Keutamaan Al-Fatihah dan Akhir Surah Al-Baqarah: Dua Cahaya yang Tak Pernah Diberikan kepada Nabi Sebelumnya

Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ menerima kabar gembira yang luar biasa dari malaikat Jibril. Saat itu, turun malaikat baru dari langit yang membawa dua cahaya mulia: Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Dua bagian Al-Qur’an ini mengandung rahasia keimanan, doa, dan perlindungan yang tidak diberikan kepada umat mana pun sebelumnya. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍBab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1022ِوعَنِ ابْنِ عبَّاسٍ رضِي اللَّه عنْهُما قَالَ: بيْنَما جِبْرِيلُ عليهِ السَّلام قاعِدٌ عِندَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَه فَقَالَ: “هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ ولَمْ يُفْتَح قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ” فَنَزَلَ مِنه مَلكٌ فقالَ:”هذا مَلَكٌ نَزَلَ إِلى الأَرْضِ لم يَنْزِلْ قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ فَسَلَّمَ وقال: أَبشِرْ بِنورَينِ أُوتِيتَهُمَا، لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبلَكَ: فَاتحةِ الكِتَابِ، وخَواتِيم سُورَةِ البَقَرةِ، لَن تَقرأَ بحرْفٍ مِنْهَا إِلاَّ أُعْطِيتَه” رواه مسلم. “النَّقِيض”الصَّوت.Dari Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata:“Ketika Jibrīl ‘alaihis-salām sedang duduk di sisi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengar suara seperti nangis (bunyi gemeretak halus) dari atasnya. Maka Jibrīl mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Ini adalah pintu langit yang baru saja dibuka pada hari ini. Sebelumnya, pintu ini tidak pernah terbuka sama sekali kecuali hari ini.’Lalu turunlah seorang malaikat dari pintu itu. Jibrīl berkata, ‘Inilah malaikat yang turun ke bumi untuk pertama kalinya. Sebelumnya, ia tidak pernah turun sama sekali.’Malaikat itu kemudian memberi salam dan berkata, ‘Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau: (yaitu) Fatihatul Kitab (Surah Al-Fātiḥah) dan penutup Surah Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau akan diberi (pahala dan karunia) karenanya.’” (HR. Muslim)Kata “النَّقِيض” (an-naqīḍ) berarti suara — yakni bunyi samar yang terdengar dari atas langit. Faedah haditsKeutamaan Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah.Kitab Allah adalah cahaya yang menunjukkan jalan menuju petunjuk yang paling lurus.Seorang mukmin ketika membaca Al-Qur’an, hendaknya memohon kepada Allah agar diberi taufik untuk mengamalkannya dan pertolongan agar dimudahkan dalam kebenaran.Bahwa langit memiliki pintu-pintu yang darinya turun perintah Allah yang bersifat ilahi. Tidak satu pun pintu itu terbuka kecuali dengan izin Allah, dan dari setiap pintu itu turun suatu urusan yang telah ditentukan.Hadis ini mengandung penetapan sifat al-‘uluw (ketinggian) bagi Allah yang Mahatinggi.Juga menetapkan bahwa Allah berbicara dengan suara yang nyata, tanpa tahrīf (penyelewengan makna) dan tanpa ta‘ṭīl (penolakan sifat), sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah dalam manhaj salaf mengenai hal tersebut. Referensi:Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:244. –Kamis sore, 16 Oktober 2025 di Darush Sholihin GunungkidulMuhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah dua ayat terakhir surah al baqarah riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surah al baqarah tafsir al baqarah

Keutamaan Al-Fatihah dan Akhir Surah Al-Baqarah: Dua Cahaya yang Tak Pernah Diberikan kepada Nabi Sebelumnya

Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ menerima kabar gembira yang luar biasa dari malaikat Jibril. Saat itu, turun malaikat baru dari langit yang membawa dua cahaya mulia: Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Dua bagian Al-Qur’an ini mengandung rahasia keimanan, doa, dan perlindungan yang tidak diberikan kepada umat mana pun sebelumnya. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍBab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1022ِوعَنِ ابْنِ عبَّاسٍ رضِي اللَّه عنْهُما قَالَ: بيْنَما جِبْرِيلُ عليهِ السَّلام قاعِدٌ عِندَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَه فَقَالَ: “هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ ولَمْ يُفْتَح قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ” فَنَزَلَ مِنه مَلكٌ فقالَ:”هذا مَلَكٌ نَزَلَ إِلى الأَرْضِ لم يَنْزِلْ قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ فَسَلَّمَ وقال: أَبشِرْ بِنورَينِ أُوتِيتَهُمَا، لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبلَكَ: فَاتحةِ الكِتَابِ، وخَواتِيم سُورَةِ البَقَرةِ، لَن تَقرأَ بحرْفٍ مِنْهَا إِلاَّ أُعْطِيتَه” رواه مسلم. “النَّقِيض”الصَّوت.Dari Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata:“Ketika Jibrīl ‘alaihis-salām sedang duduk di sisi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengar suara seperti nangis (bunyi gemeretak halus) dari atasnya. Maka Jibrīl mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Ini adalah pintu langit yang baru saja dibuka pada hari ini. Sebelumnya, pintu ini tidak pernah terbuka sama sekali kecuali hari ini.’Lalu turunlah seorang malaikat dari pintu itu. Jibrīl berkata, ‘Inilah malaikat yang turun ke bumi untuk pertama kalinya. Sebelumnya, ia tidak pernah turun sama sekali.’Malaikat itu kemudian memberi salam dan berkata, ‘Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau: (yaitu) Fatihatul Kitab (Surah Al-Fātiḥah) dan penutup Surah Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau akan diberi (pahala dan karunia) karenanya.’” (HR. Muslim)Kata “النَّقِيض” (an-naqīḍ) berarti suara — yakni bunyi samar yang terdengar dari atas langit. Faedah haditsKeutamaan Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah.Kitab Allah adalah cahaya yang menunjukkan jalan menuju petunjuk yang paling lurus.Seorang mukmin ketika membaca Al-Qur’an, hendaknya memohon kepada Allah agar diberi taufik untuk mengamalkannya dan pertolongan agar dimudahkan dalam kebenaran.Bahwa langit memiliki pintu-pintu yang darinya turun perintah Allah yang bersifat ilahi. Tidak satu pun pintu itu terbuka kecuali dengan izin Allah, dan dari setiap pintu itu turun suatu urusan yang telah ditentukan.Hadis ini mengandung penetapan sifat al-‘uluw (ketinggian) bagi Allah yang Mahatinggi.Juga menetapkan bahwa Allah berbicara dengan suara yang nyata, tanpa tahrīf (penyelewengan makna) dan tanpa ta‘ṭīl (penolakan sifat), sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah dalam manhaj salaf mengenai hal tersebut. Referensi:Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:244. –Kamis sore, 16 Oktober 2025 di Darush Sholihin GunungkidulMuhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah dua ayat terakhir surah al baqarah riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surah al baqarah tafsir al baqarah
Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ menerima kabar gembira yang luar biasa dari malaikat Jibril. Saat itu, turun malaikat baru dari langit yang membawa dua cahaya mulia: Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Dua bagian Al-Qur’an ini mengandung rahasia keimanan, doa, dan perlindungan yang tidak diberikan kepada umat mana pun sebelumnya. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍBab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1022ِوعَنِ ابْنِ عبَّاسٍ رضِي اللَّه عنْهُما قَالَ: بيْنَما جِبْرِيلُ عليهِ السَّلام قاعِدٌ عِندَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَه فَقَالَ: “هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ ولَمْ يُفْتَح قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ” فَنَزَلَ مِنه مَلكٌ فقالَ:”هذا مَلَكٌ نَزَلَ إِلى الأَرْضِ لم يَنْزِلْ قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ فَسَلَّمَ وقال: أَبشِرْ بِنورَينِ أُوتِيتَهُمَا، لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبلَكَ: فَاتحةِ الكِتَابِ، وخَواتِيم سُورَةِ البَقَرةِ، لَن تَقرأَ بحرْفٍ مِنْهَا إِلاَّ أُعْطِيتَه” رواه مسلم. “النَّقِيض”الصَّوت.Dari Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata:“Ketika Jibrīl ‘alaihis-salām sedang duduk di sisi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengar suara seperti nangis (bunyi gemeretak halus) dari atasnya. Maka Jibrīl mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Ini adalah pintu langit yang baru saja dibuka pada hari ini. Sebelumnya, pintu ini tidak pernah terbuka sama sekali kecuali hari ini.’Lalu turunlah seorang malaikat dari pintu itu. Jibrīl berkata, ‘Inilah malaikat yang turun ke bumi untuk pertama kalinya. Sebelumnya, ia tidak pernah turun sama sekali.’Malaikat itu kemudian memberi salam dan berkata, ‘Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau: (yaitu) Fatihatul Kitab (Surah Al-Fātiḥah) dan penutup Surah Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau akan diberi (pahala dan karunia) karenanya.’” (HR. Muslim)Kata “النَّقِيض” (an-naqīḍ) berarti suara — yakni bunyi samar yang terdengar dari atas langit. Faedah haditsKeutamaan Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah.Kitab Allah adalah cahaya yang menunjukkan jalan menuju petunjuk yang paling lurus.Seorang mukmin ketika membaca Al-Qur’an, hendaknya memohon kepada Allah agar diberi taufik untuk mengamalkannya dan pertolongan agar dimudahkan dalam kebenaran.Bahwa langit memiliki pintu-pintu yang darinya turun perintah Allah yang bersifat ilahi. Tidak satu pun pintu itu terbuka kecuali dengan izin Allah, dan dari setiap pintu itu turun suatu urusan yang telah ditentukan.Hadis ini mengandung penetapan sifat al-‘uluw (ketinggian) bagi Allah yang Mahatinggi.Juga menetapkan bahwa Allah berbicara dengan suara yang nyata, tanpa tahrīf (penyelewengan makna) dan tanpa ta‘ṭīl (penolakan sifat), sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah dalam manhaj salaf mengenai hal tersebut. Referensi:Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:244. –Kamis sore, 16 Oktober 2025 di Darush Sholihin GunungkidulMuhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah dua ayat terakhir surah al baqarah riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surah al baqarah tafsir al baqarah


Dalam sebuah hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ menerima kabar gembira yang luar biasa dari malaikat Jibril. Saat itu, turun malaikat baru dari langit yang membawa dua cahaya mulia: Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah. Dua bagian Al-Qur’an ini mengandung rahasia keimanan, doa, dan perlindungan yang tidak diberikan kepada umat mana pun sebelumnya. Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail (Kitab Keutamaan)ِبَابُ الحَثِّ عَلَى سُوَرٍ وَآيَاتٍ مَخْصُوْصَةٍBab 183. Anjuran Membaca Surah dan Ayat Tertentu Hadits #1022ِوعَنِ ابْنِ عبَّاسٍ رضِي اللَّه عنْهُما قَالَ: بيْنَما جِبْرِيلُ عليهِ السَّلام قاعِدٌ عِندَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَه فَقَالَ: “هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ اليَوْمَ ولَمْ يُفْتَح قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ” فَنَزَلَ مِنه مَلكٌ فقالَ:”هذا مَلَكٌ نَزَلَ إِلى الأَرْضِ لم يَنْزِلْ قَطُّ إِلاَّ اليَوْمَ فَسَلَّمَ وقال: أَبشِرْ بِنورَينِ أُوتِيتَهُمَا، لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبلَكَ: فَاتحةِ الكِتَابِ، وخَواتِيم سُورَةِ البَقَرةِ، لَن تَقرأَ بحرْفٍ مِنْهَا إِلاَّ أُعْطِيتَه” رواه مسلم. “النَّقِيض”الصَّوت.Dari Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata:“Ketika Jibrīl ‘alaihis-salām sedang duduk di sisi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba terdengar suara seperti nangis (bunyi gemeretak halus) dari atasnya. Maka Jibrīl mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Ini adalah pintu langit yang baru saja dibuka pada hari ini. Sebelumnya, pintu ini tidak pernah terbuka sama sekali kecuali hari ini.’Lalu turunlah seorang malaikat dari pintu itu. Jibrīl berkata, ‘Inilah malaikat yang turun ke bumi untuk pertama kalinya. Sebelumnya, ia tidak pernah turun sama sekali.’Malaikat itu kemudian memberi salam dan berkata, ‘Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau: (yaitu) Fatihatul Kitab (Surah Al-Fātiḥah) dan penutup Surah Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf pun darinya, kecuali engkau akan diberi (pahala dan karunia) karenanya.’” (HR. Muslim)Kata “النَّقِيض” (an-naqīḍ) berarti suara — yakni bunyi samar yang terdengar dari atas langit. Faedah haditsKeutamaan Surah Al-Fātiḥah dan penutup Surah Al-Baqarah.Kitab Allah adalah cahaya yang menunjukkan jalan menuju petunjuk yang paling lurus.Seorang mukmin ketika membaca Al-Qur’an, hendaknya memohon kepada Allah agar diberi taufik untuk mengamalkannya dan pertolongan agar dimudahkan dalam kebenaran.Bahwa langit memiliki pintu-pintu yang darinya turun perintah Allah yang bersifat ilahi. Tidak satu pun pintu itu terbuka kecuali dengan izin Allah, dan dari setiap pintu itu turun suatu urusan yang telah ditentukan.Hadis ini mengandung penetapan sifat al-‘uluw (ketinggian) bagi Allah yang Mahatinggi.Juga menetapkan bahwa Allah berbicara dengan suara yang nyata, tanpa tahrīf (penyelewengan makna) dan tanpa ta‘ṭīl (penolakan sifat), sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah dalam manhaj salaf mengenai hal tersebut. Referensi:Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadhis Shalihin. Cetakan pertama tahun 1430 H. Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:244. –Kamis sore, 16 Oktober 2025 di Darush Sholihin GunungkidulMuhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsal baqarah dua ayat terakhir surah al baqarah riyadhus sholihin riyadhus sholihin fadhail surah al baqarah tafsir al baqarah

Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk

Dalam shalat berjamaah, imam dijadikan untuk diikuti dalam seluruh gerakannya. Namun, bagaimana jika imam tidak mampu berdiri dan harus shalat dalam keadaan duduk? Apakah makmum tetap berdiri atau wajib ikut duduk bersamanya? Artikel ini membahas perbedaan pendapat ulama dan penjelasan hadis-hadis sahih terkait hukum shalat di belakang imam yang shalat duduk.  Daftar Isi tutup 1. Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk 2. Lebih Utama: Imam yang Tidak Mampu Berdiri Hendaknya Menunjuk Pengganti 3. Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk dari Awal 4. Pendapat Mazhab Zhahiriyah dan Riwayat dari Ahmad 5. Dalil-Dalil Mereka 6. Penegasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 7. Riwayat Kedua dari Imam Ahmad: Duduk Tidak Wajib, Hanya Disunnahkan 8. Pendapat Ketiga: Wajib Berdiri di Belakang Imam yang Duduk 9. Cara Mengompromikan Dalil-Dalil yang Tampak Berbeda 10. Kesimpulan  Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat DudukShalat berjamaah di belakang imam yang shalat dalam keadaan duduk hukumnya sah, menurut pendapat yang paling kuat di antara para ulama, karena hal tersebut telah ditetapkan dalam sunnah Nabi ﷺ.Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata:اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ يَعُودُونَهُ، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا، فَصَلُّوا بِصَلَاتِهِ قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ اجْلِسُوا، فَجَلَسُوا، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا“Rasulullah ﷺ pernah sakit. Lalu beberapa sahabat datang menjenguk beliau. Ketika itu Rasulullah ﷺ shalat dalam keadaan duduk, maka para sahabat pun shalat mengikuti beliau dalam keadaan berdiri. Beliau memberi isyarat agar mereka duduk, maka mereka pun duduk. Setelah selesai, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Jika ia rukuk, maka rukuklah kalian; jika ia bangkit, maka bangkitlah kalian; dan jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk.’” (HR. Bukhari, no. 647 dan Muslim, no. 623) Lebih Utama: Imam yang Tidak Mampu Berdiri Hendaknya Menunjuk PenggantiMeskipun sah, yang lebih utama adalah tidak menjadikan imam yang tidak mampu berdiri, jika masih ada orang lain yang bisa menggantikannya. Hal ini untuk menghindari perbedaan pendapat di kalangan ulama yang berpendapat bahwa shalat di belakang imam duduk tidak sah, serta untuk menyempurnakan bentuk shalat berjamaah.Imam an-Nawawi rahimahullāh berkata:“Imam asy-Syafi’i dan para sahabatnya berkata: Disunnahkan bagi imam yang tidak mampu berdiri untuk menunjuk orang lain menggantikan dirinya menjadi imam yang shalat dalam keadaan berdiri, sebagaimana Rasulullah ﷺ pernah menunjuk pengganti. Hal ini juga untuk keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) orang yang tidak membolehkan makmum bermakmum kepada imam yang duduk, karena posisi berdiri lebih sempurna dan lebih mendekati kesempurnaan bentuk shalat.” (Syarh al-Muhadzdzab, 4/162)Begitu pula Ibnu Qudamah rahimahullāh berkata: “Disunnahkan bagi imam yang sakit dan tidak mampu berdiri untuk menunjuk pengganti, karena para ulama berbeda pendapat tentang sahnya shalat di belakang imam yang duduk. Maka dengan menunjuk pengganti, ia keluar dari perbedaan tersebut. Selain itu, shalat dalam keadaan berdiri lebih sempurna, maka disunnahkan imam yang sempurna shalatnya menjadi imam.” (Al-Mughni, 2/28) Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk dari AwalJika kita mengatakan bahwa shalat di belakang imam yang duduk adalah sah, maka apabila imam memulai shalatnya sejak awal dalam keadaan duduk, makmum wajib mengikuti shalat sambil duduk pula.Ini adalah pendapat mazhab Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Pendapat Mazhab Zhahiriyah dan Riwayat dari AhmadIbnu Hazm rahimahullah berkata:“Abu Sulaiman dan para sahabat kami berpendapat: Seorang yang sakit boleh menjadi imam dalam keadaan duduk bagi orang-orang yang sehat, namun para makmum tidak boleh shalat di belakangnya kecuali juga dalam keadaan duduk, dan ini harus dilakukan.” Ali (yakni Ibnu Hazm) berkata: ‘Kami berpegang dengan pendapat ini.’ (Al-Muhalla, 2/104) Dalil-Dalil MerekaDalilnya adalah hadis dari Jabir radhiyallāhu ‘anhu:عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ، وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ تَكْبِيرَهُ، فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا، فَرَآنَا قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا، فَصَلَّيْنَا بِصَلَاتِهِ قُعُودًا، فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ: إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ، يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ، فَلَا تَفْعَلُوا، ائْتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا.“Rasulullah ﷺ pernah sakit. Kami pun shalat di belakang beliau dalam keadaan beliau duduk, sedangkan Abu Bakar mengumandangkan takbir agar didengar orang banyak. Rasulullah ﷺ menoleh kepada kami dan melihat kami berdiri, lalu memberi isyarat agar kami duduk. Maka kami pun duduk dan shalat mengikuti beliau dalam keadaan duduk. Setelah selesai, beliau bersabda: ‘Tadi hampir saja kalian melakukan seperti yang dilakukan orang Persia dan Romawi; mereka berdiri di hadapan raja-raja mereka yang sedang duduk. Janganlah kalian berbuat demikian! Ikutilah imam kalian. Jika ia shalat berdiri, maka shalatlah kalian berdiri; dan jika ia shalat duduk, maka shalatlah kalian duduk.’” (HR. Muslim, no. 624)Hadis lain yang senada:Dari Anas radhiyallāhu ‘anhu:وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ“Jika imam shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim, no. 622)Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ“Apabila imam shalat dalam keadaan berdiri, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan berdiri; dan apabila ia shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim, no. 628) Penegasan Syaikh Ibnu ‘UtsaiminSyaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Asal dari perintah adalah wajib, terlebih lagi Nabi ﷺ menjelaskan sebabnya di awal hadis dengan sabdanya: ‘Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti.’Kedua, ketika Rasulullah ﷺ pernah shalat bersama para sahabat dalam keadaan tidak mampu berdiri, dan para sahabat tetap berdiri, beliau memberi isyarat agar mereka duduk. Isyarat itu dilakukan di tengah-tengah shalat, menunjukkan bahwa perintah duduk adalah wajib.Maka pendapat yang benar adalah: jika imam shalat dalam keadaan duduk, maka makmum wajib shalat dalam keadaan duduk pula. Jika mereka tetap berdiri, maka shalat mereka batal.” (Asy-Syarh al-Mumti’, 4/230) Riwayat Kedua dari Imam Ahmad: Duduk Tidak Wajib, Hanya DisunnahkanRiwayat kedua dari Imam Ahmad — dan ini menjadi pendapat resmi mazhab Hanbali — menyatakan bahwa duduk di belakang imam yang duduk hanya disunnahkan, tidak wajib. Jika makmum tetap berdiri, maka shalatnya tetap sah.Dalam Al-Insaf (2/261) disebutkan: “(Dan mereka shalat di belakangnya sambil duduk) — ini adalah mazhab tanpa keraguan, dan dipegang oleh mayoritas ulama Hanbali.(Jika mereka tetap berdiri, maka shalatnya sah menurut salah satu pendapat) — yakni, berdasarkan pandangan yang mengatakan mereka shalat sambil duduk. Ada dua riwayat: salah satunya menyatakan sah, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih masyhur dalam mazhab.” (Al-Insaf, 2/261) Pendapat Ketiga: Wajib Berdiri di Belakang Imam yang DudukPendapat ketiga menyatakan bahwa makmum wajib tetap berdiri di belakang imam yang duduk, dan jika makmum ikut duduk padahal mampu berdiri, shalatnya tidak sah.Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah.Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Mazhab kami (Syafi’iyah) berpendapat bahwa shalat makmum yang berdiri di belakang imam yang duduk adalah sah, dan mereka tidak boleh shalat sambil duduk. Pendapat ini juga dipegang oleh Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, dan sebagian Malikiyah. Sedangkan Al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Mundzir berpendapat: shalat mereka di belakang imam duduk boleh dengan duduk, tidak boleh dengan berdiri. Adapun Imam Malik dalam satu riwayat serta sebagian muridnya berpendapat: tidak sah shalat di belakang imam yang duduk, baik duduk maupun berdiri.” (Syarh al-Muhadzdzab, 4/162)Imam Nawawi menambahkan penjelasan dengan mengutip hadis dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā: Bahwa Rasulullah ﷺ dalam sakit yang menyebabkan beliau wafat memerintahkan Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu untuk mengimami shalat.Ketika Abu Bakar telah memulai shalat, Rasulullah ﷺ merasa agak ringan, lalu keluar dengan dituntun oleh dua orang sahabat hingga kakinya terseret di tanah. Beliau duduk di sebelah kiri Abu Bakar, dan Nabi ﷺ menjadi imam dalam keadaan duduk, sedangkan Abu Bakar berdiri mengikuti beliau, dan para sahabat mengikuti Abu Bakar. (HR. al-Bukhari dan Muslim)Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tetap menjadi imam meskipun duduk, dan Abu Bakar berdiri di sampingnya. Cara Mengompromikan Dalil-Dalil yang Tampak BerbedaPara ulama yang mewajibkan duduk di belakang imam duduk — dan pendapat ini lebih kuat — menjelaskan hadis Abu Bakar di atas dengan catatan bahwa Abu Bakar memulai shalat dalam keadaan berdiri.Maka, saat Nabi ﷺ datang di tengah-tengah shalat dan duduk, para makmum tetap berdiri karena mereka mengikuti posisi awal Abu Bakar.Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Kedua hadis ini bisa dikompromikan dengan mudah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad. Para sahabat tetap berdiri karena Abu Bakar memulai shalat dengan berdiri.Maka kita katakan: jika seorang imam di tengah shalat tiba-tiba sakit dan tidak mampu berdiri lalu meneruskan shalatnya dalam keadaan duduk, maka makmum tetap menyempurnakan shalat dalam keadaan berdiri.Namun, jika imam sejak awal shalat sudah duduk, maka makmum pun harus duduk. Dengan demikian, kedua hadis dapat diamalkan sekaligus tanpa saling bertentangan.” (Asy-Syarh al-Mumti’, 4/233) KesimpulanJika imam memulai shalat sejak awal dalam keadaan duduk, maka makmum wajib ikut duduk — ini pendapat yang lebih kuat.Jika imam memulai shalat dalam keadaan berdiri, lalu di tengah shalat terpaksa duduk karena uzur, maka makmum tetap berdiri dan tidak perlu ikut duduk.Pendapat ini menggabungkan seluruh dalil, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Referensi: Islamqa.Com —- 20 Oktober 2025, perjalanan DS – JIHPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsaturan shalat berjamaah cara shalat berjamaah dalil shalat berjamaah shalat berjamaah

Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk

Dalam shalat berjamaah, imam dijadikan untuk diikuti dalam seluruh gerakannya. Namun, bagaimana jika imam tidak mampu berdiri dan harus shalat dalam keadaan duduk? Apakah makmum tetap berdiri atau wajib ikut duduk bersamanya? Artikel ini membahas perbedaan pendapat ulama dan penjelasan hadis-hadis sahih terkait hukum shalat di belakang imam yang shalat duduk.  Daftar Isi tutup 1. Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk 2. Lebih Utama: Imam yang Tidak Mampu Berdiri Hendaknya Menunjuk Pengganti 3. Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk dari Awal 4. Pendapat Mazhab Zhahiriyah dan Riwayat dari Ahmad 5. Dalil-Dalil Mereka 6. Penegasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 7. Riwayat Kedua dari Imam Ahmad: Duduk Tidak Wajib, Hanya Disunnahkan 8. Pendapat Ketiga: Wajib Berdiri di Belakang Imam yang Duduk 9. Cara Mengompromikan Dalil-Dalil yang Tampak Berbeda 10. Kesimpulan  Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat DudukShalat berjamaah di belakang imam yang shalat dalam keadaan duduk hukumnya sah, menurut pendapat yang paling kuat di antara para ulama, karena hal tersebut telah ditetapkan dalam sunnah Nabi ﷺ.Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata:اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ يَعُودُونَهُ، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا، فَصَلُّوا بِصَلَاتِهِ قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ اجْلِسُوا، فَجَلَسُوا، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا“Rasulullah ﷺ pernah sakit. Lalu beberapa sahabat datang menjenguk beliau. Ketika itu Rasulullah ﷺ shalat dalam keadaan duduk, maka para sahabat pun shalat mengikuti beliau dalam keadaan berdiri. Beliau memberi isyarat agar mereka duduk, maka mereka pun duduk. Setelah selesai, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Jika ia rukuk, maka rukuklah kalian; jika ia bangkit, maka bangkitlah kalian; dan jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk.’” (HR. Bukhari, no. 647 dan Muslim, no. 623) Lebih Utama: Imam yang Tidak Mampu Berdiri Hendaknya Menunjuk PenggantiMeskipun sah, yang lebih utama adalah tidak menjadikan imam yang tidak mampu berdiri, jika masih ada orang lain yang bisa menggantikannya. Hal ini untuk menghindari perbedaan pendapat di kalangan ulama yang berpendapat bahwa shalat di belakang imam duduk tidak sah, serta untuk menyempurnakan bentuk shalat berjamaah.Imam an-Nawawi rahimahullāh berkata:“Imam asy-Syafi’i dan para sahabatnya berkata: Disunnahkan bagi imam yang tidak mampu berdiri untuk menunjuk orang lain menggantikan dirinya menjadi imam yang shalat dalam keadaan berdiri, sebagaimana Rasulullah ﷺ pernah menunjuk pengganti. Hal ini juga untuk keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) orang yang tidak membolehkan makmum bermakmum kepada imam yang duduk, karena posisi berdiri lebih sempurna dan lebih mendekati kesempurnaan bentuk shalat.” (Syarh al-Muhadzdzab, 4/162)Begitu pula Ibnu Qudamah rahimahullāh berkata: “Disunnahkan bagi imam yang sakit dan tidak mampu berdiri untuk menunjuk pengganti, karena para ulama berbeda pendapat tentang sahnya shalat di belakang imam yang duduk. Maka dengan menunjuk pengganti, ia keluar dari perbedaan tersebut. Selain itu, shalat dalam keadaan berdiri lebih sempurna, maka disunnahkan imam yang sempurna shalatnya menjadi imam.” (Al-Mughni, 2/28) Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk dari AwalJika kita mengatakan bahwa shalat di belakang imam yang duduk adalah sah, maka apabila imam memulai shalatnya sejak awal dalam keadaan duduk, makmum wajib mengikuti shalat sambil duduk pula.Ini adalah pendapat mazhab Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Pendapat Mazhab Zhahiriyah dan Riwayat dari AhmadIbnu Hazm rahimahullah berkata:“Abu Sulaiman dan para sahabat kami berpendapat: Seorang yang sakit boleh menjadi imam dalam keadaan duduk bagi orang-orang yang sehat, namun para makmum tidak boleh shalat di belakangnya kecuali juga dalam keadaan duduk, dan ini harus dilakukan.” Ali (yakni Ibnu Hazm) berkata: ‘Kami berpegang dengan pendapat ini.’ (Al-Muhalla, 2/104) Dalil-Dalil MerekaDalilnya adalah hadis dari Jabir radhiyallāhu ‘anhu:عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ، وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ تَكْبِيرَهُ، فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا، فَرَآنَا قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا، فَصَلَّيْنَا بِصَلَاتِهِ قُعُودًا، فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ: إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ، يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ، فَلَا تَفْعَلُوا، ائْتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا.“Rasulullah ﷺ pernah sakit. Kami pun shalat di belakang beliau dalam keadaan beliau duduk, sedangkan Abu Bakar mengumandangkan takbir agar didengar orang banyak. Rasulullah ﷺ menoleh kepada kami dan melihat kami berdiri, lalu memberi isyarat agar kami duduk. Maka kami pun duduk dan shalat mengikuti beliau dalam keadaan duduk. Setelah selesai, beliau bersabda: ‘Tadi hampir saja kalian melakukan seperti yang dilakukan orang Persia dan Romawi; mereka berdiri di hadapan raja-raja mereka yang sedang duduk. Janganlah kalian berbuat demikian! Ikutilah imam kalian. Jika ia shalat berdiri, maka shalatlah kalian berdiri; dan jika ia shalat duduk, maka shalatlah kalian duduk.’” (HR. Muslim, no. 624)Hadis lain yang senada:Dari Anas radhiyallāhu ‘anhu:وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ“Jika imam shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim, no. 622)Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ“Apabila imam shalat dalam keadaan berdiri, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan berdiri; dan apabila ia shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim, no. 628) Penegasan Syaikh Ibnu ‘UtsaiminSyaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Asal dari perintah adalah wajib, terlebih lagi Nabi ﷺ menjelaskan sebabnya di awal hadis dengan sabdanya: ‘Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti.’Kedua, ketika Rasulullah ﷺ pernah shalat bersama para sahabat dalam keadaan tidak mampu berdiri, dan para sahabat tetap berdiri, beliau memberi isyarat agar mereka duduk. Isyarat itu dilakukan di tengah-tengah shalat, menunjukkan bahwa perintah duduk adalah wajib.Maka pendapat yang benar adalah: jika imam shalat dalam keadaan duduk, maka makmum wajib shalat dalam keadaan duduk pula. Jika mereka tetap berdiri, maka shalat mereka batal.” (Asy-Syarh al-Mumti’, 4/230) Riwayat Kedua dari Imam Ahmad: Duduk Tidak Wajib, Hanya DisunnahkanRiwayat kedua dari Imam Ahmad — dan ini menjadi pendapat resmi mazhab Hanbali — menyatakan bahwa duduk di belakang imam yang duduk hanya disunnahkan, tidak wajib. Jika makmum tetap berdiri, maka shalatnya tetap sah.Dalam Al-Insaf (2/261) disebutkan: “(Dan mereka shalat di belakangnya sambil duduk) — ini adalah mazhab tanpa keraguan, dan dipegang oleh mayoritas ulama Hanbali.(Jika mereka tetap berdiri, maka shalatnya sah menurut salah satu pendapat) — yakni, berdasarkan pandangan yang mengatakan mereka shalat sambil duduk. Ada dua riwayat: salah satunya menyatakan sah, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih masyhur dalam mazhab.” (Al-Insaf, 2/261) Pendapat Ketiga: Wajib Berdiri di Belakang Imam yang DudukPendapat ketiga menyatakan bahwa makmum wajib tetap berdiri di belakang imam yang duduk, dan jika makmum ikut duduk padahal mampu berdiri, shalatnya tidak sah.Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah.Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Mazhab kami (Syafi’iyah) berpendapat bahwa shalat makmum yang berdiri di belakang imam yang duduk adalah sah, dan mereka tidak boleh shalat sambil duduk. Pendapat ini juga dipegang oleh Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, dan sebagian Malikiyah. Sedangkan Al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Mundzir berpendapat: shalat mereka di belakang imam duduk boleh dengan duduk, tidak boleh dengan berdiri. Adapun Imam Malik dalam satu riwayat serta sebagian muridnya berpendapat: tidak sah shalat di belakang imam yang duduk, baik duduk maupun berdiri.” (Syarh al-Muhadzdzab, 4/162)Imam Nawawi menambahkan penjelasan dengan mengutip hadis dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā: Bahwa Rasulullah ﷺ dalam sakit yang menyebabkan beliau wafat memerintahkan Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu untuk mengimami shalat.Ketika Abu Bakar telah memulai shalat, Rasulullah ﷺ merasa agak ringan, lalu keluar dengan dituntun oleh dua orang sahabat hingga kakinya terseret di tanah. Beliau duduk di sebelah kiri Abu Bakar, dan Nabi ﷺ menjadi imam dalam keadaan duduk, sedangkan Abu Bakar berdiri mengikuti beliau, dan para sahabat mengikuti Abu Bakar. (HR. al-Bukhari dan Muslim)Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tetap menjadi imam meskipun duduk, dan Abu Bakar berdiri di sampingnya. Cara Mengompromikan Dalil-Dalil yang Tampak BerbedaPara ulama yang mewajibkan duduk di belakang imam duduk — dan pendapat ini lebih kuat — menjelaskan hadis Abu Bakar di atas dengan catatan bahwa Abu Bakar memulai shalat dalam keadaan berdiri.Maka, saat Nabi ﷺ datang di tengah-tengah shalat dan duduk, para makmum tetap berdiri karena mereka mengikuti posisi awal Abu Bakar.Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Kedua hadis ini bisa dikompromikan dengan mudah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad. Para sahabat tetap berdiri karena Abu Bakar memulai shalat dengan berdiri.Maka kita katakan: jika seorang imam di tengah shalat tiba-tiba sakit dan tidak mampu berdiri lalu meneruskan shalatnya dalam keadaan duduk, maka makmum tetap menyempurnakan shalat dalam keadaan berdiri.Namun, jika imam sejak awal shalat sudah duduk, maka makmum pun harus duduk. Dengan demikian, kedua hadis dapat diamalkan sekaligus tanpa saling bertentangan.” (Asy-Syarh al-Mumti’, 4/233) KesimpulanJika imam memulai shalat sejak awal dalam keadaan duduk, maka makmum wajib ikut duduk — ini pendapat yang lebih kuat.Jika imam memulai shalat dalam keadaan berdiri, lalu di tengah shalat terpaksa duduk karena uzur, maka makmum tetap berdiri dan tidak perlu ikut duduk.Pendapat ini menggabungkan seluruh dalil, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Referensi: Islamqa.Com —- 20 Oktober 2025, perjalanan DS – JIHPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsaturan shalat berjamaah cara shalat berjamaah dalil shalat berjamaah shalat berjamaah
Dalam shalat berjamaah, imam dijadikan untuk diikuti dalam seluruh gerakannya. Namun, bagaimana jika imam tidak mampu berdiri dan harus shalat dalam keadaan duduk? Apakah makmum tetap berdiri atau wajib ikut duduk bersamanya? Artikel ini membahas perbedaan pendapat ulama dan penjelasan hadis-hadis sahih terkait hukum shalat di belakang imam yang shalat duduk.  Daftar Isi tutup 1. Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk 2. Lebih Utama: Imam yang Tidak Mampu Berdiri Hendaknya Menunjuk Pengganti 3. Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk dari Awal 4. Pendapat Mazhab Zhahiriyah dan Riwayat dari Ahmad 5. Dalil-Dalil Mereka 6. Penegasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 7. Riwayat Kedua dari Imam Ahmad: Duduk Tidak Wajib, Hanya Disunnahkan 8. Pendapat Ketiga: Wajib Berdiri di Belakang Imam yang Duduk 9. Cara Mengompromikan Dalil-Dalil yang Tampak Berbeda 10. Kesimpulan  Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat DudukShalat berjamaah di belakang imam yang shalat dalam keadaan duduk hukumnya sah, menurut pendapat yang paling kuat di antara para ulama, karena hal tersebut telah ditetapkan dalam sunnah Nabi ﷺ.Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata:اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ يَعُودُونَهُ، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا، فَصَلُّوا بِصَلَاتِهِ قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ اجْلِسُوا، فَجَلَسُوا، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا“Rasulullah ﷺ pernah sakit. Lalu beberapa sahabat datang menjenguk beliau. Ketika itu Rasulullah ﷺ shalat dalam keadaan duduk, maka para sahabat pun shalat mengikuti beliau dalam keadaan berdiri. Beliau memberi isyarat agar mereka duduk, maka mereka pun duduk. Setelah selesai, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Jika ia rukuk, maka rukuklah kalian; jika ia bangkit, maka bangkitlah kalian; dan jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk.’” (HR. Bukhari, no. 647 dan Muslim, no. 623) Lebih Utama: Imam yang Tidak Mampu Berdiri Hendaknya Menunjuk PenggantiMeskipun sah, yang lebih utama adalah tidak menjadikan imam yang tidak mampu berdiri, jika masih ada orang lain yang bisa menggantikannya. Hal ini untuk menghindari perbedaan pendapat di kalangan ulama yang berpendapat bahwa shalat di belakang imam duduk tidak sah, serta untuk menyempurnakan bentuk shalat berjamaah.Imam an-Nawawi rahimahullāh berkata:“Imam asy-Syafi’i dan para sahabatnya berkata: Disunnahkan bagi imam yang tidak mampu berdiri untuk menunjuk orang lain menggantikan dirinya menjadi imam yang shalat dalam keadaan berdiri, sebagaimana Rasulullah ﷺ pernah menunjuk pengganti. Hal ini juga untuk keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) orang yang tidak membolehkan makmum bermakmum kepada imam yang duduk, karena posisi berdiri lebih sempurna dan lebih mendekati kesempurnaan bentuk shalat.” (Syarh al-Muhadzdzab, 4/162)Begitu pula Ibnu Qudamah rahimahullāh berkata: “Disunnahkan bagi imam yang sakit dan tidak mampu berdiri untuk menunjuk pengganti, karena para ulama berbeda pendapat tentang sahnya shalat di belakang imam yang duduk. Maka dengan menunjuk pengganti, ia keluar dari perbedaan tersebut. Selain itu, shalat dalam keadaan berdiri lebih sempurna, maka disunnahkan imam yang sempurna shalatnya menjadi imam.” (Al-Mughni, 2/28) Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk dari AwalJika kita mengatakan bahwa shalat di belakang imam yang duduk adalah sah, maka apabila imam memulai shalatnya sejak awal dalam keadaan duduk, makmum wajib mengikuti shalat sambil duduk pula.Ini adalah pendapat mazhab Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Pendapat Mazhab Zhahiriyah dan Riwayat dari AhmadIbnu Hazm rahimahullah berkata:“Abu Sulaiman dan para sahabat kami berpendapat: Seorang yang sakit boleh menjadi imam dalam keadaan duduk bagi orang-orang yang sehat, namun para makmum tidak boleh shalat di belakangnya kecuali juga dalam keadaan duduk, dan ini harus dilakukan.” Ali (yakni Ibnu Hazm) berkata: ‘Kami berpegang dengan pendapat ini.’ (Al-Muhalla, 2/104) Dalil-Dalil MerekaDalilnya adalah hadis dari Jabir radhiyallāhu ‘anhu:عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ، وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ تَكْبِيرَهُ، فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا، فَرَآنَا قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا، فَصَلَّيْنَا بِصَلَاتِهِ قُعُودًا، فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ: إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ، يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ، فَلَا تَفْعَلُوا، ائْتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا.“Rasulullah ﷺ pernah sakit. Kami pun shalat di belakang beliau dalam keadaan beliau duduk, sedangkan Abu Bakar mengumandangkan takbir agar didengar orang banyak. Rasulullah ﷺ menoleh kepada kami dan melihat kami berdiri, lalu memberi isyarat agar kami duduk. Maka kami pun duduk dan shalat mengikuti beliau dalam keadaan duduk. Setelah selesai, beliau bersabda: ‘Tadi hampir saja kalian melakukan seperti yang dilakukan orang Persia dan Romawi; mereka berdiri di hadapan raja-raja mereka yang sedang duduk. Janganlah kalian berbuat demikian! Ikutilah imam kalian. Jika ia shalat berdiri, maka shalatlah kalian berdiri; dan jika ia shalat duduk, maka shalatlah kalian duduk.’” (HR. Muslim, no. 624)Hadis lain yang senada:Dari Anas radhiyallāhu ‘anhu:وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ“Jika imam shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim, no. 622)Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ“Apabila imam shalat dalam keadaan berdiri, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan berdiri; dan apabila ia shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim, no. 628) Penegasan Syaikh Ibnu ‘UtsaiminSyaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Asal dari perintah adalah wajib, terlebih lagi Nabi ﷺ menjelaskan sebabnya di awal hadis dengan sabdanya: ‘Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti.’Kedua, ketika Rasulullah ﷺ pernah shalat bersama para sahabat dalam keadaan tidak mampu berdiri, dan para sahabat tetap berdiri, beliau memberi isyarat agar mereka duduk. Isyarat itu dilakukan di tengah-tengah shalat, menunjukkan bahwa perintah duduk adalah wajib.Maka pendapat yang benar adalah: jika imam shalat dalam keadaan duduk, maka makmum wajib shalat dalam keadaan duduk pula. Jika mereka tetap berdiri, maka shalat mereka batal.” (Asy-Syarh al-Mumti’, 4/230) Riwayat Kedua dari Imam Ahmad: Duduk Tidak Wajib, Hanya DisunnahkanRiwayat kedua dari Imam Ahmad — dan ini menjadi pendapat resmi mazhab Hanbali — menyatakan bahwa duduk di belakang imam yang duduk hanya disunnahkan, tidak wajib. Jika makmum tetap berdiri, maka shalatnya tetap sah.Dalam Al-Insaf (2/261) disebutkan: “(Dan mereka shalat di belakangnya sambil duduk) — ini adalah mazhab tanpa keraguan, dan dipegang oleh mayoritas ulama Hanbali.(Jika mereka tetap berdiri, maka shalatnya sah menurut salah satu pendapat) — yakni, berdasarkan pandangan yang mengatakan mereka shalat sambil duduk. Ada dua riwayat: salah satunya menyatakan sah, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih masyhur dalam mazhab.” (Al-Insaf, 2/261) Pendapat Ketiga: Wajib Berdiri di Belakang Imam yang DudukPendapat ketiga menyatakan bahwa makmum wajib tetap berdiri di belakang imam yang duduk, dan jika makmum ikut duduk padahal mampu berdiri, shalatnya tidak sah.Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah.Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Mazhab kami (Syafi’iyah) berpendapat bahwa shalat makmum yang berdiri di belakang imam yang duduk adalah sah, dan mereka tidak boleh shalat sambil duduk. Pendapat ini juga dipegang oleh Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, dan sebagian Malikiyah. Sedangkan Al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Mundzir berpendapat: shalat mereka di belakang imam duduk boleh dengan duduk, tidak boleh dengan berdiri. Adapun Imam Malik dalam satu riwayat serta sebagian muridnya berpendapat: tidak sah shalat di belakang imam yang duduk, baik duduk maupun berdiri.” (Syarh al-Muhadzdzab, 4/162)Imam Nawawi menambahkan penjelasan dengan mengutip hadis dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā: Bahwa Rasulullah ﷺ dalam sakit yang menyebabkan beliau wafat memerintahkan Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu untuk mengimami shalat.Ketika Abu Bakar telah memulai shalat, Rasulullah ﷺ merasa agak ringan, lalu keluar dengan dituntun oleh dua orang sahabat hingga kakinya terseret di tanah. Beliau duduk di sebelah kiri Abu Bakar, dan Nabi ﷺ menjadi imam dalam keadaan duduk, sedangkan Abu Bakar berdiri mengikuti beliau, dan para sahabat mengikuti Abu Bakar. (HR. al-Bukhari dan Muslim)Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tetap menjadi imam meskipun duduk, dan Abu Bakar berdiri di sampingnya. Cara Mengompromikan Dalil-Dalil yang Tampak BerbedaPara ulama yang mewajibkan duduk di belakang imam duduk — dan pendapat ini lebih kuat — menjelaskan hadis Abu Bakar di atas dengan catatan bahwa Abu Bakar memulai shalat dalam keadaan berdiri.Maka, saat Nabi ﷺ datang di tengah-tengah shalat dan duduk, para makmum tetap berdiri karena mereka mengikuti posisi awal Abu Bakar.Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Kedua hadis ini bisa dikompromikan dengan mudah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad. Para sahabat tetap berdiri karena Abu Bakar memulai shalat dengan berdiri.Maka kita katakan: jika seorang imam di tengah shalat tiba-tiba sakit dan tidak mampu berdiri lalu meneruskan shalatnya dalam keadaan duduk, maka makmum tetap menyempurnakan shalat dalam keadaan berdiri.Namun, jika imam sejak awal shalat sudah duduk, maka makmum pun harus duduk. Dengan demikian, kedua hadis dapat diamalkan sekaligus tanpa saling bertentangan.” (Asy-Syarh al-Mumti’, 4/233) KesimpulanJika imam memulai shalat sejak awal dalam keadaan duduk, maka makmum wajib ikut duduk — ini pendapat yang lebih kuat.Jika imam memulai shalat dalam keadaan berdiri, lalu di tengah shalat terpaksa duduk karena uzur, maka makmum tetap berdiri dan tidak perlu ikut duduk.Pendapat ini menggabungkan seluruh dalil, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Referensi: Islamqa.Com —- 20 Oktober 2025, perjalanan DS – JIHPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsaturan shalat berjamaah cara shalat berjamaah dalil shalat berjamaah shalat berjamaah


Dalam shalat berjamaah, imam dijadikan untuk diikuti dalam seluruh gerakannya. Namun, bagaimana jika imam tidak mampu berdiri dan harus shalat dalam keadaan duduk? Apakah makmum tetap berdiri atau wajib ikut duduk bersamanya? Artikel ini membahas perbedaan pendapat ulama dan penjelasan hadis-hadis sahih terkait hukum shalat di belakang imam yang shalat duduk.  Daftar Isi tutup 1. Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk 2. Lebih Utama: Imam yang Tidak Mampu Berdiri Hendaknya Menunjuk Pengganti 3. Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk dari Awal 4. Pendapat Mazhab Zhahiriyah dan Riwayat dari Ahmad 5. Dalil-Dalil Mereka 6. Penegasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 7. Riwayat Kedua dari Imam Ahmad: Duduk Tidak Wajib, Hanya Disunnahkan 8. Pendapat Ketiga: Wajib Berdiri di Belakang Imam yang Duduk 9. Cara Mengompromikan Dalil-Dalil yang Tampak Berbeda 10. Kesimpulan  Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat DudukShalat berjamaah di belakang imam yang shalat dalam keadaan duduk hukumnya sah, menurut pendapat yang paling kuat di antara para ulama, karena hal tersebut telah ditetapkan dalam sunnah Nabi ﷺ.Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā, ia berkata:اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ يَعُودُونَهُ، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا، فَصَلُّوا بِصَلَاتِهِ قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ اجْلِسُوا، فَجَلَسُوا، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا“Rasulullah ﷺ pernah sakit. Lalu beberapa sahabat datang menjenguk beliau. Ketika itu Rasulullah ﷺ shalat dalam keadaan duduk, maka para sahabat pun shalat mengikuti beliau dalam keadaan berdiri. Beliau memberi isyarat agar mereka duduk, maka mereka pun duduk. Setelah selesai, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Jika ia rukuk, maka rukuklah kalian; jika ia bangkit, maka bangkitlah kalian; dan jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk.’” (HR. Bukhari, no. 647 dan Muslim, no. 623) Lebih Utama: Imam yang Tidak Mampu Berdiri Hendaknya Menunjuk PenggantiMeskipun sah, yang lebih utama adalah tidak menjadikan imam yang tidak mampu berdiri, jika masih ada orang lain yang bisa menggantikannya. Hal ini untuk menghindari perbedaan pendapat di kalangan ulama yang berpendapat bahwa shalat di belakang imam duduk tidak sah, serta untuk menyempurnakan bentuk shalat berjamaah.Imam an-Nawawi rahimahullāh berkata:“Imam asy-Syafi’i dan para sahabatnya berkata: Disunnahkan bagi imam yang tidak mampu berdiri untuk menunjuk orang lain menggantikan dirinya menjadi imam yang shalat dalam keadaan berdiri, sebagaimana Rasulullah ﷺ pernah menunjuk pengganti. Hal ini juga untuk keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) orang yang tidak membolehkan makmum bermakmum kepada imam yang duduk, karena posisi berdiri lebih sempurna dan lebih mendekati kesempurnaan bentuk shalat.” (Syarh al-Muhadzdzab, 4/162)Begitu pula Ibnu Qudamah rahimahullāh berkata: “Disunnahkan bagi imam yang sakit dan tidak mampu berdiri untuk menunjuk pengganti, karena para ulama berbeda pendapat tentang sahnya shalat di belakang imam yang duduk. Maka dengan menunjuk pengganti, ia keluar dari perbedaan tersebut. Selain itu, shalat dalam keadaan berdiri lebih sempurna, maka disunnahkan imam yang sempurna shalatnya menjadi imam.” (Al-Mughni, 2/28) Hukum Shalat di Belakang Imam yang Shalat Duduk dari AwalJika kita mengatakan bahwa shalat di belakang imam yang duduk adalah sah, maka apabila imam memulai shalatnya sejak awal dalam keadaan duduk, makmum wajib mengikuti shalat sambil duduk pula.Ini adalah pendapat mazhab Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Pendapat Mazhab Zhahiriyah dan Riwayat dari AhmadIbnu Hazm rahimahullah berkata:“Abu Sulaiman dan para sahabat kami berpendapat: Seorang yang sakit boleh menjadi imam dalam keadaan duduk bagi orang-orang yang sehat, namun para makmum tidak boleh shalat di belakangnya kecuali juga dalam keadaan duduk, dan ini harus dilakukan.” Ali (yakni Ibnu Hazm) berkata: ‘Kami berpegang dengan pendapat ini.’ (Al-Muhalla, 2/104) Dalil-Dalil MerekaDalilnya adalah hadis dari Jabir radhiyallāhu ‘anhu:عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ، وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ تَكْبِيرَهُ، فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا، فَرَآنَا قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا، فَصَلَّيْنَا بِصَلَاتِهِ قُعُودًا، فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ: إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ، يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ، فَلَا تَفْعَلُوا، ائْتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا.“Rasulullah ﷺ pernah sakit. Kami pun shalat di belakang beliau dalam keadaan beliau duduk, sedangkan Abu Bakar mengumandangkan takbir agar didengar orang banyak. Rasulullah ﷺ menoleh kepada kami dan melihat kami berdiri, lalu memberi isyarat agar kami duduk. Maka kami pun duduk dan shalat mengikuti beliau dalam keadaan duduk. Setelah selesai, beliau bersabda: ‘Tadi hampir saja kalian melakukan seperti yang dilakukan orang Persia dan Romawi; mereka berdiri di hadapan raja-raja mereka yang sedang duduk. Janganlah kalian berbuat demikian! Ikutilah imam kalian. Jika ia shalat berdiri, maka shalatlah kalian berdiri; dan jika ia shalat duduk, maka shalatlah kalian duduk.’” (HR. Muslim, no. 624)Hadis lain yang senada:Dari Anas radhiyallāhu ‘anhu:وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ“Jika imam shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim, no. 622)Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu:وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ“Apabila imam shalat dalam keadaan berdiri, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan berdiri; dan apabila ia shalat dalam keadaan duduk, maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim, no. 628) Penegasan Syaikh Ibnu ‘UtsaiminSyaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Asal dari perintah adalah wajib, terlebih lagi Nabi ﷺ menjelaskan sebabnya di awal hadis dengan sabdanya: ‘Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti.’Kedua, ketika Rasulullah ﷺ pernah shalat bersama para sahabat dalam keadaan tidak mampu berdiri, dan para sahabat tetap berdiri, beliau memberi isyarat agar mereka duduk. Isyarat itu dilakukan di tengah-tengah shalat, menunjukkan bahwa perintah duduk adalah wajib.Maka pendapat yang benar adalah: jika imam shalat dalam keadaan duduk, maka makmum wajib shalat dalam keadaan duduk pula. Jika mereka tetap berdiri, maka shalat mereka batal.” (Asy-Syarh al-Mumti’, 4/230) Riwayat Kedua dari Imam Ahmad: Duduk Tidak Wajib, Hanya DisunnahkanRiwayat kedua dari Imam Ahmad — dan ini menjadi pendapat resmi mazhab Hanbali — menyatakan bahwa duduk di belakang imam yang duduk hanya disunnahkan, tidak wajib. Jika makmum tetap berdiri, maka shalatnya tetap sah.Dalam Al-Insaf (2/261) disebutkan: “(Dan mereka shalat di belakangnya sambil duduk) — ini adalah mazhab tanpa keraguan, dan dipegang oleh mayoritas ulama Hanbali.(Jika mereka tetap berdiri, maka shalatnya sah menurut salah satu pendapat) — yakni, berdasarkan pandangan yang mengatakan mereka shalat sambil duduk. Ada dua riwayat: salah satunya menyatakan sah, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih masyhur dalam mazhab.” (Al-Insaf, 2/261) Pendapat Ketiga: Wajib Berdiri di Belakang Imam yang DudukPendapat ketiga menyatakan bahwa makmum wajib tetap berdiri di belakang imam yang duduk, dan jika makmum ikut duduk padahal mampu berdiri, shalatnya tidak sah.Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah.Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Mazhab kami (Syafi’iyah) berpendapat bahwa shalat makmum yang berdiri di belakang imam yang duduk adalah sah, dan mereka tidak boleh shalat sambil duduk. Pendapat ini juga dipegang oleh Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, dan sebagian Malikiyah. Sedangkan Al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Mundzir berpendapat: shalat mereka di belakang imam duduk boleh dengan duduk, tidak boleh dengan berdiri. Adapun Imam Malik dalam satu riwayat serta sebagian muridnya berpendapat: tidak sah shalat di belakang imam yang duduk, baik duduk maupun berdiri.” (Syarh al-Muhadzdzab, 4/162)Imam Nawawi menambahkan penjelasan dengan mengutip hadis dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā: Bahwa Rasulullah ﷺ dalam sakit yang menyebabkan beliau wafat memerintahkan Abu Bakar radhiyallāhu ‘anhu untuk mengimami shalat.Ketika Abu Bakar telah memulai shalat, Rasulullah ﷺ merasa agak ringan, lalu keluar dengan dituntun oleh dua orang sahabat hingga kakinya terseret di tanah. Beliau duduk di sebelah kiri Abu Bakar, dan Nabi ﷺ menjadi imam dalam keadaan duduk, sedangkan Abu Bakar berdiri mengikuti beliau, dan para sahabat mengikuti Abu Bakar. (HR. al-Bukhari dan Muslim)Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tetap menjadi imam meskipun duduk, dan Abu Bakar berdiri di sampingnya. Cara Mengompromikan Dalil-Dalil yang Tampak BerbedaPara ulama yang mewajibkan duduk di belakang imam duduk — dan pendapat ini lebih kuat — menjelaskan hadis Abu Bakar di atas dengan catatan bahwa Abu Bakar memulai shalat dalam keadaan berdiri.Maka, saat Nabi ﷺ datang di tengah-tengah shalat dan duduk, para makmum tetap berdiri karena mereka mengikuti posisi awal Abu Bakar.Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Kedua hadis ini bisa dikompromikan dengan mudah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad. Para sahabat tetap berdiri karena Abu Bakar memulai shalat dengan berdiri.Maka kita katakan: jika seorang imam di tengah shalat tiba-tiba sakit dan tidak mampu berdiri lalu meneruskan shalatnya dalam keadaan duduk, maka makmum tetap menyempurnakan shalat dalam keadaan berdiri.Namun, jika imam sejak awal shalat sudah duduk, maka makmum pun harus duduk. Dengan demikian, kedua hadis dapat diamalkan sekaligus tanpa saling bertentangan.” (Asy-Syarh al-Mumti’, 4/233) KesimpulanJika imam memulai shalat sejak awal dalam keadaan duduk, maka makmum wajib ikut duduk — ini pendapat yang lebih kuat.Jika imam memulai shalat dalam keadaan berdiri, lalu di tengah shalat terpaksa duduk karena uzur, maka makmum tetap berdiri dan tidak perlu ikut duduk.Pendapat ini menggabungkan seluruh dalil, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Referensi: Islamqa.Com —- 20 Oktober 2025, perjalanan DS – JIHPenulis: Dr. Muhammad Abduh TuasikalArtikel Rumaysho.Com Tagsaturan shalat berjamaah cara shalat berjamaah dalil shalat berjamaah shalat berjamaah

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 8): Menjauh Sejenak dari Titik Perselisihan

Daftar Isi ToggleKisah perselisihan Abu Dzar dan MuawiyahKisah perselisihan Ali dan FatimahMeredam perselisihan dengan mengingat kekerabatanTujuan muslim berselisih adalah mencari kebenaranBeralih sejenak adalah cara mengelola emosiDiam bukan berarti memendam amarahMajelis ilmu dan seruan dakwah melekat dalam kehidupan kaum muslimin di era modern ini. Di masa lalu, masyarakat diikat dengan pertalian surau, masjid, ataupun juga majelis wirid. Koneksi masyarakat tersebut sempat bergeser di masa-masa setelahnya. Namun, di masa kini, kita mendapati bahwa majelis ilmu telah menjadi pertalian baru di komunitas muslim, baik pedesaan maupun perkotaan.Konsekuensi dari hal ini adalah interaksi di antara sesama teman majelis menjadi meningkat dan tidak terelakkan di setiap harinya. Minimal bertemu di setiap majelis pekanan, juga sebagian jadi terhubung dalam pekerjaan dan aktivitas hobi. Segala puji bagi Allah ﷻ yang telah menakdirkan ini semua.Akan tetapi, sebagaimana yang sudah dijabarkan sebelumnya, seringnya interaksi meningkatkan potensi perselisihan. Allah ﷻ berfirman,وَاِنَّ كَثِيۡرًا مِّنَ الۡخُلَـطَآءِ لَيَبۡغِىۡ بَعۡضُهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ اِلَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَقَلِيۡلٌ مَّا هُمۡ​ ؕ“Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.” (QS. Shad: 24)Ketika berselisih, tentu pertemuan akan canggung dan jadi tidak nyaman. Malah justru setelah berselisih, pertemuan akan memicu hal-hal yang di luar kendali. Seringnya, karena kezaliman manusia, kita menjadi tidak objektif dalam menilai orang yang menyelisihi kita. Sehingga semua tindak-tanduknya menjadi salah. Padahal, ketika hasrat amarah tidak lagi menguasai, hal-hal tersebut bukanlah bentuk kesalahan. Maka, salah satu praktik para salaf shalih saat berselisih adalah menjauhi hal-hal pemicu perselisihan. Tujuannya adalah agar meredam emosi, membiarkan pikiran jernih, lalu mengurainya dengan pikiran yang rasional. Berikut kami sebutkan beberapa contoh keteladanan tersebut.Kisah perselisihan Abu Dzar dan MuawiyahAl-Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Aku melewati daerah ar-Rabdzah, ternyata di sana ada Abu Dzar. Aku bertanya, ‘Apa yang membuatmu tinggal di tempat ini?’Ia menjawab, ‘Aku pernah berada di Syam, lalu aku dan Mu‘awiyah radhiyallahu ‘anhuma berbeda pendapat tentang ayat, (وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ)—“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak.” Mu‘awiyah berkata, ‘Ayat ini turun tentang Ahli Kitab.’ Aku berkata, ‘Ayat ini turun tentang kita dan tentang mereka.’ Maka terjadilah perdebatan antara aku dan dia, lalu ia menulis surat kepada ‘Utsman mengadukan aku. ‘Utsman pun menulis surat kepadaku agar aku datang ke Madinah. Aku pun datang, dan orang-orang banyak mendatangiku hingga seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelumnya. Aku ceritakan hal itu kepada ‘Utsman, maka ia berkata, ‘Kalau engkau mau, menyisihlah dan tinggallah di tempat yang dekat.’ Itulah sebabnya aku berada di tempat ini.’” (HR. Bukhari no. 1406)Ibnu Katsir berkata, “Di antara pendapat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah haramnya menyimpan harta yang lebih dari kebutuhan nafkah keluarga. Beliau berfatwa demikian, menganjurkan hal itu kepada orang-orang, memerintahkan mereka, dan bersikap keras terhadap yang menyelisihinya. Mu‘awiyah melarang beliau, namun beliau tidak berhenti. Mu‘awiyah khawatir hal itu akan memberatkan masyarakat, lalu ia menulis surat mengadukan beliau kepada Amirul Mukminin ‘Utsman agar membawanya ke Madinah. ‘Utsman pun memanggil beliau ke Madinah dan menempatkannya di ar-Rabdzah seorang diri. Di sanalah beliau wafat radhiyallahu Ta‘ala ‘anhu pada masa kekhalifahan ‘Utsman.” [1]Kebijaksanaan Utsman dan juga Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma dalam menyikapi Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah dengan memisahkan diri mereka dari Abu Dzar. Bukan dalam rangka mengusir atau membenci, melainkan agar keadaan menjadi mereda, serta masyarakat menjadi tenteram. Abu Dzar begitu bersikukuh dengan pendapatnya, sehingga beliau menyerukan kepada masyarakat dan hal ini menyelisihi pandangan pemerintahan. Pemerintahan yang diampu Utsman dan Muawiyah di wilayah tersebut berpandangan bahwa interpretasi tersebut dapat memberatkan masyarakat. Oleh karena itu, agar perselisihan tidak meruncing, maka Abu Dzar diminta untuk menempati daerah lain.Betapa mulianya akhlak Abu Dzar, ia tak mencela keputusan itu, tetapi langsung menuruti untuk berjarak dengan Muawiyah. Ini adalah kematangan ilmu dan emosi dari seorang Abu Dzar, meskipun ia kokoh dengan pendapatnya. Adapun Muawiyah juga hanya mencukupkan diri dengan berkorespondensi dengan atasannya, yakni Utsman. Muawiyah tidak melakukan satu manuver politik pun kepada Abu Dzar, melainkan apa yang sesuai dengan ketatanegaraan di masa tersebut. Inilah wajah kemuliaan ilmu yang melahirkan perdamaian dan meredam perselisihan.Maka, menjauhi orang yang menjadi lawan berselisih adalah hal yang diteladankan oleh para salaf. Meskipun mereka semua secara kolektif adalah komunitas yang saleh, tetapi metode ini terus dijalankan. Bukan dalam rangka menegaskan eksklusifitas, tetapi dalam upaya menjaga agar hubungan tetap terjaga dengan baik, tidak dinodai oleh ekspektasi yang rusak.Kisah perselisihan Ali dan FatimahSahabat Sahl bin Sa’d menuturkan bahwa, Rasulullah ﷺ datang ke rumah Fathimah, namun beliau tidak mendapati ‘Ali di dalam rumah.Rasulullah bertanya, “Di mana putra pamanmu?”Fathimah menjawab, “Tadi terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu dia marah kepadaku dan keluar sehingga dia tidak istirahat siang di sisiku.”Rasulullah berkata kepada seseorang, “Carilah di mana ‘Ali!”Orang itu datang kembali lalu berkata, “Wahai Rasulullah, dia sedang tidur di dalam masjid.”Rasulullah ﷺ datang ketika ‘Ali sedang berbaring dalam keadaan pakaian bagian atasnya jatuh dari sisi tubuhnya sehingga turab (tanah) menempel ke tubuhnya.Rasulullah ﷺ menyeka tanah itu dari tubuh ‘Ali sembari berkata, “Bangun, wahai Abu Turab! Bangun, wahai Abu Turab!” (HR. Bukhari no. 441)Dalam kisah ini, Ali radhiyallahu ‘anhu keluar rumah sejenak menghindari istrinya, yakni Fatimah. Beliau melakukannya untuk menenangkan hatinya. Hal ini ditunjukkan Ali yang tiduran di masjid hingga bajunya berdebu. Seorang Ali tidak memperkeruh suasana dengan ikut marah. Padahal sebagai suami, ia bisa saja melakukan itu. Namun, kecintaannya pada Fatimah dan ayahnya Fatimah, tentu meredam amarah tersebut. Ali lebih memilih menjauh dan mengalah dalam konteks ini.Meredam perselisihan dengan mengingat kekerabatanDalam kisah ini, terselip juga faidah yang begitu indah sebagaimana diutarakan oleh Syekh Sa’ad Al-Khatslan hafizhahullah [2],استعطاف الشخص على غيره بذكر ما بينهما من القرابة، ولذلك“Upaya melunakkan hati seseorang terhadap orang lain dengan menyebutkan hubungan kekerabatan di antara mereka.”Karena itu, ketika Nabi ﷺ datang ke rumah Fathimah dan tidak mendapati ‘Ali, beliau berkata kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha, “Di mana anak pamanmu?” Beliau tidak mengatakan, “Di mana suamimu?” atau “Di mana ‘Ali?”, tetapi memilih ungkapan “anak pamanmu”.فاختار هذه العبارة؛ لأنه عليه الصلاة والسلام قد فهم ما جرى بينهما، فأراد استعطاف ابنته فاطمة على زوجها عليٍّ بذكر القرابة النَّسَبية التي بينهما، فكأنه يقول: هو زوجكِ وابن عمك، فينبغي ألا يكون بينكما هذه المغاضبة،Beliau ﷺ memilih kalimat itu karena memahami apa yang terjadi di antara keduanya, sehingga beliau ingin melunakkan hati putrinya -Fathimah- terhadap suaminya -‘Ali- dengan menyebut hubungan nasab yang mengikat keduanya. Seakan-akan beliau berkata, “Dia itu suamimu sekaligus anak pamanmu, maka seharusnya tidak ada perselisihan di antara kalian berdua.” [3]Tujuan muslim berselisih adalah mencari kebenaranSaat berselisih, fokus utama adalah mencari kebenaran. Jika hal ini telah tercapai, maka sudah tidak diperlukan perdebatan panjang lebar. Jika sudah jelas kebenaran itu dan sudah disampaikan, maka sudah cukuplah urusan dan kewajiban kita. Tidak diperlukan lagi diskusi tambahan apalagi memperpanjang perdebatan.Lihatlah kembali kisah Abu Dzar. Meski Abu Dzar berpegang teguh dengan pendapatnya, tetapi Abu Dzar tidak memperpanjang debat dan tetap menaati Utsman. Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim menukil dalam tafsirnya [4],ولـ ابن جرير في رواية بعد قول عثمان له: تنح قريباً، قلت: والله لن أدع ما كنت أقول، فأثبت عليه“Dalam riwayat Ibnu Jarir, setelah perkataan ‘Utsman kepadanya, “Menyisihlah dekat-dekat sini.” Abu Dzar berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku katakan.” Maka beliau tetap teguh di atas pendapatnya.يقول أبو ذر: ولو أمر عليّ عبد حبشي لسمعت وأطعتAbu Dzar berkata, “Sekiranya orang yang memimpin atasku adalah seorang budak Habsyi, niscaya aku akan mendengar dan taat.”Begitu pula dengan Utsman dan Muawiyah, mereka menghargai pendapat Abu Dzar tanpa lanjut mencela pendapatnya.” [5]Beralih sejenak adalah cara mengelola emosiUpaya para salaf beralih sejenak dari masalah adalah cara yang berselarasan dengan metode para psikolog modern. Pada sebuah paparan yang disampaikan oleh psikoterapis ternama, Hillary Hendel dan DR. Juli Fraga, rasa amarah yang muncul saat berselisih tidak ditujukan untuk dipendam, melainkan harus dikelola.[6]Dalam kajian psikologi tersebut, seseorang yang marah harus mengidentifikasi alasan serta keadaan mentalnya. Rasa marah itu bisa muncul tidak hanya atas isu perselisihan yang terjadi, bisa saja terdapat faktor perasaan submisif atas sosok dominan, atau hal lainnya. Begitupula penting untuk mengidentifikasi kondisi pribadi, semisal sedang tertekan, juga kemampuan untuk menimbang faktor lainnya.Tahap ini hanya bisa dilakukan dalam proses menjauhi titik permasalahan, melakukan perenungan mendalam tanpa intervensi besar dari luar; dan meninjau kedalaman diri dalam permasalahan yang dihadapi serta hubungan dengan pihak terkait. Bahkan di antara tahapan dalam mengelola amarah adalah menginternalisasi perasaan tersebut dan memvisualisasi keadaan ketika kita menyampaikan amarah itu kepada pihak terkait.Diam bukan berarti memendam amarahPerintah berpaling dari orang bodoh saat berselisih bukan berarti diam saja ketika menghadapi perselisihan. Studi psikologi modern menunjukkan bahwa amarah yang tertahan bisa berdampak pada kesehatan fisik. Ketika hal ini memudaratkan fisik, maka wajib bagi kita untuk meregulasi emosi dan perselisihan yang memicu amarah agar meringankan dampak buruknya.Salah satu dari bentuk itu adalah mengutarakan apa yang menjadi titik perselisihan, ketidaksetujuan, maupun hal yang secara emosional tidak kita sukai. Upaya menjauhi perselisihan ini akan meredakan amarah dan mematangkan pikiran. Namun, jangan berhenti pada tahap ini saja, melainkan harus dilanjutkan kepada tahap penyampaian hal yang menjadi perhatian.Setelah dipertimbangkan ketika beralih sejenak tersebut, apabila dampaknya positif, maka seorang harus menyampaikan perhatiannya. Hal ini bertujuan agar terang apa yang menjadi titk permasalahan, juga dalam rangka meneguhkan tiang pancang batasan dalam berselisih.Semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari beragam perselisihan, meneguhkan persatuan, serta melapangkan hati kita semua.[Bersambung]Kembali ke bagian 7***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tafsir Al-Quran Al-Karim (73: 9), Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim via Maktabah Syamilah. [2] https://saadalkhathlan.com/scientific-series/lessons/1324[3] Keterangan ini juga disebutkan dari Al-Karmani dalam “Al-Kawakib Al-Durari fi Syarhi Shahih Al-Bukhari”.[4] Tafsir Al-Quran Al-Karim (73: 9), Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim via Maktabah Syamilah.[5] Adab Ikhtilaf Para Sahabat, hal. 358; cet. Pustaka Al-Kautsar.[6] Pembahasan dari perspektif psikologi ini disandarkan pada artikel berikut: https://www.npr.org/sections/health-shots/2024/03/12/1236973762/anger-management-types-purpose-cause. Artikel tersebut bersandar pada sebuah buku berjudul “Parents Have Feeling, Too”.

Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 8): Menjauh Sejenak dari Titik Perselisihan

Daftar Isi ToggleKisah perselisihan Abu Dzar dan MuawiyahKisah perselisihan Ali dan FatimahMeredam perselisihan dengan mengingat kekerabatanTujuan muslim berselisih adalah mencari kebenaranBeralih sejenak adalah cara mengelola emosiDiam bukan berarti memendam amarahMajelis ilmu dan seruan dakwah melekat dalam kehidupan kaum muslimin di era modern ini. Di masa lalu, masyarakat diikat dengan pertalian surau, masjid, ataupun juga majelis wirid. Koneksi masyarakat tersebut sempat bergeser di masa-masa setelahnya. Namun, di masa kini, kita mendapati bahwa majelis ilmu telah menjadi pertalian baru di komunitas muslim, baik pedesaan maupun perkotaan.Konsekuensi dari hal ini adalah interaksi di antara sesama teman majelis menjadi meningkat dan tidak terelakkan di setiap harinya. Minimal bertemu di setiap majelis pekanan, juga sebagian jadi terhubung dalam pekerjaan dan aktivitas hobi. Segala puji bagi Allah ﷻ yang telah menakdirkan ini semua.Akan tetapi, sebagaimana yang sudah dijabarkan sebelumnya, seringnya interaksi meningkatkan potensi perselisihan. Allah ﷻ berfirman,وَاِنَّ كَثِيۡرًا مِّنَ الۡخُلَـطَآءِ لَيَبۡغِىۡ بَعۡضُهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ اِلَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَقَلِيۡلٌ مَّا هُمۡ​ ؕ“Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.” (QS. Shad: 24)Ketika berselisih, tentu pertemuan akan canggung dan jadi tidak nyaman. Malah justru setelah berselisih, pertemuan akan memicu hal-hal yang di luar kendali. Seringnya, karena kezaliman manusia, kita menjadi tidak objektif dalam menilai orang yang menyelisihi kita. Sehingga semua tindak-tanduknya menjadi salah. Padahal, ketika hasrat amarah tidak lagi menguasai, hal-hal tersebut bukanlah bentuk kesalahan. Maka, salah satu praktik para salaf shalih saat berselisih adalah menjauhi hal-hal pemicu perselisihan. Tujuannya adalah agar meredam emosi, membiarkan pikiran jernih, lalu mengurainya dengan pikiran yang rasional. Berikut kami sebutkan beberapa contoh keteladanan tersebut.Kisah perselisihan Abu Dzar dan MuawiyahAl-Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Aku melewati daerah ar-Rabdzah, ternyata di sana ada Abu Dzar. Aku bertanya, ‘Apa yang membuatmu tinggal di tempat ini?’Ia menjawab, ‘Aku pernah berada di Syam, lalu aku dan Mu‘awiyah radhiyallahu ‘anhuma berbeda pendapat tentang ayat, (وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ)—“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak.” Mu‘awiyah berkata, ‘Ayat ini turun tentang Ahli Kitab.’ Aku berkata, ‘Ayat ini turun tentang kita dan tentang mereka.’ Maka terjadilah perdebatan antara aku dan dia, lalu ia menulis surat kepada ‘Utsman mengadukan aku. ‘Utsman pun menulis surat kepadaku agar aku datang ke Madinah. Aku pun datang, dan orang-orang banyak mendatangiku hingga seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelumnya. Aku ceritakan hal itu kepada ‘Utsman, maka ia berkata, ‘Kalau engkau mau, menyisihlah dan tinggallah di tempat yang dekat.’ Itulah sebabnya aku berada di tempat ini.’” (HR. Bukhari no. 1406)Ibnu Katsir berkata, “Di antara pendapat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah haramnya menyimpan harta yang lebih dari kebutuhan nafkah keluarga. Beliau berfatwa demikian, menganjurkan hal itu kepada orang-orang, memerintahkan mereka, dan bersikap keras terhadap yang menyelisihinya. Mu‘awiyah melarang beliau, namun beliau tidak berhenti. Mu‘awiyah khawatir hal itu akan memberatkan masyarakat, lalu ia menulis surat mengadukan beliau kepada Amirul Mukminin ‘Utsman agar membawanya ke Madinah. ‘Utsman pun memanggil beliau ke Madinah dan menempatkannya di ar-Rabdzah seorang diri. Di sanalah beliau wafat radhiyallahu Ta‘ala ‘anhu pada masa kekhalifahan ‘Utsman.” [1]Kebijaksanaan Utsman dan juga Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma dalam menyikapi Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah dengan memisahkan diri mereka dari Abu Dzar. Bukan dalam rangka mengusir atau membenci, melainkan agar keadaan menjadi mereda, serta masyarakat menjadi tenteram. Abu Dzar begitu bersikukuh dengan pendapatnya, sehingga beliau menyerukan kepada masyarakat dan hal ini menyelisihi pandangan pemerintahan. Pemerintahan yang diampu Utsman dan Muawiyah di wilayah tersebut berpandangan bahwa interpretasi tersebut dapat memberatkan masyarakat. Oleh karena itu, agar perselisihan tidak meruncing, maka Abu Dzar diminta untuk menempati daerah lain.Betapa mulianya akhlak Abu Dzar, ia tak mencela keputusan itu, tetapi langsung menuruti untuk berjarak dengan Muawiyah. Ini adalah kematangan ilmu dan emosi dari seorang Abu Dzar, meskipun ia kokoh dengan pendapatnya. Adapun Muawiyah juga hanya mencukupkan diri dengan berkorespondensi dengan atasannya, yakni Utsman. Muawiyah tidak melakukan satu manuver politik pun kepada Abu Dzar, melainkan apa yang sesuai dengan ketatanegaraan di masa tersebut. Inilah wajah kemuliaan ilmu yang melahirkan perdamaian dan meredam perselisihan.Maka, menjauhi orang yang menjadi lawan berselisih adalah hal yang diteladankan oleh para salaf. Meskipun mereka semua secara kolektif adalah komunitas yang saleh, tetapi metode ini terus dijalankan. Bukan dalam rangka menegaskan eksklusifitas, tetapi dalam upaya menjaga agar hubungan tetap terjaga dengan baik, tidak dinodai oleh ekspektasi yang rusak.Kisah perselisihan Ali dan FatimahSahabat Sahl bin Sa’d menuturkan bahwa, Rasulullah ﷺ datang ke rumah Fathimah, namun beliau tidak mendapati ‘Ali di dalam rumah.Rasulullah bertanya, “Di mana putra pamanmu?”Fathimah menjawab, “Tadi terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu dia marah kepadaku dan keluar sehingga dia tidak istirahat siang di sisiku.”Rasulullah berkata kepada seseorang, “Carilah di mana ‘Ali!”Orang itu datang kembali lalu berkata, “Wahai Rasulullah, dia sedang tidur di dalam masjid.”Rasulullah ﷺ datang ketika ‘Ali sedang berbaring dalam keadaan pakaian bagian atasnya jatuh dari sisi tubuhnya sehingga turab (tanah) menempel ke tubuhnya.Rasulullah ﷺ menyeka tanah itu dari tubuh ‘Ali sembari berkata, “Bangun, wahai Abu Turab! Bangun, wahai Abu Turab!” (HR. Bukhari no. 441)Dalam kisah ini, Ali radhiyallahu ‘anhu keluar rumah sejenak menghindari istrinya, yakni Fatimah. Beliau melakukannya untuk menenangkan hatinya. Hal ini ditunjukkan Ali yang tiduran di masjid hingga bajunya berdebu. Seorang Ali tidak memperkeruh suasana dengan ikut marah. Padahal sebagai suami, ia bisa saja melakukan itu. Namun, kecintaannya pada Fatimah dan ayahnya Fatimah, tentu meredam amarah tersebut. Ali lebih memilih menjauh dan mengalah dalam konteks ini.Meredam perselisihan dengan mengingat kekerabatanDalam kisah ini, terselip juga faidah yang begitu indah sebagaimana diutarakan oleh Syekh Sa’ad Al-Khatslan hafizhahullah [2],استعطاف الشخص على غيره بذكر ما بينهما من القرابة، ولذلك“Upaya melunakkan hati seseorang terhadap orang lain dengan menyebutkan hubungan kekerabatan di antara mereka.”Karena itu, ketika Nabi ﷺ datang ke rumah Fathimah dan tidak mendapati ‘Ali, beliau berkata kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha, “Di mana anak pamanmu?” Beliau tidak mengatakan, “Di mana suamimu?” atau “Di mana ‘Ali?”, tetapi memilih ungkapan “anak pamanmu”.فاختار هذه العبارة؛ لأنه عليه الصلاة والسلام قد فهم ما جرى بينهما، فأراد استعطاف ابنته فاطمة على زوجها عليٍّ بذكر القرابة النَّسَبية التي بينهما، فكأنه يقول: هو زوجكِ وابن عمك، فينبغي ألا يكون بينكما هذه المغاضبة،Beliau ﷺ memilih kalimat itu karena memahami apa yang terjadi di antara keduanya, sehingga beliau ingin melunakkan hati putrinya -Fathimah- terhadap suaminya -‘Ali- dengan menyebut hubungan nasab yang mengikat keduanya. Seakan-akan beliau berkata, “Dia itu suamimu sekaligus anak pamanmu, maka seharusnya tidak ada perselisihan di antara kalian berdua.” [3]Tujuan muslim berselisih adalah mencari kebenaranSaat berselisih, fokus utama adalah mencari kebenaran. Jika hal ini telah tercapai, maka sudah tidak diperlukan perdebatan panjang lebar. Jika sudah jelas kebenaran itu dan sudah disampaikan, maka sudah cukuplah urusan dan kewajiban kita. Tidak diperlukan lagi diskusi tambahan apalagi memperpanjang perdebatan.Lihatlah kembali kisah Abu Dzar. Meski Abu Dzar berpegang teguh dengan pendapatnya, tetapi Abu Dzar tidak memperpanjang debat dan tetap menaati Utsman. Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim menukil dalam tafsirnya [4],ولـ ابن جرير في رواية بعد قول عثمان له: تنح قريباً، قلت: والله لن أدع ما كنت أقول، فأثبت عليه“Dalam riwayat Ibnu Jarir, setelah perkataan ‘Utsman kepadanya, “Menyisihlah dekat-dekat sini.” Abu Dzar berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku katakan.” Maka beliau tetap teguh di atas pendapatnya.يقول أبو ذر: ولو أمر عليّ عبد حبشي لسمعت وأطعتAbu Dzar berkata, “Sekiranya orang yang memimpin atasku adalah seorang budak Habsyi, niscaya aku akan mendengar dan taat.”Begitu pula dengan Utsman dan Muawiyah, mereka menghargai pendapat Abu Dzar tanpa lanjut mencela pendapatnya.” [5]Beralih sejenak adalah cara mengelola emosiUpaya para salaf beralih sejenak dari masalah adalah cara yang berselarasan dengan metode para psikolog modern. Pada sebuah paparan yang disampaikan oleh psikoterapis ternama, Hillary Hendel dan DR. Juli Fraga, rasa amarah yang muncul saat berselisih tidak ditujukan untuk dipendam, melainkan harus dikelola.[6]Dalam kajian psikologi tersebut, seseorang yang marah harus mengidentifikasi alasan serta keadaan mentalnya. Rasa marah itu bisa muncul tidak hanya atas isu perselisihan yang terjadi, bisa saja terdapat faktor perasaan submisif atas sosok dominan, atau hal lainnya. Begitupula penting untuk mengidentifikasi kondisi pribadi, semisal sedang tertekan, juga kemampuan untuk menimbang faktor lainnya.Tahap ini hanya bisa dilakukan dalam proses menjauhi titik permasalahan, melakukan perenungan mendalam tanpa intervensi besar dari luar; dan meninjau kedalaman diri dalam permasalahan yang dihadapi serta hubungan dengan pihak terkait. Bahkan di antara tahapan dalam mengelola amarah adalah menginternalisasi perasaan tersebut dan memvisualisasi keadaan ketika kita menyampaikan amarah itu kepada pihak terkait.Diam bukan berarti memendam amarahPerintah berpaling dari orang bodoh saat berselisih bukan berarti diam saja ketika menghadapi perselisihan. Studi psikologi modern menunjukkan bahwa amarah yang tertahan bisa berdampak pada kesehatan fisik. Ketika hal ini memudaratkan fisik, maka wajib bagi kita untuk meregulasi emosi dan perselisihan yang memicu amarah agar meringankan dampak buruknya.Salah satu dari bentuk itu adalah mengutarakan apa yang menjadi titik perselisihan, ketidaksetujuan, maupun hal yang secara emosional tidak kita sukai. Upaya menjauhi perselisihan ini akan meredakan amarah dan mematangkan pikiran. Namun, jangan berhenti pada tahap ini saja, melainkan harus dilanjutkan kepada tahap penyampaian hal yang menjadi perhatian.Setelah dipertimbangkan ketika beralih sejenak tersebut, apabila dampaknya positif, maka seorang harus menyampaikan perhatiannya. Hal ini bertujuan agar terang apa yang menjadi titk permasalahan, juga dalam rangka meneguhkan tiang pancang batasan dalam berselisih.Semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari beragam perselisihan, meneguhkan persatuan, serta melapangkan hati kita semua.[Bersambung]Kembali ke bagian 7***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tafsir Al-Quran Al-Karim (73: 9), Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim via Maktabah Syamilah. [2] https://saadalkhathlan.com/scientific-series/lessons/1324[3] Keterangan ini juga disebutkan dari Al-Karmani dalam “Al-Kawakib Al-Durari fi Syarhi Shahih Al-Bukhari”.[4] Tafsir Al-Quran Al-Karim (73: 9), Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim via Maktabah Syamilah.[5] Adab Ikhtilaf Para Sahabat, hal. 358; cet. Pustaka Al-Kautsar.[6] Pembahasan dari perspektif psikologi ini disandarkan pada artikel berikut: https://www.npr.org/sections/health-shots/2024/03/12/1236973762/anger-management-types-purpose-cause. Artikel tersebut bersandar pada sebuah buku berjudul “Parents Have Feeling, Too”.
Daftar Isi ToggleKisah perselisihan Abu Dzar dan MuawiyahKisah perselisihan Ali dan FatimahMeredam perselisihan dengan mengingat kekerabatanTujuan muslim berselisih adalah mencari kebenaranBeralih sejenak adalah cara mengelola emosiDiam bukan berarti memendam amarahMajelis ilmu dan seruan dakwah melekat dalam kehidupan kaum muslimin di era modern ini. Di masa lalu, masyarakat diikat dengan pertalian surau, masjid, ataupun juga majelis wirid. Koneksi masyarakat tersebut sempat bergeser di masa-masa setelahnya. Namun, di masa kini, kita mendapati bahwa majelis ilmu telah menjadi pertalian baru di komunitas muslim, baik pedesaan maupun perkotaan.Konsekuensi dari hal ini adalah interaksi di antara sesama teman majelis menjadi meningkat dan tidak terelakkan di setiap harinya. Minimal bertemu di setiap majelis pekanan, juga sebagian jadi terhubung dalam pekerjaan dan aktivitas hobi. Segala puji bagi Allah ﷻ yang telah menakdirkan ini semua.Akan tetapi, sebagaimana yang sudah dijabarkan sebelumnya, seringnya interaksi meningkatkan potensi perselisihan. Allah ﷻ berfirman,وَاِنَّ كَثِيۡرًا مِّنَ الۡخُلَـطَآءِ لَيَبۡغِىۡ بَعۡضُهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ اِلَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَقَلِيۡلٌ مَّا هُمۡ​ ؕ“Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.” (QS. Shad: 24)Ketika berselisih, tentu pertemuan akan canggung dan jadi tidak nyaman. Malah justru setelah berselisih, pertemuan akan memicu hal-hal yang di luar kendali. Seringnya, karena kezaliman manusia, kita menjadi tidak objektif dalam menilai orang yang menyelisihi kita. Sehingga semua tindak-tanduknya menjadi salah. Padahal, ketika hasrat amarah tidak lagi menguasai, hal-hal tersebut bukanlah bentuk kesalahan. Maka, salah satu praktik para salaf shalih saat berselisih adalah menjauhi hal-hal pemicu perselisihan. Tujuannya adalah agar meredam emosi, membiarkan pikiran jernih, lalu mengurainya dengan pikiran yang rasional. Berikut kami sebutkan beberapa contoh keteladanan tersebut.Kisah perselisihan Abu Dzar dan MuawiyahAl-Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Aku melewati daerah ar-Rabdzah, ternyata di sana ada Abu Dzar. Aku bertanya, ‘Apa yang membuatmu tinggal di tempat ini?’Ia menjawab, ‘Aku pernah berada di Syam, lalu aku dan Mu‘awiyah radhiyallahu ‘anhuma berbeda pendapat tentang ayat, (وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ)—“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak.” Mu‘awiyah berkata, ‘Ayat ini turun tentang Ahli Kitab.’ Aku berkata, ‘Ayat ini turun tentang kita dan tentang mereka.’ Maka terjadilah perdebatan antara aku dan dia, lalu ia menulis surat kepada ‘Utsman mengadukan aku. ‘Utsman pun menulis surat kepadaku agar aku datang ke Madinah. Aku pun datang, dan orang-orang banyak mendatangiku hingga seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelumnya. Aku ceritakan hal itu kepada ‘Utsman, maka ia berkata, ‘Kalau engkau mau, menyisihlah dan tinggallah di tempat yang dekat.’ Itulah sebabnya aku berada di tempat ini.’” (HR. Bukhari no. 1406)Ibnu Katsir berkata, “Di antara pendapat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah haramnya menyimpan harta yang lebih dari kebutuhan nafkah keluarga. Beliau berfatwa demikian, menganjurkan hal itu kepada orang-orang, memerintahkan mereka, dan bersikap keras terhadap yang menyelisihinya. Mu‘awiyah melarang beliau, namun beliau tidak berhenti. Mu‘awiyah khawatir hal itu akan memberatkan masyarakat, lalu ia menulis surat mengadukan beliau kepada Amirul Mukminin ‘Utsman agar membawanya ke Madinah. ‘Utsman pun memanggil beliau ke Madinah dan menempatkannya di ar-Rabdzah seorang diri. Di sanalah beliau wafat radhiyallahu Ta‘ala ‘anhu pada masa kekhalifahan ‘Utsman.” [1]Kebijaksanaan Utsman dan juga Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma dalam menyikapi Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah dengan memisahkan diri mereka dari Abu Dzar. Bukan dalam rangka mengusir atau membenci, melainkan agar keadaan menjadi mereda, serta masyarakat menjadi tenteram. Abu Dzar begitu bersikukuh dengan pendapatnya, sehingga beliau menyerukan kepada masyarakat dan hal ini menyelisihi pandangan pemerintahan. Pemerintahan yang diampu Utsman dan Muawiyah di wilayah tersebut berpandangan bahwa interpretasi tersebut dapat memberatkan masyarakat. Oleh karena itu, agar perselisihan tidak meruncing, maka Abu Dzar diminta untuk menempati daerah lain.Betapa mulianya akhlak Abu Dzar, ia tak mencela keputusan itu, tetapi langsung menuruti untuk berjarak dengan Muawiyah. Ini adalah kematangan ilmu dan emosi dari seorang Abu Dzar, meskipun ia kokoh dengan pendapatnya. Adapun Muawiyah juga hanya mencukupkan diri dengan berkorespondensi dengan atasannya, yakni Utsman. Muawiyah tidak melakukan satu manuver politik pun kepada Abu Dzar, melainkan apa yang sesuai dengan ketatanegaraan di masa tersebut. Inilah wajah kemuliaan ilmu yang melahirkan perdamaian dan meredam perselisihan.Maka, menjauhi orang yang menjadi lawan berselisih adalah hal yang diteladankan oleh para salaf. Meskipun mereka semua secara kolektif adalah komunitas yang saleh, tetapi metode ini terus dijalankan. Bukan dalam rangka menegaskan eksklusifitas, tetapi dalam upaya menjaga agar hubungan tetap terjaga dengan baik, tidak dinodai oleh ekspektasi yang rusak.Kisah perselisihan Ali dan FatimahSahabat Sahl bin Sa’d menuturkan bahwa, Rasulullah ﷺ datang ke rumah Fathimah, namun beliau tidak mendapati ‘Ali di dalam rumah.Rasulullah bertanya, “Di mana putra pamanmu?”Fathimah menjawab, “Tadi terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu dia marah kepadaku dan keluar sehingga dia tidak istirahat siang di sisiku.”Rasulullah berkata kepada seseorang, “Carilah di mana ‘Ali!”Orang itu datang kembali lalu berkata, “Wahai Rasulullah, dia sedang tidur di dalam masjid.”Rasulullah ﷺ datang ketika ‘Ali sedang berbaring dalam keadaan pakaian bagian atasnya jatuh dari sisi tubuhnya sehingga turab (tanah) menempel ke tubuhnya.Rasulullah ﷺ menyeka tanah itu dari tubuh ‘Ali sembari berkata, “Bangun, wahai Abu Turab! Bangun, wahai Abu Turab!” (HR. Bukhari no. 441)Dalam kisah ini, Ali radhiyallahu ‘anhu keluar rumah sejenak menghindari istrinya, yakni Fatimah. Beliau melakukannya untuk menenangkan hatinya. Hal ini ditunjukkan Ali yang tiduran di masjid hingga bajunya berdebu. Seorang Ali tidak memperkeruh suasana dengan ikut marah. Padahal sebagai suami, ia bisa saja melakukan itu. Namun, kecintaannya pada Fatimah dan ayahnya Fatimah, tentu meredam amarah tersebut. Ali lebih memilih menjauh dan mengalah dalam konteks ini.Meredam perselisihan dengan mengingat kekerabatanDalam kisah ini, terselip juga faidah yang begitu indah sebagaimana diutarakan oleh Syekh Sa’ad Al-Khatslan hafizhahullah [2],استعطاف الشخص على غيره بذكر ما بينهما من القرابة، ولذلك“Upaya melunakkan hati seseorang terhadap orang lain dengan menyebutkan hubungan kekerabatan di antara mereka.”Karena itu, ketika Nabi ﷺ datang ke rumah Fathimah dan tidak mendapati ‘Ali, beliau berkata kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha, “Di mana anak pamanmu?” Beliau tidak mengatakan, “Di mana suamimu?” atau “Di mana ‘Ali?”, tetapi memilih ungkapan “anak pamanmu”.فاختار هذه العبارة؛ لأنه عليه الصلاة والسلام قد فهم ما جرى بينهما، فأراد استعطاف ابنته فاطمة على زوجها عليٍّ بذكر القرابة النَّسَبية التي بينهما، فكأنه يقول: هو زوجكِ وابن عمك، فينبغي ألا يكون بينكما هذه المغاضبة،Beliau ﷺ memilih kalimat itu karena memahami apa yang terjadi di antara keduanya, sehingga beliau ingin melunakkan hati putrinya -Fathimah- terhadap suaminya -‘Ali- dengan menyebut hubungan nasab yang mengikat keduanya. Seakan-akan beliau berkata, “Dia itu suamimu sekaligus anak pamanmu, maka seharusnya tidak ada perselisihan di antara kalian berdua.” [3]Tujuan muslim berselisih adalah mencari kebenaranSaat berselisih, fokus utama adalah mencari kebenaran. Jika hal ini telah tercapai, maka sudah tidak diperlukan perdebatan panjang lebar. Jika sudah jelas kebenaran itu dan sudah disampaikan, maka sudah cukuplah urusan dan kewajiban kita. Tidak diperlukan lagi diskusi tambahan apalagi memperpanjang perdebatan.Lihatlah kembali kisah Abu Dzar. Meski Abu Dzar berpegang teguh dengan pendapatnya, tetapi Abu Dzar tidak memperpanjang debat dan tetap menaati Utsman. Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim menukil dalam tafsirnya [4],ولـ ابن جرير في رواية بعد قول عثمان له: تنح قريباً، قلت: والله لن أدع ما كنت أقول، فأثبت عليه“Dalam riwayat Ibnu Jarir, setelah perkataan ‘Utsman kepadanya, “Menyisihlah dekat-dekat sini.” Abu Dzar berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku katakan.” Maka beliau tetap teguh di atas pendapatnya.يقول أبو ذر: ولو أمر عليّ عبد حبشي لسمعت وأطعتAbu Dzar berkata, “Sekiranya orang yang memimpin atasku adalah seorang budak Habsyi, niscaya aku akan mendengar dan taat.”Begitu pula dengan Utsman dan Muawiyah, mereka menghargai pendapat Abu Dzar tanpa lanjut mencela pendapatnya.” [5]Beralih sejenak adalah cara mengelola emosiUpaya para salaf beralih sejenak dari masalah adalah cara yang berselarasan dengan metode para psikolog modern. Pada sebuah paparan yang disampaikan oleh psikoterapis ternama, Hillary Hendel dan DR. Juli Fraga, rasa amarah yang muncul saat berselisih tidak ditujukan untuk dipendam, melainkan harus dikelola.[6]Dalam kajian psikologi tersebut, seseorang yang marah harus mengidentifikasi alasan serta keadaan mentalnya. Rasa marah itu bisa muncul tidak hanya atas isu perselisihan yang terjadi, bisa saja terdapat faktor perasaan submisif atas sosok dominan, atau hal lainnya. Begitupula penting untuk mengidentifikasi kondisi pribadi, semisal sedang tertekan, juga kemampuan untuk menimbang faktor lainnya.Tahap ini hanya bisa dilakukan dalam proses menjauhi titik permasalahan, melakukan perenungan mendalam tanpa intervensi besar dari luar; dan meninjau kedalaman diri dalam permasalahan yang dihadapi serta hubungan dengan pihak terkait. Bahkan di antara tahapan dalam mengelola amarah adalah menginternalisasi perasaan tersebut dan memvisualisasi keadaan ketika kita menyampaikan amarah itu kepada pihak terkait.Diam bukan berarti memendam amarahPerintah berpaling dari orang bodoh saat berselisih bukan berarti diam saja ketika menghadapi perselisihan. Studi psikologi modern menunjukkan bahwa amarah yang tertahan bisa berdampak pada kesehatan fisik. Ketika hal ini memudaratkan fisik, maka wajib bagi kita untuk meregulasi emosi dan perselisihan yang memicu amarah agar meringankan dampak buruknya.Salah satu dari bentuk itu adalah mengutarakan apa yang menjadi titik perselisihan, ketidaksetujuan, maupun hal yang secara emosional tidak kita sukai. Upaya menjauhi perselisihan ini akan meredakan amarah dan mematangkan pikiran. Namun, jangan berhenti pada tahap ini saja, melainkan harus dilanjutkan kepada tahap penyampaian hal yang menjadi perhatian.Setelah dipertimbangkan ketika beralih sejenak tersebut, apabila dampaknya positif, maka seorang harus menyampaikan perhatiannya. Hal ini bertujuan agar terang apa yang menjadi titk permasalahan, juga dalam rangka meneguhkan tiang pancang batasan dalam berselisih.Semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari beragam perselisihan, meneguhkan persatuan, serta melapangkan hati kita semua.[Bersambung]Kembali ke bagian 7***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tafsir Al-Quran Al-Karim (73: 9), Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim via Maktabah Syamilah. [2] https://saadalkhathlan.com/scientific-series/lessons/1324[3] Keterangan ini juga disebutkan dari Al-Karmani dalam “Al-Kawakib Al-Durari fi Syarhi Shahih Al-Bukhari”.[4] Tafsir Al-Quran Al-Karim (73: 9), Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim via Maktabah Syamilah.[5] Adab Ikhtilaf Para Sahabat, hal. 358; cet. Pustaka Al-Kautsar.[6] Pembahasan dari perspektif psikologi ini disandarkan pada artikel berikut: https://www.npr.org/sections/health-shots/2024/03/12/1236973762/anger-management-types-purpose-cause. Artikel tersebut bersandar pada sebuah buku berjudul “Parents Have Feeling, Too”.


Daftar Isi ToggleKisah perselisihan Abu Dzar dan MuawiyahKisah perselisihan Ali dan FatimahMeredam perselisihan dengan mengingat kekerabatanTujuan muslim berselisih adalah mencari kebenaranBeralih sejenak adalah cara mengelola emosiDiam bukan berarti memendam amarahMajelis ilmu dan seruan dakwah melekat dalam kehidupan kaum muslimin di era modern ini. Di masa lalu, masyarakat diikat dengan pertalian surau, masjid, ataupun juga majelis wirid. Koneksi masyarakat tersebut sempat bergeser di masa-masa setelahnya. Namun, di masa kini, kita mendapati bahwa majelis ilmu telah menjadi pertalian baru di komunitas muslim, baik pedesaan maupun perkotaan.Konsekuensi dari hal ini adalah interaksi di antara sesama teman majelis menjadi meningkat dan tidak terelakkan di setiap harinya. Minimal bertemu di setiap majelis pekanan, juga sebagian jadi terhubung dalam pekerjaan dan aktivitas hobi. Segala puji bagi Allah ﷻ yang telah menakdirkan ini semua.Akan tetapi, sebagaimana yang sudah dijabarkan sebelumnya, seringnya interaksi meningkatkan potensi perselisihan. Allah ﷻ berfirman,وَاِنَّ كَثِيۡرًا مِّنَ الۡخُلَـطَآءِ لَيَبۡغِىۡ بَعۡضُهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ اِلَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَقَلِيۡلٌ مَّا هُمۡ​ ؕ“Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.” (QS. Shad: 24)Ketika berselisih, tentu pertemuan akan canggung dan jadi tidak nyaman. Malah justru setelah berselisih, pertemuan akan memicu hal-hal yang di luar kendali. Seringnya, karena kezaliman manusia, kita menjadi tidak objektif dalam menilai orang yang menyelisihi kita. Sehingga semua tindak-tanduknya menjadi salah. Padahal, ketika hasrat amarah tidak lagi menguasai, hal-hal tersebut bukanlah bentuk kesalahan. Maka, salah satu praktik para salaf shalih saat berselisih adalah menjauhi hal-hal pemicu perselisihan. Tujuannya adalah agar meredam emosi, membiarkan pikiran jernih, lalu mengurainya dengan pikiran yang rasional. Berikut kami sebutkan beberapa contoh keteladanan tersebut.Kisah perselisihan Abu Dzar dan MuawiyahAl-Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Aku melewati daerah ar-Rabdzah, ternyata di sana ada Abu Dzar. Aku bertanya, ‘Apa yang membuatmu tinggal di tempat ini?’Ia menjawab, ‘Aku pernah berada di Syam, lalu aku dan Mu‘awiyah radhiyallahu ‘anhuma berbeda pendapat tentang ayat, (وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ)—“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak.” Mu‘awiyah berkata, ‘Ayat ini turun tentang Ahli Kitab.’ Aku berkata, ‘Ayat ini turun tentang kita dan tentang mereka.’ Maka terjadilah perdebatan antara aku dan dia, lalu ia menulis surat kepada ‘Utsman mengadukan aku. ‘Utsman pun menulis surat kepadaku agar aku datang ke Madinah. Aku pun datang, dan orang-orang banyak mendatangiku hingga seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelumnya. Aku ceritakan hal itu kepada ‘Utsman, maka ia berkata, ‘Kalau engkau mau, menyisihlah dan tinggallah di tempat yang dekat.’ Itulah sebabnya aku berada di tempat ini.’” (HR. Bukhari no. 1406)Ibnu Katsir berkata, “Di antara pendapat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah haramnya menyimpan harta yang lebih dari kebutuhan nafkah keluarga. Beliau berfatwa demikian, menganjurkan hal itu kepada orang-orang, memerintahkan mereka, dan bersikap keras terhadap yang menyelisihinya. Mu‘awiyah melarang beliau, namun beliau tidak berhenti. Mu‘awiyah khawatir hal itu akan memberatkan masyarakat, lalu ia menulis surat mengadukan beliau kepada Amirul Mukminin ‘Utsman agar membawanya ke Madinah. ‘Utsman pun memanggil beliau ke Madinah dan menempatkannya di ar-Rabdzah seorang diri. Di sanalah beliau wafat radhiyallahu Ta‘ala ‘anhu pada masa kekhalifahan ‘Utsman.” [1]Kebijaksanaan Utsman dan juga Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma dalam menyikapi Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu adalah dengan memisahkan diri mereka dari Abu Dzar. Bukan dalam rangka mengusir atau membenci, melainkan agar keadaan menjadi mereda, serta masyarakat menjadi tenteram. Abu Dzar begitu bersikukuh dengan pendapatnya, sehingga beliau menyerukan kepada masyarakat dan hal ini menyelisihi pandangan pemerintahan. Pemerintahan yang diampu Utsman dan Muawiyah di wilayah tersebut berpandangan bahwa interpretasi tersebut dapat memberatkan masyarakat. Oleh karena itu, agar perselisihan tidak meruncing, maka Abu Dzar diminta untuk menempati daerah lain.Betapa mulianya akhlak Abu Dzar, ia tak mencela keputusan itu, tetapi langsung menuruti untuk berjarak dengan Muawiyah. Ini adalah kematangan ilmu dan emosi dari seorang Abu Dzar, meskipun ia kokoh dengan pendapatnya. Adapun Muawiyah juga hanya mencukupkan diri dengan berkorespondensi dengan atasannya, yakni Utsman. Muawiyah tidak melakukan satu manuver politik pun kepada Abu Dzar, melainkan apa yang sesuai dengan ketatanegaraan di masa tersebut. Inilah wajah kemuliaan ilmu yang melahirkan perdamaian dan meredam perselisihan.Maka, menjauhi orang yang menjadi lawan berselisih adalah hal yang diteladankan oleh para salaf. Meskipun mereka semua secara kolektif adalah komunitas yang saleh, tetapi metode ini terus dijalankan. Bukan dalam rangka menegaskan eksklusifitas, tetapi dalam upaya menjaga agar hubungan tetap terjaga dengan baik, tidak dinodai oleh ekspektasi yang rusak.Kisah perselisihan Ali dan FatimahSahabat Sahl bin Sa’d menuturkan bahwa, Rasulullah ﷺ datang ke rumah Fathimah, namun beliau tidak mendapati ‘Ali di dalam rumah.Rasulullah bertanya, “Di mana putra pamanmu?”Fathimah menjawab, “Tadi terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu dia marah kepadaku dan keluar sehingga dia tidak istirahat siang di sisiku.”Rasulullah berkata kepada seseorang, “Carilah di mana ‘Ali!”Orang itu datang kembali lalu berkata, “Wahai Rasulullah, dia sedang tidur di dalam masjid.”Rasulullah ﷺ datang ketika ‘Ali sedang berbaring dalam keadaan pakaian bagian atasnya jatuh dari sisi tubuhnya sehingga turab (tanah) menempel ke tubuhnya.Rasulullah ﷺ menyeka tanah itu dari tubuh ‘Ali sembari berkata, “Bangun, wahai Abu Turab! Bangun, wahai Abu Turab!” (HR. Bukhari no. 441)Dalam kisah ini, Ali radhiyallahu ‘anhu keluar rumah sejenak menghindari istrinya, yakni Fatimah. Beliau melakukannya untuk menenangkan hatinya. Hal ini ditunjukkan Ali yang tiduran di masjid hingga bajunya berdebu. Seorang Ali tidak memperkeruh suasana dengan ikut marah. Padahal sebagai suami, ia bisa saja melakukan itu. Namun, kecintaannya pada Fatimah dan ayahnya Fatimah, tentu meredam amarah tersebut. Ali lebih memilih menjauh dan mengalah dalam konteks ini.Meredam perselisihan dengan mengingat kekerabatanDalam kisah ini, terselip juga faidah yang begitu indah sebagaimana diutarakan oleh Syekh Sa’ad Al-Khatslan hafizhahullah [2],استعطاف الشخص على غيره بذكر ما بينهما من القرابة، ولذلك“Upaya melunakkan hati seseorang terhadap orang lain dengan menyebutkan hubungan kekerabatan di antara mereka.”Karena itu, ketika Nabi ﷺ datang ke rumah Fathimah dan tidak mendapati ‘Ali, beliau berkata kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha, “Di mana anak pamanmu?” Beliau tidak mengatakan, “Di mana suamimu?” atau “Di mana ‘Ali?”, tetapi memilih ungkapan “anak pamanmu”.فاختار هذه العبارة؛ لأنه عليه الصلاة والسلام قد فهم ما جرى بينهما، فأراد استعطاف ابنته فاطمة على زوجها عليٍّ بذكر القرابة النَّسَبية التي بينهما، فكأنه يقول: هو زوجكِ وابن عمك، فينبغي ألا يكون بينكما هذه المغاضبة،Beliau ﷺ memilih kalimat itu karena memahami apa yang terjadi di antara keduanya, sehingga beliau ingin melunakkan hati putrinya -Fathimah- terhadap suaminya -‘Ali- dengan menyebut hubungan nasab yang mengikat keduanya. Seakan-akan beliau berkata, “Dia itu suamimu sekaligus anak pamanmu, maka seharusnya tidak ada perselisihan di antara kalian berdua.” [3]Tujuan muslim berselisih adalah mencari kebenaranSaat berselisih, fokus utama adalah mencari kebenaran. Jika hal ini telah tercapai, maka sudah tidak diperlukan perdebatan panjang lebar. Jika sudah jelas kebenaran itu dan sudah disampaikan, maka sudah cukuplah urusan dan kewajiban kita. Tidak diperlukan lagi diskusi tambahan apalagi memperpanjang perdebatan.Lihatlah kembali kisah Abu Dzar. Meski Abu Dzar berpegang teguh dengan pendapatnya, tetapi Abu Dzar tidak memperpanjang debat dan tetap menaati Utsman. Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim menukil dalam tafsirnya [4],ولـ ابن جرير في رواية بعد قول عثمان له: تنح قريباً، قلت: والله لن أدع ما كنت أقول، فأثبت عليه“Dalam riwayat Ibnu Jarir, setelah perkataan ‘Utsman kepadanya, “Menyisihlah dekat-dekat sini.” Abu Dzar berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku katakan.” Maka beliau tetap teguh di atas pendapatnya.يقول أبو ذر: ولو أمر عليّ عبد حبشي لسمعت وأطعتAbu Dzar berkata, “Sekiranya orang yang memimpin atasku adalah seorang budak Habsyi, niscaya aku akan mendengar dan taat.”Begitu pula dengan Utsman dan Muawiyah, mereka menghargai pendapat Abu Dzar tanpa lanjut mencela pendapatnya.” [5]Beralih sejenak adalah cara mengelola emosiUpaya para salaf beralih sejenak dari masalah adalah cara yang berselarasan dengan metode para psikolog modern. Pada sebuah paparan yang disampaikan oleh psikoterapis ternama, Hillary Hendel dan DR. Juli Fraga, rasa amarah yang muncul saat berselisih tidak ditujukan untuk dipendam, melainkan harus dikelola.[6]Dalam kajian psikologi tersebut, seseorang yang marah harus mengidentifikasi alasan serta keadaan mentalnya. Rasa marah itu bisa muncul tidak hanya atas isu perselisihan yang terjadi, bisa saja terdapat faktor perasaan submisif atas sosok dominan, atau hal lainnya. Begitupula penting untuk mengidentifikasi kondisi pribadi, semisal sedang tertekan, juga kemampuan untuk menimbang faktor lainnya.Tahap ini hanya bisa dilakukan dalam proses menjauhi titik permasalahan, melakukan perenungan mendalam tanpa intervensi besar dari luar; dan meninjau kedalaman diri dalam permasalahan yang dihadapi serta hubungan dengan pihak terkait. Bahkan di antara tahapan dalam mengelola amarah adalah menginternalisasi perasaan tersebut dan memvisualisasi keadaan ketika kita menyampaikan amarah itu kepada pihak terkait.Diam bukan berarti memendam amarahPerintah berpaling dari orang bodoh saat berselisih bukan berarti diam saja ketika menghadapi perselisihan. Studi psikologi modern menunjukkan bahwa amarah yang tertahan bisa berdampak pada kesehatan fisik. Ketika hal ini memudaratkan fisik, maka wajib bagi kita untuk meregulasi emosi dan perselisihan yang memicu amarah agar meringankan dampak buruknya.Salah satu dari bentuk itu adalah mengutarakan apa yang menjadi titik perselisihan, ketidaksetujuan, maupun hal yang secara emosional tidak kita sukai. Upaya menjauhi perselisihan ini akan meredakan amarah dan mematangkan pikiran. Namun, jangan berhenti pada tahap ini saja, melainkan harus dilanjutkan kepada tahap penyampaian hal yang menjadi perhatian.Setelah dipertimbangkan ketika beralih sejenak tersebut, apabila dampaknya positif, maka seorang harus menyampaikan perhatiannya. Hal ini bertujuan agar terang apa yang menjadi titk permasalahan, juga dalam rangka meneguhkan tiang pancang batasan dalam berselisih.Semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari beragam perselisihan, meneguhkan persatuan, serta melapangkan hati kita semua.[Bersambung]Kembali ke bagian 7***Penulis: Glenshah FauziArtikel Muslim.or.id Catatan kaki:[1] Tafsir Al-Quran Al-Karim (73: 9), Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim via Maktabah Syamilah. [2] https://saadalkhathlan.com/scientific-series/lessons/1324[3] Keterangan ini juga disebutkan dari Al-Karmani dalam “Al-Kawakib Al-Durari fi Syarhi Shahih Al-Bukhari”.[4] Tafsir Al-Quran Al-Karim (73: 9), Syekh Muhammad Ismail Al-Muqaddim via Maktabah Syamilah.[5] Adab Ikhtilaf Para Sahabat, hal. 358; cet. Pustaka Al-Kautsar.[6] Pembahasan dari perspektif psikologi ini disandarkan pada artikel berikut: https://www.npr.org/sections/health-shots/2024/03/12/1236973762/anger-management-types-purpose-cause. Artikel tersebut bersandar pada sebuah buku berjudul “Parents Have Feeling, Too”.

Dua Kunci Rezeki Saat Kamu Iri pada Nikmat Orang Lain – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang Allah karuniakan kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS. An-Nisa: 32) Baik itu berupa warisan, pahala, maupun harta benda. Ayat ini memberi isyarat kepada suatu alternatif: Daripada seseorang iri terhadap apa yang dimiliki orang lain, lebih baik ia beralih kepada apa? Pertama, kepada usaha. Dikatakan kepadanya, “Berusahalah!” Karena Allah Ta’ala berfirman: “Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” Ini adalah motivasi untuk berusaha; seseorang hendaknya meninggalkan angan-angan kosong, lalu segera bekerja dan berikhtiar. Boleh jadi, ia justru diberi lebih banyak daripada yang diberikan kepada orang lain. Kedua, dan ini yang paling utama: “…dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” Maksudnya, jika ia melihat sesuatu pada saudaranya yang membuatnya kagum, hendaklah ia mengucapkan: “Aku memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” Biarkanlah apa yang dimiliki orang lain tetap menjadi miliknya, jangan mengharapkan karunia itu lenyap darinya karena rasa iri dengki. Jangan pula sekadar menginginkan nikmat serupa, sambil dia duduk berpangku tangan tanpa berusaha, tidak menempuh sebab, dan tidak memohon kepada Tuhannya. Ayat ini juga mengandung pelajaran bahwa seseorang harus menempuh sebab dengan berusaha, tapi dia tidak boleh bersandar pada usahanya itu. Dia hanya boleh bersandar kepada Tuhannya dalam segala urusannya. ===== وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ سَوَاءٌ كَانَ مِنَ الْمِيرَاثِ أَوْ كَانَ مِنَ الثَّوَابِ أَوْ كَانَ مِنَ الْمَالِ وَفِي الْآيَةِ إِشَارَةٌ إِلَى الْبَدَلِ بَدَلًا أَنْ يَتَمَنَّى الإِنْسَانُ مَا عِنْدَ الْغَيْرِ أُحِيلَ إِلَى مَاذَا؟ أَوَّلًا إِلَى التَّكَسُّبِ يُقَالُ لَهُ تَكَسَّبْ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ فَهُوَ حَثٌّ عَلَى التَّكَسُّبِ أَنَّ الإِنْسَانَ يَتْرُكُ هَذِهِ الْأَمَانِيَ وَيُقْبِلُ عَلَى الْعَمَلِ وَيَعْمَلُ وَيَتَكَسَّبُ فَقَدْ يُؤْتَى أَكْثَرَ مِمَّا أُوتِيَ غَيْرُهُ وَالْأَمْرُ الثَّانِي وَهُوَ الْأَهَمُّ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ يَعْنِي إِذَا رَأَى شَيْئًا يُعْجِبُهُ مِنْ أَخِيهِ يَقُولُ أَسْأَلُ اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ وَيَبْقَى مَا عِنْدَ الْغَيْرِ لِلْغَيْرِ لَا يَتَمَنَّى زَوَالَهُ حَسَدًا وَلَا حَتَّى يَتَمَنَّى نَعَمْ مِثْلَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ لَا يَتَكَسَّبُ وَلَا يَفْعَلُ سَبَبًا وَلَا يَسْأَلُ رَبَّهُ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَفْعَلُ السَّبَبَ لَكِنْ لَا يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا يَعْتَمِدُ عَلَى رَبِّهِ فِي كُلِّ أُمُورِهِ

Dua Kunci Rezeki Saat Kamu Iri pada Nikmat Orang Lain – Syaikh Abdullah Al-Ma’yuf #NasehatUlama

“Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang Allah karuniakan kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS. An-Nisa: 32) Baik itu berupa warisan, pahala, maupun harta benda. Ayat ini memberi isyarat kepada suatu alternatif: Daripada seseorang iri terhadap apa yang dimiliki orang lain, lebih baik ia beralih kepada apa? Pertama, kepada usaha. Dikatakan kepadanya, “Berusahalah!” Karena Allah Ta’ala berfirman: “Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” Ini adalah motivasi untuk berusaha; seseorang hendaknya meninggalkan angan-angan kosong, lalu segera bekerja dan berikhtiar. Boleh jadi, ia justru diberi lebih banyak daripada yang diberikan kepada orang lain. Kedua, dan ini yang paling utama: “…dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” Maksudnya, jika ia melihat sesuatu pada saudaranya yang membuatnya kagum, hendaklah ia mengucapkan: “Aku memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” Biarkanlah apa yang dimiliki orang lain tetap menjadi miliknya, jangan mengharapkan karunia itu lenyap darinya karena rasa iri dengki. Jangan pula sekadar menginginkan nikmat serupa, sambil dia duduk berpangku tangan tanpa berusaha, tidak menempuh sebab, dan tidak memohon kepada Tuhannya. Ayat ini juga mengandung pelajaran bahwa seseorang harus menempuh sebab dengan berusaha, tapi dia tidak boleh bersandar pada usahanya itu. Dia hanya boleh bersandar kepada Tuhannya dalam segala urusannya. ===== وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ سَوَاءٌ كَانَ مِنَ الْمِيرَاثِ أَوْ كَانَ مِنَ الثَّوَابِ أَوْ كَانَ مِنَ الْمَالِ وَفِي الْآيَةِ إِشَارَةٌ إِلَى الْبَدَلِ بَدَلًا أَنْ يَتَمَنَّى الإِنْسَانُ مَا عِنْدَ الْغَيْرِ أُحِيلَ إِلَى مَاذَا؟ أَوَّلًا إِلَى التَّكَسُّبِ يُقَالُ لَهُ تَكَسَّبْ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ فَهُوَ حَثٌّ عَلَى التَّكَسُّبِ أَنَّ الإِنْسَانَ يَتْرُكُ هَذِهِ الْأَمَانِيَ وَيُقْبِلُ عَلَى الْعَمَلِ وَيَعْمَلُ وَيَتَكَسَّبُ فَقَدْ يُؤْتَى أَكْثَرَ مِمَّا أُوتِيَ غَيْرُهُ وَالْأَمْرُ الثَّانِي وَهُوَ الْأَهَمُّ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ يَعْنِي إِذَا رَأَى شَيْئًا يُعْجِبُهُ مِنْ أَخِيهِ يَقُولُ أَسْأَلُ اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ وَيَبْقَى مَا عِنْدَ الْغَيْرِ لِلْغَيْرِ لَا يَتَمَنَّى زَوَالَهُ حَسَدًا وَلَا حَتَّى يَتَمَنَّى نَعَمْ مِثْلَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ لَا يَتَكَسَّبُ وَلَا يَفْعَلُ سَبَبًا وَلَا يَسْأَلُ رَبَّهُ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَفْعَلُ السَّبَبَ لَكِنْ لَا يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا يَعْتَمِدُ عَلَى رَبِّهِ فِي كُلِّ أُمُورِهِ
“Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang Allah karuniakan kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS. An-Nisa: 32) Baik itu berupa warisan, pahala, maupun harta benda. Ayat ini memberi isyarat kepada suatu alternatif: Daripada seseorang iri terhadap apa yang dimiliki orang lain, lebih baik ia beralih kepada apa? Pertama, kepada usaha. Dikatakan kepadanya, “Berusahalah!” Karena Allah Ta’ala berfirman: “Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” Ini adalah motivasi untuk berusaha; seseorang hendaknya meninggalkan angan-angan kosong, lalu segera bekerja dan berikhtiar. Boleh jadi, ia justru diberi lebih banyak daripada yang diberikan kepada orang lain. Kedua, dan ini yang paling utama: “…dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” Maksudnya, jika ia melihat sesuatu pada saudaranya yang membuatnya kagum, hendaklah ia mengucapkan: “Aku memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” Biarkanlah apa yang dimiliki orang lain tetap menjadi miliknya, jangan mengharapkan karunia itu lenyap darinya karena rasa iri dengki. Jangan pula sekadar menginginkan nikmat serupa, sambil dia duduk berpangku tangan tanpa berusaha, tidak menempuh sebab, dan tidak memohon kepada Tuhannya. Ayat ini juga mengandung pelajaran bahwa seseorang harus menempuh sebab dengan berusaha, tapi dia tidak boleh bersandar pada usahanya itu. Dia hanya boleh bersandar kepada Tuhannya dalam segala urusannya. ===== وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ سَوَاءٌ كَانَ مِنَ الْمِيرَاثِ أَوْ كَانَ مِنَ الثَّوَابِ أَوْ كَانَ مِنَ الْمَالِ وَفِي الْآيَةِ إِشَارَةٌ إِلَى الْبَدَلِ بَدَلًا أَنْ يَتَمَنَّى الإِنْسَانُ مَا عِنْدَ الْغَيْرِ أُحِيلَ إِلَى مَاذَا؟ أَوَّلًا إِلَى التَّكَسُّبِ يُقَالُ لَهُ تَكَسَّبْ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ فَهُوَ حَثٌّ عَلَى التَّكَسُّبِ أَنَّ الإِنْسَانَ يَتْرُكُ هَذِهِ الْأَمَانِيَ وَيُقْبِلُ عَلَى الْعَمَلِ وَيَعْمَلُ وَيَتَكَسَّبُ فَقَدْ يُؤْتَى أَكْثَرَ مِمَّا أُوتِيَ غَيْرُهُ وَالْأَمْرُ الثَّانِي وَهُوَ الْأَهَمُّ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ يَعْنِي إِذَا رَأَى شَيْئًا يُعْجِبُهُ مِنْ أَخِيهِ يَقُولُ أَسْأَلُ اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ وَيَبْقَى مَا عِنْدَ الْغَيْرِ لِلْغَيْرِ لَا يَتَمَنَّى زَوَالَهُ حَسَدًا وَلَا حَتَّى يَتَمَنَّى نَعَمْ مِثْلَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ لَا يَتَكَسَّبُ وَلَا يَفْعَلُ سَبَبًا وَلَا يَسْأَلُ رَبَّهُ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَفْعَلُ السَّبَبَ لَكِنْ لَا يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا يَعْتَمِدُ عَلَى رَبِّهِ فِي كُلِّ أُمُورِهِ


“Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang Allah karuniakan kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS. An-Nisa: 32) Baik itu berupa warisan, pahala, maupun harta benda. Ayat ini memberi isyarat kepada suatu alternatif: Daripada seseorang iri terhadap apa yang dimiliki orang lain, lebih baik ia beralih kepada apa? Pertama, kepada usaha. Dikatakan kepadanya, “Berusahalah!” Karena Allah Ta’ala berfirman: “Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” Ini adalah motivasi untuk berusaha; seseorang hendaknya meninggalkan angan-angan kosong, lalu segera bekerja dan berikhtiar. Boleh jadi, ia justru diberi lebih banyak daripada yang diberikan kepada orang lain. Kedua, dan ini yang paling utama: “…dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” Maksudnya, jika ia melihat sesuatu pada saudaranya yang membuatnya kagum, hendaklah ia mengucapkan: “Aku memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” Biarkanlah apa yang dimiliki orang lain tetap menjadi miliknya, jangan mengharapkan karunia itu lenyap darinya karena rasa iri dengki. Jangan pula sekadar menginginkan nikmat serupa, sambil dia duduk berpangku tangan tanpa berusaha, tidak menempuh sebab, dan tidak memohon kepada Tuhannya. Ayat ini juga mengandung pelajaran bahwa seseorang harus menempuh sebab dengan berusaha, tapi dia tidak boleh bersandar pada usahanya itu. Dia hanya boleh bersandar kepada Tuhannya dalam segala urusannya. ===== وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ سَوَاءٌ كَانَ مِنَ الْمِيرَاثِ أَوْ كَانَ مِنَ الثَّوَابِ أَوْ كَانَ مِنَ الْمَالِ وَفِي الْآيَةِ إِشَارَةٌ إِلَى الْبَدَلِ بَدَلًا أَنْ يَتَمَنَّى الإِنْسَانُ مَا عِنْدَ الْغَيْرِ أُحِيلَ إِلَى مَاذَا؟ أَوَّلًا إِلَى التَّكَسُّبِ يُقَالُ لَهُ تَكَسَّبْ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ فَهُوَ حَثٌّ عَلَى التَّكَسُّبِ أَنَّ الإِنْسَانَ يَتْرُكُ هَذِهِ الْأَمَانِيَ وَيُقْبِلُ عَلَى الْعَمَلِ وَيَعْمَلُ وَيَتَكَسَّبُ فَقَدْ يُؤْتَى أَكْثَرَ مِمَّا أُوتِيَ غَيْرُهُ وَالْأَمْرُ الثَّانِي وَهُوَ الْأَهَمُّ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ يَعْنِي إِذَا رَأَى شَيْئًا يُعْجِبُهُ مِنْ أَخِيهِ يَقُولُ أَسْأَلُ اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ وَيَبْقَى مَا عِنْدَ الْغَيْرِ لِلْغَيْرِ لَا يَتَمَنَّى زَوَالَهُ حَسَدًا وَلَا حَتَّى يَتَمَنَّى نَعَمْ مِثْلَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ لَا يَتَكَسَّبُ وَلَا يَفْعَلُ سَبَبًا وَلَا يَسْأَلُ رَبَّهُ وَفِيهِ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَفْعَلُ السَّبَبَ لَكِنْ لَا يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا يَعْتَمِدُ عَلَى رَبِّهِ فِي كُلِّ أُمُورِهِ

