Makna Kemerdekaan bagi Seorang Muslim

Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan

Makna Kemerdekaan bagi Seorang Muslim

Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan
Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan


Daftar Isi Toggle Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikanMerdeka dari hawa nafsuMerdeka dari fitnah duniaKesimpulan Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya. Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala. Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala, sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata, العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره “Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306) Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut. Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala, justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menunjukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya, وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6) Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah. Merdeka dari hawa nafsu Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seseorang kepada kesesatan dan kebatilan. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  “Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26) Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41) Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya. Baca juga: Kemerdekaan yang Hakiki Menjadi Hamba Allah Merdeka dari fitnah dunia Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini, اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20) Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له. “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999) Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan. Kesimpulan Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut: Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya. Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala. Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya, اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي “Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan ke dalam bumi).” Wallahu A’lam bisshawab. Baca juga: Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id Tags: kemerdekaan

Hadis: Menikah adalah Sunah Nabi

Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada tiga orang yang mendatangi rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan bagaimanakah ibadah beliau. Ketika telah disampaikan kepada mereka, mereka pun merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah berlalu maupun di masa mendatang.” Salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, aku akan salat malam selamanya.” (maksudnya, tidak tidur demi bisa mendirikan shalat, pent.) Yang lain berkata, “Aku akan berpuasa dahr (berpuasa sepanjang tahun) dan selalu berpuasa (tidak pernah tidak puasa).” Orang ke tiga berkata, “Aku akan jauhi wanita, aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkata, أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya dibandingkan kalian. Akan tetapi, terkadang aku puasa dan terkadang aku tidak berpuasa; aku salat dan aku juga tidur; dan aku juga menikah dengan wanita. Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan keutamaan menikah dan juga dorongan (motivasi) untuk menikah karena di dalamnya terkandung maslahat (kebaikan) yang besar. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa tidak menikah karena tidak ingin ibadahnya terganggu bukanlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pula termasuk sunahnya. Bahkan, menikah termasuk dalam sunah para Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38) Kandungan kedua Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa syariat itu dibangun di atas kemudahan untuk mukallaf (orang yang dibebani syariat). Tenggelam (berlebih-lebihan) dalam ibadah dengan memberatkan dan menyusahkan badan itu bukanlah termasuk ajaran agama, dan bukan pula termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada kesempurnaan amal jika kalian tidak mampu melakukannya dengan sempurna, pent.), berilah kabar gembira, dan minta tolonglah dengan al-ghadwah (di awal pagi), ar-ruhah (setelah Zuhur), dan dari ad-duljah (di akhir malam).” (HR. Bukhari no. 39) Maksudnya, kita berusaha kontinyu dalam ibadah dengan menunaikannya di waktu-waktu yang kita bisa bersemangat, yaitu ketika di awal pagi, bakda Zuhur, dan di akhir malam. Oleh karena itu, Islam memberikan petunjuk untuk tidak memaksa-maksa diri (berlebihan) dalam ibadah, dan juga membebani badan di luar batas ketika beribadah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka lama-lama dia akan bosan, berhenti, dan terputus dari amal ibadah. Akan tetapi, jika seseorang bersikap pertengahan, maka dia akan beramal secara kontinyu. Memungkinkan juga baginya untuk memenuhi hak yang menjadi kewajibannya, baik hak Allah, hak badan (untuk istirahat), hak keluarga, dan juga hak orang lain secara umum. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464) Kandungan ketiga Di dalam hadis tersebut terdapat suatu kaidah yang penting, yaitu “bersesuaian dengan sunah itu lebih baik daripada banyaknya amal.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk dalam golonganku.” Tiga orang tersebut ingin agar amalnya lebih banyak dari amal ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Kebaikan itu adalah dengan mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salat, puasa, dan kebiasaan-kebiasaan beliau. Contoh penerapan kaidah ini adalah riwayat dari Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Beliau rahimahullah melihat seorang laki-laki yang salat sunah setelah terbit fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih dari dua rakaat, dia memperbanyak rukuk dan sujud dalam salat tersebut. Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang tersebut berkata, يا أبا محمد! يعذبني الله على الصلاة؟ “Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengazabku karena aku (memperbanyak) salat?” Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab, لا، ولكن يعذبك على خلاف السنة “Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diazab) karena menyelisihi sunah (petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2: 366; Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1: 147; ‘Abdur Razzaq, 3: 25; Ad-Darimi, 1: 116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam *** @BA, 26 Syawal 1445/ 5 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 178-179). Tags: menikahsunah nabi

Hadis: Menikah adalah Sunah Nabi

Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada tiga orang yang mendatangi rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan bagaimanakah ibadah beliau. Ketika telah disampaikan kepada mereka, mereka pun merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah berlalu maupun di masa mendatang.” Salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, aku akan salat malam selamanya.” (maksudnya, tidak tidur demi bisa mendirikan shalat, pent.) Yang lain berkata, “Aku akan berpuasa dahr (berpuasa sepanjang tahun) dan selalu berpuasa (tidak pernah tidak puasa).” Orang ke tiga berkata, “Aku akan jauhi wanita, aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkata, أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya dibandingkan kalian. Akan tetapi, terkadang aku puasa dan terkadang aku tidak berpuasa; aku salat dan aku juga tidur; dan aku juga menikah dengan wanita. Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan keutamaan menikah dan juga dorongan (motivasi) untuk menikah karena di dalamnya terkandung maslahat (kebaikan) yang besar. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa tidak menikah karena tidak ingin ibadahnya terganggu bukanlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pula termasuk sunahnya. Bahkan, menikah termasuk dalam sunah para Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38) Kandungan kedua Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa syariat itu dibangun di atas kemudahan untuk mukallaf (orang yang dibebani syariat). Tenggelam (berlebih-lebihan) dalam ibadah dengan memberatkan dan menyusahkan badan itu bukanlah termasuk ajaran agama, dan bukan pula termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada kesempurnaan amal jika kalian tidak mampu melakukannya dengan sempurna, pent.), berilah kabar gembira, dan minta tolonglah dengan al-ghadwah (di awal pagi), ar-ruhah (setelah Zuhur), dan dari ad-duljah (di akhir malam).” (HR. Bukhari no. 39) Maksudnya, kita berusaha kontinyu dalam ibadah dengan menunaikannya di waktu-waktu yang kita bisa bersemangat, yaitu ketika di awal pagi, bakda Zuhur, dan di akhir malam. Oleh karena itu, Islam memberikan petunjuk untuk tidak memaksa-maksa diri (berlebihan) dalam ibadah, dan juga membebani badan di luar batas ketika beribadah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka lama-lama dia akan bosan, berhenti, dan terputus dari amal ibadah. Akan tetapi, jika seseorang bersikap pertengahan, maka dia akan beramal secara kontinyu. Memungkinkan juga baginya untuk memenuhi hak yang menjadi kewajibannya, baik hak Allah, hak badan (untuk istirahat), hak keluarga, dan juga hak orang lain secara umum. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464) Kandungan ketiga Di dalam hadis tersebut terdapat suatu kaidah yang penting, yaitu “bersesuaian dengan sunah itu lebih baik daripada banyaknya amal.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk dalam golonganku.” Tiga orang tersebut ingin agar amalnya lebih banyak dari amal ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Kebaikan itu adalah dengan mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salat, puasa, dan kebiasaan-kebiasaan beliau. Contoh penerapan kaidah ini adalah riwayat dari Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Beliau rahimahullah melihat seorang laki-laki yang salat sunah setelah terbit fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih dari dua rakaat, dia memperbanyak rukuk dan sujud dalam salat tersebut. Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang tersebut berkata, يا أبا محمد! يعذبني الله على الصلاة؟ “Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengazabku karena aku (memperbanyak) salat?” Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab, لا، ولكن يعذبك على خلاف السنة “Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diazab) karena menyelisihi sunah (petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2: 366; Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1: 147; ‘Abdur Razzaq, 3: 25; Ad-Darimi, 1: 116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam *** @BA, 26 Syawal 1445/ 5 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 178-179). Tags: menikahsunah nabi
Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada tiga orang yang mendatangi rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan bagaimanakah ibadah beliau. Ketika telah disampaikan kepada mereka, mereka pun merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah berlalu maupun di masa mendatang.” Salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, aku akan salat malam selamanya.” (maksudnya, tidak tidur demi bisa mendirikan shalat, pent.) Yang lain berkata, “Aku akan berpuasa dahr (berpuasa sepanjang tahun) dan selalu berpuasa (tidak pernah tidak puasa).” Orang ke tiga berkata, “Aku akan jauhi wanita, aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkata, أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya dibandingkan kalian. Akan tetapi, terkadang aku puasa dan terkadang aku tidak berpuasa; aku salat dan aku juga tidur; dan aku juga menikah dengan wanita. Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan keutamaan menikah dan juga dorongan (motivasi) untuk menikah karena di dalamnya terkandung maslahat (kebaikan) yang besar. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa tidak menikah karena tidak ingin ibadahnya terganggu bukanlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pula termasuk sunahnya. Bahkan, menikah termasuk dalam sunah para Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38) Kandungan kedua Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa syariat itu dibangun di atas kemudahan untuk mukallaf (orang yang dibebani syariat). Tenggelam (berlebih-lebihan) dalam ibadah dengan memberatkan dan menyusahkan badan itu bukanlah termasuk ajaran agama, dan bukan pula termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada kesempurnaan amal jika kalian tidak mampu melakukannya dengan sempurna, pent.), berilah kabar gembira, dan minta tolonglah dengan al-ghadwah (di awal pagi), ar-ruhah (setelah Zuhur), dan dari ad-duljah (di akhir malam).” (HR. Bukhari no. 39) Maksudnya, kita berusaha kontinyu dalam ibadah dengan menunaikannya di waktu-waktu yang kita bisa bersemangat, yaitu ketika di awal pagi, bakda Zuhur, dan di akhir malam. Oleh karena itu, Islam memberikan petunjuk untuk tidak memaksa-maksa diri (berlebihan) dalam ibadah, dan juga membebani badan di luar batas ketika beribadah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka lama-lama dia akan bosan, berhenti, dan terputus dari amal ibadah. Akan tetapi, jika seseorang bersikap pertengahan, maka dia akan beramal secara kontinyu. Memungkinkan juga baginya untuk memenuhi hak yang menjadi kewajibannya, baik hak Allah, hak badan (untuk istirahat), hak keluarga, dan juga hak orang lain secara umum. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464) Kandungan ketiga Di dalam hadis tersebut terdapat suatu kaidah yang penting, yaitu “bersesuaian dengan sunah itu lebih baik daripada banyaknya amal.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk dalam golonganku.” Tiga orang tersebut ingin agar amalnya lebih banyak dari amal ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Kebaikan itu adalah dengan mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salat, puasa, dan kebiasaan-kebiasaan beliau. Contoh penerapan kaidah ini adalah riwayat dari Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Beliau rahimahullah melihat seorang laki-laki yang salat sunah setelah terbit fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih dari dua rakaat, dia memperbanyak rukuk dan sujud dalam salat tersebut. Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang tersebut berkata, يا أبا محمد! يعذبني الله على الصلاة؟ “Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengazabku karena aku (memperbanyak) salat?” Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab, لا، ولكن يعذبك على خلاف السنة “Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diazab) karena menyelisihi sunah (petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2: 366; Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1: 147; ‘Abdur Razzaq, 3: 25; Ad-Darimi, 1: 116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam *** @BA, 26 Syawal 1445/ 5 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 178-179). Tags: menikahsunah nabi


Daftar Isi Toggle Teks hadis Kandungan hadis Kandungan pertamaKandungan keduaKandungan ketiga Teks hadis Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada tiga orang yang mendatangi rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan bagaimanakah ibadah beliau. Ketika telah disampaikan kepada mereka, mereka pun merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah berlalu maupun di masa mendatang.” Salah seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, aku akan salat malam selamanya.” (maksudnya, tidak tidur demi bisa mendirikan shalat, pent.) Yang lain berkata, “Aku akan berpuasa dahr (berpuasa sepanjang tahun) dan selalu berpuasa (tidak pernah tidak puasa).” Orang ke tiga berkata, “Aku akan jauhi wanita, aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkata, أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya dibandingkan kalian. Akan tetapi, terkadang aku puasa dan terkadang aku tidak berpuasa; aku salat dan aku juga tidur; dan aku juga menikah dengan wanita. Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401) Kandungan hadis Kandungan pertama Hadis tersebut menunjukkan keutamaan menikah dan juga dorongan (motivasi) untuk menikah karena di dalamnya terkandung maslahat (kebaikan) yang besar. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa tidak menikah karena tidak ingin ibadahnya terganggu bukanlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pula termasuk sunahnya. Bahkan, menikah termasuk dalam sunah para Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38) Kandungan kedua Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa syariat itu dibangun di atas kemudahan untuk mukallaf (orang yang dibebani syariat). Tenggelam (berlebih-lebihan) dalam ibadah dengan memberatkan dan menyusahkan badan itu bukanlah termasuk ajaran agama, dan bukan pula termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada kesempurnaan amal jika kalian tidak mampu melakukannya dengan sempurna, pent.), berilah kabar gembira, dan minta tolonglah dengan al-ghadwah (di awal pagi), ar-ruhah (setelah Zuhur), dan dari ad-duljah (di akhir malam).” (HR. Bukhari no. 39) Maksudnya, kita berusaha kontinyu dalam ibadah dengan menunaikannya di waktu-waktu yang kita bisa bersemangat, yaitu ketika di awal pagi, bakda Zuhur, dan di akhir malam. Oleh karena itu, Islam memberikan petunjuk untuk tidak memaksa-maksa diri (berlebihan) dalam ibadah, dan juga membebani badan di luar batas ketika beribadah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka lama-lama dia akan bosan, berhenti, dan terputus dari amal ibadah. Akan tetapi, jika seseorang bersikap pertengahan, maka dia akan beramal secara kontinyu. Memungkinkan juga baginya untuk memenuhi hak yang menjadi kewajibannya, baik hak Allah, hak badan (untuk istirahat), hak keluarga, dan juga hak orang lain secara umum. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وَأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ “Sesungguhnya amal yang dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Bukhari no. 6464) Kandungan ketiga Di dalam hadis tersebut terdapat suatu kaidah yang penting, yaitu “bersesuaian dengan sunah itu lebih baik daripada banyaknya amal.” Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي “Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk dalam golonganku.” Tiga orang tersebut ingin agar amalnya lebih banyak dari amal ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Kebaikan itu adalah dengan mengikuti sunah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salat, puasa, dan kebiasaan-kebiasaan beliau. Contoh penerapan kaidah ini adalah riwayat dari Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Beliau rahimahullah melihat seorang laki-laki yang salat sunah setelah terbit fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih dari dua rakaat, dia memperbanyak rukuk dan sujud dalam salat tersebut. Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang tersebut berkata, يا أبا محمد! يعذبني الله على الصلاة؟ “Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan mengazabku karena aku (memperbanyak) salat?” Sa’id bin Musayyib rahimahullah menjawab, لا، ولكن يعذبك على خلاف السنة “Tidak, akan tetapi (bisa jadi Engkau diazab) karena menyelisihi sunah (petunjuk Nabi).” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 2: 366; Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1: 147; ‘Abdur Razzaq, 3: 25; Ad-Darimi, 1: 116 dan Ibnu Nashr, hal. 84; dengan sanad yang hasan) Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai] Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam *** @BA, 26 Syawal 1445/ 5 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 178-179). Tags: menikahsunah nabi

Bolehkah Berdoa Kejelekan untuk Orang yang Menzalimi? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

PERTANYAAN:Saudari Ummu Anas bertanya, “Apakah boleh mendoakan keburukan bagi orang zalim meskipun dia masih ada hubungan kerabat atau keluarga?” JAWABAN:Boleh mendoakan keburukan atas orang zalim, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Allah tidak menyukai ucapan buruk dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi.” (QS. an-Nisa: 148) Makna ayat ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Allah tidak menyukai kalian saling mendoakan keburukan, kecuali orang yang terzalimi, karena dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya. Doa keburukan dari orang terzalimi terhadap orang yang menzaliminya mudah untuk dikabulkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena antara doa itu dan Allah tidak ada penghalang.” Jadi, seorang Muslim harus menjauhi kezaliman, karena akibatnya sangat buruk. Betapa banyak orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi orang yang menzaliminya, sehingga menyebabkan banyak malapetaka. Jadi, tidak ada penghalang antara doa orang terzalimi dengan Allah. Namun, jika seseorang mampu untuk tidak mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, tapi justru mendoakan kebaikan bagi diri sendiri, agar Allah memudahkan urusannya dan mendapatkan kembali haknya, serta agar Allah memberi petunjuk kepada orang zalim ini, maka ini lebih utama. Namun, dari sisi hukum syariat, dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, karena terkadang diri manusia tidak mampu menahan kezaliman dan seseorang merasakan beban, sehingga dia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang terzalimi. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Wahai para hamba-Ku, sungguh Aku haramkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku juga menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim) ==== الْأُخْتُ أُمُّ أَنَسٍ تَقُولُ هَلْ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ وَلَوْ كَانَ قَرِيبًا أَوْ مِنَ الْأَرْحَامِ؟ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ لِقَوْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَمَعْنَى الْآيَةِ كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَيْ لَا يُحِبُّ اللهُ أَنْ يَدْعُوَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الْمَظْلُومُ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ عَلَى ظَالِمِهِ حَرِيَّةٌ بِالْإِجَابَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَّقِيَ الظُّلْمَ الظُّلْمُ عَاقِبَتُهُ وَخِيمَةٌ وَرُبَّ مَظْلُومٍ يَدْعُو عَلَى الْإِنْسَانِ يَتَسَبَّبُ فِي مَصَائِبَ وَكَوَارِثَ فَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ لَكِنْ إِنْ أَمْكَنَ الْإِنْسَانُ لَا يَدْعُو عَلَى هَذَا الظَّالِمِ وَيَدْعُوَ لَهُ وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى يُيَسِّرُ لَهُ وَالْوُصُولَ لِحَقِّهِ وَأَنْ يُهْدِيَ هَذَا الظَّالِمَ هَذَا أَوْلَى لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ لِأَنَّهُ أَحْيَانًا قَدْ تَكُوْنُ النَّفْسُ الْبَشَرِيَّةُ لَا تَحْتَمِلُ الظُّلْمَ وَيُحِسُّ الْإِنْسَانُ بِشَيْءٍ مِنْ يَعْنِي الْقَهْر وَيَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلّ وَاللهُ تَعَالَى يَسْتَجِيبُ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَلِهَذَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَا عِبَادِيْ إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ مُحَرَّمًا بَيْنَكُمْ فَلَا تَظَالَمُوا

Bolehkah Berdoa Kejelekan untuk Orang yang Menzalimi? – Syaikh Sa’ad al-Khatslan #NasehatUlama

PERTANYAAN:Saudari Ummu Anas bertanya, “Apakah boleh mendoakan keburukan bagi orang zalim meskipun dia masih ada hubungan kerabat atau keluarga?” JAWABAN:Boleh mendoakan keburukan atas orang zalim, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Allah tidak menyukai ucapan buruk dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi.” (QS. an-Nisa: 148) Makna ayat ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Allah tidak menyukai kalian saling mendoakan keburukan, kecuali orang yang terzalimi, karena dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya. Doa keburukan dari orang terzalimi terhadap orang yang menzaliminya mudah untuk dikabulkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena antara doa itu dan Allah tidak ada penghalang.” Jadi, seorang Muslim harus menjauhi kezaliman, karena akibatnya sangat buruk. Betapa banyak orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi orang yang menzaliminya, sehingga menyebabkan banyak malapetaka. Jadi, tidak ada penghalang antara doa orang terzalimi dengan Allah. Namun, jika seseorang mampu untuk tidak mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, tapi justru mendoakan kebaikan bagi diri sendiri, agar Allah memudahkan urusannya dan mendapatkan kembali haknya, serta agar Allah memberi petunjuk kepada orang zalim ini, maka ini lebih utama. Namun, dari sisi hukum syariat, dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, karena terkadang diri manusia tidak mampu menahan kezaliman dan seseorang merasakan beban, sehingga dia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang terzalimi. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Wahai para hamba-Ku, sungguh Aku haramkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku juga menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim) ==== الْأُخْتُ أُمُّ أَنَسٍ تَقُولُ هَلْ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ وَلَوْ كَانَ قَرِيبًا أَوْ مِنَ الْأَرْحَامِ؟ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ لِقَوْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَمَعْنَى الْآيَةِ كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَيْ لَا يُحِبُّ اللهُ أَنْ يَدْعُوَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الْمَظْلُومُ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ عَلَى ظَالِمِهِ حَرِيَّةٌ بِالْإِجَابَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَّقِيَ الظُّلْمَ الظُّلْمُ عَاقِبَتُهُ وَخِيمَةٌ وَرُبَّ مَظْلُومٍ يَدْعُو عَلَى الْإِنْسَانِ يَتَسَبَّبُ فِي مَصَائِبَ وَكَوَارِثَ فَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ لَكِنْ إِنْ أَمْكَنَ الْإِنْسَانُ لَا يَدْعُو عَلَى هَذَا الظَّالِمِ وَيَدْعُوَ لَهُ وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى يُيَسِّرُ لَهُ وَالْوُصُولَ لِحَقِّهِ وَأَنْ يُهْدِيَ هَذَا الظَّالِمَ هَذَا أَوْلَى لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ لِأَنَّهُ أَحْيَانًا قَدْ تَكُوْنُ النَّفْسُ الْبَشَرِيَّةُ لَا تَحْتَمِلُ الظُّلْمَ وَيُحِسُّ الْإِنْسَانُ بِشَيْءٍ مِنْ يَعْنِي الْقَهْر وَيَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلّ وَاللهُ تَعَالَى يَسْتَجِيبُ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَلِهَذَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَا عِبَادِيْ إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ مُحَرَّمًا بَيْنَكُمْ فَلَا تَظَالَمُوا
PERTANYAAN:Saudari Ummu Anas bertanya, “Apakah boleh mendoakan keburukan bagi orang zalim meskipun dia masih ada hubungan kerabat atau keluarga?” JAWABAN:Boleh mendoakan keburukan atas orang zalim, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Allah tidak menyukai ucapan buruk dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi.” (QS. an-Nisa: 148) Makna ayat ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Allah tidak menyukai kalian saling mendoakan keburukan, kecuali orang yang terzalimi, karena dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya. Doa keburukan dari orang terzalimi terhadap orang yang menzaliminya mudah untuk dikabulkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena antara doa itu dan Allah tidak ada penghalang.” Jadi, seorang Muslim harus menjauhi kezaliman, karena akibatnya sangat buruk. Betapa banyak orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi orang yang menzaliminya, sehingga menyebabkan banyak malapetaka. Jadi, tidak ada penghalang antara doa orang terzalimi dengan Allah. Namun, jika seseorang mampu untuk tidak mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, tapi justru mendoakan kebaikan bagi diri sendiri, agar Allah memudahkan urusannya dan mendapatkan kembali haknya, serta agar Allah memberi petunjuk kepada orang zalim ini, maka ini lebih utama. Namun, dari sisi hukum syariat, dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, karena terkadang diri manusia tidak mampu menahan kezaliman dan seseorang merasakan beban, sehingga dia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang terzalimi. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Wahai para hamba-Ku, sungguh Aku haramkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku juga menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim) ==== الْأُخْتُ أُمُّ أَنَسٍ تَقُولُ هَلْ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ وَلَوْ كَانَ قَرِيبًا أَوْ مِنَ الْأَرْحَامِ؟ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ لِقَوْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَمَعْنَى الْآيَةِ كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَيْ لَا يُحِبُّ اللهُ أَنْ يَدْعُوَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الْمَظْلُومُ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ عَلَى ظَالِمِهِ حَرِيَّةٌ بِالْإِجَابَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَّقِيَ الظُّلْمَ الظُّلْمُ عَاقِبَتُهُ وَخِيمَةٌ وَرُبَّ مَظْلُومٍ يَدْعُو عَلَى الْإِنْسَانِ يَتَسَبَّبُ فِي مَصَائِبَ وَكَوَارِثَ فَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ لَكِنْ إِنْ أَمْكَنَ الْإِنْسَانُ لَا يَدْعُو عَلَى هَذَا الظَّالِمِ وَيَدْعُوَ لَهُ وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى يُيَسِّرُ لَهُ وَالْوُصُولَ لِحَقِّهِ وَأَنْ يُهْدِيَ هَذَا الظَّالِمَ هَذَا أَوْلَى لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ لِأَنَّهُ أَحْيَانًا قَدْ تَكُوْنُ النَّفْسُ الْبَشَرِيَّةُ لَا تَحْتَمِلُ الظُّلْمَ وَيُحِسُّ الْإِنْسَانُ بِشَيْءٍ مِنْ يَعْنِي الْقَهْر وَيَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلّ وَاللهُ تَعَالَى يَسْتَجِيبُ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَلِهَذَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَا عِبَادِيْ إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ مُحَرَّمًا بَيْنَكُمْ فَلَا تَظَالَمُوا


PERTANYAAN:Saudari Ummu Anas bertanya, “Apakah boleh mendoakan keburukan bagi orang zalim meskipun dia masih ada hubungan kerabat atau keluarga?” JAWABAN:Boleh mendoakan keburukan atas orang zalim, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Allah tidak menyukai ucapan buruk dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi.” (QS. an-Nisa: 148) Makna ayat ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Allah tidak menyukai kalian saling mendoakan keburukan, kecuali orang yang terzalimi, karena dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya. Doa keburukan dari orang terzalimi terhadap orang yang menzaliminya mudah untuk dikabulkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena antara doa itu dan Allah tidak ada penghalang.” Jadi, seorang Muslim harus menjauhi kezaliman, karena akibatnya sangat buruk. Betapa banyak orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi orang yang menzaliminya, sehingga menyebabkan banyak malapetaka. Jadi, tidak ada penghalang antara doa orang terzalimi dengan Allah. Namun, jika seseorang mampu untuk tidak mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, tapi justru mendoakan kebaikan bagi diri sendiri, agar Allah memudahkan urusannya dan mendapatkan kembali haknya, serta agar Allah memberi petunjuk kepada orang zalim ini, maka ini lebih utama. Namun, dari sisi hukum syariat, dia boleh mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya, karena terkadang diri manusia tidak mampu menahan kezaliman dan seseorang merasakan beban, sehingga dia berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang terzalimi. Oleh sebab itu, Allah berfirman, “Wahai para hamba-Ku, sungguh Aku haramkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku juga menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim) ==== الْأُخْتُ أُمُّ أَنَسٍ تَقُولُ هَلْ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ وَلَوْ كَانَ قَرِيبًا أَوْ مِنَ الْأَرْحَامِ؟ يَجُوزُ الدُّعَاءُ عَلَى الظَّالِمِ لِقَوْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَمَعْنَى الْآيَةِ كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَيْ لَا يُحِبُّ اللهُ أَنْ يَدْعُوَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الْمَظْلُومُ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ عَلَى ظَالِمِهِ حَرِيَّةٌ بِالْإِجَابَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَّقِيَ الظُّلْمَ الظُّلْمُ عَاقِبَتُهُ وَخِيمَةٌ وَرُبَّ مَظْلُومٍ يَدْعُو عَلَى الْإِنْسَانِ يَتَسَبَّبُ فِي مَصَائِبَ وَكَوَارِثَ فَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ لَكِنْ إِنْ أَمْكَنَ الْإِنْسَانُ لَا يَدْعُو عَلَى هَذَا الظَّالِمِ وَيَدْعُوَ لَهُ وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى يُيَسِّرُ لَهُ وَالْوُصُولَ لِحَقِّهِ وَأَنْ يُهْدِيَ هَذَا الظَّالِمَ هَذَا أَوْلَى لَكِنْ مِنْ حَيْثُ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ لِأَنَّهُ أَحْيَانًا قَدْ تَكُوْنُ النَّفْسُ الْبَشَرِيَّةُ لَا تَحْتَمِلُ الظُّلْمَ وَيُحِسُّ الْإِنْسَانُ بِشَيْءٍ مِنْ يَعْنِي الْقَهْر وَيَدْعُو اللهَ عَزَّ وَجَلّ وَاللهُ تَعَالَى يَسْتَجِيبُ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَلِهَذَا قَالَ سُبْحَانَهُ يَا عِبَادِيْ إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ مُحَرَّمًا بَيْنَكُمْ فَلَا تَظَالَمُوا

Sebab Doa Tak Terkabul Karena Terlalu Tergesa-Gesa, Apa Maksudnya?

Salah satu sebab doa tak terkabul adalah karena terlalu tergesa-gesa. Apa maksudnya?   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَمِنْ أَنْفَعِ الاَدْوِيَّةِ الاِلْحَاحُ فِى الدُّعَاءِ Sikap terus menerus berdoa (memelas atau merengek-rengek dalam doa) termasuk obat penawar yang amat bermanfaat bagi manusia. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ  “Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya.” (HR. Ibnu Majah, no. 3827; Tirmidzi, no. 3370; Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 658; Ahmad, 2:442, 477; Al-Hakim, 1:491; Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat Al-Kabiroh, no. 22). Disebutkan pula dalam Shahih Al-Hakim dari Anas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَعْجِزُوا فِي الدُّعَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَهْلِكُ مَعَ الدُّعَاءِ أَحَدٌ “Jangan kalian lemah dalam berdoa karena sesungguhnya tidak ada orang yang binasa dikarenakan doa.” (HR. Al-Hakim, 1:493. Dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Muhammad bin Shuhbaan, ia perawai matruk. Hadits ini disebutkan dalam kumpulan hadits dhaif dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah, no. 843 karya Syaikh Al-Albani). Al-Auza’i menuturkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُلِحِّينَ فِي الدُّعَاءِ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ilhah (merengek-rengek atau memelas) ketika berdoa.” (HR. Thabrani, no. 20, terdapat perawi yang matruk). وَفِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ مُوَرِّقٌ: مَا وَجَدْتُ لِلْمُؤْمِنِ مَثَلًا إِلَّا رَجُلٌ فِي الْبَحْرِ عَلَى خَشَبَةٍ، فَهُوَ يَدْعُو: يَا رَبِّ يَا رَبِّ لَعَلَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُنْجِيَهُ. Di dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad disebutkan bahwa Qatadah menukilkan penuturan Muwarriq tentang hamba mukmin yang terus menerus berdoa kepada Allah. Muwarriq rahimahullah menuturkan, “Saya tidak pernah mendapati suatu perumpamaan bagi orang mukmin dalam hal berdoa kecuali seperti seseorang di atas kayu yang tengah mengapung di lautan. Kemudian lanjut Muwarriq, orang mukmin itu mengucap doa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Orang mukmin berharap semoga Allah menyelamatkannya.” (HR. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah, 2:235) وَمِنَ الْآفَاتِ الَّتِي تَمْنَعُ تَرَتُّبَ أَثَرِ الدُّعَاءِ عَلَيْهِ: أَنْ يَسْتَعْجِلَ الْعَبْدُ، وَيَسْتَبْطِئَ الْإِجَابَةَ، فَيَسْتَحْسِرُ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ، Salah satu kesalahan yang dapat menghalangi terkabulnya doa adalah tergesa-gesanya seorang hamba. Ia menganggap doanya lambat dikabulkan, lantas ia pun merasa jenuh dan letih, sehingga akhirnya ia meninggalkan doa. وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ بَذَرَ بَذْرًا أَوْ غَرَسَ غَرْسًا، فَجَعَلَ يَتَعَاهَدُهُ وَيَسْقِيهِ، فَلَمَّا اسْتَبْطَأَ كَمَالَهُ وَإِدْرَاكَهُ تَرَكَهُ وَأَهْمَلَهُ. Ini ibarat orang yang menabur benih atau menanam tanaman, kemudian ia menjaga dan menyiraminya. Namun, karena merasa terlalu lama menunggu hasilnya, orang itu pun membiarkan dan mengabaikan tanaman tersebut. Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ،يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي “Doa setiap kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata: ‘Saya sudah berdoa, tetapi belum juga dikabulkan.” (HR. Bukhari, no. 5981) Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ؟ قَالَ يَقُولُ: قَدْ دَعَوْتُ، وَقَدْ دَعَوْتُ، فَلَمْ أَرَ يُسْتَجَابُ لِي، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ “Doa hamba akan terkabul selama tidak berdoa untuk kemaksiatan atau untuk memutus silaturahim, dan selama ia tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apakah bentuk ketergesa-gesaan tersebut?” Nabi menjawab, “Hamba tadi berkata: ‘Aku telah berdoa, sungguh aku telah berdoa, tetapi Allah belum juga mengabulkan doa tersebut.” Ia merasa jenuh dan letih, lalu akhirnya, ia meninggalkan doa.” (HR. Muslim, no. 2735) Di dalam musnad Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, «لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي» “Seorang hamba selalu dalam kebaikan selama tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk ketergesa-gesaannya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hamba itu berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Rabbku, tetapi Allah belum mengabulkan permohonanku.” (HR. Ahmad, 3:193, 210. Hadits ini hasan menurut Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-19.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 13 Dzulqa’dah 1445 H, 22 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Sebab Doa Tak Terkabul Karena Terlalu Tergesa-Gesa, Apa Maksudnya?

