Ya Allah, Hidup Saya Kok Begini-begini Saja? – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Ketika Anda sudah mencintai makhluk, syahwat, atau kesenangan apa pun dari kesenangan dunia. Ketika ini sudah menjadi perhatian terbesar dalam hidup Anda, demi Allah, Anda akan tersiksa karenanya! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Aku ingat suatu hari ketika aku mengajar di sekolah. Aku duduk bersama murid-murid sekolah menengah, mereka berkata, “Wahai Ustaz, demi Allah, kami sudah lakukan semua! Kami pergi ke mal, pasar, dan bepergian ke sana kemari. Ketika pulang, tapi kami tetap merasa resah dan sempit dalam hati. Kami merasa hidup kami begini-begini saja. Hidup tanpa tujuan dan kebahagiaan hakiki.” Demi Allah, Anda tidak akan menemukan kebahagiaan sejati, kecuali jika hati Anda sepenuhnya tertuju kepada Allah. Gantungkan hatimu hanya kepada Allah! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Ada yang ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita, mencintai si fulanah, sehingga hatinya terpaut dengannya, dan akhirnya tersiksa karenanya, bahkan mungkin tidak mendapatkan apa yang dia mau. Dia hidup tersiksa di dunia ini. Apakah kalian pernah mendengar tentang Majnūn Lailā, yang berkata apa? “Aku melewati perkampungan si Laila, aku menciumi tembok-temboknya, bukan dengan kampung ini hatiku mencinta, tapi dengan orang yang pernah tinggal di kampung ini.” “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Betapa banyak orang kaya yang memiliki harta milyaran dan jutaan. Namun, sayangnya dia hidup dalam siksaan. Anda lihat wajahnya, tak pernah tersenyum, selalu cemberut, sempit jiwanya, selalu dalam kegundahan, khawatir hartanya berkurang, takut saldonya menyusut, dan disaingi oleh orang lain, ia diberitahu: “Si fulan telah mengunggulimu!” “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu dia akan menginginkan dua lembah. Jika dia sudah punya dua, tentu dia mengharap yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (Muttafaqun ʿAlaihi) Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Nabi Shallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke kubur.” (QS At-Takatsur: 1-2) ==== إِذَا أَحْبَبْتَ مَخْلُوقًا أَوْ شَهْوَةً أَوْ أَيَّ مَتَاعٍ مِن مَتَاعِ الدُّنْيَا وَأَصْبَحَ هَذَا هُوَ هَمَّكَ الْأَكْبَرَ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ سَتَتَعَذَّبُ بِهِ تَتَعَذَّبُ بِهِ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ أَذْكُرُ أَيَّامِي كُنْتُ مُدَرِّسًا فِي الْمَدْرَسَةِ أَجْلِسُ مَعَ طُلَّابِ الثَّانَوِيَّةِ يَقُولُونَ: يَا أُسْتَاذُ وَاللهِ نَفْعَلُ كُلَّ شَيْءٍ نَذْهَبُ إِلَى الْمُولَاتِ وَالْأَسْوَاقِ وَنُسَافِرُ يَمِينًا وَيَسَارًا نَرْجِعُ نَشْعُرُ بِالْهَمِّ نَشْعُرُ بِالضِّيقِ نَشْعُرُ أَنَّنَا نَعِيشُ الدُّنْيَا هَكَذَا يَعْنِي حَيَاةٌ مَا فِيهَا غَايَةٌ مَا فِيهَا سَعَادَةٌ حَقِيقِيَّةٌ وَاللهِ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ السَّعَادَةِ إِلَّا إِذَا اتَّجَهَ قَلْبُكَ إِلَى اللهِ تَعَلَّقْ بِاللهِ وَحْدَهُ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ يُرِيدُ أَنْ يَتَّصِلَ بِهَذِهِ الْمَرْأَةِ أَحَبَّ فُلَانَةً تَعَلَّقَ قَلْبُهُ بِهَا فَيَتَعَذَّبُ بِهَا رُبَّمَا مَا يُحَصِّلُ مَا يُرِيدُ فَيَعِيشُ مُعَذَّبًا فِي الدُّنْيَا سَمِعْتُمْ بِمَجْنُونِ لَيْلَى الَّذِي يَقُولُ مَاذَا؟ أَمُرُّ عَلَى الدِّيَارِ دِيَارِ لَيْلَى أُقَبِّلُ ذَا الْجِدَارَ وَذَا الْجِدَارَا وَمَا حُبُّ الدِّيَارِ شَغَفْنَ قَلْبِي وَلَكِنْ حُبُّ مَنْ سَكَنَ الدِّيَارَا فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ كَمْ مِنَ الْأَغْنِيَاءِ الَّذِينَ يَمْلِكُونَ الْمِلْيَارَاتِ الْمَلَايِينَ لَكِنْ لِلْأَسَفِ يَعِيشُ فِي عَذَابٍ تَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهِ مَا تَجِدُهُ يَبْتَسِمُ عَبُوسٌ ضَيِّقُ النَّفْسِ دَائِمًا فِي هَمٍّ يَخَافُ عَلَى أَمْوَالِهِ يَخَافُ أَنْ يَنْزِلَ الْمَالُ رَصِيدُهُ وَيَسْبِقُهُ غَيْرُهُ يُقَالُ: فُلَانٌ سَبَقَكَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

Ya Allah, Hidup Saya Kok Begini-begini Saja? – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Ketika Anda sudah mencintai makhluk, syahwat, atau kesenangan apa pun dari kesenangan dunia. Ketika ini sudah menjadi perhatian terbesar dalam hidup Anda, demi Allah, Anda akan tersiksa karenanya! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Aku ingat suatu hari ketika aku mengajar di sekolah. Aku duduk bersama murid-murid sekolah menengah, mereka berkata, “Wahai Ustaz, demi Allah, kami sudah lakukan semua! Kami pergi ke mal, pasar, dan bepergian ke sana kemari. Ketika pulang, tapi kami tetap merasa resah dan sempit dalam hati. Kami merasa hidup kami begini-begini saja. Hidup tanpa tujuan dan kebahagiaan hakiki.” Demi Allah, Anda tidak akan menemukan kebahagiaan sejati, kecuali jika hati Anda sepenuhnya tertuju kepada Allah. Gantungkan hatimu hanya kepada Allah! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Ada yang ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita, mencintai si fulanah, sehingga hatinya terpaut dengannya, dan akhirnya tersiksa karenanya, bahkan mungkin tidak mendapatkan apa yang dia mau. Dia hidup tersiksa di dunia ini. Apakah kalian pernah mendengar tentang Majnūn Lailā, yang berkata apa? “Aku melewati perkampungan si Laila, aku menciumi tembok-temboknya, bukan dengan kampung ini hatiku mencinta, tapi dengan orang yang pernah tinggal di kampung ini.” “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Betapa banyak orang kaya yang memiliki harta milyaran dan jutaan. Namun, sayangnya dia hidup dalam siksaan. Anda lihat wajahnya, tak pernah tersenyum, selalu cemberut, sempit jiwanya, selalu dalam kegundahan, khawatir hartanya berkurang, takut saldonya menyusut, dan disaingi oleh orang lain, ia diberitahu: “Si fulan telah mengunggulimu!” “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu dia akan menginginkan dua lembah. Jika dia sudah punya dua, tentu dia mengharap yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (Muttafaqun ʿAlaihi) Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Nabi Shallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke kubur.” (QS At-Takatsur: 1-2) ==== إِذَا أَحْبَبْتَ مَخْلُوقًا أَوْ شَهْوَةً أَوْ أَيَّ مَتَاعٍ مِن مَتَاعِ الدُّنْيَا وَأَصْبَحَ هَذَا هُوَ هَمَّكَ الْأَكْبَرَ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ سَتَتَعَذَّبُ بِهِ تَتَعَذَّبُ بِهِ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ أَذْكُرُ أَيَّامِي كُنْتُ مُدَرِّسًا فِي الْمَدْرَسَةِ أَجْلِسُ مَعَ طُلَّابِ الثَّانَوِيَّةِ يَقُولُونَ: يَا أُسْتَاذُ وَاللهِ نَفْعَلُ كُلَّ شَيْءٍ نَذْهَبُ إِلَى الْمُولَاتِ وَالْأَسْوَاقِ وَنُسَافِرُ يَمِينًا وَيَسَارًا نَرْجِعُ نَشْعُرُ بِالْهَمِّ نَشْعُرُ بِالضِّيقِ نَشْعُرُ أَنَّنَا نَعِيشُ الدُّنْيَا هَكَذَا يَعْنِي حَيَاةٌ مَا فِيهَا غَايَةٌ مَا فِيهَا سَعَادَةٌ حَقِيقِيَّةٌ وَاللهِ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ السَّعَادَةِ إِلَّا إِذَا اتَّجَهَ قَلْبُكَ إِلَى اللهِ تَعَلَّقْ بِاللهِ وَحْدَهُ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ يُرِيدُ أَنْ يَتَّصِلَ بِهَذِهِ الْمَرْأَةِ أَحَبَّ فُلَانَةً تَعَلَّقَ قَلْبُهُ بِهَا فَيَتَعَذَّبُ بِهَا رُبَّمَا مَا يُحَصِّلُ مَا يُرِيدُ فَيَعِيشُ مُعَذَّبًا فِي الدُّنْيَا سَمِعْتُمْ بِمَجْنُونِ لَيْلَى الَّذِي يَقُولُ مَاذَا؟ أَمُرُّ عَلَى الدِّيَارِ دِيَارِ لَيْلَى أُقَبِّلُ ذَا الْجِدَارَ وَذَا الْجِدَارَا وَمَا حُبُّ الدِّيَارِ شَغَفْنَ قَلْبِي وَلَكِنْ حُبُّ مَنْ سَكَنَ الدِّيَارَا فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ كَمْ مِنَ الْأَغْنِيَاءِ الَّذِينَ يَمْلِكُونَ الْمِلْيَارَاتِ الْمَلَايِينَ لَكِنْ لِلْأَسَفِ يَعِيشُ فِي عَذَابٍ تَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهِ مَا تَجِدُهُ يَبْتَسِمُ عَبُوسٌ ضَيِّقُ النَّفْسِ دَائِمًا فِي هَمٍّ يَخَافُ عَلَى أَمْوَالِهِ يَخَافُ أَنْ يَنْزِلَ الْمَالُ رَصِيدُهُ وَيَسْبِقُهُ غَيْرُهُ يُقَالُ: فُلَانٌ سَبَقَكَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
Ketika Anda sudah mencintai makhluk, syahwat, atau kesenangan apa pun dari kesenangan dunia. Ketika ini sudah menjadi perhatian terbesar dalam hidup Anda, demi Allah, Anda akan tersiksa karenanya! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Aku ingat suatu hari ketika aku mengajar di sekolah. Aku duduk bersama murid-murid sekolah menengah, mereka berkata, “Wahai Ustaz, demi Allah, kami sudah lakukan semua! Kami pergi ke mal, pasar, dan bepergian ke sana kemari. Ketika pulang, tapi kami tetap merasa resah dan sempit dalam hati. Kami merasa hidup kami begini-begini saja. Hidup tanpa tujuan dan kebahagiaan hakiki.” Demi Allah, Anda tidak akan menemukan kebahagiaan sejati, kecuali jika hati Anda sepenuhnya tertuju kepada Allah. Gantungkan hatimu hanya kepada Allah! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Ada yang ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita, mencintai si fulanah, sehingga hatinya terpaut dengannya, dan akhirnya tersiksa karenanya, bahkan mungkin tidak mendapatkan apa yang dia mau. Dia hidup tersiksa di dunia ini. Apakah kalian pernah mendengar tentang Majnūn Lailā, yang berkata apa? “Aku melewati perkampungan si Laila, aku menciumi tembok-temboknya, bukan dengan kampung ini hatiku mencinta, tapi dengan orang yang pernah tinggal di kampung ini.” “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Betapa banyak orang kaya yang memiliki harta milyaran dan jutaan. Namun, sayangnya dia hidup dalam siksaan. Anda lihat wajahnya, tak pernah tersenyum, selalu cemberut, sempit jiwanya, selalu dalam kegundahan, khawatir hartanya berkurang, takut saldonya menyusut, dan disaingi oleh orang lain, ia diberitahu: “Si fulan telah mengunggulimu!” “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu dia akan menginginkan dua lembah. Jika dia sudah punya dua, tentu dia mengharap yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (Muttafaqun ʿAlaihi) Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Nabi Shallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke kubur.” (QS At-Takatsur: 1-2) ==== إِذَا أَحْبَبْتَ مَخْلُوقًا أَوْ شَهْوَةً أَوْ أَيَّ مَتَاعٍ مِن مَتَاعِ الدُّنْيَا وَأَصْبَحَ هَذَا هُوَ هَمَّكَ الْأَكْبَرَ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ سَتَتَعَذَّبُ بِهِ تَتَعَذَّبُ بِهِ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ أَذْكُرُ أَيَّامِي كُنْتُ مُدَرِّسًا فِي الْمَدْرَسَةِ أَجْلِسُ مَعَ طُلَّابِ الثَّانَوِيَّةِ يَقُولُونَ: يَا أُسْتَاذُ وَاللهِ نَفْعَلُ كُلَّ شَيْءٍ نَذْهَبُ إِلَى الْمُولَاتِ وَالْأَسْوَاقِ وَنُسَافِرُ يَمِينًا وَيَسَارًا نَرْجِعُ نَشْعُرُ بِالْهَمِّ نَشْعُرُ بِالضِّيقِ نَشْعُرُ أَنَّنَا نَعِيشُ الدُّنْيَا هَكَذَا يَعْنِي حَيَاةٌ مَا فِيهَا غَايَةٌ مَا فِيهَا سَعَادَةٌ حَقِيقِيَّةٌ وَاللهِ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ السَّعَادَةِ إِلَّا إِذَا اتَّجَهَ قَلْبُكَ إِلَى اللهِ تَعَلَّقْ بِاللهِ وَحْدَهُ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ يُرِيدُ أَنْ يَتَّصِلَ بِهَذِهِ الْمَرْأَةِ أَحَبَّ فُلَانَةً تَعَلَّقَ قَلْبُهُ بِهَا فَيَتَعَذَّبُ بِهَا رُبَّمَا مَا يُحَصِّلُ مَا يُرِيدُ فَيَعِيشُ مُعَذَّبًا فِي الدُّنْيَا سَمِعْتُمْ بِمَجْنُونِ لَيْلَى الَّذِي يَقُولُ مَاذَا؟ أَمُرُّ عَلَى الدِّيَارِ دِيَارِ لَيْلَى أُقَبِّلُ ذَا الْجِدَارَ وَذَا الْجِدَارَا وَمَا حُبُّ الدِّيَارِ شَغَفْنَ قَلْبِي وَلَكِنْ حُبُّ مَنْ سَكَنَ الدِّيَارَا فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ كَمْ مِنَ الْأَغْنِيَاءِ الَّذِينَ يَمْلِكُونَ الْمِلْيَارَاتِ الْمَلَايِينَ لَكِنْ لِلْأَسَفِ يَعِيشُ فِي عَذَابٍ تَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهِ مَا تَجِدُهُ يَبْتَسِمُ عَبُوسٌ ضَيِّقُ النَّفْسِ دَائِمًا فِي هَمٍّ يَخَافُ عَلَى أَمْوَالِهِ يَخَافُ أَنْ يَنْزِلَ الْمَالُ رَصِيدُهُ وَيَسْبِقُهُ غَيْرُهُ يُقَالُ: فُلَانٌ سَبَقَكَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ


Ketika Anda sudah mencintai makhluk, syahwat, atau kesenangan apa pun dari kesenangan dunia. Ketika ini sudah menjadi perhatian terbesar dalam hidup Anda, demi Allah, Anda akan tersiksa karenanya! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Aku ingat suatu hari ketika aku mengajar di sekolah. Aku duduk bersama murid-murid sekolah menengah, mereka berkata, “Wahai Ustaz, demi Allah, kami sudah lakukan semua! Kami pergi ke mal, pasar, dan bepergian ke sana kemari. Ketika pulang, tapi kami tetap merasa resah dan sempit dalam hati. Kami merasa hidup kami begini-begini saja. Hidup tanpa tujuan dan kebahagiaan hakiki.” Demi Allah, Anda tidak akan menemukan kebahagiaan sejati, kecuali jika hati Anda sepenuhnya tertuju kepada Allah. Gantungkan hatimu hanya kepada Allah! “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Ada yang ingin menjalin hubungan dengan seorang wanita, mencintai si fulanah, sehingga hatinya terpaut dengannya, dan akhirnya tersiksa karenanya, bahkan mungkin tidak mendapatkan apa yang dia mau. Dia hidup tersiksa di dunia ini. Apakah kalian pernah mendengar tentang Majnūn Lailā, yang berkata apa? “Aku melewati perkampungan si Laila, aku menciumi tembok-temboknya, bukan dengan kampung ini hatiku mencinta, tapi dengan orang yang pernah tinggal di kampung ini.” “Maka janganlah kamu menyeru tuhan selain Allah, sehingga kamu termasuk orang-orang yang disiksa.” (QS Asy-Syuara: 213) Betapa banyak orang kaya yang memiliki harta milyaran dan jutaan. Namun, sayangnya dia hidup dalam siksaan. Anda lihat wajahnya, tak pernah tersenyum, selalu cemberut, sempit jiwanya, selalu dalam kegundahan, khawatir hartanya berkurang, takut saldonya menyusut, dan disaingi oleh orang lain, ia diberitahu: “Si fulan telah mengunggulimu!” “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu dia akan menginginkan dua lembah. Jika dia sudah punya dua, tentu dia mengharap yang ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (Muttafaqun ʿAlaihi) Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis dari Nabi Shallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke kubur.” (QS At-Takatsur: 1-2) ==== إِذَا أَحْبَبْتَ مَخْلُوقًا أَوْ شَهْوَةً أَوْ أَيَّ مَتَاعٍ مِن مَتَاعِ الدُّنْيَا وَأَصْبَحَ هَذَا هُوَ هَمَّكَ الْأَكْبَرَ فِي حَيَاتِكَ وَاللهِ سَتَتَعَذَّبُ بِهِ تَتَعَذَّبُ بِهِ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ أَذْكُرُ أَيَّامِي كُنْتُ مُدَرِّسًا فِي الْمَدْرَسَةِ أَجْلِسُ مَعَ طُلَّابِ الثَّانَوِيَّةِ يَقُولُونَ: يَا أُسْتَاذُ وَاللهِ نَفْعَلُ كُلَّ شَيْءٍ نَذْهَبُ إِلَى الْمُولَاتِ وَالْأَسْوَاقِ وَنُسَافِرُ يَمِينًا وَيَسَارًا نَرْجِعُ نَشْعُرُ بِالْهَمِّ نَشْعُرُ بِالضِّيقِ نَشْعُرُ أَنَّنَا نَعِيشُ الدُّنْيَا هَكَذَا يَعْنِي حَيَاةٌ مَا فِيهَا غَايَةٌ مَا فِيهَا سَعَادَةٌ حَقِيقِيَّةٌ وَاللهِ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ السَّعَادَةِ إِلَّا إِذَا اتَّجَهَ قَلْبُكَ إِلَى اللهِ تَعَلَّقْ بِاللهِ وَحْدَهُ فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ يُرِيدُ أَنْ يَتَّصِلَ بِهَذِهِ الْمَرْأَةِ أَحَبَّ فُلَانَةً تَعَلَّقَ قَلْبُهُ بِهَا فَيَتَعَذَّبُ بِهَا رُبَّمَا مَا يُحَصِّلُ مَا يُرِيدُ فَيَعِيشُ مُعَذَّبًا فِي الدُّنْيَا سَمِعْتُمْ بِمَجْنُونِ لَيْلَى الَّذِي يَقُولُ مَاذَا؟ أَمُرُّ عَلَى الدِّيَارِ دِيَارِ لَيْلَى أُقَبِّلُ ذَا الْجِدَارَ وَذَا الْجِدَارَا وَمَا حُبُّ الدِّيَارِ شَغَفْنَ قَلْبِي وَلَكِنْ حُبُّ مَنْ سَكَنَ الدِّيَارَا فَلَا تَدْعُ مَعَ الله إِلَٰهًا ءَاخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ كَمْ مِنَ الْأَغْنِيَاءِ الَّذِينَ يَمْلِكُونَ الْمِلْيَارَاتِ الْمَلَايِينَ لَكِنْ لِلْأَسَفِ يَعِيشُ فِي عَذَابٍ تَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهِ مَا تَجِدُهُ يَبْتَسِمُ عَبُوسٌ ضَيِّقُ النَّفْسِ دَائِمًا فِي هَمٍّ يَخَافُ عَلَى أَمْوَالِهِ يَخَافُ أَنْ يَنْزِلَ الْمَالُ رَصِيدُهُ وَيَسْبِقُهُ غَيْرُهُ يُقَالُ: فُلَانٌ سَبَقَكَ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَابْتَغَى أَنْ يَكُونَ لَهُ ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

Mengenal Nama Allah “Al-Lathif”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.

Mengenal Nama Allah “Al-Lathif”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah “Al-Lathif”Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif”Makna bahasa dari “Al-Lathif”Makna “Al-Lathif” dalam konteks AllahPertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatuKedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang berimanKetiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah)Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatuKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-NyaKetiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Segala puji bagi Allah, Rabb yang Mahalembut (Al-Lathif), yang ilmu dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya. Nama Allah Al-Lathif mengandung makna kelembutan, ketelitian, dan kasih sayang yang sangat luas. Artikel ini akan membahas dalil-dalil, kandungan makna, serta konsekuensi dari nama Allah Al-Lathif bagi seorang hamba. Semoga tulisan ini menguatkan keimanan kita kepada-Nya. Dalil nama Allah “Al-Lathif” Nama Allah Al-Lathif disebutkan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an, di antaranya: Pertama: Surah Al-An’am ayat 103 Allah Ta’ala berfirman, لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat, dan Dialah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” Kedua: Surah Yusuf ayat 100 Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Ketiga: Surah Al-Mulk ayat 14 Allah berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Allah yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia adalah Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [1] Kandungan makna nama Allah “Al-Lathif” Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Lathif” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Al-Lathif” Secara bahasa, lathafa (لَطَفَ) menunjukkan makna kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Ibnu Faaris (wafat 395 H) mengatakan, (‌لَطَفَ) اللَّامُ وَالطَّاءُ وَالْفَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى رِفْقٍ وَيَدُلُّ عَلَى صِغَرٍ فِي الشَّيْءِ. فَاللُّطْفُ: الرِّفْقُ فِي الْعَمَلِ ; يُقَالُ: هُوَ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ، أَيْ رَءُوفٌ رَفِيقٌ. “(Lathafa) huruf lam, tha, dan fa; memiliki asal makna yang menunjukkan kelembutan serta sesuatu yang kecil atau halus. Maka, al-luthf adalah kelembutan dalam bertindak. Dikatakan, ‘Dia adalah lathîf terhadap hamba-hamba-Nya,’ yang berarti penuh kasih dan kelembutan.” [2] Ibnu Mandzur (wafat 711 H) mengatakan, يُقَالُ: ‌لَطَفَ بِهِ وَلَهُ، بِالْفَتْحِ، يَلْطُفُ لُطْفاً إِذَا رَفَقَ بِهِ “Dikatakan, ‘Lathafa bihi wa lahu, yalthufu luthfan’ ketika ia bersikap lembut kepadanya.” [3] Al-Lathif (اللطيف) adalah ism fa’il (pelaku) dari lathafa. [4] Makna “Al-Lathif” dalam konteks Allah Nama Allah “Al-Lathîf”, terkandung tiga makna [5]: Pertama: Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu Al-Lathif berarti Mahalembut dalam ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, meskipun hal tersebut sangat halus, kecil, atau tersembunyi. Kedua: Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman Dia melimpahkan kebaikan dan kasih sayang kepada mereka dengan cara yang tidak mereka sadari, serta memberi rezeki dari arah yang tidak mereka sangka. Qatadah berkata, قوله: (إنّ ربي لطيفٌ لما يشاء) لطفَ بيُوسفَ وصَنَع له، حتى أخْرجه مِنَ السِّجن وجاء بأهْله مِنَ البَدْو، ونَزَع منْ قلبه نَزَغَ الشيطان، وتَحْريشَه على إخْوته. “Tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ bahwa Allah telah berbuat lembut kepada Yusuf, mengatur urusannya, mengeluarkannya dari penjara, mendatangkan keluarganya dari padang pasir, menghilangkan bisikan dan hasutan setan dari hatinya terhadap saudara-saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsîr, 13:48 dengan sanad yang hasan) [6] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Al-Lathif adalah Dia yang ilmu-Nya meliputi segala yang tersembunyi dan rahasia, memahami hal-hal yang kecil, tersembunyi, dan mendalam. Dia Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, yang menyampaikan kebaikan kepada mereka melalui kelembutan dan kemurahan-Nya dari arah yang tidak mereka sadari. Nama ini bermakna seperti ‘Al-Khabîr’ (Maha Mengetahui) dan ‘Ar-Ra’ûf’ (Maha Penyayang).” [7] Ketiga: Allah yang Mahalembut sehingga tidak bisa dijangkau oleh penggambaran (kaifiyyah) Tentang makna ini, Ibnul A’rabi (wafat 231 H) berkata, ويُقال: هو الذي لَطُفَ عن أنْ يُدْركَ بالكَيْفية. وقد يكون اللطف بمعنى: الرِّقةِ والغُمُوض “Dikatakan bahwa Dia Mahalembut sehingga tidak dapat dijangkau oleh cara pandang atau penggambaran. Luthf juga bisa bermakna kelembutan dan ketidakjelasan (dalam arti sangat halus).” [8] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq” Konsekuensi dari nama Allah “Al-Lathif” bagi hamba Penetapan nama “Al-Lathif” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekunsinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus beriman bahwa ilmu Allah mencakup segala sesuatu Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, baik yang kecil, halus, maupun tersembunyi, bahkan yang berada di tempat yang sangat jauh. Allah Ta’ala berfirman, وعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ “Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS. Al-An’am: 59) Dalam firman-Nya tentang nasihat Lukman Al-Hakim kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ “Wahai anakku! Sesungguhnya jika ada sesuatu (perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu besar, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16) Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan biji sawi sekalipun (biji yang sangat kecil dan ringan) jika ia berada dalam batu besar, di dasar bumi, atau di langit, pasti Allah akan menemukannya dan mendatangkannya. Sebab, Dia adalah Al-Lathîf (Mahalembut) dan Al-Khabîr (Maha Mengetahui). [9] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata, “Makna kedua dari Al-Lathif adalah Dia yang menyampaikan karunia dan kebaikan kepada para wali-Nya dan hamba-hamba-Nya yang beriman melalui berbagai cara, baik yang mereka sadari maupun tidak, yang mereka inginkan maupun tidak, baik melalui apa yang mereka sukai maupun apa yang mereka benci. Dia Mahalembut kepada para wali-Nya, memudahkan mereka menuju kemudahan, menjauhkan mereka dari kesulitan, serta menetapkan takdir yang akhirnya mendatangkan manfaat besar bagi mereka. Sebagaimana Yusuf ‘alaihis salam berkata, إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِمَا يَشَاءُ ‘Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.’ (QS. Yusuf: 100) Maksudnya, Allah menetapkan banyak hal di luar kehendak Yusuf yang pada awalnya tampak tidak menyenangkan, tetapi pada akhirnya membawa kebaikan besar baginya dan ayahnya. Perkara-perkara itu yang awalnya terasa berat berubah menjadi kenikmatan besar dan manfaat yang mulia.” [10] Ketiga: Seorang hamba harus senantiasa mengintrospeksi diri terhadap ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya Ketika seorang hamba menyadari bahwa Rabbnya memiliki sifat ilmu yang sangat mendetail dan meliputi segala hal kecil maupun besar, ia akan senantiasa menghisab dirinya atas segala ucapan, perbuatan, gerakan, dan diamnya. Sebab ia selalu berada di hadapan Al-Lathif (Yang Mahalembut) dan Al-Khabir (Yang Maha Mengetahui). Allah Ta’ala berfirman, أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui? Dan Dia Mahalembut, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14) Allah akan memberikan balasan kepada manusia atas segala amal perbuatannya di hari kiamat. Jika amalnya baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Jika buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan. Tidak ada satu pun amal mereka yang terlewatkan. Amal orang yang berbuat baik tidak akan hilang walau hanya sebesar biji atom, begitu pula amal buruk orang yang berbuat jahat. [11] Demikian, semoga Allah memerikan taufik-Nya kepada kita semua. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 4 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [2] Maqâyîs Al-Lughah, 5: 250. [3] Lisânul ‘Arab, 9: 316. [4] An-Nahju Al-Asma, hal. 181. [5] Lihat An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [6] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 181-182. [7] Tafsîr As-Sa’di (Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân), hal. 947. [8] Dinukil dari An-Nahju Al-Asma, hal. 182. [9] An-Nahju Al-Asma, hal. 183. [10] Fathur Rahîm Al-Malik Al-‘Allâm, hal. 47, serta rincian lebih lanjut dalam Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 162–164. [11] An-Nahju Al-Asma, hal. 183.

Ada Pesan Penting untuk Anda yang Tidak Shalat Witir – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaan: Apa nasihat Anda bagi orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir? Orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir telah menghalangi dirinya dari banyak kebaikan. Karena Shalat Witir merupakan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan Shalat Witir, bahkan beliau tetap melaksanakannya saat safar Bila beliau tidak bisa melaksanakannya karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Sebagaimana yang dikatakan Aisyah, “Dulu bila Nabi tidak bisa melaksanakan Shalat Witir beliau melaksanakannya di siang hari sebanyak 12 rakaat.” Karena kebiasaan Nabi melaksanakan Shalat Malam sekaligus Shalat Witir di malam hari sebanyak 11 rakaat Bila beliau tidak bisa melaksanakan Shalat Witir karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Ini menunjukkan sangat ditekankan pelaksanaan shalat ini. Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya berusaha selalu melaksanakan Shalat Witir. Hendaknya ia tidak meninggalkannya, baik ketika sedang mukim ataupun safar. Lebih afdal jika ia melaksanakannya pada sepertiga malam terakhir. Jika tidak bisa, maka sebelum tidur. Jika tidak bisa juga melaksanakannya pada waktu ini dan itu, maka minimal ia melaksanakannya setelah Shalat Isya. ==== مَا تَوْجِيهُكُمْ لِمَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ؟ مَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ حَرَمَ نَفْسَهُ خَيْرًا كَثِيرًا فَإِنَّ صَلَاةَ الْوِتْرِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ جِدًّا قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ مُحَافَظَةً شَدِيدَةً حَتَّى إِنَّهُ يُصَلِّيهَا فِي السَّفَرِ وَإِذَا فَاتَتْهُ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ صَلَّاهَا مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي صَلَاةَ اللَّيْلِ مَعَ الْوِتْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَكَانَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَأَكُّدِ هَذِهِ الصَّلَاةِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ وَأَلَّا يَدَعَهَا لَا فِي الْحَضَرِ وَلَا فِي السَّفَرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ فَقَبْلَ النَّوْمِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ هَذَا وَلَا ذَاكَ فَلَا أَقَلَّ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْوِتْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ

Ada Pesan Penting untuk Anda yang Tidak Shalat Witir – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Pertanyaan: Apa nasihat Anda bagi orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir? Orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir telah menghalangi dirinya dari banyak kebaikan. Karena Shalat Witir merupakan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan Shalat Witir, bahkan beliau tetap melaksanakannya saat safar Bila beliau tidak bisa melaksanakannya karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Sebagaimana yang dikatakan Aisyah, “Dulu bila Nabi tidak bisa melaksanakan Shalat Witir beliau melaksanakannya di siang hari sebanyak 12 rakaat.” Karena kebiasaan Nabi melaksanakan Shalat Malam sekaligus Shalat Witir di malam hari sebanyak 11 rakaat Bila beliau tidak bisa melaksanakan Shalat Witir karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Ini menunjukkan sangat ditekankan pelaksanaan shalat ini. Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya berusaha selalu melaksanakan Shalat Witir. Hendaknya ia tidak meninggalkannya, baik ketika sedang mukim ataupun safar. Lebih afdal jika ia melaksanakannya pada sepertiga malam terakhir. Jika tidak bisa, maka sebelum tidur. Jika tidak bisa juga melaksanakannya pada waktu ini dan itu, maka minimal ia melaksanakannya setelah Shalat Isya. ==== مَا تَوْجِيهُكُمْ لِمَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ؟ مَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ حَرَمَ نَفْسَهُ خَيْرًا كَثِيرًا فَإِنَّ صَلَاةَ الْوِتْرِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ جِدًّا قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ مُحَافَظَةً شَدِيدَةً حَتَّى إِنَّهُ يُصَلِّيهَا فِي السَّفَرِ وَإِذَا فَاتَتْهُ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ صَلَّاهَا مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي صَلَاةَ اللَّيْلِ مَعَ الْوِتْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَكَانَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَأَكُّدِ هَذِهِ الصَّلَاةِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ وَأَلَّا يَدَعَهَا لَا فِي الْحَضَرِ وَلَا فِي السَّفَرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ فَقَبْلَ النَّوْمِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ هَذَا وَلَا ذَاكَ فَلَا أَقَلَّ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْوِتْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ
Pertanyaan: Apa nasihat Anda bagi orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir? Orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir telah menghalangi dirinya dari banyak kebaikan. Karena Shalat Witir merupakan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan Shalat Witir, bahkan beliau tetap melaksanakannya saat safar Bila beliau tidak bisa melaksanakannya karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Sebagaimana yang dikatakan Aisyah, “Dulu bila Nabi tidak bisa melaksanakan Shalat Witir beliau melaksanakannya di siang hari sebanyak 12 rakaat.” Karena kebiasaan Nabi melaksanakan Shalat Malam sekaligus Shalat Witir di malam hari sebanyak 11 rakaat Bila beliau tidak bisa melaksanakan Shalat Witir karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Ini menunjukkan sangat ditekankan pelaksanaan shalat ini. Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya berusaha selalu melaksanakan Shalat Witir. Hendaknya ia tidak meninggalkannya, baik ketika sedang mukim ataupun safar. Lebih afdal jika ia melaksanakannya pada sepertiga malam terakhir. Jika tidak bisa, maka sebelum tidur. Jika tidak bisa juga melaksanakannya pada waktu ini dan itu, maka minimal ia melaksanakannya setelah Shalat Isya. ==== مَا تَوْجِيهُكُمْ لِمَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ؟ مَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ حَرَمَ نَفْسَهُ خَيْرًا كَثِيرًا فَإِنَّ صَلَاةَ الْوِتْرِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ جِدًّا قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ مُحَافَظَةً شَدِيدَةً حَتَّى إِنَّهُ يُصَلِّيهَا فِي السَّفَرِ وَإِذَا فَاتَتْهُ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ صَلَّاهَا مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي صَلَاةَ اللَّيْلِ مَعَ الْوِتْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَكَانَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَأَكُّدِ هَذِهِ الصَّلَاةِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ وَأَلَّا يَدَعَهَا لَا فِي الْحَضَرِ وَلَا فِي السَّفَرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ فَقَبْلَ النَّوْمِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ هَذَا وَلَا ذَاكَ فَلَا أَقَلَّ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْوِتْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ


Pertanyaan: Apa nasihat Anda bagi orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir? Orang yang tidak melaksanakan Shalat Witir telah menghalangi dirinya dari banyak kebaikan. Karena Shalat Witir merupakan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan Shalat Witir, bahkan beliau tetap melaksanakannya saat safar Bila beliau tidak bisa melaksanakannya karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Sebagaimana yang dikatakan Aisyah, “Dulu bila Nabi tidak bisa melaksanakan Shalat Witir beliau melaksanakannya di siang hari sebanyak 12 rakaat.” Karena kebiasaan Nabi melaksanakan Shalat Malam sekaligus Shalat Witir di malam hari sebanyak 11 rakaat Bila beliau tidak bisa melaksanakan Shalat Witir karena sakit atau lainnya, beliau menggantinya di siang hari dengan jumlah rakaat genap. Ini menunjukkan sangat ditekankan pelaksanaan shalat ini. Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya berusaha selalu melaksanakan Shalat Witir. Hendaknya ia tidak meninggalkannya, baik ketika sedang mukim ataupun safar. Lebih afdal jika ia melaksanakannya pada sepertiga malam terakhir. Jika tidak bisa, maka sebelum tidur. Jika tidak bisa juga melaksanakannya pada waktu ini dan itu, maka minimal ia melaksanakannya setelah Shalat Isya. ==== مَا تَوْجِيهُكُمْ لِمَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ؟ مَنْ لَا يُصَلِّي الْوِتْرَ حَرَمَ نَفْسَهُ خَيْرًا كَثِيرًا فَإِنَّ صَلَاةَ الْوِتْرِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ جِدًّا قَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ مُحَافَظَةً شَدِيدَةً حَتَّى إِنَّهُ يُصَلِّيهَا فِي السَّفَرِ وَإِذَا فَاتَتْهُ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ صَلَّاهَا مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً لِأَنَّ الْغَالِبَ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي صَلَاةَ اللَّيْلِ مَعَ الْوِتْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً فَكَانَ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْوِتْرِ لِمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ قَضَاهَا مِنَ النَّهَارِ شَفْعًا وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَأَكُّدِ هَذِهِ الصَّلَاةِ وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْرِصَ عَلَى صَلَاةِ الْوِتْرِ وَأَلَّا يَدَعَهَا لَا فِي الْحَضَرِ وَلَا فِي السَّفَرِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَهَا فِي الثُّلُثِ الْأَخِيرِ مِنَ اللَّيْلِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ فَقَبْلَ النَّوْمِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ هَذَا وَلَا ذَاكَ فَلَا أَقَلَّ مِنْ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْوِتْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 1): Mengambil Pelajaran dari Jihad Abu Ubaidah bin Jarrah

Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 1): Mengambil Pelajaran dari Jihad Abu Ubaidah bin Jarrah

Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.
Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.


Daftar Isi Toggle Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang BadrKasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang UhudTidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah. Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah. Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah. Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22) Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya. Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24) Baca juga: Biografi Singkat Sa’id bin Zaid Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur. Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya. Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya, أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح “Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ “Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi) Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash. Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan. Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.

Khutbah Jumat: Jangan Bangga Hanya dengan Nilai Akademik!

