Hadis: Nikmat Keamanan, Kesehatan, dan Makanan yang Cukup

Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.

Hadis: Nikmat Keamanan, Kesehatan, dan Makanan yang Cukup

Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.
Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.


Daftar Isi Toggle Teks HadisPenjelasan KalimatKandungan HadisKeamanan sebagai nikmatJanji Allah kepada orang berimanMakna “معافى في بدنه”Doa meminta kesehatan yang diajarkan NabiNikmat makanan Teks Hadis Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا “Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan segala isinya telah diberikan kepadanya.” (HR. Tirmizi) Penjelasan Kalimat “أصبح”: Maksudnya adalah “pada pagi hari itu,” mengisyaratkan bahwa seorang mukmin tidak perlu risau atau cemas memikirkan masa depan. Hal ini karena segala urusan ada di tangan Allah, yang mengatur segalanya, dan seorang mukmin harus berbaik sangka (husnuzan) kepada Rabb-nya, serta optimis terhadap kebaikan. “آمنًا في سربه”: Ada yang menafsirkan sebagai, “aman bersama keluarga dan anak-anaknya.” Ada pula yang menafsirkannya sebagai, “aman di tempat tinggal dan jalan yang dilaluinya.” Atau juga, “aman di rumahnya”; tanpa ada ancaman pembunuhan, pencurian, atau pelanggaran kehormatan. Kandungan Hadis Keamanan sebagai nikmat Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya setelah nikmat iman dan Islam. Nikmat ini tidak dirasakan kecuali oleh orang-orang yang merasa tidak aman, seperti mereka yang hidup di negeri-negeri yang sistem dan keamanannya terganggu, atau mereka yang mengalami perang dahsyat yang menghancurkan tanaman dan keturunan. Mereka tidur dengan suara pesawat tempur dan dentuman meriam, serta hidup dengan tangan mereka di dada, menunggu kematian setiap saat. Allah Ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَـٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَـٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82) Janji Allah kepada orang beriman Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman keamanan jika mereka merealisasikan tauhid, mengikhlaskan iman, dan beramal saleh. Allah Ta’ala berfirman, وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barang siapa tetap kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55) Allah Ta’ala juga berfirman, أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ * لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْـَٔاخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَـٰتِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62–64) Makna “معافى في بدنه” Yaitu sehat dan bebas dari penyakit serta gangguan tubuh. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيِّئِ الْأَسْقَامِ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, gila, lepra, dan penyakit-penyakit yang buruk.” (HR. Abu Dawud) Baca juga: Mensyukuri Nikmat Keamanan Bangsa Doa meminta kesehatan yang diajarkan Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي… “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memohon kepada Rabb-nya setiap pagi dan petang agar diberikan kesehatan (al-‘afiyah) dalam urusan agama, dunia, jiwa, keluarga, dan harta. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hal yang sama. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan doa-doa berikut ini ketika memasuki waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu maaf (ampunan) dan kesehatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku.’” (HR. Abu Dawud) Imam Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Mu’adz bin Rifa’ah, dari ayahnya, ia berkata, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbar, lalu menangis, kemudian berkata, قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْأَوَّلِ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ بَكَى، وَقَالَ: سَلُوا اللَّهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ بَعْدَ الْيَقِينِ شَيْئًا خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar tahun lalu, lalu beliau menangis dan bersabda, ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan kesehatan, karena tidak ada seorang pun yang diberi sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari kesehatan.’” (HR. Tirmidzi) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa banyak manusia yang lalai dan rugi terhadap nikmat ini. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya untuk memanfaatkan kesehatan sebelum datangnya penyakit. Imam Hakim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ… وَذَكَرَ مِنْهَا: صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara… di antaranya: kesehatanmu sebelum sakitmu.” (HR. Hakim) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, berkata, إِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ “Jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi hari. Manfaatkanlah kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari) Siapa saja yang mengunjungi rumah sakit kaum muslimin dan melihat apa yang menimpa saudara-saudaranya berupa penyakit-penyakit berbahaya yang sebagian di antaranya tidak mampu diobati oleh ilmu kedokteran modern, hendaknya ia memuji Allah Ta’ala pagi dan petang atas nikmat kesehatan. Allah Ta’ala berfirman, وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34) Nikmat makanan Kata-kata “عنده قوت يومه” berarti “ia memiliki makanan yang cukup untuk pagi dan sore harinya.” Makanan adalah salah satu nikmat besar dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ * ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۢ “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (Pemilik) rumah ini (Kakbah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3-4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah dari kelaparan. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena kelaparan adalah seburuk-buruk pendamping.” (HR. Abu Dawud) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga meminta kepada Allah kecukupan, yaitu rezeki yang cukup baginya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari semua ini, jelaslah bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini pada harinya (keamanan, kesehatan, dan makanan yang cukup), maka seolah-olah ia telah memiliki seluruh dunia. Namun, banyak manusia yang memiliki jauh lebih banyak dari apa yang disebutkan dalam hadis ini, tetapi mereka mengingkarinya dan meremehkan nikmat yang mereka miliki. Mereka seperti yang Allah Ta’ala firmankan, يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ “Mereka mengetahui nikmat Allah, tetapi mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83) Allah Ta’ala juga berfirman, أَفَبِنِعْمَتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ “Apakah mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71) Obat dari penyakit ini adalah seseorang melihat kepada mereka yang tidak memiliki nikmat ini atau kehilangan sebagian darinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian. Hal itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Jarir dan ulama lainnya berkata bahwa hadis ini mencakup berbagai kebaikan. Ketika seseorang melihat kepada orang yang lebih darinya dalam urusan dunia, ia akan merasa tidak puas dengan nikmat Allah yang ia miliki dan berusaha mendapat lebih banyak. Namun, jika ia melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya dalam urusan dunia, ia akan menyadari nikmat Allah kepadanya, bersyukur, rendah hati, dan melakukan kebaikan. Baca juga: Larangan untuk Mencela Makanan *** Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Website alukah.net.

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada serial sebelumnya telah dibahas tentang doa sebelum berwudhu. Adapun kali ini kita akan membahas tentang doa ketika berwudhu, apakah ada tuntunannya dalam Islam? Maksudnya apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bacaan doa khusus saat membasuh masing-masing anggota wudhu? Sebagian kalangan membaca doa khusus di setiap anggota wudhu. Contohnya: ketika berkumur-kumur membaca: “Allôhummasqinî min haudhi nabiyyika ka’san lâ azhma’u ba’dahu abadan”. Saat memasukkan air ke hidung membaca: “Allôhumma lâ tahrimnî rô’ihata na’îmika wa jannâtika”. Ketika membasuh muka membaca: “Allôhumma bayyidh wajhî yauma tabyaddhu wujûh wa taswaddu wujûh”. Saat membasuh kedua tangan membaca: “Allôhumma a’thinî kitâbî biyamînî. Allôhumma lâ tu’thinî kitâbî bisyimâlî”. Ketika mengusap kepala membaca: “Allôhumma harrim sya’rî wa basyarî ‘alan nâr”. Saat mengusap telinga membaca: “Allôhummaj’alnî minalladzîna yastami’ûnal qoula fayattabi’ûna ahsanah”. Ketika membasuh kedua kaki membaca: “Allôhumma tsabbit qodamî ‘alash shirôth”. Amalan di atas tidak ada landasannya dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar pakar hadits. Semisal: Imam Ibn ash-Shalâh (w. 643 H), Imam an-Nawawiy (w. 676 H), Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqlâniy (w. 852 H) rahimahumullah. Saat mengomentari doa di atas, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalâniy rahimahullah berkata, “Dalam kitab ar-Raudhah, an-Nawawiy berkata, “Doa ini tidak ada asalnya, dan tidak disebutkan oleh asy-Syafi’iy maupun mayoritas ulama. Dalam Syarah al-Muhadzdzab, beliau juga berkata, “Para ulama terdahulu tidak menyebutkannya”. Ibn ash-Shalah berkata, “Tidak ada satupun hadits sahih tentang hal ini”1. Imam Ibn al-Qayyim menjelaskan, “Tidak ada riwayat sahih dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengucapkan bacaan khusus saat berwudhu, kecuali basmalah. Semua hadits yang memuat bacaan dzikir khusus ketika melaksanakan wudhu adalah dusta dan palsu. Bacaan-bacaan itu tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak pernah diajarkan kepada ummatnya. Riwayat yang sahih hanyalah bacaan basmalah sebelum berwudhu”2. Dampak Buruk Selain amalan di atas tidak ada landasan kuatnya, juga memiliki dampak buruk. Yaitu mengakibatkan penggunaan air yang berlebihan. Sebab konsekuensinya—bila berwudhu menggunakan kran air—ketika membaca doa tersebut, biasanya kran air akan dibiarkan terbuka. Sehingga terbuanglah air secara sia-sia. Padahal Allah ta’ala melarang kita untuk berperilaku boros dalam segala hal, “وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ ‌لا ‌يُحِبُّ ‌الْمُسْرِفِينَ” Artinya: “Jangan berperilaku boros. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berperilaku boros”. QS. Al-An’am (6): 141. Bahkan secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mewanti-wanti ummatnya dari perilaku boros dalam penggunaan air saat berwudhu. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَقَالَ: “مَا هَذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ؟” قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ؟ قَالَ: “نَعَمْ، ‌وَإِنْ ‌كُنْتَ ‌عَلَى ‌نَهْرٍ ‌جَارٍ” “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping Sa’ad saat ia berwudhu. Beliau bersabda, “Mengapa engkau boros wahai Sa’ad?”. Dia bertanya,u “Apakah ada pemborosan dalam berwudhu?”. Beliau menjawab, “Ya. Sekalipun engkau berwudhu di sungai yang mengalir”. HR. Ahmad (no. 7065) dan isnadnya dinilai sahih oleh Ahmad Syakir.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 16 Sya’ban 1445 / 26 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum BerwudhuSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu?

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada serial sebelumnya telah dibahas tentang doa sebelum berwudhu. Adapun kali ini kita akan membahas tentang doa ketika berwudhu, apakah ada tuntunannya dalam Islam? Maksudnya apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bacaan doa khusus saat membasuh masing-masing anggota wudhu? Sebagian kalangan membaca doa khusus di setiap anggota wudhu. Contohnya: ketika berkumur-kumur membaca: “Allôhummasqinî min haudhi nabiyyika ka’san lâ azhma’u ba’dahu abadan”. Saat memasukkan air ke hidung membaca: “Allôhumma lâ tahrimnî rô’ihata na’îmika wa jannâtika”. Ketika membasuh muka membaca: “Allôhumma bayyidh wajhî yauma tabyaddhu wujûh wa taswaddu wujûh”. Saat membasuh kedua tangan membaca: “Allôhumma a’thinî kitâbî biyamînî. Allôhumma lâ tu’thinî kitâbî bisyimâlî”. Ketika mengusap kepala membaca: “Allôhumma harrim sya’rî wa basyarî ‘alan nâr”. Saat mengusap telinga membaca: “Allôhummaj’alnî minalladzîna yastami’ûnal qoula fayattabi’ûna ahsanah”. Ketika membasuh kedua kaki membaca: “Allôhumma tsabbit qodamî ‘alash shirôth”. Amalan di atas tidak ada landasannya dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar pakar hadits. Semisal: Imam Ibn ash-Shalâh (w. 643 H), Imam an-Nawawiy (w. 676 H), Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqlâniy (w. 852 H) rahimahumullah. Saat mengomentari doa di atas, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalâniy rahimahullah berkata, “Dalam kitab ar-Raudhah, an-Nawawiy berkata, “Doa ini tidak ada asalnya, dan tidak disebutkan oleh asy-Syafi’iy maupun mayoritas ulama. Dalam Syarah al-Muhadzdzab, beliau juga berkata, “Para ulama terdahulu tidak menyebutkannya”. Ibn ash-Shalah berkata, “Tidak ada satupun hadits sahih tentang hal ini”1. Imam Ibn al-Qayyim menjelaskan, “Tidak ada riwayat sahih dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengucapkan bacaan khusus saat berwudhu, kecuali basmalah. Semua hadits yang memuat bacaan dzikir khusus ketika melaksanakan wudhu adalah dusta dan palsu. Bacaan-bacaan itu tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak pernah diajarkan kepada ummatnya. Riwayat yang sahih hanyalah bacaan basmalah sebelum berwudhu”2. Dampak Buruk Selain amalan di atas tidak ada landasan kuatnya, juga memiliki dampak buruk. Yaitu mengakibatkan penggunaan air yang berlebihan. Sebab konsekuensinya—bila berwudhu menggunakan kran air—ketika membaca doa tersebut, biasanya kran air akan dibiarkan terbuka. Sehingga terbuanglah air secara sia-sia. Padahal Allah ta’ala melarang kita untuk berperilaku boros dalam segala hal, “وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ ‌لا ‌يُحِبُّ ‌الْمُسْرِفِينَ” Artinya: “Jangan berperilaku boros. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berperilaku boros”. QS. Al-An’am (6): 141. Bahkan secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mewanti-wanti ummatnya dari perilaku boros dalam penggunaan air saat berwudhu. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَقَالَ: “مَا هَذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ؟” قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ؟ قَالَ: “نَعَمْ، ‌وَإِنْ ‌كُنْتَ ‌عَلَى ‌نَهْرٍ ‌جَارٍ” “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping Sa’ad saat ia berwudhu. Beliau bersabda, “Mengapa engkau boros wahai Sa’ad?”. Dia bertanya,u “Apakah ada pemborosan dalam berwudhu?”. Beliau menjawab, “Ya. Sekalipun engkau berwudhu di sungai yang mengalir”. HR. Ahmad (no. 7065) dan isnadnya dinilai sahih oleh Ahmad Syakir.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 16 Sya’ban 1445 / 26 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum BerwudhuSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada serial sebelumnya telah dibahas tentang doa sebelum berwudhu. Adapun kali ini kita akan membahas tentang doa ketika berwudhu, apakah ada tuntunannya dalam Islam? Maksudnya apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bacaan doa khusus saat membasuh masing-masing anggota wudhu? Sebagian kalangan membaca doa khusus di setiap anggota wudhu. Contohnya: ketika berkumur-kumur membaca: “Allôhummasqinî min haudhi nabiyyika ka’san lâ azhma’u ba’dahu abadan”. Saat memasukkan air ke hidung membaca: “Allôhumma lâ tahrimnî rô’ihata na’îmika wa jannâtika”. Ketika membasuh muka membaca: “Allôhumma bayyidh wajhî yauma tabyaddhu wujûh wa taswaddu wujûh”. Saat membasuh kedua tangan membaca: “Allôhumma a’thinî kitâbî biyamînî. Allôhumma lâ tu’thinî kitâbî bisyimâlî”. Ketika mengusap kepala membaca: “Allôhumma harrim sya’rî wa basyarî ‘alan nâr”. Saat mengusap telinga membaca: “Allôhummaj’alnî minalladzîna yastami’ûnal qoula fayattabi’ûna ahsanah”. Ketika membasuh kedua kaki membaca: “Allôhumma tsabbit qodamî ‘alash shirôth”. Amalan di atas tidak ada landasannya dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar pakar hadits. Semisal: Imam Ibn ash-Shalâh (w. 643 H), Imam an-Nawawiy (w. 676 H), Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqlâniy (w. 852 H) rahimahumullah. Saat mengomentari doa di atas, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalâniy rahimahullah berkata, “Dalam kitab ar-Raudhah, an-Nawawiy berkata, “Doa ini tidak ada asalnya, dan tidak disebutkan oleh asy-Syafi’iy maupun mayoritas ulama. Dalam Syarah al-Muhadzdzab, beliau juga berkata, “Para ulama terdahulu tidak menyebutkannya”. Ibn ash-Shalah berkata, “Tidak ada satupun hadits sahih tentang hal ini”1. Imam Ibn al-Qayyim menjelaskan, “Tidak ada riwayat sahih dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengucapkan bacaan khusus saat berwudhu, kecuali basmalah. Semua hadits yang memuat bacaan dzikir khusus ketika melaksanakan wudhu adalah dusta dan palsu. Bacaan-bacaan itu tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak pernah diajarkan kepada ummatnya. Riwayat yang sahih hanyalah bacaan basmalah sebelum berwudhu”2. Dampak Buruk Selain amalan di atas tidak ada landasan kuatnya, juga memiliki dampak buruk. Yaitu mengakibatkan penggunaan air yang berlebihan. Sebab konsekuensinya—bila berwudhu menggunakan kran air—ketika membaca doa tersebut, biasanya kran air akan dibiarkan terbuka. Sehingga terbuanglah air secara sia-sia. Padahal Allah ta’ala melarang kita untuk berperilaku boros dalam segala hal, “وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ ‌لا ‌يُحِبُّ ‌الْمُسْرِفِينَ” Artinya: “Jangan berperilaku boros. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berperilaku boros”. QS. Al-An’am (6): 141. Bahkan secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mewanti-wanti ummatnya dari perilaku boros dalam penggunaan air saat berwudhu. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَقَالَ: “مَا هَذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ؟” قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ؟ قَالَ: “نَعَمْ، ‌وَإِنْ ‌كُنْتَ ‌عَلَى ‌نَهْرٍ ‌جَارٍ” “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping Sa’ad saat ia berwudhu. Beliau bersabda, “Mengapa engkau boros wahai Sa’ad?”. Dia bertanya,u “Apakah ada pemborosan dalam berwudhu?”. Beliau menjawab, “Ya. Sekalipun engkau berwudhu di sungai yang mengalir”. HR. Ahmad (no. 7065) dan isnadnya dinilai sahih oleh Ahmad Syakir.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 16 Sya’ban 1445 / 26 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum BerwudhuSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 212 – Adakah Doa Saat Berwudhu? Posted on December 31, 2024December 31, 2024by Pada serial sebelumnya telah dibahas tentang doa sebelum berwudhu. Adapun kali ini kita akan membahas tentang doa ketika berwudhu, apakah ada tuntunannya dalam Islam? Maksudnya apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bacaan doa khusus saat membasuh masing-masing anggota wudhu? Sebagian kalangan membaca doa khusus di setiap anggota wudhu. Contohnya: ketika berkumur-kumur membaca: “Allôhummasqinî min haudhi nabiyyika ka’san lâ azhma’u ba’dahu abadan”. Saat memasukkan air ke hidung membaca: “Allôhumma lâ tahrimnî rô’ihata na’îmika wa jannâtika”. Ketika membasuh muka membaca: “Allôhumma bayyidh wajhî yauma tabyaddhu wujûh wa taswaddu wujûh”. Saat membasuh kedua tangan membaca: “Allôhumma a’thinî kitâbî biyamînî. Allôhumma lâ tu’thinî kitâbî bisyimâlî”. Ketika mengusap kepala membaca: “Allôhumma harrim sya’rî wa basyarî ‘alan nâr”. Saat mengusap telinga membaca: “Allôhummaj’alnî minalladzîna yastami’ûnal qoula fayattabi’ûna ahsanah”. Ketika membasuh kedua kaki membaca: “Allôhumma tsabbit qodamî ‘alash shirôth”. Amalan di atas tidak ada landasannya dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar pakar hadits. Semisal: Imam Ibn ash-Shalâh (w. 643 H), Imam an-Nawawiy (w. 676 H), Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dan al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqlâniy (w. 852 H) rahimahumullah. Saat mengomentari doa di atas, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalâniy rahimahullah berkata, “Dalam kitab ar-Raudhah, an-Nawawiy berkata, “Doa ini tidak ada asalnya, dan tidak disebutkan oleh asy-Syafi’iy maupun mayoritas ulama. Dalam Syarah al-Muhadzdzab, beliau juga berkata, “Para ulama terdahulu tidak menyebutkannya”. Ibn ash-Shalah berkata, “Tidak ada satupun hadits sahih tentang hal ini”1. Imam Ibn al-Qayyim menjelaskan, “Tidak ada riwayat sahih dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengucapkan bacaan khusus saat berwudhu, kecuali basmalah. Semua hadits yang memuat bacaan dzikir khusus ketika melaksanakan wudhu adalah dusta dan palsu. Bacaan-bacaan itu tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak pernah diajarkan kepada ummatnya. Riwayat yang sahih hanyalah bacaan basmalah sebelum berwudhu”2. Dampak Buruk Selain amalan di atas tidak ada landasan kuatnya, juga memiliki dampak buruk. Yaitu mengakibatkan penggunaan air yang berlebihan. Sebab konsekuensinya—bila berwudhu menggunakan kran air—ketika membaca doa tersebut, biasanya kran air akan dibiarkan terbuka. Sehingga terbuanglah air secara sia-sia. Padahal Allah ta’ala melarang kita untuk berperilaku boros dalam segala hal, “وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ ‌لا ‌يُحِبُّ ‌الْمُسْرِفِينَ” Artinya: “Jangan berperilaku boros. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berperilaku boros”. QS. Al-An’am (6): 141. Bahkan secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mewanti-wanti ummatnya dari perilaku boros dalam penggunaan air saat berwudhu. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma menuturkan, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَقَالَ: “مَا هَذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ؟” قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ؟ قَالَ: “نَعَمْ، ‌وَإِنْ ‌كُنْتَ ‌عَلَى ‌نَهْرٍ ‌جَارٍ” “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat di samping Sa’ad saat ia berwudhu. Beliau bersabda, “Mengapa engkau boros wahai Sa’ad?”. Dia bertanya,u “Apakah ada pemborosan dalam berwudhu?”. Beliau menjawab, “Ya. Sekalipun engkau berwudhu di sungai yang mengalir”. HR. Ahmad (no. 7065) dan isnadnya dinilai sahih oleh Ahmad Syakir.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 16 Sya’ban 1445 / 26 Februari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 211 – Doa Sebelum BerwudhuSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 213 – Doa Setelah Berwudhu Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Amat disayangkan tidak sedikit di antara kaum muslimin yang masih minder dengan identitas keislamannya. Padahal seharusnya mereka merasa bangga dan bersyukur kepada Allah atas karunia istimewa ini. Sebab ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna. Suatu hari Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu pernah diprovokasi oleh seorang Yahudi. Beliau bercerita, قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ ‌حَتَّى ‌الْخِرَاءَةَ قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ «لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ.. ». Ada orang yang berkata kepada beliau, “Nabi kalian mengajari kalian segala sesuatu. Bahkan hingga adab buang hajat pun diajarkannya!”. (Dengan percaya diri) beliau menjawab, “Tentu! Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar maupun kecil. Beliau juga melarang kami untuk cebok dengan tangan kanan…”. HR. Muslim (no. 262). Di antara adab buang hajat yang diajarkan Islam adalah: Pertama: Membaca doa sebelum masuk toilet Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, «سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ» “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ» Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Kandungan doa di atas telah kita bahas di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207. Kedua: Mendahulukan kaki kiri saat masuk toilet dan kaki kanan saat keluar Para ulama empat mazhab—Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah—menganjurkan adab di atas. Bahkan Imam Nawawiy rahimahullah menukil kesepakatan para ulama terkait adab ini. Sebab salah satu kaidah syariat yang telah baku menyatakan: aktivitas yang mulia—seperti wudhu dan mandi—didahulukan anggota kanan. Sedangkan aktivitas sebaliknya—seperti masuk toilet—didahulukan anggota kiri. Ketiga: Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ ‌الْوَالِدِ، ‌أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا» “Aku bagaikan ayah bagi kalian. Aku mengajari kalian: agar saat buang hajat, jangan kalian menghadap kiblat atau membelakanginya”. HR. Abu Dawud (no. 8) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan an-Nawawiy.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 19 Jumada Tsaniyah 1445 / 1 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Amat disayangkan tidak sedikit di antara kaum muslimin yang masih minder dengan identitas keislamannya. Padahal seharusnya mereka merasa bangga dan bersyukur kepada Allah atas karunia istimewa ini. Sebab ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna. Suatu hari Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu pernah diprovokasi oleh seorang Yahudi. Beliau bercerita, قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ ‌حَتَّى ‌الْخِرَاءَةَ قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ «لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ.. ». Ada orang yang berkata kepada beliau, “Nabi kalian mengajari kalian segala sesuatu. Bahkan hingga adab buang hajat pun diajarkannya!”. (Dengan percaya diri) beliau menjawab, “Tentu! Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar maupun kecil. Beliau juga melarang kami untuk cebok dengan tangan kanan…”. HR. Muslim (no. 262). Di antara adab buang hajat yang diajarkan Islam adalah: Pertama: Membaca doa sebelum masuk toilet Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, «سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ» “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ» Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Kandungan doa di atas telah kita bahas di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207. Kedua: Mendahulukan kaki kiri saat masuk toilet dan kaki kanan saat keluar Para ulama empat mazhab—Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah—menganjurkan adab di atas. Bahkan Imam Nawawiy rahimahullah menukil kesepakatan para ulama terkait adab ini. Sebab salah satu kaidah syariat yang telah baku menyatakan: aktivitas yang mulia—seperti wudhu dan mandi—didahulukan anggota kanan. Sedangkan aktivitas sebaliknya—seperti masuk toilet—didahulukan anggota kiri. Ketiga: Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ ‌الْوَالِدِ، ‌أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا» “Aku bagaikan ayah bagi kalian. Aku mengajari kalian: agar saat buang hajat, jangan kalian menghadap kiblat atau membelakanginya”. HR. Abu Dawud (no. 8) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan an-Nawawiy.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 19 Jumada Tsaniyah 1445 / 1 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Amat disayangkan tidak sedikit di antara kaum muslimin yang masih minder dengan identitas keislamannya. Padahal seharusnya mereka merasa bangga dan bersyukur kepada Allah atas karunia istimewa ini. Sebab ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna. Suatu hari Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu pernah diprovokasi oleh seorang Yahudi. Beliau bercerita, قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ ‌حَتَّى ‌الْخِرَاءَةَ قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ «لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ.. ». Ada orang yang berkata kepada beliau, “Nabi kalian mengajari kalian segala sesuatu. Bahkan hingga adab buang hajat pun diajarkannya!”. (Dengan percaya diri) beliau menjawab, “Tentu! Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar maupun kecil. Beliau juga melarang kami untuk cebok dengan tangan kanan…”. HR. Muslim (no. 262). Di antara adab buang hajat yang diajarkan Islam adalah: Pertama: Membaca doa sebelum masuk toilet Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, «سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ» “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ» Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Kandungan doa di atas telah kita bahas di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207. Kedua: Mendahulukan kaki kiri saat masuk toilet dan kaki kanan saat keluar Para ulama empat mazhab—Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah—menganjurkan adab di atas. Bahkan Imam Nawawiy rahimahullah menukil kesepakatan para ulama terkait adab ini. Sebab salah satu kaidah syariat yang telah baku menyatakan: aktivitas yang mulia—seperti wudhu dan mandi—didahulukan anggota kanan. Sedangkan aktivitas sebaliknya—seperti masuk toilet—didahulukan anggota kiri. Ketiga: Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ ‌الْوَالِدِ، ‌أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا» “Aku bagaikan ayah bagi kalian. Aku mengajari kalian: agar saat buang hajat, jangan kalian menghadap kiblat atau membelakanginya”. HR. Abu Dawud (no. 8) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan an-Nawawiy.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 19 Jumada Tsaniyah 1445 / 1 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Amat disayangkan tidak sedikit di antara kaum muslimin yang masih minder dengan identitas keislamannya. Padahal seharusnya mereka merasa bangga dan bersyukur kepada Allah atas karunia istimewa ini. Sebab ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna. Suatu hari Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu pernah diprovokasi oleh seorang Yahudi. Beliau bercerita, قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ ‌حَتَّى ‌الْخِرَاءَةَ قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ «لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ.. ». Ada orang yang berkata kepada beliau, “Nabi kalian mengajari kalian segala sesuatu. Bahkan hingga adab buang hajat pun diajarkannya!”. (Dengan percaya diri) beliau menjawab, “Tentu! Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar maupun kecil. Beliau juga melarang kami untuk cebok dengan tangan kanan…”. HR. Muslim (no. 262). Di antara adab buang hajat yang diajarkan Islam adalah: Pertama: Membaca doa sebelum masuk toilet Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, «سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ» “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ» Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Kandungan doa di atas telah kita bahas di Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207. Kedua: Mendahulukan kaki kiri saat masuk toilet dan kaki kanan saat keluar Para ulama empat mazhab—Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah—menganjurkan adab di atas. Bahkan Imam Nawawiy rahimahullah menukil kesepakatan para ulama terkait adab ini. Sebab salah satu kaidah syariat yang telah baku menyatakan: aktivitas yang mulia—seperti wudhu dan mandi—didahulukan anggota kanan. Sedangkan aktivitas sebaliknya—seperti masuk toilet—didahulukan anggota kiri. Ketiga: Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, «إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ ‌الْوَالِدِ، ‌أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا» “Aku bagaikan ayah bagi kalian. Aku mengajari kalian: agar saat buang hajat, jangan kalian menghadap kiblat atau membelakanginya”. HR. Abu Dawud (no. 8) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan an-Nawawiy.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 19 Jumada Tsaniyah 1445 / 1 Januari 2024 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 210 – Adab Buang Hajat Bag-2 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Faedah-Faedah dari Hadis tentang Pelacur yang Memberi Minum Anjing