Salah satu sebab doa tak terkabul adalah karena terlalu tergesa-gesa. Apa maksudnya?   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَمِنْ أَنْفَعِ الاَدْوِيَّةِ الاِلْحَاحُ فِى الدُّعَاءِ Sikap terus menerus berdoa (memelas atau merengek-rengek dalam doa) termasuk obat penawar yang amat bermanfaat bagi manusia. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ  “Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya.” (HR. Ibnu Majah, no. 3827; Tirmidzi, no. 3370; Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 658; Ahmad, 2:442, 477; Al-Hakim, 1:491; Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat Al-Kabiroh, no. 22). Disebutkan pula dalam Shahih Al-Hakim dari Anas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَعْجِزُوا فِي الدُّعَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَهْلِكُ مَعَ الدُّعَاءِ أَحَدٌ “Jangan kalian lemah dalam berdoa karena sesungguhnya tidak ada orang yang binasa dikarenakan doa.” (HR. Al-Hakim, 1:493. Dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Muhammad bin Shuhbaan, ia perawai matruk. Hadits ini disebutkan dalam kumpulan hadits dhaif dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah, no. 843 karya Syaikh Al-Albani). Al-Auza’i menuturkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُلِحِّينَ فِي الدُّعَاءِ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ilhah (merengek-rengek atau memelas) ketika berdoa.” (HR. Thabrani, no. 20, terdapat perawi yang matruk). وَفِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ مُوَرِّقٌ: مَا وَجَدْتُ لِلْمُؤْمِنِ مَثَلًا إِلَّا رَجُلٌ فِي الْبَحْرِ عَلَى خَشَبَةٍ، فَهُوَ يَدْعُو: يَا رَبِّ يَا رَبِّ لَعَلَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُنْجِيَهُ. Di dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad disebutkan bahwa Qatadah menukilkan penuturan Muwarriq tentang hamba mukmin yang terus menerus berdoa kepada Allah. Muwarriq rahimahullah menuturkan, “Saya tidak pernah mendapati suatu perumpamaan bagi orang mukmin dalam hal berdoa kecuali seperti seseorang di atas kayu yang tengah mengapung di lautan. Kemudian lanjut Muwarriq, orang mukmin itu mengucap doa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Orang mukmin berharap semoga Allah menyelamatkannya.” (HR. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah, 2:235) وَمِنَ الْآفَاتِ الَّتِي تَمْنَعُ تَرَتُّبَ أَثَرِ الدُّعَاءِ عَلَيْهِ: أَنْ يَسْتَعْجِلَ الْعَبْدُ، وَيَسْتَبْطِئَ الْإِجَابَةَ، فَيَسْتَحْسِرُ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ، Salah satu kesalahan yang dapat menghalangi terkabulnya doa adalah tergesa-gesanya seorang hamba. Ia menganggap doanya lambat dikabulkan, lantas ia pun merasa jenuh dan letih, sehingga akhirnya ia meninggalkan doa. وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ بَذَرَ بَذْرًا أَوْ غَرَسَ غَرْسًا، فَجَعَلَ يَتَعَاهَدُهُ وَيَسْقِيهِ، فَلَمَّا اسْتَبْطَأَ كَمَالَهُ وَإِدْرَاكَهُ تَرَكَهُ وَأَهْمَلَهُ. Ini ibarat orang yang menabur benih atau menanam tanaman, kemudian ia menjaga dan menyiraminya. Namun, karena merasa terlalu lama menunggu hasilnya, orang itu pun membiarkan dan mengabaikan tanaman tersebut. Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ،يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي “Doa setiap kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata: ‘Saya sudah berdoa, tetapi belum juga dikabulkan.” (HR. Bukhari, no. 5981) Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ؟ قَالَ يَقُولُ: قَدْ دَعَوْتُ، وَقَدْ دَعَوْتُ، فَلَمْ أَرَ يُسْتَجَابُ لِي، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ “Doa hamba akan terkabul selama tidak berdoa untuk kemaksiatan atau untuk memutus silaturahim, dan selama ia tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apakah bentuk ketergesa-gesaan tersebut?” Nabi menjawab, “Hamba tadi berkata: ‘Aku telah berdoa, sungguh aku telah berdoa, tetapi Allah belum juga mengabulkan doa tersebut.” Ia merasa jenuh dan letih, lalu akhirnya, ia meninggalkan doa.” (HR. Muslim, no. 2735) Di dalam musnad Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, «لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي» “Seorang hamba selalu dalam kebaikan selama tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk ketergesa-gesaannya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hamba itu berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Rabbku, tetapi Allah belum mengabulkan permohonanku.” (HR. Ahmad, 3:193, 210. Hadits ini hasan menurut Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-19.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 13 Dzulqa’dah 1445 H, 22 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup
Salah satu sebab doa tak terkabul adalah karena terlalu tergesa-gesa. Apa maksudnya?   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَمِنْ أَنْفَعِ الاَدْوِيَّةِ الاِلْحَاحُ فِى الدُّعَاءِ Sikap terus menerus berdoa (memelas atau merengek-rengek dalam doa) termasuk obat penawar yang amat bermanfaat bagi manusia. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ  “Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya.” (HR. Ibnu Majah, no. 3827; Tirmidzi, no. 3370; Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 658; Ahmad, 2:442, 477; Al-Hakim, 1:491; Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat Al-Kabiroh, no. 22). Disebutkan pula dalam Shahih Al-Hakim dari Anas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَعْجِزُوا فِي الدُّعَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَهْلِكُ مَعَ الدُّعَاءِ أَحَدٌ “Jangan kalian lemah dalam berdoa karena sesungguhnya tidak ada orang yang binasa dikarenakan doa.” (HR. Al-Hakim, 1:493. Dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Muhammad bin Shuhbaan, ia perawai matruk. Hadits ini disebutkan dalam kumpulan hadits dhaif dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah, no. 843 karya Syaikh Al-Albani). Al-Auza’i menuturkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُلِحِّينَ فِي الدُّعَاءِ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ilhah (merengek-rengek atau memelas) ketika berdoa.” (HR. Thabrani, no. 20, terdapat perawi yang matruk). وَفِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ مُوَرِّقٌ: مَا وَجَدْتُ لِلْمُؤْمِنِ مَثَلًا إِلَّا رَجُلٌ فِي الْبَحْرِ عَلَى خَشَبَةٍ، فَهُوَ يَدْعُو: يَا رَبِّ يَا رَبِّ لَعَلَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُنْجِيَهُ. Di dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad disebutkan bahwa Qatadah menukilkan penuturan Muwarriq tentang hamba mukmin yang terus menerus berdoa kepada Allah. Muwarriq rahimahullah menuturkan, “Saya tidak pernah mendapati suatu perumpamaan bagi orang mukmin dalam hal berdoa kecuali seperti seseorang di atas kayu yang tengah mengapung di lautan. Kemudian lanjut Muwarriq, orang mukmin itu mengucap doa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Orang mukmin berharap semoga Allah menyelamatkannya.” (HR. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah, 2:235) وَمِنَ الْآفَاتِ الَّتِي تَمْنَعُ تَرَتُّبَ أَثَرِ الدُّعَاءِ عَلَيْهِ: أَنْ يَسْتَعْجِلَ الْعَبْدُ، وَيَسْتَبْطِئَ الْإِجَابَةَ، فَيَسْتَحْسِرُ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ، Salah satu kesalahan yang dapat menghalangi terkabulnya doa adalah tergesa-gesanya seorang hamba. Ia menganggap doanya lambat dikabulkan, lantas ia pun merasa jenuh dan letih, sehingga akhirnya ia meninggalkan doa. وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ بَذَرَ بَذْرًا أَوْ غَرَسَ غَرْسًا، فَجَعَلَ يَتَعَاهَدُهُ وَيَسْقِيهِ، فَلَمَّا اسْتَبْطَأَ كَمَالَهُ وَإِدْرَاكَهُ تَرَكَهُ وَأَهْمَلَهُ. Ini ibarat orang yang menabur benih atau menanam tanaman, kemudian ia menjaga dan menyiraminya. Namun, karena merasa terlalu lama menunggu hasilnya, orang itu pun membiarkan dan mengabaikan tanaman tersebut. Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ،يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي “Doa setiap kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata: ‘Saya sudah berdoa, tetapi belum juga dikabulkan.” (HR. Bukhari, no. 5981) Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ؟ قَالَ يَقُولُ: قَدْ دَعَوْتُ، وَقَدْ دَعَوْتُ، فَلَمْ أَرَ يُسْتَجَابُ لِي، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ “Doa hamba akan terkabul selama tidak berdoa untuk kemaksiatan atau untuk memutus silaturahim, dan selama ia tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apakah bentuk ketergesa-gesaan tersebut?” Nabi menjawab, “Hamba tadi berkata: ‘Aku telah berdoa, sungguh aku telah berdoa, tetapi Allah belum juga mengabulkan doa tersebut.” Ia merasa jenuh dan letih, lalu akhirnya, ia meninggalkan doa.” (HR. Muslim, no. 2735) Di dalam musnad Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, «لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي» “Seorang hamba selalu dalam kebaikan selama tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk ketergesa-gesaannya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hamba itu berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Rabbku, tetapi Allah belum mengabulkan permohonanku.” (HR. Ahmad, 3:193, 210. Hadits ini hasan menurut Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-19.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 13 Dzulqa’dah 1445 H, 22 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup


Salah satu sebab doa tak terkabul adalah karena terlalu tergesa-gesa. Apa maksudnya?   Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ sebagai berikut. وَمِنْ أَنْفَعِ الاَدْوِيَّةِ الاِلْحَاحُ فِى الدُّعَاءِ Sikap terus menerus berdoa (memelas atau merengek-rengek dalam doa) termasuk obat penawar yang amat bermanfaat bagi manusia. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ  “Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya.” (HR. Ibnu Majah, no. 3827; Tirmidzi, no. 3370; Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 658; Ahmad, 2:442, 477; Al-Hakim, 1:491; Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat Al-Kabiroh, no. 22). Disebutkan pula dalam Shahih Al-Hakim dari Anas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا تَعْجِزُوا فِي الدُّعَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَهْلِكُ مَعَ الدُّعَاءِ أَحَدٌ “Jangan kalian lemah dalam berdoa karena sesungguhnya tidak ada orang yang binasa dikarenakan doa.” (HR. Al-Hakim, 1:493. Dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Muhammad bin Shuhbaan, ia perawai matruk. Hadits ini disebutkan dalam kumpulan hadits dhaif dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah, no. 843 karya Syaikh Al-Albani). Al-Auza’i menuturkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُلِحِّينَ فِي الدُّعَاءِ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ilhah (merengek-rengek atau memelas) ketika berdoa.” (HR. Thabrani, no. 20, terdapat perawi yang matruk). وَفِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ مُوَرِّقٌ: مَا وَجَدْتُ لِلْمُؤْمِنِ مَثَلًا إِلَّا رَجُلٌ فِي الْبَحْرِ عَلَى خَشَبَةٍ، فَهُوَ يَدْعُو: يَا رَبِّ يَا رَبِّ لَعَلَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُنْجِيَهُ. Di dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad disebutkan bahwa Qatadah menukilkan penuturan Muwarriq tentang hamba mukmin yang terus menerus berdoa kepada Allah. Muwarriq rahimahullah menuturkan, “Saya tidak pernah mendapati suatu perumpamaan bagi orang mukmin dalam hal berdoa kecuali seperti seseorang di atas kayu yang tengah mengapung di lautan. Kemudian lanjut Muwarriq, orang mukmin itu mengucap doa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Orang mukmin berharap semoga Allah menyelamatkannya.” (HR. Abu Nuaim dalam Al-Hilyah, 2:235) وَمِنَ الْآفَاتِ الَّتِي تَمْنَعُ تَرَتُّبَ أَثَرِ الدُّعَاءِ عَلَيْهِ: أَنْ يَسْتَعْجِلَ الْعَبْدُ، وَيَسْتَبْطِئَ الْإِجَابَةَ، فَيَسْتَحْسِرُ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ، Salah satu kesalahan yang dapat menghalangi terkabulnya doa adalah tergesa-gesanya seorang hamba. Ia menganggap doanya lambat dikabulkan, lantas ia pun merasa jenuh dan letih, sehingga akhirnya ia meninggalkan doa. وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ بَذَرَ بَذْرًا أَوْ غَرَسَ غَرْسًا، فَجَعَلَ يَتَعَاهَدُهُ وَيَسْقِيهِ، فَلَمَّا اسْتَبْطَأَ كَمَالَهُ وَإِدْرَاكَهُ تَرَكَهُ وَأَهْمَلَهُ. Ini ibarat orang yang menabur benih atau menanam tanaman, kemudian ia menjaga dan menyiraminya. Namun, karena merasa terlalu lama menunggu hasilnya, orang itu pun membiarkan dan mengabaikan tanaman tersebut. Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ،يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي “Doa setiap kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata: ‘Saya sudah berdoa, tetapi belum juga dikabulkan.” (HR. Bukhari, no. 5981) Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ؟ قَالَ يَقُولُ: قَدْ دَعَوْتُ، وَقَدْ دَعَوْتُ، فَلَمْ أَرَ يُسْتَجَابُ لِي، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ “Doa hamba akan terkabul selama tidak berdoa untuk kemaksiatan atau untuk memutus silaturahim, dan selama ia tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti apakah bentuk ketergesa-gesaan tersebut?” Nabi menjawab, “Hamba tadi berkata: ‘Aku telah berdoa, sungguh aku telah berdoa, tetapi Allah belum juga mengabulkan doa tersebut.” Ia merasa jenuh dan letih, lalu akhirnya, ia meninggalkan doa.” (HR. Muslim, no. 2735) Di dalam musnad Imam Ahmad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, «لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّي فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِي» “Seorang hamba selalu dalam kebaikan selama tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk ketergesa-gesaannya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hamba itu berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Rabbku, tetapi Allah belum mengabulkan permohonanku.” (HR. Ahmad, 3:193, 210. Hadits ini hasan menurut Syaikh Ali Hasan Al-Halabi) Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 17-19.   Referensi: Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.   Baca Juga: Doa untuk Meminta Rezeki, Selamat dari Penyakit, Kebaikan Dunia Akhirat – Rabu pagi, 13 Dzulqa’dah 1445 H, 22 Mei 2024 Muhammad Abduh Tuasikal  Artikel Rumaysho.Com Tagsadab berdoa al jawabul kaafi cara ruqyah faedah dari Ibnul Qayyim hati bersih manajemen hati masalah hidup masalah rumah tangga obat hati penyakit ruqyah solusi masalah hidup

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 7): Fi’il Amr (Lanjutan)

Adapun menurut dialek Hijaz, maka kata هَلُمَّ  dibaca dengan satu cara baca saja dan tidak ada dhamir yang melekat pada kata tersebut. Sehingga cara bacanya adalah هَلُمَّ يَا صَالِح “Kemarilah, wahai Shalih!” هَلُمَّ يَا عَائِشَةُ “Kemarilah, wahai Aisyah!” هَلُمَّ يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” هَلُمُّ يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” هَلُمُّ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Dengan dialek penduduk Hijaz tersebutlah Al-Qur’an turun. Allah berfirman, وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا “Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada kami!’” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَآءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), ‘Bawalah saksi-saksimu!‘” Pada kedua potongan firman Allah Ta’ala di atas, yang diajak berbicara adalah orang yang banyak. Akan tetapi, Allah Ta’ala tetap menggunakan lafaz  هَلُمّ. Kata هَلُم tersebut menurut dialek Hijaz adalah bentuk isim fi’il amr. Bukan fi’il amr. Meskipun kata tersebut menunjukkan perintah, akan tetapi tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Menurut sebagian Ulama Nahwu, kata هَاتِ  dan تَعَالَ termasuk isim fi’il. Pendapat yang kuat adalah kedua kata tersebut termasuk fi’il amr karena menunjukkan perintah dan bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Contohnya adalah : يَا فَاطِمَةُ هَاتِي المُصْحَفَ “Berikan Al-Qur’an itu kepadaku, wahai Fatimah!” يَا عَائِشَةُ تَعَالَي “Wahai Aisyah, kemarilah!” Adapun kata هَاتِي  selamanya berharakat kasrah. Kecuali untuk jama’ mudzakkar, maka huruf ت pada kata tersebut berharakat dhammah. Contohnya adalah يَا خَالِدُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Khalid, berikan buku itu!” يَا حَفْصَةُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Hafshah, berikan buku itu!” يَا مُحَمَّدَانِ َأَوْ يَا هِنْدَانِ هَاتِيَا الكِتَابَ “Wahai 2 orang yang bernama Muhammad dan 2 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” يَا هِنْدَاتِ هَاتِيَيْنَ الكِتَابَ “Wahai 3 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf ت pada kata  هَاتِي semuanya berharakat kasrah. Kecuali ketika berbentuk jama’ mudzakkar salim. Berikut contohnya يَا مُحَمَّدُوْنَ هَاتُوا كُتُبُكُمْ “Wahai 3 orang yang bernama Muhammad, berikan buku itu!” Contoh dari firman Allah Ta’ala adalah قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ “Katakanlah (Muhammad), ‘Datangkanlah saksi-saksi kalian!’” (Q.S. Al-Baqarah:111) Kata هَاتِي adalah fi’il amr mabni dengan hapus huruf ya, dan ketika dibaca هَاتُوا itu adalah fi’il amr mabni dengan tanda hapus huruf nun. Adapun huruf wawu tersebut adalah fa’il. Adapun kata تَعَالَ  maka huruf terakhirnya berharakat fathah pada semua keadaan tanpa pengecualian. Contohnya adalah تَعَالَ يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai Muhammad!” Kata تَعَال tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapus huruf alif. Contoh lainya adalah تَعَالَي يَا رَابِعَةُ “Kemarilah, wahai Rabiah!” تَعَالَيَا يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai 2 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَوا يَا مُحَمَّدُونَ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَيْنَ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Hindun!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf lam pada kata تَعَالَ berharakat  fathah. Contoh dari firman Allah adalah قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ “Kataknalah, ‘Kemarilah kalian, akan Aku bacakan…’” (Q.S Al-An’am:151) Kata تَعَالَ tersebut fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun karena bersambung dengan wawu jama’. Huruf wawu tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Contoh lainya dari firman Allah adalah فَتَعَلَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ “Maka, kemarilah kalian, supaya akan aku berikan talak.” Kata تَعَالَ adalah fi’il amr mabni dengan sukun karena bersambung dengan nun inats. Adapun nun inats tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Kembali ke bagian 6: Fi’il Amr Lanjut ke bagian 8: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 7): Fi’il Amr (Lanjutan)

Adapun menurut dialek Hijaz, maka kata هَلُمَّ  dibaca dengan satu cara baca saja dan tidak ada dhamir yang melekat pada kata tersebut. Sehingga cara bacanya adalah هَلُمَّ يَا صَالِح “Kemarilah, wahai Shalih!” هَلُمَّ يَا عَائِشَةُ “Kemarilah, wahai Aisyah!” هَلُمَّ يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” هَلُمُّ يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” هَلُمُّ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Dengan dialek penduduk Hijaz tersebutlah Al-Qur’an turun. Allah berfirman, وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا “Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada kami!’” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَآءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), ‘Bawalah saksi-saksimu!‘” Pada kedua potongan firman Allah Ta’ala di atas, yang diajak berbicara adalah orang yang banyak. Akan tetapi, Allah Ta’ala tetap menggunakan lafaz  هَلُمّ. Kata هَلُم tersebut menurut dialek Hijaz adalah bentuk isim fi’il amr. Bukan fi’il amr. Meskipun kata tersebut menunjukkan perintah, akan tetapi tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Menurut sebagian Ulama Nahwu, kata هَاتِ  dan تَعَالَ termasuk isim fi’il. Pendapat yang kuat adalah kedua kata tersebut termasuk fi’il amr karena menunjukkan perintah dan bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Contohnya adalah : يَا فَاطِمَةُ هَاتِي المُصْحَفَ “Berikan Al-Qur’an itu kepadaku, wahai Fatimah!” يَا عَائِشَةُ تَعَالَي “Wahai Aisyah, kemarilah!” Adapun kata هَاتِي  selamanya berharakat kasrah. Kecuali untuk jama’ mudzakkar, maka huruf ت pada kata tersebut berharakat dhammah. Contohnya adalah يَا خَالِدُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Khalid, berikan buku itu!” يَا حَفْصَةُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Hafshah, berikan buku itu!” يَا مُحَمَّدَانِ َأَوْ يَا هِنْدَانِ هَاتِيَا الكِتَابَ “Wahai 2 orang yang bernama Muhammad dan 2 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” يَا هِنْدَاتِ هَاتِيَيْنَ الكِتَابَ “Wahai 3 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf ت pada kata  هَاتِي semuanya berharakat kasrah. Kecuali ketika berbentuk jama’ mudzakkar salim. Berikut contohnya يَا مُحَمَّدُوْنَ هَاتُوا كُتُبُكُمْ “Wahai 3 orang yang bernama Muhammad, berikan buku itu!” Contoh dari firman Allah Ta’ala adalah قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ “Katakanlah (Muhammad), ‘Datangkanlah saksi-saksi kalian!’” (Q.S. Al-Baqarah:111) Kata هَاتِي adalah fi’il amr mabni dengan hapus huruf ya, dan ketika dibaca هَاتُوا itu adalah fi’il amr mabni dengan tanda hapus huruf nun. Adapun huruf wawu tersebut adalah fa’il. Adapun kata تَعَالَ  maka huruf terakhirnya berharakat fathah pada semua keadaan tanpa pengecualian. Contohnya adalah تَعَالَ يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai Muhammad!” Kata تَعَال tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapus huruf alif. Contoh lainya adalah تَعَالَي يَا رَابِعَةُ “Kemarilah, wahai Rabiah!” تَعَالَيَا يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai 2 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَوا يَا مُحَمَّدُونَ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَيْنَ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Hindun!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf lam pada kata تَعَالَ berharakat  fathah. Contoh dari firman Allah adalah قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ “Kataknalah, ‘Kemarilah kalian, akan Aku bacakan…’” (Q.S Al-An’am:151) Kata تَعَالَ tersebut fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun karena bersambung dengan wawu jama’. Huruf wawu tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Contoh lainya dari firman Allah adalah فَتَعَلَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ “Maka, kemarilah kalian, supaya akan aku berikan talak.” Kata تَعَالَ adalah fi’il amr mabni dengan sukun karena bersambung dengan nun inats. Adapun nun inats tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Kembali ke bagian 6: Fi’il Amr Lanjut ke bagian 8: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada
Adapun menurut dialek Hijaz, maka kata هَلُمَّ  dibaca dengan satu cara baca saja dan tidak ada dhamir yang melekat pada kata tersebut. Sehingga cara bacanya adalah هَلُمَّ يَا صَالِح “Kemarilah, wahai Shalih!” هَلُمَّ يَا عَائِشَةُ “Kemarilah, wahai Aisyah!” هَلُمَّ يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” هَلُمُّ يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” هَلُمُّ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Dengan dialek penduduk Hijaz tersebutlah Al-Qur’an turun. Allah berfirman, وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا “Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada kami!’” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَآءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), ‘Bawalah saksi-saksimu!‘” Pada kedua potongan firman Allah Ta’ala di atas, yang diajak berbicara adalah orang yang banyak. Akan tetapi, Allah Ta’ala tetap menggunakan lafaz  هَلُمّ. Kata هَلُم tersebut menurut dialek Hijaz adalah bentuk isim fi’il amr. Bukan fi’il amr. Meskipun kata tersebut menunjukkan perintah, akan tetapi tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Menurut sebagian Ulama Nahwu, kata هَاتِ  dan تَعَالَ termasuk isim fi’il. Pendapat yang kuat adalah kedua kata tersebut termasuk fi’il amr karena menunjukkan perintah dan bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Contohnya adalah : يَا فَاطِمَةُ هَاتِي المُصْحَفَ “Berikan Al-Qur’an itu kepadaku, wahai Fatimah!” يَا عَائِشَةُ تَعَالَي “Wahai Aisyah, kemarilah!” Adapun kata هَاتِي  selamanya berharakat kasrah. Kecuali untuk jama’ mudzakkar, maka huruf ت pada kata tersebut berharakat dhammah. Contohnya adalah يَا خَالِدُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Khalid, berikan buku itu!” يَا حَفْصَةُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Hafshah, berikan buku itu!” يَا مُحَمَّدَانِ َأَوْ يَا هِنْدَانِ هَاتِيَا الكِتَابَ “Wahai 2 orang yang bernama Muhammad dan 2 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” يَا هِنْدَاتِ هَاتِيَيْنَ الكِتَابَ “Wahai 3 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf ت pada kata  هَاتِي semuanya berharakat kasrah. Kecuali ketika berbentuk jama’ mudzakkar salim. Berikut contohnya يَا مُحَمَّدُوْنَ هَاتُوا كُتُبُكُمْ “Wahai 3 orang yang bernama Muhammad, berikan buku itu!” Contoh dari firman Allah Ta’ala adalah قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ “Katakanlah (Muhammad), ‘Datangkanlah saksi-saksi kalian!’” (Q.S. Al-Baqarah:111) Kata هَاتِي adalah fi’il amr mabni dengan hapus huruf ya, dan ketika dibaca هَاتُوا itu adalah fi’il amr mabni dengan tanda hapus huruf nun. Adapun huruf wawu tersebut adalah fa’il. Adapun kata تَعَالَ  maka huruf terakhirnya berharakat fathah pada semua keadaan tanpa pengecualian. Contohnya adalah تَعَالَ يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai Muhammad!” Kata تَعَال tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapus huruf alif. Contoh lainya adalah تَعَالَي يَا رَابِعَةُ “Kemarilah, wahai Rabiah!” تَعَالَيَا يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai 2 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَوا يَا مُحَمَّدُونَ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَيْنَ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Hindun!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf lam pada kata تَعَالَ berharakat  fathah. Contoh dari firman Allah adalah قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ “Kataknalah, ‘Kemarilah kalian, akan Aku bacakan…’” (Q.S Al-An’am:151) Kata تَعَالَ tersebut fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun karena bersambung dengan wawu jama’. Huruf wawu tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Contoh lainya dari firman Allah adalah فَتَعَلَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ “Maka, kemarilah kalian, supaya akan aku berikan talak.” Kata تَعَالَ adalah fi’il amr mabni dengan sukun karena bersambung dengan nun inats. Adapun nun inats tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Kembali ke bagian 6: Fi’il Amr Lanjut ke bagian 8: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada


Adapun menurut dialek Hijaz, maka kata هَلُمَّ  dibaca dengan satu cara baca saja dan tidak ada dhamir yang melekat pada kata tersebut. Sehingga cara bacanya adalah هَلُمَّ يَا صَالِح “Kemarilah, wahai Shalih!” هَلُمَّ يَا عَائِشَةُ “Kemarilah, wahai Aisyah!” هَلُمَّ يَا مُحَّدَانِ “Kemarilah, kalian berdua Muhammad!” هَلُمُّ يَا عَلِيُّوْنَ “Kemarilah, kalian wahai Ali (banyak)!” هَلُمُّ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, kalian Hindun (banyak)!” Dengan dialek penduduk Hijaz tersebutlah Al-Qur’an turun. Allah berfirman, وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا “Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, ‘Marilah kepada kami!’” قُلْ هَلُمَّ شُهَدَآءَكُمُ “Katakanlah (Muhammad), ‘Bawalah saksi-saksimu!‘” Pada kedua potongan firman Allah Ta’ala di atas, yang diajak berbicara adalah orang yang banyak. Akan tetapi, Allah Ta’ala tetap menggunakan lafaz  هَلُمّ. Kata هَلُم tersebut menurut dialek Hijaz adalah bentuk isim fi’il amr. Bukan fi’il amr. Meskipun kata tersebut menunjukkan perintah, akan tetapi tidak bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Menurut sebagian Ulama Nahwu, kata هَاتِ  dan تَعَالَ termasuk isim fi’il. Pendapat yang kuat adalah kedua kata tersebut termasuk fi’il amr karena menunjukkan perintah dan bisa bersambung dengan  يَاءُ mukhathabah. Contohnya adalah : يَا فَاطِمَةُ هَاتِي المُصْحَفَ “Berikan Al-Qur’an itu kepadaku, wahai Fatimah!” يَا عَائِشَةُ تَعَالَي “Wahai Aisyah, kemarilah!” Adapun kata هَاتِي  selamanya berharakat kasrah. Kecuali untuk jama’ mudzakkar, maka huruf ت pada kata tersebut berharakat dhammah. Contohnya adalah يَا خَالِدُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Khalid, berikan buku itu!” يَا حَفْصَةُ هَاتِي الكِتَابَ “Wahai Hafshah, berikan buku itu!” يَا مُحَمَّدَانِ َأَوْ يَا هِنْدَانِ هَاتِيَا الكِتَابَ “Wahai 2 orang yang bernama Muhammad dan 2 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” يَا هِنْدَاتِ هَاتِيَيْنَ الكِتَابَ “Wahai 3 orang yang bernama Hindun, berikan buku itu!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf ت pada kata  هَاتِي semuanya berharakat kasrah. Kecuali ketika berbentuk jama’ mudzakkar salim. Berikut contohnya يَا مُحَمَّدُوْنَ هَاتُوا كُتُبُكُمْ “Wahai 3 orang yang bernama Muhammad, berikan buku itu!” Contoh dari firman Allah Ta’ala adalah قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ “Katakanlah (Muhammad), ‘Datangkanlah saksi-saksi kalian!’” (Q.S. Al-Baqarah:111) Kata هَاتِي adalah fi’il amr mabni dengan hapus huruf ya, dan ketika dibaca هَاتُوا itu adalah fi’il amr mabni dengan tanda hapus huruf nun. Adapun huruf wawu tersebut adalah fa’il. Adapun kata تَعَالَ  maka huruf terakhirnya berharakat fathah pada semua keadaan tanpa pengecualian. Contohnya adalah تَعَالَ يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai Muhammad!” Kata تَعَال tersebut adalah fi’il amr mabni dengan tanda dihapus huruf alif. Contoh lainya adalah تَعَالَي يَا رَابِعَةُ “Kemarilah, wahai Rabiah!” تَعَالَيَا يَا مُحَمَّدَانِ “Kemarilah, wahai 2 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَوا يَا مُحَمَّدُونَ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Muhammad!” تَعَالَيْنَ يَا هِنْدَاتُ “Kemarilah, wahai 3 orang yang bernama Hindun!” Semua contoh kalimat di atas, maka huruf lam pada kata تَعَالَ berharakat  fathah. Contoh dari firman Allah adalah قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ “Kataknalah, ‘Kemarilah kalian, akan Aku bacakan…’” (Q.S Al-An’am:151) Kata تَعَالَ tersebut fi’il amr mabni dengan tanda dihapusnya huruf nun karena bersambung dengan wawu jama’. Huruf wawu tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Contoh lainya dari firman Allah adalah فَتَعَلَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ “Maka, kemarilah kalian, supaya akan aku berikan talak.” Kata تَعَالَ adalah fi’il amr mabni dengan sukun karena bersambung dengan nun inats. Adapun nun inats tersebut berkedudukan sebagai fa’il. Kembali ke bagian 6: Fi’il Amr Lanjut ke bagian 8: Bersambung *** Penulis: Rafi Nugraha Artikel: Muslim.or.id Tags: Kitab Ta'jilun Nada

Tafsir Surat Asy-Syu’ara Ayat 224

Pertanyaan: Apakah makna surat Asy-Syu’ara ayat 224? Apakah menunjukkan bahwa bersyair terlarang? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Allah ta’ala berfirman: وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. Asy-Syu’ara: 224). Asy-syu’ara artinya para penyair. Para penyair yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair yang sya’irnya berisi kebatilan. Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan para salaf: وقال الحسن البصري : قد – والله – رأينا أوديتهم التي يهيمون فيها ، مرة في شتمة فلان ، ومرة في مدحة فلان . وقال قتادة : الشاعر يمدح قوما بباطل ، ويذم قوما بباطل “Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan: “Sungguh demi Allah kami melihat lembah-lembah yang dilewati para penyair itu. Terkadang mereka mencela si fulan dengan syairnya, terkadang mereka memuji si fulan”. Qatadah rahimahullah berkata: “Para penyair biasanya memuji suatu kaum secara batil dan mencela suatu kaum secara batil”” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/172). Imam Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan: أراد شعراء الكفار الذين كانوا يهجون رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وذكر مقاتل أسماءهم ، فقال : منهم عبد الله بن الزبعرى السهمي ، وهبيرة بن أبي وهب المخزومي ، ومشافع بن عبد مناف . وأبو عزة بن عبد الله الجمحي ، وأمية بن أبي الصلت الثقفي ، تكلموا بالكذب وبالباطل ، وقالوا : نحن نقول مثل ما يقول محمد “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair kaum kafir yang dahulu sering menyerang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan disebutkan perintah untuk memerangi nama mereka (dalam syair). Para ulama menyebutkan, bahwa di antara penyair tersebut adalah Abdullah bin Az-Zab’ari As-Sahmi, Haibarah bin Abi Wahb Al-Makhzumi, Musafi’ bin Abdi Manaf, Abu Ghazzah bin Abdillah Al-Juhmi, Umayyah bin Abi Ash-Shalt Ats-Tsaqafi. Mereka semua mengucapkan dusta dan kebatilan (dalam syair mereka). Mereka juga berkata: kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad” (Tafsir Al-Baghawi, 6/135). Para penyair tersebut mengatakan “kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad”, maksudnya Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwasanya Al-Qur’an yang disampaikan Nabi sekedar syair sama seperti syair yang mereka buat. Oleh karena itu Allah bantah klaim ini dengan firman-Nya: أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ قُلْ تَرَبَّصُوا۟ فَإِنِّى مَعَكُم مِّنَ ٱلْمُتَرَبِّصِينَ أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَٰمُهُم بِهَٰذَآ ۚ أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ “Bahkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”. Katakanlah: “Tunggulah, maka sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu”. Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur: 31-33). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: فإِنَّه لا يَتَّبِعُ الشعرَ غالبًا إِلَّا الغواةُ، فهو باطلٌ، وهذا القُرآنُ ليس كذلك، هذا القُرانُ لا يتبعه إلا أهلُ الرُّشْدِ والسَّدادِ، فدَلَّ ذلك على أنه ليسَ بالشعرِ؛ لأن الغالبَ أن الشعرَ لا يَتَّبِعُه إلّا الغاوونَ “Yang mengikuti syair-syair mereka umumnya adalah orang-orang sesat. Maka syair-syair mereka adalah kebatilan. Adapun Al-Qur’an, tidaklah demikian. Yang mengikuti Al-Qur’an adalah orang-orang yang berpikir dan lurus akalnya. Maka ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukanlah syair. Karena umumnya syair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (Tafsir Surah Asy-Syu’ara, hal. 311). Adapun tentang al ghawun dalam ayat ini, disebutkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari (19/416) ada empat pendapat di kalangan ahli tafsir: 1. Maknanya adalah orang-orang yang meriwayatkan syair-syair yang batil. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas. 2. Maknanya adalah para setan. Ini tafsiran dari Mujahid, Qatadah, dan Ikrimah. 3. Maknanya adalah orang-orang bodoh. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak. 4. Maknanya adalah orang-orang sesat dan orang-orang musyrik. Ini tafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Wahab. Semua tafsir di atas tidaklah saling bertentangan, dan dapat kita kompromikan. Sehingga para penyair yang sesat itu diikuti oleh para hamba yang sesat dari kalangan orang-orang yang gembira dengan syair mereka kemudian menukilnya, orang-orang bodoh, orang-orang yang akidahnya menyimpang, orang-orang musyrik dan juga setan. Namun tidak semua penyair demikian. Karena di lanjutan ayatnya, Allah ta’ala berfirman: إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247). Hukum Syair  Selain surat Asy-Syu’ara ayat 224, terdapat beberapa dalil yang zahirnya mengharamkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Al-Bukhari no. 6155). Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid“ (HR. Tirmidzi no. 296, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Di sisi lain, terdapat dalil-dalil yang zahirnya membolehkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: وَعَنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرَّ بِحَسَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَحَظَ إلَيْهِ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ. “Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati Hassan bin Tsabit yang sedang bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya dengan tajam. Maka Hassan berkata, “Aku pernah bersyair dan di masjid ketika ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)” (HR. Al-Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً “Sesungguhnya di sebagian syair terdapat hikmah” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Oleh karena itu hukum syair perlu dirinci. Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah: هذا فيه تفصيل أيضًا، والشعر مثلما قال الشافعي رحمه الله: “حسنه حسن، وقبيحه قبيح”، فالشعر الذي ينصر الحقَّ ويُؤيد الحقَّ، ويهدم الباطل وأهل الباطل؛ هذا مطلوبٌ، هذا مشروعٌ، وهو الذي كان يقوم به حسان بن ثابت ، وعبدالله بن رواحة، وسعد بن مالك، وغيرهم من الشعراء الذين كانوا في عهده ﷺ وبعده. أما إذا كان الشعر في ذمِّ الحق، ومدح الخنا والفساد، والدعوة إلى الزنا والفجور؛ فهذا منكرٌ محض لا يجوز “Hal ini juga memerlukan perincian. Hukum syair sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Syair yang baik maka baik hukumnya, dan syair yang jelek maka jelek hukumnya”. Syair yang mendukung kebenaran dan menghancurkan kebatilan serta para pelakunya, maka ini dituntut dalam agama dan disyariatkan. Dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu, Sa’ad bin Malik radhiyallahu’anhu, dan para penyair lainnya yang ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun, jika syairnya mencela kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini jelas kemungkaran dan tidak diperbolehkan” (Fatawa Ad Durus, no.413). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 255 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,035 QRIS donasi Yufid