Jangan hanya bangga dengan nilai akademik yang tinggi, karena keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari angka-angka di atas kertas. Anak-anak kita jauh lebih membutuhkan pendidikan agama dan pembentukan akhlak mulia yang akan menjadi bekal utama mereka dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Akhlak yang baik serta keimanan yang kokoh adalah investasi terbaik yang lebih berharga daripada sekadar prestasi duniawi.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua   Khutbah Pertama   الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Di antara hal yang diperintahkan adalah Allah memerintahkan agar menjaga keluarga dan anak kita dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi akhir zaman, suri tauladan kita, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jamaah Jumat yang dirahmati Allah … Pada akhir semester ini, banyak dari anak-anak kita yang baru saja menerima rapor hasil belajar mereka di sekolah. Bagi sebagian orang tua, momen ini adalah saat yang dinanti untuk mengetahui pencapaian akademik anak-anak. Namun, mari kita renungkan sejenak: Apakah kita hanya melihat angka-angka di atas kertas sebagai indikator keberhasilan anak kita? Atau justru momen ini bisa menjadi waktu refleksi yang lebih dalam, untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan spiritual, akhlak, dan keimanan mereka? Ingatlah, prestasi akademik itu penting, tetapi bukanlah segalanya. Nilai yang tinggi di sekolah tidak akan berarti banyak jika tidak disertai dengan akhlak yang mulia dan iman yang kokoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita betapa pentingnya memberikan perhatian kepada pendidikan agama. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab atas perkembangan iman dan akhlak anak-anak kita, lebih dari sekadar prestasi duniawi mereka. Makanya di awal khutbah telah diingatkan mengenai ayat, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Mujahid rahimahullah berkata tentang ayat ini: (peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) yaitu bertakwalah kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada-Nya. Maka, khutbah hari ini akan mengingatkan kita semua tentang pentingnya memprioritaskan pendidikan agama, karena inilah investasi terbaik yang akan mengantarkan anak-anak kita pada keberhasilan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan bahwa amal yang paling berharga dan terus mengalir pahalanya adalah amal yang berkaitan dengan kebaikan abadi, termasuk doa dari anak yang saleh. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) Baca juga: Terputusnya Amalan Kecuali Tiga Perkara Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama dan pembentukan akhlak pada anak bukan hanya tanggung jawab duniawi, tetapi juga memiliki dampak abadi yang terus mengalir hingga akhirat. Karena itu, dalam mendidik anak, orang tua juga perlu bijak dalam memanfaatkan nikmat duniawi yang diberikan Allah untuk mendukung bekal menuju akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77). Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 405) dijelaskan bahwa ayat tersebut mengajarkan agar harta yang diberikan Allah dimanfaatkan sebagai bekal menuju akhirat, salah satunya dengan menginfakkannya untuk ketaatan di jalan Allah. Namun, bagian dari dunia juga tidak boleh diabaikan, karena hal-hal duniawi dapat dimanfaatkan untuk mendukung perjalanan menuju akhirat. Dengan kata lain, urusan dunia, seperti prestasi akademik, seharusnya dijadikan sarana untuk meningkatkan kualitas agama dan akhlak anak. Dalam surah Adz-Dzariyat juga disebutkan, قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11) “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11) Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi. Betapa banyak anak yang dididik dengan akademik yang bagus, tetapi tidak giat dalam melaksanakan shalat lima waktu, terutama shalat Subuh. Hal ini menjadi keprihatinan besar karena shalat adalah kewajiban yang paling utama dan harus diingatkan kepada anak-anak kita sejak dini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan pentingnya pengajaran shalat sejak kecil. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur sepuluh tahun.” (HR. Abu Daud, no. 495). Hadits ini mengajarkan bahwa membiasakan anak dengan kewajiban agama adalah tugas orang tua, dan ini harus disertai doa agar Allah memberikan taufik kepada mereka. Tanpa doa, sulit bagi kita untuk mencapai tujuan memiliki anak yang shalih, karena kesalehan adalah anugerah Allah. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 178). Doa juga menjadi sunnah para nabi dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memohon, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “ROBBI HAB LII MINAASH-SHOOLIHIIN” (Artinya: Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh).” (QS. Ash-Shaffat: 100). Begitu pula Nabi Zakariya ‘alaihis salam yang berdoa, رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “ROBBI HAB LII MIN LADUNKA DZURRIYYATAN THOYYIBATAN INNAKA SAMII’UD DU’AA’.” (Artinya: Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa).” (QS. Ali Imran: 38). Bahkan doa ini diajarkan untuk meliputi keluarga secara keseluruhan, seperti dalam doa ‘ibadurrahman, رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “ROBBANAA HAB LANAA MIN AZWAAJINAA WA DZURRIYYAATINAA QURROTA A’YUNIN WAJ’ALNAA LIL MUTTAQIINA IMAAMAA” (Artinya: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).” (QS. Al-Furqan: 74). Selain doa, teladan juga sangat penting dalam mendidik anak. Orang tua adalah cermin yang paling dekat dengan anak-anaknya. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah pernah berkata kepada anaknya, لَأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ “Wahai anakku, sungguh aku terus menambah shalatku ini karenamu (agar kamu menjadi saleh).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Kisah dalam Al-Qur’an tentang dua anak yatim yang mendapatkan penjagaan Allah karena ayah mereka adalah orang yang saleh menjadi bukti kuat pengaruh teladan ini. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al-Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz menegaskan hal ini dengan mengatakan, مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إِلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ “Setiap mukmin yang meninggal dunia, maka Allah akan senantiasa menjaga anak dan keturunannya setelah itu.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Baca juga: Bagaimana Mendidik Anak Menjadi Saleh? Mendidik anak tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi, tetapi juga membangun kesalehan melalui doa dan teladan. Semoga Allah menjadikan kita orang tua yang mampu mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi yang saleh, penyejuk hati, dan pemimpin bagi umat. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. BAROKALLAHU LII WA LAKUM FIL QUR’ANIL ‘AZHIM WA NAFA’ANII WA IYYAKUM BIMAA FIIHI MINAL AYAATI WADZ DZIKRIL HAKIIM, WA TAQOBBAL MINNI WA MINKUM TILAAWATAHU, INNAHU HUWAS SAMII’UL ‘ALIIM. WA ASTAGHFIRULLAHA LII WA LAKUM FASTAGHFIRUUHU, INNAHU HUWAL GHAFURUR ROHIIM.   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 12 Jumadal Akhir 1446 H (13 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia anak saleh doa orang tua khutbah jumat mendidik anak Nilai Akademik vs Akhlak Pendidikan Agama pendidikan anak pendidikan Islam Shalat Lima Waktu Teladan Orang Tua

Khutbah Jumat: Jangan Bangga Hanya dengan Nilai Akademik!

Jangan hanya bangga dengan nilai akademik yang tinggi, karena keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari angka-angka di atas kertas. Anak-anak kita jauh lebih membutuhkan pendidikan agama dan pembentukan akhlak mulia yang akan menjadi bekal utama mereka dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Akhlak yang baik serta keimanan yang kokoh adalah investasi terbaik yang lebih berharga daripada sekadar prestasi duniawi.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua   Khutbah Pertama   الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Di antara hal yang diperintahkan adalah Allah memerintahkan agar menjaga keluarga dan anak kita dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi akhir zaman, suri tauladan kita, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jamaah Jumat yang dirahmati Allah … Pada akhir semester ini, banyak dari anak-anak kita yang baru saja menerima rapor hasil belajar mereka di sekolah. Bagi sebagian orang tua, momen ini adalah saat yang dinanti untuk mengetahui pencapaian akademik anak-anak. Namun, mari kita renungkan sejenak: Apakah kita hanya melihat angka-angka di atas kertas sebagai indikator keberhasilan anak kita? Atau justru momen ini bisa menjadi waktu refleksi yang lebih dalam, untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan spiritual, akhlak, dan keimanan mereka? Ingatlah, prestasi akademik itu penting, tetapi bukanlah segalanya. Nilai yang tinggi di sekolah tidak akan berarti banyak jika tidak disertai dengan akhlak yang mulia dan iman yang kokoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita betapa pentingnya memberikan perhatian kepada pendidikan agama. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab atas perkembangan iman dan akhlak anak-anak kita, lebih dari sekadar prestasi duniawi mereka. Makanya di awal khutbah telah diingatkan mengenai ayat, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Mujahid rahimahullah berkata tentang ayat ini: (peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) yaitu bertakwalah kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada-Nya. Maka, khutbah hari ini akan mengingatkan kita semua tentang pentingnya memprioritaskan pendidikan agama, karena inilah investasi terbaik yang akan mengantarkan anak-anak kita pada keberhasilan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan bahwa amal yang paling berharga dan terus mengalir pahalanya adalah amal yang berkaitan dengan kebaikan abadi, termasuk doa dari anak yang saleh. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) Baca juga: Terputusnya Amalan Kecuali Tiga Perkara Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama dan pembentukan akhlak pada anak bukan hanya tanggung jawab duniawi, tetapi juga memiliki dampak abadi yang terus mengalir hingga akhirat. Karena itu, dalam mendidik anak, orang tua juga perlu bijak dalam memanfaatkan nikmat duniawi yang diberikan Allah untuk mendukung bekal menuju akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77). Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 405) dijelaskan bahwa ayat tersebut mengajarkan agar harta yang diberikan Allah dimanfaatkan sebagai bekal menuju akhirat, salah satunya dengan menginfakkannya untuk ketaatan di jalan Allah. Namun, bagian dari dunia juga tidak boleh diabaikan, karena hal-hal duniawi dapat dimanfaatkan untuk mendukung perjalanan menuju akhirat. Dengan kata lain, urusan dunia, seperti prestasi akademik, seharusnya dijadikan sarana untuk meningkatkan kualitas agama dan akhlak anak. Dalam surah Adz-Dzariyat juga disebutkan, قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11) “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11) Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi. Betapa banyak anak yang dididik dengan akademik yang bagus, tetapi tidak giat dalam melaksanakan shalat lima waktu, terutama shalat Subuh. Hal ini menjadi keprihatinan besar karena shalat adalah kewajiban yang paling utama dan harus diingatkan kepada anak-anak kita sejak dini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan pentingnya pengajaran shalat sejak kecil. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur sepuluh tahun.” (HR. Abu Daud, no. 495). Hadits ini mengajarkan bahwa membiasakan anak dengan kewajiban agama adalah tugas orang tua, dan ini harus disertai doa agar Allah memberikan taufik kepada mereka. Tanpa doa, sulit bagi kita untuk mencapai tujuan memiliki anak yang shalih, karena kesalehan adalah anugerah Allah. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 178). Doa juga menjadi sunnah para nabi dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memohon, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “ROBBI HAB LII MINAASH-SHOOLIHIIN” (Artinya: Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh).” (QS. Ash-Shaffat: 100). Begitu pula Nabi Zakariya ‘alaihis salam yang berdoa, رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “ROBBI HAB LII MIN LADUNKA DZURRIYYATAN THOYYIBATAN INNAKA SAMII’UD DU’AA’.” (Artinya: Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa).” (QS. Ali Imran: 38). Bahkan doa ini diajarkan untuk meliputi keluarga secara keseluruhan, seperti dalam doa ‘ibadurrahman, رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “ROBBANAA HAB LANAA MIN AZWAAJINAA WA DZURRIYYAATINAA QURROTA A’YUNIN WAJ’ALNAA LIL MUTTAQIINA IMAAMAA” (Artinya: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).” (QS. Al-Furqan: 74). Selain doa, teladan juga sangat penting dalam mendidik anak. Orang tua adalah cermin yang paling dekat dengan anak-anaknya. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah pernah berkata kepada anaknya, لَأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ “Wahai anakku, sungguh aku terus menambah shalatku ini karenamu (agar kamu menjadi saleh).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Kisah dalam Al-Qur’an tentang dua anak yatim yang mendapatkan penjagaan Allah karena ayah mereka adalah orang yang saleh menjadi bukti kuat pengaruh teladan ini. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al-Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz menegaskan hal ini dengan mengatakan, مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إِلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ “Setiap mukmin yang meninggal dunia, maka Allah akan senantiasa menjaga anak dan keturunannya setelah itu.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Baca juga: Bagaimana Mendidik Anak Menjadi Saleh? Mendidik anak tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi, tetapi juga membangun kesalehan melalui doa dan teladan. Semoga Allah menjadikan kita orang tua yang mampu mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi yang saleh, penyejuk hati, dan pemimpin bagi umat. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. BAROKALLAHU LII WA LAKUM FIL QUR’ANIL ‘AZHIM WA NAFA’ANII WA IYYAKUM BIMAA FIIHI MINAL AYAATI WADZ DZIKRIL HAKIIM, WA TAQOBBAL MINNI WA MINKUM TILAAWATAHU, INNAHU HUWAS SAMII’UL ‘ALIIM. WA ASTAGHFIRULLAHA LII WA LAKUM FASTAGHFIRUUHU, INNAHU HUWAL GHAFURUR ROHIIM.   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 12 Jumadal Akhir 1446 H (13 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia anak saleh doa orang tua khutbah jumat mendidik anak Nilai Akademik vs Akhlak Pendidikan Agama pendidikan anak pendidikan Islam Shalat Lima Waktu Teladan Orang Tua
Jangan hanya bangga dengan nilai akademik yang tinggi, karena keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari angka-angka di atas kertas. Anak-anak kita jauh lebih membutuhkan pendidikan agama dan pembentukan akhlak mulia yang akan menjadi bekal utama mereka dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Akhlak yang baik serta keimanan yang kokoh adalah investasi terbaik yang lebih berharga daripada sekadar prestasi duniawi.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua   Khutbah Pertama   الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Di antara hal yang diperintahkan adalah Allah memerintahkan agar menjaga keluarga dan anak kita dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi akhir zaman, suri tauladan kita, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jamaah Jumat yang dirahmati Allah … Pada akhir semester ini, banyak dari anak-anak kita yang baru saja menerima rapor hasil belajar mereka di sekolah. Bagi sebagian orang tua, momen ini adalah saat yang dinanti untuk mengetahui pencapaian akademik anak-anak. Namun, mari kita renungkan sejenak: Apakah kita hanya melihat angka-angka di atas kertas sebagai indikator keberhasilan anak kita? Atau justru momen ini bisa menjadi waktu refleksi yang lebih dalam, untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan spiritual, akhlak, dan keimanan mereka? Ingatlah, prestasi akademik itu penting, tetapi bukanlah segalanya. Nilai yang tinggi di sekolah tidak akan berarti banyak jika tidak disertai dengan akhlak yang mulia dan iman yang kokoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita betapa pentingnya memberikan perhatian kepada pendidikan agama. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab atas perkembangan iman dan akhlak anak-anak kita, lebih dari sekadar prestasi duniawi mereka. Makanya di awal khutbah telah diingatkan mengenai ayat, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Mujahid rahimahullah berkata tentang ayat ini: (peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) yaitu bertakwalah kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada-Nya. Maka, khutbah hari ini akan mengingatkan kita semua tentang pentingnya memprioritaskan pendidikan agama, karena inilah investasi terbaik yang akan mengantarkan anak-anak kita pada keberhasilan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan bahwa amal yang paling berharga dan terus mengalir pahalanya adalah amal yang berkaitan dengan kebaikan abadi, termasuk doa dari anak yang saleh. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) Baca juga: Terputusnya Amalan Kecuali Tiga Perkara Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama dan pembentukan akhlak pada anak bukan hanya tanggung jawab duniawi, tetapi juga memiliki dampak abadi yang terus mengalir hingga akhirat. Karena itu, dalam mendidik anak, orang tua juga perlu bijak dalam memanfaatkan nikmat duniawi yang diberikan Allah untuk mendukung bekal menuju akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77). Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 405) dijelaskan bahwa ayat tersebut mengajarkan agar harta yang diberikan Allah dimanfaatkan sebagai bekal menuju akhirat, salah satunya dengan menginfakkannya untuk ketaatan di jalan Allah. Namun, bagian dari dunia juga tidak boleh diabaikan, karena hal-hal duniawi dapat dimanfaatkan untuk mendukung perjalanan menuju akhirat. Dengan kata lain, urusan dunia, seperti prestasi akademik, seharusnya dijadikan sarana untuk meningkatkan kualitas agama dan akhlak anak. Dalam surah Adz-Dzariyat juga disebutkan, قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11) “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11) Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi. Betapa banyak anak yang dididik dengan akademik yang bagus, tetapi tidak giat dalam melaksanakan shalat lima waktu, terutama shalat Subuh. Hal ini menjadi keprihatinan besar karena shalat adalah kewajiban yang paling utama dan harus diingatkan kepada anak-anak kita sejak dini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan pentingnya pengajaran shalat sejak kecil. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur sepuluh tahun.” (HR. Abu Daud, no. 495). Hadits ini mengajarkan bahwa membiasakan anak dengan kewajiban agama adalah tugas orang tua, dan ini harus disertai doa agar Allah memberikan taufik kepada mereka. Tanpa doa, sulit bagi kita untuk mencapai tujuan memiliki anak yang shalih, karena kesalehan adalah anugerah Allah. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 178). Doa juga menjadi sunnah para nabi dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memohon, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “ROBBI HAB LII MINAASH-SHOOLIHIIN” (Artinya: Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh).” (QS. Ash-Shaffat: 100). Begitu pula Nabi Zakariya ‘alaihis salam yang berdoa, رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “ROBBI HAB LII MIN LADUNKA DZURRIYYATAN THOYYIBATAN INNAKA SAMII’UD DU’AA’.” (Artinya: Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa).” (QS. Ali Imran: 38). Bahkan doa ini diajarkan untuk meliputi keluarga secara keseluruhan, seperti dalam doa ‘ibadurrahman, رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “ROBBANAA HAB LANAA MIN AZWAAJINAA WA DZURRIYYAATINAA QURROTA A’YUNIN WAJ’ALNAA LIL MUTTAQIINA IMAAMAA” (Artinya: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).” (QS. Al-Furqan: 74). Selain doa, teladan juga sangat penting dalam mendidik anak. Orang tua adalah cermin yang paling dekat dengan anak-anaknya. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah pernah berkata kepada anaknya, لَأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ “Wahai anakku, sungguh aku terus menambah shalatku ini karenamu (agar kamu menjadi saleh).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Kisah dalam Al-Qur’an tentang dua anak yatim yang mendapatkan penjagaan Allah karena ayah mereka adalah orang yang saleh menjadi bukti kuat pengaruh teladan ini. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al-Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz menegaskan hal ini dengan mengatakan, مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إِلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ “Setiap mukmin yang meninggal dunia, maka Allah akan senantiasa menjaga anak dan keturunannya setelah itu.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Baca juga: Bagaimana Mendidik Anak Menjadi Saleh? Mendidik anak tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi, tetapi juga membangun kesalehan melalui doa dan teladan. Semoga Allah menjadikan kita orang tua yang mampu mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi yang saleh, penyejuk hati, dan pemimpin bagi umat. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. BAROKALLAHU LII WA LAKUM FIL QUR’ANIL ‘AZHIM WA NAFA’ANII WA IYYAKUM BIMAA FIIHI MINAL AYAATI WADZ DZIKRIL HAKIIM, WA TAQOBBAL MINNI WA MINKUM TILAAWATAHU, INNAHU HUWAS SAMII’UL ‘ALIIM. WA ASTAGHFIRULLAHA LII WA LAKUM FASTAGHFIRUUHU, INNAHU HUWAL GHAFURUR ROHIIM.   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 12 Jumadal Akhir 1446 H (13 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia anak saleh doa orang tua khutbah jumat mendidik anak Nilai Akademik vs Akhlak Pendidikan Agama pendidikan anak pendidikan Islam Shalat Lima Waktu Teladan Orang Tua


Jangan hanya bangga dengan nilai akademik yang tinggi, karena keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari angka-angka di atas kertas. Anak-anak kita jauh lebih membutuhkan pendidikan agama dan pembentukan akhlak mulia yang akan menjadi bekal utama mereka dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Akhlak yang baik serta keimanan yang kokoh adalah investasi terbaik yang lebih berharga daripada sekadar prestasi duniawi.   Daftar Isi tutup 1. Khutbah Pertama 2. Khutbah Kedua   Khutbah Pertama   الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah … Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Di antara hal yang diperintahkan adalah Allah memerintahkan agar menjaga keluarga dan anak kita dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6) Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi akhir zaman, suri tauladan kita, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jamaah Jumat yang dirahmati Allah … Pada akhir semester ini, banyak dari anak-anak kita yang baru saja menerima rapor hasil belajar mereka di sekolah. Bagi sebagian orang tua, momen ini adalah saat yang dinanti untuk mengetahui pencapaian akademik anak-anak. Namun, mari kita renungkan sejenak: Apakah kita hanya melihat angka-angka di atas kertas sebagai indikator keberhasilan anak kita? Atau justru momen ini bisa menjadi waktu refleksi yang lebih dalam, untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan spiritual, akhlak, dan keimanan mereka? Ingatlah, prestasi akademik itu penting, tetapi bukanlah segalanya. Nilai yang tinggi di sekolah tidak akan berarti banyak jika tidak disertai dengan akhlak yang mulia dan iman yang kokoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita betapa pentingnya memberikan perhatian kepada pendidikan agama. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab atas perkembangan iman dan akhlak anak-anak kita, lebih dari sekadar prestasi duniawi mereka. Makanya di awal khutbah telah diingatkan mengenai ayat, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6) Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Mujahid rahimahullah berkata tentang ayat ini: (peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) yaitu bertakwalah kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada-Nya. Maka, khutbah hari ini akan mengingatkan kita semua tentang pentingnya memprioritaskan pendidikan agama, karena inilah investasi terbaik yang akan mengantarkan anak-anak kita pada keberhasilan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan bahwa amal yang paling berharga dan terus mengalir pahalanya adalah amal yang berkaitan dengan kebaikan abadi, termasuk doa dari anak yang saleh. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) Baca juga: Terputusnya Amalan Kecuali Tiga Perkara Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama dan pembentukan akhlak pada anak bukan hanya tanggung jawab duniawi, tetapi juga memiliki dampak abadi yang terus mengalir hingga akhirat. Karena itu, dalam mendidik anak, orang tua juga perlu bijak dalam memanfaatkan nikmat duniawi yang diberikan Allah untuk mendukung bekal menuju akhirat. Allah Ta’ala berfirman, وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77). Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 405) dijelaskan bahwa ayat tersebut mengajarkan agar harta yang diberikan Allah dimanfaatkan sebagai bekal menuju akhirat, salah satunya dengan menginfakkannya untuk ketaatan di jalan Allah. Namun, bagian dari dunia juga tidak boleh diabaikan, karena hal-hal duniawi dapat dimanfaatkan untuk mendukung perjalanan menuju akhirat. Dengan kata lain, urusan dunia, seperti prestasi akademik, seharusnya dijadikan sarana untuk meningkatkan kualitas agama dan akhlak anak. Dalam surah Adz-Dzariyat juga disebutkan, قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ (10) الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ (11) “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” (QS. Adz-Dzariyat: 10-11) Yang dimaksud “alladzina hum fii ghomroh” adalah mereka buta dan jahil akan perkara akhirat. “Saahun” berarti lalai. As-sahwu itu berarti lalai dari sesuatu dan hati tidak memperhatikannya. Sebagaimana hal ini ditafsirkan dalam Zaad Al-Masir karya Ibnul Jauzi. Betapa banyak anak yang dididik dengan akademik yang bagus, tetapi tidak giat dalam melaksanakan shalat lima waktu, terutama shalat Subuh. Hal ini menjadi keprihatinan besar karena shalat adalah kewajiban yang paling utama dan harus diingatkan kepada anak-anak kita sejak dini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan pentingnya pengajaran shalat sejak kecil. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur sepuluh tahun.” (HR. Abu Daud, no. 495). Hadits ini mengajarkan bahwa membiasakan anak dengan kewajiban agama adalah tugas orang tua, dan ini harus disertai doa agar Allah memberikan taufik kepada mereka. Tanpa doa, sulit bagi kita untuk mencapai tujuan memiliki anak yang shalih, karena kesalehan adalah anugerah Allah. Allah Ta’ala berfirman, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 178). Doa juga menjadi sunnah para nabi dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memohon, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “ROBBI HAB LII MINAASH-SHOOLIHIIN” (Artinya: Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh).” (QS. Ash-Shaffat: 100). Begitu pula Nabi Zakariya ‘alaihis salam yang berdoa, رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “ROBBI HAB LII MIN LADUNKA DZURRIYYATAN THOYYIBATAN INNAKA SAMII’UD DU’AA’.” (Artinya: Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa).” (QS. Ali Imran: 38). Bahkan doa ini diajarkan untuk meliputi keluarga secara keseluruhan, seperti dalam doa ‘ibadurrahman, رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا “ROBBANAA HAB LANAA MIN AZWAAJINAA WA DZURRIYYAATINAA QURROTA A’YUNIN WAJ’ALNAA LIL MUTTAQIINA IMAAMAA” (Artinya: Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).” (QS. Al-Furqan: 74). Selain doa, teladan juga sangat penting dalam mendidik anak. Orang tua adalah cermin yang paling dekat dengan anak-anaknya. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah pernah berkata kepada anaknya, لَأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ “Wahai anakku, sungguh aku terus menambah shalatku ini karenamu (agar kamu menjadi saleh).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Kisah dalam Al-Qur’an tentang dua anak yatim yang mendapatkan penjagaan Allah karena ayah mereka adalah orang yang saleh menjadi bukti kuat pengaruh teladan ini. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al-Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz menegaskan hal ini dengan mengatakan, مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إِلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ “Setiap mukmin yang meninggal dunia, maka Allah akan senantiasa menjaga anak dan keturunannya setelah itu.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:467) Baca juga: Bagaimana Mendidik Anak Menjadi Saleh? Mendidik anak tidak hanya mengajarkan ilmu duniawi, tetapi juga membangun kesalehan melalui doa dan teladan. Semoga Allah menjadikan kita orang tua yang mampu mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi yang saleh, penyejuk hati, dan pemimpin bagi umat. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. BAROKALLAHU LII WA LAKUM FIL QUR’ANIL ‘AZHIM WA NAFA’ANII WA IYYAKUM BIMAA FIIHI MINAL AYAATI WADZ DZIKRIL HAKIIM, WA TAQOBBAL MINNI WA MINKUM TILAAWATAHU, INNAHU HUWAS SAMII’UL ‘ALIIM. WA ASTAGHFIRULLAHA LII WA LAKUM FASTAGHFIRUUHU, INNAHU HUWAL GHAFURUR ROHIIM.   Khutbah Kedua اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. عِبَادَ اللّٰهِ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللّٰهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ. وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ – Naskah Khutbah Jum’at pada 12 Jumadal Akhir 1446 H (13 Desember 2024) @ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul Dr. Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Tagsakhlak mulia anak saleh doa orang tua khutbah jumat mendidik anak Nilai Akademik vs Akhlak Pendidikan Agama pendidikan anak pendidikan Islam Shalat Lima Waktu Teladan Orang Tua

Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-RaziqKandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezekiKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-NyaKetiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Segala puji bagi Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Memberi rezeki, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Islam, mengenal nama-nama Allah bukan sekadar mengenal kata, tetapi juga memahami maknanya untuk meningkatkan keimanan. Nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq mengajarkan bahwa Allah-lah yang mencukupi seluruh makhluk-Nya dengan rezeki, baik lahiriah maupun rohaniah. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas dalil, makna, dan implikasi dari kedua nama ini, agar semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq Nama ini disebut dalam bentuk tunggal sekali saja, yaitu dalam QS. Adz-Dzariyat: 58. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Sesungguhnya Allah, Dialah Maha pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58) Ibnu Muhayshin dan lainnya membacanya sebagai Ar-Raziq (الرّازق). Nama ini juga disebut dalam bentuk jamak sebanyak lima kali, di antaranya: Dalam surah Al-Ma’idah ayat 114, Allah Ta’ala berfirman, وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan berilah kami rezeki, karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Ma’idah: 114) Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 11, Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) [1] Nama Ar-Raziq juga disebut dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Harga barang melambung pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau tetapkan harga?’ Beliau bersabda, إنَّ الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال ‘Sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Maha Pemberi Rezeki, dan Yang Menetapkan harga. Aku berharap dapat bertemu Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas suatu kezaliman, baik dalam darah maupun harta.‘” (HR. Abu Dawud no. 3451, At-Tirmidzi no. 1314, dan Ahmad, 3: 156, serta lainnya dengan sanad yang sahih) [2] Kandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Ar-rizq (الرِّزْقُ): sesuatu yang dimanfaatkan. Bentuk jamaknya adalah arzaq (أرْزاق). Ar-Raziq (الرازق) merupakan isim fa’il (pelaku), sedangkan Ar-Razzaq (الرزّاق) termasuk dalam bentuk kata yang menunjukkan penekanan (sighat mubalaghah). [3] Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks Allah Ibnu Jarir rahimahullah berkata ketika menafsirkan firman Allah di surah Adz-Dzariyat ayat 58, إن اللَّهَ هو الرزاقُ خلقَه، المُتَكَفِّلُ بأقواتِهم “Dialah yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, yang menjamin kebutuhan makanan mereka.” [4] Al-Hulaimi menjelaskan makna nama Ar-Raziq, المُفيضُ على عباده؛ ما لم يجعل لأبْدانهم قواماً إلا به، والمُنْعم عليهم بإيصال حاجتهم مِنْ ذلك إليهم، لئلا تَتَنغَّص عليهم لذةُ الحياة بتأخّره عنهم، ولا يفقدوها أصْلاً لفقدهم إياه “Dia adalah Zat yang melimpahkan kepada hamba-hamba-Nya sesuatu yang membuat tubuh mereka tidak dapat bertahan hidup, kecuali dengannya. Dia adalah yang memberikan nikmat dengan menyampaikan kebutuhan mereka dari rezeki itu kepada mereka, agar tidak terganggu kenikmatan hidup mereka karena keterlambatannya dan agar mereka tidak kehilangannya sama sekali.” Sedangkan, mengenai makna Ar-Razzaq, ia berkata, وهو الرزّاق رزقاً بعدَ رزقٍ، والمُكْثِر المُوسّع له “Dia adalah yang memberikan rezeki berulang-ulang, melimpahkannya secara berkesinambungan, dan memperbanyak serta meluaskannya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Ar-Razzaq” adalah pemberi rezeki kepada seluruh hamba-Nya, karena tidak ada satu makhluk pun di bumi, melainkan rezekinya ada di sisi Allah. Rezeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Rezeki umum, yang mencakup orang baik maupun orang jahat, generasi terdahulu dan generasi belakangan. Ini adalah rezeki untuk kebutuhan jasmani. Kedua: Rezeki khusus, yaitu rezeki bagi hati, berupa pengisiannya dengan ilmu dan keimanan. Termasuk juga, rezeki halal yang membantu memperbaiki agama seseorang. Rezeki ini khusus diberikan kepada orang-orang beriman, sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing, sebagaimana yang ditetapkan oleh hikmah dan rahmat-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hamba Penetapan nama “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezeki Keyakinan bahwa hanya Allah, tanpa sekutu, yang menjadi satu-satunya pemberi rezeki. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah atas kalian. Adakah pencipta selain Allah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan yang benar, selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” (QS. Fathir: 3) Allah juga berfirman, قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi?’ Katakanlah, ‘Allah. Dan sesungguhnya kami atau kalian pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’ ” (QS. Saba’: 24) Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk menggunakan akal dalam menyadari tauhid-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah. Dia adalah satu-satunya yang menciptakan dan memberi rezeki, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya, dan tidak boleh ada sekutu, seperti berhala atau sembahan lainnya. Allah berfirman setelah itu, لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” Artinya, bagaimana kalian bisa berpaling dari ibadah kepada Allah semata setelah penjelasan ini?! [7] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-Nya Allah adalah satu-satunya yang mengatur rezeki hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki kaya dengan rezeki yang melimpah, dan menyempitkan rezeki bagi yang lain sesuai kehendak-Nya. Dalam semua itu, terdapat hikmah yang mendalam. Allah berfirman, وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS. An-Nahl: 71) Allah juga berfirman, إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 30) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berarti Allah mengetahui siapa yang layak diberi kekayaan dan siapa yang layak diberi kefakiran. [8] Ketiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Allah telah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar tidak sibuk dengan rezeki dunia yang fana hingga melupakan rezeki akhirat yang kekal. Allah berfirman, مَا عِندَكُمْ يَنفَدُّ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقي “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96) Allah juga berfirman, بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى “Tetapi, kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal, kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17) Orang yang berakal tidak akan membiarkan rezeki dunia (walaupun melimpah) mengalihkan perhatiannya dari tujuan utama ia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. [9] Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa, dan dengan karunia serta kemurahan-Nya mewariskan kepada kita surga-surga kenikmatan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilakhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136. [2] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 119. [3] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136, Lisanul ‘Arab, 10: 115. [4] Tafsir At-Thabari, 21: 556. [5] Dinukil dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 137. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 947; lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 121-122. [7] Al-Nahj Al-Asma, hal. 138. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 140. [9] Lihat Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 122-123.

Mengenal Nama Allah “Ar-Razzaaq” dan “Ar-Raaziq”

Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-RaziqKandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezekiKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-NyaKetiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Segala puji bagi Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Memberi rezeki, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Islam, mengenal nama-nama Allah bukan sekadar mengenal kata, tetapi juga memahami maknanya untuk meningkatkan keimanan. Nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq mengajarkan bahwa Allah-lah yang mencukupi seluruh makhluk-Nya dengan rezeki, baik lahiriah maupun rohaniah. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas dalil, makna, dan implikasi dari kedua nama ini, agar semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq Nama ini disebut dalam bentuk tunggal sekali saja, yaitu dalam QS. Adz-Dzariyat: 58. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Sesungguhnya Allah, Dialah Maha pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58) Ibnu Muhayshin dan lainnya membacanya sebagai Ar-Raziq (الرّازق). Nama ini juga disebut dalam bentuk jamak sebanyak lima kali, di antaranya: Dalam surah Al-Ma’idah ayat 114, Allah Ta’ala berfirman, وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan berilah kami rezeki, karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Ma’idah: 114) Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 11, Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) [1] Nama Ar-Raziq juga disebut dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Harga barang melambung pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau tetapkan harga?’ Beliau bersabda, إنَّ الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال ‘Sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Maha Pemberi Rezeki, dan Yang Menetapkan harga. Aku berharap dapat bertemu Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas suatu kezaliman, baik dalam darah maupun harta.‘” (HR. Abu Dawud no. 3451, At-Tirmidzi no. 1314, dan Ahmad, 3: 156, serta lainnya dengan sanad yang sahih) [2] Kandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Ar-rizq (الرِّزْقُ): sesuatu yang dimanfaatkan. Bentuk jamaknya adalah arzaq (أرْزاق). Ar-Raziq (الرازق) merupakan isim fa’il (pelaku), sedangkan Ar-Razzaq (الرزّاق) termasuk dalam bentuk kata yang menunjukkan penekanan (sighat mubalaghah). [3] Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks Allah Ibnu Jarir rahimahullah berkata ketika menafsirkan firman Allah di surah Adz-Dzariyat ayat 58, إن اللَّهَ هو الرزاقُ خلقَه، المُتَكَفِّلُ بأقواتِهم “Dialah yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, yang menjamin kebutuhan makanan mereka.” [4] Al-Hulaimi menjelaskan makna nama Ar-Raziq, المُفيضُ على عباده؛ ما لم يجعل لأبْدانهم قواماً إلا به، والمُنْعم عليهم بإيصال حاجتهم مِنْ ذلك إليهم، لئلا تَتَنغَّص عليهم لذةُ الحياة بتأخّره عنهم، ولا يفقدوها أصْلاً لفقدهم إياه “Dia adalah Zat yang melimpahkan kepada hamba-hamba-Nya sesuatu yang membuat tubuh mereka tidak dapat bertahan hidup, kecuali dengannya. Dia adalah yang memberikan nikmat dengan menyampaikan kebutuhan mereka dari rezeki itu kepada mereka, agar tidak terganggu kenikmatan hidup mereka karena keterlambatannya dan agar mereka tidak kehilangannya sama sekali.” Sedangkan, mengenai makna Ar-Razzaq, ia berkata, وهو الرزّاق رزقاً بعدَ رزقٍ، والمُكْثِر المُوسّع له “Dia adalah yang memberikan rezeki berulang-ulang, melimpahkannya secara berkesinambungan, dan memperbanyak serta meluaskannya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Ar-Razzaq” adalah pemberi rezeki kepada seluruh hamba-Nya, karena tidak ada satu makhluk pun di bumi, melainkan rezekinya ada di sisi Allah. Rezeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Rezeki umum, yang mencakup orang baik maupun orang jahat, generasi terdahulu dan generasi belakangan. Ini adalah rezeki untuk kebutuhan jasmani. Kedua: Rezeki khusus, yaitu rezeki bagi hati, berupa pengisiannya dengan ilmu dan keimanan. Termasuk juga, rezeki halal yang membantu memperbaiki agama seseorang. Rezeki ini khusus diberikan kepada orang-orang beriman, sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing, sebagaimana yang ditetapkan oleh hikmah dan rahmat-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hamba Penetapan nama “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezeki Keyakinan bahwa hanya Allah, tanpa sekutu, yang menjadi satu-satunya pemberi rezeki. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah atas kalian. Adakah pencipta selain Allah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan yang benar, selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” (QS. Fathir: 3) Allah juga berfirman, قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi?’ Katakanlah, ‘Allah. Dan sesungguhnya kami atau kalian pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’ ” (QS. Saba’: 24) Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk menggunakan akal dalam menyadari tauhid-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah. Dia adalah satu-satunya yang menciptakan dan memberi rezeki, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya, dan tidak boleh ada sekutu, seperti berhala atau sembahan lainnya. Allah berfirman setelah itu, لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” Artinya, bagaimana kalian bisa berpaling dari ibadah kepada Allah semata setelah penjelasan ini?! [7] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-Nya Allah adalah satu-satunya yang mengatur rezeki hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki kaya dengan rezeki yang melimpah, dan menyempitkan rezeki bagi yang lain sesuai kehendak-Nya. Dalam semua itu, terdapat hikmah yang mendalam. Allah berfirman, وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS. An-Nahl: 71) Allah juga berfirman, إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 30) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berarti Allah mengetahui siapa yang layak diberi kekayaan dan siapa yang layak diberi kefakiran. [8] Ketiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Allah telah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar tidak sibuk dengan rezeki dunia yang fana hingga melupakan rezeki akhirat yang kekal. Allah berfirman, مَا عِندَكُمْ يَنفَدُّ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقي “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96) Allah juga berfirman, بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى “Tetapi, kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal, kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17) Orang yang berakal tidak akan membiarkan rezeki dunia (walaupun melimpah) mengalihkan perhatiannya dari tujuan utama ia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. [9] Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa, dan dengan karunia serta kemurahan-Nya mewariskan kepada kita surga-surga kenikmatan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilakhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136. [2] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 119. [3] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136, Lisanul ‘Arab, 10: 115. [4] Tafsir At-Thabari, 21: 556. [5] Dinukil dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 137. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 947; lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 121-122. [7] Al-Nahj Al-Asma, hal. 138. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 140. [9] Lihat Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 122-123.
Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-RaziqKandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezekiKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-NyaKetiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Segala puji bagi Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Memberi rezeki, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Islam, mengenal nama-nama Allah bukan sekadar mengenal kata, tetapi juga memahami maknanya untuk meningkatkan keimanan. Nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq mengajarkan bahwa Allah-lah yang mencukupi seluruh makhluk-Nya dengan rezeki, baik lahiriah maupun rohaniah. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas dalil, makna, dan implikasi dari kedua nama ini, agar semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq Nama ini disebut dalam bentuk tunggal sekali saja, yaitu dalam QS. Adz-Dzariyat: 58. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Sesungguhnya Allah, Dialah Maha pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58) Ibnu Muhayshin dan lainnya membacanya sebagai Ar-Raziq (الرّازق). Nama ini juga disebut dalam bentuk jamak sebanyak lima kali, di antaranya: Dalam surah Al-Ma’idah ayat 114, Allah Ta’ala berfirman, وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan berilah kami rezeki, karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Ma’idah: 114) Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 11, Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) [1] Nama Ar-Raziq juga disebut dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Harga barang melambung pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau tetapkan harga?’ Beliau bersabda, إنَّ الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال ‘Sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Maha Pemberi Rezeki, dan Yang Menetapkan harga. Aku berharap dapat bertemu Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas suatu kezaliman, baik dalam darah maupun harta.‘” (HR. Abu Dawud no. 3451, At-Tirmidzi no. 1314, dan Ahmad, 3: 156, serta lainnya dengan sanad yang sahih) [2] Kandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Ar-rizq (الرِّزْقُ): sesuatu yang dimanfaatkan. Bentuk jamaknya adalah arzaq (أرْزاق). Ar-Raziq (الرازق) merupakan isim fa’il (pelaku), sedangkan Ar-Razzaq (الرزّاق) termasuk dalam bentuk kata yang menunjukkan penekanan (sighat mubalaghah). [3] Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks Allah Ibnu Jarir rahimahullah berkata ketika menafsirkan firman Allah di surah Adz-Dzariyat ayat 58, إن اللَّهَ هو الرزاقُ خلقَه، المُتَكَفِّلُ بأقواتِهم “Dialah yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, yang menjamin kebutuhan makanan mereka.” [4] Al-Hulaimi menjelaskan makna nama Ar-Raziq, المُفيضُ على عباده؛ ما لم يجعل لأبْدانهم قواماً إلا به، والمُنْعم عليهم بإيصال حاجتهم مِنْ ذلك إليهم، لئلا تَتَنغَّص عليهم لذةُ الحياة بتأخّره عنهم، ولا يفقدوها أصْلاً لفقدهم إياه “Dia adalah Zat yang melimpahkan kepada hamba-hamba-Nya sesuatu yang membuat tubuh mereka tidak dapat bertahan hidup, kecuali dengannya. Dia adalah yang memberikan nikmat dengan menyampaikan kebutuhan mereka dari rezeki itu kepada mereka, agar tidak terganggu kenikmatan hidup mereka karena keterlambatannya dan agar mereka tidak kehilangannya sama sekali.” Sedangkan, mengenai makna Ar-Razzaq, ia berkata, وهو الرزّاق رزقاً بعدَ رزقٍ، والمُكْثِر المُوسّع له “Dia adalah yang memberikan rezeki berulang-ulang, melimpahkannya secara berkesinambungan, dan memperbanyak serta meluaskannya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Ar-Razzaq” adalah pemberi rezeki kepada seluruh hamba-Nya, karena tidak ada satu makhluk pun di bumi, melainkan rezekinya ada di sisi Allah. Rezeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Rezeki umum, yang mencakup orang baik maupun orang jahat, generasi terdahulu dan generasi belakangan. Ini adalah rezeki untuk kebutuhan jasmani. Kedua: Rezeki khusus, yaitu rezeki bagi hati, berupa pengisiannya dengan ilmu dan keimanan. Termasuk juga, rezeki halal yang membantu memperbaiki agama seseorang. Rezeki ini khusus diberikan kepada orang-orang beriman, sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing, sebagaimana yang ditetapkan oleh hikmah dan rahmat-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hamba Penetapan nama “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezeki Keyakinan bahwa hanya Allah, tanpa sekutu, yang menjadi satu-satunya pemberi rezeki. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah atas kalian. Adakah pencipta selain Allah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan yang benar, selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” (QS. Fathir: 3) Allah juga berfirman, قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi?’ Katakanlah, ‘Allah. Dan sesungguhnya kami atau kalian pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’ ” (QS. Saba’: 24) Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk menggunakan akal dalam menyadari tauhid-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah. Dia adalah satu-satunya yang menciptakan dan memberi rezeki, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya, dan tidak boleh ada sekutu, seperti berhala atau sembahan lainnya. Allah berfirman setelah itu, لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” Artinya, bagaimana kalian bisa berpaling dari ibadah kepada Allah semata setelah penjelasan ini?! [7] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-Nya Allah adalah satu-satunya yang mengatur rezeki hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki kaya dengan rezeki yang melimpah, dan menyempitkan rezeki bagi yang lain sesuai kehendak-Nya. Dalam semua itu, terdapat hikmah yang mendalam. Allah berfirman, وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS. An-Nahl: 71) Allah juga berfirman, إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 30) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berarti Allah mengetahui siapa yang layak diberi kekayaan dan siapa yang layak diberi kefakiran. [8] Ketiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Allah telah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar tidak sibuk dengan rezeki dunia yang fana hingga melupakan rezeki akhirat yang kekal. Allah berfirman, مَا عِندَكُمْ يَنفَدُّ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقي “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96) Allah juga berfirman, بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى “Tetapi, kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal, kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17) Orang yang berakal tidak akan membiarkan rezeki dunia (walaupun melimpah) mengalihkan perhatiannya dari tujuan utama ia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. [9] Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa, dan dengan karunia serta kemurahan-Nya mewariskan kepada kita surga-surga kenikmatan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilakhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136. [2] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 119. [3] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136, Lisanul ‘Arab, 10: 115. [4] Tafsir At-Thabari, 21: 556. [5] Dinukil dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 137. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 947; lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 121-122. [7] Al-Nahj Al-Asma, hal. 138. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 140. [9] Lihat Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 122-123.