Keseimbangan dalam Kehidupan Muslim

التوازن في حياة المسلم Oleh: Dr. Mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَحَيَاةُ الْمُسْلِمِ ثَرْوَةٌ طَائِلَةٌ – إِنْ أَحْسَنَ الِاسْتِفَادَةَ مِنْهَا، وَأَعْطَى لِكُلِّ شَيْءٍ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الِاهْتِمَامِ: الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، وَالْأَهَمَّ فَالْمُهِمَّ، حَسَبَ قَوَاعِدِ الشَّرْعِ الْحَكِيمِ، وَهَدْيِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَسُنَّةِ خَيْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasul-Nya yang mulia, dan kepada keluarga serta seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Kehidupan seorang Muslim merupakan sumber daya melimpah jika dia memanfaatkannya dengan baik, memberi perhatian segala urusan sesuai dengan kadarnya – mendahulukan yang prioritas dan mementingkan yang paling penting daripada yang lain, sesuai dengan kaidah-kaidah syariat yang bijak, tuntunan Tuhan alam semesta, dan sunnah Nabi dan Rasul terbaik Shallallahu Alaihi Wa Sallam. وَلِكَيْ يَنْجَحَ الْمُسْلِمُ فِي تَحْقِيقِ ذَاتِهِ، وَالْقِيَامِ بِوَاجِبَاتِهِ وَمُتَطَلَّبَاتِ حَيَاتِهِ، وَتَأْدِيَتِهِ لِرِسَالَةِ رَبِّهِ؛ فَلَا بُدَّ مِنْ إِحْدَاثِ الْمُوَازَنَةِ الدَّقِيقَةِ فِي جَمِيعِ أُمُورِهِ، وَمِنْ ذَلِكَ: 1- التَّوَازُنُ فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَسْرُدُ[(أَسْرُدُ): أي: أُوالي وأُتابع. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (2/ 358)] الصَّوْمَ، وَأُصَلِّي اللَّيْلَ؛ فَقَالَ: «أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ وَلَا تُفْطِرُ؟! وَتُصَلِّي وَلَا تَنَامُ؟! فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ؛ فَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ وَأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَظًّا» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.وَفِي رِوَايَةٍ: «فَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِزَوْرِكَ[(وَلِزَوْرِكَ): الزَّوْرُ: ‌الزَّائِرُ. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (2/ 318)] عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي رِوَايَةٍ: «فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ؛ هَجَمَتْ[(هَجَمَتْ): أَيْ: ‌غَارَتْ ‌ودَخَلَتْ فِي مَوضِعها. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (5/ 247)] عَيْنَاكَ، وَنَفِهَتْ[(وَنَفِهَتْ): أَيْ: ‌أعْيَتْ ‌وكَلَّتْ. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (5/ 100)] نَفْسُكَ، لِعَيْنِكَ حَقٌّ، وَلِنَفْسِكَ حَقٌّ، وَلِأَهْلِكَ حَقٌّ، قُمْ وَنَمْ، وَصُمْ وَأَفْطِرْ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَهَمِّيَّةِ التَّوَازُنِ فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ: مَا جَاءَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا؛ كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا[(تَقَالُّوهَا): تَقَلَّلَ الشيءَ، ‌واسْتَقَلَّه، ‌وتَقالَّه: إِذا رآه قليلاً. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (4/ 103)]، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا! وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ! وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ، فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا! فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ، وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي؛ فَلَيْسَ مِنِّى» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَعَلَى النَّقِيضِ مِنْ ذَلِكَ: فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ لَا يُبَالِي بِتَرْكِ الْعِبَادَاتِ، وَلَا يَهْتَمُّ بِهَا أَسَاسًا، وَلَا يُرَاعِي حُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ، وَهَذَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ. Agar seorang Muslim berhasil mengatur dirinya, menunaikan kewajiban-kewajibannya dan tugas-tugas hidupnya, dan mengamalkan risalah Tuhannya, dia harus membentuk keseimbangan yang detail dalam setiap urusannya, di antaranya adalah: Keseimbangan dalam melaksanakan ibadah Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhuma, ia menceritakan, “Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mendengar kabar bahwa aku berpuasa setiap hari dan mendirikan Salat Malam. Lalu beliau bertanya kepadaku, ‘Benarkah kabar bahwa kamu puasa terus tanpa pernah tidak? Dan selalu Salat Malam tanpa tidur di malam hari?! Puasa dan berbukalah, serta salatlah tapi tidurlah juga, karena matamu punya hak atasmu, diri dan keluargamu juga punya hak atasmu.’” (HR. Al-Bukhari).  Dalam riwayat lain menggunakan redaksi, “Karena istrimu punya hak atasmu, tamumu punya hak atasmu, dan tubuhmu juga punya hak atasmu.” (HR. Muslim).  Dalam riwayat lain juga disebutkan, “Karena jika kamu melakukan hal itu, kedua matamu akan cekung dan dirimu akan lemah. Matamu punya hak, dirimu punya hak, dan keluargamu punya hak. Salatlah, tapi juga tidurlah! Puasalah, tapi juga berbukalah!” (HR. Muslim). Di antara hal lain yang menunjukkan pentingnya keseimbangan dalam melaksanakan ibadah adalah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam untuk menanyakan ibadah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan mereka pun diberitahu tentang itu, tapi mereka sepertinya menganggap ibadah beliau sedikit, sehingga mereka berkata, ‘Lalu bagaimana kita dibanding Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, sedangkan beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang!’ Seseorang dari mereka berkata, ‘Kalau saya, akan Salat Malam terus-menerus!’ Yang lainnya berkata, ‘Kalau saya, akan puasa setiap hari tanpa pernah bolong!’ Dan yang satu lagi berkata, ‘Kalau saya, akan menjauhi wanita, aku tidak akan menikah!’ Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam datang dan bersabda, ‘Kalian yang mengatakan ini dan itu?! Demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian! Namun, aku tetap berpuasa dan berbuka, mendirikan salat dan tidur, dan menikahi wanita. Siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka bukan termasuk golonganku.’” (HR. Al-Bukhari). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda: إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah ada orang yang memaksa dirinya di dalam agama ini kecuali agama itu akan mempersulitnya, maka berusahalah semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran dan berilah kabar gembira! Dan manfaatkanlah waktu pagi dan sore serta beberapa waktu di tengah malam.” (HR. Al-Bukhari). Namun di sisi lain, ada juga beberapa orang yang justru tidak peduli jika meninggalkan ibadah, dan pada dasarnya memang tidak mementingkannya dan tidak menjaga hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam melaksanakan ibadah. Orang seperti ini berada dalam bahaya yang besar! 2- التَّوَازُنُ فِي الْعِشْرَةِ وَالْمُخَالَطَةِ: عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً[(مُتَبَذِّلَةً) أي: تَارِكَةٌ ‌لِلُبْسِ ‌ثِيَابِ الزِّينَةِ. انظر: فتح الباري، (4/ 210)]، فَقَالَ لَهَا: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ؛ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا. فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا، فَقَالَ: كُلْ، قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، قَالَ: فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ؛ قَالَ: نَمْ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ؛ فَقَالَ: نَمْ، فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ؛ قَالَ سَلْمَانُ: قُمِ الْآنَ، فَصَلَّيَا، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا؛ فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَدَقَ سَلْمَانُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَمِنَ التَّوَازُنِ فِي الْعِشْرَةِ وَالْمُخَالَطَةِ: قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ؛ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَكُونُ انْعِزَالِيًّا، انْطِوَائِيًّا، لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَكُونُ سَخَّابًا بِالْأَسْوَاقِ، يُهْدِرُ وَقْتَهُ، جَيْئَةً وَذَهَابًا، وَيَغْشَى الْمَجَالِسَ وَالْمَجَامِعَ، وَلَا يَجْعَلُ لِنَفْسِهِ خَلْوَةً، وَلَا لِأَهْلِهِ نَصِيبًا. وَالصَّحِيحُ: أَنْ يَكُونَ مُتَوَازِنًا فَيُخَالِطُ بِقَدْرٍ، وَيَخْلُو بِقَدْرٍ؛ فَلَا يَسْتَوْحِشُ مِنَ النَّاسِ، وَلَا يَسْتَغْرِقُ مَعَهُمْ. Keseimbangan dalam berinteraksi dengan orang lain Diriwayatkan dari Abu Juhaifah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mempersaudarakan Salman dengan Abu ad-Darda. Salman lalu berkunjung ke Abu ad-Darda, dan melihat Ummu Ad-Darda berpenampilan tidak terurus, sehingga dia bertanya, ‘Mengapa kamu seperti ini?’ Ummu Ad-Darda menjawab, ‘Saudaramu, Abu Ad-Darda itu tidak ada hasrat terhadap dunia.’ Abu Ad-Darda lalu datang dan membuatkan makanan bagi Salman. Lalu Salman berkata kepadanya, ‘Makanlah!’ Abu Ad-Darda menjawab, ‘Aku sedang puasa.’ Salman menanggapi, ‘Aku tidak akan memakannya hingga kamu juga memakannya.’ Akhirnya Abu ad-Darda memakannya.  Ketika malam tiba, Abu ad-Darda bangun untuk Salat Malam. Salman lalu berkata kepadanya, ‘Tidurlah!’ Abu Ad-Darda pun tidur, tapi dia bangun lagi untuk Salat Malam. Salman berkata kepadanya lagi, ‘Tidurlah!’ Dan saat akhir malam, Salman berkata, ‘Sekarang salatlah!’ Mereka berdua lalu mendirikan Salat Malam. Kemudian Salman berkata kepadanya, ‘Tuhanmu punya hak atasmu, dirimu punya hak atasmu, dan keluargamu punya hak atasmu, maka berilah hak kepada setiap pemiliknya.’ Abu ad-Darda lalu mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan menceritakan hal itu. Beliau lalu bersabda, ‘Salman memang benar.’ (HR. Al-Bukhari). Di antara dalil agar seimbang dalam berinteraksi dengan manusia adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ؛ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ “Seorang mukmin yang berinteraksi dengan orang lain dan bersabar atas gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada yang tidak berinteraksi dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Hadis sahih, riwayat Ahmad). Ada orang yang suka menyendiri, tidak bisa berbaur dan tidak bisa diajak bergaul. Di sisi lain, ada juga orang yang banyak berbicara di pasar-pasar, membuang-buang waktunya ke sana kemari, sibuk dengan acara ini itu dan komunitas ini itu, tidak menyisihkan waktu untuk menyendiri dan meluangkan masa untuk keluarga. Adapun yang benar adalah seimbang, berinteraksi dengan orang lain sesuai kadarnya dan menyendiri sesuai kadarnya, tidak memutus hubungan dari manusia tidak pula tenggelam bersama mereka. 3- التَّوَازُنُ فِي الشَّخْصِيَّةِ وَالسُّلُوكِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ﴾ [آلِ عِمْرَانَ: 159]. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَكُونُ فَظًّا، غَلِيظًا، فِيهِ عُسْرٌ وَجَفَاءٌ؛ فَيَمْقُتُهُ النَّاسُ. وَمِنْهُمْ: مَنْ يَكُونُ مُبْتَذَلًا، لَا كَرَامَةَ لَهُ وَلَا حِشْمَةَ؛ فَيَنَالُ مِنْهُ الْكَبِيرُ وَالصَّغِيرُ. وَالَّذِي يَنْبَغِي: أَنْ يَكُونَ هَيِّنًا لَيِّنًا دُونَ ابْتِذَالٍ، مَهِيبًا كَرِيمًا دُونَ فَظَاظَةٍ. Keseimbangan dalam karakter dan sikap Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ “Maka berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran: 159). Ada di antara manusia yang bersikap keras dan berhati kasar, susah dimengerti dan antipati, sehingga orang-orang membencinya. Ada juga yang berkarakter rendahan, tidak punya kemuliaan dan kehormatan diri, sehingga dihina oleh anak kecil atau orang dewasa. Adapun seharusnya adalah menjadi pribadi yang lembut tanpa merendahkan diri, serta berwibawa tanpa bersikap kasar. 4- التَّوَازُنُ فِي طَرِيقَةِ الْكَلَامِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ ﴾ [لُقْمَانَ: 19]؛ أَيْ: ‌لَا ‌تُبَالِغْ ‌فِي ‌الْكَلَامِ، وَلَا تَرْفَعْ صَوْتَكَ فِيمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ؛ فَإِنَّ أَقْبَحَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ؛ فَغَايَةُ مَنْ رَفَعَ صَوْتَهُ أَنَّهُ يُشَبَّهُ بِالْحَمِيرِ فِي عُلُوِّهِ وَرَفْعِهِ[انظر: تفسير ابن كثير، (6/ 339)]. وَمِنْ ذَلِكَ: اجْتِنَابُ التَّقَعُّرِ، وَالتَّشَدُّقِ، وَالتَّفَاصُحِ، فِي الْكَلَامِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ، وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الثَّرْثَارُونَ[(الثَّرْثَارُ): ‌هُوَ ‌كَثِيرُ ‌الكَلَامِ ‌تَكَلُّفًا]، وَالْمُتَشَدِّقُونَ[(المُتَشَدِّقُ): المُتَطَاوِلُ عَلَى النَّاسِ بِكَلَامِهِ، وَيَتَكَلَّمُ بِمَلءِ فِيهِ تَفَاصُحًا وَتَعْظِيمًا لِكَلامِهِ]، وَالْمُتَفَيْهِقُونَ[(المُتَفَيْهِقُ): أصلُهُ مِنَ الفَهْقِ، وَهُوَ الامْتِلَاءُ، وَهُوَ الَّذِي يَمْلأُ فَمَهُ بِالكَلَامِ وَيَتَوَسَّعُ فِيهِ، ويُغْرِبُ بِهِ تَكَبُّرًا وَارْتِفَاعًا، وَإِظْهَارًا للفَضيلَةِ عَلَى غَيْرِهِ. انظر: رياض الصالحين، للنووي (ص206)]» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ؟ قَالَ: «الْمُتَكَبِّرُونَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. Keseimbangan dalam cara berbicara Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ “dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 19). Jangan berlebihan dalam berbicara dan jangan meninggikan suara tanpa ada faedahnya, karena suara yang terburuk adalah suara keledai, sebab orang yang meninggikan suaranya seperti keledai yang meninggikan suara. (Lihat: Kitab Tafsir Ibn Katsir, Jilid 6 hlm. 339). Termasuk juga menjauhi sikap berlagak pintar, menggunakan kata-kata yang berlebihan untuk terlihat pandai, dan memfasih-fasihkan ucapan, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ، وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ؟ قَالَ:الْمُتَكَبِّرُونَ “Sungguh orang yang paling aku benci dan paling jauh majelisnya dariku pada Hari Kiamat adalah orang yang banyak berbicara, berlagak fasih, dan mutafaihiqun.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami sudah mengetahui siapa itu orang yang banyak bicara dan berlagak fasih, tapi apa itu mutafaihiqun?” Beliau bersabda, “Orang-orang yang sombong.” (Hadis sahih, riwayat At-Tirmidzi). 5- التَّوَازُنُ فِي الْمِشْيَةِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ ﴾ [لُقْمَانَ: 19]؛ (أَيِ: ‌امْشِ ‌مُقْتَصِدًا مَشْيًا لَيْسَ بِالْبَطِيءِ الْمُتَثَبِّطِ، وَلَا بِالسَّرِيعِ الْمُفْرِطِ، بَلْ عَدْلًا وَسَطًا بَيْنَ بَيْنَ)[تفسير ابن كثير، (6/ 303)]. Keseimbangan dalam cara berjalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ “Berlakulah wajar dalam berjalan” (QS. Luqman: 19). Yakni Berjalanlah dengan wajar, tidak lambat sekali dan tidak terlalu cepat, tapi sedang dan pertengahan. (Kitab Tafsir Ibn Katsir jilid 6 hlm. 303). الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… عِبَادَ اللَّهِ.. وَمِنْ أَنْوَاعِ التَّوَازُنِ فِي حَيَاةِ الْمُسْلِمِ: 6- التَّوَازُنُ فِي الْمَعِيشَةِ وَالْإِنْفَاقِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا ﴾ [الْفُرْقَانِ: 67]. قَالَ ابْنُ كَثِيرٍ رَحِمَهُ اللَّهِ: (أَيْ: ‌لَيْسُوا ‌بِمُبَذِّرِينَ ‌فِي ‌إِنْفَاقِهِمْ، فَيَصْرِفُونَ فَوْقَ الْحَاجَةِ، وَلَا بُخَلَاءَ عَلَى أَهْلِيهِمْ فَيُقَصِّرُونَ فِي حَقِّهِمْ فَلَا يَكْفُونَهُمْ؛ بَلْ عَدْلًا خِيَارًا، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا، لَا هَذَا وَلَا هَذَا، وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا؛ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ ﴾ [الْإِسْرَاءِ: 29])[المصدر نفسه، (6/ 112)]. وَمِنَ النَّاسِ: مَنْ لَا يَعْمَلُ بِهَذَا التَّوَازُنِ؛ فَيَتَشَبَّعُ بِمَا لَيْسَ عِنْدَهُ، وَيَتَصَنَّعُ الْغِنَى، وَيُجَارِي النَّاسَ؛ بِتَحْمِيلِ نَفْسِهِ الدُّيُونَ الثِّقَالَ، وَإِشْغَالِ ذِمَّتِهِ بِالْأَقْسَاطِ الْمُرْهِقَةِ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَحْرِمُ نَفْسَهُ وَأَهْلَهُ؛ فَيُكَدِّسُ الْأَمْوَالَ، وَيَعِيشُ عِيشَةَ الْبُؤَسَاءِ، وَيَمُوتُ مِيتَةَ التُّعَسَاءِ. وَالْعَاقِلُ: هُوَ الَّذِي يُنْفِقُ مَا يُلَائِمُ حَالَهُ، وَيَأْكُلُ وَيَشْرَبُ وَيَلْبَسُ وَيَرْكَبُ مَا يَلِيقُ بِهِ، دُونَ إِسْرَافٍ أَوْ تَقْتِيرٍ. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara bentuk keseimbangan dalam kehidupan seorang muslim lainnya adalah: Seimbang dalam gaya hidup dan membelanjakan harta Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا  “Dan orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.” (QS. Al-Furqan: 67). Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan, “Yakni tidak boros dalam membelanjakan harta melebihi kebutuhan, dan tidak pelit kepada keluarganya sehingga tidak menutupi kebutuhan mereka, tapi harus seimbang dan sewajarnya, karena sikap terbaik adalah yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak kurang, tapi pertengahan di antara keduanya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ “Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan (pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan” (QS. Al-Isra: 29). Ada orang yang tidak menerapkan keseimbangan ini, dia berfoya-foya dengan sesuatu yang bukan miliknya, berpura-pura kaya, dan mengejar gengsi dengan membebani diri dengan utang-utang besar, mengikat diri dengan cicilan-cicilan yang mencekik. Di sisi lain, ada juga orang yang pelit terhadap diri dan keluarganya, dia menimbun hartanya, hidup seperti orang melarat, dan mati seperti orang sengsara. Sedangkan orang yang berakal adalah yang membelanjakan harta sesuai kadar keadaannya, dia makan, minum, berpakaian, dan berkendara sesuai dengan dirinya, tidak boros dan tidak pelit. 7- التَّوَازُنُ فِي الْحُكْمِ عَلَى الْآخَرِينَ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴾ [الْمَائِدَةِ: 8]؛ وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا ﴾ [النِّسَاءِ: 135]؛ ﴿ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا ﴾ [الْأَنْعَامِ: 152]. فَهَذِهِ نُصُوصٌ تَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ تَحَرِّي الْعَدْلِ وَالْإِنْصَافِ فِي الْحُكْمِ عَلَى النَّاسِ، وَعَدَمِ غَمْطِ أَهْلِ الْفَضْلِ فَضْلَهُمْ، وَالْبُعْدِ عَنِ التَّجَنِّي وَالْعُدْوَانِ، وَالِانْدِفَاعِ مَعَ الْعَاطِفَةِ الْهَوْجَاءِ، حَتَّى مَعَ الْمُخَالِفِ. Keseimbangan dalam menilai orang lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8). Juga berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran).” (QS. An-Nisa: 135). Juga berfirman: وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا “Apabila kamu berbicara, lakukanlah secara adil.” (QS. Al-An’am: 152). Nash-nash Al-Qur’an ini menunjukkan wajibnya untuk selalu berusaha adil dan objektif dalam menilai orang lain, tidak meremehkan kelemahan orang lain, menjauhi permusuhan, dan tidak terbawa hembusan perasaan, bahkan terhadap orang yang berbeda pendapat. 8- التَّوَازُنُ فِي الْعَوَاطِفِ وَالْمَشَاعِرِ: بِأَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ مُعْتَدِلًا فِي مَشَاعِرِهِ، وَعَوَاطِفِهِ، وَانْفِعَالَاتِهِ؛ فَلَا يُسْرِفُ إِذَا أَحَبَّ، وَلَا يُسْرِفُ إِذَا أَبْغَضَ، وَلَا يَفْجُرُ إِذَا خَاصَمَ؛ بَلْ يَحْكُمُ مَشَاعِرَهُ بِحُكْمِ الشَّرِيعَةِ، وَيَضْبِطُهَا بِضَابِطِ الْعَقْلِ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. وَعَنْ أَسْلَمَ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «‌لَا ‌يَكُنْ ‌حُبُّكَ ‌كَلَفًا، وَلَا بُغْضُكَ تَلَفًا»، فَقُلْتُ: كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ: «إِذَا أَحْبَبْتَ كَلِفْتَ كَلَفَ الصَّبِيِّ[من (الكلف) وهو الولوع بالشيء مع شُغل قلب]، وَإِذَا أَبْغَضْتَ أَحْبَبْتَ لِصَاحِبِكَ التَّلَفَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي “الْأَدَبِ الْمُفْرَدِ”. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَفْنَى فِي مَحْبُوبِهِ؛ فَرُبَّمَا قَادَهُ إِلَى الْعِشْقِ وَالِانْجِذَابِ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَحْتَرِقُ بِجَحِيمِ بُغْضِهِ؛ فَيَحْمِلُهُ عَلَى الْحَسَدِ وَالْمُضَارَّةِ وَالْعُدْوَانِ، أَوْ يَمْنَعُهُ فَضِيلَةَ الْعَفْوِ. فَلَا بُدَّ لِلْمُسْلِمِ: أَنْ يَضْبِطَ مَشَاعِرَهُ، وَيُقَيِّدَ انْفِعَالَاتِهِ؛ فَلَا تُوبِقُهُ بِسُوءِ عَمَلِهِ. Keseimbangan dalam perasaan dan emosi Yaitu menjadi insan yang seimbang dalam perasaan dan emosinya, tidak berlebihan dalam mencintai dan membenci, dan tidak curang saat berselisih. Dia mengatur emosinya dengan aturan syariat, dan mendisiplinkannya dengan akal sehat. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا “Cintailah kekasihmu dengan sekedarnya saja, karena bisa jadi ia menjadi yang kamu benci suatu hari nanti, dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, karena bisa jadi ia menjadi kekasihmu suatu hari nanti.” (Hadis sahih, riwayatAt-Tirmidzi). Diriwayatkan dari Aslam, pelayan Umar bin Khattab, ia menceritakan, “Umar bin Khattab pernah berkata kepadaku, ‘Jangan sampai cintamu menjadi beban, dan kebencianmu menjadi perusak.’ Aku pun bertanya, ‘Bagaimana bisa begitu?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu jika kamu mencintai kamu cinta buta, dan jika kamu membenci, kamu ingin agar orang itu hancur.’” (Riwayat sahih, Diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad). Ada orang yang cinta mati kepada kekasihnya, hingga ia benar-benar terpaut kepadanya, ada juga orang yang terbakar oleh api kebencian, hingga membuatnya bersikap dengki, merusak, dan memusuhi, atau menghalanginya dari pemberian maaf. Oleh karena itu, insan muslim harus mengatur perasaannya dan mendisiplinkan emosinya, agar tidak dia tidak dibinasakan oleh keburukan perbuatannya. Sumber: https://www.alukah.net/web/m.aldosary/0/177511/التوازن-في-حياة-المسلم-خطبة/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 62 times, 1 visit(s) today Post Views: 119 QRIS donasi Yufid

Keseimbangan dalam Kehidupan Muslim

التوازن في حياة المسلم Oleh: Dr. Mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَحَيَاةُ الْمُسْلِمِ ثَرْوَةٌ طَائِلَةٌ – إِنْ أَحْسَنَ الِاسْتِفَادَةَ مِنْهَا، وَأَعْطَى لِكُلِّ شَيْءٍ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الِاهْتِمَامِ: الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، وَالْأَهَمَّ فَالْمُهِمَّ، حَسَبَ قَوَاعِدِ الشَّرْعِ الْحَكِيمِ، وَهَدْيِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَسُنَّةِ خَيْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasul-Nya yang mulia, dan kepada keluarga serta seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Kehidupan seorang Muslim merupakan sumber daya melimpah jika dia memanfaatkannya dengan baik, memberi perhatian segala urusan sesuai dengan kadarnya – mendahulukan yang prioritas dan mementingkan yang paling penting daripada yang lain, sesuai dengan kaidah-kaidah syariat yang bijak, tuntunan Tuhan alam semesta, dan sunnah Nabi dan Rasul terbaik Shallallahu Alaihi Wa Sallam. وَلِكَيْ يَنْجَحَ الْمُسْلِمُ فِي تَحْقِيقِ ذَاتِهِ، وَالْقِيَامِ بِوَاجِبَاتِهِ وَمُتَطَلَّبَاتِ حَيَاتِهِ، وَتَأْدِيَتِهِ لِرِسَالَةِ رَبِّهِ؛ فَلَا بُدَّ مِنْ إِحْدَاثِ الْمُوَازَنَةِ الدَّقِيقَةِ فِي جَمِيعِ أُمُورِهِ، وَمِنْ ذَلِكَ: 1- التَّوَازُنُ فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَسْرُدُ[(أَسْرُدُ): أي: أُوالي وأُتابع. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (2/ 358)] الصَّوْمَ، وَأُصَلِّي اللَّيْلَ؛ فَقَالَ: «أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ وَلَا تُفْطِرُ؟! وَتُصَلِّي وَلَا تَنَامُ؟! فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ؛ فَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ وَأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَظًّا» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.وَفِي رِوَايَةٍ: «فَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِزَوْرِكَ[(وَلِزَوْرِكَ): الزَّوْرُ: ‌الزَّائِرُ. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (2/ 318)] عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي رِوَايَةٍ: «فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ؛ هَجَمَتْ[(هَجَمَتْ): أَيْ: ‌غَارَتْ ‌ودَخَلَتْ فِي مَوضِعها. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (5/ 247)] عَيْنَاكَ، وَنَفِهَتْ[(وَنَفِهَتْ): أَيْ: ‌أعْيَتْ ‌وكَلَّتْ. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (5/ 100)] نَفْسُكَ، لِعَيْنِكَ حَقٌّ، وَلِنَفْسِكَ حَقٌّ، وَلِأَهْلِكَ حَقٌّ، قُمْ وَنَمْ، وَصُمْ وَأَفْطِرْ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَهَمِّيَّةِ التَّوَازُنِ فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ: مَا جَاءَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا؛ كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا[(تَقَالُّوهَا): تَقَلَّلَ الشيءَ، ‌واسْتَقَلَّه، ‌وتَقالَّه: إِذا رآه قليلاً. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (4/ 103)]، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا! وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ! وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ، فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا! فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ، وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي؛ فَلَيْسَ مِنِّى» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَعَلَى النَّقِيضِ مِنْ ذَلِكَ: فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ لَا يُبَالِي بِتَرْكِ الْعِبَادَاتِ، وَلَا يَهْتَمُّ بِهَا أَسَاسًا، وَلَا يُرَاعِي حُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ، وَهَذَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ. Agar seorang Muslim berhasil mengatur dirinya, menunaikan kewajiban-kewajibannya dan tugas-tugas hidupnya, dan mengamalkan risalah Tuhannya, dia harus membentuk keseimbangan yang detail dalam setiap urusannya, di antaranya adalah: Keseimbangan dalam melaksanakan ibadah Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhuma, ia menceritakan, “Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mendengar kabar bahwa aku berpuasa setiap hari dan mendirikan Salat Malam. Lalu beliau bertanya kepadaku, ‘Benarkah kabar bahwa kamu puasa terus tanpa pernah tidak? Dan selalu Salat Malam tanpa tidur di malam hari?! Puasa dan berbukalah, serta salatlah tapi tidurlah juga, karena matamu punya hak atasmu, diri dan keluargamu juga punya hak atasmu.’” (HR. Al-Bukhari).  Dalam riwayat lain menggunakan redaksi, “Karena istrimu punya hak atasmu, tamumu punya hak atasmu, dan tubuhmu juga punya hak atasmu.” (HR. Muslim).  Dalam riwayat lain juga disebutkan, “Karena jika kamu melakukan hal itu, kedua matamu akan cekung dan dirimu akan lemah. Matamu punya hak, dirimu punya hak, dan keluargamu punya hak. Salatlah, tapi juga tidurlah! Puasalah, tapi juga berbukalah!” (HR. Muslim). Di antara hal lain yang menunjukkan pentingnya keseimbangan dalam melaksanakan ibadah adalah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam untuk menanyakan ibadah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan mereka pun diberitahu tentang itu, tapi mereka sepertinya menganggap ibadah beliau sedikit, sehingga mereka berkata, ‘Lalu bagaimana kita dibanding Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, sedangkan beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang!’ Seseorang dari mereka berkata, ‘Kalau saya, akan Salat Malam terus-menerus!’ Yang lainnya berkata, ‘Kalau saya, akan puasa setiap hari tanpa pernah bolong!’ Dan yang satu lagi berkata, ‘Kalau saya, akan menjauhi wanita, aku tidak akan menikah!’ Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam datang dan bersabda, ‘Kalian yang mengatakan ini dan itu?! Demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian! Namun, aku tetap berpuasa dan berbuka, mendirikan salat dan tidur, dan menikahi wanita. Siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka bukan termasuk golonganku.’” (HR. Al-Bukhari). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda: إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah ada orang yang memaksa dirinya di dalam agama ini kecuali agama itu akan mempersulitnya, maka berusahalah semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran dan berilah kabar gembira! Dan manfaatkanlah waktu pagi dan sore serta beberapa waktu di tengah malam.” (HR. Al-Bukhari). Namun di sisi lain, ada juga beberapa orang yang justru tidak peduli jika meninggalkan ibadah, dan pada dasarnya memang tidak mementingkannya dan tidak menjaga hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam melaksanakan ibadah. Orang seperti ini berada dalam bahaya yang besar! 2- التَّوَازُنُ فِي الْعِشْرَةِ وَالْمُخَالَطَةِ: عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً[(مُتَبَذِّلَةً) أي: تَارِكَةٌ ‌لِلُبْسِ ‌ثِيَابِ الزِّينَةِ. انظر: فتح الباري، (4/ 210)]، فَقَالَ لَهَا: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ؛ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا. فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا، فَقَالَ: كُلْ، قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، قَالَ: فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ؛ قَالَ: نَمْ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ؛ فَقَالَ: نَمْ، فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ؛ قَالَ سَلْمَانُ: قُمِ الْآنَ، فَصَلَّيَا، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا؛ فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَدَقَ سَلْمَانُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَمِنَ التَّوَازُنِ فِي الْعِشْرَةِ وَالْمُخَالَطَةِ: قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ؛ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَكُونُ انْعِزَالِيًّا، انْطِوَائِيًّا، لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَكُونُ سَخَّابًا بِالْأَسْوَاقِ، يُهْدِرُ وَقْتَهُ، جَيْئَةً وَذَهَابًا، وَيَغْشَى الْمَجَالِسَ وَالْمَجَامِعَ، وَلَا يَجْعَلُ لِنَفْسِهِ خَلْوَةً، وَلَا لِأَهْلِهِ نَصِيبًا. وَالصَّحِيحُ: أَنْ يَكُونَ مُتَوَازِنًا فَيُخَالِطُ بِقَدْرٍ، وَيَخْلُو بِقَدْرٍ؛ فَلَا يَسْتَوْحِشُ مِنَ النَّاسِ، وَلَا يَسْتَغْرِقُ مَعَهُمْ. Keseimbangan dalam berinteraksi dengan orang lain Diriwayatkan dari Abu Juhaifah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mempersaudarakan Salman dengan Abu ad-Darda. Salman lalu berkunjung ke Abu ad-Darda, dan melihat Ummu Ad-Darda berpenampilan tidak terurus, sehingga dia bertanya, ‘Mengapa kamu seperti ini?’ Ummu Ad-Darda menjawab, ‘Saudaramu, Abu Ad-Darda itu tidak ada hasrat terhadap dunia.’ Abu Ad-Darda lalu datang dan membuatkan makanan bagi Salman. Lalu Salman berkata kepadanya, ‘Makanlah!’ Abu Ad-Darda menjawab, ‘Aku sedang puasa.’ Salman menanggapi, ‘Aku tidak akan memakannya hingga kamu juga memakannya.’ Akhirnya Abu ad-Darda memakannya.  Ketika malam tiba, Abu ad-Darda bangun untuk Salat Malam. Salman lalu berkata kepadanya, ‘Tidurlah!’ Abu Ad-Darda pun tidur, tapi dia bangun lagi untuk Salat Malam. Salman berkata kepadanya lagi, ‘Tidurlah!’ Dan saat akhir malam, Salman berkata, ‘Sekarang salatlah!’ Mereka berdua lalu mendirikan Salat Malam. Kemudian Salman berkata kepadanya, ‘Tuhanmu punya hak atasmu, dirimu punya hak atasmu, dan keluargamu punya hak atasmu, maka berilah hak kepada setiap pemiliknya.’ Abu ad-Darda lalu mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan menceritakan hal itu. Beliau lalu bersabda, ‘Salman memang benar.’ (HR. Al-Bukhari). Di antara dalil agar seimbang dalam berinteraksi dengan manusia adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ؛ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ “Seorang mukmin yang berinteraksi dengan orang lain dan bersabar atas gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada yang tidak berinteraksi dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Hadis sahih, riwayat Ahmad). Ada orang yang suka menyendiri, tidak bisa berbaur dan tidak bisa diajak bergaul. Di sisi lain, ada juga orang yang banyak berbicara di pasar-pasar, membuang-buang waktunya ke sana kemari, sibuk dengan acara ini itu dan komunitas ini itu, tidak menyisihkan waktu untuk menyendiri dan meluangkan masa untuk keluarga. Adapun yang benar adalah seimbang, berinteraksi dengan orang lain sesuai kadarnya dan menyendiri sesuai kadarnya, tidak memutus hubungan dari manusia tidak pula tenggelam bersama mereka. 3- التَّوَازُنُ فِي الشَّخْصِيَّةِ وَالسُّلُوكِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ﴾ [آلِ عِمْرَانَ: 159]. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَكُونُ فَظًّا، غَلِيظًا، فِيهِ عُسْرٌ وَجَفَاءٌ؛ فَيَمْقُتُهُ النَّاسُ. وَمِنْهُمْ: مَنْ يَكُونُ مُبْتَذَلًا، لَا كَرَامَةَ لَهُ وَلَا حِشْمَةَ؛ فَيَنَالُ مِنْهُ الْكَبِيرُ وَالصَّغِيرُ. وَالَّذِي يَنْبَغِي: أَنْ يَكُونَ هَيِّنًا لَيِّنًا دُونَ ابْتِذَالٍ، مَهِيبًا كَرِيمًا دُونَ فَظَاظَةٍ. Keseimbangan dalam karakter dan sikap Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ “Maka berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran: 159). Ada di antara manusia yang bersikap keras dan berhati kasar, susah dimengerti dan antipati, sehingga orang-orang membencinya. Ada juga yang berkarakter rendahan, tidak punya kemuliaan dan kehormatan diri, sehingga dihina oleh anak kecil atau orang dewasa. Adapun seharusnya adalah menjadi pribadi yang lembut tanpa merendahkan diri, serta berwibawa tanpa bersikap kasar. 4- التَّوَازُنُ فِي طَرِيقَةِ الْكَلَامِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ ﴾ [لُقْمَانَ: 19]؛ أَيْ: ‌لَا ‌تُبَالِغْ ‌فِي ‌الْكَلَامِ، وَلَا تَرْفَعْ صَوْتَكَ فِيمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ؛ فَإِنَّ أَقْبَحَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ؛ فَغَايَةُ مَنْ رَفَعَ صَوْتَهُ أَنَّهُ يُشَبَّهُ بِالْحَمِيرِ فِي عُلُوِّهِ وَرَفْعِهِ[انظر: تفسير ابن كثير، (6/ 339)]. وَمِنْ ذَلِكَ: اجْتِنَابُ التَّقَعُّرِ، وَالتَّشَدُّقِ، وَالتَّفَاصُحِ، فِي الْكَلَامِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ، وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الثَّرْثَارُونَ[(الثَّرْثَارُ): ‌هُوَ ‌كَثِيرُ ‌الكَلَامِ ‌تَكَلُّفًا]، وَالْمُتَشَدِّقُونَ[(المُتَشَدِّقُ): المُتَطَاوِلُ عَلَى النَّاسِ بِكَلَامِهِ، وَيَتَكَلَّمُ بِمَلءِ فِيهِ تَفَاصُحًا وَتَعْظِيمًا لِكَلامِهِ]، وَالْمُتَفَيْهِقُونَ[(المُتَفَيْهِقُ): أصلُهُ مِنَ الفَهْقِ، وَهُوَ الامْتِلَاءُ، وَهُوَ الَّذِي يَمْلأُ فَمَهُ بِالكَلَامِ وَيَتَوَسَّعُ فِيهِ، ويُغْرِبُ بِهِ تَكَبُّرًا وَارْتِفَاعًا، وَإِظْهَارًا للفَضيلَةِ عَلَى غَيْرِهِ. انظر: رياض الصالحين، للنووي (ص206)]» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ؟ قَالَ: «الْمُتَكَبِّرُونَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. Keseimbangan dalam cara berbicara Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ “dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 19). Jangan berlebihan dalam berbicara dan jangan meninggikan suara tanpa ada faedahnya, karena suara yang terburuk adalah suara keledai, sebab orang yang meninggikan suaranya seperti keledai yang meninggikan suara. (Lihat: Kitab Tafsir Ibn Katsir, Jilid 6 hlm. 339). Termasuk juga menjauhi sikap berlagak pintar, menggunakan kata-kata yang berlebihan untuk terlihat pandai, dan memfasih-fasihkan ucapan, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ، وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ؟ قَالَ:الْمُتَكَبِّرُونَ “Sungguh orang yang paling aku benci dan paling jauh majelisnya dariku pada Hari Kiamat adalah orang yang banyak berbicara, berlagak fasih, dan mutafaihiqun.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami sudah mengetahui siapa itu orang yang banyak bicara dan berlagak fasih, tapi apa itu mutafaihiqun?” Beliau bersabda, “Orang-orang yang sombong.” (Hadis sahih, riwayat At-Tirmidzi). 5- التَّوَازُنُ فِي الْمِشْيَةِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ ﴾ [لُقْمَانَ: 19]؛ (أَيِ: ‌امْشِ ‌مُقْتَصِدًا مَشْيًا لَيْسَ بِالْبَطِيءِ الْمُتَثَبِّطِ، وَلَا بِالسَّرِيعِ الْمُفْرِطِ، بَلْ عَدْلًا وَسَطًا بَيْنَ بَيْنَ)[تفسير ابن كثير، (6/ 303)]. Keseimbangan dalam cara berjalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ “Berlakulah wajar dalam berjalan” (QS. Luqman: 19). Yakni Berjalanlah dengan wajar, tidak lambat sekali dan tidak terlalu cepat, tapi sedang dan pertengahan. (Kitab Tafsir Ibn Katsir jilid 6 hlm. 303). الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… عِبَادَ اللَّهِ.. وَمِنْ أَنْوَاعِ التَّوَازُنِ فِي حَيَاةِ الْمُسْلِمِ: 6- التَّوَازُنُ فِي الْمَعِيشَةِ وَالْإِنْفَاقِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا ﴾ [الْفُرْقَانِ: 67]. قَالَ ابْنُ كَثِيرٍ رَحِمَهُ اللَّهِ: (أَيْ: ‌لَيْسُوا ‌بِمُبَذِّرِينَ ‌فِي ‌إِنْفَاقِهِمْ، فَيَصْرِفُونَ فَوْقَ الْحَاجَةِ، وَلَا بُخَلَاءَ عَلَى أَهْلِيهِمْ فَيُقَصِّرُونَ فِي حَقِّهِمْ فَلَا يَكْفُونَهُمْ؛ بَلْ عَدْلًا خِيَارًا، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا، لَا هَذَا وَلَا هَذَا، وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا؛ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ ﴾ [الْإِسْرَاءِ: 29])[المصدر نفسه، (6/ 112)]. وَمِنَ النَّاسِ: مَنْ لَا يَعْمَلُ بِهَذَا التَّوَازُنِ؛ فَيَتَشَبَّعُ بِمَا لَيْسَ عِنْدَهُ، وَيَتَصَنَّعُ الْغِنَى، وَيُجَارِي النَّاسَ؛ بِتَحْمِيلِ نَفْسِهِ الدُّيُونَ الثِّقَالَ، وَإِشْغَالِ ذِمَّتِهِ بِالْأَقْسَاطِ الْمُرْهِقَةِ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَحْرِمُ نَفْسَهُ وَأَهْلَهُ؛ فَيُكَدِّسُ الْأَمْوَالَ، وَيَعِيشُ عِيشَةَ الْبُؤَسَاءِ، وَيَمُوتُ مِيتَةَ التُّعَسَاءِ. وَالْعَاقِلُ: هُوَ الَّذِي يُنْفِقُ مَا يُلَائِمُ حَالَهُ، وَيَأْكُلُ وَيَشْرَبُ وَيَلْبَسُ وَيَرْكَبُ مَا يَلِيقُ بِهِ، دُونَ إِسْرَافٍ أَوْ تَقْتِيرٍ. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara bentuk keseimbangan dalam kehidupan seorang muslim lainnya adalah: Seimbang dalam gaya hidup dan membelanjakan harta Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا  “Dan orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.” (QS. Al-Furqan: 67). Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan, “Yakni tidak boros dalam membelanjakan harta melebihi kebutuhan, dan tidak pelit kepada keluarganya sehingga tidak menutupi kebutuhan mereka, tapi harus seimbang dan sewajarnya, karena sikap terbaik adalah yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak kurang, tapi pertengahan di antara keduanya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ “Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan (pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan” (QS. Al-Isra: 29). Ada orang yang tidak menerapkan keseimbangan ini, dia berfoya-foya dengan sesuatu yang bukan miliknya, berpura-pura kaya, dan mengejar gengsi dengan membebani diri dengan utang-utang besar, mengikat diri dengan cicilan-cicilan yang mencekik. Di sisi lain, ada juga orang yang pelit terhadap diri dan keluarganya, dia menimbun hartanya, hidup seperti orang melarat, dan mati seperti orang sengsara. Sedangkan orang yang berakal adalah yang membelanjakan harta sesuai kadar keadaannya, dia makan, minum, berpakaian, dan berkendara sesuai dengan dirinya, tidak boros dan tidak pelit. 7- التَّوَازُنُ فِي الْحُكْمِ عَلَى الْآخَرِينَ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴾ [الْمَائِدَةِ: 8]؛ وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا ﴾ [النِّسَاءِ: 135]؛ ﴿ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا ﴾ [الْأَنْعَامِ: 152]. فَهَذِهِ نُصُوصٌ تَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ تَحَرِّي الْعَدْلِ وَالْإِنْصَافِ فِي الْحُكْمِ عَلَى النَّاسِ، وَعَدَمِ غَمْطِ أَهْلِ الْفَضْلِ فَضْلَهُمْ، وَالْبُعْدِ عَنِ التَّجَنِّي وَالْعُدْوَانِ، وَالِانْدِفَاعِ مَعَ الْعَاطِفَةِ الْهَوْجَاءِ، حَتَّى مَعَ الْمُخَالِفِ. Keseimbangan dalam menilai orang lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8). Juga berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran).” (QS. An-Nisa: 135). Juga berfirman: وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا “Apabila kamu berbicara, lakukanlah secara adil.” (QS. Al-An’am: 152). Nash-nash Al-Qur’an ini menunjukkan wajibnya untuk selalu berusaha adil dan objektif dalam menilai orang lain, tidak meremehkan kelemahan orang lain, menjauhi permusuhan, dan tidak terbawa hembusan perasaan, bahkan terhadap orang yang berbeda pendapat. 8- التَّوَازُنُ فِي الْعَوَاطِفِ وَالْمَشَاعِرِ: بِأَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ مُعْتَدِلًا فِي مَشَاعِرِهِ، وَعَوَاطِفِهِ، وَانْفِعَالَاتِهِ؛ فَلَا يُسْرِفُ إِذَا أَحَبَّ، وَلَا يُسْرِفُ إِذَا أَبْغَضَ، وَلَا يَفْجُرُ إِذَا خَاصَمَ؛ بَلْ يَحْكُمُ مَشَاعِرَهُ بِحُكْمِ الشَّرِيعَةِ، وَيَضْبِطُهَا بِضَابِطِ الْعَقْلِ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. وَعَنْ أَسْلَمَ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «‌لَا ‌يَكُنْ ‌حُبُّكَ ‌كَلَفًا، وَلَا بُغْضُكَ تَلَفًا»، فَقُلْتُ: كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ: «إِذَا أَحْبَبْتَ كَلِفْتَ كَلَفَ الصَّبِيِّ[من (الكلف) وهو الولوع بالشيء مع شُغل قلب]، وَإِذَا أَبْغَضْتَ أَحْبَبْتَ لِصَاحِبِكَ التَّلَفَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي “الْأَدَبِ الْمُفْرَدِ”. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَفْنَى فِي مَحْبُوبِهِ؛ فَرُبَّمَا قَادَهُ إِلَى الْعِشْقِ وَالِانْجِذَابِ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَحْتَرِقُ بِجَحِيمِ بُغْضِهِ؛ فَيَحْمِلُهُ عَلَى الْحَسَدِ وَالْمُضَارَّةِ وَالْعُدْوَانِ، أَوْ يَمْنَعُهُ فَضِيلَةَ الْعَفْوِ. فَلَا بُدَّ لِلْمُسْلِمِ: أَنْ يَضْبِطَ مَشَاعِرَهُ، وَيُقَيِّدَ انْفِعَالَاتِهِ؛ فَلَا تُوبِقُهُ بِسُوءِ عَمَلِهِ. Keseimbangan dalam perasaan dan emosi Yaitu menjadi insan yang seimbang dalam perasaan dan emosinya, tidak berlebihan dalam mencintai dan membenci, dan tidak curang saat berselisih. Dia mengatur emosinya dengan aturan syariat, dan mendisiplinkannya dengan akal sehat. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا “Cintailah kekasihmu dengan sekedarnya saja, karena bisa jadi ia menjadi yang kamu benci suatu hari nanti, dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, karena bisa jadi ia menjadi kekasihmu suatu hari nanti.” (Hadis sahih, riwayatAt-Tirmidzi). Diriwayatkan dari Aslam, pelayan Umar bin Khattab, ia menceritakan, “Umar bin Khattab pernah berkata kepadaku, ‘Jangan sampai cintamu menjadi beban, dan kebencianmu menjadi perusak.’ Aku pun bertanya, ‘Bagaimana bisa begitu?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu jika kamu mencintai kamu cinta buta, dan jika kamu membenci, kamu ingin agar orang itu hancur.’” (Riwayat sahih, Diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad). Ada orang yang cinta mati kepada kekasihnya, hingga ia benar-benar terpaut kepadanya, ada juga orang yang terbakar oleh api kebencian, hingga membuatnya bersikap dengki, merusak, dan memusuhi, atau menghalanginya dari pemberian maaf. Oleh karena itu, insan muslim harus mengatur perasaannya dan mendisiplinkan emosinya, agar tidak dia tidak dibinasakan oleh keburukan perbuatannya. Sumber: https://www.alukah.net/web/m.aldosary/0/177511/التوازن-في-حياة-المسلم-خطبة/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 62 times, 1 visit(s) today Post Views: 119 QRIS donasi Yufid
التوازن في حياة المسلم Oleh: Dr. Mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَحَيَاةُ الْمُسْلِمِ ثَرْوَةٌ طَائِلَةٌ – إِنْ أَحْسَنَ الِاسْتِفَادَةَ مِنْهَا، وَأَعْطَى لِكُلِّ شَيْءٍ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الِاهْتِمَامِ: الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، وَالْأَهَمَّ فَالْمُهِمَّ، حَسَبَ قَوَاعِدِ الشَّرْعِ الْحَكِيمِ، وَهَدْيِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَسُنَّةِ خَيْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasul-Nya yang mulia, dan kepada keluarga serta seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Kehidupan seorang Muslim merupakan sumber daya melimpah jika dia memanfaatkannya dengan baik, memberi perhatian segala urusan sesuai dengan kadarnya – mendahulukan yang prioritas dan mementingkan yang paling penting daripada yang lain, sesuai dengan kaidah-kaidah syariat yang bijak, tuntunan Tuhan alam semesta, dan sunnah Nabi dan Rasul terbaik Shallallahu Alaihi Wa Sallam. وَلِكَيْ يَنْجَحَ الْمُسْلِمُ فِي تَحْقِيقِ ذَاتِهِ، وَالْقِيَامِ بِوَاجِبَاتِهِ وَمُتَطَلَّبَاتِ حَيَاتِهِ، وَتَأْدِيَتِهِ لِرِسَالَةِ رَبِّهِ؛ فَلَا بُدَّ مِنْ إِحْدَاثِ الْمُوَازَنَةِ الدَّقِيقَةِ فِي جَمِيعِ أُمُورِهِ، وَمِنْ ذَلِكَ: 1- التَّوَازُنُ فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَسْرُدُ[(أَسْرُدُ): أي: أُوالي وأُتابع. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (2/ 358)] الصَّوْمَ، وَأُصَلِّي اللَّيْلَ؛ فَقَالَ: «أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ وَلَا تُفْطِرُ؟! وَتُصَلِّي وَلَا تَنَامُ؟! فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ؛ فَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ وَأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَظًّا» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.وَفِي رِوَايَةٍ: «فَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِزَوْرِكَ[(وَلِزَوْرِكَ): الزَّوْرُ: ‌الزَّائِرُ. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (2/ 318)] عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي رِوَايَةٍ: «فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ؛ هَجَمَتْ[(هَجَمَتْ): أَيْ: ‌غَارَتْ ‌ودَخَلَتْ فِي مَوضِعها. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (5/ 247)] عَيْنَاكَ، وَنَفِهَتْ[(وَنَفِهَتْ): أَيْ: ‌أعْيَتْ ‌وكَلَّتْ. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (5/ 100)] نَفْسُكَ، لِعَيْنِكَ حَقٌّ، وَلِنَفْسِكَ حَقٌّ، وَلِأَهْلِكَ حَقٌّ، قُمْ وَنَمْ، وَصُمْ وَأَفْطِرْ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَهَمِّيَّةِ التَّوَازُنِ فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ: مَا جَاءَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا؛ كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا[(تَقَالُّوهَا): تَقَلَّلَ الشيءَ، ‌واسْتَقَلَّه، ‌وتَقالَّه: إِذا رآه قليلاً. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (4/ 103)]، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا! وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ! وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ، فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا! فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ، وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي؛ فَلَيْسَ مِنِّى» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَعَلَى النَّقِيضِ مِنْ ذَلِكَ: فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ لَا يُبَالِي بِتَرْكِ الْعِبَادَاتِ، وَلَا يَهْتَمُّ بِهَا أَسَاسًا، وَلَا يُرَاعِي حُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ، وَهَذَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ. Agar seorang Muslim berhasil mengatur dirinya, menunaikan kewajiban-kewajibannya dan tugas-tugas hidupnya, dan mengamalkan risalah Tuhannya, dia harus membentuk keseimbangan yang detail dalam setiap urusannya, di antaranya adalah: Keseimbangan dalam melaksanakan ibadah Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhuma, ia menceritakan, “Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mendengar kabar bahwa aku berpuasa setiap hari dan mendirikan Salat Malam. Lalu beliau bertanya kepadaku, ‘Benarkah kabar bahwa kamu puasa terus tanpa pernah tidak? Dan selalu Salat Malam tanpa tidur di malam hari?! Puasa dan berbukalah, serta salatlah tapi tidurlah juga, karena matamu punya hak atasmu, diri dan keluargamu juga punya hak atasmu.’” (HR. Al-Bukhari).  Dalam riwayat lain menggunakan redaksi, “Karena istrimu punya hak atasmu, tamumu punya hak atasmu, dan tubuhmu juga punya hak atasmu.” (HR. Muslim).  Dalam riwayat lain juga disebutkan, “Karena jika kamu melakukan hal itu, kedua matamu akan cekung dan dirimu akan lemah. Matamu punya hak, dirimu punya hak, dan keluargamu punya hak. Salatlah, tapi juga tidurlah! Puasalah, tapi juga berbukalah!” (HR. Muslim). Di antara hal lain yang menunjukkan pentingnya keseimbangan dalam melaksanakan ibadah adalah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam untuk menanyakan ibadah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan mereka pun diberitahu tentang itu, tapi mereka sepertinya menganggap ibadah beliau sedikit, sehingga mereka berkata, ‘Lalu bagaimana kita dibanding Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, sedangkan beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang!’ Seseorang dari mereka berkata, ‘Kalau saya, akan Salat Malam terus-menerus!’ Yang lainnya berkata, ‘Kalau saya, akan puasa setiap hari tanpa pernah bolong!’ Dan yang satu lagi berkata, ‘Kalau saya, akan menjauhi wanita, aku tidak akan menikah!’ Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam datang dan bersabda, ‘Kalian yang mengatakan ini dan itu?! Demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian! Namun, aku tetap berpuasa dan berbuka, mendirikan salat dan tidur, dan menikahi wanita. Siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka bukan termasuk golonganku.’” (HR. Al-Bukhari). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda: إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah ada orang yang memaksa dirinya di dalam agama ini kecuali agama itu akan mempersulitnya, maka berusahalah semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran dan berilah kabar gembira! Dan manfaatkanlah waktu pagi dan sore serta beberapa waktu di tengah malam.” (HR. Al-Bukhari). Namun di sisi lain, ada juga beberapa orang yang justru tidak peduli jika meninggalkan ibadah, dan pada dasarnya memang tidak mementingkannya dan tidak menjaga hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam melaksanakan ibadah. Orang seperti ini berada dalam bahaya yang besar! 2- التَّوَازُنُ فِي الْعِشْرَةِ وَالْمُخَالَطَةِ: عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً[(مُتَبَذِّلَةً) أي: تَارِكَةٌ ‌لِلُبْسِ ‌ثِيَابِ الزِّينَةِ. انظر: فتح الباري، (4/ 210)]، فَقَالَ لَهَا: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ؛ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا. فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا، فَقَالَ: كُلْ، قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، قَالَ: فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ؛ قَالَ: نَمْ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ؛ فَقَالَ: نَمْ، فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ؛ قَالَ سَلْمَانُ: قُمِ الْآنَ، فَصَلَّيَا، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا؛ فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَدَقَ سَلْمَانُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَمِنَ التَّوَازُنِ فِي الْعِشْرَةِ وَالْمُخَالَطَةِ: قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ؛ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَكُونُ انْعِزَالِيًّا، انْطِوَائِيًّا، لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَكُونُ سَخَّابًا بِالْأَسْوَاقِ، يُهْدِرُ وَقْتَهُ، جَيْئَةً وَذَهَابًا، وَيَغْشَى الْمَجَالِسَ وَالْمَجَامِعَ، وَلَا يَجْعَلُ لِنَفْسِهِ خَلْوَةً، وَلَا لِأَهْلِهِ نَصِيبًا. وَالصَّحِيحُ: أَنْ يَكُونَ مُتَوَازِنًا فَيُخَالِطُ بِقَدْرٍ، وَيَخْلُو بِقَدْرٍ؛ فَلَا يَسْتَوْحِشُ مِنَ النَّاسِ، وَلَا يَسْتَغْرِقُ مَعَهُمْ. Keseimbangan dalam berinteraksi dengan orang lain Diriwayatkan dari Abu Juhaifah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mempersaudarakan Salman dengan Abu ad-Darda. Salman lalu berkunjung ke Abu ad-Darda, dan melihat Ummu Ad-Darda berpenampilan tidak terurus, sehingga dia bertanya, ‘Mengapa kamu seperti ini?’ Ummu Ad-Darda menjawab, ‘Saudaramu, Abu Ad-Darda itu tidak ada hasrat terhadap dunia.’ Abu Ad-Darda lalu datang dan membuatkan makanan bagi Salman. Lalu Salman berkata kepadanya, ‘Makanlah!’ Abu Ad-Darda menjawab, ‘Aku sedang puasa.’ Salman menanggapi, ‘Aku tidak akan memakannya hingga kamu juga memakannya.’ Akhirnya Abu ad-Darda memakannya.  Ketika malam tiba, Abu ad-Darda bangun untuk Salat Malam. Salman lalu berkata kepadanya, ‘Tidurlah!’ Abu Ad-Darda pun tidur, tapi dia bangun lagi untuk Salat Malam. Salman berkata kepadanya lagi, ‘Tidurlah!’ Dan saat akhir malam, Salman berkata, ‘Sekarang salatlah!’ Mereka berdua lalu mendirikan Salat Malam. Kemudian Salman berkata kepadanya, ‘Tuhanmu punya hak atasmu, dirimu punya hak atasmu, dan keluargamu punya hak atasmu, maka berilah hak kepada setiap pemiliknya.’ Abu ad-Darda lalu mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan menceritakan hal itu. Beliau lalu bersabda, ‘Salman memang benar.’ (HR. Al-Bukhari). Di antara dalil agar seimbang dalam berinteraksi dengan manusia adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ؛ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ “Seorang mukmin yang berinteraksi dengan orang lain dan bersabar atas gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada yang tidak berinteraksi dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Hadis sahih, riwayat Ahmad). Ada orang yang suka menyendiri, tidak bisa berbaur dan tidak bisa diajak bergaul. Di sisi lain, ada juga orang yang banyak berbicara di pasar-pasar, membuang-buang waktunya ke sana kemari, sibuk dengan acara ini itu dan komunitas ini itu, tidak menyisihkan waktu untuk menyendiri dan meluangkan masa untuk keluarga. Adapun yang benar adalah seimbang, berinteraksi dengan orang lain sesuai kadarnya dan menyendiri sesuai kadarnya, tidak memutus hubungan dari manusia tidak pula tenggelam bersama mereka. 3- التَّوَازُنُ فِي الشَّخْصِيَّةِ وَالسُّلُوكِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ﴾ [آلِ عِمْرَانَ: 159]. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَكُونُ فَظًّا، غَلِيظًا، فِيهِ عُسْرٌ وَجَفَاءٌ؛ فَيَمْقُتُهُ النَّاسُ. وَمِنْهُمْ: مَنْ يَكُونُ مُبْتَذَلًا، لَا كَرَامَةَ لَهُ وَلَا حِشْمَةَ؛ فَيَنَالُ مِنْهُ الْكَبِيرُ وَالصَّغِيرُ. وَالَّذِي يَنْبَغِي: أَنْ يَكُونَ هَيِّنًا لَيِّنًا دُونَ ابْتِذَالٍ، مَهِيبًا كَرِيمًا دُونَ فَظَاظَةٍ. Keseimbangan dalam karakter dan sikap Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ “Maka berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran: 159). Ada di antara manusia yang bersikap keras dan berhati kasar, susah dimengerti dan antipati, sehingga orang-orang membencinya. Ada juga yang berkarakter rendahan, tidak punya kemuliaan dan kehormatan diri, sehingga dihina oleh anak kecil atau orang dewasa. Adapun seharusnya adalah menjadi pribadi yang lembut tanpa merendahkan diri, serta berwibawa tanpa bersikap kasar. 4- التَّوَازُنُ فِي طَرِيقَةِ الْكَلَامِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ ﴾ [لُقْمَانَ: 19]؛ أَيْ: ‌لَا ‌تُبَالِغْ ‌فِي ‌الْكَلَامِ، وَلَا تَرْفَعْ صَوْتَكَ فِيمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ؛ فَإِنَّ أَقْبَحَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ؛ فَغَايَةُ مَنْ رَفَعَ صَوْتَهُ أَنَّهُ يُشَبَّهُ بِالْحَمِيرِ فِي عُلُوِّهِ وَرَفْعِهِ[انظر: تفسير ابن كثير، (6/ 339)]. وَمِنْ ذَلِكَ: اجْتِنَابُ التَّقَعُّرِ، وَالتَّشَدُّقِ، وَالتَّفَاصُحِ، فِي الْكَلَامِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ، وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الثَّرْثَارُونَ[(الثَّرْثَارُ): ‌هُوَ ‌كَثِيرُ ‌الكَلَامِ ‌تَكَلُّفًا]، وَالْمُتَشَدِّقُونَ[(المُتَشَدِّقُ): المُتَطَاوِلُ عَلَى النَّاسِ بِكَلَامِهِ، وَيَتَكَلَّمُ بِمَلءِ فِيهِ تَفَاصُحًا وَتَعْظِيمًا لِكَلامِهِ]، وَالْمُتَفَيْهِقُونَ[(المُتَفَيْهِقُ): أصلُهُ مِنَ الفَهْقِ، وَهُوَ الامْتِلَاءُ، وَهُوَ الَّذِي يَمْلأُ فَمَهُ بِالكَلَامِ وَيَتَوَسَّعُ فِيهِ، ويُغْرِبُ بِهِ تَكَبُّرًا وَارْتِفَاعًا، وَإِظْهَارًا للفَضيلَةِ عَلَى غَيْرِهِ. انظر: رياض الصالحين، للنووي (ص206)]» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ؟ قَالَ: «الْمُتَكَبِّرُونَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. Keseimbangan dalam cara berbicara Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ “dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 19). Jangan berlebihan dalam berbicara dan jangan meninggikan suara tanpa ada faedahnya, karena suara yang terburuk adalah suara keledai, sebab orang yang meninggikan suaranya seperti keledai yang meninggikan suara. (Lihat: Kitab Tafsir Ibn Katsir, Jilid 6 hlm. 339). Termasuk juga menjauhi sikap berlagak pintar, menggunakan kata-kata yang berlebihan untuk terlihat pandai, dan memfasih-fasihkan ucapan, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ، وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ؟ قَالَ:الْمُتَكَبِّرُونَ “Sungguh orang yang paling aku benci dan paling jauh majelisnya dariku pada Hari Kiamat adalah orang yang banyak berbicara, berlagak fasih, dan mutafaihiqun.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami sudah mengetahui siapa itu orang yang banyak bicara dan berlagak fasih, tapi apa itu mutafaihiqun?” Beliau bersabda, “Orang-orang yang sombong.” (Hadis sahih, riwayat At-Tirmidzi). 5- التَّوَازُنُ فِي الْمِشْيَةِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ ﴾ [لُقْمَانَ: 19]؛ (أَيِ: ‌امْشِ ‌مُقْتَصِدًا مَشْيًا لَيْسَ بِالْبَطِيءِ الْمُتَثَبِّطِ، وَلَا بِالسَّرِيعِ الْمُفْرِطِ، بَلْ عَدْلًا وَسَطًا بَيْنَ بَيْنَ)[تفسير ابن كثير، (6/ 303)]. Keseimbangan dalam cara berjalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ “Berlakulah wajar dalam berjalan” (QS. Luqman: 19). Yakni Berjalanlah dengan wajar, tidak lambat sekali dan tidak terlalu cepat, tapi sedang dan pertengahan. (Kitab Tafsir Ibn Katsir jilid 6 hlm. 303). الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… عِبَادَ اللَّهِ.. وَمِنْ أَنْوَاعِ التَّوَازُنِ فِي حَيَاةِ الْمُسْلِمِ: 6- التَّوَازُنُ فِي الْمَعِيشَةِ وَالْإِنْفَاقِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا ﴾ [الْفُرْقَانِ: 67]. قَالَ ابْنُ كَثِيرٍ رَحِمَهُ اللَّهِ: (أَيْ: ‌لَيْسُوا ‌بِمُبَذِّرِينَ ‌فِي ‌إِنْفَاقِهِمْ، فَيَصْرِفُونَ فَوْقَ الْحَاجَةِ، وَلَا بُخَلَاءَ عَلَى أَهْلِيهِمْ فَيُقَصِّرُونَ فِي حَقِّهِمْ فَلَا يَكْفُونَهُمْ؛ بَلْ عَدْلًا خِيَارًا، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا، لَا هَذَا وَلَا هَذَا، وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا؛ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ ﴾ [الْإِسْرَاءِ: 29])[المصدر نفسه، (6/ 112)]. وَمِنَ النَّاسِ: مَنْ لَا يَعْمَلُ بِهَذَا التَّوَازُنِ؛ فَيَتَشَبَّعُ بِمَا لَيْسَ عِنْدَهُ، وَيَتَصَنَّعُ الْغِنَى، وَيُجَارِي النَّاسَ؛ بِتَحْمِيلِ نَفْسِهِ الدُّيُونَ الثِّقَالَ، وَإِشْغَالِ ذِمَّتِهِ بِالْأَقْسَاطِ الْمُرْهِقَةِ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَحْرِمُ نَفْسَهُ وَأَهْلَهُ؛ فَيُكَدِّسُ الْأَمْوَالَ، وَيَعِيشُ عِيشَةَ الْبُؤَسَاءِ، وَيَمُوتُ مِيتَةَ التُّعَسَاءِ. وَالْعَاقِلُ: هُوَ الَّذِي يُنْفِقُ مَا يُلَائِمُ حَالَهُ، وَيَأْكُلُ وَيَشْرَبُ وَيَلْبَسُ وَيَرْكَبُ مَا يَلِيقُ بِهِ، دُونَ إِسْرَافٍ أَوْ تَقْتِيرٍ. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara bentuk keseimbangan dalam kehidupan seorang muslim lainnya adalah: Seimbang dalam gaya hidup dan membelanjakan harta Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا  “Dan orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.” (QS. Al-Furqan: 67). Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan, “Yakni tidak boros dalam membelanjakan harta melebihi kebutuhan, dan tidak pelit kepada keluarganya sehingga tidak menutupi kebutuhan mereka, tapi harus seimbang dan sewajarnya, karena sikap terbaik adalah yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak kurang, tapi pertengahan di antara keduanya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ “Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan (pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan” (QS. Al-Isra: 29). Ada orang yang tidak menerapkan keseimbangan ini, dia berfoya-foya dengan sesuatu yang bukan miliknya, berpura-pura kaya, dan mengejar gengsi dengan membebani diri dengan utang-utang besar, mengikat diri dengan cicilan-cicilan yang mencekik. Di sisi lain, ada juga orang yang pelit terhadap diri dan keluarganya, dia menimbun hartanya, hidup seperti orang melarat, dan mati seperti orang sengsara. Sedangkan orang yang berakal adalah yang membelanjakan harta sesuai kadar keadaannya, dia makan, minum, berpakaian, dan berkendara sesuai dengan dirinya, tidak boros dan tidak pelit. 7- التَّوَازُنُ فِي الْحُكْمِ عَلَى الْآخَرِينَ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴾ [الْمَائِدَةِ: 8]؛ وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا ﴾ [النِّسَاءِ: 135]؛ ﴿ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا ﴾ [الْأَنْعَامِ: 152]. فَهَذِهِ نُصُوصٌ تَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ تَحَرِّي الْعَدْلِ وَالْإِنْصَافِ فِي الْحُكْمِ عَلَى النَّاسِ، وَعَدَمِ غَمْطِ أَهْلِ الْفَضْلِ فَضْلَهُمْ، وَالْبُعْدِ عَنِ التَّجَنِّي وَالْعُدْوَانِ، وَالِانْدِفَاعِ مَعَ الْعَاطِفَةِ الْهَوْجَاءِ، حَتَّى مَعَ الْمُخَالِفِ. Keseimbangan dalam menilai orang lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8). Juga berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran).” (QS. An-Nisa: 135). Juga berfirman: وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا “Apabila kamu berbicara, lakukanlah secara adil.” (QS. Al-An’am: 152). Nash-nash Al-Qur’an ini menunjukkan wajibnya untuk selalu berusaha adil dan objektif dalam menilai orang lain, tidak meremehkan kelemahan orang lain, menjauhi permusuhan, dan tidak terbawa hembusan perasaan, bahkan terhadap orang yang berbeda pendapat. 8- التَّوَازُنُ فِي الْعَوَاطِفِ وَالْمَشَاعِرِ: بِأَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ مُعْتَدِلًا فِي مَشَاعِرِهِ، وَعَوَاطِفِهِ، وَانْفِعَالَاتِهِ؛ فَلَا يُسْرِفُ إِذَا أَحَبَّ، وَلَا يُسْرِفُ إِذَا أَبْغَضَ، وَلَا يَفْجُرُ إِذَا خَاصَمَ؛ بَلْ يَحْكُمُ مَشَاعِرَهُ بِحُكْمِ الشَّرِيعَةِ، وَيَضْبِطُهَا بِضَابِطِ الْعَقْلِ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. وَعَنْ أَسْلَمَ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «‌لَا ‌يَكُنْ ‌حُبُّكَ ‌كَلَفًا، وَلَا بُغْضُكَ تَلَفًا»، فَقُلْتُ: كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ: «إِذَا أَحْبَبْتَ كَلِفْتَ كَلَفَ الصَّبِيِّ[من (الكلف) وهو الولوع بالشيء مع شُغل قلب]، وَإِذَا أَبْغَضْتَ أَحْبَبْتَ لِصَاحِبِكَ التَّلَفَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي “الْأَدَبِ الْمُفْرَدِ”. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَفْنَى فِي مَحْبُوبِهِ؛ فَرُبَّمَا قَادَهُ إِلَى الْعِشْقِ وَالِانْجِذَابِ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَحْتَرِقُ بِجَحِيمِ بُغْضِهِ؛ فَيَحْمِلُهُ عَلَى الْحَسَدِ وَالْمُضَارَّةِ وَالْعُدْوَانِ، أَوْ يَمْنَعُهُ فَضِيلَةَ الْعَفْوِ. فَلَا بُدَّ لِلْمُسْلِمِ: أَنْ يَضْبِطَ مَشَاعِرَهُ، وَيُقَيِّدَ انْفِعَالَاتِهِ؛ فَلَا تُوبِقُهُ بِسُوءِ عَمَلِهِ. Keseimbangan dalam perasaan dan emosi Yaitu menjadi insan yang seimbang dalam perasaan dan emosinya, tidak berlebihan dalam mencintai dan membenci, dan tidak curang saat berselisih. Dia mengatur emosinya dengan aturan syariat, dan mendisiplinkannya dengan akal sehat. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا “Cintailah kekasihmu dengan sekedarnya saja, karena bisa jadi ia menjadi yang kamu benci suatu hari nanti, dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, karena bisa jadi ia menjadi kekasihmu suatu hari nanti.” (Hadis sahih, riwayatAt-Tirmidzi). Diriwayatkan dari Aslam, pelayan Umar bin Khattab, ia menceritakan, “Umar bin Khattab pernah berkata kepadaku, ‘Jangan sampai cintamu menjadi beban, dan kebencianmu menjadi perusak.’ Aku pun bertanya, ‘Bagaimana bisa begitu?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu jika kamu mencintai kamu cinta buta, dan jika kamu membenci, kamu ingin agar orang itu hancur.’” (Riwayat sahih, Diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad). Ada orang yang cinta mati kepada kekasihnya, hingga ia benar-benar terpaut kepadanya, ada juga orang yang terbakar oleh api kebencian, hingga membuatnya bersikap dengki, merusak, dan memusuhi, atau menghalanginya dari pemberian maaf. Oleh karena itu, insan muslim harus mengatur perasaannya dan mendisiplinkan emosinya, agar tidak dia tidak dibinasakan oleh keburukan perbuatannya. Sumber: https://www.alukah.net/web/m.aldosary/0/177511/التوازن-في-حياة-المسلم-خطبة/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 62 times, 1 visit(s) today Post Views: 119 QRIS donasi Yufid