Tafsir Surat Asy-Syu’ara Ayat 224

Pertanyaan: Apakah makna surat Asy-Syu’ara ayat 224? Apakah menunjukkan bahwa bersyair terlarang? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Allah ta’ala berfirman: وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. Asy-Syu’ara: 224). Asy-syu’ara artinya para penyair. Para penyair yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair yang sya’irnya berisi kebatilan. Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan para salaf: وقال الحسن البصري : قد – والله – رأينا أوديتهم التي يهيمون فيها ، مرة في شتمة فلان ، ومرة في مدحة فلان . وقال قتادة : الشاعر يمدح قوما بباطل ، ويذم قوما بباطل “Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan: “Sungguh demi Allah kami melihat lembah-lembah yang dilewati para penyair itu. Terkadang mereka mencela si fulan dengan syairnya, terkadang mereka memuji si fulan”. Qatadah rahimahullah berkata: “Para penyair biasanya memuji suatu kaum secara batil dan mencela suatu kaum secara batil”” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/172). Imam Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan: أراد شعراء الكفار الذين كانوا يهجون رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وذكر مقاتل أسماءهم ، فقال : منهم عبد الله بن الزبعرى السهمي ، وهبيرة بن أبي وهب المخزومي ، ومشافع بن عبد مناف . وأبو عزة بن عبد الله الجمحي ، وأمية بن أبي الصلت الثقفي ، تكلموا بالكذب وبالباطل ، وقالوا : نحن نقول مثل ما يقول محمد “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair kaum kafir yang dahulu sering menyerang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan disebutkan perintah untuk memerangi nama mereka (dalam syair). Para ulama menyebutkan, bahwa di antara penyair tersebut adalah Abdullah bin Az-Zab’ari As-Sahmi, Haibarah bin Abi Wahb Al-Makhzumi, Musafi’ bin Abdi Manaf, Abu Ghazzah bin Abdillah Al-Juhmi, Umayyah bin Abi Ash-Shalt Ats-Tsaqafi. Mereka semua mengucapkan dusta dan kebatilan (dalam syair mereka). Mereka juga berkata: kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad” (Tafsir Al-Baghawi, 6/135). Para penyair tersebut mengatakan “kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad”, maksudnya Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwasanya Al-Qur’an yang disampaikan Nabi sekedar syair sama seperti syair yang mereka buat. Oleh karena itu Allah bantah klaim ini dengan firman-Nya: أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ قُلْ تَرَبَّصُوا۟ فَإِنِّى مَعَكُم مِّنَ ٱلْمُتَرَبِّصِينَ أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَٰمُهُم بِهَٰذَآ ۚ أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ “Bahkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”. Katakanlah: “Tunggulah, maka sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu”. Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur: 31-33). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: فإِنَّه لا يَتَّبِعُ الشعرَ غالبًا إِلَّا الغواةُ، فهو باطلٌ، وهذا القُرآنُ ليس كذلك، هذا القُرانُ لا يتبعه إلا أهلُ الرُّشْدِ والسَّدادِ، فدَلَّ ذلك على أنه ليسَ بالشعرِ؛ لأن الغالبَ أن الشعرَ لا يَتَّبِعُه إلّا الغاوونَ “Yang mengikuti syair-syair mereka umumnya adalah orang-orang sesat. Maka syair-syair mereka adalah kebatilan. Adapun Al-Qur’an, tidaklah demikian. Yang mengikuti Al-Qur’an adalah orang-orang yang berpikir dan lurus akalnya. Maka ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukanlah syair. Karena umumnya syair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (Tafsir Surah Asy-Syu’ara, hal. 311). Adapun tentang al ghawun dalam ayat ini, disebutkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari (19/416) ada empat pendapat di kalangan ahli tafsir: 1. Maknanya adalah orang-orang yang meriwayatkan syair-syair yang batil. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas. 2. Maknanya adalah para setan. Ini tafsiran dari Mujahid, Qatadah, dan Ikrimah. 3. Maknanya adalah orang-orang bodoh. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak. 4. Maknanya adalah orang-orang sesat dan orang-orang musyrik. Ini tafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Wahab. Semua tafsir di atas tidaklah saling bertentangan, dan dapat kita kompromikan. Sehingga para penyair yang sesat itu diikuti oleh para hamba yang sesat dari kalangan orang-orang yang gembira dengan syair mereka kemudian menukilnya, orang-orang bodoh, orang-orang yang akidahnya menyimpang, orang-orang musyrik dan juga setan. Namun tidak semua penyair demikian. Karena di lanjutan ayatnya, Allah ta’ala berfirman: إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247). Hukum Syair  Selain surat Asy-Syu’ara ayat 224, terdapat beberapa dalil yang zahirnya mengharamkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Al-Bukhari no. 6155). Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid“ (HR. Tirmidzi no. 296, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Di sisi lain, terdapat dalil-dalil yang zahirnya membolehkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: وَعَنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرَّ بِحَسَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَحَظَ إلَيْهِ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ. “Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati Hassan bin Tsabit yang sedang bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya dengan tajam. Maka Hassan berkata, “Aku pernah bersyair dan di masjid ketika ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)” (HR. Al-Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً “Sesungguhnya di sebagian syair terdapat hikmah” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Oleh karena itu hukum syair perlu dirinci. Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah: هذا فيه تفصيل أيضًا، والشعر مثلما قال الشافعي رحمه الله: “حسنه حسن، وقبيحه قبيح”، فالشعر الذي ينصر الحقَّ ويُؤيد الحقَّ، ويهدم الباطل وأهل الباطل؛ هذا مطلوبٌ، هذا مشروعٌ، وهو الذي كان يقوم به حسان بن ثابت ، وعبدالله بن رواحة، وسعد بن مالك، وغيرهم من الشعراء الذين كانوا في عهده ﷺ وبعده. أما إذا كان الشعر في ذمِّ الحق، ومدح الخنا والفساد، والدعوة إلى الزنا والفجور؛ فهذا منكرٌ محض لا يجوز “Hal ini juga memerlukan perincian. Hukum syair sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Syair yang baik maka baik hukumnya, dan syair yang jelek maka jelek hukumnya”. Syair yang mendukung kebenaran dan menghancurkan kebatilan serta para pelakunya, maka ini dituntut dalam agama dan disyariatkan. Dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu, Sa’ad bin Malik radhiyallahu’anhu, dan para penyair lainnya yang ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun, jika syairnya mencela kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini jelas kemungkaran dan tidak diperbolehkan” (Fatawa Ad Durus, no.413). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 255 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,035 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Apakah makna surat Asy-Syu’ara ayat 224? Apakah menunjukkan bahwa bersyair terlarang? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Allah ta’ala berfirman: وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. Asy-Syu’ara: 224). Asy-syu’ara artinya para penyair. Para penyair yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair yang sya’irnya berisi kebatilan. Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan para salaf: وقال الحسن البصري : قد – والله – رأينا أوديتهم التي يهيمون فيها ، مرة في شتمة فلان ، ومرة في مدحة فلان . وقال قتادة : الشاعر يمدح قوما بباطل ، ويذم قوما بباطل “Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan: “Sungguh demi Allah kami melihat lembah-lembah yang dilewati para penyair itu. Terkadang mereka mencela si fulan dengan syairnya, terkadang mereka memuji si fulan”. Qatadah rahimahullah berkata: “Para penyair biasanya memuji suatu kaum secara batil dan mencela suatu kaum secara batil”” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/172). Imam Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan: أراد شعراء الكفار الذين كانوا يهجون رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وذكر مقاتل أسماءهم ، فقال : منهم عبد الله بن الزبعرى السهمي ، وهبيرة بن أبي وهب المخزومي ، ومشافع بن عبد مناف . وأبو عزة بن عبد الله الجمحي ، وأمية بن أبي الصلت الثقفي ، تكلموا بالكذب وبالباطل ، وقالوا : نحن نقول مثل ما يقول محمد “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair kaum kafir yang dahulu sering menyerang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan disebutkan perintah untuk memerangi nama mereka (dalam syair). Para ulama menyebutkan, bahwa di antara penyair tersebut adalah Abdullah bin Az-Zab’ari As-Sahmi, Haibarah bin Abi Wahb Al-Makhzumi, Musafi’ bin Abdi Manaf, Abu Ghazzah bin Abdillah Al-Juhmi, Umayyah bin Abi Ash-Shalt Ats-Tsaqafi. Mereka semua mengucapkan dusta dan kebatilan (dalam syair mereka). Mereka juga berkata: kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad” (Tafsir Al-Baghawi, 6/135). Para penyair tersebut mengatakan “kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad”, maksudnya Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwasanya Al-Qur’an yang disampaikan Nabi sekedar syair sama seperti syair yang mereka buat. Oleh karena itu Allah bantah klaim ini dengan firman-Nya: أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ قُلْ تَرَبَّصُوا۟ فَإِنِّى مَعَكُم مِّنَ ٱلْمُتَرَبِّصِينَ أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَٰمُهُم بِهَٰذَآ ۚ أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ “Bahkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”. Katakanlah: “Tunggulah, maka sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu”. Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur: 31-33). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: فإِنَّه لا يَتَّبِعُ الشعرَ غالبًا إِلَّا الغواةُ، فهو باطلٌ، وهذا القُرآنُ ليس كذلك، هذا القُرانُ لا يتبعه إلا أهلُ الرُّشْدِ والسَّدادِ، فدَلَّ ذلك على أنه ليسَ بالشعرِ؛ لأن الغالبَ أن الشعرَ لا يَتَّبِعُه إلّا الغاوونَ “Yang mengikuti syair-syair mereka umumnya adalah orang-orang sesat. Maka syair-syair mereka adalah kebatilan. Adapun Al-Qur’an, tidaklah demikian. Yang mengikuti Al-Qur’an adalah orang-orang yang berpikir dan lurus akalnya. Maka ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukanlah syair. Karena umumnya syair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (Tafsir Surah Asy-Syu’ara, hal. 311). Adapun tentang al ghawun dalam ayat ini, disebutkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari (19/416) ada empat pendapat di kalangan ahli tafsir: 1. Maknanya adalah orang-orang yang meriwayatkan syair-syair yang batil. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas. 2. Maknanya adalah para setan. Ini tafsiran dari Mujahid, Qatadah, dan Ikrimah. 3. Maknanya adalah orang-orang bodoh. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak. 4. Maknanya adalah orang-orang sesat dan orang-orang musyrik. Ini tafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Wahab. Semua tafsir di atas tidaklah saling bertentangan, dan dapat kita kompromikan. Sehingga para penyair yang sesat itu diikuti oleh para hamba yang sesat dari kalangan orang-orang yang gembira dengan syair mereka kemudian menukilnya, orang-orang bodoh, orang-orang yang akidahnya menyimpang, orang-orang musyrik dan juga setan. Namun tidak semua penyair demikian. Karena di lanjutan ayatnya, Allah ta’ala berfirman: إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247). Hukum Syair  Selain surat Asy-Syu’ara ayat 224, terdapat beberapa dalil yang zahirnya mengharamkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Al-Bukhari no. 6155). Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid“ (HR. Tirmidzi no. 296, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Di sisi lain, terdapat dalil-dalil yang zahirnya membolehkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: وَعَنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرَّ بِحَسَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَحَظَ إلَيْهِ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ. “Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati Hassan bin Tsabit yang sedang bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya dengan tajam. Maka Hassan berkata, “Aku pernah bersyair dan di masjid ketika ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)” (HR. Al-Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً “Sesungguhnya di sebagian syair terdapat hikmah” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Oleh karena itu hukum syair perlu dirinci. Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah: هذا فيه تفصيل أيضًا، والشعر مثلما قال الشافعي رحمه الله: “حسنه حسن، وقبيحه قبيح”، فالشعر الذي ينصر الحقَّ ويُؤيد الحقَّ، ويهدم الباطل وأهل الباطل؛ هذا مطلوبٌ، هذا مشروعٌ، وهو الذي كان يقوم به حسان بن ثابت ، وعبدالله بن رواحة، وسعد بن مالك، وغيرهم من الشعراء الذين كانوا في عهده ﷺ وبعده. أما إذا كان الشعر في ذمِّ الحق، ومدح الخنا والفساد، والدعوة إلى الزنا والفجور؛ فهذا منكرٌ محض لا يجوز “Hal ini juga memerlukan perincian. Hukum syair sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Syair yang baik maka baik hukumnya, dan syair yang jelek maka jelek hukumnya”. Syair yang mendukung kebenaran dan menghancurkan kebatilan serta para pelakunya, maka ini dituntut dalam agama dan disyariatkan. Dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu, Sa’ad bin Malik radhiyallahu’anhu, dan para penyair lainnya yang ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun, jika syairnya mencela kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini jelas kemungkaran dan tidak diperbolehkan” (Fatawa Ad Durus, no.413). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 255 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,035 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Apakah makna surat Asy-Syu’ara ayat 224? Apakah menunjukkan bahwa bersyair terlarang? Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Allah ta’ala berfirman: وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ “Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (QS. Asy-Syu’ara: 224). Asy-syu’ara artinya para penyair. Para penyair yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair yang sya’irnya berisi kebatilan. Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan para salaf: وقال الحسن البصري : قد – والله – رأينا أوديتهم التي يهيمون فيها ، مرة في شتمة فلان ، ومرة في مدحة فلان . وقال قتادة : الشاعر يمدح قوما بباطل ، ويذم قوما بباطل “Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan: “Sungguh demi Allah kami melihat lembah-lembah yang dilewati para penyair itu. Terkadang mereka mencela si fulan dengan syairnya, terkadang mereka memuji si fulan”. Qatadah rahimahullah berkata: “Para penyair biasanya memuji suatu kaum secara batil dan mencela suatu kaum secara batil”” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/172). Imam Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan: أراد شعراء الكفار الذين كانوا يهجون رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وذكر مقاتل أسماءهم ، فقال : منهم عبد الله بن الزبعرى السهمي ، وهبيرة بن أبي وهب المخزومي ، ومشافع بن عبد مناف . وأبو عزة بن عبد الله الجمحي ، وأمية بن أبي الصلت الثقفي ، تكلموا بالكذب وبالباطل ، وقالوا : نحن نقول مثل ما يقول محمد “Yang dimaksud dalam ayat ini adalah para penyair kaum kafir yang dahulu sering menyerang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan disebutkan perintah untuk memerangi nama mereka (dalam syair). Para ulama menyebutkan, bahwa di antara penyair tersebut adalah Abdullah bin Az-Zab’ari As-Sahmi, Haibarah bin Abi Wahb Al-Makhzumi, Musafi’ bin Abdi Manaf, Abu Ghazzah bin Abdillah Al-Juhmi, Umayyah bin Abi Ash-Shalt Ats-Tsaqafi. Mereka semua mengucapkan dusta dan kebatilan (dalam syair mereka). Mereka juga berkata: kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad” (Tafsir Al-Baghawi, 6/135). Para penyair tersebut mengatakan “kami sekedar mengucapkan seperti yang diucapkan Muhammad”, maksudnya Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwasanya Al-Qur’an yang disampaikan Nabi sekedar syair sama seperti syair yang mereka buat. Oleh karena itu Allah bantah klaim ini dengan firman-Nya: أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ قُلْ تَرَبَّصُوا۟ فَإِنِّى مَعَكُم مِّنَ ٱلْمُتَرَبِّصِينَ أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَٰمُهُم بِهَٰذَآ ۚ أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ “Bahkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”. Katakanlah: “Tunggulah, maka sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu”. Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur: 31-33). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan: فإِنَّه لا يَتَّبِعُ الشعرَ غالبًا إِلَّا الغواةُ، فهو باطلٌ، وهذا القُرآنُ ليس كذلك، هذا القُرانُ لا يتبعه إلا أهلُ الرُّشْدِ والسَّدادِ، فدَلَّ ذلك على أنه ليسَ بالشعرِ؛ لأن الغالبَ أن الشعرَ لا يَتَّبِعُه إلّا الغاوونَ “Yang mengikuti syair-syair mereka umumnya adalah orang-orang sesat. Maka syair-syair mereka adalah kebatilan. Adapun Al-Qur’an, tidaklah demikian. Yang mengikuti Al-Qur’an adalah orang-orang yang berpikir dan lurus akalnya. Maka ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukanlah syair. Karena umumnya syair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” (Tafsir Surah Asy-Syu’ara, hal. 311). Adapun tentang al ghawun dalam ayat ini, disebutkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari (19/416) ada empat pendapat di kalangan ahli tafsir: 1. Maknanya adalah orang-orang yang meriwayatkan syair-syair yang batil. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas. 2. Maknanya adalah para setan. Ini tafsiran dari Mujahid, Qatadah, dan Ikrimah. 3. Maknanya adalah orang-orang bodoh. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak. 4. Maknanya adalah orang-orang sesat dan orang-orang musyrik. Ini tafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Wahab. Semua tafsir di atas tidaklah saling bertentangan, dan dapat kita kompromikan. Sehingga para penyair yang sesat itu diikuti oleh para hamba yang sesat dari kalangan orang-orang yang gembira dengan syair mereka kemudian menukilnya, orang-orang bodoh, orang-orang yang akidahnya menyimpang, orang-orang musyrik dan juga setan. Namun tidak semua penyair demikian. Karena di lanjutan ayatnya, Allah ta’ala berfirman: إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara’: 247). Hukum Syair  Selain surat Asy-Syu’ara ayat 224, terdapat beberapa dalil yang zahirnya mengharamkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan syair.” (HR. Al-Bukhari no. 6155). Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melantunkan syair-syair di masjid“ (HR. Tirmidzi no. 296, dihasankan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi). Di sisi lain, terdapat dalil-dalil yang zahirnya membolehkan syair. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata: وَعَنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرَّ بِحَسَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَحَظَ إلَيْهِ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ. “Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melewati Hassan bin Tsabit yang sedang bersyair di dalam masjid kemudian beliau memandangnya dengan tajam. Maka Hassan berkata, “Aku pernah bersyair dan di masjid ketika ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)” (HR. Al-Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485). Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً “Sesungguhnya di sebagian syair terdapat hikmah” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 85, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad). Oleh karena itu hukum syair perlu dirinci. Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah: هذا فيه تفصيل أيضًا، والشعر مثلما قال الشافعي رحمه الله: “حسنه حسن، وقبيحه قبيح”، فالشعر الذي ينصر الحقَّ ويُؤيد الحقَّ، ويهدم الباطل وأهل الباطل؛ هذا مطلوبٌ، هذا مشروعٌ، وهو الذي كان يقوم به حسان بن ثابت ، وعبدالله بن رواحة، وسعد بن مالك، وغيرهم من الشعراء الذين كانوا في عهده ﷺ وبعده. أما إذا كان الشعر في ذمِّ الحق، ومدح الخنا والفساد، والدعوة إلى الزنا والفجور؛ فهذا منكرٌ محض لا يجوز “Hal ini juga memerlukan perincian. Hukum syair sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Syair yang baik maka baik hukumnya, dan syair yang jelek maka jelek hukumnya”. Syair yang mendukung kebenaran dan menghancurkan kebatilan serta para pelakunya, maka ini dituntut dalam agama dan disyariatkan. Dan itulah yang dilakukan Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, Abdullah bin Rawahah radhiyallahu’anhu, Sa’ad bin Malik radhiyallahu’anhu, dan para penyair lainnya yang ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Namun, jika syairnya mencela kebenaran, memuji pengkhianatan dan kejahatan, serta menyerukan perzinaan dan maksiat, maka ini jelas kemungkaran dan tidak diperbolehkan” (Fatawa Ad Durus, no.413). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 255 times, 2 visit(s) today Post Views: 1,035 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Nasihat Indah: Seorang Mukmin Ada di Antara 2 Hari – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Siang dan malam adalah dua tempat penyimpanan amal. Maka lihatlah setiap orang dari kalian, apa yang dia letakkan di tempat penyimpanannya?! Siang dan malam itu sebagaimana yang dikatakan al-Hasan al-Bashri rahimahullah: “Dua kendaraan yang mengantarkanmu. Malam mengantarkanmu kepada siang, dan siang mengantarkanmu kepada malam, hingga keduanya menyerahkanmu kepada kematian.” Engkau–wahai hamba Allah–berada di antara dua hari: [PERTAMA] Hari yang telah pergi, tidak mungkin lagi akan kembali. Hari-hari yang telah pergi adalah hari-hari yang telah berlalu yang dikatakan kepada orang-orang yang diberi catatan amalnya dengan tangan kanan —kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk dari mereka– “Makan dan minumlah dengan nyaman berkat amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (QS. al-Haqqah: 24) Hari-hari yang telah berlalu itu adalah hari-hari kalian ini nantinya. Ia adalah hari yang telah pergi, berlalu, dan selesai bersama dengan apa yang kalian amalkan di dalamnya. [KEDUA]Kemudian hari yang baru. Hari baru itu seakan-akan berkata, “Aku adalah tanggung jawabmu.. Aku adalah hari yang baru, dan akan menjadi saksi atas amalanmu…maka beramal salehlah di dalamku, karena jika aku sudah pergi, aku tidak akan kembali.” Adapun masa depan, kamu tidak tahu apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagimu di dalamnya. ==== وَاللَّيْلُ وَالنَّهَارُ خِزَانَتَانِ فَلْيَنْظُرْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا يَضَعُ فِي خِزَانَتِهِ وَاللَّيْلُ وَالنَّهَارُ كَمَا يَقُولُ الْحَسَنُ رَحِمَهُ اللهُ مَطِيَّتَانِ تُوْضِعَانِكَ يُوْضِعُكَ اللَّيْلُ إِلَى النَّهَارِ وَيُوْضِعُكَ النَّهَارُ إِلَى اللَّيْلِ حَتَّى يُسْلِمَاكَ إِلَى الْمَوْتِ وَأَنْتَ يَا عَبْدَ اللهِ بَيْنَ يَوْمَيْنِ يَوْمٍ مَضَى لَا يُمْكِنُ أَنْ يَعُودَ وَالْأَيَّامُ الْمَاضِيَةُ هِيَ الْأَيَّامُ الْخَالِيَةُ وَالَّتِي يُقَالُ لِمَنْ أُعْطِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنْهُمْ كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ الْأَيَّامُ الْخَالِيَةُ هِي أَيَّامُكُمْ هَذِهِ فَيَوْمٌ مَضَى وَانْقَضَى وَانْتَهَى بِمَا عَمِلْتَ فِيهِ وَيَوْمٌ جَدِيدٌ وَلِسَانُ حَالِهِ أَنَا عَلَيْكَ أَنَا يَوْمٌ جَدِيدٌ وَعَلَى عَمَلِكَ شَهِيْدٌ فَاعْمَلْ فِيَّ فَإِنَّنِي إِذَا ذَهَبْتُ لَا أَعُودُ وَمُسْتَقْبَلٌ لَا تَدْرِي مَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَاضٍ فِيْهِ

Nasihat Indah: Seorang Mukmin Ada di Antara 2 Hari – Syaikh Abdullah al-Ma’yuf #NasehatUlama

Siang dan malam adalah dua tempat penyimpanan amal. Maka lihatlah setiap orang dari kalian, apa yang dia letakkan di tempat penyimpanannya?! Siang dan malam itu sebagaimana yang dikatakan al-Hasan al-Bashri rahimahullah: “Dua kendaraan yang mengantarkanmu. Malam mengantarkanmu kepada siang, dan siang mengantarkanmu kepada malam, hingga keduanya menyerahkanmu kepada kematian.” Engkau–wahai hamba Allah–berada di antara dua hari: [PERTAMA] Hari yang telah pergi, tidak mungkin lagi akan kembali. Hari-hari yang telah pergi adalah hari-hari yang telah berlalu yang dikatakan kepada orang-orang yang diberi catatan amalnya dengan tangan kanan —kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk dari mereka– “Makan dan minumlah dengan nyaman berkat amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (QS. al-Haqqah: 24) Hari-hari yang telah berlalu itu adalah hari-hari kalian ini nantinya. Ia adalah hari yang telah pergi, berlalu, dan selesai bersama dengan apa yang kalian amalkan di dalamnya. [KEDUA]Kemudian hari yang baru. Hari baru itu seakan-akan berkata, “Aku adalah tanggung jawabmu.. Aku adalah hari yang baru, dan akan menjadi saksi atas amalanmu…maka beramal salehlah di dalamku, karena jika aku sudah pergi, aku tidak akan kembali.” Adapun masa depan, kamu tidak tahu apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagimu di dalamnya. ==== وَاللَّيْلُ وَالنَّهَارُ خِزَانَتَانِ فَلْيَنْظُرْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا يَضَعُ فِي خِزَانَتِهِ وَاللَّيْلُ وَالنَّهَارُ كَمَا يَقُولُ الْحَسَنُ رَحِمَهُ اللهُ مَطِيَّتَانِ تُوْضِعَانِكَ يُوْضِعُكَ اللَّيْلُ إِلَى النَّهَارِ وَيُوْضِعُكَ النَّهَارُ إِلَى اللَّيْلِ حَتَّى يُسْلِمَاكَ إِلَى الْمَوْتِ وَأَنْتَ يَا عَبْدَ اللهِ بَيْنَ يَوْمَيْنِ يَوْمٍ مَضَى لَا يُمْكِنُ أَنْ يَعُودَ وَالْأَيَّامُ الْمَاضِيَةُ هِيَ الْأَيَّامُ الْخَالِيَةُ وَالَّتِي يُقَالُ لِمَنْ أُعْطِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنْهُمْ كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ الْأَيَّامُ الْخَالِيَةُ هِي أَيَّامُكُمْ هَذِهِ فَيَوْمٌ مَضَى وَانْقَضَى وَانْتَهَى بِمَا عَمِلْتَ فِيهِ وَيَوْمٌ جَدِيدٌ وَلِسَانُ حَالِهِ أَنَا عَلَيْكَ أَنَا يَوْمٌ جَدِيدٌ وَعَلَى عَمَلِكَ شَهِيْدٌ فَاعْمَلْ فِيَّ فَإِنَّنِي إِذَا ذَهَبْتُ لَا أَعُودُ وَمُسْتَقْبَلٌ لَا تَدْرِي مَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَاضٍ فِيْهِ
Siang dan malam adalah dua tempat penyimpanan amal. Maka lihatlah setiap orang dari kalian, apa yang dia letakkan di tempat penyimpanannya?! Siang dan malam itu sebagaimana yang dikatakan al-Hasan al-Bashri rahimahullah: “Dua kendaraan yang mengantarkanmu. Malam mengantarkanmu kepada siang, dan siang mengantarkanmu kepada malam, hingga keduanya menyerahkanmu kepada kematian.” Engkau–wahai hamba Allah–berada di antara dua hari: [PERTAMA] Hari yang telah pergi, tidak mungkin lagi akan kembali. Hari-hari yang telah pergi adalah hari-hari yang telah berlalu yang dikatakan kepada orang-orang yang diberi catatan amalnya dengan tangan kanan —kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk dari mereka– “Makan dan minumlah dengan nyaman berkat amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (QS. al-Haqqah: 24) Hari-hari yang telah berlalu itu adalah hari-hari kalian ini nantinya. Ia adalah hari yang telah pergi, berlalu, dan selesai bersama dengan apa yang kalian amalkan di dalamnya. [KEDUA]Kemudian hari yang baru. Hari baru itu seakan-akan berkata, “Aku adalah tanggung jawabmu.. Aku adalah hari yang baru, dan akan menjadi saksi atas amalanmu…maka beramal salehlah di dalamku, karena jika aku sudah pergi, aku tidak akan kembali.” Adapun masa depan, kamu tidak tahu apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagimu di dalamnya. ==== وَاللَّيْلُ وَالنَّهَارُ خِزَانَتَانِ فَلْيَنْظُرْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا يَضَعُ فِي خِزَانَتِهِ وَاللَّيْلُ وَالنَّهَارُ كَمَا يَقُولُ الْحَسَنُ رَحِمَهُ اللهُ مَطِيَّتَانِ تُوْضِعَانِكَ يُوْضِعُكَ اللَّيْلُ إِلَى النَّهَارِ وَيُوْضِعُكَ النَّهَارُ إِلَى اللَّيْلِ حَتَّى يُسْلِمَاكَ إِلَى الْمَوْتِ وَأَنْتَ يَا عَبْدَ اللهِ بَيْنَ يَوْمَيْنِ يَوْمٍ مَضَى لَا يُمْكِنُ أَنْ يَعُودَ وَالْأَيَّامُ الْمَاضِيَةُ هِيَ الْأَيَّامُ الْخَالِيَةُ وَالَّتِي يُقَالُ لِمَنْ أُعْطِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنْهُمْ كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ الْأَيَّامُ الْخَالِيَةُ هِي أَيَّامُكُمْ هَذِهِ فَيَوْمٌ مَضَى وَانْقَضَى وَانْتَهَى بِمَا عَمِلْتَ فِيهِ وَيَوْمٌ جَدِيدٌ وَلِسَانُ حَالِهِ أَنَا عَلَيْكَ أَنَا يَوْمٌ جَدِيدٌ وَعَلَى عَمَلِكَ شَهِيْدٌ فَاعْمَلْ فِيَّ فَإِنَّنِي إِذَا ذَهَبْتُ لَا أَعُودُ وَمُسْتَقْبَلٌ لَا تَدْرِي مَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَاضٍ فِيْهِ


Siang dan malam adalah dua tempat penyimpanan amal. Maka lihatlah setiap orang dari kalian, apa yang dia letakkan di tempat penyimpanannya?! Siang dan malam itu sebagaimana yang dikatakan al-Hasan al-Bashri rahimahullah: “Dua kendaraan yang mengantarkanmu. Malam mengantarkanmu kepada siang, dan siang mengantarkanmu kepada malam, hingga keduanya menyerahkanmu kepada kematian.” Engkau–wahai hamba Allah–berada di antara dua hari: [PERTAMA] Hari yang telah pergi, tidak mungkin lagi akan kembali. Hari-hari yang telah pergi adalah hari-hari yang telah berlalu yang dikatakan kepada orang-orang yang diberi catatan amalnya dengan tangan kanan —kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk dari mereka– “Makan dan minumlah dengan nyaman berkat amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (QS. al-Haqqah: 24) Hari-hari yang telah berlalu itu adalah hari-hari kalian ini nantinya. Ia adalah hari yang telah pergi, berlalu, dan selesai bersama dengan apa yang kalian amalkan di dalamnya. [KEDUA]Kemudian hari yang baru. Hari baru itu seakan-akan berkata, “Aku adalah tanggung jawabmu.. Aku adalah hari yang baru, dan akan menjadi saksi atas amalanmu…maka beramal salehlah di dalamku, karena jika aku sudah pergi, aku tidak akan kembali.” Adapun masa depan, kamu tidak tahu apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagimu di dalamnya. ==== وَاللَّيْلُ وَالنَّهَارُ خِزَانَتَانِ فَلْيَنْظُرْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا يَضَعُ فِي خِزَانَتِهِ وَاللَّيْلُ وَالنَّهَارُ كَمَا يَقُولُ الْحَسَنُ رَحِمَهُ اللهُ مَطِيَّتَانِ تُوْضِعَانِكَ يُوْضِعُكَ اللَّيْلُ إِلَى النَّهَارِ وَيُوْضِعُكَ النَّهَارُ إِلَى اللَّيْلِ حَتَّى يُسْلِمَاكَ إِلَى الْمَوْتِ وَأَنْتَ يَا عَبْدَ اللهِ بَيْنَ يَوْمَيْنِ يَوْمٍ مَضَى لَا يُمْكِنُ أَنْ يَعُودَ وَالْأَيَّامُ الْمَاضِيَةُ هِيَ الْأَيَّامُ الْخَالِيَةُ وَالَّتِي يُقَالُ لِمَنْ أُعْطِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنْهُمْ كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ الْأَيَّامُ الْخَالِيَةُ هِي أَيَّامُكُمْ هَذِهِ فَيَوْمٌ مَضَى وَانْقَضَى وَانْتَهَى بِمَا عَمِلْتَ فِيهِ وَيَوْمٌ جَدِيدٌ وَلِسَانُ حَالِهِ أَنَا عَلَيْكَ أَنَا يَوْمٌ جَدِيدٌ وَعَلَى عَمَلِكَ شَهِيْدٌ فَاعْمَلْ فِيَّ فَإِنَّنِي إِذَا ذَهَبْتُ لَا أَعُودُ وَمُسْتَقْبَلٌ لَا تَدْرِي مَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَاضٍ فِيْهِ

Sama Nama Kitabnya, Beda Ulama Penulisnya

Pembaca yang budiman, perlu diketahui ada beberapa kitab ulama yang namanya sama tetapi beda ulama yang menulisnya. Di antaranya kitab-kitab berikut: 1. Kitab Al Arba’in / Al Arba’un * Al Arba’in An Nawawiyyah, karya Abu Zakariya An Nawawi * Al Arba’in fi Shifati Rabbil ‘Alamin, karya Adz Dzahabi * Al Arba’in min Ahadits An Nabawiyyah, karya Ibnu Rassam Al Hamawi * Al Arba’in Al Musalsalah, karya Ibnu Mibrad Al Hambali * Al Arba’in fi Fadhlir Rahmah war Rahimin, karya Ibnu Tulun Ad Dimasyqi * Al Arba’in fi Fadhail Dzikri Rabbil Alamin, karya Musafir Ad Dimasyqi * Al Arba’in fi Irsyadis Sairin, karya Al Hamdzani * Al Arba’in fi Fadhild Du’a wad Da’in, karya Ali bin Mufadhal Al Maqdisi * Al Arba’in fil Jihad wal Mujahidin, karya Abul Faraj Afifuddin Al Muqri’ * Al Arba’in fi Manaqib Ummahatil Mu’minin, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un Al Buldaniyyah, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un fil Hatsi ‘alal Jihad, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un Al Buldaniyyah, karya Abu Thahir As Salafi * Al Arba’un Haditsan fil Fuqara, karya Abu Thahir As Salafi * Al Arba’un, karya Al Hafizh Ath Thusi * Al Arba’un, karya Abul Abbas An Nusawi * Al Arba’un, karya Abu Bakar Ibnul Muqri’ * Al Arba’un, karya Abul Barakat An Naisaburi * Al Arba’un, karya Abu Sa’ad An Naisaburi * Al Arba’un, karya Abu Ali Al Bakri * Al Arba’un Haditsan, karya Al Ajurri * Al Arba’un Ash Shughra, karya Al Baihaqi * Al Arba’un fi Dalail At Tauhid, karya Abu Ismail Al Harawi * Al Arba’un Al Wad’aniyyah, karya Ibnu Wad’an Al Mushili * Al Arba’un Al Mustakhrajah minas Shihhah, karya Abul Mahasin Ath Thabasi * Al Arba’un Al Kilaniyah, karya Abdurrazzaq Al Kilani 2. Kitab Al Kabair * Al Kabair, karya Muhammad bin Abdil Wahhab * Al Kabair, karya Adz Dzahabi * Al Kabair, karya Al Bardiji 3. Kitab Fathul Bari * Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, karya Ibnu Hajar Al Asqalani * Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, karya Ibnu Rajab Al Hambali 4. Kitab Ikhtilaful Fuqaha’ * Ikhtilaful Fuqaha’, karya Al Marwazi * Ikhtilaful Fuqaha’, karya Ibnu Jarir Ath Thabari 5. Kitab At Tauhid * At Tauhid, karya Muhammad bin Abdil Wahhab * At Tauhid, karya Ibnu Khuzaimah * At Tauhid, karya Ibnu Mandah * At Tauhid, karya Abdul Ghani Al Maqdisi * At Tauhid, karya Syaikh Shalih Al Fauzan 6. Kitab An Nasikh Wal Mansukh * An Nasikh wal Mansukh, karya Qatadah As Sadusi * An Nasikh wal Mansukh, karya Ibnu Syihab Az Zuhri * An Nasikh wal Mansukh, karya An Nuhas * An Nasikh wal Mansukh, karya Al Muqri * An Nasikh wal Mansukh, karya Ibnu Hazm * An Nasikh wal Mansukh, karya Qasim bin Salam 7. Kitab Ahkamul Qur’an * Ahkamul Qur’an, karya Al Jashash * Ahkamul Qur’an, karya Asy Syafi’i * Ahkamul Qur’an, karya Al Kiya Al Harrasi * Ahkamul Qur’an, karya Ibnul Arabi * Ahkamul Qur’an, karya Al Jahdhami * Ahkamul Qur’an, karya Ath Thahawi 8. Kitab Fadhail Al Qur’an * Fadhail Al Qur’an, karya Ibnu Dharis * Fadhail Al Qur’an, karya Al Firyabi * Fadhail Al Qur’an, karya An Nasa’i 9. Kitab Al Iman * Al Iman, karya Ibnu Taimiyyah * Al Iman, karya Abu Ubaid Al Qasim * Al Iman, karya Ibnu Mandah * Al Iman, karya Ibnu Abi Syaibah * Al Iman, karya Al ‘Adni 10. Kitab Az Zuhd * Az Zuhd, karya Abu Daud As Sijistani * Az Zuhd, karya Ibnu Abi Hatim * Az Zuhd, karya Ibnu Abid Dunya * Az Zuhd, karya Ibnu Abi Ashim * Az Zuhd, karya Al Baihaqi * Az Zuhd, karya Nu’aim bin Hammad * Az Zuhd, karya Waki’ * Az Zuhd, karya Asad bin Musa * Az Zuhd, karya Ahmad bin Hambal 11. Kitab Sifat Shalatin Nabi * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Al Albani * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Abdullah bin Jibrin * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi Semoga pengetahuan ini menambah semangat kita untuk mempelajari kitab-kitab para ulama. Semoga Allah ta’ala memberi taufik. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 113 times, 1 visit(s) today Post Views: 569 QRIS donasi Yufid

