Renungan Akhir Tahun: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya?

Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id

Renungan Akhir Tahun: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya?

Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id

Mau Islam Kuat? Lakukan Ini Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ

Mau Islam Kuat? Lakukan Ini Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ
Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ


Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ

Antara Tawa dan Tangis (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Tawa dan tangis akan selalu datang silih bergantiMengapa aku harus menangis? Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Pencipta. Tidak hanya menciptakan tujuh lapis langit dan bumi, Ia juga menciptakan manusia dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya, termasuk di antaranya ialah tawa dan tangis. Allah Ta’ala berfirman, وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى “Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan, هو الذي أوجد أسباب الضحك والبكاء، وهو الخير والشر، والفرح والسرور والهم [والحزن]، وهو سبحانه له الحكمة البالغة في ذلك “Dialah yang membuat sebab-sebab tertawa dan menangis, yaitu kebaikan, keburukan, kesenangan, kebahagiaan, duka, dan kesedihan. Dan Allah memiliki hikmah yang tinggi akan hal itu.” [1] Tawa jangan sekadar tawa, tangis bukan sekadar tangis. Tulisan berseri ini akan membahas beberapa pelajaran atas setiap tawa dan tangis yang kita lalui di sepanjang episode kehidupan dunia ini. Tawa dan tangis akan selalu datang silih berganti Tawa dan tangis akan terus silih berganti mengiringi setiap momen hidup kita. Tatkala kita membaca firman Allah Ta’ala bahwa Ia menjadikan manusia tertawa dan menangis, maka kita semua akan mengalami keduanya tanpa terkecuali. Seorang ahli hikmah pernah berkata, دوام الحال من المحال “Tetapnya suatu keadaan merupakan sebuah kemustahilan.” Tawa dan tangis di dunia seluruhnya sementara, tidak ada yang kekal. Maka, teruntuk kita yang masih mendambakan dan berusaha keras untuk mewujudkan hidup tanpa tangis dan kesedihan sedikit pun, alangkah baiknya kita mulai berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak akan bisa sepenuhnya menghindar dari tangis dan kesedihan di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling sempurna nan paling dicintai Allah pun pernah menangis dan bersedih. Salah satu momennya adalah ketika anak beliau, yaitu Ibrahim wafat, momen ketika beliau bersabda, إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ “Sungguh mata menangis dan hati bersedih. Akan tetapi, kita tidak mengucapkan, kecuali yang diridai oleh Allah, dan sungguh kami amat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.” [2] Begitu juga, untukmu yang dalam hidup banyak dirundung pilu, perlu kita sadari bahwa tangis maupun kesedihan akan berlalu dan tidak akan bertahan selamanya. Karenanya, jangan berputus asa dari tawa dan bahagia. Baca juga: Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan Mengapa aku harus menangis? Barangkali ada yang bertanya, mengapa dalam hidup ini kita perlu menangis dan bersedih? Salah satu jawabannya adalah karena Allah ingin menguji kejujuran iman kita melalui beragam ujian, di antaranya adalah kesedihan. Allah Ta’ala berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةًۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35) Boleh jadi, Allah jadikan kita menangis dan bersedih dalam rangka menghapus dosa-dosa kita yang begitu amat jarang memohon ampunan-Nya, tidak merasa membutuhkan Allah, tidak mempertimbangkan aturan Allah ketika membuat berbagai keputusan hidup, tidak tulus ketika meminta maaf kepada Allah, atau bahkan tidak merasa salah kala berbuat dosa. Karena kondisi tersebut, adakalanya kita perlu “ditegur” agar dapat kembali kepada-Nya, atau agar kita tidak dihukum dengan berat di negeri keabadian kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [3] Boleh jadi, Allah Ta’ala jadikan kita menangis dan bersedih karena Ia mencintai kita, sehingga Ia berikan cobaan yang besar untuk memberikan hadiah yang besar pula tatkala kita mampu menyikapinya dengan bijak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عِظَمُ الجزاءِ معَ عِظَمِ البلاءِ وإنَّ اللَّهَ إذا أحبَّ قومًا ابتلاَهم فمن رضيَ فلَهُ الرِّضا ومن سخِطَ فلَهُ السُّخط “Besarnya ganjaran sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sungguh jika Allah mencintai sebuah kaum, Ia akan menguji mereka. Siapa saja yang rida (atas cobaan tersebut), ia mendapat keridaan Allah. Dan siapa saja yang murka, ia mendapat kemurkaan-Nya.” [4] Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tidak mengalami ujian, baik makhluk hidup, bahkan benda mati sekali pun. Dihikayatkan bahwa Luqman pernah berujar pada buah hatinya, يابني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء “Nak, emas dan perak itu diuji dengan api, sedang manusia yang punya iman itu diuji dengan musibah.” [5] Demikianlah tanda cinta Allah Ta’ala, Ia tidak selalu memberikan apa yang kita senangi karena Ia lebih mengetahui mana yang lebih baik dan lebih kita butuhkan. Allah Ta’ala berfirman, وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡ‌ۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Kemudian, sebagaimana Allah karuniakan rasa takut untuk membantu kita bertahan hidup dan menghindari mara bahaya, Dia juga menganugerahi kemampuan untuk menangis sehingga kita dapat mencurahkan perasaan serta meringankan beban pikiran dan emosional yang kita alami. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, dan tidak semua masalah bisa langsung ditemukan solusinya. Akhirnya, tangisan menjadi jalur cepat untuk melegakan hati dan menurunkan kadar stres. Demikianlah bukti bahwa pada dasarnya Allah menakdirkan musibah kepada hamba-Nya bukan semata untuk menghancurkan mereka, karena Ia juga menciptakan hal yang dapat membantu kita agar tetap mampu bertahan kala musibah datang melanda. Lagipula, dari tangis dan kesedihan dalam hidup, kita bisa memahami bahwa memang beginilah adanya dunia. Allah jadikan dunia ini diisi berbagai musibah dan kesedihan sebagai bukti bahwa dunia ini hanya persinggahan yang penuh kekurangan, bahwa dunia ini bukanlah kampung halaman ideal kita. Hanyalah surga, kampung halaman yang dipenuhi kegembiraan tanpa sedikit pun duka di dalamnya, kampung yang layak untuk dicita-citakan dan diusahakan sekuat daya dan upaya. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Taisirul Karim Ar-Rahman, hal. 977. [2] HR. Bukhari no. 1303. [3] HR. Bukhari no. 5641. [4] HR. Ibnu Majah no. 4031, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3272. [5] Faidhul Qadir, 2: 459.

Antara Tawa dan Tangis (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle Tawa dan tangis akan selalu datang silih bergantiMengapa aku harus menangis? Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Pencipta. Tidak hanya menciptakan tujuh lapis langit dan bumi, Ia juga menciptakan manusia dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya, termasuk di antaranya ialah tawa dan tangis. Allah Ta’ala berfirman, وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى “Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan, هو الذي أوجد أسباب الضحك والبكاء، وهو الخير والشر، والفرح والسرور والهم [والحزن]، وهو سبحانه له الحكمة البالغة في ذلك “Dialah yang membuat sebab-sebab tertawa dan menangis, yaitu kebaikan, keburukan, kesenangan, kebahagiaan, duka, dan kesedihan. Dan Allah memiliki hikmah yang tinggi akan hal itu.” [1] Tawa jangan sekadar tawa, tangis bukan sekadar tangis. Tulisan berseri ini akan membahas beberapa pelajaran atas setiap tawa dan tangis yang kita lalui di sepanjang episode kehidupan dunia ini. Tawa dan tangis akan selalu datang silih berganti Tawa dan tangis akan terus silih berganti mengiringi setiap momen hidup kita. Tatkala kita membaca firman Allah Ta’ala bahwa Ia menjadikan manusia tertawa dan menangis, maka kita semua akan mengalami keduanya tanpa terkecuali. Seorang ahli hikmah pernah berkata, دوام الحال من المحال “Tetapnya suatu keadaan merupakan sebuah kemustahilan.” Tawa dan tangis di dunia seluruhnya sementara, tidak ada yang kekal. Maka, teruntuk kita yang masih mendambakan dan berusaha keras untuk mewujudkan hidup tanpa tangis dan kesedihan sedikit pun, alangkah baiknya kita mulai berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak akan bisa sepenuhnya menghindar dari tangis dan kesedihan di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling sempurna nan paling dicintai Allah pun pernah menangis dan bersedih. Salah satu momennya adalah ketika anak beliau, yaitu Ibrahim wafat, momen ketika beliau bersabda, إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ “Sungguh mata menangis dan hati bersedih. Akan tetapi, kita tidak mengucapkan, kecuali yang diridai oleh Allah, dan sungguh kami amat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.” [2] Begitu juga, untukmu yang dalam hidup banyak dirundung pilu, perlu kita sadari bahwa tangis maupun kesedihan akan berlalu dan tidak akan bertahan selamanya. Karenanya, jangan berputus asa dari tawa dan bahagia. Baca juga: Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan Mengapa aku harus menangis? Barangkali ada yang bertanya, mengapa dalam hidup ini kita perlu menangis dan bersedih? Salah satu jawabannya adalah karena Allah ingin menguji kejujuran iman kita melalui beragam ujian, di antaranya adalah kesedihan. Allah Ta’ala berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةًۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35) Boleh jadi, Allah jadikan kita menangis dan bersedih dalam rangka menghapus dosa-dosa kita yang begitu amat jarang memohon ampunan-Nya, tidak merasa membutuhkan Allah, tidak mempertimbangkan aturan Allah ketika membuat berbagai keputusan hidup, tidak tulus ketika meminta maaf kepada Allah, atau bahkan tidak merasa salah kala berbuat dosa. Karena kondisi tersebut, adakalanya kita perlu “ditegur” agar dapat kembali kepada-Nya, atau agar kita tidak dihukum dengan berat di negeri keabadian kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [3] Boleh jadi, Allah Ta’ala jadikan kita menangis dan bersedih karena Ia mencintai kita, sehingga Ia berikan cobaan yang besar untuk memberikan hadiah yang besar pula tatkala kita mampu menyikapinya dengan bijak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عِظَمُ الجزاءِ معَ عِظَمِ البلاءِ وإنَّ اللَّهَ إذا أحبَّ قومًا ابتلاَهم فمن رضيَ فلَهُ الرِّضا ومن سخِطَ فلَهُ السُّخط “Besarnya ganjaran sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sungguh jika Allah mencintai sebuah kaum, Ia akan menguji mereka. Siapa saja yang rida (atas cobaan tersebut), ia mendapat keridaan Allah. Dan siapa saja yang murka, ia mendapat kemurkaan-Nya.” [4] Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tidak mengalami ujian, baik makhluk hidup, bahkan benda mati sekali pun. Dihikayatkan bahwa Luqman pernah berujar pada buah hatinya, يابني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء “Nak, emas dan perak itu diuji dengan api, sedang manusia yang punya iman itu diuji dengan musibah.” [5] Demikianlah tanda cinta Allah Ta’ala, Ia tidak selalu memberikan apa yang kita senangi karena Ia lebih mengetahui mana yang lebih baik dan lebih kita butuhkan. Allah Ta’ala berfirman, وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡ‌ۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Kemudian, sebagaimana Allah karuniakan rasa takut untuk membantu kita bertahan hidup dan menghindari mara bahaya, Dia juga menganugerahi kemampuan untuk menangis sehingga kita dapat mencurahkan perasaan serta meringankan beban pikiran dan emosional yang kita alami. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, dan tidak semua masalah bisa langsung ditemukan solusinya. Akhirnya, tangisan menjadi jalur cepat untuk melegakan hati dan menurunkan kadar stres. Demikianlah bukti bahwa pada dasarnya Allah menakdirkan musibah kepada hamba-Nya bukan semata untuk menghancurkan mereka, karena Ia juga menciptakan hal yang dapat membantu kita agar tetap mampu bertahan kala musibah datang melanda. Lagipula, dari tangis dan kesedihan dalam hidup, kita bisa memahami bahwa memang beginilah adanya dunia. Allah jadikan dunia ini diisi berbagai musibah dan kesedihan sebagai bukti bahwa dunia ini hanya persinggahan yang penuh kekurangan, bahwa dunia ini bukanlah kampung halaman ideal kita. Hanyalah surga, kampung halaman yang dipenuhi kegembiraan tanpa sedikit pun duka di dalamnya, kampung yang layak untuk dicita-citakan dan diusahakan sekuat daya dan upaya. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Taisirul Karim Ar-Rahman, hal. 977. [2] HR. Bukhari no. 1303. [3] HR. Bukhari no. 5641. [4] HR. Ibnu Majah no. 4031, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3272. [5] Faidhul Qadir, 2: 459.
Daftar Isi Toggle Tawa dan tangis akan selalu datang silih bergantiMengapa aku harus menangis? Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Pencipta. Tidak hanya menciptakan tujuh lapis langit dan bumi, Ia juga menciptakan manusia dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya, termasuk di antaranya ialah tawa dan tangis. Allah Ta’ala berfirman, وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى “Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan, هو الذي أوجد أسباب الضحك والبكاء، وهو الخير والشر، والفرح والسرور والهم [والحزن]، وهو سبحانه له الحكمة البالغة في ذلك “Dialah yang membuat sebab-sebab tertawa dan menangis, yaitu kebaikan, keburukan, kesenangan, kebahagiaan, duka, dan kesedihan. Dan Allah memiliki hikmah yang tinggi akan hal itu.” [1] Tawa jangan sekadar tawa, tangis bukan sekadar tangis. Tulisan berseri ini akan membahas beberapa pelajaran atas setiap tawa dan tangis yang kita lalui di sepanjang episode kehidupan dunia ini. Tawa dan tangis akan selalu datang silih berganti Tawa dan tangis akan terus silih berganti mengiringi setiap momen hidup kita. Tatkala kita membaca firman Allah Ta’ala bahwa Ia menjadikan manusia tertawa dan menangis, maka kita semua akan mengalami keduanya tanpa terkecuali. Seorang ahli hikmah pernah berkata, دوام الحال من المحال “Tetapnya suatu keadaan merupakan sebuah kemustahilan.” Tawa dan tangis di dunia seluruhnya sementara, tidak ada yang kekal. Maka, teruntuk kita yang masih mendambakan dan berusaha keras untuk mewujudkan hidup tanpa tangis dan kesedihan sedikit pun, alangkah baiknya kita mulai berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak akan bisa sepenuhnya menghindar dari tangis dan kesedihan di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling sempurna nan paling dicintai Allah pun pernah menangis dan bersedih. Salah satu momennya adalah ketika anak beliau, yaitu Ibrahim wafat, momen ketika beliau bersabda, إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ “Sungguh mata menangis dan hati bersedih. Akan tetapi, kita tidak mengucapkan, kecuali yang diridai oleh Allah, dan sungguh kami amat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.” [2] Begitu juga, untukmu yang dalam hidup banyak dirundung pilu, perlu kita sadari bahwa tangis maupun kesedihan akan berlalu dan tidak akan bertahan selamanya. Karenanya, jangan berputus asa dari tawa dan bahagia. Baca juga: Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan Mengapa aku harus menangis? Barangkali ada yang bertanya, mengapa dalam hidup ini kita perlu menangis dan bersedih? Salah satu jawabannya adalah karena Allah ingin menguji kejujuran iman kita melalui beragam ujian, di antaranya adalah kesedihan. Allah Ta’ala berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةًۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35) Boleh jadi, Allah jadikan kita menangis dan bersedih dalam rangka menghapus dosa-dosa kita yang begitu amat jarang memohon ampunan-Nya, tidak merasa membutuhkan Allah, tidak mempertimbangkan aturan Allah ketika membuat berbagai keputusan hidup, tidak tulus ketika meminta maaf kepada Allah, atau bahkan tidak merasa salah kala berbuat dosa. Karena kondisi tersebut, adakalanya kita perlu “ditegur” agar dapat kembali kepada-Nya, atau agar kita tidak dihukum dengan berat di negeri keabadian kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [3] Boleh jadi, Allah Ta’ala jadikan kita menangis dan bersedih karena Ia mencintai kita, sehingga Ia berikan cobaan yang besar untuk memberikan hadiah yang besar pula tatkala kita mampu menyikapinya dengan bijak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عِظَمُ الجزاءِ معَ عِظَمِ البلاءِ وإنَّ اللَّهَ إذا أحبَّ قومًا ابتلاَهم فمن رضيَ فلَهُ الرِّضا ومن سخِطَ فلَهُ السُّخط “Besarnya ganjaran sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sungguh jika Allah mencintai sebuah kaum, Ia akan menguji mereka. Siapa saja yang rida (atas cobaan tersebut), ia mendapat keridaan Allah. Dan siapa saja yang murka, ia mendapat kemurkaan-Nya.” [4] Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tidak mengalami ujian, baik makhluk hidup, bahkan benda mati sekali pun. Dihikayatkan bahwa Luqman pernah berujar pada buah hatinya, يابني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء “Nak, emas dan perak itu diuji dengan api, sedang manusia yang punya iman itu diuji dengan musibah.” [5] Demikianlah tanda cinta Allah Ta’ala, Ia tidak selalu memberikan apa yang kita senangi karena Ia lebih mengetahui mana yang lebih baik dan lebih kita butuhkan. Allah Ta’ala berfirman, وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡ‌ۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Kemudian, sebagaimana Allah karuniakan rasa takut untuk membantu kita bertahan hidup dan menghindari mara bahaya, Dia juga menganugerahi kemampuan untuk menangis sehingga kita dapat mencurahkan perasaan serta meringankan beban pikiran dan emosional yang kita alami. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, dan tidak semua masalah bisa langsung ditemukan solusinya. Akhirnya, tangisan menjadi jalur cepat untuk melegakan hati dan menurunkan kadar stres. Demikianlah bukti bahwa pada dasarnya Allah menakdirkan musibah kepada hamba-Nya bukan semata untuk menghancurkan mereka, karena Ia juga menciptakan hal yang dapat membantu kita agar tetap mampu bertahan kala musibah datang melanda. Lagipula, dari tangis dan kesedihan dalam hidup, kita bisa memahami bahwa memang beginilah adanya dunia. Allah jadikan dunia ini diisi berbagai musibah dan kesedihan sebagai bukti bahwa dunia ini hanya persinggahan yang penuh kekurangan, bahwa dunia ini bukanlah kampung halaman ideal kita. Hanyalah surga, kampung halaman yang dipenuhi kegembiraan tanpa sedikit pun duka di dalamnya, kampung yang layak untuk dicita-citakan dan diusahakan sekuat daya dan upaya. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Taisirul Karim Ar-Rahman, hal. 977. [2] HR. Bukhari no. 1303. [3] HR. Bukhari no. 5641. [4] HR. Ibnu Majah no. 4031, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3272. [5] Faidhul Qadir, 2: 459.