التوازن في حياة المسلم Oleh: Dr. Mahmud bin Ahmad ad-Dosari د. محمود بن أحمد الدوسري الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِهِ الْكَرِيمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ: فَحَيَاةُ الْمُسْلِمِ ثَرْوَةٌ طَائِلَةٌ – إِنْ أَحْسَنَ الِاسْتِفَادَةَ مِنْهَا، وَأَعْطَى لِكُلِّ شَيْءٍ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ الِاهْتِمَامِ: الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، وَالْأَهَمَّ فَالْمُهِمَّ، حَسَبَ قَوَاعِدِ الشَّرْعِ الْحَكِيمِ، وَهَدْيِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَسُنَّةِ خَيْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasul-Nya yang mulia, dan kepada keluarga serta seluruh sahabat beliau. Amma ba’du: Kehidupan seorang Muslim merupakan sumber daya melimpah jika dia memanfaatkannya dengan baik, memberi perhatian segala urusan sesuai dengan kadarnya – mendahulukan yang prioritas dan mementingkan yang paling penting daripada yang lain, sesuai dengan kaidah-kaidah syariat yang bijak, tuntunan Tuhan alam semesta, dan sunnah Nabi dan Rasul terbaik Shallallahu Alaihi Wa Sallam. وَلِكَيْ يَنْجَحَ الْمُسْلِمُ فِي تَحْقِيقِ ذَاتِهِ، وَالْقِيَامِ بِوَاجِبَاتِهِ وَمُتَطَلَّبَاتِ حَيَاتِهِ، وَتَأْدِيَتِهِ لِرِسَالَةِ رَبِّهِ؛ فَلَا بُدَّ مِنْ إِحْدَاثِ الْمُوَازَنَةِ الدَّقِيقَةِ فِي جَمِيعِ أُمُورِهِ، وَمِنْ ذَلِكَ: 1- التَّوَازُنُ فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَسْرُدُ[(أَسْرُدُ): أي: أُوالي وأُتابع. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (2/ 358)] الصَّوْمَ، وَأُصَلِّي اللَّيْلَ؛ فَقَالَ: «أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ وَلَا تُفْطِرُ؟! وَتُصَلِّي وَلَا تَنَامُ؟! فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ؛ فَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ وَأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَظًّا» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.وَفِي رِوَايَةٍ: «فَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِزَوْرِكَ[(وَلِزَوْرِكَ): الزَّوْرُ: ‌الزَّائِرُ. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (2/ 318)] عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي رِوَايَةٍ: «فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ؛ هَجَمَتْ[(هَجَمَتْ): أَيْ: ‌غَارَتْ ‌ودَخَلَتْ فِي مَوضِعها. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (5/ 247)] عَيْنَاكَ، وَنَفِهَتْ[(وَنَفِهَتْ): أَيْ: ‌أعْيَتْ ‌وكَلَّتْ. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (5/ 100)] نَفْسُكَ، لِعَيْنِكَ حَقٌّ، وَلِنَفْسِكَ حَقٌّ، وَلِأَهْلِكَ حَقٌّ، قُمْ وَنَمْ، وَصُمْ وَأَفْطِرْ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَهَمِّيَّةِ التَّوَازُنِ فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ: مَا جَاءَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا؛ كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا[(تَقَالُّوهَا): تَقَلَّلَ الشيءَ، ‌واسْتَقَلَّه، ‌وتَقالَّه: إِذا رآه قليلاً. انظر: النهاية في غريب الحديث والأثر، (4/ 103)]، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا! وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ! وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ، فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا! فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ، وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي؛ فَلَيْسَ مِنِّى» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَعَلَى النَّقِيضِ مِنْ ذَلِكَ: فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ لَا يُبَالِي بِتَرْكِ الْعِبَادَاتِ، وَلَا يَهْتَمُّ بِهَا أَسَاسًا، وَلَا يُرَاعِي حُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ، وَهَذَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ. Agar seorang Muslim berhasil mengatur dirinya, menunaikan kewajiban-kewajibannya dan tugas-tugas hidupnya, dan mengamalkan risalah Tuhannya, dia harus membentuk keseimbangan yang detail dalam setiap urusannya, di antaranya adalah: Keseimbangan dalam melaksanakan ibadah Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhuma, ia menceritakan, “Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mendengar kabar bahwa aku berpuasa setiap hari dan mendirikan Salat Malam. Lalu beliau bertanya kepadaku, ‘Benarkah kabar bahwa kamu puasa terus tanpa pernah tidak? Dan selalu Salat Malam tanpa tidur di malam hari?! Puasa dan berbukalah, serta salatlah tapi tidurlah juga, karena matamu punya hak atasmu, diri dan keluargamu juga punya hak atasmu.’” (HR. Al-Bukhari).  Dalam riwayat lain menggunakan redaksi, “Karena istrimu punya hak atasmu, tamumu punya hak atasmu, dan tubuhmu juga punya hak atasmu.” (HR. Muslim).  Dalam riwayat lain juga disebutkan, “Karena jika kamu melakukan hal itu, kedua matamu akan cekung dan dirimu akan lemah. Matamu punya hak, dirimu punya hak, dan keluargamu punya hak. Salatlah, tapi juga tidurlah! Puasalah, tapi juga berbukalah!” (HR. Muslim). Di antara hal lain yang menunjukkan pentingnya keseimbangan dalam melaksanakan ibadah adalah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, “Ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam untuk menanyakan ibadah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan mereka pun diberitahu tentang itu, tapi mereka sepertinya menganggap ibadah beliau sedikit, sehingga mereka berkata, ‘Lalu bagaimana kita dibanding Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, sedangkan beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang!’ Seseorang dari mereka berkata, ‘Kalau saya, akan Salat Malam terus-menerus!’ Yang lainnya berkata, ‘Kalau saya, akan puasa setiap hari tanpa pernah bolong!’ Dan yang satu lagi berkata, ‘Kalau saya, akan menjauhi wanita, aku tidak akan menikah!’ Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam datang dan bersabda, ‘Kalian yang mengatakan ini dan itu?! Demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian! Namun, aku tetap berpuasa dan berbuka, mendirikan salat dan tidur, dan menikahi wanita. Siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka bukan termasuk golonganku.’” (HR. Al-Bukhari). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga bersabda: إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ، وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah ada orang yang memaksa dirinya di dalam agama ini kecuali agama itu akan mempersulitnya, maka berusahalah semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran dan berilah kabar gembira! Dan manfaatkanlah waktu pagi dan sore serta beberapa waktu di tengah malam.” (HR. Al-Bukhari). Namun di sisi lain, ada juga beberapa orang yang justru tidak peduli jika meninggalkan ibadah, dan pada dasarnya memang tidak mementingkannya dan tidak menjaga hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam melaksanakan ibadah. Orang seperti ini berada dalam bahaya yang besar! 2- التَّوَازُنُ فِي الْعِشْرَةِ وَالْمُخَالَطَةِ: عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً[(مُتَبَذِّلَةً) أي: تَارِكَةٌ ‌لِلُبْسِ ‌ثِيَابِ الزِّينَةِ. انظر: فتح الباري، (4/ 210)]، فَقَالَ لَهَا: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ؛ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا. فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا، فَقَالَ: كُلْ، قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، قَالَ: فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ؛ قَالَ: نَمْ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ؛ فَقَالَ: نَمْ، فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ؛ قَالَ سَلْمَانُ: قُمِ الْآنَ، فَصَلَّيَا، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا؛ فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَدَقَ سَلْمَانُ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَمِنَ التَّوَازُنِ فِي الْعِشْرَةِ وَالْمُخَالَطَةِ: قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ؛ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ أَحْمَدُ. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَكُونُ انْعِزَالِيًّا، انْطِوَائِيًّا، لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَكُونُ سَخَّابًا بِالْأَسْوَاقِ، يُهْدِرُ وَقْتَهُ، جَيْئَةً وَذَهَابًا، وَيَغْشَى الْمَجَالِسَ وَالْمَجَامِعَ، وَلَا يَجْعَلُ لِنَفْسِهِ خَلْوَةً، وَلَا لِأَهْلِهِ نَصِيبًا. وَالصَّحِيحُ: أَنْ يَكُونَ مُتَوَازِنًا فَيُخَالِطُ بِقَدْرٍ، وَيَخْلُو بِقَدْرٍ؛ فَلَا يَسْتَوْحِشُ مِنَ النَّاسِ، وَلَا يَسْتَغْرِقُ مَعَهُمْ. Keseimbangan dalam berinteraksi dengan orang lain Diriwayatkan dari Abu Juhaifah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mempersaudarakan Salman dengan Abu ad-Darda. Salman lalu berkunjung ke Abu ad-Darda, dan melihat Ummu Ad-Darda berpenampilan tidak terurus, sehingga dia bertanya, ‘Mengapa kamu seperti ini?’ Ummu Ad-Darda menjawab, ‘Saudaramu, Abu Ad-Darda itu tidak ada hasrat terhadap dunia.’ Abu Ad-Darda lalu datang dan membuatkan makanan bagi Salman. Lalu Salman berkata kepadanya, ‘Makanlah!’ Abu Ad-Darda menjawab, ‘Aku sedang puasa.’ Salman menanggapi, ‘Aku tidak akan memakannya hingga kamu juga memakannya.’ Akhirnya Abu ad-Darda memakannya.  Ketika malam tiba, Abu ad-Darda bangun untuk Salat Malam. Salman lalu berkata kepadanya, ‘Tidurlah!’ Abu Ad-Darda pun tidur, tapi dia bangun lagi untuk Salat Malam. Salman berkata kepadanya lagi, ‘Tidurlah!’ Dan saat akhir malam, Salman berkata, ‘Sekarang salatlah!’ Mereka berdua lalu mendirikan Salat Malam. Kemudian Salman berkata kepadanya, ‘Tuhanmu punya hak atasmu, dirimu punya hak atasmu, dan keluargamu punya hak atasmu, maka berilah hak kepada setiap pemiliknya.’ Abu ad-Darda lalu mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan menceritakan hal itu. Beliau lalu bersabda, ‘Salman memang benar.’ (HR. Al-Bukhari). Di antara dalil agar seimbang dalam berinteraksi dengan manusia adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ؛ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ “Seorang mukmin yang berinteraksi dengan orang lain dan bersabar atas gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada yang tidak berinteraksi dengan mereka dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Hadis sahih, riwayat Ahmad). Ada orang yang suka menyendiri, tidak bisa berbaur dan tidak bisa diajak bergaul. Di sisi lain, ada juga orang yang banyak berbicara di pasar-pasar, membuang-buang waktunya ke sana kemari, sibuk dengan acara ini itu dan komunitas ini itu, tidak menyisihkan waktu untuk menyendiri dan meluangkan masa untuk keluarga. Adapun yang benar adalah seimbang, berinteraksi dengan orang lain sesuai kadarnya dan menyendiri sesuai kadarnya, tidak memutus hubungan dari manusia tidak pula tenggelam bersama mereka. 3- التَّوَازُنُ فِي الشَّخْصِيَّةِ وَالسُّلُوكِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ﴾ [آلِ عِمْرَانَ: 159]. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَكُونُ فَظًّا، غَلِيظًا، فِيهِ عُسْرٌ وَجَفَاءٌ؛ فَيَمْقُتُهُ النَّاسُ. وَمِنْهُمْ: مَنْ يَكُونُ مُبْتَذَلًا، لَا كَرَامَةَ لَهُ وَلَا حِشْمَةَ؛ فَيَنَالُ مِنْهُ الْكَبِيرُ وَالصَّغِيرُ. وَالَّذِي يَنْبَغِي: أَنْ يَكُونَ هَيِّنًا لَيِّنًا دُونَ ابْتِذَالٍ، مَهِيبًا كَرِيمًا دُونَ فَظَاظَةٍ. Keseimbangan dalam karakter dan sikap Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ “Maka berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran: 159). Ada di antara manusia yang bersikap keras dan berhati kasar, susah dimengerti dan antipati, sehingga orang-orang membencinya. Ada juga yang berkarakter rendahan, tidak punya kemuliaan dan kehormatan diri, sehingga dihina oleh anak kecil atau orang dewasa. Adapun seharusnya adalah menjadi pribadi yang lembut tanpa merendahkan diri, serta berwibawa tanpa bersikap kasar. 4- التَّوَازُنُ فِي طَرِيقَةِ الْكَلَامِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ ﴾ [لُقْمَانَ: 19]؛ أَيْ: ‌لَا ‌تُبَالِغْ ‌فِي ‌الْكَلَامِ، وَلَا تَرْفَعْ صَوْتَكَ فِيمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ؛ فَإِنَّ أَقْبَحَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ؛ فَغَايَةُ مَنْ رَفَعَ صَوْتَهُ أَنَّهُ يُشَبَّهُ بِالْحَمِيرِ فِي عُلُوِّهِ وَرَفْعِهِ[انظر: تفسير ابن كثير، (6/ 339)]. وَمِنْ ذَلِكَ: اجْتِنَابُ التَّقَعُّرِ، وَالتَّشَدُّقِ، وَالتَّفَاصُحِ، فِي الْكَلَامِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ، وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الثَّرْثَارُونَ[(الثَّرْثَارُ): ‌هُوَ ‌كَثِيرُ ‌الكَلَامِ ‌تَكَلُّفًا]، وَالْمُتَشَدِّقُونَ[(المُتَشَدِّقُ): المُتَطَاوِلُ عَلَى النَّاسِ بِكَلَامِهِ، وَيَتَكَلَّمُ بِمَلءِ فِيهِ تَفَاصُحًا وَتَعْظِيمًا لِكَلامِهِ]، وَالْمُتَفَيْهِقُونَ[(المُتَفَيْهِقُ): أصلُهُ مِنَ الفَهْقِ، وَهُوَ الامْتِلَاءُ، وَهُوَ الَّذِي يَمْلأُ فَمَهُ بِالكَلَامِ وَيَتَوَسَّعُ فِيهِ، ويُغْرِبُ بِهِ تَكَبُّرًا وَارْتِفَاعًا، وَإِظْهَارًا للفَضيلَةِ عَلَى غَيْرِهِ. انظر: رياض الصالحين، للنووي (ص206)]» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ؟ قَالَ: «الْمُتَكَبِّرُونَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. Keseimbangan dalam cara berbicara Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ “dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 19). Jangan berlebihan dalam berbicara dan jangan meninggikan suara tanpa ada faedahnya, karena suara yang terburuk adalah suara keledai, sebab orang yang meninggikan suaranya seperti keledai yang meninggikan suara. (Lihat: Kitab Tafsir Ibn Katsir, Jilid 6 hlm. 339). Termasuk juga menjauhi sikap berlagak pintar, menggunakan kata-kata yang berlebihan untuk terlihat pandai, dan memfasih-fasihkan ucapan, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam: إِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ، وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ، وَالْمُتَشَدِّقُونَ، فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ؟ قَالَ:الْمُتَكَبِّرُونَ “Sungguh orang yang paling aku benci dan paling jauh majelisnya dariku pada Hari Kiamat adalah orang yang banyak berbicara, berlagak fasih, dan mutafaihiqun.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami sudah mengetahui siapa itu orang yang banyak bicara dan berlagak fasih, tapi apa itu mutafaihiqun?” Beliau bersabda, “Orang-orang yang sombong.” (Hadis sahih, riwayat At-Tirmidzi). 5- التَّوَازُنُ فِي الْمِشْيَةِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ ﴾ [لُقْمَانَ: 19]؛ (أَيِ: ‌امْشِ ‌مُقْتَصِدًا مَشْيًا لَيْسَ بِالْبَطِيءِ الْمُتَثَبِّطِ، وَلَا بِالسَّرِيعِ الْمُفْرِطِ، بَلْ عَدْلًا وَسَطًا بَيْنَ بَيْنَ)[تفسير ابن كثير، (6/ 303)]. Keseimbangan dalam cara berjalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ “Berlakulah wajar dalam berjalan” (QS. Luqman: 19). Yakni Berjalanlah dengan wajar, tidak lambat sekali dan tidak terlalu cepat, tapi sedang dan pertengahan. (Kitab Tafsir Ibn Katsir jilid 6 hlm. 303). الخطبة الثانية الْحَمْدُ لِلَّهِ… عِبَادَ اللَّهِ.. وَمِنْ أَنْوَاعِ التَّوَازُنِ فِي حَيَاةِ الْمُسْلِمِ: 6- التَّوَازُنُ فِي الْمَعِيشَةِ وَالْإِنْفَاقِ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا ﴾ [الْفُرْقَانِ: 67]. قَالَ ابْنُ كَثِيرٍ رَحِمَهُ اللَّهِ: (أَيْ: ‌لَيْسُوا ‌بِمُبَذِّرِينَ ‌فِي ‌إِنْفَاقِهِمْ، فَيَصْرِفُونَ فَوْقَ الْحَاجَةِ، وَلَا بُخَلَاءَ عَلَى أَهْلِيهِمْ فَيُقَصِّرُونَ فِي حَقِّهِمْ فَلَا يَكْفُونَهُمْ؛ بَلْ عَدْلًا خِيَارًا، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا، لَا هَذَا وَلَا هَذَا، وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا؛ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ ﴾ [الْإِسْرَاءِ: 29])[المصدر نفسه، (6/ 112)]. وَمِنَ النَّاسِ: مَنْ لَا يَعْمَلُ بِهَذَا التَّوَازُنِ؛ فَيَتَشَبَّعُ بِمَا لَيْسَ عِنْدَهُ، وَيَتَصَنَّعُ الْغِنَى، وَيُجَارِي النَّاسَ؛ بِتَحْمِيلِ نَفْسِهِ الدُّيُونَ الثِّقَالَ، وَإِشْغَالِ ذِمَّتِهِ بِالْأَقْسَاطِ الْمُرْهِقَةِ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَحْرِمُ نَفْسَهُ وَأَهْلَهُ؛ فَيُكَدِّسُ الْأَمْوَالَ، وَيَعِيشُ عِيشَةَ الْبُؤَسَاءِ، وَيَمُوتُ مِيتَةَ التُّعَسَاءِ. وَالْعَاقِلُ: هُوَ الَّذِي يُنْفِقُ مَا يُلَائِمُ حَالَهُ، وَيَأْكُلُ وَيَشْرَبُ وَيَلْبَسُ وَيَرْكَبُ مَا يَلِيقُ بِهِ، دُونَ إِسْرَافٍ أَوْ تَقْتِيرٍ. Khutbah Kedua Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wahai para hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala! Di antara bentuk keseimbangan dalam kehidupan seorang muslim lainnya adalah: Seimbang dalam gaya hidup dan membelanjakan harta Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا  “Dan orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.” (QS. Al-Furqan: 67). Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan, “Yakni tidak boros dalam membelanjakan harta melebihi kebutuhan, dan tidak pelit kepada keluarganya sehingga tidak menutupi kebutuhan mereka, tapi harus seimbang dan sewajarnya, karena sikap terbaik adalah yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak kurang, tapi pertengahan di antara keduanya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ “Janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan (pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan” (QS. Al-Isra: 29). Ada orang yang tidak menerapkan keseimbangan ini, dia berfoya-foya dengan sesuatu yang bukan miliknya, berpura-pura kaya, dan mengejar gengsi dengan membebani diri dengan utang-utang besar, mengikat diri dengan cicilan-cicilan yang mencekik. Di sisi lain, ada juga orang yang pelit terhadap diri dan keluarganya, dia menimbun hartanya, hidup seperti orang melarat, dan mati seperti orang sengsara. Sedangkan orang yang berakal adalah yang membelanjakan harta sesuai kadar keadaannya, dia makan, minum, berpakaian, dan berkendara sesuai dengan dirinya, tidak boros dan tidak pelit. 7- التَّوَازُنُ فِي الْحُكْمِ عَلَى الْآخَرِينَ: قَالَ تَعَالَى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴾ [الْمَائِدَةِ: 8]؛ وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا ﴾ [النِّسَاءِ: 135]؛ ﴿ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا ﴾ [الْأَنْعَامِ: 152]. فَهَذِهِ نُصُوصٌ تَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ تَحَرِّي الْعَدْلِ وَالْإِنْصَافِ فِي الْحُكْمِ عَلَى النَّاسِ، وَعَدَمِ غَمْطِ أَهْلِ الْفَضْلِ فَضْلَهُمْ، وَالْبُعْدِ عَنِ التَّجَنِّي وَالْعُدْوَانِ، وَالِانْدِفَاعِ مَعَ الْعَاطِفَةِ الْهَوْجَاءِ، حَتَّى مَعَ الْمُخَالِفِ. Keseimbangan dalam menilai orang lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8). Juga berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan saksi karena Allah, walaupun kesaksian itu memberatkan dirimu sendiri, ibu bapakmu, atau kerabatmu. Jika dia (yang diberatkan dalam kesaksian) kaya atau miskin, Allah lebih layak tahu (kemaslahatan) keduanya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang (dari kebenaran).” (QS. An-Nisa: 135). Juga berfirman: وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا “Apabila kamu berbicara, lakukanlah secara adil.” (QS. Al-An’am: 152). Nash-nash Al-Qur’an ini menunjukkan wajibnya untuk selalu berusaha adil dan objektif dalam menilai orang lain, tidak meremehkan kelemahan orang lain, menjauhi permusuhan, dan tidak terbawa hembusan perasaan, bahkan terhadap orang yang berbeda pendapat. 8- التَّوَازُنُ فِي الْعَوَاطِفِ وَالْمَشَاعِرِ: بِأَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ مُعْتَدِلًا فِي مَشَاعِرِهِ، وَعَوَاطِفِهِ، وَانْفِعَالَاتِهِ؛ فَلَا يُسْرِفُ إِذَا أَحَبَّ، وَلَا يُسْرِفُ إِذَا أَبْغَضَ، وَلَا يَفْجُرُ إِذَا خَاصَمَ؛ بَلْ يَحْكُمُ مَشَاعِرَهُ بِحُكْمِ الشَّرِيعَةِ، وَيَضْبِطُهَا بِضَابِطِ الْعَقْلِ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا» صَحِيحٌ – رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. وَعَنْ أَسْلَمَ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «‌لَا ‌يَكُنْ ‌حُبُّكَ ‌كَلَفًا، وَلَا بُغْضُكَ تَلَفًا»، فَقُلْتُ: كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ: «إِذَا أَحْبَبْتَ كَلِفْتَ كَلَفَ الصَّبِيِّ[من (الكلف) وهو الولوع بالشيء مع شُغل قلب]، وَإِذَا أَبْغَضْتَ أَحْبَبْتَ لِصَاحِبِكَ التَّلَفَ» صَحِيحٌ – رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي “الْأَدَبِ الْمُفْرَدِ”. فَمِنَ النَّاسِ: مَنْ يَفْنَى فِي مَحْبُوبِهِ؛ فَرُبَّمَا قَادَهُ إِلَى الْعِشْقِ وَالِانْجِذَابِ، وَمِنْهُمْ: مَنْ يَحْتَرِقُ بِجَحِيمِ بُغْضِهِ؛ فَيَحْمِلُهُ عَلَى الْحَسَدِ وَالْمُضَارَّةِ وَالْعُدْوَانِ، أَوْ يَمْنَعُهُ فَضِيلَةَ الْعَفْوِ. فَلَا بُدَّ لِلْمُسْلِمِ: أَنْ يَضْبِطَ مَشَاعِرَهُ، وَيُقَيِّدَ انْفِعَالَاتِهِ؛ فَلَا تُوبِقُهُ بِسُوءِ عَمَلِهِ. Keseimbangan dalam perasaan dan emosi Yaitu menjadi insan yang seimbang dalam perasaan dan emosinya, tidak berlebihan dalam mencintai dan membenci, dan tidak curang saat berselisih. Dia mengatur emosinya dengan aturan syariat, dan mendisiplinkannya dengan akal sehat. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا؛ عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا “Cintailah kekasihmu dengan sekedarnya saja, karena bisa jadi ia menjadi yang kamu benci suatu hari nanti, dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, karena bisa jadi ia menjadi kekasihmu suatu hari nanti.” (Hadis sahih, riwayatAt-Tirmidzi). Diriwayatkan dari Aslam, pelayan Umar bin Khattab, ia menceritakan, “Umar bin Khattab pernah berkata kepadaku, ‘Jangan sampai cintamu menjadi beban, dan kebencianmu menjadi perusak.’ Aku pun bertanya, ‘Bagaimana bisa begitu?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu jika kamu mencintai kamu cinta buta, dan jika kamu membenci, kamu ingin agar orang itu hancur.’” (Riwayat sahih, Diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad). Ada orang yang cinta mati kepada kekasihnya, hingga ia benar-benar terpaut kepadanya, ada juga orang yang terbakar oleh api kebencian, hingga membuatnya bersikap dengki, merusak, dan memusuhi, atau menghalanginya dari pemberian maaf. Oleh karena itu, insan muslim harus mengatur perasaannya dan mendisiplinkan emosinya, agar tidak dia tidak dibinasakan oleh keburukan perbuatannya. Sumber: https://www.alukah.net/web/m.aldosary/0/177511/التوازن-في-حياة-المسلم-خطبة/ Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 62 times, 1 visit(s) today Post Views: 119 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 24): Jama’ Muannats Salim (Lanjutan)

Jama’ muannats salim (lanjutan)Materi ini merupakan lanjutan pembahasan tentang Jama’ muannats salim. Setelah sebelumnya mempelajari pengertian, ciri, dan i’rab Jama’ muannats salim, pada bagian ini kita akan membahas bentuk-bentuk kata yang mirip, namun tidak termasuk ke dalam kategori tersebut. Pembahasan akan mencakup perbedaan antara alif atau taa’ asli dengan alif atau taa’ tambahan, serta beberapa bentuk isim yang termasuk mulhaq jama’ muannats salim dan isim maa laa yanshorif. Pemahaman lanjutan ini akan membantu kita lebih cermat dalam mengidentifikasi dan meng-i’rab kata sesuai kaidah nahwu.Pensyarah kitab menjelaskan, “Tidak termasuk dalam pembahasan ini jika alif-nya berupa alif asli. Pada isim muannats salim, terdapat alif tambahan. Jika ada suatu kata yang diakhiri oleh alif asli, maka itu bukan isim jama’ muannats salim.”Contohnya adalah:قُضَاةٌ“Para hakim.”غُزَاةٌ“Para penyerang.”Huruf taa’ pada dua contoh di atas terlihat seperti alif tambahan, padahal aslinya huruf alif tersebut adalah huruf asli karena alif tersebut adalah pengganti dari huruf asli. Alif tersebut merupakan bentuk perubahan dari huruf aslinya.Kata aslinya adalah:قُضَايَةٌ“Hakim.”Proses perubahannya adalah huruf ق di atas diberi harakat dhammah, dan huruf ض serta ي diberi harakat fathah. Kata قُضَايَةٌ berasal dari fi‘il madhi قَضَيْتُ. Huruf ي dan huruf sebelumnya pada kata قَضَيْتُ tersebut diberi harakat fathah, kemudian huruf ي tersebut diganti dengan huruf alif, sehingga menjadi: قُضَاةٌ.Kata tersebut manshub dengan tanda fathah. Contohnya adalah:أَكْرَمْتُ قُضَاةَ الْبَلَدِ“Aku memuliakan para hakim negeri ini.”Tidak termasuk pula dalam pembahasan ini jika huruf taa’nya berupa taa’ asli. Contohnya seperti:بَيْتٌ“Rumah.”Bentuk jama’-nya adalah:أَبْيَاتٌ“Rumah-rumah.”مَيْتٌ“Mayat.”Bentuk jamaknya adalah:أَمْوَاتٌ“Mayat-mayat.”صَوْتٌ“Suara.”Bentuk jamaknya adalah:أَصْوَاتٌ“Suara-suara.”Contoh-contoh pada bentuk jamak dari masing-masing kata di atas adalah taa’ asli. Alasannya adalah adanya huruf taa’ pada bentuk mufrad-nya juga. Sehingga huruf taa’ di sana bukanlah huruf taa’ tambahan, melainkan huruf taa’ asli.Oleh karena itu, contoh-contoh kata di atas manshub dengan tanda fathah, bukan dengan kasrah seperti isim jama’ muannats salim.Adapun maksud dari Ibnu Hisyam terkait kata أُولَاتُ adalah, ini adalah kata yang pertama yang termasuk bagian dari isim mulhaq jama’ muannats salim. Kata tersebut dimasukkan dalam kategori mulhaq jama’ muannats salim dikarenakan kata tersebut tidak memiliki bentuk kata mufrad, bahkan maknanya adalah:صَاحِبَاتُ“Pemilik-pemilik.”Bentuk mufradnya adalah:صَاحِبَةٌ“Pemilik.”Kata tersebut selalu sebagai idhoofah untuk isim jenis. Meskipun berbentuk jama’, kata ini tidak di-tanwin.Contohnya sebagai berikut:جَاءَتْ أُولَاتُ أَدَبٍ“Telah datang wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَاتُ dalam kalimat ini berkedudukan sebagai fa’il marfu’ dengan tanda dhammah.رَأَيْتُ أُولَاتِ أَدَبٍ“Aku telah melihat wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَات berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub, dan tandanya adalah kasrah.وَمَرَرْتُ بِأُولَاتِ أَدَبٍ“Saya telah melewati wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَات pada contoh diatas berkedudukan sebagai isim majrur dengan tanda kasrah, karena didahului huruf jer bi.Contoh dalam Al-Qur’an terdapat pada:Surah At-Thalaq ayat 4:وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ“Dan wanita-wanita yang hamil, waktu idah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” Kata أُولَاتُ الْأَحْمَالِ berkedudukan sebagai mubtada marfu’ dengan tanda dhammah. Kata الْأَحْمَالِ sebagai mudhof ilaih. Kalimat setelahnya أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ  adalah khabar. Taqdirnya: أَجَلُهُنَّ وَضْعُ حَمْلِهِنَّ.Surah At-Thalaq ayat 6:فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ“Kemudian jika mereka menyusui (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya…” Dalam ayat ini, أُولُو dalam konteks lain juga menunjukkan bentuk jama’ yang masuk kategori serupa, dengan i’rab kedudukan sebagai khabar kaana, dan isim kaana-nya adalah nun inats yang di-idgham-kan pada nun kaana.Menurut Ibnu Hisyam:وَمَا سُمِّيَ بِهِ مِنْهُمَا“Nama-nama yang berasal dari keduanya (yakni ulaatu dan jama’ muannats salim)…”Yang dimaksud adalah kata yang menggunakan bentuk jama’ namun diperlakukan sebagaimana isim mufrad, karena sudah menjadi nama khusus.Contohnya:فَاطِمَاتٌ“Seseorang yang bernama “Fathimah”.”زَيْنَبَاتٌ“Seseorang yang bernama “Zainab”.”Meskipun berbentuk jama’, digunakan untuk satu orang perempuan. Contoh lainya adalah:عَرَفَاتٌ“Arafah (nama tempat pelaksanaan haji).”هَذِهِ عَرَفَاتٌ“Ini adalah Arafah (nama tempat).”Kata عَرَفَات pada kalimat di atas berkedudukan sebagai khabar mubtada marfu’.وَرَأَيْتُ عَرَفَاتٍ“Aku telah melihat Arafah.”Kata tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub.وَمَرَرْتُ بِعَرَفَاتٍ“Saya melewati Arafah.”Kata tersebut berkedudukan sebagai isim majrur karena didahului huruf jer bi.Contoh dalam Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah ayat 198:فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ“Apabila kamu telah bertolak dari Arafah, maka berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram…”Pembahasan lanjutan mengenai Jama’ muannats salim menegaskan pentingnya ketelitian dalam membedakan bentuk kata yang secara lahiriah mirip, namun secara kaidah nahwu tidak termasuk kategori jama’ muannats salim. Perbedaan mendasar terletak pada keberadaan alif dan taa’ asli yang tidak dianggap sebagai tambahan, sehingga kata yang memilikinya tidak diperlakukan dengan i‘rab khas jama’ muannats salim. Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk isim mulhaq seperti أُولَاتُ yang meskipun berbentuk jamak, tetap mengikuti hukum jama’ muannats salim, serta bentuk isim maa laa yansharif yang memiliki kekhususan dalam i‘rab. Bahkan, beberapa kata yang berbentuk jama’ dapat digunakan sebagai nama khusus seperti عَرَفَات atau bentuk jamak yang diperlakukan untuk satu orang, seperti فَاطِمَات.Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut tidak hanya memperluas wawasan kaidah nahwu, tetapi juga meningkatkan kecermatan dalam mengidentifikasi dan menentukan i‘rab kata secara tepat, baik dalam konteks gramatikal maupun dalam pemakaian praktis pada Al-Qur’an maupun bahasa Arab sehari-hari.[Bersambung]Kembali ke bagian 23 Lanjut ke bagian 25***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 24): Jama’ Muannats Salim (Lanjutan)

Jama’ muannats salim (lanjutan)Materi ini merupakan lanjutan pembahasan tentang Jama’ muannats salim. Setelah sebelumnya mempelajari pengertian, ciri, dan i’rab Jama’ muannats salim, pada bagian ini kita akan membahas bentuk-bentuk kata yang mirip, namun tidak termasuk ke dalam kategori tersebut. Pembahasan akan mencakup perbedaan antara alif atau taa’ asli dengan alif atau taa’ tambahan, serta beberapa bentuk isim yang termasuk mulhaq jama’ muannats salim dan isim maa laa yanshorif. Pemahaman lanjutan ini akan membantu kita lebih cermat dalam mengidentifikasi dan meng-i’rab kata sesuai kaidah nahwu.Pensyarah kitab menjelaskan, “Tidak termasuk dalam pembahasan ini jika alif-nya berupa alif asli. Pada isim muannats salim, terdapat alif tambahan. Jika ada suatu kata yang diakhiri oleh alif asli, maka itu bukan isim jama’ muannats salim.”Contohnya adalah:قُضَاةٌ“Para hakim.”غُزَاةٌ“Para penyerang.”Huruf taa’ pada dua contoh di atas terlihat seperti alif tambahan, padahal aslinya huruf alif tersebut adalah huruf asli karena alif tersebut adalah pengganti dari huruf asli. Alif tersebut merupakan bentuk perubahan dari huruf aslinya.Kata aslinya adalah:قُضَايَةٌ“Hakim.”Proses perubahannya adalah huruf ق di atas diberi harakat dhammah, dan huruf ض serta ي diberi harakat fathah. Kata قُضَايَةٌ berasal dari fi‘il madhi قَضَيْتُ. Huruf ي dan huruf sebelumnya pada kata قَضَيْتُ tersebut diberi harakat fathah, kemudian huruf ي tersebut diganti dengan huruf alif, sehingga menjadi: قُضَاةٌ.Kata tersebut manshub dengan tanda fathah. Contohnya adalah:أَكْرَمْتُ قُضَاةَ الْبَلَدِ“Aku memuliakan para hakim negeri ini.”Tidak termasuk pula dalam pembahasan ini jika huruf taa’nya berupa taa’ asli. Contohnya seperti:بَيْتٌ“Rumah.”Bentuk jama’-nya adalah:أَبْيَاتٌ“Rumah-rumah.”مَيْتٌ“Mayat.”Bentuk jamaknya adalah:أَمْوَاتٌ“Mayat-mayat.”صَوْتٌ“Suara.”Bentuk jamaknya adalah:أَصْوَاتٌ“Suara-suara.”Contoh-contoh pada bentuk jamak dari masing-masing kata di atas adalah taa’ asli. Alasannya adalah adanya huruf taa’ pada bentuk mufrad-nya juga. Sehingga huruf taa’ di sana bukanlah huruf taa’ tambahan, melainkan huruf taa’ asli.Oleh karena itu, contoh-contoh kata di atas manshub dengan tanda fathah, bukan dengan kasrah seperti isim jama’ muannats salim.Adapun maksud dari Ibnu Hisyam terkait kata أُولَاتُ adalah, ini adalah kata yang pertama yang termasuk bagian dari isim mulhaq jama’ muannats salim. Kata tersebut dimasukkan dalam kategori mulhaq jama’ muannats salim dikarenakan kata tersebut tidak memiliki bentuk kata mufrad, bahkan maknanya adalah:صَاحِبَاتُ“Pemilik-pemilik.”Bentuk mufradnya adalah:صَاحِبَةٌ“Pemilik.”Kata tersebut selalu sebagai idhoofah untuk isim jenis. Meskipun berbentuk jama’, kata ini tidak di-tanwin.Contohnya sebagai berikut:جَاءَتْ أُولَاتُ أَدَبٍ“Telah datang wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَاتُ dalam kalimat ini berkedudukan sebagai fa’il marfu’ dengan tanda dhammah.رَأَيْتُ أُولَاتِ أَدَبٍ“Aku telah melihat wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَات berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub, dan tandanya adalah kasrah.وَمَرَرْتُ بِأُولَاتِ أَدَبٍ“Saya telah melewati wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَات pada contoh diatas berkedudukan sebagai isim majrur dengan tanda kasrah, karena didahului huruf jer bi.Contoh dalam Al-Qur’an terdapat pada:Surah At-Thalaq ayat 4:وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ“Dan wanita-wanita yang hamil, waktu idah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” Kata أُولَاتُ الْأَحْمَالِ berkedudukan sebagai mubtada marfu’ dengan tanda dhammah. Kata الْأَحْمَالِ sebagai mudhof ilaih. Kalimat setelahnya أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ  adalah khabar. Taqdirnya: أَجَلُهُنَّ وَضْعُ حَمْلِهِنَّ.Surah At-Thalaq ayat 6:فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ“Kemudian jika mereka menyusui (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya…” Dalam ayat ini, أُولُو dalam konteks lain juga menunjukkan bentuk jama’ yang masuk kategori serupa, dengan i’rab kedudukan sebagai khabar kaana, dan isim kaana-nya adalah nun inats yang di-idgham-kan pada nun kaana.Menurut Ibnu Hisyam:وَمَا سُمِّيَ بِهِ مِنْهُمَا“Nama-nama yang berasal dari keduanya (yakni ulaatu dan jama’ muannats salim)…”Yang dimaksud adalah kata yang menggunakan bentuk jama’ namun diperlakukan sebagaimana isim mufrad, karena sudah menjadi nama khusus.Contohnya:فَاطِمَاتٌ“Seseorang yang bernama “Fathimah”.”زَيْنَبَاتٌ“Seseorang yang bernama “Zainab”.”Meskipun berbentuk jama’, digunakan untuk satu orang perempuan. Contoh lainya adalah:عَرَفَاتٌ“Arafah (nama tempat pelaksanaan haji).”هَذِهِ عَرَفَاتٌ“Ini adalah Arafah (nama tempat).”Kata عَرَفَات pada kalimat di atas berkedudukan sebagai khabar mubtada marfu’.وَرَأَيْتُ عَرَفَاتٍ“Aku telah melihat Arafah.”Kata tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub.وَمَرَرْتُ بِعَرَفَاتٍ“Saya melewati Arafah.”Kata tersebut berkedudukan sebagai isim majrur karena didahului huruf jer bi.Contoh dalam Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah ayat 198:فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ“Apabila kamu telah bertolak dari Arafah, maka berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram…”Pembahasan lanjutan mengenai Jama’ muannats salim menegaskan pentingnya ketelitian dalam membedakan bentuk kata yang secara lahiriah mirip, namun secara kaidah nahwu tidak termasuk kategori jama’ muannats salim. Perbedaan mendasar terletak pada keberadaan alif dan taa’ asli yang tidak dianggap sebagai tambahan, sehingga kata yang memilikinya tidak diperlakukan dengan i‘rab khas jama’ muannats salim. Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk isim mulhaq seperti أُولَاتُ yang meskipun berbentuk jamak, tetap mengikuti hukum jama’ muannats salim, serta bentuk isim maa laa yansharif yang memiliki kekhususan dalam i‘rab. Bahkan, beberapa kata yang berbentuk jama’ dapat digunakan sebagai nama khusus seperti عَرَفَات atau bentuk jamak yang diperlakukan untuk satu orang, seperti فَاطِمَات.Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut tidak hanya memperluas wawasan kaidah nahwu, tetapi juga meningkatkan kecermatan dalam mengidentifikasi dan menentukan i‘rab kata secara tepat, baik dalam konteks gramatikal maupun dalam pemakaian praktis pada Al-Qur’an maupun bahasa Arab sehari-hari.[Bersambung]Kembali ke bagian 23 Lanjut ke bagian 25***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id
Jama’ muannats salim (lanjutan)Materi ini merupakan lanjutan pembahasan tentang Jama’ muannats salim. Setelah sebelumnya mempelajari pengertian, ciri, dan i’rab Jama’ muannats salim, pada bagian ini kita akan membahas bentuk-bentuk kata yang mirip, namun tidak termasuk ke dalam kategori tersebut. Pembahasan akan mencakup perbedaan antara alif atau taa’ asli dengan alif atau taa’ tambahan, serta beberapa bentuk isim yang termasuk mulhaq jama’ muannats salim dan isim maa laa yanshorif. Pemahaman lanjutan ini akan membantu kita lebih cermat dalam mengidentifikasi dan meng-i’rab kata sesuai kaidah nahwu.Pensyarah kitab menjelaskan, “Tidak termasuk dalam pembahasan ini jika alif-nya berupa alif asli. Pada isim muannats salim, terdapat alif tambahan. Jika ada suatu kata yang diakhiri oleh alif asli, maka itu bukan isim jama’ muannats salim.”Contohnya adalah:قُضَاةٌ“Para hakim.”غُزَاةٌ“Para penyerang.”Huruf taa’ pada dua contoh di atas terlihat seperti alif tambahan, padahal aslinya huruf alif tersebut adalah huruf asli karena alif tersebut adalah pengganti dari huruf asli. Alif tersebut merupakan bentuk perubahan dari huruf aslinya.Kata aslinya adalah:قُضَايَةٌ“Hakim.”Proses perubahannya adalah huruf ق di atas diberi harakat dhammah, dan huruf ض serta ي diberi harakat fathah. Kata قُضَايَةٌ berasal dari fi‘il madhi قَضَيْتُ. Huruf ي dan huruf sebelumnya pada kata قَضَيْتُ tersebut diberi harakat fathah, kemudian huruf ي tersebut diganti dengan huruf alif, sehingga menjadi: قُضَاةٌ.Kata tersebut manshub dengan tanda fathah. Contohnya adalah:أَكْرَمْتُ قُضَاةَ الْبَلَدِ“Aku memuliakan para hakim negeri ini.”Tidak termasuk pula dalam pembahasan ini jika huruf taa’nya berupa taa’ asli. Contohnya seperti:بَيْتٌ“Rumah.”Bentuk jama’-nya adalah:أَبْيَاتٌ“Rumah-rumah.”مَيْتٌ“Mayat.”Bentuk jamaknya adalah:أَمْوَاتٌ“Mayat-mayat.”صَوْتٌ“Suara.”Bentuk jamaknya adalah:أَصْوَاتٌ“Suara-suara.”Contoh-contoh pada bentuk jamak dari masing-masing kata di atas adalah taa’ asli. Alasannya adalah adanya huruf taa’ pada bentuk mufrad-nya juga. Sehingga huruf taa’ di sana bukanlah huruf taa’ tambahan, melainkan huruf taa’ asli.Oleh karena itu, contoh-contoh kata di atas manshub dengan tanda fathah, bukan dengan kasrah seperti isim jama’ muannats salim.Adapun maksud dari Ibnu Hisyam terkait kata أُولَاتُ adalah, ini adalah kata yang pertama yang termasuk bagian dari isim mulhaq jama’ muannats salim. Kata tersebut dimasukkan dalam kategori mulhaq jama’ muannats salim dikarenakan kata tersebut tidak memiliki bentuk kata mufrad, bahkan maknanya adalah:صَاحِبَاتُ“Pemilik-pemilik.”Bentuk mufradnya adalah:صَاحِبَةٌ“Pemilik.”Kata tersebut selalu sebagai idhoofah untuk isim jenis. Meskipun berbentuk jama’, kata ini tidak di-tanwin.Contohnya sebagai berikut:جَاءَتْ أُولَاتُ أَدَبٍ“Telah datang wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَاتُ dalam kalimat ini berkedudukan sebagai fa’il marfu’ dengan tanda dhammah.رَأَيْتُ أُولَاتِ أَدَبٍ“Aku telah melihat wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَات berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub, dan tandanya adalah kasrah.وَمَرَرْتُ بِأُولَاتِ أَدَبٍ“Saya telah melewati wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَات pada contoh diatas berkedudukan sebagai isim majrur dengan tanda kasrah, karena didahului huruf jer bi.Contoh dalam Al-Qur’an terdapat pada:Surah At-Thalaq ayat 4:وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ“Dan wanita-wanita yang hamil, waktu idah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” Kata أُولَاتُ الْأَحْمَالِ berkedudukan sebagai mubtada marfu’ dengan tanda dhammah. Kata الْأَحْمَالِ sebagai mudhof ilaih. Kalimat setelahnya أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ  adalah khabar. Taqdirnya: أَجَلُهُنَّ وَضْعُ حَمْلِهِنَّ.Surah At-Thalaq ayat 6:فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ“Kemudian jika mereka menyusui (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya…” Dalam ayat ini, أُولُو dalam konteks lain juga menunjukkan bentuk jama’ yang masuk kategori serupa, dengan i’rab kedudukan sebagai khabar kaana, dan isim kaana-nya adalah nun inats yang di-idgham-kan pada nun kaana.Menurut Ibnu Hisyam:وَمَا سُمِّيَ بِهِ مِنْهُمَا“Nama-nama yang berasal dari keduanya (yakni ulaatu dan jama’ muannats salim)…”Yang dimaksud adalah kata yang menggunakan bentuk jama’ namun diperlakukan sebagaimana isim mufrad, karena sudah menjadi nama khusus.Contohnya:فَاطِمَاتٌ“Seseorang yang bernama “Fathimah”.”زَيْنَبَاتٌ“Seseorang yang bernama “Zainab”.”Meskipun berbentuk jama’, digunakan untuk satu orang perempuan. Contoh lainya adalah:عَرَفَاتٌ“Arafah (nama tempat pelaksanaan haji).”هَذِهِ عَرَفَاتٌ“Ini adalah Arafah (nama tempat).”Kata عَرَفَات pada kalimat di atas berkedudukan sebagai khabar mubtada marfu’.وَرَأَيْتُ عَرَفَاتٍ“Aku telah melihat Arafah.”Kata tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub.وَمَرَرْتُ بِعَرَفَاتٍ“Saya melewati Arafah.”Kata tersebut berkedudukan sebagai isim majrur karena didahului huruf jer bi.Contoh dalam Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah ayat 198:فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ“Apabila kamu telah bertolak dari Arafah, maka berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram…”Pembahasan lanjutan mengenai Jama’ muannats salim menegaskan pentingnya ketelitian dalam membedakan bentuk kata yang secara lahiriah mirip, namun secara kaidah nahwu tidak termasuk kategori jama’ muannats salim. Perbedaan mendasar terletak pada keberadaan alif dan taa’ asli yang tidak dianggap sebagai tambahan, sehingga kata yang memilikinya tidak diperlakukan dengan i‘rab khas jama’ muannats salim. Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk isim mulhaq seperti أُولَاتُ yang meskipun berbentuk jamak, tetap mengikuti hukum jama’ muannats salim, serta bentuk isim maa laa yansharif yang memiliki kekhususan dalam i‘rab. Bahkan, beberapa kata yang berbentuk jama’ dapat digunakan sebagai nama khusus seperti عَرَفَات atau bentuk jamak yang diperlakukan untuk satu orang, seperti فَاطِمَات.Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut tidak hanya memperluas wawasan kaidah nahwu, tetapi juga meningkatkan kecermatan dalam mengidentifikasi dan menentukan i‘rab kata secara tepat, baik dalam konteks gramatikal maupun dalam pemakaian praktis pada Al-Qur’an maupun bahasa Arab sehari-hari.[Bersambung]Kembali ke bagian 23 Lanjut ke bagian 25***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id


Jama’ muannats salim (lanjutan)Materi ini merupakan lanjutan pembahasan tentang Jama’ muannats salim. Setelah sebelumnya mempelajari pengertian, ciri, dan i’rab Jama’ muannats salim, pada bagian ini kita akan membahas bentuk-bentuk kata yang mirip, namun tidak termasuk ke dalam kategori tersebut. Pembahasan akan mencakup perbedaan antara alif atau taa’ asli dengan alif atau taa’ tambahan, serta beberapa bentuk isim yang termasuk mulhaq jama’ muannats salim dan isim maa laa yanshorif. Pemahaman lanjutan ini akan membantu kita lebih cermat dalam mengidentifikasi dan meng-i’rab kata sesuai kaidah nahwu.Pensyarah kitab menjelaskan, “Tidak termasuk dalam pembahasan ini jika alif-nya berupa alif asli. Pada isim muannats salim, terdapat alif tambahan. Jika ada suatu kata yang diakhiri oleh alif asli, maka itu bukan isim jama’ muannats salim.”Contohnya adalah:قُضَاةٌ“Para hakim.”غُزَاةٌ“Para penyerang.”Huruf taa’ pada dua contoh di atas terlihat seperti alif tambahan, padahal aslinya huruf alif tersebut adalah huruf asli karena alif tersebut adalah pengganti dari huruf asli. Alif tersebut merupakan bentuk perubahan dari huruf aslinya.Kata aslinya adalah:قُضَايَةٌ“Hakim.”Proses perubahannya adalah huruf ق di atas diberi harakat dhammah, dan huruf ض serta ي diberi harakat fathah. Kata قُضَايَةٌ berasal dari fi‘il madhi قَضَيْتُ. Huruf ي dan huruf sebelumnya pada kata قَضَيْتُ tersebut diberi harakat fathah, kemudian huruf ي tersebut diganti dengan huruf alif, sehingga menjadi: قُضَاةٌ.Kata tersebut manshub dengan tanda fathah. Contohnya adalah:أَكْرَمْتُ قُضَاةَ الْبَلَدِ“Aku memuliakan para hakim negeri ini.”Tidak termasuk pula dalam pembahasan ini jika huruf taa’nya berupa taa’ asli. Contohnya seperti:بَيْتٌ“Rumah.”Bentuk jama’-nya adalah:أَبْيَاتٌ“Rumah-rumah.”مَيْتٌ“Mayat.”Bentuk jamaknya adalah:أَمْوَاتٌ“Mayat-mayat.”صَوْتٌ“Suara.”Bentuk jamaknya adalah:أَصْوَاتٌ“Suara-suara.”Contoh-contoh pada bentuk jamak dari masing-masing kata di atas adalah taa’ asli. Alasannya adalah adanya huruf taa’ pada bentuk mufrad-nya juga. Sehingga huruf taa’ di sana bukanlah huruf taa’ tambahan, melainkan huruf taa’ asli.Oleh karena itu, contoh-contoh kata di atas manshub dengan tanda fathah, bukan dengan kasrah seperti isim jama’ muannats salim.Adapun maksud dari Ibnu Hisyam terkait kata أُولَاتُ adalah, ini adalah kata yang pertama yang termasuk bagian dari isim mulhaq jama’ muannats salim. Kata tersebut dimasukkan dalam kategori mulhaq jama’ muannats salim dikarenakan kata tersebut tidak memiliki bentuk kata mufrad, bahkan maknanya adalah:صَاحِبَاتُ“Pemilik-pemilik.”Bentuk mufradnya adalah:صَاحِبَةٌ“Pemilik.”Kata tersebut selalu sebagai idhoofah untuk isim jenis. Meskipun berbentuk jama’, kata ini tidak di-tanwin.Contohnya sebagai berikut:جَاءَتْ أُولَاتُ أَدَبٍ“Telah datang wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَاتُ dalam kalimat ini berkedudukan sebagai fa’il marfu’ dengan tanda dhammah.رَأَيْتُ أُولَاتِ أَدَبٍ“Aku telah melihat wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَات berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub, dan tandanya adalah kasrah.وَمَرَرْتُ بِأُولَاتِ أَدَبٍ“Saya telah melewati wanita-wanita yang beradab.”Kata أُولَات pada contoh diatas berkedudukan sebagai isim majrur dengan tanda kasrah, karena didahului huruf jer bi.Contoh dalam Al-Qur’an terdapat pada:Surah At-Thalaq ayat 4:وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ“Dan wanita-wanita yang hamil, waktu idah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” Kata أُولَاتُ الْأَحْمَالِ berkedudukan sebagai mubtada marfu’ dengan tanda dhammah. Kata الْأَحْمَالِ sebagai mudhof ilaih. Kalimat setelahnya أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ  adalah khabar. Taqdirnya: أَجَلُهُنَّ وَضْعُ حَمْلِهِنَّ.Surah At-Thalaq ayat 6:فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ“Kemudian jika mereka menyusui (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya…” Dalam ayat ini, أُولُو dalam konteks lain juga menunjukkan bentuk jama’ yang masuk kategori serupa, dengan i’rab kedudukan sebagai khabar kaana, dan isim kaana-nya adalah nun inats yang di-idgham-kan pada nun kaana.Menurut Ibnu Hisyam:وَمَا سُمِّيَ بِهِ مِنْهُمَا“Nama-nama yang berasal dari keduanya (yakni ulaatu dan jama’ muannats salim)…”Yang dimaksud adalah kata yang menggunakan bentuk jama’ namun diperlakukan sebagaimana isim mufrad, karena sudah menjadi nama khusus.Contohnya:فَاطِمَاتٌ“Seseorang yang bernama “Fathimah”.”زَيْنَبَاتٌ“Seseorang yang bernama “Zainab”.”Meskipun berbentuk jama’, digunakan untuk satu orang perempuan. Contoh lainya adalah:عَرَفَاتٌ“Arafah (nama tempat pelaksanaan haji).”هَذِهِ عَرَفَاتٌ“Ini adalah Arafah (nama tempat).”Kata عَرَفَات pada kalimat di atas berkedudukan sebagai khabar mubtada marfu’.وَرَأَيْتُ عَرَفَاتٍ“Aku telah melihat Arafah.”Kata tersebut berkedudukan sebagai maf’ul bih manshub.وَمَرَرْتُ بِعَرَفَاتٍ“Saya melewati Arafah.”Kata tersebut berkedudukan sebagai isim majrur karena didahului huruf jer bi.Contoh dalam Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah ayat 198:فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ“Apabila kamu telah bertolak dari Arafah, maka berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram…”Pembahasan lanjutan mengenai Jama’ muannats salim menegaskan pentingnya ketelitian dalam membedakan bentuk kata yang secara lahiriah mirip, namun secara kaidah nahwu tidak termasuk kategori jama’ muannats salim. Perbedaan mendasar terletak pada keberadaan alif dan taa’ asli yang tidak dianggap sebagai tambahan, sehingga kata yang memilikinya tidak diperlakukan dengan i‘rab khas jama’ muannats salim. Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk isim mulhaq seperti أُولَاتُ yang meskipun berbentuk jamak, tetap mengikuti hukum jama’ muannats salim, serta bentuk isim maa laa yansharif yang memiliki kekhususan dalam i‘rab. Bahkan, beberapa kata yang berbentuk jama’ dapat digunakan sebagai nama khusus seperti عَرَفَات atau bentuk jamak yang diperlakukan untuk satu orang, seperti فَاطِمَات.Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut tidak hanya memperluas wawasan kaidah nahwu, tetapi juga meningkatkan kecermatan dalam mengidentifikasi dan menentukan i‘rab kata secara tepat, baik dalam konteks gramatikal maupun dalam pemakaian praktis pada Al-Qur’an maupun bahasa Arab sehari-hari.[Bersambung]Kembali ke bagian 23 Lanjut ke bagian 25***Penulis: Rafi NugrahaArtikel Muslim.or.id

Nasihat Untukmu yang Selalu Merasa Gagal dalam Kehidupan

Daftar Isi TogglePertama: Kembali kepada Allah dan adukan segala permasalahan hanya kepada-NyaKedua: Intropeksi diriKetiga: Perbanyak doaKeempat: Bersabar menunggu jawaban dan solusi dari Allah Ta’alaKelima: Berprasangkalah baik kepada Allah Ta’alaKeenam: Mendekatkan diri kepada Al-Qur’anPenutupDalam perjalanan hidup, setiap manusia pasti pernah merasakan yang namanya gagal: gagal mencapai cita-cita, gagal dalam berusaha, atau gagal mewujudkan harapan yang telah lama diperjuangkan. Kegagalan sering kali membuat hati goyah, semangat menurun, bahkan tidak jarang menimbulkan perasaan putus asa. Padahal, di balik setiap kegagalan tersimpan pelajaran berharga dan rahmat Allah yang tersembunyi.Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menyerah pada keadaan. Justru, syariat memandang kegagalan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan dan peningkatan iman. Melalui ujian dan kesulitan, Allah ingin menumbuhkan dalam diri hamba-Nya sifat sabar, tawakal, dan pengharapan hanya kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ۝ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.’” (QS. Al-Baqarah: 155–156)Karena itu, kegagalan bukanlah akhir segalanya, melainkan pintu untuk semakin mendekat kepada Allah. Ia adalah cermin yang mengajarkan kita untuk introspeksi, memperbaiki niat, serta memperkuat doa dan tawakal.Berikut ini adalah beberapa nasihat dan kiat-kiat yang ditawarkan oleh syariat untuk menguatkan diri kita tatkala ujian dan kegagalan itu terus datang bertubi-tubi kepada kita.Pertama: Kembali kepada Allah dan adukan segala permasalahan hanya kepada-NyaAllah, Dialah Dzat yang Maha Pengampun, lagi Maha Memberi Kemudahan bagi siapa saja yang Ia kehendaki. Oleh karenanya, mintalah ampun serta mohonlah pertolongan kepada Allah dengan penuh kejujuran, dan berharap kepada-Nya untuk menyelesaikan segala hajat kita, terutama di sepertiga malam terakhir. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan,يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي، فأسْتَجِيبَ له؟ مَن يَسْأَلُنِي فأُعْطِيَهُ؟ مَن يَستَغْفِرُني فأغْفِرَ له؟“Tuhan kita, Tabaraka wa Ta’ala, turun ke langit dunia setiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berfirman, ‘Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Siapa saja yang meminta kepada-Ku, akan Aku berikan. Siapa saja yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)Hal ini sebagaimana keteladanan dari Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, tatkala ia mendapatkan ujian kehilangan anaknya, Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Allah berfirman tentangnya,قال إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah  yang tidak kalian ketahui.” (QS. Yusuf: 86)Kemudian, Allah menghilangkan kesedihannya dan mengembalikan putranya kepadanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika setiap kebaikan asalnya adalah taufik, dan taufik itu di tangan Allah, bukan di tangan hamba, maka kuncinya adalah doa, ketergantungan, kejujuran dalam memohon, serta kerinduan dan ketakutan kepada-Nya. Kapan pun seorang hamba diberi kunci ini, berarti Allah berkehendak untuk membukakan pintu baginya. Dan kapan pun hamba itu tersesat dari kunci itu, pintu kebaikan akan tetap tertutup baginya.” (Al-Fawaid, hal. 97)Kedua: Intropeksi diriKeberhasilan dan kegagalan pasti memiliki sebab, maka hendaknya kita melihat kembali apa yang telah kita lalui, adakah yang perlu kita benahi dan kita perbaiki?Karena sejatinya Allah tidak akan mengubah keadaan kita, kecuali jika kita juga berusaha mengubah diri kita sendiri. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ یُغَیِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَاۤ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمࣲ سُوۤءࣰا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah Ta’ala berfirman,وَمَاۤ أَصَـٰبَكُم مِّن مُّصِیبَةࣲ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَیۡدِیكُمۡ وَیَعۡفُوا۟ عَن كَثِیرࣲ “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu. maka karena perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)Ketiga: Perbanyak doaDi antara doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca di waktu pagi dan sore adalah,اللَّهُمَّ إنِّي أعوذُ بكَ منَ الهَمِّ والحَزَنِ، وأعوذُ بكَ منَ العَجزِ والكَسَلِ، وأعوذُ بكَ منَ الجُبنِ والبُخلِ، وأعوذُ بكَ من غَلَبةِ الدَّيْنِ وقَهرِ الرجالِ“Allaahumma innii a’uudzu bika minal hammi wal hazani wa a’uudzu bika minal ‘ajzi wal kasali, wa a’uudzu bika minal jubni wal bukhli wa a’uudzu bika min ghalabatid daini wa qahrir rijaal.”“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kegelisahan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan penindasan orang lain.”Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke masjid, dan di sana ada seorang Anshar yang bernama Abu Umamah. Beliau bertanya, ‘Wahai Abu Umamah, mengapa aku melihatmu duduk di masjid di luar waktu salat?’ Abu Umamah menjawab, ‘Karena kesedihan dan utang yang membelengguku, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Maukah aku ajarkan kepadamu sebuah ucapan yang jika kamu mengucapkannya, Allah akan menghilangkan kesedihanmu dan melunaskan utangmu?’ Abu Umamah menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda,قل إذا أصبحت وإذا أمسيت: اللَّهُمَّ إنِّي أعوذُ بك منَ الهَمِّ والحَزَنِ، وأعوذُ بكَ منَ العَجز والكَسَلِ، وأعوذُ بكَ منَ الجُبنِ والبُخلِ، وأعوذُ بكَ من غَلَبةِ الدَّيْنِ وقَهرِ الرجالِ‘Ucapkanlah di pagi dan sore hari, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kegelisahan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan penindasan orang lain.”Abu Umamah berkata, ‘Aku pun melakukannya, dan Allah menghilangkan kesedihanku serta melunaskan utangku.'” (HR. Abu Dawud no. 1555)Keempat: Bersabar menunggu jawaban dan solusi dari Allah Ta’alaDi antara penyebab kegagalan terus-menerus adalah tergesa-gesa mengambil keputusan ataupun tergesa-gesa ingin agar doanya dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Ini adalah salah satu musibah terbesar yang menimpa orang yang berdoa namun tergesa-gesa di dalamnya, hal ini akan berakibat pada kebosanan, frustrasi, dan keputusasaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan hal ini dengan sabdanya,يُسْتَجابُ لأحَدِكُمْ ما لَمْ يَعْجَلْ، يقولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي“Akan dikabulkan doa salah seorang di antara kalian selama ia tidak tergesa-gesa, ia berkata, ‘Aku telah berdoa, tetapi tidak dikabulkan.” (HR. Bukhari no. 6340 dan Muslim no. 2735)Kelima: Berprasangkalah baik kepada Allah Ta’alaMerendahlah di hadapan-Nya dan berprasangka baiklah kepada-Nya, karena Allah selalu bersama hamba-Nya yang mendekat kepada-Nya. Sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي، وأنا معهُ إذا ذَكَرَنِي، فإنْ ذَكَرَنِي في نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي، وإنْ ذَكَرَنِي في مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ في مَلَإٍ خَيْرٍ منهمْ، وإنْ تَقَرَّبَ إلَيَّ بشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِراعًا، وإنْ تَقَرَّبَ إلَيَّ ذِراعًا تَقَرَّبْتُ إلَيْهِ باعًا، وإنْ أتانِي يَمْشِي أتَيْتُهُ هَرْوَلَةً“Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya jika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di hadapan sekelompok orang, Aku akan mengingatnya di hadapan sekelompok yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta. Jika dia mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)Yakinkanlah bahwa Allah Ta’ala tidak akan menetapkan sesuatu kecuali demi kebaikan hamba-Nya yang beriman, baik hamba tersebut mengetahuinya maupun tidak.Seorang mukmin harus yakin bahwa apa yang Allah takdirkan baginya adalah yang terbaik baginya, baik untuk urusan di dunia maupun di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,ما يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِن نَصَبٍ ولَا وصَبٍ، ولَا هَمٍّ ولَا حُزْنٍ ولَا أذًى ولَا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بهَا مِن خَطَايَاهُ“Tidaklah seorang muslim ditimpa kelelahan, sakit, kegelisahan, kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni kesalahannya.” (HR. Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له.“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, karena seluruh urusannya adalah baik baginya. Dan itu tidaklah didapatkan kecuali oleh orang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)Keenam: Mendekatkan diri kepada Al-Qur’anAl-Qur’an adalah obat atau penawar bagi jiwa dan hati dan sumber ketenangan serta kebahagiaan hidup. Maka perbanyaklah membaca Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,وَنَزَّلۡنَا عَلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ تِبۡیَـٰنࣰا لِّكُلِّ شَیۡءࣲ وَهُدࣰى وَرَحۡمَةࣰ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِینَ“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nahl: 89)PenutupOrang yang beriman memahami bahwa setiap kesulitan adalah ladang pahala dan setiap air mata yang jatuh karena perjuangan akan berbuah ketenangan di kemudian hari. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6)Ayat ini menjadi pengingat bahwa tidak ada kesulitan yang abadi; setiap ujian pasti disertai jalan keluar bagi mereka yang bersabar dan tetap berprasangka baik kepada Allah. Rasulullah ﷺ juga menegaskan dalam sabdanya,احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَلَا تَعْجِزْ“Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.” (HR. Muslim no. 2664)Maka, ketika kegagalan datang bertubi-tubi, janganlah berputus asa. Jadikan ia guru yang membentuk kesabaran dan keteguhan hati. Jangan biarkan rasa kecewa menjauhkanmu dari Allah, karena justru di saat lemah itulah kita paling dekat dengan rahmat-Nya. Yakinlah, di balik setiap air mata dan perjuangan yang tampak sia-sia, Allah sedang menulis skenario terbaik untuk hidupmu, skenario yang mungkin belum terlihat hari ini, namun akan indah pada waktunya.Semoga Allah Subhānahu wa Ta‘ālā meneguhkan hati kita dalam kesabaran, menguatkan langkah dalam perjuangan, dan memberikan keberhasilan yang penuh berkah di dunia serta keselamatan di akhirat. Āmīn.Baca juga: Kaum yang Gagal Mengejar Syafaat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Nasihat Untukmu yang Selalu Merasa Gagal dalam Kehidupan