Sama Nama Kitabnya, Beda Ulama Penulisnya

Pembaca yang budiman, perlu diketahui ada beberapa kitab ulama yang namanya sama tetapi beda ulama yang menulisnya. Di antaranya kitab-kitab berikut: 1. Kitab Al Arba’in / Al Arba’un * Al Arba’in An Nawawiyyah, karya Abu Zakariya An Nawawi * Al Arba’in fi Shifati Rabbil ‘Alamin, karya Adz Dzahabi * Al Arba’in min Ahadits An Nabawiyyah, karya Ibnu Rassam Al Hamawi * Al Arba’in Al Musalsalah, karya Ibnu Mibrad Al Hambali * Al Arba’in fi Fadhlir Rahmah war Rahimin, karya Ibnu Tulun Ad Dimasyqi * Al Arba’in fi Fadhail Dzikri Rabbil Alamin, karya Musafir Ad Dimasyqi * Al Arba’in fi Irsyadis Sairin, karya Al Hamdzani * Al Arba’in fi Fadhild Du’a wad Da’in, karya Ali bin Mufadhal Al Maqdisi * Al Arba’in fil Jihad wal Mujahidin, karya Abul Faraj Afifuddin Al Muqri’ * Al Arba’in fi Manaqib Ummahatil Mu’minin, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un Al Buldaniyyah, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un fil Hatsi ‘alal Jihad, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un Al Buldaniyyah, karya Abu Thahir As Salafi * Al Arba’un Haditsan fil Fuqara, karya Abu Thahir As Salafi * Al Arba’un, karya Al Hafizh Ath Thusi * Al Arba’un, karya Abul Abbas An Nusawi * Al Arba’un, karya Abu Bakar Ibnul Muqri’ * Al Arba’un, karya Abul Barakat An Naisaburi * Al Arba’un, karya Abu Sa’ad An Naisaburi * Al Arba’un, karya Abu Ali Al Bakri * Al Arba’un Haditsan, karya Al Ajurri * Al Arba’un Ash Shughra, karya Al Baihaqi * Al Arba’un fi Dalail At Tauhid, karya Abu Ismail Al Harawi * Al Arba’un Al Wad’aniyyah, karya Ibnu Wad’an Al Mushili * Al Arba’un Al Mustakhrajah minas Shihhah, karya Abul Mahasin Ath Thabasi * Al Arba’un Al Kilaniyah, karya Abdurrazzaq Al Kilani 2. Kitab Al Kabair * Al Kabair, karya Muhammad bin Abdil Wahhab * Al Kabair, karya Adz Dzahabi * Al Kabair, karya Al Bardiji 3. Kitab Fathul Bari * Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, karya Ibnu Hajar Al Asqalani * Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, karya Ibnu Rajab Al Hambali 4. Kitab Ikhtilaful Fuqaha’ * Ikhtilaful Fuqaha’, karya Al Marwazi * Ikhtilaful Fuqaha’, karya Ibnu Jarir Ath Thabari 5. Kitab At Tauhid * At Tauhid, karya Muhammad bin Abdil Wahhab * At Tauhid, karya Ibnu Khuzaimah * At Tauhid, karya Ibnu Mandah * At Tauhid, karya Abdul Ghani Al Maqdisi * At Tauhid, karya Syaikh Shalih Al Fauzan 6. Kitab An Nasikh Wal Mansukh * An Nasikh wal Mansukh, karya Qatadah As Sadusi * An Nasikh wal Mansukh, karya Ibnu Syihab Az Zuhri * An Nasikh wal Mansukh, karya An Nuhas * An Nasikh wal Mansukh, karya Al Muqri * An Nasikh wal Mansukh, karya Ibnu Hazm * An Nasikh wal Mansukh, karya Qasim bin Salam 7. Kitab Ahkamul Qur’an * Ahkamul Qur’an, karya Al Jashash * Ahkamul Qur’an, karya Asy Syafi’i * Ahkamul Qur’an, karya Al Kiya Al Harrasi * Ahkamul Qur’an, karya Ibnul Arabi * Ahkamul Qur’an, karya Al Jahdhami * Ahkamul Qur’an, karya Ath Thahawi 8. Kitab Fadhail Al Qur’an * Fadhail Al Qur’an, karya Ibnu Dharis * Fadhail Al Qur’an, karya Al Firyabi * Fadhail Al Qur’an, karya An Nasa’i 9. Kitab Al Iman * Al Iman, karya Ibnu Taimiyyah * Al Iman, karya Abu Ubaid Al Qasim * Al Iman, karya Ibnu Mandah * Al Iman, karya Ibnu Abi Syaibah * Al Iman, karya Al ‘Adni 10. Kitab Az Zuhd * Az Zuhd, karya Abu Daud As Sijistani * Az Zuhd, karya Ibnu Abi Hatim * Az Zuhd, karya Ibnu Abid Dunya * Az Zuhd, karya Ibnu Abi Ashim * Az Zuhd, karya Al Baihaqi * Az Zuhd, karya Nu’aim bin Hammad * Az Zuhd, karya Waki’ * Az Zuhd, karya Asad bin Musa * Az Zuhd, karya Ahmad bin Hambal 11. Kitab Sifat Shalatin Nabi * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Al Albani * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Abdullah bin Jibrin * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi Semoga pengetahuan ini menambah semangat kita untuk mempelajari kitab-kitab para ulama. Semoga Allah ta’ala memberi taufik. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 113 times, 1 visit(s) today Post Views: 569 QRIS donasi Yufid
Pembaca yang budiman, perlu diketahui ada beberapa kitab ulama yang namanya sama tetapi beda ulama yang menulisnya. Di antaranya kitab-kitab berikut: 1. Kitab Al Arba’in / Al Arba’un * Al Arba’in An Nawawiyyah, karya Abu Zakariya An Nawawi * Al Arba’in fi Shifati Rabbil ‘Alamin, karya Adz Dzahabi * Al Arba’in min Ahadits An Nabawiyyah, karya Ibnu Rassam Al Hamawi * Al Arba’in Al Musalsalah, karya Ibnu Mibrad Al Hambali * Al Arba’in fi Fadhlir Rahmah war Rahimin, karya Ibnu Tulun Ad Dimasyqi * Al Arba’in fi Fadhail Dzikri Rabbil Alamin, karya Musafir Ad Dimasyqi * Al Arba’in fi Irsyadis Sairin, karya Al Hamdzani * Al Arba’in fi Fadhild Du’a wad Da’in, karya Ali bin Mufadhal Al Maqdisi * Al Arba’in fil Jihad wal Mujahidin, karya Abul Faraj Afifuddin Al Muqri’ * Al Arba’in fi Manaqib Ummahatil Mu’minin, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un Al Buldaniyyah, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un fil Hatsi ‘alal Jihad, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un Al Buldaniyyah, karya Abu Thahir As Salafi * Al Arba’un Haditsan fil Fuqara, karya Abu Thahir As Salafi * Al Arba’un, karya Al Hafizh Ath Thusi * Al Arba’un, karya Abul Abbas An Nusawi * Al Arba’un, karya Abu Bakar Ibnul Muqri’ * Al Arba’un, karya Abul Barakat An Naisaburi * Al Arba’un, karya Abu Sa’ad An Naisaburi * Al Arba’un, karya Abu Ali Al Bakri * Al Arba’un Haditsan, karya Al Ajurri * Al Arba’un Ash Shughra, karya Al Baihaqi * Al Arba’un fi Dalail At Tauhid, karya Abu Ismail Al Harawi * Al Arba’un Al Wad’aniyyah, karya Ibnu Wad’an Al Mushili * Al Arba’un Al Mustakhrajah minas Shihhah, karya Abul Mahasin Ath Thabasi * Al Arba’un Al Kilaniyah, karya Abdurrazzaq Al Kilani 2. Kitab Al Kabair * Al Kabair, karya Muhammad bin Abdil Wahhab * Al Kabair, karya Adz Dzahabi * Al Kabair, karya Al Bardiji 3. Kitab Fathul Bari * Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, karya Ibnu Hajar Al Asqalani * Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, karya Ibnu Rajab Al Hambali 4. Kitab Ikhtilaful Fuqaha’ * Ikhtilaful Fuqaha’, karya Al Marwazi * Ikhtilaful Fuqaha’, karya Ibnu Jarir Ath Thabari 5. Kitab At Tauhid * At Tauhid, karya Muhammad bin Abdil Wahhab * At Tauhid, karya Ibnu Khuzaimah * At Tauhid, karya Ibnu Mandah * At Tauhid, karya Abdul Ghani Al Maqdisi * At Tauhid, karya Syaikh Shalih Al Fauzan 6. Kitab An Nasikh Wal Mansukh * An Nasikh wal Mansukh, karya Qatadah As Sadusi * An Nasikh wal Mansukh, karya Ibnu Syihab Az Zuhri * An Nasikh wal Mansukh, karya An Nuhas * An Nasikh wal Mansukh, karya Al Muqri * An Nasikh wal Mansukh, karya Ibnu Hazm * An Nasikh wal Mansukh, karya Qasim bin Salam 7. Kitab Ahkamul Qur’an * Ahkamul Qur’an, karya Al Jashash * Ahkamul Qur’an, karya Asy Syafi’i * Ahkamul Qur’an, karya Al Kiya Al Harrasi * Ahkamul Qur’an, karya Ibnul Arabi * Ahkamul Qur’an, karya Al Jahdhami * Ahkamul Qur’an, karya Ath Thahawi 8. Kitab Fadhail Al Qur’an * Fadhail Al Qur’an, karya Ibnu Dharis * Fadhail Al Qur’an, karya Al Firyabi * Fadhail Al Qur’an, karya An Nasa’i 9. Kitab Al Iman * Al Iman, karya Ibnu Taimiyyah * Al Iman, karya Abu Ubaid Al Qasim * Al Iman, karya Ibnu Mandah * Al Iman, karya Ibnu Abi Syaibah * Al Iman, karya Al ‘Adni 10. Kitab Az Zuhd * Az Zuhd, karya Abu Daud As Sijistani * Az Zuhd, karya Ibnu Abi Hatim * Az Zuhd, karya Ibnu Abid Dunya * Az Zuhd, karya Ibnu Abi Ashim * Az Zuhd, karya Al Baihaqi * Az Zuhd, karya Nu’aim bin Hammad * Az Zuhd, karya Waki’ * Az Zuhd, karya Asad bin Musa * Az Zuhd, karya Ahmad bin Hambal 11. Kitab Sifat Shalatin Nabi * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Al Albani * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Abdullah bin Jibrin * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi Semoga pengetahuan ini menambah semangat kita untuk mempelajari kitab-kitab para ulama. Semoga Allah ta’ala memberi taufik. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 113 times, 1 visit(s) today Post Views: 569 QRIS donasi Yufid


Pembaca yang budiman, perlu diketahui ada beberapa kitab ulama yang namanya sama tetapi beda ulama yang menulisnya. Di antaranya kitab-kitab berikut: 1. Kitab Al Arba’in / Al Arba’un * Al Arba’in An Nawawiyyah, karya Abu Zakariya An Nawawi * Al Arba’in fi Shifati Rabbil ‘Alamin, karya Adz Dzahabi * Al Arba’in min Ahadits An Nabawiyyah, karya Ibnu Rassam Al Hamawi * Al Arba’in Al Musalsalah, karya Ibnu Mibrad Al Hambali * Al Arba’in fi Fadhlir Rahmah war Rahimin, karya Ibnu Tulun Ad Dimasyqi * Al Arba’in fi Fadhail Dzikri Rabbil Alamin, karya Musafir Ad Dimasyqi * Al Arba’in fi Irsyadis Sairin, karya Al Hamdzani * Al Arba’in fi Fadhild Du’a wad Da’in, karya Ali bin Mufadhal Al Maqdisi * Al Arba’in fil Jihad wal Mujahidin, karya Abul Faraj Afifuddin Al Muqri’ * Al Arba’in fi Manaqib Ummahatil Mu’minin, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un Al Buldaniyyah, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un fil Hatsi ‘alal Jihad, karya Ibnu Asakir Ad Dimasyqi * Al Arba’un Al Buldaniyyah, karya Abu Thahir As Salafi * Al Arba’un Haditsan fil Fuqara, karya Abu Thahir As Salafi * Al Arba’un, karya Al Hafizh Ath Thusi * Al Arba’un, karya Abul Abbas An Nusawi * Al Arba’un, karya Abu Bakar Ibnul Muqri’ * Al Arba’un, karya Abul Barakat An Naisaburi * Al Arba’un, karya Abu Sa’ad An Naisaburi * Al Arba’un, karya Abu Ali Al Bakri * Al Arba’un Haditsan, karya Al Ajurri * Al Arba’un Ash Shughra, karya Al Baihaqi * Al Arba’un fi Dalail At Tauhid, karya Abu Ismail Al Harawi * Al Arba’un Al Wad’aniyyah, karya Ibnu Wad’an Al Mushili * Al Arba’un Al Mustakhrajah minas Shihhah, karya Abul Mahasin Ath Thabasi * Al Arba’un Al Kilaniyah, karya Abdurrazzaq Al Kilani 2. Kitab Al Kabair * Al Kabair, karya Muhammad bin Abdil Wahhab * Al Kabair, karya Adz Dzahabi * Al Kabair, karya Al Bardiji 3. Kitab Fathul Bari * Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, karya Ibnu Hajar Al Asqalani * Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, karya Ibnu Rajab Al Hambali 4. Kitab Ikhtilaful Fuqaha’ * Ikhtilaful Fuqaha’, karya Al Marwazi * Ikhtilaful Fuqaha’, karya Ibnu Jarir Ath Thabari 5. Kitab At Tauhid * At Tauhid, karya Muhammad bin Abdil Wahhab * At Tauhid, karya Ibnu Khuzaimah * At Tauhid, karya Ibnu Mandah * At Tauhid, karya Abdul Ghani Al Maqdisi * At Tauhid, karya Syaikh Shalih Al Fauzan 6. Kitab An Nasikh Wal Mansukh * An Nasikh wal Mansukh, karya Qatadah As Sadusi * An Nasikh wal Mansukh, karya Ibnu Syihab Az Zuhri * An Nasikh wal Mansukh, karya An Nuhas * An Nasikh wal Mansukh, karya Al Muqri * An Nasikh wal Mansukh, karya Ibnu Hazm * An Nasikh wal Mansukh, karya Qasim bin Salam 7. Kitab Ahkamul Qur’an * Ahkamul Qur’an, karya Al Jashash * Ahkamul Qur’an, karya Asy Syafi’i * Ahkamul Qur’an, karya Al Kiya Al Harrasi * Ahkamul Qur’an, karya Ibnul Arabi * Ahkamul Qur’an, karya Al Jahdhami * Ahkamul Qur’an, karya Ath Thahawi 8. Kitab Fadhail Al Qur’an * Fadhail Al Qur’an, karya Ibnu Dharis * Fadhail Al Qur’an, karya Al Firyabi * Fadhail Al Qur’an, karya An Nasa’i 9. Kitab Al Iman * Al Iman, karya Ibnu Taimiyyah * Al Iman, karya Abu Ubaid Al Qasim * Al Iman, karya Ibnu Mandah * Al Iman, karya Ibnu Abi Syaibah * Al Iman, karya Al ‘Adni 10. Kitab Az Zuhd * Az Zuhd, karya Abu Daud As Sijistani * Az Zuhd, karya Ibnu Abi Hatim * Az Zuhd, karya Ibnu Abid Dunya * Az Zuhd, karya Ibnu Abi Ashim * Az Zuhd, karya Al Baihaqi * Az Zuhd, karya Nu’aim bin Hammad * Az Zuhd, karya Waki’ * Az Zuhd, karya Asad bin Musa * Az Zuhd, karya Ahmad bin Hambal 11. Kitab Sifat Shalatin Nabi * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Al Albani * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Abdullah bin Jibrin * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin * Shifatu Shalatin Nabi, karya Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi Semoga pengetahuan ini menambah semangat kita untuk mempelajari kitab-kitab para ulama. Semoga Allah ta’ala memberi taufik. Ditulis oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 113 times, 1 visit(s) today Post Views: 569 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat

Daftar Isi Toggle Alasan-alasan yang membolehkan tayamumApakah sah salat seseorang yang bertayamum di pesawat, meskipun ada air?Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wuduAir yang mencukupi untuk wudu tidak ditentukan dengan ukuran tertentuCara berwudu dengan air yang sedikitJika memang tidak bisa menggunakan air di pesawat, bagaimana cara bersucinya? Allah Ta’ala mewajibkan orang-orang beriman untuk berwudu ketika hendak mendirikan salat. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا ‌قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَد مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدا طَيِّبا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menjadikan kamu kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” [1] Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya bersuci adalah dengan berwudu. Jika ada uzur (alasan yang dibenarkan), maka bisa beralih ke tayamum sebagai penggantinya. Alasan-alasan yang membolehkan tayamum Secara ringkas, alasan yang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, الْمُبِيحُ لِلتَّيَمُّمِ فِي الْحَقِيقَةِ شَيْءٌ وَاحِدٌ. وَهُوَ الْعَجْزُ عَنِ اسْتِعْمَال الْمَاءِ، وَالْعَجْزُ، إِمَّا لِفَقْدِ الْمَاءِ وَإِمَّا لِعَدَمِ الْقُدْرَةِ عَلَى اسْتِعْمَالِهِ مَعَ وُجُودِهِ. “Pada hakikatnya, hanya ada satu hal yang membolehkan tayamum, yaitu ketidakmampuan menggunakan air. Ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh tidak adanya air atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada.” [2] Apakah sah salat seseorang yang bertayamum di pesawat, meskipun ada air? Jika ia mampu menggunakan air dengan cara apa pun yang memungkinkan, maka salatnya tidak sah dan wajib diqada, karena wudu adalah syarat sahnya salat sehingga salat tidak sah tanpanya, kecuali jika tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya, maka dapat digantikan dengan tayamum. [3] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ “Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sampai ia berwudu.” [4] Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wudu Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wudu, maka wajib menggunakannya karena itulah yang ia mampu lakukan. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإذا أمرتكم بأمرٍ فأتوا منه ما استطعتم “Jika aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaih) Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar [5], “Engkau dapat berdalil dengan hadis ini untuk tidak mewajibkan segala sesuatu yang di luar kemampuan, dan wajib melakukan apa yang mampu dilakukan dari yang diperintahkan, dan tidak hanya karena sebagiannya di luar kemampuan lantas menggugurkan semuanya.” [6] Syekh Abdullah Ath-Thayyar hafidzahullah mengatakan, إذا لم يجد من أراد الصلاة إلا ماء قليلًا أو لم يستطع أن يستعمل الماء إلا في بعض أعضائه أو قدر على الوضوء في الجنابة ولم يقدر على الغسل، فهنا يفعل ما يستطيعه بطهارة الماء ثم يتيمم عن الباقي، وهذا هو المذهب عند الحنابلة؛ لعموم قوله تعالى: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ} “Jika seseorang yang hendak salat hanya menemukan sedikit air atau tidak mampu menggunakan air, kecuali pada sebagian anggota tubuhnya; atau mampu berwudu dari junub, tetapi tidak mampu mandi, maka ia melakukan apa yang ia mampu dengan bersuci menggunakan air, kemudian bertayamum untuk sisanya. Ini adalah pendapat mazhab Hambali, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) [7] Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar Air yang mencukupi untuk wudu tidak ditentukan dengan ukuran tertentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu dengan satu mud. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَغْسِلُ، أوْ كانَ يَغْتَسِلُ، بالصَّاعِ إلى خَمْسَةِ أمْدَادٍ، ويَتَوَضَّأُ بالمُدِّ. “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dengan satu sha’ sampai lima mud dan berwudu dengan satu mud.” [8] Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mampu berwudu dengan dua pertiga mud, yaitu 458.67 mililiter. Ummu ‘Ammarah radhiyallahu ‘anha mengatakan, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ توضَّأَ فأُتِيَ بإناءٍ فيهِ ماءٌ قدرُ ثلُثيِ المدِّ. “Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudu dan diberi bejana berisi air sebanyak dua pertiga mud.” [9] Para ulama sepakat bahwa air yang mencukupi untuk wudu dan mandi tidak ditentukan dengan ukuran tertentu. Ibnu Abidin meriwayatkan ijma‘ (kesepakatan ulama) tentang hal itu dan berkata, “Sesungguhnya apa yang disebutkan dalam hadis bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha’ bukanlah ukuran yang wajib, melainkan penjelasan tentang kadar minimal yang disunahkan. Sehingga, jika seseorang membasuh dengan lebih dari itu, maka sah baginya. Dan jika tidak mencukupi, maka ia menambahkannya, karena tabiat dan kondisi manusia berbeda-beda.” [10] Cara berwudu dengan air yang sedikit Setelah kita mengetahui bahwasanya air yang sedikit (459 mililiter, atau seukuran satu botol air mineral ukuran sedang) bisa digunakan untuk wudu dengan sempurna, dan tidak ada batasan untuk kecukupan air dalam wudu, maka berikut ini tata cara berwudu sehingga kita bisa menggunakan air seminimal mungkin, namun tetap mengedepankan keabsahan wudu: Pertama: Membasuh anggota tubuh yang wajib saja. Maka, untuk anggota tubuh yang sunah, misalkan mencuci tangan di awal wudu, bisa ditinggalkan. Kedua: Membasuh satu kali saja. Membasuh tiga kali untuk anggota-anggota wudu, hukumnya sunah. Maka, untuk maslahat meminimalisasi penggunaan air, sunah ini bisa ditinggalkan. Ketiga: Mengusap sepatu/ kaos kaki, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam pembahasan mengusap khuf. Wallaahu a’lam Jika memang tidak bisa menggunakan air di pesawat, bagaimana cara bersucinya? Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Jika tidak ada air atau membeku, atau dilarang menggunakannya karena khawatir akan tumpah dan menyebabkan kerusakan di pesawat atau tidak mencukupi, bagaimana cara berwudu jika tidak ada debu?” Beliau menjawab, “Dalam kasus yang Anda sebutkan, wudu tidak mungkin atau sulit dilakukan, dan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ‘Allah tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.’ Maka, penumpang dapat bertayamum di atas tempat tidurnya jika ada debu. Jika tidak ada debu, maka ia salat meskipun tidak bersuci karena tidak mampu melakukannya, dan Allah Ta’ala berfirman, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ‘Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’ Akan tetapi, jika memungkinkan untuk turun di bandara di akhir waktu salat kedua yang dapat digabungkan dengan salat sebelumnya, seperti Asar digabungkan dengan Zuhur dan Isya digabungkan dengan Magrib, maka hendaklah ia mengakhirkannya, yaitu menjamak ta’khir dan salat dua rakaat setelah turun di bandara. Sunah bagi orang yang menjamak salat adalah mengumandangkan azan satu kali untuk keduanya dan melakukan iqamah secara terpisah untuk setiap salat, meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menjamak Zuhur dan Asar pada hari Arafah. Adapun jika tidak memungkinkan, seperti jika ini adalah waktu kedua dalam dua kelompok salat atau salat yang tidak dapat digabungkan dengan salat setelahnya, seperti Asar dengan Magrib dan Isya dengan Subuh dengan Zuhur, maka ia salat sesuai keadaannya.” [11] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang tata cara bersuci untuk salat ketika di pesawat. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat *** 3 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah, Mesir, cet. ke-1, 1421 (maktabah syamilah). Nailul Authar, Imam Muhammad bin ‘Aliy Asy-Syaukaniy, Dar Hadits, Kairo, 2005 M.   Catatan kaki: [1] QS. Al-Maidah: 6 [2] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 14: 255. [3] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/182457 [4] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu [5] Nailul Authar, 1: 277. [6] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/34360/ [7] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 136. [8] HR. Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325, Lihat: https://dorar.net/hadith/sharh/120730 Satu mud air yaitu 688 ml. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1: 143. [9] Shahih Abu Dawud no. 94 https://dorar.net/hadith/sharh/85473 [10] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 179. [11] Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin, 15: 412. Lihat: https://ar.lib.efatwa.ir/44359/15/412 Tags: bersuci

Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat

Daftar Isi Toggle Alasan-alasan yang membolehkan tayamumApakah sah salat seseorang yang bertayamum di pesawat, meskipun ada air?Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wuduAir yang mencukupi untuk wudu tidak ditentukan dengan ukuran tertentuCara berwudu dengan air yang sedikitJika memang tidak bisa menggunakan air di pesawat, bagaimana cara bersucinya? Allah Ta’ala mewajibkan orang-orang beriman untuk berwudu ketika hendak mendirikan salat. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا ‌قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَد مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدا طَيِّبا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menjadikan kamu kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” [1] Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya bersuci adalah dengan berwudu. Jika ada uzur (alasan yang dibenarkan), maka bisa beralih ke tayamum sebagai penggantinya. Alasan-alasan yang membolehkan tayamum Secara ringkas, alasan yang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, الْمُبِيحُ لِلتَّيَمُّمِ فِي الْحَقِيقَةِ شَيْءٌ وَاحِدٌ. وَهُوَ الْعَجْزُ عَنِ اسْتِعْمَال الْمَاءِ، وَالْعَجْزُ، إِمَّا لِفَقْدِ الْمَاءِ وَإِمَّا لِعَدَمِ الْقُدْرَةِ عَلَى اسْتِعْمَالِهِ مَعَ وُجُودِهِ. “Pada hakikatnya, hanya ada satu hal yang membolehkan tayamum, yaitu ketidakmampuan menggunakan air. Ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh tidak adanya air atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada.” [2] Apakah sah salat seseorang yang bertayamum di pesawat, meskipun ada air? Jika ia mampu menggunakan air dengan cara apa pun yang memungkinkan, maka salatnya tidak sah dan wajib diqada, karena wudu adalah syarat sahnya salat sehingga salat tidak sah tanpanya, kecuali jika tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya, maka dapat digantikan dengan tayamum. [3] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ “Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sampai ia berwudu.” [4] Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wudu Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wudu, maka wajib menggunakannya karena itulah yang ia mampu lakukan. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإذا أمرتكم بأمرٍ فأتوا منه ما استطعتم “Jika aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaih) Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar [5], “Engkau dapat berdalil dengan hadis ini untuk tidak mewajibkan segala sesuatu yang di luar kemampuan, dan wajib melakukan apa yang mampu dilakukan dari yang diperintahkan, dan tidak hanya karena sebagiannya di luar kemampuan lantas menggugurkan semuanya.” [6] Syekh Abdullah Ath-Thayyar hafidzahullah mengatakan, إذا لم يجد من أراد الصلاة إلا ماء قليلًا أو لم يستطع أن يستعمل الماء إلا في بعض أعضائه أو قدر على الوضوء في الجنابة ولم يقدر على الغسل، فهنا يفعل ما يستطيعه بطهارة الماء ثم يتيمم عن الباقي، وهذا هو المذهب عند الحنابلة؛ لعموم قوله تعالى: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ} “Jika seseorang yang hendak salat hanya menemukan sedikit air atau tidak mampu menggunakan air, kecuali pada sebagian anggota tubuhnya; atau mampu berwudu dari junub, tetapi tidak mampu mandi, maka ia melakukan apa yang ia mampu dengan bersuci menggunakan air, kemudian bertayamum untuk sisanya. Ini adalah pendapat mazhab Hambali, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) [7] Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar Air yang mencukupi untuk wudu tidak ditentukan dengan ukuran tertentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu dengan satu mud. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَغْسِلُ، أوْ كانَ يَغْتَسِلُ، بالصَّاعِ إلى خَمْسَةِ أمْدَادٍ، ويَتَوَضَّأُ بالمُدِّ. “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dengan satu sha’ sampai lima mud dan berwudu dengan satu mud.” [8] Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mampu berwudu dengan dua pertiga mud, yaitu 458.67 mililiter. Ummu ‘Ammarah radhiyallahu ‘anha mengatakan, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ توضَّأَ فأُتِيَ بإناءٍ فيهِ ماءٌ قدرُ ثلُثيِ المدِّ. “Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudu dan diberi bejana berisi air sebanyak dua pertiga mud.” [9] Para ulama sepakat bahwa air yang mencukupi untuk wudu dan mandi tidak ditentukan dengan ukuran tertentu. Ibnu Abidin meriwayatkan ijma‘ (kesepakatan ulama) tentang hal itu dan berkata, “Sesungguhnya apa yang disebutkan dalam hadis bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha’ bukanlah ukuran yang wajib, melainkan penjelasan tentang kadar minimal yang disunahkan. Sehingga, jika seseorang membasuh dengan lebih dari itu, maka sah baginya. Dan jika tidak mencukupi, maka ia menambahkannya, karena tabiat dan kondisi manusia berbeda-beda.” [10] Cara berwudu dengan air yang sedikit Setelah kita mengetahui bahwasanya air yang sedikit (459 mililiter, atau seukuran satu botol air mineral ukuran sedang) bisa digunakan untuk wudu dengan sempurna, dan tidak ada batasan untuk kecukupan air dalam wudu, maka berikut ini tata cara berwudu sehingga kita bisa menggunakan air seminimal mungkin, namun tetap mengedepankan keabsahan wudu: Pertama: Membasuh anggota tubuh yang wajib saja. Maka, untuk anggota tubuh yang sunah, misalkan mencuci tangan di awal wudu, bisa ditinggalkan. Kedua: Membasuh satu kali saja. Membasuh tiga kali untuk anggota-anggota wudu, hukumnya sunah. Maka, untuk maslahat meminimalisasi penggunaan air, sunah ini bisa ditinggalkan. Ketiga: Mengusap sepatu/ kaos kaki, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam pembahasan mengusap khuf. Wallaahu a’lam Jika memang tidak bisa menggunakan air di pesawat, bagaimana cara bersucinya? Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Jika tidak ada air atau membeku, atau dilarang menggunakannya karena khawatir akan tumpah dan menyebabkan kerusakan di pesawat atau tidak mencukupi, bagaimana cara berwudu jika tidak ada debu?” Beliau menjawab, “Dalam kasus yang Anda sebutkan, wudu tidak mungkin atau sulit dilakukan, dan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ‘Allah tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.’ Maka, penumpang dapat bertayamum di atas tempat tidurnya jika ada debu. Jika tidak ada debu, maka ia salat meskipun tidak bersuci karena tidak mampu melakukannya, dan Allah Ta’ala berfirman, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ‘Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’ Akan tetapi, jika memungkinkan untuk turun di bandara di akhir waktu salat kedua yang dapat digabungkan dengan salat sebelumnya, seperti Asar digabungkan dengan Zuhur dan Isya digabungkan dengan Magrib, maka hendaklah ia mengakhirkannya, yaitu menjamak ta’khir dan salat dua rakaat setelah turun di bandara. Sunah bagi orang yang menjamak salat adalah mengumandangkan azan satu kali untuk keduanya dan melakukan iqamah secara terpisah untuk setiap salat, meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menjamak Zuhur dan Asar pada hari Arafah. Adapun jika tidak memungkinkan, seperti jika ini adalah waktu kedua dalam dua kelompok salat atau salat yang tidak dapat digabungkan dengan salat setelahnya, seperti Asar dengan Magrib dan Isya dengan Subuh dengan Zuhur, maka ia salat sesuai keadaannya.” [11] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang tata cara bersuci untuk salat ketika di pesawat. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat *** 3 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah, Mesir, cet. ke-1, 1421 (maktabah syamilah). Nailul Authar, Imam Muhammad bin ‘Aliy Asy-Syaukaniy, Dar Hadits, Kairo, 2005 M.   Catatan kaki: [1] QS. Al-Maidah: 6 [2] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 14: 255. [3] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/182457 [4] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu [5] Nailul Authar, 1: 277. [6] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/34360/ [7] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 136. [8] HR. Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325, Lihat: https://dorar.net/hadith/sharh/120730 Satu mud air yaitu 688 ml. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1: 143. [9] Shahih Abu Dawud no. 94 https://dorar.net/hadith/sharh/85473 [10] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 179. [11] Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin, 15: 412. Lihat: https://ar.lib.efatwa.ir/44359/15/412 Tags: bersuci
Daftar Isi Toggle Alasan-alasan yang membolehkan tayamumApakah sah salat seseorang yang bertayamum di pesawat, meskipun ada air?Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wuduAir yang mencukupi untuk wudu tidak ditentukan dengan ukuran tertentuCara berwudu dengan air yang sedikitJika memang tidak bisa menggunakan air di pesawat, bagaimana cara bersucinya? Allah Ta’ala mewajibkan orang-orang beriman untuk berwudu ketika hendak mendirikan salat. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا ‌قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَد مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدا طَيِّبا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menjadikan kamu kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” [1] Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya bersuci adalah dengan berwudu. Jika ada uzur (alasan yang dibenarkan), maka bisa beralih ke tayamum sebagai penggantinya. Alasan-alasan yang membolehkan tayamum Secara ringkas, alasan yang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, الْمُبِيحُ لِلتَّيَمُّمِ فِي الْحَقِيقَةِ شَيْءٌ وَاحِدٌ. وَهُوَ الْعَجْزُ عَنِ اسْتِعْمَال الْمَاءِ، وَالْعَجْزُ، إِمَّا لِفَقْدِ الْمَاءِ وَإِمَّا لِعَدَمِ الْقُدْرَةِ عَلَى اسْتِعْمَالِهِ مَعَ وُجُودِهِ. “Pada hakikatnya, hanya ada satu hal yang membolehkan tayamum, yaitu ketidakmampuan menggunakan air. Ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh tidak adanya air atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada.” [2] Apakah sah salat seseorang yang bertayamum di pesawat, meskipun ada air? Jika ia mampu menggunakan air dengan cara apa pun yang memungkinkan, maka salatnya tidak sah dan wajib diqada, karena wudu adalah syarat sahnya salat sehingga salat tidak sah tanpanya, kecuali jika tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya, maka dapat digantikan dengan tayamum. [3] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ “Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sampai ia berwudu.” [4] Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wudu Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wudu, maka wajib menggunakannya karena itulah yang ia mampu lakukan. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإذا أمرتكم بأمرٍ فأتوا منه ما استطعتم “Jika aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaih) Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar [5], “Engkau dapat berdalil dengan hadis ini untuk tidak mewajibkan segala sesuatu yang di luar kemampuan, dan wajib melakukan apa yang mampu dilakukan dari yang diperintahkan, dan tidak hanya karena sebagiannya di luar kemampuan lantas menggugurkan semuanya.” [6] Syekh Abdullah Ath-Thayyar hafidzahullah mengatakan, إذا لم يجد من أراد الصلاة إلا ماء قليلًا أو لم يستطع أن يستعمل الماء إلا في بعض أعضائه أو قدر على الوضوء في الجنابة ولم يقدر على الغسل، فهنا يفعل ما يستطيعه بطهارة الماء ثم يتيمم عن الباقي، وهذا هو المذهب عند الحنابلة؛ لعموم قوله تعالى: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ} “Jika seseorang yang hendak salat hanya menemukan sedikit air atau tidak mampu menggunakan air, kecuali pada sebagian anggota tubuhnya; atau mampu berwudu dari junub, tetapi tidak mampu mandi, maka ia melakukan apa yang ia mampu dengan bersuci menggunakan air, kemudian bertayamum untuk sisanya. Ini adalah pendapat mazhab Hambali, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) [7] Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar Air yang mencukupi untuk wudu tidak ditentukan dengan ukuran tertentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu dengan satu mud. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَغْسِلُ، أوْ كانَ يَغْتَسِلُ، بالصَّاعِ إلى خَمْسَةِ أمْدَادٍ، ويَتَوَضَّأُ بالمُدِّ. “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dengan satu sha’ sampai lima mud dan berwudu dengan satu mud.” [8] Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mampu berwudu dengan dua pertiga mud, yaitu 458.67 mililiter. Ummu ‘Ammarah radhiyallahu ‘anha mengatakan, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ توضَّأَ فأُتِيَ بإناءٍ فيهِ ماءٌ قدرُ ثلُثيِ المدِّ. “Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudu dan diberi bejana berisi air sebanyak dua pertiga mud.” [9] Para ulama sepakat bahwa air yang mencukupi untuk wudu dan mandi tidak ditentukan dengan ukuran tertentu. Ibnu Abidin meriwayatkan ijma‘ (kesepakatan ulama) tentang hal itu dan berkata, “Sesungguhnya apa yang disebutkan dalam hadis bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha’ bukanlah ukuran yang wajib, melainkan penjelasan tentang kadar minimal yang disunahkan. Sehingga, jika seseorang membasuh dengan lebih dari itu, maka sah baginya. Dan jika tidak mencukupi, maka ia menambahkannya, karena tabiat dan kondisi manusia berbeda-beda.” [10] Cara berwudu dengan air yang sedikit Setelah kita mengetahui bahwasanya air yang sedikit (459 mililiter, atau seukuran satu botol air mineral ukuran sedang) bisa digunakan untuk wudu dengan sempurna, dan tidak ada batasan untuk kecukupan air dalam wudu, maka berikut ini tata cara berwudu sehingga kita bisa menggunakan air seminimal mungkin, namun tetap mengedepankan keabsahan wudu: Pertama: Membasuh anggota tubuh yang wajib saja. Maka, untuk anggota tubuh yang sunah, misalkan mencuci tangan di awal wudu, bisa ditinggalkan. Kedua: Membasuh satu kali saja. Membasuh tiga kali untuk anggota-anggota wudu, hukumnya sunah. Maka, untuk maslahat meminimalisasi penggunaan air, sunah ini bisa ditinggalkan. Ketiga: Mengusap sepatu/ kaos kaki, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam pembahasan mengusap khuf. Wallaahu a’lam Jika memang tidak bisa menggunakan air di pesawat, bagaimana cara bersucinya? Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Jika tidak ada air atau membeku, atau dilarang menggunakannya karena khawatir akan tumpah dan menyebabkan kerusakan di pesawat atau tidak mencukupi, bagaimana cara berwudu jika tidak ada debu?” Beliau menjawab, “Dalam kasus yang Anda sebutkan, wudu tidak mungkin atau sulit dilakukan, dan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ‘Allah tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.’ Maka, penumpang dapat bertayamum di atas tempat tidurnya jika ada debu. Jika tidak ada debu, maka ia salat meskipun tidak bersuci karena tidak mampu melakukannya, dan Allah Ta’ala berfirman, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ‘Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’ Akan tetapi, jika memungkinkan untuk turun di bandara di akhir waktu salat kedua yang dapat digabungkan dengan salat sebelumnya, seperti Asar digabungkan dengan Zuhur dan Isya digabungkan dengan Magrib, maka hendaklah ia mengakhirkannya, yaitu menjamak ta’khir dan salat dua rakaat setelah turun di bandara. Sunah bagi orang yang menjamak salat adalah mengumandangkan azan satu kali untuk keduanya dan melakukan iqamah secara terpisah untuk setiap salat, meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menjamak Zuhur dan Asar pada hari Arafah. Adapun jika tidak memungkinkan, seperti jika ini adalah waktu kedua dalam dua kelompok salat atau salat yang tidak dapat digabungkan dengan salat setelahnya, seperti Asar dengan Magrib dan Isya dengan Subuh dengan Zuhur, maka ia salat sesuai keadaannya.” [11] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang tata cara bersuci untuk salat ketika di pesawat. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat *** 3 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah, Mesir, cet. ke-1, 1421 (maktabah syamilah). Nailul Authar, Imam Muhammad bin ‘Aliy Asy-Syaukaniy, Dar Hadits, Kairo, 2005 M.   Catatan kaki: [1] QS. Al-Maidah: 6 [2] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 14: 255. [3] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/182457 [4] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu [5] Nailul Authar, 1: 277. [6] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/34360/ [7] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 136. [8] HR. Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325, Lihat: https://dorar.net/hadith/sharh/120730 Satu mud air yaitu 688 ml. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1: 143. [9] Shahih Abu Dawud no. 94 https://dorar.net/hadith/sharh/85473 [10] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 179. [11] Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin, 15: 412. Lihat: https://ar.lib.efatwa.ir/44359/15/412 Tags: bersuci