Daftar Isi Toggle Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayangFaedah kedua: Luasnya kasih sayang AllahFaedah ketiga: Keikhlasan dalam beramalKisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah tentang seorang pelacur yang memberikan air kepada seekor anjing yang kehausan mungkin sudah cukup familiar bagi sebagian besar umat Islam. Hadis ini diriwayatkan dalam dua riwayat yang sahih dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini menyimpan pelajaran yang mendalam tentang kasih sayang, keikhlasan, dan harapan bagi mereka yang merasa tenggelam dalam dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ “Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu, dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3321 dan Muslim no. 2245) Namun, dalam riwayat lain, subjek dalam kisah tersebut adalah seorang lelaki. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu, dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya dan keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu, dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu, dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka, Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6009 dan Muslim no. 2244) Ringkasnya, dalam kedua riwayat tersebut, dikisahkan seseorang melihat seekor anjing yang berkeliling di sekitar sebuah sumur pada hari yang sangat terik. Anjing itu menjulurkan lidahnya, menunjukkan betapa hausnya dia. Tanpa ragu, sosok tersebut turun ke dalam sumur dan mengambil air dengan menggunakan sepatunya. Kemudian, ia berikan minuman tersebut kepada anjing tersebut hingga terpuaskan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tindakan sederhana, namun penuh kasih ini membuat sosok tersebut diampuni oleh Allah dan memperoleh tempat di surga-Nya. Kedua riwayat dengan subjek berbeda tersebut tidak bercanggah (mudhtharib), karena keduanya berasal dari riwayat Bukhari dan Muslim. Sehingga memungkinkan ada dua sosok yang berbeda dengan kisah yang mirip dan Allah ﷻ mengampuni keduanya. Justru dari kedua riwayat tersebut, para ulama dapat menukilkan begitu banyak faedah. Bahkan, di antara para ulama ada yang mengumpulkan belasan hingga puluhan faedah dari hadis ini. Setidaknya, hadis ini membawa tiga pesan pokok: Pertama: Besarnya ganjaran kasih sayang; Kedua: Luasnya kasih sayang Allah; Ketiga: Nilai besar dari keikhlasan. Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayang Jika kita tinjau kisah ini, maka kita akan dapati narasi seorang pelacur yang hina berlumuran dosa maksiat, di tengah hari yang terik, dalam riwayat Muslim, ia melihat seekor anjing mengelilingi sumur. Ia kemudian memasuki sumur untuk mengambil air dengan sepatunya. Lalu, ia berikan minum itu kepada anjing tersebut. Ketiga hal paling rendah dan hina terkumpul dalam kisah ini, yakni pelacur, anjing hewan najis, serta sepatu yang digunakan sebagai alas kaki. Namun, dengan kesemua itu, seorang yang paling terhina dapat terampuni dosanya dan diangkat derajatnya dengan masuk ke surga Allah ﷻ yang begitu tinggi dan agung. Kisah ini menekankan bahwa sebuah tindakan kasih sayang yang sederhana bisa menjadi jalan menuju ampunan Allah yang Maha Pengasih. Dalam kisah ini, seorang wanita yang dikenal dengan dosa dan kejahatan dalam masyarakat, melakukan perbuatan baik terhadap seekor anjing, hewan yang dalam Islam dianggap najis. Namun, tindakan kasih sayang yang tampak sepele ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosanya. الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء “Para penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1924) Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Para penyayang (orang-orang yang berbelas kasih)”, maksudnya adalah mereka yang menunjukkan kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, baik itu manusia, hewan, burung, atau makhluk lainnya, dengan penuh rasa kasih, kepedulian, dan empati.[1] Dengan sebab rahmat Allah kepada hamba yang menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah, maka Allah ampuni ia sebagaimana sang wanita dan juga pemuda tersebut. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Faedah kedua: Luasnya kasih sayang Allah Kisah pelacur ini menunjukkan betapa luas dan tidak terbatasnya kasih sayang Allah. Seorang wanita yang terjebak dalam profesi yang dipandang hina dan tercela oleh masyarakat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk meraih ampunan-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa kasih sayang Allah melampaui segala batas yang kita bayangkan. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama masih ada iman di hati seseorang dan ia berusaha kembali kepada-Nya. Ingatlah tatkala Allah berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).’ ” (QS. Az-Zumar: 53-54) Hal ini memberikan harapan kepada semua pendosa. Allah tidak pernah menutup pintu ampunan bagi mereka yang ingin bertobat dan memperbaiki diri. Bahkan, di tengah kehinaan duniawi yang melekat pada diri seseorang, Allah tetap memberi kesempatan kepada siapa pun yang masih memiliki iman, walaupun sekecil zarah di dalam hatinya. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak melihat kedudukan seseorang di mata manusia, tetapi melihat ketulusan hati dan niat yang tersimpan dalam setiap amal perbuatan. Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi seorang hamba, agar tidak seutuhnya memandang rendah kepada pelaku dosa. Melainkan hendaknya seseorang memandang para pelaku dosa dengan rasa iba yang berasal dari kasih sayang, bukan merendahkannya. Sebab, bisa jadi Allah justru muliakan para pelaku dosa itu dengan tobat yang membersihkan kehidupannya. Sedangkan yang mencela dan merendahkannya, belum tentu aman dari dosa tersebut, bahkan bisa jadi dia teruji dengan dosa yang sama. Para ulama menjelaskan bahwa seseorang akan diberi balasan berupa hilangnya taufik hingga ia melakukan apa yang ia cela pada saudaranya, terutama jika celaan itu disertai rasa bangga terhadap dirinya sendiri karena merasa selamat dari dosa yang dia cela. Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin mengatakan,  يريد أن تعييرك لأخيك بذنبه أعظم إثما من ذنبه، وأشد من معصيته، لما فيه من صولة الطاعة وتزكية النفس وشكرها والمناداة عليها بالبراءة من الذنب، وأن أخاك باء به، ولعل كسرته بذنبه وما أحدث له من الذلة والخضوع والإزراء على نفسه والتخلص من مرض الدعوى والكبر والعجب ووقوفه بين يدي الله ناكس الرأس خاشع الطرف منكسر القلب أنفع له وخير من صولة طاعتك وتكثرك بها والاعتداد بها والمنة على الله وخلقه بها، فما أقرب هذا العاصي من رحمة الله، وما أقرب هذا المدل من مقت الله “Mencela saudaramu atas dosanya adalah dosa yang lebih besar dari dosa yang dilakukannya, dan lebih buruk daripada maksiat yang ia lakukan. Karena dalam celaan itu terdapat kesombongan karena ketaatan, penyucian diri, serta rasa syukur yang berlebihan, seolah-olah mengumumkan diri sendiri bebas dari dosa, sedangkan saudaramu dianggap telah tenggelam di dalamnya. Mungkin saja, rasa hancurnya karena dosa, yang membuatnya rendah hati, tunduk, mencela dirinya sendiri, dan terbebas dari penyakit kesombongan dan keangkuhan, hingga ia berdiri di hadapan Allah dengan kepala tertunduk, pandangan penuh ketawadukan, dan hati yang remuk, lebih bermanfaat dan lebih baik baginya daripada kesombongan yang kau rasakan karena ketaatanmu, memperbanyak amal, menganggapnya sebagai pencapaian, dan merasa berjasa kepada Allah dan makhluk-Nya. Betapa dekatnya orang yang berdosa ini dengan rahmat Allah, dan betapa dekatnya orang yang sombong ini dengan kemurkaan Allah.” (Madarijus Salikin, 1195)[2] Faedah ketiga: Keikhlasan dalam beramal Aspek yang paling mencolok dari kisah ini adalah keikhlasan wanita ataupun pemuda tersebut. Tidak ada yang menyaksikan perbuatannya, dan anjing yang menerima kasih sayangnya tentu tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih. Tindakan itu dilakukan dalam kesendirian, tanpa pamrih, tanpa harapan pujian atau imbalan duniawi. Keikhlasan ini yang menjadi kunci diterimanya amal tersebut oleh Allah. Jika kita bayangkan kondisi pada masa itu, turun ke dalam sumur tanpa alat bantu modern tentu merupakan pekerjaan yang berat. Wanita tersebut mungkin harus menggigit sepatunya saat turun, kemudian mengeluarkannya lagi saat sudah naik kembali. Di tengah panas terik, ia melakukan hal itu bukan karena kebutuhan pribadinya, tetapi murni untuk membantu makhluk Allah yang lemah. Tidak ada motivasi lain selain rahmat dan kasih sayang yang ia rasakan di dalam hatinya. Inilah yang membuat amal tersebut begitu berharga di sisi Allah ﷻ. Keikhlasan adalah kunci dalam setiap ibadah dan amal saleh. Rasulullah ﷺ selalu menekankan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Tidaklah datang keikhlasan amal itu, kecuali dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih bisa menempati sosok siapa saja yang Allah kehendaki, tidak terbatas rupa dan gelar yang menyertainya. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Kisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah ini tetap hidup sepanjang zaman dan menjadi pelajaran bagi setiap generasi. Dengan segala kehinaan yang ada pada pelacur tersebut, Allah menjaga kisahnya agar dapat diambil sebagai pelajaran oleh umat manusia. Kisah ini telah diabadikan dalam riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, sebagai contoh betapa besar rahmat Allah bagi mereka yang menunjukkan kasih sayang dan keikhlasan, meskipun pada makhluk yang dianggap rendah sekalipun. Betapa banyak ulama yang menukilkan hadis ini untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya amal kasih sayang dan keikhlasan. Hingga kini, setiap kali kisah ini diceritakan dan direnungkan, wanita tersebut mungkin masih mendapatkan pahala yang mengalir dari amal kebaikannya. Bahkan, Allah ﷻ sempurnakan keikhlasan sosok tersebut dengan tetap terus tersebar kebaikannya, tanpa sekalipun diketahui nama sosok tersebut. Inilah bentuk kasih sayang Allah ﷻ yang abadi, tidak hanya bagi wanita tersebut, tetapi juga bagi semua umat Islam yang mengambil pelajaran darinya. Kisah ini mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan kasih sayang dan berusaha ikhlas dalam setiap tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menganggap remeh perbuatan baik yang kecil. Padahal, bisa jadi amal kecil yang dilakukan dengan penuh keikhlasan menjadi sebab turunnya rahmat Allah ﷻ. Allah ﷻ adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayangnya meliputi segala sesuatu, terlebih lagi kepada orang beriman. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu meneladani sifat kasih sayang ini dan melakukannya dengan ikhlas hanya karena-Nya. Baca juga: Salah Kaprah Kisah Pelacur yang Masuk Surga *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/71255 [2] Lihat penjelasan di islamweb di sini dan di sini.

Faedah-Faedah dari Hadis tentang Pelacur yang Memberi Minum Anjing

Daftar Isi Toggle Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayangFaedah kedua: Luasnya kasih sayang AllahFaedah ketiga: Keikhlasan dalam beramalKisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah tentang seorang pelacur yang memberikan air kepada seekor anjing yang kehausan mungkin sudah cukup familiar bagi sebagian besar umat Islam. Hadis ini diriwayatkan dalam dua riwayat yang sahih dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini menyimpan pelajaran yang mendalam tentang kasih sayang, keikhlasan, dan harapan bagi mereka yang merasa tenggelam dalam dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ “Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu, dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3321 dan Muslim no. 2245) Namun, dalam riwayat lain, subjek dalam kisah tersebut adalah seorang lelaki. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu, dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya dan keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu, dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu, dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka, Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6009 dan Muslim no. 2244) Ringkasnya, dalam kedua riwayat tersebut, dikisahkan seseorang melihat seekor anjing yang berkeliling di sekitar sebuah sumur pada hari yang sangat terik. Anjing itu menjulurkan lidahnya, menunjukkan betapa hausnya dia. Tanpa ragu, sosok tersebut turun ke dalam sumur dan mengambil air dengan menggunakan sepatunya. Kemudian, ia berikan minuman tersebut kepada anjing tersebut hingga terpuaskan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tindakan sederhana, namun penuh kasih ini membuat sosok tersebut diampuni oleh Allah dan memperoleh tempat di surga-Nya. Kedua riwayat dengan subjek berbeda tersebut tidak bercanggah (mudhtharib), karena keduanya berasal dari riwayat Bukhari dan Muslim. Sehingga memungkinkan ada dua sosok yang berbeda dengan kisah yang mirip dan Allah ﷻ mengampuni keduanya. Justru dari kedua riwayat tersebut, para ulama dapat menukilkan begitu banyak faedah. Bahkan, di antara para ulama ada yang mengumpulkan belasan hingga puluhan faedah dari hadis ini. Setidaknya, hadis ini membawa tiga pesan pokok: Pertama: Besarnya ganjaran kasih sayang; Kedua: Luasnya kasih sayang Allah; Ketiga: Nilai besar dari keikhlasan. Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayang Jika kita tinjau kisah ini, maka kita akan dapati narasi seorang pelacur yang hina berlumuran dosa maksiat, di tengah hari yang terik, dalam riwayat Muslim, ia melihat seekor anjing mengelilingi sumur. Ia kemudian memasuki sumur untuk mengambil air dengan sepatunya. Lalu, ia berikan minum itu kepada anjing tersebut. Ketiga hal paling rendah dan hina terkumpul dalam kisah ini, yakni pelacur, anjing hewan najis, serta sepatu yang digunakan sebagai alas kaki. Namun, dengan kesemua itu, seorang yang paling terhina dapat terampuni dosanya dan diangkat derajatnya dengan masuk ke surga Allah ﷻ yang begitu tinggi dan agung. Kisah ini menekankan bahwa sebuah tindakan kasih sayang yang sederhana bisa menjadi jalan menuju ampunan Allah yang Maha Pengasih. Dalam kisah ini, seorang wanita yang dikenal dengan dosa dan kejahatan dalam masyarakat, melakukan perbuatan baik terhadap seekor anjing, hewan yang dalam Islam dianggap najis. Namun, tindakan kasih sayang yang tampak sepele ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosanya. الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء “Para penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1924) Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Para penyayang (orang-orang yang berbelas kasih)”, maksudnya adalah mereka yang menunjukkan kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, baik itu manusia, hewan, burung, atau makhluk lainnya, dengan penuh rasa kasih, kepedulian, dan empati.[1] Dengan sebab rahmat Allah kepada hamba yang menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah, maka Allah ampuni ia sebagaimana sang wanita dan juga pemuda tersebut. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Faedah kedua: Luasnya kasih sayang Allah Kisah pelacur ini menunjukkan betapa luas dan tidak terbatasnya kasih sayang Allah. Seorang wanita yang terjebak dalam profesi yang dipandang hina dan tercela oleh masyarakat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk meraih ampunan-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa kasih sayang Allah melampaui segala batas yang kita bayangkan. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama masih ada iman di hati seseorang dan ia berusaha kembali kepada-Nya. Ingatlah tatkala Allah berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).’ ” (QS. Az-Zumar: 53-54) Hal ini memberikan harapan kepada semua pendosa. Allah tidak pernah menutup pintu ampunan bagi mereka yang ingin bertobat dan memperbaiki diri. Bahkan, di tengah kehinaan duniawi yang melekat pada diri seseorang, Allah tetap memberi kesempatan kepada siapa pun yang masih memiliki iman, walaupun sekecil zarah di dalam hatinya. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak melihat kedudukan seseorang di mata manusia, tetapi melihat ketulusan hati dan niat yang tersimpan dalam setiap amal perbuatan. Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi seorang hamba, agar tidak seutuhnya memandang rendah kepada pelaku dosa. Melainkan hendaknya seseorang memandang para pelaku dosa dengan rasa iba yang berasal dari kasih sayang, bukan merendahkannya. Sebab, bisa jadi Allah justru muliakan para pelaku dosa itu dengan tobat yang membersihkan kehidupannya. Sedangkan yang mencela dan merendahkannya, belum tentu aman dari dosa tersebut, bahkan bisa jadi dia teruji dengan dosa yang sama. Para ulama menjelaskan bahwa seseorang akan diberi balasan berupa hilangnya taufik hingga ia melakukan apa yang ia cela pada saudaranya, terutama jika celaan itu disertai rasa bangga terhadap dirinya sendiri karena merasa selamat dari dosa yang dia cela. Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin mengatakan,  يريد أن تعييرك لأخيك بذنبه أعظم إثما من ذنبه، وأشد من معصيته، لما فيه من صولة الطاعة وتزكية النفس وشكرها والمناداة عليها بالبراءة من الذنب، وأن أخاك باء به، ولعل كسرته بذنبه وما أحدث له من الذلة والخضوع والإزراء على نفسه والتخلص من مرض الدعوى والكبر والعجب ووقوفه بين يدي الله ناكس الرأس خاشع الطرف منكسر القلب أنفع له وخير من صولة طاعتك وتكثرك بها والاعتداد بها والمنة على الله وخلقه بها، فما أقرب هذا العاصي من رحمة الله، وما أقرب هذا المدل من مقت الله “Mencela saudaramu atas dosanya adalah dosa yang lebih besar dari dosa yang dilakukannya, dan lebih buruk daripada maksiat yang ia lakukan. Karena dalam celaan itu terdapat kesombongan karena ketaatan, penyucian diri, serta rasa syukur yang berlebihan, seolah-olah mengumumkan diri sendiri bebas dari dosa, sedangkan saudaramu dianggap telah tenggelam di dalamnya. Mungkin saja, rasa hancurnya karena dosa, yang membuatnya rendah hati, tunduk, mencela dirinya sendiri, dan terbebas dari penyakit kesombongan dan keangkuhan, hingga ia berdiri di hadapan Allah dengan kepala tertunduk, pandangan penuh ketawadukan, dan hati yang remuk, lebih bermanfaat dan lebih baik baginya daripada kesombongan yang kau rasakan karena ketaatanmu, memperbanyak amal, menganggapnya sebagai pencapaian, dan merasa berjasa kepada Allah dan makhluk-Nya. Betapa dekatnya orang yang berdosa ini dengan rahmat Allah, dan betapa dekatnya orang yang sombong ini dengan kemurkaan Allah.” (Madarijus Salikin, 1195)[2] Faedah ketiga: Keikhlasan dalam beramal Aspek yang paling mencolok dari kisah ini adalah keikhlasan wanita ataupun pemuda tersebut. Tidak ada yang menyaksikan perbuatannya, dan anjing yang menerima kasih sayangnya tentu tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih. Tindakan itu dilakukan dalam kesendirian, tanpa pamrih, tanpa harapan pujian atau imbalan duniawi. Keikhlasan ini yang menjadi kunci diterimanya amal tersebut oleh Allah. Jika kita bayangkan kondisi pada masa itu, turun ke dalam sumur tanpa alat bantu modern tentu merupakan pekerjaan yang berat. Wanita tersebut mungkin harus menggigit sepatunya saat turun, kemudian mengeluarkannya lagi saat sudah naik kembali. Di tengah panas terik, ia melakukan hal itu bukan karena kebutuhan pribadinya, tetapi murni untuk membantu makhluk Allah yang lemah. Tidak ada motivasi lain selain rahmat dan kasih sayang yang ia rasakan di dalam hatinya. Inilah yang membuat amal tersebut begitu berharga di sisi Allah ﷻ. Keikhlasan adalah kunci dalam setiap ibadah dan amal saleh. Rasulullah ﷺ selalu menekankan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Tidaklah datang keikhlasan amal itu, kecuali dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih bisa menempati sosok siapa saja yang Allah kehendaki, tidak terbatas rupa dan gelar yang menyertainya. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Kisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah ini tetap hidup sepanjang zaman dan menjadi pelajaran bagi setiap generasi. Dengan segala kehinaan yang ada pada pelacur tersebut, Allah menjaga kisahnya agar dapat diambil sebagai pelajaran oleh umat manusia. Kisah ini telah diabadikan dalam riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, sebagai contoh betapa besar rahmat Allah bagi mereka yang menunjukkan kasih sayang dan keikhlasan, meskipun pada makhluk yang dianggap rendah sekalipun. Betapa banyak ulama yang menukilkan hadis ini untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya amal kasih sayang dan keikhlasan. Hingga kini, setiap kali kisah ini diceritakan dan direnungkan, wanita tersebut mungkin masih mendapatkan pahala yang mengalir dari amal kebaikannya. Bahkan, Allah ﷻ sempurnakan keikhlasan sosok tersebut dengan tetap terus tersebar kebaikannya, tanpa sekalipun diketahui nama sosok tersebut. Inilah bentuk kasih sayang Allah ﷻ yang abadi, tidak hanya bagi wanita tersebut, tetapi juga bagi semua umat Islam yang mengambil pelajaran darinya. Kisah ini mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan kasih sayang dan berusaha ikhlas dalam setiap tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menganggap remeh perbuatan baik yang kecil. Padahal, bisa jadi amal kecil yang dilakukan dengan penuh keikhlasan menjadi sebab turunnya rahmat Allah ﷻ. Allah ﷻ adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayangnya meliputi segala sesuatu, terlebih lagi kepada orang beriman. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu meneladani sifat kasih sayang ini dan melakukannya dengan ikhlas hanya karena-Nya. Baca juga: Salah Kaprah Kisah Pelacur yang Masuk Surga *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/71255 [2] Lihat penjelasan di islamweb di sini dan di sini.
Daftar Isi Toggle Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayangFaedah kedua: Luasnya kasih sayang AllahFaedah ketiga: Keikhlasan dalam beramalKisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah tentang seorang pelacur yang memberikan air kepada seekor anjing yang kehausan mungkin sudah cukup familiar bagi sebagian besar umat Islam. Hadis ini diriwayatkan dalam dua riwayat yang sahih dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini menyimpan pelajaran yang mendalam tentang kasih sayang, keikhlasan, dan harapan bagi mereka yang merasa tenggelam dalam dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ “Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu, dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3321 dan Muslim no. 2245) Namun, dalam riwayat lain, subjek dalam kisah tersebut adalah seorang lelaki. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu, dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya dan keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu, dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu, dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka, Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6009 dan Muslim no. 2244) Ringkasnya, dalam kedua riwayat tersebut, dikisahkan seseorang melihat seekor anjing yang berkeliling di sekitar sebuah sumur pada hari yang sangat terik. Anjing itu menjulurkan lidahnya, menunjukkan betapa hausnya dia. Tanpa ragu, sosok tersebut turun ke dalam sumur dan mengambil air dengan menggunakan sepatunya. Kemudian, ia berikan minuman tersebut kepada anjing tersebut hingga terpuaskan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tindakan sederhana, namun penuh kasih ini membuat sosok tersebut diampuni oleh Allah dan memperoleh tempat di surga-Nya. Kedua riwayat dengan subjek berbeda tersebut tidak bercanggah (mudhtharib), karena keduanya berasal dari riwayat Bukhari dan Muslim. Sehingga memungkinkan ada dua sosok yang berbeda dengan kisah yang mirip dan Allah ﷻ mengampuni keduanya. Justru dari kedua riwayat tersebut, para ulama dapat menukilkan begitu banyak faedah. Bahkan, di antara para ulama ada yang mengumpulkan belasan hingga puluhan faedah dari hadis ini. Setidaknya, hadis ini membawa tiga pesan pokok: Pertama: Besarnya ganjaran kasih sayang; Kedua: Luasnya kasih sayang Allah; Ketiga: Nilai besar dari keikhlasan. Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayang Jika kita tinjau kisah ini, maka kita akan dapati narasi seorang pelacur yang hina berlumuran dosa maksiat, di tengah hari yang terik, dalam riwayat Muslim, ia melihat seekor anjing mengelilingi sumur. Ia kemudian memasuki sumur untuk mengambil air dengan sepatunya. Lalu, ia berikan minum itu kepada anjing tersebut. Ketiga hal paling rendah dan hina terkumpul dalam kisah ini, yakni pelacur, anjing hewan najis, serta sepatu yang digunakan sebagai alas kaki. Namun, dengan kesemua itu, seorang yang paling terhina dapat terampuni dosanya dan diangkat derajatnya dengan masuk ke surga Allah ﷻ yang begitu tinggi dan agung. Kisah ini menekankan bahwa sebuah tindakan kasih sayang yang sederhana bisa menjadi jalan menuju ampunan Allah yang Maha Pengasih. Dalam kisah ini, seorang wanita yang dikenal dengan dosa dan kejahatan dalam masyarakat, melakukan perbuatan baik terhadap seekor anjing, hewan yang dalam Islam dianggap najis. Namun, tindakan kasih sayang yang tampak sepele ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosanya. الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء “Para penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1924) Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Para penyayang (orang-orang yang berbelas kasih)”, maksudnya adalah mereka yang menunjukkan kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, baik itu manusia, hewan, burung, atau makhluk lainnya, dengan penuh rasa kasih, kepedulian, dan empati.[1] Dengan sebab rahmat Allah kepada hamba yang menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah, maka Allah ampuni ia sebagaimana sang wanita dan juga pemuda tersebut. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Faedah kedua: Luasnya kasih sayang Allah Kisah pelacur ini menunjukkan betapa luas dan tidak terbatasnya kasih sayang Allah. Seorang wanita yang terjebak dalam profesi yang dipandang hina dan tercela oleh masyarakat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk meraih ampunan-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa kasih sayang Allah melampaui segala batas yang kita bayangkan. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama masih ada iman di hati seseorang dan ia berusaha kembali kepada-Nya. Ingatlah tatkala Allah berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).’ ” (QS. Az-Zumar: 53-54) Hal ini memberikan harapan kepada semua pendosa. Allah tidak pernah menutup pintu ampunan bagi mereka yang ingin bertobat dan memperbaiki diri. Bahkan, di tengah kehinaan duniawi yang melekat pada diri seseorang, Allah tetap memberi kesempatan kepada siapa pun yang masih memiliki iman, walaupun sekecil zarah di dalam hatinya. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak melihat kedudukan seseorang di mata manusia, tetapi melihat ketulusan hati dan niat yang tersimpan dalam setiap amal perbuatan. Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi seorang hamba, agar tidak seutuhnya memandang rendah kepada pelaku dosa. Melainkan hendaknya seseorang memandang para pelaku dosa dengan rasa iba yang berasal dari kasih sayang, bukan merendahkannya. Sebab, bisa jadi Allah justru muliakan para pelaku dosa itu dengan tobat yang membersihkan kehidupannya. Sedangkan yang mencela dan merendahkannya, belum tentu aman dari dosa tersebut, bahkan bisa jadi dia teruji dengan dosa yang sama. Para ulama menjelaskan bahwa seseorang akan diberi balasan berupa hilangnya taufik hingga ia melakukan apa yang ia cela pada saudaranya, terutama jika celaan itu disertai rasa bangga terhadap dirinya sendiri karena merasa selamat dari dosa yang dia cela. Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin mengatakan,  يريد أن تعييرك لأخيك بذنبه أعظم إثما من ذنبه، وأشد من معصيته، لما فيه من صولة الطاعة وتزكية النفس وشكرها والمناداة عليها بالبراءة من الذنب، وأن أخاك باء به، ولعل كسرته بذنبه وما أحدث له من الذلة والخضوع والإزراء على نفسه والتخلص من مرض الدعوى والكبر والعجب ووقوفه بين يدي الله ناكس الرأس خاشع الطرف منكسر القلب أنفع له وخير من صولة طاعتك وتكثرك بها والاعتداد بها والمنة على الله وخلقه بها، فما أقرب هذا العاصي من رحمة الله، وما أقرب هذا المدل من مقت الله “Mencela saudaramu atas dosanya adalah dosa yang lebih besar dari dosa yang dilakukannya, dan lebih buruk daripada maksiat yang ia lakukan. Karena dalam celaan itu terdapat kesombongan karena ketaatan, penyucian diri, serta rasa syukur yang berlebihan, seolah-olah mengumumkan diri sendiri bebas dari dosa, sedangkan saudaramu dianggap telah tenggelam di dalamnya. Mungkin saja, rasa hancurnya karena dosa, yang membuatnya rendah hati, tunduk, mencela dirinya sendiri, dan terbebas dari penyakit kesombongan dan keangkuhan, hingga ia berdiri di hadapan Allah dengan kepala tertunduk, pandangan penuh ketawadukan, dan hati yang remuk, lebih bermanfaat dan lebih baik baginya daripada kesombongan yang kau rasakan karena ketaatanmu, memperbanyak amal, menganggapnya sebagai pencapaian, dan merasa berjasa kepada Allah dan makhluk-Nya. Betapa dekatnya orang yang berdosa ini dengan rahmat Allah, dan betapa dekatnya orang yang sombong ini dengan kemurkaan Allah.” (Madarijus Salikin, 1195)[2] Faedah ketiga: Keikhlasan dalam beramal Aspek yang paling mencolok dari kisah ini adalah keikhlasan wanita ataupun pemuda tersebut. Tidak ada yang menyaksikan perbuatannya, dan anjing yang menerima kasih sayangnya tentu tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih. Tindakan itu dilakukan dalam kesendirian, tanpa pamrih, tanpa harapan pujian atau imbalan duniawi. Keikhlasan ini yang menjadi kunci diterimanya amal tersebut oleh Allah. Jika kita bayangkan kondisi pada masa itu, turun ke dalam sumur tanpa alat bantu modern tentu merupakan pekerjaan yang berat. Wanita tersebut mungkin harus menggigit sepatunya saat turun, kemudian mengeluarkannya lagi saat sudah naik kembali. Di tengah panas terik, ia melakukan hal itu bukan karena kebutuhan pribadinya, tetapi murni untuk membantu makhluk Allah yang lemah. Tidak ada motivasi lain selain rahmat dan kasih sayang yang ia rasakan di dalam hatinya. Inilah yang membuat amal tersebut begitu berharga di sisi Allah ﷻ. Keikhlasan adalah kunci dalam setiap ibadah dan amal saleh. Rasulullah ﷺ selalu menekankan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Tidaklah datang keikhlasan amal itu, kecuali dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih bisa menempati sosok siapa saja yang Allah kehendaki, tidak terbatas rupa dan gelar yang menyertainya. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Kisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah ini tetap hidup sepanjang zaman dan menjadi pelajaran bagi setiap generasi. Dengan segala kehinaan yang ada pada pelacur tersebut, Allah menjaga kisahnya agar dapat diambil sebagai pelajaran oleh umat manusia. Kisah ini telah diabadikan dalam riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, sebagai contoh betapa besar rahmat Allah bagi mereka yang menunjukkan kasih sayang dan keikhlasan, meskipun pada makhluk yang dianggap rendah sekalipun. Betapa banyak ulama yang menukilkan hadis ini untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya amal kasih sayang dan keikhlasan. Hingga kini, setiap kali kisah ini diceritakan dan direnungkan, wanita tersebut mungkin masih mendapatkan pahala yang mengalir dari amal kebaikannya. Bahkan, Allah ﷻ sempurnakan keikhlasan sosok tersebut dengan tetap terus tersebar kebaikannya, tanpa sekalipun diketahui nama sosok tersebut. Inilah bentuk kasih sayang Allah ﷻ yang abadi, tidak hanya bagi wanita tersebut, tetapi juga bagi semua umat Islam yang mengambil pelajaran darinya. Kisah ini mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan kasih sayang dan berusaha ikhlas dalam setiap tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menganggap remeh perbuatan baik yang kecil. Padahal, bisa jadi amal kecil yang dilakukan dengan penuh keikhlasan menjadi sebab turunnya rahmat Allah ﷻ. Allah ﷻ adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayangnya meliputi segala sesuatu, terlebih lagi kepada orang beriman. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu meneladani sifat kasih sayang ini dan melakukannya dengan ikhlas hanya karena-Nya. Baca juga: Salah Kaprah Kisah Pelacur yang Masuk Surga *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/71255 [2] Lihat penjelasan di islamweb di sini dan di sini.