Daftar Isi TogglePertama: Kembali kepada Allah dan adukan segala permasalahan hanya kepada-NyaKedua: Intropeksi diriKetiga: Perbanyak doaKeempat: Bersabar menunggu jawaban dan solusi dari Allah Ta’alaKelima: Berprasangkalah baik kepada Allah Ta’alaKeenam: Mendekatkan diri kepada Al-Qur’anPenutupDalam perjalanan hidup, setiap manusia pasti pernah merasakan yang namanya gagal: gagal mencapai cita-cita, gagal dalam berusaha, atau gagal mewujudkan harapan yang telah lama diperjuangkan. Kegagalan sering kali membuat hati goyah, semangat menurun, bahkan tidak jarang menimbulkan perasaan putus asa. Padahal, di balik setiap kegagalan tersimpan pelajaran berharga dan rahmat Allah yang tersembunyi.Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menyerah pada keadaan. Justru, syariat memandang kegagalan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan dan peningkatan iman. Melalui ujian dan kesulitan, Allah ingin menumbuhkan dalam diri hamba-Nya sifat sabar, tawakal, dan pengharapan hanya kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ۝ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.’” (QS. Al-Baqarah: 155–156)Karena itu, kegagalan bukanlah akhir segalanya, melainkan pintu untuk semakin mendekat kepada Allah. Ia adalah cermin yang mengajarkan kita untuk introspeksi, memperbaiki niat, serta memperkuat doa dan tawakal.Berikut ini adalah beberapa nasihat dan kiat-kiat yang ditawarkan oleh syariat untuk menguatkan diri kita tatkala ujian dan kegagalan itu terus datang bertubi-tubi kepada kita.Pertama: Kembali kepada Allah dan adukan segala permasalahan hanya kepada-NyaAllah, Dialah Dzat yang Maha Pengampun, lagi Maha Memberi Kemudahan bagi siapa saja yang Ia kehendaki. Oleh karenanya, mintalah ampun serta mohonlah pertolongan kepada Allah dengan penuh kejujuran, dan berharap kepada-Nya untuk menyelesaikan segala hajat kita, terutama di sepertiga malam terakhir. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan,يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي، فأسْتَجِيبَ له؟ مَن يَسْأَلُنِي فأُعْطِيَهُ؟ مَن يَستَغْفِرُني فأغْفِرَ له؟“Tuhan kita, Tabaraka wa Ta’ala, turun ke langit dunia setiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berfirman, ‘Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Siapa saja yang meminta kepada-Ku, akan Aku berikan. Siapa saja yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)Hal ini sebagaimana keteladanan dari Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, tatkala ia mendapatkan ujian kehilangan anaknya, Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Allah berfirman tentangnya,قال إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah  yang tidak kalian ketahui.” (QS. Yusuf: 86)Kemudian, Allah menghilangkan kesedihannya dan mengembalikan putranya kepadanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika setiap kebaikan asalnya adalah taufik, dan taufik itu di tangan Allah, bukan di tangan hamba, maka kuncinya adalah doa, ketergantungan, kejujuran dalam memohon, serta kerinduan dan ketakutan kepada-Nya. Kapan pun seorang hamba diberi kunci ini, berarti Allah berkehendak untuk membukakan pintu baginya. Dan kapan pun hamba itu tersesat dari kunci itu, pintu kebaikan akan tetap tertutup baginya.” (Al-Fawaid, hal. 97)Kedua: Intropeksi diriKeberhasilan dan kegagalan pasti memiliki sebab, maka hendaknya kita melihat kembali apa yang telah kita lalui, adakah yang perlu kita benahi dan kita perbaiki?Karena sejatinya Allah tidak akan mengubah keadaan kita, kecuali jika kita juga berusaha mengubah diri kita sendiri. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ یُغَیِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَاۤ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمࣲ سُوۤءࣰا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah Ta’ala berfirman,وَمَاۤ أَصَـٰبَكُم مِّن مُّصِیبَةࣲ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَیۡدِیكُمۡ وَیَعۡفُوا۟ عَن كَثِیرࣲ “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu. maka karena perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)Ketiga: Perbanyak doaDi antara doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca di waktu pagi dan sore adalah,اللَّهُمَّ إنِّي أعوذُ بكَ منَ الهَمِّ والحَزَنِ، وأعوذُ بكَ منَ العَجزِ والكَسَلِ، وأعوذُ بكَ منَ الجُبنِ والبُخلِ، وأعوذُ بكَ من غَلَبةِ الدَّيْنِ وقَهرِ الرجالِ“Allaahumma innii a’uudzu bika minal hammi wal hazani wa a’uudzu bika minal ‘ajzi wal kasali, wa a’uudzu bika minal jubni wal bukhli wa a’uudzu bika min ghalabatid daini wa qahrir rijaal.”“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kegelisahan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan penindasan orang lain.”Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke masjid, dan di sana ada seorang Anshar yang bernama Abu Umamah. Beliau bertanya, ‘Wahai Abu Umamah, mengapa aku melihatmu duduk di masjid di luar waktu salat?’ Abu Umamah menjawab, ‘Karena kesedihan dan utang yang membelengguku, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Maukah aku ajarkan kepadamu sebuah ucapan yang jika kamu mengucapkannya, Allah akan menghilangkan kesedihanmu dan melunaskan utangmu?’ Abu Umamah menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda,قل إذا أصبحت وإذا أمسيت: اللَّهُمَّ إنِّي أعوذُ بك منَ الهَمِّ والحَزَنِ، وأعوذُ بكَ منَ العَجز والكَسَلِ، وأعوذُ بكَ منَ الجُبنِ والبُخلِ، وأعوذُ بكَ من غَلَبةِ الدَّيْنِ وقَهرِ الرجالِ‘Ucapkanlah di pagi dan sore hari, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kegelisahan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan penindasan orang lain.”Abu Umamah berkata, ‘Aku pun melakukannya, dan Allah menghilangkan kesedihanku serta melunaskan utangku.'” (HR. Abu Dawud no. 1555)Keempat: Bersabar menunggu jawaban dan solusi dari Allah Ta’alaDi antara penyebab kegagalan terus-menerus adalah tergesa-gesa mengambil keputusan ataupun tergesa-gesa ingin agar doanya dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Ini adalah salah satu musibah terbesar yang menimpa orang yang berdoa namun tergesa-gesa di dalamnya, hal ini akan berakibat pada kebosanan, frustrasi, dan keputusasaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan hal ini dengan sabdanya,يُسْتَجابُ لأحَدِكُمْ ما لَمْ يَعْجَلْ، يقولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي“Akan dikabulkan doa salah seorang di antara kalian selama ia tidak tergesa-gesa, ia berkata, ‘Aku telah berdoa, tetapi tidak dikabulkan.” (HR. Bukhari no. 6340 dan Muslim no. 2735)Kelima: Berprasangkalah baik kepada Allah Ta’alaMerendahlah di hadapan-Nya dan berprasangka baiklah kepada-Nya, karena Allah selalu bersama hamba-Nya yang mendekat kepada-Nya. Sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي، وأنا معهُ إذا ذَكَرَنِي، فإنْ ذَكَرَنِي في نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي، وإنْ ذَكَرَنِي في مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ في مَلَإٍ خَيْرٍ منهمْ، وإنْ تَقَرَّبَ إلَيَّ بشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِراعًا، وإنْ تَقَرَّبَ إلَيَّ ذِراعًا تَقَرَّبْتُ إلَيْهِ باعًا، وإنْ أتانِي يَمْشِي أتَيْتُهُ هَرْوَلَةً“Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya jika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di hadapan sekelompok orang, Aku akan mengingatnya di hadapan sekelompok yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta. Jika dia mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)Yakinkanlah bahwa Allah Ta’ala tidak akan menetapkan sesuatu kecuali demi kebaikan hamba-Nya yang beriman, baik hamba tersebut mengetahuinya maupun tidak.Seorang mukmin harus yakin bahwa apa yang Allah takdirkan baginya adalah yang terbaik baginya, baik untuk urusan di dunia maupun di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,ما يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِن نَصَبٍ ولَا وصَبٍ، ولَا هَمٍّ ولَا حُزْنٍ ولَا أذًى ولَا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بهَا مِن خَطَايَاهُ“Tidaklah seorang muslim ditimpa kelelahan, sakit, kegelisahan, kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni kesalahannya.” (HR. Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له.“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, karena seluruh urusannya adalah baik baginya. Dan itu tidaklah didapatkan kecuali oleh orang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)Keenam: Mendekatkan diri kepada Al-Qur’anAl-Qur’an adalah obat atau penawar bagi jiwa dan hati dan sumber ketenangan serta kebahagiaan hidup. Maka perbanyaklah membaca Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,وَنَزَّلۡنَا عَلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ تِبۡیَـٰنࣰا لِّكُلِّ شَیۡءࣲ وَهُدࣰى وَرَحۡمَةࣰ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِینَ“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nahl: 89)PenutupOrang yang beriman memahami bahwa setiap kesulitan adalah ladang pahala dan setiap air mata yang jatuh karena perjuangan akan berbuah ketenangan di kemudian hari. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6)Ayat ini menjadi pengingat bahwa tidak ada kesulitan yang abadi; setiap ujian pasti disertai jalan keluar bagi mereka yang bersabar dan tetap berprasangka baik kepada Allah. Rasulullah ﷺ juga menegaskan dalam sabdanya,احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَلَا تَعْجِزْ“Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.” (HR. Muslim no. 2664)Maka, ketika kegagalan datang bertubi-tubi, janganlah berputus asa. Jadikan ia guru yang membentuk kesabaran dan keteguhan hati. Jangan biarkan rasa kecewa menjauhkanmu dari Allah, karena justru di saat lemah itulah kita paling dekat dengan rahmat-Nya. Yakinlah, di balik setiap air mata dan perjuangan yang tampak sia-sia, Allah sedang menulis skenario terbaik untuk hidupmu, skenario yang mungkin belum terlihat hari ini, namun akan indah pada waktunya.Semoga Allah Subhānahu wa Ta‘ālā meneguhkan hati kita dalam kesabaran, menguatkan langkah dalam perjuangan, dan memberikan keberhasilan yang penuh berkah di dunia serta keselamatan di akhirat. Āmīn.Baca juga: Kaum yang Gagal Mengejar Syafaat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi TogglePertama: Kembali kepada Allah dan adukan segala permasalahan hanya kepada-NyaKedua: Intropeksi diriKetiga: Perbanyak doaKeempat: Bersabar menunggu jawaban dan solusi dari Allah Ta’alaKelima: Berprasangkalah baik kepada Allah Ta’alaKeenam: Mendekatkan diri kepada Al-Qur’anPenutupDalam perjalanan hidup, setiap manusia pasti pernah merasakan yang namanya gagal: gagal mencapai cita-cita, gagal dalam berusaha, atau gagal mewujudkan harapan yang telah lama diperjuangkan. Kegagalan sering kali membuat hati goyah, semangat menurun, bahkan tidak jarang menimbulkan perasaan putus asa. Padahal, di balik setiap kegagalan tersimpan pelajaran berharga dan rahmat Allah yang tersembunyi.Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menyerah pada keadaan. Justru, syariat memandang kegagalan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan dan peningkatan iman. Melalui ujian dan kesulitan, Allah ingin menumbuhkan dalam diri hamba-Nya sifat sabar, tawakal, dan pengharapan hanya kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ۝ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.’” (QS. Al-Baqarah: 155–156)Karena itu, kegagalan bukanlah akhir segalanya, melainkan pintu untuk semakin mendekat kepada Allah. Ia adalah cermin yang mengajarkan kita untuk introspeksi, memperbaiki niat, serta memperkuat doa dan tawakal.Berikut ini adalah beberapa nasihat dan kiat-kiat yang ditawarkan oleh syariat untuk menguatkan diri kita tatkala ujian dan kegagalan itu terus datang bertubi-tubi kepada kita.Pertama: Kembali kepada Allah dan adukan segala permasalahan hanya kepada-NyaAllah, Dialah Dzat yang Maha Pengampun, lagi Maha Memberi Kemudahan bagi siapa saja yang Ia kehendaki. Oleh karenanya, mintalah ampun serta mohonlah pertolongan kepada Allah dengan penuh kejujuran, dan berharap kepada-Nya untuk menyelesaikan segala hajat kita, terutama di sepertiga malam terakhir. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan,يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي، فأسْتَجِيبَ له؟ مَن يَسْأَلُنِي فأُعْطِيَهُ؟ مَن يَستَغْفِرُني فأغْفِرَ له؟“Tuhan kita, Tabaraka wa Ta’ala, turun ke langit dunia setiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berfirman, ‘Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Siapa saja yang meminta kepada-Ku, akan Aku berikan. Siapa saja yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)Hal ini sebagaimana keteladanan dari Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, tatkala ia mendapatkan ujian kehilangan anaknya, Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Allah berfirman tentangnya,قال إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah  yang tidak kalian ketahui.” (QS. Yusuf: 86)Kemudian, Allah menghilangkan kesedihannya dan mengembalikan putranya kepadanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika setiap kebaikan asalnya adalah taufik, dan taufik itu di tangan Allah, bukan di tangan hamba, maka kuncinya adalah doa, ketergantungan, kejujuran dalam memohon, serta kerinduan dan ketakutan kepada-Nya. Kapan pun seorang hamba diberi kunci ini, berarti Allah berkehendak untuk membukakan pintu baginya. Dan kapan pun hamba itu tersesat dari kunci itu, pintu kebaikan akan tetap tertutup baginya.” (Al-Fawaid, hal. 97)Kedua: Intropeksi diriKeberhasilan dan kegagalan pasti memiliki sebab, maka hendaknya kita melihat kembali apa yang telah kita lalui, adakah yang perlu kita benahi dan kita perbaiki?Karena sejatinya Allah tidak akan mengubah keadaan kita, kecuali jika kita juga berusaha mengubah diri kita sendiri. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ یُغَیِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَاۤ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمࣲ سُوۤءࣰا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah Ta’ala berfirman,وَمَاۤ أَصَـٰبَكُم مِّن مُّصِیبَةࣲ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَیۡدِیكُمۡ وَیَعۡفُوا۟ عَن كَثِیرࣲ “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu. maka karena perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)Ketiga: Perbanyak doaDi antara doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca di waktu pagi dan sore adalah,اللَّهُمَّ إنِّي أعوذُ بكَ منَ الهَمِّ والحَزَنِ، وأعوذُ بكَ منَ العَجزِ والكَسَلِ، وأعوذُ بكَ منَ الجُبنِ والبُخلِ، وأعوذُ بكَ من غَلَبةِ الدَّيْنِ وقَهرِ الرجالِ“Allaahumma innii a’uudzu bika minal hammi wal hazani wa a’uudzu bika minal ‘ajzi wal kasali, wa a’uudzu bika minal jubni wal bukhli wa a’uudzu bika min ghalabatid daini wa qahrir rijaal.”“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kegelisahan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan penindasan orang lain.”Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke masjid, dan di sana ada seorang Anshar yang bernama Abu Umamah. Beliau bertanya, ‘Wahai Abu Umamah, mengapa aku melihatmu duduk di masjid di luar waktu salat?’ Abu Umamah menjawab, ‘Karena kesedihan dan utang yang membelengguku, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Maukah aku ajarkan kepadamu sebuah ucapan yang jika kamu mengucapkannya, Allah akan menghilangkan kesedihanmu dan melunaskan utangmu?’ Abu Umamah menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda,قل إذا أصبحت وإذا أمسيت: اللَّهُمَّ إنِّي أعوذُ بك منَ الهَمِّ والحَزَنِ، وأعوذُ بكَ منَ العَجز والكَسَلِ، وأعوذُ بكَ منَ الجُبنِ والبُخلِ، وأعوذُ بكَ من غَلَبةِ الدَّيْنِ وقَهرِ الرجالِ‘Ucapkanlah di pagi dan sore hari, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kegelisahan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan penindasan orang lain.”Abu Umamah berkata, ‘Aku pun melakukannya, dan Allah menghilangkan kesedihanku serta melunaskan utangku.'” (HR. Abu Dawud no. 1555)Keempat: Bersabar menunggu jawaban dan solusi dari Allah Ta’alaDi antara penyebab kegagalan terus-menerus adalah tergesa-gesa mengambil keputusan ataupun tergesa-gesa ingin agar doanya dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Ini adalah salah satu musibah terbesar yang menimpa orang yang berdoa namun tergesa-gesa di dalamnya, hal ini akan berakibat pada kebosanan, frustrasi, dan keputusasaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan hal ini dengan sabdanya,يُسْتَجابُ لأحَدِكُمْ ما لَمْ يَعْجَلْ، يقولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي“Akan dikabulkan doa salah seorang di antara kalian selama ia tidak tergesa-gesa, ia berkata, ‘Aku telah berdoa, tetapi tidak dikabulkan.” (HR. Bukhari no. 6340 dan Muslim no. 2735)Kelima: Berprasangkalah baik kepada Allah Ta’alaMerendahlah di hadapan-Nya dan berprasangka baiklah kepada-Nya, karena Allah selalu bersama hamba-Nya yang mendekat kepada-Nya. Sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي، وأنا معهُ إذا ذَكَرَنِي، فإنْ ذَكَرَنِي في نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي، وإنْ ذَكَرَنِي في مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ في مَلَإٍ خَيْرٍ منهمْ، وإنْ تَقَرَّبَ إلَيَّ بشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِراعًا، وإنْ تَقَرَّبَ إلَيَّ ذِراعًا تَقَرَّبْتُ إلَيْهِ باعًا، وإنْ أتانِي يَمْشِي أتَيْتُهُ هَرْوَلَةً“Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya jika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di hadapan sekelompok orang, Aku akan mengingatnya di hadapan sekelompok yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta. Jika dia mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)Yakinkanlah bahwa Allah Ta’ala tidak akan menetapkan sesuatu kecuali demi kebaikan hamba-Nya yang beriman, baik hamba tersebut mengetahuinya maupun tidak.Seorang mukmin harus yakin bahwa apa yang Allah takdirkan baginya adalah yang terbaik baginya, baik untuk urusan di dunia maupun di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,ما يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِن نَصَبٍ ولَا وصَبٍ، ولَا هَمٍّ ولَا حُزْنٍ ولَا أذًى ولَا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بهَا مِن خَطَايَاهُ“Tidaklah seorang muslim ditimpa kelelahan, sakit, kegelisahan, kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni kesalahannya.” (HR. Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له.“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, karena seluruh urusannya adalah baik baginya. Dan itu tidaklah didapatkan kecuali oleh orang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)Keenam: Mendekatkan diri kepada Al-Qur’anAl-Qur’an adalah obat atau penawar bagi jiwa dan hati dan sumber ketenangan serta kebahagiaan hidup. Maka perbanyaklah membaca Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,وَنَزَّلۡنَا عَلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ تِبۡیَـٰنࣰا لِّكُلِّ شَیۡءࣲ وَهُدࣰى وَرَحۡمَةࣰ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِینَ“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nahl: 89)PenutupOrang yang beriman memahami bahwa setiap kesulitan adalah ladang pahala dan setiap air mata yang jatuh karena perjuangan akan berbuah ketenangan di kemudian hari. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6)Ayat ini menjadi pengingat bahwa tidak ada kesulitan yang abadi; setiap ujian pasti disertai jalan keluar bagi mereka yang bersabar dan tetap berprasangka baik kepada Allah. Rasulullah ﷺ juga menegaskan dalam sabdanya,احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَلَا تَعْجِزْ“Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.” (HR. Muslim no. 2664)Maka, ketika kegagalan datang bertubi-tubi, janganlah berputus asa. Jadikan ia guru yang membentuk kesabaran dan keteguhan hati. Jangan biarkan rasa kecewa menjauhkanmu dari Allah, karena justru di saat lemah itulah kita paling dekat dengan rahmat-Nya. Yakinlah, di balik setiap air mata dan perjuangan yang tampak sia-sia, Allah sedang menulis skenario terbaik untuk hidupmu, skenario yang mungkin belum terlihat hari ini, namun akan indah pada waktunya.Semoga Allah Subhānahu wa Ta‘ālā meneguhkan hati kita dalam kesabaran, menguatkan langkah dalam perjuangan, dan memberikan keberhasilan yang penuh berkah di dunia serta keselamatan di akhirat. Āmīn.Baca juga: Kaum yang Gagal Mengejar Syafaat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi TogglePertama: Kembali kepada Allah dan adukan segala permasalahan hanya kepada-NyaKedua: Intropeksi diriKetiga: Perbanyak doaKeempat: Bersabar menunggu jawaban dan solusi dari Allah Ta’alaKelima: Berprasangkalah baik kepada Allah Ta’alaKeenam: Mendekatkan diri kepada Al-Qur’anPenutupDalam perjalanan hidup, setiap manusia pasti pernah merasakan yang namanya gagal: gagal mencapai cita-cita, gagal dalam berusaha, atau gagal mewujudkan harapan yang telah lama diperjuangkan. Kegagalan sering kali membuat hati goyah, semangat menurun, bahkan tidak jarang menimbulkan perasaan putus asa. Padahal, di balik setiap kegagalan tersimpan pelajaran berharga dan rahmat Allah yang tersembunyi.Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menyerah pada keadaan. Justru, syariat memandang kegagalan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan dan peningkatan iman. Melalui ujian dan kesulitan, Allah ingin menumbuhkan dalam diri hamba-Nya sifat sabar, tawakal, dan pengharapan hanya kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ۝ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.’” (QS. Al-Baqarah: 155–156)Karena itu, kegagalan bukanlah akhir segalanya, melainkan pintu untuk semakin mendekat kepada Allah. Ia adalah cermin yang mengajarkan kita untuk introspeksi, memperbaiki niat, serta memperkuat doa dan tawakal.Berikut ini adalah beberapa nasihat dan kiat-kiat yang ditawarkan oleh syariat untuk menguatkan diri kita tatkala ujian dan kegagalan itu terus datang bertubi-tubi kepada kita.Pertama: Kembali kepada Allah dan adukan segala permasalahan hanya kepada-NyaAllah, Dialah Dzat yang Maha Pengampun, lagi Maha Memberi Kemudahan bagi siapa saja yang Ia kehendaki. Oleh karenanya, mintalah ampun serta mohonlah pertolongan kepada Allah dengan penuh kejujuran, dan berharap kepada-Nya untuk menyelesaikan segala hajat kita, terutama di sepertiga malam terakhir. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan,يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي، فأسْتَجِيبَ له؟ مَن يَسْأَلُنِي فأُعْطِيَهُ؟ مَن يَستَغْفِرُني فأغْفِرَ له؟“Tuhan kita, Tabaraka wa Ta’ala, turun ke langit dunia setiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berfirman, ‘Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Siapa saja yang meminta kepada-Ku, akan Aku berikan. Siapa saja yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)Hal ini sebagaimana keteladanan dari Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, tatkala ia mendapatkan ujian kehilangan anaknya, Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Allah berfirman tentangnya,قال إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah  yang tidak kalian ketahui.” (QS. Yusuf: 86)Kemudian, Allah menghilangkan kesedihannya dan mengembalikan putranya kepadanya.Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika setiap kebaikan asalnya adalah taufik, dan taufik itu di tangan Allah, bukan di tangan hamba, maka kuncinya adalah doa, ketergantungan, kejujuran dalam memohon, serta kerinduan dan ketakutan kepada-Nya. Kapan pun seorang hamba diberi kunci ini, berarti Allah berkehendak untuk membukakan pintu baginya. Dan kapan pun hamba itu tersesat dari kunci itu, pintu kebaikan akan tetap tertutup baginya.” (Al-Fawaid, hal. 97)Kedua: Intropeksi diriKeberhasilan dan kegagalan pasti memiliki sebab, maka hendaknya kita melihat kembali apa yang telah kita lalui, adakah yang perlu kita benahi dan kita perbaiki?Karena sejatinya Allah tidak akan mengubah keadaan kita, kecuali jika kita juga berusaha mengubah diri kita sendiri. Allah Ta’ala berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُغَیِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ یُغَیِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَاۤ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمࣲ سُوۤءࣰا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya.” (QS. Ar-Ra’d: 11)Allah Ta’ala berfirman,وَمَاۤ أَصَـٰبَكُم مِّن مُّصِیبَةࣲ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَیۡدِیكُمۡ وَیَعۡفُوا۟ عَن كَثِیرࣲ “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu. maka karena perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)Ketiga: Perbanyak doaDi antara doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca di waktu pagi dan sore adalah,اللَّهُمَّ إنِّي أعوذُ بكَ منَ الهَمِّ والحَزَنِ، وأعوذُ بكَ منَ العَجزِ والكَسَلِ، وأعوذُ بكَ منَ الجُبنِ والبُخلِ، وأعوذُ بكَ من غَلَبةِ الدَّيْنِ وقَهرِ الرجالِ“Allaahumma innii a’uudzu bika minal hammi wal hazani wa a’uudzu bika minal ‘ajzi wal kasali, wa a’uudzu bika minal jubni wal bukhli wa a’uudzu bika min ghalabatid daini wa qahrir rijaal.”“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kegelisahan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan penindasan orang lain.”Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke masjid, dan di sana ada seorang Anshar yang bernama Abu Umamah. Beliau bertanya, ‘Wahai Abu Umamah, mengapa aku melihatmu duduk di masjid di luar waktu salat?’ Abu Umamah menjawab, ‘Karena kesedihan dan utang yang membelengguku, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Maukah aku ajarkan kepadamu sebuah ucapan yang jika kamu mengucapkannya, Allah akan menghilangkan kesedihanmu dan melunaskan utangmu?’ Abu Umamah menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda,قل إذا أصبحت وإذا أمسيت: اللَّهُمَّ إنِّي أعوذُ بك منَ الهَمِّ والحَزَنِ، وأعوذُ بكَ منَ العَجز والكَسَلِ، وأعوذُ بكَ منَ الجُبنِ والبُخلِ، وأعوذُ بكَ من غَلَبةِ الدَّيْنِ وقَهرِ الرجالِ‘Ucapkanlah di pagi dan sore hari, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kegelisahan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan penindasan orang lain.”Abu Umamah berkata, ‘Aku pun melakukannya, dan Allah menghilangkan kesedihanku serta melunaskan utangku.'” (HR. Abu Dawud no. 1555)Keempat: Bersabar menunggu jawaban dan solusi dari Allah Ta’alaDi antara penyebab kegagalan terus-menerus adalah tergesa-gesa mengambil keputusan ataupun tergesa-gesa ingin agar doanya dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Ini adalah salah satu musibah terbesar yang menimpa orang yang berdoa namun tergesa-gesa di dalamnya, hal ini akan berakibat pada kebosanan, frustrasi, dan keputusasaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan hal ini dengan sabdanya,يُسْتَجابُ لأحَدِكُمْ ما لَمْ يَعْجَلْ، يقولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي“Akan dikabulkan doa salah seorang di antara kalian selama ia tidak tergesa-gesa, ia berkata, ‘Aku telah berdoa, tetapi tidak dikabulkan.” (HR. Bukhari no. 6340 dan Muslim no. 2735)Kelima: Berprasangkalah baik kepada Allah Ta’alaMerendahlah di hadapan-Nya dan berprasangka baiklah kepada-Nya, karena Allah selalu bersama hamba-Nya yang mendekat kepada-Nya. Sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي، وأنا معهُ إذا ذَكَرَنِي، فإنْ ذَكَرَنِي في نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي، وإنْ ذَكَرَنِي في مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ في مَلَإٍ خَيْرٍ منهمْ، وإنْ تَقَرَّبَ إلَيَّ بشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِراعًا، وإنْ تَقَرَّبَ إلَيَّ ذِراعًا تَقَرَّبْتُ إلَيْهِ باعًا، وإنْ أتانِي يَمْشِي أتَيْتُهُ هَرْوَلَةً“Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya jika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di hadapan sekelompok orang, Aku akan mengingatnya di hadapan sekelompok yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta. Jika dia mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)Yakinkanlah bahwa Allah Ta’ala tidak akan menetapkan sesuatu kecuali demi kebaikan hamba-Nya yang beriman, baik hamba tersebut mengetahuinya maupun tidak.Seorang mukmin harus yakin bahwa apa yang Allah takdirkan baginya adalah yang terbaik baginya, baik untuk urusan di dunia maupun di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,ما يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِن نَصَبٍ ولَا وصَبٍ، ولَا هَمٍّ ولَا حُزْنٍ ولَا أذًى ولَا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بهَا مِن خَطَايَاهُ“Tidaklah seorang muslim ditimpa kelelahan, sakit, kegelisahan, kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni kesalahannya.” (HR. Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له.“Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, karena seluruh urusannya adalah baik baginya. Dan itu tidaklah didapatkan kecuali oleh orang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)Keenam: Mendekatkan diri kepada Al-Qur’anAl-Qur’an adalah obat atau penawar bagi jiwa dan hati dan sumber ketenangan serta kebahagiaan hidup. Maka perbanyaklah membaca Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,وَنَزَّلۡنَا عَلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ تِبۡیَـٰنࣰا لِّكُلِّ شَیۡءࣲ وَهُدࣰى وَرَحۡمَةࣰ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِینَ“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nahl: 89)PenutupOrang yang beriman memahami bahwa setiap kesulitan adalah ladang pahala dan setiap air mata yang jatuh karena perjuangan akan berbuah ketenangan di kemudian hari. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6)Ayat ini menjadi pengingat bahwa tidak ada kesulitan yang abadi; setiap ujian pasti disertai jalan keluar bagi mereka yang bersabar dan tetap berprasangka baik kepada Allah. Rasulullah ﷺ juga menegaskan dalam sabdanya,احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَلَا تَعْجِزْ“Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.” (HR. Muslim no. 2664)Maka, ketika kegagalan datang bertubi-tubi, janganlah berputus asa. Jadikan ia guru yang membentuk kesabaran dan keteguhan hati. Jangan biarkan rasa kecewa menjauhkanmu dari Allah, karena justru di saat lemah itulah kita paling dekat dengan rahmat-Nya. Yakinlah, di balik setiap air mata dan perjuangan yang tampak sia-sia, Allah sedang menulis skenario terbaik untuk hidupmu, skenario yang mungkin belum terlihat hari ini, namun akan indah pada waktunya.Semoga Allah Subhānahu wa Ta‘ālā meneguhkan hati kita dalam kesabaran, menguatkan langkah dalam perjuangan, dan memberikan keberhasilan yang penuh berkah di dunia serta keselamatan di akhirat. Āmīn.Baca juga: Kaum yang Gagal Mengejar Syafaat***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Tak Punya Uang untuk Sedekah? Ini 5 Pintu Sedekah yang Bisa Kamu Lakukan Hari Ini

Pertanyaan keduanya: ia ingin bersedekah, tetapi tidak mampu karena kondisi keuangannya. Pertama, apakah ia mendapat pahala atas niat tersebut? Kedua, apa nasihat Anda untuknya? Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya—dengan niat mencari pahala—itu terhitung sebagai sedekah baginya.” (HR. Muslim). Memberi nafkah merupakan perkara agung dan pintu ketaatan yang besar. Seseorang dapat meniatkan pemberian nafkah kepada keluarganya untuk meraih ridha Allah dan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Dengan demikian, ia memperoleh pahala sedekah. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap sendi tubuh manusia wajib disedekahi pada pagi hari. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran juga sedekah. Semua itu dapat diganti dengan dua rakaat Shalat Dhuha yang dikerjakan seseorang.” (HR. Muslim). Ini juga merupakan salah satu pintu sedekah yang dapat dijadikan sarana meraih pahala. Apabila seseorang berniat mengerjakan suatu amal ketaatan, tapi tidak dapat merealisasikannya karena sebab tertentu di luar kemampuannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memberinya pahala amal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bersafar, dicatat baginya pahala amalan yang biasa ia kerjakan saat sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari Tabuk, beliau bersabda kepada para Sahabat, “Di Madinah ada orang-orang yang tidaklah kalian menempuh suatu jalan atau melewati lembah, melainkan mereka ikut mendapatkan pahalanya; mereka tertahan oleh uzur.” (HR. Bukhari). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Dunia ini bagi empat golongan: Pertama, orang yang dikaruniai Allah harta dan ilmu, lalu ia menginfakkan hartanya di jalan kebenaran. Kedua, orang yang dikaruniai ilmu, tetapi tidak dikaruniai harta. Ia berkata, ‘Seandainya Allah memberiku harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Nabi bersabda, ‘…mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.’” (HR. Ibnu Majah). ===== سُؤَالُهُ الثَّانِي يَقُولُ إِنَّهُ يَرْغَبُ فِي الصَّدَقَةِ لَكِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ بِسَبَبِ ظُرُوفِهِ الْمَادِّيَّةِ أَوَّلًا يَعْنِي هَلْ يُؤْجَرُ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ الْأَمْرُ الْآخَرُ بِمَاذَا يَنْصَحُهُ مَعَالِيكُمْ؟ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ يَحْتَسِبُهَا هِيَ لَهُ صَدَقَةٌ فَهَذَا أَمْرٌ عَظِيمٌ وَبَابُ طَاعَةٍ كَبِيرٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَنْوِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ إِرْضَاءَ اللَّهِ وَعِبَادَتَهُ فَيَكُونُ مَأْجُورًا أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنِ ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا الْمَرْءُ مِنَ الضُّحَى فَهَذَا أَيْضًا بَابٌ آخَرُ مِنْ أَبْوَابِ الصَّدَقَاتِ يَنَالُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأَجْرَ فِي ذَلِكَ وَإِذَا نَوَى الْإِنْسَانُ فِعْلَ الطَّاعَةِ وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فِعْلِهَا لِسَبَبٍ خَارِجٍ عَنْ قُدْرَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنِيلُهُ أَجْرَ تِلْكَ الطَّاعَة وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يُؤَدِّيهِ صَحِيحًا مُقِيمًا وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا عَادَ مِنْ تَبُوكَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا شَرَكُوكُمُ الأَجْرَ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يُنْفِقُ مَالَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ اللَّهَ آتَانِي مَالًا لَفَعَلْتُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فُلَانٌ قَالَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ

Tak Punya Uang untuk Sedekah? Ini 5 Pintu Sedekah yang Bisa Kamu Lakukan Hari Ini

Pertanyaan keduanya: ia ingin bersedekah, tetapi tidak mampu karena kondisi keuangannya. Pertama, apakah ia mendapat pahala atas niat tersebut? Kedua, apa nasihat Anda untuknya? Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya—dengan niat mencari pahala—itu terhitung sebagai sedekah baginya.” (HR. Muslim). Memberi nafkah merupakan perkara agung dan pintu ketaatan yang besar. Seseorang dapat meniatkan pemberian nafkah kepada keluarganya untuk meraih ridha Allah dan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Dengan demikian, ia memperoleh pahala sedekah. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap sendi tubuh manusia wajib disedekahi pada pagi hari. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran juga sedekah. Semua itu dapat diganti dengan dua rakaat Shalat Dhuha yang dikerjakan seseorang.” (HR. Muslim). Ini juga merupakan salah satu pintu sedekah yang dapat dijadikan sarana meraih pahala. Apabila seseorang berniat mengerjakan suatu amal ketaatan, tapi tidak dapat merealisasikannya karena sebab tertentu di luar kemampuannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memberinya pahala amal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bersafar, dicatat baginya pahala amalan yang biasa ia kerjakan saat sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari Tabuk, beliau bersabda kepada para Sahabat, “Di Madinah ada orang-orang yang tidaklah kalian menempuh suatu jalan atau melewati lembah, melainkan mereka ikut mendapatkan pahalanya; mereka tertahan oleh uzur.” (HR. Bukhari). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Dunia ini bagi empat golongan: Pertama, orang yang dikaruniai Allah harta dan ilmu, lalu ia menginfakkan hartanya di jalan kebenaran. Kedua, orang yang dikaruniai ilmu, tetapi tidak dikaruniai harta. Ia berkata, ‘Seandainya Allah memberiku harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Nabi bersabda, ‘…mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.’” (HR. Ibnu Majah). ===== سُؤَالُهُ الثَّانِي يَقُولُ إِنَّهُ يَرْغَبُ فِي الصَّدَقَةِ لَكِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ بِسَبَبِ ظُرُوفِهِ الْمَادِّيَّةِ أَوَّلًا يَعْنِي هَلْ يُؤْجَرُ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ الْأَمْرُ الْآخَرُ بِمَاذَا يَنْصَحُهُ مَعَالِيكُمْ؟ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ يَحْتَسِبُهَا هِيَ لَهُ صَدَقَةٌ فَهَذَا أَمْرٌ عَظِيمٌ وَبَابُ طَاعَةٍ كَبِيرٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَنْوِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ إِرْضَاءَ اللَّهِ وَعِبَادَتَهُ فَيَكُونُ مَأْجُورًا أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنِ ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا الْمَرْءُ مِنَ الضُّحَى فَهَذَا أَيْضًا بَابٌ آخَرُ مِنْ أَبْوَابِ الصَّدَقَاتِ يَنَالُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأَجْرَ فِي ذَلِكَ وَإِذَا نَوَى الْإِنْسَانُ فِعْلَ الطَّاعَةِ وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فِعْلِهَا لِسَبَبٍ خَارِجٍ عَنْ قُدْرَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنِيلُهُ أَجْرَ تِلْكَ الطَّاعَة وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يُؤَدِّيهِ صَحِيحًا مُقِيمًا وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا عَادَ مِنْ تَبُوكَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا شَرَكُوكُمُ الأَجْرَ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يُنْفِقُ مَالَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ اللَّهَ آتَانِي مَالًا لَفَعَلْتُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فُلَانٌ قَالَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ
Pertanyaan keduanya: ia ingin bersedekah, tetapi tidak mampu karena kondisi keuangannya. Pertama, apakah ia mendapat pahala atas niat tersebut? Kedua, apa nasihat Anda untuknya? Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya—dengan niat mencari pahala—itu terhitung sebagai sedekah baginya.” (HR. Muslim). Memberi nafkah merupakan perkara agung dan pintu ketaatan yang besar. Seseorang dapat meniatkan pemberian nafkah kepada keluarganya untuk meraih ridha Allah dan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Dengan demikian, ia memperoleh pahala sedekah. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap sendi tubuh manusia wajib disedekahi pada pagi hari. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran juga sedekah. Semua itu dapat diganti dengan dua rakaat Shalat Dhuha yang dikerjakan seseorang.” (HR. Muslim). Ini juga merupakan salah satu pintu sedekah yang dapat dijadikan sarana meraih pahala. Apabila seseorang berniat mengerjakan suatu amal ketaatan, tapi tidak dapat merealisasikannya karena sebab tertentu di luar kemampuannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memberinya pahala amal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bersafar, dicatat baginya pahala amalan yang biasa ia kerjakan saat sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari Tabuk, beliau bersabda kepada para Sahabat, “Di Madinah ada orang-orang yang tidaklah kalian menempuh suatu jalan atau melewati lembah, melainkan mereka ikut mendapatkan pahalanya; mereka tertahan oleh uzur.” (HR. Bukhari). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Dunia ini bagi empat golongan: Pertama, orang yang dikaruniai Allah harta dan ilmu, lalu ia menginfakkan hartanya di jalan kebenaran. Kedua, orang yang dikaruniai ilmu, tetapi tidak dikaruniai harta. Ia berkata, ‘Seandainya Allah memberiku harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Nabi bersabda, ‘…mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.’” (HR. Ibnu Majah). ===== سُؤَالُهُ الثَّانِي يَقُولُ إِنَّهُ يَرْغَبُ فِي الصَّدَقَةِ لَكِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ بِسَبَبِ ظُرُوفِهِ الْمَادِّيَّةِ أَوَّلًا يَعْنِي هَلْ يُؤْجَرُ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ الْأَمْرُ الْآخَرُ بِمَاذَا يَنْصَحُهُ مَعَالِيكُمْ؟ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ يَحْتَسِبُهَا هِيَ لَهُ صَدَقَةٌ فَهَذَا أَمْرٌ عَظِيمٌ وَبَابُ طَاعَةٍ كَبِيرٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَنْوِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ إِرْضَاءَ اللَّهِ وَعِبَادَتَهُ فَيَكُونُ مَأْجُورًا أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنِ ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا الْمَرْءُ مِنَ الضُّحَى فَهَذَا أَيْضًا بَابٌ آخَرُ مِنْ أَبْوَابِ الصَّدَقَاتِ يَنَالُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأَجْرَ فِي ذَلِكَ وَإِذَا نَوَى الْإِنْسَانُ فِعْلَ الطَّاعَةِ وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فِعْلِهَا لِسَبَبٍ خَارِجٍ عَنْ قُدْرَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنِيلُهُ أَجْرَ تِلْكَ الطَّاعَة وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يُؤَدِّيهِ صَحِيحًا مُقِيمًا وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا عَادَ مِنْ تَبُوكَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا شَرَكُوكُمُ الأَجْرَ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يُنْفِقُ مَالَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ اللَّهَ آتَانِي مَالًا لَفَعَلْتُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فُلَانٌ قَالَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ


Pertanyaan keduanya: ia ingin bersedekah, tetapi tidak mampu karena kondisi keuangannya. Pertama, apakah ia mendapat pahala atas niat tersebut? Kedua, apa nasihat Anda untuknya? Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya—dengan niat mencari pahala—itu terhitung sebagai sedekah baginya.” (HR. Muslim). Memberi nafkah merupakan perkara agung dan pintu ketaatan yang besar. Seseorang dapat meniatkan pemberian nafkah kepada keluarganya untuk meraih ridha Allah dan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Dengan demikian, ia memperoleh pahala sedekah. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap sendi tubuh manusia wajib disedekahi pada pagi hari. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran juga sedekah. Semua itu dapat diganti dengan dua rakaat Shalat Dhuha yang dikerjakan seseorang.” (HR. Muslim). Ini juga merupakan salah satu pintu sedekah yang dapat dijadikan sarana meraih pahala. Apabila seseorang berniat mengerjakan suatu amal ketaatan, tapi tidak dapat merealisasikannya karena sebab tertentu di luar kemampuannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memberinya pahala amal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Apabila seorang hamba sakit atau sedang bersafar, dicatat baginya pahala amalan yang biasa ia kerjakan saat sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari Tabuk, beliau bersabda kepada para Sahabat, “Di Madinah ada orang-orang yang tidaklah kalian menempuh suatu jalan atau melewati lembah, melainkan mereka ikut mendapatkan pahalanya; mereka tertahan oleh uzur.” (HR. Bukhari). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Dunia ini bagi empat golongan: Pertama, orang yang dikaruniai Allah harta dan ilmu, lalu ia menginfakkan hartanya di jalan kebenaran. Kedua, orang yang dikaruniai ilmu, tetapi tidak dikaruniai harta. Ia berkata, ‘Seandainya Allah memberiku harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Nabi bersabda, ‘…mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.’” (HR. Ibnu Majah). ===== سُؤَالُهُ الثَّانِي يَقُولُ إِنَّهُ يَرْغَبُ فِي الصَّدَقَةِ لَكِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ بِسَبَبِ ظُرُوفِهِ الْمَادِّيَّةِ أَوَّلًا يَعْنِي هَلْ يُؤْجَرُ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ الْأَمْرُ الْآخَرُ بِمَاذَا يَنْصَحُهُ مَعَالِيكُمْ؟ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ يَحْتَسِبُهَا هِيَ لَهُ صَدَقَةٌ فَهَذَا أَمْرٌ عَظِيمٌ وَبَابُ طَاعَةٍ كَبِيرٌ يُمْكِنُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَنْوِيَ بِنَفَقَتِهِ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ إِرْضَاءَ اللَّهِ وَعِبَادَتَهُ فَيَكُونُ مَأْجُورًا أَجْرَ الصَّدَقَةِ وَقَدْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنِ ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ عَنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا الْمَرْءُ مِنَ الضُّحَى فَهَذَا أَيْضًا بَابٌ آخَرُ مِنْ أَبْوَابِ الصَّدَقَاتِ يَنَالُ الْإِنْسَانُ بِهِ الْأَجْرَ فِي ذَلِكَ وَإِذَا نَوَى الْإِنْسَانُ فِعْلَ الطَّاعَةِ وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فِعْلِهَا لِسَبَبٍ خَارِجٍ عَنْ قُدْرَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنِيلُهُ أَجْرَ تِلْكَ الطَّاعَة وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يُؤَدِّيهِ صَحِيحًا مُقِيمًا وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا عَادَ مِنْ تَبُوكَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا شَرَكُوكُمُ الأَجْرَ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةٍ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يُنْفِقُ مَالَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ اللَّهَ آتَانِي مَالًا لَفَعَلْتُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فُلَانٌ قَالَ فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ

Lima Penyakit Hati yang Paling Membinasakan

Daftar Isi ToggleSyirik, menyekutukan AllahBidah, perkara baru dalam agamaSyahwat terhadap keburukanGhaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainHati memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, karena ia merupakan pusat kehidupan seseorang sekaligus sumber penggerak bagi seluruh amal seorang manusia. Hati bukan sekadar segumpal daging di dalam dada, tetapi ia adalah tempat bersemayamnya iman, niat, keikhlasan, serta dorongan yang menentukan baik buruknya setiap perbuatan. Para ulama menyebut hati sebagai malikul a‘dha (rajanya anggota tubuh), sebab ia berperan sebagai pemimpin dan pengendali bagi seluruh anggota badan. Jika hati lurus dan sehat, maka semua anggota tubuh akan tunduk kepada kebaikan. Sebaliknya, jika hati rusak, maka seluruh amal anggota tubuh pun akan ikut rusak. Ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ“Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuhnya akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh tubuhnya akan rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,القلب ملك الأعضاء، والأعضاء جنوده. فإذا طاب الملك طابت جنوده، وإذا خبث خبثت جنوده“Hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, dan anggota tubuh adalah tentaranya. Apabila sang raja baik, maka tentaranya juga akan baik; dan apabila ia rusak, maka tentaranya pun akan rusak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210)Dengan demikian, menjaga hati dari segala penyakit yang membinasakan dirinya adalah kewajiban bagi setiap hamba Allah. Di antara penyakit hati yang paling berbahaya menurut para ulama adalah syirik, bidah, syahwat, ghaflah (lalai), dan ghil (hasad).Syirik, menyekutukan AllahSyirik adalah penyakit hati paling berbahaya dan bahkan pelakunya diancam dengan kekal di dalam neraka. Definisi syirik itu sendiri adalah mempersekutukan Allah dalam ibadah, baik dengan menyembah kepada selain-Nya atau menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمٗا عَظِيمٗا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa berbuat syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,وأعظم أنواع الظّلْم الشّرك، وهو جعل المخلوق ندّا للخالق“Kezaliman yang paling besar adalah syirik, yaitu menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Sang Pencipta.” (Madarij As-Salikin, 1: 340)Syirik akan menghancurkan keikhlasan (tauhid), menghancurkan amal, dan menjadikan hati bergantung kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia disebut sebagai penyakit hati paling berbahaya di antara penyakit hati yang lainnya.Bidah, perkara baru dalam agamaBidah secara bahasa berarti membuat sesuatu yang baru. Adapun secara istilah, bidah adalah perbuatan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, sesuatu yang tidak ada tuntunannya dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asal usulnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)Asy-Syathibi rahimahullah berkata,كلّ من أدْخل في الدّين ما ليس منه فقد بدّله“Setiap orang yang memasukkan sesuatu ke dalam agama yang bukan darinya, maka sungguh ia telah mengubah agama itu.” (Al-I’tisham, 1: 37)Penyakit hati ini (bidah) berbahaya karena biasanya pelakunya merasa benar dalam beribadah, padahal sebenarnya mereka menyelisihi sunah. Hal ini membuatnya sulit untuk kembali, karena ia merasa berada di jalan yang benar.Syahwat terhadap keburukanKecenderungan jiwa terhadap hal-hal yang disenangi, tetapi jika tidak dibimbing dengan keimanan, ia menjadi penyakit hati yang berbahaya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, lalu Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, menutup pendengaran dan hatinya, serta menutup penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kalian (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ“Jihad yang paling utama adalah saat seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya.” (HR. Ibnu Najjar dari Abu Dzarr, sahih)Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,أعظم الجهاد جهاد النّفس والهوى“Jihad yang paling agung adalah jihad melawan diri dan hawa nafsu.” (Zadul Ma’ad, 3: 10)Ibrahim bin Adham rahimahullah juga mengatakan,أشد الجهاد جهاد الهوى من منع نفسه هواها فقد استراح من الدنيا وبلائها وكان محفوظًا ومعافى من أذاها“Jihad yang paling berat adalah jihad memerangi hawa nafsu. Barang siapa yang mencegah dirinya dari hawa nafsunya, maka sungguh dia bisa beristirahat dari kepayahan dunia dan bala tentaranya. Dia akan terjaga dan diselamatkan dari gangguannya.” (Al-Hilyah, 2: 484)Ketika syahwat menguasai hati seseorang, ia akan menutup jalan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Rabbnya, menghalangi seseorang dari ilmu yang hak dan ibadah yang dituntunkan, serta menyeretnya kepada kesesatan dan dosa besar.Ghaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhaflah adalah penyakit hati yang juga sangat berbahaya, ia bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah, sibuk dengan dunianya, dan lupa tujuan hidupnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah jadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,أكثر ما يفسد الإنسان غفلته ونسيه لمعاده“Hal yang paling banyak merusak manusia adalah kelalaiannya dan lupanya terhadap hari akhirat.” (Shaidu al-Khatir, hal. 37)Lalai membuat hati seorang hamba menjadi keras, ibadah menjadi tidak khusyuk, doa tidak terijabah, lebih memprioritaskan dunia dibandingkan akhirat, serta menjadikan hidup hampa meskipun dipenuhi kesenangan dunia.Ghil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainSalah satu penyakit hati yang juga perlu diwaspadai adalah ghil. Ghil atau hasad adalah merasa hatinya tidak senang dan iri terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, bahkan ia berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut. Penyakit ini membuat hati dipenuhi dengan kebencian, kedengkian, dan permusuhan tersembunyi terhadap sesama orang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا“Janganlah kalian saling hasad, jangan saling menipu, jangan saling membenci, dan jangan saling memutuskan hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim no. 2564)Ibnu Rajab rahimahullah berkata,الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النّار الحطب“Hasad akan melahap kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 270)Dampak yang sangat nyata dari penyakit hati ini (ghil) membuat hati menjadi sakit, selalu merasa gelisah, merusak ukhuwah sesama muslim, dan bahkan menimbulkan permusuhan di tengah kaum muslimin.Inilah lima penyakit hati yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar terhadap keimanan seorang muslim. Syirik akan menghancurkan tauhid, bidah merusak kemurnian dan kesempurnaan agama, syahwat menghalangi jalan ketaatan, ghaflah membuat hati keras, dan ghil menghancurkan tali persaudaraan.Semoga Allah ‘Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati hamba-hamba-Nya, senantiasa melindungi kita dari berbagai penyakit hati yang berbahaya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan jiwa kita dari kotoran syirik, bidah, syahwat, lalai (ghaflah), dan hasad (ghil), serta menggantikannya dengan cahaya keimanan, keikhlasan, dan ketakwaan. Kita memohon kepada-Nya agar meneguhkan hati kita di atas agama-Nya yang lurus, menghidupkan jiwa kita dengan amal saleh, menjadikan lisan kita basah dengan zikir, dan menjaga langkah kita agar senantiasa berada di jalan kebenaran hingga akhir hayat. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan kita kelak di akhirat bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقًا“Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69)Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab.Baca juga: Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?***Penulis: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id

Lima Penyakit Hati yang Paling Membinasakan

Daftar Isi ToggleSyirik, menyekutukan AllahBidah, perkara baru dalam agamaSyahwat terhadap keburukanGhaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainHati memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, karena ia merupakan pusat kehidupan seseorang sekaligus sumber penggerak bagi seluruh amal seorang manusia. Hati bukan sekadar segumpal daging di dalam dada, tetapi ia adalah tempat bersemayamnya iman, niat, keikhlasan, serta dorongan yang menentukan baik buruknya setiap perbuatan. Para ulama menyebut hati sebagai malikul a‘dha (rajanya anggota tubuh), sebab ia berperan sebagai pemimpin dan pengendali bagi seluruh anggota badan. Jika hati lurus dan sehat, maka semua anggota tubuh akan tunduk kepada kebaikan. Sebaliknya, jika hati rusak, maka seluruh amal anggota tubuh pun akan ikut rusak. Ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ“Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuhnya akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh tubuhnya akan rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,القلب ملك الأعضاء، والأعضاء جنوده. فإذا طاب الملك طابت جنوده، وإذا خبث خبثت جنوده“Hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, dan anggota tubuh adalah tentaranya. Apabila sang raja baik, maka tentaranya juga akan baik; dan apabila ia rusak, maka tentaranya pun akan rusak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210)Dengan demikian, menjaga hati dari segala penyakit yang membinasakan dirinya adalah kewajiban bagi setiap hamba Allah. Di antara penyakit hati yang paling berbahaya menurut para ulama adalah syirik, bidah, syahwat, ghaflah (lalai), dan ghil (hasad).Syirik, menyekutukan AllahSyirik adalah penyakit hati paling berbahaya dan bahkan pelakunya diancam dengan kekal di dalam neraka. Definisi syirik itu sendiri adalah mempersekutukan Allah dalam ibadah, baik dengan menyembah kepada selain-Nya atau menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمٗا عَظِيمٗا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa berbuat syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,وأعظم أنواع الظّلْم الشّرك، وهو جعل المخلوق ندّا للخالق“Kezaliman yang paling besar adalah syirik, yaitu menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Sang Pencipta.” (Madarij As-Salikin, 1: 340)Syirik akan menghancurkan keikhlasan (tauhid), menghancurkan amal, dan menjadikan hati bergantung kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia disebut sebagai penyakit hati paling berbahaya di antara penyakit hati yang lainnya.Bidah, perkara baru dalam agamaBidah secara bahasa berarti membuat sesuatu yang baru. Adapun secara istilah, bidah adalah perbuatan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, sesuatu yang tidak ada tuntunannya dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asal usulnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)Asy-Syathibi rahimahullah berkata,كلّ من أدْخل في الدّين ما ليس منه فقد بدّله“Setiap orang yang memasukkan sesuatu ke dalam agama yang bukan darinya, maka sungguh ia telah mengubah agama itu.” (Al-I’tisham, 1: 37)Penyakit hati ini (bidah) berbahaya karena biasanya pelakunya merasa benar dalam beribadah, padahal sebenarnya mereka menyelisihi sunah. Hal ini membuatnya sulit untuk kembali, karena ia merasa berada di jalan yang benar.Syahwat terhadap keburukanKecenderungan jiwa terhadap hal-hal yang disenangi, tetapi jika tidak dibimbing dengan keimanan, ia menjadi penyakit hati yang berbahaya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, lalu Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, menutup pendengaran dan hatinya, serta menutup penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kalian (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ“Jihad yang paling utama adalah saat seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya.” (HR. Ibnu Najjar dari Abu Dzarr, sahih)Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,أعظم الجهاد جهاد النّفس والهوى“Jihad yang paling agung adalah jihad melawan diri dan hawa nafsu.” (Zadul Ma’ad, 3: 10)Ibrahim bin Adham rahimahullah juga mengatakan,أشد الجهاد جهاد الهوى من منع نفسه هواها فقد استراح من الدنيا وبلائها وكان محفوظًا ومعافى من أذاها“Jihad yang paling berat adalah jihad memerangi hawa nafsu. Barang siapa yang mencegah dirinya dari hawa nafsunya, maka sungguh dia bisa beristirahat dari kepayahan dunia dan bala tentaranya. Dia akan terjaga dan diselamatkan dari gangguannya.” (Al-Hilyah, 2: 484)Ketika syahwat menguasai hati seseorang, ia akan menutup jalan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Rabbnya, menghalangi seseorang dari ilmu yang hak dan ibadah yang dituntunkan, serta menyeretnya kepada kesesatan dan dosa besar.Ghaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhaflah adalah penyakit hati yang juga sangat berbahaya, ia bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah, sibuk dengan dunianya, dan lupa tujuan hidupnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah jadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,أكثر ما يفسد الإنسان غفلته ونسيه لمعاده“Hal yang paling banyak merusak manusia adalah kelalaiannya dan lupanya terhadap hari akhirat.” (Shaidu al-Khatir, hal. 37)Lalai membuat hati seorang hamba menjadi keras, ibadah menjadi tidak khusyuk, doa tidak terijabah, lebih memprioritaskan dunia dibandingkan akhirat, serta menjadikan hidup hampa meskipun dipenuhi kesenangan dunia.Ghil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainSalah satu penyakit hati yang juga perlu diwaspadai adalah ghil. Ghil atau hasad adalah merasa hatinya tidak senang dan iri terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, bahkan ia berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut. Penyakit ini membuat hati dipenuhi dengan kebencian, kedengkian, dan permusuhan tersembunyi terhadap sesama orang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا“Janganlah kalian saling hasad, jangan saling menipu, jangan saling membenci, dan jangan saling memutuskan hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim no. 2564)Ibnu Rajab rahimahullah berkata,الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النّار الحطب“Hasad akan melahap kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 270)Dampak yang sangat nyata dari penyakit hati ini (ghil) membuat hati menjadi sakit, selalu merasa gelisah, merusak ukhuwah sesama muslim, dan bahkan menimbulkan permusuhan di tengah kaum muslimin.Inilah lima penyakit hati yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar terhadap keimanan seorang muslim. Syirik akan menghancurkan tauhid, bidah merusak kemurnian dan kesempurnaan agama, syahwat menghalangi jalan ketaatan, ghaflah membuat hati keras, dan ghil menghancurkan tali persaudaraan.Semoga Allah ‘Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati hamba-hamba-Nya, senantiasa melindungi kita dari berbagai penyakit hati yang berbahaya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan jiwa kita dari kotoran syirik, bidah, syahwat, lalai (ghaflah), dan hasad (ghil), serta menggantikannya dengan cahaya keimanan, keikhlasan, dan ketakwaan. Kita memohon kepada-Nya agar meneguhkan hati kita di atas agama-Nya yang lurus, menghidupkan jiwa kita dengan amal saleh, menjadikan lisan kita basah dengan zikir, dan menjaga langkah kita agar senantiasa berada di jalan kebenaran hingga akhir hayat. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan kita kelak di akhirat bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقًا“Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69)Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab.Baca juga: Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?***Penulis: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleSyirik, menyekutukan AllahBidah, perkara baru dalam agamaSyahwat terhadap keburukanGhaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainHati memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, karena ia merupakan pusat kehidupan seseorang sekaligus sumber penggerak bagi seluruh amal seorang manusia. Hati bukan sekadar segumpal daging di dalam dada, tetapi ia adalah tempat bersemayamnya iman, niat, keikhlasan, serta dorongan yang menentukan baik buruknya setiap perbuatan. Para ulama menyebut hati sebagai malikul a‘dha (rajanya anggota tubuh), sebab ia berperan sebagai pemimpin dan pengendali bagi seluruh anggota badan. Jika hati lurus dan sehat, maka semua anggota tubuh akan tunduk kepada kebaikan. Sebaliknya, jika hati rusak, maka seluruh amal anggota tubuh pun akan ikut rusak. Ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ“Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuhnya akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh tubuhnya akan rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,القلب ملك الأعضاء، والأعضاء جنوده. فإذا طاب الملك طابت جنوده، وإذا خبث خبثت جنوده“Hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, dan anggota tubuh adalah tentaranya. Apabila sang raja baik, maka tentaranya juga akan baik; dan apabila ia rusak, maka tentaranya pun akan rusak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210)Dengan demikian, menjaga hati dari segala penyakit yang membinasakan dirinya adalah kewajiban bagi setiap hamba Allah. Di antara penyakit hati yang paling berbahaya menurut para ulama adalah syirik, bidah, syahwat, ghaflah (lalai), dan ghil (hasad).Syirik, menyekutukan AllahSyirik adalah penyakit hati paling berbahaya dan bahkan pelakunya diancam dengan kekal di dalam neraka. Definisi syirik itu sendiri adalah mempersekutukan Allah dalam ibadah, baik dengan menyembah kepada selain-Nya atau menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمٗا عَظِيمٗا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa berbuat syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,وأعظم أنواع الظّلْم الشّرك، وهو جعل المخلوق ندّا للخالق“Kezaliman yang paling besar adalah syirik, yaitu menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Sang Pencipta.” (Madarij As-Salikin, 1: 340)Syirik akan menghancurkan keikhlasan (tauhid), menghancurkan amal, dan menjadikan hati bergantung kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia disebut sebagai penyakit hati paling berbahaya di antara penyakit hati yang lainnya.Bidah, perkara baru dalam agamaBidah secara bahasa berarti membuat sesuatu yang baru. Adapun secara istilah, bidah adalah perbuatan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, sesuatu yang tidak ada tuntunannya dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asal usulnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)Asy-Syathibi rahimahullah berkata,كلّ من أدْخل في الدّين ما ليس منه فقد بدّله“Setiap orang yang memasukkan sesuatu ke dalam agama yang bukan darinya, maka sungguh ia telah mengubah agama itu.” (Al-I’tisham, 1: 37)Penyakit hati ini (bidah) berbahaya karena biasanya pelakunya merasa benar dalam beribadah, padahal sebenarnya mereka menyelisihi sunah. Hal ini membuatnya sulit untuk kembali, karena ia merasa berada di jalan yang benar.Syahwat terhadap keburukanKecenderungan jiwa terhadap hal-hal yang disenangi, tetapi jika tidak dibimbing dengan keimanan, ia menjadi penyakit hati yang berbahaya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, lalu Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, menutup pendengaran dan hatinya, serta menutup penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kalian (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ“Jihad yang paling utama adalah saat seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya.” (HR. Ibnu Najjar dari Abu Dzarr, sahih)Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,أعظم الجهاد جهاد النّفس والهوى“Jihad yang paling agung adalah jihad melawan diri dan hawa nafsu.” (Zadul Ma’ad, 3: 10)Ibrahim bin Adham rahimahullah juga mengatakan,أشد الجهاد جهاد الهوى من منع نفسه هواها فقد استراح من الدنيا وبلائها وكان محفوظًا ومعافى من أذاها“Jihad yang paling berat adalah jihad memerangi hawa nafsu. Barang siapa yang mencegah dirinya dari hawa nafsunya, maka sungguh dia bisa beristirahat dari kepayahan dunia dan bala tentaranya. Dia akan terjaga dan diselamatkan dari gangguannya.” (Al-Hilyah, 2: 484)Ketika syahwat menguasai hati seseorang, ia akan menutup jalan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Rabbnya, menghalangi seseorang dari ilmu yang hak dan ibadah yang dituntunkan, serta menyeretnya kepada kesesatan dan dosa besar.Ghaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhaflah adalah penyakit hati yang juga sangat berbahaya, ia bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah, sibuk dengan dunianya, dan lupa tujuan hidupnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah jadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,أكثر ما يفسد الإنسان غفلته ونسيه لمعاده“Hal yang paling banyak merusak manusia adalah kelalaiannya dan lupanya terhadap hari akhirat.” (Shaidu al-Khatir, hal. 37)Lalai membuat hati seorang hamba menjadi keras, ibadah menjadi tidak khusyuk, doa tidak terijabah, lebih memprioritaskan dunia dibandingkan akhirat, serta menjadikan hidup hampa meskipun dipenuhi kesenangan dunia.Ghil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainSalah satu penyakit hati yang juga perlu diwaspadai adalah ghil. Ghil atau hasad adalah merasa hatinya tidak senang dan iri terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, bahkan ia berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut. Penyakit ini membuat hati dipenuhi dengan kebencian, kedengkian, dan permusuhan tersembunyi terhadap sesama orang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا“Janganlah kalian saling hasad, jangan saling menipu, jangan saling membenci, dan jangan saling memutuskan hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim no. 2564)Ibnu Rajab rahimahullah berkata,الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النّار الحطب“Hasad akan melahap kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 270)Dampak yang sangat nyata dari penyakit hati ini (ghil) membuat hati menjadi sakit, selalu merasa gelisah, merusak ukhuwah sesama muslim, dan bahkan menimbulkan permusuhan di tengah kaum muslimin.Inilah lima penyakit hati yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar terhadap keimanan seorang muslim. Syirik akan menghancurkan tauhid, bidah merusak kemurnian dan kesempurnaan agama, syahwat menghalangi jalan ketaatan, ghaflah membuat hati keras, dan ghil menghancurkan tali persaudaraan.Semoga Allah ‘Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati hamba-hamba-Nya, senantiasa melindungi kita dari berbagai penyakit hati yang berbahaya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan jiwa kita dari kotoran syirik, bidah, syahwat, lalai (ghaflah), dan hasad (ghil), serta menggantikannya dengan cahaya keimanan, keikhlasan, dan ketakwaan. Kita memohon kepada-Nya agar meneguhkan hati kita di atas agama-Nya yang lurus, menghidupkan jiwa kita dengan amal saleh, menjadikan lisan kita basah dengan zikir, dan menjaga langkah kita agar senantiasa berada di jalan kebenaran hingga akhir hayat. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan kita kelak di akhirat bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقًا“Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69)Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab.Baca juga: Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?***Penulis: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleSyirik, menyekutukan AllahBidah, perkara baru dalam agamaSyahwat terhadap keburukanGhaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainHati memiliki kedudukan yang sangat agung dan mulia, karena ia merupakan pusat kehidupan seseorang sekaligus sumber penggerak bagi seluruh amal seorang manusia. Hati bukan sekadar segumpal daging di dalam dada, tetapi ia adalah tempat bersemayamnya iman, niat, keikhlasan, serta dorongan yang menentukan baik buruknya setiap perbuatan. Para ulama menyebut hati sebagai malikul a‘dha (rajanya anggota tubuh), sebab ia berperan sebagai pemimpin dan pengendali bagi seluruh anggota badan. Jika hati lurus dan sehat, maka semua anggota tubuh akan tunduk kepada kebaikan. Sebaliknya, jika hati rusak, maka seluruh amal anggota tubuh pun akan ikut rusak. Ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ“Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuhnya akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh tubuhnya akan rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,القلب ملك الأعضاء، والأعضاء جنوده. فإذا طاب الملك طابت جنوده، وإذا خبث خبثت جنوده“Hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, dan anggota tubuh adalah tentaranya. Apabila sang raja baik, maka tentaranya juga akan baik; dan apabila ia rusak, maka tentaranya pun akan rusak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210)Dengan demikian, menjaga hati dari segala penyakit yang membinasakan dirinya adalah kewajiban bagi setiap hamba Allah. Di antara penyakit hati yang paling berbahaya menurut para ulama adalah syirik, bidah, syahwat, ghaflah (lalai), dan ghil (hasad).Syirik, menyekutukan AllahSyirik adalah penyakit hati paling berbahaya dan bahkan pelakunya diancam dengan kekal di dalam neraka. Definisi syirik itu sendiri adalah mempersekutukan Allah dalam ibadah, baik dengan menyembah kepada selain-Nya atau menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمٗا عَظِيمٗا“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa berbuat syirik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48)Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,وأعظم أنواع الظّلْم الشّرك، وهو جعل المخلوق ندّا للخالق“Kezaliman yang paling besar adalah syirik, yaitu menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Sang Pencipta.” (Madarij As-Salikin, 1: 340)Syirik akan menghancurkan keikhlasan (tauhid), menghancurkan amal, dan menjadikan hati bergantung kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia disebut sebagai penyakit hati paling berbahaya di antara penyakit hati yang lainnya.Bidah, perkara baru dalam agamaBidah secara bahasa berarti membuat sesuatu yang baru. Adapun secara istilah, bidah adalah perbuatan mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, sesuatu yang tidak ada tuntunannya dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asal usulnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)Asy-Syathibi rahimahullah berkata,كلّ من أدْخل في الدّين ما ليس منه فقد بدّله“Setiap orang yang memasukkan sesuatu ke dalam agama yang bukan darinya, maka sungguh ia telah mengubah agama itu.” (Al-I’tisham, 1: 37)Penyakit hati ini (bidah) berbahaya karena biasanya pelakunya merasa benar dalam beribadah, padahal sebenarnya mereka menyelisihi sunah. Hal ini membuatnya sulit untuk kembali, karena ia merasa berada di jalan yang benar.Syahwat terhadap keburukanKecenderungan jiwa terhadap hal-hal yang disenangi, tetapi jika tidak dibimbing dengan keimanan, ia menjadi penyakit hati yang berbahaya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, lalu Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, menutup pendengaran dan hatinya, serta menutup penglihatannya? Maka siapakah yang dapat memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kalian (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ“Jihad yang paling utama adalah saat seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya.” (HR. Ibnu Najjar dari Abu Dzarr, sahih)Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,أعظم الجهاد جهاد النّفس والهوى“Jihad yang paling agung adalah jihad melawan diri dan hawa nafsu.” (Zadul Ma’ad, 3: 10)Ibrahim bin Adham rahimahullah juga mengatakan,أشد الجهاد جهاد الهوى من منع نفسه هواها فقد استراح من الدنيا وبلائها وكان محفوظًا ومعافى من أذاها“Jihad yang paling berat adalah jihad memerangi hawa nafsu. Barang siapa yang mencegah dirinya dari hawa nafsunya, maka sungguh dia bisa beristirahat dari kepayahan dunia dan bala tentaranya. Dia akan terjaga dan diselamatkan dari gangguannya.” (Al-Hilyah, 2: 484)Ketika syahwat menguasai hati seseorang, ia akan menutup jalan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Rabbnya, menghalangi seseorang dari ilmu yang hak dan ibadah yang dituntunkan, serta menyeretnya kepada kesesatan dan dosa besar.Ghaflah, lalai dari ketaatan kepada AllahGhaflah adalah penyakit hati yang juga sangat berbahaya, ia bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah, sibuk dengan dunianya, dan lupa tujuan hidupnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah jadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,أكثر ما يفسد الإنسان غفلته ونسيه لمعاده“Hal yang paling banyak merusak manusia adalah kelalaiannya dan lupanya terhadap hari akhirat.” (Shaidu al-Khatir, hal. 37)Lalai membuat hati seorang hamba menjadi keras, ibadah menjadi tidak khusyuk, doa tidak terijabah, lebih memprioritaskan dunia dibandingkan akhirat, serta menjadikan hidup hampa meskipun dipenuhi kesenangan dunia.Ghil, tidak suka dengan kebahagiaan orang lainSalah satu penyakit hati yang juga perlu diwaspadai adalah ghil. Ghil atau hasad adalah merasa hatinya tidak senang dan iri terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, bahkan ia berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut. Penyakit ini membuat hati dipenuhi dengan kebencian, kedengkian, dan permusuhan tersembunyi terhadap sesama orang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا“Janganlah kalian saling hasad, jangan saling menipu, jangan saling membenci, dan jangan saling memutuskan hubungan. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim no. 2564)Ibnu Rajab rahimahullah berkata,الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النّار الحطب“Hasad akan melahap kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 270)Dampak yang sangat nyata dari penyakit hati ini (ghil) membuat hati menjadi sakit, selalu merasa gelisah, merusak ukhuwah sesama muslim, dan bahkan menimbulkan permusuhan di tengah kaum muslimin.Inilah lima penyakit hati yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar terhadap keimanan seorang muslim. Syirik akan menghancurkan tauhid, bidah merusak kemurnian dan kesempurnaan agama, syahwat menghalangi jalan ketaatan, ghaflah membuat hati keras, dan ghil menghancurkan tali persaudaraan.Semoga Allah ‘Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Mengetahui segala isi hati hamba-hamba-Nya, senantiasa melindungi kita dari berbagai penyakit hati yang berbahaya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan jiwa kita dari kotoran syirik, bidah, syahwat, lalai (ghaflah), dan hasad (ghil), serta menggantikannya dengan cahaya keimanan, keikhlasan, dan ketakwaan. Kita memohon kepada-Nya agar meneguhkan hati kita di atas agama-Nya yang lurus, menghidupkan jiwa kita dengan amal saleh, menjadikan lisan kita basah dengan zikir, dan menjaga langkah kita agar senantiasa berada di jalan kebenaran hingga akhir hayat. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan kita kelak di akhirat bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh, sebagaimana firman-Nya,وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقًا“Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa’: 69)Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab.Baca juga: Apakah Setiap Penyakit (Kerasnya) Hati Menunjukkan Tanda Kemunafikan?***Penulis: Chrisna Tri HartadiArtikel Muslim.or.id