Daftar Isi Toggle Alasan-alasan yang membolehkan tayamumApakah sah salat seseorang yang bertayamum di pesawat, meskipun ada air?Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wuduAir yang mencukupi untuk wudu tidak ditentukan dengan ukuran tertentuCara berwudu dengan air yang sedikitJika memang tidak bisa menggunakan air di pesawat, bagaimana cara bersucinya? Allah Ta’ala mewajibkan orang-orang beriman untuk berwudu ketika hendak mendirikan salat. Allah Ta’ala berfirman, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا ‌قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَد مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدا طَيِّبا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menjadikan kamu kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” [1] Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya bersuci adalah dengan berwudu. Jika ada uzur (alasan yang dibenarkan), maka bisa beralih ke tayamum sebagai penggantinya. Alasan-alasan yang membolehkan tayamum Secara ringkas, alasan yang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, الْمُبِيحُ لِلتَّيَمُّمِ فِي الْحَقِيقَةِ شَيْءٌ وَاحِدٌ. وَهُوَ الْعَجْزُ عَنِ اسْتِعْمَال الْمَاءِ، وَالْعَجْزُ، إِمَّا لِفَقْدِ الْمَاءِ وَإِمَّا لِعَدَمِ الْقُدْرَةِ عَلَى اسْتِعْمَالِهِ مَعَ وُجُودِهِ. “Pada hakikatnya, hanya ada satu hal yang membolehkan tayamum, yaitu ketidakmampuan menggunakan air. Ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh tidak adanya air atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada.” [2] Apakah sah salat seseorang yang bertayamum di pesawat, meskipun ada air? Jika ia mampu menggunakan air dengan cara apa pun yang memungkinkan, maka salatnya tidak sah dan wajib diqada, karena wudu adalah syarat sahnya salat sehingga salat tidak sah tanpanya, kecuali jika tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya, maka dapat digantikan dengan tayamum. [3] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ “Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sampai ia berwudu.” [4] Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wudu Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wudu, maka wajib menggunakannya karena itulah yang ia mampu lakukan. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, وإذا أمرتكم بأمرٍ فأتوا منه ما استطعتم “Jika aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaih) Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar [5], “Engkau dapat berdalil dengan hadis ini untuk tidak mewajibkan segala sesuatu yang di luar kemampuan, dan wajib melakukan apa yang mampu dilakukan dari yang diperintahkan, dan tidak hanya karena sebagiannya di luar kemampuan lantas menggugurkan semuanya.” [6] Syekh Abdullah Ath-Thayyar hafidzahullah mengatakan, إذا لم يجد من أراد الصلاة إلا ماء قليلًا أو لم يستطع أن يستعمل الماء إلا في بعض أعضائه أو قدر على الوضوء في الجنابة ولم يقدر على الغسل، فهنا يفعل ما يستطيعه بطهارة الماء ثم يتيمم عن الباقي، وهذا هو المذهب عند الحنابلة؛ لعموم قوله تعالى: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ} “Jika seseorang yang hendak salat hanya menemukan sedikit air atau tidak mampu menggunakan air, kecuali pada sebagian anggota tubuhnya; atau mampu berwudu dari junub, tetapi tidak mampu mandi, maka ia melakukan apa yang ia mampu dengan bersuci menggunakan air, kemudian bertayamum untuk sisanya. Ini adalah pendapat mazhab Hambali, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) [7] Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar Air yang mencukupi untuk wudu tidak ditentukan dengan ukuran tertentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu dengan satu mud. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَغْسِلُ، أوْ كانَ يَغْتَسِلُ، بالصَّاعِ إلى خَمْسَةِ أمْدَادٍ، ويَتَوَضَّأُ بالمُدِّ. “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dengan satu sha’ sampai lima mud dan berwudu dengan satu mud.” [8] Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mampu berwudu dengan dua pertiga mud, yaitu 458.67 mililiter. Ummu ‘Ammarah radhiyallahu ‘anha mengatakan, أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ توضَّأَ فأُتِيَ بإناءٍ فيهِ ماءٌ قدرُ ثلُثيِ المدِّ. “Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudu dan diberi bejana berisi air sebanyak dua pertiga mud.” [9] Para ulama sepakat bahwa air yang mencukupi untuk wudu dan mandi tidak ditentukan dengan ukuran tertentu. Ibnu Abidin meriwayatkan ijma‘ (kesepakatan ulama) tentang hal itu dan berkata, “Sesungguhnya apa yang disebutkan dalam hadis bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha’ bukanlah ukuran yang wajib, melainkan penjelasan tentang kadar minimal yang disunahkan. Sehingga, jika seseorang membasuh dengan lebih dari itu, maka sah baginya. Dan jika tidak mencukupi, maka ia menambahkannya, karena tabiat dan kondisi manusia berbeda-beda.” [10] Cara berwudu dengan air yang sedikit Setelah kita mengetahui bahwasanya air yang sedikit (459 mililiter, atau seukuran satu botol air mineral ukuran sedang) bisa digunakan untuk wudu dengan sempurna, dan tidak ada batasan untuk kecukupan air dalam wudu, maka berikut ini tata cara berwudu sehingga kita bisa menggunakan air seminimal mungkin, namun tetap mengedepankan keabsahan wudu: Pertama: Membasuh anggota tubuh yang wajib saja. Maka, untuk anggota tubuh yang sunah, misalkan mencuci tangan di awal wudu, bisa ditinggalkan. Kedua: Membasuh satu kali saja. Membasuh tiga kali untuk anggota-anggota wudu, hukumnya sunah. Maka, untuk maslahat meminimalisasi penggunaan air, sunah ini bisa ditinggalkan. Ketiga: Mengusap sepatu/ kaos kaki, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam pembahasan mengusap khuf. Wallaahu a’lam Jika memang tidak bisa menggunakan air di pesawat, bagaimana cara bersucinya? Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Jika tidak ada air atau membeku, atau dilarang menggunakannya karena khawatir akan tumpah dan menyebabkan kerusakan di pesawat atau tidak mencukupi, bagaimana cara berwudu jika tidak ada debu?” Beliau menjawab, “Dalam kasus yang Anda sebutkan, wudu tidak mungkin atau sulit dilakukan, dan Allah Ta’ala berfirman, وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ‘Allah tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.’ Maka, penumpang dapat bertayamum di atas tempat tidurnya jika ada debu. Jika tidak ada debu, maka ia salat meskipun tidak bersuci karena tidak mampu melakukannya, dan Allah Ta’ala berfirman, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ‘Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’ Akan tetapi, jika memungkinkan untuk turun di bandara di akhir waktu salat kedua yang dapat digabungkan dengan salat sebelumnya, seperti Asar digabungkan dengan Zuhur dan Isya digabungkan dengan Magrib, maka hendaklah ia mengakhirkannya, yaitu menjamak ta’khir dan salat dua rakaat setelah turun di bandara. Sunah bagi orang yang menjamak salat adalah mengumandangkan azan satu kali untuk keduanya dan melakukan iqamah secara terpisah untuk setiap salat, meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menjamak Zuhur dan Asar pada hari Arafah. Adapun jika tidak memungkinkan, seperti jika ini adalah waktu kedua dalam dua kelompok salat atau salat yang tidak dapat digabungkan dengan salat setelahnya, seperti Asar dengan Magrib dan Isya dengan Subuh dengan Zuhur, maka ia salat sesuai keadaannya.” [11] Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang tata cara bersuci untuk salat ketika di pesawat. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat *** 3 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Al-Fiqhul Muyassar Qism ‘Ibadat, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Madarul Wathan, Riyadh, cet. ke-4, 2018 M. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah, Mesir, cet. ke-1, 1421 (maktabah syamilah). Nailul Authar, Imam Muhammad bin ‘Aliy Asy-Syaukaniy, Dar Hadits, Kairo, 2005 M.   Catatan kaki: [1] QS. Al-Maidah: 6 [2] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 14: 255. [3] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/182457 [4] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu [5] Nailul Authar, 1: 277. [6] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/34360/ [7] Al-Fiqh Al-Muyassar, 1: 136. [8] HR. Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325, Lihat: https://dorar.net/hadith/sharh/120730 Satu mud air yaitu 688 ml. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1: 143. [9] Shahih Abu Dawud no. 94 https://dorar.net/hadith/sharh/85473 [10] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 4: 179. [11] Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin, 15: 412. Lihat: https://ar.lib.efatwa.ir/44359/15/412 Tags: bersuci

Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar

Daftar Isi Toggle Bersuci merupakan syarat sahnya salatAsal bersuci adalah dengan airTayamum sebagai pengganti airYang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan airPertama: Tidak ada airKedua: Tidak mampu menggunakan airKesimpulan dari penjelasan di atas Banyak dari kaum muslimin yang bertayamum untuk salat ketika mereka sedang safar, baik dengan bus, kapal, ataupun pesawat. Apakah hal itu dibenarkan? Apakah safar merupakan uzur/ alasan diperbolehkannya tayamum sebagai ganti dari wudu untuk salat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang hukum bertayamum untuk salat ketika safar. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Bersuci merupakan syarat sahnya salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ “Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sampai ia berwudu.” [1] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah, dalam kitabnya Manhajus Salikin wa Taudhihul Fiqh Fiddin mengatakan, وَأَمَّا اَلصَّلَاةُ: فَلَهَا شُرُوطٌ تتقدم عليها، فمنها: اَلطَّهَارَةُ: كَمَا قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: “لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيرِ طُهُورٍ”، فَمَنْ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنَ اَلْحَدَثِ الأكبر والأصغر والنجاسة فلا صلاة له “Salat memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Di antaranya: Bersuci: sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Allah tidak menerima salat tanpa bersuci.’ [2] Maka, barangsiapa yang tidak bersuci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis, maka tidak ada salat baginya.” [3] Asal bersuci adalah dengan air Hukum asal bersuci adalah dengan air. Apabila tidak ada, maka boleh beralih ke tayamum dengan debu. Syekh As-Si’diy rahimahullah juga mengatakan, والطهارة نوعان: أحدهما: الطهارة بالماء، وَهِيَ اَلْأَصْلُ “Bersuci ada dua macam: Pertama, bersuci dengan air, dan inilah yang menjadi asal. …” [4] Dasar dari hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَيُنَزِّلُ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآء لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” [5] Selain itu, Allah juga berfirman, …  أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ …  “… atau kamu menyentuh wanita, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah…” [6] Maka, Allah menyebutkan air terlebih dahulu, dan apabila tidak ada, maka boleh beralih ke tayamum dengan debu. [7] Tayamum sebagai pengganti air Apabila tidak dapat menggunakan air untuk anggota-anggota wudu, karena tidak ada air atau khawatir akan membahayakan jika menggunakannya, maka sebagai gantinya, diperbolehkan bertayamum. Syekh As-Si’diy rahimahullah juga mengatakan, اَلنَّوْعُ اَلثَّانِي مِنَ اَلطَّهَارَةِ هو التيمم وَهُوَ بَدَلٌ عَنِ اَلْمَاءِ، إِذَا تَعْذَّرَ اِسْتِعْمَالُ اَلْمَاءِ لِأَعْضَاءِ اَلطَّهَارَةِ، أَوْ بَعْضِهَا لِعَدَمِهِ، أَوْ خَوْفِ ضَرَرٍ بِاسْتِعْمَالِهِ فَيَقُومُ اَلتُّرَابُ مَقَامَ اَلْمَاءِ “Macam kedua dari bersuci adalah tayamum. Tayamum adalah pengganti air, apabila tidak dapat menggunakan air untuk anggota-anggota wudu, atau sebagiannya, karena tidak ada air atau khawatir akan membahayakan jika menggunakannya. Maka, debu dapat menggantikan posisi air.” [8] Baca juga: Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat Yang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air Diperbolehkan bertayamum karena ketidakmampuan menggunakan air, baik karena tidak ada air maupun tidak mampu menggunakannya, meskipun ada. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, “Yang membolehkan tayamum pada hakikatnya hanya satu hal, yaitu ketidakmampuan menggunakan air. Ketidakmampuan ini, bisa karena tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada. Pertama: Tidak ada air Apabila seorang musafir tidak menemukan air sama sekali, atau menemukan air yang tidak cukup untuk bersuci, maka ia boleh bertayamum. Akan tetapi, menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, ia wajib menggunakan air yang ada untuk sebagian anggota wudu, kemudian bertayamum untuk sisanya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Apabila aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hal ini apabila tidak menemukan air. Adapun apabila menemukan air pada orang lain atau lupa meninggalkannya di perjalanan, apakah ia wajib membelinya atau menerima pemberiannya? Orang yang menemukan air pada orang lain wajib membelinya apabila harganya sesuai atau dengan sedikit kerugian, dan ia memiliki uang lebih dari kebutuhannya. Apabila tidak menemukannya, kecuali dengan kerugian yang sangat besar atau tidak memiliki uang untuk membelinya, maka ia bertayamum. Jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah) berpendapat, dan ini juga pendapat yang paling kuat menurut mazhab Syafi’i, bahwa apabila ia diberi air atau dipinjami ember, maka ia wajib menerimanya. Kedua: Tidak mampu menggunakan air Hal ini bisa terjadi karena sakit, takut sakit karena kedinginan dan semisalnya, atau tidak mampu menggunakannya. Berikut ini penjelasan ringkas dari ketiga sebab tersebut: Pertama, sakit Para ulama sepakat tentang bolehnya tayamum bagi orang sakit apabila ia yakin akan membahayakan dirinya. Demikian juga, menurut mayoritas ulama, apabila ia khawatir menggunakan air untuk wudu atau mandi akan membahayakan dirinya, anggota tubuhnya, memperparah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya. Hal ini diketahui berdasarkan kebiasaan atau keterangan dokter yang ahli, muslim, adil, dan terpercaya. Kedua: Takut sakit karena kedinginan dan semisalnya Jumhur ulama berpendapat bolehnya tayamum bagi orang yang khawatir menggunakan air dalam cuaca dingin yang sangat akan membahayakan dirinya, menimbulkan penyakit, memperparah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya, apabila ia tidak menemukan sesuatu untuk memanaskan air atau tidak mampu membayar biaya pemandian atau penghangat, baik untuk hadas besar maupun hadas kecil. Hal ini berdasarkan persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tayamum Amr bin Al-Ash karena takut kedinginan dan salatnya bersama orang-orang sebagai imam, dan Nabi tidak memerintahkannya untuk mengulanginya. Ketiga: Tidak mampu menggunakan air Orang yang tidak mampu menggunakan air boleh bertayamum dan tidak mengulanginya, seperti orang yang terpaksa, terpenjara, terikat di dekat air, atau takut terhadap binatang atau manusia, baik dalam perjalanan maupun di rumah. Karena ia dianggap tidak memiliki air secara hukum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ “Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci seorang muslim meskipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Apabila ia menemukan air, hendaklah ia membasuh kulitnya dengannya, karena itu lebih baik.” (HR. Tirmidzi, 1: 212 dan Al-Hakim, 1: 176-177. Disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi) Keempat: Membutuhkan air Orang yang meyakini atau menduga bahwa ia membutuhkan air yang dimilikinya, meskipun di masa depan, boleh bertayamum dan tidak mengulanginya. Misalnya, untuk menghilangkan dahaga orang yang darahnya terlindungi atau binatang yang dihormati secara syar’i (meskipun anjing pemburu atau penjaga) yang kehausannya dapat menyebabkan kematian atau bahaya yang parah. [9] Kesimpulan dari penjelasan di atas Semata-mata safar, tidak cukup menjadi alasan untuk membolehkan tayamum sebagai pengganti wudu untuk salat. Dalam keadaan-keadaan tertentu ketika safar, bisa jadi mendapatkan keringan untuk bertayamum. Jika bertayamum untuk salat, padahal tidak alasan (uzur) yang membolehkannya, maka salatnya tidak sah. Wallaahu a’lam. [10] Demikian penjelasan ringkas, dan insya Allah menyeluruh, tentang hukum bertayamum untuk salat ketika safar. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum dan Tata Cara Salat dengan Duduk di Atas Kendaraan *** 2 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy, Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, cet. ke-1 th 1430. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, th 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225, dari Abu Hurairah [2] HR. Muslim no. 224 [3] Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, hal. 27. [4] Idem. [5] QS. Al-Anfal: 11 [6] QS. Al-Maidah: 6 [7] Syarh Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, Syekh Sulaimian bin Muhammad Al-Luhaimid, 1: 24, Maktabah Syamilah. [8] Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, hal. 51. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 14: 255-259. [10] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/182457 Tags: safartayamum

Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar

Daftar Isi Toggle Bersuci merupakan syarat sahnya salatAsal bersuci adalah dengan airTayamum sebagai pengganti airYang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan airPertama: Tidak ada airKedua: Tidak mampu menggunakan airKesimpulan dari penjelasan di atas Banyak dari kaum muslimin yang bertayamum untuk salat ketika mereka sedang safar, baik dengan bus, kapal, ataupun pesawat. Apakah hal itu dibenarkan? Apakah safar merupakan uzur/ alasan diperbolehkannya tayamum sebagai ganti dari wudu untuk salat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang hukum bertayamum untuk salat ketika safar. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Bersuci merupakan syarat sahnya salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ “Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sampai ia berwudu.” [1] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah, dalam kitabnya Manhajus Salikin wa Taudhihul Fiqh Fiddin mengatakan, وَأَمَّا اَلصَّلَاةُ: فَلَهَا شُرُوطٌ تتقدم عليها، فمنها: اَلطَّهَارَةُ: كَمَا قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: “لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيرِ طُهُورٍ”، فَمَنْ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنَ اَلْحَدَثِ الأكبر والأصغر والنجاسة فلا صلاة له “Salat memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Di antaranya: Bersuci: sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Allah tidak menerima salat tanpa bersuci.’ [2] Maka, barangsiapa yang tidak bersuci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis, maka tidak ada salat baginya.” [3] Asal bersuci adalah dengan air Hukum asal bersuci adalah dengan air. Apabila tidak ada, maka boleh beralih ke tayamum dengan debu. Syekh As-Si’diy rahimahullah juga mengatakan, والطهارة نوعان: أحدهما: الطهارة بالماء، وَهِيَ اَلْأَصْلُ “Bersuci ada dua macam: Pertama, bersuci dengan air, dan inilah yang menjadi asal. …” [4] Dasar dari hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَيُنَزِّلُ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآء لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” [5] Selain itu, Allah juga berfirman, …  أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ …  “… atau kamu menyentuh wanita, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah…” [6] Maka, Allah menyebutkan air terlebih dahulu, dan apabila tidak ada, maka boleh beralih ke tayamum dengan debu. [7] Tayamum sebagai pengganti air Apabila tidak dapat menggunakan air untuk anggota-anggota wudu, karena tidak ada air atau khawatir akan membahayakan jika menggunakannya, maka sebagai gantinya, diperbolehkan bertayamum. Syekh As-Si’diy rahimahullah juga mengatakan, اَلنَّوْعُ اَلثَّانِي مِنَ اَلطَّهَارَةِ هو التيمم وَهُوَ بَدَلٌ عَنِ اَلْمَاءِ، إِذَا تَعْذَّرَ اِسْتِعْمَالُ اَلْمَاءِ لِأَعْضَاءِ اَلطَّهَارَةِ، أَوْ بَعْضِهَا لِعَدَمِهِ، أَوْ خَوْفِ ضَرَرٍ بِاسْتِعْمَالِهِ فَيَقُومُ اَلتُّرَابُ مَقَامَ اَلْمَاءِ “Macam kedua dari bersuci adalah tayamum. Tayamum adalah pengganti air, apabila tidak dapat menggunakan air untuk anggota-anggota wudu, atau sebagiannya, karena tidak ada air atau khawatir akan membahayakan jika menggunakannya. Maka, debu dapat menggantikan posisi air.” [8] Baca juga: Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat Yang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air Diperbolehkan bertayamum karena ketidakmampuan menggunakan air, baik karena tidak ada air maupun tidak mampu menggunakannya, meskipun ada. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, “Yang membolehkan tayamum pada hakikatnya hanya satu hal, yaitu ketidakmampuan menggunakan air. Ketidakmampuan ini, bisa karena tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada. Pertama: Tidak ada air Apabila seorang musafir tidak menemukan air sama sekali, atau menemukan air yang tidak cukup untuk bersuci, maka ia boleh bertayamum. Akan tetapi, menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, ia wajib menggunakan air yang ada untuk sebagian anggota wudu, kemudian bertayamum untuk sisanya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Apabila aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hal ini apabila tidak menemukan air. Adapun apabila menemukan air pada orang lain atau lupa meninggalkannya di perjalanan, apakah ia wajib membelinya atau menerima pemberiannya? Orang yang menemukan air pada orang lain wajib membelinya apabila harganya sesuai atau dengan sedikit kerugian, dan ia memiliki uang lebih dari kebutuhannya. Apabila tidak menemukannya, kecuali dengan kerugian yang sangat besar atau tidak memiliki uang untuk membelinya, maka ia bertayamum. Jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah) berpendapat, dan ini juga pendapat yang paling kuat menurut mazhab Syafi’i, bahwa apabila ia diberi air atau dipinjami ember, maka ia wajib menerimanya. Kedua: Tidak mampu menggunakan air Hal ini bisa terjadi karena sakit, takut sakit karena kedinginan dan semisalnya, atau tidak mampu menggunakannya. Berikut ini penjelasan ringkas dari ketiga sebab tersebut: Pertama, sakit Para ulama sepakat tentang bolehnya tayamum bagi orang sakit apabila ia yakin akan membahayakan dirinya. Demikian juga, menurut mayoritas ulama, apabila ia khawatir menggunakan air untuk wudu atau mandi akan membahayakan dirinya, anggota tubuhnya, memperparah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya. Hal ini diketahui berdasarkan kebiasaan atau keterangan dokter yang ahli, muslim, adil, dan terpercaya. Kedua: Takut sakit karena kedinginan dan semisalnya Jumhur ulama berpendapat bolehnya tayamum bagi orang yang khawatir menggunakan air dalam cuaca dingin yang sangat akan membahayakan dirinya, menimbulkan penyakit, memperparah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya, apabila ia tidak menemukan sesuatu untuk memanaskan air atau tidak mampu membayar biaya pemandian atau penghangat, baik untuk hadas besar maupun hadas kecil. Hal ini berdasarkan persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tayamum Amr bin Al-Ash karena takut kedinginan dan salatnya bersama orang-orang sebagai imam, dan Nabi tidak memerintahkannya untuk mengulanginya. Ketiga: Tidak mampu menggunakan air Orang yang tidak mampu menggunakan air boleh bertayamum dan tidak mengulanginya, seperti orang yang terpaksa, terpenjara, terikat di dekat air, atau takut terhadap binatang atau manusia, baik dalam perjalanan maupun di rumah. Karena ia dianggap tidak memiliki air secara hukum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ “Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci seorang muslim meskipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Apabila ia menemukan air, hendaklah ia membasuh kulitnya dengannya, karena itu lebih baik.” (HR. Tirmidzi, 1: 212 dan Al-Hakim, 1: 176-177. Disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi) Keempat: Membutuhkan air Orang yang meyakini atau menduga bahwa ia membutuhkan air yang dimilikinya, meskipun di masa depan, boleh bertayamum dan tidak mengulanginya. Misalnya, untuk menghilangkan dahaga orang yang darahnya terlindungi atau binatang yang dihormati secara syar’i (meskipun anjing pemburu atau penjaga) yang kehausannya dapat menyebabkan kematian atau bahaya yang parah. [9] Kesimpulan dari penjelasan di atas Semata-mata safar, tidak cukup menjadi alasan untuk membolehkan tayamum sebagai pengganti wudu untuk salat. Dalam keadaan-keadaan tertentu ketika safar, bisa jadi mendapatkan keringan untuk bertayamum. Jika bertayamum untuk salat, padahal tidak alasan (uzur) yang membolehkannya, maka salatnya tidak sah. Wallaahu a’lam. [10] Demikian penjelasan ringkas, dan insya Allah menyeluruh, tentang hukum bertayamum untuk salat ketika safar. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum dan Tata Cara Salat dengan Duduk di Atas Kendaraan *** 2 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy, Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, cet. ke-1 th 1430. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, th 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225, dari Abu Hurairah [2] HR. Muslim no. 224 [3] Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, hal. 27. [4] Idem. [5] QS. Al-Anfal: 11 [6] QS. Al-Maidah: 6 [7] Syarh Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, Syekh Sulaimian bin Muhammad Al-Luhaimid, 1: 24, Maktabah Syamilah. [8] Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, hal. 51. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 14: 255-259. [10] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/182457 Tags: safartayamum
Daftar Isi Toggle Bersuci merupakan syarat sahnya salatAsal bersuci adalah dengan airTayamum sebagai pengganti airYang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan airPertama: Tidak ada airKedua: Tidak mampu menggunakan airKesimpulan dari penjelasan di atas Banyak dari kaum muslimin yang bertayamum untuk salat ketika mereka sedang safar, baik dengan bus, kapal, ataupun pesawat. Apakah hal itu dibenarkan? Apakah safar merupakan uzur/ alasan diperbolehkannya tayamum sebagai ganti dari wudu untuk salat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang hukum bertayamum untuk salat ketika safar. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Bersuci merupakan syarat sahnya salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ “Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sampai ia berwudu.” [1] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah, dalam kitabnya Manhajus Salikin wa Taudhihul Fiqh Fiddin mengatakan, وَأَمَّا اَلصَّلَاةُ: فَلَهَا شُرُوطٌ تتقدم عليها، فمنها: اَلطَّهَارَةُ: كَمَا قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: “لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيرِ طُهُورٍ”، فَمَنْ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنَ اَلْحَدَثِ الأكبر والأصغر والنجاسة فلا صلاة له “Salat memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Di antaranya: Bersuci: sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Allah tidak menerima salat tanpa bersuci.’ [2] Maka, barangsiapa yang tidak bersuci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis, maka tidak ada salat baginya.” [3] Asal bersuci adalah dengan air Hukum asal bersuci adalah dengan air. Apabila tidak ada, maka boleh beralih ke tayamum dengan debu. Syekh As-Si’diy rahimahullah juga mengatakan, والطهارة نوعان: أحدهما: الطهارة بالماء، وَهِيَ اَلْأَصْلُ “Bersuci ada dua macam: Pertama, bersuci dengan air, dan inilah yang menjadi asal. …” [4] Dasar dari hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَيُنَزِّلُ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآء لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” [5] Selain itu, Allah juga berfirman, …  أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ …  “… atau kamu menyentuh wanita, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah…” [6] Maka, Allah menyebutkan air terlebih dahulu, dan apabila tidak ada, maka boleh beralih ke tayamum dengan debu. [7] Tayamum sebagai pengganti air Apabila tidak dapat menggunakan air untuk anggota-anggota wudu, karena tidak ada air atau khawatir akan membahayakan jika menggunakannya, maka sebagai gantinya, diperbolehkan bertayamum. Syekh As-Si’diy rahimahullah juga mengatakan, اَلنَّوْعُ اَلثَّانِي مِنَ اَلطَّهَارَةِ هو التيمم وَهُوَ بَدَلٌ عَنِ اَلْمَاءِ، إِذَا تَعْذَّرَ اِسْتِعْمَالُ اَلْمَاءِ لِأَعْضَاءِ اَلطَّهَارَةِ، أَوْ بَعْضِهَا لِعَدَمِهِ، أَوْ خَوْفِ ضَرَرٍ بِاسْتِعْمَالِهِ فَيَقُومُ اَلتُّرَابُ مَقَامَ اَلْمَاءِ “Macam kedua dari bersuci adalah tayamum. Tayamum adalah pengganti air, apabila tidak dapat menggunakan air untuk anggota-anggota wudu, atau sebagiannya, karena tidak ada air atau khawatir akan membahayakan jika menggunakannya. Maka, debu dapat menggantikan posisi air.” [8] Baca juga: Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat Yang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air Diperbolehkan bertayamum karena ketidakmampuan menggunakan air, baik karena tidak ada air maupun tidak mampu menggunakannya, meskipun ada. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, “Yang membolehkan tayamum pada hakikatnya hanya satu hal, yaitu ketidakmampuan menggunakan air. Ketidakmampuan ini, bisa karena tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada. Pertama: Tidak ada air Apabila seorang musafir tidak menemukan air sama sekali, atau menemukan air yang tidak cukup untuk bersuci, maka ia boleh bertayamum. Akan tetapi, menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, ia wajib menggunakan air yang ada untuk sebagian anggota wudu, kemudian bertayamum untuk sisanya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Apabila aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hal ini apabila tidak menemukan air. Adapun apabila menemukan air pada orang lain atau lupa meninggalkannya di perjalanan, apakah ia wajib membelinya atau menerima pemberiannya? Orang yang menemukan air pada orang lain wajib membelinya apabila harganya sesuai atau dengan sedikit kerugian, dan ia memiliki uang lebih dari kebutuhannya. Apabila tidak menemukannya, kecuali dengan kerugian yang sangat besar atau tidak memiliki uang untuk membelinya, maka ia bertayamum. Jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah) berpendapat, dan ini juga pendapat yang paling kuat menurut mazhab Syafi’i, bahwa apabila ia diberi air atau dipinjami ember, maka ia wajib menerimanya. Kedua: Tidak mampu menggunakan air Hal ini bisa terjadi karena sakit, takut sakit karena kedinginan dan semisalnya, atau tidak mampu menggunakannya. Berikut ini penjelasan ringkas dari ketiga sebab tersebut: Pertama, sakit Para ulama sepakat tentang bolehnya tayamum bagi orang sakit apabila ia yakin akan membahayakan dirinya. Demikian juga, menurut mayoritas ulama, apabila ia khawatir menggunakan air untuk wudu atau mandi akan membahayakan dirinya, anggota tubuhnya, memperparah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya. Hal ini diketahui berdasarkan kebiasaan atau keterangan dokter yang ahli, muslim, adil, dan terpercaya. Kedua: Takut sakit karena kedinginan dan semisalnya Jumhur ulama berpendapat bolehnya tayamum bagi orang yang khawatir menggunakan air dalam cuaca dingin yang sangat akan membahayakan dirinya, menimbulkan penyakit, memperparah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya, apabila ia tidak menemukan sesuatu untuk memanaskan air atau tidak mampu membayar biaya pemandian atau penghangat, baik untuk hadas besar maupun hadas kecil. Hal ini berdasarkan persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tayamum Amr bin Al-Ash karena takut kedinginan dan salatnya bersama orang-orang sebagai imam, dan Nabi tidak memerintahkannya untuk mengulanginya. Ketiga: Tidak mampu menggunakan air Orang yang tidak mampu menggunakan air boleh bertayamum dan tidak mengulanginya, seperti orang yang terpaksa, terpenjara, terikat di dekat air, atau takut terhadap binatang atau manusia, baik dalam perjalanan maupun di rumah. Karena ia dianggap tidak memiliki air secara hukum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ “Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci seorang muslim meskipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Apabila ia menemukan air, hendaklah ia membasuh kulitnya dengannya, karena itu lebih baik.” (HR. Tirmidzi, 1: 212 dan Al-Hakim, 1: 176-177. Disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi) Keempat: Membutuhkan air Orang yang meyakini atau menduga bahwa ia membutuhkan air yang dimilikinya, meskipun di masa depan, boleh bertayamum dan tidak mengulanginya. Misalnya, untuk menghilangkan dahaga orang yang darahnya terlindungi atau binatang yang dihormati secara syar’i (meskipun anjing pemburu atau penjaga) yang kehausannya dapat menyebabkan kematian atau bahaya yang parah. [9] Kesimpulan dari penjelasan di atas Semata-mata safar, tidak cukup menjadi alasan untuk membolehkan tayamum sebagai pengganti wudu untuk salat. Dalam keadaan-keadaan tertentu ketika safar, bisa jadi mendapatkan keringan untuk bertayamum. Jika bertayamum untuk salat, padahal tidak alasan (uzur) yang membolehkannya, maka salatnya tidak sah. Wallaahu a’lam. [10] Demikian penjelasan ringkas, dan insya Allah menyeluruh, tentang hukum bertayamum untuk salat ketika safar. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum dan Tata Cara Salat dengan Duduk di Atas Kendaraan *** 2 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy, Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, cet. ke-1 th 1430. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, th 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225, dari Abu Hurairah [2] HR. Muslim no. 224 [3] Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, hal. 27. [4] Idem. [5] QS. Al-Anfal: 11 [6] QS. Al-Maidah: 6 [7] Syarh Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, Syekh Sulaimian bin Muhammad Al-Luhaimid, 1: 24, Maktabah Syamilah. [8] Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, hal. 51. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 14: 255-259. [10] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/182457 Tags: safartayamum