Daftar Isi Toggle Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayangFaedah kedua: Luasnya kasih sayang AllahFaedah ketiga: Keikhlasan dalam beramalKisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah tentang seorang pelacur yang memberikan air kepada seekor anjing yang kehausan mungkin sudah cukup familiar bagi sebagian besar umat Islam. Hadis ini diriwayatkan dalam dua riwayat yang sahih dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadis ini menyimpan pelajaran yang mendalam tentang kasih sayang, keikhlasan, dan harapan bagi mereka yang merasa tenggelam dalam dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ “Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu, dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3321 dan Muslim no. 2245) Namun, dalam riwayat lain, subjek dalam kisah tersebut adalah seorang lelaki. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ “Ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan, dia merasa sangat kehausan. Lalu, dia menemukan sebuah sumur. Dia turun ke dalam sumur, lalu meminum airnya dan keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan menjilati debu karena kehausan. Lelaki tersebut berkata, ‘Anjing ini sangat kehausan seperti yang aku rasakan.’ Lalu, dia turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi khuf-nya (alas kakinya) dengan air. Lalu, dia menggigitnya dengan mulutnya agar bisa naik, dan memberi minum anjing tersebut. Maka, Allah pun memberi balasan pahala baginya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada binatang ternak kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tentu, setiap kebaikan kepada makhluk yang bernyawa, ada pahalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6009 dan Muslim no. 2244) Ringkasnya, dalam kedua riwayat tersebut, dikisahkan seseorang melihat seekor anjing yang berkeliling di sekitar sebuah sumur pada hari yang sangat terik. Anjing itu menjulurkan lidahnya, menunjukkan betapa hausnya dia. Tanpa ragu, sosok tersebut turun ke dalam sumur dan mengambil air dengan menggunakan sepatunya. Kemudian, ia berikan minuman tersebut kepada anjing tersebut hingga terpuaskan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa tindakan sederhana, namun penuh kasih ini membuat sosok tersebut diampuni oleh Allah dan memperoleh tempat di surga-Nya. Kedua riwayat dengan subjek berbeda tersebut tidak bercanggah (mudhtharib), karena keduanya berasal dari riwayat Bukhari dan Muslim. Sehingga memungkinkan ada dua sosok yang berbeda dengan kisah yang mirip dan Allah ﷻ mengampuni keduanya. Justru dari kedua riwayat tersebut, para ulama dapat menukilkan begitu banyak faedah. Bahkan, di antara para ulama ada yang mengumpulkan belasan hingga puluhan faedah dari hadis ini. Setidaknya, hadis ini membawa tiga pesan pokok: Pertama: Besarnya ganjaran kasih sayang; Kedua: Luasnya kasih sayang Allah; Ketiga: Nilai besar dari keikhlasan. Faedah pertama: Ganjaran besar dari kasih sayang Jika kita tinjau kisah ini, maka kita akan dapati narasi seorang pelacur yang hina berlumuran dosa maksiat, di tengah hari yang terik, dalam riwayat Muslim, ia melihat seekor anjing mengelilingi sumur. Ia kemudian memasuki sumur untuk mengambil air dengan sepatunya. Lalu, ia berikan minum itu kepada anjing tersebut. Ketiga hal paling rendah dan hina terkumpul dalam kisah ini, yakni pelacur, anjing hewan najis, serta sepatu yang digunakan sebagai alas kaki. Namun, dengan kesemua itu, seorang yang paling terhina dapat terampuni dosanya dan diangkat derajatnya dengan masuk ke surga Allah ﷻ yang begitu tinggi dan agung. Kisah ini menekankan bahwa sebuah tindakan kasih sayang yang sederhana bisa menjadi jalan menuju ampunan Allah yang Maha Pengasih. Dalam kisah ini, seorang wanita yang dikenal dengan dosa dan kejahatan dalam masyarakat, melakukan perbuatan baik terhadap seekor anjing, hewan yang dalam Islam dianggap najis. Namun, tindakan kasih sayang yang tampak sepele ini menjadi sebab diampuninya dosa-dosanya. الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء “Para penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1924) Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Para penyayang (orang-orang yang berbelas kasih)”, maksudnya adalah mereka yang menunjukkan kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, baik itu manusia, hewan, burung, atau makhluk lainnya, dengan penuh rasa kasih, kepedulian, dan empati.[1] Dengan sebab rahmat Allah kepada hamba yang menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah, maka Allah ampuni ia sebagaimana sang wanita dan juga pemuda tersebut. Baca juga: Masuk Surga dan Neraka karena Hewan Faedah kedua: Luasnya kasih sayang Allah Kisah pelacur ini menunjukkan betapa luas dan tidak terbatasnya kasih sayang Allah. Seorang wanita yang terjebak dalam profesi yang dipandang hina dan tercela oleh masyarakat, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk meraih ampunan-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa kasih sayang Allah melampaui segala batas yang kita bayangkan. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama masih ada iman di hati seseorang dan ia berusaha kembali kepada-Nya. Ingatlah tatkala Allah berfirman, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ  وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).’ ” (QS. Az-Zumar: 53-54) Hal ini memberikan harapan kepada semua pendosa. Allah tidak pernah menutup pintu ampunan bagi mereka yang ingin bertobat dan memperbaiki diri. Bahkan, di tengah kehinaan duniawi yang melekat pada diri seseorang, Allah tetap memberi kesempatan kepada siapa pun yang masih memiliki iman, walaupun sekecil zarah di dalam hatinya. Ini adalah bukti nyata bahwa Allah tidak melihat kedudukan seseorang di mata manusia, tetapi melihat ketulusan hati dan niat yang tersimpan dalam setiap amal perbuatan. Kisah ini juga menjadi pelajaran bagi seorang hamba, agar tidak seutuhnya memandang rendah kepada pelaku dosa. Melainkan hendaknya seseorang memandang para pelaku dosa dengan rasa iba yang berasal dari kasih sayang, bukan merendahkannya. Sebab, bisa jadi Allah justru muliakan para pelaku dosa itu dengan tobat yang membersihkan kehidupannya. Sedangkan yang mencela dan merendahkannya, belum tentu aman dari dosa tersebut, bahkan bisa jadi dia teruji dengan dosa yang sama. Para ulama menjelaskan bahwa seseorang akan diberi balasan berupa hilangnya taufik hingga ia melakukan apa yang ia cela pada saudaranya, terutama jika celaan itu disertai rasa bangga terhadap dirinya sendiri karena merasa selamat dari dosa yang dia cela. Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin mengatakan,  يريد أن تعييرك لأخيك بذنبه أعظم إثما من ذنبه، وأشد من معصيته، لما فيه من صولة الطاعة وتزكية النفس وشكرها والمناداة عليها بالبراءة من الذنب، وأن أخاك باء به، ولعل كسرته بذنبه وما أحدث له من الذلة والخضوع والإزراء على نفسه والتخلص من مرض الدعوى والكبر والعجب ووقوفه بين يدي الله ناكس الرأس خاشع الطرف منكسر القلب أنفع له وخير من صولة طاعتك وتكثرك بها والاعتداد بها والمنة على الله وخلقه بها، فما أقرب هذا العاصي من رحمة الله، وما أقرب هذا المدل من مقت الله “Mencela saudaramu atas dosanya adalah dosa yang lebih besar dari dosa yang dilakukannya, dan lebih buruk daripada maksiat yang ia lakukan. Karena dalam celaan itu terdapat kesombongan karena ketaatan, penyucian diri, serta rasa syukur yang berlebihan, seolah-olah mengumumkan diri sendiri bebas dari dosa, sedangkan saudaramu dianggap telah tenggelam di dalamnya. Mungkin saja, rasa hancurnya karena dosa, yang membuatnya rendah hati, tunduk, mencela dirinya sendiri, dan terbebas dari penyakit kesombongan dan keangkuhan, hingga ia berdiri di hadapan Allah dengan kepala tertunduk, pandangan penuh ketawadukan, dan hati yang remuk, lebih bermanfaat dan lebih baik baginya daripada kesombongan yang kau rasakan karena ketaatanmu, memperbanyak amal, menganggapnya sebagai pencapaian, dan merasa berjasa kepada Allah dan makhluk-Nya. Betapa dekatnya orang yang berdosa ini dengan rahmat Allah, dan betapa dekatnya orang yang sombong ini dengan kemurkaan Allah.” (Madarijus Salikin, 1195)[2] Faedah ketiga: Keikhlasan dalam beramal Aspek yang paling mencolok dari kisah ini adalah keikhlasan wanita ataupun pemuda tersebut. Tidak ada yang menyaksikan perbuatannya, dan anjing yang menerima kasih sayangnya tentu tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih. Tindakan itu dilakukan dalam kesendirian, tanpa pamrih, tanpa harapan pujian atau imbalan duniawi. Keikhlasan ini yang menjadi kunci diterimanya amal tersebut oleh Allah. Jika kita bayangkan kondisi pada masa itu, turun ke dalam sumur tanpa alat bantu modern tentu merupakan pekerjaan yang berat. Wanita tersebut mungkin harus menggigit sepatunya saat turun, kemudian mengeluarkannya lagi saat sudah naik kembali. Di tengah panas terik, ia melakukan hal itu bukan karena kebutuhan pribadinya, tetapi murni untuk membantu makhluk Allah yang lemah. Tidak ada motivasi lain selain rahmat dan kasih sayang yang ia rasakan di dalam hatinya. Inilah yang membuat amal tersebut begitu berharga di sisi Allah ﷻ. Keikhlasan adalah kunci dalam setiap ibadah dan amal saleh. Rasulullah ﷺ selalu menekankan pentingnya niat dalam setiap perbuatan. Tidaklah datang keikhlasan amal itu, kecuali dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih bisa menempati sosok siapa saja yang Allah kehendaki, tidak terbatas rupa dan gelar yang menyertainya. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564) Kisah yang abadi sebagai pelajaran sepanjang zaman Kisah ini tetap hidup sepanjang zaman dan menjadi pelajaran bagi setiap generasi. Dengan segala kehinaan yang ada pada pelacur tersebut, Allah menjaga kisahnya agar dapat diambil sebagai pelajaran oleh umat manusia. Kisah ini telah diabadikan dalam riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, sebagai contoh betapa besar rahmat Allah bagi mereka yang menunjukkan kasih sayang dan keikhlasan, meskipun pada makhluk yang dianggap rendah sekalipun. Betapa banyak ulama yang menukilkan hadis ini untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya amal kasih sayang dan keikhlasan. Hingga kini, setiap kali kisah ini diceritakan dan direnungkan, wanita tersebut mungkin masih mendapatkan pahala yang mengalir dari amal kebaikannya. Bahkan, Allah ﷻ sempurnakan keikhlasan sosok tersebut dengan tetap terus tersebar kebaikannya, tanpa sekalipun diketahui nama sosok tersebut. Inilah bentuk kasih sayang Allah ﷻ yang abadi, tidak hanya bagi wanita tersebut, tetapi juga bagi semua umat Islam yang mengambil pelajaran darinya. Kisah ini mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan kasih sayang dan berusaha ikhlas dalam setiap tindakan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menganggap remeh perbuatan baik yang kecil. Padahal, bisa jadi amal kecil yang dilakukan dengan penuh keikhlasan menjadi sebab turunnya rahmat Allah ﷻ. Allah ﷻ adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayangnya meliputi segala sesuatu, terlebih lagi kepada orang beriman. Semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu meneladani sifat kasih sayang ini dan melakukannya dengan ikhlas hanya karena-Nya. Baca juga: Salah Kaprah Kisah Pelacur yang Masuk Surga *** Penulis: Glenshah Fauzi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] https://dorar.net/hadith/sharh/71255 [2] Lihat penjelasan di islamweb di sini dan di sini.

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Di serial sebelumnya telah dibahas doa masuk toilet. Untuk melengkapinya, di serial kali ini, kita akan membahas doa keluar toilet. Yaitu mengucapkan bacaan berikut satu kali: ‌”غُفْرَانَكَ” “Ghufrônaka” Dalil Landasan Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌مِنَ ‌الْخَلَاءِ، ‌قَالَ: «‌غُفْرَانَكَ». “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari tempat buang hajat, beliau mengucapkan, “Ghufônaka” (Ya Allah ampunilah aku)”. HR. Tirmidziy (no. 7) dan beliau berkata, “Hasan gharib”. Ibn Hibban, al-Hakim, adz-Dzhabiy dan al-Albaniy menyatakan hadits ini sahih. Renungan Kandungan Bila kita cermati, inti kandungan doa di atas adalah permohonan ampun. Atau yang lazim diistilahkan dengan istighfar. Selama ini yang kita ketahui, istighfar adalah bacaan yang biasanya diucapkan saat kita melakukan kesalahan, dosa dan maksiat. Pertanyaannya: mengapa kita disunnahkan membaca istighfar setelah buang hajat? Bukankah buang hajat itu bukan merupakan kesalahan? Al-Mubârakfûriy rahimahullah memberi beberapa jawaban atas pertanyaan tadi. Salah satu jawaban terbaiknya adalah: kita meminta ampun kepada Allah; karena belum maksimal bersyukur kepada-Nya. Aktivitas buang hajat sejatinya mengingatkan tentang banyaknya nikmat Allah yang belum kita syukuri. Makanya dalam sebuah hadits—yang masih diperselisihkan keabsahannya—disebutkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ ‌الَّذِي ‌أَذْهَبَ ‌عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي» “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila keluar dari tempat buang hajat beliau membaca: “Alhamdulillâhil ladzî adzhaba ‘annil adzâ wa ‘âfânî (Segala puji bagi Allah Yang telah menghilangkan dariku kotoran dan telah menyehatkanku)”. HR. Ibn Majah (no. 301). Hadits ini menurut Ibn Hajar al-‘Asqlaniy hasan. As-Suyuthiy memberi kode sahih. Adapun ad-Dâraquthniy, al-Bûshîriy, an-Nawawiy, al-Mundziriy dan al-Albaniy; mereka semua menilai hadits ini lemah. Di antara nikmat Allah yang kerap belum kita syukuri secara maksimal adalah: – Nikmat kemudahan mendapatkan makanan – Nikmat kemudahan mengambil manfaat dari makanan – Nikmat kemudahan mengeluarkan sisa makanan dari tubuh Untuk mendapatkan makanan dan minuman, Allah ta’ala telah menyediakan begitu banyak sumber makanan di sekitar kita. Sumber karbohidrat, sumber protein hewani maupun nabati, buah-buahan, sayur-sayuran, air dan lain-lain. Kita juga dibekali oleh Allah akal untuk mengolah makanan dan minuman tersebut sesuai dengan kebutuhan dan selera kita. Guna memudahkan tubuh mengambil manfaat dari makanan, Allah membuat berbagai macam sistem dalam tubuh. Diawali dengan sistem pengunyahan oleh mulut. Yang tujuannya untuk melembabkan makanan sehingga mudah ditelan, juga agar tercampur dengan enzim liur guna memecah kandungan pati serta gula. Lalu makanan itu melewati kerongkongan dan masuk ke lambung. Asam dan enzim lambung bekerjasama dengan otot-otot lambung untuk mengolah makanan tersebut. Kemudian makanan yang telah halus tadi berjalan melalui usus kecil; guna diserap zat gizinya ke dalam aliran darah. Setelah itu, ampas sisanya tiba di usus besar. Lalu dipilah-pilah; ampas cairnya dibuang melalui jalur pembuangan depan dan ampas padatnya dibuang melalui jalur belakang. Sistem terakhir inilah yang kita istilahkan dengan buang air kecil dan buang air besar.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Jumadal Ula 1445 / 4 Desember 2023 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Di serial sebelumnya telah dibahas doa masuk toilet. Untuk melengkapinya, di serial kali ini, kita akan membahas doa keluar toilet. Yaitu mengucapkan bacaan berikut satu kali: ‌”غُفْرَانَكَ” “Ghufrônaka” Dalil Landasan Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌مِنَ ‌الْخَلَاءِ، ‌قَالَ: «‌غُفْرَانَكَ». “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari tempat buang hajat, beliau mengucapkan, “Ghufônaka” (Ya Allah ampunilah aku)”. HR. Tirmidziy (no. 7) dan beliau berkata, “Hasan gharib”. Ibn Hibban, al-Hakim, adz-Dzhabiy dan al-Albaniy menyatakan hadits ini sahih. Renungan Kandungan Bila kita cermati, inti kandungan doa di atas adalah permohonan ampun. Atau yang lazim diistilahkan dengan istighfar. Selama ini yang kita ketahui, istighfar adalah bacaan yang biasanya diucapkan saat kita melakukan kesalahan, dosa dan maksiat. Pertanyaannya: mengapa kita disunnahkan membaca istighfar setelah buang hajat? Bukankah buang hajat itu bukan merupakan kesalahan? Al-Mubârakfûriy rahimahullah memberi beberapa jawaban atas pertanyaan tadi. Salah satu jawaban terbaiknya adalah: kita meminta ampun kepada Allah; karena belum maksimal bersyukur kepada-Nya. Aktivitas buang hajat sejatinya mengingatkan tentang banyaknya nikmat Allah yang belum kita syukuri. Makanya dalam sebuah hadits—yang masih diperselisihkan keabsahannya—disebutkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ ‌الَّذِي ‌أَذْهَبَ ‌عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي» “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila keluar dari tempat buang hajat beliau membaca: “Alhamdulillâhil ladzî adzhaba ‘annil adzâ wa ‘âfânî (Segala puji bagi Allah Yang telah menghilangkan dariku kotoran dan telah menyehatkanku)”. HR. Ibn Majah (no. 301). Hadits ini menurut Ibn Hajar al-‘Asqlaniy hasan. As-Suyuthiy memberi kode sahih. Adapun ad-Dâraquthniy, al-Bûshîriy, an-Nawawiy, al-Mundziriy dan al-Albaniy; mereka semua menilai hadits ini lemah. Di antara nikmat Allah yang kerap belum kita syukuri secara maksimal adalah: – Nikmat kemudahan mendapatkan makanan – Nikmat kemudahan mengambil manfaat dari makanan – Nikmat kemudahan mengeluarkan sisa makanan dari tubuh Untuk mendapatkan makanan dan minuman, Allah ta’ala telah menyediakan begitu banyak sumber makanan di sekitar kita. Sumber karbohidrat, sumber protein hewani maupun nabati, buah-buahan, sayur-sayuran, air dan lain-lain. Kita juga dibekali oleh Allah akal untuk mengolah makanan dan minuman tersebut sesuai dengan kebutuhan dan selera kita. Guna memudahkan tubuh mengambil manfaat dari makanan, Allah membuat berbagai macam sistem dalam tubuh. Diawali dengan sistem pengunyahan oleh mulut. Yang tujuannya untuk melembabkan makanan sehingga mudah ditelan, juga agar tercampur dengan enzim liur guna memecah kandungan pati serta gula. Lalu makanan itu melewati kerongkongan dan masuk ke lambung. Asam dan enzim lambung bekerjasama dengan otot-otot lambung untuk mengolah makanan tersebut. Kemudian makanan yang telah halus tadi berjalan melalui usus kecil; guna diserap zat gizinya ke dalam aliran darah. Setelah itu, ampas sisanya tiba di usus besar. Lalu dipilah-pilah; ampas cairnya dibuang melalui jalur pembuangan depan dan ampas padatnya dibuang melalui jalur belakang. Sistem terakhir inilah yang kita istilahkan dengan buang air kecil dan buang air besar.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Jumadal Ula 1445 / 4 Desember 2023 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Di serial sebelumnya telah dibahas doa masuk toilet. Untuk melengkapinya, di serial kali ini, kita akan membahas doa keluar toilet. Yaitu mengucapkan bacaan berikut satu kali: ‌”غُفْرَانَكَ” “Ghufrônaka” Dalil Landasan Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌مِنَ ‌الْخَلَاءِ، ‌قَالَ: «‌غُفْرَانَكَ». “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari tempat buang hajat, beliau mengucapkan, “Ghufônaka” (Ya Allah ampunilah aku)”. HR. Tirmidziy (no. 7) dan beliau berkata, “Hasan gharib”. Ibn Hibban, al-Hakim, adz-Dzhabiy dan al-Albaniy menyatakan hadits ini sahih. Renungan Kandungan Bila kita cermati, inti kandungan doa di atas adalah permohonan ampun. Atau yang lazim diistilahkan dengan istighfar. Selama ini yang kita ketahui, istighfar adalah bacaan yang biasanya diucapkan saat kita melakukan kesalahan, dosa dan maksiat. Pertanyaannya: mengapa kita disunnahkan membaca istighfar setelah buang hajat? Bukankah buang hajat itu bukan merupakan kesalahan? Al-Mubârakfûriy rahimahullah memberi beberapa jawaban atas pertanyaan tadi. Salah satu jawaban terbaiknya adalah: kita meminta ampun kepada Allah; karena belum maksimal bersyukur kepada-Nya. Aktivitas buang hajat sejatinya mengingatkan tentang banyaknya nikmat Allah yang belum kita syukuri. Makanya dalam sebuah hadits—yang masih diperselisihkan keabsahannya—disebutkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ ‌الَّذِي ‌أَذْهَبَ ‌عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي» “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila keluar dari tempat buang hajat beliau membaca: “Alhamdulillâhil ladzî adzhaba ‘annil adzâ wa ‘âfânî (Segala puji bagi Allah Yang telah menghilangkan dariku kotoran dan telah menyehatkanku)”. HR. Ibn Majah (no. 301). Hadits ini menurut Ibn Hajar al-‘Asqlaniy hasan. As-Suyuthiy memberi kode sahih. Adapun ad-Dâraquthniy, al-Bûshîriy, an-Nawawiy, al-Mundziriy dan al-Albaniy; mereka semua menilai hadits ini lemah. Di antara nikmat Allah yang kerap belum kita syukuri secara maksimal adalah: – Nikmat kemudahan mendapatkan makanan – Nikmat kemudahan mengambil manfaat dari makanan – Nikmat kemudahan mengeluarkan sisa makanan dari tubuh Untuk mendapatkan makanan dan minuman, Allah ta’ala telah menyediakan begitu banyak sumber makanan di sekitar kita. Sumber karbohidrat, sumber protein hewani maupun nabati, buah-buahan, sayur-sayuran, air dan lain-lain. Kita juga dibekali oleh Allah akal untuk mengolah makanan dan minuman tersebut sesuai dengan kebutuhan dan selera kita. Guna memudahkan tubuh mengambil manfaat dari makanan, Allah membuat berbagai macam sistem dalam tubuh. Diawali dengan sistem pengunyahan oleh mulut. Yang tujuannya untuk melembabkan makanan sehingga mudah ditelan, juga agar tercampur dengan enzim liur guna memecah kandungan pati serta gula. Lalu makanan itu melewati kerongkongan dan masuk ke lambung. Asam dan enzim lambung bekerjasama dengan otot-otot lambung untuk mengolah makanan tersebut. Kemudian makanan yang telah halus tadi berjalan melalui usus kecil; guna diserap zat gizinya ke dalam aliran darah. Setelah itu, ampas sisanya tiba di usus besar. Lalu dipilah-pilah; ampas cairnya dibuang melalui jalur pembuangan depan dan ampas padatnya dibuang melalui jalur belakang. Sistem terakhir inilah yang kita istilahkan dengan buang air kecil dan buang air besar.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Jumadal Ula 1445 / 4 Desember 2023 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet Posted on December 30, 2024December 31, 2024by Di serial sebelumnya telah dibahas doa masuk toilet. Untuk melengkapinya, di serial kali ini, kita akan membahas doa keluar toilet. Yaitu mengucapkan bacaan berikut satu kali: ‌”غُفْرَانَكَ” “Ghufrônaka” Dalil Landasan Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ ‌مِنَ ‌الْخَلَاءِ، ‌قَالَ: «‌غُفْرَانَكَ». “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari tempat buang hajat, beliau mengucapkan, “Ghufônaka” (Ya Allah ampunilah aku)”. HR. Tirmidziy (no. 7) dan beliau berkata, “Hasan gharib”. Ibn Hibban, al-Hakim, adz-Dzhabiy dan al-Albaniy menyatakan hadits ini sahih. Renungan Kandungan Bila kita cermati, inti kandungan doa di atas adalah permohonan ampun. Atau yang lazim diistilahkan dengan istighfar. Selama ini yang kita ketahui, istighfar adalah bacaan yang biasanya diucapkan saat kita melakukan kesalahan, dosa dan maksiat. Pertanyaannya: mengapa kita disunnahkan membaca istighfar setelah buang hajat? Bukankah buang hajat itu bukan merupakan kesalahan? Al-Mubârakfûriy rahimahullah memberi beberapa jawaban atas pertanyaan tadi. Salah satu jawaban terbaiknya adalah: kita meminta ampun kepada Allah; karena belum maksimal bersyukur kepada-Nya. Aktivitas buang hajat sejatinya mengingatkan tentang banyaknya nikmat Allah yang belum kita syukuri. Makanya dalam sebuah hadits—yang masih diperselisihkan keabsahannya—disebutkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ ‌الَّذِي ‌أَذْهَبَ ‌عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي» “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila keluar dari tempat buang hajat beliau membaca: “Alhamdulillâhil ladzî adzhaba ‘annil adzâ wa ‘âfânî (Segala puji bagi Allah Yang telah menghilangkan dariku kotoran dan telah menyehatkanku)”. HR. Ibn Majah (no. 301). Hadits ini menurut Ibn Hajar al-‘Asqlaniy hasan. As-Suyuthiy memberi kode sahih. Adapun ad-Dâraquthniy, al-Bûshîriy, an-Nawawiy, al-Mundziriy dan al-Albaniy; mereka semua menilai hadits ini lemah. Di antara nikmat Allah yang kerap belum kita syukuri secara maksimal adalah: – Nikmat kemudahan mendapatkan makanan – Nikmat kemudahan mengambil manfaat dari makanan – Nikmat kemudahan mengeluarkan sisa makanan dari tubuh Untuk mendapatkan makanan dan minuman, Allah ta’ala telah menyediakan begitu banyak sumber makanan di sekitar kita. Sumber karbohidrat, sumber protein hewani maupun nabati, buah-buahan, sayur-sayuran, air dan lain-lain. Kita juga dibekali oleh Allah akal untuk mengolah makanan dan minuman tersebut sesuai dengan kebutuhan dan selera kita. Guna memudahkan tubuh mengambil manfaat dari makanan, Allah membuat berbagai macam sistem dalam tubuh. Diawali dengan sistem pengunyahan oleh mulut. Yang tujuannya untuk melembabkan makanan sehingga mudah ditelan, juga agar tercampur dengan enzim liur guna memecah kandungan pati serta gula. Lalu makanan itu melewati kerongkongan dan masuk ke lambung. Asam dan enzim lambung bekerjasama dengan otot-otot lambung untuk mengolah makanan tersebut. Kemudian makanan yang telah halus tadi berjalan melalui usus kecil; guna diserap zat gizinya ke dalam aliran darah. Setelah itu, ampas sisanya tiba di usus besar. Lalu dipilah-pilah; ampas cairnya dibuang melalui jalur pembuangan depan dan ampas padatnya dibuang melalui jalur belakang. Sistem terakhir inilah yang kita istilahkan dengan buang air kecil dan buang air besar.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Jumadal Ula 1445 / 4 Desember 2023 Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk ToiletSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 209 Adab Buang Hajat Bag-1 SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Ajaran Islam sangat sempurna. Semua lini kehidupan diatur dalam agama mulia ini. Salah satunya adalah yang terkait dengan aktivitas rutin harian setiap orang. Yaitu buang hajat. Ternyata dalam Islam, hingga masalah yang terlihat sepele inipun diatur. Seorang yang akan masuk toilet dianjurkan untuk membaca doa berikut: “بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” “Bismillah. Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ” “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Renungan Kandungan Hadits di atas mendidik kita agar senantiasa mengingat Allah ta’ala dalam segala kondisi. Begitulah seyogyanya karakter setiap muslim. Sebab iblis dan bala tentaranya selalu berupaya menyesatkan manusia. Maka dari itu kita memerlukan perlindungan Allah subhanah agar terselamatkan dari tipu daya setan dan segala keburukan dunia maupun akhirat. Terlebih lagi tempat buang hajat adalah salah satu lokasi yang digemari oleh setan. Maka hendaklah kita berada di dalamnya, sesuatu kebutuhan saja. Jangan berlama-lama di situ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, ” إِنَّ ‌هَذِهِ ‌الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ” “Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan)”. HR. Ath-Thayalisiy (no. 714) dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Hakim serta al-Albaniy. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk membaca doa ini; supaya terlindungi dari kejahatan setan, juga agar aurat kita tidak terlihat oleh mereka. Hal ini mengajarkan pada kita rasa malu, sekalipun kepada makhluk ghaib yang tak terlihat. Terlebih kepada sesama manusia yang jelas-jelas terlihat. Doa ini dibaca sebelum memasuki ruangan WC atau kamar mandi. Apabila buang hajat itu dilakukan bukan di ruangan khusus—semisal sedang berada di hutan—maka doa itu dibaca sebelum menyingkap pakaian.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Jumadal Ula 1445 / 20 Nopember 2023   Terinspirasi dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/108-109) dan ذكر دخول الخلاء (اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث) (alukah.net). Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Ajaran Islam sangat sempurna. Semua lini kehidupan diatur dalam agama mulia ini. Salah satunya adalah yang terkait dengan aktivitas rutin harian setiap orang. Yaitu buang hajat. Ternyata dalam Islam, hingga masalah yang terlihat sepele inipun diatur. Seorang yang akan masuk toilet dianjurkan untuk membaca doa berikut: “بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” “Bismillah. Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ” “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Renungan Kandungan Hadits di atas mendidik kita agar senantiasa mengingat Allah ta’ala dalam segala kondisi. Begitulah seyogyanya karakter setiap muslim. Sebab iblis dan bala tentaranya selalu berupaya menyesatkan manusia. Maka dari itu kita memerlukan perlindungan Allah subhanah agar terselamatkan dari tipu daya setan dan segala keburukan dunia maupun akhirat. Terlebih lagi tempat buang hajat adalah salah satu lokasi yang digemari oleh setan. Maka hendaklah kita berada di dalamnya, sesuatu kebutuhan saja. Jangan berlama-lama di situ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, ” إِنَّ ‌هَذِهِ ‌الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ” “Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan)”. HR. Ath-Thayalisiy (no. 714) dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Hakim serta al-Albaniy. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk membaca doa ini; supaya terlindungi dari kejahatan setan, juga agar aurat kita tidak terlihat oleh mereka. Hal ini mengajarkan pada kita rasa malu, sekalipun kepada makhluk ghaib yang tak terlihat. Terlebih kepada sesama manusia yang jelas-jelas terlihat. Doa ini dibaca sebelum memasuki ruangan WC atau kamar mandi. Apabila buang hajat itu dilakukan bukan di ruangan khusus—semisal sedang berada di hutan—maka doa itu dibaca sebelum menyingkap pakaian.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Jumadal Ula 1445 / 20 Nopember 2023   Terinspirasi dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/108-109) dan ذكر دخول الخلاء (اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث) (alukah.net). Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Ajaran Islam sangat sempurna. Semua lini kehidupan diatur dalam agama mulia ini. Salah satunya adalah yang terkait dengan aktivitas rutin harian setiap orang. Yaitu buang hajat. Ternyata dalam Islam, hingga masalah yang terlihat sepele inipun diatur. Seorang yang akan masuk toilet dianjurkan untuk membaca doa berikut: “بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” “Bismillah. Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ” “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Renungan Kandungan Hadits di atas mendidik kita agar senantiasa mengingat Allah ta’ala dalam segala kondisi. Begitulah seyogyanya karakter setiap muslim. Sebab iblis dan bala tentaranya selalu berupaya menyesatkan manusia. Maka dari itu kita memerlukan perlindungan Allah subhanah agar terselamatkan dari tipu daya setan dan segala keburukan dunia maupun akhirat. Terlebih lagi tempat buang hajat adalah salah satu lokasi yang digemari oleh setan. Maka hendaklah kita berada di dalamnya, sesuatu kebutuhan saja. Jangan berlama-lama di situ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, ” إِنَّ ‌هَذِهِ ‌الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ” “Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan)”. HR. Ath-Thayalisiy (no. 714) dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Hakim serta al-Albaniy. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk membaca doa ini; supaya terlindungi dari kejahatan setan, juga agar aurat kita tidak terlihat oleh mereka. Hal ini mengajarkan pada kita rasa malu, sekalipun kepada makhluk ghaib yang tak terlihat. Terlebih kepada sesama manusia yang jelas-jelas terlihat. Doa ini dibaca sebelum memasuki ruangan WC atau kamar mandi. Apabila buang hajat itu dilakukan bukan di ruangan khusus—semisal sedang berada di hutan—maka doa itu dibaca sebelum menyingkap pakaian.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Jumadal Ula 1445 / 20 Nopember 2023   Terinspirasi dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/108-109) dan ذكر دخول الخلاء (اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث) (alukah.net). Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Ajaran Islam sangat sempurna. Semua lini kehidupan diatur dalam agama mulia ini. Salah satunya adalah yang terkait dengan aktivitas rutin harian setiap orang. Yaitu buang hajat. Ternyata dalam Islam, hingga masalah yang terlihat sepele inipun diatur. Seorang yang akan masuk toilet dianjurkan untuk membaca doa berikut: “بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” “Bismillah. Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its”. Dalil Landasan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “سِتْرُ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ الْكَنِيفَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ” “Penutup yang menghalangi pandangan jin dari aurat bani Adam adalah bacaan basmalah saat ia memasuki WC”. HR. Ibn Majah (no. 300) dari Ali radhiyallahu’anhu dan dinyatakan sahih lighairihi oleh al-Albani. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ قَالَ: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ” Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk tempat buang hajat, beliau membaca: “Allôhumma innî a’ûdzubika minal khubutsi wal khobâ’its” (Ya Allah, sungguh aku memohon perlindungan pada-Mu dari setan pria dan perempuan)”. HR. Bukhari (no. 142) dan Muslim (no. 829). Renungan Kandungan Hadits di atas mendidik kita agar senantiasa mengingat Allah ta’ala dalam segala kondisi. Begitulah seyogyanya karakter setiap muslim. Sebab iblis dan bala tentaranya selalu berupaya menyesatkan manusia. Maka dari itu kita memerlukan perlindungan Allah subhanah agar terselamatkan dari tipu daya setan dan segala keburukan dunia maupun akhirat. Terlebih lagi tempat buang hajat adalah salah satu lokasi yang digemari oleh setan. Maka hendaklah kita berada di dalamnya, sesuatu kebutuhan saja. Jangan berlama-lama di situ. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, ” إِنَّ ‌هَذِهِ ‌الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ” “Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan)”. HR. Ath-Thayalisiy (no. 714) dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Hakim serta al-Albaniy. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk membaca doa ini; supaya terlindungi dari kejahatan setan, juga agar aurat kita tidak terlihat oleh mereka. Hal ini mengajarkan pada kita rasa malu, sekalipun kepada makhluk ghaib yang tak terlihat. Terlebih kepada sesama manusia yang jelas-jelas terlihat. Doa ini dibaca sebelum memasuki ruangan WC atau kamar mandi. Apabila buang hajat itu dilakukan bukan di ruangan khusus—semisal sedang berada di hutan—maka doa itu dibaca sebelum menyingkap pakaian.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 6 Jumadal Ula 1445 / 20 Nopember 2023   Terinspirasi dari Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (III/108-109) dan ذكر دخول الخلاء (اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث) (alukah.net). Post navigation Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 208 Doa Keluar Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3 Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa redaksi doa masuk rumah. Berikut ini adalah doa lain yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca saat masuk rumah. Yaitu membaca doa berikut: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ ‌خَيْرَ ‌الْمَوْلَجِ، وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ، بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا، وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا، وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا” “Allôhumma innî as’aluka khoirol mauliji, wa khoirol makhroji. Bismillahi walajnâ, wa bismillah khorojnâ, wa ‘alâ Robbinâ tawakkalnâ”. Dalil Landasan Diriwayatkan dalam sebuah hadits, “إِذَا وَلَجَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي ‌أَسْأَلُكَ ‌خَيْرَ ‌الْمَوْلَجِ، وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ، بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا، وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا، وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا، ثُمَّ لِيُسَلِّمْ عَلَى أَهْلِهِ” “Jika seseorang masuk rumahnya, hendaklah ia mengucapkan, “Allôhumma innî as’aluka khoirol mauliji, wa khoirol makhroji. Bismillahi walajnâ, wa bismillah khorojnâ, wa ‘alâ Robbinâ tawakkalnâ” (Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu kebaikan masukku dan kebaikan keluarku. Dengan menyebut nama Allah aku masuk dan aku keluar. Serta kami bertawakal hanya kepada Tuhan kami). Kemudian hendaklah ia mengucapkan salam kepada keluarganya”. HR. Abu Dawud (no. 5096). Hadits ini dinilai hasan oleh Ibn Muflih dan Ibn Baz. Namun dinilai dha’if oleh al-Munawiy dan al-Albaniy. Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk senantiasa meminta kebaikan dalam setiap aktivitas yang kita kerjakan. Contohnya: aktivitas masuk rumah dan keluar rumah. Kita memohon kepada Allah agar masuknya kita ke rumah mendatangkan kebaikan, entah untuk urusan dunia kita maupun urusan akhirat. Kita berharap mendapatkan kehangatan, keamanan dan ketentraman bersama keluarga. Bisa beristirahat dengan baik setelah seharian beraktivitas di luar. Mampu menjalankan ibadah dengan tenang. Selain itu, kita juga memohon kebaikan saat keluar rumah. Agar mendapatkan rizki yang berkah, ilmu yang bermanfaat, keselamatan dari marabahaya dan kebaikan-kebaikan lainnya. Agar keinginan tersebut tercapai, maka kita perlu memohon pertolongan dari Allah. Karena itulah kita mengucapkan basmalah dan mengikrarkan ketawakalan kepada Allah. Sebab tanpa bantuan dari Allah, kita tidak bisa melakukan apapun. Betapa banyak orang yang masuk rumah, tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Juga tidak sedikit orang yang baru beberapa langkah keluar rumah, mendadak mengalami kecelakaan tertabrak mobil. Sesudah membaca doa di atas, kita dianjurkan untuk mengucapkan salam. Pembahasan tentang salam telah dijelaskan pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205. Redaksi hadits di atas berbunyi “Jika seseorang masuk rumahnya”. Disebutkannya kata “rumah” di sini; karena tempat yang paling sering kita masuki adalah rumah. Sehingga doa di atas juga dianjurkan untuk dibaca manakala kita masuk tempat-tempat lain. Semisal toko, penginapan, tenda, kantor, juga rumah orang lain yang kita kunjungi.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 22 Rabi’uts Tsani 1445 / 6 Nopember 2023 Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 202 – Menanamkan Sifat Amanah Pada AnakSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3

Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3 Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa redaksi doa masuk rumah. Berikut ini adalah doa lain yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca saat masuk rumah. Yaitu membaca doa berikut: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ ‌خَيْرَ ‌الْمَوْلَجِ، وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ، بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا، وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا، وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا” “Allôhumma innî as’aluka khoirol mauliji, wa khoirol makhroji. Bismillahi walajnâ, wa bismillah khorojnâ, wa ‘alâ Robbinâ tawakkalnâ”. Dalil Landasan Diriwayatkan dalam sebuah hadits, “إِذَا وَلَجَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي ‌أَسْأَلُكَ ‌خَيْرَ ‌الْمَوْلَجِ، وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ، بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا، وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا، وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا، ثُمَّ لِيُسَلِّمْ عَلَى أَهْلِهِ” “Jika seseorang masuk rumahnya, hendaklah ia mengucapkan, “Allôhumma innî as’aluka khoirol mauliji, wa khoirol makhroji. Bismillahi walajnâ, wa bismillah khorojnâ, wa ‘alâ Robbinâ tawakkalnâ” (Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu kebaikan masukku dan kebaikan keluarku. Dengan menyebut nama Allah aku masuk dan aku keluar. Serta kami bertawakal hanya kepada Tuhan kami). Kemudian hendaklah ia mengucapkan salam kepada keluarganya”. HR. Abu Dawud (no. 5096). Hadits ini dinilai hasan oleh Ibn Muflih dan Ibn Baz. Namun dinilai dha’if oleh al-Munawiy dan al-Albaniy. Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk senantiasa meminta kebaikan dalam setiap aktivitas yang kita kerjakan. Contohnya: aktivitas masuk rumah dan keluar rumah. Kita memohon kepada Allah agar masuknya kita ke rumah mendatangkan kebaikan, entah untuk urusan dunia kita maupun urusan akhirat. Kita berharap mendapatkan kehangatan, keamanan dan ketentraman bersama keluarga. Bisa beristirahat dengan baik setelah seharian beraktivitas di luar. Mampu menjalankan ibadah dengan tenang. Selain itu, kita juga memohon kebaikan saat keluar rumah. Agar mendapatkan rizki yang berkah, ilmu yang bermanfaat, keselamatan dari marabahaya dan kebaikan-kebaikan lainnya. Agar keinginan tersebut tercapai, maka kita perlu memohon pertolongan dari Allah. Karena itulah kita mengucapkan basmalah dan mengikrarkan ketawakalan kepada Allah. Sebab tanpa bantuan dari Allah, kita tidak bisa melakukan apapun. Betapa banyak orang yang masuk rumah, tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Juga tidak sedikit orang yang baru beberapa langkah keluar rumah, mendadak mengalami kecelakaan tertabrak mobil. Sesudah membaca doa di atas, kita dianjurkan untuk mengucapkan salam. Pembahasan tentang salam telah dijelaskan pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205. Redaksi hadits di atas berbunyi “Jika seseorang masuk rumahnya”. Disebutkannya kata “rumah” di sini; karena tempat yang paling sering kita masuki adalah rumah. Sehingga doa di atas juga dianjurkan untuk dibaca manakala kita masuk tempat-tempat lain. Semisal toko, penginapan, tenda, kantor, juga rumah orang lain yang kita kunjungi.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 22 Rabi’uts Tsani 1445 / 6 Nopember 2023 Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 202 – Menanamkan Sifat Amanah Pada AnakSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories
Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3 Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa redaksi doa masuk rumah. Berikut ini adalah doa lain yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca saat masuk rumah. Yaitu membaca doa berikut: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ ‌خَيْرَ ‌الْمَوْلَجِ، وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ، بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا، وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا، وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا” “Allôhumma innî as’aluka khoirol mauliji, wa khoirol makhroji. Bismillahi walajnâ, wa bismillah khorojnâ, wa ‘alâ Robbinâ tawakkalnâ”. Dalil Landasan Diriwayatkan dalam sebuah hadits, “إِذَا وَلَجَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي ‌أَسْأَلُكَ ‌خَيْرَ ‌الْمَوْلَجِ، وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ، بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا، وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا، وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا، ثُمَّ لِيُسَلِّمْ عَلَى أَهْلِهِ” “Jika seseorang masuk rumahnya, hendaklah ia mengucapkan, “Allôhumma innî as’aluka khoirol mauliji, wa khoirol makhroji. Bismillahi walajnâ, wa bismillah khorojnâ, wa ‘alâ Robbinâ tawakkalnâ” (Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu kebaikan masukku dan kebaikan keluarku. Dengan menyebut nama Allah aku masuk dan aku keluar. Serta kami bertawakal hanya kepada Tuhan kami). Kemudian hendaklah ia mengucapkan salam kepada keluarganya”. HR. Abu Dawud (no. 5096). Hadits ini dinilai hasan oleh Ibn Muflih dan Ibn Baz. Namun dinilai dha’if oleh al-Munawiy dan al-Albaniy. Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk senantiasa meminta kebaikan dalam setiap aktivitas yang kita kerjakan. Contohnya: aktivitas masuk rumah dan keluar rumah. Kita memohon kepada Allah agar masuknya kita ke rumah mendatangkan kebaikan, entah untuk urusan dunia kita maupun urusan akhirat. Kita berharap mendapatkan kehangatan, keamanan dan ketentraman bersama keluarga. Bisa beristirahat dengan baik setelah seharian beraktivitas di luar. Mampu menjalankan ibadah dengan tenang. Selain itu, kita juga memohon kebaikan saat keluar rumah. Agar mendapatkan rizki yang berkah, ilmu yang bermanfaat, keselamatan dari marabahaya dan kebaikan-kebaikan lainnya. Agar keinginan tersebut tercapai, maka kita perlu memohon pertolongan dari Allah. Karena itulah kita mengucapkan basmalah dan mengikrarkan ketawakalan kepada Allah. Sebab tanpa bantuan dari Allah, kita tidak bisa melakukan apapun. Betapa banyak orang yang masuk rumah, tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Juga tidak sedikit orang yang baru beberapa langkah keluar rumah, mendadak mengalami kecelakaan tertabrak mobil. Sesudah membaca doa di atas, kita dianjurkan untuk mengucapkan salam. Pembahasan tentang salam telah dijelaskan pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205. Redaksi hadits di atas berbunyi “Jika seseorang masuk rumahnya”. Disebutkannya kata “rumah” di sini; karena tempat yang paling sering kita masuki adalah rumah. Sehingga doa di atas juga dianjurkan untuk dibaca manakala kita masuk tempat-tempat lain. Semisal toko, penginapan, tenda, kantor, juga rumah orang lain yang kita kunjungi.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 22 Rabi’uts Tsani 1445 / 6 Nopember 2023 Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 202 – Menanamkan Sifat Amanah Pada AnakSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories


Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 206 – Doa Masuk Rumah Bag-3 Posted on December 29, 2024December 31, 2024by Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas beberapa redaksi doa masuk rumah. Berikut ini adalah doa lain yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca saat masuk rumah. Yaitu membaca doa berikut: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ ‌خَيْرَ ‌الْمَوْلَجِ، وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ، بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا، وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا، وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا” “Allôhumma innî as’aluka khoirol mauliji, wa khoirol makhroji. Bismillahi walajnâ, wa bismillah khorojnâ, wa ‘alâ Robbinâ tawakkalnâ”. Dalil Landasan Diriwayatkan dalam sebuah hadits, “إِذَا وَلَجَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي ‌أَسْأَلُكَ ‌خَيْرَ ‌الْمَوْلَجِ، وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ، بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا، وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا، وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا، ثُمَّ لِيُسَلِّمْ عَلَى أَهْلِهِ” “Jika seseorang masuk rumahnya, hendaklah ia mengucapkan, “Allôhumma innî as’aluka khoirol mauliji, wa khoirol makhroji. Bismillahi walajnâ, wa bismillah khorojnâ, wa ‘alâ Robbinâ tawakkalnâ” (Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu kebaikan masukku dan kebaikan keluarku. Dengan menyebut nama Allah aku masuk dan aku keluar. Serta kami bertawakal hanya kepada Tuhan kami). Kemudian hendaklah ia mengucapkan salam kepada keluarganya”. HR. Abu Dawud (no. 5096). Hadits ini dinilai hasan oleh Ibn Muflih dan Ibn Baz. Namun dinilai dha’if oleh al-Munawiy dan al-Albaniy. Renungan Kandungan Hadits di atas mengajarkan kita untuk senantiasa meminta kebaikan dalam setiap aktivitas yang kita kerjakan. Contohnya: aktivitas masuk rumah dan keluar rumah. Kita memohon kepada Allah agar masuknya kita ke rumah mendatangkan kebaikan, entah untuk urusan dunia kita maupun urusan akhirat. Kita berharap mendapatkan kehangatan, keamanan dan ketentraman bersama keluarga. Bisa beristirahat dengan baik setelah seharian beraktivitas di luar. Mampu menjalankan ibadah dengan tenang. Selain itu, kita juga memohon kebaikan saat keluar rumah. Agar mendapatkan rizki yang berkah, ilmu yang bermanfaat, keselamatan dari marabahaya dan kebaikan-kebaikan lainnya. Agar keinginan tersebut tercapai, maka kita perlu memohon pertolongan dari Allah. Karena itulah kita mengucapkan basmalah dan mengikrarkan ketawakalan kepada Allah. Sebab tanpa bantuan dari Allah, kita tidak bisa melakukan apapun. Betapa banyak orang yang masuk rumah, tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Juga tidak sedikit orang yang baru beberapa langkah keluar rumah, mendadak mengalami kecelakaan tertabrak mobil. Sesudah membaca doa di atas, kita dianjurkan untuk mengucapkan salam. Pembahasan tentang salam telah dijelaskan pada Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 205. Redaksi hadits di atas berbunyi “Jika seseorang masuk rumahnya”. Disebutkannya kata “rumah” di sini; karena tempat yang paling sering kita masuki adalah rumah. Sehingga doa di atas juga dianjurkan untuk dibaca manakala kita masuk tempat-tempat lain. Semisal toko, penginapan, tenda, kantor, juga rumah orang lain yang kita kunjungi.  Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 22 Rabi’uts Tsani 1445 / 6 Nopember 2023 Post navigation Serial Fiqih Pendidikan Anak No: 202 – Menanamkan Sifat Amanah Pada AnakSerial Fiqih Doa dan Dzikir No: 207 – Doa Masuk Toilet SearchSearchRecent PostsKhutbah Jum’at: PUASA HP Penerimaan Santri Baru Angkatan Kelima Belas Program Pengkaderan Da’I Dan Tahfidz Plus “Bersanad” Tahun Akademik: 1447 H / 2025-2026 M – Gelombang 2 Pengumuman Kelulusan Calon Santri Baru – Angkatan 15 Gel. 1 Buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah Serial Fiqih Doa dan Dzikir No: 216 – Doa Masuk Masjid Bagian-1 Recent CommentsNo comments to show.Archives March 2025 January 2025 December 2024 November 2024 October 2024 September 2024 March 2024 January 2024 November 2022 October 2022 August 2022 July 2022 June 2022 May 2022 April 2022 March 2022 February 2022 January 2022 December 2021 July 2021 June 2021 April 2021 March 2021 December 2020 October 2020 August 2020 June 2020 May 2020 April 2020 March 2020 January 2020 December 2019 November 2019 October 2019 September 2019 August 2019 July 2019 June 2019 May 2019 April 2019 March 2019 February 2019 January 2019 December 2018 November 2018 October 2018 September 2018 August 2018 May 2018 April 2018 March 2018 February 2018 January 2018 December 2017 November 2017 October 2017 September 2017 August 2017 June 2017 November 2016 September 2016 July 2016 April 2016 January 2016 December 2015 October 2015 August 2015 July 2015 June 2015 May 2015 April 2015 March 2015 February 2015 January 2015 December 2014 November 2014 October 2014 December 2013 November 2013 September 2013 August 2013 July 2013 June 2013 May 2013 April 2013 March 2013 February 2013 January 2013 August 2012 July 2012 June 2011 CategoriesNo categories

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaanDalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaanSewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannyaSewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorangPertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan.Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi.Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai.Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Sebagaimana yang telah diketahui dari tulisan sebelumnya, terdapat dua jenis ijarah (sewa menyewa), yaitu: 1) sewa menyewa benda atau aset; dan 2) sewa menyewa jasa atau pekerjaan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ‘Al-Ijarah ‘alal ‘Amal wal Ijarah ‘alal Manafi’. Tulisan kali ini mengerucut pada pembahasan tersebut. Sejatinya, secara umum, sewa menyewa jasa atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan sewa menyewa benda atau aset. Namun, ada beberapa permasalahan yang harus diketahui tentang hal ini, mengingat para ulama merincikan pembahasan ini di kitab-kitab mereka. Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan Terkait dengan hukum, sejatinya telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya. Bahwasanya hukum sewa menyewa jasa diperbolehkan selama tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada padanya akad-akad yang diharamkan dalam syariat, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan Di antara yang menunjukkan akan bolehnya akad ini adalah firman Allah Ta’ala, فَوَجَدَا فِيہَا جِدَارً۬ا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۥ‌ۖ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَيۡهِ أَجۡرً۬ا “…. kemudian keduanya (Musa dan Khidhr) mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.'” (QS. Al-Kahfi: 77) Hal ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil akan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan. Di antara yang menyebutkannya adalah Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni. Beliau mengatakan, وَيَدُلُّ هَذَا عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الأَجْرِ عَلَى إِقَامَتِهِ “Ayat tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah ketika menegakkan (dinding rumah yang hampir roboh itu).” [1] Di antara dalil juga adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq: 6) Al-Imam Asy-Syafi’i berkata mengenai ayat di atas, وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الإِجَارَةِ إِلاَّ هَذَا لَكَفَى “Andaikata tidak ada suatu apa pun yang menjelaskan tentang sewa menyewa kecuali ayat ini, niscaya ayat ini telah cukup (untuk menjelaskan tentang sewa menyewa-pent).” [2] Adapun dari Sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ ‘Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak dibayar upahnya.’“ (HR. Bukhari no. 2270) Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya. Demikian pula, para ulama bersepakat akan bolehnya sewa menyewa jasa. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Kemudian beliau memberikan alasan tentang hal ini, فَإِنَّ الحَاجَةَ إِلَى المَنَافِعِ كَالحَاجَةِ إِلَى الأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ، وَجَبَ أَنْ تَجُوْزُ الإِجَارَةُ عَلَى المَنَافِعِ “Karena sesungguhnya kebutuhan manusia terhadap jasa tak ubahnya seperti kebutuhan mereka terhadap barang atau aset. Ketika diperbolehkan akad terhadap benda, maka hal ini mengharuskan untuk diperbolehkan pula sewa-menyewa jasa.” [3] Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan setidaknya dapat dibahas dari dua poin utama. Yaitu, sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya dan sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya Jika dilihat dari jasa dan pekerjaannya, akad sewa menyewa jasa ini terdapat dua jenis transaksi. Yaitu, sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang, dan sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Masing-masing dari kedua jenis tersebut akan dijelaskan di bawah ini: Sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang Seperti: menyewa seseorang untuk membangun rumah sesuai dengan kriteria yang diinginkan, menyewa seseorang untuk menjadi sopir yang menyopiri kemana pun majikannya ingin pergi, menyewa seseorang menjaga rumah dan membersihkannya, dan contoh-contoh lainnya. Yang pada jenis ini tentunya ada beberapa ketentuan seperti, Pertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan. Seperti: menyewa seseorang untuk mencuri, memata-matai dalam hal keburukan, membunuh, dan lain sebagainya. Maka, ini tidak boleh. Insya Allah rincian tentang hal ini akan datang di tulisan selanjutnya. Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi. Seperti menyewa seseorang untuk menebak atau memprediksi cuaca. Yang seperti ini tidak diperbolehkan, selain bentuknya spekulasi, hal ini pun bertentangan dengan akidah. Contoh lain, menyewa seseorang untuk bekerja dengan durasi “selama pekerjaan selesai”. Hal ini akan menimbulkan perselisihan, karena durasi kerja yang tidak pasti. Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai. Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ ‘Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.’ ” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Upah harus disepakati di awal akad. Adapun pemberiannya, dijelaskan oleh para ulama di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah, yaitu boleh untuk dibayar di muka atau dicicil hingga pekerjaannya tuntas atau di akhir. Ini semua tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Adapun yang terbaik sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas. Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Jenis transaksi seperti ini sangat banyak contohnya. Seperti, Menyewa kendaraan include dengan sopirnya, menyewa mesin foto copy include dengan operatornya, menyewa alat-alat konstruksi dengan operatornya, dan lain sebagainya. Intinya, pada transaksi sewa menyewa jasa ini digabungkan antara barang yang disewakan dengan jasa yang disewakan. Pada jenis transaksi ini, sejatinya tidak ada bedanya pada poin sebelumnya terkait dengan ketentuan-ketentuannya, baik dari segi barang yang disewakan atau jasa yang disewakan. Seperti: Pertama: Barang yang disewakannya harus jelas spesifikasinya, jangka waktu pemakaiannya, dan manfaatnya. Kedua: Harga yang disepakati di awal harus jelas. Tidak boleh berubah di tengah-tengah pekerjaan. Karena akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Ketiga: Yang terpenting juga untuk disepakati di awal akad adalah tentang risiko yang diterima jika ada kerusakan atau perawatan barang tersebut. Maka, hal ini perlu diperjelas tentang tanggung jawab kedua belah pihak terhadap barang yang disewakan. Keempat: Jika pada vendor ada dua pihak yang berbeda antara barang dan jasa, maka butir-butir pada akad pun harus jelas di awal sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Insya Allah akan berlanjut pada poin selanjutnya, yaitu “Sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa.” Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam. Kembali ke bagian 4 *** Perpustakaan Jusuf Kalla di UIII, Depok. Depok, 12 Jumadilawal 1446/ 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Mughni, 9: 5. [2] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 14: 529. [3] Al-Mughni, 9: 5. [4] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab. Dan beberapa referensi lainnya.

Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 5)

Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaanDalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaanSewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannyaSewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorangPertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan.Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi.Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai.Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Sebagaimana yang telah diketahui dari tulisan sebelumnya, terdapat dua jenis ijarah (sewa menyewa), yaitu: 1) sewa menyewa benda atau aset; dan 2) sewa menyewa jasa atau pekerjaan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ‘Al-Ijarah ‘alal ‘Amal wal Ijarah ‘alal Manafi’. Tulisan kali ini mengerucut pada pembahasan tersebut. Sejatinya, secara umum, sewa menyewa jasa atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan sewa menyewa benda atau aset. Namun, ada beberapa permasalahan yang harus diketahui tentang hal ini, mengingat para ulama merincikan pembahasan ini di kitab-kitab mereka. Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan Terkait dengan hukum, sejatinya telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya. Bahwasanya hukum sewa menyewa jasa diperbolehkan selama tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada padanya akad-akad yang diharamkan dalam syariat, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan Di antara yang menunjukkan akan bolehnya akad ini adalah firman Allah Ta’ala, فَوَجَدَا فِيہَا جِدَارً۬ا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۥ‌ۖ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَيۡهِ أَجۡرً۬ا “…. kemudian keduanya (Musa dan Khidhr) mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.'” (QS. Al-Kahfi: 77) Hal ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil akan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan. Di antara yang menyebutkannya adalah Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni. Beliau mengatakan, وَيَدُلُّ هَذَا عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الأَجْرِ عَلَى إِقَامَتِهِ “Ayat tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah ketika menegakkan (dinding rumah yang hampir roboh itu).” [1] Di antara dalil juga adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq: 6) Al-Imam Asy-Syafi’i berkata mengenai ayat di atas, وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الإِجَارَةِ إِلاَّ هَذَا لَكَفَى “Andaikata tidak ada suatu apa pun yang menjelaskan tentang sewa menyewa kecuali ayat ini, niscaya ayat ini telah cukup (untuk menjelaskan tentang sewa menyewa-pent).” [2] Adapun dari Sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ ‘Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak dibayar upahnya.’“ (HR. Bukhari no. 2270) Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya. Demikian pula, para ulama bersepakat akan bolehnya sewa menyewa jasa. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Kemudian beliau memberikan alasan tentang hal ini, فَإِنَّ الحَاجَةَ إِلَى المَنَافِعِ كَالحَاجَةِ إِلَى الأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ، وَجَبَ أَنْ تَجُوْزُ الإِجَارَةُ عَلَى المَنَافِعِ “Karena sesungguhnya kebutuhan manusia terhadap jasa tak ubahnya seperti kebutuhan mereka terhadap barang atau aset. Ketika diperbolehkan akad terhadap benda, maka hal ini mengharuskan untuk diperbolehkan pula sewa-menyewa jasa.” [3] Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan setidaknya dapat dibahas dari dua poin utama. Yaitu, sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya dan sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya Jika dilihat dari jasa dan pekerjaannya, akad sewa menyewa jasa ini terdapat dua jenis transaksi. Yaitu, sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang, dan sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Masing-masing dari kedua jenis tersebut akan dijelaskan di bawah ini: Sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang Seperti: menyewa seseorang untuk membangun rumah sesuai dengan kriteria yang diinginkan, menyewa seseorang untuk menjadi sopir yang menyopiri kemana pun majikannya ingin pergi, menyewa seseorang menjaga rumah dan membersihkannya, dan contoh-contoh lainnya. Yang pada jenis ini tentunya ada beberapa ketentuan seperti, Pertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan. Seperti: menyewa seseorang untuk mencuri, memata-matai dalam hal keburukan, membunuh, dan lain sebagainya. Maka, ini tidak boleh. Insya Allah rincian tentang hal ini akan datang di tulisan selanjutnya. Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi. Seperti menyewa seseorang untuk menebak atau memprediksi cuaca. Yang seperti ini tidak diperbolehkan, selain bentuknya spekulasi, hal ini pun bertentangan dengan akidah. Contoh lain, menyewa seseorang untuk bekerja dengan durasi “selama pekerjaan selesai”. Hal ini akan menimbulkan perselisihan, karena durasi kerja yang tidak pasti. Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai. Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ ‘Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.’ ” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Upah harus disepakati di awal akad. Adapun pemberiannya, dijelaskan oleh para ulama di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah, yaitu boleh untuk dibayar di muka atau dicicil hingga pekerjaannya tuntas atau di akhir. Ini semua tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Adapun yang terbaik sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas. Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Jenis transaksi seperti ini sangat banyak contohnya. Seperti, Menyewa kendaraan include dengan sopirnya, menyewa mesin foto copy include dengan operatornya, menyewa alat-alat konstruksi dengan operatornya, dan lain sebagainya. Intinya, pada transaksi sewa menyewa jasa ini digabungkan antara barang yang disewakan dengan jasa yang disewakan. Pada jenis transaksi ini, sejatinya tidak ada bedanya pada poin sebelumnya terkait dengan ketentuan-ketentuannya, baik dari segi barang yang disewakan atau jasa yang disewakan. Seperti: Pertama: Barang yang disewakannya harus jelas spesifikasinya, jangka waktu pemakaiannya, dan manfaatnya. Kedua: Harga yang disepakati di awal harus jelas. Tidak boleh berubah di tengah-tengah pekerjaan. Karena akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Ketiga: Yang terpenting juga untuk disepakati di awal akad adalah tentang risiko yang diterima jika ada kerusakan atau perawatan barang tersebut. Maka, hal ini perlu diperjelas tentang tanggung jawab kedua belah pihak terhadap barang yang disewakan. Keempat: Jika pada vendor ada dua pihak yang berbeda antara barang dan jasa, maka butir-butir pada akad pun harus jelas di awal sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Insya Allah akan berlanjut pada poin selanjutnya, yaitu “Sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa.” Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam. Kembali ke bagian 4 *** Perpustakaan Jusuf Kalla di UIII, Depok. Depok, 12 Jumadilawal 1446/ 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Mughni, 9: 5. [2] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 14: 529. [3] Al-Mughni, 9: 5. [4] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab. Dan beberapa referensi lainnya.
Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaanDalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaanSewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannyaSewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorangPertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan.Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi.Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai.Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Sebagaimana yang telah diketahui dari tulisan sebelumnya, terdapat dua jenis ijarah (sewa menyewa), yaitu: 1) sewa menyewa benda atau aset; dan 2) sewa menyewa jasa atau pekerjaan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ‘Al-Ijarah ‘alal ‘Amal wal Ijarah ‘alal Manafi’. Tulisan kali ini mengerucut pada pembahasan tersebut. Sejatinya, secara umum, sewa menyewa jasa atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan sewa menyewa benda atau aset. Namun, ada beberapa permasalahan yang harus diketahui tentang hal ini, mengingat para ulama merincikan pembahasan ini di kitab-kitab mereka. Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan Terkait dengan hukum, sejatinya telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya. Bahwasanya hukum sewa menyewa jasa diperbolehkan selama tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada padanya akad-akad yang diharamkan dalam syariat, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan Di antara yang menunjukkan akan bolehnya akad ini adalah firman Allah Ta’ala, فَوَجَدَا فِيہَا جِدَارً۬ا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۥ‌ۖ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَيۡهِ أَجۡرً۬ا “…. kemudian keduanya (Musa dan Khidhr) mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.'” (QS. Al-Kahfi: 77) Hal ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil akan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan. Di antara yang menyebutkannya adalah Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni. Beliau mengatakan, وَيَدُلُّ هَذَا عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الأَجْرِ عَلَى إِقَامَتِهِ “Ayat tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah ketika menegakkan (dinding rumah yang hampir roboh itu).” [1] Di antara dalil juga adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq: 6) Al-Imam Asy-Syafi’i berkata mengenai ayat di atas, وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الإِجَارَةِ إِلاَّ هَذَا لَكَفَى “Andaikata tidak ada suatu apa pun yang menjelaskan tentang sewa menyewa kecuali ayat ini, niscaya ayat ini telah cukup (untuk menjelaskan tentang sewa menyewa-pent).” [2] Adapun dari Sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ ‘Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak dibayar upahnya.’“ (HR. Bukhari no. 2270) Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya. Demikian pula, para ulama bersepakat akan bolehnya sewa menyewa jasa. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Kemudian beliau memberikan alasan tentang hal ini, فَإِنَّ الحَاجَةَ إِلَى المَنَافِعِ كَالحَاجَةِ إِلَى الأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ، وَجَبَ أَنْ تَجُوْزُ الإِجَارَةُ عَلَى المَنَافِعِ “Karena sesungguhnya kebutuhan manusia terhadap jasa tak ubahnya seperti kebutuhan mereka terhadap barang atau aset. Ketika diperbolehkan akad terhadap benda, maka hal ini mengharuskan untuk diperbolehkan pula sewa-menyewa jasa.” [3] Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan setidaknya dapat dibahas dari dua poin utama. Yaitu, sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya dan sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya Jika dilihat dari jasa dan pekerjaannya, akad sewa menyewa jasa ini terdapat dua jenis transaksi. Yaitu, sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang, dan sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Masing-masing dari kedua jenis tersebut akan dijelaskan di bawah ini: Sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang Seperti: menyewa seseorang untuk membangun rumah sesuai dengan kriteria yang diinginkan, menyewa seseorang untuk menjadi sopir yang menyopiri kemana pun majikannya ingin pergi, menyewa seseorang menjaga rumah dan membersihkannya, dan contoh-contoh lainnya. Yang pada jenis ini tentunya ada beberapa ketentuan seperti, Pertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan. Seperti: menyewa seseorang untuk mencuri, memata-matai dalam hal keburukan, membunuh, dan lain sebagainya. Maka, ini tidak boleh. Insya Allah rincian tentang hal ini akan datang di tulisan selanjutnya. Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi. Seperti menyewa seseorang untuk menebak atau memprediksi cuaca. Yang seperti ini tidak diperbolehkan, selain bentuknya spekulasi, hal ini pun bertentangan dengan akidah. Contoh lain, menyewa seseorang untuk bekerja dengan durasi “selama pekerjaan selesai”. Hal ini akan menimbulkan perselisihan, karena durasi kerja yang tidak pasti. Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai. Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ ‘Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.’ ” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Upah harus disepakati di awal akad. Adapun pemberiannya, dijelaskan oleh para ulama di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah, yaitu boleh untuk dibayar di muka atau dicicil hingga pekerjaannya tuntas atau di akhir. Ini semua tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Adapun yang terbaik sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas. Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Jenis transaksi seperti ini sangat banyak contohnya. Seperti, Menyewa kendaraan include dengan sopirnya, menyewa mesin foto copy include dengan operatornya, menyewa alat-alat konstruksi dengan operatornya, dan lain sebagainya. Intinya, pada transaksi sewa menyewa jasa ini digabungkan antara barang yang disewakan dengan jasa yang disewakan. Pada jenis transaksi ini, sejatinya tidak ada bedanya pada poin sebelumnya terkait dengan ketentuan-ketentuannya, baik dari segi barang yang disewakan atau jasa yang disewakan. Seperti: Pertama: Barang yang disewakannya harus jelas spesifikasinya, jangka waktu pemakaiannya, dan manfaatnya. Kedua: Harga yang disepakati di awal harus jelas. Tidak boleh berubah di tengah-tengah pekerjaan. Karena akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Ketiga: Yang terpenting juga untuk disepakati di awal akad adalah tentang risiko yang diterima jika ada kerusakan atau perawatan barang tersebut. Maka, hal ini perlu diperjelas tentang tanggung jawab kedua belah pihak terhadap barang yang disewakan. Keempat: Jika pada vendor ada dua pihak yang berbeda antara barang dan jasa, maka butir-butir pada akad pun harus jelas di awal sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Insya Allah akan berlanjut pada poin selanjutnya, yaitu “Sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa.” Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam. Kembali ke bagian 4 *** Perpustakaan Jusuf Kalla di UIII, Depok. Depok, 12 Jumadilawal 1446/ 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Mughni, 9: 5. [2] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 14: 529. [3] Al-Mughni, 9: 5. [4] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab. Dan beberapa referensi lainnya.


Daftar Isi Toggle Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaanDalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaanSewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannyaSewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorangPertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan.Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi.Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai.Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Sebagaimana yang telah diketahui dari tulisan sebelumnya, terdapat dua jenis ijarah (sewa menyewa), yaitu: 1) sewa menyewa benda atau aset; dan 2) sewa menyewa jasa atau pekerjaan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ‘Al-Ijarah ‘alal ‘Amal wal Ijarah ‘alal Manafi’. Tulisan kali ini mengerucut pada pembahasan tersebut. Sejatinya, secara umum, sewa menyewa jasa atau pekerjaan tidak jauh berbeda dengan sewa menyewa benda atau aset. Namun, ada beberapa permasalahan yang harus diketahui tentang hal ini, mengingat para ulama merincikan pembahasan ini di kitab-kitab mereka. Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan Terkait dengan hukum, sejatinya telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya. Bahwasanya hukum sewa menyewa jasa diperbolehkan selama tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada padanya akad-akad yang diharamkan dalam syariat, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan Di antara yang menunjukkan akan bolehnya akad ini adalah firman Allah Ta’ala, فَوَجَدَا فِيہَا جِدَارً۬ا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۥ‌ۖ قَالَ لَوۡ شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَيۡهِ أَجۡرً۬ا “…. kemudian keduanya (Musa dan Khidhr) mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.'” (QS. Al-Kahfi: 77) Hal ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil akan bolehnya sewa menyewa jasa atau pekerjaan. Di antara yang menyebutkannya adalah Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni. Beliau mengatakan, وَيَدُلُّ هَذَا عَلَى جَوَازِ أَخْذِ الأَجْرِ عَلَى إِقَامَتِهِ “Ayat tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah ketika menegakkan (dinding rumah yang hampir roboh itu).” [1] Di antara dalil juga adalah firman Allah Ta’ala, فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq: 6) Al-Imam Asy-Syafi’i berkata mengenai ayat di atas, وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الإِجَارَةِ إِلاَّ هَذَا لَكَفَى “Andaikata tidak ada suatu apa pun yang menjelaskan tentang sewa menyewa kecuali ayat ini, niscaya ayat ini telah cukup (untuk menjelaskan tentang sewa menyewa-pent).” [2] Adapun dari Sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ ‘Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun tidak dibayar upahnya.’“ (HR. Bukhari no. 2270) Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya. Demikian pula, para ulama bersepakat akan bolehnya sewa menyewa jasa. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Kemudian beliau memberikan alasan tentang hal ini, فَإِنَّ الحَاجَةَ إِلَى المَنَافِعِ كَالحَاجَةِ إِلَى الأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ، وَجَبَ أَنْ تَجُوْزُ الإِجَارَةُ عَلَى المَنَافِعِ “Karena sesungguhnya kebutuhan manusia terhadap jasa tak ubahnya seperti kebutuhan mereka terhadap barang atau aset. Ketika diperbolehkan akad terhadap benda, maka hal ini mengharuskan untuk diperbolehkan pula sewa-menyewa jasa.” [3] Hukum sewa menyewa jasa atau pekerjaan setidaknya dapat dibahas dari dua poin utama. Yaitu, sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya dan sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa. Sewa menyewa jasa dilihat dari jasa atau pekerjaannya Jika dilihat dari jasa dan pekerjaannya, akad sewa menyewa jasa ini terdapat dua jenis transaksi. Yaitu, sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang, dan sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Masing-masing dari kedua jenis tersebut akan dijelaskan di bawah ini: Sewa menyewa jasa yang berkaitan langsung atau berfokus dengan jasa seseorang Seperti: menyewa seseorang untuk membangun rumah sesuai dengan kriteria yang diinginkan, menyewa seseorang untuk menjadi sopir yang menyopiri kemana pun majikannya ingin pergi, menyewa seseorang menjaga rumah dan membersihkannya, dan contoh-contoh lainnya. Yang pada jenis ini tentunya ada beberapa ketentuan seperti, Pertama: Pekerjaannya harus dan halal serta diperbolehkan secara syariat. Jika pekerjaannya tidak halal, maka tidak diperbolehkan. Seperti: menyewa seseorang untuk mencuri, memata-matai dalam hal keburukan, membunuh, dan lain sebagainya. Maka, ini tidak boleh. Insya Allah rincian tentang hal ini akan datang di tulisan selanjutnya. Kedua: Pekerjaan atau jasa yang ditawarkan harus jelas dan waktu kerja yang diberikan pun harus jelas, tidak boleh remang-remang. Tidak boleh dalam hal yang bentuknya masih spekulasi. Seperti menyewa seseorang untuk menebak atau memprediksi cuaca. Yang seperti ini tidak diperbolehkan, selain bentuknya spekulasi, hal ini pun bertentangan dengan akidah. Contoh lain, menyewa seseorang untuk bekerja dengan durasi “selama pekerjaan selesai”. Hal ini akan menimbulkan perselisihan, karena durasi kerja yang tidak pasti. Ketiga: Upah yang diberikan harus disepakati di awal, sebelum pekerjaan dimulai. Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ ‘Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.’ ” (HR. Ibnu Majah no. 2424. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah) Upah harus disepakati di awal akad. Adapun pemberiannya, dijelaskan oleh para ulama di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah, yaitu boleh untuk dibayar di muka atau dicicil hingga pekerjaannya tuntas atau di akhir. Ini semua tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Adapun yang terbaik sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadis di atas. Sewa menyewa jasa yang berfokus pada pemanfaatan barang yang dikombinasikan dengan jasa. Jenis transaksi seperti ini sangat banyak contohnya. Seperti, Menyewa kendaraan include dengan sopirnya, menyewa mesin foto copy include dengan operatornya, menyewa alat-alat konstruksi dengan operatornya, dan lain sebagainya. Intinya, pada transaksi sewa menyewa jasa ini digabungkan antara barang yang disewakan dengan jasa yang disewakan. Pada jenis transaksi ini, sejatinya tidak ada bedanya pada poin sebelumnya terkait dengan ketentuan-ketentuannya, baik dari segi barang yang disewakan atau jasa yang disewakan. Seperti: Pertama: Barang yang disewakannya harus jelas spesifikasinya, jangka waktu pemakaiannya, dan manfaatnya. Kedua: Harga yang disepakati di awal harus jelas. Tidak boleh berubah di tengah-tengah pekerjaan. Karena akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Ketiga: Yang terpenting juga untuk disepakati di awal akad adalah tentang risiko yang diterima jika ada kerusakan atau perawatan barang tersebut. Maka, hal ini perlu diperjelas tentang tanggung jawab kedua belah pihak terhadap barang yang disewakan. Keempat: Jika pada vendor ada dua pihak yang berbeda antara barang dan jasa, maka butir-butir pada akad pun harus jelas di awal sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Insya Allah akan berlanjut pada poin selanjutnya, yaitu “Sewa menyewa jasa dilihat dari tujuan penggunaan jasa.” Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam. Kembali ke bagian 4 *** Perpustakaan Jusuf Kalla di UIII, Depok. Depok, 12 Jumadilawal 1446/ 14 November 2024 Penulis: Zia Abdurrofi Artikel: Muslim.or.id   Catatan kaki: [1] Al-Mughni, 9: 5. [2] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzzab, 14: 529. [3] Al-Mughni, 9: 5. [4] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu.   Referensi: Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, karya Khalid Al-Musayqih. Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili. Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab. Dan beberapa referensi lainnya.

Amalan Pelembut Hati yang Hampir Dilupakan – Syaikh Khalid Ismail #nasehatulama

Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ

Amalan Pelembut Hati yang Hampir Dilupakan – Syaikh Khalid Ismail #nasehatulama

Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ
Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ


Disebutkan dalam hadis bahwa seseorang mendatangi Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam. Orang itu mengeluhkan kerasnya hatinya. Apa yang Nabi ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam katakan kepadanya? Beliau ṣallallāhu ʿalaihi wa sallam bersabda, “Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad) Amalan ini mengandung kelembutan, kasih sayang kepada sesama manusia, terutama kasih sayang kepada orang-orang fakir dan anak yatim, yang dapat melembutkan hati Anda. Usaplah kepala anak yatim, sayangi dia, dan cukupi kebutuhannya, niscaya Anda akan merasakan kebahagiaan dan kasih sayang dalam hati Anda. Berilah juga makan orang miskin. ==== جَاءَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَكِي قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَمَاذَا قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ أَطْعِمِ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ هَذِهِ الْأَعْمَالُ الَّتِي فِيهَا رِقَّةٌ فِيهَا رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ رَحْمَةٌ بِالْفُقَرَاءِ بِالْيَتَامَى تُرَقِّقُ قَلْبَكَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ ارْفَقْ بِهِ اكْفُلِ الْيَتِيمَ تَشْعُرُ بِسَعَادَةٍ وَرَحْمَةٍ فِي قَلْبِكَ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ

Teks Khotbah Jumat: Nasihat Tauhid di Penghujung Tahun

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Perlu kita ketahui bersama bahwa dosa terberat yang akan memasukkan pelakunya ke dalam api neraka adalah menyekutukan Allah Ta’ala dan berbuat kesyirikan kepada-Nya. Allah berfirman, إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13) Allah Ta’ala juga berfirman bahwa pelaku kesyirikan, tempat mereka di akhirat nanti adalah neraka wal’iyyadzu billah, إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖوَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) Setelah mendengar dua ayat tersebut, sudah sepantasnya kita semakin berhati-hati dan takut serta khawatir dari terjerumus kepada jerat-jerat kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hendaknya diri kita senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dijauhkan dari pintu-pintu kesyirikan. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, seorang muslim yang sejati adalah mereka yang bertauhid dan mengesakan Allah Ta’ala dalam segala hal, yakin bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhannya, satu-satunya yang menciptakannya, dan satu-satunya penolong bagi dirinya tatkala dirinya mendapatkan kesulitan. Mereka yang bertauhid, maka telah menggugurkan kewajiban pertama mereka yang harus mereka laksanakan. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56) Pengabdian yang sempurna adalah dengan mengesakan Allah satu-satu-Nya dalam segala hal. Baik itu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala, seperti menciptakan, mematikan, memberikan rezeki, ataupun yang semisalnya. Pada jenis tauhid rububiyyah ini, seorang hamba tidak pernah menaruh harap akan rezeki kepada selain Allah Ta’ala, tidak pernah terlintas sama sekali di dalam benaknya untuk bergantung kepada selain Allah, yakin dengan sepenuh jiwanya bahwa dirinya akan dibangkitkan dan akan bertemu dengan Rabbnya di akhirat nanti. Dirinya juga yakin bahwa setiap musibah yang menimpanya, setiap kesulitan yang dideritanya, maka itu juga dari Allah Ta’ala semata dan bukan karena kesialan ataupun sebab lainnya. Allah Ta’ala berfirman, مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Al-Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Jemaah Jumat yang dirahmati Allah, Mengesakan Allah Ta’ala juga kita terapkan dan kita amalkan dalam perbuatan amal ibadah kita. Inilah yang disebut dengan tauhid uluhiyyah. Tidaklah kita mengerjakan salat, bersedekah, berpuasa, berangkat umrah dan haji, kecuali semuanya kita ikhlaskan dan kita peruntukkan untuk Allah Ta’ala saja. Jangan sampai tatkala kita melaksanakan salat, hanya untuk kemudian dikatakan sebagai ahli ibadah, berpuasa hanya untuk kemudian dipuji manusia. Hendaknya kita jauhkan ibadah-ibadah kita dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan di dalamnya, tidak pamer, dan tidak mem-posting foto untuk kemudian orang-orang melihatnya dan menyanjung-nyanjung diri kita, lalu tumbuhlah di hati kita penyakit riya’ dan sum’ah. Allah Ta’ala telah mengingatkan kita semua akan perintah-Nya kepada para nabi-Nya dan tentunya juga kepada kita semua, ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5) Yang dimaksud dengan (حُنَفَاءَ) “agama yang lurus” pada ayat di atas adalah jalan Islam yang terjauhkan dari perkara-perkara syirik serta istikamah menuju kepada tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala. Di sinilah pentingnya ikhlas dalam seluruh amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan agar tidak mendapat azab dari Allah Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa dosa kesyirikan tidak akan Allah Ta’ala ampuni, kecuali jika pelakunya bertobat, menyesal dan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya tobat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا “Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48) Adapun mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya, maka akan mendatangkan keutamaan yang sangat besar bagi pelakunya. Di antaranya adalah mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. ‘… Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. Tirmidzi no. 3540 dan Ahmad no. 13493) Di hadis yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk surga.” (HR. Muslim no. 93) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di penghujung akhir tahun seperti ini, ada satu hal yang perlu kiranya untuk selalu kita ingatkan dan menjadi perhatian kita bersama. Karena, jika seseorang terperosok dalam perbuatan ini, maka itu akan menodai atau bahkan meruntuhkan bangunan tauhidnya. Perkara tersebut wahai jemaah sekalian adalah ikut merayakan perayaan Natal dan Tahun Baru. Sungguh keduanya merupakan perayaan orang-orang kafir yang seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ  لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.’” (QS. Al-Kafirun: 1-3) Ayat yang mulia yang menjelaskan kepada kita tentang batasan bagaimana seorang muslim bertoleransi dan bermuamalah dengan orang-orang nonmuslim. Bahwa toleransi yang Islam ajarkan kepada kita adalah toleransi dalam hal muamalah dan urusan duniawi saja. Adapun dalam hal agama dan ibadah, maka Islam melarang keras dari menyembah sesembahan mereka, ikut serta dalam perayaan mereka, atau menyetujui keyakinan mereka. Merayakan kedua hari tersebut serta saling bertukar ucapan selamat padanya merupakan bentuk adat kebiasaan yang berhubungan erat dengan agama mereka. Oleh karena itu, seorang muslim dilarang keras untuk ikut serta meramaikannya ataupun sekadar mengucapkan selamat kepada mereka. Karena dengan hanya mengucapkan selamat kepada mereka pada perayaan Natal, maka kita setuju dengan tuduhan mereka bahwa Allah Ta’ala memiliki anak, padahal Allah Ta’ala telah membantah tuduhan tersebut di dalam surah Al-Ikhlas, قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ “Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.’ ” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Mengucapkan “Selamat Natal” sama saja dengan kita menuduh bahwa Allah Ta’ala memiliki anak. Sungguh, ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap firman Allah Ta’ala dan kekufuran kepada-Nya. Jemaah yang dimuliakan Allah, jangan sampai diri kita termasuk orang-orang yang mudah terbawa arus, melakukan kemungkaran dengan dalih toleransi. Sungguh, perbuatan semacam ini akan membawa kita kepada kehancuran dan kecelakaan. اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa yang tidak aku ketahui. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Setiap Akhir Tahun Umat Islam Ribut tentang Hukum Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Teks Khotbah Jumat: Nasihat Tauhid di Penghujung Tahun

Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Perlu kita ketahui bersama bahwa dosa terberat yang akan memasukkan pelakunya ke dalam api neraka adalah menyekutukan Allah Ta’ala dan berbuat kesyirikan kepada-Nya. Allah berfirman, إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13) Allah Ta’ala juga berfirman bahwa pelaku kesyirikan, tempat mereka di akhirat nanti adalah neraka wal’iyyadzu billah, إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖوَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) Setelah mendengar dua ayat tersebut, sudah sepantasnya kita semakin berhati-hati dan takut serta khawatir dari terjerumus kepada jerat-jerat kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hendaknya diri kita senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dijauhkan dari pintu-pintu kesyirikan. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, seorang muslim yang sejati adalah mereka yang bertauhid dan mengesakan Allah Ta’ala dalam segala hal, yakin bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhannya, satu-satunya yang menciptakannya, dan satu-satunya penolong bagi dirinya tatkala dirinya mendapatkan kesulitan. Mereka yang bertauhid, maka telah menggugurkan kewajiban pertama mereka yang harus mereka laksanakan. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56) Pengabdian yang sempurna adalah dengan mengesakan Allah satu-satu-Nya dalam segala hal. Baik itu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala, seperti menciptakan, mematikan, memberikan rezeki, ataupun yang semisalnya. Pada jenis tauhid rububiyyah ini, seorang hamba tidak pernah menaruh harap akan rezeki kepada selain Allah Ta’ala, tidak pernah terlintas sama sekali di dalam benaknya untuk bergantung kepada selain Allah, yakin dengan sepenuh jiwanya bahwa dirinya akan dibangkitkan dan akan bertemu dengan Rabbnya di akhirat nanti. Dirinya juga yakin bahwa setiap musibah yang menimpanya, setiap kesulitan yang dideritanya, maka itu juga dari Allah Ta’ala semata dan bukan karena kesialan ataupun sebab lainnya. Allah Ta’ala berfirman, مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Al-Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Jemaah Jumat yang dirahmati Allah, Mengesakan Allah Ta’ala juga kita terapkan dan kita amalkan dalam perbuatan amal ibadah kita. Inilah yang disebut dengan tauhid uluhiyyah. Tidaklah kita mengerjakan salat, bersedekah, berpuasa, berangkat umrah dan haji, kecuali semuanya kita ikhlaskan dan kita peruntukkan untuk Allah Ta’ala saja. Jangan sampai tatkala kita melaksanakan salat, hanya untuk kemudian dikatakan sebagai ahli ibadah, berpuasa hanya untuk kemudian dipuji manusia. Hendaknya kita jauhkan ibadah-ibadah kita dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan di dalamnya, tidak pamer, dan tidak mem-posting foto untuk kemudian orang-orang melihatnya dan menyanjung-nyanjung diri kita, lalu tumbuhlah di hati kita penyakit riya’ dan sum’ah. Allah Ta’ala telah mengingatkan kita semua akan perintah-Nya kepada para nabi-Nya dan tentunya juga kepada kita semua, ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5) Yang dimaksud dengan (حُنَفَاءَ) “agama yang lurus” pada ayat di atas adalah jalan Islam yang terjauhkan dari perkara-perkara syirik serta istikamah menuju kepada tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala. Di sinilah pentingnya ikhlas dalam seluruh amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan agar tidak mendapat azab dari Allah Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa dosa kesyirikan tidak akan Allah Ta’ala ampuni, kecuali jika pelakunya bertobat, menyesal dan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya tobat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا “Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48) Adapun mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya, maka akan mendatangkan keutamaan yang sangat besar bagi pelakunya. Di antaranya adalah mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. ‘… Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. Tirmidzi no. 3540 dan Ahmad no. 13493) Di hadis yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk surga.” (HR. Muslim no. 93) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di penghujung akhir tahun seperti ini, ada satu hal yang perlu kiranya untuk selalu kita ingatkan dan menjadi perhatian kita bersama. Karena, jika seseorang terperosok dalam perbuatan ini, maka itu akan menodai atau bahkan meruntuhkan bangunan tauhidnya. Perkara tersebut wahai jemaah sekalian adalah ikut merayakan perayaan Natal dan Tahun Baru. Sungguh keduanya merupakan perayaan orang-orang kafir yang seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ  لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.’” (QS. Al-Kafirun: 1-3) Ayat yang mulia yang menjelaskan kepada kita tentang batasan bagaimana seorang muslim bertoleransi dan bermuamalah dengan orang-orang nonmuslim. Bahwa toleransi yang Islam ajarkan kepada kita adalah toleransi dalam hal muamalah dan urusan duniawi saja. Adapun dalam hal agama dan ibadah, maka Islam melarang keras dari menyembah sesembahan mereka, ikut serta dalam perayaan mereka, atau menyetujui keyakinan mereka. Merayakan kedua hari tersebut serta saling bertukar ucapan selamat padanya merupakan bentuk adat kebiasaan yang berhubungan erat dengan agama mereka. Oleh karena itu, seorang muslim dilarang keras untuk ikut serta meramaikannya ataupun sekadar mengucapkan selamat kepada mereka. Karena dengan hanya mengucapkan selamat kepada mereka pada perayaan Natal, maka kita setuju dengan tuduhan mereka bahwa Allah Ta’ala memiliki anak, padahal Allah Ta’ala telah membantah tuduhan tersebut di dalam surah Al-Ikhlas, قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ “Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.’ ” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Mengucapkan “Selamat Natal” sama saja dengan kita menuduh bahwa Allah Ta’ala memiliki anak. Sungguh, ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap firman Allah Ta’ala dan kekufuran kepada-Nya. Jemaah yang dimuliakan Allah, jangan sampai diri kita termasuk orang-orang yang mudah terbawa arus, melakukan kemungkaran dengan dalih toleransi. Sungguh, perbuatan semacam ini akan membawa kita kepada kehancuran dan kecelakaan. اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa yang tidak aku ketahui. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Setiap Akhir Tahun Umat Islam Ribut tentang Hukum Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Perlu kita ketahui bersama bahwa dosa terberat yang akan memasukkan pelakunya ke dalam api neraka adalah menyekutukan Allah Ta’ala dan berbuat kesyirikan kepada-Nya. Allah berfirman, إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13) Allah Ta’ala juga berfirman bahwa pelaku kesyirikan, tempat mereka di akhirat nanti adalah neraka wal’iyyadzu billah, إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖوَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) Setelah mendengar dua ayat tersebut, sudah sepantasnya kita semakin berhati-hati dan takut serta khawatir dari terjerumus kepada jerat-jerat kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hendaknya diri kita senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dijauhkan dari pintu-pintu kesyirikan. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, seorang muslim yang sejati adalah mereka yang bertauhid dan mengesakan Allah Ta’ala dalam segala hal, yakin bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhannya, satu-satunya yang menciptakannya, dan satu-satunya penolong bagi dirinya tatkala dirinya mendapatkan kesulitan. Mereka yang bertauhid, maka telah menggugurkan kewajiban pertama mereka yang harus mereka laksanakan. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56) Pengabdian yang sempurna adalah dengan mengesakan Allah satu-satu-Nya dalam segala hal. Baik itu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala, seperti menciptakan, mematikan, memberikan rezeki, ataupun yang semisalnya. Pada jenis tauhid rububiyyah ini, seorang hamba tidak pernah menaruh harap akan rezeki kepada selain Allah Ta’ala, tidak pernah terlintas sama sekali di dalam benaknya untuk bergantung kepada selain Allah, yakin dengan sepenuh jiwanya bahwa dirinya akan dibangkitkan dan akan bertemu dengan Rabbnya di akhirat nanti. Dirinya juga yakin bahwa setiap musibah yang menimpanya, setiap kesulitan yang dideritanya, maka itu juga dari Allah Ta’ala semata dan bukan karena kesialan ataupun sebab lainnya. Allah Ta’ala berfirman, مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Al-Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Jemaah Jumat yang dirahmati Allah, Mengesakan Allah Ta’ala juga kita terapkan dan kita amalkan dalam perbuatan amal ibadah kita. Inilah yang disebut dengan tauhid uluhiyyah. Tidaklah kita mengerjakan salat, bersedekah, berpuasa, berangkat umrah dan haji, kecuali semuanya kita ikhlaskan dan kita peruntukkan untuk Allah Ta’ala saja. Jangan sampai tatkala kita melaksanakan salat, hanya untuk kemudian dikatakan sebagai ahli ibadah, berpuasa hanya untuk kemudian dipuji manusia. Hendaknya kita jauhkan ibadah-ibadah kita dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan di dalamnya, tidak pamer, dan tidak mem-posting foto untuk kemudian orang-orang melihatnya dan menyanjung-nyanjung diri kita, lalu tumbuhlah di hati kita penyakit riya’ dan sum’ah. Allah Ta’ala telah mengingatkan kita semua akan perintah-Nya kepada para nabi-Nya dan tentunya juga kepada kita semua, ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5) Yang dimaksud dengan (حُنَفَاءَ) “agama yang lurus” pada ayat di atas adalah jalan Islam yang terjauhkan dari perkara-perkara syirik serta istikamah menuju kepada tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala. Di sinilah pentingnya ikhlas dalam seluruh amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan agar tidak mendapat azab dari Allah Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa dosa kesyirikan tidak akan Allah Ta’ala ampuni, kecuali jika pelakunya bertobat, menyesal dan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya tobat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا “Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48) Adapun mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya, maka akan mendatangkan keutamaan yang sangat besar bagi pelakunya. Di antaranya adalah mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. ‘… Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. Tirmidzi no. 3540 dan Ahmad no. 13493) Di hadis yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk surga.” (HR. Muslim no. 93) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di penghujung akhir tahun seperti ini, ada satu hal yang perlu kiranya untuk selalu kita ingatkan dan menjadi perhatian kita bersama. Karena, jika seseorang terperosok dalam perbuatan ini, maka itu akan menodai atau bahkan meruntuhkan bangunan tauhidnya. Perkara tersebut wahai jemaah sekalian adalah ikut merayakan perayaan Natal dan Tahun Baru. Sungguh keduanya merupakan perayaan orang-orang kafir yang seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ  لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.’” (QS. Al-Kafirun: 1-3) Ayat yang mulia yang menjelaskan kepada kita tentang batasan bagaimana seorang muslim bertoleransi dan bermuamalah dengan orang-orang nonmuslim. Bahwa toleransi yang Islam ajarkan kepada kita adalah toleransi dalam hal muamalah dan urusan duniawi saja. Adapun dalam hal agama dan ibadah, maka Islam melarang keras dari menyembah sesembahan mereka, ikut serta dalam perayaan mereka, atau menyetujui keyakinan mereka. Merayakan kedua hari tersebut serta saling bertukar ucapan selamat padanya merupakan bentuk adat kebiasaan yang berhubungan erat dengan agama mereka. Oleh karena itu, seorang muslim dilarang keras untuk ikut serta meramaikannya ataupun sekadar mengucapkan selamat kepada mereka. Karena dengan hanya mengucapkan selamat kepada mereka pada perayaan Natal, maka kita setuju dengan tuduhan mereka bahwa Allah Ta’ala memiliki anak, padahal Allah Ta’ala telah membantah tuduhan tersebut di dalam surah Al-Ikhlas, قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ “Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.’ ” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Mengucapkan “Selamat Natal” sama saja dengan kita menuduh bahwa Allah Ta’ala memiliki anak. Sungguh, ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap firman Allah Ta’ala dan kekufuran kepada-Nya. Jemaah yang dimuliakan Allah, jangan sampai diri kita termasuk orang-orang yang mudah terbawa arus, melakukan kemungkaran dengan dalih toleransi. Sungguh, perbuatan semacam ini akan membawa kita kepada kehancuran dan kecelakaan. اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa yang tidak aku ketahui. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Setiap Akhir Tahun Umat Islam Ribut tentang Hukum Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Khotbah pertamaKhotbah kedua Khotbah pertama السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.  يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.  أَمَّا بَعْدُ:  فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala. Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian. Marilah senantiasa kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kita ke dalam api neraka. Perlu kita ketahui bersama bahwa dosa terberat yang akan memasukkan pelakunya ke dalam api neraka adalah menyekutukan Allah Ta’ala dan berbuat kesyirikan kepada-Nya. Allah berfirman, إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ “Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13) Allah Ta’ala juga berfirman bahwa pelaku kesyirikan, tempat mereka di akhirat nanti adalah neraka wal’iyyadzu billah, إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖوَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72) Setelah mendengar dua ayat tersebut, sudah sepantasnya kita semakin berhati-hati dan takut serta khawatir dari terjerumus kepada jerat-jerat kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Hendaknya diri kita senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dijauhkan dari pintu-pintu kesyirikan. Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala, seorang muslim yang sejati adalah mereka yang bertauhid dan mengesakan Allah Ta’ala dalam segala hal, yakin bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhannya, satu-satunya yang menciptakannya, dan satu-satunya penolong bagi dirinya tatkala dirinya mendapatkan kesulitan. Mereka yang bertauhid, maka telah menggugurkan kewajiban pertama mereka yang harus mereka laksanakan. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56) Pengabdian yang sempurna adalah dengan mengesakan Allah satu-satu-Nya dalam segala hal. Baik itu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala, seperti menciptakan, mematikan, memberikan rezeki, ataupun yang semisalnya. Pada jenis tauhid rububiyyah ini, seorang hamba tidak pernah menaruh harap akan rezeki kepada selain Allah Ta’ala, tidak pernah terlintas sama sekali di dalam benaknya untuk bergantung kepada selain Allah, yakin dengan sepenuh jiwanya bahwa dirinya akan dibangkitkan dan akan bertemu dengan Rabbnya di akhirat nanti. Dirinya juga yakin bahwa setiap musibah yang menimpanya, setiap kesulitan yang dideritanya, maka itu juga dari Allah Ta’ala semata dan bukan karena kesialan ataupun sebab lainnya. Allah Ta’ala berfirman, مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Al-Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22) Jemaah Jumat yang dirahmati Allah, Mengesakan Allah Ta’ala juga kita terapkan dan kita amalkan dalam perbuatan amal ibadah kita. Inilah yang disebut dengan tauhid uluhiyyah. Tidaklah kita mengerjakan salat, bersedekah, berpuasa, berangkat umrah dan haji, kecuali semuanya kita ikhlaskan dan kita peruntukkan untuk Allah Ta’ala saja. Jangan sampai tatkala kita melaksanakan salat, hanya untuk kemudian dikatakan sebagai ahli ibadah, berpuasa hanya untuk kemudian dipuji manusia. Hendaknya kita jauhkan ibadah-ibadah kita dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan di dalamnya, tidak pamer, dan tidak mem-posting foto untuk kemudian orang-orang melihatnya dan menyanjung-nyanjung diri kita, lalu tumbuhlah di hati kita penyakit riya’ dan sum’ah. Allah Ta’ala telah mengingatkan kita semua akan perintah-Nya kepada para nabi-Nya dan tentunya juga kepada kita semua, ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ “Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5) Yang dimaksud dengan (حُنَفَاءَ) “agama yang lurus” pada ayat di atas adalah jalan Islam yang terjauhkan dari perkara-perkara syirik serta istikamah menuju kepada tauhid dan pengesaan Allah Ta’ala. Di sinilah pentingnya ikhlas dalam seluruh amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan agar tidak mendapat azab dari Allah Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa dosa kesyirikan tidak akan Allah Ta’ala ampuni, kecuali jika pelakunya bertobat, menyesal dan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya tobat. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا “Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48) Adapun mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya, maka akan mendatangkan keutamaan yang sangat besar bagi pelakunya. Di antaranya adalah mendapatkan ampunan Allah Ta’ala di hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman, يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. ‘… Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’” (HR. Tirmidzi no. 3540 dan Ahmad no. 13493) Di hadis yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk surga.” (HR. Muslim no. 93) أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Baca juga: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya? Khotbah kedua اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala. Di penghujung akhir tahun seperti ini, ada satu hal yang perlu kiranya untuk selalu kita ingatkan dan menjadi perhatian kita bersama. Karena, jika seseorang terperosok dalam perbuatan ini, maka itu akan menodai atau bahkan meruntuhkan bangunan tauhidnya. Perkara tersebut wahai jemaah sekalian adalah ikut merayakan perayaan Natal dan Tahun Baru. Sungguh keduanya merupakan perayaan orang-orang kafir yang seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ  لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.’” (QS. Al-Kafirun: 1-3) Ayat yang mulia yang menjelaskan kepada kita tentang batasan bagaimana seorang muslim bertoleransi dan bermuamalah dengan orang-orang nonmuslim. Bahwa toleransi yang Islam ajarkan kepada kita adalah toleransi dalam hal muamalah dan urusan duniawi saja. Adapun dalam hal agama dan ibadah, maka Islam melarang keras dari menyembah sesembahan mereka, ikut serta dalam perayaan mereka, atau menyetujui keyakinan mereka. Merayakan kedua hari tersebut serta saling bertukar ucapan selamat padanya merupakan bentuk adat kebiasaan yang berhubungan erat dengan agama mereka. Oleh karena itu, seorang muslim dilarang keras untuk ikut serta meramaikannya ataupun sekadar mengucapkan selamat kepada mereka. Karena dengan hanya mengucapkan selamat kepada mereka pada perayaan Natal, maka kita setuju dengan tuduhan mereka bahwa Allah Ta’ala memiliki anak, padahal Allah Ta’ala telah membantah tuduhan tersebut di dalam surah Al-Ikhlas, قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ “Katakanlah, ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.’ ” (QS. Al-Ikhlas: 1-4) Mengucapkan “Selamat Natal” sama saja dengan kita menuduh bahwa Allah Ta’ala memiliki anak. Sungguh, ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap firman Allah Ta’ala dan kekufuran kepada-Nya. Jemaah yang dimuliakan Allah, jangan sampai diri kita termasuk orang-orang yang mudah terbawa arus, melakukan kemungkaran dengan dalih toleransi. Sungguh, perbuatan semacam ini akan membawa kita kepada kehancuran dan kecelakaan. اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa yang tidak aku ketahui. إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ Baca juga: Setiap Akhir Tahun Umat Islam Ribut tentang Hukum Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru? *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Hukum Nikah Siri dalam Islam

Daftar Isi Toggle Rukun dan syarat nikah dalam IslamPertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuanKedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuanKetiga: Hadirnya dua orang saksi Keempat: Ijab kabulAnjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahanBeberapa macam nikah siri beserta hukumnyaPertama: Nikah siri tanpa waliKedua: Nikah siri tanpa adanya saksiKetiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyiKeempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Fenomena nikah siri akhir-akhir ini mulai terangkat kembali, menjadi bahan pembicaraan di portal-portal berita dan di seluruh media, baik itu di televisi ataupun media sosial. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya fenomena tersebut. Di antaranya: faktor ekonomi, hamil di luar nikah, ingin melakukan poligami secara diam-diam, atau karena calon mempelai belum mencapai umur minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan karena sebab-sebab lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ‘nikah siri’ memiliki definisi, “Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), dan sah menurut agama Islam.” Nikah siri dapat dipahami juga sebagai sebuah pernikahan yang hanya sah secara hukum agama Islam, namun belum tercatat di Kantor Urusan Agama milik negara. Selama syarat-syarat sah dan rukun nikahnya terpenuhi, maka akad pernikahannya tersebut sah dan menjadikan sebuah hubungan yang semula haram untuk dilakukan menjadi halal untuk dilakukan sebagai suami dan istri. Pengertian nikah siri di dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, karena mencakup pernikahan yang sah dan juga yang tidak sah. “Siri” secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Melalui akar kata inilah, ‘nikah siri’ diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Sebelum memahami lebih jauh tentang nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa tidak semua pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diumumkan diakui dan dianggap sah oleh syariat Islam. Untuk menghukumi sah atau tidaknya nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu dua hal berikut ini: Pertama: Rukun dan syarat nikah dalam Islam. Kedua: Adanya syariat dan anjuran untuk mengumumkan dan memeriahkan pernikahan. Rukun dan syarat nikah dalam Islam Untuk menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri (nikah yang disembunyikan) dalam ajaran Islam, maka kita perlu memastikan apakah semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi ataukah belum. Adapun rukun dan syarat sah nikah dalam ajaran Islam yaitu, Pertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan Untuk calon pengantin pria, maka memiliki persyaratan, seperti: beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya, adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin). Untuk calon pengantin perempuan, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan, seperti: tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa idah dari pernikahannya dengan orang lain. Kedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuan Baik wali nikahnya tersebut dari jalur nasab ataupun dari wali hakim. Adapun syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang dapat menjadi wali nikah, yaitu: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asabat) untuk seorang perempuan. Ketiga: Hadirnya dua orang saksi  Di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahannya sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: beragama Islam, laki-laki (menurut mayoritas mazhab), sudah dewasa, kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi). Disebutkan di dalam hadis sahih, لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ “Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558.) Keempat: Ijab kabul Yaitu, proses akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan kabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apa pun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu). Anjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahan Disunahkan untuk mengumumkan akad pernikahan dan ini merupakan kesepakatan mazhab yang empat’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ رأى عبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ وعليْهِ رِدعُ زعفرانٍ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ مَهيِم فقالَ يا رسولَ اللَّهِ تزوَّجتُ امرأةً قالَ ما أصدقتَها قالَ وَزنَ نواةٍ من ذَهبٍ قالَ أولِم ولو بشاةٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya, ‘Ada apa ini, Abdurrahman?’ Abdurrahman menjawab, ‘Saya baru menikahi seorang wanita.’ Rasulullah bertanya, ‘Mahar apa yang engkau berikan?’ Abdurrahman menjawab, ‘Mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi bersabda, ‘Kalau begitu, adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.’” (HR. Abu Dawud no. 2109, Bukhari no. 3937, dan Muslim no. 1427) Seorang shahabiyyat wanita bernama Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha mengisahkan, دَخَلَ عَلَيَّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَداةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ علَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وجُوَيْرِياتٌ يَضْرِبْنَ بالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَن قُتِلَ مِن آبائِهِنَّ يَومَ بَدْرٍ، حتَّى قالَتْ جارِيَةٌ: وفينا نَبِيٌّ يَعْلَمُ ما في غَدٍ. فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا تَقُولِي هَكَذا، وقُولِي ما كُنْتِ تَقُولِينَ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku (mengisyaratkan jauhnya jarak mereka berdua tatkala mereka berbicara). Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair), ‘Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui esok hari.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapkan tadi.’” (HR. Bukhari no. 4001) Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan dan menyetujui adanya pengumuman pernikahan dan bentuk meramaikannya dengan duff (alat tabuh gendang atau rebana yang ditabuh oleh anak-anak perempuan) dan hal-hal lainnya yang diperbolehkan, dan beliau juga menghadiri beberapa acara tersebut. Di dalam mengumumkan pernikahan dan meramaikannya sehingga banyak orang yang mengetahuinya serta mencatatkannya kepada pihak berwenang, memiliki banyak sekali hikmah dan faedah. Di antaranya adalah menjauhkan seseorang dari persangkaan buruk akan adanya perzinaan antara kedua mempelai yang menikah tersebut. Begitu juga, perbuatan ini akan menjaga kehormatan nasab dan anak keturunannya. Karena sebuah pernikahan yang belum diakui oleh penyelenggara negara, maka akan memiliki dampak negatif kepada status anak yang dilahirkannya. Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak” Beberapa macam nikah siri beserta hukumnya Pertama: Nikah siri tanpa wali Biasanya, hal ini terjadi karena wali dari pihak perempuan belum memberikan persetujuan dan restunya, atau karena kedua calon mempelai menganggap sahnya sebuah pernikahan tanpa adanya wali atau bisa jadi hal ini dilakukan hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentuan syariat agama. Dalam kasus seperti, telah jelas bahwa hukum pernikahannya tidak sah karena keberadaan wali, baik itu wali nasab ataupun wali hakim merupakan syarat mutlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ “Tidaklah sah sebuah pernikahan, kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi.” (Disebutkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 7557) Beliau juga bersabda, أيُّما امرأةٍ نَكَحَت بغيرِ إذنِ مَواليها ، فنِكاحُها باطلٌ ، ثلاثَ مرَّاتٍ “Setiap wanita yang menikah tanpa seizin salah satu dari walinya, maka pernikahannya batal (rusak). (Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud no. 2083) Kedua: Nikah siri tanpa adanya saksi Apabila telah benar bahwa kedua belah pihak melakukan akad nikah dengan kehadiran wali dari pihak perempuan, namun di dalam pelaksanaannya tidak menghadirkan saksi yang sah atau kurang di dalam jumlah saksinya, maka pernikahan semacam ini dihukumi tidak sah juga. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwattha’, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ “Bahwasanya Umar bin Khattab suatu hari pernah dihadapkan kepada beliau sebuah kasus pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka, beliau mengatakan, ‘Ini merupakan salah satu bentuk nikah siri dan aku tidak mengizinkan pernikahan semacam ini. Seandainya saya menemuinya, maka saya akan merajamnya.’” (Al-Muwattha’, 4: 57) Ketiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyi Mengenai hukum nikah semacam ini, maka para ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama: pernikahannya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan kebanyakan para ahli hadis dan  merupakan beberapa riwayat Ahmad. Pendapat kedua: pernikahannya sah, namun menyelisihi yang lebih utama, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, mengumumkan pernikahan merupakan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah pendapat mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iyyah, dan Hambali. Pendapat kedua juga menyampaikan, “Jika pernikahan semacam ini menimbulkan kemudaratan dan marabahaya serta berpotensi mengundang fitnah di hati kaum muslimin, terlebih lagi terkadang akan mempengaruhi status anak dari hasil pernikahan tersebut dan juga seringkali akan merugikan pihak istri, maka hukumnya juga haram sebagaimana pendapat yang pertama.” (Taqrib Fatawa Ibnu Taimiyyah, oleh Syekh Ahmad bin Nashir At-Thayyar) Keempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Inilah di antara bentuk nikah siri yang banyak terjadi di sekitar kita, entah itu bermula dari pernikahan usia dini sehingga belum dapat didaftarkan ataupun karena poligami dan sebab lainnya. Dalam kasus seperti ini, selama semua persyaratan telah terpenuhi, baik itu dengan adanya wali, kesaksian dua orang saksi laki-laki, lalu disempurnakan dengan adanya pengumuman dan pemberitaan, maka hukumnya menurut syariat Islam adalah sah. Namun, secara hukum negara belumlah dianggap sah. Perlu kita sadari bersama bahwa pemerintah telah mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mencatatkannya kepada pihak yang berwenang, dan tentu saja ini merupakan perintah dan kewajiban yang diambil pemerintah sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Menaati pemerintah selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Mereka yang tidak melaksanakannya dan tidak menaatinya, maka sesungguhnya ia telah berdosa dan melakukan kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59) Sebuah pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya kepada KUA, minimal akan mendapatkan tiga dampak negatif: Pertama: Status anak hasil dari nikah siri disamakan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hukum negara. Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (menurut hukum negara) sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Disebutkan juga bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin selama pihak terkait tidak mengajukan permohonannya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Agama. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kedua: Kesulitan terkait kepentingan kepengurusan dokumen kependudukan Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. Ketiga: Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam hak waris. Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang DIAKUI oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris, yaitu ayahnya, maka hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Meskipun di dalam Islam ia tetap mendapatkan hak waris, namun jika suatu saat terjadi persengketaan dalam hal waris dan sengketa tersebut diangkat ke pengadilan, maka dirinya tidak memiliki kekuatan hukum di dalam pengadilan tersebut. Seorang muslim perlu kiranya untuk berhati-hati di dalam masalah ini, dan hendaknya mengambil cara yang paling utama. Yaitu, tidaklah ia melangsungkan sebuah akad nikah, kecuali telah terpenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya lalu mengumumkan pernikahannya tersebut kepada khalayak ramai serta mencatatkannya di lembaga KUA. Karena inilah cara yang disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya dan cara yang akan mendatangkan maslahat serta menghindarkan kerusakan dan kerugian. Dapat kita ketahui juga bahwa menyembunyikan pernikahan, seringkali akan menimbulkan sebuah kemudaratan, baik itu kepada salah satu pihak yang mengikat akad tersebut, ataupun nanti kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengusahakan yang terbaik dalam hal akad nikah ini. Wallahu A’lam Bis-shawab. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Hukum Nikah Siri dalam Islam

