرٌ مِن القائمِ، والقائمُ فيها خيرٌ مِن الماشي، والماشي فيها خَيْرٌ مِن السَّاعي، قالوا: فما تأمُرُنا ؟ قال: كونوا أحلاسَ بُيوتِكم. “Akan datang kepada kalian fitnah sebagaimana malam yang gelap gulita. Pada masa itu, seorang beriman di pagi hari lalu kafir di sore hari, orang yang beriman di pagi hari lalu menjadi kafir di sore harinya. Orang yang duduk lebih baik dari orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berlari.” Para sahabat bertanya, “Lalu, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4262) Betapa besarnya fitnah tersebut sampai-sampai ia tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, hingga dengan mudahnya terjerumus ke dalam kekufuran atau hal-hal yang akan mengantarkan kepadanya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis. Bisa jadi di pagi hari seseorang masih menunjukkan keislamannya, akan tetapi di sore harinya ia berubah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Naudzubillahi min dzalik. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, Dikisahkan bahwa dahulu kala sebagian kaum muslimin datang mengadu kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu perihal apa yang menimpa mereka dari fitnah Hajjaj bin Yusuf. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu memberikan nasihat, اصْبِرُوا؛ فإنَّهُ لا يَأْتي علَيْكُم زَمَانٌ إلَّا الذي بَعْدَهُ شَرٌّ منهُ، حتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ، سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ “Bersabarlah, sebab tidaklah kalian melalui suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga kalian berjumpa Tuhan kalian. Aku mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari no. 7068) Sebagian dari kita mungkin akan bertanya, bukankan ini ketidakadilan? Mereka yang hidup jauh dari sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun justru mendekatkan cobaan fitnah yang lebih besar dan lebih berat?! Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh syariat Islam adalah syariat yang adil dan menjunjung tinggi keadilan. Mengenai kondisi umat yang mendapatkan ujian fitnah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan tentang keutamaan mereka, الْعِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إلَيَّ “Ibadah saat terjadi banyak fitnah itu seperti hijrah menujuku.” (HR. Muslim no. 2948) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum, niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka, barangsiapa yang rida (dengan ketetapan Allah –pent), maka Allah akan rida kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak rida, maka Allah pun tidak akan rida kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031 dengan sanad yang hasan.) Di dalam hadis tersebut, dijelaskan bahwa semakin besar ujian dan fitnah yang dihadapi oleh seorang hamba, maka semakin besar pula pahala kesabaran dan ketaatan yang diperolehnya. Dijelaskan juga bahwa semakin banyak seorang hamba itu diuji, maka itu adalah salah satu pertanda bahwa Allah Ta’ala mencintai-Nya. Semoga kita semua termasuk hamba Allah yang bersabar ketika diuji, serta termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mendapatkan rasa kasih sayang dan cinta dari-Nya. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Pentingnya Teman Saleh di Zaman Keterasingan Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ. Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Ma’asyiral mukminin, yang mencintai dan dicintai oleh Allah Ta’ala, Di zaman yang penuh dengan fitnah ini, di zaman di mana kebanyakan manusia seringkali menjadi bingung karena banyaknya kerancuan dalam beragama dan bercampurnya kebatilan dengan kebenaran, tidak ada solusi yang lebih baik selain fokus dalam belajar dan memperkaya diri dengan ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkannya, dan berpegang teguh dengan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, أُوصيكم بتقوى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ والسمعِ والطاعةِ، وإن تأمَّر عليكم عبدٌ، فإنه من يعِشْ مِنكُم فسيرى اختلافًا كثيرًا فعليكُم بسنتي وسُنَّةِ الخلفاءِ الراشدِينَ المهدِيِّينَ تمسّكوا بِهَا، وعَضّوا عليهَا بالنَّواجذِ، وإياكم ومحدثاتِ الأمورِ فإنَّ كلَّ محدثةٍ بدعَةٌ، وكلَّ بدعةٍ ضلالةٌ ”Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa) meskipun kalian diperintah oleh seorang budak Habasyi. Dan sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid`ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Majah no. 43) Syekh Binbaz rahimahullah mengatakan, “Tidak ada jalan keluar agar terhindar dari segala macam fitnah dan selamat darinya, kecuali dengan memahami Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengetahui manhaj (metode beragama) para pendahulu umat kita dari kalangan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan para imam ulama Islam serta para pendakwah ke jalan hidayah.” Jemaah Jumat yang berbahagia, Saat badai fitnah ini menerjang dengan begitu kerasnya, membuat kita seakan-akan sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya, maka ingatlah agar jangan sampai meninggalkan jemaah kaum muslimin dan para ulama serta para pemimpinnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah sahabat beliau, تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ “(Dalam situasi tersebarnya fitnah, maka hendaklah) kamu tetap bersama jemaah kaum muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jemaah dan imam (bagaimana)?” Beliau menjawab, “Jauhilah semua firqah (golongan) itu, meskipun kamu harus menggigit akar pohon sampai maut menjemputmu dan kamu berada di atasnya.” (HR. Bukhari no. 3606) Allah Ta’ala juga berfirman, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103) Berada di barisan kaum muslimin dan bersama mereka adalah karunia. Adapun perpecahan dan perselisihan di antara mereka, maka akan membawa bencana dan malapetaka. Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa serigala hanya akan menerkam domba yang sedang sendirian dan terpisah dari rombongannya. Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, semua usaha kita agar terhindar dari fitnah tidak akan sempurna, kecuali dengan melibatkan Allah di dalamnya. Sepantasnya bagi diri kita untuk terus memohon dan berdoa kepada-Nya agar diberikan hidayah dan keselamatan dari ancaman fitnah yang besar ini.  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada kita, تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ قَالُوا: نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ “Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” Mereka para sahabat berkata, “Kami berlindung diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi.” (HR. Muslim no. 2867) Berdoa dan memohon perlindungan dari fitnah juga diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk senantiasa kita lakukan sesaat sebelum salam dan sesudah tasyahud akhir. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan salah satu doa yang senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam salatnya, اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ “Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari siksa kubur, aku meminta perlindungan pada-Mu dari cobaan Al-Masih Ad-Dajjal, aku meminta perlindungan pada-Mu dari segala macam fitnah dan ujian ketika hidup dan mati. Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari perbuatan dosa dan sulitnya berutang.” (HR. Bukhari, no. 832 dan Muslim, no. 589) Ma’asyiral mukminin yang dirahmati Allah Ta’ala, Marilah kita berdoa agar Allah Ta’ala menyelamatkan kita dari berbagai macam fitnah dan ujian dalam kehidupan kita, baik itu fitnah dalam bentuk harta, kedudukan, ketidakcukupan, ataupun fitnah kebodohan yang menimpa sehingga membuat kita terjatuh ke dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Semoga Allah jadikan kita hamba-hamba-Nya yang cerdas di dalam menyikapi setiap fitnah yang ada, tidak mudah terbawa arus dan berhati-hati dalam mengambil langkah di setiap keputusan yang kita ambil. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Sebab Meraih Kemenangan dan Pertolongan Allah *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanfitnah

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 6): Fi’il Amr

Daftar Isi Toggle Ciri-ciri fi’il amrTanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَأَمْرٌ يُعْرَفُ بِدَلَالَتِهِ عَلَى الطَّلَبِ مَعَ قَبُوْلِهِ يَاءَ المُخَاطَبَةِ “Fi’il amr bisa diketahui dengan adanya permintaan untuk melakukan perbuatan dan kata tersebut bisa bersambung dengan يَاءُ المُخَاطَبَةِ (huruf ya’ yang menunjukkan perempuan satu orang yang diajak berbicara).” Syekh Muhammad ibn Saleh Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya ini adalah pembahasan fi’il yang kedua, yaitu fi’il amr. Kata أَمْرٌ tersebut ma’tuf  (mengikuti i’rab) kata مَاضٍ yang disampaikan Ibnu Hisyam pada awal pembahasan mengenal macam-macam fi’il. Adapun kalimat lengkapnya adalah: وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاضٍ, َأَمْرٍ Ciri-ciri fi’il amr Fi’il amr mempunyai 2 ciri yang selalu ada padanya. Yaitu: Pertama, Kata yang menunjukkan perintah untuk melakukan perbuatan. Contohnya adalah أَطِعْ أَبَاكَ “Taatilah bapakmu!” Maka, kata أَطِعْ adalah fi’il amr karena kata tersebut menunjukkan perintah untuk melakukan ketaatan. Kedua, Bisa bersambung dengan  يَاء mukhathabah (perempuan satu orang yang diajak berbicara). Contohnya adalah: يَا نَجْلِاءُ أَطِيْعِيْ أَبَاكَ “Wahai Perempuan, taatilah bapakmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah  يَاءُ mukhathabah. Apabila kata menunjukkan perintah dan tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Contohnya adalah: صَهْ إِذَا تَكَلَّمَ غَيْرُكَ “Diamlah apabila orang lain berbicara.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan perintah untuk diam. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Oleh karena itu, apabila kedua syarat tidak terpenuhi, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Akan tetapi, kata tersebut adalah isim fi’il amr (isim yang bermakna perintah). Apabila ada kata yang bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah dan tidak menunjukkan perintah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Kata tersebut adalah fi’il mudhari’. Contohnya adalah: أَنْتِ – يَا هِنْدُ – تُهذِّبِيْنَ الْأَطْفَالَ “Kamu, wahai Hindun, mendidik anak-anak itu.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut hanya bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, namun tidak menunjukkan perintah. Tanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَبِنَاءُهُ عَلَى السُّكُوْنِ, كَاضْرِبْ, إِلَّا الْمُعْتَلَّ فَعَلَى حَذْفِ آخِرِهِ كَاغْزُ, وَاخْشَى, وَارْمِ, وَنَحْوَ : قُوْمَا, وَقُوْمُوْا,وَقُوْمِي, فَعَلَى حَذْفِ النُّوْنِ Fi’il amr mabni-nya dengan tanda sukun. Contohnya adalah: إِضْرِبْ  (Pukullah olehmu!) Jika fi’il amr yang diakhiri oleh mu’tal akhir (huruf yang cacat), fi’il amr yang diakhiri oleh huruf mu’tal akhir tersebut mabni dengan tanda dihapusnya huruf terakhir. Contohnya adalah: أُغْزُ (Berperanglah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  و (wawu). إِخْشَ (takutlah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ا  (alif). إِرْمِ (Lemparkanlah olehmu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ي  (ya’). Kemudian, apabila fi’il amr yang menunjukkan pelakunya أنتما (kalian berdua orang laki-laki/perempuan) dan أنتم (kalian laki-laki banyak), maka mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun. Contohnya adalah : قُوْمَا (Kalian berdua laki-laki/perempuan beririlah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ن  (nun). قُوْمُوْا (Kalian laki-laki berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). قُوْمِي (Kamu (perempuan) berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). Ibnu Hisyam menjelaskan bahwasanya fi’il amr mirip dengan fi’il madhi jika dilihat tanda i’rabnya. Yaitu: Pertama, Fi’il amr mabni dengan tanda sukun. Apabila fi’il amr tersebut adalah fi’il amr shahih akhir (yang tidak diakhiri huruf cacat (alif, wawu, dan ya’) dan tidak bersambung dengan apa pun. Contohnya adalah: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ (Bersamangatlah untuk yang bermanfaat bagimu!) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il shahih akhir dan tidak bersambung dengan huruf atau kata apa pun. Contoh fi’il amr yang bersambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak) adalah: اُتْرُكْنَ الْجِدَالَ (Wahai perempuan, tinggalkanlah perdebatan!) Maka, kata tersebut besambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak). Kedua, Fi’il amr mabni dengan menghapus huruf ‘illah (huruf cacat). Mabni dengan menghapus huruf ‘illah ketika fi’il amr kategori mu’tal akhir (yang diakhiri huruf cacat). Contohnya adalah: اُدْعُ إِلَى اللهِ بِاحِكْمَةِ “Berdakwahlah kepada Allah dengan hikmah!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut ada huruf ‘’illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  و (wawu). تَحَرَّ الصِّدْقَ فِيْمَا تَقُوْلُ “Berusahalah untuk jujur terhadap apa yang kamu katakan!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ا (alif). أَهْدِ إِلَى أَقْرَبَائِكَ “Berikanlah hadiah kepada kerabat-kerabatmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ي (ya’). Ketiga, Fi’il amr mabni dengan tanda menghapus huruf  ن (nun). Fi’il amr mabni dengan tanda tersebut apabila bersambung dengan ا  (alif istnain/menunjukkan pelakunya dua orang) atau bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan banyak), dan bersambung dengan ي mukhathabah (menunjukkan pelakunya satu orang perempuan yang diajak berbicara). Contohnya adalah: أَكْرَمَا ضُيُوْفَكُمَا “Muliakanlah  tamu-tamu kalian!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. تَصَدَّقُوْا عَلَى الْفُقَرَاءِ “Hendaklah kalian bersedekah kepada orang-orang fakir.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. أَحْسِنِي الْحِجَابَ “Perbaikilah hijabmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. Keempat, Ada tanda mabni fi’il amr yang tidak disebutkan oleh Ibnu Hisyam dan ditambahkan oleh Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan. Yaitu, Fi’il amr mabni dengan dengan tanda fathah apabila bersambung dengan nun taukid (penegas). Contohnya adalah: عَاشِرَنَّ إِخْوَانَكَ بِالمَعْرُوْفِ “Benar-benar bergaullah dengan saudaramu dengan cara yang baik.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda fathah. Adapun nun taukid tersebut mabni dengan tanda fathah dan tidak ada kedudukannya di dalam kalimat. Ibnu Hisyam mengatakan وَمِنْهُ  فِي لُغَةِ تَمِيْمً, وَهَاتَ وَتَعَالَ فِي الْأَصَح “Menurut dialeg Bani Tamim, kategori fi’il amr lainya adalah وَهَاتَ وَتَعَالَ هَلُمَّ.  Pendapat tersebut adalah pendapat yang sahih” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya penjelasan tanda mabni fi’il amr no 1-3 adalah pendapat yang sahih. Adapun kata هَلُمَّ ada dua makna. Yaitu: Pertama, Kata tersebut berkmakna أَقْبِلْ (kemarilah). Contohnya adalah: هَلُمَّ إِلَى حَلَقَاتِ الْعِلْمِ “Kemarilah ke halaqah ilmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut bermakna “kemarilah.” وَالۡقَآٮِٕلِيۡنَ لِاِخۡوَانِهِمۡ هَلُمَّ اِلَيۡنَا “Orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah bersama kami.’” (Al-Ahzab : 18) Maka, kata هَلُمَّ tersebut bermakna أَقْبِلُوْا “Kemarilah kalian!”. Kedua, Kata tersebut bisa bermakna أَحْضِرْ “Datangkanlah!” Contohnya adalah : هَلُمَّ زَمِيْلَكَ “Datangkanlah temanmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut أَحْضِرْهُ  bermakna “Hadirkanlah dia!” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاۤءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), Datangkanlah saksi-saksi kalian!” (Q.S.Al-An’am: 15) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut maknanya adalah أَحْضِرْهُ , “Datangkanlah oleh kalian!” Menurut dialeg Bani Tamim kata هَلُمَّ tersebut masuk kategori fi’il amr. Kata tersebut dikatakan fi’il amr dikarenakan mencukupi syarat sebagai fi’il amr, yaitu menunjukkan makna perintah, bisa bersambung dengan   يَاءُ mukhathabah, dan bisa bersambung dengan dhamir muttashil bariz. Contohnya adalah : هَلُمَّ يَا صَالِحُ “Kemarilah, wahai Sholih!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki satu orang yang sedang diajak berbicara. هَلُمِّي يَا عَائِشَةُ “Kemarilah wahai Aisyah!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan satu orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. هَلُمَّا يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki dua orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhommir muttashil bariz. هَلُمُّوا يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. يَا هِنْدَاتِ هَلْمُمْنَ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. Kembali ke bagian 5: Mengenal Macam-Macam Fi’il Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 6): Fi’il Amr