Daftar Isi Toggle Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-RaziqKandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks AllahKonsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hambaPertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezekiKedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-NyaKetiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Segala puji bagi Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Memberi rezeki, dan selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Islam, mengenal nama-nama Allah bukan sekadar mengenal kata, tetapi juga memahami maknanya untuk meningkatkan keimanan. Nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq mengajarkan bahwa Allah-lah yang mencukupi seluruh makhluk-Nya dengan rezeki, baik lahiriah maupun rohaniah. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulas dalil, makna, dan implikasi dari kedua nama ini, agar semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Dalil nama Allah Ar-Razzaq dan Ar-Raziq Nama ini disebut dalam bentuk tunggal sekali saja, yaitu dalam QS. Adz-Dzariyat: 58. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Sesungguhnya Allah, Dialah Maha pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58) Ibnu Muhayshin dan lainnya membacanya sebagai Ar-Raziq (الرّازق). Nama ini juga disebut dalam bentuk jamak sebanyak lima kali, di antaranya: Dalam surah Al-Ma’idah ayat 114, Allah Ta’ala berfirman, وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan berilah kami rezeki, karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Ma’idah: 114) Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 11, Allah Ta’ala berfirman, وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Jumu’ah: 11) [1] Nama Ar-Raziq juga disebut dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab-kitab Sunan dan Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Harga barang melambung pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau tetapkan harga?’ Beliau bersabda, إنَّ الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال ‘Sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Menggenggam, Yang Melapangkan, Yang Maha Pemberi Rezeki, dan Yang Menetapkan harga. Aku berharap dapat bertemu Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas suatu kezaliman, baik dalam darah maupun harta.‘” (HR. Abu Dawud no. 3451, At-Tirmidzi no. 1314, dan Ahmad, 3: 156, serta lainnya dengan sanad yang sahih) [2] Kandungan makna nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala. Makna bahasa dari “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq“ Ar-rizq (الرِّزْقُ): sesuatu yang dimanfaatkan. Bentuk jamaknya adalah arzaq (أرْزاق). Ar-Raziq (الرازق) merupakan isim fa’il (pelaku), sedangkan Ar-Razzaq (الرزّاق) termasuk dalam bentuk kata yang menunjukkan penekanan (sighat mubalaghah). [3] Makna “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” dalam konteks Allah Ibnu Jarir rahimahullah berkata ketika menafsirkan firman Allah di surah Adz-Dzariyat ayat 58, إن اللَّهَ هو الرزاقُ خلقَه، المُتَكَفِّلُ بأقواتِهم “Dialah yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, yang menjamin kebutuhan makanan mereka.” [4] Al-Hulaimi menjelaskan makna nama Ar-Raziq, المُفيضُ على عباده؛ ما لم يجعل لأبْدانهم قواماً إلا به، والمُنْعم عليهم بإيصال حاجتهم مِنْ ذلك إليهم، لئلا تَتَنغَّص عليهم لذةُ الحياة بتأخّره عنهم، ولا يفقدوها أصْلاً لفقدهم إياه “Dia adalah Zat yang melimpahkan kepada hamba-hamba-Nya sesuatu yang membuat tubuh mereka tidak dapat bertahan hidup, kecuali dengannya. Dia adalah yang memberikan nikmat dengan menyampaikan kebutuhan mereka dari rezeki itu kepada mereka, agar tidak terganggu kenikmatan hidup mereka karena keterlambatannya dan agar mereka tidak kehilangannya sama sekali.” Sedangkan, mengenai makna Ar-Razzaq, ia berkata, وهو الرزّاق رزقاً بعدَ رزقٍ، والمُكْثِر المُوسّع له “Dia adalah yang memberikan rezeki berulang-ulang, melimpahkannya secara berkesinambungan, dan memperbanyak serta meluaskannya.” [5] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “Ar-Razzaq” adalah pemberi rezeki kepada seluruh hamba-Nya, karena tidak ada satu makhluk pun di bumi, melainkan rezekinya ada di sisi Allah. Rezeki-Nya kepada hamba-hamba-Nya terbagi menjadi dua jenis: Pertama: Rezeki umum, yang mencakup orang baik maupun orang jahat, generasi terdahulu dan generasi belakangan. Ini adalah rezeki untuk kebutuhan jasmani. Kedua: Rezeki khusus, yaitu rezeki bagi hati, berupa pengisiannya dengan ilmu dan keimanan. Termasuk juga, rezeki halal yang membantu memperbaiki agama seseorang. Rezeki ini khusus diberikan kepada orang-orang beriman, sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing, sebagaimana yang ditetapkan oleh hikmah dan rahmat-Nya. [6] Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghaniy” Konsekuensi dari nama Allah “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi hamba Penetapan nama “Ar-Razzaq” dan “Ar-Raziq” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba: Pertama: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah sebagai satu-satunya pemberi rezeki Keyakinan bahwa hanya Allah, tanpa sekutu, yang menjadi satu-satunya pemberi rezeki. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah atas kalian. Adakah pencipta selain Allah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan yang benar, selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” (QS. Fathir: 3) Allah juga berfirman, قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi?’ Katakanlah, ‘Allah. Dan sesungguhnya kami atau kalian pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’ ” (QS. Saba’: 24) Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya untuk menggunakan akal dalam menyadari tauhid-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah. Dia adalah satu-satunya yang menciptakan dan memberi rezeki, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya, dan tidak boleh ada sekutu, seperti berhala atau sembahan lainnya. Allah berfirman setelah itu, لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ “Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maka, bagaimana mungkin kalian dipalingkan?” Artinya, bagaimana kalian bisa berpaling dari ibadah kepada Allah semata setelah penjelasan ini?! [7] Kedua: Seorang hamba harus mengimani bahwasanya hanya Allah Maha Mengatur rezeki hamba-Nya Allah adalah satu-satunya yang mengatur rezeki hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki kaya dengan rezeki yang melimpah, dan menyempitkan rezeki bagi yang lain sesuai kehendak-Nya. Dalam semua itu, terdapat hikmah yang mendalam. Allah berfirman, وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS. An-Nahl: 71) Allah juga berfirman, إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيراً بَصِيراً “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 30) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berarti Allah mengetahui siapa yang layak diberi kekayaan dan siapa yang layak diberi kefakiran. [8] Ketiga: Hendaknya seorang hamba tidak disibukkan oleh rezeki dunia yang fana dari rezeki akhirat yang kekal Allah telah memperingatkan hamba-hamba-Nya agar tidak sibuk dengan rezeki dunia yang fana hingga melupakan rezeki akhirat yang kekal. Allah berfirman, مَا عِندَكُمْ يَنفَدُّ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقي “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96) Allah juga berfirman, بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى “Tetapi, kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan kehidupan dunia. Padahal, kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17) Orang yang berakal tidak akan membiarkan rezeki dunia (walaupun melimpah) mengalihkan perhatiannya dari tujuan utama ia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. [9] Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa, dan dengan karunia serta kemurahan-Nya mewariskan kepada kita surga-surga kenikmatan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mannan” *** Rumdin PPIA Sragen, 1 Jumadilakhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah. An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.   Catatan kaki: [1] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136. [2] Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 119. [3] Al-Nahj Al-Asma, hal. 136, Lisanul ‘Arab, 10: 115. [4] Tafsir At-Thabari, 21: 556. [5] Dinukil dari Al-Nahj Al-Asma, hal. 137. [6] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 947; lihat juga Fiqh Al-Asma’ Al-Husna, hal. 121-122. [7] Al-Nahj Al-Asma, hal. 138. [8] Al-Nahj Al-Asma, hal. 140. [9] Lihat Fiqhul Asma’ Al-Husna, hal. 122-123.

Apakah Dosa Besar Tidur Sampai Habis Waktu Shalat Subuh? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ia bertanya, “Ada orang yang tidur dan sebelumnya ia memasang alarm agar bisa bangun untuk – sebagai contoh – pergi kerja, tapi ia tidak bangun untuk Shalat Subuh. Apa nasihat Anda mengenai hal ini? Perbuatan ini termasuk dosa besar. Sengaja menunda shalat hingga waktunya habis termasuk dosa besar. Orang yang melakukan itu termasuk golongan orang-orang yang lalai yang dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. al-Ma’un: 4 – 5). Allah ‘Azza wa Jalla mengancam mereka dengan kecelakaan, meskipun Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang shalat. Dia berfirman, “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat.” Namun, mereka adalah orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yakni menundanya hingga keluar dari waktunya, sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini. Orang yang menunda shalat hingga waktunya habis itu berada dalam bahaya besar. Dan ia telah melakukan salah satu dosa besar. Sehingga hendaklah ia merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena syarat masuknya waktu shalat merupakan syarat shalat yang paling ditekankan. Syarat masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ketat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa: 103). Dalam beberapa kasus, ada rukun, syarat, atau wajib shalat yang gugur demi menjaga pelaksanaan shalat pada waktunya. Kita contohkan jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mampu bersuci, tidak mampu menghadap kiblat, berdiri, rukuk, dan tidak mampu melakukan banyak hal dari rukun dan syarat shalat, maka kami katakan kepadanya: “Shalatlah sesuai dengan keadaanmu, dan jangan tunda shalat hingga waktunya habis!” Semua ini demi menjaga terpenuhinya syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menunda shalat hingga waktunya habis. Adapun alasan seseorang yang tidur larut malam atau dia susah bangun, dan lain sebagainya. Ini alasan-alasan yang tidak benar, dan buktinya dalam urusan-urusan penting manusia seseorang tidak akan beralasan dengan alasan-alasan seperti itu. Seandainya ia punya jadwal penerbangan di bandara, dan baru tidur satu jam sebelum subuh, sedangkan jadwalnya pada saat Shalat Subuh. Apakah orang itu akan beralasan dengan alasan-alasan tadi? Tidak akan! Atau dia punya jadwal penting dari urusan duniawinya, dia tidak akan beralasan dengan alasan-alasan tersebut Jadi, orang yang tidur dan baru bangun saat waktu shalat sudah habis sebab ia melakukan itu adalah kurangnya perhatian terhadap shalat. Karena seandainya seorang Muslim perhatian terhadap shalatnya, niscaya ia akan melaksanakannya secara berjamaah di Masjid, dan tidak telat darinya. Karena orang yang perhatian terhadap sesuatu akan berusaha menjaganya. Oleh sebab itu, kamu dapati seseorang dalam urusan duniawi yang sangat ia perhatikan, jika perhatiannya besar, maka ia tidak hanya datang pada waktu yang ditentukan, tapi bahkan ia datang lebih dulu dan berjaga-jaga jika ada halangan. Jadi, masalah ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya salat itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. al-Baqarah: 45). Orang yang khusyuk dan jujur kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla tidak akan merasa berat, malas, dan ragu. Namun, bagi orang yang menganggap shalat sebagai hal sampingan dan bukan hal yang menjadi perhatian terbesarnya inilah yang merasa berat menjalankan shalat. Terkadang ia melaksanakan shalat pada waktunya, terkadang secara berjamaah, dan terkadang menundanya hingga waktunya habis. Akibat kurangnya perhatiannya terhadap shalat. Shalat adalah tiang agama Islam dan rukun Islam paling penting setelah syahadat. Sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu saat menulis surat kepada para gubernurnya: “Urusan terpenting kalian bagiku adalah shalat Barang siapa yang menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya Dan barang siapa melalaikannya, maka ia akan lebih lalai dalam urusan lain.” ==== سَأَلَ يَقُولُ هُنَاكَ مَنْ يَنَامُ وَيَضَعُ الْمُنَبِّهَ لِلدَّوَامِ مَثَلًا لَكِنَّهُ لَا يَسْتَيْقِظُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ مَا تَوْجِيْهُكُمْ حَوْلَ ذَلِكَ؟ هَذَا الْعَمَلُ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ تَعَمُّدُ تَأْخِيرِ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا مِنَ الْكَبَائِرِ وَمَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ يَدْخُلُ فِي السَّاهِيْنَ الَّذِيْنَ ذَمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ فَتَوَعَّدَهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْوَيْلِ وَوَصَفَهُمْ بِأَنَّهُمْ مُصَلُّوْنَ قَالَ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ لَكِنَّهُمْ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ يَعْنِي يُؤَخِّرُوْنَهَا عَنْ وَقْتِهَا كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَالَّذِي يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَهُوَ مُرْتَكِبٌ لِكَبِيرَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذْ أَنَّ شَرْطَ الصَّلَاةِ أَيْ أَنَّ شَرْطَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ شَرْطَ دُخُولِ الْوَقْتِ آكَدُ الشُّرُوطِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوتًا وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوطُ وَالْوَاجِبَاتُ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ لَوْ افْتَرَضْنَا مَثَلًا أَنَّ رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً كَانَ عَاجِزًا عَنِ الطَّهَارَةِ عَاجِزًا عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عَاجِزًا عَنِ الْقِيَامِ عَاجِزًا عَنِ الرُّكُوعِ عَاجِزًا عَنِ الأُمُورِ الكَثِيرَةِ مِنَ الأَركَانِ وَالشُّرُطِ نَقُولُ صَلِّ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ وَلَا تَدَعِ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا كُلُّ ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ فَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا وَأَمَّا الدَّعْوَى أَنَّ الْإِنْسَانَ نَامَ مُتَأَخِّرًا أَوْ أَنَّهُ ثَقِيْلُ النَّوْمِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ هَذِهِ دَعَاوَى غَيْرُ صَحِيحَةٍ بِدَلِيلِ أَنَّ الْأُمُورَ الدُّنْيَوِيَّةَ الْمُهِمَّةَ لِلْإِنْسَانِ لَا يَعْتَذِرُ الإِنْسَانُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأَعْذَارِ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ مَوْعِدٌ فِي الْمَطَارِ وَلَمْ يَنَمْ قَبْلَ الْفَجْرِ إِلَّا بِسَاعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْعِدٌ وَقْتَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَهَلْ تَجِدُ أَنَّهُ يَعْتَذِرُ بِهَا بِهَذَا الْعُذْرِ؟ لَا يَعْتَذِرُ أَبَدًا أَوْ عِنْدَهُ أَيُّ مَوْعِدٍ مُهِمٍّ مِنْ أُمُورِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ لَا يَعْتَذِرُ بِهَذِهِ الأَعْذَارِ فَهَذَا الَّذِي يَنَامُ وَلَا يَسْتَيْقِظُ إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هَذَا السَّبَبُ الرَّئِيسُ لِهَذَا هُوَ قِلَّةُ الِاهْتِمَامِ بِالصَّلَاةِ وَإِلَّا لَوْ اهْتَمَّ الْمُسْلِمُ بِالصَّلَاةِ لَأَقَامَهَا مَعَ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَلَمْ يَتَأَخَّرْ عَنْهَا إِذْ أَنَّ مَنِ اهْتَمَّ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ يُحَافِظُ عَلَيْهِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ فِي أُمُورِهِ فِي الدُّنْيَا الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ الَّتِي يَهْتَمُّ بِهَا إِذَا كَانَ الِاهْتِمَامُ كَبِيرًا تَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فَقَطْ يَأْتِي فِي الْوَقْتِ الْمُحَدَّدِ بَلْ يُبَكِّرُ وَيَحْتَاطُ الْعَوَارِضَ فَالْمَسْأَلَةُ هِيَ كَمَا قَالَ رَبَّنَا سُبْحَانَهُ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِيْنَ فَالْخَاشِعُ الصَّادِقُ مَعَ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجِدَ ثِقَلًا وَلَا كَسَلًا وَلَا تَرَدُّدًا لَكِنْ مَنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْهَامِشِ وَلَيْسَتْ أَكْبَرَ اهْتِمَامَاتِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي تَثْقُلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ فَتَارَةً يُصَلِّي فِي الْوَقْتِ وَتَارَةً مَعَ الْجَمَاعَةِ وَتَارَةً يُؤَخِّرُهَا عَنْ وَقْتِهَا بِسَبَبِ قِلَّةِ اهْتِمَامِهِ بِالصَّلَاةِ وَالصَّلَاةُ هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ وَهِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا كَتَبَ لِوُلَاتِه قَالَ إِنَّ أَهَمَّ أُمُورِكُمْ عِنْدِيْ الصَّلَاةُ فَمَنْ حَفِظَهَا فَقَدْ حَفِظَ دِيْنَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ

Apakah Dosa Besar Tidur Sampai Habis Waktu Shalat Subuh? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Ia bertanya, “Ada orang yang tidur dan sebelumnya ia memasang alarm agar bisa bangun untuk – sebagai contoh – pergi kerja, tapi ia tidak bangun untuk Shalat Subuh. Apa nasihat Anda mengenai hal ini? Perbuatan ini termasuk dosa besar. Sengaja menunda shalat hingga waktunya habis termasuk dosa besar. Orang yang melakukan itu termasuk golongan orang-orang yang lalai yang dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. al-Ma’un: 4 – 5). Allah ‘Azza wa Jalla mengancam mereka dengan kecelakaan, meskipun Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang shalat. Dia berfirman, “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat.” Namun, mereka adalah orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yakni menundanya hingga keluar dari waktunya, sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini. Orang yang menunda shalat hingga waktunya habis itu berada dalam bahaya besar. Dan ia telah melakukan salah satu dosa besar. Sehingga hendaklah ia merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena syarat masuknya waktu shalat merupakan syarat shalat yang paling ditekankan. Syarat masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ketat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa: 103). Dalam beberapa kasus, ada rukun, syarat, atau wajib shalat yang gugur demi menjaga pelaksanaan shalat pada waktunya. Kita contohkan jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mampu bersuci, tidak mampu menghadap kiblat, berdiri, rukuk, dan tidak mampu melakukan banyak hal dari rukun dan syarat shalat, maka kami katakan kepadanya: “Shalatlah sesuai dengan keadaanmu, dan jangan tunda shalat hingga waktunya habis!” Semua ini demi menjaga terpenuhinya syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menunda shalat hingga waktunya habis. Adapun alasan seseorang yang tidur larut malam atau dia susah bangun, dan lain sebagainya. Ini alasan-alasan yang tidak benar, dan buktinya dalam urusan-urusan penting manusia seseorang tidak akan beralasan dengan alasan-alasan seperti itu. Seandainya ia punya jadwal penerbangan di bandara, dan baru tidur satu jam sebelum subuh, sedangkan jadwalnya pada saat Shalat Subuh. Apakah orang itu akan beralasan dengan alasan-alasan tadi? Tidak akan! Atau dia punya jadwal penting dari urusan duniawinya, dia tidak akan beralasan dengan alasan-alasan tersebut Jadi, orang yang tidur dan baru bangun saat waktu shalat sudah habis sebab ia melakukan itu adalah kurangnya perhatian terhadap shalat. Karena seandainya seorang Muslim perhatian terhadap shalatnya, niscaya ia akan melaksanakannya secara berjamaah di Masjid, dan tidak telat darinya. Karena orang yang perhatian terhadap sesuatu akan berusaha menjaganya. Oleh sebab itu, kamu dapati seseorang dalam urusan duniawi yang sangat ia perhatikan, jika perhatiannya besar, maka ia tidak hanya datang pada waktu yang ditentukan, tapi bahkan ia datang lebih dulu dan berjaga-jaga jika ada halangan. Jadi, masalah ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya salat itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. al-Baqarah: 45). Orang yang khusyuk dan jujur kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla tidak akan merasa berat, malas, dan ragu. Namun, bagi orang yang menganggap shalat sebagai hal sampingan dan bukan hal yang menjadi perhatian terbesarnya inilah yang merasa berat menjalankan shalat. Terkadang ia melaksanakan shalat pada waktunya, terkadang secara berjamaah, dan terkadang menundanya hingga waktunya habis. Akibat kurangnya perhatiannya terhadap shalat. Shalat adalah tiang agama Islam dan rukun Islam paling penting setelah syahadat. Sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu saat menulis surat kepada para gubernurnya: “Urusan terpenting kalian bagiku adalah shalat Barang siapa yang menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya Dan barang siapa melalaikannya, maka ia akan lebih lalai dalam urusan lain.” ==== سَأَلَ يَقُولُ هُنَاكَ مَنْ يَنَامُ وَيَضَعُ الْمُنَبِّهَ لِلدَّوَامِ مَثَلًا لَكِنَّهُ لَا يَسْتَيْقِظُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ مَا تَوْجِيْهُكُمْ حَوْلَ ذَلِكَ؟ هَذَا الْعَمَلُ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ تَعَمُّدُ تَأْخِيرِ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا مِنَ الْكَبَائِرِ وَمَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ يَدْخُلُ فِي السَّاهِيْنَ الَّذِيْنَ ذَمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ فَتَوَعَّدَهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْوَيْلِ وَوَصَفَهُمْ بِأَنَّهُمْ مُصَلُّوْنَ قَالَ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ لَكِنَّهُمْ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ يَعْنِي يُؤَخِّرُوْنَهَا عَنْ وَقْتِهَا كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَالَّذِي يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَهُوَ مُرْتَكِبٌ لِكَبِيرَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذْ أَنَّ شَرْطَ الصَّلَاةِ أَيْ أَنَّ شَرْطَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ شَرْطَ دُخُولِ الْوَقْتِ آكَدُ الشُّرُوطِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوتًا وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوطُ وَالْوَاجِبَاتُ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ لَوْ افْتَرَضْنَا مَثَلًا أَنَّ رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً كَانَ عَاجِزًا عَنِ الطَّهَارَةِ عَاجِزًا عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عَاجِزًا عَنِ الْقِيَامِ عَاجِزًا عَنِ الرُّكُوعِ عَاجِزًا عَنِ الأُمُورِ الكَثِيرَةِ مِنَ الأَركَانِ وَالشُّرُطِ نَقُولُ صَلِّ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ وَلَا تَدَعِ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا كُلُّ ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ فَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا وَأَمَّا الدَّعْوَى أَنَّ الْإِنْسَانَ نَامَ مُتَأَخِّرًا أَوْ أَنَّهُ ثَقِيْلُ النَّوْمِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ هَذِهِ دَعَاوَى غَيْرُ صَحِيحَةٍ بِدَلِيلِ أَنَّ الْأُمُورَ الدُّنْيَوِيَّةَ الْمُهِمَّةَ لِلْإِنْسَانِ لَا يَعْتَذِرُ الإِنْسَانُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأَعْذَارِ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ مَوْعِدٌ فِي الْمَطَارِ وَلَمْ يَنَمْ قَبْلَ الْفَجْرِ إِلَّا بِسَاعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْعِدٌ وَقْتَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَهَلْ تَجِدُ أَنَّهُ يَعْتَذِرُ بِهَا بِهَذَا الْعُذْرِ؟ لَا يَعْتَذِرُ أَبَدًا أَوْ عِنْدَهُ أَيُّ مَوْعِدٍ مُهِمٍّ مِنْ أُمُورِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ لَا يَعْتَذِرُ بِهَذِهِ الأَعْذَارِ فَهَذَا الَّذِي يَنَامُ وَلَا يَسْتَيْقِظُ إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هَذَا السَّبَبُ الرَّئِيسُ لِهَذَا هُوَ قِلَّةُ الِاهْتِمَامِ بِالصَّلَاةِ وَإِلَّا لَوْ اهْتَمَّ الْمُسْلِمُ بِالصَّلَاةِ لَأَقَامَهَا مَعَ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَلَمْ يَتَأَخَّرْ عَنْهَا إِذْ أَنَّ مَنِ اهْتَمَّ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ يُحَافِظُ عَلَيْهِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ فِي أُمُورِهِ فِي الدُّنْيَا الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ الَّتِي يَهْتَمُّ بِهَا إِذَا كَانَ الِاهْتِمَامُ كَبِيرًا تَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فَقَطْ يَأْتِي فِي الْوَقْتِ الْمُحَدَّدِ بَلْ يُبَكِّرُ وَيَحْتَاطُ الْعَوَارِضَ فَالْمَسْأَلَةُ هِيَ كَمَا قَالَ رَبَّنَا سُبْحَانَهُ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِيْنَ فَالْخَاشِعُ الصَّادِقُ مَعَ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجِدَ ثِقَلًا وَلَا كَسَلًا وَلَا تَرَدُّدًا لَكِنْ مَنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْهَامِشِ وَلَيْسَتْ أَكْبَرَ اهْتِمَامَاتِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي تَثْقُلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ فَتَارَةً يُصَلِّي فِي الْوَقْتِ وَتَارَةً مَعَ الْجَمَاعَةِ وَتَارَةً يُؤَخِّرُهَا عَنْ وَقْتِهَا بِسَبَبِ قِلَّةِ اهْتِمَامِهِ بِالصَّلَاةِ وَالصَّلَاةُ هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ وَهِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا كَتَبَ لِوُلَاتِه قَالَ إِنَّ أَهَمَّ أُمُورِكُمْ عِنْدِيْ الصَّلَاةُ فَمَنْ حَفِظَهَا فَقَدْ حَفِظَ دِيْنَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ
Ia bertanya, “Ada orang yang tidur dan sebelumnya ia memasang alarm agar bisa bangun untuk – sebagai contoh – pergi kerja, tapi ia tidak bangun untuk Shalat Subuh. Apa nasihat Anda mengenai hal ini? Perbuatan ini termasuk dosa besar. Sengaja menunda shalat hingga waktunya habis termasuk dosa besar. Orang yang melakukan itu termasuk golongan orang-orang yang lalai yang dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. al-Ma’un: 4 – 5). Allah ‘Azza wa Jalla mengancam mereka dengan kecelakaan, meskipun Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang shalat. Dia berfirman, “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat.” Namun, mereka adalah orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yakni menundanya hingga keluar dari waktunya, sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini. Orang yang menunda shalat hingga waktunya habis itu berada dalam bahaya besar. Dan ia telah melakukan salah satu dosa besar. Sehingga hendaklah ia merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena syarat masuknya waktu shalat merupakan syarat shalat yang paling ditekankan. Syarat masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ketat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa: 103). Dalam beberapa kasus, ada rukun, syarat, atau wajib shalat yang gugur demi menjaga pelaksanaan shalat pada waktunya. Kita contohkan jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mampu bersuci, tidak mampu menghadap kiblat, berdiri, rukuk, dan tidak mampu melakukan banyak hal dari rukun dan syarat shalat, maka kami katakan kepadanya: “Shalatlah sesuai dengan keadaanmu, dan jangan tunda shalat hingga waktunya habis!” Semua ini demi menjaga terpenuhinya syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menunda shalat hingga waktunya habis. Adapun alasan seseorang yang tidur larut malam atau dia susah bangun, dan lain sebagainya. Ini alasan-alasan yang tidak benar, dan buktinya dalam urusan-urusan penting manusia seseorang tidak akan beralasan dengan alasan-alasan seperti itu. Seandainya ia punya jadwal penerbangan di bandara, dan baru tidur satu jam sebelum subuh, sedangkan jadwalnya pada saat Shalat Subuh. Apakah orang itu akan beralasan dengan alasan-alasan tadi? Tidak akan! Atau dia punya jadwal penting dari urusan duniawinya, dia tidak akan beralasan dengan alasan-alasan tersebut Jadi, orang yang tidur dan baru bangun saat waktu shalat sudah habis sebab ia melakukan itu adalah kurangnya perhatian terhadap shalat. Karena seandainya seorang Muslim perhatian terhadap shalatnya, niscaya ia akan melaksanakannya secara berjamaah di Masjid, dan tidak telat darinya. Karena orang yang perhatian terhadap sesuatu akan berusaha menjaganya. Oleh sebab itu, kamu dapati seseorang dalam urusan duniawi yang sangat ia perhatikan, jika perhatiannya besar, maka ia tidak hanya datang pada waktu yang ditentukan, tapi bahkan ia datang lebih dulu dan berjaga-jaga jika ada halangan. Jadi, masalah ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya salat itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. al-Baqarah: 45). Orang yang khusyuk dan jujur kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla tidak akan merasa berat, malas, dan ragu. Namun, bagi orang yang menganggap shalat sebagai hal sampingan dan bukan hal yang menjadi perhatian terbesarnya inilah yang merasa berat menjalankan shalat. Terkadang ia melaksanakan shalat pada waktunya, terkadang secara berjamaah, dan terkadang menundanya hingga waktunya habis. Akibat kurangnya perhatiannya terhadap shalat. Shalat adalah tiang agama Islam dan rukun Islam paling penting setelah syahadat. Sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu saat menulis surat kepada para gubernurnya: “Urusan terpenting kalian bagiku adalah shalat Barang siapa yang menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya Dan barang siapa melalaikannya, maka ia akan lebih lalai dalam urusan lain.” ==== سَأَلَ يَقُولُ هُنَاكَ مَنْ يَنَامُ وَيَضَعُ الْمُنَبِّهَ لِلدَّوَامِ مَثَلًا لَكِنَّهُ لَا يَسْتَيْقِظُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ مَا تَوْجِيْهُكُمْ حَوْلَ ذَلِكَ؟ هَذَا الْعَمَلُ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ تَعَمُّدُ تَأْخِيرِ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا مِنَ الْكَبَائِرِ وَمَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ يَدْخُلُ فِي السَّاهِيْنَ الَّذِيْنَ ذَمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ فَتَوَعَّدَهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْوَيْلِ وَوَصَفَهُمْ بِأَنَّهُمْ مُصَلُّوْنَ قَالَ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ لَكِنَّهُمْ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ يَعْنِي يُؤَخِّرُوْنَهَا عَنْ وَقْتِهَا كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَالَّذِي يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَهُوَ مُرْتَكِبٌ لِكَبِيرَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذْ أَنَّ شَرْطَ الصَّلَاةِ أَيْ أَنَّ شَرْطَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ شَرْطَ دُخُولِ الْوَقْتِ آكَدُ الشُّرُوطِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوتًا وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوطُ وَالْوَاجِبَاتُ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ لَوْ افْتَرَضْنَا مَثَلًا أَنَّ رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً كَانَ عَاجِزًا عَنِ الطَّهَارَةِ عَاجِزًا عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عَاجِزًا عَنِ الْقِيَامِ عَاجِزًا عَنِ الرُّكُوعِ عَاجِزًا عَنِ الأُمُورِ الكَثِيرَةِ مِنَ الأَركَانِ وَالشُّرُطِ نَقُولُ صَلِّ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ وَلَا تَدَعِ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا كُلُّ ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ فَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا وَأَمَّا الدَّعْوَى أَنَّ الْإِنْسَانَ نَامَ مُتَأَخِّرًا أَوْ أَنَّهُ ثَقِيْلُ النَّوْمِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ هَذِهِ دَعَاوَى غَيْرُ صَحِيحَةٍ بِدَلِيلِ أَنَّ الْأُمُورَ الدُّنْيَوِيَّةَ الْمُهِمَّةَ لِلْإِنْسَانِ لَا يَعْتَذِرُ الإِنْسَانُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأَعْذَارِ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ مَوْعِدٌ فِي الْمَطَارِ وَلَمْ يَنَمْ قَبْلَ الْفَجْرِ إِلَّا بِسَاعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْعِدٌ وَقْتَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَهَلْ تَجِدُ أَنَّهُ يَعْتَذِرُ بِهَا بِهَذَا الْعُذْرِ؟ لَا يَعْتَذِرُ أَبَدًا أَوْ عِنْدَهُ أَيُّ مَوْعِدٍ مُهِمٍّ مِنْ أُمُورِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ لَا يَعْتَذِرُ بِهَذِهِ الأَعْذَارِ فَهَذَا الَّذِي يَنَامُ وَلَا يَسْتَيْقِظُ إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هَذَا السَّبَبُ الرَّئِيسُ لِهَذَا هُوَ قِلَّةُ الِاهْتِمَامِ بِالصَّلَاةِ وَإِلَّا لَوْ اهْتَمَّ الْمُسْلِمُ بِالصَّلَاةِ لَأَقَامَهَا مَعَ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَلَمْ يَتَأَخَّرْ عَنْهَا إِذْ أَنَّ مَنِ اهْتَمَّ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ يُحَافِظُ عَلَيْهِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ فِي أُمُورِهِ فِي الدُّنْيَا الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ الَّتِي يَهْتَمُّ بِهَا إِذَا كَانَ الِاهْتِمَامُ كَبِيرًا تَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فَقَطْ يَأْتِي فِي الْوَقْتِ الْمُحَدَّدِ بَلْ يُبَكِّرُ وَيَحْتَاطُ الْعَوَارِضَ فَالْمَسْأَلَةُ هِيَ كَمَا قَالَ رَبَّنَا سُبْحَانَهُ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِيْنَ فَالْخَاشِعُ الصَّادِقُ مَعَ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجِدَ ثِقَلًا وَلَا كَسَلًا وَلَا تَرَدُّدًا لَكِنْ مَنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْهَامِشِ وَلَيْسَتْ أَكْبَرَ اهْتِمَامَاتِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي تَثْقُلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ فَتَارَةً يُصَلِّي فِي الْوَقْتِ وَتَارَةً مَعَ الْجَمَاعَةِ وَتَارَةً يُؤَخِّرُهَا عَنْ وَقْتِهَا بِسَبَبِ قِلَّةِ اهْتِمَامِهِ بِالصَّلَاةِ وَالصَّلَاةُ هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ وَهِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا كَتَبَ لِوُلَاتِه قَالَ إِنَّ أَهَمَّ أُمُورِكُمْ عِنْدِيْ الصَّلَاةُ فَمَنْ حَفِظَهَا فَقَدْ حَفِظَ دِيْنَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ


Ia bertanya, “Ada orang yang tidur dan sebelumnya ia memasang alarm agar bisa bangun untuk – sebagai contoh – pergi kerja, tapi ia tidak bangun untuk Shalat Subuh. Apa nasihat Anda mengenai hal ini? Perbuatan ini termasuk dosa besar. Sengaja menunda shalat hingga waktunya habis termasuk dosa besar. Orang yang melakukan itu termasuk golongan orang-orang yang lalai yang dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. al-Ma’un: 4 – 5). Allah ‘Azza wa Jalla mengancam mereka dengan kecelakaan, meskipun Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang shalat. Dia berfirman, “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat.” Namun, mereka adalah orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yakni menundanya hingga keluar dari waktunya, sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini. Orang yang menunda shalat hingga waktunya habis itu berada dalam bahaya besar. Dan ia telah melakukan salah satu dosa besar. Sehingga hendaklah ia merasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena syarat masuknya waktu shalat merupakan syarat shalat yang paling ditekankan. Syarat masuknya waktu shalat adalah syarat yang paling ketat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa: 103). Dalam beberapa kasus, ada rukun, syarat, atau wajib shalat yang gugur demi menjaga pelaksanaan shalat pada waktunya. Kita contohkan jika ada seorang laki-laki atau perempuan yang tidak mampu bersuci, tidak mampu menghadap kiblat, berdiri, rukuk, dan tidak mampu melakukan banyak hal dari rukun dan syarat shalat, maka kami katakan kepadanya: “Shalatlah sesuai dengan keadaanmu, dan jangan tunda shalat hingga waktunya habis!” Semua ini demi menjaga terpenuhinya syarat masuknya waktu shalat. Tidak boleh menunda shalat hingga waktunya habis. Adapun alasan seseorang yang tidur larut malam atau dia susah bangun, dan lain sebagainya. Ini alasan-alasan yang tidak benar, dan buktinya dalam urusan-urusan penting manusia seseorang tidak akan beralasan dengan alasan-alasan seperti itu. Seandainya ia punya jadwal penerbangan di bandara, dan baru tidur satu jam sebelum subuh, sedangkan jadwalnya pada saat Shalat Subuh. Apakah orang itu akan beralasan dengan alasan-alasan tadi? Tidak akan! Atau dia punya jadwal penting dari urusan duniawinya, dia tidak akan beralasan dengan alasan-alasan tersebut Jadi, orang yang tidur dan baru bangun saat waktu shalat sudah habis sebab ia melakukan itu adalah kurangnya perhatian terhadap shalat. Karena seandainya seorang Muslim perhatian terhadap shalatnya, niscaya ia akan melaksanakannya secara berjamaah di Masjid, dan tidak telat darinya. Karena orang yang perhatian terhadap sesuatu akan berusaha menjaganya. Oleh sebab itu, kamu dapati seseorang dalam urusan duniawi yang sangat ia perhatikan, jika perhatiannya besar, maka ia tidak hanya datang pada waktu yang ditentukan, tapi bahkan ia datang lebih dulu dan berjaga-jaga jika ada halangan. Jadi, masalah ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya salat itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. al-Baqarah: 45). Orang yang khusyuk dan jujur kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla tidak akan merasa berat, malas, dan ragu. Namun, bagi orang yang menganggap shalat sebagai hal sampingan dan bukan hal yang menjadi perhatian terbesarnya inilah yang merasa berat menjalankan shalat. Terkadang ia melaksanakan shalat pada waktunya, terkadang secara berjamaah, dan terkadang menundanya hingga waktunya habis. Akibat kurangnya perhatiannya terhadap shalat. Shalat adalah tiang agama Islam dan rukun Islam paling penting setelah syahadat. Sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu saat menulis surat kepada para gubernurnya: “Urusan terpenting kalian bagiku adalah shalat Barang siapa yang menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya Dan barang siapa melalaikannya, maka ia akan lebih lalai dalam urusan lain.” ==== سَأَلَ يَقُولُ هُنَاكَ مَنْ يَنَامُ وَيَضَعُ الْمُنَبِّهَ لِلدَّوَامِ مَثَلًا لَكِنَّهُ لَا يَسْتَيْقِظُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ مَا تَوْجِيْهُكُمْ حَوْلَ ذَلِكَ؟ هَذَا الْعَمَلُ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ تَعَمُّدُ تَأْخِيرِ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا مِنَ الْكَبَائِرِ وَمَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ يَدْخُلُ فِي السَّاهِيْنَ الَّذِيْنَ ذَمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَوْلِهِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ فَتَوَعَّدَهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِالْوَيْلِ وَوَصَفَهُمْ بِأَنَّهُمْ مُصَلُّوْنَ قَالَ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ لَكِنَّهُمْ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ يَعْنِي يُؤَخِّرُوْنَهَا عَنْ وَقْتِهَا كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَالَّذِي يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ وَهُوَ مُرْتَكِبٌ لِكَبِيرَةٍ مِنَ الْكَبَائِرِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذْ أَنَّ شَرْطَ الصَّلَاةِ أَيْ أَنَّ شَرْطَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هُوَ آكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ شَرْطَ دُخُولِ الْوَقْتِ آكَدُ الشُّرُوطِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوتًا وَقَدْ تَسْقُطُ كَثِيرٌ مِنَ الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوطُ وَالْوَاجِبَاتُ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ لَوْ افْتَرَضْنَا مَثَلًا أَنَّ رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً كَانَ عَاجِزًا عَنِ الطَّهَارَةِ عَاجِزًا عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ عَاجِزًا عَنِ الْقِيَامِ عَاجِزًا عَنِ الرُّكُوعِ عَاجِزًا عَنِ الأُمُورِ الكَثِيرَةِ مِنَ الأَركَانِ وَالشُّرُطِ نَقُولُ صَلِّ عَلَى حَسَبِ حَالِكَ وَلَا تَدَعِ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا كُلُّ ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِشَرْطِ الْوَقْتِ فَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا وَأَمَّا الدَّعْوَى أَنَّ الْإِنْسَانَ نَامَ مُتَأَخِّرًا أَوْ أَنَّهُ ثَقِيْلُ النَّوْمِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ هَذِهِ دَعَاوَى غَيْرُ صَحِيحَةٍ بِدَلِيلِ أَنَّ الْأُمُورَ الدُّنْيَوِيَّةَ الْمُهِمَّةَ لِلْإِنْسَانِ لَا يَعْتَذِرُ الإِنْسَانُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْأَعْذَارِ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ مَوْعِدٌ فِي الْمَطَارِ وَلَمْ يَنَمْ قَبْلَ الْفَجْرِ إِلَّا بِسَاعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْعِدٌ وَقْتَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَهَلْ تَجِدُ أَنَّهُ يَعْتَذِرُ بِهَا بِهَذَا الْعُذْرِ؟ لَا يَعْتَذِرُ أَبَدًا أَوْ عِنْدَهُ أَيُّ مَوْعِدٍ مُهِمٍّ مِنْ أُمُورِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ لَا يَعْتَذِرُ بِهَذِهِ الأَعْذَارِ فَهَذَا الَّذِي يَنَامُ وَلَا يَسْتَيْقِظُ إِلَّا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِ الصَّلَاةِ هَذَا السَّبَبُ الرَّئِيسُ لِهَذَا هُوَ قِلَّةُ الِاهْتِمَامِ بِالصَّلَاةِ وَإِلَّا لَوْ اهْتَمَّ الْمُسْلِمُ بِالصَّلَاةِ لَأَقَامَهَا مَعَ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَلَمْ يَتَأَخَّرْ عَنْهَا إِذْ أَنَّ مَنِ اهْتَمَّ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ يُحَافِظُ عَلَيْهِ وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْإِنْسَانَ فِي أُمُورِهِ فِي الدُّنْيَا الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ الَّتِي يَهْتَمُّ بِهَا إِذَا كَانَ الِاهْتِمَامُ كَبِيرًا تَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فَقَطْ يَأْتِي فِي الْوَقْتِ الْمُحَدَّدِ بَلْ يُبَكِّرُ وَيَحْتَاطُ الْعَوَارِضَ فَالْمَسْأَلَةُ هِيَ كَمَا قَالَ رَبَّنَا سُبْحَانَهُ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِيْنَ فَالْخَاشِعُ الصَّادِقُ مَعَ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجِدَ ثِقَلًا وَلَا كَسَلًا وَلَا تَرَدُّدًا لَكِنْ مَنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ عَلَى الْهَامِشِ وَلَيْسَتْ أَكْبَرَ اهْتِمَامَاتِهِ هَذَا هُوَ الَّذِي تَثْقُلُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ فَتَارَةً يُصَلِّي فِي الْوَقْتِ وَتَارَةً مَعَ الْجَمَاعَةِ وَتَارَةً يُؤَخِّرُهَا عَنْ وَقْتِهَا بِسَبَبِ قِلَّةِ اهْتِمَامِهِ بِالصَّلَاةِ وَالصَّلَاةُ هِيَ عَمُودُ دِينِ الْإِسْلَامِ وَهِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ كَمَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا كَتَبَ لِوُلَاتِه قَالَ إِنَّ أَهَمَّ أُمُورِكُمْ عِنْدِيْ الصَّلَاةُ فَمَنْ حَفِظَهَا فَقَدْ حَفِظَ دِيْنَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ

Sibuklah Mengurusi Kekurangan Diri

Daftar Isi Toggle Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinyaKeburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhiratMeraih keselamatan dengan amal dan ketaatanMenghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Apakah kita sadar dengan kekurangan diri, tetapi memilih untuk mengabaikannya? Inilah salah satu musibah terbesar bagi seorang hamba! Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, من أعظم المصائب للرجل أن يعلم من نفسه تقصيرا و لا يبالي و لا يحزن عليه “Termasuk musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah dia mengetahui adanya kekurangan pada dirinya, tetapi dia tidak peduli dan tidak merasa sedih karenanya.” (Syu’abul Iman, hal. 867) Ingatlah, mengenali kekurangan diri dan tidak memperbaikinya adalah jalan kehancuran. Jiwa yang tidak diperhatikan akan semakin rusak. Dan kerusakan itu tidak hanya terjadi di dunia, tetapi juga akan membawa kerugian di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا, فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا, قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا, وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا “Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10) Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinya Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun, masalah besar muncul ketika seseorang tidak peduli dengan kekurangannya dan malah terus memperburuk kondisinya dengan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa agar Allah menyucikan jiwa kita. Beliau bersabda, اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkaulah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkaulah Yang Menjaga serta Melindunginya.” (HR. Muslim no. 2722) Dengan doa ini, Rasulullah mengajarkan pentingnya memohon pertolongan Allah untuk memperbaiki dan menyucikan diri kita. Mengabaikan kekurangan hanya akan memperburuk keadaan dan menjauhkan kita dari rahmat-Nya. Karena itu, setiap muslim harus peduli dan berusaha menutup kekurangan dengan amal-amal saleh. Keburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhirat Orang yang sadar akan kekurangannya, tetapi enggan memperbaikinya telah menempatkan dirinya dalam bahaya besar. Ia tidak hanya kehilangan kesempatan memperbaiki diri, tetapi juga memperbesar dosa dan menambah kotoran dalam hatinya. Allah Ta’ala memperingatkan, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Orang yang terus menerus melakukan dosa tanpa rasa penyesalan akan semakin terperosok dalam keburukan. Jiwa yang dibiarkan kotor akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam kesengsaraan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Maka, jangan biarkan jiwa kita rusak hanya karena ketidakpedulian terhadap kekurangan diri. Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Meraih keselamatan dengan amal dan ketaatan Keselamatan jiwa hanya bisa diraih dengan kesadaran, usaha, dan doa. Usaha memperbaiki kekurangan harus dilakukan dengan amal-amal saleh, seperti memperbanyak istigfar, mendirikan salat, dan menjauhi dosa. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya (dengan iman dan amal saleh).” (QS. Al-A’la: 14) Ketahuilah, jiwa yang bersih dan taat akan membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati. Sebaliknya, jiwa yang terus-menerus dibiarkan dalam kelalaian akan menumpuk dosa dan mengundang kemurkaan Allah. Inilah sebabnya kita harus selalu memohon taufik dan hidayah agar tetap berada di atas jalan yang lurus hingga akhir hayat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdoa memohon istikamah dalam keimanan dan ketaatan. Menghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Agar kita tidak terperangkap dalam kelalaian, setiap muslim perlu melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin. Muhasabah adalah upaya untuk menilai kekurangan dan dosa yang telah dilakukan, kemudian mencari solusi agar tidak terulang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi no. 2459) Langkah berikutnya adalah bertobat dengan tulus atas setiap dosa dan kekurangan yang kita sadari. Allah Ta’ala berfirman, وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Tobat adalah komitmen untuk tidak mengulangi perbuatan dosa disertai memperbanyak amal saleh sebagai bentuk perbaikan diri. Allah mencintai orang-orang yang senantiasa bertobat dan membersihkan diri, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222. Mudah-mudahan dengan introspeksi dan tobat, kita dapat menghidupkan kembali jiwa yang kotor akibat kelalaian dan dosa. Allah telah memberikan kita kesempatan untuk kembali kepada-Nya dengan tobat dan memperbaiki amal kita. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa upaya memperbaiki diri. Kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan taufik dan kekuatan dalam menjalani muhasabah, memperbaiki kekurangan, dan menjaga diri dari dosa. Dengan demikian, hidup kita akan penuh dengan keberkahan, dan kita dapat meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Sibuklah Mengurusi Kekurangan Diri

Daftar Isi Toggle Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinyaKeburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhiratMeraih keselamatan dengan amal dan ketaatanMenghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Apakah kita sadar dengan kekurangan diri, tetapi memilih untuk mengabaikannya? Inilah salah satu musibah terbesar bagi seorang hamba! Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, من أعظم المصائب للرجل أن يعلم من نفسه تقصيرا و لا يبالي و لا يحزن عليه “Termasuk musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah dia mengetahui adanya kekurangan pada dirinya, tetapi dia tidak peduli dan tidak merasa sedih karenanya.” (Syu’abul Iman, hal. 867) Ingatlah, mengenali kekurangan diri dan tidak memperbaikinya adalah jalan kehancuran. Jiwa yang tidak diperhatikan akan semakin rusak. Dan kerusakan itu tidak hanya terjadi di dunia, tetapi juga akan membawa kerugian di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا, فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا, قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا, وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا “Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10) Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinya Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun, masalah besar muncul ketika seseorang tidak peduli dengan kekurangannya dan malah terus memperburuk kondisinya dengan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa agar Allah menyucikan jiwa kita. Beliau bersabda, اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkaulah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkaulah Yang Menjaga serta Melindunginya.” (HR. Muslim no. 2722) Dengan doa ini, Rasulullah mengajarkan pentingnya memohon pertolongan Allah untuk memperbaiki dan menyucikan diri kita. Mengabaikan kekurangan hanya akan memperburuk keadaan dan menjauhkan kita dari rahmat-Nya. Karena itu, setiap muslim harus peduli dan berusaha menutup kekurangan dengan amal-amal saleh. Keburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhirat Orang yang sadar akan kekurangannya, tetapi enggan memperbaikinya telah menempatkan dirinya dalam bahaya besar. Ia tidak hanya kehilangan kesempatan memperbaiki diri, tetapi juga memperbesar dosa dan menambah kotoran dalam hatinya. Allah Ta’ala memperingatkan, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Orang yang terus menerus melakukan dosa tanpa rasa penyesalan akan semakin terperosok dalam keburukan. Jiwa yang dibiarkan kotor akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam kesengsaraan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Maka, jangan biarkan jiwa kita rusak hanya karena ketidakpedulian terhadap kekurangan diri. Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Meraih keselamatan dengan amal dan ketaatan Keselamatan jiwa hanya bisa diraih dengan kesadaran, usaha, dan doa. Usaha memperbaiki kekurangan harus dilakukan dengan amal-amal saleh, seperti memperbanyak istigfar, mendirikan salat, dan menjauhi dosa. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya (dengan iman dan amal saleh).” (QS. Al-A’la: 14) Ketahuilah, jiwa yang bersih dan taat akan membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati. Sebaliknya, jiwa yang terus-menerus dibiarkan dalam kelalaian akan menumpuk dosa dan mengundang kemurkaan Allah. Inilah sebabnya kita harus selalu memohon taufik dan hidayah agar tetap berada di atas jalan yang lurus hingga akhir hayat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdoa memohon istikamah dalam keimanan dan ketaatan. Menghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Agar kita tidak terperangkap dalam kelalaian, setiap muslim perlu melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin. Muhasabah adalah upaya untuk menilai kekurangan dan dosa yang telah dilakukan, kemudian mencari solusi agar tidak terulang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi no. 2459) Langkah berikutnya adalah bertobat dengan tulus atas setiap dosa dan kekurangan yang kita sadari. Allah Ta’ala berfirman, وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Tobat adalah komitmen untuk tidak mengulangi perbuatan dosa disertai memperbanyak amal saleh sebagai bentuk perbaikan diri. Allah mencintai orang-orang yang senantiasa bertobat dan membersihkan diri, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222. Mudah-mudahan dengan introspeksi dan tobat, kita dapat menghidupkan kembali jiwa yang kotor akibat kelalaian dan dosa. Allah telah memberikan kita kesempatan untuk kembali kepada-Nya dengan tobat dan memperbaiki amal kita. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa upaya memperbaiki diri. Kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan taufik dan kekuatan dalam menjalani muhasabah, memperbaiki kekurangan, dan menjaga diri dari dosa. Dengan demikian, hidup kita akan penuh dengan keberkahan, dan kita dapat meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinyaKeburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhiratMeraih keselamatan dengan amal dan ketaatanMenghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Apakah kita sadar dengan kekurangan diri, tetapi memilih untuk mengabaikannya? Inilah salah satu musibah terbesar bagi seorang hamba! Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, من أعظم المصائب للرجل أن يعلم من نفسه تقصيرا و لا يبالي و لا يحزن عليه “Termasuk musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah dia mengetahui adanya kekurangan pada dirinya, tetapi dia tidak peduli dan tidak merasa sedih karenanya.” (Syu’abul Iman, hal. 867) Ingatlah, mengenali kekurangan diri dan tidak memperbaikinya adalah jalan kehancuran. Jiwa yang tidak diperhatikan akan semakin rusak. Dan kerusakan itu tidak hanya terjadi di dunia, tetapi juga akan membawa kerugian di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا, فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا, قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا, وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا “Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10) Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinya Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun, masalah besar muncul ketika seseorang tidak peduli dengan kekurangannya dan malah terus memperburuk kondisinya dengan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa agar Allah menyucikan jiwa kita. Beliau bersabda, اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkaulah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkaulah Yang Menjaga serta Melindunginya.” (HR. Muslim no. 2722) Dengan doa ini, Rasulullah mengajarkan pentingnya memohon pertolongan Allah untuk memperbaiki dan menyucikan diri kita. Mengabaikan kekurangan hanya akan memperburuk keadaan dan menjauhkan kita dari rahmat-Nya. Karena itu, setiap muslim harus peduli dan berusaha menutup kekurangan dengan amal-amal saleh. Keburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhirat Orang yang sadar akan kekurangannya, tetapi enggan memperbaikinya telah menempatkan dirinya dalam bahaya besar. Ia tidak hanya kehilangan kesempatan memperbaiki diri, tetapi juga memperbesar dosa dan menambah kotoran dalam hatinya. Allah Ta’ala memperingatkan, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Orang yang terus menerus melakukan dosa tanpa rasa penyesalan akan semakin terperosok dalam keburukan. Jiwa yang dibiarkan kotor akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam kesengsaraan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Maka, jangan biarkan jiwa kita rusak hanya karena ketidakpedulian terhadap kekurangan diri. Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Meraih keselamatan dengan amal dan ketaatan Keselamatan jiwa hanya bisa diraih dengan kesadaran, usaha, dan doa. Usaha memperbaiki kekurangan harus dilakukan dengan amal-amal saleh, seperti memperbanyak istigfar, mendirikan salat, dan menjauhi dosa. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya (dengan iman dan amal saleh).” (QS. Al-A’la: 14) Ketahuilah, jiwa yang bersih dan taat akan membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati. Sebaliknya, jiwa yang terus-menerus dibiarkan dalam kelalaian akan menumpuk dosa dan mengundang kemurkaan Allah. Inilah sebabnya kita harus selalu memohon taufik dan hidayah agar tetap berada di atas jalan yang lurus hingga akhir hayat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdoa memohon istikamah dalam keimanan dan ketaatan. Menghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Agar kita tidak terperangkap dalam kelalaian, setiap muslim perlu melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin. Muhasabah adalah upaya untuk menilai kekurangan dan dosa yang telah dilakukan, kemudian mencari solusi agar tidak terulang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi no. 2459) Langkah berikutnya adalah bertobat dengan tulus atas setiap dosa dan kekurangan yang kita sadari. Allah Ta’ala berfirman, وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Tobat adalah komitmen untuk tidak mengulangi perbuatan dosa disertai memperbanyak amal saleh sebagai bentuk perbaikan diri. Allah mencintai orang-orang yang senantiasa bertobat dan membersihkan diri, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222. Mudah-mudahan dengan introspeksi dan tobat, kita dapat menghidupkan kembali jiwa yang kotor akibat kelalaian dan dosa. Allah telah memberikan kita kesempatan untuk kembali kepada-Nya dengan tobat dan memperbaiki amal kita. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa upaya memperbaiki diri. Kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan taufik dan kekuatan dalam menjalani muhasabah, memperbaiki kekurangan, dan menjaga diri dari dosa. Dengan demikian, hidup kita akan penuh dengan keberkahan, dan kita dapat meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinyaKeburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhiratMeraih keselamatan dengan amal dan ketaatanMenghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Apakah kita sadar dengan kekurangan diri, tetapi memilih untuk mengabaikannya? Inilah salah satu musibah terbesar bagi seorang hamba! Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah mengatakan, من أعظم المصائب للرجل أن يعلم من نفسه تقصيرا و لا يبالي و لا يحزن عليه “Termasuk musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah dia mengetahui adanya kekurangan pada dirinya, tetapi dia tidak peduli dan tidak merasa sedih karenanya.” (Syu’abul Iman, hal. 867) Ingatlah, mengenali kekurangan diri dan tidak memperbaikinya adalah jalan kehancuran. Jiwa yang tidak diperhatikan akan semakin rusak. Dan kerusakan itu tidak hanya terjadi di dunia, tetapi juga akan membawa kerugian di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا, فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا, قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا, وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا “Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10) Menyadari kekurangan dan berusaha memperbaikinya Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Namun, masalah besar muncul ketika seseorang tidak peduli dengan kekurangannya dan malah terus memperburuk kondisinya dengan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa agar Allah menyucikan jiwa kita. Beliau bersabda, اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkaulah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkaulah Yang Menjaga serta Melindunginya.” (HR. Muslim no. 2722) Dengan doa ini, Rasulullah mengajarkan pentingnya memohon pertolongan Allah untuk memperbaiki dan menyucikan diri kita. Mengabaikan kekurangan hanya akan memperburuk keadaan dan menjauhkan kita dari rahmat-Nya. Karena itu, setiap muslim harus peduli dan berusaha menutup kekurangan dengan amal-amal saleh. Keburukan menumpuk, kerugian di dunia dan akhirat Orang yang sadar akan kekurangannya, tetapi enggan memperbaikinya telah menempatkan dirinya dalam bahaya besar. Ia tidak hanya kehilangan kesempatan memperbaiki diri, tetapi juga memperbesar dosa dan menambah kotoran dalam hatinya. Allah Ta’ala memperingatkan, فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (pemberian) itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. At-Taubah: 55) Orang yang terus menerus melakukan dosa tanpa rasa penyesalan akan semakin terperosok dalam keburukan. Jiwa yang dibiarkan kotor akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam kesengsaraan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Maka, jangan biarkan jiwa kita rusak hanya karena ketidakpedulian terhadap kekurangan diri. Baca juga: Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri) Meraih keselamatan dengan amal dan ketaatan Keselamatan jiwa hanya bisa diraih dengan kesadaran, usaha, dan doa. Usaha memperbaiki kekurangan harus dilakukan dengan amal-amal saleh, seperti memperbanyak istigfar, mendirikan salat, dan menjauhi dosa. Allah Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya (dengan iman dan amal saleh).” (QS. Al-A’la: 14) Ketahuilah, jiwa yang bersih dan taat akan membawa ketenangan dan kebahagiaan sejati. Sebaliknya, jiwa yang terus-menerus dibiarkan dalam kelalaian akan menumpuk dosa dan mengundang kemurkaan Allah. Inilah sebabnya kita harus selalu memohon taufik dan hidayah agar tetap berada di atas jalan yang lurus hingga akhir hayat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdoa memohon istikamah dalam keimanan dan ketaatan. Menghidupkan jiwa dengan muhasabah dan tobat Agar kita tidak terperangkap dalam kelalaian, setiap muslim perlu melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin. Muhasabah adalah upaya untuk menilai kekurangan dan dosa yang telah dilakukan, kemudian mencari solusi agar tidak terulang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ “Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi no. 2459) Langkah berikutnya adalah bertobat dengan tulus atas setiap dosa dan kekurangan yang kita sadari. Allah Ta’ala berfirman, وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31) Tobat adalah komitmen untuk tidak mengulangi perbuatan dosa disertai memperbanyak amal saleh sebagai bentuk perbaikan diri. Allah mencintai orang-orang yang senantiasa bertobat dan membersihkan diri, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 222. Mudah-mudahan dengan introspeksi dan tobat, kita dapat menghidupkan kembali jiwa yang kotor akibat kelalaian dan dosa. Allah telah memberikan kita kesempatan untuk kembali kepada-Nya dengan tobat dan memperbaiki amal kita. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa upaya memperbaiki diri. Kita harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan taufik dan kekuatan dalam menjalani muhasabah, memperbaiki kekurangan, dan menjaga diri dari dosa. Dengan demikian, hidup kita akan penuh dengan keberkahan, dan kita dapat meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam. Baca juga: Menghukum Diri dengan Muhasabah *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KetujuhTeks Hadis KedelapanKandungan HadisBolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Teks Hadis Ketujuh Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَعَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ حَقٌّ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّانِي سُنَّةٌ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّالِثِ سُمْعَةٌ “Makanan (walimah) pada hari pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunah, dan makanan pada hari ketiga adalah sum’ah (riya atau pamer).” (HR. Tirmidzi no. 1097. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Teks Hadis Kedelapan Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِيَ مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثَ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ “Walimah pada hari pertama adalah haq, pada hari kedua adalah ma’ruf (baik dan dianjurkan), dan pada hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah (pamer).” (HR. Ibnu Majah no. 1915. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Setelah menyebutkan hadis-hadis tersebut dan juga hadis lain yang semakna, Syekh Abdullah Al-Fauzan berkata, وبالجملة فحديث الباب ضعيف، وما ورد عن أبي هريرة وأنس كذلك؛ لشدة ضعفها، ولا يرتقي بها الحديث إلى درجة الحسن، قال الشيخ عبد العزيز بن باز: والنفس تميل إلى أن الحديث ليس بصحيح، وأن هذه الأسانيد الضعيفة لا تقويه ولا تجعله في قسم المقبول. “Secara keseluruhan, hadis-hadis dalam masalah ini statusnya lemah (dha’if), demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Anas, karena sanadnya sangat lemah. Hadis ini tidak bisa (naik statusnya) mencapai derajat hasan. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, ‘Dan jiwa ini cenderung untuk meyakini bahwa hadis ini tidak sahih, dan sanad-sanad yang lemah ini tidak bisa menguatkannya, dan tidak bisa menjadikannya termasuk dalam kategori hadis yang diterima.’” (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 428) Kandungan Hadis Bolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Dalam hadis ini terdapat dalil tentang disyariatkannya jamuan pada walimah selama dua hari. Pada hari pertama, hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi, “Haq”; dan “haq” berarti sesuatu yang tetap dan wajib. Pada hari kedua, hukumnya sunah, yaitu sebuah kebiasaan yang dianjurkan. Sedangkan pada hari ketiga, hukumnya menjadi riya’ dan sum’ah, sehingga menyelenggarakan walimah sampai lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya) hukumnya haram, begitu pula menghadirinya. Hal itu berdasarkan pendapat ulama yang berpegang pada hadis ini dan yang semakna dengannya. Demikian pula karena melihat bahwa meskipun setiap hadis tersebut tidak lepas dari kritikan, namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadis-hadis ini memiliki dasar. Ini adalah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar [1], diikuti oleh Asy-Syaukani [2], dan juga pendapat para fuqaha mazhab Syafi’i dan Hanbali rahimahumullah. Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis ini menunjukkan untuk tidak menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya), dan yang lebih utama serta lebih baik adalah tidak menambah lebih dari dua hari, agar pengundang tidak jatuh ke dalam hal yang dicela. Imam Bukhari rahimahullah berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah selama tujuh hari, dengan berdalil pada perintah untuk memenuhi undangan yang bersifat umum dan tidak dibatasi sampai berapa hari. Dalam Shahih-nya, beliau rahimahullah memberi judul bab, باب حقِّ إجابة الوليمة والدعوة، ومن أو لم سبعة أيام ونحوه، ولم يوقِّت النبي – صلى الله عليه وسلم – يومًا ولا يومين “Bab kewajiban memenuhi (undangan) walimah dan undangan (lainnya), serta orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari dan sejenisnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sehari atau dua hari.” [3] Pendapat ini diikuti oleh mazhab Maliki. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, واستحب أصحابنا لأهل السعة كونها أسبوعًا “Para ulama mazhab kami (Malikiyah) menganjurkan bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki untuk mengadakan walimah selama seminggu.” [4] Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui jalur Hafshah binti Sirin, yang berkata, لما تزوج أبي سيرين دعا أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سبعة أيام “Ketika ayahku, Sirin, menikah, ia mengundang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tujuh hari … “ [5] Riwayat lain dari Abdur Razzaq menyebutkan. ثمانية أيام “Delapan hari.” [6] Kemungkinan hal ini dapat dipahami bahwa beliau membagi tamu undangan sampai tujuh atau delapan hari walimah, tidak diundang di satu hari sekaligus. Sejumlah fuqaha, seperti sebagian ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i, serta pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah, berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah pada hari ketiga jika terdapat hajat (kebutuhan). Misalnya, jika tamu undangan sangat banyak, atau waktu memang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu hari karena sempitnya tempat, atau alasan-alasan lainnya. Dalam kondisi tersebut, tamu dapat dibagi menjadi tiga atau empat hari, atau jika terdapat kerabat pengundang yang hanya bisa hadir pada hari ketiga, dan alasan-alasan serupa lainnya. [7] Pendapat ini pendapat adalah yang paling kuat, yang menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sebab, jika terdapat alasan-alasan seperti yang disebutkan, maka tidak ada unsur pemborosan atau pamer ketika menyelenggarakan walimah selama beberapa hari. Namun, pada umumnya di zaman kita saat ini, tidak ada kebutuhan untuk mengadakan walimah lebih dari sehari. Sehingga yang lebih hati-hati adalah mencukupkan walimah pada satu hari saja, untuk menghindari pemborosan yang telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Namun bagi yang memenuhi undangan, sebaiknya hanya cukup hadir pada undangan pertama, agar tidak terkesan rendah diri dengan hadir berulang kali, kecuali jika ada alasan khusus yang menghilangkan kesan tidak baik tersebut. Misalnya, dia adalah seorang kerabat atau pemilik undangan memang merasa senang dengan kehadirannya beberapa kali. Wallahu Ta’ala a’lam. [8] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6 *** @Fall, 19 Jumadil awal 1446/ 21 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fathul Baari, 9: 243. [2] Nailul Authar, 6: 206. [3] Lihat Al-Mutawari, karya Ibnu al-Munir, hal. 287; Munasabat Tarajim al-Bukhari, karya Ibnu Jama’ah, hal. 99; Fathul Baari, 9: 240. [4] Ikmaalul Mu’lim, 4: 588. [5] Al-Mushannaf, 4: 313. [6] Al-Mushannaf, 10: 448. [7] Jawahir al-Iklil, 1: 325; Nihayah al-Muhtaj, 6: 373; Subulus Salam, 3: 278; Syarh al-Mumti’, 12: 333. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 426-429). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KetujuhTeks Hadis KedelapanKandungan HadisBolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Teks Hadis Ketujuh Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَعَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ حَقٌّ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّانِي سُنَّةٌ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّالِثِ سُمْعَةٌ “Makanan (walimah) pada hari pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunah, dan makanan pada hari ketiga adalah sum’ah (riya atau pamer).” (HR. Tirmidzi no. 1097. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Teks Hadis Kedelapan Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِيَ مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثَ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ “Walimah pada hari pertama adalah haq, pada hari kedua adalah ma’ruf (baik dan dianjurkan), dan pada hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah (pamer).” (HR. Ibnu Majah no. 1915. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Setelah menyebutkan hadis-hadis tersebut dan juga hadis lain yang semakna, Syekh Abdullah Al-Fauzan berkata, وبالجملة فحديث الباب ضعيف، وما ورد عن أبي هريرة وأنس كذلك؛ لشدة ضعفها، ولا يرتقي بها الحديث إلى درجة الحسن، قال الشيخ عبد العزيز بن باز: والنفس تميل إلى أن الحديث ليس بصحيح، وأن هذه الأسانيد الضعيفة لا تقويه ولا تجعله في قسم المقبول. “Secara keseluruhan, hadis-hadis dalam masalah ini statusnya lemah (dha’if), demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Anas, karena sanadnya sangat lemah. Hadis ini tidak bisa (naik statusnya) mencapai derajat hasan. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, ‘Dan jiwa ini cenderung untuk meyakini bahwa hadis ini tidak sahih, dan sanad-sanad yang lemah ini tidak bisa menguatkannya, dan tidak bisa menjadikannya termasuk dalam kategori hadis yang diterima.’” (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 428) Kandungan Hadis Bolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Dalam hadis ini terdapat dalil tentang disyariatkannya jamuan pada walimah selama dua hari. Pada hari pertama, hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi, “Haq”; dan “haq” berarti sesuatu yang tetap dan wajib. Pada hari kedua, hukumnya sunah, yaitu sebuah kebiasaan yang dianjurkan. Sedangkan pada hari ketiga, hukumnya menjadi riya’ dan sum’ah, sehingga menyelenggarakan walimah sampai lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya) hukumnya haram, begitu pula menghadirinya. Hal itu berdasarkan pendapat ulama yang berpegang pada hadis ini dan yang semakna dengannya. Demikian pula karena melihat bahwa meskipun setiap hadis tersebut tidak lepas dari kritikan, namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadis-hadis ini memiliki dasar. Ini adalah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar [1], diikuti oleh Asy-Syaukani [2], dan juga pendapat para fuqaha mazhab Syafi’i dan Hanbali rahimahumullah. Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis ini menunjukkan untuk tidak menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya), dan yang lebih utama serta lebih baik adalah tidak menambah lebih dari dua hari, agar pengundang tidak jatuh ke dalam hal yang dicela. Imam Bukhari rahimahullah berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah selama tujuh hari, dengan berdalil pada perintah untuk memenuhi undangan yang bersifat umum dan tidak dibatasi sampai berapa hari. Dalam Shahih-nya, beliau rahimahullah memberi judul bab, باب حقِّ إجابة الوليمة والدعوة، ومن أو لم سبعة أيام ونحوه، ولم يوقِّت النبي – صلى الله عليه وسلم – يومًا ولا يومين “Bab kewajiban memenuhi (undangan) walimah dan undangan (lainnya), serta orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari dan sejenisnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sehari atau dua hari.” [3] Pendapat ini diikuti oleh mazhab Maliki. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, واستحب أصحابنا لأهل السعة كونها أسبوعًا “Para ulama mazhab kami (Malikiyah) menganjurkan bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki untuk mengadakan walimah selama seminggu.” [4] Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui jalur Hafshah binti Sirin, yang berkata, لما تزوج أبي سيرين دعا أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سبعة أيام “Ketika ayahku, Sirin, menikah, ia mengundang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tujuh hari … “ [5] Riwayat lain dari Abdur Razzaq menyebutkan. ثمانية أيام “Delapan hari.” [6] Kemungkinan hal ini dapat dipahami bahwa beliau membagi tamu undangan sampai tujuh atau delapan hari walimah, tidak diundang di satu hari sekaligus. Sejumlah fuqaha, seperti sebagian ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i, serta pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah, berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah pada hari ketiga jika terdapat hajat (kebutuhan). Misalnya, jika tamu undangan sangat banyak, atau waktu memang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu hari karena sempitnya tempat, atau alasan-alasan lainnya. Dalam kondisi tersebut, tamu dapat dibagi menjadi tiga atau empat hari, atau jika terdapat kerabat pengundang yang hanya bisa hadir pada hari ketiga, dan alasan-alasan serupa lainnya. [7] Pendapat ini pendapat adalah yang paling kuat, yang menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sebab, jika terdapat alasan-alasan seperti yang disebutkan, maka tidak ada unsur pemborosan atau pamer ketika menyelenggarakan walimah selama beberapa hari. Namun, pada umumnya di zaman kita saat ini, tidak ada kebutuhan untuk mengadakan walimah lebih dari sehari. Sehingga yang lebih hati-hati adalah mencukupkan walimah pada satu hari saja, untuk menghindari pemborosan yang telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Namun bagi yang memenuhi undangan, sebaiknya hanya cukup hadir pada undangan pertama, agar tidak terkesan rendah diri dengan hadir berulang kali, kecuali jika ada alasan khusus yang menghilangkan kesan tidak baik tersebut. Misalnya, dia adalah seorang kerabat atau pemilik undangan memang merasa senang dengan kehadirannya beberapa kali. Wallahu Ta’ala a’lam. [8] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6 *** @Fall, 19 Jumadil awal 1446/ 21 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fathul Baari, 9: 243. [2] Nailul Authar, 6: 206. [3] Lihat Al-Mutawari, karya Ibnu al-Munir, hal. 287; Munasabat Tarajim al-Bukhari, karya Ibnu Jama’ah, hal. 99; Fathul Baari, 9: 240. [4] Ikmaalul Mu’lim, 4: 588. [5] Al-Mushannaf, 4: 313. [6] Al-Mushannaf, 10: 448. [7] Jawahir al-Iklil, 1: 325; Nihayah al-Muhtaj, 6: 373; Subulus Salam, 3: 278; Syarh al-Mumti’, 12: 333. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 426-429). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Daftar Isi Toggle Teks Hadis KetujuhTeks Hadis KedelapanKandungan HadisBolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Teks Hadis Ketujuh Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَعَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ حَقٌّ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّانِي سُنَّةٌ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّالِثِ سُمْعَةٌ “Makanan (walimah) pada hari pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunah, dan makanan pada hari ketiga adalah sum’ah (riya atau pamer).” (HR. Tirmidzi no. 1097. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Teks Hadis Kedelapan Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِيَ مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثَ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ “Walimah pada hari pertama adalah haq, pada hari kedua adalah ma’ruf (baik dan dianjurkan), dan pada hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah (pamer).” (HR. Ibnu Majah no. 1915. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Setelah menyebutkan hadis-hadis tersebut dan juga hadis lain yang semakna, Syekh Abdullah Al-Fauzan berkata, وبالجملة فحديث الباب ضعيف، وما ورد عن أبي هريرة وأنس كذلك؛ لشدة ضعفها، ولا يرتقي بها الحديث إلى درجة الحسن، قال الشيخ عبد العزيز بن باز: والنفس تميل إلى أن الحديث ليس بصحيح، وأن هذه الأسانيد الضعيفة لا تقويه ولا تجعله في قسم المقبول. “Secara keseluruhan, hadis-hadis dalam masalah ini statusnya lemah (dha’if), demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Anas, karena sanadnya sangat lemah. Hadis ini tidak bisa (naik statusnya) mencapai derajat hasan. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, ‘Dan jiwa ini cenderung untuk meyakini bahwa hadis ini tidak sahih, dan sanad-sanad yang lemah ini tidak bisa menguatkannya, dan tidak bisa menjadikannya termasuk dalam kategori hadis yang diterima.’” (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 428) Kandungan Hadis Bolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Dalam hadis ini terdapat dalil tentang disyariatkannya jamuan pada walimah selama dua hari. Pada hari pertama, hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi, “Haq”; dan “haq” berarti sesuatu yang tetap dan wajib. Pada hari kedua, hukumnya sunah, yaitu sebuah kebiasaan yang dianjurkan. Sedangkan pada hari ketiga, hukumnya menjadi riya’ dan sum’ah, sehingga menyelenggarakan walimah sampai lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya) hukumnya haram, begitu pula menghadirinya. Hal itu berdasarkan pendapat ulama yang berpegang pada hadis ini dan yang semakna dengannya. Demikian pula karena melihat bahwa meskipun setiap hadis tersebut tidak lepas dari kritikan, namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadis-hadis ini memiliki dasar. Ini adalah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar [1], diikuti oleh Asy-Syaukani [2], dan juga pendapat para fuqaha mazhab Syafi’i dan Hanbali rahimahumullah. Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis ini menunjukkan untuk tidak menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya), dan yang lebih utama serta lebih baik adalah tidak menambah lebih dari dua hari, agar pengundang tidak jatuh ke dalam hal yang dicela. Imam Bukhari rahimahullah berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah selama tujuh hari, dengan berdalil pada perintah untuk memenuhi undangan yang bersifat umum dan tidak dibatasi sampai berapa hari. Dalam Shahih-nya, beliau rahimahullah memberi judul bab, باب حقِّ إجابة الوليمة والدعوة، ومن أو لم سبعة أيام ونحوه، ولم يوقِّت النبي – صلى الله عليه وسلم – يومًا ولا يومين “Bab kewajiban memenuhi (undangan) walimah dan undangan (lainnya), serta orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari dan sejenisnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sehari atau dua hari.” [3] Pendapat ini diikuti oleh mazhab Maliki. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, واستحب أصحابنا لأهل السعة كونها أسبوعًا “Para ulama mazhab kami (Malikiyah) menganjurkan bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki untuk mengadakan walimah selama seminggu.” [4] Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui jalur Hafshah binti Sirin, yang berkata, لما تزوج أبي سيرين دعا أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سبعة أيام “Ketika ayahku, Sirin, menikah, ia mengundang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tujuh hari … “ [5] Riwayat lain dari Abdur Razzaq menyebutkan. ثمانية أيام “Delapan hari.” [6] Kemungkinan hal ini dapat dipahami bahwa beliau membagi tamu undangan sampai tujuh atau delapan hari walimah, tidak diundang di satu hari sekaligus. Sejumlah fuqaha, seperti sebagian ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i, serta pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah, berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah pada hari ketiga jika terdapat hajat (kebutuhan). Misalnya, jika tamu undangan sangat banyak, atau waktu memang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu hari karena sempitnya tempat, atau alasan-alasan lainnya. Dalam kondisi tersebut, tamu dapat dibagi menjadi tiga atau empat hari, atau jika terdapat kerabat pengundang yang hanya bisa hadir pada hari ketiga, dan alasan-alasan serupa lainnya. [7] Pendapat ini pendapat adalah yang paling kuat, yang menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sebab, jika terdapat alasan-alasan seperti yang disebutkan, maka tidak ada unsur pemborosan atau pamer ketika menyelenggarakan walimah selama beberapa hari. Namun, pada umumnya di zaman kita saat ini, tidak ada kebutuhan untuk mengadakan walimah lebih dari sehari. Sehingga yang lebih hati-hati adalah mencukupkan walimah pada satu hari saja, untuk menghindari pemborosan yang telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Namun bagi yang memenuhi undangan, sebaiknya hanya cukup hadir pada undangan pertama, agar tidak terkesan rendah diri dengan hadir berulang kali, kecuali jika ada alasan khusus yang menghilangkan kesan tidak baik tersebut. Misalnya, dia adalah seorang kerabat atau pemilik undangan memang merasa senang dengan kehadirannya beberapa kali. Wallahu Ta’ala a’lam. [8] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6 *** @Fall, 19 Jumadil awal 1446/ 21 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fathul Baari, 9: 243. [2] Nailul Authar, 6: 206. [3] Lihat Al-Mutawari, karya Ibnu al-Munir, hal. 287; Munasabat Tarajim al-Bukhari, karya Ibnu Jama’ah, hal. 99; Fathul Baari, 9: 240. [4] Ikmaalul Mu’lim, 4: 588. [5] Al-Mushannaf, 4: 313. [6] Al-Mushannaf, 10: 448. [7] Jawahir al-Iklil, 1: 325; Nihayah al-Muhtaj, 6: 373; Subulus Salam, 3: 278; Syarh al-Mumti’, 12: 333. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 426-429). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Daftar Isi Toggle Teks Hadis KetujuhTeks Hadis KedelapanKandungan HadisBolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Teks Hadis Ketujuh Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طَعَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ حَقٌّ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّانِي سُنَّةٌ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّالِثِ سُمْعَةٌ “Makanan (walimah) pada hari pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunah, dan makanan pada hari ketiga adalah sum’ah (riya atau pamer).” (HR. Tirmidzi no. 1097. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Teks Hadis Kedelapan Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِيَ مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثَ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ “Walimah pada hari pertama adalah haq, pada hari kedua adalah ma’ruf (baik dan dianjurkan), dan pada hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah (pamer).” (HR. Ibnu Majah no. 1915. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani) Setelah menyebutkan hadis-hadis tersebut dan juga hadis lain yang semakna, Syekh Abdullah Al-Fauzan berkata, وبالجملة فحديث الباب ضعيف، وما ورد عن أبي هريرة وأنس كذلك؛ لشدة ضعفها، ولا يرتقي بها الحديث إلى درجة الحسن، قال الشيخ عبد العزيز بن باز: والنفس تميل إلى أن الحديث ليس بصحيح، وأن هذه الأسانيد الضعيفة لا تقويه ولا تجعله في قسم المقبول. “Secara keseluruhan, hadis-hadis dalam masalah ini statusnya lemah (dha’if), demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Anas, karena sanadnya sangat lemah. Hadis ini tidak bisa (naik statusnya) mencapai derajat hasan. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, ‘Dan jiwa ini cenderung untuk meyakini bahwa hadis ini tidak sahih, dan sanad-sanad yang lemah ini tidak bisa menguatkannya, dan tidak bisa menjadikannya termasuk dalam kategori hadis yang diterima.’” (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 428) Kandungan Hadis Bolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari? Dalam hadis ini terdapat dalil tentang disyariatkannya jamuan pada walimah selama dua hari. Pada hari pertama, hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi, “Haq”; dan “haq” berarti sesuatu yang tetap dan wajib. Pada hari kedua, hukumnya sunah, yaitu sebuah kebiasaan yang dianjurkan. Sedangkan pada hari ketiga, hukumnya menjadi riya’ dan sum’ah, sehingga menyelenggarakan walimah sampai lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya) hukumnya haram, begitu pula menghadirinya. Hal itu berdasarkan pendapat ulama yang berpegang pada hadis ini dan yang semakna dengannya. Demikian pula karena melihat bahwa meskipun setiap hadis tersebut tidak lepas dari kritikan, namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadis-hadis ini memiliki dasar. Ini adalah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar [1], diikuti oleh Asy-Syaukani [2], dan juga pendapat para fuqaha mazhab Syafi’i dan Hanbali rahimahumullah. Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis ini menunjukkan untuk tidak menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya), dan yang lebih utama serta lebih baik adalah tidak menambah lebih dari dua hari, agar pengundang tidak jatuh ke dalam hal yang dicela. Imam Bukhari rahimahullah berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah selama tujuh hari, dengan berdalil pada perintah untuk memenuhi undangan yang bersifat umum dan tidak dibatasi sampai berapa hari. Dalam Shahih-nya, beliau rahimahullah memberi judul bab, باب حقِّ إجابة الوليمة والدعوة، ومن أو لم سبعة أيام ونحوه، ولم يوقِّت النبي – صلى الله عليه وسلم – يومًا ولا يومين “Bab kewajiban memenuhi (undangan) walimah dan undangan (lainnya), serta orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari dan sejenisnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sehari atau dua hari.” [3] Pendapat ini diikuti oleh mazhab Maliki. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, واستحب أصحابنا لأهل السعة كونها أسبوعًا “Para ulama mazhab kami (Malikiyah) menganjurkan bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki untuk mengadakan walimah selama seminggu.” [4] Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui jalur Hafshah binti Sirin, yang berkata, لما تزوج أبي سيرين دعا أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سبعة أيام “Ketika ayahku, Sirin, menikah, ia mengundang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tujuh hari … “ [5] Riwayat lain dari Abdur Razzaq menyebutkan. ثمانية أيام “Delapan hari.” [6] Kemungkinan hal ini dapat dipahami bahwa beliau membagi tamu undangan sampai tujuh atau delapan hari walimah, tidak diundang di satu hari sekaligus. Sejumlah fuqaha, seperti sebagian ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i, serta pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah, berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah pada hari ketiga jika terdapat hajat (kebutuhan). Misalnya, jika tamu undangan sangat banyak, atau waktu memang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu hari karena sempitnya tempat, atau alasan-alasan lainnya. Dalam kondisi tersebut, tamu dapat dibagi menjadi tiga atau empat hari, atau jika terdapat kerabat pengundang yang hanya bisa hadir pada hari ketiga, dan alasan-alasan serupa lainnya. [7] Pendapat ini pendapat adalah yang paling kuat, yang menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sebab, jika terdapat alasan-alasan seperti yang disebutkan, maka tidak ada unsur pemborosan atau pamer ketika menyelenggarakan walimah selama beberapa hari. Namun, pada umumnya di zaman kita saat ini, tidak ada kebutuhan untuk mengadakan walimah lebih dari sehari. Sehingga yang lebih hati-hati adalah mencukupkan walimah pada satu hari saja, untuk menghindari pemborosan yang telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Namun bagi yang memenuhi undangan, sebaiknya hanya cukup hadir pada undangan pertama, agar tidak terkesan rendah diri dengan hadir berulang kali, kecuali jika ada alasan khusus yang menghilangkan kesan tidak baik tersebut. Misalnya, dia adalah seorang kerabat atau pemilik undangan memang merasa senang dengan kehadirannya beberapa kali. Wallahu Ta’ala a’lam. [8] [Bersambung] Kembali ke bagian 4 Lanjut ke bagian 6 *** @Fall, 19 Jumadil awal 1446/ 21 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Fathul Baari, 9: 243. [2] Nailul Authar, 6: 206. [3] Lihat Al-Mutawari, karya Ibnu al-Munir, hal. 287; Munasabat Tarajim al-Bukhari, karya Ibnu Jama’ah, hal. 99; Fathul Baari, 9: 240. [4] Ikmaalul Mu’lim, 4: 588. [5] Al-Mushannaf, 4: 313. [6] Al-Mushannaf, 10: 448. [7] Jawahir al-Iklil, 1: 325; Nihayah al-Muhtaj, 6: 373; Subulus Salam, 3: 278; Syarh al-Mumti’, 12: 333. [8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 426-429). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Kasih Sayang adalah Pondasi Agama Islam