Daftar Isi Toggle Bersuci merupakan syarat sahnya salatAsal bersuci adalah dengan airTayamum sebagai pengganti airYang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan airPertama: Tidak ada airKedua: Tidak mampu menggunakan airKesimpulan dari penjelasan di atas Banyak dari kaum muslimin yang bertayamum untuk salat ketika mereka sedang safar, baik dengan bus, kapal, ataupun pesawat. Apakah hal itu dibenarkan? Apakah safar merupakan uzur/ alasan diperbolehkannya tayamum sebagai ganti dari wudu untuk salat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang hukum bertayamum untuk salat ketika safar. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Bersuci merupakan syarat sahnya salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ “Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sampai ia berwudu.” [1] Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah, dalam kitabnya Manhajus Salikin wa Taudhihul Fiqh Fiddin mengatakan, وَأَمَّا اَلصَّلَاةُ: فَلَهَا شُرُوطٌ تتقدم عليها، فمنها: اَلطَّهَارَةُ: كَمَا قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: “لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيرِ طُهُورٍ”، فَمَنْ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنَ اَلْحَدَثِ الأكبر والأصغر والنجاسة فلا صلاة له “Salat memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Di antaranya: Bersuci: sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Allah tidak menerima salat tanpa bersuci.’ [2] Maka, barangsiapa yang tidak bersuci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis, maka tidak ada salat baginya.” [3] Asal bersuci adalah dengan air Hukum asal bersuci adalah dengan air. Apabila tidak ada, maka boleh beralih ke tayamum dengan debu. Syekh As-Si’diy rahimahullah juga mengatakan, والطهارة نوعان: أحدهما: الطهارة بالماء، وَهِيَ اَلْأَصْلُ “Bersuci ada dua macam: Pertama, bersuci dengan air, dan inilah yang menjadi asal. …” [4] Dasar dari hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala, وَيُنَزِّلُ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآء لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” [5] Selain itu, Allah juga berfirman, …  أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ …  “… atau kamu menyentuh wanita, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah…” [6] Maka, Allah menyebutkan air terlebih dahulu, dan apabila tidak ada, maka boleh beralih ke tayamum dengan debu. [7] Tayamum sebagai pengganti air Apabila tidak dapat menggunakan air untuk anggota-anggota wudu, karena tidak ada air atau khawatir akan membahayakan jika menggunakannya, maka sebagai gantinya, diperbolehkan bertayamum. Syekh As-Si’diy rahimahullah juga mengatakan, اَلنَّوْعُ اَلثَّانِي مِنَ اَلطَّهَارَةِ هو التيمم وَهُوَ بَدَلٌ عَنِ اَلْمَاءِ، إِذَا تَعْذَّرَ اِسْتِعْمَالُ اَلْمَاءِ لِأَعْضَاءِ اَلطَّهَارَةِ، أَوْ بَعْضِهَا لِعَدَمِهِ، أَوْ خَوْفِ ضَرَرٍ بِاسْتِعْمَالِهِ فَيَقُومُ اَلتُّرَابُ مَقَامَ اَلْمَاءِ “Macam kedua dari bersuci adalah tayamum. Tayamum adalah pengganti air, apabila tidak dapat menggunakan air untuk anggota-anggota wudu, atau sebagiannya, karena tidak ada air atau khawatir akan membahayakan jika menggunakannya. Maka, debu dapat menggantikan posisi air.” [8] Baca juga: Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat Yang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air Diperbolehkan bertayamum karena ketidakmampuan menggunakan air, baik karena tidak ada air maupun tidak mampu menggunakannya, meskipun ada. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, “Yang membolehkan tayamum pada hakikatnya hanya satu hal, yaitu ketidakmampuan menggunakan air. Ketidakmampuan ini, bisa karena tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada. Pertama: Tidak ada air Apabila seorang musafir tidak menemukan air sama sekali, atau menemukan air yang tidak cukup untuk bersuci, maka ia boleh bertayamum. Akan tetapi, menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, ia wajib menggunakan air yang ada untuk sebagian anggota wudu, kemudian bertayamum untuk sisanya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Apabila aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hal ini apabila tidak menemukan air. Adapun apabila menemukan air pada orang lain atau lupa meninggalkannya di perjalanan, apakah ia wajib membelinya atau menerima pemberiannya? Orang yang menemukan air pada orang lain wajib membelinya apabila harganya sesuai atau dengan sedikit kerugian, dan ia memiliki uang lebih dari kebutuhannya. Apabila tidak menemukannya, kecuali dengan kerugian yang sangat besar atau tidak memiliki uang untuk membelinya, maka ia bertayamum. Jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah) berpendapat, dan ini juga pendapat yang paling kuat menurut mazhab Syafi’i, bahwa apabila ia diberi air atau dipinjami ember, maka ia wajib menerimanya. Kedua: Tidak mampu menggunakan air Hal ini bisa terjadi karena sakit, takut sakit karena kedinginan dan semisalnya, atau tidak mampu menggunakannya. Berikut ini penjelasan ringkas dari ketiga sebab tersebut: Pertama, sakit Para ulama sepakat tentang bolehnya tayamum bagi orang sakit apabila ia yakin akan membahayakan dirinya. Demikian juga, menurut mayoritas ulama, apabila ia khawatir menggunakan air untuk wudu atau mandi akan membahayakan dirinya, anggota tubuhnya, memperparah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya. Hal ini diketahui berdasarkan kebiasaan atau keterangan dokter yang ahli, muslim, adil, dan terpercaya. Kedua: Takut sakit karena kedinginan dan semisalnya Jumhur ulama berpendapat bolehnya tayamum bagi orang yang khawatir menggunakan air dalam cuaca dingin yang sangat akan membahayakan dirinya, menimbulkan penyakit, memperparah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya, apabila ia tidak menemukan sesuatu untuk memanaskan air atau tidak mampu membayar biaya pemandian atau penghangat, baik untuk hadas besar maupun hadas kecil. Hal ini berdasarkan persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tayamum Amr bin Al-Ash karena takut kedinginan dan salatnya bersama orang-orang sebagai imam, dan Nabi tidak memerintahkannya untuk mengulanginya. Ketiga: Tidak mampu menggunakan air Orang yang tidak mampu menggunakan air boleh bertayamum dan tidak mengulanginya, seperti orang yang terpaksa, terpenjara, terikat di dekat air, atau takut terhadap binatang atau manusia, baik dalam perjalanan maupun di rumah. Karena ia dianggap tidak memiliki air secara hukum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ “Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci seorang muslim meskipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Apabila ia menemukan air, hendaklah ia membasuh kulitnya dengannya, karena itu lebih baik.” (HR. Tirmidzi, 1: 212 dan Al-Hakim, 1: 176-177. Disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi) Keempat: Membutuhkan air Orang yang meyakini atau menduga bahwa ia membutuhkan air yang dimilikinya, meskipun di masa depan, boleh bertayamum dan tidak mengulanginya. Misalnya, untuk menghilangkan dahaga orang yang darahnya terlindungi atau binatang yang dihormati secara syar’i (meskipun anjing pemburu atau penjaga) yang kehausannya dapat menyebabkan kematian atau bahaya yang parah. [9] Kesimpulan dari penjelasan di atas Semata-mata safar, tidak cukup menjadi alasan untuk membolehkan tayamum sebagai pengganti wudu untuk salat. Dalam keadaan-keadaan tertentu ketika safar, bisa jadi mendapatkan keringan untuk bertayamum. Jika bertayamum untuk salat, padahal tidak alasan (uzur) yang membolehkannya, maka salatnya tidak sah. Wallaahu a’lam. [10] Demikian penjelasan ringkas, dan insya Allah menyeluruh, tentang hukum bertayamum untuk salat ketika safar. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau. Baca juga: Hukum dan Tata Cara Salat dengan Duduk di Atas Kendaraan *** 2 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen. Penulis: Prasetyo, S.Kom. Artikel: Muslim.or.id   Referensi utama: Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy, Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, cet. ke-1 th 1430. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, th 1421 (Maktabah Syamilah).   Catatan kaki: [1] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225, dari Abu Hurairah [2] HR. Muslim no. 224 [3] Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, hal. 27. [4] Idem. [5] QS. Al-Anfal: 11 [6] QS. Al-Maidah: 6 [7] Syarh Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, Syekh Sulaimian bin Muhammad Al-Luhaimid, 1: 24, Maktabah Syamilah. [8] Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, hal. 51. [9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 14: 255-259. [10] Lihat https://www.islamweb.net/ar/fatwa/182457 Tags: safartayamum

Menjaga Agama di Tengah Maraknya Penyimpangan

Daftar Isi Toggle Perkara furu’iyyahSikap terhadap berbagai penyimpanganBenteng utama menghadapi penyimpangan Saudaraku, apabila kita mencoba menelusuri berbagai penyimpangan manusia terhadap agama yang mulia ini, maka akan kita dapati bahwa kelompok-kelompok penyimpang tersebut amatlah banyak. Mulai dari penyimpangan terhadap prinsip dasar Islam, iman, akidah, tauhid, dan perkara-perkara agama yang telah jelas hukumnya. Meski demikian, dari generasi ke generasi, tetap saja ada manusia yang condong kepada kekeliruan dalam memahami agama yang mulia ini. Bahayanya, manusia-manusia seperti itu dapat mempengaruhi agama seseorang yang semula lurus dan benar kemudian terjerumus dalam kesesatan yang nyata. Wal-‘iyadzubillah. Jumlah dan jenis mereka sangat beragam. Tidak sedikit dari mereka yang berani menghalalkan apa yang telah Allah Ta’ala haramkan seperti zina, khamar, sutera, dan alat-alat musik. Sungguh benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya, لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ “Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari no. 5590) Selain itu, ada pula dari mereka yang menyamakan antara hak dan batil dalam perkara jual beli dan perkara riba. Allah Ta’ala berfirman terhadap kaum yang menyamakan dua perkara tersebut. ذَ ٰ⁠لِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوۤا۟ إِنَّمَا ٱلۡبَیۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰا۟ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَیۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ۚ “Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.’ Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Perkara furu’iyyah Tentu, kita sepakat bahwa dalam perkara furu’iyyah dalam agama ini, kita mengakui berbagai pendapat. Contohnya, berkaitan dengan persoalan fikih seputar jumlah rakaat tarawih, perbedaan penetapan hari raya, persoalan qunut subuh, dan berbagai permasalahan fikih di mana masing-masing pendapat merujuk pada ulama-ulama ahlisunah waljamaah seperti 4 (empat) Imam Mazhab. Namun, banyak pula pendapat beragam pada perkara ushuliyyah yang tidak dapat ditoleransi lagi karena menyentuh persoalan akidah dan tauhid yang merupakan pondasi keislaman kita yang satu. Seperti perdebatan terhadap eksistensi Allah Ta’ala, kebenaran hari Akhir, siksa kubur, penafsiran terhadap Al-Qur’an yang nyeleneh, dan berbagai aspek yang telah jelas hukumnya dalam agama. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat (yang masih samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan, dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599) Perbedaan pada persoalan ushuliyyah ini tidak dapat dimaklumi sebagai sesuatu yang mainstream. Karena perkara halal dan haram telah sangat jelas dapat dipahami dari ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan metode dan praktik yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, tabiin, dan tabiut tabiin rahimahumullah. Oleh karenanya, berkaca pada diri sendiri yang sangat membutuhkan pertolongan dan petunjuk dari Allah Ta’ala agar tidak mudah tersesat dan terpengaruh pada hal-hal yang menyimpang, kita mesti bertekad untuk senantiasa membentengi diri kita dan keluarga kita dari paham-paham yang jauh menyimpang dari ajaran agama Islam yang lurus. Baca juga: Mengenal Penyimpangan-Penyimpangan Jahmiyah dalam Akidah Sikap terhadap berbagai penyimpangan Menyibukkan diri dengan mencari-cari kelompok mana yang benar dan keliru, serta membahasnya terlalu detail sejatinya hanya buang-buang waktu, karena saking banyaknya kelompok-kelompok tersebut. Sebut saja seperti syiah, muktazilah, khawarij, murjiah, dan berbagai kelompok lainnya yang menyimpang dari ajaran sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, dalam hadis disebutkan dengan detail jumlah kelompok mereka sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ . “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan. Dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan yang satu golongan akan masuk surga, yaitu ‘Al-Jama’ah.’” (HR. Abu Dawud no. 4597, Ad-Darimi no. 241, Ahmad no. 102, dan lainnya, dari Muawiyah bin Abi Sufyan) Namun, mengenali ciri khas ataupun karakter mereka adalah perkara yang mesti diketahui oleh setiap muslim agar mampu membentengi akidah dan manhajnya dari pemahaman menyimpang tersebut. Karenanya, menyiapkan ‘anti-bodi’ bagi diri dan keluarga kiranya menjadi prioritas utama kita. Memahami ciri-ciri kelompok menyimpang tersebut kemudian membentengi diri dengan keislaman dan keimanan, serta ilmu yang kokoh. Demikianlah, upaya kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka sebagaimana firman Allah Ta’ala. یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Taḥrīm: 6) Mudah-mudahan dengan menjaga keimanan dan keislaman tersebut, kita memperoleh keamanan dan petunjuk dari Allah Ta’ala agar dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak, serta terhindar dari kesesatan. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-An’am: 82) Benteng utama menghadapi penyimpangan Saudaraku, bagaimana mungkin kita dapat mengetahui dengan benar beragam karakter kelompok-kelompok yang menyimpang dari ajaran agama yang lurus ini jika tidak dengan ilmu? Ya, ilmu merupakan karunia Allah Ta’ala yang tak ternilai harganya sebagai benteng utama (selain iman dan takwa) dalam menghadapi berbagai ancaman penyimpangan yang dapat menggerogoti jiwa kita. Dengan ilmu agama yang benar, insyaAllah kita mampu mengenali mana yang hak dan yang batil, bahkan sampai ke hal-hal yang mendetail sesuai dengan konteks yang terjadi di lingkungan kita. Lihat saja fenomena yang terjadi saat ini. Banyak manusia yang mudah tertipu dengan ‘jubah kebesaran’ seorang yang dianggap alim dalam perkara agama. Padahal, banyak penyimpangan pemahaman yang ia ajarkan yang (wal-‘iyadzubillah) dapat menggiring manusia kepada jurang kesesatan dan jauh dari tuntunan agama yang mulia ini. Sekali lagi, hanya dengan ilmu, kita kemudian mampu untuk mengenali bagaimana karakteristik manusia, paham, kelompok, ataupun ajaran-ajaran yang melanggar syariat agama yang mulia ini. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ “Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (QS. Muhammad:17) Oleh karenanya, bayangkan, apabila kita merasa cukup dengan ilmu agama yang dimiliki tanpa mendorong diri untuk terus belajar menuntut ilmu, menghadiri kajian, membaca buku, bersahabat dengan alim, dan bertanya kepada mereka tentang perkara agama yang tidak diketahui, maka kita sangat berpotensi untuk terseret pada arus pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari agama di zaman yang penuh fitnah ini. قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) Saudaraku, mari kita bentengi diri dan keluarga kita dengan ilmu. Jadilah hamba Allah yang senantiasa memohon petunjuk jalan kebenaran kepada-Nya, serta paksakanlah diri untuk selalu haus akan ilmu agama yang lurus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jalan para sahabat, tabiin, serta tabiut tabiin dalam memahami agama yang mulia ini. Wallahu a’lam. Baca juga: Penyimpangan terhadap Iman dan Takdir *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: agamapenyimpangan

Menjaga Agama di Tengah Maraknya Penyimpangan

Daftar Isi Toggle Perkara furu’iyyahSikap terhadap berbagai penyimpanganBenteng utama menghadapi penyimpangan Saudaraku, apabila kita mencoba menelusuri berbagai penyimpangan manusia terhadap agama yang mulia ini, maka akan kita dapati bahwa kelompok-kelompok penyimpang tersebut amatlah banyak. Mulai dari penyimpangan terhadap prinsip dasar Islam, iman, akidah, tauhid, dan perkara-perkara agama yang telah jelas hukumnya. Meski demikian, dari generasi ke generasi, tetap saja ada manusia yang condong kepada kekeliruan dalam memahami agama yang mulia ini. Bahayanya, manusia-manusia seperti itu dapat mempengaruhi agama seseorang yang semula lurus dan benar kemudian terjerumus dalam kesesatan yang nyata. Wal-‘iyadzubillah. Jumlah dan jenis mereka sangat beragam. Tidak sedikit dari mereka yang berani menghalalkan apa yang telah Allah Ta’ala haramkan seperti zina, khamar, sutera, dan alat-alat musik. Sungguh benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya, لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ “Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari no. 5590) Selain itu, ada pula dari mereka yang menyamakan antara hak dan batil dalam perkara jual beli dan perkara riba. Allah Ta’ala berfirman terhadap kaum yang menyamakan dua perkara tersebut. ذَ ٰ⁠لِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوۤا۟ إِنَّمَا ٱلۡبَیۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰا۟ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَیۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ۚ “Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.’ Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Perkara furu’iyyah Tentu, kita sepakat bahwa dalam perkara furu’iyyah dalam agama ini, kita mengakui berbagai pendapat. Contohnya, berkaitan dengan persoalan fikih seputar jumlah rakaat tarawih, perbedaan penetapan hari raya, persoalan qunut subuh, dan berbagai permasalahan fikih di mana masing-masing pendapat merujuk pada ulama-ulama ahlisunah waljamaah seperti 4 (empat) Imam Mazhab. Namun, banyak pula pendapat beragam pada perkara ushuliyyah yang tidak dapat ditoleransi lagi karena menyentuh persoalan akidah dan tauhid yang merupakan pondasi keislaman kita yang satu. Seperti perdebatan terhadap eksistensi Allah Ta’ala, kebenaran hari Akhir, siksa kubur, penafsiran terhadap Al-Qur’an yang nyeleneh, dan berbagai aspek yang telah jelas hukumnya dalam agama. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat (yang masih samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan, dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599) Perbedaan pada persoalan ushuliyyah ini tidak dapat dimaklumi sebagai sesuatu yang mainstream. Karena perkara halal dan haram telah sangat jelas dapat dipahami dari ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan metode dan praktik yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, tabiin, dan tabiut tabiin rahimahumullah. Oleh karenanya, berkaca pada diri sendiri yang sangat membutuhkan pertolongan dan petunjuk dari Allah Ta’ala agar tidak mudah tersesat dan terpengaruh pada hal-hal yang menyimpang, kita mesti bertekad untuk senantiasa membentengi diri kita dan keluarga kita dari paham-paham yang jauh menyimpang dari ajaran agama Islam yang lurus. Baca juga: Mengenal Penyimpangan-Penyimpangan Jahmiyah dalam Akidah Sikap terhadap berbagai penyimpangan Menyibukkan diri dengan mencari-cari kelompok mana yang benar dan keliru, serta membahasnya terlalu detail sejatinya hanya buang-buang waktu, karena saking banyaknya kelompok-kelompok tersebut. Sebut saja seperti syiah, muktazilah, khawarij, murjiah, dan berbagai kelompok lainnya yang menyimpang dari ajaran sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, dalam hadis disebutkan dengan detail jumlah kelompok mereka sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ . “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan. Dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan yang satu golongan akan masuk surga, yaitu ‘Al-Jama’ah.’” (HR. Abu Dawud no. 4597, Ad-Darimi no. 241, Ahmad no. 102, dan lainnya, dari Muawiyah bin Abi Sufyan) Namun, mengenali ciri khas ataupun karakter mereka adalah perkara yang mesti diketahui oleh setiap muslim agar mampu membentengi akidah dan manhajnya dari pemahaman menyimpang tersebut. Karenanya, menyiapkan ‘anti-bodi’ bagi diri dan keluarga kiranya menjadi prioritas utama kita. Memahami ciri-ciri kelompok menyimpang tersebut kemudian membentengi diri dengan keislaman dan keimanan, serta ilmu yang kokoh. Demikianlah, upaya kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka sebagaimana firman Allah Ta’ala. یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Taḥrīm: 6) Mudah-mudahan dengan menjaga keimanan dan keislaman tersebut, kita memperoleh keamanan dan petunjuk dari Allah Ta’ala agar dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak, serta terhindar dari kesesatan. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-An’am: 82) Benteng utama menghadapi penyimpangan Saudaraku, bagaimana mungkin kita dapat mengetahui dengan benar beragam karakter kelompok-kelompok yang menyimpang dari ajaran agama yang lurus ini jika tidak dengan ilmu? Ya, ilmu merupakan karunia Allah Ta’ala yang tak ternilai harganya sebagai benteng utama (selain iman dan takwa) dalam menghadapi berbagai ancaman penyimpangan yang dapat menggerogoti jiwa kita. Dengan ilmu agama yang benar, insyaAllah kita mampu mengenali mana yang hak dan yang batil, bahkan sampai ke hal-hal yang mendetail sesuai dengan konteks yang terjadi di lingkungan kita. Lihat saja fenomena yang terjadi saat ini. Banyak manusia yang mudah tertipu dengan ‘jubah kebesaran’ seorang yang dianggap alim dalam perkara agama. Padahal, banyak penyimpangan pemahaman yang ia ajarkan yang (wal-‘iyadzubillah) dapat menggiring manusia kepada jurang kesesatan dan jauh dari tuntunan agama yang mulia ini. Sekali lagi, hanya dengan ilmu, kita kemudian mampu untuk mengenali bagaimana karakteristik manusia, paham, kelompok, ataupun ajaran-ajaran yang melanggar syariat agama yang mulia ini. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ “Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (QS. Muhammad:17) Oleh karenanya, bayangkan, apabila kita merasa cukup dengan ilmu agama yang dimiliki tanpa mendorong diri untuk terus belajar menuntut ilmu, menghadiri kajian, membaca buku, bersahabat dengan alim, dan bertanya kepada mereka tentang perkara agama yang tidak diketahui, maka kita sangat berpotensi untuk terseret pada arus pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari agama di zaman yang penuh fitnah ini. قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) Saudaraku, mari kita bentengi diri dan keluarga kita dengan ilmu. Jadilah hamba Allah yang senantiasa memohon petunjuk jalan kebenaran kepada-Nya, serta paksakanlah diri untuk selalu haus akan ilmu agama yang lurus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jalan para sahabat, tabiin, serta tabiut tabiin dalam memahami agama yang mulia ini. Wallahu a’lam. Baca juga: Penyimpangan terhadap Iman dan Takdir *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: agamapenyimpangan
Daftar Isi Toggle Perkara furu’iyyahSikap terhadap berbagai penyimpanganBenteng utama menghadapi penyimpangan Saudaraku, apabila kita mencoba menelusuri berbagai penyimpangan manusia terhadap agama yang mulia ini, maka akan kita dapati bahwa kelompok-kelompok penyimpang tersebut amatlah banyak. Mulai dari penyimpangan terhadap prinsip dasar Islam, iman, akidah, tauhid, dan perkara-perkara agama yang telah jelas hukumnya. Meski demikian, dari generasi ke generasi, tetap saja ada manusia yang condong kepada kekeliruan dalam memahami agama yang mulia ini. Bahayanya, manusia-manusia seperti itu dapat mempengaruhi agama seseorang yang semula lurus dan benar kemudian terjerumus dalam kesesatan yang nyata. Wal-‘iyadzubillah. Jumlah dan jenis mereka sangat beragam. Tidak sedikit dari mereka yang berani menghalalkan apa yang telah Allah Ta’ala haramkan seperti zina, khamar, sutera, dan alat-alat musik. Sungguh benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya, لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ “Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari no. 5590) Selain itu, ada pula dari mereka yang menyamakan antara hak dan batil dalam perkara jual beli dan perkara riba. Allah Ta’ala berfirman terhadap kaum yang menyamakan dua perkara tersebut. ذَ ٰ⁠لِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوۤا۟ إِنَّمَا ٱلۡبَیۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰا۟ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَیۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ۚ “Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.’ Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Perkara furu’iyyah Tentu, kita sepakat bahwa dalam perkara furu’iyyah dalam agama ini, kita mengakui berbagai pendapat. Contohnya, berkaitan dengan persoalan fikih seputar jumlah rakaat tarawih, perbedaan penetapan hari raya, persoalan qunut subuh, dan berbagai permasalahan fikih di mana masing-masing pendapat merujuk pada ulama-ulama ahlisunah waljamaah seperti 4 (empat) Imam Mazhab. Namun, banyak pula pendapat beragam pada perkara ushuliyyah yang tidak dapat ditoleransi lagi karena menyentuh persoalan akidah dan tauhid yang merupakan pondasi keislaman kita yang satu. Seperti perdebatan terhadap eksistensi Allah Ta’ala, kebenaran hari Akhir, siksa kubur, penafsiran terhadap Al-Qur’an yang nyeleneh, dan berbagai aspek yang telah jelas hukumnya dalam agama. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat (yang masih samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan, dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599) Perbedaan pada persoalan ushuliyyah ini tidak dapat dimaklumi sebagai sesuatu yang mainstream. Karena perkara halal dan haram telah sangat jelas dapat dipahami dari ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan metode dan praktik yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, tabiin, dan tabiut tabiin rahimahumullah. Oleh karenanya, berkaca pada diri sendiri yang sangat membutuhkan pertolongan dan petunjuk dari Allah Ta’ala agar tidak mudah tersesat dan terpengaruh pada hal-hal yang menyimpang, kita mesti bertekad untuk senantiasa membentengi diri kita dan keluarga kita dari paham-paham yang jauh menyimpang dari ajaran agama Islam yang lurus. Baca juga: Mengenal Penyimpangan-Penyimpangan Jahmiyah dalam Akidah Sikap terhadap berbagai penyimpangan Menyibukkan diri dengan mencari-cari kelompok mana yang benar dan keliru, serta membahasnya terlalu detail sejatinya hanya buang-buang waktu, karena saking banyaknya kelompok-kelompok tersebut. Sebut saja seperti syiah, muktazilah, khawarij, murjiah, dan berbagai kelompok lainnya yang menyimpang dari ajaran sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, dalam hadis disebutkan dengan detail jumlah kelompok mereka sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ . “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan. Dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan yang satu golongan akan masuk surga, yaitu ‘Al-Jama’ah.’” (HR. Abu Dawud no. 4597, Ad-Darimi no. 241, Ahmad no. 102, dan lainnya, dari Muawiyah bin Abi Sufyan) Namun, mengenali ciri khas ataupun karakter mereka adalah perkara yang mesti diketahui oleh setiap muslim agar mampu membentengi akidah dan manhajnya dari pemahaman menyimpang tersebut. Karenanya, menyiapkan ‘anti-bodi’ bagi diri dan keluarga kiranya menjadi prioritas utama kita. Memahami ciri-ciri kelompok menyimpang tersebut kemudian membentengi diri dengan keislaman dan keimanan, serta ilmu yang kokoh. Demikianlah, upaya kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka sebagaimana firman Allah Ta’ala. یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Taḥrīm: 6) Mudah-mudahan dengan menjaga keimanan dan keislaman tersebut, kita memperoleh keamanan dan petunjuk dari Allah Ta’ala agar dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak, serta terhindar dari kesesatan. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-An’am: 82) Benteng utama menghadapi penyimpangan Saudaraku, bagaimana mungkin kita dapat mengetahui dengan benar beragam karakter kelompok-kelompok yang menyimpang dari ajaran agama yang lurus ini jika tidak dengan ilmu? Ya, ilmu merupakan karunia Allah Ta’ala yang tak ternilai harganya sebagai benteng utama (selain iman dan takwa) dalam menghadapi berbagai ancaman penyimpangan yang dapat menggerogoti jiwa kita. Dengan ilmu agama yang benar, insyaAllah kita mampu mengenali mana yang hak dan yang batil, bahkan sampai ke hal-hal yang mendetail sesuai dengan konteks yang terjadi di lingkungan kita. Lihat saja fenomena yang terjadi saat ini. Banyak manusia yang mudah tertipu dengan ‘jubah kebesaran’ seorang yang dianggap alim dalam perkara agama. Padahal, banyak penyimpangan pemahaman yang ia ajarkan yang (wal-‘iyadzubillah) dapat menggiring manusia kepada jurang kesesatan dan jauh dari tuntunan agama yang mulia ini. Sekali lagi, hanya dengan ilmu, kita kemudian mampu untuk mengenali bagaimana karakteristik manusia, paham, kelompok, ataupun ajaran-ajaran yang melanggar syariat agama yang mulia ini. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ “Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (QS. Muhammad:17) Oleh karenanya, bayangkan, apabila kita merasa cukup dengan ilmu agama yang dimiliki tanpa mendorong diri untuk terus belajar menuntut ilmu, menghadiri kajian, membaca buku, bersahabat dengan alim, dan bertanya kepada mereka tentang perkara agama yang tidak diketahui, maka kita sangat berpotensi untuk terseret pada arus pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari agama di zaman yang penuh fitnah ini. قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) Saudaraku, mari kita bentengi diri dan keluarga kita dengan ilmu. Jadilah hamba Allah yang senantiasa memohon petunjuk jalan kebenaran kepada-Nya, serta paksakanlah diri untuk selalu haus akan ilmu agama yang lurus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jalan para sahabat, tabiin, serta tabiut tabiin dalam memahami agama yang mulia ini. Wallahu a’lam. Baca juga: Penyimpangan terhadap Iman dan Takdir *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: agamapenyimpangan


Daftar Isi Toggle Perkara furu’iyyahSikap terhadap berbagai penyimpanganBenteng utama menghadapi penyimpangan Saudaraku, apabila kita mencoba menelusuri berbagai penyimpangan manusia terhadap agama yang mulia ini, maka akan kita dapati bahwa kelompok-kelompok penyimpang tersebut amatlah banyak. Mulai dari penyimpangan terhadap prinsip dasar Islam, iman, akidah, tauhid, dan perkara-perkara agama yang telah jelas hukumnya. Meski demikian, dari generasi ke generasi, tetap saja ada manusia yang condong kepada kekeliruan dalam memahami agama yang mulia ini. Bahayanya, manusia-manusia seperti itu dapat mempengaruhi agama seseorang yang semula lurus dan benar kemudian terjerumus dalam kesesatan yang nyata. Wal-‘iyadzubillah. Jumlah dan jenis mereka sangat beragam. Tidak sedikit dari mereka yang berani menghalalkan apa yang telah Allah Ta’ala haramkan seperti zina, khamar, sutera, dan alat-alat musik. Sungguh benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya, لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ “Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari no. 5590) Selain itu, ada pula dari mereka yang menyamakan antara hak dan batil dalam perkara jual beli dan perkara riba. Allah Ta’ala berfirman terhadap kaum yang menyamakan dua perkara tersebut. ذَ ٰ⁠لِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوۤا۟ إِنَّمَا ٱلۡبَیۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰا۟ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَیۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ۚ “Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.’ Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275) Perkara furu’iyyah Tentu, kita sepakat bahwa dalam perkara furu’iyyah dalam agama ini, kita mengakui berbagai pendapat. Contohnya, berkaitan dengan persoalan fikih seputar jumlah rakaat tarawih, perbedaan penetapan hari raya, persoalan qunut subuh, dan berbagai permasalahan fikih di mana masing-masing pendapat merujuk pada ulama-ulama ahlisunah waljamaah seperti 4 (empat) Imam Mazhab. Namun, banyak pula pendapat beragam pada perkara ushuliyyah yang tidak dapat ditoleransi lagi karena menyentuh persoalan akidah dan tauhid yang merupakan pondasi keislaman kita yang satu. Seperti perdebatan terhadap eksistensi Allah Ta’ala, kebenaran hari Akhir, siksa kubur, penafsiran terhadap Al-Qur’an yang nyeleneh, dan berbagai aspek yang telah jelas hukumnya dalam agama. Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat (yang masih samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan, dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599) Perbedaan pada persoalan ushuliyyah ini tidak dapat dimaklumi sebagai sesuatu yang mainstream. Karena perkara halal dan haram telah sangat jelas dapat dipahami dari ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan metode dan praktik yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, tabiin, dan tabiut tabiin rahimahumullah. Oleh karenanya, berkaca pada diri sendiri yang sangat membutuhkan pertolongan dan petunjuk dari Allah Ta’ala agar tidak mudah tersesat dan terpengaruh pada hal-hal yang menyimpang, kita mesti bertekad untuk senantiasa membentengi diri kita dan keluarga kita dari paham-paham yang jauh menyimpang dari ajaran agama Islam yang lurus. Baca juga: Mengenal Penyimpangan-Penyimpangan Jahmiyah dalam Akidah Sikap terhadap berbagai penyimpangan Menyibukkan diri dengan mencari-cari kelompok mana yang benar dan keliru, serta membahasnya terlalu detail sejatinya hanya buang-buang waktu, karena saking banyaknya kelompok-kelompok tersebut. Sebut saja seperti syiah, muktazilah, khawarij, murjiah, dan berbagai kelompok lainnya yang menyimpang dari ajaran sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, dalam hadis disebutkan dengan detail jumlah kelompok mereka sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ . “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan. Dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan yang satu golongan akan masuk surga, yaitu ‘Al-Jama’ah.’” (HR. Abu Dawud no. 4597, Ad-Darimi no. 241, Ahmad no. 102, dan lainnya, dari Muawiyah bin Abi Sufyan) Namun, mengenali ciri khas ataupun karakter mereka adalah perkara yang mesti diketahui oleh setiap muslim agar mampu membentengi akidah dan manhajnya dari pemahaman menyimpang tersebut. Karenanya, menyiapkan ‘anti-bodi’ bagi diri dan keluarga kiranya menjadi prioritas utama kita. Memahami ciri-ciri kelompok menyimpang tersebut kemudian membentengi diri dengan keislaman dan keimanan, serta ilmu yang kokoh. Demikianlah, upaya kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka sebagaimana firman Allah Ta’ala. یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Taḥrīm: 6) Mudah-mudahan dengan menjaga keimanan dan keislaman tersebut, kita memperoleh keamanan dan petunjuk dari Allah Ta’ala agar dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak, serta terhindar dari kesesatan. Allah Ta’ala berfirman, الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-An’am: 82) Benteng utama menghadapi penyimpangan Saudaraku, bagaimana mungkin kita dapat mengetahui dengan benar beragam karakter kelompok-kelompok yang menyimpang dari ajaran agama yang lurus ini jika tidak dengan ilmu? Ya, ilmu merupakan karunia Allah Ta’ala yang tak ternilai harganya sebagai benteng utama (selain iman dan takwa) dalam menghadapi berbagai ancaman penyimpangan yang dapat menggerogoti jiwa kita. Dengan ilmu agama yang benar, insyaAllah kita mampu mengenali mana yang hak dan yang batil, bahkan sampai ke hal-hal yang mendetail sesuai dengan konteks yang terjadi di lingkungan kita. Lihat saja fenomena yang terjadi saat ini. Banyak manusia yang mudah tertipu dengan ‘jubah kebesaran’ seorang yang dianggap alim dalam perkara agama. Padahal, banyak penyimpangan pemahaman yang ia ajarkan yang (wal-‘iyadzubillah) dapat menggiring manusia kepada jurang kesesatan dan jauh dari tuntunan agama yang mulia ini. Sekali lagi, hanya dengan ilmu, kita kemudian mampu untuk mengenali bagaimana karakteristik manusia, paham, kelompok, ataupun ajaran-ajaran yang melanggar syariat agama yang mulia ini. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ “Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (QS. Muhammad:17) Oleh karenanya, bayangkan, apabila kita merasa cukup dengan ilmu agama yang dimiliki tanpa mendorong diri untuk terus belajar menuntut ilmu, menghadiri kajian, membaca buku, bersahabat dengan alim, dan bertanya kepada mereka tentang perkara agama yang tidak diketahui, maka kita sangat berpotensi untuk terseret pada arus pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari agama di zaman yang penuh fitnah ini. قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ “Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) Saudaraku, mari kita bentengi diri dan keluarga kita dengan ilmu. Jadilah hamba Allah yang senantiasa memohon petunjuk jalan kebenaran kepada-Nya, serta paksakanlah diri untuk selalu haus akan ilmu agama yang lurus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jalan para sahabat, tabiin, serta tabiut tabiin dalam memahami agama yang mulia ini. Wallahu a’lam. Baca juga: Penyimpangan terhadap Iman dan Takdir *** Penulis: Fauzan Hidayat Artikel: Muslim.or.id Tags: agamapenyimpangan

Apakah Inti Kebahagiaan Itu?