Karakter Muslim: Selalu Menebar Manfaat dan Memberi Dampak Positif

المسلم دائم النفع طيب الأثر Oleh: Dr. Husam Al-Isawi Sunaid د. حسام العيسوي سنيد المقدمة: أخرج البخاري عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن من الشجر شجرةً لا يسقط ورقها، وإنها مَثَلُ المسلم، فحدِّثوني ما هي؟ فوقع الناس في شجر البوادي، قال عبدالله: ووقع في نفسي أنها النخلة فاستحييتُ، ثم قالوا: حدثنا ما هي يا رسول الله؟ قال: هي النخلة)). Pendahuluan  Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ قَالَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي‏.‏ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏هِيَ النَّخْلَةُ “Di antara jenis-jenis pohon itu ada satu jenis pohon yang tidak berguguran daunnya, pohon itu bagaikan sosok orang Islam. Sampaikanlah kepadaku, pohon apa itu?” Kemudian para sahabat menyebutkan nama-nama pohon di daerah pedalaman. Abdullah bin Umar mengisahkan, “Lalu dalam hatiku tebersit bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, tapi saya malu mengatakannya.” Para sahabat lalu bertanya, “Pohon apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma!” (HR. Al-Bukhari). فما هي أهم الفوائد من هذا الحديث الشريف؟ وما هي أهم الدروس المستفادة منه؟ 1- أخي الكريم: انظر إلى شجر النخيل، هل تستطيع أن تعدِّد الفوائد منه؟ هل تستطيع أن تصِفَها؟ إن النخلة لها فوائد كثيرة، وخصائص جمَّة، من أهمها[انظر: علي علي صبح: التصوير النبوي للقيم الخلقية والتشريعية في الحديث الشريف، ط1، المكتبة الأزهرية للتراث، 1423ه/ 2002م، ص20]: • دوام الخضرة طوال العام. • حلاوة الثمار وطِيبها. • الإنسان يستظل بها. • جمال منظرها وشكلها. • تكامل أجزائها: الساق، والجريد، والليف، والثمار. فوائد كثيرة لهذه الشجرة المباركة. Apa faedah-faedah terpenting dari hadis yang mulia ini? Dan apa pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik darinya? Pertama:  Wahai saudaraku yang mulia! Perhatikanlah pohon kurma, apakah kamu dapat menghitung manfaat-manfaatnya? Apakah kamu dapat menyebutkan ciri-cirinya? Pohon kurma punya manfaat yang banyak dan keistimewaan yang besar, di antaranya yang paling penting: Selalu hijau sepanjang tahun Buahnya manis dan enak Dapat dipakai sebagai tempat berteduh Punya bentuk yang indah Seluruh bagiannya proporsional, mulai dari batang, pelepah, daun, dan buahnya. (Kitab At-Tashwir An-Nabawi Lil-Qiyam Al-Kuluqiyah Wa At-Tasyri’iyyah Fi Al-Hadits asy-Syarif karya Ali Ali Subhi, hlm. 20, cetakan pertama Al-Maktabah Al-Azhariyah Lit-Turats, 2002 M/1423 H). Ada banyak manfaat dari pohon yang diberkahi ini. هل تعلم بِمَ شبَّهها رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ النبي صلى الله عليه وسلم يشبِّهها بالمسلم، لا يشبه المسلم بها، لكن يشبهها بالمسلم، وهذا يسميه البلاغيون التشبيه المقلوب؛ فبدلًا من أن يشبه المسلم بالنخلة (العادة أن يشبه المعنوي بالمحسوس)، قلَب التشبيه؛ فشبَّه النخلة بالمسلم، والعلة في ذلك: للدلالة على أن المسلم أبلغ في صفاته المعنوية والخُلقية من النخلة المحسوسة، للتصريح بأن المسلم أعزُّ عند الله وعند الناس، وأن النخلة مع أنها شبيهة به في جميع منافعها، إلا أن منافع المسلم أكثر منها؛ لاستكثاره من الخير والعمل الصالح والتمسك بالفضائل، والتحلي بمكارم الأخلاق، والتخلي عن القبيح والصفات الذميمة، علاوة على تميزه عن الخلائق بالعقل والتكليف[المرجع السابق، ص20] . هذا معنى مهم: المسلم كثير الفوائد، كثير الصفات والخِصال، لا يعدم الخير أبدًا. Apakah kamu mengetahui Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengumpamakan pohon kurma dengan apa? Beliau mengumpamakannya dengan seorang muslim. Perhatikan! Beliau bukan mengumpamakan seorang muslim dengan pohon kurma, tapi sebaliknya, mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim. Para ulama ilmu balaghah menyebut ini dengan istilah perumpamaan terbalik, bukannya seorang muslim diumpamakan dengan pohon kurma – yang biasanya benda maknawi (abstrak) diumpamakan dengan benda konkret – tapi di sini perumpamaannya terbalik. Nabi mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim.  Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa seorang muslim lebih mendalam sifat-sifat maknawi dan akhlaknya daripada pohon kurma yang konkret, untuk menjelaskan bahwa muslim lebih mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan manusia, dan meskipun pohon kurma mirip manfaat-manfaatnya dengan seorang muslim, tapi manfaat muslim lebih banyak karena dia dapat memperbanyak kebaikan, amal saleh, berpegang teguh dengan sifat-sifat mulia, menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji, dan menjaga diri dari keburukan dan sifat-sifat tercela. Ditambah lagi dengan keunggulannya berupa akal dan pelaksanaan syariat agama yang tidak dimiliki makhluk lain. (Lihat: Referensi sebelumnya, hlm. 20). Inilah makna yang penting, seorang muslim harus punya banyak manfaat, punya banyak sifat dan akhlak baik, dan tidak pernah kosong dari kebaikan. 2- أخي الكريم: توجد أحاديث كثيرة تبيِّن كثرة صفات المسلمين، وتنوُّع أخلاقهم المحمودة، وعباداتهم المطلوبة: في الحديث الذي رواه البخاري عن أبي هريرة، قال: ((أتى رجلٌ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، أصابني جهد، فأرسل إلى نسائه فلم يجد عندهن شيئًا، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألَا رجل يضيفه هذه الليلة رحمه الله، فقام رجل من الأنصار، فقال: أنا يا رسول الله، فذهب إلى أهله، فقال لامرأته: ضيف رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تدخريه شيئًا، قالت: والله ما عندي إلا قوت الصبية، قال: فإذا أراد الصبية العَشاء، فنوِّميهم وتعالَي، فأطفئي السراج، ونطوي بطوننا الليلة، ففعلت، ثم غدا الرجل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: لقد عجب الله – أو ضحك الله – من فلان وفلانة؛ فأنزل الله عز وجل: ﴿ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴾ [الحشر: 9])). Kedua: Wahai saudaraku yang mulia! Terdapat banyak hadis yang menjelaskan banyaknya sifat kaum Muslimin, beraneka ragamnya akhlak mulia dan ibadah yang dituntut pada mereka. Dalam hadits riwayat Imam Al-bukhari dari Abu Hurairah disebutkan: “Pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya tertimpa kesulitan!’ Kemudian beliau mengutus ke para istri beliau (untuk menanyakan sesuatu yang mungkin bisa diberikan kepada orang itu), tapi mereka tidak punya apapun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, ‘Adakah orang yang dapat menjamunya malam ini, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmatinya?’ Maka berdirilah seorang lelaki dari kaum Anshar dan berkata, ‘Saya, wahai Rasulullah!’ Lalu dia pulang (bersamanya) ke keluarganya dan berkata kepada istrinya, ‘Ini adalah tamu Rasulullah, jangan simpan apapun darinya.’ Istrinya menjawab, ‘Demi Allah, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali makanan untuk anak-anak.’ Lelaki itu menanggapi, ‘Jika anak-anak ingin makan malam, tidurkan saja mereka, lalu datanglah ke sini dan matikanlah lampu. Kita harus menahan lapar malam ini.’ Istrinya pun melakukan itu. Pada pagi harinya, lelaki Anshar itu datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu beliau segera bersabda, ‘Sungguh Allah takjub – atau dengan redaksi: Allah tertawa – dari si Fulan dan Fulanah (yakni lelaki Anshar itu dan istrinya); sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firmannya: ‘dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka punya kebutuhan mendesak.’ (QS. Al-Hasyr: 9).” (HR. Al-Bukhari). وروى البيهقي في كتاب “شعب الإيمان”، عن أبي أيوب الأنصاري، قال: ((سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلًا يقول: الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ صاحبُ الكلمة؟ لم يقل إلا صوابًا، قال: أنا يا رسول الله، قلتها، أرجو بها. قال: والذي نفسي بيده، رأيت بضعة عشر ملَكًا يبتدرونها، أيهم يرفعها إلى الله عز وجل)). Al-Baihaqi juga meriwayatkan dalam kitab Syu’ab Al-Iman dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah mendengar seseorang berkata, “Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (Segala puji bagi Allah, pujian yang melimpah, penuh kebaikan dan keberkahan).” Kemudian beliau bersabda, “Siapa yang mengucapkan kalimat itu? Yang dia ucapkan tidak lain adalah kebenaran. Lalu lelaki itu menjawab, “Saya yang mengucapkannya, wahai Rasulullah! Dan saya berharap pahala dari itu.” Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku melihat belasan malaikat yang berebut, siapa yang akan mengangkatnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (HR. Al-Baihaqi). وروى مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من أصبح منكم اليوم صائمًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن تبع منكم اليوم جَنازةً؟ قال أبو بكرٍ: أنا، قال: فمن أطعم اليوم منكم مسكينًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن عاد منكم اليوم مريضًا؟ قال أبو بكر: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما اجتمعن لرجلٍ قطُّ هذه الخِصال إلا دخل الجنة)). Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bertanya, “Siapa dari kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini mengantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu beliau bersabda, “Tidaklah ini semua terkumpul pada seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim). وفي الحديث المتفق عليه عن أنس بن مالك، قال: ((جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله عن الساعة، فقال: وما أعددت لها؟ فلم يذكر كبيرًا إلا أنه قال: إني أحب الله ورسوله، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أنت مع من أحببتَ)). فالمسلم كثير الفوائد والخِصال والأعمال، فلا غروَ أن يُشبه به كل خير، وأن يُلحق به كل معروف. Dalam hadits muttafaq ‘alaihi diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya tentang waktu Hari Kiamat. Nabi lalu menjawab, “Apa yang sudah kamu siapkan untuknya?” Lelaki itu tidak menyebutkan amalan-amalan besar, hanya saja ia juga berkata, “Aku mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” Beliau lalu menanggapi, “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Jadi, seorang muslim harus punya banyak manfaat, sifat baik, dan amal saleh, sehingga tidak mengherankan jika diumpamakan dengannya segala kebaikan dan disematkan kepadanya segala kebajikan. 3- أخي الكريم: هل تعلم جانبًا من قصة زيد الخير؟ جاء في “حلية الأولياء” لأبي نعيم عن عبدالله بن مسعود، قال: ((كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل راكب حتى أناخ بالنبي، فقال: يا رسول الله، إني أتيتك من مسيرة تسع، أنضيت راحلتي، فأسهرت ليلي، وأظمأت نهاري، لأسألك عن خصلتين أسهرتاني، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما اسمك؟ فقال: أنا زيد الخيل، فقال: بل أنت زيد الخير، فاسأل فرُبَّ معطلة قد سُئل عنه، قال: أسألك عن علامة الله فيمن يريد، وعن علامته فيمن لا يريد؟ فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: كيف أصبحت؟ قال: أصبحت أحب الخير وأهله، ومن يعمل به، فإن عملتُ به أيقنت بثوابه، وإن فاتني منه شيء حننت إليه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: هذه علامة الله فيمن يريد، وعلامته فيمن لا يريد، أن لو أرادك بالأخرى هيَّأك لها، ثم لم يبالِ في أي وادٍ هلكتَ)). Ketiga: Wahai saudaraku yang mulia! Apakah kamu mengetahui sedikit tentang kisah Zaid Al-Khair (Zaid yang baik)? Diriwayatkan dalam kitab Hilyah Al-Auliya karya Abu Nuaim dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: “Dulu kami berada di sekeliling Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu datang orang yang menunggang unta dan turun di hadapan Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepada engkau dari jarak sembilan (hari perjalanan), aku membuat hewan tungganganku kurus, begadang di malam hari, dan kehausan di siang hari, hanya untuk bertanya tentang dua hal yang membuatku sulit tidur.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Aku Zaid Al-Khail (Zaid si kuda).” Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menanggapi, “Justru kamu adalah Zaid al-Khair (Zaid yang baik). Bertanyalah, mungkin itu adalah masalah yang sudah pernah ditanyakan.” Dia berkata, “Aku bertanya tentang tanda Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai seseorang dan tanda Dia tidak mencintai.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya balik, “Bagaimana kamu memasuki waktu pagi ini?” Dia menjawab, “Aku memasuki waktu pagi dalam keadaan mencintai kebaikan dan para pelakunya serta orang yang mengamalkannya, ketika aku berbuat baik, aku meyakini pahalanya, dan jika aku terlewat mengamalkannya, aku merasa sedih karenanya.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Ini adalah tanda dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap orang yang Dia cintai. Sedangkan tanda-Nya terhadap orang yang tidak Dia cintai adalah jika kamu menginginkan selain kebaikan, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memudahkanmu melakukannya, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak peduli di lembah dosa mana kamu binasa.” 4- ولنا في زين العابدين بن الحسين قدوة وعبرة: • قال محمد بن إسحاق: كان أناس بالمدينة يعيشون ولا يدرون من أين يعيشون؟ ومن يعطيهم؟ فلما مات زين العابدين بن الحسين رضي الله عنهما، فقدوا ذلك، فعرفوا أنه هو الذي كان يأتيهم بالليل بما يأتيهم به، ولما مات وجدوا في ظهره وأكتافه أثر حمل الجراب إلى بيوت الأرامل والمساكين. • ومما يُروي عنه: أنه خرج إلى المسجد فسبَّه رجل، فقصده غلمانه ليضربوه ويؤذوه، فنهاهم زين العابدين، وقال لهم: كُفُّوا أيديكم عنه، ثم التفت إلى ذلك الرجل وقال: يا هذا، أنا أكثر مما تقول، وما لا تعرفه مني أكثر مما عرفته، فإن كان لك حاجة في ذكره ذكرته لك، فخجِل الرجل واستحيا، فخلع زيد العابدين قميصه، وأمر له بألف درهم، فمضى الرجل وهو يقول: أشهد أن هذا الشاب ولدُ رسول الله صلى الله عليه وسلم. • ومما يُروى عنه: أن غلامه كان يصب له الماء بإبريق مصنوع من طين، فوقع الإبريق على رِجل زين العابدين فانكسر، وجُرحت رجله، فقال الغلام على الفور: يا سيدي، يقول الله تعالى: ﴿ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: كظمت غيظي، ويقول: ﴿ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال: لقد عفوت عنك، ويقول: ﴿ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: أنت حرٌّ لوجه الله. Keempat: Kita punya teladan dan pelajaran dari Zainul Abidin bin Husain. Muhammad bin Ishaq menceritakan bahwa dulu banyak orang di kota Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana makanan yang menopang hidup mereka dan siapa yang memberi? Ketika Zainul Abidin bin Husain meninggal dunia, bantuan itu terhenti, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau dulu datang ke rumah mereka pada malam hari mengantar bantuan itu. Ketika beliau wafat, mereka menemukan di punggung dan pundak beliau bekas memikul karung ke rumah-rumah para janda dan orang-orang miskin. Dikisahkan juga bahwa Zainul Abidin pernah pergi ke Masjid lalu dicaci-maki oleh seseorang, sehingga para pelayan beliau mendatangi orang itu ingin memukulnya. Namun, beliau melarang mereka dengan berkata, “Jauhkan tangan kalian darinya!” Lalu beliau menoleh kepada lelaki itu dan berkata, “Wahai kamu, saya lebih buruk dari yang kamu ucapkan tadi. Yang tidak kamu ketahui lebih banyak daripada yang kamu ketahui, jika kamu ingin mengetahuinya, aku bisa menyebutkannya untukmu.” Orang itu pun merasa segan dan malu. Zainul Abidin lalu melepas gamisnya untuknya dan memerintahkan agar dia diberi seribu dirham. Lelaki itu lalu pergi sambil berkata, “Saya bersaksi bahwa pemuda ini adalah keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.” Dikisahkan juga bahwa budak Zainul Abidin pernah menuangkan air untuk beliau dari kendi yang terbuat dari tanah liat. Kendi itu jatuh menimpa kaki beliau sampai pecah dan kaki beliau terluka. Budak itu buru-buru mengatakan, “Wahai tuanku! Allah Ta’ala berfirman, ‘dan menahan amarah’” Beliau menanggapi, “Saya tahan marahku!” Budak itu menyambung ayat itu, “dan memberi maaf orang-orang.” Beliau menanggapi, “Aku telah memaafkanmu.” Budah itu menyambung ayat itu lagi, “dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ali Imran: 134).” Beliau lalu berkata, “Kamu saya merdekakan karena Allah!” 5- في الحديث الذي رواه الإمام أحمد في مسنده، عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((مَثَلُ المؤمنين في توادِّهم، وتراحمهم، وتعاطفهم مثَل الجسد، إذا اشتكى منه شيء، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمَّى)). أخي الكريم: كما ضرب الله المثل بالنخلة، ضرب المثل بالجسد؛ أعضاء الجسد واحدة، لا يشتكي عضو، إلا استشعرت كل الأعضاء ألمه، وذاقت مشقته. وهكذا أمة الإسلام؛ أمة واحدة، ينبغي إذا استشعر أحدها ألمًا استشعره الآخرون. Kelima: Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ؛ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum Mukminin dalam rasa cinta, kasih sayang, dan kepedulian mereka seperti satu tubuh, apabila ada anggota tubuh yang sakit, seluruh tubuh akan turut merasakan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Ahmad). Saudaraku yang mulia! Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengumpamakan dengan pohon kurma, Dia juga mengumpamakan dengan satu tubuh, seperti bagian-bagian satu tubuh, tidaklah satu bagian tubuh mengeluhkan sakit melainkan bagian tubuh lainnya merasakan sakit dan kesulitannya. Demikianlah umat Islam, satu umat yang apabila sebagiannya merasa sakit maka selayaknya sebagian yang lain juga ikut merasakan. أخي الكريم: لا تنسَ إخوانك في غزة، في فلسطين، لا يُنسِك اعتياد المشاهد ألمَهم ومعاناتهم، قُم بدورك نحوهم، استشعر معنى الأُخوة بينك وبينهم، أكْثِر من الدعاء، لا تبخل ولو بالقليل، مشاركتك الخبر على وسائل التواصل دور، كلامك عنهم وسط أهلك وأسرتك دور، تبرعك لهم بمالك دور، أي سبيل لنصرتهم دور يقيك أمام الله السؤال. اللهم أغِث عبادك، وتولَّ أمرهم، واخذل عدوهم، وتقبَّل جهدهم، وعافِهم واعفُ عنهم. Saudaraku yang mulia! Jangan lupa dengan saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Jangan sampai pemandangan-pemandangan yang biasa tampak itu membuatmu lupa terhadap rasa sakit dan penderitaan mereka. Tunaikanlah peranmu terhadap mereka, hayatilah makna persaudaraan dengan mereka, perbanyak doa bagi mereka, dan jangan pelit membantu mereka meski dengan nominal yang tidak seberapa. Partisipasimu dalam menyampaikan berita mereka di media-media sosial termasuk andil, pembahasanmu tentang keadaan mereka di tengah-tengah keluargamu juga termasuk andil, dan bantuan dengan hartamu juga termasuk andil. Segala cara untuk menolong mereka adalah andil yang dapat meringankanmu dari pertanyaan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ya Allah, berilah pertolongan bagi para hamba-Mu ini, mudahkanlah urusan mereka, hinakanlah musuh mereka, terimalah usaha mereka, berilah mereka keselamatan, dan ampunilah mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/178192/المسلم-دائم-النفع-طيب-الأثر/#_ftnref2 Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 78 times, 1 visit(s) today Post Views: 132 QRIS donasi Yufid

Karakter Muslim: Selalu Menebar Manfaat dan Memberi Dampak Positif

المسلم دائم النفع طيب الأثر Oleh: Dr. Husam Al-Isawi Sunaid د. حسام العيسوي سنيد المقدمة: أخرج البخاري عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن من الشجر شجرةً لا يسقط ورقها، وإنها مَثَلُ المسلم، فحدِّثوني ما هي؟ فوقع الناس في شجر البوادي، قال عبدالله: ووقع في نفسي أنها النخلة فاستحييتُ، ثم قالوا: حدثنا ما هي يا رسول الله؟ قال: هي النخلة)). Pendahuluan  Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ قَالَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي‏.‏ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏هِيَ النَّخْلَةُ “Di antara jenis-jenis pohon itu ada satu jenis pohon yang tidak berguguran daunnya, pohon itu bagaikan sosok orang Islam. Sampaikanlah kepadaku, pohon apa itu?” Kemudian para sahabat menyebutkan nama-nama pohon di daerah pedalaman. Abdullah bin Umar mengisahkan, “Lalu dalam hatiku tebersit bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, tapi saya malu mengatakannya.” Para sahabat lalu bertanya, “Pohon apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma!” (HR. Al-Bukhari). فما هي أهم الفوائد من هذا الحديث الشريف؟ وما هي أهم الدروس المستفادة منه؟ 1- أخي الكريم: انظر إلى شجر النخيل، هل تستطيع أن تعدِّد الفوائد منه؟ هل تستطيع أن تصِفَها؟ إن النخلة لها فوائد كثيرة، وخصائص جمَّة، من أهمها[انظر: علي علي صبح: التصوير النبوي للقيم الخلقية والتشريعية في الحديث الشريف، ط1، المكتبة الأزهرية للتراث، 1423ه/ 2002م، ص20]: • دوام الخضرة طوال العام. • حلاوة الثمار وطِيبها. • الإنسان يستظل بها. • جمال منظرها وشكلها. • تكامل أجزائها: الساق، والجريد، والليف، والثمار. فوائد كثيرة لهذه الشجرة المباركة. Apa faedah-faedah terpenting dari hadis yang mulia ini? Dan apa pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik darinya? Pertama:  Wahai saudaraku yang mulia! Perhatikanlah pohon kurma, apakah kamu dapat menghitung manfaat-manfaatnya? Apakah kamu dapat menyebutkan ciri-cirinya? Pohon kurma punya manfaat yang banyak dan keistimewaan yang besar, di antaranya yang paling penting: Selalu hijau sepanjang tahun Buahnya manis dan enak Dapat dipakai sebagai tempat berteduh Punya bentuk yang indah Seluruh bagiannya proporsional, mulai dari batang, pelepah, daun, dan buahnya. (Kitab At-Tashwir An-Nabawi Lil-Qiyam Al-Kuluqiyah Wa At-Tasyri’iyyah Fi Al-Hadits asy-Syarif karya Ali Ali Subhi, hlm. 20, cetakan pertama Al-Maktabah Al-Azhariyah Lit-Turats, 2002 M/1423 H). Ada banyak manfaat dari pohon yang diberkahi ini. هل تعلم بِمَ شبَّهها رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ النبي صلى الله عليه وسلم يشبِّهها بالمسلم، لا يشبه المسلم بها، لكن يشبهها بالمسلم، وهذا يسميه البلاغيون التشبيه المقلوب؛ فبدلًا من أن يشبه المسلم بالنخلة (العادة أن يشبه المعنوي بالمحسوس)، قلَب التشبيه؛ فشبَّه النخلة بالمسلم، والعلة في ذلك: للدلالة على أن المسلم أبلغ في صفاته المعنوية والخُلقية من النخلة المحسوسة، للتصريح بأن المسلم أعزُّ عند الله وعند الناس، وأن النخلة مع أنها شبيهة به في جميع منافعها، إلا أن منافع المسلم أكثر منها؛ لاستكثاره من الخير والعمل الصالح والتمسك بالفضائل، والتحلي بمكارم الأخلاق، والتخلي عن القبيح والصفات الذميمة، علاوة على تميزه عن الخلائق بالعقل والتكليف[المرجع السابق، ص20] . هذا معنى مهم: المسلم كثير الفوائد، كثير الصفات والخِصال، لا يعدم الخير أبدًا. Apakah kamu mengetahui Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengumpamakan pohon kurma dengan apa? Beliau mengumpamakannya dengan seorang muslim. Perhatikan! Beliau bukan mengumpamakan seorang muslim dengan pohon kurma, tapi sebaliknya, mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim. Para ulama ilmu balaghah menyebut ini dengan istilah perumpamaan terbalik, bukannya seorang muslim diumpamakan dengan pohon kurma – yang biasanya benda maknawi (abstrak) diumpamakan dengan benda konkret – tapi di sini perumpamaannya terbalik. Nabi mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim.  Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa seorang muslim lebih mendalam sifat-sifat maknawi dan akhlaknya daripada pohon kurma yang konkret, untuk menjelaskan bahwa muslim lebih mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan manusia, dan meskipun pohon kurma mirip manfaat-manfaatnya dengan seorang muslim, tapi manfaat muslim lebih banyak karena dia dapat memperbanyak kebaikan, amal saleh, berpegang teguh dengan sifat-sifat mulia, menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji, dan menjaga diri dari keburukan dan sifat-sifat tercela. Ditambah lagi dengan keunggulannya berupa akal dan pelaksanaan syariat agama yang tidak dimiliki makhluk lain. (Lihat: Referensi sebelumnya, hlm. 20). Inilah makna yang penting, seorang muslim harus punya banyak manfaat, punya banyak sifat dan akhlak baik, dan tidak pernah kosong dari kebaikan. 2- أخي الكريم: توجد أحاديث كثيرة تبيِّن كثرة صفات المسلمين، وتنوُّع أخلاقهم المحمودة، وعباداتهم المطلوبة: في الحديث الذي رواه البخاري عن أبي هريرة، قال: ((أتى رجلٌ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، أصابني جهد، فأرسل إلى نسائه فلم يجد عندهن شيئًا، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألَا رجل يضيفه هذه الليلة رحمه الله، فقام رجل من الأنصار، فقال: أنا يا رسول الله، فذهب إلى أهله، فقال لامرأته: ضيف رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تدخريه شيئًا، قالت: والله ما عندي إلا قوت الصبية، قال: فإذا أراد الصبية العَشاء، فنوِّميهم وتعالَي، فأطفئي السراج، ونطوي بطوننا الليلة، ففعلت، ثم غدا الرجل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: لقد عجب الله – أو ضحك الله – من فلان وفلانة؛ فأنزل الله عز وجل: ﴿ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴾ [الحشر: 9])). Kedua: Wahai saudaraku yang mulia! Terdapat banyak hadis yang menjelaskan banyaknya sifat kaum Muslimin, beraneka ragamnya akhlak mulia dan ibadah yang dituntut pada mereka. Dalam hadits riwayat Imam Al-bukhari dari Abu Hurairah disebutkan: “Pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya tertimpa kesulitan!’ Kemudian beliau mengutus ke para istri beliau (untuk menanyakan sesuatu yang mungkin bisa diberikan kepada orang itu), tapi mereka tidak punya apapun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, ‘Adakah orang yang dapat menjamunya malam ini, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmatinya?’ Maka berdirilah seorang lelaki dari kaum Anshar dan berkata, ‘Saya, wahai Rasulullah!’ Lalu dia pulang (bersamanya) ke keluarganya dan berkata kepada istrinya, ‘Ini adalah tamu Rasulullah, jangan simpan apapun darinya.’ Istrinya menjawab, ‘Demi Allah, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali makanan untuk anak-anak.’ Lelaki itu menanggapi, ‘Jika anak-anak ingin makan malam, tidurkan saja mereka, lalu datanglah ke sini dan matikanlah lampu. Kita harus menahan lapar malam ini.’ Istrinya pun melakukan itu. Pada pagi harinya, lelaki Anshar itu datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu beliau segera bersabda, ‘Sungguh Allah takjub – atau dengan redaksi: Allah tertawa – dari si Fulan dan Fulanah (yakni lelaki Anshar itu dan istrinya); sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firmannya: ‘dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka punya kebutuhan mendesak.’ (QS. Al-Hasyr: 9).” (HR. Al-Bukhari). وروى البيهقي في كتاب “شعب الإيمان”، عن أبي أيوب الأنصاري، قال: ((سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلًا يقول: الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ صاحبُ الكلمة؟ لم يقل إلا صوابًا، قال: أنا يا رسول الله، قلتها، أرجو بها. قال: والذي نفسي بيده، رأيت بضعة عشر ملَكًا يبتدرونها، أيهم يرفعها إلى الله عز وجل)). Al-Baihaqi juga meriwayatkan dalam kitab Syu’ab Al-Iman dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah mendengar seseorang berkata, “Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (Segala puji bagi Allah, pujian yang melimpah, penuh kebaikan dan keberkahan).” Kemudian beliau bersabda, “Siapa yang mengucapkan kalimat itu? Yang dia ucapkan tidak lain adalah kebenaran. Lalu lelaki itu menjawab, “Saya yang mengucapkannya, wahai Rasulullah! Dan saya berharap pahala dari itu.” Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku melihat belasan malaikat yang berebut, siapa yang akan mengangkatnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (HR. Al-Baihaqi). وروى مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من أصبح منكم اليوم صائمًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن تبع منكم اليوم جَنازةً؟ قال أبو بكرٍ: أنا، قال: فمن أطعم اليوم منكم مسكينًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن عاد منكم اليوم مريضًا؟ قال أبو بكر: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما اجتمعن لرجلٍ قطُّ هذه الخِصال إلا دخل الجنة)). Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bertanya, “Siapa dari kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini mengantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu beliau bersabda, “Tidaklah ini semua terkumpul pada seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim). وفي الحديث المتفق عليه عن أنس بن مالك، قال: ((جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله عن الساعة، فقال: وما أعددت لها؟ فلم يذكر كبيرًا إلا أنه قال: إني أحب الله ورسوله، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أنت مع من أحببتَ)). فالمسلم كثير الفوائد والخِصال والأعمال، فلا غروَ أن يُشبه به كل خير، وأن يُلحق به كل معروف. Dalam hadits muttafaq ‘alaihi diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya tentang waktu Hari Kiamat. Nabi lalu menjawab, “Apa yang sudah kamu siapkan untuknya?” Lelaki itu tidak menyebutkan amalan-amalan besar, hanya saja ia juga berkata, “Aku mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” Beliau lalu menanggapi, “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Jadi, seorang muslim harus punya banyak manfaat, sifat baik, dan amal saleh, sehingga tidak mengherankan jika diumpamakan dengannya segala kebaikan dan disematkan kepadanya segala kebajikan. 3- أخي الكريم: هل تعلم جانبًا من قصة زيد الخير؟ جاء في “حلية الأولياء” لأبي نعيم عن عبدالله بن مسعود، قال: ((كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل راكب حتى أناخ بالنبي، فقال: يا رسول الله، إني أتيتك من مسيرة تسع، أنضيت راحلتي، فأسهرت ليلي، وأظمأت نهاري، لأسألك عن خصلتين أسهرتاني، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما اسمك؟ فقال: أنا زيد الخيل، فقال: بل أنت زيد الخير، فاسأل فرُبَّ معطلة قد سُئل عنه، قال: أسألك عن علامة الله فيمن يريد، وعن علامته فيمن لا يريد؟ فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: كيف أصبحت؟ قال: أصبحت أحب الخير وأهله، ومن يعمل به، فإن عملتُ به أيقنت بثوابه، وإن فاتني منه شيء حننت إليه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: هذه علامة الله فيمن يريد، وعلامته فيمن لا يريد، أن لو أرادك بالأخرى هيَّأك لها، ثم لم يبالِ في أي وادٍ هلكتَ)). Ketiga: Wahai saudaraku yang mulia! Apakah kamu mengetahui sedikit tentang kisah Zaid Al-Khair (Zaid yang baik)? Diriwayatkan dalam kitab Hilyah Al-Auliya karya Abu Nuaim dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: “Dulu kami berada di sekeliling Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu datang orang yang menunggang unta dan turun di hadapan Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepada engkau dari jarak sembilan (hari perjalanan), aku membuat hewan tungganganku kurus, begadang di malam hari, dan kehausan di siang hari, hanya untuk bertanya tentang dua hal yang membuatku sulit tidur.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Aku Zaid Al-Khail (Zaid si kuda).” Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menanggapi, “Justru kamu adalah Zaid al-Khair (Zaid yang baik). Bertanyalah, mungkin itu adalah masalah yang sudah pernah ditanyakan.” Dia berkata, “Aku bertanya tentang tanda Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai seseorang dan tanda Dia tidak mencintai.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya balik, “Bagaimana kamu memasuki waktu pagi ini?” Dia menjawab, “Aku memasuki waktu pagi dalam keadaan mencintai kebaikan dan para pelakunya serta orang yang mengamalkannya, ketika aku berbuat baik, aku meyakini pahalanya, dan jika aku terlewat mengamalkannya, aku merasa sedih karenanya.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Ini adalah tanda dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap orang yang Dia cintai. Sedangkan tanda-Nya terhadap orang yang tidak Dia cintai adalah jika kamu menginginkan selain kebaikan, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memudahkanmu melakukannya, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak peduli di lembah dosa mana kamu binasa.” 4- ولنا في زين العابدين بن الحسين قدوة وعبرة: • قال محمد بن إسحاق: كان أناس بالمدينة يعيشون ولا يدرون من أين يعيشون؟ ومن يعطيهم؟ فلما مات زين العابدين بن الحسين رضي الله عنهما، فقدوا ذلك، فعرفوا أنه هو الذي كان يأتيهم بالليل بما يأتيهم به، ولما مات وجدوا في ظهره وأكتافه أثر حمل الجراب إلى بيوت الأرامل والمساكين. • ومما يُروي عنه: أنه خرج إلى المسجد فسبَّه رجل، فقصده غلمانه ليضربوه ويؤذوه، فنهاهم زين العابدين، وقال لهم: كُفُّوا أيديكم عنه، ثم التفت إلى ذلك الرجل وقال: يا هذا، أنا أكثر مما تقول، وما لا تعرفه مني أكثر مما عرفته، فإن كان لك حاجة في ذكره ذكرته لك، فخجِل الرجل واستحيا، فخلع زيد العابدين قميصه، وأمر له بألف درهم، فمضى الرجل وهو يقول: أشهد أن هذا الشاب ولدُ رسول الله صلى الله عليه وسلم. • ومما يُروى عنه: أن غلامه كان يصب له الماء بإبريق مصنوع من طين، فوقع الإبريق على رِجل زين العابدين فانكسر، وجُرحت رجله، فقال الغلام على الفور: يا سيدي، يقول الله تعالى: ﴿ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: كظمت غيظي، ويقول: ﴿ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال: لقد عفوت عنك، ويقول: ﴿ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: أنت حرٌّ لوجه الله. Keempat: Kita punya teladan dan pelajaran dari Zainul Abidin bin Husain. Muhammad bin Ishaq menceritakan bahwa dulu banyak orang di kota Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana makanan yang menopang hidup mereka dan siapa yang memberi? Ketika Zainul Abidin bin Husain meninggal dunia, bantuan itu terhenti, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau dulu datang ke rumah mereka pada malam hari mengantar bantuan itu. Ketika beliau wafat, mereka menemukan di punggung dan pundak beliau bekas memikul karung ke rumah-rumah para janda dan orang-orang miskin. Dikisahkan juga bahwa Zainul Abidin pernah pergi ke Masjid lalu dicaci-maki oleh seseorang, sehingga para pelayan beliau mendatangi orang itu ingin memukulnya. Namun, beliau melarang mereka dengan berkata, “Jauhkan tangan kalian darinya!” Lalu beliau menoleh kepada lelaki itu dan berkata, “Wahai kamu, saya lebih buruk dari yang kamu ucapkan tadi. Yang tidak kamu ketahui lebih banyak daripada yang kamu ketahui, jika kamu ingin mengetahuinya, aku bisa menyebutkannya untukmu.” Orang itu pun merasa segan dan malu. Zainul Abidin lalu melepas gamisnya untuknya dan memerintahkan agar dia diberi seribu dirham. Lelaki itu lalu pergi sambil berkata, “Saya bersaksi bahwa pemuda ini adalah keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.” Dikisahkan juga bahwa budak Zainul Abidin pernah menuangkan air untuk beliau dari kendi yang terbuat dari tanah liat. Kendi itu jatuh menimpa kaki beliau sampai pecah dan kaki beliau terluka. Budak itu buru-buru mengatakan, “Wahai tuanku! Allah Ta’ala berfirman, ‘dan menahan amarah’” Beliau menanggapi, “Saya tahan marahku!” Budak itu menyambung ayat itu, “dan memberi maaf orang-orang.” Beliau menanggapi, “Aku telah memaafkanmu.” Budah itu menyambung ayat itu lagi, “dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ali Imran: 134).” Beliau lalu berkata, “Kamu saya merdekakan karena Allah!” 5- في الحديث الذي رواه الإمام أحمد في مسنده، عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((مَثَلُ المؤمنين في توادِّهم، وتراحمهم، وتعاطفهم مثَل الجسد، إذا اشتكى منه شيء، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمَّى)). أخي الكريم: كما ضرب الله المثل بالنخلة، ضرب المثل بالجسد؛ أعضاء الجسد واحدة، لا يشتكي عضو، إلا استشعرت كل الأعضاء ألمه، وذاقت مشقته. وهكذا أمة الإسلام؛ أمة واحدة، ينبغي إذا استشعر أحدها ألمًا استشعره الآخرون. Kelima: Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ؛ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum Mukminin dalam rasa cinta, kasih sayang, dan kepedulian mereka seperti satu tubuh, apabila ada anggota tubuh yang sakit, seluruh tubuh akan turut merasakan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Ahmad). Saudaraku yang mulia! Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengumpamakan dengan pohon kurma, Dia juga mengumpamakan dengan satu tubuh, seperti bagian-bagian satu tubuh, tidaklah satu bagian tubuh mengeluhkan sakit melainkan bagian tubuh lainnya merasakan sakit dan kesulitannya. Demikianlah umat Islam, satu umat yang apabila sebagiannya merasa sakit maka selayaknya sebagian yang lain juga ikut merasakan. أخي الكريم: لا تنسَ إخوانك في غزة، في فلسطين، لا يُنسِك اعتياد المشاهد ألمَهم ومعاناتهم، قُم بدورك نحوهم، استشعر معنى الأُخوة بينك وبينهم، أكْثِر من الدعاء، لا تبخل ولو بالقليل، مشاركتك الخبر على وسائل التواصل دور، كلامك عنهم وسط أهلك وأسرتك دور، تبرعك لهم بمالك دور، أي سبيل لنصرتهم دور يقيك أمام الله السؤال. اللهم أغِث عبادك، وتولَّ أمرهم، واخذل عدوهم، وتقبَّل جهدهم، وعافِهم واعفُ عنهم. Saudaraku yang mulia! Jangan lupa dengan saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Jangan sampai pemandangan-pemandangan yang biasa tampak itu membuatmu lupa terhadap rasa sakit dan penderitaan mereka. Tunaikanlah peranmu terhadap mereka, hayatilah makna persaudaraan dengan mereka, perbanyak doa bagi mereka, dan jangan pelit membantu mereka meski dengan nominal yang tidak seberapa. Partisipasimu dalam menyampaikan berita mereka di media-media sosial termasuk andil, pembahasanmu tentang keadaan mereka di tengah-tengah keluargamu juga termasuk andil, dan bantuan dengan hartamu juga termasuk andil. Segala cara untuk menolong mereka adalah andil yang dapat meringankanmu dari pertanyaan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ya Allah, berilah pertolongan bagi para hamba-Mu ini, mudahkanlah urusan mereka, hinakanlah musuh mereka, terimalah usaha mereka, berilah mereka keselamatan, dan ampunilah mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/178192/المسلم-دائم-النفع-طيب-الأثر/#_ftnref2 Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 78 times, 1 visit(s) today Post Views: 132 QRIS donasi Yufid
المسلم دائم النفع طيب الأثر Oleh: Dr. Husam Al-Isawi Sunaid د. حسام العيسوي سنيد المقدمة: أخرج البخاري عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن من الشجر شجرةً لا يسقط ورقها، وإنها مَثَلُ المسلم، فحدِّثوني ما هي؟ فوقع الناس في شجر البوادي، قال عبدالله: ووقع في نفسي أنها النخلة فاستحييتُ، ثم قالوا: حدثنا ما هي يا رسول الله؟ قال: هي النخلة)). Pendahuluan  Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ قَالَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي‏.‏ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏هِيَ النَّخْلَةُ “Di antara jenis-jenis pohon itu ada satu jenis pohon yang tidak berguguran daunnya, pohon itu bagaikan sosok orang Islam. Sampaikanlah kepadaku, pohon apa itu?” Kemudian para sahabat menyebutkan nama-nama pohon di daerah pedalaman. Abdullah bin Umar mengisahkan, “Lalu dalam hatiku tebersit bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, tapi saya malu mengatakannya.” Para sahabat lalu bertanya, “Pohon apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma!” (HR. Al-Bukhari). فما هي أهم الفوائد من هذا الحديث الشريف؟ وما هي أهم الدروس المستفادة منه؟ 1- أخي الكريم: انظر إلى شجر النخيل، هل تستطيع أن تعدِّد الفوائد منه؟ هل تستطيع أن تصِفَها؟ إن النخلة لها فوائد كثيرة، وخصائص جمَّة، من أهمها[انظر: علي علي صبح: التصوير النبوي للقيم الخلقية والتشريعية في الحديث الشريف، ط1، المكتبة الأزهرية للتراث، 1423ه/ 2002م، ص20]: • دوام الخضرة طوال العام. • حلاوة الثمار وطِيبها. • الإنسان يستظل بها. • جمال منظرها وشكلها. • تكامل أجزائها: الساق، والجريد، والليف، والثمار. فوائد كثيرة لهذه الشجرة المباركة. Apa faedah-faedah terpenting dari hadis yang mulia ini? Dan apa pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik darinya? Pertama:  Wahai saudaraku yang mulia! Perhatikanlah pohon kurma, apakah kamu dapat menghitung manfaat-manfaatnya? Apakah kamu dapat menyebutkan ciri-cirinya? Pohon kurma punya manfaat yang banyak dan keistimewaan yang besar, di antaranya yang paling penting: Selalu hijau sepanjang tahun Buahnya manis dan enak Dapat dipakai sebagai tempat berteduh Punya bentuk yang indah Seluruh bagiannya proporsional, mulai dari batang, pelepah, daun, dan buahnya. (Kitab At-Tashwir An-Nabawi Lil-Qiyam Al-Kuluqiyah Wa At-Tasyri’iyyah Fi Al-Hadits asy-Syarif karya Ali Ali Subhi, hlm. 20, cetakan pertama Al-Maktabah Al-Azhariyah Lit-Turats, 2002 M/1423 H). Ada banyak manfaat dari pohon yang diberkahi ini. هل تعلم بِمَ شبَّهها رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ النبي صلى الله عليه وسلم يشبِّهها بالمسلم، لا يشبه المسلم بها، لكن يشبهها بالمسلم، وهذا يسميه البلاغيون التشبيه المقلوب؛ فبدلًا من أن يشبه المسلم بالنخلة (العادة أن يشبه المعنوي بالمحسوس)، قلَب التشبيه؛ فشبَّه النخلة بالمسلم، والعلة في ذلك: للدلالة على أن المسلم أبلغ في صفاته المعنوية والخُلقية من النخلة المحسوسة، للتصريح بأن المسلم أعزُّ عند الله وعند الناس، وأن النخلة مع أنها شبيهة به في جميع منافعها، إلا أن منافع المسلم أكثر منها؛ لاستكثاره من الخير والعمل الصالح والتمسك بالفضائل، والتحلي بمكارم الأخلاق، والتخلي عن القبيح والصفات الذميمة، علاوة على تميزه عن الخلائق بالعقل والتكليف[المرجع السابق، ص20] . هذا معنى مهم: المسلم كثير الفوائد، كثير الصفات والخِصال، لا يعدم الخير أبدًا. Apakah kamu mengetahui Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengumpamakan pohon kurma dengan apa? Beliau mengumpamakannya dengan seorang muslim. Perhatikan! Beliau bukan mengumpamakan seorang muslim dengan pohon kurma, tapi sebaliknya, mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim. Para ulama ilmu balaghah menyebut ini dengan istilah perumpamaan terbalik, bukannya seorang muslim diumpamakan dengan pohon kurma – yang biasanya benda maknawi (abstrak) diumpamakan dengan benda konkret – tapi di sini perumpamaannya terbalik. Nabi mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim.  Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa seorang muslim lebih mendalam sifat-sifat maknawi dan akhlaknya daripada pohon kurma yang konkret, untuk menjelaskan bahwa muslim lebih mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan manusia, dan meskipun pohon kurma mirip manfaat-manfaatnya dengan seorang muslim, tapi manfaat muslim lebih banyak karena dia dapat memperbanyak kebaikan, amal saleh, berpegang teguh dengan sifat-sifat mulia, menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji, dan menjaga diri dari keburukan dan sifat-sifat tercela. Ditambah lagi dengan keunggulannya berupa akal dan pelaksanaan syariat agama yang tidak dimiliki makhluk lain. (Lihat: Referensi sebelumnya, hlm. 20). Inilah makna yang penting, seorang muslim harus punya banyak manfaat, punya banyak sifat dan akhlak baik, dan tidak pernah kosong dari kebaikan. 2- أخي الكريم: توجد أحاديث كثيرة تبيِّن كثرة صفات المسلمين، وتنوُّع أخلاقهم المحمودة، وعباداتهم المطلوبة: في الحديث الذي رواه البخاري عن أبي هريرة، قال: ((أتى رجلٌ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، أصابني جهد، فأرسل إلى نسائه فلم يجد عندهن شيئًا، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألَا رجل يضيفه هذه الليلة رحمه الله، فقام رجل من الأنصار، فقال: أنا يا رسول الله، فذهب إلى أهله، فقال لامرأته: ضيف رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تدخريه شيئًا، قالت: والله ما عندي إلا قوت الصبية، قال: فإذا أراد الصبية العَشاء، فنوِّميهم وتعالَي، فأطفئي السراج، ونطوي بطوننا الليلة، ففعلت، ثم غدا الرجل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: لقد عجب الله – أو ضحك الله – من فلان وفلانة؛ فأنزل الله عز وجل: ﴿ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴾ [الحشر: 9])). Kedua: Wahai saudaraku yang mulia! Terdapat banyak hadis yang menjelaskan banyaknya sifat kaum Muslimin, beraneka ragamnya akhlak mulia dan ibadah yang dituntut pada mereka. Dalam hadits riwayat Imam Al-bukhari dari Abu Hurairah disebutkan: “Pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya tertimpa kesulitan!’ Kemudian beliau mengutus ke para istri beliau (untuk menanyakan sesuatu yang mungkin bisa diberikan kepada orang itu), tapi mereka tidak punya apapun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, ‘Adakah orang yang dapat menjamunya malam ini, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmatinya?’ Maka berdirilah seorang lelaki dari kaum Anshar dan berkata, ‘Saya, wahai Rasulullah!’ Lalu dia pulang (bersamanya) ke keluarganya dan berkata kepada istrinya, ‘Ini adalah tamu Rasulullah, jangan simpan apapun darinya.’ Istrinya menjawab, ‘Demi Allah, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali makanan untuk anak-anak.’ Lelaki itu menanggapi, ‘Jika anak-anak ingin makan malam, tidurkan saja mereka, lalu datanglah ke sini dan matikanlah lampu. Kita harus menahan lapar malam ini.’ Istrinya pun melakukan itu. Pada pagi harinya, lelaki Anshar itu datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu beliau segera bersabda, ‘Sungguh Allah takjub – atau dengan redaksi: Allah tertawa – dari si Fulan dan Fulanah (yakni lelaki Anshar itu dan istrinya); sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firmannya: ‘dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka punya kebutuhan mendesak.’ (QS. Al-Hasyr: 9).” (HR. Al-Bukhari). وروى البيهقي في كتاب “شعب الإيمان”، عن أبي أيوب الأنصاري، قال: ((سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلًا يقول: الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ صاحبُ الكلمة؟ لم يقل إلا صوابًا، قال: أنا يا رسول الله، قلتها، أرجو بها. قال: والذي نفسي بيده، رأيت بضعة عشر ملَكًا يبتدرونها، أيهم يرفعها إلى الله عز وجل)). Al-Baihaqi juga meriwayatkan dalam kitab Syu’ab Al-Iman dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah mendengar seseorang berkata, “Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (Segala puji bagi Allah, pujian yang melimpah, penuh kebaikan dan keberkahan).” Kemudian beliau bersabda, “Siapa yang mengucapkan kalimat itu? Yang dia ucapkan tidak lain adalah kebenaran. Lalu lelaki itu menjawab, “Saya yang mengucapkannya, wahai Rasulullah! Dan saya berharap pahala dari itu.” Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku melihat belasan malaikat yang berebut, siapa yang akan mengangkatnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (HR. Al-Baihaqi). وروى مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من أصبح منكم اليوم صائمًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن تبع منكم اليوم جَنازةً؟ قال أبو بكرٍ: أنا، قال: فمن أطعم اليوم منكم مسكينًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن عاد منكم اليوم مريضًا؟ قال أبو بكر: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما اجتمعن لرجلٍ قطُّ هذه الخِصال إلا دخل الجنة)). Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bertanya, “Siapa dari kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini mengantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu beliau bersabda, “Tidaklah ini semua terkumpul pada seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim). وفي الحديث المتفق عليه عن أنس بن مالك، قال: ((جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله عن الساعة، فقال: وما أعددت لها؟ فلم يذكر كبيرًا إلا أنه قال: إني أحب الله ورسوله، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أنت مع من أحببتَ)). فالمسلم كثير الفوائد والخِصال والأعمال، فلا غروَ أن يُشبه به كل خير، وأن يُلحق به كل معروف. Dalam hadits muttafaq ‘alaihi diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya tentang waktu Hari Kiamat. Nabi lalu menjawab, “Apa yang sudah kamu siapkan untuknya?” Lelaki itu tidak menyebutkan amalan-amalan besar, hanya saja ia juga berkata, “Aku mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” Beliau lalu menanggapi, “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Jadi, seorang muslim harus punya banyak manfaat, sifat baik, dan amal saleh, sehingga tidak mengherankan jika diumpamakan dengannya segala kebaikan dan disematkan kepadanya segala kebajikan. 3- أخي الكريم: هل تعلم جانبًا من قصة زيد الخير؟ جاء في “حلية الأولياء” لأبي نعيم عن عبدالله بن مسعود، قال: ((كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل راكب حتى أناخ بالنبي، فقال: يا رسول الله، إني أتيتك من مسيرة تسع، أنضيت راحلتي، فأسهرت ليلي، وأظمأت نهاري، لأسألك عن خصلتين أسهرتاني، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما اسمك؟ فقال: أنا زيد الخيل، فقال: بل أنت زيد الخير، فاسأل فرُبَّ معطلة قد سُئل عنه، قال: أسألك عن علامة الله فيمن يريد، وعن علامته فيمن لا يريد؟ فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: كيف أصبحت؟ قال: أصبحت أحب الخير وأهله، ومن يعمل به، فإن عملتُ به أيقنت بثوابه، وإن فاتني منه شيء حننت إليه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: هذه علامة الله فيمن يريد، وعلامته فيمن لا يريد، أن لو أرادك بالأخرى هيَّأك لها، ثم لم يبالِ في أي وادٍ هلكتَ)). Ketiga: Wahai saudaraku yang mulia! Apakah kamu mengetahui sedikit tentang kisah Zaid Al-Khair (Zaid yang baik)? Diriwayatkan dalam kitab Hilyah Al-Auliya karya Abu Nuaim dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: “Dulu kami berada di sekeliling Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu datang orang yang menunggang unta dan turun di hadapan Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepada engkau dari jarak sembilan (hari perjalanan), aku membuat hewan tungganganku kurus, begadang di malam hari, dan kehausan di siang hari, hanya untuk bertanya tentang dua hal yang membuatku sulit tidur.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Aku Zaid Al-Khail (Zaid si kuda).” Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menanggapi, “Justru kamu adalah Zaid al-Khair (Zaid yang baik). Bertanyalah, mungkin itu adalah masalah yang sudah pernah ditanyakan.” Dia berkata, “Aku bertanya tentang tanda Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai seseorang dan tanda Dia tidak mencintai.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya balik, “Bagaimana kamu memasuki waktu pagi ini?” Dia menjawab, “Aku memasuki waktu pagi dalam keadaan mencintai kebaikan dan para pelakunya serta orang yang mengamalkannya, ketika aku berbuat baik, aku meyakini pahalanya, dan jika aku terlewat mengamalkannya, aku merasa sedih karenanya.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Ini adalah tanda dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap orang yang Dia cintai. Sedangkan tanda-Nya terhadap orang yang tidak Dia cintai adalah jika kamu menginginkan selain kebaikan, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memudahkanmu melakukannya, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak peduli di lembah dosa mana kamu binasa.” 4- ولنا في زين العابدين بن الحسين قدوة وعبرة: • قال محمد بن إسحاق: كان أناس بالمدينة يعيشون ولا يدرون من أين يعيشون؟ ومن يعطيهم؟ فلما مات زين العابدين بن الحسين رضي الله عنهما، فقدوا ذلك، فعرفوا أنه هو الذي كان يأتيهم بالليل بما يأتيهم به، ولما مات وجدوا في ظهره وأكتافه أثر حمل الجراب إلى بيوت الأرامل والمساكين. • ومما يُروي عنه: أنه خرج إلى المسجد فسبَّه رجل، فقصده غلمانه ليضربوه ويؤذوه، فنهاهم زين العابدين، وقال لهم: كُفُّوا أيديكم عنه، ثم التفت إلى ذلك الرجل وقال: يا هذا، أنا أكثر مما تقول، وما لا تعرفه مني أكثر مما عرفته، فإن كان لك حاجة في ذكره ذكرته لك، فخجِل الرجل واستحيا، فخلع زيد العابدين قميصه، وأمر له بألف درهم، فمضى الرجل وهو يقول: أشهد أن هذا الشاب ولدُ رسول الله صلى الله عليه وسلم. • ومما يُروى عنه: أن غلامه كان يصب له الماء بإبريق مصنوع من طين، فوقع الإبريق على رِجل زين العابدين فانكسر، وجُرحت رجله، فقال الغلام على الفور: يا سيدي، يقول الله تعالى: ﴿ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: كظمت غيظي، ويقول: ﴿ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال: لقد عفوت عنك، ويقول: ﴿ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: أنت حرٌّ لوجه الله. Keempat: Kita punya teladan dan pelajaran dari Zainul Abidin bin Husain. Muhammad bin Ishaq menceritakan bahwa dulu banyak orang di kota Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana makanan yang menopang hidup mereka dan siapa yang memberi? Ketika Zainul Abidin bin Husain meninggal dunia, bantuan itu terhenti, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau dulu datang ke rumah mereka pada malam hari mengantar bantuan itu. Ketika beliau wafat, mereka menemukan di punggung dan pundak beliau bekas memikul karung ke rumah-rumah para janda dan orang-orang miskin. Dikisahkan juga bahwa Zainul Abidin pernah pergi ke Masjid lalu dicaci-maki oleh seseorang, sehingga para pelayan beliau mendatangi orang itu ingin memukulnya. Namun, beliau melarang mereka dengan berkata, “Jauhkan tangan kalian darinya!” Lalu beliau menoleh kepada lelaki itu dan berkata, “Wahai kamu, saya lebih buruk dari yang kamu ucapkan tadi. Yang tidak kamu ketahui lebih banyak daripada yang kamu ketahui, jika kamu ingin mengetahuinya, aku bisa menyebutkannya untukmu.” Orang itu pun merasa segan dan malu. Zainul Abidin lalu melepas gamisnya untuknya dan memerintahkan agar dia diberi seribu dirham. Lelaki itu lalu pergi sambil berkata, “Saya bersaksi bahwa pemuda ini adalah keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.” Dikisahkan juga bahwa budak Zainul Abidin pernah menuangkan air untuk beliau dari kendi yang terbuat dari tanah liat. Kendi itu jatuh menimpa kaki beliau sampai pecah dan kaki beliau terluka. Budak itu buru-buru mengatakan, “Wahai tuanku! Allah Ta’ala berfirman, ‘dan menahan amarah’” Beliau menanggapi, “Saya tahan marahku!” Budak itu menyambung ayat itu, “dan memberi maaf orang-orang.” Beliau menanggapi, “Aku telah memaafkanmu.” Budah itu menyambung ayat itu lagi, “dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ali Imran: 134).” Beliau lalu berkata, “Kamu saya merdekakan karena Allah!” 5- في الحديث الذي رواه الإمام أحمد في مسنده، عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((مَثَلُ المؤمنين في توادِّهم، وتراحمهم، وتعاطفهم مثَل الجسد، إذا اشتكى منه شيء، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمَّى)). أخي الكريم: كما ضرب الله المثل بالنخلة، ضرب المثل بالجسد؛ أعضاء الجسد واحدة، لا يشتكي عضو، إلا استشعرت كل الأعضاء ألمه، وذاقت مشقته. وهكذا أمة الإسلام؛ أمة واحدة، ينبغي إذا استشعر أحدها ألمًا استشعره الآخرون. Kelima: Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ؛ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum Mukminin dalam rasa cinta, kasih sayang, dan kepedulian mereka seperti satu tubuh, apabila ada anggota tubuh yang sakit, seluruh tubuh akan turut merasakan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Ahmad). Saudaraku yang mulia! Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengumpamakan dengan pohon kurma, Dia juga mengumpamakan dengan satu tubuh, seperti bagian-bagian satu tubuh, tidaklah satu bagian tubuh mengeluhkan sakit melainkan bagian tubuh lainnya merasakan sakit dan kesulitannya. Demikianlah umat Islam, satu umat yang apabila sebagiannya merasa sakit maka selayaknya sebagian yang lain juga ikut merasakan. أخي الكريم: لا تنسَ إخوانك في غزة، في فلسطين، لا يُنسِك اعتياد المشاهد ألمَهم ومعاناتهم، قُم بدورك نحوهم، استشعر معنى الأُخوة بينك وبينهم، أكْثِر من الدعاء، لا تبخل ولو بالقليل، مشاركتك الخبر على وسائل التواصل دور، كلامك عنهم وسط أهلك وأسرتك دور، تبرعك لهم بمالك دور، أي سبيل لنصرتهم دور يقيك أمام الله السؤال. اللهم أغِث عبادك، وتولَّ أمرهم، واخذل عدوهم، وتقبَّل جهدهم، وعافِهم واعفُ عنهم. Saudaraku yang mulia! Jangan lupa dengan saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Jangan sampai pemandangan-pemandangan yang biasa tampak itu membuatmu lupa terhadap rasa sakit dan penderitaan mereka. Tunaikanlah peranmu terhadap mereka, hayatilah makna persaudaraan dengan mereka, perbanyak doa bagi mereka, dan jangan pelit membantu mereka meski dengan nominal yang tidak seberapa. Partisipasimu dalam menyampaikan berita mereka di media-media sosial termasuk andil, pembahasanmu tentang keadaan mereka di tengah-tengah keluargamu juga termasuk andil, dan bantuan dengan hartamu juga termasuk andil. Segala cara untuk menolong mereka adalah andil yang dapat meringankanmu dari pertanyaan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ya Allah, berilah pertolongan bagi para hamba-Mu ini, mudahkanlah urusan mereka, hinakanlah musuh mereka, terimalah usaha mereka, berilah mereka keselamatan, dan ampunilah mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/178192/المسلم-دائم-النفع-طيب-الأثر/#_ftnref2 Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 78 times, 1 visit(s) today Post Views: 132 QRIS donasi Yufid


المسلم دائم النفع طيب الأثر Oleh: Dr. Husam Al-Isawi Sunaid د. حسام العيسوي سنيد المقدمة: أخرج البخاري عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن من الشجر شجرةً لا يسقط ورقها، وإنها مَثَلُ المسلم، فحدِّثوني ما هي؟ فوقع الناس في شجر البوادي، قال عبدالله: ووقع في نفسي أنها النخلة فاستحييتُ، ثم قالوا: حدثنا ما هي يا رسول الله؟ قال: هي النخلة)). Pendahuluan  Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ قَالَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي‏.‏ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏هِيَ النَّخْلَةُ “Di antara jenis-jenis pohon itu ada satu jenis pohon yang tidak berguguran daunnya, pohon itu bagaikan sosok orang Islam. Sampaikanlah kepadaku, pohon apa itu?” Kemudian para sahabat menyebutkan nama-nama pohon di daerah pedalaman. Abdullah bin Umar mengisahkan, “Lalu dalam hatiku tebersit bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, tapi saya malu mengatakannya.” Para sahabat lalu bertanya, “Pohon apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Itu adalah pohon kurma!” (HR. Al-Bukhari). فما هي أهم الفوائد من هذا الحديث الشريف؟ وما هي أهم الدروس المستفادة منه؟ 1- أخي الكريم: انظر إلى شجر النخيل، هل تستطيع أن تعدِّد الفوائد منه؟ هل تستطيع أن تصِفَها؟ إن النخلة لها فوائد كثيرة، وخصائص جمَّة، من أهمها[انظر: علي علي صبح: التصوير النبوي للقيم الخلقية والتشريعية في الحديث الشريف، ط1، المكتبة الأزهرية للتراث، 1423ه/ 2002م، ص20]: • دوام الخضرة طوال العام. • حلاوة الثمار وطِيبها. • الإنسان يستظل بها. • جمال منظرها وشكلها. • تكامل أجزائها: الساق، والجريد، والليف، والثمار. فوائد كثيرة لهذه الشجرة المباركة. Apa faedah-faedah terpenting dari hadis yang mulia ini? Dan apa pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik darinya? Pertama:  Wahai saudaraku yang mulia! Perhatikanlah pohon kurma, apakah kamu dapat menghitung manfaat-manfaatnya? Apakah kamu dapat menyebutkan ciri-cirinya? Pohon kurma punya manfaat yang banyak dan keistimewaan yang besar, di antaranya yang paling penting: Selalu hijau sepanjang tahun Buahnya manis dan enak Dapat dipakai sebagai tempat berteduh Punya bentuk yang indah Seluruh bagiannya proporsional, mulai dari batang, pelepah, daun, dan buahnya. (Kitab At-Tashwir An-Nabawi Lil-Qiyam Al-Kuluqiyah Wa At-Tasyri’iyyah Fi Al-Hadits asy-Syarif karya Ali Ali Subhi, hlm. 20, cetakan pertama Al-Maktabah Al-Azhariyah Lit-Turats, 2002 M/1423 H). Ada banyak manfaat dari pohon yang diberkahi ini. هل تعلم بِمَ شبَّهها رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ النبي صلى الله عليه وسلم يشبِّهها بالمسلم، لا يشبه المسلم بها، لكن يشبهها بالمسلم، وهذا يسميه البلاغيون التشبيه المقلوب؛ فبدلًا من أن يشبه المسلم بالنخلة (العادة أن يشبه المعنوي بالمحسوس)، قلَب التشبيه؛ فشبَّه النخلة بالمسلم، والعلة في ذلك: للدلالة على أن المسلم أبلغ في صفاته المعنوية والخُلقية من النخلة المحسوسة، للتصريح بأن المسلم أعزُّ عند الله وعند الناس، وأن النخلة مع أنها شبيهة به في جميع منافعها، إلا أن منافع المسلم أكثر منها؛ لاستكثاره من الخير والعمل الصالح والتمسك بالفضائل، والتحلي بمكارم الأخلاق، والتخلي عن القبيح والصفات الذميمة، علاوة على تميزه عن الخلائق بالعقل والتكليف[المرجع السابق، ص20] . هذا معنى مهم: المسلم كثير الفوائد، كثير الصفات والخِصال، لا يعدم الخير أبدًا. Apakah kamu mengetahui Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengumpamakan pohon kurma dengan apa? Beliau mengumpamakannya dengan seorang muslim. Perhatikan! Beliau bukan mengumpamakan seorang muslim dengan pohon kurma, tapi sebaliknya, mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim. Para ulama ilmu balaghah menyebut ini dengan istilah perumpamaan terbalik, bukannya seorang muslim diumpamakan dengan pohon kurma – yang biasanya benda maknawi (abstrak) diumpamakan dengan benda konkret – tapi di sini perumpamaannya terbalik. Nabi mengumpamakan pohon kurma dengan seorang muslim.  Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa seorang muslim lebih mendalam sifat-sifat maknawi dan akhlaknya daripada pohon kurma yang konkret, untuk menjelaskan bahwa muslim lebih mulia di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan manusia, dan meskipun pohon kurma mirip manfaat-manfaatnya dengan seorang muslim, tapi manfaat muslim lebih banyak karena dia dapat memperbanyak kebaikan, amal saleh, berpegang teguh dengan sifat-sifat mulia, menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji, dan menjaga diri dari keburukan dan sifat-sifat tercela. Ditambah lagi dengan keunggulannya berupa akal dan pelaksanaan syariat agama yang tidak dimiliki makhluk lain. (Lihat: Referensi sebelumnya, hlm. 20). Inilah makna yang penting, seorang muslim harus punya banyak manfaat, punya banyak sifat dan akhlak baik, dan tidak pernah kosong dari kebaikan. 2- أخي الكريم: توجد أحاديث كثيرة تبيِّن كثرة صفات المسلمين، وتنوُّع أخلاقهم المحمودة، وعباداتهم المطلوبة: في الحديث الذي رواه البخاري عن أبي هريرة، قال: ((أتى رجلٌ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، أصابني جهد، فأرسل إلى نسائه فلم يجد عندهن شيئًا، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألَا رجل يضيفه هذه الليلة رحمه الله، فقام رجل من الأنصار، فقال: أنا يا رسول الله، فذهب إلى أهله، فقال لامرأته: ضيف رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تدخريه شيئًا، قالت: والله ما عندي إلا قوت الصبية، قال: فإذا أراد الصبية العَشاء، فنوِّميهم وتعالَي، فأطفئي السراج، ونطوي بطوننا الليلة، ففعلت، ثم غدا الرجل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: لقد عجب الله – أو ضحك الله – من فلان وفلانة؛ فأنزل الله عز وجل: ﴿ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴾ [الحشر: 9])). Kedua: Wahai saudaraku yang mulia! Terdapat banyak hadis yang menjelaskan banyaknya sifat kaum Muslimin, beraneka ragamnya akhlak mulia dan ibadah yang dituntut pada mereka. Dalam hadits riwayat Imam Al-bukhari dari Abu Hurairah disebutkan: “Pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya tertimpa kesulitan!’ Kemudian beliau mengutus ke para istri beliau (untuk menanyakan sesuatu yang mungkin bisa diberikan kepada orang itu), tapi mereka tidak punya apapun. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, ‘Adakah orang yang dapat menjamunya malam ini, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmatinya?’ Maka berdirilah seorang lelaki dari kaum Anshar dan berkata, ‘Saya, wahai Rasulullah!’ Lalu dia pulang (bersamanya) ke keluarganya dan berkata kepada istrinya, ‘Ini adalah tamu Rasulullah, jangan simpan apapun darinya.’ Istrinya menjawab, ‘Demi Allah, saya tidak punya apa-apa lagi kecuali makanan untuk anak-anak.’ Lelaki itu menanggapi, ‘Jika anak-anak ingin makan malam, tidurkan saja mereka, lalu datanglah ke sini dan matikanlah lampu. Kita harus menahan lapar malam ini.’ Istrinya pun melakukan itu. Pada pagi harinya, lelaki Anshar itu datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu beliau segera bersabda, ‘Sungguh Allah takjub – atau dengan redaksi: Allah tertawa – dari si Fulan dan Fulanah (yakni lelaki Anshar itu dan istrinya); sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firmannya: ‘dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka punya kebutuhan mendesak.’ (QS. Al-Hasyr: 9).” (HR. Al-Bukhari). وروى البيهقي في كتاب “شعب الإيمان”، عن أبي أيوب الأنصاري، قال: ((سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلًا يقول: الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ صاحبُ الكلمة؟ لم يقل إلا صوابًا، قال: أنا يا رسول الله، قلتها، أرجو بها. قال: والذي نفسي بيده، رأيت بضعة عشر ملَكًا يبتدرونها، أيهم يرفعها إلى الله عز وجل)). Al-Baihaqi juga meriwayatkan dalam kitab Syu’ab Al-Iman dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah mendengar seseorang berkata, “Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (Segala puji bagi Allah, pujian yang melimpah, penuh kebaikan dan keberkahan).” Kemudian beliau bersabda, “Siapa yang mengucapkan kalimat itu? Yang dia ucapkan tidak lain adalah kebenaran. Lalu lelaki itu menjawab, “Saya yang mengucapkannya, wahai Rasulullah! Dan saya berharap pahala dari itu.” Beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku melihat belasan malaikat yang berebut, siapa yang akan mengangkatnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (HR. Al-Baihaqi). وروى مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من أصبح منكم اليوم صائمًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن تبع منكم اليوم جَنازةً؟ قال أبو بكرٍ: أنا، قال: فمن أطعم اليوم منكم مسكينًا؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن عاد منكم اليوم مريضًا؟ قال أبو بكر: أنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما اجتمعن لرجلٍ قطُّ هذه الخِصال إلا دخل الجنة)). Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bertanya, “Siapa dari kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini mengantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa dari kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu beliau bersabda, “Tidaklah ini semua terkumpul pada seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim). وفي الحديث المتفق عليه عن أنس بن مالك، قال: ((جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فسأله عن الساعة، فقال: وما أعددت لها؟ فلم يذكر كبيرًا إلا أنه قال: إني أحب الله ورسوله، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أنت مع من أحببتَ)). فالمسلم كثير الفوائد والخِصال والأعمال، فلا غروَ أن يُشبه به كل خير، وأن يُلحق به كل معروف. Dalam hadits muttafaq ‘alaihi diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya tentang waktu Hari Kiamat. Nabi lalu menjawab, “Apa yang sudah kamu siapkan untuknya?” Lelaki itu tidak menyebutkan amalan-amalan besar, hanya saja ia juga berkata, “Aku mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” Beliau lalu menanggapi, “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Jadi, seorang muslim harus punya banyak manfaat, sifat baik, dan amal saleh, sehingga tidak mengherankan jika diumpamakan dengannya segala kebaikan dan disematkan kepadanya segala kebajikan. 3- أخي الكريم: هل تعلم جانبًا من قصة زيد الخير؟ جاء في “حلية الأولياء” لأبي نعيم عن عبدالله بن مسعود، قال: ((كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل راكب حتى أناخ بالنبي، فقال: يا رسول الله، إني أتيتك من مسيرة تسع، أنضيت راحلتي، فأسهرت ليلي، وأظمأت نهاري، لأسألك عن خصلتين أسهرتاني، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما اسمك؟ فقال: أنا زيد الخيل، فقال: بل أنت زيد الخير، فاسأل فرُبَّ معطلة قد سُئل عنه، قال: أسألك عن علامة الله فيمن يريد، وعن علامته فيمن لا يريد؟ فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: كيف أصبحت؟ قال: أصبحت أحب الخير وأهله، ومن يعمل به، فإن عملتُ به أيقنت بثوابه، وإن فاتني منه شيء حننت إليه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: هذه علامة الله فيمن يريد، وعلامته فيمن لا يريد، أن لو أرادك بالأخرى هيَّأك لها، ثم لم يبالِ في أي وادٍ هلكتَ)). Ketiga: Wahai saudaraku yang mulia! Apakah kamu mengetahui sedikit tentang kisah Zaid Al-Khair (Zaid yang baik)? Diriwayatkan dalam kitab Hilyah Al-Auliya karya Abu Nuaim dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: “Dulu kami berada di sekeliling Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu datang orang yang menunggang unta dan turun di hadapan Nabi, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepada engkau dari jarak sembilan (hari perjalanan), aku membuat hewan tungganganku kurus, begadang di malam hari, dan kehausan di siang hari, hanya untuk bertanya tentang dua hal yang membuatku sulit tidur.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Aku Zaid Al-Khail (Zaid si kuda).” Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menanggapi, “Justru kamu adalah Zaid al-Khair (Zaid yang baik). Bertanyalah, mungkin itu adalah masalah yang sudah pernah ditanyakan.” Dia berkata, “Aku bertanya tentang tanda Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai seseorang dan tanda Dia tidak mencintai.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bertanya balik, “Bagaimana kamu memasuki waktu pagi ini?” Dia menjawab, “Aku memasuki waktu pagi dalam keadaan mencintai kebaikan dan para pelakunya serta orang yang mengamalkannya, ketika aku berbuat baik, aku meyakini pahalanya, dan jika aku terlewat mengamalkannya, aku merasa sedih karenanya.” Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam lalu bersabda, “Ini adalah tanda dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap orang yang Dia cintai. Sedangkan tanda-Nya terhadap orang yang tidak Dia cintai adalah jika kamu menginginkan selain kebaikan, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memudahkanmu melakukannya, lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak peduli di lembah dosa mana kamu binasa.” 4- ولنا في زين العابدين بن الحسين قدوة وعبرة: • قال محمد بن إسحاق: كان أناس بالمدينة يعيشون ولا يدرون من أين يعيشون؟ ومن يعطيهم؟ فلما مات زين العابدين بن الحسين رضي الله عنهما، فقدوا ذلك، فعرفوا أنه هو الذي كان يأتيهم بالليل بما يأتيهم به، ولما مات وجدوا في ظهره وأكتافه أثر حمل الجراب إلى بيوت الأرامل والمساكين. • ومما يُروي عنه: أنه خرج إلى المسجد فسبَّه رجل، فقصده غلمانه ليضربوه ويؤذوه، فنهاهم زين العابدين، وقال لهم: كُفُّوا أيديكم عنه، ثم التفت إلى ذلك الرجل وقال: يا هذا، أنا أكثر مما تقول، وما لا تعرفه مني أكثر مما عرفته، فإن كان لك حاجة في ذكره ذكرته لك، فخجِل الرجل واستحيا، فخلع زيد العابدين قميصه، وأمر له بألف درهم، فمضى الرجل وهو يقول: أشهد أن هذا الشاب ولدُ رسول الله صلى الله عليه وسلم. • ومما يُروى عنه: أن غلامه كان يصب له الماء بإبريق مصنوع من طين، فوقع الإبريق على رِجل زين العابدين فانكسر، وجُرحت رجله، فقال الغلام على الفور: يا سيدي، يقول الله تعالى: ﴿ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: كظمت غيظي، ويقول: ﴿ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال: لقد عفوت عنك، ويقول: ﴿ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [آل عمران: 134]، فقال زين العابدين: أنت حرٌّ لوجه الله. Keempat: Kita punya teladan dan pelajaran dari Zainul Abidin bin Husain. Muhammad bin Ishaq menceritakan bahwa dulu banyak orang di kota Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana makanan yang menopang hidup mereka dan siapa yang memberi? Ketika Zainul Abidin bin Husain meninggal dunia, bantuan itu terhenti, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau dulu datang ke rumah mereka pada malam hari mengantar bantuan itu. Ketika beliau wafat, mereka menemukan di punggung dan pundak beliau bekas memikul karung ke rumah-rumah para janda dan orang-orang miskin. Dikisahkan juga bahwa Zainul Abidin pernah pergi ke Masjid lalu dicaci-maki oleh seseorang, sehingga para pelayan beliau mendatangi orang itu ingin memukulnya. Namun, beliau melarang mereka dengan berkata, “Jauhkan tangan kalian darinya!” Lalu beliau menoleh kepada lelaki itu dan berkata, “Wahai kamu, saya lebih buruk dari yang kamu ucapkan tadi. Yang tidak kamu ketahui lebih banyak daripada yang kamu ketahui, jika kamu ingin mengetahuinya, aku bisa menyebutkannya untukmu.” Orang itu pun merasa segan dan malu. Zainul Abidin lalu melepas gamisnya untuknya dan memerintahkan agar dia diberi seribu dirham. Lelaki itu lalu pergi sambil berkata, “Saya bersaksi bahwa pemuda ini adalah keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.” Dikisahkan juga bahwa budak Zainul Abidin pernah menuangkan air untuk beliau dari kendi yang terbuat dari tanah liat. Kendi itu jatuh menimpa kaki beliau sampai pecah dan kaki beliau terluka. Budak itu buru-buru mengatakan, “Wahai tuanku! Allah Ta’ala berfirman, ‘dan menahan amarah’” Beliau menanggapi, “Saya tahan marahku!” Budak itu menyambung ayat itu, “dan memberi maaf orang-orang.” Beliau menanggapi, “Aku telah memaafkanmu.” Budah itu menyambung ayat itu lagi, “dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ali Imran: 134).” Beliau lalu berkata, “Kamu saya merdekakan karena Allah!” 5- في الحديث الذي رواه الإمام أحمد في مسنده، عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((مَثَلُ المؤمنين في توادِّهم، وتراحمهم، وتعاطفهم مثَل الجسد، إذا اشتكى منه شيء، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمَّى)). أخي الكريم: كما ضرب الله المثل بالنخلة، ضرب المثل بالجسد؛ أعضاء الجسد واحدة، لا يشتكي عضو، إلا استشعرت كل الأعضاء ألمه، وذاقت مشقته. وهكذا أمة الإسلام؛ أمة واحدة، ينبغي إذا استشعر أحدها ألمًا استشعره الآخرون. Kelima: Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ؛ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى “Perumpamaan kaum Mukminin dalam rasa cinta, kasih sayang, dan kepedulian mereka seperti satu tubuh, apabila ada anggota tubuh yang sakit, seluruh tubuh akan turut merasakan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Ahmad). Saudaraku yang mulia! Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengumpamakan dengan pohon kurma, Dia juga mengumpamakan dengan satu tubuh, seperti bagian-bagian satu tubuh, tidaklah satu bagian tubuh mengeluhkan sakit melainkan bagian tubuh lainnya merasakan sakit dan kesulitannya. Demikianlah umat Islam, satu umat yang apabila sebagiannya merasa sakit maka selayaknya sebagian yang lain juga ikut merasakan. أخي الكريم: لا تنسَ إخوانك في غزة، في فلسطين، لا يُنسِك اعتياد المشاهد ألمَهم ومعاناتهم، قُم بدورك نحوهم، استشعر معنى الأُخوة بينك وبينهم، أكْثِر من الدعاء، لا تبخل ولو بالقليل، مشاركتك الخبر على وسائل التواصل دور، كلامك عنهم وسط أهلك وأسرتك دور، تبرعك لهم بمالك دور، أي سبيل لنصرتهم دور يقيك أمام الله السؤال. اللهم أغِث عبادك، وتولَّ أمرهم، واخذل عدوهم، وتقبَّل جهدهم، وعافِهم واعفُ عنهم. Saudaraku yang mulia! Jangan lupa dengan saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Jangan sampai pemandangan-pemandangan yang biasa tampak itu membuatmu lupa terhadap rasa sakit dan penderitaan mereka. Tunaikanlah peranmu terhadap mereka, hayatilah makna persaudaraan dengan mereka, perbanyak doa bagi mereka, dan jangan pelit membantu mereka meski dengan nominal yang tidak seberapa. Partisipasimu dalam menyampaikan berita mereka di media-media sosial termasuk andil, pembahasanmu tentang keadaan mereka di tengah-tengah keluargamu juga termasuk andil, dan bantuan dengan hartamu juga termasuk andil. Segala cara untuk menolong mereka adalah andil yang dapat meringankanmu dari pertanyaan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ya Allah, berilah pertolongan bagi para hamba-Mu ini, mudahkanlah urusan mereka, hinakanlah musuh mereka, terimalah usaha mereka, berilah mereka keselamatan, dan ampunilah mereka. Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/178192/المسلم-دائم-النفع-طيب-الأثر/#_ftnref2 Sumber artikel PDF 🔍 Kewajiban Menantu Perempuan Terhadap Mertua Dalam Islam, Nafkah Batin Istri Menurut Islam, Surat Waqiah Pembuka Rezeki, Hukum Tirakat Menurut Islam, Gambar Tulisan Alloh Visited 78 times, 1 visit(s) today Post Views: 132 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Rahasia Pojok Rumah yang Menghitam karena Al-Qur’an – Syaikh Shalih Al-Ushaimi #NasehatUlama