Daftar Isi Toggle Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha PenyayangKasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺKasih sayang sebagai akhlak sehari-hariPertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salatKedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lainKetiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesamaKeempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhanMenghadapi tantangan dan stigma Islam, yang berakar dari kata salam, memiliki arti keselamatan atau kedamaian. Jalan keselamatan ini adalah apa yang ditawarkan oleh Islam. Dalam pandangan para ulama, esensi dari jalan keselamatan tersebut adalah tauhid dan kasih sayang. Syekh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata, فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه “Sesungguhnya semua perintah Allah kembali kepada dua hal: mengagungkan Allah Ta’ala dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya.” (Nasha’ihul ‘Ibad, hal. 9) Para ulama terdahulu juga mengaitkan keimanan dengan sifat kasih sayang. Abu Khairah Al-Aqtha’ dalam Tarikh Dimasyqi (66: 161), mengatakan, فقلب مملوء إيمانًا، فعلامته الشَّفَقَة على جميع المسلمين والاهتمام بما يهمُّهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang penuh dengan keimanan, tandanya adalah kasih sayang kepada semua umat muslim, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” Akan tetapi, Islam sering disalahpahami sebagai agama yang keras, baik dari luar maupun dari sebagian kaum muslimin itu sendiri. Stigma ini muncul dari penyimpangan sekelompok kaum muslimin yang mengabaikan prinsip kasih sayang dan perdamaian, terutama oleh segelintir orang yang terlihat agamis, tetapi memaknai Islam secara ekstrem. Di sisi lain, kaum orientalis yang menginterpretasikan syariat Islam dengan lensa negatif juga ikut menciptakan citra keras terhadap Islam. Setidaknya, ada tiga argumentasi sederhana yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Argumentasi ini perlu diketahui kaum muslimin sebagai ilmu yang menambah keimanan pribadi. Selain itu, juga menjadi jawaban bagi golongan yang skeptis terhadap klaim luasnya rahmat dalam ajaran Islam. Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kewajiban pertama seorang hamba dalam Islam adalah mengakui bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah, melainkan Allah ﷻ. Dialah Allah ﷻ, Zat Yang Esa, yang menciptakan dan memelihara kita beserta seluruh ciptaan-Nya di bentangan alam semesta. Dua nama Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, keduanya bermakna kasih sayang yang begitu luas. Allah ﷻ menetapkan atas dirinya sifat kasih sayang dalam firman-Nya, وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ ٱلرَّحْمَةَ ۖ “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Keselamatan atas kalian. Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.’” (QS. Al-An’am: 54) Allah ﷻ juga membuka kitab suci Al-Qur’an yang mulia dengan nama Ar-Rahman Ar-Rahim, begitu juga ketika membuka 113 surah di dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ membuka Al-Qur’an dengan, بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Dengan menyebut nama Allah ﷻ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1) Allah ﷻ pun kembali menegaskan sifat rahmat atas diri-Nya pada ayat selanjutnya, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3) Nama Allah ﷻ bukanlah sekadar nama, tetapi juga mengandung sifat kesempurnaan di sisi-Nya. Sifat tersebut juga memiliki tuntutan bagi kaum muslimin untuk meneladaninya dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana seorang muslim tidak berkasih sayang, sementara ia beriman kepada Allah ﷻ yang bersifat Maha Pengasih dan Penyayang?! Maka, kasih sayang bukan sekadar nilai tambah bagi seorang muslim. Akan tetapi, ia merupakan pondasi keimanan seorang yang beriman kepada Allah ﷻ. Kasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺ Rasulullah ﷺ adalah sosok yang Allah ﷻ utus dalam misi mulia, yakni menjadi rahmat bagi semesta alam. وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107) Rahmat dalam ayat ini menunjukkan kepada makna jaminan keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi ﷺ. Dan yang dimaksud mengikuti Nabi ﷺ, dalam Tafsir Kemenag RI, misalnya adalah pengamalan Islam yang melahirkan perlindungan, kedamaian, dan karakter kasih sayang. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ “Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Al-Albani) Sabda ini membawa pesan esensial bahwa kasih sayang adalah refleksi iman yang sejati. Kasih sayang terhadap sesama berhubungan langsung dengan kasih sayang Allah ﷻ. Bagaimana kehidupan yang tidak berisi cinta dan kasih sayang dari Allah ﷻ yang mengatur seluruh alam? Tentu kehidupan akan teramat berat dan penuh kesengsaraan. Baca juga: Allah Sangat Sayang kepada Hamba-Nya Melebihi Kasih Sayang Ibu Kasih sayang sebagai akhlak sehari-hari Sifat kasih sayang tidak hanya termuat dalam fundamental Islam, tetapi juga tercermin dalam syariat dan juga keteladanan Nabi ﷺ. Tujuan utama dari praktik-praktik syariat ini adalah untuk melahirkan seorang muslim yang memancarkan kasih sayang dalam keseharian mereka. Beberapa praktik kehidupan Islami tersebut, di antaranya: Pertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salat Seorang muslim diwajibkan untuk mengulang Al-Fatihah yang mengandung pernyataan tegas tentang nama Ar-Rahman Ar-Rahim setidaknya 17 kali dalam sehari. Sungguh hal ini menjadi alamat bahwa Islam menginginkan sifat kasih sayang menjadi keseharian seorang muslim. Kedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lain Islam mengajarkan adab dan akhlak yang penuh empati, lemah lembut, dan pengertian terhadap orang lain. Allah ﷻ berfirman mengabarkan sebab para sahabat Nabi ﷺ berada di sisinya adalah karena kelemahlembutan beliau yang lahir dari sifat rahmat, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Berlaku lemah lembut adalah akhlak Muhammad ﷺ yang beliau memang diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 232) Dari hubungan keluarga hingga interaksi dengan tetangga, Islam mendorong umatnya untuk selalu menempatkan kasih sayang di atas kekerasan. Rasulullah ﷺ dalam banyak hadis mengingatkan umatnya untuk berlaku lembut kepada anak-anak, mengasihi orang tua, dan saling menyayangi sesama manusia tanpa memandang latar belakang. Ketiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesama Rasulullah ﷺ juga biasa mengumpulkan perintah untuk bermuamalah dengan baik kepada sesama makhluk-Nya sebagai perwujudan sifat rahmat. Dari Al-Bara’, dia meriwayatkan, أَمَرَنَا النَّبِيُّ بِسَبْعِ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعِ: أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتَّبَاعِ الْجِنَازَةِ، وَتَثْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَرَةِ السَّلَامِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ. “Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal dan melarang kami melakukan tujuh hal. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman, mengucapkan ‘yarḥamuka Allāh’ (semoga Allah merahmati kalian) kepada orang yang bersin, menjawab undangan, menjawab salam, menolong orang yang teraniaya, dan memenuhi permintaan orang yang bersumpah….” (HR. Bukhari no. 6294 dan Muslim no. 5510) Keempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhan Rasulullah ﷺ bersabda, في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ “Pada setiap yang mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik kepada-Nya).” (HR. Bukhari no. 2363) Nabi Muhammad ﷺ  pun memotivasi kita untuk menumbuhkan pepohonan yang dinilai sebagai kebaikan bagi setiap makhluk. Dalam sabda beliau ﷺ, فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali hal itu merupakan sedekah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1552) Bahkan, dalam perintah menyembelih pun, Rasulullah ﷺ menekankan untuk berkasih sayang di dalamnya. Rasulullah ﷺ telah bersabda, إن الله كتب الإحسانَ على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلةَ وإذا ذبحتم فأحسِنوا الذِّبحة، وليحد أحدُكم شَفْرَتَه ولْيُرِحْ ذبيحتَهُ “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh (hewan yang haram dimakan), hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan. Dan apabila kalian menyembelih (hewan yang halal dimakan), hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan. Dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya.” (HR. Muslim no. 1955) Terkadang, perintah syariat yang merefleksikan sifat kasih sayang ini tampak sederhana. Namun, dampaknya sangat besar. Semua ini adalah bentuk kasih sayang yang menjadi pondasi dalam menggapai keselamatan, baik di dunia maupun akhirat. Menghadapi tantangan dan stigma Islam sendiri mengajarkan bahwa rahmat Allah melingkupi segala sesuatu dan umat-Nya harus meneladani sifat kasih sayang tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Mencintai dan menyayangi, bahkan dalam hal-hal kecil, adalah bentuk ibadah kepada Allah. Umat Islam harus memahami bahwa dengan menampilkan sifat kasih sayang, mereka sejatinya sedang menunaikan perintah Allah dan mengamalkan ajaran Rasulullah ﷺ. Sebagai penutup, ingatlah bahwa kasih sayang adalah pondasi dari Islam. Prinsip kasih sayang dalam Islam, bukan hanya ajaran yang dipraktikkan kepada sesama muslim, tetapi kepada seluruh alam. Stigma yang dilekatkan kepada Islam, tak lain ialah datang dari kesalahpahaman orang terhadap ajaran Islam yang didapatkan dari berinteraksi dengan penganutnya. Maka, seorang muslim harus menunjukkan akhlak dan sifat kasih sayang kepada orang lain. Karena sejatinya seorang muslim adalah ikon dari agama yang diyakininya. Dan kita perlu sadari bahwa tujuan utama dalam berkasih sayang adalah menggapai cinta Allah ﷻ. Kecintaan Allah ﷻ berkaitan erat dengan kebermanfaatan hamba tersebut kepada sesamanya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani, 6: 139, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2: 575) Baca juga: Menebar Kasih Sayang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id

Kasih Sayang adalah Pondasi Agama Islam

Daftar Isi Toggle Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha PenyayangKasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺKasih sayang sebagai akhlak sehari-hariPertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salatKedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lainKetiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesamaKeempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhanMenghadapi tantangan dan stigma Islam, yang berakar dari kata salam, memiliki arti keselamatan atau kedamaian. Jalan keselamatan ini adalah apa yang ditawarkan oleh Islam. Dalam pandangan para ulama, esensi dari jalan keselamatan tersebut adalah tauhid dan kasih sayang. Syekh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata, فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه “Sesungguhnya semua perintah Allah kembali kepada dua hal: mengagungkan Allah Ta’ala dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya.” (Nasha’ihul ‘Ibad, hal. 9) Para ulama terdahulu juga mengaitkan keimanan dengan sifat kasih sayang. Abu Khairah Al-Aqtha’ dalam Tarikh Dimasyqi (66: 161), mengatakan, فقلب مملوء إيمانًا، فعلامته الشَّفَقَة على جميع المسلمين والاهتمام بما يهمُّهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang penuh dengan keimanan, tandanya adalah kasih sayang kepada semua umat muslim, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” Akan tetapi, Islam sering disalahpahami sebagai agama yang keras, baik dari luar maupun dari sebagian kaum muslimin itu sendiri. Stigma ini muncul dari penyimpangan sekelompok kaum muslimin yang mengabaikan prinsip kasih sayang dan perdamaian, terutama oleh segelintir orang yang terlihat agamis, tetapi memaknai Islam secara ekstrem. Di sisi lain, kaum orientalis yang menginterpretasikan syariat Islam dengan lensa negatif juga ikut menciptakan citra keras terhadap Islam. Setidaknya, ada tiga argumentasi sederhana yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Argumentasi ini perlu diketahui kaum muslimin sebagai ilmu yang menambah keimanan pribadi. Selain itu, juga menjadi jawaban bagi golongan yang skeptis terhadap klaim luasnya rahmat dalam ajaran Islam. Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kewajiban pertama seorang hamba dalam Islam adalah mengakui bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah, melainkan Allah ﷻ. Dialah Allah ﷻ, Zat Yang Esa, yang menciptakan dan memelihara kita beserta seluruh ciptaan-Nya di bentangan alam semesta. Dua nama Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, keduanya bermakna kasih sayang yang begitu luas. Allah ﷻ menetapkan atas dirinya sifat kasih sayang dalam firman-Nya, وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ ٱلرَّحْمَةَ ۖ “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Keselamatan atas kalian. Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.’” (QS. Al-An’am: 54) Allah ﷻ juga membuka kitab suci Al-Qur’an yang mulia dengan nama Ar-Rahman Ar-Rahim, begitu juga ketika membuka 113 surah di dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ membuka Al-Qur’an dengan, بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Dengan menyebut nama Allah ﷻ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1) Allah ﷻ pun kembali menegaskan sifat rahmat atas diri-Nya pada ayat selanjutnya, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3) Nama Allah ﷻ bukanlah sekadar nama, tetapi juga mengandung sifat kesempurnaan di sisi-Nya. Sifat tersebut juga memiliki tuntutan bagi kaum muslimin untuk meneladaninya dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana seorang muslim tidak berkasih sayang, sementara ia beriman kepada Allah ﷻ yang bersifat Maha Pengasih dan Penyayang?! Maka, kasih sayang bukan sekadar nilai tambah bagi seorang muslim. Akan tetapi, ia merupakan pondasi keimanan seorang yang beriman kepada Allah ﷻ. Kasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺ Rasulullah ﷺ adalah sosok yang Allah ﷻ utus dalam misi mulia, yakni menjadi rahmat bagi semesta alam. وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107) Rahmat dalam ayat ini menunjukkan kepada makna jaminan keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi ﷺ. Dan yang dimaksud mengikuti Nabi ﷺ, dalam Tafsir Kemenag RI, misalnya adalah pengamalan Islam yang melahirkan perlindungan, kedamaian, dan karakter kasih sayang. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ “Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Al-Albani) Sabda ini membawa pesan esensial bahwa kasih sayang adalah refleksi iman yang sejati. Kasih sayang terhadap sesama berhubungan langsung dengan kasih sayang Allah ﷻ. Bagaimana kehidupan yang tidak berisi cinta dan kasih sayang dari Allah ﷻ yang mengatur seluruh alam? Tentu kehidupan akan teramat berat dan penuh kesengsaraan. Baca juga: Allah Sangat Sayang kepada Hamba-Nya Melebihi Kasih Sayang Ibu Kasih sayang sebagai akhlak sehari-hari Sifat kasih sayang tidak hanya termuat dalam fundamental Islam, tetapi juga tercermin dalam syariat dan juga keteladanan Nabi ﷺ. Tujuan utama dari praktik-praktik syariat ini adalah untuk melahirkan seorang muslim yang memancarkan kasih sayang dalam keseharian mereka. Beberapa praktik kehidupan Islami tersebut, di antaranya: Pertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salat Seorang muslim diwajibkan untuk mengulang Al-Fatihah yang mengandung pernyataan tegas tentang nama Ar-Rahman Ar-Rahim setidaknya 17 kali dalam sehari. Sungguh hal ini menjadi alamat bahwa Islam menginginkan sifat kasih sayang menjadi keseharian seorang muslim. Kedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lain Islam mengajarkan adab dan akhlak yang penuh empati, lemah lembut, dan pengertian terhadap orang lain. Allah ﷻ berfirman mengabarkan sebab para sahabat Nabi ﷺ berada di sisinya adalah karena kelemahlembutan beliau yang lahir dari sifat rahmat, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Berlaku lemah lembut adalah akhlak Muhammad ﷺ yang beliau memang diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 232) Dari hubungan keluarga hingga interaksi dengan tetangga, Islam mendorong umatnya untuk selalu menempatkan kasih sayang di atas kekerasan. Rasulullah ﷺ dalam banyak hadis mengingatkan umatnya untuk berlaku lembut kepada anak-anak, mengasihi orang tua, dan saling menyayangi sesama manusia tanpa memandang latar belakang. Ketiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesama Rasulullah ﷺ juga biasa mengumpulkan perintah untuk bermuamalah dengan baik kepada sesama makhluk-Nya sebagai perwujudan sifat rahmat. Dari Al-Bara’, dia meriwayatkan, أَمَرَنَا النَّبِيُّ بِسَبْعِ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعِ: أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتَّبَاعِ الْجِنَازَةِ، وَتَثْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَرَةِ السَّلَامِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ. “Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal dan melarang kami melakukan tujuh hal. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman, mengucapkan ‘yarḥamuka Allāh’ (semoga Allah merahmati kalian) kepada orang yang bersin, menjawab undangan, menjawab salam, menolong orang yang teraniaya, dan memenuhi permintaan orang yang bersumpah….” (HR. Bukhari no. 6294 dan Muslim no. 5510) Keempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhan Rasulullah ﷺ bersabda, في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ “Pada setiap yang mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik kepada-Nya).” (HR. Bukhari no. 2363) Nabi Muhammad ﷺ  pun memotivasi kita untuk menumbuhkan pepohonan yang dinilai sebagai kebaikan bagi setiap makhluk. Dalam sabda beliau ﷺ, فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali hal itu merupakan sedekah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1552) Bahkan, dalam perintah menyembelih pun, Rasulullah ﷺ menekankan untuk berkasih sayang di dalamnya. Rasulullah ﷺ telah bersabda, إن الله كتب الإحسانَ على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلةَ وإذا ذبحتم فأحسِنوا الذِّبحة، وليحد أحدُكم شَفْرَتَه ولْيُرِحْ ذبيحتَهُ “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh (hewan yang haram dimakan), hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan. Dan apabila kalian menyembelih (hewan yang halal dimakan), hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan. Dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya.” (HR. Muslim no. 1955) Terkadang, perintah syariat yang merefleksikan sifat kasih sayang ini tampak sederhana. Namun, dampaknya sangat besar. Semua ini adalah bentuk kasih sayang yang menjadi pondasi dalam menggapai keselamatan, baik di dunia maupun akhirat. Menghadapi tantangan dan stigma Islam sendiri mengajarkan bahwa rahmat Allah melingkupi segala sesuatu dan umat-Nya harus meneladani sifat kasih sayang tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Mencintai dan menyayangi, bahkan dalam hal-hal kecil, adalah bentuk ibadah kepada Allah. Umat Islam harus memahami bahwa dengan menampilkan sifat kasih sayang, mereka sejatinya sedang menunaikan perintah Allah dan mengamalkan ajaran Rasulullah ﷺ. Sebagai penutup, ingatlah bahwa kasih sayang adalah pondasi dari Islam. Prinsip kasih sayang dalam Islam, bukan hanya ajaran yang dipraktikkan kepada sesama muslim, tetapi kepada seluruh alam. Stigma yang dilekatkan kepada Islam, tak lain ialah datang dari kesalahpahaman orang terhadap ajaran Islam yang didapatkan dari berinteraksi dengan penganutnya. Maka, seorang muslim harus menunjukkan akhlak dan sifat kasih sayang kepada orang lain. Karena sejatinya seorang muslim adalah ikon dari agama yang diyakininya. Dan kita perlu sadari bahwa tujuan utama dalam berkasih sayang adalah menggapai cinta Allah ﷻ. Kecintaan Allah ﷻ berkaitan erat dengan kebermanfaatan hamba tersebut kepada sesamanya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani, 6: 139, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2: 575) Baca juga: Menebar Kasih Sayang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha PenyayangKasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺKasih sayang sebagai akhlak sehari-hariPertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salatKedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lainKetiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesamaKeempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhanMenghadapi tantangan dan stigma Islam, yang berakar dari kata salam, memiliki arti keselamatan atau kedamaian. Jalan keselamatan ini adalah apa yang ditawarkan oleh Islam. Dalam pandangan para ulama, esensi dari jalan keselamatan tersebut adalah tauhid dan kasih sayang. Syekh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata, فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه “Sesungguhnya semua perintah Allah kembali kepada dua hal: mengagungkan Allah Ta’ala dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya.” (Nasha’ihul ‘Ibad, hal. 9) Para ulama terdahulu juga mengaitkan keimanan dengan sifat kasih sayang. Abu Khairah Al-Aqtha’ dalam Tarikh Dimasyqi (66: 161), mengatakan, فقلب مملوء إيمانًا، فعلامته الشَّفَقَة على جميع المسلمين والاهتمام بما يهمُّهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang penuh dengan keimanan, tandanya adalah kasih sayang kepada semua umat muslim, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” Akan tetapi, Islam sering disalahpahami sebagai agama yang keras, baik dari luar maupun dari sebagian kaum muslimin itu sendiri. Stigma ini muncul dari penyimpangan sekelompok kaum muslimin yang mengabaikan prinsip kasih sayang dan perdamaian, terutama oleh segelintir orang yang terlihat agamis, tetapi memaknai Islam secara ekstrem. Di sisi lain, kaum orientalis yang menginterpretasikan syariat Islam dengan lensa negatif juga ikut menciptakan citra keras terhadap Islam. Setidaknya, ada tiga argumentasi sederhana yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Argumentasi ini perlu diketahui kaum muslimin sebagai ilmu yang menambah keimanan pribadi. Selain itu, juga menjadi jawaban bagi golongan yang skeptis terhadap klaim luasnya rahmat dalam ajaran Islam. Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kewajiban pertama seorang hamba dalam Islam adalah mengakui bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah, melainkan Allah ﷻ. Dialah Allah ﷻ, Zat Yang Esa, yang menciptakan dan memelihara kita beserta seluruh ciptaan-Nya di bentangan alam semesta. Dua nama Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, keduanya bermakna kasih sayang yang begitu luas. Allah ﷻ menetapkan atas dirinya sifat kasih sayang dalam firman-Nya, وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ ٱلرَّحْمَةَ ۖ “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Keselamatan atas kalian. Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.’” (QS. Al-An’am: 54) Allah ﷻ juga membuka kitab suci Al-Qur’an yang mulia dengan nama Ar-Rahman Ar-Rahim, begitu juga ketika membuka 113 surah di dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ membuka Al-Qur’an dengan, بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Dengan menyebut nama Allah ﷻ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1) Allah ﷻ pun kembali menegaskan sifat rahmat atas diri-Nya pada ayat selanjutnya, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3) Nama Allah ﷻ bukanlah sekadar nama, tetapi juga mengandung sifat kesempurnaan di sisi-Nya. Sifat tersebut juga memiliki tuntutan bagi kaum muslimin untuk meneladaninya dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana seorang muslim tidak berkasih sayang, sementara ia beriman kepada Allah ﷻ yang bersifat Maha Pengasih dan Penyayang?! Maka, kasih sayang bukan sekadar nilai tambah bagi seorang muslim. Akan tetapi, ia merupakan pondasi keimanan seorang yang beriman kepada Allah ﷻ. Kasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺ Rasulullah ﷺ adalah sosok yang Allah ﷻ utus dalam misi mulia, yakni menjadi rahmat bagi semesta alam. وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107) Rahmat dalam ayat ini menunjukkan kepada makna jaminan keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi ﷺ. Dan yang dimaksud mengikuti Nabi ﷺ, dalam Tafsir Kemenag RI, misalnya adalah pengamalan Islam yang melahirkan perlindungan, kedamaian, dan karakter kasih sayang. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ “Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Al-Albani) Sabda ini membawa pesan esensial bahwa kasih sayang adalah refleksi iman yang sejati. Kasih sayang terhadap sesama berhubungan langsung dengan kasih sayang Allah ﷻ. Bagaimana kehidupan yang tidak berisi cinta dan kasih sayang dari Allah ﷻ yang mengatur seluruh alam? Tentu kehidupan akan teramat berat dan penuh kesengsaraan. Baca juga: Allah Sangat Sayang kepada Hamba-Nya Melebihi Kasih Sayang Ibu Kasih sayang sebagai akhlak sehari-hari Sifat kasih sayang tidak hanya termuat dalam fundamental Islam, tetapi juga tercermin dalam syariat dan juga keteladanan Nabi ﷺ. Tujuan utama dari praktik-praktik syariat ini adalah untuk melahirkan seorang muslim yang memancarkan kasih sayang dalam keseharian mereka. Beberapa praktik kehidupan Islami tersebut, di antaranya: Pertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salat Seorang muslim diwajibkan untuk mengulang Al-Fatihah yang mengandung pernyataan tegas tentang nama Ar-Rahman Ar-Rahim setidaknya 17 kali dalam sehari. Sungguh hal ini menjadi alamat bahwa Islam menginginkan sifat kasih sayang menjadi keseharian seorang muslim. Kedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lain Islam mengajarkan adab dan akhlak yang penuh empati, lemah lembut, dan pengertian terhadap orang lain. Allah ﷻ berfirman mengabarkan sebab para sahabat Nabi ﷺ berada di sisinya adalah karena kelemahlembutan beliau yang lahir dari sifat rahmat, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Berlaku lemah lembut adalah akhlak Muhammad ﷺ yang beliau memang diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 232) Dari hubungan keluarga hingga interaksi dengan tetangga, Islam mendorong umatnya untuk selalu menempatkan kasih sayang di atas kekerasan. Rasulullah ﷺ dalam banyak hadis mengingatkan umatnya untuk berlaku lembut kepada anak-anak, mengasihi orang tua, dan saling menyayangi sesama manusia tanpa memandang latar belakang. Ketiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesama Rasulullah ﷺ juga biasa mengumpulkan perintah untuk bermuamalah dengan baik kepada sesama makhluk-Nya sebagai perwujudan sifat rahmat. Dari Al-Bara’, dia meriwayatkan, أَمَرَنَا النَّبِيُّ بِسَبْعِ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعِ: أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتَّبَاعِ الْجِنَازَةِ، وَتَثْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَرَةِ السَّلَامِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ. “Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal dan melarang kami melakukan tujuh hal. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman, mengucapkan ‘yarḥamuka Allāh’ (semoga Allah merahmati kalian) kepada orang yang bersin, menjawab undangan, menjawab salam, menolong orang yang teraniaya, dan memenuhi permintaan orang yang bersumpah….” (HR. Bukhari no. 6294 dan Muslim no. 5510) Keempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhan Rasulullah ﷺ bersabda, في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ “Pada setiap yang mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik kepada-Nya).” (HR. Bukhari no. 2363) Nabi Muhammad ﷺ  pun memotivasi kita untuk menumbuhkan pepohonan yang dinilai sebagai kebaikan bagi setiap makhluk. Dalam sabda beliau ﷺ, فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali hal itu merupakan sedekah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1552) Bahkan, dalam perintah menyembelih pun, Rasulullah ﷺ menekankan untuk berkasih sayang di dalamnya. Rasulullah ﷺ telah bersabda, إن الله كتب الإحسانَ على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلةَ وإذا ذبحتم فأحسِنوا الذِّبحة، وليحد أحدُكم شَفْرَتَه ولْيُرِحْ ذبيحتَهُ “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh (hewan yang haram dimakan), hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan. Dan apabila kalian menyembelih (hewan yang halal dimakan), hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan. Dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya.” (HR. Muslim no. 1955) Terkadang, perintah syariat yang merefleksikan sifat kasih sayang ini tampak sederhana. Namun, dampaknya sangat besar. Semua ini adalah bentuk kasih sayang yang menjadi pondasi dalam menggapai keselamatan, baik di dunia maupun akhirat. Menghadapi tantangan dan stigma Islam sendiri mengajarkan bahwa rahmat Allah melingkupi segala sesuatu dan umat-Nya harus meneladani sifat kasih sayang tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Mencintai dan menyayangi, bahkan dalam hal-hal kecil, adalah bentuk ibadah kepada Allah. Umat Islam harus memahami bahwa dengan menampilkan sifat kasih sayang, mereka sejatinya sedang menunaikan perintah Allah dan mengamalkan ajaran Rasulullah ﷺ. Sebagai penutup, ingatlah bahwa kasih sayang adalah pondasi dari Islam. Prinsip kasih sayang dalam Islam, bukan hanya ajaran yang dipraktikkan kepada sesama muslim, tetapi kepada seluruh alam. Stigma yang dilekatkan kepada Islam, tak lain ialah datang dari kesalahpahaman orang terhadap ajaran Islam yang didapatkan dari berinteraksi dengan penganutnya. Maka, seorang muslim harus menunjukkan akhlak dan sifat kasih sayang kepada orang lain. Karena sejatinya seorang muslim adalah ikon dari agama yang diyakininya. Dan kita perlu sadari bahwa tujuan utama dalam berkasih sayang adalah menggapai cinta Allah ﷻ. Kecintaan Allah ﷻ berkaitan erat dengan kebermanfaatan hamba tersebut kepada sesamanya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani, 6: 139, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2: 575) Baca juga: Menebar Kasih Sayang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha PenyayangKasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺKasih sayang sebagai akhlak sehari-hariPertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salatKedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lainKetiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesamaKeempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhanMenghadapi tantangan dan stigma Islam, yang berakar dari kata salam, memiliki arti keselamatan atau kedamaian. Jalan keselamatan ini adalah apa yang ditawarkan oleh Islam. Dalam pandangan para ulama, esensi dari jalan keselamatan tersebut adalah tauhid dan kasih sayang. Syekh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata, فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه “Sesungguhnya semua perintah Allah kembali kepada dua hal: mengagungkan Allah Ta’ala dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya.” (Nasha’ihul ‘Ibad, hal. 9) Para ulama terdahulu juga mengaitkan keimanan dengan sifat kasih sayang. Abu Khairah Al-Aqtha’ dalam Tarikh Dimasyqi (66: 161), mengatakan, فقلب مملوء إيمانًا، فعلامته الشَّفَقَة على جميع المسلمين والاهتمام بما يهمُّهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم “Hati yang penuh dengan keimanan, tandanya adalah kasih sayang kepada semua umat muslim, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.” Akan tetapi, Islam sering disalahpahami sebagai agama yang keras, baik dari luar maupun dari sebagian kaum muslimin itu sendiri. Stigma ini muncul dari penyimpangan sekelompok kaum muslimin yang mengabaikan prinsip kasih sayang dan perdamaian, terutama oleh segelintir orang yang terlihat agamis, tetapi memaknai Islam secara ekstrem. Di sisi lain, kaum orientalis yang menginterpretasikan syariat Islam dengan lensa negatif juga ikut menciptakan citra keras terhadap Islam. Setidaknya, ada tiga argumentasi sederhana yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Argumentasi ini perlu diketahui kaum muslimin sebagai ilmu yang menambah keimanan pribadi. Selain itu, juga menjadi jawaban bagi golongan yang skeptis terhadap klaim luasnya rahmat dalam ajaran Islam. Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kewajiban pertama seorang hamba dalam Islam adalah mengakui bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah, melainkan Allah ﷻ. Dialah Allah ﷻ, Zat Yang Esa, yang menciptakan dan memelihara kita beserta seluruh ciptaan-Nya di bentangan alam semesta. Dua nama Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, keduanya bermakna kasih sayang yang begitu luas. Allah ﷻ menetapkan atas dirinya sifat kasih sayang dalam firman-Nya, وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ ٱلرَّحْمَةَ ۖ “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Keselamatan atas kalian. Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.’” (QS. Al-An’am: 54) Allah ﷻ juga membuka kitab suci Al-Qur’an yang mulia dengan nama Ar-Rahman Ar-Rahim, begitu juga ketika membuka 113 surah di dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ membuka Al-Qur’an dengan, بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Dengan menyebut nama Allah ﷻ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1) Allah ﷻ pun kembali menegaskan sifat rahmat atas diri-Nya pada ayat selanjutnya, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3) Nama Allah ﷻ bukanlah sekadar nama, tetapi juga mengandung sifat kesempurnaan di sisi-Nya. Sifat tersebut juga memiliki tuntutan bagi kaum muslimin untuk meneladaninya dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana seorang muslim tidak berkasih sayang, sementara ia beriman kepada Allah ﷻ yang bersifat Maha Pengasih dan Penyayang?! Maka, kasih sayang bukan sekadar nilai tambah bagi seorang muslim. Akan tetapi, ia merupakan pondasi keimanan seorang yang beriman kepada Allah ﷻ. Kasih sayang dalam pengutusan Nabi ﷺ Rasulullah ﷺ adalah sosok yang Allah ﷻ utus dalam misi mulia, yakni menjadi rahmat bagi semesta alam. وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107) Rahmat dalam ayat ini menunjukkan kepada makna jaminan keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi ﷺ. Dan yang dimaksud mengikuti Nabi ﷺ, dalam Tafsir Kemenag RI, misalnya adalah pengamalan Islam yang melahirkan perlindungan, kedamaian, dan karakter kasih sayang. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda, الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ “Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Al-Albani) Sabda ini membawa pesan esensial bahwa kasih sayang adalah refleksi iman yang sejati. Kasih sayang terhadap sesama berhubungan langsung dengan kasih sayang Allah ﷻ. Bagaimana kehidupan yang tidak berisi cinta dan kasih sayang dari Allah ﷻ yang mengatur seluruh alam? Tentu kehidupan akan teramat berat dan penuh kesengsaraan. Baca juga: Allah Sangat Sayang kepada Hamba-Nya Melebihi Kasih Sayang Ibu Kasih sayang sebagai akhlak sehari-hari Sifat kasih sayang tidak hanya termuat dalam fundamental Islam, tetapi juga tercermin dalam syariat dan juga keteladanan Nabi ﷺ. Tujuan utama dari praktik-praktik syariat ini adalah untuk melahirkan seorang muslim yang memancarkan kasih sayang dalam keseharian mereka. Beberapa praktik kehidupan Islami tersebut, di antaranya: Pertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah ﷻ dalam salat Seorang muslim diwajibkan untuk mengulang Al-Fatihah yang mengandung pernyataan tegas tentang nama Ar-Rahman Ar-Rahim setidaknya 17 kali dalam sehari. Sungguh hal ini menjadi alamat bahwa Islam menginginkan sifat kasih sayang menjadi keseharian seorang muslim. Kedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lain Islam mengajarkan adab dan akhlak yang penuh empati, lemah lembut, dan pengertian terhadap orang lain. Allah ﷻ berfirman mengabarkan sebab para sahabat Nabi ﷺ berada di sisinya adalah karena kelemahlembutan beliau yang lahir dari sifat rahmat, فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159) Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Berlaku lemah lembut adalah akhlak Muhammad ﷺ yang beliau memang diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 232) Dari hubungan keluarga hingga interaksi dengan tetangga, Islam mendorong umatnya untuk selalu menempatkan kasih sayang di atas kekerasan. Rasulullah ﷺ dalam banyak hadis mengingatkan umatnya untuk berlaku lembut kepada anak-anak, mengasihi orang tua, dan saling menyayangi sesama manusia tanpa memandang latar belakang. Ketiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesama Rasulullah ﷺ juga biasa mengumpulkan perintah untuk bermuamalah dengan baik kepada sesama makhluk-Nya sebagai perwujudan sifat rahmat. Dari Al-Bara’, dia meriwayatkan, أَمَرَنَا النَّبِيُّ بِسَبْعِ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعِ: أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتَّبَاعِ الْجِنَازَةِ، وَتَثْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَرَةِ السَّلَامِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ. “Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal dan melarang kami melakukan tujuh hal. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman, mengucapkan ‘yarḥamuka Allāh’ (semoga Allah merahmati kalian) kepada orang yang bersin, menjawab undangan, menjawab salam, menolong orang yang teraniaya, dan memenuhi permintaan orang yang bersumpah….” (HR. Bukhari no. 6294 dan Muslim no. 5510) Keempat: Nabi ﷺ pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhan Rasulullah ﷺ bersabda, في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ “Pada setiap yang mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik kepada-Nya).” (HR. Bukhari no. 2363) Nabi Muhammad ﷺ  pun memotivasi kita untuk menumbuhkan pepohonan yang dinilai sebagai kebaikan bagi setiap makhluk. Dalam sabda beliau ﷺ, فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali hal itu merupakan sedekah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1552) Bahkan, dalam perintah menyembelih pun, Rasulullah ﷺ menekankan untuk berkasih sayang di dalamnya. Rasulullah ﷺ telah bersabda, إن الله كتب الإحسانَ على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلةَ وإذا ذبحتم فأحسِنوا الذِّبحة، وليحد أحدُكم شَفْرَتَه ولْيُرِحْ ذبيحتَهُ “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh (hewan yang haram dimakan), hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan. Dan apabila kalian menyembelih (hewan yang halal dimakan), hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan. Dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya.” (HR. Muslim no. 1955) Terkadang, perintah syariat yang merefleksikan sifat kasih sayang ini tampak sederhana. Namun, dampaknya sangat besar. Semua ini adalah bentuk kasih sayang yang menjadi pondasi dalam menggapai keselamatan, baik di dunia maupun akhirat. Menghadapi tantangan dan stigma Islam sendiri mengajarkan bahwa rahmat Allah melingkupi segala sesuatu dan umat-Nya harus meneladani sifat kasih sayang tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Mencintai dan menyayangi, bahkan dalam hal-hal kecil, adalah bentuk ibadah kepada Allah. Umat Islam harus memahami bahwa dengan menampilkan sifat kasih sayang, mereka sejatinya sedang menunaikan perintah Allah dan mengamalkan ajaran Rasulullah ﷺ. Sebagai penutup, ingatlah bahwa kasih sayang adalah pondasi dari Islam. Prinsip kasih sayang dalam Islam, bukan hanya ajaran yang dipraktikkan kepada sesama muslim, tetapi kepada seluruh alam. Stigma yang dilekatkan kepada Islam, tak lain ialah datang dari kesalahpahaman orang terhadap ajaran Islam yang didapatkan dari berinteraksi dengan penganutnya. Maka, seorang muslim harus menunjukkan akhlak dan sifat kasih sayang kepada orang lain. Karena sejatinya seorang muslim adalah ikon dari agama yang diyakininya. Dan kita perlu sadari bahwa tujuan utama dalam berkasih sayang adalah menggapai cinta Allah ﷻ. Kecintaan Allah ﷻ berkaitan erat dengan kebermanfaatan hamba tersebut kepada sesamanya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani, 6: 139, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2: 575) Baca juga: Menebar Kasih Sayang *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id