Kebahagiaan seorang hamba, baik ketika di dunia dan di akhirat, merupakan anugerah dan pemberian rabbani. Semua itu hanya berada di tangan Allah. Setiap orang akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk melakukan aktivitas menurut takdir yang telah ditentukan baginya. Seseorang yang telah ditakdirkan meraih kebahagiaan, maka dia akan dimudahkan dan diberi taufik untuk melakukan kebaikan. Sebaliknya, seseorang yang ditakdirkan sengsara, akan melakukan aktivitas keburukan. Allah Ta’ala yang akan memudahkan setiap aktivitas tersebut. Allah-lah Zat yang memberikan pertolongan dan petunjuk, dan juga Dia-lah yang menganugerahkan taufik kepada setiap hamba. Dari sahabat Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Kami pernah menguburkan jenazah di pemakaman Baqi Al-Gharqad. Tidak berselang lama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mendatangi kami. Beliau duduk, dan kami pun duduk mengelilingi beliau. Setelah itu, Rasulullah memegang sebuah batang kayu pendek dan beliau menggaris-gariskan dan memukul-mukulkannya di atas tanah seraya berkata, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا وَقَدْ كَتَبَ اللَّهُ مَكَانَهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلَّا وَقَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً قَالَ فَقَالَ رَجَلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَمْكُثُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَقَالَ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَقَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ  : فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ  ؛ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ  ؛ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ  ؛ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ  ؛ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ  ؛ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ “Tidaklah seseorang diciptakan melainkan Allah telah menentukan tempatnya, baik di surga ataupun di neraka, serta ditentukan pula apakah dia sengsara atau bahagia.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Kemudian seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, kalau begitu apakah sebaiknya kami berdiam diri saja tanpa harus berbuat apa-apa?’” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Siapa saja yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, dia pasti akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sebaliknya, siapa saja yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sengsara, dia pasti akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.” Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tetaplah beramal! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat (sesuai dengan ketentuan terhadap dirinya, sengsara atau bahagia). Orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang berbahagia, maka akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sedangkan orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang sengsara, maka akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.” Setelah itu, Rasulullah pun membacakan ayat Al-Quran (yang artinya), “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil (pelit) dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sulit.” (QS. Al-Lail: 5-10)” (HR. Bukhari no. 1362 dan Muslim no. 2647) Allah Ta’ala memang telah menakdirkan kebahagiaan dan kesengsaraan. Namun, Allah juga telah menjadikan dan menunjukkan sebab-sebab kebahagiaan dan kesengsaraan. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis di atas, اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ “Tetaplah beramal! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat (sesuai dengan ketentuan terhadap dirinya, sengsara atau bahagia).” Sehingga seorang hamba diperintahkan untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk menempuh berbagai sebab yang bisa mendatangkan kebahagiaan dan menghindarkan dari kesengsaraan. Tentunya, sembari memohon pertolongan dan meminta bantuan kepada Allah Ta’ala. Kebahagiaan itu hanyalah bisa dicapai dengan melakukan berbagai macam amal ketaatan kepada Allah Ta’ala dan mengikuti petunjuk-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ “Setiap orang yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123) Allah Ta’ala berfirman, مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِن فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰة طَيِّبَةۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ “Setiap orang yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Baca juga: Agar Memperoleh Kebahagiaan Abadi “Kehidupan yang baik” dalam ayat di atas adalah kehidupan yang tidak berisi kedukaan dan kesengsaraan, yaitu kehidupan yang terisi dengan keimanan dan ketaatan. Inilah inti kebahagiaan yang terwujud dengan melakukan tiga hal penting dalam hidup seorang hamba. Setiap orang yang memperoleh taufik dan hidayah untuk melakukan tiga hal ini, niscaya akan menjadi orang yang berbahagia di dunia dan akhirat. Tiga perkara itu adalah: (1) bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat-Nya; (2) bersabar terhadap takdir-Nya; dan (3) bertobat kepada-Nya. Mengapa demikian? Karena dalam kehidupan dunia ini, seorang hamba itu tidak mungkin terlepas dari tiga kondisi berikut ini. Pertama, dia terus-menerus berada dalam limpahan nikmat dan karunia yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya. Kenikmatan itu tentu menuntut rasa syukur kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb-mu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Contoh kecil, Allah Ta’ala akan rida kepada hamba-Nya, jika ia memuji Allah Ta’ala ketika makan dan minum. Kedua, dia sedang ditimpa musibah atau kondisi yang sempit. Kewajiban yang harus dilakukan dalam kondisi semacam ini adalah menghadapi dengan lapang dada dan bersabar atas takdir tersebut sembari mengharapkan karunia dan pemberian-Nya. Bersabar atas musibah yang menimpa merupakan kedudukan mulia dan tinggi dalam agama. Hanya orang-orang yang memperoleh anugerah dan kelapangan dada dari Allah Ta’ala yang bisa diberi taufik untuk bersabar. Ia menghadapi musibah tersebut dengan menerima takdir Allah Ta’ala berdasarkan ilmu dan keimanan. Yaitu, segala sesuatu yang memang telah ditakdirkan menimpanya, niscaya akan dia alami. Sebaliknya, segala sesuatu yang tidak ditakdirkan menimpanya, niscaya tidak akan dia alami. Allah Ta’ala berfirman, مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah. Dan setiap orang yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun: 11) Perihal ayat ini, Alqamah rahimahullah menuturkan, هو الرجل تصيبه المصيبة، فيعلم أنّها من عند الله، فيرضى ويسلّم “Dia adalah seorang yang tertimpa musibah, lalu ia tahu bahwa musibah itu berasal dari Allah. Kemudian ia pun rida dan menerimanya dengan lapang dada.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 9503) Ketiga, selain itu, dia juga berada dalam kondisi penuh dosa dan kesalahan. Kondisi ini menuntut hamba untuk bertobat dan beristigfar. Istigfar merupakan aktivitas yang mulia dan membuahkan pahala yang melimpah. Dalam suatu hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا “Sangat beruntunglah orang yang kelak menjumpai bahwa catatan amalnya banyak dipenuhi istigfar.” (HR. Ibnu Majah no. 3818, dinilai sahih oleh Al-Albani) Manfaat istigfar ini tidak berbilang dan tidak terbatas, dan membutuhkan tulisan tersendiri untuk menuliskan semuanya. Namun, cukuplah kami menyebutkan salah satu manfaatnya di dunia seperti yang difirmankan Allah Ta’ala, فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارا  ؛ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارا  ؛ وَيُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَٰل وَبَنِينَ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّٰت وَيَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَٰرا “Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Inilah tiga tanda kebahagiaan dan keberuntungan hamba di dunia dan akhirat. Setiap hamba senantiasa akan berputar pada tiga kondisi ini.” (al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5) Oleh karena itu, hamba yang bersyukur jika dilimpahi nikmat, bersabar jika ditimpa musibah, dan beristigfar jika berbuat dosa, adalah hamba yang sangat beruntung dan berbahagia. Ketiga hal ini merupakan inti kebahagiaan, dan terkumpul dalam sebuah atsar yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abdullah bin Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau menuturkan, رْبَعُ خِصَالٍ مَنْ كُنَّ فِيهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ ، مَنْ كَانَ عِصْمَةُ أَمِرْهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، وَإِذَا أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ قَالَ : إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ، وَإِذَا أُعْطِيَ شَيْئًا قَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَإِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ “Siapa yang melakukan empat perkara ini, niscaya Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga. Keempat perkara itu adalah: (1) menjadikan kalimat laa ilaaha illallah sebagai hal yang utama; (2) mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un apabila ditimpa musibah; (3) mengucapkan alhamdulillah apabila diberi kenikmatan; dan (4) mengucapkan astaghfirullah apabila berbuat dosa.” (HR. Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhud hal. 50 [dalam bagian mulhaq], Ibnu Abi ad-Dunya dalam asy-Syukr no. 205, dan Al-Baihaqi dalam al-Iman no. 9692) Dalam atsar di atas, ketiga inti kebahagiaan tersebut disandingkan dengan perkara pokok dan agung yang menjadi pondasi agama ini, yaitu kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat hanya akan tercapai jika melaksanakan kandungannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan, penerapan kandungan kalimat itulah yang menjadi inti kebahagiaan. Sehingga orang yang menerapkan kandungannya adalah orang yang sejatinya berbahagia. Semoga Allah Ta’ala menetapkan kita semua dalam peribadatan orang-orang yang berbahagia dan meneguhkan kita di jalan kebahagiaan. Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran *** “Menulis adalah bentuk nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 22 Syawal 1445/ 1 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 52; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: kebahagiaan

Apakah Inti Kebahagiaan Itu?

Kebahagiaan seorang hamba, baik ketika di dunia dan di akhirat, merupakan anugerah dan pemberian rabbani. Semua itu hanya berada di tangan Allah. Setiap orang akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk melakukan aktivitas menurut takdir yang telah ditentukan baginya. Seseorang yang telah ditakdirkan meraih kebahagiaan, maka dia akan dimudahkan dan diberi taufik untuk melakukan kebaikan. Sebaliknya, seseorang yang ditakdirkan sengsara, akan melakukan aktivitas keburukan. Allah Ta’ala yang akan memudahkan setiap aktivitas tersebut. Allah-lah Zat yang memberikan pertolongan dan petunjuk, dan juga Dia-lah yang menganugerahkan taufik kepada setiap hamba. Dari sahabat Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Kami pernah menguburkan jenazah di pemakaman Baqi Al-Gharqad. Tidak berselang lama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mendatangi kami. Beliau duduk, dan kami pun duduk mengelilingi beliau. Setelah itu, Rasulullah memegang sebuah batang kayu pendek dan beliau menggaris-gariskan dan memukul-mukulkannya di atas tanah seraya berkata, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا وَقَدْ كَتَبَ اللَّهُ مَكَانَهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلَّا وَقَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً قَالَ فَقَالَ رَجَلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَمْكُثُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَقَالَ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَقَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ  : فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ  ؛ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ  ؛ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ  ؛ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ  ؛ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ  ؛ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ “Tidaklah seseorang diciptakan melainkan Allah telah menentukan tempatnya, baik di surga ataupun di neraka, serta ditentukan pula apakah dia sengsara atau bahagia.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Kemudian seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, kalau begitu apakah sebaiknya kami berdiam diri saja tanpa harus berbuat apa-apa?’” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Siapa saja yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, dia pasti akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sebaliknya, siapa saja yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sengsara, dia pasti akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.” Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tetaplah beramal! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat (sesuai dengan ketentuan terhadap dirinya, sengsara atau bahagia). Orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang berbahagia, maka akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sedangkan orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang sengsara, maka akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.” Setelah itu, Rasulullah pun membacakan ayat Al-Quran (yang artinya), “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil (pelit) dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sulit.” (QS. Al-Lail: 5-10)” (HR. Bukhari no. 1362 dan Muslim no. 2647) Allah Ta’ala memang telah menakdirkan kebahagiaan dan kesengsaraan. Namun, Allah juga telah menjadikan dan menunjukkan sebab-sebab kebahagiaan dan kesengsaraan. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis di atas, اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ “Tetaplah beramal! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat (sesuai dengan ketentuan terhadap dirinya, sengsara atau bahagia).” Sehingga seorang hamba diperintahkan untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk menempuh berbagai sebab yang bisa mendatangkan kebahagiaan dan menghindarkan dari kesengsaraan. Tentunya, sembari memohon pertolongan dan meminta bantuan kepada Allah Ta’ala. Kebahagiaan itu hanyalah bisa dicapai dengan melakukan berbagai macam amal ketaatan kepada Allah Ta’ala dan mengikuti petunjuk-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ “Setiap orang yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123) Allah Ta’ala berfirman, مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِن فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰة طَيِّبَةۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ “Setiap orang yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Baca juga: Agar Memperoleh Kebahagiaan Abadi “Kehidupan yang baik” dalam ayat di atas adalah kehidupan yang tidak berisi kedukaan dan kesengsaraan, yaitu kehidupan yang terisi dengan keimanan dan ketaatan. Inilah inti kebahagiaan yang terwujud dengan melakukan tiga hal penting dalam hidup seorang hamba. Setiap orang yang memperoleh taufik dan hidayah untuk melakukan tiga hal ini, niscaya akan menjadi orang yang berbahagia di dunia dan akhirat. Tiga perkara itu adalah: (1) bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat-Nya; (2) bersabar terhadap takdir-Nya; dan (3) bertobat kepada-Nya. Mengapa demikian? Karena dalam kehidupan dunia ini, seorang hamba itu tidak mungkin terlepas dari tiga kondisi berikut ini. Pertama, dia terus-menerus berada dalam limpahan nikmat dan karunia yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya. Kenikmatan itu tentu menuntut rasa syukur kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb-mu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Contoh kecil, Allah Ta’ala akan rida kepada hamba-Nya, jika ia memuji Allah Ta’ala ketika makan dan minum. Kedua, dia sedang ditimpa musibah atau kondisi yang sempit. Kewajiban yang harus dilakukan dalam kondisi semacam ini adalah menghadapi dengan lapang dada dan bersabar atas takdir tersebut sembari mengharapkan karunia dan pemberian-Nya. Bersabar atas musibah yang menimpa merupakan kedudukan mulia dan tinggi dalam agama. Hanya orang-orang yang memperoleh anugerah dan kelapangan dada dari Allah Ta’ala yang bisa diberi taufik untuk bersabar. Ia menghadapi musibah tersebut dengan menerima takdir Allah Ta’ala berdasarkan ilmu dan keimanan. Yaitu, segala sesuatu yang memang telah ditakdirkan menimpanya, niscaya akan dia alami. Sebaliknya, segala sesuatu yang tidak ditakdirkan menimpanya, niscaya tidak akan dia alami. Allah Ta’ala berfirman, مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah. Dan setiap orang yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun: 11) Perihal ayat ini, Alqamah rahimahullah menuturkan, هو الرجل تصيبه المصيبة، فيعلم أنّها من عند الله، فيرضى ويسلّم “Dia adalah seorang yang tertimpa musibah, lalu ia tahu bahwa musibah itu berasal dari Allah. Kemudian ia pun rida dan menerimanya dengan lapang dada.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 9503) Ketiga, selain itu, dia juga berada dalam kondisi penuh dosa dan kesalahan. Kondisi ini menuntut hamba untuk bertobat dan beristigfar. Istigfar merupakan aktivitas yang mulia dan membuahkan pahala yang melimpah. Dalam suatu hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا “Sangat beruntunglah orang yang kelak menjumpai bahwa catatan amalnya banyak dipenuhi istigfar.” (HR. Ibnu Majah no. 3818, dinilai sahih oleh Al-Albani) Manfaat istigfar ini tidak berbilang dan tidak terbatas, dan membutuhkan tulisan tersendiri untuk menuliskan semuanya. Namun, cukuplah kami menyebutkan salah satu manfaatnya di dunia seperti yang difirmankan Allah Ta’ala, فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارا  ؛ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارا  ؛ وَيُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَٰل وَبَنِينَ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّٰت وَيَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَٰرا “Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Inilah tiga tanda kebahagiaan dan keberuntungan hamba di dunia dan akhirat. Setiap hamba senantiasa akan berputar pada tiga kondisi ini.” (al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5) Oleh karena itu, hamba yang bersyukur jika dilimpahi nikmat, bersabar jika ditimpa musibah, dan beristigfar jika berbuat dosa, adalah hamba yang sangat beruntung dan berbahagia. Ketiga hal ini merupakan inti kebahagiaan, dan terkumpul dalam sebuah atsar yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abdullah bin Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau menuturkan, رْبَعُ خِصَالٍ مَنْ كُنَّ فِيهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ ، مَنْ كَانَ عِصْمَةُ أَمِرْهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، وَإِذَا أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ قَالَ : إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ، وَإِذَا أُعْطِيَ شَيْئًا قَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَإِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ “Siapa yang melakukan empat perkara ini, niscaya Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga. Keempat perkara itu adalah: (1) menjadikan kalimat laa ilaaha illallah sebagai hal yang utama; (2) mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un apabila ditimpa musibah; (3) mengucapkan alhamdulillah apabila diberi kenikmatan; dan (4) mengucapkan astaghfirullah apabila berbuat dosa.” (HR. Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhud hal. 50 [dalam bagian mulhaq], Ibnu Abi ad-Dunya dalam asy-Syukr no. 205, dan Al-Baihaqi dalam al-Iman no. 9692) Dalam atsar di atas, ketiga inti kebahagiaan tersebut disandingkan dengan perkara pokok dan agung yang menjadi pondasi agama ini, yaitu kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat hanya akan tercapai jika melaksanakan kandungannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan, penerapan kandungan kalimat itulah yang menjadi inti kebahagiaan. Sehingga orang yang menerapkan kandungannya adalah orang yang sejatinya berbahagia. Semoga Allah Ta’ala menetapkan kita semua dalam peribadatan orang-orang yang berbahagia dan meneguhkan kita di jalan kebahagiaan. Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran *** “Menulis adalah bentuk nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 22 Syawal 1445/ 1 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 52; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: kebahagiaan
Kebahagiaan seorang hamba, baik ketika di dunia dan di akhirat, merupakan anugerah dan pemberian rabbani. Semua itu hanya berada di tangan Allah. Setiap orang akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk melakukan aktivitas menurut takdir yang telah ditentukan baginya. Seseorang yang telah ditakdirkan meraih kebahagiaan, maka dia akan dimudahkan dan diberi taufik untuk melakukan kebaikan. Sebaliknya, seseorang yang ditakdirkan sengsara, akan melakukan aktivitas keburukan. Allah Ta’ala yang akan memudahkan setiap aktivitas tersebut. Allah-lah Zat yang memberikan pertolongan dan petunjuk, dan juga Dia-lah yang menganugerahkan taufik kepada setiap hamba. Dari sahabat Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Kami pernah menguburkan jenazah di pemakaman Baqi Al-Gharqad. Tidak berselang lama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mendatangi kami. Beliau duduk, dan kami pun duduk mengelilingi beliau. Setelah itu, Rasulullah memegang sebuah batang kayu pendek dan beliau menggaris-gariskan dan memukul-mukulkannya di atas tanah seraya berkata, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا وَقَدْ كَتَبَ اللَّهُ مَكَانَهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلَّا وَقَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً قَالَ فَقَالَ رَجَلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَمْكُثُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَقَالَ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَقَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ  : فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ  ؛ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ  ؛ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ  ؛ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ  ؛ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ  ؛ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ “Tidaklah seseorang diciptakan melainkan Allah telah menentukan tempatnya, baik di surga ataupun di neraka, serta ditentukan pula apakah dia sengsara atau bahagia.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Kemudian seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, kalau begitu apakah sebaiknya kami berdiam diri saja tanpa harus berbuat apa-apa?’” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Siapa saja yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, dia pasti akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sebaliknya, siapa saja yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sengsara, dia pasti akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.” Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tetaplah beramal! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat (sesuai dengan ketentuan terhadap dirinya, sengsara atau bahagia). Orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang berbahagia, maka akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sedangkan orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang sengsara, maka akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.” Setelah itu, Rasulullah pun membacakan ayat Al-Quran (yang artinya), “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil (pelit) dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sulit.” (QS. Al-Lail: 5-10)” (HR. Bukhari no. 1362 dan Muslim no. 2647) Allah Ta’ala memang telah menakdirkan kebahagiaan dan kesengsaraan. Namun, Allah juga telah menjadikan dan menunjukkan sebab-sebab kebahagiaan dan kesengsaraan. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis di atas, اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ “Tetaplah beramal! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat (sesuai dengan ketentuan terhadap dirinya, sengsara atau bahagia).” Sehingga seorang hamba diperintahkan untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk menempuh berbagai sebab yang bisa mendatangkan kebahagiaan dan menghindarkan dari kesengsaraan. Tentunya, sembari memohon pertolongan dan meminta bantuan kepada Allah Ta’ala. Kebahagiaan itu hanyalah bisa dicapai dengan melakukan berbagai macam amal ketaatan kepada Allah Ta’ala dan mengikuti petunjuk-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ “Setiap orang yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123) Allah Ta’ala berfirman, مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِن فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰة طَيِّبَةۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ “Setiap orang yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Baca juga: Agar Memperoleh Kebahagiaan Abadi “Kehidupan yang baik” dalam ayat di atas adalah kehidupan yang tidak berisi kedukaan dan kesengsaraan, yaitu kehidupan yang terisi dengan keimanan dan ketaatan. Inilah inti kebahagiaan yang terwujud dengan melakukan tiga hal penting dalam hidup seorang hamba. Setiap orang yang memperoleh taufik dan hidayah untuk melakukan tiga hal ini, niscaya akan menjadi orang yang berbahagia di dunia dan akhirat. Tiga perkara itu adalah: (1) bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat-Nya; (2) bersabar terhadap takdir-Nya; dan (3) bertobat kepada-Nya. Mengapa demikian? Karena dalam kehidupan dunia ini, seorang hamba itu tidak mungkin terlepas dari tiga kondisi berikut ini. Pertama, dia terus-menerus berada dalam limpahan nikmat dan karunia yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya. Kenikmatan itu tentu menuntut rasa syukur kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb-mu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Contoh kecil, Allah Ta’ala akan rida kepada hamba-Nya, jika ia memuji Allah Ta’ala ketika makan dan minum. Kedua, dia sedang ditimpa musibah atau kondisi yang sempit. Kewajiban yang harus dilakukan dalam kondisi semacam ini adalah menghadapi dengan lapang dada dan bersabar atas takdir tersebut sembari mengharapkan karunia dan pemberian-Nya. Bersabar atas musibah yang menimpa merupakan kedudukan mulia dan tinggi dalam agama. Hanya orang-orang yang memperoleh anugerah dan kelapangan dada dari Allah Ta’ala yang bisa diberi taufik untuk bersabar. Ia menghadapi musibah tersebut dengan menerima takdir Allah Ta’ala berdasarkan ilmu dan keimanan. Yaitu, segala sesuatu yang memang telah ditakdirkan menimpanya, niscaya akan dia alami. Sebaliknya, segala sesuatu yang tidak ditakdirkan menimpanya, niscaya tidak akan dia alami. Allah Ta’ala berfirman, مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah. Dan setiap orang yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun: 11) Perihal ayat ini, Alqamah rahimahullah menuturkan, هو الرجل تصيبه المصيبة، فيعلم أنّها من عند الله، فيرضى ويسلّم “Dia adalah seorang yang tertimpa musibah, lalu ia tahu bahwa musibah itu berasal dari Allah. Kemudian ia pun rida dan menerimanya dengan lapang dada.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 9503) Ketiga, selain itu, dia juga berada dalam kondisi penuh dosa dan kesalahan. Kondisi ini menuntut hamba untuk bertobat dan beristigfar. Istigfar merupakan aktivitas yang mulia dan membuahkan pahala yang melimpah. Dalam suatu hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا “Sangat beruntunglah orang yang kelak menjumpai bahwa catatan amalnya banyak dipenuhi istigfar.” (HR. Ibnu Majah no. 3818, dinilai sahih oleh Al-Albani) Manfaat istigfar ini tidak berbilang dan tidak terbatas, dan membutuhkan tulisan tersendiri untuk menuliskan semuanya. Namun, cukuplah kami menyebutkan salah satu manfaatnya di dunia seperti yang difirmankan Allah Ta’ala, فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارا  ؛ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارا  ؛ وَيُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَٰل وَبَنِينَ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّٰت وَيَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَٰرا “Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Inilah tiga tanda kebahagiaan dan keberuntungan hamba di dunia dan akhirat. Setiap hamba senantiasa akan berputar pada tiga kondisi ini.” (al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5) Oleh karena itu, hamba yang bersyukur jika dilimpahi nikmat, bersabar jika ditimpa musibah, dan beristigfar jika berbuat dosa, adalah hamba yang sangat beruntung dan berbahagia. Ketiga hal ini merupakan inti kebahagiaan, dan terkumpul dalam sebuah atsar yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abdullah bin Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau menuturkan, رْبَعُ خِصَالٍ مَنْ كُنَّ فِيهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ ، مَنْ كَانَ عِصْمَةُ أَمِرْهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، وَإِذَا أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ قَالَ : إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ، وَإِذَا أُعْطِيَ شَيْئًا قَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَإِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ “Siapa yang melakukan empat perkara ini, niscaya Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga. Keempat perkara itu adalah: (1) menjadikan kalimat laa ilaaha illallah sebagai hal yang utama; (2) mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un apabila ditimpa musibah; (3) mengucapkan alhamdulillah apabila diberi kenikmatan; dan (4) mengucapkan astaghfirullah apabila berbuat dosa.” (HR. Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhud hal. 50 [dalam bagian mulhaq], Ibnu Abi ad-Dunya dalam asy-Syukr no. 205, dan Al-Baihaqi dalam al-Iman no. 9692) Dalam atsar di atas, ketiga inti kebahagiaan tersebut disandingkan dengan perkara pokok dan agung yang menjadi pondasi agama ini, yaitu kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat hanya akan tercapai jika melaksanakan kandungannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan, penerapan kandungan kalimat itulah yang menjadi inti kebahagiaan. Sehingga orang yang menerapkan kandungannya adalah orang yang sejatinya berbahagia. Semoga Allah Ta’ala menetapkan kita semua dalam peribadatan orang-orang yang berbahagia dan meneguhkan kita di jalan kebahagiaan. Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran *** “Menulis adalah bentuk nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 22 Syawal 1445/ 1 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 52; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: kebahagiaan


Kebahagiaan seorang hamba, baik ketika di dunia dan di akhirat, merupakan anugerah dan pemberian rabbani. Semua itu hanya berada di tangan Allah. Setiap orang akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk melakukan aktivitas menurut takdir yang telah ditentukan baginya. Seseorang yang telah ditakdirkan meraih kebahagiaan, maka dia akan dimudahkan dan diberi taufik untuk melakukan kebaikan. Sebaliknya, seseorang yang ditakdirkan sengsara, akan melakukan aktivitas keburukan. Allah Ta’ala yang akan memudahkan setiap aktivitas tersebut. Allah-lah Zat yang memberikan pertolongan dan petunjuk, dan juga Dia-lah yang menganugerahkan taufik kepada setiap hamba. Dari sahabat Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Kami pernah menguburkan jenazah di pemakaman Baqi Al-Gharqad. Tidak berselang lama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mendatangi kami. Beliau duduk, dan kami pun duduk mengelilingi beliau. Setelah itu, Rasulullah memegang sebuah batang kayu pendek dan beliau menggaris-gariskan dan memukul-mukulkannya di atas tanah seraya berkata, مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا وَقَدْ كَتَبَ اللَّهُ مَكَانَهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلَّا وَقَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً قَالَ فَقَالَ رَجَلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَمْكُثُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَقَالَ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَقَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ  : فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ  ؛ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ  ؛ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ  ؛ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ  ؛ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ  ؛ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ “Tidaklah seseorang diciptakan melainkan Allah telah menentukan tempatnya, baik di surga ataupun di neraka, serta ditentukan pula apakah dia sengsara atau bahagia.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Kemudian seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, kalau begitu apakah sebaiknya kami berdiam diri saja tanpa harus berbuat apa-apa?’” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Siapa saja yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, dia pasti akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sebaliknya, siapa saja yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sengsara, dia pasti akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.” Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tetaplah beramal! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat (sesuai dengan ketentuan terhadap dirinya, sengsara atau bahagia). Orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang berbahagia, maka akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sedangkan orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang sengsara, maka akan dimudahkan untuk mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang sengsara.” Setelah itu, Rasulullah pun membacakan ayat Al-Quran (yang artinya), “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil (pelit) dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sulit.” (QS. Al-Lail: 5-10)” (HR. Bukhari no. 1362 dan Muslim no. 2647) Allah Ta’ala memang telah menakdirkan kebahagiaan dan kesengsaraan. Namun, Allah juga telah menjadikan dan menunjukkan sebab-sebab kebahagiaan dan kesengsaraan. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis di atas, اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ “Tetaplah beramal! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat (sesuai dengan ketentuan terhadap dirinya, sengsara atau bahagia).” Sehingga seorang hamba diperintahkan untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk menempuh berbagai sebab yang bisa mendatangkan kebahagiaan dan menghindarkan dari kesengsaraan. Tentunya, sembari memohon pertolongan dan meminta bantuan kepada Allah Ta’ala. Kebahagiaan itu hanyalah bisa dicapai dengan melakukan berbagai macam amal ketaatan kepada Allah Ta’ala dan mengikuti petunjuk-Nya. Allah Ta’ala berfirman, فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ “Setiap orang yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123) Allah Ta’ala berfirman, مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِن فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰة طَيِّبَةۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ “Setiap orang yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97) Baca juga: Agar Memperoleh Kebahagiaan Abadi “Kehidupan yang baik” dalam ayat di atas adalah kehidupan yang tidak berisi kedukaan dan kesengsaraan, yaitu kehidupan yang terisi dengan keimanan dan ketaatan. Inilah inti kebahagiaan yang terwujud dengan melakukan tiga hal penting dalam hidup seorang hamba. Setiap orang yang memperoleh taufik dan hidayah untuk melakukan tiga hal ini, niscaya akan menjadi orang yang berbahagia di dunia dan akhirat. Tiga perkara itu adalah: (1) bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat-Nya; (2) bersabar terhadap takdir-Nya; dan (3) bertobat kepada-Nya. Mengapa demikian? Karena dalam kehidupan dunia ini, seorang hamba itu tidak mungkin terlepas dari tiga kondisi berikut ini. Pertama, dia terus-menerus berada dalam limpahan nikmat dan karunia yang dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepadanya. Kenikmatan itu tentu menuntut rasa syukur kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد “Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb-mu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7) Contoh kecil, Allah Ta’ala akan rida kepada hamba-Nya, jika ia memuji Allah Ta’ala ketika makan dan minum. Kedua, dia sedang ditimpa musibah atau kondisi yang sempit. Kewajiban yang harus dilakukan dalam kondisi semacam ini adalah menghadapi dengan lapang dada dan bersabar atas takdir tersebut sembari mengharapkan karunia dan pemberian-Nya. Bersabar atas musibah yang menimpa merupakan kedudukan mulia dan tinggi dalam agama. Hanya orang-orang yang memperoleh anugerah dan kelapangan dada dari Allah Ta’ala yang bisa diberi taufik untuk bersabar. Ia menghadapi musibah tersebut dengan menerima takdir Allah Ta’ala berdasarkan ilmu dan keimanan. Yaitu, segala sesuatu yang memang telah ditakdirkan menimpanya, niscaya akan dia alami. Sebaliknya, segala sesuatu yang tidak ditakdirkan menimpanya, niscaya tidak akan dia alami. Allah Ta’ala berfirman, مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah. Dan setiap orang yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun: 11) Perihal ayat ini, Alqamah rahimahullah menuturkan, هو الرجل تصيبه المصيبة، فيعلم أنّها من عند الله، فيرضى ويسلّم “Dia adalah seorang yang tertimpa musibah, lalu ia tahu bahwa musibah itu berasal dari Allah. Kemudian ia pun rida dan menerimanya dengan lapang dada.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 9503) Ketiga, selain itu, dia juga berada dalam kondisi penuh dosa dan kesalahan. Kondisi ini menuntut hamba untuk bertobat dan beristigfar. Istigfar merupakan aktivitas yang mulia dan membuahkan pahala yang melimpah. Dalam suatu hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا “Sangat beruntunglah orang yang kelak menjumpai bahwa catatan amalnya banyak dipenuhi istigfar.” (HR. Ibnu Majah no. 3818, dinilai sahih oleh Al-Albani) Manfaat istigfar ini tidak berbilang dan tidak terbatas, dan membutuhkan tulisan tersendiri untuk menuliskan semuanya. Namun, cukuplah kami menyebutkan salah satu manfaatnya di dunia seperti yang difirmankan Allah Ta’ala, فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارا  ؛ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارا  ؛ وَيُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَٰل وَبَنِينَ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّٰت وَيَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَٰرا “Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12) Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Inilah tiga tanda kebahagiaan dan keberuntungan hamba di dunia dan akhirat. Setiap hamba senantiasa akan berputar pada tiga kondisi ini.” (al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5) Oleh karena itu, hamba yang bersyukur jika dilimpahi nikmat, bersabar jika ditimpa musibah, dan beristigfar jika berbuat dosa, adalah hamba yang sangat beruntung dan berbahagia. Ketiga hal ini merupakan inti kebahagiaan, dan terkumpul dalam sebuah atsar yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abdullah bin Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau menuturkan, رْبَعُ خِصَالٍ مَنْ كُنَّ فِيهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ ، مَنْ كَانَ عِصْمَةُ أَمِرْهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ، وَإِذَا أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ قَالَ : إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ، وَإِذَا أُعْطِيَ شَيْئًا قَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَإِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ “Siapa yang melakukan empat perkara ini, niscaya Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga. Keempat perkara itu adalah: (1) menjadikan kalimat laa ilaaha illallah sebagai hal yang utama; (2) mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un apabila ditimpa musibah; (3) mengucapkan alhamdulillah apabila diberi kenikmatan; dan (4) mengucapkan astaghfirullah apabila berbuat dosa.” (HR. Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhud hal. 50 [dalam bagian mulhaq], Ibnu Abi ad-Dunya dalam asy-Syukr no. 205, dan Al-Baihaqi dalam al-Iman no. 9692) Dalam atsar di atas, ketiga inti kebahagiaan tersebut disandingkan dengan perkara pokok dan agung yang menjadi pondasi agama ini, yaitu kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat hanya akan tercapai jika melaksanakan kandungannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan, penerapan kandungan kalimat itulah yang menjadi inti kebahagiaan. Sehingga orang yang menerapkan kandungannya adalah orang yang sejatinya berbahagia. Semoga Allah Ta’ala menetapkan kita semua dalam peribadatan orang-orang yang berbahagia dan meneguhkan kita di jalan kebahagiaan. Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran *** “Menulis adalah bentuk nasihat untuk diri sendiri.” @BA, 22 Syawal 1445/ 1 Mei 2024 Penulis: M. Saifudin Hakim Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 52; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Tags: kebahagiaan

Bolehkah Berbuka Puasa karena Merasa Pusing? 

Pertanyaan: Ustadz, ada kasus yang sedang ramai diperbincangkan oleh netizen. Ada selebritis yang dianggap ustadzah dia membatalkan puasanya karena alasan merasa pusing. Kemudian netizen pun pro dan kontra menanggapi fenomena ini. Sebenarnya bolehkah berbuka puasa Ramadhan karena alasan pusing?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Sebelumnya, kita tidak akan membahas secara khusus tentang selebritis tersebut. Karena kita tidak tahu bagaimana kondisi sebenarnya dari sang selebritis. Namun, sekedar merasa pusing, merasa lapar, atau merasa haus, tidaklah membolehkan berbuka puasa. Bahkan ini termasuk dosa besar. Pusing, lapar, dan haus itulah memang inti dari cobaan puasa.  Bisa dikatakan hampir semua orang yang berpuasa tentu merasakan pusing, lapar, dan haus. Maka hendaknya bersabar, menahan pusing, lapar, dan hausnya, serta berharap pahala darinya.  Yang dibolehkan berbuka adalah jika pusing, lapar, atau haus itu dikhawatirkan membahayakan diri. An-Nawawi rahimahullah mengatakan : قال أصحابنا وغيرهم : من غلبه الجوع والعطش ، فخاف الهلاك : لزمه الفطر “Ulama mazhab kami dan yang lainnya mengatakan: siapa yang tidak bisa menahan haus dan lapar sehingga ia khawatir dirinya binasa, maka wajib baginya untuk berbuka” (Al-Majmu’, 6/258). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:  إذا خاف العطش ، لكن ليس المراد مجرد العطش ؛ بل العطش الذي يُخاف منه الهلاك ، أو يُخاف منه الضرر “Jika seseorang haus, namun bukan sekedar haus. Namun haus yang dikhawatirkan membuat dirinya binasa atau bahaya, maka boleh berbuka” (Ta’liqat ‘alal Kafi, 3/124). Kesimpulannya, tidak boleh bermudah-mudahan membatalkan puasa karena pusing, lapar, atau haus. Kecuali khawatir akan terkena bahaya berupa sakit parah atau kematian. Hendaknya bersabar menahan pusing, lapar, dan haus tersebut. Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saja sampai mengguyur badannya untuk menahan haus yang luar biasa. Beliau tidak membatalkan puasanya. Disebutkan oleh seorang sahabat Nabi : لقد رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ بالعرجِ يصبُّ علَى رأسِهِ الماءَ ، وَهوَ صائمٌ منَ العطشِ ، أو منَ الحرِّ “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu’alahi wa sallam ketika di Al-‘Urj beliau menyiram kepalanya dengan air dalam keadaan sedang berpuasa. Beliau lakukan demikian karena saking hausnya atau saking panasnya” (HR. Abu Daud no.2365, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 163 times, 1 visit(s) today Post Views: 770 QRIS donasi Yufid

Bolehkah Berbuka Puasa karena Merasa Pusing? 