Daftar Isi Toggle Tawa dan tangis akan selalu datang silih bergantiMengapa aku harus menangis? Allah Ta’ala adalah Zat Yang Maha Pencipta. Tidak hanya menciptakan tujuh lapis langit dan bumi, Ia juga menciptakan manusia dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya, termasuk di antaranya ialah tawa dan tangis. Allah Ta’ala berfirman, وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى “Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43) Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan, هو الذي أوجد أسباب الضحك والبكاء، وهو الخير والشر، والفرح والسرور والهم [والحزن]، وهو سبحانه له الحكمة البالغة في ذلك “Dialah yang membuat sebab-sebab tertawa dan menangis, yaitu kebaikan, keburukan, kesenangan, kebahagiaan, duka, dan kesedihan. Dan Allah memiliki hikmah yang tinggi akan hal itu.” [1] Tawa jangan sekadar tawa, tangis bukan sekadar tangis. Tulisan berseri ini akan membahas beberapa pelajaran atas setiap tawa dan tangis yang kita lalui di sepanjang episode kehidupan dunia ini. Tawa dan tangis akan selalu datang silih berganti Tawa dan tangis akan terus silih berganti mengiringi setiap momen hidup kita. Tatkala kita membaca firman Allah Ta’ala bahwa Ia menjadikan manusia tertawa dan menangis, maka kita semua akan mengalami keduanya tanpa terkecuali. Seorang ahli hikmah pernah berkata, دوام الحال من المحال “Tetapnya suatu keadaan merupakan sebuah kemustahilan.” Tawa dan tangis di dunia seluruhnya sementara, tidak ada yang kekal. Maka, teruntuk kita yang masih mendambakan dan berusaha keras untuk mewujudkan hidup tanpa tangis dan kesedihan sedikit pun, alangkah baiknya kita mulai berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak akan bisa sepenuhnya menghindar dari tangis dan kesedihan di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia paling sempurna nan paling dicintai Allah pun pernah menangis dan bersedih. Salah satu momennya adalah ketika anak beliau, yaitu Ibrahim wafat, momen ketika beliau bersabda, إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ “Sungguh mata menangis dan hati bersedih. Akan tetapi, kita tidak mengucapkan, kecuali yang diridai oleh Allah, dan sungguh kami amat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.” [2] Begitu juga, untukmu yang dalam hidup banyak dirundung pilu, perlu kita sadari bahwa tangis maupun kesedihan akan berlalu dan tidak akan bertahan selamanya. Karenanya, jangan berputus asa dari tawa dan bahagia. Baca juga: Tuntunan Islam dalam Menjaga Perasaan Mengapa aku harus menangis? Barangkali ada yang bertanya, mengapa dalam hidup ini kita perlu menangis dan bersedih? Salah satu jawabannya adalah karena Allah ingin menguji kejujuran iman kita melalui beragam ujian, di antaranya adalah kesedihan. Allah Ta’ala berfirman, كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةًۗ وَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35) Boleh jadi, Allah jadikan kita menangis dan bersedih dalam rangka menghapus dosa-dosa kita yang begitu amat jarang memohon ampunan-Nya, tidak merasa membutuhkan Allah, tidak mempertimbangkan aturan Allah ketika membuat berbagai keputusan hidup, tidak tulus ketika meminta maaf kepada Allah, atau bahkan tidak merasa salah kala berbuat dosa. Karena kondisi tersebut, adakalanya kita perlu “ditegur” agar dapat kembali kepada-Nya, atau agar kita tidak dihukum dengan berat di negeri keabadian kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, atau bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” [3] Boleh jadi, Allah Ta’ala jadikan kita menangis dan bersedih karena Ia mencintai kita, sehingga Ia berikan cobaan yang besar untuk memberikan hadiah yang besar pula tatkala kita mampu menyikapinya dengan bijak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, عِظَمُ الجزاءِ معَ عِظَمِ البلاءِ وإنَّ اللَّهَ إذا أحبَّ قومًا ابتلاَهم فمن رضيَ فلَهُ الرِّضا ومن سخِطَ فلَهُ السُّخط “Besarnya ganjaran sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sungguh jika Allah mencintai sebuah kaum, Ia akan menguji mereka. Siapa saja yang rida (atas cobaan tersebut), ia mendapat keridaan Allah. Dan siapa saja yang murka, ia mendapat kemurkaan-Nya.” [4] Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang tidak mengalami ujian, baik makhluk hidup, bahkan benda mati sekali pun. Dihikayatkan bahwa Luqman pernah berujar pada buah hatinya, يابني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء “Nak, emas dan perak itu diuji dengan api, sedang manusia yang punya iman itu diuji dengan musibah.” [5] Demikianlah tanda cinta Allah Ta’ala, Ia tidak selalu memberikan apa yang kita senangi karena Ia lebih mengetahui mana yang lebih baik dan lebih kita butuhkan. Allah Ta’ala berfirman, وَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ خَيۡرٌ لَّـکُمۡ‌ۚ وَعَسٰۤى اَنۡ تُحِبُّوۡا شَيۡـــًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّـكُمۡؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ وَاَنۡـتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَ “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216) Kemudian, sebagaimana Allah karuniakan rasa takut untuk membantu kita bertahan hidup dan menghindari mara bahaya, Dia juga menganugerahi kemampuan untuk menangis sehingga kita dapat mencurahkan perasaan serta meringankan beban pikiran dan emosional yang kita alami. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, dan tidak semua masalah bisa langsung ditemukan solusinya. Akhirnya, tangisan menjadi jalur cepat untuk melegakan hati dan menurunkan kadar stres. Demikianlah bukti bahwa pada dasarnya Allah menakdirkan musibah kepada hamba-Nya bukan semata untuk menghancurkan mereka, karena Ia juga menciptakan hal yang dapat membantu kita agar tetap mampu bertahan kala musibah datang melanda. Lagipula, dari tangis dan kesedihan dalam hidup, kita bisa memahami bahwa memang beginilah adanya dunia. Allah jadikan dunia ini diisi berbagai musibah dan kesedihan sebagai bukti bahwa dunia ini hanya persinggahan yang penuh kekurangan, bahwa dunia ini bukanlah kampung halaman ideal kita. Hanyalah surga, kampung halaman yang dipenuhi kegembiraan tanpa sedikit pun duka di dalamnya, kampung yang layak untuk dicita-citakan dan diusahakan sekuat daya dan upaya. [Bersambung] Lanjut ke bagian 2 *** Penulis: Reza Mahendra Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Taisirul Karim Ar-Rahman, hal. 977. [2] HR. Bukhari no. 1303. [3] HR. Bukhari no. 5641. [4] HR. Ibnu Majah no. 4031, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3272. [5] Faidhul Qadir, 2: 459.

Renungan Spiritual Sebelum Pergi – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, suatu hari pergi bersama para sahabatnya untuk berziarah kubur. Karena ziarah kubur disunahkan, sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Ahmad) Ketika Ali masuk area pemakaman dan melihat kuburan, ia berkata, “Wahai ahli kubur! Adapun harta kalian, telah dibagi-bagi, sedangkan rumah-rumah kalian telah dihuni, dan istri-istri kalian telah menikah lagi. Inilah kabar dari kami. Lalu apa kabar dari kalian?” Lantas Ali terdiam dan menoleh kepada para sahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah, seandainya mereka dapat menjawab, niscaya mereka mengatakan: ‘Kami dapati bahwa sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Kisah ini masyhur diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu Kisah yang menyentuh dan penuh pelajaran. Ali berbicara dengan para penghuni kubur dengan berkata, “Wahai ahli kubur!” Yakni wahai para penghuni kubur. Beliau mengatakan itu sebagai nasihat bagi dirinya dan orang-orang yang bersamanya serta orang yang mendengar kisah ini. Beliau sebenarnya tidak bermaksud berbicara dengan para penghuni kubur. Namun, beliau bermaksud memberi nasihat dengan perkataan itu. Beliau berkata, “Adapun harta” yakni harta kalian. “Telah dibagi” yakni telah dibagi-bagi oleh ahli waris kalian. “Sedangkan rumah-rumah” yakni rumah-rumah kalian, “telah dihuni”, yakni tidak menjadi rumah kosong, tapi ditinggali orang lain. “Dan istri-istri kalian telah dinikahi” yakni mereka telah menikah lagi. Hal ini bisa terjadi atau bisa juga tidak, tapi beliau membicarakan orang yang istrinya sudah menikah lagi. Dengan ucapan ini, beliau ingin mengungkapkan bahwa kalian para penghuni kubur telah dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, dan tidak tersisa bagi kalian kecuali amal saleh. Oleh sebab itu, beliau berkata: “Seandainya mereka dapat menjawab niscaya akan menjawab: ‘Kami dapati sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Ya, orang yang sudah mati tidak berharap kecuali beramal saleh. Seandainya dikatakan kepada orang mati, “Berharaplah!” niscaya yang ia harapkan hanyalah dapat kembali ke dunia lalu beramal saleh. Tidak mungkin ia berharap dapat kembali ke dunia untuk membangun istana, memperoleh harta, atau mengejar urusan duniawi lainnya. Namun, satu-satunya harapan mereka adalah agar mereka dapat beramal saleh. “Hingga ketika datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat beramal saleh yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak!” (QS. al-Mu’minun: 99-100). Inilah harapan orang-orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan kita yang masih hidup ini memiliki kesempatan yang diharapkan orang-orang yang telah mati. Kita yang masih hidup, pintu beramal saleh masih terbuka lebar. Pintu taubat masih terbuka. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah terlewatkan. Oleh karena itu, kita harus mengejar ketertinggalan di sisa umur kita ini dengan melakukan amalan yang berguna bagi kita setelah kematian. ==== رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَهَبَ يَوْمًا وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ لِزِيَارَةِ الْمَقْبَرَةِ أَنَّ زِيَارَةَ الْمَقْبَرَةِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ فَلَمَّا دَخَلَ الْمَقْبَرَةَ وَرَأَى الْقُبُورَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ فَقَدْ قُسِمَتْ وَأَمَّا الدُّورُ فَقَدْ سُكِنَتْ وَأَمَّا الزَّوْجَاتُ فَقَدْ تَزَوَّجْنَ هَذَا خَبَرُ مَا عِنْدَنَا فَمَا خَبَرُ مَا عِنْدَكُمْ؟ ثُمَّ سَكَتَ وَالْتَفَتَ لِأَصْحَابِهِ وَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَهَذِهِ الْقِصَّةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قِصَّةٌ مُؤَثِّرَةٌ فِيهَا الْعِبْرَةُ فَعَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يُخَاطِبُ أَصْحَابَ الْقُبُورِ وَيَقُولُ لَهُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ يَعْنِي يَا مَنْ سَكَنْتُمْ الْقُبُورَ وَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ مَعَهُ وَلِمَنْ تُنْقَلُ لَهُ هَذِهِ الْقِصَّةُ وَهُوَ لَا يُرِيدُ خِطَابَ أَصْحَابِ الْقُبُورِ حَقِيقَةً لَكِنَّهُ يُرِيدُ مِنْ ذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ فَيَقُولُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ يَعْنِي أَمْوَالُكُمْ فَقَدْ قُسِمَتْ يَعْنِي اقْتَسَمَهَا الْوَرَثَةُ وَأَمَّا الدُّوْرُ يَعْنِي بُيُوتُكُمْ فَقَدْ سُكِنَتْ لَنْ تَبْقَى فَارِغَةً سَكَنَهَا غَيْرُكُمْ وَأَمَّا نِسَاؤُكُمْ فَقَدْ نُكِحَتْ يَعْنِي تَزَوَّجْنَ يَعْنِي وَهَذَا قَدْ يَقَعُ وَقَدْ لَا يَقَعُ لَكِنْ هُوَ يَتَكَلَّمُ عَمَّنْ تَزَوَّجَتْ نِسَاؤُهُ فَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ يَعْنِي أَنَّكُمْ يَا أَصْحَابَ الْقُبُورِ قَدْ نَسَاكُمُ الْأَحْيَاءُ وَلَمْ يَتَبَقَّ لَكُمْ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَلِهَذَا قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى نَعَمْ الْمَيِّتُ لَا يَتَمَنَّى إِلَّا عَمَلًا صَالِحًا لَوْ قِيلَ لِلْأَمْوَاتِ تَمَنَّوْا لَمَا تَمَنَّوْا سِوَى أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا وَيَعْمَلُوا صَالِحًا لَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَمَنَّوْا أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا لِبِنَاءِ الْقُصُورِ أَوْ لِتَحْصِيلِ الْأَمْوَالِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ إِنَّمَا غَايَةُ مَا يُرِيدُونَ أَنْ يَعْمَلُوا صَالِحًا حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا هَذِهِ هِيَ أُمْنِيَّةُ الْأَمْوَاتِ وَنَحْنُ الْأَحْيَاءُ نَحْنُ فِي فُرْصَةٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ الأَحْيَاءُ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِيمَا يَنْفَعُنَا بَعْد مَمَاتِنَا

Renungan Spiritual Sebelum Pergi – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, suatu hari pergi bersama para sahabatnya untuk berziarah kubur. Karena ziarah kubur disunahkan, sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Ahmad) Ketika Ali masuk area pemakaman dan melihat kuburan, ia berkata, “Wahai ahli kubur! Adapun harta kalian, telah dibagi-bagi, sedangkan rumah-rumah kalian telah dihuni, dan istri-istri kalian telah menikah lagi. Inilah kabar dari kami. Lalu apa kabar dari kalian?” Lantas Ali terdiam dan menoleh kepada para sahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah, seandainya mereka dapat menjawab, niscaya mereka mengatakan: ‘Kami dapati bahwa sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Kisah ini masyhur diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu Kisah yang menyentuh dan penuh pelajaran. Ali berbicara dengan para penghuni kubur dengan berkata, “Wahai ahli kubur!” Yakni wahai para penghuni kubur. Beliau mengatakan itu sebagai nasihat bagi dirinya dan orang-orang yang bersamanya serta orang yang mendengar kisah ini. Beliau sebenarnya tidak bermaksud berbicara dengan para penghuni kubur. Namun, beliau bermaksud memberi nasihat dengan perkataan itu. Beliau berkata, “Adapun harta” yakni harta kalian. “Telah dibagi” yakni telah dibagi-bagi oleh ahli waris kalian. “Sedangkan rumah-rumah” yakni rumah-rumah kalian, “telah dihuni”, yakni tidak menjadi rumah kosong, tapi ditinggali orang lain. “Dan istri-istri kalian telah dinikahi” yakni mereka telah menikah lagi. Hal ini bisa terjadi atau bisa juga tidak, tapi beliau membicarakan orang yang istrinya sudah menikah lagi. Dengan ucapan ini, beliau ingin mengungkapkan bahwa kalian para penghuni kubur telah dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, dan tidak tersisa bagi kalian kecuali amal saleh. Oleh sebab itu, beliau berkata: “Seandainya mereka dapat menjawab niscaya akan menjawab: ‘Kami dapati sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Ya, orang yang sudah mati tidak berharap kecuali beramal saleh. Seandainya dikatakan kepada orang mati, “Berharaplah!” niscaya yang ia harapkan hanyalah dapat kembali ke dunia lalu beramal saleh. Tidak mungkin ia berharap dapat kembali ke dunia untuk membangun istana, memperoleh harta, atau mengejar urusan duniawi lainnya. Namun, satu-satunya harapan mereka adalah agar mereka dapat beramal saleh. “Hingga ketika datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat beramal saleh yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak!” (QS. al-Mu’minun: 99-100). Inilah harapan orang-orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan kita yang masih hidup ini memiliki kesempatan yang diharapkan orang-orang yang telah mati. Kita yang masih hidup, pintu beramal saleh masih terbuka lebar. Pintu taubat masih terbuka. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah terlewatkan. Oleh karena itu, kita harus mengejar ketertinggalan di sisa umur kita ini dengan melakukan amalan yang berguna bagi kita setelah kematian. ==== رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَهَبَ يَوْمًا وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ لِزِيَارَةِ الْمَقْبَرَةِ أَنَّ زِيَارَةَ الْمَقْبَرَةِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ فَلَمَّا دَخَلَ الْمَقْبَرَةَ وَرَأَى الْقُبُورَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ فَقَدْ قُسِمَتْ وَأَمَّا الدُّورُ فَقَدْ سُكِنَتْ وَأَمَّا الزَّوْجَاتُ فَقَدْ تَزَوَّجْنَ هَذَا خَبَرُ مَا عِنْدَنَا فَمَا خَبَرُ مَا عِنْدَكُمْ؟ ثُمَّ سَكَتَ وَالْتَفَتَ لِأَصْحَابِهِ وَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَهَذِهِ الْقِصَّةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قِصَّةٌ مُؤَثِّرَةٌ فِيهَا الْعِبْرَةُ فَعَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يُخَاطِبُ أَصْحَابَ الْقُبُورِ وَيَقُولُ لَهُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ يَعْنِي يَا مَنْ سَكَنْتُمْ الْقُبُورَ وَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ مَعَهُ وَلِمَنْ تُنْقَلُ لَهُ هَذِهِ الْقِصَّةُ وَهُوَ لَا يُرِيدُ خِطَابَ أَصْحَابِ الْقُبُورِ حَقِيقَةً لَكِنَّهُ يُرِيدُ مِنْ ذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ فَيَقُولُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ يَعْنِي أَمْوَالُكُمْ فَقَدْ قُسِمَتْ يَعْنِي اقْتَسَمَهَا الْوَرَثَةُ وَأَمَّا الدُّوْرُ يَعْنِي بُيُوتُكُمْ فَقَدْ سُكِنَتْ لَنْ تَبْقَى فَارِغَةً سَكَنَهَا غَيْرُكُمْ وَأَمَّا نِسَاؤُكُمْ فَقَدْ نُكِحَتْ يَعْنِي تَزَوَّجْنَ يَعْنِي وَهَذَا قَدْ يَقَعُ وَقَدْ لَا يَقَعُ لَكِنْ هُوَ يَتَكَلَّمُ عَمَّنْ تَزَوَّجَتْ نِسَاؤُهُ فَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ يَعْنِي أَنَّكُمْ يَا أَصْحَابَ الْقُبُورِ قَدْ نَسَاكُمُ الْأَحْيَاءُ وَلَمْ يَتَبَقَّ لَكُمْ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَلِهَذَا قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى نَعَمْ الْمَيِّتُ لَا يَتَمَنَّى إِلَّا عَمَلًا صَالِحًا لَوْ قِيلَ لِلْأَمْوَاتِ تَمَنَّوْا لَمَا تَمَنَّوْا سِوَى أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا وَيَعْمَلُوا صَالِحًا لَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَمَنَّوْا أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا لِبِنَاءِ الْقُصُورِ أَوْ لِتَحْصِيلِ الْأَمْوَالِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ إِنَّمَا غَايَةُ مَا يُرِيدُونَ أَنْ يَعْمَلُوا صَالِحًا حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا هَذِهِ هِيَ أُمْنِيَّةُ الْأَمْوَاتِ وَنَحْنُ الْأَحْيَاءُ نَحْنُ فِي فُرْصَةٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ الأَحْيَاءُ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِيمَا يَنْفَعُنَا بَعْد مَمَاتِنَا
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, suatu hari pergi bersama para sahabatnya untuk berziarah kubur. Karena ziarah kubur disunahkan, sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Ahmad) Ketika Ali masuk area pemakaman dan melihat kuburan, ia berkata, “Wahai ahli kubur! Adapun harta kalian, telah dibagi-bagi, sedangkan rumah-rumah kalian telah dihuni, dan istri-istri kalian telah menikah lagi. Inilah kabar dari kami. Lalu apa kabar dari kalian?” Lantas Ali terdiam dan menoleh kepada para sahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah, seandainya mereka dapat menjawab, niscaya mereka mengatakan: ‘Kami dapati bahwa sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Kisah ini masyhur diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu Kisah yang menyentuh dan penuh pelajaran. Ali berbicara dengan para penghuni kubur dengan berkata, “Wahai ahli kubur!” Yakni wahai para penghuni kubur. Beliau mengatakan itu sebagai nasihat bagi dirinya dan orang-orang yang bersamanya serta orang yang mendengar kisah ini. Beliau sebenarnya tidak bermaksud berbicara dengan para penghuni kubur. Namun, beliau bermaksud memberi nasihat dengan perkataan itu. Beliau berkata, “Adapun harta” yakni harta kalian. “Telah dibagi” yakni telah dibagi-bagi oleh ahli waris kalian. “Sedangkan rumah-rumah” yakni rumah-rumah kalian, “telah dihuni”, yakni tidak menjadi rumah kosong, tapi ditinggali orang lain. “Dan istri-istri kalian telah dinikahi” yakni mereka telah menikah lagi. Hal ini bisa terjadi atau bisa juga tidak, tapi beliau membicarakan orang yang istrinya sudah menikah lagi. Dengan ucapan ini, beliau ingin mengungkapkan bahwa kalian para penghuni kubur telah dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, dan tidak tersisa bagi kalian kecuali amal saleh. Oleh sebab itu, beliau berkata: “Seandainya mereka dapat menjawab niscaya akan menjawab: ‘Kami dapati sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Ya, orang yang sudah mati tidak berharap kecuali beramal saleh. Seandainya dikatakan kepada orang mati, “Berharaplah!” niscaya yang ia harapkan hanyalah dapat kembali ke dunia lalu beramal saleh. Tidak mungkin ia berharap dapat kembali ke dunia untuk membangun istana, memperoleh harta, atau mengejar urusan duniawi lainnya. Namun, satu-satunya harapan mereka adalah agar mereka dapat beramal saleh. “Hingga ketika datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat beramal saleh yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak!” (QS. al-Mu’minun: 99-100). Inilah harapan orang-orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan kita yang masih hidup ini memiliki kesempatan yang diharapkan orang-orang yang telah mati. Kita yang masih hidup, pintu beramal saleh masih terbuka lebar. Pintu taubat masih terbuka. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah terlewatkan. Oleh karena itu, kita harus mengejar ketertinggalan di sisa umur kita ini dengan melakukan amalan yang berguna bagi kita setelah kematian. ==== رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَهَبَ يَوْمًا وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ لِزِيَارَةِ الْمَقْبَرَةِ أَنَّ زِيَارَةَ الْمَقْبَرَةِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ فَلَمَّا دَخَلَ الْمَقْبَرَةَ وَرَأَى الْقُبُورَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ فَقَدْ قُسِمَتْ وَأَمَّا الدُّورُ فَقَدْ سُكِنَتْ وَأَمَّا الزَّوْجَاتُ فَقَدْ تَزَوَّجْنَ هَذَا خَبَرُ مَا عِنْدَنَا فَمَا خَبَرُ مَا عِنْدَكُمْ؟ ثُمَّ سَكَتَ وَالْتَفَتَ لِأَصْحَابِهِ وَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَهَذِهِ الْقِصَّةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قِصَّةٌ مُؤَثِّرَةٌ فِيهَا الْعِبْرَةُ فَعَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يُخَاطِبُ أَصْحَابَ الْقُبُورِ وَيَقُولُ لَهُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ يَعْنِي يَا مَنْ سَكَنْتُمْ الْقُبُورَ وَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ مَعَهُ وَلِمَنْ تُنْقَلُ لَهُ هَذِهِ الْقِصَّةُ وَهُوَ لَا يُرِيدُ خِطَابَ أَصْحَابِ الْقُبُورِ حَقِيقَةً لَكِنَّهُ يُرِيدُ مِنْ ذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ فَيَقُولُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ يَعْنِي أَمْوَالُكُمْ فَقَدْ قُسِمَتْ يَعْنِي اقْتَسَمَهَا الْوَرَثَةُ وَأَمَّا الدُّوْرُ يَعْنِي بُيُوتُكُمْ فَقَدْ سُكِنَتْ لَنْ تَبْقَى فَارِغَةً سَكَنَهَا غَيْرُكُمْ وَأَمَّا نِسَاؤُكُمْ فَقَدْ نُكِحَتْ يَعْنِي تَزَوَّجْنَ يَعْنِي وَهَذَا قَدْ يَقَعُ وَقَدْ لَا يَقَعُ لَكِنْ هُوَ يَتَكَلَّمُ عَمَّنْ تَزَوَّجَتْ نِسَاؤُهُ فَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ يَعْنِي أَنَّكُمْ يَا أَصْحَابَ الْقُبُورِ قَدْ نَسَاكُمُ الْأَحْيَاءُ وَلَمْ يَتَبَقَّ لَكُمْ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَلِهَذَا قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى نَعَمْ الْمَيِّتُ لَا يَتَمَنَّى إِلَّا عَمَلًا صَالِحًا لَوْ قِيلَ لِلْأَمْوَاتِ تَمَنَّوْا لَمَا تَمَنَّوْا سِوَى أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا وَيَعْمَلُوا صَالِحًا لَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَمَنَّوْا أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا لِبِنَاءِ الْقُصُورِ أَوْ لِتَحْصِيلِ الْأَمْوَالِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ إِنَّمَا غَايَةُ مَا يُرِيدُونَ أَنْ يَعْمَلُوا صَالِحًا حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا هَذِهِ هِيَ أُمْنِيَّةُ الْأَمْوَاتِ وَنَحْنُ الْأَحْيَاءُ نَحْنُ فِي فُرْصَةٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ الأَحْيَاءُ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِيمَا يَنْفَعُنَا بَعْد مَمَاتِنَا


Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, suatu hari pergi bersama para sahabatnya untuk berziarah kubur. Karena ziarah kubur disunahkan, sebagaimana sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena itu mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Ahmad) Ketika Ali masuk area pemakaman dan melihat kuburan, ia berkata, “Wahai ahli kubur! Adapun harta kalian, telah dibagi-bagi, sedangkan rumah-rumah kalian telah dihuni, dan istri-istri kalian telah menikah lagi. Inilah kabar dari kami. Lalu apa kabar dari kalian?” Lantas Ali terdiam dan menoleh kepada para sahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah, seandainya mereka dapat menjawab, niscaya mereka mengatakan: ‘Kami dapati bahwa sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Kisah ini masyhur diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu Kisah yang menyentuh dan penuh pelajaran. Ali berbicara dengan para penghuni kubur dengan berkata, “Wahai ahli kubur!” Yakni wahai para penghuni kubur. Beliau mengatakan itu sebagai nasihat bagi dirinya dan orang-orang yang bersamanya serta orang yang mendengar kisah ini. Beliau sebenarnya tidak bermaksud berbicara dengan para penghuni kubur. Namun, beliau bermaksud memberi nasihat dengan perkataan itu. Beliau berkata, “Adapun harta” yakni harta kalian. “Telah dibagi” yakni telah dibagi-bagi oleh ahli waris kalian. “Sedangkan rumah-rumah” yakni rumah-rumah kalian, “telah dihuni”, yakni tidak menjadi rumah kosong, tapi ditinggali orang lain. “Dan istri-istri kalian telah dinikahi” yakni mereka telah menikah lagi. Hal ini bisa terjadi atau bisa juga tidak, tapi beliau membicarakan orang yang istrinya sudah menikah lagi. Dengan ucapan ini, beliau ingin mengungkapkan bahwa kalian para penghuni kubur telah dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, dan tidak tersisa bagi kalian kecuali amal saleh. Oleh sebab itu, beliau berkata: “Seandainya mereka dapat menjawab niscaya akan menjawab: ‘Kami dapati sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.’” Ya, orang yang sudah mati tidak berharap kecuali beramal saleh. Seandainya dikatakan kepada orang mati, “Berharaplah!” niscaya yang ia harapkan hanyalah dapat kembali ke dunia lalu beramal saleh. Tidak mungkin ia berharap dapat kembali ke dunia untuk membangun istana, memperoleh harta, atau mengejar urusan duniawi lainnya. Namun, satu-satunya harapan mereka adalah agar mereka dapat beramal saleh. “Hingga ketika datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat beramal saleh yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak!” (QS. al-Mu’minun: 99-100). Inilah harapan orang-orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan kita yang masih hidup ini memiliki kesempatan yang diharapkan orang-orang yang telah mati. Kita yang masih hidup, pintu beramal saleh masih terbuka lebar. Pintu taubat masih terbuka. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah terlewatkan. Oleh karena itu, kita harus mengejar ketertinggalan di sisa umur kita ini dengan melakukan amalan yang berguna bagi kita setelah kematian. ==== رُوِيَ أَنَّ عَلِيَّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَهَبَ يَوْمًا وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ لِزِيَارَةِ الْمَقْبَرَةِ أَنَّ زِيَارَةَ الْمَقْبَرَةِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ فَلَمَّا دَخَلَ الْمَقْبَرَةَ وَرَأَى الْقُبُورَ قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ فَقَدْ قُسِمَتْ وَأَمَّا الدُّورُ فَقَدْ سُكِنَتْ وَأَمَّا الزَّوْجَاتُ فَقَدْ تَزَوَّجْنَ هَذَا خَبَرُ مَا عِنْدَنَا فَمَا خَبَرُ مَا عِنْدَكُمْ؟ ثُمَّ سَكَتَ وَالْتَفَتَ لِأَصْحَابِهِ وَقَالَ أَمَا وَاللَّهِ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَهَذِهِ الْقِصَّةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قِصَّةٌ مُؤَثِّرَةٌ فِيهَا الْعِبْرَةُ فَعَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يُخَاطِبُ أَصْحَابَ الْقُبُورِ وَيَقُولُ لَهُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ يَعْنِي يَا مَنْ سَكَنْتُمْ الْقُبُورَ وَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ لِنَفْسِهِ وَلِمَنْ مَعَهُ وَلِمَنْ تُنْقَلُ لَهُ هَذِهِ الْقِصَّةُ وَهُوَ لَا يُرِيدُ خِطَابَ أَصْحَابِ الْقُبُورِ حَقِيقَةً لَكِنَّهُ يُرِيدُ مِنْ ذَلِكَ الْمَوْعِظَةَ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ فَيَقُولُ يَا أَهْلَ الْقُبُورِ أَمَّا الْأَمْوَالُ يَعْنِي أَمْوَالُكُمْ فَقَدْ قُسِمَتْ يَعْنِي اقْتَسَمَهَا الْوَرَثَةُ وَأَمَّا الدُّوْرُ يَعْنِي بُيُوتُكُمْ فَقَدْ سُكِنَتْ لَنْ تَبْقَى فَارِغَةً سَكَنَهَا غَيْرُكُمْ وَأَمَّا نِسَاؤُكُمْ فَقَدْ نُكِحَتْ يَعْنِي تَزَوَّجْنَ يَعْنِي وَهَذَا قَدْ يَقَعُ وَقَدْ لَا يَقَعُ لَكِنْ هُوَ يَتَكَلَّمُ عَمَّنْ تَزَوَّجَتْ نِسَاؤُهُ فَهُوَ يُرِيدُ بِذَلِكَ يَعْنِي أَنَّكُمْ يَا أَصْحَابَ الْقُبُورِ قَدْ نَسَاكُمُ الْأَحْيَاءُ وَلَمْ يَتَبَقَّ لَكُمْ سِوَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ وَلِهَذَا قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَوْ تَكَلَّمُوا لَقَالُوا وَجَدْنَا خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى نَعَمْ الْمَيِّتُ لَا يَتَمَنَّى إِلَّا عَمَلًا صَالِحًا لَوْ قِيلَ لِلْأَمْوَاتِ تَمَنَّوْا لَمَا تَمَنَّوْا سِوَى أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا وَيَعْمَلُوا صَالِحًا لَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَمَنَّوْا أَنْ يَرْجِعُوا لِلدُّنْيَا لِبِنَاءِ الْقُصُورِ أَوْ لِتَحْصِيلِ الْأَمْوَالِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ إِنَّمَا غَايَةُ مَا يُرِيدُونَ أَنْ يَعْمَلُوا صَالِحًا حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا هَذِهِ هِيَ أُمْنِيَّةُ الْأَمْوَاتِ وَنَحْنُ الْأَحْيَاءُ نَحْنُ فِي فُرْصَةٍ يَتَمَنَّاهَا الْأَمْوَاتُ نَحْنُ الأَحْيَاءُ لَا زَالَ بَابُ الْعَمَلِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بَابُ التَّوْبَةِ مَفْتُوحًا وَلَا زَالَ بِالْإِمْكَانِ التَّدَارُكُ فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَدَارَكَ مَا تَبَقَّى مِنْ أَعْمَارِنَا فِيمَا يَنْفَعُنَا بَعْد مَمَاتِنَا

Kalimat Lailahaillallah: Kalimat Zikir yang Paling Utama

Berzikir kepada Allah merupakan suatu ibadah yang selayaknya seorang muslim senantiasa melakukannya. Selayaknya bagi seorang muslim untuk banyak-banyak berzikir di setiap waktu di mana pun ia berada. Hal tersebut dikarenakan Allah telah memerintahkan kita untuk banyak-banyak berzikir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42) Allah ‘Azza Wajalla juga memerintahkan kita untuk berzikir setelah salat dan dalam kondisi apa pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah, baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring.” (QS. An-Nisa: 103) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah juga mengingatkan kita untuk senantiasa berzikir kepada-Nya. Jangan sampai dunia kita berupa harta dan keturunan melalaikan kita dari berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9) Orang-orang yang berzikir kepada Allah, Allah pun akan ingat kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152) Selain merupakan perintah Allah untuk banyak-banyak berzikir, berzikir juga memiliki beberapa manfaat, di antaranya adalah untuk menentramkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, maka selayaknya seorang muslim untuk berzikir di setiap waktunya dan senantiasa melakukannya. Karena berzikir merupakan amalan yang senantiasa bisa kita lakukan terus menerus, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr, أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَنْبِئْنِي مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ قَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل “Seorang badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya ajaran-ajaran Islam telah banyak diketahui, maka beritahukanlah kepadaku sesuatu darinya yang dapat saya ucapkan berulang-ulang.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Selama lidahmu terus bergerak dengan berzikir kepada Allah Azza Wajalla.’ ” (HR. Ibnu Majah) Setelah mengetahui pentingnya berzikir pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kira-kira apa kalimat zikir yang paling utama yang bisa kita ucapkan setiap saat? Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Zikir yang paling utama adalah lailahaillallah dan doa yang paling utama adalah al-hamdulillah.” (HR. Ibnu Majah) Baca juga: Zikir Petang Di antara kalimat zikir yang paling utama adalah kalimat Tauhid, lailahaillallah, sebagaimana hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu di atas. Kalimat lailahaillallah merupakan kalimat yang menjadi podasi agama Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, أَلَمْ تَرَى كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَ “Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah ṭayyibah? (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24) Para ulama menafsirkan kalimat tayyibah tersebut sebagai kalimat tauhid, lailahaillallah. Kalimat tauhid juga merupakan dakwah yang para rasul yang diutus oleh Allah untuk ditegakkan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ “Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) Kalimat lailahaillallah juga merupakan kalimat yang akan memasukkan kita ke dalam surga ketika mengamalkannya dengan benar sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Pada hari kiamat, ada seorang laki-laki yang memiliki 99 buku catatan yang isinya semuanya adalah keburukan dan dia mengira bahwa dirinya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Lalu, Allah berfirman, بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ “Ya, sesungguhnya kamu memiliki beberapa kebaikan di sisi Kami. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada lagi kezaliman bagi dirimu.” Maka, dikeluarkanlah untuknya kartu yang bertuliskan, “Lailahaillallah wa anna Muhammadan ‘Abduhu warasuluhu.” Beliau (Rasulullah) bersabda, “Lelaki itu berkata, ‘Wahai Rabbku, apa hubungannya kartu ini dengan buku catatan ini?’ Allah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.’ Maka, diletakkanlah catatan-catatan itu di atas satu bagian  timbangan, dan kartu di bagian lain dari timbangan, ternyata catatan-catatan itu lebih ringan dan kartu itu lebih berat.” (HR. Ibnu Majah) Kalimat lailahaillallah juga merupakan suatu kalimat yang Allah perintahkan agar kita mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْࣖ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kegiatan dan tempat istirahatmu.” (QS. Muhammad: 19) Maka dari itu, kita perlu mengetahui makna kalimat tersebut. Lalu, apakah makna kalimat tauhid tersebut? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikian itu karena sesungguhnya Allahlah (Tuhan) yang sebenar-benarnya, apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allahlah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Luqman: 30) Kalimat lailahailallah memiliki makna yang setiap muslim harus mengetahuinya, yaitu menafikan seluruh kesyirikan dan segala sesembahan dan menetapkan Allah ‘Azza Wajalla sebagai satu-satunya sesembahan yang layak disembah. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan mengenai makna laailahailallah, فهي تنفي جميع الشرك وجميع المعبودات وتثبت العبادة لله وحده فـ ـ)لا إله (نفي لجميع ما يعبد من دون الله وإبطال له) إلا الله (إثبات للعبادة لله سبحانه وتعالى وحده لا شريك له “Maka, kalimat tauhid menafikan seluruh kesyirikan dan seluruh sesembahan dan menetapkan peribadahan kepada Allah semata. Maka, kata lailaha itu menafikan seluruh yang disembah selain Allah dan batilnya hal tersebut. Kata illallah menetapkan peribadahan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” Keutamaan-keutamaan kalimat tauhid ini tidak bisa digapai dengan mengucapkannya saja. Akan tetapi, harus dikuti dengan pengikraran dalam hati dengan ikhlas. Orang yang mengucapkan lailahailallah dengan ikhlas di hatinya merupakan orang yang paling berbahagia di hari kiamat nanti. Hal tersebut sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, “Siapakah orang yang paling berbahagia di hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ “Orang-orang yang mengucapkan lailahaillallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari) Setelah kita ketahui keutamaan berzikir dan juga keutamaan kalimat lailahailallah, selayaknya bagi kita untuk menantiasa mengucapkannya. Perlu diketahui, barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah lailahaillallah, maka dia akan masuk surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘lailahaillallahu”, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, marilah kita perbanyak berzikir di setiap waktu kita, di mana pun kita berada. Jangan sampai kita termasuk orang yang lalai dan merugi. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi  *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/1761

Kalimat Lailahaillallah: Kalimat Zikir yang Paling Utama

Berzikir kepada Allah merupakan suatu ibadah yang selayaknya seorang muslim senantiasa melakukannya. Selayaknya bagi seorang muslim untuk banyak-banyak berzikir di setiap waktu di mana pun ia berada. Hal tersebut dikarenakan Allah telah memerintahkan kita untuk banyak-banyak berzikir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42) Allah ‘Azza Wajalla juga memerintahkan kita untuk berzikir setelah salat dan dalam kondisi apa pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah, baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring.” (QS. An-Nisa: 103) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah juga mengingatkan kita untuk senantiasa berzikir kepada-Nya. Jangan sampai dunia kita berupa harta dan keturunan melalaikan kita dari berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9) Orang-orang yang berzikir kepada Allah, Allah pun akan ingat kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152) Selain merupakan perintah Allah untuk banyak-banyak berzikir, berzikir juga memiliki beberapa manfaat, di antaranya adalah untuk menentramkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, maka selayaknya seorang muslim untuk berzikir di setiap waktunya dan senantiasa melakukannya. Karena berzikir merupakan amalan yang senantiasa bisa kita lakukan terus menerus, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr, أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَنْبِئْنِي مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ قَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل “Seorang badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya ajaran-ajaran Islam telah banyak diketahui, maka beritahukanlah kepadaku sesuatu darinya yang dapat saya ucapkan berulang-ulang.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Selama lidahmu terus bergerak dengan berzikir kepada Allah Azza Wajalla.’ ” (HR. Ibnu Majah) Setelah mengetahui pentingnya berzikir pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kira-kira apa kalimat zikir yang paling utama yang bisa kita ucapkan setiap saat? Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Zikir yang paling utama adalah lailahaillallah dan doa yang paling utama adalah al-hamdulillah.” (HR. Ibnu Majah) Baca juga: Zikir Petang Di antara kalimat zikir yang paling utama adalah kalimat Tauhid, lailahaillallah, sebagaimana hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu di atas. Kalimat lailahaillallah merupakan kalimat yang menjadi podasi agama Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, أَلَمْ تَرَى كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَ “Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah ṭayyibah? (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24) Para ulama menafsirkan kalimat tayyibah tersebut sebagai kalimat tauhid, lailahaillallah. Kalimat tauhid juga merupakan dakwah yang para rasul yang diutus oleh Allah untuk ditegakkan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ “Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) Kalimat lailahaillallah juga merupakan kalimat yang akan memasukkan kita ke dalam surga ketika mengamalkannya dengan benar sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Pada hari kiamat, ada seorang laki-laki yang memiliki 99 buku catatan yang isinya semuanya adalah keburukan dan dia mengira bahwa dirinya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Lalu, Allah berfirman, بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ “Ya, sesungguhnya kamu memiliki beberapa kebaikan di sisi Kami. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada lagi kezaliman bagi dirimu.” Maka, dikeluarkanlah untuknya kartu yang bertuliskan, “Lailahaillallah wa anna Muhammadan ‘Abduhu warasuluhu.” Beliau (Rasulullah) bersabda, “Lelaki itu berkata, ‘Wahai Rabbku, apa hubungannya kartu ini dengan buku catatan ini?’ Allah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.’ Maka, diletakkanlah catatan-catatan itu di atas satu bagian  timbangan, dan kartu di bagian lain dari timbangan, ternyata catatan-catatan itu lebih ringan dan kartu itu lebih berat.” (HR. Ibnu Majah) Kalimat lailahaillallah juga merupakan suatu kalimat yang Allah perintahkan agar kita mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْࣖ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kegiatan dan tempat istirahatmu.” (QS. Muhammad: 19) Maka dari itu, kita perlu mengetahui makna kalimat tersebut. Lalu, apakah makna kalimat tauhid tersebut? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikian itu karena sesungguhnya Allahlah (Tuhan) yang sebenar-benarnya, apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allahlah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Luqman: 30) Kalimat lailahailallah memiliki makna yang setiap muslim harus mengetahuinya, yaitu menafikan seluruh kesyirikan dan segala sesembahan dan menetapkan Allah ‘Azza Wajalla sebagai satu-satunya sesembahan yang layak disembah. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan mengenai makna laailahailallah, فهي تنفي جميع الشرك وجميع المعبودات وتثبت العبادة لله وحده فـ ـ)لا إله (نفي لجميع ما يعبد من دون الله وإبطال له) إلا الله (إثبات للعبادة لله سبحانه وتعالى وحده لا شريك له “Maka, kalimat tauhid menafikan seluruh kesyirikan dan seluruh sesembahan dan menetapkan peribadahan kepada Allah semata. Maka, kata lailaha itu menafikan seluruh yang disembah selain Allah dan batilnya hal tersebut. Kata illallah menetapkan peribadahan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” Keutamaan-keutamaan kalimat tauhid ini tidak bisa digapai dengan mengucapkannya saja. Akan tetapi, harus dikuti dengan pengikraran dalam hati dengan ikhlas. Orang yang mengucapkan lailahailallah dengan ikhlas di hatinya merupakan orang yang paling berbahagia di hari kiamat nanti. Hal tersebut sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, “Siapakah orang yang paling berbahagia di hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ “Orang-orang yang mengucapkan lailahaillallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari) Setelah kita ketahui keutamaan berzikir dan juga keutamaan kalimat lailahailallah, selayaknya bagi kita untuk menantiasa mengucapkannya. Perlu diketahui, barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah lailahaillallah, maka dia akan masuk surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘lailahaillallahu”, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, marilah kita perbanyak berzikir di setiap waktu kita, di mana pun kita berada. Jangan sampai kita termasuk orang yang lalai dan merugi. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi  *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/1761
Berzikir kepada Allah merupakan suatu ibadah yang selayaknya seorang muslim senantiasa melakukannya. Selayaknya bagi seorang muslim untuk banyak-banyak berzikir di setiap waktu di mana pun ia berada. Hal tersebut dikarenakan Allah telah memerintahkan kita untuk banyak-banyak berzikir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42) Allah ‘Azza Wajalla juga memerintahkan kita untuk berzikir setelah salat dan dalam kondisi apa pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah, baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring.” (QS. An-Nisa: 103) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah juga mengingatkan kita untuk senantiasa berzikir kepada-Nya. Jangan sampai dunia kita berupa harta dan keturunan melalaikan kita dari berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9) Orang-orang yang berzikir kepada Allah, Allah pun akan ingat kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152) Selain merupakan perintah Allah untuk banyak-banyak berzikir, berzikir juga memiliki beberapa manfaat, di antaranya adalah untuk menentramkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, maka selayaknya seorang muslim untuk berzikir di setiap waktunya dan senantiasa melakukannya. Karena berzikir merupakan amalan yang senantiasa bisa kita lakukan terus menerus, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr, أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَنْبِئْنِي مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ قَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل “Seorang badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya ajaran-ajaran Islam telah banyak diketahui, maka beritahukanlah kepadaku sesuatu darinya yang dapat saya ucapkan berulang-ulang.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Selama lidahmu terus bergerak dengan berzikir kepada Allah Azza Wajalla.’ ” (HR. Ibnu Majah) Setelah mengetahui pentingnya berzikir pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kira-kira apa kalimat zikir yang paling utama yang bisa kita ucapkan setiap saat? Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Zikir yang paling utama adalah lailahaillallah dan doa yang paling utama adalah al-hamdulillah.” (HR. Ibnu Majah) Baca juga: Zikir Petang Di antara kalimat zikir yang paling utama adalah kalimat Tauhid, lailahaillallah, sebagaimana hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu di atas. Kalimat lailahaillallah merupakan kalimat yang menjadi podasi agama Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, أَلَمْ تَرَى كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَ “Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah ṭayyibah? (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24) Para ulama menafsirkan kalimat tayyibah tersebut sebagai kalimat tauhid, lailahaillallah. Kalimat tauhid juga merupakan dakwah yang para rasul yang diutus oleh Allah untuk ditegakkan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ “Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) Kalimat lailahaillallah juga merupakan kalimat yang akan memasukkan kita ke dalam surga ketika mengamalkannya dengan benar sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Pada hari kiamat, ada seorang laki-laki yang memiliki 99 buku catatan yang isinya semuanya adalah keburukan dan dia mengira bahwa dirinya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Lalu, Allah berfirman, بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ “Ya, sesungguhnya kamu memiliki beberapa kebaikan di sisi Kami. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada lagi kezaliman bagi dirimu.” Maka, dikeluarkanlah untuknya kartu yang bertuliskan, “Lailahaillallah wa anna Muhammadan ‘Abduhu warasuluhu.” Beliau (Rasulullah) bersabda, “Lelaki itu berkata, ‘Wahai Rabbku, apa hubungannya kartu ini dengan buku catatan ini?’ Allah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.’ Maka, diletakkanlah catatan-catatan itu di atas satu bagian  timbangan, dan kartu di bagian lain dari timbangan, ternyata catatan-catatan itu lebih ringan dan kartu itu lebih berat.” (HR. Ibnu Majah) Kalimat lailahaillallah juga merupakan suatu kalimat yang Allah perintahkan agar kita mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْࣖ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kegiatan dan tempat istirahatmu.” (QS. Muhammad: 19) Maka dari itu, kita perlu mengetahui makna kalimat tersebut. Lalu, apakah makna kalimat tauhid tersebut? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikian itu karena sesungguhnya Allahlah (Tuhan) yang sebenar-benarnya, apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allahlah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Luqman: 30) Kalimat lailahailallah memiliki makna yang setiap muslim harus mengetahuinya, yaitu menafikan seluruh kesyirikan dan segala sesembahan dan menetapkan Allah ‘Azza Wajalla sebagai satu-satunya sesembahan yang layak disembah. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan mengenai makna laailahailallah, فهي تنفي جميع الشرك وجميع المعبودات وتثبت العبادة لله وحده فـ ـ)لا إله (نفي لجميع ما يعبد من دون الله وإبطال له) إلا الله (إثبات للعبادة لله سبحانه وتعالى وحده لا شريك له “Maka, kalimat tauhid menafikan seluruh kesyirikan dan seluruh sesembahan dan menetapkan peribadahan kepada Allah semata. Maka, kata lailaha itu menafikan seluruh yang disembah selain Allah dan batilnya hal tersebut. Kata illallah menetapkan peribadahan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” Keutamaan-keutamaan kalimat tauhid ini tidak bisa digapai dengan mengucapkannya saja. Akan tetapi, harus dikuti dengan pengikraran dalam hati dengan ikhlas. Orang yang mengucapkan lailahailallah dengan ikhlas di hatinya merupakan orang yang paling berbahagia di hari kiamat nanti. Hal tersebut sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, “Siapakah orang yang paling berbahagia di hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ “Orang-orang yang mengucapkan lailahaillallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari) Setelah kita ketahui keutamaan berzikir dan juga keutamaan kalimat lailahailallah, selayaknya bagi kita untuk menantiasa mengucapkannya. Perlu diketahui, barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah lailahaillallah, maka dia akan masuk surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘lailahaillallahu”, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, marilah kita perbanyak berzikir di setiap waktu kita, di mana pun kita berada. Jangan sampai kita termasuk orang yang lalai dan merugi. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi  *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/1761