Tahapan-Tahapan Larangan Khamr dalam Al-Qur’an

Daftar Isi Toggle Tahapan pertamaTahapan keduaTahapan ketiga Sungguh memprihatinkan melihat kondisi saat ini, di mana banyaknya bermunculan outlet-outlet yang menjajakan minuman keras (miras) dengan terang-terangan. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan kabar yang beredar di portal berita nasional, outlet-outlet ini menjual miras berbagai merek dari luar negeri atau impor. Bahkan, beredar foto peresmian pembukaan salah satu outlet itu mendapatkan ucapan selamat berupa karangan bunga dari petugas keamanan resmi. Padahal miras dan minuman yang memabukkan lainnya itu merupakan hal yang dilarang dalam Islam dan merupakan barang haram. Akan tetapi, memang tidak dipungkiri ada manfaat yang bisa didapat dari minuman itu. Seperti pada daerah dengan iklim yang dingin ekstrim, minuman ini dimanfaatkan penduduk lokal untuk menghangatkan tubuh dari cuaca ekstrim di daerah itu, namun bukan untuk membuat mabuk. Dan memang sudah dikabarkan dalam Al-Qur’an bahwa khamr itu ada manfaatnya, namun sangat sedikit sekali, dan lebih banyak mudaratnya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 219, Allah berfirman, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’” Ternyata khamr pada masa awal Islam tidak langsung dilarang secara mutlak sebagaimana larangan dosa lain, seperti zina dan transaksi riba. Larangan zina dan dosa lainnya langsung berlaku dan tidak boleh sama sekali melakukannya lagi, namun berbeda dengan khamr. Ternyata larangan khamr itu bertahap. Yaitu, ada 3 tahap larangan sampai benar-benar dilarang total. Dan tahapan larangan ini diabadikan dalam Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi umat. Tahapan ini bisa ditemukan dalam 3 surah yang berbeda. Kenapa hanya khamr yang larangannya bertahap? Apa faedah dan pelajaran dari larangan yang bertahap itu? Nah, di sini kami ingin mengajak teman-teman untuk mempelajari apa itu khamr dan faedah dari larangan khamr yang dibuat bertahap. Khamr dalam bahasa Arab berarti arak. Yaitu, sejenis minuman keras yang memabukkan. Penjelasan faedah larangan khamr ini, kami ambil dari kitab karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab Ushul Tafsir. Dalam bab “Bertingkatnya Pensyariatan hingga Mencapai Derajat-Derajat Syariat yang Sempurna.” Dalam penjelasan bab ini, beliau membawakan contoh pensyariatan pelarangan khamr. Disebutkan bahwa khamr sudah ada pada masyarakat waktu itu dari sebelum kedatangan Islam. Dan khamr menjadi kebiasaan masyarakat pada masa itu. Sehingga pelarangan khamr akan menjadi hal yang menyulitkan bagi orang yang ingin memeluk Islam. Dan juga akan menyebabkan pertentangan dengan pensyariatan pelarangan khamr. Sehingga akan menyulitkan bagi Islam untuk diterima di masyarakat yang sudah terbiasa dengan khamr. Tahapan pertama Maka, pada awal Islam, khamr tidak serta merta dilarang, melainkan dengan tahapan yang sangat cerdas dan halus. Tahapan pertama, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 219, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا  “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ ” Dalam ayat ini, mengisahkan awal orang-orang mempertanyakan mengenai hukum khamr dan judi. Maka, ayat ini menjelaskan terlebih dahulu mengenai kedua hal itu perihal manfaat dan baik buruknya kedua hal tersebut. Maka, pada ayat ini merupakan tahapan persiapan untuk diri dalam menerima pengharaman khamr. Dan ini merupakan langkah yang cerdas sekali karena kecenderungan akal itu akan melaksanakan atau mempraktikkan hal yang lebih memiliki manfaat dan/ atau tidak mau melakukan hal yang dosanya lebih banyak daripada manfaatnya. Sehingga, dengan penjelasan ini, membuat masyarakat paham mengenai khamr dan sudah tertanam akan keburukan yang ditimbulkannya. Baca juga: Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk Tahapan kedua Kemudian tahap kedua dalam kitab yang sama, yaitu turun ayat dalam surah An-Nisa ayat 43, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan tidak sadar sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan.” Maka, pada ayat ini, mengandung tahapan pelatihan dalam meninggalkan khamr. Yaitu, meninggalkan khamr dalam sebagian waktu saja. Larangan khamr pada waktu ayat ini turun hanya berlaku pada satu bagian waktu saja, yaitu waktu-waktu salat. Umat muslim kala itu dilarang untuk minum khamr pada saat salat. Atau dilarang salat dalam keadaan mabuk. Yang artinya, waktu itu masih banyak kaum muslimin yang minum khamr dalam keseharian mereka dan dilarang minum khamr pada waktu salat. Tahapan ketiga Kemudian, tahapan ketiga, yaitu turun surah Al-Ma’idah ayat 90-92. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ  وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undian nasib adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka, jauhilah itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan menginginkan agar terjadi permusuhan dan kebencian pada khamr dan judi itu dan menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan dari salat, maka apakah kalian tidak berhenti? Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul dan berhati-hatilah, maka jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan.” Dalam ayat ini terdapat larangan tetap yang tegas untuk tidak mendekati khamr. Tidak hanya mengkonsumsi, bahkan larangannya adalah untuk tidak mendekati. Disertai dengan sebab dan akibat dari khamr dan teman-temannya. Dan disertai dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta ancaman bagi yang berpaling dari perintah itu. Maka, dalam ayat ini mengandung larangan khamar dalam keseluruhan waktu setelah sebelumnya dipersiapkan bagi jiwa untuk menerima pengharaman, lalu dilatih untuk dilarang dalam sebagian waktu saja, yaitu ketika salat. Sehingga terdapat faedah yang bisa kita petik dalam ayat-ayat pensyariatan pelarangan khamr. Di antaranya, yaitu: Pertama, dalam berdakwah atau memberikan ilmu dalam segala bidang, terutama dalam hal dakwah agama Islam, maka sangat perlu sekali untuk memahami terlebih dahulu kondisi orang yang akan didakwahi atau diberi ilmu. Kedua, setelah memahami kondisi yang akan didakwahi, maka akan bisa menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan ilmu atau dakwah kepadanya agar mudah diterima dan dipraktikkan olehnya. Ketiga, pentingnya menyampaikan ilmu atau dakwah secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang didakwahi. Keempat, menyampaikan sesuatu dengan ilmu yang benar dan lurus. Kelima, hendaknya bertanya tentang suatu perkara kepada orang yang berilmu atau ahli dalam perkara yang ditanyakan atau sesuai dengan bidang keilmuannya. Keenam, dalam dakwah harus disampaikan dengan lembut dan ilmu. Jika tidak, bisa menimbulkan pertentangan, bahkan penolakan yang lebih keras terhadap dakwah yang benar. Semoga Allah menjaga kita dan keluarga kita dari api neraka. Allahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** Penulis: Refnadi Fendiantoro Artikel: Muslim.or.id

Tahapan-Tahapan Larangan Khamr dalam Al-Qur’an

Daftar Isi Toggle Tahapan pertamaTahapan keduaTahapan ketiga Sungguh memprihatinkan melihat kondisi saat ini, di mana banyaknya bermunculan outlet-outlet yang menjajakan minuman keras (miras) dengan terang-terangan. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan kabar yang beredar di portal berita nasional, outlet-outlet ini menjual miras berbagai merek dari luar negeri atau impor. Bahkan, beredar foto peresmian pembukaan salah satu outlet itu mendapatkan ucapan selamat berupa karangan bunga dari petugas keamanan resmi. Padahal miras dan minuman yang memabukkan lainnya itu merupakan hal yang dilarang dalam Islam dan merupakan barang haram. Akan tetapi, memang tidak dipungkiri ada manfaat yang bisa didapat dari minuman itu. Seperti pada daerah dengan iklim yang dingin ekstrim, minuman ini dimanfaatkan penduduk lokal untuk menghangatkan tubuh dari cuaca ekstrim di daerah itu, namun bukan untuk membuat mabuk. Dan memang sudah dikabarkan dalam Al-Qur’an bahwa khamr itu ada manfaatnya, namun sangat sedikit sekali, dan lebih banyak mudaratnya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 219, Allah berfirman, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’” Ternyata khamr pada masa awal Islam tidak langsung dilarang secara mutlak sebagaimana larangan dosa lain, seperti zina dan transaksi riba. Larangan zina dan dosa lainnya langsung berlaku dan tidak boleh sama sekali melakukannya lagi, namun berbeda dengan khamr. Ternyata larangan khamr itu bertahap. Yaitu, ada 3 tahap larangan sampai benar-benar dilarang total. Dan tahapan larangan ini diabadikan dalam Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi umat. Tahapan ini bisa ditemukan dalam 3 surah yang berbeda. Kenapa hanya khamr yang larangannya bertahap? Apa faedah dan pelajaran dari larangan yang bertahap itu? Nah, di sini kami ingin mengajak teman-teman untuk mempelajari apa itu khamr dan faedah dari larangan khamr yang dibuat bertahap. Khamr dalam bahasa Arab berarti arak. Yaitu, sejenis minuman keras yang memabukkan. Penjelasan faedah larangan khamr ini, kami ambil dari kitab karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab Ushul Tafsir. Dalam bab “Bertingkatnya Pensyariatan hingga Mencapai Derajat-Derajat Syariat yang Sempurna.” Dalam penjelasan bab ini, beliau membawakan contoh pensyariatan pelarangan khamr. Disebutkan bahwa khamr sudah ada pada masyarakat waktu itu dari sebelum kedatangan Islam. Dan khamr menjadi kebiasaan masyarakat pada masa itu. Sehingga pelarangan khamr akan menjadi hal yang menyulitkan bagi orang yang ingin memeluk Islam. Dan juga akan menyebabkan pertentangan dengan pensyariatan pelarangan khamr. Sehingga akan menyulitkan bagi Islam untuk diterima di masyarakat yang sudah terbiasa dengan khamr. Tahapan pertama Maka, pada awal Islam, khamr tidak serta merta dilarang, melainkan dengan tahapan yang sangat cerdas dan halus. Tahapan pertama, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 219, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا  “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ ” Dalam ayat ini, mengisahkan awal orang-orang mempertanyakan mengenai hukum khamr dan judi. Maka, ayat ini menjelaskan terlebih dahulu mengenai kedua hal itu perihal manfaat dan baik buruknya kedua hal tersebut. Maka, pada ayat ini merupakan tahapan persiapan untuk diri dalam menerima pengharaman khamr. Dan ini merupakan langkah yang cerdas sekali karena kecenderungan akal itu akan melaksanakan atau mempraktikkan hal yang lebih memiliki manfaat dan/ atau tidak mau melakukan hal yang dosanya lebih banyak daripada manfaatnya. Sehingga, dengan penjelasan ini, membuat masyarakat paham mengenai khamr dan sudah tertanam akan keburukan yang ditimbulkannya. Baca juga: Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk Tahapan kedua Kemudian tahap kedua dalam kitab yang sama, yaitu turun ayat dalam surah An-Nisa ayat 43, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan tidak sadar sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan.” Maka, pada ayat ini, mengandung tahapan pelatihan dalam meninggalkan khamr. Yaitu, meninggalkan khamr dalam sebagian waktu saja. Larangan khamr pada waktu ayat ini turun hanya berlaku pada satu bagian waktu saja, yaitu waktu-waktu salat. Umat muslim kala itu dilarang untuk minum khamr pada saat salat. Atau dilarang salat dalam keadaan mabuk. Yang artinya, waktu itu masih banyak kaum muslimin yang minum khamr dalam keseharian mereka dan dilarang minum khamr pada waktu salat. Tahapan ketiga Kemudian, tahapan ketiga, yaitu turun surah Al-Ma’idah ayat 90-92. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ  وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undian nasib adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka, jauhilah itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan menginginkan agar terjadi permusuhan dan kebencian pada khamr dan judi itu dan menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan dari salat, maka apakah kalian tidak berhenti? Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul dan berhati-hatilah, maka jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan.” Dalam ayat ini terdapat larangan tetap yang tegas untuk tidak mendekati khamr. Tidak hanya mengkonsumsi, bahkan larangannya adalah untuk tidak mendekati. Disertai dengan sebab dan akibat dari khamr dan teman-temannya. Dan disertai dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta ancaman bagi yang berpaling dari perintah itu. Maka, dalam ayat ini mengandung larangan khamar dalam keseluruhan waktu setelah sebelumnya dipersiapkan bagi jiwa untuk menerima pengharaman, lalu dilatih untuk dilarang dalam sebagian waktu saja, yaitu ketika salat. Sehingga terdapat faedah yang bisa kita petik dalam ayat-ayat pensyariatan pelarangan khamr. Di antaranya, yaitu: Pertama, dalam berdakwah atau memberikan ilmu dalam segala bidang, terutama dalam hal dakwah agama Islam, maka sangat perlu sekali untuk memahami terlebih dahulu kondisi orang yang akan didakwahi atau diberi ilmu. Kedua, setelah memahami kondisi yang akan didakwahi, maka akan bisa menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan ilmu atau dakwah kepadanya agar mudah diterima dan dipraktikkan olehnya. Ketiga, pentingnya menyampaikan ilmu atau dakwah secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang didakwahi. Keempat, menyampaikan sesuatu dengan ilmu yang benar dan lurus. Kelima, hendaknya bertanya tentang suatu perkara kepada orang yang berilmu atau ahli dalam perkara yang ditanyakan atau sesuai dengan bidang keilmuannya. Keenam, dalam dakwah harus disampaikan dengan lembut dan ilmu. Jika tidak, bisa menimbulkan pertentangan, bahkan penolakan yang lebih keras terhadap dakwah yang benar. Semoga Allah menjaga kita dan keluarga kita dari api neraka. Allahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** Penulis: Refnadi Fendiantoro Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Tahapan pertamaTahapan keduaTahapan ketiga Sungguh memprihatinkan melihat kondisi saat ini, di mana banyaknya bermunculan outlet-outlet yang menjajakan minuman keras (miras) dengan terang-terangan. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan kabar yang beredar di portal berita nasional, outlet-outlet ini menjual miras berbagai merek dari luar negeri atau impor. Bahkan, beredar foto peresmian pembukaan salah satu outlet itu mendapatkan ucapan selamat berupa karangan bunga dari petugas keamanan resmi. Padahal miras dan minuman yang memabukkan lainnya itu merupakan hal yang dilarang dalam Islam dan merupakan barang haram. Akan tetapi, memang tidak dipungkiri ada manfaat yang bisa didapat dari minuman itu. Seperti pada daerah dengan iklim yang dingin ekstrim, minuman ini dimanfaatkan penduduk lokal untuk menghangatkan tubuh dari cuaca ekstrim di daerah itu, namun bukan untuk membuat mabuk. Dan memang sudah dikabarkan dalam Al-Qur’an bahwa khamr itu ada manfaatnya, namun sangat sedikit sekali, dan lebih banyak mudaratnya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 219, Allah berfirman, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’” Ternyata khamr pada masa awal Islam tidak langsung dilarang secara mutlak sebagaimana larangan dosa lain, seperti zina dan transaksi riba. Larangan zina dan dosa lainnya langsung berlaku dan tidak boleh sama sekali melakukannya lagi, namun berbeda dengan khamr. Ternyata larangan khamr itu bertahap. Yaitu, ada 3 tahap larangan sampai benar-benar dilarang total. Dan tahapan larangan ini diabadikan dalam Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi umat. Tahapan ini bisa ditemukan dalam 3 surah yang berbeda. Kenapa hanya khamr yang larangannya bertahap? Apa faedah dan pelajaran dari larangan yang bertahap itu? Nah, di sini kami ingin mengajak teman-teman untuk mempelajari apa itu khamr dan faedah dari larangan khamr yang dibuat bertahap. Khamr dalam bahasa Arab berarti arak. Yaitu, sejenis minuman keras yang memabukkan. Penjelasan faedah larangan khamr ini, kami ambil dari kitab karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab Ushul Tafsir. Dalam bab “Bertingkatnya Pensyariatan hingga Mencapai Derajat-Derajat Syariat yang Sempurna.” Dalam penjelasan bab ini, beliau membawakan contoh pensyariatan pelarangan khamr. Disebutkan bahwa khamr sudah ada pada masyarakat waktu itu dari sebelum kedatangan Islam. Dan khamr menjadi kebiasaan masyarakat pada masa itu. Sehingga pelarangan khamr akan menjadi hal yang menyulitkan bagi orang yang ingin memeluk Islam. Dan juga akan menyebabkan pertentangan dengan pensyariatan pelarangan khamr. Sehingga akan menyulitkan bagi Islam untuk diterima di masyarakat yang sudah terbiasa dengan khamr. Tahapan pertama Maka, pada awal Islam, khamr tidak serta merta dilarang, melainkan dengan tahapan yang sangat cerdas dan halus. Tahapan pertama, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 219, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا  “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ ” Dalam ayat ini, mengisahkan awal orang-orang mempertanyakan mengenai hukum khamr dan judi. Maka, ayat ini menjelaskan terlebih dahulu mengenai kedua hal itu perihal manfaat dan baik buruknya kedua hal tersebut. Maka, pada ayat ini merupakan tahapan persiapan untuk diri dalam menerima pengharaman khamr. Dan ini merupakan langkah yang cerdas sekali karena kecenderungan akal itu akan melaksanakan atau mempraktikkan hal yang lebih memiliki manfaat dan/ atau tidak mau melakukan hal yang dosanya lebih banyak daripada manfaatnya. Sehingga, dengan penjelasan ini, membuat masyarakat paham mengenai khamr dan sudah tertanam akan keburukan yang ditimbulkannya. Baca juga: Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk Tahapan kedua Kemudian tahap kedua dalam kitab yang sama, yaitu turun ayat dalam surah An-Nisa ayat 43, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan tidak sadar sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan.” Maka, pada ayat ini, mengandung tahapan pelatihan dalam meninggalkan khamr. Yaitu, meninggalkan khamr dalam sebagian waktu saja. Larangan khamr pada waktu ayat ini turun hanya berlaku pada satu bagian waktu saja, yaitu waktu-waktu salat. Umat muslim kala itu dilarang untuk minum khamr pada saat salat. Atau dilarang salat dalam keadaan mabuk. Yang artinya, waktu itu masih banyak kaum muslimin yang minum khamr dalam keseharian mereka dan dilarang minum khamr pada waktu salat. Tahapan ketiga Kemudian, tahapan ketiga, yaitu turun surah Al-Ma’idah ayat 90-92. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ  وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undian nasib adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka, jauhilah itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan menginginkan agar terjadi permusuhan dan kebencian pada khamr dan judi itu dan menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan dari salat, maka apakah kalian tidak berhenti? Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul dan berhati-hatilah, maka jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan.” Dalam ayat ini terdapat larangan tetap yang tegas untuk tidak mendekati khamr. Tidak hanya mengkonsumsi, bahkan larangannya adalah untuk tidak mendekati. Disertai dengan sebab dan akibat dari khamr dan teman-temannya. Dan disertai dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta ancaman bagi yang berpaling dari perintah itu. Maka, dalam ayat ini mengandung larangan khamar dalam keseluruhan waktu setelah sebelumnya dipersiapkan bagi jiwa untuk menerima pengharaman, lalu dilatih untuk dilarang dalam sebagian waktu saja, yaitu ketika salat. Sehingga terdapat faedah yang bisa kita petik dalam ayat-ayat pensyariatan pelarangan khamr. Di antaranya, yaitu: Pertama, dalam berdakwah atau memberikan ilmu dalam segala bidang, terutama dalam hal dakwah agama Islam, maka sangat perlu sekali untuk memahami terlebih dahulu kondisi orang yang akan didakwahi atau diberi ilmu. Kedua, setelah memahami kondisi yang akan didakwahi, maka akan bisa menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan ilmu atau dakwah kepadanya agar mudah diterima dan dipraktikkan olehnya. Ketiga, pentingnya menyampaikan ilmu atau dakwah secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang didakwahi. Keempat, menyampaikan sesuatu dengan ilmu yang benar dan lurus. Kelima, hendaknya bertanya tentang suatu perkara kepada orang yang berilmu atau ahli dalam perkara yang ditanyakan atau sesuai dengan bidang keilmuannya. Keenam, dalam dakwah harus disampaikan dengan lembut dan ilmu. Jika tidak, bisa menimbulkan pertentangan, bahkan penolakan yang lebih keras terhadap dakwah yang benar. Semoga Allah menjaga kita dan keluarga kita dari api neraka. Allahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** Penulis: Refnadi Fendiantoro Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Tahapan pertamaTahapan keduaTahapan ketiga Sungguh memprihatinkan melihat kondisi saat ini, di mana banyaknya bermunculan outlet-outlet yang menjajakan minuman keras (miras) dengan terang-terangan. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan kabar yang beredar di portal berita nasional, outlet-outlet ini menjual miras berbagai merek dari luar negeri atau impor. Bahkan, beredar foto peresmian pembukaan salah satu outlet itu mendapatkan ucapan selamat berupa karangan bunga dari petugas keamanan resmi. Padahal miras dan minuman yang memabukkan lainnya itu merupakan hal yang dilarang dalam Islam dan merupakan barang haram. Akan tetapi, memang tidak dipungkiri ada manfaat yang bisa didapat dari minuman itu. Seperti pada daerah dengan iklim yang dingin ekstrim, minuman ini dimanfaatkan penduduk lokal untuk menghangatkan tubuh dari cuaca ekstrim di daerah itu, namun bukan untuk membuat mabuk. Dan memang sudah dikabarkan dalam Al-Qur’an bahwa khamr itu ada manfaatnya, namun sangat sedikit sekali, dan lebih banyak mudaratnya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 219, Allah berfirman, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’” Ternyata khamr pada masa awal Islam tidak langsung dilarang secara mutlak sebagaimana larangan dosa lain, seperti zina dan transaksi riba. Larangan zina dan dosa lainnya langsung berlaku dan tidak boleh sama sekali melakukannya lagi, namun berbeda dengan khamr. Ternyata larangan khamr itu bertahap. Yaitu, ada 3 tahap larangan sampai benar-benar dilarang total. Dan tahapan larangan ini diabadikan dalam Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi umat. Tahapan ini bisa ditemukan dalam 3 surah yang berbeda. Kenapa hanya khamr yang larangannya bertahap? Apa faedah dan pelajaran dari larangan yang bertahap itu? Nah, di sini kami ingin mengajak teman-teman untuk mempelajari apa itu khamr dan faedah dari larangan khamr yang dibuat bertahap. Khamr dalam bahasa Arab berarti arak. Yaitu, sejenis minuman keras yang memabukkan. Penjelasan faedah larangan khamr ini, kami ambil dari kitab karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab Ushul Tafsir. Dalam bab “Bertingkatnya Pensyariatan hingga Mencapai Derajat-Derajat Syariat yang Sempurna.” Dalam penjelasan bab ini, beliau membawakan contoh pensyariatan pelarangan khamr. Disebutkan bahwa khamr sudah ada pada masyarakat waktu itu dari sebelum kedatangan Islam. Dan khamr menjadi kebiasaan masyarakat pada masa itu. Sehingga pelarangan khamr akan menjadi hal yang menyulitkan bagi orang yang ingin memeluk Islam. Dan juga akan menyebabkan pertentangan dengan pensyariatan pelarangan khamr. Sehingga akan menyulitkan bagi Islam untuk diterima di masyarakat yang sudah terbiasa dengan khamr. Tahapan pertama Maka, pada awal Islam, khamr tidak serta merta dilarang, melainkan dengan tahapan yang sangat cerdas dan halus. Tahapan pertama, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 219, يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا  “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya, terdapat dosa yang sangat besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ ” Dalam ayat ini, mengisahkan awal orang-orang mempertanyakan mengenai hukum khamr dan judi. Maka, ayat ini menjelaskan terlebih dahulu mengenai kedua hal itu perihal manfaat dan baik buruknya kedua hal tersebut. Maka, pada ayat ini merupakan tahapan persiapan untuk diri dalam menerima pengharaman khamr. Dan ini merupakan langkah yang cerdas sekali karena kecenderungan akal itu akan melaksanakan atau mempraktikkan hal yang lebih memiliki manfaat dan/ atau tidak mau melakukan hal yang dosanya lebih banyak daripada manfaatnya. Sehingga, dengan penjelasan ini, membuat masyarakat paham mengenai khamr dan sudah tertanam akan keburukan yang ditimbulkannya. Baca juga: Hukum Minum Khamr (Minuman Keras), Meskipun Tidak Mabuk Tahapan kedua Kemudian tahap kedua dalam kitab yang sama, yaitu turun ayat dalam surah An-Nisa ayat 43, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan tidak sadar sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan.” Maka, pada ayat ini, mengandung tahapan pelatihan dalam meninggalkan khamr. Yaitu, meninggalkan khamr dalam sebagian waktu saja. Larangan khamr pada waktu ayat ini turun hanya berlaku pada satu bagian waktu saja, yaitu waktu-waktu salat. Umat muslim kala itu dilarang untuk minum khamr pada saat salat. Atau dilarang salat dalam keadaan mabuk. Yang artinya, waktu itu masih banyak kaum muslimin yang minum khamr dalam keseharian mereka dan dilarang minum khamr pada waktu salat. Tahapan ketiga Kemudian, tahapan ketiga, yaitu turun surah Al-Ma’idah ayat 90-92. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ  وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undian nasib adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka, jauhilah itu agar kalian beruntung. Sesungguhnya setan menginginkan agar terjadi permusuhan dan kebencian pada khamr dan judi itu dan menghalang-halangi kalian dari mengingat Allah dan dari salat, maka apakah kalian tidak berhenti? Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul dan berhati-hatilah, maka jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan.” Dalam ayat ini terdapat larangan tetap yang tegas untuk tidak mendekati khamr. Tidak hanya mengkonsumsi, bahkan larangannya adalah untuk tidak mendekati. Disertai dengan sebab dan akibat dari khamr dan teman-temannya. Dan disertai dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta ancaman bagi yang berpaling dari perintah itu. Maka, dalam ayat ini mengandung larangan khamar dalam keseluruhan waktu setelah sebelumnya dipersiapkan bagi jiwa untuk menerima pengharaman, lalu dilatih untuk dilarang dalam sebagian waktu saja, yaitu ketika salat. Sehingga terdapat faedah yang bisa kita petik dalam ayat-ayat pensyariatan pelarangan khamr. Di antaranya, yaitu: Pertama, dalam berdakwah atau memberikan ilmu dalam segala bidang, terutama dalam hal dakwah agama Islam, maka sangat perlu sekali untuk memahami terlebih dahulu kondisi orang yang akan didakwahi atau diberi ilmu. Kedua, setelah memahami kondisi yang akan didakwahi, maka akan bisa menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan ilmu atau dakwah kepadanya agar mudah diterima dan dipraktikkan olehnya. Ketiga, pentingnya menyampaikan ilmu atau dakwah secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang didakwahi. Keempat, menyampaikan sesuatu dengan ilmu yang benar dan lurus. Kelima, hendaknya bertanya tentang suatu perkara kepada orang yang berilmu atau ahli dalam perkara yang ditanyakan atau sesuai dengan bidang keilmuannya. Keenam, dalam dakwah harus disampaikan dengan lembut dan ilmu. Jika tidak, bisa menimbulkan pertentangan, bahkan penolakan yang lebih keras terhadap dakwah yang benar. Semoga Allah menjaga kita dan keluarga kita dari api neraka. Allahu A’lam bis-shawab. Baca juga: Sifat-Sifat Khamr Surgawi *** Penulis: Refnadi Fendiantoro Artikel: Muslim.or.id

Apa yang Harus Dilakukan di Usia 40 Tahun Menurut Islam?

Usia 40 tahun adalah masa yang istimewa dalam Islam, menandai kematangan akal, fisik, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an bahkan menyebut secara khusus usia ini sebagai momentum syukur dan peningkatan ibadah. Dalam fase ini, umat Islam diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memanfaatkan usia dengan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Keistimewaan Usia 40 Tahun 2. Doa yang Dianjurkan 3. Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun 4. Kesimpulan Usia 40 tahun memiliki makna khusus dalam Islam, menandai puncak kematangan fisik, mental, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an secara spesifik menyebut usia ini dalam ayat berikut, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَـٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ “Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Baca juga: Usiaku Sudah 40 Tahun   Keistimewaan Usia 40 Tahun Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ مَنْ بَلَغَ أَرْبَعِينَ فَقَدْ آنَ لَهُ أَنْ يَعْلَمَ مِقْدَارَ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَعَلَى وَالِدَيْهِ وَيَشْكُرَهَا، قَالَ مَالِكٌ: أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا وَهُمْ يَطْلُبُونَ الدُّنْيَا، وَيُخَالِطُونَ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ لِأَحَدِهِمْ أَرْبَعُونَ سَنَةً، فَإِذَا أَتَتْ عَلَيْهِمُ اعْتَزَلُوا النَّاسَ. “Allah Yang Maha Mulia menyebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun sudah seharusnya menyadari betapa besar nikmat Allah atas dirinya dan kedua orang tuanya, serta mensyukurinya. Malik berkata, ‘Aku mendapati para ahli ilmu di negeri kami yang mencari dunia dan bergaul dengan orang-orang, tetapi ketika mereka mencapai usia 40 tahun, mereka mulai menjauhkan diri dari manusia.'” (Selesai dari Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7:276). Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, (حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ) أَيْ: قَوِيَ وَشَبَّ وَارْتَجَلَ، (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً) أَيْ: تَنَاهَى عَقْلُهُ وَكَمُلَ فَهْمُهُ وَحِلْمُهُ، وَيُقَالُ: إِنَّهُ لَا يَتَغَيَّرُ غَالِبًا عَمَّا يَكُونُ عَلَيْهِ ابْنُ الْأَرْبَعِينَ، وَقَالَ مَسْرُوقٌ: إِذَا بَلَغْتَ الْأَرْبَعِينَ فَخُذْ حَذَرَكَ، (قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي) أَيْ: أَلْهِمْنِي، (أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ) أَيْ: فِي الْمُسْتَقْبَلِ، (وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي) أَيْ: نَسْلِي وَعَقِبِي، (إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ). وَهَذَا فِيهِ إِرْشَادٌ لِمَنْ بَلَغَ الْأَرْبَعِينَ أَنْ يُجَدِّدَ التَّوْبَةَ وَالْإِنَابَةَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَعْزِمَ عَلَيْهَا. “Hingga apabila dia telah dewasa” maksudnya adalah seseorang telah kuat, tumbuh dewasa, dan mencapai kematangan. “(Dan umurnya mencapai empat puluh tahun)” maksudnya, pada usia ini akalnya telah sempurna, pemahamannya matang, dan kebijaksanaannya berkembang. Dikatakan bahwa pada umumnya, seseorang tidak banyak berubah dari sifat dan perilaku yang ada pada dirinya setelah mencapai usia 40 tahun. Masruq berkata, ‘Apabila engkau mencapai usia 40 tahun, berhati-hatilah.’ Kemudian Allah menyebutkan doanya: “(Ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, serta supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai.’) Maksudnya adalah untuk masa depannya. (Dan perbaikilah untukku anak keturunanku) maksudnya adalah generasi dan keturunan yang akan datang. (Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri).” Penjelasan ini memberikan arahan kepada siapa saja yang mencapai usia 40 tahun untuk memperbaharui taubat dan kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dengan tekad yang sungguh-sungguh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7:280-281, diringkas). Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan, (بَلَغَ أَشُدَّهُ) قِيلَ: بَلَغَ عُمْرَهُ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ سَنَةً، وَقِيلَ: الْأَشُدُّ الْحُلُمُ، قَالَهُ الشَّعْبِيُّ وَابْنُ زَيْدٍ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ بُلُوغُ الْأَرْبَعِينَ، وَالْأَوَّلُ أَوْلَى؛ لِقَوْلِهِ: (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً)، فَإِنَّ هَذَا يُفِيدُ أَنَّ بُلُوغَ الْأَرْبَعِينَ هُوَ شَيْءٌ وَرَاءَ بُلُوغِ الْأَشُدِّ. قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: لَمْ يَبْعَثِ اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا بَعْدَ أَرْبَعِينَ سَنَةً، وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ بَلَغَ عُمْرَهُ أَرْبَعِينَ سَنَةً أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ. “Hingga apabila dia mencapai masa kuatnya (asyuddah)” dikatakan bahwa maksudnya adalah usia 18 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘asyuddah’ merujuk pada masa baligh, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Sya’bi dan Ibnu Zaid. Hasan Al-Bashri menyebutkan bahwa masa kuat itu adalah ketika mencapai usia 40 tahun. Pendapat pertama lebih kuat karena firman Allah: (Dan umurnya mencapai empat puluh tahun) menunjukkan bahwa usia 40 tahun adalah sesuatu yang datang setelah masa kuat tersebut. Para ahli tafsir menyatakan bahwa Allah tidak pernah mengutus seorang nabi kecuali setelah mereka mencapai usia 40 tahun. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa siapa saja yang telah mencapai usia 40 tahun dianjurkan untuk banyak membaca doa-doa yang disebutkan dalam ayat ini.” (Fath Al-Qadir, 5:22).   Doa yang Dianjurkan رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ROBBI AWZI’NII AN ASYKURO NI’MATAKALLATII AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALAA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOOLIHAN TARDHOOHU, WA ASHLIH LII FII DZURRIYATII, INNII TUBTU ILAIKA WA INNII MINAL MUSLIMIIN. Artinya: Wahai Rabb-ku, ilhamkanlah kepadaku untuk bersyukur atas nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada orang tuaku. Ilhamkan pula kepadaku untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan perbaikilah keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqaf: 15)   Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun Memasuki usia 40 tahun, seorang Muslim dianjurkan untuk: 1. Memperbanyak syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang tua. 2. Memperbanyak amal saleh yang diridai Allah dan meningkatkan kualitas ibadah. 3. Mendoakan kebaikan keturunan agar menjadi orang-orang yang shalih, berbakti, dan mandiri. 4. Memperbanyak taubat dengan menyadari dosa-dosa yang telah lalu dan bertekad untuk memperbaiki diri. 5. Berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan meningkatkan tawakal dan keyakinan kepada-Nya. 6. Mengurangi ketergantungan pada dunia dan lebih fokus pada ibadah serta kehidupan akhirat. 7. Mengokohkan kesabaran dan hikmah, karena usia ini adalah masa kematangan akal dan kebijaksanaan. 8. Memperbanyak doa dan dzikir, terutama doa syukur, taubat, dan permohonan kebaikan. 9. Meninggalkan sifat-sifat buruk dan berusaha memperbaiki akhlak agar lebih mulia.   Kesimpulan Usia 40 tahun adalah titik refleksi dan momentum penting untuk memperbarui hubungan dengan Allah. Pada usia ini, seseorang dianjurkan memperbanyak syukur, meningkatkan amal saleh, mendoakan keturunan, dan memperbarui taubat. Jadikan usia ini sebagai peluang untuk lebih sadar akan nikmat Allah dan mengarahkan hidup pada ketaatan. Seperti dikatakan oleh Masruq, “Jika engkau telah mencapai usia 40 tahun, maka berhati-hatilah.” Usia 40 adalah undangan untuk mempersembahkan sisa hidup dalam kebaikan dan kesalihan. Semoga Allah beri taufik dan hidayah untuk memanfaatkan sisa umur dengan ketaatan.   – Diselesaikan pada Selasa sore, 9 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 10 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan di usia 40 amalan di usia senja arti kematangan dalam Islam doa dan dzikir doa kebaikan keturunan doa usia 40 tahun fokus ibadah hikmah usia 40 tahun kebijaksanaan di usia 40 kematangan spiritual keutamaan usia 40 memperbaiki akhlak memperbanyak amal saleh panduan usia 40 tahun perkataan ulama tentang usia 40 syukur kepada Allah tafsir Al-Qur'an tentang usia 40 taubat di usia 40 tawakal kepada Allah usia usia 40 tahun dalam Islam

Apa yang Harus Dilakukan di Usia 40 Tahun Menurut Islam?