Pertanyaan: Ustadz, ada kasus yang sedang ramai diperbincangkan oleh netizen. Ada selebritis yang dianggap ustadzah dia membatalkan puasanya karena alasan merasa pusing. Kemudian netizen pun pro dan kontra menanggapi fenomena ini. Sebenarnya bolehkah berbuka puasa Ramadhan karena alasan pusing?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Sebelumnya, kita tidak akan membahas secara khusus tentang selebritis tersebut. Karena kita tidak tahu bagaimana kondisi sebenarnya dari sang selebritis. Namun, sekedar merasa pusing, merasa lapar, atau merasa haus, tidaklah membolehkan berbuka puasa. Bahkan ini termasuk dosa besar. Pusing, lapar, dan haus itulah memang inti dari cobaan puasa.  Bisa dikatakan hampir semua orang yang berpuasa tentu merasakan pusing, lapar, dan haus. Maka hendaknya bersabar, menahan pusing, lapar, dan hausnya, serta berharap pahala darinya.  Yang dibolehkan berbuka adalah jika pusing, lapar, atau haus itu dikhawatirkan membahayakan diri. An-Nawawi rahimahullah mengatakan : قال أصحابنا وغيرهم : من غلبه الجوع والعطش ، فخاف الهلاك : لزمه الفطر “Ulama mazhab kami dan yang lainnya mengatakan: siapa yang tidak bisa menahan haus dan lapar sehingga ia khawatir dirinya binasa, maka wajib baginya untuk berbuka” (Al-Majmu’, 6/258). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:  إذا خاف العطش ، لكن ليس المراد مجرد العطش ؛ بل العطش الذي يُخاف منه الهلاك ، أو يُخاف منه الضرر “Jika seseorang haus, namun bukan sekedar haus. Namun haus yang dikhawatirkan membuat dirinya binasa atau bahaya, maka boleh berbuka” (Ta’liqat ‘alal Kafi, 3/124). Kesimpulannya, tidak boleh bermudah-mudahan membatalkan puasa karena pusing, lapar, atau haus. Kecuali khawatir akan terkena bahaya berupa sakit parah atau kematian. Hendaknya bersabar menahan pusing, lapar, dan haus tersebut. Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saja sampai mengguyur badannya untuk menahan haus yang luar biasa. Beliau tidak membatalkan puasanya. Disebutkan oleh seorang sahabat Nabi : لقد رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ بالعرجِ يصبُّ علَى رأسِهِ الماءَ ، وَهوَ صائمٌ منَ العطشِ ، أو منَ الحرِّ “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu’alahi wa sallam ketika di Al-‘Urj beliau menyiram kepalanya dengan air dalam keadaan sedang berpuasa. Beliau lakukan demikian karena saking hausnya atau saking panasnya” (HR. Abu Daud no.2365, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 163 times, 1 visit(s) today Post Views: 770 QRIS donasi Yufid
Pertanyaan: Ustadz, ada kasus yang sedang ramai diperbincangkan oleh netizen. Ada selebritis yang dianggap ustadzah dia membatalkan puasanya karena alasan merasa pusing. Kemudian netizen pun pro dan kontra menanggapi fenomena ini. Sebenarnya bolehkah berbuka puasa Ramadhan karena alasan pusing?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Sebelumnya, kita tidak akan membahas secara khusus tentang selebritis tersebut. Karena kita tidak tahu bagaimana kondisi sebenarnya dari sang selebritis. Namun, sekedar merasa pusing, merasa lapar, atau merasa haus, tidaklah membolehkan berbuka puasa. Bahkan ini termasuk dosa besar. Pusing, lapar, dan haus itulah memang inti dari cobaan puasa.  Bisa dikatakan hampir semua orang yang berpuasa tentu merasakan pusing, lapar, dan haus. Maka hendaknya bersabar, menahan pusing, lapar, dan hausnya, serta berharap pahala darinya.  Yang dibolehkan berbuka adalah jika pusing, lapar, atau haus itu dikhawatirkan membahayakan diri. An-Nawawi rahimahullah mengatakan : قال أصحابنا وغيرهم : من غلبه الجوع والعطش ، فخاف الهلاك : لزمه الفطر “Ulama mazhab kami dan yang lainnya mengatakan: siapa yang tidak bisa menahan haus dan lapar sehingga ia khawatir dirinya binasa, maka wajib baginya untuk berbuka” (Al-Majmu’, 6/258). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:  إذا خاف العطش ، لكن ليس المراد مجرد العطش ؛ بل العطش الذي يُخاف منه الهلاك ، أو يُخاف منه الضرر “Jika seseorang haus, namun bukan sekedar haus. Namun haus yang dikhawatirkan membuat dirinya binasa atau bahaya, maka boleh berbuka” (Ta’liqat ‘alal Kafi, 3/124). Kesimpulannya, tidak boleh bermudah-mudahan membatalkan puasa karena pusing, lapar, atau haus. Kecuali khawatir akan terkena bahaya berupa sakit parah atau kematian. Hendaknya bersabar menahan pusing, lapar, dan haus tersebut. Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saja sampai mengguyur badannya untuk menahan haus yang luar biasa. Beliau tidak membatalkan puasanya. Disebutkan oleh seorang sahabat Nabi : لقد رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ بالعرجِ يصبُّ علَى رأسِهِ الماءَ ، وَهوَ صائمٌ منَ العطشِ ، أو منَ الحرِّ “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu’alahi wa sallam ketika di Al-‘Urj beliau menyiram kepalanya dengan air dalam keadaan sedang berpuasa. Beliau lakukan demikian karena saking hausnya atau saking panasnya” (HR. Abu Daud no.2365, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 163 times, 1 visit(s) today Post Views: 770 QRIS donasi Yufid


Pertanyaan: Ustadz, ada kasus yang sedang ramai diperbincangkan oleh netizen. Ada selebritis yang dianggap ustadzah dia membatalkan puasanya karena alasan merasa pusing. Kemudian netizen pun pro dan kontra menanggapi fenomena ini. Sebenarnya bolehkah berbuka puasa Ramadhan karena alasan pusing?  Jawaban: Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du, Sebelumnya, kita tidak akan membahas secara khusus tentang selebritis tersebut. Karena kita tidak tahu bagaimana kondisi sebenarnya dari sang selebritis. Namun, sekedar merasa pusing, merasa lapar, atau merasa haus, tidaklah membolehkan berbuka puasa. Bahkan ini termasuk dosa besar. Pusing, lapar, dan haus itulah memang inti dari cobaan puasa.  Bisa dikatakan hampir semua orang yang berpuasa tentu merasakan pusing, lapar, dan haus. Maka hendaknya bersabar, menahan pusing, lapar, dan hausnya, serta berharap pahala darinya.  Yang dibolehkan berbuka adalah jika pusing, lapar, atau haus itu dikhawatirkan membahayakan diri. An-Nawawi rahimahullah mengatakan : قال أصحابنا وغيرهم : من غلبه الجوع والعطش ، فخاف الهلاك : لزمه الفطر “Ulama mazhab kami dan yang lainnya mengatakan: siapa yang tidak bisa menahan haus dan lapar sehingga ia khawatir dirinya binasa, maka wajib baginya untuk berbuka” (Al-Majmu’, 6/258). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:  إذا خاف العطش ، لكن ليس المراد مجرد العطش ؛ بل العطش الذي يُخاف منه الهلاك ، أو يُخاف منه الضرر “Jika seseorang haus, namun bukan sekedar haus. Namun haus yang dikhawatirkan membuat dirinya binasa atau bahaya, maka boleh berbuka” (Ta’liqat ‘alal Kafi, 3/124). Kesimpulannya, tidak boleh bermudah-mudahan membatalkan puasa karena pusing, lapar, atau haus. Kecuali khawatir akan terkena bahaya berupa sakit parah atau kematian. Hendaknya bersabar menahan pusing, lapar, dan haus tersebut. Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saja sampai mengguyur badannya untuk menahan haus yang luar biasa. Beliau tidak membatalkan puasanya. Disebutkan oleh seorang sahabat Nabi : لقد رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ بالعرجِ يصبُّ علَى رأسِهِ الماءَ ، وَهوَ صائمٌ منَ العطشِ ، أو منَ الحرِّ “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu’alahi wa sallam ketika di Al-‘Urj beliau menyiram kepalanya dengan air dalam keadaan sedang berpuasa. Beliau lakukan demikian karena saking hausnya atau saking panasnya” (HR. Abu Daud no.2365, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud). Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.  *** URUNAN MEMBUAT VIDEO DAKWAH YUFID.TV Yufid.TV membuka kesempatan untukmu, berupa amal jariyah menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Kami namakan “Gerakan Urunan Membuat Video Yufid.TV”. Anda dapat menyumbang dalam jumlah berapa pun untuk membuat video Yufid.TV, Yufid Kids, dan Yufid EDU. Anda boleh sumbangan Rp 5.000,- atau kurang itu. Semoga ini menjadi tabungan amal jariyahmu, menjadi peninggalan yang pahalanya tetap mengalir kepadamu di dunia dan ketika kamu sudah di alam kubur. Anda dapat kirimkan sumbangan urunanmu ke: BANK SYARIAH INDONESIA 7086882242a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKode BSI: 451 (tidak perlu konfirmasi, karena rekening di atas khusus untuk donasi) PayPal: [email protected] Mari kita renungkan Surat Yasin Ayat ke-12 ini: إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَٰرَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَٰهُ فِىٓ إِمَامٍ مُّبِينٍ Artinya:  “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan KAMI MENULISKAN APA YANG TELAH MEREKA KERJAKAN DAN BEKAS-BEKAS YANG MEREKA TINGGALKAN. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12) Apa bekas-bekas kebaikan yang akan kita tinggalkan sehingga itu akan dicatat sebagai kebaikan oleh Allah? 🔍 Qoul Qodim Dan Qoul Jadid, Hewan Yang Boleh Dipelihara Menurut Islam, Asap Tanda Kiamat, Nama Kecil Abu Lahab, Gaya Berhubungan Suami Istri Sesuai Sunnah Visited 163 times, 1 visit(s) today Post Views: 770 <img class="aligncenter wp-image-43307" src="https://i0.wp.com/konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2023/10/qris-donasi-yufid-resized.jpeg" alt="QRIS donasi Yufid" width="741" height="1024" />

Kaidah Fikih: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan

Daftar Isi Toggle Setiap perintah akan mendatangkan maslahat dan setiap larangan pasti terdapat padanya mudaratAgama hadir untuk kebahagiaan manusiaTentang kaidah iniContoh-contoh dari nash terhadap kaidah ini Setiap perintah akan mendatangkan maslahat dan setiap larangan pasti terdapat padanya mudarat Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah (wafat th. 1421) pernah berkata, فَمَا  مِنْ شَيْءٍ أَمَرَ اللهُ بِهِ رَسُوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَالمَصْلَحَة فِي وُجُوْدِهِ وَمَا مِنْ شَيْءٍ نَهَى اللهُ عَنْهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا وَالمَصْلَحَة ِفي عَدَمِهِ “Tidak ada satu pun perkara yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, melainkan padanya terdapat kemaslahatan (kebaikan). Dan tidaklah ada satu perkara pun yang Allah dan Rasul-Nya larang, melainkan ada kemaslahatan jika hal tersebut tidak ada.”[1] Agama hadir untuk kebahagiaan manusia Syekh juga pernah menuliskan dalam bait sya’irnya, الدِّيْنُ جَاءَ لِسَعَادَةِ البَشَرْ ….. وِلِانْتِفَاءِ شَرِّ عَنْهُمْ وَالضَّرَرْ فَكُلُّ أَمْرٍ نَافِعٍ قَدْ شَرَعَهْ ….. وَكُلُّ مَا يَضُــــــرُّنَا قَدْ مَنَعَهْ “Agama hadir untuk kebahagiaan manusia dan menghilangkan dari mereka keburukan dan kemudaratan. Maka, setiap perkara yang bermanfaat telah disyariatkan dan setiap yang memudaratkan kita telah dilarang.”[2] Dari hal di atas, dapat diketahui bahwasanya syariat Islam tidaklah memerintahkan suatu hal, melainkan terdapat kebaikan pada perintah tersebut. Sebaliknya, tidaklah suatu hal dilarang dalam syariat, melainkan terdapat keburukan pada larangan tersebut. Sungguh! Betapa indahnya syariat Islam ini. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah (wafat th.1376) menuliskan sebuah kaidah yang senada dalam hal ini, الشَارِعُ لَا يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَة وَ رَاجِحَة، وَلَا يَنْهَى إِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَة وَرَاجِحَة “Syaari’ (pembuat syariat, yaitu Allah Ta’ala) tidaklah memerintahkan, kecuali pada perintah tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas dan kuat. Sebaliknya, tidaklah Allah melarang, melainkan dari suatu hal yang mafsadatnya (keburukannya) jelas dan kuat.”[3] Tentang kaidah ini Kaidah ini merupakan suatu asas yang mencakup segala hal dalam syariat Islam. Bahkan, jika ingin dikatakan, tidak ada sedikit pun kejanggalan dalam kaidah ini dari sisi hukum-hukum syariat. Baik yang berkaitan dengan ushul (pokok) ataupun furu’ (cabang), baik yang berkaitan dengan hak-hak Allah ataupun hak-hak seorang hamba. Sebagai contoh tentang hal ini, Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِيتَآىِٕ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنڪَرِ وَٱلۡبَغۡىِ‌ۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَذَكَّرُونَ “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90) Maka, tidak tersisa hal-hal yang bersifat keadilan, kebaikan, dan hal-hal yang dapat mempererat tali silaturahmi, melainkan diperintahkan pada ayat yang mulia ini. Tidak tersisa pula perbuatan keji dan kemungkaran yang berkaitan dengan hak-hak Allah, melainkan itu semua telah dilarang. Begitu pun kezaliman kepada makhluk, terhadap darah-darah, harta-harta, dan kehormatan mereka, melainkan itu semua telah dilarang. Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada hamba-Nya, untuk senantiasa mengingat perintah-perintah serta kebaikan dan manfaatnya, agar hamba-hamba-Nya dapat melaksanakan perintah tersebut. Begitu pun dengan larangan-larangannya, hendaknya senantiasa diingat keburukan dan bahaya dari larangan tersebut. Agar hamba-hamba-Nya dapat menjauhi larangan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلۡفَوَٲحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡہَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡىَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَـٰنً۬ا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ “Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (Allah mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu, dan (Allah mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Baca juga: ‘Urf dan Adat dalam Timbangan Syariat Contoh-contoh dari nash terhadap kaidah ini Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, bagaimana ketika Allah memerintahkan suatu hal kemudian terdapat ketidakmampuan untuk melakukannya, Allah memberikan solusi yang lain. Allah Ta’ala berfirman, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَڪُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِ‌ۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبً۬ا فَٱطَّهَّرُواْ‌ۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٌ۬ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآٮِٕطِ أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءً۬ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدً۬ا طَيِّبً۬ا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِڪُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُ‌ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡڪُم مِّنۡ حَرَجٍ۬ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُ ۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik. Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Pada ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan perintah untuk bersuci apabila seorang hamba ingin melaksanakan salat. Kemudian Allah menyebutkan dua bentuk bersuci, yaitu bersuci dari hadas kecil dan hadas besar dengan air. Ketika tidak ada air, maka diperbolehkan bersuci dengan tanah atau biasa disebut dengan tayamum. Pada ayat ini pula, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa perintah-perintah-Nya yang indah merupakan bentuk nikmat terbesar yang disegerakan dan terus bersambung dengan nikmat yang akan datang. Kemudian, perhatikan dan bacalah firman Allah Ta’ala, وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنًا‌ۚ “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23) Sampai pada ayat, ذَٲلِكَ مِمَّآ أَوۡحَىٰٓ إِلَيۡكَ رَبُّكَ مِنَ ٱلۡحِكۡمَةِ‌ۗ “Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabbmu kepadamu.” (QS. Al-Isra: 39) Sehingga, perintah-perintah Allah erat kaitannya dengan hikmah-hikmah-Nya yang tersirat. Perhatikan pula pada ayat-ayat berikut, قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّڪُمۡ عَلَيۡڪُمۡ‌ۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا‌ۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَـٰدَڪُم مِّنۡ إِمۡلَـٰقٍ۬‌ۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُڪُمۡ وَإِيَّاهُمۡ‌ۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٲحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ‌ۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ  وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُ ۥ‌ۖ وَأَوۡفُواْ ٱلۡڪَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِ‌ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُواْ وَلَوۡ ڪَانَ ذَا قُرۡبَىٰ‌ۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُواْ‌ۚ ذَٲلِڪُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ  وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٲطِى مُسۡتَقِيمً۬ا فَٱتَّبِعُوهُ‌ۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّڪُمۡ تَتَّقُونَ “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu. Yaitu, janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 151-153) Bacalah dan perhatikanlah dengan seksama ayat-ayat yang berisikan tentang perintah-perintah Allah yang begitu indah, kebaikan yang menyebar dari perintah tersebut, serta maslahat perintah-perintah-Nya baik  secara zahir (tampak) maupun batin (tidak tampak). Bacalah dan perhatikan pula dengan seksama ayat-ayat yang berisikan tentang larangan-larangan Allah yang bahayanya begitu dahsyat, dosanya begitu besar, serta keburukan dan kerusakannya tidak dapat terhingga. Sehingga, jelaslah dari kaidah ini, bahwa agama Islam hadir untuk kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia *** Depok, 29 Syawal 1445 / 8 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Mandzhumah Ushulul Fiqh wa Qowa’iduhu, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Cet. Mu’assasah Ibnu Utsaimin Catatan kaki: [1] Lihat Syarah Riyadusshalihin, 3: 533, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin [2] Lihat Mandzhumah Ushulul Fiqh wa Qawa’iduhu, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin [3] Lihat Al-Qawa’id wal Ushul Al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Tags: maslahatsyariat

Kaidah Fikih: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan

Daftar Isi Toggle Setiap perintah akan mendatangkan maslahat dan setiap larangan pasti terdapat padanya mudaratAgama hadir untuk kebahagiaan manusiaTentang kaidah iniContoh-contoh dari nash terhadap kaidah ini Setiap perintah akan mendatangkan maslahat dan setiap larangan pasti terdapat padanya mudarat Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah (wafat th. 1421) pernah berkata, فَمَا  مِنْ شَيْءٍ أَمَرَ اللهُ بِهِ رَسُوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَالمَصْلَحَة فِي وُجُوْدِهِ وَمَا مِنْ شَيْءٍ نَهَى اللهُ عَنْهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا وَالمَصْلَحَة ِفي عَدَمِهِ “Tidak ada satu pun perkara yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, melainkan padanya terdapat kemaslahatan (kebaikan). Dan tidaklah ada satu perkara pun yang Allah dan Rasul-Nya larang, melainkan ada kemaslahatan jika hal tersebut tidak ada.”[1] Agama hadir untuk kebahagiaan manusia Syekh juga pernah menuliskan dalam bait sya’irnya, الدِّيْنُ جَاءَ لِسَعَادَةِ البَشَرْ ….. وِلِانْتِفَاءِ شَرِّ عَنْهُمْ وَالضَّرَرْ فَكُلُّ أَمْرٍ نَافِعٍ قَدْ شَرَعَهْ ….. وَكُلُّ مَا يَضُــــــرُّنَا قَدْ مَنَعَهْ “Agama hadir untuk kebahagiaan manusia dan menghilangkan dari mereka keburukan dan kemudaratan. Maka, setiap perkara yang bermanfaat telah disyariatkan dan setiap yang memudaratkan kita telah dilarang.”[2] Dari hal di atas, dapat diketahui bahwasanya syariat Islam tidaklah memerintahkan suatu hal, melainkan terdapat kebaikan pada perintah tersebut. Sebaliknya, tidaklah suatu hal dilarang dalam syariat, melainkan terdapat keburukan pada larangan tersebut. Sungguh! Betapa indahnya syariat Islam ini. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah (wafat th.1376) menuliskan sebuah kaidah yang senada dalam hal ini, الشَارِعُ لَا يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَة وَ رَاجِحَة، وَلَا يَنْهَى إِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَة وَرَاجِحَة “Syaari’ (pembuat syariat, yaitu Allah Ta’ala) tidaklah memerintahkan, kecuali pada perintah tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas dan kuat. Sebaliknya, tidaklah Allah melarang, melainkan dari suatu hal yang mafsadatnya (keburukannya) jelas dan kuat.”[3] Tentang kaidah ini Kaidah ini merupakan suatu asas yang mencakup segala hal dalam syariat Islam. Bahkan, jika ingin dikatakan, tidak ada sedikit pun kejanggalan dalam kaidah ini dari sisi hukum-hukum syariat. Baik yang berkaitan dengan ushul (pokok) ataupun furu’ (cabang), baik yang berkaitan dengan hak-hak Allah ataupun hak-hak seorang hamba. Sebagai contoh tentang hal ini, Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِيتَآىِٕ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنڪَرِ وَٱلۡبَغۡىِ‌ۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَذَكَّرُونَ “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90) Maka, tidak tersisa hal-hal yang bersifat keadilan, kebaikan, dan hal-hal yang dapat mempererat tali silaturahmi, melainkan diperintahkan pada ayat yang mulia ini. Tidak tersisa pula perbuatan keji dan kemungkaran yang berkaitan dengan hak-hak Allah, melainkan itu semua telah dilarang. Begitu pun kezaliman kepada makhluk, terhadap darah-darah, harta-harta, dan kehormatan mereka, melainkan itu semua telah dilarang. Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada hamba-Nya, untuk senantiasa mengingat perintah-perintah serta kebaikan dan manfaatnya, agar hamba-hamba-Nya dapat melaksanakan perintah tersebut. Begitu pun dengan larangan-larangannya, hendaknya senantiasa diingat keburukan dan bahaya dari larangan tersebut. Agar hamba-hamba-Nya dapat menjauhi larangan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلۡفَوَٲحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡہَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡىَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَـٰنً۬ا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ “Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (Allah mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu, dan (Allah mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Baca juga: ‘Urf dan Adat dalam Timbangan Syariat Contoh-contoh dari nash terhadap kaidah ini Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, bagaimana ketika Allah memerintahkan suatu hal kemudian terdapat ketidakmampuan untuk melakukannya, Allah memberikan solusi yang lain. Allah Ta’ala berfirman, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَڪُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِ‌ۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبً۬ا فَٱطَّهَّرُواْ‌ۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٌ۬ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآٮِٕطِ أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءً۬ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدً۬ا طَيِّبً۬ا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِڪُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُ‌ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡڪُم مِّنۡ حَرَجٍ۬ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُ ۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik. Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Pada ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan perintah untuk bersuci apabila seorang hamba ingin melaksanakan salat. Kemudian Allah menyebutkan dua bentuk bersuci, yaitu bersuci dari hadas kecil dan hadas besar dengan air. Ketika tidak ada air, maka diperbolehkan bersuci dengan tanah atau biasa disebut dengan tayamum. Pada ayat ini pula, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa perintah-perintah-Nya yang indah merupakan bentuk nikmat terbesar yang disegerakan dan terus bersambung dengan nikmat yang akan datang. Kemudian, perhatikan dan bacalah firman Allah Ta’ala, وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنًا‌ۚ “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23) Sampai pada ayat, ذَٲلِكَ مِمَّآ أَوۡحَىٰٓ إِلَيۡكَ رَبُّكَ مِنَ ٱلۡحِكۡمَةِ‌ۗ “Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabbmu kepadamu.” (QS. Al-Isra: 39) Sehingga, perintah-perintah Allah erat kaitannya dengan hikmah-hikmah-Nya yang tersirat. Perhatikan pula pada ayat-ayat berikut, قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّڪُمۡ عَلَيۡڪُمۡ‌ۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا‌ۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَـٰدَڪُم مِّنۡ إِمۡلَـٰقٍ۬‌ۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُڪُمۡ وَإِيَّاهُمۡ‌ۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٲحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ‌ۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ  وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُ ۥ‌ۖ وَأَوۡفُواْ ٱلۡڪَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِ‌ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُواْ وَلَوۡ ڪَانَ ذَا قُرۡبَىٰ‌ۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُواْ‌ۚ ذَٲلِڪُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ  وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٲطِى مُسۡتَقِيمً۬ا فَٱتَّبِعُوهُ‌ۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّڪُمۡ تَتَّقُونَ “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu. Yaitu, janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 151-153) Bacalah dan perhatikanlah dengan seksama ayat-ayat yang berisikan tentang perintah-perintah Allah yang begitu indah, kebaikan yang menyebar dari perintah tersebut, serta maslahat perintah-perintah-Nya baik  secara zahir (tampak) maupun batin (tidak tampak). Bacalah dan perhatikan pula dengan seksama ayat-ayat yang berisikan tentang larangan-larangan Allah yang bahayanya begitu dahsyat, dosanya begitu besar, serta keburukan dan kerusakannya tidak dapat terhingga. Sehingga, jelaslah dari kaidah ini, bahwa agama Islam hadir untuk kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia *** Depok, 29 Syawal 1445 / 8 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Mandzhumah Ushulul Fiqh wa Qowa’iduhu, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Cet. Mu’assasah Ibnu Utsaimin Catatan kaki: [1] Lihat Syarah Riyadusshalihin, 3: 533, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin [2] Lihat Mandzhumah Ushulul Fiqh wa Qawa’iduhu, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin [3] Lihat Al-Qawa’id wal Ushul Al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Tags: maslahatsyariat
Daftar Isi Toggle Setiap perintah akan mendatangkan maslahat dan setiap larangan pasti terdapat padanya mudaratAgama hadir untuk kebahagiaan manusiaTentang kaidah iniContoh-contoh dari nash terhadap kaidah ini Setiap perintah akan mendatangkan maslahat dan setiap larangan pasti terdapat padanya mudarat Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah (wafat th. 1421) pernah berkata, فَمَا  مِنْ شَيْءٍ أَمَرَ اللهُ بِهِ رَسُوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَالمَصْلَحَة فِي وُجُوْدِهِ وَمَا مِنْ شَيْءٍ نَهَى اللهُ عَنْهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا وَالمَصْلَحَة ِفي عَدَمِهِ “Tidak ada satu pun perkara yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, melainkan padanya terdapat kemaslahatan (kebaikan). Dan tidaklah ada satu perkara pun yang Allah dan Rasul-Nya larang, melainkan ada kemaslahatan jika hal tersebut tidak ada.”[1] Agama hadir untuk kebahagiaan manusia Syekh juga pernah menuliskan dalam bait sya’irnya, الدِّيْنُ جَاءَ لِسَعَادَةِ البَشَرْ ….. وِلِانْتِفَاءِ شَرِّ عَنْهُمْ وَالضَّرَرْ فَكُلُّ أَمْرٍ نَافِعٍ قَدْ شَرَعَهْ ….. وَكُلُّ مَا يَضُــــــرُّنَا قَدْ مَنَعَهْ “Agama hadir untuk kebahagiaan manusia dan menghilangkan dari mereka keburukan dan kemudaratan. Maka, setiap perkara yang bermanfaat telah disyariatkan dan setiap yang memudaratkan kita telah dilarang.”[2] Dari hal di atas, dapat diketahui bahwasanya syariat Islam tidaklah memerintahkan suatu hal, melainkan terdapat kebaikan pada perintah tersebut. Sebaliknya, tidaklah suatu hal dilarang dalam syariat, melainkan terdapat keburukan pada larangan tersebut. Sungguh! Betapa indahnya syariat Islam ini. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah (wafat th.1376) menuliskan sebuah kaidah yang senada dalam hal ini, الشَارِعُ لَا يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَة وَ رَاجِحَة، وَلَا يَنْهَى إِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَة وَرَاجِحَة “Syaari’ (pembuat syariat, yaitu Allah Ta’ala) tidaklah memerintahkan, kecuali pada perintah tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas dan kuat. Sebaliknya, tidaklah Allah melarang, melainkan dari suatu hal yang mafsadatnya (keburukannya) jelas dan kuat.”[3] Tentang kaidah ini Kaidah ini merupakan suatu asas yang mencakup segala hal dalam syariat Islam. Bahkan, jika ingin dikatakan, tidak ada sedikit pun kejanggalan dalam kaidah ini dari sisi hukum-hukum syariat. Baik yang berkaitan dengan ushul (pokok) ataupun furu’ (cabang), baik yang berkaitan dengan hak-hak Allah ataupun hak-hak seorang hamba. Sebagai contoh tentang hal ini, Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِيتَآىِٕ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنڪَرِ وَٱلۡبَغۡىِ‌ۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَذَكَّرُونَ “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90) Maka, tidak tersisa hal-hal yang bersifat keadilan, kebaikan, dan hal-hal yang dapat mempererat tali silaturahmi, melainkan diperintahkan pada ayat yang mulia ini. Tidak tersisa pula perbuatan keji dan kemungkaran yang berkaitan dengan hak-hak Allah, melainkan itu semua telah dilarang. Begitu pun kezaliman kepada makhluk, terhadap darah-darah, harta-harta, dan kehormatan mereka, melainkan itu semua telah dilarang. Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada hamba-Nya, untuk senantiasa mengingat perintah-perintah serta kebaikan dan manfaatnya, agar hamba-hamba-Nya dapat melaksanakan perintah tersebut. Begitu pun dengan larangan-larangannya, hendaknya senantiasa diingat keburukan dan bahaya dari larangan tersebut. Agar hamba-hamba-Nya dapat menjauhi larangan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلۡفَوَٲحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡہَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡىَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَـٰنً۬ا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ “Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (Allah mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu, dan (Allah mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Baca juga: ‘Urf dan Adat dalam Timbangan Syariat Contoh-contoh dari nash terhadap kaidah ini Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, bagaimana ketika Allah memerintahkan suatu hal kemudian terdapat ketidakmampuan untuk melakukannya, Allah memberikan solusi yang lain. Allah Ta’ala berfirman, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَڪُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِ‌ۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبً۬ا فَٱطَّهَّرُواْ‌ۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٌ۬ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآٮِٕطِ أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءً۬ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدً۬ا طَيِّبً۬ا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِڪُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُ‌ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡڪُم مِّنۡ حَرَجٍ۬ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُ ۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik. Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Pada ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan perintah untuk bersuci apabila seorang hamba ingin melaksanakan salat. Kemudian Allah menyebutkan dua bentuk bersuci, yaitu bersuci dari hadas kecil dan hadas besar dengan air. Ketika tidak ada air, maka diperbolehkan bersuci dengan tanah atau biasa disebut dengan tayamum. Pada ayat ini pula, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa perintah-perintah-Nya yang indah merupakan bentuk nikmat terbesar yang disegerakan dan terus bersambung dengan nikmat yang akan datang. Kemudian, perhatikan dan bacalah firman Allah Ta’ala, وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنًا‌ۚ “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23) Sampai pada ayat, ذَٲلِكَ مِمَّآ أَوۡحَىٰٓ إِلَيۡكَ رَبُّكَ مِنَ ٱلۡحِكۡمَةِ‌ۗ “Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabbmu kepadamu.” (QS. Al-Isra: 39) Sehingga, perintah-perintah Allah erat kaitannya dengan hikmah-hikmah-Nya yang tersirat. Perhatikan pula pada ayat-ayat berikut, قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّڪُمۡ عَلَيۡڪُمۡ‌ۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا‌ۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَـٰدَڪُم مِّنۡ إِمۡلَـٰقٍ۬‌ۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُڪُمۡ وَإِيَّاهُمۡ‌ۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٲحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ‌ۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ  وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُ ۥ‌ۖ وَأَوۡفُواْ ٱلۡڪَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِ‌ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُواْ وَلَوۡ ڪَانَ ذَا قُرۡبَىٰ‌ۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُواْ‌ۚ ذَٲلِڪُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ  وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٲطِى مُسۡتَقِيمً۬ا فَٱتَّبِعُوهُ‌ۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّڪُمۡ تَتَّقُونَ “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu. Yaitu, janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 151-153) Bacalah dan perhatikanlah dengan seksama ayat-ayat yang berisikan tentang perintah-perintah Allah yang begitu indah, kebaikan yang menyebar dari perintah tersebut, serta maslahat perintah-perintah-Nya baik  secara zahir (tampak) maupun batin (tidak tampak). Bacalah dan perhatikan pula dengan seksama ayat-ayat yang berisikan tentang larangan-larangan Allah yang bahayanya begitu dahsyat, dosanya begitu besar, serta keburukan dan kerusakannya tidak dapat terhingga. Sehingga, jelaslah dari kaidah ini, bahwa agama Islam hadir untuk kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia *** Depok, 29 Syawal 1445 / 8 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Mandzhumah Ushulul Fiqh wa Qowa’iduhu, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Cet. Mu’assasah Ibnu Utsaimin Catatan kaki: [1] Lihat Syarah Riyadusshalihin, 3: 533, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin [2] Lihat Mandzhumah Ushulul Fiqh wa Qawa’iduhu, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin [3] Lihat Al-Qawa’id wal Ushul Al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Tags: maslahatsyariat


Daftar Isi Toggle Setiap perintah akan mendatangkan maslahat dan setiap larangan pasti terdapat padanya mudaratAgama hadir untuk kebahagiaan manusiaTentang kaidah iniContoh-contoh dari nash terhadap kaidah ini Setiap perintah akan mendatangkan maslahat dan setiap larangan pasti terdapat padanya mudarat Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah (wafat th. 1421) pernah berkata, فَمَا  مِنْ شَيْءٍ أَمَرَ اللهُ بِهِ رَسُوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَالمَصْلَحَة فِي وُجُوْدِهِ وَمَا مِنْ شَيْءٍ نَهَى اللهُ عَنْهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا وَالمَصْلَحَة ِفي عَدَمِهِ “Tidak ada satu pun perkara yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, melainkan padanya terdapat kemaslahatan (kebaikan). Dan tidaklah ada satu perkara pun yang Allah dan Rasul-Nya larang, melainkan ada kemaslahatan jika hal tersebut tidak ada.”[1] Agama hadir untuk kebahagiaan manusia Syekh juga pernah menuliskan dalam bait sya’irnya, الدِّيْنُ جَاءَ لِسَعَادَةِ البَشَرْ ….. وِلِانْتِفَاءِ شَرِّ عَنْهُمْ وَالضَّرَرْ فَكُلُّ أَمْرٍ نَافِعٍ قَدْ شَرَعَهْ ….. وَكُلُّ مَا يَضُــــــرُّنَا قَدْ مَنَعَهْ “Agama hadir untuk kebahagiaan manusia dan menghilangkan dari mereka keburukan dan kemudaratan. Maka, setiap perkara yang bermanfaat telah disyariatkan dan setiap yang memudaratkan kita telah dilarang.”[2] Dari hal di atas, dapat diketahui bahwasanya syariat Islam tidaklah memerintahkan suatu hal, melainkan terdapat kebaikan pada perintah tersebut. Sebaliknya, tidaklah suatu hal dilarang dalam syariat, melainkan terdapat keburukan pada larangan tersebut. Sungguh! Betapa indahnya syariat Islam ini. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah (wafat th.1376) menuliskan sebuah kaidah yang senada dalam hal ini, الشَارِعُ لَا يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَة وَ رَاجِحَة، وَلَا يَنْهَى إِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَة وَرَاجِحَة “Syaari’ (pembuat syariat, yaitu Allah Ta’ala) tidaklah memerintahkan, kecuali pada perintah tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas dan kuat. Sebaliknya, tidaklah Allah melarang, melainkan dari suatu hal yang mafsadatnya (keburukannya) jelas dan kuat.”[3] Tentang kaidah ini Kaidah ini merupakan suatu asas yang mencakup segala hal dalam syariat Islam. Bahkan, jika ingin dikatakan, tidak ada sedikit pun kejanggalan dalam kaidah ini dari sisi hukum-hukum syariat. Baik yang berkaitan dengan ushul (pokok) ataupun furu’ (cabang), baik yang berkaitan dengan hak-hak Allah ataupun hak-hak seorang hamba. Sebagai contoh tentang hal ini, Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِيتَآىِٕ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنڪَرِ وَٱلۡبَغۡىِ‌ۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَذَكَّرُونَ “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90) Maka, tidak tersisa hal-hal yang bersifat keadilan, kebaikan, dan hal-hal yang dapat mempererat tali silaturahmi, melainkan diperintahkan pada ayat yang mulia ini. Tidak tersisa pula perbuatan keji dan kemungkaran yang berkaitan dengan hak-hak Allah, melainkan itu semua telah dilarang. Begitu pun kezaliman kepada makhluk, terhadap darah-darah, harta-harta, dan kehormatan mereka, melainkan itu semua telah dilarang. Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada hamba-Nya, untuk senantiasa mengingat perintah-perintah serta kebaikan dan manfaatnya, agar hamba-hamba-Nya dapat melaksanakan perintah tersebut. Begitu pun dengan larangan-larangannya, hendaknya senantiasa diingat keburukan dan bahaya dari larangan tersebut. Agar hamba-hamba-Nya dapat menjauhi larangan tersebut. Allah Ta’ala berfirman, قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلۡفَوَٲحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡہَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡىَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَـٰنً۬ا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ “Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (Allah mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu, dan (Allah mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33) Baca juga: ‘Urf dan Adat dalam Timbangan Syariat Contoh-contoh dari nash terhadap kaidah ini Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, bagaimana ketika Allah memerintahkan suatu hal kemudian terdapat ketidakmampuan untuk melakukannya, Allah memberikan solusi yang lain. Allah Ta’ala berfirman, يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَڪُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِ‌ۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبً۬ا فَٱطَّهَّرُواْ‌ۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٌ۬ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآٮِٕطِ أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءً۬ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدً۬ا طَيِّبً۬ا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِڪُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُ‌ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡڪُم مِّنۡ حَرَجٍ۬ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُ ۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik. Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma’idah: 6) Pada ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan perintah untuk bersuci apabila seorang hamba ingin melaksanakan salat. Kemudian Allah menyebutkan dua bentuk bersuci, yaitu bersuci dari hadas kecil dan hadas besar dengan air. Ketika tidak ada air, maka diperbolehkan bersuci dengan tanah atau biasa disebut dengan tayamum. Pada ayat ini pula, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa perintah-perintah-Nya yang indah merupakan bentuk nikmat terbesar yang disegerakan dan terus bersambung dengan nikmat yang akan datang. Kemudian, perhatikan dan bacalah firman Allah Ta’ala, وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنًا‌ۚ “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23) Sampai pada ayat, ذَٲلِكَ مِمَّآ أَوۡحَىٰٓ إِلَيۡكَ رَبُّكَ مِنَ ٱلۡحِكۡمَةِ‌ۗ “Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabbmu kepadamu.” (QS. Al-Isra: 39) Sehingga, perintah-perintah Allah erat kaitannya dengan hikmah-hikmah-Nya yang tersirat. Perhatikan pula pada ayat-ayat berikut, قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّڪُمۡ عَلَيۡڪُمۡ‌ۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا‌ۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَـٰدَڪُم مِّنۡ إِمۡلَـٰقٍ۬‌ۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُڪُمۡ وَإِيَّاهُمۡ‌ۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٲحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ‌ۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ  وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُ ۥ‌ۖ وَأَوۡفُواْ ٱلۡڪَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِ‌ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُواْ وَلَوۡ ڪَانَ ذَا قُرۡبَىٰ‌ۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُواْ‌ۚ ذَٲلِڪُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ  وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٲطِى مُسۡتَقِيمً۬ا فَٱتَّبِعُوهُ‌ۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّڪُمۡ تَتَّقُونَ “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu. Yaitu, janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 151-153) Bacalah dan perhatikanlah dengan seksama ayat-ayat yang berisikan tentang perintah-perintah Allah yang begitu indah, kebaikan yang menyebar dari perintah tersebut, serta maslahat perintah-perintah-Nya baik  secara zahir (tampak) maupun batin (tidak tampak). Bacalah dan perhatikan pula dengan seksama ayat-ayat yang berisikan tentang larangan-larangan Allah yang bahayanya begitu dahsyat, dosanya begitu besar, serta keburukan dan kerusakannya tidak dapat terhingga. Sehingga, jelaslah dari kaidah ini, bahwa agama Islam hadir untuk kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan. Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq. Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia *** Depok, 29 Syawal 1445 / 8 Mei 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7) Mandzhumah Ushulul Fiqh wa Qowa’iduhu, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Cet. Mu’assasah Ibnu Utsaimin Catatan kaki: [1] Lihat Syarah Riyadusshalihin, 3: 533, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin [2] Lihat Mandzhumah Ushulul Fiqh wa Qawa’iduhu, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin [3] Lihat Al-Qawa’id wal Ushul Al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Tags: maslahatsyariat
Prev     Next