Berzikir kepada Allah merupakan suatu ibadah yang selayaknya seorang muslim senantiasa melakukannya. Selayaknya bagi seorang muslim untuk banyak-banyak berzikir di setiap waktu di mana pun ia berada. Hal tersebut dikarenakan Allah telah memerintahkan kita untuk banyak-banyak berzikir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42) Allah ‘Azza Wajalla juga memerintahkan kita untuk berzikir setelah salat dan dalam kondisi apa pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ “Apabila kamu telah menyelesaikan salat, berzikirlah kepada Allah, baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring.” (QS. An-Nisa: 103) Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10) Allah juga mengingatkan kita untuk senantiasa berzikir kepada-Nya. Jangan sampai dunia kita berupa harta dan keturunan melalaikan kita dari berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9) Orang-orang yang berzikir kepada Allah, Allah pun akan ingat kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152) Selain merupakan perintah Allah untuk banyak-banyak berzikir, berzikir juga memiliki beberapa manfaat, di antaranya adalah untuk menentramkan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ “Orang-orang yang beriman, hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, maka selayaknya seorang muslim untuk berzikir di setiap waktunya dan senantiasa melakukannya. Karena berzikir merupakan amalan yang senantiasa bisa kita lakukan terus menerus, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr, أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَنْبِئْنِي مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ قَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل “Seorang badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya ajaran-ajaran Islam telah banyak diketahui, maka beritahukanlah kepadaku sesuatu darinya yang dapat saya ucapkan berulang-ulang.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Selama lidahmu terus bergerak dengan berzikir kepada Allah Azza Wajalla.’ ” (HR. Ibnu Majah) Setelah mengetahui pentingnya berzikir pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kira-kira apa kalimat zikir yang paling utama yang bisa kita ucapkan setiap saat? Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Zikir yang paling utama adalah lailahaillallah dan doa yang paling utama adalah al-hamdulillah.” (HR. Ibnu Majah) Baca juga: Zikir Petang Di antara kalimat zikir yang paling utama adalah kalimat Tauhid, lailahaillallah, sebagaimana hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu di atas. Kalimat lailahaillallah merupakan kalimat yang menjadi podasi agama Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, أَلَمْ تَرَى كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَ “Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah ṭayyibah? (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24) Para ulama menafsirkan kalimat tayyibah tersebut sebagai kalimat tauhid, lailahaillallah. Kalimat tauhid juga merupakan dakwah yang para rasul yang diutus oleh Allah untuk ditegakkan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ “Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25) Kalimat lailahaillallah juga merupakan kalimat yang akan memasukkan kita ke dalam surga ketika mengamalkannya dengan benar sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Pada hari kiamat, ada seorang laki-laki yang memiliki 99 buku catatan yang isinya semuanya adalah keburukan dan dia mengira bahwa dirinya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Lalu, Allah berfirman, بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَاتٍ وَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَيَقُولُ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ “Ya, sesungguhnya kamu memiliki beberapa kebaikan di sisi Kami. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada lagi kezaliman bagi dirimu.” Maka, dikeluarkanlah untuknya kartu yang bertuliskan, “Lailahaillallah wa anna Muhammadan ‘Abduhu warasuluhu.” Beliau (Rasulullah) bersabda, “Lelaki itu berkata, ‘Wahai Rabbku, apa hubungannya kartu ini dengan buku catatan ini?’ Allah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dizhalimi.’ Maka, diletakkanlah catatan-catatan itu di atas satu bagian  timbangan, dan kartu di bagian lain dari timbangan, ternyata catatan-catatan itu lebih ringan dan kartu itu lebih berat.” (HR. Ibnu Majah) Kalimat lailahaillallah juga merupakan suatu kalimat yang Allah perintahkan agar kita mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْࣖ “Ketahuilah (Nabi Muhammad), bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah serta mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kegiatan dan tempat istirahatmu.” (QS. Muhammad: 19) Maka dari itu, kita perlu mengetahui makna kalimat tersebut. Lalu, apakah makna kalimat tauhid tersebut? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Demikian itu karena sesungguhnya Allahlah (Tuhan) yang sebenar-benarnya, apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allahlah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Luqman: 30) Kalimat lailahailallah memiliki makna yang setiap muslim harus mengetahuinya, yaitu menafikan seluruh kesyirikan dan segala sesembahan dan menetapkan Allah ‘Azza Wajalla sebagai satu-satunya sesembahan yang layak disembah. Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan mengenai makna laailahailallah, فهي تنفي جميع الشرك وجميع المعبودات وتثبت العبادة لله وحده فـ ـ)لا إله (نفي لجميع ما يعبد من دون الله وإبطال له) إلا الله (إثبات للعبادة لله سبحانه وتعالى وحده لا شريك له “Maka, kalimat tauhid menafikan seluruh kesyirikan dan seluruh sesembahan dan menetapkan peribadahan kepada Allah semata. Maka, kata lailaha itu menafikan seluruh yang disembah selain Allah dan batilnya hal tersebut. Kata illallah menetapkan peribadahan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” Keutamaan-keutamaan kalimat tauhid ini tidak bisa digapai dengan mengucapkannya saja. Akan tetapi, harus dikuti dengan pengikraran dalam hati dengan ikhlas. Orang yang mengucapkan lailahailallah dengan ikhlas di hatinya merupakan orang yang paling berbahagia di hari kiamat nanti. Hal tersebut sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, “Siapakah orang yang paling berbahagia di hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ “Orang-orang yang mengucapkan lailahaillallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari) Setelah kita ketahui keutamaan berzikir dan juga keutamaan kalimat lailahailallah, selayaknya bagi kita untuk menantiasa mengucapkannya. Perlu diketahui, barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah lailahaillallah, maka dia akan masuk surga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘lailahaillallahu”, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud) Maka dari itu, marilah kita perbanyak berzikir di setiap waktu kita, di mana pun kita berada. Jangan sampai kita termasuk orang yang lalai dan merugi. Baca juga: Mendalami Makna Salah Satu Zikir Pagi  *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/1761

Salam dalam Salat Jenazah Sekali atau Dua Kali?

Pertanyaan: Ustadz, mohon pencerahannya. Saya ketika umrah mengikuti salat jenazah di masjid Nabawi dan Masjidil Haram, ternyata imam hanya salam satu kali saja ke kanan. Sedangkan selama ini sepengetahuan saya salat jenazah itu dua kali salam.  Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-salaatu wassalaamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Jumhur ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah satu kali. Mereka berdalil dengan perbuatan para sahabat. Di antaranya Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhuma: سَلَّمَ تسليمةً خفيفةً على الجِنازة “Beliau (Ibnu Abbas) melakukan salam dengan satu kali salam yang ringan dalam salat jenazah” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 6990, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal.165). Demikian juga Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma, وكان عبد الله بن عمر إذا صلى على الجنازة يسلم حتى يسمع من يليه “Abdullah bin Umar jika salat jenazah, beliau bersalam sehingga terdengar oleh orang yang di sebelahnya” (HR. Al-Baihaqi [4/43], disahihkan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Ini pendapat mayoritas ulama Salaf. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah menjelaskan: أن التسليمة الواحدة ثبتت عن عشرة من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – أنهم كانوا يسلمون في صلاة الجنازة تسليمة واحدة خفيفة عن يمينه، وهم: عبد الله بن عمر، وعبد الله بن عباس، وأبو هريرة، وواثلة بن الأسقع، وابن أبي أوفى، وزيد بن ثابت، وعلي بن أبي طالب، وجابر بن عبد الله، وأنس بن مالك، وأبو أمامة بن سهل بن حنيف “Salam satu kali (dalam salat jenazah) telah sahih dari 10 orang sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Bahwa mereka bersalam dalam salat jenazah hanya satu kali dengan salam yang ringan ke sebelah kanan. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, Watsilah bin al-Asqa’, Ibnu Abi Aufa, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik, dan Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif” (Ahkamul Janaiz, hal. 275). Ini juga pendapat mazhab Maliki, Hambali, juga qaul qadim Imam Asy-Syafi’i. Dikuatkan juga oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali sebagaimana salam dalam salat pada umumnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, beliau berkata: ثلاثُ خِلالٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم يفعلهنَّ، ترَكَهنَّ النَّاسُ؛ إحداهنَّ: التسليمُ على الجِنازة مِثل التَّسليمِ في الصَّلاةِ “Ada tiga perkara yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam namun ditinggalkan oleh orang-orang: pertama, salam dalam salat jenazah seperti dalam salat yang lainnya …” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no.7239, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal.162). Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i, serta dikuatkan oleh Ibnu Hazm.  Pendapat yang rajih, wallahu a’lam, bahwa salam dalam salat jenazah adalah sekali saja. Sedangkan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud di atas tidak ada dalil tegas bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali. Hanya disebutkan “salam seperti dalam salat yang lain”. Dan terdapat riwayat-riwayat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga pernah salam dengan sekali salam dalam salat. Di antaranya, hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, ia berkata: ثم يُسلِّمُ تسليمةً، ثم يُصلِّي ركعتينِ وهو جالسٌ، ثم يُسلِّمُ تسليمةً واحدةً: السَّلامُ عليكم، يرفَعُ بها صوتَه حتَّى يوقِظَنا “… Kemudian beliau salat lagi dua rakaat dalam keadaan duduk, kemudian salam dengan satu salam, mengucapkan: assalamu’alaikum. Beliau mengeraskan suaranya hingga membangunkanku” (HR. An-Nasa’i [3/240], disahihkan Al-Albani dalam Sahih An-Nasa’i). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga mengatakan: هذا هو السنة ، تسليمة واحدة ، هذا هو الثابت عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم تسليمة واحدة عن اليمين   “Inilah yang sesuai sunah, yaitu salam dalam salat jenazah cukup satu kali. Inilah yang sahih dari para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu salam satu kali” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 14/19). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 1,598 times, 1 visit(s) today Post Views: 860 QRIS donasi Yufid

Salam dalam Salat Jenazah Sekali atau Dua Kali?

Pertanyaan: Ustadz, mohon pencerahannya. Saya ketika umrah mengikuti salat jenazah di masjid Nabawi dan Masjidil Haram, ternyata imam hanya salam satu kali saja ke kanan. Sedangkan selama ini sepengetahuan saya salat jenazah itu dua kali salam.  Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-salaatu wassalaamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Jumhur ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah satu kali. Mereka berdalil dengan perbuatan para sahabat. Di antaranya Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhuma: سَلَّمَ تسليمةً خفيفةً على الجِنازة “Beliau (Ibnu Abbas) melakukan salam dengan satu kali salam yang ringan dalam salat jenazah” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 6990, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal.165). Demikian juga Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma, وكان عبد الله بن عمر إذا صلى على الجنازة يسلم حتى يسمع من يليه “Abdullah bin Umar jika salat jenazah, beliau bersalam sehingga terdengar oleh orang yang di sebelahnya” (HR. Al-Baihaqi [4/43], disahihkan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Ini pendapat mayoritas ulama Salaf. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah menjelaskan: أن التسليمة الواحدة ثبتت عن عشرة من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – أنهم كانوا يسلمون في صلاة الجنازة تسليمة واحدة خفيفة عن يمينه، وهم: عبد الله بن عمر، وعبد الله بن عباس، وأبو هريرة، وواثلة بن الأسقع، وابن أبي أوفى، وزيد بن ثابت، وعلي بن أبي طالب، وجابر بن عبد الله، وأنس بن مالك، وأبو أمامة بن سهل بن حنيف “Salam satu kali (dalam salat jenazah) telah sahih dari 10 orang sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Bahwa mereka bersalam dalam salat jenazah hanya satu kali dengan salam yang ringan ke sebelah kanan. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, Watsilah bin al-Asqa’, Ibnu Abi Aufa, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik, dan Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif” (Ahkamul Janaiz, hal. 275). Ini juga pendapat mazhab Maliki, Hambali, juga qaul qadim Imam Asy-Syafi’i. Dikuatkan juga oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali sebagaimana salam dalam salat pada umumnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, beliau berkata: ثلاثُ خِلالٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم يفعلهنَّ، ترَكَهنَّ النَّاسُ؛ إحداهنَّ: التسليمُ على الجِنازة مِثل التَّسليمِ في الصَّلاةِ “Ada tiga perkara yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam namun ditinggalkan oleh orang-orang: pertama, salam dalam salat jenazah seperti dalam salat yang lainnya …” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no.7239, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal.162). Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i, serta dikuatkan oleh Ibnu Hazm.  Pendapat yang rajih, wallahu a’lam, bahwa salam dalam salat jenazah adalah sekali saja. Sedangkan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud di atas tidak ada dalil tegas bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali. Hanya disebutkan “salam seperti dalam salat yang lain”. Dan terdapat riwayat-riwayat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga pernah salam dengan sekali salam dalam salat. Di antaranya, hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, ia berkata: ثم يُسلِّمُ تسليمةً، ثم يُصلِّي ركعتينِ وهو جالسٌ، ثم يُسلِّمُ تسليمةً واحدةً: السَّلامُ عليكم، يرفَعُ بها صوتَه حتَّى يوقِظَنا “… Kemudian beliau salat lagi dua rakaat dalam keadaan duduk, kemudian salam dengan satu salam, mengucapkan: assalamu’alaikum. Beliau mengeraskan suaranya hingga membangunkanku” (HR. An-Nasa’i [3/240], disahihkan Al-Albani dalam Sahih An-Nasa’i). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga mengatakan: هذا هو السنة ، تسليمة واحدة ، هذا هو الثابت عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم تسليمة واحدة عن اليمين   “Inilah yang sesuai sunah, yaitu salam dalam salat jenazah cukup satu kali. Inilah yang sahih dari para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu salam satu kali” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 14/19). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 1,598 times, 1 visit(s) today Post Views: 860 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, mohon pencerahannya. Saya ketika umrah mengikuti salat jenazah di masjid Nabawi dan Masjidil Haram, ternyata imam hanya salam satu kali saja ke kanan. Sedangkan selama ini sepengetahuan saya salat jenazah itu dua kali salam.  Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-salaatu wassalaamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Jumhur ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah satu kali. Mereka berdalil dengan perbuatan para sahabat. Di antaranya Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhuma: سَلَّمَ تسليمةً خفيفةً على الجِنازة “Beliau (Ibnu Abbas) melakukan salam dengan satu kali salam yang ringan dalam salat jenazah” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 6990, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal.165). Demikian juga Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma, وكان عبد الله بن عمر إذا صلى على الجنازة يسلم حتى يسمع من يليه “Abdullah bin Umar jika salat jenazah, beliau bersalam sehingga terdengar oleh orang yang di sebelahnya” (HR. Al-Baihaqi [4/43], disahihkan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Ini pendapat mayoritas ulama Salaf. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah menjelaskan: أن التسليمة الواحدة ثبتت عن عشرة من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – أنهم كانوا يسلمون في صلاة الجنازة تسليمة واحدة خفيفة عن يمينه، وهم: عبد الله بن عمر، وعبد الله بن عباس، وأبو هريرة، وواثلة بن الأسقع، وابن أبي أوفى، وزيد بن ثابت، وعلي بن أبي طالب، وجابر بن عبد الله، وأنس بن مالك، وأبو أمامة بن سهل بن حنيف “Salam satu kali (dalam salat jenazah) telah sahih dari 10 orang sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Bahwa mereka bersalam dalam salat jenazah hanya satu kali dengan salam yang ringan ke sebelah kanan. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, Watsilah bin al-Asqa’, Ibnu Abi Aufa, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik, dan Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif” (Ahkamul Janaiz, hal. 275). Ini juga pendapat mazhab Maliki, Hambali, juga qaul qadim Imam Asy-Syafi’i. Dikuatkan juga oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali sebagaimana salam dalam salat pada umumnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, beliau berkata: ثلاثُ خِلالٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم يفعلهنَّ، ترَكَهنَّ النَّاسُ؛ إحداهنَّ: التسليمُ على الجِنازة مِثل التَّسليمِ في الصَّلاةِ “Ada tiga perkara yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam namun ditinggalkan oleh orang-orang: pertama, salam dalam salat jenazah seperti dalam salat yang lainnya …” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no.7239, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal.162). Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i, serta dikuatkan oleh Ibnu Hazm.  Pendapat yang rajih, wallahu a’lam, bahwa salam dalam salat jenazah adalah sekali saja. Sedangkan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud di atas tidak ada dalil tegas bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali. Hanya disebutkan “salam seperti dalam salat yang lain”. Dan terdapat riwayat-riwayat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga pernah salam dengan sekali salam dalam salat. Di antaranya, hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, ia berkata: ثم يُسلِّمُ تسليمةً، ثم يُصلِّي ركعتينِ وهو جالسٌ، ثم يُسلِّمُ تسليمةً واحدةً: السَّلامُ عليكم، يرفَعُ بها صوتَه حتَّى يوقِظَنا “… Kemudian beliau salat lagi dua rakaat dalam keadaan duduk, kemudian salam dengan satu salam, mengucapkan: assalamu’alaikum. Beliau mengeraskan suaranya hingga membangunkanku” (HR. An-Nasa’i [3/240], disahihkan Al-Albani dalam Sahih An-Nasa’i). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga mengatakan: هذا هو السنة ، تسليمة واحدة ، هذا هو الثابت عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم تسليمة واحدة عن اليمين   “Inilah yang sesuai sunah, yaitu salam dalam salat jenazah cukup satu kali. Inilah yang sahih dari para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu salam satu kali” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 14/19). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 1,598 times, 1 visit(s) today Post Views: 860 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, mohon pencerahannya. Saya ketika umrah mengikuti salat jenazah di masjid Nabawi dan Masjidil Haram, ternyata imam hanya salam satu kali saja ke kanan. Sedangkan selama ini sepengetahuan saya salat jenazah itu dua kali salam.  Jawaban: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-salaatu wassalaamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du. Jumhur ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah satu kali. Mereka berdalil dengan perbuatan para sahabat. Di antaranya Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhuma: سَلَّمَ تسليمةً خفيفةً على الجِنازة “Beliau (Ibnu Abbas) melakukan salam dengan satu kali salam yang ringan dalam salat jenazah” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no. 6990, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal.165). Demikian juga Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma, وكان عبد الله بن عمر إذا صلى على الجنازة يسلم حتى يسمع من يليه “Abdullah bin Umar jika salat jenazah, beliau bersalam sehingga terdengar oleh orang yang di sebelahnya” (HR. Al-Baihaqi [4/43], disahihkan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 165). Ini pendapat mayoritas ulama Salaf. Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani rahimahullah menjelaskan: أن التسليمة الواحدة ثبتت عن عشرة من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – أنهم كانوا يسلمون في صلاة الجنازة تسليمة واحدة خفيفة عن يمينه، وهم: عبد الله بن عمر، وعبد الله بن عباس، وأبو هريرة، وواثلة بن الأسقع، وابن أبي أوفى، وزيد بن ثابت، وعلي بن أبي طالب، وجابر بن عبد الله، وأنس بن مالك، وأبو أمامة بن سهل بن حنيف “Salam satu kali (dalam salat jenazah) telah sahih dari 10 orang sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Bahwa mereka bersalam dalam salat jenazah hanya satu kali dengan salam yang ringan ke sebelah kanan. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, Watsilah bin al-Asqa’, Ibnu Abi Aufa, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik, dan Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif” (Ahkamul Janaiz, hal. 275). Ini juga pendapat mazhab Maliki, Hambali, juga qaul qadim Imam Asy-Syafi’i. Dikuatkan juga oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali sebagaimana salam dalam salat pada umumnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, beliau berkata: ثلاثُ خِلالٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم يفعلهنَّ، ترَكَهنَّ النَّاسُ؛ إحداهنَّ: التسليمُ على الجِنازة مِثل التَّسليمِ في الصَّلاةِ “Ada tiga perkara yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam namun ditinggalkan oleh orang-orang: pertama, salam dalam salat jenazah seperti dalam salat yang lainnya …” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra no.7239, dihasankan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal.162). Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i, serta dikuatkan oleh Ibnu Hazm.  Pendapat yang rajih, wallahu a’lam, bahwa salam dalam salat jenazah adalah sekali saja. Sedangkan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud di atas tidak ada dalil tegas bahwa salam dalam salat jenazah adalah dua kali. Hanya disebutkan “salam seperti dalam salat yang lain”. Dan terdapat riwayat-riwayat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga pernah salam dengan sekali salam dalam salat. Di antaranya, hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, ia berkata: ثم يُسلِّمُ تسليمةً، ثم يُصلِّي ركعتينِ وهو جالسٌ، ثم يُسلِّمُ تسليمةً واحدةً: السَّلامُ عليكم، يرفَعُ بها صوتَه حتَّى يوقِظَنا “… Kemudian beliau salat lagi dua rakaat dalam keadaan duduk, kemudian salam dengan satu salam, mengucapkan: assalamu’alaikum. Beliau mengeraskan suaranya hingga membangunkanku” (HR. An-Nasa’i [3/240], disahihkan Al-Albani dalam Sahih An-Nasa’i). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga mengatakan: هذا هو السنة ، تسليمة واحدة ، هذا هو الثابت عن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم تسليمة واحدة عن اليمين   “Inilah yang sesuai sunah, yaitu salam dalam salat jenazah cukup satu kali. Inilah yang sahih dari para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu salam satu kali” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 14/19). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallaahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Tulisan Muhammad Dalam Bahasa Arab, Mimpi Dikasih Mukena, Jama Dan Qosor, Arti Shadaqallahul Adzim Arab, Kajian Islam Tentang Sholat Visited 1,598 times, 1 visit(s) today Post Views: 860 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.

Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 1)

Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.
Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.


Daftar Isi Toggle PendahuluanHukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah)Dalil-dalil dari Al-Qur’anDalil-dalil dari As-SunahDalil-dalil akalKesimpulan Pendahuluan Dalam kehidupan modern saat ini, semakin banyak tuntutan agar bisa hidup layak menghadapi masa depan, baik untuk diri sendiri maupun keluarga yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sehingga manusia pun semakin terdorong untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan melakukan berbagai macam aktivitas, akad, transaksi jual beli, baik jual beli jasa maupun barang. Sebagian orang bersikap tidak peduli dengan muamalah tersebut, apakah halal ataukah haram. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ بِمَا أَخَذَ المَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ “Akan datang suatu masa pada manusia, ketika seseorang tidak lagi peduli dari mana dia memperoleh harta, apakah dari yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083) Sebagai seorang muslim yang masih memiliki perhatian terhadap hukum syar’i dan juga ingin mencari keberkahan dalam harta yang dia peroleh, tentunya sangat penting untuk memahami kaidah-kaidah dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi muamalah. Hal ini seiring dengan munculnya berbagai macam bentuk dan model transaksi baru, yang sebelumnya tidak dikenal, dilatarbelakngi dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan digital. Sehingga dengan memahami kaidah-kaidah tersebut, kita dapat memilah dan memilih manakah yang halal dan haram, meskipun sebagai orang awam, kita tetap dituntut untuk bertanya kepada ahli yang kompeten di bidang ini. Serial tulisan ini kami sarikan dari kitab Ushuulun fil Mu’amalatil Maliyah Al-Mu’ashirah karya Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Musyaiqih, yang berisi tentang kaidah dan prinsip dasar dalam memahami halal haram dalam transaksi mumalah. Dalam sebagian pembahasan dan contoh-contoh kasus, kami juga akan merujuk kepada kitab-kitab lainnya apabila diperlukan. Hukum asal transaksi muamalah adalah halal (mubah) Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang hukum asal muamalah, apakah halal atau haram. Perbedaan pendapat ini merupakan turunan dari pembahasan tentang hukum asal segala sesuatu setelah datangnya syariat, apakah halal (boleh atau mubah) ataukah haram (terlarang)? [1] Pendapat pertama: hukum asal transaksi muamalah adalah halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Hanafiyah, mazhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Bahkan, sebagian ulama mengklaim bahwa pendapat ini adalah ijmak. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, وقد حكى بعضهم الإجماع عليه “Sebagian ulama mengatakan bahwa (pendapat ini) adalah ijmak.” [2] Pendapat kedua: Hukum asal transaksi muamalah adalah haram. Ini merupakan pendapat Al-Abhariy (ulama Malikiyah) dan Ibnu Hazm (mazhab Zhahiriyah) rahimahumallah. Masing-masing pendapat mendatangkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah, juga dalil-dalil akal. Namun untuk meringkas tulisan ini, kami hanya sebutkan dalil-dalil pendapat pertama dan sisi pendalilannya karena inilah pendapat yang lebih kuat (lebih tepat) dalam masalah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur’an Pertama, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memenuhi akad atau perjanjian yang telah dibuat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً “Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi akad dan perjanjian yang telah kita buat secara mutlak (tanpa ada catatan atau tambahan keterangan apapun). Sehingga perintah ini mencakup semua akad atau perjanjian, kecuali yang bertentangan dengan aturan syariat. Konsekuensinya, hukum asal transaksi muamalah adalah halal. [3] Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan terbatasnya perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu. Misalnya, firman Allah Ta’ala, قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ “Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145) Juga firman Allah Ta’ala, قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ “Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala membatasi perkara-perkara yang haram dalam jenis atau bentuk tertentu saja. Sehingga yang tidak terdapat dalil haramnya, dikembalikan ke hukum asal, yaitu halal (boleh). Hal ini karena tidaklah suatu hukum ditetapkan atas mukallaf, kecuali jika bersandar pada dalil. [4] Ketiga, firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29) Sisi pendalilannya, karena Allah tidak membuat persyaratan dalam perniagaan (perdagangan) kecuali harus atas dasar saling rida (salah satu atau kedua belah pihak tidak terpaksa melakukannya). Konsekuensinya, saling rida merupakan hal yang menghalalkan transaksi perniagaan. Jika kedua belah pihak saling rida, maka transaksi tersebut halal berdasarkan dalil Al-Qur’an di atas. Kecuali jika terdapat unsur yang mengharamkan dalam transaksi tersebut, misalnya jual beli khamr tetap haram meskipun kedua belah pihak saling rida. Sehingga ayat ini merupakan dalil pokok tentang halalnya seluruh transaksi muamalah, jual beli, perdangan, selama transaksi-transaksi tersebut didasari saling rida, jujur, dan adil. [5] Keempat, firman Allah Ta’ala, وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119) Sisi pendalilannya, semua perkara yang tidak disebutkan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, akad, dan persyaratan, maka tidak boleh diharamkan. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menyebutkan secara rinci apa yang diharamkan untuk kita. Sehingga apa yang Allah Ta’ala haramkan itu telah dirinci semuanya. Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka kita juga tidak boleh mengharamkan apa yang telah Allah maafkan atau yang tidak Allah haramkan. [6] Kelima, Allah Ta’ala berfirman, وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَ “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Sisi pendalilannya, bahwa Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan perniagaan dalam berbagai jenis dan bentuknya, karena semua itu mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Sedangkan yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung riba, karena terdapat unsur kezaliman dan memakan harta sesama manusia dengan batil. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa hukum asal muamalah adalah halal, selama tidak mengandung unsur riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [7] Dalil-dalil dari As-Sunah Pertama, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang didiamkan oleh syariat, termasuk muamalah, maka hukumnya dimaafkan (boleh), sehingga tidak boleh diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا. “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya. Dan Dia telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau melanggarnya. Dan Dia telah mengharamkan pula beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal -karena kasih sayangnya kepada kalian, bukannya karena lupa-, maka janganlah engkau membahasnya.” (HR. Ad-Daruquthni no. 42; Ath-Thabrani no. 859; dan Al-Baihaqi, 10: 12-13) [8] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ “Halal adalah sesuatu yang telah Allah halalkan dalam kitab-Nya; dan haram adalah sesuatu yang telah Allah haramkan dalam kitab-Nya. Adapun yang Allah diamkan, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726 dan Ibnu Majah no. 3367) [9] Sisi pendalilannya, hadis-hadis ini memberikan faedah bahwa dalam syariat, segala sesuatu terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, apa yang Allah halalkan, maka hukumnya halal. Kedua, apa yang Allah haramkan, maka hukumnya haram. Ketiga, apa yang Allah diamkan, tidak disebutkan apakah halal atau haram, maka dimaafkan, tidak ada dosa bagi pelakunya. [10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan jenis yang ketiga, “Maka semua persyaratan, akad, dan muamalah yang Allah diamkan, maka tidak boleh dikatakan (hukumnya) haram.” [11] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menyebutkan hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban” dalam kitab Al-Mathalib Al-‘Aliyah (3: 72), beliau meletakkannya dalam bab, “Bab penjelasan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.” Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ “Orang muslim yang paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR. Bukhari no. 7289 dan Muslim no. 23) Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari suka bertanya yang dikhawatirkan akan turun pengharaman karena adanya pertanyaan tersebut. Sehingga hal ini dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna hadis ini, “Dalam hadis ini terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai terdapat dalil syariat yang menunjukkan kebalikannya (yaitu haram, pent.).” [12] Dalil-dalil akal Pertama, akad atau transaksi muamalah itu termasuk dalam perkara adat, yaitu aktivitas yang biasa dilakukan oleh manusia untuk kebutuhan hidup mereka, dan hal ini telah berlansgsung sejak dulu kala. Hukum asalnya adalah boleh (dimaafkan) dan tidak dilarang, sampai terdapat dalil yang menunjukkan haramnya. Sehingga yang dianggap atau dijadikan sebagai pertimbangan dalam masalah ini adalah maslahat untuk para hamba. [13] Kedua, syariat itu datang untuk mewujudkan masalah bagi manusia. Sehingga tidaklah sesuatu diharamkan atas manusia, kecuali jika terdapat dharar (bahaya) dan mafasid (kerusakan). Oleh karena itu, segala jenis transaksi yang tidak mengandung dharar dan mafasid, maka hukumnya mubah karena terdapat maslahat bagi manusia. Ketiga, tidak terdapat dalil dalam syariat yang menunjukkan haramnya akad, kecuali akad-akad tertentu saja. Maka tidak adanya dalil yang mengharamkan, menunjukkan tidak adanya hukum haram dalam akad tersebut. Jika hukum asal akad atau transaksi adalah haram, maka tidak ada faedahnya menyebutkan dalil pengharaman dari akad atau transaksi tersebut, karena hukumnya sama dengan hukum asal. Keempat, kesepakatan ulama bahwa untuk sahnya sebuah akad, tidak disyaratkan harus ada dalil khusus yang menunjukkan bolehnya akad tersebut. [14] Kesimpulan Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan, maka pendapat yang mengatakan bahwa hukum asal transaksi muamalah adalah mubah (halal), itu merupakan pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Manusia, apalagi di zaman ini, tidak bisa lepas dari transaksi atau akad muamalah. Jika mereka diberi kewajiban untuk mencari dalil bolehnya setiap akad atau transaksi yang mereka lakukan, padahal tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal ini bisa mencegah terwujudnya maslahat bagi manusia dan bisa menyebabkan kesulitan bagi mereka. Namun, penting untuk diperhatikan dalam rangka menerapkan prinsip ini yaitu meneliti dan memastikan tidak adanya faktor-fakor yang menyebabkan akad atau transaksi tersebut menjadi haram. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika telah jelas bahwa (untuk menghukumi) tidak haramnya dan sahnya akad dan syarat secara umum itu ada dua pokok, yaitu: (pertama) dalil-dalil syar’i yang bersifat umum dan dalil akal, yaitu ishtish-hab (hukum asal adalah boleh) dan (kedua) tidak terdapat perkara yang menyebabkan haram; maka tidak boleh menyimpulkan berbagai masalah atau masalah terntu berdasarkan kadiah ini (yaitu, kadiah bahwa hukum asal akad dan syarat adalah mubah), kecuali setelah seseorang berijtihad tentang karakteristik jenis (bentuk) muamalah tersebut atau masalah apakah terdapat dalil syar’i yang menunjukkan haram ataukah tidak?” [15] Maksud perkataan beliau, meskipun hukum asal akad atau transaksi adalah mubah, hal itu tidak menyebabkan kita tergesa-gesa dalam menghukumi suatu jenis transaksi tertentu pasti mubah. Namun, kita perlu sungguh-sungguh meneliti detail transaksi tersebut, baik dari sisi perjanjian maupun syarat-syaratnya, kemudian meneliti adakah detail dari transaksi tersebut ada yang bertentangan dengan dalil atau prinsip syariat? Oleh karena itu, dalam serial selanjutnya kami akan paparkan prinsip dasar muamalah agar terbebas dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat. [Bersambung] Baca juga: Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT? *** @12 Jumadil akhir 1446/ 14 Desember 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 29: 150. [2] Jami’ Al-Ulum wal Hikam, 2: 166. [3] Lihat Tafsir Al-Manaar, 6: 121; dan juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah. [4] Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 490. [5] Lihat Ahkaamul Qur’an lil ‘Arabi, 1: 241; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 102. [6] I’laamul Muwaqi’in, 1: 383. [7] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 20: 349; Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkaam, hal. 101; Al-Fataawa As-Sa’diyah, hal. 316-317. [8] Hadis ini dalam semua jalurnya diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini dinilai hasan oleh An-Nawawi dalam Al-Arba’in. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid (1: 171) berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah.” Adapun Ibnu Rajab menyebutkan dua ‘illat (cacat) dari hadis ini dalam syarh beliau terhadap Al-Arba’in (2: 150). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Perawinya adalah perawi yang tsiqah, namun sanadnya terputus.” (Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 3: 72) [9] Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani. [10] Lihat Al-Istiqamah, karya Ibnu Taimiyah, 1: 435; Al-Muwafaqat, karya Asy-Syathibi, 1: 162; dan Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 170. [11] I’laamul Muwaqi’in, 1: 344-345. [12] Fathul Baari, 13: 269. [13] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 10: 29; AL-Qawa’id An-Nuraniyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 134. [14] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 159; Ghiyatsu Al-Umam fi Al-Tiyatsi Azh-Zhulim, hal. 495; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 1: 39. [15] Majmu’ Al-Fataawa, 29: 164-166; Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 99.

Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim

Daftar Isi Toggle Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang muliaIbadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang muliaMerugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Mengusahakan ibadah-ibadah individual, seperti: salat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya, tentu akan lebih mudah untuk dilakukan daripada ibadah-ibadah sosial yang erat kaitannya dengan akhlak yang mulia dan perangai yang baik. Tidak sedikit kita jumpai, seseorang yang baik salatnya, rajin bangun di tengah malam, rajin berpuasa, namun ia lupa atau lalai dari menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Tidak bertegur sapa dengan saudara semuslimnya saat bertemu, mudah berbicara kotor, hobi membicarakan (kejelekan) saudara semuslimnya tanpa sepengetahuan saudaranya tersebut, dan akhlak-akhlak tidak terpuji lainnya yang terkadang dijumpai dari seorang pribadi muslim yang zahirnya adalah seorang yang saleh. Saudaraku, akhlak yang baik adalah tujuan utama diutusnya Nabi kita. Akhlak yang baik adalah buah dari amal ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Tidaklah diri kita dikatakan berhasil dan sukses di dalam mengerjakan ibadah-ibadah, seperti: salat, tahajud, dan lain sebagainya, kecuali apabila memiliki akhlak yang mulia. Lihatlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan tatkala ada seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya, يا رَسولَ اللهِ ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ و تَصومُ النَّهارَ و تفعلُ ، و تصدَّقُ ، و تُؤذي جيرانَها بلِسانِها ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ . قالوا : و فُلانةُ تصلِّي المكتوبةَ ، و تصدَّقُ بأثوارٍ ، و لا تُؤذي أحدًا ؟ فقال رسولُ اللهِ : هيَ من أهلِ الجنَّةِ “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin salat malam, rajin sedekah, dan rajin puasa, namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi pun berkomentar, “Sungguh tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal hanya melaksanakan salat lima waktu saja (jarang melaksanakan salat sunah) dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju, namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah menjawab, “Dia ahli surga.” (HR. Ahmad no. 9675 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 119) Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang mulia Dahulu kala, orang-orang jahiliah sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari akhlak yang baik. Banyak dari mereka yang memiliki akhlak dan perangai yang buruk. Akhlak terburuk mereka adalah menyekutukan Allah Ta’ala, padahal mereka mengetahui bahwa Allahlah satu-satu-Nya Zat yang menciptakan mereka. Mereka pernah mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena rasa malu dan anggapan bahwa anak perempuan adalah aib bagi kedua orang tuanya. Mereka juga memiliki kebiasaan mabuk, berbuat zina, meratapi mayit, serta saling mengejek dan mencela. Oleh sebab itu, di antara perjanjian (baiat) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlakukan untuk mereka yang masuk Islam setelah dibukanya kota Makkah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu, جاءَتْ أُمَيمةُ بنتُ رُقَيقةَ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ تُبايِعُه على الإسلامِ، فقال: أُبايِعُكِ على أنْ لا تشرِكي باللهِ شيئًا، ولا تسرِقي، ولا تزني، ولا تقتُلي وَلدَكِ، ولا تأتي ببُهتانٍ تفترينَه بين يدَيكِ ورِجلَيكِ، ولا تَنوحي، ولا تبرَّجي تبرُّجَ الجاهليَّةِ الأولى. Umaimah binti Ruqaiqah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbaiat kepada beliau mengenai keislamannya. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Aku baiat dirimu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dosa yang didatangkan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak meratapi kematian seseorang, dan tidak bersolek serta berhias layaknya kebiasaan orang-orang di awal-awal masa jahiliah.” (HR. Ahmad no. 6850) Di lain kesempatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,  إنما بُعِثتُ لأتمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi no. 21301 dan Ahmad no. 8952) Rasulullah diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik dalam hal tersebut. Hal ini seperti firman Allah, لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Jika kita benar-benar mencintai beliau, benar-benar ingin menjalankan syariat ini secara sempurna, maka tentu harus memiliki akhlak yang mulia, berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani beliau dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang tua, dengan anak-anak, dengan teman sebaya, dan dengan siapa pun yang hidup bersama kita dan bersinggungan dengan diri kita sehari-hari. Baca juga: Letak Kesempurnaan Iman dalam Akhlak terhadap Istri Ibadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang mulia Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kita untuk beribadah, kecuali di baliknya terdapat hikmah yang agung dan besar yang dapat kita ambil darinya. Dan di antara hikmah terbesar yang akan didapatkan seorang hamba tatkala memperbanyak ibadah adalah agar dirinya menjadi sosok muslim yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang baik kepada siapa pun. Dalam hal salat misalnya. Allah Ta’ala pernah berfirman, وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ “Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 45) Ibadah salat yang kita harapkan keutamaannya adalah salat yang dapat menjaga diri kita dari berlaku keji dan mungkar. Menjauhkan diri kita dari berucap kotor, menyakiti orang lain, dan mengganggu orang lain. Mengenai kewajiban membayar zakat, Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Baik itu mensucikan mereka yang membayar zakat dari dosa-dosa ataupun mensucikan hati mereka dari perangai buruk lagi tak terpuji. Mengenai ibadah haji, Allah Ta’ala juga mewanti-wanti agar ibadah haji yang dilakukan seseorang jauh dari perilaku buruk, perangai yang tidak terpuji, dan akhlak yang tidak baik kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman, الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197) Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan perolehan keutamaan dihapusnya dosa bagi mereka yang berhaji dengan tidak adanya akhlak terpuji yang dilanggar oleh mereka. Beliau bersabda, مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barangsiapa menunaikan ibadah haji, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor, serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan suci seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) Merugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Sungguh kerugian yang besar bagi siapapun yang memiliki akhlak buruk dan tidak mau berubah darinya. Apalagi jika perangai buruknya tersebut bersangkutan dengan hak-hak dan kehormatan orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita bahwa amal ibadah individual bisa saja menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala karena kezaliman dan perangai buruk yang kita miliki. Di dalam hadis sahih, beliau menyampaikan, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ  “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari no. 1903) Beliau juga pernah menyampaikan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ  “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja. Dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249 dan Ibnu Majah no. 1690) Alangkah meruginya seorang hamba yang rajin beribadah kepada Allah di malam-malam yang sunyi, rajin bersedekah, rajin berpuasa sunah, akan tetapi saudara semuslimnya tidak nyaman untuk tinggal di sekitarnya, teman-temannya menjaga jarak dari dirinya karena khawatir akan keburukannya. Sungguh kerugian yang besar bagi mereka yang terbiasa menjadikan olokan dan hinaan sebagai bahan tertawaan, mengumbar aib manusia sebagai bahan pembicaraan, karena di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabatnya, أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ “Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut itu?” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) salat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka, orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua untuk selalu berakhlak mulia, menjaga diri kita dari sifat kesombongan, kezaliman, dan berlaku semena-mena kepada orang lain. Wallahu a’lam bis-shawab. Baca juga: Belajar Akhlak dari Kisah Para Nabi sebelum Diutus *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim

Daftar Isi Toggle Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang muliaIbadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang muliaMerugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Mengusahakan ibadah-ibadah individual, seperti: salat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya, tentu akan lebih mudah untuk dilakukan daripada ibadah-ibadah sosial yang erat kaitannya dengan akhlak yang mulia dan perangai yang baik. Tidak sedikit kita jumpai, seseorang yang baik salatnya, rajin bangun di tengah malam, rajin berpuasa, namun ia lupa atau lalai dari menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Tidak bertegur sapa dengan saudara semuslimnya saat bertemu, mudah berbicara kotor, hobi membicarakan (kejelekan) saudara semuslimnya tanpa sepengetahuan saudaranya tersebut, dan akhlak-akhlak tidak terpuji lainnya yang terkadang dijumpai dari seorang pribadi muslim yang zahirnya adalah seorang yang saleh. Saudaraku, akhlak yang baik adalah tujuan utama diutusnya Nabi kita. Akhlak yang baik adalah buah dari amal ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Tidaklah diri kita dikatakan berhasil dan sukses di dalam mengerjakan ibadah-ibadah, seperti: salat, tahajud, dan lain sebagainya, kecuali apabila memiliki akhlak yang mulia. Lihatlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan tatkala ada seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya, يا رَسولَ اللهِ ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ و تَصومُ النَّهارَ و تفعلُ ، و تصدَّقُ ، و تُؤذي جيرانَها بلِسانِها ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ . قالوا : و فُلانةُ تصلِّي المكتوبةَ ، و تصدَّقُ بأثوارٍ ، و لا تُؤذي أحدًا ؟ فقال رسولُ اللهِ : هيَ من أهلِ الجنَّةِ “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin salat malam, rajin sedekah, dan rajin puasa, namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi pun berkomentar, “Sungguh tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal hanya melaksanakan salat lima waktu saja (jarang melaksanakan salat sunah) dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju, namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah menjawab, “Dia ahli surga.” (HR. Ahmad no. 9675 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 119) Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang mulia Dahulu kala, orang-orang jahiliah sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari akhlak yang baik. Banyak dari mereka yang memiliki akhlak dan perangai yang buruk. Akhlak terburuk mereka adalah menyekutukan Allah Ta’ala, padahal mereka mengetahui bahwa Allahlah satu-satu-Nya Zat yang menciptakan mereka. Mereka pernah mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena rasa malu dan anggapan bahwa anak perempuan adalah aib bagi kedua orang tuanya. Mereka juga memiliki kebiasaan mabuk, berbuat zina, meratapi mayit, serta saling mengejek dan mencela. Oleh sebab itu, di antara perjanjian (baiat) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlakukan untuk mereka yang masuk Islam setelah dibukanya kota Makkah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu, جاءَتْ أُمَيمةُ بنتُ رُقَيقةَ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ تُبايِعُه على الإسلامِ، فقال: أُبايِعُكِ على أنْ لا تشرِكي باللهِ شيئًا، ولا تسرِقي، ولا تزني، ولا تقتُلي وَلدَكِ، ولا تأتي ببُهتانٍ تفترينَه بين يدَيكِ ورِجلَيكِ، ولا تَنوحي، ولا تبرَّجي تبرُّجَ الجاهليَّةِ الأولى. Umaimah binti Ruqaiqah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbaiat kepada beliau mengenai keislamannya. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Aku baiat dirimu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dosa yang didatangkan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak meratapi kematian seseorang, dan tidak bersolek serta berhias layaknya kebiasaan orang-orang di awal-awal masa jahiliah.” (HR. Ahmad no. 6850) Di lain kesempatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,  إنما بُعِثتُ لأتمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi no. 21301 dan Ahmad no. 8952) Rasulullah diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik dalam hal tersebut. Hal ini seperti firman Allah, لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Jika kita benar-benar mencintai beliau, benar-benar ingin menjalankan syariat ini secara sempurna, maka tentu harus memiliki akhlak yang mulia, berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani beliau dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang tua, dengan anak-anak, dengan teman sebaya, dan dengan siapa pun yang hidup bersama kita dan bersinggungan dengan diri kita sehari-hari. Baca juga: Letak Kesempurnaan Iman dalam Akhlak terhadap Istri Ibadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang mulia Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kita untuk beribadah, kecuali di baliknya terdapat hikmah yang agung dan besar yang dapat kita ambil darinya. Dan di antara hikmah terbesar yang akan didapatkan seorang hamba tatkala memperbanyak ibadah adalah agar dirinya menjadi sosok muslim yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang baik kepada siapa pun. Dalam hal salat misalnya. Allah Ta’ala pernah berfirman, وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ “Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 45) Ibadah salat yang kita harapkan keutamaannya adalah salat yang dapat menjaga diri kita dari berlaku keji dan mungkar. Menjauhkan diri kita dari berucap kotor, menyakiti orang lain, dan mengganggu orang lain. Mengenai kewajiban membayar zakat, Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Baik itu mensucikan mereka yang membayar zakat dari dosa-dosa ataupun mensucikan hati mereka dari perangai buruk lagi tak terpuji. Mengenai ibadah haji, Allah Ta’ala juga mewanti-wanti agar ibadah haji yang dilakukan seseorang jauh dari perilaku buruk, perangai yang tidak terpuji, dan akhlak yang tidak baik kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman, الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197) Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan perolehan keutamaan dihapusnya dosa bagi mereka yang berhaji dengan tidak adanya akhlak terpuji yang dilanggar oleh mereka. Beliau bersabda, مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barangsiapa menunaikan ibadah haji, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor, serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan suci seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) Merugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Sungguh kerugian yang besar bagi siapapun yang memiliki akhlak buruk dan tidak mau berubah darinya. Apalagi jika perangai buruknya tersebut bersangkutan dengan hak-hak dan kehormatan orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita bahwa amal ibadah individual bisa saja menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala karena kezaliman dan perangai buruk yang kita miliki. Di dalam hadis sahih, beliau menyampaikan, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ  “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari no. 1903) Beliau juga pernah menyampaikan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ  “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja. Dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249 dan Ibnu Majah no. 1690) Alangkah meruginya seorang hamba yang rajin beribadah kepada Allah di malam-malam yang sunyi, rajin bersedekah, rajin berpuasa sunah, akan tetapi saudara semuslimnya tidak nyaman untuk tinggal di sekitarnya, teman-temannya menjaga jarak dari dirinya karena khawatir akan keburukannya. Sungguh kerugian yang besar bagi mereka yang terbiasa menjadikan olokan dan hinaan sebagai bahan tertawaan, mengumbar aib manusia sebagai bahan pembicaraan, karena di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabatnya, أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ “Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut itu?” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) salat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka, orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua untuk selalu berakhlak mulia, menjaga diri kita dari sifat kesombongan, kezaliman, dan berlaku semena-mena kepada orang lain. Wallahu a’lam bis-shawab. Baca juga: Belajar Akhlak dari Kisah Para Nabi sebelum Diutus *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang muliaIbadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang muliaMerugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Mengusahakan ibadah-ibadah individual, seperti: salat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya, tentu akan lebih mudah untuk dilakukan daripada ibadah-ibadah sosial yang erat kaitannya dengan akhlak yang mulia dan perangai yang baik. Tidak sedikit kita jumpai, seseorang yang baik salatnya, rajin bangun di tengah malam, rajin berpuasa, namun ia lupa atau lalai dari menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Tidak bertegur sapa dengan saudara semuslimnya saat bertemu, mudah berbicara kotor, hobi membicarakan (kejelekan) saudara semuslimnya tanpa sepengetahuan saudaranya tersebut, dan akhlak-akhlak tidak terpuji lainnya yang terkadang dijumpai dari seorang pribadi muslim yang zahirnya adalah seorang yang saleh. Saudaraku, akhlak yang baik adalah tujuan utama diutusnya Nabi kita. Akhlak yang baik adalah buah dari amal ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Tidaklah diri kita dikatakan berhasil dan sukses di dalam mengerjakan ibadah-ibadah, seperti: salat, tahajud, dan lain sebagainya, kecuali apabila memiliki akhlak yang mulia. Lihatlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan tatkala ada seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya, يا رَسولَ اللهِ ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ و تَصومُ النَّهارَ و تفعلُ ، و تصدَّقُ ، و تُؤذي جيرانَها بلِسانِها ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ . قالوا : و فُلانةُ تصلِّي المكتوبةَ ، و تصدَّقُ بأثوارٍ ، و لا تُؤذي أحدًا ؟ فقال رسولُ اللهِ : هيَ من أهلِ الجنَّةِ “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin salat malam, rajin sedekah, dan rajin puasa, namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi pun berkomentar, “Sungguh tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal hanya melaksanakan salat lima waktu saja (jarang melaksanakan salat sunah) dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju, namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah menjawab, “Dia ahli surga.” (HR. Ahmad no. 9675 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 119) Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang mulia Dahulu kala, orang-orang jahiliah sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari akhlak yang baik. Banyak dari mereka yang memiliki akhlak dan perangai yang buruk. Akhlak terburuk mereka adalah menyekutukan Allah Ta’ala, padahal mereka mengetahui bahwa Allahlah satu-satu-Nya Zat yang menciptakan mereka. Mereka pernah mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena rasa malu dan anggapan bahwa anak perempuan adalah aib bagi kedua orang tuanya. Mereka juga memiliki kebiasaan mabuk, berbuat zina, meratapi mayit, serta saling mengejek dan mencela. Oleh sebab itu, di antara perjanjian (baiat) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlakukan untuk mereka yang masuk Islam setelah dibukanya kota Makkah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu, جاءَتْ أُمَيمةُ بنتُ رُقَيقةَ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ تُبايِعُه على الإسلامِ، فقال: أُبايِعُكِ على أنْ لا تشرِكي باللهِ شيئًا، ولا تسرِقي، ولا تزني، ولا تقتُلي وَلدَكِ، ولا تأتي ببُهتانٍ تفترينَه بين يدَيكِ ورِجلَيكِ، ولا تَنوحي، ولا تبرَّجي تبرُّجَ الجاهليَّةِ الأولى. Umaimah binti Ruqaiqah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbaiat kepada beliau mengenai keislamannya. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Aku baiat dirimu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dosa yang didatangkan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak meratapi kematian seseorang, dan tidak bersolek serta berhias layaknya kebiasaan orang-orang di awal-awal masa jahiliah.” (HR. Ahmad no. 6850) Di lain kesempatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,  إنما بُعِثتُ لأتمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi no. 21301 dan Ahmad no. 8952) Rasulullah diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik dalam hal tersebut. Hal ini seperti firman Allah, لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Jika kita benar-benar mencintai beliau, benar-benar ingin menjalankan syariat ini secara sempurna, maka tentu harus memiliki akhlak yang mulia, berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani beliau dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang tua, dengan anak-anak, dengan teman sebaya, dan dengan siapa pun yang hidup bersama kita dan bersinggungan dengan diri kita sehari-hari. Baca juga: Letak Kesempurnaan Iman dalam Akhlak terhadap Istri Ibadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang mulia Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kita untuk beribadah, kecuali di baliknya terdapat hikmah yang agung dan besar yang dapat kita ambil darinya. Dan di antara hikmah terbesar yang akan didapatkan seorang hamba tatkala memperbanyak ibadah adalah agar dirinya menjadi sosok muslim yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang baik kepada siapa pun. Dalam hal salat misalnya. Allah Ta’ala pernah berfirman, وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ “Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 45) Ibadah salat yang kita harapkan keutamaannya adalah salat yang dapat menjaga diri kita dari berlaku keji dan mungkar. Menjauhkan diri kita dari berucap kotor, menyakiti orang lain, dan mengganggu orang lain. Mengenai kewajiban membayar zakat, Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Baik itu mensucikan mereka yang membayar zakat dari dosa-dosa ataupun mensucikan hati mereka dari perangai buruk lagi tak terpuji. Mengenai ibadah haji, Allah Ta’ala juga mewanti-wanti agar ibadah haji yang dilakukan seseorang jauh dari perilaku buruk, perangai yang tidak terpuji, dan akhlak yang tidak baik kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman, الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197) Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan perolehan keutamaan dihapusnya dosa bagi mereka yang berhaji dengan tidak adanya akhlak terpuji yang dilanggar oleh mereka. Beliau bersabda, مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barangsiapa menunaikan ibadah haji, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor, serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan suci seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) Merugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Sungguh kerugian yang besar bagi siapapun yang memiliki akhlak buruk dan tidak mau berubah darinya. Apalagi jika perangai buruknya tersebut bersangkutan dengan hak-hak dan kehormatan orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita bahwa amal ibadah individual bisa saja menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala karena kezaliman dan perangai buruk yang kita miliki. Di dalam hadis sahih, beliau menyampaikan, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ  “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari no. 1903) Beliau juga pernah menyampaikan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ  “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja. Dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249 dan Ibnu Majah no. 1690) Alangkah meruginya seorang hamba yang rajin beribadah kepada Allah di malam-malam yang sunyi, rajin bersedekah, rajin berpuasa sunah, akan tetapi saudara semuslimnya tidak nyaman untuk tinggal di sekitarnya, teman-temannya menjaga jarak dari dirinya karena khawatir akan keburukannya. Sungguh kerugian yang besar bagi mereka yang terbiasa menjadikan olokan dan hinaan sebagai bahan tertawaan, mengumbar aib manusia sebagai bahan pembicaraan, karena di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabatnya, أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ “Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut itu?” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) salat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka, orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua untuk selalu berakhlak mulia, menjaga diri kita dari sifat kesombongan, kezaliman, dan berlaku semena-mena kepada orang lain. Wallahu a’lam bis-shawab. Baca juga: Belajar Akhlak dari Kisah Para Nabi sebelum Diutus *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang muliaIbadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang muliaMerugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Mengusahakan ibadah-ibadah individual, seperti: salat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya, tentu akan lebih mudah untuk dilakukan daripada ibadah-ibadah sosial yang erat kaitannya dengan akhlak yang mulia dan perangai yang baik. Tidak sedikit kita jumpai, seseorang yang baik salatnya, rajin bangun di tengah malam, rajin berpuasa, namun ia lupa atau lalai dari menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Tidak bertegur sapa dengan saudara semuslimnya saat bertemu, mudah berbicara kotor, hobi membicarakan (kejelekan) saudara semuslimnya tanpa sepengetahuan saudaranya tersebut, dan akhlak-akhlak tidak terpuji lainnya yang terkadang dijumpai dari seorang pribadi muslim yang zahirnya adalah seorang yang saleh. Saudaraku, akhlak yang baik adalah tujuan utama diutusnya Nabi kita. Akhlak yang baik adalah buah dari amal ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Tidaklah diri kita dikatakan berhasil dan sukses di dalam mengerjakan ibadah-ibadah, seperti: salat, tahajud, dan lain sebagainya, kecuali apabila memiliki akhlak yang mulia. Lihatlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan tatkala ada seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya, يا رَسولَ اللهِ ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ و تَصومُ النَّهارَ و تفعلُ ، و تصدَّقُ ، و تُؤذي جيرانَها بلِسانِها ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ . قالوا : و فُلانةُ تصلِّي المكتوبةَ ، و تصدَّقُ بأثوارٍ ، و لا تُؤذي أحدًا ؟ فقال رسولُ اللهِ : هيَ من أهلِ الجنَّةِ “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin salat malam, rajin sedekah, dan rajin puasa, namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi pun berkomentar, “Sungguh tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal hanya melaksanakan salat lima waktu saja (jarang melaksanakan salat sunah) dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju, namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah menjawab, “Dia ahli surga.” (HR. Ahmad no. 9675 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 119) Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang mulia Dahulu kala, orang-orang jahiliah sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari akhlak yang baik. Banyak dari mereka yang memiliki akhlak dan perangai yang buruk. Akhlak terburuk mereka adalah menyekutukan Allah Ta’ala, padahal mereka mengetahui bahwa Allahlah satu-satu-Nya Zat yang menciptakan mereka. Mereka pernah mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena rasa malu dan anggapan bahwa anak perempuan adalah aib bagi kedua orang tuanya. Mereka juga memiliki kebiasaan mabuk, berbuat zina, meratapi mayit, serta saling mengejek dan mencela. Oleh sebab itu, di antara perjanjian (baiat) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlakukan untuk mereka yang masuk Islam setelah dibukanya kota Makkah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu, جاءَتْ أُمَيمةُ بنتُ رُقَيقةَ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ تُبايِعُه على الإسلامِ، فقال: أُبايِعُكِ على أنْ لا تشرِكي باللهِ شيئًا، ولا تسرِقي، ولا تزني، ولا تقتُلي وَلدَكِ، ولا تأتي ببُهتانٍ تفترينَه بين يدَيكِ ورِجلَيكِ، ولا تَنوحي، ولا تبرَّجي تبرُّجَ الجاهليَّةِ الأولى. Umaimah binti Ruqaiqah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbaiat kepada beliau mengenai keislamannya. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Aku baiat dirimu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dosa yang didatangkan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak meratapi kematian seseorang, dan tidak bersolek serta berhias layaknya kebiasaan orang-orang di awal-awal masa jahiliah.” (HR. Ahmad no. 6850) Di lain kesempatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,  إنما بُعِثتُ لأتمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi no. 21301 dan Ahmad no. 8952) Rasulullah diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik dalam hal tersebut. Hal ini seperti firman Allah, لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Jika kita benar-benar mencintai beliau, benar-benar ingin menjalankan syariat ini secara sempurna, maka tentu harus memiliki akhlak yang mulia, berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani beliau dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang tua, dengan anak-anak, dengan teman sebaya, dan dengan siapa pun yang hidup bersama kita dan bersinggungan dengan diri kita sehari-hari. Baca juga: Letak Kesempurnaan Iman dalam Akhlak terhadap Istri Ibadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang mulia Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kita untuk beribadah, kecuali di baliknya terdapat hikmah yang agung dan besar yang dapat kita ambil darinya. Dan di antara hikmah terbesar yang akan didapatkan seorang hamba tatkala memperbanyak ibadah adalah agar dirinya menjadi sosok muslim yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang baik kepada siapa pun. Dalam hal salat misalnya. Allah Ta’ala pernah berfirman, وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ “Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 45) Ibadah salat yang kita harapkan keutamaannya adalah salat yang dapat menjaga diri kita dari berlaku keji dan mungkar. Menjauhkan diri kita dari berucap kotor, menyakiti orang lain, dan mengganggu orang lain. Mengenai kewajiban membayar zakat, Allah Ta’ala berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103) Baik itu mensucikan mereka yang membayar zakat dari dosa-dosa ataupun mensucikan hati mereka dari perangai buruk lagi tak terpuji. Mengenai ibadah haji, Allah Ta’ala juga mewanti-wanti agar ibadah haji yang dilakukan seseorang jauh dari perilaku buruk, perangai yang tidak terpuji, dan akhlak yang tidak baik kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman, الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197) Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan perolehan keutamaan dihapusnya dosa bagi mereka yang berhaji dengan tidak adanya akhlak terpuji yang dilanggar oleh mereka. Beliau bersabda, مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ  “Barangsiapa menunaikan ibadah haji, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor, serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan suci seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350) Merugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah! Sungguh kerugian yang besar bagi siapapun yang memiliki akhlak buruk dan tidak mau berubah darinya. Apalagi jika perangai buruknya tersebut bersangkutan dengan hak-hak dan kehormatan orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita bahwa amal ibadah individual bisa saja menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala karena kezaliman dan perangai buruk yang kita miliki. Di dalam hadis sahih, beliau menyampaikan, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ  “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari no. 1903) Beliau juga pernah menyampaikan, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ  “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja. Dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249 dan Ibnu Majah no. 1690) Alangkah meruginya seorang hamba yang rajin beribadah kepada Allah di malam-malam yang sunyi, rajin bersedekah, rajin berpuasa sunah, akan tetapi saudara semuslimnya tidak nyaman untuk tinggal di sekitarnya, teman-temannya menjaga jarak dari dirinya karena khawatir akan keburukannya. Sungguh kerugian yang besar bagi mereka yang terbiasa menjadikan olokan dan hinaan sebagai bahan tertawaan, mengumbar aib manusia sebagai bahan pembicaraan, karena di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabatnya, أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ “Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut itu?” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) salat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka, orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581) Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua untuk selalu berakhlak mulia, menjaga diri kita dari sifat kesombongan, kezaliman, dan berlaku semena-mena kepada orang lain. Wallahu a’lam bis-shawab. Baca juga: Belajar Akhlak dari Kisah Para Nabi sebelum Diutus *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Fikih Salat Sunah Rawatib Isya

Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33. Tags: salat sunah

Fikih Salat Sunah Rawatib Isya

Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33. Tags: salat sunah
Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33. Tags: salat sunah