Usia 40 tahun adalah masa yang istimewa dalam Islam, menandai kematangan akal, fisik, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an bahkan menyebut secara khusus usia ini sebagai momentum syukur dan peningkatan ibadah. Dalam fase ini, umat Islam diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memanfaatkan usia dengan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Keistimewaan Usia 40 Tahun 2. Doa yang Dianjurkan 3. Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun 4. Kesimpulan Usia 40 tahun memiliki makna khusus dalam Islam, menandai puncak kematangan fisik, mental, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an secara spesifik menyebut usia ini dalam ayat berikut, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَـٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ “Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Baca juga: Usiaku Sudah 40 Tahun   Keistimewaan Usia 40 Tahun Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ مَنْ بَلَغَ أَرْبَعِينَ فَقَدْ آنَ لَهُ أَنْ يَعْلَمَ مِقْدَارَ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَعَلَى وَالِدَيْهِ وَيَشْكُرَهَا، قَالَ مَالِكٌ: أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا وَهُمْ يَطْلُبُونَ الدُّنْيَا، وَيُخَالِطُونَ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ لِأَحَدِهِمْ أَرْبَعُونَ سَنَةً، فَإِذَا أَتَتْ عَلَيْهِمُ اعْتَزَلُوا النَّاسَ. “Allah Yang Maha Mulia menyebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun sudah seharusnya menyadari betapa besar nikmat Allah atas dirinya dan kedua orang tuanya, serta mensyukurinya. Malik berkata, ‘Aku mendapati para ahli ilmu di negeri kami yang mencari dunia dan bergaul dengan orang-orang, tetapi ketika mereka mencapai usia 40 tahun, mereka mulai menjauhkan diri dari manusia.'” (Selesai dari Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7:276). Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, (حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ) أَيْ: قَوِيَ وَشَبَّ وَارْتَجَلَ، (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً) أَيْ: تَنَاهَى عَقْلُهُ وَكَمُلَ فَهْمُهُ وَحِلْمُهُ، وَيُقَالُ: إِنَّهُ لَا يَتَغَيَّرُ غَالِبًا عَمَّا يَكُونُ عَلَيْهِ ابْنُ الْأَرْبَعِينَ، وَقَالَ مَسْرُوقٌ: إِذَا بَلَغْتَ الْأَرْبَعِينَ فَخُذْ حَذَرَكَ، (قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي) أَيْ: أَلْهِمْنِي، (أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ) أَيْ: فِي الْمُسْتَقْبَلِ، (وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي) أَيْ: نَسْلِي وَعَقِبِي، (إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ). وَهَذَا فِيهِ إِرْشَادٌ لِمَنْ بَلَغَ الْأَرْبَعِينَ أَنْ يُجَدِّدَ التَّوْبَةَ وَالْإِنَابَةَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَعْزِمَ عَلَيْهَا. “Hingga apabila dia telah dewasa” maksudnya adalah seseorang telah kuat, tumbuh dewasa, dan mencapai kematangan. “(Dan umurnya mencapai empat puluh tahun)” maksudnya, pada usia ini akalnya telah sempurna, pemahamannya matang, dan kebijaksanaannya berkembang. Dikatakan bahwa pada umumnya, seseorang tidak banyak berubah dari sifat dan perilaku yang ada pada dirinya setelah mencapai usia 40 tahun. Masruq berkata, ‘Apabila engkau mencapai usia 40 tahun, berhati-hatilah.’ Kemudian Allah menyebutkan doanya: “(Ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, serta supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai.’) Maksudnya adalah untuk masa depannya. (Dan perbaikilah untukku anak keturunanku) maksudnya adalah generasi dan keturunan yang akan datang. (Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri).” Penjelasan ini memberikan arahan kepada siapa saja yang mencapai usia 40 tahun untuk memperbaharui taubat dan kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dengan tekad yang sungguh-sungguh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7:280-281, diringkas). Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan, (بَلَغَ أَشُدَّهُ) قِيلَ: بَلَغَ عُمْرَهُ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ سَنَةً، وَقِيلَ: الْأَشُدُّ الْحُلُمُ، قَالَهُ الشَّعْبِيُّ وَابْنُ زَيْدٍ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ بُلُوغُ الْأَرْبَعِينَ، وَالْأَوَّلُ أَوْلَى؛ لِقَوْلِهِ: (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً)، فَإِنَّ هَذَا يُفِيدُ أَنَّ بُلُوغَ الْأَرْبَعِينَ هُوَ شَيْءٌ وَرَاءَ بُلُوغِ الْأَشُدِّ. قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: لَمْ يَبْعَثِ اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا بَعْدَ أَرْبَعِينَ سَنَةً، وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ بَلَغَ عُمْرَهُ أَرْبَعِينَ سَنَةً أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ. “Hingga apabila dia mencapai masa kuatnya (asyuddah)” dikatakan bahwa maksudnya adalah usia 18 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘asyuddah’ merujuk pada masa baligh, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Sya’bi dan Ibnu Zaid. Hasan Al-Bashri menyebutkan bahwa masa kuat itu adalah ketika mencapai usia 40 tahun. Pendapat pertama lebih kuat karena firman Allah: (Dan umurnya mencapai empat puluh tahun) menunjukkan bahwa usia 40 tahun adalah sesuatu yang datang setelah masa kuat tersebut. Para ahli tafsir menyatakan bahwa Allah tidak pernah mengutus seorang nabi kecuali setelah mereka mencapai usia 40 tahun. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa siapa saja yang telah mencapai usia 40 tahun dianjurkan untuk banyak membaca doa-doa yang disebutkan dalam ayat ini.” (Fath Al-Qadir, 5:22).   Doa yang Dianjurkan رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ROBBI AWZI’NII AN ASYKURO NI’MATAKALLATII AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALAA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOOLIHAN TARDHOOHU, WA ASHLIH LII FII DZURRIYATII, INNII TUBTU ILAIKA WA INNII MINAL MUSLIMIIN. Artinya: Wahai Rabb-ku, ilhamkanlah kepadaku untuk bersyukur atas nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada orang tuaku. Ilhamkan pula kepadaku untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan perbaikilah keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqaf: 15)   Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun Memasuki usia 40 tahun, seorang Muslim dianjurkan untuk: 1. Memperbanyak syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang tua. 2. Memperbanyak amal saleh yang diridai Allah dan meningkatkan kualitas ibadah. 3. Mendoakan kebaikan keturunan agar menjadi orang-orang yang shalih, berbakti, dan mandiri. 4. Memperbanyak taubat dengan menyadari dosa-dosa yang telah lalu dan bertekad untuk memperbaiki diri. 5. Berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan meningkatkan tawakal dan keyakinan kepada-Nya. 6. Mengurangi ketergantungan pada dunia dan lebih fokus pada ibadah serta kehidupan akhirat. 7. Mengokohkan kesabaran dan hikmah, karena usia ini adalah masa kematangan akal dan kebijaksanaan. 8. Memperbanyak doa dan dzikir, terutama doa syukur, taubat, dan permohonan kebaikan. 9. Meninggalkan sifat-sifat buruk dan berusaha memperbaiki akhlak agar lebih mulia.   Kesimpulan Usia 40 tahun adalah titik refleksi dan momentum penting untuk memperbarui hubungan dengan Allah. Pada usia ini, seseorang dianjurkan memperbanyak syukur, meningkatkan amal saleh, mendoakan keturunan, dan memperbarui taubat. Jadikan usia ini sebagai peluang untuk lebih sadar akan nikmat Allah dan mengarahkan hidup pada ketaatan. Seperti dikatakan oleh Masruq, “Jika engkau telah mencapai usia 40 tahun, maka berhati-hatilah.” Usia 40 adalah undangan untuk mempersembahkan sisa hidup dalam kebaikan dan kesalihan. Semoga Allah beri taufik dan hidayah untuk memanfaatkan sisa umur dengan ketaatan.   – Diselesaikan pada Selasa sore, 9 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 10 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan di usia 40 amalan di usia senja arti kematangan dalam Islam doa dan dzikir doa kebaikan keturunan doa usia 40 tahun fokus ibadah hikmah usia 40 tahun kebijaksanaan di usia 40 kematangan spiritual keutamaan usia 40 memperbaiki akhlak memperbanyak amal saleh panduan usia 40 tahun perkataan ulama tentang usia 40 syukur kepada Allah tafsir Al-Qur'an tentang usia 40 taubat di usia 40 tawakal kepada Allah usia usia 40 tahun dalam Islam
Usia 40 tahun adalah masa yang istimewa dalam Islam, menandai kematangan akal, fisik, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an bahkan menyebut secara khusus usia ini sebagai momentum syukur dan peningkatan ibadah. Dalam fase ini, umat Islam diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memanfaatkan usia dengan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Keistimewaan Usia 40 Tahun 2. Doa yang Dianjurkan 3. Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun 4. Kesimpulan Usia 40 tahun memiliki makna khusus dalam Islam, menandai puncak kematangan fisik, mental, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an secara spesifik menyebut usia ini dalam ayat berikut, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَـٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ “Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Baca juga: Usiaku Sudah 40 Tahun   Keistimewaan Usia 40 Tahun Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ مَنْ بَلَغَ أَرْبَعِينَ فَقَدْ آنَ لَهُ أَنْ يَعْلَمَ مِقْدَارَ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَعَلَى وَالِدَيْهِ وَيَشْكُرَهَا، قَالَ مَالِكٌ: أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا وَهُمْ يَطْلُبُونَ الدُّنْيَا، وَيُخَالِطُونَ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ لِأَحَدِهِمْ أَرْبَعُونَ سَنَةً، فَإِذَا أَتَتْ عَلَيْهِمُ اعْتَزَلُوا النَّاسَ. “Allah Yang Maha Mulia menyebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun sudah seharusnya menyadari betapa besar nikmat Allah atas dirinya dan kedua orang tuanya, serta mensyukurinya. Malik berkata, ‘Aku mendapati para ahli ilmu di negeri kami yang mencari dunia dan bergaul dengan orang-orang, tetapi ketika mereka mencapai usia 40 tahun, mereka mulai menjauhkan diri dari manusia.'” (Selesai dari Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7:276). Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, (حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ) أَيْ: قَوِيَ وَشَبَّ وَارْتَجَلَ، (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً) أَيْ: تَنَاهَى عَقْلُهُ وَكَمُلَ فَهْمُهُ وَحِلْمُهُ، وَيُقَالُ: إِنَّهُ لَا يَتَغَيَّرُ غَالِبًا عَمَّا يَكُونُ عَلَيْهِ ابْنُ الْأَرْبَعِينَ، وَقَالَ مَسْرُوقٌ: إِذَا بَلَغْتَ الْأَرْبَعِينَ فَخُذْ حَذَرَكَ، (قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي) أَيْ: أَلْهِمْنِي، (أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ) أَيْ: فِي الْمُسْتَقْبَلِ، (وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي) أَيْ: نَسْلِي وَعَقِبِي، (إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ). وَهَذَا فِيهِ إِرْشَادٌ لِمَنْ بَلَغَ الْأَرْبَعِينَ أَنْ يُجَدِّدَ التَّوْبَةَ وَالْإِنَابَةَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَعْزِمَ عَلَيْهَا. “Hingga apabila dia telah dewasa” maksudnya adalah seseorang telah kuat, tumbuh dewasa, dan mencapai kematangan. “(Dan umurnya mencapai empat puluh tahun)” maksudnya, pada usia ini akalnya telah sempurna, pemahamannya matang, dan kebijaksanaannya berkembang. Dikatakan bahwa pada umumnya, seseorang tidak banyak berubah dari sifat dan perilaku yang ada pada dirinya setelah mencapai usia 40 tahun. Masruq berkata, ‘Apabila engkau mencapai usia 40 tahun, berhati-hatilah.’ Kemudian Allah menyebutkan doanya: “(Ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, serta supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai.’) Maksudnya adalah untuk masa depannya. (Dan perbaikilah untukku anak keturunanku) maksudnya adalah generasi dan keturunan yang akan datang. (Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri).” Penjelasan ini memberikan arahan kepada siapa saja yang mencapai usia 40 tahun untuk memperbaharui taubat dan kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dengan tekad yang sungguh-sungguh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7:280-281, diringkas). Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan, (بَلَغَ أَشُدَّهُ) قِيلَ: بَلَغَ عُمْرَهُ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ سَنَةً، وَقِيلَ: الْأَشُدُّ الْحُلُمُ، قَالَهُ الشَّعْبِيُّ وَابْنُ زَيْدٍ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ بُلُوغُ الْأَرْبَعِينَ، وَالْأَوَّلُ أَوْلَى؛ لِقَوْلِهِ: (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً)، فَإِنَّ هَذَا يُفِيدُ أَنَّ بُلُوغَ الْأَرْبَعِينَ هُوَ شَيْءٌ وَرَاءَ بُلُوغِ الْأَشُدِّ. قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: لَمْ يَبْعَثِ اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا بَعْدَ أَرْبَعِينَ سَنَةً، وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ بَلَغَ عُمْرَهُ أَرْبَعِينَ سَنَةً أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ. “Hingga apabila dia mencapai masa kuatnya (asyuddah)” dikatakan bahwa maksudnya adalah usia 18 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘asyuddah’ merujuk pada masa baligh, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Sya’bi dan Ibnu Zaid. Hasan Al-Bashri menyebutkan bahwa masa kuat itu adalah ketika mencapai usia 40 tahun. Pendapat pertama lebih kuat karena firman Allah: (Dan umurnya mencapai empat puluh tahun) menunjukkan bahwa usia 40 tahun adalah sesuatu yang datang setelah masa kuat tersebut. Para ahli tafsir menyatakan bahwa Allah tidak pernah mengutus seorang nabi kecuali setelah mereka mencapai usia 40 tahun. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa siapa saja yang telah mencapai usia 40 tahun dianjurkan untuk banyak membaca doa-doa yang disebutkan dalam ayat ini.” (Fath Al-Qadir, 5:22).   Doa yang Dianjurkan رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ROBBI AWZI’NII AN ASYKURO NI’MATAKALLATII AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALAA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOOLIHAN TARDHOOHU, WA ASHLIH LII FII DZURRIYATII, INNII TUBTU ILAIKA WA INNII MINAL MUSLIMIIN. Artinya: Wahai Rabb-ku, ilhamkanlah kepadaku untuk bersyukur atas nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada orang tuaku. Ilhamkan pula kepadaku untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan perbaikilah keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqaf: 15)   Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun Memasuki usia 40 tahun, seorang Muslim dianjurkan untuk: 1. Memperbanyak syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang tua. 2. Memperbanyak amal saleh yang diridai Allah dan meningkatkan kualitas ibadah. 3. Mendoakan kebaikan keturunan agar menjadi orang-orang yang shalih, berbakti, dan mandiri. 4. Memperbanyak taubat dengan menyadari dosa-dosa yang telah lalu dan bertekad untuk memperbaiki diri. 5. Berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan meningkatkan tawakal dan keyakinan kepada-Nya. 6. Mengurangi ketergantungan pada dunia dan lebih fokus pada ibadah serta kehidupan akhirat. 7. Mengokohkan kesabaran dan hikmah, karena usia ini adalah masa kematangan akal dan kebijaksanaan. 8. Memperbanyak doa dan dzikir, terutama doa syukur, taubat, dan permohonan kebaikan. 9. Meninggalkan sifat-sifat buruk dan berusaha memperbaiki akhlak agar lebih mulia.   Kesimpulan Usia 40 tahun adalah titik refleksi dan momentum penting untuk memperbarui hubungan dengan Allah. Pada usia ini, seseorang dianjurkan memperbanyak syukur, meningkatkan amal saleh, mendoakan keturunan, dan memperbarui taubat. Jadikan usia ini sebagai peluang untuk lebih sadar akan nikmat Allah dan mengarahkan hidup pada ketaatan. Seperti dikatakan oleh Masruq, “Jika engkau telah mencapai usia 40 tahun, maka berhati-hatilah.” Usia 40 adalah undangan untuk mempersembahkan sisa hidup dalam kebaikan dan kesalihan. Semoga Allah beri taufik dan hidayah untuk memanfaatkan sisa umur dengan ketaatan.   – Diselesaikan pada Selasa sore, 9 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 10 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan di usia 40 amalan di usia senja arti kematangan dalam Islam doa dan dzikir doa kebaikan keturunan doa usia 40 tahun fokus ibadah hikmah usia 40 tahun kebijaksanaan di usia 40 kematangan spiritual keutamaan usia 40 memperbaiki akhlak memperbanyak amal saleh panduan usia 40 tahun perkataan ulama tentang usia 40 syukur kepada Allah tafsir Al-Qur'an tentang usia 40 taubat di usia 40 tawakal kepada Allah usia usia 40 tahun dalam Islam


Usia 40 tahun adalah masa yang istimewa dalam Islam, menandai kematangan akal, fisik, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an bahkan menyebut secara khusus usia ini sebagai momentum syukur dan peningkatan ibadah. Dalam fase ini, umat Islam diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memanfaatkan usia dengan amal saleh.   Daftar Isi tutup 1. Keistimewaan Usia 40 Tahun 2. Doa yang Dianjurkan 3. Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun 4. Kesimpulan Usia 40 tahun memiliki makna khusus dalam Islam, menandai puncak kematangan fisik, mental, dan spiritual seseorang. Al-Qur’an secara spesifik menyebut usia ini dalam ayat berikut, حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَـٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ “Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15) Baca juga: Usiaku Sudah 40 Tahun   Keistimewaan Usia 40 Tahun Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّ مَنْ بَلَغَ أَرْبَعِينَ فَقَدْ آنَ لَهُ أَنْ يَعْلَمَ مِقْدَارَ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَعَلَى وَالِدَيْهِ وَيَشْكُرَهَا، قَالَ مَالِكٌ: أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا وَهُمْ يَطْلُبُونَ الدُّنْيَا، وَيُخَالِطُونَ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ لِأَحَدِهِمْ أَرْبَعُونَ سَنَةً، فَإِذَا أَتَتْ عَلَيْهِمُ اعْتَزَلُوا النَّاسَ. “Allah Yang Maha Mulia menyebutkan bahwa seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun sudah seharusnya menyadari betapa besar nikmat Allah atas dirinya dan kedua orang tuanya, serta mensyukurinya. Malik berkata, ‘Aku mendapati para ahli ilmu di negeri kami yang mencari dunia dan bergaul dengan orang-orang, tetapi ketika mereka mencapai usia 40 tahun, mereka mulai menjauhkan diri dari manusia.'” (Selesai dari Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7:276). Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, (حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ) أَيْ: قَوِيَ وَشَبَّ وَارْتَجَلَ، (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً) أَيْ: تَنَاهَى عَقْلُهُ وَكَمُلَ فَهْمُهُ وَحِلْمُهُ، وَيُقَالُ: إِنَّهُ لَا يَتَغَيَّرُ غَالِبًا عَمَّا يَكُونُ عَلَيْهِ ابْنُ الْأَرْبَعِينَ، وَقَالَ مَسْرُوقٌ: إِذَا بَلَغْتَ الْأَرْبَعِينَ فَخُذْ حَذَرَكَ، (قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي) أَيْ: أَلْهِمْنِي، (أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ) أَيْ: فِي الْمُسْتَقْبَلِ، (وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي) أَيْ: نَسْلِي وَعَقِبِي، (إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ). وَهَذَا فِيهِ إِرْشَادٌ لِمَنْ بَلَغَ الْأَرْبَعِينَ أَنْ يُجَدِّدَ التَّوْبَةَ وَالْإِنَابَةَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيَعْزِمَ عَلَيْهَا. “Hingga apabila dia telah dewasa” maksudnya adalah seseorang telah kuat, tumbuh dewasa, dan mencapai kematangan. “(Dan umurnya mencapai empat puluh tahun)” maksudnya, pada usia ini akalnya telah sempurna, pemahamannya matang, dan kebijaksanaannya berkembang. Dikatakan bahwa pada umumnya, seseorang tidak banyak berubah dari sifat dan perilaku yang ada pada dirinya setelah mencapai usia 40 tahun. Masruq berkata, ‘Apabila engkau mencapai usia 40 tahun, berhati-hatilah.’ Kemudian Allah menyebutkan doanya: “(Ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukkanlah aku untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, serta supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai.’) Maksudnya adalah untuk masa depannya. (Dan perbaikilah untukku anak keturunanku) maksudnya adalah generasi dan keturunan yang akan datang. (Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri).” Penjelasan ini memberikan arahan kepada siapa saja yang mencapai usia 40 tahun untuk memperbaharui taubat dan kembali kepada Allah ‘azza wa jalla dengan tekad yang sungguh-sungguh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 7:280-281, diringkas). Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan, (بَلَغَ أَشُدَّهُ) قِيلَ: بَلَغَ عُمْرَهُ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ سَنَةً، وَقِيلَ: الْأَشُدُّ الْحُلُمُ، قَالَهُ الشَّعْبِيُّ وَابْنُ زَيْدٍ. وَقَالَ الْحَسَنُ: هُوَ بُلُوغُ الْأَرْبَعِينَ، وَالْأَوَّلُ أَوْلَى؛ لِقَوْلِهِ: (وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً)، فَإِنَّ هَذَا يُفِيدُ أَنَّ بُلُوغَ الْأَرْبَعِينَ هُوَ شَيْءٌ وَرَاءَ بُلُوغِ الْأَشُدِّ. قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: لَمْ يَبْعَثِ اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا بَعْدَ أَرْبَعِينَ سَنَةً، وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ بَلَغَ عُمْرَهُ أَرْبَعِينَ سَنَةً أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ. “Hingga apabila dia mencapai masa kuatnya (asyuddah)” dikatakan bahwa maksudnya adalah usia 18 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘asyuddah’ merujuk pada masa baligh, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Sya’bi dan Ibnu Zaid. Hasan Al-Bashri menyebutkan bahwa masa kuat itu adalah ketika mencapai usia 40 tahun. Pendapat pertama lebih kuat karena firman Allah: (Dan umurnya mencapai empat puluh tahun) menunjukkan bahwa usia 40 tahun adalah sesuatu yang datang setelah masa kuat tersebut. Para ahli tafsir menyatakan bahwa Allah tidak pernah mengutus seorang nabi kecuali setelah mereka mencapai usia 40 tahun. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa siapa saja yang telah mencapai usia 40 tahun dianjurkan untuk banyak membaca doa-doa yang disebutkan dalam ayat ini.” (Fath Al-Qadir, 5:22).   Doa yang Dianjurkan رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ROBBI AWZI’NII AN ASYKURO NI’MATAKALLATII AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALAA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOOLIHAN TARDHOOHU, WA ASHLIH LII FII DZURRIYATII, INNII TUBTU ILAIKA WA INNII MINAL MUSLIMIIN. Artinya: Wahai Rabb-ku, ilhamkanlah kepadaku untuk bersyukur atas nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada orang tuaku. Ilhamkan pula kepadaku untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan perbaikilah keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al-Ahqaf: 15)   Amalan yang Dianjurkan pada Usia 40 Tahun Memasuki usia 40 tahun, seorang Muslim dianjurkan untuk: 1. Memperbanyak syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang tua. 2. Memperbanyak amal saleh yang diridai Allah dan meningkatkan kualitas ibadah. 3. Mendoakan kebaikan keturunan agar menjadi orang-orang yang shalih, berbakti, dan mandiri. 4. Memperbanyak taubat dengan menyadari dosa-dosa yang telah lalu dan bertekad untuk memperbaiki diri. 5. Berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan meningkatkan tawakal dan keyakinan kepada-Nya. 6. Mengurangi ketergantungan pada dunia dan lebih fokus pada ibadah serta kehidupan akhirat. 7. Mengokohkan kesabaran dan hikmah, karena usia ini adalah masa kematangan akal dan kebijaksanaan. 8. Memperbanyak doa dan dzikir, terutama doa syukur, taubat, dan permohonan kebaikan. 9. Meninggalkan sifat-sifat buruk dan berusaha memperbaiki akhlak agar lebih mulia.   Kesimpulan Usia 40 tahun adalah titik refleksi dan momentum penting untuk memperbarui hubungan dengan Allah. Pada usia ini, seseorang dianjurkan memperbanyak syukur, meningkatkan amal saleh, mendoakan keturunan, dan memperbarui taubat. Jadikan usia ini sebagai peluang untuk lebih sadar akan nikmat Allah dan mengarahkan hidup pada ketaatan. Seperti dikatakan oleh Masruq, “Jika engkau telah mencapai usia 40 tahun, maka berhati-hatilah.” Usia 40 adalah undangan untuk mempersembahkan sisa hidup dalam kebaikan dan kesalihan. Semoga Allah beri taufik dan hidayah untuk memanfaatkan sisa umur dengan ketaatan.   – Diselesaikan pada Selasa sore, 9 Jumadats Tsaniyyah 1446 H, 10 Desember 2024 @ Pondok Darush Sholihin Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsamalan di usia 40 amalan di usia senja arti kematangan dalam Islam doa dan dzikir doa kebaikan keturunan doa usia 40 tahun fokus ibadah hikmah usia 40 tahun kebijaksanaan di usia 40 kematangan spiritual keutamaan usia 40 memperbaiki akhlak memperbanyak amal saleh panduan usia 40 tahun perkataan ulama tentang usia 40 syukur kepada Allah tafsir Al-Qur'an tentang usia 40 taubat di usia 40 tawakal kepada Allah usia usia 40 tahun dalam Islam

Ternyata Inilah Hubungan Iman dan Amal Saleh – Syaikh Ibnu Utsaimin #NasehatUlama

Adapun konsekuensi keimanan, maka keimanan yang hakiki mengharuskan seseorang untuk berpegang teguh dengan syariat Allah. Aku tidak perlu menyebutkan begitu banyak ayat-ayat yang di dalamnya Allah memberikan perintah dan larangan dengan mendahului perintah atau larangan tersebut dengan seruan keimanan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal: 27). “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 278). “Hai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.” (QS. ash-Shaf: 10 – 11). Hingga akhir ayat. “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. al-Anfal: 20). Jadi, keimanan yang benar akan mendorong kepada amal saleh. Dan itu pasti! Sehingga barang siapa yang mengaku beriman namun dia tidak beristiqamah di atas syariat Allah maka keimanannya itu boleh jadi hilang atau cacat. Dan itu pasti! Dalilnya adalah ayat-ayat yang telah saya sebutkan, dan ayat-ayat lain yang masih banyak. Karena Allah tidak akan menyeru seseorang dengan sifat keimanan kecuali apa yang Allah sampaikan itu adalah konsekuensi dari keimanan. Karena jika tidak, seruan dengan sifat keimanan itu tidak berfaedah dan berpengaruh. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa seluruh amal saleh adalah bagian dari konsekuensi keimanan. Dan pengabaian amal saleh menjadi tanda cacatnya keimanan atau ketiadaan keimanan secara keseluruhan. ==== أَمَّا مُقْتَضَى الْإِيمَانِ فَإِنَّ الْأَيْمَانَ الْحَقِيقِيَّ يُوجِبُ لِلْمَرْءِ الِالْتِزَامَ بِشَرِيعَةِ اللَّهِ وَلَا حَاجَةَ بِي أَنْ أُعَدِّدَ عَلَيْكُمُ الْآيَاتِ الْكَثِيْرَةَ الَّتِي يُوَجِّهُ فِيهَا اللَّهُ الْأَوَامِرَ أَوِ النَّوَاهِيَ وَيَسْبِقُ ذَلِكَ الْأَمْرَ أَوِ النَّهْيَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُوْنُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ إِلَى آخِرِهِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ إِذًا الْإِيمَانُ الصَّحِيحُ يَقْتَضِي الْعَمَلَ الصَّالِحَ وَلَا بُدَّ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ وَهُوَ لَمْ يَسْتَقِمْ عَلَى شَرِيعَةِ اللَّهِ فَإِنَّ إِيمَانَهُ إِمَّا مَفْقُودٌ أَوْ نَاقِصٌ وَلَا بُدَّ وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا الْآيَاتُ الَّتِي ذَكَرْتُهَا وَغَيْرُهَا كَثِيرٌ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُخَاطِبُ أَحَدًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ إِلَّا وَمَا خُوطِبَ بِهِ هَذَا الرَّجُلُ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيمَانِ وَإِلَّا لَأَصْبَحَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ عَدِيمَ الْفَائِدَةِ وَالتَّأْثِيْرِ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ جَمِيعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيْمَانِ وَأَنَّ تَخَلُّفَهَا دَلِيلٌ عَلَى إِمَّا نَقْصُ الْإِيْمَانِ أَوْ عَدَمِهِ بِالْكُلِّيَّةِ

Ternyata Inilah Hubungan Iman dan Amal Saleh – Syaikh Ibnu Utsaimin #NasehatUlama

Adapun konsekuensi keimanan, maka keimanan yang hakiki mengharuskan seseorang untuk berpegang teguh dengan syariat Allah. Aku tidak perlu menyebutkan begitu banyak ayat-ayat yang di dalamnya Allah memberikan perintah dan larangan dengan mendahului perintah atau larangan tersebut dengan seruan keimanan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal: 27). “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 278). “Hai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.” (QS. ash-Shaf: 10 – 11). Hingga akhir ayat. “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. al-Anfal: 20). Jadi, keimanan yang benar akan mendorong kepada amal saleh. Dan itu pasti! Sehingga barang siapa yang mengaku beriman namun dia tidak beristiqamah di atas syariat Allah maka keimanannya itu boleh jadi hilang atau cacat. Dan itu pasti! Dalilnya adalah ayat-ayat yang telah saya sebutkan, dan ayat-ayat lain yang masih banyak. Karena Allah tidak akan menyeru seseorang dengan sifat keimanan kecuali apa yang Allah sampaikan itu adalah konsekuensi dari keimanan. Karena jika tidak, seruan dengan sifat keimanan itu tidak berfaedah dan berpengaruh. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa seluruh amal saleh adalah bagian dari konsekuensi keimanan. Dan pengabaian amal saleh menjadi tanda cacatnya keimanan atau ketiadaan keimanan secara keseluruhan. ==== أَمَّا مُقْتَضَى الْإِيمَانِ فَإِنَّ الْأَيْمَانَ الْحَقِيقِيَّ يُوجِبُ لِلْمَرْءِ الِالْتِزَامَ بِشَرِيعَةِ اللَّهِ وَلَا حَاجَةَ بِي أَنْ أُعَدِّدَ عَلَيْكُمُ الْآيَاتِ الْكَثِيْرَةَ الَّتِي يُوَجِّهُ فِيهَا اللَّهُ الْأَوَامِرَ أَوِ النَّوَاهِيَ وَيَسْبِقُ ذَلِكَ الْأَمْرَ أَوِ النَّهْيَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُوْنُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ إِلَى آخِرِهِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ إِذًا الْإِيمَانُ الصَّحِيحُ يَقْتَضِي الْعَمَلَ الصَّالِحَ وَلَا بُدَّ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ وَهُوَ لَمْ يَسْتَقِمْ عَلَى شَرِيعَةِ اللَّهِ فَإِنَّ إِيمَانَهُ إِمَّا مَفْقُودٌ أَوْ نَاقِصٌ وَلَا بُدَّ وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا الْآيَاتُ الَّتِي ذَكَرْتُهَا وَغَيْرُهَا كَثِيرٌ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُخَاطِبُ أَحَدًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ إِلَّا وَمَا خُوطِبَ بِهِ هَذَا الرَّجُلُ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيمَانِ وَإِلَّا لَأَصْبَحَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ عَدِيمَ الْفَائِدَةِ وَالتَّأْثِيْرِ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ جَمِيعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيْمَانِ وَأَنَّ تَخَلُّفَهَا دَلِيلٌ عَلَى إِمَّا نَقْصُ الْإِيْمَانِ أَوْ عَدَمِهِ بِالْكُلِّيَّةِ
Adapun konsekuensi keimanan, maka keimanan yang hakiki mengharuskan seseorang untuk berpegang teguh dengan syariat Allah. Aku tidak perlu menyebutkan begitu banyak ayat-ayat yang di dalamnya Allah memberikan perintah dan larangan dengan mendahului perintah atau larangan tersebut dengan seruan keimanan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal: 27). “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 278). “Hai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.” (QS. ash-Shaf: 10 – 11). Hingga akhir ayat. “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. al-Anfal: 20). Jadi, keimanan yang benar akan mendorong kepada amal saleh. Dan itu pasti! Sehingga barang siapa yang mengaku beriman namun dia tidak beristiqamah di atas syariat Allah maka keimanannya itu boleh jadi hilang atau cacat. Dan itu pasti! Dalilnya adalah ayat-ayat yang telah saya sebutkan, dan ayat-ayat lain yang masih banyak. Karena Allah tidak akan menyeru seseorang dengan sifat keimanan kecuali apa yang Allah sampaikan itu adalah konsekuensi dari keimanan. Karena jika tidak, seruan dengan sifat keimanan itu tidak berfaedah dan berpengaruh. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa seluruh amal saleh adalah bagian dari konsekuensi keimanan. Dan pengabaian amal saleh menjadi tanda cacatnya keimanan atau ketiadaan keimanan secara keseluruhan. ==== أَمَّا مُقْتَضَى الْإِيمَانِ فَإِنَّ الْأَيْمَانَ الْحَقِيقِيَّ يُوجِبُ لِلْمَرْءِ الِالْتِزَامَ بِشَرِيعَةِ اللَّهِ وَلَا حَاجَةَ بِي أَنْ أُعَدِّدَ عَلَيْكُمُ الْآيَاتِ الْكَثِيْرَةَ الَّتِي يُوَجِّهُ فِيهَا اللَّهُ الْأَوَامِرَ أَوِ النَّوَاهِيَ وَيَسْبِقُ ذَلِكَ الْأَمْرَ أَوِ النَّهْيَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُوْنُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ إِلَى آخِرِهِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ إِذًا الْإِيمَانُ الصَّحِيحُ يَقْتَضِي الْعَمَلَ الصَّالِحَ وَلَا بُدَّ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ وَهُوَ لَمْ يَسْتَقِمْ عَلَى شَرِيعَةِ اللَّهِ فَإِنَّ إِيمَانَهُ إِمَّا مَفْقُودٌ أَوْ نَاقِصٌ وَلَا بُدَّ وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا الْآيَاتُ الَّتِي ذَكَرْتُهَا وَغَيْرُهَا كَثِيرٌ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُخَاطِبُ أَحَدًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ إِلَّا وَمَا خُوطِبَ بِهِ هَذَا الرَّجُلُ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيمَانِ وَإِلَّا لَأَصْبَحَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ عَدِيمَ الْفَائِدَةِ وَالتَّأْثِيْرِ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ جَمِيعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيْمَانِ وَأَنَّ تَخَلُّفَهَا دَلِيلٌ عَلَى إِمَّا نَقْصُ الْإِيْمَانِ أَوْ عَدَمِهِ بِالْكُلِّيَّةِ


Adapun konsekuensi keimanan, maka keimanan yang hakiki mengharuskan seseorang untuk berpegang teguh dengan syariat Allah. Aku tidak perlu menyebutkan begitu banyak ayat-ayat yang di dalamnya Allah memberikan perintah dan larangan dengan mendahului perintah atau larangan tersebut dengan seruan keimanan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal: 27). “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 278). “Hai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.” (QS. ash-Shaf: 10 – 11). Hingga akhir ayat. “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. al-Anfal: 20). Jadi, keimanan yang benar akan mendorong kepada amal saleh. Dan itu pasti! Sehingga barang siapa yang mengaku beriman namun dia tidak beristiqamah di atas syariat Allah maka keimanannya itu boleh jadi hilang atau cacat. Dan itu pasti! Dalilnya adalah ayat-ayat yang telah saya sebutkan, dan ayat-ayat lain yang masih banyak. Karena Allah tidak akan menyeru seseorang dengan sifat keimanan kecuali apa yang Allah sampaikan itu adalah konsekuensi dari keimanan. Karena jika tidak, seruan dengan sifat keimanan itu tidak berfaedah dan berpengaruh. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa seluruh amal saleh adalah bagian dari konsekuensi keimanan. Dan pengabaian amal saleh menjadi tanda cacatnya keimanan atau ketiadaan keimanan secara keseluruhan. ==== أَمَّا مُقْتَضَى الْإِيمَانِ فَإِنَّ الْأَيْمَانَ الْحَقِيقِيَّ يُوجِبُ لِلْمَرْءِ الِالْتِزَامَ بِشَرِيعَةِ اللَّهِ وَلَا حَاجَةَ بِي أَنْ أُعَدِّدَ عَلَيْكُمُ الْآيَاتِ الْكَثِيْرَةَ الَّتِي يُوَجِّهُ فِيهَا اللَّهُ الْأَوَامِرَ أَوِ النَّوَاهِيَ وَيَسْبِقُ ذَلِكَ الْأَمْرَ أَوِ النَّهْيَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُوْنُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ إِلَى آخِرِهِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ إِذًا الْإِيمَانُ الصَّحِيحُ يَقْتَضِي الْعَمَلَ الصَّالِحَ وَلَا بُدَّ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ وَهُوَ لَمْ يَسْتَقِمْ عَلَى شَرِيعَةِ اللَّهِ فَإِنَّ إِيمَانَهُ إِمَّا مَفْقُودٌ أَوْ نَاقِصٌ وَلَا بُدَّ وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا الْآيَاتُ الَّتِي ذَكَرْتُهَا وَغَيْرُهَا كَثِيرٌ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُخَاطِبُ أَحَدًا بِوَصْفِ الْإِيمَانِ إِلَّا وَمَا خُوطِبَ بِهِ هَذَا الرَّجُلُ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيمَانِ وَإِلَّا لَأَصْبَحَ الْخِطَابُ بِالْإِيْمَانِ عَدِيمَ الْفَائِدَةِ وَالتَّأْثِيْرِ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ جَمِيعَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ مِنْ مُقْتَضَى الْإِيْمَانِ وَأَنَّ تَخَلُّفَهَا دَلِيلٌ عَلَى إِمَّا نَقْصُ الْإِيْمَانِ أَوْ عَدَمِهِ بِالْكُلِّيَّةِ