Daftar Isi Toggle Ciri-ciri fi’il amrTanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَأَمْرٌ يُعْرَفُ بِدَلَالَتِهِ عَلَى الطَّلَبِ مَعَ قَبُوْلِهِ يَاءَ المُخَاطَبَةِ “Fi’il amr bisa diketahui dengan adanya permintaan untuk melakukan perbuatan dan kata tersebut bisa bersambung dengan يَاءُ المُخَاطَبَةِ (huruf ya’ yang menunjukkan perempuan satu orang yang diajak berbicara).” Syekh Muhammad ibn Saleh Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya ini adalah pembahasan fi’il yang kedua, yaitu fi’il amr. Kata أَمْرٌ tersebut ma’tuf  (mengikuti i’rab) kata مَاضٍ yang disampaikan Ibnu Hisyam pada awal pembahasan mengenal macam-macam fi’il. Adapun kalimat lengkapnya adalah: وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاضٍ, َأَمْرٍ Ciri-ciri fi’il amr Fi’il amr mempunyai 2 ciri yang selalu ada padanya. Yaitu: Pertama, Kata yang menunjukkan perintah untuk melakukan perbuatan. Contohnya adalah أَطِعْ أَبَاكَ “Taatilah bapakmu!” Maka, kata أَطِعْ adalah fi’il amr karena kata tersebut menunjukkan perintah untuk melakukan ketaatan. Kedua, Bisa bersambung dengan  يَاء mukhathabah (perempuan satu orang yang diajak berbicara). Contohnya adalah: يَا نَجْلِاءُ أَطِيْعِيْ أَبَاكَ “Wahai Perempuan, taatilah bapakmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah  يَاءُ mukhathabah. Apabila kata menunjukkan perintah dan tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Contohnya adalah: صَهْ إِذَا تَكَلَّمَ غَيْرُكَ “Diamlah apabila orang lain berbicara.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan perintah untuk diam. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Oleh karena itu, apabila kedua syarat tidak terpenuhi, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Akan tetapi, kata tersebut adalah isim fi’il amr (isim yang bermakna perintah). Apabila ada kata yang bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah dan tidak menunjukkan perintah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Kata tersebut adalah fi’il mudhari’. Contohnya adalah: أَنْتِ – يَا هِنْدُ – تُهذِّبِيْنَ الْأَطْفَالَ “Kamu, wahai Hindun, mendidik anak-anak itu.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut hanya bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, namun tidak menunjukkan perintah. Tanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَبِنَاءُهُ عَلَى السُّكُوْنِ, كَاضْرِبْ, إِلَّا الْمُعْتَلَّ فَعَلَى حَذْفِ آخِرِهِ كَاغْزُ, وَاخْشَى, وَارْمِ, وَنَحْوَ : قُوْمَا, وَقُوْمُوْا,وَقُوْمِي, فَعَلَى حَذْفِ النُّوْنِ Fi’il amr mabni-nya dengan tanda sukun. Contohnya adalah: إِضْرِبْ  (Pukullah olehmu!) Jika fi’il amr yang diakhiri oleh mu’tal akhir (huruf yang cacat), fi’il amr yang diakhiri oleh huruf mu’tal akhir tersebut mabni dengan tanda dihapusnya huruf terakhir. Contohnya adalah: أُغْزُ (Berperanglah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  و (wawu). إِخْشَ (takutlah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ا  (alif). إِرْمِ (Lemparkanlah olehmu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ي  (ya’). Kemudian, apabila fi’il amr yang menunjukkan pelakunya أنتما (kalian berdua orang laki-laki/perempuan) dan أنتم (kalian laki-laki banyak), maka mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun. Contohnya adalah : قُوْمَا (Kalian berdua laki-laki/perempuan beririlah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ن  (nun). قُوْمُوْا (Kalian laki-laki berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). قُوْمِي (Kamu (perempuan) berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). Ibnu Hisyam menjelaskan bahwasanya fi’il amr mirip dengan fi’il madhi jika dilihat tanda i’rabnya. Yaitu: Pertama, Fi’il amr mabni dengan tanda sukun. Apabila fi’il amr tersebut adalah fi’il amr shahih akhir (yang tidak diakhiri huruf cacat (alif, wawu, dan ya’) dan tidak bersambung dengan apa pun. Contohnya adalah: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ (Bersamangatlah untuk yang bermanfaat bagimu!) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il shahih akhir dan tidak bersambung dengan huruf atau kata apa pun. Contoh fi’il amr yang bersambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak) adalah: اُتْرُكْنَ الْجِدَالَ (Wahai perempuan, tinggalkanlah perdebatan!) Maka, kata tersebut besambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak). Kedua, Fi’il amr mabni dengan menghapus huruf ‘illah (huruf cacat). Mabni dengan menghapus huruf ‘illah ketika fi’il amr kategori mu’tal akhir (yang diakhiri huruf cacat). Contohnya adalah: اُدْعُ إِلَى اللهِ بِاحِكْمَةِ “Berdakwahlah kepada Allah dengan hikmah!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut ada huruf ‘’illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  و (wawu). تَحَرَّ الصِّدْقَ فِيْمَا تَقُوْلُ “Berusahalah untuk jujur terhadap apa yang kamu katakan!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ا (alif). أَهْدِ إِلَى أَقْرَبَائِكَ “Berikanlah hadiah kepada kerabat-kerabatmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ي (ya’). Ketiga, Fi’il amr mabni dengan tanda menghapus huruf  ن (nun). Fi’il amr mabni dengan tanda tersebut apabila bersambung dengan ا  (alif istnain/menunjukkan pelakunya dua orang) atau bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan banyak), dan bersambung dengan ي mukhathabah (menunjukkan pelakunya satu orang perempuan yang diajak berbicara). Contohnya adalah: أَكْرَمَا ضُيُوْفَكُمَا “Muliakanlah  tamu-tamu kalian!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. تَصَدَّقُوْا عَلَى الْفُقَرَاءِ “Hendaklah kalian bersedekah kepada orang-orang fakir.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. أَحْسِنِي الْحِجَابَ “Perbaikilah hijabmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. Keempat, Ada tanda mabni fi’il amr yang tidak disebutkan oleh Ibnu Hisyam dan ditambahkan oleh Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan. Yaitu, Fi’il amr mabni dengan dengan tanda fathah apabila bersambung dengan nun taukid (penegas). Contohnya adalah: عَاشِرَنَّ إِخْوَانَكَ بِالمَعْرُوْفِ “Benar-benar bergaullah dengan saudaramu dengan cara yang baik.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda fathah. Adapun nun taukid tersebut mabni dengan tanda fathah dan tidak ada kedudukannya di dalam kalimat. Ibnu Hisyam mengatakan وَمِنْهُ  فِي لُغَةِ تَمِيْمً, وَهَاتَ وَتَعَالَ فِي الْأَصَح “Menurut dialeg Bani Tamim, kategori fi’il amr lainya adalah وَهَاتَ وَتَعَالَ هَلُمَّ.  Pendapat tersebut adalah pendapat yang sahih” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya penjelasan tanda mabni fi’il amr no 1-3 adalah pendapat yang sahih. Adapun kata هَلُمَّ ada dua makna. Yaitu: Pertama, Kata tersebut berkmakna أَقْبِلْ (kemarilah). Contohnya adalah: هَلُمَّ إِلَى حَلَقَاتِ الْعِلْمِ “Kemarilah ke halaqah ilmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut bermakna “kemarilah.” وَالۡقَآٮِٕلِيۡنَ لِاِخۡوَانِهِمۡ هَلُمَّ اِلَيۡنَا “Orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah bersama kami.’” (Al-Ahzab : 18) Maka, kata هَلُمَّ tersebut bermakna أَقْبِلُوْا “Kemarilah kalian!”. Kedua, Kata tersebut bisa bermakna أَحْضِرْ “Datangkanlah!” Contohnya adalah : هَلُمَّ زَمِيْلَكَ “Datangkanlah temanmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut أَحْضِرْهُ  bermakna “Hadirkanlah dia!” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاۤءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), Datangkanlah saksi-saksi kalian!” (Q.S.Al-An’am: 15) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut maknanya adalah أَحْضِرْهُ , “Datangkanlah oleh kalian!” Menurut dialeg Bani Tamim kata هَلُمَّ tersebut masuk kategori fi’il amr. Kata tersebut dikatakan fi’il amr dikarenakan mencukupi syarat sebagai fi’il amr, yaitu menunjukkan makna perintah, bisa bersambung dengan   يَاءُ mukhathabah, dan bisa bersambung dengan dhamir muttashil bariz. Contohnya adalah : هَلُمَّ يَا صَالِحُ “Kemarilah, wahai Sholih!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki satu orang yang sedang diajak berbicara. هَلُمِّي يَا عَائِشَةُ “Kemarilah wahai Aisyah!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan satu orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. هَلُمَّا يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki dua orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhommir muttashil bariz. هَلُمُّوا يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. يَا هِنْدَاتِ هَلْمُمْنَ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. Kembali ke bagian 5: Mengenal Macam-Macam Fi’il Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Daftar Isi Toggle Ciri-ciri fi’il amrTanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَأَمْرٌ يُعْرَفُ بِدَلَالَتِهِ عَلَى الطَّلَبِ مَعَ قَبُوْلِهِ يَاءَ المُخَاطَبَةِ “Fi’il amr bisa diketahui dengan adanya permintaan untuk melakukan perbuatan dan kata tersebut bisa bersambung dengan يَاءُ المُخَاطَبَةِ (huruf ya’ yang menunjukkan perempuan satu orang yang diajak berbicara).” Syekh Muhammad ibn Saleh Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya ini adalah pembahasan fi’il yang kedua, yaitu fi’il amr. Kata أَمْرٌ tersebut ma’tuf  (mengikuti i’rab) kata مَاضٍ yang disampaikan Ibnu Hisyam pada awal pembahasan mengenal macam-macam fi’il. Adapun kalimat lengkapnya adalah: وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاضٍ, َأَمْرٍ Ciri-ciri fi’il amr Fi’il amr mempunyai 2 ciri yang selalu ada padanya. Yaitu: Pertama, Kata yang menunjukkan perintah untuk melakukan perbuatan. Contohnya adalah أَطِعْ أَبَاكَ “Taatilah bapakmu!” Maka, kata أَطِعْ adalah fi’il amr karena kata tersebut menunjukkan perintah untuk melakukan ketaatan. Kedua, Bisa bersambung dengan  يَاء mukhathabah (perempuan satu orang yang diajak berbicara). Contohnya adalah: يَا نَجْلِاءُ أَطِيْعِيْ أَبَاكَ “Wahai Perempuan, taatilah bapakmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah  يَاءُ mukhathabah. Apabila kata menunjukkan perintah dan tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Contohnya adalah: صَهْ إِذَا تَكَلَّمَ غَيْرُكَ “Diamlah apabila orang lain berbicara.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan perintah untuk diam. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Oleh karena itu, apabila kedua syarat tidak terpenuhi, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Akan tetapi, kata tersebut adalah isim fi’il amr (isim yang bermakna perintah). Apabila ada kata yang bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah dan tidak menunjukkan perintah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Kata tersebut adalah fi’il mudhari’. Contohnya adalah: أَنْتِ – يَا هِنْدُ – تُهذِّبِيْنَ الْأَطْفَالَ “Kamu, wahai Hindun, mendidik anak-anak itu.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut hanya bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, namun tidak menunjukkan perintah. Tanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَبِنَاءُهُ عَلَى السُّكُوْنِ, كَاضْرِبْ, إِلَّا الْمُعْتَلَّ فَعَلَى حَذْفِ آخِرِهِ كَاغْزُ, وَاخْشَى, وَارْمِ, وَنَحْوَ : قُوْمَا, وَقُوْمُوْا,وَقُوْمِي, فَعَلَى حَذْفِ النُّوْنِ Fi’il amr mabni-nya dengan tanda sukun. Contohnya adalah: إِضْرِبْ  (Pukullah olehmu!) Jika fi’il amr yang diakhiri oleh mu’tal akhir (huruf yang cacat), fi’il amr yang diakhiri oleh huruf mu’tal akhir tersebut mabni dengan tanda dihapusnya huruf terakhir. Contohnya adalah: أُغْزُ (Berperanglah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  و (wawu). إِخْشَ (takutlah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ا  (alif). إِرْمِ (Lemparkanlah olehmu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ي  (ya’). Kemudian, apabila fi’il amr yang menunjukkan pelakunya أنتما (kalian berdua orang laki-laki/perempuan) dan أنتم (kalian laki-laki banyak), maka mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun. Contohnya adalah : قُوْمَا (Kalian berdua laki-laki/perempuan beririlah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ن  (nun). قُوْمُوْا (Kalian laki-laki berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). قُوْمِي (Kamu (perempuan) berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). Ibnu Hisyam menjelaskan bahwasanya fi’il amr mirip dengan fi’il madhi jika dilihat tanda i’rabnya. Yaitu: Pertama, Fi’il amr mabni dengan tanda sukun. Apabila fi’il amr tersebut adalah fi’il amr shahih akhir (yang tidak diakhiri huruf cacat (alif, wawu, dan ya’) dan tidak bersambung dengan apa pun. Contohnya adalah: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ (Bersamangatlah untuk yang bermanfaat bagimu!) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il shahih akhir dan tidak bersambung dengan huruf atau kata apa pun. Contoh fi’il amr yang bersambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak) adalah: اُتْرُكْنَ الْجِدَالَ (Wahai perempuan, tinggalkanlah perdebatan!) Maka, kata tersebut besambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak). Kedua, Fi’il amr mabni dengan menghapus huruf ‘illah (huruf cacat). Mabni dengan menghapus huruf ‘illah ketika fi’il amr kategori mu’tal akhir (yang diakhiri huruf cacat). Contohnya adalah: اُدْعُ إِلَى اللهِ بِاحِكْمَةِ “Berdakwahlah kepada Allah dengan hikmah!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut ada huruf ‘’illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  و (wawu). تَحَرَّ الصِّدْقَ فِيْمَا تَقُوْلُ “Berusahalah untuk jujur terhadap apa yang kamu katakan!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ا (alif). أَهْدِ إِلَى أَقْرَبَائِكَ “Berikanlah hadiah kepada kerabat-kerabatmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ي (ya’). Ketiga, Fi’il amr mabni dengan tanda menghapus huruf  ن (nun). Fi’il amr mabni dengan tanda tersebut apabila bersambung dengan ا  (alif istnain/menunjukkan pelakunya dua orang) atau bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan banyak), dan bersambung dengan ي mukhathabah (menunjukkan pelakunya satu orang perempuan yang diajak berbicara). Contohnya adalah: أَكْرَمَا ضُيُوْفَكُمَا “Muliakanlah  tamu-tamu kalian!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. تَصَدَّقُوْا عَلَى الْفُقَرَاءِ “Hendaklah kalian bersedekah kepada orang-orang fakir.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. أَحْسِنِي الْحِجَابَ “Perbaikilah hijabmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. Keempat, Ada tanda mabni fi’il amr yang tidak disebutkan oleh Ibnu Hisyam dan ditambahkan oleh Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan. Yaitu, Fi’il amr mabni dengan dengan tanda fathah apabila bersambung dengan nun taukid (penegas). Contohnya adalah: عَاشِرَنَّ إِخْوَانَكَ بِالمَعْرُوْفِ “Benar-benar bergaullah dengan saudaramu dengan cara yang baik.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda fathah. Adapun nun taukid tersebut mabni dengan tanda fathah dan tidak ada kedudukannya di dalam kalimat. Ibnu Hisyam mengatakan وَمِنْهُ  فِي لُغَةِ تَمِيْمً, وَهَاتَ وَتَعَالَ فِي الْأَصَح “Menurut dialeg Bani Tamim, kategori fi’il amr lainya adalah وَهَاتَ وَتَعَالَ هَلُمَّ.  Pendapat tersebut adalah pendapat yang sahih” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya penjelasan tanda mabni fi’il amr no 1-3 adalah pendapat yang sahih. Adapun kata هَلُمَّ ada dua makna. Yaitu: Pertama, Kata tersebut berkmakna أَقْبِلْ (kemarilah). Contohnya adalah: هَلُمَّ إِلَى حَلَقَاتِ الْعِلْمِ “Kemarilah ke halaqah ilmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut bermakna “kemarilah.” وَالۡقَآٮِٕلِيۡنَ لِاِخۡوَانِهِمۡ هَلُمَّ اِلَيۡنَا “Orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah bersama kami.’” (Al-Ahzab : 18) Maka, kata هَلُمَّ tersebut bermakna أَقْبِلُوْا “Kemarilah kalian!”. Kedua, Kata tersebut bisa bermakna أَحْضِرْ “Datangkanlah!” Contohnya adalah : هَلُمَّ زَمِيْلَكَ “Datangkanlah temanmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut أَحْضِرْهُ  bermakna “Hadirkanlah dia!” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاۤءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), Datangkanlah saksi-saksi kalian!” (Q.S.Al-An’am: 15) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut maknanya adalah أَحْضِرْهُ , “Datangkanlah oleh kalian!” Menurut dialeg Bani Tamim kata هَلُمَّ tersebut masuk kategori fi’il amr. Kata tersebut dikatakan fi’il amr dikarenakan mencukupi syarat sebagai fi’il amr, yaitu menunjukkan makna perintah, bisa bersambung dengan   يَاءُ mukhathabah, dan bisa bersambung dengan dhamir muttashil bariz. Contohnya adalah : هَلُمَّ يَا صَالِحُ “Kemarilah, wahai Sholih!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki satu orang yang sedang diajak berbicara. هَلُمِّي يَا عَائِشَةُ “Kemarilah wahai Aisyah!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan satu orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. هَلُمَّا يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki dua orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhommir muttashil bariz. هَلُمُّوا يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. يَا هِنْدَاتِ هَلْمُمْنَ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. Kembali ke bagian 5: Mengenal Macam-Macam Fi’il Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Daftar Isi Toggle Ciri-ciri fi’il amrTanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَأَمْرٌ يُعْرَفُ بِدَلَالَتِهِ عَلَى الطَّلَبِ مَعَ قَبُوْلِهِ يَاءَ المُخَاطَبَةِ “Fi’il amr bisa diketahui dengan adanya permintaan untuk melakukan perbuatan dan kata tersebut bisa bersambung dengan يَاءُ المُخَاطَبَةِ (huruf ya’ yang menunjukkan perempuan satu orang yang diajak berbicara).” Syekh Muhammad ibn Saleh Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya ini adalah pembahasan fi’il yang kedua, yaitu fi’il amr. Kata أَمْرٌ tersebut ma’tuf  (mengikuti i’rab) kata مَاضٍ yang disampaikan Ibnu Hisyam pada awal pembahasan mengenal macam-macam fi’il. Adapun kalimat lengkapnya adalah: وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاضٍ, َأَمْرٍ Ciri-ciri fi’il amr Fi’il amr mempunyai 2 ciri yang selalu ada padanya. Yaitu: Pertama, Kata yang menunjukkan perintah untuk melakukan perbuatan. Contohnya adalah أَطِعْ أَبَاكَ “Taatilah bapakmu!” Maka, kata أَطِعْ adalah fi’il amr karena kata tersebut menunjukkan perintah untuk melakukan ketaatan. Kedua, Bisa bersambung dengan  يَاء mukhathabah (perempuan satu orang yang diajak berbicara). Contohnya adalah: يَا نَجْلِاءُ أَطِيْعِيْ أَبَاكَ “Wahai Perempuan, taatilah bapakmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah  يَاءُ mukhathabah. Apabila kata menunjukkan perintah dan tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Contohnya adalah: صَهْ إِذَا تَكَلَّمَ غَيْرُكَ “Diamlah apabila orang lain berbicara.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut menunjukkan perintah untuk diam. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Oleh karena itu, apabila kedua syarat tidak terpenuhi, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Akan tetapi, kata tersebut adalah isim fi’il amr (isim yang bermakna perintah). Apabila ada kata yang bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah dan tidak menunjukkan perintah, maka kata tersebut tidak dikatakan fi’il amr. Kata tersebut adalah fi’il mudhari’. Contohnya adalah: أَنْتِ – يَا هِنْدُ – تُهذِّبِيْنَ الْأَطْفَالَ “Kamu, wahai Hindun, mendidik anak-anak itu.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut hanya bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah, namun tidak menunjukkan perintah. Tanda mabni fi’il amr Ibnu Hisyam mengatakan, وَبِنَاءُهُ عَلَى السُّكُوْنِ, كَاضْرِبْ, إِلَّا الْمُعْتَلَّ فَعَلَى حَذْفِ آخِرِهِ كَاغْزُ, وَاخْشَى, وَارْمِ, وَنَحْوَ : قُوْمَا, وَقُوْمُوْا,وَقُوْمِي, فَعَلَى حَذْفِ النُّوْنِ Fi’il amr mabni-nya dengan tanda sukun. Contohnya adalah: إِضْرِبْ  (Pukullah olehmu!) Jika fi’il amr yang diakhiri oleh mu’tal akhir (huruf yang cacat), fi’il amr yang diakhiri oleh huruf mu’tal akhir tersebut mabni dengan tanda dihapusnya huruf terakhir. Contohnya adalah: أُغْزُ (Berperanglah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  و (wawu). إِخْشَ (takutlah kamu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ا  (alif). إِرْمِ (Lemparkanlah olehmu!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ي  (ya’). Kemudian, apabila fi’il amr yang menunjukkan pelakunya أنتما (kalian berdua orang laki-laki/perempuan) dan أنتم (kalian laki-laki banyak), maka mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun. Contohnya adalah : قُوْمَا (Kalian berdua laki-laki/perempuan beririlah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf ن  (nun). قُوْمُوْا (Kalian laki-laki berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). قُوْمِي (Kamu (perempuan) berdirilah!) Pada kata tersebut yang dihapus adalah huruf  ن (nun). Ibnu Hisyam menjelaskan bahwasanya fi’il amr mirip dengan fi’il madhi jika dilihat tanda i’rabnya. Yaitu: Pertama, Fi’il amr mabni dengan tanda sukun. Apabila fi’il amr tersebut adalah fi’il amr shahih akhir (yang tidak diakhiri huruf cacat (alif, wawu, dan ya’) dan tidak bersambung dengan apa pun. Contohnya adalah: اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ (Bersamangatlah untuk yang bermanfaat bagimu!) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il shahih akhir dan tidak bersambung dengan huruf atau kata apa pun. Contoh fi’il amr yang bersambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak) adalah: اُتْرُكْنَ الْجِدَالَ (Wahai perempuan, tinggalkanlah perdebatan!) Maka, kata tersebut besambung dengan nun inats (yang menunjukkan pelakunya perempuan banyak). Kedua, Fi’il amr mabni dengan menghapus huruf ‘illah (huruf cacat). Mabni dengan menghapus huruf ‘illah ketika fi’il amr kategori mu’tal akhir (yang diakhiri huruf cacat). Contohnya adalah: اُدْعُ إِلَى اللهِ بِاحِكْمَةِ “Berdakwahlah kepada Allah dengan hikmah!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut ada huruf ‘’illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  و (wawu). تَحَرَّ الصِّدْقَ فِيْمَا تَقُوْلُ “Berusahalah untuk jujur terhadap apa yang kamu katakan!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ا (alif). أَهْدِ إِلَى أَقْرَبَائِكَ “Berikanlah hadiah kepada kerabat-kerabatmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut mabni dengan tanda menghapus huruf ‘illah yang dihapus pada akhir katanya. Yaitu, huruf  ي (ya’). Ketiga, Fi’il amr mabni dengan tanda menghapus huruf  ن (nun). Fi’il amr mabni dengan tanda tersebut apabila bersambung dengan ا  (alif istnain/menunjukkan pelakunya dua orang) atau bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan banyak), dan bersambung dengan ي mukhathabah (menunjukkan pelakunya satu orang perempuan yang diajak berbicara). Contohnya adalah: أَكْرَمَا ضُيُوْفَكُمَا “Muliakanlah  tamu-tamu kalian!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. تَصَدَّقُوْا عَلَى الْفُقَرَاءِ “Hendaklah kalian bersedekah kepada orang-orang fakir.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. أَحْسِنِي الْحِجَابَ “Perbaikilah hijabmu!” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun pada akhir kata tersebut. Adapun huruf alif pada akhir kata tersebut adalah fa’il. Keempat, Ada tanda mabni fi’il amr yang tidak disebutkan oleh Ibnu Hisyam dan ditambahkan oleh Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan. Yaitu, Fi’il amr mabni dengan dengan tanda fathah apabila bersambung dengan nun taukid (penegas). Contohnya adalah: عَاشِرَنَّ إِخْوَانَكَ بِالمَعْرُوْفِ “Benar-benar bergaullah dengan saudaramu dengan cara yang baik.” Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda fathah. Adapun nun taukid tersebut mabni dengan tanda fathah dan tidak ada kedudukannya di dalam kalimat. Ibnu Hisyam mengatakan وَمِنْهُ  فِي لُغَةِ تَمِيْمً, وَهَاتَ وَتَعَالَ فِي الْأَصَح “Menurut dialeg Bani Tamim, kategori fi’il amr lainya adalah وَهَاتَ وَتَعَالَ هَلُمَّ.  Pendapat tersebut adalah pendapat yang sahih” Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya penjelasan tanda mabni fi’il amr no 1-3 adalah pendapat yang sahih. Adapun kata هَلُمَّ ada dua makna. Yaitu: Pertama, Kata tersebut berkmakna أَقْبِلْ (kemarilah). Contohnya adalah: هَلُمَّ إِلَى حَلَقَاتِ الْعِلْمِ “Kemarilah ke halaqah ilmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut bermakna “kemarilah.” وَالۡقَآٮِٕلِيۡنَ لِاِخۡوَانِهِمۡ هَلُمَّ اِلَيۡنَا “Orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah bersama kami.’” (Al-Ahzab : 18) Maka, kata هَلُمَّ tersebut bermakna أَقْبِلُوْا “Kemarilah kalian!”. Kedua, Kata tersebut bisa bermakna أَحْضِرْ “Datangkanlah!” Contohnya adalah : هَلُمَّ زَمِيْلَكَ “Datangkanlah temanmu!” Kata yang bergaris bawah tersebut أَحْضِرْهُ  bermakna “Hadirkanlah dia!” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاۤءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), Datangkanlah saksi-saksi kalian!” (Q.S.Al-An’am: 15) Maka, kata yang bergaris bawah tersebut maknanya adalah أَحْضِرْهُ , “Datangkanlah oleh kalian!” Menurut dialeg Bani Tamim kata هَلُمَّ tersebut masuk kategori fi’il amr. Kata tersebut dikatakan fi’il amr dikarenakan mencukupi syarat sebagai fi’il amr, yaitu menunjukkan makna perintah, bisa bersambung dengan   يَاءُ mukhathabah, dan bisa bersambung dengan dhamir muttashil bariz. Contohnya adalah : هَلُمَّ يَا صَالِحُ “Kemarilah, wahai Sholih!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki satu orang yang sedang diajak berbicara. هَلُمِّي يَا عَائِشَةُ “Kemarilah wahai Aisyah!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan satu orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. هَلُمَّا يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki dua orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhommir muttashil bariz. هَلُمُّوا يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk laki-laki tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. يَا هِنْدَاتِ هَلْمُمْنَ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il amr yang menunjukkan perintah untuk perempuan tiga orang yang sedang diajak berbicara dan bersambung dengan dhammir muttashil bariz. Kembali ke bagian 5: Mengenal Macam-Macam Fi’il Lanjut ke bagian 7: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Matan Taqrib: Rincian Rukun Shalat

Apa saja yang termasuk rukun shalat? Rukun shalat adalah sesuatu yang diwajibkan di dalam shalat, yang tidak bisa ditinggalkan.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Rukun Shalat Pertama: Berniat 3.2. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu 3.3. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram 3.4. Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah 3.5. Rukun Shalat Kelima: Rukuk 3.6. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk 3.7. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal 3.8. Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal 3.9. Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat 3.10. Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud 3.11. Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud 3.12. Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud 3.13. Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir 3.14. Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir 3.15. Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir 3.16. Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama 3.17. Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat 3.18. Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan 3.19. Rukun shalat dapat dibagi menjadi: 3.20. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَأَرْكَانُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَّةَ عَشَرَ رُكْناً: النِّيَّةُ وَالقِيَامُ مَعَ القُدْرَةِ وَتَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةٌ مِنْهَا وَالرُّكُوْعُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالرَّفْعُ وَالاِعْتِدَالُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالسُّجُوْدُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ الأَخِيْرُ وَالتَّشَهُّدُ فِيْهِ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ وَالتَّسْلِيْمَةُ الأُوْلَى وَنِيَّةُ الخُرُوْجِ مِنَ الصَّلاَةِ وَتَرْتِيْبُ الأَرْكَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ. Rukun shalat ada delapan belas, yaitu: 1. Berniat, 2. Berdiri bagi yang mampu, 3. Takbiratul ihram, 4. Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah, 5. Rukuk, 6. Thumakninah ketika rukuk, 7. Bangkit dan iktidal, 8. Thumakninah ketika iktidal, 9. Sujud, 10. Thumakninah ketika sujud, 11. Duduk di antara dua sujud, 12. Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud, 13. Duduk tasyahud akhir, 14. Membaca tasyahud akhir, 15. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, 16. Salam pertama, 17. Niat keluar dari shalat, 18. Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan. Penjelasan: Catatan: Menurut pendapat ash-shahih, niat keluar dari shalat merupakan sunnah shalat, bukan merupakan rukun shalat. Inilah pendapat mu’tamad.   Rukun Shalat Pertama: Berniat Shalat tidaklah sah kecuali dengan niat. Niat secara bahasa berarti keinginan. Niat secara istilah syari adalah qashdusy syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan melakukan sesuatu berbarengan saat memulai sesuatu tersebut. Letak niat adalah di hati. Niat tidak wajib diucapkan di lisan, hanya disunnahkan saja. Tujuan niat diucapkan adalah liyusa’idul lisaanu al-qolba, agar lisan menolong hati untuk hadir. Jika berbeda antara lisan dengan hati, maka yang jadi patokan adalah niat di hati. Misalnya, ada yang niat shalat Zhuhur dalam hatinya, tetapi di lisannya mengucapkan niat shalat lain, maka patokannya adalah niat di hati. Cara niat: 1. Untuk shalat fardhu, wajib berniat: fardhu, shalat, takyin nama shalatnya. 2. Untuk shalat sunnah yang memiliki batasan waktu seperti rawatib atau shalat tersebut memiliki sebab seperti shalat Istisqa’, maka wajib berniat: shalat, takyin, nama shalatnya, tanpa menyebut kata sunnah. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu Berdiri ini berlaku wajib untuk shalat fardhu ketika mampu. Walaupun shalatnya adalah shalat nadzar, shalat mu’adah (yang diulang), shalat anak kecil. Shalat sunnah (seperti rawatib, shalat sunnah berjamaah) boleh dilakukan dengan duduk dan berbaring. Namun, shalat sunnah dengan duduk pahalanya separuh dari shalat sambil berdiri. Shalat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari shalat sambil duduk. Jika shalat dilakukan dalam keadaan duduk, maka cara duduknya adalah iftirasy, itu lebih afdal. Catatan: – Orang sakit itu shalat sesuai kemampuannya. Pahala bagi orang sakit, tetap pahala yang sempurna. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram Takbiratul ihram adalah perkataan orang yang shalat ketika memulai shalat dengan mengucapkan ALLAHU AKBAR, sebagai tanda masuk dalam shalat dan tanda memutuskan dari segala hal yang di luar shalat. Takbir ini disebut pula dengan takbir iftitah karena orang yang shalat membuka shalat dengannya. Ucapan ALLAHU AKBAR menunjukkan bahwa Allah itu Mahabesar, Allah itu Mahaagung dari segala sesuatu, baik dalam zat, nama, dan sifat-Nya. Takbir ini disebut dengan tahrim (ihram) karena takbir ini menghalangi orang yang shalat dari segala sesuatu yang diharamkan di dalam shalat. Contoh yang diharamkan di dalam shalat adalah berbicara dan makan. Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ “Jika engkau berdiri shalat, maka bertakbirlah.” (Dikeluarkan oleh yang lima). Baca juga: Rukun Shalat, Takbiratul Ihram dan Syaratnya Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah Surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat berdasarkan kesepakatan para ulama. Basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah. Di saat jahriyyah, surah Al-Fatihah dibaca jahar. Di saat sirriyyah, surah Al-Fatihah dibaca sir. Dalam hadits, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca BISMILLAHIRROHMAANIR ROHIIM secara jahar.” (HR. Al-Hakim, sanad sahih). Hendaklah memperhatikan hukum tajwid saat membaca surah Al-Fatihah dalam harokat dan tasydidnya. Baca juga: Rukun Shalat, Syarat Membaca Surah Al-Fatihah Rukun Shalat Kelima: Rukuk Rukuk secara bahasa berarti menunduk. Secara syariat, rukuk adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin. Inkhinas adalah membungkukkan pinggul, mengangkat kepalanya, dan mengedepankan dadanya.Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya, shalatnya batal. Jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa, shalat tidak batal. Ia wajib kembali menuju berdiri dan melakukan rukuk yang sempurna karena tidak cukup gerakan menuju rukuk yang tujuannya inkhinas. Syarat rukuk adalah tidak bergerak menuju rukuk untuk tujuan yang lain. Rukuk yang sempurna adalah: sejajarnya punggung dan leher, meluruskan betis dan paha disertai merenggangkan jari-jari pada lutut dengan menghadap kiblat. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk Thumakninah adalah diam setelah bergerak atau diam di antara dua bergerak. Thumakninah yang paling minimal adalah sekadar ucapan SUBHANALLAH bersama dengan berdiam membungkuk. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal Iktidal secara bahasa berarti istiqamah. Secara syari, iktidal adalah kembalinya orang yang rukuk menuju gerakan sebelum rukuknya. Iktidal itu berarti berdiri yang memisahkan antara rukuk dan sujud. Ketika bangkit dari rukuk tidaklah dimaksudkan selain iktidal. Iktidal tidak diperpanjang melebihi dzikir yang disyariatkan sehingga tidak sama dengan lama membaca surah Al-Fatihah. Jika ada yang membuat bacaan iktidal lama secara sengaja dan mengetahui, shalatnya batal. Karena iktidal termasuk rukun qashir (ringkas). Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal Thumakninah ketika iktidal berarti berdiri lurus sekadar tasbih (ucapan SUBHANALLAH). Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat Sujud secara bahasa berarti condong. Sebagian ada yang berpendapat, sujud adalah merendahkan diri. Secara syariat, sujud adalah terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik pada tanah atau lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ “Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490) Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. (Al-Majmu’, 3: 277-278) Baca juga: Menempelkan Hidung Saat Sujud Wajib ataukah Sunnah? Syarat sujud ada tujuh, yaitu [1] sujud di tujuh anggota sujud, [2] dahinya terbuka, [3] meletakkan kepalanya dengan menekannya, [4] tidak meniatkan untuk selain sujud, [5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya), [6] kepala lebih rendah dari pantat, [7] thumakninah. Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara  dua pelipis (shudghoini), dan lebarnya antara antara rambut kepala dengan kedua alis. Yang disunnahkan: Meletakkan jabiin bersamaan saat sujud Dahi (jabhah) di sini harus dalam keadaan terbuka, sebagian kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya. Anggota tubuh yang lain dari anggota saat sujud disunnahkan terbuka yaitu kedua tangan dan kakinya, tetapi dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh untuk sujud tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun, jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun, yang lebih tepat adalah tidaklah wajib terbuka untuk kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185) Baca juga: Rukun Shalat Hingga Syarat Sujud dari Safinatun Naja   Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud Thumakninah ketika sujud berarti turun sujud sekadar minimal membaca sekali tasbih (SUBHANALLAH).   Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud Duduk di antara dua sujud pada setiap rakaat. Lamanya duduk yang paling minimal adalah sekadar sekali bacaan tasbih (SUBHANALLAH). Duduk ini dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah. Duduk ini dalam keadaan tidak lama.   Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud   Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir ketika salam.   Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir Lafaz yang sempurna adalah: AT-TAHIYYAATUL MUBAAROKAATU, ASH-SHOLAWAATU ATH-THOYYIBAAT LILLAH, AS-SALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. ASY-HADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASY-HADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH (atau ‘ABDUHU WA ROSULUUH).   Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir Lafaz yang paling sempurna adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALA AALI IBROOHIIM, WA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALAA AALI IBROOHIM FIL ‘ALAAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID.   Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama Salam paling minimal adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM. Salam paling sempurna adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH. Salam ini diwajibkan dalam keadaan duduk.   Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat Niat keluar dari shalat ketika salam adalah pendapat marjuh (lemah dalam madzhab Syafii). Niat keluar dari shalat tidaklah termasuk wajib.   Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan Berurutan ini dikecualikan untuk: takbiratul ihram, karena takbiratul ihram dan niat itu berbarengan. duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Catatan: Rukun shalat menurut ulama Syafiiyyah lainnya (seperti dalam Al-Minhaj dan Az-Zubad) berjumlah 13 rukun, di mana thumakninah menjadi pengikut rukunnya.   Rukun shalat dapat dibagi menjadi: Rukun qawliyyah (perkataan), ada lima, yaitu: (a) takbiratul ihram, (b) membaca surah Al-Fatihah, (c) membaca tasyahud akhir, (d) shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, (e) salam pertama. Rukun fi’liyyah (perbuatan), ada enam, yaitu: (a) berdiri bagi yang mampu untuk shalat fardhu, (b) rukuk, (c) iktidal, (d) sujud, (e) duduk di antara dua sujud, (f) duduk pada tasyahud akhir. Rukun qolbi (hati), yaitu niat. Rukun maknawi, yaitu tertib (berurutan). Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Hasyiyah Al-Baajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj. Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj. – Diperbaharui pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 saat perjalanan Panggang – Pogung Dalangan Sleman Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat

Matan Taqrib: Rincian Rukun Shalat

Apa saja yang termasuk rukun shalat? Rukun shalat adalah sesuatu yang diwajibkan di dalam shalat, yang tidak bisa ditinggalkan.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Rukun Shalat Pertama: Berniat 3.2. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu 3.3. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram 3.4. Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah 3.5. Rukun Shalat Kelima: Rukuk 3.6. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk 3.7. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal 3.8. Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal 3.9. Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat 3.10. Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud 3.11. Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud 3.12. Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud 3.13. Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir 3.14. Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir 3.15. Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir 3.16. Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama 3.17. Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat 3.18. Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan 3.19. Rukun shalat dapat dibagi menjadi: 3.20. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَأَرْكَانُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَّةَ عَشَرَ رُكْناً: النِّيَّةُ وَالقِيَامُ مَعَ القُدْرَةِ وَتَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةٌ مِنْهَا وَالرُّكُوْعُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالرَّفْعُ وَالاِعْتِدَالُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالسُّجُوْدُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ الأَخِيْرُ وَالتَّشَهُّدُ فِيْهِ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ وَالتَّسْلِيْمَةُ الأُوْلَى وَنِيَّةُ الخُرُوْجِ مِنَ الصَّلاَةِ وَتَرْتِيْبُ الأَرْكَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ. Rukun shalat ada delapan belas, yaitu: 1. Berniat, 2. Berdiri bagi yang mampu, 3. Takbiratul ihram, 4. Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah, 5. Rukuk, 6. Thumakninah ketika rukuk, 7. Bangkit dan iktidal, 8. Thumakninah ketika iktidal, 9. Sujud, 10. Thumakninah ketika sujud, 11. Duduk di antara dua sujud, 12. Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud, 13. Duduk tasyahud akhir, 14. Membaca tasyahud akhir, 15. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, 16. Salam pertama, 17. Niat keluar dari shalat, 18. Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan. Penjelasan: Catatan: Menurut pendapat ash-shahih, niat keluar dari shalat merupakan sunnah shalat, bukan merupakan rukun shalat. Inilah pendapat mu’tamad.   Rukun Shalat Pertama: Berniat Shalat tidaklah sah kecuali dengan niat. Niat secara bahasa berarti keinginan. Niat secara istilah syari adalah qashdusy syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan melakukan sesuatu berbarengan saat memulai sesuatu tersebut. Letak niat adalah di hati. Niat tidak wajib diucapkan di lisan, hanya disunnahkan saja. Tujuan niat diucapkan adalah liyusa’idul lisaanu al-qolba, agar lisan menolong hati untuk hadir. Jika berbeda antara lisan dengan hati, maka yang jadi patokan adalah niat di hati. Misalnya, ada yang niat shalat Zhuhur dalam hatinya, tetapi di lisannya mengucapkan niat shalat lain, maka patokannya adalah niat di hati. Cara niat: 1. Untuk shalat fardhu, wajib berniat: fardhu, shalat, takyin nama shalatnya. 2. Untuk shalat sunnah yang memiliki batasan waktu seperti rawatib atau shalat tersebut memiliki sebab seperti shalat Istisqa’, maka wajib berniat: shalat, takyin, nama shalatnya, tanpa menyebut kata sunnah. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu Berdiri ini berlaku wajib untuk shalat fardhu ketika mampu. Walaupun shalatnya adalah shalat nadzar, shalat mu’adah (yang diulang), shalat anak kecil. Shalat sunnah (seperti rawatib, shalat sunnah berjamaah) boleh dilakukan dengan duduk dan berbaring. Namun, shalat sunnah dengan duduk pahalanya separuh dari shalat sambil berdiri. Shalat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari shalat sambil duduk. Jika shalat dilakukan dalam keadaan duduk, maka cara duduknya adalah iftirasy, itu lebih afdal. Catatan: – Orang sakit itu shalat sesuai kemampuannya. Pahala bagi orang sakit, tetap pahala yang sempurna. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram Takbiratul ihram adalah perkataan orang yang shalat ketika memulai shalat dengan mengucapkan ALLAHU AKBAR, sebagai tanda masuk dalam shalat dan tanda memutuskan dari segala hal yang di luar shalat. Takbir ini disebut pula dengan takbir iftitah karena orang yang shalat membuka shalat dengannya. Ucapan ALLAHU AKBAR menunjukkan bahwa Allah itu Mahabesar, Allah itu Mahaagung dari segala sesuatu, baik dalam zat, nama, dan sifat-Nya. Takbir ini disebut dengan tahrim (ihram) karena takbir ini menghalangi orang yang shalat dari segala sesuatu yang diharamkan di dalam shalat. Contoh yang diharamkan di dalam shalat adalah berbicara dan makan. Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ “Jika engkau berdiri shalat, maka bertakbirlah.” (Dikeluarkan oleh yang lima). Baca juga: Rukun Shalat, Takbiratul Ihram dan Syaratnya Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah Surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat berdasarkan kesepakatan para ulama. Basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah. Di saat jahriyyah, surah Al-Fatihah dibaca jahar. Di saat sirriyyah, surah Al-Fatihah dibaca sir. Dalam hadits, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca BISMILLAHIRROHMAANIR ROHIIM secara jahar.” (HR. Al-Hakim, sanad sahih). Hendaklah memperhatikan hukum tajwid saat membaca surah Al-Fatihah dalam harokat dan tasydidnya. Baca juga: Rukun Shalat, Syarat Membaca Surah Al-Fatihah Rukun Shalat Kelima: Rukuk Rukuk secara bahasa berarti menunduk. Secara syariat, rukuk adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin. Inkhinas adalah membungkukkan pinggul, mengangkat kepalanya, dan mengedepankan dadanya.Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya, shalatnya batal. Jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa, shalat tidak batal. Ia wajib kembali menuju berdiri dan melakukan rukuk yang sempurna karena tidak cukup gerakan menuju rukuk yang tujuannya inkhinas. Syarat rukuk adalah tidak bergerak menuju rukuk untuk tujuan yang lain. Rukuk yang sempurna adalah: sejajarnya punggung dan leher, meluruskan betis dan paha disertai merenggangkan jari-jari pada lutut dengan menghadap kiblat. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk Thumakninah adalah diam setelah bergerak atau diam di antara dua bergerak. Thumakninah yang paling minimal adalah sekadar ucapan SUBHANALLAH bersama dengan berdiam membungkuk. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal Iktidal secara bahasa berarti istiqamah. Secara syari, iktidal adalah kembalinya orang yang rukuk menuju gerakan sebelum rukuknya. Iktidal itu berarti berdiri yang memisahkan antara rukuk dan sujud. Ketika bangkit dari rukuk tidaklah dimaksudkan selain iktidal. Iktidal tidak diperpanjang melebihi dzikir yang disyariatkan sehingga tidak sama dengan lama membaca surah Al-Fatihah. Jika ada yang membuat bacaan iktidal lama secara sengaja dan mengetahui, shalatnya batal. Karena iktidal termasuk rukun qashir (ringkas). Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal Thumakninah ketika iktidal berarti berdiri lurus sekadar tasbih (ucapan SUBHANALLAH). Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat Sujud secara bahasa berarti condong. Sebagian ada yang berpendapat, sujud adalah merendahkan diri. Secara syariat, sujud adalah terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik pada tanah atau lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ “Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490) Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. (Al-Majmu’, 3: 277-278) Baca juga: Menempelkan Hidung Saat Sujud Wajib ataukah Sunnah? Syarat sujud ada tujuh, yaitu [1] sujud di tujuh anggota sujud, [2] dahinya terbuka, [3] meletakkan kepalanya dengan menekannya, [4] tidak meniatkan untuk selain sujud, [5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya), [6] kepala lebih rendah dari pantat, [7] thumakninah. Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara  dua pelipis (shudghoini), dan lebarnya antara antara rambut kepala dengan kedua alis. Yang disunnahkan: Meletakkan jabiin bersamaan saat sujud Dahi (jabhah) di sini harus dalam keadaan terbuka, sebagian kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya. Anggota tubuh yang lain dari anggota saat sujud disunnahkan terbuka yaitu kedua tangan dan kakinya, tetapi dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh untuk sujud tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun, jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun, yang lebih tepat adalah tidaklah wajib terbuka untuk kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185) Baca juga: Rukun Shalat Hingga Syarat Sujud dari Safinatun Naja   Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud Thumakninah ketika sujud berarti turun sujud sekadar minimal membaca sekali tasbih (SUBHANALLAH).   Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud Duduk di antara dua sujud pada setiap rakaat. Lamanya duduk yang paling minimal adalah sekadar sekali bacaan tasbih (SUBHANALLAH). Duduk ini dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah. Duduk ini dalam keadaan tidak lama.   Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud   Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir ketika salam.   Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir Lafaz yang sempurna adalah: AT-TAHIYYAATUL MUBAAROKAATU, ASH-SHOLAWAATU ATH-THOYYIBAAT LILLAH, AS-SALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. ASY-HADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASY-HADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH (atau ‘ABDUHU WA ROSULUUH).   Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir Lafaz yang paling sempurna adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALA AALI IBROOHIIM, WA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALAA AALI IBROOHIM FIL ‘ALAAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID.   Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama Salam paling minimal adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM. Salam paling sempurna adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH. Salam ini diwajibkan dalam keadaan duduk.   Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat Niat keluar dari shalat ketika salam adalah pendapat marjuh (lemah dalam madzhab Syafii). Niat keluar dari shalat tidaklah termasuk wajib.   Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan Berurutan ini dikecualikan untuk: takbiratul ihram, karena takbiratul ihram dan niat itu berbarengan. duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Catatan: Rukun shalat menurut ulama Syafiiyyah lainnya (seperti dalam Al-Minhaj dan Az-Zubad) berjumlah 13 rukun, di mana thumakninah menjadi pengikut rukunnya.   Rukun shalat dapat dibagi menjadi: Rukun qawliyyah (perkataan), ada lima, yaitu: (a) takbiratul ihram, (b) membaca surah Al-Fatihah, (c) membaca tasyahud akhir, (d) shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, (e) salam pertama. Rukun fi’liyyah (perbuatan), ada enam, yaitu: (a) berdiri bagi yang mampu untuk shalat fardhu, (b) rukuk, (c) iktidal, (d) sujud, (e) duduk di antara dua sujud, (f) duduk pada tasyahud akhir. Rukun qolbi (hati), yaitu niat. Rukun maknawi, yaitu tertib (berurutan). Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Hasyiyah Al-Baajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj. Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj. – Diperbaharui pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 saat perjalanan Panggang – Pogung Dalangan Sleman Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat
Apa saja yang termasuk rukun shalat? Rukun shalat adalah sesuatu yang diwajibkan di dalam shalat, yang tidak bisa ditinggalkan.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Rukun Shalat Pertama: Berniat 3.2. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu 3.3. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram 3.4. Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah 3.5. Rukun Shalat Kelima: Rukuk 3.6. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk 3.7. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal 3.8. Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal 3.9. Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat 3.10. Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud 3.11. Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud 3.12. Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud 3.13. Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir 3.14. Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir 3.15. Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir 3.16. Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama 3.17. Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat 3.18. Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan 3.19. Rukun shalat dapat dibagi menjadi: 3.20. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَأَرْكَانُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَّةَ عَشَرَ رُكْناً: النِّيَّةُ وَالقِيَامُ مَعَ القُدْرَةِ وَتَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةٌ مِنْهَا وَالرُّكُوْعُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالرَّفْعُ وَالاِعْتِدَالُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالسُّجُوْدُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ الأَخِيْرُ وَالتَّشَهُّدُ فِيْهِ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ وَالتَّسْلِيْمَةُ الأُوْلَى وَنِيَّةُ الخُرُوْجِ مِنَ الصَّلاَةِ وَتَرْتِيْبُ الأَرْكَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ. Rukun shalat ada delapan belas, yaitu: 1. Berniat, 2. Berdiri bagi yang mampu, 3. Takbiratul ihram, 4. Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah, 5. Rukuk, 6. Thumakninah ketika rukuk, 7. Bangkit dan iktidal, 8. Thumakninah ketika iktidal, 9. Sujud, 10. Thumakninah ketika sujud, 11. Duduk di antara dua sujud, 12. Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud, 13. Duduk tasyahud akhir, 14. Membaca tasyahud akhir, 15. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, 16. Salam pertama, 17. Niat keluar dari shalat, 18. Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan. Penjelasan: Catatan: Menurut pendapat ash-shahih, niat keluar dari shalat merupakan sunnah shalat, bukan merupakan rukun shalat. Inilah pendapat mu’tamad.   Rukun Shalat Pertama: Berniat Shalat tidaklah sah kecuali dengan niat. Niat secara bahasa berarti keinginan. Niat secara istilah syari adalah qashdusy syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan melakukan sesuatu berbarengan saat memulai sesuatu tersebut. Letak niat adalah di hati. Niat tidak wajib diucapkan di lisan, hanya disunnahkan saja. Tujuan niat diucapkan adalah liyusa’idul lisaanu al-qolba, agar lisan menolong hati untuk hadir. Jika berbeda antara lisan dengan hati, maka yang jadi patokan adalah niat di hati. Misalnya, ada yang niat shalat Zhuhur dalam hatinya, tetapi di lisannya mengucapkan niat shalat lain, maka patokannya adalah niat di hati. Cara niat: 1. Untuk shalat fardhu, wajib berniat: fardhu, shalat, takyin nama shalatnya. 2. Untuk shalat sunnah yang memiliki batasan waktu seperti rawatib atau shalat tersebut memiliki sebab seperti shalat Istisqa’, maka wajib berniat: shalat, takyin, nama shalatnya, tanpa menyebut kata sunnah. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu Berdiri ini berlaku wajib untuk shalat fardhu ketika mampu. Walaupun shalatnya adalah shalat nadzar, shalat mu’adah (yang diulang), shalat anak kecil. Shalat sunnah (seperti rawatib, shalat sunnah berjamaah) boleh dilakukan dengan duduk dan berbaring. Namun, shalat sunnah dengan duduk pahalanya separuh dari shalat sambil berdiri. Shalat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari shalat sambil duduk. Jika shalat dilakukan dalam keadaan duduk, maka cara duduknya adalah iftirasy, itu lebih afdal. Catatan: – Orang sakit itu shalat sesuai kemampuannya. Pahala bagi orang sakit, tetap pahala yang sempurna. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram Takbiratul ihram adalah perkataan orang yang shalat ketika memulai shalat dengan mengucapkan ALLAHU AKBAR, sebagai tanda masuk dalam shalat dan tanda memutuskan dari segala hal yang di luar shalat. Takbir ini disebut pula dengan takbir iftitah karena orang yang shalat membuka shalat dengannya. Ucapan ALLAHU AKBAR menunjukkan bahwa Allah itu Mahabesar, Allah itu Mahaagung dari segala sesuatu, baik dalam zat, nama, dan sifat-Nya. Takbir ini disebut dengan tahrim (ihram) karena takbir ini menghalangi orang yang shalat dari segala sesuatu yang diharamkan di dalam shalat. Contoh yang diharamkan di dalam shalat adalah berbicara dan makan. Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ “Jika engkau berdiri shalat, maka bertakbirlah.” (Dikeluarkan oleh yang lima). Baca juga: Rukun Shalat, Takbiratul Ihram dan Syaratnya Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah Surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat berdasarkan kesepakatan para ulama. Basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah. Di saat jahriyyah, surah Al-Fatihah dibaca jahar. Di saat sirriyyah, surah Al-Fatihah dibaca sir. Dalam hadits, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca BISMILLAHIRROHMAANIR ROHIIM secara jahar.” (HR. Al-Hakim, sanad sahih). Hendaklah memperhatikan hukum tajwid saat membaca surah Al-Fatihah dalam harokat dan tasydidnya. Baca juga: Rukun Shalat, Syarat Membaca Surah Al-Fatihah Rukun Shalat Kelima: Rukuk Rukuk secara bahasa berarti menunduk. Secara syariat, rukuk adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin. Inkhinas adalah membungkukkan pinggul, mengangkat kepalanya, dan mengedepankan dadanya.Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya, shalatnya batal. Jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa, shalat tidak batal. Ia wajib kembali menuju berdiri dan melakukan rukuk yang sempurna karena tidak cukup gerakan menuju rukuk yang tujuannya inkhinas. Syarat rukuk adalah tidak bergerak menuju rukuk untuk tujuan yang lain. Rukuk yang sempurna adalah: sejajarnya punggung dan leher, meluruskan betis dan paha disertai merenggangkan jari-jari pada lutut dengan menghadap kiblat. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk Thumakninah adalah diam setelah bergerak atau diam di antara dua bergerak. Thumakninah yang paling minimal adalah sekadar ucapan SUBHANALLAH bersama dengan berdiam membungkuk. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal Iktidal secara bahasa berarti istiqamah. Secara syari, iktidal adalah kembalinya orang yang rukuk menuju gerakan sebelum rukuknya. Iktidal itu berarti berdiri yang memisahkan antara rukuk dan sujud. Ketika bangkit dari rukuk tidaklah dimaksudkan selain iktidal. Iktidal tidak diperpanjang melebihi dzikir yang disyariatkan sehingga tidak sama dengan lama membaca surah Al-Fatihah. Jika ada yang membuat bacaan iktidal lama secara sengaja dan mengetahui, shalatnya batal. Karena iktidal termasuk rukun qashir (ringkas). Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal Thumakninah ketika iktidal berarti berdiri lurus sekadar tasbih (ucapan SUBHANALLAH). Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat Sujud secara bahasa berarti condong. Sebagian ada yang berpendapat, sujud adalah merendahkan diri. Secara syariat, sujud adalah terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik pada tanah atau lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ “Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490) Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. (Al-Majmu’, 3: 277-278) Baca juga: Menempelkan Hidung Saat Sujud Wajib ataukah Sunnah? Syarat sujud ada tujuh, yaitu [1] sujud di tujuh anggota sujud, [2] dahinya terbuka, [3] meletakkan kepalanya dengan menekannya, [4] tidak meniatkan untuk selain sujud, [5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya), [6] kepala lebih rendah dari pantat, [7] thumakninah. Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara  dua pelipis (shudghoini), dan lebarnya antara antara rambut kepala dengan kedua alis. Yang disunnahkan: Meletakkan jabiin bersamaan saat sujud Dahi (jabhah) di sini harus dalam keadaan terbuka, sebagian kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya. Anggota tubuh yang lain dari anggota saat sujud disunnahkan terbuka yaitu kedua tangan dan kakinya, tetapi dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh untuk sujud tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun, jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun, yang lebih tepat adalah tidaklah wajib terbuka untuk kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185) Baca juga: Rukun Shalat Hingga Syarat Sujud dari Safinatun Naja   Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud Thumakninah ketika sujud berarti turun sujud sekadar minimal membaca sekali tasbih (SUBHANALLAH).   Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud Duduk di antara dua sujud pada setiap rakaat. Lamanya duduk yang paling minimal adalah sekadar sekali bacaan tasbih (SUBHANALLAH). Duduk ini dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah. Duduk ini dalam keadaan tidak lama.   Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud   Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir ketika salam.   Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir Lafaz yang sempurna adalah: AT-TAHIYYAATUL MUBAAROKAATU, ASH-SHOLAWAATU ATH-THOYYIBAAT LILLAH, AS-SALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. ASY-HADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASY-HADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH (atau ‘ABDUHU WA ROSULUUH).   Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir Lafaz yang paling sempurna adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALA AALI IBROOHIIM, WA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALAA AALI IBROOHIM FIL ‘ALAAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID.   Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama Salam paling minimal adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM. Salam paling sempurna adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH. Salam ini diwajibkan dalam keadaan duduk.   Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat Niat keluar dari shalat ketika salam adalah pendapat marjuh (lemah dalam madzhab Syafii). Niat keluar dari shalat tidaklah termasuk wajib.   Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan Berurutan ini dikecualikan untuk: takbiratul ihram, karena takbiratul ihram dan niat itu berbarengan. duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Catatan: Rukun shalat menurut ulama Syafiiyyah lainnya (seperti dalam Al-Minhaj dan Az-Zubad) berjumlah 13 rukun, di mana thumakninah menjadi pengikut rukunnya.   Rukun shalat dapat dibagi menjadi: Rukun qawliyyah (perkataan), ada lima, yaitu: (a) takbiratul ihram, (b) membaca surah Al-Fatihah, (c) membaca tasyahud akhir, (d) shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, (e) salam pertama. Rukun fi’liyyah (perbuatan), ada enam, yaitu: (a) berdiri bagi yang mampu untuk shalat fardhu, (b) rukuk, (c) iktidal, (d) sujud, (e) duduk di antara dua sujud, (f) duduk pada tasyahud akhir. Rukun qolbi (hati), yaitu niat. Rukun maknawi, yaitu tertib (berurutan). Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Hasyiyah Al-Baajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj. Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj. – Diperbaharui pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 saat perjalanan Panggang – Pogung Dalangan Sleman Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat


Apa saja yang termasuk rukun shalat? Rukun shalat adalah sesuatu yang diwajibkan di dalam shalat, yang tidak bisa ditinggalkan.   Daftar Isi tutup 1. Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib 2. Kitab Shalat 3. Penjelasan: 3.1. Rukun Shalat Pertama: Berniat 3.2. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu 3.3. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram 3.4. Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah 3.5. Rukun Shalat Kelima: Rukuk 3.6. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk 3.7. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal 3.8. Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal 3.9. Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat 3.10. Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud 3.11. Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud 3.12. Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud 3.13. Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir 3.14. Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir 3.15. Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir 3.16. Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama 3.17. Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat 3.18. Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan 3.19. Rukun shalat dapat dibagi menjadi: 3.20. Referensi: Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib Kitab Shalat   Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata, وَأَرْكَانُ الصَّلاَةِ ثَمَانِيَّةَ عَشَرَ رُكْناً: النِّيَّةُ وَالقِيَامُ مَعَ القُدْرَةِ وَتَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةٌ مِنْهَا وَالرُّكُوْعُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالرَّفْعُ وَالاِعْتِدَالُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالسُّجُوْدُ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَالطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ وَالجُلُوْسُ الأَخِيْرُ وَالتَّشَهُّدُ فِيْهِ وَالصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ وَالتَّسْلِيْمَةُ الأُوْلَى وَنِيَّةُ الخُرُوْجِ مِنَ الصَّلاَةِ وَتَرْتِيْبُ الأَرْكَانِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ. Rukun shalat ada delapan belas, yaitu: 1. Berniat, 2. Berdiri bagi yang mampu, 3. Takbiratul ihram, 4. Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah, 5. Rukuk, 6. Thumakninah ketika rukuk, 7. Bangkit dan iktidal, 8. Thumakninah ketika iktidal, 9. Sujud, 10. Thumakninah ketika sujud, 11. Duduk di antara dua sujud, 12. Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud, 13. Duduk tasyahud akhir, 14. Membaca tasyahud akhir, 15. Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, 16. Salam pertama, 17. Niat keluar dari shalat, 18. Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan. Penjelasan: Catatan: Menurut pendapat ash-shahih, niat keluar dari shalat merupakan sunnah shalat, bukan merupakan rukun shalat. Inilah pendapat mu’tamad.   Rukun Shalat Pertama: Berniat Shalat tidaklah sah kecuali dengan niat. Niat secara bahasa berarti keinginan. Niat secara istilah syari adalah qashdusy syai’ muqtarinan bi fi’lihi, berkeinginan melakukan sesuatu berbarengan saat memulai sesuatu tersebut. Letak niat adalah di hati. Niat tidak wajib diucapkan di lisan, hanya disunnahkan saja. Tujuan niat diucapkan adalah liyusa’idul lisaanu al-qolba, agar lisan menolong hati untuk hadir. Jika berbeda antara lisan dengan hati, maka yang jadi patokan adalah niat di hati. Misalnya, ada yang niat shalat Zhuhur dalam hatinya, tetapi di lisannya mengucapkan niat shalat lain, maka patokannya adalah niat di hati. Cara niat: 1. Untuk shalat fardhu, wajib berniat: fardhu, shalat, takyin nama shalatnya. 2. Untuk shalat sunnah yang memiliki batasan waktu seperti rawatib atau shalat tersebut memiliki sebab seperti shalat Istisqa’, maka wajib berniat: shalat, takyin, nama shalatnya, tanpa menyebut kata sunnah. Rukun Shalat Kedua: Berdiri bagi yang mampu Berdiri ini berlaku wajib untuk shalat fardhu ketika mampu. Walaupun shalatnya adalah shalat nadzar, shalat mu’adah (yang diulang), shalat anak kecil. Shalat sunnah (seperti rawatib, shalat sunnah berjamaah) boleh dilakukan dengan duduk dan berbaring. Namun, shalat sunnah dengan duduk pahalanya separuh dari shalat sambil berdiri. Shalat sunnah sambil berbaring pahalanya separuh dari shalat sambil duduk. Jika shalat dilakukan dalam keadaan duduk, maka cara duduknya adalah iftirasy, itu lebih afdal. Catatan: – Orang sakit itu shalat sesuai kemampuannya. Pahala bagi orang sakit, tetap pahala yang sempurna. Rukun Shalat Ketiga: Takbiratul ihram Takbiratul ihram adalah perkataan orang yang shalat ketika memulai shalat dengan mengucapkan ALLAHU AKBAR, sebagai tanda masuk dalam shalat dan tanda memutuskan dari segala hal yang di luar shalat. Takbir ini disebut pula dengan takbir iftitah karena orang yang shalat membuka shalat dengannya. Ucapan ALLAHU AKBAR menunjukkan bahwa Allah itu Mahabesar, Allah itu Mahaagung dari segala sesuatu, baik dalam zat, nama, dan sifat-Nya. Takbir ini disebut dengan tahrim (ihram) karena takbir ini menghalangi orang yang shalat dari segala sesuatu yang diharamkan di dalam shalat. Contoh yang diharamkan di dalam shalat adalah berbicara dan makan. Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ “Jika engkau berdiri shalat, maka bertakbirlah.” (Dikeluarkan oleh yang lima). Baca juga: Rukun Shalat, Takbiratul Ihram dan Syaratnya Rukun Shalat Keempat: Membaca surah Al-Fatihah, di mana bismillahir rahmanir rohim merupakan ayat dari Al-Fatihah Surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat berdasarkan kesepakatan para ulama. Basmalah adalah bagian dari surah Al-Fatihah. Di saat jahriyyah, surah Al-Fatihah dibaca jahar. Di saat sirriyyah, surah Al-Fatihah dibaca sir. Dalam hadits, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca BISMILLAHIRROHMAANIR ROHIIM secara jahar.” (HR. Al-Hakim, sanad sahih). Hendaklah memperhatikan hukum tajwid saat membaca surah Al-Fatihah dalam harokat dan tasydidnya. Baca juga: Rukun Shalat, Syarat Membaca Surah Al-Fatihah Rukun Shalat Kelima: Rukuk Rukuk secara bahasa berarti menunduk. Secara syariat, rukuk adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin. Inkhinas adalah membungkukkan pinggul, mengangkat kepalanya, dan mengedepankan dadanya.Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya, shalatnya batal. Jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa, shalat tidak batal. Ia wajib kembali menuju berdiri dan melakukan rukuk yang sempurna karena tidak cukup gerakan menuju rukuk yang tujuannya inkhinas. Syarat rukuk adalah tidak bergerak menuju rukuk untuk tujuan yang lain. Rukuk yang sempurna adalah: sejajarnya punggung dan leher, meluruskan betis dan paha disertai merenggangkan jari-jari pada lutut dengan menghadap kiblat. Rukun Shalat Keenam: Thumakninah ketika rukuk Thumakninah adalah diam setelah bergerak atau diam di antara dua bergerak. Thumakninah yang paling minimal adalah sekadar ucapan SUBHANALLAH bersama dengan berdiam membungkuk. Rukun Shalat Ketujuh: Iktidal Iktidal secara bahasa berarti istiqamah. Secara syari, iktidal adalah kembalinya orang yang rukuk menuju gerakan sebelum rukuknya. Iktidal itu berarti berdiri yang memisahkan antara rukuk dan sujud. Ketika bangkit dari rukuk tidaklah dimaksudkan selain iktidal. Iktidal tidak diperpanjang melebihi dzikir yang disyariatkan sehingga tidak sama dengan lama membaca surah Al-Fatihah. Jika ada yang membuat bacaan iktidal lama secara sengaja dan mengetahui, shalatnya batal. Karena iktidal termasuk rukun qashir (ringkas). Rukun Shalat Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal Thumakninah ketika iktidal berarti berdiri lurus sekadar tasbih (ucapan SUBHANALLAH). Rukun Shalat Kesembilan: Sujud dua kali pada setiap rakaat Sujud secara bahasa berarti condong. Sebagian ada yang berpendapat, sujud adalah merendahkan diri. Secara syariat, sujud adalah terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik pada tanah atau lainnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ “Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490) Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. (Al-Majmu’, 3: 277-278) Baca juga: Menempelkan Hidung Saat Sujud Wajib ataukah Sunnah? Syarat sujud ada tujuh, yaitu [1] sujud di tujuh anggota sujud, [2] dahinya terbuka, [3] meletakkan kepalanya dengan menekannya, [4] tidak meniatkan untuk selain sujud, [5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya), [6] kepala lebih rendah dari pantat, [7] thumakninah. Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara  dua pelipis (shudghoini), dan lebarnya antara antara rambut kepala dengan kedua alis. Yang disunnahkan: Meletakkan jabiin bersamaan saat sujud Dahi (jabhah) di sini harus dalam keadaan terbuka, sebagian kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya. Anggota tubuh yang lain dari anggota saat sujud disunnahkan terbuka yaitu kedua tangan dan kakinya, tetapi dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh untuk sujud tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun, jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun, yang lebih tepat adalah tidaklah wajib terbuka untuk kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185) Baca juga: Rukun Shalat Hingga Syarat Sujud dari Safinatun Naja   Rukun Shalat Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud Thumakninah ketika sujud berarti turun sujud sekadar minimal membaca sekali tasbih (SUBHANALLAH).   Rukun Shalat Kesebelas: Duduk di antara dua sujud Duduk di antara dua sujud pada setiap rakaat. Lamanya duduk yang paling minimal adalah sekadar sekali bacaan tasbih (SUBHANALLAH). Duduk ini dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah. Duduk ini dalam keadaan tidak lama.   Rukun Shalat Kedua belas: Thumakninah ketika duduk di antara dua sujud   Rukun Shalat Ketiga belas: Duduk tasyahud akhir Duduk tasyahud akhir pada rakaat terakhir ketika salam.   Rukun Shalat Keempat belas: Membaca tasyahud ketika duduk tasyahud akhir Lafaz yang sempurna adalah: AT-TAHIYYAATUL MUBAAROKAATU, ASH-SHOLAWAATU ATH-THOYYIBAAT LILLAH, AS-SALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. ASY-HADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASY-HADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH (atau ‘ABDUHU WA ROSULUUH).   Rukun Shalat Kelima belas: Membaca shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahud akhir Lafaz yang paling sempurna adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALA AALI IBROOHIIM, WA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALA IBROOHIIM WA ‘ALAA AALI IBROOHIM FIL ‘ALAAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID.   Rukun Shalat Keenam belas: Salam pertama Salam paling minimal adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM. Salam paling sempurna adalah AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH. Salam ini diwajibkan dalam keadaan duduk.   Rukun Shalat Ketujuh belas: Niat keluar dari shalat Niat keluar dari shalat ketika salam adalah pendapat marjuh (lemah dalam madzhab Syafii). Niat keluar dari shalat tidaklah termasuk wajib.   Rukun Shalat Kedelapan belas: Tertib (berurutan) dalam mengerjakan rukun yang telah disebutkan Berurutan ini dikecualikan untuk: takbiratul ihram, karena takbiratul ihram dan niat itu berbarengan. duduk tasyahud akhir, membaca tasyahud akhir, dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Catatan: Rukun shalat menurut ulama Syafiiyyah lainnya (seperti dalam Al-Minhaj dan Az-Zubad) berjumlah 13 rukun, di mana thumakninah menjadi pengikut rukunnya.   Rukun shalat dapat dibagi menjadi: Rukun qawliyyah (perkataan), ada lima, yaitu: (a) takbiratul ihram, (b) membaca surah Al-Fatihah, (c) membaca tasyahud akhir, (d) shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud akhir, (e) salam pertama. Rukun fi’liyyah (perbuatan), ada enam, yaitu: (a) berdiri bagi yang mampu untuk shalat fardhu, (b) rukuk, (c) iktidal, (d) sujud, (e) duduk di antara dua sujud, (f) duduk pada tasyahud akhir. Rukun qolbi (hati), yaitu niat. Rukun maknawi, yaitu tertib (berurutan). Referensi: Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar. Hasyiyah Al-Baajuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibni Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj. Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj. – Diperbaharui pada 12 Muharram 1446 H, 18 Juli 2024 saat perjalanan Panggang – Pogung Dalangan Sleman Jogja Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsmatan abu syuja matan taqrib matan taqrib shalat rukun shalat

Apakah Surat Asy-Syu’ara Disebut Juga Surat Pemusik?