Dahulu, para ulama—semoga Allah merahmati mereka—sangat antusias terhadap Al-Qur’an dan merasakan kenikmatan luar biasa saat berinteraksi dengannya. Mereka mencukupkan diri dengan membaca, menghafal, memahami, dan merenungkan maknanya. Adapun kita saat ini, justru terhalangi dari Al-Qur’an oleh banyaknya buku cetak yang berada di tangan manusia. Engkau dapati seseorang di antara kita memiliki rak buku besar yang dipenuhi buku, ia menganggapnya sebagai wadah ilmu—dan memang demikian adanya, jika buku-buku itu diperlakukan sebagaimana mestinya—ia sering membaca buku-buku cetak itu, tapi justru sedikit sekali berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dahulu, di rumah Abu Bakar bin Ayyasy terdapat sebuah pojokan yang warnanya menghitam, karena begitu seringnya beliau jadikan sandaran saat membaca Al-Qur’an. Ketika beliau—semoga Allah merahmatinya—mengalami sakaratul maut, saudarinya sangat bersedih. Maka beliau melarangnya dan berkata: “Aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an di pojokan ini lebih dari lima ribu kali!” Karena itulah, para ulama memiliki ilmu yang paripurna, akhlak yang mulia, keyakinan yang benar, dan akal yang sehat—hal-hal yang tidak dimiliki oleh generasi setelah mereka. Sebab, mereka telah mengetahui obatnya, lalu segera mengambilnya. Maka, hendaklah setiap insan—terlebih lagi penuntut ilmu—mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. ===== فَكَانُوا رَحِمَهُمُ اللَّهُ لَهُمْ مِنَ الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ وَالِالْتِذاذِ بِهِ وَالِاسْتِغْنَاءِ بِقِرَاءَتِهِ وَحِفْظِهِ وَفَهْمِهِ وَتَدَبُّرِهِ مَا حِيْلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ بِمَا صَارَ فِي أَيْدِي النَّاسِ مِنَ الْكُتُبِ الْمَطْبُوعَةِ فَتَجِدُ أَحَدَنَا يَمْتَلِكُ سُرْدَاقًا عَظِيمًا مَمْلُوءًا بِالْكُتُب يَعُدُّهَا أَوْعِيَةَ الْعِلْمِ وَهِيَ كَذَلِكَ إِذَا أُخِذَتْ بِحَقِّهَا وَيَكْثُرُ نَظَرُهُ فِيهَا وَلَكِنْ يَقِلُّ حَظُّهُ مِنَ الْقُرْآنِ وَكَانَ فِي بَيْتِ أَبِي بَكْرٍ ابْنِ عَيَّاشٍ زَاوِيَةٌ اسْوَدَّتْ بِكَثْرَةِ اتِِّكَائِهِ فِيهَا وَقِرَاءَتِهِ الْقُرْآنَ لَمَّا اُحْتُضِرَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَزِعَتْ أُخْتٌ لَهُ فَنَهَاهَا وَقَالَ لَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْانَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةِ آلَافِ مَرَّةً وَلِهَذَا كَانَ لَهُمْ مِنَ الْعُلُومِ الْكَامِلَةِ وَالْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالِاعْتِقَادَاتِ الصَّحِيحَةِ وَالْعُقُولِ الرَّجِيحَةِ مَا لَيْسَ لِمَنْ بَعْدَهُمْ لِأَنَّهُمْ عَرَفُوا الدَّوَاءَ فَأَقْبَلُوا عَلَيْهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ خَاصَّةً طَالِبُ الْعِلْمِ مُسْتَغْنِيًا بِالْقُرْآنِ

Rahasia Pojok Rumah yang Menghitam karena Al-Qur’an – Syaikh Shalih Al-Ushaimi #NasehatUlama

Dahulu, para ulama—semoga Allah merahmati mereka—sangat antusias terhadap Al-Qur’an dan merasakan kenikmatan luar biasa saat berinteraksi dengannya. Mereka mencukupkan diri dengan membaca, menghafal, memahami, dan merenungkan maknanya. Adapun kita saat ini, justru terhalangi dari Al-Qur’an oleh banyaknya buku cetak yang berada di tangan manusia. Engkau dapati seseorang di antara kita memiliki rak buku besar yang dipenuhi buku, ia menganggapnya sebagai wadah ilmu—dan memang demikian adanya, jika buku-buku itu diperlakukan sebagaimana mestinya—ia sering membaca buku-buku cetak itu, tapi justru sedikit sekali berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dahulu, di rumah Abu Bakar bin Ayyasy terdapat sebuah pojokan yang warnanya menghitam, karena begitu seringnya beliau jadikan sandaran saat membaca Al-Qur’an. Ketika beliau—semoga Allah merahmatinya—mengalami sakaratul maut, saudarinya sangat bersedih. Maka beliau melarangnya dan berkata: “Aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an di pojokan ini lebih dari lima ribu kali!” Karena itulah, para ulama memiliki ilmu yang paripurna, akhlak yang mulia, keyakinan yang benar, dan akal yang sehat—hal-hal yang tidak dimiliki oleh generasi setelah mereka. Sebab, mereka telah mengetahui obatnya, lalu segera mengambilnya. Maka, hendaklah setiap insan—terlebih lagi penuntut ilmu—mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. ===== فَكَانُوا رَحِمَهُمُ اللَّهُ لَهُمْ مِنَ الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ وَالِالْتِذاذِ بِهِ وَالِاسْتِغْنَاءِ بِقِرَاءَتِهِ وَحِفْظِهِ وَفَهْمِهِ وَتَدَبُّرِهِ مَا حِيْلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ بِمَا صَارَ فِي أَيْدِي النَّاسِ مِنَ الْكُتُبِ الْمَطْبُوعَةِ فَتَجِدُ أَحَدَنَا يَمْتَلِكُ سُرْدَاقًا عَظِيمًا مَمْلُوءًا بِالْكُتُب يَعُدُّهَا أَوْعِيَةَ الْعِلْمِ وَهِيَ كَذَلِكَ إِذَا أُخِذَتْ بِحَقِّهَا وَيَكْثُرُ نَظَرُهُ فِيهَا وَلَكِنْ يَقِلُّ حَظُّهُ مِنَ الْقُرْآنِ وَكَانَ فِي بَيْتِ أَبِي بَكْرٍ ابْنِ عَيَّاشٍ زَاوِيَةٌ اسْوَدَّتْ بِكَثْرَةِ اتِِّكَائِهِ فِيهَا وَقِرَاءَتِهِ الْقُرْآنَ لَمَّا اُحْتُضِرَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَزِعَتْ أُخْتٌ لَهُ فَنَهَاهَا وَقَالَ لَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْانَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةِ آلَافِ مَرَّةً وَلِهَذَا كَانَ لَهُمْ مِنَ الْعُلُومِ الْكَامِلَةِ وَالْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالِاعْتِقَادَاتِ الصَّحِيحَةِ وَالْعُقُولِ الرَّجِيحَةِ مَا لَيْسَ لِمَنْ بَعْدَهُمْ لِأَنَّهُمْ عَرَفُوا الدَّوَاءَ فَأَقْبَلُوا عَلَيْهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ خَاصَّةً طَالِبُ الْعِلْمِ مُسْتَغْنِيًا بِالْقُرْآنِ
Dahulu, para ulama—semoga Allah merahmati mereka—sangat antusias terhadap Al-Qur’an dan merasakan kenikmatan luar biasa saat berinteraksi dengannya. Mereka mencukupkan diri dengan membaca, menghafal, memahami, dan merenungkan maknanya. Adapun kita saat ini, justru terhalangi dari Al-Qur’an oleh banyaknya buku cetak yang berada di tangan manusia. Engkau dapati seseorang di antara kita memiliki rak buku besar yang dipenuhi buku, ia menganggapnya sebagai wadah ilmu—dan memang demikian adanya, jika buku-buku itu diperlakukan sebagaimana mestinya—ia sering membaca buku-buku cetak itu, tapi justru sedikit sekali berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dahulu, di rumah Abu Bakar bin Ayyasy terdapat sebuah pojokan yang warnanya menghitam, karena begitu seringnya beliau jadikan sandaran saat membaca Al-Qur’an. Ketika beliau—semoga Allah merahmatinya—mengalami sakaratul maut, saudarinya sangat bersedih. Maka beliau melarangnya dan berkata: “Aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an di pojokan ini lebih dari lima ribu kali!” Karena itulah, para ulama memiliki ilmu yang paripurna, akhlak yang mulia, keyakinan yang benar, dan akal yang sehat—hal-hal yang tidak dimiliki oleh generasi setelah mereka. Sebab, mereka telah mengetahui obatnya, lalu segera mengambilnya. Maka, hendaklah setiap insan—terlebih lagi penuntut ilmu—mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. ===== فَكَانُوا رَحِمَهُمُ اللَّهُ لَهُمْ مِنَ الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ وَالِالْتِذاذِ بِهِ وَالِاسْتِغْنَاءِ بِقِرَاءَتِهِ وَحِفْظِهِ وَفَهْمِهِ وَتَدَبُّرِهِ مَا حِيْلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ بِمَا صَارَ فِي أَيْدِي النَّاسِ مِنَ الْكُتُبِ الْمَطْبُوعَةِ فَتَجِدُ أَحَدَنَا يَمْتَلِكُ سُرْدَاقًا عَظِيمًا مَمْلُوءًا بِالْكُتُب يَعُدُّهَا أَوْعِيَةَ الْعِلْمِ وَهِيَ كَذَلِكَ إِذَا أُخِذَتْ بِحَقِّهَا وَيَكْثُرُ نَظَرُهُ فِيهَا وَلَكِنْ يَقِلُّ حَظُّهُ مِنَ الْقُرْآنِ وَكَانَ فِي بَيْتِ أَبِي بَكْرٍ ابْنِ عَيَّاشٍ زَاوِيَةٌ اسْوَدَّتْ بِكَثْرَةِ اتِِّكَائِهِ فِيهَا وَقِرَاءَتِهِ الْقُرْآنَ لَمَّا اُحْتُضِرَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَزِعَتْ أُخْتٌ لَهُ فَنَهَاهَا وَقَالَ لَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْانَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةِ آلَافِ مَرَّةً وَلِهَذَا كَانَ لَهُمْ مِنَ الْعُلُومِ الْكَامِلَةِ وَالْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالِاعْتِقَادَاتِ الصَّحِيحَةِ وَالْعُقُولِ الرَّجِيحَةِ مَا لَيْسَ لِمَنْ بَعْدَهُمْ لِأَنَّهُمْ عَرَفُوا الدَّوَاءَ فَأَقْبَلُوا عَلَيْهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ خَاصَّةً طَالِبُ الْعِلْمِ مُسْتَغْنِيًا بِالْقُرْآنِ


Dahulu, para ulama—semoga Allah merahmati mereka—sangat antusias terhadap Al-Qur’an dan merasakan kenikmatan luar biasa saat berinteraksi dengannya. Mereka mencukupkan diri dengan membaca, menghafal, memahami, dan merenungkan maknanya. Adapun kita saat ini, justru terhalangi dari Al-Qur’an oleh banyaknya buku cetak yang berada di tangan manusia. Engkau dapati seseorang di antara kita memiliki rak buku besar yang dipenuhi buku, ia menganggapnya sebagai wadah ilmu—dan memang demikian adanya, jika buku-buku itu diperlakukan sebagaimana mestinya—ia sering membaca buku-buku cetak itu, tapi justru sedikit sekali berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dahulu, di rumah Abu Bakar bin Ayyasy terdapat sebuah pojokan yang warnanya menghitam, karena begitu seringnya beliau jadikan sandaran saat membaca Al-Qur’an. Ketika beliau—semoga Allah merahmatinya—mengalami sakaratul maut, saudarinya sangat bersedih. Maka beliau melarangnya dan berkata: “Aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an di pojokan ini lebih dari lima ribu kali!” Karena itulah, para ulama memiliki ilmu yang paripurna, akhlak yang mulia, keyakinan yang benar, dan akal yang sehat—hal-hal yang tidak dimiliki oleh generasi setelah mereka. Sebab, mereka telah mengetahui obatnya, lalu segera mengambilnya. Maka, hendaklah setiap insan—terlebih lagi penuntut ilmu—mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. ===== فَكَانُوا رَحِمَهُمُ اللَّهُ لَهُمْ مِنَ الْإِقْبَالِ عَلَى الْقُرْآنِ وَالِالْتِذاذِ بِهِ وَالِاسْتِغْنَاءِ بِقِرَاءَتِهِ وَحِفْظِهِ وَفَهْمِهِ وَتَدَبُّرِهِ مَا حِيْلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ بِمَا صَارَ فِي أَيْدِي النَّاسِ مِنَ الْكُتُبِ الْمَطْبُوعَةِ فَتَجِدُ أَحَدَنَا يَمْتَلِكُ سُرْدَاقًا عَظِيمًا مَمْلُوءًا بِالْكُتُب يَعُدُّهَا أَوْعِيَةَ الْعِلْمِ وَهِيَ كَذَلِكَ إِذَا أُخِذَتْ بِحَقِّهَا وَيَكْثُرُ نَظَرُهُ فِيهَا وَلَكِنْ يَقِلُّ حَظُّهُ مِنَ الْقُرْآنِ وَكَانَ فِي بَيْتِ أَبِي بَكْرٍ ابْنِ عَيَّاشٍ زَاوِيَةٌ اسْوَدَّتْ بِكَثْرَةِ اتِِّكَائِهِ فِيهَا وَقِرَاءَتِهِ الْقُرْآنَ لَمَّا اُحْتُضِرَ رَحِمَهُ اللَّهُ جَزِعَتْ أُخْتٌ لَهُ فَنَهَاهَا وَقَالَ لَقَدْ خَتَمْتُ الْقُرْانَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةِ آلَافِ مَرَّةً وَلِهَذَا كَانَ لَهُمْ مِنَ الْعُلُومِ الْكَامِلَةِ وَالْأَخْلَاقِ الْفَاضِلَةِ وَالِاعْتِقَادَاتِ الصَّحِيحَةِ وَالْعُقُولِ الرَّجِيحَةِ مَا لَيْسَ لِمَنْ بَعْدَهُمْ لِأَنَّهُمْ عَرَفُوا الدَّوَاءَ فَأَقْبَلُوا عَلَيْهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمَرْءُ خَاصَّةً طَالِبُ الْعِلْمِ مُسْتَغْنِيًا بِالْقُرْآنِ

Dinamika Kehidupan Muslim di Daejeon, Korea Selatan

Daftar Isi ToggleTempat tinggalMakananMasjidKehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)IMUSKA wilayah DaejeonKomunitas muslim Indonesia di Korea SelatanRUMAISAKMI di Korea SelatanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanDaejeon (대전) adalah salah satu kota metropolitan terbesar kelima di Korea Selatan. Setelah tahun 1980-an, dipilih pemerintah sebagai lokasi Daedeok Innopolis (대덕연구단지) atau dengan kata lain kompleks riset nasional. Mungkin karena alasan itulah, Daejeon memiliki julukan kota sains karena menjadi pusat riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Sebagai salah satu pusat riset terbesar di Korea, kota ini memiliki beberapa pusat riset seperti seperti KAERI (Korea Atomic Energy Research Institute), KIER (Korea Institute of Energy Research), KINS (Korea Institute of Nuclear Safety), dan pusat riset lainnya. Perguruan tinggi utama di Daejeon adalah KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology) dengan Departemen Teknik Nuklir (Nuclear and Quantum Engineering) sebagai tempat penulis belajar.Tempat tinggalMayoritas mahasiswa di kota ini tinggal di dormitory yang disediakan oleh pihak kampus. Tentu tiap kampus memiliki spesifikasi dan ketentuan tersendiri terkait dormitory. Di KAIST sendiri, terdapat beberapa dormitory yang ditawarkan yang disesuaikan dengan harga dan fasilitas yang ditawarkan. Bangunan dormitory sendiri terdiri dari 4 sampai 15 lantai yang terdiri dari belasan hingga puluhan kamar dengan beberapa kamar mandi dipakai bersama atau ada juga yang di dalam kamar dan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Dalam satu kamar bisa terdiri dari satu hingga tiga penghuni, akan tetapi pada umumnya terdiri dari dua penghuni.Kelebihan tinggal di dormitory ialah lebih murah dibandingkan dengan tinggal di luar kampus. Namun, kelemahannya ialah para penghuni tidak diperbolehkan untuk memasak, baik di dalam kamar maupun di lounge dormitory. Solusi lain ialah menjadi member dari International Kitchen; akan tetapi ini menimbulkan masalah baru, yaitu lokasinya yang berbeda gedung serta membership didapatkan secara system lottery mengingat dapur bersama memiliki kapasitas yang kecil. Penulis sendiri pernah tinggal selama setahun di dormitory, tentunya dengan segala suka dan dukanya.Bagi yang memiliki uang lebih dan membutuhkan keadaan lebih privat, bisa beralih ke one-room, two-room, atau apartemen. One-room itu seperti kos-kosan yang ada di Indonesia, yang membedakan ialah sudah terdapat dapur, dan mesin cuci dengan kamar mandi dalam. Untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga, biasanya tinggal di two-room mengingat lebih luas atau tinggal di apartemen. Di KAIST sendiri disediakan KAIST apartment yang dikhususkan untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga yang tentunya lebih terjangkau dibandingkan dengan two-room. Kelebihan tinggal di luar kampus ialah tentu bisa menghemat pengeluaran semisal bisa memasak sendiri.MakananPopulasi penduduk muslim di kota Daejeon dapat dikatakan sangat kecil sehingga jarang sekali untuk menemukan restoran halal di sini. Namun, tidak perlu khawatir karena ada sebagian restoran di Daejeon yang menawarkan makanan halal seperti Pulbitmaru, World Mart, Ansor, Kebab Time, Alibaba, Afiyya, Patria, dan Bali Resto. Meskipun tidak banyak opsi restoran halal yang ada di kota ini, beberapa opsi lain dapat menjadi solusi seperti membeli makanan yang menawarkan menu seafood atau vegan, atau makanan dari beberapa diaspora Indonesia yang inisiatif untuk menjual makanan selain memasak sendiri tentunya. Bahan makanan halal dapat dengan dengan mudah kita temui di beberapa toko (halal shop) sekitaran masjid atau restoran halal yang telah disebutkan sebelumnya dan biasanya sudah tersertifikasi halal oleh KMF (Korea Muslim Federation). Untuk memastikan kehalalan suatu makanan, kita dapat men-download aplikasi Mufko (muslimfriendlykorea) untuk menemukan list produk, restoran halal, atau masjid yang ada di Korea. Orang-orang yang berjasa di balik pengembangan aplikasi ini sebagian merupakan orang Indonesia.MasjidDi Daejeon, kita hanya dapat menemukan 3 masjid yang tersebar di beberapa tempat. Masjid-masjid tersebut didirikan di dalam sebuah apartemen yang kadang menyatu dengan rumah atau restoran. Islamic Center of Daejeon (Gambar 1) merupakan masjid terbesar di Daejeon yang terdiri dari 5 lantai dan 1 basement. Masjid ini dikelola oleh komunitas muslim yang berasal dari Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan Uzbekistan, termasuk juga dari beberapa negara timur tengah dan Asia tengah. Masjid ini terletak di tengah dua kampus besar, yaitu KAIST dan Chungnam National University. Tentu, masjid ini berbeda dengan apa yang umumnya di Indonesia, misalnya pengeras suara disesuaikan hanya untuk pemakaian di dalam ruangan. Selain itu, hampir setiap hari masjid ini mengadakan kegiatan atau kajian yang dikelola oleh Syekh Dr. Ehsanullah hafidzahullah dengan jadwal sebagai berikut:Ahad (setelah Subuh) Sirah Nabawiyah (dalam bahasa Inggris), (Setelah Asar) Kids Qur’an, (setelah Isya) Qur’an Circle (dalam bahasa Inggris)Senin, Selasa, dan Rabu (setelah Isya’) Tafsir Al-Qur’an (dalam bahasa Inggris)Jumat (setelah Isya’) Qur’an Du’a (dalam bahasa Inggris)Sabtu (setelah Isya’) Kitaab at-Tauhid (dalam bahasa Inggris dan Uzbek)Untuk mendapatkan info yang lebih lengkap terkait kegiatan di masjid tersebut, bisa di-follow facebook ICD. Dengan catatan, jadwal akan disesuaikan dengan musim pada saat itu.Gambar 1. Islamic Center of DaejeonTentang masjid ini, ada pengalaman menarik selama masa studi penulis di Daejeon. Ketika berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari Asia Tengah semisal Uzbekistan dan sekitarnya, mereka terkadang menyapa kami dengan bahasa Indonesia, “Apa kabar?” jika mengetahui kami berasal dari Indonesia. Lalu, saya jawab dengan “Alhamdulillah bikhoyr” dan kemudian bertanya kembali bagaimana menanyakan kabar dengan bahasa Uzbekistan. Mereka menjawab, “Qalaysiz?” Selain itu, ketika di bulan Ramadan, khususnya 10 hari terakhir, saudara kami yang berasal dari Uzbekistan mempersiapkan ifthar dan sahur dengan plov, yaitu makanan khas dari negara mereka.Selain itu, terdapat Masjid An-Noor yang terletak berdekatan dengan Stasiun Daejeon. Menariknya, masjid ini dikelola secara mandiri oleh komunitas muslim asal Indonesia. Masjid terakhir dan yang baru didirikan yaitu Abu Hanifah Islamic Center of Daejeon yang dikelola oleh komunitas muslim asal Uzbekiztan.Kehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)Di KAIST sendiri terdapat dua tempat salat yang disediakan oleh pihak kampus, yang pertama yaitu terdapat di gedung W2 main campus (Gambar 2) yang dikelola oleh KAIST Muslim Student Association (MSA) yang secara rutin mengadakan pertemuan dan juga salat jamaah. Dengan adanya wadah ini, pelajar muslim dapat berkumpul dan berbagi pengalaman dengan pelajar muslim lainnya yang sebagian besar dari warga keturunan Pakistan, Bangladesh, dan Uzbekistan. Ada pula pelajar keturunan yang berasal dari negara timur tengah seperti Jordan, Uni Emirat Arab, Mesir, atau Suriah dan sebagian negara dari Asia tengah. Yang kedua yaitu mushala yang terletak di Munji Campus.Apabila masuk waktu salat Jumat, kami leluasa meninggalkan lab atau kelas dengan pemberitahuan terlebih dahulu ke dosen yang membimbing atau mengajar. Kami salat Jumat di Islamic Center of Daejeon yang lokasinya hanya sekitar 5 menit dari kampus utama di Eoeun-dong. Jamaah yang hadir di atas 300 orang yang terdiri dari mahasiswa, peneliti, dan pekerja yang tinggal di sekitaran kampus. Khotbah disampaikan dalam dua atau tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Inggris, dan terkadang bahasa Uzbek. Tentu dengan adanya masjid yang berdekatan dengan kampus, kami tidak perlu jauh-jauh untuk menghadiri salat Jumat dibandingkan dengan pelajar di kota lainnya.Gambar 2. Ruang MSA-KAISTKetika bekerja di laboratorium untuk meneliti, sangat penting untuk menyampaikan identitas kita sebagai seorang muslim. Tentu, rekan-rekan dan dosen pembimbing akan menghormati hal ini. Mereka akan mengetahui, dan memang seharusnya mengetahui, bahwa “Saya seorang muslim.” Saat ada kegiatan di laboratorium, mereka biasanya akan memastikan makanan dan minuman yang ada dapat dikonsumsi oleh pelajar muslim. Meski terkadang mereka juga membandingkan perilaku kita dengan mahasiswa muslim lain yang tetap ikut minum-minum atau memakan makanan yang diharamkan, sikap tegas dalam menjalankan ajaran Islam tetap dihargai. Jangan ragu atau merasa malu untuk menegaskan identitas kita sebagai seorang muslim di manapun kita berada.IMUSKA wilayah DaejeonKetika mahasiswa dari kota-kota lainnya harus bergabung ke komunitas mahasiswa muslim di wilayah (kota) lain, seperti Busan dan Seoul, maka di Daejeon terdapat pula wadah khusus bagi mahasiswa muslim, yaitu Indonesia Muslim Student Society in Korea (IMUSKA) wilayah Daejeon. Menariknya, IMUSKA wilayah Daejeon lebih dominan dan lebih aktif dibandingkan dengan wilayah lain mengingat jumlah mahasiswa muslim Indonesia yang cukup banyak dan terpusat di satu zona kampus dan pusat riset yang saling berdekatan. Secara rutin, IMUSKA wilayah Daejeon mengadakan kajian, mabit bulanan, Forum Group Discussion (FGD) mingguan, pengumpulan zakat, sedekah, kurban, dan aktivitas lain seperti gathering mahasiswa. IMUSKA wilayah Daejeon menjadi ruang kebersamaan bagi mahasiswa muslim di Daejeon untuk saling menasihati dan mengingatkan dalam kebaikan, agar tidak terjebak dalam gemerlap kehidupan dunia selama studi, melainkan tetap menjaga ingatan terhadap akhirat. Bagi mereka yang gemar menulis ide dan gagasan, dapat dituangkan melalui website IMUSKA.Komunitas muslim Indonesia di Korea SelatanDinamika kehidupan muslim di Korea Selatan tidak lepas dari peran berbagai komunitas Islam yang ada di negara tersebut. Beragam kegiatan keagamaan rutin diselenggarakan, mulai dari pengajian hingga kelas membaca Al-Qur’an. Memasuki bulan Ramadan, mereka juga mengadakan buka puasa bersama dan salat tarawih berjamaah, serta mengoordinasikan pelaksanaan ibadah pada hari raya Idulfitri dan Iduladha. Berikut in adalah beberapa komunitas Islam di Korea Selatan, khususnya yang dijalankan oleh warga Indonesia yang bermukim di sini.RUMAISARUMAISA (Rumah Muslimah Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas yang menjadi rumah hangat bagi muslimah Indonesia di perantauan. RUMAISA rutin mengadakan berbagai kegiatan seperti kajian rutin, Rumaisa School untuk anak-anak, Muslimah Taklim Daerah di beberapa kota, serta Muslimah Taklim Cyber secara daring. Setiap Ramadan, mereka mengadakan kegiatan sosial seperti RUMAISA Berbagi Takjil, Pesantren Kilat, dan One Day With Qur’an. Dengan beragam aktivitas tersebut, RUMAISA menjadi ruang belajar, berbagi, dan saling menguatkan bagi diaspora muslimah Indonesia di Korea Selatan.KMI di Korea SelatanKMI (Komunitas Muslim Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas muslim Indonesia yang dibentuk di Korea Selatan sebagai wadah pertemuan dan silaturahim sesama WNI. KMI terdiri dari 23 organisasi mushala dan masjid yang dikelola oleh warga Indonesia dan tersebar di berbagai penjuru di Korea Selatan. Anggota KMI – Korea Selatan adalah sebagai berikut:IKMI KoreaSirothol Mustaqim, AnsanAl-Amin, DaeguPERMATA, DaeguPUMITA, BusanKMC, ChangwonIKMIK, GwangjuAl-Hidayah, GimhaeAl-Barokah, GimhaeIMNIDA, DaejeonIMOCOM, MokpoAn-Noor, SeongnamAl-Huda, KumiAl-Kautsar, GyeongjuMiftahul Jannah, YangsanNurul Hidayah, AnsongAl-Ikhlas, UijeongbuAl-Ikhsan, WegwanAl-Ikhlas, YonginBabussalam, BusanAn-Nur, GojeAt-Taubah, GwangjuBaburrahmah, UlsanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanMayoritas orang Korea tidak memiliki agama dan memilih hidup tanpa keyakinan adanya Tuhan. Oleh karena itu, mereka sering penasaran dan bertanya kepada kami tentang Islam, misalnya ketika melihat kami meminta izin untuk salat, menjalani puasa, atau memastikan kehalalan suatu makanan atau minuman. Pertanyaan yang dilontarkan terkadang sederhana, tetapi juga bisa sangat mendalam, mulai dari memanjangkan jenggot, salat, puasa Ramadan, hingga mengenai ketuhanan. Sebagian dari mereka menganggap Islam sebagai agama yang berat karena ada kewajiban salat lima waktu setiap hari dan puasa panjang, terutama ketika Ramadan jatuh di musim panas. Dari sini kami menyadari, siapa pun yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri, terutama di negeri dengan mayoritas non-muslim, sangat penting untuk membekali diri dengan ilmu agama. Selain untuk menjaga diri di lingkungan yang bebas, bekal itu juga berguna sebagai sarana dakwah melalui percakapan sehari-hari.Demikianlah gambaran kehidupan muslim di Daejeon, Korea Selatan. Meski berada di tengah masyarakat yang serba bebas, saudara-saudara kita di Korea Selatan tetap berusaha teguh menjalankan Islam dan terus belajar sedikit demi sedikit. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua, di manapun kita berada.Baca juga: Aku dan Freiburg***Penulis: Luqman Hasan Nahari (Mahasiswa S3 Teknik Nuklir, KAIST, Korea Selatan)Artikel Muslim.or.id

Dinamika Kehidupan Muslim di Daejeon, Korea Selatan

Daftar Isi ToggleTempat tinggalMakananMasjidKehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)IMUSKA wilayah DaejeonKomunitas muslim Indonesia di Korea SelatanRUMAISAKMI di Korea SelatanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanDaejeon (대전) adalah salah satu kota metropolitan terbesar kelima di Korea Selatan. Setelah tahun 1980-an, dipilih pemerintah sebagai lokasi Daedeok Innopolis (대덕연구단지) atau dengan kata lain kompleks riset nasional. Mungkin karena alasan itulah, Daejeon memiliki julukan kota sains karena menjadi pusat riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Sebagai salah satu pusat riset terbesar di Korea, kota ini memiliki beberapa pusat riset seperti seperti KAERI (Korea Atomic Energy Research Institute), KIER (Korea Institute of Energy Research), KINS (Korea Institute of Nuclear Safety), dan pusat riset lainnya. Perguruan tinggi utama di Daejeon adalah KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology) dengan Departemen Teknik Nuklir (Nuclear and Quantum Engineering) sebagai tempat penulis belajar.Tempat tinggalMayoritas mahasiswa di kota ini tinggal di dormitory yang disediakan oleh pihak kampus. Tentu tiap kampus memiliki spesifikasi dan ketentuan tersendiri terkait dormitory. Di KAIST sendiri, terdapat beberapa dormitory yang ditawarkan yang disesuaikan dengan harga dan fasilitas yang ditawarkan. Bangunan dormitory sendiri terdiri dari 4 sampai 15 lantai yang terdiri dari belasan hingga puluhan kamar dengan beberapa kamar mandi dipakai bersama atau ada juga yang di dalam kamar dan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Dalam satu kamar bisa terdiri dari satu hingga tiga penghuni, akan tetapi pada umumnya terdiri dari dua penghuni.Kelebihan tinggal di dormitory ialah lebih murah dibandingkan dengan tinggal di luar kampus. Namun, kelemahannya ialah para penghuni tidak diperbolehkan untuk memasak, baik di dalam kamar maupun di lounge dormitory. Solusi lain ialah menjadi member dari International Kitchen; akan tetapi ini menimbulkan masalah baru, yaitu lokasinya yang berbeda gedung serta membership didapatkan secara system lottery mengingat dapur bersama memiliki kapasitas yang kecil. Penulis sendiri pernah tinggal selama setahun di dormitory, tentunya dengan segala suka dan dukanya.Bagi yang memiliki uang lebih dan membutuhkan keadaan lebih privat, bisa beralih ke one-room, two-room, atau apartemen. One-room itu seperti kos-kosan yang ada di Indonesia, yang membedakan ialah sudah terdapat dapur, dan mesin cuci dengan kamar mandi dalam. Untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga, biasanya tinggal di two-room mengingat lebih luas atau tinggal di apartemen. Di KAIST sendiri disediakan KAIST apartment yang dikhususkan untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga yang tentunya lebih terjangkau dibandingkan dengan two-room. Kelebihan tinggal di luar kampus ialah tentu bisa menghemat pengeluaran semisal bisa memasak sendiri.MakananPopulasi penduduk muslim di kota Daejeon dapat dikatakan sangat kecil sehingga jarang sekali untuk menemukan restoran halal di sini. Namun, tidak perlu khawatir karena ada sebagian restoran di Daejeon yang menawarkan makanan halal seperti Pulbitmaru, World Mart, Ansor, Kebab Time, Alibaba, Afiyya, Patria, dan Bali Resto. Meskipun tidak banyak opsi restoran halal yang ada di kota ini, beberapa opsi lain dapat menjadi solusi seperti membeli makanan yang menawarkan menu seafood atau vegan, atau makanan dari beberapa diaspora Indonesia yang inisiatif untuk menjual makanan selain memasak sendiri tentunya. Bahan makanan halal dapat dengan dengan mudah kita temui di beberapa toko (halal shop) sekitaran masjid atau restoran halal yang telah disebutkan sebelumnya dan biasanya sudah tersertifikasi halal oleh KMF (Korea Muslim Federation). Untuk memastikan kehalalan suatu makanan, kita dapat men-download aplikasi Mufko (muslimfriendlykorea) untuk menemukan list produk, restoran halal, atau masjid yang ada di Korea. Orang-orang yang berjasa di balik pengembangan aplikasi ini sebagian merupakan orang Indonesia.MasjidDi Daejeon, kita hanya dapat menemukan 3 masjid yang tersebar di beberapa tempat. Masjid-masjid tersebut didirikan di dalam sebuah apartemen yang kadang menyatu dengan rumah atau restoran. Islamic Center of Daejeon (Gambar 1) merupakan masjid terbesar di Daejeon yang terdiri dari 5 lantai dan 1 basement. Masjid ini dikelola oleh komunitas muslim yang berasal dari Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan Uzbekistan, termasuk juga dari beberapa negara timur tengah dan Asia tengah. Masjid ini terletak di tengah dua kampus besar, yaitu KAIST dan Chungnam National University. Tentu, masjid ini berbeda dengan apa yang umumnya di Indonesia, misalnya pengeras suara disesuaikan hanya untuk pemakaian di dalam ruangan. Selain itu, hampir setiap hari masjid ini mengadakan kegiatan atau kajian yang dikelola oleh Syekh Dr. Ehsanullah hafidzahullah dengan jadwal sebagai berikut:Ahad (setelah Subuh) Sirah Nabawiyah (dalam bahasa Inggris), (Setelah Asar) Kids Qur’an, (setelah Isya) Qur’an Circle (dalam bahasa Inggris)Senin, Selasa, dan Rabu (setelah Isya’) Tafsir Al-Qur’an (dalam bahasa Inggris)Jumat (setelah Isya’) Qur’an Du’a (dalam bahasa Inggris)Sabtu (setelah Isya’) Kitaab at-Tauhid (dalam bahasa Inggris dan Uzbek)Untuk mendapatkan info yang lebih lengkap terkait kegiatan di masjid tersebut, bisa di-follow facebook ICD. Dengan catatan, jadwal akan disesuaikan dengan musim pada saat itu.Gambar 1. Islamic Center of DaejeonTentang masjid ini, ada pengalaman menarik selama masa studi penulis di Daejeon. Ketika berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari Asia Tengah semisal Uzbekistan dan sekitarnya, mereka terkadang menyapa kami dengan bahasa Indonesia, “Apa kabar?” jika mengetahui kami berasal dari Indonesia. Lalu, saya jawab dengan “Alhamdulillah bikhoyr” dan kemudian bertanya kembali bagaimana menanyakan kabar dengan bahasa Uzbekistan. Mereka menjawab, “Qalaysiz?” Selain itu, ketika di bulan Ramadan, khususnya 10 hari terakhir, saudara kami yang berasal dari Uzbekistan mempersiapkan ifthar dan sahur dengan plov, yaitu makanan khas dari negara mereka.Selain itu, terdapat Masjid An-Noor yang terletak berdekatan dengan Stasiun Daejeon. Menariknya, masjid ini dikelola secara mandiri oleh komunitas muslim asal Indonesia. Masjid terakhir dan yang baru didirikan yaitu Abu Hanifah Islamic Center of Daejeon yang dikelola oleh komunitas muslim asal Uzbekiztan.Kehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)Di KAIST sendiri terdapat dua tempat salat yang disediakan oleh pihak kampus, yang pertama yaitu terdapat di gedung W2 main campus (Gambar 2) yang dikelola oleh KAIST Muslim Student Association (MSA) yang secara rutin mengadakan pertemuan dan juga salat jamaah. Dengan adanya wadah ini, pelajar muslim dapat berkumpul dan berbagi pengalaman dengan pelajar muslim lainnya yang sebagian besar dari warga keturunan Pakistan, Bangladesh, dan Uzbekistan. Ada pula pelajar keturunan yang berasal dari negara timur tengah seperti Jordan, Uni Emirat Arab, Mesir, atau Suriah dan sebagian negara dari Asia tengah. Yang kedua yaitu mushala yang terletak di Munji Campus.Apabila masuk waktu salat Jumat, kami leluasa meninggalkan lab atau kelas dengan pemberitahuan terlebih dahulu ke dosen yang membimbing atau mengajar. Kami salat Jumat di Islamic Center of Daejeon yang lokasinya hanya sekitar 5 menit dari kampus utama di Eoeun-dong. Jamaah yang hadir di atas 300 orang yang terdiri dari mahasiswa, peneliti, dan pekerja yang tinggal di sekitaran kampus. Khotbah disampaikan dalam dua atau tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Inggris, dan terkadang bahasa Uzbek. Tentu dengan adanya masjid yang berdekatan dengan kampus, kami tidak perlu jauh-jauh untuk menghadiri salat Jumat dibandingkan dengan pelajar di kota lainnya.Gambar 2. Ruang MSA-KAISTKetika bekerja di laboratorium untuk meneliti, sangat penting untuk menyampaikan identitas kita sebagai seorang muslim. Tentu, rekan-rekan dan dosen pembimbing akan menghormati hal ini. Mereka akan mengetahui, dan memang seharusnya mengetahui, bahwa “Saya seorang muslim.” Saat ada kegiatan di laboratorium, mereka biasanya akan memastikan makanan dan minuman yang ada dapat dikonsumsi oleh pelajar muslim. Meski terkadang mereka juga membandingkan perilaku kita dengan mahasiswa muslim lain yang tetap ikut minum-minum atau memakan makanan yang diharamkan, sikap tegas dalam menjalankan ajaran Islam tetap dihargai. Jangan ragu atau merasa malu untuk menegaskan identitas kita sebagai seorang muslim di manapun kita berada.IMUSKA wilayah DaejeonKetika mahasiswa dari kota-kota lainnya harus bergabung ke komunitas mahasiswa muslim di wilayah (kota) lain, seperti Busan dan Seoul, maka di Daejeon terdapat pula wadah khusus bagi mahasiswa muslim, yaitu Indonesia Muslim Student Society in Korea (IMUSKA) wilayah Daejeon. Menariknya, IMUSKA wilayah Daejeon lebih dominan dan lebih aktif dibandingkan dengan wilayah lain mengingat jumlah mahasiswa muslim Indonesia yang cukup banyak dan terpusat di satu zona kampus dan pusat riset yang saling berdekatan. Secara rutin, IMUSKA wilayah Daejeon mengadakan kajian, mabit bulanan, Forum Group Discussion (FGD) mingguan, pengumpulan zakat, sedekah, kurban, dan aktivitas lain seperti gathering mahasiswa. IMUSKA wilayah Daejeon menjadi ruang kebersamaan bagi mahasiswa muslim di Daejeon untuk saling menasihati dan mengingatkan dalam kebaikan, agar tidak terjebak dalam gemerlap kehidupan dunia selama studi, melainkan tetap menjaga ingatan terhadap akhirat. Bagi mereka yang gemar menulis ide dan gagasan, dapat dituangkan melalui website IMUSKA.Komunitas muslim Indonesia di Korea SelatanDinamika kehidupan muslim di Korea Selatan tidak lepas dari peran berbagai komunitas Islam yang ada di negara tersebut. Beragam kegiatan keagamaan rutin diselenggarakan, mulai dari pengajian hingga kelas membaca Al-Qur’an. Memasuki bulan Ramadan, mereka juga mengadakan buka puasa bersama dan salat tarawih berjamaah, serta mengoordinasikan pelaksanaan ibadah pada hari raya Idulfitri dan Iduladha. Berikut in adalah beberapa komunitas Islam di Korea Selatan, khususnya yang dijalankan oleh warga Indonesia yang bermukim di sini.RUMAISARUMAISA (Rumah Muslimah Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas yang menjadi rumah hangat bagi muslimah Indonesia di perantauan. RUMAISA rutin mengadakan berbagai kegiatan seperti kajian rutin, Rumaisa School untuk anak-anak, Muslimah Taklim Daerah di beberapa kota, serta Muslimah Taklim Cyber secara daring. Setiap Ramadan, mereka mengadakan kegiatan sosial seperti RUMAISA Berbagi Takjil, Pesantren Kilat, dan One Day With Qur’an. Dengan beragam aktivitas tersebut, RUMAISA menjadi ruang belajar, berbagi, dan saling menguatkan bagi diaspora muslimah Indonesia di Korea Selatan.KMI di Korea SelatanKMI (Komunitas Muslim Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas muslim Indonesia yang dibentuk di Korea Selatan sebagai wadah pertemuan dan silaturahim sesama WNI. KMI terdiri dari 23 organisasi mushala dan masjid yang dikelola oleh warga Indonesia dan tersebar di berbagai penjuru di Korea Selatan. Anggota KMI – Korea Selatan adalah sebagai berikut:IKMI KoreaSirothol Mustaqim, AnsanAl-Amin, DaeguPERMATA, DaeguPUMITA, BusanKMC, ChangwonIKMIK, GwangjuAl-Hidayah, GimhaeAl-Barokah, GimhaeIMNIDA, DaejeonIMOCOM, MokpoAn-Noor, SeongnamAl-Huda, KumiAl-Kautsar, GyeongjuMiftahul Jannah, YangsanNurul Hidayah, AnsongAl-Ikhlas, UijeongbuAl-Ikhsan, WegwanAl-Ikhlas, YonginBabussalam, BusanAn-Nur, GojeAt-Taubah, GwangjuBaburrahmah, UlsanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanMayoritas orang Korea tidak memiliki agama dan memilih hidup tanpa keyakinan adanya Tuhan. Oleh karena itu, mereka sering penasaran dan bertanya kepada kami tentang Islam, misalnya ketika melihat kami meminta izin untuk salat, menjalani puasa, atau memastikan kehalalan suatu makanan atau minuman. Pertanyaan yang dilontarkan terkadang sederhana, tetapi juga bisa sangat mendalam, mulai dari memanjangkan jenggot, salat, puasa Ramadan, hingga mengenai ketuhanan. Sebagian dari mereka menganggap Islam sebagai agama yang berat karena ada kewajiban salat lima waktu setiap hari dan puasa panjang, terutama ketika Ramadan jatuh di musim panas. Dari sini kami menyadari, siapa pun yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri, terutama di negeri dengan mayoritas non-muslim, sangat penting untuk membekali diri dengan ilmu agama. Selain untuk menjaga diri di lingkungan yang bebas, bekal itu juga berguna sebagai sarana dakwah melalui percakapan sehari-hari.Demikianlah gambaran kehidupan muslim di Daejeon, Korea Selatan. Meski berada di tengah masyarakat yang serba bebas, saudara-saudara kita di Korea Selatan tetap berusaha teguh menjalankan Islam dan terus belajar sedikit demi sedikit. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua, di manapun kita berada.Baca juga: Aku dan Freiburg***Penulis: Luqman Hasan Nahari (Mahasiswa S3 Teknik Nuklir, KAIST, Korea Selatan)Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleTempat tinggalMakananMasjidKehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)IMUSKA wilayah DaejeonKomunitas muslim Indonesia di Korea SelatanRUMAISAKMI di Korea SelatanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanDaejeon (대전) adalah salah satu kota metropolitan terbesar kelima di Korea Selatan. Setelah tahun 1980-an, dipilih pemerintah sebagai lokasi Daedeok Innopolis (대덕연구단지) atau dengan kata lain kompleks riset nasional. Mungkin karena alasan itulah, Daejeon memiliki julukan kota sains karena menjadi pusat riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Sebagai salah satu pusat riset terbesar di Korea, kota ini memiliki beberapa pusat riset seperti seperti KAERI (Korea Atomic Energy Research Institute), KIER (Korea Institute of Energy Research), KINS (Korea Institute of Nuclear Safety), dan pusat riset lainnya. Perguruan tinggi utama di Daejeon adalah KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology) dengan Departemen Teknik Nuklir (Nuclear and Quantum Engineering) sebagai tempat penulis belajar.Tempat tinggalMayoritas mahasiswa di kota ini tinggal di dormitory yang disediakan oleh pihak kampus. Tentu tiap kampus memiliki spesifikasi dan ketentuan tersendiri terkait dormitory. Di KAIST sendiri, terdapat beberapa dormitory yang ditawarkan yang disesuaikan dengan harga dan fasilitas yang ditawarkan. Bangunan dormitory sendiri terdiri dari 4 sampai 15 lantai yang terdiri dari belasan hingga puluhan kamar dengan beberapa kamar mandi dipakai bersama atau ada juga yang di dalam kamar dan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Dalam satu kamar bisa terdiri dari satu hingga tiga penghuni, akan tetapi pada umumnya terdiri dari dua penghuni.Kelebihan tinggal di dormitory ialah lebih murah dibandingkan dengan tinggal di luar kampus. Namun, kelemahannya ialah para penghuni tidak diperbolehkan untuk memasak, baik di dalam kamar maupun di lounge dormitory. Solusi lain ialah menjadi member dari International Kitchen; akan tetapi ini menimbulkan masalah baru, yaitu lokasinya yang berbeda gedung serta membership didapatkan secara system lottery mengingat dapur bersama memiliki kapasitas yang kecil. Penulis sendiri pernah tinggal selama setahun di dormitory, tentunya dengan segala suka dan dukanya.Bagi yang memiliki uang lebih dan membutuhkan keadaan lebih privat, bisa beralih ke one-room, two-room, atau apartemen. One-room itu seperti kos-kosan yang ada di Indonesia, yang membedakan ialah sudah terdapat dapur, dan mesin cuci dengan kamar mandi dalam. Untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga, biasanya tinggal di two-room mengingat lebih luas atau tinggal di apartemen. Di KAIST sendiri disediakan KAIST apartment yang dikhususkan untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga yang tentunya lebih terjangkau dibandingkan dengan two-room. Kelebihan tinggal di luar kampus ialah tentu bisa menghemat pengeluaran semisal bisa memasak sendiri.MakananPopulasi penduduk muslim di kota Daejeon dapat dikatakan sangat kecil sehingga jarang sekali untuk menemukan restoran halal di sini. Namun, tidak perlu khawatir karena ada sebagian restoran di Daejeon yang menawarkan makanan halal seperti Pulbitmaru, World Mart, Ansor, Kebab Time, Alibaba, Afiyya, Patria, dan Bali Resto. Meskipun tidak banyak opsi restoran halal yang ada di kota ini, beberapa opsi lain dapat menjadi solusi seperti membeli makanan yang menawarkan menu seafood atau vegan, atau makanan dari beberapa diaspora Indonesia yang inisiatif untuk menjual makanan selain memasak sendiri tentunya. Bahan makanan halal dapat dengan dengan mudah kita temui di beberapa toko (halal shop) sekitaran masjid atau restoran halal yang telah disebutkan sebelumnya dan biasanya sudah tersertifikasi halal oleh KMF (Korea Muslim Federation). Untuk memastikan kehalalan suatu makanan, kita dapat men-download aplikasi Mufko (muslimfriendlykorea) untuk menemukan list produk, restoran halal, atau masjid yang ada di Korea. Orang-orang yang berjasa di balik pengembangan aplikasi ini sebagian merupakan orang Indonesia.MasjidDi Daejeon, kita hanya dapat menemukan 3 masjid yang tersebar di beberapa tempat. Masjid-masjid tersebut didirikan di dalam sebuah apartemen yang kadang menyatu dengan rumah atau restoran. Islamic Center of Daejeon (Gambar 1) merupakan masjid terbesar di Daejeon yang terdiri dari 5 lantai dan 1 basement. Masjid ini dikelola oleh komunitas muslim yang berasal dari Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan Uzbekistan, termasuk juga dari beberapa negara timur tengah dan Asia tengah. Masjid ini terletak di tengah dua kampus besar, yaitu KAIST dan Chungnam National University. Tentu, masjid ini berbeda dengan apa yang umumnya di Indonesia, misalnya pengeras suara disesuaikan hanya untuk pemakaian di dalam ruangan. Selain itu, hampir setiap hari masjid ini mengadakan kegiatan atau kajian yang dikelola oleh Syekh Dr. Ehsanullah hafidzahullah dengan jadwal sebagai berikut:Ahad (setelah Subuh) Sirah Nabawiyah (dalam bahasa Inggris), (Setelah Asar) Kids Qur’an, (setelah Isya) Qur’an Circle (dalam bahasa Inggris)Senin, Selasa, dan Rabu (setelah Isya’) Tafsir Al-Qur’an (dalam bahasa Inggris)Jumat (setelah Isya’) Qur’an Du’a (dalam bahasa Inggris)Sabtu (setelah Isya’) Kitaab at-Tauhid (dalam bahasa Inggris dan Uzbek)Untuk mendapatkan info yang lebih lengkap terkait kegiatan di masjid tersebut, bisa di-follow facebook ICD. Dengan catatan, jadwal akan disesuaikan dengan musim pada saat itu.Gambar 1. Islamic Center of DaejeonTentang masjid ini, ada pengalaman menarik selama masa studi penulis di Daejeon. Ketika berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari Asia Tengah semisal Uzbekistan dan sekitarnya, mereka terkadang menyapa kami dengan bahasa Indonesia, “Apa kabar?” jika mengetahui kami berasal dari Indonesia. Lalu, saya jawab dengan “Alhamdulillah bikhoyr” dan kemudian bertanya kembali bagaimana menanyakan kabar dengan bahasa Uzbekistan. Mereka menjawab, “Qalaysiz?” Selain itu, ketika di bulan Ramadan, khususnya 10 hari terakhir, saudara kami yang berasal dari Uzbekistan mempersiapkan ifthar dan sahur dengan plov, yaitu makanan khas dari negara mereka.Selain itu, terdapat Masjid An-Noor yang terletak berdekatan dengan Stasiun Daejeon. Menariknya, masjid ini dikelola secara mandiri oleh komunitas muslim asal Indonesia. Masjid terakhir dan yang baru didirikan yaitu Abu Hanifah Islamic Center of Daejeon yang dikelola oleh komunitas muslim asal Uzbekiztan.Kehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)Di KAIST sendiri terdapat dua tempat salat yang disediakan oleh pihak kampus, yang pertama yaitu terdapat di gedung W2 main campus (Gambar 2) yang dikelola oleh KAIST Muslim Student Association (MSA) yang secara rutin mengadakan pertemuan dan juga salat jamaah. Dengan adanya wadah ini, pelajar muslim dapat berkumpul dan berbagi pengalaman dengan pelajar muslim lainnya yang sebagian besar dari warga keturunan Pakistan, Bangladesh, dan Uzbekistan. Ada pula pelajar keturunan yang berasal dari negara timur tengah seperti Jordan, Uni Emirat Arab, Mesir, atau Suriah dan sebagian negara dari Asia tengah. Yang kedua yaitu mushala yang terletak di Munji Campus.Apabila masuk waktu salat Jumat, kami leluasa meninggalkan lab atau kelas dengan pemberitahuan terlebih dahulu ke dosen yang membimbing atau mengajar. Kami salat Jumat di Islamic Center of Daejeon yang lokasinya hanya sekitar 5 menit dari kampus utama di Eoeun-dong. Jamaah yang hadir di atas 300 orang yang terdiri dari mahasiswa, peneliti, dan pekerja yang tinggal di sekitaran kampus. Khotbah disampaikan dalam dua atau tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Inggris, dan terkadang bahasa Uzbek. Tentu dengan adanya masjid yang berdekatan dengan kampus, kami tidak perlu jauh-jauh untuk menghadiri salat Jumat dibandingkan dengan pelajar di kota lainnya.Gambar 2. Ruang MSA-KAISTKetika bekerja di laboratorium untuk meneliti, sangat penting untuk menyampaikan identitas kita sebagai seorang muslim. Tentu, rekan-rekan dan dosen pembimbing akan menghormati hal ini. Mereka akan mengetahui, dan memang seharusnya mengetahui, bahwa “Saya seorang muslim.” Saat ada kegiatan di laboratorium, mereka biasanya akan memastikan makanan dan minuman yang ada dapat dikonsumsi oleh pelajar muslim. Meski terkadang mereka juga membandingkan perilaku kita dengan mahasiswa muslim lain yang tetap ikut minum-minum atau memakan makanan yang diharamkan, sikap tegas dalam menjalankan ajaran Islam tetap dihargai. Jangan ragu atau merasa malu untuk menegaskan identitas kita sebagai seorang muslim di manapun kita berada.IMUSKA wilayah DaejeonKetika mahasiswa dari kota-kota lainnya harus bergabung ke komunitas mahasiswa muslim di wilayah (kota) lain, seperti Busan dan Seoul, maka di Daejeon terdapat pula wadah khusus bagi mahasiswa muslim, yaitu Indonesia Muslim Student Society in Korea (IMUSKA) wilayah Daejeon. Menariknya, IMUSKA wilayah Daejeon lebih dominan dan lebih aktif dibandingkan dengan wilayah lain mengingat jumlah mahasiswa muslim Indonesia yang cukup banyak dan terpusat di satu zona kampus dan pusat riset yang saling berdekatan. Secara rutin, IMUSKA wilayah Daejeon mengadakan kajian, mabit bulanan, Forum Group Discussion (FGD) mingguan, pengumpulan zakat, sedekah, kurban, dan aktivitas lain seperti gathering mahasiswa. IMUSKA wilayah Daejeon menjadi ruang kebersamaan bagi mahasiswa muslim di Daejeon untuk saling menasihati dan mengingatkan dalam kebaikan, agar tidak terjebak dalam gemerlap kehidupan dunia selama studi, melainkan tetap menjaga ingatan terhadap akhirat. Bagi mereka yang gemar menulis ide dan gagasan, dapat dituangkan melalui website IMUSKA.Komunitas muslim Indonesia di Korea SelatanDinamika kehidupan muslim di Korea Selatan tidak lepas dari peran berbagai komunitas Islam yang ada di negara tersebut. Beragam kegiatan keagamaan rutin diselenggarakan, mulai dari pengajian hingga kelas membaca Al-Qur’an. Memasuki bulan Ramadan, mereka juga mengadakan buka puasa bersama dan salat tarawih berjamaah, serta mengoordinasikan pelaksanaan ibadah pada hari raya Idulfitri dan Iduladha. Berikut in adalah beberapa komunitas Islam di Korea Selatan, khususnya yang dijalankan oleh warga Indonesia yang bermukim di sini.RUMAISARUMAISA (Rumah Muslimah Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas yang menjadi rumah hangat bagi muslimah Indonesia di perantauan. RUMAISA rutin mengadakan berbagai kegiatan seperti kajian rutin, Rumaisa School untuk anak-anak, Muslimah Taklim Daerah di beberapa kota, serta Muslimah Taklim Cyber secara daring. Setiap Ramadan, mereka mengadakan kegiatan sosial seperti RUMAISA Berbagi Takjil, Pesantren Kilat, dan One Day With Qur’an. Dengan beragam aktivitas tersebut, RUMAISA menjadi ruang belajar, berbagi, dan saling menguatkan bagi diaspora muslimah Indonesia di Korea Selatan.KMI di Korea SelatanKMI (Komunitas Muslim Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas muslim Indonesia yang dibentuk di Korea Selatan sebagai wadah pertemuan dan silaturahim sesama WNI. KMI terdiri dari 23 organisasi mushala dan masjid yang dikelola oleh warga Indonesia dan tersebar di berbagai penjuru di Korea Selatan. Anggota KMI – Korea Selatan adalah sebagai berikut:IKMI KoreaSirothol Mustaqim, AnsanAl-Amin, DaeguPERMATA, DaeguPUMITA, BusanKMC, ChangwonIKMIK, GwangjuAl-Hidayah, GimhaeAl-Barokah, GimhaeIMNIDA, DaejeonIMOCOM, MokpoAn-Noor, SeongnamAl-Huda, KumiAl-Kautsar, GyeongjuMiftahul Jannah, YangsanNurul Hidayah, AnsongAl-Ikhlas, UijeongbuAl-Ikhsan, WegwanAl-Ikhlas, YonginBabussalam, BusanAn-Nur, GojeAt-Taubah, GwangjuBaburrahmah, UlsanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanMayoritas orang Korea tidak memiliki agama dan memilih hidup tanpa keyakinan adanya Tuhan. Oleh karena itu, mereka sering penasaran dan bertanya kepada kami tentang Islam, misalnya ketika melihat kami meminta izin untuk salat, menjalani puasa, atau memastikan kehalalan suatu makanan atau minuman. Pertanyaan yang dilontarkan terkadang sederhana, tetapi juga bisa sangat mendalam, mulai dari memanjangkan jenggot, salat, puasa Ramadan, hingga mengenai ketuhanan. Sebagian dari mereka menganggap Islam sebagai agama yang berat karena ada kewajiban salat lima waktu setiap hari dan puasa panjang, terutama ketika Ramadan jatuh di musim panas. Dari sini kami menyadari, siapa pun yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri, terutama di negeri dengan mayoritas non-muslim, sangat penting untuk membekali diri dengan ilmu agama. Selain untuk menjaga diri di lingkungan yang bebas, bekal itu juga berguna sebagai sarana dakwah melalui percakapan sehari-hari.Demikianlah gambaran kehidupan muslim di Daejeon, Korea Selatan. Meski berada di tengah masyarakat yang serba bebas, saudara-saudara kita di Korea Selatan tetap berusaha teguh menjalankan Islam dan terus belajar sedikit demi sedikit. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua, di manapun kita berada.Baca juga: Aku dan Freiburg***Penulis: Luqman Hasan Nahari (Mahasiswa S3 Teknik Nuklir, KAIST, Korea Selatan)Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleTempat tinggalMakananMasjidKehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)IMUSKA wilayah DaejeonKomunitas muslim Indonesia di Korea SelatanRUMAISAKMI di Korea SelatanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanDaejeon (대전) adalah salah satu kota metropolitan terbesar kelima di Korea Selatan. Setelah tahun 1980-an, dipilih pemerintah sebagai lokasi Daedeok Innopolis (대덕연구단지) atau dengan kata lain kompleks riset nasional. Mungkin karena alasan itulah, Daejeon memiliki julukan kota sains karena menjadi pusat riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Sebagai salah satu pusat riset terbesar di Korea, kota ini memiliki beberapa pusat riset seperti seperti KAERI (Korea Atomic Energy Research Institute), KIER (Korea Institute of Energy Research), KINS (Korea Institute of Nuclear Safety), dan pusat riset lainnya. Perguruan tinggi utama di Daejeon adalah KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology) dengan Departemen Teknik Nuklir (Nuclear and Quantum Engineering) sebagai tempat penulis belajar.Tempat tinggalMayoritas mahasiswa di kota ini tinggal di dormitory yang disediakan oleh pihak kampus. Tentu tiap kampus memiliki spesifikasi dan ketentuan tersendiri terkait dormitory. Di KAIST sendiri, terdapat beberapa dormitory yang ditawarkan yang disesuaikan dengan harga dan fasilitas yang ditawarkan. Bangunan dormitory sendiri terdiri dari 4 sampai 15 lantai yang terdiri dari belasan hingga puluhan kamar dengan beberapa kamar mandi dipakai bersama atau ada juga yang di dalam kamar dan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Dalam satu kamar bisa terdiri dari satu hingga tiga penghuni, akan tetapi pada umumnya terdiri dari dua penghuni.Kelebihan tinggal di dormitory ialah lebih murah dibandingkan dengan tinggal di luar kampus. Namun, kelemahannya ialah para penghuni tidak diperbolehkan untuk memasak, baik di dalam kamar maupun di lounge dormitory. Solusi lain ialah menjadi member dari International Kitchen; akan tetapi ini menimbulkan masalah baru, yaitu lokasinya yang berbeda gedung serta membership didapatkan secara system lottery mengingat dapur bersama memiliki kapasitas yang kecil. Penulis sendiri pernah tinggal selama setahun di dormitory, tentunya dengan segala suka dan dukanya.Bagi yang memiliki uang lebih dan membutuhkan keadaan lebih privat, bisa beralih ke one-room, two-room, atau apartemen. One-room itu seperti kos-kosan yang ada di Indonesia, yang membedakan ialah sudah terdapat dapur, dan mesin cuci dengan kamar mandi dalam. Untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga, biasanya tinggal di two-room mengingat lebih luas atau tinggal di apartemen. Di KAIST sendiri disediakan KAIST apartment yang dikhususkan untuk mahasiswa yang sudah berkeluarga yang tentunya lebih terjangkau dibandingkan dengan two-room. Kelebihan tinggal di luar kampus ialah tentu bisa menghemat pengeluaran semisal bisa memasak sendiri.MakananPopulasi penduduk muslim di kota Daejeon dapat dikatakan sangat kecil sehingga jarang sekali untuk menemukan restoran halal di sini. Namun, tidak perlu khawatir karena ada sebagian restoran di Daejeon yang menawarkan makanan halal seperti Pulbitmaru, World Mart, Ansor, Kebab Time, Alibaba, Afiyya, Patria, dan Bali Resto. Meskipun tidak banyak opsi restoran halal yang ada di kota ini, beberapa opsi lain dapat menjadi solusi seperti membeli makanan yang menawarkan menu seafood atau vegan, atau makanan dari beberapa diaspora Indonesia yang inisiatif untuk menjual makanan selain memasak sendiri tentunya. Bahan makanan halal dapat dengan dengan mudah kita temui di beberapa toko (halal shop) sekitaran masjid atau restoran halal yang telah disebutkan sebelumnya dan biasanya sudah tersertifikasi halal oleh KMF (Korea Muslim Federation). Untuk memastikan kehalalan suatu makanan, kita dapat men-download aplikasi Mufko (muslimfriendlykorea) untuk menemukan list produk, restoran halal, atau masjid yang ada di Korea. Orang-orang yang berjasa di balik pengembangan aplikasi ini sebagian merupakan orang Indonesia.MasjidDi Daejeon, kita hanya dapat menemukan 3 masjid yang tersebar di beberapa tempat. Masjid-masjid tersebut didirikan di dalam sebuah apartemen yang kadang menyatu dengan rumah atau restoran. Islamic Center of Daejeon (Gambar 1) merupakan masjid terbesar di Daejeon yang terdiri dari 5 lantai dan 1 basement. Masjid ini dikelola oleh komunitas muslim yang berasal dari Pakistan, Bangladesh, Indonesia, dan Uzbekistan, termasuk juga dari beberapa negara timur tengah dan Asia tengah. Masjid ini terletak di tengah dua kampus besar, yaitu KAIST dan Chungnam National University. Tentu, masjid ini berbeda dengan apa yang umumnya di Indonesia, misalnya pengeras suara disesuaikan hanya untuk pemakaian di dalam ruangan. Selain itu, hampir setiap hari masjid ini mengadakan kegiatan atau kajian yang dikelola oleh Syekh Dr. Ehsanullah hafidzahullah dengan jadwal sebagai berikut:Ahad (setelah Subuh) Sirah Nabawiyah (dalam bahasa Inggris), (Setelah Asar) Kids Qur’an, (setelah Isya) Qur’an Circle (dalam bahasa Inggris)Senin, Selasa, dan Rabu (setelah Isya’) Tafsir Al-Qur’an (dalam bahasa Inggris)Jumat (setelah Isya’) Qur’an Du’a (dalam bahasa Inggris)Sabtu (setelah Isya’) Kitaab at-Tauhid (dalam bahasa Inggris dan Uzbek)Untuk mendapatkan info yang lebih lengkap terkait kegiatan di masjid tersebut, bisa di-follow facebook ICD. Dengan catatan, jadwal akan disesuaikan dengan musim pada saat itu.<img decoding="async" class="aligncenter wp-image-109850 size-jnews-350x350" src="https://cdnm.muslim.or.id/2025/10/Islamic-Center-of-Daejeon-288x350.webp" alt="" width="288" height="350" />Gambar 1. Islamic Center of DaejeonTentang masjid ini, ada pengalaman menarik selama masa studi penulis di Daejeon. Ketika berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari Asia Tengah semisal Uzbekistan dan sekitarnya, mereka terkadang menyapa kami dengan bahasa Indonesia, “Apa kabar?” jika mengetahui kami berasal dari Indonesia. Lalu, saya jawab dengan “Alhamdulillah bikhoyr” dan kemudian bertanya kembali bagaimana menanyakan kabar dengan bahasa Uzbekistan. Mereka menjawab, “Qalaysiz?” Selain itu, ketika di bulan Ramadan, khususnya 10 hari terakhir, saudara kami yang berasal dari Uzbekistan mempersiapkan ifthar dan sahur dengan plov, yaitu makanan khas dari negara mereka.Selain itu, terdapat Masjid An-Noor yang terletak berdekatan dengan Stasiun Daejeon. Menariknya, masjid ini dikelola secara mandiri oleh komunitas muslim asal Indonesia. Masjid terakhir dan yang baru didirikan yaitu Abu Hanifah Islamic Center of Daejeon yang dikelola oleh komunitas muslim asal Uzbekiztan.Kehidupan mahasiswa muslim di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)Di KAIST sendiri terdapat dua tempat salat yang disediakan oleh pihak kampus, yang pertama yaitu terdapat di gedung W2 main campus (Gambar 2) yang dikelola oleh KAIST Muslim Student Association (MSA) yang secara rutin mengadakan pertemuan dan juga salat jamaah. Dengan adanya wadah ini, pelajar muslim dapat berkumpul dan berbagi pengalaman dengan pelajar muslim lainnya yang sebagian besar dari warga keturunan Pakistan, Bangladesh, dan Uzbekistan. Ada pula pelajar keturunan yang berasal dari negara timur tengah seperti Jordan, Uni Emirat Arab, Mesir, atau Suriah dan sebagian negara dari Asia tengah. Yang kedua yaitu mushala yang terletak di Munji Campus.Apabila masuk waktu salat Jumat, kami leluasa meninggalkan lab atau kelas dengan pemberitahuan terlebih dahulu ke dosen yang membimbing atau mengajar. Kami salat Jumat di Islamic Center of Daejeon yang lokasinya hanya sekitar 5 menit dari kampus utama di Eoeun-dong. Jamaah yang hadir di atas 300 orang yang terdiri dari mahasiswa, peneliti, dan pekerja yang tinggal di sekitaran kampus. Khotbah disampaikan dalam dua atau tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Inggris, dan terkadang bahasa Uzbek. Tentu dengan adanya masjid yang berdekatan dengan kampus, kami tidak perlu jauh-jauh untuk menghadiri salat Jumat dibandingkan dengan pelajar di kota lainnya.<img loading="lazy" decoding="async" class="aligncenter wp-image-109849 size-jnews-350x350" src="https://cdnm.muslim.or.id/2025/10/Ruang-MSA-KAIST-288x350.webp" alt="" width="288" height="350" />Gambar 2. Ruang MSA-KAISTKetika bekerja di laboratorium untuk meneliti, sangat penting untuk menyampaikan identitas kita sebagai seorang muslim. Tentu, rekan-rekan dan dosen pembimbing akan menghormati hal ini. Mereka akan mengetahui, dan memang seharusnya mengetahui, bahwa “Saya seorang muslim.” Saat ada kegiatan di laboratorium, mereka biasanya akan memastikan makanan dan minuman yang ada dapat dikonsumsi oleh pelajar muslim. Meski terkadang mereka juga membandingkan perilaku kita dengan mahasiswa muslim lain yang tetap ikut minum-minum atau memakan makanan yang diharamkan, sikap tegas dalam menjalankan ajaran Islam tetap dihargai. Jangan ragu atau merasa malu untuk menegaskan identitas kita sebagai seorang muslim di manapun kita berada.IMUSKA wilayah DaejeonKetika mahasiswa dari kota-kota lainnya harus bergabung ke komunitas mahasiswa muslim di wilayah (kota) lain, seperti Busan dan Seoul, maka di Daejeon terdapat pula wadah khusus bagi mahasiswa muslim, yaitu Indonesia Muslim Student Society in Korea (IMUSKA) wilayah Daejeon. Menariknya, IMUSKA wilayah Daejeon lebih dominan dan lebih aktif dibandingkan dengan wilayah lain mengingat jumlah mahasiswa muslim Indonesia yang cukup banyak dan terpusat di satu zona kampus dan pusat riset yang saling berdekatan. Secara rutin, IMUSKA wilayah Daejeon mengadakan kajian, mabit bulanan, Forum Group Discussion (FGD) mingguan, pengumpulan zakat, sedekah, kurban, dan aktivitas lain seperti gathering mahasiswa. IMUSKA wilayah Daejeon menjadi ruang kebersamaan bagi mahasiswa muslim di Daejeon untuk saling menasihati dan mengingatkan dalam kebaikan, agar tidak terjebak dalam gemerlap kehidupan dunia selama studi, melainkan tetap menjaga ingatan terhadap akhirat. Bagi mereka yang gemar menulis ide dan gagasan, dapat dituangkan melalui website IMUSKA.Komunitas muslim Indonesia di Korea SelatanDinamika kehidupan muslim di Korea Selatan tidak lepas dari peran berbagai komunitas Islam yang ada di negara tersebut. Beragam kegiatan keagamaan rutin diselenggarakan, mulai dari pengajian hingga kelas membaca Al-Qur’an. Memasuki bulan Ramadan, mereka juga mengadakan buka puasa bersama dan salat tarawih berjamaah, serta mengoordinasikan pelaksanaan ibadah pada hari raya Idulfitri dan Iduladha. Berikut in adalah beberapa komunitas Islam di Korea Selatan, khususnya yang dijalankan oleh warga Indonesia yang bermukim di sini.RUMAISARUMAISA (Rumah Muslimah Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas yang menjadi rumah hangat bagi muslimah Indonesia di perantauan. RUMAISA rutin mengadakan berbagai kegiatan seperti kajian rutin, Rumaisa School untuk anak-anak, Muslimah Taklim Daerah di beberapa kota, serta Muslimah Taklim Cyber secara daring. Setiap Ramadan, mereka mengadakan kegiatan sosial seperti RUMAISA Berbagi Takjil, Pesantren Kilat, dan One Day With Qur’an. Dengan beragam aktivitas tersebut, RUMAISA menjadi ruang belajar, berbagi, dan saling menguatkan bagi diaspora muslimah Indonesia di Korea Selatan.KMI di Korea SelatanKMI (Komunitas Muslim Indonesia) di Korea Selatan adalah komunitas muslim Indonesia yang dibentuk di Korea Selatan sebagai wadah pertemuan dan silaturahim sesama WNI. KMI terdiri dari 23 organisasi mushala dan masjid yang dikelola oleh warga Indonesia dan tersebar di berbagai penjuru di Korea Selatan. Anggota KMI – Korea Selatan adalah sebagai berikut:IKMI KoreaSirothol Mustaqim, AnsanAl-Amin, DaeguPERMATA, DaeguPUMITA, BusanKMC, ChangwonIKMIK, GwangjuAl-Hidayah, GimhaeAl-Barokah, GimhaeIMNIDA, DaejeonIMOCOM, MokpoAn-Noor, SeongnamAl-Huda, KumiAl-Kautsar, GyeongjuMiftahul Jannah, YangsanNurul Hidayah, AnsongAl-Ikhlas, UijeongbuAl-Ikhsan, WegwanAl-Ikhlas, YonginBabussalam, BusanAn-Nur, GojeAt-Taubah, GwangjuBaburrahmah, UlsanMenjadi seorang muslim di Korea SelatanMayoritas orang Korea tidak memiliki agama dan memilih hidup tanpa keyakinan adanya Tuhan. Oleh karena itu, mereka sering penasaran dan bertanya kepada kami tentang Islam, misalnya ketika melihat kami meminta izin untuk salat, menjalani puasa, atau memastikan kehalalan suatu makanan atau minuman. Pertanyaan yang dilontarkan terkadang sederhana, tetapi juga bisa sangat mendalam, mulai dari memanjangkan jenggot, salat, puasa Ramadan, hingga mengenai ketuhanan. Sebagian dari mereka menganggap Islam sebagai agama yang berat karena ada kewajiban salat lima waktu setiap hari dan puasa panjang, terutama ketika Ramadan jatuh di musim panas. Dari sini kami menyadari, siapa pun yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri, terutama di negeri dengan mayoritas non-muslim, sangat penting untuk membekali diri dengan ilmu agama. Selain untuk menjaga diri di lingkungan yang bebas, bekal itu juga berguna sebagai sarana dakwah melalui percakapan sehari-hari.Demikianlah gambaran kehidupan muslim di Daejeon, Korea Selatan. Meski berada di tengah masyarakat yang serba bebas, saudara-saudara kita di Korea Selatan tetap berusaha teguh menjalankan Islam dan terus belajar sedikit demi sedikit. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua, di manapun kita berada.Baca juga: Aku dan Freiburg***Penulis: Luqman Hasan Nahari (Mahasiswa S3 Teknik Nuklir, KAIST, Korea Selatan)Artikel Muslim.or.id