Daftar Isi Toggle Rukun dan syarat nikah dalam IslamPertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuanKedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuanKetiga: Hadirnya dua orang saksi Keempat: Ijab kabulAnjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahanBeberapa macam nikah siri beserta hukumnyaPertama: Nikah siri tanpa waliKedua: Nikah siri tanpa adanya saksiKetiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyiKeempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Fenomena nikah siri akhir-akhir ini mulai terangkat kembali, menjadi bahan pembicaraan di portal-portal berita dan di seluruh media, baik itu di televisi ataupun media sosial. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya fenomena tersebut. Di antaranya: faktor ekonomi, hamil di luar nikah, ingin melakukan poligami secara diam-diam, atau karena calon mempelai belum mencapai umur minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan karena sebab-sebab lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ‘nikah siri’ memiliki definisi, “Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), dan sah menurut agama Islam.” Nikah siri dapat dipahami juga sebagai sebuah pernikahan yang hanya sah secara hukum agama Islam, namun belum tercatat di Kantor Urusan Agama milik negara. Selama syarat-syarat sah dan rukun nikahnya terpenuhi, maka akad pernikahannya tersebut sah dan menjadikan sebuah hubungan yang semula haram untuk dilakukan menjadi halal untuk dilakukan sebagai suami dan istri. Pengertian nikah siri di dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, karena mencakup pernikahan yang sah dan juga yang tidak sah. “Siri” secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Melalui akar kata inilah, ‘nikah siri’ diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Sebelum memahami lebih jauh tentang nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa tidak semua pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diumumkan diakui dan dianggap sah oleh syariat Islam. Untuk menghukumi sah atau tidaknya nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu dua hal berikut ini: Pertama: Rukun dan syarat nikah dalam Islam. Kedua: Adanya syariat dan anjuran untuk mengumumkan dan memeriahkan pernikahan. Rukun dan syarat nikah dalam Islam Untuk menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri (nikah yang disembunyikan) dalam ajaran Islam, maka kita perlu memastikan apakah semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi ataukah belum. Adapun rukun dan syarat sah nikah dalam ajaran Islam yaitu, Pertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan Untuk calon pengantin pria, maka memiliki persyaratan, seperti: beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya, adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin). Untuk calon pengantin perempuan, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan, seperti: tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa idah dari pernikahannya dengan orang lain. Kedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuan Baik wali nikahnya tersebut dari jalur nasab ataupun dari wali hakim. Adapun syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang dapat menjadi wali nikah, yaitu: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asabat) untuk seorang perempuan. Ketiga: Hadirnya dua orang saksi  Di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahannya sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: beragama Islam, laki-laki (menurut mayoritas mazhab), sudah dewasa, kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi). Disebutkan di dalam hadis sahih, لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ “Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558.) Keempat: Ijab kabul Yaitu, proses akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan kabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apa pun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu). Anjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahan Disunahkan untuk mengumumkan akad pernikahan dan ini merupakan kesepakatan mazhab yang empat’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ رأى عبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ وعليْهِ رِدعُ زعفرانٍ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ مَهيِم فقالَ يا رسولَ اللَّهِ تزوَّجتُ امرأةً قالَ ما أصدقتَها قالَ وَزنَ نواةٍ من ذَهبٍ قالَ أولِم ولو بشاةٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya, ‘Ada apa ini, Abdurrahman?’ Abdurrahman menjawab, ‘Saya baru menikahi seorang wanita.’ Rasulullah bertanya, ‘Mahar apa yang engkau berikan?’ Abdurrahman menjawab, ‘Mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi bersabda, ‘Kalau begitu, adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.’” (HR. Abu Dawud no. 2109, Bukhari no. 3937, dan Muslim no. 1427) Seorang shahabiyyat wanita bernama Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha mengisahkan, دَخَلَ عَلَيَّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَداةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ علَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وجُوَيْرِياتٌ يَضْرِبْنَ بالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَن قُتِلَ مِن آبائِهِنَّ يَومَ بَدْرٍ، حتَّى قالَتْ جارِيَةٌ: وفينا نَبِيٌّ يَعْلَمُ ما في غَدٍ. فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا تَقُولِي هَكَذا، وقُولِي ما كُنْتِ تَقُولِينَ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku (mengisyaratkan jauhnya jarak mereka berdua tatkala mereka berbicara). Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair), ‘Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui esok hari.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapkan tadi.’” (HR. Bukhari no. 4001) Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan dan menyetujui adanya pengumuman pernikahan dan bentuk meramaikannya dengan duff (alat tabuh gendang atau rebana yang ditabuh oleh anak-anak perempuan) dan hal-hal lainnya yang diperbolehkan, dan beliau juga menghadiri beberapa acara tersebut. Di dalam mengumumkan pernikahan dan meramaikannya sehingga banyak orang yang mengetahuinya serta mencatatkannya kepada pihak berwenang, memiliki banyak sekali hikmah dan faedah. Di antaranya adalah menjauhkan seseorang dari persangkaan buruk akan adanya perzinaan antara kedua mempelai yang menikah tersebut. Begitu juga, perbuatan ini akan menjaga kehormatan nasab dan anak keturunannya. Karena sebuah pernikahan yang belum diakui oleh penyelenggara negara, maka akan memiliki dampak negatif kepada status anak yang dilahirkannya. Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak” Beberapa macam nikah siri beserta hukumnya Pertama: Nikah siri tanpa wali Biasanya, hal ini terjadi karena wali dari pihak perempuan belum memberikan persetujuan dan restunya, atau karena kedua calon mempelai menganggap sahnya sebuah pernikahan tanpa adanya wali atau bisa jadi hal ini dilakukan hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentuan syariat agama. Dalam kasus seperti, telah jelas bahwa hukum pernikahannya tidak sah karena keberadaan wali, baik itu wali nasab ataupun wali hakim merupakan syarat mutlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ “Tidaklah sah sebuah pernikahan, kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi.” (Disebutkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 7557) Beliau juga bersabda, أيُّما امرأةٍ نَكَحَت بغيرِ إذنِ مَواليها ، فنِكاحُها باطلٌ ، ثلاثَ مرَّاتٍ “Setiap wanita yang menikah tanpa seizin salah satu dari walinya, maka pernikahannya batal (rusak). (Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud no. 2083) Kedua: Nikah siri tanpa adanya saksi Apabila telah benar bahwa kedua belah pihak melakukan akad nikah dengan kehadiran wali dari pihak perempuan, namun di dalam pelaksanaannya tidak menghadirkan saksi yang sah atau kurang di dalam jumlah saksinya, maka pernikahan semacam ini dihukumi tidak sah juga. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwattha’, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ “Bahwasanya Umar bin Khattab suatu hari pernah dihadapkan kepada beliau sebuah kasus pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka, beliau mengatakan, ‘Ini merupakan salah satu bentuk nikah siri dan aku tidak mengizinkan pernikahan semacam ini. Seandainya saya menemuinya, maka saya akan merajamnya.’” (Al-Muwattha’, 4: 57) Ketiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyi Mengenai hukum nikah semacam ini, maka para ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama: pernikahannya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan kebanyakan para ahli hadis dan  merupakan beberapa riwayat Ahmad. Pendapat kedua: pernikahannya sah, namun menyelisihi yang lebih utama, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, mengumumkan pernikahan merupakan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah pendapat mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iyyah, dan Hambali. Pendapat kedua juga menyampaikan, “Jika pernikahan semacam ini menimbulkan kemudaratan dan marabahaya serta berpotensi mengundang fitnah di hati kaum muslimin, terlebih lagi terkadang akan mempengaruhi status anak dari hasil pernikahan tersebut dan juga seringkali akan merugikan pihak istri, maka hukumnya juga haram sebagaimana pendapat yang pertama.” (Taqrib Fatawa Ibnu Taimiyyah, oleh Syekh Ahmad bin Nashir At-Thayyar) Keempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Inilah di antara bentuk nikah siri yang banyak terjadi di sekitar kita, entah itu bermula dari pernikahan usia dini sehingga belum dapat didaftarkan ataupun karena poligami dan sebab lainnya. Dalam kasus seperti ini, selama semua persyaratan telah terpenuhi, baik itu dengan adanya wali, kesaksian dua orang saksi laki-laki, lalu disempurnakan dengan adanya pengumuman dan pemberitaan, maka hukumnya menurut syariat Islam adalah sah. Namun, secara hukum negara belumlah dianggap sah. Perlu kita sadari bersama bahwa pemerintah telah mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mencatatkannya kepada pihak yang berwenang, dan tentu saja ini merupakan perintah dan kewajiban yang diambil pemerintah sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Menaati pemerintah selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Mereka yang tidak melaksanakannya dan tidak menaatinya, maka sesungguhnya ia telah berdosa dan melakukan kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59) Sebuah pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya kepada KUA, minimal akan mendapatkan tiga dampak negatif: Pertama: Status anak hasil dari nikah siri disamakan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hukum negara. Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (menurut hukum negara) sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Disebutkan juga bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin selama pihak terkait tidak mengajukan permohonannya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Agama. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kedua: Kesulitan terkait kepentingan kepengurusan dokumen kependudukan Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. Ketiga: Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam hak waris. Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang DIAKUI oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris, yaitu ayahnya, maka hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Meskipun di dalam Islam ia tetap mendapatkan hak waris, namun jika suatu saat terjadi persengketaan dalam hal waris dan sengketa tersebut diangkat ke pengadilan, maka dirinya tidak memiliki kekuatan hukum di dalam pengadilan tersebut. Seorang muslim perlu kiranya untuk berhati-hati di dalam masalah ini, dan hendaknya mengambil cara yang paling utama. Yaitu, tidaklah ia melangsungkan sebuah akad nikah, kecuali telah terpenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya lalu mengumumkan pernikahannya tersebut kepada khalayak ramai serta mencatatkannya di lembaga KUA. Karena inilah cara yang disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya dan cara yang akan mendatangkan maslahat serta menghindarkan kerusakan dan kerugian. Dapat kita ketahui juga bahwa menyembunyikan pernikahan, seringkali akan menimbulkan sebuah kemudaratan, baik itu kepada salah satu pihak yang mengikat akad tersebut, ataupun nanti kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengusahakan yang terbaik dalam hal akad nikah ini. Wallahu A’lam Bis-shawab. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Rukun dan syarat nikah dalam IslamPertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuanKedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuanKetiga: Hadirnya dua orang saksi Keempat: Ijab kabulAnjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahanBeberapa macam nikah siri beserta hukumnyaPertama: Nikah siri tanpa waliKedua: Nikah siri tanpa adanya saksiKetiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyiKeempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Fenomena nikah siri akhir-akhir ini mulai terangkat kembali, menjadi bahan pembicaraan di portal-portal berita dan di seluruh media, baik itu di televisi ataupun media sosial. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya fenomena tersebut. Di antaranya: faktor ekonomi, hamil di luar nikah, ingin melakukan poligami secara diam-diam, atau karena calon mempelai belum mencapai umur minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan karena sebab-sebab lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ‘nikah siri’ memiliki definisi, “Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), dan sah menurut agama Islam.” Nikah siri dapat dipahami juga sebagai sebuah pernikahan yang hanya sah secara hukum agama Islam, namun belum tercatat di Kantor Urusan Agama milik negara. Selama syarat-syarat sah dan rukun nikahnya terpenuhi, maka akad pernikahannya tersebut sah dan menjadikan sebuah hubungan yang semula haram untuk dilakukan menjadi halal untuk dilakukan sebagai suami dan istri. Pengertian nikah siri di dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, karena mencakup pernikahan yang sah dan juga yang tidak sah. “Siri” secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Melalui akar kata inilah, ‘nikah siri’ diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Sebelum memahami lebih jauh tentang nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa tidak semua pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diumumkan diakui dan dianggap sah oleh syariat Islam. Untuk menghukumi sah atau tidaknya nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu dua hal berikut ini: Pertama: Rukun dan syarat nikah dalam Islam. Kedua: Adanya syariat dan anjuran untuk mengumumkan dan memeriahkan pernikahan. Rukun dan syarat nikah dalam Islam Untuk menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri (nikah yang disembunyikan) dalam ajaran Islam, maka kita perlu memastikan apakah semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi ataukah belum. Adapun rukun dan syarat sah nikah dalam ajaran Islam yaitu, Pertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan Untuk calon pengantin pria, maka memiliki persyaratan, seperti: beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya, adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin). Untuk calon pengantin perempuan, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan, seperti: tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa idah dari pernikahannya dengan orang lain. Kedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuan Baik wali nikahnya tersebut dari jalur nasab ataupun dari wali hakim. Adapun syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang dapat menjadi wali nikah, yaitu: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asabat) untuk seorang perempuan. Ketiga: Hadirnya dua orang saksi  Di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahannya sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: beragama Islam, laki-laki (menurut mayoritas mazhab), sudah dewasa, kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi). Disebutkan di dalam hadis sahih, لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ “Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558.) Keempat: Ijab kabul Yaitu, proses akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan kabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apa pun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu). Anjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahan Disunahkan untuk mengumumkan akad pernikahan dan ini merupakan kesepakatan mazhab yang empat’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ رأى عبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ وعليْهِ رِدعُ زعفرانٍ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ مَهيِم فقالَ يا رسولَ اللَّهِ تزوَّجتُ امرأةً قالَ ما أصدقتَها قالَ وَزنَ نواةٍ من ذَهبٍ قالَ أولِم ولو بشاةٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya, ‘Ada apa ini, Abdurrahman?’ Abdurrahman menjawab, ‘Saya baru menikahi seorang wanita.’ Rasulullah bertanya, ‘Mahar apa yang engkau berikan?’ Abdurrahman menjawab, ‘Mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi bersabda, ‘Kalau begitu, adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.’” (HR. Abu Dawud no. 2109, Bukhari no. 3937, dan Muslim no. 1427) Seorang shahabiyyat wanita bernama Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha mengisahkan, دَخَلَ عَلَيَّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَداةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ علَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وجُوَيْرِياتٌ يَضْرِبْنَ بالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَن قُتِلَ مِن آبائِهِنَّ يَومَ بَدْرٍ، حتَّى قالَتْ جارِيَةٌ: وفينا نَبِيٌّ يَعْلَمُ ما في غَدٍ. فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا تَقُولِي هَكَذا، وقُولِي ما كُنْتِ تَقُولِينَ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku (mengisyaratkan jauhnya jarak mereka berdua tatkala mereka berbicara). Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair), ‘Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui esok hari.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapkan tadi.’” (HR. Bukhari no. 4001) Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan dan menyetujui adanya pengumuman pernikahan dan bentuk meramaikannya dengan duff (alat tabuh gendang atau rebana yang ditabuh oleh anak-anak perempuan) dan hal-hal lainnya yang diperbolehkan, dan beliau juga menghadiri beberapa acara tersebut. Di dalam mengumumkan pernikahan dan meramaikannya sehingga banyak orang yang mengetahuinya serta mencatatkannya kepada pihak berwenang, memiliki banyak sekali hikmah dan faedah. Di antaranya adalah menjauhkan seseorang dari persangkaan buruk akan adanya perzinaan antara kedua mempelai yang menikah tersebut. Begitu juga, perbuatan ini akan menjaga kehormatan nasab dan anak keturunannya. Karena sebuah pernikahan yang belum diakui oleh penyelenggara negara, maka akan memiliki dampak negatif kepada status anak yang dilahirkannya. Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak” Beberapa macam nikah siri beserta hukumnya Pertama: Nikah siri tanpa wali Biasanya, hal ini terjadi karena wali dari pihak perempuan belum memberikan persetujuan dan restunya, atau karena kedua calon mempelai menganggap sahnya sebuah pernikahan tanpa adanya wali atau bisa jadi hal ini dilakukan hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentuan syariat agama. Dalam kasus seperti, telah jelas bahwa hukum pernikahannya tidak sah karena keberadaan wali, baik itu wali nasab ataupun wali hakim merupakan syarat mutlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ “Tidaklah sah sebuah pernikahan, kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi.” (Disebutkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 7557) Beliau juga bersabda, أيُّما امرأةٍ نَكَحَت بغيرِ إذنِ مَواليها ، فنِكاحُها باطلٌ ، ثلاثَ مرَّاتٍ “Setiap wanita yang menikah tanpa seizin salah satu dari walinya, maka pernikahannya batal (rusak). (Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud no. 2083) Kedua: Nikah siri tanpa adanya saksi Apabila telah benar bahwa kedua belah pihak melakukan akad nikah dengan kehadiran wali dari pihak perempuan, namun di dalam pelaksanaannya tidak menghadirkan saksi yang sah atau kurang di dalam jumlah saksinya, maka pernikahan semacam ini dihukumi tidak sah juga. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwattha’, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ “Bahwasanya Umar bin Khattab suatu hari pernah dihadapkan kepada beliau sebuah kasus pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka, beliau mengatakan, ‘Ini merupakan salah satu bentuk nikah siri dan aku tidak mengizinkan pernikahan semacam ini. Seandainya saya menemuinya, maka saya akan merajamnya.’” (Al-Muwattha’, 4: 57) Ketiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyi Mengenai hukum nikah semacam ini, maka para ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama: pernikahannya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan kebanyakan para ahli hadis dan  merupakan beberapa riwayat Ahmad. Pendapat kedua: pernikahannya sah, namun menyelisihi yang lebih utama, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, mengumumkan pernikahan merupakan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah pendapat mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iyyah, dan Hambali. Pendapat kedua juga menyampaikan, “Jika pernikahan semacam ini menimbulkan kemudaratan dan marabahaya serta berpotensi mengundang fitnah di hati kaum muslimin, terlebih lagi terkadang akan mempengaruhi status anak dari hasil pernikahan tersebut dan juga seringkali akan merugikan pihak istri, maka hukumnya juga haram sebagaimana pendapat yang pertama.” (Taqrib Fatawa Ibnu Taimiyyah, oleh Syekh Ahmad bin Nashir At-Thayyar) Keempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Inilah di antara bentuk nikah siri yang banyak terjadi di sekitar kita, entah itu bermula dari pernikahan usia dini sehingga belum dapat didaftarkan ataupun karena poligami dan sebab lainnya. Dalam kasus seperti ini, selama semua persyaratan telah terpenuhi, baik itu dengan adanya wali, kesaksian dua orang saksi laki-laki, lalu disempurnakan dengan adanya pengumuman dan pemberitaan, maka hukumnya menurut syariat Islam adalah sah. Namun, secara hukum negara belumlah dianggap sah. Perlu kita sadari bersama bahwa pemerintah telah mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mencatatkannya kepada pihak yang berwenang, dan tentu saja ini merupakan perintah dan kewajiban yang diambil pemerintah sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Menaati pemerintah selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Mereka yang tidak melaksanakannya dan tidak menaatinya, maka sesungguhnya ia telah berdosa dan melakukan kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59) Sebuah pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya kepada KUA, minimal akan mendapatkan tiga dampak negatif: Pertama: Status anak hasil dari nikah siri disamakan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hukum negara. Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (menurut hukum negara) sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Disebutkan juga bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin selama pihak terkait tidak mengajukan permohonannya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Agama. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kedua: Kesulitan terkait kepentingan kepengurusan dokumen kependudukan Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. Ketiga: Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam hak waris. Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang DIAKUI oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris, yaitu ayahnya, maka hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Meskipun di dalam Islam ia tetap mendapatkan hak waris, namun jika suatu saat terjadi persengketaan dalam hal waris dan sengketa tersebut diangkat ke pengadilan, maka dirinya tidak memiliki kekuatan hukum di dalam pengadilan tersebut. Seorang muslim perlu kiranya untuk berhati-hati di dalam masalah ini, dan hendaknya mengambil cara yang paling utama. Yaitu, tidaklah ia melangsungkan sebuah akad nikah, kecuali telah terpenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya lalu mengumumkan pernikahannya tersebut kepada khalayak ramai serta mencatatkannya di lembaga KUA. Karena inilah cara yang disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya dan cara yang akan mendatangkan maslahat serta menghindarkan kerusakan dan kerugian. Dapat kita ketahui juga bahwa menyembunyikan pernikahan, seringkali akan menimbulkan sebuah kemudaratan, baik itu kepada salah satu pihak yang mengikat akad tersebut, ataupun nanti kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengusahakan yang terbaik dalam hal akad nikah ini. Wallahu A’lam Bis-shawab. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Rukun dan syarat nikah dalam IslamPertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuanKedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuanKetiga: Hadirnya dua orang saksi Keempat: Ijab kabulAnjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahanBeberapa macam nikah siri beserta hukumnyaPertama: Nikah siri tanpa waliKedua: Nikah siri tanpa adanya saksiKetiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyiKeempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Fenomena nikah siri akhir-akhir ini mulai terangkat kembali, menjadi bahan pembicaraan di portal-portal berita dan di seluruh media, baik itu di televisi ataupun media sosial. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya fenomena tersebut. Di antaranya: faktor ekonomi, hamil di luar nikah, ingin melakukan poligami secara diam-diam, atau karena calon mempelai belum mencapai umur minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan karena sebab-sebab lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ‘nikah siri’ memiliki definisi, “Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), dan sah menurut agama Islam.” Nikah siri dapat dipahami juga sebagai sebuah pernikahan yang hanya sah secara hukum agama Islam, namun belum tercatat di Kantor Urusan Agama milik negara. Selama syarat-syarat sah dan rukun nikahnya terpenuhi, maka akad pernikahannya tersebut sah dan menjadikan sebuah hubungan yang semula haram untuk dilakukan menjadi halal untuk dilakukan sebagai suami dan istri. Pengertian nikah siri di dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, karena mencakup pernikahan yang sah dan juga yang tidak sah. “Siri” secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Melalui akar kata inilah, ‘nikah siri’ diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Sebelum memahami lebih jauh tentang nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa tidak semua pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diumumkan diakui dan dianggap sah oleh syariat Islam. Untuk menghukumi sah atau tidaknya nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu dua hal berikut ini: Pertama: Rukun dan syarat nikah dalam Islam. Kedua: Adanya syariat dan anjuran untuk mengumumkan dan memeriahkan pernikahan. Rukun dan syarat nikah dalam Islam Untuk menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri (nikah yang disembunyikan) dalam ajaran Islam, maka kita perlu memastikan apakah semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi ataukah belum. Adapun rukun dan syarat sah nikah dalam ajaran Islam yaitu, Pertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan Untuk calon pengantin pria, maka memiliki persyaratan, seperti: beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya, adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin). Untuk calon pengantin perempuan, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan, seperti: tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa idah dari pernikahannya dengan orang lain. Kedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuan Baik wali nikahnya tersebut dari jalur nasab ataupun dari wali hakim. Adapun syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang dapat menjadi wali nikah, yaitu: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asabat) untuk seorang perempuan. Ketiga: Hadirnya dua orang saksi  Di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahannya sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: beragama Islam, laki-laki (menurut mayoritas mazhab), sudah dewasa, kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi). Disebutkan di dalam hadis sahih, لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ “Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558.) Keempat: Ijab kabul Yaitu, proses akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan kabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apa pun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu). Anjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahan Disunahkan untuk mengumumkan akad pernikahan dan ini merupakan kesepakatan mazhab yang empat’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ رأى عبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ وعليْهِ رِدعُ زعفرانٍ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ مَهيِم فقالَ يا رسولَ اللَّهِ تزوَّجتُ امرأةً قالَ ما أصدقتَها قالَ وَزنَ نواةٍ من ذَهبٍ قالَ أولِم ولو بشاةٍ “Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya, ‘Ada apa ini, Abdurrahman?’ Abdurrahman menjawab, ‘Saya baru menikahi seorang wanita.’ Rasulullah bertanya, ‘Mahar apa yang engkau berikan?’ Abdurrahman menjawab, ‘Mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi bersabda, ‘Kalau begitu, adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.’” (HR. Abu Dawud no. 2109, Bukhari no. 3937, dan Muslim no. 1427) Seorang shahabiyyat wanita bernama Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha mengisahkan, دَخَلَ عَلَيَّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَداةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ علَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وجُوَيْرِياتٌ يَضْرِبْنَ بالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَن قُتِلَ مِن آبائِهِنَّ يَومَ بَدْرٍ، حتَّى قالَتْ جارِيَةٌ: وفينا نَبِيٌّ يَعْلَمُ ما في غَدٍ. فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا تَقُولِي هَكَذا، وقُولِي ما كُنْتِ تَقُولِينَ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku (mengisyaratkan jauhnya jarak mereka berdua tatkala mereka berbicara). Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair), ‘Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui esok hari.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapkan tadi.’” (HR. Bukhari no. 4001) Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan dan menyetujui adanya pengumuman pernikahan dan bentuk meramaikannya dengan duff (alat tabuh gendang atau rebana yang ditabuh oleh anak-anak perempuan) dan hal-hal lainnya yang diperbolehkan, dan beliau juga menghadiri beberapa acara tersebut. Di dalam mengumumkan pernikahan dan meramaikannya sehingga banyak orang yang mengetahuinya serta mencatatkannya kepada pihak berwenang, memiliki banyak sekali hikmah dan faedah. Di antaranya adalah menjauhkan seseorang dari persangkaan buruk akan adanya perzinaan antara kedua mempelai yang menikah tersebut. Begitu juga, perbuatan ini akan menjaga kehormatan nasab dan anak keturunannya. Karena sebuah pernikahan yang belum diakui oleh penyelenggara negara, maka akan memiliki dampak negatif kepada status anak yang dilahirkannya. Baca juga: Hukum “Nikah dengan Niat Talak” Beberapa macam nikah siri beserta hukumnya Pertama: Nikah siri tanpa wali Biasanya, hal ini terjadi karena wali dari pihak perempuan belum memberikan persetujuan dan restunya, atau karena kedua calon mempelai menganggap sahnya sebuah pernikahan tanpa adanya wali atau bisa jadi hal ini dilakukan hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentuan syariat agama. Dalam kasus seperti, telah jelas bahwa hukum pernikahannya tidak sah karena keberadaan wali, baik itu wali nasab ataupun wali hakim merupakan syarat mutlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ “Tidaklah sah sebuah pernikahan, kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi.” (Disebutkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 7557) Beliau juga bersabda, أيُّما امرأةٍ نَكَحَت بغيرِ إذنِ مَواليها ، فنِكاحُها باطلٌ ، ثلاثَ مرَّاتٍ “Setiap wanita yang menikah tanpa seizin salah satu dari walinya, maka pernikahannya batal (rusak). (Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud no. 2083) Kedua: Nikah siri tanpa adanya saksi Apabila telah benar bahwa kedua belah pihak melakukan akad nikah dengan kehadiran wali dari pihak perempuan, namun di dalam pelaksanaannya tidak menghadirkan saksi yang sah atau kurang di dalam jumlah saksinya, maka pernikahan semacam ini dihukumi tidak sah juga. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwattha’, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ “Bahwasanya Umar bin Khattab suatu hari pernah dihadapkan kepada beliau sebuah kasus pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka, beliau mengatakan, ‘Ini merupakan salah satu bentuk nikah siri dan aku tidak mengizinkan pernikahan semacam ini. Seandainya saya menemuinya, maka saya akan merajamnya.’” (Al-Muwattha’, 4: 57) Ketiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyi Mengenai hukum nikah semacam ini, maka para ulama berselisih pendapat. Pendapat pertama: pernikahannya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan kebanyakan para ahli hadis dan  merupakan beberapa riwayat Ahmad. Pendapat kedua: pernikahannya sah, namun menyelisihi yang lebih utama, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, mengumumkan pernikahan merupakan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah pendapat mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iyyah, dan Hambali. Pendapat kedua juga menyampaikan, “Jika pernikahan semacam ini menimbulkan kemudaratan dan marabahaya serta berpotensi mengundang fitnah di hati kaum muslimin, terlebih lagi terkadang akan mempengaruhi status anak dari hasil pernikahan tersebut dan juga seringkali akan merugikan pihak istri, maka hukumnya juga haram sebagaimana pendapat yang pertama.” (Taqrib Fatawa Ibnu Taimiyyah, oleh Syekh Ahmad bin Nashir At-Thayyar) Keempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA Inilah di antara bentuk nikah siri yang banyak terjadi di sekitar kita, entah itu bermula dari pernikahan usia dini sehingga belum dapat didaftarkan ataupun karena poligami dan sebab lainnya. Dalam kasus seperti ini, selama semua persyaratan telah terpenuhi, baik itu dengan adanya wali, kesaksian dua orang saksi laki-laki, lalu disempurnakan dengan adanya pengumuman dan pemberitaan, maka hukumnya menurut syariat Islam adalah sah. Namun, secara hukum negara belumlah dianggap sah. Perlu kita sadari bersama bahwa pemerintah telah mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mencatatkannya kepada pihak yang berwenang, dan tentu saja ini merupakan perintah dan kewajiban yang diambil pemerintah sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Menaati pemerintah selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Mereka yang tidak melaksanakannya dan tidak menaatinya, maka sesungguhnya ia telah berdosa dan melakukan kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59) Sebuah pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya kepada KUA, minimal akan mendapatkan tiga dampak negatif: Pertama: Status anak hasil dari nikah siri disamakan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hukum negara. Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (menurut hukum negara) sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Disebutkan juga bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin selama pihak terkait tidak mengajukan permohonannya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Agama. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kedua: Kesulitan terkait kepentingan kepengurusan dokumen kependudukan Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya. Ketiga: Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam hak waris. Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang DIAKUI oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris, yaitu ayahnya, maka hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Meskipun di dalam Islam ia tetap mendapatkan hak waris, namun jika suatu saat terjadi persengketaan dalam hal waris dan sengketa tersebut diangkat ke pengadilan, maka dirinya tidak memiliki kekuatan hukum di dalam pengadilan tersebut. Seorang muslim perlu kiranya untuk berhati-hati di dalam masalah ini, dan hendaknya mengambil cara yang paling utama. Yaitu, tidaklah ia melangsungkan sebuah akad nikah, kecuali telah terpenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya lalu mengumumkan pernikahannya tersebut kepada khalayak ramai serta mencatatkannya di lembaga KUA. Karena inilah cara yang disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya dan cara yang akan mendatangkan maslahat serta menghindarkan kerusakan dan kerugian. Dapat kita ketahui juga bahwa menyembunyikan pernikahan, seringkali akan menimbulkan sebuah kemudaratan, baik itu kepada salah satu pihak yang mengikat akad tersebut, ataupun nanti kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengusahakan yang terbaik dalam hal akad nikah ini. Wallahu A’lam Bis-shawab. Baca juga: Hukum Menikah dengan Pezina *** Penulis: Muhammad Idris, Lc. Artikel: Muslim.or.id

Bagaimanakah Tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?