Pertanyaan: Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah surat pemusik dan Hassan bin Tsabit adalah pemusik di sisi Nabi. Apakah ini benar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jelas ini merupakan kekeliruan dan penyimpangan. Karena Asy-Syu’ara (الشعراء) artinya para penyair, bentuk jamak dari asy-sya’ir (الشاعر) yaitu penyair. Penyair tentu berbeda dengan pemusik, sya’ir berbeda dengan musik.  Dalam kitab Mu’jamul Wasith disebutkan : الشِّعرُ : كلام موزون مُقفَّى قصدًا “Sya’ir adalah kalimat-kalimat yang memiliki wazan (pola) dan disusun dengan qafiyah (rima) secara sengaja”. Demikian juga dalam kitab Lisanul Arab disebutkan : والشِّعْرُ: منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية “Sya’ir adalah perkataan yang tersusun, yang didominasi oleh wazan (pola) dan qafiyah (rima) sehingga ia menjadi indah”. Pantun dan puisi adalah contoh syair dalam bahasa Indonesia. Adapun musik, dalam bahasa Arab disebut dengan al-ma’azif atau al-‘azf, yaitu alat-alat musik yang dimainkan.  Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (10/46) berkata: وفي حواشي الدمياطي، المعازف: الدفوف وغيرها مما يضرب به “Dalam kitab Al-Hawasyi karya Ad-Dimyathi, al-ma’azif maknanya duff dan sejenisnya yang ditabuh”. Dalam kitab Lisanul Arab disebutkan: فهو ضَرْب من الطَّنابير ويتخذ أَهل اليمن وغيرُهم، يجعل العُود مِعْزفاً “Ma’azif adalah memainkan thanbur (semacam gitar) yang biasa digunakan oleh orang Yaman dan semisalnya. Mereka biasa membuat alat musik dari kayu”. Ringkas kata, ma’azif adalah alat-alat musik yang dimainkan, baik ditabuh, ditiup, dipetik, dan semisalnya. Dari sini jelas sudah perbedaan antara sya’ir dengan musik. Sya’ir adalah perkataan yang berpola dan berima, baik diiringi musik atau tidak. Musik adalah permainan alat musik, baik mengandung sya’ir atau tidak. Terkadang musik dimainkan tanpa mengandung lirik sama sekali, seperti musik instrumental. Sehingga sya’ir dan musik adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, tidak benar menyebut surat Asy-Syu’ara dengan surat musik. Dan tidak kami ketahui kitab-kitab bahasa Arab yang menyebutkan bahwa syi’r (الشِّعرُ) dengan ma’azif (المعازف) itu sama.  Juga tidak kami dapati ada satu ulama pun yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara dengan istilah surat musik. Ini pernyataan yang nyeleneh, yang belum ada pendahulunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا بِهِ أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ “Akan datang di akhir zaman, beberapa orang dari umatku yang bicara sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya (yang aneh-aneh) oleh kalian atau kakek moyang kalian. Maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka” (HR. Ahmad no. 8267, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth). Imam Ahmad bin Hambal sering berkata kepada murid-murid beliau: إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ “Jangan sampai engkau berkata-kata dalam suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki imam yang mendahuluimu” (Siyar A’lamin Nubala’, 11/296). Dan penyataan seperti ini termasuk penyimpangan dalam agama. Karena musik diharamkan dalam agama. Sehingga tidak layak menyebut salah satu surat dari Al-Qur’an dengan surat musik. Ini merupakan perendahan terhadap Al-Qur’an. Demikian juga, sahabat yang mulia, Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, yang merupakan salah satu penyair Nabi. Beliau pernah mengatakan : قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan ketika itu ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi shallallahu‘alaihi wasallam)” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Maka tidak layak menyebut Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu dengan sebutan pemusik di sisi Nabi. Ini merupakan perendahan terhadap beliau. Dan pernyataan seperti ini nampak sebagai sebuah retorika untuk menghalalkan musik dalam Islam. Seolah-olah musik itu perkara yang boleh bahkan mulia dalam Islam, sehingga (diklaim) ada surat musik dalam Al-Qur’an dan ada pemusik di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh ini sebuah pengelabuan dan tipu daya terhadap umat. Padahal musik telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dalam hadits dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm). Haramnya musik adalah pendapat ulama 4 mazhab bahkan ada 20 orang ulama yang menukil ijma’ (kesepakatan) akan haramnya musik.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mimpi Basah Di Bulan Ramadhan, Ceramah Singkat Tentang Sholat Tarawih, Gunting Kuku Saat Puasa, Niat Sahur, Kaum Nabi Isa Visited 318 times, 1 visit(s) today Post Views: 661 QRIS donasi Yufid

Apakah Surat Asy-Syu’ara Disebut Juga Surat Pemusik?

Pertanyaan: Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah surat pemusik dan Hassan bin Tsabit adalah pemusik di sisi Nabi. Apakah ini benar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jelas ini merupakan kekeliruan dan penyimpangan. Karena Asy-Syu’ara (الشعراء) artinya para penyair, bentuk jamak dari asy-sya’ir (الشاعر) yaitu penyair. Penyair tentu berbeda dengan pemusik, sya’ir berbeda dengan musik.  Dalam kitab Mu’jamul Wasith disebutkan : الشِّعرُ : كلام موزون مُقفَّى قصدًا “Sya’ir adalah kalimat-kalimat yang memiliki wazan (pola) dan disusun dengan qafiyah (rima) secara sengaja”. Demikian juga dalam kitab Lisanul Arab disebutkan : والشِّعْرُ: منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية “Sya’ir adalah perkataan yang tersusun, yang didominasi oleh wazan (pola) dan qafiyah (rima) sehingga ia menjadi indah”. Pantun dan puisi adalah contoh syair dalam bahasa Indonesia. Adapun musik, dalam bahasa Arab disebut dengan al-ma’azif atau al-‘azf, yaitu alat-alat musik yang dimainkan.  Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (10/46) berkata: وفي حواشي الدمياطي، المعازف: الدفوف وغيرها مما يضرب به “Dalam kitab Al-Hawasyi karya Ad-Dimyathi, al-ma’azif maknanya duff dan sejenisnya yang ditabuh”. Dalam kitab Lisanul Arab disebutkan: فهو ضَرْب من الطَّنابير ويتخذ أَهل اليمن وغيرُهم، يجعل العُود مِعْزفاً “Ma’azif adalah memainkan thanbur (semacam gitar) yang biasa digunakan oleh orang Yaman dan semisalnya. Mereka biasa membuat alat musik dari kayu”. Ringkas kata, ma’azif adalah alat-alat musik yang dimainkan, baik ditabuh, ditiup, dipetik, dan semisalnya. Dari sini jelas sudah perbedaan antara sya’ir dengan musik. Sya’ir adalah perkataan yang berpola dan berima, baik diiringi musik atau tidak. Musik adalah permainan alat musik, baik mengandung sya’ir atau tidak. Terkadang musik dimainkan tanpa mengandung lirik sama sekali, seperti musik instrumental. Sehingga sya’ir dan musik adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, tidak benar menyebut surat Asy-Syu’ara dengan surat musik. Dan tidak kami ketahui kitab-kitab bahasa Arab yang menyebutkan bahwa syi’r (الشِّعرُ) dengan ma’azif (المعازف) itu sama.  Juga tidak kami dapati ada satu ulama pun yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara dengan istilah surat musik. Ini pernyataan yang nyeleneh, yang belum ada pendahulunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا بِهِ أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ “Akan datang di akhir zaman, beberapa orang dari umatku yang bicara sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya (yang aneh-aneh) oleh kalian atau kakek moyang kalian. Maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka” (HR. Ahmad no. 8267, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth). Imam Ahmad bin Hambal sering berkata kepada murid-murid beliau: إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ “Jangan sampai engkau berkata-kata dalam suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki imam yang mendahuluimu” (Siyar A’lamin Nubala’, 11/296). Dan penyataan seperti ini termasuk penyimpangan dalam agama. Karena musik diharamkan dalam agama. Sehingga tidak layak menyebut salah satu surat dari Al-Qur’an dengan surat musik. Ini merupakan perendahan terhadap Al-Qur’an. Demikian juga, sahabat yang mulia, Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, yang merupakan salah satu penyair Nabi. Beliau pernah mengatakan : قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan ketika itu ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi shallallahu‘alaihi wasallam)” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Maka tidak layak menyebut Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu dengan sebutan pemusik di sisi Nabi. Ini merupakan perendahan terhadap beliau. Dan pernyataan seperti ini nampak sebagai sebuah retorika untuk menghalalkan musik dalam Islam. Seolah-olah musik itu perkara yang boleh bahkan mulia dalam Islam, sehingga (diklaim) ada surat musik dalam Al-Qur’an dan ada pemusik di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh ini sebuah pengelabuan dan tipu daya terhadap umat. Padahal musik telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dalam hadits dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm). Haramnya musik adalah pendapat ulama 4 mazhab bahkan ada 20 orang ulama yang menukil ijma’ (kesepakatan) akan haramnya musik.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mimpi Basah Di Bulan Ramadhan, Ceramah Singkat Tentang Sholat Tarawih, Gunting Kuku Saat Puasa, Niat Sahur, Kaum Nabi Isa Visited 318 times, 1 visit(s) today Post Views: 661 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah surat pemusik dan Hassan bin Tsabit adalah pemusik di sisi Nabi. Apakah ini benar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jelas ini merupakan kekeliruan dan penyimpangan. Karena Asy-Syu’ara (الشعراء) artinya para penyair, bentuk jamak dari asy-sya’ir (الشاعر) yaitu penyair. Penyair tentu berbeda dengan pemusik, sya’ir berbeda dengan musik.  Dalam kitab Mu’jamul Wasith disebutkan : الشِّعرُ : كلام موزون مُقفَّى قصدًا “Sya’ir adalah kalimat-kalimat yang memiliki wazan (pola) dan disusun dengan qafiyah (rima) secara sengaja”. Demikian juga dalam kitab Lisanul Arab disebutkan : والشِّعْرُ: منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية “Sya’ir adalah perkataan yang tersusun, yang didominasi oleh wazan (pola) dan qafiyah (rima) sehingga ia menjadi indah”. Pantun dan puisi adalah contoh syair dalam bahasa Indonesia. Adapun musik, dalam bahasa Arab disebut dengan al-ma’azif atau al-‘azf, yaitu alat-alat musik yang dimainkan.  Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (10/46) berkata: وفي حواشي الدمياطي، المعازف: الدفوف وغيرها مما يضرب به “Dalam kitab Al-Hawasyi karya Ad-Dimyathi, al-ma’azif maknanya duff dan sejenisnya yang ditabuh”. Dalam kitab Lisanul Arab disebutkan: فهو ضَرْب من الطَّنابير ويتخذ أَهل اليمن وغيرُهم، يجعل العُود مِعْزفاً “Ma’azif adalah memainkan thanbur (semacam gitar) yang biasa digunakan oleh orang Yaman dan semisalnya. Mereka biasa membuat alat musik dari kayu”. Ringkas kata, ma’azif adalah alat-alat musik yang dimainkan, baik ditabuh, ditiup, dipetik, dan semisalnya. Dari sini jelas sudah perbedaan antara sya’ir dengan musik. Sya’ir adalah perkataan yang berpola dan berima, baik diiringi musik atau tidak. Musik adalah permainan alat musik, baik mengandung sya’ir atau tidak. Terkadang musik dimainkan tanpa mengandung lirik sama sekali, seperti musik instrumental. Sehingga sya’ir dan musik adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, tidak benar menyebut surat Asy-Syu’ara dengan surat musik. Dan tidak kami ketahui kitab-kitab bahasa Arab yang menyebutkan bahwa syi’r (الشِّعرُ) dengan ma’azif (المعازف) itu sama.  Juga tidak kami dapati ada satu ulama pun yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara dengan istilah surat musik. Ini pernyataan yang nyeleneh, yang belum ada pendahulunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا بِهِ أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ “Akan datang di akhir zaman, beberapa orang dari umatku yang bicara sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya (yang aneh-aneh) oleh kalian atau kakek moyang kalian. Maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka” (HR. Ahmad no. 8267, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth). Imam Ahmad bin Hambal sering berkata kepada murid-murid beliau: إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ “Jangan sampai engkau berkata-kata dalam suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki imam yang mendahuluimu” (Siyar A’lamin Nubala’, 11/296). Dan penyataan seperti ini termasuk penyimpangan dalam agama. Karena musik diharamkan dalam agama. Sehingga tidak layak menyebut salah satu surat dari Al-Qur’an dengan surat musik. Ini merupakan perendahan terhadap Al-Qur’an. Demikian juga, sahabat yang mulia, Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, yang merupakan salah satu penyair Nabi. Beliau pernah mengatakan : قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan ketika itu ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi shallallahu‘alaihi wasallam)” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Maka tidak layak menyebut Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu dengan sebutan pemusik di sisi Nabi. Ini merupakan perendahan terhadap beliau. Dan pernyataan seperti ini nampak sebagai sebuah retorika untuk menghalalkan musik dalam Islam. Seolah-olah musik itu perkara yang boleh bahkan mulia dalam Islam, sehingga (diklaim) ada surat musik dalam Al-Qur’an dan ada pemusik di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh ini sebuah pengelabuan dan tipu daya terhadap umat. Padahal musik telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dalam hadits dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm). Haramnya musik adalah pendapat ulama 4 mazhab bahkan ada 20 orang ulama yang menukil ijma’ (kesepakatan) akan haramnya musik.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mimpi Basah Di Bulan Ramadhan, Ceramah Singkat Tentang Sholat Tarawih, Gunting Kuku Saat Puasa, Niat Sahur, Kaum Nabi Isa Visited 318 times, 1 visit(s) today Post Views: 661 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah surat pemusik dan Hassan bin Tsabit adalah pemusik di sisi Nabi. Apakah ini benar? Jawaban: Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du. Jelas ini merupakan kekeliruan dan penyimpangan. Karena Asy-Syu’ara (الشعراء) artinya para penyair, bentuk jamak dari asy-sya’ir (الشاعر) yaitu penyair. Penyair tentu berbeda dengan pemusik, sya’ir berbeda dengan musik.  Dalam kitab Mu’jamul Wasith disebutkan : الشِّعرُ : كلام موزون مُقفَّى قصدًا “Sya’ir adalah kalimat-kalimat yang memiliki wazan (pola) dan disusun dengan qafiyah (rima) secara sengaja”. Demikian juga dalam kitab Lisanul Arab disebutkan : والشِّعْرُ: منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية “Sya’ir adalah perkataan yang tersusun, yang didominasi oleh wazan (pola) dan qafiyah (rima) sehingga ia menjadi indah”. Pantun dan puisi adalah contoh syair dalam bahasa Indonesia. Adapun musik, dalam bahasa Arab disebut dengan al-ma’azif atau al-‘azf, yaitu alat-alat musik yang dimainkan.  Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata: العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب “Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh” Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata: وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان “Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)” Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (10/46) berkata: وفي حواشي الدمياطي، المعازف: الدفوف وغيرها مما يضرب به “Dalam kitab Al-Hawasyi karya Ad-Dimyathi, al-ma’azif maknanya duff dan sejenisnya yang ditabuh”. Dalam kitab Lisanul Arab disebutkan: فهو ضَرْب من الطَّنابير ويتخذ أَهل اليمن وغيرُهم، يجعل العُود مِعْزفاً “Ma’azif adalah memainkan thanbur (semacam gitar) yang biasa digunakan oleh orang Yaman dan semisalnya. Mereka biasa membuat alat musik dari kayu”. Ringkas kata, ma’azif adalah alat-alat musik yang dimainkan, baik ditabuh, ditiup, dipetik, dan semisalnya. Dari sini jelas sudah perbedaan antara sya’ir dengan musik. Sya’ir adalah perkataan yang berpola dan berima, baik diiringi musik atau tidak. Musik adalah permainan alat musik, baik mengandung sya’ir atau tidak. Terkadang musik dimainkan tanpa mengandung lirik sama sekali, seperti musik instrumental. Sehingga sya’ir dan musik adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, tidak benar menyebut surat Asy-Syu’ara dengan surat musik. Dan tidak kami ketahui kitab-kitab bahasa Arab yang menyebutkan bahwa syi’r (الشِّعرُ) dengan ma’azif (المعازف) itu sama.  Juga tidak kami dapati ada satu ulama pun yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara dengan istilah surat musik. Ini pernyataan yang nyeleneh, yang belum ada pendahulunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا بِهِ أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ “Akan datang di akhir zaman, beberapa orang dari umatku yang bicara sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya (yang aneh-aneh) oleh kalian atau kakek moyang kalian. Maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka” (HR. Ahmad no. 8267, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth). Imam Ahmad bin Hambal sering berkata kepada murid-murid beliau: إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ “Jangan sampai engkau berkata-kata dalam suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki imam yang mendahuluimu” (Siyar A’lamin Nubala’, 11/296). Dan penyataan seperti ini termasuk penyimpangan dalam agama. Karena musik diharamkan dalam agama. Sehingga tidak layak menyebut salah satu surat dari Al-Qur’an dengan surat musik. Ini merupakan perendahan terhadap Al-Qur’an. Demikian juga, sahabat yang mulia, Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, yang merupakan salah satu penyair Nabi. Beliau pernah mengatakan : قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ “Aku juga pernah bersyair dan ketika itu ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi shallallahu‘alaihi wasallam)” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Maka tidak layak menyebut Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu dengan sebutan pemusik di sisi Nabi. Ini merupakan perendahan terhadap beliau. Dan pernyataan seperti ini nampak sebagai sebuah retorika untuk menghalalkan musik dalam Islam. Seolah-olah musik itu perkara yang boleh bahkan mulia dalam Islam, sehingga (diklaim) ada surat musik dalam Al-Qur’an dan ada pemusik di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh ini sebuah pengelabuan dan tipu daya terhadap umat. Padahal musik telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dalam hadits dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ “Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm). Haramnya musik adalah pendapat ulama 4 mazhab bahkan ada 20 orang ulama yang menukil ijma’ (kesepakatan) akan haramnya musik.  Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.  Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Hukum Mimpi Basah Di Bulan Ramadhan, Ceramah Singkat Tentang Sholat Tarawih, Gunting Kuku Saat Puasa, Niat Sahur, Kaum Nabi Isa Visited 318 times, 1 visit(s) today Post Views: 661 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Merasa Diawasi Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, baik ketika dilihat orang lain ataupun ketika bersendirian. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا كَرِهَ اللَّهُ مِنْكَ شَيْئًا، فَلَا تَفْعَلْهُ إِذَا خَلَوْتَ “Segala perbuatan yang Allah benci dari dirimu untuk dilakukan, maka janganlah kamu lakukan hal tersebut ketika kamu bersendirian.“ (HR. Ibnu Hibban no. 403 dan Adh–Dhiyaa’ dalam Al–Mukhtarat no. 1393. Al-Albani menyatakan hasan lighairihi. Lihat As–Silsilah As-Shahihah no. 1055) Hal ini karena jiwa manusia itu menjadi lemah ketika dalam kondisi bersendirian, sehingga terdorong serta lebih berani untuk melakukan kemaksiatan ketika itu. Karena pada saat itu, tidak ada orang lain yang melihatnya. Keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat seorang hamba dan juga mengawasi gerak-gerik dirinya merupakan penghalang terbesar dari bermaksiat kepada-Nya. Dia senantiasa ingat bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, hampir dalam setiap lembaran mushaf Al-Quran yang mulia terdapat ancaman yang besar dan peringatan yang tegas tentang hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala berikut ini, وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29) وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِير “Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234) وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ “Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan.” (QS. An-Nahl: 19) وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. Al-An’am: 59) وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (QS. Qaf: 16) وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah: 235) وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡن وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَان وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ “Kamu tidaklah berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61) Hendaknya seseorang menyadari dan waspada bahwa keadaannya itu seperti orang-orang yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. Padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai.” (QS An-Nisaa’: 108) Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang tersembunyi dari Allah. Sesuatu yang tersembunyi di malam hari, baik di tempat yang tersembunyi atapun tampak, semuanya sama saja bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman, يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19) Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang makna ayat ini, “Allah menginformasikan tentang ilmunya yang sempurna yang meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang kecil maupun yang besar. Semua Allah ketahui secara rinci dan mendetail agar manusia waspada bahwa Allah mengetahui juga kondisi mereka. Maka milikilah sikap malu kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan hendaknya merasa selalu diawasi oleh Allah yang melihat dirinya. Allah Ta’ala mengetahui pandangan khianat dan yang menjaga amanat, dan Allah mengetahui berbagai rahasia dan yang tersembunyi di dalam hati.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 137) Betapa banyak kita jumpai ayat Al-Quran yang menyebutkan suatu amal dan balasannya, kemudian ditutup dengan menyebutkan bahwa ilmu Allah itu senantiasa meliputi semuanya. Hal ini bertujuan agar hati manusia itu waspada dan menaruh perhatian untuk menyempurnakan dan memperbaiki hatinya, sehingga dia senantiasa memiliki rasa harap (ar-raja’) dan takut (al-khauf). Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dalam Az-Zuhud (no. 137), “Dahulu, (materi) dakwah Bakr bin ‘Abdillah al-Muzanny kepada orang yang berjumpa dengannya adalah dengan mengatakan kepada mereka, “Semoga Allah menjadikan kita memiliki sifat zuhud terhadap perbuatan haram dan dosa ketika bersendirian. Ketahuilah bahwa Allah melihatnya, maka tinggalkanlah.“ Ini adalah kedudukan yang agung dalam sikap zuhud, yaitu seseorang meninggalkan dosa dalam keadaan bersendirian karena takut kepada azab dan hukuman Allah, bukan karena riya’ dan sum’ah. Dia melakukannya hanya karena Allah semata. Sehingga hal ini merupakan di antara bentuk ibadah paling agung yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Abu Hatim Al-Busty mengatakan, “Poros ketaatan seseorang di dunia ini adalah memperbaiki hati dan meninggalkan hal-hal yang merusak hati. Wajib bagi orang yang berakal untuk perhatian dan semangat dalam memperbaiki hatinya, baik ketika di hadapan orang lain maupun ketika sendirian, baik ketika bergerak ataupun diam, karena hilangnya waktu dan penyebab penderitaan tidaklah terjadi kecuali dengan rusaknya hati.“ (Raudhatul ‘Uqola’ wa Nazhatu al–Fudholaa, hal. 27) Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya hati orang yang baik senantiasa sibuk dengan amal kebaikan. Adapun hati orang fajir itu senantiasa sibuk dengan amal keburukan. Sesungguhnya Allah melihat keinginan yang ada di hati kalian. Maka senantiasa perhatikanlah hal tersebut, semoga Allah merahmati kalian.“ (HR. Ibnu Abid Dunya dalam Al–Hamm wal Hazn no. 112. Lihat dalam Raudhatul ‘Uqola’ wa Nuzhatu al–Fudholaa’ hal. 27) Maksudnya, kita harus senantiasa ingat bahwa Rabbul ‘alaamin senantiasa mengetahui dan mengawasi keinginan hati kita. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba berusaha untuk memperbaiki keinginan hatinya dan menjadikan keinginan hatinya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat dengan meraih rida Allah. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهِ هَلَكَ “Barangsiapa menjadikan segala macam keinginannya hanya satu, yaitu keinginan tempat kembali (negeri akhirat), niscaya Allah akan mencukupkan baginya keinginan dunianya. Dan barangsiapa yang keinginannya beraneka ragam pada urusan dunia, maka Allah tidak akan mempedulikan di manapun dia binasa.” (HR. Ibnu Majah no. 4106) Baca juga: Penjelasan Isykal Hadits Mengenai Orang Yang Bermaksiat Tatkala Sendirian *** @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 35; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: diawasi Allah