Fikih Hibah (Bag. 7): Catatan Seputar Hibah Kepada Ahli Waris

Daftar Isi ToggleKebolehan memberi hibah kepada ahli warisAdil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Hukum adil dalam pemberian kepada anakHibah yang diberikan menjelang kematianPemberian untuk kedua orang tuaPemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDalam praktik muamalah umat Islam, hibah menjadi salah satu instrumen penting dalam membagikan harta secara sukarela ketika seseorang masih hidup. Ketika hibah diarahkan kepada ahli waris, maka persoalan menjadi lebih kompleks. Sebab, di satu sisi, Islam membolehkan seseorang meng-hibahkan hartanya semasa hidup; tetapi di sisi lain, syariat juga mengatur pembagian warisan (faraidh) secara ketat setelah seseorang wafat.Pertanyaan pun muncul: Apakah hibah kepada ahli waris diperbolehkan secara mutlak? Apa batasannya? Bagaimana jika hibah itu menimbulkan ketidakadilan di antara para ahli waris? Berikut adalah beberapa catatan seputar hibah kepada ahli waris yang dapat kami paparkan. Kebolehan memberi hibah kepada ahli warisPara ulama sepakat bahwa asal hukum hibah adalah boleh, baik kepada non-ahli waris maupun kepada ahli waris, selama hibah dilakukan saat pemberi masih hidup dan dengan kerelaan penuh. Allah Ta’ala berfirman,وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, dan (juga) kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mengharap rida Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ar-Rūm: 38)Ayat ini menunjukkan anjuran berbuat baik dalam hal apapun, termasuk yang berkaitan dengan harta kepada kerabat (ahli waris), selama hal itu dilakukan dengan niat baik dan tanpa menzalimi pihak lain.Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,يقول تعالى آمرا بإعطاء ذي القربى حقه أي من البر والصلة“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi hak-hak kerabat, baik itu dengan berbuat baik (termasuk darinya dengan pemberian) dan juga menyambung silaturahmi.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, 6: 286) Adil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama bahwa orang tua disunahkan untuk menyamakan dan adil dalam pemberian kepada anak-anaknya. Dan dimakruhkan membedakan pemberian kepada mereka ketika semua anaknya dalam kondisi sehat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud penyamaan pemberian yang disunahkan itu.Dalam hal ini, Abu Yusuf dari kalangan ulama mazhab Hanafi, para ulama mazhab Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i -dan ini merupakan pendapat jumhur- menyatakan bahwa disunahkan bagi orang tua untuk menyamakan bagian pemberiannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua hendaknya memberi sesuatu kepada anak perempuannya sebagaimana dia memberi sesuatu kepada anak laki-laki.Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Di samping itu, sikap adil dalam pembagian dan muamalah merupakan hal yang dianjurkan. Jumhur ulama menafsirkan perintah dalam hadis di atas sebagai perintah sunah.Sedangkan para ulama dari mazhab Hanbali dan Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa orangtua hendaknya membagi pemberian kepada anak-anaknya sesuai dengan kadar pembagian Allah Ta’ala dalam warisan, yaitu memberi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Ibnu Baz, dan Syekh Ibnu Utsaimin, dan dengannya Lajnah Daimah berfatwa.Pendapat ini juga yang insyaAllah lebih kuat, karena Allah Ta’ala telah membagi pemberian untuk mereka dengan kadar tersebut, dan yang paling utama untuk diikuti adalah pembagian Allah. Di samping itu, pemberian ketika pemberi masih hidup dikiaskan seperti kondisi pemberian setelah meninggal dunia berupa pembagian warisan. Karena seringkali pemberian ketika hidup merupakan penyegeraan bagi pemberian yang akan dilakukan setelah meninggal dunia (penyegeraan waris), maka hendaknya dilakukan sesuai dengannya. Hukum adil dalam pemberian kepada anakJumhur ulama mengatakan bahwa tidak wajib bagi orang tua untuk menyamakan pemberian kepada anak-anaknya, namun hal itu disunahkan saja. Jika orang tua melebihkan pemberiannya untuk sebagian ahli warisnya, maka itu adalah sah, namun dimakruhkan. Hal ini karena manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap hartanya, baik untuk diberikan kepada ahli warisnya maupun yang lainnya.Di sisi lain, sejumlah ulama-yaitu Ahmad, ats-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan yang lainnya dengan tegas mengatakan bahwa orang tua wajib menyamakan pemberiannya atau hibahnya kepada anak-anaknya.Pemberiannya kepada mereka tidak sah jika tidak sama. Hal ini sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit dari perintah di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yang berkonsekuensi pada kewajiban. Seperti sabda beliau,اعدِلوا بيْنَ أولادِكم في النُّحْلِ كما تُحِبُّون أنْ يعدِلوا بينَكم في البِرِّ واللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 71: 21, no. 69).Begitu pula sikap Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam yang tidak mau menjadi saksi adanya akad hibah kecuali setelah terwujud keadilan dalam pemberian kepada anak-anak pada hadis An-Nu’man bin Basyir yang telah kita sebutkan sebelumnya.Diriwayatkan juga dari Ahmad bahwa orang tua boleh membedakan pemberiannya kepada anak-anaknya jika terdapat sebab. Misalnya, salah seorang anak membutuhkannya karena menderita sakit yang berkepanjangan, buta, untuk membantu melunasi utangnya, mempunyai anak banyak, sibuk dengan menuntut ilmu, atau sejenisnya.Lembaga Fatwa Al-Azhar sebagaimana tercantum dalam Majalah Al-Azhar, vol. III, tahun ke-14 memberikan fatwa bagi pertanyaan seputar kebolehan membedakan pemberian kepada para ahli waris. Fatwa tersebut mencakup beberapa hal berikut ini:Pertama: kedua orang tua wajib menyamakan pemberian, hadiah, dan infak kepada anak-anak mereka jika mereka mampu melakukannya. Mereka tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena alasan yang akan disebutkan. Hal ini sebagai pengamalan dari hadis-hadis yang telah disebutkan yang memerintahkan orang tua untuk menyamaratakan pemberian kepada anak-anak mereka.Kedua: jika salah satu dari kedua orang tua memberikan nafkah yang berharga kepada anaknya, yaitu menikahkannya dan membayarkan maharnya, atau membiayai pendidikannya yang mengantarkannya memperoleh pekerjaan yang mencukupi kehidupannya, atau memberikan perlengkapan kehidupan rumah tangga untuk salah satu anak perempuannya, maka dia harus memberikan kepada anak-anaknya yang lain kadar yang sama dengan yang dia berikan kepada anaknya tersebut.Ketiga: dibolehkan untuk melebihkan pemberian kepada sebagian anak karena alasan yang dibenarkan syariat. Di antara alasan yang dibenarkan syariat adalah anak itu menderita penyakit yang membuatnya tidak mampu untuk mencari nafkah, seperti penyakit menahun, buta yang menghalanginya untuk mencari nafkah, dan lumpuh, iuga karena ketidakmampuan untuk mencari nafkah dan sibuk menuntut ilmu agama. Hibah yang diberikan menjelang kematianPara ulama membedakan hibah biasa dengan hibah orang yang sedang sakit keras menjelang wafatnya.Jika seseorang menghibahkan hartanya ketika sakit keras menjelang wafat, maka hukumnya seperti wasiat, dan berlaku padanya dua poin berikut:Pertama: Tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta waris, jika diberikan kepada selain ahli waris.Kedua: Tidak boleh diberikan atau dibagikan kepada ahli waris, kecuali disetujui oleh ahli waris lainnya setelah membagi terlebih dahulu dengan cara yang disyariatkan Islam, dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagian aslinya dari harta warisan.Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud no. 2870 dan Ibnu Majah no. 2713)Artinya, karena hibah pada saat sakit keras berpotensi menjadi pengganti wasiat, maka ia tidak boleh menzalimi hak ahli waris lain. Pemberian untuk kedua orang tuaDisunahkan untuk menyamakan pemberian kepada kedua orang tua. Juga dibolehkan sewaktu-waktu untuk melebihkan pemberian kepada ibu serta mengkhususkannya dengan pemberian dan penghormatan yang lebih.Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang mengisahkan tentang seorang lelaki yang mendatangi Rasulullah seraya bertanya,يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 3, sanadnya hasan) Pemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDisunahkan juga menyamakan pemberian hibah dan hadiah kepada para saudara laki-laki dan perempuan dalam momen-momen tertentu, atau momen apa pun, jika kebutuhan mereka adalah sama.Adapun pendapat yang mengatakan bolehnya seseorang untuk mengkhususkan saudara yang lebih tua dengan suatu pemberian melebihi saudara lainnya, maka ini adalah pendapat yang lemah. Mereka berdalil dengan hadis lemah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,حقُّ كبيرِ الإخوةِ على صغيرِهم : حقُّ الوالدِ على ولدِهِ“Hak para saudara yang lebih tua atas saudaranya yang lebih muda adalah seperti hak seorang ayah atas anaknya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Sa’id ibnu Al-Ash dalam kitabnya Syuab Al-Iman no. 7929, Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwaat mengatakan bahwa sanad hadis ini lemah.Dalam hal ini, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu bersikap adil dalam pemberiaan kepada saudara dan saudari kita selayaknya kita berbuat adil dalam hal lainnya.Wallahu a’lam bisshowaab.[Selesai]Kembali ke bagian 6 Mulai dari bagian 1***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Fikih Hibah (Bag. 7): Catatan Seputar Hibah Kepada Ahli Waris

Daftar Isi ToggleKebolehan memberi hibah kepada ahli warisAdil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Hukum adil dalam pemberian kepada anakHibah yang diberikan menjelang kematianPemberian untuk kedua orang tuaPemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDalam praktik muamalah umat Islam, hibah menjadi salah satu instrumen penting dalam membagikan harta secara sukarela ketika seseorang masih hidup. Ketika hibah diarahkan kepada ahli waris, maka persoalan menjadi lebih kompleks. Sebab, di satu sisi, Islam membolehkan seseorang meng-hibahkan hartanya semasa hidup; tetapi di sisi lain, syariat juga mengatur pembagian warisan (faraidh) secara ketat setelah seseorang wafat.Pertanyaan pun muncul: Apakah hibah kepada ahli waris diperbolehkan secara mutlak? Apa batasannya? Bagaimana jika hibah itu menimbulkan ketidakadilan di antara para ahli waris? Berikut adalah beberapa catatan seputar hibah kepada ahli waris yang dapat kami paparkan. Kebolehan memberi hibah kepada ahli warisPara ulama sepakat bahwa asal hukum hibah adalah boleh, baik kepada non-ahli waris maupun kepada ahli waris, selama hibah dilakukan saat pemberi masih hidup dan dengan kerelaan penuh. Allah Ta’ala berfirman,وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, dan (juga) kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mengharap rida Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ar-Rūm: 38)Ayat ini menunjukkan anjuran berbuat baik dalam hal apapun, termasuk yang berkaitan dengan harta kepada kerabat (ahli waris), selama hal itu dilakukan dengan niat baik dan tanpa menzalimi pihak lain.Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,يقول تعالى آمرا بإعطاء ذي القربى حقه أي من البر والصلة“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi hak-hak kerabat, baik itu dengan berbuat baik (termasuk darinya dengan pemberian) dan juga menyambung silaturahmi.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, 6: 286) Adil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama bahwa orang tua disunahkan untuk menyamakan dan adil dalam pemberian kepada anak-anaknya. Dan dimakruhkan membedakan pemberian kepada mereka ketika semua anaknya dalam kondisi sehat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud penyamaan pemberian yang disunahkan itu.Dalam hal ini, Abu Yusuf dari kalangan ulama mazhab Hanafi, para ulama mazhab Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i -dan ini merupakan pendapat jumhur- menyatakan bahwa disunahkan bagi orang tua untuk menyamakan bagian pemberiannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua hendaknya memberi sesuatu kepada anak perempuannya sebagaimana dia memberi sesuatu kepada anak laki-laki.Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Di samping itu, sikap adil dalam pembagian dan muamalah merupakan hal yang dianjurkan. Jumhur ulama menafsirkan perintah dalam hadis di atas sebagai perintah sunah.Sedangkan para ulama dari mazhab Hanbali dan Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa orangtua hendaknya membagi pemberian kepada anak-anaknya sesuai dengan kadar pembagian Allah Ta’ala dalam warisan, yaitu memberi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Ibnu Baz, dan Syekh Ibnu Utsaimin, dan dengannya Lajnah Daimah berfatwa.Pendapat ini juga yang insyaAllah lebih kuat, karena Allah Ta’ala telah membagi pemberian untuk mereka dengan kadar tersebut, dan yang paling utama untuk diikuti adalah pembagian Allah. Di samping itu, pemberian ketika pemberi masih hidup dikiaskan seperti kondisi pemberian setelah meninggal dunia berupa pembagian warisan. Karena seringkali pemberian ketika hidup merupakan penyegeraan bagi pemberian yang akan dilakukan setelah meninggal dunia (penyegeraan waris), maka hendaknya dilakukan sesuai dengannya. Hukum adil dalam pemberian kepada anakJumhur ulama mengatakan bahwa tidak wajib bagi orang tua untuk menyamakan pemberian kepada anak-anaknya, namun hal itu disunahkan saja. Jika orang tua melebihkan pemberiannya untuk sebagian ahli warisnya, maka itu adalah sah, namun dimakruhkan. Hal ini karena manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap hartanya, baik untuk diberikan kepada ahli warisnya maupun yang lainnya.Di sisi lain, sejumlah ulama-yaitu Ahmad, ats-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan yang lainnya dengan tegas mengatakan bahwa orang tua wajib menyamakan pemberiannya atau hibahnya kepada anak-anaknya.Pemberiannya kepada mereka tidak sah jika tidak sama. Hal ini sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit dari perintah di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yang berkonsekuensi pada kewajiban. Seperti sabda beliau,اعدِلوا بيْنَ أولادِكم في النُّحْلِ كما تُحِبُّون أنْ يعدِلوا بينَكم في البِرِّ واللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 71: 21, no. 69).Begitu pula sikap Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam yang tidak mau menjadi saksi adanya akad hibah kecuali setelah terwujud keadilan dalam pemberian kepada anak-anak pada hadis An-Nu’man bin Basyir yang telah kita sebutkan sebelumnya.Diriwayatkan juga dari Ahmad bahwa orang tua boleh membedakan pemberiannya kepada anak-anaknya jika terdapat sebab. Misalnya, salah seorang anak membutuhkannya karena menderita sakit yang berkepanjangan, buta, untuk membantu melunasi utangnya, mempunyai anak banyak, sibuk dengan menuntut ilmu, atau sejenisnya.Lembaga Fatwa Al-Azhar sebagaimana tercantum dalam Majalah Al-Azhar, vol. III, tahun ke-14 memberikan fatwa bagi pertanyaan seputar kebolehan membedakan pemberian kepada para ahli waris. Fatwa tersebut mencakup beberapa hal berikut ini:Pertama: kedua orang tua wajib menyamakan pemberian, hadiah, dan infak kepada anak-anak mereka jika mereka mampu melakukannya. Mereka tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena alasan yang akan disebutkan. Hal ini sebagai pengamalan dari hadis-hadis yang telah disebutkan yang memerintahkan orang tua untuk menyamaratakan pemberian kepada anak-anak mereka.Kedua: jika salah satu dari kedua orang tua memberikan nafkah yang berharga kepada anaknya, yaitu menikahkannya dan membayarkan maharnya, atau membiayai pendidikannya yang mengantarkannya memperoleh pekerjaan yang mencukupi kehidupannya, atau memberikan perlengkapan kehidupan rumah tangga untuk salah satu anak perempuannya, maka dia harus memberikan kepada anak-anaknya yang lain kadar yang sama dengan yang dia berikan kepada anaknya tersebut.Ketiga: dibolehkan untuk melebihkan pemberian kepada sebagian anak karena alasan yang dibenarkan syariat. Di antara alasan yang dibenarkan syariat adalah anak itu menderita penyakit yang membuatnya tidak mampu untuk mencari nafkah, seperti penyakit menahun, buta yang menghalanginya untuk mencari nafkah, dan lumpuh, iuga karena ketidakmampuan untuk mencari nafkah dan sibuk menuntut ilmu agama. Hibah yang diberikan menjelang kematianPara ulama membedakan hibah biasa dengan hibah orang yang sedang sakit keras menjelang wafatnya.Jika seseorang menghibahkan hartanya ketika sakit keras menjelang wafat, maka hukumnya seperti wasiat, dan berlaku padanya dua poin berikut:Pertama: Tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta waris, jika diberikan kepada selain ahli waris.Kedua: Tidak boleh diberikan atau dibagikan kepada ahli waris, kecuali disetujui oleh ahli waris lainnya setelah membagi terlebih dahulu dengan cara yang disyariatkan Islam, dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagian aslinya dari harta warisan.Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud no. 2870 dan Ibnu Majah no. 2713)Artinya, karena hibah pada saat sakit keras berpotensi menjadi pengganti wasiat, maka ia tidak boleh menzalimi hak ahli waris lain. Pemberian untuk kedua orang tuaDisunahkan untuk menyamakan pemberian kepada kedua orang tua. Juga dibolehkan sewaktu-waktu untuk melebihkan pemberian kepada ibu serta mengkhususkannya dengan pemberian dan penghormatan yang lebih.Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang mengisahkan tentang seorang lelaki yang mendatangi Rasulullah seraya bertanya,يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 3, sanadnya hasan) Pemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDisunahkan juga menyamakan pemberian hibah dan hadiah kepada para saudara laki-laki dan perempuan dalam momen-momen tertentu, atau momen apa pun, jika kebutuhan mereka adalah sama.Adapun pendapat yang mengatakan bolehnya seseorang untuk mengkhususkan saudara yang lebih tua dengan suatu pemberian melebihi saudara lainnya, maka ini adalah pendapat yang lemah. Mereka berdalil dengan hadis lemah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,حقُّ كبيرِ الإخوةِ على صغيرِهم : حقُّ الوالدِ على ولدِهِ“Hak para saudara yang lebih tua atas saudaranya yang lebih muda adalah seperti hak seorang ayah atas anaknya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Sa’id ibnu Al-Ash dalam kitabnya Syuab Al-Iman no. 7929, Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwaat mengatakan bahwa sanad hadis ini lemah.Dalam hal ini, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu bersikap adil dalam pemberiaan kepada saudara dan saudari kita selayaknya kita berbuat adil dalam hal lainnya.Wallahu a’lam bisshowaab.[Selesai]Kembali ke bagian 6 Mulai dari bagian 1***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id
Daftar Isi ToggleKebolehan memberi hibah kepada ahli warisAdil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Hukum adil dalam pemberian kepada anakHibah yang diberikan menjelang kematianPemberian untuk kedua orang tuaPemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDalam praktik muamalah umat Islam, hibah menjadi salah satu instrumen penting dalam membagikan harta secara sukarela ketika seseorang masih hidup. Ketika hibah diarahkan kepada ahli waris, maka persoalan menjadi lebih kompleks. Sebab, di satu sisi, Islam membolehkan seseorang meng-hibahkan hartanya semasa hidup; tetapi di sisi lain, syariat juga mengatur pembagian warisan (faraidh) secara ketat setelah seseorang wafat.Pertanyaan pun muncul: Apakah hibah kepada ahli waris diperbolehkan secara mutlak? Apa batasannya? Bagaimana jika hibah itu menimbulkan ketidakadilan di antara para ahli waris? Berikut adalah beberapa catatan seputar hibah kepada ahli waris yang dapat kami paparkan. Kebolehan memberi hibah kepada ahli warisPara ulama sepakat bahwa asal hukum hibah adalah boleh, baik kepada non-ahli waris maupun kepada ahli waris, selama hibah dilakukan saat pemberi masih hidup dan dengan kerelaan penuh. Allah Ta’ala berfirman,وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, dan (juga) kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mengharap rida Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ar-Rūm: 38)Ayat ini menunjukkan anjuran berbuat baik dalam hal apapun, termasuk yang berkaitan dengan harta kepada kerabat (ahli waris), selama hal itu dilakukan dengan niat baik dan tanpa menzalimi pihak lain.Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,يقول تعالى آمرا بإعطاء ذي القربى حقه أي من البر والصلة“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi hak-hak kerabat, baik itu dengan berbuat baik (termasuk darinya dengan pemberian) dan juga menyambung silaturahmi.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, 6: 286) Adil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama bahwa orang tua disunahkan untuk menyamakan dan adil dalam pemberian kepada anak-anaknya. Dan dimakruhkan membedakan pemberian kepada mereka ketika semua anaknya dalam kondisi sehat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud penyamaan pemberian yang disunahkan itu.Dalam hal ini, Abu Yusuf dari kalangan ulama mazhab Hanafi, para ulama mazhab Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i -dan ini merupakan pendapat jumhur- menyatakan bahwa disunahkan bagi orang tua untuk menyamakan bagian pemberiannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua hendaknya memberi sesuatu kepada anak perempuannya sebagaimana dia memberi sesuatu kepada anak laki-laki.Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Di samping itu, sikap adil dalam pembagian dan muamalah merupakan hal yang dianjurkan. Jumhur ulama menafsirkan perintah dalam hadis di atas sebagai perintah sunah.Sedangkan para ulama dari mazhab Hanbali dan Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa orangtua hendaknya membagi pemberian kepada anak-anaknya sesuai dengan kadar pembagian Allah Ta’ala dalam warisan, yaitu memberi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Ibnu Baz, dan Syekh Ibnu Utsaimin, dan dengannya Lajnah Daimah berfatwa.Pendapat ini juga yang insyaAllah lebih kuat, karena Allah Ta’ala telah membagi pemberian untuk mereka dengan kadar tersebut, dan yang paling utama untuk diikuti adalah pembagian Allah. Di samping itu, pemberian ketika pemberi masih hidup dikiaskan seperti kondisi pemberian setelah meninggal dunia berupa pembagian warisan. Karena seringkali pemberian ketika hidup merupakan penyegeraan bagi pemberian yang akan dilakukan setelah meninggal dunia (penyegeraan waris), maka hendaknya dilakukan sesuai dengannya. Hukum adil dalam pemberian kepada anakJumhur ulama mengatakan bahwa tidak wajib bagi orang tua untuk menyamakan pemberian kepada anak-anaknya, namun hal itu disunahkan saja. Jika orang tua melebihkan pemberiannya untuk sebagian ahli warisnya, maka itu adalah sah, namun dimakruhkan. Hal ini karena manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap hartanya, baik untuk diberikan kepada ahli warisnya maupun yang lainnya.Di sisi lain, sejumlah ulama-yaitu Ahmad, ats-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan yang lainnya dengan tegas mengatakan bahwa orang tua wajib menyamakan pemberiannya atau hibahnya kepada anak-anaknya.Pemberiannya kepada mereka tidak sah jika tidak sama. Hal ini sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit dari perintah di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yang berkonsekuensi pada kewajiban. Seperti sabda beliau,اعدِلوا بيْنَ أولادِكم في النُّحْلِ كما تُحِبُّون أنْ يعدِلوا بينَكم في البِرِّ واللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 71: 21, no. 69).Begitu pula sikap Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam yang tidak mau menjadi saksi adanya akad hibah kecuali setelah terwujud keadilan dalam pemberian kepada anak-anak pada hadis An-Nu’man bin Basyir yang telah kita sebutkan sebelumnya.Diriwayatkan juga dari Ahmad bahwa orang tua boleh membedakan pemberiannya kepada anak-anaknya jika terdapat sebab. Misalnya, salah seorang anak membutuhkannya karena menderita sakit yang berkepanjangan, buta, untuk membantu melunasi utangnya, mempunyai anak banyak, sibuk dengan menuntut ilmu, atau sejenisnya.Lembaga Fatwa Al-Azhar sebagaimana tercantum dalam Majalah Al-Azhar, vol. III, tahun ke-14 memberikan fatwa bagi pertanyaan seputar kebolehan membedakan pemberian kepada para ahli waris. Fatwa tersebut mencakup beberapa hal berikut ini:Pertama: kedua orang tua wajib menyamakan pemberian, hadiah, dan infak kepada anak-anak mereka jika mereka mampu melakukannya. Mereka tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena alasan yang akan disebutkan. Hal ini sebagai pengamalan dari hadis-hadis yang telah disebutkan yang memerintahkan orang tua untuk menyamaratakan pemberian kepada anak-anak mereka.Kedua: jika salah satu dari kedua orang tua memberikan nafkah yang berharga kepada anaknya, yaitu menikahkannya dan membayarkan maharnya, atau membiayai pendidikannya yang mengantarkannya memperoleh pekerjaan yang mencukupi kehidupannya, atau memberikan perlengkapan kehidupan rumah tangga untuk salah satu anak perempuannya, maka dia harus memberikan kepada anak-anaknya yang lain kadar yang sama dengan yang dia berikan kepada anaknya tersebut.Ketiga: dibolehkan untuk melebihkan pemberian kepada sebagian anak karena alasan yang dibenarkan syariat. Di antara alasan yang dibenarkan syariat adalah anak itu menderita penyakit yang membuatnya tidak mampu untuk mencari nafkah, seperti penyakit menahun, buta yang menghalanginya untuk mencari nafkah, dan lumpuh, iuga karena ketidakmampuan untuk mencari nafkah dan sibuk menuntut ilmu agama. Hibah yang diberikan menjelang kematianPara ulama membedakan hibah biasa dengan hibah orang yang sedang sakit keras menjelang wafatnya.Jika seseorang menghibahkan hartanya ketika sakit keras menjelang wafat, maka hukumnya seperti wasiat, dan berlaku padanya dua poin berikut:Pertama: Tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta waris, jika diberikan kepada selain ahli waris.Kedua: Tidak boleh diberikan atau dibagikan kepada ahli waris, kecuali disetujui oleh ahli waris lainnya setelah membagi terlebih dahulu dengan cara yang disyariatkan Islam, dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagian aslinya dari harta warisan.Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud no. 2870 dan Ibnu Majah no. 2713)Artinya, karena hibah pada saat sakit keras berpotensi menjadi pengganti wasiat, maka ia tidak boleh menzalimi hak ahli waris lain. Pemberian untuk kedua orang tuaDisunahkan untuk menyamakan pemberian kepada kedua orang tua. Juga dibolehkan sewaktu-waktu untuk melebihkan pemberian kepada ibu serta mengkhususkannya dengan pemberian dan penghormatan yang lebih.Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang mengisahkan tentang seorang lelaki yang mendatangi Rasulullah seraya bertanya,يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 3, sanadnya hasan) Pemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDisunahkan juga menyamakan pemberian hibah dan hadiah kepada para saudara laki-laki dan perempuan dalam momen-momen tertentu, atau momen apa pun, jika kebutuhan mereka adalah sama.Adapun pendapat yang mengatakan bolehnya seseorang untuk mengkhususkan saudara yang lebih tua dengan suatu pemberian melebihi saudara lainnya, maka ini adalah pendapat yang lemah. Mereka berdalil dengan hadis lemah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,حقُّ كبيرِ الإخوةِ على صغيرِهم : حقُّ الوالدِ على ولدِهِ“Hak para saudara yang lebih tua atas saudaranya yang lebih muda adalah seperti hak seorang ayah atas anaknya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Sa’id ibnu Al-Ash dalam kitabnya Syuab Al-Iman no. 7929, Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwaat mengatakan bahwa sanad hadis ini lemah.Dalam hal ini, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu bersikap adil dalam pemberiaan kepada saudara dan saudari kita selayaknya kita berbuat adil dalam hal lainnya.Wallahu a’lam bisshowaab.[Selesai]Kembali ke bagian 6 Mulai dari bagian 1***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id


Daftar Isi ToggleKebolehan memberi hibah kepada ahli warisAdil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Hukum adil dalam pemberian kepada anakHibah yang diberikan menjelang kematianPemberian untuk kedua orang tuaPemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDalam praktik muamalah umat Islam, hibah menjadi salah satu instrumen penting dalam membagikan harta secara sukarela ketika seseorang masih hidup. Ketika hibah diarahkan kepada ahli waris, maka persoalan menjadi lebih kompleks. Sebab, di satu sisi, Islam membolehkan seseorang meng-hibahkan hartanya semasa hidup; tetapi di sisi lain, syariat juga mengatur pembagian warisan (faraidh) secara ketat setelah seseorang wafat.Pertanyaan pun muncul: Apakah hibah kepada ahli waris diperbolehkan secara mutlak? Apa batasannya? Bagaimana jika hibah itu menimbulkan ketidakadilan di antara para ahli waris? Berikut adalah beberapa catatan seputar hibah kepada ahli waris yang dapat kami paparkan. Kebolehan memberi hibah kepada ahli warisPara ulama sepakat bahwa asal hukum hibah adalah boleh, baik kepada non-ahli waris maupun kepada ahli waris, selama hibah dilakukan saat pemberi masih hidup dan dengan kerelaan penuh. Allah Ta’ala berfirman,وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ“Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, dan (juga) kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mengharap rida Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ar-Rūm: 38)Ayat ini menunjukkan anjuran berbuat baik dalam hal apapun, termasuk yang berkaitan dengan harta kepada kerabat (ahli waris), selama hal itu dilakukan dengan niat baik dan tanpa menzalimi pihak lain.Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,يقول تعالى آمرا بإعطاء ذي القربى حقه أي من البر والصلة“Allah Ta’ala berfirman memerintahkan untuk memenuhi hak-hak kerabat, baik itu dengan berbuat baik (termasuk darinya dengan pemberian) dan juga menyambung silaturahmi.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, 6: 286) Adil dalam hibah kepada anak, apakah maksudnya dibagi sama rata ataukah dibagi sesuai bagian mereka dalam harta warisan?Tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama bahwa orang tua disunahkan untuk menyamakan dan adil dalam pemberian kepada anak-anaknya. Dan dimakruhkan membedakan pemberian kepada mereka ketika semua anaknya dalam kondisi sehat, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud penyamaan pemberian yang disunahkan itu.Dalam hal ini, Abu Yusuf dari kalangan ulama mazhab Hanafi, para ulama mazhab Maliki, dan para ulama mazhab Syafi’i -dan ini merupakan pendapat jumhur- menyatakan bahwa disunahkan bagi orang tua untuk menyamakan bagian pemberiannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua hendaknya memberi sesuatu kepada anak perempuannya sebagaimana dia memberi sesuatu kepada anak laki-laki.Dalam sebuah hadis sahih, sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu menceritakan,أَعْطَانِي أبِي عَطِيَّةً، فَقالَتْ عَمْرَةُ بنْتُ رَوَاحَةَ: لا أرْضَى حتَّى تُشْهِدَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فأتَى رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: إنِّي أعْطَيْتُ ابْنِي مِن عَمْرَةَ بنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً، فأمَرَتْنِي أنْ أُشْهِدَكَ يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: أعْطَيْتَ سَائِرَ ولَدِكَ مِثْلَ هذا؟ قالَ: لَا“Ayahku memberiku hadiah (berupa pembantu yang dimintakan oleh ibu An-Nu’man kepada ayahnya), lalu Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) berkata, “Aku tidak rela sampai engkau meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi saksi.” Maka dia (ayahku) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan, “Sesungguhnya aku memberi anakku dari Amrah binti Rawahah (ibu dari An-Nu’man) hadiah, lalu dia menyuruhku untuk meminta engkau menjadi saksi, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti ini?” Dia menjawab, “Tidak.”Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,فَاتَّقُوا اللَّهَ واعْدِلُوا بيْنَ أوْلَادِكُمْ“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 1623)Di samping itu, sikap adil dalam pembagian dan muamalah merupakan hal yang dianjurkan. Jumhur ulama menafsirkan perintah dalam hadis di atas sebagai perintah sunah.Sedangkan para ulama dari mazhab Hanbali dan Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa orangtua hendaknya membagi pemberian kepada anak-anaknya sesuai dengan kadar pembagian Allah Ta’ala dalam warisan, yaitu memberi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Ibnu Baz, dan Syekh Ibnu Utsaimin, dan dengannya Lajnah Daimah berfatwa.Pendapat ini juga yang insyaAllah lebih kuat, karena Allah Ta’ala telah membagi pemberian untuk mereka dengan kadar tersebut, dan yang paling utama untuk diikuti adalah pembagian Allah. Di samping itu, pemberian ketika pemberi masih hidup dikiaskan seperti kondisi pemberian setelah meninggal dunia berupa pembagian warisan. Karena seringkali pemberian ketika hidup merupakan penyegeraan bagi pemberian yang akan dilakukan setelah meninggal dunia (penyegeraan waris), maka hendaknya dilakukan sesuai dengannya. Hukum adil dalam pemberian kepada anakJumhur ulama mengatakan bahwa tidak wajib bagi orang tua untuk menyamakan pemberian kepada anak-anaknya, namun hal itu disunahkan saja. Jika orang tua melebihkan pemberiannya untuk sebagian ahli warisnya, maka itu adalah sah, namun dimakruhkan. Hal ini karena manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap hartanya, baik untuk diberikan kepada ahli warisnya maupun yang lainnya.Di sisi lain, sejumlah ulama-yaitu Ahmad, ats-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan yang lainnya dengan tegas mengatakan bahwa orang tua wajib menyamakan pemberiannya atau hibahnya kepada anak-anaknya.Pemberiannya kepada mereka tidak sah jika tidak sama. Hal ini sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit dari perintah di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yang berkonsekuensi pada kewajiban. Seperti sabda beliau,اعدِلوا بيْنَ أولادِكم في النُّحْلِ كما تُحِبُّون أنْ يعدِلوا بينَكم في البِرِّ واللُّطْفِ“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 71: 21, no. 69).Begitu pula sikap Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam yang tidak mau menjadi saksi adanya akad hibah kecuali setelah terwujud keadilan dalam pemberian kepada anak-anak pada hadis An-Nu’man bin Basyir yang telah kita sebutkan sebelumnya.Diriwayatkan juga dari Ahmad bahwa orang tua boleh membedakan pemberiannya kepada anak-anaknya jika terdapat sebab. Misalnya, salah seorang anak membutuhkannya karena menderita sakit yang berkepanjangan, buta, untuk membantu melunasi utangnya, mempunyai anak banyak, sibuk dengan menuntut ilmu, atau sejenisnya.Lembaga Fatwa Al-Azhar sebagaimana tercantum dalam Majalah Al-Azhar, vol. III, tahun ke-14 memberikan fatwa bagi pertanyaan seputar kebolehan membedakan pemberian kepada para ahli waris. Fatwa tersebut mencakup beberapa hal berikut ini:Pertama: kedua orang tua wajib menyamakan pemberian, hadiah, dan infak kepada anak-anak mereka jika mereka mampu melakukannya. Mereka tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali karena alasan yang akan disebutkan. Hal ini sebagai pengamalan dari hadis-hadis yang telah disebutkan yang memerintahkan orang tua untuk menyamaratakan pemberian kepada anak-anak mereka.Kedua: jika salah satu dari kedua orang tua memberikan nafkah yang berharga kepada anaknya, yaitu menikahkannya dan membayarkan maharnya, atau membiayai pendidikannya yang mengantarkannya memperoleh pekerjaan yang mencukupi kehidupannya, atau memberikan perlengkapan kehidupan rumah tangga untuk salah satu anak perempuannya, maka dia harus memberikan kepada anak-anaknya yang lain kadar yang sama dengan yang dia berikan kepada anaknya tersebut.Ketiga: dibolehkan untuk melebihkan pemberian kepada sebagian anak karena alasan yang dibenarkan syariat. Di antara alasan yang dibenarkan syariat adalah anak itu menderita penyakit yang membuatnya tidak mampu untuk mencari nafkah, seperti penyakit menahun, buta yang menghalanginya untuk mencari nafkah, dan lumpuh, iuga karena ketidakmampuan untuk mencari nafkah dan sibuk menuntut ilmu agama. Hibah yang diberikan menjelang kematianPara ulama membedakan hibah biasa dengan hibah orang yang sedang sakit keras menjelang wafatnya.Jika seseorang menghibahkan hartanya ketika sakit keras menjelang wafat, maka hukumnya seperti wasiat, dan berlaku padanya dua poin berikut:Pertama: Tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta waris, jika diberikan kepada selain ahli waris.Kedua: Tidak boleh diberikan atau dibagikan kepada ahli waris, kecuali disetujui oleh ahli waris lainnya setelah membagi terlebih dahulu dengan cara yang disyariatkan Islam, dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagian aslinya dari harta warisan.Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud no. 2870 dan Ibnu Majah no. 2713)Artinya, karena hibah pada saat sakit keras berpotensi menjadi pengganti wasiat, maka ia tidak boleh menzalimi hak ahli waris lain. Pemberian untuk kedua orang tuaDisunahkan untuk menyamakan pemberian kepada kedua orang tua. Juga dibolehkan sewaktu-waktu untuk melebihkan pemberian kepada ibu serta mengkhususkannya dengan pemberian dan penghormatan yang lebih.Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang mengisahkan tentang seorang lelaki yang mendatangi Rasulullah seraya bertanya,يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 3, sanadnya hasan) Pemberian untuk saudara laki-laki dan perempuanDisunahkan juga menyamakan pemberian hibah dan hadiah kepada para saudara laki-laki dan perempuan dalam momen-momen tertentu, atau momen apa pun, jika kebutuhan mereka adalah sama.Adapun pendapat yang mengatakan bolehnya seseorang untuk mengkhususkan saudara yang lebih tua dengan suatu pemberian melebihi saudara lainnya, maka ini adalah pendapat yang lemah. Mereka berdalil dengan hadis lemah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,حقُّ كبيرِ الإخوةِ على صغيرِهم : حقُّ الوالدِ على ولدِهِ“Hak para saudara yang lebih tua atas saudaranya yang lebih muda adalah seperti hak seorang ayah atas anaknya.”Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Sa’id ibnu Al-Ash dalam kitabnya Syuab Al-Iman no. 7929, Syekh Al-Albani dalam kitabnya Hidayah Ar-Ruwwaat mengatakan bahwa sanad hadis ini lemah.Dalam hal ini, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu bersikap adil dalam pemberiaan kepada saudara dan saudari kita selayaknya kita berbuat adil dalam hal lainnya.Wallahu a’lam bisshowaab.[Selesai]Kembali ke bagian 6 Mulai dari bagian 1***Penulis: Muhammad Idris, Lc.Artikel Muslim.or.id

Tolong Jawab Pertanyaan Penting Ini Sebelum Ajal Menjemputmu – Syaikh Sa’ad al-Khatslan NasehatUlama

Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini, wahai saudaraku: “Jika aku meninggal dunia, peninggalan apa yang dapat kutinggalkan?” “Apa peninggalan baik yang dapat aku wariskan?” “Amalan apa yang pahalanya terus mengalir untukku setelah kematianku?” Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini! Berusahalah agar engkau memiliki amalan dan peninggalan baik yang manfaatnya terus mengalir untukmu setelah kematianmu. Agar pahala-pahala kebaikan terus mengalir saat kamu berada dalam kuburmu, sehingga kamu merasa gembira dengan peninggalan-peninggalan itu. Wahai saudara-saudara, dalam kenyataan kita melihat banyak orang kaya yang meninggal dunia tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Tidak ada sedekah, tidak ada wakaf, dan tidak pula amal serupa. Bahkan sering kali mereka dilupakan oleh ahli warisnya, sehingga tidak dilakukan amal apa pun untuk mereka. Tentu ini tanda minimnya taufik yang dia dapatkan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang insan hanya bersandar pada apa yang akan dilakukan anak keturunan atau keluarganya untuknya setelah kematiannya. Namun, selama masih hidup, hendaklah ia berusaha mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang pahalanya tetap mengalir untuknya setelah kematiannya. Misalkan dengan bersedekah jariyah, atau bentuk peninggalan baik lainnya yang bermanfaat baginya setelah wafat. Maka kita harus berusaha untuk hal ini, yaitu mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang tetap ada setelah kematian kita. Kita juga harus bersegera melakukan ini, karena sebagian orang menginginkan hal ini, ingin memiliki peninggalan-peninggalan baik, dan ingin punya sedekah jariyah, tetapi ia terus menunda-nunda, mengira umurnya akan panjang. Tiba-tiba saja kematian datang menghampirinya. Saat itu, ia menyesal, padahal penyesalan sudah tidak berguna lagi. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak layak bagi seorang muslim yang melewati dua malam, sedangkan ia memiliki sesuatu yang harus diwasiatkan, kecuali wasiatnya tertulis di sisinya.” (HR. Bukhari & Muslim). Ibnu Umar berkata, “Aku tidak pernah lalai menulis wasiatku sejak aku mendengar sabda ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ===== وَاطْرَحْ يَا أَخِي اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ إِذَا مِتُّ فَمَا هِيَ الْآثَارُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ مَا هِيَ الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ وَمَا هِيَ الْأَعْمَالُ الَّتِي يَجْرِي لِي ثَوَابُهَا بَعْدَ مَمَاتِي؟ اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ احْرِصْ عَلَى أَنْ يَكُونَ لَكَ أَعْمَالٌ حَسَنَةٌ وَآثَارٌ يَجْرِي نَفْعُهَا لَكَ بَعْدَ مَمَاتِكَ حَتَّى تَدُرَّ عَلَيْكَ حَسَنَاتٌ وَأَنْتَ فِي قَبْرِكَ فَتَغْتَبِطُ بِهَذِهِ الْآثَارِ وَنَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي الْوَاقِعِ نَجِدُ أَثْرِيَاءَ يَمُوتُونَ وَلَا يُخَلِّفُونَ آثَارًا لَا صَدَقَاتٌ وَلَا أَوْقَافٌ وَلَا أَيُّ شَيْءٍ وَرُبَّمَا يَنْسَاهُمْ وَرَثَتُهُمْ فَلَا يَجْعَلُونَ لَهُمْ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَهَذَا مِنْ قِلَّةِ التَّوْفِيْقِ وَلِهَذَا لَا يَعْتَمِدُ الْإِنْسَانُ عَلَى مَا سَيَفْعَلُهُ لَهُ أَوْلَادُهُ أَوْ أَهْلُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ بَلْ مَا دَامَ حَيًّا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَجْعَلَ لَهُ آثَارًا حَسَنَةً يَجِدُ لَهُ أَجْرَهَا وَثَوَابَهَا بَعْدَ مَمَاتِهِ يَجْعَلُ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً يَجْعَلُ لَهُ مَا يَنْفَعُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَحْرِصَ عَلَى هَذَا عَلَى أَنْ نُوجِدَ آثَارًا حَسَنَةً تَبْقَى لَنَا بَعْدَ مَمَاتِنَا وَيَنْبَغِي الْمُبَادَرَةُ لِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَرْغَبُ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ وَيَرْغَبُ فِي أَنْ تَكُونَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ وَأَنْ يَجْعَلَ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً لَكِنَّهُ يُسَوِّفُ وَيُسَوِّفُ وَيَظُنُّ أَنَّ الْعُمْرَ سَيَطُولُ وَيَمْتَدُّ بِهِ فَإِذَا بِهِ قَدْ بَغَتَهُ الْمَوْتُ فَجْأَةً وَحِينَئِذٍ نَدِمَ حِينَ لَا يَنْفَعُ النَّدَمُ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ وَعِنْدَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا تَرَكْتُ كِتَابِةَ وَصِيَّتِي مُنْذُ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Tolong Jawab Pertanyaan Penting Ini Sebelum Ajal Menjemputmu – Syaikh Sa’ad al-Khatslan NasehatUlama

Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini, wahai saudaraku: “Jika aku meninggal dunia, peninggalan apa yang dapat kutinggalkan?” “Apa peninggalan baik yang dapat aku wariskan?” “Amalan apa yang pahalanya terus mengalir untukku setelah kematianku?” Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini! Berusahalah agar engkau memiliki amalan dan peninggalan baik yang manfaatnya terus mengalir untukmu setelah kematianmu. Agar pahala-pahala kebaikan terus mengalir saat kamu berada dalam kuburmu, sehingga kamu merasa gembira dengan peninggalan-peninggalan itu. Wahai saudara-saudara, dalam kenyataan kita melihat banyak orang kaya yang meninggal dunia tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Tidak ada sedekah, tidak ada wakaf, dan tidak pula amal serupa. Bahkan sering kali mereka dilupakan oleh ahli warisnya, sehingga tidak dilakukan amal apa pun untuk mereka. Tentu ini tanda minimnya taufik yang dia dapatkan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang insan hanya bersandar pada apa yang akan dilakukan anak keturunan atau keluarganya untuknya setelah kematiannya. Namun, selama masih hidup, hendaklah ia berusaha mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang pahalanya tetap mengalir untuknya setelah kematiannya. Misalkan dengan bersedekah jariyah, atau bentuk peninggalan baik lainnya yang bermanfaat baginya setelah wafat. Maka kita harus berusaha untuk hal ini, yaitu mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang tetap ada setelah kematian kita. Kita juga harus bersegera melakukan ini, karena sebagian orang menginginkan hal ini, ingin memiliki peninggalan-peninggalan baik, dan ingin punya sedekah jariyah, tetapi ia terus menunda-nunda, mengira umurnya akan panjang. Tiba-tiba saja kematian datang menghampirinya. Saat itu, ia menyesal, padahal penyesalan sudah tidak berguna lagi. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak layak bagi seorang muslim yang melewati dua malam, sedangkan ia memiliki sesuatu yang harus diwasiatkan, kecuali wasiatnya tertulis di sisinya.” (HR. Bukhari & Muslim). Ibnu Umar berkata, “Aku tidak pernah lalai menulis wasiatku sejak aku mendengar sabda ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ===== وَاطْرَحْ يَا أَخِي اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ إِذَا مِتُّ فَمَا هِيَ الْآثَارُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ مَا هِيَ الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ وَمَا هِيَ الْأَعْمَالُ الَّتِي يَجْرِي لِي ثَوَابُهَا بَعْدَ مَمَاتِي؟ اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ احْرِصْ عَلَى أَنْ يَكُونَ لَكَ أَعْمَالٌ حَسَنَةٌ وَآثَارٌ يَجْرِي نَفْعُهَا لَكَ بَعْدَ مَمَاتِكَ حَتَّى تَدُرَّ عَلَيْكَ حَسَنَاتٌ وَأَنْتَ فِي قَبْرِكَ فَتَغْتَبِطُ بِهَذِهِ الْآثَارِ وَنَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي الْوَاقِعِ نَجِدُ أَثْرِيَاءَ يَمُوتُونَ وَلَا يُخَلِّفُونَ آثَارًا لَا صَدَقَاتٌ وَلَا أَوْقَافٌ وَلَا أَيُّ شَيْءٍ وَرُبَّمَا يَنْسَاهُمْ وَرَثَتُهُمْ فَلَا يَجْعَلُونَ لَهُمْ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَهَذَا مِنْ قِلَّةِ التَّوْفِيْقِ وَلِهَذَا لَا يَعْتَمِدُ الْإِنْسَانُ عَلَى مَا سَيَفْعَلُهُ لَهُ أَوْلَادُهُ أَوْ أَهْلُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ بَلْ مَا دَامَ حَيًّا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَجْعَلَ لَهُ آثَارًا حَسَنَةً يَجِدُ لَهُ أَجْرَهَا وَثَوَابَهَا بَعْدَ مَمَاتِهِ يَجْعَلُ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً يَجْعَلُ لَهُ مَا يَنْفَعُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَحْرِصَ عَلَى هَذَا عَلَى أَنْ نُوجِدَ آثَارًا حَسَنَةً تَبْقَى لَنَا بَعْدَ مَمَاتِنَا وَيَنْبَغِي الْمُبَادَرَةُ لِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَرْغَبُ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ وَيَرْغَبُ فِي أَنْ تَكُونَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ وَأَنْ يَجْعَلَ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً لَكِنَّهُ يُسَوِّفُ وَيُسَوِّفُ وَيَظُنُّ أَنَّ الْعُمْرَ سَيَطُولُ وَيَمْتَدُّ بِهِ فَإِذَا بِهِ قَدْ بَغَتَهُ الْمَوْتُ فَجْأَةً وَحِينَئِذٍ نَدِمَ حِينَ لَا يَنْفَعُ النَّدَمُ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ وَعِنْدَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا تَرَكْتُ كِتَابِةَ وَصِيَّتِي مُنْذُ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini, wahai saudaraku: “Jika aku meninggal dunia, peninggalan apa yang dapat kutinggalkan?” “Apa peninggalan baik yang dapat aku wariskan?” “Amalan apa yang pahalanya terus mengalir untukku setelah kematianku?” Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini! Berusahalah agar engkau memiliki amalan dan peninggalan baik yang manfaatnya terus mengalir untukmu setelah kematianmu. Agar pahala-pahala kebaikan terus mengalir saat kamu berada dalam kuburmu, sehingga kamu merasa gembira dengan peninggalan-peninggalan itu. Wahai saudara-saudara, dalam kenyataan kita melihat banyak orang kaya yang meninggal dunia tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Tidak ada sedekah, tidak ada wakaf, dan tidak pula amal serupa. Bahkan sering kali mereka dilupakan oleh ahli warisnya, sehingga tidak dilakukan amal apa pun untuk mereka. Tentu ini tanda minimnya taufik yang dia dapatkan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang insan hanya bersandar pada apa yang akan dilakukan anak keturunan atau keluarganya untuknya setelah kematiannya. Namun, selama masih hidup, hendaklah ia berusaha mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang pahalanya tetap mengalir untuknya setelah kematiannya. Misalkan dengan bersedekah jariyah, atau bentuk peninggalan baik lainnya yang bermanfaat baginya setelah wafat. Maka kita harus berusaha untuk hal ini, yaitu mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang tetap ada setelah kematian kita. Kita juga harus bersegera melakukan ini, karena sebagian orang menginginkan hal ini, ingin memiliki peninggalan-peninggalan baik, dan ingin punya sedekah jariyah, tetapi ia terus menunda-nunda, mengira umurnya akan panjang. Tiba-tiba saja kematian datang menghampirinya. Saat itu, ia menyesal, padahal penyesalan sudah tidak berguna lagi. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak layak bagi seorang muslim yang melewati dua malam, sedangkan ia memiliki sesuatu yang harus diwasiatkan, kecuali wasiatnya tertulis di sisinya.” (HR. Bukhari & Muslim). Ibnu Umar berkata, “Aku tidak pernah lalai menulis wasiatku sejak aku mendengar sabda ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ===== وَاطْرَحْ يَا أَخِي اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ إِذَا مِتُّ فَمَا هِيَ الْآثَارُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ مَا هِيَ الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ وَمَا هِيَ الْأَعْمَالُ الَّتِي يَجْرِي لِي ثَوَابُهَا بَعْدَ مَمَاتِي؟ اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ احْرِصْ عَلَى أَنْ يَكُونَ لَكَ أَعْمَالٌ حَسَنَةٌ وَآثَارٌ يَجْرِي نَفْعُهَا لَكَ بَعْدَ مَمَاتِكَ حَتَّى تَدُرَّ عَلَيْكَ حَسَنَاتٌ وَأَنْتَ فِي قَبْرِكَ فَتَغْتَبِطُ بِهَذِهِ الْآثَارِ وَنَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي الْوَاقِعِ نَجِدُ أَثْرِيَاءَ يَمُوتُونَ وَلَا يُخَلِّفُونَ آثَارًا لَا صَدَقَاتٌ وَلَا أَوْقَافٌ وَلَا أَيُّ شَيْءٍ وَرُبَّمَا يَنْسَاهُمْ وَرَثَتُهُمْ فَلَا يَجْعَلُونَ لَهُمْ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَهَذَا مِنْ قِلَّةِ التَّوْفِيْقِ وَلِهَذَا لَا يَعْتَمِدُ الْإِنْسَانُ عَلَى مَا سَيَفْعَلُهُ لَهُ أَوْلَادُهُ أَوْ أَهْلُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ بَلْ مَا دَامَ حَيًّا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَجْعَلَ لَهُ آثَارًا حَسَنَةً يَجِدُ لَهُ أَجْرَهَا وَثَوَابَهَا بَعْدَ مَمَاتِهِ يَجْعَلُ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً يَجْعَلُ لَهُ مَا يَنْفَعُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَحْرِصَ عَلَى هَذَا عَلَى أَنْ نُوجِدَ آثَارًا حَسَنَةً تَبْقَى لَنَا بَعْدَ مَمَاتِنَا وَيَنْبَغِي الْمُبَادَرَةُ لِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَرْغَبُ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ وَيَرْغَبُ فِي أَنْ تَكُونَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ وَأَنْ يَجْعَلَ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً لَكِنَّهُ يُسَوِّفُ وَيُسَوِّفُ وَيَظُنُّ أَنَّ الْعُمْرَ سَيَطُولُ وَيَمْتَدُّ بِهِ فَإِذَا بِهِ قَدْ بَغَتَهُ الْمَوْتُ فَجْأَةً وَحِينَئِذٍ نَدِمَ حِينَ لَا يَنْفَعُ النَّدَمُ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ وَعِنْدَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا تَرَكْتُ كِتَابِةَ وَصِيَّتِي مُنْذُ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini, wahai saudaraku: “Jika aku meninggal dunia, peninggalan apa yang dapat kutinggalkan?” “Apa peninggalan baik yang dapat aku wariskan?” “Amalan apa yang pahalanya terus mengalir untukku setelah kematianku?” Tanyakanlah pada dirimu pertanyaan ini! Berusahalah agar engkau memiliki amalan dan peninggalan baik yang manfaatnya terus mengalir untukmu setelah kematianmu. Agar pahala-pahala kebaikan terus mengalir saat kamu berada dalam kuburmu, sehingga kamu merasa gembira dengan peninggalan-peninggalan itu. Wahai saudara-saudara, dalam kenyataan kita melihat banyak orang kaya yang meninggal dunia tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Tidak ada sedekah, tidak ada wakaf, dan tidak pula amal serupa. Bahkan sering kali mereka dilupakan oleh ahli warisnya, sehingga tidak dilakukan amal apa pun untuk mereka. Tentu ini tanda minimnya taufik yang dia dapatkan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang insan hanya bersandar pada apa yang akan dilakukan anak keturunan atau keluarganya untuknya setelah kematiannya. Namun, selama masih hidup, hendaklah ia berusaha mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang pahalanya tetap mengalir untuknya setelah kematiannya. Misalkan dengan bersedekah jariyah, atau bentuk peninggalan baik lainnya yang bermanfaat baginya setelah wafat. Maka kita harus berusaha untuk hal ini, yaitu mewujudkan peninggalan-peninggalan baik yang tetap ada setelah kematian kita. Kita juga harus bersegera melakukan ini, karena sebagian orang menginginkan hal ini, ingin memiliki peninggalan-peninggalan baik, dan ingin punya sedekah jariyah, tetapi ia terus menunda-nunda, mengira umurnya akan panjang. Tiba-tiba saja kematian datang menghampirinya. Saat itu, ia menyesal, padahal penyesalan sudah tidak berguna lagi. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak layak bagi seorang muslim yang melewati dua malam, sedangkan ia memiliki sesuatu yang harus diwasiatkan, kecuali wasiatnya tertulis di sisinya.” (HR. Bukhari & Muslim). Ibnu Umar berkata, “Aku tidak pernah lalai menulis wasiatku sejak aku mendengar sabda ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ===== وَاطْرَحْ يَا أَخِي اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ إِذَا مِتُّ فَمَا هِيَ الْآثَارُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ مَا هِيَ الْآثَارُ الْحَسَنَةُ الَّتِي خَلَّفْتُهَا؟ وَمَا هِيَ الْأَعْمَالُ الَّتِي يَجْرِي لِي ثَوَابُهَا بَعْدَ مَمَاتِي؟ اطْرَحْ عَلَى نَفْسِكَ هَذَا السُّؤَالَ احْرِصْ عَلَى أَنْ يَكُونَ لَكَ أَعْمَالٌ حَسَنَةٌ وَآثَارٌ يَجْرِي نَفْعُهَا لَكَ بَعْدَ مَمَاتِكَ حَتَّى تَدُرَّ عَلَيْكَ حَسَنَاتٌ وَأَنْتَ فِي قَبْرِكَ فَتَغْتَبِطُ بِهَذِهِ الْآثَارِ وَنَجِدُ أَيُّهَا الإِخْوَةُ فِي الْوَاقِعِ نَجِدُ أَثْرِيَاءَ يَمُوتُونَ وَلَا يُخَلِّفُونَ آثَارًا لَا صَدَقَاتٌ وَلَا أَوْقَافٌ وَلَا أَيُّ شَيْءٍ وَرُبَّمَا يَنْسَاهُمْ وَرَثَتُهُمْ فَلَا يَجْعَلُونَ لَهُمْ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَهَذَا مِنْ قِلَّةِ التَّوْفِيْقِ وَلِهَذَا لَا يَعْتَمِدُ الْإِنْسَانُ عَلَى مَا سَيَفْعَلُهُ لَهُ أَوْلَادُهُ أَوْ أَهْلُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ بَلْ مَا دَامَ حَيًّا يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يَجْعَلَ لَهُ آثَارًا حَسَنَةً يَجِدُ لَهُ أَجْرَهَا وَثَوَابَهَا بَعْدَ مَمَاتِهِ يَجْعَلُ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً يَجْعَلُ لَهُ مَا يَنْفَعُهُ بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ الْآثَارِ الْحَسَنَةِ فَيَنْبَغِي أَيُّهَا الإِخْوَةُ أَنْ نَحْرِصَ عَلَى هَذَا عَلَى أَنْ نُوجِدَ آثَارًا حَسَنَةً تَبْقَى لَنَا بَعْدَ مَمَاتِنَا وَيَنْبَغِي الْمُبَادَرَةُ لِذَلِكَ فَإِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَرْغَبُ فِي هَذِهِ الْأُمُورِ وَيَرْغَبُ فِي أَنْ تَكُونَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ وَأَنْ يَجْعَلَ لَهُ صَدَقَةً جَارِيَةً لَكِنَّهُ يُسَوِّفُ وَيُسَوِّفُ وَيَظُنُّ أَنَّ الْعُمْرَ سَيَطُولُ وَيَمْتَدُّ بِهِ فَإِذَا بِهِ قَدْ بَغَتَهُ الْمَوْتُ فَجْأَةً وَحِينَئِذٍ نَدِمَ حِينَ لَا يَنْفَعُ النَّدَمُ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ وَعِنْدَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا تَرَكْتُ كِتَابِةَ وَصِيَّتِي مُنْذُ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Prev     Next