Daftar Isi Toggle Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDoa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidurWaktu tidur Rasulullah Tidur merupakan salah satu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah jadikan dunia ini terdiri dari siang dan malam. Allah jadikan siang hari sebagai waktu bagi kita untuk bekerja dan mencari penghidupan. Allah juga jadikan malam hari sebagai waktu bagi kita untuk istirahat dan tidur. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Di antara rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang agar kamu beristirahat pada malam hari, agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari), dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qashash: 73) Maka dari itu, tidur merupakan salah satu hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia. Tidur juga merupakan kebutuhan bagi semua manusia. Tidak terkecuali Nabi kita yang mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga tentu membutuhkan tidur. Lalu, bagaimanakah tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagaimana posisi Rasulullah ketika tidur? Ada beberapa hadis yang menyebutkan tentang posisi beliau ketika tidur. Di antaranya adalah hadis dari Bara’ bin Azib. أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أخذ مضجعه وضع كفه اليمنى تحت خده الأيمن، وقال ,رب قني عذابك يوم تبعث عبادك “Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa, ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah. Beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ فَعَرَّسَ بِلَيْلٍ اضْطَجَعَ عَلَى يَمِينِهِ وَإِذَا عَرَّسَ قُبَيْلَ الصُّبْحِ نَصَبَ ذِرَاعَهُ وَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى كَفِّه “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan lalu singgah di waktu malamnya, maka beliau berbaring dengan bertumpu lambung kanannya. Apabila beliau singgah di saat-saat sebelum subuh, maka beliau tegakkan hastanya searah badannya, kemudian beliau letakkan kepalanya di atas telapak tangannya.” (HR. Muslim) Dari kedua hadis yang telah disebutkan, bisa kita simpulkan bahwa Nabi tidur dengan posisi menyamping ke kanan bertumpu dengan bagian tubuhnya yang sebelah kanan. Beliau juga tidur dalam keadaan menyandarkan kepala bagian kanan beliau ke tangan kanan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah ketika tidur juga mendengkur, sebagaimana hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ ثُمَّ أَتَاهُ الْمُنَادِي فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ فَقَامَ مَعَهُ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “Kemudian beliau (Rasulullah) tidur hingga mendengkur. Kemudian seorang muazin datang memberitahukan beliau bahwa waktu salat telah tiba. Beliau lalu pergi bersamanya dan salat tanpa berwudu lagi.” (HR. Bukhari) Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Doa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidur Sebelum tidur Rasulullah juga membaca doa terlebih dahulu. Di antara doa yang beliau baca sebelum tidur adalah doa pada hadis sebelumnya, yaitu: رب قني عذابك يوم تبعث عبادك ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga doa yang beliau baca selain doa di atas. Dari Huzaifah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنْ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوتُ وَأَحْيَا وَإِذَا اسْتَيْقَظَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُور “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau meletakkan tangannya di bawah pipi, kemudian beliau mengucapkan, ‘BISMIKA AMUTU WAAHYA’ (Dengan nama-Mu, aku mati dan aku hidup.) Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan, ‘ALHAMDU LILLAHIL LADZI AHYANA BA’DA MA AMATANA WA ILAHIN NUSYUR’ (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah tempat kembali.)” (HR. Bukhari) Sebelum tidur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca tiga surah pendek, yaitu: surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq, dan surah An-Nas sebanyak tiga kali. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan,“qulhuwallahu ahad”, “qul `a’udzu birabbil falaq”, dan “qul ‘a’udzu birabbin nas”. Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah, dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari) Itulah beberapa doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baca ketika beliau hendak tidur. Waktu tidur Rasulullah Setelah kita ketahui bagaimana posisi beliau tidur dan juga doa apa yang beliau baca ketika tidur, lalu kapankah beliau tidur? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasanya tidur setelah salat Isya, lalu beliau bangun untuk salat malam, kemudian beliau tidur lagi hingga menjelang Subuh. Hal tersebut bisa disimpulkan dari beberapa hadis, di antaranya adalah hadis dari Abu Barzah, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka tidur sebelum salat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah tidak suka berbincang-bincang setelah salat Isya dan menunjukkan dianjurkannya segera tidur setelah salat Isya. Hadis lain yang menunjukkan waktu tidur Rasulullah di antaranya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengabarkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Salat yang paling Allah cintai adalah salatnya Nabi Daud ‘alaihis salam dan puasa yang paling Allah cintai adalah puasanya Nabi Daud ‘alaihis salam. Nabi Daud ‘alaihis salam tidur hingga pertengahan malam, lalu salat pada sepertiganya, kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam puasa sehari dan berbuka sehari.” Selain tidur pada malam hari, Rasulullah juga tidur di siang hari. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ “Hendaklah kalian tidur siang (qailulah) karena setan itu tidak tidur siang.” (Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani) Itulah gambaran ringkas mengenai bagaimana tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Mengenal Hak Rasulullah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Syarah Syama’il Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr. Website islamweb.net

Bagaimanakah Tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?

Daftar Isi Toggle Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDoa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidurWaktu tidur Rasulullah Tidur merupakan salah satu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah jadikan dunia ini terdiri dari siang dan malam. Allah jadikan siang hari sebagai waktu bagi kita untuk bekerja dan mencari penghidupan. Allah juga jadikan malam hari sebagai waktu bagi kita untuk istirahat dan tidur. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Di antara rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang agar kamu beristirahat pada malam hari, agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari), dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qashash: 73) Maka dari itu, tidur merupakan salah satu hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia. Tidur juga merupakan kebutuhan bagi semua manusia. Tidak terkecuali Nabi kita yang mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga tentu membutuhkan tidur. Lalu, bagaimanakah tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagaimana posisi Rasulullah ketika tidur? Ada beberapa hadis yang menyebutkan tentang posisi beliau ketika tidur. Di antaranya adalah hadis dari Bara’ bin Azib. أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أخذ مضجعه وضع كفه اليمنى تحت خده الأيمن، وقال ,رب قني عذابك يوم تبعث عبادك “Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa, ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah. Beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ فَعَرَّسَ بِلَيْلٍ اضْطَجَعَ عَلَى يَمِينِهِ وَإِذَا عَرَّسَ قُبَيْلَ الصُّبْحِ نَصَبَ ذِرَاعَهُ وَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى كَفِّه “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan lalu singgah di waktu malamnya, maka beliau berbaring dengan bertumpu lambung kanannya. Apabila beliau singgah di saat-saat sebelum subuh, maka beliau tegakkan hastanya searah badannya, kemudian beliau letakkan kepalanya di atas telapak tangannya.” (HR. Muslim) Dari kedua hadis yang telah disebutkan, bisa kita simpulkan bahwa Nabi tidur dengan posisi menyamping ke kanan bertumpu dengan bagian tubuhnya yang sebelah kanan. Beliau juga tidur dalam keadaan menyandarkan kepala bagian kanan beliau ke tangan kanan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah ketika tidur juga mendengkur, sebagaimana hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ ثُمَّ أَتَاهُ الْمُنَادِي فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ فَقَامَ مَعَهُ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “Kemudian beliau (Rasulullah) tidur hingga mendengkur. Kemudian seorang muazin datang memberitahukan beliau bahwa waktu salat telah tiba. Beliau lalu pergi bersamanya dan salat tanpa berwudu lagi.” (HR. Bukhari) Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Doa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidur Sebelum tidur Rasulullah juga membaca doa terlebih dahulu. Di antara doa yang beliau baca sebelum tidur adalah doa pada hadis sebelumnya, yaitu: رب قني عذابك يوم تبعث عبادك ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga doa yang beliau baca selain doa di atas. Dari Huzaifah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنْ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوتُ وَأَحْيَا وَإِذَا اسْتَيْقَظَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُور “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau meletakkan tangannya di bawah pipi, kemudian beliau mengucapkan, ‘BISMIKA AMUTU WAAHYA’ (Dengan nama-Mu, aku mati dan aku hidup.) Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan, ‘ALHAMDU LILLAHIL LADZI AHYANA BA’DA MA AMATANA WA ILAHIN NUSYUR’ (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah tempat kembali.)” (HR. Bukhari) Sebelum tidur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca tiga surah pendek, yaitu: surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq, dan surah An-Nas sebanyak tiga kali. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan,“qulhuwallahu ahad”, “qul `a’udzu birabbil falaq”, dan “qul ‘a’udzu birabbin nas”. Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah, dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari) Itulah beberapa doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baca ketika beliau hendak tidur. Waktu tidur Rasulullah Setelah kita ketahui bagaimana posisi beliau tidur dan juga doa apa yang beliau baca ketika tidur, lalu kapankah beliau tidur? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasanya tidur setelah salat Isya, lalu beliau bangun untuk salat malam, kemudian beliau tidur lagi hingga menjelang Subuh. Hal tersebut bisa disimpulkan dari beberapa hadis, di antaranya adalah hadis dari Abu Barzah, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka tidur sebelum salat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah tidak suka berbincang-bincang setelah salat Isya dan menunjukkan dianjurkannya segera tidur setelah salat Isya. Hadis lain yang menunjukkan waktu tidur Rasulullah di antaranya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengabarkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Salat yang paling Allah cintai adalah salatnya Nabi Daud ‘alaihis salam dan puasa yang paling Allah cintai adalah puasanya Nabi Daud ‘alaihis salam. Nabi Daud ‘alaihis salam tidur hingga pertengahan malam, lalu salat pada sepertiganya, kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam puasa sehari dan berbuka sehari.” Selain tidur pada malam hari, Rasulullah juga tidur di siang hari. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ “Hendaklah kalian tidur siang (qailulah) karena setan itu tidak tidur siang.” (Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani) Itulah gambaran ringkas mengenai bagaimana tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Mengenal Hak Rasulullah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Syarah Syama’il Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr. Website islamweb.net
Daftar Isi Toggle Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDoa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidurWaktu tidur Rasulullah Tidur merupakan salah satu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah jadikan dunia ini terdiri dari siang dan malam. Allah jadikan siang hari sebagai waktu bagi kita untuk bekerja dan mencari penghidupan. Allah juga jadikan malam hari sebagai waktu bagi kita untuk istirahat dan tidur. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Di antara rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang agar kamu beristirahat pada malam hari, agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari), dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qashash: 73) Maka dari itu, tidur merupakan salah satu hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia. Tidur juga merupakan kebutuhan bagi semua manusia. Tidak terkecuali Nabi kita yang mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga tentu membutuhkan tidur. Lalu, bagaimanakah tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagaimana posisi Rasulullah ketika tidur? Ada beberapa hadis yang menyebutkan tentang posisi beliau ketika tidur. Di antaranya adalah hadis dari Bara’ bin Azib. أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أخذ مضجعه وضع كفه اليمنى تحت خده الأيمن، وقال ,رب قني عذابك يوم تبعث عبادك “Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa, ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah. Beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ فَعَرَّسَ بِلَيْلٍ اضْطَجَعَ عَلَى يَمِينِهِ وَإِذَا عَرَّسَ قُبَيْلَ الصُّبْحِ نَصَبَ ذِرَاعَهُ وَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى كَفِّه “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan lalu singgah di waktu malamnya, maka beliau berbaring dengan bertumpu lambung kanannya. Apabila beliau singgah di saat-saat sebelum subuh, maka beliau tegakkan hastanya searah badannya, kemudian beliau letakkan kepalanya di atas telapak tangannya.” (HR. Muslim) Dari kedua hadis yang telah disebutkan, bisa kita simpulkan bahwa Nabi tidur dengan posisi menyamping ke kanan bertumpu dengan bagian tubuhnya yang sebelah kanan. Beliau juga tidur dalam keadaan menyandarkan kepala bagian kanan beliau ke tangan kanan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah ketika tidur juga mendengkur, sebagaimana hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ ثُمَّ أَتَاهُ الْمُنَادِي فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ فَقَامَ مَعَهُ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “Kemudian beliau (Rasulullah) tidur hingga mendengkur. Kemudian seorang muazin datang memberitahukan beliau bahwa waktu salat telah tiba. Beliau lalu pergi bersamanya dan salat tanpa berwudu lagi.” (HR. Bukhari) Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Doa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidur Sebelum tidur Rasulullah juga membaca doa terlebih dahulu. Di antara doa yang beliau baca sebelum tidur adalah doa pada hadis sebelumnya, yaitu: رب قني عذابك يوم تبعث عبادك ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga doa yang beliau baca selain doa di atas. Dari Huzaifah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنْ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوتُ وَأَحْيَا وَإِذَا اسْتَيْقَظَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُور “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau meletakkan tangannya di bawah pipi, kemudian beliau mengucapkan, ‘BISMIKA AMUTU WAAHYA’ (Dengan nama-Mu, aku mati dan aku hidup.) Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan, ‘ALHAMDU LILLAHIL LADZI AHYANA BA’DA MA AMATANA WA ILAHIN NUSYUR’ (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah tempat kembali.)” (HR. Bukhari) Sebelum tidur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca tiga surah pendek, yaitu: surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq, dan surah An-Nas sebanyak tiga kali. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan,“qulhuwallahu ahad”, “qul `a’udzu birabbil falaq”, dan “qul ‘a’udzu birabbin nas”. Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah, dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari) Itulah beberapa doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baca ketika beliau hendak tidur. Waktu tidur Rasulullah Setelah kita ketahui bagaimana posisi beliau tidur dan juga doa apa yang beliau baca ketika tidur, lalu kapankah beliau tidur? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasanya tidur setelah salat Isya, lalu beliau bangun untuk salat malam, kemudian beliau tidur lagi hingga menjelang Subuh. Hal tersebut bisa disimpulkan dari beberapa hadis, di antaranya adalah hadis dari Abu Barzah, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka tidur sebelum salat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah tidak suka berbincang-bincang setelah salat Isya dan menunjukkan dianjurkannya segera tidur setelah salat Isya. Hadis lain yang menunjukkan waktu tidur Rasulullah di antaranya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengabarkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Salat yang paling Allah cintai adalah salatnya Nabi Daud ‘alaihis salam dan puasa yang paling Allah cintai adalah puasanya Nabi Daud ‘alaihis salam. Nabi Daud ‘alaihis salam tidur hingga pertengahan malam, lalu salat pada sepertiganya, kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam puasa sehari dan berbuka sehari.” Selain tidur pada malam hari, Rasulullah juga tidur di siang hari. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ “Hendaklah kalian tidur siang (qailulah) karena setan itu tidak tidur siang.” (Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani) Itulah gambaran ringkas mengenai bagaimana tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Mengenal Hak Rasulullah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Syarah Syama’il Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr. Website islamweb.net


Daftar Isi Toggle Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamDoa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidurWaktu tidur Rasulullah Tidur merupakan salah satu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah jadikan dunia ini terdiri dari siang dan malam. Allah jadikan siang hari sebagai waktu bagi kita untuk bekerja dan mencari penghidupan. Allah juga jadikan malam hari sebagai waktu bagi kita untuk istirahat dan tidur. Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ رَّحْمَتِهٖ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Di antara rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang agar kamu beristirahat pada malam hari, agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari), dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Qashash: 73) Maka dari itu, tidur merupakan salah satu hal yang pasti dilakukan oleh seluruh manusia. Tidur juga merupakan kebutuhan bagi semua manusia. Tidak terkecuali Nabi kita yang mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga tentu membutuhkan tidur. Lalu, bagaimanakah tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Posisi tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagaimana posisi Rasulullah ketika tidur? Ada beberapa hadis yang menyebutkan tentang posisi beliau ketika tidur. Di antaranya adalah hadis dari Bara’ bin Azib. أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أخذ مضجعه وضع كفه اليمنى تحت خده الأيمن، وقال ,رب قني عذابك يوم تبعث عبادك “Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa, ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah. Beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ فَعَرَّسَ بِلَيْلٍ اضْطَجَعَ عَلَى يَمِينِهِ وَإِذَا عَرَّسَ قُبَيْلَ الصُّبْحِ نَصَبَ ذِرَاعَهُ وَوَضَعَ رَأْسَهُ عَلَى كَفِّه “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan lalu singgah di waktu malamnya, maka beliau berbaring dengan bertumpu lambung kanannya. Apabila beliau singgah di saat-saat sebelum subuh, maka beliau tegakkan hastanya searah badannya, kemudian beliau letakkan kepalanya di atas telapak tangannya.” (HR. Muslim) Dari kedua hadis yang telah disebutkan, bisa kita simpulkan bahwa Nabi tidur dengan posisi menyamping ke kanan bertumpu dengan bagian tubuhnya yang sebelah kanan. Beliau juga tidur dalam keadaan menyandarkan kepala bagian kanan beliau ke tangan kanan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah ketika tidur juga mendengkur, sebagaimana hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ ثُمَّ أَتَاهُ الْمُنَادِي فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ فَقَامَ مَعَهُ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ “Kemudian beliau (Rasulullah) tidur hingga mendengkur. Kemudian seorang muazin datang memberitahukan beliau bahwa waktu salat telah tiba. Beliau lalu pergi bersamanya dan salat tanpa berwudu lagi.” (HR. Bukhari) Baca juga: Surah-Surah yang Dibaca oleh Rasulullah ketika Salat Doa-doa yang dibaca Rasulullah sebelum tidur Sebelum tidur Rasulullah juga membaca doa terlebih dahulu. Di antara doa yang beliau baca sebelum tidur adalah doa pada hadis sebelumnya, yaitu: رب قني عذابك يوم تبعث عبادك ‘RABBI QINI ‘ADZABAKA YAUMA TAB’ATSU ‘IBADAKA’ (Ya Rabb, jagalah hamba dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu.)” (HR. Ahmad) Selain itu, ada juga doa yang beliau baca selain doa di atas. Dari Huzaifah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنْ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوتُ وَأَحْيَا وَإِذَا اسْتَيْقَظَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُور “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau meletakkan tangannya di bawah pipi, kemudian beliau mengucapkan, ‘BISMIKA AMUTU WAAHYA’ (Dengan nama-Mu, aku mati dan aku hidup.) Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan, ‘ALHAMDU LILLAHIL LADZI AHYANA BA’DA MA AMATANA WA ILAHIN NUSYUR’ (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah tempat kembali.)” (HR. Bukhari) Sebelum tidur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membaca tiga surah pendek, yaitu: surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq, dan surah An-Nas sebanyak tiga kali. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan,“qulhuwallahu ahad”, “qul `a’udzu birabbil falaq”, dan “qul ‘a’udzu birabbin nas”. Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah, dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari) Itulah beberapa doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baca ketika beliau hendak tidur. Waktu tidur Rasulullah Setelah kita ketahui bagaimana posisi beliau tidur dan juga doa apa yang beliau baca ketika tidur, lalu kapankah beliau tidur? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasanya tidur setelah salat Isya, lalu beliau bangun untuk salat malam, kemudian beliau tidur lagi hingga menjelang Subuh. Hal tersebut bisa disimpulkan dari beberapa hadis, di antaranya adalah hadis dari Abu Barzah, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka tidur sebelum salat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. Bukhari) Dari hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah tidak suka berbincang-bincang setelah salat Isya dan menunjukkan dianjurkannya segera tidur setelah salat Isya. Hadis lain yang menunjukkan waktu tidur Rasulullah di antaranya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengabarkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Salat yang paling Allah cintai adalah salatnya Nabi Daud ‘alaihis salam dan puasa yang paling Allah cintai adalah puasanya Nabi Daud ‘alaihis salam. Nabi Daud ‘alaihis salam tidur hingga pertengahan malam, lalu salat pada sepertiganya, kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam puasa sehari dan berbuka sehari.” Selain tidur pada malam hari, Rasulullah juga tidur di siang hari. Hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ “Hendaklah kalian tidur siang (qailulah) karena setan itu tidak tidur siang.” (Dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani) Itulah gambaran ringkas mengenai bagaimana tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga bermanfaat. Baca juga: Mengenal Hak Rasulullah *** Penulis: Firdian Ikhwansyah Artikel: Muslim.or.id   Referensi: Kitab Syarah Syama’il Nabi, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al-Badr. Website islamweb.net

Renungan Akhir Tahun: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya?

Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id

Renungan Akhir Tahun: Bagaimana Menjadi Muslim Seutuhnya?

Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id
Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id


Daftar Isi Toggle Muslim punya jati diriHikmah seorang muslim tidak boleh menyerupaiPercaya diri menjadi muslimMemudarnya keutuhan iman di akhir tahun Islam bukan hanya sebuah agama, melainkan sebuah cara hidup yang menyeluruh, yang mengatur setiap aspek kehidupan seseorang, baik dalam hubungan dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Menjadi seorang muslim seutuhnya berarti hidup sesuai dengan ajaran Islam dalam setiap tindakan, pikiran, dan perilaku, baik dalam aspek ibadah, akidah, akhlak, maupun muamalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208) Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana Islam menjadi jati diri dan bagaimana seseorang dapat menjadi muslim seutuhnya. Semoga tulisan ini dapat menjadi nasihat bagi kaum muslimin supaya mempunyai jati diri atau karakter sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nasihat ini terlebih dibutuhkan di momen akhir tahun, di mana banyak kaum muslimin yang jati dirinya terasa memudar akibat kesalahpahaman tentang konsep toleransi. Muslim punya jati diri Jati diri atau karakter adalah suatu konsep yang menggambarkan siapa diri kita sebenarnya, nilai-nilai yang kita anut, serta bagaimana kita berperilaku berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Bagi seorang muslim, jati diri yang sejati adalah ketika Islam tidak hanya sekadar label atau identitas yang melekat, tetapi menjadi fondasi yang membentuk cara hidupnya. Di tengah arus modernitas dan globalisasi, banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karenanya, seorang muslim dituntut mempunyai jati diri ataupun karakter yang jelas juga tangguh agar tidak asal-asalan mengikuti tren, gaya, dan corak yang tidak semestinya menjadi ciri khas seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya.” (HR. Abu Daud no. 4031. Lihat Irwa’ul Gholil no. 1269.) Maka dari itulah, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an dan juga hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang umat muslim untuk meniru ciri khas yang semestinya tidak mereka tiru, entah itu meniru atau menyerupai hewan, lawan jenis, setan, atau pun nonmuslim. Berikut ringkasan masing-masing dalil yang melarang untuk meniru mereka: Pertama, larangan meniru hewan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, اعْتَدِلُوا في السُّجُودِ ولا يَبْسُطْ أحَدُكُمْ ذِراعَيْهِ انْبِساطَ الكَلْبِ “Seimbanglah di dalam sujud dan janganlah seseorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, larangan meniru gaya lawan jenis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ليس منا من تشبَّه بالرجالِ من النِّساءِ ، و لا من تشبَّه بالنساءِ من الرِّجالِ “Bukan dari golongan kami, wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan lelaki yang menyerupai kaum wanita.”  (HR. Ahmad no. 6875. Lihat Al-Jami’ Al-Saghir no. 7659.) Ketiga, larangan meniru setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تَأكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَأكُلُ ويَشربُ بِالشِّمَالِ “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim) Keempat, larangan meniru nonmuslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh).” (HR. Bukhari dan Muslim) Hikmah seorang muslim tidak boleh menyerupai Banyak sekali hikmah kenapa seorang muslim tidak boleh meniru karakter yang tidak seharusnya ditiru. Hal ini dikarenakan Allah dan Rasul-Nya menginginkan para pemeluk Islam untuk memiliki jati diri yang tegas dan mulia. Larangan meniru hewan bertujuan agar umat Islam untuk tidak merendahkan martabatnya dengan perilaku yang tidak layak bagi seorang manusia, seperti meniru gerakan atau kebiasaan hewan. Sesuai dengan fitrah ciptaan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4) Larangan meniru lawan jenis karena Islam menetapkan peran dan hukum yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam syariat agama (baik hal kepemimpinan, pakaian, nafkah, waris, wali, dan lainnya) yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Jika seseorang mencoba untuk meniru lawan jenis, bisa timbul kerancuan dalam menjalankan peran yang telah ditentukan, tidak hanya pada syariat agama, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat luas. Larangan meniru setan agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh setan, seperti keangkuhan, kebohongan, dan kedengkian, yang akan merusak akhlak dan keimanan. Secara umum, kita diperintahkan untuk tidak mengikuti perilaku dan langkah setan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ “Janganlah kamu turuti langkah-langkah setan.” (Q.S. Al-Baqarah: 208) Larangan menyerupai nonmuslim bertujuan untuk mencegah umat Islam dari mengikuti keyakinan, tradisi, atau praktik yang bertentangan dengan Islam. Hal ini melindungi akidah seorang muslim agar tetap lurus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Namun, penting juga untuk memahami bahwa larangan meniru atau menyerupai ini tidak mencakup hal-hal yang bersifat umum dan netral, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat. Islam tetap mendorong umatnya untuk mengambil hikmah dari mana saja selama itu bermanfaat dan tidak melanggar prinsip agama. Baca juga: Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim Percaya diri menjadi muslim Bangga menjadi muslim adalah salah satu cara untuk menjaga identitas. Kepercayaan diri ini tumbuh dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman, ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3) Ketika seorang muslim percaya pada nilai-nilai Islam, ia tidak akan tergoda untuk meniru gaya hidup atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang meniru hewan, setan, lawan jenis, maupun nonmuslim, bukankah sama saja ia tidak bersyukur atas nikmat akal, kemuliaan, jenis kelamin, dan keimanan yang diberikan Allah kepadanya? Allah Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan memberikan berbagai keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat atau makhluk lainnya. Kemuliaan ini bukan hanya sekadar penghargaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dipelihara. Memudarnya keutuhan iman di akhir tahun Menjelang akhir tahun, umat muslim sering dihadapkan pada godaan mengikuti tradisi perayaan seperti Natal dan Tahun Baru dengan ikut merayakannya, mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, mengenakan atribut khasnya, seperti: topi Santa Claus, pohon natal, terompet, kembang api, dan semacamnya. Islam tidak melarang berbuat baik kepada nonmuslim selama tidak melanggar syariat, seperti menjalin hubungan dan berbuat baik, memberi hadiah, atau menghormati perayaan mereka tanpa ikut serta di dalamnya. Islam mendorong umatnya untuk menjadi teladan dalam kebaikan dan kedamaian tanpa menodai akidah umatnya. Toleransi tidak berarti harus mengorbankan prinsip agama. Maka, jadilah muslim seutuhnya. Baca juga: Dampak Ilmu yang Tidak Bermanfaat bagi Seorang Muslim *** Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd. Artikel: Muslim.or.id

Mau Islam Kuat? Lakukan Ini Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ

Mau Islam Kuat? Lakukan Ini Sekarang! – Syaikh Khalid Ismail #NasehatUlama

Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ
Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ


Di zaman sekarang, jihad terbesar hari ini adalah jihad melawan hawa nafsu serta jihad dengan ilmu dan ibadah, karena seorang muslim jika ia berjihad menundukkan hawa nafsunya, menjauhi maksiat dan perkara-perkara haram, dan ia menaati Tuhannya Jalla wa ʿAlā, maka saat itulah kaum muslim akan kembali kepada agama mereka. Jika kaum muslim telah kembali kepada agama mereka, niscaya mereka akan bersatu dan semakin kuat. “Sesungguhnya Allah tidak Mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11) Inilah langkah pertama untuk memperbaiki kondisi umat hari ini, terutama di tengah banyaknya fitnah, perselisihan, dan perbedaan. Harus ada kesungguhan untuk kembali kepada agama Allah dengan sepenuh hati. Inilah salah satu jihad terbesar. Ini sebabnya, Allah Taʿālā Berfirman, “…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (QS Al-Furqan: 52) Yakni, berjihad dengan Al-Quran yang mulia. === فِي زَمَانِنَا أَعْظَمُ جِهَادِ الْيَوْمِ جِهَادُ النَّفْسِ جِهَادُ الْعِلْمِ جِهَادُ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا جَاهَدَ نَفْسَهُ وَابْتَعَدَ عَنِ الْمَعَاصِي وَالْمُحَرَّمَاتِ وَأَطَاعَ رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا هُنَا يَرْجِعُ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ وَإِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى دِينِهِمْ تَتَّفِقُ كَلِمَتُهُمْ وَتَقْوَى شَوْكَتُهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ فَهَذِهِ الْخُطْوَةُ الْأُوْلَى فِي إِصْلَاحِ الوَاقِعِ لِلْأُمَّةِ الْيَوْمَ مَعَ كَثْرَةِ الْفِتَنِ وَالنِّزَاعَاتِ وَالْاِخْتِلَافَاتِ لَا بُدَّ مِنْ رَجْعَةٍ صَادِقَةٍ إِلَى دِيْنِ اللهِ فَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ أَنْوَاعِ الْجِهَادِ وَلِهَذَا قَالَ الله تَعَالَى وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا يَعْنِي بِالْقُرْآنِ الْكَرِيمِ
Prev     Next