Merasa Diawasi Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, baik ketika dilihat orang lain ataupun ketika bersendirian. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا كَرِهَ اللَّهُ مِنْكَ شَيْئًا، فَلَا تَفْعَلْهُ إِذَا خَلَوْتَ “Segala perbuatan yang Allah benci dari dirimu untuk dilakukan, maka janganlah kamu lakukan hal tersebut ketika kamu bersendirian.“ (HR. Ibnu Hibban no. 403 dan Adh–Dhiyaa’ dalam Al–Mukhtarat no. 1393. Al-Albani menyatakan hasan lighairihi. Lihat As–Silsilah As-Shahihah no. 1055) Hal ini karena jiwa manusia itu menjadi lemah ketika dalam kondisi bersendirian, sehingga terdorong serta lebih berani untuk melakukan kemaksiatan ketika itu. Karena pada saat itu, tidak ada orang lain yang melihatnya. Keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat seorang hamba dan juga mengawasi gerak-gerik dirinya merupakan penghalang terbesar dari bermaksiat kepada-Nya. Dia senantiasa ingat bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, hampir dalam setiap lembaran mushaf Al-Quran yang mulia terdapat ancaman yang besar dan peringatan yang tegas tentang hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala berikut ini, وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29) وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِير “Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234) وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ “Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan.” (QS. An-Nahl: 19) وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. Al-An’am: 59) وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (QS. Qaf: 16) وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah: 235) وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡن وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَان وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ “Kamu tidaklah berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61) Hendaknya seseorang menyadari dan waspada bahwa keadaannya itu seperti orang-orang yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. Padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai.” (QS An-Nisaa’: 108) Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang tersembunyi dari Allah. Sesuatu yang tersembunyi di malam hari, baik di tempat yang tersembunyi atapun tampak, semuanya sama saja bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman, يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19) Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang makna ayat ini, “Allah menginformasikan tentang ilmunya yang sempurna yang meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang kecil maupun yang besar. Semua Allah ketahui secara rinci dan mendetail agar manusia waspada bahwa Allah mengetahui juga kondisi mereka. Maka milikilah sikap malu kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan hendaknya merasa selalu diawasi oleh Allah yang melihat dirinya. Allah Ta’ala mengetahui pandangan khianat dan yang menjaga amanat, dan Allah mengetahui berbagai rahasia dan yang tersembunyi di dalam hati.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 137) Betapa banyak kita jumpai ayat Al-Quran yang menyebutkan suatu amal dan balasannya, kemudian ditutup dengan menyebutkan bahwa ilmu Allah itu senantiasa meliputi semuanya. Hal ini bertujuan agar hati manusia itu waspada dan menaruh perhatian untuk menyempurnakan dan memperbaiki hatinya, sehingga dia senantiasa memiliki rasa harap (ar-raja’) dan takut (al-khauf). Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dalam Az-Zuhud (no. 137), “Dahulu, (materi) dakwah Bakr bin ‘Abdillah al-Muzanny kepada orang yang berjumpa dengannya adalah dengan mengatakan kepada mereka, “Semoga Allah menjadikan kita memiliki sifat zuhud terhadap perbuatan haram dan dosa ketika bersendirian. Ketahuilah bahwa Allah melihatnya, maka tinggalkanlah.“ Ini adalah kedudukan yang agung dalam sikap zuhud, yaitu seseorang meninggalkan dosa dalam keadaan bersendirian karena takut kepada azab dan hukuman Allah, bukan karena riya’ dan sum’ah. Dia melakukannya hanya karena Allah semata. Sehingga hal ini merupakan di antara bentuk ibadah paling agung yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Abu Hatim Al-Busty mengatakan, “Poros ketaatan seseorang di dunia ini adalah memperbaiki hati dan meninggalkan hal-hal yang merusak hati. Wajib bagi orang yang berakal untuk perhatian dan semangat dalam memperbaiki hatinya, baik ketika di hadapan orang lain maupun ketika sendirian, baik ketika bergerak ataupun diam, karena hilangnya waktu dan penyebab penderitaan tidaklah terjadi kecuali dengan rusaknya hati.“ (Raudhatul ‘Uqola’ wa Nazhatu al–Fudholaa, hal. 27) Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya hati orang yang baik senantiasa sibuk dengan amal kebaikan. Adapun hati orang fajir itu senantiasa sibuk dengan amal keburukan. Sesungguhnya Allah melihat keinginan yang ada di hati kalian. Maka senantiasa perhatikanlah hal tersebut, semoga Allah merahmati kalian.“ (HR. Ibnu Abid Dunya dalam Al–Hamm wal Hazn no. 112. Lihat dalam Raudhatul ‘Uqola’ wa Nuzhatu al–Fudholaa’ hal. 27) Maksudnya, kita harus senantiasa ingat bahwa Rabbul ‘alaamin senantiasa mengetahui dan mengawasi keinginan hati kita. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba berusaha untuk memperbaiki keinginan hatinya dan menjadikan keinginan hatinya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat dengan meraih rida Allah. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهِ هَلَكَ “Barangsiapa menjadikan segala macam keinginannya hanya satu, yaitu keinginan tempat kembali (negeri akhirat), niscaya Allah akan mencukupkan baginya keinginan dunianya. Dan barangsiapa yang keinginannya beraneka ragam pada urusan dunia, maka Allah tidak akan mempedulikan di manapun dia binasa.” (HR. Ibnu Majah no. 4106) Baca juga: Penjelasan Isykal Hadits Mengenai Orang Yang Bermaksiat Tatkala Sendirian *** @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 35; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: diawasi Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, baik ketika dilihat orang lain ataupun ketika bersendirian. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا كَرِهَ اللَّهُ مِنْكَ شَيْئًا، فَلَا تَفْعَلْهُ إِذَا خَلَوْتَ “Segala perbuatan yang Allah benci dari dirimu untuk dilakukan, maka janganlah kamu lakukan hal tersebut ketika kamu bersendirian.“ (HR. Ibnu Hibban no. 403 dan Adh–Dhiyaa’ dalam Al–Mukhtarat no. 1393. Al-Albani menyatakan hasan lighairihi. Lihat As–Silsilah As-Shahihah no. 1055) Hal ini karena jiwa manusia itu menjadi lemah ketika dalam kondisi bersendirian, sehingga terdorong serta lebih berani untuk melakukan kemaksiatan ketika itu. Karena pada saat itu, tidak ada orang lain yang melihatnya. Keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat seorang hamba dan juga mengawasi gerak-gerik dirinya merupakan penghalang terbesar dari bermaksiat kepada-Nya. Dia senantiasa ingat bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, hampir dalam setiap lembaran mushaf Al-Quran yang mulia terdapat ancaman yang besar dan peringatan yang tegas tentang hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala berikut ini, وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29) وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِير “Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234) وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ “Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan.” (QS. An-Nahl: 19) وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. Al-An’am: 59) وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (QS. Qaf: 16) وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah: 235) وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡن وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَان وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ “Kamu tidaklah berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61) Hendaknya seseorang menyadari dan waspada bahwa keadaannya itu seperti orang-orang yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. Padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai.” (QS An-Nisaa’: 108) Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang tersembunyi dari Allah. Sesuatu yang tersembunyi di malam hari, baik di tempat yang tersembunyi atapun tampak, semuanya sama saja bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman, يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19) Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang makna ayat ini, “Allah menginformasikan tentang ilmunya yang sempurna yang meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang kecil maupun yang besar. Semua Allah ketahui secara rinci dan mendetail agar manusia waspada bahwa Allah mengetahui juga kondisi mereka. Maka milikilah sikap malu kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan hendaknya merasa selalu diawasi oleh Allah yang melihat dirinya. Allah Ta’ala mengetahui pandangan khianat dan yang menjaga amanat, dan Allah mengetahui berbagai rahasia dan yang tersembunyi di dalam hati.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 137) Betapa banyak kita jumpai ayat Al-Quran yang menyebutkan suatu amal dan balasannya, kemudian ditutup dengan menyebutkan bahwa ilmu Allah itu senantiasa meliputi semuanya. Hal ini bertujuan agar hati manusia itu waspada dan menaruh perhatian untuk menyempurnakan dan memperbaiki hatinya, sehingga dia senantiasa memiliki rasa harap (ar-raja’) dan takut (al-khauf). Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dalam Az-Zuhud (no. 137), “Dahulu, (materi) dakwah Bakr bin ‘Abdillah al-Muzanny kepada orang yang berjumpa dengannya adalah dengan mengatakan kepada mereka, “Semoga Allah menjadikan kita memiliki sifat zuhud terhadap perbuatan haram dan dosa ketika bersendirian. Ketahuilah bahwa Allah melihatnya, maka tinggalkanlah.“ Ini adalah kedudukan yang agung dalam sikap zuhud, yaitu seseorang meninggalkan dosa dalam keadaan bersendirian karena takut kepada azab dan hukuman Allah, bukan karena riya’ dan sum’ah. Dia melakukannya hanya karena Allah semata. Sehingga hal ini merupakan di antara bentuk ibadah paling agung yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Abu Hatim Al-Busty mengatakan, “Poros ketaatan seseorang di dunia ini adalah memperbaiki hati dan meninggalkan hal-hal yang merusak hati. Wajib bagi orang yang berakal untuk perhatian dan semangat dalam memperbaiki hatinya, baik ketika di hadapan orang lain maupun ketika sendirian, baik ketika bergerak ataupun diam, karena hilangnya waktu dan penyebab penderitaan tidaklah terjadi kecuali dengan rusaknya hati.“ (Raudhatul ‘Uqola’ wa Nazhatu al–Fudholaa, hal. 27) Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya hati orang yang baik senantiasa sibuk dengan amal kebaikan. Adapun hati orang fajir itu senantiasa sibuk dengan amal keburukan. Sesungguhnya Allah melihat keinginan yang ada di hati kalian. Maka senantiasa perhatikanlah hal tersebut, semoga Allah merahmati kalian.“ (HR. Ibnu Abid Dunya dalam Al–Hamm wal Hazn no. 112. Lihat dalam Raudhatul ‘Uqola’ wa Nuzhatu al–Fudholaa’ hal. 27) Maksudnya, kita harus senantiasa ingat bahwa Rabbul ‘alaamin senantiasa mengetahui dan mengawasi keinginan hati kita. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba berusaha untuk memperbaiki keinginan hatinya dan menjadikan keinginan hatinya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat dengan meraih rida Allah. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهِ هَلَكَ “Barangsiapa menjadikan segala macam keinginannya hanya satu, yaitu keinginan tempat kembali (negeri akhirat), niscaya Allah akan mencukupkan baginya keinginan dunianya. Dan barangsiapa yang keinginannya beraneka ragam pada urusan dunia, maka Allah tidak akan mempedulikan di manapun dia binasa.” (HR. Ibnu Majah no. 4106) Baca juga: Penjelasan Isykal Hadits Mengenai Orang Yang Bermaksiat Tatkala Sendirian *** @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 35; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: diawasi Allah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, baik ketika dilihat orang lain ataupun ketika bersendirian. Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا كَرِهَ اللَّهُ مِنْكَ شَيْئًا، فَلَا تَفْعَلْهُ إِذَا خَلَوْتَ “Segala perbuatan yang Allah benci dari dirimu untuk dilakukan, maka janganlah kamu lakukan hal tersebut ketika kamu bersendirian.“ (HR. Ibnu Hibban no. 403 dan Adh–Dhiyaa’ dalam Al–Mukhtarat no. 1393. Al-Albani menyatakan hasan lighairihi. Lihat As–Silsilah As-Shahihah no. 1055) Hal ini karena jiwa manusia itu menjadi lemah ketika dalam kondisi bersendirian, sehingga terdorong serta lebih berani untuk melakukan kemaksiatan ketika itu. Karena pada saat itu, tidak ada orang lain yang melihatnya. Keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat seorang hamba dan juga mengawasi gerak-gerik dirinya merupakan penghalang terbesar dari bermaksiat kepada-Nya. Dia senantiasa ingat bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Bahkan, hampir dalam setiap lembaran mushaf Al-Quran yang mulia terdapat ancaman yang besar dan peringatan yang tegas tentang hal ini, di antaranya firman Allah Ta’ala berikut ini, وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29) وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِير “Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234) وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعۡلِنُونَ “Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan.” (QS. An-Nahl: 19) وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. Al-An’am: 59) وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (QS. Qaf: 16) وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah: 235) وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡن وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَان وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ “Kamu tidaklah berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61) Hendaknya seseorang menyadari dan waspada bahwa keadaannya itu seperti orang-orang yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. Padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai.” (QS An-Nisaa’: 108) Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang tersembunyi dari Allah. Sesuatu yang tersembunyi di malam hari, baik di tempat yang tersembunyi atapun tampak, semuanya sama saja bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman, يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19) Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang makna ayat ini, “Allah menginformasikan tentang ilmunya yang sempurna yang meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang kecil maupun yang besar. Semua Allah ketahui secara rinci dan mendetail agar manusia waspada bahwa Allah mengetahui juga kondisi mereka. Maka milikilah sikap malu kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan hendaknya merasa selalu diawasi oleh Allah yang melihat dirinya. Allah Ta’ala mengetahui pandangan khianat dan yang menjaga amanat, dan Allah mengetahui berbagai rahasia dan yang tersembunyi di dalam hati.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 137) Betapa banyak kita jumpai ayat Al-Quran yang menyebutkan suatu amal dan balasannya, kemudian ditutup dengan menyebutkan bahwa ilmu Allah itu senantiasa meliputi semuanya. Hal ini bertujuan agar hati manusia itu waspada dan menaruh perhatian untuk menyempurnakan dan memperbaiki hatinya, sehingga dia senantiasa memiliki rasa harap (ar-raja’) dan takut (al-khauf). Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dalam Az-Zuhud (no. 137), “Dahulu, (materi) dakwah Bakr bin ‘Abdillah al-Muzanny kepada orang yang berjumpa dengannya adalah dengan mengatakan kepada mereka, “Semoga Allah menjadikan kita memiliki sifat zuhud terhadap perbuatan haram dan dosa ketika bersendirian. Ketahuilah bahwa Allah melihatnya, maka tinggalkanlah.“ Ini adalah kedudukan yang agung dalam sikap zuhud, yaitu seseorang meninggalkan dosa dalam keadaan bersendirian karena takut kepada azab dan hukuman Allah, bukan karena riya’ dan sum’ah. Dia melakukannya hanya karena Allah semata. Sehingga hal ini merupakan di antara bentuk ibadah paling agung yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabbnya. Abu Hatim Al-Busty mengatakan, “Poros ketaatan seseorang di dunia ini adalah memperbaiki hati dan meninggalkan hal-hal yang merusak hati. Wajib bagi orang yang berakal untuk perhatian dan semangat dalam memperbaiki hatinya, baik ketika di hadapan orang lain maupun ketika sendirian, baik ketika bergerak ataupun diam, karena hilangnya waktu dan penyebab penderitaan tidaklah terjadi kecuali dengan rusaknya hati.“ (Raudhatul ‘Uqola’ wa Nazhatu al–Fudholaa, hal. 27) Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya hati orang yang baik senantiasa sibuk dengan amal kebaikan. Adapun hati orang fajir itu senantiasa sibuk dengan amal keburukan. Sesungguhnya Allah melihat keinginan yang ada di hati kalian. Maka senantiasa perhatikanlah hal tersebut, semoga Allah merahmati kalian.“ (HR. Ibnu Abid Dunya dalam Al–Hamm wal Hazn no. 112. Lihat dalam Raudhatul ‘Uqola’ wa Nuzhatu al–Fudholaa’ hal. 27) Maksudnya, kita harus senantiasa ingat bahwa Rabbul ‘alaamin senantiasa mengetahui dan mengawasi keinginan hati kita. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba berusaha untuk memperbaiki keinginan hatinya dan menjadikan keinginan hatinya hanya satu, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat dengan meraih rida Allah. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهِ هَلَكَ “Barangsiapa menjadikan segala macam keinginannya hanya satu, yaitu keinginan tempat kembali (negeri akhirat), niscaya Allah akan mencukupkan baginya keinginan dunianya. Dan barangsiapa yang keinginannya beraneka ragam pada urusan dunia, maka Allah tidak akan mempedulikan di manapun dia binasa.” (HR. Ibnu Majah no. 4106) Baca juga: Penjelasan Isykal Hadits Mengenai Orang Yang Bermaksiat Tatkala Sendirian *** @BA, 20 Syawal 1445/ 29 April 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 35; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: diawasi Allah

Bolehkah Berangkat Umrah tetapi ke Madinah Terlebih Dahulu?

Pertanyaan: Bolehkah seseorang yang pergi ke tanah suci untuk melakukan ibadah umrah, ia mendarat di kota Jeddah dalam keadaan belum berihram karena bermaksud untuk menuju ke kota Madinah terlebih dahulu? Setelah beberapa hari di kota Madinah, barulah ia berihram di Dzul Hulaifah untuk umrah dan kemudian melakukan perjalanan ke Mekkah. Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ulama menjelaskan bahwa praktik demikian diperbolehkan, karena ia ketika memasuki Jeddah belum berniat untuk umrah. Namun berniat untuk menuju ke kota Madinah. Maka tidak diharuskan untuk berihram sebelum mendarat di Jeddah.  Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ditanya: حاج ينوي الحج ولكنه له غرض في مكة ثم إلى المدينة ، وتجاوز الميقات ولم يحرم ، ودخل مكة ثم سافر إلى المدينة وأحرم من ميقات المدينة حاجاً . فما حكم تصرفه هذا ؟ “Seseorang berniat haji namun ia berencana untuk menuju ke Mekkah terlebih dahulu, kemudian ke Madinah. Dan ketika memasuki Mekkah, ia tidak berihram. Ia memasuki kota Mekkah kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Madinah. Lalu ia berihram untuk haji di miqat Madinah (Dzul Hulaifah). Apakah perbuatan seperti ini dibolehkan?”. Mereka menjawab: مادام أن الحاج خرج إلى ميقات أهل المدينة ، وأتى محرماً فلا شيء عليه في دخوله بدون إحرام ، وكان الأولى له أن يدخل من ميقاته الأول محرماً ” انتهى . “Selama orang tersebut keluar menuju miqat Madinah, kemudian ia berihram dari miqat Madinah, maka tidak mengapa baginya melewati miqat dalam keadaan belum berihram. Walaupun yang lebih utama adalah berihram ketika melewati miqat yang pertama” (Fatawa Al-Lajnah, 11/155). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: رجل جاء من جدة ، ولم يحرم ، أولاً ذهب إلى المدينة المنورة لزيارة المسجد النبوي ، ثم أحرم من ميقات أهل المدينة ، هل هذا صحيح ؟ “Ada seseorang yang datang ke kota Jeddah namun ia belum berihram. Karena pertama kali ia akan menuju ke kota Madinah Al-Munawwarah untuk mengunjungi Masjid An-Nabawi. Setelah itu barulah ia berihram di miqat penduduk Madinah. Apakah umrah atau hajinya sah?”. Beliau menjawab: لا بأس ، يعني: لو أن الإنسان جاء من بلده قاصداً المدينة أولاً ، ونزل في جدة ثم سافر من جدة إلى المدينة ثم رجع من المدينة محرماً من ميقات أهل المدينة ، فلا بأس “Ini tidak mengapa. Maksudnya, jika seseorang datang dari negerinya berniat untuk mengunjungi kota Madinah terlebih dahulu, lalu ia mendarat di kota Jeddah dan bersafar ke kota Madinah, kemudian setelah itu ia berihram dari Madinah di miqat-nya penduduk Madinah, ini tidak mengapa” (Liqa’ Babil Maftuh, no. 121). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?   🔍 Tabarruj, Umat Nabi Muhammad Di Akhirat, Qurban Untuk Keluarga, Makan Sebelum Shalat Idul Fitri Termasuk Hal Yang, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Ijazah Ilmu Hikmah 2017 Visited 1,088 times, 1 visit(s) today Post Views: 672 QRIS donasi Yufid

Bolehkah Berangkat Umrah tetapi ke Madinah Terlebih Dahulu?