Daftar Isi Toggle Keutamaan salat sunah rawatib IsyaPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib IsyaPertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat IsyaKedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan keduaDisunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatibJika terlewat rawatib Isya Salat termasuk ibadah yang paling utama dalam Islam, yang menjadi tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Salat wajib merupakan ibadah badan yang paling agung. Salat nafilah atau sunah juga memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan sebagai pelengkap dan penyempurna salat wajib. Syihabuddin Ibnu Naqib rahimahullah mengatakan, أفضل عبادات البدن الصلاة، ونفلها أفضل النفل “Ibadah tubuh yang paling utama adalah salat, dan salat nafilah (sunah) merupakan amalan nafilah yang paling utama.” [1] Di antara salat sunah yang dianjurkan adalah salat rawatib, yang dilaksanakan sebelum atau setelah salat wajib. Salah satu salat rawatib yang sangat dianjurkan adalah salat sunah setelah Isya, yang dikenal sebagai salat rawatib Isya. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara singkat mengenai keutamaan salat sunah rawatib Isya, tata cara pelaksanaannya, serta apa yang perlu dilakukan jika salat sunah ini terlewat. Keutamaan salat sunah rawatib Isya Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalnya menyempurnakan salat wajib dan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Isya) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Isya adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, yaitu empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi 415; disahihkan oleh Al-Albani) [2] Tata cara salat sunah rawatib Isya Pertama: Salat sunah rawatib Isya terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Isya Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Isya”. [3] Kedua: Tidak ada bacaan khusus pada rakaat pertama dan kedua “Tidak kami ketahui adanya riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bacaan surah tertentu dalam salat rawatib, kecuali pada dua rakaat qabliyah Subuh dan dua rakaat ba’diyah Magrib.” [4] Oleh karena itu, seseorang bisa membaca surah atau ayat apa saja yang dia kehendaki dalam salat rawatib Isya. Wallahu a’lam. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib Disunahkan salat empat rakaat setelah Isya, namun ini bukan bagian dari salat rawatib Disunahkan untuk melaksanakan empat rakaat setelah salat Isya, namun salat ini bukan bagian dari salat sunah rawatib. Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau melakukan empat rakaat ini setelah kembali ke rumahnya. Di antaranya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu melaksanakan empat rakaat, kemudian tidur.” (HR. Bukhari no. 117) Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menganggap bahwa empat rakaat ini sebagai salat rawatib ba’diyah Isya, sebagaimana disebutkan dalam Fath Al-Qadir (1: 441-449). Namun, pendapat yang lebih kuat – wallahu a’lam – adalah bahwa salat tersebut merupakan salat sunah mutlak yang termasuk dalam rangkaian qiyamullail. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2: 96), yang menyebut salat tersebut sebagai salat tathawwu‘ (salat sunah). [5] Jika terlewat rawatib Isya Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [6] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang. Disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [7] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah salat Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Isya jika seseorang tertinggal darinya. Bahkan, walaupun qada tersebut dilakukan di waktu terlarang (misalnya, setelah salat Subuh). Wallahu a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur *** Rumdin PPIA Sragen, 5 Jumadilkhir 1446 Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] ‘Umdatus Salik, hal. 131. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 42. [3] Ibid hal. 40. [4] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/12906/ ; lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 158-160. [5] Disarikan dari: https://islamqa.info/ar/175914. [6] https://dorar.net/feqhia/1229. [7] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’, hal. 33. Tags: salat sunah

Resep Bahagia dalam Bergaul – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Sebagian ulama menyebutkan bahwa pergaulan dengan manusia terbagi menjadi tiga jenis: Ada orang yang pergaulannya seperti nutrisi. Ada orang yang pergaulannya seperti obat. Ada pula orang yang pergaulannya seperti penyakit. Jadi, ada pergaulan yang seperti nutrisi. Ada juga seperti obat dan seperti penyakit. Yang disebut nutrisi adalah pergaulan dengan para ulama, orang-orang zuhud dan ahli ibadah. Ketika Anda bergaul dengan orang saleh, baik, dan mulia, Anda akan mendapatkan manfaat. Anda dapati seorang alim tidak berbicara kecuali tentang hal yang bermanfaat. Jika Anda duduk di majelis ilmu yang ada ulamanya, Anda akan dapati mereka membaca kitab, mendiskusikan hukum-hukum syariat, atau ayat al-Quran. Anda pun keluar dari majelis itu dengan kerinduan ingin kembali ke sana lagi. Anda keluar dengan tambahan iman. Betapa indahnya majelis-majelis ini! Perbanyaklah menghadiri majelis-majelis seperti ini, karena ia adalah nutrisi bagi ruh. Majelis-majelis ilmu seperti ini adalah taman surga, sebagaimana disabdakan oleh Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Jika kalian melewati taman surga, maka singgahlah!” Lalu ditanyakan, “Apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah zikir (majelis ilmu).” (HR. Ahmad) Jenis yang kedua adalah pergaulan yang seperti obat. Artinya, obat bukanlah sesuatu yang Anda butuhkan setiap saat. Demikian juga sebagian orang, mereka adalah teman-teman yang Anda berjalan bersama mereka. Terkadang mereka menunjukkan cela dan kekeliruan Anda. Mereka menasihati Anda dan Anda pun menasihati mereka, berinteraksi dengan mereka. Jangan banyak bergaul dengan mereka dan jangan pula tinggalkan mereka. Terkadang Anda mendapat manfaat dari mereka, tapi mesti dalam kadar tertentu, seperti dosis obat. Adapun jenis ketiga, ada orang yang pergaulan dengannya seperti penyakit, yaitu teman yang buruk. Mereka adalah pelaku maksiat, para pencinta dunia, dan pengikut syahwat. Jika Anda bergaul dengan mereka, Anda akan keluar dari majelis mereka dengan hati yang keras. Anda merasakan kehampaan dalam hati, kenapa? Karena semua obrolannya tentang si fulan dan si fulan, dan tentang berbagai maksiat, bahkan sebagiannya berbangga dengan dosa besar dan tertawa-tawa karenanya. Anda pun keluar dengan hati membenci majelis itu—jika dalam hati Anda masih ada iman. Demikianlah, seorang muslim hendaknya memperhatikan dirinya. ==== يَذْكُرُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ خُلْطَةَ النَّاسِ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ مِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ غِذَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ إِذَنْ عِنْدَكَ دَوَاءٌ أَوْ عِنْدَكَ أَوَّلًا غِذَاءٌ وَدَوَاءٌ وَدَاءٌ أَمَّا الْغِذَاءُ قَالُوا: هَذِهِ خُلْطَةُ الْعُلَمَاءِ وَالزُّهَّادِ وَالْعُبَّادِ عِنْدَمَا تُخَالِطُ أَهْلَ الصَّلَاحِ وَالْخَيْرِ وَالْفَضْلِ تَنْتَفِعُ تَجِدُ الْعَالِمَ مَا يَتَكَلَّمُ إِلَّا بِمَا يَنْفَعُ فَإِذَا جَلَسَ مَجْلِسَ عِلْمٍ فِيهِ عُلَمَاءُ تَجِدُ يَقْرَأُونَ كِتَابًا يَتَذَاكَرُونَ حُكْمًا شَرْعِيًّا أَوْ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللهِ تَخْرُجُ مِنَ الْمَجْلِسِ وَتَشْتَاقُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى ذَلِكَ الْمَجْلِسِ مَرَّةً أُخْرَى وَتَخْرُجُ بِزِيَادَةِ إِيمَانٍ فَمَا أَجْمَلَ هَذِهِ الْمَجَالِسَ هَذِهِ الْمَجَالِسُ كَثِّرْ مِنْهَا لِأَنَّهَا غِذَاءٌ لِلرُّوْحِ مِثْلُ مَجَالِسِ أَهْلِ الْعِلْمِ رِيَاضُ الْجَنَّةِ كَمَا أَخَبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قِيلَ: مَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ ثُمَّ النَّوْعُ الثَّانِي مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ يَعْنِي الدَّوَاءُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَكَذَا بَعْضُ النَّاسِ وَهَؤُلَاءِ أَصْحَابُكَ الَّذِينَ تَمْشِي مَعَهُمْ رُبَّمَا يَدُلُّونَكَ عَلَى بَعْضِ عُيُوبِكَ عَلَى أَخْطَائِكَ يَنْصَحُونَكَ تَنْصَحُهُمْ تُعَاشِرُهُمْ فَهَؤُلَاءِ مَا تُكْثِرْ مِنَ الْخُلْطَةِ مَعَهُمْ وَلَا تَتْرُكْهُمْ قَدْ تَسْتَفِيدُ مِنْهُمْ لَكِنْ هَكَذَا يَكُونُ بِقَدْرٍ مِثْلُ الدَّوَاءِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ هُوَ رَفِيقُ السُّوءِ أَصْحَابُ الْمَعَاصِي وَأَصْحَابُ الدُّنْيَا وَالشَّهْوَاتِ فَأُولَاءِ إِنْ خَالَطتَهُمْ تَخْرُجْ مِنَ الْمَجْلِسِ بِالْقَلْبِ الْقَاسِي تَشْعُرْ بِالْوَحْشَةِ فِي قَلْبِكَ لِمَاذَا ؟ الْحَديثُ كُلُّهَا عَنْ فُلَانٍ وَفُلَانٍ وَعَنِ الْمَعَاصِي رُبَّمَا يَتَبَجَّحُ بَعْضُهُمْ بِفِعْلِ بَعْضِ الْكَبَائِرِ وَيَضْحَكُونَ يَعْنِي تَخْرُجُ وَقَدْ يَعْنِي كَرِهْتَ هَذَا الْمَجْلِسَ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ إِيمَانٌ فَهَكَذَا يَنْبَغِي الْمُسْلِمُ يَعْنِي أَنْ يَنْتَبِهَ لِنَفْسِهِ

Resep Bahagia dalam Bergaul – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Sebagian ulama menyebutkan bahwa pergaulan dengan manusia terbagi menjadi tiga jenis: Ada orang yang pergaulannya seperti nutrisi. Ada orang yang pergaulannya seperti obat. Ada pula orang yang pergaulannya seperti penyakit. Jadi, ada pergaulan yang seperti nutrisi. Ada juga seperti obat dan seperti penyakit. Yang disebut nutrisi adalah pergaulan dengan para ulama, orang-orang zuhud dan ahli ibadah. Ketika Anda bergaul dengan orang saleh, baik, dan mulia, Anda akan mendapatkan manfaat. Anda dapati seorang alim tidak berbicara kecuali tentang hal yang bermanfaat. Jika Anda duduk di majelis ilmu yang ada ulamanya, Anda akan dapati mereka membaca kitab, mendiskusikan hukum-hukum syariat, atau ayat al-Quran. Anda pun keluar dari majelis itu dengan kerinduan ingin kembali ke sana lagi. Anda keluar dengan tambahan iman. Betapa indahnya majelis-majelis ini! Perbanyaklah menghadiri majelis-majelis seperti ini, karena ia adalah nutrisi bagi ruh. Majelis-majelis ilmu seperti ini adalah taman surga, sebagaimana disabdakan oleh Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Jika kalian melewati taman surga, maka singgahlah!” Lalu ditanyakan, “Apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah zikir (majelis ilmu).” (HR. Ahmad) Jenis yang kedua adalah pergaulan yang seperti obat. Artinya, obat bukanlah sesuatu yang Anda butuhkan setiap saat. Demikian juga sebagian orang, mereka adalah teman-teman yang Anda berjalan bersama mereka. Terkadang mereka menunjukkan cela dan kekeliruan Anda. Mereka menasihati Anda dan Anda pun menasihati mereka, berinteraksi dengan mereka. Jangan banyak bergaul dengan mereka dan jangan pula tinggalkan mereka. Terkadang Anda mendapat manfaat dari mereka, tapi mesti dalam kadar tertentu, seperti dosis obat. Adapun jenis ketiga, ada orang yang pergaulan dengannya seperti penyakit, yaitu teman yang buruk. Mereka adalah pelaku maksiat, para pencinta dunia, dan pengikut syahwat. Jika Anda bergaul dengan mereka, Anda akan keluar dari majelis mereka dengan hati yang keras. Anda merasakan kehampaan dalam hati, kenapa? Karena semua obrolannya tentang si fulan dan si fulan, dan tentang berbagai maksiat, bahkan sebagiannya berbangga dengan dosa besar dan tertawa-tawa karenanya. Anda pun keluar dengan hati membenci majelis itu—jika dalam hati Anda masih ada iman. Demikianlah, seorang muslim hendaknya memperhatikan dirinya. ==== يَذْكُرُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ خُلْطَةَ النَّاسِ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ مِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ غِذَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ إِذَنْ عِنْدَكَ دَوَاءٌ أَوْ عِنْدَكَ أَوَّلًا غِذَاءٌ وَدَوَاءٌ وَدَاءٌ أَمَّا الْغِذَاءُ قَالُوا: هَذِهِ خُلْطَةُ الْعُلَمَاءِ وَالزُّهَّادِ وَالْعُبَّادِ عِنْدَمَا تُخَالِطُ أَهْلَ الصَّلَاحِ وَالْخَيْرِ وَالْفَضْلِ تَنْتَفِعُ تَجِدُ الْعَالِمَ مَا يَتَكَلَّمُ إِلَّا بِمَا يَنْفَعُ فَإِذَا جَلَسَ مَجْلِسَ عِلْمٍ فِيهِ عُلَمَاءُ تَجِدُ يَقْرَأُونَ كِتَابًا يَتَذَاكَرُونَ حُكْمًا شَرْعِيًّا أَوْ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللهِ تَخْرُجُ مِنَ الْمَجْلِسِ وَتَشْتَاقُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى ذَلِكَ الْمَجْلِسِ مَرَّةً أُخْرَى وَتَخْرُجُ بِزِيَادَةِ إِيمَانٍ فَمَا أَجْمَلَ هَذِهِ الْمَجَالِسَ هَذِهِ الْمَجَالِسُ كَثِّرْ مِنْهَا لِأَنَّهَا غِذَاءٌ لِلرُّوْحِ مِثْلُ مَجَالِسِ أَهْلِ الْعِلْمِ رِيَاضُ الْجَنَّةِ كَمَا أَخَبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قِيلَ: مَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ ثُمَّ النَّوْعُ الثَّانِي مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ يَعْنِي الدَّوَاءُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَكَذَا بَعْضُ النَّاسِ وَهَؤُلَاءِ أَصْحَابُكَ الَّذِينَ تَمْشِي مَعَهُمْ رُبَّمَا يَدُلُّونَكَ عَلَى بَعْضِ عُيُوبِكَ عَلَى أَخْطَائِكَ يَنْصَحُونَكَ تَنْصَحُهُمْ تُعَاشِرُهُمْ فَهَؤُلَاءِ مَا تُكْثِرْ مِنَ الْخُلْطَةِ مَعَهُمْ وَلَا تَتْرُكْهُمْ قَدْ تَسْتَفِيدُ مِنْهُمْ لَكِنْ هَكَذَا يَكُونُ بِقَدْرٍ مِثْلُ الدَّوَاءِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ هُوَ رَفِيقُ السُّوءِ أَصْحَابُ الْمَعَاصِي وَأَصْحَابُ الدُّنْيَا وَالشَّهْوَاتِ فَأُولَاءِ إِنْ خَالَطتَهُمْ تَخْرُجْ مِنَ الْمَجْلِسِ بِالْقَلْبِ الْقَاسِي تَشْعُرْ بِالْوَحْشَةِ فِي قَلْبِكَ لِمَاذَا ؟ الْحَديثُ كُلُّهَا عَنْ فُلَانٍ وَفُلَانٍ وَعَنِ الْمَعَاصِي رُبَّمَا يَتَبَجَّحُ بَعْضُهُمْ بِفِعْلِ بَعْضِ الْكَبَائِرِ وَيَضْحَكُونَ يَعْنِي تَخْرُجُ وَقَدْ يَعْنِي كَرِهْتَ هَذَا الْمَجْلِسَ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ إِيمَانٌ فَهَكَذَا يَنْبَغِي الْمُسْلِمُ يَعْنِي أَنْ يَنْتَبِهَ لِنَفْسِهِ
Sebagian ulama menyebutkan bahwa pergaulan dengan manusia terbagi menjadi tiga jenis: Ada orang yang pergaulannya seperti nutrisi. Ada orang yang pergaulannya seperti obat. Ada pula orang yang pergaulannya seperti penyakit. Jadi, ada pergaulan yang seperti nutrisi. Ada juga seperti obat dan seperti penyakit. Yang disebut nutrisi adalah pergaulan dengan para ulama, orang-orang zuhud dan ahli ibadah. Ketika Anda bergaul dengan orang saleh, baik, dan mulia, Anda akan mendapatkan manfaat. Anda dapati seorang alim tidak berbicara kecuali tentang hal yang bermanfaat. Jika Anda duduk di majelis ilmu yang ada ulamanya, Anda akan dapati mereka membaca kitab, mendiskusikan hukum-hukum syariat, atau ayat al-Quran. Anda pun keluar dari majelis itu dengan kerinduan ingin kembali ke sana lagi. Anda keluar dengan tambahan iman. Betapa indahnya majelis-majelis ini! Perbanyaklah menghadiri majelis-majelis seperti ini, karena ia adalah nutrisi bagi ruh. Majelis-majelis ilmu seperti ini adalah taman surga, sebagaimana disabdakan oleh Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Jika kalian melewati taman surga, maka singgahlah!” Lalu ditanyakan, “Apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah zikir (majelis ilmu).” (HR. Ahmad) Jenis yang kedua adalah pergaulan yang seperti obat. Artinya, obat bukanlah sesuatu yang Anda butuhkan setiap saat. Demikian juga sebagian orang, mereka adalah teman-teman yang Anda berjalan bersama mereka. Terkadang mereka menunjukkan cela dan kekeliruan Anda. Mereka menasihati Anda dan Anda pun menasihati mereka, berinteraksi dengan mereka. Jangan banyak bergaul dengan mereka dan jangan pula tinggalkan mereka. Terkadang Anda mendapat manfaat dari mereka, tapi mesti dalam kadar tertentu, seperti dosis obat. Adapun jenis ketiga, ada orang yang pergaulan dengannya seperti penyakit, yaitu teman yang buruk. Mereka adalah pelaku maksiat, para pencinta dunia, dan pengikut syahwat. Jika Anda bergaul dengan mereka, Anda akan keluar dari majelis mereka dengan hati yang keras. Anda merasakan kehampaan dalam hati, kenapa? Karena semua obrolannya tentang si fulan dan si fulan, dan tentang berbagai maksiat, bahkan sebagiannya berbangga dengan dosa besar dan tertawa-tawa karenanya. Anda pun keluar dengan hati membenci majelis itu—jika dalam hati Anda masih ada iman. Demikianlah, seorang muslim hendaknya memperhatikan dirinya. ==== يَذْكُرُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ خُلْطَةَ النَّاسِ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ مِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ غِذَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ إِذَنْ عِنْدَكَ دَوَاءٌ أَوْ عِنْدَكَ أَوَّلًا غِذَاءٌ وَدَوَاءٌ وَدَاءٌ أَمَّا الْغِذَاءُ قَالُوا: هَذِهِ خُلْطَةُ الْعُلَمَاءِ وَالزُّهَّادِ وَالْعُبَّادِ عِنْدَمَا تُخَالِطُ أَهْلَ الصَّلَاحِ وَالْخَيْرِ وَالْفَضْلِ تَنْتَفِعُ تَجِدُ الْعَالِمَ مَا يَتَكَلَّمُ إِلَّا بِمَا يَنْفَعُ فَإِذَا جَلَسَ مَجْلِسَ عِلْمٍ فِيهِ عُلَمَاءُ تَجِدُ يَقْرَأُونَ كِتَابًا يَتَذَاكَرُونَ حُكْمًا شَرْعِيًّا أَوْ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللهِ تَخْرُجُ مِنَ الْمَجْلِسِ وَتَشْتَاقُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى ذَلِكَ الْمَجْلِسِ مَرَّةً أُخْرَى وَتَخْرُجُ بِزِيَادَةِ إِيمَانٍ فَمَا أَجْمَلَ هَذِهِ الْمَجَالِسَ هَذِهِ الْمَجَالِسُ كَثِّرْ مِنْهَا لِأَنَّهَا غِذَاءٌ لِلرُّوْحِ مِثْلُ مَجَالِسِ أَهْلِ الْعِلْمِ رِيَاضُ الْجَنَّةِ كَمَا أَخَبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قِيلَ: مَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ ثُمَّ النَّوْعُ الثَّانِي مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ يَعْنِي الدَّوَاءُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَكَذَا بَعْضُ النَّاسِ وَهَؤُلَاءِ أَصْحَابُكَ الَّذِينَ تَمْشِي مَعَهُمْ رُبَّمَا يَدُلُّونَكَ عَلَى بَعْضِ عُيُوبِكَ عَلَى أَخْطَائِكَ يَنْصَحُونَكَ تَنْصَحُهُمْ تُعَاشِرُهُمْ فَهَؤُلَاءِ مَا تُكْثِرْ مِنَ الْخُلْطَةِ مَعَهُمْ وَلَا تَتْرُكْهُمْ قَدْ تَسْتَفِيدُ مِنْهُمْ لَكِنْ هَكَذَا يَكُونُ بِقَدْرٍ مِثْلُ الدَّوَاءِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ هُوَ رَفِيقُ السُّوءِ أَصْحَابُ الْمَعَاصِي وَأَصْحَابُ الدُّنْيَا وَالشَّهْوَاتِ فَأُولَاءِ إِنْ خَالَطتَهُمْ تَخْرُجْ مِنَ الْمَجْلِسِ بِالْقَلْبِ الْقَاسِي تَشْعُرْ بِالْوَحْشَةِ فِي قَلْبِكَ لِمَاذَا ؟ الْحَديثُ كُلُّهَا عَنْ فُلَانٍ وَفُلَانٍ وَعَنِ الْمَعَاصِي رُبَّمَا يَتَبَجَّحُ بَعْضُهُمْ بِفِعْلِ بَعْضِ الْكَبَائِرِ وَيَضْحَكُونَ يَعْنِي تَخْرُجُ وَقَدْ يَعْنِي كَرِهْتَ هَذَا الْمَجْلِسَ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ إِيمَانٌ فَهَكَذَا يَنْبَغِي الْمُسْلِمُ يَعْنِي أَنْ يَنْتَبِهَ لِنَفْسِهِ