Mengkaji Eksistensi Allah dalam Kapasitas Akidah yang Benar (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Bukti secara fitrahPertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta.Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam.Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Dalam kajian akidah yang benar dan sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami berdasarkan pemahaman para salaf saleh, kita mengimani dengan yakin perkara yang kemudian populer dengan sebutan “Rukun Iman” atau dalam istilah lain bisa disebut “Pokok-Pokok Iman”, juga “Ushul Iman”. Iman kepada Allah adalah yang paling inti dari semuanya, karena iman kepada Allah mengimplikasikan rukun-rukun iman yang lain. Selanjutnya, dalam pemaknaan tauhid, yang merupakan iman kepada Allah, adalah kita mengimani, memercayai, serta meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah (ketuhanan), uluhiyyah/ilahiyyah (peribadatan), dan asma’ wa sifat (nama serta sifat-sifat)-Nya. Sebagai bentuk kemudahan dalam belajar tauhid, aspek rububiyyah terkhusus dalam ranah keberadaan Allah, dikategorikan (dan memang betul) sebagai postulat, sesuatu yang sudah dianggap benar tanpa perlu pembuktian. Namun, dengan merebaknya fitnah syubhat (seperti ateisme yang terbungkus dalam berbagai bentuknya) dan semakin melemahnya pemaknaan kehadiran Allah sebagai Tuhan dalam kehidupan muslimin hari ini, mengkaji tentang eksistensi Allah tampaknya dirasa penting. Hal ini karena mengenal Allah merupakan bekal paling fundamental bagi setiap manusia sebagai hamba-Nya. Kekhusyukan ibadah dan keridaan terhadap takdir Allah serta pengharapan atas janji-janjinya akan terealisasi bilamana seorang hamba semakin mengenal Allah, dan ia tidak akan bisa mengenal tanpa menyadari akan kehadiran-Nya secara wujud dan eksistensi. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita sebagai seorang manusia, sebagai seorang hamba, sebagai seorang muslim, sebagai seorang mukmin, untuk setidaknya dapat memaknai eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan dan tujuan kebermanfaatan, di antaranya: Pertama: Membangun keyakinan (jika sebelumnya belum ada); Kedua: Memperkokoh keyakinan (jika sebelumnya sudah ada, tetapi lemah); Ketiga: Menjadi katalis untuk mengenal Allah yang berimplikasi pada peningkatan kualitas amalan dan keyakinan; Keempat: Sebagai bekal menghadapi gempuran syubhat; Kelima: Sebagai bekal untuk membantah golongan yang ingkar. Pembahasan kali ini adalah tentang dalil dan bukti-bukti keberadaan dan eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin terbesit di benak kita, “Apakah boleh mempertanyakan bukti keberadaan Allah?” atau semisalnya. Maka yang perlu digaris bawahi adalah: Pertama, keyakinan utama kita haruslah sudah yakin bahwa Allah itu ada dan akan selalu ada dengan segala kekuasaan dan kebesarannya. Kemudian, hendaknya apa yang kita tahu tentang bukti keberadaan Allah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat keimanan kita, untuk kemudian menunjang perbaikan kualitas ibadah, dan pada situasi terburuk, kita dapat membalas syubhat keimanan dari orang-orang yang mengingkarinya. Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa pada hakikatnya, keberadaan serta eksistensi Allah sama sekali tidak butuh bukti. Berkaitan dengan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, bahwa ia mendengar Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟ “Bagaimana mungkin dicari bukti bagi Dia yang menjadi bukti atas segala sesuatu?” Dan beliau seringkali mengutip sebuah bait syair, وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ    إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ “Ada yang salah dengan pikiran jika ia berpikir siang yang begitu terang masih membutuhkan bukti (kalau itu adalah siang).” Dalam “Majmu’ Fatawa”-nya, Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah bisa saja perlu bukti, tetapi itu hanya bagi orang yang fitrahnya telah berubah dan melenceng. Untuk itu, fitrah menjadi bukti paling utama atas keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berikut di antara bukti-bukti atas keberadaan dan eksistensi Allah yang tetap berlandaskan dalil syar’i dan semoga dengan ini dapat memperkuat iman kita. Bukti secara fitrah Fitrah secara etimologi dapat berarti dua hal: kodrat alamiah dan bawaan sejak awal yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh sesuatu apa pun. Dan penciptaan, ditunjukkan dalam firman-Nya, فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “(Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura: 11) Adapun secara terminologi syariat, yang dimaksud dengan fitrah pada argumen bukti ini adalah kondisi atau keadaan awal manusia saat semenjak dilahirkan, yaitu Islam: kesadaran atas adanya Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَةِ، فأبَواهُ يُهَوِّدانِهِ، أوْ يُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسانِهِ “Setiap manusia yang dilahirkan sebenarnya dilahirkan di atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2858) Fitrah tauhid berarti bahwa saat sejak dilahirkan, manusia memiliki fitrah yang membuatnya secara naluriah memiliki kesadaran akan keberadaan Allah ‘Azza Wajalla, keyakinan akan keesaan-Nya, dan dorongan untuk menyembah-Nya. Namun, kesadaran ini bersifat global dan umum, tidak mendetail dan terperinci. Kemudian, ketika ia mulai dapat berpikir secara rasional dan bertambah dewasa, barulah pikirannya dapat dibimbing agar dapat mengikuti pemahaman yang dibawa para rasul yang telah menjelaskan rincian dari hal-hal yang sebelumnya bersifat global ini.[1] Pembuktian secara fitrah ini terdiri dari 3 argumen utama yang menjadi pilar yang logis dan intuitif sehingga dapat lebih mudah dalam memahami keberadaan dan esensi Allah secara fitrah. Pertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta. Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, suatu hal yang lumrah dan telah diketahui bersama sejak dahulu, bahwa kesadaran akan adanya pencipta alam semesta adalah hal yang pada dasarnya sudah terpatri dan tertanam dalam hati setiap jin dan manusia. Dan ini sudah menjadi suatu naluri esensial dan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Seperti halnya bahwa diri mereka butuh akan makan dan minum, begitu pula kesadaran akan adanya Allah sebagai pencipta, sudah menjadi fitrah yang tak terhindarkan dalam diri setiap manusia dan jin.[2] Ibnu Abu Al-Izz menuturkan, “Hati itu secara fitrah mengakui akan adanya pencipta seluruh alam semesta ini (Allah) dengan keyakinan yang bahkan lebih besar dibandingkan keyakinannya atas adanya seluruh makhluk. Oleh karena itu, para rasul menyerukan, قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِى ٱللَّهِ شَكٌّۭ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ ‘Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’ (QS. Ibrahim: 11).” Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam. Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Senada dengan argumen kedua dan ketiga, Asy-Syihristani menuturkan dalam kitabnya, bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya membutuhkan sebuah kebutuhan mendasar akan adanya Sang Pengatur yang menjadi tempat bersandarnya, di mana ia menggantungkan segala kebutuhannya pada-Nya. Kepada-Nya ia memohon, dan tidak bisa tidak memohon, dengan-Nya ia merasa cukup, mustahil merasa tidak membutuhkan-Nya, kepada-Nya ia berorientasi. Ia juga akan berlindung, memohon pertolongan, dan berharap pasti hanya kepada-Nya di saat-saat paling genting dan terdesak di posisi paling sulit dan berat.[3] Allah Ta’ala juga telah berfirman dalam banyak ayat-Nya yang menunjukkan bahwa naluri alamiah manusia adalah berharap pada-Nya di saat-saat sangat sulit dan hanya Dia (Allah) sajalah yang memiliki otoritas di setiap keadaan paling sulit sekaligus paling bahaya dan dapat dijadikan pengharapan. Di antara firman-Nya adalah, أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62) Dan benar saja, dalam keadaan tersulit, fitrah manusia membuatnya hanya berharap dan meminta perlindungan serta keselamatan hanya dari Allah, وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia (Allah).” (QS. Al-Isra: 67) وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَـٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًۭا “Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri.” (QS. Yunus: 12) وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرٌّۭ دَعَوْا۟ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali (bertobat) kepada-Nya.” (QS. Ar-Rum: 33) Inilah pembuktian secara fitrah akan keberadaan Allah, eksistensi Tuhan pengatur semesta alam yang mempunyai otoritas penuh atas segala yang ada di alam ini, yang setiap insan pada dasarnya memiliki pengakuan akan keberadaan Tuhan yang Mahakuasa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sadar ataupun tidak. Fitrah sebagai pembuktian sebenarnya tidak perlu penjelasan berlebih, karena fitrah yang tertanam di jiwa, hati, dan pikiran setiap manusia adalah fitrah pengakuan akan keberadaan-Nya, begitulah yang Allah kabarkan melalui Rasul-Nya. Adapun orang-orang yang tidak mengakui akan keberadaan serta kehadiran Allah, maka sesungguhnya fitrahnya telah dikontaminasi oleh setan sehingga menjadi melenceng, Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari sahabat Iyadh bin Himar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam suatu khotbahnya, bahwa Allah Ta’ala menginstruksikannya agar menyampaikan, إنِّي خَلَقْتُ عِبادِي حُنَفاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِينُ فاجْتالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ “Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus), tetapi kemudian setan-setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865) Hanif (lurus) dalam hadis tersebut adalah fitrah manusia pada dasarnya, para ulama pun merincikan bahwa maksudnya adalah kecenderungan alami manusia kepada tauhid dan kesadaran akan keberadaan Allah.[4] Dengan hadis ini, jelas sudah bahwa orang-orang yang tidak percaya akan kekuasaan Allah, keberadaan-Nya, kehadiran serta eksistensi-Nya, maka sebenarnya ia sudah melenceng dari fitrah alaminya, dan ia sedang berada di bawah pengaruh setan yang membawanya semakin menjauh dari fitrah. Adapun pembahasan pembuktian selanjutnya, adalah pembuktian secara logika. Pembuktian ini terutama digunakan untuk membantah orang-orang yang melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran, karena kebenaran keberadaan Allah sudah sangat jelas, lebih jelas daripada langit terang benderang di siang hari.[5] [Bersambung] Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 11. [2] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, 8: 482. [3] Abu Al-Fath Ahmad Asy-Syihristani, Nihayah Al-Aqdam fi Ilmi Al-Kalam, hal. 75. [4] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 12. [5] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi Ilm Al-Aqidah, 1: 125-129.

Mengkaji Eksistensi Allah dalam Kapasitas Akidah yang Benar (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Bukti secara fitrahPertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta.Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam.Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Dalam kajian akidah yang benar dan sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami berdasarkan pemahaman para salaf saleh, kita mengimani dengan yakin perkara yang kemudian populer dengan sebutan “Rukun Iman” atau dalam istilah lain bisa disebut “Pokok-Pokok Iman”, juga “Ushul Iman”. Iman kepada Allah adalah yang paling inti dari semuanya, karena iman kepada Allah mengimplikasikan rukun-rukun iman yang lain. Selanjutnya, dalam pemaknaan tauhid, yang merupakan iman kepada Allah, adalah kita mengimani, memercayai, serta meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah (ketuhanan), uluhiyyah/ilahiyyah (peribadatan), dan asma’ wa sifat (nama serta sifat-sifat)-Nya. Sebagai bentuk kemudahan dalam belajar tauhid, aspek rububiyyah terkhusus dalam ranah keberadaan Allah, dikategorikan (dan memang betul) sebagai postulat, sesuatu yang sudah dianggap benar tanpa perlu pembuktian. Namun, dengan merebaknya fitnah syubhat (seperti ateisme yang terbungkus dalam berbagai bentuknya) dan semakin melemahnya pemaknaan kehadiran Allah sebagai Tuhan dalam kehidupan muslimin hari ini, mengkaji tentang eksistensi Allah tampaknya dirasa penting. Hal ini karena mengenal Allah merupakan bekal paling fundamental bagi setiap manusia sebagai hamba-Nya. Kekhusyukan ibadah dan keridaan terhadap takdir Allah serta pengharapan atas janji-janjinya akan terealisasi bilamana seorang hamba semakin mengenal Allah, dan ia tidak akan bisa mengenal tanpa menyadari akan kehadiran-Nya secara wujud dan eksistensi. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita sebagai seorang manusia, sebagai seorang hamba, sebagai seorang muslim, sebagai seorang mukmin, untuk setidaknya dapat memaknai eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan dan tujuan kebermanfaatan, di antaranya: Pertama: Membangun keyakinan (jika sebelumnya belum ada); Kedua: Memperkokoh keyakinan (jika sebelumnya sudah ada, tetapi lemah); Ketiga: Menjadi katalis untuk mengenal Allah yang berimplikasi pada peningkatan kualitas amalan dan keyakinan; Keempat: Sebagai bekal menghadapi gempuran syubhat; Kelima: Sebagai bekal untuk membantah golongan yang ingkar. Pembahasan kali ini adalah tentang dalil dan bukti-bukti keberadaan dan eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin terbesit di benak kita, “Apakah boleh mempertanyakan bukti keberadaan Allah?” atau semisalnya. Maka yang perlu digaris bawahi adalah: Pertama, keyakinan utama kita haruslah sudah yakin bahwa Allah itu ada dan akan selalu ada dengan segala kekuasaan dan kebesarannya. Kemudian, hendaknya apa yang kita tahu tentang bukti keberadaan Allah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat keimanan kita, untuk kemudian menunjang perbaikan kualitas ibadah, dan pada situasi terburuk, kita dapat membalas syubhat keimanan dari orang-orang yang mengingkarinya. Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa pada hakikatnya, keberadaan serta eksistensi Allah sama sekali tidak butuh bukti. Berkaitan dengan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, bahwa ia mendengar Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟ “Bagaimana mungkin dicari bukti bagi Dia yang menjadi bukti atas segala sesuatu?” Dan beliau seringkali mengutip sebuah bait syair, وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ    إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ “Ada yang salah dengan pikiran jika ia berpikir siang yang begitu terang masih membutuhkan bukti (kalau itu adalah siang).” Dalam “Majmu’ Fatawa”-nya, Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah bisa saja perlu bukti, tetapi itu hanya bagi orang yang fitrahnya telah berubah dan melenceng. Untuk itu, fitrah menjadi bukti paling utama atas keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berikut di antara bukti-bukti atas keberadaan dan eksistensi Allah yang tetap berlandaskan dalil syar’i dan semoga dengan ini dapat memperkuat iman kita. Bukti secara fitrah Fitrah secara etimologi dapat berarti dua hal: kodrat alamiah dan bawaan sejak awal yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh sesuatu apa pun. Dan penciptaan, ditunjukkan dalam firman-Nya, فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “(Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura: 11) Adapun secara terminologi syariat, yang dimaksud dengan fitrah pada argumen bukti ini adalah kondisi atau keadaan awal manusia saat semenjak dilahirkan, yaitu Islam: kesadaran atas adanya Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَةِ، فأبَواهُ يُهَوِّدانِهِ، أوْ يُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسانِهِ “Setiap manusia yang dilahirkan sebenarnya dilahirkan di atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2858) Fitrah tauhid berarti bahwa saat sejak dilahirkan, manusia memiliki fitrah yang membuatnya secara naluriah memiliki kesadaran akan keberadaan Allah ‘Azza Wajalla, keyakinan akan keesaan-Nya, dan dorongan untuk menyembah-Nya. Namun, kesadaran ini bersifat global dan umum, tidak mendetail dan terperinci. Kemudian, ketika ia mulai dapat berpikir secara rasional dan bertambah dewasa, barulah pikirannya dapat dibimbing agar dapat mengikuti pemahaman yang dibawa para rasul yang telah menjelaskan rincian dari hal-hal yang sebelumnya bersifat global ini.[1] Pembuktian secara fitrah ini terdiri dari 3 argumen utama yang menjadi pilar yang logis dan intuitif sehingga dapat lebih mudah dalam memahami keberadaan dan esensi Allah secara fitrah. Pertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta. Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, suatu hal yang lumrah dan telah diketahui bersama sejak dahulu, bahwa kesadaran akan adanya pencipta alam semesta adalah hal yang pada dasarnya sudah terpatri dan tertanam dalam hati setiap jin dan manusia. Dan ini sudah menjadi suatu naluri esensial dan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Seperti halnya bahwa diri mereka butuh akan makan dan minum, begitu pula kesadaran akan adanya Allah sebagai pencipta, sudah menjadi fitrah yang tak terhindarkan dalam diri setiap manusia dan jin.[2] Ibnu Abu Al-Izz menuturkan, “Hati itu secara fitrah mengakui akan adanya pencipta seluruh alam semesta ini (Allah) dengan keyakinan yang bahkan lebih besar dibandingkan keyakinannya atas adanya seluruh makhluk. Oleh karena itu, para rasul menyerukan, قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِى ٱللَّهِ شَكٌّۭ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ ‘Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’ (QS. Ibrahim: 11).” Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam. Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Senada dengan argumen kedua dan ketiga, Asy-Syihristani menuturkan dalam kitabnya, bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya membutuhkan sebuah kebutuhan mendasar akan adanya Sang Pengatur yang menjadi tempat bersandarnya, di mana ia menggantungkan segala kebutuhannya pada-Nya. Kepada-Nya ia memohon, dan tidak bisa tidak memohon, dengan-Nya ia merasa cukup, mustahil merasa tidak membutuhkan-Nya, kepada-Nya ia berorientasi. Ia juga akan berlindung, memohon pertolongan, dan berharap pasti hanya kepada-Nya di saat-saat paling genting dan terdesak di posisi paling sulit dan berat.[3] Allah Ta’ala juga telah berfirman dalam banyak ayat-Nya yang menunjukkan bahwa naluri alamiah manusia adalah berharap pada-Nya di saat-saat sangat sulit dan hanya Dia (Allah) sajalah yang memiliki otoritas di setiap keadaan paling sulit sekaligus paling bahaya dan dapat dijadikan pengharapan. Di antara firman-Nya adalah, أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62) Dan benar saja, dalam keadaan tersulit, fitrah manusia membuatnya hanya berharap dan meminta perlindungan serta keselamatan hanya dari Allah, وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia (Allah).” (QS. Al-Isra: 67) وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَـٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًۭا “Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri.” (QS. Yunus: 12) وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرٌّۭ دَعَوْا۟ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali (bertobat) kepada-Nya.” (QS. Ar-Rum: 33) Inilah pembuktian secara fitrah akan keberadaan Allah, eksistensi Tuhan pengatur semesta alam yang mempunyai otoritas penuh atas segala yang ada di alam ini, yang setiap insan pada dasarnya memiliki pengakuan akan keberadaan Tuhan yang Mahakuasa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sadar ataupun tidak. Fitrah sebagai pembuktian sebenarnya tidak perlu penjelasan berlebih, karena fitrah yang tertanam di jiwa, hati, dan pikiran setiap manusia adalah fitrah pengakuan akan keberadaan-Nya, begitulah yang Allah kabarkan melalui Rasul-Nya. Adapun orang-orang yang tidak mengakui akan keberadaan serta kehadiran Allah, maka sesungguhnya fitrahnya telah dikontaminasi oleh setan sehingga menjadi melenceng, Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari sahabat Iyadh bin Himar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam suatu khotbahnya, bahwa Allah Ta’ala menginstruksikannya agar menyampaikan, إنِّي خَلَقْتُ عِبادِي حُنَفاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِينُ فاجْتالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ “Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus), tetapi kemudian setan-setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865) Hanif (lurus) dalam hadis tersebut adalah fitrah manusia pada dasarnya, para ulama pun merincikan bahwa maksudnya adalah kecenderungan alami manusia kepada tauhid dan kesadaran akan keberadaan Allah.[4] Dengan hadis ini, jelas sudah bahwa orang-orang yang tidak percaya akan kekuasaan Allah, keberadaan-Nya, kehadiran serta eksistensi-Nya, maka sebenarnya ia sudah melenceng dari fitrah alaminya, dan ia sedang berada di bawah pengaruh setan yang membawanya semakin menjauh dari fitrah. Adapun pembahasan pembuktian selanjutnya, adalah pembuktian secara logika. Pembuktian ini terutama digunakan untuk membantah orang-orang yang melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran, karena kebenaran keberadaan Allah sudah sangat jelas, lebih jelas daripada langit terang benderang di siang hari.[5] [Bersambung] Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 11. [2] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, 8: 482. [3] Abu Al-Fath Ahmad Asy-Syihristani, Nihayah Al-Aqdam fi Ilmi Al-Kalam, hal. 75. [4] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 12. [5] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi Ilm Al-Aqidah, 1: 125-129.
Daftar Isi Toggle Bukti secara fitrahPertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta.Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam.Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Dalam kajian akidah yang benar dan sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami berdasarkan pemahaman para salaf saleh, kita mengimani dengan yakin perkara yang kemudian populer dengan sebutan “Rukun Iman” atau dalam istilah lain bisa disebut “Pokok-Pokok Iman”, juga “Ushul Iman”. Iman kepada Allah adalah yang paling inti dari semuanya, karena iman kepada Allah mengimplikasikan rukun-rukun iman yang lain. Selanjutnya, dalam pemaknaan tauhid, yang merupakan iman kepada Allah, adalah kita mengimani, memercayai, serta meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah (ketuhanan), uluhiyyah/ilahiyyah (peribadatan), dan asma’ wa sifat (nama serta sifat-sifat)-Nya. Sebagai bentuk kemudahan dalam belajar tauhid, aspek rububiyyah terkhusus dalam ranah keberadaan Allah, dikategorikan (dan memang betul) sebagai postulat, sesuatu yang sudah dianggap benar tanpa perlu pembuktian. Namun, dengan merebaknya fitnah syubhat (seperti ateisme yang terbungkus dalam berbagai bentuknya) dan semakin melemahnya pemaknaan kehadiran Allah sebagai Tuhan dalam kehidupan muslimin hari ini, mengkaji tentang eksistensi Allah tampaknya dirasa penting. Hal ini karena mengenal Allah merupakan bekal paling fundamental bagi setiap manusia sebagai hamba-Nya. Kekhusyukan ibadah dan keridaan terhadap takdir Allah serta pengharapan atas janji-janjinya akan terealisasi bilamana seorang hamba semakin mengenal Allah, dan ia tidak akan bisa mengenal tanpa menyadari akan kehadiran-Nya secara wujud dan eksistensi. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita sebagai seorang manusia, sebagai seorang hamba, sebagai seorang muslim, sebagai seorang mukmin, untuk setidaknya dapat memaknai eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan dan tujuan kebermanfaatan, di antaranya: Pertama: Membangun keyakinan (jika sebelumnya belum ada); Kedua: Memperkokoh keyakinan (jika sebelumnya sudah ada, tetapi lemah); Ketiga: Menjadi katalis untuk mengenal Allah yang berimplikasi pada peningkatan kualitas amalan dan keyakinan; Keempat: Sebagai bekal menghadapi gempuran syubhat; Kelima: Sebagai bekal untuk membantah golongan yang ingkar. Pembahasan kali ini adalah tentang dalil dan bukti-bukti keberadaan dan eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin terbesit di benak kita, “Apakah boleh mempertanyakan bukti keberadaan Allah?” atau semisalnya. Maka yang perlu digaris bawahi adalah: Pertama, keyakinan utama kita haruslah sudah yakin bahwa Allah itu ada dan akan selalu ada dengan segala kekuasaan dan kebesarannya. Kemudian, hendaknya apa yang kita tahu tentang bukti keberadaan Allah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat keimanan kita, untuk kemudian menunjang perbaikan kualitas ibadah, dan pada situasi terburuk, kita dapat membalas syubhat keimanan dari orang-orang yang mengingkarinya. Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa pada hakikatnya, keberadaan serta eksistensi Allah sama sekali tidak butuh bukti. Berkaitan dengan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, bahwa ia mendengar Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟ “Bagaimana mungkin dicari bukti bagi Dia yang menjadi bukti atas segala sesuatu?” Dan beliau seringkali mengutip sebuah bait syair, وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ    إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ “Ada yang salah dengan pikiran jika ia berpikir siang yang begitu terang masih membutuhkan bukti (kalau itu adalah siang).” Dalam “Majmu’ Fatawa”-nya, Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah bisa saja perlu bukti, tetapi itu hanya bagi orang yang fitrahnya telah berubah dan melenceng. Untuk itu, fitrah menjadi bukti paling utama atas keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berikut di antara bukti-bukti atas keberadaan dan eksistensi Allah yang tetap berlandaskan dalil syar’i dan semoga dengan ini dapat memperkuat iman kita. Bukti secara fitrah Fitrah secara etimologi dapat berarti dua hal: kodrat alamiah dan bawaan sejak awal yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh sesuatu apa pun. Dan penciptaan, ditunjukkan dalam firman-Nya, فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “(Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura: 11) Adapun secara terminologi syariat, yang dimaksud dengan fitrah pada argumen bukti ini adalah kondisi atau keadaan awal manusia saat semenjak dilahirkan, yaitu Islam: kesadaran atas adanya Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَةِ، فأبَواهُ يُهَوِّدانِهِ، أوْ يُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسانِهِ “Setiap manusia yang dilahirkan sebenarnya dilahirkan di atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2858) Fitrah tauhid berarti bahwa saat sejak dilahirkan, manusia memiliki fitrah yang membuatnya secara naluriah memiliki kesadaran akan keberadaan Allah ‘Azza Wajalla, keyakinan akan keesaan-Nya, dan dorongan untuk menyembah-Nya. Namun, kesadaran ini bersifat global dan umum, tidak mendetail dan terperinci. Kemudian, ketika ia mulai dapat berpikir secara rasional dan bertambah dewasa, barulah pikirannya dapat dibimbing agar dapat mengikuti pemahaman yang dibawa para rasul yang telah menjelaskan rincian dari hal-hal yang sebelumnya bersifat global ini.[1] Pembuktian secara fitrah ini terdiri dari 3 argumen utama yang menjadi pilar yang logis dan intuitif sehingga dapat lebih mudah dalam memahami keberadaan dan esensi Allah secara fitrah. Pertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta. Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, suatu hal yang lumrah dan telah diketahui bersama sejak dahulu, bahwa kesadaran akan adanya pencipta alam semesta adalah hal yang pada dasarnya sudah terpatri dan tertanam dalam hati setiap jin dan manusia. Dan ini sudah menjadi suatu naluri esensial dan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Seperti halnya bahwa diri mereka butuh akan makan dan minum, begitu pula kesadaran akan adanya Allah sebagai pencipta, sudah menjadi fitrah yang tak terhindarkan dalam diri setiap manusia dan jin.[2] Ibnu Abu Al-Izz menuturkan, “Hati itu secara fitrah mengakui akan adanya pencipta seluruh alam semesta ini (Allah) dengan keyakinan yang bahkan lebih besar dibandingkan keyakinannya atas adanya seluruh makhluk. Oleh karena itu, para rasul menyerukan, قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِى ٱللَّهِ شَكٌّۭ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ ‘Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’ (QS. Ibrahim: 11).” Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam. Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Senada dengan argumen kedua dan ketiga, Asy-Syihristani menuturkan dalam kitabnya, bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya membutuhkan sebuah kebutuhan mendasar akan adanya Sang Pengatur yang menjadi tempat bersandarnya, di mana ia menggantungkan segala kebutuhannya pada-Nya. Kepada-Nya ia memohon, dan tidak bisa tidak memohon, dengan-Nya ia merasa cukup, mustahil merasa tidak membutuhkan-Nya, kepada-Nya ia berorientasi. Ia juga akan berlindung, memohon pertolongan, dan berharap pasti hanya kepada-Nya di saat-saat paling genting dan terdesak di posisi paling sulit dan berat.[3] Allah Ta’ala juga telah berfirman dalam banyak ayat-Nya yang menunjukkan bahwa naluri alamiah manusia adalah berharap pada-Nya di saat-saat sangat sulit dan hanya Dia (Allah) sajalah yang memiliki otoritas di setiap keadaan paling sulit sekaligus paling bahaya dan dapat dijadikan pengharapan. Di antara firman-Nya adalah, أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62) Dan benar saja, dalam keadaan tersulit, fitrah manusia membuatnya hanya berharap dan meminta perlindungan serta keselamatan hanya dari Allah, وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia (Allah).” (QS. Al-Isra: 67) وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَـٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًۭا “Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri.” (QS. Yunus: 12) وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرٌّۭ دَعَوْا۟ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali (bertobat) kepada-Nya.” (QS. Ar-Rum: 33) Inilah pembuktian secara fitrah akan keberadaan Allah, eksistensi Tuhan pengatur semesta alam yang mempunyai otoritas penuh atas segala yang ada di alam ini, yang setiap insan pada dasarnya memiliki pengakuan akan keberadaan Tuhan yang Mahakuasa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sadar ataupun tidak. Fitrah sebagai pembuktian sebenarnya tidak perlu penjelasan berlebih, karena fitrah yang tertanam di jiwa, hati, dan pikiran setiap manusia adalah fitrah pengakuan akan keberadaan-Nya, begitulah yang Allah kabarkan melalui Rasul-Nya. Adapun orang-orang yang tidak mengakui akan keberadaan serta kehadiran Allah, maka sesungguhnya fitrahnya telah dikontaminasi oleh setan sehingga menjadi melenceng, Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari sahabat Iyadh bin Himar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam suatu khotbahnya, bahwa Allah Ta’ala menginstruksikannya agar menyampaikan, إنِّي خَلَقْتُ عِبادِي حُنَفاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِينُ فاجْتالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ “Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus), tetapi kemudian setan-setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865) Hanif (lurus) dalam hadis tersebut adalah fitrah manusia pada dasarnya, para ulama pun merincikan bahwa maksudnya adalah kecenderungan alami manusia kepada tauhid dan kesadaran akan keberadaan Allah.[4] Dengan hadis ini, jelas sudah bahwa orang-orang yang tidak percaya akan kekuasaan Allah, keberadaan-Nya, kehadiran serta eksistensi-Nya, maka sebenarnya ia sudah melenceng dari fitrah alaminya, dan ia sedang berada di bawah pengaruh setan yang membawanya semakin menjauh dari fitrah. Adapun pembahasan pembuktian selanjutnya, adalah pembuktian secara logika. Pembuktian ini terutama digunakan untuk membantah orang-orang yang melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran, karena kebenaran keberadaan Allah sudah sangat jelas, lebih jelas daripada langit terang benderang di siang hari.[5] [Bersambung] Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 11. [2] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, 8: 482. [3] Abu Al-Fath Ahmad Asy-Syihristani, Nihayah Al-Aqdam fi Ilmi Al-Kalam, hal. 75. [4] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 12. [5] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi Ilm Al-Aqidah, 1: 125-129.


Daftar Isi Toggle Bukti secara fitrahPertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta.Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam.Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Dalam kajian akidah yang benar dan sesuai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami berdasarkan pemahaman para salaf saleh, kita mengimani dengan yakin perkara yang kemudian populer dengan sebutan “Rukun Iman” atau dalam istilah lain bisa disebut “Pokok-Pokok Iman”, juga “Ushul Iman”. Iman kepada Allah adalah yang paling inti dari semuanya, karena iman kepada Allah mengimplikasikan rukun-rukun iman yang lain. Selanjutnya, dalam pemaknaan tauhid, yang merupakan iman kepada Allah, adalah kita mengimani, memercayai, serta meyakini keesaan Allah dalam rububiyyah (ketuhanan), uluhiyyah/ilahiyyah (peribadatan), dan asma’ wa sifat (nama serta sifat-sifat)-Nya. Sebagai bentuk kemudahan dalam belajar tauhid, aspek rububiyyah terkhusus dalam ranah keberadaan Allah, dikategorikan (dan memang betul) sebagai postulat, sesuatu yang sudah dianggap benar tanpa perlu pembuktian. Namun, dengan merebaknya fitnah syubhat (seperti ateisme yang terbungkus dalam berbagai bentuknya) dan semakin melemahnya pemaknaan kehadiran Allah sebagai Tuhan dalam kehidupan muslimin hari ini, mengkaji tentang eksistensi Allah tampaknya dirasa penting. Hal ini karena mengenal Allah merupakan bekal paling fundamental bagi setiap manusia sebagai hamba-Nya. Kekhusyukan ibadah dan keridaan terhadap takdir Allah serta pengharapan atas janji-janjinya akan terealisasi bilamana seorang hamba semakin mengenal Allah, dan ia tidak akan bisa mengenal tanpa menyadari akan kehadiran-Nya secara wujud dan eksistensi. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita sebagai seorang manusia, sebagai seorang hamba, sebagai seorang muslim, sebagai seorang mukmin, untuk setidaknya dapat memaknai eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan dan tujuan kebermanfaatan, di antaranya: Pertama: Membangun keyakinan (jika sebelumnya belum ada); Kedua: Memperkokoh keyakinan (jika sebelumnya sudah ada, tetapi lemah); Ketiga: Menjadi katalis untuk mengenal Allah yang berimplikasi pada peningkatan kualitas amalan dan keyakinan; Keempat: Sebagai bekal menghadapi gempuran syubhat; Kelima: Sebagai bekal untuk membantah golongan yang ingkar. Pembahasan kali ini adalah tentang dalil dan bukti-bukti keberadaan dan eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin terbesit di benak kita, “Apakah boleh mempertanyakan bukti keberadaan Allah?” atau semisalnya. Maka yang perlu digaris bawahi adalah: Pertama, keyakinan utama kita haruslah sudah yakin bahwa Allah itu ada dan akan selalu ada dengan segala kekuasaan dan kebesarannya. Kemudian, hendaknya apa yang kita tahu tentang bukti keberadaan Allah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat keimanan kita, untuk kemudian menunjang perbaikan kualitas ibadah, dan pada situasi terburuk, kita dapat membalas syubhat keimanan dari orang-orang yang mengingkarinya. Selanjutnya, perlu kita ketahui bahwa pada hakikatnya, keberadaan serta eksistensi Allah sama sekali tidak butuh bukti. Berkaitan dengan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan, bahwa ia mendengar Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟ “Bagaimana mungkin dicari bukti bagi Dia yang menjadi bukti atas segala sesuatu?” Dan beliau seringkali mengutip sebuah bait syair, وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ    إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ “Ada yang salah dengan pikiran jika ia berpikir siang yang begitu terang masih membutuhkan bukti (kalau itu adalah siang).” Dalam “Majmu’ Fatawa”-nya, Syekh Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa keberadaan Allah bisa saja perlu bukti, tetapi itu hanya bagi orang yang fitrahnya telah berubah dan melenceng. Untuk itu, fitrah menjadi bukti paling utama atas keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berikut di antara bukti-bukti atas keberadaan dan eksistensi Allah yang tetap berlandaskan dalil syar’i dan semoga dengan ini dapat memperkuat iman kita. Bukti secara fitrah Fitrah secara etimologi dapat berarti dua hal: kodrat alamiah dan bawaan sejak awal yang masih murni dan belum terkontaminasi oleh sesuatu apa pun. Dan penciptaan, ditunjukkan dalam firman-Nya, فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ “(Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Asy-Syura: 11) Adapun secara terminologi syariat, yang dimaksud dengan fitrah pada argumen bukti ini adalah kondisi atau keadaan awal manusia saat semenjak dilahirkan, yaitu Islam: kesadaran atas adanya Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bersabda, كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على الفِطْرَةِ، فأبَواهُ يُهَوِّدانِهِ، أوْ يُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسانِهِ “Setiap manusia yang dilahirkan sebenarnya dilahirkan di atas fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2858) Fitrah tauhid berarti bahwa saat sejak dilahirkan, manusia memiliki fitrah yang membuatnya secara naluriah memiliki kesadaran akan keberadaan Allah ‘Azza Wajalla, keyakinan akan keesaan-Nya, dan dorongan untuk menyembah-Nya. Namun, kesadaran ini bersifat global dan umum, tidak mendetail dan terperinci. Kemudian, ketika ia mulai dapat berpikir secara rasional dan bertambah dewasa, barulah pikirannya dapat dibimbing agar dapat mengikuti pemahaman yang dibawa para rasul yang telah menjelaskan rincian dari hal-hal yang sebelumnya bersifat global ini.[1] Pembuktian secara fitrah ini terdiri dari 3 argumen utama yang menjadi pilar yang logis dan intuitif sehingga dapat lebih mudah dalam memahami keberadaan dan esensi Allah secara fitrah. Pertama: Bahwa semua orang pada hakikatnya menyadari akan keberadaan Allah sebagai pencipta. Syekh Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, suatu hal yang lumrah dan telah diketahui bersama sejak dahulu, bahwa kesadaran akan adanya pencipta alam semesta adalah hal yang pada dasarnya sudah terpatri dan tertanam dalam hati setiap jin dan manusia. Dan ini sudah menjadi suatu naluri esensial dan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan mereka. Seperti halnya bahwa diri mereka butuh akan makan dan minum, begitu pula kesadaran akan adanya Allah sebagai pencipta, sudah menjadi fitrah yang tak terhindarkan dalam diri setiap manusia dan jin.[2] Ibnu Abu Al-Izz menuturkan, “Hati itu secara fitrah mengakui akan adanya pencipta seluruh alam semesta ini (Allah) dengan keyakinan yang bahkan lebih besar dibandingkan keyakinannya atas adanya seluruh makhluk. Oleh karena itu, para rasul menyerukan, قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِى ٱللَّهِ شَكٌّۭ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ ‘Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’ (QS. Ibrahim: 11).” Baca juga: Mengapa Pemuda Enggan Belajar Akidah?! Kedua: Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia bahwa ia membutuhkan suatu entitas yang menjadi tujuan dan ujung akhir dari segala pengharapan dan kebutuhannya, yaitu Allah, Tuhan semesta alam. Ketiga: Dalam keadaan darurat, genting, dan terdesak, secara naluriah manusia pasti akan memohon dan berharap pada Tuhan-nya. Senada dengan argumen kedua dan ketiga, Asy-Syihristani menuturkan dalam kitabnya, bahwa sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya membutuhkan sebuah kebutuhan mendasar akan adanya Sang Pengatur yang menjadi tempat bersandarnya, di mana ia menggantungkan segala kebutuhannya pada-Nya. Kepada-Nya ia memohon, dan tidak bisa tidak memohon, dengan-Nya ia merasa cukup, mustahil merasa tidak membutuhkan-Nya, kepada-Nya ia berorientasi. Ia juga akan berlindung, memohon pertolongan, dan berharap pasti hanya kepada-Nya di saat-saat paling genting dan terdesak di posisi paling sulit dan berat.[3] Allah Ta’ala juga telah berfirman dalam banyak ayat-Nya yang menunjukkan bahwa naluri alamiah manusia adalah berharap pada-Nya di saat-saat sangat sulit dan hanya Dia (Allah) sajalah yang memiliki otoritas di setiap keadaan paling sulit sekaligus paling bahaya dan dapat dijadikan pengharapan. Di antara firman-Nya adalah, أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62) Dan benar saja, dalam keadaan tersulit, fitrah manusia membuatnya hanya berharap dan meminta perlindungan serta keselamatan hanya dari Allah, وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia (Allah).” (QS. Al-Isra: 67) وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَـٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًۭا “Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri.” (QS. Yunus: 12) وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرٌّۭ دَعَوْا۟ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali (bertobat) kepada-Nya.” (QS. Ar-Rum: 33) Inilah pembuktian secara fitrah akan keberadaan Allah, eksistensi Tuhan pengatur semesta alam yang mempunyai otoritas penuh atas segala yang ada di alam ini, yang setiap insan pada dasarnya memiliki pengakuan akan keberadaan Tuhan yang Mahakuasa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sadar ataupun tidak. Fitrah sebagai pembuktian sebenarnya tidak perlu penjelasan berlebih, karena fitrah yang tertanam di jiwa, hati, dan pikiran setiap manusia adalah fitrah pengakuan akan keberadaan-Nya, begitulah yang Allah kabarkan melalui Rasul-Nya. Adapun orang-orang yang tidak mengakui akan keberadaan serta kehadiran Allah, maka sesungguhnya fitrahnya telah dikontaminasi oleh setan sehingga menjadi melenceng, Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari sahabat Iyadh bin Himar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam suatu khotbahnya, bahwa Allah Ta’ala menginstruksikannya agar menyampaikan, إنِّي خَلَقْتُ عِبادِي حُنَفاءَ كُلَّهُمْ، وإنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِينُ فاجْتالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ “Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (lurus), tetapi kemudian setan-setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865) Hanif (lurus) dalam hadis tersebut adalah fitrah manusia pada dasarnya, para ulama pun merincikan bahwa maksudnya adalah kecenderungan alami manusia kepada tauhid dan kesadaran akan keberadaan Allah.[4] Dengan hadis ini, jelas sudah bahwa orang-orang yang tidak percaya akan kekuasaan Allah, keberadaan-Nya, kehadiran serta eksistensi-Nya, maka sebenarnya ia sudah melenceng dari fitrah alaminya, dan ia sedang berada di bawah pengaruh setan yang membawanya semakin menjauh dari fitrah. Adapun pembahasan pembuktian selanjutnya, adalah pembuktian secara logika. Pembuktian ini terutama digunakan untuk membantah orang-orang yang melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran, karena kebenaran keberadaan Allah sudah sangat jelas, lebih jelas daripada langit terang benderang di siang hari.[5] [Bersambung] Baca juga: Sampai Kapan Belajar Akidah? *** Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 11. [2] Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, 8: 482. [3] Abu Al-Fath Ahmad Asy-Syihristani, Nihayah Al-Aqdam fi Ilmi Al-Kalam, hal. 75. [4] Abdurrahim As-Sulami, Ushul Al-Aqidah, 1: 12. [5] Nashir bin Abdullah Al-Qifari, Dirasat fi Ilm Al-Aqidah, 1: 125-129.
Prev     Next