Pertanyaan: Bolehkah seseorang yang pergi ke tanah suci untuk melakukan ibadah umrah, ia mendarat di kota Jeddah dalam keadaan belum berihram karena bermaksud untuk menuju ke kota Madinah terlebih dahulu? Setelah beberapa hari di kota Madinah, barulah ia berihram di Dzul Hulaifah untuk umrah dan kemudian melakukan perjalanan ke Mekkah. Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ulama menjelaskan bahwa praktik demikian diperbolehkan, karena ia ketika memasuki Jeddah belum berniat untuk umrah. Namun berniat untuk menuju ke kota Madinah. Maka tidak diharuskan untuk berihram sebelum mendarat di Jeddah.  Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ditanya: حاج ينوي الحج ولكنه له غرض في مكة ثم إلى المدينة ، وتجاوز الميقات ولم يحرم ، ودخل مكة ثم سافر إلى المدينة وأحرم من ميقات المدينة حاجاً . فما حكم تصرفه هذا ؟ “Seseorang berniat haji namun ia berencana untuk menuju ke Mekkah terlebih dahulu, kemudian ke Madinah. Dan ketika memasuki Mekkah, ia tidak berihram. Ia memasuki kota Mekkah kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Madinah. Lalu ia berihram untuk haji di miqat Madinah (Dzul Hulaifah). Apakah perbuatan seperti ini dibolehkan?”. Mereka menjawab: مادام أن الحاج خرج إلى ميقات أهل المدينة ، وأتى محرماً فلا شيء عليه في دخوله بدون إحرام ، وكان الأولى له أن يدخل من ميقاته الأول محرماً ” انتهى . “Selama orang tersebut keluar menuju miqat Madinah, kemudian ia berihram dari miqat Madinah, maka tidak mengapa baginya melewati miqat dalam keadaan belum berihram. Walaupun yang lebih utama adalah berihram ketika melewati miqat yang pertama” (Fatawa Al-Lajnah, 11/155). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: رجل جاء من جدة ، ولم يحرم ، أولاً ذهب إلى المدينة المنورة لزيارة المسجد النبوي ، ثم أحرم من ميقات أهل المدينة ، هل هذا صحيح ؟ “Ada seseorang yang datang ke kota Jeddah namun ia belum berihram. Karena pertama kali ia akan menuju ke kota Madinah Al-Munawwarah untuk mengunjungi Masjid An-Nabawi. Setelah itu barulah ia berihram di miqat penduduk Madinah. Apakah umrah atau hajinya sah?”. Beliau menjawab: لا بأس ، يعني: لو أن الإنسان جاء من بلده قاصداً المدينة أولاً ، ونزل في جدة ثم سافر من جدة إلى المدينة ثم رجع من المدينة محرماً من ميقات أهل المدينة ، فلا بأس “Ini tidak mengapa. Maksudnya, jika seseorang datang dari negerinya berniat untuk mengunjungi kota Madinah terlebih dahulu, lalu ia mendarat di kota Jeddah dan bersafar ke kota Madinah, kemudian setelah itu ia berihram dari Madinah di miqat-nya penduduk Madinah, ini tidak mengapa” (Liqa’ Babil Maftuh, no. 121). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?   🔍 Tabarruj, Umat Nabi Muhammad Di Akhirat, Qurban Untuk Keluarga, Makan Sebelum Shalat Idul Fitri Termasuk Hal Yang, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Ijazah Ilmu Hikmah 2017 Visited 1,088 times, 1 visit(s) today Post Views: 672 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Bolehkah seseorang yang pergi ke tanah suci untuk melakukan ibadah umrah, ia mendarat di kota Jeddah dalam keadaan belum berihram karena bermaksud untuk menuju ke kota Madinah terlebih dahulu? Setelah beberapa hari di kota Madinah, barulah ia berihram di Dzul Hulaifah untuk umrah dan kemudian melakukan perjalanan ke Mekkah. Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ulama menjelaskan bahwa praktik demikian diperbolehkan, karena ia ketika memasuki Jeddah belum berniat untuk umrah. Namun berniat untuk menuju ke kota Madinah. Maka tidak diharuskan untuk berihram sebelum mendarat di Jeddah.  Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ditanya: حاج ينوي الحج ولكنه له غرض في مكة ثم إلى المدينة ، وتجاوز الميقات ولم يحرم ، ودخل مكة ثم سافر إلى المدينة وأحرم من ميقات المدينة حاجاً . فما حكم تصرفه هذا ؟ “Seseorang berniat haji namun ia berencana untuk menuju ke Mekkah terlebih dahulu, kemudian ke Madinah. Dan ketika memasuki Mekkah, ia tidak berihram. Ia memasuki kota Mekkah kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Madinah. Lalu ia berihram untuk haji di miqat Madinah (Dzul Hulaifah). Apakah perbuatan seperti ini dibolehkan?”. Mereka menjawab: مادام أن الحاج خرج إلى ميقات أهل المدينة ، وأتى محرماً فلا شيء عليه في دخوله بدون إحرام ، وكان الأولى له أن يدخل من ميقاته الأول محرماً ” انتهى . “Selama orang tersebut keluar menuju miqat Madinah, kemudian ia berihram dari miqat Madinah, maka tidak mengapa baginya melewati miqat dalam keadaan belum berihram. Walaupun yang lebih utama adalah berihram ketika melewati miqat yang pertama” (Fatawa Al-Lajnah, 11/155). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: رجل جاء من جدة ، ولم يحرم ، أولاً ذهب إلى المدينة المنورة لزيارة المسجد النبوي ، ثم أحرم من ميقات أهل المدينة ، هل هذا صحيح ؟ “Ada seseorang yang datang ke kota Jeddah namun ia belum berihram. Karena pertama kali ia akan menuju ke kota Madinah Al-Munawwarah untuk mengunjungi Masjid An-Nabawi. Setelah itu barulah ia berihram di miqat penduduk Madinah. Apakah umrah atau hajinya sah?”. Beliau menjawab: لا بأس ، يعني: لو أن الإنسان جاء من بلده قاصداً المدينة أولاً ، ونزل في جدة ثم سافر من جدة إلى المدينة ثم رجع من المدينة محرماً من ميقات أهل المدينة ، فلا بأس “Ini tidak mengapa. Maksudnya, jika seseorang datang dari negerinya berniat untuk mengunjungi kota Madinah terlebih dahulu, lalu ia mendarat di kota Jeddah dan bersafar ke kota Madinah, kemudian setelah itu ia berihram dari Madinah di miqat-nya penduduk Madinah, ini tidak mengapa” (Liqa’ Babil Maftuh, no. 121). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?   🔍 Tabarruj, Umat Nabi Muhammad Di Akhirat, Qurban Untuk Keluarga, Makan Sebelum Shalat Idul Fitri Termasuk Hal Yang, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Ijazah Ilmu Hikmah 2017 Visited 1,088 times, 1 visit(s) today Post Views: 672 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Bolehkah seseorang yang pergi ke tanah suci untuk melakukan ibadah umrah, ia mendarat di kota Jeddah dalam keadaan belum berihram karena bermaksud untuk menuju ke kota Madinah terlebih dahulu? Setelah beberapa hari di kota Madinah, barulah ia berihram di Dzul Hulaifah untuk umrah dan kemudian melakukan perjalanan ke Mekkah. Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Para ulama menjelaskan bahwa praktik demikian diperbolehkan, karena ia ketika memasuki Jeddah belum berniat untuk umrah. Namun berniat untuk menuju ke kota Madinah. Maka tidak diharuskan untuk berihram sebelum mendarat di Jeddah.  Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ditanya: حاج ينوي الحج ولكنه له غرض في مكة ثم إلى المدينة ، وتجاوز الميقات ولم يحرم ، ودخل مكة ثم سافر إلى المدينة وأحرم من ميقات المدينة حاجاً . فما حكم تصرفه هذا ؟ “Seseorang berniat haji namun ia berencana untuk menuju ke Mekkah terlebih dahulu, kemudian ke Madinah. Dan ketika memasuki Mekkah, ia tidak berihram. Ia memasuki kota Mekkah kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Madinah. Lalu ia berihram untuk haji di miqat Madinah (Dzul Hulaifah). Apakah perbuatan seperti ini dibolehkan?”. Mereka menjawab: مادام أن الحاج خرج إلى ميقات أهل المدينة ، وأتى محرماً فلا شيء عليه في دخوله بدون إحرام ، وكان الأولى له أن يدخل من ميقاته الأول محرماً ” انتهى . “Selama orang tersebut keluar menuju miqat Madinah, kemudian ia berihram dari miqat Madinah, maka tidak mengapa baginya melewati miqat dalam keadaan belum berihram. Walaupun yang lebih utama adalah berihram ketika melewati miqat yang pertama” (Fatawa Al-Lajnah, 11/155). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya: رجل جاء من جدة ، ولم يحرم ، أولاً ذهب إلى المدينة المنورة لزيارة المسجد النبوي ، ثم أحرم من ميقات أهل المدينة ، هل هذا صحيح ؟ “Ada seseorang yang datang ke kota Jeddah namun ia belum berihram. Karena pertama kali ia akan menuju ke kota Madinah Al-Munawwarah untuk mengunjungi Masjid An-Nabawi. Setelah itu barulah ia berihram di miqat penduduk Madinah. Apakah umrah atau hajinya sah?”. Beliau menjawab: لا بأس ، يعني: لو أن الإنسان جاء من بلده قاصداً المدينة أولاً ، ونزل في جدة ثم سافر من جدة إلى المدينة ثم رجع من المدينة محرماً من ميقات أهل المدينة ، فلا بأس “Ini tidak mengapa. Maksudnya, jika seseorang datang dari negerinya berniat untuk mengunjungi kota Madinah terlebih dahulu, lalu ia mendarat di kota Jeddah dan bersafar ke kota Madinah, kemudian setelah itu ia berihram dari Madinah di miqat-nya penduduk Madinah, ini tidak mengapa” (Liqa’ Babil Maftuh, no. 121). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah?   🔍 Tabarruj, Umat Nabi Muhammad Di Akhirat, Qurban Untuk Keluarga, Makan Sebelum Shalat Idul Fitri Termasuk Hal Yang, Bacaan Doa Untuk Ibu Yang Sudah Meninggal, Ijazah Ilmu Hikmah 2017 Visited 1,088 times, 1 visit(s) today Post Views: 672 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Kisah Nikmatnya Berteman al-Quran di Hari Tua – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Penulis mengatakan — bisa juga diambil faedah lain dari hadis ini bahwa orang yang dipanjangkan umurnya oleh Allah hendaknya memperbanyak membaca al-Quran. Hendaknya ia memperbanyak membaca al-Quran dan memfokuskan diri dengan al-Quran. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu ahli ibadah yang sudah tua, —demikian aku menilainya, dan Allah yang benar Menilainya— Beliau mengatakan, “Saya akan mengatakan sesuatu kepada Anda yang mungkin akan membuat Anda mengkritik saya karenanya… Saya dulu tidak belajar baca tulis… Kami hidup dalam kehidupan yang sulit dan harus bekerja… Aku tidak belajar, tapi di akhir-akhir usia saya… —dia sekarang sudah atau mendekati usia 90 tahun— di akhir-akhir usia saya, saya mulai bisa membaca…Saya sekarang bisa membaca al-Quran walau dengan susah payah…Namun jika Anda mendengar, saya punya banyak kekeliruan dalam membaca…Saya punya banyak kekeliruan dan terbata-bata dalam membaca…Namun, alhamdulillah, alhamdulillah, tidaklah saya melewatkan…10 hari kecuali saya sudah mengkhatamkan al-Quran…Tidaklah saya melewatkan 10 hari kecuali aku sudah mengkhatamkan al-Quran.” Lalu dia berkata, “Berilah saya masukan…”Ketika dia maju dan meminta maaf, kemudian bertanya dengan berkata,”Apakah ini boleh aku lanjutkan, begini ini?” Aku jawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang mahir membaca al-Quran akan bersama para utusan (malaikat) yang mulia lagi baik. Adapun orang yang kesulitan dan terbata-bata membaca al-Quran, maka baginya dua pahala dalam bacaannya itu.” (HR. Muslim) Karunia Allah itu luas, dan ini termasuk anugerah, ketika orang yang sudah tua bisa memfokuskan diri dengan mushaf, dengan membaca, menadaburi, dan juga memperbanyak amal, ketika disebutkan istigfar, tasbih, tahmid, atau amalan-amalan lain, ia memperbanyak amalan tersebut. Maka, sungguh elok jika dia fokus dengan al-Quran. Jadi, di antara inti hadis ini adalah memfokuskan diri dengan al-Quran, apalagi di akhir-akhir umur, hendaknya seseorang meluangkan waktu yang banyak dan lama untuk menelaah Firman Allah dan membaca mushaf. Demikian. Jika dia tidak mampu membaca, karena sudah lemah atau hilang penglihatannya, maka sekarang sudah muncul kenikmatan baru, yaitu mendengar, mendengarkan murotal al-Quran. Mendengarkan murotal al-Quran juga penting. Termasuk bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah mendengarkan al-Quran. Beliau menyuruh salah seorang sahabat untuk membaca dan beliau mendengarnya. Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalawātu was Salām membaca dan mendengar al-Quran. Jadi, seseorang hendaknya banyak mendengarkan al-Quran, dan hal ini, alhamdulillah, sekarang amat mudah, yang tidak semudah ini di masa-masa yang lalu. Demikian. ==== قَالَ الْمُصَنِّفُ — يُمْكِنُ أَيْضًا يُسْتَظْهَرُ مِنْ هَذَا أَيْضًا فَائِدَةٌ أُخْرَى أَنَّ مَنْ فَسَحَ اللهُ لَهُ فِي الْعُمْرِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ قَبْلَ أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ اِلْتَقَيْتُ بِأَحَدِ كِبَارِ السِّنِّ مِنَ الْعُبَّادِ أَحْسَبُهُ وَاللهُ حَسِيبُهُ قَالَ: سَأَقُولُ لَكَ كَلَامًا رُبَّمَا تَنْتَقِدُنِي فِيهِ أَنَا مَا تَعَلَّمْتُ الْقِرَاءَةَ وَلَا تَعَلَّمْتُ الْكِتَابَةَ عِشْنَا فِي حَيَاةٍ يَعْنِي شِدَّةٍ وَحَاجَةٍ لِلْعَمَلِ فَمَا تَعَلَّمْتُ لَكِنْ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي هُوَ الْآنَ فِي التِّسْعِيْنَ أَوْ يُقَارِبُ التِّسْعِيْنَ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي بَدَأْتُ أَقْرَأُ وَأَنَا الْآنَ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِصُعُوبَةٍ لَكِنْ لَوْ تَسْمَعُ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَأَتَتَعْتَعُ فِي الْقِرَاءَةِ لَكِنْ الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ وَيَقُولُ: تَنْتَقِدُنِي لَمَّا يُقَدِّمُ وَيَعْتَذِرُ ثُمَّ يَسْأَلُ يَقُولُ هَلْ هَذَا يَعْنِي أَسْتَمِرُّ عَلَيهِ هَذَا؟ قُلْتُ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ السَّفَرَةِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ وَيَتَتَعْتَعُ بِهِ فَلَهُ فِيْهِ أَجْرَانِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ فَفَضْلُ اللهِ وَاسِعٌ وَهَذِهِ مِنَ النِّعَمِ أَنْ يُقْبِلَ كَبِيرُ الْسِّنِّ عَلَى الْمُصْحَفِ يَقْرَأُ وَيَتَأَمَّلُ وَأَيْضًا يَزْدَادُ فِي الْعَمَلِ إِذَا جَاءَ الْاِسْتِغْفَارُ إِذَا جَاءَ التَّسْبِيحُ إِذَا جَاءَ الْحَمْدُ إِذَا جَاءَ غَيْرُهَا مِنَ الْأَعْمَالِ يَسْتَكْثِرُ الْأَعْمَالَ فَمِنْ خَيْرٍ لَهُ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ فَمِنْ فُؤَادِ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِقْبَالُ عَلَى الْقُرْآنِ وَلَا سِيَّمَا فِي أَوَاخِرِ الْعُمْرِ لِيَجْعَلَ لَهُ حَظَّا وَافِرًا كَبِيرًا مِنَ النَّظَرِ فِي كَلَامِ اللهِ وَالْقِرَاءَةِ فِي الْمُصْحَفِ نَعَمْ وَإِذَا كَانَ مَا يَسْتَطِيعُ الْقِرَاءَةَ لِضَعْفِ الْبَصَرِ أَوْ عَدَمِ وُجُودِ الْبَصَرِ فَفِيهِ نِعْمَةٌ الْآنَ اسْتَجَدَّتْ وَهِيَ السَّمَاعُ سَمَاعُ الْقُرْآنِ وَسَمَاعُ الْقُرْآنِ أَيْضًا مُهِمٌّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَدْيِهِ سَمَاعُ الْقُرْآنِ كَانَ يَأْمُرُ بَعْضَ أَصْحَابِهِ يَتْلُو وَيَسْمَعُ يَتْلُو وَيَسْمَعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَيَسْمَعُ الْقُرْآنَ بِكَثْرَةٍ وَهَذِهِ الْآنَ الْحَمْدُ لِلهِ يَعْنِي تَيَسَّرَتْ وَلَمْ تَكُنْ مُتَيَسِّرَةً فِي أَوْقَاتٍ مَاضِيَةٍ نَعَمْ

Kisah Nikmatnya Berteman al-Quran di Hari Tua – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Penulis mengatakan — bisa juga diambil faedah lain dari hadis ini bahwa orang yang dipanjangkan umurnya oleh Allah hendaknya memperbanyak membaca al-Quran. Hendaknya ia memperbanyak membaca al-Quran dan memfokuskan diri dengan al-Quran. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu ahli ibadah yang sudah tua, —demikian aku menilainya, dan Allah yang benar Menilainya— Beliau mengatakan, “Saya akan mengatakan sesuatu kepada Anda yang mungkin akan membuat Anda mengkritik saya karenanya… Saya dulu tidak belajar baca tulis… Kami hidup dalam kehidupan yang sulit dan harus bekerja… Aku tidak belajar, tapi di akhir-akhir usia saya… —dia sekarang sudah atau mendekati usia 90 tahun— di akhir-akhir usia saya, saya mulai bisa membaca…Saya sekarang bisa membaca al-Quran walau dengan susah payah…Namun jika Anda mendengar, saya punya banyak kekeliruan dalam membaca…Saya punya banyak kekeliruan dan terbata-bata dalam membaca…Namun, alhamdulillah, alhamdulillah, tidaklah saya melewatkan…10 hari kecuali saya sudah mengkhatamkan al-Quran…Tidaklah saya melewatkan 10 hari kecuali aku sudah mengkhatamkan al-Quran.” Lalu dia berkata, “Berilah saya masukan…”Ketika dia maju dan meminta maaf, kemudian bertanya dengan berkata,”Apakah ini boleh aku lanjutkan, begini ini?” Aku jawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang mahir membaca al-Quran akan bersama para utusan (malaikat) yang mulia lagi baik. Adapun orang yang kesulitan dan terbata-bata membaca al-Quran, maka baginya dua pahala dalam bacaannya itu.” (HR. Muslim) Karunia Allah itu luas, dan ini termasuk anugerah, ketika orang yang sudah tua bisa memfokuskan diri dengan mushaf, dengan membaca, menadaburi, dan juga memperbanyak amal, ketika disebutkan istigfar, tasbih, tahmid, atau amalan-amalan lain, ia memperbanyak amalan tersebut. Maka, sungguh elok jika dia fokus dengan al-Quran. Jadi, di antara inti hadis ini adalah memfokuskan diri dengan al-Quran, apalagi di akhir-akhir umur, hendaknya seseorang meluangkan waktu yang banyak dan lama untuk menelaah Firman Allah dan membaca mushaf. Demikian. Jika dia tidak mampu membaca, karena sudah lemah atau hilang penglihatannya, maka sekarang sudah muncul kenikmatan baru, yaitu mendengar, mendengarkan murotal al-Quran. Mendengarkan murotal al-Quran juga penting. Termasuk bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah mendengarkan al-Quran. Beliau menyuruh salah seorang sahabat untuk membaca dan beliau mendengarnya. Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalawātu was Salām membaca dan mendengar al-Quran. Jadi, seseorang hendaknya banyak mendengarkan al-Quran, dan hal ini, alhamdulillah, sekarang amat mudah, yang tidak semudah ini di masa-masa yang lalu. Demikian. ==== قَالَ الْمُصَنِّفُ — يُمْكِنُ أَيْضًا يُسْتَظْهَرُ مِنْ هَذَا أَيْضًا فَائِدَةٌ أُخْرَى أَنَّ مَنْ فَسَحَ اللهُ لَهُ فِي الْعُمْرِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ قَبْلَ أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ اِلْتَقَيْتُ بِأَحَدِ كِبَارِ السِّنِّ مِنَ الْعُبَّادِ أَحْسَبُهُ وَاللهُ حَسِيبُهُ قَالَ: سَأَقُولُ لَكَ كَلَامًا رُبَّمَا تَنْتَقِدُنِي فِيهِ أَنَا مَا تَعَلَّمْتُ الْقِرَاءَةَ وَلَا تَعَلَّمْتُ الْكِتَابَةَ عِشْنَا فِي حَيَاةٍ يَعْنِي شِدَّةٍ وَحَاجَةٍ لِلْعَمَلِ فَمَا تَعَلَّمْتُ لَكِنْ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي هُوَ الْآنَ فِي التِّسْعِيْنَ أَوْ يُقَارِبُ التِّسْعِيْنَ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي بَدَأْتُ أَقْرَأُ وَأَنَا الْآنَ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِصُعُوبَةٍ لَكِنْ لَوْ تَسْمَعُ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَأَتَتَعْتَعُ فِي الْقِرَاءَةِ لَكِنْ الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ وَيَقُولُ: تَنْتَقِدُنِي لَمَّا يُقَدِّمُ وَيَعْتَذِرُ ثُمَّ يَسْأَلُ يَقُولُ هَلْ هَذَا يَعْنِي أَسْتَمِرُّ عَلَيهِ هَذَا؟ قُلْتُ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ السَّفَرَةِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ وَيَتَتَعْتَعُ بِهِ فَلَهُ فِيْهِ أَجْرَانِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ فَفَضْلُ اللهِ وَاسِعٌ وَهَذِهِ مِنَ النِّعَمِ أَنْ يُقْبِلَ كَبِيرُ الْسِّنِّ عَلَى الْمُصْحَفِ يَقْرَأُ وَيَتَأَمَّلُ وَأَيْضًا يَزْدَادُ فِي الْعَمَلِ إِذَا جَاءَ الْاِسْتِغْفَارُ إِذَا جَاءَ التَّسْبِيحُ إِذَا جَاءَ الْحَمْدُ إِذَا جَاءَ غَيْرُهَا مِنَ الْأَعْمَالِ يَسْتَكْثِرُ الْأَعْمَالَ فَمِنْ خَيْرٍ لَهُ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ فَمِنْ فُؤَادِ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِقْبَالُ عَلَى الْقُرْآنِ وَلَا سِيَّمَا فِي أَوَاخِرِ الْعُمْرِ لِيَجْعَلَ لَهُ حَظَّا وَافِرًا كَبِيرًا مِنَ النَّظَرِ فِي كَلَامِ اللهِ وَالْقِرَاءَةِ فِي الْمُصْحَفِ نَعَمْ وَإِذَا كَانَ مَا يَسْتَطِيعُ الْقِرَاءَةَ لِضَعْفِ الْبَصَرِ أَوْ عَدَمِ وُجُودِ الْبَصَرِ فَفِيهِ نِعْمَةٌ الْآنَ اسْتَجَدَّتْ وَهِيَ السَّمَاعُ سَمَاعُ الْقُرْآنِ وَسَمَاعُ الْقُرْآنِ أَيْضًا مُهِمٌّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَدْيِهِ سَمَاعُ الْقُرْآنِ كَانَ يَأْمُرُ بَعْضَ أَصْحَابِهِ يَتْلُو وَيَسْمَعُ يَتْلُو وَيَسْمَعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَيَسْمَعُ الْقُرْآنَ بِكَثْرَةٍ وَهَذِهِ الْآنَ الْحَمْدُ لِلهِ يَعْنِي تَيَسَّرَتْ وَلَمْ تَكُنْ مُتَيَسِّرَةً فِي أَوْقَاتٍ مَاضِيَةٍ نَعَمْ
Penulis mengatakan — bisa juga diambil faedah lain dari hadis ini bahwa orang yang dipanjangkan umurnya oleh Allah hendaknya memperbanyak membaca al-Quran. Hendaknya ia memperbanyak membaca al-Quran dan memfokuskan diri dengan al-Quran. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu ahli ibadah yang sudah tua, —demikian aku menilainya, dan Allah yang benar Menilainya— Beliau mengatakan, “Saya akan mengatakan sesuatu kepada Anda yang mungkin akan membuat Anda mengkritik saya karenanya… Saya dulu tidak belajar baca tulis… Kami hidup dalam kehidupan yang sulit dan harus bekerja… Aku tidak belajar, tapi di akhir-akhir usia saya… —dia sekarang sudah atau mendekati usia 90 tahun— di akhir-akhir usia saya, saya mulai bisa membaca…Saya sekarang bisa membaca al-Quran walau dengan susah payah…Namun jika Anda mendengar, saya punya banyak kekeliruan dalam membaca…Saya punya banyak kekeliruan dan terbata-bata dalam membaca…Namun, alhamdulillah, alhamdulillah, tidaklah saya melewatkan…10 hari kecuali saya sudah mengkhatamkan al-Quran…Tidaklah saya melewatkan 10 hari kecuali aku sudah mengkhatamkan al-Quran.” Lalu dia berkata, “Berilah saya masukan…”Ketika dia maju dan meminta maaf, kemudian bertanya dengan berkata,”Apakah ini boleh aku lanjutkan, begini ini?” Aku jawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang mahir membaca al-Quran akan bersama para utusan (malaikat) yang mulia lagi baik. Adapun orang yang kesulitan dan terbata-bata membaca al-Quran, maka baginya dua pahala dalam bacaannya itu.” (HR. Muslim) Karunia Allah itu luas, dan ini termasuk anugerah, ketika orang yang sudah tua bisa memfokuskan diri dengan mushaf, dengan membaca, menadaburi, dan juga memperbanyak amal, ketika disebutkan istigfar, tasbih, tahmid, atau amalan-amalan lain, ia memperbanyak amalan tersebut. Maka, sungguh elok jika dia fokus dengan al-Quran. Jadi, di antara inti hadis ini adalah memfokuskan diri dengan al-Quran, apalagi di akhir-akhir umur, hendaknya seseorang meluangkan waktu yang banyak dan lama untuk menelaah Firman Allah dan membaca mushaf. Demikian. Jika dia tidak mampu membaca, karena sudah lemah atau hilang penglihatannya, maka sekarang sudah muncul kenikmatan baru, yaitu mendengar, mendengarkan murotal al-Quran. Mendengarkan murotal al-Quran juga penting. Termasuk bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah mendengarkan al-Quran. Beliau menyuruh salah seorang sahabat untuk membaca dan beliau mendengarnya. Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalawātu was Salām membaca dan mendengar al-Quran. Jadi, seseorang hendaknya banyak mendengarkan al-Quran, dan hal ini, alhamdulillah, sekarang amat mudah, yang tidak semudah ini di masa-masa yang lalu. Demikian. ==== قَالَ الْمُصَنِّفُ — يُمْكِنُ أَيْضًا يُسْتَظْهَرُ مِنْ هَذَا أَيْضًا فَائِدَةٌ أُخْرَى أَنَّ مَنْ فَسَحَ اللهُ لَهُ فِي الْعُمْرِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ قَبْلَ أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ اِلْتَقَيْتُ بِأَحَدِ كِبَارِ السِّنِّ مِنَ الْعُبَّادِ أَحْسَبُهُ وَاللهُ حَسِيبُهُ قَالَ: سَأَقُولُ لَكَ كَلَامًا رُبَّمَا تَنْتَقِدُنِي فِيهِ أَنَا مَا تَعَلَّمْتُ الْقِرَاءَةَ وَلَا تَعَلَّمْتُ الْكِتَابَةَ عِشْنَا فِي حَيَاةٍ يَعْنِي شِدَّةٍ وَحَاجَةٍ لِلْعَمَلِ فَمَا تَعَلَّمْتُ لَكِنْ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي هُوَ الْآنَ فِي التِّسْعِيْنَ أَوْ يُقَارِبُ التِّسْعِيْنَ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي بَدَأْتُ أَقْرَأُ وَأَنَا الْآنَ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِصُعُوبَةٍ لَكِنْ لَوْ تَسْمَعُ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَأَتَتَعْتَعُ فِي الْقِرَاءَةِ لَكِنْ الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ وَيَقُولُ: تَنْتَقِدُنِي لَمَّا يُقَدِّمُ وَيَعْتَذِرُ ثُمَّ يَسْأَلُ يَقُولُ هَلْ هَذَا يَعْنِي أَسْتَمِرُّ عَلَيهِ هَذَا؟ قُلْتُ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ السَّفَرَةِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ وَيَتَتَعْتَعُ بِهِ فَلَهُ فِيْهِ أَجْرَانِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ فَفَضْلُ اللهِ وَاسِعٌ وَهَذِهِ مِنَ النِّعَمِ أَنْ يُقْبِلَ كَبِيرُ الْسِّنِّ عَلَى الْمُصْحَفِ يَقْرَأُ وَيَتَأَمَّلُ وَأَيْضًا يَزْدَادُ فِي الْعَمَلِ إِذَا جَاءَ الْاِسْتِغْفَارُ إِذَا جَاءَ التَّسْبِيحُ إِذَا جَاءَ الْحَمْدُ إِذَا جَاءَ غَيْرُهَا مِنَ الْأَعْمَالِ يَسْتَكْثِرُ الْأَعْمَالَ فَمِنْ خَيْرٍ لَهُ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ فَمِنْ فُؤَادِ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِقْبَالُ عَلَى الْقُرْآنِ وَلَا سِيَّمَا فِي أَوَاخِرِ الْعُمْرِ لِيَجْعَلَ لَهُ حَظَّا وَافِرًا كَبِيرًا مِنَ النَّظَرِ فِي كَلَامِ اللهِ وَالْقِرَاءَةِ فِي الْمُصْحَفِ نَعَمْ وَإِذَا كَانَ مَا يَسْتَطِيعُ الْقِرَاءَةَ لِضَعْفِ الْبَصَرِ أَوْ عَدَمِ وُجُودِ الْبَصَرِ فَفِيهِ نِعْمَةٌ الْآنَ اسْتَجَدَّتْ وَهِيَ السَّمَاعُ سَمَاعُ الْقُرْآنِ وَسَمَاعُ الْقُرْآنِ أَيْضًا مُهِمٌّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَدْيِهِ سَمَاعُ الْقُرْآنِ كَانَ يَأْمُرُ بَعْضَ أَصْحَابِهِ يَتْلُو وَيَسْمَعُ يَتْلُو وَيَسْمَعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَيَسْمَعُ الْقُرْآنَ بِكَثْرَةٍ وَهَذِهِ الْآنَ الْحَمْدُ لِلهِ يَعْنِي تَيَسَّرَتْ وَلَمْ تَكُنْ مُتَيَسِّرَةً فِي أَوْقَاتٍ مَاضِيَةٍ نَعَمْ


Penulis mengatakan — bisa juga diambil faedah lain dari hadis ini bahwa orang yang dipanjangkan umurnya oleh Allah hendaknya memperbanyak membaca al-Quran. Hendaknya ia memperbanyak membaca al-Quran dan memfokuskan diri dengan al-Quran. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan salah satu ahli ibadah yang sudah tua, —demikian aku menilainya, dan Allah yang benar Menilainya— Beliau mengatakan, “Saya akan mengatakan sesuatu kepada Anda yang mungkin akan membuat Anda mengkritik saya karenanya… Saya dulu tidak belajar baca tulis… Kami hidup dalam kehidupan yang sulit dan harus bekerja… Aku tidak belajar, tapi di akhir-akhir usia saya… —dia sekarang sudah atau mendekati usia 90 tahun— di akhir-akhir usia saya, saya mulai bisa membaca…Saya sekarang bisa membaca al-Quran walau dengan susah payah…Namun jika Anda mendengar, saya punya banyak kekeliruan dalam membaca…Saya punya banyak kekeliruan dan terbata-bata dalam membaca…Namun, alhamdulillah, alhamdulillah, tidaklah saya melewatkan…10 hari kecuali saya sudah mengkhatamkan al-Quran…Tidaklah saya melewatkan 10 hari kecuali aku sudah mengkhatamkan al-Quran.” Lalu dia berkata, “Berilah saya masukan…”Ketika dia maju dan meminta maaf, kemudian bertanya dengan berkata,”Apakah ini boleh aku lanjutkan, begini ini?” Aku jawab bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang mahir membaca al-Quran akan bersama para utusan (malaikat) yang mulia lagi baik. Adapun orang yang kesulitan dan terbata-bata membaca al-Quran, maka baginya dua pahala dalam bacaannya itu.” (HR. Muslim) Karunia Allah itu luas, dan ini termasuk anugerah, ketika orang yang sudah tua bisa memfokuskan diri dengan mushaf, dengan membaca, menadaburi, dan juga memperbanyak amal, ketika disebutkan istigfar, tasbih, tahmid, atau amalan-amalan lain, ia memperbanyak amalan tersebut. Maka, sungguh elok jika dia fokus dengan al-Quran. Jadi, di antara inti hadis ini adalah memfokuskan diri dengan al-Quran, apalagi di akhir-akhir umur, hendaknya seseorang meluangkan waktu yang banyak dan lama untuk menelaah Firman Allah dan membaca mushaf. Demikian. Jika dia tidak mampu membaca, karena sudah lemah atau hilang penglihatannya, maka sekarang sudah muncul kenikmatan baru, yaitu mendengar, mendengarkan murotal al-Quran. Mendengarkan murotal al-Quran juga penting. Termasuk bimbingan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam adalah mendengarkan al-Quran. Beliau menyuruh salah seorang sahabat untuk membaca dan beliau mendengarnya. Beliau ʿAlaihiṣ Ṣalawātu was Salām membaca dan mendengar al-Quran. Jadi, seseorang hendaknya banyak mendengarkan al-Quran, dan hal ini, alhamdulillah, sekarang amat mudah, yang tidak semudah ini di masa-masa yang lalu. Demikian. ==== قَالَ الْمُصَنِّفُ — يُمْكِنُ أَيْضًا يُسْتَظْهَرُ مِنْ هَذَا أَيْضًا فَائِدَةٌ أُخْرَى أَنَّ مَنْ فَسَحَ اللهُ لَهُ فِي الْعُمْرِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَنْ يُكْثِرَ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ قَبْلَ أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ اِلْتَقَيْتُ بِأَحَدِ كِبَارِ السِّنِّ مِنَ الْعُبَّادِ أَحْسَبُهُ وَاللهُ حَسِيبُهُ قَالَ: سَأَقُولُ لَكَ كَلَامًا رُبَّمَا تَنْتَقِدُنِي فِيهِ أَنَا مَا تَعَلَّمْتُ الْقِرَاءَةَ وَلَا تَعَلَّمْتُ الْكِتَابَةَ عِشْنَا فِي حَيَاةٍ يَعْنِي شِدَّةٍ وَحَاجَةٍ لِلْعَمَلِ فَمَا تَعَلَّمْتُ لَكِنْ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي هُوَ الْآنَ فِي التِّسْعِيْنَ أَوْ يُقَارِبُ التِّسْعِيْنَ فِي آوَاخِرِ عُمْرِي بَدَأْتُ أَقْرَأُ وَأَنَا الْآنَ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ بِصُعُوبَةٍ لَكِنْ لَوْ تَسْمَعُ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ عِنْدِيِ أَخْطَاءٌ فِي الْقِرَاءَةِ وَأَتَتَعْتَعُ فِي الْقِرَاءَةِ لَكِنْ الْحَمْدُ لِلهِ الْحَمْدُ لِلهِ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ مَا يَمَرُّ عَلَيَّ عَشْرَةُ أَيَّامٍ إِلَّا أَخْتِمُ الْقُرْآنَ وَيَقُولُ: تَنْتَقِدُنِي لَمَّا يُقَدِّمُ وَيَعْتَذِرُ ثُمَّ يَسْأَلُ يَقُولُ هَلْ هَذَا يَعْنِي أَسْتَمِرُّ عَلَيهِ هَذَا؟ قُلْتُ: النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ السَّفَرَةِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَعَلَيْهِ شَاقٌّ وَيَتَتَعْتَعُ بِهِ فَلَهُ فِيْهِ أَجْرَانِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ فَفَضْلُ اللهِ وَاسِعٌ وَهَذِهِ مِنَ النِّعَمِ أَنْ يُقْبِلَ كَبِيرُ الْسِّنِّ عَلَى الْمُصْحَفِ يَقْرَأُ وَيَتَأَمَّلُ وَأَيْضًا يَزْدَادُ فِي الْعَمَلِ إِذَا جَاءَ الْاِسْتِغْفَارُ إِذَا جَاءَ التَّسْبِيحُ إِذَا جَاءَ الْحَمْدُ إِذَا جَاءَ غَيْرُهَا مِنَ الْأَعْمَالِ يَسْتَكْثِرُ الْأَعْمَالَ فَمِنْ خَيْرٍ لَهُ أَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْقُرْآنِ فَمِنْ فُؤَادِ هَذَا الْحَدِيثِ الْإِقْبَالُ عَلَى الْقُرْآنِ وَلَا سِيَّمَا فِي أَوَاخِرِ الْعُمْرِ لِيَجْعَلَ لَهُ حَظَّا وَافِرًا كَبِيرًا مِنَ النَّظَرِ فِي كَلَامِ اللهِ وَالْقِرَاءَةِ فِي الْمُصْحَفِ نَعَمْ وَإِذَا كَانَ مَا يَسْتَطِيعُ الْقِرَاءَةَ لِضَعْفِ الْبَصَرِ أَوْ عَدَمِ وُجُودِ الْبَصَرِ فَفِيهِ نِعْمَةٌ الْآنَ اسْتَجَدَّتْ وَهِيَ السَّمَاعُ سَمَاعُ الْقُرْآنِ وَسَمَاعُ الْقُرْآنِ أَيْضًا مُهِمٌّ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَدْيِهِ سَمَاعُ الْقُرْآنِ كَانَ يَأْمُرُ بَعْضَ أَصْحَابِهِ يَتْلُو وَيَسْمَعُ يَتْلُو وَيَسْمَعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَيَسْمَعُ الْقُرْآنَ بِكَثْرَةٍ وَهَذِهِ الْآنَ الْحَمْدُ لِلهِ يَعْنِي تَيَسَّرَتْ وَلَمْ تَكُنْ مُتَيَسِّرَةً فِي أَوْقَاتٍ مَاضِيَةٍ نَعَمْ