Sebagian ulama menyebutkan bahwa pergaulan dengan manusia terbagi menjadi tiga jenis: Ada orang yang pergaulannya seperti nutrisi. Ada orang yang pergaulannya seperti obat. Ada pula orang yang pergaulannya seperti penyakit. Jadi, ada pergaulan yang seperti nutrisi. Ada juga seperti obat dan seperti penyakit. Yang disebut nutrisi adalah pergaulan dengan para ulama, orang-orang zuhud dan ahli ibadah. Ketika Anda bergaul dengan orang saleh, baik, dan mulia, Anda akan mendapatkan manfaat. Anda dapati seorang alim tidak berbicara kecuali tentang hal yang bermanfaat. Jika Anda duduk di majelis ilmu yang ada ulamanya, Anda akan dapati mereka membaca kitab, mendiskusikan hukum-hukum syariat, atau ayat al-Quran. Anda pun keluar dari majelis itu dengan kerinduan ingin kembali ke sana lagi. Anda keluar dengan tambahan iman. Betapa indahnya majelis-majelis ini! Perbanyaklah menghadiri majelis-majelis seperti ini, karena ia adalah nutrisi bagi ruh. Majelis-majelis ilmu seperti ini adalah taman surga, sebagaimana disabdakan oleh Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam: “Jika kalian melewati taman surga, maka singgahlah!” Lalu ditanyakan, “Apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah zikir (majelis ilmu).” (HR. Ahmad) Jenis yang kedua adalah pergaulan yang seperti obat. Artinya, obat bukanlah sesuatu yang Anda butuhkan setiap saat. Demikian juga sebagian orang, mereka adalah teman-teman yang Anda berjalan bersama mereka. Terkadang mereka menunjukkan cela dan kekeliruan Anda. Mereka menasihati Anda dan Anda pun menasihati mereka, berinteraksi dengan mereka. Jangan banyak bergaul dengan mereka dan jangan pula tinggalkan mereka. Terkadang Anda mendapat manfaat dari mereka, tapi mesti dalam kadar tertentu, seperti dosis obat. Adapun jenis ketiga, ada orang yang pergaulan dengannya seperti penyakit, yaitu teman yang buruk. Mereka adalah pelaku maksiat, para pencinta dunia, dan pengikut syahwat. Jika Anda bergaul dengan mereka, Anda akan keluar dari majelis mereka dengan hati yang keras. Anda merasakan kehampaan dalam hati, kenapa? Karena semua obrolannya tentang si fulan dan si fulan, dan tentang berbagai maksiat, bahkan sebagiannya berbangga dengan dosa besar dan tertawa-tawa karenanya. Anda pun keluar dengan hati membenci majelis itu—jika dalam hati Anda masih ada iman. Demikianlah, seorang muslim hendaknya memperhatikan dirinya. ==== يَذْكُرُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ خُلْطَةَ النَّاسِ تَنْقَسِمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ مِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ غِذَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ إِذَنْ عِنْدَكَ دَوَاءٌ أَوْ عِنْدَكَ أَوَّلًا غِذَاءٌ وَدَوَاءٌ وَدَاءٌ أَمَّا الْغِذَاءُ قَالُوا: هَذِهِ خُلْطَةُ الْعُلَمَاءِ وَالزُّهَّادِ وَالْعُبَّادِ عِنْدَمَا تُخَالِطُ أَهْلَ الصَّلَاحِ وَالْخَيْرِ وَالْفَضْلِ تَنْتَفِعُ تَجِدُ الْعَالِمَ مَا يَتَكَلَّمُ إِلَّا بِمَا يَنْفَعُ فَإِذَا جَلَسَ مَجْلِسَ عِلْمٍ فِيهِ عُلَمَاءُ تَجِدُ يَقْرَأُونَ كِتَابًا يَتَذَاكَرُونَ حُكْمًا شَرْعِيًّا أَوْ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللهِ تَخْرُجُ مِنَ الْمَجْلِسِ وَتَشْتَاقُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى ذَلِكَ الْمَجْلِسِ مَرَّةً أُخْرَى وَتَخْرُجُ بِزِيَادَةِ إِيمَانٍ فَمَا أَجْمَلَ هَذِهِ الْمَجَالِسَ هَذِهِ الْمَجَالِسُ كَثِّرْ مِنْهَا لِأَنَّهَا غِذَاءٌ لِلرُّوْحِ مِثْلُ مَجَالِسِ أَهْلِ الْعِلْمِ رِيَاضُ الْجَنَّةِ كَمَا أَخَبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قِيلَ: مَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ ثُمَّ النَّوْعُ الثَّانِي مَنْ خُلْطَتُهُ دَوَاءٌ يَعْنِي الدَّوَاءُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَهَكَذَا بَعْضُ النَّاسِ وَهَؤُلَاءِ أَصْحَابُكَ الَّذِينَ تَمْشِي مَعَهُمْ رُبَّمَا يَدُلُّونَكَ عَلَى بَعْضِ عُيُوبِكَ عَلَى أَخْطَائِكَ يَنْصَحُونَكَ تَنْصَحُهُمْ تُعَاشِرُهُمْ فَهَؤُلَاءِ مَا تُكْثِرْ مِنَ الْخُلْطَةِ مَعَهُمْ وَلَا تَتْرُكْهُمْ قَدْ تَسْتَفِيدُ مِنْهُمْ لَكِنْ هَكَذَا يَكُونُ بِقَدْرٍ مِثْلُ الدَّوَاءِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ خُلْطَتُهُ دَاءٌ هُوَ رَفِيقُ السُّوءِ أَصْحَابُ الْمَعَاصِي وَأَصْحَابُ الدُّنْيَا وَالشَّهْوَاتِ فَأُولَاءِ إِنْ خَالَطتَهُمْ تَخْرُجْ مِنَ الْمَجْلِسِ بِالْقَلْبِ الْقَاسِي تَشْعُرْ بِالْوَحْشَةِ فِي قَلْبِكَ لِمَاذَا ؟ الْحَديثُ كُلُّهَا عَنْ فُلَانٍ وَفُلَانٍ وَعَنِ الْمَعَاصِي رُبَّمَا يَتَبَجَّحُ بَعْضُهُمْ بِفِعْلِ بَعْضِ الْكَبَائِرِ وَيَضْحَكُونَ يَعْنِي تَخْرُجُ وَقَدْ يَعْنِي كَرِهْتَ هَذَا الْمَجْلِسَ إِنْ كَانَ فِي قَلْبِكَ إِيمَانٌ فَهَكَذَا يَنْبَغِي الْمُسْلِمُ يَعْنِي أَنْ يَنْتَبِهَ لِنَفْسِهِ

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 6)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: walimah

Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 6)

Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: walimah
Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: walimah


Daftar Isi Toggle Teks Hadis KesembilanKandungan HadisTeks Hadis KesepuluhTeks Hadis KesebelasKandungan Hadis Teks Hadis Kesembilan Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ “Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.) Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.” Kandungan Hadis Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka: 1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua. 2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga. 3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh. 4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara. Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam. Teks Hadis Kesepuluh Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172) Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة “Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432) Teks Hadis Kesebelas Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari) Kandungan Hadis Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428) Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu. Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan. Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah. Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Kembali ke bagian 5 Mulai dari bagian 1 *** @Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut. Tags: walimah

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 2): Orang Kepercayaan (Amin) Umat Ini

Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri

Kisah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (Bag. 2): Orang Kepercayaan (Amin) Umat Ini

Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri
Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri


Daftar Isi Toggle Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani NajranAbu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum musliminPerpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح “Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari) Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala, اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59) Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة “Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari) Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini. Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya. Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem. Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad, يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا “Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah. Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun. Kembali ke bagian 1 *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri

Kunci Rahasia Doa Anda Terkabul – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Satu kaidah di kalangan ulama dalam hal: Ketika Anda berdoa kepada Allah dengan satu permintaan yang berkaitan dengan kebaikan agama atau dunia Anda, maka iringilah doa tersebut dengan berusaha melakukan sebabnya. Sebagaimana sabda Nabi ʿalaihish shalātu was salām, “Bersungguh-sungguhlah untuk perkara yang bermanfaat bagimu dan mintalah tolong kepada Allah.” (HR. Muslim) Tidak cukup hanya berdoa lalu duduk diam berpangku tangan. Melainkan berdoa sambil terus berusaha dan berjuang, sesuai dengan apa yang dia minta dalam doanya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka, Allah akan memberikan pertolongan, mengarahkan kepada jalan yang benar, memberi kemudahan, dan taufik-Nya. ==== وَالْقَاعِدَةُ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ فِي بَابِ إِذَا دَعَوْتَ اللهَ بِمَطْلُوبٍ مِنْ مَصَالِحِ دِينِكَ أَوْ دُنْيَاكَ فَأَتْبِعِ الدُّعَاءَ بِبَذْلِ السَّبَبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ باللَّهِ لَيْسَ يَدْعُو وَيَبْقَى جَالِسًا بَلْ يَدْعُو وَيَبْقَى مُجَاهِدًا لِنَفْسِهِ بِمَا دَعَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ فَيَأْتِيهِ الْعَوْنُ وَيَأْتِيهِ التَّسْدِيدُ وَيَأْتِيهِ التَّيْسِيرُ وَالتَّوْفِيقُ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Kunci Rahasia Doa Anda Terkabul – Syaikh Abdurrazzaq al-Badr #NasehatUlama

Satu kaidah di kalangan ulama dalam hal: Ketika Anda berdoa kepada Allah dengan satu permintaan yang berkaitan dengan kebaikan agama atau dunia Anda, maka iringilah doa tersebut dengan berusaha melakukan sebabnya. Sebagaimana sabda Nabi ʿalaihish shalātu was salām, “Bersungguh-sungguhlah untuk perkara yang bermanfaat bagimu dan mintalah tolong kepada Allah.” (HR. Muslim) Tidak cukup hanya berdoa lalu duduk diam berpangku tangan. Melainkan berdoa sambil terus berusaha dan berjuang, sesuai dengan apa yang dia minta dalam doanya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka, Allah akan memberikan pertolongan, mengarahkan kepada jalan yang benar, memberi kemudahan, dan taufik-Nya. ==== وَالْقَاعِدَةُ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ فِي بَابِ إِذَا دَعَوْتَ اللهَ بِمَطْلُوبٍ مِنْ مَصَالِحِ دِينِكَ أَوْ دُنْيَاكَ فَأَتْبِعِ الدُّعَاءَ بِبَذْلِ السَّبَبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ باللَّهِ لَيْسَ يَدْعُو وَيَبْقَى جَالِسًا بَلْ يَدْعُو وَيَبْقَى مُجَاهِدًا لِنَفْسِهِ بِمَا دَعَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ فَيَأْتِيهِ الْعَوْنُ وَيَأْتِيهِ التَّسْدِيدُ وَيَأْتِيهِ التَّيْسِيرُ وَالتَّوْفِيقُ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Satu kaidah di kalangan ulama dalam hal: Ketika Anda berdoa kepada Allah dengan satu permintaan yang berkaitan dengan kebaikan agama atau dunia Anda, maka iringilah doa tersebut dengan berusaha melakukan sebabnya. Sebagaimana sabda Nabi ʿalaihish shalātu was salām, “Bersungguh-sungguhlah untuk perkara yang bermanfaat bagimu dan mintalah tolong kepada Allah.” (HR. Muslim) Tidak cukup hanya berdoa lalu duduk diam berpangku tangan. Melainkan berdoa sambil terus berusaha dan berjuang, sesuai dengan apa yang dia minta dalam doanya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka, Allah akan memberikan pertolongan, mengarahkan kepada jalan yang benar, memberi kemudahan, dan taufik-Nya. ==== وَالْقَاعِدَةُ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ فِي بَابِ إِذَا دَعَوْتَ اللهَ بِمَطْلُوبٍ مِنْ مَصَالِحِ دِينِكَ أَوْ دُنْيَاكَ فَأَتْبِعِ الدُّعَاءَ بِبَذْلِ السَّبَبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ باللَّهِ لَيْسَ يَدْعُو وَيَبْقَى جَالِسًا بَلْ يَدْعُو وَيَبْقَى مُجَاهِدًا لِنَفْسِهِ بِمَا دَعَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ فَيَأْتِيهِ الْعَوْنُ وَيَأْتِيهِ التَّسْدِيدُ وَيَأْتِيهِ التَّيْسِيرُ وَالتَّوْفِيقُ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى


Satu kaidah di kalangan ulama dalam hal: Ketika Anda berdoa kepada Allah dengan satu permintaan yang berkaitan dengan kebaikan agama atau dunia Anda, maka iringilah doa tersebut dengan berusaha melakukan sebabnya. Sebagaimana sabda Nabi ʿalaihish shalātu was salām, “Bersungguh-sungguhlah untuk perkara yang bermanfaat bagimu dan mintalah tolong kepada Allah.” (HR. Muslim) Tidak cukup hanya berdoa lalu duduk diam berpangku tangan. Melainkan berdoa sambil terus berusaha dan berjuang, sesuai dengan apa yang dia minta dalam doanya kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. Maka, Allah akan memberikan pertolongan, mengarahkan kepada jalan yang benar, memberi kemudahan, dan taufik-Nya. ==== وَالْقَاعِدَةُ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ فِي بَابِ إِذَا دَعَوْتَ اللهَ بِمَطْلُوبٍ مِنْ مَصَالِحِ دِينِكَ أَوْ دُنْيَاكَ فَأَتْبِعِ الدُّعَاءَ بِبَذْلِ السَّبَبِ كَمَا قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ باللَّهِ لَيْسَ يَدْعُو وَيَبْقَى جَالِسًا بَلْ يَدْعُو وَيَبْقَى مُجَاهِدًا لِنَفْسِهِ بِمَا دَعَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ فَيَأْتِيهِ الْعَوْنُ وَيَأْتِيهِ التَّسْدِيدُ وَيَأْتِيهِ التَّيْسِيرُ وَالتَّوْفِيقُ مِنَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. Tags: salat sunah

Fikih Salat Sunah Rawatib Magrib

Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. Tags: salat sunah
Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. Tags: salat sunah


Daftar Isi Toggle Di antara hikmah salat rawatib ba’diyahKeutamaan salat sunah rawatib MagribPertama: Sunah yang konsisten dilakukan NabiKedua: Mendapatkan rumah di surgaTata cara salat sunah rawatib MagribPertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat MagribKedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumahKetiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat keduaJika terlewat rawatib Magrib Salat sunah rawatib merupakan salah satu amalan yang menjadi pelengkap bagi ibadah salat fardu. Salah satunya adalah salat sunah rawatib setelah Magrib, yang dianjurkan untuk senantiasa dijaga oleh setiap muslim. Artikel ini akan membahas keutamaan, tata cara, serta panduan jika salat sunah ini terlewat, sehingga kita dapat lebih memahami dan mengamalkannya sebagai bagian dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara hikmah salat rawatib ba’diyah Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah memberikan penjelasan yang indah tentang hikmah salat rawatib ba’diyah. Beliau mengatakan, “Sedangkan pelaksanaan salat sunah setelah salat wajib, hal ini berdasarkan bahwa salat sunah dapat menutupi kekurangan yang ada pada salat wajib. Maka, setelah salat wajib ditunaikan, dianjurkan untuk dilanjutkan dengan sesuatu yang bisa memperbaiki kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya.” [1] Keutamaan salat sunah rawatib Magrib Selain keutamaan-keutamaan umum yang berkaitan dengan salat sunah, misalkan memperoleh kedudukan yang tinggi di surga, salat sunah rawatib (termasuk Magrib) memiliki keutamaan khusus, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah: Pertama: Sunah yang konsisten dilakukan Nabi Salat sunah rawatib Magrib adalah salah satu dari sunah rawatib yang dianjurkan untuk dijaga oleh seorang muslim. Sunah ini telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, حفظت من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ عشرَ ركعاتٍ سِوى الفريضةِ ركعتينِ قبلَ الظهرِ وركعتين بعدَ الظهرِ وركعتين بعد المغربِ وركعتين بعدَ العشاءِ وركعتين قبلَ الغداةِ “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh rakaat selain dari salat wajib, yaitu dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.” (HR. Bukhari no. 1180 dan Muslim no. 729) Kedua: Mendapatkan rumah di surga Salat rawatib Magrib merupakan bagian dari rangkaian salat rawatib yang apabila seseorang menjaganya, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga. Dari Ummu Habibah, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ما من عبدٍ مسلمٍ يصلِّي للهِ تعالى في كلِّ يومٍ ثِنْتي عشرةَ ركعةً تطوُّعًا غيرَ فريضةٍ إلا بنى اللهُ تعالى له بيتًا في الجنَّةِ، أو : إلا بُنِيَ له بيتٌ في الجنَّةِ :أربعًا قبلَ الظهرِ، و ركعتَين بعدَها، و ركعتَين بعد المغربِ، و ركعتَين بعد العشاءِ، و ركعتَين قبلَ صلاةِ الغَداةِ. ‘Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan dua belas rakaat setiap hari selain dari salat fardu, kecuali Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga. Yaitu, empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum (salat) Subuh.‘” (HR. Tirmidzi no. 415. Disahihkan oleh Al-Albani) [2] Baca juga: Fikih Salat Sunah Rawatib Zuhur Tata cara salat sunah rawatib Magrib Pertama: Salat sunah rawatib Magrib terdiri dari dua rakaat yang dikerjakan setelah salat Magrib Hal ini, sebagaimana telah disebutkan di pembahasan sebelumnya, di antaranya hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan “dua rakaat setelah Magrib.” [3] Kedua: Lebih dianjurkan untuk dilakukan di rumah Termasuk kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melaksanakan salat sunah di rumah, kecuali ada alasan tertentu. Beliau juga menegaskan pentingnya melaksanakan salat rawatib Magrib di rumah. Dari Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi Bani Abdul Asyhal dan salat Magrib bersama mereka. Setelah salam, beliau bersabda, اركعوا هاتين الركعتين في بيوتكم “Kerjakanlah dua rakaat (salat rawatib Magrib) ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad, 5: 428; Ibnu Khuzaimah no. 1200. Dihasankan oleh Al-Albani) [4] Ketiga: Disunahkan membaca surah Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat kedua Tidak ada dalil yang menunjukkan ketentuan khusus tentang bacaan dalam salat sunah secara umum. Namun, terdapat anjuran membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu dalam beberapa salat tertentu, termasuk dua rakaat setelah Magrib. [5] Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ما أُحصي ما سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : يقرأُ في الرَّكعتَيْن بعد المغربِ ، وفي الرَّكعتَيْن قبل صلاةِ الفجرِ بـــــ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ و قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Tidak terhitung berapa kali aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam dua rakaat setelah Magrib dan dua rakaat sebelum salat Subuh: {Qul yaa ayyuhal kafiruun} dan {Qul huwallahu ahad}.” (HR. At-Tirmidzi no. 431 dan Al-Albani mengatakan, “Hasan sahih.”) [6] Jika terlewat rawatib Magrib Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini, apakah disyariatkan mengqadanya atau tidak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa disyariatkan untuk mengqada salat sunah rawatib di luar waktu larangan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Syafi’i, Hanbali, dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan dipilih oleh Ibnul Qayyim serta Ibnu Utsaimin rahimahumullah. [7] Dalilnya adalah hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadis yang panjang, disebutkan bahwasanya Rasulullah melaksanakan salat dua rakaat setelah salat Asar. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau bersabda, يا بنت أبي أمية! سألت عن الركعتين بعد العصر؟ إنه أتاني ناس من عبد القيس بالإسلام من قومهم، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان “Wahai putri Abu Umayyah! Engkau bertanya tentang dua rakaat setelah Asar? Sebenarnya tadi beberapa orang dari Bani ‘Abdil Qais datang kepada kami untuk menerima Islam, dan mereka menyibukkanku dari dua rakaat setelah Zuhur, maka inilah (pengganti) keduanya.” (HR. Bukhari no. 1233 dan Muslim no. 834, dan ini adalah redaksi Muslim) [8] Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqada dua rakaat sunah Zuhur setelah Asar ketika beliau terhalang mengerjakannya. Hadis ini menjadi dalil yang jelas dalam mengqada salat sunah rawatib yang terlewat. Oleh karena itu, disyariatkan untuk mengqada dua rakaat setelah Magrib jika seseorang tertinggal darinya. Wallahu Ta’ala a’lam. Demikian, semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk senantiasa menjaga dan mengamalkan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan di akhirat kelak. Baca juga: Hukum Mengqada Salat Sunah Rawatib *** Rumdin PPIA Sragen, 3 Jumadilakhir 1446 H Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Bazmul, Muhammad Umar. Bughyatu Al-Mutathawwi’ fi Shalati At-Tathawwu’. Kairo: Darul Imam Ahmad, cetakan ke-1, 2006. Tim Ulama Kuwait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 25: 280. [2] Disarikan dari Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 40. [3] Ibid. [4] Ibid., hal. 40-41. [5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 159. [6] https://dorar.net/hadith/sharh/65062 [7] https://dorar.net/feqhia/1229 [8] Lihat Bughyat Al-Mutathawwi’ fi Salat At-Tatawwu’, hal. 33. Tags: salat sunah
Prev     Next