Malapetaka Akhir Zaman dengan Hilangnya Ilmu Agama

Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, ‘Umar bin Hafsh menuturkan kepada kami. Dia berkata, ayahku menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-A’masy menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syaqiq menuturkan kepada kami. Dia berkata, suatu saat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk-duduk bersama. Mereka berdua pun berbincang-bincang. Abu Musa pun berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menjelang hari kiamat nanti akan ada hari-hari di mana ilmu itu diangkat, kebodohan turun/merebak di mana-mana, dan banyak terjadi al-harj.” Yang dimaksud dengan al-harj adalah pembunuhan. (Lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, Juz 13, hal. 16.) Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan, niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya …” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, karya Syekh Abdurrahman bin Mu’alla, hal. 28.) Syekh Abdullah bin Shalfiq hafizhahullah berkata, “… Bahwasanya salah satu pokok manhaj salaf adalah keterkaitan erat dengan ilmu dan para ulama. Dan bahwasanya hal ini termasuk perkara yang diwasiatkan Allah. Di dalamnya terkandung kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan dari segala fitnah. Karena sesungguhnya dengan perginya para ulama atau tidak adanya jalinan dengan mereka menyebabkan lenyapnya ilmu dan agama. Itu pula yang menyebabkan merebaknya kebodohan dan fitnah (kekacauan), sehingga manusia setelah mereka akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang mereka itu sesat lagi menyesatkan.” (Lihat Haqiqah Al-Manhaj As-Salafi, hal. 14.) Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu. Lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!” Ibnu Mas’ud menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 1: 133) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan, ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (Lihat Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98.) Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang melupakan Allah, niscaya Allah akan membuat dirinya lupa akan hakikat dan kemaslahatan dirinya. Sehingga orang itu pun akan lupa tentang hal-hal yang membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu, hidupnya berubah laksana gaya hidup binatang. Bahkan, bisa jadi binatang jauh lebih baik keadaannya daripada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah adalah pokok segala ilmu. Ilmu tentang Allah merupakan pondasi ilmu seorang hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Adapun kebodohan tentang Allah (baca: tidak paham tauhid) adalah sumber kehancuran dirinya. (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah, 1:312.) Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” (Lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36.) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan (untuk dikonsumsi) dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan (untuk dipahami, pent) sebanyak hembusan nafas.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah, 1: 248-249.) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu sebelum ia dicabut. Dan dicabutnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya orang yang membawanya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 196.) Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka, mereka pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar. Dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199.) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (Lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22.) Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163.) Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (Lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579.) Ubay bin Ka’ab berkata, “Pelajarilah ilmu dan beramallah dengannya. Janganlah kalian mencari ilmu untuk hanya berhias diri. Sesungguhnya hampir-hampir saja muncul apabila umur kalian masih panjang ketika ilmu dijadikan sebagai perhiasan seperti halnya seorang yang berhias diri dengan pakaiannya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 247.) Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadis sebagaimana datangnya (apa adanya, pen), maka dia adalah pembela sunah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata, maka dia adalah pembela bid’ah.” (Lihat Mukadimah Tahqiq Kitab Az-Zuhd, hal. 69.) Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim (ahli ilmu) orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Lihat Min A’lam As-Salaf, 2: 81.) Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain, maka sungguh dia telah terpedaya.” (Lihat Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 38.) Imam Ibnul Qayyim berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.) Syekh Shalih Al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid (keras)’ atau ‘si fulan itu begini dan begitu’ selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas sunnah, maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 104.) Ada yang berkata kepada Sa’id bin Jubair, “Apakah tanda kebinasaan umat manusia?” Maka, beliau menjawab, “Yaitu, tatkala para ulama meninggal di antara mereka.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi dalam tafsirnya.) Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, Aku mendengar Qutaibah berkata, “(Sufyan) Ats-Tsauri telah meninggal, maka matilah wara’ (sifat kehati-hatian). Syafi’i telah meninggal pula dan matilah sunah-sunah (hadis). Dan Ahmad bin Hanbal meninggal, sehingga merebaklah bid’ah-bid’ah.” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 49; dan Manaqib Al-A’immah Al-Arba’ah, hal. 115.) Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan, Aku mendengar Yahya bin Ja’far Al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku, niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu (agama).” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 118.) Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali rahimahullah berkata, “Demi Allah! Sungguh kematian seorang ‘alim/ahli ilmu lebih dicintai Iblis daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah.” (Lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 78.) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian di mana tukang ceramahnya banyak, namun ulamanya amat sedikit.” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama) Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula, seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (Dinukil dari Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “ ما من إنسان في الغالب أعطي الجدل إلا حرم بركة العلم ؛ لأن غالب من أوتي الجدل يريد بذلك نصرة قوله فقط ، وبذلك يحرم بركة العلم .. أما من أراد الحق ؛ فإن الحق سهل قريب ، لا يحتاج إلى مجادلات كبيرة ؛ لأنه واضح .. ولذلك تجد أهل البدع الذين يخاصمون في بدعهم علومهم ناقصة البركة لا خير فيها ، وتجد أنهم يخاصمون ويجادلون وينتهون إلى لا شيء ! .. لا ينتهون إلى الحق . ” “Tidaklah ada seorang insan (pada umumnya) yang diberikan hobi debat (berbantah-bantahan), kecuali dia pasti terhalang dari keberkahan ilmu. Karena kebanyakan orang diberi kepandaian mendebat (suka membantah) hanya ingin dengan debatnya itu untuk membela pendapatnya sendiri. Dengan sebab itulah ia terhalang dari keberkahan ilmu. Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka sesungguhnya kebenaran itu mudah dan dekat (tidak sulit diperoleh), ia tidak butuh kepada banyak perdebatan yang besar; karena kebenaran itu gamblang. Oleh sebab itu anda dapati bahwa ahli bid’ah yang suka membela kebid’ahan mereka dengan segala bentuk perdebatan (bantahan), ilmu mereka itu minim keberkahan, yaitu tidak ada kebaikan padanya sama sekali. Dan anda bisa jumpai bahwa mereka suka mendebat dan membantah hingga pada akhirnya mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa [yang bermanfaat]! … Artinya mereka tidak menggapai kebenaran.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, 2: 444.) Abu Abdillah Ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Lihat Al-Muntakhab min Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqa’iq, hal. 71) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menimba ilmu (agama) untuk bersikap lancang (membanggakan diri) kepada para ulama, atau untuk mendebat (melecehkan) orang-orang dungu, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (mencari ketenaran), maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, Al-Albani mengatakan hadis ini sahih lighairihi.) (Lihat Al-’Ilmu, Wasa’luhu wa Tsimaruhu, hal. 18) Hal ini mengisyaratkan bahwa penimba ilmu harus membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak berupa tipu daya (sifat curang), kotoran dosa, iri, dan dengki, ataupun keburukan akidah dan kejelekan akhlak. Ilmu adalah ibadah hati, dan tidak mungkin ilmu bisa diserap dengan baik, kecuali apabila hati itu bersih dari segala hal yang mengotorinya. Sahl rahimahullah berkata, “Haram bagi hati yang memendam sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk dimasuki cahaya (ilmu).” (Lihat kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jama’ah, halm. 86.) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) yang seharusnya dia pelajari demi mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla sedangkan ternyata dia justru mempelajarinya untuk mencari suatu bentuk kesenangan (perhiasan) dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain, dan dinyatakan sahih lighairihi oleh Al-Albani) (Lihat Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hlm. 11.) Baca juga: Wasiat Penting bagi Kaum Beriman di Zaman Fitnah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanmalapetaka

Malapetaka Akhir Zaman dengan Hilangnya Ilmu Agama

Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, ‘Umar bin Hafsh menuturkan kepada kami. Dia berkata, ayahku menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-A’masy menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syaqiq menuturkan kepada kami. Dia berkata, suatu saat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk-duduk bersama. Mereka berdua pun berbincang-bincang. Abu Musa pun berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menjelang hari kiamat nanti akan ada hari-hari di mana ilmu itu diangkat, kebodohan turun/merebak di mana-mana, dan banyak terjadi al-harj.” Yang dimaksud dengan al-harj adalah pembunuhan. (Lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, Juz 13, hal. 16.) Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan, niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya …” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, karya Syekh Abdurrahman bin Mu’alla, hal. 28.) Syekh Abdullah bin Shalfiq hafizhahullah berkata, “… Bahwasanya salah satu pokok manhaj salaf adalah keterkaitan erat dengan ilmu dan para ulama. Dan bahwasanya hal ini termasuk perkara yang diwasiatkan Allah. Di dalamnya terkandung kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan dari segala fitnah. Karena sesungguhnya dengan perginya para ulama atau tidak adanya jalinan dengan mereka menyebabkan lenyapnya ilmu dan agama. Itu pula yang menyebabkan merebaknya kebodohan dan fitnah (kekacauan), sehingga manusia setelah mereka akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang mereka itu sesat lagi menyesatkan.” (Lihat Haqiqah Al-Manhaj As-Salafi, hal. 14.) Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu. Lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!” Ibnu Mas’ud menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 1: 133) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan, ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (Lihat Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98.) Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang melupakan Allah, niscaya Allah akan membuat dirinya lupa akan hakikat dan kemaslahatan dirinya. Sehingga orang itu pun akan lupa tentang hal-hal yang membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu, hidupnya berubah laksana gaya hidup binatang. Bahkan, bisa jadi binatang jauh lebih baik keadaannya daripada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah adalah pokok segala ilmu. Ilmu tentang Allah merupakan pondasi ilmu seorang hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Adapun kebodohan tentang Allah (baca: tidak paham tauhid) adalah sumber kehancuran dirinya. (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah, 1:312.) Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” (Lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36.) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan (untuk dikonsumsi) dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan (untuk dipahami, pent) sebanyak hembusan nafas.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah, 1: 248-249.) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu sebelum ia dicabut. Dan dicabutnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya orang yang membawanya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 196.) Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka, mereka pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar. Dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199.) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (Lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22.) Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163.) Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (Lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579.) Ubay bin Ka’ab berkata, “Pelajarilah ilmu dan beramallah dengannya. Janganlah kalian mencari ilmu untuk hanya berhias diri. Sesungguhnya hampir-hampir saja muncul apabila umur kalian masih panjang ketika ilmu dijadikan sebagai perhiasan seperti halnya seorang yang berhias diri dengan pakaiannya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 247.) Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadis sebagaimana datangnya (apa adanya, pen), maka dia adalah pembela sunah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata, maka dia adalah pembela bid’ah.” (Lihat Mukadimah Tahqiq Kitab Az-Zuhd, hal. 69.) Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim (ahli ilmu) orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Lihat Min A’lam As-Salaf, 2: 81.) Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain, maka sungguh dia telah terpedaya.” (Lihat Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 38.) Imam Ibnul Qayyim berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.) Syekh Shalih Al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid (keras)’ atau ‘si fulan itu begini dan begitu’ selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas sunnah, maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 104.) Ada yang berkata kepada Sa’id bin Jubair, “Apakah tanda kebinasaan umat manusia?” Maka, beliau menjawab, “Yaitu, tatkala para ulama meninggal di antara mereka.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi dalam tafsirnya.) Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, Aku mendengar Qutaibah berkata, “(Sufyan) Ats-Tsauri telah meninggal, maka matilah wara’ (sifat kehati-hatian). Syafi’i telah meninggal pula dan matilah sunah-sunah (hadis). Dan Ahmad bin Hanbal meninggal, sehingga merebaklah bid’ah-bid’ah.” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 49; dan Manaqib Al-A’immah Al-Arba’ah, hal. 115.) Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan, Aku mendengar Yahya bin Ja’far Al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku, niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu (agama).” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 118.) Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali rahimahullah berkata, “Demi Allah! Sungguh kematian seorang ‘alim/ahli ilmu lebih dicintai Iblis daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah.” (Lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 78.) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian di mana tukang ceramahnya banyak, namun ulamanya amat sedikit.” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama) Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula, seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (Dinukil dari Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “ ما من إنسان في الغالب أعطي الجدل إلا حرم بركة العلم ؛ لأن غالب من أوتي الجدل يريد بذلك نصرة قوله فقط ، وبذلك يحرم بركة العلم .. أما من أراد الحق ؛ فإن الحق سهل قريب ، لا يحتاج إلى مجادلات كبيرة ؛ لأنه واضح .. ولذلك تجد أهل البدع الذين يخاصمون في بدعهم علومهم ناقصة البركة لا خير فيها ، وتجد أنهم يخاصمون ويجادلون وينتهون إلى لا شيء ! .. لا ينتهون إلى الحق . ” “Tidaklah ada seorang insan (pada umumnya) yang diberikan hobi debat (berbantah-bantahan), kecuali dia pasti terhalang dari keberkahan ilmu. Karena kebanyakan orang diberi kepandaian mendebat (suka membantah) hanya ingin dengan debatnya itu untuk membela pendapatnya sendiri. Dengan sebab itulah ia terhalang dari keberkahan ilmu. Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka sesungguhnya kebenaran itu mudah dan dekat (tidak sulit diperoleh), ia tidak butuh kepada banyak perdebatan yang besar; karena kebenaran itu gamblang. Oleh sebab itu anda dapati bahwa ahli bid’ah yang suka membela kebid’ahan mereka dengan segala bentuk perdebatan (bantahan), ilmu mereka itu minim keberkahan, yaitu tidak ada kebaikan padanya sama sekali. Dan anda bisa jumpai bahwa mereka suka mendebat dan membantah hingga pada akhirnya mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa [yang bermanfaat]! … Artinya mereka tidak menggapai kebenaran.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, 2: 444.) Abu Abdillah Ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Lihat Al-Muntakhab min Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqa’iq, hal. 71) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menimba ilmu (agama) untuk bersikap lancang (membanggakan diri) kepada para ulama, atau untuk mendebat (melecehkan) orang-orang dungu, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (mencari ketenaran), maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, Al-Albani mengatakan hadis ini sahih lighairihi.) (Lihat Al-’Ilmu, Wasa’luhu wa Tsimaruhu, hal. 18) Hal ini mengisyaratkan bahwa penimba ilmu harus membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak berupa tipu daya (sifat curang), kotoran dosa, iri, dan dengki, ataupun keburukan akidah dan kejelekan akhlak. Ilmu adalah ibadah hati, dan tidak mungkin ilmu bisa diserap dengan baik, kecuali apabila hati itu bersih dari segala hal yang mengotorinya. Sahl rahimahullah berkata, “Haram bagi hati yang memendam sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk dimasuki cahaya (ilmu).” (Lihat kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jama’ah, halm. 86.) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) yang seharusnya dia pelajari demi mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla sedangkan ternyata dia justru mempelajarinya untuk mencari suatu bentuk kesenangan (perhiasan) dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain, dan dinyatakan sahih lighairihi oleh Al-Albani) (Lihat Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hlm. 11.) Baca juga: Wasiat Penting bagi Kaum Beriman di Zaman Fitnah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanmalapetaka
Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, ‘Umar bin Hafsh menuturkan kepada kami. Dia berkata, ayahku menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-A’masy menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syaqiq menuturkan kepada kami. Dia berkata, suatu saat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk-duduk bersama. Mereka berdua pun berbincang-bincang. Abu Musa pun berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menjelang hari kiamat nanti akan ada hari-hari di mana ilmu itu diangkat, kebodohan turun/merebak di mana-mana, dan banyak terjadi al-harj.” Yang dimaksud dengan al-harj adalah pembunuhan. (Lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, Juz 13, hal. 16.) Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan, niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya …” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, karya Syekh Abdurrahman bin Mu’alla, hal. 28.) Syekh Abdullah bin Shalfiq hafizhahullah berkata, “… Bahwasanya salah satu pokok manhaj salaf adalah keterkaitan erat dengan ilmu dan para ulama. Dan bahwasanya hal ini termasuk perkara yang diwasiatkan Allah. Di dalamnya terkandung kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan dari segala fitnah. Karena sesungguhnya dengan perginya para ulama atau tidak adanya jalinan dengan mereka menyebabkan lenyapnya ilmu dan agama. Itu pula yang menyebabkan merebaknya kebodohan dan fitnah (kekacauan), sehingga manusia setelah mereka akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang mereka itu sesat lagi menyesatkan.” (Lihat Haqiqah Al-Manhaj As-Salafi, hal. 14.) Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu. Lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!” Ibnu Mas’ud menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 1: 133) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan, ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (Lihat Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98.) Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang melupakan Allah, niscaya Allah akan membuat dirinya lupa akan hakikat dan kemaslahatan dirinya. Sehingga orang itu pun akan lupa tentang hal-hal yang membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu, hidupnya berubah laksana gaya hidup binatang. Bahkan, bisa jadi binatang jauh lebih baik keadaannya daripada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah adalah pokok segala ilmu. Ilmu tentang Allah merupakan pondasi ilmu seorang hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Adapun kebodohan tentang Allah (baca: tidak paham tauhid) adalah sumber kehancuran dirinya. (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah, 1:312.) Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” (Lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36.) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan (untuk dikonsumsi) dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan (untuk dipahami, pent) sebanyak hembusan nafas.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah, 1: 248-249.) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu sebelum ia dicabut. Dan dicabutnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya orang yang membawanya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 196.) Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka, mereka pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar. Dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199.) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (Lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22.) Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163.) Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (Lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579.) Ubay bin Ka’ab berkata, “Pelajarilah ilmu dan beramallah dengannya. Janganlah kalian mencari ilmu untuk hanya berhias diri. Sesungguhnya hampir-hampir saja muncul apabila umur kalian masih panjang ketika ilmu dijadikan sebagai perhiasan seperti halnya seorang yang berhias diri dengan pakaiannya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 247.) Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadis sebagaimana datangnya (apa adanya, pen), maka dia adalah pembela sunah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata, maka dia adalah pembela bid’ah.” (Lihat Mukadimah Tahqiq Kitab Az-Zuhd, hal. 69.) Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim (ahli ilmu) orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Lihat Min A’lam As-Salaf, 2: 81.) Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain, maka sungguh dia telah terpedaya.” (Lihat Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 38.) Imam Ibnul Qayyim berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.) Syekh Shalih Al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid (keras)’ atau ‘si fulan itu begini dan begitu’ selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas sunnah, maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 104.) Ada yang berkata kepada Sa’id bin Jubair, “Apakah tanda kebinasaan umat manusia?” Maka, beliau menjawab, “Yaitu, tatkala para ulama meninggal di antara mereka.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi dalam tafsirnya.) Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, Aku mendengar Qutaibah berkata, “(Sufyan) Ats-Tsauri telah meninggal, maka matilah wara’ (sifat kehati-hatian). Syafi’i telah meninggal pula dan matilah sunah-sunah (hadis). Dan Ahmad bin Hanbal meninggal, sehingga merebaklah bid’ah-bid’ah.” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 49; dan Manaqib Al-A’immah Al-Arba’ah, hal. 115.) Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan, Aku mendengar Yahya bin Ja’far Al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku, niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu (agama).” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 118.) Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali rahimahullah berkata, “Demi Allah! Sungguh kematian seorang ‘alim/ahli ilmu lebih dicintai Iblis daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah.” (Lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 78.) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian di mana tukang ceramahnya banyak, namun ulamanya amat sedikit.” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama) Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula, seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (Dinukil dari Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “ ما من إنسان في الغالب أعطي الجدل إلا حرم بركة العلم ؛ لأن غالب من أوتي الجدل يريد بذلك نصرة قوله فقط ، وبذلك يحرم بركة العلم .. أما من أراد الحق ؛ فإن الحق سهل قريب ، لا يحتاج إلى مجادلات كبيرة ؛ لأنه واضح .. ولذلك تجد أهل البدع الذين يخاصمون في بدعهم علومهم ناقصة البركة لا خير فيها ، وتجد أنهم يخاصمون ويجادلون وينتهون إلى لا شيء ! .. لا ينتهون إلى الحق . ” “Tidaklah ada seorang insan (pada umumnya) yang diberikan hobi debat (berbantah-bantahan), kecuali dia pasti terhalang dari keberkahan ilmu. Karena kebanyakan orang diberi kepandaian mendebat (suka membantah) hanya ingin dengan debatnya itu untuk membela pendapatnya sendiri. Dengan sebab itulah ia terhalang dari keberkahan ilmu. Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka sesungguhnya kebenaran itu mudah dan dekat (tidak sulit diperoleh), ia tidak butuh kepada banyak perdebatan yang besar; karena kebenaran itu gamblang. Oleh sebab itu anda dapati bahwa ahli bid’ah yang suka membela kebid’ahan mereka dengan segala bentuk perdebatan (bantahan), ilmu mereka itu minim keberkahan, yaitu tidak ada kebaikan padanya sama sekali. Dan anda bisa jumpai bahwa mereka suka mendebat dan membantah hingga pada akhirnya mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa [yang bermanfaat]! … Artinya mereka tidak menggapai kebenaran.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, 2: 444.) Abu Abdillah Ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Lihat Al-Muntakhab min Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqa’iq, hal. 71) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menimba ilmu (agama) untuk bersikap lancang (membanggakan diri) kepada para ulama, atau untuk mendebat (melecehkan) orang-orang dungu, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (mencari ketenaran), maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, Al-Albani mengatakan hadis ini sahih lighairihi.) (Lihat Al-’Ilmu, Wasa’luhu wa Tsimaruhu, hal. 18) Hal ini mengisyaratkan bahwa penimba ilmu harus membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak berupa tipu daya (sifat curang), kotoran dosa, iri, dan dengki, ataupun keburukan akidah dan kejelekan akhlak. Ilmu adalah ibadah hati, dan tidak mungkin ilmu bisa diserap dengan baik, kecuali apabila hati itu bersih dari segala hal yang mengotorinya. Sahl rahimahullah berkata, “Haram bagi hati yang memendam sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk dimasuki cahaya (ilmu).” (Lihat kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jama’ah, halm. 86.) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) yang seharusnya dia pelajari demi mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla sedangkan ternyata dia justru mempelajarinya untuk mencari suatu bentuk kesenangan (perhiasan) dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain, dan dinyatakan sahih lighairihi oleh Al-Albani) (Lihat Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hlm. 11.) Baca juga: Wasiat Penting bagi Kaum Beriman di Zaman Fitnah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanmalapetaka


Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, ‘Umar bin Hafsh menuturkan kepada kami. Dia berkata, ayahku menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-A’masy menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syaqiq menuturkan kepada kami. Dia berkata, suatu saat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk-duduk bersama. Mereka berdua pun berbincang-bincang. Abu Musa pun berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya menjelang hari kiamat nanti akan ada hari-hari di mana ilmu itu diangkat, kebodohan turun/merebak di mana-mana, dan banyak terjadi al-harj.” Yang dimaksud dengan al-harj adalah pembunuhan. (Lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, Juz 13, hal. 16.) Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim mujtahid menjadi alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan, niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi. Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa melihat pendapat lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya …” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, karya Syekh Abdurrahman bin Mu’alla, hal. 28.) Syekh Abdullah bin Shalfiq hafizhahullah berkata, “… Bahwasanya salah satu pokok manhaj salaf adalah keterkaitan erat dengan ilmu dan para ulama. Dan bahwasanya hal ini termasuk perkara yang diwasiatkan Allah. Di dalamnya terkandung kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatan dari segala fitnah. Karena sesungguhnya dengan perginya para ulama atau tidak adanya jalinan dengan mereka menyebabkan lenyapnya ilmu dan agama. Itu pula yang menyebabkan merebaknya kebodohan dan fitnah (kekacauan), sehingga manusia setelah mereka akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang mereka itu sesat lagi menyesatkan.” (Lihat Haqiqah Al-Manhaj As-Salafi, hal. 14.) Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu. Lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!” Ibnu Mas’ud menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Baththal, 1: 133) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan, ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (Lihat Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98.) Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ “Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun membuat mereka lupa akan diri-diri mereka sendiri.” (QS. Al-Hasyr: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang melupakan Allah, niscaya Allah akan membuat dirinya lupa akan hakikat dan kemaslahatan dirinya. Sehingga orang itu pun akan lupa tentang hal-hal yang membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratnya. Oleh sebab itu, hidupnya berubah laksana gaya hidup binatang. Bahkan, bisa jadi binatang jauh lebih baik keadaannya daripada dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah adalah pokok segala ilmu. Ilmu tentang Allah merupakan pondasi ilmu seorang hamba mengenai kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Adapun kebodohan tentang Allah (baca: tidak paham tauhid) adalah sumber kehancuran dirinya. (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah, 1:312.) Baca juga: Mengembangkan Dakwah di Zaman Fitnah Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” (Lihat Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36.) Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan (untuk dikonsumsi) dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan (untuk dipahami, pent) sebanyak hembusan nafas.” (Lihat Miftah Daris Sa’adah, 1: 248-249.) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hendaklah kalian menuntut ilmu sebelum ia dicabut. Dan dicabutnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya orang yang membawanya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 196.) Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Senantiasa ada orang berilmu yang meninggal dan karena itulah bekas-bekas kebenaran semakin luntur dan hilang. Hingga banyaklah orang yang bodoh dan lenyaplah ahli ilmu. Maka, mereka pun beramal dengan dasar kebodohan. Mereka beragama tidak dengan ajaran yang benar. Dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 199.) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (Lihat Al-Iman, takhrij Al-Albani, hal. 22.) Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan sunah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163.) Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Dahulu ibuku berpesan kepadaku, ‘Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu, kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.’” (Lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 579.) Ubay bin Ka’ab berkata, “Pelajarilah ilmu dan beramallah dengannya. Janganlah kalian mencari ilmu untuk hanya berhias diri. Sesungguhnya hampir-hampir saja muncul apabila umur kalian masih panjang ketika ilmu dijadikan sebagai perhiasan seperti halnya seorang yang berhias diri dengan pakaiannya.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 247.) Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadis sebagaimana datangnya (apa adanya, pen), maka dia adalah pembela sunah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadis untuk memperkuat pendapatnya semata, maka dia adalah pembela bid’ah.” (Lihat Mukadimah Tahqiq Kitab Az-Zuhd, hal. 69.) Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim (ahli ilmu) orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Lihat Min A’lam As-Salaf, 2: 81.) Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain, maka sungguh dia telah terpedaya.” (Lihat Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 38.) Imam Ibnul Qayyim berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Mahasuci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Lihat Al-Fawa’id, hal. 34.) Syekh Shalih Al-Fauzan berkata, “Ikhlas itu adalah seorang insan berniat dengan amalnya untuk mencari wajah Allah. Dan dia tidak bermaksud untuk mencari kepentingan dunia apapun atau mencari pujian dan sanjungan dari manusia. Dia tidak mendengarkan celaan mereka ketika mencelanya. Seperti perkataan mereka, ‘Si fulan mutasyaddid (keras)’ atau ‘si fulan itu begini dan begitu’ selama dia berada di atas jalan yang benar dan di atas sunnah, maka tidak membahayakan dirinya apa yang diucapkan oleh orang-orang. Dan tidak menggoyahkannya dari jalan Allah celaan dari siapa pun juga.” (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 104.) Ada yang berkata kepada Sa’id bin Jubair, “Apakah tanda kebinasaan umat manusia?” Maka, beliau menjawab, “Yaitu, tatkala para ulama meninggal di antara mereka.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi dalam tafsirnya.) Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, Aku mendengar Qutaibah berkata, “(Sufyan) Ats-Tsauri telah meninggal, maka matilah wara’ (sifat kehati-hatian). Syafi’i telah meninggal pula dan matilah sunah-sunah (hadis). Dan Ahmad bin Hanbal meninggal, sehingga merebaklah bid’ah-bid’ah.” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 49; dan Manaqib Al-A’immah Al-Arba’ah, hal. 115.) Muhammad bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan, Aku mendengar Yahya bin Ja’far Al-Baikandi berkata, “Seandainya aku mampu menambah umur Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari) dari jatah umurku, niscaya akan aku lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang lelaki biasa. Adapun kematiannya berarti lenyapnya ilmu (agama).” (Lihat Tarajim Al-A’immah Al-Kibar, hal. 118.) Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali rahimahullah berkata, “Demi Allah! Sungguh kematian seorang ‘alim/ahli ilmu lebih dicintai Iblis daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah.” (Lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 78.) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian di mana tukang ceramahnya banyak, namun ulamanya amat sedikit.” (Lihat Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama) Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula, seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (Dinukil dari Qawa’id fi At-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39) Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “ ما من إنسان في الغالب أعطي الجدل إلا حرم بركة العلم ؛ لأن غالب من أوتي الجدل يريد بذلك نصرة قوله فقط ، وبذلك يحرم بركة العلم .. أما من أراد الحق ؛ فإن الحق سهل قريب ، لا يحتاج إلى مجادلات كبيرة ؛ لأنه واضح .. ولذلك تجد أهل البدع الذين يخاصمون في بدعهم علومهم ناقصة البركة لا خير فيها ، وتجد أنهم يخاصمون ويجادلون وينتهون إلى لا شيء ! .. لا ينتهون إلى الحق . ” “Tidaklah ada seorang insan (pada umumnya) yang diberikan hobi debat (berbantah-bantahan), kecuali dia pasti terhalang dari keberkahan ilmu. Karena kebanyakan orang diberi kepandaian mendebat (suka membantah) hanya ingin dengan debatnya itu untuk membela pendapatnya sendiri. Dengan sebab itulah ia terhalang dari keberkahan ilmu. Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka sesungguhnya kebenaran itu mudah dan dekat (tidak sulit diperoleh), ia tidak butuh kepada banyak perdebatan yang besar; karena kebenaran itu gamblang. Oleh sebab itu anda dapati bahwa ahli bid’ah yang suka membela kebid’ahan mereka dengan segala bentuk perdebatan (bantahan), ilmu mereka itu minim keberkahan, yaitu tidak ada kebaikan padanya sama sekali. Dan anda bisa jumpai bahwa mereka suka mendebat dan membantah hingga pada akhirnya mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa [yang bermanfaat]! … Artinya mereka tidak menggapai kebenaran.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, 2: 444.) Abu Abdillah Ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Lihat Al-Muntakhab min Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqa’iq, hal. 71) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menimba ilmu (agama) untuk bersikap lancang (membanggakan diri) kepada para ulama, atau untuk mendebat (melecehkan) orang-orang dungu, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya (mencari ketenaran), maka Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, Al-Albani mengatakan hadis ini sahih lighairihi.) (Lihat Al-’Ilmu, Wasa’luhu wa Tsimaruhu, hal. 18) Hal ini mengisyaratkan bahwa penimba ilmu harus membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak berupa tipu daya (sifat curang), kotoran dosa, iri, dan dengki, ataupun keburukan akidah dan kejelekan akhlak. Ilmu adalah ibadah hati, dan tidak mungkin ilmu bisa diserap dengan baik, kecuali apabila hati itu bersih dari segala hal yang mengotorinya. Sahl rahimahullah berkata, “Haram bagi hati yang memendam sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk dimasuki cahaya (ilmu).” (Lihat kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jama’ah, halm. 86.) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) yang seharusnya dia pelajari demi mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla sedangkan ternyata dia justru mempelajarinya untuk mencari suatu bentuk kesenangan (perhiasan) dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain, dan dinyatakan sahih lighairihi oleh Al-Albani) (Lihat Fiqh Da’wah wa Tazkiyatun Nafs, hlm. 11.) Baca juga: Wasiat Penting bagi Kaum Beriman di Zaman Fitnah *** Penulis: Ari Wahyudi, S.Si. Artikel: Muslim.or.id Tags: akhir zamanmalapetaka

Permasalahan Seputar Basmalah di Awal Wudu

Daftar Isi Toggle Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim?Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu?Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Basmalah atau ucapan “bismillahirrahmanirrahim” merupakan kalimat mulia yang paling sering diucapkan oleh seorang muslim. Dengannya, Al-Qur’an dimulai dan dengannya pula, syariat Islam memerintahkan kita untuk membacanya di setiap perbuatan baik. Termasuk di dalamnya adalah tatkala akan berwudu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca basmalah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) Hadis ini diriwayatkan oleh sembilan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan betapa pentingnya perkara ini bagi seorang muslim. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan kepada para sahabatnya agar senantiasa membaca basmalah di setiap wudu mereka. Hanya saja wahai saudaraku, ada beberapa permasalahan seputar basmalah di awal wudu yang bisa kita pelajari lebih lanjut dalam pembahasan artikel kali ini. Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim? Pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan lafaz basmalah di awal wudu adalah dengan mengucapkan “bismillah” saja tanpa dibaca secara lengkap. Karena bacaan inilah yang terdapat dalam ayat dan hadis-hadis yang memerintahkan kita untuk mengucapkan basmalah di setiap kegiatan sehari-hari kita, seperti ayat yang menceritakan tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam tatkala menaiki bahtera, وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah (bismillah) di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Hud: 41) Atau seperti yang terdapat di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala berbicara kepada seorang anak, يا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وكُلْ بيَمِينِكَ، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ  “Wahai anak, sebutlah nama Allah (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022) Adapun menyempurnakan dengan bismillahirrahmanirrahim, maka hukumnya boleh dan tidak terlarang. Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Mazhab Zahiriyah, salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah, dan Hasan Al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa membaca basmalah di awal wudu hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) “Tidak ada wudu” di dalam hadis tersebut bermakna tidak ada wudu yang sah apabila tidak membaca basmalah. Adapun pendapat kedua dan ini merupakan pendapat yang lebih kuat serta dipegang oleh mayoritas ulama adalah pendapat yang menyatakan bahwa basmalah di awal wudu hukumnya sunah muakadah dan bukan wajib. Karena di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ “Berwudulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Tirmidzi no. 302. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 247.) Sedangkan sifat wudu sebagaimana yang diperintahkan Allah berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Berwudu yang diperintahkan pada ayat di atas tidak menyebutkan perintah membaca basmalah. Sehingga basmalah tidak termasuk kewajiban dalam wudu. Dan juga, tidak ada satu pun dari para sahabat yang meriwayatkan sifat dan tata cara wudu Nabi yang menyebutkan basmalah di awal wudu, padahal kita tahu mereka meriwayatkan hadis tersebut dalam rangka mengajarkan dan menyampaikan pelajaran kepada kita. Sedangkan dalam syariat terdapat kaidah, لا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.” Adapun mengenai hadis yang menyatakan, “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” Maka, maknanya adalah tidak ada wudu yang sempurna dan bukan tidak ada wudu yang sah. Karena tata cara wudu yang sah yang dijelaskan di dalam hadis-hadis Nabi tidak menyebutkan kewajiban membaca basmalah. Baca juga: Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Imamah dan Kerudung ketika Wudu Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Apabila seseorang berwudu di dalam toilet yang digunakan untuk buang air, maka akan timbul sebuah permasalahan. Yaitu, bersinggungannya hukum makruh dan terlarangnya pengucapan nama Allah di tempat-tempat seperti ini dengan anjuran membaca basmalah di awal wudu. Sebagian ulama mengambil solusi dengan cara menyebutkan lafaz basmalah di dalam hati saja tanpa perlu melafalkannya dengan lisan. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukum anjuran membaca basmalah lebih diutamakan dari pelarangan penyebutan nama Allah di dalam kamar mandi/toilet. Sehingga seorang muslim boleh melafalkan dengan lisannya tanpa adanya pelarangan dan keberatan dari syariat. Syekh Binbaz menyebutkan, “Boleh hukumnya wudu di dalam kamar mandi apabila mendesak dan kita membutuhkan hal tersebut, maka ia membaca basmalah di awal wudu dengan mengucapkan “bismillah”, karena basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sunah muakadah menurut sebagian besar ulama lainnya. Ia boleh membacanya dan hilang kemakruhannya. Karena hukum makruh hilang dengan adanya kebutuhan membaca basmalah. Seorang muslim dituntut untuk mengucapkan basmalah di awal wudu, maka ia membaca basmalah dan melanjutkan wudunya.” (Majmu Fatawa Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah, 10: 28.) Syekh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan, “Membaca basmalah di kamar mandi dan yang semisalnya hukumnya tidak mengapa, karena kamar mandi-kamar mandi tersebut di masa sekarang cenderung sudah bersih, air akan menghilangkan dan mensucikan najis yang ada di tempat-tempat tersebut. Jikalau seseorang lebih memilih untuk mengucapkan basmalah dengan hatinya saja, tanpa melafalkannya dengan lisan, tentu ini adalah kebaikan.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi, 3: 117.) Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Sunah-Sunah Wudu yang Sering Dilalaikan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: basmalahwudu

Permasalahan Seputar Basmalah di Awal Wudu

Daftar Isi Toggle Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim?Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu?Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Basmalah atau ucapan “bismillahirrahmanirrahim” merupakan kalimat mulia yang paling sering diucapkan oleh seorang muslim. Dengannya, Al-Qur’an dimulai dan dengannya pula, syariat Islam memerintahkan kita untuk membacanya di setiap perbuatan baik. Termasuk di dalamnya adalah tatkala akan berwudu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca basmalah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) Hadis ini diriwayatkan oleh sembilan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan betapa pentingnya perkara ini bagi seorang muslim. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan kepada para sahabatnya agar senantiasa membaca basmalah di setiap wudu mereka. Hanya saja wahai saudaraku, ada beberapa permasalahan seputar basmalah di awal wudu yang bisa kita pelajari lebih lanjut dalam pembahasan artikel kali ini. Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim? Pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan lafaz basmalah di awal wudu adalah dengan mengucapkan “bismillah” saja tanpa dibaca secara lengkap. Karena bacaan inilah yang terdapat dalam ayat dan hadis-hadis yang memerintahkan kita untuk mengucapkan basmalah di setiap kegiatan sehari-hari kita, seperti ayat yang menceritakan tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam tatkala menaiki bahtera, وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah (bismillah) di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Hud: 41) Atau seperti yang terdapat di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala berbicara kepada seorang anak, يا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وكُلْ بيَمِينِكَ، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ  “Wahai anak, sebutlah nama Allah (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022) Adapun menyempurnakan dengan bismillahirrahmanirrahim, maka hukumnya boleh dan tidak terlarang. Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Mazhab Zahiriyah, salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah, dan Hasan Al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa membaca basmalah di awal wudu hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) “Tidak ada wudu” di dalam hadis tersebut bermakna tidak ada wudu yang sah apabila tidak membaca basmalah. Adapun pendapat kedua dan ini merupakan pendapat yang lebih kuat serta dipegang oleh mayoritas ulama adalah pendapat yang menyatakan bahwa basmalah di awal wudu hukumnya sunah muakadah dan bukan wajib. Karena di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ “Berwudulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Tirmidzi no. 302. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 247.) Sedangkan sifat wudu sebagaimana yang diperintahkan Allah berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Berwudu yang diperintahkan pada ayat di atas tidak menyebutkan perintah membaca basmalah. Sehingga basmalah tidak termasuk kewajiban dalam wudu. Dan juga, tidak ada satu pun dari para sahabat yang meriwayatkan sifat dan tata cara wudu Nabi yang menyebutkan basmalah di awal wudu, padahal kita tahu mereka meriwayatkan hadis tersebut dalam rangka mengajarkan dan menyampaikan pelajaran kepada kita. Sedangkan dalam syariat terdapat kaidah, لا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.” Adapun mengenai hadis yang menyatakan, “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” Maka, maknanya adalah tidak ada wudu yang sempurna dan bukan tidak ada wudu yang sah. Karena tata cara wudu yang sah yang dijelaskan di dalam hadis-hadis Nabi tidak menyebutkan kewajiban membaca basmalah. Baca juga: Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Imamah dan Kerudung ketika Wudu Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Apabila seseorang berwudu di dalam toilet yang digunakan untuk buang air, maka akan timbul sebuah permasalahan. Yaitu, bersinggungannya hukum makruh dan terlarangnya pengucapan nama Allah di tempat-tempat seperti ini dengan anjuran membaca basmalah di awal wudu. Sebagian ulama mengambil solusi dengan cara menyebutkan lafaz basmalah di dalam hati saja tanpa perlu melafalkannya dengan lisan. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukum anjuran membaca basmalah lebih diutamakan dari pelarangan penyebutan nama Allah di dalam kamar mandi/toilet. Sehingga seorang muslim boleh melafalkan dengan lisannya tanpa adanya pelarangan dan keberatan dari syariat. Syekh Binbaz menyebutkan, “Boleh hukumnya wudu di dalam kamar mandi apabila mendesak dan kita membutuhkan hal tersebut, maka ia membaca basmalah di awal wudu dengan mengucapkan “bismillah”, karena basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sunah muakadah menurut sebagian besar ulama lainnya. Ia boleh membacanya dan hilang kemakruhannya. Karena hukum makruh hilang dengan adanya kebutuhan membaca basmalah. Seorang muslim dituntut untuk mengucapkan basmalah di awal wudu, maka ia membaca basmalah dan melanjutkan wudunya.” (Majmu Fatawa Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah, 10: 28.) Syekh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan, “Membaca basmalah di kamar mandi dan yang semisalnya hukumnya tidak mengapa, karena kamar mandi-kamar mandi tersebut di masa sekarang cenderung sudah bersih, air akan menghilangkan dan mensucikan najis yang ada di tempat-tempat tersebut. Jikalau seseorang lebih memilih untuk mengucapkan basmalah dengan hatinya saja, tanpa melafalkannya dengan lisan, tentu ini adalah kebaikan.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi, 3: 117.) Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Sunah-Sunah Wudu yang Sering Dilalaikan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: basmalahwudu
Daftar Isi Toggle Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim?Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu?Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Basmalah atau ucapan “bismillahirrahmanirrahim” merupakan kalimat mulia yang paling sering diucapkan oleh seorang muslim. Dengannya, Al-Qur’an dimulai dan dengannya pula, syariat Islam memerintahkan kita untuk membacanya di setiap perbuatan baik. Termasuk di dalamnya adalah tatkala akan berwudu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca basmalah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) Hadis ini diriwayatkan oleh sembilan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan betapa pentingnya perkara ini bagi seorang muslim. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan kepada para sahabatnya agar senantiasa membaca basmalah di setiap wudu mereka. Hanya saja wahai saudaraku, ada beberapa permasalahan seputar basmalah di awal wudu yang bisa kita pelajari lebih lanjut dalam pembahasan artikel kali ini. Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim? Pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan lafaz basmalah di awal wudu adalah dengan mengucapkan “bismillah” saja tanpa dibaca secara lengkap. Karena bacaan inilah yang terdapat dalam ayat dan hadis-hadis yang memerintahkan kita untuk mengucapkan basmalah di setiap kegiatan sehari-hari kita, seperti ayat yang menceritakan tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam tatkala menaiki bahtera, وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah (bismillah) di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Hud: 41) Atau seperti yang terdapat di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala berbicara kepada seorang anak, يا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وكُلْ بيَمِينِكَ، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ  “Wahai anak, sebutlah nama Allah (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022) Adapun menyempurnakan dengan bismillahirrahmanirrahim, maka hukumnya boleh dan tidak terlarang. Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Mazhab Zahiriyah, salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah, dan Hasan Al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa membaca basmalah di awal wudu hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) “Tidak ada wudu” di dalam hadis tersebut bermakna tidak ada wudu yang sah apabila tidak membaca basmalah. Adapun pendapat kedua dan ini merupakan pendapat yang lebih kuat serta dipegang oleh mayoritas ulama adalah pendapat yang menyatakan bahwa basmalah di awal wudu hukumnya sunah muakadah dan bukan wajib. Karena di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ “Berwudulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Tirmidzi no. 302. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 247.) Sedangkan sifat wudu sebagaimana yang diperintahkan Allah berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Berwudu yang diperintahkan pada ayat di atas tidak menyebutkan perintah membaca basmalah. Sehingga basmalah tidak termasuk kewajiban dalam wudu. Dan juga, tidak ada satu pun dari para sahabat yang meriwayatkan sifat dan tata cara wudu Nabi yang menyebutkan basmalah di awal wudu, padahal kita tahu mereka meriwayatkan hadis tersebut dalam rangka mengajarkan dan menyampaikan pelajaran kepada kita. Sedangkan dalam syariat terdapat kaidah, لا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.” Adapun mengenai hadis yang menyatakan, “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” Maka, maknanya adalah tidak ada wudu yang sempurna dan bukan tidak ada wudu yang sah. Karena tata cara wudu yang sah yang dijelaskan di dalam hadis-hadis Nabi tidak menyebutkan kewajiban membaca basmalah. Baca juga: Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Imamah dan Kerudung ketika Wudu Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Apabila seseorang berwudu di dalam toilet yang digunakan untuk buang air, maka akan timbul sebuah permasalahan. Yaitu, bersinggungannya hukum makruh dan terlarangnya pengucapan nama Allah di tempat-tempat seperti ini dengan anjuran membaca basmalah di awal wudu. Sebagian ulama mengambil solusi dengan cara menyebutkan lafaz basmalah di dalam hati saja tanpa perlu melafalkannya dengan lisan. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukum anjuran membaca basmalah lebih diutamakan dari pelarangan penyebutan nama Allah di dalam kamar mandi/toilet. Sehingga seorang muslim boleh melafalkan dengan lisannya tanpa adanya pelarangan dan keberatan dari syariat. Syekh Binbaz menyebutkan, “Boleh hukumnya wudu di dalam kamar mandi apabila mendesak dan kita membutuhkan hal tersebut, maka ia membaca basmalah di awal wudu dengan mengucapkan “bismillah”, karena basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sunah muakadah menurut sebagian besar ulama lainnya. Ia boleh membacanya dan hilang kemakruhannya. Karena hukum makruh hilang dengan adanya kebutuhan membaca basmalah. Seorang muslim dituntut untuk mengucapkan basmalah di awal wudu, maka ia membaca basmalah dan melanjutkan wudunya.” (Majmu Fatawa Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah, 10: 28.) Syekh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan, “Membaca basmalah di kamar mandi dan yang semisalnya hukumnya tidak mengapa, karena kamar mandi-kamar mandi tersebut di masa sekarang cenderung sudah bersih, air akan menghilangkan dan mensucikan najis yang ada di tempat-tempat tersebut. Jikalau seseorang lebih memilih untuk mengucapkan basmalah dengan hatinya saja, tanpa melafalkannya dengan lisan, tentu ini adalah kebaikan.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi, 3: 117.) Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Sunah-Sunah Wudu yang Sering Dilalaikan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: basmalahwudu


Daftar Isi Toggle Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim?Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu?Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Basmalah atau ucapan “bismillahirrahmanirrahim” merupakan kalimat mulia yang paling sering diucapkan oleh seorang muslim. Dengannya, Al-Qur’an dimulai dan dengannya pula, syariat Islam memerintahkan kita untuk membacanya di setiap perbuatan baik. Termasuk di dalamnya adalah tatkala akan berwudu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca basmalah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) Hadis ini diriwayatkan oleh sembilan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan betapa pentingnya perkara ini bagi seorang muslim. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan kepada para sahabatnya agar senantiasa membaca basmalah di setiap wudu mereka. Hanya saja wahai saudaraku, ada beberapa permasalahan seputar basmalah di awal wudu yang bisa kita pelajari lebih lanjut dalam pembahasan artikel kali ini. Pertama: Apa yang kita ucapkan? Bismillah saja atau perlukah dibaca secara lengkap, bismillahirrahmanirrahim? Pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan lafaz basmalah di awal wudu adalah dengan mengucapkan “bismillah” saja tanpa dibaca secara lengkap. Karena bacaan inilah yang terdapat dalam ayat dan hadis-hadis yang memerintahkan kita untuk mengucapkan basmalah di setiap kegiatan sehari-hari kita, seperti ayat yang menceritakan tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam tatkala menaiki bahtera, وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ “Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah (bismillah) di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Hud: 41) Atau seperti yang terdapat di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala berbicara kepada seorang anak, يا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وكُلْ بيَمِينِكَ، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ  “Wahai anak, sebutlah nama Allah (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa yang di hadapanmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022) Adapun menyempurnakan dengan bismillahirrahmanirrahim, maka hukumnya boleh dan tidak terlarang. Kedua: Wajibkah membaca basmalah di awal wudu? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Mazhab Zahiriyah, salah satu riwayat dalam mazhab Hanabilah, dan Hasan Al-Bashri rahimahullah berpendapat bahwa membaca basmalah di awal wudu hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan.) “Tidak ada wudu” di dalam hadis tersebut bermakna tidak ada wudu yang sah apabila tidak membaca basmalah. Adapun pendapat kedua dan ini merupakan pendapat yang lebih kuat serta dipegang oleh mayoritas ulama adalah pendapat yang menyatakan bahwa basmalah di awal wudu hukumnya sunah muakadah dan bukan wajib. Karena di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ “Berwudulah sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.” (HR. Tirmidzi no. 302. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 247.) Sedangkan sifat wudu sebagaimana yang diperintahkan Allah berbunyi, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Berwudu yang diperintahkan pada ayat di atas tidak menyebutkan perintah membaca basmalah. Sehingga basmalah tidak termasuk kewajiban dalam wudu. Dan juga, tidak ada satu pun dari para sahabat yang meriwayatkan sifat dan tata cara wudu Nabi yang menyebutkan basmalah di awal wudu, padahal kita tahu mereka meriwayatkan hadis tersebut dalam rangka mengajarkan dan menyampaikan pelajaran kepada kita. Sedangkan dalam syariat terdapat kaidah, لا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.” Adapun mengenai hadis yang menyatakan, “Tidak ada salat bagi yang tidak memiliki wudu. Dan tidak ada wudu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” Maka, maknanya adalah tidak ada wudu yang sempurna dan bukan tidak ada wudu yang sah. Karena tata cara wudu yang sah yang dijelaskan di dalam hadis-hadis Nabi tidak menyebutkan kewajiban membaca basmalah. Baca juga: Ketentuan dan Tata Cara Mengusap Imamah dan Kerudung ketika Wudu Ketiga: Hukum melafalkan basmalah di kamar mandi tatkala berwudu Apabila seseorang berwudu di dalam toilet yang digunakan untuk buang air, maka akan timbul sebuah permasalahan. Yaitu, bersinggungannya hukum makruh dan terlarangnya pengucapan nama Allah di tempat-tempat seperti ini dengan anjuran membaca basmalah di awal wudu. Sebagian ulama mengambil solusi dengan cara menyebutkan lafaz basmalah di dalam hati saja tanpa perlu melafalkannya dengan lisan. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukum anjuran membaca basmalah lebih diutamakan dari pelarangan penyebutan nama Allah di dalam kamar mandi/toilet. Sehingga seorang muslim boleh melafalkan dengan lisannya tanpa adanya pelarangan dan keberatan dari syariat. Syekh Binbaz menyebutkan, “Boleh hukumnya wudu di dalam kamar mandi apabila mendesak dan kita membutuhkan hal tersebut, maka ia membaca basmalah di awal wudu dengan mengucapkan “bismillah”, karena basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama dan sunah muakadah menurut sebagian besar ulama lainnya. Ia boleh membacanya dan hilang kemakruhannya. Karena hukum makruh hilang dengan adanya kebutuhan membaca basmalah. Seorang muslim dituntut untuk mengucapkan basmalah di awal wudu, maka ia membaca basmalah dan melanjutkan wudunya.” (Majmu Fatawa Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah, 10: 28.) Syekh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan, “Membaca basmalah di kamar mandi dan yang semisalnya hukumnya tidak mengapa, karena kamar mandi-kamar mandi tersebut di masa sekarang cenderung sudah bersih, air akan menghilangkan dan mensucikan najis yang ada di tempat-tempat tersebut. Jikalau seseorang lebih memilih untuk mengucapkan basmalah dengan hatinya saja, tanpa melafalkannya dengan lisan, tentu ini adalah kebaikan.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi, 3: 117.) Wallahu A’lam Bisshawab. Baca juga: Sunah-Sunah Wudu yang Sering Dilalaikan *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: basmalahwudu
Prev     Next